Panduan Monitoring dan Evaluasi Jaminan Kesehatan oleh
DJSN
Pemerintahan Baru, Memperkuat Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan
Konsepsi Pengawasan Eksternal Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) terhadap kegiatan operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Oleh: Prof. Dr. H. Bambang Purwoko, SE, MA
Gedung Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Lantai 4 (Office) Jl. Medan Merdeka Barat No. 3 Jakarta Pusat 10110 Website: http//www.djsn.go.id Email:
[email protected]
Dari Redaksi MENYAMBUT PEMERINTAHAN BARU, MENUJU KEHIDUPAN LEBIH BAIK! Adalah suatu kewajaran untuk menyambut sesuatu yang baru dengan semangat dan suka cita yang luar biasa. Sebab, sesuatu yang baru tentunya diharapkan akan memberikan harapan yang baru. Begitu pula yang seharusnya terjadi dengan pemerintah baru di negeri ini. Pada 20 Oktober 2014, secara resmi pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla resmi dilantik. Semua kita menaruh harapan besar akan adanya kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Seperti tag-line Media Jamsos ini: “Menuju Kehidupan Lebih Baik.” Bagi Dewan Jaminan Sosial Nasional, tentunya kehadiran pemerintahan baru ini diharapkan memberikan perbaikan-perbaikan untuk memastikan Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat terselenggara sesuai dengan amanat Undang-Undang. Bukan hanya untuk yang sudah mulai diimplementasikan seperti BPJS Kesehatan, tapi juga yang akan digulirkan seperti BPJS Ketenagakerjaan. Dari sisi pandang siapapun, tentunya sebagai bagian dari bangsa ini kita semua berharap akan adanya sinergi antara program-program yang dicanangkan oleh pemerintahan baru, dengan apa-apa yang telah dan yang sedang dan masih akan dikerjakan oleh DJSN. Sebab, pada dasarnya semua mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia. Maka itu, tepatlah jika kita menaruh harapan agar pemerintahan yang baru ini betul-betul dapat mewujudkan cita-cita besar untuk membuat masyarakat Indonesia yang lebih sejahtera.
Redaksi QUOTES
“If you tell the truth, you don’t have to remember anything.” Mark Twain 3
Isi Edisi Ini
3
Dari Redaksi
Menyambut Pemerintahan Baru, Menuju Kehidupan Lebih Baik! Oleh: Redaksi
Isi Edisi Ini
4
Isi Edisi Ini Oleh: Redaksi
Susunan Redaksi
Alamat Redaksi
Pengarah: Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
Gedung Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Lantai 4 (Office), Jl. Medan Merdeka Barat No. 3 Jakarta Pusat 10110 Telp.: (021) 345 5326 Fax.: (021) 344 4356
Penanggungjawab: Ponco Respati Nugroho Redaktur: Sorni Paskah Daeli Ricky Radius Siregar Dyah Tri Kumolosari Linda Darnell Editor: Nur Rachmad Widodo Harod Rahmad Novandi Desain Grafis: Putra Sophan Pribadi dibantu Tim Penerbit Fotografer: Suhendra dibantu Tim Penerbit Sekretariat: Amalia Tri Saraswati Reny Putri Septiawati Miranti Putri Prihantika
Website: www.djsn.go.id @djsnindonesia Sampul Muka: Panduan Monitoring dan Evaluasi Jaminan Kesehatan oleh DJSN Diterbitkan oleh: PT. Rudo Maiestas Tata (Anggota IKAPI No. 214/JBA/2012) Redaksi menerima sumbangan tulisan, opini, foto, saran, dan kritik, yang dapat dilayangkan ke:
[email protected] Hak Cipta dilindungi Undang-Undang, dan oleh karena itu dilarang memperbanyak, mengubah, dan mengcopy sebagian atau keseluruhan isi Media Jamsos tanpa seijin Sekretariat DJSN
3
6
Makna
Perbedaan Asuransi dan Tunjangan dalam Konteks BPJS Kesehatan dan KIS
12
Pemerintahan Baru, Memperkuat Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan
Oleh: Alfi Riandy
Tulisan Utama
Wawancara
Oleh: Redaksi
18
Jurnal
29
Panduan Monitoring dan Evaluasi Jaminan Kesehatan Oleh DJSN
Konsepsi Pengawasan Eksternal Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) terhadap Kegiatan Operasional BPJS
Oleh: Redaksi
Oleh: Bambang Purwoko
Ulasan Redaksi
47
Resensi Buku
55
MoU antara Dewan Jaminan Sosial Nasional dengan Otoritas Jasa Keuangan
Resep-Resep Sederhana Untuk Sukses dalam Bisnis
Oleh: Redaksi
Oleh: Danny Ramadhan
Kolom
60
Janji dan Kebohongan… Oleh: Reza F.A
5
Makna
Perbedaan Asuransi dan Tunjangan dalam Konteks BPJS Kesehatan dan KIS
artu Indonesia Sehat (KIS) adalah salah satu program yang menjadi unggulan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ada dua lagi kartu yang juga menjadi bagian program pemerintah, yaitu Kartu Indonesia Pintar (KIP) serta Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Tentu saja ini program yang baik dan jika berhasil akan sangat membantu masyarakat yang kurang mampu, dalam memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan juga kebutuhan sehari-hari. Namun, bukan itu yang akan menjadi sorotan tulisan ini, melainkan tentang makna dan hakekat dari Kartu Indonesia Sehat (KIS) dalam konteks perbandingan dengan BPJS Kesehatan.
6
Tunjangan bagi Masyarakat Kurang Mampu Kartu Inonesia Sehat (KIS) pada dasarnya adalah program tentang pemberian fasilitas kepada masyarakat pemegang kartu tersebut untuk mendapatkan akses memadai kepada pelayanan kesehatan, yang pelaksanaannya dibiayai dengan anggaran pemerintah. Begitulah pengertian yang sering kita dengar. Jadi, Kartu Indonesia Sehat (KIS) ini sifatnya adalah tunjangan yang diberikan kepada para pemegang kartu tersebut, dalam hal ini adalah orang-orang yang dipilih secara langsung oleh pemerintah dengan dasar kondisi ekonomi yang kurang mampu. Tunjangan tersebut sesungguhnya adalah bentuk lain atau bentuk pengembangan dari tunjangan-tunjangan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat sejak jaman pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Meskipun demikian, fasilitas yang diberikan oleh pemerintahan sekarang ini memang lebih beragam dan tidak cuma dalam bentuk pemberian uang tunai, melainkan sudah ada pembagiannya sejak awal berdasarkan kebutuhankebutuhan dasar dari seorang manusia, yaitu: 1. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari, yang akan dipenuhi melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), yang akan memberikan bantuan tunai yang bisa dicairkan melalui kartu tersebut melalui bank-bank yang ditunjuk. 2. Pemenuhan kebutuhan pendidikan, yaitu melalui pemberian Kartu Indonesia Pintar (KIP), sebagai modal un-
tuk akses ke failitas pendidikan secara gratis. 3. Pemenuhan kebutuhan kesehatan, yaitu melalui pemberian Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebagai modal kemudahan akses kepada fasilitas kesehatan secara gratis. Sayangnya, program-program ini belum cukup disosialisasikan, sehingga paling tidak menyebabkan terjadinya dua hal, yaitu: 1. Apakah pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan fasilitas-fasilitas kartu tersebut telah siap mendukung pelaksanaan program-program itu? 2. Apakah masyarakat sungguh sudah memahami tentang program-program tersebut? Hal yang pertama penting untuk segera dipastikan yaitu agar pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program ini, misalnya untuk Kartu Indonesia Sehat (KIS), sudah memahami tugas masingmasing, sehingga alur kegiatan menjadi lancar dan mencapai sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Untuk masalah yang kedua, juga sangat penting untuk memberikan informasi yang memadai kepada masyarakat luas, karena sejak program kartu tersebut diluncurkan di awal pemerintahan Jokowi-JK ini, ada yang menganggap bahwa program-program ini akan berpotensi saling bertubrukan dengan program-program lainnya yang telah lebih dulu bergulir, seperti antara Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan BPJS Kesehatan.
7
Tunjangan versus Asuransi Meskipun kurang sekali sosialisasi terkait dengan kartu-kartu andalan pemerintah tersebut, namun kalau dicermati tentang sifat kartu ini, maka kita akan mendapatkan pemahaman tentang perbedaannya dengan program-program lainnya yang sudah terlebih dahulu bergulir. Mari sekarang kita perhatikan apakah betul bahwa ada tumpang tindih program antara Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan BPJS Kesehatan? Kita akan memulai dari pengertian dasar kedua hal tersebut. BPJS Kesehatan, yang dalam prakteknya juga direpresentasikan dengan Kartu BPJS Kesehatan, pada dasarnya adalah asuransi, atau tepatnya asuransi kesehatan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa BPJS Kesehatan adalah program asuransi yang dikelola pemerintah untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat, dari mulai yang kurang mampu sampai yang sangat mampu, tergantung apakah mereka ini adalah peserta asuransi BPJS Kesehatan ini, yang akan ditandai dengan pemilikan Kartu BPJS Kesehatan. Sedangkan Kartu Indonesia Sehat (KIS), apabila melihat pemahaman yang diberikan sampai dengan saat ini, oleh pemerintah Jokowi-JK, dan juga apabila membandingkan dengan program yang sama yang telah pernah dilakukan oleh Joko Widodo pada saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, dalam bentuk Kartu Jakarta Sehat, maka makna yang
8
lebih tepat untuk fasilitas KIS ini adalah tunjangan. Tepatnya adalah tunjangan kesehatan. Jadi, kini kita sudah mendapatkan ada perbedaan hakekat dari kedua program ini, yaitu KIS adalah tunjangan kesehatan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat untuk akses gratis kepada fasilitas kesehatan; sedangkan BPJS Kesehatan adalah program jaminan sosial dalam bentuk jaminan kesehatan kepada masyarakat yang diimplementasikan dalam bentuk asuransi kesehatan yang dapat terjangkau oleh kemampuan ekonomi seluruh lapisan masyarakat. Betul bahwa meskipun BPJS Kesehatan berbentuk asuransi, namun ada unsur tunjangan juga karena murahnya iuran yang diberikan. Namun, sesungguhnya, murah atau mahalnya iuran asuransi tidak menghilangkan hakekat asuransi itu sendiri, karena pada titik tertentu, jumlah iuran tersebut akan dapat mengcover seluruh operasionalisasi tanpa ada lagi tambahan bantuan atau tunjangan dari APBN. Jika dikelola dengan baik, maka iuran asuransi tersebut pastilah akan dapat digukanan untuk membiayai pelaksanaan pelayanan kesehatan dan operasional BPJS Kesehatan. Apalagi keuntungan dari pelaksanaan asuransi adalah adanya subsidi dari yang tidak mengkalim kepada yang sedang mengklaim. Dari yang sehat kepada yang sakit. Artinya, jika tingkat kesehatan masyarakat menjadi semakin baik, maka jumlah klaim juga menurun.
Mari kita bahas setidaknya perbedaanperbedaan yang dapat segera dipahami oleh masyarakat awam terkait dengan KIS dan BPJS Kesehatan ini. 1. Berdasarkan keanggotaan, yang ditandai dengan pemilikan kartu: KIS tidak memiliki iuran, dan pemilik atau pemegang kartu dipilih langsung oleh pemerintah, yaitu untuk orangorang yang kurang mampu. BPJS Kesehatan mengunakan iuran, dan pemilik atau pemegang kartu adalah orang yang secara sadar memilih menjadi peserta (asuransi) BPJS Kesehatan. 2. Berkaitan dengan keberlangsungan program: KIS terkait dengan program pemerintah Jokowi-JK, yang artinya dapat saja dihentikan apabila terjadi pergantian pemerintahan. BPJS Kesehatan, seharusnya apabila secara kelembagaan dan organisasi telah matang, maka keberlanjutannya tidak tergantung hal-hal politis, melainkan melulu kepada bagaimana BPJS Kesehatan ini dikelola secara baik. 3. Berkaitan dengan akses kepada fasilitas kesehatan: KIS disebutkan memiliki akses kepada fasilitas kesehatan sesuai dengan kebutuhan pemegang kartu. BPJS Kesehatan mempunyai pola yang sudah lebih jelas bagaimana cara klaim dilakukan apabila pemegang kartu BPJS Kesehatan bermaksud menggunakannya sesuai dengan kebutuhannya.
“… KIS adalah tunjangan kesehatan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat untuk akses gratis kepada fasilitas kesehatan; sedangkan BPJS Kesehatan adalah program jaminan sosial dalam bentuk jaminan kesehatan kepada masyarakat yang diimplementasikan dalam bentuk asuransi kesehatan yang dapat terjangkau oleh kemampuan ekonomi seluruh lapisan masyarakat.” Tidak Tumpang Tindih? Nah, atas dasar perbedaan pengertian tersebut maka seharusnya tidak ada lagi yang perlu dikuatirkan tentang adanya kemungkinan tumpang tindih dalam pelaksanaan kedua program pemerintah tersebut. Namun, yang perlu menjadi pertanyaan dan barangkali juga hal tersebutlah yang muncul di dalam benak masyarakat, adalah pertanyaan-pertanyaan berikut ini: 1. Bagaimana jika ada anggota masyarakat yang mendapatkan KIS tetapi juga peserta BPJS Kesehatan? 2. Adakah kegunaan bagi seseorang memiliki kedua fasilitas tersebut?
9
Mereka-mereka inilah yang sesungguhnya menjadi perhatian utama dalam program BPJS Kesehatan maupun dalam program Kartu Indonesia Sehat (KIS). Jangan sampai program-program yang baik malah berantakan karena koordinasi yang kurang baik.
Dua hal inilah yang seharusnya menjadi pemikitan dalam pelaksanaan dua program tersebut. Tentunya, jika KIS sudah diterapkan, pasar atau sasaran BPJS Kesehatan untuk mendapatkan peserta dari kalangan dengan ekonomi kurang mampu akan menjadi berkurang. Dengan KIS, tidak perlu lagi bagi masyarakat kurang mampu untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan karena adanya beban untuk mengiur jumlah tertentu.
10
Jika tidak dikoordinasikan dengan baik, hal ini bisa menjadi penghambat bagi perluasan peserta BPJS Kesehatan. Tapi, segala sesuatunya tentu pasti ada jalan pemecahannya. Dalam kondisi seperti ini, peta mengenai sasaran KIS dan peta yang menjadi sasaran peserta BPJS Kesehatan harus jelas. Jangan sampai kedua program ini malah memberatkan masyarakat kurang mampu, yang tidak saja sulit mendapatkan uang, tetapi juga sulit memahami kondisi ini. (Alfi Riandy)
`
Wawancara
Ketua DJSN, Dr. Chazali H. Situmorang:
Pemerintahan Baru, Memperkuat Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan
manat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatakan bahwa: “Setiap warga negara berhak mendapat
pelayanan kesehatan.” Oleh karena itu, kesehatan masyarakat prioritas utamanya adalah focus public health, kuncinya adalah promotif preventif. Artinya, masyarakat itu harus diberikan pengetahuan dan penyuluhan bagaimana untuk hidup sehat.
12
Transisi pemerintahan di Indonesia tinggal hitungan beberapa hari lagi. Bagaimana pola pengelolaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) oleh pemerintahan baru di bawah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla? Apakah ada perubahan yang signifikan? Berikut adalah petikan wawancara yang kami lakukan dengan Dr. Chazali H. Situmorang, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) beberapa waktu yang lalu berkaitan dengan hal-hal tersebut.
Apa komentar Bapak mengenai Kartu Indonesia Sehat? Penyelenggaran BPJS tidak ada hubungannya dengan pergantian pemerintahan. Tidak perlu ada gonjang-ganjing, karena ini sudah amanat dari UU. Kalau membuat program baru harus ada dasar hukumnya. Ada tidak amanat UU untuk menggantikan program BPJS ini?. Sedangkan BPJS Kesehatan sudah jelasjelas perintah dari UU untuk menjamin kesehatan seluruh masyarakat Indonesia. Kalaupun ada salah satu program dari misi dan visi Presiden dan Wakil Presiden terpilih (Jokowi-JK), yaitu Kartu Indonesia Sehat, kami yakin ini adalah dalam konteks memperkuat, memperlancar, membuka aksesibilitas yang seluasluasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Saya hakul yakin, program tersebut untuk mensupport BPJS Kesehatan.
Kartu Indonesia Sehat (KIS) merupakan bagian integral BPJS Kesehatan. Pak Jokowi paham betul karena sewaktu dia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Kartu Jakarta Sehat yang diluncurkan pada 1 Januari 2014 diintegrasikan ke BPJS, sehingga yang menyelenggarakan sekarang i n i a d a l a h BPJS Kesehatan bukan Dinas Kesehatan DKI lagi, termasuk juga sistem pembayarannya, sistem pengkartuannya dan lain sebagainya. Saya yakin trennya kesana.
