DISKRESI KEPOLISIAN RESORT KOTA SURAKARTA DALAM PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA LALU LINTAS
JURNAL PENELITIAN Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta
Disusun Oleh : OKKY ANDRIAN 13100008
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2017
1
Judul : DISKRESI KEPOLISIAN RESORT KOTA SURAKARTA DALAM PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA LALU LINTAS Nama : OKKY ANDRIAN NIM : 13100008
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini tertera pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara memperlakukan warga negaranya bersama kedudukannya didepan hukum, siapapun yang melanggar hukum akan ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Dalam penegakan hukum landasan yang digunakan adalah hukum pidana materiil dan hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Definisi hukum acara pidana menurut Moeljatno adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberikan dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara apa dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut 1. Dalam buku Satjipto Rahardjo, bahwa apabila suatu masyarakat yang secara murni diatur oleh hukum merupakan suatu ideal yang tidak akan dapat dipenuhi atau dicapai. Sebab pengaturan secara murni yang dimaksud ialah seluruh masyarakat diatur oleh hukum yang dirumuskan secara jelas dan tegas, tanpa dibutuhkan adanya diskresi oleh para pejabat dalam penerapannya atau implementasinya. Suatu keadaan atau ideal
itu sama tidak
mungkinnya dengan suatu masyarakat yang kehidupannya didasarkan semata-mata pada kebebasan, kelonggaran, atau diskresi yang dimiliki oleh para penegak hukumnya2. Dari uraian tersebut di atas dapat dilihat bahwa diskresi menggambarkan ketertiban, sekalipun diskresi 1
Moeljatno, 2000, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Bina Aksara, Hal 1. Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing, Hal 74 2
2
tidak dapat dihindari sama sekali, namun diskresi dapat dibatasi. Pemberian diskresi kepada penyidik pada hakekatnya bertentangan dengan prinsip negara yang didasarkan atas hukum. Diskresi ini menghilangkan kepastian terhadap hal-hal yang akan terjadi. Akan tetapi suatu tatanan dalam masyarakat yang sama sekali dilandaskan pada hukum juga merupakan suatu ideal yang tidak akan bisa dicapai. Oleh karena itu, sesungguhnya diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri, maka menurut Skolnick di dalam bukunya Satjipto Rahardjo tersebut, adalah keliru apabila diskresi disamakan begitu saja dengan kesewenang-wenangan atau berbuat sekehendak hati penyidik dalam melaksanakan tugas penyidikannya terhadap kasus-kasus kejahatan yang terjadi3. Tindakan diskresi yang dilaksanakan oleh pihak penyidik dilakukan dengan alasan bahwa tindakan ini dapat mengefektifkan penyelesaian tindak pidana pelanggaran lalu lintas, dimana tersangka melakukan
pelanggaran
lalu
lintas
dan
karena
kelalaiannya
menyebabkan orang lain luka-luka. Namun, tindakan tersebut menuai permasalahan yang pelik, yang mana disatu sisi tindakan diskresi ini merupakan aplikasi dari hukum pidana yang dilakukan sesuai dengan kebijakan sendiri untuk mengefektifkan hukum yang berjalan secara kaku. Sedangkan di sisi lain tindakan ini menjadi batu sandungan bagi pihak penegak hukum khususnya penyidik, yang mana penyidik selalu disalahkan atas pelaksanaan diskresi yang dilakukan karena tindakan
diskresi
tersebut
memunculkan
diskriminasi
dalam
penerapan hukum. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat ditentukan pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Apa dasar pertimbangan penyidik Polresta Surakarta dalam menerapkan diskresi kepolisian terhadap tindak pidana lalu lintas?
3
Ibid, Hal 131
3
2. Bagaimana mekanisme penerapan diskresi Polresta Surakarta terhadap tindak pidana lalu lintas di tingkat penyidikan? 3. Apa akibat hukum dari tindakan diskresi penyidik Polresta Surakarta terhadap tindak pidana lalu lintas? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Tujuan Obyektif Tujuan
obyektif
penelitian ini
dapat
dijelaskan sebagai
berikut: a. Mengkaji dasar pertimbangan penyidik Polresta Surakarta dalam menerapkan diskresi kepolisian terhadap tindak pidana lalu lintas. b. Mengkaji mekanisme penerapan diskresi Polresta Surakarta terhadap tindak pidana lalu lintas di tingkat penyidikan. c. Mengkaji akibat hukum dari tindakan diskresi penyidik Polresta Surakarta terhadap tindak pidana lalu lintas. 2. Tujuan Subyektif Tujuan subyektif dari penelitian ini adalah guna mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan bagi penyusunan skripsi, sebagai syarat untuk
mencapai gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan akan dapat memberikan manfaat, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti, dalam hal ini mengenai penerapan diskresi penyidik Polresta Surakarta dalam penyidikan tindak pidana lalu lintas.
