DISKUSI SASTRA PKKH UGM Hikayat Negeri Sorga Puisi-puisi karya Raedu Basha Rabu, 25 Maret 2015 Pukul 19.30 WIB-selesai Di Ruang Perpustakaan dan Multimedia Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri /PKKH UGM, Bulaksumur Penyair: Raedu Basha Pembahas: Rozi Kembara (Sastrawan) Arie Azhari (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM) MC dan Moderator: Fitrilya Anjarsari Diselenggarakan oleh
i
Sekretariat: PUSAT KEBUDAYAAN KOESNADI HARDJASOEMANTRI, UGM BULAKSUMUR Email:
[email protected] Telepon: 0274-557317 (pukul 8.00-16.00 WIB) Facebook: Pkkh Ugm Koesnadi Hardjasoemantri Twitter: @PKKH_UGM
DISKUSI SASTRA PKKH UGM Acara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang diasumsikan mempunyai perspektif atau wawasan estetik yang berbeda. Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal dari mahasiswa sebagai semacam sarana praktikum (walaupun tanpa kurikulum)
ii
DAFTAR ISI Hikayat Negeri Sorga Oleh: Raedu Basha Halaman 1 - 18 MADURA, LAS VEGAS, COLLOSEUM, BIR, GARAM, DAN HAL-HAL YANG SALING TUMPANG TINDIH LAINNYA : PEMBACAAN SELINTAS ATAS BEBERAPA PUISI RAEDU BASHA Oleh: Rozi Kembara Halaman 15 - 23 Raedu Basha: Perang Sebagai Jalan Sejarah Yang Tak Abadi Oleh: Arie Azhari Nasution Halaman 24 - 29 PANCINGAN DISKUSI ATAS HIKAYAT NEGERI SORGA: Pulau Garam KARYA RAEDU BASHA Oleh: Faruk HT Halaman 30 - 46
iii
Hikayat Negeri Sorga Puisi-puisi karya Raedu Basha MATAPANGARA* Balian: bara mata angkara nyalang perak-perak merah kenangan kini segarang arang nanar hati bara besi tak lunak ditempa sepi-sepi taji sunyi-sunyi belati Yerussalem: ksatria datang segagah Panglima Bhuka menyusuri ruas lorong kota perkampungan di bawah salib di temaram langit memutar kembali rekaman rindu yang gebu campur sayup angin berdebu 1
lalu pedang berkilau di tangannya dihempas udara padang sahara dan asap neraka yang menyala kaki kuda-kuda berlari, berhentak-hentak inilah awal petaka dan perang! satu tebasan : kematian. karena janji dan kenyataan telah menepis kepastian Yerussalem menangis air matanya tubuh-tubuh tak bernyawa lautan darah sungai keringat sepi-sepi taji sunyi-sunyi belati : cekam di mata Balian. 2006
2
*) dari sebuah film Kingdom of Heaven, sebuah film kolosal 'Perang Salib' (kisaran abad ke-11 sampai ke-13) yang disutradarai Ridley Scoot dan dibintangi Orlando Bloom sebagai Balian. Panglima Bhuka (Raden Bhuka): Panglima pasukan pemberontak Ke' Lesap yang menyerang kraton-kraton di Madura, dan pernah merebut kekuasaan sebagai Adipati Sumenep (1749 - 1750 M). Antara Balian dan Palingma Bhuka sebenarnya ada keserupaan kisah.
3
COLLOSEUM 20 ABAD VULKANIK wahai kalian yang datang dari Sebran akulah pekuda Romawi titisan orang Osci mataku api, kata-kataku bara langkahku badai yang kan meluluhlantakkan punggung musim 20 abad detak giris teperam hiaa! waktuku melesat menghentak jazirah abu-abu berserpihan orang-orang yang dilenyapkan Beruscoli, Anna, Saddam, Osama, Wiji, dan Munir api asapku membubung ke lubang murka angkasa kudaku memacu sejarah debu ritus waktu meritme Ahai, sejarah enyahlah catatlah jejakku! kalian yang berada di Sebran bersiaplah untuk tertindas serupa ribuan mayat tak berharga dalam tragedi Campania butiran debu yang sering dicampakkan tiba-tiba 4
meraksasa, menubruk dunia! ombak nazak, menantikan tengukmu di barzah koyak-moyak para leluhurmulah itu Ahai, blingsatanlah kalian ke lubang kubur leluhur ke sungai-sungai Italia hiaaaa! kuda terus kupacu, saksikanlah aku bertempur dari Colloseum ke Colloseum pedang di genggamanku ini teramat akrab dengan darah cucuran leher nenek moyangmu yang dipenggal orang-orang Indian arena para gladiator, muka-muka pucat pasi di tepi Flavian mereka luluh lantak terkapar dihempas rantaian vulkanik — Ahai, jangan kau kira itu abu isakan mayat orang orang Hindu yang sesekali kau mulya sehalnya di Gangga! melainkan nyanyian perut gunung Vesuvius yang 5
melempar mereka ke dataran rendah Napoli hiaaaaaa! kupecut dan kulecut kudaku dua kakinya mengangkat aku bagai patung Diponegoro dengan mengangkat keris berpamor Mataram menghentak ke Asia! di sana aku berjumpa pasang-pasang mata yang pernah terkalahkan dada-dada yang pasang surut, birahi dengus mendengus napsu ketamakan menyulut api di perut-perut Kelud burung-burung malam Sinabung berkoar-koar kudaku terdiam di tepi jalan memandang sudut remang-remang
6
ini bukan malam! pekik hujan tetapi abu vulkanik yang dikirim dari Colloseum Colloseum sebuah cerita panjang pesan dari 20 abad silam tentang kegelisahan yang tak pernah ada yang memahami 2014
8
OROCHI* tak ada keabadian daun jiwa melepas hujan deras kau lambaikan tangan laksana mengacungkan pedang kubalas lambaianmu tak ubahnya menangkis serangan sehalnya perang besar, kita dua kubu tak sama aku pasukan unta, engkau panglima zebra zebramu berlari-lari menerjang altar untaku tak gesit, gemetar lalu kapar aku terluka. anyir sahara dari darah tubuhku yang mengucur lalu aku menyebut diri pejuang cinta yang gugur padahal bagimu perang ini sepenuhnya adalah dusta! 2007 *Judul lagu Kitaro 7
MENATAP LAS VEGAS menatap Las Vegas bangunan-bangunan menjulang mencakar langit atmosferku emosi karam di antara gemerlap lampu berdecaklah jagad kuldesak sambil kueja mantra-mantra Sakera sekedar membuang ketir dan gemuruh yang ranggas di dalam otak seperti inikah Madura kelak posmodernism megapolitan disajikan bagi anakputuku hidangan dunia yang gila di mana tak kudengar nyanyian sumbang kakek lugu seperti tembang kae menjelang tidurku masihkah garam tetap asin bila bir bertumpahan di lautan kesunyian terhantam akal menjadi kekuatan birahi di atas nurani! 9
menatap Las Vegas bagai kupandang bebukitan Payudan hingga Sinongan tersulap tol jembatan gantung goa-goa menjelma terowong jalan mengusir para petapa gelora perjalanan matahari di asa kacong-cebbingku di dada sawah, bola-bola golf berhamburan asap mesin polusi perkasa mencabuli semerbak tembakau tempat eppa' dan embu' meremas keringat membingkai senyum di garis-garis ritmis Madura celurit yang dulu kau asah bergeletakan sudah... 2006
