AL-RISALAH
Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
ISSN 0216-664x
JURNAL ILMIAH KEAGAMAAN DAN KEMASYARAKATAN
Budaya Sekolah (Untuk Peningkatan Mutu Sekolah) Rahmani Abdi Imperasi Al-Qur’an Tentang Pendidikan Keluarga (Sebuah Tinjauan Melalui Pendekatan Psikologi Agama) Norkansyah Integrasi Imtaq Kedalam Mata Pelajaran Biologi (Sebuah Model Pengembangan Pembelajaran PAI di SMA) Supriatno Paradigma Pendidikan Islam Menuju Era Globalisasi Musa Al-Hadi Pendidikan Seks Untuk Anak Dalam Perspektif Fiqih H. Rif’an Syafruddin
VOLUME 4, NOMOR 1, JANUARI-JUNI 2008
Pemikiran Mohammed Arkoun Tentang Turats Dan Modernitas H. Mahmudi Implementasi Pidana Hudud Dalam Hukum Pidana di Indonesia Azhari Arsyad
ﺔ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔﺃﳘﻴ ﺍﳍﺎﻡ ﻋﺴﻘﻼﱐ ﳛﲕ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ Diterbitkan Oleh: SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM RASYIDIYAH KHALIDIYAH ( STAI RAKHA ) AMUNTAI
AL – RISALAH
AL – RISALAH
Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan
Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan
Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2008
Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2008
ISSN 0216-664x
ISSN 0216-664x
Daftar Isi : 1. Budaya Sekolah (Untuk Peningkatan Mutu Sekolah) Rahmani Abdi (1-32) 2. Imperasi Al-Qur’an Tentang Pendidikan Keluarga (Sebuah Tinjauan Melalui Pendekatan Psikologi Agama) Norkansyah (33-52) 3. Integrasi Imtaq Kedalam Mata Pelajaran Biologi (Sebuah Model Pengembangan Pembelajaran PAI di SMA) Supriatno (53-80) 4. Paradigma Pendidikan Islam Menuju Era Globalisasi Musa Al-Hadi (81-102)
Daftar Isi : 1. Budaya Sekolah (Untuk Peningkatan Mutu Sekolah) Rahmani Abdi (1-32) 2. Imperasi Al-Qur’an Tentang Pendidikan Keluarga (Sebuah Tinjauan Melalui Pendekatan Psikologi Agama) Norkansyah (33-52) 3. Integrasi Imtaq Kedalam Mata Pelajaran Biologi (Sebuah Model Pengembangan Pembelajaran PAI di SMA) Supriatno (53-80) 4. Paradigma Pendidikan Islam Menuju Era Globalisasi Musa Al-Hadi (81-102)
5. Pendidikan Seks Untuk Anak Dalam Perspektif Fiqih H. Rif’an Syafruddin (103-118)
5. Pendidikan Seks Untuk Anak Dalam Perspektif Fiqih H. Rif’an Syafruddin (103-118)
6. Pemikiran Mohammed Arkoun Tentang Turats Dan Modernitas H. Mahmudi (119-146)
6. Pemikiran Mohammed Arkoun Tentang Turats Dan Modernitas H. Mahmudi (119-146)
7. Implementasi Pidana Hudud Dalam Hukum Pidana di Indonesia Azhari Arsyad (147-170)
7. Implementasi Pidana Hudud Dalam Hukum Pidana di Indonesia Azhari Arsyad (147-170)
8.
(171-182) C7اه98إ
6789:; ا6=>; ا6ّ7@أه
E7FG HIJKLM مOP;ا
Redaksi menerima artikel, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang sesuai dengan misi jurnal. Panjang tulisan antara 12-20 halaman folio, diketik dengan spasi ganda dan disertai dengan identitas penulis. Redaksi berhak melakukan editing naskah, tanpa merubah maksud dan isinya.
6789:; ا6=>; ا6ّ7@أه
8.
(171-182)
C7اه98 إE7FG HIJKLM مOP;ا
Redaksi menerima artikel, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang sesuai dengan misi jurnal. Panjang tulisan antara 12-20 halaman folio, diketik dengan spasi ganda dan disertai dengan identitas penulis. Redaksi berhak melakukan editing naskah, tanpa merubah maksud dan isinya.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
BUDAYA SEKOLAH (Untuk Peningkatan Mutu Sekolah) Rahmani Abdi* Abstrak Increasing school quality, school culture is rarely get any attention. It has, of course, a very important for for increasing school quality. So it is good to discuss it much more. School culture has a group of primary assumptions, values, beliefs, and norm that school soceity have, and then how they behave to their fellow and to be characteristic of their school. School culture, itself, has both positive and negative effect. The positive one is when it can support to the better school quality, and the negative one is on the otherhand. The positive school culture, of course, will gave good effect to the student’s motivation, achievement, and even to school quality. Kata-kata Kunci: Budaya Sekolah dan Mutu Sekolah
* Penulis adalah Dosen STAI Rakha Amuntai. Telah menyelesaikan Program Magister pada Program Pascasarjana (S2) Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.
1
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
A. Pendahuluan Bukan sesuatu yang asing bahwa mutu pendidikan di negeri kita tercinta ini sangat memprihatikan. Siapapun orangnya, baik kalangan intelek maupun kalangan awam akan merasakan dan mengatakan hal yang sama tentang kondisi pendidikan kita. Apa penyebabnya dan mengapa hal ini terjadi memang sudah sering dibicarakan, tetapi hasilnya tetap saja tidak memuaskan. Baik-buruknya mutu pendidikan memang disebabkan oleh banyak hal, akan tetapi dalam satu diskusi yang membahas tentang mutu pendidikan dicapai kesepakatan bahwa mutu pendidikan di sekolah merupakan fungsi dari mutu input peserta didik yang ditunjukkan oleh potensi siswa, mutu pengalaman belajar yang ditunjukkan oleh kemampuan profesional guru, mutu penggunaan fasilitas belajar dan budaya sekolah yang merupakan refleksi mutu kepemimpinan kepala sekolah.1 A. Chaedar Al Wasilah pernah menyatakan bahwa “apa yang sering dilupakan banyak orang adalah bahwa sekolah-sekolah kita telah memiliki budaya sekolah. Tanpa ada keberanian mendobrak kebiasaan ini, apapun 1
Burhanuddin Tola dan Furqon, Pengembangan Model Penilaian Sekolah Efektif, (17 Oktober 2005), http://www.depdiknas. go.id /Jurnal/44/burhanuddin-furqon.htm.
2
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
model pendidikan dan peraturan yang diundangkan, akan sulit bagi kita untuk memperbaiki mutu pendidikan”.2 Pernyataan ini menjelaskan bahwa budaya sekolah sebagai suatu fungsi yang berperan dalam perbaikan mutu pendidikan (sekolah) sering tidak diperhatikan, sehingga upaya-upaya perbaikan di sekolah menjadi mandul karena banyak kebiasaan lama (budaya negatif) yang senantiasa anti terhadap perbaikan atau perubahan, seperti rendahnya budaya disiplin di sekolah yang tetap terjaga dengan mantap. Berdasarkan uraian tersebut, sangat perlu dibahas pembahasan tentang budaya sekolah ini. Hal ini bertujuan agar pihak sekolah yang belum mengenal dan memahami budaya sekolah dapat memahaminya dan menyadari bahwa budaya sekolah sangat berpengaruh pada mutu sekolah sehingga muncul kesadaran untuk memperbaiki atau mengembangkannya menjadi lebih baik. Adapun beberapa hal yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah tentang pengertian budaya sekolah, jenis-jenis budaya sekolah dan karekteristiknya, fungsi dan pentingnya budaya sekolah dan cara mengembangkan budaya sekolah. 2
A. Chaedar Al Wasilah, Tujuh Ayat Sekolah Unggul, dalam Pikiran Rakyat, 28 Maret 2006.
3
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
B. Budaya Sekolah 1. Pengertian Budaya Sekolah Menurut Terrence E. Deal dan Kent D. Peterson, konsep culture memiliki sejarah yang panjang untuk mengeksplorasi perilaku-perilaku manusia dalam kelompok-kelompoknya. Para ahli antropologi pada awalnya mengembangkan konsep memiliki tujuan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan pola hidup tentang suku bangsa, masyarakat, kebangsaan dan etnik. Kemudian para ilmuwan sosial menggunakan konsep budaya yang lebih sempit pada aspek-aspek pola perilaku dan pikiran dalam organisasi. The concept of culture has a long history in the exploration of human behavior across human groups. Anthropologists first developed the concept to explain differences among the all-encompassing life patterns of tribes, societies, and national or ethnic groups. Later, other social scientist applied the culture concept to the more limited aspect of patterns of behavior and thought within formal work organization.3 Kata budaya (culture) itu sendiri, menurut Rexford Brown adalah “… refers to a set of common values, 3
Terrence E. Deal and Kent D. Peterson, Shaping School Culture: The Heart of Leadership, (San Francisco: Jossey-Bass, 1999), hal.3.
4
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
attitudes, beliefs and norms, some of which are explicit
norma yang diturunkan secara historis dan biasanya
4
and some of which are not”. Pendapat ini dapat dipahami
diimplikasikan dalam bentuk simbol-simbol, baik eksplisit
bahwa budaya menunjuk pada sebuah kumpulan nilai-
maupun implisit.
nilai, sikap, kepercayaan dan norma-norma bersama,
Budaya sekolah, menurut Christopher R. Wagner, bukanlah sebuah deskripsi demografis yang berhubungan dengan ras, socio-economic, atau faktor-faktor geografi.
beberapa darinya ada yang eksplisit dan ada yang implisit. Pendapat ini sepadan dengan pendapatnya Geertz yang menyatakan bahwa,“culture represents a historically transmitted pattern of meaning embodied in symbols. Those symbols include both the written (explicit) and hidden (implicit) messages encoded in language”, 5 yang berarti bahwa budaya merepresentasikan sebuah pola makna yang diturunkan secara historis yang terwujudkan dalam simbol-simbol. Simbol-simbol ini terdiri dari, baik pesan-pesan
tertulis
(eksplisit)
maupun
tersembunyi
(implisit) yang dikodekan dalam bahasa. Dari kedua pendapat ini dapat dipahami bahwa budaya merupakan sekumpulan nilai-nilai, sikap, kepercayaan dan norma-
Namun tentang bagaimana orang-orang memperlakukan orang lain, bagaimana mereka menilai orang lain dan bagaimana mereka bekerja dan bersama-sama baik dalam perasaan profesional maupun personal.6 Hal ini menjelaskan bahwa bentuk simbol-simbol yang eksplisit dari budaya sekolah adalah perilaku dari warga sekolah itu sendiri, seperti cara memperlakukan orang lain, menilai orang lain dan cara bekerja. Pernyataan ini sama halnya dengan pernyataan Patrick D.Lynch yang menyatakan bahwa “culture is a system of life-ways, ways of behaving, ways of thinking, ways of believing, and ways of relating to others”.7 Budaya merupakan sebuah sistem
4
Rexford Brown, School Culture and Organization: Lessons from Research and Experience, A Background Paper for the Denver Commission on Secondary School Reform, 2004, hal. 2. 5
Stephen Stolp and Stuart C. Smith, Transforming School Culture: Stories, Symbols, Values, and Leader’s Role. (Eugene, Oregon : ERIC clearinghouse on education management, University of Oregon, 1995), hal. 12.
5
6
Christopher R. Wagner, Leadership for an Improved School Culture: How to Assess and Improve The Culture of Your Culture, in Kentucky School Leader, Fall 2004/Winter 2005, hal. 12. 7
Patrick D. Lynch, The School Culture in the Lower Rio Bravo Valley, ERIC Document Reproduction Service (EDRS) No.ED422136, 1997, hal.2.
6
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
school’s) history”,10 yang berarti budaya sekolah adalah
tentang cara hidup, cara berperilaku, cara berpikir, cara mempercayai dan cara berhubungan dengan orang lain. Setiap sekolah memiliki keunikan budayanya sendiri-
pola-pola terdalam tentang nilai-nilai, kepercayaan, dan
sendiri yang melekat dalam ritual-ritual dan tradisi-tradisi
Stephen Stolp dan Stuart C. Smith menambahkan bahwa
8
tradisi yang telah membentuk rangkaian sejarah sekolah.
sejarah dan pengalaman sekolah. Oleh karena itu, dengan
budaya sekolah adalah “historically transmitted patterns
adanya budaya sekolah, dapat diketahui atau dipahami
of meaning that include the norms, values, beliefs,
pola perilaku dari sebuah sekolah yang membedakannya
traditions, and myths understood, …, by members of the
dengan sekolah lain. Sebagaimana pernyataan Terrence
school community”.11 Pendapat ini menambahkan bahwa
dan Kent bahwa “the concept of culture helps us
selain nilai-nilai, kepercayaan, dan tradisi, budaya sekolah
understand these varied patterns-understand what they
juga memiliki pola makna lain, yaitu norma-norma dan
are, how they came to be, and how they affect
mitos-mitos yang diturunkan secara historis dan dipahami
performance”.
9
Pernyataan ini berarti bahwa konsep
budaya akan membantu kita dalam memahami berbagai pola-memahami apa sebenarnya yang mereka lakukan, bagaimana mereka menjadi seperti itu dan bagaimana
oleh anggota-anggota warga sekolah. Kent D. Peterson mengemukakan bahwa “school culture is the set of norms, values and belief, rituals and ceremonies, symbols and stories that make up the persona
mereka mempengaruhi kinerja. Adapun definisi budaya sekolah menurut Terrence dan Kent adalah “… deep patterns of values, beliefs, and traditions that have formed over the course of (the
10
Ron Renchler, Student Motivation, School Culture, and Academic Achievement: What School Leaders Can Do, Trends issues series, (Eugene, Oregon: ERIC clearinghouse on education management, University of Oregon, 1992), hal.3. 11
8
Christopher R. Wagner, loc.cit.
9
Terrence E. Deal and Kent D. Peterson, loc.cit.
Stephen Stolp and Stuart C. Smith, Transforming School Culture: Stories, Symbols, Values, and Leader’s Role, (Eugene, Oregon: ERIC clearinghouse on education management, University of Oregon, 1995), hal.13.
7
8
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
of the school”.12 Budaya sekolah adalah kumpulan dari norma-norma, nilai-nilai dan kepercayaan, ritual-ritual dan seremonial, simbol-simbol dan cerita-cerita yang menghiasi kepribadian sekolah. Pendapat ini memberikan penjelasan yang lebih detail, yakni bahwa budaya sekolah tidak hanya memiliki nilai-nilai, kepercayaan, tradisi, norma-norma dan mitos-mitos, tetapi juga ritual-ritual, seremonial, simbol-simbol, dan cerita-cerita. Selain beberapa pendapat tersebut, Hoy, Tarter, dan Kottkamp mendefinisikan budaya sekolah sebagai “a system of shared orientations (norms, core values, and tacit assumptions) held by members, which holds the unit together and gives it a distinct identity”,13 yang berarti bahwa budaya sekolah adalah sebuah sistem orientasi bersama (norma-norma, nilai-nilai dan asumsi-asumsi dasar) yang dipegang oleh anggota sekolah yang akan menjaga kebersamaan unit dan memberikan identitas yang berbeda. Pendapat ini memberikan penjelasan tambahan
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
yang tidak dimiliki penjelasan sebelumnya, yakni bahwa budaya sekolah juga memiliki asumsi-asumsi dasar. Berdasarkan beberapa definisi budaya atau budaya sekolah tersebut dapat dipahami bahwa budaya sekolah adalah kumpulan asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, kepercayaan, sikap dan norma-norma yang dipegang oleh anggota-anggota sekolah dan kemudian mengarah pada bagaimana mereka berperilaku serta akan menjadi karakteristik sekolah mereka. Selain itu, juga ritual-ritual dan seremonial, simbol-simbol, cerita-cerita dan mitosmitos. Asumsi-asumsi dasar adalah sebuah solusi yang dianggap benar atau pasti untuk sebuah problem yang dapat diidentifikasi.14 Dyer menyatakan bahwa asumsiasumsi dasar (tacit assumptions) adalah “… abstract premises about the nature of human relationship, human nature, truth, reality, and environment”. 15 Pendapat ini dapat dipahami bahwa asumsi-asumsi dasar merupakan dasar-dasar pikiran yang abstrak tentang sifat alami
12
Kent D. Peterson, Positive or Negative?, in Journal of staff development, National Staff Development Council. Vol. 23, No. 3, Summer 2002. 13
Andrew T. Roach and Thomas R. Kratochwill, Evaluating School Climate and School Culture, in Journal Teaching Exceptional Children, Vol. 37, No. 1, 10-17, 2004, hal .12.
9
14
Andrew D. Brown, Organizational Culture (2nd ed), (England: Prentice Hall, 1998), hal.27. 15
Wayne K. Hoy and Cecil G. Miskel, Educational Administration: Theory, Research and Practice, (New York: McGraw-Hill, 2005), hal.169.
10
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
hubungan manusia, sifat dasar manusia, kebenaran, realitas dan lingkungan. Dalam kaitannya dengan budaya, menurut Edgar H. Schein asumsi-asumsi dasar berkaitan, “what to pay attention to, what things mean, how to react emotionally to what is going on, and what actions to take in various kinds of situations”,16 yang berarti bahwa asumsi-asumsi dasar berkaitan dengan apa yang perlu diperhatikan, sesuatu apa yang bermakna, bagaimana bereaksi secara emosional terhadap apa yang sedang terjadi dan apa tindakan-tindakan untuk memahami berbagai jenis situasi. Nilai berkaitan secara mendalam dengan moral, kode-kode susila dan menentukan pikiran orang tentang apa yang semestinya dilakukan. Individu-individu dan organisasi-organisasi yang menyadari nilai honesty, integrity, dan openness akan bertindak dengan kejujuran, terbuka, dan integritas, karena hal itu merupakan sesuatu yang benar untuk dilakukan. Sedangkan kepercayaan (belief) menyangkut pikiran orang-orang tentang apa yang
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Menurut Edgar H. Schein, nilai adalah “reflects some individual’s own assumptions about what is right or wrong, what will work or not work”. 18 Nilai merepleksikan asumsi-asumsi individu tentang apa yang benar dan salah, apa yang akan dikerjakan dan yang tidak dikerjakan. Kedua pendapat tersebut (tentang nilai dan kepercayaan) dapat dipadukan dengan pendapatnya Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel yang menyatakan bahwa nilai-nilai adalah kepercayaan tentang apa yang diinginkan.19 Adapun sikap (attitudes) menurut Andrew D. Brown “…connect beliefs and values with feelings”,20 yang berarti menghubungkan kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai dengan perasaan (feelings). Sedang menurut Richard M. Gorman, sikap dapat didefinisikan “as an emotionally toned disposition to respond in a certain way to a person, a group, an issue, a practice or a thing”,21 yang berarti sebagai sebuah disposisi sifat yang secara emosional merespon dalam cara tertentu terhadap
benar dan apa yang tidak benar.17
18
Edgar H. Schein, op.cit, hal. 19.
19
Wayne K. Hoy and Cecil G. Miskel, op.cit, hal. 167.
20
Andrew D. Brown, op.cit, hal. 27.
16
Edgar H. Schein, Organizational Culture and Leadership (2nd ed), (San Francisco: Jossey-Bass, 1992), hal.22. 17
Andrew D. Brown, op.cit, hal. 26.
11
21
Richard M. Gorman, The Psychology of Classroom Learning: An Inductive Approach, (Columbos: Charles E. Merrill Publishing Company, A Bell & Howell Company, 1974), hal. 365.
12
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
seseorang, kelompok, persoalan, perbuatan atau peralatan. Sikap itu sendiri menurutnya akan menentukan hubungan kita dengan seseorang, kelompok, dan institusi perkumpulan, apakah harmonis atau terjadi konflik. Norma-norma biasanya tidak tertulis dan merupakan harapan-harapan informal yang hanya terdapat atau terjadi di bawah permukaan pengalaman. Norma-norma secara langsung akan mempengaruhi perilaku. Norma-norma menentukan bagaimana cara orang-orang berpakaian dan berbicara; cara bereaksi terhadap otoritas, konflik, dan tekanan; dan cara menyeimbangkan kepentingan pribadi dengan kepentingan organisasi. Norms are usually unwritten and informal expectations that occur just below the surface of experience. Norms directly influence behavior. Norms determine the way people dress and talk; the way participants respond to authority, conflict, and pressure; and the way people balance self-interests with organizational interests.22 Adapun ritual-ritual dan seremonial, simbol-simbol, cerita-cerita dan mitos-mitos, menurut Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel merupakan sekelompok simbol-simbol yang mengomunikasikan budaya sekolah. 23 22 23
Wayne K. Hoy and Cecil G. Miskel, op.cit., h.166-167. Ibid., h.172-173.
13
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Tiga sistem simbol yang mengomunikasikan budaya sekolah adalah cerita-cerita, ikon-ikon dan ritual. a. Cerita adalah naratif-naratif yang berdasarkan pada peristiwa-peristiwa yang benar, tetapi kombinasi dari kebenaran dan fiksi. Mitos adalah cerita-cerita yang mengomunikasikan suatu kepercayaan yang tidak disangkal dan tidak bisa ditunjukkan oleh fakta. Legenda adalah cerita yang diceritakan turun-temurun dan diuraikan dengan rincian-rincian fiksi. b. Ikon-ikon adalah artifak-artifak secara fisik yang digunakan untuk mengomunikasikan budaya (logo, semboyan, dan tropi). c. Ritual-ritual adalah rutinitas seremonial-seremonial dan upacara-upacara yang mengisyaratkan apa yang penting di dalam organisasi. Rutinitas ritual atau seremonial ini menurut Christopher Wagner dan Penelope Masden-Copas disebut sebagai tradisi (tradition) dari sebuah sekolah.24 24
Christopher Wagner and Penelope Masden-Copas, An audit of the culture start with two handy tools, in Journal of Staff Development, At Issue Culture. (National Staff Development Council, Summer 2002, hal. 48.
14
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Edgar H.Schein mengelompokkan ritual-ritual dan
The central element is the belief system which embodies the tacit assumptions and understandings of the group. This influences the group value system, an expression of common judgments about the relative importance of issues and matters of concern. The group value system influences the development of norms that express behavioural expectations and associated standards which set the limits for consequent behaviour.26
seremonial, simbol-simbol, cerita-cerita dan mitos-mitos sebagai bagian dari artifacts. Dia juga menyatakan bahwa artifak merupakan “…all the phenomena that one sees, hears, and feels when one encounters a new group with an unfamiliar
culture”.25
Artifak
merupakan
seluruh
penomena yang dilihat, didengar dan dirasa seseorang ketika menjumpai kelompok baru yang memiliki budaya yang tidak familiar. Maxwell dan Thomas menyatakan bahwa elemen sentral budaya adalah sistem kepercayaan (belief system) yang
mewujudkan
assumptions)
dan
asumsi-asumsi
dasar
pemahaman-pemahaman
(tacit tentang
kelompok. Ini kemudian akan berpengaruh terhadap sistem nilai (value system) kelompok, sebuah ekspresi dari pertimbangan atau keputusan bersama tentang pentingnya pokok-pokok persoalan yang sifatnya relatif. Sistem nilai kelompok ini akan mempengaruhi perkembangan normanorma (norms) yang mengekpresikan ekspektasi perilaku
2. Jenis-Jenis Budaya Sekolah dan Karakteristiknya Setiap sekolah mempunyai keunikan budaya masing-masing yang membedakannya dengan sekolah yang lain. Perbedaan ini menunjukkan adanya tinggirendah, baik-buruk dan positif-negatif budaya dalam sebuah sekolah. Untuk mengetahui perbedaan-perbedaan tersebut, dapat dilihat dari karakteristik budaya sekolah. Adapun karakteristik budaya sekolah adalah sebagai berikut, yakni: a. Collegiality. Cara yang digunakan orang-orang dewasa memperlakukan orang lain, yakni respect and harmony vs. disrespect and discord.
dan berhubungan dengan standar-standar yang mengatur batasan-batasan konsekuensi perilaku (behaviour). 25
26
Robert F. Cavanagh and Graham B. Dellar, Towards a Model of School Culture, Paper presented to the 1997 Annual Meeting of the American Education Research Association, Chicago. ERIC Document Reproduction Service (EDRS) No. ED408678, 1997, hal.7.
Edgar H. Schein, op.cit., hal.17.
15
16
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
b. Efficacy. Perasaan memiliki atau kapasitas mempengaruhi keputusan, yakni apakah orangorang cenderung menerima (pasrah) terhadap masalah atau berusaha untuk memecahkannya? c. High expectations of self and others. Keunggulan diakui; kemajuan dirayakan, didukung dan diberikan. d. Experimentations and entrepreneurship. Ide-ide baru melimpah dan penemuan terjadi. e. Trust and confidence. Para partisipan percaya akan pemimpin-pemimpin dan yang lainnya berdasarkan adanya kesesuaian antara pernyataan (creeds) dan perbuatan (deeds). f. Tangible support. Upaya-upaya peningkatan yang substantip dengan penggunaan sumber daya yang tersedia oleh semua partisipan. g. Appreciation and recognition of improvement. Orang-orang merasa istimewa dan bertindak istimewa. h. Humor. Kepedulian diekspresikan melalui candaan (kidding) dan gurauan (joking) yang penuh perasaan. i. Shared decision making by all participants. Seluruh partisipan yang menjalankan keputusan dilibatkan dalam membuat dan mengimplementasikan keputusan. j. Shared vision. Seluruh partisipan memahami apa yang penting dan menghindari tugas-tugas sepele. k. Traditions. Sekolah memiliki perayaan-perayaan dan ritual-ritual yang identifiable, karena penting bagi komunitas sekolah. 17
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
l. Open and honest communication. Informasiinformasi mengalir di seluruh organisasi baik formal maupun informal. Setiap orang menerima informasi berdasarkan “need-to-know”. m. Metaphors and stories. Bukti perilaku dikomunikasikan dan dipengaruhi oleh perumpamaan (imagery) internal.27 Budaya sekolah itu sendiri menurut Kent D. Peterson ada dua jenis, yaitu budaya “positif” dan budaya “negatif”. 28 Kent menyatakan bahwa sekolah dengan budaya yang positif akan mendukung pengembangan profesional diantara guru-guru, adanya rasa tanggung jawab terhadap pembelajaran siswa, adanya atmosper yang positif serta kepedulian; dan sebaliknya, sekolah dengan budaya negatif, hubungan di antara guru sering terjadi konflik, para staf tidak percaya kemampuan siswa untuk mencapai kesuksesan, dan secara umum berlaku sikap negatif. Selain itu, menurut Sharon Cromwell karakteristik budaya
sekolah
yang
positif
adalah
merayakan
keberhasilan, menekankan prestasi dan kerjasama, dan membantu perkembangan komitmen staf dan pembelajaran
18
27
Christopher Wagner and Penelope Masden-Copas, loc.cit.
28
Kent D. Peterson, Positive or Negative?, loc.cit.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
siswa; sedangkan budaya sekolah yang negatif adalah menyalahkan
siswa
jika
terjadi
c. Collegiality, memberikan wewenang kepada guru untuk melakukan keputusan-keputusan profesional melalui pengembangan hubungan interpersonal yang suportip. d. Collaboration, interaksi antara para guru, dimana informasi digunakan secara bersama-sama sebagai bahan operasional sekolah seperti program instruksional. e. Shared planning, proses kolektif dimana visi bersama sekolah diaktualisasikan melalui perencanaan yang logis. f. Transformational leaders, membagi kekuasaan dan memfasilitasi proses pengembangan sekolah yang melibatkan potensi manusia (human potential) dan komitmen para guru.
kemunduran,
menyepelekan kerjasama, dan meningkatnya permusuhan antara staf. 29 Lebih dari itu, Robert F. Cavanagh dan Graham B. Dellar menawarkan sebuah model peningkatan sekolah melalui budaya sekolah (School Improvement Model of School Culture) dengan enam elemen yang merupakan indikator
(positif-negatifnya)
dari
budaya
sekolah.30
Keenam elemen tersebut adalah sebagai berikut: a. Professional values, menyangkut tentang pentingnya institusi sosial pendidikan dan kebutuhan terhadap pertumbuhan sekolah yang berdasarkan pada prinsip-prinsip “pedagogical”. b. An emphasis on learning, menciptakan “learning community” sebagai sebuah komitmen terhadap pertumbuhan sekolah dan peningkatan “outcomes” siswa. 29
Sharon Cromwell, Is your school's culture toxic or positive?, in School Administrators Article, Education World, 28 September 2005. 30
Robert F. Cavanagh and Graham B. Dellar, The Development, Maintenance, and Transformation of School Culture, Paper presented at The Annual Meeting of the American Education Research Association, San Diego. ERIC Document Reproduction Service (EDRS) No. ED418962, 1998, hal. 7-8.
19
3. Fungsi dan Pentingnya Budaya Sekolah Louise Stoll menyatakan bahwa “School culture is one the most complex and important concepts in education. In relation to school improvement, it has also been one of the most neglected”. 31 Pernyataan ini berarti bahwa budaya sekolah merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan merupakan konsep-konsep yang penting dalam pendidikan. Kaitannya dengan peningkatan sekolah, 31
Louise Stoll, School Culture. Set: Research Information for Teachers. (Department of Education, University of Bath, 2000), hal. 9.
20
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
budaya sekolah merupakan sesuatu yang sering diabaikan. Hal ini juga menunjukkan bahwa budaya sekolah sangat menentukan bagaimana proses belajar mengajar dalam sebuah sekolah. Louise Stoll juga menambahkan bahwa budaya pada intinya akan memberikan dukungan dan indentitas terhadap sekolah serta akan membentuk kerangka kerja (framework) bagi kegiatan pembelajaran. Jika kita memandang sekolah sebagai sebuah organisasi, Mowdav, Porter, dan Steers menyatakan bahwa “strong cultures promote cohesiveness, loyality, and commitment,…”,32 yang berarti bahwa budaya yang kuat akan mengembangkan keterpaduan, loyalitas dan komitmen organisasi. Stephen P. Robbins membuat beberapa fungsi pentingnya budaya organisasi, yaitu: a. Budaya mempunyai batas–menegaskan fungsi; menciptakan perbedaan antara satu organisasi dengan organisasi lain. b. Budaya menyediakan organisasi dengan suatu kepekaan identitas. c. Budaya memudahkan pengembangan komitmen bagi kelompok.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
d. Budaya meningkatkan stabilitas di dalam sistem sosial. 33 e. Budaya merupakan perekat sosial yang mengikat organisasi jadi satu; budaya juga menyediakan standar-standar yang sesuai untuk berperilaku. Dalam kaitannya dengan sekolah dinyatakan oleh Stephen Stolp bahwa budaya sekolah yang sehat dan kuat sungguh berkaitan dengan tingginya prestasi dan motivasi siswa, dan produktivitas dan kepuasan guru. 34 Begitu juga dengan Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel, tentang penelitian budaya sekolah yang menyebutkan bahwa budaya sekolah yang baik akan meningkatkan prestasi dan motivasi
siswa.35
Sherry
Posnick-Goodwin
juga
menyatakan bahwa: … school culture has an impact on the achievement and behavior of students, as well as the motivation, productivity and job satisfaction of teachers. It
33
Stephen P. Robbins, Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and Applications, (London: Prentice-Hall International, Inc, 1993), hal. 608. 34
Stephen Stolp, Leadership for School Culture, ERIC Digest 91, 1994, hal. 2. 32
35
Wayne K. Hoy and Cecil G. Miskel, op.cit. hal.170.