4
b. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. 2. Manfaat Praktis Dapat memberikan data serta informasi mengenai diskresi penyidik Polresta Surakarta dalam penyidikan tindak pidana lalu lintas. BAB II LANDASAN TEORI A. Diskresi Diskresi dalam Black Law Dictionary berasal dari bahasa Belanda “Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya memutuskan sesuatu tindakan tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan,
pertimbangan
atau
keadilan4.
Diskresi
sering
dirumuskan sebagai “Freiss Ermessen”. Menurut kamus hukum yang disusun oleh Simorangkir, diskresi diartikan sebagai “kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri”5. Diskresi selalu dikaitkan dengan pengambilan keputusan, kekuasaan atau kewenangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap persoalan yang dihadapi6. Diskresi polisi dapat diartikan sebagai suatu kebijaksanaan berdasarkan kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya. Kewenangan diskresi adalah suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas dasar pertimbangan dan keyakinannya
dan
lebih
menekankan
pertimbangan
moral
keseimbangan dalam kerangka hukum. Meskipun demiakian diskresi itu dilakukan bukan lepas dari ketentuan hukum tetapi diskresi itu tetap dilakukan dalam kerangka hukum.
4
Pramadya Yan Puspa, 1977, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris, Semarang: Aneka Ilmu, Hal 91 5 Simorangkir, CST., 2000, Kamus Hukum, Jakarta: Alinea Baru, Hal 45. 6 Djoko Prakoso, 2007, Polri Sebagai Penyidik dalam penegakan Hukum, Jakarta: Bina Aksara, Hal 182.
5
Polisi selaku pelaku diskresi yaitu bertindak seolah-olah tidak berdasarkan hukum positif yang berlaku, apabila dikaji lebih jauh justru itu suatu tindakan yang dapat menjunjung tinggi tujuan hukum itu sendiri yaitu kesejahteraan, kenyamanan dan ketertiban. Dalam tugasnya pekerjaan polisi itu tidak hanya harus dilihat dalam kaitannya dengan penyelenggaraan hukum melainkan lebih luas lagi. Artinya bukan hanya pekerjaan yang berkualitas hukum semata, melainkan semua urusan dalam hidup bermasyarakat, sebagai tugas pokok polisi yang meliputi berbagai macam kegiatan pemeliharaan dan pencegahan seperti memelihara ketertiban dan keamanan, keselamatan orang, benda dan masyarakat. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, lebih lanjyt di dalam Pasal 15 huruf c yang menegaskan bahwa “Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat”. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskresi yaitu kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi. Menurut Sofyan Lubis, diskresi adalah kebijakan dari pejabat yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan dimana undang-undang belum mengaturnya secara tegas, dengan syarat, yakni demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)7. Diskresi yaitu kebebasan pejabat dalam mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Konsep mengenai diskresi penyidik terdapat dalam UndangUndang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 18 ayat (1) dan (2), yaitu : ayat 1 : “Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.” 7
Sofyan Lubis, 2012, prinsip Miranda Rule: Hak-hak Tersangka sebelum Pemeriksaan, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, Hal 34.
6
ayat 2 : “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etik profesi Kepolisian.” Wewenang
polisi untuk
menyidik
ini
yang
meliputi
kebijaksanaan polisi (politie beleid; police discretion) sangat sulit, sebab mereka harus membuat pertimbangan suatu tindakan yang akan diambil dalam waktu yang sangat singkat pada penanggapan pertama suatu delik Substansi Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan konsep kewenangan kepolisian, khususnya penyidik yang baru diperkenalkan walaupun dalam praktek di lapangan selalu digunakan, maka pemahaman tentang diskresi kepolisian dalam Pasal 18 ayat 1 harus dikaitkan juga dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam Pasal 31, 32, dan 33, hal ini dapat terlihat adanya jaminan bahwa penyidik akan mampu mengambil tindakan secara tepat dan professional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Sedangkan rumusan dalam Pasal 18 ayat (2) merupakan rambu-rambu bagi pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dan pada Pasal 7 ayat (1) huruf j Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang memberikan kewenangan kepada penyidik yang karena kewajibannya dapat melakukan tindakan tertentu menurut hukum yang bertanggung jawab. Pelaksanaan diskresi secara umum, misalnya seperti penyidik menangani perkara pencurian yang dilakukan oleh anak kecil, setelah berkasnya selesai tidak diproses ke pengadilan tetapi langsung diserahkan pembinaannya kepada orang tuanya. Tindakan diskresi tersebut sering menimbulkan debat
yang menuduh penyidik
melakukan pelanggaran hukum, namun ada pendapat lain yang menyatakan polisi sangat bijaksana. Syarat-syarat tindakan diskresi, yaitu antara lain :
7
1. Tindakan diskresi tersebut harus benar-benar dilakukan atau berdasarkan asas keperluan, 2. Tindakan diskresi yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian, 3. Merupakan tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran ialah hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang tidak dikhawatirkan, 4. Asas keseimbangan dalam mengambil tindakan diskresi harus senantiasa dijaga keseimbangannya yaitu antara sifat tindakan atau sasaran yang dipergunakan dengan besar kecilnya suatu gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak B. Penyidikan Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan
hasil
penyelidikan.
