AL-RISALAH
Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
ISSN 0216-664x
JURNAL ILMIAH KEAGAMAAN DAN KEMASYARAKATAN VOLUME 4, NOMOR 2, JULI – DESEMBER 2008
Mengatasi Kesenjangan Kelas Melalui Kebebasan Gaya Belajar Akhmad Mawardi Syahid Metode Pendidikan Islam (Sebuah Kajian Filosofis) Muhammad Yusran Kepemimpinan Pesantren Menghadapi Tantangan Masa Depan H. Munadi Kepemimpinan Visioner Alianor Muhammad Abduh dan Pemikirannya Dalam Pembaharuan Islam H. Ramlan Thalib Sistem Operasional Perbankan Syari’ah H. Ismet Suryadi Posisi Bahasa Banjar di Kecamatan Banjarmasin Barat Kalimantan Selatan (Aspek Dominasi Dan Subordinasi) Noor Azmah Hidayati Some Errors In Using Present Continuous Tense Najat Sa’idah
Diterbitkan Oleh: SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM RASYIDIYAH KHALIDIYAH ( STAI RAKHA ) AMUNTAI
AL – RISALAH Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
ISSN 0216-664x
Daftar Isi : 1. Mengatasi Kesenjangan Kelas Melalui Kebebasan Gaya Belajar Akhmad Mawardi Syahid (183 -212) 2. Metode Pendidikan Islam (Sebuah Kajian Filosofis) Muhammad Yusran (213 - 234) 3. Kepemimpinan Pesantren Masa Depan H. Munadi (235 - 260)
Menghadapi
Tantangan
4. Kepemimpinan Visioner Alianor (261 - 286) 5. Muhammad Abduh dan Pembaharuan Islam H. Ramlan Thalib (287 - 308)
Pemikirannya
Dalam
6. Sistem Operasional Perbankan Syari’ah H. Ismet Suryadi (309 - 334) 7. Posisi Bahasa Banjar di Kecamatan Banjarmasin Barat Kalimantan Selatan (Aspek Dominasi Dan Subordinasi) Noor Azmah Hidayati (335 - 354) 8. Some Errors In Using Present Continuous Tense Najat Sa’idah (355 - 372) Redaksi menerima artikel, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang sesuai dengan misi jurnal. Panjang tulisan antara 12-20 halaman folio, diketik dengan spasi ganda dan disertai dengan identitas penulis. Redaksi berhak melakukan editing naskah, tanpa merubah maksud dan isinya.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
MENGATASI KESENJANGAN KELAS MELALUI KEBEBASAN GAYA BELAJAR Akhmad Mawardi Syahid∗ Abstract: This study aims to present a learning which can give student’s personal freedom, so it can overcome the differences that happened in the class. The result of this study says that using card in three colours and star mark is a choice or an alternative to create a learning situation that discourage student’s personal freedom. A learning that can overcome the differences in the class and the student prefers to have learning wholistically and then have positive personal image that can give them proud, therefore they can feel success and achievement.
Kata Kunci: Kesenjangan Kelas dan Kebebasan Gaya Belajar
∗
Penulis adalah dosen STAI Rakha Amuntai dan guru SDN Banjang 2 Kec. Banjang serta pamong TKBM SMP Terbuka Nurul Ilmi Banjang.
183
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
A. Pendahuluan Setiap anak dalam hal belajar tentunya mempunyai perbedaan kecepatan, cara, kemampuan, minat dan bakat serta kecenderungan terhadap suatu materi pelajaran. Dengan kondisi demikian mereka juga mempunyai perbedaan dalam menyerap dan mengolah informasi baru sebagai pengalaman belajar. Maka tidak bijak jika kita memperlakukan mereka sama dalam satu pola belajar saja, tanpa mempunyai pilihan dari situasi ke situasi lain, dari satu materi ke materi yang lain sepanjang tahun. Pembelajaran pada dasarnya adalah proses penambahan informasi dan kemampuan/kompetensi baru. Ketika kita berpikir informasi dan kompetensi apa yang harus dimiliki oleh siswa, maka pada saat itu juga kita semestinya berpikir strategi apa yang harus dilakukan agar semua itu dapat tercapai secara efektif dan efisien. Ini sangat penting untuk dipahami, sebab apa yang harus dicapai akan menentukan bagaimana cara mencapainya. Sebelum kita menentukan strategi pembelajaran yang tepat dalam sebuah pembelajaran, tentunya ada beberapa pertimbangan yang mesti diperhatikan, seperti kompetensi yang ingin dicapai. Dari sudut siswa misalnya tingkat kematangan, minat, bakat,
184
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
kondisi siswa serta gaya belajar mereka.1 Tugas penting kita sebagai guru adalah mengaitkan persoalan pembelajaran dengan kehidupan siswa sehari-hari. Kehidupan siswa di rumah, di sekolah, di antara teman-teman sebaya, dan di tengah masyarakat. Pembelajaran yang dapat memberikan kebebasan siswa untuk menggunakan gaya belajar mereka sesuai dengan kecepatan, kemampuan menggali minat, mengembangkan bakat, kecenderungan mereka terhadap suatu materi, serta menggunakan kecerdasan majemuk yang mereka sukai. Kecerdasan majemuk, sebagaimana yang dikemukakan Gardner, ”merupakan konstruk sejumlah kemampuan yang masing-masing dapat berdiri sendiri.”2 Dengan demikian diperlukan sebuah desain pembelajaran yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk menemukan bagaimana kehidupan akademik sesuai dengan kehidupan mereka sehari-hari. Sebuah pembelajaran yang dapat memberikan pilihan kepada siswa dalam
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
memproses pengalaman dan informasi mereka dalam belajar. Sebuah pembelajaran yang tidak mengabaikan keunikan setiap siswa melakukan pilihan dalam gaya belajar. Gaya belajar adalah cara yang lebih disukai untuk memproses pengalaman dan informasi. Sebuah proses sistematis yang membiarkan anak menjelajahi berbagai pilihan dalam belajar. Ada banyak pola pembelajaran yang menjanjikan kebebasan gaya belajar seperti itu. Katakanlah ”Pembelajaran Kelompok Kecil dan Perorangan” sebagaimana diusung oleh aliran pengajaran mikro; ”Pembelajaran Serba Boleh (Permissive)” yang ditawarkan oleh Wilfrord Weber atau seperti ”Pembelajaran Mandiri” yang digaungkan oleh Elaine B. Johnson.3 Pola-pola pembelajaran ini pada dasarnya menawarkan kebebasan pribadi warga belajar serta mendekatkan mereka dengan kehidupan sehari-hari. Johnson menyimpulkan bahwa para siswa belajar dengan kecepatan yang berbeda-beda, bukan satu, dan belajar dalam cara yang berbeda-beda pula. Mereka memiliki minat yang berbeda dan bakat-bakat khusus. Karena manusia adalah
1
Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 101. 2
Monty P. Satiadarma & Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan. Pedoman Bagi Orang Tua dan Guru Dalam Mendidik Anak Cerdas, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003), hal. 5.
185
3
Elaine B. Johnson, Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna, Penerjemah, Ibnu Setiawan, (Bandung: Mizan Learning Center, 2006), Cet. Ke-1, hal. 149.
186
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
unik, maka aneh tampaknya jika sekolah mengharapkan siswa untuk belajar dalam situasi yang sama dari satu buku teks atau metode pelajaran yang sama.4 Kurang cermatnya guru memilih dan menentukan media, metode, dan pendekatan dalam memfasilitasi kebutuhan siswa dalam pembelajaran, telah membuka kesenjangan di antara mereka. Kesenjangan kecepatan, cara, kemampuan, dan minat antar siswa, membuat mereka merasa tidak terlibat secara penuh. Karena proses pembelajaran tidak berhubungan dengan masalah dan kebutuhan siswa. Kondisi demikian diperparah dengan lemahnya hubungan interpersonal siswa-guru serta antara siswa. Kodisi ini berdampak secara langsung terhadap proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Jika kondisi tersebut dibiarkan, siswa akan mengalami kesulitan mengembangkan potensi diri dan potensi belajar mereka. Kita akan sulit menemukan minat-minat baru dan bakat-bakat terpendam untuk dikembangkan mencapai keunggulan akademik, yang diharapkan dapat mempengaruhi lingkungan mereka dan tentunya akan berpengaruh pada proses dan hasil belajar. Berdasarkan pengamatan penulis ada tiga faktor yang 4
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya sebuah proses pembelajaran, yaitu: 1) latar belakang kultur siswa; 2) latar belakang pengalaman belajar siswa; dan 3) kurang cermatnya guru menentukan gaya belajar. Ketiga faktor tersebut di atas telah menimbulkan masalah-masalah dalam pembelajaran, diantaranya adalah kurang terciptanya hubungan interpersonal yang sehat dan akrab antara guru-siswa dan antara siswa dengn siswa; dan terjadinya kesenjangan kecepatan, cara, kemampuan, dan minat, bakat sera kecenderungan siswa terhadap suatu materi. Dari ketiga faktor penyebab kesenjangan kelas tersebut, faktor kecermatan guru dalam menentukan gaya belajar pada siswa sangat diperlukan dan memungkinkan dilakukannya sebuah tindakan kelas. Sehingga kecermatan guru dalam menentukan materi, media, metode dan pendekatan akan dapat memberikan kebebasan gaya belajar siswa dalam memproses pengalaman dan informasi mereka sebagai pembelajar. B. Kebebasan Gaya Belajar Gaya belajar yang dimaksud adalah cara yang paling disukai setiap siswa terhadap materi, media, metode dan pendekatan dalam memfasilitasi kebutuhan mereka untuk
Ibid, hal. 152.
187
188
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
memproses pengalaman dan informasi. Siswa dilibatkan secara penuh dalam menentukan cara belajar yang ditempuh, materi dan alat yang digunakan termasuk tujuan yang ingin dicapai. Kebebasan Gaya Belajar adalah sebuah pendekatan yang memfasilitasi perbedaan gaya belajar siswa yang unik dalam memperlakukan pengalaman dan informasi yang mereka peroleh. Untuk menjaga kebebasan gaya belajar siswa sebagai kebutuhan yang berbeda dengan pembelajar lainnya, maka dibutuhkan ”Kartu Tiga Warna” sebagai alat kendali dalam memfasilitasi kebebasan gaya belajar sebagai kebutuhan belajar. ”Keberadaan Tanda Bintang” dalam pembelajaran ini tidak kalah penting, karena difungsikan sebagai bentuk penghargaan atas kemajuan tertentu siswa dalam setiap tahapan kegiatan. Selain itu, keberadaannya juga sebagai upaya menanamkan citra diri positif yang dapat membesarkan hati siswa sehingga mengalami perasaan berhasil dan berprestasi.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
informasi. Gaya belajar merupakan kebiasaan yang mencerminkan cara kita memperlakukan pengalaman yang kita peroleh melalui modalitas. Akan tetapi, gaya belajar berbeda dengan modalitas. Cara yang lebih kita sukai untuk belajar merupakan suatu pilihan.5 Meskipun banyak yang menjadi perintis pada bidang gaya belajar, tetapi hanya sedikit yang bisa komprehensif dibandingkan dengan Bernice McCarthy. Karyanya mewakili pendekatan yang paling konsisten dengan sistem otak–pikiran yang dikembangkan Bob Samples. PENGALAMAN KONKRET (Kualitas/Makna Pribadi) (Individual/Percaya Diri)ingin dibiarkan sendiri menemukan EKSPERIMENTASI AKTIF (Relevansi / Sangat Praktis) ingin tahu mengapa dan ingin bisa melakukannya.
(Kelompok Kecil) Ingin tahu mengapa dg cara sendiri
PENGAMATAN REFLEKTIF (Prosedural/Taat Aturan) Ingin tahu APA yang harus dilakukan dan dibutuhkan agar dapat diperoleh jawaban yg “benar”
(Kebenaran yang Obyektif) KONSEPTUALISASI ABSTRAK
C. Beberapa Konsep Gaya Belajar 1. Pengertian Gaya Belajar Bob Samples mengatakan bahwa gaya belajar adalah cara yang lebih kita sukai untuk memproses pengalaman dan 189
5
Bob Samples, Revolusi Belajar Untuk Anak: Panduan Belajar Sambil Bermain Untuk Membuka Pikiran Anak-Anak Anda, Penerjemah Rahmani Astuti, (Bandung: Kaifa, 2002), Cet. Ke-1, hal. 146.
190
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
McCarthy mengumpulkan empat preferesi atau kebiasaan dalam memproses informasi, seperti ditunjukkan pada diagram di atas. Keempat gaya belajar yang ditunjukkan dalam diagram di atas yang melukiskan hubungan antara deskriptor sumbu dan kuadran 4-MAT. (4-MAT adalah merek dagang terdaftar dari Excel Incorporated dan Bernice McCarhty)–merupakan gabungan dari niat dan perilaku yang tercakup dalam pengalaman belajar. Setiap kuadran mewakili dua kualitas. Misalnya pembelajar kuadran 1 terikat pada ”Pengalaman Konkret” dan ”Pengamatan Reflektif”. Pembelajar 3 dipandu oleh niat pada ”Konseptualisasi Abstrak” dan perilaku mereka tercermin dalam tindakan langsung melalui ”Eksperimentasi Aktif”. Pembelajar Kuadran 1 mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan Pembelajar Kuadran 3. Yang pertama itu menginginkan pengalaman konkret dan perenungan yang tenang, sedangkan yang kedua menginginkan aksi dan abstraksi. Keempat gaya belajar yang ditunjukkan dalam diagram tersebut dapat kita lihat secara jelas ciri-ciri umumnya sebagai berikut: a. Kuadran Pertama (preferensi pada pengalaman
pribadi; 2) Suka mendengarkan lalu membahas gagasan; 3) Suka berdiskusi dalam kelompok kecil agar percakapan dapat berkembang; 4) Sangat tertarik pada orang dan sangat mempercayai pengalaman pribadi; 5) Cenderung mencontoh orang yang mereka hormati; 6) Berusaha menciptakan persatuan dan kesepakatan; 7) Inovatif dalam gagasan; 8) Resah dan gelisah kalau konsensus tidak tercapai atau mengalami pertentangan; 9) Mereka tertarik pada psikologi humanistis; dan 10) Sangat peduli, suka berempati, bijaksana, dan menekankan manfaat kerjasama. Kuadran 1 yang bermasalah: 1) Suka memanipulasi; 2) Sangat tinggi harapannya terhadap orang lain; dan 3) Terpenjara dalam tuntutan-tuntutan ego mereka. b. Kuadran kedua (preferensi pada pengamatan reflektif dan konseptualisasi abstrak): 1) Berpegang teguh pada kebenaran; 2) Menuntut fakta, ketepatan dan keteraturan; 3) Perasaan mereka tenang jika ada aturan dan realitas mereka
konkret dan pengamatan reflektif): 1) Lebih menekankan pada makna atau meraih manfaat
terbentuk dari aturan; 4) Menaruh perhatian yang besar pada pakar dan tidak tertarik pada orang
191
192
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
kebanyakan; 5) Tekun mempelajari petunjuk; 6) Menyukai permainan yang ada aturan/batasan yang jelas; 7) Mengejar nilai tinggi/berusaha keras memberi jawaban yang “benar”; 8) Sangat menonjol dalam detail dan ketepatan untuk itu memerlukan waktu relatif lama; 9) Mereka bahagia jika belajar atau bekerja dalam suatu kegiatan/bidang yang jelas definisinya, jelas tujuannya, dan jelas bisa diraih; 10) Mereka mempercayai rasionalitas dan logika sebagai suatu kebajikan; 11) Ketika kecil tertarik pada petunjuk mainan, marah jika salah satu komponen ada yang hilang; 12) Selalu mengejar nilai tinggi dan berusaha keras memberi jawaban yang benar; dan 13) Membutuhkan waktu lebih banyak dari yang diperlukan, hanya untuk memastikan kualitas pekerjaan. Kuadran 2 yang bermasalah: 1) Memaksa untuk sempurna; 2) Tidak merasa puas dengan data yang cukup tersedia; 3) Sering menghambat kemajuan dengan tuntutan yang tak terpuaskan; dan 4) Cenderung sangat tertutup.
193
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
c. Kuadran ketiga: 1) Sangat cepat, praktis dan mengagungkan fakta; 2) Kurang patuh/tidak sabar menunggu instruksi; 3) Cenderung tidak peka terhadap orang-orang; 4) Mampu menyelesaikan semua pekerjaan yang bermutu dan waktu relatif singkat. Kuadran 3 yang bermasalah: 1) Pengganggu yang suka memaksa; 2) Cenderung mengacaukan keadaan; dan 3) Ingin cepat menguji gagasan tanpa peduli akibatnya. d. Kuadran keempat: 1) Suka menemukan semuanya sendiri; 2) Kebutuhan untuk merasakan kebebasan dalam belajar sangat besar; 3) Luwes dan cenderung mengubah apapun sesuai keinginan; 4) Suka menghadapi resiko tampak mengabaikan sopan; 5) Suka mencari kemungkinan dan perubahan; dan 6) Sangat percaya diri, menghormati prosedur. Kuadran 4 yang bermasalah: 1) Berlebihan dalam komitmen; dan 2) Kurang mampu berdisiplin. Keempat preferensi tersebut di atas menggambarkan perbedaan gaya belajar individu dalam menjelajahi beragam informasi untuk dijadikan pengalaman belajar. Sehingga dapat 194
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
kita simpulkan bahwa setiap siswa membutuhkan hal berbeda dalam sebuah proses pembelajaran yang dapat memberikan peluang yang sama untuk mengalami sebuah perasaan berhasil dan berprestasi. Sistem McCarthy ini, menurut Bob Samples adalah kerangka untuk mengenali gaya belajar, dan – yang lebih penting lagi – merupakan proses untuk secara sistematis membiarkan anak menjelajahi berbagai pilihan dalam belajar.6 Hal terakhir inilah tepatnya yang mendorongnya memasukkan pembahasan mengenai gaya belajar ini. Jika seorang guru atau orang tua dapat secara sistematis menyediakan modalitas belajar dan pilihan gaya belajar, anak akan cenderung mengalami pembelajaran yang lebih menyeluruh. Anak cenderung menonjol pada semua bidang, memiliki citra diri yang positif, dan mengalami perasaan berhasil dan berprestasi. 2. Beberapa Gagasan Tentang Gaya Belajar a. Pembelajaran kelompok kecil dan perorangan Ahmad Sabri berpendapat bahwa pengajaran kelompok kecil dan perorangan memungkinkan
guru memberikan perhatian terhadap setiap siswa serta terjadinya hubungan yang lebih akrab antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan siswa. Adakalanya siswa lebih mudah belajar dari temannya sendiri, adapula siswa lebih mudah belajar karena harus mengajari atau melatih temannya sendiri. Dalam hal ini pengajaran kelompok kecil memenuhi kebutuhan tersebut Sementara kegiatan dalam pengajaran perorangan guru harus mengenal siswa secara pribadi sehingga kondisi belajar dapat diatur misalnya melalui paket belajar yang telah disiapkan.7 Salah satu prinsip pengajaran kelompok kecil dan perorangan adalah terjadinya hubungan yang akrab dan sehat antara guru–siswa dan antara siswa. Hal ini mungkin terwujud bila guru memiliki keterampilan berkomunikasi secara pribadi. Keterampilan ini memungkinkan guru menciptakan suasana terbuka, hingga siswa benar-benar merasa bebas dan leluasa mengemukakan segala pikiran dan permasalahan yang dimilikinya. Siswa merasa 7
6
Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching, (Ciputat, 2005), hal. 107.