21
22
Wayne K. Hoy and Cecil G. Miskel, op.cit,. hal.174-184.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
influences the willingness of teachers administrators to go the extra mile.36
and
Pernyataan ini berarti bahwa budaya sekolah berpengaruh pada prestasi dan perilaku siswa-siswa, dan juga motivasi, produktivitas dan kepuasan kerja guruguru. Selain itu, budaya sekolah juga mempengaruhi keinginan guru dan administrator untuk berusaha lebih keras. Pernyataan ini sama halnya dengan pernyataan Kent D. Peterson bahwa dalam budaya sekolah yang positif, proses pembelajaran siswa dan staf akan maju dengan pesat. Dan jika sebaliknya akan terkebelakang. When a school has a positive, professional culture, one finds meaningful staff development, successful curricular reform, and the effective use of student performance data. In these cultures, staff and student learning thrive. In contrast, a school with a negative or toxic culture that does not value professional learning, resists change, or devalues staff development hinders success. 37 Berdasarkan uraian ini, kita bisa melihat bahwa budaya sekolah bagi siswa sangatlah penting, karena
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
dengan budaya sekolah yang kuat dan sehat (positif) akan meningkatkan prestasi dan motivasi mereka. Begitu juga dengan guru dan staf mereka akan merasa termotivasi untuk menjalankan tugas dan pengembangan diri. MarieNathalie Beaudoin menyatakan bahwa: When people are happy, they always do better; If someone is unhappy, the first thing that goes out the window is concentration and academic learning. If a teacher is unhappy, he or she is not going to be excited, enthusiastic or patient.38 Pernyataan ini dapat dipahami bahwa budaya sekolah yang positif, yakni budaya yang dapat membuat orangorang bahagia serta akan mengarahkan orang untuk bekerja lebih baik, dan sebaliknya akan menurunkan semangat untuk bekerja. Selain itu, pembentukan budaya sekolah juga sangat membantu keberhasilan dalam upaya perbaikan dan restrukturisasi sekolah.39 Alma Harris juga menyatakan bahwa “…school improvement as process of changing school culture”, 40 yang berarti bahwa perbaikan sekolah adalah proses dari perubahan budaya sekolah.
36
Sherry Posnick-Goodwin, How's your school culture? Positive, negative or totally toxic?, in California Educator, Vol. 23, No. 3, 2004. 37
Kent D. Peterson, loc.cit.
23
38
Sherry Posnick-Goodwin, loc.cit.
39
Stephen Stolp and Stuart C. Smith, loc.cit., hal. 25.
40
Alma Harris, School Improvement: What’s in It for School?, (London: RoutledgeFalmer, 2003), hal.10.
24
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
4. Cara Mengembangkan Budaya Sekolah Dalam beberapa sumber banyak istilah yang digunakan guna perbaikan budaya sekolah diantaranya: mengubah (change), membentuk (shape) dan memperbaiki atau meningkatkan (improve). Istilah-itilah tersebut akan digunakan sebagaimana penerjemahan dari sumber-sumber acuan. Ron Renchler mengatakan bahwa budaya sekolah dapat dirubah dengan cara “… discarding old values and beliefs, establishing new ones, or modifying elements that need to be changed”, 41 yang berarti bahwa untuk merubah budaya sekolah dapat dilakukan dengan membuang nilainilai dan kepercayaan lama, menetapkan hal-hal yang baru, atau memodifikasi unsur-unsur yang perlu untuk diubah. Stephen Stolp mengemukan, “leaders who are interested in changing their school’s culture should first try to understand the existing culture”.42 Pendapat ini dapat pahami bahwa pertama-tama yang harus dicoba oleh pimpinan (kepala) sekolah dalam usaha merubah budaya sekolah adalah memahami budaya sekolah yang masih eksis dalam sebuah sekolah. 41 42
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Kent D. Peterson juga memberikan tiga proses untuk membentuk budaya sekolah, yaitu: 43 a. Membaca budaya sekolah yang ada, memahami sumber sejarah budaya dengan menganalisa normanorma dan nilai-nilai yang berlaku. b. Menilai budaya, menentukan elemen-elemen budaya yang mendukung tujuan-tujuan inti dan misi sekolah, dan menentukan tujuan-tujuan yang dinilai menghalangi kesuksesan. c. Membentuk budaya yang dapat memperkuat aspekaspek positif dan mengubah aspek-aspek budaya negatif. Bagi Christopher R. Wargner dalam memperbaiki budaya sekolah ada empat langkah yang harus dilakukan. Keempat langkah tersebut adalah: (1) Menaksir budaya yang sedang berjalan (Assess the current culture); (2) Menganalisa temuan (Analyze the findings); (3) Memilih budaya yang harus diperbaiki (Select areas for improvement); dan (4) Memonitor dan Memperbaiki (Adjust).44
Ron Renchler, loc.cit.
43
Kent D. Peterson, loc.cit..
Stephen Stolp, op.cit., hal. 3.
44
Christopher R. Wagner, op.cit, hal. 13-15.
25
26
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
C. Penutup Berdasarkan uraian tentang budaya sekolah di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Budaya sekolah merupakan sekumpulan asumsiasumsi dasar, nilai-nilai, kepercayaan, sikap dan norma-norma yang dipegang oleh anggota-anggota sekolah dan kemudian mengarah pada bagaimana mereka berperilaku serta akan menjadi karakteristik sekolah mereka. 2. Budaya sekolah sangat berguna untuk perbaikan mutu sekolah, karena sangat berpengaruh pada motivasi dan prestasi siswa serta kinerja guru dan staf. 3. Budaya sekolah terdiri atas budaya sekolah yang positif dan budaya sekolah yang negatif. 4. Untuk mengembangkan budaya sekolah, langkah awal yang harus dilakukan adalah adanya pemahaman tentang budaya yang sedang berjalan di sekolah.
27
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
DAFTAR PUSTAKA A. Chaedar Al Wasilah. 28 Maret 2006. Tujuh Ayat Sekolah Unggul, dalam Pikiran Rakyat. Diambil pada tanggal 1 Juli 2006, dari http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2006/032006/28 /0901.htm. Alma Harris 2003. School Improvement: What’s in It for School?. London: RoutledgeFalmer. Andrew D. Brown. 1998. Organizational Culture (2nd ed). England: Prentice Hall. Andrew T. Roach and Thomas R. Kratochwill. 2004. Evaluating School Climate and School Culture, in Journal Teaching Exceptional Children, Vol. 37, No. 1, 10-17. Diambil pada tanggal 8 Oktober 2005, dari http://cepm.uoregon.edu/pdf/trends/motivation. pdf. Burhanuddin Tola dan Furqon. 2005. Pengembangan Model Penilaian Sekolah Efektif. Diambil pada tanggal 17 Oktober 2005, dari http://www.depdiknas. go.id/Jurnal/44/burhanuddin-furqon.htm. Christopher R. Wagner. 2004. Leadership for an Improved School Culture: How to Assess and Improve The Culture of Your Culture, in Kentucky School Leader, Fall 2004/Winter 2005. Diambil pada tanggal 28 Juni 2006, dari http://www.schoolculture.net/kyschool leaderfall04.pdf.
28
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Christopher Wagner and Penelope Masden-Copas. 2002. An audit of the culture start with two handy tools, in Journal of Staff Development, Summer 2002, 42-53. At Issue Culture. National Staff Development Council. Diambil pada tanggal 28 Juni 2005, dari http://www.schoolculture.net/ jsdsummer 2002.pdf. Edgar H. Schein. 1992. Organizational Culture and Leadership (2nd ed). San Francisco: Jossey-Bass. Kent D. Peterson. 2002. Positive or Negative?, in Journal of staff development, Summer 2002, Vol. 23, No. 3. National Staff Development Council. Diambil pada tanggal 30 Juli 2007, dari http: //www.nsdc.org/ library/publications/jsd/peterson233.cfm. Louise Stoll. 2000. School Culture. Set: Research Information for Teachers, 3, 2000, 9-14. Department of Education, University of Bath. Diambil pada tanggal 08 Juli 2006, dari http:// www.leadspace.govt.nz/leadership/pdf/stoll_article_s et3_2000.pdf. Patrick D. Lynch. 2007. The School Culture in the Lower Rio Bravo Valley, ERIC Document Reproduction Service (EDRS) No.ED422136. Diambil pada tanggal 21 Juli 2006, dari http://www.eric.ed.gov/ ERICDocs/data/ericdocs2/content_storage_01/00000 00b/80/11/02/bd.pdf. Rexford Brown. 2004. School Culture and Organization: Lessons from Research and Experience, A Background Paper for the Denver Commission on Secondary School Reform. Diambil pada tanggal 28 Juni 2005, dari http://www.dpsk12.org/pdf/culture _organization.pdf. 29
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Richard M. Gorman. 1974. The Psychology of Classroom Learning: An Inductive Approach. Columbos: Charles E. Merrill Publishing Company, A Bell & Howell Company. Robert F. Cavanagh and Graham B. Dellar. 1998. The Development, Maintenance, and Transformation of School Culture, Paper presented at The Annual Meeting of the American Education Research Association, San Diego. ERIC Document Reproduction Service (EDRS) No. ED418962. Diambil pada tanggal 13 Juli 2006, dari http://www. eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2/content_storag e_01/0000000b/80/25/53/c8.pdf. Robert F. Cavanagh and Graham B. Dellar. 1997. Towards a Model of School Culture, Paper presented to the 1997 Annual Meeting of the American Education Research Association, Chicago. ERIC Document Reproduction Service (EDRS) No. ED408678. Diambil pada tanggal 8 Juli 2006, dari http://www. eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2/content_storag e_01/0000000b/80/26/aa/bd.pdf. Ron Renchler. 1992. Student Motivation, School Culture, and Academic Achievement: What School Leaders Can Do, Trends issues series, Eugene, Oregon: ERIC clearinghouse on education management, University of Oregon. Diambil pada tanggal 8 Oktober 2005, dari http://cepm.uoregon.edu/pdf/trends/motivation. pdf. 30
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Sharon Cromwell. 28 September 2005. Is your school's culture toxic or positive?, in School Administrators Article, Education World. Diambil pada tanggal 3 Desember 2005, dari http://www.educationworld. com/a_admin/admin/admin275.shtml. Sherry Posnick-Goodwin. 2004. How's your school culture? Poitive, negative or totally toxic?, in California Educator, Vol. 23, No. 3. Diambil pada tanggal 30 Juli 2007, dari http://www.cta.org/media/ publications/educator/archives/2004/200411_feat_01. htm. Stephen P. Robbins. 1993. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and Applications. London: Prentice-Hall International, Inc,. Stephen Stolp and Stuart C. Smith. 1995. Transforming School Culture: Stories, Symbols, Values, and Leader’s Role. Eugene, Oregon: ERIC clearinghouse on education management, University of Oregon. Stephen Stolp. 1994. Leadership for School Culture, ERIC Digest 91. Diambil pada tanggal 8 Juli 2006, dari http://www.eric.ed.gov/ERICDocs/data/ ericdocs2/content_storage_01/0000000b/80/2a/20/bc. pdf. Terrence E. Deal and Kent D. Peterson. 1999. Shaping School Culture: The Heart of Leadership. San Francisco: Jossey-Bass. Wayne K. Hoy and Cecil G. Miskel. 2005. Educational Administration: Theory, Research and Practice. New York: McGraw-Hill. 31
32
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
IMPERASI AL QURAN TENTANG PENDIDIKAN KELUARGA (Sebuah Tinjauan Melalui Pendekatan Psikologi Agama) Norkansyah* Abstrak : As the basic or the first educational institution, family has the very important role in the implementation of Islamic (religion) teaching and education for their children. The growth and the development of a child mental is influenced a lot by the real life condition which happens in the family life (intern). Moreover, the family is the main educator in the process of the internalization and transformation of religious values to the children. How the future of the family is much depend on the family itself and how far the family educate their children well. Al-Qur’an has given some instructions and examples that education must be begin from the family. The psychology of religion approach is one way that can be implemented educational process in family environment. Kata-kata Kunci: Imperasi, Pendidikan, Keluarga, Psikologi, Agama.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
A. Pendahuluan Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Menurut Undangundang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) No 20 Tahun 2003: ”Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya”.1 Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidkan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang, (seperti kursus, pelatihan, majlis ta’lim dan sebagainya). Sedangkan pendidikan informal merupakan pendidikan yang dilaksanakan dalam lingkungan keluarga. Di antara kekeliruan orang tua dalam dunia pendidikan sekarang adalah adanya anggapan bahwa hanya sekolahlah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya, sehingga orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada guru di sekolah.2 Padahal sebagian besar 1
*
Penulis adalah dosen dan Ketua Jurusan Program Studi S1PAI STAI RAKHA Amuntai. Saat ini sedang menyelesaikan study pada Program Pascasarjana (S2) IAIN Antasari Banjarmasin.
33
Tim Pustaka Merah Putih, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Guru dan Dosen, (Yogyakarta: Pustaka Merah Putih, 2007), Cet. Ke-1, hal. 18. 2
Lihat Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Raja Grafindo, 2001), Cet. Ke-2, hal. 21.
34
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
waktu anak berada di lingkungan keluarga. Orang tua lebih banyak beralasan sibuk dengan pekerjaan masing-masing, mereka seolah tidak menyadari kalau anak adalah titipan sekaligus amanah Allah yang harus dijaga dan diperhatikan demi masa depannya. Para ahli sependapat akan pentingnya pendidikan dalam keluarga. Menurut Quraish Shihab: ”Keluarga adalah sekolah tempat putra-putri belajar”.3 Apa yang terjadi dalam pendidikan keluarga tersebut akan membawa pengaruh terhadap kehidupan anak, baik di sekolah maupun di masyarakat. Secara psikologis, telah dibuktikan secara nyata pengaruh keluarga terhadap perkembangan anak. Keluarga yang agamis turut membentuk pola kepribadian anak menjadi lebih Islami. Statemen ini sudah lama telah disampaikan oleh Rasulullah SAW sebagaimana hadis yang berbunyi:
.ﻣﺎ ﻣﻦ ﻣﻮﻟﻮﺩ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ ﻓﺄﺑﻮﺍﻩ ﻳﻬﻮﺩﺍﻧﻪ ﺃﻭﻳﻨﺼﺮﺍﻧﻪ ﺃﻭﳝﺠﺴﺎﻧﻪ ()ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ Artinya: “ Anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani ataupun Majusi”. 3
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung : Mizan, 2004), Cet. Ke-27, hal. 255.
35
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Seorang anak yang masih belum dewasa, pada dasarnya mengandung banyak sekali kemungkinan untuk berkembang, baik jasmani maupun rohani. Ia memiliki jasmani yang belum mencapai taraf kematangan. Sementara dari aspek psikologis anak mempunyai bakat-bakat yang masih perlu dikembangkan. Anak merasa ia memiliki kekurangankekurangan tertentu, ia menyadari bahwa kemampuannya masih sangat terbatas. Oleh karena itu seorang anak sangat tergantung pada orang tua atau pendidiknya. Sehubungan dengan kenyataan di atas, bagaimana imperasi Al-Quran tentang pentingnya pendidikan keluarga, dan pendekatan apa yang dapat digunakan dalam melaksanakan pendidikan tersebut, penulis mencoba membahas lebih jauh melalui makalah ini dengan judul “Imperasi Al Quran Tentang Pendidikan Keluarga (Sebuah Tinjauan Melalui Pendekatan Psikologi Agama)”. B. Pengertian dan Ruang Lingkup Psikologi Agama Istilah psikologi sering diterjemahkan sebagai ilmu jiwa. Menurut Ngalim Purwanto: ”Psikologi ialah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia”.4 Yang dimaksud dengan 4
Ngalim Purwanto, MP., Psikologi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2003), Cet. Ke-19, hal. 1.
36
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
tingkah laku di sini ialah segala kegiatan atau perbuatan manusia yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Termasuk di dalamnya cara ia berbicara, berpikir, cara berintegrasi dengan dunia luar dan sebagainya. Adapun psikologi agama terdiri dari psikologi dan agama. Menurut Zakiah Darajat, seperti dikutip oleh Jalaluddin: ”Psikologi agama mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang serta faktor-faktor yang mempengaruhinya”.5 Agama yang dimaksudkan adalah ajaran-ajaran yang berdasarkan pada wahyu Allah yang disampaikan melalui Nabi akhir zaman, Muhammad Saw. Dengan demikian psikologi agama merupakan cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya. Upaya untuk mempelajari tingkah laku keagamaan tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan psikologi agama. Psikologi agama memiliki ruang lingkup pembahasan tersendiri. Lapangan penelitian psikologi agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama secara penuh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari 5
Jalaluddin, Pskologi Agama, (Jakarta : Raja Grafindo, 2007),
hal. 14.
37
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
keyakinan terhadap agamanya. Pada aspek emosional kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama seseorang, seperti perasaan lega dan tenteram setelah menunaikan shalat, rasa lepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau membaca ayat-ayat suci, perasaan tenang dan pasrah setelah berzikir dan ingat kepada Allah ketika mengalami suka maupun duka. Psikologi agama yang sejalan dengan ruang lingkup kajiannya telah banyak memberikan sumbangan dalam memecahkan persoalan kehidupan manusia dalam kaitannya dengan agama yang dianutnya. Kemudian bagaimana rasa keagamaan itu tumbuh dan berkembang pada diri seseorang dalam tingkat usia tertentu atau bagaimana perasaan keagamaan itu dapat mempengaruhi ketenteraman batinnya, maupun berbagai konflik yang terjadi dalam diri seseorang hingga ia menjadi lebih taat menjalankan ajaran agamanya atau meninggalkan ajaran itu sama sekali. Zakiah Darajat selanjutnya membedakan antara kesadaran beragama dengan pengalaman beragama. Yang dimaksud kesadaran beragama adalah bagian yang hadir (terasa) dalam pikiran yang merupakan aspek mental dari aktivitas beragama. Sedangkan pengalaman beragama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh 38
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
tindakan atau amaliyah. Karenanya, psikologi agama tidak mencampuri segala bentuk permasalahan yang menyangkut pokok keyakinan suatu agama. Orientasi psikologi agama hanya mempelajari prilaku jiwa yang memantul dalam perilaku yang berkaitan dengan kesadaran dan pengalaman beragama manusia. C. Imperasi Al Quran Tentang Pendidikan Keluarga 1. Menyiapkan generasi yang tangguh Dalam surah An-Nisa ayat 9, Allah berfirman :
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
maupun mentalnya.6 Dari segi fisik, mereka harus dibekali dengan makanan dan minuman yang halal serta bergizi, di samping pakaian dan perumahan yang memadai. Sedangkan dari segi mental, mereka harus dibekali dengan pendidikan agama yang dapat menuntun mereka kepada jalan yang benar. Akhir ayat itu pun menganjurkan kepada para orang tua untuk memperlakukan semua anggota keluarganya dengan tegur sapa atau ucapan-ucapan yang baik yang menunjukkan sikap kasih sayang dan mendidik. Termasuk ucapan-ucapan yang benar dan baik (qaulan
ﻪ ﺘﻘﹸﻮﺍﺍﻟﹼﻠﻴﻢ ﹶﻓ ﹾﻠ ﻴ ﹺﻬﻋﹶﻠ ﺎﻓﹸﻮﹾﺍﺎﻓﹰﺎ ﺧﺿﻌ ﻳ ﹰﺔﻢ ﹸﺫ ّﹺﺭ ﻔ ﹺﻬ ﺧ ﹾﻠ ﻦ ﻣ ﺮﻛﹸﻮﹾﺍ ﺗ ﻮ ﻦ ﹶﻟ ﻳﺶ ﺍﱠﻟﺬ ﺨ ﻴﻭﹾﻟ (9 : ﻳﺪﹰﺍ ) ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﺳﺪ ﻮ ﹰﻻ ﻴﻘﹸﻮﻟﹸﻮﹾﺍ ﹶﻗﻭﹾﻟ
sadida) yaitu memanggil anak-anak dengan panggilan sayang,
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orangorang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (keadaan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S. An-Nisa : 9).
keluarga akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak-
Ayat di atas menjelaskan fungsi keluarga, yaitu menjaga kelangsungan hidup keluarga dari kepunahan mereka dengan cara menyiapkan generasi penerus yang lebih kuat, baik fisik
39
seperti anakku sayang, anakku yang pintar dan sebagainya. Sebab tutur kata yang baik yang selalu dipakai dalam satu anak yang ada di dalam keluarga itu. Begitu juga sebaliknya bila dalam keluarga itu banyak digunakan kata-kata atau ungkapan yang kasar atau kotor, sedikit banyak kata-kata atau ungkapan
itu
akan
berpengaruh
pada
sikap
anggota
keluarganya khususnya anak-anak yang jiwanya masih kosong.
6
Moh. Mastna, Al Quran Hadist Kelas 3, (Semarang : Karya Toha Putra, 2006).
40
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
2. Memelihara diri dan keluarga dari azab neraka. Al-Quran sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, telah mewajibkan setiap orang untuk menjaga dan memelihara diri serta ahli keluarga dari ancaman siksa neraka. Dalam surat At-Tahrim ayat 6 Allah berfirman:
ﺭ ﹸﺓ ﺎﺤﺠ ﻭﺍﹾﻟ ﺱ ﺎﺎ ﺍﻟﻨﺩﻫ ﻭﻗﹸﻮ ﺎﺭﹰﺍﻢ ﻧ ﻴ ﹸﻜﻫﻠ ﻭﹶﺃ ﻢ ﺴ ﹸﻜ ﻮﺍ ﻗﹸﻮﺍ ﺃﹶﻧ ﹸﻔﻣﻨ ﻦ ﺁ ﻳﺎ ﺍﱠﻟﺬﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ ﻭ ﹶﻥﻣﺮ ﺆ ﻳ ﺎﻌﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﻣ ﻳ ﹾﻔﻭ ﻢ ﻫ ﺮ ﻣ ﺎ ﹶﺃﻪ ﻣ ﻮ ﹶﻥ ﺍﻟﱠﻠﻌﺼ ﻳ ﺩ ﹶﻻ ﺍﺷﺪ ﻅ ﻼﹲ ﻏ ﹶ ﺋ ﹶﻜ ﹲﺔﻼ ﻣ ﹶ ﺎﻴﻬﻋﹶﻠ (6 : )ﺍﻟﺘﺤﺮﱘ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka”. (Q.S. At-Tahrim: 6) Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kita untuk dapat menjaga diri kita dan keluarga dari perbuatan-perbuatan yang menjerumuskan ke dalam siksa api neraka. Di samping menjaga diri sendiri, kita pun diperintahkan untuk menasihati dan memberikan pengajaran kepada keluarga kita untuk senantiasa taat dan menjalankan segala perintah Allah yang
41
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
pada akhirnya dapat menjauhkan diri dari siksa neraka. Yang termasuk ke dalam kategori keluarga dalam ayat ini adalah terdiri dari istri, anak dan orang lain yang berada di bawah tanggungan kita seperti pembantu dan sopir. Jadi, setiap orang diberi tanggung jawab oleh Allah untuk memelihara sanak keluarga dengan menyediakan sandang dan pangan anggota keluarganya secukupnya. Tanggung jawab seorang kepala keluarga tidak terbatas kepada penyediaan sandang pangan saja, akan tetapi meliputi pengajaran dan pendidikan yang baik dan benar menurut ajaran Islam, dan hal-hal lain yang sekiranya dapat menghindarkan mereka dari siksa neraka dan membuat mereka sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat. Materi pendidikan lebih ditekankan pada aspek keimanan (akidah), ibadah (fikih), dan akhlak. Pada aspek keimanan misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 163 telah di tegaskan (artinya); ”Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. Demikian juga dijelaskan pada surat Al-Ikhlash ayat 1-4; Katakanlah:”Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” Pada aspek 42
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
ibadah misalnya, dalam surat Al-Kahfi ayat 110 disebutkan; ”Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan sesuatupun dalam beribadat kepada Tuhannya”. Kemudian pada aspek akhlak hendaknya mencontoh perilaku Rasulullah saw. berdasarkan Firman Allah surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya; ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. Didalam Al-Quran dicontohkan bagaimana Luqman mendidik anaknya tentang keimanan yang benar, lihat Q.S. Luqman ayat 13 (artinya): ”Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benarbenar kezaliman yang besar”. Dari informasi Al-Quran ini jelas bagaimana seharusnya seorang bapak atau orang tua menuntun dan membimbing anak-anak mengenal Tuhannya. Anak mengenal Tuhan melalui bimbingan orang tua. Kemudian upaya membimbing dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang agama hendaknya dilakukan dengan cara penuh kasih sayang dan 43
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
keteladanan dari orang tua. 3. Memberikan bimbingan dalam pelaksanaan ibadah kepada Allah
ﺒ ﹸﺔﻗﺎﺍﹾﻟﻌﻚ ﻭ ﺯﹸﻗ ﺮ ﻧ ﻦ ﺤ ﻧ ﻗﹰﺎﻚ ﹺﺭﺯ ﺴﹶﺄﹸﻟ ﻧ ﺎ ﹶﻻﻴﻬﻋﹶﻠ ﺮ ﺻ ﹶﻄﹺﺒ ﺍﺓ ﻭ ﻼ ﺼﹶ ﻚ ﺑﹺﺎﻟ ﻫﹶﻠ ﺮ ﹶﺃ ﻣ ﻭﹾﺃ (132 : ﻯ )ﻃﻪﺘ ﹾﻘﻮﻠﻟ Artinya: ”Dan perintahkan kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Thaha: 132) Surat Taha ayat 132 di atas, menjelaskan bahwa salah satu kewajiban kepala keluarga adalah memerintahkan anggota keluarganya untuk melaksanakan dan memelihara shalat dengan baik. Perintah melaksanakan shalat ini disampaikan kepada anak-anaknya ketika mereka mulai menginjak usia tujuh tahun seperti termuat dalam hadits:
ﺸ ﹴﺮ ﻋ ﺎ ُﺀﺑﻨﻢ ﹶﺃ ﻫ ﻭ ﺎﻴﻬﻋﹶﻠ ﻢ ﻫ ﺍﺑﻮﺿ ﹺﺮ ﺍﺒ ﹴﻊ ﻭﺳ ﺎ ُﺀﺑﻨﻢ ﹶﺃ ﻫ ﻭ ﺓ ﻼ ﺼﹶ ﻢ ﺑﹺﺎﻟ ﺩ ﹸﻛ ﻭ ﹶﻻ ﺍ ﹶﺃﺮﻭ ﻣ ()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ Artinya:“Perintahkanlah anak-anakmu untuk melakukan shalat ketika menginjak usia tujuh tahun. Dan pukullah 44
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
mereka jika tidak mau shalat ketika mereka berusia sepuluh tahun.” Mengapa shalat dianjurkan untuk dikerjakan oleh manusia muslim sejak usia kanak-kanak? Karena di dalam shalat terkandung nilai-nilai pendidikan yang luhur yang dapat membina seorang muslim menjadi dewasa dalam segala hal. Nilai-nilai itu antara lain : a. Shalat menanamkan sikap selalu dekat dengan Allah. b. Shalat menanamkan sikap disiplin. c. Shalat menanamkan sikap kebersamaan. d. Shalat menanamkan sikap selalu bersih. e. Shalat menanamkan sikap patuh kepada atasan. f. Shalat menanamkan sikap peduli terhadap bawahan. Sikap berikutnya yang ditanamkan kepada anak adalah sifat sabar, terutama dalam melaksanakan shalat karena memang shalat itu adalah berat, kecuali bagi orang-orang yang jiwanya telah khusyuk. Di samping itu, perlu ditanamkan pula sifat sabar dalam menjalankan perintah yang lain, sabar dalam menjauhi larangan dan sabar dalam menerima musibah. Sabar di sini bukan berarti pasrah terhadap keadaan, tetapi yang dimaksud sabar adalah teguh pendirian dan tabah dalam menghadapi godaan. Dalam akhir ayat di atas, Allah menyatakan : “Kami 45
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
tidak meminta rezeki darimu, tetapi Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan balasan yang baik adalah bagi orangorang yang takwa.” Maksud dari ungkapan ini adalah bahwa yang diminta Allah dari manusia adalah ibadah dan takwanya kepada Allah, bukan balasan rezeki seperti yang diminta oleh para pembesar manusia terhadap bawahannya. Dan tuntutan ibadah serta ketakwaan pun bukan berarti bahwa Allah memerlukan ibadah dan ketakwaan itu, sebab Allah tidak butuh kepada siapa pun. Allah akan tetap maha besar dan agung meskipun tak seorang pun manusia menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Tetapi, ibadah dan takwa itu mengandung hikmah, kegunaan, manfaat dan nilai-nilai luhur seperti yang telah disebutkan di atas. Ini semata-mata untuk keperluan manusia sendiri. Selanjutnya pahala ibadah akan diterimanya pula nanti di akhirat. Ada tidaknya orang tua membimbing dan menyuruh anaknya dalam beribadat kepada Allah akan ditanyakan kembali oleh Allah nantinya di akhirat. Orang tualah yang paling bertanggung jawab terhadap kesempurnaan ibadah yang dilaksanakan keluarganya. Rasulullah saw bersabda:
ﻪ ﺘﻴﻋ ﺭ ﻦ ﻋ ﻭ ﹲﻝ ﺆ ﺴ ﻣ ﻭ ﻉ ﺍ ﹴﻡ ﺭ ﺎﻭﹾﺍ ِﻹﻣ ﻪ ﻴﺘﻋ ﺭ ﻦ ﻋ ﻭ ﹲﻝ ﺆ ﺴ ﻣ ﻢ ﻭ ﹸﻛﱡﻠ ﹸﻜ ﻉ ﺍ ﹴﻢ ﺭ ﹸﻛﱡﻠ ﹸﻜ ﺎ ﹺﻝﻰ ﻣ ﻓ ﻴ ﹲﺔﻋ ﺍﺮﹶﺃ ﹸﺓ ﺭ ﻤ ﺍﹾﻟ ﻭ،ﻪ ﺘﻴﻋ ﺭ ﻦ ﻋ ﻭ ﹲﻝ ﺆ ﺴ ﻣ ﻮ ﻫ ﻭ ﻪ ﻠﻫ ﻰ ﹶﺃﻉ ﻓ ﺍ ﹴﺟ ﹸﻞ ﺭ ﺮ ﺍﻟﻭ 46
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ ﻭ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ... ﻪ ﺘﻴﻋ ﺭ ﻦ ﻋ ﻭ ﹲﻝ ﺆ ﺴ ﻣ ﻭ ﻩ ﺪ ﺳّﹺﻴ Artinya: “Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas anggota keluarganya. Dan seorang perempuan adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya, dan ia bertanggung jawab atas semua anggota keluarganya”. (HR. Bukhari, Muslim dan Turmudzi). Hadits di atas menjelaskan bahwa pada hakikatnya semua manusia itu adalah pemimpin bagi segala hal yang ada di bawah wewenangnya sesuai dengan tingkat dan kedudukan masing-masing, mulai dari pemimpin formal sampai dengan pemimpin yang non-formal. Pemimpin formal yaitu mulai dari Ketua RT, Kepala Desa (Lurah), Camat, sampai kepada
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
memberikan bimbingan, pengalaman dan pengembangan terhadap potensi yang dimiliki anak dengan memperhatikan aspek-aspek psikologis. Pendidikan tersebut berdasarkan teoriteori yang sesuai dengan konsep keIslaman, atau dengan istilah lain, islamisasi dalam dunia pendidikan. Dengan demikian pendidikan Islam tidak lagi terbatas pada lembaga tertentu (formal), melainkan diartikan dalam ruang lingkup yang luas, termasuk pendidikan keluarga. Pendidikan Islam telah meletakkan dasarnya pada peran keluarga. Orang tua dan para guru sangat berperan sebagai pembimbing, pengembang serta pengarah potensi yang dimiliki anak agar mereka menjadi pengabdi Allah yang taat dan setia, sesuai dengan hakikat penciptaan manusia, yakni mengabdikan diri kepada Allah, sebagaimana Firman Allah: .ﻥ ﻭ ﺪ ﺒﻌ ﻴﻟ ﺲ ﹺﺇ ﱠﻻ ﻧ ﹺﻭﹾﺍ ِﻷ
Presiden. Sedangkan pemimpin non-formal yaitu seperti: tokoh masyarakat, kyai, ustadz dan orang tua. Dengan demikian, semua orang akan mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang sudah menjadi tanggung jawabnya. D. Mendidik Dengan Pendekatan Psikologi Agama Pendekatan psikologi agama dalam pendidikan dimaksudkan sebagai upaya yang dilakukan dalam 47
ﻦ ﺠ ﺖ ﺍﹾﻟ ﹺ ﺧﹶﻠ ﹾﻘ ﺎﻣﻭ
Artinya: ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Pendidikan Islam erat kaitannya dengan psikologi Agama. Psikologi agama digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Dalam banyak kasus, pendekatan psikologi agama, baik secara 48
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
langsung maupun tidak langsung dapat digunakan untuk membangkitkan perasaan dan kesadaran beragama.7 Misalnya seorang dokter ketika mengobati pasein, ia memohon paseinnya untuk selalu sabar dan tawakkal. Karena setiap penyakit sudah tentu ada obatnya, sehingga pasein menjadi lebih tenang. Setelah mencapai usia kanak-kanak, Hasan dan Husein pernah melihat seorang dewasa yang keliru dalam berwudhu. Kedua cucu Rasulullah Saw. tersebu tidak menegur orang itu secara langsung, walaupun mereka sudah tau cara berwudhu yang benar. Menegur langsung terhadap orang yang lebih tua dirasa kurang etis. Hasan dan Husein kemudian menggunakan pendekatan psikologi yang tepat untuk memberitahukan kekeliruan laki-laki yang dihadapinya, tanpa menyinggung perasaan yang bersangkutan. Mereka berdua kemudian berdialog tentang cara berwudhu yang benar disamping orang dewasa tersebut. Laki-laki itu tertegun menyaksikan Hasan dan Husein memperagakan cara berwudhu. Ia sadar sendiri bahwa selama ini wudhu yang dilakukannya masih keliru. Sadar akan kekeliruannya itu, laki-laki itu termotivasi untuk belajar berwudhu yang benar.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Rasulullah Saw. menganjurkan agar dalam memberikan pendidikan disesuaikan dengan kadar kemampuan atau nalar seseorang. Dengan demikian dalam menghadapi orang yang masih awam berbeda dengan menghadapi mereka yang sudah berpendidikan. Demikian juga menghadapi anak-anak harus dibedakan dengan menghadapi orang dewasa. Mendidik anak pada usia tujuh tahun pertama perlu disertai dengan permainan atau bergurau. Pada usia tujuh tahun kedua ditanamkan pendidikan disiplin dan akhlak, kemudian pada tujuh tahun ketiga anak dididik dengan memperlakukannya sebagai sahabat, setelah itu mereka dididik untuk bisa mandiri. Pada usia tujuh tahun, secara fisik merupakan saat yang paling tepat untuk membiasakan anak melaksanakan ibadat, terutama shalat. Pada usia ini secara psikologis anak suka meniru atau mencontoh kebiasaan yang dilakukan orang lain. Kemudian pada usia sepuluh tahun perlu disiplin dalam ibadah, diajarkan nilai-nilai ajaran agama, kitab suci, sunnah Rasul, maupun cerita-cerita yang bernilai pendidikan. Dengan demikian akan tercapailah hasil yang diharapkan, yakni sosok manusia atau keluarga yang penuh dengan kesadaran beragama dan memiliki pengalaman beragama dalam wujud amal shaleh.
