DISTRIBUSI SPASIAL SAMPAH LAUT DI EKOSISTEM MANGROVE PANTAI INDAH KAPUK JAKARTA
AYU RAMADHINI HASTUTI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Distribusi Spasial Sampah Laut di Ekosistem Mangrove Pantai Indah Kapuk Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2014 Ayu Ramadhini Hastuti NIM C24100024
ABSTRAK AYU RAMADHINI HASTUTI. Distribusi Spasial Sampah Laut di Ekosistem Mangrove Pantai Indah Kapuk Jakarta. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan YUSLI WARDIATNO. Penelitian mengenai sampah laut (makrodebris dan mikroplastik) telah dilakukan di ekosistem mangrove Pantai Indah Kapuk pada bulan Maret-Juni 2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis potensi dan permasalahan sampah laut serta menentukan strategi pengelolaan yang tepat. Pengumpulan sampel makrodebris dilakukan dengan menggunakan transek kuadrat. Plastik merupakan tipe makrodebris dominan, tercatat 77.7% dari total makrodebris adalah plastik, diikuti oleh styrofoam (18.1%). Kelimpahan makrodebris berkorelasi positif dengan kerapatan Avicennia marina, meskipun tidak berbeda nyata antarjarak dari batas mangrove terluar. Kelimpahan mikroplastik ditentukan dengan pemisahan densitas sedimen. Sedimen mangrove mampu merangkap mikroplastik hingga kedalaman 30 cm tanpa adanya perubahan kelimpahan. Film merupakan tipe mikroplastik dominan (74.1%), diikuti oleh fiber (16.8%). Kelimpahan makroplastik tidak berkorelasi dengan kelimpahan mikroplastik. Strategi pengelolaan yang disarankan adalah dengan rehabilitasi kawasan mangrove melalui penanaman Rhizophora sp. pada batas mangrove terluar dan memperluas ketebalan ekosistem mangrove. Kata kunci: mangrove, mikroplastik, Pantai Indah Kapuk, sampah laut
ABSTRACT AYU RAMADHINI HASTUTI. Spatial Distribution of Marine Debris in Mangrove Ecosystem Pantai Indah Kapuk Jakarta. Supervised by FREDINAN YULIANDA and YUSLI WARDIATNO. Research of marine debris (macrodebris and microplastics) was conducted in mangrove ecosystem Pantai Indah Kapuk on March-June 2014. The aims of this research were to analyze the potentials and problems of marine debris and to determine appropiate management strategy. The macrodebris was collected using quadrat transect. Plastic items were the dominant type of macrodebris, recorded 77.7% of macrodebris items were plastic, followed by styrofoam (18.1%). Abundances of macrodebris were positively correlated with the density of Avicennia marina, although it was not significantly different by the distance from lower vegetation mark. Abundances of microplastic were assessed using sediment density separation. Mangrove sediment traped microplastics up to a depth of least 30 cm without seem to change. Film was the dominant type of microplastics collected (up to 74.1%), followed by fiber (up to 16.8%). Abundances of macroplastic were not correlated with abundances of microplastic. The management strategies that suggested were ecosystem rehabilitation using Rhizophora sp. at the lower vegetation mark and widen mangrove ecosystem. Keywords: mangrove, marine debris, microplastics, Pantai Indah Kapuk
DISTRIBUSI SPASIAL SAMPAH LAUT DI EKOSISTEM MANGROVE PANTAI INDAH KAPUK JAKARTA
AYU RAMADHINI HASTUTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret-Juni 2014 ini adalah pencemaran sampah laut, dengan judul Distribusi Spasial Sampah Laut di Ekosistem Mangrove Pantai Indah Kapuk Jakarta. Terima kasih Penulis sampaikan kepada: 1. Institut Pertanian Bogor dan Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan yang telah memberikan kesempatan untuk studi. 2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas bantuan dana penelitian dari Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). 3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) yang diberikan. 4. Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini. 5. Ali Mashar SPi, MSi selaku penguji tamu, Dr Ir Niken Tunjung Murti Pratiwi, MSi dan Inna Puspa Ayu SPi, MSi selaku komisi pendidikan Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan atas saran dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini. 6. Dr Ir Ario Damar, MSc selaku dosen pembimbing akademik. 7. Ayah dan Ibu yang senantiasa memberikan doa, dukungan moriil, dan materiil. 8. Alit Pradana, Lestari Putri, Wisnu Aji, dan Fery Kurniawan yang selalu mendampingi dan membantu penelitian ini. 9. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi DKI Jakarta dan Suaka Margasatwa Muara Angke atas izin melaksanakan penelitian. 10. Bapak Aki Niman, Bapak H. Naman, Bapak Sita, Bapak Ayat, Bapak Jati, dan Bapak Udin atas bantuannya selama di lapangan. 11. Teman-teman mahasiswa Manajemen Sumber Daya Perairan angkatan 47 dan keluarga besar LAWALATA IPB atas doa dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Ayu Ramadhini Hastuti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Prosedur Pengumpulan Data Prosedur Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vi vi vi 1 1 2 2 2 3 3 4 6 7 7 15 20 20 20 20 24 30
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Metode analisis kualitas air laut (APHA-AWWA-WEF 2012) Metode analisis kualitas sedimen (Eviati dan Sulaeman 2009) Peringkat komposisi makrodebris di ekosistem mangrove PIK Peringkat komposisi mikroplastik di ekosistem mangrove PIK Nilai Indeks Pencemaran (IP) pesisir PIK Nilai parameter kualitas sedimen mangrove PIK
5 6 9 11 14 14
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
11
Rumusan masalah Peta lokasi penelitian Skema posisi substasiun pengambilan sampel Tahapan analisis mikroplastik (Hidalgo-Ruz et al. 2012 dengan modifikasi) Kelimpahan makrodebris berdasarkan jarak dari laut. (a) Stasiun 1, (b) Stasiun 2, (c) Stasiun 3, (d) Stasiun 4, (e) Stasiun 5, (f) Stasiun 6 Bobot makrodebris berdasarkan jarak dari laut. (a) Stasiun 1, (b) Stasiun 2, (c) Stasiun 3, (d) Stasiun 4, (e) Stasiun 5, (f) Stasiun 6 Peta distribusi kelimpahan makrodebris Kelimpahan rata-rata mikroplastik pada ( ) batas mangrove terluar dan ( ) batas mangrove terdalam Grafik kelimpahan film ( ), fiber ( ), fragmen ( ), dan pelet ( ) pada batas mangrove terluar dengan kedalaman berbeda. (a) Stasiun 1, (b) Stasiun 2, (c) Stasiun 3, (d) Stasiun 4, (e) Stasiun 5, (f) Stasiun 6 Grafik kelimpahan film ( ), fiber ( ), fragmen ( ), dan pelet ( ) pada batas mangrove terdalam dengan kedalaman berbeda. (a) Stasiun 1, (b) Stasiun 2, (c) Stasiun 3, (d) Stasiun 4, (e) Stasiun 5, (f) Stasiun 6 Indeks kesamaan antarstasiun berdasarkan kelimpahan makrodebris dan kerapatan jenis mangrove menggunakan Euclidean Distance
2 3 3 4 7 8 10 11
12
13 15
DAFTAR LAMPIRAN 1 Contoh uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney 2 Spearman Rank Correlation antara kelimpahan makrodebris, karakteristik sedimen, dan kerapatan jenis mangrove 3 Spearman Rank Correlation antara kelimpahan komposisi mikroplastik, kedalaman sedimen, dan kelimpahan makroplastik 4 Perhitungan Indeks Pencemaran (IP) 5 Kelimpahan makrodebris pada komunitas Avicennia marina (a) dan Rhizophora mucronata (b) 6 Tipe mikroplastik
24 25 27 28 29 29
1
PENDAHULUAN Latar Belakang NOAA (2013) mendeskripsikan sampah laut (marine debris) sebagai benda padat persistent, diproduksi atau diproses oleh manusia, secara langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, dibuang atau ditinggalkan di dalam lingkungan laut. Tipe sampah laut di antaranya plastik, kain, busa, styrofoam (untuk selanjutnya menerangkan gabus), kaca, keramik, logam, kertas, karet, dan kayu. Kategori ukuran digunakan untuk mengklasifikasikan marine debris, yaitu megadebris (> 100 mm), makrodebris (> 20-100 mm), mesodebris (> 5-20 mm), dan mikrodebris (0.3-5 mm). Sampah merupakan masalah besar, bukan hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Ryan et al. (2009) menemukan bahwa plastik dan jumlah sampah laut di pantai Afrika Selatan meningkat selama 21 tahun (1984-2005). Menurut Uneputty dan Evans (1997) in Allsopp et al. (2006), survey terhadap beberapa pulau di Teluk Jakarta pada tahun 1985 dan 1995 menunjukkan peningkatan pencemaran sampah laut. Willoughby et al. (1997) in Allsopp et al. (2006) juga menemukan bahwa rata-rata kepadatan sampah laut di Teluk Jakarta adalah sebesar 29.1 item m-1. Plastik merupakan tipe sampah laut dominan (CBD-STAP 2012). Plastik merupakan polimer organik sintetis dan memiliki karakteristik bahan yang cocok digunakan dalam kehidupan sehari-hari (Derraik 2002). Menurut Kemenperin (2013), sekitar 1.9 juta ton plastik diproduksi selama tahun 2013 di Indonesia dengan rata-rata produksi 1.65 juta ton/tahun. Thompson (2006) in Cauwenberghe et al. (2013) memperkirakan bahwa 10% dari semua plastik yang baru diproduksi akan dibuang melalui sungai dan berakhir di laut. Hal ini berarti sekitar 165 ribu ton plastik/tahun akan bermuara di perairan laut Indonesia. Kawasan mangrove Pantai Indah Kapuk Jakarta merupakan daerah yang dipenuhi berbagai aktivitas, terutama berasal dari areal pemukiman. Aktivitas tersebut memberikan kontribusi pencemaran sampah yang masuk ke pesisir melalui Sungai Angke, Sungai Cengkareng Drain, dan Sungai Kamal. Sampah laut dapat terdistribusi ke ekosistem mangrove sehingga terakumulasi di sedimen dan akar mangrove. Pencemaran sampah dapat mempengaruhi kualitas dan fungsi ekosistem mangrove Pantai Indah Kapuk. Potensi efek sampah laut secara kimia cenderung meningkat seiring menurunnya ukuran partikel plastik (mikroplastik), sedangkan efek secara fisik meningkat seiring meningkatnya ukuran makrodebris (UNEP 2011). Makrodebris memberikan dampak secara fisika seperti menutup permukaan sedimen dan mencegah pertumbuhan benih mangrove (Smith 2012). Penelitian ini terfokus pada makrodebris dan mikroplastik (salah satu tipe mikrodebris). Potensi sampah menjadi masalah utama pencemaran pesisir, namun sedikit informasi kuantitatif mengenai pencemaran sampah laut di ekosistem mangrove. Selain itu, permasalahan sampah laut belum menjadi perhatian dalam menentukan strategi pengelolaan ekosistem. Distribusi sampah laut di ekosistem mangrove merupakan informasi kuantitatif dalam menentukan strategi pengelolaan ekosistem mangrove Pantai Indah Kapuk dari pencemaran sampah.
