Diterbitkan Oleh:
Departemen Pemuda dan Remaja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
Tim Editor: Yanedi Jagau Frengky Tampubolon Donny Anggoro Favor Bancin Layout Design: Boy Tonggor Siahaan
Arti Ilustrasi Gambar: Dunia anak muda selalu ditantang oleh masa depan. Pada gambar ilustrasi tersebut seorang anak muda berada dalam lorong waktu di mana ia sedang menuju masa depan yang lebih baik. Dua anak muda pada gambar latar depan mewakili anak muda masa kini yang bersemangat menyuarakan suara kenabian, terutama suara oikoumene. Suara oikoumene harus terus-menerus didengungkan anak muda masa kini, sehingga pada masa depan sudah siap melangkah dalam lintasan lorong waktu.
Departemen Pemuda dan Remaja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia 2009
PENGANTAR OMBO Orang Muda Bicara Oikoumene Darimanakah sebaiknya kita memulai pekerjaan. Oikoumene bagi pemuda gereja? Mestinya gerakan oikoumene telah dicanangkan sejak usia dini. Kalau Gerakan Oikoumene sudah dipahami oleh banyak anak muda, tentu saja harapan untuk mewujudkan keesaan makin besar. Kenyataan menunjukkan bahwa Gerakan Oikumene kaum muda di Indonesia mengalami pasang surut. Membicarakan Oikoumene tentu ada seribu satu bahasa dan pandangan. Demikian juga orang muda kalau bicara oikoumene, pendapat mereka akan beragam, berbeda satu sama lain, namun tetap ada yang menyatukannya. Dalam buku ini ada 26 orang muda berbicara tentang oikoumene, mereka berasal dari berbagai tempat yang an menggeluti bidang pekerjaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka tidak berpretensi untuk mewakili kaum muda. Kebanyakan dari mereka mewakili dirinya sendiri. Pada awalnya kami menerima 12 naskah tulisan dari peserta lomba menulis. Kami merasa bahwa jumlah segitu belum memadai kalau tulisan tersebut dipublikasikan. Selanjutnya kami meminta secara khusus meminta kepada 15 orang untuk mengutarakan pikiran dan pengalamannya seputar lika-liku oikoumene, Kenyataan sekarang menunjukan persoalan gerakan oikumumene dalam pemahaman dan tindakan masih berada pada; Kurangnya pengetahuan dari pemimpin pemuda dan gereja mengenai makna oikumene dan karya oikumene. Kemudian masih melihat karya oikumene pada tataran pertukaran mimbar dan ibadah bersama. Di samping itu masih terjadi kesenjangan peran antara lembaga nasional dengan lembaga lokal dalam beroikumene. Sangat disayangkan pendidikan kader oikumene yang dulu pernah ada sekarang tidak ada lagi. Pada berbagai kesempatan PGI dan PGIW seantero Nusantara tak juga lelah menjemaatkan oikoumene kepada gereja anggota PGI dan kepada semua orang. PGI sungguh sadar bahwa beroikumene bukan hanya pekerjaan para pendeta, penatua
dan pimpinan gereja. Oikumene juga bukan hanya sebatas pada hubungan kerjasama antar gereja atau melakukan penggalangan dana secara bersama. Menggali pemikiran dan karya keseharian pemuda dalam beroikumene secara sadar dapat dibuktikan keberadaannya, baik itu yang kelihatan nyata melalui pemikiran maupun tindakan keseharian yang kongkret. Namun disayangkan karya keseharian oikumene tersebut masih jauh dari harapan. Lebih kurang pemahaman beroikumene masih pada tataran permukaan saja, dimana kebanyakan kaum muda melihat beroikumene cukup melalui kebaktian bersama antar gereja yang berbeda. Sungguh suatu gejala beroikumene yang tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan jaman. Oleh karena itu “Orang Muda Bicara Oikumene (OMBO)” dimaksudkan untuk menggali pemikiran bersama kaum muda agar “api” gerakan terus menyala. Kemudian menumbuh kembangkan gerakan beroikumene. Pada gilirannya gerakan oikumene dikalangan muda di Indonesia menemukan jati dirinya. Dalam semangat OMBO kami telah mengundang pemuda pemudi untuk memberikan kontribusi tulisan. Mereka berasal dari berbagai profesi, sukubangsa dan agama. Diharapkan melalui OMBO muncul pendapat dan pemikiran bagi pembaruan gerakan kaum muda yang berasal dari kajian pergumulan dan pengalaman yang otentik para pemerhati, aktivis pemuda dan para pimpinan pemuda yang dahulu. Sehingga kaum muda diharapkan orang muda beroikumene sebagai berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan gereja dan masyarakat Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang. Tuhan memberkati kita.
Tim Editor: Yanedi Jagau Frangky Tampubolon Donny Anggoro Favor Bancin
DAFTAR ISI I: Tulisan Terpilih Orang Muda Bicara Oikoumene .................................. 10 1. 17:21, Transformasi Bagi Oikumene Semesta Oleh: Henry Lokra, M.Si........................................................................
12
2. Generasi Tanpa Karakter Oleh: Pdt. Maruasas S.P. Nainggolan, S.Si (Teol.)...................................
22
3. Batasan Daya Dukung Lingkungan Sebagai Tantangan Gerakan Kaum Muda 28 Oleh: Ferol Warouw, S.T., M.Sc.............................................................. 4. Indahnya Persaudaraan Sesama Umat Manusia: Gerakan Proaktif Oikumene di Ranah Kemanusiaan 38 Oleh: Achmad Ubaidilah......................................................................... 5. Sumbangan Psikologi dalam (Ber) Ekumene di Kalangan Pemuda 44 Oleh: Harun D. Simarmata...................................................................... 6. Hidup Ber-EKUMENE di Indonesia, Mungkinkah? 50 Oleh: Widowati....................................................................................... 7. Kemanusiaan Sebagai Ekumene 56 Oleh: Achmad Suhawi............................................................................. 8. Revitalisasi vs Ekumene 66 Oleh: Yoyarib Mau..................................................................................
9. Spritualitas Gereja, Gairah Politik Pemuda, dan Kaderisasi
71
Oleh: Basar Daniel Jevri Tampubolon..................................................... 10. POUK Sebagai Pioner dalam Gerakan Okumene di Indonesia
78
Oleh: Pdt. Sapta Baralaska Utama Siagian............................................. 11. Perguruan Tinggi Kristen dan Kepemimpinan Orang Muda yang Ekumenis
83
Oleh: Theofransus Litaay..................................................................... 12. Gerakan Ekumenis, Diakonia, dan Penegakan HAM
88
Oleh: F. Nefos Daely dan Suwarto Adi................................................... 13. Ekumene yang Membumi
99
Oleh: Ralian Jawalsen............................................................................ 14. Gerakan Humanitas Sebagai Gerakan Oikumene dalam Konteks Indonesia Masa Kini
104
Oleh: Marko Mahin.............................................................................. 15. Apakah Indonesia Masih Rumah Bersama? Tinjauan Ekumenis Terhadap Realitas Keindonesiaan
127
Oleh: Joni Mesalangi, ST....................................................................... 16. Gerakan Ekumene Kreatif Bagi Pemuda
134
Oleh: Yanedi Jagau............................................................................... 17. Agama yang Mengasingkan
138
Oleh: Donny Anggoro.......................................................................... 142
II. Tulisan Terpilih Lomba Essay ............................................................ 1. Membumikan Gerakan Ekumene
144
Oleh: Amin Yeremia Siahaan ............................................................... 2. Ada Apa dengan PGI?
149
Oleh: Arie Yanitra Hartanto .................................................................. 3. Generasi Muda dan Gerakan Ekumene
155
Oleh: Juster Donald Sinaga .................................................................. 4. Semangat Nasionalisme Pemuda Kristen Indonesia
161
Oleh: Samuel Bungaran Partahi Saut Manalu ........................................ 5. Pemuda Gereja Sebagai Harapan Bangsa
165
Oleh: Malinton H. Purba ..................................................................... 6. Pemuda dan Lembaga Kristen: Mengembalikan Peran yang Hilang
169
Oleh: Nicorius ...................................................................................... 7. Gerakan Ekumene Peduli Politik
176
Oleh: Randy P.F. Hutagaol .................................................................... 8. Refleksi Eksistensi PGI
181
Oleh: Rico Mangiring Purba ................................................................. 9. Peran Laki-laki dan Perempuan dalam Misi Ekumene
186
Oleh: Ricky Septian ............................................................................. 10. Kedudukan Pemuda Kristen dalam Keluarga dan Masyarakat
192
Oleh: Roni Kusno Siahaan .................................................................. 11. Oikumene Internal Dahulu-Pribadi dan Gereja
197
Oleh: Linayati Tjindra ........................................................................
I Tulisan Terpilih Orang Muda Bicara Oikoumene
Orang Muda Bicara Oikoumene
1
17:21, TRANSFORMASI BAGI OIKUMENE SEMESTA Oleh: Henry Lokra, M.Si
... Mula Antar Apa itu oikumene, mengapa oikumene penting dibicarakan, adakah sesuatu yang berbeda tentang oikumene menurut orang muda dan bukan orang muda? Pertanyaan pembuka ini kiranya dapat membantu kita memasuki belantara kosmik, suatu tempat bertemunya sejarah umat manusia dalam oikos ini untuk memahami realitas dimana kita berdiri dalam hubungan dengan sesama. Memahami oikumene dalam ruang dan konteks yang berbeda, apa lagi ketika dibicarakan dalam konteks orang muda dewasa ini merupakan hal yang sangat penting dan strategis bagi tugas pangilan dan penatalayanan gereja-gereja di Indonesia. Anggapan bahwa oikumene hanya dipahami oleh kalangan elit gerejawi dan belum menyebar sampai ke basis jemaat apalagi di kalangan remaja dan pemuda gereja menjadi menarik untuk disorot secara luas pada pertemuan PRPG di Mamasa kali ini. Keesaan Gereja dan Oikumene Sebelum memasuki dunia realitas hari ini, kita perlu mendudukan dasar berpijak (baca: Teologis) ketika membicarakan keesaan gereja dan oikumene yang tidak sama persis itu. Pertama-tama perlu ditegaskan di sini bahwa dasar keesaan gereja adalah keesaan Allah sendiri (bnd. Yoh. 17:21). Keesaan gereja pada hakekatnya tidak menyangkal keberagaman, karena keesaan gereja sadar akan dimensi keragaman. Pengabaian terhadap keragaman telah menimbulkan konflik dan pertentangan dalam sejarah gereja mula-mula. Rasul Paulus mensinyalir pertentangan dan konflik itu dalam tema “Satu Tubuh Banyak Anggota”(Bnd. I Kor.12 :12-31), dan juga pertentangan antara kelompok dalam jemaat (bnd. I Kor 1:10-17). Dapat dikatakan bahwa pertentangan dan konflik itu terjadi terutama karena pengabaian terhadap realitas kemajemukan dalam jemaat. Ancaman perpecahan tersebut menjadi perhatian serius oleh Paulus dalam tugas pembangunan iman jemaat bersama rekanrekannya. Refleksi kontekstual dari surat Paulus menjadi sangat relevan ketika kita membahas kaitannya dengan oikumene.
12
Kumpulan Artikel Namun oikumene tidak semata-mata berarti Keesaan Gereja atau Oikumene Kegerejaan. Oikumene pada hakekatnya mesti dipahami dalam kaitan dengan keesaan seluruh umat manusia atau Oikumene Semesta. Kata oikos dapat diartikan sebagai suatu dunia tempat tinggal semua manusia. Pemahaman seperti ini akan membuat kita dapat juga memahami dengan baik dunia dimana kita hidup dan berkarya. Oikumene semesta sebagai sebuah paradigma baru hendaknya membuat kita mampu memetakan secara cermat lingkungan sosial, budaya, ekonomi, politik, yang beruabah dari waktu ke waktu. Pemetaan itu penting karena dapat menjadi jendela mental bagi perumusan aksi dan tindakan ber-oikumene dalam lingkungan sosial yang plural, terutama bagi remaja dan pemuda gereja sebagai kelompok sasaran. Realitas Kontekstual Gereja dan Masyarakat Global Hari ini kita sudah berada pada peadaban baru sejarah umat manusia, di mana suka atau tidak suka, semua aktifitas keseharian kita sangat dipengaruhi (kalau tidak mau menyebutnya bergantung) pada teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang maju pesat. Ini menandai suatu episode sejarah baru, apa yang dinamakan globalisasi oleh para ilmuan, kini telah merambah seluruh pelosok. Dunia menjadi sangat sempit, tidak berjarak lagi dan serba transparan. Contohnya: model busana di suatu negara maju, dalam hitungan cepat telah merambah soalah-olah menjadi pilihan yang tidak bisa ditolak oleh masyarakat di negara berkembang. Pesatnya arus informasi dan teknologi tidak dapat dibendung, ternyata mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan masyarakat kita terutama bagi kalangan remaja dan pemuda. Mulai dari pengadaan pangan sampai jenis film yang kita tonton, dari ketersediaan obat sampai jenis musik yang kita dengar. Kelompok usia ini merupakan kelompok yang sangat produktif dan rentan terhadap penerimaan nilai-nilai baru yang berkembang secara mengglobal. Fakta menunjukan bahwa kelompok usia ini kemudian menjadi sasaran dari imperialisme ekonomi dan kapitalisme industri yang mengambil wujudnya dalam seni, musik, makanan, yang dikonstruksikan sedemikian rupa menjadi gaya hidup atau lifestyle. Hal-hal tersebut, kita terima melalui media TV, surat kabar, internet, facebook, twiter, dan sejenisnya yang merupakan wujud globalisasi itu sendiri. Orang kebanyakan termasuk remaja dan pemuda mungkin saja menganggap hal itu sebagai hal yang sudah semestinya terjadi atau konsekwensi logis dari perubahan jaman. Dalam bahasa kini disebut sebagai tren, dan siapa yang tidak mengikuti
13
Orang Muda Bicara Oikoumene tren akan ketinggalan jaman. Akan tetapi adopsi informasi teknologi, makanan dan busana serta gaya hidup ini bukanlah sesuatu yang kodrati atau tumbuh secara alamiah dan sudah merupakan sebuah kewajaran. Ini semua adalah hasil dari konstruksi budaya massa yang sangat kuat dipengaruhi oleh kepentingan pasar global. Dalam tata ekonomi-politik global muncul secara dramatis sentralitas sosok kekuasaan perusahaan-perusahaan raksasa yang menentukan semakin banyak aspek kehidupan kita, dari pengadaan pangan sampai jenis film yang kita tonton, dari ketersediaan obat sampai jenis musik yang kita dengar. Apa itu kapitalisme dan apa pedulinya saya dengan itu? Kapitalisme adalah sebuah paham yang mengagungkan ekonomi modal homo economicus, di mana setiap produk ekonomi akan menghasilkan keuntungan sebesar mungkin. Ia adalah mesin pencetak kekayaan. Dalam logika ekonomi sering disebut, dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya untuk memperoleh laba/untung yang sebesar-besarnya. Logika ini pada dasarnya bisa diterima, namun yang patut dipertanyakan adalah ketika sebuah produk jeans bermerk, yang diproduksi oleh tenaga kerja (buruh pabrik) dengan menghabiskan waktu 8 jam kerja per hari, hanya di beri upah Rp.5000-10.000 dari merk jeans yang kita beli di Mall dan Pusat Perbelanjaan lainnya seharga lebih dari Rp.300.000, atau badingkan juga misalnya, dari satu pasang sepatu Nike yang anda belanjakan dengan harga jutaan rupaiah itu, seorang buruh pabrik hanya akan memperoleh Rp. 5000 sebagai upah kerja hariannya. Maka apa yang dinamakan kapitalisme adalah sebuah eksploitasi terhadap manusia dan kemanusiaan, yang tidak peduli dengan tenaga dan keringat para buruh apalagi kesejahteraan mereka. Pokoknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk meraup untung sebesarbesarnya. Karena itu, Indonesia menjadi sasaran empuk pasar dari perusahantransnasional dan multinational coorporation (TNC & MNS) karena tenaga kerja dapat dibayar murah. Maka dengan logika ekonomi kapitalisme, hanya akan memperlebar jurang antara yang kaya dan miskin. Orang kaya, akan semakin kaya meskipun mereka tidak tenang karena setiap hari yang mereka pikirkan adalah bagaimana mempertahankan dan menambah kekayaan. Sedangkan orang miskin akan tetap miskin karena tidak mampu menambah modal dalam membelanjakan segala kebutuhan hidup seharihari apalagi untuk menyimpannya sebagai bekal masa depan. Pada tanggal 6 Maret 2009 baru-baru ini, Oxfam, sebuah organisasi sosial yang berbasis di Ingris meramal akan ada sekitar 45 juta anak kecil sampai tahun 2015 bakal meninggal
14
Kumpulan Artikel karena kemiskinan akibat krisis global yang terjadi belakangan ini (lihat Theo F. Toemion, 2009, hal 27). Globalisasi yang dipandu oleh sistem ekonomi kapitalisme adalah realitas oikos yang kita diami hari ini. Dari sudut pandang budaya, pengaruh langsung globalisasi sudah menjadi hal yang biasa dalam pergaulan sosial manusia dewasa ini. Entah sadar atau tidak, namun pengaruhnya bahkan menembus tembok-tembok gereja kita. Lihat saja gaya berbusana kebanyak orang yang berkunjung ke gereja setiap hari minggu (baca: terutama di kota-kota besar, bukan tidak mungkin juga akan sampai ke pelosok desa). Apa bedanya dengan gaya busana ke mall, pusat perbelanjaan dan tempat rekreasi lainnya? Jika dulu orang memahami pertemuan dengan Allah didalam rumah ibadah sebagai suatu pertemuan kudus, agaknya nilai-nilai itu telah bergeser oleh pengaruh gaya hidup bebas, konstuksi sosial dari logika pasar bebas dewasa ini. Keterpecahan Identitas Dalam literatur studi-studi kebudayaan belakangan ini, muncul cara pandang dan analisa baru terhadap perubahan budaya. Perlu dibedakan di sini pembedaan budaya yang dibatasi oleh tempat yang dicirikan dengan gerak kedalam (setripetal) dan gerak keluar (sentrifugal). Dalam pembedaan itu, kita mengenal diaspora budaya yang terjadi karena pembuangan atau depresi, dan juga karena perdagangan budak. Diaspora budaya ini membantu kita untuk memikirkan identitas sebagai sesuatu yang mengalir. Kita tidak akan terobsesi dengan keaslian identitas tetapi kita akan terfokus kepada identitas hibrid. Identitas hibrid adalah identitas yang terbentuk dari pertemuan pelbagai jenis gaya-gaya kultural. Konsep ini menekankan percampuran budaya yang memunculkan identitas-identitas baru (lih. Aloysius, dalam Cultural Studies, hal 141). Jadi nilai-nilai budaya yang diterima pada temapat asali mencakup wilayah, entitas agama manusia, kini berhadapan dengan nilai-nilai baru yang instan, bawaan dari suatu rekayasa kepentingan modal. Tarik menarik didalam diaspora kebudayaan itu, kemudia akan tunduk dan cenderung mengikuti budaya dominan yang berlaku. Jadi obsesi untuk melakukan pembalikan kepada budaya asli (para leluhur) akan berhadapan dengan kemungkinan untuk tidak menolak pengaruh budaya baru yang terus menerus berkontestasi. Dalam bahasa Boudieu, kita memahami terjadinya pertarungan modal budaya, sosial dan politik, di
15
Orang Muda Bicara Oikoumene mana akan terbentuk habitus baru. Persoalannya adalah habitus baru itu merupakan kostruksi atau pembadanan dari apa yang kita sebut kapitalisme. Orang akan tunduk pada kepentingan pasar dan segala bentuknya yang memukau menjadi gaya hidup. Dalam kesadaran etis, ini kondisi yang mengawatirkan kita semua, sebab realitas kita dipandu oleh kepentingan modal oleh perusahaan-perusahan transnasional dan multinasional (TNC & MNC) yang juga melakukan spekulasi pada pasar saham sehingga menjungkirbalikan tata ekonomi riil. Dimana anda akan membelanjakan sayur dan kebutuhan pokok sehari-hari, kini telah tersedia dengan mudah dan masif, suatu skema pasar-pasar modern (dari supermarket, mini market sampai mall) menjadi pilihan sadar untuk kita membelanjakan kebutuhan sehari-hari dengan mudah dan terjamin. Dinamika pasar bebas itu kemudian mampu mengeliminasi nilai-nilai etis yang kita pegang sebagai identitas asali atas nama kebebasan.
Gambar : The Circuit of Culture
Sumber: Jonathan Culler’s (Cultural Studies)
Gambar di atas memperlihatkan siklus yang saling mempengaruhi dalam pasar kapitalisme yang membentuk lingkaran, tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Ketika kita membicarakan identitas, maka identitas itu dikonstruksi oleh
16
Kumpulan Artikel produksi, hasil dari produksi itu yang kemudian kita konsumsi (baca: makanan, model busana, musik, dll), konsumsi itu dilegitimasi dalam regulasi atau peraturan dan undang-undang (Contohnya: korupsi ayat pada RUU kesehatan) yang ramai dibicarakan belakangan ini, di mana terjadi penghilangan ayat berkaitan dengan produksi rokok. Secara politik ekonomi, regulasi tersebut merugikan perusahaan rokok yang memiliki konsumen terbanyak di Indonesia. Dan akhirnya kita bicara identitas dalam kaitan dengan representasi. Ini telah meng-kultur atau mem-budaya dalam dinamika sosial masyarakat sehari-hari. Proyek identitas tersusun dari apa yang kita pikirkan tentang diri kita sekarang, dengan dasar situasi masa lalu dan masa sekarang kita, sekaligus tentang gagasan akan menjadi apa kita, garis lintas masa depan yang kita inginkan. Sarana yang digunakan adalah diskursus bahasa. Bahasa memungkinkan kita berinteraksi dengan orang lain. Dalam intekasi itu, biografi diri kita mungkin terbentuk, karena itu biografi seseorang tidak terbentuk secara individual namun berdasarkan interaksi dengan orang lain. Ini yang kemudian disebut sebagai pencarian identitas, disebabkan karena adanya perubahan paradigma dari pandangan yang tadinya menganggap identitas sebagai suatu esensi tetap (kaum esensialis) dan gen biologis (kaum naturalis) ke paradigma yang mengatakan bahwa identitas adalah kostruksi wacana, atau identitas adalah proyek diri dan bersifat sosial (lih. Robertus Wardi dalam Cultural Studies, hal 127). Kapitalisme Ancaman Bagi Oikumene Semesta? Jika proyek kapitalisme yang kita cermati dari analisa Cultural Studies yang padat itu, berusaha untuk menjadikan budaya populer menajadi masal, dan menafikan sama sekali keberagaman, maka di sinilah tantangan besar bagi oikumene semesta. Mulai dari gaya busana, gaya rambut, musik, dan makanan bahkan pergaulan bebas, merupakan dominasi budaya baru dan tanpa mempersoalkan dari mana ini terbentuk. Inilah yang disebut krisis identitas. Karena kita melakukan sesuatu diluar kesadaran kita tentang faedah dan keguanaannya. Tulisan ini tidak bermaksud melakukan pembelaan terhadap budaya adiluhung, yang menjadi mainstream pada masanya. Namun berupaya mengungkap selubung realitas kita secara kritis, dan sekaligus memeperlihatkan berbagai ancaman dari konstruk kebudayaan baru tanpa filter, masuk dalam realitas dunia remaja dan pemuda gereja. Di dalam gereja sendiri, pengaruh itu terasa sangat kuat. Jika pada masa tertentu
17
Orang Muda Bicara Oikoumene orang menyukai musik klasik, maka sekarang dominasi musik klasik harus tunduk dibawah fenomena musik pop dan hip-hop yang lebih merepresentasikan sebuah perlawanan terhadap budaya dominan. Jika dulu orang lebih suka makan gado-gado yang lebih vegetarian, kini pilihan orang lebih pada McDonal dan KFC yang praktis dan gurih, seperti pengaruh zat adiktif dalam kemasan rokok yang mempengaruhi alam bawah sadar kita. Bukankah musik-musik gerejani dalam liturgi gerejani juga menyesuaikan diri dengan pengaruh tersebut? Saya melihat ada pengaruhnya. Bandingkan misalnya alat-alat musik dan arsitektur gereja yang sangat mengadopis gaya modern dengan sejumlah alasan yang menyertainya. Saya tidak berpretensi mengatakan hal itu sebagai sesuatu yang salah. Tulisan ini hanya bermaksud menjelaskan relaitas di dalam dan di luar gereja yang kita alami sebagai masyarakat manusia dalam koteks sosial yang terus berubah. Persoalan bagi keperluan gereja memang tidak terletak di sini, tapi pertanyaannya adalah dalam upaya melakukan penyesuaian itu mengapa lalu berakibat pada ketidak sadaran kita akan hakikat oikumene semesta? Ketidaksadaran akan kepelbagaian kita di dalam oikos yang satu menuju angka dalam Yohanes 17:21 Doa Tuhan Yesus itu? Selain itu, mengapa ruang-ruang ibadah pemuda gereja menjadi sepih pengunjung? Tidak hanya pada denominasi gereja tertentu? Ini berkaitan dengan gaya hidup memilih waktu senggan yang menjadi model bagi kaum muda dan remaja dewasa ini. Gereja tidak dilihat sebagai tempat mengaktualisasi diri secara rohani lagi. Pilihan untuk menghabiskan waktu senggan bersama komunitas baru dalam dunia ekonomi industri dimana tersedia tempat bagi petualangan orang muda, dan juga tempat untuk mengekspresikan diri dan diterima dalam kelompok sosialnya menjadi tawaran yang tidak ditemukan di dalam interaksi sesama pemuda gereja. Ekspresi kebebasan itu, mengikuti konstruk identitas baru yang mesti diperhatikan oleh gereja dalam rangka membangun oikumene semesta dewasa ini. Oikumene bukan lagi sebuah tuduhan terhadap uniformitas yang diciptakan oleh perubahan jaman ini. Oikumene mesti menjadi sebuah agenda dan kesadaran bersama bahwa dunia yang kita huni hari ini semakin tua. Bahwa ketamakan bernama kapitalisme itu telah merubah wajah dunia dan lingkungan hidup kita, sehingga kita tidak bebas menghirup udara bersih pemberian Tuhan Allah bagi makhluk hidup dalam oikos. Akibatnya terjadi banyak sekali perubahan termasuk perubahan struktur tanah dan
18
Kumpulan Artikel suhu bumi. Bencana demi bencana yang tejadi bukanlah sesuatu yang kodrati semata, namun ketamakan kita mengelola bumi sehingga bumi menjadi semakin panas. Tidak adanya ruang publik yang bebas dari polusi kapitalisme, dan kita hari ini hidup dalam “dunia maya” sebuah realitas samar-samar atau “semu” yang kita anggap sebagai kenyataan yang sebenarnya. Karena kita ingin berjumpa dengan seseorang tidak perlu bertemu muka dengan muka lagi, segala fasilitas “dunia maya” dapat menjadi sarana pertemuan kita. Simpati dan solidaritas kita kepada orang lain kemudian menjadi karitas dan semu belaka. Tugas Kita Ke Depan Di dalam gereja-gereja Tuhan di Indonesia, terdapat pilar-pilar kokoh penyengga berdiri tegaknya peradaban masa depan gereja, yakni remaja dan pemuda. Angkatan ini mesti diselamatkan dari ancaman-ancaman pengaruh negatif dari industri kapitalisme yang mengglobal itu. Saat dimana koteks sosial masyarakat dunia dibawah pengaruh bawah sadar monster globalisasi yang cenderung membuat kita beralih dari relaitas yang sebenarnya, adalah saat dimana kita perlu menyegarkan kembali akan hakekat penghargaan terhadap keragaman kita dalam oikos ini. Tuhan Allah memberikan kita mandat untuk mendiami dan mengurus bumi ini bagi kesejahteraan bersama. Mestinya tidak ada dominasi antar budaya tertentu terhadap budaya lain, apalagi untuk kepentingan menumpukan modal dan mengabaikan hakekat kemanusiaan. Dominasi dan hegemoni kebudayaan telah berdampak pada matinya jutaan anak-anak, karena kemiskinan, penyakit, obat-obatan terlarang, dan pergaulan bebas. Pertemuan Remaja dan Pemuda Gereja di Mamasa kali ini, kiranya menjadi momentum membangkitkan kesadaran bersama, untuk bersatu menghadapi berbagai pengaruh negatif globalisasi kapitalisme dewasa ini. Kesatuan di dalam kepelbagaian, melakukan agenda bersama yang menjadi aksi nyata pemuda gereja lintas denominasi. Sekiranya dimungkinkan, pertemuan ini (baca: PRPG) menjadi sarana untuk menyusun program nasional gereja-gereja melalui departemen Pemuda dan Remaja PGI. Juga untuk memikirkan bagaimana seharusnya menjadikan gereja sebagai sebuah komunitas yang dapat menampung kebutuhan pengembangan spiritualitas pemuda dan remaja gereja. Ini penting sebagai filter atas pengaruh baru kebudayaan yang masuk. Karena apa artinya kekristenan, jika tidak ada sesuatu
19
Orang Muda Bicara Oikoumene yang membedakannya dari dunia ini. Maka yang diperlukan di sini adalah membangun jejaring pemuda gereja aras nasional, yang tidak lagi sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, tetapi bersama-sama menghadapi fenomena global krisis identitas tersebut. Jaringan kerjasama merupakan modal bagi kita untuk melakukan tugas-tugas penatalayanan gereja, khususnya terpusat pada pemuda dan remaja gereja, dengan mengembangkan nilai-nilai iman kristen menjadi agenda bersama kedepan. Bagaimana mengusahakan kehidupan yang lebih bersahaja dan adil bagi semua makhluk penghuni oikos ini, menuju oikumene semesta yang menghargai pluralitas atau keragaman itu sendiri. Pola dan kesaran ini dalam gerakan sentripetal, akan menjadi model bagi sebuah gerakan sentrifual, yang pada hakekatnya adalah Misio Dei itu sendiri. Karena kita sebagai spesies, kini berada di tengah-tengah kebangkitan luar-biasa untuk menghargai kembali apa artinya menjadi manusia yang sesungguhnya. Selamat Bertemu... Selamat merayakan Oikumene Semesta menuju penggenapan Doa Tuhan Yesus 17:21 Ut Omnes Unum Sint.
Kepustakaan Culler’s Jonathan, Cultural Studies; Some Central Issues from a Perspective of Literary Studies, makalah Powerpoin. GPM, Kebijakan Umum Pelayanan, Materi Sidang BPL Sinode, Ambon, 2005 Korten David C, The Post-Corporate World; Kehidupan Setelah Kapitalisme, A. Rahman Zainudidin (Terj), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002 Priyono Hery, Marjinalisasi A’la Neoliberal, Kolese Ignatius, Yogyakarta, 16 April 2004. Sutrisno Mudji (ed), Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan, Koekoesan, Depok Toemeon Theo F, Hancurnya Neo Kapitalisme dan Neo Liberalisme, Verbum Publishing, Jakarta, 2009
20
Kumpulan Artikel CV Penulis Nama : Henry Lokra TTL : Watidal, 4 Juli 1974 Pendidikan: Sarjana Strata Satu, Fakultas Filsafat Agama, Universitas Kristen Indonesia Maluku, 1998 Magister Sosiologi, Universitas Indonesia, 2007 Organisasi: TIM Materi PRPG Departemen Pemuda dan Remaja PGI, 2009 Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan DPP GAMKI, 2006-2010 Ketua Lembaga Studi Umum, PP GMKI, 2006-2008 Staf Crisis Center PGI, 2004-2005
21
Orang Muda Bicara Oikoumene
2
GENERASI TANPA KARAKTER Oleh: Pdt.Maruasas S.P Nainggolan S.Si (Teol)
Pendahuluan Kita bisa sukses atau hancur gara-gara kebiasaan kita. Kita menjadi apa yang berulang-ulang kita lakukan. Seperti yang dikatakan oleh penulis Samuel Smiles: Taburkanlah suatu pikiran, maka kamu akan menuai perbuatan; Taburkanlah suatu perbuatan, maka kamu akan menuai kebiasaan; Taburkanlah suatu kebiasaan, maka kamu akan menuai karakter; Taburkanlah suatu karakter, maka kamu akan menuai takdir. Takdir Indonesia sudah bisa kita prediksi 20 tahun ke depan jika pemikiran, perbuatan, kebiasaan dan karakter generasi muda Indonesia seperti yang kita lihat sekarang ini. Indonesia adalah negara yang paling plural di dunia, plural berarti majemuk. Dari Sabang sampai Merauke, terantang di atas ribuan pulau sejauh lebih dari 5000 km, dengan ratusan bahasa, suku dengan adat budaya sendiri-sendiri, serta hampir semua agama yang ada di dunia juga ada. Maka jelaslah bahwa Indonesia hanya bisa bersatu kalau kemajemukan itu diakui. Segala usaha untuk menyamaratakan semua dengan suatu pola budaya atau agama adalah sama dengan dominasi sebagian warga di atas yang lain-lain dan pasti akan mengakibatkan kehancuran Indonesia. Indonesia terlalu besar untuk dipertahankan kesatuannya hanya dengan cara-cara paksa. Setiap kelompok dan komponen bebas hidup menurut cita-citanya sendiri, tetapi tak ada kelompok satupun yang boleh memaksakan citacita atau keyakinannya kepada yang lain. Di balik itu semua banyak persoalan nasional yang timbul antara lain: masalah KKN yang sudah merupakan penyakit bangsa. Praktik KKN yang sudah menjadi warisan pemerintahan penjajahan di mana “power is privillege”. Kolusi penguasa dan pengusaha yang sudah berlangsung sejak lama. Praktik KKN ini telah membawa bangsa terpuruk dalam krisis multidimensi. Persoalan berat itu tidak boleh membuat bangsa ini menyerah. Melalui reformasi pemuda harus melakukan perubahan yang terus-menerus, terarah, dan bertahap. Keinginan untuk meraih cita-
22
Kumpulan Artikel cita bangsa tak pernah berhenti dari rintangan. Selain itu sama-sama memikirkan, apa yang perlu dilakukan bersama-sama menyikapi bencana alam yang sering di Indonesia dan “bencana ekonomi” yang semakin parah. Generasi Muda Indonesia Dalam sebuah tulisannya Eka Darmaputera mengatakan, “Generasi muda seolah-olah hanya memiliki tiga pilihan dalam menghadapi status quo dan kemapanan di sekitar mereka yaitu melarikan diri, menghanyutkan diri, menjadi amat reaktif dan agresif.” Keadaan yang ada tidak memberi tempat kepada generasi muda baik untuk menghadirkan kedirian mereka secara otentik maupun untuk bertumbuh secara kreatif. Setiap manusia membutuhkan ruang hidup dan ruang gerak. Ketika hampir semua pintu masuk telah tertutup, generasi muda akan masuk kepintupintu yang masih terbuka bagi mereka. Sebagian memasuki pintu kemewahan dan kenikmatan sebagian yang tidak mampu cuma menunggu-nunggu kesempatan di luar pintu terpuruk dalam fatalisme. Sebagian yang tidak mampu, kurang sabar dan menjadi preman bahkan radikal. Bisakah kita menciptakan suatu kondisi serta atmosfir yang memungkinkan generasi muda mengembangkan potensi mereka sendiri dengan seoptimal mungkin, memberi ruang gerak, dorongan, pintu-pintu kesempatan. Dan ini semua hanya mungkin bila kita memberikan kepada mereka kemungkinan untuk mengaktualisasikan diri serta mengekspresikan kedirian mereka. Generasi muda sekarang dipacu dan diburu untuk mengejar sukses dalam arti eksternal dan material. Meraih kedudukan setinggi-tingginya, memiliki kekayaan sebanyak-banyaknya, menikmati kemewahaan dan kesenangan sebesar-besarnya. Sukses yang lebih banyak ditentukan oleh oleh what you have? Bukan what you are? Oleh how much you have bukan how good you are? Di dalam masyarakat sekarang ini karakter seperti kejujuran, integritas, moral, keberanian dan sebagainya justru menutup banyak pintu kesempatan dan kemungkinan. Sebaliknya sukses membuka lebar-lebar hampir semua pintu. Bersama Bagaimana orang tak tergoda. Generasi muda sekarang dibiarkan tumbuh di dalam dunia yang tanpa karakter. Keadaan di mana solidaritas atas dasar kemanusiaan bersama sedang mengalami pergeseran yang teramat cepat. Kesadaran kelompok berpikiran sempit semakin menyubur.
23
Orang Muda Bicara Oikoumene Kita mengetahui selain pergeseran dari budaya komunikasi lisan ke budaya komunikasi tertulis muncul lagi perubahan lain yang cukup dahsyat, yaitu kehadiran televisi dan Internet. Media komunikasi ini ternyata mempengaruhi pola pikir, emosi dan perilaku kawula muda secara mencolok dan kuat, mereka banyak melihat kejadian apa yang terjadi dan mencoba bergaya dan meniru gaya-gaya kawula muda di negara lain atau tempat lain yang mereka suka. Kawula muda menyikapi hal ini sering mengespresikan dirinya melalui aksi atau penampilannya sehari-hari yang coba mereka tunjukkan keruang publik. Dengan keadaan seperti ini para kawula muda secara besar-besaran mengkonsumsi apa-apa saja yang mereka gandrungi misalnya gaya hidup, prodak-prodak busana dan kosmetik yang menjadi simbol suatu kumpulan atau suatu kejadian yang menurut mereka menarik atau menantang, sebagai simbolpergerakandankebersamaan. Generasi Muda yang Berkarakter Ekumene Peran pemuda Kristen dalam hal ini, tentunya sudah menyadari kamajemukan dan pluralisme yang ada di Indonesia. Para pemuda harus membawa diri dengan rendah hati, tahu diri, siap ditegur, siap belajar, siapa diminta pertanggungjawaban dan siap memperbaiki diri. Orang yang betul-betul tahu tentang Allah, tahu juga betapa pengertiannya sendiri termasuk pengertiannya tentang agamanya sendiri teramat terbatas. Ia harus rendah hati dan tidak arogan. Munculnya kesadaran bahwa kita perlu merumuskan sikap iman yang memadai dalam menjawab realitas kepelbagaian. Kita harus menyatakan bahwa pencarian sikap yang dewasa dan jujur terhadap kemajemukan itu merupakan keharusan iman sendiri. Beriman, sebagai orang beragama dalam konteks majemuk, seharusnya mendorong kita untuk juga menetap dan berkata sesuatu terhadap saudara-saudara beriman lain dengan mata iman. Beberapa pertanyaan mendasar adalah: Sejauh mana kita memahami klaim universalitas kasih Allah kepada dunia ini? Seberapa jauh kita harus melihat posisi agama di tengah komunitas global dan akhirnya, seberapa jauh agama berani melangkah bersama dengan orang yang beriman lain dalam berkarya menghadirkan damai sejahtera di bumi. Maka dalam semangat keyakinan iman yang sama, mungkin kita juga harus mengatakan bahwa masyarakat majemuk Indonesia adalah anugerah agung yang kita terima dari Tuhan. Indonesia adalah masyarakat majemuk dan itu adalah anugerah agung Allah untuk kita rawat, untuk kita kembangkan-bukan untuk
24
Kumpulan Artikel kita acak-acak, dan kita harus menyadari bahwa Tuhan menciptakan masyarakat Indonesia untuk majemuk. Bukan masyarakat yang terpisah dan terpecah-pecah. Bukan pula masyarakat yang homogen, monolitik dan uniform. Persoalan kita adalah, bagaimana agar kemajemukan Indonesia tidak terganggu. Generasi muda harus melaksanakan tanggungjawab agama kita dengan lemah lembut dan hormat dan dengan hati nurani yang murni”. Generasi muda ekumene mengajak untuk bisa mengembangkan dan membangun jembatan-jembatan persahabatan berdasarkan saling respek dan saling menghormati, intensifikasi dialog-dialog dan kerjasama, kesesuaian timbal-balik. Dialog akan berupaya membuka pintu-pintu pemahaman yang lebih baik diantara orang yang berbeda kepercayaan dan tradisi keagamaan. Horison kehidupan seseorang hanya akan diperlebar kalau kita belajar memahami sesama melalui dan di dalam pertemuan antar pribadi. Bertemu dengan sesama menjadikan kita melihat diri sendiri dengan cara baru. Dalam suatu perjumpaan yang sejati kita dapat belajar sama banyaknya tentang diri kita sendiri dan juga tentang sesama kita itu. Melalaui dialog ini kita menerima kepelbagaian dan mengakui kemajemukan tanpa upaya mencampur dan menggabungkan tradisi keagamaan yang berbeda. Dalam hal ini, pemuda Kristen yang ekumene harus lebih banyak berkarya dan terberdayakan, menjadi alat kontrol dan alat koreksi dengan mampu menjelaskan duduk perkara dari sebuah persoalan baru yang timbul di dalam masyarakat agar masyarakat khususnya warga jemaat bisa menarik kesimpulan dari informasi yang diperoleh. Pemuda gereja juga diharapkan bisa membuat warga jemaat dan masyarakat bukan hanya tercerdaskan, tetapi tercerahkan (Communicator of hope). Membangun kesadaran bersama akan tantangan yang dihadapi. Menggalang berbagai pemikiran yang ada di tengah masyarakat untuk bagaimana menyelesaikan persoalan bangsa. Memberikan alternatif pemecahan yang mungkin bisa dilakukan. Dalam sistem yang demokratis menggugah rasa tanggung jawab dari semua komponen bangsa untuk ikut terlibat dalam memecahkan persoalan bangsa. Menunjukkan secara jelas contoh-contoh yang tidak baik. Mengangkat orang-orang yang baik, yang bisa dijadikan teladan dan bisa menginspirasi orang lain. Mengembangkan jurnalisme empati agar bisa melihat persoalan dari banyak segi dan membangunkan harapan. Tak hanya terbatas dalam menggalang pemikiran. Ikut serta terlibat aktif dalam mengajak masyarakat untuk turut bertindak, khususnya dalam kegiatan sosial. Membuka dompet kemanusiaan yang bisa menggugah
25
Orang Muda Bicara Oikoumene rasa tanggung jawab masyarakat. Mempertanggungjawabkan secara profesional kepercayaan yang diberikan oleh warga jemaat dan masyarakat. Sikap gotong-royong dan tolong menolong yang kuat di tengah masyarakat. Setiap terjadi bencana yang berskala nasional membuat masyarakat terdorong untuk memberikan bantuan. Salam Generasi Muda Ekumene…* * Penulis sekarang melayani sebagai Sekhus Kadep Diakonia HKBP
Daftar Pustaka Ahmadjayadi, Cahyana. Seminar “Peran Multimedia Dalam Menggalang Persatuan dan Solidaritas Bangsa.” Auditorium 001 Gedung Indosat Lt. 4. 22 September 2005. Allen, Mary. Potrait Photography in Practice. Newton Abbot London: David & Charles. A Sarno, Ronal. Using Media in Religious Education. Birmingham: Religious Education Press, 1987 Chandra, Robby.I. Kepingan Dari Peta Dunia Kawula Muda Masa Kini, Diktat Kuliah Teologi Komunikasi semester 6, 2003. —————————. Teologi dan Komunikasi. Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1996. —————————. Pemimpin yang Meraih Kawula Muda. Bekasi: Binawarga, 1997. Hardjowasito, Kadarmanto. Belajar Merayakan Kemajemukan: Orasi Dies Natalis ke 71 STT Jakarta 27 September 2005. Ismail, Andar. Prinsip Komunikasi untuk PI. Berita Oikoumene September 1981. Larsen, Egon. A History of Invention. West Germany: Horst Erdman Verlag, 1979.
26
Kumpulan Artikel Strassler, Karen. Material Witnesses: Photographs and The Making of Reformation Memory (in) Mary S. Zurbechen (ed), Beginning to Remember: The Past in the Indonesian Present. Singapore University Press, 2005. Yewangoe, Andreas A.’ Pluralisme’. Suara Pembaruan Daily. Minggu 7 Agustus 2005.
27
Orang Muda Bicara Oikoumene
3
BATASAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN SEBAGAI TANTANGAN GERAKAN KAUM MUDA Oleh: Ferol Warouw, ST, MSc
Gerakan Kaum Muda dan Pembangunan Proklamasi 17 Agustus 1945 telah mengantar bangsa ini merdeka lepas dari penjajahan dan mulai melakukan pembangunan menggapai kesejahteraan sebagai cita-cita bersama menuju masyarakat adil dan makmur. Perjuangan bangsa Indonesia yang dilakukan dengan susah payah telah menghasilkan semangat baru dalam mulai menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilakukan atas inisiatif sendiri. Dalam sejarah pergerakan memerdekakan bangsa Indonesia ini tak lepas dari kaum muda. Ben Anderson, pengamat politik Indonesia, meyakini sejarah Indonesia adalah sejarah pergerakan kaum muda. Kaum muda Indonesia memiliki modal sejarah yang sangat besar bagi kelahiran dan pembangunan bangsa sekaligus memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah bangsa dimanapun dia berada. Sejarah mencatat bahwa Indonesia sebagai bangsa yang disebut juga the miracle state from the east ini, kaum muda telah turut mewarnai berbagai dinamika kehidupan manusia dalam menggapai cita-cita Proklamasi dari para founding father kita. Apa yang diungkapkan Ben Anderson,”Akhirnya saya percaya bahwa watak khas dan arah dari revolusi Indonesia pada permulaannya memang ditentukan oleh kesadaran pemuda ini.” 1 Ben Anderson menyimpulkan kaum muda sedianya menjadi bagian penting pada setiap jaman dan telah turut memberi andil sekaligu berani bergerak ke tengah dalam kompetisi pembangunan bangsa Indonesia dan dalam setiap fase sejarah kepemimpinan kaum muda adalah motor penggerak perubahan zaman. Kemerdekaan yang dicapai dan diidamkan setelah melalui dinamika perjuangan yang panjang dari bangsa termasuk kaum muda didalamnya adalah merupakan anugerah yang tak terhingga bagi bangsa ini. Sejak dicetuskannya Proklamasi maka bangsa ini berhak menentukan arah dan tujuannya dalam memposisikan diri di antara bangsa – bangsa dihuni sekaligus memiliki hak untuk mengolah anugerah sumber daya alam yang melimpah di bangsa ini sebagai modal
28
Kumpulan Artikel awal mulai melakukan pembangunan di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk di dalamnya anugerah keberagaman suku, agama, ras, antar golongan maupun politik. Pembangunan menjadi bagian pemenuhan berbagai macam kebutuhan bangsa Indonesia. Melalui pembangunan, bangsa ini mencoba untuk mengoptimalkan dan memanfaatkan seluruh potensi dan sumber daya alam, kemudian memberikan berbagai nilai tambah atas pemanfaatan sumber daya tersebut, sehingga pada gilirannya hasil yang didapat tercapai secara optimal pula Seiring dengan jalannya pembangunan dalam mengisi kemerdekaan seringkali ada hal yang perlu diingat dalam konteks pembangunan bahwa anugerah sumber daya alam yang melimpah di bangsa ini jika dieksploitasi terus menerus maka semakin lama semakin berkurang daya dukungnya, jika eksploitasi lingkungan yang didasarkan pada kepentingan ekonomis semata suatu ketika akan menyebabkan tergangunya keseimbangan ekologis. Kondisi seperti inilah yang menurut Djojohadikusumo (1981 : 60) disebut sebagai “krisis lingkungan”, yakni gejala akibat kesalahan atau kekurangan dalam pola dan cara pengelolaan sumber kebutuhan hidup manusia. Gejala-gejala tersebut dianggap sebagai tekanan krisis yang membahayakan kelangsungan hidup manusia, seperti ancaman terhadap kejernihan udara dan sumber air, terhadap bahan-bahan makanan, terhadap kelangsungan produktivitas kekayaan alam flora dan fauna, dan sebagainya. Apabila kekuatan ekologis ini telah sedemikian melemah, maka kesejahteraan yang dicapai dalam pembangunan bangsa untuk mengisi kemerdakaan menuju cita cita masyarakat adil dan makmur menjadi tidak bermakna. Sebab, kesejahteraan tadi harus dibayar dengan recovery cost untuk memulihkan dan menjaga kelestarian lingkungan – dan bahkan social cost yang sulit dihitung tingkat kerugiannya. Dengan kata lain, trade off yang ditimbulkan dari proses pembangunan sangat tidak seimbang dengan tingkat kemakmuran ekonomis yang diraihnya. Setelah melalui dinamika pembangunan saat ini berbagai kenyataan dengan sumber daya alam yang melimpah sepertinya kita semakin jauh dari cita-cita awal ketika bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya. Bangsa ini terus terpuruk, berbagai persoalan muncul silih berganti tanpa bisa dipahami ujungnya.