7
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta : Raja Grafindo, 2007),
hal. 19.
49
50
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
E. Kesimpulan Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan sangat utama yang berfungsi sebagai pembimbing dan pengembang berbagai potensi yang dimiliki anak. Dalam pendidikan keluarga orang tualah yang paling bertanggung jawab terhadap masa depan keluarganya. Karena orang tua adalah orang yang dianggap telah dewasa dan mampu memberikan bimbingan terhadap anggota keluarganya, terutama anak-anaknya. Terdapat sejumlah ayat Al-Quran tentang perintah dan tanggung jawab orang tua terhadap terlaksananya pendidikan di lingkungan keluarga. Di antara perintah tersebut terutama mengenai pentingnya menyiapkan generasi yang kuat, kewajiban menjaga diri dan keluarga dari ancaman siksa neraka, hingga bimbingan untuk melaksanakan ibadah secara benar. Bagaimana melaksanakan pendidikan keluarga tersebut dengan baik, ternyata dapat menggunakan pendekatan secara kejiwaan, yaitu dengan pendekatan psikologi agama.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
DAFTAR PUSTAKA Zaini Dahlan. 2005. Qur’an Karim dan Terjemah Artinya. Yogyakarta: UUI Press, Cet. Ke-4. Ahmad Tafsir (Ed.). 2001. Pendidikan Agama Dalam Keluarga. Bandung : Remaja Rosda Karya. Cet. Ke-4. Abu Ahmadi. 2001. Ilmu Pendidikan. Semarang : Rineka Cipta. Imam Al-Munziri. 2003. Mukhtashar Shahih Muslim. (Terjemah Achmad Zaidun, Ringkasan Shahih Muslim). Jakarta: Pustaka Amani. Cet. Ke-2. Departemen Agama. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Dirjen Bagais. Hasbullah. 2001. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo. Cet. Ke-2. Jalaluddin. 2007. Psikologi Agama. Jakarta : Raja Grafindo. Moh. Mastna. 2006. Al-Quran Hadist Kelas 3. Semarang : Karya Toha Putra. Ngalim Purwanto. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya. Cet. Ke-19. M. Quraish Shihab. 2004. Membumikan Al-Quran. Bandung : Mizan. Cet. Ke-27. Tim Pustaka Merah Putih. 2007. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Guru dan Dosen. Yogyakarta : Pustaka.
51
52
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
INTEGRASI IMTAQ KEDALAM MATA PELAJARAN BIOLOGI (Sebuah Model Pengembangan Pembelajaran PAI di SMA) Supriatno* Abstrak The teaching of Islamic Religion subject has three educational domains, they are; cognitive, affective, and psychomotoric domain. Cognitive domain is closely related to the knowledgical concept, apocalypse evidence (dalil naqli) and can be integrated to all subject which include biology material. It mean that the biology material in Senior High school (SMA) always contain the “IMTAQ” values when they are related to the knowledgical concepts
and apocalypse
evidence (dalil naqli) in Islamic teaching. In addition, affective and psychomotoric domains are closely related to the attitude and personality as well as the implementation of religion itself. Kata kunci : Pembelajaran, PAI dan Biologi, Integrasi, IMTAQ. *
Penulis adalah guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam pada SMAN 4 Banjarmasin.
53
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
A. Pendahuluan Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana terdapat dalam Pasal 3 Bab II UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 adalah ”bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Sisdiknas; 2003 : 7) Sementara tujuan pokok dan terutama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa. ”Semua mata pelajaran haruslah mengandung pelajaranpelajaran akhlak, setiap guru haruslah memperhatikan akhlak, setiap juru didik haruslah memikirkan akhlak. Keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedang akhlak yang mulia adalah tiang dari pendidikan Islam”(Atihyah Al-Abrasyi;1974 : 5) Upaya untuk mewujudkan tujuan pendidikan di atas adalah ”Menumbuhkembangkan aqidah melalui pemberian, pemupukan dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT.” (Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah; 2007 : 3). 54
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Substansi dari pendidikan lebih-lebih pendidikan Islam adalah pembelajaran. Pembelajaran adalah sebuah proses membuat orang belajar. ”Belajar selalu melibatkan tiga hal pokok, yaitu adanya perubahan tingkah laku, sifat perubahan yang permanen, dan perubahan yang disebabkan oleh interaksi dengan lingkungan, bukan oleh proses kedewasaan ataupun perubahan-perubahan kondisi fisik yang temporer sifatnya”. (Departemen Pendidikan Nasional; 2008 : 3) . Untuk menciptakan manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia sebagaimana terdapat di dalam Sisdiknas tersebut bukanlah hal yang mudah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan dalam mengakses kegiatan pembelajaran harus kembali pada tujuan pokok pendidikan, agar tidak terjadi dikotomi antara mata pelajaran yang satu dengan yang lain. Sekolah harus mampu menciptakan antara mata pelajaran yang satu dengan yang lain, antara guru mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lain secara simultan atau bersama-sama, baik dalam wawasan ranah kognitif, afektif, maupun wawasan ranah psikomotorik. Seiring dengan itu, maka tugas untuk membentuk peserta didik menjadi manusia dewasa, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia di sekolah bukan hanya tugas Guru Mata Pelajaran PAI 55
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
semata, namun merupakan tanggung jawab bersama pihak sekolah, yang meliputi; kepala sekolah, guru, dan stap tata laksana sekolah. Inilah tugas yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan nasional. Artinya setiap warga sekolah harus mendasarkan kehidupannya dalam berbuat pada keimanan, ketaqwaan, akhlak mulia, sesuai yang dikehendaki tujuan pendidikan nasional. Berbagai aspek dari aktivitas pembelajaran harus memberikan makna iman, taqwa, akhlak mulia sesuai dengan salah satu dari unsur-unsur pendidikan, yakni memperhatikan unsur normatif yang membatasi ”adanya ketentuan suatu norma adat, agama, hukum, dan sosial”. (Abu Ahmadi, Nur Uhbiyati; 1991 : 93) Pada ranah kognitif, kemampuan guru untuk dapat mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits nabi Muhammad SAW serta pengetahuan agama ke dalam mata pelajaran yang mereka ampu sangat ditentukan oleh latar belakang pendidikan sebelumnya. Ketika seorang guru; guru matematika, guru sejarah, guru bahasa Indonesia dan sejumlah guru mata pelajaran lainnya yang berlatar belakang pendidikan agama, sebelum mereka masuk keguruan umum seperti FKIP, niscaya mereka memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan atau 56
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
menyisipkan materi keagamaan pada saat proses pembelajaran. Sebaliknya apabila latar belakang pendidikan mereka sebelumnya, belum pernah didasari oleh pengetahuan agama, maka dapat dipastikan mereka akan mengalami kesulitan. Apa yang penulis kemukakan pada dasarnya menunjukkan bahwa tidak semua guru memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut, oleh karena itulah penulis berusaha untuk mengkaji materi mata pelajaran, utamanya materi mata pelajaran biologi dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan agama Islam dan dalil-dalil naqli (ayatayat dan hadits-hadits Nabi saw.) Walaupun demikian guru sebenarnya punya banyak kesempatan untuk mengintegrasikan IMTAQ pada saat proses pembelajaran. Misalnya seorang guru olah raga dalam menata pakaian pada saat berolah raga dengan kriteria yang terorientasi pada tatanan melindungi aurat. Keterkaitan materi pelajaran pada setiap mata pelajaran dengan pendidikan agama Islam terutama pada dimensi iman dan taqwa tidak hanya dilihat dari sisi substansi materinya, tetapi bisa saja terjadi dalam abstraksi ragam makna dari sebuah materi pelajaran. Artinya setiap materi dari semua mata pelajaran selalu dapat dipahami dengan dalil naqli atau ayat57
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
ayat qauniyah, dengan memperhatikan konsep yang tersirat dari yang tersurat. Seiring dengan itu dalam pembahasan selanjutnya penulis hanya membahas abstraksi ragamnya makna materi dari sebuah mata pelajaran biologi di Sekolah Menengah Atas dilihat dari pengembangan Pendidikan Agama Islam yang terintegrasi dalam iman dan taqwa. B. Pengembangan PAI Melalui Pengintegrasian IMTAQ Ke dalam Mata Pelajaran Untuk menghindari terjadinya salah pengertian dalam pembahasan ini, penulis merasa perlu memberikan penegasan dan penjelasan secara rinci, yakni sebagai berikut: 1. Pengertian Pendidikan Agama Islam Istilah pendidikan dalam bahasa agama sama dengan tarbiyah. Tarbiyah bermakna; pengaturan, bimbingan dan upaya pendewasaan. Dalam istilah tarbiyah tersirat istilah lain yaitu ta’lim. Ta’lim bermakna penanaman nilai intelektual atau penetrasi pengetahuan. Para ahli mendefenisikan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk mencapai kedewasaan dari berbagai aspek perkembangan fisik dan psikis peserta didik. Usaha sadar itu dapat berarti pewarisan nilai-nilai kebudayaan 58
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
dari generasi tua kepada generasi muda. Pada sisi lain dapat bermakna pengembangan potensi pribadi manusia. Usaha sadar untuk mencapai kedewasaan dan pengembangan potensi mengandung makna bahwa pendidikan adalah proses perubahan terhadap manusia yang belum dewasa. Proses pendewasaan, pewarisan nilai-nilai dalam hubungannya dengan pendidikan agama Islam adalah sebuah upaya untuk memaknai perubahan dan pendewasaan dengan pendidikan yang sarat nilai-nilai agama yakni nilai-nilai keislaman. Minimal ada tiga garis besar ajaran Islam yang sarat dengan nilai dan penetrasi pengetahuan, yaitu; 1). cara berhubungan dengan Allah, 2). cara berhubungan dengan sesama, dan 3). cara berhubungan dengan lingkungan. Ketiga hal tersebut menjadi dasar dalam memahami ilmu pengetahuan lainnya termasuk dalam penerapannya dan menjadi inspirasi dalam berbuat, bertindak serta bersikap. 2. Pengintegrasian IMTAQ Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan ”Integrasi : dalam konteks sifat berarti ”merupakan satu kesatuan”. Pengintegrasian berasal dari kata integrasi yang ditambah dengan awalan peng dan akhiran an, yang artinya
IMTAQ adalah kepanjangan dari Iman dan Taqwa. Maksudnya adalah iman dan taqwa manusia (baca siswa) kepada Allah SWT. Pengintegrasian IMTAQ ke dalam mata pelajaran adalah upaya membaurkan materi-materi (nilai-nilai) ajaran Islam ke dalam mata pelajaran berupa dalil-dalil naqli dan aplikasi dari nilai tersebut bagi setiap guru mata pelajaran atau semua warga sekolah, agar tidak ”membias kearah dikotomi antara keimanan dan ketaqwaan dengan ilmu pengetahuan” (Hendy Z. Sunarno; 2003: 1) 3. Sikap dan Kepribadian Guru Mata Pelajaran Guru mata pelajaran adalah mereka yang memiliki kualifikasi pendidikan dalam bidangnya. Sebagai pemegang label pendidik terlepas dari identitas mata pelajarannya guru adalah sentral figur panutan bagi para siswanya. Oleh karena itu guru dituntut untuk mampu memahami, menghayati tugasnya dengan berpikir logis dan sistematis. Berpikir logis adalah pola berpikir yang dapat diterima sesuai norma dan nilai yang menjadi budaya di masyarakat serta tidak pernah bertentangan dengan hati nurani. Sedangkan berpikir sistimatis adalah pola berpikir yang mengarah pada pembinaan secara
”pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh”. (Kamus Besar Bahasa Indonseia; 2002:347). Sedangkan istilah
berjenjang dalam menanamkan norma, nilai, sehingga muncul suatu kesadaran bahwa sesuatu yang dilakukan mengandung
59
60
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
nilai pendidikan. Artinya guru tidak hanya sebagai model, tapi sebagai pembuat model yang dilandasi dengan iman dan taqwa. Kemampuan profesional guru tidak diukur dari kemampuan intelektualnya saja, melainkan juga dituntut memiliki keunggulan dalam aspek moral, keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggung jawab dan keluasan wawasan kependidikannya dalam mengelola pembelajaran”.(Depag RI; 2001 : 7). Seiring dengan hal tersebut, konteks sikap dan kepribadian guru di Indonesia telah dituangkan dalam kode etik guru Indonesia, yaitu; 1) guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila, 2) guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional, 3) guru berusaha memperolah informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan, 4) guru menciptakan suasana sekolah sebaikbaiknya yang menjunjung berhasilnya proses belajarmengajar, 5) guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan, 6) guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan
kesetiakawanan sosial, 8) guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian, 9) guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintahan dalam bidang pendidikan. Syarat-syarat yang ditetapkan bagi profesi guru seperti tercermin dalam kode etik di atas akan lebih memberi makna terhadap tugasnya apabila telah dimilikinya, sehingga menjadi budaya dan kebiasaan dalam kehidupannya sehari-hari baik dalam pergaulan di masyarakat, lebih-lebih pergaulan di sekolah dalam konteks pembelajaran. 4. Fokus Materi IMTAQ pada Mata Pelajaran Umum Mata pelajaran umum yang dimaksud dalam tulisan ini adalah semua mata pelajaran yang terdapat di dalam struktur kurikulum selain mata pelajaran PAI. Program studinya meliputi; program ilmu alam, ilmu sosial dan bahasa. Masingmasing program studi memiliki penekanan sesuai dengan prinsif-prinsif dan fokus dari program itu sendiri. Program studi ilmu-ilmu alam menekankan pada pemahaman prinsip-prinsip alam serta mendorong siswa untuk bekerja dan bersikap ilmiah. Program ini meliputi mata pelajaran; matematika, fisika, dan biologi. Prinsif untuk
meningkatkan mutu dan martabat profesinya, 7) guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan
bekerja dan bersikap ilmiah secara jelas terdapat dalam Firman Allah yang artinya “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang
61
62
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
selalu mengikuti secara bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila mereka menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindungi bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’du : 11). Program studi ilmu-ilmu sosial menekankan pada pemahaman prinsip-prinsip kemasyarakatan untuk mendorong siswa mengembangkan potensinya dalam menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bersama. Program ini meliputi mata pelajaran; PPkn, ekonomi, sejarah, dan sosiologi. Prinsip kemasyarakatan untuk mendorong siswa mengembangkan potensinya dalam menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bersama merupakan prinsip yang sangat banyak dijelaskan dalam al-Qur’an., misalnya “manusia berpotensi menjadi khalifah di bumi sebanyak 9 ayat di dalam surah yang berbeda. Perintah amar ma’ruf nahi mungkar yang harus dilakukan manusia sebanyak 12 ayat. Perintah menegakkan keadilan sebanyak 8 ayat. Memajukan perindustrian, ekonomi, untuk
1296-1297) Program studi bahasa menekankan pada pemahaman prinsip-prinsip multikultural dan komunikasi secara efektif melalui bahasa. Program ini meliputi mata pelajaran; Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Asing lainnya, Teknologi Informasi dan Komunikasi. Prinsif multikultural tidak pernah dipertentangkan oleh al-Qur’an, seperti hak individu (QS. Al-Kafirun : 6), prinsip komunikasi (QS. AnNahl : 125 dan QS. Luqman : 18-19) serta teknology (QS. ArRahman : 33). Ketiga program tersebut di atas kalau dibaurkan dengan ayat-ayat al-Qur’an, maka al-Qur’an sesungguhnya sangat berhak untuk menjadi dasarnya. Kajian tentang sejarah seperti; sejarah umat yang terdahulu, sejarah perjuangan para nabi, cerita-cerita orang yang haus harta (qarun dan fir’aun) merupakan pembelajaran yang dapat disisipkan dalam rangka penanaman nilai IMTAQ. 5. Gambaran Materi Pelajaran Biologi di SMA Berdasarkan silabus yang terdapat dalam kurikulum Mata Pelajaran Biologi SMA, ada 5 Standar Kompetensi yang menjadi pembahasan. Satu di antaranya tidak termasuk materi
kemakmuran bersama, koperasi dan gotong royong, dan larangan meerusak lingkungan”. (H.Oemar Bakry; 1984:
inti, melainkan bersifat umum. Oleh karena itu penulis hanya menampilkan empat standar kompetensi tersebut sebagai
63
64
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
berikut: Pertama, memahami hakikat biologi sebagai ilmu, menemukan objek dan ragam persoalan dari berbagai tingkat organisasi kehidupan yang ada di lingkungan sekitar. Kompetensi ini terdiri dari materi; ruang lingkup biologi, struktur organisasi kehidupan, cabang-cabang biologi, manfaat dan bahaya perkembangan biologi. Ruang lingkup lingkup biologi memiliki 6 kerajaan objek meliputi;1) plantae, 2) animalia, 3) protista, 4) fungsi (jamur), 5) archaebacteria, 6) eubacteria. Sesuai dengan kajiannya biologi mempelajari makhluk hidup yang disebut organisme. Organisme terdiri dari satu sel (uniseluler) dan banyak sel (multi seluler). Objek biologi adalah tumbuhan dan hewan, kecuali protista. Struktur organisasi kehidupan meliputi; 1) organisasi kehidupan tingkat sel, 2) organisasi kehidupan tingkat jaringan, 3) organisasi tingkat organ, 5) organisasi kehidupan tingkat sistem organ, 6) organisasi kehidupan tingkat individu. Organ tersusun oleh bermacam-macam jaringan. Jaringanjaringan tersusun oleh sel. Di dalam sel terdapat cairan yang berfungsi menjalankan proses kehidupan. Cabang-cabang biologi murni terbagi dalam dua, yaitu pembagian berdasarkan lapisan vertikal dan karatan 65
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
taksonomi. Lapisan vertikal; morfologi, anatomi, histologi, fisiologi, genetika, embriologi, organologi, teratologi, ekologi, evolusi, palaoentologi, ontogeni. Sedangkan karatan taksonomi; mikologi, mikrobiologi, virologi, entomologi, ornitologi, botani, zoologi, bakteriologi. Manfaat dan bahaya perkembangan biologi. Manfaat biologi; mendidik manusia untuk terampil dan bersikap ilmiah, sadar terhadap hidup dan kehidupan dalam lingkungan untuk menanggulangi berbagai macam penyakit. Untuk memenuhi kebutuhan makanan seperti penemuan bibit unggul. Sedangkan bahayanya lebih bergantung pada sipelaku. Ketika pengetahuan biloginya dijadikan sebagai pemusnah massal atau pemanfaatan tanpa mempertimbangkan keutuhan ekosistem. Kedua, mengaplikasikan prinsip-prinsip pengelompokkan makhluk hidup untuk mempelajari keanekaragaman dan peran keanekaragaman hayati bagi kehidupan. Kompetensi ini terdari dari; 1) membandingkan ciri keanekaragaman hayati pada tingkat gen, jenis dan ekosistem, 2) konsep keanekaragaman hayati, 3) keanekaragaman hayati Indonesia, kegiatan manusia yang mempengaruhi keanekaragaman hayati, 4) prinsip-prinsip klasifikasi, 5) kunci determinasi sederhana, 6) tata nama binomial, 7) ciri struktur replikasi, 66
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
8) klasifikasi monera, 9) peranan monera bagi kehidupan, 10) ciri struktur kingdom protista, 11) peranan protista bagi kehidupan, 12) ciri, struktur, repleksi kingdom kehidupan, 13) peranan fungsi bagi kehidupan, 14) ciri-ciri perkembangbiakan manfaat plantae, 15) ciri-ciri umum kingdom animalia, dasar pengelompokan, perannya dalam kehidupan. Ketiga, menganalisa hubungan antara komponen ekosistem, perubahan materi dan energi serta peranan manusia dalam keseimbangan ekosistem. Kompetensi ini terdari dari; 1) ekosistem dan peranan manusia dalam kesimbangannya, 2) aliran energi, 3) rantai makanan, 4) piramida ekologi, 5) daur biogeokimia, daur ulang limbah organik. Keempat, menganalisa hubungan antara komponen ekosistem, perubahan materi dan energi serta peranan manusia dalam keseimbangan ekosistem. Kompetensi ini meliputi; 1) ekosistem dan peranan manusia dalam keseimbangannya, 2) aliran energi, 3) rantai makanan, 4) piramida ekologi, 5) duar biokimia, 6) pencemaran lingkungan, 7) perubahan lingkungan, 8) daur ulang limbah organik. Kelima bioteknologi, prinsip-prinsip, peran dan implikasinya bagi sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat. Kompetensi ini meliputi; 1) prinsip dasar perkembangan bioteknologi, 2) peran bioteknologi bagi perkembangan sains 67
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
dan teknologi, serta pada perubahan lingkungan dan masyarakat, 3) implikasi bioteknologi bagi perkembangan sains dan teknologi, serta pada perubahan lingkungan dan masyarakat. 6. Imtaq pada Materi Mata Pelajaran Biologi di SMA Inti pembahasan biologi adalah makhluk hidup yang dikenal dengan istilah organisme yang menitik beratkan kajiannya pada berbagai fenomena kehidupan makhluk hidup, yakni organisme kehidupan dan interaksinya dengan faktor lingkungan. Akhir-akhir ini struktur keilmuan biologi memiliki 6 kerajaan objek; 1) plantae, 2) animalia, 3) protista, 4) fungsi (jamur), 5) archaebacteria, 6) eubacteria. Organisme dalam melangsungkan fungsi hidupnya berjalan berdasarkan siklus yang sudah ditetapkan oleh Allah. Inilah yang disebut dengan sunnatullah. Sunnatullah ini ada sebelum manusia ada ”keputusan Allah terhadap sesuatu rencana yang telah ditentukan” ( Umar Hasyim; 1973 : 7). Organisme kehidupan dengan berbagai strukturnya merupakan sesuatu yang sangat unik yang sudah direncanakan Allah sebelumnya. Kehidupan makhluk yang sangat unik ini tidak hanya sebagai tanda kebesaran Allah, akan tetapi mendidik manusia untuk takjub pada ciptaan-Nya. Hidupnya organisme kehidupan dari tingkat sel yang disebut makhluk hidup, tingkat 68
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
seluler, tingkat jaringan-jaringan, tingkat organ dan tingkat sistem organ. Allah berfirman yang artinya: ”Tuhan kami, bukanlah Engkau ciptakan semua in dengan percuma. Maha suci Engkau Ya Allah. Maka lepaskanlah kami dari azab neraka”. (QS. Ali Imran : 191). Konsep dasar ketakjuban kepada Allah akan dapat membawa manusia selalu ingat kepada Allah sebagai Maha pencipta alam semesta termasuk diri manusia sendiri. Manusia adalah makhluk hidup yang berada dalam organisme kehidupan tingkat individu, karena ia tersusun oleh sistem organ-sistem organ. Misalnya organ pencernaan, antara lain; 1) rongga mulut, 2) esofagus, 3) lambung, hati, pankreas, 4) usus halus (intestinum), 5) usus besar (kolon), 6) rektum, 7) anus. Belum lagi sejumlah orga-organ lainnya dengan berbagai macam jaringan yang tersusun oleh sel-sel. Organ otak dengan berbagai jaringan selnya yang terdiri dari ribuan syaraf, bahkan milyaran. Inilah ”ahsani takwim” sebaik-baik kejadian, sesempurna kejadian, sebagaimana firman-Nya yang artinya ”Sesungguhnya telah kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik”. (QS. At-Tiin : 4). Perkembangan ilmu pengetahuan atas dasar sunnatullah
mengarah pada spesialisasinya. Dalam biologi murni misalnya ada pembagian berdasarkan ”lapisan” vertikal, dan berdasarkan karatan ”taksonomi”. Lapisan vertikal meliputi; morfologi, anatomi, histologi, fisiologi, genetika, embriologi organologi, teratologi, ekologi, evolusi, palaeontologi, ontogeni dan lain-lain. Karatan taksonomi meliputi; mikologi, mikrobiologi, virologi, entomologi, ornitologi, botani, zoologi, bakteriologi dan lain-lain. Penemuan-penemuan ini merupakan kemampuan manusia membaca objek alam semesta, sebagaiman firman Allah ”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. (QS. Al-’Alaq : 1). Objek alam semesta sebagai ciptaan Tuhan melahirkan berbagai pengetahuan. Allah berfirman yang artinya ”Dan Allah mengajarkan kepada nabi Adam semua nama-nama benda, kemudian diajukan-Nya kepada Malaikat. Kemudian Allah berfirman, ”.... Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika memang kamu yang benar”. Mereka menjawab, ”Maha Suci Engkau. Tidak ada pengetahuan kami kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. AlBaqarah : 31 – 32 ).
termasuk perkembangan biologi dengan berbagai cabangnya semakin hari semakin banyak ditemukan cabangnya dan lebih
Biologi sebagai suatu sains memliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Penelitian tentang penyakit yang diderita
69
70
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
manusia, bahkan makhluk lainnya dapat terdeteksi oleh pengetahuan biologi. Pengetahuan ini menghasilkan berbagai macam obat-obatan antibiotik serta anti infeksi yang dapat menyelamatkan manusia dari kematian. Allah menumbuhkan bermacam-macam tumbuhan yang dapat dijadikan obat oleh manusia. Allah berfirman ”Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukan untuk (kepentinganmu) apa yang ada di langit dan di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin”. (QS. Luqman : 20 ). Pada sisi lain apabila manusia menyalahartikan manfaat biologi tidak menutup kemungkinan dapat menjadi senjata pemusnah massal bagi kehidupan manusia. Oleh karena itulah Allah mengingatkan agar manusia berada dalam kebenaran dan kesabaran, sehingga mengelola alam semesta ini sebagai amal shaleh yang dilandasi dengan nilai iman. Allah berfirman yang artinya ”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan melakukan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya menjalankan kebenaran dan nasihat menasihati supaya sabar”. (QS. Al’Ashr : 1 - 3). Allah Maha Kaya. Kekayaan Allah meliputi alam
keanekaragaman hayati merupakan implikasi kasih sayang Allah sebagaimana tertuang dalam kalimat basmalah, sebagaimana firman-Nya yang artinya ”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Fatihah : 1). Keanekaragaman gen, jenis dan ekosistem merupakan keanekargaman hayati yang menghasilkan organisme kehidupan yang berbeda. Jenis tanaman padi dan mangga dengan berbagai macam namanya merupakan keanekaragaman gen. Keanekagaman jenis merupakan keanekaragaman hayati tingkat jenis (antarspesis) adalah tumbuhan yang merupakan satu kelompok, namun tetap berbeda. Misalnya jenis tumbuhan palam-palaman. Sedangkan keanekaragaman ekosistem merupakan kesatuan dari faktor biotik dan abiotik. Interaksi biotik dengan biotik, abiotik dengan abiotik sebagai sutu komponen agar dapat bertahan hidup. Realitas dari keanekaragaman ini merupakan ”Suatu rencana yang telah ditentukan oleh Allah sejak zaman ’azali dan segala sesuatu itu terjadi menurut ukuran atau jangka yang telah ditentukan” (Umar Hasyim; 1973 : 7). Allah mengqadhakan tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia dengan
semesta dan kekayaan itu semua diperuntukkan bagi kepentingan manusia. Fakta dari biologi tentang
qadarnya. Tumbuhan yang satu berbeda dengan tumbuhan yang lain. Hewan yang satu berbeda dengan hewan yang lain.