Ibid, hal. 150.
195
196
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
yakin guru siap mendengarkan serta akan membantunya bila perlu. Siswa benar-benar merasa bahwa guru penuh perhatian pada dirinya. Suasana seperti itu dapat diciptakan antara lain dengan cara berikut: 1) Menunjukkan kehangatan dan kepekaan terhadap kebutuhan siswa, baik dalam kelompok kecil maupun perorangan. 2) Mendengarkan secara simpatik ide-ide yang dikemukakan siswa. 3) Memberikan respon positif terhadap buah pikiran siswa. 4) Membangun hubungan saling mempercayai baik secara verbal, non verbal maupun kontak langsung dengan siswa. 5) Menunjukkan kesiapan untuk membantu siswa tanpa kecenderungan untuk mendominasi ataupun mengambil alih tugas siswa. 6) Menerima perasaan siswa dengan penuh pengertian dan keterbukaan. 7) Berusaha mengendalikan situasi hingga siswa
dibantu, serta merasa menemukan alternatif pemecahan masalah yang dihadapinya. Adapun peran guru dalam pengajaran ini adalah lebih banyak sebagai: 1) Organisator kegiatan belajar mengajar. 2) Sumber informasi bagi siswa. 3) Pendorong bagi siswa untuk belajar. 4) Penyedia materi dan kesempatan belajar bagi siswa. 5) Orang yang mendiagnosa kesulitan siswa dan memberikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhannya, serta 6) Peserta kegiatan mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti siswa lainnya, yang berarti guru ikut serta menyumbangkan pendapatnya untuk memecahkan suatu masalah atau mencari suatu kesepakatan sebagaimana siswa lain melakukannya. b. Pendekatan Pembelajaran Serba Boleh (Permissive) Fokus dari pendekatan pembelajaran ini adalah sebuah penghargaan terhadap kebebasan pribadi
merasa aman, penuh pemahaman, merasa
warga belajar serta mendekatkan mereka dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini salah satu
197
198
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
dari beberapa pendekatan dalam manajemen kelas yang ditawarkan oleh Weber. Menurut Weber bahwa pendekatan serba boleh (permissive) merupakan salah satu dari beberapa pendekatan dalam manajemen kelas, yang memandang kebebasan pribadi pelajar. “Jangan dijauhkan mereka dari pengembangan alami. Peranan guru adalah untuk memaksimalkan kebebasan murid”.8 c. Pendekatan Pembelajaran Mandiri Johnson mengatakan bahwa pembelajaran mandiri mengutamakan pengamatan aktif dan mandiri. Pembelajaran mandiri juga melibatkan pengaitan akademik dengan kehidupan sehari-hari dalam cara yang bermakna untuk mencapai tujuan yang berarti. Kerja sama, sebagai bagian penting dari sistem CTL, memainkan peran penting dalam pembelajaran mandiri.9 Pembelajaran mandiri memberi kebebasan kepada
siswa untuk menemukan bagaimana kehidupan akademik sesuai dengan kehidupan mereka seharihari. Proses penemuan ini butuh waktu, tetapi hasilnya sebanding dengan waktu yang dihabiskan. Menyusuri jalan yang berujung pada penemuan ini akan mendorong anak-anak untuk tumbuh dan berkembang. Langkah yang mereka ambil ini, proses yang mereka jalani, adalah penemuan itu sendiri. Proses pembelajaran mandiri paling baik diuji dari dua perspektif yang berbeda, tetapi sangat berhubungan. Pertama, pembelajaran mandiri mengharuskan siswa untuk memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu. Mereka harus tahu dan mampu melakukan hal-hal tertentu sampai mengambil tindakan, bertanya, membuat keputusan mandiri, berpikir kreatif dan kritis, memiliki kesadaran diri, dan bisa bekerja sama. Kedua, pembelajaran mandiri mengharuskan siswa untuk melakukan hal-hal tersebut, yaitu menggunakan pengetahuan dan keahlian dalam
8
Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep, Stategi dan Aplikasi, (Jakarta: Grasindo, 2002), hal. 103. 9
urutan yang pasti, satu langkah secara logis mengikuti langkah lain.
Bob Samples, op.cit, hal. 149.
199
200
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Secara umum, proses yang harus diikuti siswa mandiri mengikuti siklus “Rencana, Kerjakan, Pelajari, Lakukan Tindakan” (Plan, Do, Study, Act [PDSA]) yang dikembangkan oleh dedengkot manajemen, W. Edward Deming. Thomas Amstrong menyebutkan bahwa “sebagian ciri dari kejeniusan disamping rasa ingin tahu yang sangat besar tingginya adalah kreativitas dan imajinasi”.10 Pembelajaran mandiri memberikan siswa kesempatan luar biasa untuk mempertajam kesadaran mereka akan lingkungan mereka. Pembelajaran mandiri memungkinkan siswa membuat pilihan-pilihan positif tentang bagaimana mereka akan mengatasi kegelisahan dan kekacauan dalam kehidupan sehari-hari. Pola ini memungkinkan siswa bertindak berdasarkan inisiatif mereka sendiri untuk membentuk lingkungan.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
D. Kesenjangan Kelas Moh.Uzer Usman mengatakan bahwa salah satu masalah utama dalam pendekatan belajar-mengajar ialah masalah perbedaan individual. Setiap guru memahami bahwa tidak semua murid dapat mempelajari apa-apa yang ingin dicapai oleh guru. Biasanya perbedaan individual itulah yang lalu dijadikan kambing hitam. Jarang sekali guru menjelaskan bahwa ketidakmampuan murid dalam belajar itu merupakan akibat dari kelemahan guru dalam mengajar.11 Bloom mengatakan bahwa jika guru memahami persyaratan kognitif dan ciri-ciri sikap yang diperlukan untuk belajar seperti minat dan konsep diri pada siswa-siswanya, dapat diharapkan sebagian terbesar siswa akan dapat mencapai taraf penguasaan sampai 75% dari yang diajarkan. Oleh sebab itu, hendaknya guru mampu menyesuaikan proses belajarmengajar dengan kebutuhan-kebutuhan siswa secara individual tanpa harus mengajar siswa secara individual.12 Mursell juga menambahkan bahwa perbedaan individual secara vertikal dan secara kualitatif. Yang dimaksud dengan perbedaan vertikal adalah intelegensi umum dari siswa 11
10
Anna Yulia, Penelitian Tindakan Kelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hal. 10.
201
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Rosdakarya, 2003), hal. 30. 12
202
Ibid.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
itu. Perbedaan kualitatif terletak pada bakat dan minat. Maka, menyamaratakan (menganggap sama) semua siswa ketika guru mengajar secara klasikal pada hakikatnya kurang sesuai dengan prinsip individualitas.13 Lebih jauh Elaine B. Johnson menekankan bahwa para siswa belajar dengan kecepatan yang berbeda-beda, bukan satu, dan belajar dalam cara yang berbeda-beda pula. Mereka memiliki minat yang berbeda dan bakat-bakat khusus. Karena manusia adalah unik, maka aneh tampaknya jika sekolah mengharapkan siswa untuk belajar dalam situasi yang sama dari satu buku teks atau metode pelajaran yang sama.14 Jika demikian halnya, menurut Wina Sanjaya, apabila guru sudah merasa sulit menciptakan belajar mengajar yang baik oleh karena adanya gangguan-gangguan yang sulit dikendalikan, guru dapat menggunakan pendekatan pemecahan masalah melalui pendekatan kelompok dengan maksud agar setiap individu dapat bekerjasama dan berkomunikasi dalam kelompoknya.15 Akan tetapi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Edward DeBono, dengan kelas yang terbagi dalam kelompok-
kelompok, para murid yang kurang pandai mempunyai kesempatan untuk menyumbangkan atau paling sedikit memperhatikan secara aktif cara berpikir para murid lainnya. Para murid yang berprestasi tinggi tidak menyukai kerja kelompok karena mereka mengatakan bahwa kelompok tidak dapat menunjukkan pada seluruh kelas kecemerlangan gagasan mereka. Gagasan mereka akan hilang dalam hasil kelompok.16 Kurang cermatnya guru memilih dan menentukan media, metode, dan pendekatan dalam memfasilitasi kebutuhan siswa (yang beragam dan unik) dalam pembelajaran, telah membuka kesenjangan di antara mereka. Kesenjangan kecepatan, cara, kemampuan, dan minat antar siswa, membuat mereka merasa tidak terlibat secara penuh. Karena proses pembelajaran tidak berhubungan dengan masalah dan kebutuhan siswa. Kondisi demikian diperparah dengan lemahnya hubungan interpersal siswa-guru serta antara siswa. Kodisi ini berdampak secara langsung terhadap proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Jika kondisi tersebut dibiarkan, siswa akan mengalami kesulitan mengembangkan potensi diri dan potensi belajar mereka. Kita akan sulit menemukan minat-minat baru dan
13
Moh. Uzer Usman. loc.cit.
14
Elaine B. Johnson, op.cit, hal. 152.
15
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
16
Edward DeBono, Mengajar Berpikir, Alih Bahasa: Soemardjo. (Jakarta: Erlangga, 1992), hal. 252 & 254.
Wina Sanjaya, op.cit, hal. 178.
203
204
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
bakat-bakat
terpendam
untuk
dikembangkan
mencapai
keunggulan akademik, yang diharapkan dapat mempengaruhi lingkungan mereka. Nasarius Sudaryono mengatakan bahwa penggunaan aneka kegiatan belajar dalam proses pembelajaran menurut Nasar memungkinkan guru untuk melayani berbagai gaya belajar yang dimiliki siswa dalam satu kelas, sebab gaya belajar seseorang dapat dipastikan selalu berbeda dengan orang lain, entah sebagian atau secara keseluruhan.17 E. Kartu Tiga Warna dan Tanda Bintang 1. Kartu Tiga Warna (Three Colour Card) Kartu Tiga Warna yang dimaksudkan dalam penelitian ini merupakan alat kendali proses pembelajaran yang memberikan kebebasan gaya belajar. Keberadaan kartu tersebut diharapkan dapat menjamin kebebasan kelompok kecil untuk berdiskusi dan perorangan dapat berkonsentrasi, sebagai pilihan mereka menentukan gaya belajar. Keberadaan kartu tiga warna juga menjadi media untuk melatih 17
Nasarius Sudaryono, Merancang Pembelajaran Aktif dan Kontekstual Berdasarkan “SISKO” 2006, Panduan Praktis Mengembangkan Indikator, Materi, Kegiatan, Penilaian, Silabus, dan RPP, (Jakarta : PT Grasindo, 2006), Hal. 32.
205
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
kemampuan anak dalam menghargai hak dan hasil karya orang lain, memahami suatu simbol atau ketentuan, juga melatih anak untuk mematuhi sebuah aturan yang telah disepakati. Pemilihan Kartu Tiga Warna (merah, kuning, dan hijau) ini terinspirasi dari penggunaan lampu lalu lintas pada persimpangan jalan (traffic lights) yang berfungsi mengatur arus gerak kendaraan bermotor yang melintas di persimpangan jalan tersebut. Ketika lampu berwarna merah menyala, gerak kendaraan di jalur jalan tersebut akan berhenti melintas, karena lampu merah merupakan tanda perintah untuk berhenti. Iringan kendaraan baru bergerak kembali setelah lampu bewarna hijau menyala, karena lampu hijau merupakan isyarat diperbolehkannya kendaraan melintas. Lampu kuning merupakan tanda peringatan untuk bersiap-siap melintas (bagi kendaraan yang tengah menunggu lampu hijau untuk melintas). Demikian juga pada ketiga kartu dalam penelitian ini digunakan pertama, untuk mengawali atau mengakhiri kegiatan siswa. Misalnya ketika guru mengangkat kartu warna kuning untuk bersiap-siap, dan kartu warna hijau berarti kegiatan siswa boleh dimulai, kartu warna kuning waktu tinggal tiga menit, dan kartu warna merah kegiatan siswa harus 206
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
diakhiri dan siap dilaporkan. Kedua, setiap kelompok atau individu diberikan satu set kartu yang terdiri dari masing-masing satu kartu warna merah, satu kartu warna kuning dan satu buah kartu warna hijau. Ketiga kartu tersebut merupakan rambu-rambu yang harus dipatuhi. Setiap kartu warna tertentu memiliki warna tertentu pula. Seperti kartu warna merah berarti kelompok atau individu yang mengangkat kartu tersebut membutuhkan bantuan guru segera; kartu warna kuning mengisyaratkan yang mengangkat memerlukan bantuan jika guru tidak sibuk; sedangkan kartu warna hijau yang diletakkan di atas kartu lain menandakan kegiatan berjalan lancar. Penggunaan Kartu Tiga Warna ini selain melatih anak mematuhi setiap aturan ketika mereka berada dalam satu kelompok dan menghargai hak kelompok lain, sebagai individu yang menghargai individu lain, memudahkan kelompok atau individu untuk berkonsentrasi, juga dimaksudkan melatih anak memahami setiap simbol dalam suatu ketentuan. 2. Tanda Bintang (Star Sign Reward) Tanda bintang adalah benda yang terbuat dari bahan logam berbentuk bros yang dapat disematkan. Tanda bintang ini diberikan kepada siswa menunjukkan kemajuan tertentu 207
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
dalam pembelajaran saat itu, sebagai bentuk penghargaan (reward) terhadap kelompok dan individu dalam hal waktu, kemampuan melaksanakan tugas, kemampuan menjelaskan langkah kerja atau memperagakan hasil kerja dan sebagainya. Tanda bintang dapat juga digunakan untuk memberikan penghargaan kepada ketua kelompok terbaik, anggota kelompok terbaik, individu terbaik dan lain-lain. F. Penutup Setiap anak, dalam hal belajar, tentunya mempunyai kecepatan, cara, kemampuan, minat dan bakat yang berbeda. Dengan kondisi demikian mereka juga mempunyai perbedaan dalam menyerap, mengolah informasi baru sebagai pengalaman belajar. Maka tidak bijak jika kita memperlakukan mereka sama dalam satu pola belajar saja, tanpa mempunyai pilihan dari situasi ke situasi lain, dari satu materi ke materi yang lain sepanjang tahun. Untuk itu diperlukan sebuah desain pembelajaran yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk menemukan bagaimana kehidupan akademik sesuai dengan kehidupan mereka sehari-hari. Sebuah pembelajaran yang dapat memberikan pilihan kepada siswa dalam memproses pengalaman dan informasi mereka dalam belajar. Sebuah 208
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
pembelajaran yang tidak mengabaikan keunikan setiap siswa melakukan pilihan dalam gaya belajar. Kebebasan Gaya Belajar yang menggunakan Kartu Tiga Warna dan Tanda Bintang merupakan sebuah pilihan bagi penulis yang ingin mewujudkan sebuah pembelajaran yang menawarkan kebebasan pribadi siswa serta mendekatkan mereka dengan kehidupan sehari-hari. Pembelajaran yang berusaha mewujudkan terjadinya hubungan akrab dan sehat antara guru-siswa dan antara siswa itu sendiri. Sebuah pembelajaran yang dapat mengatasi kesenjangan yang terjadi di kelas. Sehingga terwujud pembelajaran yang terkontrol tetapi tidak mengabaikan keunikan setiap individu dalam memproses informasi sebagai hasil belajar. Semoga!
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Sabri. 2005. Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching. Ciputat. Anna Yulia. 2005. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Edward DeBono. 1992. Mengajar Berpikir. Alih bahasa Soemardjo. Jakarta: Erlangga. Elaine B. Johnson. 2006. Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Penerjemah Ibnu Setiawan. Bandung: Mizan Learning Center. Cet. Ke-1. Moh. Uzer Usman. 2003. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Rosdakarya. Monty P. Satiadarma & Fidelis E. Waruwu. 2003. Mendidik Kecerdasan. Pedoman bagi Orang Tua dan Guru Dalam Mendidik Anak Cerdas. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Wina Sanjaya. 2005. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana. Bob Samples. 2002. Revolusi Belajar Untuk Anak: Panduan Belajar Sambil Bermain Untuk Membuka Pikiran Anak-Anak Anda. Penerjemah Rahmani Astuti. Bandung: Kaifa, Cet. Ke-1.
209
210
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Nasarius Sudaryono. 2006. Merancang Pembelajaran Aktif dan Kontekstual Berdasarkan “SISKO” 2006, Panduan Praktis Mengembangkan Indikator, Materi, Kegiatan, Penilaian, Silabus, dan RP. Jakarta: PT Grasindo. Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan: Konsep, Stategi dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.
211
212
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
METODE PENDIDIKAN ISLAM (Sebuah Kajian Filosofis) Muhammad Yusran∗
Abstract: As an object Islamic educational study is a person who is growing and developing, so the using a method must be consistent and systematic. Using a method in education process actually is a careful work in educating ang teaching, that suitable to situation and condition, even the background of the students. A method has very important role in education, especially in Islamic education. Among the methods that can be used in Islamic education and teaching, habit, model, educational methods itself, and punishment and reward methods.
Kata Kunci:
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
A. Pendahuluan Secara bahasa metode berasal dari dua perkataan, yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui” dan hodos berarti “jalan” atau “cara”.1 Dengan demikian metode dapat berarti cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan.2 Kemudian, jika kata metode tersebut dikaitkan dengan pendidikan Islam (Tarbiyah Islamiyah) atau metode pendidikan Islam, maka dapat membawa arti metode sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang sehingga terlihat dalam pribadi obyek sasaran, yaitu pendidikan Islam. Selain itu, metode pendidikan Islam juga diartikan sebagai cara untuk memahami, mengerti, dan mengembangkan ajaran Islam, sehinga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.3 Dalam bahasa Arab kata metode diungkapkan dalam berbagai kata, seperti: al-Thariqah, manhaj, dan al-Wasilah. Al-Thariqah berarti jalan, manhaj berarti sistem, dan al1
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teorotis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 61.
