DONGENG UNTUK MENINGKATKAN COPING KOGNITIF PADA SURVIVOR ANAK PASCA ERUPSI MERAPI Silvia Eka Mariskha Bencana alam merupakan stressor paling nyata yang menuntut individu bereaksi di luar batas kemampuannya, tak terkecuali anak-anak. Reaksi anak pasca bencana sangat dipengaruhi oleh reaksi orang disekitarnya, tahap perkembangan kognitif dan strategi copingyang dimiliki. Penggunaan coping maladaptif pasca bencana membuat anak rentan mengalami PTSD, karenanya diperlukan usaha membangun coping adaptif yang berfokus pada kognitif dengan metode yang dekat dengan keseharian anak, salah satunya melalui dongeng. Penelitian merupakan validasi modul mendongeng, didesain dalam bentuk quasi experiment, melibatkan 7 orang siswa SMP yang berusia 11-13 tahun. Reaksi pasca bencana diukur dengan skala Indeks Reaksi Pasca Pasca Bencana untuk Anak (IRPBA) sedangkan coping kognitif yang digunakan diukur dengan menggunakan skala coping kognitif. Efektivitas metode dan pengaruh intervensi dianalisa dengan menggunakan teknik non-parametrik, Wilcoxon SignedRank. Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya perubahan skor pretest ke posttest baik pada pengukuran skala IRPBA (z=-1.612 ; p>0.05) maupun skala coping kognitif (z=-1.014 ; p>0.05). Hal ini bermakna bahwa tidak ada pengaruh dongeng dalam meningkatkan coping kognitif pada anak survivor merapi. Kata kunci : PTSD, coping kognitif, quasi experiment, erupsi Merapi, Dongeng
PENGANTAR Erupsi merapi yang memunculkan akibat langsung berupa kerugian materil dan nonmateril merupakan stressor primer yang dihadapi warga. Pasca kejadian tersebut, Dinas Kesehatan Sleman (2010) mencatat sebanyak 756 orang warga lereng merapi yang mengalami gangguan jiwa. 52 orang diantaranya mengalami gangguan jiwa berat (Psikosis) dan sisanya mengalami gangguan jiwa dalam intensitas yang beragam. Selanjutnya, sumber stress lainnya yang dihadapi warga setelah stressor primer berlalu (stressor sekunder) adalah banjir lahar dingin. Banjir lahar dingin yang terjadi setiap kali hujan turun tidak hanya menelan korban jiwa, namun juga menghanyutkan pemukiman yang berada di sekitar aliran sungai yang menyebabkan penumpukan material vukanik setebal 1,5 meter. Stressor semakin berat saat korban harus menjalani kehidupannya di pengungsian dalam batas waktu yang tidak mereka ketahui. Suhartoyo (Media Indonesia, 2011) menyebutkan bahwa dampak bencana yang ditimbulkan oleh banjir lahar dingin mungkin lebih besar ketimbang saat erupsi merapi bagi masyarakat sekitar bantaran sungai. Hal tersebut terjadi karena 1
aliran lahar dingin merusak perumahan dan areal pertanian warga serta menimbulkan korban jiwa. Kondisi tersebut terdampak semakin tingginya kemungkinan gangguan psikologi yang dihadapi warga terutama anak-anak. Prediksi ini cukup beralasan karena anak-anak kerap dibangunkan secara paksa ditengah malam karena harus mengungsi. Untuk mengetahui kondisi sebenarnya yang terjadi pada survivor anak pasca bencana, peneliti melakukan beberapa tahap preliminary study di wilayah bencana. Langkah ini dilakukan dikarenakan Kecamatan Cangkringan adalah salah satu wilayah yang mengalami kerusakan cukup parah di lereng Merapi. Maka, pencarian informasi dilakukan kepada “significant person” anak di lingkungannya. Pada tahap pertama, peneliti melakukan Focussed Group Discussion (FGD) yang melibatkan guru-guru SD/MI se Kecamatan Cangkringan. Dari hasil FGD tersebut, ditemukan kondisi anak-anak pasca bencana antara lain adanya rasa takut selama di sekolah, kecemasan berpisah dari orang terdekat, gelisah saat suasana mulai mendung dan terdengar gemuruh hujan. Selain itu, dari segi perilaku, anak menjadi lebih gampang mengekspresikan kemarahan (berkata kasar, menendang teman, menendang