71
72
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lain. Itulah keanekaragaman gen dan keanekeragaman jenis serta keanekaragaman ekosistem. Istilah klasifikasi keanekaragaman hayati dalam biologi adalah dalam rangka menggambarkan betapa banyaknya hewan, tumbuh-tumbuhan dengan berbagai jenis ragamnya yang perlu dikelompokkan pada persamaan dan perbedaannya. Melihat lengkapnya ciptaan Allah termasuk jenis hewan dan tumbuh-tumbuhan adalah sebagai sesuatu yang perlu disyukuri. Cara mensyukurinya dengan; melestarikannya dan memanfaatkannya untuk kepentingan kehidupan manusia . Melestarikannya berarti memelihara untuk lebih baik, sebagaimana firman Allah yang artinya ”Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya. Dan mohonlah kepada-Nya dengan perasaan takut dan penuh harapan (akan diterima). Sesungguhnya rahmat Allah itu lebih dekat kepada orang yang berbuat baik” (QS. Al-’Araf : 56). Memanfaatkannya harus sesuai pula dengan tuntunan syari’ah Allah. Misalnya ketika memanfaatkan hewan sebagai makanan. Makanlah hewan yang dibenarkan oleh syari’at Islam. Minumlah
berfirman ”Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan tidak berjunjung, pohon korma, tanaman yang beraneka ragam rasa (buahnya), zaitun dan delima yang (hampir) serupa dan juga berbeda-beda bentuknya. Makanlah buahnya manakala sudah berbuah dan bayarkanlah haknya (dengan mengeluarkan zakat dan memberikan kepada fakir miskin) diwaktu memetik hasilnya. Dan janganlah kamu berlebihan Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan”(QS. Al-An’am : 141). Di lain ayat Allah berfirman ” ... Berbaut baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesngguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. Al-Qashash : 77). Gambaran tentang klasifikasi baik hewan maupun tumbuh-tumbuhan tidak hanya bermanfaat sekedar untuk kepentingan gizi dan protein bagi perkembangan dan pertumbuhan tubuh manusia, akan tetapi ia juga memiliki nilai ekonomis dan kesehatan bagi kelangsungan hidup manusia. Semakin dikaji klasifikasi keragaman hewan dan tumbuhtumbuhan, baik berdasarkan perbedaan maupun persamaannya semakin terbukalah kesadaran bahwa Allah itu ”wujud”. Inilah
minuman dari tumbuh-tumbuhan sesuai syari’at Islam (termasuk halal haramnya) dan berlebihan tidaknya. Allah
salah satu makna peringatan Allah kepada manusia. Allah berfirman yang artinya ”Jangan pikiran zat-Ku, tapi
73
74
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
pikirkanlah ciptaan-Ku”. ”Dan di bumi ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga ada tanda-tanda kekuasaan Allah) pada dirimu sendiri. Kenapa tidak kamu perhatikan ?” (QS. Adz-Dzariyaat:20-21). Ilmu Biologi dalam konteks sains mengkaji tentang organisme kehidupan, dimana para ahli biologi mengkaji ciriciri kehidupan, misalnya disamping dapat berkembang biak juga memiliki ciri benda mati yang dapat dikristalkan seperti virus. Perkembangbiakan virus baik pada hewan, maupun pada tumbuh-tumbuhan berlangsung pada bakteriofag, yaitu melalui fase adsorpsi, sentisis, dan lisis. Ilmu biologi juga berbicara tentang bakteri dengan berbagai ciri, refreduksi bakteri, bentuk ukuran bakteri, jenisjenis bakteri, subkingdom arkhaebakteria, kegunaan bakteri dalam kehidupan manusia dan proses yang dilalui bakteri untuk masuk ke dalam tubuh manusia. Inilah salah satu sains dalam biologi sebagaimana firman Allah yang artinya “Hai Jin dan Manusia jika kamu dapat menembus penjuru langit dan bumi maka tembuslah. Kamu tidak akan dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan” (QS. Ar-Rahman : 33). Kekuatan dalam ayat tersebut adalah ilmu pengetahuan
C. Penutup 1. Kesimpulan Beranjak dari uraian di atas dapatlah diambil beberapa kesimpulan, bahwa : a. Pengembangan Pembelajaran PAI dapat dilakukan melalui pengintegrasian IMTAQ kedalam semua mata pelajaran. b. Guru merupakan faktor penentu dalam pengintegrasian IMTAQ, yaitu guru profesional yang memenuhi dan memiliki persyaratan-persyaratan sebagai guru. c. Biologi adalah salah satu bagian dari disiplin ilmu pengetahun dengan berbagai macam cabang ilmunya yang merupakan sunnatullah yang terjabar dalam ajaran qadha dan qadar, menyatu dalam asma dan sifat-
(sains). Karena Allah itu Maha Tahu, maka ilmu Allah meliputi alam semesta. Salah satu dari perwujudan ilmu adalah
Nya. Oleh karena itu ia tidak dapat dipisahkan dari sudut pandangan syari’at Islam, bahkan biologi
75
dengan diberi tahukan-Nya kepada manusia. Semakin banyak manusia bertafakkur (berpikir) atau melakukan pengkajian (penelitian) semakin banyak pula ia mendapatkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu Allah menyatakan dalam hadits qudsi ”Berpikir sesaat lebih bagus dari beribadah 80 tahun” (hadits kudsi).
76
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari al-Qur’an. 2. Saran-Saran Dalam rangka untuk mengembangkan pembelajaran Pendidikan Agama Islam melalui pengintegrasian imtaq pada mata pelajaran (baca mata pelajaran biologi), diharapkan agar; a. Pihak yang berkompeten dapat meningkatkan jumlah pelatihan IMTAQ bagi guru khusus guru mata pelajaran biologi di sekolah. b. Pihak yang berkompeten dapat meningkatkan wawasan guru mata pelajaran PAI, melalui pelatihan wawasan kependidikan dalam konteks mata pelajaran umum. c. Guru mata pelajaran PAI dan guru mata pelajaran umum agar dapat saling memberikan informasi pengetahuannya dalam rangka pengembangan PAI di sekolah, sebagai upaya pengintegrasian IMTAQ bagi para siswa. d. Pihak sekolah membuat program-program khusus pengembangan PAI melalui pengkajian bersama baik yang berkaitan dengan materi pelajaran, maupun aplikasi pendidikan agama IMTAQ kepada para siswa.
untuk
menanamkan
77
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
DAFTAR PUSTAKA Departemen Agama Republik Indonesia. 1994. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang : Kumudasmoro Grafindo. Abuddin Nata. 2003. Manajemen Pendidikan : Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana. Abu Ahmadi, Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. Ahmad Tafsir. 1992. Metodek Khusus Pendidikan Agama Islam. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Bagian Proyek Peningkatan Wawasan kependidikan Guru Agama Jakarta. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Athiyah Al-Abrasyi. 1974. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta : Bulan bintang. Cet. Ke-2. Alberts, B, et al. 1994. Biologi Molekuler Sel. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Oemar Bakry. 1984. Tafsir Rahmat. Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada sekolah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI. 2007. Standar Isi Standar Kelulusan, Pendidikan Agama Islam. Edi Suardi. 1983. Pedagogik 3 Guru dan Pembaharuan Pendidikan. Bandung : Angkasa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta. 78
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Hendy Zaidan, Sunarno. 2003. Suplemen Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Peningkatan Mutu Imtaq Siswa SLTA. Jakarta : Dirjen Dikdasmen Bagian Proyek Peningkatan Wawasan Keagamaan Diknas. Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Biologi Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. D.A. Pratiwi. Dkk. 2004. Buku Penuntun Biologi Kelas X. Jakarta : Erlangga. Zakiah Daradjat. 1982. Pendidikan Agama Islam dalam Pembinaan Mental. Jakarta : Bulan Bintang.
79
80
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM MENUJU ERA GLOBALISASI Musa Al Hadi* Abstrak The Paradigm of Islamic Education must be able to develop ability and behaviour of human beings which can reply not only internal but also global challenges toward the “Madani” society. In addition, it is not only limited to the Islamic teaching, e.g. Fiqh and others, but also for the better Paradigm of Islamic Education for all Moslems. So, the Moslem must be able to increase the personal quality for themselves by enlarge thought and sight through education. Finally they are able to compete in global era in mastering science and technology. Kata-kata kunci: Paradigma, pendidikan, kompetitif, global.
A.Pendahuluan Telah diketahui bersama bahwa salah satu tuntutan gerakan reformasi tahun 1998 ialah diadakannya reformasi dalam bidang pendidikan. Tuntutan reformasi itu dipenuhi oleh DPR-RI bersama dengan pemerintah, dengan disahkannya Undang-undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Nasional) tanggal 11 Juni 2003 yang lalu.1 Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, berbeda dengan praktis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan atau mengasingkan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma (paradigma shift) dari pendidikan menuju era globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia,2 oleh karena itu, arah perubahan paradigma pendidikan Islam diarahkan untuk terbentuknya masyarakat madani dengan kualitas SDM yang bagus, seperti yang dikatakan oleh Prof. DR. Ach. Sanusi bahwa tak salah lagi jika Pendidikan dikatakan sebagai poros utama yang menjalankan fungsi pengembangan sumber daya manusia.3 Dengan paradigma Pendidikan Islam menuju era globalisasi manusia Indonesia dituntut bukan hanya menguasai satu bidang ilmu agama saja, akan tetapi dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengetahui informasi, sehingga untuk 1
Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam Undang-Undang Sisdiknas, (Jakarta : Depag RI, 2003), hal. 1. 2
*
Penulis adalah Dosen dan Kepala Bagian Perpustakaan STAI Rakha Amuntai. Saat ini sedang menyelesaikan study pada Program Pascasarjana (S2) UNINUS Bandung.
81
3
H.A.R. Tilaah, Pendidikan, Kebudayaan,…, hal. 168.
Ach. Sanusi, Mari Bergabung Dengan Kami dalam Kajian Paradigma, (Bandung, 1999), hal. 16.
82
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
merealisasikan cita-cita reformasi dan arah Paradigma Pendidikan Islam itu sendiri yaitu mencapai masyarakat madani bisa terwujud. Karena apabila peserta didik dalam hal ini manusia Indonesia tidak memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi pada lingkungan global dia akan tergilas serta tertinggal yang pada gilirannya akan terjadi ke chaosan dan kompleksitas dan dia tidak dapat bersaing di lingkungan global yang sangat kompetitif ini. Untuk Meningkatkan peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif dalam upaya pengembangan pendidikan maka perlu dilakukan pemberdayaan institusi masyarakat seperti keluarga, LSM, pesantren, dunia usaha4, lembaga-lembaga kerja, dan pelatihan dalam upaya pengelolaan dan pengembangan pendidikan, yang diorientasikan kepada terbentuknya masyarakat madani Indonesia. Berdasarkan pandangan ini, pendidikan Islam sudah harus diupayakan untuk mengalihkan paradigma yang berorientasi ke masa lalu (abad pertengahan) ke paradigma yang berorientasi kemasa depan, yaitu mengalihkan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan keparadigma pendidikan yang merintis kemajuan dan
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
mengalihkan paradigma dari yang berwatak feodal menuju paradigma pendidikan yang berjiwa demokratis.5 Mengalihkan paradigma dari pendidikan sentralisasi keparadigma pendidikan desentralisasi, sehingga menjadi pendidikan Islam yang kaya dalam keberagaman dengan titik berat pada peran masyarakat dan peserta didik. Dalam proses pendidikan, perlu dilakukan ”kesetaraan” perlakuan sektor pendidikan dengan sektor lain, pendidikan harus berorientasi rekonstruksi sosial, pendidikan harus dalam rangka pemberdayaan umat maupun bangsa dan pemberdayaan infrastruktur sosial untuk kemajuan pendidikan Islam. Dari pandangan ini, berarti diperlukan perencanaan terpadu secara horizontal (antar sektor) dan vertikal (antar jenjang; bottom-up dan topdown planning), pendidikan harus berorientasi pada peserta didik dan pendidikan harus bersifat multikultural serta pendidikan dengan perspektif global”.6 Rumusan paradigma pendidikan tersebut, paling tidak memberikan arah sesuai arah pendidikan, yang secara makro dituntut menghantarkan masyarakat menuju masyarakat 5
4
Fasli Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta : Adicita, 2001), hal. 5
83
Winarno Surakhmad, Profesionalisme Dunia Pendidikan, (Jakarta, 27 Mei 2002), (www. Bpk penabur.or.id). 6
84
Fasli Jalal, loc.cit.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
madani Indonesia yang demokratis, relegius dan tangguh menghadapi lingkungan global. B. Tujuan Pendidikan Tujuan Pendidikan telah mengalami sekian kali perubahan, seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi terkait dengan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Menurut Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 pasal 1 (ayat 1) disebutkan bahwa ”pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”.7 Dari rumusan ini, kemudian dijabarkan di dalam GBHN tahun 1993 tentang tujuan pendidikan nasional ”pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, tanggungjawab dan produktif serta sehat
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
jasmani dan rohani.”8 Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No.20 tahun 2003, dijelaskan bahwa pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.9 Di sisi lain Pendidikan Islam juga mempunyai tujuan seperti dikemukakan para ahli. Menurut Ahmadi, ”tujuan pendidikan Islam adalah sejalan dengan pendidikan hidup manusia dan peranannya sebagai makhluk Allah SWT yaitu semata-mata hanya beribadah kepada-Nya.”10 Firman Allah SWT dalam Al Qur’an surah Adz-Dzariyah ayat 56 yang 8
Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1993 Tentang GBHN 1993-1998, (Surabaya : Karya Ilmu, 1993), hal.103-104. 9
Undang-undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 pasal 3, Tentang Sistem Pendidikan Nasional Beserta Penjelasannya, (Bandung : Citra Umbara, 2003), hal. 7. 7
Undang-Undang Republik Indonesia No.2 Th 1898 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Surabaya : Aneka Ilmu, 1992), hal 2.
85
10
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta : Aditya media, 1992), hlm. 14.
86
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
artinya berbunyi: “Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”.11 Yusuf Amir Faisal merinci tujuan pendidikan Islam sebagai berikut : 1) Membentuk manusia muslim yang dapat melaksanakan ibadah mahdloh; 2) Membentuk manusia muslim disamping dapat melaksanakan ibadah mahdlah dapat juga melaksanakn ibadah muamalah dalam kedudukannya sebagai orang per orang atau sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan tertentu; 3) Membentuk warga negara yang bertanggungjawab pada Allah SWT sebagai pencipta-Nya; 4) Membentuk dan mengembangkan tenaga professional yang siap dan terampil atau tenaga setengah terampil untuk memungkinkan memasuki masyarakat; 5) Mengembangkan tenaga ahli dibidang ilmu agama dan ilmu–ilmu Islam yang lainnya.12 Dengan perumusan tujuan pendidikan ini yaitu menciptakan manusia Indonesia yang mempunyai kualitas SDM yang bagus, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, memiliki kemampuan profesionalisme, tangguh,
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
cerdas, kreatif dan terampil, memiliki wawasan yang luas baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu umum serta mengetahui Tekhnologi Informasi sehingga mampu berfikir tingkat tinggi agar arah paradigma Pendidikan Islam yaitu menuju masyarakat madani dapat tercapai sesuai dengan yang dicita-citakan. C. Paradigma Pendidikan Islam Menuju Era Globalisasi 1. Pengertian Paradigma Dalam Kamus Ilmiah Populer ”Paradigma adalah Contoh; tasrif; teladan; pedoman; dipakai untuk menunjukkan gugusan sistem pemikiran; bentuk kasus dan pola pemecahannya.”13 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pengertian ”Paradigma yaitu Model teori ilmu pengetahuan; kerangka berfikir”14 2. Pengertian Pendidikan Islam Pendidikan Islam menurut ahmad D. Marimba adalah : ”Bimbingan jasmani maupun rohani berdasarkan hukum13
11
RHA Soenarjo, et. al, AL-Qur’an dan terjemahnya, (Semarang : Al Wa’ah, 1993), hal. 862. 12
Yusuf Amir Faisal, Reorientasi pendidikan Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hal. 96.
87
Pius A Partanto, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya : Arkola, 1994), hal.566. 14
Tim Penyusun Kamus Pusta Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1994), Edisi 2, Cet ke-3, hal.729.
88
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.15 Senada dengan pendapat di atas, menurut Chabib Thoha pendidikan Islam adalah ”pendidikan yang falsafah dasar dan tujuan serta teori-teori yang dibangun untuk melaksanakan praktek pandidikan berdasarkan nilai dasar Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits”.16 Menurut Achmadi pendidikan Islam adalah ”segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insan yang berada pada subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian muslim”.17 Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis 15
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung : Al Ma’arif, 1989), hal. 21. 16
HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hal. 99. 17
Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta : Aditya Media), 1992, hal. 14.
89
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
pengetahuan, sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam atau sebagaimana menurut Abdurrahman an-Nahlawi Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah. Pendidikan Islam bukan hanya sekedar ”transfer of knowledge” ataupun ”transfer of training”, ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan. Dengan demikian, pendidikan Islam adalah suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia kearah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan adalah ”nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan di akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits. Jadi, konsepsi pendidikan model Islam tidak hanya melihat bahwa pendidikan sebagai upaya ”mencerdaskan” semata 90
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
(pendidikan intelek, kecerdasan), melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya. Pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakekat keberadaan (eksistensi) manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di depan Allah, perbedaanya adalah kadar ketaqwaan, sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif. Karena pendidikan berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran manusia, maka sangat urgen sekali untuk memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang diproses kearah kebahagian dunia dan akhirat. Pandangan tentang manusia antara lain : (a) Konsep Islam tentang manusia, khsususnya anak sebagai subyek didik. Sesuai dengan Hadits Rasulullah, anak manusia dilahirkan dalam Fitrah atau dengan ”potensi” tertentu. Dalam al-Qur'an dikatakan ”tegakkan dirimu pada agama dengan tulus dan mantap, agama yang cocok dengan fitrah manusia yang digariskan oleh Allah. Tak ada perubahan pada ketetapan-Nya.....”.
dalam dan oleh lingkungannya. Berbeda dengan teori Tabularasa yang menganggap anak menerima ”secara pasif” pengaruh lingkungannya, sedangkan konsep fitrah mengandung ”potensi bawaan” aktif (innate patentials, innate tendenceis) yang telah diberikan kepada setiap manusia oleh Allah. Bahkan dalam al-Qur'an, sebelum kemudian manusia itu lahir telah mengadakan ”transaksi” atau ”perjanjian” dengan Allah yaitu mengakui keEsaan Tuhan. Firman Allah surat al-A'raf : 172 yang artinya, ”Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan menyuruh agar mereka bersaksi atas diri sendiri; Bukankah Aku Tuhanmu? firman Allah. Mereka menjawab; ya kami bersaksi, yang demikian agar kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, kami tidak mengetahui hal ini”. Menurut ayat ini, setiap anak yang lahir membawa ”potensi keimanan” terhadap Allah atau disebut dengan ”Tauhid”. Sedangkan potensi bawaan yang lain misalnya potensi fisik dan intelegensi atau kecerdasan akal dengan segala kemungkinan dan keterbatasannya. Selain itu dalam al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat
(QS. Ar-Rum : 30)”. Pada mulanya anak itu dilahirkan dengan ”membawa potensi” yang perlu dikembangkan
yang menggambarkan sifat-sifat hakiki manusia yang mempunyai implikasi baik terhadap tujuan maupun cara
91
92
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
pengarahan perkembangannya. Misalnya tentang tanggung jawab bahwa manusia diciptakan tidak sia-sia, bahkan juga potensi untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan sesuai dengan tingkat kemampuan daya pikul seseorang menurut kodrat atau fitrahnya (pada al-Mu'minun : 115 dan al-Baqarah : 286). Selain itu manusia pada hakekat dan menurut kejadiannya bersedia dan sanggup memikul amanah (pada al-Ahzab : 72). Di samping itu, hal yang juga penting implikasinya bagi pendidikan menurut al-Qur'an adalah bahwa tanggung jawab yang ada pada manusia bersifat pribadi, artinya tidaklah seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul sendiri tanpa melibatkan orang lain (pada Faathir:18). Sifat lain yang ada pada manusia adalah manusia diberi oleh Allah kemampuan al-bayan (fasih perkataan - kesadaran nurani) yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang baik ( pada ar-Rahman:3-4). Kemudian dalam hadits Rasulullah, ”Barang siapa ingin mencapai kebahagian dunia harus ditempuh dengan ilmu dan barang siapa yang mencari kebahagian akhirat juga harus dengan ilmu dan barang untuk mencari keduanya juga harus dengan ilmu”. Dengan 93
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
demikian, tugas dan fungsi pendidikan adalah mengarahkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada seseorang seoptimal mungkin sehingga ia berkembang menjadi seorang muslim yang baik. (b) Peranan pendidikan atau pengarah perkembangan. Potensi manusia yang dibawa sejak dari lahir itu bukan hanya bisa dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga bisa berkembang terarah bila dengan bantuan orang lain atau pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik mengarahkan segala potensi subyek didik seoptimal mungkin agar ia dapat memikul amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sesuai dengan profil manusia muslim yang baik. (c) Profil manusia muslim. Profil dasar seorang muslim yang baik adalah ketaqwaan kepada Allah. Maka perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada pembentukan ketaqwaan. (d)Metodologi pendidikan. Metodologi diartikan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya melalui proses belajar-mengajar. Pandangan bahwa seseorang dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang secara aktif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses belajar-mengajar harus
94
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif (student active learning). Jadi, pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa ”potensi bawaan” seperti potensi ”keimanan”, potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan dan potensi fisik. Dengan potensi ini manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampu menjadi khalifah dan mengabdi kepada Allah. Berdasarkan uraian di atas, pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits sangat luas, meliputi pengembangan semua potensi bawaan manusia yang merupakan rahmat Allah. Potensi-potensi itu harus dikembangkan menjadi kenyataan berupa keimanan dan akhlak serta kemampuan beramal dengan menguasai ilmu (dunia - akhirat) dan keterampilan atau keahlian tertentu sehingga mampu memikul amanat dan tanggung jawab sebagai seorang khalifah dan Muslim yang bertaqwa. Tetapi pada realitasnya pendidikan Islam, sebagaimana yang lazim dikenal di Indonesia ini, memiliki pengertian yang agak sempit, yaitu program pendidikan Islam lebih banyak menyempit ke-pelajaran fiqh ibadah terutama, dan selama ini tidak pernah dipersoalkan apakah isi program pendidikan 95
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
pada lembaga-lembaga pendidikan telah sesuai benar dengan luasnya pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits (ajaran Islam). 3. Pendidikan Islam Era Global Upaya membangun pendidikan Islam berwawasan global bukan persoalan mudah karena pada waktu bersamaan pendidikan Islam harus memiliki kewajiban untuk melestarikan, menanamkan nilai-nilai ajaran Islam dan dipihak lain berusaha untuk menanamkan karakteristik budaya nasional Indonesia dan budaya global. Tetapi, upaya untuk membangun pendidikan Islam yang berwawasan global dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah yang terencana dan strategis. Misalnya saja, bangsa Jepang tetap merupakan satu contoh bangsa yang mengglobal dengan tanpa kehilangan karakternya sebagai suatu bangsa18 yang maju dan tetap kental dengan nilai-nilai tradisi dan nilainilai relegius mereka. Dengan berkaca kepada bangsa Jepang maka pembinaan dan pembentukan nilai-nilai Islam tetap relevan, bahkan tetap dibutuhkan dan harus dilakukan 18
Meskipun saat sekarang ini “konsep national state mulai diragukan dan diganti dengan nelfare state bahkan global state yang tidak lagi mengenal tapal batas (borderless) karena kemajuan teknologi informasi, tetapi pembinaan karaktek nasional tetap relevan dan bahkan harus dilakukan. (Ibid, hal. 18).
96
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
sebagai “kapital spritual” untuk masyarakat dan bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan global menuju masyarakat madani Indonesia. Dari pandangan ini, tergambar bahwa peran pendidikan sangatlah sentral dalam kehidupan masyarakat yang senantiasa mengalami pergeseran, sementara “sistem sosial, politik dan ekonomi bangsa selalu menjadi penentu dalam penetapan dan pengembangan peran pendidikan”. Dengan paradigma tersebut, pendidikan Islam harus dapat megembangkan kemampuan dan tingkah laku manusia yang dapat menjawab tantangan internal maupun tantangan global menuju masyarakat madani Indonesia. Pendidikan harus dikembangkan berdasarkan tuntutan acuan perubahan tersebut dan berdasarkan karakteristik masyarakat madani yang demokratis. Sedangkan untuk menghadapi kehidupan global, proses pendidikan Islam yang diperlukan adalah mampu mengembangkan kemampuan berkompetisi, kemampuan bekerja sama, mengembangkan sikap inovatif, serta meningkatkan kualitas. Dengan acuan ini, secara pasti yang akan terjadi adalah pergeseran paradigma pendidikan, sehingga kebijakan dan strategi pengembangan pendidikan perlu diletakan untuk menangkap dan memanfaatkan semaksimal mungkin kesempatan tersebut, apabila tidak,
97
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
maka pendidikan Islam akan menjadi pendidikan yang “termarginalkan” dan tertinggal di tengah-tengah kehidupan masyarakat global. Maka dari itu sangat diperlukan kesadaran kita semua (Collective Consciousness) agar bagaimana pendidikan Islam itu sendiri tidak tertinggal dan tergilas di tengah globalisasi saat ini. Tentunya kesadaran kolektif tidak akan bisa terwujud tanpa adanya kesadaran diri (Self Consciousness), kalau masing-masing punya kesadaran yang berakhir dengan kesadaran kolektif, maka pendidikan Islam sesuai dengan yang kita harapkan yaitu bukan hanya terbatas dari ajaran Islam seperti fiqh dan lainlain, tetapi lebih jauh dari itu yaitu dengan pendidikan Islam umat mampu bersaing secara kompetitif ditingkat global dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi akan bisa terwujud. Pengembangan pemikiran melalui pendidikan khususnya pendidikan Islam dengan berfikir secara aqliyyah dan naqliyah akan menghasilkan out put yang berkualitas dan mempunyai kemampuan intelektual ganda (Multiple Intelegence) sehingga mampu hidup di tengah kehidupan yang serba kompleks dan penuh persaingan, di mana tujuan akhirnya dia dapat memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.
98
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
D. Penutup Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan paradigma pendidikan Islam kita dapat mengembangkan kemampuan dan tingkah laku manusia yang dapat menjawab tantangan internal maupun tantangan global yang penuh persaingan dan sangat kompetitif untuk menuju masyarakat madani. Di samping itu juga, kita harus terus-menerus harus mengembangkan pemikiran melalui pendidikan, khususnya pendidikan Islam untuk merebut kembali kepemimpinan Iptek, sebagaimana yang terjadi pada zaman keemasan dulu. Tak kalah pentingnya adalah dengan pendidikan Islam diharapkan dapat tercapai kebahagian hidup baik di dunia maupun di akhirat . Amin Yarabbal Alamin .
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
DAFTAR PUSTAKA RHA. Soenarjo. Dkk. 1993. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : Al Wa’ah. Achmadi. 1992. Islam Sebagai Paradigma Pendidikan. Yogyakarta : Aditya media.
Ilmu
Anwar Arifin. 2003. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam Undang-Undang Sisdiknas. Jakarta: Depag RI. Ach. Sanusi. 1999. Mari Bergabung Dengan Kami dalam Kajian Paradigma,.Bandung. Amir Faisal Yusuf. 1995. Reorientasi pendidikan Islam. Jakarta : Gema Insani Press. Fasli Jalal. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks otonomi daerah. Yogyakarta : Adicita. Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1993 Tentang GBHN 1993-1998. Surabaya : Karya Ilmu. 1993. Ahmad D. Marimba. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Al Ma’arif. Pius A. Partanto. & Dahlan Al Barry. 1994. Kamus Ilmiah populer. Surabaya : Arkola. Winarno Surakhmad. Profesionalisme Dunia Pendidikan, Jakarta, 27 Mei 2002, dari www.Bpkpenabur.or.id/kpsjkt/berita/200006/artikel2.htm.
99
100
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
HM. Thoha Chabib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 2 Cet.3 Jakarta : Balai Pustaka. Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Surabaya : Aneka Ilmu, 1992. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Beserta Penjelasannya. Bandung : Citra Umbara. 2003.