Pendidikan Islam, metode, dan peserta didik.
2
∗
Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darul Ulum Kandangan Kalimantan Selatan.
213
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 91. 3
214
Ibid, hal. 91-92.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Wasilah berarti perantara/mediator. Dengan demikian, kata Arab yang dekat dengan makna metode adalah al-Thariqah. Kata ini (al-Thariqah) banyak ditemukan dalam al-Qur’an seperti dalam (Q.S. al-Ahqaaf: 30),4 yang artinya “Jalan yang lurus”. Kemudian dalam (Q.S. Thaha: 77)5, yaitu “Jalan (yang kering) di laut, juga seperti dalam (Q.S. al-Jin: 16),6 yang mengandung arti “Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak), dan lainnya. Berdasarkan beberapa bahasan di atas, tampak bahwa metode lebih menunjukkan kepada jalan dalam arti jalan yang bersifat non-fisik, atau dalam bentuk ide-ide yang mengacu kepada cara mengantarkan seseorang untuk sampai pada tujuan yang ditentukan. Mengingat objek kajian pendidikan Islam adalah manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan, maka penggunaan metode pun harus bersifat konsisten dan sistematis. Jadi, penggunaan metode dalam proses kependidikan pada hakekatnya adalah 4
Departemen Agama Republik Indonesia, Terjemahan, 1993, hal. 827. 5 6
Al-Qur’an dan
Ibid, hal 484.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
pelaksanaan sikap hati-hati dalam pekerjaan mendidik atau mengajar, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan, bahkan latar belakang peserta didik (siswa/santri). Berikut tulisan yang sederhana ini mencoba mengantarkan atau berusaha sedikit memahamkan tentang bagaimana metode-metode pendidikan Islam. B. Fungsi Metode Dalam Pendidikan Secara umum, fungsi metode dapat dikemukakan sebagai segala sesuatu kegiatan yang terarah, dikerjakan oleh guru dengan mempertimbangkan perkembangan muridmuridnya, suasana lingkungan, dan dengan tujuan untuk menolong mereka dalam proses belajar-mengajar agar terbentuk perubahan tingkah laku mereka.7 Dalam konteks yang lain, metode juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk menemukan, menguji, dan menyusun data yang diperlukan bagi perkembangan disiplin suatu ilmu.8 Metode berfungsi untuk mengantarkan suatu tujuan kepada objek sasaran dengan cara yang sesuai dengan 7
Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 553. 8
Falsafah
Imam Barnajib, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit IKIP Yogya, 1990), hal. 85.
Ibid, hal. 985.
215
216
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
perkembangan objek sasaran tersebut.9 Karena manusia dalam pandangan pendidikan Islam adalah seorang khalifah, maka fungsi metode pengajarannya-pun bertujuan untuk mengembalikan fungsi kekhalifahan tersebut, dengan melaksanakan pendekatan dimana manusia di tempatkan sebagai makhluk yang memiliki potensi rohaniah dan jasmaniah, yang keduanya dapat digunakan sebagai saluran penyampaian materi pelajaran. Dalam prosesnya, penerapan satu metode dalam pendidikan Islam juga harus memperhatikan manusia sesuai unsur penciptaannya, yaitu jasmani, akal, dan jiwa, yang dengan mengarahkannya, mereka (murid-murid) menjadi orang yang sempurna. Dengan demikian, jelaslah bahwa metode amat berfungsi dalam menyampaikan materi pendidikan. Namun, hal itu harus menurut perspektif yang tepat tentang manusia sebagai mahluk yang dapat dididik melalui pendekatan jasmani, jiwa, dan akal pikiran, karena itu materi yang berhubungan dengan dimensi kognitif tentu berbeda metodenya dengan materi yang berdimensi afektif maupun psikomotorik.10 Cahotib Thoha menambahkan bahwa 9
Abuddin Nata, op.cit, hal. 94.
10
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
metode mengajar dan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan tersebut merupakan seni mengajar dari pada pengetahuan yang bersifat permanen. Karena merupakan seni, maka metode yang satu cocok untuk orang ini belum tentu buat yang lain. Sungguh pun demikian, tetapi dapat dicari pola dasar yang bersifat umum, misalnya dengan memaksimalkan tampilan guru (kualitas) agar mereka lebih siap dalam memberikan pengajaran.11 C. Beberapa Metode Pendidikan Islam Sebagaimana telah dipahami pendidikan
Islam
mencakup:
bahwa
membantu,
aktifitas melayani,
mengeluarkan potensi laten yang ada dalam diri peserta didik agar berkembang sebagai pribadi muslim seutuhnya. Dalam konteks ini, pendidikan Islam berusaha menginternalisasikan nilai-nilai Islami dalam diri peserta didik, agar mereka dapat menyesuaikan diri mereka terhadap tuntutan lingkungan dan yang utama dapat menjaga keselarasan hubungan dengan Tuhan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibutuhkan usaha sistematis, berurutan keterpaduan sebagai berikut: 11
Chatib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 45-46.
Ibid, hal 94.
217
218
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
1. Metode Pengajaran Dalam prosesnya metode pengajaran ini biasanya dilakukan dengan cara ceramah atau nasehat, tanya jawab, dan lainnya. Tentang ceramah/nasehat misalkan, secara normatif juga terkandung dalam kitab suci al-Qur'an, seperti dalam surat (Q.S. Hud: 37) yang artinya “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim itu, sesungguhnya mereka akan ditenggelamkan”.12 Ayat ini, menurut hemat penulis, mengisyaratkan adanya dialog antara Nabi Nuh as dengan Tuhannya. Dialog yang dimaksud adalah sebuah nasehat (ceramah) kepada Nabi Nuh as, agar sekiranya tidak memperhatikan perkataan orang-orang zalim, dan hanya memperhatikan apa yang diwahyukan kepadanya. Pada ayat ini, memberikan indikasi bahwa nesehat atau ceramah hanya bisa dilakukan oleh orang yang secara individual mempunyai kelebihan-kelebihan, misalnya lebih berilmu, lebih tua, berkepribadian mulia, dan lainnya. Sebaliknya tidak mungkin metode ini bisa diterapkan oleh seorang guru atau pengajar yang secara personal tidak mempunyai kelebihan-kelebihan tadi. 12
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Kemudian tentang teknis pelaksanaan metode ceramah ini, kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah disabdakan Nabi kita Muhammad saw, yaitu dengan cara yang disesuaikan dengan tingkat kesanggupan peserta didik yang akan dijadikan sasaran.13 Yang berhubungan dengan masalah ini, Imam al-Ghazali berkata “Kewajiban utama dari seorang juru didik ialah mengajarkan kepada anak-anak, apa-apa yang mudah dan gampang dipahaminya. Oleh karena masalah yang pelik akan mengakibatkan kekacauan pikiran dan menyebabkan ia lari dari ilmu”.14 Istilah ceramah dalam al-Qur’an dekat dengan kata tabligh, yang mempunyai arti ”sesuatu ajaran.” Istilah yang dimaksud dapat kita jumpai, misalnya dalam surat ke-36 ayat 17, yang artinya “Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas”.15 Ayat ini menunjukkan bahwa tabligh atau menyampaikan sesuatu dengan lisan diakui keberadaannya, bahkan telah di praktekkan sendiri oleh Nabi (seperti contoh di atas) dalam 13
Sabda Nabi saw “Berbicaralah kamu kepada manusia sesuai dengan kesanggupan akalnya”. Dalam Abuddin Nata, op.cit, hal. 106 . 14
Al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (terj dari At-Tarbiyah al-Islamiyyah), (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 26 15
Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hal. 332.
219
220
Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hal. 708.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
mengajak umat manusia ke jalan Allah. Cara ini cukup populer dalam pengajaran karena termasuk yang paling murah, mudah, dan tidak banyak memerlukan peralatan.16 2. Metode Pembiasaan Pendidikan Islam mempunyai tugas untuk membina dan membentuk sikap serta kepribadian peserta didik yang dilaksanakan dalam ruang lingkup proses pengaruhmempengaruhi agar terbentuk kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, yang dikehendaki dari pendidikan Islam adalah proses internalisasi atau penghayatan nilai-nilai yang utama berlandaskan iman dan takwa kepada Tuhan YME. Internalisasi nilai-nilai dapat terwujud dengan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari, seperti nilai (dalam Islam) kejujuran, kesabaran, keadilan, kebersihan, tenggang rasa, dan sebagainya. Pembiasaan ini dimulai, dianjurkan, dan yang terpenting contoh hidup dari pendidik. Dengan pembiasaan dan perilaku hidup tersebut diharapkan dapat membentuk akhlak mulia anak didik dalam
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
wujud sifat-sifat seperti “keikhlasan, kejujuran, kerja keras, kerendahan hati, kesabaran, menepati janji, pemaaf, penuntut ilmu, ketelitian, keadilan, suka menolong dan tenggang rasa.” Keseluruhan sifat tersebut merupakan lambang peradaban manusia yang dapat mengangkat harkat martabat kemanusiaannya ke taraf hidup yang lebih tinggi sebagai makhluk ciptaan Tuhan.17 Sebagai sumber dan rujukan dari pendidikan Islam, alQur’an-pun juga menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik atau metode pendidikan. Dalam proses menciptakan kebiasaan baik bertingkat (bertahap) dalam diri seseorang, alQur’an antara lain menempuhnya melalui dua cara, yaitu: pertama, melalui bimbingan dan latihan (Q.S. az-Zukhruf: 25),18 tentang pembebasan akal dari pendirian-pendirian yang tidak diyakini kebenarannya, lalu mencela kepercayaan mereka kepada dugaan-dugaan yang kebenarannya masih diragukan (Q.S. an-Najm: 28).19 Dan selanjutnya al-Qur’an memerintahkan agar mereka melakukan penelitian terhadap 17
16
Abuddin Nata, op.cit, hal. 106. Tentang metode pembiasaan anak usia dini dapat dilihat dalam buku Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 34.
221
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel-Malang, Dasar-dasar Kependidikan Islam, Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Surabaya: Karya Aditama, 1996), hal. 149-151.
222
18
Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hal. 796.
19
Ibid, hal. 873.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
suatu persoalan sebelum mereka mempercayainya atau bahkan menjadikan kebiasaan (Q.S. al-Isra: 36).20 Kedua, dengan cara mengkaji aturan-aturan Tuhan yang terdapat di alam raya yang bentuknya amat teratur. Dengan penelitian ini, selain akan dapat mengetahui hukumhukum alam, kemudian melahirkan teori-teori dalam bidang ilmu pengetahuan, dan yang terpenting dapat menimbulkan rasa aman dan takwa kepada Tuhan YME sebagai pencipta alam yang demikian indah dan penuh khasiat ini.21 Tentang kasus penghilangan kebiasaan buruk, alQur’an mencontohkan dalam kasus menghilangkan kebiasaan meminum khamar. Mula-mula al-Qur’an menyatakan bahwa hal itu merupakan kebiasaan orang-oarang kafir Quraiy (Q.S. an-Nahl: 67).22 Dilanjutkan bahwa dalam khamar itu ada unsur dosa dan manfaatnya, akan tetapi dosanya (mudhorat-nya) lebih besar dari nilai manfaatnya (Q.S. al-Baqarah: 219).23 Dan dilanjutkan dengan larangan mengerjakan shalat dalam
20 21 22 23
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
keadaan mabuk (Q.S. an-Nisa: 43),24 yang terakhir larangan agar menjauhi minuman khamar itu (Q.S. al-Ma’idah: 90).25 3. Metode Keteladanan Dalam al-Qur’an kata teladan diproyeksikan dengan kata uswah yang kemudian diberi sifat dibelakangnya seperti sifat hasanah yang berarti baik. Seperti dalam surat (Q.S. alAhzab: 21) yang artinya “Dalam diri Nabi saw itu terdapat teladan yang baik”, 26 sering dianggap sebagai landasan bahwa metode keteladanan ada dalam al-Qur’an. Perilaku Nabi Saw yang terwujud dalam tingkah laku keseharian beliau (behavioral) merupakan suatu bentuk sempurna metodologi Islam, dan ini merupakan suatu bentuk yang hidup dan abadi sepanjang sejarah masih berlangsung.27 Metode ini dianggap penting karena aspek agama yang terpenting adalah akhlak yang termasuk dalam kawasan afektif yang terwujud dalam bentuk tingkah laku. Keteladanan ini mempunyai peranan yang penting karena memperkenalkan model-model perilaku yang baik kepada peserta didik. Dengan 24
Ibid, hal. 125.
Ibid, hal. 429.
25
Ibid, hal. 176.
Abuddin Nata, op.cit, hal. 102.
26
Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hal. 670.
Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hal. 412.
27
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, (Bandung: AlMa’arif, 1984), hal. 183.
Ibid, hal. 53.
223
224
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
mengenal perilaku yang baik itu, diharapkan dapat menimbulkan pemahaman terhadap sistem nilai hidup yang baik dan benar sebagai motivasi bagi peserta didik untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma hidup yang berlaku. Dalam kaitannya dengan masalah keteladanan ini, maka pendidik seyogyanya menampilkan tingkah laku yang didasarkan tingkah laku Islami, yang dimulai dari: pertamatama menuntut kepada diri pendidik suatu tanggung-jawab untuk berperilaku berdasarkan kaidah Islami, kemudian dengan sadar menampilkan tindakan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Di era sekarang, keteladanan tetap merupakan cara utama dalam pendidikan, hal ini ditentukan demikian karena tugas guru selain sebagai pendidik, guru juga bertanggungjawab untuk mengantarkan, bahkan membentuk kepribadian mereka, yang bagi peserta didik cara paling dekat adalah dengan meneladani guru. Metode keteladanan ini, juga dapat dilakukan dengan banyak menceritakan kisah-kisah kehidupan para Nabi dan Rasul, para sahabat, dan orang-orang suci lainnya atau tentang kisah-kisah kedurhakaan kaum dulu.28 Profesor Quraish
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Shihab dalam penelitiannya mengemukakan bahwa al-Qur’an tidak segan-segan untuk menceritakan atau mengisahkan “Kelemahan Manusiawi”. Biasanya digambarkan sebagaimana adanya, tanpa menonjolkan segi-segi yang dapat mengundang tepuk tangan/rangsangan; kemudian biasanya diakhiri dengan menggarisbawahi akibat kelemahan itu. Sebagai contoh, dapat dilihat dalam al-Qur’an surat Qashas ayat 76-81 tentang Karun yang mengakui bahwa kekayaan yang diperolehnya adalah berkat hasil usahanya sendiri, yang membuat orang sekelilingnya kagum. Tiba-tiba gempa menelan Karun dan kekayaannya. Orang-orang yang tadinya kagum menyadari bahwa orang-orang yang durhaka tidak pernah akan memperoleh keberuntungan yang langgeng.29 Kisah sebagai sebuah metode pendidikan ternyata mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Islam menyadari sifat alamiyah manusia untuk menyenangi cerita itu, dan pengaruhnya besar terhadap perasaan. Oleh karenanya, Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik pendidikan.30
28
Tentang kisah, dalam al-Qur’an terdapat nama surat alQashash, yaitu cerita-cerita, kisah-kisah, kata kisah tersebut diulang sebanyak 44 kali. Dalam, Muhammad Fuad Abdul al-Baqy, Al-Mu’jam alMufahras li Alfazh al-Qur’an al –Karim, (Dar al-Fiqr, 1987), hal. 286.
225
29
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 175. 30
226
Muhammad Quthb, op.cit, hal. 840.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
4. Metode Mendidik Diri Sendiri Dalam prakteknya, metode ini bisa dilakukan dengan cara belajar dari pengalaman, merenungkan fenomena hidup dan kehidupan, memikirkan alam, melatih disiplin pribadi, dan lainnya. Yang berhubungan dengan ketiga term dimaksud; caranya bisa lewat penghayatan nilai-nilai. Penghayatan adalah suatu jenis belajar yang memberi motivasi seseorang untuk mengamalkan nilai-nilai tertentu dalam wujud perbuatan atau tingkah laku yang terpuji. Dalam konteks anak didik, penghayatan nilai-nilai (Islam) memimpin peserta didik agar menggunakan akal dan hatinya dalam mencari kebenaran; dengan cara peserta didik diharapkan dapat menginsyafi bahwa segala yang hidup ini merupakan keseluruhan yang selaras dan seimbang, tunduk kepada sunnatullah.31 Hasan Langgulung membagi penghayatan nilai-nilai dalam proses pendidikan Islam mencakup lima kelompok, yaitu: (a) nilai-nilai perseorangan (al-akhlaq al- fardiyah), (b) nilai keluarga (al- akhlaq al-usariah), (c) nilai-nilai sosial (alakhlaq al-ijtimaiyah), (d) nilai-nilai negara (al-akhlaq aldaulah), dan (e) nilai-nilai agama (al-akhlaq al- diniyah).32 31
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Apabila dalam proses pendidikan Islam kelima kelompok nilai-nilai di atas dapat dihayati oleh peserta didik, maka berbagai potensi yang ada dalam diri mereka akan lahir, berkembang selaras dan seimbang. Sehingga, lahirlah keutamaan yang berwujud sifat-sifat seperti ketakwaan, kejujuran, keadilan, kesabaran, kesopanan, kebijaksanaan, dan sebagainya. Dengan keutamaan yang lahir dari penghayatan nilai-nilai tadi, secara spontan terbentuklah suara hati/kata hati peserta didik, yang dengannya mereka dapat membedakan baik dan buruk, mampu memilih hal yang pantas dilakukan dan hal mana yang harus ditinggalkan. Setelah peserta didik menghayati nilai-nilai, maka selanjutnya diupayakan untuk mencapai akhlak terpuji dengan menggunakan metode imitasi (peniruan), diskusi, klarifikasi/kejelasan nilai-nilai dan metode resitasi atau pemberian tugas. Metode diskusi merupakan cara/jalan yang ditempuh untuk menerapkan asas koperatif, individualitas dan aktivitas. Dalam cara ini tampak adanya kerja sama kelompok yang terdiri dari individu yang memiliki kemampuan berbeda untuk menghadapi objek yang dipelajari; metode ini menghendaki kerja sama dalam pemecahan masalah.33
Ibid, hal. 15.
32
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987), hal. 372.
227
33
228
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang, op.cit, hal. 153.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Dalam upaya pemecahan masalah, setiap angota dari kelompok wajib mengemukakan pendapat dalam upaya pengambilan keputusan dan perumusan kesimpulan. Dengan kata lain, metode ini memberikan dorongan terwujudnya “Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)” yang dapat mempertinggi kegiatan belajar peserta didik secara intelektual dan emosional, yang menghendaki peserta didik berperan aktif dalam proses belajar-mengajar.34 Keterlibatan siswa dalam proses pemecahan masalah, memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh klarifikasi/kejelasan nilai-nilai sehingga terbina sifat-sifat disiplin, jujur, bijaksana, budi pekerti luhur, kerja keras, tanggung jawab, serta sifat-sifat terpuji lainnya. Harapan terakhir dari terwujudnya sifat-sifat di atas, menjadikan individu mampu mengamalkan norma-norma Islami dalam kehidupannya secara amar ma’ruf nahi munkar dalam rangka mencari ridho Allah.35 5. Metode Targhiib dan Tarhiib (hukuman dan ganjaran) Di dalam al-Qur’an, hukuman bisa dikenal dengan
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
nama azab. Berkenaan dengan hukuman ini, dijumpai suratsurat yang artinya “Bila kamu tidak patuh, seperti dulu kamu pernah tidak patuh, Dia akan menghukummu dengan siksaan yang pedih” (Q.S. al-Fath: 16)36 atau “Bila mereka tidak patuh, maka Allah akan menghukum mereka tiu dengan hukuman yang pedih di dunia dan akhirat”. (Q.S. at-Taubah: 74)37, dan lainnya. Surat di atas selain mengakui keberadaan hukuman dalam rangka perbaikan ummat manusia, juga menunjukkan bahwa hukuman itu tidak ditujukan kepada semua manusia, melainkan khusus bagi mereka yang melakukan pelanggaran saja. Manusia dengan model ini, biasanya sulit diperbaiki hanya dengan nasehat/keteladanan, melainkan harus lebih berat lagi, yaitu hukuman. Adanya hukuman ini tidak dapat dikatakan tidak manusiawi, kerena pengertian manusiawi juga termasuk manusia dengan segala kekurangannya. Membiarkan manusia berkeliaran dan meresahkan masyarkat adalah sangat tidak manusiawi, karena akan membawa kehancuran masyarakat yang lebih besar. Dengan demikian pemberlakuan hukuman dalam pendidikan tidak berhenti pada hukuman itu sendiri, melainkan kepada tujuan yang ada di belakangnya,
34
Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru, 1989), hal. 20. 35
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang, op.cit, hal. 154.
229
230
36
Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hal. 840.
37
Ibid, hal. 291-292.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
yaitu ”Agar manusia yang melanggar itu insyaf, bertaubat, dan kembali menjadi orang yang baik.”38 Muhammad Quthb mengatakan “Bila teladan dan nasehat tidak mampu, maka pada waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan di tempat yang benar”, tindakan tegas itu adalah hukuman.39 Islam memandang bahwa hukuman bukan sebagai tindakan yang pertama kali dan harus dilakukan oleh seorang pendidik, dan bukan pula cara yang harus didahulukan, melainkan nasehat yang paling diutamakan.40
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
dan keadaan, bahkan latar belakang peserta didik. Ada lima metode pendidikan Islam yang ditawarkan dalam tulisan ini, yaitu sebagai berikut: metode pengajaran, pembiasaan, keteladanan, metode mendidik diri sendiri, dan metode hukuman dan ganjaran.
D. Penutup Berdasarkan pemaparan di atas, dapat kita pahami bahwa bagaimanapun sebuah metode mempunyai peranan yang sangat penting dalam pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Sebagai thariqah yang merupakan mediator dalam arti jalan yang bersifat nonfisik atau merupakan ide-ide yang mengantarkan seseorang sampai kepada tujuannya, maka penggunaan metode-pun harus bersifat konsisten dan sistematis atau penggunaannya disesuaikan dengan kondisi 38
Abuddin Nata, op.cit, hal. 104-105
39
Muhammad Quthb, op.cit, hal. 341.
40
Abuddin Nata, op.cit. hal. 103.
231
232
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
DAFTAR PUSTAKA Abuddin Nata. 1997. Filsafat Pendidikan Islam I. Ciputat: Logos Wacana Ilmu. Al-Abrasy. 1974. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (terj dari At-Tarbiyah al-Islamiyyah). Jakarta: Bulan Bintang. Ali
Khalil Abu al-Ain. 1980. Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur’an al-Qarim. Dar al-Fiqr al-Araby.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Muhammad Fuad Abdul al-Baqy. 1987. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al –Karim. Dar al-Fiqr. Muhammad Quthb. 1984. Sistem Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif. Nana Sudjana. 1989. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Arifin. 1991. Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teorotis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara.
Quraish Shihab. 2001. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Chatib Thoha. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. 1996. Dasar-dasar Kependidikan Islam, Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Surabaya: Karya Aditama.
Departemen Agama Republik Indonesia. 1993. Al-Qur’an dan Terjemahan. Surabaya: Surya Cipta Aksara.
Zakiyah Daradjat. 1993. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hasan Langgulung. 1987. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna. Imam Barnajib. 1990. Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode. Yogyakarta: Yayasan Penerbit IKIP Yogya. Muhammad Athiyah al-Abrasyi. 1996. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 233
234
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
KEPEMIMPINAN PESANTREN MENGHADAPI TANTANGAN MASA DEPAN H. Munadi ∗ Abstract: The development of pesantren education institute is expanding phasely from traditional to modern pesantren which apply educational system as educational institution. The operation of educational inovation in pesantren is not separated from pesantren leadership inovation itself. Until now in reality, pesantren can pass “out put” that is able to take a part in many aspect of soceity, and this operation of inovation is linked as unbroken line to pesantren leadership itself. In this era to the future time, in the case of defending out put pesantren quality, it is a must that pesantren leadership must be professional first, so the guarantee of quality in operating can be kept. And hopely the pesantren stimutanously is able to produce out put or young generation that can exist in many aspects of soceity life. Kata Kunci : Pesantren, profesionalisme, dan kepemimpinan ∗
Penulis adalah Dosen STAI RAKHA Amuntai dan menjabat sebagai Pembantu Ketua III. Penulis juga Kepala MA NIPI Rakha Amuntai. Saat ini sedang menyelesaikan studi pada PPs S2 UNINUS Bandung.
235
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
A. Pendahuluan Budaya merupakan suatu konsep yang membangkitkan minat, bahkan secara formal, budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, konsep alam semesta, objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Sebagian besar pengaruh budaya terhadap kehidupan kita tidak kita sadari, mungkin suatu cara untuk memahami pengaruh tersebut dengan jalan membandingkannya dengan gejala yang sudah nampak pada sebelumnya dengan sekarang yang sedang terjadi, dengan kejadian tersebut, maka transformasi budaya yang dapat diamati dari keadaan pesantren adalah pesantren masih tetap mengakar sebagai suatu lembaga yang berperan untuk mengabdi bahkan memberikan pencerahan nilai-nilai keagamaan kepada masyarakat. Nilai-nilai universal islami yang terjadi di lingkungan dunia pesantren yang merupakan menjadi ramuan pola pikir, sikap, dan perilaku umat islam dalam kenyataan sejarah perkembangan bangsa Indonesia, secara langsung ataupun tidak, telah berintegrasi dengan kehidupan bangsa dan 236
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, baik melalui adat ataupun kebiasaan umat islam yang menjadi adat kebiasaan bangsa, melalui proses akulturasi yang berjalan dengan periode waktu yang panjang, maupun melalui proses enkulturasi yang direkayasa melalui rencana dan proses pendidikan islam. Pesantren merupakan suatu pendidikan Islam yang merupakan suatu khazanah pemeliharaan dan perkembangan nilai yang berintegrasi dengan sistem norma yang mengikat pada adat kebiasaan serta pola hidup, pola hidup pada umumnya yang terjamin dalam pola pikir dan sikap yang jelas, khususnya mengenai masalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, ketatanegaraan, serta kehidupan sosial dan budaya yang mengakar pada sendi serta nilai-nilai keagamaan. Pesantren dalam akar sejarah memiliki peran andil yang penting bagi awal pendidikan modern dengan terbentuknya madrasah, sekolah, bahkan perguruan tinggi yang bercorak Islam telah memberikan citra dan nuansa bagi sekolah umum yang meniru barat, hal ini juga telah terjadi pula pada sisi pendidikan nonformal, mula dari bentuk
keterampilan dan bela diri bahkan juga tidak disangkal bahwa hal ini membentuk karyawan serta citra umat islam Indonesia di kemudian hari. Pembentukan sistem dan nilai, juga pola pikir bahkan perilaku umat islam ditandai dengan nilai-nilai dan keyakinan agama islam, harus dapat berfungsi sebagai faktor-faktor yang dibutuhkan oleh perkembangan budaya bangsa sesuai dengan prinsip Islam itu sendiri yang merupakan rahmatan lil alamin. Islam dan perkembangannya harus merupakan bagian dari sistem nasional, dan tidak hanya merupakan modus vivendi (cara sementara), tetapi sekaligus harus juga berfungsi sebagai cara yang tepat dalam rangka mempertahankan eksistensi dan perkembangan bangsa (modus operandi), artinya umat Islam harus memiliki kepedulian yang cukup tinggi terhadap lingkungan sosial bangsanya yang menjadi sarana kehidupan bangsa dengan kapasitas umat Islam sebagai mayoritas. Kepedulian semacam ini hanya mungkin dilaksanakan dan mencapai efektifitas yang tinggi bila umat Islam disamping menguasai nilai-nilai keislaman, juga bersifat terbuka terhadap perkembangan dan kemajuan sesuai dengan
pengajian sampai dengan kursus-kursus yang diselenggarakan oleh masjid dan masyarakat Islam hingga latihan-latihan
prinsip nilai Islam itu sendiri. Selain itu, umat Islam juga harus terbuka untuk meningkatkan kualitas diri sendiri demi
237
238
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
meningkatkan kualitas umat berlomba menuju masa depan yang baik bahkan lebih baik dari masa kini, esok dan mendatang. B. Kepemimpinan Pesantren 1. Sekilas Tentang Pondok Pesantren Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin)dengan menekankan moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Secara etimologi, istilah pesantren berasal dari kata ”santri”, yang dengan awalan pe- dan akhiran -an berarti tempat tinggal para santri. Kata ”santri” juga merupakan penggabungan antara suku kata sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat mendidik manusia yang baik.1 Sementara, Dhofier menyebutkan bahwa menurut Profesor Johns, istilah ”santri” berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedangkan C.C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang 1
Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Alih bahasa Butchi B.Soedjoyo, (Jakarta: P3M, 1986), hal. 8.
239
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.2 Dengan kata lain, istilah santri mempunyai pengertian seorang murid yang belajar buku-buku suci/ilmu-ilmu pengetahuan agama Islam. Dengan demikian, pesantren dipahami sebagai tempat berlangsungnya interaksi guru-murid, kyai-santri dalam intensitas yang relatif permanen dalam rangka transferisasi ilmu-ilmu keislaman. Dalam hubungan dengan usaha pengembangan dan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah, pengertian yang lazim dipergunakan untuk pesantren adalah sebagai berikut:3 Pertama, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non-klasikal (sistem Bandongan dan Sorogan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama2
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1982), cet 1, hal. 18. 3
Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1982), hal. 9-10.
240
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
ulama besar sejak abad pertengahan, (Sistem Bandongan dan Sorongan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok/asrama dalam lingkungan pesantren tersebut. Kedua, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut di atas tetapi para santrinya tidak disediakan pondokan di kompleks pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (santri kalong), dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem wetonan, para santri berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu (umpama tiap hari jum'at, ahad, selasa atau tiap-tiap waktu salat dan sebagainya). Ketiga, pondok pesantren dewasa ini adalah gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan atau wetonan dengan disediakan pondokan untuk para santri yang berasal dari
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
formal serta menyelenggarakan juga pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan sesuai dengan kebutuhan masyarakat masing-masing. Pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang cukup unik karena memiliki elemen dan karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Elemen-elemen Islam yang paling pokok, yaitu: pondok atau tempat tinggal para santri, masjid, kitab-kitab klasik, kyai, dan santri.4 Kelima elemen inilah yang menjadi persyaratan terbentuknya sebuah pesantren, dan masing-masing elemen tersebut saling terkait satu sama dengan lain untuk tercapainya tujuan pesantren, khususnya, dan tujuan pendidikan Islam, pada umumnya, yaitu membentuk pribadi muslim seutuhnya (insan kamil). Adapun yang dimaksud dengan pribadi muslim seutuhnya adalah pribadi ideal meliputi aspek individual dan sosial, aspek intelektual dan moral, serta aspek material dan spiritual. Sementara itu, karakteristik pesantren muncul sebagai implikasi dari penyelenggaraan pendidikan yang berlandaskan pada keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian
jauh dan juga menerima santri kalong, yang dalam istilah pendidikan modern memenuhi kriteria pendidikan non 241
4
242
Zamakhsyari Dhofier, op.cit, hal. 44.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
(menolong diri sendiri dan sesama), ukhuwwah diniyyah dan islamiyyah dan kebebasan. Dalam pendidikan yang seperti itulah terjalin jiwa yang kuat, yang sangat menentukan falsafah hidup para santri.5 Penyelenggaraan pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri di bawah pimpinan kyai atau ulama, dibantu seorang atau beberapa ustadz (pengajar) yang hidup di tengah-tengah para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat peribadatan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri. Kegiatan pendidikannya pun diselenggarakan menurut aturan pesantren itu sendiri dan didasarkan atas prinsip keagamaaan. Selain itu, pendidikan dan pengajaran agaman Islam tersebut diberikan dengan metode khas yang hanya dimiliki oleh pesantren, yaitu: Rundongan atau wetonan adalah metode pengajaran dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang membacakan kitab tertentu, sementara 5
Imam Zarkasyi, Pembangunan Pondok Pesantren dan Usaha Untuk Melanjutkan Hidupnya, dalam Al-Jami’ah No. 5-6 Th. Ke–IV Sept– Nop. 1965, (Yogyakarta: IAIN Sunan kalijaga, 1965), hal. 24-25.
243
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan-catatan. Disebut dengan istilah wetonan, berasal dari kata wektu (istilah Jawa untuk kata: waktu), karena pelajaran itu disampaikan pada waktu-waktu tertentu seperti sebelum atau sesudah salat fardhu atau pada hari tertentu. Sorogan adalah metode pengajaran individual, santri menghadap Kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Kyai membacakan pelajaran dari kitab tersebut kalimat demi kalimat, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak dan mengesahkan (istilah jawa: ngesah), yaitu dengan memberi catatan pada kitabnya untuk menandai bahwa ilmu itu telah diberikan kyai. Adapun istilah sorogan tersebut berasal dari kata sorog (Jawa) yang berarti menyodorkan, maksudnya santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai, sehingga terkadang santri itu sendiri yang membaca kitabnya di hadapan kyai, sedangkan kyai hanya menyimak dan memberikan koreksi bila ada kesalahan dari bacaan santri tersebut. Beberapa pesantren dalam perkembangannya, disamping mempertahankan sistem tradisionalnya juga menggunakan sistem madrasah, baik sebagai basis pendidikannya ataupun yang bersifat tambahan. 244
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Sesungguhnya proses terbentuknya pesantren dapat dipastikan sebagai upaya untuk melembagakan kegiatan agama, agar memiliki posisi dan peran yang berarti dalam menangani dan menanggulangi berbagai permasalahan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh para pemula penyebar agama Islam yang dilaksanakan melalui kegiatan non formal dengan tatap muka yang kurang terjadwal berubah secara berangsur-angsur menjadi kegiatan yang terorganisasi, terlembaga dalam wujud yayasanyayasan pendidikan pesantren, dari pesantren dengan sistem pendidikannya yang masih sangat sederhana hingga pesantren yang telah menerapkan sistem pendidikan sebagaimana lembaga pendidikan sekolah atau lebih dikenal dengan sebutan sekolah berasrama (Islamic Boarding School). 2. Kepemimpinan Kiai di Pesantren Pesantren hidup dan berakar bahkan berkembang sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat sekitar. Hal inilah yang membuktikan bahwa pesantren semakin dibutuhkan dan dirindukan kedatangannya oleh masyarakat yang membutuhkan makna dan sentuhan nilai-nilai kehidupan beragama. 245
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Kehadiran pondok pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan Islam (tafaqquh fiddin), haruslah dipahami dalam konteks sebagai wahana pengkaderan ulama, wahana yang melahirkan sumber daya manusia yang handal dengan sejumlah predikat mulia yang menyertainya, seperti: ikhlas, mandiri penuh dengan perjuangan dan heroik, tabah serta selalu mendahulukan kepentingan orang lain (masyarakat) di atas kepentingan individual. Predikat baik di atas juga diuji oleh jaman yang semakin berkembang dengan pesatnya, dan semakin banyak kajian yang membahas tentang pesantren, maka artinya kita masih memiliki kepedulian agar wahana pengkaderan ulama memiliki daya pikat dan sebagai masukan bagi pondok pesantren untuk semakin merefleksi atas apa yang telah dilakukannya, khususnya berkaitan dengan pembangunan nasional. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional yang dipersiapkan untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamatkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.6 Pesantren merupakan suatu model 6
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INiS, 1994), hal .20.
246
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
lembaga pendidikan Islam yang diorganisir oleh masyarakat dan formatnya juga dirancang sendiri oleh masyarakat walaupun memang tidak terlepas dari undang-undang atau peraturan pemerintah dalam hidup berbangsa dan bernegara.7 Karakteristik fisik yang membedakan antara pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya antara lain dibedakan dari unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, yang biasanya terdiri dari kiai, masjid, asrama, santri dan kitab kuning.8 Walaupun Wahid menyatakan bahwa unsur-unsur tersebut berfungsi sebagai sarana pendidikan yang berfungsi membentuk perilaku sosial kultural santri tersebut.9 Keberhasilan atau kegagalan sebuah pesantren akan sangat ditentukan oleh tingkat keteguhan dan kesungguhan para pengasuhnya (kiai) dalam mengembangkan lembaga yang dipimpinnya, karena itu sebenarnya tidaklah terlalu berlebihan jika ada banyak pengamat menilai bahwa pesantren itu merupakan persoalan enterprise para pengasuhnya. 7
Ahmad Syafii Ma’arif, Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Bangsa, dalam Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (peny), Pendidikan dalam Peradaban Industrial, (Yogyakarta: Editya Media, 1997), hal. 1. 8
Zamakhsyari Dhofier, loc.cit.