Maksudnya bagaimana? Saya mengharapkan dukungan yang luar biasa. Sebab opini yang terbangun selama ini, dari visi dan misinya Presiden terpilih adalah mensukseskan Kartu Indonesia Sehat. Intinya adalah membangun paradigma sehat bukan paradigma sakit. UU SJSN dan UU BPJS juga isinya adalah paradigma sehat. Apapun ceritanya tentang kesehatanini, yang didorong adalah promotif preventif, yaitu mempromosikan kesehatan supaya orang itu sehat dan mencegah orang sehat jangan sakit. Kalau memang dia sakit harus diobatin dengan menggunakan BPJS Kesehatan. Tetapi apa karena memegang kartu ini orang sering ke rumah sakit, tentu tidak. Lebih bagus kita dorong masyarakat untuk sehat, kalau sakit pun kita akan fasilitasi lewat kartu BPJS Kesehatan. Masyarakat berhak mendapat pelayanan kesehatan, inilah bunyi dari Undang-Undang Dasar. Sementara dalam UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengatakan upaya kesehatan dibagi jadi dua, yaitu upaya kesehatan perorangan individu dan kesehatan masyarakat. Kalau upaya kesehatan masyarakat itu, prioritas utamanya focus public health yang kuncinya promotif preventif. Misalnya memberikan penyu-
13
luhan, lalu memberikan pengetahuan kepada masyarakat bagaimana hidup sehat seperti anjuran mencuci tangan. Contohnya, di luar negeri, bila seseorang masuk ke sebuah ruangan, diberikan sabun untuk cuci tangan agar bersih. Hal seperti ini menjadi kebiasaan. Artinya, dengan mencuci tangannya, seseorang mencegah terjadinya penularan penyakit. Di Indonesia, sabun untuk cuci tangan baru disediakan di tempattempat tertentu seperti rumah sakit, restoran, hotel, dan lain sebagainya. Inti dari BPJS Kesehatan ini fokus kepada Upaya Kesehatan Perorangan (UKP).
Ada rencana kenaikan PBI? Pada tahun 2013, DJSN sudah mengajukan besarnya iuran yaitu Rp 27.500,-. Kenaikan iuran PBI ini, yang awalnya Rp 19.250,- agar semua rumah sakit swasta bisa ikut dalam BPJS Kesehatan.
14
Kalau preminya sebesar ini, saya yakin 500 rumah sakit yang belum ikut dalam pelayanan BPJS Kesehatan, akan ikut, karena angka ini secara nilai ekonomi masuk. Sayangnya pengajuan ini tidak terpenuhi karena uang pemerintah (APBN) terbatas, maka yang dibayarkan tetap Rp 19.250,-. Dengan angka tersebut, ada beberapa rumah sakit tidak bisa menyanggupi. Sementara Puskemas dan rumah sakit pemerintah semua ikut. Berbeda dengan swasta, tergantung pilihan mereka. Boleh ikut atau boleh tidak ikut. Ini tergantung juga pada hitung-hitungan keekonomian mereka, untung atau rugi. Tapi jangan lupa, mapping yang saya lihat, umumnya yang tidak ikut itu, adalah rumah sakit murni swasta, seperti Rumah Sakit Tebet, Rumah Sakit Pondok Indah dan lain sebagainya.
Sementara Rumah Sakit swasta yang ikut dalam BPJS Kesehatan, yang sosialnya tinggi yaitu, Rumah Sakit Islam, Rumah Sakit Cempaka Putih, Rumah Sakit UKI, Rumah Sakit Cikini dan lain sebagainya.
Ada rencana pemerintahan baru akan menaikkan harga BBM. Apakah tidak ada hubungannya dengan kenaikan iuran PBI? Awalnya harga premi itu adalah sebesar Rp 15.000,-, waktu Menteri Keuangan masih dijabat oleh Bapak Agus Martowardojo. Ketika itu banyak dokter termasuk DPR menilai preminya terlalu murah. Setelah itu pemerintah menaikkan harga BBM, dengan kenaikan harga BBM ini, ada sisa dana subsidi. Akhirnya pemerintah memberikan kebijakan atau tambahan yaitu dari Rp 15.000,- menjadi Rp 19.250,-.
Ini karena ada momentumnya, yaitu kenai-kan harga BBM. Jika nanti di pemerin-tahan yang baru juga terjadi kenaikan harga BBM, tentu ada sumber uang baru. Diharapkan akan bisa menaikkan premi menjadi Rp 27.500,sesuai usulan kami.
Bagaimana pengimplementasiannya di lapangan? Kendalanya masih klasik yaitu sosialisasi. Belum semua segmen masyarakat terutama kelompok menengah ke bawah mendapatkan informasi tentang BPJS. Dia tidak tahu apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Jadi, sosialisasinya bukan lagi mengerti JKN, tetapi apa hak dan kewajibannya, dan apa yang dia dapatkan jika mengunakan BPJS Kesehatan ini. Saya pernah bertanya kepada masyarakat yang istrinya sedang hamil, gajinya dibawah UMR. Isterinya mau melahirkan dibawa pulang kampung
15
dengan alasan tidak mempunyai uang. Paradigma mereka untuk melahirkan itu butuh biaya besar. Kenapa tidak ikut BPJS? Alasannya susah dan tidak tahu syaratnya. Jadi seolah-olah BPJS ini tidak untuk dirinya atau orang yang tidak mampu, melainkan untuk orang lain. Ilustrasinya, seperti itu.
Soal sosialisasi dan adavokasi saya rasa masih terus perlu dilakukan. Jangan hanya melihat pada level atas Pemerintah Pusatseperti di DKI Jakarta, namun sangat perlu diperhatikan pada tingkatan akar rumput, misalnya di daerah terpencil (desa-desa). Kalau di DKI Jakarta melihatnya di Pulau Seribu, di Banten melihatnya pada masyarakat Baduya Dalam dan lain sebagainya.
Chazali Situmorang meniti karir pada tahun 1983 menjadi pegawai BKKBN Provinsi Sumatera Utara. Kemudian dipindah tugaskan menjadi Kepala Seksi BKKBN di kota Pematang Siantar pada tahun 1990. Lalu pada tahun 1994 ditarik ke BKKBN Pusat, berturut-turut menjabat sebagai Kepala Bagian Pemeliharaan dan Kendaraan Biro Tata Usaha, Kabag Peningkatan Mutu Pelayanan Kontrasepsi dan jabatan terakhir Kepala Sub Direktorat Peningkatan Kelompok Usaha, Direktorat Pemberdayaan Ekonomi Keluarga. Pada tahun 2001, Chazali Situmorang dimutasi ke Departemen Sosial yang baru dibentuk kembali. Disana ia menjabat sebagai Sekertaris Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial. Tahun 2006, suami dari Dra. Leni Brida Siregar ini, diangkat menjadi Direktur Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial. Karir Chazali Situmorang terus meroket. Tahun 2007, ayah dua orang putra ini (Budi Syarif Situmorang dan Bobi Nirwan Ramadhan Situmorang) diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Sosial selama tiga tahun. Disamping menjabat Sekjen di Depsos juga diangkat menjadi anggota DJSN pada tahun 2008, pada saat DJSN dibentuk. Tahun 2010 pria kelahiran Medan tahun 1955 diangkat menjadi Staf Ahli Menteri Bidang Otonomi Daerah di Kementerian Sosial. Dan di bulan Agustus 2010 diangkat Plt Ketua DJSN. Secara definitif pada tahun 2011, Chazali Situmorang diangkat menjadi Ketua DJSN sampai sekarang. Kemudian pada tahun 2013, beliau diangkat menjadi Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Deputi II) sampai sekarang.
16
Gedung Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Lantai 4 (Office) Jl. Medan Merdeka Barat No. 3 Jakarta Pusat 10110 Website: http//www.djsn.go.id Email:
[email protected]
Tulisan Utama
Panduan Monitoring dan Evaluasi Jaminan Kesehatan *) oleh DJSN *) Bagian Kesatu dari Dua Tulisan. Bagian Kedua dimuat dalam Media Jamsos Edisi IV Tahun II
onitoring dan evaluasi atau yang lazim disebut Monev merupakan kegiatan yang pada dasarnya bertujuan untuk dapat memastikan bahwa penyelenggaraan program sudah sesuai dengan regulasi dan mencapai tujuan yang diharapkan. Monitoring dan evaluasi sangat penting dilakukan karena dapat membantu para pemangku kepentingan untuk: 1. Membuat keputusan mengenai pelaksanaan program dan pelayanan berdasarkan bukti yang obyektif; 2. Memastikan penggunaan sumberdaya yang paling efektif dan efisien; 3. Menilai dengan obyektif sejauh mana program memiliki atau telah memiliki dampak yang diinginkan, atau apakah program itu dijalankan secara efektif atau tidak dan perlu dilakukan koreksi atau tidak; dan 4. Memenuhi pelaporan organisasi dan persyaratan lainnya, dan meyakinkan pemangku kepentingan bahwa sumberdaya yang digunakan telah sepadan dengan manfaat yang diperoleh.
18
Hal yang sama berlaku pula dalam hal program Jaminan Kesehatan, dimana pada saat ini, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) telah memiliki suatu Pedoman Monitoring dan Evaluasi Jaminan Kesehatan oleh DJSN. Pedoman ini berfungsi untuk memandu tiap kegiatan monitoring dan evaluasi program jaminan kesehatan yang dilakukan oleh DJSN. Monitoring dan evaluasi program jaminan kesehatan sangat penting dilaksanakan agar: 1. Penyelenggaraan program jaminan kesehatan sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam regulasi yang telah ditetapkan, baik dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Peraturan Menteri terkait; 2. Penyelenggaraan program jaminan kesehatan dilaksanakan pada arah yang tepat sesuai dengan target kinerja yang telah ditetapkan; 3. Penyelenggaraan program jaminan kesehatan dapat benar-benar memberikan perlindungan keuangan (financial protection) bagi peserta; 4. Penyelenggaraan program jaminan kesehatan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan peserta; 5. Penyelenggaraan program jaminan kesehatan dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip kendali mutu dan kendali biaya; dan 6. Penyelenggaraan program jaminan kesehatan dapat mencapai tujuan akhir dari sistem kesehatan, yaitu meningkatkan derajat kesehatan penduduk.
Apa Itu Monitoring dan Evaluasi? Monitoring dan evaluasi pada dasarnya adalah dua kegiatan yang berbeda yang dirangkaikan
karena diharapkan memberikan manfaat yang lebih sempurna. Dua kegiatan tersebut adalah: kegiatan monitoring dan kegiatan evaluasi. Dalam buku “Pedoman Monitoring dan Evaluasi Jaminan Kesehatan oleh DJSN” tersebut, pengertian monitoring dikelompokkan dengan pengawasan dan pemantauan, yang diartikan sebagai: “proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan. Dalam hal penerapannya, pengawasan sesungguhnya berfokus pada input dan proses, sedangkan pemantauan berfokus pada output. Atas dasar pengertian tersebut, maka menjadi sinkron apa yang dipahami sebagai monitoring dalam UU SJSN dan makna pengawasan dalam UU BPJS, terutama terkait dengan Penjelasan Pasal 39 ayat 3 huruf a UU BPJS yang menyebutkan bahwa pengawasan yang dilakukan DJSN adalah monitoring dan evaluasi penyelenggaraan jaminan sosial. Sedangkan kata evaluasi bermakna sebagai penilaian, yang diambil dari pengertian kata asli dalam bahasa Inggris: evaluation. Atas dasar itu, maka dalam pedoman tersebut, pengertian monitoring adalah pengawasan dan pemantauan, sedangkan evaluasi adalah untuk kegiatan penilaian. Sebagai suatu rangkaian, maka “monitoring dan evaluasi” dimaknai sebagai suatu proses dimana data tentang apa yang terjadi dikumpulkan dan dianalisis, dimana dan kepada siapa menurut tugas yang telah direncanakan dengan menggunakan sejumlah indikator inti dan sasaran sehingga informasi itu diberikan kepada pengambil kebijakan dan lainnya untuk peningkatan perencanaan program dan manajemen. Dari berbagai literatur yang ada menunjukkan bahwa monitoring dan evaluasi memang meru-
19
pakan hal yang saling berkaitan, namun pada dasarnya merupakan proses yang berbeda. Monitoring adalah proses pengumpulan data secara sistematis dan analisis informasi terkait dengan perkembangan/kemajuan suatu proyek atau program kerja. Uniknya, dalam hal ini, pengawasan kadang-kadang justru memiliki pengertian yang lebih mendekati evaluasi, karena berfokus pada proses pelaksanaan yang didasarkan pada beberapa pertanyaan kunci berikut ini: 1. Seberapa baikkah program-program telah diimplementasikan? 2. Seberapa bervariasi pelaksanaan dari satu tempat ke tempat lain? 3. Apakah program ini menguntungkan bagi masyarakat atau rakyat? 4. Berapakah biaya pelaksanaan program ini? Sebagai suatu kata, evaluasi diartikan sebagai” perbandingan atas dampak nyata dari sebuah proyek terhadap rencana strategis yang telah disusun dan disepakati di dalam sistem/standar operasional. Beberapa ahli, seperti Frankel dan Gage mengatakan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk mengukur seberapa baik program kegiatan telah telah memenuhi tujuan yang diharapkan dan/atau sejauh mana perubahan hasil dapat dikaitkan dengan program atau intervensi. Menurut WHO (1990), evaluasi adalah suatu cara sistematis untuk mempelajari berdasarkan pengalaman dan mempergunakan pelajaran yang dipelajari untuk memperbaiki kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan serta meningkatkan perencanaan yang lebih baik dengan seleksi yang seksama untuk kegiatan masa datang. Evaluasi memungkinkan administrator dan atau pengambil kebijakan mengetahui hasil program dan berdasarkan itu mengadakan penyesuaianpenyesuaian untuk mencapai tujuan secara efektif. Jadi, evaluasi tidak sekedar menentukan keberhasilan atau kegagalan, tetapi juga
20
akan menentukan apa yang dapat dilakukan terhadap hasil-hasil tersebut. Evaluasi pada dasarnya adalah kegiatan untuk membantu para pengambil kebijakan bagaimana dan sampai sejauh mana program-program dapat dipertanggungjawabkan menurut hasil-hasil yang terukur.
Atas dasar itu, maka dalam pedoman tersebut, pengertian monitoring adalah pengawasan dan pemantauan, sedangkan evaluasi adalah untuk kegiatan penilaian. Sebagai suatu rangkaian, maka “monitoring dan evaluasi” dimaknai sebagai suatu proses dimana data tentang apa yang terjadi dikumpulkan dan dianalisis, dimana dan kepada siapa menurut tugas yang telah direncanakan dengan menggunakan sejumlah indikator inti dan sasaran sehingga informasi itu diberikan kepada pengambil kebijakan dan lainnya untuk peningkatan perencanaan program dan manajemen. Sementara itu, monitoring menekankan pada target-target yang ditetapkan dan aktivitas yang direncanakan selama fase perencanaan kerja (yang artinya menjaga dan memastikan sebuah kerja tetap pada jalurnya). Dengan kata lain, hasil dari monitoring merupakan landasan yang berguna untuk aksi evaluasi.
Matriks di bawah ini menunjukkan perbedaan antara montoring dan evaluasi:
sendiri terkait dengan peningkatan kualitas implementasi program atau proyek.
Monitoring dan evaluasi merupakan hal yang berbeda namun merupakan dua hal yang selalu saling melengkapi. Keterkaitan antara dua konsep ini yaitu monitoring bersifat deskriptif, yang menyajikan informasi tentang dimana sebuah program kerja/proyek tersebut bersifat relatif terhadap masing-masing sasaran dan hasilnya. Sedangkan evaluasi lebih berbentuk penanganan masalah kausalitas yang berusaha membuktikan mengapa target dan hasil dari program kerja/proyek berhasil atau tidak berhasil dicapai. Ketika sistem monitoring menunjukkan tanda-tanda upaya kerja yang keluar jalur, informasi yang diolah dalam tahap evaluasi dapat mengklarifikasi realitas dan kecenderungan yang terekam dalam aksi monitoring tersebut.
Pedoman ini juga menggambarkan bagaimana hubungan serta kaitan antara monitoring dan evaluasi dalam konteks sebuah sistem, yang menghubungkan antara input-process-output, seperti disajikan dalam gambar di halaman berikut ini.