101
102
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
PENDIDIKAN SEKS UNTUK ANAK DALAM PERSPEKTIF FIQH H. Rif’an Syafruddin* Abstrak For long time ago, The Islamic scholars has determined that sex education should be given from the begining of a child studies his/her Islamic religion. The Fiqh book always begins with the chapter that discusses about "Thaharah" (purification), doesn’t it?. Someone is introduced to junub, istinja, istibra and etc. The discussion about this matter, of course, related to the study of bathe ofter doing ritual impure, coitus, menstruation, after having birth, etc. It means that fom early time, a child of moslem must recognize about these terms correctly. Because the his/her environmental influences in his/her early age will bring great effect for someone’s personality and characteristic. Therefore, it is a central theme in Islamic domain that can be called “Islamic Sex Education”. Kata-kata Kunci : Seks, Fiqh Islam, Preventif, Mumayyiz dan Baligh
A. Pendahuluan "Seks", bagi sebagian orang terdengar menyeramkan, bahkan membicarakannya merupakan sesuatu hal yang tabu. * Penulis adalah Dosen IAIN Antasari Banjarmasin DPK pada STAI Rakha Amuntai. Menyelesaikan program magister pada PPs IAIN Antasari Banjarmasin.
103
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Terlebih membicarakannya dengan anak-anak. Tapi, apakah seks itu pada hakikatnya buruk? Tentu saja tidak. Naluri seksual adalah sunnatullah yang kuat dan sangat urgen bagi kelangsungan dan eksistensi umat manusia. Naluri seksual timbul pada diri manusia pada fase pubertas (baligh), karenanya sejak usia kanak-kanak seorang muslim khususnya harus diberi pendidikan seks agar tidak kebingungan dan tersesat ketika menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya, baik perubahan psikis maupun psikologis. Dalam hal ini, pendidikan seks yang diberikan harus sesuai dengan tingkatan umur dan kemampuan daya pikir anak dan terus ditingkatkan seiring berjalannya waktu menuju fase dewasa. Banyak orangtua muslim memandang bahwa pembicaraan tentang seks sesuatu yang aib bahkan haram jadah. Mereka beranggapan bahwa membicarakannya bertentangan dengan nilai-nilai moralitas Islam. Para orang tua banyak yang enggan, tertutup dan bahkan takut membicarakannya secara jernih dengan buah hati mereka. Akibatnya, buah,hati tercinta dengan keingintahuan yang semakin besar mengetahui dari jalur yang salah bahkan menyimpang. Dalam masyarakat permisif (serba boleh), pendidikan 104
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
seks lebih ditekankan pada pencegahan kehamilan dan penyakit-penyakit menular seksual. Tidak ada usaha serius untuk mengarahkan dan menyadarkan anak-anak muda tentang pentingnya kesucian dan pematangan sebelum kawin. Pertanyaannya yang mendasar adalah ”bagaimanakah pendidikan seks bagi anak yang benar menurut kaidahkaidah Islam?”.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
masalah seksual, hasrat dan pernikahan sehingga ketika anak itu menjadi pemuda, tumbuh dewasa dan memahami urusan-urusan kehidupan maka ia tahu yang mana halal dan yang mana haram". 2 Dari kedua defenisi di atas dapat dipahami bahwa mereka sangat menekankan pembekalan anak mumayyiz dengan
B. Konsep Pendidikan Seksual Dalam Islam
ketentuan-ketentuan
yang
mengatur
perilaku
seksual untuk menghadapi hasrat dan naluri seksual dan
Pendidikan seksual sebagaimana didefinisikan Prof.
reproduksi yang akan dialaminya kelak di masa depan
Gawshi adalah ”Memberi pendidikan dan pengetahuan
(dewasa). Pendidikan seksual yang membekali individu
yang benar kepada anak dan menyiapkannya untuk
dengan pengetahuan halal dan haram menurut Prof.
beradaptasi dengan baik dalam menyikapi naluri seksual
Gawshi adalah pendidikan yang benar. Kedua difinisi ini
di masa depan kehidupannya, pemberian pengetahuan ini
diharapkan dapat membantu si anak dalam mewujudkan
menyebabkan anak memperoleh kecenderungan logis yang
kesucian
benar terhadap masalah-masalah seksual dan reproduksi”.
1
Sedangkan Abdullah Nashih 'Ulwan mendefinisikan ”pendidikan seksual sebagai pengajaran, penyadaran dan penerangan kepada anak sejak ia memikirkan masalah1
Al-Gawshi, Usus al Shihhah al Nafsiyyah, (Cairo : Dar alSyuruq, 2000), hal. 275.
105
diri
dan
beradaptasi
dengan
baik
dalam
mengendalikan syahwat seksualnya dengan tetap menjaga kesucian serta kehormatannya sebagai insan muslim. Pendidikan seks dalam Islam mengandung dua aspek yang salah satunya menyiapkan dan membekali anak anak mumayyiz dengan pengetahuan-pengetahuan teoritis 2
Abdullah Nashih ’Ulwan, Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam, (Cairo : Dar al-Salam, 1998), juz 2, hal. 437.
106
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
mengenai masalah seksual. Disini peran para pendidik sangat vital dengan memberikan pengetahuan teoritis kepada anak tentang perubahan-perubahan seksual yang secara alami terjadi pada fase baligh, seperti pengetahuan tentang sperma, cara-cara pembentukannya, tempat penyimpanannya, pengaruh hormon seks dalam pembentukan sperma, ovum serta hubungan sperma dan ovum. Kemudian, dijelaskan hukum-hukum Fiqh yang relevan dalam setiap kondisi. Para pendidik tidak boleh merasa cukup dengan hanya membekali anak-anak dengan pengetahuan seksual teoritis dalam beberapa sikap semata, karena secara praktis hal tersebut menuntut kesesuaian hukum syariat dengan perilaku. Para pendidik tidaklah cukup dengan hanya menjelaskan ihtilam (mimpi basah), buang hajat, istinja dan lain-lain dari aspek hukum saja. Akan tetapi, para pendidik harus memberikan pelajaran secara praktis yang dituntut dalam syariat dimana diantaranya mencakup tentang sah dan tidaknya suatu ibadah seperti mandi junub, bersuci dari hadats kecil atau kesucian pakaian dan tempat. Ini merupakan aspek penting yang termasuk dalam pendidikan seksual.3 3
Khalid Abu ’Amr, Al-Tarbiyah al-Jinsiyyah li al-Athfal, (Beirut : Dar al-Risalah, 2001), hal.56-58.
107
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Para pendidik muslim seharusnya mengajari anak tentang pentingnya memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan serta menjelaskan tentang hukum dan pandangan Islam dalam masalah ini. Pendidik Muslim harus mempraktikkannya sejak dini, karena dengan mempraktekkannya secara langsung kepada anak mumayyiz dan baligh yang telah memiliki pengetahuan tentang seksual dan hukum-hukum Fikihnya akan mendorong semangat kesucian pada individu-individu muslim untuk berperilaku Islami pada setiap fase dalam pertumbuhan psikis maupun psikologis. C. Pendidikan Seksual : Sebuah Pekerjaan Rumah Umat Tanggung jawab kolektif ini menuntut individu dan lembaga pendidikan agar memiliki visi yang sama dalam pendidikan seksual yang dimulai dari fase pertumbuhan pertama, yaitu masa anak-anak sampai pada fase-fase selanjutnya guna menghadapi perubahan-perubahan penting dan mendasar dari aspek pertumbuhan psikis dan psikologis ini. Seorang pakar pendidikan seks mengatakan ”Tanggung jawab pendidikan seksual terletak pada rumah, sekolah dan semua tempat umum, bahkan terletak pada 108
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
semua lembaga sosial serta media informasi.4 Dalam hal ini pihak pertama yang paling bertanggung jawab adalah orang tua, ini dikarenakan karena orang tua selalu bersama anaknya dan bisa secara intens memonitor perkembangan serta prilaku anaknya. Orang tua juga bisa melihat perkembangan seksual anaknya dan mencermatinya sehingga bisa mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi setiap perubahan-perubahan baik fisik maupun mental yang terjadi pada anaknya. Selanjutnya, pihak kedua adalah sekolah. Seorang pendidik memiliki banyak waktu memperhatikan perkembangan seorang anak ketika bersama temantemannya. Dari sini dapat diketahui adaptasi anak terhadap lingkungannya. Oleh karena itu, orang tua dan pendidik dapat bekerja sama dalam memberikan pendidikan seks dari berbagai aspeknya.5 Pihak ketiga adalah lingkungan sosial dan media informasi, khususnya audio visual memiliki pengaruh signifikan dalam pendidikan anak. Maka para pendidik semestinya menyeleksi tontonan anak agar jangan sampai 4
Ibid., hal. 75-77.
5
Samir Farhan, Tarbiyah al-Jinsi al-Usrah al-Muslimah, (Cairo: Dar al-Fadhilah, 1999), hal. 55.
109
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
berakibat negatif. Jangan sampai usaha keras dan kerja sama orang tua dan pendidik dirusak oleh media-media informasi. Oleh karena itu, mesti ada usaha sungguh-sungguh dari semua elemen masyarakt untuk fokus pada sektor pendidikan yang bersumber pada prinsip-prinsip moralitas Islam. D. Kaidah-kaidah Preventif dalam Pendidikan Seksual Bagi Anak 1. Pendidikan seks dan fikih pada anak Sejak anak mumayyiz (bisa membedakan baik dan buruk), anak perlu diberi pengetahuan tentang seks sesuai dengan usianya serta diajari hukum-hukum fikih sedikit demi sedikit seperti istinja, istibra atau tidak boleh menghadap kiblat ketika buang hajat. Biasanya anak bertanya beberapa hal mengenai seks dan fikih. Dalam hal ini pendidik khususnya orang tua harus mengajari dan melatihnya secara teori maupun praktis. Misalnya, anak bertanya pada ibunya mengapa orang tidak diperbolehkan menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat? Mengapa noda darah harus dicuci pada pakaian ketika ingin melakukan shalat? Disini para pendidik harus menjelaskannya dengan gamblang. Persiapan dini ini akan mengasah kemampuan anak 110
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
mumayyiz untuk beradaptasi secara benar dengan perilaku seksual dan menghindarkannya dari kesalahan besar yang bisa timbul akibat ketidaktahuan anak atau penyimpangan psikologis. 2. Isti'dzan (meminta izin) Hukum Islam sangat menekankan pentingnya etika meminta izin sejak kanak-kanak, hal ini merupakan pendahuluan bagi kaidah kesopanan. Al-Quran menegaskan dalam surah An Nur ayat 58 yang (artinya) berbunyi ”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu milik, dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepadamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (itulah) Tiga aurat bagi kamu.6 Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu.7 Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah 6
Maksudnya : tiga macam waktu yang biasanya di waktu-waktu itu badan banyak terbuka, oleh sebab itu Allah melarang budak-budak dan anakanak dibawah umur untuk masuk ke kamar tidur orang dewasa tanpa izin pada waktu-waktu itu. 7 Maksudnya : tidak berdosa kalau mereka tidak dicegah masuk tanpa izin , dan tidak pula berdosa kalau masuk tanpa meminta izin.
111
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana”. Selanjutnya dalam ayat 59: ”Dan apabila anak-anakmu telah sampai baligh, maka hendaklah mereka meminta izin.8 Demikianlah Allah menjelaskan ayatayat-Nya. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana”. Isti’dzan sangat besar manfaatnya, karena tanpa meminta izin aurat-aurat bisa terlihat sehingga sangat berpengaruh terhadap perkembangan kejiwaan anak yang mumayyiz. Pemandangan-pemandangan yang membangkitkan hasrat seksual akan terekam dan melekat dalam pikirannya ketika memasuki fase baligh. Hal ini akan menjadi sangat berbahaya dan bisa menjerumuskannya ke lembah dosa. Apakah gambaran ibunya, misalnya akan terhapus dari pikirannya, ketika ia melihat sang ibu duduk di pangkuan sang ayah kemudian ayahnya memeluknya, menciumnya, ..... dan seterusnya? Maka meminta izin adalah kemestian yang wajib dilaksanakan dalam rumah seorang muslim. 3. Menutup Aurat dan Menahan Pandangan Anak yang sudah memasuki usia baligh wajib menutup auratnya dari pandangan anak yang mumayyiz dan dilarang 8
Maksudnya : anak-anak dari orang yang merdeka yang bukan mahram, yang telah baligh, haruslah meminta izin lebih dahulu kalau hendak masuk menurut cara yang tersebut dalam ayat 27 dan 28 tersebut.
112
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
menyentuhnya. Hal ini dikarenakan anak yang mumayyiz akan mengingat dengan baik apa yang telah dilihatnya. Para fuqaha mewajibkan setiap laki-laki dan perempuan menutup auratnya dari pandangan orang yang sudah berusia baligh dan dari anak yang mumayyiz.9 Tapi Islam menoleransi kalau anak yang mumayyiz itu memandang rambut, lengan, betis dan lutut muhrimnya bila tanpa dorongan syahwat. Namun diharamkan baginya memandang bagian tubuh muhrimnya antara pusar dan lutut sebagai antisipasi dan kehatihatian baik atas dorongan syahwat ataupun tanpa syahwat. Masalah penting lain adalah perihal pakaian. Ini merupakan faktor yang dapat menimbulkan dorongan syahwat dan pakaianpun dapat mengendalikannya. Pakaian juga dapat menimbulkan fitnah dan membangkitkan hasrat seksual bagi orang yang memandangnya. Jadi fungsi pakaian tidak semata menutup aurat. Dengan demikian, pakaian harus longgar dan
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
4. Menjauhkan Anak dari Aktivitas Seksual Sabda Nabi SAW : ”Demi Allah yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau seorang suami menggauli istrinya, sementara di rumah itu ada seorang anak kecil yang terbangun sehingga melihat mereka, serta mendengar ucapan dan dengus nafas mereka, maka ia tidak akan pernah mendapatkan keuntungan jika anak itu, baik lakilaki maupun perempuan menjadi pezina.” Sangatlah penting menjauhkan anak dari melihat aktivitas seksual terlebih anak itu telah mumayyiz. Oleh karena itu, aktivitas seksual di antara orang tua hendaklah dilakukan di tempat yang tersembunyi dan aman dari pandangan anak. Karena kalau tidak, masalah ini bisa menimbulkan kesukaan terhadap perzinaan, ketertarikan pada sesama jenis atau penyimpangan-penyimpangan moral lainnya. 5. Pemisahan tempat Tidur Anak
tidak transparan,10 sebagai sikap berpegang pada kaidah-kaidah kebersihan dan menjauhi rangsangan-rangsangan seksual.
9 Khalid Abu 'Al Fadl, Al-Usrah al-Muslimah, (Damaskus : Dar Al-Risalah, 1997) hal. 23-24. 10
Yusuf Al Qaradhawy, Fiqh Al Usrah, (Cairo, Dar Al-Azhar, 1975), hal. 18.
113
Kaidah pendidikan lain bagi keberhasilan pendidikan seksual kepada anak-anak adalah pemisahan tempat tidur anak-anak. Anak-anak harus dijauhkan dari kamar tidur orang tua sehingga tidak melihat aktivitas seksual. Tak kalah penting juga harus dipisahkan antara anak laki-laki dan perempuan, mereka harus memiliki kamar masing114
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
masing untuk menghindari sentuhan badan yang dapat menyebabkan rangsangan seksual yang berbahaya.11 Pemisahan seperti ini merupakan sebuah metode Islam untuk menanamkan rasa memiliki bagi semua anggota keluarga terhadap tempat-tempat pribadi dan menjaga privacy, dimana orang lain tidak bisa seenaknya memasuki area pribadi tanpa izin pemiliknya.12 Nabi SAW bersabda: ”Anak laki-laki dan anak laki-laki, anak laki-laki dan anak perempuan, serta anak perempuan dan anak perempuan dipisahkan tempat tidur mereka ketika mereka berusia sepuluh tahun”.13 Dalam riwayat lain: ”Pisahkanlah tempat tidur anak-anak kalian apabila mereka telah mencapai umur sepuluh tahun”.14 Diriwayatkan juga pada riwayat yang lain, bahwa beliau memisahkan tempat tidur anak-anak pada usia enam tahun.15 Perbedaan riwayat-riwayat dalam menentukan usia pemisahan tempat tidur bagi anak-anak tersebut merujuk
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
pada perbedaan kematangan seksual di antara anak-anak yang mumayyiz. Hal ini bisa disebabkan karena perbedaan kondisi geografis, iklim, pergaulan dan pendidikan di tengah masyarakat. Perbedaan dalam menetapkan batasan usia untuk memulai pemisahan tempat tidur bagi anak adalah karena Islam sangat memperhatikan fenomena ini. 6. Tempat Tinggal Yang Layak Memperoleh rumah yang layak adalah hak yang dijamin dalam syariat Islam. Agar para pendidik muslim dapat
menanamkan
kaidah-kaidah
pendidikan
seksual
terhadap anak yang mumayyiz maka dibutuhkan tempat tinggal
yang
memadai
dan
memenuhi
unsur-unsur
kesehatan. Tanpa rumah yang layak sulit bagi para pendidik muslim menerapkan kaidah-kaidah Islam secara sempurna. Bagaimana
mungkin
seseorang
melatih
anaknya
berperilaku isti'dzan sementara rumah tersebut hanya memiliki satu kamar?. Bagaimana mungkin mencegah
11
Fatma Waid Zaky, Al-Tasa'ulat hawla al-Jimsi, (Cairo : Dar AlSyuruq, 1998), hal. 9-11. 12
dimana orang tua dan anak-anak mereka laki-laki dan
Ibid., hal 13.
13
Yusuf Al Qaradhawy, Fiqh Usrah al-wajizah, (Qatar : Dar AlAhabah, 1988), hal. 17. 14
Ibid., hal. 18.
15
Ibid., hal. 19.
timbulnya rangsangan–rangsangan seksual pada keluarga
115
perempuan berbaur jadi satu?. Islam memberikan ketenangan kepada orang mukmin
116
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
dengan teks-teks syariatnya.16 Dengan demikian, rumah yang memenuhi unsur-unsur kesehatan dan kenyamanan mutlak dibutuhkan dalam pendidikan seksual yang sehat dan Islami bagi anak-anak dan keluarga muslim. E. Penutup Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pendidikan seksual bagi anak menurut kaidah-kaidah Islam mutlak diperlukan dalam rangka mempersiapkan generasigenerasi Islam yang bukan hanya berkualitas secara keilmuan tapi juga bermoral dan berakhlak mulia. Karena kebiasaankebiasaan sejak kecil akan membawa pengaruh besar kepada sikap dan perilaku seseorang, maka Islam sedini mungkin telah memberikan edukasi, proteksi, antisipasi dan solusi untuk beradaptasi secara baik dan benar dengan fenomena-fenomena tersebut.
16
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
DAFTAR PUSTAKA Al-Gawshi. 2000. Usus al-Shihhah al-Nafsiyyah. Cairo : Dar al-Syuruq. Abdullah Nashih ’Ulwan.1998 Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam. Juz ke-2. Cairo : Dar as-Salam. Khalid Abu ‘Amr. 2001. Al-Tarbiyah al-Jinsiyyah li al-Athfal, Beirut : Dar al-Risalah. Samir Farhan. 1999. Tarbiyah al-Jinsi al-Usrah al-Muslimah. Cairo : Dar al-Fadhilah. Fatma Waid Zaky. 1998. Al-Tasa’ulat hawla al-Jimsi. Cairo : Dar as-Syuruq. Yusuf Al-Qardhawy. 1988. Qatar : Dar al-Ahabah.
Usrah
al-Wajizah.
Nashar Kamil. 1999. Hawla al-Athfal. Cairo : Dar al-Salam.
Nashar Kamil, Haula al-Athfal, (Cairo : Dar Al-Salam, 1999),
hal. 8.
117
Fiqh
118
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
PEMIKIRAN MOHAMMED ARKOUN TENTANG TURATS DAN MODERNITAS H. Mahmudi * Abstrak : The thought in Islam, in reality, appear the existence of crucial primary needs in Muslim soceity themselves. All of them can’t be separated from many moslem thinkers in responding various problems that Moslem soceity have about Islamic teaching, traditionally and modernity. The differences between Islamic teaching and modernity are one of problems which Moslem soceity has, especially in out of Islamic countries (third world) or other developed countries. The differences between religion and modernity will be a very difficult problem life and for the life itself. The existence related to the name and the role of Mohammed Arkoun can’t be separated from Moslem soceity, because Mohammed Arkoun, as a moslem thinker, came and was born from Islamic cultural, as well as he lived in the west where the modernity was occurred. Therefore, his ideas about the turats and modernity influenced the Islamic culture world wide and the west soceity thinkers, especially in French. Kata-kata kunci : Pemikiran Mohammed Arkoun, turats atau tradisi, modernitas. *
Penulis adalah dosen STAI RAKHA Amuntai dan pengajar pada SMKN 1 Amuntai. Menyelesaikan program magister pada PPs IAIN Antasari Banjarmasin.
119
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
A. Pendahuluan Hampir di seluruh belahan dunia Islam telah hadir pemikir muslim yang handal dan turut ambil bagian dalam memposisikan tradisi dan merespons modernitas. Dalam agama terdapat ajaran yang absolut, kekal, tak dapat diubah dan mutlak benar (dalam Al-Quran), sementara pada saat yang sama perubahan dan perkembangan merupakan sifat dasar dan tuntutan modernitas, atau lebih tepatnya ilmu pengetahuan dan teknologi.1 Namun, mampukah para pemikir muslim untuk mengartikulasikan gagasan pemikiran Islam yang lebih antisipatif agar dapat mengawal arus peradaban yang ditandai dengan kemajuan iptek, baik secara kualitas maupun kuantitas.2 Dalam perjalanan sejarah, tidak sedikit kaum muslimin yang mempunyai anggapan bahwa hasil ijtihad para ulama terdahulu adalah penafsiran atas Al-Quran, bernilai mutlak benar dan absolut. Hal inilah menurut Harun Nasution dan Azyumardi Azra, menimbulkan dogmatisme ketat, pandangan sempit dan ketidakterbukaan terhadap hal-hal yang baru. 1
Harun Nasution dan Azyumardi Azra (ed.), Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal. 1. 2
A. Syafii Maarif, Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1997), hal. 87.
120
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Perubahan-perubahan yang dibawa oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dicap sebagai bid'ah, inovasi yang tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan agama. Kecenderungan ini terdapat di seluruh dunia Islam.3 Bahkan, konsep modernitas dikatakan sebagai usaha menolak keterlibatan agama dalam kehidupan manusia modern.4 Padahal maksud modernitas (kemoderenan, sikap yang modern) yang sesungguhnya tidak hanya mengandung kegunaan praktis langsung, tetapi juga mengandung arti pendekatan kepada Kebenaran Mutlak, yaitu Allah. Dengan kata lain, modernitas membawa kepada pendekatan (taqarrub) dan takwa kepada Allah Yang Maha Esa.5 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama sesudah pembukaan abad ke 19 ketika pendudukan Nepoleon Bonaparte di Mesir, dan dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan Periode Modern. Kontak dengan dunia Barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, 3
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
demokrasi, sekularisme dan sebagainya yang kelak menimbulkan persoalan-persoalan baru.6 Sementara itu pula pada akhir abab ke 19 negara-negara Barat telah memperluas jajahannya ke negara-negara Islam di Afrika utara seperti negara Aljazair dan Tunisia oleh Perancis, Libya oleh Italia, Aden dan daerah kecil di Jazirah Arab selatan dijajah Inggris.7 Mohammed Arkoun lahir di Kabilia, dan tempat kelahirannya terletak di sebelah timur Aljir dengan ibu kotanya Aljazair. Bertitik tolak dari paparan di atas, maka menarik untuk dikaji tentang biografi dan perjuangan Mohammed Arkoun. Bagaimana konsepsi Mohammed Arkoun tentang turats atau tradisi dan modernitas. Dengan kata lain, paling tidak pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dipaparkan dalam tulisan ini. B. Biografi dan Perjuangan Mohammed Arkoun 1. Latar Belakang Kehidupan Mohammed Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928
Harun Nasution dan Azyumardi Azra, op.cit., hal. 15.
4
Muhammad A. Buraey, Administrative Development : An Islamic Perspective, Dialihbahasakan oleh Achmad Nashir Budiman, (Jakarta : Rajawali, 1986), hal. 142. 5
Nurchalish Madjid, Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1988), hal. 174 – 175.
121
6
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hal. 11. 7
Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 244.
122
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
di Taorirt – Mimoun Kabilia. Kabilia adalah suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber yang terletak di sebelah timur Aljir.8 Sedangkan Aljir adalah nama ibu kota Aljazair. Secara geografis, Aljazair adalah sebuah negara di Afrika utara. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Tengah; sebelah selatan dengan Mali dan Niger; sebelah barat dengan Mauritania, Sahara Barat dan Maroko; sebelah timur dengan Tunisia dan Libya.9 Dari segi bahasa induk, sebutan Berber adalah keluarga bahasa dan kelompok suku di Afrika utara yang tergolong rumpun bahasa Hamit, dan diucapkan oleh suku bangsa yang untuk sebahagian besar mendiami Gurun Sahara (di wilayah negara Aljazair dan Libya, Republik Niger, Mali dan Republik Volte Hulu), dan oleh suku bangsa yang menduduki daerah pegunungan di Rio de Oro, Maroko, Aljazair, Tunisia, sedangkan ada juga penduduk negara Mauritania, Senegel dan Mali yang mengucapkan bahasa Berber.10 8
Abdul Muthalib, Percikan Pemikiran M. Arkoun, Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Sosial, (Banjarmasin, PPs IAIN Antasari, No.1 : Oktober – Desember 2002), hal. 2.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Secara demografi, suku Berber merupakan penduduk asli bangsa Aljazair. Kemudian mereka berasimilasi dengan orang asing yang datang dari dataran Eropa, Timur Tengah, terutama bangsa Arab dan Negro dari selatan. Bahkan, sebahagian besar penduduk Aljazair sekarang adalah campuran suku Berber dan bangsa Arab.11 Secara sosio – religius, penduduk Kabilia atau lingkungan hidup Mohammed Arkoun yang terdiri dari penduduk Berber, bangsa Arab dan Negro tersebut sarat dengan nilai-nilai dan aktivitas keIslaman. Sedangkan penyebaran Islam pada suku Berber sangat terkait dengan aktivitas sufisme. Tokoh sufi yang paling penting dalam penyebaran sufisme di Afrika utara adalah Abu Madyan pada abad ke 6 Hijriah / 12 Masehi di Tlenacen sebuah kota di Aljazair barat, dan ia sebagai guru dari guru sufi terkenal Ibn Al-’Arabi. Di mana Abu Madyan menekankan pemusatan mutlak Tuhan dan tidak terlalu memperhatikan masalah keduniaan.12 Di antara aliran atau tarekat yang berkembang dan berpengaruh pada penduduk Aljazair adalah tarekat Tijaniah, terutama berkembang di Aljazair dan Maroko yang
9 Rachmat Bratamidjaya, dkk., Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Afrika, (Jakarta : Intermasa, 1990), hal. 37. 10
Hasan Shadily, dkk., Ensiklopedi Indonesia, Jilid 1, (Jakarta : Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1991), hal. 451.
123
11 12
Rachmat Bratamidjaya, dkk., op.cit., hal. 39.
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University Chicago Press, 1979), hal. 162.
124
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
didirikan oleh Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtal Al-Tijani pada tahun 1150 – 1815 Hijriah.13 Bahkan, tarekat Tijaniah berkembang luas di Afrika dan telah banyak mengislamkan orang-orang Negro.14 Secara sosio – kultural, rakyat Aljazair khususnya yang berada di daerah pedesaan – kekurangan lembaga pendidikan, dan hal ini semakin mengukuhkan sentralisme politik. Fiqih dan wacana intelektual zaman modern awal, kurang menonjol di Aljir dari pada Kairo. Karena tingkat melek huruf yang relatif masih rendah dan tidak adanya perpustakaan besar, Islam rakyat Aljazair berkembang melalui tradisi lisan sehingga praktik hafalan komunal cenderung 15 mengesampingkan studi leterer. Dengan kata lain, masyarakat Kabilia sebenarnya tidak mengenal tulisan. Masyarakat yang tinggal di wilayah itu hanya mengenal bahasa lisan. Sebab, Aljazair secara politis – khususnya ketika Mohammed Arkoun lahir dan dibesarkan ketika itu berada di 13
Departemen Agama RI., Ensiklopedi Islam Di Indonesia, Jilid 3, (Jakarta : Anda Utama, 1993), hal. 1200. 14
Hartono Ahmad Jaiz, Mendudukkan Tasawuf, Gus Dur Wali, (Jakarta : Darul Falah, 2000), hal. 126.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
bawah kekuasaan Perancis.16 Sebagaimana tercatat di dalam sejarah bahwa Perancis melakukan kolonialisasi dan menguasai negara Aljazair sejak 1830 sampai akhir Juni tahun 1962 Masehi. 2. Pendidikan dan Pengalaman Mohammed Arkoun menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di desa asalnya, Kabilia. Kemudian ia melanjutkan sekolah menengah atas di kota Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat. Setelah menamatkan sekolah menengah Mohammed Arkoun melanjutkan keperguruan tinggi di Universitas Aljir jurusan bahasa dan sastra Arab sejak tahun 1950 sampai tahun 1954 dan sambil mengajar pada sebuah sekolah menengah atas di Al Harrach yang berada di daerah pinggiran ibu kota Aljazair. Pada saat terjadi perang antara Aljazair dan Perancis (1954 – 1962), Mohammed Arkoun melanjutkan studinya ke Paris dan tetap menekuni bidang studi bahasa dan sastra Arab. Pada tahun 1956 – 1959 ia menjadi guru di sebuah sekolah menengah atas di Strasbourg dan memberi kuliah pada Fakultas Sastra Universitas Strasbourg. Setahun kemudian Mohammed Arkoun diangkat menjadi dosen pada Universitas
15
John L. Esposito, The Oxford Ensyclopedia of the Modern Islamic World, Jilid 1, Dialihbahasakan oleh Eva Y.N., dkk., (Bandung : Mizan, 2001), hal. 106.
125
16
Suadi Putro, Mohammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta : Paramadina, 1998), hal. 13.