10
HIKAYAT NEGERI SORGA : Pulau Garam angka dalam waktu perlahan merentakan putaran kincir di sebidang sudut tambak petani mendongak ke langit menadah setitik bintang jatuh ke lubuk lautan mengharap cahaya gemulaikan bulir berlian mengkemilau seperti dahulu saat seribu kapal menghantarkan hasil peluh ini ke haribaan dunia pada hamparan lautan yang menyelat pulau-pulau impian kurindukan kembali garam berderap jingga dari lenguh para petani. meningkahi keasinan kota pada moksa menjadikan dua rasa saling berkecup di relung delta garam bergelus tawar memupus di limutan samudera 11
dahulu dari rusuk baling-baling yang pasrah pada angin aku dapat menatap tangisharu moyangku airmatanya yang tawar dapat kucicipi bila kuasini dengan garam hingga dari airmatanya dapat kunisbatkan: perjuangan adalah ketabahan tanggul tambak menggulai ketegaran tambak mebuah ketenangan kemudian tubuh pulau merajut sendiri keindahannya laksana jelmaan sabana namun senyuman senja di muka petani tetap tulus dan bersahaja mengelus hati meski dari hari ke hari doa dan peluh berdesakan selaik kisruh kini sebuah hikayat indah ingin kutembangkan kembali limpahan kekayaan margalaut yang tiada kudapati selain di pulau ini sewaktu Pangeran Katandur mengejakan kalimahsyadahah 12
mengelilingi daratan Madura : samudera menggumpal kristalan putih. garam membuih laut mendawuh di kening dermaga ikan-ikan berlompatan di jantung segara sungguh rekah tuhan menggelar sebuah negeri sorga! namun entah siapa telah berbual dalam syukurnya airlaut tiada mengasin lagi tambak hanya menanam lelah tambak hanya memanen sepi Pangeran! ajari kami mencecap asin kalimahsyadahah hingga laut berdampar layar berkibar memasang rusuk kincir kembali membalingkan gemulai angin mengarahi sampan-sampan kembali berlayar menghantarkan ritus peluh ini ke haribaan dunia seperti dahulu… 2007 13
(Puisi-puisi ini diambil dari antologi puisi “Matapangara” karya Raedu Basha yang diterbitkan Ganding Pustaka, 2014.) RAEDU BASHA. Lahir di Sumenep, 3 Juni 1988. Mahasiswa S2 Ilmu Antropologi Budaya FIB UGM. Buku puisinya: Matapangara (2014). Karyanya berupa puisi, cerpen, esai dipublikasikan di pelbagai media massa tanah air serta memenangkan lomba tingkat lokal dan nasional. Beralamat di www.raedu-basha.com.
14
MADURA, LAS VEGAS, COLLOSEUM, BIR, GARAM, DAN HAL-HAL YANG SALING TUMPANG TINDIH LAINNYA : PEMBACAAN SELINTAS ATAS BEBERAPA PUISI RAEDU BASHA Oleh: Rozi Kembara Puisi yang baik senantiasa menyodorkan tawarantawaran baru atas banyak hal. Ia memperbaharui cara pandang kita atas hidup, atau setidkanya merangsang kita untuk tergetar atas hal yang selama ini kita anggap biasa saja. Ia bukan sekedar himpunan bunyi, himpunan kalimat-kalimat rumit yang berjumpalitan, atau kata-kata asing yang memaksa kita untuk membuka kamus. Setidakya itu lah yang selama ini saya pahami dan rasakan ketika berhadap-hadapan dengan puisi. Bagi saya pribadi membaca puisi untuk kali pertama adalah perjalanan tanpa peta. Saya hanya berjalan begitu saja mengikuti naluri dan berusaha menangkap kesan atas apa yang saya lihat. Sebagai perjalanan yang tanpa peta dan rencana, tentu saja saya mengharapkan kejutan-kejutan. Bukankah segala hal yang tidak direncanakan kerap menawarkan kejutan-kejutan? Rencana dan peta dalam pembicaraan ini anggaplah teori kesusastraan, teori kebahasaan, dan hal-hal yang memungkinkan untuk membedah sebuah puisi. 15
Hal-hal semacam itu pulalah yang saya harapkan ketika membaca puisi-puisi karya Raedu Basha yang akan kita diskusikan bersama-sama malam ini. *** Dalam pembacaan saya beberapa puisi-puisi Raedu Basha merupakan relasi yang saling bertentangan antara lokalitas dan modernitas , antara masa silam yang indah dikenang dan masa depan yang mencemaskan. Semuanya jalin-menjalin dalam jaringan teks yang terkadang cukup rumit. Saya katakana rumit karena beberapa puisinya kaya akan referen yang tumpah tindih dan tidak jarang membawa saya pada kebuntuan pemaknaan. Puisi bcrjudul “Colloseum 20 Abad Vulkanik”, misalnya. Saya tidak menemukan kaitan yang utuh antara orang Osci, Osama, Vesuvius, Kelud, Pangeran Diponegoro. Yang saya rasakana hanya tur kengerian yang dipandu oleh si aku lirik , perasaan kecil ditengah gebalau bencana alam. Raedu seakan menyimpan kunci pemaknaan bagi dirinya sendiri. Saya benar-benar tidak menemukan celah untuk sekedar mengintip ke dalam puisi ini. Kerumitan semakin bertambah ketika saya dihadapkan pada majas dan frasa ganjil yang bertebaran di puisi-puisinya : menyusuri ruas lorong/kota perkampungan (Matapangara), api 16
asapku membubung ke lubang murka angkasa (Colloseum 20Abad Vulkanik), mencakar langit atmosferku (Menatap Las Vegas). Bahasa dalam puisi-puisi Raedu Basha terasa tidak plastis. Sebagai pembaca saya tersendat-sendat untuk memahami puisi-puisinya. Sekian imaji bertumpuk dan saling menyusul dalam tempo yang sangat cepat. Puisi Raedu juga adalah serangkaian mozaik teks yang senantiasa mengacu pada teks lain. Megacu pada idiom-idiom lokal Madura, mengacu pada musik, film, dan riwayat tokoh-tokoh dari khazanah sejarah Madura maupun dunia. Namun demikian Mozaik-mozaik itu hadir dalam sebuah kekosongan motif. Segalanya hadir serentak terkesan hanya sebagai tempelan. Ketika membaca puisi “Matapangara” yang merupakan respon Raedu atas film Kingdom Of Heaven, saya berarap akan mendapatkan pengayaan perspektif atas film tersebut, namun yang saya temui hanyalah deskripsi puitis semata. Satu-satunya hal baru yang saya temukan adalah kesamaan antara Balian tokoh dalam film Kingdom Of heaven dengan Raden Bhuka tokoh dari khazanah sejarah Madura, kesamaan itu pun hanya tampil pada wilayah permukaan . Begitu juga dalam puisi berjudul “Orochi” yang merupakan respon Raedu atas musik gubahan Kitaro, seorang musisi ternama Jepang. 17