29
Orang Muda Bicara Oikoumene Keterpurukan ini semakin kompleks dengan krisis ekonomi dan finansial yang terus berlanjut termasuk jatuhnya nilai tukar mata uang, persoalan korupsi yang belum tertangani ditambah bencana yang datang silih berganti. Bencana alam tercatat tsunami di Aceh dan Nias, gempa di Yogya, Papua, Talaud, Tasik hingga Jakarta serta beberapa daerah lainya dan yang paling terakhir di Padang Sumatera Barat. Media juga telah secara lengkap menceritakan berbagai derita anak bangsa serta paradoks yang muncul. Misalnya, di saat negara surplus beras dan merasa perlu untuk ekspor, pada saat yang sama sebagian rakyatnya justru sedang berjuang melawan lapar. Tak terbayang ketika negara ini gencar melakukan kampanye anti korupsi justru pelaku korupsi adalah aparatnya sendiri. Demikian juga halnya dengan kebijakan dan kepedulian bangsa ini terhadap pembangunan berwawasan lingkungan. Menurut Survey Environmental Performance Indeks (EPI) yang dilakukan oleh Universitas Yale Indonesia berada di urutan 102 dari 149 negara berwawasan lingkungan sementara Malaysia berada di urutan 26 jauh di atas kita. Keterbebanan akan hal tersebut maka tulisan ini dihadirkan guna mencoba menggugah kaum muda bangsa ini untuk kembali berani mengambil langkah besar dalam meraih cita cita proklamasi bangsa ini. Gerakan yang dipelopori oleh kaum muda sebagai bentuk pergulatan kehidupan keseharian dan pandanganya terhadap berbagai kebijakan pembangunan diharapkan mampu memberikan perspektif baru bagi pembangunan bangsa ini untuk kembali pada kepada cita cita nasional menuju masyarakat adil dan makmur. Lingkungan Hidup sebagai Isu Sentral Gerakan Kaum Muda Pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan telah menyebabkan turunya daya dukung lingkungan. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan telah menjadi isu global dunia. Isu lingkungan hidup mendapatkan perhatian besar dan penting dalam kehidupan manusia saat ini terutama hal yang menyangkut pemanasan global dan laju pertambahan populasi dunia. Pemanasan global adalah fenomena peningkatan suhu bumi dari tahun ke tahun sebagai akumulasi gas yang semakin banyak menyelimuti bumi, saat akumulasi gas meningkat akan menaikan suhu bumi menyebabkan perubahan iklim dan cuaca. Jika suhu bumi terus berlanjut maka iklim akan berubah secara ekstrem, permukaan laut meninggi, pulau pulau tenggelam, muncul gelombang panas dan akan menyebabkan perluasan gurun pasir pada akhirnya terjadi kelangkaan makanan
30
Kumpulan Artikel dan akhirnya jutaan orang akan berebutan makanan dan terjadilah hukum rimba di muka bumi. Selain peningkatan suhu bumi peningkatan populasi penduduk bumi juga menjadi persoalan serius yang terus mengemuka. Dari hasil riset didapati bahwa tahun 1820 sebanyak 1 miliar orang, tahun 1930 sebanyak 2 miliar orang, tahun 1960 sebanyak 3 miliar orang, tahun 1976 sebanyak 4 miliar orang, tahun 1987 sebanyak 5 miliar orang, diperkirakan pada tahun 2016 jumlah penduduk bumi akan sebanyak 8 miliar orang. Untuk Indonesia saat ini jumlah penduduk kita 230.472.833 dengan prediksi pada tahun 2040 penduduk Indonesia akan meningkat menjadi 500 juta. Jumlah penduduk yang melebihi daya dukung lingakungan akan menyebabkan persoalan baru bagi pembangunan sekaligus menggeser orientasi kesejahteraan ke arah keterpurukan. Perubahan kualitas lingkungan peningkatan populasi maupun perubahan iklim yang terjadi saat ini sangatlah jelas keberadaannya, ini dibuktikan dengan terjadinya pergeseran musim dari biasanya yang kita pahami bahwa musim hujan terjadi di bulan bulan yang berakhiran – ber saat ini keadaan tersebut telah berubah,tinggi gelombang laut yang tak bisa diprediksi dan membahayakan bagi nelayan demikian juga dengan kemarau dan banjir yang terus terjadi. Beberapa fakta akibat krisis lingkungan atau dalam hal ini pemanasan global di Indonesia: 1. Perubahan ekologis yang terjadi pada lingkungan di mana manusia dan makhluk hidup lainnya hidup membawa dampak yang mengerikan bagi umat manusia. Hukum fisika menyatakan, angin bergerak dari tempat yang dingin ke tempat yang lebih panas. Nah, perbedaan temperatur suatu kawasan dengan kawasan lain yang sangat ekstrem pada waktu bersamaan telah memicu munculnya angin topan, badai, dan tornado menjadi lebih sering dibandingkan beberapa tahun silam. Negara-negara di kawasan Amerika Utara, Tengah, Selatan dan Karibia, Eropa, juga Asia Selatan dan Timur sudah merasakan dampak yang ditimbulkan dari topan badai ini. Topan menerpa warga di seluruh bumi secara memilukan dan sekaligus mematikan. 2. Arus pergerakan air tidak hanya membawa musibah banjir bandang, tetapi juga disertai tanah longsor akibat penggundulan hutan yang berlangsung setiap menit. Dalam waktu bersamaan, belahan dunia yang satu terancam kekeringan dan kebakaran, tempat lainnya dilanda topan badai, banjir dan tanah longsor yang
31
Orang Muda Bicara Oikoumene menyengsarakan ratusan juta umat manusia. Banjir Melanda Kawasan Sumatera (Medan, Padang, Jambi) Jawa (Jakarta), Kalimantan (Samarinda, Pontianak) Gorontalo dan kawasan Timor yang sangat kadang hujan alias kawasan kering. 3. Kekeringan di Bengkulu dan Jawa (Malang, Tuban Brebes dan Sukabumi), kekeringan di daerah Gunung Kidul misalnya, mungkin saja sudah menjadi fakta jamak yang berlangsung setiap tahun dan sudah sejak puluhan tahun hal itu terjadi. Akan tetapi, kesulitan air yang dialami oleh warga di lereng Gunung Merapi lima tahun terakhir ini misalnya, tentu sebuah fakta baru yang menunjukkan betapa air makin sulit didapat. 4. Kesulitan para petani sayuran di lereng Gunung Merbabu misalnya, juga sesuatu yang masih terdengar asing. Grojogan Sewu memang masih menumpahkan airnya. Tetapi dibandingkan lima belas tahun silam misalnya, Grojogan itu sekarang telah berubah menjadi tak lebih dari pancuran. Beberapa puluh yang akan datang, boleh jadi ia tinggal menjadi tetesan saja. 5. Dari sisi perubahan iklim, semua kota dan wilayah di Indonesia menjadi korbannya. Di Jawa bagian tengah misalnya, Kaliurang di Jogjakarta, Tawangmangu di Karanganyar, atau Bandungan di Semarang, sekarang bukan lagi didatangi wisatawan karena udaranya yang sejuk dan dingin, tetapi karena kelatahan dan cap yang terlanjut melekat sebagai daerah wisata. Itu saja. Dahulu, di daerah-daerah tersebut kabut dingin senantiasa turun setiap pagi sepanjang tahun. Sekarang, ia hanya bisa dijumpai beberapa kali sepanjang tahun, itu pun sangat tergantung dari musim. 6. Di Puncak Jaya, Papua, salju tidak lagi hinggap di puncaknya sejak beberapa tahun silam. Ini menandai era berakhirnya eksistensi satu-satunya kawasan bersalju di Indonesia. Dan ini sekaligus membuktikan, bahwa bumi yang makin panas bukanlah fakta gombal melainkan kenyataan aktual. 7. Di Sulawesi Utara khususnya Minahasa kerusakan lingkungan telah menyebabkan debit air danau Tondano menurun selanjutnya berpengaruh pada pasokan listrik bagi masyarakat. Hal lain menyangkut pembahasan lingkungan hidup dan populasi mengemuka sejak 1972 pada pelaksanaan Stocholm Confrence on the Human Environment melalui presentasi essai yang disampaikan oleh Meadows dan rekan-
32
Kumpulan Artikel rekannya, diprediksikan untuk jangka waktu 200 tahun (1900 – 2100) dapat dilihat bahwa pada masa-masa awal, kondisi kependudukan, orde kebutuhan manusia serta aktivitas ekonomi dan industri masih relatif rendah, sementara kondisi lingkungan berada dipuncak ketangguhannya. Namun seiring dengan penambahan jumlah penduduk, dan tingkat polusi yang melekat pada ekspansi kegiatan industri, maka kualitas dan daya dukung (carrying capacity) lingkungan menjadi sedemikian merosot, hingga pada akhirnya keseimbangan menjadi goyah dan kurva sumber daya alam menjadi sangat merosot, bahkan sama sekali tak mampu lagi mendukung aktivitas kemanusiaan sehingga menyebabkan kepunahan atau dengan kata lain kiamat. (lihat gambar 1) 2
Gambar 1. Model Limits to Growth Dennis Meadows
33
Orang Muda Bicara Oikoumene Melalui model tersebut Meadows secara berani memperkirakan bakal terjadinya kondisi gawat bagi penduduk dunia jika ekonomi dunia dan pertumbuhan penduduk tidak segera dibatasi secara ketat. Persoalan ini menjadi persoalan yang universal termasuk didalamnya bangsa Indonesia. Kita tidak akan mampu mencegah berakhirnya bumi ini akan tetapi dengan kearifan kita sebagai manusia maka diharapkan kita mampu untuk melakukan pelambatan menuju pada ambang batas daya dukung lingkungan atau kehancuran dunia dan umat manusia. Salah satu upaya untuk mengatasi terjadinya the limits to growth ini adalah perlu adanya capital investment untuk menahan laju pertumbuhan penduduk beserta seluruh orde kebutuhannya, menekan polusi lingkungan sampai tingkat nihil, serta mempertahankan kualitas dan daya dukung lingkungan (sumber daya alam) secara lebih stabil. Jika hal ini bisa dilakukan, maka hasilnya adalah “era baru” dimana terdapat stabilitas jumlah penduduk dan peningkatan kualitas hidup manusia. Inilah anti tesa dari gagasan the limits to growth yang sering disebut sebagai konsep the greening of the globe. Dalam konteks pembangunan di Indonesia, konsep the greening of the globe ini dapat diidentikkan dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development). Apa yang dikemukakan di atas sesungguhnya menggambarkan bahwa proses pembangunan seringkali menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Dengan kata lain, pembangunan selalu memunculkan paradoks, yang salah satunya adalah makin berkurangnya kualitas dan daya dukung (carrying capacity) lingkungan. Sebab, keseluruhan kebutuhan manusia tidak dapat dipenuhi dengan memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh alam. Oleh karena itu, dalam hal ini terjadi hubungan terbalik antara kebutuhan manusia dengan sumber daya alam atau lingkungan. Artinya, semakin banyak dan bervariasi kebutuhan manusia, maka kemampuan alam untuk menyediakannya semakin terbatas. Di sisi lain, dalam rangka menyelenggarakan kebutuhannya, manusia melaksanakan usaha-usaha ekonomi dan industri yang mau tidak mau membawa akibat sampingan berupa pencemaran atau kontaminasi lingkungan. Gerakan Ekumene Kaum Muda bagi Lingkungan Fakta ini di atas mungkin bukan menjadi hal yang luar biasa bagi kita Kaum Muda yang hidup di jazirah Indonesia dekat dengan khatulistiwa yang memang sangat berlimpah susu dan madunya yang alam kehidupan keseharian sebagai
34
Kumpulan Artikel pemuda merasakan keberlimpahan alam daerah minahasa yang begitu kaya raya sepertinya mustahil kelangkaan makanan akan terjadi. Akan tetapi pemuda sebagai penerus cita-cita bangsa ini kita selayaknya peduli dengan terhadap lingkungan sekitar kita. Berkaca dari apa yang disampaikan oleh Sonny Keraf penulis buku Etika Lingkungan, “Krisis lingkungan terjadi bukan karena bangsa Indonesia tidak menguasai ilmu dan teknologi, melainkan karena kita mengabaikan etika dan moralitas. Hutan rusak, udara dan air tercemar, serta sederet masalah lingkungan terjadi bukan karena bangsa Indonesia tidak pandai dalam ilmu ekonomi dan teknologi, tetapi karena oknum-oknum Indonesia telah sedemikian tidak bermoral, rakus dan tamak, serta hanya memikirkan kepentingan sendiri dengan mengabaikan kepentingan orang lain dan generasi mendatang. Dalam kaitan ini, yang dibutuhkan bagi pembangunan lingkungan hidup bukan hanya teknologi dan profesionalisme, tetapi juga etika dan moralitas. Yang dibutuhkan bukan hanya otak, melainkan juga hati.”3 Menurut Prof. Dr. Emil Salim di era reformasi saat ini, kemampuan untuk menciptakan lobi politik di tingkat lokal, merupakan jembatan pertama dan utama untuk mendapat peluang besar mendapatkan keuntungan dari sektor kehutanan. “Karena itu belajarlah dari kearifan lokal. Gali, akui, dan kembangkanlah kearifan hidup berkelanjutan rakyat lokal. Perpaduan rakyat dan alam adalah modal pokok yang perlu dikembangkan dengan ekoteknologi dan ekonomi. Bangunlah Tanah Air dan masyarakat dalam siklus pembangunan berkelanjutan yang saling berkaitan dan saling membutuhkan sebagai ciptaan Ilahi,” demikian ditegaskan Prof. Dr. Emil Salim.4 Tantangan dunia global tersebut haruslah dijawab oleh kaum muda dalam satu gerakan ekumene. Gerakan ekumene sebagai bentuk gerakan bersama antar elemen kaum muda, dalam prakteknya gerakan ini harus menjadi inspirator, inisiator, motivator dan organisator menuju perubahan. Pertama, meneruskan komitmen terhadap perjuangan moral. Kedua, melanjutkan dan meningkatkan kualitas reformasi, karena reformasi sudah mulai mengalami pergeseran. Ketiga, mewujudkan kegemilangan masa depan atas masa lalu. Masa lalu bangsa ini ditandai dengan mismanagement sumberdaya alam dan manusia. Keempat, mewujudkan apa yang menjadi tuntutan rakyat. Apa yang diungkapkan oleh Rossabeth Moss Kanter di tahun 1994 bahwa kaum muda dituntut untuk menyiapkan dirinya dengan segenap kemampuan yang dicerminkan oleh
35
Orang Muda Bicara Oikoumene intelektualitas dan kemampuan riset, kompetensi di berbagai bidang (life skills and technical skills), kemampuan membangun jejaring (nasional dan internasional), serta kepercayaan diri untuk memimpin perubahan. Menurut Murgianto, generasi muda sebagai pewaris, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan penopang proses pembangunan nasional harus mempunyai peran dalam menggerakkan pembangunan sekaligus menjadi pelaku aktif dalam proses pembangunan nasional, tanpa peran serta kaum muda maka proses pembangunan akan jalan ditempat. Satu hal yang sama-sama kita saksikan adalah bahwa tantangan kaum muda hari ini begitu luar biasa. Budaya kapitalisme yang serakah, hanya mementingkan kepuasan diri sendiri serta selalu menghalalkan segala cara sebagaimana dikatakan oleh Danah Zohar dalam bukunya Spiritual Capital ternyata telah merasuk dalam kepribadian kaum muda Indonesia. Pragmatisme yang lahir dari ideologi kapitalisme seringkali menjadi tantangan nyata yang bersemayam dalam jiwa dan pikiran kaum muda. Jika kaum muda ingin tampil memimpin dan perubahan-perubahan besar di negeri ini, maka pragmatisme mereka terlebih dulu harus dihilangkan. Hanya dengan hati yang bersih energi perubahan akan menggerakkan seluruh lapisan masyarakat, seperti gerak ombak yang tanpa henti dan tanpa pamrih. Dalam konteks lain kaum muda Kristen harus mampu menjadi saksi di dunia, menjadi garam (Mat 3:13) dan terang (Mat 5:14). Sehingga generasi muda yang kini mengidentitaskan dirinya berdasarkan what they have bergeser menjadi what they are. Di sini karakter dan integritas yang didasarkan iman berperan menentukan. Generasi muda kembali menjadi dirinya yang idealis, dinamis, berpengharapan, penuh semangat dan cita-cita. Mereka berani tampil beda tanpa takut untuk diasingkan seperti Yesus. Sehingga Kaum Muda Indonesia (Kristiani), tidak enggan untuk mengambil bagian di dalam civil society di dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air di Indonesia. Kekayaan sumber daya alam Indonesia ditambah kompetensi kaum mudanya yang maksimal niscaya akan mampu mengangkat bangsa ini dari keterpurukan. Mengusahakan berbagai potensi lingkungan agar memberikan kemudahan dalam proses kehidupan itu sendiri adalah hal mutlak dan perlu dipikirkan bersama. Hal penting dan utama yang dilakukan adalah dengan mulai melakukan hal berarti bagi lingkungan, Mari memulai hal kecil untuk menyelamatkan lingkungan seperti menanam pohon di pekarangan, tidak membuang sampah sembarangan,hemat Listrik di rumah dan masih banyak hal sederhana yang bisa kita lakukan. Harus diakui bahwa sampai hari ini harapan akan terjadinya reformasi yang sejati selalu disandarkan pada kaum muda melalui kemampuan serta idealisme kaum muda yang menumbuhkan sikap kritis sebagai kontrol terhadap berbagai hal. Di
36
Kumpulan Artikel sisi lain keinginan untuk turut serta dalam kebijakan pembangunan menjadi aspirasi kaum muda yang terus bergema. Harapan akan reformasi ini begitu besar, akan tetapi kemampuan kaum muda melaksanakan agenda-agenda reformasi secara konsisten jangan hanya menjadi sebuah teori belaka, agar tidak terjadi titik balik reformasi di mana perubahan sama sekali tak menjanjikan harapan.* Penulis adalah anggota Litbang Komisi Pemuda GMIM, Dosen FT Universitas
(Endnotes) 1
Anderson, Benedict R. O’G. 2003. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Bentang.
2
D.H. Meadows, D.L. Meadows, J. Randers and W.W. Behrens, The Limits to Growth (dalam Brian J.L. Berry, Edgar C. Conkling and D. Michael Ray, The Global Economy : Resource Use, Loca!onal Choice and Interna!onal Trade, New Jersey : Pren!ce Hall, 1993) (dimodifikasi). 3
Keraf,Sonny, Etika Lingkungan, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2002.
4
Prof Dr Emil Salim, saat memberikan sambutannya memperingati ulang tahun Kehati yang ke-10, Jumat (6/2), di Jakarta. Harian Kompas.
37
Orang Muda Bicara Oikoumene
4
INDAHNYA PERSAUDARAN SESAMA UMAT MANUSIA: GERAK PROAKTIF OIKUMENE DI RANAH KEMANUSIAAN Oleh: Achmad Ubaidillah
Sebagai Muslim dan sebagai bangsa Indonesia, tentu saya sangat gembira ketika mendengar, melihat dan mengalami langsung suasana persaudaraan dalam berbagai kesempatan terlebih lagi dalam kegiatan bersama yang melibatkan banyak kalangan dari latar belakang yang berbeda baik suku, agama, bahasa maupun golongan. Demikian pula halnya ketika menyaksikan sekelompok pemuda dari kalangan Muslim bahu-membahu bersama aparat keamanan mengamankan jalannya perayaan Natal di beberapa daerah di Indonesia dan sebaliknya ketika umat Islam merayakan hari besarnya. Kegembiraan ini didorong oleh keyakinan saya bahwa Islam mengajarkan kebersamaan dalam keberbedaan dan menjunjung tinggi persaudaraan antar sesama. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk hidup saling bermusuhan justeru sebaliknya membangun sikap kasih sayang antar sesama agar terbentuk tatanan masyarakat yang saling bahu-membahu atas dasar kecintaan. Pengalaman ini semakin menguatkan keyakinan saya bahwa persaudaraan sungguh merupakan ajaran luhur yang patut untuk ditumbuhkembangkan dalam upaya mengokohkan kebersamaan dalam perbedaan. Begitu nyata bahwa persaudaraan sesungguhnya merupakan nilai universal yang senantiasa dicita-citakan oleh segenap umat manusia. Persaudaraan yang terjalin dengan tulus akan menumbuhkan rasa saling menyayangi dan pada gilirannya memunculkan kepedulian dan kerjasama antar sesama manusia. Saya teringat apa yang disampaikan oleh Gus Dur dalam pidatonya pada perayaan Natal di Jakarta beberapa tahun silam. Menurutnya, komitmen kepada diri kita sebagai manusia dan kemanusiaan itulah yang mengajarkan kepada kita bahwa kita adalah anak dari sebuah bangsa, bersama-sama menciptakan kehidupan di muka Bumi dalam lingkup negara kita. Sebuah negara Pancasila, artinya bukan negara agama. Mewujudkan persaudaraan saling memberi kasih-sayang atau saling cinta tentu merupakan kewajiban setiap umat beragama. Semua prinsip-prinsip agama telah mengajarkan penghormatan dan upaya pemeliharaan atas keragaman. Membangun
38
Kumpulan Artikel persaudaraan yang yang tulus tanpa dibatasi oleh sekat perbedaan agama memang tidaklah mudah mengingat tidak sedikit manusia yang mudah menempatkan saudaranya sesama anak manusia bukan lagi sebagai saudara tetapi sebagai musuh. Jika dalam kasus demikian saja gagal lulus ujian, bagaimana mungkin bisa mewujudkan bangunan yang lebih besar dalam orde persaudaraan lintas agama, etnis, politik, budaya, dan bangsa yang menghasilkan kebahagiaan universal? Pada pengamalannya hal mulia tersebut seringkali jauh dari idealitas yang diharapkan, bahkan acapkali prinsip-prinsip tersebut hilang. Adalah fakta yang tidak dapat dibantah, dewasa ini agama-agama terus dihadapkan pada beragam tantangan baik bersifat internal maupun eksternal khususnya berupa pluralitas atau kemajemukan. Realitas kemajemukan pada satu sisi merupakan mosaik yang indah, namun di sisi lain merupakan tantangan besar bagi dunia keagamaan. Hal ini dikarenakan kemajemukan mengandung potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi konflik antar umat beragama yang samasekali tidak diharapkan terjadi. Pada kenyataannya memang tidak dapat dipungkiri bahwa potensi konflik dalam masyarakat pluralistik sangatlah tinggi, sehingga diperlukan tindakan strategis dalam mengelola pluralisme agar tidak melahirkan konflik yang destruktif. Bahkan jika keragaman agama dapat ditangani secara tepat, kemungkinan konflik tersebut dapat berubah menjadi dukungan moral, etis dan spiritual yang positif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan beragama. Hal ini menujukan besarnya tanggungjawab dan fungsi agama sebagai landasan spiritual, etik dan moral bagi pembangunan umat manusia serta besarnya daya responsi agama secara moral untuk menyelamatkan manusia dan peradabannya dari kerapuhan tatanan dunia. Bertolak dari realitas tersebut, menurut Magnis Suseno (2003), dalam masyarakat pluralistik memang selalu ada kemungkinan untuk mengembangkan sebuah etos kemanusiaan bersama atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Sehingga orang-orang beragama justeru dalam keragamannya dipanggil untuk memperlihatkan bahwa mereka dapat memelopori kehidupan bersama masyarakat yang wajar dan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Ini membuktikan bahwa salah satu ajaran mendasar yang digariskan oleh agama manapun di dunia adalah hubungan antar manusia dan bangsa yang saling
39
Orang Muda Bicara Oikoumene memartabatkan. Setiap pemeluknya wajib menabur pola berucap, bersikap dan berperilaku yang membuat sesama bisa menikmati kegembiraan atau kebahagiaan. Kewajiban seperti ini menuntut setiap pemeluk agama untuk jadi pelaku sejarah yang cerdas, yang bisa menempatkan dirinya di antara keragaman dan komplikasi sosial yang diderita sesama. Dalam ajaran agama, setiap pemeluknya dilarang melakukan, memproduk dan mengeksplorasikan sikap dan perilaku keji dan biadab, karena perilaku demikian bukan hanya menghancurkan kebahagiaan sesama, tetapi juga dapat merapuhkan dan menghancurkan keberlanjutan hidup dan peradaban di dunia. Pembuktian dari prinsip-prinsip persaudaraan sebagaimana diajarkan agama seperti halnya persaudaraan inklusif ini memang bukan aktifitas mudah. Ada tantangan yang membentang, ada perbedaan yang boleh jadi diunggulkan sebagai klaim kebenaran (truth claims) dan ada kecemburuan, sekat primordialitas, serta kedengkian yang dipelihara dan bukan tidak mungkin disuperiorkan (Nadlifah Hafidz, 2007). Di sisi lain masih banyak orang yang beranggapan bahwa agama adalah urusan pribadi manusia dengan Tuhan-Nya. Menurut paham ini, orang yang benar keberagamaannya adalah orang yang sibuk mengurusi ibadah atau ritualitas agamanya. Jika demikian praktiknya, maka realitas agama hanya terjebak pada dimensi kesalehan pribadi yang berorientasi pada kesucian perorangan yang belum tentu berbanding lurus dengan kesalehan sosial yang juga diajarkan dalam agama. Hal ini terjadi menurut Beny Susetyo (2005) karena pemeluk agama masih terjebak pada persoalan kuantitas, bukan kualitas keimanannya. Agama hanya dihayati sekadar ritual belaka, tetapi dirinya terasing terhadap realitas kehidupan kemasyarakatan. Agama jauh dari realitas kehidupan kemasyarakatan. Dia cenderung memikirkan dirinya sendiri dalam lingkup dogma, aturan dan legalitas sehingga gagal mempraktikkan iman yang memihak nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan. Padahal sejatinya agama mempunyai dua peran, yaitu peran ilahiah dan kemanusiaan. Artinya agama tidak hanya mengandung satu wajah, tetapi banyak wajah. Terkait peran tersebut, Dr. Tarmizi Taher dalam Agama dan Konflik (2005) mengemukakan bahwa agama tidak hanya berkutat dan bersibuk diri mengurusi hubungan transenden manusia dengan penciptanya lewat perilaku ritual dan ibadah formal. Namun, agama harus membumi untuk menegakkan misi kemanusiaan sebagai wadah implementasi dan pedoman moral hubungan antar manusia. Agama sudah semestinya tidak
40
Kumpulan Artikel hanya menjadi persoalan langit yang mengurusi hal yang metafisik. Agama juga harus membumi mengurusi persoalan kemanusiaan yang harus diperjuangkan dan ditegakkan misi universalnya. Dalam dimensi sejarah inilah, agama diuji keotentikkannya dan perannya bagi penegakkan misi perdamaian dan kemanusiaan. Rumusan ini mengandaikan bahwa pola keberagamaan yang ideal adalah terjadinya pergulatan antara pemenuhan kepentingan Tuhan dan manusia. Ini juga berarti bahwa pelaksanaan ritual-formal-individual agama harus bersinergi dengan upaya pembelaan atas nilai-nilai kemanusiaan. Prof Gregory Bahum dalam bukunya Agama Dalam bayang-bayang Relativisme (1997) mengemukakan, komitmen emansipatoris sebagai ukuran kebenaran itu harus diwujudkan di tengah kehidupan yaitu lewat agama yang mampu membebaskan belenggu-belenggu zamannya, ketertindasan, kebodohan, keterbelakangan, dan misi suci lainnya. Sedangkan wujud solidaritasnya, agama harus mampu mengeluarkan manusia dari ideologi-ideologi yang sempit, keras, dan penuh permusuhan. Jika ditelusuri dari sisi historis kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa agama lahir sebagai bentuk keprihatinan atas realitas sosial yang timpang. Untuk itu, kehadiran agama merupakan upaya kritik dan pembelaan atas upaya-upaya dehumanisasi, penistaan terhadap harkat dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam catatan sejarah, sejumlah Pendiri Agama (Nabi) justru datang dari komunitas sosial yang mengalami penindasan dan eksploitasi cukup lama. Musa tampil karena prihatin atas penderitaan Bani Israil yang dalam rentang waktu cukup lama ditindas Fir’aun. Isa al-Masih (Yesus) juga datang kerena prihatin atas penderitaan rakyat banyak pada zamannya. Nabi Muhammad kurang lebih juga mempunyai peranan dan misi yang sama. Pada awal masa kelahirannya, Islam melontarkan kritik cukup mendasar pada sistem sosial-ekonomi dan budaya Quraisy Mekkah. Sistem sosial-ekonomi yang menindas dan diskriminatif serta ketiadaan tanggung jawab sosial (sense of social responsibility) itu cukup mengakar dalam kehidupan mereka sehari-hari (M. Abdul Hady JM, 2007). Upaya membangun perdamaian dan persaudaraan sejati yang peduli terhadap persoalan-persoalan kemanusiaa yang bergitu kompleks akan menemukan titik sentrumnya pada saat antar umat beragama mampu menggalang kehidupan yang penuh damai, adil, dan sejahtera untuk bersama. Perdamaian dalam hidup jelas merupakan kebutuhan seluruh umat beragama, tanpa kecuali. Oleh sebab itu, wajar apabila seluruh elemen dalam masyarakat Memperjuangkan perdamaian
41
Orang Muda Bicara Oikoumene dan persaudaraan sejati tidak terkecuali upaya yang dilakukan oleh pemeluk agama Kristen salah satunya melalui gerakan Oikumene di Indonesia yang menjadi jantung dari gerak pelayanan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI). Menarik untuk dikemukakan bahwa Oikumene merupakan sebuah gerak proaktif menuju perwujudan gereja Kristen yang Esa yang menuntut para pengguna simbol untuk memiliki sikap dinamis dan kreatif dalam mencari beragam solusi atas permasalahan yang dihadapi umat manusia di tengah kekinian sejarah. Jika hal itu tidak dilakukan dan hanya berhenti sebatas gagasan, simbol, ornamen dan slogan maka keesaan gereja hanyalah sebuah utopia dan oikumene tidak lebih daripada sebuah contradiction in terminis sebagaimana pernyataan Weinata Sairin dalam Gereja, Agama-Agama dan Pembangunan Nasional (2006). Oleh karena itu sebagai sesuatu yang diyakini harus menjadi roh dan darah daging dari setiap aktifitas warga jemaat Kristen, maka Oikumene harus benar-benar real dan operasional membangun sikap inklusif dan membuka mata terhadap lingkungan eksternalnya. Hal ini sejalan dengan visi teologis PGI sebagai wadah yang menaungi jemaat Kristen di Indonesia yakni, PGI bersama gereja-gereja harus dengan sigap dan tanggap mengungkapkan suara kenabiannya di tengah-tengah kehidupan umat sebagai wujud ketaatannya kepada Tuhan. PGI dan gereja-gereja tidak bias tinggal diam ketika harkat martabat manusia direndahkan, PGI dan gereja-geraja tidak bisa berpangku tangan ketika HAM dilecehkan, ketika lingkungan makin gundul, ketika rakyat kecil terkapar dan tersisihkan di tengah-tengah kerasnya kehidupan di era pembangunan yang tiada henti bergeliat. Dari visi tersebut tercermin dengan sangat jelas bahwa dimensi humanis menjadi pijakan penting bagi jemaat Kristen dalam melaksanakan praksis kemanusiaan sebagai wujud praktik keimanannya di tengah-tengah masyarakat. Keberagamaan yang semacam inilah yang pada akhirnya diharapkan mampu menyinari perilaku keseharian umat beragama. Sehingga visi teologis PGI inilah – meminjam Jim Willis - disebut sebagai prophetic spirituality yang kiranya dapat meningkatkan komitmen kemanusiaan para penganut agama dan bukan sektarianismenya. Secara tegas harus dikemukakan kembali bahwa dimensi humanis dalam Oikumene begitu jelas tampak dan ini merupakan cara beragama yang menempatkan agama untuk semua manusia. Oikumene dalam hal ini menjadi strategis sebagai metode perjuangan menegakkan kehidupan yang penuh kedamaian, persaudaraan sejati
42
Kumpulan Artikel dan solidaritas sosial. Dari pengalaman dan pembacaan mengenai ragam nilai luhur yang diajarkan oleh agama-agama seperti halnya oikumene dalam Kristen, begitu nyata bahwa tidak satu pun agama yang mengabaikan dimensi humanis, kecuali karena reduksi-reduksi oleh pemeluknya sendiri. Pemeluk agama tidak bisa bertahan pada dogma-dogma semata bahwa agama tidak mengajarkan tentang kekacauan, kekerasan, sementara mereka tidak berkehendak memutus sikap eksklusif dan fanatisme sempit dan berlebihan dalam beragama. Dengan begitu para pemeluk agama harus berkehendak melakukan upaya nyata membawa kebudayaan bangsa kepada penghormatan terhadap manusia se•nggi•ngginya yang menjadi nilai “ul•mate” dari misi hidup manusia Indonesia di semua segmen masyarakat. Dan upaya membangun persaudaraan seja• akan menemukan ••k sentrumnya pada saat antar umat beragama mampu menggalang kerjasama untuk kehidupan yang penuh damai, adil dan sejahtera untuk bersama.
Penulis adalah Direktur Pusat Studi Pesantren dan Alumni Universitas Indonesia.
43
Orang Muda Bicara Oikoumene
5
Sumbangan Psikologi Dalam (Ber) Ekumene Di Kalangan Pemuda Oleh: Harun D. Simarmata (GKP Galilea Tj. Priok)
Ekumene berasal dari bahasa Yunani oikoumene. Dari bahasa itu, kemudian muncullah istilah-istilah “ekumenikal”, ‘gerakan ekumene” dan “ekumenisme”. Akar kata oikoumene mengandung arti “seluruh yang menghuni bumi”. Bumi menjadi “rumah” bagi seluruh kehidupan manusia. Oikoumene seolah berarti a sense of being at home. Pada pertemuan di Rolle, Switzerland tahun 1951, komite gereja-gereja sedunia mendefinisikan ekumene menjadi “segala sesuatu yang berhubungan kepada seluruh tugas gereja membawa Kabar Baik ke seluruh dunia”. Sebagai salah satu komunitas yang menghuni bumi di tengah komunitas-komunitas lainnya, gereja-gereja dipanggil untuk membawa Kabar Baik bagi seluruh ciptaan. Dasar ber-ekumene itu sendiri adalah Kabar Baik. Dengan demikian, seluruh gereja dalam seluruh tugas membawa Kabar Baik termuat ekumene itu sendiri. Di sinilah persoalan ketika gereja-gereja dalam tugasnya membawa Kabar Baik itu. Dalam tugas membawa Kabar Baik itu, tidak hanya satu lembaga yang membawanya ke seluruh dunia. Di Indonesia, misalnya, tidak hanya ada satu wadah ekumene. Selain PGI, ada PGPI (Persekutuan Gereja Pentakosta Indonesia), PGLII (Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia). Semuanya merasa bertugas membawa Kabar Baik ke seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Ini jelas membuktikan bahwa gereja-gereja atau aliran gereja di Indonesia sudah terbagi, terfragmentasi (divided, fragmented church). Persoalannya mengapa bisa
44
Kumpulan Artikel berkembang persekutuan-persekutuan seperti di atas. Gereja-gereja di Indonesia berlomba-lomba membawa tugas memberitakan Kabar Baik menurut versinya masing-masing. Tulisan ini masih dalam koridor tema: Pemuda dalan Gerakan Ekumene. Penulis mengambil topik tentang sumbangan psikologi dalam (ber) ekumene. Tulisan ini terinspirasi oleh siaran televisi swasta yang membahas tentang Psikologi Teroris yang disampaikan oleh Prof. Dr. Komarudin Hidayat. Dari siaran itu, penulis membandingkan dengan gerakan ekumene sendiri. Dari situ, penulis melihat bahwa setiap orang atau komunitas apapun itu mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Penulis berusaha untuk melihat perkembangan ber-ekumene di kalangan pemuda di Indonesia melalui sudut pandang psikologi perkembangan. Apakah sebenarnya kebutuhan manusia-manusia pemuda (Kristen) itu sehingga mereka mengelompokkan diri lalu membentuk sebuah gerakan atau apapun namanya, misalnya pemuda di PGPI, pemuda di PGLII, dsb.?
Mengapa pemuda Kristen ikut dalam sebuah gerakan
(mis.ekumene)? Abraham Maslow menyebutkan beberapa kebutuhan manusia itu. Dari lima kebutuhan manusia, penulis hanya menyebutkan tiga kebutuhan saja yaitu kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan cinta kasih dan rasa diterima, dan kebutuhan untuk dihargai dan menghargai. Setiap manusia memiliki kebutuhan tersebut. Dalam keterlibatan sebuah gerakan, biasanya kita ingin diterima, dihargai dan menghargai, sekaligus rasa aman. Selain itu, gerakan ekumene juga dapat dilihat dari psikologi sosial. Salah satu pakar psikologi sosial adalah Erik Erickson. Salah satu tahap, dari beberapa tahap perkembangan yang disebutkan, yang menggambarkan kebutuhan orang
45
Orang Muda Bicara Oikoumene muda adalah Tahap 6: Masa dewasa muda. Pada dimensi ditandai adanya polaritas antara keintiman dan keterasingan. Rata-rata usia 18-40 tahun. Ini adalah masa ketika seseorang menceburkan diri dalam kehidupan bersama di masyarakat. Orang muda merasa intim ketika hidup bersama dalam masyarakat. Kebalikannya adalah menjauhi orang lain atau masyarakat karena takut kehilangan diri, sehingga menganggap bahwa orang lain adalah saingan. Dari dua pandangan psikologi tersebut, jelaslah bahwa keterlibatan pemuda dalam gerakan ekumene interfaith (lintas iman) didasari oleh adanya rasa aman, rasa ingin diterima dan cinta kasih, ingin dihargai dan menghargai sekaligus keinginan menceburkan diri dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat di bumi ini. Selain itu, dalam ber-ekumene juga dibutuhkan relasi, sebuah relasi yang luas sekaligus komunikasi. Dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut ditambah dengan pengalaman hidup baik bergereja maupun bermasyarakat, misalnya kemiskinan, kekerasan, kemajemukan, dsb., terbangunlah gerakan ekumene di kalangan pemuda maupun remaja. Pertanyaannya, setelah terpenuhi kebutuhan di atas, adalah kebutuhan yang relevan bagaimanakah yang menjadi kebutuhan bersama kaum muda Kristen pada masa kini? Lalu, apakah kebutuhan itu sungguh-sungguh merupakan kebutuhan bersama kaum muda? Inilah yang menjadi persoalan. Kita ditantang bersama untuk mencari kebutuhan bersama yang kemudian terlibat dalam gerakan ekumene pemuda. Ber-ekumene bukanlah sesuatu yang instan. Ber-ekumene adalah proses belajar. Ber-ekumene dapat diajarkan pada tahap-tahap perkembangan usia. Kita harus sadar bahwa ber-ekumene itu bukanlah ‘hak milik’ orang dewasa saja. Justru dari usia dini sudah dapat ditanamkan benih-benih ekumene itu. Ketika benih-benih
46
Kumpulan Artikel ber-ekumene itu disemaikan pada anak didik usia dini di jemaat-jemaat kita, maka warisan ekumene yang disemaikan pada anak didik tersebut tidak akan menjadi fosil. Dari segi usia atau tahap perkembangan manusia, penulis meyakini bahwa ekumene perlu diajarkan. P.A Crow dalam Harper’s Encyclopedia of Religious Education, menyebutkan bahwa salah satu ciri orang muda adalah sudah terdapat pemahaman mengenai konsep-konsep mengenai iman (mis. apa itu keselamatan, apa itu iman, dsb.), komunitas dan kesatuan. Namun, konsep-konsep itu akan semakin dipahami melalui aksi dan refleksi. Dalam hal ini, pemuda diajak untuk aktif dan partisipasi dalam kegiatan ekumene dan proyek-proyek pelayanan, misalnya isu mengenai perdamaian dan keadilan, pemuda-pemuda pekerja, pengangguran, dll. Salah satu langkah, menurut penulis, yang harus dilakukan agar para pemuda terlibat dalam hidup ber-ekumene di Indonesia adalah melakukan pendidikan ekumene di kalangan pemuda gereja. Penulis yakin bahwa tidak semua pemuda Kristen di Indonesia memahami makna ekumene itu sendiri. Mengapa? Karena di dalam jemaat-jemaat sendiri sudah ada persekutuan-persekutuan pemuda dengan segala bentuk dan wadah pelayanannya. Ada beberapa unsur yang dapat diidentifikasi, yaitu: Pertama, bahwa kita hidup dalam dunia yang terbagi, terfragmentasi. Dari bagian ini, mungkin kita bisa menelusuri faktor-faktor penyebab terbagi atau terfragmentasinya dunia maupun gereja. Misalnya, globalisasi, kemiskinan dan tradisi/ajaran gereja. Kedua, menuntun kita kepada sebuah pemahaman implikasi-implikasi Injil. Bagian ini memperlihatkan tantangan iman secara universal maupun lokal. Dalam sebuah lingkaran kecil, komunitas pemuda menyadari kehadiran Allah di tempat lain.
47
Orang Muda Bicara Oikoumene Ketiga, solidaritas, peka, berbagi kehidupan, sensitive sekaligus responsif terhadap mereka yang mengalami penolakan, ketidakadilan, kemiskinan, kekerasan, dll. Di sini pemuda diajak untuk bergumul sekaligus menyiapkan pemuda Kristen menjadi agen-agen perdamaian dan keadilan melalui relasi dengan kelompok etnis, budaya, gereja lainnya. Keempat, spiritualitas. Yang patut dipikirkan, usulan penulis, dalam bagian ini adalah bagaimana menyusun sebuah LITURGI KHUSUS bagi PEMUDA GEREJA. Ini, sepengetahuan penulis, belum dipikirkan, serta tidak ada salahnya untuk dicoba. Mengapa? Karena pemuda-pemuda gereja akan menyadari sekaligus menemukan ulang spiritualitas yang mengikat seluruh pemuda Kristen. Dari hal-hal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa tujuannya adalah membangkitkan iman universal bersama seluruh pemuda Kristen. Dari beberapa yang disebutkan tersebut, penyusunan program-program pemuda dalam kegiatan ber-ekumene hendaklah disesuaikan dengan identifikasi atau tahap perkembangan serta kebutuhan pemuda itu sendiri. Kita harus cermat melihat kebutuhan-kebutuhan pemuda Kristen dari tiap jemaat secara khusus misalnya di Jakarta dan sekitarnya. Salah satu langkah adalah mensurvei kebutuhan-kebutuhan pemuda tiap jemaat, karena dari situlah Departemen Pemuda dan Remaja PGI dapat menyusun program-program yang kreatif dan menarik minat pemuda. Refleksi Sebagai bahan refleksi bagi pelaku-pelaku ekumene, perlu kita sadari bahwa ber-ekumene merupakan WARISAN tradisi iman kita bersama. Ber-ekumene bukanlah sesuatu yang kita ciptakan. Dasar teologisnya jelas terdapat dalam Yohanes 17:21. Ber-ekumene juga bukanlah kepentingan sekelompok orang. Apakah pemuda yang tidak terlibat dalam ber-ekumene mengalami keterasingan? Tantangannya
48
Kumpulan Artikel adalah bagaimana menggapai (reaching out) kalangan pemuda lainnya yang tidak terlibat dalam karya ber-ekumene. Memang, pemuda itu tidak sama semuanya. Pemuda dari gereja A berbeda dengan pemuda dari gereja B. Sehingga, pemuda-pemuda Kristen itu diibaratkan, mengutip Parker J. Palmer, sebagai kumpulan orang asing (the company of strangers.). Tinggal tugas kita: bagaimana membuka diri terhadap setiap ide-ide yang ada. Mungkin inilah yang dapat penulis sampaikan untuk penerbitan kumpulan tulisan tentang Orang Muda Bicara Oikoumene (OMBO). Masih banyak yang perlu digali untuk menambah wawasan kita. Semoga tulisan ini membawa sedikit pencerahan bagi pemuda serta menjadi berkat. Terima kasih. Tuhan memberkati kita. Amin.*
49
Orang Muda Bicara Oikoumene
6
HIDUP
BER-EKUMENE DI INDONESIA,
MUNGKINKAH? Oleh: Widowati (Anggota Gereja Kristen Jawi Wetan)
Kisah pertama: “Kalau berteman, oke! Aku mau. Tapi kalau pacaran, maaf, aku tak bisa! Kita berbeda agama.” kata Ran•. “Ah, masa pacaran kok lihat agama? Agama itu dibicarakan nan• saja!” sanggah Randy. “Maa•an, bagiku pacaran •dak untuk main-main. Pacaran itu penjajakan untuk langkah selanjutnya. Jadi mulai pacaran sebaiknya sudah sama-sama imannya, agamanya.” jawab Ran•. “Wah, bukankah kita sama-sama anak manusia yang diciptakan Tuhan dan Ia •dak melihat agama dari ciptaanNya.” sanggah Randy lagi. “Memang Tuhan-lah yang menciptakan semua manusia dan Tuhan menyayangi ciptaanNya tanpa melihat apa agama, suku bangsanya, jenis kelamin ataupun golongannya. Tapi untuk masalah pacaran dan pernikahan, aku berpandangan harus memiliki dasar iman yang sama. Kalau beda suku ataupun bangsanya, aku •dak keberatan, bisa diatasi asalkan satu sama lain saling menghargai dan mau saling belajar,” Ran• mulai sedikit berceramah. “Tapi, sekalipun kita beda agama dan suku aku suka sekali denganmu. Kamu itu seorang gadis yang unik, memiliki keyakinan kuat lagi sederhana. Kita kan bisa saling belajar dan menyesuaikan. Saya yakin kita bisa, Ran•. Ayolah, Ran•, please,” Randy memohon. Kisah kedua: “Selamat datang dalam keluarga Tuhan! Wah, Ester, saya senang sekali melihat kamu datang ke gereja dengan membawa satu jiwa lagi!” seru seorang bapak yang bertugas menjadi pelayan penerima tamu ibadah di suatu gereja.”Tapi, Pak, teman saya ini sudah Kristen kok meski bukan anggota gereja kita,” Ester
50
Kumpulan Artikel menjelaskan. “Ya, ya, meskipun sudah beragama Kristen, tapi apa temanmu di gerejanya juga dibap•s dengan cara yang sama denganmu di gereja kita? Kalau tak sama , berar• ya belum benar-benar menjadi anak Tuhan dan pengikut Kristus seja•,” bantah Bapak Pelayan.”Lho, kok begitu sih, Pak? Teman saya ini percaya Tuhan Yesus, dan dia juga pengurus persekutuan pemuda di gerejanya. Dia saya ajak beribadah ke gereja kita karena dia ingin mengetahui tata cara ibadah gereja kita. Kalau membawa jiwa baru, itu kan berar• orang yang kita ajak memiliki agama berbeda atau malah orang yang •dak percaya Tuhan. Betul kan, Pak?” Ester berargumentasi.”Ah, Ester, kamu dapat pengajaran dari mana, kok kamu berpendapat begitu?” Pak Pelayan heran dengan jawaban Ester. “Wah, Bapak menguji saya, ya. Kan Firman Tuhan mengatakan bahwa se•ap orang yang mengaku percaya dan menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamatnya akan diselamatkan.” (Bandingkan dengan Markus 16:16). Kisah ke•ga: Di suatu daerah di Indonesia, ada sekelompok tentara yang sedang bertugas membantu masyarakat memperbaiki sebuah jembatan yang roboh diterjang banjir. Perbaikan itu memakan waktu berhari-hari karena jembatan itu rusak parah. Ke•ka •ba hari Minggu, seorang tentara yang beragama Kristen meminta ijin komandannya untuk beribadah. Tentara itu bertanya kepada warga masyarakat, dimana letak gereja terdekat. Setelah ditunjukkan jalan menuju gereja tersebut pergilah tentara itu menuju gereja. Se•ba di depan gedung gereja dengan menara •nggi dan penuh relief serta patung orang suci, menger•lah ia bahwa gedung itu adalah gereja Katolik. Dia bukan seorang Katolik, namun itulah gereja terdekat. Ah, •dak apa ikut beribadah di gereja ini, kan sama-sama percaya kepada Tuhan Yesus, begitu pikir sang tentara. Akhirnya dia masuk dan duduk di deretan kursi bagian belakang. Setelah beberapa saat misa berjalan, •balah waktunya pelayanan
51
Orang Muda Bicara Oikoumene perjamuan kudus. Tentara itu yang merasa tanpa persiapan khusus seper• yang biasa dilakukan di gerejanya, memutuskan untuk tetap duduk saat semua umat berbaris ke depan menerima hos• dari pastur. Selesai misa, dia segera bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar. Tiba-•ba beberapa orang pemuda menegur dia dengan keras: “Siapa kamu dan dari mana kamu? Kamu pas• bukan orang Katolik karena kamu •dak mengiku• semua tata cara yang dilakukan dalam misa tadi”. Tentara itu menjawab dengan ramah bahwa memang benar dia bukan seorang Katolik dan bukan pula berasal dari daerah tersebut. Dalam ha• si tentara berpikir mengapa pemuda itu menegur dengan keras bahkan terkesan •dak sopan. Begitu mendengar jawaban itu, para pemuda langsung mengusir tentara itu dan minta agar jangan pernah lagi datang ke gereja itu. Tentara itu mengangguk mohon maaf dan segera pergi. Sambil jalan dia berpikir mengapa hal seper• itu terjadi? Kisah keempat: Pada suatu kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebuah perguruan •nggi di Surabaya, yang bertempat di sebuah desa yang berpenduduk Muslim. Pada waktu yang sama dengan kegiatan KKN itu, di desa tersebut sedang diadakan kegiatan penggalangan dana pembangunan tempat ibadah. Sebagai bentuk par•sipasi, mahasiswa KKN ikut dalam kegiatan penggalangan dana. Termasuk seorang mahasiswa beragama Kristen bernama Andri yang juga anak seorang pengusaha sukses di Surabaya. Ia mendapat tugas mencari dana dari orang-orang asal desa itu yang •nggal dan bekerja di Surabaya. Setelah dua hari berkeliling Surabaya mengumpulkan dana, mahasiswa tersebut hanya berhasil mendapat dana sekitar satu juta rupiah. Ia diharapkan sedapat mungkin memperoleh •ga juta rupiah. Akhirnya tanpa berpikir panjang, ia mendatangi orang tuanya dan meminta bantuan dana. Sekembalinya Andri ke desa tersebut, uang sumbangan yang diperolehnya langsung diberikan kepada pani•a. Andri juga menunjukkan
52
Kumpulan Artikel da•ar pemberi sumbangan. Setelah bendahara membaca nama-nama yang tertulis, bertanyalah dia pada Andri mengenai status seorang penyumbang bernama Kris•an Yohanes, yang tak lain orang tua dari mahasiswa itu. Setelah mendapat jawaban, si bendahara langsung menyatakan bahwa uang sumbangan tersebut adalah haram dan •dak bisa diterima. Karena berbeda agama maka sumbangan menjadi •dak layak? Empat kisah di atas hanyalah sekelumit gambaran atas wajah kita hari ini. Masih banyak kisah-kisah yang lain yang menunjukkan adanya berbagai perbedaan dalam masyarakat kita yang majemuk. Kisah pertama memang sangat banyak dialami oleh para pemuda kita. Memang sampai saat ini masih ada perbedaan pandangan mengenai pernikahan beda agama. Kalau memper•mbangkan masalah hak asasi manusia untuk mencintai dan dicintai, maka •dak ada seorangpun yang boleh melarang dua anak manusia untuk menikah meskipun beda agama. Namun panduan Alkitab berkata: janganlah kamu merupakan pasangan yang •dak seimbang dengan orang-orang yang •dak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? (II Korintus 6:14). Dalam kisah kedua, meskipun mungkin •dak lagi kerap terjadi namun masih menjadi permasalahan aktual, bahkan diantara gereja-gereja anggota PGI yang telah mengakui Dokumen Keesaan Gereja, khususnya bagian Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) dan Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM). Kalau kita mau jujur dalam peribadatan interdenominasi, masih sering terjadi perdebatan mengenai model liturgi yang digunakan dan siapa pengkhotbah yang akan menyampaikan Firman Tuhan. Dalam acara-acara yang dilakukan oleh PGI, seper• Sidang Raya, Sidang Majelis Pekerja Lengkap, Pertemuan Raya Pemuda Gereja, Pertemuan Raya Wanita Gereja, liturgi ibadah yang selalu dipakai adalah
53
Orang Muda Bicara Oikoumene liturgi gereja-gereja arus utama, meskipun banyak gereja anggota PGI yang beraliran Pentakosta dan berbeda liturgi ibadahnya. Kisah ke•ga dan keempat acap terjadi di daerah-daerah dimana belum terjadi dialog lintas agama antar pemimpin umat beragama. Keempat kisah di atas, hanyalah pengantar untuk kita berbicara mengenai apa yang disebut dengan Ekumene. Is•lah ini jangan sampai diplesetkan menjadi o–ikumene (bahasa Jawa, berar• o–itu–besok) karena Ekumene harus sudah menjadi sikap hidup kita hari ini dan bukan besok-besok saja. Penulis memahami kata Ekumene bermakna luas dan dalam. Sebagaimana terkandung dari asal katanya: oikos dan menein yang berar• satu rumah atau dunia tempat •nggal bersama yang harus dijaga dan dipelihara bersama seluruh umat manusia. Bagaimana kita melihat dan memperlakukan sesama makhluk ciptaan Tuhan, akan menentukan seberapa jauh kita ikut ambil bagian dalam gerakan Ekumene. Tinggal dalam suatu rumah yang sama memang bukan berar• harus memiliki agama yang sama, suku, kebangsaan, ataupun adat kebiasaan yang sama. Bukankah sedari mula Tuhan memang sudah menciptakan semua mahkluk berbeda-beda? Sekalipun terdapat batas-batas yang bersifat prinsip, yakni keyakinan iman, sebenarnya terdapat hal yang mendasari kehidupan bersama umat manusia di bumi, yakni cita-cita akan kehidupan bersama yang damai, aman, sejahtera, dan berkeadilan. Itulah tujuan hidup bersama yang universal, juga di Indonesia. Ini tentu membutuhkan semangat kepedulian dan kepriha•nan terhadap masalah-masalah kebangsaan, yang kemudian diwujudkan menjadi sikap bersama. Sebagai contoh, bagaimana kita bersikap terhadap gejala jaman yang makin mendorong manusia menuju cinta diri dan cinta uang? (Bandingkan II Timo•us 3) Inilah sumber-sumber masalah ke•dakadilan masa kini yang menjerumuskan kita dalam berupa masalah kemiskinan dan kebodohan. Keserakahan demi kepen•ngan pribadi atau kelompok
54
Kumpulan Artikel telah menimbulkan korupsi dan perebutan sumber-sumber kekayaan. Inilah sumber konflik dan kekerasan komunal. Masalah pemanasan global adalah dipicu oleh nafsu serakah manusia untuk mengambil lebih banyak dari alam melebihi yang dibutuhkan. Akar masalahnya adalah kemerosotan moral manusia, dan bukan perbedaan paham keagamaan. Masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita ini, •dak akan bisa diatasi bila kita •dak hidup harmonis. Apabila semua makhluk ciptaan Tuhan hidup harmonis serta bersahabat dengan alam lingkungan, saling mendukung dan memperbaiki akan terciptalah kehidupan bersama yang damai, tentram, aman dan adil. Itulah EKUMENE dalam abjad besar. Banyak orang Kristen beranggapan bahwa Ekumene itu erat kaitannya hanya dengan paham keesaan gereja. Pemahaman ber-Ekumene dalam abjad kecil ini perlu disegarkan kembali. Spirit ber-Ekumene hendaklah •dak lagi dibatasi dalam ins•tusi keagamaan Kristen dan gerejanya. Mari berbagi spirit EKUMENE sebagai kekayaan hikmat seluruh umat. Berbagi nilai-nilai kekristenan dan ajaran Kristus dalam semangat EKUMENE merupakan bentuk kesaksian seja•. Mungkinkah? Mari kita jadikan mungkin! Bagi kita semua yang mau belajar memahami perbedaan, mau berubah dari pemahaman dan perilaku yang mengkotak-kotakkan umat manusia. Kalau ada manusia-masusia yang menjadikan dirinya keras ha• dan •dak mau belajar dan berubah, bersabarlah dan berdoalah untuk mereka! Mari kita mulai dari para pemuda-pemudi Indonesia. Selamat berjuang dengan semangat EKUMENE! Tuhan memberka•.*
55
Orang Muda Bicara Oikoumene
7
KEMANUSIAAN SEBAGAI EKUMENE Oleh: Achmad Suhawi (DPP Persaudaraan Pemuda Etnis Nusantara / Persaudaraan PENA)
A. Kearifan Founding Fathers Bangsa Indonesia hadir jauh sebelum negara Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sejarah mencatat bahwa Boedi Oetomo merupakan salah satu upaya manusia Indonesia untuk keluar dari era kebodohan. Boedi Oetomo menjadi lentera di tengah pekatnya penjajahan di atas bumi Nusantara. Keinsyafan manusia Indonesia atas kondisi diri dan lingkungannya kemudian menghantarkan kaum Bumi Putra ke dalam Kongres Pemuda II, maka lahirlah apa yang disebut dengan Soempah Pemoeda. Patut diingat bahwa para generasi muda yang mengikat sumpah tersebut telah menginsyafi segala sekat dan perbedaan SARA (suku, agama, ras dan golongan) yang menjadi sebab fragmentasi kala itu. Mereka mengikat komitmen atas dasar pemahaman bersama terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Kejadian itu merupakan bukti bahwa founding fathers berjuang bukan untuk kepentingan pribadi maupun golongan. Inilah warisan sejati dari bangsa Indonesia, eka dalam Bhinneka – satu dalam keberagaman. Dapat dibayangkan betapa sulitnya menyatukan organisasi pemuda pada waktu itu. Bukan hanya berbeda latar belakang berdirinya, tapi sifat organisasi dan ideologi yang dianut oleh masing-masing organisasi juga berbeda. Dan sebagian dari mereka berorentasi kedaerahan. Namun intensitas hubungan antar organisasi pemuda ternyata semakin mempertebal semangat dan perasaan kebangsaan, sehingga menghasilkan aksi-aksi bersama. Hal ini tampak dari permintaan M. Tabrani selaku
56
Kumpulan Artikel ketua panitia Kongres Pemuda II yang meminta para hadirin mencari jalan keluar untuk memajukan semangat persatuan nasional dengan menghindari segala sesuatu yang bisa memecah belah satu dengan yang lain. Hal tersebut di atas merupakan sepenggal warisan dari para pendahulu dan bapak bangsa Indonesia. Ironisnya, para generasi penerus makin mengalami kegersangan dengan nilai - nilai kebersamaan yang ditinggalkan founding fathers. Akhir-akhir ini makin jarang kita lihat kejadian sebagaimana diuraikan. Budaya Pelagandong yang berkembang selama bertahun-tahun di Maluku sudah berubah bentuk. Semangat tolong menolong telah berganti materialisme, di mana segala sesuatunya diukur dengan materi. Semangat juang yang pantang menyerah telah berubah menjadi hedonisme, instan, dan pragmatisme. Tak hanya itu, masyarakat lebih mudah marah dan beringas terhadap orang yang memiliki perbedaan pandangan tentang suatu keyakinan. Inilah sekelumit kenyataan yang kita lihat, kita dengar dan kita saksikan setiap saat, baik secara langsung maupun melalui media massa. Tragis memang, tapi semangat kebersamaan tidak dan jangan sampai berhenti di situ. Kebersamaan sebagai suatu keluarga besar perlu terus dipupuk dan dikembangkan. Jangan sampai egoisme, individualisme, dan pragmatisme mengalahkan warisan luhur tersebut. Adakalanya konflik antar etnis, antar kampung, antar kampus, dan antar preman bila tidak waspadai, diseret ke wilayah agama. Mengingat konflik seakan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat majemuk dari aspek kultur, etnis, dan bahasa sebagaimana Indonesia. Dalam kondisi semacam ini, bolehlah kita berharap kepada sumbangan riil dari agama agar hadir di tengah masyarakat untuk mewujudkan kebersamaan yang kuat sebagai suatu bangsa. Realitasnya, organisasi
57
Orang Muda Bicara Oikoumene keagamaan cenderung berebut pengikut daripada menekankan kebersamaan sebagai suatu bangsa, memperbanyak tempat ibadah daripada mengedepankan pemahaman kemanusiaan sebagai makhluk Ilahi. Sementara masyarakat berharap agar agama hadir sebagai kohesi sosial di tengah goncangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita insyaf bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan tonggak sejarah yang dipancangkan oleh para founding fathers. Para pendiri betul-betul hendak mendirikan satu negara untuk semua, sebuah negara berdaulat yang mampu menghantarkan semua manusia Indonesia pada kemakmuran, bukan untuk satu golongan, dan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan satu untuk semua. Inilah semangat kebersamaan bangsa Indonesia. Hal ini nampak pula dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), khususnya mengenai anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Suatu pernyataan yang dinilai diskriminatif terhadap agama lain. Akan tetapi, sembilan orang anggota PPKI bermusyawarah secara kekeluargaan untuk menghapuskan tujuh kata tersebut. Jikalau para pendiri negara hendak memaksakan kehendak tanpa mempedulikan kepentingan lebih besar, hampir pasti anak kalimat tersebut tetap dipertahankan. Jadi bisa kita bayangkan, seandainya ke-delapan anggota PPKI menggunakan sentimen primordial dengan mengatasnamakan suara mayoritas, Indonesia merdeka yang diperjuangkan bersama belum tentu seperti sekarang ini, bahkan lebih mengarah kepada negara teokrasi. Salahkah dengan negara teokrasi? Tidak salah, sepanjang tidak ada penyalahgunaan dalam kehidupan sehari-hari. Problem keseharian masyarakat seperti kemiskinan, ketidakadilan, atau korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) bukanlah problem ringan dari bangsa Indonesia. Negara belum mampu memecahkan persoalan yang mendera masyarakat.