kursi/meja di sekolah), menunjukkan perilaku agresif dengan berkata kasar, menjadi lebih manja dan memaksakan kehendak terhadap orang tua. Beberapa anak bahkan menunjukkan penolakan ke sekolah dan perilaku lekat terhadap orang terdekat ataupun relawan di pengungsian. Dari segi prestasi belajar, tampak penurunan motivasi belajar, kosentrasi dan minat baca yang berimbas pada penurunan prestasi akademik. (FGD, 11 April 2011). Dilaporkan pula bahwa sejak pulang dari pengungsian, anak seperti kehilangan ketertarikan terhadap aktivitas belajar dan cenderung mengabaikan keberadaan guru di kelas. Anak menjadi lebih mudah memaksakan keinginan, meminta-minta dan sangat lekat pada relawan. (FGD, 11 April 2011). Tahap kedua, untuk mengetahui kondisi survivor anak pasca satu tahun peristiwa erupsi Merapi, peneliti melakukan pengumpulan data dengan menyebar angket pada 59 orang kader Puskesmas Cangkringan. Kader puskesmas peneliti nilai sebagai perpanjangan tangan pihak puskesmas di masyarakat. Secara periodik, kader memperoleh edukasi baik tentang kesehatan fisik maupun kesehatan mental sehingga diharapkan mampu menjadi agen perubah dikalangan
2
masyarakat. Informasi yang diberikan oleh kader adalah perilaku khas pasca bencana yang mungkin ditunjukkan oleh anak berusia 8-12 tahun yang berada dalam asuhannya. Berturut-turut, keluhan yang dilaporkan yaitu, perasaan takut saat ditinggal sendirian, ketakutan setiap kali mendung atau terdengar suara gluduk, penururunan prestasi belajar, peningkatan perilaku impulsif (gampang marah, tidak sabaran), menjadi lebih malas belajar, susah memusatkan perhatian, bercerita tentang peristiwa erupsi merapi secara berulang-ulang, munculnya keluhan fisik, regresi (minta ditemani kemana-mana, lebih rewel), mudah kaget, agresi secara perilaku dan oral (memukul, marah dengan kata-kata kasar), terbangun tiba-tiba dimalam hari dan sulit untuk tidur lagi. Beberapa orang tua melaporkan bahwa anak mereka cenderung bercerita, menggambar ataupun bermain dengan tema erupsi Merapi. (Cangkringan, Januari 2012). Tahap terakhir, peneliti melakukan wawancara kepada dua orang ibu yang menjadi korban erupsi Merapi yang tinggal di shelter. Wawancara dilakukan untuk mengetahui kondisi psikologis terkini anak-anak mereka. Ibu I, menceritakan bahwa perubahan perilaku yang paling mencolok dari putrinya yang saat itu berusia 10 tahun adalah ketakutan berpisah dengannya. Anak akan menelepon atau menunggu ibu di depan rumah jika ibu tak kunjung pulang. Anak terlihat sangat ketakutan dengan membawa selimut serta payung saat terdengar gemuruh hujan, dan bertahan duduk di depan pintu rumah. Walau demikian, anak dapat berinteraksi seperti biasanya saat bermain dengan teman-teman di sekolah ataupun di sekitar shelter. Tak jauh berbeda dengan yang diceritakan oleh ibu S. ibu S memiliki seorang anak laki-laki berusia 11 tahun. Menurut Ibu S, sejak tinggal di shelter, anaknya sudah jarang sholat jamaah di mesjid, padahal saat masih tinggal di rumah mereka sebelum bencana erupsi, anak akan berangkat ke mesjid sebelum azan, biasanya juga anaklah yang menjadi muadzinnya. Anak menjadi lebih sering keluar rumah dan bermain bersam teman-temannya. Saat hujan atau terdengar gemuruh, anak biasanya lari ke rumah temannya dan di sana biasanya telah ada beberapa temannya juga (Cangkringan, Maret 2012). Dari hasil preliminary study yang telah dilakukan, selama rentang satu tahun pasca peristiwa erupsi Merapi, masih tampak gejala khas yang dialami anak pasca kejadian traumatik, yaitu ketakutan saat mendengar suara gemuruh/gluduk
3