Apa yang diungkapan terlalu personal. Alih-alih mendapatkan pengayaan makna saya malah terjerumus pada keremang-remangan pemaknaan. Puisi yang mengacu pada teks lain bukan lah hal yang baru dalam khazanah perpuisian Indonesia, sudah banyak penyair yang menjadikan puisinya sebagai respon atas teks-teks lain. Goenawan Mohammad melakukan itu dalam kumpulan puisi bertajuk Don Quixote, puisi berjudul “Dalam Diri” karya Sapardi Djoko Damono merupakan respon atas lagu The Beatles berjudul “Because. Dan puisipuisi semacam ini dikatakan berhasil ketika ada kesinambungan antara yang diacu dan mengacu. Dalam Don Quixote Goenawan berusaha merubah perspektif pembaca atas hikayat Don Quixote karya Cervantes. Don Quixote yang selama ini dianggap sebagi sebuah cerita konyol tentang seorang tua yang termakan waham akibat terlalu banyak membaca novel ihwal petualangan para ksatria disusun ulang oleh Goenawan Mohammad menjadi sebuah cerita melankolik. Segala adegan muncul sebagai sesuatu yang baru. Don Quixote si tua yang tenggelam dalam fantasi gilanya berdiri dalam sebuah lanskap baru bernama melankolia. Puisi berjudul “Menatap Las Vegas” dan “Hikayat Negeri Sorga” merupakan ekspresi kegundahan 18
manusia tradisional atas arus kencang modernism dan keinginan untuk bertahan dalam nuansa romantik masa silam. Aku lirik dalam puisi “Menatap Las Vegas” mengungkapkan kecemasannya atas derap modernitas yang hadir dalam wujud : jalan tol. Bangunan-bangunan menjulang, bola-bola golf, dan bir. Sedang sebaliknya Puisi Hikayat Negeri Sorga adalah pujian panjang atas suasana masa silam. Namun demikian sebagai pembaca yang tidak memiliii latar pengetahuan Madura merasa tidak bisa penuh seluruh masuk ke dalam dua sajak ini. Hal-hal yang diungkapkan dalam dua puisi ini terasa terlalu lokal. Ada beberapa penyair yang mengungkapkan hal-hal lokal dengan cara universal, Pablo Neruda melakukan itu dalam Canto General. Ia mengungkapkan hal yang sama sekali asing bagi saya (Canto General bisa dikatan merupakan ensikolpedi sejarah Amerika Latin dalam bentuk puisi) namun tetap ada hal-hal universal yang mampu menarik diri saya ke dalam puisi terbut. Hal ini lah yang mungkin luput dalam puisi Raedu Basha. *** Seorang penulis puisi yang baik idealnya adalah seorang yang yang telah berhasil menaklukan 19
bahasa. Bahasa dalam artian yang teknis maupun yang non teknis. Ia sudah selesai dengan urusan gramatika bahasa. Tidak lagi dipusingkan dengan tatacara pembentukan kalimat dan lain sebagainya. Seorang yang sudah menaklukan bahasa otomatis mampu menyampaikan gagasan yang ada dalam pikirannya dalam kalimat yang efektif , tidak bertele-tele, dan membingungkan. Seoseorang pernah berkata bahwa puisi adalah puncak bahasa, adalah sarana pembaharuan dan penyucian bahasa maka seorang penyair dituntun untuk menyelesaikan hal-hal elementer berkaitan dengan bahasa. Seandainya penulis sajak adalah seorang samurai maka bahasa adalah pedang. Seorang samurai sejati tentulah mampu dengan leluasa menguasai pedang yang ada dalam genggaman tangannya. Pedang sudah menjadi bagian dari dirinya sendiri. Ia dengan bebas mampu menciptakan gerakan-gerakan indah yang mematikan. Seorang samurai yang masih gemetar ketika memegang pedang tentulah bukan seorang samurai sejati. Seorang penyair yang benarbenar penyair seperti juga seorang samurai. Katakata sudah menjadi bagian dari dirinya. Ia mampu menggerakkan kata-kata untuk menciptakan puisi yang benar-benar puisi, puisi yang mendirikan bulu kuduk (Acep Zamzam Noor) , puisi yang mampu mendinginkan sekujur tubuh dengan dingin yang 20
tidak mampu dihilangkan oleh panas api (Emily Dickinson), puisi yang merupakan dunia yang menjadi (Chairil Anwar). Ada anggapan salah kaprah bahwa semakin rumit bahasa yang digunakan dalam sebuah puisi maka semakin tinggilah nilai estetis puisi tersebut. Anggapan salah kaprah ini mungkin diamini oleh segelintir penulis puisi yang kemudian menulis serangkaian akrobat kata-kata yang dianggap puisi. Dalam puisi memang ada licentia Poetica yang memungkinkan seorang penyair menyimpang dari peraturan-peraturan bahasa. Namun licentia Poetica hadir sebagai sarana untuk melakukan pembaharuan dan penyegaran dalam puisi bukan untuk dijadikan dalih atas ketidakmampuan berbahasa. Seorang gastronom mumpuni yang telah khatam seluk beluk memasak, telah mengerti komposisi serta perpaduan bahan-bahan masakan akan sampai pada tahap jemu dengan setiap masakan yang dia ramu. Dari kebosanan ini lah muncul gastronomi molekuler. Sebuah pembaharuan dalam bidang kuliner ; memadukan seni memasak dengan ilmu kimia. Jackson Pollock tidak dengan begitu saja melukiskan garis-garis tidak beraturan di atas kanvas yang melambungkan namanya. Ia bertahun-tahun bergulat dengan warna dan bentuk, entah sudah 21
berapa ratus lukisan konvensional yang ia hasilkan sebelum ia akhirnya bosan, frustrasi dan akhirnya menemukan pembebasan ketika melukis garis-garis dan titik yang tidak beraturan di atas sebuah kanvas. Seperti itu lah Licentia Poetica, ia hadir setelah seorang penyair bergulat habis-habisan dengan katakata, dengan bahasa. Tidak hanya bergerak di tataran bahasa seorang penyair yang baik juga bergerak di tataran gagasan. Puisi-puisi yang ditulisnya bukan semata luapan perasaan tumpah ruah. Ia akan mempertimbangkan dengan matang setiap puisi yang ia tulis. Ia akan menelisik secara lebih mendalam jagad kecil yang tengah ia ciptakan. Puisinya tidak berhenti semata sebagai kerajinan bahasa. Puisi-puisinya menjelma samudra pengalaman manusia, menjadi penawar bagi rutinitas hidup yang mengeringkan batin, menjadi monumen senyap bagi hal-hal penting yang luput dari pengamatan manusia kebanyakan. Mungkin puisi semacam ini lah yang bisa dimaksud Subagyo Sastrowardoyo dalam puisinya yang berjudul “Sajak” : Puisi yang mengingatkan manusia pada kepada langit dan mega, pada kisah dan kebadian. Puisi yang menjadikan manusia lupa pada pisau dan tali, lupa pada bunuh diri. Tentu saja bukanlah hal yang mudah bagi seorang 22