58
Kumpulan Artikel Sedangkan agama masih menawarkan “janji-janji” kehidupan yang baik di akhirat nanti, sementara masalah riil dihadapan mata tetap tak terpecahkan. Bahkan akhirakhir ini makin banyak yang menyalurkan kemarahan dan kemurkaan atas nama Tuhan, mereka menyerang dan menyakiti untuk membela Tuhan. Bagi pemeluk agama monoteis, penerus agama Ibrahim, kehidupan di dunia merupakan suatu proses atau terminal yang harus dipersiapkan agar sampai di SurgaNya. Artinya, kehidupan selanjutnya sangat tergantung dengan kehidupan di dunia. Oleh karena itu, membangun Indonesia agar menjadi tempat yang indah bagi semuanya, di mana tak ada kemiskinan dan kebodohan adalah tanggungg jawab bersama, bukan satu kelompok atau golongan tetapi menjadi pekerjaan kolektif dengan setiap individu mengambil tanggungjawab kemanusiaanya. Selain itu, sudah saatnya rutinitas keagamaan beranjak kepada kemanusiaan yang lebih luas dalam rangka menjawab ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan dan problem riil masyarakat.
B. Manusia Tanpa Kemanusiaan Menyikapi kondisi kebangsaan yang makin carut-marut, merupakan kebutuhan yang urgen untuk membicarakan kemanusiaan sebagai “alat” untuk menghadirkan kembali pranata sosial kemasyarakatan sebagai satu bangsa. Membicarakan kemanusiaan tidak boleh dipisahkan dengan kehadiran agama. Wacana menghadirkan agama sebagai instrumen pranata sosial memang tidak dimaksudkan untuk menjadikan agama sebagai alat kekuasaan. Tetapi lebih pada instrumen untuk mengajak semua potensi bangsa agar menjadikan kemanusiaan
59
Orang Muda Bicara Oikoumene sebagai agenda hidup bersama. Wacana kemanusiaan harus disebarluaskan di seluruh Nusantara. Menjaga kebersamaan memang tidak mudah, ia harus dibarengi dengan praktek riil dalam kehidupan, bahkan lebih dari itu. Pada kenyataanya, menurut data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angka pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari tahun 2009 sebanyak 9.258.964, dimana 2.620.049 orang diantaranya tidak tamat SD / belum pernah sekolah, 2.054.682 orang tamat SD, 2.133.627 orang tamat SLTP, bahkan 626.621 orang diantaranya sudah tamat universitas. Jumlah tersebut tidak termasuk mereka yang setengah pengangguran atau mereka yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu. Kenyataan ini semakin memberatkan praktek kebersamaan di tengah sebagian orang yang hidup bermewah-mewah dan berkelimpahan. Apalagi kemewahan yang dipertontonkan justru diperoleh dari korupsi dan perbuatan kotor yang sangat jauh dari kemanusiaan. Masih menurut BPS, prosentasi penduduk buta huruf pada tahun 2008 yang berusia 15 tahun ialah 7.81%, mereka yang berusia antara 15-44 tahun jumlahnya masih mencapai 1.94%. Besarnya angka buta huruf di kalangan usia produktif menjadi gambaran nyata masa depan Indonesia beberapa tahun kedepan. Setelah 64 tahun diproklamasikan ternyata persoalan kemiskinan dan kebodohan masih menjadi momok yang menakutkan. Disintegrasi sosial, egoisme, dan individualistis tampaknya akan tetap mewarnai di masa-masa yang akan datang. Refleksi atas kemiskinan dan kebodohan bila dikonjungsikan dengan kehidupan ber-ekumene, sekaligus dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan negara menemukan relevansinya. Ketidakmampuan negara memenuhi kebutuhan dasar masyarakat menyebabkan manusia tak menghiraukan kepentingan orang
60
Kumpulan Artikel lain. Harmoni sosial akan pudar seiring dengan himpitan kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi. Akibatnya, sebagai suatu bangsa yang selama ini ditopang oleh aturan, agama, norma dan nilai - nilai yang sudah berjalan semakin kehilangan daya kohesinya. Kehidupan sosial yang selaras pun sulit diwujudkan, karena manusia sudah kehilangan bimbingan dan norma, bahkan kehilangan pegangan. Individu menjadi terisolasi dan tercerabut dari akar kebersamaannya. Sementara masyarakat dengan ikatan sosial yang lemah dan tidak terintegrasi menjadi sasaran empuk manipulasi dan penindasan. Kenyataan itu semakin menjauhkan masyarakat Indonesia dari cita-cita sosialnya sebagai negara berdaulat. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar melahirkan disintegrasi sosial, baik di tingkat makro maupun mikro. Hal ini serupa dengan apa yang dimaksud sebagai Gesellschaft, di mana masyarakat modern dipertentangkan dengan masyarakat tradisional (Gemeinschaft). Dalam masyarakat modern, manusia mulai kehilangan identitas individunya dan diperlakukan tanpa nama. Ia adalah kumpulan pemilih, atau pembeli karena masyarakat modern beroperasi pada skala nasional atau supernasional dan pasar. Akibatnya, ikatan antar pribadi, kesamaan lingkungan tempat tinggal dan agama menjadi terputus sehingga pada gilirannya kesetiaan terhadap kelompok menjadi kabur. Padahal, setiap agama telah memberikan pengajaran bagi setiap pemeluknya. Ajaran agama tersebut idealnya dijadikan pegangan dan rujukan dalam menjalani kehidupan di dunia sehingga menjadi manusia yang unggul dihadapan Tuhan YME dan semesta alam. Praktiknya makin banyak manusia yang a-sosial dan a-humanis. Dalam konteks berbangsa, semangat kebersamaan sebagaimana dimaksudkan oleh Van otto Baur dan Ernest Renan, dipersatukan oleh kesamaan kehendak dan karakter untuk mewujudkan cita-cita bersama makin jauh dari kenyataan. Karena produk dari manusia yang individualistis adalah manusia yang
61
Orang Muda Bicara Oikoumene mengabaikan manusia yang lain atau manusia tanpa kemanusiaan. Sejatinya ia telah menjadi manusia yang kehilangan pegangan karena berjalan tanpa bimbingan dan norma. Sehingga pada gilirannya terjadi disintegrasi sosial dan disintegrasi negara.
C. Kemanusiaan Mengemansipasi Manusia. Bertolak dari uraian diatas, kehidupan ber-ekumene terkait erat dengan kehidupan berbangsa dan negara. Karena setiap manusia dijanjikan Surga olehNya, sejatinya setiap manusia dapat mewujudkan surga dikehidupannya yang singkat. Untuk mengalaminya, manusia perlu mengatasi probelem-problem kemanusiaannya. Dalam kerangka historis, agama hadir kepada manusia dengan gagasan besar tentang kemanusiaan, melakukan pembebasan terhadap segala bentuk penindasan, tirani, dan perbudakan. Melalui agama, Tuhan membangkitkan kesadaran manusia sebagai makhluk yang sempurna dan mengemansipasi kemanusiaannya untuk menciptakan suatu peradaban ke arah yang lebih baik. Artinya, dengan beragama manusia diharapkan memikul tanggung jawab kemanusiaanya agar menjadi manusia yang sempurna di hadapan Tuhan dan sesama. Dalam kondisi yang serupa, dengan bernegara manusia diharapkan mampu mewujudkan cita-cita sosial kemanusiaannya bersama-sama. Kenyataan sosial dewasa ini sangat paradoks, agama tampil di tengah-tengah masyarakat dengan muka suram, kejam dan keras. Sehingga cita-cita mensejahterakan dan membebaskan manusia Indonesia dari belenggu ketidakberdayaan dan ketidakpastian menjadi impian dan angan-angan belaka. Bahkan agama sering dipahami sebagai sumber konflik yang tiada akhir. Akibatnya, agama dinilai
62
Kumpulan Artikel sebagai suatu sebab yang menjauhkan manusia dari kemanusiaannya. Pada saat agama menjauhkan manusia dari kemanusiaannya, sejatinya ia semakin jauh dari inti pokok ajaran Tuhan. Untuk mendefinisikan kembali peran dan tanggung jawab kemanusiaannya, agama harus hadir ditengah-tengah kehidupan kebangsaan. Bukan untuk membangun kebesaran simbolik, tetapi untuk menyingkirkan ketertindasan, sebagai musuh kemanusiaan. Tegasnya, kebersamaan dalam mengambil tanggung jawab sosial untuk membebaskan keterpurukan sebagai suatu bangsa merupakan sunnatullah dan fakta sosial yang tidak terbantahkan. Sebab, pada saat manusia tak mampu mengambil tanggung jawab sosialnya, sejatinya dia terasing dengan kehidupan riil yang dihadapi, dia telah terlempar jauh dari realitas kemanusiaannya. Oleh karena itu, kerja kemanusiaan harus menjadi prioritas agar senantiasa hadir di tengah masyarakat, terutama ketika masyarakat terpecah-pecah, tercerai-beraikan oleh konflik dan pertentangan. Umat akan terbuka, toleran, serta demokratis saat agama membuka lebarlebar dimensi humanisme-nya. Jika humanisme agama tidak dibuka, justru yang akan berkembang sikap ingin menang sendiri, menjustifikasi - mengkafirkan orang yang memiliki perspektif berbeda. Di sinilah urgensi dialog dan kerja sama antaragama dalam rangka turut mengkonstruksi kohesi sosial pada konteks negara menemukan relevansinya. Sebab, saat negara mengabaikan dimensi humanisme dari agama, ternyata justru melahirkan manusia-manusia bermental rendah dan korup. Apa yang sedang terjadi di negeri ini adalah produk cacat dari suatu pemahaman terhadap ajaran agama. Di negara yang religius, ternyata banyak pejabat korup, mereka tidak segan-segan mengambil uang negara, uang rakyat, menyuap dan menerima suap, transaksi “dagang sapi” antar elite politik, mafia peradilan yang memberikan perlakuan istimewa terhadap orang-orang tertentu. Semua itu merupakan bukti
63
Orang Muda Bicara Oikoumene mutakhir rendahnya kemanusiaan akibat lalainya memahami humanisme agama. Perkembangan kebangsaan belakangan ini sangat memprihatinkan. Pesta pora di tengah kemiskinan saudara sebangsa merupakan praktik ketidakadilan yang nyata. Ironisnya, banyak orang berpangku tangan membiarkan hal tersebut terjadi. Manusia beragama telah kehilangan kemanusiaannya. Padahal para Nabi dan Rasul memberi teladan agar membela kaum tertindas, lemah, tidak berdaya, kaum tersisih, dan kaum yang didzolimi. Dengan demikian agama mampu menjadi spirit atas kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Dengan berpegang kepada kemanusiaan maka perbedaan tak dipertentangkan, apalagi dijadikan pemicu untuk saling membenci dan disintegrasi. Dapat dinyatakan bahwa dimensi kemanusiaan dalam beragama merupakan cara Tuhan mengemansipasi umat manusia dari kejatuhannya.*
D. Daftar Pustaka Achmad Suhawi, 2009. Gymnastik Politik Nasionalis Radikal, Fluktuasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada. Ahmaddani G-Martha, dkk, 1985. Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa, Jakarta, Kurnia Esa. Sztompka, PiÖtr, 2007. The Sociology of Social Change, Sosiologi Perubahan Sosial (Alimandan), Jakarta, Prenada Media Group. Zuly Qodir, 28 Juni 2002. Kemanusiaan, Melampaui Simbol-simbol Agama, Kompas.
64
Kumpulan Artikel
65
Orang Muda Bicara Oikoumene
8
REVIVALISASI VS EKUMENE Oleh: Yoyarib Mau
Kehidupan kaum muda pada era kontemporer, menjadi pergumulan manusia di seantero dunia, pergulatan ini ibaratnya seperti mata uang dengan dua sisi, salah satu sisi kehidupan tersebut yakni retorika akan perjalanan sejarah hadirnya gereja dan para pendiri dengan seluruh simbol, ritual dan serta doktrin yang influensanya hingga ke Indonesia. Menjadi kebanggaan bagi warga gereja atau manusia pada umumnya. Seandainya mereka dapat mengalami atau menikmati kembali pergumulan sejarah gereja yang telah berlalu dalam kehidupannya. Hal tersebut yang dinamakan revivalisasi namun apabila tak memungkinkan untuk menjalani, menikmati bahkan sekalipun melalui upaya untuk mewujudkan hal sama maka warga gereja bahkan kehidupan manusia yang kebetulan memilih atau terlahir dalam kondisi yang tidak memberikan ruang untuk memilih berbeda keyakinan, atau dengan sadar memilih untuk berkeyakinan lain maka lompatan yang dilakukan adalah melakukan pengulangan melalui media lain yakni sandiwara, drama atau film dan media visual lainya. Proses mengenang kembali suatu budaya atau sejarah yang telah berlalu tak terbatas hanya untuk mengenang kembali yang dilakukan melalui peran yang dimainkan dalam sesi tertentu saja. Manusia mengadopsinya menjadi jati dirinya melalui doktrin yang dipercayai atau diyakini sebagai sebuah kebenaran, perilaku ini tak sebatas itu saja namun ada langkah manusia yang konkrit guna melakukan revivalisasi atas sejarah yang telah berlalu melalui euforia tertentu. Aksi euforia berupa simbol dan aksesoris tertentu sebagai sebagai pengenangan akan sebuah peradaban yang telah berlalu dan berkeinginan untuk menjelma kembali dalam kehidupan saat ini. Pemuda Kristen akan melakukan revivalisasi dengan menggunakan aksesoris sebagai salah satu ekspresi diri, salah satu bentuk ekspresi tersebut yakni rantai salib dengan ukuran yang cukup besar dan dikenakan di leher dengan menempatkannya diluar baju di bagian depan dada. Indonesia saat ini sangat familiar dengan rantai salib yang dikenal dengan sebutan “besi putih” dan aksesoris ini
66
Kumpulan Artikel menunjukan pada gereja mula-mula dimana para imam gereja atau para biarawati sering mengenakannya kemana pun mereka berada sebagai tanda bahwa mereka adalah orang yang dikhususkan. Makna ini bergeser dimana pemuda atau warga gereja mengenakan aksesoris ini sebagai simbol, pertanda pemakainya adalah seorang penganut agama Kristen. Namun ada ciri-ciri yang lebih mengkhususkan lagi yakni “rosario” yang kebanyakan dikenakan oleh penganut Katolik. Rantai salib yang terbuat dari besi putih ada ciriciri khusus yang lebih spesifik guna membedakan si pemakainya, apabila di rantai tersebut tergantung aksesoris salib dan di salib tersebut tidak terdapat lukisan tertentu ini menunjukan bahwa ia seorang Protestan, apabila di salib tersebut ada lukisan atau relief Yesus yang tergantung di palang salib tersebut maka kemungkinan besar si pemakai adalah seorang Katolik. Proses pembedahan dan pembelahan diri kelompok, penganut kepercayaan akan membelah diri menjadi kelompok-kelompok kecil dengan menjadikan simbol atau aksesoris sebagai identitas kelompok. Dengan adanya simbol atau aksesoris tersebut mereka dapat diketahui bahkan diakui sebagai bagian dari komunitas atau kelompok tertentu. Bangunan gereja dengan bentuk, relief, simbol atau aksesoris yang tampak dalam sebuah bangunan akan membedakan dan sebagai petunjuk akan keberadaan gereja serta aliran dari gereja tersebut. Apabila di bubungan Gereja ada aksesoris Seekor Ayam Jantan maka ada kemungkinan pemakai Bangunan tersebut adalah kelompok penganut Protestant Presbiterian (Calvinis – Luteran), namun jika ada gambar Salib dan burung merpati dan daun Zaitun maka ada kemungkinan pemakai Gedung tersebut adalah mereka adalah kelompok Kristen Pantekosta atau aliran Injili (Armenian). Ada simbol-simbol yang banyak dengan berbagai variannya dan dijadikan sebagai cirri dari aliran kepercayaan tertentu dalam Gereja, bahkan simbul tersebut tanpa sadar telah di maknai bahkan di domain sebagai milik atau penunjuk bagi komunitas tertentu. Bahkan di kemudian hari simbol, relief dan ciri-ciri yang berkembang sebagai bentuk dan identitas kelompok di jadikan sebagai sebuah kepemilikan yang tidak boleh di tiru atau di kenakan oleh kelompok lain jika mereka bukan menjadi bagian dari kelompok yang memiliki rumah tersebut.
67
Orang Muda Bicara Oikoumene Tidak terbatas pada identitas yang dikenakan tetapi pembenaran bahkan pengkultusan terhadap pribadi, simbol, aksesoris terkadang menjadi sumber pembenaran yang dimiliki oleh kelompok tertentu, seketika ada orang lain yang salah menggunakan, memberikan aksen atau memperlakukan simbol atau aksesoris tersebut tidak seturut dengan makna dan simbol asalinya maka dapat menyulut kesalahpahaman dan konflik horisontal. Penggunaan simbol sebagai identitas kelompok pada awalnya sebagai proses pengenangan kembali akan sebuah peradaban yang telah berlalu, akan tetapi dalam perkembangannya simbol, relief, aksesoris telah mengalami pergeseran makna atau bias makna sebagai jati diri dan bahkan disakralkan sebagai ruh dari kelompok tersebut. Hadir sebuah pertanyaan mendasar yang patut di diskusikan bersama yakni, adanya simbol atau aksesoris dalam kelompok – kelompok gerejawi perlu dikaji bersama penggunaannya, apakah menguntungkan atau menghadirkan bencana bagi kehidupan bergereja? Kemudian bagaimana kita memahami serta menggunakan simbol, aksesoris serta reliefnya dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat dan bernegara. Permasalahan diatas kini menjadi budaya dan mengakar dalam setiap komunitas gereja, namun perlu ada pemahaman yang total dan menyeluruh terhadap budaya simbol atau aksesoris yang berkembang. Francis Fukuyama mengungkapkan budaya adalah konsep pilihan, dalam menimbang-nimbang pilihan budaya yang saling bersaing ini tidak dapat satu pun dianggap lebih baik dari yang lain, dengan demikian memerlukan kelompok norma tertentu yang membentuk modal sosial, dimana modal sosial tersebut sebagai seperangkat nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan kerja sama di antara mereka, kemudian Dia menambahkan bahwa modal sosial memberikan manfaat yang lebih luas, modal sosial penting sekali untuk mewujudkan masyarakat sipil yang sehat, dalama arti, kelompok dan himpunan yang terwujud diantara keluarga dan negara. (Guncangan Besar – Gramedia – 2005). Revivalisasi lebih memiliki kecenderungan untuk membentuk sebuah budaya baru dalam kehidupan masyarakat dan juga kehidupan agama yang masing-masing tidak dapat disalahkan dan juga membenarkan yang lain, budaya tersebut yakni dalam bentuk simbol dan aksesoris yang dikenakan dapat membentuk diri menjadi
68
Kumpulan Artikel kelompok tertentu kuat, hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sebagai identitas yang menjadi alat pembenaran bagi kelompok untuk saling mempertahankan diri serta membela kelompoknya jika simbol dan aksesoris kelompoknya direndahkan atau di lecehkan sehingga menimbulkan rapuhnya kehidupan kebersamaan seperti yang diharapkan dalam konsep Ekumene yakni membangun hubungan baik dengan semua institusi gereja, lembaga –lembaga Kristen yang menyakini keanekaragaman budaya dari simbol dan aksesoirs yang dimiliki dari masing-masing kelompok diharapkan tidak mempertajam hal tersebut sebagai perbedaan yang mendasar. Tak disangkal konflik dan perbedaan dalam kehidupan bergereja terjadi karena perbedaan – perbedaan yang ada yang tidak mungkin di satukan terutama doktrin maupun tafsiran-tafsiran yang dimiliki, sehingga tawaran Fukuyamaa mengenai modal sosial menurut penulis dapat dijadikan sebagai sebuah sarana untuk membangun kerjasama, antara kelompok gerejawi yang memiliki pelbagai perbedaan budaya. Perbedaan merupakan hasil rekonstruksi manusia sehingga tidak menutup kemungkinan bagi manusia untuk menghadirkan konsep baru seperti modal sosial, namun untuk konteks Indonesia saat ini modal sosial seperti apa yang dapat digunakan dengan tepat untuk membangun kebersamaan? Modal sosial dapat di bangun oleh berbagai kelompok dari berbagai berbgai denominasi untuk besamasama mewujudkan kebersamaan. Gereja sudah saatnya memahami diri secara baru dimana tidak lagi hanya membanggakan diri sebagai institusi keselamatan dan mengumandangkan pengampunan dosa tetapi gereja sudah saatnya menghadirkan diri secara baru dengan modal sosial guna meningkatkan pelayanan sosial dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas sosial. Modal sosial dapat berevolusi dalam berbagai bentuk yakni komunitaskomunitas sosial yang memfokuskan diri dalam penanganan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kebodohan, kerusakan lingkungan dan lain-lainya. Komunitas sosial yang terbentuk diharapkan dapat menyelaraskan berbagai denominasi dengan berbagai simbol yang dimiliki karena ada obyek bersama yang dapat di namakan “musuh bersama” untuk dibasmi. Timbul keyakinan yang dapat membakar emosi para pemuda atau warga
69
Orang Muda Bicara Oikoumene gereja bahwa ada musuh bersama yang dapat dijadikan alasan untuk menyatukan diri dan diharapkan mampu meminimalisir semangat revivalisasi pada kelompok, dengan adanya musuh bersama yakni permasalahan sosial kemasyarakatan para kelompok ini dapat membangun model ekumene baru dalam komunitas-komunitas tertentu seperti komunitas pencinta alam yang musuhnya adalah kerusakan alam, atau kelompok melek huruf, atau melek angka yang musuhnya adalah kebodohan, dan kelompok lainya yang memiliki spirit dan emosi yang sama untuk membangun kehidupan bersama tanpa kesenjangan. Muara dari modal sosial ini yang kemudian hari dapat dikategorikan menjadi NGO (Non Governon Organization), civil society, LSM. Semuanya hadir dan diperankan oleh pemuda atau warga gereja sebagai modal sosial yang dapat membangun kebersamaan dan saling bekerja sama tanpa membedakan simbol aksesoris, dan doktrin yang melekat pada diri, tetapi ada tujuan bersama yang mulia yang dapat menyatukan pelbagai perbedaan. Semangat revivalisasi dapat diubah bentuknya melalui modal sosial dan tidak dengan membanggakan simbol atau aksesoris lama untuk membentengi diri sebagai kekuatan tertentu tetapi dihadirkan kembali dalam bentuk modal sosial guna menciptakan kehidupan Ekumenis.* *Penulis adalah Mahasiswa ilmu politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI dan Wakil Sekretaris Pada Badan Pengurus Perwakilan Gereja Masehi Injili di Timor Jakarta masa bakti 2008 – 2012.
70
Kumpulan Artikel
9
SPIRITUALITAS GEREJA, GAIRAH POLITIK PEMUDA, DAN KADERISASI Oleh: Basar Daniel Jevri Tampubolon (Ak•vis Muda GKI)
Panggilan Gereja di Masyarakat “….Tidak cukup bahkan tak boleh bila gereja-gereja kita berhenti pada diri sendiri; mempertahankan diri sendiri dan memperbesar diri.” [Eka Darmaputera] Allah menghadirkan gereja untuk menjalankan dan melanjutkan misi Kristus di dunia. Dengan itu Allah memberikan tiga tugas kepada gereja, yakni: bersaksi, bersekutu, dan melayani. Tri tugas gereja itu diharapkan mampu mewujudkan kasih Allah kepada semua orang. Artinya, gereja mempunyai tugas ke dalam dan keluar. Ketiga tugas gereja itu merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Namun seringkali panggilan itu dimaknai berbeda, sebagian kalangan merasa lebih penting mengurusi pertumbuhan jumlah jemaat daripada memilih terlibat dalam persoalan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), lingkungan hidup, ekonomi, hukum, sosial, politik, dan sebagainya, yang menuntut gereja turun ke ranah publik. Gereja dikatakan berhasil menjalankan tugas ketika ia bermanfaat tak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga bagi dunia. Gereja dituntut untuk peka terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat. Gereja diharapkan menjadi komunitas yang mendorong gerakan moral bagi keadilan, kebenaran, dan keberpihakan pada kaum yang termarjinalkan, seperti yang sudah Yesus lakukan semasa hidupNya. Hal itu membuat adanya kebutuhan untuk terlibat di dalam politik. Karena politik memiliki kekuatan besar yang mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat, negara, bahkan dunia. Yesus dan Politik Semasa pengabdianNya, Yesus seringkali melakukan manuver politik demi penegakan HAM. Ia menolong kaum tertindas dan terpinggirkan pada masa itu. Pelacur, pengemis, orang sakit, pemungut cukai, dan sebagainya ditolong atas dasar cinta dan keadilan. Tindakan itu Ia lakukan karena pemahaman akan panggilan yang diberikan Allah, menyelamatkan dunia! Kedekatan dengan Allah membuat hatiNya tersentuh untuk membela kaum yang terzhalimi, terbuang oleh kepentingan
71
Orang Muda Bicara Oikoumene penguasa dan sebagainya. Dalam kondisi demikian, popularitas Yesus merangsek naik mengalahkan ketenaran Imam Kayafas (pemimpin Farisi kala itu), bahkan mengancam kedudukan Pontius Pilatus sebagai penguasa. Karena takut kehilangan pengaruh, akhirnya para pendeta Yahudi menginterogasi Yesus: mereka berkonsentrasi kepada klaim Yesus sebagai Mesias, Sang Kristus (Matius 26:61-64; Markus 14:60; Lukas 22: 6671). Namun ketika dibawa ke hadapan Pilatus, mereka menyampaikan dakwaan: “Telah kedapatan oleh kami, bahwa orang ini (Yesus) menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada Kaisar, dan tentang diriNya Ia mengatakan, bahwa Ia adalah Kristus, yaitu Raja” (Lukas 23:8) dan kemudian Pilatus menyelidiki, hingga berakhir di kayu salib. Para pendeta Yahudi tahu bahwa penguasa Roma akan merasa khawatir dengan orang yang mengklaim dirinya sebagai raja. Tuduhan itulah yang disampaikan pada Pilatus. Hal itu pula yang membuat Yesus dikejar-kejar orang-orang Roma. Mereka pada akhirnya menghukum Yesus. Sedangkan Yesus, dengan sadar memahami segala risiko dari tindak-tandukNya. Terlebih detik-detik saat Yesus hendak ditangkap, mengapa Ia tidak melarikan diri? Bahkan mencegah muridNya untuk melakukan perlawanan? Alkitab dengan jelas menggambarkan sisi politis Yesus. Namun mengapa mimbar seringkali menutupinya? Banyak kisah tokoh-tokoh Alkitab yang kental dengan nuansa politik. Salah satunya Daud, begitu ia diurapi Allah tangannya kemudian berlumuran darah, membunuh ratusan orang yang dianggap musuh, dan melakukan intrik yang menyebabkan kematian Uria, itu semua politik. Apa yang mesti kita pelajari dari Yesus? Ia merelakan diri menjadi korban amarah demi keselamatan dan kebaikan semua orang. Yesus dengan jelas meneladankan pada orang kristen untuk ikut berperan serta dalam menciptakan perdamaian dunia. Jika gereja mengakui Yesus sebagai Kepala Gerakan, mengapa sulit untuk mengakuinya secara politik? Banyak hal telah disamarkan, misi gereja bukan hanya menginjili dan mengajak seisi dunia menjadi kristen, Yesus datang bukan untuk menciptakan agama.
Sejarah Kiprah Politik Pemuda Kristen dan Penumpukan Intelektualitas
72
Kumpulan Artikel Sejak pra kemerdekaan, sebagian besar pemuda Kristen telah memberikan kontribusi dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik di Indonesia. Pada masa itu gereja menyadari perlunya mempersiapkan jemaat, termasuk pemuda yang mampu melakukan transformasi dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Berbagai kelompok pendalaman Alkitab (Bijble Kring) aktif membahas persoalan sosial-politik bangsa dari sudut pandang kekristenan. Hasilnya, pemuda-pemuda seperti Latuharhary, Amir Syariffoedin, Maramis, Gunung Mulia, Rumambi dan Leimena lahir menjadi generasi yang siap berpartisipasi dalam kehidupan politik karena memiliki kapasitas intelektual, pengetahuan sosial-politik, kedalaman spiritual, dan wawasan kebangsaan yang luas. Bahkan Leimena sempat dipercaya menjadi pejabat Presiden RI sampai tujuh kali. Gereja boleh saja berbangga atas prestasi pemuda-pemuda di masa lalu, sistem pengkaderan yang berjalan saat itu sinergis dengan zamannya. Di mana pemuda menentang dan merasakan bahwa penjajahan adalah sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Gereja berperan besar membentuk kader-kader seperti mereka. Kontras dengan sistem pengkaderan gereja di masa sekarang. Tema-tema kebaktian dan persekutuan pemuda tak menyiratkan adanya concern gereja untuk menyikapi dan ikut serta mempersiapkan kader di panggung politik nasional sebagai wujud nyata dukungan kekristenan bagi bangsa. Apa yang perlu dilakukan gereja sejak dini? Ke mana generasi muda yang dinamis, bergejolak, dan optimis? Pemuda masa kini kelihatannya enggan terjun ke dunia politik, merasa alergi untuk membicarakan hal-hal yang dianggap kotor. Padahal politik mampu menciptakan kebaikan dan keadilan bagi siapa pun. Gereja berperan serta mempersempit pola pikir mereka dengan terus mengajak para pemuda untuk menjadi song leader, worship leader, pemain musik, dan sebagainya. Merayu serta menakut-nakuti mereka atas dasar panggilan pelayanan dan karena kekurangan sumber daya manusia. Ketika kader gereja semakin sedikit di arena politik maka peluang ketimpangan dalam pengambilan kebijakan publik akan semakin terbuka. Pemuda sekarang seperti kehilangan arah dan model kepemimpinan, serta cenderung lebih mementingkan diri sendiri ketimbang memikirkan pengemis di simpang lampu merah. Hal itu juga disebabkan karena gereja hanya memberikan jadwal persekutuan doa, KKR, retret, doa semalam suntuk, persiapan perayaan paskah dan drama natal. Tema-tema persekutuan disajikan dengan slogan “orang Kristen tak boleh sama dengan dunia”. Kerohanian acapkali dipertentangkan dengan sekulerisme.
73
Orang Muda Bicara Oikoumene Sementara di gereja banyak pemuda-pemuda cerdas, punya kemampuan akademik mumpuni, dan relasi yang luas. Pemuda dan Politik Suka atau tidak, kita mesti menyambut politik sebagai panggilan. Dari lahir sampai mati, soal makanan, sampai masalah mata pelajaran/kuliah yang kita terima merupakan keputusan politik. Termasuk soal keyakinan dan kerukunan, semuanya bagian dari politik. Politik adalah power yang mampu mempengaruhi kita sebagai pribadi dan bangsa. Nasib kita dan seluruh warga negara sangat bergantung pada kebijakan politik. Celakanya, politik itu seperti bejana. Siapapun bisa memasukan air ke dalamnya, termasuk air kotor, bahkan sampah sekalipun. Pada satu sisi, politik mampu menghadirkan kebaikan bagi semua orang, namun di sisi lain juga bisa menciptakan malapetaka, menghasilkan diskriminasi dan marjinalisasi terhadap sebagian kalangan. Terjun ke dunia politik tidak sebatas soal jabatan semata. Lebih dari itu, menjadi warga negara biasa juga merupakan panggilan politik. Ada cerita sangat menarik tentang Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan. Ketika Mandela masih menjabat sebagai Presiden dengan tingkat popularitas yang sangat tinggi, dan ketika seluruh rakyat Afrika Selatan masih sangat mencintainya dan berharap dia mau menjabat kembali sebagai Presiden, Nelson Mandela mengambil keputusan yang paling dramatis: ia memilih mundur! Mandela menolak dicalonkan kembali. Seorang wartawan yang penasaran bertanya kepadanya: “Kenapa Anda memilih untuk tidak dicalonkan lagi padahal bagi Anda ada jalan lebar untuk berkuasa kembali?” Mandela menjawab: “Saudaraku, berkuasa atau tidak, bisa sama artinya. Anda tahu bahwa penguasa yang tidak bertanggungjawab nilainya kalah atau lebih rendah daripada warga negara biasa yang bertanggungjawab.” Mandela pun melanjutkan: “Maka ijinkanlah saya menjadi warga negara biasa yang bertanggungjawab.” Cerita Mandela mengajarkan supaya kita tidak melulu berpikir kalau politik itu “kotor dan mesti punya jabatan”, ia mengajarkan kesantunan politik yang tidak dimiliki sebagian besar elit politik. Menjadi politikus tidak melulu bicara pada tataran pemerintahan, duduk di kabinet atau menjadi presiden. Memiliki tanggungjawab membangun bangsa lewat intelektualitas dan perilaku sehari-hari juga merupakan bagian dari niatan mulia politik. Posisi, jabatan, fasilitas, dan kemudahan mampu dihadirkan lewat politik, namun juga bisa membuat kita lupa diri. Politik itu
74
Kumpulan Artikel pelayanan, sama seperti saat kita ambil bagian dalam pelayanan paduan suara. Dalam masa hidupNya, Yesus tahu kalau politik yang Ia jalankan berat, hingga mempertaruhkan nyawa. Namun satu langkah pun Ia tidak mundur, asalkan dunia bisa merasakan keadilan, kesetaraan, tidak dipinggirkan, dan terutama merasa diri berarti. Yesus mau generasi muda gereja bangkit dari tidurnya, tidak lagi hanya memikirkan diri sendiri, kisah cinta, internet-an, sampai pada curhat colongan sambil nongkrong bareng di kafe. Di waktu yang bersamaan, sesama pemuda lainnya tidak mampu sekolah karena biaya, kelaparan karena miskin. Yesus sedang bicara pada kita. Gereja dan Pemuda Masa Depan “....Platform perjuangan kristen adalah bagi semua orang, bagi seluruh bangsa. Ini berangkat dari keyakinan teologis saya, bahwa sesuatu yang baik hanya untuk orang Kristen saja, itu tidak Kristiani. Something which is good only for Christians is Un-Christian. Yang Kristiani adalah kalau itu baik bagi semua orang.” [Eka Darmaputera] Gereja meyakini Yesus Kristus sebagai Pemimpin Gereja, dengan begitu gereja selayaknya meneladani sikap dan pengorbanan Yesus bagi dunia. Sudah saatnya mimbar-mimbar gereja kembali menyerukan persoalan dan kepentingan bersama, ada kebutuhan dan panggilan yang lebih besar. Menjadi gereja yang terbuka bagi siapapun adalah syarat mutlak kalau mau terus bertahan dan berbuah berkat di zaman ini. Berhentilah memikirkan diri sendiri dan menerapkan konsep-konsep lama, sudah tidak relevan. Gereja mesti merencanakan program-program yang lebih konkret, tidak dengan membagikan sembako saja, “kasih mie, jadi Kristen”. Model yang demikian memiliki kesan lain di era kekinian, menimbulkan konflik dan rasa muak dari berbagai kalangan, termasuk sebagian gereja. Bangunkan seluruh jemaat supaya membuang pemikiran sempit yang sudah diajarkan pada masa lalu. Yesus bukan milik gereja, jemaat, dan penguasanya saja. Ia milik semua bangsa, suku, golongan, dan sebagainya. Pengkaderan merupakan hal terpenting yang mesti gereja tangani sejak saat ini. Gereja harus merubah model pengajarannya, terutama dalam kelas katekisasi. Jangan lagi menganggap hal itu sepele. Katekisasi merupakan tonggak awal perkembangan
75
Orang Muda Bicara Oikoumene gereja. Rombak kelas-kelas monologis (satu arah), sampai kapan gereja terus melakukan praktik-praktik pembodohan dan formalitas? Puluhan orang kristen terjebak dalam kebingungan, apa yang didapatkan semasa kelas katekisasi tidak lagi relevan dengan globalisasi. Gantikan ’model kuno’ itu dengan kelas dialogis (dua arah/diskusi), di mana setiap katekisan (yang belajar katekisasi/sidi) mampu mengkritisi imannya sendiri kepada Yesus Kristus, tidak hanya manggut-manggut di kelas mendengarkan ceramah yang terkadang tak memberikan kesempatan bertanya. Itu hal pertama yang mesti gereja lakukan secepatnya. Tanamkan sistem demokrasi, siapkan para pendeta, penatua, dan aktivisnya. Susun dan diskusikan topik yang lebih kontekstual. Yesus itu sinergis dengan zaman, Ia melihat kebutuhan tanpa meninggalkan kedirianNya. Yang kedua, gereja mesti menangkap selera anak muda masa kini, bila perlu gunakan riset. Hadirkan kegiatan-kegiatan sosial, politik, budaya, ekonomi, dan sebagainya. Supaya gereja punya kader di bidang politik, rancang program seminar politik, latihan kepemimpinan secara berkesinambungan, bedah buku, bedah film, dan semacamnya. Dorong para pemuda untuk membuka kelompok-kelompok diskusi mandiri yang disesuaikan dengan bidang masing-masing, tidak melulu diarahkan mengikuti persekutuan doa dan menyusun proposal Natal. Akhirnya, gereja membutuhkan kita. Banyak pekerjaan gereja yang mesti kita tangani bersama. Jangan mau jadi pemuda yang ’kudus sendiri’, hingga mengesampingkan relasi dan tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat, dan bangsa. Kita adalah kaum pembaharu, hancurkan tembok-tembok yang membentengi kemandekan gereja. Kritisi setiap kebijakan yang diberlakukan para petinggi gereja. Bangun gerakan muda yang lebih nyata, Indonesia menantikannya. Yesus berharap banyak pada semangat kemudaan kita. Bayangkan kalau sepuluh tahun ke depan ratusan pemuda mampu tampil di pemerintahan, di segala bidang, ekonomi, sosial, hukum, politik, dan sebagainya. Ketika saya dan Anda berhasil mewujudkannya, maka keKristenan menjadi baik bagi semuanya. Dan perlu keputusan politik untuk menentukan langkah apa yang mau kita ambil dari sekarang. Belajar dan menjadi politikus tak sebatas mimbar, persekutuan, nilai akademik serta perkuliahan, ia hadir dalam keseharian. Gereja sudah waktunya membeberkan nilai-nilai politis kekristenan. Semoga!*
76
Kumpulan Artikel Daftar Pustaka Eka Darmaputera, Ph.D., Dkk, “Sebuah Bunga Rampai: Yesus & Politik” Eka Darmaputera, Ph.D., “Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia” Pdt. Dr. Albertus Patty, “Pemuda dan Politik”
77
Orang Muda Bicara Oikoumene
POUK SEBAGAI PIONER DALAM GERAKAN EKUMENE DI INDONESIA Oleh: Pdt. Sapta Baralaska Utama Siagian I. Pendahuluan Persekutuan Oikumene umat Kristen (POUK) hadir sebagai suatu karya Allah dimana keberadaan POUK menjadi berkat bagi orang percaya dalam eksistensi berekumene di Indonesia. Hingga saat ini banyak juga orang percaya belum mengenal POUK, hal ini menjadi tanggung jawab pimpinan gereja (secara khusus dalam lingkup PGI) dan warga jemaat POUK. Ada juga yang beranggapan bahwa kehadiran POUK menjadi ancaman bagi gereja, hal itu terjadi karena mereka •dak memahami apa dan siapa POUK. Di tahun 1950 sampai 1960-an, pertambahan penduduk dan perkembangan kota menyebabkan dibukanya pemukiman-pemukiman baru, adanya asrama TNI/ POLRI, perumahan BUMN yang dibangun oleh pengembang. Dari penduduk yang berpindah terdapat pula orang Kristen yang •nggal dalam pemukiman baru. Mereka rindu untuk beribadah tetapi •dak ada gereja induk dimana mereka biasa beribadah atau jauh dari pemukiman dan komplek, maka biasanya keluarga-keluarga Kristen tak mempersoalkan dari gereja mana yang melayani, denominasi dan liturgi. Maka bentuk ekumene sebagai jawaban dalam keberagaman latar belakang gereja-gereja yang ada. Persekutuan Oikumene (POUK) dapat menjawab kerinduan bagi umat Kristen dan juga lebih fleksibel dan juga dapat merangkul. Hadirnya POUK sebagai solusi memenuhi kebutuhan pemeliharaan rohani bagi umat Kristen. Keberadaan POUK juga melalui gumul-juang seper• contoh sejarah POUK Lenteng Agung dimana saat ini penulis melayani sebagai pendeta tenaga utusan gereja. POUK Lenteng Agung hadir karena kerinduan akan adanya suatu persekutuan warga Kristen satuan Zeni Lenteng Agung (PWK-Satzila) untuk mewujudkan persekutuan Ekumene di lingkungan TNI-AD. Keluarga Kristen mengumpulkan dana dengan menyisihkan beras jatah (beras jimpitan) 1 liter dan uang Rp. 50 rupiah, untuk mendirikan tempat ibadah. Dari PWK-Satzila menjadi POUK Lenteng Agung hingga saat ini yang telah berusia 38 tahun oleh karena Anugerah Tuhan dan swadaya warga Kristen dilingkungan Lenteng Agung saat ini
78
Kumpulan Artikel POUK Lenteng Agung tetap eksis, dengan pelayanan-pelayanan kategorial, di mana POUK Lenteng Agung saat ini memiliki 537 jiwa warga gereja. Begitu juga POUK-POUK yang lain yang berdiri melalui gumul juang dan mampu menunjukkan eksistensi hingga saat ini. POUK hadir sebagai wujud dari keinginan dan kerinduan orang-orang Kristen di suatu tempat untuk menghadirkan persekutuan antara sesama orang beriman dan mewujudkan persekutuan tersebut menjadi saksi terhadap masyarakat sekitar. Hal ini dirumuskan pada Bina Ekumene IX tahun 1982 sebagai mo•vasi menuju gerakan ekumene di Indonesia serta satu usaha pembentukan Gereja Kristen Yang Esa (GKYE) di Indonesia. Komitmen POUK tetaplah persekutuan umat Kristen bukan melembaga menjadi gereja. Dalam perkembangannya gereja-gereja berusaha untuk menempatkan POUK sebagai bagian yang saling mendukung, POUK sebagai mitra layan gerejagereja dan hal itu dirumuskan pada Bina Oikumene (BO) X tahun 1988 sebagai pedoman bersama antara POUK dengan gereja-gereja. II.POUK Dalam Tugas Panggilan Pelayanan Apakah POUK memiliki tugas panggilan yang sama dengan gereja ? Pertanyaan ini sering dipertanyakan dan juga harus dijawab. Pada hakekatnya POUK sama dengan gereja yang memiliki tugas panggilan. Membedakan POUK dengan gereja adalah bahwa POUK •dak melembaga dan •dak memiliki sinode, POUK menjalankan hal yang sama dengan gereja seper• sakramen, pelayanan kategorial dan sebagainya. Sekali lagi bahwa POUK pada hakekatnya adalah gereja. POUK adalah komunitas yang diutus Allah di tengah dunia; POUK •dak berada dalam ruang yang steril, oleh karena itu POUK adalah persekutuan yang dinamik dan krea•f, cerdas dan cermat. Dalam dokumen keesaan gereja Sidang Raya PGI tahun 2004, gereja maupun POUK adalah persekutuan orang percaya, pria-wanita, tua-muda, di segala tempat dan di sepanjang zaman terpanggil untuk : ØMenampakkan keesaan, seper• keesaan tubuh Kristus dengan rupa-rupa karunia, tetapi satu roh yang selalu membaharui (Roma 12:1-8; 1 Korintus 12:4). Ø Memberitakan Injil kepada segala makhluk (Ma•us 16:15).
79
Orang Muda Bicara Oikoumene Ø Menjalankan pelayanan dalam kasih dan usaha menegakkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Tugas panggilan POUK adalah kelanjutan dari misi Yesus Kristus, yang telah diutus oleh Allah untuk menyelamatkan dunia ini dan mendamaikan segala sesuatu dengan Allah, tugas panggilan POUK •dak pernah berubah. Hakekat dan tugas panggilan serta pengutusan POUK itu adalah : Keesaan, kesaksian, dan pelayanan kasih serta usaha menegakkan keadilan. Tugas panggilan POUK mengharuskan hidup berpadanan dengan Injil dan berdiri teguh dalam satu roh, seha•, sepikir, berjuang untuk iman yang di•mbulkan oleh berita injil dengan saling memahami, memperha•kan dan melayani. Inilah tugas keesaan yaitu tugas membaharui, membangun dan mempersatukan gereja yang dijiwai oleh pembaharuan budi. POUK harus memberitakan Injil kepada segala mahluk diseluruh dunia sampai ke ujung bumi, ini tugas pemberitaan atau pekabaran Injil yang merupakan bagian dari keseluruhan misi. Tugas panggilan POUK yang sama dengan gereja memerangi segala penyakit, kelemahan dan ke•dak adilan dalam masyarakat. Peran POUK mengusakan dan memelihara secara bertanggung jawab sumbersumber alam. Tugas panggilan POUK dijalankan dengan cara yang sebaik-baiknya dengan bentuk yang paling tepat bagi •ap tempat dan zaman. Untuk memahami lingkungan yang di dalamnya POUK ditempatkan dan melaksanakan tugas panggilan itu, dengan jalan melihat tanda-tanda zaman dan menguji roh zaman. III. POUK in Ac•on Dalam Gerakan Ekumene Dalam Konsultasi Nasional POUK yang diselenggarakan di Cipayung tahun 2007, Pdt. DR. Andreas A. Yewangoe, menanyakan dihadapan POUK se-Indonesia bagaimana gerakan ekumene atau keesaan in ac•on diwujudkan ? Pdt. DR. A. Yewangoe menjelaskan bahwa POUK dapat diacu sebagai salah satu wujud ke-esaan in ac•on. POUK adalah persekutuan gereja yang dibentuk dipemukiman tertentu dimana anggotanya adalah terdiri dari latar belakang denominasi. Dari catatan sejarah diketahui bahwa keberadaan POUK adalah salah satu solusi bagi anggota jemaat yang jauh dari gereja induk. Dalam derajatnya tertentu keberadaan POUK adalah bentuk keesaan gereja.