2 Perumusan Masalah Sampah laut yang berasal dari aktivitas masyarakat dapat terperangkap di ekosistem mangrove karena adanya sistem perakaran dan sedimen mangrove. Hal tersebut diduga memberikan dampak negatif secara fisik berupa kerusakan ekosistem mangrove. Sebaran kelimpahan sampah laut, kerapatan jenis mangrove, kualitas sedimen, dan kualitas air di ekosistem mangrove dianalisis untuk menentukan strategi pengelolaan ekosistem mangrove dari pencemaran sampah. Sampah laut
Sistem perakaran dan sedimen mangrove
Akumulasi sampah laut
Sebaran kelimpahan sampah laut, kerapatan jenis mangrove, kualitas sedimen, kualitas air Kerusakan ekosistem mangrove
Strategi pengelolaan ekosistem mangrove dari pencemaran sampah Gambar 1 Rumusan masalah
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menganalisis potensi dan permasalahan sampah laut di ekosistem mangrove Pantai Indah Kapuk serta menentukan strategi pengelolaan ekosistem mangrove dari pencemaran sampah.
Manfaat Penelitian Penelitian ini menilai secara kuantitatif mengenai distribusi sampah laut di kawasan mangrove dan bermanfaat memberikan data awal mengenai sampah laut di ekosistem mangrove Pantai Indah Kapuk untuk dijadikan acuan dalam perbandingan masa depan. Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove dari tekanan pencemaran sampah.
3
METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Juni 2014 di kawasan mangrove pesisir Pantai Indah Kapuk (PIK), Kotamadya Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta. Wilayah pengambilan sampel terdiri atas enam stasiun dengan batasan muara Sungai Kamal hingga muara Sungai Angke (Gambar 2). Masing-masing stasiun terdiri atas substasiun yang tersusun sistematis dari batas mangrove terluar (dekat laut) ke batas mangrove terdalam (dekat darat) dengan interval 10 m (Gambar 3). Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Biologi Makro, Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, dan Laboratorium Lingkungan Departemen Budidaya Perairan Institut Pertanian Bogor.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
Gambar 3 Skema posisi substasiun pengambilan sampel
4 Prosedur Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan merupakan data primer yang diperoleh dengan melakukan observasi langsung di lapangan (in situ) dan analisis sampel di laboratorium (ex situ). Data primer meliputi kelimpahan dan bobot makrodebris dan mikroplastik, kerapatan jenis mangrove, kualitas air, dan kualitas sedimen. Metode Survei Makrodebris Sampel makrodebris (> 20mm) dikumpulkan dengan transek (1x1 m) dari setiap substasiun dengan tiga kali ulangan setiap dua minggu (Smith dan Markic 2013). Komposisi makrodebris dikelompokkan ke dalam plastik, kain, busa, styrofoam, kaca, logam, karet, dan kayu. Sampel dikumpulkan ke dalam karung dan diberi label. Item (untuk selanjutnya menerangkan serpihan) dalam setiap kelompok makrodebris dikeringkan, dihitung, dan ditimbang. Parameter yang diambil meliputi jumlah item (item m-2) dan bobot (g m-2) (Peters dan Flaherty 2011). Metode Survei Mikroplastik Pengambilan sampel sedimen (1L) dilakukan dengan corer berdasarkan tiga stratifikasi kedalaman (0-30 cm). Penempatan corer dilakukan secara acak pada substasiun di batas mangrove terluar dan batas mangrove terdalam. Pemisahan partikel mikroplastik (0.045-5 mm) dari sedimen mangrove dilakukan dengan beberapa tahap (Gambar 4), yaitu (a) pengeringan, (b) pengurangan volume, (c) pemisahan densitas, (d) penyaringan, dan (e) pemilahan secara visual. Pengeringan dilakukan dengan oven 105oC selama 72 jam. Tahap pengurangan volume sedimen kering dilakukan dengan penyaringan (ukuran 5 mm) (HidalgoRuz et al. 2012). Tahap pemisahan densitas dilakukan dengan mencampurkan sampel sedimen kering (1 kg) dan larutan NaCl jenuh (3L) kemudian campuran diaduk selama 2 menit (Claessens et al. 2011). Plastik yang mengapung merupakan polystyrene, polyethylene, dan polypropylene. Tahap penyaringan dilakukan dengan menyaring supernatan (ukuran 45 µm). Partikel mikroplastik dipilah secara visual menggunakan mikroskop monokuler dan dikelompokkan ke dalam empat jenis, yaitu film, fiber, fragmen, dan pelet. Parameter yang diambil adalah kelimpahan (partikel kg-1 sedimen kering) (Hidalgo-Ruz et al. 2012).
Oven Sedimen basah
Sedimen kering
Saringan 5 mm
Pemilahan visual
Saringan 45 µm
Sedimen + NaCl jenuh
Gambar 4
Tahapan analisis mikroplastik (Hidalgo-Ruz et al. 2012 dengan modifikasi)
5 Film merupakan polimer plastik sekunder yang berasal dari fragmentasi kantong plastik atau plastik kemasan dan memiliki densitas terendah. Fiber merupakan serat plastik memanjang dan berasal dari fragmentasi monofilamen jaring ikan, tali, dan kain sintetis. Fragmen merupakan hasil potongan produk plastik dengan polimer sintetis yang sangat kuat. Pelet merupakan mikroplastik primer yang langsung diproduksi oleh pabrik sebagai bahan baku pembuatan produk plastik (Kingfisher 2011). Metode Survei Kerapatan Jenis Mangrove Pengumpulan data kerapatan jenis mangrove dilakukan dalam setiap substasiun (10x10 m2) dengan interval 10 m dan fokus pada kerapatan pohon (diameter > 4 cm, tinggi > 1 m) (Bengen 2000). Parameter yang diambil meliputi jenis dan jumlah pohon mangrove. Metode Analisis Kualitas Air Laut Parameter kualitas air laut yang diamati merupakan parameter yang terkait dengan pencemaran limbah padat berdasarkan UNESCO-WHO-UNEP (1996). Parameter fisika meliputi suhu, kecerahan, kekeruhan, dan total suspended solid (TSS). Parameter kimia meliputi pH, dissolved oxygen (DO), salinitas, biological oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD), amonia (N-NH3), klorida, fenol, logam kadmium (Cd), tembaga (Cu), dan timbal (Pb). Parameter biologi yang diamati adalah fecal coliform. Metode yang digunakan untuk analisis kualitas air mengacu pada APHA-AWWA-WEF (2012) (Tabel 1). Tabel 1 Metode analisis kualitas air laut (APHA-AWWA-WEF 2012) Parameter Satuan Metode/Alat Fisika Suhu °C Thermometer Kecerahan cm Secchi disc Kekeruhan NTU Nephelometric Method TSS mg/l Gravimetric Method Kimia pH Colorimetric DO mg/l DO meter Salinitas ppt Refraction BOD5 mg/l 5-Day BOD Test COD mg/l Closed Reflux, Colorimetric Method N-NH3 mg/l Phenate Method Klorida mg/l Argentometric Method Fenol mg/l Direct Photometric Method Cd, Cu, Pb mg/l Direct Air-Acetylene Flame Method Biologi Fecal coliform MPN/100 ml MPN
6 Metode Analisis Kualitas Sedimen Mangrove Parameter kualitas sedimen mangrove yang diamati diduga terkait dengan distribusi mikroplastik di sedimen. Parameter fisika meliputi suhu, oxydation reduction potential (ORP), dan tekstur sedimen. Parameter kimia meliputi salinitas, pH air, dan pH sedimen. Metode analisis kualitas sedimen mengacu pada Eviati dan Sulaeman (2009) (Tabel 2). Tabel 2 Metode analisis kualitas sedimen (Eviati dan Sulaeman 2009) Parameter Satuan Metode/Alat Fisika Suhu °C Termometer ORP mV Elektrometri Tekstur sedimen % Pipet Kimia Salinitas psu Refraksi pH air Kolorimetri pH sedimen Elektrometri