penyair untuk bermain-main dalam wilaya gagasan dalam puisinya. Perlu kehati-hatian, ketekunan, dan kesabaran berlebih. Jika tidak demikian puisipuisinya terjebak dalam khotbah moral, risalah filsafat, atau sekadar renungan klise. Maka demikianlah seorang penyair dihadapkan pada hubungan tarik menarik antara bentuk dan isi. Ia harus mampu menjaga keharmonisan antara keduanya. Jika ia terlalu berkutat dengan bentuk puisinya jatuh kepada kerajinan bahasa yang nirmakna, sedang jika terlalu serius dengan isi maka puisinya menjadi kehilangan fitrahnya sebagai puisi. Dan saya berharap kelak akan kembali bertemu dengan puisi-puisi Raedu Basha dalam wujudnya yang paling sejati. Tabik. []
23
Raedu Basha: Perang Sebagai Jalan Sejarah Yang Tak Abadi Oleh: Arie Azhari Nasution Meratapi sajak-sajak Raedu, saya seakan-akan berada tepat di tengah antara peperangan dua kubu: tanpa bisa memilih di pihak mana yang akan saya perjuangkan dan saya bela sebagai rasa cinta tanah air-yang saya sendiri merasa tidak memiliki sebuah negara. Di sisi lain, Saya merasa seakan-akan membaca sebuah 'hikayat lokal' dengan sebuah realitas sosial yang dikonstruksi sedemikian rupa oleh penulisnya. Ahai, sebuah ke-khas-an sajak. Dan oleh karena itu, saya ingin sedikit ambil bagian untuk sekedar berbicara mengenai beberapa kecenderungan pada sajak-sajak Raedu. Sifat khas sebuah sajak merupakan sebuah aktualisasi atau realisasi tertentu dari sistem konvensi atau kode sastra dan budaya-sebagai sistem yang tidak tetap dan ketat- yang dengan hal tersebut, penulis sajak bisa menerapkannya secara individual sesuai kebutuhannya sebagai penulis. Dengan begitu, terciptalah sebuah pembaharuan dalam bersajak sebuah bentuk yang-mungkin-revolusioner. Bisa dibayangkan jika membaca puisi Raedu, teksteks yang terdapat di dalamnya bersangkutan dengan faktor resepsi suatu teks dan bergantung pada pengetahuan penulisnya mengenai teks-teks lainnya. 24
Fenomena intertekstualitas yang bisa kita lihat melalui judul dan catatan kaki yang diberikan: Matapangara (dari sebuah film Kingdom of Heaven, sebuah film kolosal 'Perang Salib' (kisaran abad ke11 sampai ke-13) yang disutradarai Ridley Scoot dan dibintangi Orlando Bloom sebagai Balian.), Colloseoum 20 Abad Vulkanik, dan Arochi (judul lagu Kitaro). Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Kristeva (dalam Budiman, 2011:53) bahwa setiap teks mengambil wujud sebagai suatu mosaik kutipan-kutipan, setiap teks merupakan resapan dan transformasi dari teks lain. Sajak-sajak Raedu cenderung mengambil tokohtokoh dalam sejarah: Pangeran Katandur (Hikayat Negeri Sorga), Balian, Panglima Bhuka (Matapangara); Pekuda Romawi (titisan orang Osci); Pangeran Diponegoro (Colloseum 20 Abad Vulkanik), Sakera (Menatap Las vegas), pasukan unta, pasukan zebra (Orochi). Terlihat adanya kecenderungan bahwa sajak yang ditawarkan di sini berangkat dari realitas orang lain-bukan dirinya sendiri-seperti puisi Matapangara. Balian:bara mata angkara/nyalang/perak-perak merah kenangan/kini segarang arang…/Yerussalem: ksatria datang segagah Panglima Bhuka/menyusuri ruas lorong/kota perkampungan/di bawah salib. Sudah tentu bahwa teks yang disajikan merupakan 25
bagian dalam film (teks lain) yang diambil dari satu tokoh (Balian) yang kemudian lebih dipahami oleh penulis dengan memasukkan sebuah tokoh yang tidak terdapat dalam acuan teks yang lain tersebut (film Kingdom of Heaven) yakni Panglima Bhuka (dalam catatan kaki dituliskan: (Raden Bhuka): Panglima pasukan pemberontak Ke' Lesap yang menyerang kraton-kraton di Madura, dan pernah merebut kekuasaan sebagai Adipati Sumenep (1749 - 1750 M). Antara Balian dan Palingma Bhuka sebenarnya ada keserupaan kisah). Dikarenakan tokoh Balian dengan Panglima Bhuka terdapat kemiripan kisah sebagai resepsi dari pembacaan penulis terhadap kedua tokoh tersebut, lantas ia memproduksi sajak ini. Dalam hal ini teks tersebut adalah sebuah produktivitas yang merupakan permutasi dari teks lain: di dalam ruang teks terdapat ujaran-ujaran (utterance) yang berasal dari teks lain yang saling bersilangan dan saling menetralkan. Modifikasi seperti ini dimaksudkan agar pembaca percaya bahwa teks sajak tersebut-seakan-akansesuai dengan realitas 'sejarah'. Pangeran Bhuka dianggap sebagai seorang pahlawan, kesatria yang air matanya tubuh-tubuh tak bernyawa. Namun jika ditelusuri lagi, Balian adalah sorang tuang pandai besi yang ikut dalam salah satu perang salib melawan pasukan Saladin karena ia telah membunuh pendeta di desanya sedangkan untuk Pangeran 26
Bhuka yang merupakan seorang pemimpin perang Ke' Lesap dengan tujuan menumpas pemerintahan di Madura yang sering bersekongkol dengan kompeni. Pembaca yang tidak mengerti akan hal ini, tidak akan bisa menangkap efek kepahlawanan atau pemberontakan yang sebenarnya berada dalam teks tersebut. Demikian juga dijumpai pada sajak-sajak Raedu lainnya yang dibuat sedemikian rupa menembus ruang dan waktu yang dengan menghubunghubungkan antara teks satu dengan yang lain, sehingga memuculkan sebuah gambaran realita dalam pikiran. waktuku melesat/menghentak jazirah/abu-abu berserpihan orang-orang yang dilenyapkan/Beruscoli, Anna, Saddam, Osama, Wiji, dan Munir/…ritus waktu meritme/Ahai, sejarah enyahlah/catatlah jejakku!(Colloseoum 20 Abad Vulkanik). Tokoh-tokoh sejarah tesebut merupakan sebuah pertentangan dengan teks lain yang diacunya (pada bait sebelumnya): pekuda Romawi titisan orang Osci…/ yang kan meluluhlantakkan punggung musim. Ada perbedaan tentang apa yang ingin dicapai pada masa lampau dengan masa kini. Apabila pada masa lampau orang berperang dan berjuang untuk menguasai sebuah wilayah atau memperluas kekuasaanya, saat ini orang-orang berjuang untuk keadilan dari orang yang berkuasa. 27
Pekuda Romawi yang bisa meluluhlatakkan, dipertentangkan dengan orang-orang yang dilenyapkan. Namun, pekuda Romawi dibalikkan ketika ia hanya diibaratkan bagai patung Diponegoro dan kalah kepada alam (sudut-remangremang, malam, hujan,abu vulkanik.) Juga, Bagaimana pekuda Romawi, bisa meluluhlantakkan tokoh-tokoh yang ada jauh setelah titisan orang Osci itu tiada? Hanya 'aku' yang dapat melakukan hal itu. 'Aku' sebagai tokoh yang pergi ke waktu lampau yang jauh, pesan dari 20 abad silam, hanya karena tentang kegelisahan/ yang tak pernah ada yang memahami terhadap 'bencana' yang terjadi (yang dapat dilihat dari rangkaian penanda: meluluhlantakkan,orang-orang yang dilenyapkan, api asapku membumbung, butiran debu..tiba-tiba meraksasa, dihempas rantaian vulkanik, nyanyian perut gunung Vesuvius, api di perut-perut Kelud, burung-burung malam Sinabung berkoar-koar). Seperti yang telah diungkapkan di awal, sajak-sajak Raedu menunjukkan sebuah 'perjuangan' melalui 'peperangan': ksatria, pedang ditangan, asap neraka yang menyala, kuda berlari, perang, tebasan, kematian,meangis, air mata, tubuh tak bernyawa, darah, cekam (Matapangara); meluluhlantakkan, orang dilenyapkan, tragedi Campania, lubang kubur, bertempur, darah, dipenggal, terkapar, mengangkat 28
keris, napsu, ketamakan (Colloseum 20 Abad Vulkanik); mengacungkan pedang, menangkis serangan, kubu, pasukan, panglima, kapar, terluka, darah, tubuh, gugur, perang (Arochi); emosi, ketir, gemuruh, terhantam, kekuatan, berhamburan, bergeletakan (Menatap Las Vegas); bahkan untuk menggambarkan kehidupan seorang petani (nelayan): air mata, perjuangan, ketegaran, kisruh (Hikayat Negeri Sorga). Keterjalinan teks-teks di atas, dianggap sebagai adanya fakta sejarah dalam teks itu yang dijadikan baik sebagai sarana penceritaan maupun sasaran penceritaan. Kehadirannya situasi 'perang' yang sangat kuat terutama dapat dilihat pada penggunaan diksi-diksi (secara metafora dan metonimi) yang menyuguhkan dunia yang secara tekstual, 'berjuang' yang ditujukan pada wilayah penulis sendiri. 'Perjuangan' ini juga ditujukan sebagai jalan ketidak abadian pada suatu harapan akan dunia ideal (yang diharapkan penulis) yang telah berubah: karena janji dan kenyataan telah menepis kepastian/ limpahan kekayaan margalaut yang tiada kudapati selain di pulau ini/ Ahai, sejarah enyahlah/catatlah jejakku!/ perang ini sepenuhnya adalah dusta
29
PANCINGAN DISKUSI ATAS HIKAYAT NEGERI SORGA: Pulau Garam KARYA RAEDU BASHA Oleh: Faruk HT angka dalam waktu (angka: saya membayangkan jam, deretan angka melingkar, dari angka 1 sampai dengan dua belas. Angka-angka itu menunjukkan waktu, tapi juga membingkai waktu. Bila angka itu menunjukkan waktu, waktu ada di luar dirinya. Bila ia membingkai waktu, waktu ada di dalamnya. Tapi, bagaimana dengan angka dalam waktu? Bila waktu dalam angka, waktu patuh pada angka. Waktu terkurung di dalamnya. Tidak bisa bergerak keluar darinya. Bila angka dalam waktu, apakah angka tunduk pada waktu? Bagaimanakah angka yang tunduk pada waktu itu? Apakah angka itu tidak bisa keluar dari waktu? Angka akan berubah mengikuti waktu? Siapa atau apakah yang misalnya menggerakkan jam? Waktukah? Apakah waktu itu? Sebuah kekuatan di luar angka? Apakah angka itu? Pikiran matematis manusia? Rasio manusia? Kalau angka adalah pikiran manusia, rasio? Apakah waktu adalah alam itu sendiri? Kalau demikian, apakah angka dalam waktu berarti pikiran manusia, rasio manusia, yang patuh pada alam, pada kekuatan yang ada di luar dirinya? Kalau demikian, dunia apa, 30
zaman apa, yang sebenarnya dibukakan oleh “angka dalam waktu” itu? Dunia atau zaman mitis? Ketika manusia menjadi bagian sepenuhnya dari alam? Silahkan anda lanjutnya segala kemungkinan ini? Apakah misalnya, angka dalam waktu sebenarnya berarti angka di dalam jam, bukan angka di luar jam. Artinya, ya jam itu sendiri. Angka 1-12 (angka dalam hari), angka 1-7 (angka dalam minggu), angka 1 – 30 (angka dalam bulan), angka 1-360 (dalam tahun)? Angka yang mana? Hari, minggu, bulan, tahun, abad? Atau, sekedar menyebut kalender saja? Sebutlah: ini sebuah sejarah, sebuah rangkaian waktu yang tersusun berdasarkan angka-angka. Kapan pun bisa, kapan pun boleh). perlahan merentakan putaran kincir di sebidang sudut tambak (yang manakah yang merentakan itu? Angkanya? Waktunya? Kalau yang dibayangkan adalah jam? Yang manakah di dalam jam itu yang aktif bergerak? Angkanya? Waktunya? Kalau mau nggak rumit, mengikuti saja arti literal/gramatikal dari baris pertama di atas, yang merentakan itu adalah angkanya. Tapi, bagaimana membayangkan angka bisa merentakan, sedangkan dirinya diam, tak bergerak? Atau, waktunya? Karena angka ada dalam waktu, angka patuh pada waktu, waktu bergerak, angka ikut bergerak, dan gerakan angka yang 31
diakibatkan oleh gerakan waktu itu merentakan putaran kincir. Apakah demikian? Silahkan mendiskusikannya lebih lanjut. Mungkin ada pengertian yang lain) (angka yang digerakkan oleh waktu itu membuat putaran kincir menjadi tua, menjadi renta. Apakah sebenarnya arti renta? Kalau renta berarti tua sekali, yang renta itu kincirnya apa putarannya? Kalau renta artinya bukan tua, tapi gerakan yang lemah, lamban, dengan kekuatan yang sudah minim, yang renta tentu putarannya. Namun, gerakan yang lemah, lamban, tanpa tenaga, tidak selalu berarti gerakan dari orang atau sesuatu yang tua. Mungkin saja yang muda bisa bergerak renta, menjadi renta, kalau yang dimaksud bukan usia tua, tapi gerakannya. Kalau demikian, apakah hubungannya dengan angka dalam waktu, apakah hubungannya dengan waktu? Yang berhubungan dengan waktu biasanya adalah usia, sebuah kondisi seseorang atau suatu benda, misalnya besi tua, bukan gerakannya? Dalam hubungan dengan waktu, yang menjadi renta biasanya adalah kincirnya, bukan putarannya. Kalau demikian, kembali kita temukan dua lapis kekuatan yang menjadi sebab. Kekuatan yang menjadi sebab pertama adalah waktu, tapi yang disebutkan adalah angkanya. Kekuatan yang menjadi sebab pertama adalah kincir, tapi yang disebut adalah putarannya. Bisa kita katakan bahwa sebab kedua sebenarnya 32
hanya media yang menghubungkan sebab pertama dengan akibatnya. Puisi ini lebih suka menyebut medianya daripada sebab yang sesungguhnya. (yang menjadi renta adalah kincir dan putaran kincirnya. Bukan angin yang sebenarnya menggerakkan kincir itu. Karena sudah renta, kincir dan putarannya itu tidak lagi dapat mengikuti kehendak angin. Mungkin saja angin berhembus keras, tapi kincirnya berputar lamban karena rentanya). Kincir sendiri adalah produk manusia, sedangkan angin tentu saja kekuatan alam. Bila demikian halnya, rentanya kincir bisa menjadi metafor dari rentanya manusia, terutama dalam oposisinya dengan alam, dengan angin di atas). (di sebidang sudut tambak. Klausa ini membingungkan. Apakah yang dimaksud dengan sebidang? Berapa luas tanah untuk bisa dikatakan sebidang? Lalu, dapatkah sudut dikatakan sebidang? Di sebidang tanah, di sudut tambak. Bisakah demikian? Atau, yang bisa dikatakan sebidang adalah tambaknya? Sebidang tambak, misalnya? Di sebuah sudut dari sebidang tambak, misalnya? Apakah demikian? Atau, di sebidang tanah di sudut tambak? Bila demikian halnya, ada kecenderungan pemadatan dalam hal ini. Dan, pemadatan itu membuat tidak tersisa ruang kosong untuk bernapas, membuat hal-hal yang dipadatkan mengalami distorsi atau reduksi. Kecenderungan ini terdapat 33
pula dalam merentakan putaran kincir angin yang bisa diartikan sebagai merentakan kincir angin sehingga putarannya melemah. Kata renta sekaligus digunakan untuk kincirnya dan untuk putarannya. Begitu juga kecenderungan dalam angka waktu. Disebut waktu terlalu abstrak. Disebut angka terlalu umum. Angka dapat juga mengandung konotasi modernitas yang dingin, kaku. Namun, angka waktu membuatnya patuh pada waktu, ada dalam waktu. Bila angka adalah manusia, waktu adalah alam, angka dalam waktu bisa berarti manusia, kebudayaan, yang masih dikuasai alam. Pengertian ini membuat angka dalam waktu bertentangan dengan konotasi modernitas karena ia mengimplikasikan dunia mitis atau mitologis.) petani mendongak ke langit (tentu yang dimaksud petani berdoa, berharap) menadah setitik bintang jatuh ke lubuk lautan (ada masalah baru di sini. Menadah bintang jatuh ke lubuk lautan. Apakah bintang jatuh ke lubuk lautan ditadah? Kalau sudah jatuh ke lubuk lautan, tentunya diciduk, dipungut, bukan ditadah. Kalau bintang belum jatuh ke lubuk lautan yang ditadah? Tentu saja, bintangnya nggak jadi jatuh ke lubuk lautan. Kembali kita menemukan mediasi di sini, yaitu antara bintang dan lubuk lautan. Yang menjadi media adalah petani, yang menadah. Bagaimana 34
dengan setitik? Bisakah kita mengatakan setitik bintang? Tampaknya, yang tepat adalah setitik air hujan? Apakah puisi ini membayangkan bintang jatuh bertitik-titik seperti air hujan? Kalau bintang adalah cahaya, mungkin menyerupai kembang api. Bukan setitik, tapi sepercik. Apakah sebenarnya, puisi ini lebih mengharapkan air daripada api? Tentu bukan. Karena yang diharapkan adalah cahaya. mengharap cahaya (ada masalah lain di sini. Kalau yang menjadi masalah pertama adalah usia renta dari putaran kincir, kenapa yang diharapkan adalah cahaya, percik bintang jatuh ke lubuk lautan? Dalam wacana kebudayaan maupun keagamaan, cahaya biasanya dipertentangkan dengan kegelapan. Ada zaman kegelapan, ada zaman pencerahan, habis gelap, terbitlah terang. Sementara, tua, renta, layu, dioposisikan dengan muda, segar, mekar. Tapi, keduanya dapat juga bertemu, misalnya dalam senja, redup. Tua berarti senja, berarti redup, berarti mulai gelap. Bila demikian halnya, terjadi ketumpangtindihan antara wacana tua sebagai loyo, dengan tua sebagai senja, redup, gelap, yang membutuhkan bulan atau bintang.) gemulaikan bulir berlian mengkemilau seperti dahulu (cahaya menggemulaikan bulir berlian. Apakah arti 35
gemulai? Tentu yang dimaksudkan adalah gerakan yang perlahan, lemah, lembut. Apakah hal ini merupakan jawaban terhadap rentanya putaran kincir angin? Karena gerakan kincir angin lemah seperti orang tua renta, bulir berlian (yang bisa disejajarkan dengan kincir angin, sumber kekayaan dan kemuliaan) harus digemulaikan? Bagaimana dengan bulir berlian yang digemulaikan? Bagaimanakah sifat bulir berlian yang kemilau? Berkilat? Berkelip? Tajam? Bisakah kita mengatakan bahwa kilau berlian itu gemulai? Mungkin yang dimaksud adalah menjadi menarik kembali, menjadi pusat perhatian, menjadi objek yang menimbulkan semangat dan gairah seperti seorang penari, seperti perempuan (dalam streotipe tertentu). Dan, daya tarik perempuan itu tidak terletak pada kekuatannya, melainkan justru pada kelemahannya, bukan pada kekerasannya, melainkan justru kelembutannya. Kemilau berlian bukan dipahami sebagai cahaya, melainkan sebagai perhiasan yang membuat perempuan menjadi perempuan. Memikat justru ketika dia menjadi objek yang tidak hanya lemah, tapi pasif, menjadi benda). saat seribu kapal menghantarkan hasil peluh ini ke haribaan dunia (dahulu muda, kuat, kincir angin tidak berputar seperti orang tua renta. Hilangnya tenagalah yang 36
menimbulkan masalah dan hilangnya tenaga itu karena waktu atau karena angka. Dan, waktu atau angka itu pula yang membuatnya pudar, gelap, mengalami masa senja bahkan malam sehingga membutuhkan cahaya. Ada perbedaan yang mungkin mendasar antara hilangnya tenaga dengan hilangnya kilau. Tenaga menyangkut kemampuan produksi, sedangkan kilau menyangkut kemampuan “menggemulaikan”, mengasah, mengemas, menghiasi. Yang satu substansi, yang lain mediasi, bungkus. Nah, bagaimana dengan peluh? Peluh untuk apa? Untuk produksi, apa untuk mengemas, memasarkan, menimbulkan daya tarik? Bila dikaitkan dengan kincir angin, peluhnya adalah peluh produksi. Tapi, waktu sudah merentakan tenaga itu? Bagaimana bisa berproduksi, bagaimana bisa berkeringat? Tak ada harapan untuk bisa melawannya. Meremajakannya. Atau, waktu membawa kepada senja, yang masih memberikan harapan, yang tidak hanya dapat membuat gelap menjadi terang oleh bintang, juga bulan, melainkan terdapat juga kemungkinan akan munculnya siang. Tua dalam pengertian senja adalah tua yang dengan sendirinya akan membawa pada keremajaan, tapi tua dalam pengertian renta hanya membawa kepada kematian. Karena itu, bila masih ada harapan akan kembali seperti dulu, persoalannya adalah persoalan cahaya, persoalan pengemasan, penggemulaian. 37
Tapi, apakah penggemulaian mengimplikasikan keringat? Keringat biasanya mengimplikasikan kerja, produksi, bukan pengemasan, membuat cantik, sekaligus membuat pasif, lemah. Apa yang memikat ribuan kapal datang untuk menghantar pada dunia? Hasil produksi atau kemasan, cahayanya? Bait pertama dan bait kedua jadi saling membayangi dalam hal ini, saling menikam). (yang lebih penting lagi pada baris di atas adalah kapal-kapal. Yang penting pada dahulu itu adalah kapal-kapalnya apa hasil peluhnya? Ia dapat menjadi dua hal yang berbeda. Ketika kincir angin menua, apakah ia tidak mampu lagi berproduksi, bahkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, subsisten. Atau, ia sebenarnya masih mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Ketuaannya menjadi masalah bukan karena tak mampu memenuhi kebutuhan sendiri, melainkan karena tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar, mendatangkan ribuan kapal yang menghantarnya pada dunia. Begitu juga cahayanya. Kemilau berlian bukanlah ditujukan pada kualitas diri dari berlian itu sendiri, melainkan dalam rangka membuatnya mampu memikat yang lain yang menjadi subjek. Tapi, siapa atau apakah subjek itu? Tentu, pasar di hadapan produsen, laki-laki di hadapan perempuan, para penggemar kegemulaian dan kemilau. Karena itu, yang menjadi paling penting dalam hal itu adalah kapalnya, penghantarnya, medianya. Sang 38
penyebab kedua, bukan penyebab pertama, bukan pula yang menjadi akibatnya.) pada hamparan lautan yang menyelat pulau-pulau impian (posisi mediasi itu adalah juga hamparan laut yang menyelat pulau-pulau impian, yang menjadi jembatan antara pulau yang satu dengan pulau yang lain. ) kurindukan kembali garam berderap jingga dan di hamparan laut itulah “aku” berada, menjadi seorang mediator, yang merindukan garam. Tapi, di manakah garam itu? Tentu saja di tambak, di darat, di pulau. Maka, garam pun berderap, seperti kuda, seperti sapi di karapan. Garam ditarik lebih jauh ke darat, ke pulau, bukan ke laut, ke ikan atau karang. Garam menjadi sapi yang melenguh, menjadi petani, bahkan menjadi desa dalam hubungan dengan kota. (dari lenguh para petani. meningkahi keasinan kota pada moksa) (Meningkahi keasinan kota merupakan kalimat yang membingungkan saya. Lenguh petani, derap garap, meningkahi keasinan kota. Dalam pemahaman saya meningkahi berarti menyelingi, memberi sesuatu di sela-sela atau di antara sesuatu yang lain. Jadi, tidak mungkin garam meningkahi keasinan kota. Kota yang asin ditingkahi dengan garam. Atau, apakah 39
yang dimaksudkan adalah keasinan kota itu sudah tiada, moksa, sehingga perlu diasinkan kembali oleh garam. Kalau demikian, tentu yang dimaksud bukan meningkahi. Tapi, apa pun juga, yang jelas di situ, derap garam, lenguh petani, hanya muncul sebagai variasi bagi kehidupan kota, memberikan bumbu, membuat enak, sebagai hiasan seperti kilau berlian. Kota menjadi hambar tanpa garam, tapi tidak akan menjadi mati tanpanya. Begitulah, kira-kira. menjadikan dua rasa saling berkecup di relung delta (sampai di sini kita nggak tahu, apakah rasa kota itu. Baru di baris berikutnya akan diketahui bahwa rasa itu adalah tawar. Maka, dua rasa yang saling berkecup itu adalah rasa tawar dan rasa asin (sebagai orang kalimantan, saya tahu betul bagaimana rasanya pertemuan antara tawar dan asin itu. Kami menyebutnya hanta. Hampir seperti ampibi dalam islam. Makhluk dua dunia yang ditakuti dan disingkiri. Tapi, puisi ini tidak membawa kepada rasa itu). Dalam pertemuan keduanya, garam lebih kuat dari tawar. Walaupun, hanya dalam batas mengelus, memberikan kenyamaan, variasi, meningkahi, tanpa mengubah atau mengganti. Sebaliknya, tawar justru menghilang, lenyap, ketika di samudera, laut, desa.) garam bergelus tawar memupus di limutan samudera 40
walaupun tetap ada masalah. Garam itu di laut apa di tambak. Kalau ada masalah pada kincir angin, apakah ada masalah juga di laut. Bagian-bagian sebelumnya jelas memisahkan laut dari tambak. Tambak masuk ke pulau, ke darat, dan bahkan disatukan dengan sapi dan petani. Pergeseranpergeseran ini tentu tergantung dalam relasi dengan apa, garam dan tambak itu ditempatkan. dahulu dari rusuk baling-baling yang pasrah pada angin aku dapat menatap tangisharu moyangku airmatanya yang tawar dapat kucicipi bila kuasini dengan garam hingga dari airmatanya dapat kunisbatkan: perjuangan adalah ketabahan tanggul tambak menggulai ketegaran tambak mebuah ketenangan (sekarang, kembali ke dahulu. Ke waktu sebelum baling-baling merenta. Dulu, baling-baling pasrah pada angin, apakah sekarang tidak pasrah, melawan angin? Yang digambar dalam puisi ini bukan perlawanan terhadap angin, tapi kerentaan, kemenyerahan pada waktu, yang sama alamnya dengan angin. Atau, angka? Bila angka dipahami sebagai modern, matematika, teknologi, yang merentakan putaran kincir angin, kincir angin itu pun tidak dalam posisi yang melawan. Ia hanya korban dari kekuatan yang ada di belakangnya, yaitu 41