pertanda akan hujan, kecemasan saat ditinggal sendirian atau berpisah dengan ibu, agresivitas baik oral maupun perilaku, kesulitan berkonsentrasi, mudah kaget, serta menjadi topik umum dalam cerita dan tema bermain pada anak. Kondisi tersebut menjadi reaksi khas pada anak yang terpapar pengalaman traumatik. Anak yang mengalami kejadian traumatik akan menunjukkan beberapa gejala gangguan psikologis dalam merespon kejadian traumatis tersebut, misalnya depresi, cemas, gambaran kepribadian borderline maupun gangguan pasca trauma (PTSD). Walaupun tidak semua anak yang mengalami kejadian traumatik menunjukkan tingkat gangguan yang serius, tetapi tetap akan menunjukkan gejala ketergangguan dalam tingkatan sedang hingga sedikit lebih berat (Maschi, MacMilan, Morgen, Gibson & Stimmel, 2010). Jika gejala tersebut ada kurang dari satu bulan sejak kejadian traumatik, dapat dikatakan bahwa anak mengalami gangguan stres akut. Namun jika gejala terus menerus muncul selama beberapa bulan pasca kejadian traumatis, dan mulai mengganggu fungsi sosialnya, individu dapat dikatakan mengalami PTSD (Kanel, 2007) PTSD merupakan gangguan jangka panjang yang paling banyak terjadi pada individu yang terpapar pengalaman traumatik (Rustiana, 2003; Espie, Gabolaoud, Baubet, Casas, Mauchenik, Yun, Grais & Moro, 2009; Demir, Demir, Alkas, Copur, Dogangung & Kayaalp, 2010). Di berbagai belahan dunia prevalensi anak yang mengalami PTSD tercatat cukup tinggi, yaitu 42.3% pada anakyang menjadi korban gempa Turki (Demir, Demir, Alkas, Copur, Dogangung & Kayaalp, 2010), sedangkan di Gaza, 23.3% dari 1254 pasien psikiatri mengalami PTSD (Espie, Gabolaoud, Baubet, Casas, Mauchenik, Yun, Grais & moro, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Joshi, Lewin, &
O’Donnel (2002)
menunjukkan bahwa anak merespon kejadian traumatik dengan reaksi berupa instrusi (penghidupan kembali pengalaman traumatis disertai keyakinan bahwa kejadian dapat terjadi lagi sewaktu-waktu), avoidance (peningkatan ketakutan dan kecemasan atas situasi serupa kejadian traumatis, terganggu dengan lingkungan dan orang baru, penolakan ke sekolah) dan hyperarrousal (gangguan konsentrasi, kesulitan tidur, gerakan tak bertujuan) yang persisten ditunjukkan dalam kesehariannya setelah kejadian traumatik tersebut. Secara spesifik, SDM-IV-TR 4
menyebutkan gejala PTSD yang dialami individu meliputi: (1) pengalaman berulang mengenai kejadian traumatik dalam bentuk (a) gangguan kognisi (gambar, pikiran, atau persepsi. Pada anak anak muncul dalam permainan berulang tentang kejadian trauma), (b) mimpi buruk (pada anak; mimpi menakutkan yang tidak dikenali), (c) perasaan atau perilaku bahwa kejadian tersebut sedang terjadi (seolah-olah mengalami kembali, halusinasi, ilusi, disasosiasi), (d) perasaan tertekan yang mendalam serta reaksi psikologi yang berlebihan saat berhadapan dengan kondisi serupa; (2) penolakan yang terus menerus terhadap stimulus yang diasosiasikan dengan pengalaman traumatik serta kekakuan (numb) dalam memberikan respon secara umum, ditandai dengan (a) penolakan terhadap pikiran, perasaan dan topik yang diasosiasikan dengan trauma, (b) penolakan terhadap aktivitas, tempat atau orang yang berhubungan dengan trauma, (c) tidak mampu mengingat kejadian saat peristiwa traumatik terjadi, (d) berkurangnya ketertarikan atau keterlibatan dalam aktivitas secara signifikan, (e) perasaan terpisah dari orang lain, (f) afeksi yang terbatas (misal: tidak dapat mencintai), (g) ketidakmampuan memandang masa depan; serta (3) peningkatan arousal yang terus menerus, meliputi (a) sukar untuk tidur atau tidur yang terganggu, (b) cepat merasa tersinggung atau marah (c) kesukaran berkosentrasi ataupun (d) respon yang berlebihan pada suatu peristiwa. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka stress pasca trauma (PTSD) reaksi yang ditunjukkan individu saat berhadapan dengan kejadian traumatic, tak terkecuali
anak-anak.