Pada
tindakan
penyelidikan,
penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti”. Penyidikan adalah suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsproring (Belanda), investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). Menurut De Pinto sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengat kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum8. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang ditemukan dan juga menentukan pelakunya. Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP, yaitu: “Penyidikan adalah 8
Andi Hamzah, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal 25.
8
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian penyidikan adalah: 1. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan-tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan; 2. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik; 3. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundangundangan. 4. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya. Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya 9. Pekerjaan penyidikan dimaksudkan sebagai suatu persiapan kearah pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam taraf penyidikan diharapkan segala kegiatan untuk memperoleh jawaban sementara atas pertanyaan apakah telah terjadi suatu perbuatan pidana, dan jika demikian siapa pelakunya, dimana dan dalam keadaan bagaimana perbuatan pidana itu dilakukan. Apabila dalam penyidikan ini didapat hasil yang diharapkan dapat memberi jawaban atas pertanyaan tersebut di atas maka tindakan dapat diteruskan dalam ujud penyidikan lanjutan. Penyidikan yang baik yang hasilnya telah diuji dengan hukum pembuktian menurut undang-undang, akan sangat membantu pada berhasilnya pekerjaan penuntutan. Polisi dengan 9
Adam Chazawi, 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil di Indonesia, Malang: Banyumedia Publishing, Hal 151.
9
segala kelengkapannya penyidikan dan pengusutannya diharapkan dapat memperlancar tugas penyelesaian pengajuan perkara pidana ke pengadilan yang akan dilakukan oleh kejaksaan. Tugas penyidikan dan tugas penuntutan dalam suatu proses penyelesaian perkara pada hakekatnya juga menggambarkan bahwa tugas penyidikan adalah tidak lain daripada tindakan persiapan tugas penuntutan10. Penyidikan
dapat
berupa
pemanggilan,
pemeriksaan,
penyitaan, maupun penahanan orang, yang kesemuanya erat hubunganya dengan hak asasi seseorang. Penyidikan mencakup penyelidikan tindak pidana atau pengaduan, memanggil, dan memeriksa saksi-saksi termasuk merubah status penahanan tersangka, menggeledah, menyita, memeriksa surat yang dalam keadaan tertentu dapat meminta keterangan dari ahli, membuat resume hasil penyidikan dan memberitahukan penyidikan kepada penuntut umum. C. Tugas dan Kewenangan Penyidikan yang Ditentukan dalam KUHAP Adapun tugas penyidik itu sendiri antara lain adalah: 1. Membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 KUHAP (pasal 8 ayat (1) KUHAP) 2. Menyerakan berkas perkara kepada penuntut umum. (Pasal 8 ayat (2) KUHAP), 3. Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana korupsi wajib segera melakukan penyidikan yang diperlukan (Pasal 106 KUHAP), 4. Menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat (3) KUHAP), 5. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa
yang
merupakan
tindak
pidana,
penyidik
memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum. (Pasal 109 ayat (1) KUHAP), 10
Soehardi, 2003, Hukum Acara Pidana, Penerbit Appolo, Surabaya, Hal 13.