Hubungan Monitoring dan Evaluasi Kegiatan monitoring dan evaluasi pada intinya merupakan serangkaian aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dalam sebuah siklus program atau proyek, dimana kedua aktivitas tersebut merupakan sumber informasi bagi program itu
Pada dasarnya, monitoring meliputi semua kegiatan dalam konteks sistem (input-processoutput) dimana hasil-hasil dari output akan menjadi “input” bagi kegiatan evaluasi. Jadi hubungan atau titik kaitan dalam rangkaian hubungan antara monitoring dan evaluasi ada pada “output”. Dalam konteks sistem ini memang menjadi jelas bagaimana hubungan antara monitoring dengan evaluasi, yang dalam suatu kegiatan program atau proyek tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena hasil-hasil evaluasi akan menunjukkan dampak dari kegiatan (impact), yang pada akhirnya akan menjadi umpan balik (feed back) bagi perbaikan kegiatan program atau proyek selanjutnya atau di masa datang. Artinya, hasil evaluasi dapat menjadi bagian dari input kegiatan selanjutnya.
21
Selain itu, Pedoman ini juga dilengkapi beberapa jenis evaluasi, yang dibedakan atas dasar hal-hal berikut: 1. Proses dan hasil 2. Fase atau waktu program 3. Fokus program 4. Pelaku kegiatan pelaksanaan 5. Strategi penyampaian hasil evaluasi Monitoring dan evaluasi sering juga dikaitkan dengan supervisi. Secara umum ada perbedaan antara monitoring-evaluasi dan supervisi. Supervisi merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkala dan berkesinambungan meliputi pemantauan, pembinaan, dan pemecahan masalah serta tindak lanjut pada waktu bersamaan dengan pelaksanaan supervisi itu sendiri. Sedangkan monitoring dan evaluasi tidak mencakup pembinaan atau pemecahan masalah pada saat itu juga, karena tindak lanjutnya harus disesuaikan dengan kerangka dasar program itu sendiri. Jadi, sepervisi lebih merupakan aspek teknis program, sedangkan montoring dan evaluasi lebih pada aspek yang bersifat makro atau tataran kebijakan.
Tantangan Pelaksanaan Evaluasi, dalam panduan ini dapat dibedakan menjadi: 1. Evaluasi formatif (formative evaluation) 2. Evaluasi proses (process evaluation) 3. Evaluasi sumatif (summative evaluation atau output) 4. Evaluasi hasil (outcome evaluation) 5. Evaluasi dampak (impact evaluation)
22
Namun, yang perlu juga diperhatikan adalah bahwa pelaksanaan monitoring dan evaluasi, sama seperti kegiatan lain di dalam organisasi pastilah memiliki tantangannya sendiri. Dalam Pedoman ini disebutkan sejumlah tantangan pelaksanaan monitoring dan evaluasi, yaitu: 1. Tantangan psikologis. Dalam praktek, seringkali monitoring dan evaluasi dianggap sebagai ancaman dimana orang lebih melihat monitoring dan evaluasi sebagai sarana untuk mengkritik orang lain. Tapi sebenarnya, monitoring dan evaluasi ini adalah alat atau tool untuk memastikan bahwa program kerja, proyek, ataupun kegiatan-kegiatan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang mendasari dan juga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Disinilah letak tantangan agar pihak yang dimonitor dan dievaluasi bias menerima secara baik kegiatan ini dan secara terbuka dapat memberikan dan menginformasikan masukan-masukan secara lengkap dan akurat. 2. Tantangan waktu dan dana. Setiap kegiatan tentunyan membutuhkan waktu dan dana. Begitu juga dengan monitoring dan evaluasi. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi membutuhkan waktu dan dana.
3.
4.
Waktu dan dana tersebut harus sesuai dengan program kegiatan monitoring dan evaluasi, yang dipengaruhi oleh misalnya jumlah staf pelaksana, jangkauan kegiatan monitoring dan evaluasi, serta waktu pelaksanaan monitoring dan evaluasi. Tanpa dukungan waktu dan dana yang memadai maka akan dapat menghambat kegiatan monitoring dan evaluasi itu sendiri. Tantangan ketersediaan dan akses data.Tentu saja suatu kegiatan monitoring dan evaluasi membutuhkan ketersediaan dan akses data yang memadai. Tanpa itu, niscaya sulit untuk mendapatkan hasil yang optimal. Ketersediaan dan akses data ini pada dasarnya tergantung bagaimana program monitoring dan evaluasi dapat diterima oleh pelaksana program atau proyek tertentu, sebagai suatu kegiatan yang harus dipandang akan memberikan masukan bagi perbaikan-perbaikan di masa datang. Data dimaksud bukan hanya yang bersifat data akhir, tetapi juga data mentah yang menjadi runutan hasil-hasil kegiatan program atau proyek tertentu, sejak awal sampai akhir pelaksanaannya. Tantangan teknis. Tantangan teknis ini dipandang sebagai suatu kendala yang dapat muncul terkait dengan kemampuan sumberdaya manusia yang menjadi tenaga pelaksana monitoring dan evaluasi. Untuk mendapatkan hasil monitoring dan evaluasi yang optimal, maka sumberdaya manusia pelaksananya harus mempunyai kualitas kemampuan yang memadai, karena pada dasarnya monitoring dan evaluasi ini adalah kegiatan untuk merekayasa ulang seluruh kegiatan yang dilaksanakan. Bisa dibayangkan jika kemampuan sumberdaya manusia yang ditugaskan untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi ini tidak memadai, maka hasilnya pun akan kurang optimal dan tidak dapat menjadi masukan perbaikan ke depan.
5.
6.
Tantangan politis. Tantangan ini tentu tidak muncul untuk seluruh program yang bersifat umum. Namun, karena programprogram yang menjadi sasaran monitoring dan evaluasi oleh DJSN ini merupakan program-program pemerintah dan juga didasari oleh Undang-Undang, maka akan ada kemungkinan tantangan politis yang muncul. Tantangan ini terutama terkait dengan pengungkapan (disclosure) dari hasil monitoring dan evaluasi yang harus diolah untuk menghindari adanya unsurunsur kepentingan politis yang mempengaruhi, baik pelaksanaan monitoring dan evaluasinya sendiri, maupun pada saat pelaporan atau pengungkapannya. Tanpa harus menghindari temuan-temuan yang sebenarnya, namun pengungkapan dan pelaporan hasil monitoring dan evaluasi harus dilaksanakan dengan tidak dipengaruhi secara politis. Tantangan sinkronisasi. Tantangan terakhir dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi seperti yang disebutkan di dalam Pedoman adalah tantangan terkait dengan sinkronisasi. Tantangan ini terkait dengan bahwa monitoring dan evaluasi atas program-program jaminan kesehatan bukan hanya dilakukan oleh DJSN, tetapi juga oleh beberapa pihak lain. Untuk itu, perlu ada sinkronisasi agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaannya dan dalam pelaporan hasil-hasil monitoring dan evaluasi.
Ruang Lingkup Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Jaminan Kesehatan oleh DJSN Seperti yang diungkapkan dalam bagian akhir pada butir 6 di atas, maka dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi jaminan kesehatan
23
oleh DJSN, terdapat tantangan sinkronisasi karena ada pihak-pihak lain yang juga akan melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program jaminan kesehatan. Dalam hal ini, fungsi, tugas, dan wewenang DJSN telah diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa fungsi DJSN adalah untuk “merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional”. Sedangkan tugas-tugas DJSN adalah: 1. Melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial; 2. Mengusulkan kebijakan investasi dana Jaminan Sosial Nasional; dan 3. Mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya anggaran operasional kepada Pemerintah. Adapun wewenang DJSN adalah untuk melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial. Kewenangan ini dipertegas di dalam UU BPJS yang menyebutkan bahwa DJSN sebagai pengawas eksternal. Dengan demikian, baik menurut UU SJSN maupun UU BPJS, secara jelas menempatkan DJSN sebagai lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial, dan salah satu yang sudah berjalan adalah program jaminan kesehatan, yang menjadi sorotan di dalam Pedoman ini. Namun, selain DJSN ada pula Kementerian dan lembaga yang memiliki kepentingan untuk melakukan pengawasan, monitoring, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan program jaminan kesehatan ini. Beberapa instansi tersebut antara lain adalah:
24
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kementerian Kesehatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kementerian Keuangan Kementerian Tenaga Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Dalam hal ini, tentunya monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh berbagai pihak tersebut memiliki sudut pandang dan kepentingan yang sesuai dengan bidang dan tujuan dari masingmasing pelaksana monitoring dan evaluasi tersebut. Namun demikian, untuk menghindari adanya ketidaksinkronan dalam pelaksanaan yang dalam hal ini justru akan dapat membuat kesulitan bagi yang dimonitor dan dievaluasi, maka diperlukan sinkronisasi antara pihakpihak tersebut di atas. Sinkronisasi monitoring dan evaluasi tersebut sesungguhnya harus dituangkan secara rinci untuk menghindari pengulangan atau duplikasi, dan juga untuk meningkatkan efisiensi dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara keseluruhan, misalnya terkait dengan: 1. Waktu pelaksanaan monitoring dan evaluasi oleh masing-masing pihak; dan 2. Fokus dari pelaksanaan monitoring dan evaluasi oleh masing-masing pihak. Di dalam “Pedoman Monitoring dan Evaluasi Jaminan Kesehatan oleh DJSN” ini telah pula digambarkan hubungan antara masing-masing pihak yang melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi, seperti disajikan dalam gambar di halaman berikut ini. Hal ini menunjukkan telah ada “pemisahan tugas” monitoring dan evaluasi yang menjadi panduan bagi masing-masing pihak sesuai dengan tujuan dan kepentingan pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang ditetapkan.
Terkait dengan pelaksanaan monitoring dan evaluasi Sistem Jaminan Sosial Nasional, DJSN, seperti yang dinyatakan dalam UU SJSN, mendapatkan kewenangan untuk melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial nasional, termasuk dalam kaitan tingkat kesehatan keuangan BPJS. Dalam UU BPJS juga secara tegas dinyatakan bahwa DJSN adalah pengawas eksternal. Untuk itu, guna memenuhi kedua amanat tersebut, DJSN dapat meminta bantuan tenaga ahli dan dapat bekerjasama dengan lembaga pengawas independen lainnya, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan dalam hal tertentu, juga dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai dengan lingkup kewenangannya. Dalam hal ini, sesungguhnya, kewenanganan pelaksanaan monitoring dan evaluasi oleh pihak-pihak lain di luar DJSN harus berada di bawah koordinasi DJSN, karena sesuai dengan amanat UndangUndang, DJSN mempunyai kewenangan juga untuk melakukan sinkronisasi dalam penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Salah satu contoh sinkronisasi yang telah dilakukan oleh DJSN adalah dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyepakati hal-hal yang dilakukan masing-masing dalam kaitan
pelaksanaan monitoring dan evaluasi, yaitu: Ruang Lingkup DJSN: 1. Kelayakan manfaat 2. Kecukupan iuran 3. Kualitas penyedia pelayanan 4. Kepesertaan 5. Rencana kerja dan anggaran termasuk pelaksanaan penggunaan anggaran 6. Kualitas pelayanan kepada masyarakat 7. Aspek lain yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenang DJSN berdasarkan peraturan perundang-undangan Ruang Lingkup OJK: 1. Kesehatan keuangan 2. Penerapan tata kelola yang baik 3. Pengelolaan dan kinerja investasi 4. Penerapan manajemen risiko 5. Pendeteksian dan penyelesaian kejahatan keuangan (fraud) 6. Valuasi aset dan liabilitas 7. Monitoring dampak sistemik 8. Aspek lain yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenang OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan
25
Kerangka Kerja Monitoring dan Evaluasi Pedoman ini juga membahas tentang kerangka kerja (framework) monitoring dan evaluasi. Kerangka kerja merupakan elemen kunci dari pelaksanaan monitoring dan evaluasi. Kerangka kerja ini menggambarkan komponen program dan urutan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Hal ini tentunya akan membantu dalam memahami tujuan dan sasaran program, menentukan hubungan antar faktor-faktor kunci untuk implementasi, dan menggambarkan unsurunsur internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi keberhasilannya. Kerangka kerja ini sangat penting untuk memahami dan menganalisis bagaimana seharusnya program itu bekerja. Kerangka kerja ini sangat berguna untuk menentukan langkah selanjutnya yaitu penentuan indikator dan hubungan antar indikator tersebut.
Berdasarkan kerangka konseptualnya, maka penyelenggaraan program jaminan kesehatan ini akan ditentukan oleh 4 (empat) hal, yaitu: 1. Komitmen pemerintah (pusat dan daerah) 2. BPJS Kesehatan 3. Peserta 4. Fasilitas Kesehatan Untuk mencapai hasil yang diharapkan, tentu saja masing-masing komponen tersebut harus berjalan sesuai dengan tugas, fungsi, dan juga wewenang masing-masing, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap hal tersebut, jika berjalan sesuai, maka akan menjadi sinergi yang menghasilkan dampak yang sesuai dengan tujuan penyelenggaraan jaminan kesehatan itu sendiri. Dalam hal ini, maka fungsi monitoring telah bekerja juga dalam konteks pelaksanaan mulai dari awal sampai akhir alur suatu kegiatan. Kerangka kerja konseptual ini menunjukkan monitoring di dalam kerangka kegiatan yang melibatkan 4 komponen tersebut.
Meninjau langsung penerapan BPJS Kesehatan. Termasuk yang ikut dalam kegiatan ini, Menko Kesra Agung Laksono, Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh dan Ketua DJSN, Chazali H. Situmorang.
26
Pada dasarnya, indikator monitoring dan evaluasi jaminan kesehatan mengikuti model logis (logical model), yang mencakup input, process, output, outcome, dan impact. Suatu model logis, kadang-kadang disebut sebagai kerangka kerja monitoring dan evaluasi yang memberkan interpretasi linear terhadap penggunaan sumberdaya yang telah direncanakan sampai dengan pencapaian hasil akhir yang diharapkan. Model logis ini memiliki 5 (lima) komponen penting, yaitu: 1. Input, yaitu sumberdaya yang diinvestasikan pada program jaminan kesehatan, seperti regulasi, alat, fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan sebagainya. 2. Process, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk untuk mencapai tujuan program, yang meliputi pendaftaran peserta, pemberian pelayanan, dan lainnya. 3. Output, yaitu hasil antara yang telah dicapai melalui kegiatan-kegiatan tersebut. 4. Outcome, yaitu hasil jangka pendek atau menengah yang dicapai pada tingkat populasi oleh program melalui pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut. 5. Impact, yaitu dampak jangka panjang, atau hasil akhir, misalnya perubahan status kesehatan, yang diukur dengan menggunakan indikator yang tepat. Inilah komponen-komponen model logis yang mendasari pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh DJSN terhadap penyelenggaraan jaminan kesehatan. Lalu, bagaimana dengan kerangka jaminan kesehatan itu sendiri?
Kerangka Jaminan Kesehatan Penyelenggaraan jaminan kesehatan tentu saja juga memiliki kerangka yang jelas, yang dalam konteks pelaksanaan monitoring dan evaluasi
menjadi alur dasar yang akan diikuti untuk melihat dan menilai pencapaian pelaksanaan penyelenggaraan tersebut, baik dalam kaidah ketaatannya terhadap peraturan perundangundangan dan kebijakan yang ditetapkan, dan juga dalam konteks hasil-hasil yang diharapkan berupa kinerja operasional dan administratif. Pada dasarnya, regulasi menjadi titik sentral dalampelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kepesertaan, manfaat dan iuran, pelayanan kesehatan, keuangan dan kelembagaan merupakan ruang lingkup lain dimana setiap aspek tidak dapat berdiri sendiri tetapi merupakan rangkaian yang saling berkaitan satu dan lainnya. Keberhasilan atau kegagalan program akan ditentukan oleh berbagai program/aspek dalam ruang lingkup yang bersangkutan. Jadi, dalam penyelenggaraannya, jaminan kesehatan sangat terikat pada peraturan perundangundangan atau regulasi lain. Dalam gambar di halaman berikut ini disajikan Kerangka Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, yang ditunjukkan dengan awalannya adalah Regulasi dan diakhiri dengan Kelembagaan dan Organisasi yang diharapkan akan mapan dan matang untuk menjalankan program-program jaminan kesehatan. Dalam bagian bawah gambar ditunjukkan adanya monitoring dan evaluasi, yang secara nyata dapat dikatakan menjadi landasan untuk mencapai keberhasilan bagi pelaksanaan atau penyelenggaraan jaminan kesehatan itu sendiri. Mengapa demikian? Sebab dengan monitoring dan evaluasi, seperti dijelaskan di awal tulisan ini, akan ada pengawasan dan pemantauan yang regular dan juga dari hasil monitoring dan evaluasi akan didapatkan masukan-masukan yang dapat dijadikan sebagai umpan balik (feed back) bagi perbaikan-perbaikan yang diperlukan untuk pelaksanaan tahapan-tahapan selanjutnya maupun di masa datang.
27
Inti dari pelaksanaan jaminan kesehatan adalah iuran dan pelayanan kesehatan. Aspek iuran harus dapat menutupi seluruh biaya penyelenggaraan jaminan kesehatan, termasuk untuk biaya operasional BPJS Kesehatan. Beberapa isu penting yang harus diperhatikan adalah coordination of benefit (COB), urun biaya, penumpulan iuran dan kompensasi. Dalam hal ini, besaran iuran akan menentukan rancangan pelayanan kesehatan.