Prosedur Analisis Data Data kelimpahan makrodebris dan mikroplastik dianalisis secara statistik karena jumlah item yang dikumpulkan tidak dapat diwakili oleh bobot. Uji Kruskal-Wallis digunakan untuk memeriksa adanya beda nyata nonparametrik meliputi (a) kelimpahan dan komposisi makrodebris antarstasiun dan substasiun pengamatan, dan (b) kelimpahan dan komposisi mikroplastik antarstasiun, substasiun, dan kedalaman. Jika hasil pengujian mengindikasikan berbeda nyata, maka uji Mann-Whitney digunakan untuk mengidentifikasi beda nyata antara dua kelompok (Claessens et al. 2011). Kerapatan jenis (Di) mangrove dihitung dengan membagi jumlah total tegakan pohon ke-i (ni) dengan luas area pengambilan sampel (A) (Bengen 2000). Analisis status mutu air dilakukan dengan metode Indeks Pencemaran (IP) berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 (KemenLH 2003) yang dibandingkan dengan baku mutu air laut untuk biota laut berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 (KemenLH 2004). Spearman Rank Correlation digunakan untuk memeriksa adanya hubungan nonparametrik meliputi (a) kelimpahan makrodebris dengan kerapatan jenis mangrove dan parameter kualitas sedimen, (b) kelimpahan makroplastik dan mikroplastik, dan (c) kelimpahan mikroplastik antarkedalaman (Goldstein et al. 2013). Kesamaan karakteristik antarstasiun ditentukan berdasarkan kelimpahan makrodebris dan kerapatan jenis mangrove dengan menggunakan Euclidean Distance (Costa et al. 2011). Peta distribusi makrodebris dibuat dengan menggunakan analisis spasial.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
800
(a)
600
0 0-10
20-30
40-50
Kelimpahan makrodebris (item/m2)
Kelimpahan makrodebris (item/m2)
Makrodebris Jumlah total makrodebris yang dikumpulkan di enam stasiun pengamatan sebesar 6079 item dengan bobot total sebesar 53.4 kg. Kelimpahan makrodebris setiap stasiun berdasarkan jarak dari batas mangrove terluar (dekat laut) mengalami fluktuasi. Kelimpahan makrodebris secara keseluruhan berkisar 20533 item m-2 (Gambar 5) dengan bobot 108.7-5449.7 g m-2 (Gambar 6). 800
(b)
600
0 0-10
40-50
(c)
600
0 0-10 20-30 40-50 60-70 Jarak (m)
800
(d)
600
0
020 10 40 30 60 50 8 70 10 0-9 0 0 12 -11 0 0 14 -13 0 0 16 -15 0- 0 17 0
800
20-30 Jarak (m)
Kelimpahan makrodebris (item/m2)
Kelimpahan makrodebris (item/m2)
Jarak (m)
(e)
800
600
0 0-10 20-30 40-50 60-70 Jarak (m)
Kelimpahan makrodebris (item/m2)
Kelimpahan makrodebris (item/m2)
Jarak (m)
800
(f)
600 400 200 0 0-10
20-30
40-50
Jarak (m)
Gambar 5 Kelimpahan makrodebris berdasarkan jarak dari laut. (a) Stasiun 1, (b) Stasiun 2, (c) Stasiun 3, (d) Stasiun 4, (e) Stasiun 5, (f) Stasiun 6
8
14000
(a)
12000
0 0-10
20-30
Bobot makrodebris (g/m2)
Bobot makrodebris (g/m2)
Kelimpahan makrodebris terbanyak ditemukan di Stasiun 6 dengan ratarata 246.2±248.4 item m-2 (kisaran 96.3-533.0 item m-2) dan bobot 2283.3±2742.2 g m-2 (kisaran 679.7-5449.7 g m-2). Stasiun 6 dicirikan dengan kondisi mangrove yang berada dekat Sungai Angke dan tidak dibatasi apa pun sehingga memiliki kelimpahan makrodebris yang tinggi. Kelimpahan makrodebris terendah ditemukan di Stasiun 2 dengan rata-rata 34.6±24.1 item m-2 (kisaran 20.0-62.3 item m-2) dan bobot 200.2±115.0 g m-2 (kisaran 108.7-329.3 g m-2). Stasiun 2 dicirikan dengan kondisi mangrove yang didominasi komunitas mangrove tanaman berupa Rhizophora sp. Bobot makrodebris pada Stasiun 3 cenderung tinggi meskipun kelimpahan rendah. Stasiun 3 dicirikan dengan kerapatan Avicennia marina tertinggi dan sedimen berupa lempung. 14000
(b)
12000
0 0-10
40-50
(c)
12000
0
Bobot makrodebris (g/m2)
Bobot makrodebris (g/m2)
Jarak (m) 14000
20-30
40-50
Jarak (m) 14000
(d)
12000
0
01 20 0 -3 40 0 -5 60 0 -7 80 0 10 -9 0 0 12 -11 0 0 14 -13 0 0 16 -15 0- 0 17 0
0-10 20-30 40-50 60-70 Jarak (m)
(e)
14000
12000
0 0-10 20-30 40-50 60-70 Jarak (m)
Bobot makrodebris (g/m2)
Bobot makrodebris (g/m2)
Jarak (m)
(f)
14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 0-10
20-30
40-50
Jarak (m)
Gambar 6 Bobot makrodebris berdasarkan jarak dari laut. (a) Stasiun 1, (b) Stasiun 2, (c) Stasiun 3, (d) Stasiun 4, (e) Stasiun 5, (f) Stasiun 6
9 Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa kelimpahan makrodebris antarstasiun berbeda nyata (p = 0.029) (Lampiran 1). Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa kelimpahan makrodebris Stasiun 3 berbeda nyata dari Stasiun 4 (p = 0.045) dan Stasiun 6 (p = 0.034). Hal ini diduga karena Stasiun 3 terletak jauh dari sungai, sedangkan Stasiun 4 berada dekat Sungai Cengkareng Drain dan Stasiun 6 berada dekat Sungai Angke. Kelimpahan makrodebris Stasiun 4 juga berbeda nyata dari Stasiun 6 (p = 0.013). Hal ini diduga karena sumber pencemaran makrodebris terbesar berasal dari aliran Sungai Angke. Hasil uji Kruskal-Wallis juga menunjukkan bahwa kelimpahan makrodebris tidak berbeda nyata antarsubstasiun (p = 0.826). Hal tersebut menunjukkan bahwa jarak substasiun dari batas mangrove terluar tidak mempengaruhi kelimpahan makrodebris. Beda nyata kelimpahan makrodebris dapat terlihat dari perbedaan warna bulatan pada Gambar 7. Sampel makrodebris yang dikumpulkan terdiri atas 8 kategori makrodebris yang diurutkan berdasarkan peringkat kelimpahan terbanyak (Tabel 3). Plastik ditemukan dengan kelimpahan terbanyak rata-rata sebesar 77.7% (kisaran 49.096.5%), diikuti oleh styrofoam (18.1%), dan karet (2.1%). Tabel 3 Peringkat komposisi makrodebris di ekosistem mangrove PIK Peringkat Tipe makrodebris Kelimpahan (%) 1 Plastik 77.7 2 Styrofoam 18.1 3 Karet 2.1 4 Kaca 0.6 5 Kain 0.5 6 Logam 0.4 7 Busa 0.4 8 Kayu 0.2 Persentase plastik tertinggi ditemukan di Stasiun 1 sebesar 96.5% dari total makrodebris yang dikumpulkan. Persentase plastik terendah terdapat di Stasiun 5 sebesar 49.0% dengan persentase styrofoam sebesar 43.6%. Stasiun 1 berada tepat di mulut Sungai Kamal, sementara itu Stasiun 5 berada dekat mulut Sungai Cengkareng Drain. Sungai Cengkareng Drain diduga memberikan kontribusi pencemarran styrofoam tertinggi. Analisis kelimpahan masing-masing komposisi makrodebris dengan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa kelimpahan plastik, styrofoam, dan karet berbeda nyata antarstasiun. Hasil uji Mann-Whitney pada α = 0.05 menunjukkan bahwa kelimpahan plastik Stasiun 3 berbeda nyata dari Stasiun 4 dan 6. Stasiun 4 dan 6 memiliki kelimpahan plastik yang tinggi. Secara keseluruhan kelimpahan styrofoam dan karet pada Stasiun 1 berbeda nyata dari stasiun 3, 4, 5, dan 6. Stasiun 1 memiliki persentase plastik tertinggi meskipun kelimpahannya sedang. Analisis Spearman Rank Correlation (Lampiran 2) antara kelimpahan makrodebris, kerapatan jenis mangrove, dan kualitas sedimen menunjukkan bahwa kelimpahan makrodebris tidak berkorelasi dengan kualitas sedimen, namun berkorelasi positif dengan kerapatan pohon Avicennia marina (r = 0.414, p = 0.035). Kelimpahan makrodebris juga berkorelasi negatif dengan kerapatan pohon Rhizophora mucronata (r = -0.492, p = 0.011).