10
6. Wajib segera menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada penuntut umum, jika penyidikan dianggap telah selesai. (Pasal 110 ayat (1) KUHAP). 7. Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi,
penyidik
wajib
segera
melakukan
penyidikan
tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum (Pasal 110 ayat (3) KUHAP), 8. Setelah
menerima
penyerahan
tersangka,
penyidik
wajib
melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan (Pasal 112 ayat (2) KUHAP), 9. Sebelum
dimulainya
pemeriksaan,
penyidik
wajib
memberitahukan kepada orang yang disangka melakukan suatu tindak pidana korupsi, tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum (Pasal 114 KUHAP), 10. Wajib memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi tersangka (Pasal 116 ayat (4) KUHAP), 11. Wajib mencatat dalam berita acara sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka (Pasal 117 ayat (2) KUHAP), 12. Wajib menandatangani berita acara pemeriksaan tersangka dan atau saksi, setelah mereka menyetuji isinya (Pasal 118 ayat (2) KUHAP), 13. Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan dijalankan, penyidik harus mulai melakukan pemeriksaan (Pasal 122 KUHAP), 14. Dalam rangka melakukan penggeledahan rumah, wajib terlebih dahulu menjukkan tanda pengenalnya kepada ter sangka atau keluarganya (Pasal 125 KUHAP), 15. Membuat berita acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan rumah (Pasal 126 ayat (1) KUHAP), 16. Membacakan terlebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditanda tanganinya, tersangka atau keluarganya dan atau kepala
11
desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi (Pasal 126 ayat (2) KUHAP), 17. Wajib menunjukkan tanda pengenalnya terlebih dahulu dalam hal melakukan penyitaan (Pasal 128 KUHAP), 18. Memperlihatkan benda yang akan disita kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi (Pasal 129 ayat (1) KUHAP), 19. Penyidik membuat berita acara penyitaan (Pasal 129 ayat (2) KUHAP), 20. Menyampaikan turunan berita acara penyitaan kepada atasannya, keluarganya dan Kepala Desa (Pasal 129 ayat (4) KUHAP), 21. Menandatangani benda sitaan sesaat setelah dibungkus (Pasal 130 ayat (1) KUHAP). Sedangkan kewenangan dari penyidik antara lain adalah: 1. Sesuai dengan pasal 7 ayat (1) KUHAP, penyidik berwenang untuk a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. Memanggil orang untuk diperiksa sebagai tersangka atau saksi (Pasal 7 ayat (1) jo Pasal 112 ayat (1) KUHAP); h. Mendatangkan
orang
ahli
yang
diperlukan
dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;
12
2. Dalam hal dianggap perlu dapat meminta pendapat seorang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus (Pasal 120 KUHAP jo Pasal 133 ayat (1) KUHAP). 3. Penyidik dapat mengabulkan permintaan tersangka, keluarga, atau penasihat hukum tersangka atas penahanan tersangka (Pasal 123 ayat (2) KUHAP). 4. Penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat atau rumah yang digeledah demi keamanan dan ketertiban (Pasal 127 ayat (1) KUHAP). 5. Penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidaknya meninggalkan tempat terrsebut selama penggeledahan berlangsung (Pasal 127 ayat (2) KUHAP). 6. Dalam hal timbul dugaan kuat ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik dengan izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat minta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipakai sebagai bahan perbandingan (Pasal 132 ayat (2) KUHAP) D. Tindak Pidana Lalu Lintas Tindak pidana lalu lintas terdiri dari dua kata majemuk yaitu tindak pidana dan lalu lintas. Sifat hubungan antara dua kata majemuk itu berarti kata “lalu lintas” membatasi kata “ tindak pidana” yang mengandung pengertian tindak pidana yang berhubungan dengan lalu lintas. Tindak pidana didefinisikan sebagai “perbuatan pidana secara singkat sebagai perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan adanya ancaman pidana bagi siapa yang melanggarnya”11. Sedangkan dalam Undang-undang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, kata lalu lintas berarti gerak kendaraan dan orang di jalan. Tindak pidana lalu lintas merupakan salah satu pelanggaran terhadap perundang-undangan tentang lalu lintas, dari pelanggaran tersebut salah satunya dapat berupa kecelakaan lalu lintas yang sifatnya dapat merugikan orang
11
Moelyatno. 2000. Op Cit, Hal 54
13
lain maupun diri sendiri12. Suatu kecelakaan lalu lintas mungkin terjadi dimana terlibat kendaraan bermotor di jalan umum. Kerlibatan manusia, benda, dan bahaya yang berakibat kematian, cedera, kerusakan-kerugian, disamping itu kecelakaan lalu lintas mungkin melibatkan kendaraan bermotor atau kendaraan tidak bermotor saja. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan dan situasi yang tertentu oleh undang undang dinyatakan terlarang, yang karenanya telah terjadi dapat mengakibatkan penghukuman badan dan atau moral bahkan perampasan sebagian kekayaan bagi pelakunya. Bahwa Tindak Pidana bidang Lalu lintas Dan Angkutan Jalan adalah serangkaian perbuatan terlarang oleh undang undang, dalam kaitan dengan kegiatan transportasi lalau lintas angkutan
jalan
darat,
Sebagaimana diatur
dalam Bab
XX
Ketentuan pasal 273 sampai dengan pasal 317 Undang undang No.22 Taahun 2009. Salah satunya Pasal 310: (1)
(2)
(3)
(4)
12
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah). Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat(3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000,00(dua belas juta rupiah).
Soerjono Soekanto, 2006, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, Hal 20.