126
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Sorbonne di Paris, tempat ia memperoleh gelar doktor pada tahun 1969, dengan disertasi yang berjudul : "Humanisme dalam Pemikiran Etika Ibnu Maskawaih", yaitu seorang pemikir muslim dari Persia (wafat tahun 1030). 17
Paris. Selanjutnya dari tahun 1970 hingga 1972, Mohammed
Dari latar belakang yang telah mencetak dan jenjang pendidikan formal yang dilalui Mohammed Arkoun, maka akhirnya ia mampu menguasai tiga bahasa, yaitu bahasa Kabilia, bahasa Arab dan bahasa Perancis. Ketiga bahasa tersebut digeluti dan diperkenalkan Mohammed Arkoun untuk memperluas dan sekaligus mempererat pergaulannya. Bahasa Kabilia digunakannya untuk mengungkapkan berbagai tradisi dan nilai-nilai yang menyangkut kehidupan sosial dan ekonomi, bahasa Arab dipakainya untuk melestarikan tradisi dan nilai-nilai keagamaan dan bahasa Perancis diungkapkannya untuk mengenalkan tradisi dan nilai-nilai keilmuan Barat. Pengalaman yang pernah dirasakan oleh mohammed
universitas di luar negeri, seperti Universitas California di Los
Arkoun selama dibesarkan di desa Kabilia dan selama menuntut ilmu di Paris merupakan modal awal dalam perjalanan karirnya. Pada tahun 1961 – 1969, Mohammed Arkoun diangkat menjadi dosen pada Universitas Sorbonne di
Arkoun mengajar di Universitas Lyon, kemudian kembali ke Paris sebagai guru besar Sejarah Pemikiran Islam yang dijabat hingga saat ini. Bahkan, menjadi dosen tamu pada sejumlah Angelos, Universitas Temple di Philadelphia dan Universitas Princeton (semuanya di USA), lembaga Kepausan untuk Studi Arab dan Islam di Roma dan Universitas Katolik Lauvam – la – Neuve di Belgia. Mohammed Arkoun juga pernah memberikan kuliah di Rabat, Fez, Aljir, Tunis, Damaskus, Beirut, Teheran, Berlin, Kolumbia dan Denver. Terakhir, Mohammed Arkoun pada tahun 1993 diangkat menjadi guru besar tamu di Universitas (Kotapraja) Amsterdam.18 Selain mengajar atau dosen, Mohammed Arkoun juga aktif dalam berbagai kegiatan ilmiah, baik di dunia akademis maupun di masyarakat, kini Mohammed Arkoun bertugas di Sorbonne sebagai profesor Sejarah Pemikiran Islam dan pernah menjadi Direktur Institut Studi Arab dan Islam, juga pernah menjadi editor kepala jurnal ilmiah berbahasa Perancis yang terkenal Arabica. Selain itu, Mohammed Arkoun mendapat anugerah penghargaan Chevalier de la Le’gion
17
Abdul Aziz Dahlan, dkk., Suplemen Ensiklopedi Islam, Jilid 1, (Jakarta : Ichtiar Baru – Van Hoeve, 2001), hal. 34.
127
18
128
Suadi Putro, op.cit., hal. 17.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
d'honneur (Anggota Legiun Kehormatan Perancis) dan
d. Essais Sur la Pensee Islamique (Esei-Esei tentang Pemikiran Islam), Paris, 1973. e. La Pensee Arabe (Pemikiran Arab), Paris 1975. f. Lectures du Coran (Pembacaan-pembacaan Al Qur'an), Paris, 1982. g. L'islam, Religion et Sosiete (Islam, Agama dan Masyarakat), karya bersama dengan M. Arosio dan M. Borrmans, Paris, 1982. h. Pour une Critique de la Raison Islamique (Demi Kritik Nalar Islam), Paris, 1984. i. Ouvertures sur L'islam (Catatan-catatan Pengantar untuk Memahami Islam), Paris, 1989.
Officier des Palmes Academiques (gelar kehormatan Perancis untuk tokoh terkemuka di dunia universitas).19 Mohammed Arkoun juga menduduki jabatan penting sebagai anggota Panitia Nasional Perancis untuk Etika Ilmu Pengetahuan dan Kedokteran dan Anggota Majelis Nasional untuk AIDS.20 3. Karya Tulis Mohammed Arkoun sebagai ilmuan produktif telah banyak menulis buku dan artikel, terutama dalam bahasa Perancis, antara lain : a. Deux Epitres de Miskawayh (Dua Surat Miskawaih), Damaskus, 1961. b. Aspects de la Pensee Musulmane Classique (Aspekaspek Pemikiran Islam Klasik), Paris, 1963. c. Contribution a L'etude de L'humanisme Arabe an IV e/ X e siecle : Miskawayh Philosophe et Historian (Sumbangan pada Pembahasan Humanisme Arab pada Abad IV / X : Miskawaih Sebagai Filosof dan Sejarawan), Paris, 1970. 19
John L. Esposito, op.cit., hal. 174.
20
Abdul Aziz Dahlan, dkk., loc.cit.
129
Selain itu, buku-buku Mohammed Arkoun yang ditulis dalam bahasa Perancis dan sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan judul, di antaranya : a. Al Islamul 'Amsu wa Islamul Ghad (Islam, Kemarin dan Besok), Beirut, 1983. b. Al Islam, Asalah wa Mumasasah (Islam, Keaslian dan Praktik), t. th., 1986. c. Al Fikr al Islam, Qiraah 'Ilmiyah (Pemikiran Islam, Bacaan Ilmiah), Beirut, 1987. d. Al Fikr al Islami, Naqd wa Ijtihad (Pemikiran Islam, Kritik dan Ijtihad), Beirut, 1992. 130
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Hanya sebahagian kecil, buku-buku Mohammed Arkoun yang ditulisnya dalam bahasa lain, antara lain : a. Rethinking Islam Today, ditulis dalam bahasa Inggris, 1987. b. Rethingking Islam, Common Question, Uncommon Answers, ditulis dalam bahasa Inggris. c. Nalar Islam dan nalar Modern Pelbagai Tantangan dan Jalan Baru, satu-satunya ditulis dalam bahasa Indonesia, 1990. Di samping itu, Mohammed Arkoun masih banyak menyumbangankan pemikirannya dalam bentuk artikel yang tersebar luas pada beberapa jurnal terkemuka di Paris, dan juga menyumbangkan tulisan dalam pembuatan ensiklopedi di Paris serta tulisan-tulisan dalam bentuk makalah dan bahan ceramah lainnya.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
yang berarti warisan atau pusaka.22 Menurut istilah turats adalah warisan atau peninggalan (heritage, Legacy) yaitu berupa kekayaan ilmiah yang diwariskan oleh orang-orang terdahulu. Istilah turats tersebut merupakan produk asli wacana Arab kontemporer, dan tidak ada padanan yang tepat dalam literatur bahasa Arab klasik untuk mewakili istilah tersebut.23 Idiom kata turats yang dalam bahasa Indonesia disebut tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat,24 atau warisan masa lalu yang dilestarikan terus hingga sekarang, baik berupa nilai, norma sosial, pola kelakuan dan adat kebiasaan yang merupakan wujud dari berbagai aspek kehidupan.25 Aksesibilitas antara ajaran Islam dan tradisi, ada 22
C. Pemikiran Mohammed Arkoun 1. Turats Kata turats berasal dari bahasa Arab yang diambil atau berasal dari kata waritsa – yaritsu – turaatsan,21 dan at turats 21
Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur'an, 1973), hal. 496.
131
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab – Indonesia, (Yogyakarta : Pondok Pesantren Al Munawwir, 1984), hal. 1655. 23
Kautsar Azhari Noor, dkk., Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, Jurnal Pemikiran Paramadina, (Jakarta : Paramadina, Volume I Nomor 1, 1998), hal. 62 – 63. 24
Anton M. Moeliono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), hal. 1069. 25
Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, (Surabaya : Al Ikhlas, 1993), hal. 24.
132
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
pendapat yang mengatakan bahwa ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat apabila ajaran itu telah mentradisi dan membudaya di tengah masyarakat Islam. Tradisi dan budaya menjadi sangat menentukan dalam kelangsungan syi’ar Islam ketika tradisi dan budaya telah menyatu dengan ajaran Islam, karena tradisi dan budaya merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubah tradisi adalah sesuatu yang sangat sulit. Maka suatu langkah bijak ketika tradisi dan budaya tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi justru tradisi dan budaya sebagai pintu masuk ajaran.26 Bahkan, turats atau tradisi tidak hanya mencakup kebenaran fakta-fakta, kata-kata dan konsep, bahasa dan pemikiran, tetapi juga mitos-mitos, legenda-legenda, cara-cara dan metodemetode berpikir.27 Menurut Mohammed Arkoun, tradisi adalah keseluruhan kerangka diktum-diktum dan tindakan-tindakan Nabi dan kaum salaf yang saleh (sahabat-sahabat Nabi) yang diriwayatkan dan untuk menjelaskan wahyu Alquran.27 26
M. Afnan Chafidh dan A. Ma'ruf Asrori, Tradisi Islam , Panduan Prosesi Kelahiran–Perkawinan–Kematian (Surabaya : Khalista, 2007), hal. V. 27 Ahmad Baso, Neo – Modenisme Islam Versus Post – Tradisionalisme, Tashwirul Afkar, Nomor 10, (Jakarta : Lakpendam dan Taf, 2001), hal. 34. 27 Mohammed Arkoun, Arab Thought, Dialihbahasakan oleh Yudian W. Asmin, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1996), hal. 71.
133
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Oleh karena itu, Mohammed Arkoun membedakan antara dua bentuk tradisi atau turats, yaitu; Pertama, Tradisi atau Turats yang ditulis dengan "T" besar adalah tradisi yang transenden yang selalu dipahami dan dipersepsi sebagai tradisi ideal, yang datang dari Tuhan dan tidak dapat diubah-ubah oleh kejadian historis, dan tradisi semacam ini adalah abadi dan absolut. Kedua, tradisi atau turats yang ditulis dengan "t" kecil (tradition /turats) adalah tradisi yang dibentuk oleh sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun temurun sepanjang sejarah kehidupan atau penafsiran manusia atas wahyu Tuhan lewat teks-teks kitab suci.29 Dari kedua bentuk tradisi atau turats tersebut di atas, Mohammed Arkoun mengesampingkan jenis tradisi atau turats yang pertama, karena menurutnya tradisi tersebut berada di luar jangkauan pengetahuan dan kapasitas akal manusia dan tidak dapat diubah oleh manusia. Sedangkan target dan objek kajian yang dilakukan oleh Mohammed Arkoun adalah tradisi atau turats yang kedua, karena menurutnya tradisi tersebut dibentuk oleh kondisi sejarah dan budaya manusia. Oleh karena turats tersebut dibentuk dan dibakukan dalam sejarah dan budaya manusia, maka turats itu pun harus dibaca lewat kerangka sejarah pula atau disebut historisme. 29
134
Kautsar Azhari Noor, dkk., op.cit., hal. 77.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Dengan kajian historisme, Mohammed Arkoun bermaksud melihat seluruh fenomena sosial – budaya lewat perspektif historis, di mana masa lalu harus dilihat menurut strata historikalnya. Sedangkan carian historis tersebut harus dibatasi menurut runtutan kronologis dan fakta-fakta nyata. Dengan demikian, historisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna lewat penghapusan relevansi antara teks dengan konteks. Lebih lanjut menurutnya, salah satu tujuan membaca teks, khususnya teks suci adalah untuk mengapresiasi teks tersebut di tengah-tengah perubahan yang terus terjadi. Dengan kata lain, ajaran-ajaran agama yang berasal dari teks suci tersebut harus selalu sesuai dan tidak bertentangan dengan segala keadaan.30 Sehubungan dengan itu kritik nalar yang telah diperkenalkan Mohammed Arkoun adalah sangat concern dalam melepaskan diri dari keterbelakangan tradisi dan teks. Bahkan, Mohammed Arkoun menggunakan kritik nalar Islam untuk memperluas cakupan kritiknya hingga sampai kepada tradisi pemikiran non – bahasa Arab, terutama ditujukan pada konsep-konsep seperti ortodoksi, wahyu, mitos dan imaginasi,
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
simbol dan sebagainya.31 2. Modernitas Dalam bahasa Indonesia, modernitas berarti 32 kemoderenan adalah sifat atau keadaan modern, atau di dalam bahasa Inggris disebut modernities yang berarti keadaan-keadaan modern atau sesuatu yang modern.33 Sedangkan kata modern berasal dari bahasa Latin yang berasal dari kata modo yang berarti masa kini atau mukhtahir.34 Adapun Mohammed Arkoun tidak secara tegas merumuskan batasan pengertian modernitas, apalagi tantangan yang dibawa olehnya. Meskipun demikian, pandangan Mohammed Arkoun tentang persoalan modernitas ini dapat disimak dari berbagai tulisannya yang lain. Sikap Mohammed Arkoun yang tidak memberikan batasan terhadap modernitas tersebut cukup bijaksana dan tepat, sebab apabila Mohammed Arkoun mendefinisikan 31
Rusmadi, Kritik Nalar : Arab Baru Studi Islam, Tashwirul Afkar, Nomor 10, (Jakarta : Lakpesdam dan Taf, 2001), hal. 63. 32
J.S. Badudu dan Sultan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 905. 33
Peter Salim, The Contemporary English – Indonesia Dictionary, (Jakarta : Modern English Press, 1985), hal. 1195. 34
30
David B. Guralnik (ed.), Webster's New Wold Dictionary of the American Language, (New York : Werner Books, 1987), hal. 387.
Ibid., hal. 76 – 78.
135
136
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
modernitas - sebagaimana pada umumnya dipahami sekarang sebagai apa yang ada pada masa kini, maka tidak dapat ditentukan secara pasti kapan dan di mana modernitas itu mendapatkan momentumnya. Oleh karena itu, menurut istilah modernitas atau kebaharuan dimaksud sebagai apa yang termasuk dalam masa si pembicara, maka akan mustahil untuk mengkhususkan modernitas dengan waktu dan ruang sejarah yang terbatas.35 Dengan kata lain, Mohammed Arkoun cenderung membatasi modernitas dengan masa. Menurut Mohammed Arkoun, istilah modernitas berasal dari bahasa Latin modernus – pertama kali dipakai di dunia Kristen pada masa antara tahun 490 dan 500 yang menunjukkan perpindahan dari masa Romawi lama ke periode Masehi. Sedangkan modernitas klasik Eropa sendiri telah berjalan sejak abad ke 16 hingga tahun 1950 an.36 Pada dasarnya modernitas tersebut ditandai oleh Galileo Galilei pada tahun 1564 – 1642 yang membawa metode eksperimental dalam tradisi keilmuan Yunani, dan Rene Descartes pada tahun 1596 – 1650 yang menggunakan
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
matematika dalam metode keilmuan.37 Dan gelombang modernitas terjadi ketika Revolusi Perancis di Perancis pada tahun 1789 – 1799 sebagai akibat pergolakan yang kompleks dan membawa perubahan mendasar dalam sosial politik, dan Revolusi Industri di Inggris pada tahun 1750 – 1850 sebagai akibat peralihan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri modern.38 Salah satu ciri modernitas dalam pandangan Mohammed Arkoun yaitu setiap perubahan prinsipil dalam dunia pemikiran atau dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Maksudnya pemikiran Yunani pada masa klasik Islam atau pengenalan pemikiran Barat yang dimulai pada abad ke 19, merupakan semacam bentuk modernitas.39 Adapun pendekatan yang digunakan Mohammed Arkoun, dalam bidang pemikiran atau bidang kehidupan adalah tidak mendikotomikan antara pemikiran Barat dan pemikiran Islam. Keduanya telah saling menyatu dan keduanya harus dihargai sekaligus dievaluasi. Keduanya harus 37
35
Mohammad Akoun dan Lois Gardet, Al Islamul Amsu wa Islamul Ghad, Dialihbahasakan oleh Ahsin Mohammad, (Bandung : Pustaka, 1997), hal. 114. 36
Ahmad As Shouwy, dkk., Mukjizat Al Qur'an dan As Sunnah tentang Iptek, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hal. 21 – 22. 38
Hasan Shadily, dkk., Ensiklopedi Indonesia, Jilid 5, (Jakarta : Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1991), hal. 2897. 39
Suadi Putro, op.cit., hal. 43.
137
138
Suadi Putro, op.cit., hal. 47.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
dipandang dalam konteks satu sejarah mengenai kelompok Ahli Kitab-ahli kitab, dan sejarah masyarakat Islam sangat berkaitan dengan sejarah Barat.40 Untuk itulah, Mohammed Arkoun menganjurkan untuk melakukan usaha pembebasan pemikiran Islam dari kejumudan dan ketertutupan dengan pendekatan kajian historis dan kritis dengan perangkat pemikiran Barat mutakhir.41 Lebih lanjut menurut Mohammed Arkoun, ada dua kutub yang harus diperhatikan dalam rangka melihat modernitas, baik di dunia Islam maupun di dunia Barat Kristen : kutub masa lampau yang berkaitan dengan hal-hal yang kuno dan lama, tradisional, adat kebiasaan dan klasikisme; dan kutub masa depan yang berkaitan dengan pembaharuan dan hal-hal yang tak terduga dan penemuan-penemuan baru.42 Antara kutub masa lampau dan kutub masa depan terdapat keterkaitan yang sedemikian rupa, sehingga perubahan-perubahan yang menghasilkan modernitas sebenarnya merupakan kombinasi dari berbagai potensi yang ada, dan kutub masa depan tidak 40
Mohammed Arkoun, Rethingking Islam, Common Question, Uncommon Answers, Dialihbahasakan oleh Yudian W. Asmin dan Tathiful Khuluq, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1996), hal. xiv. 41
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 276. 42
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
terputus dari kutub masa lampau (tradisi). Dari yang tradisional akan menjadi modern dan yang modern dalam perjalanan masa akan menjadi tradisinal, demikian seterusnya. Penegasan di atas, bagi Mohammed Arkoun merupakan pengertian filosofis yang mendasari modernitas lebih sekedar pengertian historis maupun sosiologis. Dengan demikian, Mohammed Arkoun membedakan antara modernitas material dan modernitas pemikiran. Modernitas material menunjuk kepada perbaikan-perbaikan yang memasuki kerangka eksistensi manusia. Sedangkan modernitas pemikiran mencakup metode, alat analisis dan sikap rasional yang mempercayai rasionalitas yang lebih sesuai dengan realitas. Pemanfaatan modernitas material dan efek-efeknya sangat tergantung pada jenis modernitas pemikiran yang terealisasi.43 Menurut Mohammed Arkoun, modernitas pemikiran terus akan berkembang, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern yang pergeserannya begitu cepat, berbeda dari pengetahuan klasik, berani meninjau kembali kebenaran-kebenaran yang telah diperoleh secara ilmiah. Kemajuan bidang ilmu pengetahuan, pemikiran dan teknologi ini merupakan inti modernitas yang telah berkembang di Barat sejak abad ke 16. Akhirnya Mohammed Arkoun mengatakan 43
Mohammed Arkoun dan Lois Gardet, op.cit., hal. 119 – 120.
139
140
Ibid., hal. 120.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
bahwa kedua bentuk modernitas tersebut di atas telah melalui pewarnaan yang beraneka ragam sesuai dengan kecenderungan historis yang berlangsung di Barat sejak abad ke 16. Akhirnya, Mohammed Arkoun mengatakan bahwa kedua bentuk modernitas tersebut di atas telah melalui pewarnaan yang beraneka ragam sesuai dengan kecenderungan historis yang berlangsung di Barat : masa Renaisans, gerakan Reformasi, kritis kesadaran Eropa (abad ke 17 dan 18), masa teknologi tinggi sekarang, kemudian pesatnya ilmu-ilmu humaniora dan kemasyarakatan.44 D. Penutup Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Mohammed Arkoun lahir pada tahun 1928 di Kabilia Aljazair dan dibesarkan dalam lingkungan yang Islami dan dibina dalam budaya modern di Perancis. Mohammed Arkoun adalah pemikir muslim dan sekaligus sebagai ilmuan produktif yang banyak mengemukakan ide dan gagasan-gagasannya melalui tulisan, ceramah dan seminar sampai saat ini. Pemikiran Mohammed Arkoun tentang turats adalah semua diktum (ucapan atau keputusan) dan tindakan Nabi dan sahabat-sahabat beliau dalam rangka menjelaskan wahyu 44
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Al-Qur’an. Sedangkan tradisi tersebut menurut Mohammed Arkoun dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu; Pertama, tradisi ideal yang datang dari Tuhan yang bersifat abadi dan mutlak (absolut). Kedua, tradisi yang dibentuk oleh kondisi sejarah dan budaya manusia dan bersifat nisbi. Mohammed Arkoun lebih cenderung membatasi modernitas dengan masa, dan menurutnya salah satu ciri modernitas adalah perubahan prinsipil dalam bidang pemikiran dan kehidupan sosial. Sedangkan modernitas tersebut menurut Mohammed Arkoun dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu; Pertama, modernitas material, yakni kemajuan atau perbaikan yang terjadi pada bingkai luar dari wujud manusia. Kedua, modernitas pemikiran, yakni kemampuan dalam memahami realitas yang mencakup pemakaian metode, alat analisis dan sikap intelektual yang tepat.
Suadi Putro, op.cit., hal. 50 – 51.
141
142
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
DAFTAR PUSTAKA Muhammad A. Buraey. 1986. Administrative Development : An Islamic Perspective. Dialihbahasakan oleh Achmad Nashir Budiman. Jakarta : Rajawali. Mohammed Arkoun. 1996. Arab Thought. Dialihbahasakan oleh Yudian W. Asmin. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset. .................................. 1996. Rethingking Islam Common Question, Uncommon Answers. Dialihbahasakan oleh Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
M. Afnan Chafidh dan A. Ma'ruf Asrori. 2007. Tradisi Islam, Panduan Prosesi Kelahiran – Perkawinan – Kematian, Surabaya : Khalista. Abdul Aziz Dahlan. Dkk. 2001. Suplemen Ensiklopedi Islam. Jilid 1. Jakarta : Ichtiar Baru – Van Hoeve. Departemen Agama RI. 1993. Ensiklopedi Islam Di Indonesia. Jilid 3. Jakarta : Anda Utama. John L. Esposito. 2001. The Oxford Ensyclopedi of the Modern Islamic World. Jilid 1. Dialihbahasakan oleh Eva YN dkk. Bandung : Mizan. David B Guralnik (ed.). 1987. Webter's New Wold Dictionary of the American Language. New York : Werner Books.
Mohammed Arkoun dan Lois Gardet. 1997. Al-Islamul Amsu wa Islamul Ghad. Dialihbahasakan oleh Ahsin Mohammad. Bandung : Pustaka.
Hartono Ahmad Jaiz. 2007. Mendudukkan Tasawuf, Gus Dur Wali. Jakarta : Darul Falah.
Ahmad As-Shouwy. Dkk. 1995. Mukjizat Al-Qur'an dan AsSunnah tentang Iptek. Jakarta : Gema Insani Press.
A.Syafi’i Maarif. 1997. Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
JS.Badudu dan Sultan Mohammad Zain. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Nurchalish Madjid. 1998. Islam Kemoderenan Keindonesiaan. Bandung : Mizan.
Ahmad Baso. 2000. Neo – Modernisme Islam Versus PostTradisionalisme. Tashwirul Afkar. Nomor 10. Jakarta : Lakpesdam dan Taf.
Anton M Moeliono. Dkk. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
dan
Imam Bawani. 1993. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Surabaya : Al Ikhlas.
Ahmad Warson Munawwir. 1984. Kamus Al-Munawwir Arab – Indonesia. Yogyakarta : Pondok Pesantren AlMunawwir.
Rachmat Bratamidjaya. Dkk. 1993. Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Afrika. Jakarta : Intermasa.
Poerwantara. dkk. 1993. Seluk Beluk Filsafat Bandung : Remaja Rosdakarya.
143
144
Islam.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Abdul Muthalib. 2002. Percikan Pemikiran M. Arkoun. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Sosial. N0. 1/Oktober-Desember. Banjarmasin : PPs IAIN Antasari. Harun Nasution. 1996. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : Bulan Bintang.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Hasan Shadily, dkk. 1991. Ensiklopedi Indonesia. Jilid 1. Jakarta : Ichtiar Baru – Van Hoeve. ................................ 1991. Ensiklopedi Indonesia. Jilid 5. Jakarta : Ichtiar Baru – Van Hoeve.
Harun Nasution dan Azyumardi Azra (ed.). 1985. Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Kautsar Azhari Noor. Dkk. 1998. Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer. Jurnal Pemikiran Paramadina. Volume I Nomor 1. Jakarta : Paramadina. Suadi Putro. 1998. Mohammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas. Jakarta : Paramadina. Fazlur Rahman. 1997. Islam. Chicago : University Chicago Press. Rusmadi. 2000. Kritik Nalar : Arab Baru Studi Islam. Tashwirul Afkar. Nomor 10. Jakarta : Lakpesdam dan Taf. Peter Salim. 1985. The Contemporary English – Indonesia Dictionary. Jakarta : Modern English Press. Abdul Sani. 1998. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Mahmud Yunus. 1973. Kamus Arab – Indonesia. Jakarta : Yayasan Penyelenggara/Penterjemah Penafsir Al Qur'an.
145
146
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
IMPLEMENTASI PIDANA HUDUD DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA Azhari Arsyad* Abstrak The development of Criminal Law in Indonesia this decade seems very slow and less satisfied when we compare with the development in other parts or sectors. It is needed to renew or renovate the national criminal law comprehensively and satisfiedly. So it can be solve the existence of criminal problems. One of the crucial aspects in renovating the national criminal law is the renovation of Criminal Codex (KUHP). Here is a chance to implement the Islamic criminal law “hudud” into the national criminal law, because it has relevance and strong base either phylosofically, yuridical constitution, sosiology and theory of methodology in Indonesia. The strategy And solution of implementation effort must be suitable to the values, norm of Indonesian society, empirical fact of Indonesian plural community, or otherwise it is no use anymore. One of the strategy that can be used is the gradual applying or “Sunnah Pentahapan”. Of course it is difficult to implement Islamic criminal law “hudud” to the national criminal law, without seeing the condition of the community. Kata-kata kunci : Implementasi, hudud, hukum pidana. *
Penulis adalah Dosen dan juga Ketua Program Studi Tadris Bahasa Inggris (TBI) STAI Rakha Amuntai.
147
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
A. Pendahuluan Hukum Islam merupakan hukum yang bersumber kepada wahyu. Dalam hal ini umat Islam telah menyepakati al-Qur'an sebagai sumber hukum utama dalam perundangundangan Islam. Al-Qur'an banyak mencantumkan persoalan-persoalan hukum ini dalam berbagai tempat. Jika jumlah ayat al-Qur'an sebanyak 6.200 ayat lebih plus ”jumlah lebihnya” yang masih diperselisihkan, dibandingkan dengan ayat-ayat ahkam, maka ayat-ayat ahkam sangat sedikit sekali. Apalagi jika ayat-ayat ahkam tersebut dibandingkan dengan masalah-masalah yang memerlukan status hukum yang timbul dari zaman ke zaman. Menurut jumlah yang diberikan oleh Wahhab Khallaf, guru besar hukum Islam Universitas Cairo, jumlah itu hanya 5,8 persen dari seluruh ayat al-Qur'an atau sebanyak 368 ayat. Lebih lanjut beliau merinci ayat-ayat mengenai soal kriminal atau kejahatan hanya berjumlah 30 ayat.1 Terlepas dari berbagai perbedaan ulama tentang hukum pidana hudud dan jenis-jenis hukuman yang masuk kedalamnya, hukum sebagai sanksi/hukuman mempunyai 1
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : UI Press, 1986), Cet. Ke-6, Jilid 2, hal. 8.
148
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
peranan yang sangat penting dalam hukum pidana Islam. Hukum pidana Islam telah menetapkan sejumlah peraturan demi terwujudnya kemaslahatan dan kestabilan hidup umat manusia. Dalam masalah-masalah tertentu peraturanperaturan itu juga disertai sanksi/hukuman (baik hukuman yang bersifat duniawi maupun ukhrawi). Namun pada kenyataannya al-Qur’an jarang sekali berbicara tentang sesuatu persoalan hukum secara terperinci. Al-Qur'an pada umumnya hanya mencantumkan pedoman dasar dari suatu permasalahan. Sebagai contoh mengenai masalah ini adalah kasus rajam, hukuman jenis ini tidak dijelaskan dalam al-Qur’an.2 Sementara manusia sebagai obyek hukum (juga sebagai subyek) berada dalam tatanan hidup yang dinamis dan selalu berkembang dari waktu ke waktu. Setiap saat masalah yang timbul tersebut tentu perlu mendapatkan status hukum yang jelas agar tidak menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum di masyarakat. Disini terlihat betapa pentingnya pengkajian, interpretasi dan pemahaman yang benar terhadap pidana Islam serta mendudukkannya dalam persoalan yang sebenarnya.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Pada satu sisi di samping mampu menginterpretasi dan memahami dengan benar, umat Islam juga dituntut untuk berupaya mengimplementasikan kandungan hukum tadi dalam kehidupan sehari-hari, baik lingkungan keluarga, masyarakat sampai dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sekarang timbul pertanyaan bagaimana dimensi pidana hudud jika dikaitkan dengan dunia hukum Indonesia? Pertanyaan selanjutnya adalah tentang kemungkinan implementasinya dalam hukum positif?, karena negara berdasarkan hukum yang berfalsafah pancasila melindungi agama dan penganut agama, bahkan berusaha memasukkan ajaran dan hukum agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammad Hatta mengatakan bahwa dalam pengaturan negara hukum Republik Indonesia, syari’at Islam berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah dapat dijadikan peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga umat Islam mempunyai sistem syari’at yang sesuai dengan kondisi Indonesia.3 Adapun menurut Prof Dr. Yusril lhza Mahendra, secara umum dapat dikatakan bahwa pembangunan hukum 3
2
Jamal D.Rahman,(Ed.), Wacana Baru Fiqih Sosial : 70 th KH. Ali Yafie, (Jakarta : Mizan, 1997), Cet. ke-1, hal. 94.
149
Amrullah Ahmad, dkk., (ed.)., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Th Prof. Dr. H. Bustanul Arifin. SH, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), Cet. ke-1, hal. 95.
150
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
di Indonesia sangat jauh tertinggal dengan pembangunan di sektor lainnya, sehingga menimbulkan ketimpangan dan ketidak seimbangan dalam masyarakat. Akibat ketimpangan ini maka timbul berbagai penyimpangan-penyimpangan di Indonesia, dari tingkatan yang paling atas sampai level terbawah sekalipun. Karena itulah perlu terus dilakukan pembenahan dan perbaikan hukum dengan berbagai aspeknya.4 Melihat kenyataan-kenyataan di atas, tentu umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia mempunyai hak dan tanggung jawab untuk menyumbangkan berbagai kerangka pemikiran yang digali dari ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakini sebagai rahmatan lil’alamin. B. Peluang Implementasi Pidana Hudud Menurut tinjauan historis di masa-masa lalu dalam konteks masyarakat Indonesia, pembicaraan mengenai hukum Islam lebih-lebih di bidang kepidanaan Islam masih dianggap sensitif, bahkan terkadang dianggap sebagai “taboo social”. Hal ini bisa dilihat dari dihapuskannya tujuh perkataan dalam pembukaan UUD 1945, “…dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya”.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
yang kemudian dikenal dengan “Tujuh Perkataan Piagam Jakarta”. “Penghilangan” itu sendiri dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik tidak memisahkan diri dari Republik Indonesia5. Peristiwa ini, langsung tidak langsung, berkaitan dengan penerapan Hukum Pidana Islam di Indonesia. Di era reformasi dewasa ini, pembicaraan mengenai Hukum Pidana Islam dirasa lebih kondusif dan tepat momentum, sebagai contoh adalah diluluskannya undangundang khusus bagi Aceh untuk melaksanakan syari’at Islam. Meski demikian, untuk sampai pada kesimpulan bahwa hukum Islam memiliki peluang implementasi dalam Hukum Pidana Indonesia, memerlukan pengkajian tersendiri. 1. Menurut Tinjauan Filosofis Negara Indonesia memiliki Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan benegara. Artinya tolak ukur mengenai filsafat umum hukum nasional Indonesia praktis tidak lain adalah Pancasila, yang sila pertamanya berbunyi 5
4
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta : Gema Insani Press, 1997), Cet. ke-1, hal. 15.