10
10
m-2
Gambar 7 Peta distribusi kelimpahan makrodebris
11
-1
Kelimpahan (partikel kg sedimen kering)
Mikroplastik Kelimpahan rata-rata mikroplastik seluruh stasiun pada batas mangrove terluar berkisar 216.8-2218.4 partikel kg-1 sedimen kering. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan kelimpahan mikroplastik pada batas mangrove terdalam dengan kisaran 191.4-2357.6 partikel kg-1 sedimen kering (Gambar 8). Hal berbeda ditunjukkan pada Stasiun 4 yang memiliki kelimpahan mikroplastik lebih tinggi pada batas mangrove terluar sebesar 1232.9 partikel kg-1 sedimen kering dibandingkan pada batas mangrove terdalam sebesar 191.4 partikel kg-1 sedimen kering. Stasiun 4 memiliki jarak terjauh antara batas mangrove terluar dengan batas mangrove terdalam, yaitu sebesar 180 m. 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1
2
3
4
5
6
Stasiun
Gambar 8 Kelimpahan rata-rata mikroplastik pada ( dan ( ) batas mangrove terdalam
) batas mangrove terluar
Kelimpahan film ditemukan tertinggi dibandingkan tipe lainnya dengan persentase 67.7%-74.1%. Persentase film lebih tinggi pada batas mangrove terdalam. Sementara itu persentase fiber, fragmen, dan pelet lebih tinggi pada batas mangrove terluar (Tabel 4). Film memiliki densitas lebih rendah dibandingkan tipe mikroplastik lainnya sehingga lebih mudah ditransportasikan hingga batas mangrove terdalam. Tabel 4 Peringkat komposisi mikroplastik di ekosistem mangrove PIK Kelimpahan rata-rata Kelimpahan Peringkat Tipe (partikel kg-1 sedimen (%) kering) Batas mangrove terluar 1 Film 676.4±506.3 67.7 2 Fiber 168.0±139.8 16.8 3 Fragmen 140.0±168.8 14.0 4 Pelet 14.0±17.0 1.4 Batas mangrove terdalam 1 Film 683.2±609.6 74.1 2 Fiber 119.8±132.1 13.0 3 Fragmen 117.3±152.6 12.7 4 Pelet 1.2±2.0 0.1
12 Pola distribusi kelimpahan mikroplastik antarkedalaman cenderung menunjukkan pola yang sama antara batas mangrove terluar (Gambar 9) dengan batas mangrove terdalam (Gambar 10). Kedalaman tidak berkorelasi dengan kelimpahan film, fiber, fragmen, pelet, dan kelimpahan total (Lampiran 3). Kedalaman 0-10 cm cenderung memiliki kelimpahan mikroplastik terendah. Hal tersebut disebabkan adanya deposisi lapisan teratas sedimen karena limpasan air. Kelimpahan mikroplastik pada kedalaman 10-20 cm dan 20-30 cm mengalami fluktuasi. Keberadaan mikroplastik pada kedalaman tersebut cenderung stagnan. Kelimpahan (partikel kg-1 sedimen kering)
a 0
0
500
2000
b
2500
0 Kedalaman (cm)
Kedalaman (cm)
-10 -15 -20
-30
Kelimpahan (partikel kg-1 sedimen kering) 0
500
2000
2500
Kelimpahan (partikel kg sedimen kering) 0
-10 -15 -20
1500
2000
2500
-20
-30
-30
Kelimpahan (partikel kg-1 sedimen kering) 0
500
1000
1500
2000
-1
f
2500
Kelimpahan (partikel kg sedimen kering) 0
0
500
1000
1500
2000
2500
-5 Kedalaman (cm)
-5
-20
1000
-15
-25
-15
500
-10
-25
-10
0
-5 Kedalaman (cm)
Kedalaman (cm)
-1
d
-5
0
2500
-20
-30
e
2000
-15
-25
0
500
-10
-25
c
0
-5
-5
Kedalaman (cm)
Kelimpahan (partikel kg-1 sedimen kering)
-10 -15 -20
-25
-25
-30
-30
Gambar 9 Grafik kelimpahan film ( ), fiber ( ), fragmen ( ), dan pelet ( ) pada batas mangrove terluar dengan kedalaman berbeda. (a) Stasiun 1, (b) Stasiun 2, (c) Stasiun 3, (d) Stasiun 4, (e) Stasiun 5, (f) Stasiun 6 Kelimpahan mikroplastik antarkedalaman tertinggi terdapat di Stasiun 5 sebesar 2218.4±932.1 partikel kg-1 sedimen kering (kisaran 1153.8-2887.9 partikel kg-1 sedimen kering) pada batas mangrove terluar dan 2357.6±590.5 partikel kg-1 sedimen kering (kisaran 1694.7-2827.2 partikel kg-1 sedimen kering)
13 pada batas mangrove terdalam. Sementara itu, kelimpahan mikroplastik antarkedalaman terendah terdapat di Stasiun 2 sebesar 216.8±98.3 partikel kg-1 sedimen kering (kisaran 112.2-307.2 partikel kg-1 sedimen kering) pada batas mangrove terluar dan 294.9±192.6 partikel kg-1 sedimen kering (kisaran 138.6510.1 partikel kg-1 sedimen kering) pada batas mangrove terdalam. a
Kelimpahan (partikel kg-1 sedimen kering) 0
0
500
2000
b
2500
0
Kedalaman (cm)
Kedalaman (cm)
-10 -15 -20
-30
Kelimpahan (partikel kg-1 sedimen kering) 0
500
2000
d
2500
-10 -15 -20
2500
-20
-30
-30 -1
Kelimpahan (partikel kg sedimen kering) 0
500
1000
1500
2000
f
2500
Kelimpahan (partikel kg-1 sedimen kering) 0
0
500
1000
1500
2000
2500
-5
Kedalaman (cm)
-5
-20
2000
-15
-25
-15
500
-10
-25
-10
0
-5
Kedalaman (cm)
Kedalaman (cm)
Kelimpahan (partikel kg-1 sedimen kering) 0
-5
0
2500
-20
-30
e
2000
-15
-25
0
500
-10
-25
c
0
-5
-5
Kedalaman (cm)
Kelimpahan (partikel kg-1 sedimen kering)
-10 -15 -20
-25
-25
-30
-30
Gambar 10 Grafik kelimpahan film ( ), fiber ( ), fragmen ( ), dan pelet ( ) pada batas mangrove terdalam dengan kedalaman berbeda. (a) Stasiun 1, (b) Stasiun 2, (c) Stasiun 3, (d) Stasiun 4, (e) Stasiun 5, (f) Stasiun 6 Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa film, fiber, fragmen, pelet, dan kelimpahan total tidak berbeda nyata antara batas mangrove terluar dengan batas mangrove terdalam (p > α). Hasil uji Kruskal-Wallis juga menunjukkan kelimpahan film, fiber, fragmen, pelet, maupun kelimpahan total tidak berbeda nyata antarkedalaman (p > α). Hasil uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney menunjukkan bahwa kelimpahan film, fiber, fragmen, dan kelimpahan total mikroplastik pada Stasiun 5 dan 6 berbeda nyata dari Stasiun 1, 2, 3, dan 4 (p < α).
14 Kualitas air dan sedimen Parameter kualitas air pesisir yang diamati secara keseluruhan tidak sesuai dengan baku mutu air laut untuk biota laut (Lampiran 4). Pencemaran sampah diduga berkontribusi terhadap kualitas air dan sedimen yang buruk. Nilai Indeks Pencemaran (IP) pada seluruh Stasiun berkisar 13.96-15.27. Nilai IP yang lebih besar dari 10 menunjukkan bahwa perairan tersebut tercemar berat (Tabel 5). Nilai IP tertinggi berada di Stasiun 1, sedangkan nilai IP terendah berada di Stasiun 5. Tabel 5 Nilai Indeks Pencemaran (IP) pesisir PIK Stasiun Nilai IP Status Perairan 1 15.27 Tercemar berat 2 14.96 Tercemar berat 3 14.83 Tercemar berat 4 14.77 Tercemar berat 5 13.96 Tercemar berat 6 14.42 Tercemar berat Kualitas sedimen ekosistem mangrove yang diamati disajikan dalam Tabel 6. Suhu air dalam ekosistem mangrove cenderung lebih rendah dibandingkan suhu air laut. Nilai ORP (Oxydation Reduction Potential) menunjukkan potensi reduksi tertinggi berada pada Stasiun 2, sedangkan potensi oksidasi tertinggi berada pada Stasiun 6. Tekstur sedimen setiap stasiun didominasi oleh tekstur lempung berpasir, kecuali tekstur sedimen Stasiun 3 didominasi oleh lempung. Ekosistem mangrove memiliki pH air yang cenderung asam dan pH sedimen yang cenderung basa. Stasiun 3, 4, 5, dan 6 memiliki salinitas rendah, sedangkan Stasiun 1 dan 2 memiliki salinitas sedang. Tabel 6 Nilai parameter kualitas sedimen mangrove PIK Parameter
Stasiun 1
2
3
4
5
6
ORP (mV)
30-31 ˗ 91-˗ 72
30-32 ˗ 97-˗ 87
28 ˗ 72-˗ 39
28-29 ˗ 90-˗ 61
27 ˗ 64-˗ 51
27-29 ˗ 54-˗ 34
% Pasir
50.95-51.56
45.57-55.46
4.64-61.11
34.41-49.17
55.54-64.32
45.96-58.47
% Debu
27.27-28.62
28.93-37.64
23.21-90.17
27.86-37.14
15.31-28.13
23.70-32.48
% Liat
19.88-21.16
15.41-16.78
5.18-17.85
17.31-30.41
15.59-20.37
17.64-21.57
pH air
6-6.5
6.5
6-6.5
5.5-6.5
6-6.5
5-6
pH sedimen
8.2-8.5
8.5-8.7
7.68-8.19
8.1-8.53
7.64-8.12
7.8-8.05
Salinitas (psu)
10-13
14-15
1-2
1-2
1
2-5
Fisika Suhu (°C)
Kimia
15 Kesamaan Karakteristik Antarstasiun Pengelompokan dilakukan untuk menentukan kesamaan karakteristik antarstasiun berdasarkan kelimpahan makrodebris dan kerapatan jenis mangrove. Persentase kesamaan tertinggi menunjukkan bahwa stasiun tersebut memiliki karakteristik yang sama. Pengelompokan stasiun berdasarkan taraf kesamaan 90% menghasilkan tiga kelompok stasiun (Gambar 11). Kelompok pertama terdiri atas Stasiun 1, 4, dan 5 dengan kelimpahan makrodebris dan kerapatan pohon Avicennia marina sedang. Kelompok kedua adalah Stasiun 3 dan 6 dengan kelimpahan makrodebris dan kerapatan pohon Avicennia marina yang tinggi. Kelompok ketiga adalah Stasiun 2 dengan kelimpahan makrodebris terendah yang berkorelasi dengan kerapatan Rhizophora sp.