80
Kumpulan Artikel Salah satu wujud keberhasilan ber-ekumene adalah saling mengakui dan saling menerima, didalam POUK prinsip tersebut telah diprak•kkan, sifat POUK juga menjadi lebih dinamis keberadaan POUK bukan saja membantu anggota-anggota gereja yang jauh dari gereja induknya masing-masing, tetapi juga membantu gereja-gereja untuk memahami makna dan wujud berekumene. Dengan demikian memperkaya kekayaan spiritual. Selain itu salah satu keistimewaan dari POUK adalah dimana POUK mengakui Dwi (2) rangkap keanggotaan, keanggotaan POUK dan keanggotaan gereja induk. POUK •dak pernah meminta kepada warganya untuk menanggalkan keanggotaan gereja induknya, melainkan POUK menyarankan untuk •dak lupa terhadap gereja induknya bahkan warganya bisa membagi waktu untuk beribadah digereja induknya. Jadi dalam POUK tak akan pernah ada istilah curi-curi domba atau memindahkan seorang dari gereja satu ke gereja yang lain. Hingga saat ini, pergumulan gereja dimana masih terdapat perselisihan, persinggungan kerap juga terjadi curi-curi jemaat. Hingga •mbul saling curiga, saling menjelekkan satu dengan yang lainnya. Terjadinya curi-curi jemaat dikarenakan mereka •dak saling hormatmenghorma• yang melanggar dari PSMSM (Piagam Saling Menghorma• dan Saling Menghargai). Jadi bila POUK dianggap sebagai ancaman itu •dak terbuk•, sebab POUK menjadi model percontohan dalam menjalin hubungan yang mesra dengan sinode-sinode dan juga gereja-gereja tetangga sekitar POUK. Penutup Sangatlah beralasan bila POUK menjadi pionir dalam keesaan dan berekumene, sebab POUK sudah melakukannya di tengah-tengah kehadirannya. Berbicara keberagaman, saling menghorma• dan saling menerima POUK telah melakukannya dalam kesehariannya walau banyak lembaga, gereja ke•ka berbicara tentang ekumene, penghormatan terhadap keragaman masih ada yang sebatas wacana semata. Begitu juga dengan sinode, lembaga yang berlabel ekumene belum teruji dalam pengimplementasian dalam berekumene. Bila ada yang menganggap POUK sebelah mata, karena POUK bukanlah gereja, sekali lagi POUK esensinya adalah gereja karena didalam POUK : ada
81
Orang Muda Bicara Oikoumene persekutuan orang percaya, di POUK ada pemberitaan firman yang tetap, ada pelayanan sakramen serta ada pengakuan iman yang sama. Hanya yang membedakan POUK dengan gereja, POUK tak bersinode. Dalam ketentuan formal, eksistensi POUK memiliki landasan yang kuat dan kokoh. POUK dipahami gereja-gereja anggota PGI sebagai alterna•f yang paling baik untuk menjawab kebutuhan pelayanan di wilayah-wilayah pemukiman. Bila POUK meningkatkan tugas panggilan pelayanannya dapat menjadi model dalam gerakan keesaan gereja di Indonesia. Dengan demikian melalui pelayanan POUK dan eksistensinya gereja-gereja dan PGI melakukan evaluasi bahwa POUK sebagai alterna•f bagi pelaksanaan pelayanan di pemukiman di tengah-tengah kesukaran yang dialami dalam membangun rumah ibadah. Melalu gumul juang POUK diharapkan menjadi persekutuan ekumene yang andal, akuntabel, kredibel, dan menjadi syalom bagi Indonesia.*
•
Penulis melayani di POUK Lenteng Agung. Ditahbiskan menjadi pendeta tahun 2001, bergiat dalam kegiatan sosial, dan pelayanan.
82
Kumpulan Artikel
PERGURUAN TINGGI KRISTEN DAN KEPEMIMPINAN ORANG MUDA YANG EKUMENIS Oleh: Theofransus Litaay (UKSW) Latar Belakang Pada tahun 1956, ketika Oeripan Notohamidjojo SH selaku rektor pertama dari Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia (PTPGKI) di Salatiga menerima tugasnya dari pendiri lembaga tersebut, pesan yang diberikan oleh pendiri adalah “Kemudikanlah lembaga ini agar menjadi perguruan tinggi dengan identitas Oikumenis dan Nasionalis.” PTPGKI ini kemudian berkembang menjadi universitas yang sekarang dikenal sebagai Universitas Kristen Satya Wacana. Dari sebuah perguruan tinggi kecil di kota kecil tersebut, Notohamidjojo kemudian berhasil membangun universitas tersebut menjadi sebuah perguruan tinggi Kristen yang memang hadir bukan saja sebagai kekuatan ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi asset penting bagi gerakan ekumenis yang berwawasan kebangsaan. Perguruan tinggi ini kemudian menahbiskan diri sebagai sebuah universitas yang tidak dimiliki oleh satu sinode gereja melainkan “dimiliki” oleh 18 sinode gereja pendukung di Indonesia yang tersebar dari Nias sampai ke Papua. Ke-18 sinode gereja inipun kemudian diakomodir di dalam tubuh pembina yayasan penyelenggara universitas. Kepemimpinan Notohamidjojo tersebut kemudian diwariskan kepada Pdt. Dr. Sutarno yang anggota GKJ, Dr. Willi Toisuta yang afiliasi GMIT, Prof. Dr. John Ihallauw yang berafiliasi GKS, Prof. Dr. Kris Timotius dengan afiliasi GKMI, dan Pdt. Prof. Dr. John Titaley yang adalah seorang pendeta GPIB. Keragaman budaya wajah pemimpin dan haluan denominasi yang beragam telah menunjukkan bahwa pesan pendiri di atas bukanlah sesuatu yang lewat begitu saja melainkan memiliki
83
Orang Muda Bicara Oikoumene nilai imperatif yang sangat penting. Untuk melaksanakan pesan pendiri UKSW di atas, Notohamidjojo dalam masa 17 tahun kepemimpinannya sebagai rektor mengembangkan berbagai nilai idealisme universitas ini. Idealisme tersebut kemudian dirumuskan secara lebih ringkas dalam rumusan visi dan misi serta tujuan universitas. Salah satu visinya adalah bahwa UKSW didirikan untuk “menjadi pembina kepemimpinan bagi berbagai jabatan dalam masyarakat” (Visi UKSW butir 3). Jika dikaitkan dengan pesan pendiri universitas di atas, maka ciri kepemimpinan yang hendak dibentuk semestinya adalah kepemimpinan Kristen yang ekumenis berwawasan kebangsaan. Visi ini kemudian diterjemahkan lagi kedalam Misi UKSW. Pembinaan Kepemimpinan Mahasiswa Tetapi pembinaan pemimpin muda tak bisa hanya sebatas dalam rumusan tertulis, melainkan harus dihidupkan dan para mahasiswa itu perlu berperan sebagai pemimpin, bukan sekedar latihan menjadi pemimpin. Pengalaman memimpin perlu diperoleh sebelum orang muda itu lulus dari universitas. John Titaley mengemukakan, bahwa di dalam diri setiap mahasiswa terdapat potensi sebagai orang dewasa yang perlu dimunculkan sejak masih mahasiswa agar tanggung jawabnya kepada bangsa, negara dan gereja telah dihidupkan sejak dini. Untuk melaksanakannya diperlukan perencanaan secara matang. Oleh karena itu, dalam rangka melaksanakan visi semacam itu, maka pada tahun 1984 UKSW kemudian menerjemahkannya ke dalam satu model pembinaan mahasiswa yang dikenal sebagai Skenario Pola Pengembangan Mahasiswa (SPPM). Melalui SPPM ini maka dirumuskan peran dari Lembaga Kemahasiswaan intrauniversiter sebagai salah satu lembaga yang berperan penting dalam pencapaian visi dan misi universitas, dengan kedudukan yang sejajar dengan unit akademik lainnya di dalam universitas.
84
Kumpulan Artikel Menurut SPPM ini, fakultas bertugas melakukan pengembangan penalaran terhadap mahasiswa, sedangkan Lembaga Kemahasiswaan melaksanakan pembinaan penalaran dan pembinaan kepribadian mahasiswa. Rumusan tugas lembaga semacam itu menunjukkan bahwa posisi Lembaga Kemahasiswaan memang sangatlah penting. Kedudukan ini ditambah dengan pengaturan di dalam Statuta universitas dan SK Rektor yang mengatur bahwa para pemimpin Lembaga Kemahasiswaan secara otomatis menjadi anggota Senat Universitas dengan hak suara yang penuh dan setara bersama dengan rektor, guru besar, dan dekan yang sama-sama merupakan Senator Universitas. Pada tingkat Senat Fakultas para pemimpin Lembaga Kemahasiswaan di aras fakultas juga menikmati hak yang sama sebagai Senator tingkat Fakultas. Namun pada saat Indonesia memasuki era pemerintahan yang otoritarian dan pada waktu organisasi ektra-kampus digusur dari dalam kampus melalui politik NKK-BKK, maka kepemimpinan UKSW melihat hal ini sebagai ancaman bagi terbentuknya angkatan pemimpin muda. Oleh karena itu, pada tahun 1979 di bawah kepemimpinan Rektor Dr Sutarno, UKSW menggagas pembentukan lembaga pembinaan kepemimpinan Kristen bagi generasi muda. Dr Willi Toisuta mengambil peran cukup aktif dalam proses ini dan pada tanggal 17 Agustus 1979, UKSW dan Pengurus Pusat GMKI mendirikan lembaga pembinaan kepemimpinan generasi muda Kristen di Indonesia yang bernama Yayasan Bina Darma. Lembaga ini masih terus berperan sampai dengan saat ini. Pada saat selanjutnya, di tahun 1993 lembaga kemahasiswaan intra-kampus memperkuat relasi ekumenis mereka melalui kerjasama inter-universitas yang dipayungi dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Kristen Indonesia. Forum komunikasi ini pada dasarnya didasarkan pada semangat “Ut omnes unum sint” serta kebutuhan untuk bertumbuh dan berkembang bersama. Pada sisi kepemimpinan inisiatif ini merupakan salah satu bentuk memperkuat semangat oikumenisme di tingkat mahasiswa. Sampai dengan saat ini Forkom SMPTKI ini
85
Orang Muda Bicara Oikoumene telah membentuk berbagai simpul di seluruh wilayah di Indonesia dan melakukan pertemuan-pertemuan di tingkat wilayah maupun pertemuan nasional. Manfaat yang dicapai adalah pertumbuhan bersama dan semangat keesaan gereja yang diperkuat pada tingkat akar rumput gerejawi. Pelajaran yang Dapat Ditarik Dalam seluruh proses di atas, sebenarnya semangat ekumenisme dan nasionalismelah yang senantiasa dikedepankan. Kehadiran para dosen, pegawai dan mahasiswa dari berbagai denominasi gereja di sebuah universitas dalam kasus di atas, benar-benar menghadirkan suatu karya dan gerakan ekumenisme di dalam tindakan dan bukan sekedar kata-kata. Hubungan kerja antara para generasi muda Kristen dari denominasi yang berbeda “dalam bentuk denominasi gereja maupun organisasi generasi muda Kristen” saat ini merupakan hal yang mutlak diperlukan. Sudah merupakan suatu keniscayaan bahwa diperlukan sebuah jaringan kerja yang lebih kuat untuk mengakomodirnya. Jaringan kerja semacam ini merupakan langkah lebih nyata dari realisasi keesaan gereja di Indonesia. Oleh karena itu, jaringan ini hendaknya merupakan sebuah jaringan yang menekankan pada kekayaan identitas pemuda tetapi pada saat yang sama juga tampil dalam semangat keesaan sebagai generasi muda Kristen Indonesia. Kekayaan identitas dapat ditunjukkan dari keragaman agenda lokal dalam pelayanan generasi muda Kristen. Setiap unsur pelayanan memiliki tantangan dan pergumulannya masing-masing “secara lokal”. Cara menggumuli tantangan adalah bagian dari identitas lokal unsur generasi muda Kristen tersebut. Upaya-upaya untuk menjawab kesulitan hidup, kemiskinan, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, merupakan masalah-masalah yang wujudnya lokal dengan nilai universal. Generasi muda Kristen tidak mampu menjawabnya sendiri, oleh karena itu dibutuhkan kerjasama dalam semangat ekumene yang luas, yaitu
86
Kumpulan Artikel kerjasama dengan elemen bangsa dalam semangat lintas iman dan lintas batas-batas sosial. Pada sisi lain, sebagai bagian dari komunitas gereja-gereja di Indonesia, maka secara nasional diperlukan pula visi bersama akan maksud pelayanan pemuda. Visi bersama ini perlu dijabarkan lebih lanjut ke dalam haluan pelayanan bersama dan tujuan pelayanan bersama. Di sisi lain, dengan peran seperti ini, maka pemuda akan lebih berpeluang untuk melaksanakan “peran-peran sosial” yang lebih luas. Peran sosial lahir secara psikologis dan sosiologis akibat status sosial. Penyediaan peluang ini, akan membantu pengembangan diri pemuda dimana pun berada. Kesimpulan. Bekerjanya sebuah perguruan tinggi Kristen dapat semakin menumbuhkan dan memperkuat dirinya, melalui penguatan semangat kebersamaan. Inilah salah satu identitas ekumenisme di Indonesia. Berkembangnya gerakan ekumene ditentukan pula oleh pembentukan kepemimpinan gerejawi. Kepemimpinan ini tidak saja dibutuhkan pada lingkup pemimpin formal gereja, melainkan juga pada lingkungan jemaat sebagai teolog awam. Oleh karena itu, tugas perguruan tinggi Kristen adalah membina angkatan pemimpin yang bukan saja mampu menunjukkan nisbah antara iman dan ilmu pengetahuan, melainkan pula memperkuat persekutuan dan keesaan gereja di Indonesia. Ekumenisme tidak bisa ditafsirkan secara sempit hanya bagi kepentingan gereja, melainkan pula kepentingan kemanusiaan secara lebih luas. Oleh karena itu dibutuhkan gerakan ekumene dalam wujud kerjasama dan solidaritas dengan warga bangsa yang lintas iman dan lintas batas sosial sebagai sesama anak bangsa.*
87
Orang Muda Bicara Oikoumene
GERAKAN EKUMENIS, DIAKONIA PENEGAKAN HAM1
DAN
(SEBUAH ANALISIS PENDAHULUAN) Oleh: F. Nefos Daely dan Suwarto Adi1 Pengantar Ada kemungkinan muncul pertanyaan apa relevansi mengaitkan diakonia dengan gagasan ekumenisme? Apalagi dikaitkan dengan persoalan HAM, pertanyaan tentu akan semakin mencuat. Walau dalam praktik kemungkinan besar sudah diterapkan, diakonia dan ekumenisme sering dipandang sebagai dua hal yang terpisah, dan mungkin tak bisa dipertemukan. Demikian juga, diakonia tidak harus berhubungan dengan HAM. Diakonia adalah pelayanan gereja, sedangkan HAM adalah persoalan universal, dan tidak hanya gereja. Sementara kaitan diakonia dengan ekumensi juga agak terlalu jauh. Sebab, diakonia adalah pelayanan bantuan, sedangkan ekumenisme atau gerakan ekumenis adalah menggalang persekutuan antar gereja. Dihadapkan pada konteks Indonesia, walau mungkin agak sulit, kita harus mencoba mempertemukan dan menggabungkan ketiga gagasan itu menjadi lebih dekat. Hanya dengan mempertemukan itu, gereja-gereja akan menemukan konsep diakonia yang lebih relevan untuk pelayanan kita di Indonesia sekarang ini, dan bersama-sama dengan pihak lain turut melakukan diakonia untuk pembelaan HAM. Tulisan ini masih merupakan pengantar, dan mengundang dan membuka ruang untuk pergumulan lebih mendalam. Untuk itu masukan kritis dari berbagai pihak akan sangat memperkaya pemikiran ini sekarang dan nanti. Akan menjadi sangat berguna kalau terjadi pertukaran gagasan mengenai ekumenisme, diakonia dan penegakan HAM. Sebelum membahas kaitan diakonia dan HAM, akan dibahas secara singkat mengenai pandangan ekumenisme kontekstual untuk Indonesia. Gerakan Ekumenis: Tinjauan Singkat Sejauh bisa dilacak, secara historis, gerakan ekumenis pada mulanya sebetulnya tak bernuansa keagamaan. Barulah sejak Konsili Nicea (325 M) istilah itu mempunyai makna gerejawi, yakni suatu gerakan yang hendak menyatukan gereja
88
Kumpulan Artikel dalam integritas yang lebih utuh (Banawiratma dkk, 1994: 31-32). Pemerintah Romawi, yang menjadi konteks awal pertumbuhan gereja, mempunyai program ambisius dalam payung yang diberi nama Pax Romanica. Dalam program inilah gereja diharapkan mendukung dengan menyatukan gereja-gereja yang tersebar dan berbeda-beda dalam satu “payung” besar. Kebetulan, pada saat itu, gereja menghadapi permasalahan dogmatis yang cukup tajam antara satu daerah dengan yang lain. Bagai gayung bersambut, gereja mengiringi langkah Roma menggalang persatuan dan penyeragaman. Penyempitan makna ekumenis ditonggakkan sejak saat itu sampai sekarang. Padahal, kata ekumenis mengandung makna yang lebih luas. Ia bisa diartikan sebagai tempat yang menjadi konteks hidup bersama. Atau, dalam bahasa yang lebih aktif bisa dimaknai sebagai suatu proses hidup bersama untuk menjaga dan memelihara tempat yang menjadi konteks hidup, sehingga menjadi bermakna dan produktif. Dalam bahasa aslinya, ekumenis bisa dipecah menjadi dua kata “oikos” dan “menos”. Yang pertama menunjuk pada keluarga atau tempat hidup tertentu di mana ada suatu proses interaksi antar-manusia secara intim dan harmonis. Sedang kata kedua mengandung maksud berada atau tinggal pada satu tempat tertentu dalam kesadaran yang tinggi terhadap tempat hidupnya tersebut. Dengan demikian, ekumenis itu merupakan suatu proses tinggal bersama atau mendiami tempat tertentu yang bertujuan menciptakan keintiman dan keharmonisan hidup. Jelaslah bahwa gerakan ekumenis bukan suatu gerakan eksklusif, demi dan untuk gereja saja, tetapi ia mengarah ke luar untuk menciptakan dunia yang lebih adil, manusiawi, dan sejahtera dengan kesadaran yang tinggi. Namun, dalam sejarah Gereja Protestan, gerakan ini mengalami dinamika luar biasa yang berlangsung sampai sekarang. Gerakan itu selalu mempunyai latar belakang yang cukup signifikan, dan tidak selalu berkaitan dengan gereja. Konferensi di Edinburgh, misalnya, sulit dipisahkan dengan Perang Dunia I, sementara itu Gerakan Life and Work (yang merupakan reaksi atas konferensi Edinburgh) sangat terkait erat dengan Krisis Ekonomi tahun 1929 dan problem sosial yang menyertainya. Demikian juga gagasan Faith and Order (1937) sampai terbentuknya Dewan Gereja Dunia (1948) berlangsung dalam konteks Perang Dunia II dan Perang Dingin (Rouse dan Neill 1967; Batista 1996: 19-23). Dari situ jelas bahwa gerakan ekumenis sebetulnya sebuah upaya gereja menjawab
89
Orang Muda Bicara Oikoumene bukan sekadar persoalan di dalam gereja, tetapi juga dunia kemanusiaan lainnya. Walau di dalam berbagai gerakan tersebut juga terjadi perdebatan yang bersifat teologis, seperti masalah dogma atau ajaran, tetapi juga bagaimana membangun tanggapan terhadap persoalan dunia yang terus berkembang. Dengan demikian, gerakan ekumenis, bukan semata gerakan untuk menyatukan gereja-gereja dalam sebuah tatanan yang seragam (organisasi payung), melainkan suatu pergumulan gereja dalam menghadapi persoalan kemanusiaan. Artinya, sangat terbuka kemungkinan gerakan ini mengikutsertakan agama-agama lain dalam merumuskan keadilan, kebenaran dalam konteks kemanusiaan yang universal. Diakonia dan Ekumenisme: Pendekatan Theologis-Kritis Diakonia sering dipahami dalam makna yang sempit, yaitu sekadar sebagai kegiatan membantu orang miskin, seperti memberikan bantuan pangan, beasiswa, mengunjungi orang sakit, dan menyantuni para janda. Padahal, konsep diakonia “menunjuk kepada tanggung jawab dan hak seluruh orang Kristen untuk membagi (diri) dalam mengikut Yesus dan untuk menyatukan dunia ke dalam doa dan pelayanan gereja (Robra, 1994). Demikian juga, Diakonia merupakan suatu tanda atau simbol anugerah, pekerjaan, dan panggilan gereja. Untuk terlibat dalam diakonia tidak sekadar kebutuhan individual Kristen, tetapi juga untuk melayani dan membantu dunia yang sekarat untuk bangkit lagi. Dengan demikian dikonia bukan sekadar bantuan yang bersifat personal, tetapi juga mencakup aspek struktural. Diakonia struktural merupakan suatu bagian dari tatanan suci. Selain itu diakonia selalu dikaitkan dengan konsep marturia (kerygma) dan koinonia. Ketiga hal tersebut sering disebut sebagai tri tugas gereja. Sayangnya, dari ketiganya, diakonia merupakan aspek yang jarang diberi perhatian dibanding dengan dua yang lain. Padahal, diakonia sebenarnya merupakan muatan dari iman dan tindakan kita yang seharusnya “dekat” dengan ibadah (liturgy, marturia): sumber hidup yang Tuhan berikan (Robra, 1994). Kalau mengacu kepada gereja awal (purba), diakonia merupakan pusat kehidupan gereja. Dengan kata lain, diakonia merupakan aspek reflektif dari kegiatan ibadah (koinonia) dan juga missiologia (kerygma). Melalui dan di dalam diakonia akan bisa dilihat keberadaan dan proses menjadi suatu gereja. Deklarasi Bratislava mengenai diakonia (modern) menyatakan demikian (Prostredník, 2003): Diaconia contributes to the awakening and activation of the
90
Kumpulan Artikel God given gift humans have to love and live in solidarity.” Artinya, secara mendalam diakonia sesungguhnya berbicara mengenai menyembuhkan (ke)manusia(an) dan melalui itu juga mencakup seluruh dunia. Penyembuhan adalah sebuah proses yang membangkitkan mereka yang menerimanya mengenai karya Tuhan (Prostredník, 2003). Karena terarah kepada manusia, maka batas-batas sosial-politik menjadi tidak penting dalam penerapan diakonia. Diakonia modern sekarang telah bergerak dari arah ke dalam gereja menuju kepada masyarakat luas, termasuk persoalan struktural. Secara singkat dapat dikatakan bahwa antara marturia, koinonia, dan diakonia tidak bisa lagi dibuat kotak atau garis terpisah di antara ketiganya. Sebaliknya, seperti sebuah lingkaran tiga lapis, aspek koinonia gereja menjadi inti terdalam lingkaran, lapis keduanya adalah marturia, dan yang paling luar adalah diakonia. Diakonia sudah seharusnya mencermikan aspek missiologis (marturia) dan juga aspek koinonia (persekutuan, ibadah). Melalui konsep seperti itu, diakonia menjadi penentu gereja model macam apa yang sedang terjadi. Dalam konteks Indonesia, yang plural, khususnya dalam hal ke- agama-an, diakonia mesti dipikirkan secara kritis. Kalau diakonia dipahami sebagai “karya” gereja, dan hal itu tidak bisa dipisahkan dari aspek marturia dan koinonia, orientasinya mesti diarahkan kepada semua orang tanpa kecuali. Diakonia tidak terbatas hanya untuk warga gereja; demikian juga diakonia tidak sekadar program santunan bantuan untuk orang miskin. Diakonia mesti juga diarahkan kepada persoalan-persoalan kemanusiaan di mana gereja hidup di dalamnya dan juga menghadapinya. Diakonia mencakup soal bagaimana memperjuangkan hak-hak minoritas, baik dalam bidang sosial (budaya)-politik-ekonomi. Sebagai contoh, kalau soal perijinan membangun tempat ibadah jangan hanya diperjuangkan untuk kepentingan Kristen saja, tetapi juga untuk kelompok Islam di wilayah mayoritas Kristen, atau Hindu dan Budha –yang kebanyakan memang minoritas secara jumlah. Melalui diakonia seperti itu, gerakan ekumenis bisa dikembangkan dengan baik.3 Dengan demikian, diakonia gereja bukanlah kegiatan atau gerakan yang berdimensi santuanan sosial berdasarkan agama; melainkan sebagai tugas agama atau gereja dalam memberi tanggapan atas persoalan masyarakat sebagai bukti dari iman dan ibadahnya kepada Tuhan; sekaligus dengan diakonia itu karya dan kasih Tuhan dinyatakan (marturia). Tujuan diakonia bukanlah menambah jumlah pengikut, tetapi meningkatkan kualitas hidup manusia (dan lingkungan) sebagai tempat pemeliharaan
91
Orang Muda Bicara Oikoumene Tuhan berlangsung. Diakonia bukan untuk tujuan di luar kehidupan (sorga) tetapi untuk kehidupan sekarang yang mendesak. Jemaat sebagai Basis Diakonia Diakonia sebagai pelayanan tentang berbagi, menyembuhkan dan mendamaikan merupakan sifat hakiki Gereja. Ini menuntut individu dan gereja memberikan bukan dari apa yang dipunyai tetapi apa yang ada pada dirinya. Diakonia harus menantang struktur yang beku, statis dan berpusat-pada-gereja dan mengubahnya menjadi alat berbagi dan menyembuhkan yang hidup dari gereja. Diakonia tidak dapat dikurung dalam kerangka kerja institusional, dia harus mengatasi struktur yang mapan dan batas-batas institusi gereja dan menjadi aksi berbagai dan menyembuhkan dari karya Roh Kudus menembus komunitas umat Allah dan ditujukan kepada dunia (Prostredník, 2003). Walaupun tidak boleh dikurung dalam institusi gereja, diakonia tidak bisa dipisahkan dengan jemaat sebagai dasarnya.4 Diakonia yang hidup yang bersifat transformatif memang menantang jemaat dan gereja sendiri untuk melakukan perubahan paradigma (pemikiran). Mengutip Prostredník (2003) di atas jelas bahwa diakonia transformatif tidak bertumpu pada “kekayaan” sebuah gereja tetapi kepada “diri” individu dan gereja itu sendiri. Dengan demikian mental, sikap dan kemauan jemaat dan gereja menjadi modal utama bagi lahirnya gerakan diakonia transformative ini. Mengapa kepada diri (being) dan bukan pada materi (having) sebagai dasar bagi lahirnya diakonia transformatif? Menurut Erich Fromm ada dua cara hidup (mengada) yang membedakan satu sama lain: “menjadi” atau “memiliki”. Sikap hidup yang berorientasi menjadi menekankan kepada apa yang dipunyai dari diri seseorang. Sikap hidup seperti ini menekankan pada kenyataan yang ada pada dirinya. Sementara, sikap hidup “memiliki” orientasi hidup terarah kepada benda-benda fana yang melekat pada diri seseorang. Oleh Prostredník gagasan ini kelihatanya ditarik ke dalam wilayah gereja. Ketika melayankan diakonia, gereja lebih menekankan kepada apa yang ada pada dirinya daripada apa yang dimiliki gereja. Dengan sikap menjadi, pelayanan diakonia akan dijalankan bukan dengan ambisi, tetapi dengan kejujuran; dan bukan berpusat pada diri tetapi pada kebutuhan dan potensi (bersama) yang ada; bukan pada pencapaian yang bersifat superficial (permukaan) tetapi pada perubahan hati, mental, dan perilaku semua orang yang terlibat dalam diakonia (pelayan dan penerima). Sementara, kalau didasarkan pada
92
Kumpulan Artikel memiliki berkecenderungan menekankan pada pencapaian fisik, mencari kemuliaan, dan ambisi tertentu yang menonjolkan pribadi daripada tujuan diakonia itu sendiri. Diakonia adalah mendamaikan, berbela rasa (compassion), transformatif, mencari keadilan dan bersifat profetik (kenabian) (Robra). Kalau gagasan diakonia yang berbasis jemaat dibangun dengan semangat “menjadi” akan menjadi daya gerak bagi pertumbuhan kehidupan yang baik. Di situlah praktik diakonia akan menjadi praktik (gerakan) ekumenis. Sehingga, diakonia akan menjadi diakonia ekumenis. Jemaat atau warga tidak pernah terlalu menekankan perbedaan, tetapi mencari kebersamaan, kesejahteraan, dan hidup saling berdampingan. Diakonia Ekumenis: Praktik Membangun Kebersamaan dan Kesejahteraan Diakonia ekumenis adalah praktik diakonia yang tidak dibatasi oleh kerangka kerja kelembagaan gereja, tetapi dibangun atas dasar persoalan kehidupan yang dialami bersama. Diakonia ini juga bisa melibatkan semua pihak yang berkepentingan untuk mencapai kesejahteraan itu. Diakonia seperti ini menjadi salah satu praktik pembebasan yang nyata dalam masyarakat. Bukan tembok ajaran (dogma) yang menjadi dasar kerja, tetapi keprihatinan bersama semua pihak dari berbagai agama. Diakonia ekumenis merupakan salah satu bentuk dari perwujudan pluralisme secara langsung. Bentuk-bentuk praktik diakonia ekumenis bisa berupa program yang ditawarkan gereja tanpa sikap “membenarkan diri” paling baik, tetapi juga akomodasi gereja terhadap program yang diusung masyarakat untuk didukung oleh gereja. Sebetulnya, segala bentuk program yang dilayankan oleh yayasan yang didirikan oleh gereja, yang ditujukan untuk kebaikan bersama bisa dimaknai sebagai bentuk dari diakonia ekumenis. Dengan demikian, yayasan-yayasan gereja perlu memahami hakikat diakonia dan kaitannya dengan marturia dan koinonia, tanpa terjebak secara sempit. Kalau itu terjadi, maka diakonia menjadi alat bagi gereja “menundukkan” pihak lain, atau sikap arogansi gereja terhadap pihak lain. Kalau hendak mengembangkan diakonia ekumenis, kita mesti mulai meninjau kembali pemahaman kita mengenai tritugas gereja: marturia, koinonia, dan diakonia, dan diletakkan dalam konteks hidup kita (Indonesia) sebagai wilayah yang sangat plural. Dengan memikirkan kembali konteks itu kita akan bisa memahami betapa
93
Orang Muda Bicara Oikoumene pentingnya menerapkan diakonia ekumenis ini dengan jemaat sebagai basis. Sebagai contoh, dengan adanya krisis energi dan pangan sekarang ini, bagaimana seharusnya gereja berperan? Sangat tidak mungkin, gereja hanya mengundang dan melibatkan jemaat saja sebagai dasar dan orientasi program diakonianya. Kalau itupun terjadi, akan timbul ketidakadilan dalam kehidupan bersama. Mengapa tetangga saya yang Kristen bisa hidup baik, sementara saya sendiri harus berjuang keras menghadapi kehidupan. Gereja yang tertutup seperti itu bukan saya menciderai ajaran Yesus, tetapi juga membuat Yesus akan menangis (Matius 25). Sehingga, diakonia ekumenis perlu dikembangkan oleh gereja-gereja dengan jemaat sebagai basis. Kalau itu terjadi, bukan saja gereja akan menjadi “garam” bagi dunia sekitarnya, tetapi gereja menjadi gereja yang hidup bagi masyarakatnya. Diakonia yang mencakup dan menjangkau seluruh masyarakat adalah diakonia dari transformasi karya Roh Kudus menembus jemaat dan mencakup seluruh dunia. Penegakan HAM sebagai Agenda Diakonia Ekumenis Konsep HAM sebetulnya sangat terkait erat dengan fitrah agama-agama: memanusiakan manusia. Malah, munculnya HAM bisa jadi memperoleh inspirasi dari agama-agama. Manusia dalam agama merupakan “gambar” Sang Pencipta. Setiap orang beragama mempunyai tugas membangun kehidupan yang manusiawi (horizontal) sebagai bentuk pengabdian atau keimanan kepada Tuhan (vertical). Artinya, seseorang akan disebut sebagai beragama atau beriman kepada Tuhan dengan benar kalau dalam hidupnya mampu menumbuhkan, mendorong, dan menghargai martabat manusia lain seperti dirinya sendiri. Dengan demikian, HAM sebetulnya merupakan bentuk dari kepercayaan atau iman yang disekularisasikan, supaya bisa diterima oleh semua pihak. Di dalam agama-agama juga ada amanat untuk selalu berpihak kepada kaum miskin. Dalam konteks Kristen malah konsep itu diteguhkan secara illahi: barangsiapa mengasihi mereka yang paling hina juga mengasihi Tuhan (Matius 25). Artinya, perjuangan menegakkan dan mewujudkan HAM untuk kelompok marginal memperoleh pembenaran secara teologis: merupakan tugas untuk memuliakan Tuhan. Dengan demikian, mewujudkan HAM secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa merupakan kewajiban dari agama-agama. Sebab, mandat utama
94
Kumpulan Artikel agama-agama sesuai dengan tujuan ideal diproduksinya Piagam atau Perjanjian HAM. Oleh sebab itu, sudah merupakan kewajiban agama-agama untuk saling bekerja sama untuk berusaha menegakkan dan mewujudkan HAM dengan segala kepenuhannya. Tanpa dukungan dari agama-agama, pekerjaan mewujudkan HAM dalam hidup jatuh menjadi sebuah perjuangan yang bersifat politik. Perjuangan seperti itu bisa dengan mudah dibelokkan dan dijatuhkan. Hanya dengan dukungan dari agama-agama, perjuangan yang bersifat politik bisa juga memperoleh dukungan secara teologis, sehingga akan sampai pada tujuan yang mulia: martabat manusia, dan bukan mencari kekuasaan. Sehingga, gerakan penegakkan HAM, dengan diterangi agama-agama, tidak sekadar melawan para pembunuh dan bandit pemberontak. Tetapi juga melawan setiap nafsu serakah dan haus kuasa, yang mungkin juga bisa muncul dari kelompok yang berjuang menegakkan HAM tersebut. Artinya, perjuangan menegakkan HAM akan memurnikan setiap gerakan yang bersifat mencari kekuasaan, dan mengarah kepada tujuan gerakan yang bersifat kemanusiaan sejati. Kalau ditarik ke dalam konteks gereja, dengan mempertimbangkan gagasan mengenai diakonia ekumenis pada bagian sebelumnya, penegakan HAM sangat potensial menjadi agenda bagi diakonia ekumenis. Artinya, gereja bersama dengan agama lain memandang persoalan ketidakadilan, khususnya lagi pelanggaran HAM, seperti kekerasan, diskriminasi, merupakan agenda bagi “proyek” diakonianya. Lebih lanjut, gerakan diakonia ekumenis itu harus dimulai dari dalam gereja sendiri: menyadarkan setiap orang percaya untuk menerapkan dan mempraktikan HAM secara benar di dalam dirinya, dan kemudian berkembang keluar bersama dengan unsur agama lain memerangi berbagai bentuk pelanggaran HAM, termasuk kriminalisasi terhadap pembela HAM. Sebab, kriminalisasi terhadap pembela HAM adalah pelanggaran HAM yang jauh lebih berat dari praktik pelanggaran HAM semata. Sebab, orang-orang yang sedang memperjuangkan HAM selalu berada dalam bahaya untuk digagalkan setiap saat, jikalau muncul kesempatan. Ini juga merupakan bentuk dari nafsu serakah dan haus kekuasaan untuk menghapuskan HAM dari konteks kehidupan nyata. Namun, untuk melakukan hal ini pertama-tama gereja atau orang Kristen mesti menjadi pengikut Yesus yang sejati dengan menempatkan martabat manusia sebagai norma dasar bergereja dan hidup sehari-hari. Kalau gereja mampu menjelaskan HAM secara teologis dalam setiap pengajarannya, dan mempraktikan dalam kehidupan
95
Orang Muda Bicara Oikoumene bergerejanya, itu merupakan langkah awal yang tepat. Dengan kata lain, praktik diakonia (ekumenis) gereja harus dimulai dengan pengakuan bahwa semua orang, kaya atau miskin, dan dari latar belakang apapun, bermartabat sama. Gagasan ini mungkin jauh dari mudah. Namun, untuk menjadi pembela HAM, gereja harus mulai memasukkan pokok pikiran HAM dalam ajaran dan praktik bergereja. Hal ini tidak bisa ditunda lagi, dan harus mulai dipikirkan sejak sekarang. Penutup Pemikiran ini masih sebatas gagasan atau analisis pendahuluan. Namun, untuk menjadi nyata, gagasan ini mesti ditindaklanjuti dengan program kerja yang serius. Kalau diakonia gereja sekarang ini masih terlalu eksklusif dan tertutup sudah saatnya mulai membuak diri dengan dan bersama pihak lain melakukan praktik diakonia yang lebih utuh: bukan hanya aspek ekonomi dan pendidikan, tetapi mencakup juga aspek social dan politik yang lebih luas, dan dikerjakan bersama dengan pihak lain. Kalau selama ini gereja dan orang Kristen masih mempraktikkan diakonia eksklusif, termasuk yayasan-yayasn di lingkungan gereja. Sudah saatnya praktik itu digantikan dengan kerja sama agama-agama lain. Sebab, harus diakui praktik diakonia gereja masih disalahartikan atau dipahami secara sempit, sebagai alat gereja, dan bukan sebagai pelayanan kemanusiaan seperti yang diharapkan Yesus. *
Daftar Rujukan (yang tidak dirujuk langsung dalam tulisan): Anhelm, Fristz Eric 1996 God’s People in Civil Society: Ecclesiological Implications, Consultation on Theology dan Civil Society (Loccumer Protokolle 23/95), Loccum, Germany Bradshaw, Bruce 1993 Bridging the Gap: Evangelism, Development and Shalom, MARC, California, USA Pieterse, Jan Nederveen 2001 Development Theory: Deconstruction/Reconstruction, Vistaar Publication, New Delhi, India Dewan Gereja-gereja di Indonesia
96
Kumpulan Artikel 1976 Notulensi Sidang Raya DGI VII, 18-28 April 1971, DGI, Jakarta Dewan Gereja-gereja di Indonesia 1977 Yesus Kristus Membebaskan dan Mempersatukan, Notulen Sidang Raya VIII di Salatiga, 1-12 Juli 1976, DGI, Jakarta. Dewan Gereja-gereja di Indonesia Dari Pematang Siantar ke Salatiga tentang Partisipasi Gereja dalam Pembangunan, Lampiran Laporan Dharma Cipta PGI Mansour Fakih, et.al 2002 Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan: Pegangan untuk Membangun Gerakan HAM, Yogyakarta: Insist Press. Kusumah, W. Mulyana, Hendrardi, Ruswandi (Penyunting) 1991 Demokrasi masih Terbenam: Catatan Keadaan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia 1991, Jakarta: YLBHI Lubis, T. Mulya 1987 Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, Jakarta: YLBHI. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia 2003 Daftar Keputusan dan Notulen Sidang Majelis Pekerja Lengkap PGI di Sumatera Utara, 14-21 November 2001 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia 2005 Himpunan Keputusan dan Notulen Sidang Raya XIV PGI, Wisma Kinasih, 29 November-5 Desember 2004. Sen, Amartya 1999 Poverty and Famines, New Delhi and Oxford: Oxford University Press.
97
Orang Muda Bicara Oikoumene (Endnotes) 1
Tulisan ini dikembangkan dari makalah yang pernah disampaikan pada Konsultasi Nasional Diakonia, diselenggarakan oleh Pelkesi-PGI-JK LPK, tanggal 15-18 Juli 2008 di Pondok Remaja Cipayung, Bogor. Dengan berbagai masukkan ditambahkan aspek HAM dalam tulisan sekarang ini.
2
Ketua dan Sekretaris Pokja JK LPK di Indonesia, periode 2007-2010.
3
Gerakan ekumenis jangan dipandang secara sempit. Sebab, secara etimologis ekumenis sebetulnya menyatakan tentang bagaimana tanggung jawab seseorang di dunia (oikos) di mana dia tinggal. Kata oikos tidak bisa dimaknai secara eksklusif sekadar kaum Kristen saja. Gerakan ekumenis secara histories tumbuh bersamaan dengan gerakan Pax Romanica. Itu berarti ekumenisme mencakup wilayah “dunia” (oikos), Ditarik ke dalam kontekssekarang oikos mencakup semua agama yang hidup dan berkembang dalam desa global. Lihat Suwarto Adi, “Gerakan Ekumenis dan Hubungan Antar-Agama” dalam Warta Jaringan edisi September 2007.
4
Di sini kata gereja dan jemaat dibedakan secara tegas; kata gereja mewakili institusi gereja, sedangkan jemaat menunjuk kepada individu anggota gereja, baik yang awam maupun yang berjabatan gerejawi. Jemaat menjadi dasar atau basis karena melalui dan di dalam merekalah gereja akan menjadi hidup, memperoleh bentuk dan pelayanan secara nyata.
98
Kumpulan Artikel
EKUMENE YANG MEMBUMI Oleh: Ralian Jawalsen Mendefinisikan ekumene secara terminologi memang tak bisa dilakukan seperti halnya ilmu eksak, layaknya Matematika, atau pun Ilmu Kimia dan Fisika, yang lebih mengutamakan hal yang pasti. Karenanya berbicara ekumene berbagai pakar teologia satu dengan yang lain berbeda satu yang lain. Akan tetapi, ekumene sejatinya secara nilai teologis berbicara gereja yang esa. Ekumene refleksi doa Tuhan Yesus yang termaktub dalam Yohanes 17:21, “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku,” Namun, perjalanan ekumene di Indonesia selama ini tak terlepas dari lembaga gereja, dalam hal ini Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), yang dimotori kader-kader GMKI dan mahasiswa STT Jakarta. Sutarno mengemukakan, lahirnya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), cikal bakal PGI merupakan pemikiran dan gerakan ekumene (gerakan kesatuan atau keesaan gereja) di Indonesia yang telah tumbuh dan berkembang sejak awal dasawarsa 30-an. Peran membangun semangat keesaan gereja merupakan salah satu Amanat Agung, tidak ubahnya semangat Amanat Agung dalam pengabaran Injil seperti halnya yang tertulis di kitab Matius 28:19-20. Namun, semangat ekumene hingga kini masih jauh dari harapan. Untuk menjadikan gereja esa, masih membutuhkan proses yang berkelanjutan. Karenanya, penyedaran jemaat adalah hal yang penting dilakukan. Dengan melakukan pendidikan teologia kepada jemaat Tuhan. Teolog TH Sumartana memandang ekumene harus dilihat dari tiga sisi, menyangkut tentang makna gerakan ekumene itu sendiri. Dengan menelusuri gerakan ekumene di kalangan gereja-gereja di Indonesia, dan mengupayakan melakukan “reposisi” dari gerakan ekumene di tengah dan di seberang krisis. Secara terminologi, ekumene diambil dari kata “oikumenikos” menunjuk pada keseluruhan tempat di bumi dihuni oleh manusia. Awalnya bukan makna gerejawi, konsili Nicea (325 Common Era). Kata “ekumene” (Yunani) merupakan padanan dari kata “Katolik” (latin) yang artinya memiliki sifat Am atau umum. Dengan artian lain, kata “ekumene” relevan diartikan dengan sebagai gerakan untuk mempersatukan kembali. Dari kata ini jelas dimaknai doa Tuhan Yesus, “Supaya kita menjadi satu” Bahasa latinnya, Ut Omnes Unum Sint. Memang disadari menjadi satu dalam bentuk gereja dan liturgis memang sulit untuk diwujudkan dalam kehidupan berjemaat.
99
Orang Muda Bicara Oikoumene Namun yang diambil dalam membangun semangat ekumene, adalah spirit keimanan. Secara plural mengakui adanya perbedaan antara gereja satu, dengan yang lainnya. Akan tetapi nilai-nilai universal yang dapat diterima semua khalayak, baik umat Kristiani dan non Kristiani, seperti halnya keadilan dari segi hukum, keberpihakan kepada kaum tertindas, menjunjung demokratisasi, dan membangun semangat nasionalisme dan patriotisme. Hadirnya agama-agama besar, Islam, Kristen dan Katolik, Buddha dan Hindu pada dasarnya datang melalui penyebaran, impor. Bukan agama asli bangsa Indonesia sesungguhnya. Penyebaran agama tersebut dapat diterima di Indonesia karena melalui budaya sebagai jembatan penyebaran agama. Khususnya sejarah berdirinya gereja di Indonesia merupakan hasil penyebaran misionaris, dengan pengabaran Injil di tengah bangsa yang pada saat itu memiliki agama tersendiri. Para misionaris dalam pengabaran Injil tidak lepas dari konteks budaya, atau budaya sebagai landasan pemberitaan Injil kepada suku setempat. Tak heran bila nama Tuhan di berbagai suku di Indonesia, berdasarkan panggilan Tuhan dari nama Tuhan yang mereka anut ketika menganut agama sebelumnya. Di Batak, sebutan Tuhan, Mulajadinabolon, Allah oleh orang Muslim, Lowa langi oleh orang Nias. Ini membuktikan pengabaran Injil di Indonesia digunakan oleh sentuhan budaya. Dengan artian lain disebut gereja mainstream, ini dapat ditemukan hasil dari penyebaran misionaris asing, dengan berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Toraja, Gereja Nias, Gereja Pasundan, GMIM, dan berbagai gereja yang berbasis akarnya etnis atau suku bangsa. Tentu untuk membangun semangat ekumene dibutuhkan penyadaran dari berbagai aliran dan doktrin yang berkembang selama ini. Meski demikian, sehubungan dengan itu Dr. Muller Kruger, ahli sejarah gereja di Indonesia, merasakan bahwa orang-orang Kristen Indonesia telah begitu telah terbiasa dengan pola-pola kebaktian yang diimportnya, sehingga mereka tak merasakan lagi bentukbentuk asingnya dan menganggapnya sebagai bentuk-bentuknya sendiri. Di luar gereja mainstream, gereja Injili dan Karismatik juga berkembang pesat di Indonesia. Pada dasarnya, kehadiran gereja-gereja tersebut tidak terlepas dari gereja mainstream itu sendiri. Di mana ada sekelompok jemaat memiliki pemahaman tersendiri, atau konflik lalu mendirikan aliran baru. Kehadiran aliran gereja tersebut secara tata ibadah dan khotbah lebih menyentuh dari kehadiran gereja-gereja sebelumnya. Bahkan, berdirinya gereja satu dengan yang lain kerap terjadi paradigma yang mencurigai gereja lainnya. Perpindahan jemaat satu ke gereja lainnya, kerap disikapi dengan menuding mencuri ‘domba’. Sementara, perpindahan jemaat disikapi pendetanya dengan mengatakan domba tersebut yang memakan ‘rumput’ di pekarangannya. Memang untuk menyatukan gereja satu dengan yang lain dalam satu
100
Kumpulan Artikel doktrin, perlu pengkajian yang mendalam. Karenanya, untuk membumikan semangat ekumene itu perlu adanya dialog, dan duduk bersama antara satu dengan yang lainnya. Tanpa saling mencurigai, atau pun menganggap gerejanya lebih ‘rohani’ ketimbang gereja yang lain. Diperlukan kerendahan hati di antara gereja yang berdialog tersebut. Lalu bagaimana membangun ekumene yang membumi bagi pemuda itu sendiri. Pertanyaan, yang tidak mudah untuk dikemukakan. Sir Fred Catherwood mengemukakan, Iman Kristen mengharuskan kita menghargai sesama manusia. Iman Kristen mengajarkan tentang martabat dan tanggung jawab moral setiap individu, si miskin atau si lemah apa pun dia. iman Kristen menyatakan bahwa kita diciptakan “dalam peta Allah” dan kelak harus mempertanggungjawabkan semua perkataan dan perbuatan kepada sang Pencipta. (D.A Carson: God and Culture, Momentum, Surabaya, 2002, hlm.233) Diakui peran gereja dalam membangun gerakan ekumene sangat diperlukan. Diakui, gereja lebih energik dan dinamis dalam membagun gerakan tersebut. Apalagi, gereja dalam menginplementasikan ekumene lebih menyentuh. Pasalnya, gereja dapat membangun kepentingan yang lebih populis. Sebagai gerakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat yang termarginalkan oleh struktur sosial. Dimana tri pelayanan gereja, diakonia, marturia dan knonia mengakomodasi dalam membangun kepenetingan bersama bila itu dilakukan dalam gerakan ekumenikal. Meski demikian, gerakan ekumenikal tak bisa tercabut dari akarnya berbasis gereja. Karenanya, gereja ditengah membangun keesaannya juga harus megedepankan kekuatan spritual yang berbasis dalam pedoman terang Allah yang terintegrasi dalam nilai-nilai yang terkandung dalam Alkitab. Gereja sebagai persekutuan orang-orang Kristen dapat di bedakan dalam dua perspektif, yaitu prespektif sosiologis dan teologis. Dalam perspektif sosiologis, gereja di pandang sebagai institusi atau organisasi masyarakat yang hadir di tengah masyarakat. Dengan kata lain, Gereja merupakan alat bagi umat untuk memelihara dan mengaktualisasikan kepentingannya dalam kehidupan umat manusia. Sedangkan dalam prespektif teologis, Gereja merupakan tempat berkumpul atau bersekutu bagi orang-orang percaya yang mempunyai kesamaan iman kepada Yesus sang juru selamat. Dua prespektif ini tentunya tak dapat dipisahkan dalam kehidupan umat Kristen, karena dua prespektif ini merupakan realitas dari umat Kristiani dalam pergumulannya di kehidupan gereja dan umat manusia. Tantangan pemuda dalam membangun gerakan ekumene, memang disadari memiliki pergumulan tersendiri antara negara satu dengan negara lainnya. Dilihat dari berbagai prespektif, baik sosial, budaya, masyarakat, dan status ekonomi yang dominan di wilayah itu. Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki sumber kekayaan alamnya berlimpah ruah, dimana mayoritas penduduknya adalah beragama Islam.
101
Orang Muda Bicara Oikoumene Bahkan populasinya terbesar nomor satu di dunia, ketimbang asal negara Islama itu sendiri. Meski demikian, Indonesia adalah mayoritas penduduknya moderat, yang menghargai perbedaan sebagai kekayaan tersendiri yang diatur dalam sendiri berenegara yang tarmaktub dalam Pancasila. Disinilah keunikan Indonesia. Meski negara mayoritas penduduk beragama muslim di dunia. Akan tetapi, pluralitas tetap dijaga dan dilindungi oleh konstitusi kita. Dimana kebebasan beragama yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Meski pada praktek kehidupan beragama masih adanya persoalan kebebasan menjalankan ibadah, dan mendirikan rumah ibadah masih terjadi kendala. Diakui, selama kehidupan berbangsa selama 64 tahun berbagai persoalan tidak pernah berhenti. Keberpihakan kepada kaum miskin baik dipedesaan dan perkotaan masih dirasakan, korupsi meraja lela yang membuat bangsa ini miskin pun masih menjadi tantangan tersendiri, belum lagi lemahnya supremasi hukum masih menjadi persoalan yang harus dituntaskan, perlakukan terhadap etnis Tionghoa dengan penjarahan dan pemerkosaan menjelang akhir pemerintahan Soeharto menuju reformasi juga menjadi catatan tersendiri bagi perjalanan bangsa kita yang tidak bisa dihapuskan, dikenal kerusuhan 13 Mei 1998. Belakangan, terorisme dengan aksi bom bunuh diri di Indonesia merupakan salah satu bentuk rongrongan transnasional kehidupan berbangsa. Selama 32 tahun dimasa Pemerintahan Orde Baru kita belum pernah menemukan orang yang nekat menghabisi dirinya sendiri demi sebuah cita-cita yang dibungkus dengan semangat agama hingga mengorbakan dirinya mati demi yang diperjuangkannya. Meski, kematian yang dilakukan merugikan banyak orang. Konflik berbau agama memang tetap masih ada hingga kini, meski kehidupan yang kita jalankan sehari-hari bersama tidak terjadi persoalan, dan masih bisa berkomunikasi satu sama lain. Namun, bila adanya kepentingan elit “menyeret” agama keranah publik maka ketulusan dalam membangun bangsa akhirnya sedikit memudar, dan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu, dengan melihat sebuah kepentingan dengan representasi atribut, sekedar kualitas. Karenanya, konflik tidak bisa dinafikkan, akan tetapi bagaimana diatur konflik tersebut. Indonesia memang rumah bagi semua suku, agama, dan etnis yang hidup diberbagai pulau-pulau. Meski suku Jawa terbesar, bahkan bisa dikatakan suku perekat integrasi bangsa. Akan tetapi, tidak bisa diremehkan setiap suku bangsa memiliki peran tersendiri dalam membangun kontribusi bangsa selama ini. Papua yang mayoritas penduduk aslinya beragama kristiani, namun sumbangan kekayaan alamnya untuk bangsa ini sangat besar. Suku Tiongha dalam membangun perekonomian di Indonesia juga tidak bisa dipandang sebelah mata, bahkan suku tersebut salah satu penggerak roda perekonomian selama ini. Douglas E.Ramage, seorang ahli peneliti tentang perkembangan politik di Indonesia menyimpulkan bahwa, “Indonesia adalah sebuah negara yang terlalu banyak meributkan masalah ideologi dibanding negara-negara lain. Soekarno
102
Kumpulan Artikel mereumuskan Pancasila sebagai alternatif win-win solution dalam kehidupan bernegara, Indonesia bukan negara agama, dan juga bukan negara sekuler. Meski demikian Indonesia negara berketuhanan. Secara global dalam kehidupan berbangsa memang tak bisa dinafikan adanya persoalan yang selama ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita dalam membangun kehidupan bangsa yang kita cita-citakan mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Namun, secara internal, gereja di Indonesia juga harus membaharui dirinya dan tidak menafikkan adanya kepentingan kelompok gereja satu dengan yang lain. Karenanya, ditengah kepentingan gereja satu dengan yang lain semangat inklusif harus ditumbuh kembangkan, dengan mewujudkan gereja yang esa. Sehingga, gereja mampu memahami peran kenabiannya (profetiknya) ditengah bangsa yang membutuhkan pesan-pesan kenabian tersebut. Dengan kata lain, seperti yang dikemukakan Alikitab gereja harus menjadi terang dan garam Allah ditengah dunia yang sedang berkecamuk dengan berbagai persoalannya. Karena itu, gereja tak bisa berpangku tangan melihat hal ini, sebagai tubuh Kristus, dan Kristus kepalanya maka langkah yang diambil adalah mewujudkan gereja dengan semangat ekumenikal. Dimana semangat tersebut lebih membumikan kebersamaan dan persatuan, dalam bentuk persaudaraan sejati sebagai mahluk ciptaan Tuhan (Homo Imago Dei). Tanpa mengabaikan asas-asas pluralitas yang ada di dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara. Karenanya gereja tampil ke depan dalam membangun ekumene yang membumi, bukan hanya tataran wacana, melainkan dapat diimplementasikan ke akar rumput, yakni jemaaat Tuhan.*
103
Orang Muda Bicara Oikoumene
GERAKAN HUMANITAS SEBAGAI GERAKAN OIKOMENE DALAM KONTEKS INDONESIA MASA KINI Oleh: Marko Mahin* Dunia empirik Indonesia memang menyimpan sekian potret buram yang menggelisahkan, antara lain: -
Negeri yang berlimpah dengan cahaya surgawi berupa agama-agama justru menjadi firdaus bagi para kriminal kejam dan para koruptor serakah.