9
Abdurrohman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: Lkis, 2001), hal. 40.
247
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Demikian ketatnya hubungan antara kiai dengan pesantren yang dipimpinnya, sehingga tidaklah sedikit diantara mereka yang memahami hal tersebut sebagai pengabdian agar dapat berbuat sesuatu yang lebih baik bagi kemaslahatan umat. Dalam kerangka administrasi pendidikan, pondok pesantren selalu dikaitkan dengan adanya institusi badan wakaf, para anggota badan wakaf itulah yang secara kolektif menentukan perjalanan pesantren, akan tetapi pengaturan demikian itu lebih dimaksudkan untuk menjamin tingkat sustainability pesantren, khususnya jika para pendiri dan pengasuhnya sudah tidak ada lagi. Dalam situasi seperti di atas, maka hidup matinya pesantren berada pada tangan pengasuhnya atau pendirinya, dalam konteks seperti inilah personal enterprise hendaknya dipahami. Perkembangan masing-masing pesantren memiliki akselerasi yang berbeda, dan gejala ini dapat diketahui dari faktor sosial budaya yang mempengaruhi masyarakat sekitar pondok pesantren itu sendiri, perbedaan sosial budaya masyarakat menentukan tujuan berdirinya lembaga pesantren, sehingga dalam perkembangan selanjutnya masing-masing pondok pesantren memiliki arah yang berbeda, sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat sekitar. 248
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Pondok pesantren memiliki visi dan misi keagamaan yang dikembangkan sesuai dengan pribadi dari kiai pendiri pesantren tersebut, sedangkan metode pengajarannya dan materi kitab yang diajarkan ditentukan sejauh mana kualitas yang dimiliki oleh kiai dan yang dipraktekkan dalam keseharian.10 Corak kelembagaan pondok pesantren serta kepemimpinan yang dilakukan era sekarang adalah merupakan konsekuensi logis dari perjalanan pesantren dalam periode sebelumnya, sehingga perubahan dan penyesuaian yang terjadi dalam dunia pesantren menunjukan bahwa visi, misi dan kepemimpinan kiai hendaknya mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakat serta sistem pendidikan nasional. Fakta di atas merupakan suatu bukti bahwa pesantren dapat melakukan pembaharuan sistem pendidikannya yang telah diterapkan selama bertahun-tahun, bahkan yang lebih luwes lagi kiai bersedia meninjau kembali pemahaman keagamaan, termasuk bidang bidang sosial, bahkan pada beberapa pesantren senantiasa mencari pola baru dalam kaderisasi kepemimpinan guna mempersiapkan re-generasi 10
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
kepemimpinan pondok pesantren. Hal ini dibuktikan dengan mutu lulusan yang sudah sekian lama mengenyam pendidikan di pesantren lalu terjun kemasyarakat dan berbaur untuk hidup dalam masyarakat bahkan mereka cenderung menjadi pionir yang selalu berusaha merenovasi dan menata kehidupan keagamaannya yang semakin sarat dengan tuntutan perubahan jaman. Mastuhu mengemukakan bahwa pondok pesantren memiliki visi dan misi: “Menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, bermanfaat bagi kehidupan masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula dan pelayan masyarakat, seperti halnya misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, dan selain itu mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian menyebarkan agama atau menegakan Islam dan kejayaan umat Islam (izzul islam wal muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia, idealnya kepribadian yang dituju oleh Allah SWT.”11 Sutomo terkenal dengan visinya yang sangat tajam 11
Manfred Ziemek, op.cit, hal. 135.
249
250
Mastuhu, op.cit. hal. 55.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
dalam melihat dunia pondok pesantren, dan beliau terkenal dengan argumentasinya yang mengatakan akan pentingnya agar asas-asas sistem pendidikan pesantren dipergunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional, walaupun paham ini kurang mendapatkan tanggapan yang berarti, namun patutlah digarisbawahi bahwa pesantren telah dilihat sebagai suatu sistem yang tidak terpisahkan dari pembentukan identitas budaya bangsa Indonesia.12 Lebih lanjut Wahid mempopulerkan pesantren sebagai sub-kultur dari bangsa Indonesia. Dengan melihat latar belakang sejarah dan perkembangan pendidikan di Indonesia, maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pesantren telah menjadi semacam ”local genius”.13 Pesantren telah dianggap sebagai model institusi pendidikan yang memiliki keunggulan, baik dari segi aspek tradisi keilmuannya, maupun pengakuan masyarakat akan keberadaannya. Martin Van Bruinessen menilai sebagai salah satu tradisi agung maupun sisi transmisi dan internalisasi moralitas umat lslam. 12
A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), hal. 126.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak didasari oleh keseimbangan kemajuan bidang keterampilan lainnya telah mampu menggeser kedudukan sistem pengelolaan pondok pesantren. Pergeseran nilai sumber belajar tersebut merupakan suatu proses menuju demokrasi pondok pesantren khususnya bagi santri, dimana santri diberikan keleluasaan untuk mencari berbagai disiplin ilmu yang sekiranya tidak didapatkan di dunia pesantren, hal inilah yang menarik dalam perkembangan kemajuan pondok pesantren. Dhofier mengemukakan bahwa kiai dan pesantren telah memainkan peranan sebagai creative cultural maker's. Dengan peran itulah kiai memainkan peranan yang sangat penting dalam konteks masyarakat muslim Indonesia modern, kiai dengan pesantrennya telah mampu menyumbangkan atas tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Indonesia yang bervariasi.14 Lebih lanjut dikatakan Dhofier bahwa problema pembaharuan dalam pesantren terjadi karena adanya kontradiksi pada sebagian pesantren berupa tarik menarik antara kalangan muslim tradisional dengan gayanya yang memiliki kecenderungan yang kuat untuk menemukan kembali nilai-nilai tradisional kemudian diinterprestasikan kembali
13
Abdurrohman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: Lkis, 2001).
251
14
252
Zamakhsyari Dhofier, op.cit, hal. 175.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
sesuai dengan perspektif baru dan yang lebih menekankan nilai-nilai tradisional sebagaimana adanya. Pergeseran makna kepemimpinan dalam sebuah pondok pesantren telah memberikan nuansa yang berbeda terutama bila dilihat dari segi perencanaan dan kinerja produktivitas pesantrennya, walaupun mungkin memiliki kesamaan misi yang diemban oleh pesantren yang memiliki gaya kepemimpinan tradisional dengan gaya kepemimpinan pesantren yang modern, yaitu membawa umat kepada jalan kebajikan. 3. Keharusan Pesantren
Profesionalisasi
dalam
Pendidikan
Pesantren tidak menutup diri begitu saja dari perubahan sosial yang sedang berlangsung, termasuk pengaruh cepat dari luar yang dapat berakibat bagi perubahan budaya di lingkungan pesantren. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama bidang informasi, yang sekaligus ditandai oleh adanya sarana informasi yang langsung atau tidak langsung akan dapat mempengaruhi budaya pesantren, dan yang terkait erat adalah santri, dengan demikian, maka pergeseran budaya akan sangat mempengaruhi proses keberhasilan pesantren dalam membina tujuan utamanya, yaitu sebagai lembaga pengkaderan ulama. 253
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Upaya yang dilakukan kiai dalam mengantisipasi berbagai bentuk perubahan budaya yang terjadi di lingkungan pesantren adalah dengan meyakinkan pengikutnya, terutama santrinya dengan jalan memberikan pemahaman yang luas tentang visi dan misi yang diemban oleh pesantren tersebut, dengan demikian, maka kesan kiai tidak semata-mata ekstrim atau sosok yang menolak perubahan, sebab bagaimanapun bentuk penolakan tersebut perubahan akan senantiasa terjadi dan terus terjadi, sehingga kiai sebagai pemegang teguh kebijakan yang berlaku di pesantren hendaknya dapat mensinyalir perubahan tersebut dan juga menyeleksi perubahan tersebut dan selama perubahan-perubahan tersebut sesuai dengan norma yang berlaku atau tidak merusak akidah dan syari’ah, mengapa tidak diterima, sebab segala sesuatu perubahan akan berdampak, baik positif ataupun negatif sekalipun, dan hendaknya pesantren dapat menjadi mercusuar dalam mengantisipasi perubahan tersebut. Mastuhu memberikan suatu wacana akan perubahan budaya yang berlaku di lingkungan pesantren, lebih lanjut dikatakan bahwa di era industrialisasi, memungkinkan pesantren memiliki peran ganda (dual culture); agraris dan industri, yang pertama merupakan pondasi untuk mengantisipasi atau membaca setiap pengaruh yang datang 254
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
dari luar, sedangkan yang kedua merupakan visi pesantren sendiri guna mempredeksi bagaimana posisinya di tengahtengah masyarakat yang semakin maju, sehingga visi pesantren itu merupakan pengejawantahan dari doktrin kultural-politik-kiai.15 Perubahan di atas hendaknya menjadi cambuk yang berarti bagi keluarga pesantren, terutama dalam mempersiapkan generasi berikutnya yang dipercaya untuk mengembangkan pesantren ke depan, sehingga pengkaderan keluarga kiai dalam mendidik anak-anaknya untuk sematamata menguasai ilmu agama, melainkan menguasai bidang lain yang berhubungan dengan sains dan teknologi. Profesi biasanya berkaitan erat dengan beberapa jenis pekerjaan atau bidang keahlian, diantaranya: dokter, insinyur, pengacara, walaupun hal ini merupakan penglihatan dari kacamata individual, akan tetapi biasanya profesionalisasi dalam lembaga pendidikan lebih cenderung mengarah kepada birokrat dan hal ini biasanya dibuktikan dalam perilaku kesehariannya yang biasa disebut dengan salaried professional. Melihat hal itu semua, karena pesantren dikembangkan 15
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: logos, 1999), hal. 259.
255
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
oleh sendiri dan dibesarkan melalui minat sendiri juga kemauan yang selalu didasarkan atas kemampuan diri serta dorongan publik yang membutuhkan keberadaan lembaga tersebut, maka sebagai bagian dari taksonomi pendidikan, sudah merupakan keharusan mengedepankan profesionalisme dalam penyelenggaraan pendidikannya. Bagaimanapun suatu model kepemimpinan dilakukan oleh pemimpin suatu organisasi, akan mempengaruhi kinerja para anggotanya, oleh sebab itu keterkaitan masing-masing anggota organisasi dibutuhkan dalam pengukuran keinovatifan organisasi. Saling keterkaitan itu sendiri merupakan derajat dimana unit-unit dalam suatu sistem sosial dihubungkan oleh jaringan-jaringan interpersonal, gagasan-gagasan baru dapat saja mengalir secara mudah di antara anggota organisasi jika organisasi itu sendiri memiliki keterkaitan jaringan yang tinggi, sebab secara langsung variabel ini akan menghubungkan dengan keinovatifan organisasi. Pesantren sebagai sosok organisasi yang memiliki jaringan yang luas terutama dengan masyarakat, hendaknya memiliki kemudahan dalam merefleksikan keinovatifannya, namun pada kenyataannya pesantren sebagai salah satu sosok organisasi yang kaku hal ini membuktikan bahwa pada satu sisi sering menekankan kebutuhan dan gagasan yang bahkan 256
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
masyarakat sendiri kurang memahami akan bentuk kebijakan tersebut, sebab hal ini berhubungan langsung dengan sosok figur seorang kiai yang mengeluarkan kebijakan tersebut, sehingga lazimnya suatu kebijakan seorang kiai, maka kebijakan tersebut tidak dapat ditawar lagi bahkan merupakan keputusan final, sehingga pengukuran keinovatifan pesantren dapat diukur dan didukung pula oleh kelenturan pesantren itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas dapat dimengerti bahwa model kepemimpinan yang dapat dikembangkan di lingkungan pondok pesantren diharapkan mampu untuk membuka diri dengan interpensi dari luar guna mempersiapkan kader kepemimpinan di masa mendatang, sebab dengan menutup diri dari campur tangan pihak luar, maka kemungkinan pemimpinnya di masa mendatang ataupun terlebih dalam melakukan suksesi atau pergantian kepemimpinan tersebut akan dihadapkan pada berbagai masalah yang akan mengganggu profesionalisme penyelenggaraan pendidikan di pesantren, padahal tuntutan sekarang mengharuskan penyelenggaraan pendidikan pesantren dengan mengedepankan profesionalisme.
257
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
C. PENUTUP Ketidakterbukaannya sistem perubahan pesantren lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa sikap pesantren memang sangat hati-hati dalam menentukan pilihan, sehingga selektifitas tersebut seolahnya memberikan gambaran bahwa pesantren bersikap sangat tertutup. Selektifitas tersebut sebenarnya dapatlah dimaklumi karena biasanya didasarkan atas beberapa pertimbangan yang paling utama adalah pertimbangan keagamaan serta komunitas sosial, sehingga pada kenyataannya manakala telah dianggap sangat tepat pesantren senantiasa akan melakukan perubahan, bahkan sampai kepada kepemimpinannya. Tuntutan perkembangan jaman mengharuskan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan untuk dikelola secara professional, hal ini tentu untuk menjaga kualitas out put pesantren yang sampai saat ini masih banyak yang mampu berkiprah secara baik di berbagai lapisan strata sosial masyarakat, dan menurut saya ini harus dimulai dengan merubah pola/gaya kepemimpinan (bukan berarti merubah pemimpinnya) dari kepemimpinan tradisional ke kepemimpinan yang lebih mengedepankan profesionalisme.
258
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
DAFTAR PUSTAKA A. Malik Fadjar. 1999. Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia. Abdurrohman Wahid. 2001. Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: Lkis. Ahmad Syafii Ma’arif. Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Bangsa. Dalam Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (peny). 1997. Pendidikan dalam Peradaban Industrial. Yogyakarta: Editya Media. Imam Zarkasyi. Pembangunan Pondok Pesantren dan Usaha Untuk Melanjutkan Hidupnya, dalam Al-Jami’ah No. 5-6 Th. Ke–IV Sept–Nop. 1965. Yogyakarta: IAIN Sunan kalijaga. Manfred Ziemek. 1986. Pesantren Dalam Perubahan Sosial. Alih bahasa Butchi B.Soedjoyo. Jakarta: P3M. Marwan Saridjo, dkk. 1982. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bhakti. Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: IniS. Mastuhu. 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos. Zamakhsyari Dhofier. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Cet-1. Jakarta: LP3ES. 259
260
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
SISTEM OPERASIONAL PERBANKAN SYARI’AH H. Ismet Suryadi∗ Abstract: The existence of bank that suitable to Islamic rules was a must in Islamic world today. Islamic world is together trying to create this desire. This desire is created by growing many banks with syari’ah based. The exist of these syari’ah based banks used universal studying and comprenhensive, so Islamic followers can understand correctly, for example how the
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
memupuk perkembangan ekonomi dan kemajuan sosial negara anggota dan masyarakat Muslim di seluruh dunia secara sendiri-sendiri, maupun bersama-sama Pada tanggal 15 Syawal 1395 H bertepatan 20 Oktober 1975 diresmikan Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank, IDB) yang sebelumnya dibentuk berdasarkan Dekralasi Negara Islam yang diselenggarakan di Jeddah dalam bulan Zulkaidah 1393 H bertepatan dengan Desember 19731, hingga dewasa ini pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan berbasis Syari’ah tumbuh merata diberbagai negara-negara di penjuru dunia termasuk di Indonesia.
operational system of syari’ah banking is operated. Kata-Kata Kunci : Perbankan Syari’ah, Operasional Bank, Ekonomi Islam.
A. Pendahuluan Keunikan hukum Islam antaranya terletak pada keluasan dan kedalaman asas-asasnya mengenai masalah umat manusia yang berlaku sepanjang masa, termasuk pula dalam masalah-masalah ekonomi. Sebagai bagian pengejewantahan asas-asas ekonomi Islam dan sebagai bagian dari usaha untuk ∗
Penulis adalah Dosen STAI Rakha Amuntai.
309
B. Sistem Operasional Perbankan Syari’ah 1. Pengertian Perbankan Syari’ah Sebelum mengetahui pengertian bank Syari’ah, terlebih dahulu perlu diketahui apa yang dimaksud dengan bank itu sendiri. Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.2 1
Muhammad Abdul Manan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (terj. Potan Arif Harahap), (Jakarta: Intermasa, 1992), hal. 191. 2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 78.
310
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Istilah Bank merupakan pengembangan lebih lanjut dari istilah banko yang sebenarnya dimaksudkan sebagai simbol bagi alat penukaran. Menurut UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (pasal 1 angka 1).3 Menurut ensiklopedia Islam, Bank Syari’ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsipprinsip syariat Islam.4 Berdasarkan rumusan tersebut, bank Syari’ah berarti bank yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamalat secara Islam, yakni mengacu kepada ketentuanketentuan al-Qur’an dan al-Hadits. 2. Dasar Hukum Perbankan Syari’ah Pada awal perkembangan bank Syari’ah di Indonesia, bank Syari’ah memperoleh landasan hukum yang kuat dalam eksistensi dan operasionalnya dalam sistem perbankan 3
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 38. 4
Azyumardi Azra, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Baru Van Hoeve,1997), hal. 231.
PT. Ichtiar
311
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
nasional. Bank Syari’ah saat itu hanya dikategorikan sebagai bank yang menjalankan sistem bagi hasil berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Undang-undang tersebut hanya menentukan kebolehan bagi bank untuk menjalankan sistem bagi hasil dan menetapkan suku bunga nol persen tanpa rincian landasan hukum Syari’ah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 PP No. 72 Tahun 1992, yaitu: Bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (bunga) sebaliknya pula bank yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. 5 Kemudian pada tahun 1998 dikeluarkan UndangUndang No. 10 Tahun 1998 sebagai amandemen dari UndangUndang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan Syari’ah dan memberikan kesempatan bagi siapa saja yang akan mendirikan bank Syari’ah maupun yang ingin mengkonversi dari sistem konvensional menjadi sistem Syari’ah dan Undang-Undang ini juga sekaligus menghapus 5
Muhammad, Bank Syariah: Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hal. 59.