% Kesamaan
26.59
51.06
75.53
100.00
1
4
5
2
3
6
Stasiun
Gambar 11 Indeks kesamaan antarstasiun berdasarkan kelimpahan makrodebris dan kerapatan jenis mangrove menggunakan Euclidean Distance
Pembahasan Makrodebris Kategori makrodebris dengan kelimpahan terbanyak adalah plastik (77.7%) dan styrofoam (18.1%). Costa et al. (2011) juga menemukan kelimpahan plastik di sedimen mangrove Northeast Coast Brazil sebesar 70%. Santos et al. (2009) menemukan komposisi makrodebris terbesar kedua adalah styrofoam sebesar 14%. Proporsi sampah plastik dominan karena densitasnya lebih rendah dibandingkan densitas kaca, logam, dan air sehingga mudah ditranportasikan (Ryan et al. 2009). Kelimpahan makrodebris terbanyak ditemukan di Stasiun 6 (dekat muara Sungai Angke). Hal ini diduga karena Sungai Angke memberikan kontribusi makrodebris terbanyak dibandingkan Sungai Kamal dan Sungai Cengkareng Drain. Angin Stasiun 6 diduga lebih cepat dibandingkan stasiun lainnya karena tidak terhalang oleh pulau buatan. Hal ini menjadi salah satu faktor makrodebris
16 mudah ditransportasikan ke dalam ekosistem mangrove. Kaladharan et al. (2004) membuktikan bahwa jumlah debris di pantai berkorelasi signifikan dengan kecepatan angin, namun tidak berkorelasi dengan arah angin. Kelimpahan makrodebris terendah ditemukan di Stasiun 2 (kawasan Taman Wisata Alam). Stasiun 2 memiliki vegetasi yang didominasi oleh Rhizophora mucronata dan kerapatannya berkorelasi negatif dengan kelimpahan makrodebris (p < 0.05). Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa kelimpahan makrodebris Stasiun 3 berbeda nyata dari Stasiun 4 dan Stasiun 6. Hal ini terjadi karena perbedaan jarak stasiun dengan sungai. Stasiun 3 berada jauh dari aliran sungai dan terisolasi batu penghalang sehingga kelimpahan makrodebris lebih rendah. Makrodebris yang terperangkap di Stasiun 3 memiliki ukuran besar sehingga bobotnya tinggi meskipun kelimpahan rendah. Hal ini diduga karena kerapatan pohon Avicennia marina di Stasiun 3 tertinggi dibandingkan stasiun lainnya dan ukuran tekstur sedimen Stasiun 3 terendah dibandingkan stasiun lainnya. Kelimpahan makrodebris Stasiun 4 juga berbeda nyata dari Stasiun 6. Hal ini disebabkan sumber pencemaran makrodebris terbesar berasal dari aliran Sungai Angke dan angin Stasiun 6 diduga memiliki kecepatan yang tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Sampah laut berasal dari kegiatan di darat dan di laut serta dapat terdistribusi jauh dari sumbernya oleh adanya angin dan arus (NOAA 2013). Kelimpahan makrodebris tidak berbeda nyata antarsubstasiun. Hal tersebut menunjukkan bahwa jarak substasiun dari laut tidak mempengaruhi kelimpahan makrodebris. Hasil ini berbeda dengan pernyataan Lattin et al. (2004) bahwa jarak mempengaruhi kelimpahan makrodebris karena semakin jauh dari sumber pencemaran sampah maka kelimpahan makrodebris semakin rendah. Perbedaan hasil ini diduga karena faktor banjir saat musim hujan dapat mentransportasikan makrodebris hingga batas mangrove terdalam dan jarak substasiun terdalam yang diamati hanya berkisar 50-180 m dari batas mangrove terluar sehingga kelimpahan makrodebris menjadi tidak berbeda nyata. Costa et al. (2011) menemukan bahwa kelimpahan makrodebris di kawasan mangrove lebih tinggi saat musim hujan dibandingkan musim kemarau meskipun tidak berbeda nyata. Hal berbeda dilaporkan oleh Ivar do Sul dan Costa (2013) yang menemukan bahwa sampah laut di pantai lebih tinggi saat musim hujan. Vieira et al. (2013) juga melaporkan bahwa kelimpahan plastik berbeda nyata pada musim yang berbeda di lokasi subtropis. Makrodebris yang terperangkap di ekosistem mangrove juga diduga berasal dari darat karena berbatasan langsung dengan pemukiman Pantai Indah Kapuk. Sampah laut berasal dari dua sumber utama, yaitu (a) sampah yang dibuang dari aktivitas penangkapan, dan (b) sampah dari darat melalui aliran sungai. Sampah yang berasal dari darat terdiri atas tiga sumber utama, yaitu industri, pengelolaan sampah masyarakat yang tidak teratur, dan kebiasaan masyarakat membuang sampah sembarangan (Stevenson 2011). Kelimpahan masing-masing komposisi makrodebris menunjukkan bahwa kelimpahan plastik, styrofoam, dan karet berbeda nyata antarstasiun. Kelimpahan plastik Stasiun 3 berbeda nyata dari Stasiun 4 dan 6. Hal tersebut diduga karena perbedaan jarak stasiun dari sungai. Sumber pencemaran plastik terbesar berasal dari sungai, sehingga Stasiun 3 yang terletak jauh dari sungai memiliki kelimpahan plastik yang rendah. Santos et al. (2009) menyebutkan bahwa akumulasi sampah laut di pantai lebih tinggi pada daerah pesisir yang sudah terbangun dan daerah pesisir yang didominasi oleh sungai sehingga daerah
17 tersebut memperoleh akumulasi bahan organik yang tinggi. Kelimpahan styrofoam dan karet pada Stasiun 1 berbeda nyata dari stasiun 3, 4, 5, dan 6. Stasiun 1 berada di mulut Sungai Kamal yang diduga berkontribusi tinggi terhadap persentase plastik meskipun kelimpahannya sedang. Analisis Spearman Rank Correlation antara kelimpahan makrodebris dengan kerapatan mangrove dan karakteristik sedimen menunjukkan bahwa kelimpahan makrodebris berkorelasi positif dengan kerapatan pohon Avicennia marina dan korelasinya sedang (r = 0.414, p < 0.05). Kelimpahan makrodebris berkorelasi negatif dengan kerapatan pohon Rhizophora mucronata dan korelasinya rendah (r = -0.492, p < 0.05) (Lampiran 5). Avicennia marina memiliki bentuk akar cakar ayam dengan banyak akar napas. Bentuk akar ini lebih dapat merangkap makrodebris dan sedimen yang masuk ke ekosistem. Semakin tinggi kerapatan pohon Avicennia marina maka kelimpahan makrodebris semakin tinggi. Rhizophora mucronata memiliki bentuk akar tongkat sehingga terbukti bahwa akar tongkat kurang dapat merangkap makrodebris. Analisis korelasi juga menunjukkan bahwa kelimpahan makroplastik tidak berkorelasi dengan kelimpahan mikroplastik. Hal ini membuktikan bahwa makroplastik yang terperangkap dalam sedimen mangrove menjadi semakin sulit terfragmentasi karena rendahnya suhu dan radiasi ultraviolet (UV) (UNEP 2011). Suhu air dalam ekosistem mangrove PIK cenderung lebih rendah dibandingkan suhu air laut. Air laut mampu menyerap dan menyebarkan UV sehingga plastik yang mengapung lebih mudah terfragmentasi. Sedimen dan aktivitas mikroorganisme pengurai pada umumnya juga tidak membantu proses fragmentasi plastik karena jenis plastik yang ditemukan bersifat nonbiodegradable meskipun jenis bakteri Bacillus mycoides dan Bacillus subtilis dapat mendegradasi plastik biodegredable khususnya jenis LDPE (low density polyetylen) (Ibiene et al. 2013). Selain itu, nilai ORP (Oxydation Reduction Potential) sedimen mangrove yang semakin positif menunjukkan bahwa potensi oksidasi lebih tinggi dibandingkan potensi reduksi sehingga dapat membantu proses fragmentasi. Proses fragmentasi plastik dibantu faktor lingkungan seperti radiasi uv, suhu yang tinggi, oksidasi oleh udara, hidrolisis oleh air laut, dan abrasi fisik sehingga polimer plastik terpecah menjadi potongan kecil (Lattin et al. 2004). Teuten et al. (2009) juga menyebutkan bahwa tingkat plastik terfragmentasi dalam air laut bergantung pada densitas plastik (densitas yang rendah menyebabkan plastik mudah mengapung dan lebih terpapar sinar matahari dan udara) dan struktur kimia yang ditambahkan ke plastik (beberapa zat aditif meningkatkan stabilitas polimer plastik di lingkungan). Mikroplastik Kelimpahan rata-rata mikroplastik pada batas mangrove terluar cenderung lebih tinggi dibandingkan pada batas mangrove terdalam (jarak 0-80 m). Hasil ini berbeda pada Stasiun 4 yang memiliki jarak sebesar 0-180 m antara batas mangrove terluar dan batas mangrove terdalam. Hal ini mengindikasikan bahwa kelimpahan mikroplastik rendah pada batas mangrove terluar (dekat laut), kemudian mengalami peningkatan pada jarak 80 m dari batas mangrove terluar, lalu mengalami penurunan kembali pada batas mangrove terdalam (dekat darat). Kelimpahan film, fiber, fragmen, pelet, dan kelimpahan total antara batas mangrove terluar dengan batas mangrove terdalam tidak berbeda nyata.