-
Negeri yang kaya-raya akan sumber daya alam tapi rakyatnya banyak hidup di bawah standar sejahtera. Masih ada yang kekurangan gizi dan menyandang busung lapar, masih ada yang makan nasi aking, nasi sisa yang dikeringkan untuk makanan hewan.
-
Negara yang luas namun sarat bencana: mulai dari tsunami, gunung berapi, gempa bumi, kebakaran hutan, banjir hingga meluapnya lumpur dari perut bumi.
-
Negara yang plural namun rawan konflik dengan berdasarkan etnis dan agama.
Dalam kehidupan sosial, bangsa Indonesia pun "dak luput dari The Great Disrup!on (Guncangan Besar) seper" yang ditulis oleh Fukuyama (2005) yaitu terjadinya erosi pada modal sosial masyarakat yang ditandai dengan: -
Kriminalitas yang meningkat tajam, baik dalam kuan"tas maupun kualitas.
-
Perceraian dan kehancuran kehidupan rumah tangga meningkat secara dras"s
104
Kumpulan Artikel -
Menguatnya individualitas dan merosotnya •ngkat kepercayaan orang terhadap manusia lain. Meningkatnya perilaku memen•ngkan diri sendiri, sementara rasa peduli terhadap orang lain memudar. Kepercayaan di antara sesama manusia makin menipis, kecurigaan dan kecurangan merebak, pelanggaran hukum meningkat.
-
Proses kerja sama dalam masyarakat menjadi proses saling memakan dan saling merugikan. Kehidupan menjadi seper• meja judi, kerja sama (aliansi, persekutuan, serikat) dibangun secara licik dan dilakukan demi kepen•ngankepentingan tertentu, yaitu membuat menang kelompok sendiri dan mengalahkan kelompok lain. Entah kita setuju atau •dak setuju (atau meng-counter ma•-ma•an) The
Clash of Civiliza!ons (Benturan Peradaban-Peradaban) seper• yang diramalkan oleh Samuel Hun•ngton (2002), nyatanya di Indonesia masa kini dengan mata telanjang kita bisa melihat meningkatnya kesadaran iden•tas etnik, kultural dan agama yang kata Hun•ngton akan melahirkan clash (benturan). Ada banyak Kabupaten menerapkan Perda bernuansa agama yang berujung pada eksklusivisme. Kemudian ada desakan di sana-sini untuk memisahkan diri dari Provinsi atau Kabupaten induk dengan dalih pemekaran, otonomi dan kemandirian. Apa yang dikatakan Hun•ngton bahwa akan muncul kelompok-kelompok berdasarkan pada kesamaan dan kemiripan budaya pun telah terjadi di tengah kita. Hun•ngton meramalkan bahwa “Para poli•si membangkitkan dan mengiden•kkan masyarakat dengan komunitas-komunitas kultural ‘yang lebih besar’ yang mampu mengatasi pelbagai ikatan kebangsa-an” yang kemudian menjadi isu poli•s (2002: 222) , mulai tergenapkan. Jadi, ada badai dan krisis sosial yang sedang
menghantam-menerjang
105
Orang Muda Bicara Oikoumene bangsa kita saat ini. Hal itu mengakibatkan kita semua sebagai bangsa Indonesia “kehilangan rasa damai sejahtera”. Kita hidup dalam ketegangan dan polarasi. Kita merasa tidak aman, tidak sejahtera di negara kita sendiri. Lupus est homo homini (serigala bagi yang lain) yang didengungkan oleh Thomas Hobbes telah menjadi fakta-fakta telanjang. Kita gelisah karena kita tahu persis bahwa kita akan “dimangsa” dan “terancam” oleh sesama kita yang satu bangsa dan satu negara. Kemana-mana kita bepergian selalu diselubungi kabut distrust (ketidakpercayaan), karena manusia telah menjadi “monster/hewan buas” bagi sesamanya. Kita berhadapan dengan serigala-serigala yang berbulu domba. Apa yang dikatakan oleh Philip Slater (1971) dalam bukunya The Pursuit of Loneliness terpampang telanjang di hadapan kita, bahwa ada kecenderungan manusia telah kehilangan keinginan untuk hidup bermasyarakat (the desire for community), keinginan untuk bertanggung jawab (the desire for engagement), dan keinginan untuk saling bergantung (the desire for dependence). Dihadapkan dengan situasi yang demikian, maka sangat relevan untuk mengajukan pertanyaan “Bagaimana Gereja Mengaplikasikan konsep Ekumene dalam konteks Indonesia yang demikian ?” Kepriha•nan Bersama: Mencari Se••k Peran Sebagaimana halnya alam yang memiliki daya resiliensi (resilience) yaitu kekenyalan, daya pulih untuk mengatur kembali dan memperbaharui dirinya sendiri tanpa kehilangan fungsi maupun keanekaragamannya sendiri (Alcorn 2001: 18) setelah mengalami kehancuran, demikian juga dengan masyarakat sosial kita. Francis Fukuyama setelah membincangkan “Guncangan Besar” (The Great Disruption) yaitu kekacauan sosial dan moral yang dialami oleh masyarakat, juga membicarakan tentang kemampuan masyarakat menghadapi guncangan dan perubahan. Bagi Fukuyama, setelah proses-proses itu terjadi, akan terjadi proses
106
Kumpulan Artikel penataan kembali, dari disordering menjadi reordering of the society. Dalam bab terakhir bukunya, Fukuyama berbicara tentang pemulihan (2005: 323-347). Hal menarik yang patut diperhatikan bahwa “Guncangan Besar” tidak hanya terjadi pada masa kini, tetapi juga pada masa lalu. Setelah guncangan itu terjadi proses penataan kembali tatanan sosial. Sebagai contoh, hal yang demikian kata Fukuyama dapat dilihat pada turunnya tingkat pembunuhan di masyarakat Inggris dan London, yang mana tingkat pembunuhan pada abad ke-13 di Inggris tiga kali lipat angka pada abad ke-17, dan di London pada abad ke 19 dua kali lipat angka pada tahun 1970-an (2005:324). Menurunnya kebiasaan minum alkohol bangsa Amerika. Pada awal tahun 1800-an konsumsi alkohol per kepala adalah 9 liter, tetapi pada menjelang akhir abad ke-20 menurun menjadi 4,5 liter. Pada tahun 1829 konsumsi alkohol malah naik pesat yaitu 15 liter. Hal ini betul-betul “Guncangan Besar”, masyarakat pada waktu digambarkan sebagai berikut “Kedai minum jauh lebih populer daripada gereja sebagai tempat interaksi sosial. Petani mabuk yang terhuyung-huyung pulang ke ladang masingmasing atau buruh yang menegak wiski setengah liter sebelum pergi bekerja, sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Kebiasaan kaum lelaki menenggak minuman keras menjalar ke seluruh kelompok sosial dan pekerja . Seorang lelaki pemilik peternakkan di Barat minum-minum di kedai sampai mabuk; seorang buruh tani di Timur mendapat upah dalam bentuk setengah atau satu liter minuman keras; seorang pemilik perkebunan di Selatan dianggap cukup layak menjadi anggota Gereja Metodis apabila ia membatasi konsumsi alkohol hariannya, yakni seperempat liter brendi persik.
Hanya sedikit orang yang punya tempat tidur sendiri, dan kadang-kadang satu tempat tidur diisi 2 orang atau lebih, terutama pada keluarga-keluarga besar yang lazim pada waktu itu. Mereka jarang mandi dan mengenakan pakaian yang itu-itu saja dari pagi hingga pagi lagi. Mereka hidup di kelilingi kotoran....isi pispot dituangkan begitu saja dari jendela ke jalan, tanpa mempedulikan orang lewat. ....jendela yang pecah kacanya, pintu yang miring, dinding papan yang sudah lapuk dibiarkan berbulan-bulan, jika tidak bertahun-tahun lamanya, dan rumah jarang dicat ulang. Barang-barang rongsokan-perkakas rongsokan, bekas perabot rumah tangga, gerobak-di
107
Orang Muda Bicara Oikoumene biarkan di ladang selama bertahun-tahun....kaum lelaki dan sejumlah besar perempuan mengunyah tembakau, dan ludah kecokelatan berserakan di mana-mana, tidak saja di atas lantai kedai minum, melainkan juga di atas lantai gereja. Banyak orang yang makan hanya dengan menggunakan pisau, dan banyak pula yang makan dengan tangan.
Situasi sosial yang kacau-balau itu mengalami perubahan ketika munculnya satu gerakan radikal — yang kemudian hari dikenal dengan Victorianisme — yang muncul sebagai reaksi terhadap berbagai jenis gejolak sosial. Gerakan ini berusaha menciptakan aturan-aturan sosial yang baru dan menanamkan sifat-sifat luhur dalam diri penduduk yang tampaknya sedang bejat (2005: 327). Sehingga dilaporkan demikan: Pada tahun 1825 seorang pengusaha dari Utara menekan istri dan anakanaknya, bekerja sembarang waktu, menenggak minuman keras banyak sekali, dan jarang ikut pemilu atau peregi ke gereja. Sepuluh tahun kemudian pengusaha ini pergi ke gereja dua kali seminggu, memperlakukan keluarganya dengan lembut dan penuh kasih, tidak minum apa-apa kecuali air, bekerja dengan jadwal yang teratur dan mendorong pekerjanya melakukan hal yang sama, ikut kampanye Partai Whigh, dan menggunakan waktu luangnya untuk meyakinkan orang-orang di sekelilingnya bahwa jika mereka mau menjalankan kehidupan mereka seperti dia, dunia bakal sempurna. Yang menarik, Fukuyama mengatakan bahwa walaupun bukan menjadi motor, lembaga keagamaan [gereja] berperan dalam gerakan radikal kemanusiaan itu. gereja mengambil posisi strategis yaitu dengan cara mempraktikkan nilai-nilai puritannya seperti berkata jujur, menunaikan kewajiban, bersikap hemat, kasih dan tolong-menolong secara tulus, dan itu semua dilakukan secara luas di luar lingkungan keluarga dan gereja (2005: 21, 297). Para pendeta Metodis, Baptis, Bala Keselamatan, dan jemaat awam menjadi prajurit sukarela dalam pertarungan melawan alkohol, judi, perbudakan, kejahatan anak-anak, dan pelacuran, serta dalam upaya membangun organisasi-organisasi sosial yang kuat (2005: 341).
Gereja
108
Kumpulan Artikel dengan sadar mensekulerkan ajaran-ajaran luhurnya sehingga menjadi spiritualitas bersama masyarakat atau menjadi landasan budaya bagi orang-orang untuk saling percaya. Hal itu tampak pada ajaran tentang universalitas martabat manusia yang kemudian dijadikan sebagai doktrin sekuler (2005:344). Apa yang dikatakan oleh Fukuyama sebenarnya bersumber dari Max Weber dengan bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958) Weber melihat bagaimana Protestanisme telah membuka wawasan para pengikutnya untuk terbuka terhadap dunia dengan cara mendorong para penganutnya agar mengamalkan ajaran-ajaran universal yang terdapat dalam Protestanisme yaitu untuk bersikap jujur dan menegakkan perilaku bermoral secara luas yaitu tidak hanya di dalam lingkungan keluarga atau gereja saja tetapi juga di masyarakat luas. Berdasarkan paparan di atas, tampaklah bahwa pada masa kebangkrutan sosial, agama [gereja] menggunakan kesempatan emas untuk melakukan pelayanan strategis yaitu menjadi agen perubahan sosial dengan menegakkan nilai-nilai universal di tengah-tengah masyarakat yang kebingungan. Masyarakat dipengaruhi untuk melakukan penataan ulang dunia yang sudah mengalami guncangan. Gereja memfungsikan diri sebagai “garam dan terang dunia” yaitu dengan mengaktifkan kembali energi kolektif masyarakat untuk mengatasi problem bersama. Kebersamaan dan rasa saling percaya yang pernah mati dihidupkan kembali, yang hasilnya adalah realitas-realitas baru yaitu damai sejahtera bagi masyarakat luas. Pertanyaan yang muncul sekarang adalah, “Dapatkah pola yang pemulihan yang terjadi di Inggris dan Amerika pada paruh abad ke-19, berulang kembali pada generasi kita masa kini di Indonesia?”
Modal Sosial: Bahan Dasar Pemulihan Ada banyak tokoh dan ahli yang telah berbicara panjang lebar tentang modal sosial, misalnya Robert D. Putnam (1993, 1995, 2002), Francis Fukuyama
109
Orang Muda Bicara Oikoumene (1999,2002), James Coleman (1990,1998), Cohen dan Prusak (2001), Pierre Bordieu (1983,1986) dan lain-lainnya. Namun untuk kepen•ngan penulisan makalah ini saja, saya mau mendefinisikan modal sosial sebagai nilai-nilai luhur, normanorma agung, kekuatan-kekuatan rohani, energi-energi posi•f yang terdapat di dalam ajaran-ajaran agama-agama, tersimpan dalam adat-adat, tradisi-tradisi dan budaya-budaya, yang (pernah) hidup dan berkembang di masyarakat, yang bersifat universal (dapat menjadi nilai bersama, shared value) sehingga dapat menjadi kekuatan sosial, kepercayaan sosial, basis sosial, perekat sosial untuk melakukan aksi bersama dalam menata kehidupan bersama yang berkualitas dan lebih baik. Secara sederhana, contoh-contoh dari modal sosial dapat disebutkan antara lain sbb.: 1. Keinginan masyarakat untuk berpar!sipasi dalam jaringan sosial. Hal ini ditandai dari keinginan masyarakat untuk berelasi dengan kelompok masyarakat lainnya dalam suatu pola hubungan yang sinergis. Contohnya orang-orang Banjar dari Kalimantan Selatan, secara alamiah saling mendeka• dan kemudian hidup bersama dengan kelompok masyarakat Dayak di hulu-hulu sungai di Kalimantan Tengah. Masyarakat Dayak diuntungkan karena ada kelompok masyarakat Banjar yang menyediakan barang kebutuhan mereka (penjual) dan membeli barang produk mereka (pembeli). Sebaliknya orang-orang Banjar diuntungkan karena ada konsumen yang membeli barang jualan mereka (pembeli) dan ada orang-orang Dayak yang menyediakan barang kepada mereka (penjual). Hal ini adalah sesuatu yang alamiah dan dapat berlangsung tanpa ada agama, negara atau lembaga tertentu sebagai sine qua none (pra-syarat mutlak). Pada bagian ini, prinsip manusia sebagai makhluk sosial sangat diperha•kan sekali. Meskipun kecenderungannya adalah lebih memen•ngkan dirinya masing-masing, manusia tetap merasa butuh untuk menjadi bagian dari
110
Kumpulan Artikel komunitas yang lebih besar. 2. Resiprokal yaitu kecenderungan, adat-is!adat, tradisi yang terdapat dalam masyarakat untuk saling tukar menukar kebaikan. Inilah adalah !ndakan saling membantu dan memen!ngkan kepen!ngan orang lain dengan tanpa mengharapkan imbalan. Orang secara ikhlas memberikan tenaga atau dana pada kelompok lain tanpa mengharapkan imbalan. Begitu juga dengan kelompok yang dibantu, satu waktu atau ketika, dengan tanpa diminta atau diperintah, akan membantu kelompok lain atau kelompok yang telah membantunya. Dalam tradisi Dayak Ngaju !ndakan ini dikenal dengan sebutan handep yaitu tolong-menolong, bantu-membantu untuk menuntaskan satu pekerjaan. 3. Trust atau rasa saling percaya yakni keyakinan bahwa para anggota masyarakat dapat saling berlaku jujur dan dapat diandalkan. Kepercayaan ini bagaikan minyak pelumas yang akan membuat kelompok masyarakat atau organisasi dapat bertahan. Fukuyama menyatakan bahwa trust membantu orang-orang bekerja sama dengan lebih efek!f, karena mereka lebih bersedia menempatkan kepen!ngan kelompok di atas kepen!ngan individu. Jika bawahan merasa bahwa hal tersebut adil, mereka bersedia mengorbankan hak-hak pribadi demi kebaikan organisasi (The Economist 1995:61). 4. Norma sosial adalah sekumpulan aturan untuk mengontrol individu agar !dak berperi-laku menyimpang dalam masyarakat. Misalnya norma menghorma! orang yang lebih tua, norma menghorma! pendapat orang lain, norma untuk hidup sehat, norma untuk !dak berlaku curang, norma untuk hidup bersama. 5. Nilai-Nilai adalah ide-ide atau prinsip-prinsip yang diwariskan secara turun menurun. Misalnya hidup rukun, hidup hemat, toleransi, tenggang rasa,
111
Orang Muda Bicara Oikoumene berprestasi, kerja keras, dst.. 6. Solidaritas yaitu !ndakan proak!f untuk berlaku simpa!-empa!, !ndakan bela rasa. Masyarakat berinisia!f untuk melakukan kebaikan bahkan berkorban untuk kepen!ngan umum (altruisme). Dalam tradisi Kristen, contoh-contoh dari modal sosial dapat ditemukan dalam kaidah agung Tuhan Yesus Kristus yaitu “Kasihilah sesamamu manusia seper• dirimu sendiri” (Ma!us 22: 39 ) atau konsepsi buah-buah Roh menurut Rasul Paulus (Gala!a 5:22) yaitu: “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kese•aan, kelemah lembutan, penguasaan diri”. Modal sosial dalam bentuk ajaran, norma atau nilai ini !daklah eksklusif Kristen. Hans Kung (2002: 169) memperlihatkan bahwa Kaidah Agung terdapat di dalam Kekristenan dan juga agama-agama lain yaitu dengan menampilkannya sebagai satu da"ar yang pararel: -
Konfusius (kira-kira 551 – 849 SM): “Apa yang !dak ingin kamu lakukan pada dirimu, janganlah kamu lakukan pada orang lain” (Analek 15:23)
-
Rabi Hillel (60 SM – 10 M): “jangan lakukan pada orang lain yang !dak ingin mereka lakukan padamu” (Shabbat 13a).
-
Yesus dari Nazareth: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat padamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Ma!us 7:12, lukas 6:13).
-
Islam: “ Tak seorang pun dari kamu bisa menjadi orang beriman selama ia !dakmengharapkan untuk saudaranya apa yang ia harapkan untuk dirinya sendiri” (Empat Puluh hadist, An Nawawi 13)
-
Jainisme: “Mahluk manusia di dunia harus acuh tak acuh terhadap duniawi dan memperlakukan semua mahluk di dunia dengan cara sebagaimana mereka ingin diperlakukan” (Sutrakritanga I, 11,13)
-
Buddhisme: “Suatu keadaan yang tak menyenangkan bagi saya, akan !dak menyenangkan juga bagi orang lain; dan bagaimana mungkin
112
Kumpulan Artikel saya dapat memaksakan pada orang lain sebuah keadaan yang •dak menyenangkan bagi saya?” (Samyu•a Nikaya V, 353,35-342, 2). -
Hinduisme: “Orang •dak boleh berbuat pada orang lain dengan cara yang •dak menyenangkan bagi dirinya sendiri: itulah esensi moralitas” (Mahabarata XIII, 114, 8).
alam budaya Dayak Ngaju, modal sosial tampak dalam kehidupan yang mengacu pada pola kehidupan di rumah tradisional betang.1 Konon, di betang, orang-orang Dayak pernah hidup ala “jemaat Kristen mula-mula”; hidup sebagai komunitas yang saling mengasihi dan memperhatikan. Di rumah betang itu mereka menjalani kehidupan komunal yang harmonis dan berkecukupan. Sehingga •dak ada kemiskinan atau yang berkekurangan, karena seorang dengan yang lain saling berbagi. Pun •dak ada orang kaya atau yang berlebihan, karena se•ap orang berusaha puas dengan apa yang sungguh-sungguh dibutuhkan. Segala sesuatu yang didapat, entah dari berladang, berburu atau mencari ikan, diberikan kepada komunitas untuk keperluan bersama. Semua penghuni betang itu melakukan hal yang sama, karena mereka tahu persis bahwa mereka semua adalah saudara, dan karena mereka menyadari bahwa alam yang dengan se•a mereka makan adalah milik bersama dan •dak menjadi monopoli seseorang. Jadi apa yang didapat dari alam, itu adalah milik bersama dan dipakai unntuk keperluan bersama. Tak ada seorang pun yang dirugikan secara ekonomi dalam sistem pemerataan rumah panjang itu, karena kesejahteraan bersama yang menjadi tujuan. Di betang mereka hidup dalam alam demokrasi. Mereka memerintah dan mengatur diri mereka senndiri. Mentalitas budakisme atau feodalisme •dak dikenal oleh mereka. Hal ini terungkap dari pemakaian bahasa yang egaliter, yaitu seorang bapak atau ibu •dak akan murka jika dipanggil ikau (kau atau kamu) oleh anaknya. Mereka •dak mengenal •ngkat-•ngkat bahasa seper• yang terdapat dalam budaya feodal. Di betang itu •dak ada yang memegang kekuasan mutlak atau •dak ada raja. Hakikat alamiah seorang individu sangat dijamin, karena semua orang mempunyai kedudukan sama. Bila ada satu masalah, mereka punya mekanisme berunding yang
113
Orang Muda Bicara Oikoumene namanya pumpung: yaitu semua penghuni rumah panjang berkumpul bersama untuk sebuah keputusan. Mereka mempunyai sistem handep, yaitu prak!k tolong menolong, gotong-royong untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Djuweng (1995: 73-90) mengatakan bahwa rumah panjang merupakan cerminan suatu keseimbangan sosial yang dianut oleh orang Dayak; keseimbangan antara pribadi dan kelompok. Ringkasnya, di rumah panjang !dak ada penindasan, iri ha! dan keserakahan. Is!lah “yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin” sama sekali !dak dikenal, yang ada hanyalah “menderita sama-sama atau senang bersama-sama”. Kebersamaan (communnity), kegotongroyongan (mutual help), kese!akawanan (solidarity), kejujuran (honesty), pemerataan (equality), adalah nilai-nilai ekonomi sosial yang dijunjung !nggi di rumah panjang. Karena kehidupan rumah panjang khas itu, Ali AS (1995: 201) dalam kajiannya mengenai “Nilai-nilai Islam dalam Budaya Dayak” melihat bahwa Betang atau rumah panjang merupakan media untuk berbuat baik kepada sesama manusia, tanpa memandang asal dan agama. Hal ini disimpulkannya dari kenyataan hidup sehari-hari di rumah panjang, di mana di dalam rumah panjang itu, di pelataran panjangnya, disediakan balai-balai untuk tamu menginap, serta dapur untuk memasak makanan bagi tamu yang !dak bisa makan bersama mereka karena halangan agama. Namun tuan rumah yang bertanggung jawab menyediakan bahan baku untuk dimasak sendiri oleh tamu itu. Gerakan Humanitas: Mengak••an Transendensi Ilahi Secara teori!s, definisi atau contoh yang diajukan di atas agak temaram, namun satu hal yang terang-benderang adalah gereja harus berperan untuk membangkit atau menghidupkan modal sosial. Gereja bersama-sama dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat harus berproses ak!f membentuk, membangun dan menciptakan budaya cinta-kasih, saling tolong-menolong,
114
Kumpulan Artikel saling percaya dan saling mendahului dalam melakukan kebajikan.
Semangat
kebersamaan dibincangkan kembali agar menjadi energi sosial dalam menghadapi fakta bahwa sekarang betapa kecilnya semangat kebersamaan dan betapa menggunungnya rasa benci dan permusuhan. Menurut Fukuyama (2005:177) modal sosial bukanlah barang an!k yang langka atau sesuatu yang !dak dapat diperoleh kembali jika sudah lenyap. Sebaliknya, modal sosial justru dibentuk sepanjang waktu oleh orang banyak. Bahkan ia bisa muncul secara alamiah, dengan alasan karena manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai naluri alamiah menciptakan aturan-aturan untuk mengatur dirinya sendiri dan orang lain dalam satu kelompok masyarakat. Secara alamiah manusia adalah makhluk rasional dan rasionalitasnya memungkinkannya untuk menciptakan cara-cara bekerja sama satu dengan yang lain (2005: 7). Modal sosial hanya dapat dibangun bila orang per orang belajar dan mau mempercayai orang lain sehingga mereka berkomitmen untuk membuat kesepakatan bersama yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengembangkan bentuk-bentuk hubungan yang saling menguntungkan (Putnam, 1993, 1995 dan 2002). Menurut Lesser (2000), modal sosial sangat pen!ng bagi komunitas karena ia: (1) mempermudah akses informasi bagi angota komunitas; (2) menjadi media power sharing atau pembagian kekuasaan dalam komunitas; (3) mengembangkan solidaritas; (4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas; (5) memungkinkan pencapaian bersama; dan (6) membentuk perilaku kebersamaan dan berorganisasi komunitas. Gerakan humanitas adalah aksi nyata gereja bersama-sama dengan kelompok-kelompok masyarakat yang ada, untuk membangkitkan kembali modal sosial pada masyarakat. Peter Berger (1991: 121-23) menyebutkan pola ini sebagai pola induk!f yaitu upaya untuk menyingkapkan pengalaman manusiawi
115
Orang Muda Bicara Oikoumene dalam tradisi religius. Pendekatan ini berusaha untuk menemukan hal-hal yang transenden dalam pengalaman manusiawi. Karena itu gereja (yang bukan gedung dan organisasi itu) dapat dengan rendah ha•: 1.
Mensekulerkan nilai-nilai luhur, norma-norma agung, kekuatan-kekuatan rohani, energi-energi posi•f yang selama ini terkungkung di dalam tembok gereja, agar lepas-bebas di jalanan, pasar, pabrik, sekolah, kantor dll..
2.
Menghampiri dengan rendah ha• nilai-nilai luhur, norma-norma agung, kekuatan-kekuatan rohani, energi-energi posi•f yang terdapat dalam ajaran-ajaran agama-agama non Kristen, tersimpan dalam adat-adat, tradisi-tradisi dan budaya-budaya non-Kristen.
3.
Menjalin dan merajut hal-hal yang suci, agung, luhur suci dan posi•f itu sehingga menjadi nilai bersama (shared value), kekuatan sosial, kepercayaan sosial, basis sosial, perekat sosial untuk melakukan aksi bersama dalam menata kehidupan bersama yang berkualitas dan lebih baik.
Beberapa Contoh Gerakan Humanitas2 Contoh 1 Bapak TP adalah seorang pejabat pemerintah dan tokoh gereja yang berpengaruh di satu kabupaten pemekaran yang baru berumur beberapa tahun. Di wilayah kabupaten itu ada berbagai aliran gereja yang ajaran teologinya berbeda satu dengan yang lain. Berdasarkan pengalamannya di beberapa tempat tugasnya terdahulu, Bapak TP sangat menyadari bahwa bila gereja •dak bersatu maka yang ada hanyalah konflik. Dengan wibawanya sebagai pejabat pemerintah dan
116
Kumpulan Artikel kharismanya sebagai tokoh gereja yang berpengaruh ia mengumpulkan semua pimpinan-pimpinan gereja yang ada di wilayah Kabupaten itu. Ia mengajak para pimpinan gereja-gereja itu untuk membuat “gerakan bersama”
yang •dak saja
mempersatukan gereja-gereja tetapi juga dan membuat aksi yang berguna bagi masyarakat. Akhirnya dibentuk satu organisasi yang mereka namakan Gerakan Kasih Kristus Menolong Indonesia (GKKMI). Ini bukan organisasi yang sekedar berdoa dan baca Alkitab tetapi ini adalah gerakan kemanusiaan menghadapi musuh bersama yaitu kemiskinan, ke•dakberdayaan, kemalasan dan kebodohan. Dalam sebuah acara Kebak•an Kebangunan Rohani misalnya mereka mengumpulkan dana untuk membantu para korban bencana alam di Jogya. Dari sini tampak bahwa konsepsi mereka tentang ‘sesama yang menderita” bukan hanya orang-orang satu gereja atau orang-orang satu wilayah tetapi sudah lintas gereja, lintas wilayah bahkan lintas agama. Contoh 2 Pastor S adalah seorang Hamba Tuhan di kota Kabupaten R. Kenda•pun hanya kota kecil R sarat dengan ancaman konflik. Karena kontur wilayah yang berbukit dan bergunung, di kota itu terdapat banyak sepeda motor jenis trail dengan bermacam merek dan jenis, yang pemiliknya adalah anak-anak muda atau anak-anak tua yang berjiwa muda. Secara •dak sengaja antar pemilik sepeda motor jenis trail itu terjadi pengelompokkan. Celakanya pengelompokkan itu berdasarkan agama. Akibatnya terjadi persaingan. Jalan raya menjadi arena melarikan sepeda motor secara gilagilaan oleh pengebut Kristen, Islam dan Hindu. Terjadi saling ejek dan persaingan. Pastor S merasa sangat priha•n dengan fakta sosial itu. Dengan segala kerendahan ha• ia mendatangi pemimpin pemuda dan ulama di •ap agama, memohon agar jangan sampai agama tercemar oleh aksi kebut-kebutan. Ia juga mendatangi se•ap kelompok pengebut dan menyampaikan visinya bahwa sepeda
117
Orang Muda Bicara Oikoumene motor itu hanya punya merek yaitu: Honda, Suzuki atau Yamaha, tetapi sepeda motor •dak punya agama. Hanya manusia yang punya agama, karena itu •dak boleh dibodohi oleh sepeda motor. Pastor S tak pernah berhen• menyebar dan menyalurkan energi posi•f kebersamaan dan perdamaian. Sampai akhirnya, antar kelompok pengebut bisa bertemu bahkan bersatu. Pertemuan antar mereka •dak lagi dalam kerangka persaingan tetapi dalam rangka saling memperkaya, misalnya saling tukar informasi dan keahlian dalam memodifikasi kendaraan. Kegiatan-kegiatan bersama pun dirancang untuk menumbuhkan rasa kebersamaan. Dalam rangka merayakan 17 Agustus misalnya, kelompok-kelompok yang saling bertentangan tadi melakukan kegiatan mendaki satu bukit yang tampak jelas dari kota mereka. Di puncak bukit itu mereka melakukan refleksi dan doa bersama yang diakhiri dengan menancapkan bendera merah pu•h di puncak bukit. Kini bendera merah pu•h berkibar di puncak bukit itu, para pengebut dengan spontan akan berbicara kepada semua orang yang ditemui bahwa kami dari berbagai macam kelompok dan agamalah yang mengibarkan bendera merah pu•h di puncak bukit itu. Contoh 3 W hidup di M satu kota pesisir yang sangat kosmopolitan dan heterogen. Namun kehidupan masyarakatnya tersekat-sekat oleh tembok agama yang berdiri angkuh. Antar agama terjadi intens rasa saling curiga dan saling •dak percaya. Rasa benci tanpa alasan bersemi dalam bentuk isu proseli•sasi. Dialog dan pertemuan antar tokoh agama berlangsung hambar dan semu karena hanya dalam rangka memenuhi undangan pemerintah. Di sekolah-sekolah dan tempat ibadah diajarkan bahwa agama X,Y dan Z adalah musuh kita, dan R yang adalah agama kita adalah agama paling benar.
118
Kumpulan Artikel W sebagai ak•vis gereja sangat menyadari bahwa di dunia ini selalu hadir dua fakta yaitu selain adanya fakta membenci dan •dak suka, sebenarnya juga ada fakta mencinta dan menyenangi. Selain hal-hal nega•f pas• ada juga hal-hal posi•f. Karena itu ia menjumpai beberapa ak•vis muda dari agama-agama lain dan membincangkan visinya bahwa selain ada hubungan agama-agama yang nega•f yaitu pas• ada juga hubungan agama-agama yang posi•f. Apa yang disampaikan W mendapat sambutan baik. Bahkan ia menemukan ternyata banyak orang yang mempunyai pengalaman posi•f dengan orang-orang yang •dak seagama dengannya. Dengan rendah ha• dan pro-ak•f, W mendeka• mereka dan mengajak mereka untuk menulis pengalaman mereka dan kemudian dimuat di satu media lintas iman. Tulisan itu berpengaruh posi•f atas kota M tempat mereka •nggal. Orang-orang menyadari ada perekat sosial yang menghubungi antar orang-orang yang berbeda-beda. Lebih jauh lagi, kelompok menulis pengalaman dengan orang beragama lain itu kemudian berkembang menjadi kelompok diskusi yang kemudian menggagas agar ada pendidikan agama yang jujur dan berbasiskan pada harmoni dan perdamaian. Gagasan itu diwujudkan dalam bentuk Studi Agama-Agama yang dilakukan se•ap bulan. Maka ke•ka orang-orang ingin tahu banyak mengenai agama Hindu atau Buddha misalnya maka mereka datang langsung ke Pura atau Vihara bertemu dan belajar langsung dengan tokoh agama Hindu dan Budha yang ada di sana. Selain itu mereka bisa bertemu dengan sesama mereka manusia yang beragama Hindu dan Budha di sana. Hal itu sangat posi•f. Karena mereka mendengar langsung dari penganutnya tentang agama yang dianutnya. Secara perlahan ke•dak-tahuan yang menjadi sumber kecurigaan dan kebencian mulai terkikis dari benak para peserta Studi
119
Orang Muda Bicara Oikoumene Agama-Agama bulanan itu. Ke•ka pulang mereka pun bercerita bahwa mereka telah masuk ke rumah ibadah orang-orang yang •dak seagama dengannya dan di sana ia berjumpa dengan sesama manusia ciptaan Tuhan. Contoh 4 Rf adalah seorang pemuda gereja yang ak•f di berbagai kegiatan pelayanan dan kegiatan rohani lainnya. Sebagai seorang ak•vis gereja, ia sering bepergian ke daerah-daerah. Dalam perjalanannya ia banyak bertemu dengan masyarakat yang bertani karet. Hampir di semua wilayah ia menemukan fenomena yang sama yaitu bahwa para petani karet, kenda!pun bekerja sangat rajin (bangun jam 4 pagi !ap hari) dan mempunyai kebun karet yang luas, kehidupannya miskin dan terus-menerus miskin dari generasi ke generasi. Fakta sosial ini menggelisahkan Rf. Dengan inisia•f sendiri kemudian Rf melakukan peneli•an kenapa sampai terjadi hal yang demikian. Akhirnya ia menemukan beberapa fakta yang menjadi sumber kemiskinan para petani karet itu: •
Pola pemakaian uang yang konsum•f: uang digunakan untuk berfoya-foya, membeli barang elektronik, sepeda motor dll.. Uang •dak ditabung atau digunakan untuk mengembangkan usaha produk•f lainnya.
•
Para petani karet itu terbelit utang dengan bunga •nggi kepada para pedagang yang adalah juga pembeli karet mereka.
•
Ke•ka menjual karet mereka dirugikan dalam hal •mbangan.
•
Petani karet itu •dak menjual langsung karetnya ke pembeli utama (pabrik) tetapi ke pembeli ke dua yaitu pedagang yang selama ini meminjami uang dengan bunga •nggi.
Menyadari hal demikian Rf kemudian mendatangi para petani karet, kemudian ia
120
Kumpulan Artikel memaparkan bahwa kenapa mereka miskin, yaitu karena: n
Mereka terpenjara oleh sikap mental tertentu sehingga mereka !dak berdaya, indikasinya adalah mereka memboroskan uang untuk sesuatu yang sedikit manfaatnya dan mau berutang dengan bunga !nggi
n
Mereka !dak punya kontrol dan jaringan pemasaran karet. Selama ini kontrol dan jaringan itu ada di tangan para pengumpul atau para tengkulak yang adalah juga para rentenir dan penipu dengan alat !mbangan mereka. Para pedagang itu memonopoli distribusi barang, menentukan harga barang yang dijual dan harga karet yang dibeli.
n
Mereka hidup dalam dunia perdagangan !dak yang adil. Mereka harus berinisia!f untuk menciptakan dunia perdagangan yang adil (fair trade).
R kemudian mengajak para petani karet mendirikan koperasi petani karet yang •
Visinya adalah untuk menjadi jaringan bisnis karet dengan berbasis rakyat, dan
•
Misinya adalah “Melakukan pembebasan dan pemberdayaan sosial ekonomi anggota agar mampu mengontrol jaringan pemasaran karet, distribusi barang, mendapatkan nilai tambah, menstabilkan harga, menghapus monopoli dan menciptakan perdagangan yang adil.”
Dengan sistem koperasi, dikumpulkanlah dana sebagai modal awal. Atas dasar saling percaya satu sama lain dana yang terkumpul itu dipakai untuk membeli mini truk sehingga mereka bisa menjual karet mereka langsung ke pabrik dengan harga yang !nggi. Selain itu mereka bisa membeli barang kebutuhan mereka langsung di penjual pertama dengan harga murah.
121
Orang Muda Bicara Oikoumene Sekarang ini para petani karet yang bergabung dalam koperasi itu telah memiliki asset sebesar 1,5 milyar rupiah dan 3 truk mini untuk mengangkut karet ke pabrik dan mendistribusi sembako. Lebih jauh lagi kini mereka telah punya 1 swalayan dan 3 grosir sembako. Selain itu mereka mempunyai organisasi mandiri dengan nama Serikat Petani Karet. Berekumene: Satu Visi Banyak Strategi Terlalu lelah untuk membincangkan gerakan ekumene sebagai cara untuk mempersekutukan organisasi-organisasi gereja yang memang berbeda, harus berbeda dan senan!asa berbeda. Realitas nyata di Kalimatan memperlihatkan bahwa gerakan ekumene macam ini ternyata “mandul”, “impoten” dan “semu” dalam hal mengatasi keberbedaan gereja-gereja. Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) dengan “se!a” dan “lugu” berkomitmen untuk !dak mendirikan gereja di luar pulau Kalimantan, tetapi rekan-rekannya sepersekutuan !daklah demikian. Karena itu, diperlukan pendekatan lain untuk membincangkan gerakan ekumene di Indonesia. Dari paparan di atas tampak bahwa berekumene adalah bagaimana gereja berperan dalam menghadirkan damai sejahtera yaitu dengan cara menjadi garam dan terang di dunia, bukan menjadi garam dan terang dunia di dalam gereja saja atau di dalam keluarga. Gereja harus keluar dari “botol garam” yang menghalangi fungsinya untuk mencegah pembusukan dan memberi rasa sedap pada dunia. Gereja harus berada di kaki dian agar dapat menerangi dunia (semua orang tak peduli suku, agama, dan kebangsaannya). Gereja !dak boleh pelit atau egois dengan terangnya yaitu dengan meletakan diri di bawah “gantang” gerejanya. Dalam is!lah Fukuyama gereja harus bisa menjadi agen perubahan sosial dengan menegakkan nilai-nilai universal di tengah-tengah masyarakat yang kebingungan. Masyarakat dipengaruhi untuk melakukan penataan ulang dunia yang sudah mengalami guncangan.
122
Kumpulan Artikel Paparan di atas juga memperlihatkan bahwa berekumene adalah melakukan gerakan humanitas yaitu aksi nyata gereja yang dengan rendah ha• menjalin kerjasama dengan berbagai kelompok dalam masyarakat yang juga memiliki nilai-nilai luhur, norma-norma agung, kekuatan-kekuatan rohani, energienergi posi•f. Gerakan humanitas adalah aksi bersama orang-orang dari lintas suku, agama dan ras untuk menghadirkan nilai-nilai luhur, norma-norma agung, kekuatan-kekuatan rohani, energi-energi posi•f ke dalam dunia sehari-hari, yaitu dengan menjadikannya sebagai kekuatan sosial, kepercayaan sosial, basis sosial, perekat sosial untuk melakukan aksi bersama dalam menata kehidupan bersama yang berkualitas dan lebih baik. Ada banyak konsepsi, cara, dan strategi untuk menghadirkan damaisejahtera di tengah bangsa dan negara ini. Hal ini terjadi karena bangsa dan negara sedang menghadapi banyak masalah dan persoalan, yang tentu saja memerlukan jawaban dan jalan keluar yang banyak pula. Permasalahan yang kita hadapi sangat besar karena itu memerlukan keterlibatan banyak orang. Siapapun diundang untuk berkontribusi. Ibu Theresa pernah mendapat pertanyaan dari seorang wartawan, “Kenapa ia hanya menangani simptom kemiskinan dan tidak mencabut “akar masalah” kemiskinan?”.
Ibu Theresa dikritik kenapa hanya menjalankan aksi
karitatif dan tidak liberatif. Ibu Theresa yang sudah mengabdikan hidupnya betahuntahun di jalanan dengan merawat orang sakit dan menghibur mereka yang sekarat, dengan tenang menatap wajah wartawan cerdas dan kritis itu sambil berkata “Wah itu ide yang bagus. Bagaimana jika Anda melakukannya?” Da•ar Pustaka Alcorn, Janis B. 2001.“Resiliensi Ekologis,Pelajaran Dari Masyarakat Adat Dayak (Sebuah Pengantar) dalam Nico Andasputra, John Bamba dan Edi Petebang (Eds.), Pelajaran Dari Masyarakat Dayak: Gerakan Sosal dan Resiliensi Ekologis di Kalimantan Barat, Pon•anak: WWF- BSP – Ins•tut Dayakologi.
123
Orang Muda Bicara Oikoumene Ali AS, H. M. 1995.“Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Dayak”, dalam Ruh Islam Dalam Budaya Nusantara, Jakarta: Yayasan Fes!val Is!qlal. Berger, Peter L. 1994. Kabar Angin dari Langit: Makna Teologi dalam Masyarakat Moderen, (terjemahan J.B. Sudarmanto), Jakarta: LP3ES Cohen, D, & Prusak,L. 2001. In Good Company: How Social Capital Makes Organiza!ons Work, Harvard Business Press. Coleman, J. S.1988. Social Capital in The Crea!on of Human Capital, The American Journal of Sociology, 94 (Supplement): S95-S120 ______. 1990. Founda!on of Social Theory, Cambridge,Mass.: Harvard University Press Djuweng, Stepanus. 1995. “Realitas Sosial Budaya Bangsa Pribumi dan Masyarakat Pribumi”, dalam Dubut Darius (ed.) Kurban Yang Berbau Harum: 65 Tahun Pdt. Dr. Fridolin Ukur, Jakarta: Balitbang PGI Fukuyama, Francis. 2002. Social Capital anda Development: The Coming Agenda. SAIS Review XXII (1): 23-37 _____. 2005. Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru (Terjemahan Masri Maris), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Hun!ngton, Samuel P. 2002. Benturan Peradaban (Terjemahan M. Sadat Ismail), Yogyakarta: Penerbit Qalam Kung, Hans. 2002. E!ka Ekonomi – Poli!k Global,Mencari Visi Baru bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI (Terjemahan Ali Noer Zaman), Yogyakarta: Penerbit Qalam Lesser, E. 2000. Knowledge and Social Capital: Founda!on and Applica!on, Boston: Bu"erworth-Heinemann Mahin, Marko. 1997. “Rumah Panjang Sebagai Model Bergereja Dalam Konteks Masyarakat Dayak Yang Teralienasi”, dalam Jurnal Penuntun, Vol. 3, Tahun XXX, 11 Maret 1997, Terbitan Sinode AM GKI Jakarta Putnam D. Robert. 1993. The Prosperous Community: Social Capital and
124
Kumpulan Artikel Public Life, Princeton: Princeton niversity Press. _____. 1995.Tuning In, Tuning Out: The Strange Disappearences of Social Capital in America, Political Science and Politics, 28 (4): 664-683 _____. 2002. Bowling Together, TAP 13 (3). Slater,Philip, 1971. The Pursuit of Lonelines American Culture at the Breaking Point, Boston: Beacon Press _____. 1995. ‘Trust in Me,’ The Economist. 16 December. Weber, Max. 1958. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, New York: Charles Scribners Son’s 1 Betang adalah nama rumah tradisional suku Dayak. Rumah panjang, berbentuk panggung, yang dibangun di atas tiang-tiang yang cukup tinggi. Rumah yang didiami oleh multi-keluarga dan akan bertambah panjang bila ada pasangan yang baru menikah, karena mereka harus membangun kamar tambahan pada rumah panjang itu. Uraian lengkap mengenai bagian ini lihat Marko Mahin, “Rumah Panjang Sebagai Model Bergereja Dalam Konteks Masyarakat Dayak Yang Teralienasi”, dalam Jurnal Penuntun, Vol. 3, Tahun XXX, 11 Maret 1997, Terbitan Sinode AM GKI Jakarta. 2
Contoh-contoh yang dipaparkan di bawah ini adalah nyata dan berdasarkan hasil temuan di lapangan. Namun untuk melindungi hak pribadi para informan dan pelaku, nama-nama disamarkan.