Kegiatan monitoring dan evaluasi yang merujuk pada peta jalan Jaminan Kesehatan memiliki ruang lingkup, yaitu: 1. Regulasi 2. Kepesertaan 3. Manfaat dan Iuran 4. Pelayanan Kesehatan 5. Keuangan 6. Kelembagaan dan Organisasi Informasi yang diperoleh terkait dengan enam hal tersebut di atas menjadi referensi bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) terkait. Regulasi, seperti telah dijelaskan di atas, memang menjadi titik yang menentukan dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan, karena regulasi dibutuhkan sebagai payung hukum penyelenggaraan jaminan kesehatan. Regulasi dimaksud adalah turunan dari UU SJSN dan UU BPJS. Berdasarkan peta jalan jaminan kesehatan, maka hal yang harus diperhatikan dalam hal kepesertaan adalah: pengalihan kepesertaan, perluasan kepesertaan, sistem dan prosedur, dan kegiatan pendukung serta pengembangan. Kepesertaan ini pada akhirnya akan memiliki pengaruh terhadap iuran. Manfaat dan iuran sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yang diberikan.
28
Aspek keuangan merupakan aspek lain yang juga menjadi lingkup monitoring dan evaluasi. Isu penting terkait dengan aspek keuangan ini adalah penerapan standar pencatatan sedemikian rupa sehingga BPJS Kesehatan dapat menginformasikan kepada para pemangku kepentingan berkaitan dengan solvabilitas, likuiditas, dan investasi yang aman. Aspek terakhir dalam lingkup monitoring dan evaluasi seperti yang didasarkan pada gambar di atas adalah kelembagaan dan organisasi. Monitoring dan evaluasi pada aspek ini antara lain adalah sistem informasi manajemen (SIM), jumlah dan kompetensi sumberdaya manusia, standar operasional prosedur, serta ketersediaan infrastruktur lainnya. SIM menjadi fokus yang sangat penting, karena dari SIM inilah dipastikan ketersediaan data dan informasi yang memadai yang digunakan dalam monitoring dan evaluasi. Jika saja monitoring dan evaluasi dapat dilaksanakan dengan cakupan aspek-aspek tersebut secara konsisten, maka akan dihasilkan masukan yang penting untuk peningkatantarget kualitas dan kuantitas terkait dengan penyelenggaraan jaminan kesehatan. *)
Bagian Kedua dari tulisan yang terkait dengan Pedoman Monitoring dan Evaluasi Jaminan Kesehatan oleh DJSN ini, akan disajikan dalam Media Jamsos Edisi IV Tahun II.
`
Jurnal
Konsepsi Pengawasan Eksternal Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) terhadap Kegiatan Operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)1 Prof. Dr. H. Bambang Purwoko, SE, MA Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Pancasila Ahli Asuransi Makro (Sertifikasi dari ILO, 1997)
1
Makalah ini telah dipresentasikan kepada para Pemangku Kepentingan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan juga dimuat pada Jurnal Legislasi Indonesia Kementerian Hukum dan HAM dengan Vol 9 No 2 – Juli 2012.
I.
Abstract: Supervision over the operational activities of SSAB is operating audit intended to minimize the improper use of funds. Supervision as referred to this study is to provide counseling, directive and guidance to the operations of SSAB in order to comply with existing regulations. Target of financial audit is to examine cash flows whilst the operational audit is to examine standard operating procedure of social security administrative body (SSAB). The methodology in this research applies to descriptive method with regard to the need for operational audit in accordance with the specified tasks of SSAB as referred to the foundation, the principles and the objectives of the National Social Security System (NSSS) based on Law No 40 of 2004. Conclusion of this studyis that the outcome of operational audit by the NSSC will provide valuable information to the State Board of Auditors (BPK) regarding the achievements in coverage of members, additional contributions and claims payment based on true procedures and to provide some useful inputs for the completion of financial audits as prepared by Public Auditors as well. Keywords: Social security, financial audit/operational, legal entities and good governance.
PENDAHULUAN
Pengawasan menjadi isyu sentra khususnya bagi setiap badan-badan hukum yang melakukan kegiatan-kegiatan pengumpulan dana masyarakat seperti asuransi, dana pensiun dan jaminan sosial yang dapat ditengarahi adanya penyimpangan dalam penggunaan dana yang pada akhirnya akan merugikan para pemangku kepentingan.
29
Pengawasan akan menjadi efektif bila ditindaklanjuti dengan pelaksanaan pengendalian internal sebagai salah satu subsistem dalam pengawasan suatu organisasi. Pengawasan lebih ditujukan untuk memberikan konseling, pengarahan dan pembinaan terhadap pelaksana kegiatan daripada melakukan investigasi atau mencari kesalahan semata. Keberhasilan pengawasan adalah bagaimana pelaksana kegiatan mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku sehingga berbagai kemungkinan penyimpangan dapat dicegah atau direduksi. Untuk tindaklanjut dalam implementasi pengawasan diperlukan Satuan Pengawasan Internal (SPI) yang berfungsi melakukan kegiatan pemeriksaan antara realisasi dan kegiatan yang direncanakan. Pengawasan dapat dibedakan atas pengawasan finansial (financial auditor) dan pengawasan non-finansial atau pengawasan operasional (non-financial or operational auditor). Pengawasan finansial untuk mengevaluasi kinerja Badan-badan Hukum Publik termasuk BUMN dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) atas rekomendasi BPK. Pengawasan finansial untuk mengevaluasi kinerja Kementerian dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai pengawas internal Pemerintah. Sasaran pengawasan finansial fokus pada “financial measures of success” seperti aliran kas untuk penyusunan laporan keuangan secara lengkap, sedangkan pengawasan non-finansial melakukan pemeriksaan pada sistem, proses dan prosedur operasi baku untuk minimalisasi penyimpangan. Pengawasan merupakan tindaklanjut dari “Penerapan Tata-Pamong” yang mencakup prinsip-prinsip: (i) Transparansi, (ii) Akuntabilitas, (iii) Pertanggungjawaban, (iv) Kemandirian dan (v) Kejujuran. Dalam hal ini, jelas bahwa setiap badan hukum apakah privat atau badan hukum publik menjadi obyek
30
pengawasan oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang seperti BPK, OJK dan DJSN. Demikian halnya dengan Badan-badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai Badan Hukum Publik wajib diaudit, karena BPJS sebagai operator Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang berdasarkan UU No 40/2004 bagi seluruh tenaga kerja dan seluruh warga negara. Sebagai operator SJSN yang berdasarkan UU No 40/2004, BPJS melakukan tugas-tugas, yaitu: (i) perluasan kepesertaan perusahaan/tenaga kerja, (ii) pendataan penduduk miskin untuk usulan anggaran Penerima Bantuan Iuran (PBI), (iii) koleksi iuran, (iv) kontrak kerjasama dengan fasilitas-fasilitas kesehatan, (v) penyelesaian klaim/pembayaran manfaat tepat waktu dan (vi) penerbitan kartu peserta serta (vii) pengelolaan dana jaminan sosial. Karena fungsi dan tugas-tugasnya begitu menentukan utamanya dalam pengumpulan dana publik untuk penyelenggaraan SJSN, maka BPJS menjadi obyek pengawasan. Berikut ini disampaikan latar belakang pembentukan DJSN dan BPJS beserta fungsi dan tugastugas masing masing. a. Latar Belakang Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 UU No 40/2004 tentang SJSN, bahwa untuk penyelenggaraan SJSN dibentuk DJSN yang bertanggung-jawab kepada Presiden. DJSN memiliki 15 Anggota yang terdiri dari unsur-unsur Pemerintah, Tokoh-Ahli, Pemberi-kerja dan Serikatpekerja yang diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden RI No 110/ M/2008. DJSN dalam melaksanakan fungsi dan tugas-tugasnya dibantu oleh Sekretariat DJSN yang dibentuk dengan Peraturan Presiden No 44/2008. b.
Fungsi dan Tugas Pokok Fungsi DJSN sesuai Pasal 7 (2) UU No 40/2004 tentang SJSN adalah merumuskan kebijakan umum tentang jaminan
` sosial dan melakukan sinkronisasi dalam penyelenggaraan SJSN. Adapun tugastugas yang diemban sesuai Pasal 7 (3) mencakup 3 (tiga) hal kegiatan, yaitu (i) melakukan kajian-penelitian tentang jaminan sosial, (ii) mengusulkan kebijakan investasi dana jaminan sosial dan (iii) mengusulkan anggaran jaminan kesehatan bagi penerima bantuan iuran khususnya penduduk miskin dan warga yang tidak mampu. c.
Kewenangan-kewenangan dalam Penyelenggaraan SJSN i.
ii.
d.
Berdasarkan Pasal 7 (4) UU Nomor 40/2004, DJSN berwenang untuk melakukan MONITORING dan EVALUASI (MONEV) penyelenggaraan program jaminan sosial yang dilaksanakan oleh BPJS-BPJS agar hasil-hasil monev tersebut dapat digunakan sebagai salah satu masukan dalam perumusan kebijakan untuk disampaikan kepada Presiden. Berdasarkan Pasal 39 (3) UU No 24/2011 tentang BPJS, yang mencakup BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, DJSN berwenang melakukan PENGAWASAN terhadap kegiatan operasional BPJS yang dilakukan bersama-sama dengan Lembaga Pengawas Independen lainnya, seperti BPK dan atau OJK.
Lingkup Bahasan, Metodologi dan Organisasi Penulisan Lingkup bahasan adalah pengawasannon-finansial atau pengawasan operasional (non-financial audit or operating audit). Perbedaannya dengan pengawasan finansial (financial-audit) adalah bahwa sasaran pengawasan finansial difokuskan pada cash-flows audit sedangkan operating audit dipusatkan pada peme-
riksaan sistem dan prosedur. Metodologi dalam penelitian ini adalah metode deskriptif tentang aplikasi pengawasan operasional sesuai spesifikasi kegiatan tugas pokok BPJS sebagaimana mengacu pada asas, prinsip dan tujuan penyelenggaraan SJSN yang berdasarkan UU No 40/2004. Adapun organisasi penulisan meliputi 5 sesi yang dimulai dengan pendauluan tentang pembentukan DJSNBPJS. Sesi ii ini menjelaskan tinjauan pustaka tentang pengawasan sedang sesi iii terkait dengan implementasi SJSN dan sesi iv menjelaskan sasaran pengawasan. Dalam sesi v dibahas tentang pendalaman alat-alat pengawasan dan dalam sesi yang terakhir, disampaikan kesimpulan.
II. TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PENGAWASAN Setelah memahami latar belakang, fungsitugas pokok dan kewenangan DJSN yang antara lain melaksanakan monitoring-evaluasi (MONEV) serta pengawasan terhadap kegiatan operasional BPJS, maka berikut di bawah ini akan dikutip beberapa pengertian tentang internal-external audits dari sumbersumber terpercaya seperti Woods (1990) dari the Institute of Internal Auditors (1990); kemudian esensi pengawasan dari Committee of Sponsoring Organization of the Treadway (COSO), yaitu Komisi Nasional di AS yang dibentuk pada tahun 1985 untuk membangun pengawasan yang terintegrasi antara financial dan operating audits menyusul pemahaman Pengawasan Internal dari Mercher University’s Audit Charter (2006) dan konsep pengawasan operasional (operating audit) dari Medical College of Ontario in Canada (2010) yang dapat digunakan DJSN dalam melakukan pengawasan operasional terhadap BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
31
a) Pengertian According to Woods regarding how to prepare for an external audit (1990), external auditors provide an annual opinion on whether an organization's financial statements comply with generally accepted accounting principles (GAAP) and accurately present the organization's financial condition. The Board of Directors and regulators such as the Comptroller of the Currency rely on the external auditors' work. In order to prepare for an external audit it is necessary for reviewing the control environment to understand the kinds of issues which the auditors might raise. In audit preparations the auditors should include basic housekeeping activities for paperwork and the physical premises and training accounting personnel on how to behave with the auditors. The following are the preparations for doing audits: i.
Ensure all internal audits scheduled for your areas which have been completed and you have corrected any control weaknesses (such as lack of reconciliations or noncompliance with regulations).
ii. Review control activities and related documentation (for example vault entry logs, reconciliations, records of call monitoring activities, and inventory count sheets) to ensure it is complete and filed logically. Do not create control documentation if it does not exist, as this is considered fraud. iii. Meet with key employees and discuss the state of the control environment or ask the internal auditors or quality assurance
32
personnel to perform a quick review. Prepare a log of control weaknesses and document your remediation plans along with a firm date for implementing these plans. This document can be shared with the external auditors to demonstrate that you are proactive in identifying and fixing control weaknesses. iv. Review policy and procedure manuals and official documents such as banking letters, and update them if needed, then make them available to necessary staff. v.
Review training documentation and computer software manuals, ensuring current information is available. Shred outdated versions.
In accounting and auditing, internal control is defined as a process effected by an organization's structure, work and authority flows, people and management information systems, designed to help the organization accomplish specific goals or objectives (COSO Definition of Internal Control, 2001). It is a means by which an organization's resources are directed, monitored, and measured. It plays an important role in preventing and detecting fraud and protecting the organization's resources, both physical (e.g., machinery and property) and intangible (e.g., reputation or intellectual property such as trademarks). Under the COSO Internal ControlIntegrated Framework, a widely-used framework in not only the United States but around the world, internal control is broadly defined as a process, effected by an entity's board of directors, management, and other personnel,
` designed to provide reasonable assurance regarding the achievement of objectives in the following categories: (i) effectiveness and efficiency of operations; (ii) reliability of financial reporting and (iii) compliance with laws and regulations. COSO defines internal control as having five components: i.
Control Environment-sets the tone for the organization, influencing the control consciousness of its people. It is the foundation for all other components of internal control.
ii.
Risk Assessment-the identification and analysis of relevant risks to the achievement of objectives, forming a basis for how the risks should be managed.
iii. Information and Communicationsystems or processes that support the identification, capture, and exchange of information in a form and time frame that enables people to carry out their responsibilities. iv. Control Activities-the policies and procedures that help ensure management directives are carried out. v.
Monitoring-processes used to assess the quality of internal control performance over time.
According to the Mercer University’s Audit Service Charter (2006), internal control is the process, effected by an entity's Board of Trustees, management, and other personnel, designed to provide reasonable assurance regarding the achievement of objectives in the categories of (i) reliability of financial
reporting, (ii) effectiveness and efficiency of operations and (iii) compliance with applicable laws and regulations. After the identification of the control indicators has been acknowledged, the following are the types of internal controls which need to be prepared for further action, that is to conduct (i) detective conrol designed to detect errors or irregularities that may have occurred then (ii) corrective control designed to correct errors or irregularities that have been detected and the last (iii) preventive designed to keep errors or irregularities from occurring in the first place. What COSO suggested as mentioned above was that the integration between financial and operating audits is indeed neccessary for the effectiveness in control or audit. As a result, the understanding of operating audits might be taken from the case of the supervisions of clinics and or hospitals as based on research conducted by Medical College of Ontario in Canada (2006), that these include: i.
Discussion with Physician as Collegial Peer Review Supervisor shapes the discussion to suit his/her purposes, as well as the concerns identified by the College; can be as unstructured or structured as necessary (i.e. low level supervision based on unsatisfactory performance on medical provision may consist of a monthly meeting; high level supervision based on doctor’s past inappropriate behavior towards colleagues may consist of a series of structured questions);
33
-
-
ii.
Supervisor and physician remain in direct contact, maintaining regular communication with each other; Regular contact is defined by the situation.
Self-Evaluation It would not be used exclusively; Practice reflection tools (physician questionnaire in peer assessment, facility risk assessment for office-based practitioners) - can help guide physicians through a reflective exercise.
iii. Medical Record Review Medical record review protocols from the College (e.g. peer assessment) are available to structure and direct the review; Uses both supervisor selected and physician selected charts Uses direct patient examples from the medical records to show strengths and weaknesses; Medical record review can help the supervisor understand many aspects of physician’s knowledge, skill and patient care decision-making (examinations, differential diagnosis, diagnosis, history and functional inquiry, treatment plans, drug selection, etc.). Pengertian pengawasan (supervision) sebagaimana dikemukakan Woods (1990) menyusul konsep COSO (1985), Audit Service Charter dan Medical College of Ontario (2006) sekalipun bervariasi, akan tetapi pengawasan yang dimaksud pada prinsipnya
34
diperlukan berbagai persiapan/pentahapan audit dari mulai rekonsiliasi data, pemeriksaan dokumen rinci yang terkait, telaah dokumen kebijakan, periksa sistem-prosedur dan lakukan komunikasi dengan pejabat kunci serta persiapan lingkungan audit yang baik mutlak diperlukan. Kemudian lakukan pengawasan sebagai suatu proses pemeriksaan yang terkait dengan kedudukan struktur organisasi, alur pekerjaan & batasan kewenangan, interaksi eksekutif dan sistem informasi manajemen guna mencapai tujuan akhir suatu organisasi. Selanjutnya apa yang ditemukan oleh Audit Service Charter dari Mercer University lebih menekankan pada sasaran pengawasan efektif yang sangat tergantung dari tersedianya laporan finansial yang terpercaya, kegiatan operasional sesuai prosedur yang berlaku dan adanya tingkat kepatuhan pelaksana kegiatan terhadap regulasi dan statuta. Sekalipun tidak dijelaskan secara nyata akan tetapi audit finansial dan audit operasional dilakukan secara bersamaan walaupun dalam laporan finansial masih belum disajikan secara sistemik. Untuk keperluan audit operasional BPJS khususnya BPJS Kesehatan diperlukan dialogis antara tenaga medis sebagai auditor dan tenaga medis sebagai nara sumber untuk menyampaikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Berikut hasil hasil rangkuman dari pengertian pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan sebagai hasil telaah atas kutipan kutipan dari sumber sumber terpercaya. a.