secara
umum,
individu
yang
mengalami
PTSD
menunjukkan gejala antara lain: (a) Reexperiencing/intrusion, yaitu pengalaman berulang atau adanya fikiran berulang tentang kejadian traumatik, (b) avoidance, yaitu penghindaran terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kejadian traumatik, dan (c) hyperarrousal, yaitu perilaku tak terkontrol berkaitan dengan kejadian traumatik. Dalam merespon kejadian traumatik, setidaknya ada dua faktor yang sangat berpengaruh, yaitu faktor eksternal dan faktor internal anak (Joshi, Lewin & O’Donnell, 2002). Faktor ekternal terdiri dari ketersediaan kelompok pendukung, kondisi psikiatrik keluarga dan bagaimana keluarga tersebut perfungsi dalam perkembangan anak, terutama berkaitan dengan peran ibu (Little, Little & 5
Guttierez, 2009). Sedangkan faktor internal terdiri atas kondisi status psikiatrik anak, pengalaman trauma sebelumnya, dan kemampuan coping. Coping merupakan segala usaha kognitif dan perilaku untuk mengelolah tuntutan internal maupun eksternal di luar batas kemampuan individu (Lazarus, 1991). Usaha kognitif ini meliputi penilaian primer dan penilaian sekunder yang dibuat oleh individu dalam menilai berbagai kejadian baru. Pada penilaian primer, individu akan mengkategorikan kejadian sebagai suatu hal positif, netral ataukah mengancam (stressfull). Setelah melakukan penilaian primer, individu akan mengevaluasi penilaian atas kejadian yang dialami sebagai sumber ancaman atau bukan dan mempersiapkan sumberdaya yang ada untuk mengadapinya. Efektivitas coping sangat dipengaruhi oleh karakteristik individu (Folkman dan Moskowitz, dalam Santrock, 2006), jenis kelamin, usia, budaya (Hundt, Chatty, Thabet & Abuateyas, 2004), perkembangan kognitif, perkembangan emosi dan modeling (Narwood, Robert & Fullerton, 2000) Secara spesifik, Garnefski & Kraiij, 2006) menyebutkan bahwa proses berfikir dalam mengelolah tuntutan serta konflik merupakan bagian dari proses coping kognitif. Pada coping kognitif, individu melakukan restruktirisasi internal, yang meliputi pemaknaan ulang individu terhadap hal yang menjadi penyebab stress serta regulasi kognitif yang meliputi perhatian selektif, monitoring, evaluasi dan modifikasi reaksi emosi. Coping kognitif ini memiliki dua dimensi besar, yaitu dimensi positif dan dimensi negatif. Dimensi positif meliputi penerimaan (acceptance), memikirkan makna positif (positif reappraisal), berfikir tentang kebahagiaan (positif refocusing), memikirkan langkah-langkah mengatasi masalah (refocus on planning) serta membuat perbandingan relatif antara peristiwa yang dialami dengan peristiwa lainnya (putting into perspective). Sedangkan dimensi negatif dari strategi coping kognitif meliputi menyalahkan diri sendiri (selfblame), menyalahkan orang lain (blaming others), terlalu memikirkan perasaan/emosi negatif dari masalah (rumination) serta memikirkan teror/peristiwa tidak menyenangkan yang dialami (catastropizing). (Garnefski, Kraaij, Spinhoven, 2006). Pada anak yang terpapar pengalaman traumatis, penguatan coping menjadi
6
sebuah alternatif yang patut diperhitungkan dalam upaya meminimalkan efek pasca trauma. Hal ini cukup beralasan, karena trauma yang dialami anak membawa berbagai konsekuensi bagi perkembangan anak. Dari segi perilaku, anak yang terpapar pengalaman traumatis akan menunjukkan permusuhan, peningkatan agresivitas, kekacauan perilaku, kecemasan berpisah dengan orang tua, dan perilaku regresi (Rustiana, 2003; Espie, Gabolaoud, Baubet, Casas, Mauchenik, Yun, Grais & moro, 2009; Demir, Demir, Alkas, Copur, Dogangung & Kayaalp, 2010). Selain itu, anak juga rentan mengalami kemunduran kognitif, khususnya yang berkenaan dengan prestasi belajar, kesulitan berkosentrasi dan kesulitan dalam menyesuaikan diri bahkan munculnya