Jamal D.Rahman, (ed)., op. cit, hal. 175.
151
152
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
”Ke- Tuhanan Yang Maha Esa”. Memang Indonesia bukan negara agama, akan tetapi dilihat dari bunyi sila pertama tersebut, dapatlah dikatakan bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara yang agamis (religius) dan sistem hukumnya juga religius, bukan sekuler yang memisahkan agama bahkan cenderung meniadakannya dalam hidup berbangsa dan bernegara. 2. Menurut Tinjauan Yuridis Seperti halnya tinjauan filosofis, secara yuridiskonstitusional, tidak ada larangan untuk menjadikan hudud sebagai bagian sumber hukum pidana di Indonesia. Di dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (2) dinyatakar.: ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, karena itu negara menjamin sepenuhnya kebebasan pemeluk agama menjalankan perintah dan aturan agamanya. Secara tidak langsung di sini upaya untuk menjalankan syari'at Islam dalam hal ini pidana hudud dijamin oleh negara kelangsungannya. Di samping hal di atas, dalam pasal 4 ayat 1 undangundang pokok kekuasaan kehakiman No. 14 tahun 1970, disebutkan bahwa setiap putusan hakim, harus dijatuhkan demi keadilan berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa. 153
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Bahkan dalamn pasal 9 UUD 1945, sumpah jabatan yang diucapkan presiden dan wakil presiden harus dimulai dengan kata-kata "Demi Allah".6 Dengan demikian secara yuridis-konstitusional maupun filosofis, pidana hudud sebagai bagian tradisi hukum pidana Islam mempunyai landasan yang kuat untuk diberlakukan di Indonesia. 3. Menurut Tinjauan Sosiologis Negara Republik Indonesia adalah negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Terlepas dari kuat atau tidaknya kekuasaan politik Islam dan terlepas dari sejauh mana ketaatan muslim Indonesia terhadap Islam yang dianutnya, jumlah muslim yang dominan ini merupakan landasan sosiologis yang kuat bagi upaya pelaksanaan tradisi hukum pidana Islam di Indonesia. Apalagi harapan mengembangkan syari'at Islam di Indonesia sudah cukup lama tertanam, yaitu sejak hukum pidana positif berkembang pada zaman Hindia Belanda. Perwujudan harapan tersebut pada perkembangannya dirumuskan sebagai Satu hal lagi, secara teoritis metodologis tradisi hudud juga sangat relevan untuk dijadikan sumber penting 6
Asshiddiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : Angkasa, 1996), Cet. Ke-2, hal. 194.
154
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
dalam dunia hukum pidana di Indonesia. Sebagaimana pada Bab II hukum pidana Indonesia dikenal istilah Nullum delictum nulla poena sine praevia lege punali atau asas legalitas. Di dalam hukum Islampun dikenal asas legalitas ini, lebih-lebih pada pidana hudud di mana pelanggarnya dihukum dengan pidana yang pasti. Bahkan asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan akal manusia, tetapi dari ketentuan Allah. B. Relevansi Pidana Hudud Dalam KUHP Nasional Secara komprehensif pembicaraan mengenai hukum pidana sebenarnya meliputi banyak bidang hukum pidana baik yang menyangkut substansinya (hukum pidana materiil), hukum acaranya (hukum pidana formil) maupun terhadap ketentuan-ketentuan yang menyangkut pelaksanaan pidananya. Akan tetapi jika berbicara hukum pidana, substansinya sama dengan berbicara hukum pidana materiil karena ia merupakan substansi hukum pidana, yang tergambar dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana Nasional (KUHP). Dengan demikian, untuk sampai pada pengetahuan relevansi hudud dengan hukum pidana Indonesia, terlebih dahulu dilakukan pengklarifikasian hudud dalam KUHP tersebut pada umumnya.
155
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
1. Berkenaan had zina, di dalam KUHP bisa dilihat dalam pasal 284 KUHP, pasal tersebut merumuskan bahwa hubungan seksual di luar pernikahan hanya merupakan suatu kejahatan apabila para pelaku atau salah satu pelakunya adalah orang yang telah terikat dalam perkawinan dengan orang lain. Hubungan seksual di luar perkawinan, antara dua orang yang sama-sama lajang, sama sekali bukan merupakan tindak pidana perzinahan Kejahatan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan.7 2. Berkenaan dengan syurbil khamr, di dalam KUHP kejahatan ini hanya terlihat dalam Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan pasal 300. Rumusan pasal ini hanya menyebutkan perbuatan membuat orang mabuk. 3. Mengenai tindak pidana sariqah bisa dilihat dalam pasal 362 KUHP. Rumusan pasal ini menyebutkan pidana pencurian biasa dengan maksimum hukuman 5 tahun penjara atau denda paling banyak enam puluh rupiah. Sedangkan pasal 363 KUHP merumuskan pencurian berkualifikasi dengan maksimum hukuman 7 tahun atau 9 tahun. 7
Moelyatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta : Bumi Aksara, 1999), Cet. Ke-20, hal. 104.
156
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
4. Pidana hirabah, dapat dilihat dalam pasal 365 KUHP, pasal ini mengatur tentang pencurian dengan kekerasan yang biasa disebut perampokan. Pidananya bisa sampai mati, jika ada orang mati serta dipenuhi unsur pada waktu malam dan memakai kunci palsu atau perintah palsu atau pakaian palsu.8 5. Mengenai hadd riddah, dalam KUHP tidak terdapat rumusan mengenai perpindahan agama ini. Hanya saja menurut A.Dahlan Ranuwihardjo, pasal 29 UUD 1945 yang mengatur hak kebebasan beragama secara implisit tidak mengandung aturan hak berganti agama.9 6. Mengenai Al-Baghy, di dalam KUHP disebut dengan makar yang diatur Buku II BAB I tentang kejahatan melanggar keamanan negara pasal 104-139 dengan berbagai bentuk makar dan ketentuannya. Misalnya pasal 107 berbunyi : a) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. b) Pemimpin dan pengatur makar tersebut pada 8
Jaenal Arifin, Arskal Salim GP, (ed), Pidana Islam di Indonesia : Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001), Cet. Ke-1, hal. 174. 9 Ibid., hal. 78.
157
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.10 Kemudian secara umum dalam KUHP juga diatur ketentuan mengenai sanksi pidana yang diatur dalam Buku I Aturan Umum Bab II tentang pidana pasal 10. Pasal ini menyebutkan pidana terdiri atas: a. Pidana pokok : 1) Pidana mati, 2) Pidana penjara, 3) Kurungan, 4) Denda. b. Pidana tambahan : 1) Pencabutan hak-hak tertentu, 2) Perampasan barang-barang tertentu, 3) Pengumuman putusan hakim. Dari uraian-uraian di atas, walaupun tidak semua aspek pidana hudud diakomodir oleh KUHP tetapi dapat disimpulkan secara umum pidana hudud relevan untuk dijadikan sumber pembentukan dan pembinaan hukum pidana di Indonesia. Bambang Poernomo (Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM Yogyakarta) menyatakan “sebagian besar 10
158
Moelyatno, op.cit., hal. 43.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
delik yang diatur dalam KUHP dan yang akan diatur dapat dianggap mencakup pidana hudud sepanjang menyangkut kaidah larangan, bukan sanksi.”11 D. Faktor Penghambat Implementasi Pidana Hudud Usaha memasukkan hudud sebagai sumber pembentukan dan pembinaan hukum di Indonesia tentu akan bersenggolan dengan hambatan-hambatan yang cukup kompleks. Sejauh pembahasan-pembahasan dalam tulisan ini dan fakta empiris di Indonesia, kiranya ada beberapa hambatan yang perlu dikemukakan, yaitu : 1. Mengenai ancaman pidana dalam hudud, ia akan terhambat oleh dasar pokok hukum pidana positif dan sistem sanksi pidana dari aturan hukum pidana umum, yaitu sebagaimana diungkapan Bambang Poemomo : 1) Ketentuan bahwa aturan hukum pidana tidak boleh bertentangan dengan aturan modifikasi hukum pidana; 2) Ketentuan aturan penutup bahwa aturan hukum pidana tidak boleh bertentangan dengan peraturan undang-undang yang berlaku; dan 3) Politik hukum pidana yang digariskan oleh pembentuk undang-undang adalah wewenang badan legislatif 11
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
bersama badan eksekutif.12 2. Salah satu hambatan lain dengan menilik sifat dasar hukuman hudud dan watak-watak diskriminatif dalam peraturan prosedural tertentu, upaya penerapan hudud akan bersimpang jalan dengan prinsip penologis dan norma hak asasi manusia modern yang diusung oleh Barat yang terlanjur berpandangan apriori terhadap hukum Islam. 3. Dalam konteks Indonesia, secara sosiologis pidana hudud juga akan berhadapan dengan masyarakat hukum yang heterogen dan plural seperti tergambar dalam ”Bhinneka Tunggal Ika.” 4. Selain di atas, hambatan yang cukup serius dan cukup fundamental berasal dari faktor internal, yakni lemahnya kesadaran dan kemauan hukum pada sebagian umat Islam secara kaffah terhadap ajaran Islam dan hukum Islam itu sendiri. 5. Masalah Internal lain adalah sulitnya memodifikasi hukum akibat banyaknya perbedaan para ahli hukum Islam dalam menginterpretasi pidana hudud dari zaman ke zaman.
12
Amrullah Ahmad, dkk., (ed.)., op.cit., hal. 161.
159
160
Amrullah Ahmad, dkk., (ed), loc.cit.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
D. Implementasi Pidana Hudud di Indonesia Hukum Islam ada yang bisa diterapkan secara langsung dan ada pula yang harus melalui berbagai upaya dalam usaha penerapannya. Di Indonesia kedudukan hukum Islam di bidang keperdataan telah terjalin secara luas dalam hukum positif, baik sebagai unsur yang mempengaruhi atau sebagai modifikasi norma agama yang dirumuskan dalam peraturan undang-undang keperdataan maupun yang tercakup dalam lingkup hukum substansial. Sehubungan dengan hambatan-hambatan di atas dalam pembahasan berikut ini dengan lebih dahulu dikemukakan halhal yang bersifat internal : 1. Langkah pertama yang sangat substansial adalah menumbuhkan rasa kesadaran dan kemauan hukum umat Islam. Dengan demikian kemauan umat Islam untuk mengaktualisasikannya diharapkan tumbuh atas dasar keyakinan, bukan oleh karena paksaan (walaupun hukum juga bersifat memaksa). Langkah ini bisa ditempuh melalui dakwah dan pendidikan yang komprehensif, menyeluruh dan utuh, atau bersifat holistik. 2. Perlunya objektivitasi, interpretasi, aktualisasi dan ”kontekstualisasi”. Artinya dalam hal ini perlu adanya ”pengistinbathan” pidana hudud yang bisa dijadikan 161
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
pegangan oleh umat Islam. Dalam konteks Indonesia dimana hukum Islam di bidang kepidanaan, hudud akan berhadapan dengan masyarakat hukum yang heterogen dan plural, maka umat Islam hanya punya ”dua alternatif”; mengimplementasikan pidana hudud apa adanya dengan berbagai konsekuensinya dan masalah yang timbul karenanya atau meninggalkannya dan memilih memakai hukum pidana modern. Penerapan hukum pidana yang prematur apalagi pada masyarakat yang belum siap dikhawatirkan hanya bisa menimbulkan masalah serius. Menyikapi hal ini para ahli hukum di Indonesia telah banyak memberikan sumbangsih pemikiran. Prof KH. Ibrahim Husen mengusulkan ”re-interpretasi” pidana hudud sesuai kondisi masyarakat hukum dewasa ini. Adapun Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja juga mengungkapkan hal yang senada. Beliau menyarankan perlunya upaya ”objektivitas” karena akan mendukung pemahaman ajaran Islam sesuai bi'ah dan zhuruf keIndonesiaan dan membawa sinergi antara paham keagamaan dan paham kebangsaan dalam wujud formulasi-formulasi yang menasional.13 Hal ini senada pula dengan ungkapan Nurcholis Madjid tentang kebenaran al-Qur’an: ”... hukum dalam Al-Qur'an 13
162
Jaenal Arifin, Arskal Salim GP, (ed), op.cit., hal. 221.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
mengandung unsur-unsur ketegasan dalam menegakkan keadilan dan sekaligus kelembutan dalam semangat kemanusiaan”. 14 Melihat berbagai realitas hukum yang ada kiranya ”jalan tengah” dalam ambiguitas penerapan antara yang menghendaki implementasi secara mutlak ataupun reintrepretasi, objektivitas dan kontekstualisasi secara mutlak, patut direnungkan. Jalan tengah tersebut berupa ”sunnah penahapan”.15 Logikanya segala sesuatu berangkat dari yang kecil kemudian menjadi besar, dari lemah menjadi kuat. Kita bisa melihat sunnah ini dalam tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Manusia lahir tidak langsung dewasa tetapi melewati sunnah penahapan yang merupakan bagian dari sunnatullah. Syari’at yang hanif juga memperhatikan sunnah ini dengan melakukan penahapan terhadap taklif dalam mewajibkan yang wajib, begitu pula penahapan dalam pengharaman yang haram. Dalam konteks penerapan pidana hudud di Indonesia yang belum memungkinkan, dengan teori 14
Ibid., hal. 218
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
sunnah penahapan, pidana hudud tidak dipaksakan harus terwujud dengan seperangkat aturan-aturan formal dan sanksi-sanksi pidananya yang mengikat. Yang terpenting sebagai tahap awal, ajaran-ajaran pokok yang bersifat esensial dari hudud tersebut, seperti larangan mencuri, larangan merampok dan sebagainya, tidak diabaikan. Langkah ini sejalan dengan teori Abdullah Ahmad An-Naiem berupa pembatasan aplikasi hudud dalam praktek.16 Jikapun diperlukan reformasi hudud sesuai kondisi dan kesiapan masyarakat hukum, maka reformasi tersebut harus merupakan bagian dari teori sunnah penahapan, bukan dalam rangka re-interpretasi secara mutlak. 3. Perlunya Legislasi hudud dalam hukum positif. Jika pemikiran di atas bisa diterima, tentu paling tidak umat Islam Indonesia bisa menjadikan pidana hudud sebagai bagian sumber pembinaan hukum pidana nasional kita. Sebagai langkah awal ia akan lebih mulus masuk dalam proses legislasi tanpa harus disebut pidana hudud terlebih dahulu. Menurut Masykuri Abdillah terlebih dahulu yang terpenting bahwa delik-delik hudud harus dianggap sebagai tindak pidana. Beliau menyebut proses
15
Yusuf Al-Qardhawy, Fiqih Daulah Dalam Persfektif Al-Qur’an dan As-Sunnah (terj. Kathur Suhardi), (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 1997), Cet. Ke-1, hal. 258.
163
16
Abdullah Ahmad An-Naim, et al., Dekonstruksi Syari’ah, (Terjemahan Farid Wajidi), (Yogyakarta : Lkis, 1996), Cet. ke-1, hal. 123.
164
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
ini sebagai bagian dari strategi legislasi hukum Islam yang bersifat gradual. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (sesuatu yang tidak dapat dicapai sepenuhnya, tidak boleh ditinggalkan 17 seluruhnya). Di samping itu, legislasi hudud sebagai tolak ukur pembentukan hukum pidana di Indonesia bisa dicapai dengan teori kekuasaan dan teori pengakuan. Pertama : Teori kekuasaan, apabila dilihat dari sudut teori kekuasaan, maka upaya implementasi tergantung kepada kekuasaan politik umat Islam. Umat Islam melalui kalangan akademisi dan intelektualnya perlu mengeksploritasi langkah strategis dalam upaya transformasi pidana hudud, langkah ini harus dilanjudkan dengan mengoptimalkan kekuatan-kekuatan politik umat Islam, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kedua : Teori pengakuan, diterapkan atau tidaknya dan diadopsi atau tidaknya pidana hudud dalam hukum positif tergantung kepada sejauh mana masyarakat hukum menerima dan mengakuinya sebagai bagian kehidupan mereka. Oleh karena itu dakwah dan pendidikan hukum serta sosialisasi substansi, tujuan, kegunaan dan implikasi pidana hudud, menjadi mutlak. 17
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
E. Penutup Dari uraian-uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai upaya implementasi pidana hudud di Indonesia, sebagai berikut : 1. Pidana hudud adalah merupakan bagian dari tradisi hukum pidana Islam yang cenderung lebih bersifat dogmatis dan lebih merapakan hak Allah yang tidak bisa dirubah oleh kekuasaan manusia. 2. Upaya mengimplementasikan pidana hudud dan menjadikannya sumber pembentukan dan pembinaan hukum pidana di Indonesia, mempunyai relevansi dan landasan yang kuat, baik secara filosofis, yuridis konstitusional maupun sosiologis dan secara teoritis metodologis. 3. Strategi dan solusi usaha implementasi harus sesuai dengan nilai-nilai, norma dan fakta empiris masyarakat hukum Indonesia yang plural. 4. Salah satu strategi yang bisa ditempuh adalah dengan penerapan berangsur-angsur atau Sunnah Penahapan. Tanpa memperhatikan kondisi di masyarakat sangat sulit menyatakan usaha implementasi dapat diterima dan diwujudkan.
Jaenal Arifin, Arskal Salim GP, (ed), op.cit., hal. 81.
165
166
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
5. Dalam kaitannya pula dengan usaha implementasi, yang terpenting dan terkait secara langsung adalah kemauan dan kesiapan politik serta psikologis masyarakat Islam berupa pemahaman dan kesadaran tentang wajibnya pelaksanaan hukum pidana Islam yang justru masih berbeda-beda dan sangat pluralistis. Oleh karena itu, sosialisasi substansi, tujuan, kegunaan dan implikasi implementasi harus dilakukan.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Amrullah dkk. (ed.). 1996. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Pidana Nasional : Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin. SH. Jakarta : Gema Insani Press. Jainal Arifin, Askal Salim (Ed.). 2001. Pidana Islam Di Indonesia : Peluang , Prospek, Dan Tantangan. Jakarta : Pustaka Firdaus. Jimly Asshiddiqie Jimly. 1996. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung : Angkasa. Moelyatno. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta : Bumi Aksara. Ahmad Abdullah An-Naim. 1994. Dekonstruksi Syariah : Wacana Kebebasan Sipil Hak Asasi Manusia Dan Hubungan Internasional Dalam Islam. Terj. A. Suaedy Amiruddin Arrani. Yogyakarta : LkiS – Pustaka Pelajar. Ahmad Abdullah An-Naim. 1996. Dekonstruksi Syariah II: Kritik Konsep Penjelajahan Lain. Terj. Farid Wajidi. Yogyakarta : LkiS. Harun Nasution. 1986. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta : Ul Press. Yusuf Qardhawiy. 1986. Fiqh Daulah Dalam perspektif Al-Qur’an Dan Sunnah. Terj. Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
167
168
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jamal D Rahman (ed.). 1997. Wacana Baru Fiqh Sosial : 70 Tahun K. H. Ali Yafie. Jakarta : Mizan. Endang Saifuddin Anshari. 1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Jakarta : Gema Insani Press.
169
170
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
ﺗﻌﺮﻳﻒ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻣﺮ ﻣﺼﻄﻠﺢ "ﺍﻟﻌﺮﰊ" ﲟﺮﺍﺣﻞ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺍﳌﺮﺍﺩ ﺑﻪ ،ﻓﻘﺪ ﻛﺎﻥ ﻗﺒﻞ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻳﻄﻠﻖ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺳﻜﻦ ﰱ ﺷﺒﻪ ﺟﺰﻳﺮﺓ ﺍﻟﻌﺮﺏ ،ﻭﺑﻌﺪ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﺍﻧﺘﺸﺎﺭﻩ ﻭﻓﺘﺢ ﺑﻼﺩ ﻓﺎﺭﺱ ﻭﺍﻟﺮﻭﻡ ﺃﺻﺒﺢ ﺍﻟﻌﺮﰊ ﻳﺮﺍﺩﺑﻪ ﺍﳌﺴﻠﻢ ﺳﻮﺍﺀ ﺑﺴﻮﺍﺀ. ﻭﻟﺬﻟﻚ ﺭﻭﻯ ﺍﳊﺎﻛﻢ ﰱ ﻣﺴﺘﺪﺭﻛﻪ ﺃﻧﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺐ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻓﺒﺤﺒﻲ ﺃﺣﺒﻬﻢ ﻭﻣﻦ ﺃﺑﻐﺾ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻓﺒﻐﻀﱯ ﻗﺎﻝ" :ﻣﻦ ﺃﺣ ﺃﺑﻐﻀﻬﻢ" .ﰒ ﺻﺎﺭﻛﻞ ﻣﻦ ﺗﻜﻠﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻋﺮﺑﻴﹰﺎ .ﻭﻫﻜﺬﺍ ﺃﺻﺒﺤﺖ ﻱ ﺟﻨﺲ ﻱ ﺑﻘﻌﺔ ﰱ ﺍﻷﺭﺽ ﻭﻣﻦ ﺃ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻟﻐﺔ ﻻﺟﻨﺴﺎﹰ ،ﻓﻤﻦ ﺗﻜﻠﻤﻬﺎ ﰱ ﺃ ﰊ. ﻛﺎﻥ ﻓﻬﻮ ﻋﺮ ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻣﻜﺎﻧﺔ ﺧﺎﺻﺔ ﺑﲔ ﻟﻐﺎﺕ ﺍﻟﻌﺎﱂ ﻛﻤﺎ ﺃﻥ ﺃﳘﻴﺔ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺗﺰﻳﺪ ﻳﻮﻣﺎ ﺑﻌﺪ ﻳﻮﻡ ﰱ ﻋﺼﺮﻧﺎ ﺍﳊﺎﺿﺮ ﻭﲡﻠﻰ ﺃﳘﻴﺘﻬﺎ ﰱ ﺍﻟﻨﻘﺎﻁ ﺍﻵﺗﻴﺔ: ﺍ( ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻫﻲ ﻟﻐﺔ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻟﻘﺪ ﺍﺧﺘﺎﺭﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻟﺘﻜﻮﻥ ﻭﻋﺎﺀ ﻟﻜﻼﻣﻪ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ ﻭﻟﻠﻤﻌﺠﺰﺓ ﺍﳋﺎﻟﺪﺓ ﻟﻨﺒﻴﻪ ﺍﻟﻜﺮﱘ ﻭﺃﺛﲎ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻓﻘﺎﻝ " :ﻭﺇﹺﻧﻪ ﻟﹶﺘﻨﺰﹺﻳﻞﹸ ﺭﺏّﹺ ﺍ ﹾﻟﻌﺎﻟﹶﻤﻴﻦ ﻧﺰﻝﹶ ﺑﹺﻪ ﺍﻟﺮﻭﺡ ﺍ ﹾﻟﺄﹶﻣﻴﻦ ﻋﻠﹶﻰ ﹶﻗﹾﻠﺒﹺﻚ ﻟﺘﻜﹸﻮﻥﹶ ﻣﻦ ﺍ ﹾﻟﻤﻨﺬﺭﹺﻳﻦ ﺑﹺﻠﺴﺎﻥ ﺪ ﺿﺮ ﺑﻨﺎ ﻟﻠﻨﺎﺱﹺ ﻋﺮﺑﹺﻲّﹴ ﻣﺒﹺﻴﻦﹴ )ﺍﻟﺸﻌﺮﺁﺀ .(195 -192 :ﻭﻗﺎﻝ ﺃﻳﻀﺎ :ﻭﻟﹶ ﹶﻘ ﻛﺮﻭﻥﹶ ﻗﹸﺮﺁﻧﺎﹰ ﻋﺮﺑﹺﻴﺎﹰ ﻏﹶ ﻴﺮ ﺫﻱ ﻓﻲ ﻫﺬﹶﺍ ﺍ ﹾﻟﻘﹸﺮﺁﻥ ﻣﻦ ﻛﹸﻞّﹺ ﻣﺜﹶﻞﹴ ﱠﻟﻌﱠﻠﻬ ﻢ ﻳﺘﺬﹶ ﱠ ﻋﻮﺝﹴ ﱠﻟﻌﱠﻠﻬ ﻢ ﻳﺘﻘﹸﻮﻥﹶ )ﺍﻟﺰﻣﺮ .(28 -27 : 172
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
أه 2345ا 289:ا234<=>: ا_^]م [ gbTU VWXYZإdeاهab
*
ﺻﻮﺭﺓ ﲡﺮﻳﺪﻳﺔ Istilah Arab sebelum Islam digunakan untuk orang yang tinggal di pedalaman, tapi setelah Islam tersebar keseluruh dunia istilah tersebut tidak berlaku lagi, sehingga siapa saja di permukaan bumi ini berbicara dengan bahasa Arab maka ia dapat dianggap sebagai orang Arab, meskipun non Arab. Bahasa Arab termasuk Bahasa Dunia Internasional, bahasa orang Islam yang dipilih Allah SWT untuk firman Nya yang agung (Al-Qur’an). Bahasa Arab juga merupakan sarana untuk memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber hukum perundangundangan kedua setelah Al-Qur’an. Untuk memahami AlQur’an dengan baik diperlukan pengenalan dan pemahaman terhadap bahasa Al-Qur’an dan Al-Hadits itu sendiri.