125
Orang Muda Bicara Oikoumene (Endnotes) ∗ MARKO MAHIN adalah dosen di STT-GKE Banjarmasin. Ditahbiskan sebagai Pendeta di Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) pada 1999. Memperoleh gelar Sarjana Theologia (S.Th.) dari STT Jakarta pada 1997. Studi Magister dan memperoleh gelar Master of Art (MA) di Universitas Leiden-Belanda pada 2003. Sekarang ini sedang mempersiapkan diri untuk Promosi Doktoral di Program Pascasarjana Antropologi, Universitas Indonesia (UI). Email:
[email protected]
126
Kumpulan Artikel
APAKAH INDONESIA MASIH RUMAH BERSAMA? TINJAUAN EKUMENIS TERHADAP RELITAS KEINDONESIAAN Oleh : Joni Mesalangi, ST TINJAUAN KEINDONESIAAN Sebagai negara berdaulat penuh, Indonesia memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan berliku. Sejak zaman purbakala, kepulauan Indonesia telah menjadi kediaman manusia purba yang dapat dibuktikan dari penemuan-penemuan tengkorak dan sisa-sisa kehidupan mereka di beberapa tempat. Kemudian pada zaman feodalisme, kita mengenal beberapa kerajaan besar yang pernah berjaya di kawasan Nusantara, mulai dari Kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit, Gowa-Tallo, Ternate, Mataram, hingga Kesultanan Yogyakarta yang masih bertahan hingga sekarang. Era perjuangan kebangsaan untuk membentuk sebuah entitas baru yang bernama Indonesia dimulai pada tahun 1908, ketika para pemuda dari berbagai wilayah Nusantara menyadari bahwa perjuangan yang berjalan sendiri-sendiri untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajah ternyata tidak dapat membawa hasil. Ketika itu, kaum muda yang berhimpun dalam organisasi Boedi Utomo menyatakan tekad untuk berjuang secara bersama-sama, karena hanya dengan persatuan yang kuatlah, perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dapat diwujudkan. Semangat kebangsaan ini kemudian diperbaharui lagi pada tahun 1928 lewat Sumpah Pemuda, di mana para pemuda menyatakan tekad untuk memperjuangkan sebuah rumah yang satu, bernama Indonesia. Dalam pernyataan kesatuan yang historis ini, terkandung spirit kebersamaan dalam semangat egalitarian yang menjadi landasan utama perjuangan berikutnya. Ketika pada akhirnya kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang dilanjutkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan selanjutnya perjuangan reformasi untuk mewujudkan demokrasi pada tahun 1998, ada satu hal yang perlu digarisbawahi, yaitu bahwa perjuanganperjuangan itu selalu melibatkan seluruh komponen bangsa tanpa kecuali, yang bahu membahu untuk mencapai tujuan bersama. Tahun 1908, 1928, 1945 dan 1998 adalah tonggak-tonggak terpenting dalam sejarah perjalanan Indonesia sebagai sebuah entitas kebangsaan, dan tak satupun di antaranya yang tidak melibatkan kebersamaan dan persatuan yang kuat di antara semua komponen pendukung dan peletak dasar Indonesia sebagai sebuah Nation State yang berdaulat. KONDISI GERAKAN EKUMENE DI INDONESIA Gabungan kata “Oikos” dan “Menes” menjadi istilah “Ekumene” yang arti harafiahnya adalah satu rumah, sudah terlanjur dan seakan-akan menjadi stempel yang baku pada gerakan keesaan gereja di Indonesia. Di kalangan tertentu,
127
Orang Muda Bicara Oikoumene gerakan ekumene dipahami sebagai gerakan bersama gereja-gereja interdenominasi untuk menggalang kerjasama di bidang-bidang tertentu di mana mereka dapat mengesampingakan perbedaan dogmatis dan ajaran masing-masing, dan mewujudkan tujuan bersama untuk saling bersekutu, bersaksi dan melayani. Dalam praktiknya, gerakan ekumene sering diterjemahkan sebagai kebaktian bersama, retret rohani, bakti sosial, penggalangan dana dan sebagainya. Pada tingkat yang lebih maju, adalah pelembagaan kesepahaman bersama dalam bentuk organisasi yang dapat menampung kepentingan bersama baik dalam bidang pendidikan/ pengkaderan, wadah dialogis, ataupun wadah lain yang dapat menampung aspek kainonia, diakonia dan marturia dari para stake-holdernya. Sampai pada saat ini, sepertinya faktor-faktor di atas masih menjadi warna utama dari gerakan-gerakan maupun lembaga-lembaga ekumenis yang ada di Indonesia. Lembaga-lembaga ekumene yang ada atau pernah ada di Indonesia juga mengalami masa-masa tumbuh, berkembang lalu kembali mundur dan tiarap atau mati suri. Lembaga pendidikan kader ekumene seperti Akademi Leimena pernah sangat populer dan menelurkan pemimpin-pemimpin bangsa dari kalangan Kristiani lalu kemudian perlahan memudar dan tiarap. Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) yang sampai sekarang masih merupakan penyumbang terbanyak kader-kader pemimpin bangsa, toh juga tak dapat terluput dari lekangnya sang waktu. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, isu atau ide gerakan ekumene dalam konteks di atas semakin tenggelam dan terhimpit oleh isu dan gagasan lain yang menyapu habis ruang berpikir kita seperti isu terorisme, bencana alam, kerusakan lingkungan hidup, masalah kemiskinan, pergulatan politik yang seakan tak berujung, pengaruh globalisasi, perkembangan teknologi informasi, dan sebagainya. Isu-isu ini adalah bahan pembicaraan yang jauh lebih menarik bagi kalangan tertentu, sehingga pembicaraan tentang gerakan ekumene terkadang dianggap ketinggalan atau kurang gaul. Hal ini tentu akan menimbulkan sikap apatis terhadap gagasan bahwa gerakan ekumene dapat menjadi salah satu alat untuk memelihara dan mempertahankan Indonesia sebagai “satu rumah” yang kondusif dan nyaman bagi semua penghuninya. BENANG MERAH GERAKAN EKUMENE DAN SEJARAH INDONESIA Pertama, kita harus lebih dahulu memiliki patron yang sama dalam memahami gerakan ekumene. Dalam konteks keesaan gereja, gerakan ekumene dapat dipahami sebagai gerakan bersama untuk mewujudkan “satu rumah” yang damai bagi gereja-gereja, di mana syaloom Allah dapat terwujud. Tetapi dalam konteks berbangsa dan bernegara, gerakan ekumene harus dipahami sebagai keikutsertaan warga gereja untuk bersama-sama komponen bangsa yang lain mewujudkan Indonesia sebagai “satu rumah” yang aman dan damai bagi seluruh warganya. Dengan kata lain, gerakan ekumene adalah gerakan untuk menghadirkan syaloom
128
Kumpulan Artikel Allah di bumi Indonesia. Gerakan ekumene yang dimaksud di sini mencakup seluruh aspek jasmani dan rohani kita sebagai satu keluarga dalam satu rumah. Membaca sejarah nasional Indonesia, maka kita akan menyaksikan bahwa perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia ditaburi oleh tokoh-tokoh pejuang dari berbagai latar belakang agama, suku, strata sosial, dan golongan yang berbedabeda, yang bahu membahu untuk mewujudkan cita-cita bersama, tanpa melihat perbedan-perbedaan yang ada. Kalau kita merunut lebih jauh, tak dapat disangkal bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia ikut diwarnai oleh para penggiat gerakan ekumene. Salah satu tokoh ekumene yang pernah sangat berperan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia ialah Dr. Johannes Leimena, yang menjadi perintis berdirinya GMKI dan pernah menjadi Wakil Perdana Menteri I, dan menjadi orang kepercayaan Presiden Sukarno, bahkan pernah beberapa kali menjabat sebagai pelaksana tugas presiden. Gerakan Penelaahan Alkitab yang sering diadakan bersama CSV of Java yang pernah dipimpin beliau bahkan diikuti oleh tokoh pemimpin bangsa seperti Muhammad Yamin. Para perintis maupun pendiri negara ini menyadari betul bahwa negara Indonesia dibangun di atas pondasi kokoh kebhinnekaan yang manunggal. Segenap warga bangsa yang berbeda-beda suku, agama dan golongan bahu membahu dalam meletakkan pondasi yang kuat dan membangun bersama di atasnya. Itulah sebabnya kita mengakui bahwa konsep NKRI adalah konsep final tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Komponen-komponen bangsa yang berbeda-beda telah menjadi batu-batu penjuru yang membentuk pondasi negara ini. Satu saja batu itu dicabut dan disingkirkan, maka pondasi itu akan goyah dan bangunan Indonesia sebagai sebuah bangsa akan roboh. REALITAS TERKINI Menyaksikan kondisi terkini bangsa Indonesia dari berbagai aspek kehidupan membawa kita pada kompleksitas pemikiran yang campur aduk. Beberapa peristiwa yang terjadi dan mewarnai perjalanan bangsa beberapa tahun terakhir sungguh memiriskan hati. Kasus terorisme yang terjadi secara beruntun sejak beberapa tahun lalu adalah masalah terbesar bangsa ini dari sisi pertahanan dan keamanan, yang sampai sekarang belum dapat diatasi secara tuntas. Tewasnya gembong-gembong teroris ternama seperti Noordin M. Top dan Dr. Azahari belum dapat dijadikan jaminan bahwa ancaman terorisme telah usai. Sistem sel grup yang dikembangkan oleh jaringan terorisme internasional tentu tidak akan berhenti menyumbangkan kader-kader baru hasil regenerasinya. Bencana alam yang seakan tak ada hentinya telah menjadi salah satu mesin pembunuh terbesar di tanah air. Kasus terakhir seperti Lumpur Lapindo dan gempa Jawa Barat yang segera disusul oleh gempa Sumatera Barat, demikian menyita perhatian dunia internasional dan membawa korban jiwa, harta benda,
129
Orang Muda Bicara Oikoumene dan tersedotnya perhatian semua kalangan sehingga fokus pada bidang-bidang lain harus segera dipinggirkan. Bencana alam telah menjadi ancaman terbesar berikutnya yang terus menghantui, mengingat datangnya bencana alam tidak dapat diprediksi secara detail. Memasuki ranah politik, kita mendapati pentas perebutan kekuasaan yang lebih menyedihkan lagi. Mulai dari tingkat teratas sampai tingkat terbawah, intrikintrik politik hampir selalu diwarnai oleh praktik-praktik yang jauh menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Celakanya, praktik-praktik politik tertentu yang selama ini dianggap tabu dan tidak sehat, secara perlahan sudah mulai menjadi lumrah dan dilakukan seakan-akan tanpa perasaan bersalah. Berbagai cara dilakukan demi untuk merebut kursi kekuasaan yang dicita-citakan, yang semakin membenarkan teori politik Machiavelli. Politik uang misalnya, telah memunculkan budaya baru di kalangan masyarakat bahwa untuk terjun ke dunia politik, syarat pertama adalah, seseorang haruslah orang yang mapan secara finansial. Tampilnya para pesohor dunia hiburan dan anak-anak pejabat atau tokohtokoh politik ternama yang langsung merebut tempat-tempat terbaik di pentas politik, justru menyingkirkan figur-figur potensial yang sebenarnya jauh lebih pantas, tetapi tidak memiliki efek popularitas dan kemampuan finansial. Realitas ini telah membawa kita pada oligarki politik di mana hanya orang-orang tertentu yang terbatas jumlahnya yang dapat menikmati kekuasaan. Ternyata tak semua orang Indonesia punya kesempatan yang sama, meskipun haknya telah terjamin secara yuridis. Apalagi jika kita memasuki wilayah yang lebih sensitif, seperti suku, ras, agama dan golongan. Sistem demokrasi kita yang agak kebablasan telah membuat orang-orang yang memiliki nama seperti Matius Kaisiepo, Markus Parakpak, Lukas Sitompul, I Made Wayan atau Lee Tek Kian, tak perlu berangan-angan untuk menjadi presiden Indonesia.1 Persoalan pelik berikutnya yang dihadapi bangsa ini adalah perusakan lingkunga yang demikian massif dan kadang-kadang terlembaga secara sistematis formal. Contoh, penebangan dengan mengantongi HPH (Hak Pengelolaan Hutan), dan perkebunan sawit ribuan hektar dengan membantai ratusan spesies flora dan fauna yang telah terpelihara ratusan tahun. Tradisi lokal di daerah-daerah tertentu ternyata tak selalu mendukung pelestarian lingkungan hidup. Sebagai contoh, di Nosu (sebuah kecamatan di wilayah pelayanan Gereja Toraja Mamasa yang hampir 100% penduduknya adalah warga GTM) terdapat tradisi baru yang unik bak buah simalakama. Setiap tahun pada musim kemarau, penduduk setempat ramai-ramai membakar bukit-bukit yang mengelilingi desa. Alasannya, kalau bukan untuk berladang jagung, lahan bekas pembakaran itu akan segera ditumbuhi rumput yang dapat menjadi makanan ternak kerbau. Kalau tidak dibakar setiap tahun, maka bukit-bukit itu hanya ditumbuhi paku-pakuan, ilalang dan pohon pinus sehingga dianggap tidak produktif. Kemiskinan dan kesenjangan sosial adalah isu yang sejak dahulu menjadi
130
Kumpulan Artikel persoalan bangsa yang tidak ada habisnya. Cengkeraman globalisasi dengan free capitalism sebagai salah satu instrumennya adalah monster pemangsa yang tidak dapat di deteksi oleh kaum petani/nelayan di pedesaan dan kaum miskin perkotaan. Kalau negara tak segera memproteksi warganya dari cengkeraman ini, maka kita sedang menuju ke kondisi yang disebut homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi sesamanya). Yang kaya menjadi pemangsa bagi yang miskin. Dari sisi nasionalisme, kita dapat menginventarisir beberapa persoalan yang mengganjal. Ketegangan dengan negara tetangga yang sering mendidihkan darah kita dengan pelecehan-pelecehannya lewat pelanggaran batas teritorial atau klaim terhadap produk budaya Indonesia adalah salah satunya. Demikian juga ketegangan internal yang sering terjadi ketika pemerintah memaksakan undang-undang tertentu yang diskriminatif atau ketika pemerintah daerah tertentu memberlakukan Perda Syariah dan membuat warga yang merasa tidak terpayungi merasa semakin terancam dan terbatas eksistensi dan ruang geraknya. Sementara itu, kalangan gereja masih disibukkan dengan masalah seputar ritus peibadahan, penggalangan dana dan latihan vokal grup untuk pesparawi, perlombaan pembangunan gedung gereja, perumusan konsep kebaktian bersama antar gereja, dan kesibukan-kesibukan lain yang memang sangat bermanfaat secara internal tetapi sering membuat gereja semakin teralienasi dari lingkungannya. Persoalan-persoalan di luar sana dianggap memiliki wilayah tersendiri dan sudah ada orang lain yang bertugas mengatasinya, sehingga tidak harus dibahas dalam gerakan ekumene atau dialektika gerejawi lainnya. MASIHKAH INDONESIA RUMAH BERSAMA BAGI SEMUA? Realitas di atas hanyalah beberapa persoalan yang sempat tertangkap oleh lensa intelektual penulis. Tetapi itu sudah cukup untuk menggambarkan bahwa “Indonesia” adalah sebuah rumah besar yang rapuh dan terancam roboh. Sebagian penghuninya merasa semakin tidak nyaman bahkan terancam eksistensinya, bahkan sebagian lagi sudah terkooptasi pikirannya untuk hengkang, mencari rumah lain yang lebih nyaman atau mendirikan rumah baru di mana eksistensi dirinya dapat lebih terjamin. Bagi sebagian orang yang sedang mengalami keuntungan politik, sosial dan ekonomi, Indonesia adalah rumah yang nyaman, negeri yang elok permai bak permata yang bertebaran di bumi khatulistiwa. Setiap jengkal dari tanah Indonesia dan setiap denyut nadi kehidupan di dalamnya menawarkan kenikmatan yang dapat direguk kapan saja. Kekuatan politik dan ekonomi yang dimiliki membuat mereka dapat melakukan apa saja yang diinginkan. Pesta perebutan kekuasaan yang menggelontorkan milyaran rupiah dapat dilakukan dengan tenang meskipun di halaman rumah pada saat yang sama masih terdengar jerit tangis pilu akibat ketidakmampuan melawan kekuasaan alam. Di daerah-daerah, para raja kecil dan pemangku-pemangku kekuasaan dapat
131
Orang Muda Bicara Oikoumene tersenyum lebar menikmati hak-hak dan fasilitas istimewa yang disediakan negara bagi mereka. Sebagian bahkan dengan rakus mencaplok bagian yang seharusnya menjadi milik bersama seluruh rakyat. Secara kasat mata kita dapat menyaksikan oknum-oknum tertentu yang baru satu atau dua tahun menduduki jabatan tertentu, sudah memiliki rumah megah sekaligus mobil mewah. Negeri ini juga adalah rumah yang baik bagi kalangan tertentu yang kaumnya menjadi penduduk mayoritas. Aktivitas-aktivitas personal dan komunal dapat mereka lakukan dengan aman tanpa merasa takut terusik oleh kelompok lain. Kalau orang lain yang melakukan kegiatan yang mengusik ketenangan, mereka dapat dengan mudah menghentikannya. Kondisi ini tentunya agak dekat dengan hukum rimba, siapa yang kuat, dia yang menang. Celakanya, negeri ini juga adalah rumah yang sangat nyaman bagi para teroris. Gembong teroris ternama seperti Noordin dan Azahari yang notabene warga Malaysia, justeru memilih Indonesia sebagai tempat untuk melancarkan aksi-aksinya. Fundamentalisme dan radikalisme agama yang tumbuh subur di bumi Indonesia dengan cerdik dimanfaatkan dan ditunggangi untuk kepentingan mereka. Kenyataan bahwa semua orang bicara menolak terorisme menjadi paradoksal ketika pelakupelaku terorisme tetap bermunculan dari keluarga-keluarga yang hidup normal di tengah masyarakat. Pertanyaan yang tersisa adalah, masihkah Indonesia ini rumah yang nyaman bagi semua warganya? Ketika para penguasa politik dan kaum borjuis berpesta dan bersorak di atas kemenangan mereka, di sudut-sudut pinggiran kota yang jorok dan bau, kaum miskin kota sedang makan nasi bungkus yang sudah basi sambil memikirkan susahnya mengais sampah karena sampah-sampah rumah tangga telah disortir oleh para pemodal besar sebelum sampai ke TPA. Ketika para pesohor sedang menikmati kehidupan highstyle seperti yang sering mereka perankan di sinetron, para pengagumnya di pelosok pedesaan yang hanya dapat menonton aksi mereka lewat televisi tetangga mungkin sedang menangis karena hasil dari kebun singkongnya tidak dapat menutupi hutangnya di tengkulak, sementara bayinya semakin kurus kekurangan susu. Ketika para idealis kelas kakap sibuk berdebat tentang ideologi negara, di ujung sebuah kampung terjadi pembakaran rumah ibadah karena ternak piaraan salah satu warganya terlepas dan merusak kebun tetangga. HARAPAN UNTUK MASA DEPAN GERAKAN EKUMENE Ungkapan “satu rumah” yang melekat sebagai arti kata “ekumene” mengandung makna ideologis yang harus dipahami secara luas oleh para aktivis penggiat gerakan ekumene. Gerakan ekumene dapat dipahami sebagai gerakan penyatuan gereja-gereja. Ini mengandung makna bahwa denominasi gereja yang berbeda-beda dan demikian banyaknya tetap memiliki sumber iman yang sama yaitu Yesus Kristus, dan tujuan yang sama yakni keselamatan umat manusia dan terwujudnya Kerajaan Allah. Upaya-upaya parsial untuk mewujudkan keesaan gereja
132
Kumpulan Artikel dilakukan dengan duduk bersama dan berdiskusi tentang berbagai hal, melakukan kegiatan bersama atau kebaktian bersama, dan berbagai kegiatan lainnya. Tetapi kita juga perlu menyadari fakta bahwa gereja tidak sedang berada sendirian di atas bumi Indonesia. Mendudukkan gerakan ekumene pada wilayah terbatas dalam kalangan gereja akan membawa kita pada pemahaman eksklusivisme dan membuat kita menjadi orang asing di negeri sendiri. Gerakan ekumene harus kita kembangkan pada wilayah yang lebih luas. Konsep “satu rumah” harus mengacu pada satu bumi ciptaan Allah, yang di dalamnya terdapat manusia dan alam ciptaan dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapinya. Dalam konteks Indonesia, “satu rumah” yang dimaksudkan adalah wilayah geopolitik Indonesia yang di atasnya berdiri tatanan masyarakat dan alam Indonesia yang kompleks dan demikian beragam. Di sini, gerakan ekumene tak dapat lagi diartikan sebagai gerakan penyatuan gereja, tetapi gerekan keterlibatan warga gereja dalam pergumulan bangsanya. Dengan demikian, maka isu terorisme, bencana alam, kerusakan lingkungan, kemiskinan, kesenjangan sosial, pergulatan politik, pemberantasan korupsi, nasionalisme dan lain-lain harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan gerakan ekumene. Oleh karena itu, paradigma tentang gerakan ekumene harus segera kita kembangkan lebih luas. Gerakan ekumene jangan lagi terbatas pada pertemuan antar gereja, kebaktian bersama, pesparawi, bakti sosial bersama dan lain-lain. Gerakan ekumene adalah keterlibatan warga gereja bersama dengan warga yang lain untuk mengatasi masalah pertahanan keamanan, kemiskinan, kerusakan lingkungan, nasionalisme dan lain-lain. Gerakan ini akan semakin meningkatkan harmonisasi dan hubungan yang baik dengan warga bangsa yang lain, sehingga cita-cita kemerdekaan Indonesia dapat diwujudkan dalam kebersamaan yang egaliter dan Indonesia dapat menjadi “satu rumah” yang benar-benar nyaman bagi semua anggota keluarga. Hal ini sesuai dengan visi gerakan ekumene, yaitu terwujudnya syaloom Allah di bumi Indonesia.* · Penulis adalah Ketua Umum Persekutuan Pemuda Gereja Toraja Mamasa periode 2006-2011. (Endnote) 1
Nama-nama yang disebutkan hanya rekaan, tidak mengacu pada figur tertentu.
133
Orang Muda Bicara Oikoumene
GERAKAN EKUMENE KREATIF BAGI PEMUDA Oleh: Yanedi Jagau Pemuda dan Gerakan Ekumene Pemuda adalah individu yang mengalami pertumbuhan secara fisik, dan emosional, sehingga dia merupakan sumber daya manusia membangun baik saat ini, maupun yang akan datang. Pasalnya, di tangan pemudalah yang akan menggantikan generasi sebelumnya. Dalam kamus Websters, Princeton mengartikan bahwa youth yang diterjemahkan sebagai pemuda, adalah the time of life between childhood and maturity; early maturity; the state of being young or immature or inexperienced; the freshness and vitality characteristic of a young person. Dari definisi ini, maka dapat diinterpretasikan pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, bergejolak, dan optimis. Namun, belum memiliki pengendalian emosi yang stabil. Berhubungan dengan itu pemuda menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural. Berhubung tiap gereja memiliki sumber daya muda, perlulah dipikirkan, dan prioritas dalam agenda pembangunan melalui penyusunan kebijakan program. Tentu saja melihat karakteristik pemuda yang merupakan potensi dalam membangun generasi penerus. Bagi kehidupan gereja, posisi pemuda mendapat tempat yang penting, tugas kita dalam konteks ini adalah memastikan keterlibatan pemuda agar aktif dalam berbagai kegiatan ekumenikal. Gerakan ekumene seharusnya sejak dini mesti ditanamkan dan dipupuk dalam diri seseorang individu. Seluruh upaya gereja akan menjadi sia-sia bilamana pemuda tak terlibat menjadi pelaku aktif gerakan ekumene. Dalam dunia yang dihadapi sekarang, isu-isu yang dominan berkaitan dengan pemuda antara lain pendidikan dan tenaga kerja, disamping aspek lainnya antara lain narkoba, kesehatan, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan lainlain. Pada tulisan ini akan diajukan Penggalangan gerakan ekumene bagi pemuda agar menjadi bagian penggerak ekumene di Indonesia dan dunia secara luas. Sekilas Sejarah Gerakan Ekumene di Indonesia Gerakan Ekumene di Indonesia pada awalnya diilhami oleh terbentuknya Dewan Gereja Sedunia (WCC 1948). Gereja-gereja di Indonesia berinisiatif mendirikan Dewan Gereja-gereja di Indonesia pada tahun 1950. Sejak 1984 DGI ini
134
Kumpulan Artikel berganti nama menjadi PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia). Sebagaimana sering disebutkan, bahwa gereja di Indonesia bertumbuh dan mula-mula dibawa oleh oleh misionaris dari Eropa, dan pendekatan yang mereka gunakan adalah dengan menjangkau suku-suku di Indonesia. Namun dalam perkembangannya gereja-gereja belum terkontekstualisasi dan kurang membumi dengan budaya setempat, terlebih lagi gereja belum mempersiapkan warganya untuk hidup dalam masyarakat yang berciri majemuk. Dalam suasana seperti itu PGI berupaya membuat program yang menolong warga gereja keluar dari berbagai permasalahan. Menurut Theodor Muller-Krueger, sejak pembentukannya tahun 1950, PGI sudah melaksanakan program penggalangan keesaan gereja. Program itu merefleksikan komitmen PGI dalam melanjutkan slogan Dewan Gereja Dunia yang berbunyi Pelayanan Mempersatukan, Ajaran Memisahkan (Services Unites, Doctrine divides). Persoalannya mampukah PGI dan gereja-gereja mempelopori gerakan ekumene sebagai salah satu prioritas dalam program dan aksi penatalayanan alam semesta? Mari secara bersama-sama kita mencari jawabnya. Pendidikan Ekumene Kreatif bagi Orang Muda Menggalang gerakan ekumene bagi generasi muda dapat ditempuh dengan cara yang kreatif, dan konstruktif. Sebelum kita mengulas dua hal tersebut, perlu dipahami bahwa pembelajaran ekumene adalah proses yang mencakup, diantaranya: - Pembelajaran yang menggunakan prinsip lintas budaya, lintas agama dan suku bangsa. - Perjumpaan seorang individu dengan golongan dan kelompok yang berbeda. - Pembelajaran yang berakar dari iman, tradisi, budaya, dan konteks pergumulan. - Pembelajaran yang memampukan seseorang untuk berjumpa dengan Tuhannya. - Pembelajaran ekumene itu juga mencerahkan berbagai tradisi, dan budaya. Pendidikan ekumene juga dapat diartikan sebagai pembelajaran antara orang yang satu dengan yang lainnya. Di sini sengaja digunakan kata pendidikan, karena di dalam konsep pendidikan itu tercakup pembelajaran dan pengkaderan. Dari jauh hari Paulo Fraire seorang pakar pendidikan dari Brasil mengajukan konsep pendidikan yang membebaskan. Paulo Freire dikenal sebagai inisiator pendidikan yang membebaskan. Demikian juga pendidikan ekumene diharapkan menjadi “pendidikan ekumene yang membebaskan”. Dengan singkat kita mengatakan melalui ekumene kita terbebaskan dari pola pikir yang mengkotak-kotakan denominasi
135
Orang Muda Bicara Oikoumene gereja, suku bangsa dan lain-lain. Memang bukan hal yang mudah bagi orang muda untuk membebaskan dirinya dari sekat pikiran yang telah terbangun selama ini dalam hati dan pikirannya. Pendidikan ekumene yang kreatif akan menumbuhkan empati peserta didik terhadap lingkungannya dan dari hal itu peserta didik menemukan jati dirinya. Sebenarnya kalau mengacu pada prinsip pembelajaran ekumene yang disebut diatas, rata-rata orang Indonesia telah mendapat pendidikan ekumene. Pendidikan ekumene itu kita dapatkan di kampus, sekolah, pusat pelatihan dan lain sebagainya. Tetapi ingin ditegaskan di sini bahwa pendidikan ekumene tidak melulu pada teori-teori kampus dan sekolah melainkan lebih menekankan pada pengalaman nyata praksis seorang peserta didik berjumpa dengan kenyataan orang di sekitarnya. Perbedaan utama pendidikan sekolah dengan pendidikan ekumene, terletak pada konsep praksis. Pendidikan ekumene bukan sekedar mencari teori baru tetapi mengajak peserta didik untuk merefleksikan kenyataan dan menemukan arti kemudian beranjak menuju aksi. Menggalang Gerakan Ekumene bagi Pemuda Kenyataan menunjukkan bahwa jumlah denominasi gereja yang makin banyak jumlahnya tidak membuat solidaritas denominasi gereja makin menguat justru terjadi sebaliknya. Oleh karena itu dibutuhkan pendidikan, pembelajaran maupun pengkaderan dalam hal ekumene agar warga gereja di Indonesia makin solid dan mampu menjadi berkat bagi gereja itu sendiri dan bagi bangsa Indonesia dan dunia secara luas. Menjadi “berkat” bagi orang lain, dibutuhkan kesabaran dan pola pikir untuk mau memberi sejak dini yang mesti dibangun oleh pemuda dalam menyebarkan gerakan oikoumene yang tidak sekedar retorika. Gerakan ekumene yang baik tidak akan terjebak dalam penguasaan istilah-istilah oikoumene dan teori yang rumit seperti sekolah dan kampus di Indonesia. Menggalang gerakan ekumene akan menjadi mudah bilamana setiap warga gereja memandang bahwa ekumene memang relevan dan sangat dibutuhkan di gereja dan kehidupan di Indonesia. Masalahnya, gereja di indonesia sering lalai dan masih asyik dengan dirinya sendiri. Cenderung para pemimpin gereja melihat ekumene bukan prioritas, tentu saja kita tak dapat serta merta menyalahkan gereja-gereja. Gereja merasa sudah aman dan puas dengan keadaan saat ini. Kita tidak menafikan bahwa masih terdapat pola pikir pemimpin gereja yang memandang pendidikan ekumene bukanlah hal yang penting.
136
Kumpulan Artikel Apakah pemuda dapat diharapkan? Kaum optimis akan menjawab “Tentu saja pemuda bisa, mereka adalah pelopor”. Kaum pesimis tak mau kalah menjawab “pendidikan pemuda kita rendah, mereka banyak menganggur, tak mungkin berharap dari pemuda”. Daripada mengeluh memang lebih baik kita memulai dari sekarang, yang dapat dilakukan dengan biaya murah namun menjangkau secara luas. Pemuda relatif bersih dari kepentingan politik elit sehingga dia dapat diharapkan menjadi pelopor gerakan ekumene. Pendidikan ekumene itu dapat dilaksanakan melalui acara yang kontekstual dengan pemuda, model yang digunakan yang banyak dipakai saat ini adalah “hidup bersama” (live in) dengan mereka yang tertindas dan terpinggirkan. Dari situ diharapkan terbangun empati yang akan menumbuhkan refleksi dan aksi pemuda. Beberapa pokok pikiran Simon Oxley dalam bukunya Creative Ecumenical Education menuliskan intisari dari pendidikan ekumene : - Mulailah dari konteks masyarakat tempat kita belajar- sosial, agama politik dan membangun berdasarkan pengalaman dan berpikir dari cara berpikir warga setempat. - Ini bukan hanya sekedar berbagi antara satu dengan yang lainnya (kita) , tetapi menemukan pengetahuan baru, pertemuan ekumene memberikan jalan keluar berdasarkan kepercayaan dan cara pikir dari dan untuk kita. - Menembus batas yang dibangun diantara kita-sukubangsa, jenis kelamin, gender, budaya, kelas, politik, ekonomi dll – dan memampukan perbedaan kita menjadi sumber dan bahan pendidikan dan pembelajaran. - Membangun persekutuan, gereja yang esa, dan keutuhan ciptaan Tuhan. - Terbuka dan partisipatif. - Proses yang menyeluruh jiwa, raga, batin dan iman kita. - Pendidikan ini bukan sekedar gerakan ekumene tetapi lebih dari itu diharapkan menjadi ekumene dalam pikiran dan perbuatan. Mengakhiri tulisannya Oxley menyebutkan bahwa pendidikan ekumene adalah bagaimana kita hadir dalam kehidupan nyata. Untuk menggalang ekumene dapat digalang melalui dialog, berkemah, latihan kepemimpinan, latihan pidato, seminar, dan lain-lain. Akhirnya, agar kita diberikan kebijaksanaan, Roh Kudus yang datang dari Tuhan yang akan memampukan kita menggalang gerakan ekumene. Akhirnya janganlah kita cepat lelah dalam mewujudkan gerakan ekumene di Indonesia. *
137
Orang Muda Bicara Oikoumene
AGAMA
YANG
MENGASINGKAN
Oleh Donny Anggoro*
Setiap zaman, agama di segala tempat menjadi masalah yang pelik sekaligus tetap hangat bagi manusia. Di satu pihak ia dijunjung sebagai pedoman keselamatan sedangkan di pihak lain, peran agama ternyata malah memicu pertikaian. Meretas sejarahnya, beberapa abad silam sejak ilmuwan Copernicus dan Galileo menemukan bahwa dunia bukan pusat semesta alam- bahwa matahari tidak mengelilingi bumi, pemuka agama di zaman itu mendadak berang ketika gambaran Alkitab tentang alam semesta ternyata tidak akurat, seolah mereka sudah mencemari keyakinan yang telah dipercaya berabad-abad. Seusai heboh perdebatan penemuan Galileo dan Copernicus, muncul Darwin yang juga dikecam dengan teori evolusinya. Dalam tataran internal, agama kemudian diorganisir agar mampu menjalankan misinya: kebaikan untuk manusia. Namun ketika menjadi organisasi yang notabene membutuhkan umat dan anggota, usaha untuk menambah jumlah pengikut kemudian menjadi pemicu konflik sehingga agama menjadi sebuah kenyataan yang tidak menguntungkan. Ketika agama mulai banyak dipakai untuk kepentingan politik, para pemimpin dan pemukanya ramai-ramai dipinang partai politik sebagai “ikon” atau “penglaris” untuk menambah jumlah pengikut. Ia kemudian menjadi kendaraan dan sarana semata yang dapat menguntungkan pihak tertentu. Tantangan yang timbul dalam organisasi agama bukan lagi untuk menambah kualitas keimanan, melainkan menambah jumlah anggotanya. Selain peran politik dengan label agama, ada pula tokoh-tokoh agama yang lantas rentan terhadap godaan seksual dan materi sampai praktik korupsi dalam bisnis donatur kaya yang dihormati organisasi keagamaan. Sedangkan dalam industri televisi kita beredarnya tayangan religius dengan memadukan aspek mistis dan religius seperti Taubat dan Rahasia Illahi seolah-olah menunjukkan kesadaran keimanan di masyarakat sedang meningkat dengan tidak ditayangkannya lagi acara tersebut hanya pada bulan Puasa menjelang Idul Fitri. Padahal, tayangan-tayangan tersebut menjadi tren ketika para produser televisi melihat bahwa sinetron bernafaskan Islami toh bisa laku dijual setelah diproduksinya sinetron glamor adaptasi telenovela Meksiko dan cerita-cerita ala Meteor Garden. Belum lama berselang, kaum ulama di negeri ini sepertinya sedang risau bahwa
138
Kumpulan Artikel “plularisme”, “sekularisme”, dan “liberalisme” akan mengalahkan Tuhan. Karena di segala zaman persoalan agama tetap hangat digulirkan, guru besar Karl Marx, Feurbach kemudian menulis: “Agama mengasingkan manusia dari dirinya sendiri”. Pertanyaan mengusik, jika benar agama sudah mengasingkan umat manusia, apakah yang sesungguhnya telah terjadi? Bukankah agama semula berasal dari Tuhan? *** Secara logis, memang benar agama adalah ciptaan manusia. Sedangkan Dr. Franz Dahler, filsuf asal Swiss dalam bukunya Masalah Agama (Kanisius, 1970) mengatakan adalah benar agama didefinisikan sebagai hukum yang diturunkan Tuhan melalui perantaraan nabi-nabi. Sekalipun benar, definisi ini kemudian menjadi pengertian yang dangkal sehingga menimbulkan kesan jika sudah menaati semua hukum dalam agama dari Tuhan, segala persoalan sudah selesai. Padahal ketaatan tanpa keyakinan hati, tetap saja kosong. Inilah yang membuat agama dirasa telah mengasingkan manusia. Memang agama menurut Harold S. Kushner seorang rabi asal Massachusetts, Amerika dalam bukunya Who Needs God? adalah usaha untuk mengerti dan mengontrol sesuatu yang belum diketahui meskipun semakin lama setelah memahami bagaimana dunia ini bekerja, wilayah agama menjadi kecil. Memang benar pada abad 19 dan 20 yang ditandai dengan kejayaan ilmu pengetahuan serta pencarian obyektif tentang kebenaran yang dapat diuji, iman kemudian tergantikan sehingga di dalam agama lama-lama hanya terasa seperti cerita rakyat atau khayalan saja. Sedangkan dalam masyarakat modern yang ramai-ramai memilih kebenaran, melihat agama sebagai musuh kejujuran, kemajuan, dan sains. Dalam novel masterpiece-nya yang berjudul 100 Years of Solitude sastrawan Kolombia, Gabriel Garcia Marquez mengisahkan sebuah desa yang terjangkit wabah pelupa. Diawali dari penduduk paling tua, wabah tersebut mengakibatkan orang sampai lupa bahkan pada benda sehari-hari paling umum sekalipun. Seorang pemuda yang belum terjangkiti mencoba mengatasi dengan melabeli setiap benda seperti “ini meja”, “ini jendela”, “ini sapi” dan seterusnya. Sampai pada pintu gerbang kota di jalan utama dia menuliskan tanda berukuran besar. Yang satu bertuliskan “Nama pemukiman kita adalah Macondo” sedangkan pada tanda berukuran lebih besar lagi pemuda itu menuliskan “Tuhan Ada”.
139
Orang Muda Bicara Oikoumene Marquez lewat novelnya seolah mengingatkan kita di abad 21 ini masih terjadi wabah penyakit lupa. Mirip dengan novel Marquez tersebut, setelah mengalami represi selama lebih dari 30 tahun, kita lalu mengalami “amnesia” kronis dengan melupakan kesalahan masa lalu. Seakan menegaskan apa yanng pernah dituliskan Marquez, Milan Kundera dalam The Book of Laughter and Forgetting mengatakan, melupakan adalah bentuk lain dari kematian. Dan yang sesungguhnya terjadi kita toh lupa bahwa setiap agama jika tidak mau membeku harus sanggup berevolusi. Kita memang sedang dikutuk untuk melakukannya dengan terus menerus mengulang kebodohan lantaran telah melupakan siapa pemilik kita yang sedang gusar melihat tindakan para pemuka agama beserta label-label agama yang digunakannya, yaitu Tuhan itu sendiri. Pertanyaannya sekarang, sanggupkah kita beranjak untuk mulai melawan lupa? * *) Penulis adalah eseis, tinggal di Jakarta.
140
II Tulisan Terpilih Lomba Essay
Orang Muda Bicara Oikoumene
1
MEMBUMIKAN GERAKAN EKUMENE Oleh: Amin Yeremia Siahaan
Gerakan ekumene sudah ada sejak masa kolonial. Ketika itu, sesuai dengan jiwa zamannya (zeitgeist), aksi pemuda diarahkan kepada perjuangan merebut kemerdekaan. Pasca kemerdekaan, gerakan pemuda Kristen sudah mengarah kepada gerakan politik. Seperti pembentukan Pemoeda Kristen Protestan Indonesia (PKPI) pada tanggal 4 November 1945 di Yogyakarta. Selanjutnya, gerakan ekumene terus mengambil bagian mengisi alam kemerdekaan. Namun, yang layak kita ajukan adalah sudah sejauh mana kualitas gerakan ekumene selama ini? Sudah adakah kontribusi maksimal yang telah diberikan gereja di negeri ini? Harus kita akui bersama bahwa gereja masih lamban dalam usahanya untuk memengaruhi pengambilan kebijakan, baik dalam tataran lokal maupun dalam konteks nasional. Sebelumnya, gerakan ekumene pada hakikatnya adalah gerakan holistik. Artinya, ia merambah semua sektor kehidupan. Berarti gereja mempunyai peranan penting dalam kegiatan politik, membangun perekonomian rakyat dan mewarnai kemajuan budaya (zaman). Kelemahan Kita Sampai sekarang masih banyak umat gereja yang apatis terhadap urusan di luar gereja. Seakan-akan ada jarak (gap) yang membentang luas di antara keduanya. Kita enggan untuk terlibat dalam urusan yang menyangkut politik atau yang sifatnya politis, misalnya. Bukti nyatanya adalah soal masih minimnya tawaran atau solusi
144
Kumpulan Artikel konkret yang diberikan umat Kristen maupun gereja terhadap permasalahanpermasalahan sosial-politik. Pada era reformasi sudah terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebanyak tiga kali. Namun, kita tidak mendengar dan menyaksikan sikap gereja mengenai hal ini. Kita terjebak antara berada pada posisi menerima atau menolak. Seandainya menerima, tidak ada langkah yang akan diambil untuk meyakinkan umat bahwa kebijakan ini sudah tepat, begitupun sebaliknya. Kondisi seperti inilah menunjukkan kegiatan politik yang masih awam bagi kita (gereja). Padahal, politik bukanlah yang ujung-ujungnya selalu kotor. Tetapi, lebih karena menguatnya paradigma (mindset) kita yang telanjur menganggapnya demikian. Memang ini bukan semata-mata kesalahan umat atau gereja. Negara (pemerintah) mempunyai andil besar di sini. Pendidikan politik yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara, termasuk umat Kristen, malah diabaikan. Hal ini terutama berlangsung pada masa Orde Baru. Pada permasalahan ekonomi (kemiskinan), gereja juga belum menawarkan rencana strategis untuk mencegah negara ini agar tidak menjadi negara gagal. Lebih dari itu, sebagian umat juga tak mengetahui benar mengapa negara yang kaya alamnya ini justru sangat dekat dengan kemiskinan. Dan sangat disayangkan, jika ada di antara kita yang berpandangan bahwa kemiskinan adalah persoalan takdir semata. Karenanya, sebagian besar, umat gereja belum menyadari adanya korelasi antara kemiskinan dengan kebijakan politik yang didesain pemerintah. Kiranya, cukup contoh dari dunia politik dan ekonomi untuk menunjukkan bahwa gereja enggan total dalam memainkan peranan holistiknya. Oleh karenanya, untuk semakin menguatkan gerakan ekumene gereja, kita harus memulainya dari perubahan cara pandang umat terhadap situasi di sekitarnya.
145
Orang Muda Bicara Oikoumene Langkah-Langkah Progresif Dunia (peradaban) terus bergerak dan berubah. Ini adalah keniscayaan sejarah yang tak terbantahkan. Maka, gereja juga harus bergerak. Kita tidak ingin melulu menjadi penonton. Sudah saatnya gereja menjadi aktor utama dalam setiap proses perubahan, khususnya di negara ini. Ada beberapa langkah yang dapat menjadi titik balik (starting point) untuk mewujudkannya. Pertama, mengubah sikap eksklusif menjadi inklusif. Ada dua kegiatan ritual keagamaan. Sikap seperti ini telah menjauhkan pola pikir budaya yang harus dikikis. Salah satu caranya mengalienasikan pemikiran yang menyatakan ibadah keagamaan sudah cukup dengan melakukan kritis umat atas dirinya, lingkungannya, dan bahkan kepada Tuhan yang diimaninya. Terhadap dirinya, umat merasa sudah cukup dengan apa yang diterima dan dialaminya. Sikap sosial dan politik umat pun menjadi mandul dalam kehidupan kesehariannya. Dan, ini tragisnya, umat hanya menggangap Tuhan semata penyelamat dan penebus dosa. Padahal, Allah dalam wujud manusia (Yesus Kristus), justru menjadi simbol perlawanan bagi orang miskin dan orang tertindas atas sikap otoriter elite agama dan politik. Dengan gamblang kita menyaksikan, paling tidak dalam kitab Injil, bagaimana la berani melawan budaya dan kebijakan (hukum) kaum agamawan dan pemerintah pada zamannya. Yang berikutnya adalah mengubur ketakutan dalam hal membuat rencana “aksi politik”. Maksudnya, gereja sudah saatnya membuat statemen politik terhadap apa yang menjadi kegelisahan umat secara khusus dan rakyat secara umumnya. Menyikapi kenaikan harga minyak dunia, misalnya.
146
Kumpulan Artikel Kegiatan politik ini dapat dimanifestasikan dalam bentuk menjalin kerjasama atau membentuk aliansi yang sifatnya lintas agama, suku, golongan, atau kelompok. Kita tidak boleh enggan duduk bersama dengan mereka untuk memecahkan persoalan kebangsaan. Dan, jika aliansi ini strategis, ia dapat dipermanenkan. Selain itu, adalah sangat bagus jika gereja juga melakukan infiltrasi (memasukkan umat gereja) ke kelompok atau lembaga yang vital peranannya. Selain dapat mengasah pola pikir kritis (intelektualitas) juga sebagai media untuk memperluas jaringan. Bahkan diharapkan ke depannya, sudah menjadi referensi utama di kelompok atau lembaga tersebut. Kedua, menghapus perbedaan gender. Langkah progresif gereja juga tidak boleh mengistimewakan pihak laki-laki saja. Kaum perempuan harus diberi peranan yang sama. Gereja harus meyakini umat bahwa perempuan menjadi lemah karena memang sudah dilemahkan sejak dahulu melalui budaya patriarki dan feodalisme. Ketiga, menguatkan pendidikan umat. Kita semua meyakini bahwa pendidikan adalah pondasi utama untuk membangun kemajuan bangsa. Politik (demokrasi) yang stabil, ekonomi yang mapan, dan budaya yang bermartabat diawali dengan kualitas pendidikan. Maka, tak salah jika gereja membuat program untuk mensekolahkan umatnya sampai ke jenjang yang tinggi. Keempat, menguatkan wacana atau opini di publik. Pertarungan di era globalisasi adalah pertarungan informasi. Siapa yang selalu up to date mengikuti perkembangan zaman, maka ia akan menguasai akses. Dan siapa yang menguasai akses, ia menguasai kebijakan. Penguatan wacana bisa dengan menulis di surat kabar, majalah, dan tabloid. Sedangkan di dunia maya, bisa dengan membuat website atau blog. Dan tentunya, akses wacana ini harus dapat dikonsumsi oleh kalangan di luar gereja.
147
Orang Muda Bicara Oikoumene Penutup Keempat langkah di atas menyiratkan bahwa gereja tak semata terjebak pada fungsi evangelisasi atau penginjilan. Namun, lebih dari pada itu dengan ikut terlibat aktif dalam merumuskan setiap kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Meminjam istilah Gustavo Guiterres, gereja juga harus membumikan Kerajaan Surga. Dan karena Kerajaan Surga itu kudus, ia tidak dapat berada di tempat (lingkungan) yang kotor atau berdosa. Oleh karenanya, adalah tugas kita untuk menyediakan tempat yang “kudus” pula.*
148
Kumpulan Artikel
2
ADA APA
DENGAN
PGI?
Oleh: Arie Yanitra Hartanto*
Pengantar PGI pertama kali didirikan pada tanggal 25 Mei 1950. PGI mula-mula dibentuk sebagai pelopor demi mewujudkan misi ke-Bhinneka-an gereja yang Ika di Indonesia. Hampir 58 tahun setelah terbentuknya, ternyata “le desir de vivre ensemble” (suatu cita-cita mulia yang akan diwujudkan bersama) sampai detik ini hanya menjadi sebuah slogan utopis.1 Peran PGI dari tahun ke tahun mengalami stagnasi yang saya sebut fase dasar. Fase dasar dalam pengertian PGI masih bertitik-berat serta bergumul dalam lingkungan internal gereja-gereja Kristen Indonesia, dengan meminjam istilah Freud yaitu “sibuk mengurusi super-ego-nya.” Ketika hak-hak sipil serta kepentingan organisasi mereka (gereja-gereja) “diganggu” oleh pihak-pihak tertentu, mereka kemudian memainkan alur yang mewajibkan PGI sebagai tokoh fungsional. Tokoh fungsional ini pun menjadi dramatis, karena secara faktual mereka “dianggap” tak mempunyai peranan signifikan dalam perkembangan sejarah bangsa Indonesia yang hanya bisa bergerak dan tergerak jika kepentingan gereja-gereja diganggu. Pertanyaan selanjutnya untuk kita tanyakan adalah “ada apa gerangan dengan PGI?” Slogan-slogan reposisi, restrukturisasi, reorganisasi seringkali menjadi tema-tema “kuno” dari utusan gereja-gereja yang sekarang duduk di kursi PGI. Oleh karena kita terbiasa pada permainan penilaian atas dasar “benar” atau “salah,” apakah kita juga boleh langsung menohok mereka (PGI) dengan dasar permainan penilaian tersebut? Lokalisasi Masalah PGI Lokalisasi masalah menjadi persoalan serius yang harus dijadikan tolak ukur progresivitas PGI di masa yang akan datang. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menumbuhkan usaha kreatif, kinerja dan performance dalam melokalisasi masalah PGI. Pertama, secara historis sejak PGI terbentuk di tahun 1950, tujuannya bisa
149
Orang Muda Bicara Oikoumene dikatakan sangat jelas, seperti yang tertulis dalam AD pasal 3, yaitu: “Pembentukan Gereja yang Esa di Indonesia”.2 Tetapi yang harus kita kritisi lebih lanjut yaitu: ketika PGI dibentuk oleh para pendirinya ternyata mereka belum mempunyai kejelasan konsep tentang bagaimana bentuk “Gereja Kristen yang Esa”.3 Kedua, PGI terjepit di antara dua faktor. Faktor A adalah ketika sebagai institusi, PGI dianggap pemerintah sebagai bagian representasi dari kelompok minor. Kelompok minor mempunyai daya resisten yang sangat tinggi untuk menyuarakan hak-hak mereka ketika dihadapkan pada kepentingan kelompok major, sehingga jika pemerintah Indonesia dipimpin oleh pemimpin-pragmatis yang hanya berorientasi untuk mempertahankan kekuasaan, pilihan akan jatuh kepada kepentingan kelompok major. Faktor B, faktor yang tak kalah pentingnya untuk kita perhatikan adalah ketika PGI dihadapkan pada kepentingan-kepentingan internal anggotanya yang masih memelihara mental kolonial. Bukan rahasia lagi gereja-gereja Indonesia mula-mula terbentuk karena memfokuskan penginjilan dengan sistem per-suku atau per-wilayah. Hal ini sebenarnya mula-mula bertujuan baik oleh karena untuk memudahkan pemberitaan Injil. Tetapi tujuan yang baik ini kemudian menyimpang dan kemudian menjadi semacam virus divide et impera untuk tubuh gereja-gereja Indonesia. Sehingga ketika berbicara untuk membicarakan visi dan misi bersama kadangkala masih belum dapat melepaskan batasan-batasan tersebut. Koreksi Posisi Untuk dapat membahas permasalahan tersebut mari kita mengoreksi posisi gereja–gereja Kristen Indonesia. Di sini kita harus benar-benar berefleksi secara kritis terhadap para anggota gereja-gereja yang membentuk watak PGI saat ini. Gereja-gereja yang seharusnya hidup dalam solidaritas dan menyuarakan kenabian mereka dengan suara kritis terhadap seluruh penderitaan terhadap para penindas dan sistem yang menindas. Pada kenyataan sebenarnya tidak pernah “mewujud”. Lihat saja gereja-gereja masih membangun komunitas basisnya sendiri, berkolaborasi dengan status quo, di mana gereja-gereja merasa aman ketika malam Natal tiba jika gereja-gereja dijaga oleh polisi dan gereja-gereja merasa aman jika dilindungi birokrasi. Memang hal tersebut tidak bisa digeneralisir secara umum, tetapi “wajah” itulah yang sering kita jumpai di Indonesia.
150
Kumpulan Artikel Rombakan-rombakan mendasar sebenarnya belum pernah diadakan oleh gereja baik sebagai institusi maupun sebagai penaung umat Kristen. Gereja-gereja yang seharusnya dapat berpartisipasi menumbuhkan sikap religiusitas umatnya dan wawasan umat terhadap permasalahan kebangsaan justru lebih menekankan sikap legalistik formal institusi, dan diperparah legalitas eksistensinya juga harus didapatkan dari pemerintah agar plong. Itulah yang membuat posisi gereja-gereja menjadi jelas. Bahwa gereja-gereja tak pernah berubah dalam praktiknya untuk peduli terhadap persoalan bangsa Indonesia dan hanya sibuk mengurusi diri sendiri. Otokritik saya kepada gereja-gereja Kristen adalah pertobatan hanya sekedar diberlakukan pada konsep dan teori-teori dalam mencoba berpraktik secara kontekstual. Sayangnya hal tersebut tidak pernah terwujud di dalam realitas konkret. Membangun PGI Demi membangun PGI di masa mendatang PGI harus mampu menyelesaikan level dasar, di mana “penilaian” yang “mewah” bukan merupakan acuan untuk mewujudkan kerajaan Allah yang berkarya di bangsa Indonesia. Apabila kita memiliki keyakinan dan sikap positif, maka PGI pada hakekatnya mampu membuat suatu kerangka acuan untuk menentukan sebuah langkah untuk mengatasi permasalahan-permasalahan faktual. Contoh konkret: “Akhir-akhir ini pekerjaan besar PGI adalah mengatasi persoalan Indonesia wilayah timur yang kebetulan secara kuantitas berjumlah besar umat Kristennya”. Sebetulnya jika melihat secara kritis maka subyek-subyek tertindas di wilayah Indonesia ternyata tak dapat dikaitkan sebatas masalah geografis (wilayah) dan demografis (kependudukan) ataupun identifikasi sosial-ekonomi-budaya maupun agama tetapi juga paham kebangsaan yang semakin luntur di negara kita Indonesia.4 Artinya PGI harus melakukan gerakan reformata. Reformata yang memiliki consciousness. Consciousness sering diartikan dalam bahasa Indonesia dengan kesadaran, tetapi dalam pemaknaan kata consciousness ternyata mempunyai arti lebih daripada sekedar term “kesadaran,” di mana consciousness sebenarnya mempunyai makna: “kita harus siuman dan bangkit kembali!” Bangkit ketika PGI tidak kita cap melulu sebagai wadah yang hanya mengatur norma-norma serta aturan keagamaan termasuk urusan penyeragaman pengakuan iman rasuli ataupun liturgi. Bangkit ketika kita mau lebih jujur dan
151
Orang Muda Bicara Oikoumene terbuka atas kebutuhan komunikasi yang berjalan tak hanya linier, antara gerejagereja Indonesia lewat PGI terhadap kebutuhan bangsa Indonesia. Bangkit ketika gereja-gereja Indonesia dan PGI mau berpartisipasi aktif atas kebutuhan yang menuntut conscience (suara hati) dan bukannya didasarkan pada sebuah kepentingan yang berjubah kelembagaan. Serta dari pihak kita -sebagai generasi muda-, diharapkan tidak mengidentifikasikan secara sarkasme yang “berlebihan” terhadap PGI sehingga membutakan kita untuk melihat fungsi PGI yang jauh dari isii (content), kedalaman (depth), serta makna (meaning) sesungguhnya. Diharapkan PGI mampu menampakkan karya Allah dalam tindakan yang konkret dan nyata. Dalam tindakan, PGI sekaligus menentukan diri dan tujuan hakikinya. Sebelum PGI bertindak, PGI bersifat belum menentu, belum pasti dan jelas. Dengan kata lain ia masih menjadi mimesis persekutuan Kristen zaman baheula (baca: kuno) yang tidak pernah bertujuan. Jika tujuan dasar pembentukan PGI belum dapat dicapai maka PGI sendiri tidak dapat mencapai fase perkembangan selanjutnya. Pekerjaan PGI jika ingin dijadikan perwujudan persekutuan gerejagereja Indonesia sekaligus kawan-sekerja Allah maka ia harus mampu melihat potensialitas dan realitas gereja-gereja Indonesia yang berperan sebagai Thou dan bukannya You, serta mengajak gereja-gereja Indonesia untuk memahami bahwa gereja-gereja Indonesia bukan sekedar gereja yang bertempat di Indonesia namun mereka adalah gereja-gereja Indonesia. Di mana partner of GOD dapat terwujud jika mereka mampu berperan dengan menghindari fenomena keterasingan, dengan fenomenologi tanggung jawab yang menjadi “milik bersama”. Dengan cara apa PGI dapat mewujudkan hal tersebut? Seperti yang saya singgung dalam pokok pembahasan permasalahan di atas beberapa hal yang perlu ditekankan PGI adalah penghargaan antar-sesama manusia. Hal ini berarti kita sudah tidak memandang sesama kita secara denominasi, dogmatik, ideologi, sosial, ekonomi, ras, dan lain-lain. Intinya Aku-Engkau sama-sama manusia, titik. Penghargaan antar sesama manusia memang membutuhkan sebuah proses yang panjang [dan tidak bisa dibuat dalam waktu sehari] tetapi bukan berarti tidak bisa diusahakan. Kita menjadi pengikut Kristus sejati ketika melakukan tindakan kemanusiaan yang timbul dari hati nurani dan mau bahu-membahu menolong tanpa memandang perbedaan sehingga “kerelaan untuk saling menghargai sebagai sesama manusia dapat terwujud”.5
152
Kumpulan Artikel PGI dan Peran Generasi Muda Ekumene PGI jika dilihat dari perjalanan sejarahnya sebenarnya belum masuk kepada titik klimaks cerita maka generasi muda tidak mungkin mengharapkan akhir yang bahagia. PGI pada dirinya selama ini memang tak dapat disangkal mampu menjadi irisan-irisan cermin keadaan masyarakat Indonesia ketika ide-ide pencerahan, pembaruan baru bersikap menghibur dan konsisten dalam ekspresi simbolik. Dan sebagai generasi muda Kristen sudah selayaknya dan seharusnya kita bersikap pro-aktif memajukan kesatuan fungsional gereja-gereja Indonesia. Tetapi itu juga membutuhkan peran, usaha, dan proses pembelajaran dalam jangka waktu yang panjang dan tidak instan serta butuh kesabaran yang sangat luar biasa. Proses pembelajaran itu dapat kita dapat dari berbagai macam aspek serta elemen kemasyarakatan. Saya mendengar dan melihat banyak kematian organisasi generasi muda Kristen di zaman ini. Tetapi saya juga bersyukur ternyata masih banyak usaha konkret pemuda-pemudi Kristen untuk terus bergerak dan tidak dimakan oleh arus zaman agar mampu berbuat bagi gerakan ekumene. Di mana generasi muda yang mampu membentuk “Kebangkitan Cerita” sama seperti Tuhan Yesus yang mampu mencerminkan “Kebangkitan Cerita” akan karya Allah lewat diri-Nya. Tuhan Yesus mengajarkan satu hal pasti bahwa musuh manusia yaitu maut termasuk “permasalahan”, dapat dikalahkan dan diselesaikan. Ketika bicara ke-Esa-an gereja, PGI bukanlah mimesis persekutuan yang tak bertujuan. Ia pada hakekatnya mempunyai tujuan yang bersifat berguna. Jadi jika kita menginginkan PGI lebih maju di masa depan maka sebenarnya, jawaban itu ada pada kita sebagai generasi muda: “bahwa kita kaum muda sebenarnya mampu berperan untuk PGI demi mewujudkan ke-Esa-an gereja-gereja Indonesia yang berkarya untuk bangsa Indonesia berdasarkan kasih”. Dan cara sederhana untuk mewujudkan itu adalah mari kita -generasi muda sekarang- melepaskan jubah kepentingan pribadi, agar kita mampu berbicara dalam gerakan ekumene dan mewujudkan bahasa kasih.*
153
Orang Muda Bicara Oikoumene (Footnotes) *
Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Teologi UKDW (Universitas
Kristen Duta Wacana) 2008-2009. 1
“Slogan utopis“ harus digarisbawahi di sini. Kata kunci “slogan“ dan “utopis“ dalam
pengertian bukan berarti “tidak dapat diwujudkan “tetapi masih dalam proses khayalan dan sebatas jargon-jargon semata. 2
50 tahun persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, hlm 78.