Konsep pengawasan sebagaimana dimaksud dalam berbagai sumber di atas, maka dalam melakukan pengawasan khususnya audit operasional diperlukan proses, sistem dan prosedur operasi baku. Karena itu, konsep dasar pengawasan adalah suatu tindakan sistematis yang dilakukan oleh Badan
` Hukum tertentu seperti BPK dan OJK termasuk DJSN sebagai Pengawas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenaga-kerjaan. Tujuan utama pengawasan adalah untuk konseling, pengarahan dan pembinaan kepada BPJS tentang capaian-capaian kinerja agar sesuai visi, misi dan rencana-kerja. Prinsip pengawasan mencegah kemungkinan terjadinya penyimpangan sedangkan hasil akhir pengawasan berupa catatan-catatan tentang temuan temuan yang harus ditindak-lanjuti dengan perbaikan karena ditengarahi terjadi potensi pelanggaran UU, PP dan Statuta. b.
Pengendalian (control) adalah tindaklanjut dari kegiatan pengawasan dalam bentuk verifikasi pemeriksaan dan uji ulang atas capaian kinerja tentang pertambahan perluasan kepesertaan universal oleh BPJS Kesehatan apakah sesuai rencana kerja. Jika tambahan perluasan kepesertaan tidak sesuai rencana kerja atau bahkan tak tercapai, maka berarti terjadi temuan yang dapat dikenali melalui verifikasi antara sasaran pertambahan kepesertaan dan realisasi kepesertaan. Penelusuran lebih lanjut tentang kepesertaan tidak sesuai rencana kerja dapat terjadi antara lain: (i) rendahnya tingkat kepatuhan peserta terhadap UU SJSN, (ii) masalah penindakan hukum, (iii) kurangnya kordinasi kebijakan, (iv) kurangnya sosialisasi program SJSN kepada stakeholders dan (v) masalah kompetensi SDM. Karena pengendalian sebagai pengawasan yang berbasis perencanaan, maka pengawas berpegang pada rencana kerja dan ketentuan peraturan perundangan dalam mengenali berbagai kemungkinan penyimpangan yang terjadi apakah mengarah pada TEMUAN yang bersifat materil atau tidak. Jika temuan
yang terjadi bersifat material, maka diperlukan tindak-lanjut sampai pada proses sanksi administrasi hingga sanksi hukum. Jika temuan yang terjadi tidak bersifat materil, maka diberikan nota rekomendasi untuk perbaikan kinerja lebih lanjut. b) Proses Pengawasan Proses pengawasan termasuk melakukan pengukuran KINERJA dan perbandingan KINERJA dengan standarisasi yang telah ditetapkan sebelumnya dan atau pengukuran kecepatan dalam penyelesaian klaim jaminan yang dibandingkan dengan standarisasi satuan waktu yang ditetapkan lebih dulu dalam rencana kerja BPJS. Karena itu, diperlukan standarisasi sebagai satuan ukuran yang digunakan DJSN untuk mengevaluasi kinerja BPJS memadai atau tidak. Pengawasan dilakukan secara acak dari mulai obyek pemeriksaan suatu kasus yang paling ekstrim hingga obyek pemeriksaan kasus yang paling ringan. Sebagai contoh pengawasan terhadap kantor pusat dilakukan secara penuh sedangkan pengawasan terhadap kantor kantor cabang BPJS dilakukan secara acak dari mulai kantor cabang utama hingga kantor cabang pembantu yang dipilih secara proporsional. Alasan pengawasan secara acak adalah efektivitas waktu dan skedul kerja pengawas itu sendiri yang sangat padat belum lagi untuk menyusun rekapitulasi atas hasil pemeriksaan BPJS. c) Jenis jenis Pengawasan Pengawasan mencakup tindakan preventif untuk minimalisasi potensi penyimpangan, kegiatan identifikasi terhadap ber-
35
bagai permasalahan dan pada akhirnya melakukan analisis sebab-sebab terjadinya penyimpangan. Berikut dipaparkan jenis-jenis pengawasan sebagai suatu mata rantai satu sama lain saling berhubungan.
secara gratis oleh Pemerintah kepada penduduk miskin akan tetapi lebih disebabkan oleh keberhasilan dalam pemberdayaan penduduk miskin secara ekonomi. d) Fungsi-Fungsi Pengawasan
i.
ii.
Pengawasan awal Adalah kegiatan konseling, pengarahan dan pembinaan baik dilakukan oleh Pimpinan Unit Kerja maupun Pengawas kepada Pelaksana kegiatan sebelum melaksanakan kegiatan operasional. Tujuan pra-pengawasan adalah untuk mengingatkan pelaksana kegiatan agar selalu mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dengan berpedoman pada rencana kerja sehingga kemungkinan adanya penyimpangan dapat dicegah. Pengawasan sedang berlangsung Adalah operasionalisasi pengawasan yang dilakukan pengawas secara acak terhadap pelaksanaan pekerjaan untuk kemudian dibandingkan dengan standar-standar yang berlaku atau statuta dan atau ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Hasil dari analisis komparatif dapat dilakukan apakah terjadi peningkatan kinerja atau sebaliknya penurunan kinerja.
iii. Pengawasan historikal Adalah pemusatan perhatian pada capaian capaian kinerja masa lalu sebagai illustrasi untuk memberikan koreksi atau gambaran tentang keberhasilan kinerja di masa lalu untuk dijadikan rujukan dalam meningkatkan kinerja di masa datang. Sebagai contoh, sukses dalam reduksi kemiskinan tidak semata diberikan jaminan kesehatan
36
i.
Pengawasan berfungsi memberikan masukan untuk perbaikan kinerja lebih lanjut bagi BPJS dan bagi DJSN selaku pengawas dalam meningkatkan intensitas pemantauan terhadap kegiatan operasional BPJS. ii. Pengawasan berfungsi memberikan pembagian kewenangan secara berjenjang sesuai bidang pertanggungjawaban yang sifatnya melekat pada jenjang jabatan yang berbeda untuk efektivitas dalam pengendalian. iii. Pengawasan berfungsi untuk pencegahan, pengarahan atas kegiatan operasional dan pemberian sanksi terhadap setiap penyimpangan prosedur atau pelanggaran statuta. iv. Pengawasan berfungsi untuk penyelamatan aset BPJS dan juga untuk pemberdayaan dana jaminan sosial bagi kepentingan peserta. e) Hambatan, Kegagalan dan Gangguan Pengawasan Beserta Solusinya i.
Adanya resistensi dari pelaksana kegiatan untuk tidak dilakukan pemeriksaan secara rinci atas apa yang telah dilakukan dengan cara memberikan berbagai kemudahan lain yang biasanya tidak disadari oleh pengawas seperti mengajak golf dst. Karena itu, pengawas tidak diperkenankan untuk bekerja secara sendirian atau tinggal di hotel
` sendirian guna mencegah kunjungan yang tak dikehendaki. ii.
Karena acuan regulasi yang begitu ketat dan berbagai ketakutan dari para pelaksana kegiatan untuk keberhasilan suatu visi-misi dan rencana kerja, maka sering kali terjadi pemalsuan dokumen. Solusi yang ditawarkan diperlukan on the spot inspection atau melakukan wawancara dengan peserta dan atau dengan karyawan tertentu yang tidak diketahui oleh pelaksana kegiatan.
iii. Karena ketakutan yang berlebihan dari para pelaksana kegiatan, maka sering dilakukan penghilangan dokumen atau barang bukti lain agar proses pemeriksanaan terhenti untuk sementara waktu sekalipun akan diketahui di kemudian hari. Akan tetapi sasaran utama dalam penghilangan dokumen ditujukan untuk terbebas dari temuan temuan yang tak dikehendaki oleh pelaksana kegiatan. Setelah kita memahami tentang pengertian, proses, jenis-jenis, fungsi-fungsi dan hambatan dalam pelaksanaan pengawasan, maka hasil akhir dari pengawasan yaitu temuan-temuan yang meliputi (i) penyimpangan prosedur operasi standar (POS), (ii) pelanggaran statuta/regulasi dan (iii) penyalahgunaan wewenang. Penyimpangan POS pada dasarnya masih dapat diperbaiki, sedangkan pelanggaran statuta/regulasi dapat berupa sanksi dan penyalahgunaan wewenang dapat mengarah pada pidana. Untuk mendapatkan hasil akhir dari pengawasan diperlukan alat alat pengawasan untuk melakukan financial dan operating audits. Berikut di bawah ini dipaparkan alat-alat pengawasan
yang dapat digunakan DJSN untuk melakukan NON-FINANCIAL AUDIT terhadap kegiatan operasional BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
III. IMPLEMENTASI SJSN DAN KEGIATAN OPERASIONALISASI BPJS Sebelum merumuskan alat alat pengawasan yang akan digunakan DJSN dalam pembinaan kegiatan operasional BPJS, maka terlebih dulu akan dibahas pemahaman SJSN sebagai suatu program jaminan sosial yang memiliki 3 asas, 9 prinsip dan 5 program yang perlu dijadikan pedoman pengawasan manakala terjadi penyimpangan dalam implementasi dan operasionalisasi oleh BPJS. Pemahaman tentang SJSN yang berdasarkan Pasal 1 (2) UU No 40/2004 adalah tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh BPJS sebagai badan hukum publik yang dibentuk dengan UU No 24/2011 Pasal 7 (1). Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 UU SJSN bahwa SJSN diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat dan asas kedialan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila dalam penyelenggaraan SJSN tidak berbasis pada ketiga asas tersebut, maka terjadi pelanggaran terhadap UU SJSN. Kelalaian dalam meliput dan atau melayani jaminan kesehatan bagi penduduk miskin termasuk warga tak mampu pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap asas kemanusiaan. Kemudian asas manfaat jaminan sosial yang didesain harus memberikan manfaat yang berarti bagi peserta paling tidak memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar bagi peserta termasuk layanan kesehatan secara komprehensif, sedangkan asas keadilan dalam penyelenggaraan SJSN berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat baik kaya, menengah atau miskin
37
agar tercipta prinsip kegotong-royongan. Adapun prinsip-prinsip SJSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU No 40/2004 sebagai berikut: a. Kegotong-royongan b. Nirlaba c. Keterbukaan d. Kehati-hatian e. Akuntabilitas f. Portabilitas g. Kepesertaan yang bersifat wajib h. Dana amanat dan i. Hasil pengelolaan dana jaminan sosial untuk peserta Selanjutnya potensi-potensi pelanggaran terhadap sembilan (9) prinsip SJSN mencakup (i) penyimpangan dalam implementasi program; (ii) penyalahgunaan prinsip nirlaba; (iii) keterbatasan akses informasi; (iv) ketidak-hatian dalam investasi; (v) ketidakakuratan dalam pengelolaan keuangan; (vi) terhentinya layanan kesehatan yang berkelanjutan; (vii) kepesertaan yang masih bersifat eksklusif; (viii) kelalaian dalam pengelolaan dana amanah dan (ix) ketidaksesuaian dalam pengembalian hasil investasi kepada peserta. Dalam hal ini, baik Direksi BPJS kesehatan maupun Direksi BPJS Ketenagakerjaan diamanatkan untuk melaksanakan sembilan prinsip SJSN.
38
Apabila terjadi pelanggaran terhadap prinsip prinsip SJSN dapat dikenakan sanksi hukum. Karena itu, dalam penyelenggaraan SJSN oleh BPJS-BPJS diperlukan DJSN sebagai pengawas yang berdasarkan Pasal 39 (3) UU No 24/2011 tentang BPJS. Sudah barang tentu, peranan DJSN dalam pengawasan adalah non-financial auditor atau operating auditor sebagai mitra kerja BPK atau OJK yang berperan sebagai financial auditor. Kedua auditor yang berbeda tersebut pada prinsipnya akan memberikan temuan audit yang saling melengkapi untuk cek silang. Alat alat pengawasan yang digunakan baik dalam financial audit maupun operating audit hanya berbeda dalam penekanan audit (lihat Tabel IX-1). Penekanan financial audit tertuju pada rasio finansial, sedangkan operating audit dipusatkan pada pemeriksaan standar operasi baku, proses dan dan supervisi dari suatu kegiatan operasional. Pengawasan nonfinansial juga berlaku di perusahaan seperti capaian kepuasan pelanggan, ketepatan waktu deliveri dan kualitas produk (Hansen dan Mowen, 2000). Dalam hal ini, pengawasan finansial juga berlaku pada BPJS untuk melengkapi ukuran kinerja finansial. Berikut disampaikan perbedaan penggunaan alat pengawasan antara financial audit dan operating audit dalam penyelenggaraan SJSN.
` Tabel XI-1 memaparkan perbedaan penggunaan alat-alat pengawasan antara financial audit dan operating audit. Audit finansial difokuskan pada analisis laporan keuangan sehingga alat-alat pengawasan yang digunakan mencakup rasio profitabilitas, yaitu rasio kemampulabaan yang mencakup Return on Investment (ROI) dan Return on Equity (ROE) dengan ekspektasi bahwa capaian ROI ditetapkan paling tidak 10% sedang ROE paling tidak 30%. Capaian ROI ditetapkan paling tidak 10% dalam artian lebih besar dari suku bunga deposito sebesar 5,5%. Kemudian Rasio Solvabilitas, yaitu rasio antara total aset dan liabiliti atau rasio antara investasi dan akumulasi dana jangka panjang plus cadangan teknis untuk mengukur sampai seberapa besar kemampuan BPJS dalam memenuhi kewajiban jangka panjang yang harus dicapai di atas 100%. Rasio kecukupan dana dalam hal ini sebagimana mengacu pada risk based capital ratio (RBC) atau rasio modal berbasis risiko, yaitu aset yang diperkenankan (investasi) terhadap cadangan teknis dengan ketentuan lebih besar dari 100%. Rasio produktivitas kerja, yaitu rasio antara penyelesaian klaim dan jumlah klaim yang dilaporkan dan faktor-faktor lain yang tidak dapat dijelaskan dalam perumusan ini dengan tingkat capaian di atas 100%. Pembiayaan berbasis kegiatan adalah refleksi bahwa setiap kegiatan BPJS memiliki konsekuensi finansial yang harus menghasilkan nilai tambah. Kemudian alat-alat pengawasan untuk operating audit ditujukan untuk identifikasi masalah yang terkait dengan kegiatan operasional BPJS sebagaimana dipaparkan dalam Tabel 1 meliputi pertambahan kepesertaan antara lain pertambahan perusahaan/badan hukum, pertambahan tenaga-kerja dan pertambahan partisipasi masyarakat atau perorangan. Ukuran kinerja BPJS adalah bahwa dalam perluasan kepesertaan tidak lagi ditemukan adanya perusahaan mendaftarkan baik sebagian tenaga kerjanya maupun
sebagian gaji/upah. Mekanisme koleksi iuran dilakukan melalui perbankan yang ditunjuk BPJS dimana peserta perusahaan membayar iuran SJSN untuk tenaga-kerja tepat waktu untuk keperluan pengelolaan dana jaminan sosial. Ukuran sukses dalam koleksi iuran tidak ditemukan adanya tunggakan iuran kecuali perusahaan peserta SJSN dinyatakan pailit oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Desain manfaat SJSN bersifat komprehensif dan paling tidak memenuhi kebutuhan dasar sebagai pengganti penghasilan yang hilang karena mencapai usia pensiun atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Prosedur penyelesaian klaim dengan pemenuhan kelengkapan dokumen sebagai persyaratan untuk mendapatkan klaim SJSN tidak lebih dari 1 hari dan bahkan merupakan hitungan jam. Ketentuan pengelolaan investasi dana jaminan sosial biasanya berlaku kebijakan yang konservatif sebagaimana mengacu pada faktor-faktor likuiditas dan solvabilitas.