ﺍﳌﻔﺮﺩﺍﺕ ﺍﳋﺎﺻﺔ : ﺍﻟﻌﺮﺏ ،ﺍﻟﻠﻐﺔ ،ﺍﻟﺘﺤﺪﺙ ،ﺷﻌﺎﺭ ﺍﻹﺳﻼﻡ. * ﺍﻷﺳﺘﺎﺫ ﲜﺎﻣﻌﺔ "ﺭﺷﻴﺪﻳﺔ ﺧﺎﻟﺪﻳﺔ" ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻣﻌﻬﺪ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻭﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ) (LIPIAﲜﺎﻛﺮﺗﺎ. 171
)(STAI RAKHA
ﺁﻣﻮﻧﺘﺎﻯ ﻭﺧﺮﻳﺞ
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
5ﻧﻔﺲ ﺍﳌﺮﺟﻊ ،ﺹ .77
6
ﻳﺘﻌﻠﻤﻮﻥ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ؟ ﻓﻘﺎﻝ :ﺃﺣﺴﻨﻮﺍ ،ﻳﺘﻌﻠﻤﻮﻥ ﻟﻐﺔ ﻧﺒﻴﻬﻢ". ﻭﻟﻌﻠﻪ ﻣﻦ ﺣﺴﻦ ﺍﻟﺘﺄﺳﻲ ﺑﺎﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻗﺪ ﺃﻣﺮ ﺍﳌﺴﻠﻤﻮﻥ ﺑﺎﻻﻗﺘﺪﺍﺀ ﺑﻪ ﻭﺍﻟﺘﺄﺳﻲ ﺑﺸﻤﺎﺋﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﻠﻢ ﺍﳌﺴﻠﻢ ﻟﻐﺔ ﻧﺒﻴﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ .ﻭﻗﺪ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﻳﻌﺪﻭﻥ ﺍﻟﺘﻜﻠﻢ ﺑﺎﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺷﻌﺎﺭﺍ ﻟﻺﺳﻼﻡ .ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﺍﻟﺜﻌﺎﻟﱯ " :ﻣﻦ ﺃﺣﺐ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﺃﺣﺐ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﳏﻤﺪ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻣﻦ ﺃﺣﺐ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺍﻟﻌﺮﰊ ﺃﺣﺐ ﺍﻟﻌﺮﺏ ،ﻭﻣﻦ ﺃﺣﺐ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻋﲏ ﺎ ﻧﺰﻝ ﺃﻓﻀﻞ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﻋﻠﻰ ﺃﻓﻀﻞ ﺍﻟﻌﺠﻢ ﻭﺍﻟﻌﺮﺏ .ﻭﻣﻦ ﺃﺣﺐ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻋﲎ ﺎ ﻭﺛﺎﺑﺮ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﺻﺮﻑ ﳘﺘﻪ ﺇﻟﻴﻬﺎ" 7.ﻭﻗﺎﻝ ﺣﺴﻦ ﺍﻟﺒﻨﺎ : 8 "ﺍﺣﺮﺹ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﺤﺪﺙ ﺑﺎﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺍﻟﻔﺼﺤﻰ ﻓﺈﺎ ﻣﻦ ﺷﻌﺎﺭ ﺍﻹﺳﻼﻡ. ﺏ( ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻫﻲ ﻟﻐﺔ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺇﻥ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻫﻮ ﻣﻌﺠﺰﺓ ﺭﺳﻮﻟﻨﺎ ﳏﻤﺪ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺏ ﻭﻫﻮ ﺃﻧﺰﻝ ﺑﻠﺴﺎﻥ ﻋﺮﰊ ﻣﺒﲔ ﻟﻴﻘﻮﻡ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﺘﺪﺑﻴـﺮ ﺁﻳﺎﺗﻪ .ﻭﻗﺎﻝ ﺍﷲ :ﻛﺘﺎ ﻛﺮ ﺃﹸ ﻭﻟﹸﻮﺍ ﺍﻟﹾﺄ ﹾﻟﺒﺎﺏﹺ )ﺹ (29 : ﺪﺑﺮﻭﺍ ﺁﻳﺎﺗﻪ ﻭﻟﻴﺘﺬﹶ ﱠ ﻙ ﻟّﻴ ﺃﹶﻧﺰ ﹾﻟﻨﺎﻩ ﺇﹺﻟﹶ ﻴﻚ ﻣﺒﺎﺭ 6ﺃﰉ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﲪﺪ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ،ﺗﻔﺴﲑ ﺍﻟﻘﺮﻃﱯ ،ﺑﻴـﺮﻭﺕ :ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻔﻜﺮ، 2004ﻡ ،ﻁ ،1ﺹ.23 . 7ﺃﺑﻮ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﺍﻟﺜﻌﺎﻟﱯ ،ﻓﻘﻪ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻭﺳﺮ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ،ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻌﺮﰊ1996 ،ﻡ ،ﻁ،2 ﺹ 21 174
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻄﱪﺍﱐ " :ﺃﺣﺒﻮﺍ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻟﺜﻼﺙ ﻷﱐ ﻋﺮﰊ ﻭﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻋﺮﰊ ﻭﻛﻼﻡ ﺃﻫﻞ ﺍﳉﻨﺔ ﰱ ﺍﳉﻨﺔ ﻋﺮﰊ" .ﻭﻗﺎﻝ ﱄ ﻣﻦ ﺗﻌﻠﻢ ﺐﺇﹼ ﺃﺑﻮﺑﻜﺮ ﺍﻟﺼﺪﻳﻖ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ " :ﺗﻌﻠﻢ ﺇﻋﺮﺍﺏ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺃﺣ 1 ﺣﺮﻭﻓﻪ". ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ " :ﺍﺣﺮﺻﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺗﻌﻠﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻓﺈﻧﻪ ﺟﺰﺀ ﻣﻦ ﺩﻳﻨﻜﻢ" 2.ﻭﻗﺎﻝ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ : "ﻛﺎﻥ ﻛﻼﻡ ﺁﺩﻡ ﺑﺎﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻓﻠﻤﺎ ﺃﻛﻞ ﺍﻟﺸﺠﺮﺓ ﺃﻧﺴﻲ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻭﺗﻜﻠﻢ ﺑﺎﻟﺴﺮﻳﺎﻧﻴﺔ ﰊ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ: ﻓﻠﻤﺎ ﺗﺎﺏ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﺭﺩﺕ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ" 3.ﻭﻗﺎﻝ ﺃ "ﺗﻌﻠﻤﻮﺍ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻛﻤﺎ ﺗﺘﻌﻠﻤﻮﻥ ﺣﻔﻆ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ" 4.ﻭﻗﺎﻝ ﺍﳊﺴﲔ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ " :ﺗﻌﻠﻤﻮﺍ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻓﺈﺎ ﻟﺴﺎﻥ ﺍﷲ ﺍﻟﺬﻱ ﳜﺎﻃﺐ ﺑﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ" 5.ﻭﺳﺌﻞ ﺍﳊﺴﻦ ﺍﻟﺒﺼﺮﻱ ﺭﲪﻪ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ" :ﻣﺎ ﺗﻘﻮﻝ ﰱ ﻗﻮﻡ ﻳﺘﻌﻠﻤﻮﻥ 1ﺃﰊ ﺑﻜﺮ ﺍﻟﺸﻨﺘﺮﻳﲏ ،ﺗﻨﺒﻴﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﺏ ﻋﻠﻰ ﻓﻀﺎﺋﻞ ﺍﻹﻋﺮﺍﺏ ،ﺹ 75 2ﺃﲪﺪ ﻣﻨﻮﺭﻱ ،ﺗﻌﻠﻴﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ،ﻳﻮﺟﻴﺎﻛﺮﺗﺎ :ﻣﻌﻬﺪ ﻧﻮﺭ ﺍﻷﻣﺔ2004 ،ﻡ، ﻁ ،1ﺹ . 2 3ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺟﻼﻝ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺴﻴﻮﻃﻲ ،ﺍﳌﺰﻫﺮ ﰱ ﻋﻠﻮﻡ ﺍﻟﻠﻐﺔ ،ﺑﻴـﺮﻭﺕ :ﺩﺍﺭ ﺍﳉﻴﻞ، 1407ﻫـ ،ﺹ .30 4ﺃﰊ ﺑﻜﺮ ﺍﻟﺸﻨﺘﺮﻳﲏ ،ﺍﳌﺮﺟﻊ ﺍﻟﺴﺎﺑﻖ ،ﺹ .76 173
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
:ﺩﺍﺭ ﺍﳌﻌﺮﻓﺔ1972 ،ﻡ ،ﺹ .120
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ﺭﲪﻪ ﺍﷲ " :ﻻﺑﺪ ﰱ ﺗﻔﺴﲑ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﺍﳊﺪﻳﺚ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﻑ ﻣﺎﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺍﺩ ﺍﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻣﻦ ﺍﻷﻟﻔﺎﻅ ﻭﻛﻴﻒ ﻳﻔﻬﻢ ﻛﻼﻣﻪ، ﻓﻤﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺍﻟﱵ ﺧﻮﻃﺒﻨﺎ ﺎ ﳑﺎ ﻳﻌﲔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻧﻔﻘﻪ ﻣﺮﺍﺩ ﺍﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﺑﻜﻼﻣﻪ .ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻣﻌﺮﻓﻪ ﺩﻻﻟﺔ ﺍﻷﻟﻔﺎﻅ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻌﺎﱐ .ﻓﺈﻥ ﻋﺎﻣﺔ ﺿﻼﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﻛﺎﻥ ﺬﺍ ﺍﻟﺴﺒﺐ ﻓﺈﻢ ﺻﺎﺭﻭﺍ ﳛﻤﻠﻮﻥ ﻛﻼﻡ ﺍﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻋﻠﻰ 11 ﻣﺎﻳﺪﻋﻮﻥ ﺃﻧﻪ ﺩﺍﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻷﻣﺮ ﻛﺬﻟﻚ. ﻭﺍﻟﺜﻤﺮﺓ ﺍﻟﻌﻈﻤﻰ ﻟـﻬﺬﺍﺍﻟﻔﻬﻢ ﻫﻮ ﺍﻟﺘﺪﺑﲑ ﺍﻟﺬﻱ ﻧﺪﺏ ﺍﳌﺮﺀ ﺇﻟﻴﻪ ﻟﻴﺆﺩﻱ ﺑﻪ ﺫﻟﻚ ﺇﱃ ﺍﻹﳝﺎﻥ ﺑﺎﷲ ﻣﻨـﺰﻝ ﻫﺬﺍﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺇﱃ ﺗﻌﻈﻴﻢ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻣﻦ ﺃﻭﺣﺎﻩ ﻭﻣﻦ ﺑﻠﻐﻪ .ﻭﻫﻜﺬﺍ ﻛﻠﻬﺎ ﻻﺗﺄﰐ ﺇﻻ ﳌﻦ ﻋﺮﻑ ﻟﻐﺘﻪ ﻭﺃﺩﺭﻙ ﺃﺳﺮﺍﺭﻩ .ﻗﺎﻝ ﺑﻦ ﺍﻟﻘﻴﻢ ":ﺇﳕﺎ ﻳﻌﺮﻑ ﻓﻀﻞ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﻦ ﻋﺮﻑ ﻛﻼﻡ ﺍﻟﻌﺮﺏ ،ﻓﻌﺮﻑ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻭﻋﻠﻢ ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ ...ﻓﺈﺫﺍ ﻋﻠﻢ ﺫﻟﻚ ﻭﻧﻈﺮ ﰱ ﻫﺬﺍﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﻭﺭﺃﻯ ﻣﺎ ﺃﻭﺩﻋﻪ ﺍﷲ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﻼﻏﺔ ﻭﺍﻟﻔﺼﺎﺣﺔ ﻭﻓﻨﻮﻥ ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ ﻓﻘﺪ ﺃﻭﰐ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻌﺠﺐ ﺍﻟﻌﺠﺎﺏ ﻭﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﻔﺼﻞ ﺍﻟﻠﺒﺎﺏ ﻭﺍﻟﺒﻼﻋﺔ ﺍﻟﻨﺎﺻﻌﺔ ﺍﻟﱴ ﲢﻴﺮ ﺍﻷﻟﺒﺎﺏ ﻭﺗﻐﻠﻖ ﺩﻭﺎ 12 ﺍﻷﺑﻮﺍﺏ. ﺝ( ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻫﻲ ﻟﻐﺔ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﺇﻥ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﻨﺒﻮﻳﺔ ﻫﻲ ﺍﳌﺼﺪﺭ ﺍﻟﺜﺎﱐ ﻟﻠﺘﺸﺮﻳﻊ ﺍﻹﺳﻼﻣﻲ ،ﺭﻭﻯ ﺍﳊﺎﻛﻢ ﻭﻏﲑﻩ ﻋﻦ ﺍﳌﻘﺪﺍﻡ ﺑﻦ ﻣﻌﺪ ﻳﻜﺮﺏ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ " :ﺃﻻ ﺇﱐ ﺃﻭﺗﻴﺖ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻣﺜﻠﻪ ﻣﻌﻪ ﺃﻻ ﻳﻮﺷﻚ ﺭﺟﻞ ﺷﺒﻌﺎﻥ
8ﳎﻠﺔ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﺍﻟﻌﺪﺩ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ2001 ،ﻡ ،ﺹ .55
ﻭﻛﻴﻒ ﻳﺘﺪﺑﺮ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻣﻦ ﻻﻳﻌﺮﻑ ﻟﻐﺘﻪ؟ ﻭﻗﺪ ﻳﻘﻮﻝ ﻗﺎﺋﻞ :ﻳﻔﻬﻢ ﻣﻌﺎﻧﻴﻪ ﺑﺎﻟﺘﺮﲨﺔ ﻭﻟﻜﻨﻨﺎ ﻧﺒﺎﺩﺭ ﺍﻟﻘﺎﺋﻞ ﺑﺄﻥ ﺍﻟﺘﺮﲨﺔ ﻣﻦ ﺃﻱ ﻟﻐﺔ ﻻﳝﻜﻦ ﺃﻥ ﺗﻨﻘﻞ ﻛﺎﻣﻞ ﺍﳌﻌﲎ ،ﻓﻜﻴﻒ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﳌﻨﻘﻮﻝ ﻣﻨﻬﺎ ﻫﻲ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺍﻟﱴ ﻋﺮﻓﺖ ﺑﺎﻟﻌﻤﻖ ﻭﺍﻟﻐﺰﺍﺭﺓ ﻭﺗﻘﺎﺭﺏ ﻣﻌﺎﱐ ﺍﻷﻟﻔﺎﻅ ،ﻭﻛﻴﻒ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﳌﺮﺍﺩ ﺗﺮﲨﺘﻪ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﳌﻌﺠﺰ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﺠﺰﺕ ﻓﺼﺤﺎﺀ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻭﺃﺳﺎﻃﲔ ﺍﻟﺒﻼﻏﺔ ﺃﻥ ﻳﺄﺗﻮﺍ ﺑﺂﻳﺔ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﻣﻦ ﻣﺜﻠﻪ. ﺇﻥ ﺍﻟﺘﺮﲨﺔ ﺗﻈﻞ ﻋﺎﺟﺰﺓ ﻣﻦ ﻧﻘﻞ ﻣﻌﺎﱐ ﺍﻵﻳﺔ ﻧﻘﻼ ﻛﺎﻣﻼ .ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﺭﲪﻪ ﺍﷲ "ﻻ ﻳﻘﺪﺭ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﺮﺍﺟﻢ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻳﻨﻘﻠﻪ ﺇﱃ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺍﻷﻟﺴﻨﺔ ﻛﻤﺎ ﻧﻘﻞ ﺍﻹﳒﻴﻞ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﺮﻳﺎﻧﻴﻪ ﺇﱃ ﺍﳊﺒﺸﻴﺔ ﻭﺍﻟﺮﻭﻣﻴﺔ ،ﻭﺗﺮﲨﺔ ﺍﻟﺘﻮﺭﺍﺓ ﻭﺍﻟﺰﺑﻮﺭ ﻭﺳﺎﺋﺮﻛﺘﺐ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﺑﺎﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻷﻥ ﺍﻟﻌﺠﻢ ﱂ ﺗﺘﺴﻊ ﰱ ﺍﺎﺯ 9 ﺍﺗﺴﺎﻉ ﺍﻟﻌﺮﺏ. ﻭﻗﺪ ﺃﲨﻊ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻭﺃﺳﺮﺍﺭﻫﺎ ﺷﺮﻁ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﻭﻁ ﺍﻟﺮﺋﻴﺴﻴﺔ ﰱ ﺍﳌﻔﺴﺮ .ﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﺭﲪﻪ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ":ﻷﻭﰐ 10 ﺭﺟﻞ ﻏﲑ ﻋﺎﱂ ﺑﻠﻐﺎﺕ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻳﻔﺴﺮ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﷲ ﺇﻻ ﺟﻌﻠﺘﻪ ﻧﻜﺎﻻ. 9
10ﺑﺪﺭ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺍﻟﺰﺭﻛﺸﻲ ،ﺍﻟﺒـﺮﻫﺎﻥ ﰱ ﻋﻠﻮﻡ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ،ﺑﻴـﺮﻭﺕ
11ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ،ﺍﻹﳝﺎﻥ ،ﺑﻴـﺮﻭﺕ :ﺍﳌﻜﺘﺒﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ 1359 ،ﻫـ ،ﺹ .111 176
ﺗﺄﻭﻳﻞ ﻣﺸﻜﻞ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ،ﺹ
.21
175
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
15ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ،ﳎﻤﻮﻉ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ ،ﺍﻟﻘﺎﻫﺮﺓ :ﻣﻄﺒﻌﺔ ﺍﳌﺪﱐ1403 ،ﻫـ ،ﺹ.243
ﺩ( ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻫﻲ ﻣﻔﺘﺎﺡ ﻟﻠﺘﻔﻘﻪ ﰱ ﺍﻟﺪﻳﻦ. ﻻﳝﻜﻦ ﻟﻠﻤﺴﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺘﻔﻘﻪ ﰱ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﻳﻔﻬﻢ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻓﻬﻤﹰﺎ ﺻﺤﻴﺤﹰﺎ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻋﺎﺭﻓﺎ ﺑﺎﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ،ﻭﻣﺎﺫﺍﻙ ﺇﻻ ﻷﻥ ﺍﳌﺮﺍﺟﻊ ﺍﳌﻬﻤﺔ ﰱ ﳎﺎﻝ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﻛﺎﻟﺘﻔﺴﻴـﺮ ﻭﺍﳊﺪﻳﺚ ﻭﺍﻟﻔﻘﻪ ﻭﺃﺻﻮﻟﻪ ﻭﺍﻟﺴﻴـﺮﺓ ﻣﻜﺘﻮﺑﺔ ﺑﺎﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ .ﺃﻣﺎ ﺍﻻﻛﺘﻔﺎﺀ ﺑﺎﻟﻜﺘﺐ ﺍﳌﺘﺮﲨﺔ ﻭﺍﻟﻠﺠﻮﺀ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻳﺼﺒﺢ ﺍﳌﺴﻠﻢ ﻓﻘﻴﻬﹰﺎ ﻋﺎﳌﹰﺎ ﺑﺎﻹﺳﻼﻡ ﻓﻼﻳﻮﺛﻖ ﺑﻪ ﻓﻴﻤﺎ ﺗﻜﻠﻢ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ .ﻭﻣﻦ ﻫﻨﺎ ﻭﺟﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﺮﻏﺐ ﰱ ﻓﻬﻢ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻓﻬﻤﹰﺎ ﺻﺤﻴﺤﹰﺎ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﻠﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻭﻓﺮﻭﻋﻬﺎ. ﻫـ(ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺭﺍﺑﻄﺔ ﻭﺣﺪﺓ ﺍﻷﻣﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ. ﻟﻘﺪ ﺩﻟﺖ ﺁﻳﺎﺕ ﻛﺜﻴـﺮﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﻮﺣﺪﺓ ﺍﻷﻣﺔ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﻔﺮﻗﺔ. ﻓﺎﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺗﻠﻌﺐ ﺩﻭﺭﹰﺍ ﺑﺎﺭﺯﺍ ﰱ ﺗﻮﺣﻴﺪ ﺍﻷﻣﺔ .ﻭﺍﻟﺸﺎﻫﺪ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﰱ ﺻﻼﻢ ﻳﺘﻜﻠﻤﻮﻥ ﺑﺎﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﰱ ﺁﻳﺔ ﺑﻘﻌﺔ ﻣﻦ ﺍﻷﺭﺽ. ﻭﻛﺬﻟﻚ ﰱ ﺁﺫﺍﻧـﻬﻢ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻴﻨﻬﻢ. ﺣﻜﻢ ﺗﻌﻠﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺇﻥ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺸﻌﺎﺋﺮ ﺍﻟﺘﻌﺒﺪﻳﺔ ﳚﺐ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺑﺎﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻛﺎﻟﺘﺸﻬﺪ ﻭﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ .ﻭﻟﺬﻟﻚ ﳚﺐ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﻭﻣﺴﻠﻤﺔ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻣﺎ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﺑﻪ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﺬﻩ ﺍﻟﺸﻌﺎﺋﺮ .ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ " :ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ 178
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
12ﺍﻟﻔﻮﺍﺋﺪ ﺍﳌﺸﻮﻗﺔ ﺇﱃ ﻋﻠﻮﻡ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ،ﺹ .7
ﻋﻠﻰ ﺃﺭﻳﻜﺘﻪ ﻳﻘﻮﻝ :ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺬﺍ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ،ﻓﻤﺎ ﻭﺟﺪﰎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺣﻼﻝ ﻓﺄﺣﻠﹼﻮﻩ ﻭﻣﺎ ﻭﺟﺪﰎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺣﺮﺍﻡ ﻓﺤﺮﻣﻮﻩ ﻭﺇﻥ ﻣﺎﺣﺮﻡ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻛﻤﺎ ﺣﺮﻡ ﺍﷲ". ﻭﻟﻘﺪ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﺼﺎﺣﺔ ﻭﺍﻟﺒﻼﻏﺔ ﰱ ﻣﻨـﺰﻟﺔ ﻋﺎﻟﻴﺔ ﻻﺗﺪﺍﱏ .ﺭﻭﻯ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻋﻦ ﺃﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ":ﺑﻌﺜﺖ ﲜﻮﺍﻣﻊ ﺍﻟﻜﻠﻢ ﻭﻧﺼﺮﺕ ﺑﺎﻟﺮﻋﺐ ﻭﺑﲔ ﺃﻧﺎ ﻱ" .13ﻭﻣﻦ ﻭﺍﺟﺒﻨﺎ ﻧﺸﺮ ﻧﺎﺋﻢ ﺃﺗﻴﺖ ﲟﻔﺎﺗﻴﺢ ﺧﺰﺍﺋﻦ ﺍﻷﺭﺽ ﻓﻮﺿﻌﺖ ﰱ ﻳﺪ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﻨﺒﻴﺔ ﺑﲔ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺗﺒﻠﻴﻐﻬﻢ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻜﻴﻒ ﻳﺒﻠﻎ ﻣﻦ ﻻﻳﻌﺮﻑ ﻟﻐﺔ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﺍﳌﺼﻄﻔﻰ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ. ﻭﻟﺬﻟﻚ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻳﺸﻨﻌﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﺪﺭﺱ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﻭﻻﻳﺘﻌﻠﻢ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ .ﻗﺎﻝ ﺷﻌﺒﺔ ﺑﻦ ﺍﳊﺠﺎﺝ ":ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺬﻯ ﻳﺘﻌﻠﻢ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﻭﱂ ﻳﺘﻌﻠﻢ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻛﺎﻟﺮﺃﺱ ﺑﻼ ﺑﺮﻧﺲ 14".ﻷﻧﻪ ﻗﺪ ﻳﻔﻬﻢ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺃﻭﻳﺆﻭﻟـﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻏﻴـﺮ ﻭﺟﻬﻬﺎ ﺍﳌﺮﺍﺩ ﺑﺴﺒﺐ ﺟﻬﻠﺔ ﺑﺪﻻﻟﺔ ﺃﻟﻔﺎﻇﻬﺎ ﻟﺌﻼ ﻳﻨـﺰﻟﻖ ﰱ ﻓﻬﻢ ﺧﺎﻃﺊ .ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ " :ﻣﻦ ﻻ ﻳﻌﺮﻑ ﻟﻐﺔ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺍﻟﱵ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﺘﺨﺎﻃﺒﻮﻥ ﺑـﻬﺎ ﻭﳜﺎﻃﺒﻬﻢ ﺑـﻬﺎ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻋﺎﺩﺗـﻬﻢ ﰱ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﻭﺇﻻ ﺣﺮﻑ ﺍﻟﻜﻠﻢ ﻋﻦ ﻣﻮﺍﺿﻌﻪ ،ﻓﺈﻥ ﻛﺜﻴـﺮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﻨﺸﺄ ﻋﻠﻰ ﺍﺻﻄﻼﺡ ﻗﻮﻣﻪ ﻭﻋﺎﺩﻢ ﰱ ﺍﻷﻟﻔﺎﻅ ﰒ ﳚﺪ ﺗﻠﻚ ﺍﻷﻟﻔﺎﻅ ﰱ ﻛﻼﻡ ﺍﷲ ﺃﻭ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﺃﻭ 15 ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻓﻴﻈﻦ ﺃﻥ ﻣﺮﺍﺩ ﺍﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻭﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﺧﻼﻑ ﺫﻟﻚ. 13ﺍﻷﻣﺎﻡ ﺍﳊﺎﻓﻆ ﺃﲪﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺍﻟﻌﺴﻘﻼﱐ ،ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ﺑﺸﺮﺡ ﺻﺤﻴﺢ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ،ﺍﻟﻘﺎﻫﺮﺓ :ﺩﺍﺭ ﺍﳊﺪﻳﺚ1998 ،ﻡ ،ﺹ .149 14ﺻﺎﱀ ﺍﻟﻌﺎﺋﺪ ،ﺃﳘﻴﺔ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ،ﺩﻁ1416 ،ﻫـ ،ﺹ .9 177
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
ﺟﺎﻣﻊ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻌﻮﺩ1406 ،ﻫـ ،ﻁ ،1ﺹ .204 .18ﺍﳌﺮﺟﻊ ﺍﻟﺴﺎﺑﻖ ،ﺹ.207 .
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻄﻮﰲ" :ﺍﻹﲨﺎﻉ ﻣﻨﻌﻘﺪ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﱂ ﳛﺼﻞ ﺻﻨﺎﻋﺔ ﺍﻹﻋﺮﺍﺏ ﻭﻋﻠﻢ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻻ ﻳﺬﻡ ﺷﺮﻋﺎ ﻭﻻﻳﺘﻮﻋﺪ ﺑﺎﻟﻌﻘﺎﺏ ﻷﻧﺎ ﻧﻘﻮﻝ ،ﳓﻦ ﻧﻌﲏ ﺑﻮﺟﻮﺑﻪ 19 ﺍﻟﻮﺟﻮﺏ ﺍﳋﺎﺹ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺃﺭﺍﺩ ﺍﻟﻔﺘﻴﺎ ﻭﺍﻟﻘﻀﺎﺀ. ﻭﺃﺧﻴـﺮﺍ ﻧﺆﻛﺪ ﺃﻧﻨﺎ ﻣﻄﺎﻟﺒﻮﻥ ﲟﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻭﺑﺘﻌﻠﻴﻤﻬﺎ ﻭﻟﻨﺎ ﺍﻹﺧﻼﺹ
ﻭﺻﺪﻕ ﺍﻟﻨﻴﺔ ﰱ ﺗﻌﻠﻤﻬﺎ ﻭﺗﻌﻠﻴﻤﻬﺎ ﺃﻋﻈﻢ ﺍﻷﺟﺮ ﻭﺍﻟﺜﻮﺍﺏ ﻣﻦ ﺍﷲ ﺍﻟﻜﺮﱘ ﺍﻟﻮﻫﺎﺏ.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
ﺃﻥ ﻳﺘﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﻟﺴﺎﻥ ﺍﻟﻌﺮﺏ ﻣﺎﺑﻠﻐﻪ ﺟﻬﺪﻩ ﺣﱴ ﻳﺸﻬﺪ ﺑﻪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﷲ ﻭ ﺃﻥ ﳏﻤﺪﹰﺍ ﻋﺒﺪﻩ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ .ﻭﻳﺘﻠﻮﺑﻪ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﷲ ﻭﻳﻨﻄﻖ ﺑﺎﻟﺬﻛﺮﻓﻴﻤﺎ ﺍﻓﺘﺮﺽ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻜﺒﻴـﺮ ﻭﺃﻣﺮﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﺴﺒﻴﺢ ﻭﺍﻟﺘﺸﻬﺪ ﻭﻏﻴـﺮ ﺫﻟﻚ .ﻭﻣﺎﺯﺍﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﻠﺴﺎﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﺟﻌﻠﻪ ﺍﷲ ﻟﺴﺎﻥ ﻣﻦ ﺧﺘﻢ ﺑﻪ ﻧﺒﻮﺗﻪ ﻭﺃﻧـﺰﻝ ﺑﻪ ﺁﺧﺮ 16 ﻛﺘﺒﻪ ﻛﺎﻥ ﺧﻴـﺮﺍ ﻟﻪ. ﺃﻣﺎﻣﺎ ﺳﻮﻯ ﺫﻟﻚ ﻓﺘﻌﻠﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻣﻦ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﻣﺴﺘﺤﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻷﻥ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺷﻌﺎﺋﺮ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﻟﻐﺔ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻟﻐﺔ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ .ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ " :ﻳﻨﺒﻐﻲ ﻟﻜﻞ ﺃﺣﺪ ﻳﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺗﻌﻠﻢ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺃﻥ ﻳﺘﻌﻠﻤﻬﺎ ﻷﺎ ﺍﻟﻠﺴﺎﻥ ﺍﻷﻭﱃ ﺑﺄﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺮﻏﻮﺑﹰﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﻏﻴـﺮ ﺃﻥ ﳛﺮﻡ ﻋﻠﻰ ﺃﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﻨﻄﻖ ﺑﺎﻟﻌﺠﻤﻴﺔ" 17.ﻭﻟﻜﻨﻪ ﰱ ﻣﻮﺿﻊ ﺁﺧﺮ ﺃﻧﻪ ﺟﻌﻞ ﺗﻌﻠﻤﻬﺎ ﻓﺮﺿﺎ ﻭﺍﺟﺒﺎ ﺣﻴﺚ ﻗﺎﻝ" :ﺇﻥ ﻧﻔﺲ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﻣﻌﺮﻓﺘﻬﺎ ﻓﺮﺽ ﻭﺍﺟﺐ ﻓﺈﻥ ﻓﻬﻢ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ﻓﺮﺽ ﻭﻻ ﻳﻔﻬﻢ ﺇﻻ ﺑﻔﻬﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻭﻣﺎﻻﻳﺘﻢ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﺇ ﹼﻻ ﺑﻪ ﻓﻬﻮ ﻭﺍﺟﺐ 18.ﻭﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻋﺪﻡ ﻭﺟﻮﺑﻪ ﺇﻻ ﻟﻠﺸﻌﺎﺋﺮ ﺍﻟﺘﻌﺒﺪﻳﺔ ﻷﻥ ﻓﺮﺿﻴﺘﻪ ﺗﻌﲏ ﺇﰒ ﻣﻦ ﺗﺮﻛﻪ ،ﻭﰱ ﻫﺬﺍ ﻣﺸﻘﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺴﻠﻢ ﻭﻻ ﻳﻜﻠﻒ ﺍﷲ ﻧﻔﺴﺎ ﺇﻻ ﻭﺳﻌﻬﺎ. 16ﺃﺑﻮﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ،ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ،ﻃﺒﻊ ﻣﺼﻄﻔﻲ ﺍﳊﻠﱯ1940 ،ﻡ ، ﺹ .41 17 ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﺗﻘﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ﺍﳊﺮﺍﱐ ،ﺍﻗﺘﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﺮﺍﻁ ﺍﳌﺴﺘﻘﻴﻢ ،ﺍﻟﺮﻳﺎﺽ:
180
179
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺟﻼﻝ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺴﻴﻮﻃﻲ .1987 .ﺍﳌﺰﻫﺮ ﰱ ﻋﻠﻮﻡ ﺍﻟﻠﻐﺔ .ﻟﺒﻨﺎﻥ ﺑﻴـﺮﻭﺕ :ﺩﺍﺭ ﺍﳉﻴﻞ.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2008
.19ﺻﺎﱀ ﺍﻟﻌﺎﺋﺪ ،ﺍﳌﺮﺟﻊ ﺍﻟﺴﺎﺑﻖ ،ﺹ .12
ﺃﺑﻮ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﺍﻟﺜﻌﺎﻟﱯ .1996 .ﻓﻘﻪ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻭﺳﺮ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ .ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﻟﻌﺮﰊ. ﺻﺎﱀ ﺍﻟﻌﺎﺋﺪ1416 .ﻫـ .ﺃﻫـﻤﻴﺔ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ.
ﺍﳌﺮﺍﺟﻊ ﺃﰊ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﲪﺪ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﺍﻟﻘﺮﻃﱯ .2004 .ﺍﳉﺎﻣﻊ ﻷﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻘﺮﻃﱯ .ﻟﺒﻨﺎﻥ ﺑﻴـﺮﻭﺕ :ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻔﻜﺮ.
ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ1403 .ﻫـ .ﳎﻤﻮﻉ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ .ﺍﻟﻘﺎﻫﺮﺓ :ﻣﻄﺒﻌﺔ ﺍﳌﺪﱐ.
ﺃﰊ ﺑﻜﺮ ﺍﻟﺸﻨﺘﺮﻳﲏ .ﺗﻨﺒﻴﻪ ﺍﻷﻟﺒﺎﺏ ﻋﻠﻰ ﻓﻀﺂﺋﻞ ﺍﻹﻋﺮﺍﺏ.
ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ1359 .ﻫـ .ﺍﻹﳝﺎﻥ .ﻟﺒﻨﺎﻥ ﺑﻴـﺮﻭﺕ :ﺍﳌﻜﺘﺒﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ.
ﺍﻷﻣﺎﻡ ﺍﳊﺎﻓﻆ ﺃﲪﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺍﻟﻌﺴﻘﻼﱐ .1998 .ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ﺑﺸﺮﺡ ﺻﺤﻴﺢ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ .ﺍﻟﻘﺎﻫﺮﺓ :ﺩﺍﺭ ﺍﳊﺪﻳﺚ. ﺑﺪﺭ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺍﻟﺰﺭﻛﺸﻲ .1982 .ﺍﻟﺒـﺮﻫﺎﻥ ﰱ ﻋﻠﻮﻡ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ،ﺑﻴـﺮﻭﺕ :ﺩﺍﺭ ﺍﳌﻌﺮﻓﺔ. ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ .1940 .ﺍﻟﺮﺳـﺎﻟﺔ .ﻃﺒﻊ ﻣﺼﻄﻔﻲ ﺍﳊﻠﱯ. ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﺗﻘﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ﺍﳊﺮﺍﱐ1406 .ﻫـ .ﺍﻗﺘﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﺮﺍﻁ ﺍﳌﺴﺘﻘﻴﻢ .ﺍﻟﺮﻳﺎﺽ :ﺟﺎﻣﻊ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺳﻌﻮﺩ. ﺃﲪﺪ ﻣﻨـﻮﺭﻱ .2004 .ﺗﻌﻠﻴﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ .ﻳﻮﺟﻴﺎﻛﺮﺗﺎ :ﻣﻌﻬﺪ ﻧﻮﺭ ﺍﻷﻣﺔ. 182
181