312
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
pasal 6 pada PP No. 72/1992 yang melarang dual banking sistem. Sebagaimana yang tercantum dalam penjelasan Pasal 6 huruf m UU No. 10 Tahun 1998, yang berbunyi: Bank umum yang melakukan kegiatan secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syari’ah.6 Dalam UU No. 10 Tahun 1998 ini dijelaskan secara tegas tentang prinsip Syari’ah sebagai landasan operasional perbankan Syari’ah, sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 13 yang berbunyi: Prinsip Syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai Syari’ah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).7
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Pengakuan eksistensi perbankan Syari’ah dalam peraturan perundang-undangan dirumuskan dalam Undangundang No. 10 Tahun 1998 sebagai bentuk bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syari’ah. Secara yuridis formal, eksistensi bank Syari’ah telah mempunyai landasan hukum yang kuat sebagai suatu sistem dalam dunia perbankan nasional. Disamping undang-undang tersebut, Bank Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebagai pedoman pelaksanaan operasional perbankan di Indonesia baik bank konvensional maupun bank Syari’ah. Peraturan Bank Indonesia yang telah ditetapkan untuk mengatur operasional Syari’ah adalah: a. PBI No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum yang melakukan Kegiatan Usaha berdasarkan Syari’ah. b. PBI No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Syari’ah (PUAS). c. PBI No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
6
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 420. 7
Ibid, hal. 397.
313
314
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
d. PBI No. 2/15/PBI/2000 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Antar Bank atas Hasil Kliring Lokal. e. PBI No. 4/1/PBI/2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum berdasarkan Prinsip Syari’ah dan Pembukaan Kantor Bank berdasarkan Prinsip Syari’ah oleh Bank Umum Konvensional. f. PBI No. 5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syari’ah. 8 3. Karakteristik Perbankan Syari’ah Bank Syari’ah dalam menjalankan
badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.9 Adapun landasan syar’i-nya, yaitu sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah: 283 yang berbunyi:
ﻪ ﺘﻧﺎﻦ ﹶﺃﻣ ﻤ ﺗﺅ ﻱ ﺍﺩّ ﺍﻟﱠﺬ ﺆ ﻴﻀﹰﺎ ﹶﻓ ﹾﻠﺑﻌ ﻀﻜﹸﻢ ﻌ ﺑ ﻦ ﻣ ﹶﻓﹺﺈ ﹾﻥ ﹶﺃ. . . . (283 : )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ. . . . ﻪ ﺭﺑ ﻪ ﻖ ﺍﻟﻠﹼ ﹺﻴﺘﻭﹾﻟ Artinya: …akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya….10
kegiatan
operasionalnya dilandasi oleh 5 (lima) prinsip dasar yang terdiri dari:
Dan Hadits Rasulullah Saw yang berbunyi:
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﺩ:ﻋﻦ ﺃﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ 11 ﺍﻷﻣﺎﻧﺔ ﺇﱃ ﻣﻦ ﺍﺋﺘﻤﻨﻚ ﻭﻻ ﲣﻦ ﻣﻦ ﺧﺎﻧﻚ
a. Prinsip Simpanan atau Titipan (Depository atau Alwadi'ah) Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-wadi'ah. Alwadi'ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun 8
M. Luthfi Hamidi, Jejak-jejak Ekonomi Syariah, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2003), hal. 15.
315
Artinya: Abu Hurairah meriwayatkan bahwa 9
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 85. 10
Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hal. 71. 11
Imam Abi Daud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Daud, Juz 2, (Beirut: Darl Fikr, 1999), hal. 276.
316
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Rasullah saw bersabda, “Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu”. (HR. Abu Dawud)
membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin/mark up). Adapun jenis-jenis jual beli tersebut, yaitu: 1) Bai’ al-Murabahah (Defered Payment Sale) Bai’ al-Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.12 Dalam bai’ al-murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. 2) Bai’ as-salam (In-Front Payment Sale) Dalam pengertian yang sederhana, bai’assalam berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari.13 Sedangkan pembayaran dilakukan di muka.
b. Bagi Hasil (Profit Sharing) Sistem ini merupakan suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana (nasabah) dengan pengelola dana (bank) dan dapat pula terjadi antara penyalur dana (bank) dan penerima dana (kreditur). Secara umum, prinsip bagi hasil dalam perbankan Syari’ah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, almuzara’ah dan al-musaqah. Namun, diantara keempat akad tersebut, yang paling banyak dipakai adalah al-musyarakah dan al-mudharabah. c. Jual Beli (Sale and Purchase) Prinsip jual beli ini dikembangkan dan dijadikan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan Syari’ah. Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan 317
318
12
Muhammad Syafi'I Antonio, op.cit, hal. 101.
13
Ibid, hal. 108.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
3) Bai’ al-Istihna’ (Purchase by order or manufacture) Transaksi bai’al-istihna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.14 Produk istihna ini menyerupai produk salam, namun dalam istihna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran. Istihna dalam bank Syari’ah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi. d. Sewa/Ijarah (Operational Lease and Financial Lease) Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.15 e. Jasa (Fee Based Services) Wakalah atau wikalah 14 15
berarti
penyerahan,
Ibid, hal. 108.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
pendelegasian atau pemberian mandat. Dalam hal ini yang dimaksud dengan wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan. 4. Akad-Akad Dalam Bank Syari’ah Akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Hal ini akan mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.16 Selanjutnya akad dalam fiqih muamalah dibagi menjadi dua bagian berdasarkan ada atau tidaknya kompensasi, yaitu akad tabarru' dan akad tijarah/mu'awadah. a. Akad Tabarru' Akad Tabarru' (gratuitous contract) adalah segala 16
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 65.
Ibid, hal. 117.
319
320
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil.17 Akad tabarru' ini dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan. Contoh akad-akad tabarru' adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi'ah, hibah, waqf, shadaqah, hadiah, dan lainlain. b. Akad Tijarah/Mu'awadah Berbeda dengan akad tabarru', maka akad tijarah/mu'awadah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil.18 Adapun contoh-contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain. 5. Sistem Penghimpunan Dana Metode penghimpunan dana yang ada pada bank-bank 17
Ibid, hal. 66.
18
Ibid, hal. 70.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
konvensional didasari teori yang diungkapkan Keynes, yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan, yaitu transaksi, cadangan dan investasi. Oleh karena itu, produk penghimpunan dana pun disesuaikan dengan tiga fungsi tersebut, yaitu berupa giro, tabungan, dan deposito. Berbeda dengan hal tersebut, bank Syari’ah tidak melakukan pendekatan tunggal dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahnya. Adapun sumber-sumber dana perbankan Syari’ah, yaitu modal, titipan dan investasi. a. Modal Modal adalah dana yang diserahkan oleh pemilik (owner). Dan pada akhir periode tahun akan dilakukan penghitungan keuntungan yang didapat pada tahun tersebut, pemilik modal akan memperoleh bagian dari hasil usaha yang biasa dikenal dengan deviden. b. Titipan dan Investasi Dalam dunia perbankan titipan dan investasi lebih dikenal dengan jenis-jenis simpanan baik itu berupa tabungan, giro dan deposito. Hal ini berlaku baik dalam perbankan konvensional dan perbankan Syari’ah. Namun, dari kesemua produk simpanan tersebut terdapat perbedaan antara yang
321
322
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
diperkenalkan perbankan Syari’ah dan konvensional. Seseorang yang ingin menabung di perbankan Syari’ah dapat memilih antara akad al-wadi'ah atau al-mudharabah. Akad al-wadi'ah merupakan prinsip yang diterapkan dalam sistem titipan, sedangkan akad al-mudharabah merupakan prinsip yang diterapkan dalam sistem investasi. 1) Titipan Salah satu prinsip yang digunakan oleh perbankan Syari’ah dalam penghimpunan dana adalah dengan menggunakan prinsip titipan. Adapun akad yang sesuai dengan prinsip ini ialah al-wadi'ah. Dan salah satu produk perbankan Syari’ah yang menggunakan prinsip al-wadi'ah adalah giro dan juga tabungan. Secara umum al-wadi'ah dibagi menjadi dua macam, yaitu: a) Wadi’ah Yad al-Amanah (Trustee Depository)
memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan. b) Wadi’ah Yad adh-Dhamanah (Guarantee Depository) Dengan konsep ini, pihak yang menerima yakni bank diperbolehkan menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang titipan. Dan konsekuensi dari diterapkannya prinsip yadh adh-dhamanah, pihak bank akan menerima seluruh keuntungan dari penggunaan uang, tetapi jika terjadi kerugian juga harus ditanggung sepenuhnya oleh bank. 2) Investasi Selain titipan tersebut, ada juga investasi sebagai sistem dalam penghimpunan dana. Sistem ini menggunakan akad al-mudharabah. Tujuan dari adanya akad ini adalah kerja sama antara pemilik modal/nasabah (shahibul maal) dan pengelola dana (mudharib), dalam hal ini bank.
Dengan konsep ini, pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan 323
324
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Akad ini diterapkan oleh perbankan Syari’ah dalam produk tabungan dan deposito. Dana dana yang diperoleh akan digunakan untuk pembiayaan murabahah atau ijarah dan dapat pula digunakan untuk pembiayaan mudharabah. Adapun tabungan dan deposito yang menerapkan akad mudharabah mengikuti prinsip-prinsip akad mudharabah. Diantaranya sebagai berikut: Pertama, keuntungan dari dana yang digunakan harus dibagi antara shahibul maal (dalam hal ini nasabah) dan mudharib (dalam hal ini bank). Kedua, adanya tenggang waktu antara dana yang diberikan dan pembagian keuntungan, karena untuk melakukan investasi dengan memutarkan dana diperlukan waktu yang cukup. Tenggang waktu sendiri merupakan salah satu sifat deposito, misalnya saja deposito memiliki tenggang waktu 30 hari, 90 hari dan seterusnya. Produk special investment based on restricted mudharabah ini sangat sesuai dengan special hight networth individuals atau company yang memiliki kecenderungan investasi khusus. 325
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
6. Sistem Pembiayaan Perbankan Syari’ah Salah satu fungsi dunia perbankan selain menghimpun dana dari masyarakat adalah menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Seperti halnya perbankan konvensional, perbankan Syari’ah juga menyediakan fasilitas penyaluran dana yang dikenal dengan nama Pembiayaan. Sebagai sumber dana, Bank Islam dapat melaksanakan dua jenis usaha. Pertama, memberi modal sepenuhnya atau sebagian kepada kaum usahawan pencari modal dengan perjanjian berbagi keuntungan. Kedua, menawarkan jasa tertentu dengan memungut biaya administrasi dan komisi.19 a. Pembiayaan Menurut Sifatnya Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dibagi menjadi dua macam yaitu: 1) Pembiayaan Produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi.20 19
Muh. Zuhri, Riba Dalam Al-Qur'an Dan Masalah Perbankan (Sebuah Tilikan Antisipatif), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 160. 20
326
Muhammad Syafi'I Antonio, op.cit, hal. 160.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
2) Pembiayaan Konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.21 b. Pembiayaan Menurut Tujuan Penggunaannya Secara garis besar produk pembiayaan Syari’ah terbagi menjadi tiga kategori yaitu: 1) Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang, dilakukan dengan prinsip jual beli.22 Produk yang sesuai dengan prinsip ini yaitu Pembiayaan Murabahah, Salam dan Istishna. 2) Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa, dilakukan dengan prinsip sewa.23 Produk yang sesuai dengan prinsip ini adalah Ijarah. 3) Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama guna mendapatkan barang dan jasa sekaligus, dilakukan dengan prinsip bagi hasil.24 Semua 21
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
transaksi yang menggunakan skim bagi hasil harus dilandasi tiga syarat. Pertama, akad bagi hasil harus jelas. Kedua, objek usaha harus jelas, transparan. Ketiga, harus ada 25 pengawasan. Adapun produk yang sesuai dengan prinsip ini adalah Musyarakah dan Mudharabah. 7. Jasa Layanan Perbankan Syari’ah Selain jenis-jenis pembiayaan di atas, perbankan Syari’ah juga menyediakan jasa layanan lainnya, yaitu: a. Al-Qardhul Hasan Al-Qardhul Hasan adalah suatu perjanjian antara bank sebagai pemberi pinjaman dengan nasabah sebagai penerima pinjaman, baik berupa uang maupun barang tanpa persyaratan adanya tambahan atau biaya apa pun.26 Nasabah tidak perlu membagi keuntungan kepada bank namun hanya membayar biaya administrasi saja. Disamping itu, qardh diaplikasikan dalam
Ibid, hal. 161.
22
Karim Business Consulting, Produk Perbankan Syariah, (2001), hal. 1.
25 26
23
Karim Business Consulting, op.cit, hal. 1.
24
Ibid, hal. 1.
M. Luthfi Hamidi, op.cit, hal. 75-76.
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembagalembaga Terkait (BMUI & Takaful) di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 97.
327
328
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
pembiayaan lainnya, seperti pinjaman uang tunai (cash advanced) dari produk kartu Syari’ah. Selanjutnya qardh juga dapat diaplikasikan dalam pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji dan nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke tanah suci. Disamping itu, qardh juga dapat digunakan sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya secara cicilan melalui pemotongan gajinya. b. Hiwalah Disamping itu, perbankan Syari’ah juga memberikan fasilitas Anjak Piutang (factoring) yang dikenal dengan nama Hiwalah. Hiwalah adalah akad pemindahan utang atau piutang. Fasilitas ini diberikan oleh bank Syari’ah untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Dalam fasilitas ini, bank Syari’ah tidak dibenarkan meminta imbalan kecuali biaya layanan atau biaya administrasi dan biaya penagihan.
329
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
c. Rahn (Gadai) Layanan perbankan Syari’ah lainnya, yaitu Rahn (Gadai). Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.27 Tujuan Rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang gadai tersebut dapat dipergunakan oleh nasabah dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat maka nasabah harus bertanggung jawab. d. Wakalah (Perwakilan) Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.28 e. Kafalah Kafalah yaitu pemberian garansi kepada nasabah 27
Gemala Dewi, Aspek-aspek dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 95. 28
330
Karim Bussiness Consulting, op.cit, hal. 11.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
untuk menjamin pelaksanaan proyek dan pemenuhan kewajiban tertentu oleh pihak yang dijamin dengan cara bank meminta pihak yang dijamin untuk menyetorkan sejumlah dana sebagai setoran jaminan dengan prinsip al-wadiah.29
f. Sharf (Jual Beli Valuta Asing) Al-Sharf, yaitu kegiatan jual beli suatu mata uang dengan mata uang lainnya.30 Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
PRODUK DAN JASA BANK SYARIAH
Penghimpunan
Penyaluran
Prinsip Wadiah: - Giro - Deposito
Prinsip Jual Beli - Murabahah - Salam - Istishna
Prinsip Mudharabah - Deposito - Tabungan
Prinsip Sewa - Ijarah
C.
Penutup Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Bank Syari’ah merupakan bank yang tata cara beroperasinya didasarkan pada tata cara bermuamalat secara Islam.
Jasa Layanan
- Qardh Hasan - Wakalah - Hiwalah - Rahn - Kafalah - Sharf
Prinsip Bagi Hasil - Mudharabah - Musyarakah
Bagan 1. Produk dan Jasa Bank Syari’ah 29
30
Warkum Sumitro, op.cit, hal. 41.
331
332
Ibid, hal. 43.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
DAFTAR PUSTAKA Abi Fadl Ahmad bin Ali Ibnu Hajar ‘Al-Asqalani. 1989. Bulughul Maram. Beirut: Darl Fikr. Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ibnu Majah. 1975. Sunan Ibnu Majah, Juz 2. Mesir: Ihya at-Tiras al 'Araby. Adiwarman Karim. 2006. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Azyumardi Azra. 1997. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
PT.
Departemen Agama. 1989. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Semarang: CV. Toha Putra.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Kasmir. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. M. Luthfi Hamidi. 2003. Jejak-jejak Ekonomi Syari’ah, Jakarta: Senayan Abadi Publishing. Muh. Zuhri. 1996. Riba Dalam Al-Qur'an Dan Masalah Perbankan (Sebuah Tilikan Antisipatif). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Muhammad Abdul Manan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (Terj. Potan Arif Harahap). 1992. Jakarta Intermasa. Muhammad Syafi’i Antonio. 2001. Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Muhammad. 2004. Bank Syari’ah; Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman. Yogyakarta: Ekonisia.
Gemala Dewi. 2004. Aspek-aspek dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Sayyid Sabiq. 1988. Fiqih Sunnah, Jilid 13. Alih bahasa H. Kamaluddin A. Marzuki. Bandung: PT. Al ma'arif.
Imam Abi Daud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sijistani. 1999. Sunan Abu Daud, Juz 2. Beirut: Darl Fikr. Karim Business Consulting. 2001. Produk Perbankan Syari’ah.
333
Suhrawardi K. Lubis. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Warkum Sumitro. 1996. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BMUI & Takaful) di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
334
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
POSISI BAHASA BANJAR DI KECAMATAN BANJARMASIN BARAT KALIMANTAN SELATAN (Aspek Dominasi Dan Subordinasi) Noor Azmah Hidayati∗ Abstract: Interaction of Banjarese to other languages (such as Indonesian, Bugise and Javanese) with globalisation process, communication current and social mobilisation sent cause the development of Banjarese, influence each other and among many languages and using the language in daily life. In this social transformational context, Banjarese position existence needs to be re-evaluated and re-cleared, whether can exist or change. This article discribe the function and the position of Banjarese in West Banjarmasin regency by looking at the domination and subordination of this language in personal and public domains based on analysis study in addition the factors that influence the position. Kata Kunci: Dominan, subordinat dan analisis ranah. ∗
Penulis adalah Dosen STAI Rakha Amuntai, menyelesaikan Program S2 di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Jurusan Linguistik Terapan.