3
50 tahun persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, hlm 78.
4
Bahkan tepat 17 Agustus 2008 nanti usia negara kita Indonesia telah mencapai
usia 63 tahun dan di tahun ini juga kita merayakan hari Kebangkitan Nasional yang ke-100. 5
Bandingkan dengan perumpamaan orang Samaria yang murah hati di dalam
Lukas 10:30-37.
154
Kumpulan Artikel
3
GENERASI MUDA DAN GERAKAN EKUMENE Oleh: Juster Donald Sinaga
Kita sering mendengar jargon “pemuda adalah tulang punggung bangsa”. Lalu gereja-gereja kita latah dengan jargon yang sama: “pemuda adalah tulang punggung gereja”. Kenyataannya, itu tetap cuma jargon. Dalam praktiknya, kaum muda dihadapkan pada suatu sistem di mana perannya tetap dipinggirkan dan tak lebih hanya objek pelengkap. Alasannya macam-macam, masih hijau dalam pengalaman, pengetahuan belum matang, dan lain-lain. Jadi yang bisa memimpin dan mengorganisasi gereja cuma kaum orang tua saja. Dominasi yang berlebihan ini tentu menimbulkan ketidakseimbangan yang cukup parah dalam dinamika menggereja khususnya di Indonesia. Kenapa demikian? Karena pengelolaan gereja sebagai organisasi sosial membutuhkan kepekaan terhadap munculnya tantangan-tantangan baru yang mesti ditangani dengan cara yang baru pula. Dan tentu itu membutuhkan energi baru dari sumber daya yang masih segar. Jika kebuntuan itu tak segera ditembus maka kaum muda gereja kita tak lebih hanya berperan sebagai pelengkap liturgi gereja saja (vokal group, paduan suara). Itu penting. Tetapi peran kaum muda semestinya harus lebih berbobot dan signifikan daripada hal-hal semacam itu. Dengan kata lain, bahwa ada persoalan internal dan eksternal gereja yang tak dapat dihindari serta mesti dipikirkan dan disikapi oleh pemuda gereja kalau memang kita mau mencapai suatu sasaran yang jelas di masa depan. Salah satu misi gereja yang sudah sepatutnya melibatkan generasi muda adalah gerakan ekumene, yaitu gerakan yang bercita-cita mewujudkan “Gereja yang Esa”. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, peran apa yang harus dijalankan generasi muda dalam gerakan ini? Bekal apa yang harus dimiliki generasi muda? Pengertian Ekumene Ekumene adalah gerakan yang sudah lama hadir di dalam gereja. Ekumene berasal dari kata Yunani oikeos, yang artinya tinggal, mendiami, yang didiami. Secara geografis berarti dunia yang didiami; dapat juga berarti seluruh manusia. Dalam kekristenan istilah ini pada mulanya dipergunakan menunjuk kepada seluruh dunia yang didiami tempat gereja melaksanakan kesaksian dan pelayanannya.
155
Orang Muda Bicara Oikoumene Pada abad ke-20 gerakan ekumenis dimulai secara sistematis dan dengan sabar, baik pada (1) tingkat praktis (ibadat bersama, kerjasama dalam bidang misi, sosial, pendidikan dan kemasyarakatan, maupun pada (2) tingkat teologis (rapat untuk tukar pikiran antar para teolog supaya saling mengenal, mengerti dan merumuskan pernyataan tentang kesamaan) dan (3) tingkat kelembagaan petunjuk bersama persepakatan tentang bidang-bidang tertentu, dewan-dewan konsultatif. Pengertian modern sekarang, istilah ekumene telah mengalami perkembangan arti dan makna, terutama di kalangan gereja setelah reformasi. Di kalangan Gereja Protestan, ekumene mengandung pengertian sebagai gerakan dan institusi dalam arti usaha-usaha perwujudan “Gereja Kristen yang Esa” di seluruh dunia. Gereja memiliki berbagai karunia dan talenta pemberian Tuhan. Gereja juga mengalami kenyataan kepelbagaian budaya dan politik dimana gereja berada. Bahkan sering juga terjadi perpecahan dan pemisahan. Di tengah keadaan demikian, ekumene modern adalah gerakan dari kalangan gereja untuk mewujudkan keesaan gereja di tengah kepelbagaian itu, karena gereja pada hakekatnya adalah satu (esa), kudus dan am (rasuli). Perwujudan keesaan gereja itu pada dasarnya meliputi ‘saling mengakui’, ‘saling menerima’, dan ‘saling menopang’ di antara gereja-gereja dalam hal pemberitaan firman, pengajaran, pelayanan sakramen, jabatan gerejawi, diakoni, organisasi, dan dalam pergaulan sehari-hari. Perwujudan “Gereja Kristen yang Esa” dalam tanda-tanda (praksis) yang kelihatan inilah yang diusahakan dalam gerakan ekumene dilakukan secara berkelanjutan dan peningkatannya. Ada beberapa segi yang dapat memajukan ekumene, seperti antara lain: tempat utama Kitab Suci, pentingnya sabda dalam perayaan sakramen-sakramen, penggunaan bahasa modern dalam ibadat resmi, peningkatan kedudukan gerejagereja setempat, penekanan imamat umum semua orang beriman. Persatuan yang mau dicapai melalui langkah-langkah ekumenis ini adalah bukan suatu federasi gereja-gereja, tetapi satu gereja yang di dalamnya memberi tempat untuk aneka ekspresi iman yang satu dan sama. Persatuan ini menuntut secara positif bahwa semua gereja mengakui dengan tegas kebenaran-kebenaran dasar Kristiani seperti terdapat dalam Alkitab, syahadat Para Rasul dan syahadat Nicea Konstantinopel. Tetapi gereja-gereja tidak boleh secara negatif mengutuk ajaran yang dipegang gereja lain sebagai dogma. Ajaran gereja lain yang tidak atau belum dapat diakui sendiri, dibiarkan “terbuka” saja. Kalau saja masyarakat Kristen yang menggereja pada saat ini tetap menginginkan “kesatuan fungsional gereja-gereja” maka ekumene bukan lagi menjadi pilihan melainkan menjadi sebuah keniscayaan yang mesti diwujudnyatakan.
156
Kumpulan Artikel Kenyataan menunjukkan di kalangan Kristen sendiri terdapat beberapa gereja yang alergi pada gerakan ke-Esaan. Sehingga gereja terkesan berjalan sendiri-sendiri dalam melaksanakan fungsi sosial kemasyarakatan dan aksi pelayanan. Gereja Katolik misalnya, sebelum Konsili Vatikan II memiliki adagium, “Extra Ecclesia Nulla Salus” yang berarti di luar gereja (Gereja Katolik) tidak ada keselamatan. Adagium ini dialamatkan kepada orang atau kelompok-kelompok yang keluar atau dikucilkan dari gereja. Mereka membentuk gereja-gereja tersendiri yang independen. Menurut gereja Katolik pra-Vatikan II, mereka yang boleh dikatakan sempalan ini tidak memperoleh keselamatan. Akan tetapi dalam semangat ekumene Vatikan II, gereja Katolik mengakui adanya keselamatan dalam gereja-gereja kaum terkucil tersebut. Dialog Menuju Ekumene Untuk mewujudkan keesaan gereja di tengah keberagaman, karena gereja pada hakekatnya adalah satu (esa), kudus dan am (rasuli), maka diperlukan dialog. Dialog merupakan langkah awal menuju keesaan gereja. Perwujudan keesaan gereja itu pada dasarnya meliputi saling mengakui, saling menerima, dan saling menopang di antara gereja-gereja dalam hal pemberitaan firman, pengajaran, pelayanan sakramen, jabatan gerejawi, diakoni, organisasi, dan dalam pergaulan sehari-hari, menghormati dan menjunjung tinggi keanekaragaman identitas, tradisi, dan anugerah individual. Dalam hal ini setiap gereja di dunia ini harus berkeinginan tulus untuk berdialog dengan gereja bahkan dengan agama-agama yang berlainan sistem, rumusan kepercayaan, nilai-nilai moral serta pandangan tentang dunia dan kehidupan. Setiap gereja harus mengakui adanya percik-percik kebenaran dalam gereja lain yang patut dihargai. Pengakuan yang demikian menjadi awal usaha untuk membangun dialog antara gereja dan agama-agama lain. Dialog antar gereja mempunyai beberapa bentuk. Salah satunya adalah dialog kehidupan (dialog pada akar rumput). Tanpa meremehkan bentuk-bentuk dialog lain, dialog jenis ini sangat penting untuk zaman kita kala gereja bahkan agama-agama cenderung digunakan sebagai alat pemecah belah. Dialog kehidupan ditujukan pada kerja sama dan konsolidasi antar gereja pada tingkat komunitas lokal. Dalam dialog ini orang yang berbeda latar belakang gereja bahumembahu dan memperteguh satu sama lain untuk menghadapi kekuatan pengaruh-pengaruh luar yang menabur api perpecahan. Persatuan yang mau dicapai melalui dialog akar rumput ini adalah bukan suatu federasi gereja-gereja, tetapi satu gereja yang di dalamnya memberi ruang untuk aneka ekspresi iman yang satu dan sama. Persatuan
157
Orang Muda Bicara Oikoumene ini menuntut secara positif bahwa semua gereja mengakui dengan tegas kebenarankebenaran dasar Kristiani. Dialog akar rumput merupakan gerakan ekumene tingkat praktis, misalnya ibadat bersama, kerjasama dalam bidang misi, sosial, pendidikan dan kemasyarakatan. Pada tingkatan ini yang mau dicapai adalah kesatuan nilai ajaran kekristenan, bukan pada level ajaran teologi, doktrin-doktrin, dan kelembagaan. Dengan dialog seperti ini sernua umat di dunia ini bisa merasakan keesaan gereja secara nyata. Keberhasilan dialog mengandaikan adanya transparansi, saling menghormati dan menghargai. Buah dialog adalah terpenuhnya harapan universal yang dimiliki banyak orang yakni perdamaian, kesejahteraan dan keselamatan. Dengan demikian terwujudlah gereja satu (esa), kudus dan am (rasuli). Generasi Muda Sebagai Pelaku Dialog Dalam gerakan ekumene praktis gereja harus berani memberikan kesempatan bahkan mandat yang lebih besar kepada generasi muda untuk turut serta mewujudkan gereja yang satu. Peran yang harus dijalankan generasi muda adalah pelaku dialog akar rumput antar gereja. Dari generasi mudalah diharapkan lahir ide-ide karitatif yang memberi secercah harapan bagi terwujudnya “Gereja yang Esa”. Dialog yang dimaksud adalah dialog akar rumput, kenyataan dari ajaran iman Kristen. Untuk menjadi pelaku dialog generasi muda pertama-tama perlu mengubah pandangannya mengenai kemajemukan beragama guna menghilangkan sikap-sikap eksklusivisme di tengah kehidupan masyarakat. Perubahan pandangan tersebut penting agar generasi muda gereja dapat meningkatkan peranan dan kontribusinya dalam pembangunan gereja dan mewujudkan nilai-nilai gereja yang esa di bumi ini. Untuk menjadi pelaku dialog, generasi muda gereja perlu melalui proses pematangan diri. Ada beberapa segi wawasan yang mesti menjadi kepekaan kaum muda gereja, yang kemudian bermuara pada terbentuknya karakter kaum muda gereja yang cerdas dan punya komitmen kuat terhadap pergumulan gereja dalam konteksnya. Pertama, pemahaman mengenai hakikat Alkitab. Alkitab merupakan tulisan-tulisan manusia yang proses pengumpulan, seleksi, penyuntingan (editing), dan pengakuannya (disebut kanonisasi) berlangsung selama berabad-abad hingga mencapai bentuknya yang sekarang. Alkitab merupakan suatu refleksi teologi, sosial, politik dan kebudayaan dari suatu masyarakat yang pernah hidup pada suatu waktu dan tempat tertentu. Sehingga untuk membaca Alkitab kita membutuhkan suatu pengetahuan tersendiri mengenai latar belakang kitab-kitab tersebut. Dengan begitu
158
Kumpulan Artikel kita bisa tahu pesan apa yang mau disampaikan oleb penulis kitab, pertama-tama kepada masyarakatnya saat itu, dan kemudian kita hadapkan dengan kenyataan kita di saat ini. Apakah pesan yang sama bisa kita tangkap dan maknai sebagai bagian dari pergumulan kita juga. Dengan cara ini pesan-pesan Alkitab bisa kita maknai secara kritis dan kontekstual. Kedua, kepekaan terhadap pergumulan konteks sosial. Gereja berada di dalam dunia dan masyarakatnya, bukan di awan-awan nirwana atau surga. Selain ditopang oleh berbagai pengalaman rohani jemaatnya, gereja turut pula dibentuk oleh struktur kebudayaan dan struktur sosial masyarakatnya. Jadi gereja tidak bebas nilai, bahkan mesti terus dikritisi. Konteks sosial gereja itu yang sering memengaruhi kemampuan gereja dalam membaca Alkitab dan melihat tindakan Allah dalam sejarah dan pergulatan masyarakatnya. Oleh karena itu, di sini generasi muda membutuhkan kepekaan terhadap pergumulan konteks sosial. Itu penting. Kalau tidak, gereja hanya menjadi ghetto (perkampungan Yahudi) yang tertutup dan “kuper” (kurang pergaulan), “gatek” (gagap teknologi). Secara fisik keberadaan gereja memang diakui, tetapi secara visi, miskin dan kering makna. Untuk itu gereja membutuhkan kaum muda yang cerdas, kritis dan cepat tanggap terhadap berbagai persoalan sosial, politik, budaya. Dari mana harus memulai? Tak dapat disangkal budaya membaca buku-buku dalam berbagai dimensinya mesti menjadi tradisi dalam kehidupan menggereja kita. Sehingga orientasi kita tidak melulu kuantitas, tetapi juga kualitas pengetahuan kaum muda gereja. Ketiga, penyiapan pola kepemimpinan gereja yang modern dan dinamis. Kalau proses pencerdasan kaum muda gereja sudah mencapai tahap yang optimal maka paling tidak kita telah mulai membentuk karakter kaum muda yang progresif. Maka selanjutnya kita perlu melakukan review terhadap pola kepemimpinan yang berlaku dalam gereja kita. Apakah masih terpaku pada paradigma kuno yang ketinggalan zaman, atau perlu direkonstruksi sesuai prinsip-prinsip manajemen dan kepemimpinan modern yang dinamis serta mengutamakan mutu dalam pelayanannya. Kita merumuskan suatu analisis yang tajam terhadap dinamika sosial kemasyarakatan yang berani menawarkan gagasan pembaruan kepada masyarakat kita. Kempat, tersedianya forum diskusi pemuda gereja yang kritis dalarn pemikiran. Untuk melaksanakan itu semua tentu kita membutuhkan suatu forum diskusi yang kapabel, kritis serta terorganisasi rapi. Jika perlu, gagasan-gagasan tersebut diartikulasikan dan dipublikasikan secara luas kepada umum. Dengan melakukan itu, masyarakat kita juga diajak untuk menyadari bahwa gereja-gereja
159
Orang Muda Bicara Oikoumene kita bukan lagi “agama kolonial” yang sebaiknya di bom saja karena hidup dalam “menara gading”, tetapi mereka melihat bahwa gereja sudah menjadi bagian dari pergumulan, penderitaan, tekanan ekonomi, dan depresi. Kelima, membangun komunikasi pemuda lintas organisasi gerejawi dan lintas agama. Kalau melihat kembali keempat hal di atas, akan terlihat bahwa gereja yang kita bicarakan bukan lagi milik jemaat Kristen, tapi milik masyarakat. Sebagai bagian integral dari masyarakatnya, gereja dituntut membangun komunikasi pro-aktif dengan semua elemen kemasyarakatan. Karena konteks kita adalah pemuda, maka pemuda gereja mesti membangun komunikasi kritis dengan berbagai organisasi kepemudaan, khususnya teman-teman pemuda dari agama lain. Penutup Untuk mewujudkan gerakan ekumene ini menjadi gerakan yang penuh mukjizat ada tiga keharusan yang perlu dilakukan oleh generasi muda gereja. Pertama, “metanoia/pertobatan” atau berbalik arah. Dari sekedar pelengkap menjadi pelaku utama dalam gerakan ekumene. Kedua, “kenosis” atau pengosongan dan penyangkalan diri dengan cara tak menganggap orang lain yang berbeda lebih rendah dari dirinya. Ketiga, yaitu “agape/cinta kasih” yang di semangati “koinonia/ solidaritas” di tengah penderitaan dan harapan banyak orang. Tiada kata terlambat untuk memulai arah baru misi dan gerakan ekumene. Suatu cita-cita menuju “Gereja Esa” yang di dalamnya memberi ruang untuk aneka ekspresi iman yang satu dan sama. Persatuan yang menuntut secara positif bahwa semua gereja mengakui dengan tegas kebenaran-kebenaran dasar Kristiani.*
160
Kumpulan Artikel
4
SEMANGAT NASIONALISME PEMUDA KRISTEN INDONESIA Oleh: Samuel Bungaran Partahi Saut Manalu “ Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus.”
Itulah salah satu pesan Yesus yang terakhir pada muridnya. Mungkin kata-kata itu pulalah yang telah menginspirasikan August Theis (1874 -1968) untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia khususnya Indonesia. la adalah seorang pelajar Kristen dari kota Haiger di Jerman. Di usianya yang masih sangat belia sekitar 21 tahun, ia telah memiliki cita-cita yang sangat mulia pula, yaitu seorang penginjil. Karena, itu pada tahun 1902 ia telah diutus RMG ( Rheinische Missions Gesselschaft ) ke Indonesia. Sebelumnya ia telah belajar 7 tahun di RMG. Sesampainya di Indonesia, ia bertemu dengan pendahulunya Nommensen. Yang saat itu telah menjadi Ephorus yang berkantor di Sigumpar, Tapanuli Utara. Kemudian, setelah beberapa bulan mengikuti Nommensen akhirnya pada tahun 1903 ia diutus ke Simalungun. Setelah setahun tiba di Simalungun, ia memulai pewartaannya dengan mendirikan sekolah. Walaupun, usahanya tersebut kurang mendapat respon yang baik dari masyarakat. Namun, setidaknya ia telah memberkati orang lain dengan Injil yang telah disampaikannya. Termasuk, seorang pemuda Kristen yang bernama J. Wismar Saragih, yang kemudian menggantikannya sebagai pendeta di tempat itu. August Theis yang saat itu tidak datang sendiri, bekerja sama dengan sahabatsahabatnya untuk memberitakan Injil ke Nusantara. Semangat Roh Kudus yang telah mereka bawa memberikan keberanian kepada mereka untuk memberitakan Injil ke pelosok Negeri yang saat itu masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
161
Orang Muda Bicara Oikoumene Sejak saat itu, kuasa Injil mulai menyebar ke seluruh Nusantara dan menjamah seluruh rakyat Nusantara termasuk pemuda dan pelajar yang ada saat itu. Setelah dipersatukan sebagai saudara seiman, mahasiswa dan pelajar Kristen di negeri ini mulai berpikir maju. Mereka kemudian mencoba untuk membentuk GAMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia). Namun, pembentukan organisasi itu bukan hal yang mudah dan melalui proses yang panjang. Bermula dari sebuah pertemuan yang diadakan di kota Yogyakarta dengan mengundang para penginjil, pendeta, dan para gembala umat Kristen di seluruh Indonesia, tetapi sayangnya banyak yang tidak hadir karena keberadaan umat Kristen belum diakui sepenuhnya di Indonesia. Selain itu, masih banyak di antara mereka yang menganggap bahwa politik adalah kekejian di mata Tuhan. Mereka juga takut karena sebelumnya banyak beredar isu bahwa umat Kristen adalah mata-mata orang Belanda. Namun persoalan itu tidak meruntuhkan semangat para pemuda. Bahkan mereka semakin tertantang untuk mengadakan pertemuan selanjutnya. Pada tanggal 4 November 1945 di Yogyakarta, para pemuda membentuk organisasi PKPI (Pemuda Kristen Protestan Indonesia) dipimpin oleh Sarwoko, Sutjipto, Wirawidjoyo, Sarasto, dan Pdt S Broto Suwignyo dll. Tidak hanya itu, pemerintah juga memberikan kesempatan kepada para pemuda Kristen untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan dan mempertahankan kemerdekaan. Para pemuda tidak menyianyiakan kesempatan itu. Di JI Kramat Raya No. 65 Jakarta, mereka membentuk sebuah partai politik dengan nama Partai Kristen Nasional (PKN) yang kemudian disahkan pada tanggal 11 November 1945. Organisasi pemuda di negara ini berkembang seiring perjalanan sejarah bangsa sehingga menjadikannya saksi hidup dan bukti sejarah dari perjuangan bangsa dan negara ini di masa lampau. Selain itu, para mahasiswa dan pelajar Kristen di Indonesia, turut mempersatukan
162
Kumpulan Artikel seluruh pemuda di negeri ini. Tak hanya yang beragama Kristen tetapi juga beragama lainnya. Para pemuda Kristen merasa bahwa mereka memiliki peran yang sangat penting bagi negara ini. Sehingga, pada sidang perdananya pada tanggal 29 - 31 Januari 1946 PKPI mengubah namanya menjadi PPKI (Persatuan Pemuda Kristen Indonesia), dan bersama organisasi pemuda lainnya membentuk FNI (Front Nasional Indonesia). Hal tersebutlah yang membuat persatuan mereka tetap terjaga. Demi persatuan para pemuda, para pemuda Kristen membuat gerakan ekumene (gerakan persatuan) yang kemudian terbentuk MPKO (Majelis Pemuda Kristen Oikumenis). Organisasi-organisasi tersebutlah yang telah mempelopori lahirnya GAMKI. GAMKI yang sampai sekarang masih berdiri merupakan bukti nyata kreativitas dan peran penting mahasiswa dan pelajar Kristen di masa lalu. Kegigihan dan sikap pantang menyerah membuat mereka semakin kuat dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada dihadapan mereka. Pada masa sekarang ini, mereka sedang dihadapkan pada tantangan yang lebih besar untuk menyelesaikan peran mereka. Mereka dituntut untuk menghilangkan sikap egois dirinya dan mulai bersatu dengan masyarakat sekitar. Salah satu cara menanggulanginya adalah dengan memupuk kembali rasa nasionalisme dalam diri mereka. Dengan perubahan tersebut para pemuda Kristen seharusnya dapat meningkatkan kontribusi/keikutsertaan dalam pembangunan bangsa. Rasa nasionalisme, iman, dan ideologi negara kita saat ini sedang mengalami pergeseran. Tentu dengan menelaah kembali peristiwa dan kejadian yang terjadi di negara ini kita telah mengetahui bahwa pergeseran lebih mengarah ke arah negatif. Kita semakin diyakinkan akan hal tersebut ketika melihat hal-hal negatif, masih banyak terjadi di negara ini. Yaitu masih maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme
163
Orang Muda Bicara Oikoumene atau yang lebih akrab dikenal sebagai KKN. Kemudian, Hak Asasi Manusia (HAM) yang masih sangat jauh dari kesadaran manusia, hal itu lebih sering terlihat dengan banyaknya kejahatan di negara ini yang sangat melanggar HAM. Kita berharap agar kita semua tentunya dapat menanggulangi masalah-masalah tadi. Selain masalah tadi, pemuda juga dituntut untuk menjalankan peran mereka yang paling berat, yaitu mengangkat bangsa dan negara ini dari krisis. Saat ini kita dituntut untuk melakukan gebrakan pergeseran ke arah yang lebih baik serta melakukan pergeseran ke arah positif dengan memberikan bukti nyata atau praktiknya. Oleh sebab itu para mahasiswa dan pelajar Kristen harus ikut serta dalam peran mereka sebagai pemuda untuk meningkatkan kerjasama dan kekompakan antar kelompok sosial dan antar kelompok agama. Serta mengingatkan dan menghimbaukan sekali lagi kepada seluruh pemuda di negeri ini bahwa kita harus menjadi bibit unggul bangsa dan menjadi penerus bangsa yang mandiri. Berbicara mengenai peran mahasiswa dan pelajar Kristen di masa yang akan datang akan semakin kompleks mengingat kehidupan yang semakin global. Namun, ada beberapa kelakuan yang harus mereka ubah, agar prestasi mereka dimasa yang akan datang akan lebih baik dibanding masa sekarang. Selain itu, mereka juga dapat melaksanakan peran mereka dengan baik. Oleh sebab itu setidaknya sepercik saja keinginan mereka untuk menjadi garam dunia dapat membuat mereka akan terus berusaha dan meraih kesuksesan yang terbaik. Bravo pemuda Kristen!*
164
Kumpulan Artikel
5
PEMUDA GEREJA SEBAGAI HARAPAN BANGSA Oleh: Malinton H. Purba
Sejarah itu ada karena adanya pemuda, sejarah itu pun hidup karena hidupnya para pemuda. Hidup yang berarti bercahaya rohaninya, mengakar pemikirannya, dan berkembang gerakannya. Kehidupan seperti ini disebut sebagai kehidupan yang integratif, yaitu kehidupan yang memiliki kepribadian utuh dalam gerakannya. Jika mengkaji secara cermat sejarah para nabi dan para pemimpin dunia masa lalu, maka hampir dipastikan kejayaan dan kemenangan mereka senantiasa terjadi dengan dukungan para pemuda. Demikian pula dalam sejarah kontemporer, pemuda dan mahasiswa menorehkan tinta emas dalam momentum-momentum besar perjalanan bangsanya yang dicatat dalam sejarah. Pemuda merupakan warisan termahal milik bangsa ini. Dengan segaia kemudaannya berada dalam puncak kekuatan manusia dalam berbagai aspek potensinya, yang pertama pemuda memiliki potensi spiritual, di mana ketika pemuda itu meyakini sesuatu, seorang pemuda dan mahasiswa sejati akan memberi sesuatu apapun yang dia miliki secara ikhlas tanpa mengharapkan pamrih apa pun. Mereka berjuang dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan kadar kemampuan yang dimiliki dan maksimalisasi setiap wacana implementatifnya. Kedua, memiliki potensi intelektual yang posisinya berada dalam puncak kekuatan intelektualnya. Daya analisis yang kuat didukung dengan spesialisasi keilmuan yang dipelajari menjadikan kekritisan mereka berbasis intelektual karena didukung pisau analisis yang tajam. Ketiga, memiliki potensi emosional dengan keberanian dan semangat yang senantiasa bertalu-talu di dada. Pemuda adalah tenaga kerja produktif bangsa, pemuda memiliki peran penting dalam pembangunan karena dia akan menggerakkan arah pembangunan bangsa dan menentukan masa depan bangsa. Kegamangan pemuda dalam
165
Orang Muda Bicara Oikoumene menghadapi permasalah bangsa dapat mengurangi agresivitas pembangunan bangsa. Pemuda harus kembali mengambil peran peran monumental sehingga menjadi pijakan kokoh untuk langkah pembangunan selanjutnya. Dalam perkembangan zaman yang sangat pesat, maka pemuda juga diperhadapkan dengan berbagai tantangan-tantangan yang begitu berat dan dalam hal ini pemuda harus bisa melawan arus dari perkembangan zaman yang sangat cepat. Sehubungan dengan perkembangan tersebut, maka pemuda terbagi dalam beberapa kategori dalam menghadapi perkembangan zaman tersebut. Pertama pemuda yang tergolong dalam kategori pemuda yang menciptakan apa yang terjadi, apakah itu, mereka adalah pemuda yang selalu inovatif dan kreatif dalam melihat peluang-peluang dalam rangka pengembangan potensi diri maupun potensi kepemudaan secara umum dalam ikut serta dengan sekuat tenaga, mencipta dengan karya dan karsanya, dan pemuda model pertama inilah yang menjadi idaman dan harapan masa depan dalam rangka mengangkat keterpurukan bangsa. Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia prototipe pemuda model seperti ini yang menjadi leader (pemimpin) dan tercatat menjadi pendobrak semangat pembebasan bangsanya dari keterjajahan dan keterbelakangan. Soekarno dan Hatta merupakan contoh dari anak zaman yang dilahirkan pada saat-saat kritis itu. Model kedua adalah pemuda yang mengikuti apa yang terjadi, model pemuda ini dia tidak lebih sebagai pengikut (follower) yang hanya mengikuti arus, yang pada akhirnya hanya akan terombang-ambing dalam pusaran sejarah belaka, tanpa menjadi pelopor atau pencipta sejarah tersebut, dan dengan sendirinya akan terkikis dan habis tanpa dikenang zaman, sehingga tinta emaspun enggan menulisnya. Model ketiga adalah pemuda yang bertanya apa yang sedang terjadi, model pemuda ini adalah model pemuda yang asyik dengan dunianya sendiri tanpa memikirkan masa depan. Ada dua persfektif tentang golongan pemuda model ini, dia tidak sadar karena belum tersadarkan atau tercerahkan, atau pemuda yang benarbenar menutup telinganya dengan keadaaan lingkungan sekitarnya sehingga ketika
166
Kumpulan Artikel terjadi arus perubahan deras yang menyangkut lingkungan dan bangsanya dia hanya bisa bertanya, apa gerangan yang terjadi? Di mana posisi pemuda gereja sekarang sekarang? Ini adalah pertanyaan kunci yang kadang dipenuhi jawaban gamang. Secara filosofis pemuda bisa dikatakan tenaga produktif dari pembangunan, pemuda adalah “mesin” bangsa yang memutar negara ini sesuai dengan kompetensi keilmuannya masing - masing. Tapi terkadang kita seperti bergerak masing - masing, tanpa tahu harus ke mana “roda” bangsa ini diarahkan, hal ini membuat akhirnya setiap pemuda yang memiliki semangat nasionalisme tinggi dan ide tentang pembangunan bangsa merasa sendirian dan tidak berada dalam gerbong yang sama atau terkadang ketika berada dalam gerbong yang sama pun ada kesalahpahaman ide yang menyebabkan friksi padahal ada tujuan bersama. Salah pengertian dan tidak adanya statemen bersama ini yang terkadang memecah belah potensi bersama yang dimiliki. Selain itu ada semacam kegamangan identitas pemuda, sebagian merasa modernisasi berarti sama dengan diserapnya budaya asing secara mentah sehingga sesuatu yang berasal dari luar adalah suatu nilai yang pasti baik dan diserap mentah mentah, ini berpengaruh terhadap gaya hidup dan pola konsumerisme yang berlebihan, akhirnya Indonesia menjadi tempat transit budaya internasional yang dapat mengikis keberadaan budaya lokal. Melihat beberapa permasalahan di atas maka seharusnya kita mulai mendudukkan diri kita secara bersama, seluruh pemuda Indonesia dan pemuda gereja pada khsusnya untuk merenungkan kembali di mana kita harusnya meletakkan posisi dalam roda gerak pembangunan ini. Pemuda harusnya bisa berperan lebih dari sekedar motor pembangunan namun juga terlibat aktif bersama pemerintah untuk bersama sama mencari solusi atas permasalahan bangsa. Langkah pertama yang diperlukan adalah sebuah komitmen dan pernyataan bersama bahwa pemuda Indonesia memang ingin bersatu dalam gerbong pembangunan Indonesia. Pernyataan ini memiliki nilai penting karena memberikan
167
Orang Muda Bicara Oikoumene penegasan kepada seluruh elemen bangsa bahwa pemuda Indonesia memang bersatu. Secara khusus berbicara mengenai pemuda gereja, pemuda gereja merupakan harapan dan masa depan bangsa. Sudah saatnya pemuda gereja untuk maju bersama membangun kekompakan dan persaudaraan antar umat beragama. Untuk itu, jadilah pemuda gereja pembawa damai dan sejahtera untuk keluarga, masyarakat, umat serta mampu menerangi segala kegelapan. Selama ini kita bisa melihat tidak adanya bentuk sinergi dan kerja sama yang baik/jelas, antara pemuda dan penatua-penatua/pemimpin-pemimpin gereja, konsep “one event one group” seolah menegaskan bahwa peran pemuda gereja selama ini memang selalu dalam jangka pendek (short term), tidak pernah ada sebuah konsep strategi jangka panjang yang jelas kaum pemuda gereja. Pemuda gereja hanya dibutuhkan untuk even - even tertentu (misalnya, hanya kegiatan-kegiatan Natal atau Paskah) kemudian selesai tanpa ada proses keberlanjutannya. Kader ekumene pemuda gereja harus mampu menjadi pilar dan pelopor, penggerak dalam kerukunan antar umat beragama yang dimulai dari internal gereja. Tak hanya itu, untuk menjadi pemuda gereja yang berarti, pemuda gereja harus mampu menciptakan karya-karya baru yang belum pernah ada, bukan hanya sekedar melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya rohani. Pemuda gereja harus mampu memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang berguna agar dapat meraih prestasi yang cemerlang. Kaum muda harus menjadi pahlawan. Yang hadir. Yang gigih. Yang ulet. Tiada sesuatupun di masa depan yang lolos dari kehidupan kita kelak lantaran kita yang akan menghadapi gemuruh persoalan-persoalan yang ditinggalkan oleh pengambil kebijakan hari ini. *
168
Kumpulan Artikel
6
PEMUDA DAN LEMBAGA KRISTEN: MENGEMBALIKAN PERAN YANG HILANG Oleh: Nicorius
Pendahuluan Pengharapan akan transformasi Kristen secara besar-besaran oleh kalangan pemuda Kristen terkesan irasional. Rasa pesimistis mungkin akan mendiami benak kebanyakan masyarakat Kristen. Betapa tidak, selama ini berita tentang peran pelajar ataupun pemuda Kristen terhadap gerakan kekristenan nyaris tidak pernah terdengar. Sebaliknya, penglihatan kita lebih banyak menangkap buruknya citra pelajar ataupun mahasiswa Kristen. Mulai dari menyontek, tawuran pelajar atau mahasiswa (Kristen), pergaulan bebas dan aborsi, sampai berita tentang pembunuhan oleh mahasiswa berstatus Kristen. Mereka yang harusnya mengemban citra Kristus sebagai generasi penerus kelangsungan religiusitas Kristiani di masa mendatang malah menjadikan citra Kristen tersebut keruh 30 sampai 50 tahun ke depan. Tantangan persaingan antar individu dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan gaya hidup akan menciptakan doktrinasi bahwa kebenaran tidak berlaku lagi di era ini. Nilai dan normatif yang berlaku bukan lagi Kristiani melainkan modernisasi. Hari Minggu akan banyak gereja yang kosong sebaliknya tempat-tempat hiburan akan penuh sesak. Penglihatan seperti itulah yang akan menjadi sebuah realita jika generasi saat ini tidak berminat terhadap religiusitas Kristen. Realita pemuda masa kini Pertanyaannya adalah siapa yang bertanggungjawab mempersiapkan generasi baru untuk menerima tongkat estafet sebagai generasi penerus hidup Kristen? Harus dimulai dari manakah membangun karakter mahasiswa dan pelajar Kristen? Sejauh manakah peran lembaga-lembaga Kristen dalam memberikan kontribusinya kepada mereka? Bagaimana keluarga memberikan didikan, pengawasan, dan pendampingan bagi anak-anak? Mungkin pertanyaan-pertanyaan tersebut yang harus menjadi renungan bagi umat Kristen. Jika remaja/pemuda Kristen dituntut berperan dalam menciptakan perubahan terhadap citra Kristen, maka peran dari keluarga, gereja,
169
Orang Muda Bicara Oikoumene sekolah dan masyarakat juga dibutuhkan. Idealisme tidak akan berguna tanpa implementasi bahkan jika implementasi itu gagal. Hal itu sama halnya dengan omong kosong. Pengamatan saya terhadap perilaku pelajar Kristen saat ini adalah terkesan bahwa mereka tak memiliki minat terhadap pengajaran religiusitas Kristen. Setuju atau tidak tetapi itulah realita yang di dalamnya pelajar maupun mahasiswa Kristen terlibat. Kehilangan Peran Sebagai lembaga pendidikan yang ada dan berada untuk mendampingi gereja dalam mewujudkan pengajaran Kristen dan implikasinya, maka sekolah Kristen memiliki peran penting dalam pengajaran Kristen sehingga pembentukan implementasi nilai Kristiani dapat terwujud. Sekolah Kristen didirikan oleh gereja dengan misi awal ialah sebagai rekanan gereja dalam memfasilitasi generasi baru dengan religiusitas dan spiritualitas Kristen. Karena rasa keterbatasan oleh gereja dalam memberikan kontribusi kepada generasi muda, maka inisiatif untuk memberikan pengajaran lewat sekolah pun muncul. Harapannya supaya anak-anak diberikan pendidikan sehingga memiliki bekal untuk meneruskan sebuah perjalanan panjang kekristenan ke depan, sekaligus memberikan hak pendidikan bagi masyarakat. Namun misi dan idealisme yang semula baik tampaknya telah bergeser pada pengerukan keuntungan oleh lembaga pendidikan sekolah Kristen. Pergeseran juga terjadi pada tataran pendidikan religiusitas yang kurang ditekankan dan cenderung tidak dipentingkan. Ada kesan bahwa urusan religiusitas adalah tugas gereja semata. Sekolah ataupun universitas Kristen lebih berlomba untuk memprioritaskan intelektual yang sifatnya eksakta (matematika, fisika, kimia, dan teknologi). Peserta didik yang tidak atau kurang mampu menguasai mata pelajaran tersebut lantas diklaim sebagai anak yang bodoh. Masing-masing sekolah Kristen saling bersaing melalui publikasi untuk menunjukkan keunggulan yang dimiliki, prestasi luar biasa peserta didiknya dan program-program eksakta yang mutakhir. Tujuannya tak lain untuk menarik peminat sebanyak-banyaknya (malah mirip dengan kampanye partai politik). Gereja pun telah kehilangan suara kenabiannya. Betapa tidak, gereja sebagai creator sekolah Kristen malah tidak berani menegur lembaga tersebut yang telah
170
Kumpulan Artikel menyimpang. Gereja cenderung diam dan menutup mata, pura-pura tidak tahu. Sebabnya mungkin gereja sendiri telah mendapat suntikan dana dari keuntungan yang diperoleh sekolah tersebut. Bagaimana ini dapat terjadi? Lembaga yang harusnya mengajarkan kebenaran, keadilan, kejujuran, dedikasi, integritas dan loyalitas malah membelenggukan dirinya pada perihal yang bertentangan dengan semuanya itu. Peran pelajar maupun mahasiswa Kristen terhadap transformasi tidak akan ada jika peran gereja dan sekolah Kristen tidak ada bagi mereka. Selama lembaga suci ini masih egois dan tidak peduli, maka tidak mungkin ada peran yang akan diberikan oleh pelajar atau mahasiswa Kristen bagi kemajuan kekristenan meskipun hal itu sebagai tuntutan yang ditumpukkan kepada mereka. Jangan berharap menerima sesuatu atau menuntut sesuatu dari orang lain jikalau kita juga tidak memberikan sesuatu padanya. Bukankah Yesus Kristus juga memberikan sebuah pengajaran yang penting, tertulis dalam Matius 7:12 berbunyi “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada mereka.” Semangat Melahirkan Organisasi Kristen Saya ingin menawarkan sebuah inisiatif kedewasaan pada diri pelajar dan mahasiswa Kristen. Memang banyak pelajar dan mahasiswa Kristen yang tidak memiliki kedewasaan religius maupun spritualitas Kristen. Kebanyakan mereka tidak memiliki minat terhadap hal-hal pengajaran Kristen. Tetapi tak semua pelajar dan mahasiswa Kristen demikian. Ada pula dari mereka yang memiliki semangat terhadap religius Kristen. Banyak di antara pelajar maupun mahasiswa Kristen yang menjadi aktivis di gereja, di sekolah maupun di kampus. Mereka mampu membentuk sebuah wadah untuk menampung komunitas saling menolong bertumbuh dalam iman Kristen. Mereka terlibat dalam pelayanan di gereja, di sekolah, maupun di kampus. Mereka juga memiliki semangat tanpa pamrih untuk urusan pelayanan. Mereka yang seperti itu masih ada dan tinggal di antara mereka yang tidak memiliki minat terhadap religiusitas Kristen. Di permukaan memang tampak keruh, tetapi sebenarnya jika kita menelaah ke dalam, kita masih dapat menemukan orang-orang yang punya peran dan minat terhadap religiusitas Kristen. Seperti yang beberapa kali saya jumpai di beberapa sekolah dan kampus beberapa
171
Orang Muda Bicara Oikoumene dari mereka memiliki keteguhan yang kuat dalam usaha memperluas pengajaran Kristen. Mereka dengan inisiatif dan semangat yang tinggi membentuk kelompok kecil, yang mereka sebut dengan comcell. Grup tersebut dijadikan wadah bagi mereka untuk saling mendukung satu sama lain dalam pengajaran dan doa. Anggota kelompok tersebut kemudian bertambah karena rekrutmen yang dilakukan kepada teman-temannya. Kita tahu organisasi Kristen seperti Perkantas, LPMI, dan Navigator (dan mungkin masih banyak lagi) yang bergerak di kalangan mahasiswa, telah memberikan banyak kontribusi kepada mahasiswa Kristen. Melalui lembaga-lembaga tersebut mahasiswa diberi wadah untuk bersekutu di lingkungan kampus sekaligus fasilitas dalam menanamkan pengajaran Kristen. Lembaga-lembaga Kristen di atas adalah lembaga yang cukup besar dan memiliki banyak jaringan di kota-kota besar di Indonesia. Besarnya lembaga tersebut bukan dimulai dengan mudah tetapi sebaliknya. Mereka lahir, tumbuh dan berkembang dari kalangan mahasiswa Kristen yang memiliki inisiatif untuk bertumbuh secara sosial dan spiritual. Mereka memulainya dengan sebuah persekutuan kecil, di situ mereka berkumpul untuk saling berbagi dan saling belajar tentang pengajaran Kristen. Lalu kelompok yang kecil tersebut semakin bertambah besar dan bermetafor menjadi sebuah organisasi di kalangan mahasiswa Kristen, sekaligus wadah persekutuan di lingkungan kampus. Dampak dari organisasi mahasiswa Kristen tersebut ternyata tidak hanya sebatas teritorial status mahasiswa saja. Mantan mahasiswa yang pernah bergabung dalam persekutuan di bawah bimbingan Perkantas, LPMI, ataupun Navigator kebanyakan masih membawa semangat Kristen di dalam komunitas yang baru (dunia kerja). Bahkan banyak juga alumni tersebut yang memiliki kerinduan untuk membimbing dan berbagi pengalaman dengan adik-adik mahasiswanya. Hal ini mengindikasikan bahwa lembaga-lembaga Kristen tersebut memiliki dampak yang baik terhadap perkembangan kehidupan seorang Kristen. Di samping itu lembaga Kristen tersebut dapat menjadi alat pemutar bagi kehidupan dan perkembangan tradisi Kristen supaya dapat terus berjalan dari generasi ke generasi. Meskipun arus globalisasi ataupun modernisasi semakin kencang tetapi kekhawatiran tentang larutnya kekristenan tidak perlu terjadi jika generasi muda Kristen mendapatkan gemblengan rohani yang kuat.
Mengembalikan Peran yang Hilang
172
Kumpulan Artikel Persoalan yang perlu dipikirkan dan menjadi “PR” bagi masyarakat khususnya gereja dan lembaga pendidikan Kristen adalah bagaimana peran yang harus dikembangkan sehubungan dengan adanya modernisasi saat ini. Karena jika peran dari gereja ataupun sekolah Kristen hanya stagnasi dan pasif tidak berkembang berdaya kreatif, praktis dan kontekstual, maka “Roh Kristen” itu tidak akan mampu menjamah generasi muda saat ini dan saat ke depan. Karena saat ini pun telah terlihat apatisme dari pelajar maupun mahasiswa Kristen terhadap kehidupan kekristenan. Mereka lebih menonjolkan gaya hidup hedonis, materialis dan individual. Banyak dari mereka tidak lagi memiliki greget dalam sikap perilaku Kristen. Peran yang seperti apalah dan bagaimanakah yang harus dilakukan oleh gereja dan lembaga Kristen di dalam merelevansikan sekaligus mensiknifikasikan kepada pelajar dan mahasiswa Kristen? Itulah pertanyaan yang perlu mendapat jawaban yang konkret dewasa ini. Tetapi sekaligus hal itu menjadi kendala yang akan di hadapi oleh gereja maupun sekolah Kristen karena dalam pelaksanaannya akan terasa sulit. Selama ini gereja lebih memberikan hal-hal pada tataran teoritis demikian pula sekolah Kristen yang hanya konsen ada aspek kognitif. Siswa yang tidak menguasai ilmu eksak akan dianggap bodoh meskipun ia memiliki kecerdasan di bidang spiritualitas. Sekolah hanya mampu memberikan slogan-slogan Kristen di mana hal itu malah dimanfaatkan sebagai legitimasi untuk menarik para orang tua agar menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut karena dianggap berbasis Kristen. Padahal kenyataannya tidak ada implementasi yang konkrit dari slogan-slogan tersebut. Sekolah yang harusnya memberikan prioritas pada semua mata pelajaran tak terkecuali religiusitas Kristen, malah tidak demikian adanya. Pendidikan agama Kristen hany menjadi pengganjal kurikulum saja untuk memenuhi syarat mata pelajaran wajib dari dinas pendidikan. Sekolah ataupun universitas Kristen telah kehilangan “Roh Kristus” walaupun notabenenya sebuah lembaga Ilahi! Jika gereja dan sekolah Kristen tidak ambil bagian dalam peran implementasi kekristenan praktis dan kontekstual kepada pelajar maupun mahasiswa, maka masih layakkah masyarakat menuntut peran dan kontribusi pemuda bagi kekristenan? Sungguh egois kalau begitu, jika tidak memberikan hak yang harus mereka terima malah meminta kewajiban dari mereka yang juga tidak tahu apda kewajibannya yang harus diberikan kepada masyarakat khususnya gereja. Oleh karena itu gereja dan partnernya yakni lembaga pendidikan Kristen haruslah dapat mengembalikan perannya yang telah hilang bagi generasi muda.
173
Orang Muda Bicara Oikoumene Memikul Salib Estafet Pelajar maupun mahasiswa Kristen memanggul “Salib Kristus” di pundak mereka. Salib yang kalian panggul itu adalah salib estafet dari generasi yang telah berlari terlebih dahulu. Pemuda Kristen memiliki peran untuk berlari meneruskan semangat mereka dan pada akhirnya nanti juga akan menyerahkan “salib Kristus” tersebut kepada generasi selanjutnya. Mau tak mau salib estafet ini harus dipikul oleh pemuda Kristen saat ini sebab jika tidak, maka salib Kristus itu akan jatuh. Sekali jatuh, maka akan amat sulit untuk kembali meletakkan di bahu kita dan berlari. Oleh karena itu pelajar dan mahasiswa Kristen harus lebih serius dalam mengemban amanah pelestarian “tubuh, jiwa dan roh” kekristenan di Bumi Indonesia ini. Seperti halnya LPMI, Perkantas dan Navigator ataupun organisasi yang lainnya, yang lahir dan berkembang dengan hanya diawali semangat yang tinggi oleh para mahasiswa dan pemuda, demikianlah halnya pelajar dan mahasiswa sebagai bagian dari generasi baru dapat memberikan peran yang mungkin lebih dari mereka. Agak sulit memang bagi pelajar Kristen berkecimpung dalam sebuah organisasi Kristen. Namun, kontribusi pelajar Kristen terhadp transformasi Kristen tidak menutup kemungkinan tidak dapat dilakukan. Melalui prestasi semangat tinggi dalam belajar dan keteladanan meneladani pengajaran Kristen merupakan sumbangan peran yang berarti bagi transformasi Kristen saat ini. Karena dengan keteladanan dan prestasi tersebutlah masyarakat akan melihat dan mendengar citra pelajar Kristen yang sesungguhnya, yang mungkin selama ini telah padam. Pengembangan kedewasaan bersosial dan spiritualitas secara mandiri oleh pelajar Kristen perlu dilakukan. Sifat mandiri inilah yang sesungguhnya juga perlu dibentuk. Jadi tidak hanya sebatas mengandalkan orang lain dan menuntut gereja ataupun sekolah Kristen yang mungkin sudah “impoten” terhadap peran spiritualitas pemuda Kristen. Mahasiswa Kristen pun harusnya juga mampu mengembangkan dirinya dalam peran memberikan transformasi Kristen di masyarakat. Melalui wadah yang telah tersedia bagi mahasiswa Kristen untuk persekutuan dan pertumbuhan iman, diharapkan mahasiswa Kristen mampu berbuat dan bertindak sesuai etika Kristen. Melalui lembaga-lembaga persekutuan kampus, diharapkan mahasiswa Kristen juga dapat memberikan keteladanan serta pengajaran kepada sesama mahasiswa maupun kepada pelajar Kristen.