18 Cauwenberghe et al. (2013) membuktikan hal yang sama bahwa kelimpahan mikroplastik di zona pasang surut pada batas pasang tertinggi lebih tinggi dibandingkan pada batas surut terendah dan terdapat beda nyata antarkeduanya. Zona pada batas surut terendah merupakan zona yang sangat dinamis, deposisi dapat terjadi secara konstan. Sedimen pada lapisan teratas di zona ini mudah terkena limpasan dan menjadi tersuspensi kembali. Zona pada batas mangrove terluar juga mengalami hal yang sama namun limpasan air ke dalam ekosistem mangrove cenderung jarang terjadi sehingga perbedaan kelimpahan mikroplastik menjadi tidak signifikan dengan batas mangrove terdalam. Persentase fiber, fragmen, dan pelet secara keseluruhan lebih tinggi pada batas mangrove terluar, sementara itu persentase film lebih tinggi pada batas mangrove terdalam. Film memiliki densitas lebih rendah dibandingkan tipe mikroplastik lainnya sehingga lebih mudah ditransportasikan hingga batas mangrove terdalam (Lampiran 6). Fiber ditemukan dengan persentase tertinggi kedua. Fiber dapat berasal dari tingginya aktivitas penangkapan sekitar kawasan sehingga menyumbang debris ke dalam air laut (Katsanevakis dan Katsarou 2004). Fragmen ditemukan dengan peringkat ketiga, diikuti oleh pelet. Persentase tersebut berbeda dengan Claessens et al. (2011) yang membuktikan bahwa peringkat persentase mikroplastik di sedimen dasar laut tertinggi adalah fiber (59%) dan terendah adalah film (4%). Hal ini membuktikan bahwa mikroplastik tipe film yang berasal dari fragmentasi kantong plastik atau plastik kemasan merupakan limbah padat domestik utama di ekosistem mangrove. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa kelimpahan film, fiber, fragmen, dan kelimpahan total mikroplastik pada Stasiun 5 dan 6 berbeda nyata dari Stasiun 1, 2, 3, dan 4. Stasiun 5 memiliki kelimpahan mikroplastik tertinggi dibandingkan stasiun lainnya. Hal ini disebabkan sedimen Stasiun 5 masih berfungsi merangkap mikroplastik meskipun kelimpahan makrodebris cukup tinggi. Kelimpahan mikroplastik terendah ditunjukkan oleh Stasiun 2 yang dicirikan oleh kawasan mangrove yang selalu memperoleh limpasan air, sehingga lapisan sedimen mudah mengalami deposisi. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa kelimpahan film, fiber, fragmen, pelet maupun kelimpahan total tidak berbeda nyata antarkedalaman. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sedimen mangrove dapat merangkap mikroplastik hingga kedalaman lebih dari 30 cm tanpa adanya perubahan kelimpahan. Tekstur sedimen setiap stasiun didominasi oleh tesktur lempung berpasir, kecuali tekstur sedimen Stasiun 3 didominasi oleh lempung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Watters et al. (2010) bahwa sedimen lunak lebih dapat merangkap debris dibandingkan habitat berbatu dan kerikil. Dampak Sampah Laut Sampah laut memberikan dampak terhadap kehidupan melalui lima mekanisme, yaitu (1) melalui sistem pencernaan dan terperangkapnya biota, (2) terakumulasi dan menyebar ke wilayah lain, bersifat toksik, bioavailability, dan memberikan dampak melalui rantai makanan, (3) sebagai vektor spesies invasif, (4) berdampak terhadap habitat dan kehidupan dasar laut, dan (5) berdampak secara ekonomi (Stevenson 2011). Plastik merupakan vektor dalam penyebaran mikroalga penyebab blooming (Maso et al. 2003) dan logam berat (Holmes 2013). Plastik terbuat dari material
19 hidrofobik sehingga bahan pencemar terkonsentrasi di permukaannya dan mikroplastik bertindak sebagai reservoir bahan kimia toksik di lingkungan (Ivar do Sul dan Costa 2014). Logam berat seperti Cd, Co, Cr, Cu, Ni, dan Pb dapat menempel pada plastik pelet dengan dipengaruhi oleh pH dan salinitas. Kemampuan Cd, Co, Ni, dan Pb menempel pada plastik pelet dapat meningkat seiring dengan meningkatnya pH dan menurunnya salinitas, namun sebaliknya, kemampuan Cr menempel pada plastik pelet dapat menurun. Selain itu, kemampuan Cu menempel pada plastik pelet tidak dapat dibuktikan dengan variabel pH dan salinitas (Holmes 2013). Plastik mengandung kontaminan organik, termasuk polychlorinated biphenyl (PCBs), polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH), petroleum hydrocarbon, organochlorine pesticides, polybrominated diphenylethers, alkylphenol, dan bisphenol yang menyebabkan efek kronis seperti gangguan endokrin pada biota perairan (Teuten et al. 2009). Ancaman terhadap spesies adalah terabsorbsinya PCB melalui sistem pencernaan (Derraik 2002). Kontaminan yang mampu bertahan dan terakumulasi melalui rantai makanan dapat membahayakan kesehatan manusia. Mamalia laut, burung, ikan, dan penyu menerima dampak pencemaran sampah laut (STAP 2011). Kelompok hewan yang terkena dampak terbesar dari sampah laut adalah mamalia. Partikel debris juga berdampak terhadap sistem pencernaan sponge, cnidaria, cacing, laba-laba laut, krustase, moluska, bryozoa, echinodermata, ascidians, alga, lamun, dan plankton (CBD-STAP 2012). Strategi Pengelolaan Makrodebris yang masuk ke dalam kawasan pesisir Pantai Indah Kapuk lebih banyak bersumber dari darat melalui aliran sungai. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan menerapkan secara tegas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Kemensetneg 2008) untuk mengurangi potensi masukan sampah akibat kebiasaan masyarakat membuang sampah ke sungai. Pengetahuan mengenai pengolahan sampah harus disosialisasikan melalui pendidikan sekolah. Pengolahan sampah dapat dilakukan oleh setiap industri dan rumah tangga dengan memilah sampah menjadi 6 jenis dominan, yaitu kantong plastik, botol plastik, styrofoam, karet, kaca, dan kaleng. Upaya penanggulangan dapat dilakukan dengan kegiatan rutin pembersihan sampah di sepanjang pesisir oleh masyarakat. Plastik yang ditemukan tidak dapat terdegradasi oleh bantuan sedimen. Substitusi plastik biodegredable menjadi solusi utama dalam mengurangi jumlah plastik di lingkungan. Kelimpahan makrodebris dan mikroplastik menjadi tidak berbeda nyata antarsubstasiun karena ketebalan ekosistem mangrove yang sangat rendah. Selain itu, Rhizophora sp. juga terbukti berkorelasi negatif dengan kelimpahan makrodebris. Upaya rehabilitasi ekosistem mangrove PIK dapat dilakukan dengan memperluas ketebalan ekosistem melalui penataan ruang pesisir dan melakukan penanaman mangrove dengan jenis dominan Rhizophora sp. pada batas mangrove terluar.
20
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ekosistem mangrove Pantai Indah Kapuk memperoleh tekanan lingkungan berupa makrodebris dan mikroplastik yang bersumber dari tiga sungai, terutama Sungai Angke. Vegetasi mangrove dapat merangkap makrodebris terutama jenis Avicennia marina melalui bentuk akarnya. Ekosistem mangrove mampu merangkap makrodebris hingga ketebalan 180 m tanpa adanya perbedaan kelimpahan secara signifikan. Sedimen mangrove juga mampu merangkap mikroplastik hingga kedalaman 30 cm tanpa adanya perbedaan kelimpahan secara signifikan, meskipun sedimen mangrove tidak mempengaruhi proses fragmentasi makroplastik menjadi mikroplastik. Strategi pengelolaan yang disarankan adalah dengan memperluas ketebalan ekosistem mangrove Pantai Indah Kapuk dan melakukan penanaman mangrove dengan jenis dominan Rhizophora sp. pada batas mangrove terluar.
Saran Penelitian mengenai makrodebris di kawasan mangrove tropis sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan musim darat (musim kemarau dan musim hujan) dan musim laut (musim barat, musim timur, musim peralihan 1 dan 2). Masukan makrodebris dari sungai sebaiknya dikaji untuk mengetahui banyaknya makrodebris yang masuk ke dalam kawasan pesisir. Selain itu, untuk membandingkan kelimpahan mikroplastik antara batas mangrove terluar dan terdalam sebaiknya dilakukan pada ekosistem mangrove yang memiliki ketebalan besar dengan jarak yang sama.
DAFTAR PUSTAKA Allsopp M, Walters A, Santillo D, Johnston P. 2006. Plastic Debris in the World’s Oceans. Amsterdam (NL): Greenpeace International. p 27. [APHA; AWWA; WEF] American Public Health Association; American Water Works Association; Water Environment Federation. 2012. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 22nd ed. Rice EW, Baird RB, Eaton AD, Clesceri LS, editor. Washington DC (US): APHA. 1360 p. Bengen DG. 2000. Pedoman Teknis: Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor (ID): PKSPL-IPB. 58 p. Cauwenberghe LV, Claessens M, Vandegehuchte MB, Mees J, Janssen CR. 2013. Assessment of marine debris on the Belgian Continental Shelf. Marine Pollution Bulletin. 73:161-169.doi:10.1016/j.marpolbul. [CBD; STAP] Convention on Biological Diversity; Scientific and Technical Advisory Panel. 2012. Impacts of Marine Debris on Biodiversity: Current
21 Status and Potential Solutions. CBD Technical Series No. 67. Montreal (CA): Secretariat of the Convention on Biological Diversity. p 23. Claessens M, De Meester S, Van Landuyt L, De Clerck K, Janssen CR. 2011. Occurrence and distribution of microplastics in marine sediments along the Belgian coast. Marine Pollution Bulletin. 62:2199-2204.doi:10.1016/ j.marpolbul.2011.06.030. Costa MF, Silva-Cavalcanti JS, Barbosa CC, Portugal JL, Barletta M. 2011. Plastics buried in the inter-tidal plain of a tropical estuarine ecosystem. Journal of Coastal Research. (64):339-343. Derraik JGB. 2002. The pollution of the marine environment by plastic debris: a review. Marine Pollution Bulletin. 44:842-852. Eviati, Sulaeman. 2009. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Ed ke-2. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah. Goldstein MC, Titmus AJ, Ford M. 2013. Scales of spatial heterogeneity of plastic marine debris in the Northeast Pacific Ocean. Plos One. 8(11):111.doi:10.1371/journal.pone.0080020. Hidalgo-Ruz V, Gutow L, Thompson RC, Thiel M. 2012. Microplastics in the marine environment: a review of the methods used for identification and quantification. Environmental Science and Technology. 46:30603075.doi:10.1021/es2031505. Holmes LA. 2013. Interactions of trace metals with plastic production pellets in the marine environment [thesis]. Plymouth (UK): University of Plymouth. Ibiene AA, Stanley HO, Immanuel OM. 2013. Biodegradation of polyethylene by Bacillus sp. indigenous to the Niger delta mangrove swamp. Nigerian Journal of Biotechnology. 26:68-79. Ivar do Sul JA, Costa MF. 2013. Plastic pollution risks in an estuarine conservation unit. Journal of Coastal Research. (65):48-53.doi:10.2112/SI65009.1. . 2014. The present and future of microplastic pollution in the marine environment. Environmental Pollution. 185:352364.doi:10.1016/j.envpol.2013.10.036. Kaladharan P, Prema D, Nandakumar A, Valsala KK. 2004. Occurrence of tarball and waste materials on the beaches along Kerala coast in India. Journal of the Marine Biological Association of India. 46(1):93-97. Katsanevakis S, Katsarou A. 2004. Influences on the distribution of marine debris on the seafloor of shallow coastal areas in Greece (Eastern Mediterranean). Water, Air, and Soil Pollution. 159:325-337. [KemenLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Jakarta (ID): KemenLH. . 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta (ID): KemenLH. [Kemenperin] Kementerian Perindustrian dan Perdagangan. 2013. Konsumsi plastik 1,9 juta ton [Internet]. [diunduh 2013 Des 7]. Tersedia pada: http://www.kemenperin.go.id/artikel/6262/Semester-I,-Konsumsi-Plastik-1,9Juta-Ton.