335
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Penelitian Bahasa Banjar merupakan bagian dari khazanah budaya bangsa. Bahasa tersebut merupakan bahasa ibu bagi etnis Banjar yang memperlihatkan diferensiasi konstruksi kebudayaan di Indonesia. Bahasa Banjar di antaranya berkembang berdasarkan interaksinya dengan lingkungan sosial tertentu, dimana persinggungan tersebut menyebabkan terjadinya saling pengaruh dalam penggunaan bahasa. Dalam arus migrasi ke kota-kota besar, arus barang dan jasa yang masuk ke desa-desa, arus komunikasi yang lancar, dan mobilitas sosial membuat keberadaan bahasa Banjar patut dipertanyakan apakah dapat bertahan atau mengalami perubahan tertentu. Posisi bahasa Banjar dapat diketahui di antaranya dengan melihat dominasi dan subordinasinya di ranah-ranah tertentu. Dominasi dan subordinasi bahasa terkait dengan intensitas penggunaan bahasa terhadap bahasa yang lain dimana satu bahasa lebih intens penggunaannya dibandingkan yang lain. Mengingat penduduk di Kecamatan Banjarmasin Barat sendiri merupakan mayoritas penduduk asli Banjar terutama Banjar Kuala, maka penelitian untuk mengetahui bagaimana 336
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
posisi Banjar sebagai bahasa pertama masyarakat Banjar di tengah-tengah penutur aslinya dianggap penting untuk dilakukan. Tulisan ini merupakan hasil penelitian sosiolinguistik yang dilakukan terhadap masyarakat di Kecamatan Banjarmasin Barat Kalimantan Selatan. Permasalahan yang dipaparkan adalah posisi bahasa Banjar di Kecamatan Banjarmasin Barat pada ranah pribadi dan publik beserta faktor-faktor yang mempengaruhi posisi bahasa tersebut. 2. Kajian Teoritis Bilingualisme merupakan hal yang terdapat dimanamana, baik di negara-negara yang secara resmi monolingual apalagi di negara-negara yang bilingual.1 Bilingualisme memiliki pengertian yang beragam. Keberagaman tersebut terjadi karena titik pangkal seseorang menjadi bilingual bersifat nisbi. Bersifat nisbi karena perluasan pengertian tersebut menurut Kamarudin adalah arbitrer dan hampir tidak dapat ditentukan secara pasti, sehingga kajian bilingualisme dapat dilihat sebagai sesuatu yang relatif,2 namun pada
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
hakikatnya bilingualisme merupakan praktek penggunaan dua bahasa atau lebih secara berganti-ganti atau sebagai alternatif pemakaian dari bahasa-bahasa tersebut.3 Di Indonesia paling tidak terlibat dua bahasa yang dipergunakan oleh masyarakatnya dalam interaksi sehari-hari. Dengan adanya kenyataan yang demikian, maka keadaan umum masyarakatnya dapat dikatakan bilingual,4 demikian pula halnya dengan masyarakat Kecamatan Banjarmasin Barat. Pada umumnya, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua, sedangkan bahasa pertama adalah bahasa Banjar, sehingga dapat dikatakan sebagai masyarakat bilingual. Adanya dua bahasa atau lebih dalam suatu masyarakat umumnya membuat salah satu bahasa dianggap atau dijadikan sebagai ragam tinggi, sedangkan yang lain sebagai ragam rendah. Perbedaan fungsi tersebut merupakan kajian diglosia. Diglosia pada awalnya didefinisikan oleh Ferguson sebagai situasi bahasa yang stabil yang di dalamnya terdapat dialek primer (ragam rendah) dan variasi sampingan (ragam tinggi). Dalam hal ini, diglosia terjadi dalam satu bahasa. Diglossia is a relatively stable language situation in
1
Yus Rusyana, Perihal Kedwibahasaan (Bilingualisme), (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989), hal. iii. 2
Kamaruddin, Kedwibahasaan dan Pendidikan Dwibahasa, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989), hal. 3.
337
3
Edwards J, Multilingualism, (London: Penguin Books, 1995),
4
Yus Rusyana, op.cit, hal. 14.
hal. 56.
338
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
which, in addition to the primary dialects of the language (which may include a standard or regional standards), there is a very divergent, highly codified (often grammatically more complex) superposed variety, the vehicle of a large and respected body of written literature, either of an earlier period or in another speech community, which is learned largely by formal education and is used for most written and formal spoken purposes but is not used by any sector of the community for ordinary conversation.5 Selanjutnya konsep diglosia dikembangkan oleh Fishman. Dalam konsepnya diglosia (dapat) terjadi tidak hanya dalam masyarakat bilingual atau multilingual yang secara resmi mengakui beberapa bahasa dan tidak hanya dalam masyarakat yang memakai ragam kini dan klasik, melainkan juga dalam masyarakat yang memakai berbagai dialek, register atau berbagai ragam bahasa yang diperbedakan fungsinya, apapun jenisnya, sehingga diglosia tidak harus terjadi dalam satu bahasa saja. Diglossia exists not only in multilingual societies which officially recognize several “language” but, also, in societies which are multilingual in the sense
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
that they employ separate dialects, registers or functionally differentiated language varieties of whatever kind.6 Dari konsep-konsep di atas, dapat dikatakan bahwa kunci pokok diglosia adalah adanya perbedaan fungsi bagi tiap ragam bahasa (ragam tinggi dan rendah) atau dialek dari suatu kode atau bahasa. Karena bilingualisme dan diglosia pada hakikatnya adalah peristiwa yang menyangkut pemakaian dua ragam atau dua bahasa atau lebih yang digunakan oleh seseorang atau suatu kelompok masyarakat tutur maka antara kedua peristiwa itu tampak adanya hubungan timbal balik yang mewarnai sifat masyarakat tuturnya. Dalam hubungan ini Fishman menggambarkan empat jenis masyarakat tutur yang menunjukkan adanya hubungan seperti itu, yakni masyarakat bilingual yang sekaligus diglosik, masyarakat bilingual tanpa diglosik, masyarakat diglosik tanpa bilingual dan masyarakat tanpa diglosik dan tanpa bilingual.7 Dalam situasi diglosia yang “baik” tiap-tiap bahasa mempunyai ranah pemakaian, tetapi jika diglosia itu “bocor”,
5
Paulston, C.B & Tucker, R.,G (Eds.), Diglossia: Introduction. Sociolinguistics: The Essential Readings, (Oxford London: Blackwell Publishing, 2003), hal. 354.
339
340
6
Ibid, hal. 359.
7
Ibid, hal. 360-364.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
bahasa yang satu merambah atau “merembes” ke ranah penggunaan bahasa yang lain, akibatnya bahasa yang disebut terakhir ini kemudian terdesak penggunaannya dan dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran bahasa. Pergeseran bahasa ini terjadi karena dalam banyak hal satu bahasa selalu dipakai penutur dan bahasa lain yang semula dikuasai tidak lagi diturunkan kepada anak-anaknya. Anak-anaknya pun kelak lebih tidak mampu menurunkan bahasa itu kepada generasi berikutnya. Jika hal ini terjadi secara terus-menerus, dalam beberapa generasi, terjadilah kepunahan bahasa. Namun manakala diglosia itu tidak “bocor” dan tiap bahasa tetap bertahan pada posisi ranah masing-masing, tidak ada satu bahasa yang bergeser atau punah. Tiap-tiap bahasa akan mempertahankan diri.8 Untuk mengetahui bagaimana penggunaan bahasa Banjar di suatu ranah sehingga posisi bahasa tersebut dapat diketahui, maka dilakukan dengan menggunakan analisis ranah. Analisis ranah mencakup komponen (konteks) topik, partisipan, situasi dan tempat.9 8
Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolingiustik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 199. 9
Penalosa, F, Chicano Sosiolinguistics, A Brief Introduction, (California: California State University, 1980), hal. 127.
341
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Terkait dengan penentuan ranah, Bassenang menyatakan bahwa penggolongan ranah boleh berkurang atau bertambah jumlahnya tergantung pada kebutuhan peneliti sendiri dengan mempertimbangkan latar (setting) 10 penelitiannya. Penggolongan ranah dapat dilakukan berdasarkan pada aktivitas umum suatu masyarakat. Dalam artikel ini, penentuan ranah-ranah yang tercakup dalam ranah pribadi meliputi ranah rumah tangga dan ranah ketetanggaan. Adapun ranah publik mencakup ranah tempat umum, ranah kantor pemerintah, ranah kegiatan keagamaan, ranah upacara perkawinan pernikahan, ranah upacara kematian, ranah kesenian dan ranah sekolah. B. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Subjek penelitian adalah anggota masyarakat Banjarmasin Barat dengan kriteria: penutur asli bahasa Banjar, mampu berbahasa Indonesia dan berpendidikan minimal tamat SD. Data penelitian adalah penggunaan bahasa Banjar sebagai bahasa tutur dalam ranah pribadi dan pulik. Instrumen yang digunakan adalah daftar wawancara dan dibantu dengan alat 10
Bassenang Saliwangi, Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia di Timor Timur, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1985), hal. 20.
342
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
perekam serta lembar pengamatan. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam. Observasi dilakukan dengan teknik simak bebas libat cakap. Teknik analisis data adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan kategorisasi. C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 1. Ranah Pribadi Dalam ranah rumah tangga, partisipan dapat dikatakan partisipan akrab karena lawan tutur adalah anggota keluarga, sudah dikenal dan dapat dikatakan tidak terdapat kesenjangan sosial. Masyarakat Banjarmasin Barat ketika berbicara dengan partisipan akrab terkait dengan topik resmi atau topik tidak resmi di ranah ini cenderung menggunakan bahasa Banjar. Kecenderungan tersebut terjadi karena yang menjadi lawan tutur adalah partisipan akrab sehingga sikap atau perilaku yang bersifat formal seperti penggunaan bahasa Indonesia terkait dengan topik resmi ditinggalkan. Selain itu, karena dalam ranah ini yang menjadi partisipan umumnya adalah anggota keluarga, maka bahasa pertama yang dimiliki dapat dikatakan sama yakni bahasa Banjar. Dengan demikian, posisi bahasa Banjar cenderung dominan di ranah rumah tangga baik dengan partisipan akrab atau partisipan tidak akrab terkait dengan topik resmi atau topik tidak resmi. Pada ranah ketetanggaan, ketika berbicara dengan 343
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
partisipan akrab atau tidak akrab terkait dengan topik resmi atau tidak resmi, bahasa yang cenderung digunakan adalah bahasa Banjar. Kecenderungan tersebut terjadi karena pengaruh partisipan sebagai etnis Banjar, tempat peristiwa tutur yang tidak formal, santai, kekariban dan keadaan sosial, dimana pandangan yang berlaku dalam masyarakat menganggap seseorang yang berbahasa Indonesia kepada lawan tutur yang berbahasa Banjar adalah orang yang melupakan bahasa Bangsa sehingga penggunaan bahasa Banjar dalam hal ini dianggap tepat untuk digunakan. Dengan demikian, pada ranah ketetanggaaan, posisi bahasa Banjar cenderung dominan baik dengan partisipan akrab atau partisipan tidak akrab terkait dengan topik resmi ataupun topik tidak resmi. 2. Ranah Publik Pada ranah tempat umum, tempat seperti super market, bank dan bandara ketika berbicara dengan partisipan tidak akrab seperti petugas atau pegawai di tempat tersebut di atas terkait dengan topik resmi, seperti dalam hal transaksi bahasa, yang cenderung digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa campur. Kecenderungan tersebut terjadi karena adanya pengaruh faktor topik resmi dan tempat peristiwa tutur yang prestisius sehingga ragam bahasa tinggi dianggap tepat untuk 344
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
digunakan. Dianggap prestisius karena tempat tersebut berada “di atas” atau lebih “bergengsi” daripada pasar tradisional, terminal dan koperasi simpan pinjam. Adapun ketika berbicara dengan partisipan tidak akrab terkait topik tidak resmi seperti bertegur sapa dengan pejabat sewaktu bertemu di super market, bahasa yang cenderung digunakan adalah bahasa Banjar. Kecenderungan tersebut terjadi karena partisipan adalah etnis Banjar yang memiliki bahasa ibu yang sama dengan penutur dan topik tidak resmi yang memiliki wacana yang tidak serius. Ketika berbicara dengan partisipan akrab terkait topik resmi atau tidak resmi di tempat umum tersebut di atas, bahasa yang cenderung digunakan adalah bahasa Banjar. Kecenderungan tersebut terjadi karena partisipan akrab dan etnis Banjar, sehingga sikap dan perilaku yang bersifat formal seperti penggunaan bahasa Indonesia ditinggalkan. Di tempat umum lainnya seperti pasar tradisional, kios, warung dan terminal ketika berbicara dengan partisipan akrab atau tidak akrab terkait dengan topik resmi atau tidak resmi bahasa yang cenderung digunakan adalah bahasa Banjar. Kecenderungan tersebut terjadi karena partisipan adalah etnis
Dengan demikian, dalam ranah tempat umum seperti super market, bank dan bandara ketika berbicara dengan partisipan tidak akrab terkait dengan topik resmi terutama dalam hal transaksi posisi bahasa Banjar cenderung subordinat. Adapun dengan partisipan akrab terkait dengan topik tidak resmi dan diluar kegiatan transaksi posisi bahasa Banjar cenderung dominan. Di tempat seperti pasar tradisional, kios, warung dan terminal ketika berbicara dengan partisipan akrab atau tidak akrab terkait topik resmi atau tidak resmi posisi bahasa Banjar cenderung dominan. Pada ranah kantor pemerintah, ketika berbicara dengan partisipan tidak akrab terkait dengan topik resmi bahasa yang cenderung digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa campur. Kecenderungan tersebut terjadi karena topik resmi memiliki wacana yang serius dan tempat peristiwa tutur serta situasi formal, sehingga ragam tinggi dianggap tepat untuk digunakan. Terkait dengan topik tidak resmi bahasa Banjar cenderung digunakan. Kecenderungan tersebut terjadi karena topik yang dibicarakan memiliki wacana yang tidak resmi dan santai. Ketika berbicara dengan partisipan akrab terkait topik
Banjar yang memiliki bahasa ibu yang sama dengan penutur dan tempat peristiwa tutur tidak formal.
resmi dan situasi tidak formal atau terkait topik tidak resmi, bahasa yang cenderung digunakan adalah bahasa Banjar.
345
346
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Kecenderungan tersebut terjadi karena partisipan akrab dan partisipan sebagai etnis Banjar sehingga ragam bahasa rendah dianggap tepat untuk digunakan. Dengan demikian, pada ranah kantor pemerintah ketika berbicara dengan partisipan tidak akrab terkait topik resmi dan situasi formal, posisi bahasa Banjar cenderung subordinat. Sebaliknya, terkait topik tidak resmi posisi bahasa Banjar cenderung dominan. Demikian halnya, ketika berbicara dengan partisipan akrab terkait topik resmi dan situasi tidak formal atau topik tidak resmi posisi bahasa Banjar cenderung dominan. Pada ranah kegiatan keagamaan, ketika berbicara dengan partisipan tidak akrab terkait topik resmi seperti dalam kegiatan pengajian dan khotbah bahasa yang cenderung digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa campur. Kecenderungan tersebut terjadi karena pengaruh topik resmi memiliki wacana yang serius sehingga ragam tinggi dianggap tepat digunakan. Dengan demikian, pada ranah kegiatan keagamaan posisi bahasa Banjar cenderung subordinat terutama dalam situasi formal. Pada ranah upacara pernikahan, ketika berbicara
cenderung digunakan. Kecenderungan tersebut terjadi karena topik resmi dan situasi formal sehingga ragam tinggi dianggap tepat digunakan. Adapun terkait topik tidak resmi, terutama di luar rangkaian upacara pernikahan ketika berbicara dengan partisipan akrab atau tidak akrab bahasa yang cenderung digunakan adalah bahasa Banjar. Kecenderungan tersebut terjadi karena partisipan etnis Banjar dan topiknya memiliki wacana yang tidak serius dan santai sehingga ragam rendah dianggap tepat digunakan. Dengan demikian, pada rangkaian upacara pernikahan ketika berbicara dengan partisipan tidak akrab terkait dengan topik resmi posisi bahasa Banjar cenderung subordinat. Sebaliknya, ketika topik tersebut memiliki wacana yang santai dan tidak serius, dengan partisipan akrab atau tidak akrab posisi bahasa Banjar cenderung dominan. Pada ranah upacara kematian, ketika berbicara dengan partisipan tidak akrab terkait dengan topik resmi terutama dalam rangkaian upacara, bahasa Indonesia dan bahasa Arab cenderung digunakan. Kecenderungan tersebut terjadi karena topik resmi dan situasi formal sehingga ragam tinggi dianggap tepat digunakan. Terkait topik tidak resmi, ketika berbicara
dengan partisipan tidak akrab terkait dengan topik resmi terutama dalam rangkaian upacara, bahasa Indonesia
dengan partisipan akrab atau tidak akrab bahasa Banjar cenderung digunakan. Kecenderungan tersebut terjadi karena
347
348
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
topiknya memiliki wacana yang santai dan tidak serius sehingga ragam rendah dianggap tepat digunakan. Pada ranah kesenian bahasa yang cenderung digunakan adalah bahasa Banjar. Kecenderungan tersebut terjadi karena kesenian merupakan warisan turun temurun yang dalam pelaksanaannnya menggunakan bahasa Banjar. Kesenian tersebut dipertunjukkan kepada khalayak masyarakat umum yang dapat berperan sebagai partisipan akrab atau partisipan tidak akrab. Karena sifatnya sebagai hiburan maka kesenian cenderung menggunakan ragam rendah (bahasa Banjar). Dengan demikian, posisi bahasa Banjar di ranah kesenian cenderung dominan. Pada ranah sekolah, ketika berbicara dengan partisipan tidak akrab atau akrab terkait dengan topik resmi dan situasi formal, bahasa Indonesia dan bahasa campur cenderung digunakan. Kecenderungan tersebut terjadi karena topik yang resmi yang memiliki wacana serius, tempat terjadinya peristiwa tutur formal, serta didukung oleh situasi formal, sehingga ragam tinggi dianggap tepat digunakan. Terkait dengan topik tidak resmi ketika berbicara dengan partisipan akrab atau tidak akrab, bahasa Banjar
serius, partisipan etnis Banjar, serta didukung oleh situasi yang tidak formal sehingga ragam rendah dianggap tepat digunakan. Dengan demikian, pada situasi formal ketika partisipan adalah tidak akrab atau akrab terkait dengan topik resmi posisi bahasa Banjar cenderung subordinat. Sebaliknya, dengan partisipan akrab atau tidak akrab terkait dengan topik tidak resmi posisi bahasa Banjar cenderung dominan.
cenderung digunakan. Kecenderungan tersebut terjadi karena topiknya tidak resmi, memiliki wacana yang santai dan tidak
yang bilingual dan diglosik.