14
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yuridis sosiologi artinya suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta (factfinding), kemudian menuju pada identifikasi (problem-identification) dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah (problemsolution)13. Penelitian dihubungkan dengan kenyataan mengenai penerapan diskresi penyidik Polresta Surakarta dalam hal kasus tindak pidana lalu lintas, kemudian dianalisis dengan membandingkan antara tuntutan nilai-nilai ideal yang ada dalam peraturan perundangundangan dengan kenyataan yang ada di lapangan. B. Sifat Penelitian Sifat penelitian adalah sifat deskriptif, menurut Soerjono Soekanto adalah “penelitian yang memberikan data awal yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya”14. Obyek penelitian adalah tindakan hukum penyidik terhadap kasus tindak pidana lalu lintas. C. Sumber Data 1. Data Primer Data yang diperoleh secara langsung melalui sejumlah keterangan atau fakta secara langsung dari pihak Satlantas dan Unit Lakalantas Polresta Surakarta tentang terjadinya kasus tindak pidana lalu lintas. 2. Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini berupa data yang mendukung penelitian ini berkaitan dengan penerapan diskresi penyidik dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana lalu lintas. Adapun data sekunder berupa: a. Bahan hukum primer adalah merupakan bahan hukum yang paling utama dan pokok yang digunakan sebagai dasar dalam penyusunan skripsi ini yaitu : 13 14
Soerjono Soekanto, 2009, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, Hal 10. Ibid, Hal 58.
15
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 3) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 4) Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum berupa literaturliteratur, buku, dokumen, penelitian hukum dan data internet yang berkaitan langsung dengan masalah yang diteliti. c. Bahan hukum tersier yang berupa buku literatur, kamus hukum dan ensiklopedia. D. Teknik Pengumpulan Data 1. Penelitian Lapangan Digunakan untuk memperoleh data primer yakni tehnik pengumpulan data dengan cara mengadakan penelitian langsung terhadap obyek penelitian atau gejala-gejala yang diketahui dan mengadakan pencatatan secara sistematis. Adapun cara yang dilakukan dengan wawancara. 2. Studi Pustaka Guna memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan jalan membaca dan mempelajari buku-buku kepustakaan yang terkait dengan materi penelitian, kemudian menyusun sebagai sajian data. E. Jalannya Penelitian 1. Persiapan Penelitian Persiapan penelitian ini dilakukan pemilihan masalah, pemilihan pendekatan, merumuskan masalah, menentukan variabel data, kesemuanya disusun dalam bentuk proposal penelitian. Setelah melalui konsultasi dan revisi dari pembimbing, diajukan kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta guna mendapatkan rekomendasi dan ijin di lokasi penelitian.
16
2. Perijinan Penelitian Perijinan direkomendasi oleh Rektor Universitas Slamet Riyadi Surakarta, ditujukan kepada instansi yang menjadi obyek dalam penelitian guna mendapatkan ijin riset dalam hal ini adalah Polresta Surakarta. 3. Pengumpulan Data Pengumpulan data harus ditegaskan permasalahan jenis, sifat dan kategori data serta perlakuan terhadap data yang dikumpulkan. Tujuannya agar pengumpulan data dan penganalisaan terhadap data dapat sesuai dengan tujuan dari penelitian. Dalam pengumpulan data ini digunakan metode wawancara dan studi kepustakaan, sehingga baik data primer maupun data sekunder didapatkan 4. Analisis Data Analisis data didasarkan atas metode penelitian yang digunakan yakni metode deskriptif kualitatif yang spesifikasinya yuridis sosiologis. Agar dapat tercapai hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian maka dibutuhkan ketekunan dari peneliti. Dalam hal ini peneliti menggunakan data yang dapat diperoleh sesuai dengan yang diperoleh dari teknik pengumpulan data. 5. Menarik Kesimpulan Peneliti mengambil inti dari hasil yang diperoleh setelah data diolah atau dianalisis kemudian disimpulkan dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang berhubungan dengan materi penelitian untuk memperoleh hasil analisis sesuai dengan tujuan penelitian. F. Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah metode analisis data. Metode analisis yang dipakai adalah analisis data kualitatif. Mengungat data yang dipakai adalah data kualitatif, maka setelah data sudah terkumpul, dikualifikasikan dihubungkan dengan teori dan diambil keputusan atau kesimpulan.