IV. SASARAN PENGAWASAN NON FINANSIAL Sebagaimana dipaparkan dalam Tabel IV-1, bahwa perbedaan antara financial audit dan operating audit sangat jelas dimana DJSN akan berperan sebagai operating auditor. Untuk memperlancar tugas tugas DJSN baik dalam melakukan MONEV sesuai Pasal 7 (4) UU No 40/2004 tentang SJSN maupun melaksanakan PENGAWASAN terhadap kegiatan operasional BPJS sesuai Pasal 39 (3) UU No 24/2011 tentang BPJS jelas diperlukan bantuan tenaga spesialis seperti akuntan, dokter dan pharmasi. Selain itu, juga dapat dilakukan pelatihan bagi Staf Sekretariat DJSN yang ada sekarang untuk operating audit. Dalam kegiatan operasional BPJS seperti halnya dalam penyelenggaraan programprogram Askes dan Jamsostek sebagai pro-
39
gram jaminan sosial tidak menutup kemungkinan ditemukan adanya potensi penyimpangan, karena itu potensi penyimpangan harus dicegah. Potensi penyimpangan dalam operasionalisasi program jaminan sosial tak dapat dihindarkan walaupun masih dapat dicegah melalui pembinaan rutin oleh kepala unit kerja dan dengan pengawasan yang melekat pada setiap kepala unit kerja. Berikut potensi potensi penyimpangan dan atau penyalah-gunaan wewenang secara empirik dalam penyelenggaraan program-program jaminan sosial baik yang terjadi secara external maupun internal: a.
gian pekerjanya termasuk melaporkan sebagian penghasilan tenaga kerja. b.
Mekanisme koleksi iuran dilakukan melalui transfer pembayaran iuran oleh perusahaan-perusahaan ke bank yang telah ditunjuk Jamsostek. Bagi perusahaanperusahaan peserta yang melakukan pembayaran iuran secara teratur atau secara berkala tertentu tidak akan terjadi penyimpangan. Sebaliknya perusahaanperusahaan peserta yang tidak tertib administrasi kepesertaannya termasuk tunggakan iuran sehingga diperlukan susulan pembayaran iuran sering terjadi penyalah-gunaan wewenang yang biasanya dilakukan oleh petugas-petugas lapangan (account officers) di kantorkantor cabang khususnya pada perusahaan perusahaan yang menjadi binaan petugas yang bersangkutan.
c.
Desain manfaat atau paket manfaat khususnya dalam layanan kesehatan masih belum bersifat komprehensif dalam artian membatasi atau tidak menanggung penyakit-penyakit yang berisiko tinggi termasuk pembatasan obat-obat tertentu sehingga terjadi out of pocket (OOP), yaitu pengeluaran ekstra oleh peserta baik dalam rawat jalan maupun rawat inap. Masalah OOP terkait dengan rendahnya biaya kapitasi dan fee for service untuk rujukan layanan kesehatan spesialis. Tagihan biaya rawat inap atau rujukan khusus untuk perawatan medis sering terjadi moral hazard yang dilakukan oleh rumah sakit sehingga diperlukan verifikasi pengeluaran medis oleh para dokter sebagai pegawai BPJS guna meminimalisasi moral hazard.
d.
Prosedur penyelesaian klaim/pembayaran jaminan diperlukan dokumen-doku-
Penyimpangan dalam perluasan kepesertaan terjadi pada pertambahan kepesertaan baik perusahaan perusahaan sebagai badan-hukum maupun pertambahan kepesertaan tenaga-kerja yang pencapaiannya tidak sesuai sasaran dengan rincian sebagai berikut: i.
Pertambahan kepesertaan badanhukum termasuk badan-badan usaha menengah seperti toko, restoran, outlet, usaha praktek dokter bersama, jasa hukum, jasa pengiriman tenaga kerja, jasa pendidikan dan bengkel masih belum mencapai sasaran sebagaimana mestinya khususnya dalam penyelenggaraan program Jamsostek yang bersifat wajib sesuai UU No 3/1992, karena belum efektifnya penindakan hukum.
ii. Pertambahan kepesertaan tenagakerja yang bekerja pada badanbadan hukum termasuk badan usaha menengah ke atas masih belum mencapai sasaran sebagaimana mestinya walaupun mencapai sasaran tertentu, karena masih adanya perusahaan baru atau perusahaan yang terdaftar mendaftarkan seba-
40
` men asli seperti kartu peserta, surat keterangan diputushubungan kerja sebelum usia pensiun termasuk surat keterangan dokter tentang kecelakaan kerja dan tentang kematian sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan klaim jaminan kecelakaan kerja atau jaminan kematian. Dalam praktek sering terjadi pemalsuan dokumen dokumen sebagaimana disebutkan di atas yang pada umumnya dilakukan oleh perusahaan atau kelompok tertentu. Kemungkinan terjadi pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh BPJS dalam artian tidak menyelesaikan klaim dengan tepat waktu atau klaim telah selesai diproses tapi sengaja tidak diberitahukan kepada peserta yang mengalami musibah. e.
Penyimpangan/penyalahgunaan wewenang sebagaimana dikemukakan dalam angka-angka 1-4 merupakan penyimpangan operasional sehingga perlu dilakukan operational audit untuk memperkecil penyimpangan. Disamping adanya (kemungkinan) penyimpanan operasional, juga ada penyimpangan finansial atau investasi yang biasanya terjadi pada penempatan dana jaminan sosial pada sekuritas yang berisiko melebihi dari batas toleransi sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah tentang Investasi Dana Jaminan Sosial (PP No 22/2004). Dengan demikian, sasaran operating audit yang akan dilakukan DJSN difokuskan pada pemeriksaan proses kepesertaan, koleksi iuran dan mekanisme penyelesaian klaim. Kemudian melakukan verifikasi khususnya untuk klaim obat dari faskes kepada BPJS. Untuk menopang operating audit yang akan dilakukan DJSN di masa datang sebagaimana dijelaskan sebelumnya diperlukan pere-
krutan atau kontrak profesi akuntan guna melaksanakan tugas financial audit kemudian melakukan kontrak profesi dokter dan hukum serta aktuaris untuk melaksanakan operational audit. Para auditor tersebut sebagai pembantu Anggota DJSN yang difasilitasi Sekretariat DJSN dalam baik dalam melakukan operational audit maupun penyampaian hasil audit untuk selanjutnya disahkan oleh Anggota DJSN sebelum disampaikan kepada BPJS-BPJS dengan tembusan kepada DPR-RI.
V. ALAT-ALAT PENGAWASAN YANG DIGUNAKAN Alat-alat pengawasan sebagaimana dipaparkan dalam Tabel IX-1 masih perlu dikembangkan untuk kemudahan dalam pelaksanaan pengawasan yang efektif terhadap kegiatan operasional BPJS (lihat Tabel-tabel XI-2 dan XI-3). Pengawasan perlu ditindaklanjuti dengan pengendalian, yaitu teknik penelusuran baik terhadap kegiatan operasional BPJS di masa lalu maupun operasional sedang berjalan dengan tujuan untuk mengenali sampai seberapa besar adanya penyimpangan operasional. Terjadinya penyimpangan operasional boleh jadi disebabkan oleh adanya KEGAGALAN SISTEM atau PERUBAHAN PERILAKU dari PELAKSANA KEGIATAN. Secara umum, alat-alat pengawasan yang digunakan oleh DJSN melakukan kontrol meliputi (i) manajemen pengecualian, (ii) analisis ekonomi ketenaga-kerjaan, (iii) analisis kepesertaan dan (iv) rencana kerja BPJS. Adapun seperangkat perundang-undangan dan ketentuan peraturan perundangan yang digunakan DJSN untuk mengawasi kegiatan operasional BPJS sebagai “Operating Auditor” mencakup (i) UU No 40/2004 tentang SJSN, UU No 24/2011 tentang BPJS, (ii) Seperangkat Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden,
41
(iii) Seperangkat Peraturan Menteri terkait, (iv) Pedoman Kerja BPJS dan (v) Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) BPJS. Berikut dalam Tabel XI-2 dipaparkan sasaran-sasaran untuk audit operasional DJSN terhadap BPJS. Tabel XI-2 memaparkan tentang apa apa sasaran audit yang meliputi analisis ketenegakerjaan, kepesertaan jaminan sosial kemudian penerima bantuan iuran menyusul koleksi iuran sebagai suatu proses dan penyelesaian klaim serta kualitas manfaat apakah dapat memenuhi kebutuhan dasar peserta khususnya untuk jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Dalam analisis ketenagakerjaan terdapat di dalamnya perencanaan jaminan sosial (social security planning) sebagai pilar kedua dari perencanaan ketenagakerjaan dimana investasi merupakan pilar utama. Social security planning pada dasarnya merupakan perluasan kepesertaan yang berbasis pada pertambahan angkatan kerja dimana BPJS akan menyusun perencanaan perluasan kepesertaan sebagai indikator untuk menilai kinerja BPJS (baca Purwoko, 2011:104).
42
Pertambahan angkatan kerja diharapkan berdampak terhadap pertambahan kepesertaan jaminan sosial. Jika tidak, maka dapat dilihat dari rencana kerja BPJS dalam perluasan kesempatan kerja apakah memperhatikan analisis ketenagakerjaan sebagai salah satu sasaran audit. Pertambahan angkatan kerja sebagaimana terkait dengan kesempatan kerja dapat dibedakan atas kesempatan kerja di sektor formal dan kesempatan kerja di sektor informal. Kesempatan kerja di sektor formal dengan sendirinya akan menambah kepesertaan jaminan sosial yang dapat dilihat dari seberapa besar potensi jumlah badan hukum, jumlah tenaga kerja dan perorangan yang belum diliput dalam kepesertaan jaminan sosial. Pertambahan kepesertaan berdampak terhadap pertambahan iuran dengan harapan terjadi proses koleksi iuran yang berkesinambungan. Proses koleksi iuran yang tepat waktu menjadi penting guna membiayai manfaat jaminan sosial yang jatuh tempo (pay as you go) dan juga untuk pengembangan pengelolaan dana jaminan sosial.
` Sebaliknya angkatan kerja yang tak terserap di sektor formal menunjukkan bahwa daya serap kesempatan kerja di sektor formal masih sangat rendah. Dengan demikian pekerja sektor informal akan mengalami tantangan tersendiri dalam memperoleh hak jaminan sosial walaupun jaminan sosial sebagai hak seluruh warga negara, karena masalah pekerjaan yang tidak stabil sehingga menimbulkan gangguan dalam pembayaran iuran. Karena itu diperlukan bantuan iuran bagi penduduk miskin dan warga tak mampu sesuai Pasal 17 (4) dan (5) UN SJSN. Penyelesaian klaim dapat dilakukan dengan hitungan menit atau jam khusus untuk proses penarikan JHT yang jatuh tempo dan jaminan kematian bila dokumen yang diperlukan lengkap dan juga dapat diselesaikan dalam hitungan minggu khususnya untuk jaminan kecelakaan kerja. Kualitas manfaat begitu jelas dimana indikator dapat dilihat dari komplain peserta khususnya untuk manfaat layanan kesehatan. Setelah kita mendalami tentang audit operasional yang berbasis sasaran seperti dipaparkan dalam Tabel XI-2, berikut dalam Tabel XI-3 akan dijelaskan audit operasional yang berbasis pada program-program SJSN. Rincian audit dalam program JK mencakup layanan diagnosa dokter umum/spesialis kemudian layanan rawat jalan dan inap menyusul berapa besarnya biaya kapitasi serta frekuensi kunjuangan pasen ke fasilitasfasilitas kesehatan. Audit pada JKK diawali dengan mengenali ada tidaknya kelengkapan K3 karena kelengkapan K3 yang tidak sesuai ketentuan yang berlaku dapat menimbulkan potensi kecelakaan kerja.
Telaah berikutnya dalam JKK terkait dengan kelengkapan dokumen seperti surat keterangan dokter/polisi dalam terja-dinya peristiwa kecelakaan kerja baik di tem-pat kerja maupun menuju tempat kerja. Dalam melakukan audit operasional terhadap program JHT lebih ditekankan dari kekuatan internal BPJS itu sendiri sampai seberapa jauh melakukan proses amalgamasi, yaitu koneksitas dari perpindahan pekerja peserta SJSN dari satu perusahaan ke perusahaanperusahaan berikutnya. Selain itu, juga kinerja BPJS dapat dilihat dari rekonsiliasi data apakah dilakukan per minggu atau per bulan dan untuk JHT paling tidak dilakukan rekonsiliasi per minggu. Penerbitan pernyataan saldo/dana jaminan hari tua (PS/DJHT) yang selama ini diberikan kepada peserta setahun sekali dapat ditingkatkan paling tidak per semesteran agar peserta dapat mengetahui akun yang sebenarnya khususnya dampak terhadap mutasi upah. Kemudian dalam administrasi kepesertaan khusus untuk program JP diperlukan kesiapan administrasi data keluarga peserta, surat keterangan pensiun dari perusahaan dan proses pembayaran pensiun sebaiknya dilakukan melalui bank guna menghindari antrian panjang di BPJS. Audit operasional yang terakhir tertuju pada proses penyelesaian program JKm, yaitu diperlukan kesiapan BPJS dalam hal kesiapan administrasi pendataan ahli waris dan surat kematian yang dinyatakan sah khususnya dari rumah sakit atau pejabat setempat yang berwenang sebagai syarat untuk memastikan pembayaran manfaat tunai jaminan kematian kepada ahli waris yang benar dan sah sesuai dengan catatan yang dapat dirujuk.
43
VI. SIMPULAN Hasil akhir dari pengawasan adalah perbaikan kinerja untuk capaian di masa datang dan informasi terkini tentang capaian kinerja dengan minimalisasi penyimpangan. Berikut disampaikan pokok-pokok pengawasan yang sesuai UU No 40/2004 dan UU No 24/2011,
44
dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional: a.
Pengawasan adalah suatu tindakan sistematis yang dilakukan oleh unit kerja khusus seperti SPI dan atau Badan Hukum tertentu seperti DJSN sebagai Pengawas BPJS Kesehatan dan BPJS
` Ketenaga-kerjaan. Tujuan utama pengawasan adalah untuk konseling, pembinaan dan pengarahan kepada BPJS tentang capaian-capaian kinerja apakah sesuai visi, misi dan rencana-kerja. Prinsip pengawasan mencegah kemungkinan terjadinya penyimpangan sedangkan hasil akhir pengawasan berupa catatancatatan tentang temuan temuan ringan dan berat yang terkait dengan pelanggaran UU, PP dan Perpres serta penyimpangan finansial. b.
c.
Pengendalian adalah kegiatan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan, verifikasi dan uji ulang atas capaian kinerja tentang pertambahan perluasan kepesertaan apakah sesuai rencana kerja. Penelusuran lebih lanjut tentang kepesertaan tidak sesuai rencana kerja dapat terjadi antara lain: (i) rendahnya tingkat kepatuhan peserta terhadap UU SJSN, (ii) masalah penindakan hukum, (iii) kurangnya kordinasi kebijakan, (iv) kurangnya sosialisasi program SJSN kepada stakeholders dan (v) masalah kompetensi SDM. Karena pengendalian sebagai pengawasan yang berbasis perencanaan, maka pengawas berpegang pada rencana kerja dan ketentuan peraturan perundangan dalam mengenali berbagai kemungkinan penyimpangan yang terjadi apakah mengarah pada TEMUAN yang bersifat materil atau tidak. Jika temuan yang terjadi bersifat material, maka diperlukan tindak-lanjut sampai pada proses sanksi administrasi hingga sanksi hukum. Jika temuan yang terjadi tidak bersifat materil, maka diberikan nota rekomendasi untuk perbaikan kinerja lebih lanjut. Alat alat pengawasan yang digunakan baik dalam proses financial audit maupun operating audit hanya berbeda dalam
penekanan audit. Penekanan finansial audit tertuju pada rasio rasio finansial sedangkan operating audit dipusatkan pada pemeriksaan standar operasi baku, proses dan supervisi dari suatu kegiatan operasional. Pengawasan non-finansial juga berlaku di perusahaan-perusahaan seperti capaian kepuasan pelanggan, ketepatan waktu deliveri dan kualitas produk. Dalam hal ini pengawasan finansial juga berlaku pada BPJS yaitu untuk melengkapi ukuran kinerja finansial. d.
Sasaran operating audit yang akan dilakukan DJSN difokuskan pada pemeriksaan proses kepesertaan, koleksi iuran dan mekanisme penyelesaian klaim menyusul verifikasi khususnya untuk klaim obat dari faskes kepada BPJS. Untuk menopang operating audit yang akan dilakukan DJSN di masa datang diperlukan perekrutan atau memintakan bantuan tenaga akuntan dari BPK guna melaksanakan tugas financial audit kemudian melakukan kontrak-kerja dengan profesi dokter, ahli hukum dan aktuaris untuk melaksanakan operational audit. Para auditor tersebut sebagai pembantu Anggota DJSN yang difasilitasi oleh Sekretariat DJSN, baik dalam melakukan operational audit maupun penyampaian hasil audit untuk selanjutnya disahkan oleh Anggota DJSN sebelum disampaikan kepada BPJS-BPJS dengan tembusan kepada DPR-RI.
e.