349
D. Fungsi Bahasa Banjar Berdasarkan Kajian Diglosia Dari hasil pengamatan dan wawancara dapat diketahui bahwa bahasa Banjar cenderung digunakan ketika topik tidak resmi dibicarakan, situasi tidak formal, dan partisipan etnis Banjar. Adapun bahasa Indonesia dan bahasa campur cenderung digunakan ketika topik tersebut resmi, situasi formal, dan didukung oleh tempat yang formal atau prestisius. Dapat dikatakan, bahasa Banjar berfungsi sebagai ragam rendah untuk topik tidak resmi dan situasi tidak formal, sedangkan bahasa Indonesia atau bahasa campur sebagai ragam tinggi untuk topik resmi dan situasi formal, serta tempat yang formal atau prestisius. Dalam hal ini, masyarakat Banjarmasin Barat dapat digolongkan sebagai masyarakat
350
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
E. Faktor-faktor yang Menyebabkan Bahasa Banjar Berada pada Posisi Dominan atau Subordinat Bahasa Banjar berada pada posisi dominan atau subordinat, di antaranya disebabkan oleh faktor topik resmi atau topik tidak resmi, partisipan akrab atau partisipan tidak akrab, tempat formal atau tempat tidak formal, situasi formal atau situasi tidak formal. Selain itu, penggunaan suatu bahasa ternyata juga dipengaruhi oleh sikap penutur terhadap suatu bahasa. Dalam masyarakat Kecamatan Banjarmasin Barat penggunaan suatu bahasa umumnya tergantung pada bahasa yang digunakan oleh lawan tutur. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya anggapan “miring” yang berlaku dalam masyarakat, yakni jika seseorang menggunakan ragam tinggi (bahasa Indonesia) kepada lawan tutur etnis Banjar yang menggunakan bahasa Banjar maka ia akan dianggap sebagai orang yang melupakan bahasa bangsa sendiri. Posisi bahasa Banjar tentunya juga tidak terlepas dari faktor keadaan geografis dan demografis lokasi penelitian. Wilayah Kecamatan Banjarmasin Barat berbatasan langsung dengan kecamatan-kecamatan yang merupakan bagian dari Pemerintah Kota Banjarmasin. Di wilayah Pemerintah Kota Banjarmasin dan Kabupaten Banjar sendiri, umumnya bahasa pertama masyarakatnya adalah bahasa Banjar sehingga ketika 351
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
terjadi kontak dengan masyarakat yang berada di luar wilayah Kecamatan Banjarmasin Barat kemungkinan bahasa yang cenderung digunakan adalah bahasa Banjar. Selain itu, di Kecamatan Banjarmasin Barat sendiri pendatang yang berasal dari luar Kalimantan Selatan atau luar Kalimantan sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk setempat. Sedikitnya jumlah pendatang tersebut membuat penutur bahasa Banjar dapat dikatakan dominan sehingga bahasa pertama pendatang menjadi tidak dominan. Hal ini membuat kemungkinan terjadinya kontak bahasa antaretnis tidak seintens dengan intraetnis, sehingga bahasa Banjar cenderung dominan digunakan daripada bahasa selainnya. F. Penutup Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bagaimana posisi bahasa Banjar di Kecamatan Banjarmasin Barat. Pada ranah pribadi, yakni ranah rumah tangga dan ketetanggaan posisi bahasa Banjar cenderung dominan baik kepada partisipan akrab atau tidak akrab terkait topik resmi atau tidak resmi. Pada ranah publik, posisi bahasa Banjar cenderung subordinat terkait dengan topik resmi, situasi formal, dan didukung oleh tempat yang formal atau prestisius. Sebaliknya, 352
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
bahasa Banjar cenderung dominan jika topik tersebut tidak resmi dan situasi tidak formal. Bahasa Banjar di ranah pribadi dan publik berfungsi sebagai ragam rendah untuk situasi tidak formal dan topik tidak resmi. Adapun bahasa Indonesia sebagai ragam tinggi untuk situasi formal, topik resmi, dan tempat formal atau prestisius. Faktor-faktor yang menyebabkan bahasa Banjar berada pada posisi dominan atau subordinat adalah partisipan, topik, tempat, dan situasi peristiwa tutur. Selain itu, keadaan demografis dan geografis, serta sikap masyarakat terhadap bahasa Banjar juga berpengaruh terhadap posisi bahasa tersebut.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
DAFTAR PUSTAKA Edwards, J. 1995. Multilingualism. London: Penguin Books. Kamaruddin. 1989. Kedwibahasaan dan Dwibahasa: Pengantar. Jakarta: Pendidikan dan Kebudayaan.
Pendidikan Departemen
Paulston, C.B. & Tucker, R.,G. (Eds.). 2003. Diglossia: Introduction Sociolinguistics: The Essential Readings. Oxford: Blackwell Publishing. Penalosa, F. 1980. Chicano Sosiolinguistics, A Brief Introduction. California State University: Long Beach. Bassenang Saliwangi. 1985. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia di Timor Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Sumarsono & Paina Partana. 2004. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sosiolingiustik.
Yus Rusyana. 1989. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualisme). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
353
354
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
A. Introduction
SOME ERRORS IN USING PRESENT CONTINUOUS TENSE Najat Sa’idah* Abstract: Penguasaan Tenses dalam penulisan bahasa Inggris sangat diperlukan, hal ini karena tenses digunakan dalam penempatan tempat dan keadaan. Present continuous tense adalah salah satu tenses yang sering digunakan untuk menunjukkan perbuatan yang sedang berlangsung pada waktu tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemahaman para pengguna bahasa dalam penggunaan present continuous tense. Bahkan faktor-faktor tersebut mungkin akan menjadi sumber dari kesalahan-kesalahan yang mereka buat. Jenis-jenis kesalahan yang biasanya dibuat dalam penulisan present continuous tense adalah peletakkan ing pada kata kerja, penggunaan kata keterangan waktu, pembentukan kalimat positif, negatif dan tanya serta penggunaan to be dalam kalimat. Key words: Error, use, present continuous tense.
*
Penulis adalah Dosen STAI Rakha Amuntai, menjabat Sekretaris Program Studi Tadris Bahasa Inggris (TBI) STAI Rakha Amuntai.
355
Language is one of the important devices of communication in any kinds of human being life activities. Language also support processing civilization and its progress day by day. By language people can be able to extend any of expression such as idea, experience, feeling, thought and many others by written or oral. By language, they also can understand each other. The fact language becomes an important thing for people. Language is a gift of God for human. He created different languages so that language is a part of his power as mentioned in the Holy Qur’an Ar-Ruum : 22 as follows :
ﻢ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﹺﻧ ﹸﻜﻭﹶﺃﹾﻟﻮ ﻢ ﺘ ﹸﻜﻨﺴ ِ ﻑ ﹶﺃﹾﻟ ﻼ ﺘ ﹶﺧ ﺍﺽ ﻭ ﺭ ﹺ ﺍﹾﻟﹶﺄﺕ ﻭ ﺍﺎﻭﻤﻖ ﺍﻟﺴ ﺧ ﹾﻠ ﻪ ﺗﺎﻦ ﺁﻳ ﻣ ﻭ (22 : ﲔ )ﺍﻟﺮﻭﻡ ﻤ ﻟﺎﻟّ ﹾﻠﻌ ﺕ ﺎﻚ ﻟﹶﺂﻳ ﻟﻲ ﹶﺫﻓ Human being in conveying all kinds of his wish, idea, though, conscience and feelings obvious found many kinds of language that they can used to communicate, which one is English. In learning English, there four skills must be developed and mastered by the students. The four skills are : listening
356
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
skill, speaking skill, reading skill and writing skill.1 Actually, the four skills are unity. Each skill has a close relationship with others. In English there are two dominant things which should be learned by the students, those are vocabulary and grammar. Vocabularies are learned by looking for the meaning of words, memorize, and pronounce them correctly. But it is not enough if the students learn English only learning the vocabularies, besides they should also learn the grammar of the language, because someone is impossible to speak and to write English correctly without understanding the grammar of the language. English as International Language and one of subjects in Junior High School curriculum has important role, because there are many books printed in English and they help to mprove the students knowlegde. One thing the students should master in the use of tenses, the mastery of tenses in writing English is needed in order to use an appropriate place and condition. In connection with the present continuous tense, it is often use to show action that continues over a period of time. But many students still make some errors in writing present
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
continuous tense. Some people considered the present continuous tense is so easy. But in reality some of them still make some errors.
B. Definition of Error and Present Continuous Tense 1. The Definition of Error Somebody will make an error if he/she is in the condition of having incorrect or false knowledge. According to Simon and Schuster that : “error is something incorrectly done through ignorance or carelessness; an inaccuracy; an oversight”.2 S. P Corder in his book entitle Error Analysis and Interlanguage, further stated that : “Error arise because there has not been enough effort on the learner or enough explanation or practice on the part of the teacher”.3 Therefore, both learners and teachers should have enough effort in achieving a learning goal, without the effort the learners may not master the subject being taught, as Harry 2
Simon and Schuster, Webster's New Twentieth Century Dictionary (Second Edition), (United State of America: William Collins Publishers, 1979), page 621. 3
1
Henry Guntur Tarigan, Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Angkasa, 1985), page 1.
357
S. P. Corder, Error Analysis and Interlanguage, (New York: Oxford University Press, 1982), page 65.
358
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Shaw asserted that the Lack of mastery something and impression which come to us from our thinking and observation can make an error.4 Wayne O’Neil said that : “Error is in doing something a mistake, especially one that causes problem or affect the result of something”.5 Synonym of error is mistake. Mistake according to Wayne O’Neil is: “mistake often implies misunderstanding, misinterpretation, and resultant poor judgment and it's usually weaker than error in imputing blame or censure”.6 So, error is the condition of doing something incorrectly, the act or an instance of deviation from the accepted code behavior: wrongdoing, and his/her errors must be improved. Error has a synonym like a mistake. These nouns refers to what is not in accordance with truth, accuracy or right. If someone make an omission or faulty act that result from one’s lack of attention., so he/she makes mistakes or error. 4
Harry Swaw, Errors in English and Ways to Correct Them (Second Edition), (New York: Barnes and Nobel Book, 1970), page 4. 5 Wayne O’Neil, at. All, The Grolier International Dictionary, (United States of America: Houghton Mifflin Company, 1990), page 445. 6 Ibid, page. 445.
359
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
2. The Definition of Present Continuous Tense Present continuous tense (real present is a better introduction to the verb that the simple present. The verb be is already known, the ing form of the verb is regular, and statement and questions in this tense have immediate practical value. It is obvious that the form Do you write? Do you go to the door? Etc., cannot be easily practiced where as the form Are You writing? Are you going to the door? Etc.7 To form the present continuous tense is by playing the appropriate form of to be before the present participle (ing form) of the main verb. The contracted forms are generally used. I am working You are working The meaning of the progressive aspect is “Limited Duration”.8 Patricia define that “The present continuous tense describes activities that are happening at the moment of 7
Robert Krohn, English Sentence Structure, (Unite State of America: The University of Michigan Press, 1971), page 109. 8
360
Ibid, page. 110.
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
speaking, activities that are in progress, or plans for the future”.9 Furthermore, Marten H. Manser Stated that “The Present Continuous Tense is often used to show action that continues over a period of time.”10 Therefore, The present continuous tense describes activities that happening right now and current activities of a general nature. In some cases, it can also refer to the future. As a rule, the present continuous tense is used for activities that are temporary rather than permanent.
positive form must be : S + to be (is, am, are) + V + ing + 0. Look! Two boys are fighting (True) 2. In negative sentence Example: Doni is going to school now (False) The sentence is false, because it hasn’t not after to be and the pattern of present continuous tense in negative form must be: S + to be (is, am, are) + not + V + ing + 0. Doni is not going to school now (True) 3. In interrogative sentence Example: Were he speaking now? (False) The sentence is false, because it is past continuous tense and the pattern of present continuous tense in interrogative sentence must be : to be (is, am, are) + S + V + ing + O ?. Is he speaking now? (True) 4. Progressive verb Example:
C. Common Error in Present Continuous Tense 1. In positive sentence, present continuous tense used for an action happening not at the time of speaking. Example: Look! Two boys fight
(False)
The sentence is false, because it hasn’t to be after subject and the pattern of present continuous tense in 9
Patricia K. Werrner. Et.al, Interaction II A communication Grammar (Second Edition), (Madison: University of Wisconsin, 1990), page 12.
I am understanding the lesson now (False) I understand the lesson (True)
10
Marten H. Manser, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, (New York: Oxford University press, 1989), page 87-88.
361
362
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Understand is one of the common non progressive verbs. 5. Adverb Example: They are speaking English yesterday ( False) The sentence is false, because yesterday for past and adverb in present continuous tense like now, today, at present, etc. They are speaking English now (True) 6. Present Participle Example: John is writting a letter today ( False ) The sentence is false, because there are some manners to make present participle. Write + ing : writing. John is writing a letter today (True)
influence teachers competence in teaching. Usually the educational background of a teacher with the other teachers is different. It depends on the level of education. Syaiful Bahri Djamarah stated in his book of Strategi Belajar Mengajar that : Latar belakang pendidikan adalah salah satu aspek yang mempengaruhi kompetensi seorang guru di bidang pendidikan dan pengajaran. Guru pemula dengan latar belakang pendidikan keguruan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah. Karena dia sudah dibekali dengan seperangkat teori sebagai pendukung pengabdiannya. Kalaupun ditemukan kesulitan hanya pada aspek-aspek tertentu. Hal ini adalah suatu hal yang wajar.11 b. The techniques used by teachers in teaching. In English teaching, a teacher is demanded for mastering materials that will be taught. He/She should have special skill to present
D. Some Influential Factor of The Students' Error in Using Present Continuous Tense 1. Teachers Factors a. Educational Background Teachers educational background is one of important parts, because it is one aspect that will 363
English lesson. It means, he should be able to apply appropriate methods and techniques. 11
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar Cet. 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), page 127.
364
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
have a good teacher.12 Better Knowledge should be had by a teacher and supported by experience. In teaching learning process, there are many things that Should be prepared by a teacher and the teacher should realize that sometimes what he prepares before is not the same as the situation he faces. Therefore, theory and experience are two aspects that relevant to the teacher’s success in teaching. d. Teacher’s clarity in explaining If the teacher has clarity in explaining, it will appear good affect toward success of teaching process. Easy understood explanation from a teacher cause the student easier to receive and understand the material subject beside that can influence student’s interest in studying.
In that case, if the lesson is presented in easy way to understand by students, the students will be motivated to follow the lesson well. Therefore, a teacher gives a lesson, he/she should be ready of what methods and techniques will be used. Because it is one crucial things that must be determined to reach the goal of teaching and learning. Therefore, a teacher should have a good knowledge about techniques and method in teaching. c. Teacher’s experience in teaching English Teaching experience for a teacher is something that very valuable, since teaching experience cannot be found and get as long as learning in institute of formal education. Teaching experience is a main factor a teacher should have because theoretical experience is not forever guarantee the successions’ teacher in teaching. According to Luke Prodromou that experience is one of important role which should
2. Students factor a. The students’ interest In learning English, interest is very much influent the students achievement. By interest, the students are easier to understand the lesson 12
Thomas Karl, Teacher Development (English Teaching Forum 1989-1993), (Washington DC, 1994), page 19.
365
366
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
given by the teachers. For example, a student who has no interest in English subject, will not get anything from the teacher. On the other hand, a student whose interest, will study hard and easy to understand the lesson because he/she is interested in the subject. In Indonesia language, interest is called with “minat”, it means “kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu”.13 It has clearly visible that English teaching will succeed if there is an interest coming from the students, like according to Prof. Dr. Mamud Yunus that if the students are lack or have no interest toward a lesson, then it will be difficult for the teacher to put the lesson into their brain.14 So, interest is an inclination within oneself with emotional like on something. A student who is interested in English, he or she will gave attention in Learning English. For example, they
will enthusiastic to learning Tenses especially Present Continuous Tense so make them understand. b. The Students’ achievement The students’ achievement is very much influence in learning English. If someone has good achievement in the class of course he will have good ability and easy in learning English, but in contrary if a student has low achievement he also will have low ability, it cause difficulties in learning English include present continuous tense. In Indonesian, achievement is called “prestasi”, it means “hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok.”15 It is clearly that students’ achievement will be seen after we have done a test about object material is taught or test designed to measure the affect of specific teaching or training in an area of curriculum.
13
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), page 451. 14
H. M. Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1961), page 79.
367
15
Syaiful Bahri Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), page 19.
368
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
It has clearly like according to G. Terry Page that achievement performance in school in standardized series of educational test, it is used more generally to describe performance in the subjects of the curriculum.16 So, we can use students' achievement to know about the students with the motivate to achieve is spurred by his/ber needs to satisfy his/her drives to know and understand present continuous tense. 3. School’s Facilities School’s facilities are also important in achieving the success in teaching and learning process. In other words, teaching learning process will be executed smoothly if supported by a complete facilities. Among the facilities are classroom, library, laboratory, the required book and so on. Facilities are very necessary provided at school. They Become very essential for successful education. As Djajuri A. Taberani Rusyan in his book of Upaya-upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan pengajaran stated that : teaching
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
learning process will be success if it is supported by facility, because facility is essential for education.17
E. CLOSURE There are some necessary conclusions that can be presented by the writer. Kind of error which are often made by the English users in using Present Continuous Tense in writing; in adding ing on verb, in adding to be, make positive, negative, interrogative sentences and using adverb. The factors influencing the student’s error in using Present continuous tense are educational background, teaching experience of the teachers and teachers’ clarity in explaining, beside the student’s achievement.
17
16
G Terry Page and JB. Thomas, International Dictionary of Education, (London: Pitman Publishing Ltd, 1979), page 10.
369
Djajuri A. Taberani Rusyan, Upaya-upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran cet.3, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), page 30.
370
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2008
Jurnal Al-Risalah, Volume 4, Nomor 2, Juli - Desember 2008
Djajuri A. Taberani Rusyan. 1999. Upaya - upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cet. ke 3.
BIBLIOGRAPHY Corder, S.P. 1982. Error Analysis and Interlanguage. New York: Oxford University Press. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Shaw, Harry. 1970. Errors in English and Ways to Correct Them (Second Edition). New York: Barnes and Nobel Book.
Syaiful Bahri Djamarah. 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional.
Simon and Schuster. 1979. Webster's New Twentieth Century Dictionary (Second Edition). United State of America: William Collins Publishers.
______________________ dan Aswan Zain. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Cet. Ke 1.
Henry Guntur Tarigan. 1985. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Karl, Thomas. 1994. Teacher Development (English Teaching Forum 1989-1993). Washington DC.
Werner, Patricia K. et. al. 1990. Interaction II A communication Grammar (Second Edition). Madison: University of Wisconsin.
Krohn, Robert. 1971. English Sentence Structure. Unite State of America: The University of Michigan Press.
H.
Manser, Marten. H. 1989. Oxford Learner’s Pocket Dictionary. New York: Oxford University press. O’Neil, Wayne. et. al. 1990. The Grolier International Dictionary. United States of America: Houghton Mifflin Company. Page, G. Terry and JB. Thomas, 1979. International Dictionary of Education. London: Pitman Publishing Ltd. 371
372
M. Yunus. 1961. Pokok-pokok Pendidikan Pengajaran. Jakarta : Hidakarya Agung.
dan