angka (dalam waktu). Angkalah yang mungkin melawan angin itu, yang membuat baling-baling tidak lagi bisa berjalan seiring dengan angin, tidak dapat mengikuti angin. Dalam hal ini kembali kita bertemu pada mediasi, perantara dalam hubungan antara dua kekuatan, angka dengan angin. Kincir angin menjadi titik temu antara kedua kekuatan itu. Dan, fokus jatuh pada media itu, bukan pada kekuatan yang ada di belakangnya. ) (Tapi, sebentar. Apa artinya pasrah pada angin? Kenapa rusuk? Kenapa yang pasrah itu, rusuknya? Ini dapat membawa kepada pemaknaan yang berbeda. Bila yang dibicarakan rusuk, apakah yang dimaksud adalah keadaan baling-baling yang renta sekarang, yang tinggal rusuk, dan hanya bisa pasrah pada angin? Bila demikian, yang dahulu justru adalah yang melawan angin. Apakah demikian? Bila memang begitu, bagaimana mungkin baling-baling berfungsi bila dia melawan angin? Tentu, dia akan tidak berputar dan garam menjadi tidak bisa diproduksi dengan baik dan gemilang.) (Tampaknya inilah yang didukung oleh baris berikutnya. Nenek moyang menangis, menyesali baling yang tinggal rusuk dan pasrah pada angin. Artinya, nenek moyang mengharap baling-baling tidak pasrah pada angin. Dulu demikian. Karena, baling-baling sudah tidak berfungsi, garam tidak dihasilkan, air mata menjadi tawar. Air mata itu baru 42
berharga kembali bila dicampur dengan garam, seperti yang dilakukan si aku. Tapi, darimana garam itu ia dapatkan? Tentu, dari masa kini. Apakah hal itu berarti, masa kini dapat mengasinkan yang tawar, yang ada di masa lalu, pada air mata nenek moyang? Nenek moyang sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Nenek moyang baru berharga bila aku yang ada di masa kini menambahkan garam pada air matanya. Bagaimana mungkin? Sedang baling-baling sudah renta dan garam tidak dapat lagi diproduksi. Kalau pun dapat, hasilnya tidak ideal, bermasalah. Dapatkah yang tidak ideal mengangkat yang tawar itu, dapatkah yang bermasalah menyelesaikan masalah?) (air mata dari masa lalu yang sudah bercampur dengan garam dari masa kini itulah yang memberikan kekuatan, membuat aku dapat menisbatkan (mengembalikan ke dasar/asalnya), bahwa perjuangan adalah ketabahan tanggul, tambak yang menggulai ketegaran dan membuahkan ketenangan. Bila demikian halnya, persoalan balingbaling menjadi mentah kembali. Serenta apa pun baling-balingnya, selama tanggul dan tambaknya masih ada, tambak itu masih bertahan, garam masih dihasilkan, kekuatan masih di tangan. Lalu, apa artinya semua masalah yang disampaikan sebelumnya? Kenapa nenek moyang harus menangis jika tanggul masih ada, tambak masih ada, hanya 43
kincir anginnya yang renta? Bagian ini membuat semua yang disampaikan sebelumnya menjadi masalah yang terkesan mengada-ada). (Atau, tanggul dan tambak itu hanya kekuatan untuk bertahan, perjuangan pada batas sekedar bisa hidup, bukan untuk ekspansi ke luar, ke pasar, ke haribaan dunia? Bila demikian, masalah memang masih ada. Kerentaan kincir memang masalah. Namun, masalah itu tidak bisa diatasi oleh tanggul dan tambak. Karena, masalahnya bukan sekedar masalah untuk bertahan, melainkan masalah untuk ekspansi keluar, ke dunia, ke pasar.) kemudian tubuh pulau merajut sendiri keindahannya laksana jelmaan sabana namun senyuman senja di muka petani tetap tulus dan bersahaja mengelus hati meski dari hari ke hari doa dan peluh berdesakan selaik kisruh (perjuangan keluar itu ternyata memang tidak ada. Yang ada hanya bertahan seperti adanya. Seperti senyum senja petani yang bersahaja, yang mengelus hati, dari hari ke hari. Tubuh pulau merajut sendiri keindahannya. Ia menjadi sesuatu yang indah, yang memikat, sebuah hiasan yang pasif, bukan kekuatan yang aktif. Yang ideal bukan lagi yang substantial, melainkan yang kemasan, cahaya, gemulai, ketenangan, penampilan. Bukan isi, bukan produksi, bukan hasil produksinya, bukan kincir. Masa lalu 44
yang jaya tinggal kenangan, tinggal cerita, hikayat yang ditembangkan kembali. Begitu pun sorga.) kini sebuah hikayat indah ingin kutembangkan kembali limpahan kekayaan margalaut yang tiada kudapati selain di pulau ini sewaktu Pangeran Katandur mengejakan kalimahsyadahah mengelilingi daratan Madura : samudera menggumpal kristalan putih. garam membuih laut mendawuh di kening dermaga ikan-ikan berlompatan di jantung segara sungguh rekah tuhan menggelar sebuah negeri sorga! (memang, masalah disadari masih ada, masih kisruh. Tapi, bagian berikutnya, menyatakan bahwa masalahnya bukan terletak pada kincir angin, melainkan pada orang yang “berbual dalam syukurnya”, mendustakan karunianya. ) namun entah siapa telah berbual dalam syukurnya airlaut tiada mengasin lagi tambak hanya menanam lelah tambak hanya memanen sepi Karena itu, penyelesaiannya bukan lagi pada perbaikan kincir, bukan juga pada tanggul, bukan pada perlawanan terhadap angka, waktu, bukan pada 45
bintang, cahaya, gemulai, melainkan pada sang pangeran. Hanya dengan tidak berbual dalam syukurnya, semua masalah di atas dapat diselesaikan. Masa lalu dapat dikembalikan. Pangeran! ajari kami mencecap asin kalimahsyadahah hingga laut berdampar layar berkibar memasang rusuk kincir kembali membalingkan gemulai angin mengarahi sampan-sampan kembali berlayar menghantarkan ritus peluh ini ke haribaan dunia seperti dahulu… 2007 Benarkah? Ada yang berubah pada gambaran mengenai yang dahulu di awal dengan yang dahulu di akhir puisi ini. Bukan asin laut yang dicari, tapi asin kalimah syahadah. Rusuk kincir kembali terpasang, tapi bukan untuk menggerakkan kembali kincir angin, tapi menggemulaikan angin sehingga tidak ada lagi hubungannya dengan tambak garam sebagai hasil produksi. Kapal-kapal memang kembali berlayar, tapi bukan untuk menghantarkan hasil peluh, melainkan ritus peluh, ritual, upacara, simbol dari peluh, bukan peluhnya sendiri, bukan hasil peluhnya, garamnya. Kebesaran yang nyata sudah berakhir selamanya, masa lalu tidak bisa kembali, yang hidup lagi, kembali, hanya medianya, ceritanya, simbolnya, ritusnya. 46
47
48
51
49
50
52