17
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Dasar
Pertimbangan
Penyidik
Polresta
Surakarta
dalam
Menerapkan Diskresi Kepolisian Terhadap Tindak Pidana Lalu Lintas Salah satu tugas polisi adalah menanggulangi pelanggaran ketentuan peraturan pidana. Inilah antara lain tugas polisi sebagai alat negara penegak hukum. Pelaksanaan diskresi di masing-masing daerah mempunyai bentuk dan pola tersendiri. Sebagai petugas penyidik pada prinsipnya melakukan tindakan penyidikan pada semua perkara pidana yang terjadi. Hanya diakui bahwa pada proses selanjutnya sering melakukan kebijaksanaan-kebaijaksanaan yang pada dasarnya melakukan seleksi perkara-perkara yang diproses itu. Hasil penelitian terhadap beberapa anggota penyidik di lapangan pada umumnya mengemukakan bahwa tindakan diskresi penyidik atau pengenyampingan perkara sebenarnya disahkan undang-undang. Apabila tindakan diskresi itu dilakukan dalam rangka tujuan yang diharapkan oleh undang-undang yaitu menciptakan ketertiban umum atau demi kepentingan umum, maka tindakan diskresi itu dinyatakan tetap dalam kerangka hukum. Demikian halnya terhadap petugas penyidik bidang pemeriksaan perkara yang kerap kali melakukan tindakan-tindakan diskresi berdasarkan keyaninannya dengan alasan demi kepentingan umum. Penerapan peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar diskresi oleh penyidik yaitu : 1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Menurut Pasal 27 UUD 1945 Ayat 1 yang berbunyi “Segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Disini terlihat bahwa kedudukan Polisi sebagai penegak hukum yang melindungi setiap warga negara atau masyarakat dan menciptakan keamanan warga negara. Hak dan kewajiban warga negara tedapat pada Pasal 30 Undang-undang Dasar 1945. Menurut Pasal 30 ayat (1)
18
UUD 1945 bahwa “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”. Maksud dari pasal ini bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama yaitu hak untuk ikut serta dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara. Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 bahwa “usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”. Sedangkan pada Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.” Jadi usaha mempertahankan keamanan dan ketertiban sebenarnya bukan hanya menjadi tugas dari Tentara Negara Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tapi juga menjadi tugas masyarakat atau warga negara. Bagaimanapun juga jika Tentara Negara Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya bekerja sendir-sendiri, usaha pertahanan dan keamanan negara tidak akan pernah terwujud, tanpa adanya bantuan dari masyarakat atau warga negara. 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP Dasar pelaksanaan diskresi dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) huruf i dimana dijelaskan penyidik sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan penghentian penyidikan, akan tetapi tidak boleh dilakukan sembarangan karena di Pasal 7 ayat (1) huruf j juga menjelaskan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”15. Pasal tersebut, dasar diskresi penyidik dapat digunakan sebagai landasan melakukan tindakan diskresi 15
Surakarta
Hasil wawancara pada tanggal 3 November 2016, di ruang KBO Sat Lantas Polresta
19
oleh
penyidik
dalam
menangani
suatu
perkara
pidana.
Pelaksanaan tindakan diskresi dapat berlangsung dan sah menurut hukum, karena KUHAP merupakan pedoman pokok yang menjadi dasar hukum setiap aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Menurut Kasat Lantas Polresta Surakarta, Kompol Imam Safii, SIk. M.Si., bahwa : “Tindakan diskresi dilakukan juga karena untuk menyaring perkara, mana perkara yang ringan dan perkara berat. Apabila terjadi kecelakaan lalu lintas dan merupakan kasus yang ringan maka dilakukan diskresi16.” 3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut
Kompol Imam Safii,
SIK.
M.SI.,
dasar
pelaksanaan diskresi itu berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 terdapat dalam pasal 16 dan 18
17
. Rumusan
kewenangan penyidik dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum penyidik. Wewenang polisi untuk menyidik ini yang meliputi kebijaksanaan polisi (politie beleid; police discretion) sangat sulit, sebab polisi harus membuat pertimbangan suatu tindakan yang akan diambil dalam waktu yang sangat singkat pada penanggapan pertama suatu delik. 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan B. Mekanisme Penerapan Diskresi Polresta Surakarta Terhadap Tindak Pidana Lalu Lintas di Tingkat Penyidikan Pelaksanaan diskresi harus didasari aspek kepentingan umum. Meskipun tindakan tersebut dilakukan menurut penilaiannya sendiri harus mempertimbangkan manfaat serta resiko yang timbul setelah tindakan tersebut sesuai dengan kewenangan dan jabatan seorang 16
Hasil wawancara dengan Kasat Lantas Polresta Surakarta Kompol Imam Safii, SIK. M.Si. pada hari Rabu tanggal 16 November 2016. 17 Ibid
20
aparat Kepolisian. Pelaksanaan diskresi pada Satuan Lalu Lintas Polresta Surakarta berbeda-beda porsinya, karena bersifat subyektif dan situasional. Dalam hal ini pelaksanaan diskresi tersebut tergantung oleh kondisi serta situasi setiap masalah yang dihadapi setiap anggota yang ada di lapangan. Menurut Penyidik Laka Lantas Polresta Surakarta, Aiptu Sugeng: “Bahwa Pertimbangan Polisi dalam melakukan diskresi dalam perkara lalu lintas yaitu pelaksanaan diskresi bersifat subyektif dan tergantung pada kasusnya, dapat mempersingkat waktu, dan kesepakatan bersama kedua belah pihak18.” Sekalipun diskresi penyidik bersifat subyektif dan situasional, namun
diskresi
juga
ada
dasar
hukumnya,
sehingga
tidak
sembarangan. Dasar hukum tersebut dapat ditemukan dalam undangundang kepolisian, yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, khususnya pada Pasal 18 Ayat (1). Dalam hal ini seorang aparat penyidik dituntut harus penuh tanggung jawab dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri sesuai wewenangnya menurut kepentingan umum. Contoh kasus yang dibahas dalam penelitian ini yaitu peristiwa kecelakaan lalu lintas yang dilakukan tersangka dan sekaligus sebagai korban yang berakibat luka berat dan meninggal dunia. Dalam hal ini perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban luka berat dan meninggal dunia. Mekanisme penyelesaian perkaranya adalah pertolongan pertama terhadap korban dengan membawa korban ke rumah sakit, selama perawatan dimungkinkan terjadi kesepakatan antara pelaku dengan korban dan/atau ahli waris korban terkait dengan upaya damai atau menyelesaikan perkara kecelakaan lalu lintas tersebut di luar pengadilan. Setelah para pihak sepakat untuk berdamai diwujudkan dengan dibuatkan surat kesepakatan damai secara tertulis di atas materai yang ditandatangani oleh kedua belah pihak beserta saksi18
Hasil wawancara dengan Penyidik Laka Lantas Polresta Surakarta Aiptu Sugeng pada hari Senin tanggal 14 November 2016.