22 [Kemensetneg] Kementerian Sekretariat Negara. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Jakarta (ID): Kemensetneg. Kingfisher J. 2011. Micro-Plastic Debris Accumulation on Puget Sound Beaches. Port Townsend Marine Science Center [Internet]. [diunduh 2014 Apr 6]. Tersedia pada: http://www.ptmsc.org/Science/plastic_project/Summit%20 Final%20Draft.pdf. Lattin GL, Moore CJ, Zellers AF, Moore SL, Weisberg SB. 2004. A comparison of neustonic plastic and zooplankton at different depths near the southern California shore. Marine Pollution Bulletin. 49:291-294.doi:10.1016/ j.marpolbul.2004.01.020. Maso M, Garces E, Pages F, Camp J. 2003. Drifting plastic debris as a potential vector for dispersing Harmful Algal Bloom (HAB) species. Scientia Marina. 67(1):107-111. [NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2013. Programmatic Environmental Assessment (PEA) for the NOAA Marine Debris Program (MDP). Maryland (US): NOAA. 168 p. Peters K, Flaherty T. 2011. Marine Debris in Gulf Saint Vincent Bioregion. Adelaide (AU): Government of South Australia. p 19. Ryan PG, Moore CJ, Van Franeker JA, Moloney CL. 2009. Monitoring the abundance of plastic debris in the marine environment. Philosophical Transactions of the Royal Society B. 364:1999-2012.doi:10.1098/rstb.2008. 0207. Santos IR, Friedrich AC, Ivar do Sul JA. 2009. Marine debris contamination along undeveloped tropical beaches from northeast Brazil. Environmental Monitoring and Assessment. 148:455-462.doi:10.1007/s10661-008-0175-z. Smith SDA. 2012. Marine debris: A proximate threat to marine sustainability in Bootless Bay, Papua New Guinea. Marine Pollution Bulletin. 64:18801883.doi:10.1016/j.marpolbul.2012.06.013. Smith SDA, Markic A. 2013. Estimates of marine debris accumulation on beaches are strongly affected by the temporal scale of sampling. Plos One. 8(12):16.doi:10.1371/journal.pone.0083694. [STAP] Scientific and Technical Advisory Panel. 2011. Marine Debris as a Global Environmental Problem: Introducing a Solutions Based Framework Focused on Plastic. A STAP Information Document. Washington DC (US): Global Environment Facility. p 9. Stevenson C. 2011. Plastic Debris in the California Marine Ecosystem: A Summary of Current Research, Solution Strategies and Data Gaps. Oakland (US): University of Southern California Sea Grant, California Ocean Science Trust. Teuten EL, Saquing JM, Knappe DRU, Barlaz MA, Jonsson S, Bjorn A, Rowland SJ, Thompson RC, Galloway TS, Yamashita R et al. 2009. Transport and release of chemicals from plastics to the environment and to wildlife. Philosophical Transactions of the Royal Society B. 364:20272045.doi:10.1098/rstb.2008.0284. [UNEP] United Nations Environment Programme. 2011. UNEP Year Book 2011: Emerging Issues in Our Global Environment. Nairobi (KE): UNEP. 79 p.
23 [UNESCO; WHO; UNEP] United Nations Educational Scientific and Cultural Organization; World Health Organization; United Nations Environment Programme. 1996. Water Quality Assessments. A Guide to the Use of Biota, Sediments, and Water in Environmental Monitoring. 2nd ed. Chapman D, editor. Cambridge (GB): Cambridge University Press. Vieira BP, Dias D, Nakamura EM, Arai TI, Hanazaki N. 2013. Is there temporal variation on solid waste stranding in mangroves? A case study in Ratones mangrove, Florianopolis, Brazil. Biotemas. 26(1):79-86.doi:10.5007/21757925.2013v26n1p79. Watters DL, Yoklavich MM, Love MS, Schroeder DM. 2010. Assessing marine debris in deep seafloor habitats off California. Marine Pollution Bulletin. 60:131-138.doi:10.1016/j.marpolbul.2009.08.019.
24
LAMPIRAN Lampiran 1 Contoh uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney Uji Kruskal-Wallis Hipotesis H0: Kelimpahan total makrodebris antarstasiun tidak berbeda nyata H1: Sedikitnya terdapat satu stasiun dengan kelimpahan total makrodebris yang berbeda nyata Tabel uji Kruskal-Wallis Test Statisticsa,b MacrodebrisAbundance
12.446
Chi-Square
5
df
.029
Asymp. Sig. a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Site
Kesimpulan: p (0.029) < α (0.05) yang artinya tolak H0 Keputusan: Terdapat sedikitnya satu stasiun dengan kelimpahan total makrodebris yang berbeda nyata Uji Mann-Whitney kelimpahan makrodebris Stasiun 1 dan 2 H0: Kelimpahan total makrodebris Stasiun 1 dan 2 tidak berbeda nyata H1: Kelimpahan total makrodebris Stasiun 1 dan 2 berbeda nyata Tabel uji Mann-Whitney Test Statisticsa MacrodebrisAbundance Mann-Whitney U
1.000
Wilcoxon W
7.000 -1.528
Z
.127
Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
.200b
a. Grouping Variable: Site b. Not corrected for ties.