Alat-alat pengawasan untuk DJSN melakukan kontrol meliputi (i) manajemen pengecualian untuk mengecualikan BPJS dalam hal terjadinya krisis ekonomi, (ii) analisis ekonomi ketenagakerjaan sampai seberapa tajam kemampuan BPJS dalam merencanakan kepesertaan jaminan sosial, (iii) analisis kepesertaan sesuai sasaran dan (iv) rencana kerja BPJS.
45
Selain itu, juga perlu menggunakan seperangkat perundangan dan ketentuan peraturan perundangan untuk DJSN lebih leluasa dalam mengawasi tiap kegiatan operasional BPJS sebagai “Operating Auditor” mencakup (i) UU No 40/2004 tentang SJSN, UU No 24/2011 tentang BPJS, (ii) Seperangkat Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden, (iii) Seperangkat Peraturan Menteri terkait, (iv) Pedoman Kerja BPJS dan (v) Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) BPJS.
DAFTAR PUSTAKA _____ UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) _____ UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) _____ Peraturan Presiden No 44/2008 tentang Kesekretariatan DJSN _____ Keputusan Presiden No 110/M/2008 tentang Keanggotaan DJSN _____ (2001), “Committee of Sponsoring Organization of the Treadway (COSO) as formed in 1985 to sponsor the National Commission on Integrated Control in US. _____
(2006), “Procedure of Internal Control”, Mercer University’s Audit Service Charter, Atlanta, USA.
_____ (2010), “Operating Audit”, Medical College of Ontario in Canada. Hansen, Don, R and Maryanne M. Mowen, (2000), “Cost Management:
46
Accounting and Control”, Thompson Learning Asia Singapore 1899969. Purwoko, Bambang, (2011), “Sistem Proteksi Sosial dalam Dimensi Ekonomi”, ISBN 978-979-1380-08-9, Penerbit Oxford Graventa Indonesia-Jakarta. Woods, Gae-Lynn, (1990), “How to prepare for an external audit”, the Institute for Internal Auditors By Gae-Lynn Woods, eHow Contributor-USA.
Ulasan Redaksi
MoU Antara Dewan Jaminan Sosial Nasional dan Otoritas Jasa Keuangan
onitoring dan evaluasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari suatu kegiatan dalam organisasi. Begitu pula denganBPJS Kesehatan, yang sudah mulai berjalan tanggal 1 Januari 2014. Sebagai sebuah program jaminan sosial, yang dalam hal ini menyelenggarakanjaminan kesehatan dengan skala nasional, maka sangat penting untuk memastikan bahwa monitoring dan evaluasinya berjalan baik.
Namun, dengan banyaknya pihak atau para pemangku kepentingan (stakeholders), maka monitoring dan evaluasi BPJS Kesehatan dilakukan oleh banyak pihak, antara lain oleh: Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Agar tidak terjadi tumpang tindih (overlapped) pada pelaksanaannya, maka diperlukan adanya Nota Kesepahaman di antara pihakpihak tersebut.
47
b.
Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dengan Otoritas Jasa Keuangan OJK adalah terkait dengan koordinasi pengawasan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Nota Kepehaman ini ditandatangani oleh Chazali H. Situmorang, selaku Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan Muliaman Hadad, yang adalah Ketua Otoritas Jasa Keuangan, pada tanggal 24 Agustus 2013 di Jakarta. Nota Kesepahaman ini diberi nomor untuk DJSN: Nomor 377/DJSN/XII/2013 dan untuk OJK: Nomor PRJ-17/D.01/2013, yaitu tentang Koordinasi Pengawasan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dalam Nota Kesepahaman tersebut, para PIHAK menerangkan: a. bahwa berdasarkan Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Dewan Jaminan Sosial Nasional dan Otoritas Jasa Keuangan merupakan pengawas eksternal atas Badan Penye-
48
lenggara Jaminan Sosial dalam menyelenggarakan program jaminan sosial; bahwa pengawasan oleh pengawas eksternal terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial terselenggara secara efektif dan efisien, perlu dilakukan kerjasama dalam bentuk koordinasi pengawasan sesuai dengan fungsi, tugas, dan kewenangan masing-masing PARA PIHAK.
Apa yang menjadi dasar dari kesepahaman untuk menjalin kerjasama antara kedua belah pihak ini adalah: a. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456); b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 20011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256). Nota Kesepahaman ini terdiri dari 9 (sembilan) Bab dan 16 (enambelas) Pasal. Bab-bab tersebut adalah: Bab Bab Bab Bab
I II III IV
Bab Bab Bab Bab Bab
V VI VII VIII IX
Ketentuan Umum Maksud dan Tujuan Kerjasama Pengawasan Pelaksanaan Koordinasi Pengawasan Rapat Koordinasi Pembiayaan Jangka Waktu Ketentuan Lain Ketentuan Penutup
Penjelasan Nota Kesepahaman tersebut disarikan dalam penjelasan di bawah ini:
Ketentuan Umum
Kerjasama Pengawasan
Dalam hal Nota Kesepahaman ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Kerjasama pengawasan antara DJSN dan OJK ini didasari kesepakatan untuk: a. Melakukan pertukaran informasi; b. Melakukan koordinasi penyusunan peraturan dan perumusan kebijakan; c. Menetapkan ruang lingkup pengawasan; dan d. Melakukan sosialisasi dan edukasi.
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) adalah dewan yang berfungsi untuk membantu Presiden dalam perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Empat hal tersebut menjadi pedoman yang utama dalam pelaksanaan koordinasi pengawasan.
Dalam Ketentuan Umum ini disebutkan pula bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pengertian ini menjelaskan kedudukan dari masing-masing pihak yang terlibat di dalam kegiatan pengawasan dimana dalam hal ini DJSN dan OJK adalah pihak yang mengawasi dan BPJS adalah pihak yang diawasi.
Maksud dan Tujuan Pada intinya, Nota Kesepahaman ini dibuat untuk mewujudkan koordinasi pengawasan eksternal terhadap BPJS dalam menyelenggarakan program jaminan sosial. Selain itu, Nota Kesepahaman ini dimaksud-kan juga untuk upaya-upaya dan langkah-langkah yang jelas bagi PARA PIHAK dalam melakukan pengawasan eksternal terhadap BPJS agar dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Pelaksanaan Koordinasi Pengawasan Ini adalah bagian yang bersifat teknis untuk pelaksanaan koordinasi pengawasan yang dalam Nota Kesepahaman dinyatakan dalam Bab IV. Keempat bagian tersebut adalah: Bagian Pertama: Pertukaran Informasi Bagian Kedua: Koordinasi Penyusunan Peraturan dan Perumusan Kebijakan Bagian Ketiga: Ruang Lingkup Pengawasan Bagian Keempat: Sosialisasi dan Edukasi Pertukaran informasi dapat dilakukan antara kedua belah pihak, sepanjang hal tersebut tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan masalah kerahasiaan informasi. Dalam hal ini insiatif pertukaran informasi bisa datang dari kedua belah pihak atau atas kesepakatan terlebih dahulu di antara kedua belah pihak. Namun demikian, setiap permintaan data dan informasi harus disertai penjelasan tentang maksud dan tujuan penggunaan informasi yang bersangkutan; dimana permintaan data itu harus dilakukan secara tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang atau yang ditunjuk dari kedua belah pihak. Sedangkan konfirmasi lanjutan atas data
49
yang telah diterima untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut dapat dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk.
c.
Usulan kebijakan investasi Dana Jaminan Sosial Nasional; dan
Sejak 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan telah siap untuk memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh masyarakat; dan masyarakat pun menyambut dengan antusias.
Setelah data dan atau informasi disampaikan, maka tanggungjawab atas keamanan dan kerahasiaan data dan atau informasi itu menjadi tanggungjawab pihak yang menerima data dan atau informasi tersebut. Dan, dalam hal ini, pihak yang menerima data dan atau informasi tersebut dilarang untuk diteruskan atau dipinjamkan atau diberitahukan kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari pihak yang memberikan data dan atau informasi. OJK dalam hal ini dapat meminta masukan dan saran dari DJSN dalam penyusunan peraturan dan/atau pedoman pengawasan yang berkaitan dengan tugas, fungsi, dank ewenangan OJK dalam rangka pengawasan terhadap BPJS. Dalam hal ini, sebaliknya, DJSN dapat meminta masukan dan saran dari OJK dalam penyusunan: a. Pedoman monitoring dan evaluasi; b. Rumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
50
d.
Usulan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran, yang berkaitan dengan tugas, fungsi, dan kewenangan dari DJSN.
Lantas, apa sesungguhnya pemisahan dari tugas, fungsi, dan kewenangan dalam kegiatan monitoring dan evaluasi dari OJK dan DJSN? Ruang lingkup OJK dalam pengawasan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Kesehatan keuangan; 2. Penerapan tata kelola yang baik; 3. Pengelolaan dan kinerja investasi; 4. Penerapan manajemen risiko; 5. Pendeteksian dan penyelesaian kejahatan keuangan; 6. Valuasi aset dan liabilitas; 7. Kepatuhan pada ketentuan perundangundangan; 8. Keterbukaan informasi kepada masyarakat (public disclosure);
9. 10. 11. 12.
Perlindungan konsumen; Rasio kolektibiltas iuran; Monitoring dampak sistemik; dan Aspek lain yang merupakan tugas, fungsi, dan kewenangan OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan ruang lingkup DJSN dalam kaitan pengawasan eksternal terhadap BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan meliputi monitoring dan evaluasi atas: 1. Perkembangan pencapaian tingkat kepesertaan; 2. Kelayakan manfaat; 3. Efektifitas penarikan dan kecukupan iuran; 4. Implementasi kebijakan investasi; 5. Kesehatan keuangan; 6. Kesepadanan aset dan liabilitas; 7. Kepatuhan pada ketentuan perundangundangan; 8. Realisasi rencana kerja dan anggarannya; dan 9. Aspek lain yang merupakan tugas, fungsi, dan kewenangan DJSN sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dan juga kepada BPJS, OJK dan DJSN bersepakat untuk dapat melakukan sosialisasi dan edukasi yang berkaitan dengan tugas, fungsi, dan kewenangan dari masingmasing pihak terhadap kegiatan BPJS dalam penyelenggaran program jaminan sosial di Indonesia.
Rapat Koordinasi Dalam kaitan dengan koordinasi tentunya harus ada mekanisme yang regular untuk menilai apakah koordinasi masih berjalan dalam koridor sesuai dengan yang dinyatakan dalam Nota Kesepahaman. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan melakukan Rapat Koordinasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.
Rapat koordinasi ini terutama ditujukan untuk membahas hal-hal yang bersifat strategis dan tentunya untuk menilai pelaksanaan butir-butir dalam Nota Kesepahaman. Namun, tidak ada kegiatan lain di samping Rapat Koordinasi yang dapat digunakan untuk menilai pelaksanaan koordinasi terkait dengan pelaksanaan pengawasan. Dengan demikian, Rapat Koordinasi dipandang cukup memadai untuk menjadi wadah diskusi rutin tentang hal dimaksud.
Pembiayaan Bagaimana dengan pembiayaan kegiatan ini? Dalam setiap kegiatan tentu ada konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan. Begitu juga dengan kegiatan pengawasan ataupun monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh OJK dan DJSN terhadap penyelenggaran jaminan sosial oleh BPJS. Bab VI Nota Kesepahaman dalam Pasal 12 menyatakan bahwa biaya yang timbul dalam pelaksanaan Nota Kesepahaman ini dapat dibebankan pada anggaran PARA PIHAK atau masing-masing pihak sesuai dengan kegiatan yang disepakati.
“Dalam hal sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dan juga kepada BPJS, OJK dan DJSN bersepakat untuk dapat melakukan sosialisasi dan edukasi yang berkaitan dengan tugas, fungsi, dan kewenangan dari masing-masing pihak terhadap kegiatan BPJS dalam penyelenggaran program jaminan sosial di Indonesia”.
51
Beberapa kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh DJSN untuk memastikan bahwa hal-hal yang telah dilakukan sesuai dengan tujuannya.
Jangka Waktu Nota Kesepahaman ini berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak Nota Kesepahaman ini ditandatangani dan dapat diperpanjang atas kesepakatan PARA PIHAK, dalam hal ini DJSN dan OJK. Dalam hal dilakukan perpanjangan waktu untuk Nota Kesepahaman ini, maka PARA PIHAK harus melakukan koordinasi berkaitan dengan rencana perpanjangan Nota Kesepahaman ini paling lambat 1 (satu) bulan sebelum jangka waktu Nota Kesepahaman tersebut berakhir. Artinya ada batasan waktu yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak untuk mengakhiri kesepahaman ini.
52
Nota Kesepahaman ini dapat berakhir sebelum jangka waktu yang semestinya, yaitu apabila ada salah satu pihak yang bermaksud mengakhiri kesepahaman dan untuk itu harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis. Nota Kesepahaman dinyatakan berlaku secara efektif setelah adanya kesepakatan PARA PIHAK. Sayangnya, mekanisme syarat-syarat yang dapat mengakhiri kesekapatan tidak dinyatakan dalam salah satu Bab ataupun Pasal, dan ataupun ayat di dalam Nota Kesepahaman; dimana hal tersebut cukup penting untuk menjamin kesetaraan dalam tindakan yang didasari suatu Nota Kesepahaman di antara dua pihak.
Dan tidak juga dinyatakan bagaimana jika salah satu pihak tidak memberikan respon atas upaya untuk mengakhiri kesepahaman ini.
Tidak mudah untuk melakukan pemisahan tugas, fungsi, dan wewenang untuk kedua pengawas eksternal ini, meskipun hal tersebut mutlak dilakukan. Dan seharusnya hal tersebut dapat ditindaklanjuti.
Nota Kesepahaman ini ditutup dengan dua Bab terakhir mengenai Ketentuan Lain dan Ketentuan Penutup. Dan dalam Ketentuan Lain dinyatakan bahwa jika diperlukan dapat dibuat addendum atas Nota Kesepahaman ini, dengan persetujuan dari kedua belah pihak. Pada dasarnya, Nota Kesepahaman ini cukup memadai sebagai perikatan untuk koordinasi pengawasan kegiatan BPJS. Tapi, diperlukan turunan dari Nota Kesepahaman ini untuk hal-hal yang bersifat teknis dan klerikal.
“Sayangnya, mekanisme syarat-syarat yang dapat mengakhiri kesekapatan tidak dinyatakan dalam salah satu Bab ataupun Pasal, dan ataupun ayat di dalam Nota Kesepahaman; dimana hal tersebut cukup penting untuk menjamin kesetaraan dalam tindakan yang didasari suatu Nota Kesepahaman di antara dua pihak”. Misalnya saja, bagaimana batasan antara pengawasan yang untuk masalah kesehatan keuangan BPJS yang kedua-duanya menjadi ruang lingkup bagi pengawas eksternal, baik bagi Dewan Jaminan Kesehatan Nasional (DJSN) maupun bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
53
Gedung Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Lantai 4 (Office) Jl. Medan Merdeka Barat No. 3 Jakarta Pusat 10110 Website: http//www.djsn.go.id Email:
[email protected]
Resensi Buku
RESEP-RESEP SEDERHANA UNTUK SUKSES DALAM BISNIS
isnis adalah kata yang sangat kita kenal dalam hidup sehari-hari. Apa sesungguhnya “bisnis” itu? Asosiasi banyak orang tentunya adalah usaha. Bisnis sangat identik dengan usaha. Pebisnis dianggap juga sebagai pengusaha. Lalu, apa pula arti dari usaha itu? Dua pertanyaan yang menggelitik itu boleh saja tidak dijawab, karena yang terpenting bagi seorangpebisnisadalah sukses!