berbagai keluhan fisik (Narwood, Ursano & Fullerton, 2000; Schonfeld & Gurwitch, 2009; Demir, Demir, Alkas, Copur, Dogangung & Kayaalp, 2010). Secara spesifik, kemunduran kognitif yang terjadi pada anak yang terpapar pengalaman traumatik akan berakibat pada munculnya perilaku agresi dan agitasi (Schonfeld & Gurwitch, 2009). Hal tersebut cukup beralasan dikarenakan anak mengkonstruksikan pemahaman terhadap bencana sesuai dengan pengalaman dan pengamatannya terhadap sekelilingnya, yang disebut dengan skema (Joshep & Williams, 2005). Dalam skema kognitif anak, bencana adalah suatu hal yang menimbulkan banyak kerugian dan rasa kehilangan, sehingga anak menilai pengalaman berhadapan dengan bencana adalah pengalaman yang mengerikan. Skema tersebut akan dipertahankan anak tiap kali stimulus yang sama datang hingga terbentuk skema yang baru (Joshep & Williams, 2005). Jika disamakan dengan pendekatan yang kenalkan oleh Lazarus, dalam tahap ini anakpun akan melakukan
penilaian
primer
dan
sekuder
dalam
berhadapan
dengan
lingkungannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperkuat copingkognitif pada anak salah satunya dengan bercerita (Joshi, Lewin & O’Donnel, 2002). Bercerita selain diyakini sebagai kebiasaan di muka bumi (Eades, 2006) menunjukkan efek yang positif pada perkembangan anak. Berbagai penelitian mengenai bercerita menunjukkan peningkatan kemampuan akademik siswa seperti kemampuan berbicara dan berfikir, memfasilitasi pengenalan emosi dan memperkuat perilaku sosial.
7
Zagalo & Torres (2008) menggunakan video bercerita pada anak untuk memfasilitasi perkembangan emosi dan kognisinya. Al-Jafar & Buzelli ( 2006) menggunakan metode bercerita untuk meningkatkan toleransi budaya pada anakanak di Amerika. Sementara itu, Masko (2005) menggunakan metode bercerita untuk mengungkap kondisi mental anak yang mengalami kekerasan rasis di lingkungan sekolahnya. Isbel, Sobol, Lindauer & Lowrance (2004) melakukan penelitian dalam lingkup sekolah dasar menemukan bahwa kelompok anak yang mendengarkan cerita mengalami peningkatan kemampuan bahasa oral dalam menceritakan ulang setelah 12 minggu waktu intervensi. Nelson & Arthur (2003) menggunakan metode bercerita untuk menurunkan resiko penggunaan alcohol dan marijuana pada remaja awal. Sementara Richart (1998) menggunakan dongeng bertema binatang sebagai media konseling pada anak yang mengalami PTSD akibat perkosaan. Secara spesifik, Burns (2007) mengembangkan sebuah terapi yang mendayagunakan fungsi cerita bagi anak dan dewasa untuk mengidentifikasi permasalahan dan emosi serta memfasilitasi klien untuk mentransformasi kondisi yang dihadapi dalam cerita yang digunakan. Hal ini sejalan dengan tahapan perkembangan kognitif dan penalaran moral pada anak. Semakin tinggi usia anak, semakin anak dapat berfikir secara sistematis dan hipotesis. Hal ini menunjukkan kemampuan anak untuk berfikir tentang sesuatu di luar dirinya, mencari makna tersembunyi dari hal yang terjadi. Perkembangan ini menggiring anak untuk mengembangkan pemahaman bahwa aturan yang ada tidak sebatas kesakralan dan bersifat absolut, melainkan sebagai alat yang digunakan oleh manusia secara kooperatif (Crain, 2007). Bagaimana sebuah cerita dapat mengubah nilai dan menanamkan perilaku pada seseorang diungkapkan oleh oleh Kirkwood (2000). Setidaknya ada empat faktor
yang
mempengaruhi
bagaimana
sebuah
cerita
dapat
membawa
pendengarnya menemukan nilai dan mengubah hidup mereka muatan cerita yang disampaikan, sikap pencerita terhadap cerita yang dibawakan, harapan dari pendengar, dan respon emosional yang ditunjukkan oleh pendengar. Cerita dengan muatan seperti ini ditenggarai mampu menyediakan kerangka konseptual berfikir sehingga individu dapat memandang pengalaman sebagai bagian utuh dari diri
8