Kesimpulan: p (0.2) > α (0.05) yang artinya gagal tolak H0 Keputusan:
Kelimpahan total makrodebris Stasiun 1 dan 2 tidak berbeda nyata
25
Lampiran 2 Spearman Rank Correlation antara kelimpahan makrodebris, karakteristik sedimen, dan kerapatan jenis mangrove Correlations Site Spearman's rho Site
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Subsite
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Macrodeb Correlation risAbunda Coefficient nce Sig. (2-tailed) N pHw
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Temperat ure
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Salinity
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
pHsed
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
ORP
N
Macrodebris Abundance
pHw
Temperat ure
Salinity
pHsed
ORP
Sand
Silt
Clay
DiAm
DiRm
DiRs
DiTotal
1.000
.112
.519**
-.420*
-.726**
-.443*
-.564**
.604**
.177
-.274
.117
-.011
-.087
-.336
-.205
. 26
.587 26
.007 26
.033 26
.000 26
.023 26
.003 26
.001 26
.387 26
.176 26
.569 26
.957 26
.674 26
.094 26
.316 26
.112
1.000
-.317
-.306
-.104
-.395*
-.036
-.046
-.260
.122
.364
-.569**
.525**
-.279
-.209
.587 26
. 26
.115 26
.129 26
.612 26
.046 26
.862 26
.822 26
.199 26
.554 26
.068 26
.002 26
.006 26
.168 26
.306 26
.519**
-.317
1.000
-.293
-.208
.110
-.089
.137
.201
-.409*
.235
.414*
-.492*
-.163
.054
.007 26
.115 26
. 26
.147 26
.308 26
.592 26
.666 26
.505 26
.324 26
.038 26
.248 26
.035 26
.011 26
.427 26
.794 26
-.420*
-.306
-.293
1.000
.218
-.057
.250
-.279
.125
.082 -.474*
.129
-.149
.296
.012
.033 26
.129 26
.147 26
. 26
.285 26
.781 26
.217 26
.167 26
.543 26
.691 26
.014 26
.529 26
.468 26
.142 26
.953 26
-.726**
-.104
-.208
.218
1.000
.692**
.739**
-.710**
-.257
.229
.107
-.201
.140
.427*
.174
.000 26
.612 26
.308 26
.285 26
. 26
.000 26
.000 26
.000 26
.206 26
.260 26
.603 26
.326 26
.496 26
.030 26
.396 26
-.443*
-.395*
.110
-.057
.692**
1.000
.603**
-.534**
.016
-.017
-.105
-.031
-.015
.480*
.194
.023 26
.046 26
.592 26
.781 26
.000 26
. 26
.001 26
.005 26
.940 26
.936 26
.609 26
.881 26
.942 26
.013 26
.342 26
-.564**
-.036
-.089
.250
.739**
.603**
1.000
-.972**
-.326
.249
.201
-.270
.093
.461*
.015
.003 26
.862 26
.666 26
.217 26
.000 26
.001 26
. 26
.000 26
.105 26
.219 26
.325 26
.182 26
.651 26
.018 26
.942 26
.604**
-.046
.137
-.279
-.710**
-.534**
-.972**
1.000
.292
-.230
-.137
.277
-.067 -.461*
-.022
.001 26
.822 26
.505 26
.167 26
.000 26
.005 26
.000 26
. 26
.148 26
.259 26
.504 26
.171 26
.744 26
.018 26
.916 26
25
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Subsite
26
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Silt
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Clay
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
DiAm
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
DiRm
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
DiRs
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
DiTotal
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
.505** .000 .009 26 26
-.850**
.193
-.423*
.213
-.279
.344 26
.031 26
.296 26
.168 26
.106
-.213
.461*
-.039
.380
.605 26
.295 26
.018 26
.849 26
.055 26
.106 1.000
-.133
.206 -.402*
-.035
.177
-.260
.201
.125
-.257
.016
-.326
.292
1.000
.387 26
.199 26
.324 26
.543 26
.206 26
.940 26
.105 26
.148 26
. 26
-.274
.122
-.409*
.082
.229
-.017
.249
-.230
-.850**
1.000
.176 26
.554 26
.038 26
.691 26
.260 26
.936 26
.219 26
.259 26
.000 26
. 26
.117
.364
.235
-.474*
.107
-.105
.201
-.137
-.505**
.569 26
.068 26
.248 26
.014 26
.603 26
.609 26
.325 26
.504 26
.009 26
.605 26
. 26
.518 26
.313 26
.042 26
.867 26
-.011
-.569**
.414*
.129
-.201
-.031
-.270
.277
.193
-.213
-.133
1.000
-.624**
-.370
.332
.957 26
.002 26
.035 26
.529 26
.326 26
.881 26
.182 26
.171 26
.344 26
.295 26
.518 26
. 26
.001 26
.063 26
.098 26
-.087
.525**
-.492*
-.149
.140
-.015
.093
-.067
-.423*
.461*
.206
-.624**
1.000
.036
.217
.674 26
.006 26
.011 26
.468 26
.496 26
.942 26
.651 26
.744 26
.031 26
.018 26
.313 26
.001 26
. 26
.862 26
.287 26
-.336
-.279
-.163
.296
.427*
.480*
.461*
-.461*
.213
-.039 -.402*
-.370
.036 1.000
-.151
.094 26
.168 26
.427 26
.142 26
.030 26
.013 26
.018 26
.018 26
.296 26
.849 26
.042 26
.063 26
.862 26
. 26
.462 26
-.205
-.209
.054
.012
.174
.194
.015
-.022
-.279
.380
-.035
.332
.217
-.151
1.000
.316 26
.306 26
.794 26
.953 26
.396 26
.342 26
.942 26
.916 26
.168 26
.055 26
.867 26
.098 26
.287 26
.462 26
. 26
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
26
Sand
27
Lampiran 3 Spearman Rank Correlation antara kelimpahan komposisi mikroplastik, kedalaman sedimen, dan kelimpahan makroplastik
Spearman's rho
Depth
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Film Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Fragmen Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Fiber Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Pellet Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Total_Abundance Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations Depth Film Fragmen Fiber Pellet Total_Abundance 1.000 .098 .059 -.036 -.211 .072 . .569 .733 .835 .217 .676 36 36 36 36 36 36 ** ** .098 1.000 .835 .824 .175 .987** .569 . .000 .000 .308 .000 36 36 36 36 36 36 .059 .835** 1.000 .727** .274 .879** .733 .000 . .000 .105 .000 36 36 36 36 36 36 -.036 .824** .727** 1.000 .108 .855** .835 .000 .000 . .531 .000 36 36 36 36 36 36 -.211 .175 .274 .108 1.000 .220 .217 .308 .105 .531 . .198 36 36 36 36 36 36 .072 .987** .879** .855** .220 1.000 .676 .000 .000 .000 .198 . 36 36 36 36 36 36
Correlations Spearman's rho
Macroplastic
Microplastic
Macroplastic Microplastic 1.000 .175 . .587 12 12 .175 1.000 .587 . 12 12
27
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
28
28
Lampiran 4 Perhitungan Indeks Pencemaran (IP) S1 Parameter
S2
Lij Ci
Ci/Lij
Ci/Lij baru
Ci
S3
Ci/Lij
Ci/Lij baru
Ci
S4
Ci/Lij
Ci/Lij baru
Ci
S5
Ci/Lij
Ci/Lij baru
Ci
Ci/Lij
S6 Ci/Lij baru
Ci
Ci/Lij
Ci/Lij baru
FISIKA Suhu
28-32
29.6
Kecerahan
(-)
10.2
Kekeruhan
5
605
121.00
11.41
70
13.96
6.72
27
5.40
4.66
53
10.60
6.13
89
17.80
7.25
20-80
540
16.33
7.07
100
1.67
2.11
27
0.77
0.77
53
0.10
0.10
89
1.30
7-8,5
7
1.00
1.00
8
0.33
0.33
6
2.33
2.84
6
2.33
2.84
6
DO perm
5
0.8
2.96
3.36
3.4
1.87
2.36
4.3
1.27
1.52
7.4
-0.13
-0.13
DO dasar
5
0.4
3.15
3.49
2
2.64
3.11
4.2
1.31
1.59
6.5
0.30
0.30
Salinitas
(-)
10
BOD5
20
5.8
COD
(-)
422.02
NH3-N
0.3
3.049
Klorida
(-)
56649.10
Fenol
0.002
0.1573
78.65
10.48
0.2013
100.65
11.01
0.1783
89.15
10.75
0.1493
74.65
10.37
0.1573
78.65
10.48
Kadmium (Cd)
0.001
8.403
8403.00
20.62
7.753
7753.00
20.45
7.601
7601.00
20.40
7.165
7165.00
20.28
4.039
4039.00
Tembaga (Cu)
0.008
0.198
24.75
7.97
0.071
8.88
5.74
0.043
5.38
4.65
0.049
6.13
4.94
0.031
Timbal (Pb)
0.008
0.054
6.75
5.15
0.325
40.63
9.04
0.075
9.38
5.86
0.161
20.13
7.52
0.045
Nihil
15
TSS
0.20
0.20
31
0.50
0.50
43.6
29.4
0.30
0.30
41.8
32.6
1.30
1.57
33.7
33
1.50
1.88
1.10
1.21
80
16.00
7.02
1.57
80
1.00
1.00
2.33
2.84
6
2.33
2.84
1.6
2.57
3.05
1.9
2.37
2.87
1.4
2.66
3.12
0.4
3.03
3.40
0.23
0.23
6.20
4.96
0.1543
77.15
10.44
19.03
5.412
5412.00
19.67
3.88
3.94
0.027
3.38
3.64
5.63
4.75
0.175
21.88
7.70
16.0
32.2 23.4
KIMIA pH
15.4 0.29
0.29
14.4
2.4 0.72
0.72
901.19 10.16
6.04
0.893
15.2
0.8 0.76
0.76
64.67 2.98
3.37
57315.56
1.393
4.0
0 0.20
0.20
81.73 4.64
4.33
39987.60
2.709
9.2
0.4 0.46
0.46
58.64 9.03
5.78
36655.30
1.668
4.6 48.1
5.56
4.73
673.12
1.86 2219.31
MIKRO BIOLOGI Fecal Coli (Ci/Lij)M
8 20.62
49 20.45
17 20.40
540 20.28
48 19.03
19.67
29
(Ci/Lij)R Pij
6.42
5.46
4.87
4.99
5.26
5.41
15.27
14.96
14.83
14.77
13.96
14.42
Lampiran 5 Kelimpahan makrodebris pada komunitas Avicennia marina (a) dan Rhizophora mucronata (b)
b
a Lampiran 6 Tipe mikroplastik
Fiber
Fragmen
Pelet
29
Film
30
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Ayu Ramadhini Hastuti lahir di Jakarta 24 Februari 1993, merupakan anak tunggal dari ayah Teguh Raharjo dan ibu Sarwina Prastiwi Mulatsih. Penulis memulai pendidikan formal di TK Pertiwi, SDN Wanasari 14, SMPN 1 Tambun Selatan, dan SMAN 54 Jakarta. Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2010 sebagai mahasiswa Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama masa perkuliahan, penulis aktif sebagai bendahara umum di Unit Kegiatan Mahasiswa Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam Institut Pertanian Bogor (LAWALATA IPB) pada periode 2012/2013. Penulis juga pernah aktif sebagai anggota divisi kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumber Daya Perairan (HIMASPER) pada periode 2012/2013. Kegiatan akademik di luar perkuliahan penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Ekologi Perairan tahun 2012. Penulis juga menjadi ketua Program Kreativitas Mahasiswa bidang penelitian (PKM-P) tahun 2012 yang berjudul Studi Karakteristik Tipe Habitat Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Suaka Margasatwa Cikepuh, Sukabumi, Jawa Barat. Penulis juga menjadi ketua kelompok Program Kreativitas Mahasiswa Artikel Ilmiah (PKMAI) tahun 2013 yang berjudul Studi Etnobotani Tumbuhan Hutan oleh Masyarakat Biak di Kawasan Cagar Alam Biak Utara Papua sebagai Bahan Pertimbangan Penentuan Kebijakan Pembangunan. Penulis pernah melaksanakan ekspedisi Pulau Biak, Papua pada tahun 2011 dengan kajian etnobotani dan Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai pada tahun 2012 dengan kajian konservasi simakobu (Simias concolor). Penulis juga menulis buku Kemilau Hijau Sang Karang Mulia Biak Utara (ISBN 978-602-18886-0-5). Penulis sebagai pemakalah karya ilmiah yang berjudul “The Relationship between Aquatic Biota and water Quality in Sagara Menyan Subang West Java” di Shanghai pada tahun 2013 dan Hokkaido pada tahun 2014.
31