21
saksi yang diketahui oleh RT/ RW/ kepala Desa/ Kepala Kelurahan setempat. Penyidik tetap melakukan pemeriksaan saksi, pemeriksaan tersangka, menyita barang bukti dan kemudian diadakan gelar perkara. Masing-masing peserta gelar perkara menyampaikan pendapatnya terkait dengan hasil gelar perkara dan hasilnya dikirim ke Kapolresta sebagai bahan untuk mengambil keputusan apakah perkara tersebut dapat diselesaikan di luar pegadilan atau tetap melalui tahap sistem peradilan pidana. Apabila Kapolresta berdasarkan fakta dan pendapat dari peserta gelar perkara mengijinkan penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas di luar pengadilan, maka penyidik tetap menyelesaikan berita acara pemeriksaan dengan lengkap dan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan tidak dikirim ke penuntut umum. Kemudian penyidik mencatat perkara kecelakaan lalu lintas tersebut dalam buku register dan di datakan dengan baik. Oleh karena dalam kasus kecelakaan lalu lintas dalam penelitian ini tersangka sekaligus menjadi korban telah mengalami luka berat dan meninggal dunia, maka penyidik mengambil kebijakan diskresi dengan menggugurkan kasus tersebut. Sesuai dengan Pasal 77 KUHP yang merumuskan : “Hak menuntut hukuman gugur (tidak berlaku lagi) lantaran si tertuduh meninggal dunia”. Selain itu pihak keluarga tersangka melakukan perdamaian tidak akan menuntut pihak lawan karena memiliki komitmen beritikat baik dengan memenuhi kewajiban kemanusiaannya. Dalam kasus ini setelah jenazah Sardjito dimakamkan selang 3 hari dari keluarga pengemudi Kbm Toyota Inova No Pol AD 8612 DN datang ke rumah saya dan memberikan uang bantuan biaya pemakaman dan biaya selamatan Alm Suami Sri Rejeki sebanyak Rp 25.000.000 dan uang tersebut telah terima. Setelah menerima uang bantuan biaya pemakaman dan biaya selamatan dan tidak akan menuntut pengemudi Kbm Toyota Inova No Pol AD 8612 DN. Berdasarkan Pasal 77 KUHAP tersebut di atas penyidik menggunakan wewenangnya
22
mengambil
kebijakan
untuk
menghentikan
penyidikan
dan
menggugurkan kasusnya karena tersangka terlah meninggal dunia. C. Akibat Hukum dari Tindakan Diskresi Penyidik Polresta Surakarta Terhadap Tindak Pidana Lalu Lintas Akibat hukum dapat berupa : 1. Lahir/lenyapnya sesuatu keadaan hukum Contohnya seseorang berusia 21 tahun, dalam hal ini dia telah cakap hukum namun karena dia dibawah pengampuan maka dia tidak cakap melakukan tindakan hukum. 2. Lahir/lenyapnya suatu hubungan hukum Contohnya hubungan antara dua subyek hukum atau lebih dimana hak dan kewajiban disatu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak yang lain. Misal A mengadakan jual beli dengan B maka lahirlah hubungan hukm antara A dan B. Sesudah dibayar lunas lenyaplah hubungan itu. 3. Sanksi apabila melakukan tindakan melawan hukum Contoh kasus Drs. Sardjito menyeberang jalan dan karena kelalaiannya tidak melihat kondisi lalu lintas saat itu tertabrak mobil Inova hingga mengalami luka berat dan bahkan sampai meninggal dunia, yang seharusnya Drs. Sardjito harus mendapat sanksi berupa pidana penjara/pidana denda. Akibat hukum secara pidana yaitu adanya alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, untuk tidak dipidana, dan ini merupakan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada hakim. Alasan penghapus pidana yang dimaksud yaitu alasan penghapusan penuntutan. Disini bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan disini
23
ialah kepentingan umum. Kalau perkaranya tidak dituntut, tentunya yang melakukan perbuatan tak dapat dijatuhi pidana. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dasar
pertimbangan
penyidik
Polresta
Surakarta
dalam
menerapkan diskresi kepolisian terhadap tindak pidana lalu lintas adalah UUD 1945, KUHAP, Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kepolisian khususnya penyidik dalam hal melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat dilakukan menurut penilaiannya sendiri ataupun melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Dimana hal ini dapat disimpulkan bahwa pengaturan diskresi yang telah disebutkan di atas memberi dampak bagi pihak penyidik untuk melakukan tindakan diskresi terhadap berbagai tindak pidana yang mereka tangani dengan leluasa. Pertimbangan penyidik dalam melakukan diskresi yaitu diskresi yang menurut penilaiannya antara lain menimbulkan luka ringan dan kerugian material saja dengan mempertimbangkan