174
Kumpulan Artikel Penutup Kontribusi peran pelajar maupun mahasiswa Kristen terhadap transformasi tidak harus dengan cara yang radikal dan gerakan massa yang banyak. Tetapi transformasi Kristen tersebut dapat dilakukan dan dimulai dari hal yang sederhana dimulai kini dan di sini. Efektivitas transformasi Kristen bukan terletak pada seberapa besar gerakan yang dilakukan tetapi seberapa besar semangat yang ada. Di sinilah letak peran yang harus dimiliki pelajar dan mahasiwa Kristen dalam melahirkan dan menumbuhkan semangat kekristenan demi upaya memperbaiki citra Kristen. Sepanjang sejarah kekristenan pemuda telah memiliki andil dalam pelestarian tradisi Kristen, maka daripada itu pelajar dan mahasiswa saat ini juga harus mampu berdaya memikul salib estafet Kristus supaya kekristenan dapat terus berlari dan bergenerasi ke masa depan di tengah kerikil-kerikil globalisasi dan modernisasi. Akhirnya spirit keteladanan dan ketekunan akan dimiliki oleh pelajar dan mahasiswa Kristen di masa yang akan datang.*
175
Orang Muda Bicara Oikoumene
7
GERAKAN EKUMENE PEDULI POLITIK Oleh Randy P.F. Hutagaol*
Setiap orang Kristen dalam kehidupannya tak akan terlepas dari tuntutan dan permasalahan dunia termasuk persoalan politik. Karena itu ia harus bisa menentukan sikapnya. Artinya, antara orang Kristen dan dunia politik adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dilepaskan. Melepaskannya berarti mengurangi kerekatannya sekaligus. Tetapi sejauh mana kedekatan hubungan itu, kini sesuai dengan realitas masih harus dipertanyakan. Apakah kita menyebut dunia politik, otomatis kita akan menyebut peran orang Kristen secara personal dan gereja-gereja ekumene. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen maka pilihan akan sikap tersebut akan menentukan peran yang akan dimainkannya. Peran yang terekspresikan melalui tindakan nyata. Untuk itu ada dua pilihan. Pertama, adalah tindakan pelarian. Pelarian berarti menyatakan sikap menolak dunia dengan cara berpaling daripadanya, membelakanginya, cuci tangan dan tidak mau tahu, dengan membentengi agar terhindar dari permasalan-permasalahan dunia, serta menutup telinga dan “jeritan” dunia yang meminta pertolongan. Kedua, adalah berkomitmen dalam keikutsertaan. Artinya, dengan keprihatinan kita menghadapkan wajah kepada dunia, membiarkan tangan kita menjadi “kotor”, lecet serta tergopoh-gopoh dengan suatu tujuan mulia yaitu mengubah dan menarik dunia dari kubangan keterpurukan. Di mana posisi kita? Itu pertanyaan reflektif. Tiada yang menyangkal, bahwa peran politik dari gerakan ekumene masih berada di ambang “ketidakjelasan”, baik secara personal maupun kelembagaan. Bersama orang-orang seiman duduk pada kebaktian Minggu di gereja atau persekutuan-persekutuan yang lain adalah jauh lebih menyenangkan daripada aktif melayani di dunia luar termasuk dunia politik yang apatis dan bahkan tak jarang memusuhi. Tetapi, sesekali ada juga yang mencoba menerobos ke daerah “rawan” politik itu, namun sesudahnya lari meninggalkan dan kembali ke “istana” kekristenan. Sebuah daerah, di mana kita betah untuk berlindung, daerah yang pintunya terkunci rapat, dan nyaman untuk “tidur”. Sementara jeritan orang yang menggedor-gedor dan meminta masuk melalui “pintu” zaman kita bukan tak jarang datang. Perihal keterlibatan dalam dunia politik sebagian dari antara kita
176
Kumpulan Artikel menganggapnya sesuatu perbuatan sia-sia, yang hanya membuang-buang waktu. Pemikiran ini di satu sisi dapat “dibenarkan”, sebab sebagai kaum minoritas, lantas apa yang dapat kita perbuat? Lagi pula masalah-masalah nasional, apakah itu politik maupun sosial merupakan masalah yang jauh dari kemampuan kita. Sebaiknya realistis saja, demikianlah kira-kira argumen mereka. Misalnya, masalah semakin maraknya korupsi dan kebobrokan-kebobrokan lainnya semakin menguatkan alasan kita selama ini untuk tidak berkoak-koak, untuk mengubur mimpi mengubah dan mempengaruhi bangsa. Artinya, persoalan tersebut mapan, sulit untuk ditaklukkan. Secara duniawi, memang sulit untuk ditaklukkan. Lantas kita apatis? Tapi di samping melalui pendekatan melalui hikmat duniawi, masih ada suatu pendekatan lagi yang bertolak dari segi teologis. Para penganutnya mengatakan bahwa saat ini kita hidup di masa interim antara kedatangan Yesus yang kedua kalinya. Dalam pengertian yang lebih lanjut berarti bahwa ketidaksempurnaan dunia sekarang ini wajar-wajar saja, sebab untuk menyempurnakan itulah Yesus datang. Dalam hal ini konsentrasi dalam pemberitaan injil toh adalah sesuatu yang absolut. Kalau ditinjau lebih dalam, bahwa sebenarnya kita lebih boleh lari dari tanggung jawab sosial kita; dengan telinga yang terbuka lebar, kita harus mendengar suara Dia yang memanggil setiap umat-Nya dari setiap tingkatan usia ke dalam dunia yang sesat dan tidak menentu. Panggilan dimaksud adalah panggilan yang direspon dengan satu sikap mengasihi, dengan bersaksi dan melayani. Dan itulah yang disebut sebagai misi. Misi dalam permahaman semacam ini adalah alasan manusiawi terhadap penugasan Ilahi. Misi adalah keseluruhan gaya hidup Kristiani, termasuk tanggungjawab pemberitaan Injil maupun tanggung jawab sosial dan politik. Jika peranan orang Kristen dilihat dari sisi individu atau perseorangan adalah sesuatu yang dapat dimaksimalkan. Sebab dari segi kualitas orang Kristen tak kalah dari yang lain. Dari sudut kesatuan yang lebih banyak (gereja) maka orang Kristen dalam satu kesatuan harus memiliki gerak langkah yang sama dalam memberikan kontribusi nyata. Pelayanan dan kesaksian adalah tanggung jawab kembar sekaligus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kreativitas kehidupan orang Kristen. Dalam penerapannya orang Kristen dipanggil untuk melayani dan bersaksi sesuai dengan karakteristiknya. Pelayanan khusus inilah yang perlu dicatat dan dikembangkan termasuk dalam bidang politik. Orang Kristen dalam satuan yang lebih besar (gereja) hendaknya menjadi pelopor dalam hal semacam itu. Gereja sebagai tubuh Kristus, sekaligus menjadi wadah pembinaan warga Kristen adalah sarana yang tepat untuk mendorong setiap
177
Orang Muda Bicara Oikoumene warganya untuk melibatkan diri serta memberikan sumbangsih yang nyata bagi pergumulan bangsa. Gereja-gereja di Indonesia tumbuh bersama ke arah perwujudan nyata dari keesaan yang dimilikinya dalam Kristus sambil bersaksi dan melayani. Hal tersebut dilakukan atas nama Tuhan Allah dan dengan suatu tujuan untuk membebaskan, menyelamatkan dan mempersatukan masyarakat Indonesia. Masing-masing gereja memaksimalkan karunia yang diterimanya dari Tuhan dalam rangka pelayanan, kesaksian di tengah-tengah masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sedang mengalami kegoncangan di tengah-tengah hempasan arus globalisasi serta di tengah-tengah euphoria otonomi daerah membutuhkan sentuhan yang dapat mengembalikan kondisi tersebut ke dalam format yang semestinya. Belajar dari pengalaman bahwa dalam pembentukan masyarakat modern dengan berbagai konsekuensinya, sering terlihat ada kecenderungan-kecenderungan bahwa pembangunan masyarakat tersebut lebih mengarah kepada pendangkalan kehidupan beragama dan spiritual. Sehingga tak jarang disertai dengan ketegangan-ketegangan kalau lebih tragis bisa disebut perang dalam kehidupan beragama. Cita-cita dalam pembangunan masyarakat modern harus dicapai tanpa mengacaukan kehidupan beragama tersebut, bahkan kemodernan tersebut harus dikembangkan sesuai dengan kepribadian bagsa yang mandiri dengan berbagai atribut yang diakui seperti halnya agama. Untuk mencapai kehidupan yang demikian sebaiknya harus ada pembinaan serta upaya mengembangkan bersama akan nilainilai budaya, agama dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rasa kesetiakawanan, tanggung jawab, kejujujuran, kecermatan penuh dengan rasa pengabdian dalam sifat-sifat yang diperlukan. Karena itu sifat-sifat itu harus ditumbuhkembangkan dan digali dari masyarakat Indonesia. Gereja-gereja di Indonesia yang dulunya lahir secara sendiri-sendiri dengan panggilan yang khusus pula di tengah-tengah suku-suku dan daerah-daerah tertentu hendaknya dipersatukan. Yang menjadi masalah adalah adakah proses transformasi dalam kehidupan gereja kita dari keadaan yang dihasilkan oleh sejarah masa lalu untuk melaksanakan tugas panggilannya yang tidak berubah di tengah-tengah kondisi bangsa yang penuh dengan berbagai krisis. Proses transformasi itu pada dasarnya menyangkut bagaimana proses perubahan dari keanekaragaman dan kesendiriankesendirian menuju keesaan dan kebersamaan sehingga terwujud dan terlihat jelas bagaimana wajah gereja yang secara bersama-sama dalam melayani dan bersaksi. Kita percaya bahwa Tuhan telah menempatkan gerejanya di Indonesia
178
Kumpulan Artikel untuk menjadi berkat dan menjadi “garam” dan “terang” bagi semua orang. Dalam kondisi seperti apapun bangsa ini, gereja wajib dan harus menjalankan tugas dan panggilannya. Mengingat pentingnya hubungan antara gereja dan masyarakat Indonesia secara luas, maka relasi atau keterkaitan, pengaruh gereja sangat menentukan bentuk masyarakat kita. Pada kondisi yang sedemikian, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) hendaknya melihat hal ini yang terimplementasi ke dalam berbagai tindakan. Tindakan tersebut dapat tercermin dari upaya PGI dalam memotivasi, menggerakkan atau memelopori kegiatan-kegiatan yang sifatnya membawa masyarakat sesuai dengan perintah Tuhan Yesus. Kehidupan dalam masyarakat, gereja dan negara adalah tiga sisi kehidupan yang tak bisa dipisah-pisahkan. Ketiganya memiliki keterkaitan satu dengan yang lain, sekalipun ketiganya memiliki banyak segi dalam kerangka membentuk kehidupan yang mantap. Hal ini berarti bahwa strategi atau cara yang dikembangkan gereja adalah dengan tujuan membentuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Gereja sebagai wadah yang bertumbuh dan hidup di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia, maka dengan demikian permasalahan yang dihadapi bangsa juga adalah persoalan yang dihadapi gereja. Maka dengan demikian adalah perlu dalam kehidupan gereja memiliki dasar-dasar pemikiran teologi dalam usaha membaharui, membangun dan mempersatukan gereja. Tugas menyampaikan injil kepada semua makhluk dan sekaligus mengusahakan kerukunan, persatuan dan kesatuan nasional, serta berpartisipasi dalam perkembangan masyarakat dan negara dalam bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan gereja. Kita melihat selama ini bahwa gereja kurang mengkaji bagaimana secara keseluruhan teologi Kristen dalam relevansinya dengan kemoderenan yang sedang bertemu dengan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia yang sedang memasuki tahapan baru. Penutup Melihat dan mencermati kondisi bangsa dewasa ini maka peranan orang Kristen sangat diperlukan. Ke depan yang kita harapkan adalah agar orang-orang Kristen yang tertarik perihal dunia sosial politik harus lahir dan menunjukkan jati dirinya, yang dalam menjalankan tugasnya bertitik tolak dari iman dan nilai-nilai Kristen sehingga dapat memberikan sumbangan dalam rangka pembangunan serta pemulihan kondisi bangsa. Prinsip pergumulan hendaknya dijiwai secara mendalam. Konteks dalam pemahaman serta penyebaran Injil harus melihat kondisi bangsa dan masyarakat serta memahami pergumulan bangsa dan negara harus dilihat dari pandangan dalam
179
Orang Muda Bicara Oikoumene terang Injil. Saat ini adalah saat yang tepat untuk merumuskan langkah-langkah yang harus kita tempuh, sebab dengan itu dan juga dengan kesadaran yang penuh ini kita dimungkinkan untuk masuk dan memaksimalkan potensi kita.* * Mahasiswa Fakultas Sastra USU
180
Kumpulan Artikel
8
REFLEKSI EKSISTENSI PGI Oleh: Rico Mangiring Purba
Sebelum berangkat kepada kata ekumene maka yang harus dipahami terlebih dahulu adalah ‘skisma’ (perpecahan tubuh gereja), karena tanpa ‘skisma’ maka tidak akan ada kata oikoumene. Kata ‘skisma’ berasal dari bahasa Inggris schism (IPA: [‘sizam] atau [‘skzzam]), dari bahasa Yunani schisma (dari kata schizo, “memecah”, “memisahkan”),yang berarti perpecahan. Biasanya terjadi dalam sebuah organisasi atau gerakan. Orang yang skismatik adalah orang yang menciptakan atau menghasut perpecahan di dalam sebuah kelompok atau seorang anggota dari kelompok yang memisahkan diri. Kata skismatik dapat pula merujuk kepada gagasan, kebijakan, dan lainlain yang dianggap dapat menyebabkan perpecahan. Dalam pengertian yang lebih umum, khususnya di luar agama, kata skisma dapat merujuk kepada perpecahan antara dua orang atau lebih, baik saudara, teman, atau kekasih. Bisa juga perpecahan dari suatu negara, gerakan dalam politik, atau bidang apapun juga, menjadi dua atau lebih kelompok yang saling berbeda pendapat. Skisma dalam Agama Kristen Kata skisma dan skismatik barangkali paling luas dipergunakan dalam sejarah agama Kristen, untuk merujuk kepada perpecahan di dalam sebuah gereja atau kelompok keagamaan. Dalam konteks ini, skismatik berarti seseorang yang menciptakan atau menghasut agar terjadi skisma di dalam sebuah gereja atau anggota dari gereja yang memisahkan diri, atau gagasan serta hal-hal yang dianggap dapat menyebabkan skisma. Kata ini pun sering digunakan untuk menggambarkan sebuah gereja yang telah keluar dari kelompok manapun yang dianggap oleh si pengguna kata itu sebagai gereja Kristen yang sejati. Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada kelompok Kristen yang memisahkan diri pada umumnya, dan perpecahanperpecahan historis tertentu yang penting pada khususnya. Setelah terjadi skisma gereja, maka lahirlah kelompok-kelompok gereja yang membawa doktrinnya masing-masing, kelompok-kelompok inilah yang kemudian diistilahkan sebagai denominasi. Di masa modern, agama Kristen diungkapkan dalam berbagai nama. Kelompok-kelompok dengan nama yang berbeda-beda ini
181
Orang Muda Bicara Oikoumene antara lain Lutheran, Anglikan, Presbyterian, Katolik, dll. biasanya disebut sebagai denominasi. Denominasionalisme adalah sebuah ideologi, yang menganggap sejumlah atau semua kelompok Kristen sebagai versi-versi dari suatu kelompok yang sama, tak peduli dengan label-label yang membedakan mereka. Namun tidak semua denominasi mengajarkan hal ini, dan ada sejumlah kelompok yang menganggap semua kelompok yang berbeda dengannya sebagai murtad atau sesat artinya, bukan versi yang sah dari agama Kristen. Ekumene Kata “ekumenisme” (kadang-kadang dieja oikoumenisme, oikumenisme) berasal dari bahasa Yunani oikos (=rumah) dan menein (=tinggal), sehingga oikoumene berarti “dunia yang ditinggali” atau “didiami”. Dalam pengertiannya yang paling luas ekumenisme berarti inisiatif keagamaan menuju keesaan di seluruh dunia. Tujuan yang lebih terbaas dari ekumenisme adalah peningkatan kerja sama dan saling pemahaman yang lebih baik antara kelompok-kelompok agama atau denominasi di dalam agama yang sama. Kata ini digunakan terutama sekali dalam kaitan dengan (dan oleh) agama Kristen untuk merujuk pada gerakan menuju persatuan atau kesatuan denominasi Kristen yang terpecah-pecah karena doktrin, sejarah dan praktik. Setelah kurang lebih 58 tahun PGI berdiri apakah PGI sudah di jalan yang benar? Kalaupun sudah dijalan yang benar apakan PGI sudah tepat arah. Maksud pernyataan tersebut sebetulnya berangkat dari gejala dan fenomena yang timbul, yang secara khusus penulis perhatikan. Ada kecenderungan PGI dalam mengupayakan ekumene hanya sebatas dengan melakukan pertukaran mimbar (pendeta gereja A berkhotbah di gereja B) bagi pendeta. Lantas kalau dengan metode seperti ini apakah PGI sudah merasa di jalan yang benar. Kalau ya kenapa fenomena skisma masih senantiasa terjadi dan bukannya justru berkurang dan akhirnya melebur menjadi satu gereja yang esa? Metode lainnya yang penulis amati adalah melalui pendekatan kegiatan (Natal Ekumene, Paskah Ekumene) namun, sejauh apakah upaya ini berhasil mendorong gereja dan jemaat menjadi satu tubuh sebagaimana doa agung Tuhan Yesus “Ut Omnes Unum Sint”. Selain hal itu sepertinya PGI tidak menemukan alternatif lain dan inovasiinovasi terbaru untuk mendorong terwujudnya satu tubuh dalam Tuhan Yesus Kristus itu. Perkara lainnya adalah adanya semacam alergi bagi pemimpin-pemimpin gereja
182
Kumpulan Artikel (Pendeta, Majelis, Gembala) untuk merumuskan ekumene sebagai bahan kajian dalam setiap khotbahnya. Penulis tidak mengetahui apakah memang Pendeta, Gembala, Majelis memang benar-benar dibekali dengan pendidikan teologi yang mumpuni saat proses pendidikan formal. Atau mungkin kondisi ini memang sengaja dipertahankan oleh beberapa pihak yang memiliki kepentingan terhadap kondisi tercerai berainya tubuh gereja. Kalau memang hal itu benar-benar terjadi maka wajar saja jika ekumene memang hanya mimpi-mimpi romantis belaka. Namun, terlepas dari banyaknya permasalahan yang menderu, sebagai orang Kristen yang berpengharapan maka pasti selalu ada jalan keluar, menyitir kalimat yang sering diungkapkan oleh sosok yang sering tampil di layat televisi akhir-akhir ini “If There is a will, there is a way”. Solusi untuk Perenungan Bersama Dalam kesempatan ini ada beberapa gagasan yang mungkin bisa dijadikan sebagai masukan bagi PGI, Pendeta, Gereja, dan aktivis gereja dalam arak-arakan besar merealisasikan Ekumene dan terwujudnya Gereja Kristen yang Esa di Indonesia. Dogma, kerikil di jalan oikoumene? Menurut hemat penulis, selain terbentur dengan sumber daya manusia gereja yang belum mampu mengaktualisasikan ekumene, ada hal lainnya yang juga menjadi bahan kajian menuju ekumene sejati. Dogma gereja menjadi kunci penting terwujudnya ekumene, selain menjadi landasan berpikir berpuluh-puluh gereja yang tercerai, dogma menurut penulis sudah sepatutnya dikaji kembali bersamasama pemimpin gereja agar jangan sampai aturan-aturan gereja yang mengikat ini menjadi pengahalang kebersatuan tubuh kristus di dunia. Dogma menjadi penting saat berhadapan dengan permasalahan yang sifatnya eksternal (dari luar tubuh gereja). Namun, saat dogma dipertentangkan dalam tubuh Kristen, maka hal inilah penghalang bersatunya umat. Ada pengalaman unik mengenai dogma ini, sekali waktu penulis yang bergereja di salah satu gereja kesukuan mendengarkan sanksi yang diberikan oleh gereja kepada seorang jemaat yang menikah dengan jemaat gereja lain yang berbeda dogma. Lantas di pihak lain, gereja hanya diam dan tak bergeming saat seorang jemaat di penjara karena korupsi. Hal ini menjadi unik, karena dogma gereja justru menjadi penghalang disatu sisi dan tak berbuat apa-apa disisi yang lain. Ataukah dogma gereja pun sudah dipengaruhi faktor x? oleh karenanya, sebelum bicara ekumene ada baiknya pemimpin-pemimpin gereja bicara dogma.
183
Orang Muda Bicara Oikoumene Revitalisasi Sekolah Tinggi Teologia Selain dogma, yang tak kalah pentingnya adalah revitalisasi peran sekolah tinggi teologia yang ada saat ini. Keberadaan STT-STT ini patut dikaji karena bekal-bekal yang diberikan institusi-institusi ini juga yang akan diteruskan oleh “produk-produknya” kepada “pasar”. Untuk itu STT pun jangan hanya menjadi mesin produksi tanpa orientasi hasil yang layak. Pendeta-pendeta yang dilahirkan STT inilah yang kemudian akan meneruskan cita-cita ekumene yang telah disepakati bersama puluhan tahun yang lalu. Pernah dalam suatu diskusi dengan teman pemuda, penulis mendiskusikan mengenai sulitnya mencari pekerjaan. Kemudian ada satu hal yang diungkapkan oleh teman ini yang cukup mengejutkan bagi penulis. Dia mengatakan, “Jika dalam jangka waktu dekat ini aku belum mendapatkan juga pekerjaan, aku akan kuliah lagi untuk menjadi pendeta”. Ungkapan itu menjadi sangat memprihatinkan manakala Pendeta dianggap sebagai alternative jobs bukannya sebagai suatu panggilan. Oleh karenanya, STT sangat memegang peranan dalam upaya menjaga ekumene di jalur yang benar. Sementara itu di lain pihak ada juga lembaga-lembaga gereja yang pendetanya tidak mengutamakan pendidikan formal teologia, untuk kasus ini PGI memainkan peranannya untuk menyediakan pendidikan ekumene. Sehingga ke depannya dengan perbaikan dan peningkatan kualitas lulusan STT wacana ekumene tidak lagi menggantung di langit-langit gereja. Right Man on the Right Place Fenomena menjadikan gereja sebagai “lahan basah” dan pendeta sebagai alternatif pekerjaan apabila sudah tidak sanggup lagi mencari kerja memang tidak bisa ditampik. Adanya rumor-rumor untuk menjadikan pendeta sebagai ladang mata pencaharian memang tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak seluruhnya benar. Hal ini harus dengan cerdas diamati oleh pimpinan-pimpinan arus utama gereja (terutama PGI). Jangan sampai suatu saat lembaga-lembaga seperti gereja, PGI di pimpin oleh orang-orang yang hanya “bekerja” sebagai pendeta. Kejelian pimpinan-pimpinan gereja dan lembaga seperti PGI membaca situasi ini sebetulnya sangat penting untuk mewujudkan ekumene, karena pada saat pimpinan-pimpinan gereja salah menempatkan personilnya untuk duduk sebagai pimpinan-pimpinan jemaat maupun lembaga, maka secara tak langsung akan berimbas kepada cita-cita luhur oikoumene itu sendiri. Oleh karena itu Right Man on The Right Place haruslah senantiasa diterapkan oleh gereja dan lembaga
184
Kumpulan Artikel Kristen lainnya. Ekumene dalam seribu bahasa Selain dua sumbangsih pemikiran di atas, satu hal lagi yang menurut hemat penulis patut disiasati adalah gereja-gereja yang bersatu dalam wadah PGI maupun yang belum tergabung, harus bisa duduk bersama untuk membahasakan oikoumene ke dalam ranah-ranah yang lebih luas. Ekumene tidak cukup lagi dibahasakan hanya dengan pertukaran mimbar atau sekadar melalui kegiatan-kegiatan Natal dan Paskah. Kecenderungan itu sudah tidak laku lagi dijual untuk mendapatkan cita-cita ekumene. Lantas harus seperti apa? Barangkali tidak ada salahnya PGI mulai menerapkan kehidupan komunitas Taise di Prancis. Artinya, selain ibadahibadah rutin yang dilakukan masing-masing gereja, mungkin PGI dan gereja bisa mengadakan semacam ibadah ekumene setiap dua atau tiga bulan dan PGI sebagai pelopor. Penerapan ibadah ekumene ini dilakukan di seluruh wilayah kerja PGI. Bukan tak mungkin berangkat dari ibadah tiga bulanan, kemudian akan terbentuk suatu komunitas ekumene di wilayah-wilayah, sampai akhirnya komunitas ini membesar tak terbendung lagi dan Gereja Kristen yang Esa diharapkan terwujud. Bagaimana dengan gereja-gereja kesukuan dan denominasi yang selama ini telah berjalan? Mungkin makna Gereja Kristen yang Esa ini pun patut dikaji lebih dalam lagi. Maksud penulis adalah Indonesia dengan pluralitas dan perbedaan yang cukup tinggi justru menjadikan kehidupan lebih menarik, ke-khas-an ini pun patut dipertahankan karena merupakan kekayaan yang tak dapat dibeli. Oleh sebab itu, karena gereja bukanlah bangunan melainkan pribadi maka dengan ibadah ekumene tadilah Gereja Kristen yang Esa tercipta. Hal itu merupakan sedikit sumbangsih pemikiran yang bisa diberikan. Barangkali Pendeta dengan pendidikan teologis dan pemimpin-pemimpin gereja memiliki formulasi yang lebih baik dalam membahasakan ekumene dalam seribu bahasa. Namun, satu hal yang pasti adalah Gereja Kristen yang Esa akan tercipta saat kita berani melepaskan ego yang kita kenakan. Ut Omnes Unum Sint. Syalom.*
185
Orang Muda Bicara Oikoumene
9
PERAN LELAKI DAN PEREMPUAN DALAM MISI EKUMENE Oleh: Ricky Septian
Kita semua pasti pernah mendengar kata ekumene. Secara etimologis, ekumene berasal dari kata Yunani oikeo, yang berarti tinggal, mendiami, yang didiami. Secara geografis berarti dunia yang didiami (Luk 4:5); dapat juga berarti seluruh manusia. Secara politik pada masa itu dipakai menunjuk kepada seluruh kekaisaran Romawi dan semua penduduknya. Dalam ajaran kekristenan yang kita pelajari, istilah ini pada mulanya dipergunakan menunjuk kepada seluruh dunia yang didiami tempat gereja melaksanakan kesaksian dan pelayanannya. Istilah ini juga dipakai untuk gereja dalam arti gereja universal. Pada zaman sekarang, istilah ekumene telah mengalami perkembangan arti dan makna, terutama di kalangan gereja setelah reformasi (gereja Protestan). Di kalangan gereja Protestan, ekumene mengandung pengertian sebagai gerakan perwujudan gereja Kristen yang esa di seluruh penjuru dunia. Kita harus menyadari bahwa gereja yang tersebar di seluruh dunia mengalami kenyataan kepelbagaian dan perbedaan. Kepelbagaian itu ada dalam banyak hal. Anggota gereja memiliki berbagai karunia dan talenta pemberian Tuhan. Gereja juga mengalami kenyataan kepelbagaian budaya dan politik, yang sering menimbulkan perpecahan dan pemisahan. Di tengah keadaan demikian, ekumene modern adalah gerakan dari kalangan gereja untuk mewujudkan keesaan gereja di tengah kepelbagaian itu, karena gereja pada hakekatnya adalah satu (esa), kudus dan rasuli. Perwujudan gereja kristen yang esa dalam tanda-tanda (praksis) yang kelihatan inilah yang diusahakan dalam gerakan ekumene, yang dilakukan secara berkesinambungan. Untuk itu diperlukan institusi yang disebut sebagai wadah ekumene. Wadah ekumenis sedemikian di Indonesia ialah Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang resmi berdiri pada tanggal 25 Mei 1950. Sebelum kita meninjau peranan laki-laki dan perempuan dalam gerakan ekumene, kita harus menyadari bahwa kita hidup di dunia ini karena mendapat keselamatan. Keselamatan adalah karya Allah, yaitu kelepasan dari dosa, dari kuasa iblis dan maut dan dari aneka ragam kuasa yang bertentangan dari kasih Allah-lah keselamatan dilaksanakan, yaitu dengan penebusan anaknya yang tunggal, Tuhan Yesus yang
186
Kumpulan Artikel mati di kayu salib yang turun ke dalam maut setelah di kuburan dan yang bangkit dari kematian pada hari ketiga. Pada saat ini, kita merasakan adanya banyak kemajuan dialog antara orang Kristen dan non-Kristen. Ekumene telah diterima secara luas bahwa nuansa dialog menuntut adanya saling penghargaan satu dengan yang lainnya, kerendahan hati yang sungguhsungguh dan kesadaran penuh bahwa tak ada satu pihak pun yang memonopoli kebenaran secara istimewa. Dewasa ini, ada tanda-tanda bahwa tantangan dialog memasuki fase baru. Dulu, alasan prinsip dialog, paling tidak dari perspektif orang Kristen, adalah untuk mengkonversikan orang-orang yang belum percaya. Di kemudian hari, dialog ini telah memberikan jalan pada usaha untuk mendengar dan mengerti keyakinan orang lain dengan penuh rasa hormat. Bahkan mungkin untuk menghargai kebenaran atau arti keselamatan dari keyakinan lain. Kita harus mengetahui rencana keselamatan yang universal seluruh umat manusia oleh Tuhan seperti yang dinyatakan dalam Kristus. Pada point ini, seseorang bisa terus bergerak lebih jauh mempertanyakan bagaimana pemahaman seseorang tentang Kristus dapat diperluas atau dimodifikasi dengan dasar dan keyakinan Hindu. Orang Kristen dalam kegiatan ekumenenya harus mulai melihat bagaimana mereka diakui oleh orang lain. Bahkan orang-orang Kristen yang telah memiliki sedikit lebih banyak pengalaman dengan melihat diri mereka sendiri melalui pandangan orang lain. Selama ini banyak yang ingin berbagi dan bergaul dengan orang lain hanya untuk menegaskan keunikan dari keyakinan mereka masing-masing dan berusaha untuk tidak tampak sebagai pemuja berhala, fanatik dan kikir. Tetapi kita harus sering melakukan dialog untuk memunculkan saling pengertian antar-agama tidak dapat dipisahkan dari isu-isu kebebasan manusia, perdamaian, dan kebaikan seluruh umat manusia di muka bumi ini. Ekumene merupakan manifestasi (penampakan) persekutuan orang Kristen dalam satu tubuh antara sesama denominasi gereja yang memiliki latar belakang dogma dan theologia yang berbeda, baik di wilayah lokal, regional, nasional maupun internasional. Sebenarnya kata ekumene berasal dari bahasa Yunani yaitu Oikos yang berarti “rumah” dan “monos” yang berarti “satu”.Yang dimaksud dengan “rumah” adalah dunia ini, sehingga kata ekumene berarti dunia yang didiami oleh seluruh manusia. Karena itu ekumene juga dalam arti manifestasi persekutuan seluruh umat manusia yang memiliki latar belakang budaya, agama yang berbeda (majemuk).
187
Orang Muda Bicara Oikoumene Karena menyadari bahwa dunia ini penuh keanekaragaman, pemahaman jemaat akan ekumene masih perlu ditingkatkan. Ada 2 (dua) sikap yang saling bertentangan dalam kehidupan jemaat, yaitu pada satu sisi warga jemaat sangat eksklusif (tertutup) terhadap denominasi gereja lain dan pada sisi yang lain warga gereja begitu terbuka (dalam arti tidak mampu membedakan dogma dan theologia masing-masing denominasi gereja khususnya menyikapi aliran-aliran kharismatik). Tapi juga seringkali terjadi bahwa ekumene dipahami sebagai kegiatan hari besar gerejawi yang diselenggarakan secara bersama. Yang berperan penting dalam melakukan gerakan ekumene adalah laki-laki dan perempuan Kristen. Karena itu, kita perlu menyadari kedudukan mereka. Kedudukan laki-laki dan perempuan dalam gerakan ekumene adalah sederajat. Allah menciptakan laki-laki dan wanita tak memvonis bahwa kedudukan wanita itu lebih rendah daripada kedudukan laki- laki. Dalam masa Perjanjian Lama, Allah terus-menerus menjunjung tinggi derajat kaum wanita setara dengan kaum pria. Dalam hukum Taurat, seorang ibu harus dihormati, ditaati, dan ditakuti. la memberikan nama kepada anak-anak dan mengajar mereka. Persembahan yang sama diberikan untuk penyucian apakah yang baru lahir itu anak lakilaki atau perempuan. Wanita menghadiri kegiatan-kegiatan keagamaan dan mempersembahkan korban sama dengan kaum pria. Jadi, tugas ekumene adalah tugas setiap orang percaya. Orang-orang percaya terdiri dari pria dan wanita, anak, pemuda, pemudi, dan dewasa. Berarti bahwa penginjilan adalah tugas bersama kaum pria dan kaum wanita. Strategi pertumbuhan gereja tidak meniadakan sumbangan wanita sebagai penyumbang dan penolong. Tantangan bagi orang-orang percaya ialah juga untuk mendirikan ‘ecclesia domestica’ - gereja di dalam rumah yang kelak akan menjadi gereja dan jemaat Tuhan. Kesimpulannya, peranan khusus kaum wanita dalam pelayanan ekumene pada zaman sekarang ialah sebagai penolong, pembina, dan pembawa firman Allah. Kaum wanita adalah penyumbang, bukan saingan dalam pelayanan penginjilan. Walaupun kedudukan wanita dewasa ini menjadi isu yang hangat, baiklah kita membiarkan perbedaan paham ini dan marilah kita bersatu dalam tugas penginjilan. Kaum wanita dan kaum pria termasuk para penuai di ladang Tuhan. Bukankah Tuhan menciptakan wanita sebagai penolong kaum pria? Dengan
188
Kumpulan Artikel demikian, berikanlah tempat yang layak baginya dalam rencana Allah pada pelayanan gereja dan untuk pengabaran injil. Marilah kita dukung kaum wanita dalam menyokong pewartaan kabar keselamatan agar Kerajaan Tuhan makin diperlebar di dunia ini. Kegiatan ekumene perlu ditingkatkan dalam manifestasi keesaan gereja berdasarkan Doa Tuhan Yesus, supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, didalam Aku, dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga didalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku”(Yoh.17:21). Dalam rangka peningkatan gerakan ekumene maka perlu dilakukan programprogram sebagai berikut : 1. Seminar tentang ekumene bagi warga jemaat dan pelayan khusus. 2. Membuat surat penggembalaan tentang ekumene dan bagaimana menyikapi aliran-aliran kharismatik. 3. Mengadakan kegiatan ekumene di masing-masing wilayah pelayanan (runggun, klasis dan sinode). 4. Perayaan hari besar gerejawi. 5. Kerjasama ekumene dalam hal pertukaran informasi, pertukaran tenaga dan warga gereja serta peningkatan sumber daya manusia dengan gereja-gereja yang ada di dalam dan di luar negeri. 6. Memberi bantuan bagi gereja-gereja yang membutuhkan baik dari segi dana dan daya. 7. Mengadakan kerjasama ekumene kemasyarakatan (persaudaraan semua manusia) di masing masing wilayah pelayanan (runggun, klasis dan sinode) melalui dialog antar agama dan antar kepercayaan dalam semua aspek kehidupan Perempuan memegang peranan yang sama pentingnya dengan laki-laki
189
Orang Muda Bicara Oikoumene dalam pelayanan, kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus. Tuhan Yesus tak mengabaikan perempuan, apalagi menyepelekannya. Di hadapan Allah, perempuan sepadan dengan laki-laki. Artinya, tak lebih rendah atau lebih tinggi. Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagai “penolong yang sepadan” bagi Adam (Kej. 2:18, 2122). Memang ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, misalnya perbedaan secara fisik, psikis dan karakter, tetapi keduanya sama-sama mahkluk yang dikasihi, dihargai, dipercayai, dan dipedulikan Allah. Kaum perempuan itu penting di hadapan Tuhan. Sama pentingnya dengan sesama mereka, laki-laki. Dalam banyak peristiwa kaum perempuan memegang peranan penting, meskipun dalam peristiwa lain laki-laki yang diberi peranan penting. Pentingnya perempuan bukan hanya masa lalu, tetapi juga masa kini dan masa yang akan datang. Dunia saat ini membutuhkan saksi-saksi kebangkitan Kristus. Bukan kaum lelaki saja yang Tuhan panggil, tetapi juga kaum perempuan. Menjadi saksi itu perlu diwujudkan dalam hidup, pewartaan, pelayanan dan peranan yang nyata. Laki-laki dan perempuan yang menerima Tuhan Yesus dan percaya dalam nama Tuhan Yesus, diberi kuasa menjadi anak-anak Allah.Semua pemimpin Kristen, sebagai anak-anak Allah, menerima pelbagai tugas Ilahi,yang mereka harus salurkan melalui dua jalan : ke arah vertikal, terhadap Tuhan, dan ke arah horizontal, terhadap sesama manusia. Laki-laki dan perempuan harus menyadari empat dasar kualitas kepemimpinan Kristen untuk melaksanakan ekumene, yaitu kasih, integritas, rendah hati, dan kompetensi. Semua orang Kristen yang melakukan ekumene hendaknya mengasihi orang lain tanpa syarat dan melakukan hukum kasih. Mereka dapat mempengaruhi dan memberi semangat kepada semua orang untuk mengikuti mereka, supaya mereka hidup menurut hukum utama kehidupan, yaitu bekerjasama, membagi bersama, dan menguasai diri. Mengasihi orang lain tanpa syarat menolong orang lain merasa tenteram,terjamin. Marilah kita memiliki integritas sehingga misi ekumene dapat berhasil dengan baik. *
190
Kumpulan Artikel
191
Orang Muda Bicara Oikoumene
KEDUDUKAN PEMUDA KRISTEN DI DALAM KELUARGA DAN MASYARAKAT Oleh: Roni Kusno Siahaan Dalam sebuah organisasi diperlukan sekali untuk memahami kedudukan anggotaanggotanya. Dengan demikian seseorang dalam organisasi tersebut akan dapat dengan tepat dan mantap bertindak dan bertanggungjawab sesuai kedudukannya. Tulisan ini mencoba menyoroti situasi kehidupan bagi muda-mudi gereja, dengan melihat kedudukan di tengah-tengah keluarga, gereja dan masyarakat, hingga peranan dan kesiapannya di hadapan sesama dan di hadapan Tuhan.
I. Pemuda dan Pencarian Jati Diri Pemuda ditinjau dari segi umur ialah mereka yang telah melewati masa remaja; namun dalam tulisan ini pengertian pemuda sesungguhnya dimulai dan usia remaja madya, hal ini sesuai dengan konteks pemuda yang penulis amati di Sumatera Utara, khususnya di Siantar-Simalungun. Masa muda merupakan masa pencarian jati diri. Pada masa ini, pemuda sering membandingkan dirinya dengan orang lain. Sejalan dengan keadaan di ataslah, pada masa remaja atau muda figur idola remaja menjadi sangat penting. Bahkan ada yang menjadi faktor utama. Bahkan ada yang menjadi sangat fanatisme dengan idolanya karena berusaha meniru gaya dari idolanya tersebut. Dalam keadaan seperti itu, baiklah pemuda gereja menyadari bahwa bagaimanapun keadaan dirinya, hidupnya sesunguhnya sangat berharga di mata Tuhan (Yesaya 43: 4). Tuhan menciptakan dia menurut gambar dan rupa Tuhan (Kej 1: 26). II. Kedudukan dan Peran Pemuda dalam Keluarga Banyak pemuda ingin diperhatikan oleh keluarganya tetapi juga sekaligus ingin bebas dari keluarganya. Mungkin pernyataan salah seorang pemuda ini bisa menggambarkan situasi tersebut:
192
Kumpulan Artikel Aku memerlukan keluargaku tetapi juga aku juga ingin dibebaskan dari mereka. Mereka menyediakan makanan, pakaian, perumahan dan uang bagi kebutuhan-kebutuhanku. Pada satu segi ketergantungan itu membebaskanku. Tanpa mereka bagaimana aku dapat sekolah? Bagaimana saya memperoleh tempat dan perlindungan yang khas untuk aku? Tetapi ketergantunganku pada mereka juga membatasi aku. Mereka mengatur kehidupanku, dan menentukan keinginanku. Mereka berkata itu semua untuk masa depanku.
Pengalaman masing-masing pemuda dalam berelasi dengan keluarga mereka berbeda-beda, Ada yang berada dalam relasi yang sehat, ada pula pemuda yang berada relasi kurang sehat dengan keluarganya. Namun, sebenarnya terkait dengan relasi dengan keluarga masing-masing pemuda “bersikap ganda” yakni “ingin dekat” atau (diperhatikan) sekaligus juga “ingin jauh” atau bebas. Dalam kenyataanya, ada banyak orang tua yang memahami tanggungjawab mereka terhadap anak atau pemuda hanya berupa memenuhi kebutuhan jasmani anak secara saja. Situasi ini diperparah dengan kualitas komunikasi yang rendah antara orang tua dan pemuda. Mereka tidak mau atau mengalami kesulitan untuk terbuka satu sama lain. Sibuk dengan pekerjaan menjadi alasan bagi orang tua untuk tidak mau tahu pada kondisi anak mereka yang sebenarnya. Hal lain yang sering memicu terjadinya konflik antara orang tua dan anak ialah pembuatan keputusan yang “satu-satunya”. Hal ini sering dilakukan orang tua dengan mengabaikan pendapat sang anak/pemuda. Hal in tentu membuat anak bersikap ekstrim yakni, memberontak terhadap orang tua. Tentunya permasalahan seperti ini tidak hanya dialami oleh keluarga yang berada di perkotaan, tetapi juga bisa terjadi di perdesaan. Ketimpangan tingkat pendidikan antara orang tua dan anak dapat juga menjadi sumber permasalahan. Ada pemuda yang karena pendidikannya lebih tinggi daripada orang tuanya menjadi bersikap sombong dan tidak menghargai orang tuanya, tentunya ini akan melukai perasaan orang tua mereka. Sebenarnya anak menghormati orang tua bukan karena ia sempurna tetapi
193
Orang Muda Bicara Oikoumene karena mereka diberikan Allah anak untuk membimbing anak, pemuda gereja. Pemuda mengetahui bahwa orang tua kadang-kadang salah. Pemuda harus “sabar terhadap cacat dan kelemahan orang tua”. Hal itu tidak berarti bahwa pemuda menyetujui kesalahan orang tua, tetapi pemuda perlu mengampuninya. Anak menghormatinya bukan sebagai dewa tetapi sebagai manusia yang dipercayai Tuhan untuk mendidik, membimbing dan memelihara kedudukan anak-anaknya. Walaupun memang harus diakui bahwa ada juga orangtua yang merasa kurang mampu menolong anak-anaknya. Dalam hal ini perlu pengetahuan berdasarkan pelajaran dan hikmat berdasarkan pengertian. Walaupun anak memang mempunyai lebih banyak pengetahuan tentang banyak hal, ia masih memerlukan bimbingan berdasarkan hikmat dan pengalaman orang tuanya. III. Pergaulan Pemuda Kristen dalam Masyarakat Salah satu hal yang menentukan keberhasilan seseorang adalah menyangkut dengan siapa dia bergaul. Pergaulan memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi diri seseorang, termasuk bagi pemuda. Jika salah bergaul maka akan terjerumus ke dalam pergaulan yang merusak baik merusak jiwa dan pikirannya. Hal senada telah disinggung oleh Rasul Paulus dalam I Korintus 15: 33 “Jangan kamu sesat, pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik”. Begitupun juga dengan Raja Salomo yang menasehati untuk berhati-hati dalam memilih kepada siapa kita bergaul. Bahkan dia menegaskan untuk tidak bergaul kepada orang-orang yang berperilaku buruk tersebut. Dia mengatakan bahwa “Jangan kita bergaul dengan orang yang bocor mulut (Amsal 20: 19), dengan pelahap (Amsal 28: 8). Sebaliknya Salomo mengatakan bergaullah dengan orang bijak, supaya kita menjadi bijak (Amsal 13: 20).
194
Kumpulan Artikel IV. Tanggung Jawab Pemuda dalam Gereja Dewasa ini ada banyak pemuda Kristen yang merasa bahwa mereka sudah tidak memerlukan gereja. Mereka berkata “kita dapat mempunyai persekutuan Kristen walaupun tidak masuk gedung gereja. Kita dapat mempelajari Alkitab tanpa ada pendeta. Kita dapat beribadah dengan baik tanpa masuk menjadi anggota jemaat”. Mereka sering mengkritik gereja. Misalnya, mereka menganggap bahwa gereja kurang memperhatikan kaum muda. Gereja hanya asyik membicarakan sorga dan tidak menghiraukan masalah di dunia ini. Jika pemuda dapat bereaksi demikian berarti pemuda sudah tersebut sebenarnya sudah mulai berani menunjukkan kerinduan, keinginan dan kesetiaan serta kecintaannya terhadap gereja dan kepada Tuhan. Sebab memang seharusnya pemuda itu kritis agar tidak dipandang sebelah mata dalam pelayanan gerejawi. Dengan demikian pemuda dapat diberi kesempatan untuk berkiprah dalam gereja dengan bentuk pelayanan kepemudaan dan kepada masyarakat. Dalam pelayanan di gereja, pemuda perlu dilibatkan misalnya kelompok-kelompok doa, kelompok katekisasi (pelajaran Alkitab) dan lain-lain. Kalau pemuda kritis terhadap gereja, itu baik. Namun, hal itu bukanlah alasan yang tepat untuk meninggalkan gereja dan persekutuan. Sebab gereja itu memerlukan orang-orang yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan gereja bagi kehidupan gereja di tengah dunia. Kalau satu gereja ditinggalkan oleh semua orang yang bersikap kritis terhadap keadaan gereja, maka gereja tersebut akan menjadi makin lemah dan semakin jauh dari panggilannya. Gereja memang membutuhkan pertolongan dari semua anggotanya termasuk pemuda gereja. Penutup Penting sekali agar pemuda mampu untuk menujukkan jati dirinya dan eksistensinya di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan gereja maupun Negara kita ini. Pemuda sebagai generasi penerus semestinya memandang ke depan dengan 195
Orang Muda Bicara Oikoumene melihat masa lampau sebagai pengalaman. Untuk itu, sikap saling menyalahkan satu dengan yang lain; merasa diri-kelompok-gerejanya yang benar dan yang lain tidak benar; sikap egoisme harus dihindari oleh pemuda. Namun, hendaklah rendah hati antara satu dengan yang lain, saling membangun, menumbuhkan sikap saling mengasihi. Sebab melakukan hal tersebut pasti akan membuahkan hasil, yakni jati diri Kristen sejati.
196
Kumpulan Artikel
OIKUMENE INTERNAL DAHULUPRIBADI
DAN GEREJA Oleh: Linayati Tjindra
Stigma adalah racun paling tua dalam sejarah manusia dengan dampak yang mengerikan. Stigmatisasi pada suku lain, pada lawan bicara yang baru dikenal, pada kelompok kepercayaan berbeda, bahkan pada pasangan yang hidup berdampingan bertahun-tahun pun tak terelakkan. Stigma menyebar begitu cepat dengan efek yang dasyat. Perang agama, konflik antar suku, pembantaian etnis (genocide), teror, hingga tawuran pelajar dan ’bullying’ anak SD ingusan terjadi karena stigma salah-benar, hitam-putih, anak Tuhan-anak setan, senior-junior, kafir-suci, dan stigma-stigma paradoks lainnya.
Definisi “stigma” dalam Webster’s Third New International Dictionary tertulis: a mark of shame or discredit. Tidak jauh berbeda dengan makna yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni “ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya”. Stigma muncul akibat kultur yang diturunkan atau diciptakan oleh sekelompok orang yang disimpulkan dari kumpulan pengalaman, interaksi, dan informasi. Bahayanya, tidak ada screening ataupun indikator yang dapat secara sahih menyatakan kebenaran stigma tersebut. Konflik Antar Komunitas Stigma tanpa permisif membuat jarak dan menanamkan sentimen yang mempengaruhi interaksi antar personal, kelompok, etnis, bangsa, dan umat beragama. Secara otomatis, entah mengapa di suatu wilayah atau negara sering terbentuk sentimen antar umat beragama antara yang paling dominan versus yang runner-up. Misalnya: Protestan vs Katolik di Irlandia, Hindu vs Budha di Asia Selatan, Budha vs Islam di Thailand Selatan, dan konflik tanpa henti: Islam vs
197
Orang Muda Bicara Oikoumene Nasrani – mulai dari Perang Salib hingga tragedi 911. Tidak heran di kawasan ‘hijau’ bocah muslim enggan bermain dengan anak nasrani karena mereka dianggap kafir memakan hewan haram. Petugas imigrasi Negara Kristen akan curiga bila ada pria bercirikan muslim memasuki wilayah negaranya lalu digiring ke ruangan khusus untuk penyelidikan lebih lanjut. Setiap ada kejadian yang berhubungan dengan penindasan Israel kepada bangsa Palestina di Jalur Gaza, menjadikan umat Islam di belahan dunia lain sontak meradang dan mengidentifikasikan aksi bangsa Yahudi itu sebagai ulah umat Kristen global. Sebaliknya, bila ada ledakan bom di Negara Amerika Serikat atau aliansinya di Eropa (Inggris, Jerman, Prancis), maka dugaan langsung dialamatkan ke seluruh kelompok Islam garis keras. Tiada henti upaya konsolidasi antar pihak yang bertikai. Tidak sedikit kegiatan yang sudah dilakukan untuk membaurkan generasi muda muslim dan nasrani misalnya live in kelompok pemuda Kristen ke Pesantren, atau program home stay pemuda muslim ke keluarga-keluarga Kristen di Negara Barat). Namun sepertinya upaya-upaya itu masih belum cukup dalam menangani pertikaian yang sudah terjadi berabad-abad tersebut. Menohok Ego demi Mengasihi Sesama Kemampuan mengatasi konflik dan perbedaan harusnya dimulai dari dalam diri kita sendiri. Menyangkut hal ini, Yesus sang Teladan Hidup berkata lugas, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu” (Matius 22: 39). Sesama yang dimaksud itu bukan berarti hanya dengan saudara seiman, namun umat manusia yang juga tercipta dari tangan-Nya, yang segambar dengan diri-Nya (homo imago Dei), dan yang disayangi oleh-Nya (baca kisah bangsa Niniwe di Kitab Yunus). Dalam Lukas pasal 6 ayat 27 hingga 36 yang diberi judul “kasihilah musuhmu”, pesan yang disampaikan seakan bertubi-tubi menohok keegoan kita.
198
Kumpulan Artikel Betapa sulitnya! Kita diminta mengasihi para musuh, berbuat baik kepada orang yang membenci kita, meminta berkat kepada orang yang mengutuk kita, berdoa bagi mereka yang mencaci kita, menyodorkan pipi lain setelah pipi yang sebelah lagi ditampar, memberikan jubah kepada mereka yang merampas kita, dan seterusnya. Namun, harus diakui bahwa itulah cara terbaik untuk menghentikan bandul pertikaian, yakni dengan menyudahi dendam turunan dan dengan sungguh-sungguh menunjukkan kasih meski kita teraniaya. Siapakah kita sehingga berhak menilai dan menghakimi orang lain, sedangkan Allah sendiri setiap hari memberikan sinar matahari dan mencurahkan hujan bagi penghuni bumi, tanpa membeda-bedakannya. Oikumene: Sebuah Gerakan Bersama Inter Denominasi Sebelum mengaplikasikan tugas super-sulit di atas, ada beberapa hal yang patut kita renungi bersama sebagai pemuda Kristen: apakah kita sesama kaum nasrani sudah benar-benar melakukan oikumene? Kalau, jawabannya ialah “ya”, lalu mengapa masih ada stigma antar denominasi atau aliran Kekristenan? Baik itu stigma ke kaum kharismatik yang diberikan oleh umat Presbyterian, atau stigma dari jemaat Reform kepada gereja Lutheran? Perbedaan dalam tata ibadah—praktek bahasa roh, jingkrak-jingkrak saat kebaktian, hingga cara baptis yang sekedar percik, siram, atau pembenaman seluruh tubuh— telah menciptakan garis maya yang seakan-akan membedakan kita. Ironisnya dalam kenyataan seperti itu, seringkali wacana komunikasi antar denominasi tertutup rapat. Lalu bagaimana umat Kristen bisa menyatakan siap untuk bergandengtangan dengan umat agama lainnya untuk menghentikan pertikaian dan meningkatkan toleransi, jika dalam Kekristenan sendiri masih sulit mewujudkan hal tersebut. Hal ini merupakan tantangan terbesar sekaligus tugas esensial dalam gerakan oikumene saat ini. Oikumene sesungguhnya menuntut kematangan karakter dari setiap pihak yang terkait untuk bersedia merendahkan diri dan mau membuka relasi dengan saudara seiman, walaupun memiliki penafsiran
199
Orang Muda Bicara Oikoumene Alkitab yang berbeda . Sebagai langkah awal, bisa dibentuk Divisi Hubungan Masyarakat (HUMAS) di masing-masing gereja. Divisi yang tak asing lagi di dunia profesional ini memungkinkan terjadinya komunikasi dan interaksi lembaga dengan pihak luar yang ditangani oleh orang-orang tertentu yang memiliki pengetahuan, pengalaman dan kreativitas teknik komunikasi dalam mengembangkan wacana relasi tersebut. Perbanyaklah kegiatan kerjasama antar gereja. Mulai dari aktivitas fisik tanpa banyak debat teologis seperti olah raga, lalu meningkat bedah buku, diskusi, seminar gabungan, hingga ke tingkatan yang bernuansa knowledge seperti pertukaran mimbar atau gathering pengerja/pendeta. Gereja sebagai Agen perubahan Seorang teman bertutur bahwa ia pernah masuk ke dalam mesjid dan tidurtiduran di lantainya tanpa ada usikan dari siapapun, dan ia merindukan kondisi yang sama bisa terjadi di gereja. Salah satu tawaran dalam tulisan ini tak kalah pentingnya adalah menjadikan gereja yang terbuka dan mampu menjadi agen perubahan (agent of change) bagi lingkungan sekitar. Ubahlah stigma bahwa gereja sebagai “gedung kaku yang bertembok tebal dan dikelilingi pagar tinggi lengkap dengan staff keamanan 24 jam” menjadi “pendopo terbuka bagi siapapun yang ingin masuk ke dalamnya”. Sebab sulit sekali menemukan gereja yang bisa didatangi setiap saat dan mampu menghadirkan rasa nyaman, bahkan bagi seorang asing sekalipun Gereja juga harus mampu menjadi agen perubahan bagi lingkungan sekitarnya. Tanpa harus berteriak ke sana kemari tentang efek pemanasan bumi melainkan dengan berikan contoh langsung seperti: menyediakan tempat sampah kering dan basah (dengan warna berbeda), mengajarkan jemaat untuk bisa membedakan kedua jenis sampah lalu membuang sesuai tempatnya, menerapkan konsep paperless dengan menggantikan tisu di dekat wastafel misalnya di rumah
200
Kumpulan Artikel masing-masing ataupun wastafel bagi pendeta dengan kain lap tangan. Bisa juga dilakukan dengan mengubah format tata ibadah atau warta dari bentuk cetak ke multi media. Selain itu, Gereja juga patut menyatakan sikap bila ada keputusan pemerintah sempat yang ternyata bersinggungan dengan kepentingan rakyat atau menimbulkan kegelisahan, seperti kasus korupsi atau undang-undang yang mengandung tidak rakyat dan keadilan. Gereja harus tanggap dengan kondisi sekitar, seperti menyediakan diri sebagai tempat penampungan sementara saat terjadi bencana atau pos penyaluran bantuan. Peran PGI Ketiga usulan di atas, tentunya membutuhkan dukungan semua komponen yang ada di gereja, mulai dari pendeta, majelis, jemaat, dan para aktivis. Begitu juga komponen pemayung yang ada di atasnya, seperti Sinode dan Klasis lalu berujung pada PGI sebagai mother-board kesemuanya. Penyesuaian program yang mendukung ke arah itu layak dipertimbangkan. Aksi nyata berupa penyaluran modal bantuan kerja kepada puluhan kepala keluarga prasejahtera yang ada di sekitar gereja, tentunya lebih bermaslahat daripada menggelar seminar sehari di hotel berbintang dengan pembicara terkenal. Mari tanpa banyak bicara, kita lakukan sesuatu, dan lihatlah bagaimana perubahan itu bisa terjadi.*
201