Judul Buku THE SECRET OF SUCCESS: Resep Sederhana Pebisnis Sukses Dunia
Penulis Erwin Halim
Penerbit Kobis (Komunitas Bisnis), Yogyakarta
Cetakan Pertama, 2014
Halaman 284
55
Baiklah kita cernakan wacana apa itu bisnis
Beberapa bulan terakhir ini, terkait dengan
dan apakah betul bisnis itu artinya usaha. Di
adanya Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu
benak banyak orang, termasuk barangkali
Presiden (Pilpres), kita kerap mendengar dua
juga kita, bisnis memang bermakna usaha.
kata tersebut. Calon tertentu disebut punya
Namun makna sebenarnya bisnis lebih tepat
kemampuan managerial yang baik, namun
adalah urusan. It’s your business. Itu urusan
calon yang lain disebut memiliki kapasitas
kamu. Begitulah kalimat yang seringkali kita
leadership yang lebih tinggi. Betul, memilih
dengar dalam percakapan sehari-hari.
pemimpin apalagi pemimpin negara harus berhati-hati, dan kitalah yang menentukan
Berangkat dari makna sederhana itu, bolehlah
indikator-indikator apa yang harus dimiliki
kita sekarang menganggap bahwa pebisnis
oleh pemimpin negara yang kita pilih terse-
adalah orangyang banyak urusan. Atau orang
but. Apakah seorang leader lebih baik dari
yang punya urusan. Begitukah? Boleh jadi
seorang manager? Tentu tergantung kepada
memang begitu. Namun dengan kalimat
kebutuhan dan situasi yang dihadapi.
yang lebih baik, boleh juga kita sempurnakan bahwa pebisnis itu adalah: “Orang yang mau
Tapi bukan itu yang menjadi bahasan dalam
dan mempunyai kemampuan mengurus!”
buku yang kita kupas saat ini. Buku ini yang diberi berjudul “The Secret of Success: Resep
Penting untuk memahami makna bisnis agar
Sederhana Pebisnis Sukses Dunia”, ini adalah
kita mampu memahami mengapa ada orang
sebuah buku motivasi yang mengupas kiat-
yang mampu sukses dalam bisnis dan ada
kiat sukses menurut penulisnya, yang dibuat
juga yang tidak. Kalau kita sepakat dengan
dengan memberikan sejumlah contoh sukses
definisi terakhir mengenai pebisnis, yaitu
dari dunia nyata. Ya, sukses dari pebisnis
orang yang mau dan memiliki kemampuan
kelas dunia!
mengurus, maka sesungguhnya pahamlah kita bagaimana kunci sukses dalam bisnis.
Buku ini tidak menyebutkan bagian-bagian dalam bukunya sebagai Bab, dan membagi
Dari definisi mengenai makna pebisnis itu,
penyajian dalam sembilan
bagian utama,
maka untuk sukses dalam mengurus sesuatu
yaitu:
maka setidaknya harus ada dua kemampuan
1.
Sukses Itu Tidak Mengenal Gelar
dasar, yaitu:
2.
Sukses Itu Butuk Kerjasama
1.
Kepemimpinan (leadership)
3.
Berpikir Menang Pasti Akan Menang
2.
Manajerial (managerial)
4.
Sukses Itu Harus Kuat dan Tahan Banting
Dua hal itu tidaklah sama, meskipun dalam
5.
Sukses Berawal dari Mimpi
praktek sehari-hari keduanya sama dibutuh-
6.
Sukses karena Berbagi dengan Sesama
kan untuk mencapai sukses dalam target-
7.
Kesuksesan dan Kekayaan
target yang telah direncanakan dan ditetap-
8.
Daftar Pustaka
kan sebelumnya.
9.
Tentang Penulis
56
Buku ini disajikan dan ditulis dengan bahasa
menjadi salah satu anak muda paling
yang sangat sehari-hari, dan sarat dengan
kaya di dunia;
kalimat-kalimat motivatif yang sudah sering
3.
Hendy Setiono, pengusaha makanan
kita dengar. Namun, sama seperti bagaimana
(kebab), yang sukses meskipun putus
menjalankan bisnis, maka makna motivasi
kuliah di tengah jalan;
bisa berbeda di mata setiap orang. Termasuk
4.
Bill Gates, salah satu orang terkaya di
motivasi bisnis. Penulis buku ini, tampaknya
dunia selama tiga dekade terakhir ini,
ingin memulai dengan member semangat
yang tidak menyelesaikan kuliahnya;
bagi setiap orang yang membaca buku ini
5.
Steve Jobs, pendiri Apple yang sukses
dengan mengawali pembahasannya melalui
mengubah kehidupan dengan banyak
topik: “Sukses Itu Tidak Mengenal Gelar”.
temuannya di bidang komputer dan juga komunikasi, yang juga tidak lulus
Tentu ini bagian dari strategi penulisan agar menarik semua kalangan pembaca. Sebab,
kuliah; dan 6.
Roman Abramovich, raja minyak dari
dengan memulai bahasan dengan topik ini,
Rusia yang juga pemilik klub besar Liga
maka artinya pintu sukses sesungguhnya
Inggris yang juga tidak lulus kuliah.
terbuka bagi setiap orang. Ini adalah strategi bisnis yang bagus terkait dengan pola yang
Sesungguhnya masih sangat banyak tokoh
digunakan dalam memaparkan topik-topik
besar lainnya yang juga tidak menyelesaikan
dalam buku ini.
sekolahnya secara utuh. Bahkan termasuk di dalamnya, salah satu orang paling jenius
Sayangnya, pembahasan tentang tidak perlu
yang pernah ada dalam sejarah manusia,
gelar ini diawali dengan kalimat ini: “Banyak
yaitu Albert Einstein, juga sempat tidak bisa
orang yang berpendapat bahwa gelar akade-
lolos dari seleksi universitas!
mik lebih penting dari kualitas diri. Hal tersebutlah yang membuat tidak sedikit orang
Tujuan penyajian dalam bagian ini tentunya
yang rela membuang-buang uangnya untuk
adalah untuk membuka mata para pembaca
meraih gelar akademik di sekolah internasio-
bahwa kesempatan itu akan selalu ada dan
nal atau di luar negeri”. Betulkah sekolah dan
bagi siapa saja. Tinggal bagaimana kesempa-
gelar akademik itu membuang-buang uang?
tan itu dimanfaatkan dengan semangat dan
Ini bukan pernyataan yang baik untuk me-
kerja keras yang luar biasa. Ya, seperti yang
motivasi orang. Betul bahwa sejumlah tokoh
dinyatakan dalam awal tulisan ini, pebisnis
bisnis yang kemudian dipilih untuk mewakili
adalah orang yang mau dan mempunyai
pernyataan ini tidak punya gelar akademik,
kemampuan untuk mengurus! Orang yang
yaitu:
mau terlibat dalam berbagai urusan. Orang
1.
Eka Tjipta Wijaya, yang menjadi konglo-
yang tidak mau menutup kesempatan ha-
merat besar di Indonesia padahal Cuma
nya karena hambatan tertentu. Mereka ini,
lulusan Sekolah Dasar;
sesungguhnya tidak bisa diukur dari apakah
Mark Zuckerberg, yang drop-out kuliah
mereka bersekolah atau tidak, tetapi karena
namun sukses membesut facebook dan
kerja keraslah mereka bisa sukses.
2.
57
Bagian kedua buku ini mengambil topik
3.
Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed
tentang kerjasama: “Sukses Itu Butuh Kerja-
Karim yang sukses membesut Youtube
sama”. Ini sebuah masukan motivatif yang
yang menjadi tren luar biasa dalam hi-
sangat baik. Pengertian dari kerjasama seperti
dup manusia masa kini;
yang dinyatakan penulis buku ini, adalah su-
4.
Sergey Brin dan Larry Page yang sukses
atu usaha antara orang perorangan atau ke-
luar biasa dengan Google-nya, yang kini
lompok manusia di antara kedua belah pihak
menjadi orang-orang muda paling kaya
untuk mewujudkan tujuan bersama sehingga
di dunia;
memperoleh hasil yang lebih cepat dan lebih
5.
Xavier Helgesen, Chris Fuchs, dan Jeff
baik. Sebagian orang bekerja sama karena
Kurtzman, yang sukses mewujudkan cita-
mereka sadar bahwa manusia memiliki kele-
cita mereka untuk mencerdaskan dunia
bihan dan kekurangannya masing-masing.
dengan membesut Better World Books;
Ada yang memiliki ide cemerlang tapi tidak
6.
Isaac Tigrett dan Peter Morton yang
memiliki modal, ada yang memiliki modal,
sukses mendirikan dan membesarkan
tapi tidak memiliki sumberdaya yang mema-
Hard Rock Café yang semakin mendunia
dai, dan sebagainya.
sejak dua dekade lalu; dan 7.
Adolf Dassler dan Rudolf Dassler, yang
Penulis kemudian memberikan sejumlah sya-
sukses membesarkan merek
Adidas,
rat kerjasama yang positif, yaitu:
yang menjadi salah satu merek alat-alat
1.
Memiliki tujuan yang sama.
olahraga terbesar di dunia.
2.
Kesuksesan yang diraih adalah kesuksesan bersama.
Pada dua bagian berikutnya, penulis buku ini
Setiap anggota tim harus memiliki sense
beralih kepada karakter yang harus dimiliki
of belonging (rasa memiliki).
oleh orang yang mau sukses, yaitu berpikir
Setiap komponen dalam tim mengeta-
positif dan semangat yang pantang menye-
hui peranannya masing-masing.
rah! Ya, semua memang dimulai dengan
5.
Setiap anggota tim memiliki andil.
keyakinan. Dua hal tersebut hanya bisa jadi
6.
Saling bergantung dan percaya satu
karakter dalam diri seseorang apabila yang
sama lainnya.
bersangkutan mempunyai keyakinan untuk
Memiliki komitmen yang sama.
sukses. Tidak ada orang yang berpikir akan
3. 4.
7.
menang ketika ia tidak memiliki keyakinan Penulis buku ini kemudian mengambil contoh
bisa menang. Tidak pula ada orang yang
sukses kerjasama, yaitu:
akan terus menerus melakukan sesuatu
1.
Dr. Jacob Assman, Florian Henle, dan
dengan tekun, ketika ia tidak yakin akan da-
Simon Stadler yang sukses menyelamat-
pat mewujudkan sesuatu. Jadi, untuk kedua
kan alam dengan Polarstern;
hal tersebut, kunci utamanya adalah adanya
Fajar Budiprasetyo, Satya Witoelar, dan
keyakinan diri. Menjadi menarik jika kita akan
Daniel Armanto, yang sukses mengha-
bertanya darimanakah datangnya keyakinan
rumkan nama Indonesia dengan Koprol;
itu?
2.
58
Ada yang menyebut, keyakinan itu datang
Sesama”. Ada unsur sentimentil dalam judul
ketika seseorang memiliki kemampuan atau
bagian ini, namun yang ingin ditekankan se-
melihat peluang. Ada pula yang meyakini
sungguhnya adalah prinsip dan keyakinan
bahwa keyakinan dalam arti lain, bisa muncul
yang didasari hal religious yaitu bahwa se-
justru ketika seseorang sudah terpojok dan
makin banyak kita memberi maka akan se-
tanpa pilihan lagi. Mau tidak mau. Boleh jadi,
makin banyak pula kita menerima. Beberapa
putus sekolah membuat beberapa orang ada
tokoh bisnis yang dijadikan contoh dalam hal
dalam posisi ini.
ini adalah: 1.
Sukses Berawal dari Mimpi
Chairul Tanjung, salah satu konglomerat Indonesia yang meyakini bahwa dirinya justru semakin kaya ketika mau memberi dan berbagi dengan orang lain;
Darimanakah sukses itu dimulai? Banyak orang sukses yang bercerita bahwa segala
2.
Saptuari Sugiharto, pendiri dan pemilik
sesuatunya, pada dasarnya dimulai dari mim-
“Kedai Digital” yang meyakini betul bah-
pi besar. Penulis buku ini menyatakan bahwa
wa sedekah tidak akan mengurangi har-
tidak semua mimpi adalah bunga tidur. Ada
ta yang anda miliki;
beberapa mimpi yang merupakan penggam-
3.
Carlos Slim Helu, yang saat ini adalah
baran dari apa yang selama ini kita harapkan.
orang paling kaya dunia, sangat aktif
Terkait dengan mimpi ini, Kevin Wu dalam
dalam berbagai kegiatan amal dan juga
bukunya: “Everything is Possible” mengatakan
memiliki sejumlah yayasan untuk tujuan
bahwa yang harus dilakukan semua orang
berbagai kepada orang lain;
adalah selalu memelihara sikap positif untuk
4.
Warren Buffet, yang juga salah satu
selalu memilih berpikir “mungkin” daripada
orang paling kaya di dunia, yang sejak
“tidak mungkin”.
lama meyakini bahwa jika anda memberi maka anda akan menerima lebih banyak
Mimpi yang mengawali sukses tentunya ada-
lagi.
lah mimpi yang lahir dari keinginan untuk menggapai sesuatu yang belum dapat dica-
Pada akhirnya, buku ini ditutup dengan hal
pai namum ada keyakinan untuk meraih
yang umum diasosiasikan dengan sukses itu
sesuatu tersebut di masa yang akan datang.
sendiri, yaitu: kekayaan. Sukses bisnis pada
Mimpi jangan sekedar menjadi mimpi, tapi
dasarnya memang tidak pernah lepas dari
harus dibungkus dengan keyakinan bahwa
kekayaan. Meskipun demikian, ada sesuatu
anda mempunyai potensi, mempunyai fokus,
yang kini sangat berkembang di kalangan
dan mau konsisten untuk melakukan banyak
pebisnis di seluruh dunia, yaitu sikap untuk
hal untuk mewujudkan mimpi tersebut.
saling berbagi dan memberikan perhatian lebih kepada orang lain maupun lingkungan
Ada satu bagian yang tampaknya agak ber-
sekitarnya. Sudah banyak pebisnis yang kini
beda dengan bagian lain dalam buku ini,
juga menjadi seorang filantrofis yang getol
yaitu tentang: “Sukses karena Berbagi dengan
berbagi kepada dunia. (Danny Ramadhan)
59
Kolom
Janji dan Kebohongan… Quotes atau dalam kutipan di halaman 3 Media Jamsos edisi ini diambil dari seorang sastrawan kelas dunia, Mark Twain, yang mengatakan bahwa: “If you tell the truth, you don’t have to remember anything.” Luar biasa. Jika anda tidak berbohong, maka anda tidak perlu mengingat apapun! Bukankah itu luar biasa? Makna yang dikandung di dalam kuipan tersebut memang sangat hakiki. Ada makna kesatuan kata dan perbuatan dalam kalimat itu. Sesuatu yang sudah lama hilang dari kehidupan kita sehari-hari. Termasuk juga yang melibatkan para penyelenggara di negeri ini. Ada banyak janji-janji yang sudah diucapkan, tetapi tidak seluruhnya dapat dirasakan sesuai dengan janji-janji tersebut. Tidak untuk menuduh siapapun ketika kita harus mengatakan bahwa janji-janji untuk menjadikan negeri ini menjadi lebih nyaman bagi seluruh penduduk sudah lama kita dengar, namun selama itu pula janji-janji tersebut lenyap di tengah-tengah angin Nusantara yang sejuk ini. Masyarakat kita masih saja hidup dalam ketimpangan ekonomi, ketidaknyamanan, dan juga jaminan yang belum bisa lengkap dinikmati.
60
Harapan besar tentunya muncul juga ketika Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mampu mengawal lahirnya BPJS Kesehatan, sebagai salah satu dari beberapa program jaminan sosial nasional yang telah lama dinanti-nantikan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Meski program ini tidak ditujukan untuk kalangan bawah saja, namun bisa dipastikanbahwa yang pihak yang paling membutuhkan jaminan sosial adalah masyarakat dengan kemampuan ekonomi rendah atau tidak mampu. Sebab manusia adalah manusia, dan orang Indonesia adalah orang Indonesia, yang harus sama diperhatikan oleh pemerintah yang bertanggungjawab untuk mewujudkan kemakmuran dan kenyamanan hidup bagi masyarakatnya. Janji untuk memberikan jaminan sosial harus menjadi janji yang terwujudkan, apalagi kini telah ada yang dimulai, yaitu BPJS Kesehatan. Tidak ada lagi kata untuk mundur. Tidak ada lagi kata untuk menunda. Yang lebih penting sekarang ini adalah niat untuk mengawal pelaksanaan program jaminan sosial tersebut agar berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan.
Maka, jangan lagi janji-janji untuk memberikan jaminan sosial bagi masyarakat menjadi bungkus dari pencitraan belaka. Program ini harus menjadi contoh bagaimana negeri ini mampu mewujudkan sesuatu yang besar, yang mampu menyentuh dan dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Karena itu, renungilah apa yang dikatakan oleh Mark Twain itu. Jika kita mengatakan yang benar dan tidak berbohong atas nama kepentingan apapun, maka apa yang kita lakukan pastilah apa yang sudah kita katakana. Tugas untuk menjadi negara yang lebih baik adalah tugas kita bersama. Jika kebohongan mulai mampu disingkirkan, maka kalimat yang akan muncul adalah programprogram kerja yang nantinya pasti akan terwujud. Masyarakat juga akan belajar untuk menjadi lebih baik dan disiplin, ketika setiap kata yang didengarnya adalah kata yang nantinya adalah nyata. Momentum akan selalu muncul. Namun momentum bisa hilang ketika janji-janji lebih banyak yang tidak diwujudkan daripada yang nyata bisa dirasakan. Marilah kita berbicara sesuai dengan yang kita perbuat atau yang akan kita perbuat. (Reza F.A)
`
`