faktor
kemanusiaan,
sehingga
dapat
diselesaikan antara kedua belah pihak dan tidak perlu berlanjut ke Pengadilan. 2. Mekanisme penerapan diskresi Polresta Surakarta terhadap tindak pidana lalu lintas di tingkat penyidikan antara lain polisi lalu lintas mendatangi tempat kejadian perkara kemudian membuat sketsa tempat kejadian perkara, menolong korban, mencatat saksi-saksi, mengamankan barang bukti kecelakaan seperti kendaraan, SIM, dan STNK, untuk proses penyidikan lebih lanjut. Setelah dilakukan penyidikan polisi membuat analisis kasus dan dilakukan diskresi apabila kecelakaan yang terjadi ringan, tersangka meninggal dunia. Dilakukan kesepakatan diantara kedua belah pihak untuk penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas.
24
3. Akibat hukum dari tindakan diskresi yang dilakukan penyidik Polresta Surakarta terhadap tindak pidana lalu lintas bahwa masing-masing pihak dapat mengetahui posisinya, pemilik mobil memberikan dana santunan kepada korban meninggal dunia, serta adanya alasan tidak akan melakukan penuntutan. Diskresi kepolisian harus dilakukan berdasarkan asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Dari ketiganya harus berjalan secara seimbang dan tidak mendahulukan salah satu diantaranya. B. Saran 1. Diperlukan suatu aturan khusus mengenai diskresi kepolisian khususnya dalam bidang penyidikan tindak pidana sehingga tidak menimbulkan
keragu-raguan
atau
perdebatan
dalam
pelaksanaannya baik secara internal maupun dari eksternal Polri. 2. Perlu diatur mengenai tolak ukur penilaian berupa hal-hal yang memberatkan maupun yang meringankan bagi penyidik, yang menjadi dasar penilaian awal pengambilan keputusan untuk menentukan tindakan kepolisian yang akan dilakukan selanjutnya; serta hal-hal yang menjadi pedoman dalam diskresi untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam diskresi dan menjadi tolak ukur penerapan diskresi serta pertanggungjawabannya 3. Diperlukan adanya peningkatan pemahaman penyidik mengenai diskresi sebab diskresi yang tidak didasarkan pada peraturan perundang-undangan berarti merupakan diskresi yang melawan hukum. Selain itu agar pelaksanaan diskesi benar-benar sesuai harapan, maka baik oleh pelaku (subjek) diskresi maupun sasaran (objek) diskresi harus saling bersinergi supaya dapat mendorong penggunaan diskresi secara benar, baik, dan bertanggung jawab sehingga berdampak pada terwujudnya pemerintahan yang baik.
25
DAFTAR PUSTAKA
Adam Chazawi. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil di Indonesia. Malang: Banyumedia Publishing. Andi Hamzah. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika. Darwan Prinst, 2009, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta: Djambatan. Djoko Prakoso, 2007, Polri Sebagai Penyidik dalam penegakan Hukum, Jakarta: Bina Aksara. Luhut M. P. Pangaribuan, 2008, Hukum Acara Pidana, Satu Kompilasi Ketentuan ketentuan KUHAP dan Hukum Internasional, Cet-III, Jakarta: Djambatan. M. Faal, 2001, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Jakarta: Pradnya Paramita. Moeljatno. 2000. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Bina Aksara. P.A.F. Lamintang, 2006, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Adityta Bakti. Pramadya Yan Puspa. 1977. Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris. Semarang: Aneka Ilmu. Satjipto Rahardjo. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Yoggayakarta: Genta Publishing. Simorangkir. CST., 2000. Kamus Hukum. Jakarta: Alinea Baru. Soejono Soekanto. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Soejono Soekanto. 2009. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.. Hal 10. Soehardi, 2003, Hukum Acara Pidana, Surabaya: Penerbit Appolo. Sofyan Lubis. 2012. prinsip Miranda Rule: Hak-hak Tersangka sebelum Pemeriksaan. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan