UNIVERSITAS INDONESIA
KOMITMEN PERNIKAHAN PADA TENAGA KERJA WANITA (TKW): STUDI KUALITATIF DI DESA DADAP, INDRAMAYU
(MARITAL COMMITMENT AMONG FEMALE MIGRANT WORKERS: A QUALITATIVE STUDY IN DADAP VILLAGE, INDRAMAYU)
DISERTASI
MELOK RORO KINANTHI 0906599344
FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI PROGRAM PASCASARJANA DEPOK MARET 2015
1 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
KOMITMEN PERNIKAHAN PADA TENAGA KERJA WANITA (TKW): STUDI KUALITATIF DI DESA DADAP, INDRAMAYU
(MARITAL COMMITMENT AMONG FEMALE MIGRANT WORKERS: A QUALITATIVE STUDY IN DADAP VILLAGE, INDRAMAYU)
DISERTASI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Doktor di bidang Psikologi yang dipertahankan dalam Sidang Terbuka Senat Akademik Universitas Indonesia di bawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met. pada hari Senin, 2 Maret 2015 pukul 10.00 WIB
MELOK RORO KINANTHI 0906599344
FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI PROGRAM PASCASARJANA DEPOK MARET 2015 2 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
3 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
4 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti mengucapkan rasa syukur tak terhingga pada Allah SWT atas seluruh proses pendidikan doktoral yang telah peneliti jalani hingga saat ini. Peneliti juga mengucapkan banyak terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil dalam studi yang peneliti tempuh, yakni: 1. Dr. Adriana Soekandar Ginanjar, M.S., selaku promotor, dan Winarini Wilman Dahlan, Ph.D, selaku ko-promotor, atas bimbingan, arahan, dan saran-saran yang bermanfaat dalam proses pembelajaran peneliti selama menempuh pendidikan doktoral ini, khususnya dalam proses pembuatan disertasi. 2. Seluruh penguji dari mulai tahap ujian proporsal hingga ujian promosi, yakni Prof. Dr. Guritnaningsih, Prof. Dr. Sawitri S. Sadarjoen, Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Prof. Dr. Hamdi Muluk, Dr. E. Kristi Poerwandari, M.Hum., Dr. Bagus Takwin, M.Hum, Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, M.A., dan Dharmayati Utoyo Lubis, Ph.D., atas masukan-masukan yang berharga demi perbaikan disertasi ini. 3. Ketua Yayasan YARSI, Prof. Dr. H. Jurnalis Uddin, P.A.K., dan Rektor Universitas YARSI, Prof. Susi Endrini, Ph.D., beserta seluruh jajarannya atas kesediaannya memberikan kesempatan dan dukungan moril maupun materiil kepada saya untuk menempuh pendidikan doktoral. 4. Prof. Dr. Sawitri S. Sadarjoen, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas YARSI, beserta rekan-rekan staf pengajar dan staf administrasi Fakultas Psikologi Universitas YARSI untuk dukungan moril yang telah diberikan selama ini serta untuk kesabarannya dalam menanti saya menyelesaikan pendidikan doktoral ini. 5. DIKTI atas dana hibah Penelitian Disertasi Doktor yang amat membantu pelaksanaan penelitian maupun proses pembuatan disertasi ini. 6. Kel. Bapak Mamun, keluarga Bapak H. Said, keluarga besar Mak Tuk, Maliyatul Khoir, Mas Herry, dan Ibu Farida atas penerimaan, pendampingan, dan bantuannya selama peneliti melakukan penelitian di desa Dadap, Indramayu. Selain itu, peneliti juga mengucapkan terimakasih kepada para partisipan yang telah berkenan berbagi pengalamannya, yakni (bukan nama sebenarnya) Ibu Tarsih, Ibu Ningsih, Ibu Yayah, Ibu Irma, Ibu Desi, Ibu Lasmi, Ibu Karti, Ibu Harti, Ibu Imas, dan Ibu Wanti. 5 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
7. H. Sofa, selaku kuwu desa beserta perangkat desa lainnya atas bantuan, kerja sama, dan dukungannya selama peneliti melakukan penelitian di sana. 8. Bapak Supali Kasim, atas kesediaannya berbagi pengetahuan seputar budaya Indramayu. 9. Mereka yang telah banyak membantu proses awal pembuatan disertasi ini dengan berbagi pengetahuan dan pengalamannya mengenai komitmen pernikahan, yakni Ibu Rustika Thamrin, Bapak Asep Haerul Gani, Ibu Nurhayati Djamas, Bapak Dian Kelana, teh Yani, Ibu Najamudin Sanap, Bapak Nasri Yunus, Bapak Rajiman, Ibu Radhiya, Ibu Siti Rahmawati, Bapak Fitra Faturachman, Bapak Mustain, dan Bapak Joni Biru. 10. Para asisten peneliti yang telah membantu membuat transkrip verbatim data penelitian yakni Anggun, Nonika, Amalia, Riri Burhan, Hilda, Luluk, Wahyu Puji, Ayu Rakhmi, Euis, Humaira, Wifa. 11. Para staf sub bag akademik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yakni Mbak Siti (yang sangat sigap, cekatan, dan responsif), Mas Robin, dan Pak Irwan atas semua bantuannya dalam pengurusan hal-hal administratif selama masa studi saya. 12. Para guru yang telah banyak mengajar dan mendidik saya selama ini, baik dalam jenjang pendidikan formal maupun secara non formal. 13. Teman-teman program doktor Fakultas Psikologi Universitas Indonesia angkatan 2009 atas kebersamaan dan dukungannya. 14. Suami peneliti, Wyndra Yustham, atas dukungan dan toleransinya yang luar biasa kepada peneliti selama menempuh pendidikan doktoral ini. 15. Keluarga besar peneliti, yakni kel. H. Suprayitno dan kel. (alm). dr. Yustham Soetomo, berserta seluruh saudara kandung, saudara ipar, para sepupu, Tek Anny, Uda Erry dan keluarga, Om Zahar dan keluarga, Tante Endang dan Om Dewantono, atas dukungan dan doanya selama ini. Sekali lagi, terimakasih untuk semuanya!
-Melok-
6 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
7 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Melok Roro Kinanthi. : Program Doktor Psikologi. : Komitmen Pernikahan pada Tenaga Kerja Wanita (TKW): Studi Kualitatif di Desa Dadap, Indramayu.
Penelitian ini bertujuan untuk memeroleh gambaran dan pemahaman mengenai faktor-faktor berperan dalam komitmen pernikahan para Tenaga Kerja Wanita (TKW) di desa Dadap, Indramayu dan bagaimana dinamikanya, dengan menggunakan kerangka teori Bioekologi. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus, data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan partisipatif dan analisis dokumen terhadap berbagai sumber, seperti TKW, perangkat desa, budayawan setempat, warga, dan staf lembaga pemerintahan terkait. Sebagai informan kunci, TKW yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 11 orang, terdiri dari mereka yang masih mempertahankan pernikahan dan yang telah mengakhirinya. Partisipan dipilih secara purposive dan snowball. Menggunakan teknik analisis dari Miles, Huberman, dan Saldana (2014), temuan yang didapat dalam penelitian ini adalah tampaknya context makrosistem merupakan pre-determined bagi interaksi antara berbagai context lingkungan yang mengelilingi partisipan, yakni mikrosistem, mesosistem, eksosistem, dan karakteristik personal partisipan itu sendiri, yang mana berbagai interaksi tersebut berperan dalam dinamika komitmen pernikahan partisipan. Diantara berbagai context lingkungan yang saling berinteraksi tersebut, tampaknya interaksi antara individu dengan mikrosistemnya, dalam hal ini pasangan, atau yang dinamakan proximal process, dan karakteristik personal yang dihasilkan dari proximal process tersebut menjadi penentu utama komitmen pernikahan partisipan. Faktor lingkungan berperan sebagai pemicu timbulnya konflik dalam pernikahan partisipan dan sebagai faktor yang melatari proximal process dan karakteristik personal partisipan. Sementara itu, keputusan untuk tetap berkomitmen dan bagaimana partisipan merespon situasi sulit tersebut lebih banyak ditentukan oleh proximal process dan karakteristik personal partisipan yang dihasilkan dari proximal process itu sendiri. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa teori Bioekologi dapat menjelaskan komitmen pernikahan TKW di desa Dadap, Indramayu.
Kata kunci: Komitmen Pernikahan, Indramayu, TKW, Kualitatif.
Teori
Bioekologi,
Bronfenbrenner,
8 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
ABSTRACT
Name Title
: Melok Roro Kinanthi. : Marital Commitment Among Female Migrant Workers: A Qualitative Study in Dadap Village, Indramayu.
The objective of this research is to obtain a description and understanding of certain aspects portraying a marriage commitment on Indonesian female migrant worker (TKW) in the village of Dadap, Indramayu, as how dynamic those are, by utilizing the Bioecology theory framework. Utilizing a qualitative approach and having a case study design, data contained in this research are compiled by a means of interview, participatory observation, and documentary analysis against any resources, such as TKW, official community, society, and relevant government institution staff. As the key informant, TKW involved in this research comprised of 11 persons, some who keep striving their marriage and others are already divorced. Participants are selected purposively and snowball. Utilizing an analysis technique by Miles, Huberman, and Saldana (2014), the finding on this research exposes a macrosystem context which constitutes a predetermined of interaction among environment context surrounded to participants, i.e. microsystem, mesosystem, exosystem, and their personal characteristic, of which those interaction play its role on a dynamic commitment of participants marriage.Among those interacted environment context, it appears interaction between individual with her microsystem (spouse), or it is called as proximal process, and personal characteristic resulted from a proximal process plays a major determination to participant marriage commitment. Environment aspect plays its role as a trigger of conflict within a marriage of participants, and as an aspect contributing proximal process and participant personal characteristic. While the decision to maintain a commitment and how participants respond to particular difficult situation are more determined by proximal process and personal participants characteristic resulting from its proximal process.
Keywords: Marital Commitment, Bioecology, Bronfenbrenner, Indramayu, TKW, Qualitative
9 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN ORISINALITAS UCAPAN TERIMAKASIH LEMBAR PERSETUJUAN KARYA ILMIAH ABSTRAK DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………
1
1.1.Latar Belakang Penelitian ………………………………………… 1.1.1. Komitmen Pernikahan ………………………………… 1.1.2. Pentingnya Mempertimbangkan Konteks Lingkungan dalam Meneliti Komitmen Pernikahan ……………………………. 1.1.3. Komitmen Pernikahan di Budaya Timur dan di Indonesia … 1.2 Konteks Penelitian …………………………………………………. 1.3 Tesis ……………………………………………………………….. 1.4 Pertanyaan Penelitian ………………………………………………. 1.5 Tujuan Penelitian ………………………………………….............. 1.6 Manfaat Penelitian ……………………………………………. .. 1.7 Sistematika Penulisan ……………………………………………..
1 1 3 5 8 10 11 12 12 13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………
15
2.1. Komitmen dalam Relasi Romantis ……………………………….. 2.1.1. Definisi Komitmen dalam Relasi Romantis ……………. 2.1.2. Model Teoritik Komitmen dalam Relasi Romantis di Budaya Barat (Teori Interdependensi)…………………… 2.1.3. Kritik terhadap Teori Interdependensi ………………….. 2.2.Teori Bioekologi dari Bronfenbrenner ……………………………. 2.2.1. Komponen Process, Person, Context, Time (PPCT) ….. 2.2.2. Proposisi dalam Teori Bioekologi ……………………… 2.3.2. Penerapan Teori Bioekologi dalam Konteks Pernikahan … 2.3.Dampak Menjadi TKW bagi Relasi Pernikahan ………………….. 2.4. Konteks Sosiokultural Indramayu ………………………………… 2.4.1. Profil Wilayah Indramayu ……………………………… 2.4.2. Gambaran Komitmen Pernikahan pada Masyarakat Indramayu ……………………………………………… 2.5. Teori Interdependensi dan Teori Bioekologi dalam menjelaskan Komitmen Pernikahan pada TKW di Desa Dadap, Indramayu ….
15 15 19 27 29 29 34 34 35 38 38 41 42
10 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
BAB 3 METODE PENELITIAN ……………………………………
48
3.1. Pendekatan Kualitatif ………………………………………………. 3.1.1. Latar Belakang Penggunaan Pendekatan Kualitatif ………. 3.1.2. Karakteristik Pendekatan Kualitatif ……………………… 3.2. Studi Kasus …………………………………………………………. 3.3. Partisipan ……………………………………………………………. 3.4. Metode Pengumpulan Data …………………………………………. 3.4.1.Wawancara ………………………………………………. 3.4.2. Pengamatan Partisipatif ………………………………….. 3.4.3. Analisis Dokumen ………………………………………… 3.5. Prosedur Penelitian ………………………………………………..... 3.6. Teknik Analisis Data ……………………………………………… 3.7. Kredibilitas Penelitian ………………………………………………
48 48 50 52 52 57 57 58 59 59 62 64
BAB 4 CONTEXT SOSIOKULTURAL DAN PERMASALAHAN PERNIKAHAN TKW DI DESA DADAP …………………………
65
4.1. Profil Desa Dadap …………………………………………………... 65 4.1.1. Kondisi Geografi …………………………………………. 65 4.1.2. Jumlah Penduduk ………………………………………….. 68 4.1.3. Tingkat Pendidikan ………………………………………… 68 4.1.4. Agama ……………………………………………………… 70 4.1.5. Pekerjaan …………………………………………………… 70 4.2. Gambaran Kehidupan Sosial Desa Dadap ………………………….. 73 4.2.1. Gaya Hidup Konsumtif ……………………………………. 73 4.2.2. Bersaing secara Materi ……………………………………. 74 4.2.3. Berutang dan Jajan …………………………………………. 76 4.2.4. Ingin Cepat Kaya …………………………………………… 78 4.2.5. Gemar Berziarah …………………………………………… 79 4.3. Nilai-nilai Sosiokultural terkait Pernikahan ………………………… 79 4.3.1. Perceraian, Pernikahan Dini, dan Seks Pranikah …………. 79 4.3.2. Pandangan Wong Dadap terhadap Janda …………………. 82 4.4. TKW di Desa Dadap …………………………………………………. 83 4.5. Gambaran Pernikahan TKW ……………………………………….. 87 4.5.1. Istri Bekerja adalah Hal yang Biasa ……………………… 87 4.5.2. Fenomen ‘Duda Arab’ dan Potensi Konflik pada Pernikahan TKW ……………………………………………………… 89 4.5.3. Peran Orang Tua dalam Mengakhiri Pernikahan …………. 92 4.5.4. Peran Perangkat Desa dalam Pernikahan dan Perceraian TKW ……………………………………………………….. 96 4.6. Pembahasan ………………………………………………………… 97
11 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
BAB 5 CONTEXT LINGKUNGAN, PROXIMAL PROCESS, DAN KARAKTERISTIK PERSONAL DALAM KOMITMEN PERNIKAHAN 106 PARTISIPAN ..……………………………………………………….. 5.1. Latar Belakang Kehidupan Partisipan ……………………………… 106 5.2. Situasi Sulit dalam Pernikahan yang Dialami Partisipan ………….. 109 5.2.1. Masalah terkait Perselingkuhan …………………………. 110 5.2.2. Masalah terkait Finansial ………………………………… 113 5.2.3. Konflik antara Menantu dengan Mertua ………………….. 115 5.2.4. Persepsi terhadap Jenis Masalah …………………………. 117 5.3. Interaksi antara Partisipan dengan Context Makrosistem ………….. 120 5.3.1. Menikah karena Tuntutan Sosial ………………………… 120 5.3.2. Nilai tentang Anak dan Sikap Partisipan terhadapnya …… 121 5.3.3. Nilai mengenai Pasutri dan Pernikahan ………………….. 127 5.3.4. Komitmen Pernikahan sebagai Takdir Tuhan ……………. 130 5.4. Interaksi antara Partisipan dengan Context Eksosistem ……………….131 5.5. Interaksi antara Partisipan dengan Context Mesosistem ……………… 133 5.6. Interaksi dengan Context Mikrosistem……………………………….. 136 5.6.1. Motivasi menjadi TKW …………………………………… 136 5.6.2. Pengalaman Pernikahan Orang Tua ………………………. 138 5.6.3. Campur Tangan Keluarga ………………………………… 142 5.7. Interaksi antara Partisipan dengan Pasangan …………………… 146 5.7.1 TKW dan Sikap Pasutri …………………………………… 146 5.7.2 Menikah, Pemenuhan Kebutuhan, dan Adanya Ketertarikan (Rasa Cinta) ………………………. 150 5.7.3 Penilaian terhadap Proximal Process dan Kesediaan Partisipan Melakukan Tindakan Pemeliharaan Relasi (TPR) …………………………………………….. 152 5.7.4 Batas Toleransi Partisipan ……………………………….. 161 5.7.5 Keputusan untuk Berkomitmen atau Mengakhiri: Respon atas Stimulus yang Dilontarkan Suami …………... 166 5.7.6 Komitmen Pernikahan sebagai Relasi yang Mutual ……… 171 5.8. Karakteristik Personal Partisipan ……………………………………… 174 5.9. Pembahasan ………………………………………………………… 174 BAB 6 DISKUSI ………………………………………………………… 183 BAB 7 PENUTUP ……………………………………………………….. 197 7.1. Kesimpulan ………………………………………………………… 197 7.2. Keterbatasan Penelitian ………………………………………………. 200 7.3. Saran ………………………………………………………………… 201 7.3.1. Saran Teoritis ……………………………………………… 201 7.3.2. Saran Praktis ……………………………………………….. 201 DAFTAR PUSTAKA
12 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Daftar Seluruh Narasumber Penelitian …………………. ……
54
Tabel 3.2 Data Diri BMI Perempuan yang Mengikuti Wawancara Mendalam ………………………………………. 55 - 56 Tabel 3.3 Contoh Coding dan Pattern Codes ………………………………. 63 Tabel 4.1 Gambaran Tingkat Pendidikan Warga Desa Dadap tahun 2013……………………………….
68
Tabel 4.2 Konteks Lingkungan Berbasis Sosiokultural yang Berpotensi Memengaruhi Komitmen Pernikahan BMI Perempuan Di Desa Dadap ………………………………………………
105
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Gambar Teori Bioekologi dari Bronbrenner ................................... 33 Gambar 4.1 Peta Indramayu ................................................................................ 67 Gambar 4.2 Salah Satu Sudut Desa Dadap ......................................................... 67 Gambar 4.3 Perahu Para Nelayan Desa Dadap ................................................... 73 Gambar 4.4 Warga Hendak Mengunjungi Mal ‘Grage’ dengan Minicar ………. 75 Gambar 4.5 Rumah seorang TKW asal desa Dadap .......................................... 85
DAFTAR DIAGRAM Diagram 5.1. Karakteristik Person sebagai Produk dan Penentu Perkembangan ………………………………………………….. 179 Diagram 5.2. Interaksi Faktor Lingkungan, Proximal Process, dan Karakteristik Personal pada Komitmen Pernikahan Partisipan ………………. 182
13 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian 1.1.1
Komitmen Pernikahan Komitmen merupakan salah satu hal terpenting dalam pernikahan.
Sejumlah penelitian mengindentifikasikan komitmen sebagai faktor yang menentukan keberlangsungan, kepuasan, dan kestabilan pernikahan (Brooks, 2007; Impett, Beals, & Peplau, 2001). Hasil penelitian lain menyebutkan individu yang memiliki komitmen akan terdorong untuk mengambil tindakan guna melindungi dan menjaga relasi pernikahan yang dijalaninya melalui kesediaan untuk berkorban demi kebaikan bersama, kesediaan untuk memaafkan atau mengambil tindakan positif yang mengarah pada pemeliharaan relasi pernikahan (Finkel dkk, 2007; Schoebi dkk, 2012; Van Lange dkk, 1997). Hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor yang memengaruhi komitmen pernikahan antara lain kepuasan pernikahan (Impett dkk, 2001; Rusbult, 1983), attachment style (Birnie dkk, 2009), kepribadian (Swann dkk, 1992; Campbell & Foster, 2002; Kurdek, 1997; Ehrenberg dkk, 2009), religiusitas (Algood dkk, 2009; Nelson dkk, 2011; Lambert & Dollahite, 2008), motivasi untuk mempertahankan relasi dan motivasi untuk melakukan aktivitas relasional dengan pasangan (Gaine & La Guardia, 2009), interaksi dengan pasangan (Sprecher dkk, 1995), cinta (Crawford dkk, 2003), kohabitasi pranikah (Rhoades, Stanley, & Markman, 2006), dukungan sosial dan keluarga besar (Follingstad dkk, 2012; Umana-Taylor & Fine, 2003; Cox dkk, 1997), pengalaman pernikahan orang tua (Weigel dkk, 2003; Amato & DeBoer, 2001; Whitton dkk, 2008), investasi yang telah ditanamkan dalam relasi (Rusbult, 1983; Johnson dkk, 1999), dan pasangan alternatif (Follingstad dkk, 2012). Ketidakstabilan yang terjadi akibat rendahnya komitmen pernikahan (Impett dkk, 2001) bukan hanya berdampak pada pasutri yang bersangkutan saja (Amato, 2000; Amato & Hohmann-Marriot, 2007), namun juga dapat 14 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
menyebabkan gangguan psikologis, akademis, kesehatan dan sosial pada anak (Amato, 2000;
Frisco, Muller, & Frank, 2007; Ham, 2003;
Hango &
Housekencht, 2005; Sun & Li, 2002) serta berpotensi membuat mereka menjadi anggota masyarakat yang tidak dapat berfungsi dengan optimal, seperti menjadi pelaku kriminal (Sanni dkk, 2010; Price & Kunz, 2003). Mengingat betapa signifikannya dampak ketidakstabilan pernikahan bagi anggota keluarga, maka kajian mengenai komitmen pernikahan menjadi sedemikian penting dilakukan. Dengan adanya pemahaman yang lebih mendalam tentang komitmen pernikahan, diharapkan dapat tercipta berbagai upaya yang dapat mengoptimalkan kualitas pernikahan pasutri. Dalam lima dasawarsa terakhir teori Interdependensi dipandang sebagai teori yang sangat sesuai untuk menjelaskan bagaimana komitmen terhadap suatu relasi romantis terbentuk, terpelihara atau berakhir di negara-negara Barat (Rusbult & Van Lange, 2003). Menurut teori Interdependensi, dalam berinteraksi dengan lingkungannya, individu berprinsip mencari interaksi yang menyediakan keuntungan maksimal dengan pengorbanan seminimal mungkin (Miller dan Perlman, 2009). Dengan demikian, individu akan mempertahankan relasi romantisnya ketika merasa relasi tersebut memberikan keuntungan baginya atau akan mengakhirinya ketika merasa akan mendapat kerugian darinya. Terdapat tiga model teoritik utama mengenai komitmen dalam relasi romantik yang mengacu pada teori Interdependensi, yakni The Cohesiveness Model (Levinger, 1965), The Commitment Framework (Johnson, 1973), dan The Investment Model (Rusbult, 1980, 1983). Meski
telah
banyak
diterapkan
di
negara-negara
Barat,
teori
Interdependensi masih memiliki sejumlah keterbatasan dalam menjelaskan komitmen pernikahan. Pertama, teori Interdependensi terlalu berfokus pada transaksi reward - cost, yang mana hal ini mengindikasikan bahwa komitmen pernikahan semata-mata hanya berkaitan dengan hubungan antar individu (dalam hal ini, interaksi antara individu dengan pasangannya). Padahal, relasi pernikahan tidak hanya dibentuk oleh hubungan antar individu saja, namun juga melibatkan hubungan dengan komponen lingkungan yang lebih luas, seperti keluarga besar (Weigel, Bennet & Ballard-Reisch, 2003; Umana-Taylor & Fine, 2003; Amato & 15 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
DeBoer, 2001), nilai dan kebiasaan masyarakat (Gudykunst dkk, 1996), hingga perubahan nilai di masyarakat (Cherlin, 2004; Paul, 2009). Kedua, dalam teori Interdependensi, definisi interaksi antara individu dengan pasangannya sematamata
didasarkan pada prinsip transaksi reward – cost sehingga hal tersebut
menyempitkan peran konteks lingkungan sebagai faktor yang bisa saja memengaruhi interaksi tersebut. Terkait dengan hal ini, menurut Hogg dan Vaughan (2005), nilai-nilai budaya dapat memengaruhi bagaimana individu berinteraksi dengan orang di sekitarnya, termasuk pasangan. Ketiga, teori Interdependensi juga terlalu bersifat transaksional dan menafikan karakteristik personal (Miller & Perlman, 2009). Terkait dengan hal ini, Miller dan Perlman (2009) mengajukan pertanyaan retoris ‘Apakah keberhasilan atau kegagalan dari relasi romantis semata-mata hanya dikarenakan oleh adanya pertimbangan untung-rugi?’. Sejumlah hasil penelitian mendukung apa yang dipertanyakan oleh Miller dan Perlman tersebut, yakni ternyata ada peran karakteristik personal sebagai penentu keberhasilan pernikahan. Sebagai contoh, kemampuan adaptasi, coping skills, optimisme dan afek positif (Gordon & Baucom, 2005; Neff & Karney, 2009) merupakan sejumlah karakteristik personal yang turut menentukan keberhasilan relasi pernikahan. Demikian pula halnya dengan religiusitas (Allgood dkk, 2009; Lambert & Dollahite, 2006) dan kepribadian (Campbell & Foster, 2002; Ehrenberg dkk, 2009). Keempat, teori Interdependensi cenderung kurang melibatkan faktor ‘kesulitan’ yang mungkin dialami individu dalam menjalani relasi pernikahan. Padahal, menurut Lydon dan Zanna (1990), kajian mengenai komitmen pernikahan akan lebih valid dan komprehensif ketika melibatkan faktor ‘kesulitan’ yang ada dalam pernikahan tersebut. Sejumlah kesulitan yang mungkin saja terjadi dan dapat memengaruhi komitmen pernikahan individu diantaranya adalah pernikahan jarak jauh (Scott, 2002), kemiskinan (Seccombe, 2004), hilangnya pekerjaan pasangan (Ayhan, 2014), atau perilaku negatif pasangan seperti pengkhianatan (Fitness, 2001).
1.1.2
Pentingnya Mempertimbangkan Konteks Lingkungan dalam Meneliti Komitmen Pernikahan
16 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Hingga saat ini sudah banyak penelitian yang dilakukan di negara-negara Barat mengenai faktor apa saja yang dapat memengaruhi komitmen pernikahan, meski demikian, temuan yang diperoleh dari berbagai hasil penelitian di negara Barat tersebut belum tentu sesuai dengan kenyataan yang dialami oleh pasutri yang hidup di negara non Barat (Fakher, 2013). Hal ini terjadi karena dalam menjalani relasi interpersonal, individu berpedoman pada norma, kebiasaan, dan ekspektasi yang ada di budaya tempat tinggalnya (Lalonda, Hynie, Pannu, & Tatla, 2004), sehingga alasan individu untuk mempertahankan atau mengakhiri pernikahan tergantung pada norma serta kebiasaan yang dianutnya dari budaya yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, fenomena yang terjadi pada suatu budaya, belum tentu terjadi pada budaya lainnya. Sebagai contoh, hasil penelitian Broman (2002) menunjukkan pada sejumlah etnis tertentu kepuasan pernikahan dapat mengurangi kecenderungan individu untuk mengakhiri pernikahan, sementara pada etnis yang lainnya tidak. Fakher (2005) mengemukakan dalam penelitian empiris seringkali terdapat bias, yakni adanya asumsi bahwa seluruh budaya dan norma sosial yang ada pada budaya lain berhubungan dengan budaya Barat, tempat dimana penelitian tentang komitmen pernikahan banyak dilakukan. Dengan adanya asumsi yang demikian, hasil penelitian di budaya Barat seringkali diaplikasikan pada masyarakat di budaya Timur tanpa mempertimbangkan budaya, tradisi, serta nilai-nilai setempat.
Padahal, teori dan hasil penelitian mengenai komitmen
pernikahan yang selama ini dikembangkan di negara-negara Barat tidak dapat diterapkan begitu saja untuk menjelaskan komitmen pernikahan yang ada pada negara-negara Timur. Hal ini disebabkan budaya Barat memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan budaya Timur. Perbedaan nilai-nilai tersebut turut memengaruhi dinamika relasi pernikahan. Sebagai contoh, pada budaya Barat komunikasi eksplisit dan adanya kedudukan yang setara pada pasutri dapat mendukung terjadinya keharmonisan pernikahan, sementara itu pada budaya Timur, keharmonisan justru dicapai melalui komunikasi implisit dan hirarki kedudukan yang tegas pada pasutri (Gudykunst dkk, 1996). Contoh lainnya, relasi pernikahan di negara-negara Barat pada umumnya didasari cinta antar individu atau lovebased marriage (Levine, Sato, Hashimoto, & Verma, 2005) dan kepentingan 17 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
pribadi (seperti yang tercermin dalam teori Pertukaran Sosial dan teori Kesetaraan – Impett, Beals, & Peplau, 2001; Canary & Stafford, 1992), sementara itu di negara-negara Timur, kenyataannya relasi pernikahan bukan hanya persoalan individu saja, melainkan juga terkait dengan keluarga, dan/atau komunitas kelompok budaya, seperti tercermin dalam fenomena arranged-marriage di India, Arab, China, Japan, Vietnam, termasuk Indonesia (Mehndiratta, Paul, & Mehndiratta, 2007).
1.1.3 Komitmen Pernikahan di Budaya Timur dan di Indonesia Budaya Timur. Penelitian mengenai komitmen dalam relasi romantis yang dilakukan pada konteks budaya Timur (negara-negara Asia seperti China, Jepang, Hongkong, India, termasuk Indonesia) masih belum sebanyak yang dilakukan di budaya Barat. Penelitian tentang komitmen pernikahan di negaranegara Timur, khususnya Asia, dilakukan oleh Lin dan Rusbult (1995) serta Ho dan kawan-kawan (2012). Lin dan Rusbult (1995) melakukan penelitian cross sectional pada individu dewasa muda yang tinggal di Taiwan, sementara Ho dan kawan-kawan (2012) melakukan penelitiannya di Hong Kong. Temuan Lin dan Rusbult (1995) menunjukkan adanya kesesuaian dengan apa yang ditemukan di Amerika Serikat, yakni komitmen pernikahan akan menguat pada relasi yang memberikan tingkat kepuasan yang lebih besar, besarnya investasi yang telah ditanamkan dalam relasi, dan tiadanya pasangan alternatif yang berkualitas. Sementara itu, hasil penelitian Ho dan kawan-kawan (2012) di Hong Kong menunjukkan bahwa kepuasan terhadap relasi romantis secara positif berkorelasi dengan komitmen personal dan secara negatif berkorelasi dengan komitmen struktural. Selain kedua penelitian tersebut, penelitian lain tentang komitmen pernikahan yang melibatkan individu keturunan Asia adalah penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Smith (2012) terhadap individu berdarah Korea-Amerika yang tinggal di Amerika Serikat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan pada pasutri yang pasangannya mengalami demensia, bagaimana sikap caregiver terhadap caregiving ditentukan oleh komitmen pernikahan, disamping faktorfaktor lainnya seperti spiritualisme.
18 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Penelitian yang dilakukan Lin dan Rusbult (1995) serta Ho dan kawankawan (2012) tersebut masih memiliki sejumlah keterbatasan. Pertama, kedua penelitian tersebut menggunakan partisipan yang menjalin relasi romantis dalam taraf berkencan dan bertunangan (belum menikah). Padahal, relasi pernikahan berpotensi menimbulkan stres yang lebih kompleks daripada hubungan kencan atau tunangan karena dalam pernikahan pasutri harus melalui berbagai tantangan yang berbeda-beda di setiap tahapnya (Olson & DeFrain, 2006). Kondisi ini memberikan pengaruh pada dinamika berkomitmen. Kedua, penelitian tersebut hanya sekedar mereplikasi model komitmen yang mengacu pada teori Interdependensi, yang dikembangkan di budaya Barat. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan oleh Lin dan Rusbult (1995), Panayiotou (2005) serta Ho dkk (2012) itu belum mengeksplorasi kekhasan komitmen dalam relasi romantis pada budaya Timur. Adapun dalam penelitian Lee dan Smith (2012), komitmen pernikahan diposisikan sebagai variabel yang memengaruhi variabel lain (sikap caregiver) sehingga apa dan bagaimana komitmen pernikahan terbentuk belum terjawab dalam penelitian tersebut.
Komitmen Pernikahan di Indonesia. Di Indonesia, sejumlah hasil penelitian tentang komitmen pernikahan menunjukkan adanya kesesuaian dengan apa yang dikemukakan oleh
teori Interdependensi di negara-negara Barat.
Sebagai contoh, hasil penelitian Farida (2001) menunjukkan bahwa komitmen pernikahan pada para pria yang berselingkuh ditentukan oleh tingginya kepuasan pernikahan, besarnya investasi yang telah ditanamkan dan tiadanya pasangan alternatif. Hasil penelitian lain menunjukkan komitmen pernikahan pada populasi masyarakat di daerah tertentu di Indonesia ternyata masih terkait dengan kepuasan pernikahan (Suhardono, 1998; Wismanto, 2004). Selanjutnya, temuan lain mendapati bahwa munculnya sesuatu yang dianggap sebagai cost dalam relasi, seperti poligami, perselingkuhan pasangan, dan KDRT dapat menyebabkan individu mengakhiri pernikahannya (Prianto, Wulandari, & Rahmawati, 2003; Fauzi, 2014; Hapsari & Iqbal, 2011; Khumas, 2012). Dengan demikian, komitmen pernikahan dalam berbagai hasil penelitian tersebut masih terkait dengan adanya faktor transaksional dalam interaksi antara individu dengan pasangannya. Selain 19 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
menunjukkan kesesuaian hasil dengan model teoritik yang mengacu pada teori Interdependensi, hasil penelitian di Indonesia mengenai komitmen pernikahan umumnya masih seputar hubungan antara komitmen pernikahan dengan faktorfaktor individual, seperti pemaafan (Firdaus, 2005; Imelda, 2004), kesediaan berkorban (Wismanto, 2004), religiusitas (Salman, 2010), dan coping (Peddyastri, 2005; Rahmatika dan Handayani, 2011). Dari berbagai pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen pernikahan di Indonesia: (1) memiliki relevansi dengan teori Interdependensi, dan (2) terdapat peran faktor-faktor individual di dalamnya. Meski demikian, pernikahan di Indonesia ternyata tidak dapat dipisahkan dari konteks masyarakat, kelompok budaya, dan keluarga besar. Dalam konteks lingkungan yang lebih luas (masyarakat), terdapat sejumlah kebiasaan dan nilai-nilai tertentu yang hidup di masyarakat yang berpotensi membentuk pernikahan, seperti kebiasaan ‘kawin gantung’ (Jones, 2001), pernikahan dini (Jones, 2001), kebanggaan melakukan ‘kawin – cerai’ (Jones, Asari, Djuartika, 1994), atau adanya tradisi pernikahan dan perceraian pada musim-musim tertentu (Jones, Asari, Djuartika, 1994). Sementara itu, dalam konteks lingkungan yang lebih sempit (dekat), pernikahan di Indonesia juga tidak dapat dilepaskan dari campur tangan keluarga, khususnya orang tua. Sama halnya dengan negara-negara Asia lainnya, peran keluarga besar dalam kehidupan pernikahan pasutri di Indonesia cukup signifikan. Peran ini bahkan dimulai ketika individu masih melajang yakni dengan mencarikan jodoh atau mengatur pernikahan (Situmorang, 2005; Jones, Asari, Djuartika, 1994), khususnya bagi perempuan. Setelah individu menikah, sama halnya seperti pada masyarakat Asia lainnya, peran keluarga besar ini terus berlanjut, misalnya dengan memberi bantuan ekonomi, pengasuhan cucu, sampai bantuan pengerjaan pekerjaan rumah tangga (Hermalin, Roan, & Perez, 1998). Bahkan, tak jarang orang tua turut berperan ketika pasutri sedang berkonflik, yakni dengan mendorong salah satu pihak untuk mengakhiri pernikahan (Hapsari dan Iqbal, 2011; Sakardi, 1999; Wazdi, 2002). Dari berbagai pemaparan diatas, peneliti berpendapat bahwa relasi pernikahan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari adanya faktor-faktor individual,
interaksi
dengan
pasangan,
dan
konteks
lingkungan
yang
20 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
mengelilinginya. Hal ini sesuai dengan pandangan teori Interdependensi maupun teori Bioekologi. Teori Interdependensi yang berfokus pada proses transaksional dapat menjelaskan komitmen pernikahan di Indonesia dari aspek hubungan antar individu (interaksi antara individu dengan pasangan). Meski demikian, mengingat pernikahan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks sosiokultural maupun kekerabatan (Jones, 2001; Jones, Asari, & Djuartika, 1994), maka teori Interdependensi sendiri tidak cukup komprehensif dalam menjelaskan komitmen pernikahan di Indonesia. Dengan demikian, diperlukan suatu kerangka teori yang juga mempertimbangkan konteks lingkungan di dalamnya. Kerangka teori yang dimaksud
adalah
Bioekologi
(Bronfenbrenner, 2005).
Teori Bioekologi
menyebutkan manusia hidup dengan dikelilingi oleh lingkungan ekologis yang dapat
memengaruhi
perkembangannya,
yakni
makrosistem,
eksosistem,
mesosistem, hingga mikrosistem (Bronfenbrenner, 2005). Faktor yang ada di dalam berbagai sistem tersebut diantaranya mencakup kondisi pasangan dan pernikahan itu sendiri, kondisi sosial ekonomi keluarga dan masyarakat, nilainilai budaya, kebiasaan masyarakat, kekerabatan/ keluarga, dan perubahan sosial yang terjadi di lingkungan pernikahan. Meski konteks lingkungan yang lebih jauh turut memengaruhi perkembangan individu, namun inti dari proses perkembangan itu sendiri adalah interaksi antara individu dengan lingkungan terdekatnya (mikrosistem), atau yang disebut proximal process (Bronfenbrenner, 2005), yang mana dalam relasi pernikahan, pasangan merupakan salah satu lingkungan terdekat individu yang dapat memberikan pengaruh yang signifikan. Selain menganggap penting peran lingkungan, teori Bioekologi tetap menekankan pentingnya faktor karakteristik personal dalam proses perkembangan tersebut. Menurut teori Bioekologi, faktor karakteristik personal memiliki peran ganda dalam perkembangan individu, yakni sebagai penentu perkembangan sekaligus sebagai produk perkembangan itu sendiri (Bronfenbrenner, 2005).
1.2 Konteks Penelitian Konteks penelitian ini adalah Indramayu, khususnya desa Dadap. Indramayu merupakan daerah dengan tingkat perceraian yang tinggi di Indonesia, atau dengan kata lain memiliki tingkat komitmen pernikahan yang rendah (Jones, 21 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Asari, & Djuartika, 1994). Kasus perceraian di Indramayu, yang berpenduduk kurang dari 2 juta jiwa, mencapai 9000 kasus per tahun. Jumlah ini melampaui angka perceraian di daerah lainnya yang hanya 1000 kasus per tahun untuk setiap 1 juta penduduk (Pikiran Rakyat Online, 1 Juli 2013). Selain itu, data yang ada menunjukkan bahwa kasus perceraian di Pengadilan Agama Indramayu didominasi oleh gugat cerai yang dilakukan oleh para tenaga kerja wanita atau TKW (Koran Sindo, 27 September 2013). Memang, selain merupakan daerah dengan tingkat perceraian yang tinggi, Indramayu juga merupakan daerah penyuplai TKW terbanyak kedua di Indonesia (Tribunnews.com, 9 Januari 2014). Komitmen pernikahan di Indramayu merupakan masalah yang cukup kompleks karena bisa jadi hal ini bertalian dengan kondisi dan permasalahan sosial budaya lainnya yang ada di Indramayu, seperti migrasi perempuan (Rosadi, 2010), kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural (Soedijar, 2004), pandangan atau kebiasaan masyarakat tentang perempuan dan pernikahan (Soekarba & Kenyowati, 2011; Jones, Asari, & Djuartika, 1994), pernikahan dini dan kawin paksa (Jones, Asari, & Djuartika, 1994; Sakardi, 1999), serta rendahnya kualitas masyarakat (Rosadi, 2010). Disamping faktor-faktor tersebut, salah satu faktor yang mungkin berpengaruh pada tingginya angka perceraian di kalangan para TKW atau rendahnya komitmen pernikahan para TKW adalah pernikahan jarak jauh. Berbagai temuan penelitian menunjukkan migrasi yang dilakukan para TKW turut andil dalam menyebabkan terjadinya perceraian melalui persoalan yang muncul ketika mereka menjalani pernikahan jarak jauh dengan pasangannya (misalnya Daulay, 2001; Hakim, 2003; Rosadi, 2010). Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa terdapat berbagai faktor yang dapat melatarbelakangi rendahnya komitmen pernikahan di Indramayu, yang bersifat saling bertalian dan tumpang tindih. Namun demikian, dengan adanya kebiasaan dan nilai-nilai yang mendorong terjadinya perceraian (Jones, Asari, & Djuartika, 1994) serta adanya faktor kesulitan (misalnya pernikahan jarak jauh) yang dihadapi dalam pernikahan para TKW, dalam kenyataannya juga masih ada para TKW yang dapat mempertahankan pernikahannya. Maka menarik untuk diketahui sebenarnya faktor apa saja yang benar-benar berperan pada komitmen pernikahan para TKW di Indramayu dan bagaimana interaksinya. 22 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Penelitian ini akan dilakukan di desa Dadap, Indramayu. Desa Dadap merupakan basis pengiriman TKW terbesar di antara berbagai wilayah lainnya di Indramayu (buruhmigran.or.id, 11 Oktober 2014). Desa Dadap dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki kondisi yang rentan memicu konflik dalam relasi pernikahan, yakni migrasi yang dilakukan para istri untuk bekerja sebagai TKW di luar negeri (Rosadi, 2010). Sejumlah hasil penelitian menyebutkan pernikahan jarak jauh merupakan pemicu terjadinya perceraian di kalangan TKW karena kondisi tersebut membuat sejumlah kebutuhan pasutri menjadi tidak terpenuhi (Fauzi, 2014; Sofiasta, 2010; Rosadi, 2010). Desa Dadap memiliki sejumlah kondisi sosial budaya, seperti kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural (Kasim, 2010), yang dapat membantu ‘mengekalkan’ profesi TKW di wilayah tersebut, sehingga dengan demikian potensi konflik pada pasutri menjadi lebih besar. Hasil diskusi kelompok terfokus yang dilakukan Rosadi (2010) menunjukkan seorang istri di desa Dadap menyadari bahwa ia tidak bisa menghindari dampak negatif dari migrasi yang dilakukannya (misalnya kebiasaan suami ke tempat prostitusi selama ditinggal istri), namun di sisi lain mereka tetap bermigrasi karena kondisi ekonomi yang dianggap sulit (Rosadi, 2010). Situasi yang dilematis ini secara tidak langsung dapat berpotensi memengaruhi keberlangsungan pernikahan pasutri yang bersangkutan melalui kondisi yang mengharuskan mereka untuk menjalani pernikahan jarak jauh dengan suami karena bekerja di luar negeri.
1.3 Tesis Mengingat pernikahan pada dasarnya adalah hubungan antar dua individu dan dengan didukung oleh sejumlah hasil penelitian yang ada di Indonesia (Prianto dkk, 2003; Hapsari & Iqbal, 2011; Khumas, 2012), peneliti berpendapat bahwa pada dasarnya teori Interdependensi dapat diterapkan dalam menjelaskan komitmen pernikahan para TKW di Indonesia, khususnya Indramayu. Dalam hal ini, teori Interdependensi dapat menjelaskan peranan interaksi antara suami dengan istri dalam komitmen pernikahan yang berkaitan dengan proses transaksional. Namun demikian, mengingat kompleksitas lingkungan dan banyaknya masalah sosiokultural yang ada di Indramayu, maka ada banyak faktor 23 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
yang berpotensi memiliki peran bagi keberlangsungan pernikahan TKW di wilayah tersebut. Untuk itu, selain mempertimbangkan relasi suami istri, ada hal lain yang harus diperhatikan dalam menjelaskan komitmen pernikahan pada para TKW di Indramayu, khususnya desa Dadap, yakni faktor lingkungan yang lebih luas, seperti makrosistem, eksosistem, mesosistem, dan mikrosistem. Dengan demikian, kerangka teori yang tepat untuk menjelaskan fenomena tersebut adalah teori Bioekologi dari Bronfenbrenner (2005). Teori Bioekologi bukan hanya dapat menjelaskan
interaksi
antara
individu
dengan
pasangannya
selaku
mikrosistemnya, namun juga dengan individu lain dalam mikrosistemnya maupun dengan lingkungan lain yang lebih luas (makrosistem, eksosistem, mesosistem) sebagai faktor yang dapat memengaruhi komitmen pernikahan. Dalam teori Bioekologi, berbagai lingkungan yang mengelilingi individu dan berpengaruh terhadap perkembangannya tersebut dinamakan context. Yang termasuk context adalah mikrosistem (lingkungan terdekat, seperti keluarga, pasangan, tetangga, teman), mesosistem (interaksi antar berbagai mikrosistem di sekitar individu), eksosistem, hingga makrosistem (misalnya sistem nilai, budaya). Adapun interaksi antara individu dengan lingkungan terdekat atau mikrosistemnya dinamakan process atau proximal process. Menurut teori Bioekologi, proximal process merupakan faktor inti yang berperan dalam perkembangan individu, yang mana proximal process itu sendiri dipengaruhi oleh context lainnya (mikrosistem hingga makrosistem) dan karakteristik individu yang bersangkutan (person). Dengan demikian, peneliti berpendapat bahwa interaksi antara person (individu itu sendiri), process atau proximal process (interaksi antara individu dengan mikrosistemnya, dalam hal ini pasangan) serta context lingkungan lain yang mengelilingi
individu
seperti
mikrosistem,
mesosistem,
eksosistem
dan
makrosistem (yang menyangkut nilai, kebiasan masyarakat, perubahan sosial, dll) berperan dalam dinamika komitmen pernikahan pada TKW di desa Dadap, Indramayu.
1.4 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah
“Bagaimana
dinamika komitmen pernikahan TKW di desa Dadap, Indramayu, dikaitkan 24 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
dengan interaksi individu dengan context makrosistem, eksosistem, mesosistem, mikrosistem, proximal process, dan karakteristik personal (person) individu itu sendiri?” 1. Bagaimana peranan context dalam dinamika komitmen pernikahan partisipan? 2. Bagaimana proximal process yang terjadi pada pernikahan partisipan? 3. Bagaimana peranan person (karakteristik personal) dalam komitmen pernikahan partisipan?
1.5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman mengenai faktor-faktor yang berperan dalam komitmen pernikahan para TKW di desa Dadap, Indramayu dan bagaimana dinamikanya.
1.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
Penelitian ini memberikan sumbangan secara teoritis bagi kajian tentang komitmen pernikahan TKW. Temuan penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan mengenai apa yang melatarbelakangi para TKW, khususnya di Indramayu, dalam berkomitmen atau mengakhiri komitmen pernikahannya. Selama ini kajian tentang TKW lebih banyak difokuskan pada perlindungan hukum dan hak-hak TKW di negara tempatnya bekerja, sementara itu masih sedikit kajian tentang dinamika dan kualitas pernikahan TKW, padahal kasus perceraian TKW mendominasi kasus perceraian yang terjadi di sejumlah kota di Indonesia. Penelitian ini menjadi salah satu kajian yang mengusung sisi lain dari efek samping migrasi TKW yang belum banyak dikupas.
Mengingat Indonesia merupakan salah satu negara penyedia TKW dalam jumlah besar di dunia (Laporan ILO, 2012), dimana setengah dari jumlah tersebut telah berstatus menikah, dan dengan mempertimbangkan bahwa 25 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
migrasi
yang
mereka
lakukan
dapat
berimbas
pada
komitmen
pernikahannya, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi konseptual dalam perumusan kebijakan oleh pemerintah dan lembaga terkait (BNPTKI, BP4, Pengadilan Agama, Perangkat Desa, dan PJTKI) dalam hal pembinaan dan peningkatan kualitas pernikahan TKW. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi stimulus awal bagi berbagai lembaga terkait tersebut untuk lebih memerhatikan kondisi pernikahan TKW, yang mana pernikahan merupakan aspek yang ikut terimbas dari migrasi yang dilakukan TKW tersebut.
Penelitian ini memberikan sumbangan bagi ranah psikologi pernikahan, khususnya terkait penelitian mengenai komitmen pernikahan. Berbeda dengan penelitian-penelitian komitmen pernikahan sebelumnya yang tidak terlalu berfokus pada faktor kesulitan, penelitian ini melibatkan situasi sulit yang dialami individu dalam pernikahannya, yakni pernikahan jarak jauh dengan pasangan akibat migrasi yang dijalani istri. Dengan melibatkan faktor kesulitan yang dialami pasutri, maka pemahaman mengenai komitmen pernikahan akan menjadi lebih komprehensif (Lydon & Zanna, 1990).
1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan disertasi ini adalah sebagai berikut: Bab satu memaparkan latar belakang, tesis, fokus penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, dan signifikansi penelitian. Bab dua berisi tentang tinjauan pustaka, yang berupa teori mengenai komitmen dalam relasi romantis (teori Interdependensi) berikut keterbatasan dan kritik
terhadapnya,
teori
Bioekologi
dari
Bronfenbrenner
berikut
pengaplikasiannya dalam relasi pernikahan, dampak menjadi TKW bagi relasi pernikahan, gambaran mengenai kondisi sosiokultural dan komitmen pernikahan pada masyarakat Indramayu, serta penerapan teori Interdependensi dan teori Bioekologi untuk menjelaskan komitmen pernikahan di Indonesia, khususnya pada para TKW di desa Dadap, Indramayu.
26 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Bab tiga berisi metode penelitian, yakni tentang bagaimana penelitian ini dilakukan, seperti pendekatan penelitian apa yang digunakan, siapa saja partisipan yang terlibat dan bagaimana cara pemilihannya, metode penelitian yang digunakan, prosedur penelitian, teknik analisis data, dan kredibilitas penelitian. Bab empat dan lima memaparkan hasil penelitian yang diperoleh beserta diskusi terhadapnya. Pada bab empat akan diketengahkan mengenai konteks sosiokultural dan masalah pernikahan pada TKW di desa Dadap, Indramayu. Bab lima berisi tentang gambaran situasi sulit yang dihadapi partisipan dalam pernikahan dan interaksi antara partisipan dengan berbagai konteks lingkungan yang mengelilinginya serta karakteristik personal partisipan itu sendiri pada pengalaman mereka dalam berkomitmen terhadap pernikahannya. Bab enam berisi diskusi hasil penelitian. Bab tujuh merupakan kesimpulan penelitian, keterbatasan penelitian, serta saran teoritis dan praktis.
27 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dipaparkan sejumlah tinjauan pustaka yang relevan dengan tema penelitian sekaligus untuk membangun penjelasan yang dibuat oleh peneliti. Mula-mula peneliti akan menguraikan definisi dan peran komitmen dalam relasi romantis. Berikutnya, peneliti akan memaparkan sejumlah teori komitmen dalam relasi romantis yang selama ini berkembang di negara Barat (teori Interdependensi) dan kritik terhadapnya. Selanjutnya, akan dikemukakan teori Bioekologi dari Bronfenbrenner sebagai kerangka teori yang digunakan untuk menganalisis hasil penelitian ini dan penerapannya dalam konteks pernikahan. Kemudian, peneliti akan memaparkan dampak menjadi TKW bagi relasi pernikahan, gambaran kondisi sosiokultural wilayah Indramayu, yang didalamnya termasuk pula profil wilayah dan gambaran komitmen pernikahan pada masyarakat setempat. Sebagai penutup akan diuraikan pemaparan mengenai penerapan teori Interdependensi dan teori Bioekologi dalam menjelaskan komitmen pernikahan di Indonesia, khususnya desa Dadap, Indramayu.
2.1 Komitmen dalam Relasi Romantis 2.1.1 Definisi dan Peran Komitmen dalam Relasi Romantis Komitmen merupakan intensi individu untuk mempertahankan relasi romantis (pernikahan, bertunangan, berkencan, kohabitasi) yang dijalaninya meski terjadi fluktuasi tingkat kepuasan dalam relasi tersebut (Jones, Adams, Moore, & Berry, 1995). Dalam hal ini, individu memiliki orientasi jangka panjang untuk tetap bersama pasangannya dalam suka dan duka (Cox, Wexler, Rusbult, & Gaines, 1997; Impett, Beals, & Peplau, 2001; Rusbult & Buunk, 1993). Selanjutnya, Sternberg (1986) mendefinisikan komitmen sebagai suatu keputusan yang diambil individu untuk tetap mempertahankan relasi romantisnya. Dengan demikian, individu memiliki kendali penuh apakah ingin tetap bersama atau 28 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
mengakhiri hubungan dengan pasangannya. Secara komprehensif, definisi komitmen melibatkan komponen komponen kognitif (adanya orientasi jangka panjang), komponen konatif (keinginan untuk bertahan), dan komponen afektif (kelekatan psikologis) (Agnew, Van Lange, Rusbult, & Langston, 1998; Arriaga & Agnew, 2001; Drigotas, Rusbult & Verrette, 1999). Berdasarkan tipenya, komitmen dalam relasi romantis dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu komitmen pribadi, komitmen struktural, dan komitmen moral (Johnson, 1999;
Stanley & Markman, 1992). Selain memiliki penyebab yang
berbeda, ketiga jenis komitmen tersebut memiliki konsekuensi kognitif, emosi, dan tingkah laku yang berbeda pula. Komitmen personal (atau dedikasi pribadi, istilah yang digunakan Stanley & Markman,
1992)
merupakan
keinginan
individu
untuk
memelihara
dan
memperbaiki kualitas relasi romantis demi kebaikan dirinya dan pasangan. Komitmen personal mencerminkan adanya kesediaan individu untuk berkorban, menginvestasikan sejumlah sumber daya yang dimiliki ke dalam relasi romantis yang dijalani, menyelaraskan tujuan pribadi dengan tujuan bersama, serta kesediaan untuk mencapai kesejahteraan bersama dan bukan semata-mata demi kesejahteraan pribadi (Johnson, 1999; Stanley & Markman, 1992). Indikator komitmen personal yang paling sering ditunjukan individu terhadap pasangannya adalah dengan menunjukkan kasih sayang secara verbal (mengatakan “Aku mencintaimu”) dan nonverbal (memeluk, mencium, menyentuh, memberi hadiah), mengatakan secara langsung pada pasangan bahwa individu ingin mempertahankan relasi pernikahan, merencanakan masa depan, menciptakan relasi yang sehat, menunjukkan rasa hormat, dan menjaga integritas (Weigel & Ballard-Reisch, 2002). Komitmen struktural merupakan komitmen yang memiliki sifat memaksa individu untuk mempertahankan relasi romantis yang telah dibangun, tanpa ada unsur komitmen personal sama sekali.
Komitmen struktural terbentuk akibat
adanya penghalang dari luar atau dalam individu yang membuat individu enggan meninggalkan relasi romantis (Johnson, 1999; Stanley & Markman, 1992). Terminasi relasi menjadi sulit karena individu memperhitungkan biaya ekonomi, sosial, dan psikologis yang harus ditanggung jika berpisah. Selain itu, besarnya investasi yang telah ditanamkan individu dalam relasi (misalnya uang, waktu, anak, 29 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
perasaan), tekanan sosial yang harus dihadapi ketika bercerai, sulitnya prosedur perceraian, ketiadaan pasangan alternatif yang memuaskan, serta aturan agama atau aturan adat yang melarang perceraian juga menjadi faktor yang memaksa individu untuk tetap bertahan dalam relasi pernikahan meski tak ada lagi dedikasi personal di dalamnya (Johnson, 1999; Rusbult, 1980; Stanley & Markman, 1992). Keadaan ini akan membuat individu merasa terperangkap dalam relasi yang dijalani (Adams & Jones, 1997; Stanley & Markman, 1992). Komitmen moral merupakan hal yang dirasakan sebagai kewajiban bagi individu untuk tetap bertahan dalam relasi romantis karena ia memegang nilai-nilai moralitas tertentu. Sebagai contoh, individu memiliki keyakinan bahwa pernikahan itu seharusnya hingga maut memisahkan atau memiliki kewajiban moral terhadap pasangannya untuk tetap bersama, seperti yang tercermin dalam kalimat, ”Saya telah berjanji pada dia untuk tetap bersama hingga akhir hayat, dan akan saya lakukan” atau ”Dia sangat membutuhkan saya, dan sangat tidak adil jika saat ini saya meninggalkannya” (Johnson, 1999) . Sejumlah ahli berusaha untuk mengorganisasikan berbagai definisi dan faktor penentu komitmen dalam relasi romantis. Menurut Arriaga dan Agnew (2001), berdasarkan asalnya, komitmen dapat dikategorikan sebagai endogen dan eksogen. Disebut endogen apabila komitmen bersumber dari dalam relasi itu sendiri. Yang termasuk kategori ini adalah komitmen personal (Johnson, Caughlin, & Houston, 1999), dedikasi personal (Stanley & Markman 1992), termasuk rasa puas terhadap relasi romantis (Rusbult, 1983), atau menjadikan relasi romantis sebagai prioritas hidup. Adapun disebut eksogen ketika faktor penentu komitmen berasal dari luar relasi romantis. Yang termasuk kategori ini adalah komitmen struktural (Johnson, Caughlin, & Houston, 1999) atau komitmen sebagai konformitas terhadap tekanan eksternal. Selanjutnya, Arriaga dan Agnew (2001) membedakan komitmen berdasarkan apakah komitmen dilihat melalui indikator obyektif atau melalui persepsi subyektif. Dilihat secara obyektif apabila melibatkan aspek relasi yang dapat diobservasi oleh individu lain di luar relasi romantis. Dilihat secara subyektif apabila melibatkan persepsi individu terhadap relasinya sendiri (seberapa jauh relasi ingin dilanjutkan).
30 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Berdasarkan berbagai pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen pada relasi romantis (pernikahan) merupakan intensi individu untuk mempertahankan relasi tersebut dalam kondisi suka maupun duka. Komitmen terbentuk bisa karena adanya dedikasi terhadap pasangan (komitmen personal) atau karena adanya faktor perintang yang menghalangi individu untuk mengakhiri pernikahan (komitmen struktural dan moral). Sejumlah hasil penelitian menunjukkan komitmen merupakan faktor yang menentukan keberlangsungan, kepuasan, dan kestabilan relasi romantis (Brooks, 2007; Impett, Beals, & Peplau, 2001; Rusbult dkk, 1991). Komitmen merupakan prediktor terkuat bagi keputusan untuk tetap bertahan dalam relasi sekaligus indikator tingginya tingkat kepuasan dalam relasi (Drigotas & Rusbult, 1992; Stanley, Markman, & Whitton, 2002). Dengan semakin kuatnya komitmen yang dimiliki, individu akan terdorong mengambil tindakan melindungi dan menjaga relasi yang dijalaninya melalui kesediaan berkorban demi kebaikan bersama, kesediaan memaafkan pasangan, dan kesediaan mengambil tindakan yang positif yang mengarah pada pemeliharaan relasi (Finkel dkk, 2002; Van Lange dkk, 1997). Tidak hanya komitmen diri sendiri, persepsi terhadap komitmen pasangan pun juga berperan dalam stabilitas relasi. Individu yang memersepsi komitmen pasangannya bersifat fluktuatif cenderung mengakhiri relasi dibandingkan individu yang memersepsi komitmen pasangannya adalah bersifat stabil (Arriaga dkk, 2006). Semakin kuat komitmen maka akan membuat individu meleburkan diri dengan pasangannya – menganggap mereka sebagai bagian tak terpisahkan – dan karenanya sulit bagi partisipan membayangkan pasangannya akan melakukan halhal yang menyakiti dirinya (Agnew & Dove, 2011). Selain itu, komitmen yang tinggi terhadap relasi romantis membuat individu tidak terlalu menghiraukan kekeliruan yang dilakukan pasangan serta mendorong terjadinya tindakan akomodasi (Rusbult dkk, 1991; Rusbult dkk, 1998) bahkan ketika individu tidak memiliki penilaian yang positif terhadap relasinya tersebut (Menzies-Toman & Lydon, 2005). Selanjutnya, hasil penelitian Johnson dan Rusbult (1989) menyebutkan individu dengan tingkat komitmen yang tinggi terhadap relasi romantisnya 31 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
cenderung tidak tertarik terhadap lawan jenis yang berpotensi menjadi pasangan alternatifnya. Kecenderungan ini semakin menguat ketika lawan jenis tersebut dipersepsi sebagai ancaman yang nyata bagi relasinya (Lydon, Meana, Sepinwall, Richards, & Mayman, 1999), seperti ketika individu memiliki kesempatan yang besar untuk mendekati lawan jenis tersebut (Johnson & Rusbult, 1989). Hasil serupa ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan Lydon, Fitzsimons, dan Naidoo (2003) yakni komitmen pernikahan yang kuat akan membuat individu melakukan devaluasi terhadap pasangan alternatif yang menarik dan menurunkan frekuensi pencarian pasangan alternatif.
2.1.2 Model Teoritik Komitmen dalam Relasi Romantis di Budaya Barat (Teori Interdependensi) Model komitmen dalam relasi romantis yang paling berpengaruh selama ini dikembangkan dengan mengacu pada teori Interdependensi. Rusbult dan Van Lange (2003) menyatakan struktur dan fungsi dari banyak fenomena interpersonal lebih dapat dipahami dengan baik jika mengunakan analisis interdependensi. Teori Interdependensi menyatakan keputusan untuk tetap mempertahankan atau mengakhiri relasi dengan orang lain secara kuat terkait dengan seberapa besar tingkat ketergantungan individu terhadap relasi. Dalam teori Interdependensi, ketergantungan individu terhadap relasi ditentukan oleh tingkat kepuasan individu terhadap relasi dan sejauh mana kebutuhan penting individu dapat secara efektif dipenuhi oleh individu lain di luar relasi. Teori Interdependensi ini sendiri berakar dari perspektif Pertukaran Sosial (Miller & Perlman, 2009). Perspektif Pertukaran Sosial memiliki sejumlah asumsi mengenai tingkah laku manusia, yaitu: (1) tingkah laku manusia dimotivasi oleh adanya minat terhadap dirinya sendiri, (2) dalam sebuah relasi, manusia cenderung mencari reward semaksimal mungkin dengan meminimalisir cost yang dikeluarkan serta sedapat mungkin menghindari konsekuensi negatif, serta (3) manusia adalah mahluk rasional dan oleh karenanya menghitung setiap potensi keuntungan dan kerugian dari suatu relasi. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, asumsi yang dikembangkan teori Interdependensi mengacu pada perspektif Pertukaran Sosial, salah satunya 32 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
yakni manusia cenderung menjalin interaksi yang dapat menyediakan reward semaksimal mungkin dengan mengeluarkan cost yang sesedikit mungkin. Yang dimaksud reward di sini adalah segala sesuatu yang diinginkan, bersifat menyenangkan, dan memenuhi kebutuhan individu. Sementara itu, cost adalah segala sesuatu yang tidak diinginkan dan bersifat merugikan bagi individu. Mengacu pada hal ini, individu akan tetap bersama dengan orang yang dapat memberikan reward maksimal untuknya (Miller & Perlman, 2009) dan menghindari interaksi dengan orang yang memberikan cost untuknya. Meski demikian, ketika sudah mendapatkan reward yang diinginkan sekalipun, hal tersebut belum tentu kuat untuk membuat individu bertahan dalam relasi. Hal ini dikarenakan reward yang diperoleh individu nantinya akan dievaluasi lagi berdasarkan dua kriteria, yakni berdasarkan comparison level (CL) dan comparison for alternatives (CL ALT). Comparison level merupakan sebuah evaluasi yang mengacu pada ekspektasi yang sebelumnya telah ditetapkan individu mengenai pasangan atau relasi, yakni ketika reward yang didapat melebih ekspektasi yang diharapkan, maka individu akan merasa puas dengan relasi yang dijalaninya, dan selanjutnya akan tetap bertahan. Sebaliknya, ketika reward yang didapat berada di bawah ekspektasi yang diharapkan, maka individu akan kecewa meski reward tersebut berkategori bagus sekalipun. Sementara itu, comparison for alternatives merupakan sebuah evaluasi dengan cara membandingkan relasi yang sedang dijalani saat ini dengan relasi alternatif yang ada. Ketika individu memersepsi relasi alternatif sebagai sesuatu yang lebih menjanjikan dan membawa keuntungan daripada relasinya saat ini, maka ia cenderung meninggalkan relasinya demi relasi yang lebih baik tersebut, meskipun relasinya saat ini memberikan reward padanya (Miller & Perlman, 2009). Ada tiga model komitmen yang utama, yang mengacu pada teori Interdependensi tersebut, yaitu The Cohesiveness Model yang dikemukakan oleh Levinger, The Investment Model yang dikemukakan oleh Rusbult, serta The Commitment Framework yang dikemukakan oleh Johnson (Cox, Wexler, Rusbult & Gaines, 1997).
The Cohesiveness Model. Model teoritik yang dikemukakan oleh Levinger ini mengandung tiga komponen dasar, yaitu komponen penarik 33 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
(attraction), perintang (barrier), dan alternatif (alternative). Pertama, terkait komponen penarik, secara umum individu akan termotivasi untuk tetap mempertahankan relasi pernikahan ketika reward yang didapat lebih besar dan cost yang dikeluarkan lebih sedikit. Kedua, terkait komponen perintang, meski reward yang didapat sedikit, namun individu yang ingin mengakhiri relasi maritalnya harus mengatasi berbagai perintang yang dapat menghalangi keinginannya tersebut (misalnya nilai agama atau moral, stigma sosial, prosedur perceraian, hingga ketergantungan keuangan pada pasangan). Sebagai contoh, individu yang memegang norma agama dengan teguh akan tetap bertahan dalam pernikahan karena perceraian merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan norma agama yang dianutnya. Ketiga, terkait komponen alternatif, tiadanya pasangan alternatif yang menarik dapat meningkatkan stabilitas pernikahan, yakni dengan membuat individu tetap mempertahankan komitmen pernikahannya. Sebaliknya, adanya pasangan alternatif yang menarik membuat kecenderungan individu untuk mengakhiri pernikahan semakin besar. Sedikit sekali penelitian empiris yang dilakukan Levinger untuk menguji The Cohesiveness Model. Mayoritas pembahasan mengenai model kohesivitas Levinger dilakukan dalam bentuk kajian teoritik (Reiners, 2004). Meski demikian, The Cohesiveness Model telah mendorong pengembangan konsep yang lebih mendalam lagi mengenai apa saja aspek-aspek yang memengaruhi keawetan relasi romantis, salah satunya yang dilakukan oleh Rusbult berikut ini.
The Investment Model. The Investment Model, yang dikemukakan oleh Rusbult (1980, 1983), merupakan perluasan atas teori Interdependensi yang dikemukakan oleh Thibaut & Kelly. Rusbult (1980, 1983) mendefinisikan komitmen sebagai keinginan untuk terus menetap dalam suatu relasi, yang melibatkan orientasi jangka panjang, kelekatan psikologis, dan sense of we-ness. Rusbult (1980, 1983) menyebutkan, ketergantungan individu terhadap relasi yang dijalani ditentukan oleh tingkat kepuasan yang dirasakan, kualitas alternatif yang tersedia, dan investasi yang telah ditanam. Tingkat kepuasan yang dimaksud dalam The Investment Model merupakan afek yang dirasakan individu terkait relasi yang dijalani, yang dapat berupa afek positif atau negatif. Kepuasan tercipta ketika 34 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
individu merasa pasangannya memenuhi kebutuhannya yang paling penting. Kualitas alternatif yang dimaksud dalam The Investment Model yaitu persepsi individu mengenai ketersediaan alternatif pasangan yang lebih baik di luar relasi yang dijalani. Kualitas alternatif ditentukan sejauh mana kebutuhan individu dapat dipenuhi dengan baik oleh seseorang di luar relasi yang sedang dijalani. Sementara itu, yang dimaksud investasi yang telah ditanam dalam The Investment Model adalah besaran dan pentingnya sumber daya yang telah diinvestasikan dalam relasi, dimana individu akan merasa merugi ketika relasi harus berakhir dan karenanya menjadi enggan mengakhiri relasi. The Investment Model telah diaplikasikan kepada secara luas dalam penelitian yang melibatkan beragam partisipan. Sebagai contoh, Impett, Beals, dan Peplau (2001) menguji The Investment Model pada 3.627 pasutri dengan rerata usia pernikahan 13,9 tahun. Pasutri yang menjadi partisipan diminta untuk mengisi kuesioner secara terpisah dari pasangannya dan dilarang mendiskusikannya hingga partisipan mengembalikan kuesioner yang telah diisi kepada peneliti. Hasil penelitian menunjukkan kesesuaian dengan teori Rusbult, yakni kepuasan pernikahan, investasi yang telah diletakan dalam pernikahan, dan ketersediaan pasangan alternatif yang berkualitas dapat memprediksi komitmen pernikahan pada suami dan istri. Setelah mengisi kuesioner tahap pertama, delapan bulan kemudian partisipan dikirimi kuesioner follow up, sehingga secara longitudinal didapatkan gambaran mengenai stabilitas relasi pernikahan partisipan. Hasilnya, komitmen suami dan istri terhadap pernikahannya akan mendorong terjadinya stabilitas pernikahan. Tidak hanya diujikan pada partisipan heteroseksual (seperti yang dilakukan Impett dkk, 2001), The Investment Model juga diaplikasikan pada partisipan homoseksual. Duffy dan Rusbult (1986) melakukan penelitian kepada 25 individu lesbian, 25 individu gay, 25 pria heteroseksual, 25 perempuan heteroseksual. Hasilnya, kepuasan terhadap relasi, investasi yang telah ditanamkan dalam relasi, dan ketersediaan pasangan alternatif dapat menjadi prediktor komitmen dalam relasi romantis pada partisipan tersebut. Peneliti lain yang juga menguji The Investment Model dan menemukan hasil serupa misalnya Rusbult dan Buunk (1993), Rusbult, Martz, dan Agnew (1998), Rhatigan dan Streect (2005), Rhatigan dan Axsom (2006), Rusbult dan Martz (1995), Bui, Peplau, dan Hill 35 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
(1996), dan lain sebagainya. Sementara itu, penelitian yang dilakukan Davis dan Strube (1993) menunjukkan hasil yang sedikit berbeda. Dilakukan terhadap individu yang masih dalam tahap berkencan, dari hasil penelitian ini diperoleh data bahwa hanya faktor kepuasan dan ketiadaan pasangan alternatif yang menjadi prediktor signifikan bagi komitmen, sementara tidak demikian pada investasi yang telah ditanamkan. Menurut Davis dan Strube (1993), kurang berperannya faktor investasi dikarenakan para mahasiswa yang menjadi subyek penelitian ini belum banyak menanamkan investasi dalam relasi romantis yang dijalaninya. Berikutnya, hasil penelitian lain yang kurang mendukung The Investment Model adalah penelitian yang dilakukan Bauserman dan Arias (1992), dimana faktor investasi yang telah ditanamkan ternyata tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan komitmen pernikahan pada penyintas KDRT. Dalam perkembangannya, sejumlah peneliti memperluas The Investment Model dengan mengikutsertakan variabel lain. Panayioutou (2005), misalnya, menambahkan variabel passion dan intimacy. Panayioutou (2005) melakukan penelitian ini kepada 110 individu heteroseksual yang sedang menjalin relasi kencan dan menemukan bahwa passion dan intimacy memiliki korelasi dengan komitmen. Peneliti lain menambahkan variabel kesediaan untuk berkorban (Van Lange dkk, 1997) dan trust (Wieselquist, 2009), dimana keduanya tergolong tindakan pemeliharaan relasi romantis. Pengujian terhadap variabel pada The Investment Model, variabel kesediaan berkorban, dan variabel trust menunjukkan adanya siklus diantara variabel variabel yang terlibat yakni;
ketergantungan
individu terhadap relasi romantisnya akan meningkatnya komitmennya terhadap relasi romantisnya tersebut, dimana semakin tinggi komitmen yang dimiliki akan mendorong individu untuk melakukan upaya memelihara relasi romantis,
dan
ketika pasangan memersepsikan individu telah melakukan upaya memelihara relasi, maka pasangan akan menanamkan trust dan ketergantungan terhadap relasi.
The Commitment Framework. Teori yang dikemukakan oleh Johnson (1973) ini menyebutkan terdapat tiga jenis komitmen dalam relasi romantis, yaitu komitmen personal, komitmen struktural, komitmen moral. Ketiga jenis komitmen ini memiliki penyebab, fenomenologi, serta konsekuensi kognitif, emosi, & tingkah 36 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
laku yang berbeda (Johnson, Caughlin, dan Houston 1999). Komitmen personal terdiri atas tiga komponen yaitu ketertarikan terhadap partner, ketertarikan terhadap relasi, dan memiliki identitas sebagai pasangan. Komitmen struktural melibatkan adanya peran penghalang atau barrier yang membuat individu enggan meninggalkan relasi pernikahan. Terdapat empat komponen dari komitmen struktural, yang ketika individu memiliki komitmen personal yang rendah dan kurangnya komitmen moral, maka keempat komponen tersebut akan membuat individu merasa terperangkap dalam relasi pernikahan. Komponen yang pertama adalah ketersediaan pasangan alternatif, yakni, apakah individu memiliki pasangan alternatif yang lebih baik saat berpikir ingin mengakhiri komitmen pernikahan. Tiadanya pasangan alternatif yang menarik cenderung membuat keinginan individu untuk mengakhiri pernikahan menurun. Komponen kedua yaitu tekanan sosial. Tekanan sosial merupakan reaksi yang harus diantisipasi individu dari orang-orang di sekitarnya yang tidak setuju dengan perceraian pasutri. Komponen ketiga merupakan prosedur terminasi, yaitu kesulitan yang dihadapi ketika individu mengakhiri relasi pernikahan. Misalnya, ada seperangkat prosedur legal yang harus ditempuh sebelum bercerai yang bisa jadi tidak mudah dilalui, proses pembagian kepemilikan harta bersama yang tak jarang memicu pertikaian (mantan) pasutri, atau individu yang tidak bekerja harus mencari pekerjaan dahulu sebelum memutuskan bercerai dari pasangannya. Komponen keempat yaitu investasi yang tidak dapat dikembalikan, yakni melibatkan perasaan individu mengenai waktu dan segala sumber daya yang telah diinvestasikan dalam relasi. Individu bisa saja berpikir bahwa semua investasi tersebut lenyap, atau membuat dirinya merugi, ketika relasi pernikahan harus diakhiri. Selanjutnya, komitmen moral terdiri atas tiga komponen. Pertama, kewajiban untuk tetap bertahan dalam relasi pernikahan disebabkan karena individu memegang nilai-nilai moralitas tertentu. Misalnya, individu merasa bahwa pernikahan itu seharusnya hingga maut memisahkan. Kedua, keputusan individu untuk tetap mempertahankan relasi pernikahan adalah karena ia merasa memiliki kewajiban moral terhadap pasangannya, misalnya tercermin dalam perkataan ”Saya telah berjanji pada dia untuk tetap bersama hingga akhir hayat, dan akan saya lakukan” atau ”Dia sangat membutuhkan saya, dan sangat tidak 37 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
adil jika saat ini saya meninggalkannya”. Ketiga, individu merasa wajib meneruskan relasi karena menganut nilai mengenai konsistensi. Penelitian empiris terkait The Commitment Framework pernah dilakukan oleh Adams dan Jones (1997). Mereka melakukan penelitian dengan tujuan menghasilkan alat ukur yang valid dan reliabel. Untuk tiba pada tujuan ini, Adams dan
Jones
melakukan
telaah
literatur
komitmen
dan
hasil
temuannya
dikelompokkan menjadi 3 tema besar yakni faktor ketertarikan terhadap relasi, faktor perintang yang mencegah individu meninggalkan relasi serta faktor moral. Temuan ini lantas diujikan pada 1.787 partisipan dan menemukan ada tiga jenis pengalaman individu dalam menjalani pernikahan, yakni keinginan untuk tetap mempertahankan pernikahan, merasa terperangkap dalam pernikahan, serta merasa terikat secara moral untuk tetap berada dalam relasi pernikahan. Deskripsi ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Johnson (1973) sebelumnya. Penelitian ini kemudian menghasilkan alat ukur mengenai komitmen dalam relasi romantis yang item-item menghasilkan instrumen dengan reliabilitas dan validitas yang baik. Selanjutnya, sejumlah hasil penelitian memberikan dukungan terhadap teori yang dikemukakan oleh The Commitment Framework. Sebagai contoh, hasil penelitian Lydon dkk (1999) menunjukkan individu yang mendukung terjadinya perceraian atau memiliki komitmen pernikahan yang rendah ternyata hanya menanamkan jumlah investasi yang lebih sedikit ke dalam pernikahan, yang mana ini berarti mereka tidak memiliki barrier yang dapat menghalangi terjadinya perceraian. Kemudian, persepsi terhadap adanya faktor yang menghlangi terjadinya perceraian (barrier) dapat memotivasi individu untuk tetap bertahan dalam pernikahan meskipun tidak bahagia (Amato & Previti, 2003). Hasil penelitian lain menunjukkan hasil yang mendukung The Commitment Framework yakni ketergantungan terhadap penghasilan pasangan dan kewajiban untuk tetap bersama pasangan akan meningkatkan komitmen pernikahan (Nock, 1995), sementara komitmen terhadap lembaga pernikahan dan keyakinan bahwa perceraian membuat tidak bahagia merupakan faktor yang membuat relasi pernikahan yang tidak bahagia tetap stabil (Heaton & Albrecht, 1991).
38 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Menurut Adams dan Jones (1997), ada sejumlah benang merah yang menyatukan beragam konseptualisasi komitmen tersebut. Berdasarkan pemaparan ketiga model komitmen yang telah dipaparkan sebelumnya, Adams dan Jones (1997) menyimpulkan terdapat dua aspek utama yang menjadi penentu intensitas komitmen terhadap relasi pernikahan, yaitu aspek ketertarikan dan aspek yang menghalangi perpisahan (Adams & Jones, 1997). Individu akan tetap berkomitmen terhadap pernikahannya ketika ada ketertarikan terhadap pasangan dan relasi pernikahan yang dijalaninya (Johnson, 1973, 1999). Ketertarikan ini didapat dari tingkat kepuasan yang dirasakan individu terhadap pasangan dan relasi maritalnya. Tingkat kepuasan dikatakan tinggi ketika individu merasa pasangannya memenuhi kebutuhannya yang paling penting (Rusbult, 1980) dan ketika individu merasa reward yang diperoleh dari relasi lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan (Levinger, 1976). Komitmen jenis ini diistilahkan sebagai attraction force (Levinger, 1976), personal commitment (Johnson, 1973, 1999), satisfaction level (Rusbult, 1983). Masih menurut Adams dan Jones (1997),
aspek lain yang
menentukan intensitas komitmen adalah faktor eksternal yang menghalangi terjadinya perpisahan. Meski tidak merasa puas dengan pasangan dan relasi pernikahan yang dijalani (biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada reward yang didapat), namun tetap ada individu yang memutuskan untuk tidak berpisah dan tetap mempertahankan relasi maritalnya (Johnson, 1973, 1999; Levinger, 1976). Inilah yang dinamakan sebagai structural commitment (Johnson, 1973, 1999), constraint commitment, atau barriers forces (Levinger, 1976). Hal ini disebabkan karena adanya faktor perintang yang menghalangi individu untuk mengakhiri relasi maritalnya tersebut. Faktor tersebut antara lain stigma individu dan tekanan dari keluarga atau masyarakat (Johnson, 1973, 1999; Levinger, 1976), nilai-nilai moral yang dianut terkait pernikahan (Johnson, 1973, 1999; Levinger, 1976), tiadanya pasangan alternatif yang memadai (Johnson, 1973, 1999; Levinger, 1976; Rusbult, 1980), prosedur terminasi yang harus ditempuh, prosedur terminasi yang rumit atau prosedur pembagian harta bersama yang tak jarang menimbulkan pertikaian (Johnson, 1973, 1999; Levinger, 1976), ketergantungan finansial terhadap pasangan (Levinger, 1976), dan investasi yang telah ditanamkan dalam relasi (Johnson, 1973, 1999; Rusbult, 1980). Sejumlah hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli juga 39 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
mendukung fakta ini. Dari berbagai penelitian yang ada, Knoester dan Booth (2000) menginvetarisasi faktor-faktor yang dianggap sebagai penghalang perceraian. Ternyata, faktor ekonomi, keberadaan anak, prosedur yang harus dihadapi ketika bercerai, norma religi, dan stigma dari keluarga dan teman menjadi hal-hal yang dipersepsikan individu sebagai faktor yang menghalangi terjadinya perceraian sehingga membuat mereka merasa terjebak dalam relasi pernikahan yang dijalani (Adams & Jones, 1997; Knoester & Booth, 2000).
2.1.3
Kritik terhadap Teori Interdependensi Teori Interdependensi memiliki sejumlah keterbatasan dalam menjelaskan
komitmen pernikahan. Pertama, teori Interdependensi terlalu berfokus pada transaksi reward – cost, yang mana hal ini mengindikasikan bahwa komitmen pernikahan semata-mata hanya berkaitan dengan hubungan transaksional antar individu (dalam hal ini individu dengan pasangannya). Padahal, relasi pernikahan tidak hanya dibentuk oleh hubungan antar individu saja, namun juga melibatkan hubungan dengan komponen lingkungan yang lebih luas, seperti keluarga besar (Weigel, Bennet & Ballard-Reisch, 2003; Umana-Taylor & Fine, 2003; Amato & DeBoer, 2001), nilai dan kebiasaan masyarakat (Gudykunst dkk, 1996), hingga perubahan nilai (Cherlin, 2004; Paul, 2009). Keterbatasan kedua, dalam teori Interdependensi, definisi interaksi antara individu dengan pasangannya hanyalah sebatas sejauh mana pasangan dapat memuaskan kebutuhan individu (memberikan reward). Dengan kata lain, interaksi antara individu dengan pasangan semata-mata didasarkan pada prinsip transaksi reward – cost sehingga hal tersebut menyempitkan peran konteks lain yang lebih luas, yakni lingkungan dimana individu berada. Pada individu yang tinggal dalam budaya kolektivistik, adanya nilai untuk mengutamakan kepentingan kelompok atau orang lain (Oyserman & Lee, 2008) justru membuat individu cenderung mengabaikan kesejahteraan pribadi agar relasi tetap harmonis. Keterbatasan ketiga, penekanannya pada reward atau kepuasan pernikahan membuat teori Interdependensi tersebut seolah menjadikan individu sebagai pusat dari relasi dan menafikan kesejahteraan pasangannya. Padahal, pernikahan merupakan suatu bentuk hubungan yang timbal balik (Miller & Perlman, 2009) 40 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
sehingga diperlukan kerjasama dari kedua belah pihak untuk mencapai keberhasilan relasi. Keterbatasan keempat, teori Interdependensi tersebut dinilai terlalu bersifat transaksional dan menafikan karakteristik personal (Miller & Perlman, 2009). Dalam relasi pernikahan, individu dipandang sebagai mahluk yang pasif, yang perannya dalam berkomitmen semata-mata hanya sekedar sebagai penerima rewards dari pasangan. Padahal, manusia adalah mahluk yang dapat berperan aktif merencanakan dan mengatur strategi untuk mencapai apa yang dikehendakinya (Glassman & Haddad, 2008). Keterbatasan kelima, dalam teori Interdependensi, penekanan akan pentingnya transaksi reward – cost bagi keberlangsungan pernikahan seolah juga menjadikan kepuasan pernikahan yang dirasakan individu sebagai satu-satunya penentu keberhasilan pernikahan. Padahal, dalam kenyataannya, relasi romantis tidak selalu berada dalam kondisi yang memuaskan bagi individu. Menilik pada hal ini, maka timbul pertanyaan, apa yang sebenarnya membuat individu bertahan dalam situasi yang tidak menguntungkan tersebut?. Tentunya bukan semata-mata besarnya reward yang diterima, namun melibatkan faktor karakteristik personal seperti kemampuan adaptasi, coping skills, optimisme, afek positif (Gordon & Baucom, 2005; Neff & Karney, 2009), religiusitas (Allgood dkk, 2009; Lambert & Dollahite, 2006), atau kepribadian (Campbell & Foster, 2002; Ehrenberg dkk, 2009). Keterbatasan
keenam
dari
teori
Interdependensi
tersebut
adalah
pengaplikasiannya pada populasi ‘normal’ serta cenderung kurang melibatkan faktor ‘kesulitan’ yang mungkin dialami individu dalam menjalani relasi pernikahan. Padahal, menurut Lydon dan Zanna (1990),
kajian mengenai
komitmen pernikahan akan lebih valid dan komprehensif ketika melibatkan faktor ‘kesulitan’ dalam tersebut. Dari berbagai pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa penekanan teori Interdependensi pada aspek transaksional dan hubungan antar individu, membuatnya
mengabaikan
faktor-faktor
lain
yang juga
berperan
bagi
keberlangsungan relasi pernikahan, yakni konteks lingkungan yang lebih luas karena manusia berkembang dipengaruhi oleh interaksinya dengan berbagai 41 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
lingkungan yang merupapan system sebagaimana yang dikemukanan oleh Teori Bioekologi (Bronfenbrenner, 2005). Mengacu pada hal tersebut, maka diperlukan suatu kerangka teori yang bisa mengatasi berbagai keterbatasan teori Interdependensi dalam menjelaskan komitmen pernikahan bukan hanya pada komunitas TKW di Indramayu namun juga pada pernikahan secara umum, terutama di negara-negara Timur. Kerangka teori yang sesuai dengan kriteria tersebut adalah teori Bioekologi dari Bronfenbrenner (2005). Menurut teori Bioekologi, perkembangan individu tidak dapat dilepaskan dari aspek karakteristik personal dan konteks lingkungan yang mengelilingi individu, mulai dari lingkungan terdekat (mikrosistem) hingga lingkungan yang lebih jauh (makrosistem). Meski teori ini mengetengahkan adanya peran konteks lingkungan yang lebih jauh/ luas bagi perkembangan individu, namun ia tidak melupakan pentingnya peran proximal process atau interaksi antara individu dengan orang terdekat yang signifikan dalam hidupnya, dimana proximal process di sini didefinisikan secara luas, bukan hanya interaksi antara individu dengan pasangan, tapi juga dengan keluarga, teman, tetangga, dan orang-orang lain di sekitarnya. Selanjutnya, teori Bioekologi juga menekankan peran aktif karakteristik personal sebagai penentu perkembangan individu dengan memosisikan hal tersebut sebagai faktor yang dapat memengaruhi proximal process (Bronfenbrenner, 2005).
2.2 Teori Bioekologi Teori Bioekologi memandang perkembangan individu sebagai hasil dari interaksi antara individu yang terus bertumbuh dengan lingkungan terdekat (mikrosistem). Interaksi ini dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih jauh (mesosistem, eksosistem, makrosistem) dan karakteristik personal itu sendiri (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Meski lingkungan memengaruhi individu, namun individu tetap berkontribusi secara aktif terhadap perkembangannya sendiri. Teori Bioekologi bermanfaat untuk memahami seluruh faktor yang memainkan peranan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu (Greenfield, 2012).
2.2.1 Komponen Process, Person, Context, Time (PPCT) 42 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, perkembangan individu merupakan hasil dari interaksi antara karakteristik personal dengan lingkungannya (mikrosistem,
mesosistem,
eksosistem,
makrosistem).
Interaksi
tersebut
melibatkan empat komponen yang dinamis, yakni process, person, context, dan time. Dengan demikian, teori Bioekologi ini mengetengahkan adanya faktor multisistem yang memengaruhi perkembangan manusia (Lewthwaite, 2011). Process merupakan bentuk interaksi dua arah antara individu dengan lingkungan terdekat atau mikrosistemnya. Yang termasuk lingkungan terdekat (mikrosistem) individu misalnya pasangan, orang tua, teman, atau tetangga sekitar.
Interaksi yang dinamakan proximal process ini berlangsung terus-
menerus serta merupakan mekanisme utama yang menghasilkan perkembangan individu. Proximal process dikatakan efektif bagi proses perkembangan jika bersifat dua arah atau timbal balik, yakni insiatif harus berasal dari individu maupun mikrosistemnya tersebut (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Sebagai contoh, untuk menguatkan komitmen pernikahan, usaha proaktif tidak hanya dilakukan oleh istri, namun juga oleh suami . Berlangsungnya proximal process dipengaruhi oleh karakteristik personal individu atau person. Karakteristik individu (person) tidak hanya berperan sebagai dasar bagi perkembangan tahap berikutnya namun juga merupakan produk perkembangan dari perkembangan tahap sebelumnya. Karakteristik individu ini dapat berupa forces (dorongan), resources (sumber daya), dan demands (tuntutan). Forces dapat berupa kecenderungan perilaku yang bisa menciptakan dan menjaga keberlangsungan proximal process atau justru sebaliknya secara aktif mengintervensi, menghambat serta mencegah proximal process. Sebagai contoh, forces yang bersifat mendukung proximal process adalah sikap responsif individu dalam memenuhi kebutuhan pasangan membuat pasangan terdorong untuk bersikap yang sama, yang pada akhirnya membuat komitmen pernikahan mereka menguat. Contoh sebaliknya adalah forces yang bersifat menghambat proximal process yang efektif, misalnya sifat eksplosif yang dimiliki individu dapat menghambat terjadinya komunikasi dengan pasangan yang pada akhirnya akan membuat komitmen pernikahan mereka melemah. Sementara itu, yang dimaksud resources adalah kemampuan dan aset biopsikologi yang dimiliki 43 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
individu yang dapat memengaruhi proximal process. Resources dapat berupa kondisi fisik, kemampuan, pengetahuan, ketrampilan, atau pengalaman. Misalnya, ketrampilan berkomunikasi secara efektif dapat memudahkan pasutri saling memahami keinginan pasangannya, yang mana hal tersebut dapat meningkatkan kepuasan pernikahan yang berujung menguatnya komitmen pernikahan. Adapun demands merupakan faktor yang mendorong atau melemahkan reaksi dari lingkungan sosial, yang dapat mendukung atau mengganggu perkembangan (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Komponen lain yang memengaruhi proximal process adalah context. Context merupakan suatu lapisan struktur yang mengelilingi individu, dimana struktur yang satu berada di dalam struktur yang lain dan saling berinteraksi memengaruhi perkembangan individu (Bronfenbrenner & Morris, 2006; Smith, 2011). Struktur yang paling dalam adalah individu, dimana kemudian individu ini dikelilingi oleh sistem lingkungan mulai dari yang terdekat hingga yang lebih jauh, yakni mikrosistem, mesosistem, eksosistem, dan makrosistem (Lewthwaite, 2011). Lapisan context yang terdekat dengan individu adalah mikrosistem. Pada mikrosistem terjadi aktivitas, peran sosial, dan hubungan interpersonal yang dialami individu secara langsung dengan lingkungan fisik maupun dengan lingkungan sosial terdekatnya (Bronfenbrenner & Morris, 2006; Harkonen, 2007). Proses yang berlangsung pada mikrosistem melibatkan lingkungan terdekat individu seperti keluarga (pasangan, anak, orang tua), lingkungan di sekitar rumah (tetangga), atau tempat kerja. Pada umumnya individu berinteraksi dengan lebih dari satu mikrosistem (Tseng, 2004). Misalnya seorang suami tidak hanya berinteraksi dengan istri namun juga dengan orang tuanya yang tinggal bersama mereka. Berbagai interaksi tersebut (proximal process) berpengaruh terhadap perkembangan individu. Sebagai contoh, konflik antara suami dengan istri, yang mana orang tua suami yang tinggal serumah dengan mereka kemudian ikut campur dengan membela suami. Turut campurnya orang tua ini justru membuat suami menjadi pribadi yang tidak mandiri dan egois, yang mana nantinya, pribadi suami yang demikian tersebut di kemudian hari akan memengaruhi interaksinya dengan sang istri. 44 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Dalam context, lapisan struktur berikutnya setelah mikrosistem adalah mesosistem. Mesosistem merupakan hubungan antara dua atau lebih mikrosistem (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Misalnya, mesosistem dari seorang istri adalah hubungan antara orang tua istri dengan suami, yang mana hubungan yang harmonis antara orang tua istri dan suami tersebut dapat menambah harmonis pula hubungan antara istri dan suami. Setelah mesosistem, struktur selanjutnya adalah eksosistem. Eksosistem merupakan struktur masyarakat dimana individu berada, yang mana individu tidak secara langsung berpartisipasi namun dapat memengaruhi perkembangan individu. Sama halnya dengan mesosistem, eksosistem terdiri dari hubungan yang terjadi antara dua sistem atau lebih (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Misalnya, eksosistem untuk istri adalah suami dan lingkungan kerja suami (istri tidak berhubungan langsung dengan lingkungan ini). Tekanan di lingkungan kerja yang dirasakan suami dapat membuat suami melampiaskan
kekesalannya
kepada
istri
dan
akhirnya
menimbulkan
pertengkaran. Jika kondisi ini terus berulang maka istri bisa merasakan ketidakpuasan pernikahan. Setelah eksosistem, lapisan struktur berikutnya yang juga memengaruhi perkembangan individu adalah makrosistem. Yang termasuk makrosistem adalah budaya atau struktur sosial seperti kelas sosial, suku, wilayah, sumber daya setempat, gaya hidup masyarakat, struktur kesempatan, dan sebagainya. Sebagai contoh, sumber daya manusia yang rendah dan kesempatan kerja yang terbatas di suatu daerah akan mendorong individu setempat bermigrasi ke luar negeri untuk menjadi TKW dan harus menjalani pernikahan jarak jauh dengan pasangannya, yang mana pernikahan jarak jauh ini dapat menimbulkan masalah bagi komitmen pernikahan karena tidak terpenuhinya sejumlah kebutuhan pasutri. Time merupakan komponen berikutnya dalam teori Bioekologi yang memengaruhi proses yang terjadi dalam mikrosistem, mesosistem, dan makrosistem. Microtime merupakan keberlangsungan dan ketidakberlangsungan episode proximal process yang sedang terjadi. Mesotime merupakan periode dari episode-episode ini sepanjang interval waktu yang lebih luas, seperti hari demi hari, atau minggu demi minggu. Adapun macrotime mengacu pada perubahan harapan-harapan dan kejadian-kejadian pada masyarakat yang lebih luas, baik di 45 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
dalam suatu generasi maupun antar generasi. Berbagai perubahan atau kejadian tersebut memengaruhi dan dipengaruhi oleh proses dan hasil perkembangan sepanjang hidup (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Sebagai contoh, perubahan yang terjadi di bidang sosial, budaya, dan ekonomi dewasa ini membuat sejumlah hal yang dulu dipersepsikan merintangi terjadinya perceraian, kini tidak lagi demikian, misalnya cerai kini tidak lagi tabu melainkan dianggap sebagai perjalanan hidup sana halnya dengan lulus pendidikan atau memasuki pekerjaan baru (Kitson, 2006), sikap keluarga yang kini cenderung mendukung individu untuk mengakhiri pernikahan yang tidak bahagia (Amato & Irving, 2006), atau keberadaan anak (Amato & Irving, 2006) yang tidak lagi dianggap sebagai barrier bagi berakhirnya komitmen pernikahan. Semua hal tersebut menunjukkan bahwa kini masyarakat semakin mudah untuk menerima berakhirnya pernikahan (Thornton, Young - De Marco, 2001). Terkait dengan komponen time, ada pula yang dinamakan chronosystem, yakin perubahan, peristiwa, atau transisi kehidupan yang terjadi, baik dalam level individu maupun level lingkungan yang lebih luas. Sebagai contoh, transisi menjadi orang tua dapat memengaruhi kualitas hubungan pasutri. Contoh lain dalam skala yang lebih luas, semakin menjamurnya social media pada laman internet membuat individu abai berkomunikasi dengan pasangannya karena terlalu asyik menikmati keriuhan di dunia maya. Ilustrasi mengenai teori Bioekologi dari Bronfenbrenner dapat dilihat pada gambar berikut:
46 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Gambar 2.1 Gambar Teori Bioekologi dari Bronbrenner (Sumber: Santrock, J.W. (2010). Adolescence. Mc Graw Hill Publication)
2.2.2 Proposisi dalam Teori Bioekologi Bronfenbrenner mengemukakan dua proposisi untuk menjelaskan cara kerja model process, person, context, dan time. Proposisi pertama yakni perkembangan manusia terjadi melalui proses interaksi timbal balik antara individu dengan orang, objek dan simbol di dalam lingkungan dekat. Interaksi yang dinamakan proximal process tersebut terjadi secara terus menerus pada suatu periode waktu (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Yang merupakan proximal process misalnya komunikasi dengan pasangan, mengelola konflik dengan pasangan, interaksi sehari-hari dengan keluarga besar. Proposisi kedua yaitu bentuk, kekuatan, isi dan arah proximal process dalam memengaruhi perkembangan bervariasi secara sistematik sebagai fungsi dari karakteristik individu, lingkungan dimana proses terjadi, hasil perkembangan
47 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
dan kontinuitas serta perubahan sosial yang terjadi sepanjang perjalanan hidup dan periode sejarah dimana individu hidup (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Dalam teori Bioekologi, komponen person dipandang sebagai produk perkembangan sekaligus sebagai penentu perkembangan. Proximal process akan menghasilkan perkembangan individu dalam bentuk karakteristik personal (person), selanjutnya karakteristik individu yang dihasilkan dalam perkembangan akan memengaruhi proximal process dalam menghasilkan produk perkembangan (Bronfenbrenner & Morris, 2006).
2.2.3 Penerapan Teori Bioekologi dalam Konteks Pernikahan Pada awalnya teori Bioekologi dikembangkan dan lebih banyak diaplikasikan
dalam
penelitian-penelitian
mengenai
perkembangan
anak
(misalnya Guhn, 2009; Craig, 2009). Pengaplikasian teori ini kemudian diperluas pada berbagai bidang, misalnya diantaranya diterapkan pada penelitian tentang pengalaman individu dewasa yang tidak bekerja (Siemens, 2007) atau pemahaman guru tentang pendidikan inklusif (Barnes, 2011). Meski demikian, peneliti belum menemukan pengaplikasian teori Bioekologi secara khusus pada penelitian tentang relasi pasutri. Dalam konteks yang terdekat dengan hal tersebut, yakni konteks keluarga, pengaplikasian teori Bioekologi yang ada lebih banyak dilakukan dalam penelitian yang membahas tentang interaksi antara orang tua dengan anaknya (misalnya Adamsons dkk, 2007; Riggins-Caspers dkk, 2003) atau mengenai anggota keluarga secara keseluruhan dalam menghadapi pengalaman sulit (misalnya Swick & Williams, 2006). Meski belum menemukan pengaplikasian teori Bioekologi secara langsung dalam penelitian tentang relasi pasutri, namun peneliti mencatat telah ada sejumlah penelitian yang menemukan adanya peran karakteristik personal dan konteks lingkungan bagi keberlangsungan pernikahan, seperti adanya pengaruh coping skill (Karney & Bradbury, 1995), kepribadian (Campbell & Foster, 2002), komunikasi antara individu dengan pasangan (misalnya Lavner & Bradbury, 2012), interaksi antara individu dengan pasangan (Gottman & Levenson, 2000), wilayah tempat tinggal (Glenn & Shelton, 1985), atau ras (Bromlett & Mosher, 2002) bagi keberlangsungan pernikahan. 48 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Menurut teori Bioekologi, karakteristik personal dan konteks lingkungan merupakan
hal
yang
berperan
penting
bagi
perkembangan
individu
(Bronfenbrenner, 2005). Terkait pengaplikasian teori Bioekologi dalam konteks pernikahan, maka suatu relasi pernikahan bisa saja dipengaruhi oleh komponenkomponen
teori
Bioekologi,
misalnya
karakteristik
personal
individu
(kepribadian, kemampuan komunikasi, religiusitas), mikrosistem (hubungan antara individu dengan pasangan, orang tua, anak, tetangga, atau rekan kerja, dsb), mesosistem (hubungan antara pasangan dengan anak, pasangan dengan orang tua, orang tua dengan tetangga, dsb), eksosistem (hubungan antara pasangan dengan lingkungan kerja pasangan dsb), serta makrosistem (budaya dan struktur sosial, misalnya sumber daya, masalah sosial, gaya hidup masyarakat, struktur kesempatan, yang mengelilingi individu).
2.3 Dampak Menjadi TKW bagi Relasi Pernikahan Keinginan membantu perekonomian keluarga membuat para istri di Indramayu, khususnya desa Dadap, bermigrasi ke luar negeri untuk bekerja. Suara Pembaruan Online (13 September 2008) mencatat 75% para istri di desa Dadap, Indramayu, menjalani kehidupan yang terpisah dari keluarganya karena menjadi TKW. Menurut Hakim (2003), mayoritas perilaku migrasi untuk bekerja di luar negeri dilakukan oleh migran pada lima tahun pertama pernikahannya. Mengingat pada masa-masa tersebut pasutri masih berada pada tahap konsolidasi pernikahan, migrasi tampaknya berpotensi menimbulkan persoalan dalam rumah tangga. Sejumlah persoalan yang dapat terjadi dalam pernikahan sebagai dampak menjadi TKW dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yakni persoalan yang terjadi selama migrasi dan yang muncul setelah migrasi. Kedua jenis persoalan tersebut dapat memicu terjadinya konflik pada pasutri yang dapat melemahkan komitmen pernikahan. Berdasarkan hasil penelitian Daulay (2001) dan Hakim (2003), contoh persoalan yang muncul selama migrasi adalah kesetiaan dan komitmen pernikahan pasangan, pengelolaan remitansi yang tidak produktif, persaingan suami dengan keluarga besar istri dalam rangka menikmati penghasilan istri, serta kegagalan peran. Yang dimaksud kegagalan peran di sini adalah ketika suami atau istri tidak bisa menjalankan peran yang diamanahkan padanya selama ditinggal 49 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
pasangan bekerja di luar negeri. Misalnya, ketika istri menjadi TKW biasanya tugas pengasuhan anak dan pekerjaan domestik lainnya diserahkan kepada suami, namun kenyataannya suami justru melalaikan berbagai tugas tersebut. Kelalaian suami inilah yang dapat menimbulkan konflik dengan istri (Hakim, 2003). Persoalan yang timbul dalam pernikahan sebagai dampak migrasi tidak hanya muncul selama migrasi itu berlangsung, namun juga setelah migrasi. Persoalan yang muncul setelah migrasi adalah terjadinya ketidakseimbangan kekuasaan dalam keluarga. Kontribusi ekonomi istri kepada keluarga perlahan membuat pola kekuasaan keluarga berubah. Kekuasaan dalam keluarga bergeser dari suami kepada istri, misalnya suami tidak lagi berperan sebagai pengambil keputusan tunggal karena kontribusi ekonominya lebih kecil dibanding istri yang bermigrasi. Kondisi ini dapat membuat suami merasa termarjinalkan dan pada akhirnya memicu terjadinya konflik dengan istri (Hakim, 2003). Migrasi yang dilakukan istri untuk bekerja di luar negeri dapat memberi peluang terjadinya disharmoni rumah. Terlantarnya suami ketika istri bermigrasi seringkali dijadikan alasan oleh suami untuk mengajukan cerai (Kustini, 2002). Gugat cerai akibat istri bermigrasi tidak hanya dilakukan oleh suami, namun juga oleh istri. Bahkan menurut Koran Sindo (27 September 2013) gugat cerai yang dilakukan oleh TKW yang baru pulang dari luar negeri mendominasi kasus perceraian di Pengadilan Agama Indramayu, yakni sebanyak 70% dari kasus yang ada.
Keberanian istri untuk menggugat cerai ini antara lain didorong oleh
kemandirian ekonomi yang membuat mereka tidak merasa terlantar jika harus berpisah dari suami (Kustini, 2002). Untuk kasus istri yang menggugat cerai ini, alasan yang diajukan adalah jengahnya para istri tersebut terhadap suami yang terus menganggur (Pos Kota, 20 Agustus 2007), pemanfaatan remitan oleh suami yang dinilai tidak patut (misal untuk berjudi, minuman miras, foya-foya), perselingkuhan suami, serta persaingan suami dengan keluarga besar istri dalam rangka menikmati penghasilan istri (Daulay, 2001). Fenomena tersebut menunjukkan migrasi istri ke luar negeri merupakan tantangan yang signifikan bagi komitmen pernikahan pasutri. Terkait pergeseran peran akibat migrasi, sejumlah hasil penelitian di Indonesia menunjukkan hasil yang beragam. Hasil penelitian Daulay (2001) pada 50 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
keluarga buruh migran di Karawang menunjukkan telah terjadi pola pergeseran relasi antara suami istri akibat migrasi yang dilakukan istri. Sistem patriakat yang mulanya mendominasi, mulai memudar, meski belum seutuhnya. Menurut laporan Daulay (2001), mulai memudarnya sistem patriakat ini ditandai dengan nilai-nilai pemingitan istri yang tidak lagi diinterpretasikan secara kaku serta tugas pencari nafkah tidak lagi diemban oleh suami. Hal yang serupa juga ditunjukan oleh hasil penelitian Afriani (2002) di desa Karang Tengah, Blitar, Jawa Timur, yakni pengambilan keputusan dalam rumah tangga para istri yang bekerja sebagai TKW tidak lagi terlalu bersifat patriakat. Sementara itu, hasil yang berbeda didapati oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Astuti serta Sulistiyo dan Sri Wahyuni. Temuan yang diperoleh Astuti (seperti yang dikutip Rosadi, 2010) dari penelitiannya di desa Godong, Jawa Tengah, menunjukkan peran istri dalam meningkatkan perekonomian keluarga tidak serta merta meningkatkan posisi tawar mereka dalam keluarga dan masyarakat. Adapun temuan yang diperoleh Sulistiyo dan Sri Wahyuni (2012) mendapati banyak atau sedikitnya kontribusi istri bagi perekonomian keluarganya, mereka tetap bertanggung jawab terhadap pengerjaan tugas-tugas domestik.
2.4 Konteks Sosiokultural Indramayu 2.4.1
Profil Wilayah Indramayu Indramayu adalah sebuah kabupaten di propinsi Jawa Barat yang
wilayahnya terletak di pesisir pantai utara Jawa. Berdasarkan laporan BPS tahun 2008, jumlah penduduk Indramayu adalah sebesar 1.717.793 jiwa. Mata pencarian utama penduduk di wilayah ini adalah dengan menjadi nelayan, petani, dan TKW. Meski terletak di wilayah Jawa Barat, Indramayu dipengaruhi oleh budaya Jawa yang (Kasim, 2010). Pengaruh ini terlihat dalam bahasa, historis, penataan kota serta arsitektur rumah (Kasim, 2010). Sebagai wilayah yang terletak di pesisir pantai dan sekaligus agraris, masyarakat Indramayu dilingkupi oleh budaya nelayan maupun budaya petani dalam menjalani kehidupannya. Kasim (2010) menyebutkan kedua budaya tersebut memiliki karakteristik yang saling bertolak belakang. Perbedaan tersebut teletak pada gaya hidup sehari – hari. Berbeda dengan masyarakat petani, 51 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
masyarakat nelayan cenderung menghabiskan uang yang dimiliki tanpa menyisihkannya untuk persediaan. Kasim (2010) melihat gejala ini sebagai perilaku konsumtif yang timbul karena adanya anggapan di kalangan nelayan bahwa musim panen terjadi setiap waktu, yakni setiap kali mereka pergi melaut, mereka akan mendapatkan hasil. Mereka seolah lupa akan adanya musim paceklik di laut, yang biasa disebut ‘musim baratan’ dan ‘musim timuran’ (Kasim, 2010). Tidak adanya persiapan untuk menghadapi musim paceklik membuat nelayan terpaksa menjual barang apapun yang dimiliki untuk bertahan hidup ketika musim paceklik tiba. Inilah fenomena yang diistilahkan masyarakat setempat dengan ‘cul dayung, adol sarung’, yang artinya ‘lepas dayung (tidak melaut), terpaksa menjual sarung’ (Kasim, 2010). Berbeda dengan gaya hidup nelayan yang demikian, gaya hidup petani cenderung hemat, penuh perhitungan dan matang dalam membelanjakan uang yang diperoleh. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan di kalangan petani bahwa panen hanya terjadi satu kali dalam setahun, itupun jika berhasil. Untuk itu mereka harus dapat mengelola uang hasil panen agar cukup hingga panen berikutnya. Sejumlah stigma dari orang luar telah terlanjur melekat pada Indramayu. Stigma itu antara lain terkait dengan pelabelan Indramayu sebagai wilayah penghasil TKW dan Pekerja Seks Komersil (PSK), kemiskinan, serta banyaknya jumlah kasus perceraian. (Soekarba & Kenyowati, 2011). Sebagai penghasil TKW, Indramayu merupakan pengirim pekerja migran terbanyak kedua di Indonesia (Tribunnews.com, 9 Januari 2014). Dari hasil penelitian Rosadi (2010), berdasarkan informasi yang diperoleh dari seorang warga desa setempat, terungkap bahwa kepergian TKW Indramayu ke luar negeri ini didukung oleh pemerintah setempat, misalnya dalam hal memudahkan dokumen perizinan, bahkan pemerintah memberikan uang sebesar 1 juta rupiah kepada setiap calon TKW guna membantu mereka mengurus syarat-syarat yang diperlukan. Adapun terkait stigma sebagai wilayah penghasil PSK, terdapat istilah ‘luruh duit’, yang berarti mencari uang, pada masyarakat Indramayu (Soekarba & Kenyowati, 2011). Yang dimaksud mencari uang di sini adalah dengan kegiatan menjajakan diri kepada berbagai pria, yang biasanya dilakukan oleh perempuan. Tujuan mencari uang atau ‘luruh duit’ tersebut adalah untuk mendapatkan 52 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
kekayaan agar tidak kalah bersaing secara materi dengan tetangga atau agar kebutuhan keluarga dapat tercukupi, dengan demikian status sosial dirinya dan keluarga akan terangkat di masyarakat (Soekarba & Kenyowati, 2011). ‘Luruh duit’ kemudian dipandang sebagai sebuah pekerjaan yang membanggakan dan tradisi turun temurun. Pandangan ini tentunya membuat sangsi sosial terhadap ‘luruh duit’ menjadi lemah dan karenanya ia menjadi sesuatu yang diterima oleh masyarakat (Soekarba & Kenyowati, 2011). Tidak hanya dikenal sebagai wilayah penghasil TKW dan PSK, Indramayu pun lekat dengan stigma kemiskinan (Soekarba & Kenyowati, 2011). Pada tahun 2003 tercatat, setengah dari keseluruhan jumlah penduduk Indramayu (51%) berada dalam kondisi miskin (Soedijar, 2004). Menurut Soedijar (2004), rendahnya pendidikan dan kemiskinan yang dialami membuat penduduk miskin di Indramayu
mengasosiasikan
keberhasilan
ketika
anak-anaknya
mampu
mengeluarkan keluarga dari penderitaan dan memperoleh kekayaan. Bagi mereka, sumber keberhasilan bertumpu pada kepemilikan sejumlah materi, seperti rumah bagus yang dilengkapi perabot modern, kendaraan bermotor, dan sawah. Adapun terkait dengan bagaimana gambaran relasi pria dan perempuan pada masyarakat Indramayu, Soekarba dan Kenyowati (2011) mengatakan, hal tersebut sebenarnya dapat dilihat pada lirik lagu – lagu Tarling modern khas Indramayu. Soekarba dan Kenyowati (2011) melihat ada tiga tema yang biasanya muncul dalam lirik lagu Tarling tersebut. Pertama, tema mengenai pemujaan terhadap pria, dimana pria dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan perempuan tergantung padanya. Kedua, tentang dominasi dan penindasan oleh pria terhadap perempuan dalam hubungan cinta, terutama ketika sudah berumah tangga. Ketiga, tentang penggambaran cinta sebagai sesuatu yang secara langsung terkait dengan seksualitas. Sementara itu mengenai perempuan, masyarakat Indramayu memiliki pandangan yang bersifat dualisme terhadapnya. Di satu sisi, anak perempuan dipandang sebagai beban ekonomi. Banyak orang tua yang ingin segera menikahkan anak perempuannya, seringnya di usia yang masih sangat muda, agar beban ekonominya berkurang. Dengan segera menikahkan anak perempuannya, mereka merasa tidak lagi harus menghidupi anak perempuannya tersebut 53 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
(Nazarudin, 1998; Djohar, 2006). Menurut Djohar (2006), norma sosial yang berlaku di kawasan pedesaan Indramayu adalah ketika anak perempuan sudah dinikahkan, maka ia tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua. Meski dianggap sebagai beban ekonomi, namun di sisi lain anak perempuan dinilai berharga karena dianggap lebih mudah mendapatkan pekerjaan dibandingkan anak laki-laki, yakni dengan menjadi PSK atau TKW. Dari sisi kehidupan bermasyarakat, Soedijar (2004) menyebutkan, masyarakat Indramayu merupakan masyarakat yang gemar menggelar hajatan, baik hajatan yang sifatnya pribadi (seperti khitanan, pernikahan, ‘rasulan’, ‘7 bulanan’, ‘anak tunggal’) maupun yang berupa tradisi daerah (seperti ‘Nadran’, ‘Ngarot’, ‘Mapag Sri’, ‘Pasar Jaringan’, ‘Dombret’). Soedijar (2004) melihat berbagai hajatan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit tersebut sebagai manifestasi dari solidaritas sosial sekaligus menjaga martabat atau harga diri individu dalam hidup bermasyarakat. Menurut Soedijar (2004) adanya tradisi hajatan tersebut cenderung memotivasi masyarakat, khususnya yang tidak mampu secara materi, untuk mencari jalan pintas demi mendapatkan uang, antara lain dengan cara menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) atau TKW.
2.4.2
Gambaran Komitmen Pernikahan pada Masyarakat Indramayu Komitmen pernikahan bertalian dengan perceraian. Givertz, Segrin dan
Hanzal (2005) menemukan bahwa rendahnya komitmen individu terhadap pernikahan berkaitan erat dengan terjadinya perceraian. Sub bab ini akan mengetengahkan gambaran komitmen pernikahan masyarakat Indramayu melalui fenomena perceraian yang banyak terjadi di sana. Masyarakat Indramayu memiliki tingkat komitmen pernikahan yang rendah, ditandai dengan tingginya jumlah angka perceraian di wilayah pesisir utara Jawa Barat tersebut. Jumlah perceraian di Indramayu bisa mencapai 800 kasus per bulan atau sekitar 8500 – 9000 kasus pertahun. Sebagai perbandingan, berdasarkan hitungan normal, di daerah lain angka perceraian setiap 1 juta penduduk hanya 1000 kasus per tahun, namun di Indramayu, dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta jiwa, angka perceraian mencapai 9000 kasus pertahun (Pikiran Rakyat Online, 1 Juli 2013). 54 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Di satu sisi, angka perceraian yang tinggi ini diperkirakan berkaitan dengan kebiasaan masyarakat. Di Indramayu, ada masa yang dinamakan musim nikah dan musim cerai. Jika musim panen datang akan banyak pernikahan diadakan, sementara pada musim paceklik, banyak orang mengantri di Pengadilan Agama untuk mengajukan gugat cerai (Jones, Asari, & Djuartika, 1994). Masyarakat menganggap musim panen sebagai masa yang tepat untuk menyelenggarakan pernikahan karena pada saat itu mereka mempunyai dana yang cukup, yang diperoleh dari hasil panen (Nazarudin, 1998; Sakardi, 1999). Sementara itu, pada musim paceklik mereka mengalami kesulitan ekonomi sehingga banyak kepala keluarga (suami) yang harus melepas tanggung jawabnya untuk menafkahi anak istrinya. Tindakan suami yang menelantarkan anak istri tersebut menimbulkan perselisihan pada pernikahan pasutri yang berujung pada perceraian (Nazarudin, 1998; Sakardi, 1999). Itulah sebabnya mengapa pada musim paceklik angka perceraian meningkat tajam. Selain itu juga berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat indramayu. Menurut Ilham Abdullah, ketua Pengadilan Agama Indramayu, penyebab tingginya jumlah perceraian adalah karena fenomena ‘kawin-cerai’ dianggap bukan lagi sebagai aib dalam keluarga (Pikiran Rakyat Online, 1 Juli 2013). Ada kebanggaan dalam diri orang tua yang anak perempuannya seringkali menikah dan bercerai karena itu berarti banyak pria tertarik. Dari segi materi, pernikahan yang terjadi berulang kali dianggap menguntungkan karena akan ada sumbangan yang diberikan oleh para tamu kepada keluarga yang menikahkan anaknya padanya (Jones, Asari, & Djuartika, 1994). Tidak hanya itu, perceraian dianggap sebagai suatu alternatif pemecahan masalah ekonomi, khususnya oleh perempuan. Dengan bercerai, mereka bebas pergi ke luar Indramayu untuk mencari nafkah tanpa harus terikat suami dan anak (Nazarudin, 1998). Di sisi lain, perceraian juga berkaitan dengan banyaknya jumlah TKW di Indramayu. Selanjutnya, menurut Koran Sindo (27 September 2013) gugat cerai yang dilakukan oleh TKW yang baru pulang dari luar negeri mendominasi kasus perceraian di Pengadilan Agama Indramayu, yakni sebanyak 70% dari kasus yang ada.
Keberanian istri untuk menggugat cerai ini antara lain didorong oleh
kemandirian ekonomi yang membuat mereka tidak merasa terlantar jika harus 55 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
berpisah dari suami (Kustini, 2002). Untuk kasus istri yang menggugat cerai ini, alasan yang diajukan adalah jengahnya para istri tersebut terhadap suami yang terus menganggur (Pos Kota, 20 Agustus 2007), pemanfaatan remitan oleh suami yang dinilai tidak patut (misal untuk berjudi, minuman miras, foya-foya), perselingkuhan suami, serta persaingan suami dengan keluarga besar istri dalam rangka menikmati penghasilan istri (Daulay, 2001). Fenomena tersebut menunjukkan migrasi istri yang menjadi TKW merupakan tantangan yang signifikan bagi komitmen pernikahan pasutri.
2.5 Teori Interdependensi dan Teori Bioekologi dalam Menjelaskan Komitmen Pernikahan di desa Dadap, Indramayu Meski memiliki sejumlah keterbatasan, teori Interdependensi masih memiliki relevansi dengan sejumlah fenomen komitmen pernikahan yang ada di Indonesia, termasuk desa Dadap, Indramayu. Dalam teori Interdependensi, keputusan individu untuk berkomitmen ditentukan oleh sejauh mana ketertarikan dan ketergantungan individu terhadap pasangan atau terhadap relasi yang dijalani. Rasa ketertarikan dan ketergantungan itu sendiri ditentukan oleh seberapa besar reward yang diterima individu bila dibandingkan dengan cost yang ada (Rusbult, Arriaga, & Agnew, 2003). Apa yang dikemukakan oleh teori Interdependensi ini dialami pula oleh sejumlah pasutri di Indonesia. Sebagai contoh, dalam penelitiannya terhadap para perempuan Jawa, Afni dan Indrijati (2001) menemukan bawa rendahnya kepuasan pernikahan akibat tidak terpenuhinya kebutuhan materi, seks, dan psikologis merupakan penyebab berakhirnya komitmen pernikahan mereka. Penelitian lain yang dilakukan Irsyad (2013) berdasarkan analisis kasus di Pengadilan Agama Purwokerto, menemukan bahwa sejumlah kasus gugat cerai yang diajukan oleh para istri dilatarbelakangi adanya cost yang dirasakan oleh mereka, seperti poligami tanpa izin istri, merasa tidak puas dengan jumlah penghasilan suami, maupun KDRT yang dilakukan suami. Sementara itu, Suhardono (1998) dalam penelitiannya tentang pengambilan keputusan paska krisis pernikahan di sejumlah lembaga konseling di Jawa menemukan bahwa pertukaran sosial mengenai besarnya reward – cost yang
56 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
ditransaksikan merupakan hal yang melatarbelakangi keputusan yang diambil pasutri untuk tetap berkomitmen atau tidak. Selain
ditentukan
oleh
transaksi
reward
–cost,
menurut
teori
Interdependensi, komitmen pernikahan dipengaruhi oleh adanya barriers yang menghalangi individu untuk mengakhiri pernikahan, seperti investasi yang telah ditanamkan, keberadaan anak, atau ketergantungan finansial terhadap pasangan. Hal ini ternyata juga memiliki sejumlah kesesuaian dengan apa yang dialami oleh sejumlah pasutri di Indonesia. Sebagai contoh, dalam penelitiannya terhadap para istri di Jakarta yang memutuskan untuk bertahan dalam pernikahan setelah perselingkuhan suami, Erviantini (2007) mendapati bahwa hal yang membuat mereka tetap berkomitmen tersebut adalah adanya anak dan ketergantungan finansial karena mereka tidak bekerja. Sementara itu, hasil penelitian Prianto dkk (2012) di kecamatan KedungKandang menunjukkan pembiayaan anak menjadi faktor pertimbangan bagi istri yang tidak bekerja saat mengambil keputusan untuk mengakhiri komitmen pernikahan. Meski memiliki relevansi dengan pengalaman berkomitmen pada sejumlah pasutri, namun teori Interdependensi tidak cukup menjelaskan komitmen pernikahan TKW di Indramayu. Hal ini karena teori Interdependensi hanya berfokus pada hubungan antar individu (individu dengan pasangannya), sementara relasi pernikahan di Indonesia melibatkan hubungan antara individu dengan konteks lingkungan yang lebih luas. Konteks lingkungan yang lebih luas ini dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Bioekologi (Bronfenbrenner, 2005). Menurut teori ini, relasi pernikahan dapat dipengaruhi pula kondisi mikrosistem lainnya, mesosistem, eksosistem, dan makrosistem. Mendukung pernyataan dari teori Bioekologi ini, sejumlah ahli menyatakan, individu tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial-ekonomi-budaya-politik yang mengitarinya (Collins, 1987; Behan, 2012), dimana faktor-faktor resiko yang ada pada lingkungan tersebut berpotensi memengaruhi hidup individu (Collins, 1987; Cairns & Cairns, 1995; Matsumoto & Juang, 2007), termasuk relasi pernikahan. Budaya, sebagai salah satu komponen konteks lingkungan makrosistem individu, dapat memengaruhi pemikiran, perasaan, nilai yang dianut, cara memahami dunia, dan bagaimana individu mengartikan sesuatu (Hogg & Vaughan, 2005; Ratnaer, 2006). Proses 57 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
enkulturasi yang terjadi sejak usia kanak-kanak hingga dewasa memungkinkan individu untuk menyerap nilai-nilai dari lingkungannya, diantaranya dengan cara meniru (Hogg & Vaughan, 2005). Mengacu pada pendapat ini, dalam konteks masyarakat Indonesia, bagaimana individu melihat, memahami dan mengartikan komitmen pernikahan dapat dibentuk oleh nilai, pandangan, dan kebiasaan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan di Indonesia, termasuk komitmen pernikahan, memiliki keterkaitan dengan kebiasaan, cara pandang, dan perubahan nilai di masyarakat. Sebagai contoh, kasus perceraian di sejumlah daerah ternyata memiliki korelasi dengan kebiasaan kawin muda di masyarakat (Sakardi, 1999). Contoh lainnya adalah, relasi pernikahan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran orang tua atau keluarga besar. Besarnya peran tersebut terkadang membuat orang tua merasa wajar untuk turut mencampuri konflik dalam pernikahan pasutri, biasanya dengan meminta salah satu pihak untuk mengakhiri pernikahannya (Sakardi, 1999; Wazdi, 2002; Hapsari & Iqbal, 2011). Relasi pernikahan juga berpotensi dipengaruhi oleh perubahan nilai pada konteks makrosistem. Menurut Indahwati (2014), perceraian yang dulu dianggap sebagai masalah yang sangat pribadi kini menjadi sebuah komoditas sosial dengan sering ditampilkannya sejumlah kasus perceraian public figure di acara talkshow televisi. Menurut Indahwati (2014), fenomena ini dapat membuat masyarakat menganggap perceraian sebagai sebuah hal yang wajar dan umum terjadi sehingga pada akhirnya pandangan yang demikian dapat memengaruhi komitmen pernikahan. Teori Bioekologi tidak hanya mengakui adanya pengaruh konteks lingkungan yang lebih luas bagi komitmen pernikahan, namun juga adanya pengaruh proximal process dan karakteristik personal. Menurut teori Bioekologi, proximal process dan karakteristik personal merupakan inti dari perkembangan yang sebenarnya. Adapun karakteristik personal memiliki kaitan yang erat dengan proximal process, yakni karakteristik personal bukan hanya berperan sebagai penentu proximal process, namun juga merupakan produk dari proximal process (Bronfenbrenner, 2005). Adanya faktor proximal process menjadikan teori Interdependensi dan teori Bioekologi beririsan satu sama lain, yakni sama-sama menekankan 58 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
pentingnya hubungan antar individu (dalam hal ini individu dengan pasangannya) sebagai hal yang berpotensi memengaruhi komitmen pernikahan. Perbedaan kedua teori tersebut adalah jika teori Interdependensi lebih mengkaitkan proximal process tersebut dengan transaksi reward- cost dalam interaksi pasutri, maka teori Bioekologi melihatnya bukan hanya sebatas itu saja, namun juga sebagai hal yang dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih luas (makrosistem, eksosistem, mesosistem, mikrosistem). Peneliti berpendapat bahwa pada dasarnya teori Interdependensi dapat diterapkan dalam menjelaskan komitmen pernikahan para TKW di Indonesia, khususnya Indramayu. Dalam hal ini, teori Interdependensi dapat menjelaskan peranan interaksi antara suami dengan istri dalam komitmen pernikahan yang berkaitan dengan proses transaksional. Namun demikian, mengingat kompleksitas lingkungan dan banyaknya masalah sosiokultural yang ada di Indramayu, maka ada banyak faktor yang berpotensi memiliki peran bagi keberlangsungan pernikahan TKW di wilayah tersebut. Untuk itu, ada hal lain yang harus diperhatikan dalam menjelaskan komitmen pernikahan pada para TKW di Indramayu, khususnya desa Dadap, yakni faktor lingkungan yang lebih luas, seperti makrosistem, eksosistem, mesosistem, dan mikrosistem, seperti yang dikemukakan oleh teori Bioekologi dari Bronfenbrenner (2005). Peneliti berpendapat bahwa interaksi antara person (individu itu sendiri), process atau proximal process (interaksi antara individu dengan mikrosistemnya) serta context lingkungan lain yang mengelilingi individu seperti mikrosistem, mesosistem, eksosistem dan makrosistem (yang menyangkut nilai, kebiasan masyarakat, perubahan sosial, dll) berperan dalam dinamika komitmen pernikahan pada TKW di
desa Dadap,
Indramayu, dimana
interaksi
antara
individu
dengan
mikrosistemnya, dalam hal ini pasangan, atau yang dinamakan proximal process, dan person atau karakteristik personal yang dihasilkan dari proximal process tersebut merupakan penentu utama komitmen pernikahan individu. Hal ini dilandasi oleh pertimbangan sebagai berikut:
Pernikahan dapat digolongkan sebagai intimate relationship, dimana salah satu
karakterististik
dari
intimate
relationship
adalah
adanya
interdependensi antara individu dengan pasangannya (Miller & Perlman, 59 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
2008). Ketika suatu relasi sudah bersifat interdependen, maka perilaku apapun yang ditampilkan individu akan berpengaruh terhadap individu lain yang menjadi pasangannya (Berscheid, Snyder & Omoto, 2004). Sebagai contoh, keberhasilan dan komitmen pernikahan individu berkorelasi dengan persepsi individu mengenai komitmen pasangannya terhadap pernikahan mereka (Miller & Rempel, 2004; Murray, Bellaria, Rose & Griffin, 2003; Weigel, 2010).
Komitmen pernikahan terjadi pada level hubungan dyadic (Weigel, 2010). Berbagai penelitian tentang komitmen pernikahan selama ini menunjukkan adanya peran interaksi dyadic pasutri bagi keberlangsungan suatu pernikahan (misalnya Impett dkk, 2001; Ballard-Reisch dkk, 1999; Karney & Bradbury, 1995; Gottman dkk, 1998).
Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bagaimana interaksi sehari-hari antara individu dengan pasangannya berperan bagi keberlangsungan pernikahan melalui belief yang dimiliki individu tentang pasangan (misalnya Reis, Clark, & Holmes, 2004; Cutrona, Shaffer, Wesner, & Gardner, 2007; Patrick, Cannevello, Knee & Lonsbary, 2007; Vanderdrift & Agnew, 2012). Contoh lainnya adalah hasil penelitian mengenai bagaimana komunikasi antara individu dan pasangan dapat berkorelasi terhadap keberlangsungan pernikahan (misalnya Lavner dan Bradbury 2012; Clement, Stanley, Markman, 2004; Ballard-Reisch, Weigel, Zaguidoullone, 1999; Gaine & La Guardia, 2009). Selain itu, sejumlah hasil penelitian juga menunjukkan hubungan antara perilaku pasangan dengan pemaafan individu terhadap kesalahan pasangan (misalnya Eaton dkk, 2006; Tabak & McCullough, 2008; Fitness, 2001).
Teori Bioekologi mengemukakan karakteristik personal yang dimiliki individu dapat menghambat atau memperlancarnya terjadinya proximal process, yang merupakan proses inti perkembangan. Teori Bioekologi menganggap individu sebagai agen aktif dalam menghasilkan produk perkembangan itu sendiri maupun dalam mengubah lingkungan dimana proses perkembangan itu terjadi agar sesuai dengan kebutuhannya. Pernyataan tersebut sejalan dengan pernyataan para ilmuwan psikologi 60 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
sebelumnya mengenai kemampuan manusia untuk berkehendak; untuk memilih dan memutuskan bagaimana ia berperilaku (Glassman & Haddad, 2008). Konsep-konsep seperti self efficacy, self regulation, yang telah banyak diuji secara empiris menunjukkan bahwa indvidu memang memiliki kendali untuk menentukan arah hidupnya, dalam hal ini termasuk perkembangannya. Bahwa individu merupakan penentu utama bagi bertahannya atau tidak bertahannya komitmen pernikahan dikuatkan oleh sejumlah hasil penelitian empiris, yakni sejumlah karakteristik individu seperti kemampuan adaptasi, coping skill, optimisme dan kepribadian, religiusitas turut berperan dalam keberhasilan relasi pernikahan (Gordon & Baucom, 2005; Neff & Karney, 2009; Lambert & Dollahite, 2006; Campbell & Foster, 2002).
61 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
BAB 3 METODE PENELITIAN
Bab ini akan memaparkan tentang pendekatan dan jenis penelitan yang akan digunakan, metode pemilihan partisipan, metode pengumpulan data, prosedur penelitian, teknik analisis data, serta kredibilitas penelitian ini.
3.1 Pendekatan Kualitatif 3.1.1 Latar Belakang Penggunaan Pendekatan Kualitatif Pendekatan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelusuran literatur menunjukkan penelitian mengenai komitmen dalam relasi romantis yang ada selama ini lebih banyak dilakukan melalui pendekatan kuantitatif (misalnya Duffy & Rusbult, 1986; Impett, Beals, & Peplau, 2001; Rhatigan & Axsom, 2006; Rusbult, Martz, & Agnew, 1998). Patton (2002) menjelaskan, pendekatan kuantitatif merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada pengukuran terstandardisasi dalam pengumpulan datanya sehingga berbagai pengalaman dan perspektif individu direduksi ke dalam hubungan antar variabel atau sejumlah kategori respon yang telah ditentukan sebelumnya dan bersifat terbatas. Dengan karakteristik yang demikian, maka penelitian-penelitian mengenai komitmen dalam relasi romantis yang mayoritas berbasis kuantitatif tersebut, menggunakan alat ukur yang item-itemnya disusun berdasarkan perspektif para ahli (outsider) dalam pengumpulan datanya. Hal ini berarti, pengukuran komitmen dalam relasi romantis yang ada selama ini tidak bersumber dari individu sendiri selaku orang yang mengalami langsung pengalaman tersebut (insider), melainkan berasal dari pemikiran para ahli (outsider) seperti yang tercermin dalam item-item pada alat ukur tersebut. Padahal Surra, Hughes dan Jacquet (1999) mendapati, temuan di lapangan menunjukkan apa yang diajukan oleh para ahli tersebut tidak selamanya sesuai dengan pengalaman individu bersangkutan yang secara langsung mengalami fenomen berkomitmen terhadap pernikahannya. Dengan demikian, terdapat kesenjangan antara pemikiran obyektif para ahli dengan pemikiran subyektif individu mengenai fenomen yang diteliti (Surra, Hughes, & Jacquet, 1999). Dari sini dapat 62 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
terlihat bahwa penyederhanaan dan reduksi kompleksitas respon individu ke dalam hubungan antar variabel dapat memberikan informasi yang keliru. Selanjutnya, menurut Adams dan Jones (1999) metode yang lebih bernilai untuk memahami karakteristik dan dinamika komitmen pernikahan adalah metode naratif, yakni dengan menanyai langsung individu atau pasutri selaku insider mengenai pengalamannya berkomitmen dan apa arti komitmen bagi satu sama lain. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan naturalistik, yang berfokus pada penggalian fenomen dari sudut pandang individu yang mengalami dan memosisikan perspektif individu tersebut sebagai titik tumpu (Flink, dalam Ritchie, 2013). Dengan membiarkan individu
menarasikan pengalaman
berkomitmennya secara apa adanya, maka diharapkan akan muncul temuan yang lebih bermakna daripada sekedar mereduksi kompleksitas respon ke dalam variabel-variabel yang telah ditetapkan sebelumnya. Melalui narasi individu ini pula, peneliti juga dapat melihat hal-hal apa saja yang secara langsung melatarbelakangi individu tersebut berkomitmen, yang mana hal tersebut lebih signifikan daripada sekedar mengetahui hubungan antar variabel yang telah ditetapkan sebelumnya oleh para ahli (outsider), yang dapat memberikan informasi yang keliru. Meski belum banyak dilakukan, sejumlah peneliti telah menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara dalam meneliti
komitmen
pernikahan pasutri, yakni Brewer (1993), Cupach dan Metts (1986), Robinson dan Blanton (1993), Surra, Hughes, dan Jacquet (1999), Surra, Arizzi, dan Asmussen (1988), Surra, Chandler, Asmussen, dan Wareham (1987), serta Swensen dan Trahaug (1985). Dalam amatan peneliti, berbagai penelitian tersebut hanya membahas secara umum mengenai alasan individu berkomitmen terhadap pernikahannya (Brewer, 1993; Robinson & Blanton, 1993; Swensen & Trahaug, 1985) atau tentang apa yang mendorong mereka mengganti status komitmen dari berpacaran menjadi menikah (Surra, Arizzi, & Asmussen, 1988; Surra, Chandler, Asmussen, & Wareham, 1987) serta tidak secara spesifik meneliti komitmen saat pasutri mengalami situasi sulit. Cupach dan Metts (1986) memang meneliti dinamika komitmen dengan melibatkan situasi sulit dalam pernikahan yang
63 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
dialami pasutri, namun hal tersebut dilakukan pada pasutri yang telah bercerai, bukan pada mereka yang masih mempertahankan pernikahannya. 3.1.2 Karakteristik Pendekatan Kualitatif Pendekatan kualitatif berakar pada paradigma interpretivisme. Salah satu tokoh dalam aliran ini yang pemikirannya menjadi landasan bagi penelitian kualitatif adalah Emanuelle Kant. Kant berpendapat, cara untuk memperoleh pengetahuan bukan hanya melalui pengamatan indrawi saja, namun juga melalui interpretasi manusia terhadap apa yang diindranya. Dengan demikian, menurut Kant, pengetahuan berasal dari pemahaman yang timbul dari refleksi atas apa yang terjadi, bukan sekedar dari pengalaman indrawi. Berdasarkan pemikiran ini, penelitian kualitatif cenderung menekankan pada interpretasi manusia terhadap apa yang terjadi di lingkungan sosialnya dan berfokus pada memahami fenomen dari sudut pandang mereka yang mengalami (Ritchie, Lewis, Nicholls & Ormston, 2013). Peneliti kualitatif berusaha untuk menyelidiki pengalaman, perasaan dan persepsi dari sudut pandang partisipan penelitian daripada memaksakan kerangka pemikiran mereka sendiri yang mungkin akan mendistorsi hasil penelitian (emic perspective). Terkait dengan hal tersebut, agar dapat memahami komitmen pernikahan pada konteks Indramayu, maka narasumber yang tepat untuk hal tersebut adalah mereka yang memang berada di lingkungan tersebut dan pernah mengalami peristiwa yang memengaruhi komitmen pernikahannya. Dalam penelitian kualitatif, untuk dapat memahami pengalaman subyek yang ditelitinya, peneliti terlebih dahulu harus akrab dan membenamkan diri (immerse) ke dalam dunia mereka. Terkait dengan hal ini, peneliti memutuskan untuk tinggal di lokasi penelitian selama proses penelitian berlangsung. Di sana peneliti tinggal bersama warga dan menjalani kehidupan sesuai dengan kebiasaan sehari-hari masyarakat setempat. Dalam kondisi berbaur yang demikian, tidak menutup kemungkinan muncul bias atau nilai tertentu yang dimiliki peneliti, yang berpotensi memengaruhi proses penelitian. Oleh karena itu, peneliti
perlu
menyadari bias dan nilai yang dapat memengaruhi interpretasi (Cresswell, 2004). Untuk meminimalisir timbulnya bias tersebut, Patton menyarankan netralitas empatik sebagai sikap yang harus dimiliki peneliti kualitatif. Dengan netralitas empatik, peneliti berdiri di tengah-tengah, yakni di satu sisi menjaga untuk tidak 64 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
terlalu dalam terlibat dengan objek yang diteliti yang mana hal tersebut berpotensi melahirkan bias atau prasangka yang terlalu dini, sementara di sisi lain ia juga tidak boleh terlalu berjarak karena dapat mengurangi pemahaman terhadap objek yang diteliti. Netralitas empatik juga berarti peneliti memasuki lokasi penelitian tanpa asumsi atau teori yang ingin dibuktikan, melainkan hanya memahami gejala seperti apa adanya (netral), di samping harus tetap melakukan pendekatan terhadap partisipan dengan bersikap empati agar dapat memperoleh data yang memang mencerminkan penghayatan partisipan penelitiannya tersebut (Patton, 1990). Sebagai sebuah pendekatan yang berakar pada paradigm interpretivisme, pendekatan kualitatif menganut konsep verstehen. Verstehen berarti memahami sesuatu dalam konteks dimana sesuatu itu berada. Pada pendekatan kualitatif, peneliti meneliti gejala dalam situasi alamiah dimana gejala itu berada dan membiarkan kondisi yang diteliti berada dalam keadaan yang sesungguhnya. Peneliti tidak memanipulasi dan tidak mengendalikan konteks penelitian secara penuh seperti halnya pada penelitian eksperimen karena menyadari gejala yang diteliti dan kondisi sosial disekitarnya bersifat komplek dan dinamis. Peneliti hanya menunggu atau membiarkan temuan apa yang akan muncul dari gejala yang diteliti (Patton, 1990). Pendekatan kualitatitif menganut perspektif holistik, yakni berusaha memahami fenomen yang diteliti secara menyeluruh dan utuh. Oleh karena itu, dalam mempelajari suatu fenomen, peneliti kualitatif mengumpulkan data dalam berbagai aspek untuk memperoleh gambaran yang lengkap tentang fenomen yang diteliti tersebut. Dengan demikian, kasus, peristiwa atau setting yang ada diperlakukan sebagai entitas yang unik dan dilihat dalam konstelasi hubunganhubungan dengan konteks yang ada (Patton, 1990). Komitmen pernikahan yang menjadi tema penelitian ini akan diteliti dalam konteks Indramayu. Konteks Indramayu dipilih karena dinilai dapat memberi informasi yang kayak mengenai gejala komitmen pernikahan, mengingat tingginya angka perceraian dan pandangan masyarakat setempat yang mewajarkan terjadinya perceraian tersebut. Dalam penelitian kualitatif, pelibatan dan pemahaman terhadap konteks dan budaya dimana penelitian dilakukan menjadi hal yang amat penting. Hal ini 65 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
karena konteks dimana partisipan tinggal memengaruhi perilaku dan pemikiran mereka. Jika peneliti memahami konteks tersebut, maka peneliti dapat memahami perilaku dan persepsi partisipan serta menangkap makna yang mereka sampaikan.
3.2 Studi Kasus Penelitian ini menggunakan studi kasus sebagai desain penelitian karena fenomen komitmen pernikahan di kalangan TKW di Desa Dadap, Indramayu, dianggap unik. Konteks ini dipilih karena memiliki kekhasan yang berkaitan dengan komitmen pernikahan, mengingat tingginya angka perceraian dan pandangan masyarakat setempat (Indramayu) yang mengganggap perceraian sebagai sesuatu yang wajar. Dalam penelitian kualitatif, pelibatan dan pemahaman terhadap konteks dan budaya dimana penelitian dilakukan menjadi hal yang amat penting. Menurut Yin (1994), sebagai metode penelitian, studi kasus memiliki sejumlah karakteristik tertentu. Pertama, studi kasus merupakan meneliti gejala yang bersifat kekinian (contemporary), dalam konteks alaminya. Terkait dengan hal tersebut, gejala yang diteliti dalam penelitian ini adalah komitmen pernikahan pada TKW dengan mempertimbangkan konteks lingkungan dimana mereka berada. Kedua, studi kasus bertumpu pada berbagai sumber data. Dalam hal ini, data terkait gejala (komitmen pernikahan) tidak hanya diperoleh dari para TKW itu sendiri, namun juga dari berbagai sumber seperti perangkat desa, budayawan, staf lembaga terkait, warga desa, dan orang-orang di sekitarnya. Ketiga, studi kasus menggunakan kerangka teoritik untuk memandu proses pengumpulan dan analisis data. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini menggunakan teori Bioekologi sebagai proposisi dalam penelitian ini. 3.3 Partisipan Miles, Huberman, dan Saldana (2014) menyatakan, pemilihan partisipan dalam penelitian kualitatif cenderung bersifat purposive, artinya peneliti memilih partisipan yang dinilai dapat memberikan informasi yang berharga terkait tujuan penelitian yang ingin dicapai dan pertanyaan penelitian yang ingin dijawab. Dengan demikian, dalam penelitian ini peneliti memilih sejumlah informan dan partisipan yang dianggap dapat memberikan informasi yang bernilai mengenai 66 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
komitmen pernikahan pada TKW di desa Dadap, Indramayu, yakni TKW itu sendiri, perangkat desa, perwakilan instansi pemerintah, budayawan dan sejumlah warga setempat. Untuk memperoleh partisipan peneliti memanfaatkan bantuan sesama sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Cara ini dinamakan snowball (Miles, Huberman, & Saldana, 2014). Pada awalnya, peneliti hanya melibatkan TKW yang masih mempertahankan komitmen pernikahannya saja sebagai partisipan dalam penelitian ini. Meski demikian, seiring dengan perkembangan
penelitian
di
lapangan,
peneliti
merasa
perlu
untuk
mengikutsertakan pula TKW yang telah mengakhiri komitmen pernikahannya. Alasan adalah karena peneliti ingin mendapatkan gambaran tentang komitmen pernikahan
secara
utuh,
bukan
hanya
dari
sisi
mereka
yang
masih
mempertahankan pernikahannya, namun juga dari sisi mereka yang telah mengakhiri komitmen pernikahannya. Penambahan jenis partisipan di tengah jalannya penelitian ini dimungkinkan terjadi karena menurut Miles, Hubberman dan Saldana (2014), pemilihan partisipan pada penelitian kualitatif tidak ditentukan terlebih dahulu secara kaku, namun dapat berkembang seiring dengan perkembangan penelitian di lapangan.
Partisipan penelitian selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:
67 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Tabel 3.1 Daftar Seluruh Narasumber Penelitian No
Nama
Keterangan
1
Sofa
Kuwu (kepala) desa Dadap, mantan TKW
2
Bukhori, Hambali, Masripah,
Para perangkat desa Dadap
Rofidah 3
Supali Kasim
Budayawan Indramayu. Lahir di Juntinyuat, Indramayu. Membidani lahirnya Lembaga Basa lan Sastra Dermayu (LBSD) tahun 2009, ketua Dewan Kesenian Indramayu (20012004), aktif dalam diskusi di Centre for Empowering Society and Cultural Studies (CESCS) Cirebon, dan penulis sejumlah buku tentang Indramayu
4
Maman Suherman, Nurudin
Staf Pengadilan Agama Indramayu Staf KUA kecamatan Juntinyuat
5
Desi, Sinah, Siti, Uun,
Para istri yang berprofesi sebagai TKW
Yayah, Tarsih, Ningsih, Sunida, Irma, Karti, Harti, Lasmi, Wanti, Imas Rida, Mirna, Ibu Lala,
Warga setempat
Hendra, Sarih, dsb
Adapun secara spesifik daftar partisipan TKW yang diwawancarai secara mendalam oleh peneliti adalah sebagai berikut (partisipan yang masih berkomitmen diberi kode K di samping namanya, partisipan yang telah bercerai diberi kode C):
68 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
(DATA PARTISIPAN)
69 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
(DATA PARTISIPAN)
70 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Wawancara Peneliti melakukan wawancara formal baik, secara individual maupun kelompok, terhadap sejumlah narasumber, yakni TKW, perangkat desa, budayawan setempat, warga, dan staf lembaga terkait (KUA dan Pengadilan Agama). Kecuali TKW, wawancara terhadap narasumber lainnya berlangsung satu kali dengan durasi antara 1 – 1,5 jam. Wawancara berlangsung di instansi setempat (bagi perangkat desa dan staf lembaga terkait) dan kediaman masingmasing (budayawan dan warga). Wawancara tersebut menggunakan metode semiterstruktur, yang ditandai oleh fleksibilitas struktur pertanyaan yang meliputi topik dan tema yang akan digali melalui wawancara. Jenis pertanyaan yang ditanyakan adalah mengenai gambaran sosiokultural, kehidupan TKW, dan relasi pernikahan pada masyarakat setempat. Adapun wawancara terhadap TKW tidak hanya menggunakan metode semi-terstruktur saja, namun juga dengan metode wawancara mendalam yang memungkinkan peneliti untuk menggali secara detil
insight, perasaan, dan
perspektif mereka dengan intensif mengenai pengalaman berkomitmen terhadap pernikahan (Boyce & Nealle, 2006). Terhadap mereka, peneliti melangsungkan wawancara formal sebanyak 4 – 5 kali, kecuali pada partisipan Irma (hanya 2 kali dan kemudian berangkat ke Taiwan) dan Wanti (hanya 1 kali karena harus membantu kerabatnya yang hajatan selama beberapa hari dan setelahnya menjadi sulit untuk ditemui). Setiap wawancara formal berlangsung antara 1,5 – 2 jam. Wawancara terhadap TKW dilakukan di kediaman masing-masing partisipan. Wawancara biasanya dilakukan pada pagi dan siang hari, namun ada juga yang meminta wawancara dilakukan pada malam hari karena di waktu lainnya ia harus menjaga toko kelontong miliknya. Pada pagi hari, wawancara biasanya dimulai pada pukul 10 WIB setelah para partisipan selesai mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sementara pada siang hari wawancara dilakukan mulai pukul 13 WIB. Di luar sesi wawancara formal, peneliti yang juga menetap di desa Dadap sering berjumpa partisipan dalam situasi informal. Biasanya peneliti bertemu mereka pada saat menenangga di rumah warga lainnya, saat tengah membeli sarapan di pagi hari, atau saat berbelanja ke pasar bersama-sama. Pada 71 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
pertemuan-pertemuan informal ini, peneliti terkadang mendapatkan informasi yang belum muncul saat wawancara formal berlangsung. Selain itu, pertemuan informal juga dapat mengakrabkan hubungan peneliti dengan para partisipan. Pada proses wawancara, para TKW tersebut bersedia menceritakan pengalaman pernikahannya kepada peneliti, baik suka atau duka. Peneliti memulai wawancara dengan menanyakan latar belakang kehidupan mereka baru kemudian masuk ke dalam kehidupan pernikahan, khususnya pengalaman berkomitmen terhadap. Sejumlah partisipan ada yang langsung menceritakan pengalaman sulitnya dalam pernikahan meskipun belum tiba waktu peneliti bertanya ke arah sana. Sebagai contoh, ada partisipan yang langsung menceritakan penyelewengan uang oleh suaminya saat pertemuan pertama dengan peneliti. Menghadapi hal ini, peneliti membiarkan saja partisipan bercerita dan mengikuti ‘alur’ yang dibuat oleh partisipan, alih-alih secara kaku mengikuti ‘alur’ yang telah dipersiapkan peneliti sebelumnya. Meski demikian, ada juga partisipan yang proses keterbukaannya berlangsung sedikit demi sedikit seiring dengan meningkatnya frekuensi pertemuan antara dirinya dengan peneliti. Pada pertemuan pertama dengan peneliti (perkenalan), ia banyak bertanya tentang proses wawancara yang akan dilakukan peneliti meski sebelumnya peneliti telah menjelaskan hal tersebut. Ia juga menolak untuk direkam suaranya selama proses wawancara berlangsung. Dengan demikian, peneliti harus mencatat secara manual pernyataan-pernyataan partisipan tersebut. Seiring dengan terbinanya rapport antara pertisipan dan peneliti, perlahan sikap menjaga jarak yang ditampilkan partisipan kepada peneliti semakin berkurang. Partisipan tersebut tidak hanya terbuka dalam menjawab pertanyaan peneliti, namun juga mengungkapkan hal-hal yang tidak ditanyakan peneliti seperti hubungannya dengan seorang WNA yang dikenalnya melalui Facebook, yang ditentang oleh anaknya. Cairnya hubungan partisipan dengan peneliti juga ditandai dengan ajakannya kepada peneliti untuk memasak dan makan bersama.
3.4.2 Pengamatan Partisipatif Pengamatan dilakukan untuk memperoleh data yang mendeskripsikan setting penelitian, berbagai aktivitas yang berlangsung dalam setting penelitian 72 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, serta perilaku yang ditampilkan narasumber selama penelitian berlangsung. Jenis pengamatan yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini adalah pengamatan partisipatif. Dalam pengamatan partisipatif peneliti ikut terlibat secara langsung dalam interaksi dengan objek penelitiannya.Untuk memudahkan melakukan pengamatan partisipatif, peneliti tinggal bersama warga setempat di lokasi penelitian. Melalui pengamatan partisipatif ini peneliti dapat memperoleh tambahan informasi yang tidak muncul saat wawancara formal. 3.4.3 Analisis Dokumen Dokumen yang dianalisis meliputi data demografi penduduk desa Dadap dan dokumen, seperti data kependudukan (jumlah penduduk, tingkat pendidikan, dan sebagainya) dari perangkat desa Dadap serta Badan Pusat Statistik Indramayu. 3.5 Prosedur Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan September-Desember 2013 dan dilanjutkan pada bulan Mei – Juni 2014. Dalam penelitian ini peneliti dibantu oleh seorang gate-keeper, yang bernama Ibu Lala atau yang biasa dipanggil warga sekitar dengan sebutan Bunda. Gate-keeper ini telah dikenal peneliti sebelumnya. Gate-keeper peneliti adalah seorang guru PNS yang ditugaskan mengajar di sebuah Sekolah Menengah Atas di Indramayu. Gate-keeper tersebut merupakan anak dari seorang tokoh masyarakat di desa Dadap. Selain Ibu Lala, peneliti juga dibantu seorang gate-keeper lain yang bernama Ibu Ida. Ibu Ida adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari berprofesi sebagai penjaja kue keliling, sementara suaminya melaut ke luar Indramayu. Adanya gate-keeper ini memudahkan peneliti untuk berkenalan dengan orang-orang yang potensial untuk menjadi narasumber atau partisipan penelitian. Selain itu, peneliti juga mendapatkan banyak informasi mengenai keadaan masyarakat desa Dadap melalui penuturan gate-keeper yang sehari-hari berinteraksi dengan mereka. Tidak hanya gate-keeper, keluarga besar gate-keeper yang telah turun temurun tinggal di desa Dadap juga ikut menceritakan karakteristik masyarakat setempat kepada peneliti. Adanya berbagai informasi tersebut, amat membantu peneliti untuk
73 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
memperoleh gambaran yang utuh mengenai desa Dadap dan karakteristik masyarakatnya. Dalam proses pengambilan data penelitian, peneliti sehari-hari menginap secara bergantian di rumah gate-keeper maupun seorang partisipan penelitian yang bernama Tarsih di desa Dadap. Selama tinggal di sana, peneliti ikut melakukan sejumlah aktivitas seperti menenangga (berkumpul bersama tetangga sekitar di teras rumah, mengobrol apa saja), membantu melakukan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu atau mencuci piring, atau ikut berbelanja di pasar. Dengan demikian, peneliti memosisikan diri sebagai pengamat partisipatif. Hal ini bertujuan untuk mendekatkan peneliti dengan atmosfer penelitian, mencairkan hubungan peneliti dengan para narasumber dan partisipan penelitian, membantu peneliti untuk memperoleh informasi dari partisipan yang tidak muncul saat wawancara formal, serta memungkinkan peneliti untuk memperoleh gambaran secara langsung dan utuh mengenai kondisi dan karakteristik warga desa Dadap, khususnya partisipan penelitian. Dengan tinggal bersama di lokasi penelitian, peneliti juga menjadi lebih mudah untuk menjalin rapport dengan warga desa pada umumnya, bukan hanya dengan para narasumber ataupun partisipan penelitian. Hubungan baik ini tetap peneliti pertahankan meski pengambilan data di lapangan telah usai, di antaranya dengan tetap bertukar kabar melalui ponsel. Selain itu, setelah kembali ke Jakarta peneliti juga mengirimkan sejumlah majalah dan buku kepada anak-anak di desa Dadap untuk mengisi waktu luang mereka. Memulai proses pengambilan data dalam penelitian ini, mula-mula peneliti menggali informasi mengenai kondisi lingkungan makrosistem, eksosistem, mesosistem, mikrosistem serta memperoleh gambaran awal mengenai pernikahan dan tantangan yang dihadapi TKW di desa Dadap selama menjalani pernikahan jarak jauh. Informasi ini diperoleh melalui wawancara individual maupun wawancara kelompok terhadap sejumlah narasumber, yakni perangkat desa, budayawan setempat, warga, serta TKW. Wawancara
kelompok
terhadap
TKW
dilakukan
dengan
tujuan
memperoleh gambaran mengenai kehidupan pernikahan yang mereka jalani beserta tantangannya. Para TKW tersebut direkrut oleh peneliti berdasarkan 74 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
teknik snowball, yakni mula-mula meminta bantuan gate-keeper untuk menghubungkan peneliti dengan seorang TKW, kemudian setelah terekrut, peneliti meminta bantuan TKW tersebut untuk mencarikan TKW lain untuk mengikuti penelitian. Pelaksanaan wawancara kelompok dilaksanakan di rumah salah seorang partisipan sebanyak dua kali. Wawancara kelompok gelombang pertama diikuti oleh tiga orang partisipan, sementara wawancara kelompok gelombang kedua diikuti oleh empat orang partisipan. Terhadap partisipan yang ikut serta dalam wawancara kelompok tersebut, peneliti juga melakukan wawancara informal secara individual terkait pengalaman mereka dalam menjalani kehidupan pernikahan selama tinggal terpisah dari suami. Wawancara ini dilakukan untuk memberi kesempatan pada partisipan menceritakan pengalamannya secara terbuka tanpa perlu merasa sungkan dengan partisipan lain. Sebelum wawancara berlangsung peneliti menjelaskan mengenai tujuan diadakannya wawancara, jenis pertanyaan secara umum yang akan diajukan, pemberitahuan tentang hak yang dimiliki partisipan (termasuk hak mengundurkan diri kapan saja) permintaan izin menggunakan alat perekam.Selain itu, peneliti juga meminta mereka mengisi formulir biodata atau, ketika mereka enggan mengisinya karena merasa tulisannya jelek, peneliti menanyakan data tersebut secara verbal. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dari berbagai narasumber, termasuk dari para TKW tersebut, peneliti kemudian menetapkan kriteria TKW yang akan mengikuti proses wawancara yang lebih mendalam, dengan tujuan menggali pengalaman berkomitmen mereka secara lebih spesifik. Kriteria tersebut sebagai berikut:
TKW
yang
masih
berkomitmen
terhadap
pernikahannya
(pada
perkembangan selanjutnya di lapangan, peneliti merasa perlu mendapatkan sudut
pandang
dari
mereka
yang
telah
mengakhiri
komitmen
pernikahannya sehingga menambahkan 1 kriteria lagi, yakni TKW yang telah bercerai).
Pernah menjadi TKW setelah menikah dan menjalani pernikahan jarak jauh minimal selama satu tahun. Dalam wawancara kelompok, para istri menuturkan konflik dalam
pernikahan jarak jauh yang melibatkan 75 UNIVERSITAS INDONESIA
Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
pasangan atau keluarga besar dapat terjadi sewaktu-waktu; ada yang baru beberapa bulan berpisah dari pasangan, ada pula yang sudah beberapa tahun. Hal ini berarti konflik dapat muncul dalam durasi pernikahan jarak jauh yang tidak tentu. Meski demikian, untuk penelitian ini, peneliti menetapkan durasi minimal pernikahan jarak jauh yang dijalani partisipan adalah satu tahun dengan asumsi pada rentang masa itu partisipan telah mengalami sejumlah dinamika yang berpotensi melunturkan komitmen pernikahan.
Mengalami konflik pernikahan yang melibatkan lingkungan terdekat saat sedang menjalani pernikahan jarak jauh atau setelah kembali ke kampung halaman.
Usia pernikahan minimal lima tahun. Carrere dkk (2000) menyebutkan komitmen pernikahan rentan meluntur pada masa lima tahun pertama. Dengan demikian, peneliti menetapkan usia pernikahan partisipan dalam penelitian tahap dua ini minimal lima tahun. Dengan usia pernikahan minimal lima tahun, diasumsikan komitmen pernikahan partisipan telah teruji. Terdapat dua jenis kelompok partisipan yang akan berpartisipasi pada
wawancara mendalam, yakni kelompok TKW yang masih berkomitmen terhadap pernikahannya serta kelompok TKW yang telah mengakhiri komitmen pernikahannya. Sejumlah partisipan tersebut peneliti peroleh melalui proses seleksi terhadap para TKW yang mengikuti fase wawancara sebelumnya, sementara itu sejumlah partisipan lainnya diperoleh melalui bantuan gate-keeper dengan mengacu pada kriteria tersebut diatas.
3.6 Teknik Analisis Data Peneliti menggunakan teknik analisis data yang dikemukakan oleh Miles, Huberman, dan Saldana (2014). Pertama-tama, peneliti melakukan pengkodean terhadap data (coding). Potongan data yang telah dikode tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam kategori-kategori atau tema-tema (pattern codes). Dalam proses ini, peneliti juga menuliskan pemikiran yang muncul pada saat menganalisis data yang ada (jotting). Peneliti kemudian menyusun pemikiran76 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
pemikiran yang muncul tersebut ke dalam penjelasan yang koheren. Data yang telah diolah tersebut kemudian disajikan mengacu pada konsep-konsep dalam teori Bioekologi yang terkait dengan pertanyaan penelitian yang ingin dijawab.
77 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Tabel 3.3 Contoh Coding dan Pattern Codes Data / Pernyataan Partisipan “Ya tantangannya ya kayak gitu, kemarin itu dibilang ya tergoda sama perempuan lain waktu itu, padahal waktu itu saya tinggal pulangnya aja, tinggal enam bulan”. (Yayah). ”Namanya suami ditinggal, ya mulai sama wanita lain gitu”. (Desi). ”Waktu di Suriah itu, dia bilang, kakak saya, kan dia merantau juga suaminya di Batam, katanya, ’Suami kamu nikah lagi, Ning’.(Ningsih). “Sedangkan saya nggak pernah ama yang namanya laki-laki.. gitu. walopun sebejat-bejatnya saya tuh nggak pernah kalau ama yang namanya lelaki –.. kalau saya keluar sama temen, terus ntar telepon ke suami, ‘Tuh istri kamu gini, ginilah’, jadi (mertua) ngehasut anaknya, padahal kan saya nggak ngapangapain..”. (Irma).
Kode
Kategori
Suami tergoda perempuan lain.
Suami dikabarkan menikah lagi. Masalah terkait perselingkuha n. Dituduh selingkuh oleh mertua.
“Suami saya ‘kan dikirimin uang malah dihambur-hamburin…” (Tarsih). “Rumah dijual nggak bilang sama Ibu, sedangkan itu kan bukan uang dia, uangnya Ibu… - hambur-hambur gitu buat sama perempuan”. (Desi).
Suami hamburkan uang istri.
“… kalau aku ngomong, ‘Pak ini anak butuh ini..ini’, nah dianya tuh kayaknya nggak mau tanggung jawab gitu .. “ (Harti).
Suami lalai menafkahi.
“Nggak cukup, soalnya kan dikasih uang sedikit, sampe nunggu-nunggu 3 bulan lagi”. (Desi).
Penghasilan suami tidak mencukupi.
Masalah terkait ekonomi.
78 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
3.7 Kredibilitas Penelitian Untuk meningkatkan kredibilitas penelitian ini, peneliti melakukan sejumlah teknik yang diadopsi dari teori yang dikemukakan Patton (1990), Shenton (2004), Poerwandari (2001) dan Moleong 1991), yakni: 1. Sebelum memulai penelitian, peneliti menjelaskan pada setiap individu yang berpotensi menjadi partisipan pada penelitian ini mengenai tujuan dilakukannya penelitian, prosedur penelitian, serta kebebasan untuk menolak berpartisipasi (informed consent). Selain itu peneliti juga memberi tahu para partisipan bahwa jika memutuskan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, mereka diperbolehkan mundur kapan pun tanpa harus memberi penjelasan. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa pengumpulan data hanya benar-benar melibatkan mereka yang memang bersedia memberi data secara tulus. Upaya lain yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan data yang sebenarnya adalah dengan menekankan bahwa tidak ada jawaban yang dinilai benar atau salah dalam penelitian ini. Dengan demikian partisipan termotivasi untuk memberi jawaban apa adanya tanpa dinilai baik atau buruk. 2. Peneliti memberitahu partisipan ringkasan temuan yang didapatkan untuk memberi kesempatan partisipan mengecek kebenaran data dan ketepatan pemahaman peneliti terhadap data tersebut (member check). Peneliti meminta partisipan untuk memeriksa kekeliruan temuan data yang mungkin terjadi. Selain itu, partisipan juga diperbolehkan menambahkan informasi secara sukarela. 3. Peneliti melakukan triangulasi sumber data dengan cara mengumpulkan data dari sejumlah sumber. Dalam hal ini, data tidak hanya diperoleh dari para TKW itu sendiri, namun juga dari berbagai sumber seperti perangkat desa, budayawan, staf lembaga terkait, warga desa, dan orang-orang di sekitarnya.
79 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
BAB 4 CONTEXT SOSIOKULTURAL DAN PERMASALAHAN PERNIKAHAN TKW DI DESA DADAP
Secara garis besar, bagian ini berisi tentang informasi mengenai context makrosistem, eksosistem, mesosistem dan mikrosistem yang mengelilingi para TKW di desa Dadap, Indramayu, termasuk yang terkait dengan pernikahan yang mereka jalani.
4.1 Profil Desa Dadap 4.1.1 Kondisi Geografi Desa Dadap merupakan sebuah desa pesisir yang terletak di kecamatan Juntinyuat, kabupaten Indramayu, propinsi Jawa Barat. Di sebelah utara, desa ini berbatasan dengan laut Jawa; di sebelah timur dengan desa Sendang; di sebelah selatan dengan desa Karang Ampel; dan di sebelah barat dengan desa Junti. Desa Dadap berjarak 17 km dari pusat kota Indramayu. Akses menuju desa Dadap dari kota Indramayu dapat ditempuh melalui jalan raya Balongan – Juntinyuat (jalan milik pemerintah propinsi) yang telah beraspal hotmix. Sepeda motor pribadi dan angkutan umum (Suzuki Elf) mendominasi penggunaan jalan raya ini. Kedua kendaraan tersebut merupakan moda transportasi utama warga setempat. Selain itu, melintas pula truk tangki Pertamina yang mengangkut bahan bakar. Kilang Pertamina, yang secara administratif terletak di kecamatan Balongan, memang berada tepat di tepi jalan raya Balongan - Juntinyuat yang menghubungkan Indramayu dengan kecamatan Juntinyuat, lokasi dimana desa Dadap berada. Dalam perjalanan menuju desa Dadap, sesaat setelah keluar dari kota Indramayu dan begitu memasuki kecamatan Balongan, peneliti menjumpai ratusan hektar sawah di tepi kanan dan kiri jalan raya. Tidak hanya sawah, di sepanjang jalan raya tersebut juga terdapat kilang minyak Pertamina dan sejumlah komplek perumahan yang sedang dalam tahap pembangunan. Diantara sejumlah komplek perumahan tersebut, ada satu buah komplek perumahan khusus karyawan Pertamina. 80 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Memasuki kecamatan Juntinyuat, lokasi dimana desa Dadap, peneliti tak hanya melihat hamparan sawah, namun juga laut. Jika hamparan sawah terletak di tepi kanan dan kiri jalan raya, maka laut hanya terlihat di sebelah kiri jalan, berada tidak jauh di belakang hamparan sawah. Selain sawah dan laut, di kota kecamatan ini tampak pula sejumlah kantor pemerintahan (Kantor Camat, KUA Juntinyuat, KODIM), lembaga kursus bahasa asing dan sejumlah jasa layanan pengiriman uang antar negara (Western Union). Jika jalan raya Balongan – Juntinyuat telah beraspal hotmix, lain halnya dengan jalan yang merupakan akses menuju desa Dadap. Jalan tersebut masih berkerikil, bergelombang, dan belum dilapisi aspal. Kondisi yang demikian banyak ditemui pada jalan lingkungan di desa Dadap. Moda transportasi yang banyak digunakan warga desa adalah motor dan becak. Sejumlah becak tampak menanti penumpang di tempat-tempat strategis seperti jalan masuk desa, pasar, atau dekat rumah penduduk. Desa Dadap terbagi ke dalam dua wilayah. Wilayah bagian depan desa disebut dengan Dadap Baru; sementara wilayah bagian dalam disebut Dadap Lama. Di sepanjang jalan masuk menuju desa, terlihat ratusan hektar sawah di tepi kanan dan kiri jalan. Meski demikian, semakin memasuki wilayah desa, berangsur-angsur sawah berganti dengan laut. Desa Dadap merupakan desa pesisir yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Berdasarkan ‘Profil Desa Dadap 2012’ yang diterbitkan oleh perangkat desa, sebanyak 5.409 Kepala Keluarga di Dadap menopang perekonomian keluarganya dari hasil tangkapan ikan di Laut. Tidak heran, kapal-kapal nelayan terlihat terparkir pada ‘sungai’ yang berada di tengah pemukiman penduduk. Di desa ini juga dapat ditemui tempat pelelangan dan penjemuran ikan yang dimiliki oleh ‘bakul’ atau ‘juragan besar’. Pasar, kios Saprotan (Sarana Produksi Pertanian), balai desa, masjid desa, Sekolah Dasar Negeri, Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) dan Raudhatul Athfal (setingkat TK) terletak di wilayah Dadap Baru serta saling berdekatan, tak jauh dari pintu masuk desa. Tak jauh dari pasar, terdapat bangunan yang diperuntukan sebagai KUD (Koperasi unit Desa) ‘Ngupaya Mina’. Bangunan tersebut tampak rusak, tak terawat, kosong dan tak lagi digunakan. Kondisi serupa juga tampak 81 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
pada bangunan yang diperuntukan sebagai tempat kegiatan Kelompok Nelayan “Mina Jaya Bakti”, Pos Unit Kesehatan Kerja Dadap, serta Pangkalan TNI AL. Balai Latihan Kerja dan sebuah kantor PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) juga ada di desa ini. Hal ini tidak mengherankan, sebab tidak sedikit warga desa Dadap yang tergerak membantu perekonomian keluarga dengan bekerja sebagai TKW. Warga desa yang hendak bekerja di luar negeri menjalani pelatihan bahasa dan ketrampilan di Balai Latihan Kerja. Warga setempat menyebut aktivitas ini dengan ’sekolah’.
Gambar 4.1 Peta Indramayu: Desa Dadap terletak di Bagian Timur, Pesisir (sumber: kaskus.com)
Gambar 4.2 Salah Satu Sudut Desa Dadap (sumber: dokumen pribadi) 82 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
4.1.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan data Badan Pusat Statistik kabupaten Indramayu tercatat penduduk desa Dadap pada tahun 2012 berjumlah 13.204 jiwa, yang terdiri dari 6.912 jiwa penduduk berjenis kelamin pria dan 6.2.92 jiwa penduduk berjenis kelamin perempuan.
4.1.3 Tingkat Pendidikan Berdasarkan data pada buku ’Profil Desa Dadap’, sebagian besar warga desa Dadap yang mengikuti sensus pendidikan pada tahun 2013 merupakan lulusan Sekolah Dasar (SD), yakni sebanyak 2500 orang. Jumlah terbanyak berikutnya adalah lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yakni 2.012 orang. Bukhori, selaku sekretaris desa Dadap, mengakui bahwa sensus pendidikan yang dilakukan terhadap warga desa masih belum maksimal karena keterbatasan sumber daya perangkat desa dan minimnya kesadaran warga untuk mengikuti sensus. Tabel berikut ini menggambarkan tingkat pendidikan warga desa Dadap pada tahun 2013 yang peneliti peroleh dari buku ’Profil Desa Dadap’.
Tabel 4.1 Gambaran Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Dadap Tahun 2013 Tingkat Pendidikan
Jumlah
Tidak mengikuti pendidikan
1500 orang
Tamat SD
2500 orang
Tamat SMP
2.012 orang
Tamat SMA
890 orang
Tamat D1 – D3
60 orang
Tamat S1
10 orang
Tamat S2-S3
Tidak Ada
Total
6.972 orang
83 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Bukhori menuturkan banyak penduduk yang tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya karena keterbatasan biaya. Mendukung keterangan yang diberikan Bukhori, Tarsih (usia 32 tahun), seorang TKW, bercerita bahwa dirinya harus berhenti sekolah saat kelas 5 Sekolah Dasar karena ketiadaan biaya, terutama setelah ayahnya meninggal dunia. Selain karena ketiadaan biaya, hal lain yang membuat tingkat pendidikan warga desa Dadap rendah adalah karena mereka menganggap sekolah sebagai hal yang percuma, sebab pada akhirnya wong Dadap hanya akan menjadi TKW. Demikian penuturan Mirna, salah seorang warga desa, “Intinya gini mbak, ‘Ah percuma lah sekolah tinggi tinggi, ujungnya cuma mangkat teng Arab, berangkat ke luar negeri jadi babu. Udahlah jangan disekolahin lagi’”. (Mirna, 20 tahun).
Warga lainnya, Rida, juga berkomentar serupa, “Gini ngomongnya tuh ‘Udahlah biar sekolahnya dulu juga nggak bakalan jadi pegawe, bilangnya gitu ya jadinya, usaha aja… kerja, kerja, kerja kaya gitu di luar negeri, di Taiwan, Korea’.. ini mayoritasnya ke Taiwan, Korea itu,..”. (Rida, 38 tahun).
Rida menambahkan, bahwa selepas tamat SMP, para remaja di desa Dadap biasanya langsung bekerja di luar negeri sebelum akhirnya mereka menikah. “Ya jadi gini kalau orang sini tuh ya punten ya maap ni bukannya buka aibnya orang sini ya emang sebenernya kalau orang sini tuh keluar dari SMP langsung clung ke Arab, ada yang ke Taiwan, nah abis pulang dari Arab itu kawin..”. (Rida, 38 tahun).
Berdasarkan penuturan sejumlah warga yang berbincang dengan peneliti, wong Dadap pada umumnya menganggap anak sebagai pengganti dirinya dalam mencari nafkah ketika mereka telah tua nanti. Wong Dadap berharap anakanaknya suatu saat nanti akan menjadi TKW seperti dirinya sehingga dapat menafkahi orang tuanya dengan layak. Pandangan mayoritas wong Dadap yang demikian ini pernah membuat gusar Mimih (60 tahun). Mimih adalah seorang perempuan asal Cirebon yang menikah dengan pria asal Dadap. Dengan berapiapi Mimih bercerita pada peneliti tentang kegusarannya ketika suatu hari seorang tetangganya mengatakan bahwa Mimih sungguh beruntung memiliki lima orang anak perempuan yang kelak dapat dijadikan sumber penghasilan yang besar jika kelimanya menjadi TKW, seperti kebanyakan anak-anak wong Dadap lainnya.
84 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Mimih marah akan cara pandang tetangganya tersebut terhadap nasib kelima anak perempuannya di masa depan. Mimih bertekad tidak akan membiarkan anakanaknya hanya menjadi TKW. Ia berjuang sekuat tenaga mengumpulkan uang agar anak-anaknya dapat mengenyam pendidikan tinggi. Kelima anak perempuan Mimih pada akhirnya berhasil menjadi sarjana, yang bekerja pada beragam profesi. Salah seorang anak perempuan Mimih –yang merupakan gate keeper peneliti—kini menjadi seorang guru PNS di Indramayu.
4.1.4 Agama Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indramayu (2012), mayoritas penduduk desa Dadap menganut agama Islam, yakni sebanyak 13.200 orang (99%). Sementara itu, hanya 4 orang saja yang menganut agama Kristen Protestan, serta tidak ada yang menganut agama Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Menurut Supali Kasim, budayawan setempat, secara umum dalam hal keagamaan, kultur desa di Indramayu dapat dikategorikan sebagai desa ’abangan’ maupun desa ’santri’. Desa abangan merupakan desa yang penduduknya tidak menjalankan syariat agama yang dipeluknya, sementara desa ’santri’ adalah sebaliknya. Dalam wawancaranya dengan peneliti, Supali menyebutkan, secara umum desa Dadap digolongkan sebagai desa ’santri’ maupun ’abangan’. Wilayah timur desa Dadap merupakan desa ’santri’, sementara wilayah baratnya merupakan desa ’abangan’.
4.1.5 Pekerjaan Terletak di pesisir pantai utara Jawa, 80% penduduk desa Dadap bekerja sebagai nelayan dan umumnya mengandalkan laut sebagai sumber nafkahnya. Sementara itu, sisanya menekuni beragam profesi, seperti buruh tani, tukang becak, buruh di tempat penjemuran ikan, pekerja ‘serabutan’, calo TKW, atau pedagang. Khusus pedagang, biasanya profesi ini dilakukan oleh mereka yang sebelumnya telah sukses menjadi TKW. Kesuksesan ini ditandai dengan kepemilikan kios permanen di pasar setempat atau warung kecil yang menyatu dengan tempat tinggalnya. Sementara itu, profesi pedagang dalam skala yang 85 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
lebih kecil, yakni para pedagang keliling (seperti tukang jamu atau pedagang makanan), umumnya dilakoni oleh pendatang dari luar desa Dadap, bahkan ada pula yang berasal dari luar Indramayu, seperti Solo atau Madura. Dalam obrolan santai dengan peneliti, seorang warga mengatakan, yang membuat banyak pendatang betah berdagang di desa Dadap adalah karena kegemaran warga setempat dalam berjajan. Tak jarang, dari hasil usahanya berdagang di desa ini, para pendatang dapat membeli kendaraan bermotor, bahkan rumah. Adapun warga asli Dadap sendiri, khususnya pria, tampaknya lebih memilih bekerja sebagai nelayan. Terbiasa bekerja di laut, para nelayan ini merasa tidak memiliki keahlian lain untuk bekerja di darat. Demikian cerita Mirna, yang keluarganya tinggal di desa Dadap secara turun temurun, “Wong Dadap itu nggak bisa, maksudnya nggak bisa nualan ning darat (jualan di darat) gitu, Mbak. Kalo orang Dadap melaut kabeh. La kan siapa yang bisa dagang ning darat tu kayak orang pendatang, pendatang dari Solo, dari mana. Jualan jamu apa kan kebanyakan Solo, Madura. Pada jadi kaya tu mbak..Sedangkan orang dadapnya aja nggak bisa kaya gitu tu mbak. Tapi orang pendatang pendatang tu kalo jualan di Dadap pada kesenengen. Katanya orang Dadap mah jajan aja … Setiap orang pendatang ke Dadap tu, kalo ke Solo bawa motor mbak, beli rumah di Solo itu”. (Mirna, 20 tahun).
Bahwa seorang nelayan Dadap tidak mau berusaha di bidang lain selain melaut, juga dituturkan oleh Desi (43 tahun), yang suaminya merupakan seorang nelayan. Ia menceritakan perilaku suaminya yang hanya mau menjadi nelayan. Baginya, nelayan dianggap sebagai pekerjaan yang tidak membutuhkan modal. “Kalo buat usaha lainnya, dianya nggak mau, nggak ngelakuin… Cuma ya paling hanya nelayan aja gitu, cari ikan gitu – kalo tukang becak misalnya, tenaganya harus kuat, sedangkan dianya nggak mau. Terus juga jualan, jualan apa. Kalo hanya nelayan kan nggak keluar modal. Misalnya ada perahu tetangga kurang orang, dianya ikut aja gitu”. (Desi, 43 tahun).
Meski tidak setiap saat memperoleh penghasilan, sebagian besar laki-laki di desa ini tetap menekuni profesi sebagai nelayan. Tidak menentunya penghasilan yang diperoleh membuat mereka merasa sulit menyimpan uang karena biasanya uang simpanan mereka yang tidak seberapa itu akan digunakan ketika masa paceklik tiba. Berikut adalah penuturan Mirna, yang suaminya merupakan nelayan, “… sedangkan ke laut kan dua hari dapet, satu minggunya nggak dapet. Kalau nelayan kan kaya gitu Mbak. Berangkat ke laut dua hari, nggak berangkatnya 86 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
satu minggu…. -Kalau dari nelayan sini nya si susah mbak, nyimpen duit seratus ribu aja susah dari sininya tu. Orang suaminya Mirna aja tu nelayan, kan berangkat ke laut tiga hari dapet tiga ratus ribu, sepuluh harinya nggak berangkat di rumahh aja mbak”. (Mirna, 20 tahun).
Saat perairan Indramayu sedang mengalami ‘paila’ atau musim paceklik, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, para nelayan desa Dadap biasanya tetap melaut, hanya saja mereka mengalihkan lokasi melautnya ke Muara Angke, Jakarta. Ini yang dinamakan ‘musim Angkean’. Hanya mereka yang sudah pernah mencicipi pekerjaan sebagai TKW, yang biasanya bersikap lebih fleksibel, yakni bersedia bekerja selain menjadi nelayan, seperti menjadi ‘sponsor’ atau membuka usaha bengkel kecil. Seperti yang tercermin dalam penuturan Mirna, yang keluarga besarnya tinggal di desa Dadap secara turun temurun, berikut ini, “Ya nyari kerja si mbak (kalau lagi paceklik) tapi bukan disini, kaya di semacem Angke mbak. Muara Angke. Muara Angke tau mbak? Jakarta? – Itu namanya musim Angkean, jadi kalau di sininya nggak ada ikan, intinya lagi paila (paceklik) gitu, terus di sana (Muara Angke) lagi banyak ikan, kita pada kesana .. -Kecuali ada pengalaman ke luar negeri gitu mbak, nah terus pulang kesini tu ada yang jadi ‘sponsor’, ada yang jadi ya buka usaha kecil, ya buka bengkel, buka apa. Tapi kalau masih di laut ya tetep. Melaut itu, nelayan itu. Nggak yang lain sih.. “. (Mirna, 20 tahun).
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat laut sedang paceklik adalah dengan berutang. Solusi berutang dipilih karena mereka merasa tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengatasi keadaan. Utang akan dibayar saat laut sudah tidak lagi paceklik. Desi (43 tahun), seorang istri nelayan, bercerita, “… tapi kadang kalau (laut) lagi sepi kan dia tuh mau berbuat apa gitu, Mbak? Nggak bisa berbuat apa-apa kan, Cuma ya minjem dulu, ngutang. Gampang nanti kalau (laut) rame dibalikin. Cuma ya kita mikirinya gitu aja”. (Desi, 43 tahun).
Adapun menurut laporan Republika Online (15 Maret 2013), saat musim ’paila’ sejumlah nelayan di desa Dadap beralih haluan menjadi buruh tani. Hal ini dimungkinkan karena datangnya musim ’paila’ bertepatan dengan masa panen raya padi di sejumlah daerah sehingga tenaga buruh tani diperlukan dalam menghadapi musim panen ini. Selain menjadi buruh tani, menurut pantauan Republika Online (15 Maret 2011), masa paceklik ini terpaksa membuat nelayan menjual alat-alat rumah tangga seperti piring, sendok, kompor, hingga sarung dan 87 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
pakaian untuk bertahan hidup. Tidak mengherankan, setiap musim ’paila’ tiba, para pedagang barang bekas akan mendatangi perkampungan nelayan untuk membeli barang-barang yang dijual oleh para nelayan. Mereka datang tanpa diminta karena fenomen tersebut sudah biasa terjadi.
Gambar 4.3 Perahu Para Nelayan Desa Dadap (sumber: dokumen pribadi)
4.2 Gambaran Kehidupan Sosial Desa Dadap 4.2.1 Gaya Hidup Konsumtif Merupakan desa nelayan, wong Dadap menganut kultur yang khas, yang membuatnya berbeda dengan desa-desa lainnya yang berkultur petani. Dalam wawancaranya dengan peneliti (28 September 2013), Supali Kasim, budayawan Indramayu yang pernah tinggal di desa Dadap menuturkan, berbeda dengan kultur masyarakat petani yang cenderung hemat dalam membelanjakan uang, masyarakat nelayan cenderung boros dan tidak memikirkan hari esok dalam mengelola keuangan. Hal ini antara lain disebabkan adanya pandangan yang dianut oleh masyarakat nelayan yakni ’musim panen terjadi setiap hari’, dimana setiap kali melaut nelayan merasa akan mendapat ikan. “Kultur petani itu begini, menerapkan prinsip yang hemat bahkan cenderung pelit. Karena apa? Karena kondisilah yang mendesak, karena seorang petani kan menanam padi kan panennya 5 bulan mendatang, sehingga dalam 5 bulan itu dia harus hemat dalam hidupnya, supaya bisa bertahan hidup. Kultur nelayan itu menganggap panennya setiap hari, begitu berangkat dapat ikan, sehingga
88 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
mereka tidak punya sistem ekonomi yang hemat, boleh dikatakan boros karena beranggapan besok juga dapat lagi..”. (Supali Kasim, budayawan)
Apa yang dituturkan oleh Supali Kasim tersebut sesuai dengan cerita Mirna, seorang Ibu muda berusia 20 tahun yang keluarga besarnya sudah turun temurun tinggal di desa Dadap dan suaminya pernah menjadi nelayan. Mirna bercerita, jika sedang memiliki uang wong Dadap gemar membeli apa saja, menghabiskan uang saat itu juga, dan tidak berpikir menyimpannya untuk memenuhi kebutuhan esok hari. Bagi wong Dadap, yang terpenting pada saat itu keinginan mereka terpuaskan. “Ya menurut Mirna sih orang Dadap tu ya kalau banyak uang kaya gitu, banyak duit tu mbak, sukanya tuh jam sekarang, detik sekarang saya punya uang segitu tu harus cepet habis, nggak mikir gitu, Mbak. Kalau yang namanya nelayan itu nggak mikir entar besok kita tu makan apa, yang penting tu saya pengen walaupun uang tinggal 20 ribu misalkan, ya udah saya beli nggak mikir entar besok tu saya jajannya pake apa gitu …. Wong Dadap nek ono wong dagangan ki enak, ayo beli tuku tuku. Tuku neng kono, enak. Ya tadi tu, kehidupannya nggak mikir lah, besok kita makan apa tu mbak. Yang penting sekarang tu kita puas, happy, senang, gampang entar besok cari utang. Nggak ada jajannya cari utang. Kaya gitu”. (Mirna, 20 tahun).
4.2.2 Bersaing secara Materi Dalam kacamata Mirna, warga desa Dadap cenderung ingin menjalani kehidupannya dengan mewah dan tidak mau kalah bersaing dengan tetangganya dalam hal kepemilikan materi. Mirna mencontohkan, jika ada seorang tetangganya yang membeli motor, maka ia harus membeli motor pula. “Terus tu apa ya kehidupan tu inginnya serbaaa mewah. Kalau kata orang sini si namanya panasan, sirik gitu Mbak –Jadi kalau ada tetangga beli ini, beli motor, saya tu kudu harus wajib beli motor gitu. Sini tu emang mbak, ya hampir lah 100% kaya gitu tu”. (Mirna, 20 tahun).
Adapun sikap tidak mau kalah ini antara lain juga tercermin dalam keharusan melakukan resepsi pernikahan bagi pasutri yang menikah, terutama bagi
mereka
yang
pernah
bekerja
sebagai
TKW.
Mereka
tidak
mempertimbangkan apakah setelah resepsi nanti mempunyai cukup uang untuk memenuhi kebutuhan hidup selanjutnya atau tidak. Berikut ini cerita Mirna, “Ya tadi tu, kita tu nggak mau kalah saing –Pokoknya saya tu ada nggak ada, anak saya harus diresepsi –Nah kalau kitanya dari luar negeri, ya pengennya kehidupannya mewah, tapi nggak mikir gitu, entar habis hajatan tu kita punya 89 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
duit apa enggak .. Yang penting tadi tuh, anak saya udah berangkat tiga tahun di Taiwan, masa nikah nggak dikasi resepsi, entar apa kata orang gitu..”. (Mirna, 20 tahun).
Terkait dengan adanya peraturan tidak tertulis mengenai keharusan, khususnya TKW, untuk mengadakan resepsi pernikahan tersebut, saat mewawancarai partisipan bernama Tarsih, peneliti sempat diperlihatkan album foto pernikahannya. Di album tersebut terdapat berbagai macam foto Tarsih dan suaminya saat resepsi pernikahan, seperti foto di pelaminan atau di kamar tidur pengantin. Tarsih bercerita bahwa ia menghabiskan dana 40 juta rupiah untuk menggelar resepsi pernikahan dengan memanggil hiburan organ tunggal. Dana tersebut ia kumpulkan dari penghasilannya sebagai TKW. Selain menggelar resepsi pernikahan, hal lain yang dianggap dapat meningkatkan prestise wong Dadap, khususnya para ibu, adalah jalan-jalan ke mal. Mal ‘Grage’ yang berada di Cirebon dianggap lebih bergengsi dibandingkan toserba ‘Yogya’ atau ‘Surya’ di Indramayu. Ketika ada seorang warga yang berkunjung ke mal ‘Grage’ biasanya berita ini akan cepat tersebar dan tak lama kemudian akan ada warga lainnya yang berkunjung ke mal yang sama. Di mal ‘Grage’ biasanya wong Dadap membeli pakaian merek tertentu yang dianggap bergengsi, seperti ‘Triset’. Dari cerita gate keeper, peneliti mendapat informasi bahwa ada seorang warga yang menggunakan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang baru diterimanya untuk membeli pakaian dengan merek tertentu. Faktor tidak mau kalah bersaing dengan tetangga merupakan hal yang mendorong wong Dadap membeli pakaian merek tertentu yang harganya mencapai ratusan ribu rupiah meski dengan cara menggunakan dana BLT atau berutang.
90 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Gambar 4.4 Sejumlah Warga Hendak Mengunjungi Mal ‘Grage’ dengan Minicar (sumber: dokumen pribadi)
4.2.3 Berutang dan Jajan Selain memiliki gaya hidup konsumtif, wong Dadap juga gemar berutang. Berutang sudah menjadi kebiasaan hidup sehari-hari wong Dadap. Mereka berutang kepada saudara, warung, bank harian hingga rentenir. Berutang kepada saudara atau tetangga biasanya dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari saat laut sedang tidak banyak menghasilkan. Seperti cerita Ningsih berikut ini yang biasa berutang untuk ongkos sekolah anaknya. Setelah mendapatkan pinjaman uang, Ningsih mengaku merasa tenang. “Anak sekolah nanti perginya pake apa? (kalo nggak punya uang)… tapi kalo suami cari utang ke saudaranya atau kemana gitu, yang penting kita dapat duit, kan kita bisa tenang”. (Ningsih, 33 tahun).
Biasanya, orang yang berutang akan membayar utang-utang tersebut ketika
mereka
memperoleh
penghasilan
kembali.
Seorang
warga
mengistilahkannya dengan gali lubang, tutup lubang. “Jadi ibaratnya kan apa makanya tadi tutup lobang gali lobang. Jadi waktu kita nggak berangkat ke laut itu kan nanam utang. Nah setelah ada kaya gini, gebragan kalau kata orang sini. Gebragan orang melaut lagi, utang tu bisa ketutup semua mbak. Bahkan kita tu bisa membeli, maksudnya tu intinya ada lebihnya”. (Mirna, 20 tahun).
91 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Berutang tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, melainkan juga memenuhi kebutuhan konsumtif. Salah satu kebutuhan konsumtif yang dapat diatasi dengan berutang adalah jajan, khususnya pada anak. Dalam pengamatan peneliti selama tinggal di desa Dadap, dalam sehari seorang anak dapat 10 kali membeli jajanan yang berbeda. Sinah (40 tahun), seorang Ibu yang masih memiliki anak berusia tujuh dan tiga tahun, mengatakan dalam satu hari setidaknya ia mengeluarkan uang sekitar 20 ribu rupiah untuk jajan satu orang anaknya. Memiliki dua orang anak yang masih kecil tersebut, pengeluaran yang dikeluarkan Sinah hanya untuk jajan anak-anaknya adalah 40 ribu rupiah per hari. Ketika peneliti tanyakan pada sejumlah ibu yang lain, 20 ribu rupiah ternyata merupakan besaran rata-rata yang dikeluarkan hanya untuk jajan seorang anak saja. Saat sedang nenangga bersama sejumlah ibu, peneliti mengamati para ibu ini cenderung menuruti permintaan anaknya setiap kali sang anak ingin jajan. Bahkan ketika sedang tidak memiliki uang sekalipun, mereka tetap menuruti keinginan anaknya dengan cara berutang di warung dan membayarnya ketika sang suami mendapatkan penghasilan dari hasil melaut. Jajan seolah tidak dapat dipisahkan dari wong Dadap. Tarsih (32 tahun) dan Bunda (31 tahun) bercerita, meski telah menanak nasi dan lauknya di rumah, wong Dadap tetap merasa perlu untuk membeli nasi uduk di pagi hari atau mi ayam di siang hari. Contoh lainnya, ketika menghadiri hajatan di desa lain, begitu tiba di sana wong Dadap langsung menyerbu pedagang yang ada di sekitar lokasi, alih-alih menyalami pengantin terlebih dahulu. Kebiasaan wong Dadap dalam hal jajan ini membuat Mirna (20 tahun) tidak habis pikir. Menurutnya, banyak pedagang dari daerah lain senang berjualan di desa Dadap karena wong Dadap terkenal royal. Sementara para pedagang yang merupakan pendatang tersebut berhasil membeli kendaraan bermotor, membeli banyak sapi, atau menyekolahkan anak hingga sarjana, wong Dadap justru tidak dapat menjadi seperti mereka karena lebih senang menghabiskan uang dengan jajan walaupun harus berutang. “.. orang pendatang pendatang tu kalo jualan di Dadap pada kesenengen. Katanya orang Dadap mah jajan aja, banyak uangnya aja. Setiap orang pendatang ke dadap tu, kalo ke solo bawa motor mbak, beli rumah di solo itu. Orang (jualan) jamu aja ya, berapa tahun di sini punya sapinya berapa tu, dua puluh sapi, hasil jerih payah disini, anaknya kuliah disana. Bahkan setiap bulan 92 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
dia tuh harus ngirim anaknya tuh tiga juta. Bayangkan mbak. Tapi bisa ya orang pendatang, sedangkan orang Dadapnya sendiri tu nggak bisa yang kaya gitu. Makanya kaya peribahasa, wong Dadap mah goblog goblog. Pendatang yang datang teng dadap mah bakal jadi kaya. Iya hebat banget. Mikirnya Mirna tuh ‘Ya Allah, orang kana kana kok pada bisa, kok wong Dadape nggak bisa?’ Wong Dadap nek ono wong dagangan ki enak, ayo beli tuku tuku. Tuku neng kono, enak. Ya tadi tu, kehidupannya nggak mikir lah, besok kita makan apa tu mbak. Yang penting sekarang tu kita puas, happy, senang, gampang entar besok cari utang. Nggak ada jajannya cari utang. Kaya gitu”. (Mirna, 20 tahun).
Selain jajan, berutang juga biasa dilakukan wong Dadap untuk membeli sejumlah barang seperti pakaian bermerek, furnitur, peralatan elektronik, atau hajatan. Secara berkala, sejumlah sales dari toko furniture atau elektronik datang ke desa Dadap menawarkan produk yang mereka jual dengan sistem pembayaran secara mencicil. Wong Dadap tidak hanya berutang kepada saudara atau tetangga, namun juga pada lembaga keuangan resmi, yang disebut ‘Bank Harian’, yang merupakan perpanjangan tangan dari bank di daerah setempat (misalnya BRI). Wong Dadap yang berutang pada ‘Bank Harian’ melakukan pembayaran dengan cara mencicil setiap hari sesuai dengan kemampuan si penghutang. Setiap hari petugas ‘Bank Harian’ akan mendatangi rumah warga yang berutang untuk menagih pembayaran. “… tapi kalau disini si biasanya utang sama bank harian tu mbak – Bank harian jadi kaya bank keliling gitu –Dari bank. Ada bank syariah, ada bank apa gitu. Cuma tu keliling. Misalkan saya tu utang seratus, nah setiap harinya kan lima ribu sampe dua puluh delapan hari gitu— Banyak si ada bank syariah, ada bank BRI, apa kitanya niatnya tadi tu mbak – Ya misalnya saya utang sama mbak. Terus mbak kan bank tu. Setiap hari tu mbak tu ke rumah saya, ‘Mau setor nggak?Mau nyicil nggak?’ ” (Mirna, 20 tahun).
Tidak hanya kepada saudara, tetangga, atau ‘Bank Harian’, ada juga wong Dadap yang berutang kepada rentenir. Alasan yang membuat orang memilih meminjam uang ke rentenir daripada bank adalah karena prosedurnya tidak serumit prosedur peminjaman uang di bank. Berikut ini adalah penjelasan Rida, seorang warga setempat, “Kalau bank kan pake ini itu ini itu ini itu gitu kan kalau rentenir kan cukup pake lisan aja, paling ya ijab kobul aja. Nanti kamu pinjem duit umpama dua juta ini harus ngembaliin.. yang seratus tuh dua puluh ribu bunga nya, jadi kalau sejuta kan udah keliatan gitu.. ”. (Rida, 38 tahun).
93 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
4.2.4 Ingin Cepat Kaya Selain konsumtif dan gemar berutang, salah satu karakteristik lainnya dari wong Dadap adalah sifat ingin cepat kaya secara instan. Cara yang dilakukan wong Dadap untuk menjadi kaya adalah melalui pesugihan. Pesugihan berasal dari Bahasa Jawa, ‘sugih’, yang artinya kaya. Pesugihan merupakan sejenis cara gaib untuk membantu orang menjadi kaya secara instan dengan menjalani ritual tertentu (misalnya bertapa di gunung tertentu) dan sebagai konsekuensinya, setelah mendapatkan kekayaan, orang tersebut harus mengorbankan sesuatu (tumbal) dalam hidupnya. Rida menceritakan kebiasaan masyarakat di desanya yang gemar melakukan pesugihan, sehingga dapat dikatakan bahwa sedikit sekali orang lurus di desanya, seperti berikut ini, “.. kadang-kadang pada nyari nya jalan pintas .. ya kaya nyari persugihan gitu. Jadi di Dadap tuh orang yang bener sebenernya mungkin tuh jarang dari 1000, satu.. apalagi daerah yang ke utara tuh kesana tuh, udah amburadul .. ada yang di gunung Srandil , ya banyak sih ya cerita-ceritanya orang-orang aja, dari saya kecil sampe saya punya anak tiga tuh ya kaya gitu… kalau orang sini tuh ya jadi nggak ada yang suci..”. (Rida, 38 tahun).
4.2.5 Gemar Berziarah Tarsih bercerita, ziarah merupakan kegiatan yang cukup sering dilakukan warga desa Dadap. Ziarah dilakukan dengan cara mengunjungi makam atau masjid tertentu di sejumlah wilayah, seperti di Madura, Banten, atau Pamijahan (daerah di sekitar Tasikmalaya). Dalam kegiatan tersebut, peserta ziarah beribadah dan berdoa dengan dibimbing oleh pemuka agama setempat. Biaya yang dikeluaran setiap peserta untuk mengikuti ziarah bervariasi, tergantung seberapa jauh tempat ziarah yang dituju. Sebagai contoh, untuk ziarah ke Madura diperlukan biaya 300 ribu rupiah per orang, sementara jika ke Pamijahan (sekitar Tasikmalaya) hanya butuh biaya 180 ribu rupiah per orang. Biaya tersebut hanya untuk menyewa bis dan belum termasuk penginapan dan makan. Untuk penginapan, mereka biasanya menginap secara gratis di masjid. Sementara itu, untuk makan mereka membeli sendiri atau membawa dari rumah. Informasi mengenai kegiatan ziarah ini didapatkan peneliti saat sedang membeli lotek (semacam gado-gado) di warung Mak Isah bersama Tarsih pada suatu siang. 94 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Sambil menyiapkan lotek, Mak Isah bercerita pada Tarsih tentang rencananya untuk berziarah dalam waktu dekat. Perbincangan antara Mak Isah dan Tarsih dilakukan dalam bahasa Dermayon yang cepat sehingga membuat peneliti sulit untuk memahami. Barulah setibanya di rumah Tarsih, peneliti bertanya kepada Tarsih apa yang ia bincangkan dengan Mak Isah. Tarsih kemudian menjelaskan kegiatan ziarah yang akan dilakukan Mak Isah. Meski demikian, mnurut Tarsih, banyak warga Dadap menyimpangkan tujuan ziarah (ia menyebutnya dengan ’nakal’), yang seharusnya ditujukan untuk berdoa meminta keselamatan dunia dan akhirat, menjadi berdoa untuk meminta kekayaan. Tarsih mengatakan, tidak peduli bagaimana caranya atau akan menjadi apa mereka ditakdirkan Tuhan, yang penting bagi wong Dadap mereka memperoleh banyak uang dengan segera. 4.3 Nilai-Nilai Sosiokultural Terkait Pernikahan 4.3.1 Perceraian, Pernikahan Dini, dan Seks Pranikah Aparat pemerintah Indramayu meyakini tingginya angka perceraian di Indramayu memiliki korelasi dengan mudanya usia saat menikah. Maman Suherman, staf Panitia Muda bidang hukum Pengadilan Agama Indramayu, dalam wawancaranya dengan peneliti (11 Nopember 2013), mengatakan mudanya usia pasutri saat melangsungkan pernikahan turut andil dalam mudahnya keputusan pasutri untuk mengakhiri pernikahan. Maman menuturkan, usia yang terlalu muda saat menikah dinilai membuat individu belum siap secara mental maupun materiil untuk menjalani kehidupan pernikahan. Di desa Dadap sendiri, dapat dikatakan salah satu penyebab terjadinya pernikahan dini adalah perilaku seks pranikah yang dilakukan remaja belia di sana. Hal ini terjadi karena kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak-anak mereka. Orang tua tidak dapat terus menerus memperhatikan anaknya karena harus bekerja di luar negeri. Berikut adalah cerita Karti mengenai fenomen ini di desanya, “Kan udah ada yang hamil duluan, ada banyak... Tetanggaku kan kadangkadang kan bapaknya, ibunya menjadi TKW, anaknya kan gak ada yang ngawasin... Itu anak gak ada yang ngawasin dapet pergaulan bebas …Itu banyak terjadi di tetangga di sini. Sedangkan umurnya kan belum mencukupi aja kan... Misalnya baru lulus SD, masih SMP kelas 1… “. (Karti, 37 tahun). 95 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Seks pranikah yang dilakukan remaja dapat juga terjadi karena pengaruh pergaulan, baik karena bergaul dengan teman-teman yang gemar mengkonsumsi miras dan narkoba atau karena terpengaruh teman yang memprovokasinya agar melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan hamil di luar nikah ini terjadi karena hubungan suka sama suka. Demikian cerita Mirna, “Kalo menurut saya si mbak ya banyak yak hampir 75 persenan yang kaya gitu disini tu mbak. Soalnya apa ya, mungkin karena mungkin lingkungan. Satu lingkungan, terus terbawa bawa sama temen temen. ... Soalnya sebagian besar tu desa dadap tu anak perempuan tu suka minum minuman alkohol, ngepil ngepil kaya gitu tu suka. Maksudnya setelah cewenya mabok kan biasanya orang mabok kan tidur. Nah dari situ tu, laki laki tu pada berbuatin mbak. – Jadi ya menurut saya ya itu tadi tu kebanyakan, mungkin karena lingkungan. Tadinya kan polos, kena ejekan temen, pacaran kok jalan jalan melulu, kan kaya gitu ejekan. Jadinya kan sakit dianya tu mbak. Jadinya berbuat gitu. Jadi gak mikir saya tu entar jadi apa kalo hamil –terus sama sama suka kali mbak ya, menurut saya si karna sama sama suka”. (Mirna, 20 tahun).
Menurut sejumlah warga, jaman dahulu fenomen seks pranikah masih merupakan aib dan jarang terjadi di desa Dadap, tidak seperti sekarang. Jaman dulu, bahkan setelah menikah pun, orang masih malu dan canggung melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. “Dulu aja waktu saya masi lajang masih belum punya suami, orang hamil duluan tuh jarang kan aib ya jaman dulu tapi sekarang udah ga setiap cewe pasti kalo nikah udah bunting duluan”. (Rida, 38 tahun). “Dulu, saya lihat laki-laki pun malu. Udah suami istri pun, hubungan seks malu. Nggak tau tuh jaman sekarang…. Kayak nggak punya perasaan… kayak binatang”. (Tarsih, 33 tahun).
Keluarga yang anak perempuannya terlanjur hamil di luar nikah biasanya akan mengundang keluarga dari pihak pria yang menghamilinya untuk berunding. Biasanya pihak keluarga pria akan menanggung beban biaya yang dikeluarkan untuk keperluan menafkahi setelah menikah dan biaya melahirkan. “Kalo keluarga kan kita berunding, kita damai. Kita panggil keluarganya yang dari laki-laki... Ya di situ diobrolin kan... Di situ kan dirundingkan. Itu semua bebankan semua teralih ke orang tuanya. Itu misalkan hamil kan di sini kan ada adat istiadat 7 bulan, membutuhkan biaya yang banyak. Sedangkan masih kecil kan anaknya, apalagi buat nafakahi isteri, itu aja kan masih minta sama orang tua.. Yang nanggung yang laki, keluarga yang dari laki-laki”. (Rida, 38 tahun). 96 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Menurut Nurudin, kepala KUA kecamatan Juntinyuat (wawancara, 7 Oktober 2013), berdasarkan Undang-Undang Pernikahan tahun 1974, usia minimal bagi seorang gadis untuk menikah adalah 16 tahun, sementara untuk jejaka harus sudah berusia 19 tahun. Pada kenyataannya, batasan usia ini tidak selalu dapat dipenuhi oleh calon pengantin. Tidak sedikit calon pengantin yang mengajukan permohonan nikah dengan tidak memenuhi persyaratan usia pernikahan yang ditetapkan. Menghadapi hal ini petugas KUA atau penghulu tidak dapat berbuat apa-apa karena biasanya calon pengantin telah hamil sebelum menikah dan pernikahan merupakan cara untuk menutupi aib (wawancara dengan Nurudin, kepala KUA kecamatan Juntinyuat, 7 Oktober 2013; wawancara dengan Maman Suherman, Panitia Muda bidang hukum Pengadilan Agama Indramayu 11 Nopember 2013; Jones, 2001). Tidak hanya itu, hal lain yang membuat petugas KUA terpaksa mengizinkan calon pengantin yang belum cukup usia untuk menikah adalah karena keluarga mengatakan hubungan kedua calon pengantin tersebut sudah sedemikian eratnya sehingga dikhawatirkan akan terjadi perzinahan jika segera tidak dinikahkan (wawancara dengan Maman Suherman, Panitia Muda bidang hukum, Pengadilan Agama Indramayu, 11 Nopember 2013). Mengingat perzinahan dianggap mencederai norma-norma masyarakat sehingga harus dihindari, petugas KUA tidak memiliki pilihan lain selain menikahkan pasangan yang sebenarnya masih belum memenuhi persyaratan usia tersebut. Dalam kasus yang demikian – dimana calon pengantin belum cukup umur untuk menikah – petugas KUA akan memberikan surat izin menikah dan harus ditanda tangani oleh orang tua calon pengantin.
4.3.2 Pandangan Wong Dadap terhadap Janda Kuwu desa mengatakan, bagi wong Dadap, berakhirnya komitmen pernikahan melalui perceraian dianggap menjadi urusan pribadi masing-masing individu. Hal ini membuat mereka menjadi tidak acuh. “Ya memang perceraian itu tanggung jawab masing-masing ya, jadi warga itu kayaknya udah cueklah”. (Sofa, kuwu desa).
97 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Dalam pandangan Rida, status janda sudah dianggap lumrah oleh wong Dadap. Adalah hal yang wajar jika istri bekerja ke luar negeri, setelah pulang menjadi janda karena menggugat cerai suaminya yang telah menikah kembali. “Ya kalau orang dadap mah bukan kaya orang kampung-kampung yang laen kalau orang sini janda ya udah lumrah – iya, udah nggak asing lagi dah gitu kalau orang dadap dibilang janda udah nggak asing lagi, apalagi jaman sekarang jaman arab istilahnya banyak orang ke arab gitu jadi nggak aneh…- – kaya kawin cerai si umpamanya nggak asing lah biasa, kalau orang ke arab ya suaminya mesti suaminya punya istri lagi, jadi nggak aneh..”. (Rida, 38 tahun).
Yang menentukan apakah seorang janda menjadi gunjingan orang adalah perilaku janda itu sendiri. Sejumlah partisipan mengatakan yang menjadi gunjingan warga desa biasanya adalah janda yang genit dan suka menggoda suami orang. Sementara itu, janda yang berperilaku baik tentunya tidak akan mengundang gunjingan orang. “Ya tergantung jandanya sih. .. yang centil suka godain suami orang, ya diomongin. Kalo yang biasa-biasa aja mah, nggak”. (Tarsih, 32 tahun). “Tapi ya memang kalau ada yang janda ya bisa godain suami orang itu ya baru diomongin kalau orang sini kalau ya janda modelnya kaya ibu Konah yang di rumah aja engga diem aja, ya orang Dadap juga apa ….”. (Rida, 38 tahun). “Bagi orang sini…. Nggak mungkin kita itu ngomongin orang kalau orang itu bener, kalaupun dia cerai. Kan nggak mungkin gitu”. (Ningsih, 33 tahun).
4.4 TKW di Desa Dadap Profesi TKW mulai dikenal oleh warga desa Dadap pada awal tahun 1990an. Ketika itu negara tujuan yang ditawarkan oleh ‘sponsor’ hanya Arab Saudi dengan jenis pekerjaan umumnya sebagai pembantu rumah tangga. Ratarata peminatnya ketika itu adalah warga desa yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama, yang masih berusia belasan tahun. Di desa Dadap, pekerjaan sebagai buruh migran lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Dari perbincangan dengan sejumlah wong Dadap, peneliti menyimpulkan terdapat sejumlah alasan yang membuat TKW di desa Dadap didominasi oleh perempuan. Alasan pertama adalah karena profesi pembantu rumah tangga yang dilakoni perempuan merupakan profesi yang amat dibutuhkan di luar negeri, khususnya Timur Tengah, bila dibandingkan profesi lain yang 98 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
dilakoni pria (misalnya sopir). Permintaan yang tinggi dari negara tujuan tersebut membuat TKW dengan cepat dapat segera diberangkatkan oleh PJTKI untuk bekerja di sana. Tentu saja hal ini membuat TKW desa Dadap dapat segera memperoleh penghasilan tanpa harus menunggu lama. Tingginya penghasilan yang diterima dan mudahnya persyaratan yang harus dipenuhi (hanya menyertakan KTP, bukan ijazah) juga menjadi faktor yang membuat mereka lebih memilih bekerja sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri daripada buruh pabrik di dalam negeri. Alasan berikutnya adalah dewasa ini TKW yang ingin bekerja ke luar negeri tidak perlu membayar uang kepada ‘sponsor’ sebagai salah satu persyaratan seperti dahulu kala. Bahkan, saat ini TKW mendapat uang saku dari ’sponsor’. Hal ini berbeda dengan buruh migran pria yang harus menyetor uang hingga tujuh juta rupiah pada ‘sponsor’ untuk dapat bekerja ke luar negeri. Alasan selanjutnya mengapa profesi buruh migran desa Dadap didominasi dan lebih diminati oleh perempuan adalah karena profesi nelayan sudah mendarah daging dalam diri sebagian besar pria di desa Dadap. Mereka merasa tidak memiliki keahlian lain yang dibutuhkan pasar kerja di luar negeri sehingga tetap memilih bekerja di dalam negeri sebagai nelayan. Motivasi utama para perempuan di desa Dadap ini menjadi TKW adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ketika masih lajang, misi mereka adalah membantu perekonomian keluarga (khususnya orang tua). Setelah menikah, kepergian mereka ditujukan untuk membantu suami mencari nafkah. Nelayan dan buruh ’serabutan’ merupakan profesi dari sebagian besar suami para TKW ini. Kedua profesi tersebut sama-sama menghasilkan penghasilan yang tidak menentu. Ningsih (32 tahun), TKW yang bersuamikan seorang nelayan, mengatakan saat laut sedang ramai biasanya sang suami dapat memperoleh uang sebesar 50 ribu rupiah per hari, namun jika laut sedang sepi tak jarang dalam sehari hanya memperoleh 20 puluh ribu rupiah atau bahkan selama berminggu-minggu tidak memperoleh penghasilan sama sekali. Saat sedang paceklik seperti itu, suami Ningsih lebih memilih mengisi waktunya untuk membetulkan jaring yang rusak daripada mencari nafkah di bidang lain. Adapun untuk memenuhi kebutuhan keluarga selama masa paceklik, ia akan meminjam uang kepada saudaranya atau menjual barang berharga yang ada di rumahnya. Untuk membantu perekonomian 99 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
keluarganya, Ningsih telah beberapa kali bekerja sebagai TKW, meninggalkan anak dan suaminya di tanah air. TKW lainnya, Tarsih (32 tahun), suaminya pernah bekerja sebagai buruh lepas di tempat penjemuran ikan sebelum akhirnya memutuskan untuk bekerja di Malaysia. Sebagai buruh lepas, penghasilan yang diperoleh suami Tarsih ketika itu adalah 40 ribu rupiah per hari, itupun belum dikurangi oleh ’resiko’ sehari-hari (’resiko’ adalah istilah mereka untuk biaya transportasi/bensin, rokok, atau jajan suami selama bekerja). Seiring dengan keberhasilan para TKW membawa perbaikan ekonomi bagi keluarganya, profesi TKW menjadi populer dan semakin menarik minat wong Dadap lainnya untuk mengikuti kesuksesan teman-temannya. TKW dianggap sebagai jalan pintas menuju kemakmuran. Mirna mengatakan jika hanya mengandalkan dari hasil melaut, wong Dadap tidak akan bisa memperoleh penghasilan yang besar, yang dapat digunakan untuk membeli rumah atau emas. Penghasilan besar hanya dapat diperoleh dari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri. Seperti penuturan Mirna berikut ini, “Kata orang solo yang (jual) jamu itu ya, ‘Anake disini pada jadi babu, babune wong Arab, jadi babune wong Taiwan’. Kan hasilnya bagus bagus tu mbak .. Kan musim luar negrian jadi tu hasilnya tu kan bisa menguntungkan, kalau dari hasil nelayannya aja si nggak bakalan bisa mbak. Mau beli rumah yang gede, mau beli rumah yang itu, kayanya mau buat beli mas satu gram aja nggak bisa kalau dari hasil dari nelayan”. (Mirna, 20 tahun).
Dari penghasilan yang diperolehnya sebagai TKW, mereka bahkan dapat membangun tempat tinggal yang bagus. Sebagai contoh, Tarsih berhasil mengubah rumah orang tuanya yang semula berupa gubuk menjadi sebuah rumah permanen dengan ornamen batu alam.Tidak hanya itu, rumah tersebut juga dilengkapi oleh seperangkat kursi ruang tamu bergaya Romawi, peralatan elektronik, kendaraan bermotor dan sepeda fixie. Dalam amatan peneliti, rumahrumah permanen berdinding keramik dengan warna tembok mencolok dan pagar besi berukir cukup banyak ditemukan di desa Dadap. Rumah-rumah ‘bagus’ itu tidak hanya dijumpai pada tepi jalan desa yang lebar, namun juga hingga di pelosok, di gang-gang yang sempit. Tampaknya penghasilan sebagai TKW memberikan sumbangan yang besar bagi perekonomian warga desa. Supali Kasim, seorang budayawan Indramayu yang menjalani masa kecil hingga remaja 100 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
di desa Dadap, menjelaskan sejak diperkenalkan awal dekade 1990 tren menjadi TKW terus meningkat sebagai jalan pintas untuk meningkatkan ekonomi, menggeser profesi Pekerja Seks Komersial (PSK) yang sebelumnya banyak dilakoni warga Indramayu. “Boleh dikatakan ketika dibukanya keran untuk TKW, jadi boleh dikatakan jalan pintasnya itu TKW sekarang. Kalau era di bawah tahun 90an itu kan jalan pintasnya ke situ (pelacuran), kalau sekarang nggak… Kalau Mbak lihat di pelosok desa, banyak rumah-rumah yang bagus dibangun, itu mayoritas hasil TKW, bukan hasil dari pertanian atau yang lain”. (Supali Kasim, budayawan).
Gambar 4.5 Rumah seorang TKW asal desa Dadap (sumber: dokumen pribadi) Keberhasilan teman atau tetangga yang lebih dulu menjadi TKW juga memotivasi warga untuk bekerja di luar negeri, sehingga semakin menambah kepopuleran jenis pekerjaan ini. Sinah, seorang ibu empat anak yang bersuamikan nelayan, menuturkan, melihat rekan-rekannya yang menjadi TKW berhasil memiliki rumah padahal belum lama menikah, membuatnya ingin pula merasakan kesuksesan seperti mereka. “Pengen ke luar negeri, kayak batur-bature baru nikah udah punya rumah, kan kepengen jadinya… kalau perempuan, yang ndeleng (melihat) temen yang ini udah punya ini, saya tuh pengen berangkat..”. (Sinah, 40 tahun).
Meski pada saat masih aktif menjadi TKW mereka mampu membeli rumah, kendaraan bermotor, atau menggelar hajatan, namun setelah kembali ke 101 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
desanya dan selama beberapa lama tidak bekerja, tetap saja ada TKW yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Ini terlihat dari bagaimana mereka harus berutang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau menjual harta yang dimilikinya. Seperti Ningsih (33 tahun), misalnya, yang sudah dua tahun ini belum ‘terbang’ lagi karena masih memiliki bayi berusia enam bulan (‘terbang’ adalah istilah mereka untuk bekerja ke luar negeri). Penghasilan suami yang tidak menentu sebagai nelayan, pada akhirnya terpaksa membuat Ningsih harus menjual motor Honda yang dimilikinya. Dari harga beli sebesar 11 juta rupiah, motor itu laku terjual 6 juta rupiah saja. Uang tersebutlah yang digunakan Ningsih untuk membiayai kebutuhan keluarganya sehari-hari. Sebelum menjual motor, Ningsih pernah mengeluh kepada peneliti tentang bagaimana ia harus menyediakan ongkos transportasi dan uang jajan sehari-hari bagi anak sulungnya yang masih bersekolah di tingkat SMP. Segera setelah anak bungsunya, yang masih berusia 6 bulan tersebut, semakin besar, Ningsih berkeinginan untuk bekerja kembali ke luar negeri. Meski terjadi pergeseran peran, dimana istri kini tidak semata-mata mengurus domestik namun juga sebagai pencari nafkah, namun paradigma TKW ini tentang bagaimana seharusnya peran suami dan istri dalam pernikahan masih bersifat tradisional. Mereka masih meyakini bahwa tugas pencari nafkah adalah masih menjadi bagian dari tugas suami, sementara pekerjaan domestik seperti mengurus rumah, memasak, atau mencuci pakaian merupakan tugas istri. Selain itu, meski pada saat-saaat tertentu menjadi tulang punggung keluarga, mereka masih merasa perlu untuk tetap melayani dan taat pada suami, dengan catatan: selama suami berperilaku baik. “Suami ya nafkahin istri… ya peran suami kayak gimanalah.. memberikan kasih sayang. Kalo peran istri ya melayani suami dengan baik, memberikan kasih sayang suami dengan baik, membuatkan masakan buat suami..”. (Tarsih, 32 tahun). “….kalau kita pergi harus izin suami gitu. Kalau kita ke luar negeri, kalau suami bilang jangan, ya jangan gitu. Kalo suami nggak ngizinin ya udah, jangan pergi gitu kalau dalam agama. .. karena bagaimanapun suami yang berhak sama kita… -Kalau istri ya mengurus anak, masak, kalau suami dateng ya masak, nyuciin baju dia biar dia nggak marah.. –kita sebagai istri ya harus taat, harus bener… selagi suami itu bener, nggak main perempuan”. (Ningsih, 33 tahun).
102 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
“… (seorang istri itu) dalam perilaku ya baik, nurut sama suami.. ya menurut aja, apa yang dia mau. Yang penting suami saya bener, sayanya nurut”. (Yayah, 32 tahun).
4.5 Gambaran Pernikahan TKW 4.5.1 Istri Bekerja adalah Hal yang Biasa Semakin populernya profesi sebagai TKW di desa Dadap, membuat banyak perempuan Dadap berbondong-bondong menjalaninya. Tak sedikit dari mereka yang telah menikah dan karenanya harus meninggalkan suami dan anakanak di rumah. Suara Pembaruan Online (13 September 2008) melaporkan sebanyak 75% suami di desa Dadap ditinggalkan oleh istrinya sementara waktu untuk bekerja di luar negeri. Menurut Supali Kasim, budayawan setempat, kepergian istri ke luar negeri ini dapat terjadi karena dorongan suami ataupun juga karena inisiatif istri sendiri, yang ingin memenuhi keinginan materi tertentu. ”Latar yang membuat istri berangkat itu bisa juga karena desakan suaminya, yang laku karena memang TKW, kalau laki-laki agak sulit. Atau bisa juga si perempuannya yang merengek, masa saya nggak punya rumah, nggak punya motor? Suami dengan setengah hati juga mengizinkan pergi”. (Supali Kasim, budayawan).
Sofa, kuwu desa, mengatakan, keinginan istri untuk bekerja di luar negeri bukan hanya karena demi mengejar ambisi ekonomi tertentu, namun juga karena menyadari bahwa penghasilan suami tidak mencukupi. ” ... ambisi anunya itu tadi, ngejar karena ekonomi, karena teman sukses, udah punya anak umur sekian, bagaimana kelanjutannya di sekolah, ’Ya saya nekatinlah berangkat ke sana, suami saya usaha di sini kayak gitu (tidak mencukupi)’ ...”. (Sofa, kuwu desa).
Pernyataan Supali Kasim dan kuwu desa diatas sesuai dengan penuturan Sunida (35 tahun), seorang istri yang pernah menjadi TKW. Menurut Sunida, keberangkatan para istri ke luar negeri ini disebabkan karena memiliki utang yang harus dibayar atau ingin membeli sesuatu namun kemampuan ekonominya tidak memungkinkan. ”.. karena mungkin punya utang, mungkin kurang ekonomi, mungkin punya keinginan apa gitu, mungkin punya keinginan beli rumah atau beli apa..” (Sunida, 35 tahun).
103 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Bekerjanya istri ke luar negeri ini membuat peran istri yang tadinya lebih banyak mengurus rumah tangga bergeser menjadi peran sebagai pencari nafkah. Setelah bekerja, para istri yang menjadi TKW ini secara rutin mengirimkan penghasilannya kepada suami. Dari informasi yang peneliti dapatkan dari berbagai sumber, umumnya pengiriman uang dilakukan oleh para istri setiap 3 bulan sekali, dengan besaran sekitar 7 – 8 juta rupiah untuk sekali kirim. Istri lantas mengamanahi suami agar mengelola uang tersebut dengan baik, misalnya untuk membeli perahu sendiri (agar tidak lagi menjadi buruh di perahu orang lain), memperbaiki rumah, atau sekedar disimpan untuk modal usaha, di samping tentunya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk uang sekolah anak. Dari hasil jerih payah ini, tak sedikit rumah para TKW yang berdiri tegak tersebut dibangun atas kontribusi istri sepenuhnya. Supali Kasim mengatakan, beralihnya peran istri sebagai pencari nafkah ini tidak menjadi masalah besar bagi para istri itu sendiri asalkan suami tetap menjalankan perannya sebagai pencari nafkah dengan tekun dan rajin bekerja. Konflik baru timbul manakala sang suami dianggap malas bekerja, padahal sang istri telah giat. ”Saya kira sepanjang suami itu bersikap tekun dan rajin dalam bekerja.. penghayatan seorang suami dalam memandang istri, seorang istri dalam memandang suami itu berjalan normal. Karena mereka beranggapan udah bekerja dengan tekun, kalau hasil mah itu urusan Tuhan. Kecuali kalau si perempuan ini rajin dan laki-lakinya malas-malasan, maka akan menimbulkan konflik..”. (Supali Kasim, budayawan).
Mendukung pernyataan Supali Kasim, seorang TKW bernama Yayah mengatakan bahwa keinginannya untuk bekerja di luar negeri berasal dari dirinya sendiri, bukan karena permintaan suami. Oleh karena itu, ia tidak memiliki perasaan yang negatif terhadap suami meski harus beralih peran sebagai pencari nafkah. “Perasaan saya sih biasa aja karena pengenan saya sendiri. Suami juga nggak nyuruh, jadi nggak ada perasaan jelek ke suami…”. (Yayah, 32 tahun).
Kuwu desa menjelaskan, bagi suami sendiri, terjunnya para istri sebagai pencari nafkah ini dianggap sebagai hal yang biasa. Suami tidak merasa malu karena menganggap fenomen tersebut sebagai sesuatu yang sudah banyak terjadi di desanya. 104 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
“Saya akui, akhir-akhir ini karena kayak sudah biasa, udah nggak ada perasaan ‘Wah, malu saya ini’ … kalau dulu (yang menjadi TKW) masih 1,2,3, bisa dihitung jari, jadi masih ada yang banyak perasaan ‘Saya ditaro dimana sebagai suami, kamu berangkat ke sana’…”. (Sofa, Kuwu Desa).
Menurut Supali Kasim, pada kasus-kasus tertentu, justru ketika sang istri tidak mampu mencari peluang untuk mencari nafkah, hal tersebut malah akan menimbulkan konflik dengan suami, karena bagi suami, istri bukan saja dituntut menjalani peran mengurus rumah saja, namun juga sebagai pencari nafkah meski hasilnya tidak banyak. ”... atau suaminya yang rajin sementara perempuan itu tidak mampu mencari peluang mencari nafkah, ini akan menjadi bahan konflik juga karena kalau hanya mengandalkan peran suami saja itu dirasa kurang. Mengapa ada konflik? Karena ada tuntutan lain (pada istri), yaitu harus bisa mencari celah nafkah meski hasilnya sedikit, karena di situ ada persaingan dengan rumah tangga lain. ’Nah keluarga itu kan istrinya bisa berdagang ini itu, kenapa kamu nggak bisa?’, Jadi bisa dikatakan seorang suami memandang istri itu bukan hanya menuntut sebagai ibu rumah tangga, tapi juga menuntut juga bisa mencari nafkah lain”. (Supali Kasim, Budayawan).
4.5.2 Fenomen ’Duda Arab’ dan Potensi Konflik pada Pernikahan TKW Dalam penelitiannya mengenai TKW di kecamatan Juntinyuat (kecamatan dimana desa Dadap berada), Rosadi (2010) melaporkan fenomena yang nampak nyata dari kepergian para istri menjadi TKW ini adalah adanya sebutan ’Duda Arab’ yang diperuntukan bagi kaum suami yang ditinggal istrinya bermigrasi (mayoritas ke Timur Tengah). Sementara itu, bila yang bekerja ke luar negeri adalah suami, sementara sang istri tetap berada di desa, maka sebutan bagi istri ini adalah ’Rangda (Janda) Malaysia’. Disebut ’Duda Arab’ adalah karena mayoritas negara tujuan para istri ini adalah Arab Saudi dan mereka harus meninggalkan suaminya sementara waktu. Adapun sebutan ’Rangda Malaysia’ timbul karena bila yang berangkat adalah suami, mayoritas tujuan negara mereka adalah Malaysia. Menurut Rosadi (2010) sebutan tersebut merupakan sesuatu yang lazim dan tidak memiliki konotasi negatif atau positif. Berdasarkan penuturan kuwu desa dan Supali Kasim, aktivitas para ’Duda Arab’ selama ditinggal istrinya bekerja di luar negeri ini adalah beragam. Ada ’Duda Arab’ yang mencari nafkah di sekitar tempat tinggal (biasanya sebagai nelayan atau buruh di tempat penjemuran ikan dan tempat pelelangan ikan), 105 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
sehingga tidak hanya mengandalkan penghasilan kiriman istri. Meski demikian, ada pula ’Duda Arab’ yang tidak bekerja dan mengisi waktu dengan ’mengobrol’ di warung seharian, ’main perempuan’, menghabiskan uang kiriman sang istri untuk kesenangan pribadi, berjudi, mabuk, atau tidak mengasuh anak-anaknya dengan benar. Apa yang dituturkan oleh kuwu desa dan Supali Kasim tersebut dibenarkan oleh Mirna (20 tahun) dan Yayah (32 tahun), “Ada juga yang, istri saya berangkat di luar negeri, suaminya disini tu minum, madon, pokoknya main segala gala rupa di lakonin semua. Nah terus pada akhirnya istri pulang nanyakan uang saya pada kemana. Uang saya yang dikirimin ke kamu sekian juta sekian juta mana hasilnya, mana. Apa yang dibeli?. Kan kadang kadang gitu. Padahal tadi tu suaminya gitu, buat foyafoya.”. (Mirna, 20 tahun). ”Ya, satu, tantangannya gitu. Kadang-kadang kan kita meninggalkan suami kan, suami kan kadang-kadang pacaran lagi”. (Yayah, 32 tahun).
Perilaku ’Duda Arab’ yang negatif ini kerap menimbulkan konflik dengan sang istri. Konflik dapat terjadi setelah istri pulang kembali ke Indonesia dan mendapati bahwa ternyata perilaku suaminya tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Selain itu, konflik bisa pula terjadi saat istri masih berada di luar negeri. Tak jarang para istri ini terkejut dengan perilaku suaminya karena sebelumnya merasa sang suami tidak akan berperilaku negatif selama ditinggal istri bekerja di luar negeri. Konflik ini pada akhirnya membuat istri ingin mengakhiri pernikahan. Tarsih (32 tahun) merupakan contoh TKW yang sempat ingin mengakhiri pernikahannya karena suami menyelewengkan uang. “..Yang ninggalin suami ini kan ke Kuwait gitu, dua tahun. Dua tahun setengah... Ya kira saya, laki-laki itu bener ya..yaa bener, jujur, gitu.. ternyata udah ngabisin uang saya...rumah tangganya pokoknya hampir berantakan gitu loh karena masalah uang..”. (Tarsih, 32 tahun).
TKW lainnya, Desi (43 tahun), akhirnya bercerai setelah menyadari bahwa sang suami bukan hanya menyelewengkan hartanya, namun juga berselingkuh dengan perempuan lain. “Terus Ibu tuh ya nggak ada pikiran apa-apa, soalnya kan suami Ibu nggak pernah begana-begini, cuma jaga anak, kerja. Jadi ya itu ya saling menjaga gitu ….. -Namanya juga suami ditinggal terus, ya mulai sama wanita lain gitu. Terus Ibu jadinya marah tuh, terus Ibu jadi nggak terima ….. -Rumah dijual nggak bilang sama Ibu, sedangkan itu kan bukan uang dia, 106 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Perasaan Ibu tuh udah pengen mengakhiri (pernikahan) … -Udah cerai aja. Nggak mau pokoknya barengan lagi”. (Desi, 43 tahun).
Meski ada TKW yang pada akhirnya memilih untuk mengakhiri pernikahan karena perilaku negatif suaminya selama ditinggal bermigrasi, namun ada pula yang masih tetap mempertahankan pernikahannya dengan berbagai macam pertimbangan. Seperti yang terekam dalam ucapan para TKW pada wawancara kelompok berikut ini, ”Ya itu kan ada anak.... demi masa depan anak... nanti kalau cerai, anak mau kemana. Sebelah sini orangnya lain (ayah tiri), sebelah sana lain (ibu tiri)..”. (Siti, 41 tahun). ”Ya kalo punya harta, mungkin karena mempertahankan harta biar jangan dibagi-bagi hahaha... (tertawa)”. (Sunida, 35 tahun). ”Karena masih mencintai gitu aja.. ”. (Uun, 35 tahun).
Berbagai masalah yang timbul dalam pernikahan saat istri bermigrasi keluar negeri ini, khususnya terkait perilaku negatif para ’Duda Arab’, dapat terjadi sewaktu-waktu atau tidak dapat diprediksi sebelumnya. Ada masalah yang terjadi sesaat setelah istri berangkat, namun ada pula yang terjadi setahun kemudian. Demikian penuturan Sunida dan Ningsih, para TKW dalam wawancara kelompok, ”Kadang-kadang udah 1 tahun, suami udah tergoda baju merah, bibir merah. Jadi tidak tentu berapa bulan kemudian datang masalah,kadang baru berangkat... kadang udah 1 tahun. Kadang (istri masih diinapkan) di PT (PJTKI) udah puber, ’Eh suami kamu udah bonceng-boncengan’..”.(Sunida, 35 tahun). “Jadi kita kan nggak tahu, tergantung datangnya masalah. Kadang baru berangkat itu baik, bener dia tuh, nggak ada masalah”. (Ningsih, 33 tahun).
4.5.3 Peran Orang Tua dalam Mengakhiri Pernikahan Keluarga
besar
tampaknya
turut
memengaruhi
keberlangsungan
pernikahan pasutri di desa Dadap, khususnya pada mereka yang pasangannya bekerja ke luar negeri. Sebagai contoh, pihak keluarga istri memiliki peran dalam mengawasi tindak tanduk para ’Duda Arab’. Biasanya mereka melaporkan 107 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
perbuatan ’Duda Arab’ yang dianggap negatif ini kepada anaknya (istri ’Duda Arab’ tersebut) yang masih berada di luar negeri. Sebaliknya, jika menantunya berperilaku benar, maka keluarga tidak melakukan hal yang demikian. ”Kalau (suami) nggak benar, ya turut campur keluarga, ada yang mengadu. Karena suami saya benar, ya nggak ada keluarga (yang mengadu)”. (Yayah, 32 tahun).
Pengaruh keluarga dalam keberlangsungan pernikahan TKW juga muncul dalam bentuk penghasut, penebar kabar yang belum tentu kebenarannya, mengenai keburukan suami atau istri yang hidup terpisah tersebut. Menurut penuturan Sunida (35 tahun), seorang TKW, perilaku keluarga yang seperti ini umumnya dilakukan dengan tujuan menguasai uang kiriman dari anaknya, tanpa mau berbagi dengan sang menantu. ”Kadang-kadang pihak ketiganya yang mau hancurin, karena apa, karena uang ini ... kan pihak keluarganya ingin uang gitu ya, ya dihasut terus. Misalkan ini, ’Suami kamu di sini gimana sama perempuan aja gini.. gini.. gini.. Nah yang perempuan ini kan percaya sama keluarganya, akhirnya kan pindah uangnya ke keluarganya ... Padahal itu belum tentu itu ..”. (Sunida, 35 tahun).
Membenarkan penuturan Sunida, Mirna (20 tahun) mengatakan tidak menutup kemungkinan ada orang tua yang masih ingin meminta materi dari anak perempuannya yang telah berkeluarga. Orang tua yang demikian, dalam istilah wong Dadap, disebut ‘ wong tuo masih kepengen pakeane anak’. Hambali, seorang perangkat desa lainnya, menambahkan bahwa sudah banyak terjadi kasus ’wong tuo masih kepengen pakeane anak’ tersebut yang berakhir pada perceraian pasutri. “Cuma kalau orang tuanya ingin, masih ingin, walaupun anaknya udah punya suami, ya intinya udah berkeluarga, tapi ingin, masih ingin, maksudnya masih ingin minta, minta uang gitu, masih, jarena wong dadap si, wong tuo masih kepengen pakeane anak”. (Mirna, 20 tahun). ”Sudah biasa itu (perceraian), faktornya kebanyakan di luar negeri. Kebanyakan faktor menyebutkan, satu contoh, di sini lakinya, di sana istrinya. Orang tua terhadap lakinya masih menginginkan uang dari anak tersebut, akhirnya pecah... kira-kira seperti itu”. (Hambali, perangkat desa).
Hasutan keluarga dapat menimbulkan berbagai macam respon pada TKW. Salah satunya adalah kebingungan. Kebingungan ini biasanya terjadi ketika mereka memercayai suami sebagai pribadi yang baik, namun sekaligus merasa tidak mungkin keluarga terdekat tega menghancurkan pernikahannya dengan 108 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
menebarkan kabar yang tidak benar. Contoh nyata dari hal ini terjadi pada Ningsih (33 tahun). Ketika menjalani pernikahan jarak jauh, sang kakak mengabari bahwa suami Ningsih telah menikah lagi dengan perempuan lain di Batam. Ningsih merasa bingung harus memercayai siapa karena merasa tidak mungkin suami melakukan hal tersebut. ”... saya bingung, mana yang harus saya percaya. Sedangkan posisi kakak saya ngomong, ’Terserah kamu, selera kamu.... kamu itu takut ditinggalkan suami, kamu itu bodoh’. Kan aku pikirnya sangat sulit. Dalam pikiran saya, bener nggak suami saya kayak gitu?.. tapi masa iya kakak aku sendiri mau ngancurin pernikahan aku... Ya setengah percaya, setengah enggak, gitu mbak. –Karena ya saya tau suami saya tuh baik, dia sayang sama saya, dia nggak mungkin nyakitin saya gitu. Yang buat enggaknya, ya saya juga nggak tau, mungkin dia disana emang kaya gitu kita kan nggak tau, mungkin dia pulang dicere istrinya kan kita nggak tau gitu. (Ningsih, 32 tahun)”.
Pada sebagian orang, kebingungan ini lantas memicunya untuk mencari tahu mengenai apa yang sebenarnya terjadi sebelum mereka memutuskan mengambil tindakan tertentu (misalnya bercerai). Ningsih misalnya, ia menyelidiki kebenaran kabar tersebut melalui rekan-rekan kerja suaminya. Apa yang dilakukan oleh Ningsih ini didukung oleh Uun (35 tahun), yang dibenarkan oleh Siti (41 tahun), TKW lainnya. Menurut Siti, langsung memercayai hasutan keluarga (atau orang lain) begitu saja hanya akan merugikan diri sendiri jika ternyata berita tersebut sama sekali tidak benar. “ .. kan lihat suami dulu gimana tingkah lakunya,bener apa nggak. Biar orang ngomong gini, gini kan lihat dulu sama buktinya”. (Uun, 35 tahun). “Ya sama… misalkan ya kata orang, bahwa suami kamu main perempuan atau apa, kalo misalnya (ternyata) nggak (terbukti), kan kita rugi sendiri. Tapi kalo misalnya kenyataannya iya (terbukti), ya apa boleh buat… walopun kita nggak mau juga, ya haruslah (cerai)”. (Siti, 41 tahun).
Hasutan keluarga tentang perilaku suami tidak hanya dilontarkan oleh keluarga besar istri kepada istri, namun juga dapat terjadi sebaliknya, yakni keluarga besar suami yang melontarkan hasutan tersebut kepada suami mengenai perilaku istrinya selama ditinggal suami bekerja ke luar negeri. Uun (35 tahun), seorang TKW, merupakan salah seorang yang pernah mengalami hal tersebut saat menjalani pernikahan jarak jauh, ketika sang suami merantau ke Malaysia. Melihat sang suami mulai terpengaruh oleh hasutan keluarganya, Uun memberi 109 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
ultimatum: ia akan menggugat cerai jika sang suami memilih untuk lebih memercayai dan memihak keluarganya daripada dirinya. ”Iya kalau suami saya ngedukung keluarganya, ya saya cerai aja gitu. Biarin suami saya ikut keluarganya, dengerin omongan gitu... Terus suami saya nggak mau (cerai), ya kalau nggak mau ya udah, jangan didengerin omongan yang nggak karuan begitu”. (Uun, 35 tahun).
Jika ada mereka yang memilih untuk tidak begitu saja memercayai berita yang diterima, maka masih ada pula TKW yang merespon hasutan keluarga dengan
langsung
memercayai
begitu
saja
tanpa
membuktikan
dahulu
kebenarannya. Menggunakan cara yang demikian, tak heran jika ada yang langsung memutuskan untuk mengakhiri pernikahan, walaupun masih berada di luar negeri. Terkait dengan hal ini, seorang perangkat desa bernama Masripah menyarankan seharusnya perceraian tidak perlu terjadi jika pasutri saling memercayai dan tidak serta merta percaya pada hasutan pihak lain. ”Kalau keduanya saling percaya, nggak mungkin suami istri ini bercerai. Pasti karena pihak ketiga yang bilang begini-begini, terus percaya”. (Masripah, perangkat desa).
Selain menghasut dengan menebarkan kabar yang belum tentu benar, ada pula keluarga yang mendorong pasutri yang bertikai untuk segera mengakhiri komitmen pernikahannya, alih-alih memberi saran atau solusi bagi pertikaian yang terjadi agar tidak berujung pada perceraian. Mirna mengatakan ada kalanya berakhirnya komitmen pernikahan pada pasutri terjadi justru karena ada dorongan atau permintaan dari orang tua. Bahkan, saat istri atau suami masih berada di luar negeri, perceraian tersebut sudah terjadi. Apa yang dituturkan Mirna ini serupa dengan keterangan yang diberikan oleh kuwu desa. “Ada juga istrinya masih disana, suaminya masih disana, udah diceraiin mbak, padahal si belum, maksudnya belum ada, belum ada dari kedua belah pihak tu belum saling bertemu, tapi orang tua tu ‘Udahlah, laki kamu tu, berangkat kesana nggak pernah kirim, nggak pernah ngasi kabar, nggak pernah ngasi duit sama kamu, kirim aja nggak ke kamu’. Kan ada orang tua yang kaya gitu tu, ‘Udahlah biarin aja entar saya yang biayain, masalah perceraian kamu’.”. (Mirna, 20 tahun). ”Biasanya kayak gitu langsung vonis ... artinya tanpa berpikir masukan dari orang lain. Bahkan ada faktor pendukung dari keluarga. Aduuuh... kadangkadang dari sana minta cerai”. (Sofa, kuwu desa).
110 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Adakalanya suami istri masih ingin bersatu dan menerima keadaan masing-masing, namun justru orangtuanya yang tidak dapat menerima dan menyarankan perpisahan. Berikut ini penjelasan Mirna, seorang warga desa Dadap, “Ya menurut saya si kebanyakan tekanan orang tua, walaupun istrinya menerima ya udahlah uang saya juga habis nggak apa-apa, orang uang saya habis juga dimakan suami saya. Istrinya nerima, pulang dari sana tu. Yang nggak nerima tu ibunya. Kata ibunya mah yaaaa kamu tu orang berangkat dua tahun kesana nggak dapet apa apa, juga nerima aja. Dasar kamu tu, wanita bodo, perempuan bodoh, goblog”. (Mirna, 20 tahun).
Mirna menambahkan, “Jadi maksude, laki rabi pada nerima, suami istrinya pada nerima. Sing ora nerima, wong tua. Kaya gitu – Orang di sini si kaya gitu semua si mbak. Jadi kalau anaknya sama sama suka terus ibunya kaya gitu, udah anaknya nurut sama ibu ya akhirnya rumah tangganya pisah. Kalau anaknya nggak nurut sama ibu, ya rumah tangganya langgeng”. (Mirna, 20 tahun).
Apa yang dikemukakan Mirna tersebut didukung oleh penuturan kuwu desa. Kuwu menilai orang tua tidak memberi nasehat saat pasutri bertikai, namun justru mendukung mereka mengakhiri komitmen pernikahan. Rendahnya pendidikan orang tua disinyalir oleh kuwu desa sebagai faktor yang sedikit- banyak memengaruhi sikap orang tua yang demikian. “Kadang-kadang pendukung, kadang-kadang pendukung dari keluarga ikut campur ya.. Bahkan yang jatuh kayak gitu, yang melaksanakan pengakhiran kadang-kadang dari keluarga, artinya tidak memberi nasehat. Orang lain seperti saya menasehati, tapi keluarga sendiri kadang-kadang mendukung..”. (Sofa, kuwu desa). “Kalau saya telaah, saya kembalikan lagi ya, SDM-nya itu tadi, dari pendidikan. Orang tua dulu yang nggak sekolah. Kalau orang yang berpendidikan, yang berpengalaman, kan suka penasehat gitu. Anak yang salah itu diberikan pengarahan, tidak didukung..”. (Sofa, kuwu desa).
Mirna menjelaskan ada anak yang terpaksa menuruti keinginan orangtuanya untuk mengakhiri komitmen pernikahannya daripada mengikuti suami. Untuk kasus yang demikian, biasanya terjadi karena orangtua tinggal satusatunya dan tidak tergantikan. Mereka beranggapan lebih mudah mencari pengganti suami dibandingkan mencari pengganti orang tua. Meski demikian, ada
111 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
pula anak yang tidak menuruti permintaan orang tuanya untuk bercerai karena tidak ingin orang tuanya mencampuri urusan rumah tangganya. “Ada yang anak, nurutin apa segala omongannya orang tua gitu. Satu mungkin karna orang tuanya tu mbak, misalnya cuma tinggal satu, ibunya aja gitu. Misalnya kita ngaboti suami kui, misalnya kita jadi apa.. Lebih baik ngaboti wong tua. Kalau suami bisa di luru, jare bahasane gampang dicari lah. Setiap jalan juga banyak. Sedangkan orang tua kan nggak ada, cuma satu, gitu. (Mirna, 20 tahun). “Ya mungkin karna itu tadi tu mbak, orang tuanya, orang, apa yak. Saya udah berumah tangga, kata anaknya udah jangan ikut campur, enak nggak enak udah saya yang ngelakonin. Kata orang sini si, enak nggak enak kita sing nglakoni. Wis wong tua jangan pada ikut campur maning”. (Mirna, 20 tahun).
4.5.4 Peran Perangkat Desa dalam Pernikahan dan Perceraian TKW Perangkat desa tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah berakhirnya komitmen pernikahan pada pasutri yang bertikai. Kuwu desa mengakui adanya anggapan bahwa masalah rumah tangga merupakan masalah keluarga membuat upaya yang dilakukan jajarannya untuk meningkatkan kualitas pernikahan warga dan menurunkan angka perceraian selama ini bukan bersifat formal. ”Ya kalau formal ya, pemerintah belum ada mengatasi kayak gitu. Karena itu permasalahan keluarga ya, masalah keluarga jadi belum ada yang menangani kayak gitu... ya itu aja paling tadi... keluarga memberikan nasehat, termasuk saya itu. Tapi kalau formal itu, saya bertindak atas nama kepala desa, ya nggak..”. (Sofa, kuwu desa).
Perangkat desa lainnya, Hambali dan Rofiah, mengatakan mereka merupakan pintu terakhir yang didatangi oleh pasutri yang bertikai. Menurut mereka, ketika pasutri pada akhirnya mendatangi perangkat desa untuk berkonsultasi, itu artinya masalah tersebut sudah tidak dapat diselesaikan oleh pihak keluarga, dimana keluarga merasa tidak berhasil menemukan solusi yang baik. ”Masalah pribadi masing-masing udah kembali ke keluarga. Kalau ke aparat desa ya itu tadi, kalau masalah sudah tidak bisa diselesaikan dengan keluarga”. (Hambali, perangkat desa). ”Kalau sudah dari aparat desa, berarti dalam keluarga sudah tidak menemukan solusi yang baik ...”. (Rofiah, perangkat desa).
112 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Menghadapi pasutri yang datang berkonsultasi, perangkat desa hanya bisa memberi pandangan atau nasehat bagi pasutri yang bertikai tersebut dan menyerahkan segala keputusan akhir pada mereka berdua. Seperti yang dituturkan oleh kuu desa berikut ini, ”.. Kalau saya sebagai ketua, ya artinya hanya bisa memberikan pandangan, memberikan nasehat, keputusan ada di pihak sampeyan. Ada diantaranya yang denger nasehat, kembali lagi (tidak jadi bercerai) ada”. (Sofa, kuwu desa).
Merasa tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi konflik atau pertikaian pasutri, perangkat desa hanya bisa melakukan upaya preventif terkait hal tersebut. Melalui khotbah nikah yang disampaikan pada saat akad nikah, amil atau lebe mengingatkan pasutri mengenai hak dan kewajiban suami istri. Dengan demikian diharapkan pasutri dapat lebih memahami posisinya masing-masing dalam rumah tangga dan bertenggang rasa dengan pasangannya, sehingga dengan demikian pasutri diharapkan tidak melakukan hal-hal yang dapat melemahkan komitmen pernikahan. “Di sini ada khotbah nikah, bahwa kewajiban seorang suami terhadap istri dan sebaliknya, seorang istri terhadap suami … ada sih, cuma kembali kepada orang itu masing-masing, hak-hak dan kewajiban seorang suami terhadap istri”. (Hambali, perangkat desa).
Upaya preventif lain yang dilakukan dengan menetapkan aturan; mengharuskan istri meminta izin kepada suami jika hendak bekerja sebagai TKW. Kebijakan ini dibuat karena tidak sedikit konflik dalam rumah tangga terjadi akibat istri bekerja sebagai TKW. “.. tanpa seizin suami, dari kami tuh tidak menanggung, saya tolak. Banyak diantaranya yang saya undang, artinya istrinya mau berangkat itu, saya undang suaminya biar menghadap saya. Suaminya yang berangkat pun, saya undang”. (Sofa, kuwu desa).
4.6 Pembahasan Bab ini memaparkan mengenai bagaimana gambaran context sosiokultural dan lingkungan sekitar dimana para TKW ini tinggal. Teori Bioekologi menyatakan bahwa perkembangan individu merupakan hasil dari interaksi antara individu tersebut dengan context lingkungan yang mengelilinginya, baik itu
113 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
lingkungan
makrosistem,
eksosistem,
mesosistem,
dan
mikrosistem
(Bronfenbrenner, 2005). Makrosistem – Eksosistem terkait Migrasi. Dalam context makrosistem, terdapat sejumlah kondisi sosiokultural setempat yang mendorong para istri untuk menjadi TKW, yang mana keberangkatan mereka ke luar negeri ini memicu terjadinya sejumlah konflik dengan lingkungan terdekatnya, termasuk pasangan. Di dalam makrosistem, peneliti melihat ada keterkaitan antara migrasi yang dilakukan oleh TKW dengan situasi yang berpotensi memengaruhi komitmen pernikahan. Keterkaitan ini tercermin pada, bahwa migrasi ‘memaksa’ mereka untuk menjalani pernikahan jarak jauh dengan pasangan, yang mana situasi ini merupakan pemicu timbulnya permasalahan dalam pernikahan.
Context
makrosistem memengaruhi komitmen pernikahan pada partisipan secara tidak langsung, yakni melalui sejumlah kondisi yang mendorong mereka untuk bekerja sebagai TKW. Teori Bioekologi menyatakan, yang termasuk kondisi makrosistem adalah budaya atau struktur sosial (seperti kelas, suku, wilayah, sumber daya, gaya hidup, struktur kesempatan) yang terdapat pada lingkungan dimana individu tinggal (Bronfenbrenner, 2005). Kondisi makrosistem
yakni berupa kesulitan,
terbatasnya sumber daya dan terbatasnya kesempatan struktural pada lingkungan setempat mendorong para TKW di desa Dadap memilih untuk meninggalkan desanya dan kemudian bekerja di luar negeri. Kondisi makrosistem lain yang patut diduga melatarbelakangi TKW ini bermigrasi adalah gaya hidup masyarakat setempat yang konsumtif, kebiasaan berutang, ingin cepat kaya, serta tidak mau kalah bersaing secara materi dengan orang lain.Terkait dengan hal ini, tampaknya gaya hidup yang demikian bisa jadi telah menjadi karakteristik khas dari masyarakat Indramayu secara umum atau masyarakat nelayan secara khusus (Kasim, 2010; Soedijar, 2004). Dari hasil penelitian yang dilakukannya di Indramayu, Soedijar (2004) menganalisis bahwa yang dianggap sebagai simbol kesuksesan bagi masyarakat golongan sosial ekonomi bawah dan berpendidikan rendah adalah kepemilikan materi tertentu, seperti rumah dengan segala perabotannya, peralatan elektronik, pakaian 114 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
bermerek, atau kendaraan bermotor, dan bukan keberhasilan di bidang pendidikan. Hasil penelitian Soedijar (2004) tersebut tidak menutup kemungkinan pula diyakini pula oleh masyarakat desa Dadap, sehingga menjadikan profesi TKW sebagai cara yang relatif mudah untuk memperoleh kepemilikan materi tertentu, yang dianggap sebagai simbol kesuksesannya. Menilik kesuksesan orang-orang di sekitarnya, profesi TKW kemudian dianggap sebagai sumber penghasilan baru yang lebih menjanjikan daripada melaut. Terpampangnya hasil kerja TKW secara nyata di penjuru desa, menjadikan profesi ini dianggap memberikan suatu kepastian, yakni ‘setiap kali berangkat akan mendapatkan uang’, sama halnya anggapan bahwa ‘musim panen terjadi setiap kali melaut’ yang dianut oleh para nelayan (Kasim, 2010). Sementara itu, hal lain yang mendorong para istri ini untuk menjadi TKW adalah adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak terkait yang memudahkan prosedur keberangkatan TKW Teori Bioekologi menyebutkan kebijakan yang dibuat organisasi/lembaga di lingkungan individu berada dapat dikategorikan sebagai bagian dari eksosistem individu (Bronfenbrenner & Morris, 2006). Dalam hasil penelitian ini, kebijakan tersebut dikeluarkan oleh PJTKI yang membebaskan biaya keberangkatan bagi perempuan yang hendak menjadi TKW, yang mana hal ini tidak berlaku bagi pria. Berbeda dengan perempuan, pria dibebankan biaya hingga jutaan rupiah untuk dapat bekerja di luar negeri. Bisa jadi kebijakan ini ada kaitannya dengan permintaan yang tinggi dari negara tujuan terhadap tenaga kerja perempuan. Dalam lingkup yang lebih luas, pemerintah Indramayu juga memberi dukungan yang besar terhadap warganya yang ingin menjadi TKW. Hasil penelitian Rosadi (2010) menyebutkan dukungan yang diberikan pemerintah tersebut berupa kemudahan dalam hal pengurusan dokumen perizinan, bahkan pemerintah memberikan uang sebesar 1 juta rupiah sebagai modal awal kepada setiap calon TKW guna membantu mereka mengurus syaratsyarat yang diperlukan. Dukungan pemerintah ini kemungkinan timbul setelah melihat kenyataan bahwa remitan yang diperoleh warga Indramayu dari hasil pekerjaannya sebagai TKW merupakan yang tertinggi di Indonesia, yakni bisa mencapai 20 milyar rupiah per bulan (Rosadi, 2010). Sayangnya, tingginya remitan tersebut tidak diiringi oleh peningkatan kualitas masyarakat setempat. 115 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Rosadi mencatat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masyarakat Juntinyuat (kecamatan dimana desa Dadap berada) masih di bawah target yang diharapkan, yakni hanya sebesar 65,95 dari target 68,04 pada tahun 2007. Rosadi melihat angka tersebut sebagai ciri bahwa Juntinyuat masih menghadapi masalah yang cukup serius dalam bidang pendidikan, kesehatan, atau ekonomi. Kurangnya kualitas sumber daya manusia inilah yang membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan memadai di dalam negeri sehingga menjadi faktor pendorong lainnya bagi warga setempat untuk menjadi TKW. Context makrosistem lainnya yang turut mendorong terjadinya migrasi para TKW ini adalah pergeseran nilai-nilai masyarakat setempat tentang peran pencari nafkah. Bekerjanya para istri ke luar negeri menjadikan peran pencari nafkah utama dalam keluarga tidak lagi bertumpu pada suami. Pergeseran peran ini sudah menjadi hal yang dianggap biasa oleh masyarakat setempat yang mulanya, sama seperti budaya masyarakat nelayan lainnya, memosisikan istri sebagai pengelola rumah tangga (Kasim, 2010). Pergeseran peran pencari nafkah dari suami kepada istri menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat tatkala ada keadaan yang memaksanya demikian. Sebagai contoh, hasil penelitian Haryono dan Suciarto (2010) pada masyarakat Yogyakarta menunjukkan bahwa para partisipan penelitian menganggap perempuan (istri) dimungkinkan untuk mencari nafkah ketika kondisi ekonomi keluarga tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pada masyarakat desa Dadap, terdapat kondisi struktural dan sosial yang membuat kesempatan suami dalam memeroleh penghasilan yang memadai menjadi lebih terbatas dibandingkan istri, yang pada akhirnya membuat mereka menjadi lebih dapat menerima pergeseran peran yang terjadi. Kondisikondisi tersebut antara lain, rendahnya pendidikan, kebijakan PJTKI setempat yang dianggap menyulitkan para suami ini untuk menjadi TKW, atau profesi nelayan yang sudah mendarah daging sehingga membuat mereka enggan beralih ke profesi lain saat musim paceklik tiba.
Eksosistem. Pengaruh eksosistem dalam pernikahan para TKW di desa Dadap, Indramayu, tampak dalam belum maksimalnya usaha aparat yang berwenang, seperti perangkat desa, untuk mendamaikan pasutri yang bertikai 116 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
karena adanya anggapan bahwa masalah rumah tangga merupakan masalah keluarga. Peran perangkat desa merupakan bagian dari eksosistem. Eksosistem merupakan struktur masyarakat dimana individu berada, yang mana individu tidak secara langsung berpartisipasi di sana, namun hal tersebut tetap dapat memengaruhi
perkembangan
individu
(Bronfenbrenner,
2005).
Belum
maksimalnya usaha yang dilakukan oleh perangkat desa tersebut terjadi karena adanya anggapan yang dianut masyarakat setempat bahwa konflik dalam pernikahan adalah persoalan domestik yang harus diselesaikan tanpa melibatkan pihak luar, dalam hal ini perangkat desa. Adanya anggapan tersebut ternyata bukan hanya menyebabkan belum optimalnya peran perangkat desa di desa Dadap saja, namun juga peran lembaga lainnya (seperti BP4) di wilayah lain di Indramayu. Sebagai contoh, hasil penelitian Nazarudin (1998) mendapati bahwa fungsi BP4, yang berada di bawah KUA, ternyata masih kurang dikenal oleh masyarakat Kandanghaur, Indramayu. Hal ini terlihat dari jumlah keluarga yang berkonsultasi ke sana, yang hanya sebesar 52 KK dari 18.481 KK yang ada. Menurut kepala KUA setempat, masih minimnya jumlah keluarga yang berkonsultasi ke BP4 disebabkan oleh jarangnya masyarakat mengadukan masalah keluarga ke BP4 karena menganggap masalah keluarga tidak boleh diketahui oleh orang lain dan hanya mereka sendiri yang harus menyelesaikan. Selain itu, kurangnya pemanfaatan BP4 Kandang Haur sebagai lembaga konsultasi pra-cerai dipengaruhi pula oleh adanya kebiasaan menikah ‘siri’ atau ‘di bawah tangan’ (tidak diketahui oleh KUA) pada warga setempat. Adanya pernikahan ‘di bawah tangan’ tersebut membuat mereka menganggap ketika mengalami masalah dalam rumah tangga, maka solusinya adalah melakukan perceraian ‘di bawah tangan’ pula dan tidak perlu diketahui oleh pihak BP4 atau KUA. Padahal, seharusnya ketika hendak mengakhiri pernikahan, pasutri diharapkan berkonsultasi dahulu ke lembaga yang berwenang tersebut. Mesosistem – Konflik antara Suami dengan Keluarga Besar Istri. Mesosistem merupakan context dimana interaksi antara dua atau lebih mikrosistem individu terjadi (Bronfenbrenner, 2005). Context mesosistem yang berpotensi memengaruhi komitmen pernikahan para TKW di desa Dadap adalah 117 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
konflik yang terjadi antara suami dengan keluarga besar istri. Baik suami maupun keluarga besar dapat dikategorikan sebagai mikrosistem yang mengelilingi istri, yang berinteraksi dalam context mesosistem TKW tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan, konflik antara suami dengan keluarga besar istri dapat terjadi karena adanya keinginan keluarga besar istri untuk menguasai penghasilan yang diperoleh istri. Peneliti berpendapat, adanya keinginan menguasai penghasilan tersebut dimungkinkan terjadi karena orang tua telah terbiasa menerima penghasilan dalam jumlah besar dari anak perempuannya sejak masih lajang, yang mana pernikahan membuat penghasilan tersebut harus terbagi kepada pihak lain, yakni menantunya. Jika menilik bagaimana seorang anak diposisikan dalam keluarga, maka menjadi dapat dimengerti ketika para orang tua di desa Dadap menganggap wajar perilakunya yang menginginkan penghasilan anak tersebut. Terkait dengan hal tersebut, dalam masyarakat Indonesia sendiri, anak memang diposisikan sebagai penyokong ekonomi keluarga (Koentjaraningrat, 1994; Albert dkk, 2005). Harapan ini bahkan telah dihembuskan oleh orang tua sejak anak-anaknya masih kecil. Hal ini terlihat dalam penelitian yang dilakukan Rosadi (2010) di kecamatan Juntinyuat, Indramayu, dimana salah seorang narasumber menuturkan bahwa orang tua di wilayah setempat, saat menimang anaknya dengan nyanyian, sering kali menghembuskan harapan agar kelak ketika dewasa sang anak dapat membantu perekonomian keluarga dengan bekerja di Arab Saudi, meski hanya menjadi pembantu rumah tangga. Secara khusus, dibandingkan dengan anak laki-laki, anak perempuan dianggap memiliki nilai yang lebih berharga secara ekonomi oleh masyarakat Indramayu karena lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang dianggap berpenghasilan besar, seperti menjadi TKW atau PSK (Soedijar, 2004; Darmawan, 2010).
Mikrosistem dan Mesosistem.
Dalam context mikrosistem dan
mesosistem, migrasi yang dilakukan istri untuk bekerja menimbulkan konflik dengan lingkungan mikrosistemnya (suami) maupun konflik pada lingkungan mesosistemnya (antara suami dengan keluarga besar) yang pada akhirnya memengaruhi komitmen pernikahan. Konflik ini semakin berpotensi merusak 118 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
komitmen pernikahan ketika didukung oleh faktor lain, yakni keluarga (mikrosistem) yang justru mendukung terjadinya perceraian. Mikrosistem – Keluarga Besar (Orang Tua). Mikrosistem merupakan context dimana interaksi antara individu dengan lingkungan terdekatnya terjadi (Bronfenbrenner, 2005). Salah satu mikrosistem para TKW ini adalah keluarga besar atau orang tuanya. Temuan penelitian ini menunjukkan adanya peran orang tua di desa Dadap dalam menghasut atau mendorong anaknya agar mengakhiri komitmen pernikahan. Terkait dengan hal ini, pernikahan pasutri di Indonesia memang cenderung masih dipengaruhi oleh keputusan-keputusan yang dibuat orang tua. Pengaruh ini sudah dirasakan, bahkan, sejak individu baru memilih pasangan hidupnya, dengan cara mencarikan mereka pasangan (Jones, Asari, & Djuartika, 1994; Situmorang, 2005) atau memberi mereka pengarahan agar mencari pasangan dengan kriteria tertentu (Smith-Hefner, 2005). Jika umumnya campur tangan orang tua dalam pernikahan pasutri terjadi pada mereka yang belum mandiri secara ekonomi (Hakim, 2003), maka di desa Dadap, tindakan campur tangan orang tua yang meminta anaknya bercerai justru terjadi karena mereka ingin ikut menikmati dan menguasai keberhasilan ekonomi anaknya. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa keluarga besar memiliki peran yang dapat bertolak bagi kelangsungan pernikahan individu. Di satu sisi, keluarga dapat mendorong individu tetap mempertahankan pernikahannya, seperti yang terlihat dari hasil penelitian Cox dkk (1999) yang menunjukkan bahwa semakin besar dukungan yang didapat dari keluarga membuat kecenderungan individu untuk mempertahankan relasi pernikahan semakin meningkat. Sebaliknya, di sisi lain keluarga dapat mendorong individu untuk mengakhiri pernikahannya (Jones, Asari, & Djuartika, 1994). Besarnya pengaruh keluarga terhadap keberlangsungan pernikahan individu terjadi karena adanya peran norma subyektif yang dimiliki individu, yang bersumber dari keluarga itu sendiri (Ajzen, 1991), dimana pada hampir semua kebudayaan lokal di Indonesia, keluarga dianggap sebagai lembaga utama yang sangat dijunjung tinggi (Suhartini, 2013). Menurut Ajzen (1991), norma subyektif merupakan penentu intensi individu untuk berperilaku, yakni ketika individu merasa orang yang relevan dalam hidupnya (di Indonesia, 119 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
umumnya keluarga) lebih menyukai ketika ia mempertahankan pernikahannya daripada mengakhirinya (Johnson dkk, 1999; Levinger, 1976), maka intensinya untuk mempertahankan pernikahannya semakin besar.
Mikrosistem – Fenomen Perilaku Negatif ‘Duda Arab’. Teori Bioekologi menyatakan bahwa pada umumnya individu dapat berinteraksi dengan lebih dari mikrosistem yang ada di sekitarnya (Bronfenbrenner, 2005). Selain berinteraksi dengan keluarga, pada level mikrosistem, para TKW di desa Dadap juga berinteraksi dengan suaminya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa migrasi istri ke luar negeri berpotensi menjadikan suami sebagai ‘Duda Arab’ yang berperilaku negatif, seperti mabuk-mabukan, ‘main perempuan’, berjudi, tidak mengasuh anak dengan benar, atau menghambur-hamburkan penghasilan yang dikirim oleh istri. Fenomen ini seringkali memicu konflik pada pasutri karena dianggap sebagai bentuk kegagalan suami dalam menjalankan peran yang diamanahkan (misalnya mengelola uang, mengasuh anak) kepadanya selama ditinggal istri ke luar negeri (Hakim, 2003). Nyatanya, perilaku negatif yang dilakukan para ‘Duda Arab’ di desa Dadap juga terjadi pada TKW di wilayah lainnya seperti baik di Indramayu (misalnya kecamatan Bongas, hasil penelitian Wazdi, 2006) atau di luar Indramayu (misalnya Tulung Agung, hasil penelitian Hakim, 2003). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gejala tersebut merupakan ‘ongkos sosial’ bagi pernikahan, yang harus dibayar dari bermigrasinya istri ke luar negeri. Yang kemudian harus diwaspadai adalah lemahnya kontrol sosial sehingga membuat seorang suami menganggap wajar melakukan hal tersebut karena hal tersebut telah banyak dilakukan oleh orang-orang lain di sekitarnya.
120 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Tabel 4.2 Context Lingkungan Berbasis Sosiokultural yang Berpotensi Memengaruhi Komitmen Pernikahan TKW di Desa Dadap Context Makrosistem
Bentuk Pengaruh
Komponen Sosiokultural
Adanya kondisi sosiokultural yang mendorong terjadinya migrasi.
Eksosistem
Peran desa yang belum berperan maksimal dalam mendamaikan pasutri yang berkonflik atau mencegah terjadinya perceraian.
Mesosistem
Konflik antara suami dengan keluarga besar istri, yang mana karena ini keluarga biasanya mendorong istri untuk mengakhiri pernikahan dengan suami.
Struktur kesempatan yang terbatas (pendidikan dan ketrampilan yang rendah, jenis pekerjaan yang terbatas). Adanya pergeseran peran pencari nafkah dalam masyrakat. Diduga dorongan menjadi TKW dipengaruhi pula oleh gaya hidup masyarakat setempat yang konsumtif, ingin cepat kaya, gemar berutang, tidak maukalah secara materi oleh orang lain.
Adanya anggapan masyarakat setempat bahwa konflik pernikahan tidak boleh diketahui oleh orang luar dan harus diselesaikan sendiri.
Konflik tersebut terjadi karena:
Mikrosistem
Perilaku suami yang negatif selama ditinggal istri bekerja di luar negeri, seperti berjudi, hamburkan uang, selingkuh, mabuk, dsb. Keluarga istri ingin menguasai penghasilan yang diperoleh istri sebagai TKW.
Adanya peran orang tua untuk mendorong pasutri mengakhiri pernikahan.
Adanya fenomen ’Duda Arab’ berperilaku negatif sebagai hal yang umum/banyak terjadi di wilayah setempat.
Adanya nilai pada masyarakat setempat, secara umum Indramayu, bahwa anak merupakan penyokong ekonomi orang tua dan anggapan bahwa anak perempuan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi daripada anak laki-laki.
Dalam budaya Timur, peran orang tua secara umum dalam pernikahan pasutri masih kuat. Adanya nilai-nilai yang masih menjunjung keluarga sehingga keluarga seringkali dijadikan norma subyektif yang menentukan intensi individu dalam berperilaku.
121 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Mikrosistem
Suami yang berperilaku negatif selama ditinggal istri bekerja di luar negeri, yang dapat memicu konflik pernikahan.
Adanya fenomen ’Duda Arab’ berperilaku negatif yang umum/banyak terjadi di desa Dadap khususnya atau wilayah lain di luar Indramayu yang merupakan basis pengiriman TKW.
BAB 5 CONTEXT LINGKUNGAN, PROXIMAL PROCESS, DAN KARAKTERISTIK PERSONAL DALAM KOMITMEN PERNIKAHAN PARTISIPAN
Bab ini akan memaparkan latar belakang partisipan, situasi sulit yang dialami, bagaimana interaksi partisipan dengan context lingkungan yang mengelilinginya (makrosistem, eksosistem, mesosistem, mikrosistem), serta proximal process dengan mikrosistem, yang didalamnya terkandung pula komponen karakteristik personal dalam komitmen penikahan TKW di desa Dadap, Indramayu. Seluruh partisipan yang menceritakan pengalamannya dalam bab ini berjumlah 11 orang, terdiri dari 5 partisipan yang masih berkomitmen terhadap pernikahannya (berkode K), 5 partisipan yang telah mengakhiri komitmen pernikahannya karena bercerai (berkode C), dan 1 partisipan yang telah bercerai dari suami pertamanya, namun setelah itu ia berhasil mempertahankan pernikahannya dengan suami kedua hingga sang suami meninggal dunia (berkode C/K). Pada partisipan yang disebut terakhir tersebut, peneliti menyertakan pengalaman dari kedua pernikahan yang pernah dijalaninya dalam analisis ini.
5.1 Latar Belakang Kehidupan Partisipan Kesebelas orang partisipan dilahirkan di desa Dadap, Indramayu, dengan orang tua merupakan warga asli setempat atau pendatang dari desa lain di sekitarnya dan kemudian menetap di sana. Sepuluh orang partisipan berasal dari keluarga dengan orang tua yang pernikahannya hingga akhir hayat. Ayah para partisipan mayoritas berprofesi sebagai nelayan (8 orang), meski ada pula yang berdagang (2 orang) dan menjadi penjaga sekolah (1 orang). Wacana mengenai seorang istri yang bekerja sudah tidak asing lagi bagi partisipan karena sejak kecil 122 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
mereka telah terbiasa melihat ibu mereka bekerja. Profesi yang ditekuni ibu mereka tersebut adalah berdagang sayur atau hasil laut, penjahit, pencuci pakaian tetangga, serta TKW. Alasan yang mendorong ibu para partisipan tersebut bekerja adalah karena ingin membantu suami mencari nafkah atau karena statusnya sebagai orang tua tunggal yang harus berperan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Sejumlah partisipan mengungkapkan, salah satu hal yang mendorongnya menjadi TKW di usia yang sangat muda (rata-rata usia 13-15 tahun) adalah karena ingin menggantikan peran ibu dalam mencari nafkah. Sepuluh dari 11 partisipan hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar (SD), sebagian ada yang tamat dan mendapatkan ijazah, sebagian terhenti sebelum tamat. Hanya satu orang partisipan saja yang sama sekali tidak menempuh pendidikan formal. Ketiadaan biaya untuk bersekolah dan keinginan untuk membantu perekonomian keluarga menjadi alasan utama mereka tidak melanjutkan pendidikan formalnya. Alasan lainnya adalah harus mengurus rumah tangga menggantikan ibu yang telah wafat atau bekerja di luar negeri. Setelah tidak lagi bersekolah sebagian besar partisipan langsung bekerja sebagai TKW di usia belasan tahun, hanya sebagian kecil (empat orang) yang sempat bekerja sebagai pedagang keliling, pembantu rumah tangga, serta buruh pabrik di dalam negeri sebelum akhirnya beralih profesi menjadi TKW atau menikah. Mayoritas partisipan memulai karirnya sebagai TKW di usia 13- 15 tahun, ketika masih lajang. Meski demikian, ada pula beberapa partisipan (tiga orang) yang baru bekerja sebagai TKW setelah menikah. Jenis pekerjaan yang dilakoni para partisipan di luar negeri tersebut adalah pembantu rumah tangga. Dengan tingkat pendidikan formal yang rendah dan tiadanya ketrampilan lain, mereka merasa tidak memiliki banyak kesempatan untuk bekerja dengan gaji yang memadai selain menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri. Banyaknya teman atau tetangga yang telah lebih dulu menuai sukses sebagai TKW semakin memotivasi mereka untuk bekerja di luar negeri. Pada mulanya niat partisipan untuk menjadi TKW tidak selalu mendapat izin dari orang tua, mengingat usia partisipan yang dianggap telalu muda. Meski tidak diizinkan, partisipan tetap bersikeras mempertahankan keinginannya untuk menjadi TKW hingga pada akhirnya berhasil membuat orang tua luluh. 123 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Masa kerja partisipan untuk setiap periode keberangkatan ke luar negeri adalah sekitar 1-2 tahun. Mereka kembali ke tanah air setelah kontrak kerja habis atau bisa juga tiba-tiba dipulangkan oleh majikan karena sakit, dianggap tidak mampu bekerja dengan baik, atau atas permintaan sendiri. Setelah kepulangannya ke tanah air, biasanya mereka beristirahat selama beberapa bulan (ada juga yang dalam hitungan tahun) sebelum kembali bekerja ke luar negeri. Penghasilan yang diperolehnya dari luar negeri digunakan untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, membayar hutang, merenovasi atau membeli rumah, membeli kendaraan bermotor, dan pengeluaran konsumtif (seperti membeli pakaian, jajan, alat elektronik). Usia para partisipan saat menikah berkisar antara 13 tahun hingga 29 tahun. Mereka yang menikah sebelum usia 18 tahun biasanya tidak menjalani fase menjadi TKW saat masih lajang. Sementara itu mereka yang menikah pada saat berusia 18 tahun atau lebih telah menjalani beberapa kali fase menjadi TKW ketika lajang. Seluruh partisipan menikah dengan pria pilihannya sendiri, yang dipilih berdasarkan ketertarikan padanya. Hanya dua orang partisipan yang sempat mendapat tentangan dari keluarga mengenai calon suami yang dipilihnya. Ketertarikan para partisipan terhadap pria yang kelak menjadi suaminya disebabkan oleh bermacam hal. Umumnya ketertarikan itu timbul karena menganggap si pria mampu melindunginya dan mencari nafkah. Meski demikian, ada
pula
yang
karena
kagum
dengan
kegigihan
sang
pria
dalam
memperjuangkannya atau karena ketampanannya. Selain karena ketertarikan dengan pasangannya, alasan lain yang membuat partisipan menikah adalah khawatir akan diolok-olok tetangga jika belum menikah juga hingga batas usia tertentu, ingin memperoleh keturunan yang dapat merawatnya di masa tua, serta ingin ada yang menafkahi, melindungi, dan mendapatkan tempat berbagi cerita. Setelah menikah, demi membantu suami mencari nafkah, para partisipan melanjutkan profesi mereka menjadi TKW. Sejumlah suami sempat merasa keberatan dengan keinginan istrinya untuk menjadi TKW. Alasan keberatan tersebut adalah mereka merasa masih mampu menafkahi partisipan atau tidak ingin berpisah dengan istri. Meski menyadari keberatan suami, partisipan tetap bersikeras dengan keinginannya karena merasa tidak ada hal lain yang dapat 124 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga (termasuk memiliki rumah) jika bukan dengan cara menjadi TKW. Sebelum terjadi peristiwa yang menggoyahkan komitmen pernikahan mereka, para partisipan menilai suami mereka secara positif. Hanya dua orang partisipan yang menilai negatif sang suami karena kegemarannya berselingkuh dan tidak menafkahi keluarga sejak awal pernikahannya. Sebagai contoh, partisipan Ningsih menilai sang suami sebagai
sosok yang meyayangi,
membahagiakan, memahami dan menafkahinya; Tarsih memandang sang suami sebagai sosok yang rajin bekerja dan menafkahinya; Irma merasa bahagia dengan perhatian yang diberikan sang suami; Desi menilai suaminya dapat dipercaya mengelola penghasilan yang dikirimnya dan mengurus rumah tangga selama ditinggal bekerja ke luar negeri; atau Karti, yang meski sang suami adalah seorang pengangguran, namun dinilai setia dan terampil mengurus anak-anak.
5.2 Situasi Sulit dalam Pernikahan yang Dialami Para Partisipan Situasi sulit dalam pernikahan yang memengaruhi keberlangsungan komitmen pernikahan para partisipan melibatkan orang-orang dalam mikrosistem mereka,
yakni
suami
dan
keluarga.
Berbagai
situasi
tersebut
adalah
perselingkuhan/menikah kembali, masalah terkait ekonomi, serta konflik antara menantu dengan mertua. Mayoritas partisipan mengalami masalah tersebut saat tengah bekerja di luar negeri atau sesaat setelah kembali dari luar negeri. Dalam penelitian ini, selain terdapat partisipan yang mengalami masalah tunggal seperti perselingkuhan/menikah kembali saja atau penyelewengan harta saja, ada pula partisipan yang mengalami masalah ganda, baik perselingkuhan/menikah kembali ataupun penyelewengan harta. Masalah terkait perselingkuhan dialami oleh Ningsih (K), Yayah (K), Desi (C), Karti (C), Lasmi (C), dan Wanti (C). Sementara itu, masalah terkait ekonomi, dalam hal ini penyelewengan harta istri oleh suami atau lalainya suami menafkahi istri, dialami oleh Tarsih (K), Desi (C), Karti (C), dan Harti (C). Adapun konflik dengan keluarga pasangan dialami oleh Irma (K) dan Ani (K). Akan halnya dengan Imas (C/K), ia merasa pernikahannya berlangsung baik-baik saja hingga tiba-tiba sang suami menceraikannya tanpa alasan yang jelas begitu ia kembali 125 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
dari luar negeri. Imas (C/K) hanya bisa menduga alasan suami menceraikannya adalah karena adanya perempuan idaman lain atau karena dirinya menolak memberikan seluruh penghasilannya kepada sang suami.
5.2.1
Masalah terkait Perselingkuhan Perselingkuhan merupakan masalah yang umum terjadi pada pasutri di
desa Dadap yang pasangannya menjadi TKW. Perselingkuhan tersebut dapat terjadi pada pasangan yang ditinggalkan di tanah air, maupun pada pasangan yang bermigrasi. Pada penelitian ini, partisipan yang mengalami kasus perselingkuhan dalam rumah tangganya adalah Yayah (K), Karti (C), Desi (C), Lasmi (C), dan Wanti (C). Perbuatan berselingkuh tersebut dilakukan oleh para suami. Pada Yayah (K), perselingkuhan yang dilakukan suami terjadi dengan seorang perempuan di desanya saat Yayah (K) masih bekerja di luar negeri. Perselingkuhan tersebut terjadi 6 bulan sebelum Yayah (K) kembali ke Indonesia. Mengetahui hal ini, Yayah merasa sakit hati. Sakit hati yang dirasakan Yayah (K) tersebut membuatnya ingin mengakhiri pernikahan. “Ya tantangannya ya kayak gitu, kemarin itu dibilang ya tergoda sama perempuan lain waktu itu, padahal waktu itu saya tinggal pulangnya aja, tinggal enam bulan”. (Yayah). “Perasaannya sakit banget, …. Rasanya itu sesak banget – Cuma karena sakit banget, jadi ya udahlah… kalau emang nasib saya kayak gini, apa boleh buat, udahlah cerai aja..”. (Yayah).
Serupa dengan Yayah (K), suami Karti berselingkuh saat Karti (C) masih berada di luar negeri. Tidak hanya sekedar berselingkuh, ia juga menikah lagi tanpa seizin Karti (C). Mengetahui suaminya telah menikah lagi, Karti (C) merasa tidak ikhlas jika harus berbagi suami dengan perempuan lain. “Nggak ikhlas aja. Misalnya kan gini ya, aku kan ingin memiliki dia seutuhnya. Nggak mau misalnya ada rezeki sedikitpun dia bagi, atau misalnya kasih sayang yang dia bagi, aku nggak mau”. (Karti).
Pada Desi (C), suami yang berselingkuh dengan temannya sendiri membuat ia merasa malu terhadap orang-orang di sekitarnya, khususnya tetangganya. Ia merasa dihina dan tidak dihargai oleh suami. “Sedangkan ya perselingkuhan itu sama temen Ibu sendiri gitu, jadi Ibu tuh kayaknya malu gitu, jadi mendingan udah (mengakhiri pernikahan) –Soalnya 126 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
tuh, kayaknya tuh, dirinya Ibu ya apa .. dihina sama suaminya Ibu tuh. Kayak nggak dihargain gitu”. (Desi).
Berbeda dengan Yayah (K), Karti (C), dan Desi (C), dimana perselingkuhan suami baru terjadi pada saat itu, pada Lasmi (C) dan Wanti (C), perselingkuhan suami telah terjadi berulang kali, ketika mereka sedang tidak menjalani pernikahan jarak jauh sekali pun. Berdasarkan cerita Lasmi (C), kebiasaan suami main perempuan, minum miras, dan berjudi ini muncul sejak suami diminta menjalankan angkutan desa milik mertuanya sehingga terlibat pergaulan dengan orang-orang di terminal. Kebiasaan suami minum miras, berjudi, serta main perempuan, membuat Lasmi (C) menangis, marah, serta bertengkar dengannya. Saat bertengkar dengan suami tersebut, ia sering pulang ke rumah orang tuanya. “Suami saya itu nakalnya pas udah punya anak … sering kumpul ama orang terminal, kan dia nyopirin (angkutan desa) punya orang tuanya. Kalau dia begitu, saya suka nangis… saya marah-marah sama dia …. Ya saya kan suka pulang ke rumah ortu karena saya nggak suka… ya sering bertengkar..”. (Lasmi).
Lasmi akhirnya memutuskan untuk mengakhiri komitmen pernikahannya ketika suami memutuskan menikah lagi secara diam-diam tanpa seizin dirinya saat ia tengah bekerja di Arab Saudi. Tindakan suaminya yang demikian membuatnya menderita, hingga akhirnya, setelah berpikir selama beberapa hari, ia mengambil tindakan untuk mengakhiri komitmen pernikahannya. “Ya memikirkannya (niat untuk bercerai) udah beberapa hari, ambil kesimpulan dulu, akhirnya ambil tindakan (menggugat cerai). Ya badannya sampe kurus, nggak doyan makan – ‘Jodoh tukar’, jadinya namanya tibanya ngelara (menderita). Disakiti terus”. (Lasmi). Sementara itu, Wanti (C) menceritakan kebiasaan suami yang gemar main perempuan hingga lupa bekerja, bahkan pernah hampir dilukai dengan clurit oleh seorang pria ketika mendekati perempuan yang telah berpasangan. “Keluar di rumah jam 9, jam 4 baru pulang, jam 4 pagi... ya main perempuan, nggak kerja.. – ya... dicelurit sama laki-laki. kena itu... kena perempuan lagi, ngerebutin satu... pulang ke Jakarta. ‘Bu saya dicelurit sama...’, saya tuh ketawa. ‘Untung kamu pulang ragae ke bawa’. (Wanti).
Masalah terkait perselingkuhan yang terjadi dalam pernikahan partisipan bukan hanya perselingkuhan pasangan yang bersifat riil, namun juga perselingkuhan yang masih berupa dugaan atau kabar burung. Hal ini terjadi pada 127 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Ningsih (K), Karti (C), dan Irma (C). Pada Ningsih (K), saat bekerja di Suriah, ia menerima kabar dari sang kakak bahwa suaminya, yang saat itu tengah merantau ke Batam, telah menikah lagi di sana. ”Waktu di Suriah itu, dia bilang, kakak saya, kan dia merantau juga suaminya di Batam, katanya, ’Suami kamu nikah lagi, Ning’. Saya bilang, ’Nggak mungkin, Kak’.(Ningsih).
Tidak hanya pada saat itu saja suami Ningsih diduga telah menikah lagi, ketika merantau ke Malaysia, ia juga pernah sulit dihubungi dan tidak pernah mengirimkan uang kepada Ningsih selama satu tahun. Atas keadaan ini, Ningsih sempat menduga suami telah menikah dengan perempuan lain dan memilih untuk mengakhiri komitmen pernikahannya jika kabar itu ternyata benar. ”.. sedangkan dia dihubunginya itu susah, waktu itu sampai 1 tahun dia tuh –dia nggak kirim duit— saya bilang, ’Kalau kamu kayak gitu, mungkin rumah tangga kita nggak dipertahankan. Mungkin di sana kamu udah punya perempuan lain... ’. (Ningsih).
Masalah rumah tangga yang dihadapi partisipan penelitian ini bukan hanya perselingkuhan suami, namun juga tuduhan berselingkuh yang dilontarkan kepada partisipan sendiri. Oleh suaminya sendiri, Karti (C) dituduh telah berselingkuh dengan seorang pria selama bekerja di Qatar. Menurut Karti, tuduhan yang dilontarkan suaminya tersebut terjadi karena sang suami terhasut oleh kabar yang dihembuskan oleh teman Karti yang memang tidak menyukai dirinya. Terlanjur percaya dengan hasutan tersebut, suami Karti (C) melakukan perusakan serta vandalisme terhadap rumah yang dibangun oleh Karti. “Nah gitulah kebodohan suami aku. Kenapa harus percaya sama ocehan orang lain. Misalnya ada yang hasut kok percaya, kan gitu”. (Karti). “Lemari itu semua tengkurep, Kasur di lantai semua dengan kapuknya kemanamana… semuanya hancurlah – Ini ditulisi “Rumah Haram”, terus katanya, “Edan Lanang” … terus kaca di sini pecah”. (Karti).
Atas perbuatan suaminya yang merusak dan melakukan vandalisme terhadap rumahnya tersebut, Karti (C) merasa tidak berharga dan merasa suami sudah tidak mencintainya lagi. Dengan kondisi yang demikian, menurut Karti lebih baik pernikahannya diakhiri saja. “Kayaknya udah nggak berharga lagi, mungkin udah nggak ada cinta. Kan gitu kan, ya udahlah lebih baik pisah aja, cerai aja”. (Karti). 128 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Sementara itu pada Irma (K), keluarga mertuanyalah yang menyebar isu dirinya berselingkuh kepada sang suami yang ketika itu tengah bekerja di Taiwan. “.. kalau gini saya keluar sama temen, terus ntar telepon ke suami, ‘Tuh istri kamu gini, ginilah’, sedangkan saya kan nggak. Jadi (mertua) ngehasut anaknya, padahal kan saya nggak ngapa-ngapain..”. (Irma).
5.2.2
Masalah terkait Finansial Masalah terkait finansial yang dapat memengaruhi komitmen pernikahan
para partisipan adalah penyelewengan terhadap penghasilan yang dikirim oleh istri, penjualan harta istri tanpa sepengetahuan istri, serta lalainya suami dalam menafkahi istri. Berbagai masalah tersebut menimpa partisipan Tarsih, Desi, dan Harti. Alih-alih menyimpannya di bank seperti pengakuannya selama ini, suami Tarsih (K) justru menghambur-hamburkan penghasilan yang dikirim Tarsih dari luar negeri. Atas perbuatan suaminya tersebut, Tarsih (K) sempat berkeinginan untuk mengakhiri komitmen pernikahannya. “Kalau dikirimin uang itu, katanya ’Udah uang kamu ada di bank’, katanya.. katanya mau buka.. apa namanya… counter – …. Suami saya ‘kan dikirimin uang malah dihambur-hamburin…” (Tarsih). “Ya sampai saya mau minta cerai kan waktu itu cuman karena uang sebanyak itu dihambur-hamburkan”. (Tarsih).
Sementara itu, suami Desi (C) menjual rumah milik Desi tanpa setahu Desi, padahal rumah itu sedang ditempati oleh anak-anak mereka. Uang hasil penjualan rumah tersebut digunakan suami untuk bersenang-senang dengan perempuan lain. Bahkan ketika anak mereka meminta uang untuk membayar biaya sekolah, suami Desi tidak memberikannya. “Rumah dijual nggak bilang sama Ibu, sedangkan rumah itu kan lagi ditempatin sama anak-anak… sedangkan itu kan bukan uang dia, uangnya Ibu… - hamburhambur gitu buat sama perempuan, kan nggak dikasihkan sama keluarga Ibu – uangnya masih ada, tapi dipegang dia (suami Desi) sendiri. Anak Ibu kan udah SMA, (minta uang) sekolah jadi nggak dikasih… sekolahnya kan putus”. (Desi).
Mengetahui perbuatan suaminya tersebut, Desi merasa marah karena materi yang dikumpulkan selama ini habis tak bersisa, tidak seperti teman-teman 129 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
lain yang dapat menyimpannya. Selain itu, Desi merasa bahwa sikapnya yang amat menghargai suami dibalas oleh suami dengan menyepelekannya. Ia ingin suami menghormati jerih payahnya dalam bekerja. “ … Ibu timbul rasa marah sama suami, kenapa sih nggak kayak teman-teman. Kan banyak yang kayak Ibu tapi kan ada buktinya, rumah bagus, uang di bank banyak … tapi kan yang didapat Ibu kan nol, semuanya habis ludes”. (Desi). “Sedangkan Ibu sangat menghargai suami, tapi suaminya …. Kayak Ibu tuh disepelekan gitu – Kalau Ibu masih kerja kan minta dihormati dikit gitu. Jadi kerjaan Ibu yang sedikit itu dimanfaatkan sama suami tuh ada manfaatnya gitu…”.(Desi).
Berbeda dengan Tarsih (K) dan Desi (C) dimana suami mereka menyelewengkan harta yang diperoleh istri, Harti (C) justru menilai sang suami melalaikan tanggung jawabnya dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Ketika Harti (C) mengingatkan, sang suami tetap tidak bertanggung jawab. Mencoba sabar, Harti (C) merasa semakin lama suaminya semakin tidak bertanggung jawab dalam menafkahi keluarga, sementara kebutuhan semakin meningkat. “… kalau aku ngomong, ‘Pak ini anak butuh ini..ini’, nah dianya tuh kayaknya nggak mau tanggung jawab gitu .. terus waktu aku omongin dianya kayak nggak mau ngalah – Waktu baru punya anak pertama aku kan sabar, tapi pas punya anak lagi, pas membutuhkan biaya besar, dianya tuh… - lama kelamaan, saya rasain sendiri, punya anak lagi malah tambah parah. Parahnya ya itu, tanggung jawabnya udah nggak ada sama sekali…. “ (Harti).
Selain penyelewengan penghasilan istri dan lalainya suami memberi nafkah, masalah terkait finansial lainnya yang dialami partisipan adalah minimnya serta tidak menentunya penghasilan yang diperoleh suami. Kondisi ini menyebabkan partisipan sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagai contoh, hal ini terjadi pada Desi (C). Sebelum Desi (C) bekerja di luar negeri, jumlah penghasilan suami tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagai seorang nelayan, suami Desi biasanya baru dapat memberikan penghasilan kepada Desi (C) setiap 3 bulan sekali. Jumlah penghasilan tersebut tidak menentu, kadang bisa mencukupi, namun kadang tidak. “… kadang-kadang sukses, tapi kan ada nggak suksesnya nelayan itu … jadi dapatnya cuma sedikit – Nggak cukup, soalnya kan dikasih uang sedikit, sampe nunggu-nunggu 3 bulan lagi”. (Desi).
Dalam keadaan tidak tercukupinya kebutuhan keluarga karena penghasilan suami yang tidak menentu tersebut, terdapat 2 jenis respon partisipan. Pertama, 130 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
partisipan menerima keadaan sepanjang suami telah menunjukkan usaha yang maksimal. Sikap menerima tersebut dianggap sebagai bentuk penghormatan pada suami yang telah berusaha menafkahi dan sebagai bentuk ketaatan seperti yang diharuskan agama. Berikut contoh kutipan dari Ningsih (K), “Karena kalau suami saya juga sudah berusaha gitu. Sudah keras-keras berusaha, ternyata rezekinya lagi kayak ini, ya mau apalagi gitu, Mbak.– ”Ya karena kita menghormati suami juga gitu, Mbak... kan dia udah berusaha dengan sekuat tenaga dia. Dia kan dari jam 10 malam pergi ke laut, sampai jam 10 pagi dia baru datang. Itu kan berarti dia sudah mati-matian. Itu kan untuk menafkahi saya dengan anak-anak saya. Saya nggak terimakasih padahal suami saya sudah lakukan, itu kan berarti saya nggak ada moralnya.... ”. (Ningsih). “Dalam agama kan diharuskan, seandainya suami benar kan kita harus taat sama suami. Apalagi kalau suami sudah benar gitu, sudah …, kalau kayak gitu (melaut dari malam hingga pagi) kan berjuang sampai mati-matian”. (Ningsih).
Jenis respon kedua yang dilakukan partisipan saat menghadapi penghasilan suami yang tidak menentu adalah kesal, bertengkar, dan ingin meminta cerai. Respon tersebut muncul ketika partisipan menilai suami tidak berusaha mengatasi keadaan. Seperti yang tercermin dalam penuturan Irma (K) dan Desi (C) berikut ini, “… kadang nggak punya uang, nggak berangkat kerja, malah seneng-seneng ama temennya…. Kan kesel! Bertengkar juga kadang kayak gitu… ya jadi kadang minta cerai….. kalau saya kesel, ya kesel.., saya bilang ‘Udahlah kalau gitu minta cerelah’. Ya udah saya kasih buku nikah itu sama dia..” (Irma). “Kalau suami Ibu nggak ngasih-ngasih uang terus … jadi ya kadang-kadang Ibu tuh ngeluhlah, ‘Kok masa sih kayak gini terus’. – Masalah, kalau pusing nggak punya uang. Kadang Ibu kan suka nyuruh suami kerja gitu, tapi perasaan suami Ibu tuh nggak terima.. ya gitu aja jadi pertengkaran”. (Desi).
5.2.3 Konflik antara Menantu dengan Mertua Permasalahan yang berupa konflik antara menantu dengan mertua terjadi pada partisipan yang bernama Irma (K) dan Ani (K). Pada Irma (K), konflik mulai terjadi saat uang kiriman suami Irma kepada Irma di ambil alih oleh mertua Irma (K). Alasan mertua mengambil alih penghasilan suami Irma adalah karena suami Irma berhutang padanya dan karena ia merasa Irma (K) akan menghabiskan seluruh penghasilan suaminya jika diberikan semua padanya. “.. uang suami saya sudah dibon sama mertua saya... setiap bulan dicangklong terus sama dia – Suami saya kan hutang sama dia… Kan gini bilangnya ‘Kalau
131 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
uang dikasihkan sama kamu semua, ntarnya habis’, iya ibu mertua bilang kayak gitu…”. (Irma).
Selain mengambil alih penghasilan suami, keluarga mertua Irma menuduh Irma berselingkuh dengan pria lain dan berupaya menghasut suami Irma dengan menceritakan hal yang tidak benar tentang Irma. Hal ini membuat Irma (K) menjadi kesal dengan keluarga suaminya. “Ya kesel gitu. Keselnya ya keluarganya tuh sama saya tuh udah ngomong nggak enak. Sedangkan saya nggak pernah ama yang namanya laki-laki.. gitu – kalau gini saya keluar sama temen, terus ntar telepon ke suami, ‘Tuh istri kamu gini, ginilah’, sedangkan saya kan nggak. Jadi (mertua) ngehasut anaknya, padahal kan saya nggak ngapa-ngapain..”. (Irma).
Sementara itu pada Ani (K), sang suami berkonflik dengan orang tua Ani saat Ani (K) tengah bekerja di luar negeri. Konflik bermula saat ayah Ani menyebarkan kabar negatif ke tetangga tentang suami Ani yang tega membiarkan istrinya bekerja di luar negeri sementara dirinya hanya berdiam di rumah. Bagi ayah Ani, tugas pencari nafkah ada di tangan suami. Merasa terhina dengan perbuatan ayah mertuanya, suami Ani lantas melampiaskan kemarahannya pada ibunda Ani. Sama-sama saling merasa terhina, hubungan antara mertua (orang tua Ani) dengan menantu (suami Ani) menjadi tegang hingga beberapa lama. Ketidakharmonisan hubungan kedua belah pihak tersebut membuat Ani (K), yang sangat menghormati ibunya, lantas mengultimatum suami agar meminta maaf pada kedua orang tuanya jika ingin pernikahan mereka terus berlanjut.
Kesimpulan. Dari pemaparan sebelumnya terlihat bahwa, baik pada kelompok partisipan yang masih berkomitmen (K) atau yang telah mengakhirinya (C), keduanya sama-sama pernah mengalami masalah terkait perselingkuhan dan finansial. Sementara itu, masalah terkait konflik antara menantu dan mertua hanya dialami oleh dua orang partisipan, yang keduanya sama-sama berasal dari kelompok partisipan yang masih mempertahankan pernikahannya (K). Bila dibandingkan dengan dua jenis masalah lainnya, tampaknya masalah terkait perselingkuhan (yang benar-benar terjadi dan bukan berupa dugaan), lebih banyak dialami oleh kelompok partisipan yang mengakhiri pernikahannya (C) yakni sebanyak 4 dari 6 orang yang ada, yang mana secara eksplisit, 132 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
perselingkuhan tersebut dinyatakan partisipan sebagai hal yang mendorong mereka mengakhiri pernikahannya. Sementara itu, dari kelompok partisipan yang masih mempertahankan pernikahannya (K), hanya satu orang saja yang mengalami perselingkuhan suami secara nyata (bukan sekedar dugaan).
5.2.4 Persepsi terhadap Jenis Masalah Pernilaian partisipan terhadap berat-ringannya masalah menentukan apakah pernikahan akan dipertahankan atau diakhiri. Ketika permasalahan dianggap ringan, maka partisipan akan mempertahankan pernikahannya. Sebaliknya, jika masalah sudah dianggap terlalu berat (dalam istilah partisipan, “keterlaluan”, “kelewatan”, “menginjak harga diri”, “sangat hebat”, “serius”, “benar-benar menyakiti”, “parah”, atau “penderitaan hidup”), maka pilihan mengakhiri komitmen pernikahan akan diambil. Berikut contoh penuturan sejumlah partisipan baik dari kelompok yang masih mempertahankan pernikahan (K) ataupun dari kelompok yang telah mengakhirinya (C), “Ya kalau menurut saya sih tergantung permasalahannya… -Ya kalau sampai nikah ya … udah keterlaluan gitu ya, lebih baik cerai gitu ya... kelewatan, udah meninjak harga diri kita …. – “ … ya kalau permasalahannya ringan ya, ya jangan sampai dilarut-larut, ya kalau masalahnya ringan, kalau salahnya nggak berat bisa diperbaikin ya ….”. (Tarsih/ K). “Kalau masalahnya sederhana sih nggak sampai segitu jauhnya cerai. Ya kalau Ibu kan cerainya sangat hebat, sangat parah…… - tapi Ibu kan kalau yang ringan-ringan aja, yang kayak biasa bertengkar masalah anak, .. ya nggak mungkin itu membuat cerai”. (Desi/ C). “ … nggak berani saya minta cerai kalau nggak ada masalah yang serius dalam rumah tangga saya..”. (Yayah/ K). ”Tapi kalau suami sudah salah, sudah salah bener-bener menyakiti kita, maksudnya dia sudah nggak sayang lagi sama kita, cuekin kita, ninggalin kita, dia nggak ngasih nafkah gitu kan.... ya, berarti kita kan nggak mau... kenapa kita nggak bercerai gitu?”. (Ningsih/ K). ”...lama kelamaan saya rasain sendiri, punya anak lagi (perilaku suami) malah tambah parah.... waktu itu cerai ama bapak kan alasannya ingin akhiri penderitaan hidup”. (Harti/ C).
Para partisipan menyebutkan, yang termasuk masalah ringan dalam pernikahan adalah masalah-masalah seperti kurangnya penghasilan suami,
133 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
pertengkaran sehari-hari tentang cara mendidik anak, atau kegemaran suami menonton film porno. Dalam pandangan partisipan, masalah yang ringan tersebut merupakan masih bisa diperbaiki dan tidak sampai membuat mereka mengakhiri komitmen pernikahan. Seorang partisipan mengatakan pertengkaran yang terjadi dari masalah yang dianggap ringan tersebut dinilai sebagai hal yang positif karena membuat masing-masing pihak menjadi tahu apa yang diinginkan pasangannya. “Ya kalau masalahnya ringan (itu seperti) kerja gitu nggak mencukupi kita…- ya kalau masalahnya ringan, kalau salahnya nggak berat, bisa diperbaikin ya”. (Tarsih/ K). “…saya tuh kalau masalah ekonomi tuh nggak begitu, apa, masa sih cerai karena masalah ekonomi, saya sih nggak begitu... jangan ah, saya nggak mau, rejeki mah pasti ada”. (Ani/ K). “ … Kalau ujian ekonomi ya masih bisa dipertahankan … kalau ujian ekonomi pikiran kita cuma pusing mikirin ekonomi, cuma hati kita masih adem, masih ada yang disenengin”. (Yayah/ K). “ … kan kalau yang ringan-ringan aja, yang kayak biasa bertengkar masalah anak, .. ya nggak mungkin itu membuat cerai”. (Desi/ C). “..Kamu kan punya isteri, amu seharusnya kan nggak liat (film porno)... Kayak gitu ada pertengkaran diselesaikan, jangan berlarut-larut kayak begini …ya, dia juga ngerti. Kalau nggak bertengkar sih nggak ngerti. karena itu kan cuma masalah kecil... Kan bisa diselesaikan dengan kita berunding, dengan mengobrol, karena suamiku kalau aku ngomong dianya kayak takut kehilangan atau gimana soalnya dia selalu nurutin apa kata-kataku”. (Karti/ C).
Sementara itu, perselingkuhan atau poligami dianggap sebagai masalah yang lebih berat karena membuat partisipan merasa terluka batinnya (dalam bahasa mereka) “sakit hati”, “tidak ikhlas”, “diremehkan”, “direndahkan”, “dicampakkan”, serta “diinjak harga dirinya” oleh suami) dan karena mereka tidak ingin membagi suami dengan perempuan lain. Partisipan cenderung lebih memilih menjalani masalah ekonomi daripada perselingkuhan suami. Sebagai contoh, Karti merasa lebih dapat menerima memiliki suami pengangguran daripada suami yang menikah lagi. Hal ini dikarenakan ketika suaminya menikah lagi, membuat Karti (C) merasa tidak ikhlas dan sakit hati jika harus berbagi suami dengan orang lain. Serupa dengan Karti (C), Yayah (K) juga lebih memilih menghadapi masalah ekonomi daripada perselingkuhan suami karena dalam 134 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
masalah ekonomi masih ada kebersamaan dengan sang suami dan tidak membuat hatinya sakit. Berikut penuturan partisipan selengkapnya, “Nggak ikhlas aja. Misalnya kan gini ya, aku kan ingin memiliki dia seutuhnya. Nggak mau misalnya ada rezeki sedikitpun dia bagi (dengan perempuan lain), atau misalnya kasih sayang yang dia bagi (dengan perempuan lain), aku nggak mau. Makanya aku juga ikhlas punya suami pengangguran, aku ikhlas nggak pernah nuntut kan… tapi ya kalau buat dibagi (dengan perempuan lain) aku nggak mau, nggak setuju”. (Karti/ C). “Kalau ujian ekonomi kan susah senang kita jalani berdua, kalau ujian kayak gitu kan (perselingkuhan) hati saya sakit.. kalau ujian ekonomi kan hati saya nggak sakit, susah bareng, … hati masih adem, masih ada yang disenengin, masih ada yang disayangin..”. (Yayah/ K).
Pada partisipan Lasmi (C), masalah yang dianggap berat adalah ketika suaminya menikah kembali. Meski suami gemar berselingkuh, namun Lasmi (C) masih bisa menoleransi selama suami tidak menikahi WIL-nya tersebut. Bagi Lasmi (C), perselingkuhan pria adalah fenomena yang sudah dianggap wajar terjadi. Adapun ketika suami menikah lagi, itu artinya suami sudah tidak bersamanya lagi. Suami yang menikah lagi membuat ia merasa, dalam bahasanya, “diremehkan, direndahkan, dan dicampakkan” oleh suaminya. Ketika pada akhirnya suami menikah lagi tanpa setahu Lasmi (C) yang ketika itu masih berada di Arab Saudi, ia memutuskan untuk mengakhiri saja pernikahannya. “Saya berpikir… ya sudahlah, selama suami saya tidak menikah lagi saya nggak akan minta cerai walopun dia main perempuan. Ya gimana ya, kalau orang laki berbuat begitu, ya tidak masalah .. di mata umum kan (pria) sudah biasa (selingkuh)… Kalau dia nyakitin, tapi masih sendiri, masih tetap pulang ke saya, tapi kalau udah punya istri kan… “Orang dimadu itu sakitlah… saya tidak ingin berbagi”. (Lasmi). “Dimadu itu ya sakit hati, kepikiran terus, karena beban pikiran. Ya aturan kan seharusnya dia pulang di sisi saya, gimana kalau di sana sama orang lain?”. (Lasmi).
Partisipan lainnya, Ani (K), menganggap perselingkuhan, lalainya suami memberi nafkah lahir – batin, dan pemukulan sebagai masalah yang berat dan lebih baik mengakhiri komitmen pernikahannya daripada bersama suami yang demikian “…. kalau menurut saya tuh kalau suami udah nggak ngasih nafkah lahir dan batin, dia selingkuh, mukul... apa gimana gitu kan, itu terlalu keras….. -punya
135 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
suami kalau selingkuh, nggak ngasih nafkah lahir dan batin, terus kalau mukul, terus buat apa?”. (Ani).
Kesimpulan. Dari pemaparan para partisipan pada kategori ini terlihat bahwa,
baik
kelompok
partisipan
yang
masih
berkomitmen
terhadap
pernikahannya (K) maupun yang telah mengakhiri (C) sama-sama beranggapan keputusan untuk mempertahankan atau mengakhiri komitmen pernikahan tergantung pada persepsi mereka terhadap jenis masalah yang dihadapi. Jika mereka merasa masalah yang dihadapi masih bersifat ringan atau masih dapat diatasi, maka mereka tetap mempertahankan pernikahannya. Sementara itu jika masalah yang dihadapi dianggap berat (menimbulkan penderitaan batin), maka mereka akan mengakhiri komitmen pernikahan. Kedua kelompok partisipan sama-sama menganggap masalah ekonomi sebagai masalah yang relatif lebih ringan (asalkan suami telah berusaha) sehingga tidak sampai membuat mereka mengakhiri komitmen pernikahannya, sementara itu, perselingkuhan yang dilakukan oleh suami merupakan masalah yang dikategorikan berat sehingga dapat membuat partisipan mengakhiri pernikahannya. 5.3 Interaksi antara Partisipan dengan Context Makrosistem 5.3.1
Menikah karena Tuntutan Sosial Nilai-nilai sosial mengenai keharusan bagi seorang perempuan untuk
menikah ketika telah menginjak usia tertentu merupakan salah satu faktor yang mendorong partisipan untuk menikah. Penyimpangan terhadap nilai-nilai tersebut akan membuat individu mendapat gunjingan dari masyarakat. Gunjingan ini membuat partisipan merasa tidak nyaman. Terkait dengan hal ini, menurut seorang partisipan adalah penting bagi individu untuk menjaga hubungan baik dengan masyarakat. “Orang perempuan kan kalau telat (nikah), umurnya bertambah-tambah kan nggak enak, juga diomongin sama orang”. (Ani/ K). “Sedangkan seandainya kita ngga punya suami kan nggak enak, jadi gunjingan orang .. -Nomer satu kan kita harus bisa nyambung sama masyarakat sini.
Kalau kita nggak nikah-nikah sampe dewasa kan jadi omongan orang juga nggak baik…“. (Ningsih/ K).
136 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Tuntutan sosial untuk menikah dirasa semakin besar ketika teman-teman sebayanya telah banyak yang menikah. Menikah dianggap sebagai sarana untuk mengatasi rasa malu yang timbul akibat pertanyaan orang-orang di sekitarnya terkait pernikahan. “Kan liat temen-temen udah pada punya suami semua gitu, jadi ya udahlah saya nikah aja … saya malu gitu… -ya malu sih kalau ditanya sama tetangga-tetangga atau temen-temen, ‘Kamu kapan sih?’ .. Jadi ya kalau ada yang mau ya udah kawin aja. Ya Alhamdulillah ada yang mau, jadi saya kawin…”. (Imas/ CK).
Kesimpulan. Individu memandang pernikahan sebagai salah satu pemenuhan tuntutan sosial dari masyarakat, yakni terkait keharusan untuk menikah bagi perempuan, khususnya dalam rentang usia tertentu. Pengabaian terhadap nilai atau kebiasaan sosial ini akan berdampak pada diterimanya sangsi sosial berupa gunjingan masyarakat, yang mana hal tersebut membuat partisipan merasa tidak nyaman.
5.3.2 Nilai tentang Anak dan Sikap Partisipan terhadapnya Oleh masyarakat desa Dadap, keberadaan anak dipandang istimewa. Anak merupakan tumpuan mereka di masa depan. Ketika usia telah menua dan tidak mampu bekerja lagi, mereka meletakkan harapan yang besar di pundak anak untuk membiayai hidupnya. “Arti seorang anak ya sangat penting bagi saya, untuk masa depan kalau tua. Mungkin nanti tua yang ngurus anak”. (Yayah/ K). “Ya kan otomatis di Dadap ini kalau anak udah gede kan pada kerja ke luar negeri. Maksudnya bisa membahagiakan orang tua gitu. Jadi kita tuhh.. anak sangat penting. Mungkin Peni gede kemana, ke Taiwan. Kita kan umur semakin tua, kan otomatis kerja udah nggak laku gitu”. (Ningsih/ K).
Anak kemudian menjadi salah satu faktor yang mendorong partisipan untuk menikah. “... untuk punya keturunan juga.. ”. (Yayah/ K). “Saya pengen punya anak.. buat saya tua, buat masa depan”. (Irma/ K).
137 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Pandangan yang menganggap anak sebagai aset ekonomi di masa depan tersebut diperoleh partisipan berdasarkan pengamatan terhadap orang-orang disekitarnya. Ningsih, misalnya. Ia mengamati kerabatnya yang dulu harus bekerja keras mencari nafkah, kini dapat hidup sejahtera di masa tuanya dengan penghasilan yang dikirim oleh anaknya dari luar negeri. Partisipan lain, Yayah, juga mengamati kebahagiaan tetangganya yang memiliki anak dengan kesuksesan ekonomi. Bagi Yayah, kesuksesan yang dicapai oleh anak akan turut berimbas pada orang tuanya. “ .. jadi lingkungan di desa sini kan kayak gitu. Kayak bibi saya aja tuh. Dulu dia itu sangat sengsara, nyari nafkah sekuat tenaga buat keluarga. Ya setelah anakanaknya gede, dia kan enak tuh sekarang. Emas banyak, rumahnya bagus, uangnya di bank banyak .. Itu kan faktor dari anak gitu, Mbak”. (Ningsih/ K). “.. dari pengalaman kita sehari-hari juga, dilihat dari tetangga, dia punya anak sukses, ibunya juga bahagia … -kalau seandainya anak saya mau menjadi anak yang baik, soleh, berguna, kan punya kerjaan yang baik, pasti orang tuanya juga akan enak. Pasti anak juga akan bantu orang tua. Mungkin balas budi karena dia juga diurus orang tua .. (Yayah/ K).
Menganggap anak sebagai tumpuan mereka di masa depan, partisipan menyadari pentingnya mengasuh dan menjaga kesejahteraan anak saat ini dengan harapan kelak anak akan membalas jasanya kepadanya. Salah satu caranya adalah dengan memperhatikan kesejahteraan anak. Perceraian orang tua hanya akan membuat anak tidak terurus dengan baik. “ … kalau nggak punya anak nanti kan orang tuanya nggak ada yang ngurus, karena dulu ngedidiknya nggak bener. Kalau udah cerai sama suami, dianya (istri) seneng sendiri, suami juga seneng sendiri, anak jadi terlunta-lunta”. (Yayah/ K).
Ningsih mengamati dari orang-orang di sekitarnya bagaimana perceraian berimbas pada terlantarnya anak. “Karena pengalaman kalau melihat orang. Kalau kita bercerai gitu, dampaknya anak kan kasihan, Mbak. Pada nggak sekolah, nggak ngaji, nggak ada yang momong. Jadi lebih baik ibu bapak masih utuh, masih ngejagain anak. Aku nggak mau cerai sama suami, kasihan sama anak … “. (Ningsih/ K).
Terkait dengan kesejahteraan anak ini, usia anak yang masih muda menjadi bahan pertimbangan Wanti (C) dan Lasmi (C) untuk tidak mengakhiri pernikahan meski suami berulangkali melakukan perbuatan yang menyakiti hatinya dengan berselingkuh. Wanti (C) terpaksa menoleransi kegemaran 138 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
suaminya berselingkuh karena khawatir tidak ada yang memberi nafkah pada anak-anaknya yang masih kecil jika ia bercerai dari suami. Selain itu, Wanti (C) juga khawatir tidak ada yang menjaga anak-anaknya ketika ia bekerja di luar negeri. Seperti penuturan Wanti berikut, “Soalnya kan waktu itu anak-anak saya masih butuh biaya, anak-anak masih kecil-kecil kabeh – Kalau saya nggak ngalah, itu anaknya makan apa?”. (Wanti). “Saya pikir-pikir itu saya waktu itu kan berangkat ke luar negeri, itu anak saya sama siapa... ?”. (Wanti).
Toleransi yang serupa dengan Wanti (C) ditunjukan oleh Lasmi (C). Lasmi (C) sempat menoleransi kegemaran berselingkuh suaminya karena mengkhawatirkan anak-anaknya yang masih kecil tumbuh dewasa tanpa sosok ayah jika ia bercerai dari suami pada saat itu. Adapun Yayah (K), ia membatalkan gugatan cerai yang diajukan terhadap suaminya di pengadilan agama begitu mengetahui dirinya tengah hamil. Alasan yang diajukan Yayah (K) ketika itu serupa dengan yang dikemukakan oleh Wanti diatas, yakni khawatir tak ada yang menafkahi dan menjaga anak jika ia bekerja di luar negeri. Partisipan lainnya, Ningsih (K), merasa kasihan pada anak jika mereka harus mengalami perceraian orang tua. Menurutnya, perceraian orang tua hanya akan membuat anak terlantar; anak menjadi tidak bersekolah dan tidak mengaji lagi. Anak tidak hanya berperan sebagai barrier perceraian, namun juga mampu meredam pertengkaran orang tua. Sebagai contoh, rasa sayang kepada anak membuat durasi pertengkaran Yayah dan suaminya berkurang bila dibandingkan dengan saat belum memiliki anak. Contoh lain, hal serupa juga dialami oleh Tarsih (K) dan Ningsih (K). Pada Ningsih, ia menjaga agar pertengkaran tidak berlangsung berlarut-larut demi menjaga suasana hati suaminya. Menurut Ningsih, suasana hati yang buruk adakalanya membuat suami malas melaut, yang pada akhirnya berimbas pada tidak terpenuhinya kebutuhan anak. Meski anak tampaknya menjadi barrier bagi sejumlah partisipan diatas, namun ternyata hal tersebut bukan merupakan penentu utama komitmen pernikahan. Bagi mereka, dalam situasi tertentu, dimana keadaan dipersepsikan sudah terlampau buruk (dalam istilah partisipan “sudah keterlaluan”, “parah”, “amburadul”), maka barrier ini tidak lagi menjadi sesuatu yang menghalangi mereka untuk mengakhiri komitmen pernikahan. Pandangan ini sama-sama dianut 139 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
oleh kelompok partisipan yang masih berkomitmen (K) maupun yang telah mengakhiri komitmen pernikahannya (C). Sebagai contoh, dalam pandangan Ningsih (K), jika nanti suaminya sudah “benar-benar menyakiti dirinya”, maka ia memilih mengakhiri komitmen pernikahannya saja. Ketika kelak dirinya harus bercerai dari suami, Ningsih tidak khawatir kedua anaknya kehilangan sosok ayah. Menurutnya, ia membebaskan sang anak untuk memilih tinggal dengan ayah atau ibunya. Sebagai orang tua, ia akan menjelaskan kepada anak bahwa perceraian yang terjadi sudah merupakan takdir Tuhan. “ … Iya, ta’ kasih tau aja, kalau dia itu bapak kamu. Terserah kamu kalau kamu mau pilih bapak kamu, silakan – …. cuma kita kasih pengarahan aja, mungkin udah takdir Ibu (perceraian ini harus terjadi)”. (Ningsih).
Yayah (K) mengatakan dalam kondisi pernikahan sudah sedemikian “amburadul”, perceraian dapat saja terjadi, yang mana menurutnya hal itu dibolehkan oleh agama. Ketika keadaan sudah terlalu menyakitkan baginya, ia memilih untuk berpisah dengan suami daripada tersiksa batin. “.. kalau memang tidak bisa dipertahankan, dalam hukum agama juga bolehkan (bercerai) – dalam kondisi ya seperti itu, rumah tangga yang amburadul”. (Yayah). “Ya kalau terlalu sering sakit hati ya walopun itu salah ya harus bercerai kayaknya, ya udah harus diakhiri aja daripada batin kita tersiksa – lebih baik pilih jalan untuk berpisah daripada menyakiti”. (Yayah).
Ketika harus terpaksa bercerai, ia bertekad dapat membahagiakan anak tanpa didampingi suami. Yayah (K) juga mempersilakan suaminya menengok anaknya kapan saja. “Ya terpaksa kalau bercerai, saya harus bisa membahagiakan anak saya sendiri tanpa ayahnya, tapi kalau ayahnya sayang ama anak, bisa juga ditengok anaknya”. (Yayah)
Lasmi (C) dan Wanti (C) yang mulanya mempertahankan pernikahan karena mempertimbangkan usia anak yang masih kecil, pada akhirnya memutuskan untuk bercerai juga. Pada Lasmi, keputusan bercerai akhirnya diambil setelah suami menikah dengan WIL-nya tersebut. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, Lasmi mencoba bertahan meski suami gemar berselingkuh asalkan suaminya tidak menikah lagi. Salah satu alasannya bertahan ketika itu adalah ia khawatir menghancurkan perasaan anak-anaknya yang masih kecil jika bercerai dengan suaminya. Meski demikian, pernikahan diam-diam yang 140 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
dilakukan suami pada saat Lasmi masih berada di Arab Saudi, membuat pertahanannya
runtuh.
Merasa
“diremehkan”,
“direndahkan”,
dan
“dicampakan” oleh suami membuatnya mengambil keputusan, yang menurut istilahnya, “nekat”, tanpa mempertimbangkan lagi kepentingan anak-anaknya. Serupa dengan pengalaman Lasmi (C), meski lelah menghadapi kegemaran suaminya main perempuan, Wanti (C) sempat bertahan dalam pernikahannya agar tetap ada yang menafkahi anak-anaknya sambil bertekad akan mengusir suami dari rumah setelah anak-anak besar. “Capek sih saya, capek, kadang capek.. ya biarin main perempuan sing penting anak-anak sudah sekolah semua. Saya, ntar kalau sudah besar, berpikirnya gitu (tertawa), sampe anak-anak sudah besar, yah saya usirin, tendang (tertawa)..”. (Wanti).
Setelah anak-anak tumbuh dewasa dan dapat mencari nafkah sendiri, Wanti (C) pun mengusir suaminya dari rumah karena sudah tidak tahan dengan kegemaran suami berselingkuh. Melihat tindakan tersebut, anak-anak, yang sudah tahu bagaimana perilaku ayahnya, diam saja. Setelah perceraian, mereka lebih memilih ikut Wanti (C) karena menilai perilaku ayahnya tidak benar. Anak-anak bahkan tidak mau memikirkan ayahnya karena hal itu hanya menyakitkan hati saja. Mereka juga tidak mau lagi bicara dengan ayahnya. “.. anak-anak udah tau sih soal bapaknya. Anak-anak udah tau, kadang-kadang orang tuh bilang ‘tuh bapak kamu tuh main perempuan di sana’. Nah (ketika bapaknya) itu diusir saya, anak-anak nggak bilang apa-apa”. (Wanti). “Anak saya, ‘ah, jangan mikirin ayah... kalo udah mikir ayah sakit bae...’ gitu bilang sama saya”. (Wanti).
Meski terdapat sejumlah partisipan yang menganggap anak sebagai barrier, sejumlah partisipan lain tidaklah demikian. Mereka adalah Harti (C), Desi (C), atau Imas (C/K). Kualitas hubungan yang rendah antara anak dengan ayahnya mendorong partisipan mengambil keputusan untuk bercerai tanpa merasa harus mempertimbangkan kesejahteraan psikologis anak. Mereka tidak khawatir keejahteraan anak menjadi terganggu karena keputuan untuk mengakhiri komitmen pernikahan yang diambilnya. Sebagai contoh, hubungan anak-anak yang tidak dekat dengan ayahnya membuat Harti (C) tidak merasa kasihan
141 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
terhadap mereka jika ia dan suaminya bercerai. Menurut Harti (C), anak-anaknya lebih dekat dengan dirinya dibanding suaminya. “… ya sebenernya juga nggak terlalu berpikir kasian anak nggak ada bapaknya, ya biasa aja, anaknya itu nggak pernah sama sekali nanya bapak sih, Mbak… malah pernah ditanya ‘Mana bapaknya?’, ‘ Nggak ada, mau sama mama aja’.. jadi insya Allah anak itu nggak bakalan kurang lah nggak ada bapaknya.. “. (Harti).
Serupa dengan anak-anak Harti (C), anak-anak Desi (C) juga memiliki perasaan yang negatif tentang ayahnya. Menurut Desi (C), mereka dendam terhadap ayahnya yang telah diam-diam menjual rumah yang tengah mereka diami. Mereka juga membenci ayahnya yang memonopoli uang hasil penjualan rumah dan tidak mau memberikan uang untuk keperluan sekolah sehingga membuat sekolahnya hampir terhenti di tengah jalan. “… anak-anak kan dendam juga sama bapaknya, kenapa rumah lagi ditempatin dijual – uangnya masih ada, tapi dipegang dia (suami Desi) sendiri. Anak Ibu kan udah SMA, sekolah jadi nggak dikasih, jadi dia kan benci, sekolahnya kan putus. Hampir putus sekolah karena bapaknya nggak perhatian sama anak gitu”. (Desi).
Selain itu, dorongan yang amat kuat untuk bercerai membuat partisipan seolah tidak memperdulikan kepentingan anak. Hal ini contohnya dialami oleh Desi. Ketika memutuskan untuk mengakhiri komitmen pernikahan, Desi (C) sendiri tidak mempertimbangkan keberadaan anak karena merasa sudah tidak kuat lagi menghadapi keadaan. Saking kuatnya keinginan untuk bercerai, ia seolah tidak memperdulikan dampaknya terhadap anak-anak. “Ibu kan nggak kuatnya karena panas, cemburu iya, karena kesal … kalau gini gitu tuh yang membuat Ibu kuat ingin mengakhiri pernikahan Ibu sampai di sini, walopun punya anak, Ibu tuh nggak peduli”. (Desi).
Contoh partisipan lainnya yang tidak menjadikan anak sebagai barriers bagi perceraian adalah Irma (K). Menurutnya, jika ia terlalu mempertimbangkan keadaan anak, maka ia tidak dapat segera mengambil keputusan cerai. Irma (K) seolah tidak khawatir sang anak akan kehilangan sosok seorang ayah karena, menurutnya, anaknya memiliki hubungan yang lebih dekat dengan neneknya (ibunda Irma) daripada ayahnya (suami Irma).
142 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
“Ya kalau kita mikir itu mah kadang kasihan, tapi kalau saya mikir itu nanti saya nggak cerai-cerai. Lagian anak saya dekat dengan neneknya, ama ibu saya..”. (Irma).
Hal lain yang membuat anak tidak dipandang sebagai barrier adalah karena saat terjadi perceraian, partisipan belum memiliki anak (seperti yang dialami Imas pada saat mengakhiri komitmen pernikahan dengan suami pertamanya).
Kesimpulan. Baik partisipan yang masih mempertahankan pernikahannya (K) maupun yang telah mengakhirinya (C) tidak memersepsikan barriers sebagai penghalang yang ajeg bagi terjadinya perceraian. Meski kedua kelompok partisipan tersebut sempat menganggap anak sebagai penghalang terjadinya perceraian, namun pada saat kualitas pernikahan sudah dianggap sedemikian buruk, maka barriers tersebut tidak lagi menjadi bahan pertimbangan saat memutuskan untuk mengakhiri pernikahan.
5.3.3 Nilai mengenai Pasutri dan Pernikahan Terdapat sejumlah nilai berbasis sosikultural yang dianut oleh partisipan dan berperan dalam pengalaman mereka berkomitmen. Secara umum, nilai-nilai tersebut terkait dengan bagaimana seharusnya pasutri berperan dan berinteraksi dalam pernikahan. Nilai-nilai inilah yang mengarahkan proximal process antara partisipan dengan suaminya. Nilai mengenai peran pasutri dalam pernikahan membentuk ekspektasi partisipan mengenai bagaimana seharusnya suami berperilaku, yang pada akhirnya ekspektasi ini memengaruhi proximal process antara partisipan dengan suaminya. Meski telah lama berperan sebagai pencari nafkah dalam keluarga, partisipan penelitian ini masih menganut sejumlah nilai peran tradisional yang bersifat patriarkat, yakni suami berperan sebagai kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah dan menyayangi keluarga, sementara istri berperan di sektor domestik dan berbakti pada suami. “Suami ya nafkahin istri… ya peran suami kayak gimanalah.. memberikan kasih sayang. Kalo peran istri ya melayani suami dengan baik, memberikan kasih sayang suami dengan baik, membuatkan masakan buat suami..”. (Tarsih/ K).
143 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
“Kalau istri ya mengurus anak, masak, kalau suami dateng ya masak, nyuciin baju dia biar dia nggak marah.. –kita sebagai istri ya harus taat, harus bener… selagi suami itu bener, nggak main perempuan”. (Ningsih/ K).
Sejauhmana suami menjalankan peran tersebut dengan baik menentukan penilaian dan interaksi partisipan terhadap sang suami. Lalainya suami dalam menjalankan perannya dapat menimbulkan ketidakpuasan pernikahan pada istri. Ketidakpuasan ini pada akhirnya mendorong partisipan untuk mengakhiri pernikahan. Berikut pengalaman salah seorang partisipan yang bernama Harti (C), “Ya udah, Pak, cerai aja kalau nggak bisa cari nafkah. Udah gitu sifatnya kan nggak tanggung jawab. Ya bagi aku rasanya rumah tangga sama bapak itu, udah materi nggak dicukupi, kurang begitu harmonis, malah bikin sengsara ..”. (Harti).
Di lain pihak, suami yang dinilai cakap menjalankan perannya mendorong istri untuk memberikan penilaian yang positif terhadapnya. Dengan penilaian yang demikian, istri terdorong untuk memercayai suami dalam situasi yang ambigu. “… tapi Alhamdulillah, dia nggak kayak temennya gitu, yang kalau pulang matanya merah, uangnya nggak dikasih sama istri, malah disebar ke pengamen dangdutan. Suami saya nggak. Uangnya udah pada di amplop, bener. Pulang pergi ke rumah untuk bahagiain istri. Jadi, aku jadi percayanya kayak gitu..”. (Ningsih/ K).
Nilai lain yang juga berperan dalam proximal process antara partisipan dengan suami terkait dengan bagaimana seharusnya seorang istri menyikapi penghasilan yang diperoleh suami. Para partisipan menganggap seorang istri harus menerima dengan ikhlas dan menghargai berapa pun jumlah nafkah yang diberikan suami kepadanya, terutama ketika suami telah menunjukkan adanya upaya yang keras. Yang terpenting bagi mereka bukanlah jumlah penghasilan yang diperoleh suami, namun itikad suami untuk menafkahi dan membahagiakan keluarganya. Penghasilan yang diperoleh suami dianggap sebagai rezeki Tuhan yang harus disyukuri dan diterima. ”Karena kalau suami saya juga sudah berusaha gitu. Sudah keras-keras berusaha, ternyata rezekinya lagi kayak gini, ya mau apalagi, gitu, mbak... -Ya karena kita menghormati suami juga gitu, Mbak... kan dia udah berusaha dengan sekuat tenaga dia... -ya Allah sudah beri kita rezeki, Mbak. Ya Alhamdulillah kan ada aja, walopun kita ngutang, kalo dikasih kan itu rezeki saya gitu .. -Masa kita harus gimana gitu, ini hari lagi susah, kita harus terima gitu. Kalo besok kita lagi seneng, ya kita Alhamdulillah gitu. Terima apa adanya gitu…-ya kita jadi perempuan memang harus ikhlas gitu”. (Ningsih/ K). 144 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Sikap nrima dan ikhlas terhadap penghasilan suami yang dimiliki partisipan ini merupakan salah satu nilai dan kepatutan yang diajarkan sejak kecil kepada perempuan oleh masyarakat setempat, tidak hanya di desa Dadap namun juga di wilayah lain yang menganut budaya Jawa. Sebagai contoh, hasil penelitian Prananta (2010) terhadap masyarakat nelayan di desa Sukolilo Barat, Bangkalan, Madura, menunjukan tetua masyarakat berkeyakinan bahwa perempuan sudah sepatutnya ‘makan hasil keringat’ pria; jika penghasilan suami atau ayah kurang mencukupi, perempuan harus nrima. Penyampaian nilai tersebut dilakukan melalui kalimat yang sering diucapkan oleh tetua perempuan terhadap generasi perempuan yang lebih muda yakni ‘Wadon iku enak-enak manut wong lanang’ (terjemahan bebas: perempuan itu paling enak kalau mengikuti apa kata pria). Dengan adanya pandangan yang demikian, kiranya masalah ekonomi dapat dikatakan tidak menjadi hal yang dapat memengaruhi komitmen pernikahan partisipan, dengan ketentuan suami telah bersungguh-sungguh menjalankan peran sebagai pencari nafkah yang disematkan padanya. Bahwa masalah ekonomi tidak memengaruhi komitmen pernikahan juga terkait dengan adanya nilai mengenai tidak patutnya pasutri bertengkar hanya karena masalah uang. “Ya nggak pantes gitu, Mbak.. kita orangnya otaknya masih sehat gitu, malu nanti diomongin sama tetangga, kalo ada duit diem-diem aja, kalo nggak ada duit cekcok... kan di sini kadang kayak gitu, Mbak … -Nggak ada duit kita berantem ama suami,kan itu nggak pantes… dilihat sama tetangga nanti juga gimana gitu …”. (Ningsih/ K).
Bertolak belakang dengan fenomen rendahnya komitmen pernikahan pada masyarakat Indramayu, partisipan menganut nilai yang mencerminkan adanya keharusan untuk menjaga kontinuitas pernikahan. Sebagai contoh, Yayah (K) beranggapan bahwa pernikahan itu ibarat “ikrar yang wajib ditepati” dan oleh sebab itu baginya perceraian merupakan “dosa” karena “melanggar ikrar” tersebut. Contoh lainnya, Tarsih (K) dan Ningsih (K) berpendapat “pernikahan itu harus dijalani sungguh-sungguh hingga akhir hayat”. Meski menganut sejumlah nilai yang mendukung komitmen pernikahan tersebut, namun pada kondisi tertentu, nilai-nilai itu tidak berlaku. Mereka tidak lagi memandang nilai-nilai tersebut sebagai barriers ketika kualitas pernikahan dianggap sudah terlalu buruk 145 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
dan rasa sakit hati sudah sangat besar (dalam istilah mereka, “keterlaluan”, “sangat rumit”, “sangat sulit”, atau “parah”). Hal ini tercermin dalam bagaimana cara mereka, yang seakan ‘merasionalisasi’ perceraian dengan mengatakan bahwa agama memperbolehkan terjadinya hal tersebut ketika suami lalai bertanggung jawab terhadap istri atau menyakiti hati istri. Hal ini bersumber dari sejumlah nilai-nilai agama yang diyakini oleh partisipan mengenai bagaimana pasutri harus bersikap satu sama lain. Sebagai contoh, adanya nilai agama mengenai keharusan istri untuk berbakti kepada suami selama suaminya berada di jalan yang benar atau tentang diperbolehkannya istri menggugat cerai ketika suami tidak menjalankan kewajibannya dengan baik. Nilai-nilai tersebutlah yang membuat partisipan merasa mengakhiri komitmen pernikahan sebagai hal yang diperbolehkan dan dimaklumi secara agama. “…. Seorang istri itu bakti pada suami, ya harus nurut sama suami selagi suami bertanggung jawab. Suami itu imam istri. Ya, kalo nggak bertanggung jawab, kita minta cerai nggak dosa. Itu kata mamah Dedeh (penceramah agama di TV)…. Kalau suaminya bener, istrinya (minta) cerai, nah itu baru ngelanggar agama”. (Lasmi/ C). “Ya kalo menurut Ustadz sih nggak dosa (seorang istri meminta cerai dari suami).. nggak dinafkahin 6 bulan”. (Irma/ K). “… Soalnya kesalahan kan bukan dari pihak Ibu, kesalahan dari pihak suami. … soalnya kan keterlaluan suaminya. Jadi kalo menurut agama itu juga ya samasamalah, nggak ada dosanya gitu.”. (Desi/ C).
Kesimpulan. Terdapat sejumlah nilai berbasis sosiokultural mengenai bagaimana seharusnya pasutri berinteraksi dan berperan yang pada akhirnya memengaruhi proses pengambilan keputusan untuk tetap berkomitmen atau mengakhiri komitmen pernikahan. 5.3.4 Komitmen Pernikahan sebagai Takdir Tuhan Ketika pada akhirnya komitmen pernikahan berhasil dipertahankan atau justru diakhiri, partisipan menganggap hal tersebut sebagai takdir Tuhan yang telah ditetapkan padanya. Bagi partisipan, padanan kata lain untuk takdir adalah “jodoh”, “nasib”, atau “kehendak Tuhan”. Sebagai contoh, Yayah (K) menilai ada campur tangan Yang Maha Kuasa dalam keberlanjutan pernikahannya. Keberhasilannya dalam menghadapi situasi sulit pada pernikahannya diyakininya sebagai bagian dari takdir. Contoh lainnya, hal serupa juga diyakini Tarsih (K). 146 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Sempat berpikir untuk bercerai, Tarsih (K) ternyata tetap mempertahankan pernikahannya hingga kini karena ada faktor “jodoh”. Berikut kutipannya, “Jadi ya kalau Tuhan masih menghendaki dia jadi jodoh saya, kita nggak bakal pisah”… -Kalau saya nggak jodoh sama suami saya, pasti saya nggak bisa lewatin (situasi sulit ini)”.(Yayah). “Waktu itu mau minta cerai, ternyata masih jodoh..”. (Tarsih).
Tidak hanya keberlanjutan pernikahan saja yang dianggap sebagai bagian dari takdir, berakhirnya komitmen pernikahan pun dianggapnya demikian, seperti – salah satunya— anggapan Imas (C/K), yang tercermin dalam kalimat berikut ini, “Mungkin udah takdirnya jodoh saya sampe segini”. (Imas).
Bagi kelompok partisipan yang mengakhiri komitmen pernikahannya (C), penilaian bahwa perceraian merupakan bagian dari takdir Tuhan mengandung adanya kepasrahan terhadap kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan mereka semula yang menginginkan pernikahan yang langgeng. Mereka hanya dapat mengembangkan sikap menerima ketika kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, seperti yang tercermin dalam ucapan sejumlah partisipan berikut ini, “Maunya sih sehidup semati, tapi apa boleh buat (bercerai), mungkin udah nasib Ibu”. (Desi/ C). “Ya kalau bisa jangan sampe cerai, tapi harus gimana lagi kalau ditakdirkan kayak gitu”. (Karti/ C). “Penginnya sih perkawinan itu berbahagia, damai, rukun, tapi berhubung begini (bercerai) ya apa boleh buat”. (Lasmi/ C).
Bagi para partisipan, takdir bukan hanya menyangkut komitmen pernikahan saja, namun juga dapat terjadi pada aspek hidup lainnya. Imas, misalnya, ketika suami berhenti bekerja begitu saja, ia hanya bisa menerima keadaan dan menganggap hal tersebut sebagai “nasib”nya. Demikian pula halnya dengan Karti. Pertukaran peran yang dilakukan dengan suami (dimana suami tidak kerja dan hanya mengurus anak di rumah, sementara Karti yang mencari nafkah) dianggapnya keadaan yang telah ditakdirkanTuhan atas hidupnya.
147 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Kesimpulan. Kedua kelompok partisipan sama-sama menganggap keberlangsungan atau berakhirnya pernikahan, yang menjadi keputusan yang dipilihnya, sudah menjadi ketetapan dan kehendak Tuhan atas hidupnya.
5.4 Interaksi antara Partisipan dengan Context Eksosistem Peran komponen eksosistem dalam keberlangsungan pernikahan partisipan adalah dengan menjadi faktor yang memfasilitasi dan memudahkan partisipan untuk bekerja di luar negeri. Peran ini dijalankan oleh lembaga-lembaga yang terkait dengan pemberangkatan TKW ke luar negeri. Tidak seperti calon buruh migran pria yang diharuskan membayar sejumlah biaya, kemudahan bagi para calon TKW tersebut muncul dalam bentuk pembebasan biaya administrasi dan biaya keberangkatan ke luar negeri. Bekerjanya partisipan di luar negeri inilah yang membuat mereka harus menjalani pernikahan jarak jauh dengan suaminya, dimana kondisi ini memicu timbulnya sejumlah konflik yang pada akhirnya memengaruhi komitmen pernikahan. “Kalau laki-laki kan besar biayanya kalau ke luar negeri. Kalau perempuan lan nggak bayar, apalagi sekarang dapat uang dari PT”. (Tarsih/ K). “… Suami Ibu kan masih kekurangan gitu, jadi kalau Ibu (bekerja) ke luar (negeri) sana, mendingan, bisa beli ini itu. Ya kalau suami kan apa… ya sulitlah, kalau laki-laki modalnya harus banyak… nggak kayak perempuan… -Kalau lakilaki kan susah, nggakkayak perempuan, cepet (diberangkatkan). Terus kan (lakilaki) pake modalnya banyak. Orang perempuan kan bisa ke sana nggak pake modal, soalnya dari sponsor gitu”. (Desi/ C).
Hal lain yang membuat partisipan tertarik untuk bekerja di luar negeri adalah minimnya kualifikasi yang diperlukan dan jumlah penghasilan yang lebih besar bila dibandingkan di dalam negeri. Rendahnya pendidikan formal yang dijalani partisipan, membuat kesempatan kerja di dalam negeri terbatas bagi mereka. Jenis profesi yang dilakoni mereka sebagai TKW umumnya adalah pembantu rumah tangga, yang mana persyaratan yang diperlukan hanyalah fotokopi KTP dan bukan ijazah pendidikan formal. Selain itu, daya tarik lainnya dari profesi TKW ini adalah penghasilan yang bisa mencapai jutaan rupiah, bukan sekedar ratusan ribu seperti penghasilan dari pekerjaan sejenis pada umumnya di Jakarta.
148 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
“Kalau di Jakarta kan pake ijazah. Kan (saya) nggak punya (ijazah) apa-apa, makanya kalau ke Saudi nggak repot gitu persyaratannya, gampang, kayak KTP. Kalau di Jakarta (penghasilannya) nggak sebesar kayak di luar negeri. Kalau di Jakarta kan Cuma 800, kalau di luar negeri kan sampe jutaan. Ya kalau yang punya ijazah enak di pabrik, tapi kalau nggak punya ya udah ke luar negeri aja (jadi TKW)”. (Tarsih/ K).
Komponen eksosistem lain yang muncul dalam dinamika pernikahan partisipan adalah peran lebe setempat (perangkat desa bidang rohani dan pernikahan). Bagaimana anggapan partisipan terhadap fungsi lebe menentukan apakah partisipan akan menganggap lebe sebagai penasehat pernikahan yang pada akhirnya mengembalikan keharmonisan suami istri atau tidak. Anggapan yang keliru mengenai fungsi lebe (hanya dipandang sebagai prosedur untuk melaporkan perceraian sebelum ke Pengadilan Agama) membuat partisipan tidak memandang lebe sebagai pihak yang dapat membantu menyelesaikan masalah pernikahannya. Sebaliknya, ketika partisipan memandang lebe sebagai pihak yang dapat membantu menyelesaikan konflik pernikahannya, maka ia akan meminta saran dari lebe dan menurutinya. Menurut kuwu desa, selama ini lebe memang belum dapat menjalankan peran mediasi dan pembinaan pernikahan secara maksimal karena adanya anggapan bahwa masalah pernikahan merupakan masalah domestik.
Kesimpulan. Komponen eksosistem muncul dalam bentuk faktor yang memudahkan partisipan ke luar negeri, melalui sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh PJTKI terkait prosedur keberangkatan maupun kebijakan negara tujuan terkait jumlah penghasilan yang diterima oleh TKW. Selain itu, komponen eksosistem lainnya yang muncul adalah perangkat desa yang bertugas menangani masalah keagamaan dan pernikahan atau disebut lebe.
5.5 Interaksi antara Partisipan dengan Context Mesosistem Context mesosistem yang muncul dalam keberlangsungan pernikahan partisipan adalah interaksi yang negatif antara keluarga besar partisipan dengan suami, yang mana keduanya adalah merupakan mikrosistem partisipan. Bentuk interaksi ini umumnya adalah ketidaksukaan keluarga besar terhadap suami 149 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
partisipan yang dianggapnya tidak menjalankan peran sebagai seorang suami dengan baik. Ketidaksukaan keluarga tersebut tidak diekspresikan secara langsung kepada orang yang bersangkutan, namun dalam bentuk menggunjingkan di belakang atau meminta partisipan untuk mengakhiri pernikahannya. “ … hanya ayah saya yang nggak terima kalo anaknya yang kerja gitu. Itu kan tugas suami. Ayah saya tuh nggak terima kalo saya kerja gitu, dia tuh pengen perempuan tuh di rumah dan dia (suami) laki-laki yang pergi gitu. .. Ayah saya tuh orangnya gimana ya nggak berani katakan sama dia. Jadi ngomongnya sama tetangga. Jadi kalo tetangga itu kan nggak nyimpen rahasia, terus dibilangin sama suami saya, gitu..”. (Ani/ K). “Kan suka ngomongin dia ke aku, katanya ‘kamu tuh ya nasib dari dulu kamu nggak enak aja, kerja... terus, jadi TKW. Eh pas punya suami kerja, kerja lagi di sini. Kapan kamu enaknya? Kapan kamu duduk diem di rumah? Nggak kerja, kapan? Kamu tuh susah terus dari dulu...’ terus aku Cuma diem, itu kan kenyataannya. Pada ngomel aku cuma diem... ‘punya suami...’ katanya ‘nggak tanggung jawab...’ kan gitu... gitu... kan. Ya aku Cuma diem aja”. (Karti/ C).
Ketidaksukaan keluarga besar terhadap suami partisipan bukan hanya disebabkan oleh adanya persepsi tentang kelalaian suami dalam menjalankan perannya, namun juga karena adanya motif ingin menguasai penghasilan yang diperoleh partisipan dari luar negeri. “… karena mungkin dia (kakak) juga butuh duit. Tapi dalam pikiran aku, kenapa harus kayak gitu? Terus terang aja kalau butuh duit. Nggak usah menghasut yang ini, ini. Itukan menjelek-jelekkan suami gitu”. (Ningsih/ K).
Adanya konflik di level mesosistem ini menimbulkan dilema bagi partisipan. Di satu sisi, mereka tidak dapat menerima perlakuan keluarga besarnya kepada suaminya, namun di sisi lain adanya hubungan keluarga membuat mereka tidak dapat bersikap keras terhadap mereka. Karti (C) dan Ningsih (K) merupakan contoh partisipan yang mengalami hal ini. “… Ada sakitnya di hati. Emang suami aku nggak kerja. – aku kan misalnya kalo ada yang jelek-jelekin suami aku kan nggak terima gitu loh... aku misalkan ‘suami kamu tuh gini.. gini..’ aku kan nggak mau ada yang gituin, ada yang ngatain jelekjelek tentang suami kan aku nggak mau... - “Iya, jadinya akunya kan sakit, tapi ya harus apa, itu kan yang ngomong juga saudara. Aku juga nggak mau ribut sama saudara..”. (Karti/ C). “Ya kan rada bingung juga, Mbak… aku kan adik gitu, nggak mau melawan sama kakak. Sempet nggak ngomong sampe lama … Kenapa benci ama suami saya? Sempet tuh ya aku kesal, sampai marah gitu …. Sudah, aku nggak ngomong. Aku memang iya cinta sama suami, tapi sebenernya aku juga cinta sama kakak, nggak mungkin aku keras”. (Ningsih/ K).
150 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Menghadapi sikap keluarga yang demikian, partisipan tidak serta merta terpengaruh dan mengakhiri pernikahan. Mereka tidak memperdulikan komentar orang lain selama mereka sendiri masih merasa nyaman menjalani pernikahannya dengan suami. “Nggak perduli gitu. Biarin, bodo amat gitu. Yang penting aku yang menikmati, aku happy terserah mau bilang apa”. (Karti/ C). “Bodo amat gitu (sama) omongan orang. Aku yang nanggung, aku yang merasakan rumah tangga, bukan mereka gitu. Seandainya kita tertekan gitu atau nggak nyaman menjalani rumah tangga, kan kita sendiri yang tertekan, ngapain kita takut mengakhiri pernikahan?” (Ningsih/ K).
Hal lain yang membuat partisipan tidak terpengaruh oleh komentar negatif atau hasutan keluarga tentang suaminya adalah karena mereka memiliki penilaian yang positif terhadap suami. Sebagai contoh, meski tidak bekerja, Karti (C) menilai suaminya terampil merawat anak-anak dibandingkan dirinya. Mereka juga saling berbagi tugas, dimana Karti (C) bertugas mencari nafkah, sementara suami mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan domestik. Pembagian tugas ini berlangsung tanpa adanya keluhan, mereka saling membantu dan bekerja sama demi anak-anak. “Itu, suamiku pinter ngerawat anak-anak ..Terus gitu juga kan, suami ku kan gak suka keluar rumah dulu .. jadi lebih deket ama anak-anak… Seperti kita kerja sama, udah kewajiban kita sama-sama gitu. Jadikan dia punya tanggung jawab, aku juga punya tanggung jawab gitu. Jadi udah sewajarnya gitu kan.”. (Karti).
Pada Ningsih (K), penilaian yang positif terhadap suami di masa lalu membuatnya tidak serta merta memercayai hasutan sang kakak. Ia memilih untuk menelusuri terlebih dahulu kebenaran kabar tersebut. Upaya yang dilakukannya itu akhirnya berhasil membuat relasi pernikahannya tetap utuh. ”Saya ngomong sama kakak saya, ’Aku nggak mau ngomong minta cere, sebelum aku bisa mendapatkan mana yang benar, mana yang salah’, saya bilang gitu.”. (Ningsih). ”Ya karena nomer satu, aku tuh masih sayang sama suami, masih kangen gitu ya. Ya masih cinta... Kalo dia benar-benar punya istri kan, nggak tentu ngebel satu minggu sekali gitu... sampai nggak ada sinyal itu dia nelepon, saya dia berkorban naik-naik gunung sana. ’Demi Allah saya nggak bohong’, katanya, ’Saya sampai naik gunung untuk mencari suara kamu’ .. -Jadi aku pikir, seandainya dia nggak... nggak sayang ama aku, nyakitin aku, kenapa dia mau berkorban seperti itu gitu.. -karena dia bisa gimana gitu....jaga saya sama anakanak saya gitu. Bisa kayak payung... bisa ngelindungin kita dari apapun gitu. Makanya, saya berat sama suami gitu. Walaupun dia bilang di sana banyak 151 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
perempuan yang lebih cantik dari saya, ’Tapi aku nggak bakal..’, dia bilang, ’..ninggalin kamu.. udah, ini keluarga saya, saya harus menjaganya sampe kita sama-sama tua’....” (Ningsih).
Setelah suami tak terbukti menikah lagi, Ningsih (K) akhirnya menganggap kabar tersebut hanya merupakan upaya kakak yang ingin memisahkan ia dan sang suami demi alasan materi. ”Kata tetangga-tetangga sini, yang kasihan sama saya itu, bahwa ‘Itu kesalahan kakak kamu’, katanya. ‘Dia itu cuma pengen membubarkan rumah tangga kamu’, katanya. – Padahal itu kesalahan kakak saya, pengen duit saya juga waktu itu”. (Ningsih).
Kesimpulan. Konflik mesosistem muncul dalam bentuk ketidaksukaan keluarga terhadap suami partisipan. Konflik ini tidak terlalu berpengaruh terhadap interaksi antara suami dengan partisipan.
5.6 Interaksi dengan Context Mikrosistem Context Mikrosistem yang muncul dan berpotensi memengaruhi komitmen pernikahan partisipan adalah keluarga besar, teman/tetangga, dan suami (pembahasan mengenai suami akan diuraikan tersendiri di sub bab 5.7).
5.6.1
Motivasi menjadi TKW Mayoritas partisipan memulai karirnya sebagai TKW saat masih lajang.
Dalam masa ini, keluarga besar, teman sebaya atau tetangga menjadi faktor yang mula-mula ‘menginspirasi’ partisipan untuk bekerja ke luar negeri. Pengalaman pertama kali menjadi TKW inilah yang kemudian menjadi cikal bakal pengalaman-pengalaman selanjutnya, termasuk setelah partisipan menikah. Setelah berkeluarga, bekerjanya partisipan ke luar negeri membawa konsekuensi tertentu dalam rumah tangganya, yakni mereka harus menjalani pernikahan jarak jauh dengan suami. Pernikahan jarak jauh inilah yang memicu timbulnya konflik dalam pernikahan partisipan. Ingin membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan keluarga menjadi motivasi mayoritas partisipan penelitian ini untuk menjadi TKW. Mengamati 152 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
aktivitas orang tuanya sejak dirinya kanak-kanak, partisipan merasa kasihan terhadap mereka yang dinilainya telah bekerja keras dalam mencari nafkah. “Ya kasihan gitu, Mbak.... kita pengen punya cita-cita, kan kita (sebagai) anak lihat bahwa ibu kita banting tulang menafkahi kita gitu, kita kan kasihan jadinya…” (Ningsih/ K). “Ya karena itu… membantu orang tua. Karena orang tua sering susah kan, Cuma jualan es doing, padahal kan anaknya banyak. Ya niatnya emang pengen bantu orang tua”. (Yayah/ K).
Pada sejumlah partisipan, rasa kasihan ini tidak hanya mendorong mereka melakoni pekerjaan sebagai TKW saja, namun juga berhenti sekolah. “Ya kasian (terhadap orang tua). Apalagi kan buat makan aja waktu itu harus nunggu bapak datang. Kadang-kadang hari ini bisa makan, besok belum tentu ada. Makanya semangatnya aku (kerja jadi TKW) kayak gitu..Gimana mau ngelanjutin sekolah, buat beban, pikirnya gitu…” …” (Harti/ C). “Ya saya kan kepengen ini nih… kepengen bantu orang tua. Kan rumahnya (orang tua) kayak apa (jelek) gitu kan.. - saya kalau inget Ibu saya jadi buruh cuci itu susah banget hidupnya. Nah terus kata orang tua itu kann, ‘Ah perempuan, sekolah tinggi-tinggi juga tetep aja di dapur’…. Setelah saya pikirpikir lagi, ‘Iya, nanti punya suami tetep aja di dapur’, gitu…” (Tarsih/ K).
Dalam keluarga besar partisipan sendiri, fenomen perempuan bekerja merupakan hal yang dianggap biasa. Mayoritas partisipan memiliki seorang ibu yang juga bekerja, yang membantu suami dalam mencari nafkah. Beberapa diantaranya bahkan sang ibu menjadi pencari nafkah tunggal setelah suaminya meninggal atau karena suami memang malas bekerja. Umumnya, jenis pekerjaan yang dilakoni oleh ibu para partisipan ini adalah menjadi tukang cuci, ‘bakul’ ikan (berjualan ikan hasil tangkapan nelayan), TKW, pedagang sayur di pasar, atau tukang jahit. Partisipan bernama Desi (C) menyadari betul bagaimana sang Ibu membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Adanya kesadaran ini membuat Desi (C) bertekad untuk membantu meringankan beban sang Ibu setelah ia bekerja. “Emak tuh kalau nggak ada bapak (bapak melaut hingga ke luar Indramayu) sering bekerja keras gitu. Ya kalau lagi banyak jahitan, saya yang bantu-bantu ngejahit sama kakak…. –Merasa kasihan gitu soalnya emak tuh banting tulang dari dulu. Namanya juga ibu sama anak. Di batin saya kalau sudah kerja ya mungkin mau bantu-bantu Emak. Kata Emak (menirukan ucapan ibunya), ‘Kalau Emak nggak kerja, kamu nggak makan, nggak jajan. Selagi masih muda, masih mampu kerja, kerjalah’. (Desi/ C).
153 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Selain ingin membantu orang tua, keberhasilan tetangga dan teman memperoleh materi dari hasil bekerja di luar negeri membuat partisipan ingin mengikuti jejak mereka menjadi TKW. Perolehan materi yang terlihat nyata adalah keberhasilan orang-orang di sekitarnya tersebut dalam memiliki tempat tinggal sendiri. “Hehehe… ya kan pulang dari Saudi kan bikin rumah gitu. Bagus kan. Saya kan cita-citanya, rumah saya ini jelek, saya kepingin gitu kayak orang itu, kayak tetangga gitu kann…”. (Tarsih/ K). “.. aku itu pengen kayak temen-temen itu, berangkat itu … pengen punya rumah sendiri..”. (Harti/ C).
Berikutnya, motivasi keberangkatan partisipan bukan hanya karena ingin mendapatkan materi seperti orang-orang di sekitarnya saja, namun juga rasa kebersamaan dengan teman. Sebagai contoh, banyaknya jumlah teman satu desa yang berangkat semakin menguatkan motivasi Harti (C) bekerja di luar negeri. Contoh lain, rasa sepi berada di desa akibat banyaknya teman sepermainan yang belum kembali dari luar negeri membuat Irma (K), yang ketika itu baru saja tiba dari Kuwait, memutuskan untuk segera bekerja kembali ke luar negeri. “Waktu itu kan sekonco-konco…. Kan kalau orang Dadap kan kebanyakan semuanya tuh pada pergi, Mbak. Sama temen-temen sekolah juga ada gitu, Mbak. Terus dari desa Dadap juga banyak, orang sampe sepuluh orang, banyak. ‘Ya yuk!! kalau pengen cari pengalaman!’… katanya gitu. Kebetulan aku juga kan ada minat (jadi TKW). Jadi nggak ada dorongan orang tua sih sebenernya..” (Harti). “Waktu saya pulang dari Kuwait itu ternyata temen-temen belum pada pulang .. rasanya sepi.. nggak ada orang yang bisa diajak main… akhirnya nggak lama saya berangkat lagi”. (Irma).
Kesimpulan. Bekerjanya partisipan menjadi TKW dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya seperti keluarga dan teman. Ketika mereka lajang, membantu orang tua yang dinilai telah bekerja keras demi anak-anaknya merupakan motivasi utama partisipan untuk bekerja di luar negeri. Selanjutnya, motivasi lain timbul dari keinginan mereka untuk mengikuti keberhasilan teman atau tetangga dalam memperoleh sejumlah materi. 5.6.2
Pengalaman Pernikahan Orang Tua
154 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Bagaimana pengalaman orang tua dalam menjalani pernikahan menjadi pedoman bagi partisipan dalam berperilaku atau bersikap terhadap pernikahannya sendiri. Pengalaman orang tua yang dinilai pahit oleh partisipan membuat mereka bertekad untuk tidak melakukan hal yang serupa. Sebagai contoh, sikap ibu yang dinilai menerima dengan pasrah perilaku suami yang pemarah dan malas bekerja membuat Ningsih (K) tidak mau bersikap yang sama jika mengalami hal serupa. Menurut Ningsih, sikap yang demikian hanya akan membuat diri sendiri menderita. “Emak saya tuh orangnya nurut apa yang dikatakan suaminya… kalau bapak saya butuh apa, uang, rokok, semua dikasih. Nggak pernah dia tuh pemarah orangnya. Nggak pernah membangkang suami. Walaupun punya suami kayak gitu, dia terima apa adanya… Kalau saya mah nggak. Jangan samain saya sama Ibu saya. Kalau Ibu bisa nerima kayak gitu, kerja keras diperbudak sama bapak, kalau aku mah nggak. Mendingan aku nggak punya suami. Kalau kita punya suami, kita kerja keras sementara suami Cuma liatin kita, ngapain kita punya suami. Apalagi kalau udah marah sampe nampar gitu. Walaupun dulu aku masih kecil, aku bisa geliatin, bisa mikir nanti kalau udah besar saya nggak bakalan niru sifat Ibu yang kayak gitu karena nggak baik nyiksa diri sendiri. Ya masa dia punya suami tertekan batin kayak begitu?” (Ningsih).
Berbeda dengan ibunya yang dinilainya sabar dan ikhlas menjalani pernikahan dengan sang ayah, Ningsih (K) justru menyesali mengapa sang ibu mau bertahan dengan ayahnya. Ia marah, dan sedih memiliki seorang ayah yang dinilainya tidak dapat menjadi panutan. Menurutnya, ia tidak akan dapat bersikap sabar seperti ibunya jika mengalami situasi serupa. “Ya penyesalan … penyesalan gitu. Kenapa Ibu saya mau sama Bapak? Kasihan kalau ngeliat rumah tangga Ibu saya dulu tuh. Kalau (Bapak) marah, gampang tuh tangan naik ke muka (menampar). Nanganin (gemar memukul) orangnya. Tapi Ibu saya sabar banget orangnya. Dia alim. ‘Mungkin sudah takdir saya kayak gini’, katanya… -Seorang Ibu yang baik. BIsa menerima seorang laki-laki yang kayak gitu, Mbak. Saya juga nggak bakalan mungkin bisa kayak Ibu saya kesabarannya. … punya bapak yang kayak gitu, yang nggak bisa dianutin (dijadikan panutan) anak… marah ada, sedih ada juga, kenapa punya ayah kayak gitu. ..”.
Serupa dengan Ningsih (K), Karti (C) juga merasa tidak mampu bersikap sabar seperti ibunya ketika menghadapi perilaku suami yang dianggap negatif. Sebelum akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pernikahan, Karti (C) menilai sang ibu sebagai sosok yang setia melayani suami meski suaminya tidak bertanggung jawab. Namun demikian, Karti (C) merasa tidak mampu bersikap 155 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
seperti itu ketika mengalami hal yang serupa dengan ibunya. Hal ini karena ia merasa sudah disepelekan, tidak dihargai, dan tidak dicintai lagi oleh suami. “Padahal ibuku orang paling baik. Misalnya kalau dia... suaminya kalau makan Kan ditungguin. Kalau misalnya ada apa kan, ada batu kecil, ada gabah yang belum kekelupas dia ambilin, dia awasin... dimakan suami tuh harus baik. Setia sekali sama suaminya. ... padahal itu suaminya lah nggak bertanggung jawab, dia setia.. Ya kadang kan kita nggak bisa melakuin itu (seperti ibu) sepenuhnya.. Aku kerja di Qatar, denger suamiku kayak gitu (selingkuh), kayak gitu aku nggak terima... di hatiku nggak ikhlas... padahal aku harus berbakti, tapi nggak bisa, aku nggak bisa nurutin apa kata suami... nolak... karena aku ini merasa disepelekan... merasa aku ini nggak dihargai, aku ini nggak dicintai... “. (Karti).
Pada partisipan lainnya, bagaimana orang tua berperilaku dalam menjalani pernikahan mendorong mereka untuk melakukan hal yang serupa. Yayah (K), misalnya. Ia menilai ibunya sebagai sosok istri yang setia mengurus suami, meskipun sang suami menyelingkuhinya. Dalam skala yang lebih ringan, Yayah (K) mencoba untuk meniru hal tersebut, yakni dengan tetap melayani suami meskipun saat itu ia tengah kesal atau marah kepadanya. Menurut Yayah, sudah menjadi kewajiban seorang istri untuk melayani suaminya. “Ibu saya tuh sangat, sangat mengurus suami dengan baik. Jadi saya tuh kalah… sampai ke anak-anak, kalau bapak mau makan tuh ada yang bawa minumnya, ada yang bawa nasinya, ada yang bawa kobokannya… walaupun sore-sore bapak dan ibu bertengkar karena masalah itu (perselingkuhan bapak), tapi tetep pagi-paginya Ibu bikin sarapan walaupun cuma nasi goreng aja buat bapak, terus dikasihin ke bapak … Ya kalau (saya) lagi jengkel biasa ya marah-marah, ntar kalau punya unek-unek yang dikeluarin semua ya… -ya masih tetep nyuciin bajunya, masih buatin air minumnya, masih buat sarapan buat dia, ya tetep sebagai istri. Ya karena kewajiban sih. Kan istri wajib melayani suami. Ya harus melayanilah, mau gimana lagi?” (Yayah).
Contoh lainnya adalah Imas (C/K). Ia memilih untuk membiarkan saja dan tidak bertengkar dengan suami meskipun tanpa alasan yang jelas sang suami tidak mau bekerja lagi. Selain merasa malu dengan tetangga, bertengkar dengan suami juga tidak diperbolehkan oleh ibunya. Menurut Imas (C/K), ibunya sendiri tidak pernah marah terhadap ayahnya karena bagi ibunya adalah berdosa jika seorang istri marah terhadap suami. “Ya, mungkin suami saya nggak mau kerja, ya udah biarin aja nanti kan kalau ada pikiran sendiri mau kerja, ya kerja. Kalau disuruh terus nggak mau, bagaimana? Nantinya lama-lama bertengkar, saya nggak mau ya. Jadi terserah aja. Semaunya suami saya aja gitu…. - (Kalau bertengkar) ya malu kan sama tetangga, sama saudara, sama ibu. Terus sama ibu saya juga nggak boleh 156 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
(bertengkar). Ibu saya nggak pernah marah-marah sama suami Katanya kalau marah sama suami itu dosa, jadi nggak boleh. Ya udah saya jalanin aja”. (Imas).
Imas menilai ibunya sebagai sosok yang patuh menuruti perkataan suami. Berkaca dari hal tersebut, Imas (C/K) pun menerapkan perilaku serupa. “Ya menjalani kan patuh, ibu saya tuh nurut sama bapak. Kalau ‘Ini uang segini dibagi gini gini gini’ … ‘iya’ … nggak ada (membantah) omongan bapak saya, emak saya tuh. Kan kalau bapak dapet segini, nampanin (nerima) aja. ‘Mungkin saya rejekinya segini’, nggak pernah marah. Kalau kata bapak udah beli ini beli ini beli ini ya udah terserah”. (Imas). “Ya sama seperti emak saya, ibu saya, sama.. Ya samanya saya menuruti bicaraan suami. Kata suami merah, merah. Kata putih, putih. Saya jalanin… Iya, kan saya kan harus nurut sama suami menjalankan istri yang baik”. (Imas).
Sejumlah partisipan memiliki orang tua yang berulang kali ’kawin-cerai’. Respon partisipan terhadap perbuatan ‘kawin-cerai’ orang tuanya beragam. Ningsih (K) menganggap tindakan ayahnya yang berulang kali ‘kawin-cerai’ setelah ibunda Ningsih meninggal tersebut sebagai hal yang ‘tidak waras’ dan hanya bermain-main dengan lembaga pernikahan. Meski demikian, posisinya sebagai anak membuatnya tidak dapat berbuat apa-apa selain membiarkan saja ayahnya melakukan hal tersebut. “Dia (bapak) itu kan orangnya nggak mikir waras, gitu. Dia tuh pengennya mumpung dia tuh lagi punya uang, dia bisa berbuat kayak gitu. Tapi aku ya sebagai anak, ya udah nurutin aja apa yang diinginkan bapak saya. Udah terserah dia aja gitu mau ke sana, mau ke sini, padahal itu kan pernikahan nggak langgeng, Cuma kayak main-main”. (Ningsih).
Selanjutnya, bagi partisipan komitmen pernikahan memiliki keterkaitan dengan kualitas pasangan dan kualitas pernikahan yang dijalani. Komitmen pernikahan dipandang tidak seharusnya berakhir ketika individu memiliki kualitas pasangan dan pernikahan yang positif. Sebaliknya, partisipan menganggap wajar terjadinya perceraian ketika pasangan dan kondisi pernikahan dianggap tidak baik. Sebagai contoh, Yayah (K) tidak setuju ayahnya menceraikan pasangan yang dianggap sedemikian baik dalam mengurus rumah tangga. Adapun Desi (C), orang tuanya mengalami sejumlah perceraian dengan pasangan-pasangan sebelumnya. Desi memaklumi bahwa ‘kawin-cerai’ yang dilakukan orang tuanya tersebut terjadi karena semata-mata mereka belum menemukan pasangan yang 157 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
cocok atau karena ada masalah dalam pernikahannya. Serupa dengan Desi, Karti (C) dapat memahami keputusan bercerai yang diambil oleh ibunya, yakni hal tersebut terjadi karena perilaku suami yang tidak bertanggung jawab sementara istri telah menunjukkan baktinya. Menurut Karti (C), gugat cerai yang dilakukan ibunya merupakan hal yang sudah sepantasnya terjadi. “Ya pandangan saya sih inginnya tidak bercerai, kan baik istrinya waktu itu, beresin rumahnya bersih, nyuciin baju adik-adik saya, ya senenglah…”. (Yayah). “Ya kalau tanggapan saya ya saya ngomong, ‘Kenapa sih, Pak, kok nikah-cerai, nikah-cerai?’, terus bapak kan bilang, ‘Ya udah, kalau nikah terus nggak senang, ya udah cerai’, gitu ya. Soalnya kalau udah pada nggak senang, ya cerai, tapi sama Emak mungkin udah cocok jadi nggak dicerai… udah sama bapak udah saling cocok, apalagi udah punya anak ya, nggak cerai-cerai lagi sampe tua. … ya pendapat saya, saya kurang tahu sepenuhnya, Cuma yang saya rasakan ‘Kenapa sih, Pak?’… tapi ya bagi bapak mungkin kepengennya satu, tapi ya mungkin ada percobaan (ujian), jadi ini kayak nikah-cerai, nikah-cerai”. (Desi). “Ibuku orang baik... ibuku orang baik, bukan orang nakal yang nggak berbakti... orang baik. Dia (suami Ibu) juga bukan orang yang tanggung jawab, kalau ada apa-apa kan ibuku yang bantu cari nafkah.Jadi kalau dia menggugat cerai ya itu sudah sepantasnya...-Itu semua kesalahan kan bukan kepada ibu kan... itu semua kesalahan pada suami... pada suami”. (Karti).
Tidak semua partisipan memiliki orang tua dengan pengalaman pernikahan yang pahit. Desi (C) menggambarkan kondisi pernikahan orang tuanya sebagai hal yang harmonis. Setelah suaminya meninggal, ibu Desi tidak menikah lagi. “Nggak ada pertengkaran. Semua ya asih (sayang) teruslah sama bapak. Kalau Emak sama bapak ada, semua anak-anaknya saling humor gitu… Sampai bapak meninggal, Emak juga nggak mau nikah lagi… -ya saya ada perasaan mendorong juga, malahan pengen ditiru sama saya, soalnya kan nggak ada pertengkaran”. (Desi).
Sayangnya, meski ingin, Desi (C) tidak dapat mencontoh kelanggengan pernikahan orang tuanya. Pernikahannya harus berakhir setelah ia mendapati suaminya berselingkuh dan menyelewengkan hartanya.Terkait dengan hal ini, Desi (C) berpendapat setiap pernikahan memiliki dinamikanya masing-masing, dimana kondisi pernikahannya tidak selalu sama dengan kondisi pernikahan orang tuanya. “Cuma kepengennya sih ya waktu dulu ya sama ibu kepengennya sih kayak emak. Pengen rukun, pokoknya makan nggak makan, seneng sama susah sama suami. Tapi kan ya kenyataannya saya putus di tengah jalan. Jadi ya saya tuhh 158 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
mungkin nggak bisa sama kayak emak… Rumah tangganya juga mungkin agak beda lagi. Soalnya kan satu turunan juga kan nggak sama gitu. Harus ada ceritanya, rumah tangganya”. (Desi).
Meski demikian, latar belakang pernikahan orang tua tidak terlalu memengaruhi pengambilan keputusan partisipan untuk mempertahankan atau mengakhiri pernikahan. Sebagai contoh, sejumlah partisipan yang akhirnya bercerai ternyata memiliki orang tua yang kehidupan pernikahannya bertahan hingga akhir hayat. Sebaliknya, partisipan yang mempertahankan pernikahan ternyata memiliki orang tua yang gemar melakukan ’kawin-cerai’.
Kesimpulan. Bagaimana pengalaman pernikahan orang tua menjadi pedoman bagi partisipan untuk menjalani pernikahan. Ada sikap/perilaku/nilai yang dimiliki orang tua yang pada akhirnya diadosi oleh pargisipan, namun ada pula yang tidak.
5.6.3 Campur Tangan Keluarga Ada dua jenis respon lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga, terhadap masalah rumah tangga yang dialami para partisipan. Pertama, memilih untuk tidak mencampuri urusan tersebut dan menyerahkan keputusan untuk bertahan atau bercerai kepada partisipan, dan kedua, mendorong atau mendukung partisipan untuk mengakhiri komitmen pernikahan. Meski demikian, saat memutuskan untuk tetap berkomitmen atau mengakhiri, keputusan tersebut diambil secara mandiri oleh partisipan sendiri, tanpa terpengaruh disposisi dari keluarganya, misalnya seperti tercermin dalam ucapan salah seorang partisipan bernama Desi (C) berikut ini, “Ibu (kata ganti untuk menyebut dirinya sendiri) udah nekat pengen tetep jadi janda, nggak ada dorongan dari keluarga Ibu atau anak Ibu”.(Desi).
Contoh serupa dialami oleh Lasmi (C), Karti (C), dan Harti (C). Sebelum akhirnya memutuskan untuk bercerai, mereka sempat berusaha mempertahankan pernikahannya saat menghadapi situasi sulit. Ketika mereka masih ingin berusaha mempertahankan
inilah,
keluarga
justru
mendorongnya
untuk
bercerai.
Bergeming, Lasmi (C), Karti (C) dan Harti (C) memiliki alasan masing-masing yang membuat mereka tidak menghiraukan permintaan keluarga. Ketika pada 159 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
akhirnya mereka mengambil keputusan untuk mengakhiri komitmen pernikahan, hal tersebut didasarkan atas pertimbangan yang bersifat personal dan bukan karena mengikuti disposisi tertentu dari orang lain. Pada Lasmi (C), perselingkuhan terus-menerus yang dilakukan oleh suaminya, membuat ia kerap bertengkar dengan pasangan hidupnya tersebut. Ketika bertengkar inilah, biasanya Lasmi (C) memutuskan untuk pulang sejenak ke rumah orang tuanya. Pada saat itu, orang tua Lasmi kerap memintanya untuk tidak kembali lagi ke rumah suaminya. Meski demikian, permintaan tersebut tidak diindahkan oleh Lasmi (C). Setiap kali suami menjemputnya pulang, Lasmi selalu menurutinya karena ia “merasa kangen” dan “masih cinta” dengan suaminya. Alasan lainnya adalah karena ia percaya suami dapat berubah lebih baik, demi kepentingan anak, serta asalkan suaminya tidak menikahi WIL-nya. Lasmi (C) pada akhirnya menggugat cerai setelah mengetahui sang suami menikah dengan WIL-nya tanpa seizin dirinya yang saat itu tengah bekerja di luar negeri. Ia merasa “direndahkan”, “dicampakkan”, “diremehkan” dan “disakiti hingga badannya kurus” oleh suami. Merasa tidak mau sakit hati karena dimadu, Lasmi merasa lebih baik berpisah dari suami. Pada Karti (C), ia sering mendapatkan komentar negatif dari keluarga dan tetangganya terkait status suaminya yang tidak bekerja. Berbeda dengan orangorang di sekitarnya, Karti (C) sendiri justru dapat menerima kondisi suaminya yang tidak bekerja. Ada sejumlah hal yang melandasi penerimaan Karti tersebut. Seperti yang telah dikemukakan dalam sub bab sebelumnya, hal ini disebabkan karena meski suami memiliki keterbatasan (tidak bekerja) namun Karti masih melihat adanya kelebihan yang lain, yakni setia dan terampil mengurus anak. Selain itu, Karti (C) merasa sebagai istri ia harus “menerima” apapun keadaan suaminya dan percaya Tuhan tetap akan memberinya rezeki meski suami tidak bekerja. “Ya itu lah... harus menerima misalnya kayak apa itu suami, itu aku harus Menerima, walaupun waktu itu suami belum mendapat pekerjaan yang layak, gitu, tapi aku yakin Allah tuh ngasih rezeki walopun sedikit..”. (Karti).
Ia juga merasa Tuhan telah menakdirkan ia berjodoh dengan suaminya. Baginya, takdir baik maupun buruk harus diterima dengan rasa syukur.
160 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
“Iya, kan semuanya takdir... Tapi abis gimana dapetnya yang begitu.. Itu kan jodoh kita... ditakdirkan buat kita... – Ya kalau takdirnya baik atau misalnya takdirnya kurang baik, kita kan harus tetap bersyukur...”. (Karti).
Ketika pada akhirnya Karti (C) bercerai, hal tersebut justru karena dipicu oleh masalah lain, dan bukan atas permintaan keluarga, yakni kasus perselingkuhan, penjualan aset dan perusakan rumah yang dilakukan oleh suami, serta tuduhan bahwa Karti berselingkuh. Atas peristiwa tersebut, ia merasa “kecewa”, “tidak lagi berharga”, “tidak lagi dicintai suami”, serta “tidak ikhlas suami menikah lagi” sehingga membuatnya merasa lebih baik mengakhiri pernikahannya. Ia merasa “sudah tidak kuat lagi” menjalani pernikahannya sehingga merasa “tidak ada jalan lain selain bercerai”. Sama seperti Lasmi (C) dan Karti (C), keluarga Harti (C) pun cenderung mendorongnya untuk mengakhiri pernikahan. Sejak awal pernikahan, suami Harti hampir tidak pernah menafkahi keluarga. Mengetahui hal ini, keluarga meminta Harti untuk berpisah saja dari sang suami. Keluarga menilai suami Harti tidak bertanggung jawab. “Ya emak, emak nggak begitu ngomong banyak sih, cuman gini aja, ‘Yaa ngapain kamu terusin, udah aja kamu terusin cari uang buat anak kamu.. orang suami juga nggak tanggung jawab’. (Harti).
Tidak memenuhi permintaan keluarganya, Harti (C) memutuskan untuk tetap mempertahankan pernikahan. Ia merasa malu jika bercerai karena dulu tetap memaksa menikah dengan suaminya meski keluarga tidak menyetujuinya. Selain itu, ia mencoba bersabar terhadap keadaan karena masih berharap suatu saat suami akan berubah lebih baik. Ketika pada akhirnya Harti (C) memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya, hal tersebut karena ia merasa sudah tidak mampu lagi menoleransi perbuatan suami. Harti (C) menilai perbuatan suami semakin lama semakin bertambah parah, yakni tidak bertanggung jawab sama sekali sejak kelahiran anak kedua. “Waktu pertama kawin sabar.. sabar.. tapi lama kelamaan tambah parah itu kan, aku udah nggak kuatlah – Tapi lama kelamaan, saya rasain sendiri, punya anak lagi malah tambah parah. Parahnya ya itu, tanggung jawabnya udah nggak ada sama sekali…. Ya udahlah akhirnya pernikahannya diakhiri aja… “. (Harti).
Berbeda dengan Harti (C), Karti (C), dan Lasmi (C) yang mendorong terjadinya perceraian, keluarga para partisipan lainnya menyerahkan keputusan 161 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
untuk tetap berkomitmen atau mengakhiri kepada masing-masing partisipan. Partisipan sendiri menyadari betapa pentingnya menyelesaikan masalah rumah tangga hanya berdua dengan pasangan, tanpa intervensi pihak luar. Sebagai contoh, hal ini terjadi Tarsih (K), Yayah (K), Ningsih (K), Irma (K) dan Imas (C/K) yang keluarganya maupun keluarga mertua tidak ikut campur dalam masalah rumah tangga. Tarsih merasa senang dengan sikap keluarga yang dianggapnya tidak turut campur dalam masalah rumah tangganya karena campur tangan keluarga hanya akan menimbulkan kebencian di pihak masing-masing. Sementara itu, menurut Yayah, campur tangan keluarga hanya akan memperumit keadaan. Menurut Ningsih, keluarganya berprinsip “permasalahan harus diselesaikan berdua”. Ningsih mengatakan keluarga hanya sekedar memberi nasehat yang dapat mendinginkan hati. Ningsih sendiri tidak terlalu bersikap terbuka kepada keluarga mengenai konflik dalam rumah tangganya karena baginya “kesalahan, kejelekan suami, harus kita tutupin”. Serupa dengan Ningsih, Irma tidak pernah menceritakan masalah rumah tangganya kepada mereka karena tidak ingin keluarga ikut campur dalam masalah rumah tangganya.
Kesimpulan. Kedua kelompok partisipan, baik yang mempertahankan atau mengakhiri komitmennya, sama-sama mengambil keputusan untuk mempertahankan atau mengakhiri komitmen pernikahan secara mandiri, artinya tanpa mengikuti arahan atau permintaan dari orang lain dan berdasarkan alasan yang bersifat personal. Berdasarkan penuturan partisipan, dapat pula disimpulkan bahwa peran keluarga tidak cukup kuat dalam memengaruhi keputusan partisipan untuk mempertahankan atau mengakhiri komitmen pernikahannya. 5.7 Interaksi antara Partisipan dengan Pasangan 5.7.1 TKW dan Sikap Pasutri Setelah menikah, bekerjanya partisipan ke luar negeri didorong oleh kurangnya penghasilan suami dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, dengan bekerja di luar negeri partisipan merasa lebih memiliki peluang untuk memiliki rumah sendiri. Partisipan pesimis hanya dengan mengandalkan penghasilan suami di dalam negeri akan dapat mencukupi kebutuhan hidup lainnya. 162 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
“Kalau kayak gini terus-terusan, mana ada kelebihannya. Cuma pas-pasan buat makan. Jadi kan Ibu yang kepikiran berangkat kerja, soalnya kan penghasilan suami nggak cukup. Iya sih (suami kerja), tapi kan buat kita makan kadangkadang masih kurang, jadi mending dibantu Ibu kerja. Kalau ibu sukses, bisa bantu suami dan anak”. (Desi/ C). “Menurut saya ya, dari kebanyakan orang-orang sini kalau kerja di sini-sini aja, suaminya kerja di sini-sini aja, ya kayaknya nggak bakalan bisa buat rumah. Jadi terpaksa, kalau nggak saya yang pergi, ya suami saya yang pergi…”. (Yayah/ K). “Cita-citanya sih pengen bikin rumah sendiri. Biar nggak numpang sama paman, mertua, orang tua, jadi saya kan bilang sama suami. Suami bilang gini, ‘Nggak apa-apa (tinggal sama paman), udah jangan berangkat’… saya kan pikirannya gini, nggak enak sama paman terus. Terus suami saya ngijinin, ‘Ya udah, sekali aja’ … yang penting bisa bikin rumah gitu. (Irma/ K).
Niat partisipan untuk membantu perekonomian keluarga ternyata tidak serta merta mendapat persetujuan dari suami. Pada Tarsih (K), keberatan suami terhadap rencananya untuk bekerja di luar negeri disebabkan karena suami beranggapan mencari nafkah merupakan tugas pria, sementara istri bertugas di sektor domestik. Adapun Yayah (K), sang suami tidak mengizinkannya bekerja sebagai TKW karena masih merasa mampu menafkahinya. Adapun Karti (C), suaminya mengalami dilema, yakni di satu sisi ia merasa berat dan tidak nyaman jika harus berpisah dengan istri, namun di sisi lain ia menyadari kondisi perekonomian mereka yang sulit. Untuk menyelesaikan dilema ini, suami akhirnya meminta Karti berunding dengan anak-anak mereka. “Rencananya saya punya anak kan mau pergi lagi, tapi (suami bilang), ’Nggak boleh. Kamu yang duduk di rumah, saya yang kerja’, kata suami saya…”. (Tarsih). “Waktu itu pertama suami saya sih nggak boleh. ‘Ngapain kerja?’, katanya, saya juga bisa In Shaa Allah nafkahin kamu’, ‘Ya tapi kalau saya nggak berangkat, kapan kita bisa buat rumah?’, saya bilang kayak gitu. ‘Ya udah kalau kamu maksa, tapi saya nggak nyuruh’….”. (Yayah). “Ya... gini suami aku bingung.. kalau nggak dizinin ada kekurangan, kalau diizinin kok kayaknya dia nggak kuat, dia kesepian, nggak enak. Dia bilang kayak gitu. – ‘Hmmm terserah kamu rundingan dulu sama anak kamu. Boleh nggak kamu pergi lagi. Aku nggak bisa melarang aku juga nggak bisa menyuruh’, gitu..”. (Karti).
163 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Meski suami cenderung keberatan dengan rencana mereka menjadi TKW, namun hal tersebut tidak sedikit pun membuat partisipan mengurungkan niatnya. Partisipan tetap bersikeras mempertahankan keinginannya. Menghadapi sikap istri yang memaksa ini, suami tidak dapat melakukan apa-apa selain memberikan izin. “Dulu waktu saya baru nikah 3 bulan, ya udah kata dia nggak usah pergi (jadi TKW). Cuman saya kan belum punya anak, belum punya rintangan, ya udah lebih baik saya cari kerjaan aja dulu buat modal jualan atau buat apa. ‘Ya udah kalau kamu maksa’, kata dia. Sama suami nggak boleh, Cuma saya maksa gitu …”. (Tarsih/ K). “Lha kalau tanggepan suami sendiri ya nggak ada boleh juga … ‘Tapi kan misal kalau kamu maksa gitu, nggak apa-apa, soalnya kan kamu nggak terima gitu uang dari saya’, katanya kan. … ‘Tapi kalau kamu pengen cari kerja ke sana ya udah saya ijinin, asal kamu bener’ ..”. (Desi/ C). “Tanggapan suami saya, katanya ‘Saya tuh nggak nyuruh kamu itu kan kehendak kamu sendiri ya, saya nggak nyuruh kamu pergi, ya kamu pergi, tapi itu kehendak kamu ya itu terserah kamu. Pengen bantu keluarga, perekonomian nya terserah. Kalau kamu terima ya disini aja, kalau kamu pengen maju maksudnya maju perekonomiannya silahkan’. Dia nggak ngomong detail banyak macem-macem sih”. (Ani/ K).
Partisipan
menyadari
sepenuhnya
tentang
keharusan
menerima
penghasilan suami apa adanya. Namun demikian, di sisi lain partisipan juga menyadari bahwa penghasilan suami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan lain yang diinginkannya, seperti menabung atau menyekolahkan anak. “… kadang-kadang saya berpikir kalau perempuan nggak wajib cari duit ya. Memang harus menerima (penghasilan suami) apa adanya, ya suami dapet sekian, kita harus menerima. Cuma kan dalam pikiran saya kepengen lebih kan… pengen lebih gitu… pengen punya simpenan… punya cita-cita nyekolahin anak, masa depan anak …”. (Tarsih/ K).
Sama halnya dengan suami, bekerja ke luar negeri sesungguhnya merupakan hal yang dilematis bagi istri. Di satu sisi mereka merasa berat harus berpisah sementara waktu dari suami dan anak, namun di sisi lain kondisi perekonomian yang dirasa tidak memadai dalam menunjang kebutuhan hidup membuat mereka tidak mempunyai pilihan lain selain harus berpisah sementara waktu dari keluarga untuk mencari nafkah di luar negeri. “Perasaannya ya sedih, Cuma kan ya suami saya waktu itu kerjanya serabutan, nggak tetap, jadinya waktu itu menyadari aja gitu ..”. (Yayah/ K). 164 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
“Hati Ibu tuh ya kasian… jadi ya apa boleh buatlah harus ngijinin Ibu kerja, walau Ibu berat meninggalkan anak-anak sama suami Ibu… tapi Ibu harus tetap kerja … tapi ya suami Ibu sih ngerasa sedihlah soalnya kan mau ditinggal sama istri, gitu… ‘Apa boleh buat kalau keadaannya kayak gitu .. Terpaksa kalau kamu pengen uang banyak, kalau penghasilan saya kan nggak cukup’, gitu … ya udah ijinin…”. (Desi/ C). “Waktu baru dateng (di Qatar) mah ya inget, ‘Aduuh, saya ke sini… kenapa punya pikiran ke sinii?? Sedangkan anak saya masih kecil, ninggalin suami, ninggalin anak’. Terus suami juga kalau telpon, ‘Udahlah kamu pulang ajalah… nggak ada kamu tuh nggak enak ini itu’, gitu. (Irma/ K).
Berpisah dari keluarga tidak hanya membuat partisipan merasa sedih, namun juga khawatir akan kesetiaan suami. “Ya sedih aja, Mbak… sedih kasihan .. dia tadinya ada yang ngurus, baju ada yang nyuci, iya kan? Mau makan ada nasi yang udah matang. Kalau nggak ada saya kan nggak ada yang ngurusin, kasihan aja gitu. Tapi aku pikir gimana ya, kalau aku nggak ke luar negeri, siapa yang bantuin suami?. -Takut saya di sana, nomer satu mah nanti suami saya di sini kawin lagi. Nanti saya udah ngirim dut, dia main perempuan gitu…”. (Ningsih/ K).
Inisiatif untuk bekerja ke luar negeri umumnya muncul dari dalam diri partisipan sendiri. Hal ini membuat mereka tidak memiliki persepsi yang negatif kepada suami meski sebagai istri mereka harus menjalani peran sebagai pencari nafkah. Fenomen istri bekerja membantu suami dianggap sebagai hal yang sudah biasa. Bekerjanya istri bukan semata-mata demi kepentingan pribadi, namun untuk kebahagiaan suami dan anak. “Perasaan saya sih biasa aja karena pengenan saya sendiri kayak gitu. Suami juga nggak nyuruh, jadi nggak ada perasaan jelek ke suami dia nggak mau nafkahin saya atau apa”. (Yayah). “Ya perkiraan saya sih ya, namanya jaman sekarang ya harus (istri membantu suami mencari nafkah) .. kan kalau udah dibantu kan siapa tahu ada kelebihan buat anak, kan nanti bisa bahagia bareng-bareng. Namanya juga bantu suami, anak, gitu …” (Desi/ C).
Menurut seorang partisipan, bekerjanya istri ke luar negeri merupakan salah satu bentuk perilaku saling membantu pada pasutri, tanpa ada pengkotakkotakan tugas berdasarkan gender. “Saya sih ngeliatnya tuh ya pikiran saya terbebani. Saya sama dia itu saling tolong menolong. Saling membantu dalam hal apapun gitu. Saya pengennya sama dia kaya gitu. Jadi gak ‘Ah, itu kan tugasnya suami, saya nggak”. Saya juga pengen dia kaya gitu. Disaat saya sedang sibuk gitu, saya saling tolong menolong dalam rumah tangga itu baik bagi saya”. (Ani/ K) 165 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Meski kontribusi suaminya dalam perekonomian keluarga tidak sebesar dirinya, partisipan dapat memahami dan menerima kondisi tersebut. Ia mengerti bahwa penghasilan sang suami sebagai nelayan memang tidak banyak. “Ya batin Ibu tuh pengennya seimbang gitu ya, tapi kadang Ibu berpikir juga kalau suami Ibu kan nggak dapet jutaan gitu, paling hanya ratusan…. Soalnya Ibu kan tahu sendiri kalau misalnya nelayan kan uangnya nggak begitu mencukupi kalau bukan juragan gitu …” . (Desi/ C).
Menurut seorang partisipan, bekerja membuat dirinya bangga akan diri sendiri. Ia juga ‘menuntut’ suami membalas kontribusinya yang telah ia berikan pada keluarga dengan tetap berperilaku baik (patuh) selama ditinggal bekerja ke luar negeri. “Pokoknya bangga diri saya tuh kan kerja. Masa depan saya tentu lah… nggak kurang makan… harusnya suami Ibu kan ditinggal sama Ibu harusnya kan nurut gitu… (suami harus nurut) itu selama Ibu kerja. Ya kalau Ibu nggak kerja, suami kan jadi pendamping Ibu, ya harusnya saya kan ngalah sama suami kalau saya nggak kerja”. (Desi/ C).
Kesimpulan. Keberangkatan istri menjadi TKW menimbulkan dilema, tidak hanya bagi suami namun juga bagi istri. Keduanya sama-sama merasa berat menjalani pernikahan jarak jauh, namun pada akhirnya mereka merasa tak punya pilihan selain harus menjalani hal tersebut karena kondisi perekonomian yang sulit. Sejumlah suami sempat menyatakan ketidaksetujuannya terkait migrasi istri, namun ketika istri bersikeras mempertahankan keinginannya tersebut, suami akhirnya memberikan izin.
5.7.2 Menikah, Pemenuhan Kebutuhan, dan Adanya Ketertarikan (Rasa
Cinta) Dengan menikah partisipan berharap memiliki sosok yang dapat memenuhi kebutuhan materinya (menafkahi) dan kebutuhan psikologisnya (melindungi, memberi rasa nyaman/membahagiakan, mendampingi, berbagi rasa, atau membimbing dan mendidik). “Kalau udah status punya suami itu kan hidup damai, enak itu ya kan. Kan ada yang ngelindungin saya, ada yang cari nafkah saya gitu walaupun kita Cuma
166 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
duduk di rumah ada yang kerja. Ya itu Cuma tujuan kita, perempuan, ya itu aja”. (Ningsih/ K). “Ibu saya (bilang) ‘Tuh temen-temen kamu udah nikah semua, ngapain nggak nikah-nikah? Lu bisa makan sendiri?’.. ibu suruh nikah biar ada yang ngempani (memberi makan) gitu...”.(Wanti/ C). “Kalau udah ada pendampingnya kan enak.. Enaknya apa? Udah ada yang mendampingi.. kan Ibu nggak selamanya sama Emak Bapak. Soalnya orang kan bahagia sama suami, terus bisa curhat sama suami …”. (Desi/ C). “Aku nggak muluk-muluk, aku cuma mau suami yang setia... jadi imam, kan gitu. Mendidik aku, aku kan nggak sekolah... kan dia ngerti aku nggak terpelajar... aku kan ndeso gitu, jadi kalau dia bersedia untuk membimbing aku atau gimana, insya Allah aku jadi isteri yang baik”. (Karti/ C).
Menikah
juga
membuat
partisipan
merasa
dihargai
dan
dapat
meningkatkan ‘kredibilitas’nya di mata orang lain terkait dengan perilaku berutang. Seorang partisipan berpendapat perempuan yang bersuami dianggap lebih mudah mendapatkan pinjaman utang dari orang lain karena ada suami yang akan membayarkan hutangnya. “Punya suami tuh enak, dihargai…. Terus kalau mau hutang sama saudara, kan kalau ada suami, kuat. Misalnya saya pengen uutang, ‘Kak, pinjem uangnya dong, ntar kalau suami saya pulang, nanti saya kembalikan…’. Coba saya nggak punya suami, kan percuma, pake apa nanti dikembalikannya…”. (Desi/ C).
Terkait dengan pemenuhan kebutuhan materi dan psikologis tersebut, untuk itu partisipan cenderung tertarik (sejumlah partisipan menyebutnya cinta) dan memilih pria yang dianggap dapat memenuhi hal tersebut. Sebagai contoh, sejumlah partisipan tertarik pada suaminya karena sang suami dapat memiliki pekerjaan dan rajin bekerja, yang mana itu berarti suami dapat menafkahinya. “Ya pikiran Ibu tuh udah cocok. Namanya juga orang cinta, semuanya tuh terlihat… apa tuhh.. indah gitu.. ya karena apa yaa… karena kerjaannya… -ya nelayan. Tapi dulu kan nelayan di Jakarta misalnya, jadi andelan temen-temen Ibu. Seneng gitu ada kerjaannya. Jadi itu tuh yang membuat Ibu senang. Mungkin kayaknya dia tuh baik …”. (Desi/ C). “Ya saya lihat orangnya rajin kerja ya … apa aja di kerjain, njemur ikan, apa … orang yang rajin kan bisa (diandalkan) buat masa depan …”. (Tarsih/ K).
Partisipan lain, Wanti (C), yang semula tidak tertarik dengan pria yang kelak akan menjadi suaminya, akhirnya bersedia dinikahi setelah tetangganya mengatakan bahwa pria tersebut memiliki penghasilan yang banyak.
167 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
“Ya baik... dianya orangnya baik tuh, dulu tuh kerjanya baik. Hasilnya banyak.... Kerjanya di sana tuh di Cilacap. Maunya nikah sama saya. Itu kata tetangganya, itu baik... kerjanya baiik... kata tetangganya tuh. Kalau (menurut) saya, (usia dia) ketuaan, tadinya tuh (nggak mau).‘Biarin loh kerjaannya hasilnya banyak’, katanya gitu. Aku mah dulunya nggak mau…”. (Wanti).
Bukan hanya mampu menafkahi, ketertarikan juga timbul manakala calon suami
dirasa
dapat
memenuhi
kebutuhan
psikologis,
seperti
memberi
perlindungan. “Karena dia itu orang baik, nggak kayak bapak saya. Jadi saya kan mau suami yang bisa ngelindungi saya gitu, bisa jaga kita …”. (Ningsih/ K).
Berikutnya, dorongan untuk menikah juga dilandasi oleh mutualisme afeksi. Mutualisme ini muncul dalam bentuk persepsi bahwa partisipan dan pasangan saling menyayangi atau saling mencintai. “Waktu itu ya karena saya cinta sama dia, sayang .. dianya juga sayang ...”. (Yayah/ K). “Yaa.. apa, orang cinta apa sih.. Biar nggak sama orang lain hehehe.. – Ya bagaimana ya... Dia mah, kalau mau berangkat ke laut kan ya, kasih uang, ..jadi dia tuh apa, membuktikan gitu (cinta sama saya). Terus walopun (dia) dimarahin sama kayak saya, digebukin sama kayak saya, juga nggak apa-apalah. (Irma/ K).
Kesimpulan. Dengan menikah, partisipan berharap mereka dapat memenuhi kebutuhan materi (dinafkahi) dan sejumlah kebutuhan psikologis. Tidak hanya itu, mereka cenderung tertarik dengan calon suami yang dirasa mampu memenuhi berbagai kebutuhan tersebut. Selain itu, hal lain yang membuat mereka menikah adalah adanya persepsi tentang afeksi yang mutual antara partisipan dengan pria yang akan menjadi suaminya.
5.7.3 Penilaian terhadap Proximal Process dan Kesediaan Partisipan Melakukan Tindakan Pemeliharaan Relasi (TPR) Penilaian yang positif terhadap proximal process di masa lalu dan kini memotivasi partisipan untuk melakukan tindakan pemeliharaan relasi (TPR) saat mereka menghadapi situasi sulit dalam pernikahannya. Sebaliknya, penilaian yang negatif membuat partisipan enggan melakukan TPR dan lebih memilih untuk mengakhiri pernikahannya. Penilaian tersebut meliputi seberapa baik suami dalam 168 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
menjalankan peranannya sebagai kepala keluarga, seberapa responsif suami terhadap kebutuhan istri, serta seberapa baik suami menampilkan perilaku, sikap atau sifat tertentu seperti setia. Jenis TPR yang dilakukan oleh para partisipan misalnya memaafkan kesalahan suami, menerima, bersabar, dan mensyukuri keterbatasan ekonomi yang dihadapi, mengembangkan sikap percaya pada suami saat dihadapkan pada situasi yang ambigu, menelusuri kebenaran kabar yang belum tentu kebenarannya tentang suami (alih-alih langsung memercayainya), dan lain sebagainya. Meski para partisipan penelitian ini pernah bekerja sebagai TKW, namun mereka tetap menyematkan peran pencari nafkah pada suami. Secara umum, sejauh mana suami menjalankan peran tersebut dengan baik menjadi acuan bagi partisipan untuk menentukan apakah relasi pernikahannya masih layak atau tidak untuk dipertahankan. Sebagai contoh, sosok suami yang dianggap rajin bekerja apa saja demi menghidupi keluarga, merupakan salah satu bahan pertimbangan yang membuat Tarsih (K) mempertahankan pernikahannya meskipun saat sang suami menyelewengkan penghasilan yang diperolehnya dari luar negeri. “Ya karena suami saya kerja dengan baik ya, ya walopun pernah bertengkar, tapi juga dia kan, kerja gitu ya…perasaannya itu berat mau ya mau apa sih, mau ninggalkan suami itu berat ya.. ya karena rajin gitu ya orangnya “. (Tarsih).
Berbeda dengan suami Tarsih yang rajin menafkah, suami Harti (C) yang lalai
bertanggung
jawab
menafkahi
keluarga
membuat
Harti
merasa
pernikahannya tidak layak untuk dilanjutkan karena hanya membuatnya sengsara. “Ya udah, Pak, cerai aja kalau nggak bisa cari nafkah… udah gitu sifatnya kan ngga tanggung jawab…- Ya bagi aku rasanya rumah tangga ama bapak itu, udah materi nggak dicukupi, kurang begitu harmonis …. Malah bikin sengsara… Jadi kalau aku pisah nggak ada yang bikin aku kecewa” (Harti).
Sama halnya dengan Harti (C), suami Karti (C) juga tidak menafkahi keluarga dan menumpukan tugas mencari nafkah pada sang istri. Keluarga dan tetangga Karti menyebut suami Karti sebagai pemalas. Meski demikian, berbeda dengan Harti (C), kondisi suami yang tidak bekerja tersebut tidak lantas membuat Karti ingin mengakhiri pernikahannya karena ia menilai suaminya memiliki kelebihan yang lain, yakni setia, terampil mengurus anak-anak, dan memiliki hubungan yang erat dengan anak-anaknya. Dengan berbagai kelebihan yang
169 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
dimiliki suaminya tersebut, Karti (C) merasa mereka dapat saling bekerja sama dan membantu, sehingga ia tidak mengeluhkan keadaan suaminya yang tidak bekerja. Ketika pada akhirnya Karti menggugat cerai suami, hal tersebut bukan karena suami yang tidak menafkahinya, namun karena perselingkuhan dan perusakan rumah yang dilakukan suami. “Suami kan setia... Nggak pernah ninggalinnya kan... Kita ngurus anak bersama. Itu, suamiku pinter ngerawat anak-anak – lebih deket ama anak-anak – kita kerja sama, udah kewajiban kita sama-sama gitu – kita saling membantu, Jadi nggak ada keluhan gitu, nggak ada komplen”. (Karti).
Sejauh mana suami menjalankan peran sebagai pencari nafkah, juga menentukan bagaimana partisipan merespon situasi sulit yang terjadi, dalam hal ini keterbatasan ekonomi. Ketika partisipan memersepsi suami telah berusaha keras mencari nafkah, maka mereka akan mengembangkan sikap menerima berapa pun penghasilan yang diperoleh suami, meski tidak mencukupi atau tidak menentu, alih-alih mengakhiri pernikahan. Sebaliknya, sikap suami yang tidak proaktif mencari uang dapat memicu terjadinya pertengkaran. Ningsih (K) merupakan salah satu partisipan yang menyadari suaminya telah berusaha keras mencari nafkah. Dengan demikian, ia merasa sudah sepatutnya ia menghormati dan berterimakasih atas usaha yang dilakukan suami dalam mencari nafkah. ”Ya karena kita menghormati suami juga gitu, Mbak... kan dia udah berusaha dengan sekuat tenaga dia.... Saya nggak terimakasih padahal suami saya sudah lakukan, itu kan berarti saya nggak ada moralnya.... ”. (Ningsih).
Ia menerima berapa pun penghasilan yang diberikan suami karena kasihan melihat suami yang telah berusaha keras mencari nafkah. ” Sudah keras-keras berusaha, ternyata rezekinya lagi kayak gini, ya mau apalagi, gitu, mbak. Karena pikirnya juga kasihan sama suami”. (Ningsih).
Partisipan lain, Tarsih (K), berpendapat serupa yakni berapa pun penghasilan yang diberikan oleh suami harus ia terima, mengingat suami telah berusaha. Menurut Tarsih, usaha suami mencari nafkah patut dibalas dengan perbuatan baik pula, yakni menerima penghasilan suami meski tidak mencukupi. “Selagi suami benar, duit berapa pun harus diterima… suami udah usaha”. (Tarsih).
170 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
”... Cuma dia udah berusaha kok. Dalam pikiran saya sebagai istri, kan udah berusaha cari uang, cuma kan nggak mencukupi –kalau dianya berbuat baik ya kita sebagai istri ya sepatutnya berbuat baik juga sama suami, ya mungkin udah rezekinya segitu,.”. (Tarsih).
Adapun Desi (C), alih-alih ingin mengakhiri pernikahan karena penghasilan suami yang sering tidak mencukupi, ia justru merasa kasihan terhadap suami yang dinilainya telah membanting tulang demi istri dan anak. “.. Walopun penghasilannya kurang, walopun ekonominya kurang, tapi Ibu kan nggak bisa ngomong apa-apa, soalnya Ibu kan tau sendiri dia tuh kerjanya mau kerja ini, kerja itu.. nggak minta cerai –Ya rasa kasiannya itu kan soalnya dia kan banting tulang, buat kerja, buat ngidupin anak, buat rumah tangga Ibu, tapi nyatanya kan nggak mampu..”. (Desi/ C).
Serupa dengan yang lainnya, partisipan bernama Ani (K) juga tidak terlalu mempermasalahkan kurangnya penghasilan suami, selama suami telah berusaha menjalankan perannya sebagai pencari nafkah dengan baik. “Nggak enak kalau pertengkaran masalah ekonomi terus-terusan kan, selagi dia mau berusaha .. selagi dia mau bertanggung jawab, gitu”. (Ani/ K).
Penghargaan serupa atas usaha suami dalam mencari nafkah juga dilontarkan oleh Yayah (K). ”Walopun dia kerjanya serabutan, tapi dia tetep berusaha untuk menafkahi istri dan anak”. (Yayah).
Terkait
penghasilan
yang
diperoleh
suami,
Yayah
hanya
bisa
mensyukurinya. Jika merasa kurang, ia tinggal meminta pada Tuhan melalui solat dan doa. ”Saya nggak bisa berbuat apa-apalah, hanya bersyukur aja kalau ada nikmat. Kalau lagi kurang ya hanya minta aja sama Allah sambil solat, berdoa...”. (Yayah).
Selain menerima dan mensyukuri, partisipan juga melakukan usaha yang lebih aktif dalam menghadapi keterbatasan ekonomi yakni dengan cara mencari tambahan penghasilan melalui berdagang, menjadi TKW, atau bahkan berhutang, seperti yang dilakukan Yayah (K), Desi (C), atau Ani (K). Jika usaha keras suami dalam mencari nafkah dapat membuat partisipan mengembangkan sikap menerima dan bersyukur atas keterbatasan penghasilan yang diperoleh, maka sebaliknya, sikap suami yang tidak proaktif bekerja dapat memicu terjadinya pertengkaran. Sebagai contoh, pertengkaran antara Irma (K) 171 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
dengan suaminya terjadi ketika saat tidak memiliki uang sang suami malah lebih memilih bermain dengan teman-temannya daripada bekerja. Atas perilaku suami yang demikian, Irma merasa kesal. Saking kesalnya, ia terkadang meminta cerai ketika sedang bertengkar. “… kadang nggak punya uang, nggak berangkat kerja, malah seneng-seneng ama temennya. Kan kesel! Bertengkar juga.. ya jadi kadang minta cerai..”. (Irma).
Kekesalan Irma mereda setelah sang suami berusaha mencari pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. “.. terus (suami) pulang ke rumah ibunya di depan, ntar kalau udah 2 hari ke sini lagi, nggak tau tuh uang (yang diperolehnya) pinjem dari siapa, dari ibunya, bibinya, kakaknya, gitu kan. Ya udah, saya mah diem, yang penting jangan diulangi lagi..”. (Irma).
Proximal process dalam bentuk reputasi yang positif di masa lalu tidak hanya menjadi acuan bagaimana partisipan merespon situasi sulit yang riil, namun juga yang baru berupa dugaan. Reputasi positif yang dimiliki suami menjadi dasar bagi partisipan untuk mengembangkan kepercayaan kepada suami dalam situasi yang masih ‘ambigu’. Sebagai contoh, Ningsih sempat khawatir suaminya ikut main perempuan karena terpengaruh kebiasaan rekan-rekan se-perahunya yang gemar berbuat seperti itu saat berlabuh di Muara Angke. Kebiasaan suami yang memberikan penghasilannya kepada Ningsih, membuat Ningsih (K) percaya bahwa sang suami tidak berperilaku seperti yang dikhawatirkannya tersebut. Selain itu, hal lain yang membuatnya memercayai suami adalah karena ia menilai suami sebagai pribadi yang ajeg dan selama ini berusaha membahagiakan istri dan anak. Perilaku suami yang demikian dianggapnya berbeda dengan perilaku temanteman suaminya yang pulang dalam keadaan mabuk dan gemar memberikan uang kepada penyanyi dangdut. “Tapi Alhamdulillah dia nggak kayak temennya gitu, yang kalau pulang matanya merah, uangnya nggak dikasih sama istri, malah disebar ke pengamen dangdutan…. Suami saya nggak. Uangnya udah pada di amplop bener. –Dia tu bener, ajeg orangnya. Pulang pergi ke rumah untuk bahagiain anak istri gitu. Jadi, aku jadi percayanya kayak gitu”. (Ningsih).
Hal yang serupa dengan Ningsih (K) juga dialami oleh Desi (C). Kebiasaan suami yang berangkat dan pulang melaut tepat waktu serta tidak
172 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
berfoya-foya dengan penghasilan yang diperolehnya membuat Desi (C) menaruh kepercayaan pada suami ketika suami dikabarkan disukai oleh perempuan lain. “Setelah dia tuh ada kabar dia tuh disukai perempuan, jadi pikiran Ibu kan kayak nggak karuan gitu … tapi (keberangkatan dan kepulangan suami) itu waktunya tepat sih. Jadi, Ibu nggak punya rasa curiga sama suami buat wanita itu untuk beneran. Jadi, Ibu nggak minta untuk cerai.. – Penghasilan kerjanyaa dia benar, gitu – Ya, benar itu, nggak difoya-foya uang itu, masih utuh gitu buat Ibu… ”. (Desi).
Bagi partisipan, reputasi suami yang positif juga bisa dilihat dari seberapa baik suami memperlakukan istri. Meyakini bahwa suami tidak mungkin menyakiti hatinya, membuat Ningsih (K) tidak serta merta memercayai kabar yang mengatakan bahwa suaminya menikah lagi di Batam. Alih-alih langsung memercayai dan menggugat cerai begitu mendengar kabar itu, Ningsih memilih untuk menelusuri kebenaran berita tersebut terlebih dahulu. ”Karena ya saya tau suami saya tuh baik, dia sayang sama saya, dia nggak mungkin nyakitin saya gitu – Saya ngomong sama kakak saya, ’Aku nggak mau ngomong minta cerai, sebelum aku bisa mendapatkan mana yang benar, mana yang salah’, saya bilang gitu”. (Ningsih).
Hasil penelusuran yang dilakukan Ningsih menunjukkan tidak ditemukan bukti adanya pernikahan sang suami dengan perempuan lain. Pada akhirnya, Ningsih menganggap kabar tersebut hanya merupakan hasutan dari sang kakak yang ingin memisahkan ia dan sang suami karena hendak menguasai penghasilan Ningsih dari luar negeri. Penentu komitmen pernikahan bukan hanya proximal process yang telah dibangun sejak awal pernikahan, namun juga terkait penilaian bagaimana tindakan suami saat melakukan perilaku yang menyakiti hati istri. Menghadapi kasus penyelewengan remitansi oleh suaminya, Tarsih (K) mengurungkan niatnya untuk mengakhiri pernikahan setelah sang suami mengakui kesalahannya, meminta maaf, dan menyerahkan penghasilan yang diperolehnya pada Tarsih. ““Setelah dia dapat uang, dia kembali lagi gitu ke sini, ngasih uang, terus dia minta maaf, mengakui kesalahannya. Kasian gitu…-Walopun melakukan perbuatan yang jelek gitu kan, pikirannya juga apa, dianya ya menyadari, ya dianya merasa dirinya salah, ya dianya minta maaf... “. (Tarsih).
Sama halnya dengan Tarsih, perselingkuhan suami hampir membuat Yayah (K) mengakhiri pernikahannya. Meski demikian, suami Yayah tak pernah 173 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
menghiraukan keinginan Yayah tersebut. Suami mengatakan bahwa ia masih menyayangi Yayah dan bahwa perselingkuhan tersebut dilakukan karena khilaf. “ .. Saya minta cerai sama suami, tapi suami nggak menghiraukan. Kalau bertengkar juga saya sering minta (cerai), tapi suami nggak menghiraukan. Suami saya mungkin ngertilah (kenapa saya minta cerai) karena sayanya sakit (hati) … -memahami perasaan saya juga. Katanya dia masih sayang sama saya, masih cinta… Yang dia berbuat waktu itu katanya khilaf, ‘Saya itu nggak sengaja berbuat kayak gitu’… (Yayah).
Yayah mengurungkan gugatan cerainya setelah sang suami mengubah perilakunya, kembali menyayanginya dan mengatakan masih mencintainya paska perselingkuhannya dengan perempuan lain. “Kalau suami yang ia lakukan, perlahan-lahan dia menghindari kalau ada telepon dari perempuan itu..... – ya Alhamdulillah, waktu itu lama kelamaan suami saya sayang lagi sama saya –Ya seneng karna suami bilangnya masih sayang masih cinta... Jadi masih ada ngerasa kita itu masih bisa untuk bersama lagi di pikiran saya waktu itu”. (Yayah).
Perubahan perilaku suami tidak hanya dengan menghindari perempuan selingkuhannya, namun juga dengan berada lebih banyak di rumah serta bersedia bekerja sama dengan Yayah untuk mengurus ayah Yayah yang sedang sakit stroke dan bayi mereka yang baru dilahirkan. Menurut Yayah hal ini mengesankan. Imas (C/K) juga mengalami pengalaman serupa seperti yang dialami Tarsih dan Yayah. Saat dirinya sedang hamil, ia memergoki suami keduanya bergandengan tangan dengan perempuan lain. Hal ini membuatnya marah, sakit hati, dan bahkan bersedia untuk
diceraikan jika suami
sudah tidak
menghendakinya lagi. “Waktu itu ya saya lagi hamil 3 bulan, melihat suami saya sama temannya (perempuan) bergandengan … sakitnya minta ampun .. sampe saya menangis. Saya bilang sama ibu mertua ‘Bilangin sama anaknya, kalau udah nggak mau sama saya ya udah nggak apa-apa, asal jangan sakitin hati aku’, kata saya itu. Nggak apa-apa saya sedang hamil terus diberhentiin (dicerai), gitu aja”. (Imas).
Permintaan maaf dan perubahan perilaku suami membuat Imas (C/K) tak jadi mengakhiri komitmen pernikahannya. “… terus suami tuh minta maaf nangis...-Iya, menangis. ‘Maaf kalo saya salah’ ..(Setelah) dibilangin (dinasehatin) udah nggak pernah gitu-gitu lagi (mengulangi perbuatannya) …Bungahnya (senangnya) tuh jadi menurutin bicaraan saya gitu, nasehat saya di turutin Alhamdulillah nggak retak… -Kan dulunya tuh suami saya nakal. Dulu suami saya suka minum terus main perempuan, tapi sejak sama saya 174 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
tuh suami saya takut sama saya. Soalnya saya juga ngebimbing sih. ‘Jangan main perempuan, kamu itu udah punya istri dan punya anak’ terus dia nurut gitu …”. (Imas).
Berbeda dengan pernikahan pertamanya yang hanya berusia 5 tahun dan harus berakhir dengan perceraian, pernikahan Imas (C/K) yang kedua ini berhasil bertahan selama 14 tahun hingga sang suami meninggal dunia karena sakit. Imas (C/K) menilai suami sebagai sosok yang baik. Demikian kisahnya tentang sang suami, “Kecukupan, saya tuh di jamin bener gitu sama suami saya tuh. Kalo dapet berapa aja kasih semua gitu ... terus bimbing anak bener. Bimbing saya nya bener, gitu. Jadi, yang baik suami (yang kedua) ini, Mbak. Dulunya nggak sembahyang, nggak ngaji, cuma main, tapi giliran sama saya tuh doyan ngaji, nyuruh sembahyang, gitu. Kata tetangga tuh ‘Udah, suami kamu udah insyaf’ .. ‘Ya, Alhamdulillah’, kata saya”. (Imas).
Adapun pada Ani (K), sang suami bersedia meminta maaf, bersujud, dan memperbaiki hubungan dengan orang tua Ani akibat konflik yang terjadi antara mertua dan menantu tersebut. Sebelumnya, Ani mengatakan bahwa ia tidak ingin melanjutkan pernikahannya dengan sang suami jika suami belum meminta maaf dan memperbaiki hubungan dengan keluarganya. Jika suami Tarsih dan Yayah menunjukkan perubahan perilaku positif paska melakukan tindakan yang dianggap negatif oleh istrinya, maka suami Wanti (C) tidak menunjukkan hal tersebut. Meski pernah meminta maaf pada sang istri dan menghentikan kegemarannya itu, suami Wanti (C) justru melakukan perbuatan perselingkuhan berulang kali, yang seringkali kambuh manakala ia memiliki banyak uang. Kambuhnya suami berulang kali ini pada akhirnya membuat Wanti (C) merasa lelah dan memutuskan untuk mengakhiri pernikahan. “Suami saya tuh kadang-kadang berhenti, kadang-kadang begitu (main perempuan). Kalau banyak uang kumat lagi (tertawa), -lama-lamanya berhenti sih, lama-lama begitu (main perempuan lagi), saya bertengkar lagi... lamakelamaan bercerai, anak-anak dewasa kabeh, ya… capek”. (Wanti).
Serupa dengan Wanti (C), Harti (C) mengakhiri pernikahannya karena merasa perilaku sang suami yang tidak menafkahinya, yang mulanya diharapkan dapat berubah, semakin lama justru semakin bertambah parah. 175 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
“Ya waktu itu aku coba sabar, ya mungkin aja bapak tuh berubah…. waktu pertama kawin sabar… tapi lama kelamaan tambah parah … jadi ya saya mau dilanjutin ya percuma”. (Harti).
Dalam tataran preventif, reputasi suami yang positif juga memotivasi partisipan untuk
tidak mengindahkan godaan dari pria lain saat menjalani
pernikahan jarak jauh. Seperti yang dialami Ningsih (K) berikut ini, ”Ya kita jangan cepat tergoda. Kasian di rumah gitu... selagi suami saya bener, selagi kita bener, kasian gitu. Suami saya kan bener, orang baik, ngapain kita nyari yang kayak gitu..”. (Ningsih).
Beragam cara dilakukan partisipan untuk menjaga diri agar tetap setia dengan pasangan saat menjalani pernikahan jarak jauh, yakni dengan mempertimbangkan konsekuensi negatif yang akan didapat jika berselingkuh, senantiasa mengingat tujuan awal bekerja di luar negeri, meningkatkan keimanan dan ibadah pada Tuhan, mengancam penggoda agar tidak mendekatinya, lapor kepada majikan, serta memegang prinsip tertentu seperti “selingkuh itu berdosa” dan “tidak akan menjalin hubungan dengan pria lain selain suami”. Pada akhirnya, penilaian yang positif terhadap suami memengaruhi komitmen pernikahan partisipan melalui rasa cinta yang ditumbuhkannya. Seperti yang diakui oleh Ningsih (K), rasa cintanya terhadap suami tumbuh karena suami merupakan pribadi yang baik, bisa melindungi dan peduli padanya. Partisipan mendefinisikan cinta dengan berbagai macam arti. Bagi sejumlah partisipan, cinta berarti emosi positif yang dirasakan ketika berada di dekat suami. Emosi positif ini berupa perasaan kangen, merasa senang dan ingin selalu berada dekat dengannya, serta membuatnya bersemangat menjalani pernikahan. “Mungkin karena saya masih cinta sama suami, masih kangen… (Cinta itu) ya itu senang berada di dekat dia, hepi, pengen keluarga utuh”. (Lasmi/ C). “Ya orang cinta gini ya… kalau nggak liat, kangen (sambil tertawa). Iya, harus ketemu kan, harus adalah… harus deket kan gitu”. (Karti/ C). “Kalo kita menjalani rumah tangga nggak ada cinta kan kayak sayur kurang garam … kalo ada cinta kan malah semangat.. “. (Ningsih/ K). “Ya cintanya tuh kan.. saya kan senang ... senang sama suami saya gitu”. (Imas/ CK).
176 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Cinta juga berarti kepedulian, belas kasih, dan bakti pada suami. Cinta dapat ditunjukan dengan cara menghormati, menerima suami apa adanya, atau memberikan usaha yang terbaik untuk suami. “Ya rasa cinta itu, rasa batin Ibu. Hati Ibu itu sama suami kasian banget, mendalam gitu… harus suka duka setia … harus nggak ada perselisihan gitu. Ya kalo suaminya gini, ya harus terima, soalnya kan udah suami istri”. (Desi/C). “Yaa bentuk cintanya kasian, sayang ... -sayangnya tuh ya kasian aja sama suami saya ... –kasian karena mungkin udah takdirnya saya mencintai suami saya. Mungkin udah jodohnya gitu”. (Imas/ CK). “(Cinta itu) ya kita ngasih makan suami, ya kita menghormati suami”. (Ningsih/ K). “Kalo orang cinta kan harus usaha. Kalo sehari-hari itu ya ngasih perhatian, apa yang dia mau, saya kasih. Cinta kan kasih sayangnya beda. Dikeluarin semua sampe bisa memuaskan”. (Irma/ K).
Cinta terhadap pasangan inilah yang akhirnya memotivasi partisipan untuk tetap berkomitmen terhadap suami ketika menghadapi situasi sulit. Sebagai contoh, karena cinta, Yayah (K) dan Desi (C) memaafkan suaminya setelah berkonflik, sementara Lasmi (C) kembali pulang ke rumah setelah bertengkar. “Ya karena kekuatan cinta mungkin, karena kasih sayang, jadi saya bisa mempertahankan”. (Yayah). “Jadi ya saling memaafkan gitu, namanya juga masih saling mencintai, jadi ibu ya mendingan ngalah gitu”.(Desi). “Saya masih cinta sama suami, masih kangen …. Jadinya mau pulang ketika suami menjemput”. (Lasmi).
Kesimpulan. Dari pemaparan kedua kelompok partisipan, baik yang masih mempertahankan komitmen pernikahannya (K) maupun yang telah mengakhiri (C), terlihat bahwa bagaimana perilaku suami selama ini (misalnya seberapa baik suami menjalankan peran sebagai pencari nafkah) dan bagaimana tindakan suami dalam mengelola situasi sulit atau ketika melakukan perbuatan yang dinilai salah oleh istri, berkaitan erat dengan kesediaan istri melakukan tindakan tindakan pemeliharaan relasi dan komitmen pernikahan istri. Yang membedakan kedua kelompok partisipan tersebut adalah, pada kelompok partisipan yang masih berkomitmen (K), suami mereka menunjukkan reputasi di masa lalu dan tindakan di masa kini (saat menghadapi situasi sulit atau 177 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
setelah melakukan kesalahan) yang dinilai positif, seperti memperbaiki perilaku, meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan, menunjukkan usaha mengatasi keadaan). Sementara itu, pada kelompok partisipan yang mengakhiri komitmen pernikahannya (C), tindakan/respon suami saat melakukan perbuatan yang dianggap salah, dinilai negatif oleh partisipan (misalnya tidak menunjukkan adanya perubahan perilaku ke arah yang lebih baik). Adapun terkait reputasi suami di masa lalu pada kelompok partisipan yang mengakhiri komitmen pernikahannya (C), hasilnya terbagi ke dalam 2 jenis, hasilnya terbagi ke dalam 2 jenis. Pertama, ada sejumlah suami yang dianggap memiliki perilaku positif di masa lalu, dan karenanya hal ini membuat mereka sempat mempertahankan pernikahan saat menghadapi situasi sulit di masa lalu; kedua, ada pula sejumlah suami yang memiliki perilaku negatif sejak awal pernikahan, dan karenanya hal ini semakin menguatkan keputusan mereka untuk mengakhiri pernikahan di masa kini. Dengan demikian, jika dilihat melalui kerangka teori Bioekologi, ini berarti komitmen pernikahan pada partisipan dipengaruhi oleh interaksi antara partisipan dengan lingkungan terdekat atau mikrosistemnya (proximal process), dalam hal ini suami.
5.7.4 Batas Toleransi Partisipan Baik partisipan yang masih berkomitmen atau telah mengakhiri pernikahannya,
keduanya
sama-sama
berpendapat
keputusan
untuk
mempertahankan atau mengakhiri komitmen pernikahan ditentukan pula oleh sejauh mana mereka dapat menoleransi situasi yang dihadapi. Kriteria untuk menentukan batasan toleransi ini dilihat dari tingkat keparahan dan frekuensi terjadinya masalah. Ketika partisipan merasa sudah tidak mampu menoleransi situasi yang dialami, maka mereka akan memilih untuk mengakhiri pernikahan. Contoh yang terkait dengan hal ini misalnya, Ningsih (K) menyadari bahwa, saat menghadapi masalah, pada keadaan tertentu, daya tahan atau toleransi manusia bisa saja menurun. Sementara itu, Desi (C) berujar, yang membuat dirinya mengakhiri komitmen pernikahannya adalah karena merasa sudah tidak dapat menahan emosinya lagi. “Manusia sekuat apapun dapat melemah jika masalah (yang dihadapinya) itu sangat sulit dan sangat rumit”. (Ningsih). 178 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
“Jadi Ibu sampai putus di jalan kan karena emosi Ibu udah meledak gitu. Tapi Ibu kan kalau yang ringan-ringan aja, yang kayak biasa bertengkar masalah anak, .. ya nggak mungkin itu membuat cerai”. (Desi).
Ketika partisipan merasa tidak lagi dapat menoleransi situasi, maka keputusan untuk mengakhiri komitmen pernikahan diambil dengan tujuan mengurangi ketidaknyamanan psikologis, seperti “agar tidak tersiksa batin” (Yayah/K dan Ani/K), “mengakhiri penderitaan hidup” (Harti/C), “daripada punya rumah tangga tertekan” (Ningsih/K), “mengurangi beban yang tidak sanggup dijalani” (Karti/C), “sudah lelah dan capek” (Wanti/C), atau “nggak mau pikiran ruwet karena ngurusin orang nggelo” (Lasmi/C). Berikut kutipan selengkapnya, “Ya kalau terlalu sering sakit hati, walaupun itu salah yaa harus bercerai kayaknya, ya udah harus diakhiri aja daripada batin tersiksa”. (Yayah/ K). “… mungkin saya pilih pisah ... -dari pada batin saya tersiksa liat suami terusterusan pergi sama isteri muda, kan udah ya besarin anak sampe dewasa, saya ikut sama anak, gitu”. (Ani/ K). “… Cuma waktu itu saya cerai kan alasannya ingin mengakhiri penderitaan hidup”. (Harti/ C). “Daripada punya rumah tangga tertekan, apalagi ditampar, ditanganin (dipukul) kan nggak enak. Kalau saya tuh mendingan cerai”. (Ningsih/ K). “Jadi kalau kita bercerai, jadi agak berkurang rasa sakit. Jadi satu-satunya jalan untuk mengurangi beban yang nggak sanggup dijalanin ya cuma itu, cerai”. (Karti/ C). “…. lama-kelamaan bercerai, anak-anak dewasa kabeh, ya… capek”. (Wanti/ C). “Saya sudah nggak mau ngurusin orang nggelo kayak gitu, nggak mau pikiran ruwet. Masih mending sendiri”. (Lasmi/ C).
Seperti yang telah dikemukakan pada paragraf sebelumnya, sejauh mana partisipan dapat menoleransi situasi yang terjadi, salah satunya dapat dilihat dari frekuensi terjadinya masalah. Frekuensi perbuatan negatif suami yang terjadi berulangkali tanpa adanya perbaikan perilaku (“nggelo”, istilah Lasmi), lamakelamaan membuat partisipan merasa –dalam istilah mereka— “lelah”, “capek”, atau “tidak kuat lagi menjalani pernikahan”. Terkait dengan hal ini, Yayah (K). pernah berujar, “(Kalau) terlalu sering sakit hati, (lebih baik) cerai daripada 179 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
batin tersiksa”. Contoh dari kasus ini terjadi pada Lasmi (C), Wanti (C), dan Harti (C). Lasmi (C) dan Wanti (C) bersabar menghadapi suami yang gemar berselingkuh; sementara Harti (C) bertahan dengan suami yang lalai menafkahi sejak awal pernikahan. Lasmi (C) dan Harti (C) sempat menaruh harapan bahwa suatu saat nanti suami akan berubah menjadi lebih baik. Lasmi (C) sempat optimis manakala sang suami menghentikan kebiasaannya mengkonsumsi miras sejak pulang dari Arab Saudi. Adapun Harti (C), harapannya tersebut melayu setelah keluarga suami mengatakan bahwa suami Harti sulit berubah mengingat ia juga pernah melakukan hal serupa pada dua istrinya terdahulu. Toleransi Lasmi (C) dan Harti (C) mencapai batasnya saat keadaaan mencapai titik klimaks. Pada Lasmi (C), titik klimaks tersebut adalah ketika suami menikah lagi tanpa setahu dirinya yang saat itu masih berada di luar negeri. Selama ini Lasmi membiarkan kegemaran suami berselingkuh dengan syarat asalkan suami tidak menikah lagi. Dimadu membuat Lasmi (C) merasa menderita. Menurut Lasmi, keputusan mengakhiri komitmen pernikahan yang diambilnya membuatnya merasa tidak lagi terbebani dengan perbuatan suaminya tersebut. “Dimadu itu ya sakit hati, kepikiran terus, karena beban pikiran … -Ya waktu itu sebelum cere ya sakit hati, tapi waktu udah gugat ya merasa bebas, sudah tidak terbebani lagi”. (Lasmi).
Adapun titik klimaks Harti (C) terjadi pada saat ia harus melahirkan anak keduanya secara caesar. Suami Harti sama sekali tidak berusaha mencarikan biayanya dan bahkan tidak hadir saat proses persalinan terjadi. Biaya persalinan Harti pun diperoleh dengan cara meminjam pada keluarga besarnya. Merasa perilaku suami semakin lama semakin bertambah parah, kesabaran Harti pun hilang. “Waktu baru punya anak pertama aku kan sabar, tapi pas punya anak lagi, pas membutuhkan biaya besar, dianya tuh… kita di sini sampe panik, dianya tuh malah nggak tau, katanya pergi ke Jakarta. Waktu cesar ini (nunjuk anak keduanya) dianya nggak ada. Pas pulang itu, boro-boro ngasih seperak..”. (Harti). “Waktu pertama kawin sabar.. sabar.. tapi lama kelamaan tambah parah itu kan, aku udah nggak kuatlah. Nggak kuatnya itu aku udah repot-repot melahirkan, kebutuhan buat anak udah nggak ada, jadi saya mau dilanjutin ya percuma..”. (Harti).
180 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Selain itu, Harti (C) juga merasa lelah dan menganggap pernikahannya hanya memberi penderitaan saja. Baginya, bercerai adalah “mengakhiri penderitaan hidup”. Dalam kondisi yang demikian, Harti (C) merasa perceraian merupakan jalan terbaik karena dilandasi oleh alasan yang kuat. “… Cuma waktu itu saya cerai kan alasannya ingin mengakhiri penderitaan hidup, saya ingin bahagia dengan anak … -ya bagi aku rasanya rumah tangga sama bapak (maksudnya suami) itu malah sengsara”. (Harti). “Kalo aku cere ama suami kan alasannya kuat gitu mbak… udah suami nggak tanggung jawab, akunya ditinggal. Jadi bagi tuh perceraian itu jalan yang terbaik gitu..”. (Harti).
Sementara itu pada Wanti (C), kegemaran suaminya main perempuan membuat sang suami baru pulang ke rumah saat subuh dan bahkan hampir dilukai dengan clurit oleh seorang pria ketika mendekati perempuan yang telah berpasangan. “Keluar di rumah jam 9, jam 4 baru pulang, jam 4 pagi... jam 3 pagi baru pulang... ya main perempuan…- ya... dicelurit sama laki-laki. kena itu... kena perempuan lagi. ‘Bu saya dicelurit sama...’, saya tuh ketawa. ‘Untung kamu pulang... ragae ke bawa’(masih hidup).….. ”. (Wanti).
Kebiasaan suami main perempuan membuat hubungan Wanti (C) dan suaminya mengalami fluktuasi. Pertengkaran kerap terjadi ketika kebiasaan suami main perempuan muncul, namun kemudian rukun kembali ketika kebiasaan tersebut berhenti. Wanti (C) mengatakan, biasanya sang suami berhenti main perempuan ketika sedang tidak memiliki uang. Sebaliknya, ketika penghasilan yang diperolehnya banyak, kebiasaan tersebut muncul kembali. Keadaan ini kerap menimbulkan pertengkaran hingga Wanti (C) merasa lelah dan ingin bercerai. “Ya... suami saya tuh kadang-kadang berhenti.. kadang-kadang kumat lagi... kalau banyak uang kumat lagi (tertawa) – ya kalau nggak punya uang berhenti main perempuan – Aduh capek lah bertengkar”. (Wanti).
Selain dari segi frekuensi, persepsi bahwa situasi telah melampaui batas toleransi juga ditentukan oleh seberapa besar tingkat keparahan situasi menurut partisipan. Baik pada partisipan yang masih berkomitmen atau pun telah bercerai, masalah yang dianggap “sangat sulit dan rumit”, “keterlaluan”, “sangat menyakitkan hati”, “parah dan hebat”, meski baru satu kali terjadi, maka hal tersebut dapat membuat mereka mengakhiri pernikahan.
181 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Pada Desi (C) dan Karti (C), meski baru kali itu suami berselingkuh dan menghamburkan uang saat ditinggal ke luar negeri, namun mereka merasa tingkat keparahan masalah ini lebih berat dari masalah-masalah rumah tangga yang pernah mereka alami sebelumnya. Persepsi tentang sejauhmana dirinya dapat menoleransi dan kuat menghadapi situasi menentukan keputusan apa yang akan diambil terkait komitmen pernikahannya. Desi (C) mengatakan “Kalau masalahnya sederhana sih, nggak sampai segitunya cerai”. Sedemikian “parah” dan “hebatnya” (istilah Desi) masalah tersebut sehingga membuat “emosinya meledak”. Saking meledaknya, Desi (C) yang dahulu patuh terhadap suami, kini berani memakinya. Menurutnya, dibandingkan masalah yang dihadapi sekarang, masalah lain yang pernah ia hadapi “ nggak begitu hebat” dan “biasa” sehingga walaupun tengah berkonflik ia masih dapat menyayangi dan menghargai suami, bukan memakinya seperti sekarang. Secara retoris Desi (C) bertanya, “Istri mana yang sudah disakiti terus-menerus tidak marah? Jadinya kan hilang kesabaran”. Yang dimaksud “disakiti terus-menerus” oleh Desi (C) di sini adalah perbuatan suami yang berselingkuh, menjual harta Desi (C) secara diam-diam, memonopoli uang hasil penjualan harta. Semua perbuatan tersebut dilakukan oleh suami Desi (C) dalam satu periode masa kerja sebagai TKW. Atas kejadian tersebut, Desi (C) merasa “dihina”, “tidak dihargai”, dan “disepelekan” oleh suami. Sementara itu, pada Karti (C), suaminya tidak hanya berselingkuh dan menikah lagi, namun juga menuduhnya berselingkuh, mengatainya “pelacur” hingga menghancurkan rumah yang dibangun atas jerih payahnya. Perbuatan tersebut membuat Karti merasa kecewa, sakit hati, tidak berharga, dan tidak lagi dicintai suami. Ketika ia sudah merasa tidak lagi dapat menoleransi perbuatan suaminya, perceraian dianggapnya sebagai jalan terbaik dan satu-satunya solusi. untuk mengurangi beban yang tidak lagi sanggup untuk dipikul.
Kesimpulan. Baik partisipan dari kelompok yang masih ingin mempertahankan komitmen pernikahan maupun yang telah mengakhirinya, keduanya sama-sama berpendapat bahwa pernikahan lebih baik diakhiri ketika situasi atau perilaku suami tidak dapat ditoleransi lagi karena dirasa telah sedemikian
rupa
menyebabkan
ketidaknyamanan
psikologis.
Mengakhiri
182 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
pernikahan dianggap sebagai upaya mengatasi ketidaknyamanan psikologis tersebut. Dalam teori Bioekologi, kemampuan individu untuk menoleransi situasi sulit yang terjadi dapat digolongkan ke dalam resource yang dimiliki oleh individu. Resource itu sendiri merupakan bagian dari karakteristik personal individu, yang membantu individu dalam proses perkembangan. 5.7.5 Keputusan untuk Berkomitmen atau Mengakhiri: Respon atas Stimulus yang Dilontarkan Suami Keputusan untuk mengakhiri atau mempertahankan komitmen pernikahan dipandang sebagai respon atas stimulus yang dilontarkan suami. Bagi partisipan yang mengakhiri komitmen pernikahan (C), perceraian sesungguhnya hal yang tak diinginkan untuk terjadi dan mereka pada mulanya menginginkan pernikahan yang langgeng. Karenanya, perceraian merupakan hal yang mengagetkan dan tak terduga bagi mereka. Berikut adalah contoh penuturan partisipan, “Ya kalo Ibu sih memandang perceraian sebagai halilintar aja, ya iya kan nggak disangka.. -Harapan Ibu jadi istri bener sampai sehidup semati gitu, nggak mau ada kesalahan apapun, kita bisa saling memahami, tapi terjadi yang kayak gini … semuanya pecah jadinya”. (Desi/ C). ‘Lho kok bisa ya janda?’, kan gitu nggak disangka. Kayak nggak percaya gitu ya.. Tau-tau dia udah punya pilihan wanita lain, cuman karena itu kan. Terus liat rumah hancur, itu aja -Ya kalau bisa sih jangan sampai cerai ya. Tapi harus gimana lagi kalau udah ditakdirkan kayak gitu. Ini kan nggak kuat untuk dijalani”. (Karti/ C).
Partisipan lain, Imas (C/K), menginginkan pernikahan yang “hingga akhir hayat, sampai kakek nenek” dan mengaku “kalau sebelum cerai itu, saya masih sayang sama suami” sebelum akhirnya diceraikan suami pertamanya secara tibatiba sesaat setelah Imas kembali dari luar negeri. Kekagetan partisipan terhadap perceraian yang terjadi merupakan hal yang wajar jika kita menilik keadaan pernikahan atau interaksi mereka dengan suami yang relatif positif sebelum timbulnya konflik besar yang memengaruhi komitmen pernikahan. Sebagai contoh, Desi (C) mengatakan bahwa ia tidak memiliki pikiran negatif ketika kali itu meninggalkan suaminya untuk bekerja di luar negeri karena selama beberapa kali dirinya bermigrasi, suami belum pernah berperilaku negatif.
183 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
“.. Terus Ibu tuh ya nggak ada pikiran apa-apa, soalnya kan suaminya Ibu nggak pernah begana, begini (nakal), cuman jaga anak, kerja. Jadi ya itu saling menjaga gitu. Nggak ada omongan yang nggak enak. Jadinya pulang sukses, nggak ada apa-apa”. (Desi).
Desi (C) bahkan menilai suaminya sebagai sosok yang bertanggung jawab dan peduli terhadap keluarga, hingga akhirnya melakukan kesalahan fatal tersebut. “… dianya baik, kalau punya uang dikasihkan sama Ibu gitu ya … - Ya dia sih rasa tanggung jawaban sama Ibu ya, ya memerhatikan Ibu. Ya jangankan makan…. Semuanya. Memerhatikan sama anak. Cuman kesalahan suami Ibu tuh ya, itu satu (berselingkuh dan menjual rumah)”. (Desi).
Contoh lainnya adalah Karti. Serupa dengan Desi, sebelum terjadinya konflik besar tersebut, Karti menilai suaminya sebagai pribadi yang baik, meski tidak menafkahi sekalipun. Bagi Karti, suaminya adalah sosok yang bertanggung jawab, setia, dan terampil mengurus anak. “Suami tuh pada umumnya dia juga bertanggung jawab .. –Ya kan kalo tanggung jawab lahir kan masih kurang. Kalo tanggung jawab batin tercukupilah -Ya suami kan setia, nggak pernah ninggalin kan. Kita ngurus anak bersama. Anak sakit kan nggak dibawa kemana-mana, Alhamdulillah suami saya bisa ngurut.. - Itu, suamiku pinter ngerawat anak-anak – lebih deket ama anak-anak ..”. (Karti).
Imas (C/K) juga merasa relasi dengan suami pertamanya relatif baik, hingga tiba-tiba sang suami memintanya pulang dari Arab Saudi dan kemudian menceraikannya. “Ya biasa-biasa aja, rukun aja gitu, dan tau-tau pas saya pergi kesana terus disuruh pulang, ya udah jalanin aja…”. (Imas).
Tidak
berbeda
dengan
kelompok
partisipan
yang
mengakhiri
pernikahannya (C), kelompok partisipan yang masih berkomitmen (K) juga menjalani interaksi dengan suami yang relatif positif sebelum terjadinya konflik tersebut. Irma, misalnya. Ia merasa suaminya menyayangi dan memerhatikan dirinya, terutama pada saat ia sedang hamil. Sikap suami yang dulu menyayanginya tersebut membuatnya berat untuk melepaskannya. ”.. waktu itu asyiklah, walopun nggak makan juga seneng... dianya juga tanggung jawablah... pengertian. Saya lagi hamil tuh dia tuh nggak pernah jauh gitu. Masalah kerjaan rumah tangga semua dia beresin .. Jadi bagaimana ya, kalo dibilang sampai mati mah juga nggak mau pisah... -semua yang saya khayalkan sebelum menikah, sudah saya rasakan semua... kasih sayangnya (suami) itu lho... kalo kasih sayang sama istri dan anak mah dia berat gitu… seribu satu kalo dia itu….”. (Irma).
184 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Barulah setelah sang suami berangkat ke Taiwan, Irma merasa perilakunya berubah, yakni alih-alih memerhatikannya seperti dulu, suami kini cenderung lebih memihak pada keluarga besarnya. Jika setelah kembali dari Taiwan nanti, suami Irma (K) tetap seperti itu, ia merasa pernikahan harus diakhiri. Sama dengan Irma, Yayah (K) juga merasa suami menyayanginya dan juga memahaminya, sebelum akhirnya berselingkuh dengan perempuan lain. Berikut cerita Yayah (K), “Suami saya kan sayang, baik, nggak pernah menentang atau apa. Main ke rumah orang tua juga dianter. Saya tuh waktu pertama kawin itu sering banget, walopun tinggal sama suami (di rumah mertua), juga pergi ke sini (ke rumah orang tua), suami juga nggak komentar apa-apa, pengertian... ngurus adik juga, ngurus orang tua. Ya berkesan itu karena suami saya sangat pengertian sama saya, jadi nggak menghaki saya sendiri, masih ada orang tua saya yang membutuhkan saya, adik-adik yang membutuhkan saya”. (Yayah).
Partisipan lain, yakni Tarsih (K), merasa salah menduga tentang suaminya. Suami yang selama ini dianggapnya sebagai pria yang jujur justru malah menyelewengkan penghasilan yang dikirimnya dari luar negeri. Perbuatan suami yang demikian hampir menyebabkan pernikahannya berakhir. “Ya kirain saya laki-laki itu bener ya, jujur… ternyata udah ngabisin uang saya. Rumah tangga hampir berantakanlah”. (Tarsih).
Meski kedua kelompok partisipan sama-sama pernah merasakan interaksi yang relatif harmonis dengan suami sebelum terjadinya konflik, namun pada akhirnya sejumlah partisipan harus mengakhiri komitmen pernikahannya (C). Kelompok partisipan yang bercerai (C) mengatakan, perceraian tidak akan terjadi jika tidak disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan terlebih dahulu oleh suami. Sikap suami yang dinilai keterlaluan dinilai oleh partisipan sebagai hal yang mendorongnya untuk mengakhiri pernikahan. “Soalnya kan kesalahan bukan dari pihak Ibu, kesalahan dari suami yang keterlaluan”. (Desi/ C).
Senada dengan Desi (C), partisipan lain yang bernama Harti (C) dan Karti (C) melihat tindakan mengakhiri komitmen pernikahan yang dilakukannya sebagai dampak dari perilaku suami yang dianggap tidak benar. Lebih lanjut, Harti (C) menilai perceraiannya memiliki alasan yang kuat, yakni karena perilaku suaminya yang tidak kunjung menafkahi. 185 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
“Kita lebih baik berpisah daripada nurut suami yang istilahnya nggak bener Kalau aku cerai sama suami kan alasannya kuat, udah suami nggak tanggung jawab, akunya ditinggal”. (Harti). “Suami udah ngadat duluan. Kok ada suami bilang istrinya pelacur. Kalau suami yang baik kan nggak gitu..”. (Karti).
Sejumlah partisipan dari kedua kelompok seakan sama-sama ‘menuding’ migrasi sebagai cikal bakal terjadinya masalah. “Dia punya istri lagi kan karena ditinggal sama saya. Kalau dia nggak ditinggal saya, nggak mungkin beristri lagi”. (Lasmi/ C). “Seandainya suami saya bisa nyari nafkah yang cukup, saya nggak bakal pergi ninggalin dia gitu. Seandainya kita (sama-sama) di rumah kan, nggak mungkin dicoba kayak gini”. (Ningsih/ K). “ ..karena pergi lagi, pergi lagi, kan suami jadinya… Tapi aku yakin sih kalo aku ada samping dia, satu rumah dia takkan kemana-mana, takkan pindah ke lain hati, gitu.. -Karena suami juga lelaki yang biasa yang normal… jauh dari istri juga mungkin batinnya merasakan ada yang kurang..”. (Karti/ C). “Udahlah jangan berangkat ke sana (luar negeri). Udah banyak contohnya. Misalnya suami saya ke sana, terus orang tuanya masih pengen uangnya dia. Ya kenyataannya dia pergi kan jadinya gini..”. (Irma/ K).
Meski sang suami sama-sama melakukan kesalahan saat ditinggal partisipan bermigrasi, yang membedakan kelompok partisipan yang masih mempertahankan pernikahannya (K) dengan yang telah mengakhirinya (C) adalah, pada kelompok pertama (K), para suami tersebut bersedia meminta maaf, menyadari kesalahannya dan memperbaiki perilaku yang dianggap negatif. Dengan demikian, meski sang suami pernah berbuat salah, namun mereka masih bersedia untuk tetap mempertahankan pernikahannya. Berikut contoh penuturan sejumlah partisipan, “Setelah dia dapat uang (dari hasil bekerja), dia kembali lagi gitu ke sini (ke rumah orang tua Tarsih), ngasih uang, terus dia minta maaf, mengakui kesalahannya. Kasian gitu… ya baik orangnya, udah minta maaf. Ya udahlah kata saya, uang juga udah abis, mau marah-marah tetep aja uang udah abis … ya kalau dianya minta maaf, masa saya nggak mau memaafkan?. Ya kalo dianya keterlaluan ya gimana ya, ya mungkin nggak memaafkan sih... tapi dianya kan walopun melakukan perbuatan yang jelek gitu kan, dianya ya menyadari, ya dianya merasa dirinya salah, ya dianya minta maaf .... -dia itu, walopun kayak gitu (sudah menghamburkan uang), melihat dia kerja, walaupun saya minta cere, dapat uang dikasihkan juga ke saya. Kasian gitu. Akhirnya nggak jadi cere”. (Tarsih).
186 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
“Suami saya mungkin ngertilah sayanya sakit jadi ya gitu memahami perasaan saya juga. Katanya dia masih sayang, masih cinta sama saya, yang dia berbuat waktu itu katanya dia khilaf, saya itu nggak sengaja berbuat kayak gitu... -Kalau suami yang ia lakukan, perlahan-lahan dia menghindari kalau ada telepon dari perempuan itu..... - ya Alhamdulillah, waktu itu lama kelamaan suami saya sayang lagi sama saya, apalagi waktu itu saya hamil, udah suami saya nggak pernah telpon lagi (perempuan itu) …”. (Yayah/ K). “Saya bilang, ‘Kalo kamu mau langgeng hidup sama saya, kamu harus minta maaf’, gitu, dan dia mau minta maaf. Dia sujud sama ibu saya, katanya ‘Saya minta maaf bu’ .. Dia dateng itu malem untuk minta maaf sama ibu saya”. (Ani/ K).
Sedikit berbeda dari partisipan lainnya yang menggugat cerai suami, pada Imas, inisiator perceraian adalah suami dan bukan dirinya. Tanpa memberitahu alasan yang pasti, suami pertama Imas (C/K) menceraikan Imas sesaat setelah Imas pulang dari Arab Saudi. Sebagai istri, Imas (C/K) hanya sekedar menuruti keinginan suami. Dalam hal ini, ia tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginan suami karena merasa malu dianggap tidak bisa mencari pria pengganti suami jika tidak mau diceraikan. Imas (C/K) sendiri tidak mau mengakhiri komitmen pernikahannya jika tidak diceraikan suami. “Kan kalau suami menginginkan cerai, kan saya ngikutin aja… -Suami minta cerai masa saya nggak mau. Saya kan malu seperti nggak ada lelaki lain aja.. saya nggak mau nanti disepelekan.. -“Kalau duluan saya yang minta cerai, saya nggak mau”. (Imas).
Bahwa keputusan untuk mengakhiri pernikahan itu tidak akan terjadi jika tidak dipicu oleh kesalahan suami juga diyakni oleh partisipan yang masih mempertahankan pernikahan. Ningsih (K) dan Irma (K), misalnya. Ningsih (K) melihat tidak ada perlunya suatu pernikahan tetap dipertahankan ketika suami sudah tidak dapat dijadikan panutan dan tidak dapat diharapkan lagi. “Lelaki kalau nggak bisa dipanutin, nggak bisa diharapin, ngapain kita harus mempertahankan pernikahannya?”. (Ningsih).
Bahwa Ningsih (K) masih mempertahankan pernikahan hingga kini, meski pernah mengalami berbagai situasi sulit dalam pernikahan, hal tersebut karena ia bahagia mendapatkan suami yang ia anggap berkualitas baik.
Berikut ini
penuturan Ningsih, “… Karena aku bahagia dapat suami kayak gini, ya sangat disayangkan tuh kalau kita sampe lepas. Dia bukan saja sebagai seorang suami, tapi juga kayak 187 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
bapak, sebagai teman, dia bisa menasehati saya, bisa menjaga saya, bisa menjaga anak, bisa bertanggung jawab menafkahi”. (Ningsih).
Sementara itu Irma, yang berkonflik dengan keluarga mertuanya, mengatakan bahwa keberlangsungan pernikahan tergantung dari sikap yang ditunjukan suami sepulangnya dari Taiwan nanti. Jika ternyata nanti Irma merasa suami lebih berpihak pada keluarga besarnya, maka ia memilih untuk mengakhiri pernikahannya. Menurutnya, suami yang masih condong berpihak ke keluarganya tersebut akan melupakan anak istri. Bagi Irma, jika suami sudah tidak peduli dengan dirinya, ia merasa tak perlu mengharapkannya kembali. ”Kalo suami saya sih yak… kalo misalkan dia (lebih) percaya sama orang tua ya udahlah (saya cerai), tapi kalo dia ngomongnya ‘Ya udah nunggu saya pulang’ (penyelesaiannya) ...-Ya kalo misalan rumah tangga masih berat sama orang tua, masih sayang banget sama orang tua, sama anak istri kan jadinya lupa. Ya kan? Sekarang aja dia belum sukses, berat sama orang tua. Uang apa kan dikasihkan sama orang tua. Nggak mikirin istrinya makan apa, anaknya makan apa, seolah biayanya dari mana …Jadi pikiran saya, ’Lah, berarti dia kan udah nggak ada pikiran sama saya. Kenapa dia udah nggak ada pikiran sama saya, saya selalu mengharapkan dia?”.” (Irma).
Kesimpulan. Kedua kelompok partisipan menilai keputusan yang diambilnya terkait keberlangsungan komitmen pernikahannya sebagai respon terhadap perilaku (stimulus) yang ditampilkan suami. Perilaku suami yang dianggap negatif mendorong partisipan untuk mengakhiri pernikahannya; sementara perilaku suami yang dinilai positif mendorong partisipan untuk mempertahankan komitmen pernikahannya.
5.7.6 Komitmen Pernikahan sebagai Relasi yang Mutual Partisipan memandang komitmen pernikahan sebagai suatu bentuk hubungan yang mutual dengan suaminya. Ketika mereka memersepsi suami telah berperilaku positif, maka mereka juga akan membalasnya dengan perilaku positif. Sebaliknya, ketika suami dianggap berperilaku negatif, maka mereka merasa wajar untuk berperilaku negatif pula kepada suami atau bahkan mengakhiri pernikahan. Seorang partisipan, Ningsih (K), berpandangan bagaimana seorang istri bersikap pada suami tergantung bagaimana suami bersikap pada istri. Ujarnya, “Kita mah apa suami, kalau suami baik, kita mah naatin, kalau suami 188 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
kayak gitu (tidak baik) ngapain kita taat?”. Sependapat dengan Ningsih, Tarsih (K) berujar, “Kalau dianya berbuat baik, ya sebagai istri sepatutnya kita berbuat baik juga”. Akan halnya Lasmi (C) mengatakan, “Seorang istri itu harus nurut sama suami selagi suami bertanggung jawab”. Mengacu pada pengalaman para partisipan yang telah dikemukakan sebelumnya, mutualisme dalam relasi pernikahan partisipan dapat dilihat dalam sejumlah bentuk. Pertama, adanya penilaian yang positif tentang suami dapat mendorong partisipan untuk melakukan tindakan pemeliharaan relasi. Sebagai contoh, persepsi bahwa suami telah berusaha keras menafkahi membuat partisipan tetap bertahan dalam pernikahan meski menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka mengembangkan sikap menerima dan bersyukur terhadap rezeki yang diperoleh serta menghargai usaha yang telah dilakukan suami alih-alih mengakhiri pernikahan. Pada titik yang lain, keterbatasan ekonomi tersebut dapat memicu terjadinya pertengkaran pasutri manakala partisipan memersepsi suami tidak proaktif mengatasi keadaan. Contoh lain adalah ketika partisipan memilih untuk tidak tergoda dengan pria lain selama di rantau karena merasa tidak patut berselingkuh sementara suami telah berperilaku baik (menafkahi, setia, menyayangi) selama ini padanya. Ningsih mengatakan, “Ya kita jangan cepet tergoda selagi suami saya bener. Suami saya bener, orang baik, ngapain kita nyari yang kayak gitu (pria lain)?”. Lebih lanjut Ningsih mengatakan, “Aku punya suami bener, jadi aku harus bener juga”. Bentuk selanjutnya dari mutualisme adalah bagaimana suami bersikap setelah melakukan kesalahan menentukan bagaimana respon istri terhadap kesalahan yang dilakukan suami. Ketika suami menunjukkan sikap yang mengarah pada perbaikan relasi, maka istri juga akan melakukan hal yang sama. Sebagai contoh, permintaan maaf, pengakuan kesalahan, dan perbaikan perilaku yang ditunjukan suami Yayah (K) dan suami Tarsih (K) setelah melakukan kesalahan membuat Yayah dan Tarsih bersedia memaafkan perilaku suaminya, alih-alih tetap ingin mengakhiri komitmen pernikahan seperti niat semula. Terkait hal ini, Tarsih (K) berkomentar, “Kalau dia minta maaf, masa saya nggak mau maafkan. Kalau dia keterlaluan, ya mungkin (saya) nggak memaafkan”. 189 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Sebaliknya, ketika suami tidak menampilkan sikap yang mengarah pada pemeliharaan relasi, maka istri juga akan bersikap serupa. Sebagai contoh, perilaku suami yang tidak mewajibkan perbaikan dan malah bertambah parah membuat Wanti (C) dan Harti (C) memilih mengakhiri komitmen pernikahan. Bentuk mutualisme lainnya tercermin dalam alasan yang melandasi terjadinya perceraian yang dialami partisipan. Secara umum, dalam penelitian ini, keputusan
untuk mempertahankan atau mengakhiri komitmen pernikahan
merupakan respon dari stimulus yang dilontarkan suami, yang arah responnya tergantung dari jenis stimulus yang dilontarkan tersebut. Sejumlah partisipan yang bercerai mengatakan mereka sebenarnya ingin terus berkomitmen terhadap pernikahan jika suami tetap “berada di jalur yang benar” dan “tidak bermasalah” – meminjam istilah Ningsih. Dalam pandangan partisipan, yang dimaksud “berada di jalur yang benar” ini adalah suami yang tidak berselingkuh, tidak menikah lagi, tidak lalai menafkahi, dan tidak menyelewengkan penghasilan istri. Bagi partisipan, perceraian terjadi sebagai respon atas perilaku yang dianggap “keterlaluan” (istilah Karti), “ngadat duluan” (istilah Karti), atau “nggak bener” (istilah Harti). Sebagai contoh, Harti (C) berpendapat “Lebih baik berpisah daripada nurut sama suami yang istilahnya nggak bener”. Menurut Harti, ia sendiri tadinya sudah bersedia mematuhi suami, namun ternyata suami memilih jalan yang tidak benar, maka tidak ada jalan lain baginya selain mengakhiri pernikahan. Sementara itu, partisipan Imas mengatakan perceraian yang dialami dirinya terjadi karena semata-mata dirinya menuruti keinginan suami yang tiba-tiba ingin menceraikannya, seperti tercermin dalam kalimat berikut, “Kalau suami menginginkan cerai kan saya ngikutin aja”. Ia juga menambahkan, “Kalau suaminya minta cerai, ya udah gimana lagi?”. Mutualisme juga tampak dalam alasan Yayah untuk mempertahankan pernikahannya paska perselingkuhan suaminya, “.. karena saya masih mencintainya dan suami saya juga masih mencintai saya”. Persepsi adanya cinta yang mutual ini membuat Yayah “masih ngerasa kita itu masih bisa bersama lagi” sehingga akhirnya membuatnya memaafkan suami.
190 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
5.8 Karakteristik Personal Partisipan Karakteristik personal yang berperan dalam proses pembentukan komitmen pernikahan pada partisipan penelitian ini bersumber dari dua hal, yakni lingkungan sosiokulturnya dan juga hasil dari proximal process antara partisipan dengan suaminya. Karakteristik personal yang bersumber dari lingkungan sosiokultural muncul dalam bentuk sejumlah nilai berbasis sosiokultural yang dianut atau diadopsi oleh partisipan, yang pada akhirnya menjadi pedoman partisipan untuk memulai dan menjalani pernikahan, termasuk bagaimana partisipan berkomitmen terhadap pernikahannya. Nilai-nilai tersebut misalnya nilai-nilai tentang keharusan perempuan untuk menikah, nilai-nilai tentang bagaimana pasutri berinteraksi, dan nilai-nilai tentang anak, seperti yang telah dikemukakan pada sub bab sebelumnya. Karakteristik personal selanjutnya yang juga berpengaruh terhadap keberlangsungan pernikahan partisipan adalah status mereka sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Merasa sudah membantu suami dalam mencari nafkah, partisipan berharap suami menunjukkan timbal balik atau ‘balas jasa’, yakni dengan menunjukkan perilaku tertentu yang diharapkan partisipan. Berikutnya, karakteristik personal partisipan yang turut memengaruhi dinamika komitmen pernikahan adalah adanya perilaku yang merupakan produk dari proximal process antara partisipan dengan suaminya.Secara spesifik, adanya karakteristik tersebut ditentukan oleh bagaimana suami bersikap dan berinteraksi terhadap partisipan selama ini. Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah kesediaan partisipan melakukan tindakan pemeliharaan relasi saat situasi sulit terjadi dan juga kemampuan partisipan dalam menoleransi keadaan. Sikap atau interaksi suami yang dinilai negatif membuat partisipan tidak mau melakukan tindakan yang dapat ‘menyelamatkan’ relasi dan juga merasa tidak sanggup untuk menoleransi keadaan. Demikian pula sebaliknya, sikap atau interaksi suami yang dinilai positif membuat partisipan bersedia melakukan tindakan yang dapat ‘menyelamatkan’ relasi dan merasa sanggup untuk menoleransi keadaan.
191 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
5.9 Pembahasan Context
Lingkungan
Makrosistem,
Eksosistem,
Mesosistem,
Mikrosistem). Context makrosistem, eksosistem, mesosistem, dan mikrosistem memiliki perannya masing-masing dalam keberlangsungan pernikahan partisipan penelitian ini. Komponen makrosistem, yakni sejumlah nilai dan kebiasaan yang dianut masyarakat setempat mengenai peran pasutri, menjadi landasan atau pedoman
partisipan
untuk
memaknai
pernikahan,
memulai
pernikahan,
berinteraksi dengan suaminya (proximal process), dan menjalani komitmen pernikahan. Secara khusus, terkait dengan interaksi (proximal process) partisipan dengan suaminya, ketika interaksi tersebut tidak sesuai dengan nilai yang dianut atau ekspektasi partisipan, maka timbul ketidakpuasan partisipan terhadap relasi yang dijalani. Dalam perspektif teori Interdependensi, ketidakpuasan tersebut muncul ketika partisipan memersepsi adanya jumlah cost yang lebih besar daripada reward yang diterimanya (Rusbult, Arriaga, & Agnew, 2003). Dalam hal ini, perilaku suami yang dianggap tidak sesuai dengan peran yang diharapkan merupakan cost dalam pernikahan partisipan. Bukan hanya itu, penyimpangan peran yang dilakukan suami juga dapat berpotensi memengaruhi context mesosistem, yakni interaksi antara suami dengan keluarga besar partisipan. Selanjutnya, context makrosistem dalam bentuk nilai sosiokultural setempat mengenai keberadaan anak juga memberikan pengaruh dalam pengalaman berkomitmen partisipan, yakni dengan memosisikan anak sebagai barrier yang menghalangi terjadinya perceraian. Meski anak sempat diposisikan sebagai barrier bagi terjadinya perceraian saat terjadi ketidakpuasan pernikahan, namun pada akhirnya barrier ini memudar ketika partisipan merasa proximal process dan pernikahan yang dijalani sudah sedemikian buruk. Dari sudut teori Interdependensi, hal ini berarti partisipan memersepsi cost yang diterimanya sudah terlalu besar sehingga merasa sudah tidak ada gunanya lagi bertahan dalam relasi yang tidak dapat memberikan keuntungan maksimal (Rusbult, Arriaga, & Agnew, 2003). Sementara itu, dalam teori Bioekologi, hal ini menunjukkan bahwa meski pada awalnya nilai sosiokultural (makrosistem) memengaruhi komitmen pernikahan dalam bentuk barrier perceraian, namun pada akhirnya yang menjadi penentu utama keberlangsungan pernikahan itu sendiri adalah proximal process 192 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
antara partisipan dengan pasangannya. Ketika proximal process dinilai negatif oleh partisipan, maka hal tersebut akan mendorongnya untuk mengakhiri komitmen pernikahan tanpa harus mempertimbangkan barrier yang ada. Berikutnya, melalui nilai yang dianutnya tentang anak perempuan (dalam kaitannya dengan peruntukan penghasilan yang diperoleh partisipan), keluarga selaku context mikrosistem juga berperan sebagai penyebab terjadinya konflik pada context mesosistem maupun mikrosistem. Meski demikian, pengaruh konflik pada context mesosistem dan mikrosistem tersebut tampaknya tidak terlalu kuat karena partisipan memiliki otonomi dalam memutuskan apakah akan tetap berkomitmen
atau
mengakhiri
pernikahan.
Keputusan
partisipan
untuk
berkomitmen tersebut ditentukan oleh evaluasi mereka terhadap proximal process atau proses transaksional yang terjadi antara dirinya dengan suami dan bukan ditentukan oleh pengaruh dari orang lain disekitarnya. Sementara itu, komponen lain yang juga memberikan pengaruh yang tidak langsung pada komitmen pernikahan partisipan adalah context eksosistem, melalui sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh PJTKI terkait prosedur yang memudahkan keberangkatan TKW ke luar negeri, yang mana kondisi terpisahnya pasutri karena istri bekerja tersebut rentan menimbulkan masalah dalam pernikahan partisipan. Selain itu, context eksosistem lainnya yang muncul adalah masih belum maksimalnya peran perangkat desa yang bertugas menangani masalah keagamaan dan pernikahan (lebe) dalam menengahi pertikaian pasutri.
Proximal Process antara Partisipan dengan Suami. Hasil penelitian ini menunjukkan interaksi antara partisipan dengan context
mikrosistem atau
lingkungan terdekatnyalah, dalam hal ini suami, yang memberikan pengaruh secara langsung dan lebih kuat pada komitmen pernikahan mereka. Mengacu pada temuan tersebut, timbul pertanyaan apa yang membuat interaksi dengan suami, selaku context mikrosistem, justru lebih memengaruhi komitmen pernikahan partisipan daripada context makrosistem? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menggunakan teori Bioekologi. Teori
Bioekologi
menjelaskan
bahwa
inti
atau
penentu
utama
perkembangan manusia adalah interaksi yang bersifat terus-menerus dan timbal 193 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
balik antara individu dengan mikrosistemnya (lingkungan terdekat). Interaksi tersebut dinamakan proximal process.
Dengan demikian, faktor yang paling
berpengaruh bagi komitmen pernikahan individu adalah proximal process yang terjadi sejak awal pernikahan hingga kini antara partisipan dengan suaminya, selaku lingkungan terdekatnya tersebut, dan bukan hal lain yang berada dalam konteks lingkungan yang lebih jauh. Selain itu, mengingat salah satu karakteristik intimate relationship adalah adanya saling keterkaitan antara individu dengan pasangannya (Miller & Perlman, 2008), maka perilaku apapun yang ditampilkan individu akan berpengaruh terhadap individu lain yang menjadi pasangannya (Berscheid, Snyder & Omoto, 2004). Penjelasan inilah yang melandasi mengapa interaksi partisipan dengan pasangan, selaku mikrosistemnya, lebih memengaruhi komitmen pernikahan daripada context lingkungan yang lebih luas (makrosistem). Sementara itu menurut
teori
Interdependensi,
memberikan keuntungan (reward) menjadi
sejauhmana suatu relasi
acuan bagi
individu untuk
mempertahankan atau tidak mempertahankan relasinya (Rusbult, Arriaga, & Agnew, 2003). Dalam hal ini, proximal process yang negatif akan mendorong individu untuk memersepsi adanya cost dalam relasi, sementara proximal process yang positif mendorong individu untuk memersepsi adanya reward dalam relasi. Adanya reward yang lebih besar daripada cost mendorong terbentuknya ketergantungan individu terhadap relasi yang dijalani (Rusbult, Arriaga, & Agnew, 2003). Meskipun kedua kelompok partisipan sama-sama pernah berencana mengakhiri komitmen pernikahannya saat menghadapi situasi sulit, namun yang membedakan keduanya adalah peran sentral suami dalam berperilaku/bersikap setelah melakukan kesalahan serta bagaimana tindakan suami dalam menghadapi situasi sulit yang terjadi. Pada mereka yang akhirnya mempertahankan pernikahan (K), suami bersedia mengurangi tingkat keparahan masalah, misalnya, dengan cara meminta maaf dan memperbaiki perilaku. Sementara pada partisipan yang akhirnya bercerai (C), suami tidak menunjukkan adanya upaya nyata kearah sana. Inilah yang kemudian membuat perilaku positif suami di masa lalu (pada sejumlah partisipan yang bercerai) seakan menjadi tidak berarti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika tingkat kepuasan pernikahan sedang menurun akibat 194 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
perilaku negatif yang dilakukan suami, adanya persepsi bahwa telah terjadi perubahan situasi ke arah yang lebih baik, akan memunculkan emosi positif dalam diri partisipan (Karney & Frye, 2002). Selanjutnya emosi positif tersebut akan memudahkan proses rekonsiliasi antara partisipan dengan suaminya. Sebaliknya, ketika individu memersepsi tidak ada perbaikan situasi, maka emosi negatif akan muncul (Karney & Frye, 2002), yang pada akhirnya akan menghambat rekonsiliasi. Mencermati hal ini, peneliti menduga, tidak menutup kemungkinan partisipan yang saat ini masih berkomitmen (K), rentan untuk mengakhiri komitmennya di kemudian hari jika suaminya menunjukkan perilaku yang sama dengan suami kelompok partisipan yang bercerai (C), yakni tidak responsif, ketika situasi sulit terjadi lagi.
Karakteristik Personal. Komitmen pernikahan pada partisipan ini juga dipengaruhi oleh karakteristik personal (person) mereka sendiri, yakni sejauhmana mereka merasa sanggup menoleransi keadaan dan kesediaan mereka untuk melakukan tindakan pemeliharaan relasi. Selain itu, karakteristik personal lainnya yang juga berperan adalah sejumlah nilai tradisional dari context makrosistem yang dianut oleh partisipan, seperti misalnya bagaimana pasutri berinteraksi atau nilai tentang anak. Teori Bioekologi memandang karakteristik personal (person) sebagai komponen yang memiliki peran ganda, yakni sebagai produk perkembangan maupun penentu perkembangan. Sebagai produk perkembangan, karakteristik personal merupakan produk dari proximal process yang terjadi; sementara itu sebagai
penentu
perkembangan,
karakteristik
personal
individu
dapat
memengaruhi arah dan isi proximal process tadi (Bronfenbrenner, 2005; Bronfenbrenner
&
Morris,
2006).
Dengan
demikian,
sebagai
produk,
karakteristik personal pada partisipan penelitian ini dihasilkan dari interaksi antara partisipan dengan suaminya (proximal process).
Ketika proximal process
berlangsung secara positif, maka produk yang dihasilkan adalah karakteristik personal yang sanggup menoleransi keadaan dan bersedia melakukan tindakan pemeliharaan relasi. Sebaliknya, ketika proximal process berlangsung secara negatif, maka produk yang dihasilkan adalah karakteristik personal yang tidak 195 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
sanggup menoleransi
keadaan dan tidak bersedia melakukan tindakan
pemeliharaan relasi yang pada akhirnya mendukung terciptanya komitmen pernikahan. Adapun sebagai penentu perkembangan, karakteristik personal pada partisipan penelitian ini turut menentukan terbentuknya komitmen pernikahan pada individu melalui proximal process kembali. Misalnya, karakteristik personal yang
mampu
menoleransi
keadaan
dan
bersedia
melakukan
tindakan
pemeliharaan relasi saat situasi sulit, akan mendorong terjadinya interaksi yang positif dengan suaminya (misalnya rekonsiliasi, saling memaafkan), yang pada akhirnya membuat mereka tetap berkomitmen pada pernikahannya.
Ilustrasi terkait hasil penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut,
Proximal Process: Interaksi positif antara partisipan dengan suaminya.
Karakteristik person: - Kemampuan menoleransi keadaan (resource). - Tindakan pemeliharaan relasi (force).
Komitmen Pernikahan
Menghasilkan
Diagram 5.1 Karakteristik Person sebagai Produk dan Penentu Perkembangan
Salah satu karakteristik personal yang muncul dalam hasil penelitian ini adalah sejauhmana partisipan mampu menoleransi keadaan atau situasi. Menurut teori Bioekologi, kemampuan menoleransi ini dapat dikategorikan sebagai resource atau sumber daya. Resource merupakan aset bio-psikologi yang dimiliki individu, yang dapat memengaruhi proximal process. Resource sendiri dapat
196 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
berupa kondisi fisik, kemampuan, pengetahuan, ketrampilan, atau pengalaman (Bronfenbrenner, 2005). Sementara itu, karakteristik personal lainnya yang muncul dalam hasil penelitian ini adalah kesediaan untuk melakukan tindakan pemeliharaan relasi. Menurut teori Bioekologi, hal ini dapat dikategorikan sebagai force atau dorongan. Force dapat berupa kecenderungan perilaku yang bisa menciptakan dan menjaga keberlangsungan proximal process atau justru sebaliknya secara aktif mengintervensi, menghambat serta mencegah proximal process. Dengan demikian, dapat dikatakan kesediaan partisipan untuk melakukan tindakan pemeliharaan relasi dapat digolongkan sebagai force yang bersifat menjaga proximal
process
yang
positif
antara
partisipan
dengan
suaminya
(Bronfenbrenner, 2005). Terkait dengan hal ini, sejumlah hasil penelitian menemukan terdapat korelasi antara tindakan pemeliharaan relasi dengan komitmen individu terhadap relasi romantis yang dijalaninya (misalnya Gagne & Lydon, 2003; Whitton dkk, 2007). Kedua jenis karakteristik personal diatas muncul dalam bentuk respon partisipan terhadap situasi sulit atau perilaku negatif yang dilakukan pasangan. Menurut Rusbult dkk (1991), ketika dihadapkan pada perilaku negatif yang dilakukan pasangan, maka individu dapat meresponnya secara destruktif maupun secara konstruktif. Respon destruktif adalah dengan melakukan exit (individu secara aktif melakukan tindakan yang merusak pernikahan seperti mengancam akan mengakhiri pernikahan, berteriak atau memukul saat bertengkar, atau meninggalkan pasangan) dan neglect (individu secara pasif melakukan tindakan yang merusak pernikahan seperti menghindari mendiskusikan masalah atau mengurangi ketergantungan dengan pasangan). Sementara itu respon konstruktif terdiri atas voice (individu secara aktif bertindak konstruktif untuk memelihara atau memperbaiki pernikahan, seperti dengan cara mendiskusikan masalah bersama pasangan, mengubah perilaku, meminta nasehat dari teman atau para ahli) dan loyalty (individu bertindak konstruktif secara pasif dalam memelihara atau memperbaiki pernikahannya, seperti menunggu situasi membaik atau optimis bahwa situasi akan berubah menjadi lebih baik). Ketika individu memilih untuk
197 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
merespon secara konstruktif,
maka ia telah melakukan perilaku akomodasi
terhadap relasi yang dijalaninya (Rusbult dkk, 1991). Selanjutnya, karakteristik personal lain yang muncul dalam penelitian ini adalah nilai-nilai yang dianut oleh partisipan. Nilai-nilai tersebut memiliki basis sosiokultural dan menjadi pedoman bagi partisipan untuk berinteraksi dengan suami. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, makrosistem setempat turut memengaruhi proximal process antara partisipan dengan suaminya melalui nilainilai sosikultural yang telah terinternalisasi dalam diri partisipan.
Mengacu pada pemaparan dalam bab ini maupun bab sebelumnya, berikut adalah diagram mengenai interaksi faktor lingkungan, proximal process, dan karakteristik personal dalam komitmen pernikahan partisipan:
198 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Diagram 5.2 Interaksi Faktor Lingkungan, Proximal Process, dan Karakteristik Personal pada Komitmen Pernikahan Partisipan
199 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
BAB 6 DISKUSI
Hasil penelitian ini menunjukkan secara umum konteks makrosistem (sosiokultural) di desa Dadap berperan dalam membentuk pernikahan pada sebagian besar penduduknya, yakni melalui pernikahan dini, sikap masyarakat terhadap perceraian, kemiskinan struktural, gaya hidup yang berdampak pada kemiskinan kultural, serta nilai tentang perempuan (istri) bekerja. Pernikahan dini merupakan fenomen yang umum terjadi akibat seks pranikah yang dilakukan para remaja setempat. Pihak yang berwenang (KUA) terpaksa mengeluarkan dispensasi nikah meski calon pengantin belum mencapai batas minimal usia yang dipersyaratkan karena telah terjadi kehamilan pranikah. Fenomen yang terjadi di desa Dadap ini memiliki kesesuaian dengan apa yang terjadi di wilayah Indramayu lainnya. Dalam penelitiannya di kecamatan Kandang Haur, Nazarudin (1998) mendapati pernikahan dan perceraian di usia muda merupakan hal yang lumrah terjadi di wilayah tersebut. Nazarudin (1998) menemukan adanya korelasi antara pernikahan dini dengan banyaknya perceraian yang terjadi di sana. Menurut Nazarudin (1998) terlalu mudanya usia saat menikah, membuat pasutri tidak mampu mengelola konflik yang terjadi dalam pernikahannya dan cenderung menyerahkan pemecahannya kepada orang tua, yang justru dengan mudah menyarankan perceraian sebagai jalan keluar. Selain pernikahan dini, konteks sosiokultural lainnya yang juga berperan dalam membentuk pernikahan di desa Dadap adalah sikap terhadap perceraian. Perceraian disikapi sebagai urusan personal dan karenanya warga bersikap tak acuh. Selain itu, warga setempat juga menganggap perceraian paska migrasi yang banyak terjadi di desanya sebagai suatu hal yang wajar. Terkait dengan sikap masyarakat terhadap perceraian tersebut, hasil penelitian menunjukkan di sejumlah daerah di Indramayu, perceraian bukan hanya dianggap lumrah namun juga solusi dari permasalahan (khususnya ekonomi) yang ada (Nazarudin, 1998; Sakardi, 1999). Menurut Johnson dkk (1998), sikap negatif orang-orang di sekitar individu terhadap perceraian dapat berperan sebagai barrier yang menghalangi individu untuk bercerai. Dalam konteks desa Dadap, dengan adanya sikap warga 200 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
yang cenderung menyetujui perceraian, maka tekanan sosial tidak menjadi faktor barrier yang dapat mencegah individu mengakhiri komitmen pernikahannya. Komponen sosiokultural lainnya yang juga membentuk pernikahan pada sebagian besar penduduk di desa Dadap adalah adanya kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural akibat gaya hidup konsumtif. Berbagai faktor tersebut berperan secara tidak langsung dalam pernikahan dengan cara bertindak sebagai hal yang mendorong para istri untuk menjadi TKW. Pernikahan jarak jauh akibat bermigrasinya istri inilah yang kemudian menimbulkan banyak permasalahan dalam mempertahankan komitmen diantara suami dan istri. Secara umum di Indramayu, sebenarnya fenomen perempuan bekerja sudah muncul jauh sebelum maraknya profesi TKW. Pekerjaan yang dilakukan perempuan dalam membantu keluarga mencari nafkah bermacam-macam, mulai dari menjadi buruh tani, berdagang, hingga menjalani prostitusi (Kasim, 2010; Jones, Asari, & Djuartika, 1994; Soedijar, 2004). Ini bisa jadi berkaitan dengan bagaimana cara pandang masyarakat Indramayu terhadap anak perempuan. Dalam masyarakat Indramayu, anak perempuan dipandang sebagai aset ekonomi yang sewaktu-waktu dapat diberdayakan untuk mengatasi kesulitan ekonomi keluarga. Banyak orang tua yang sedini mungkin menikahkan anak perempuannya dengan harapan agar beban ekonomi keluarga berkurang (Djohar, 2006; Nazarudin, 1998). Selain itu, banyak pula orang tua yang membiarkan anak perempuannya kawin-cerai berulang kali karena semakin sering perkawinan terjadi maka semakin banyak pula mahar dari pihak laki-laki yang diterima keluarga (Jones, Asari, Djuartika, 1994). Cara lainnya adalah dengan mendorong mereka melakoni pekerjaan tertentu yang menghasilkan banyak materi seperti prostitusi (Soedijar, 2004). Dengan demikian, bekerjanya perempuan desa Dadap keluar negeri bukan sesuatu hal yang baru pada masyarakat Indramayu yang memiliki ekspektasi peran tertentu secara ekonomi terhadap perempuan. Masyarakat desa Dadap menganggap perempuan atau istri bekerja sebagai fenomen yang wajar terjadi. Terkait dengan hal ini, Gosh (2009) menyatakan kondisi dan norma sosial merupakan hal yang penting dalam menentukan apakah perempuan dapat bermigrasi/ bekerja ke luar negeri. Hal tersebut misalnya terlihat dalam bentuk bagaimana sikap masyarakat terhadap bermigrasinya perempuan 201 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
atau sejauh mana masyarakat memberikan otonomi pada perempuan untuk bermigrasi. Sebagai contoh, negara dengan nilai patriarkat yang sangat kuat bisa jadi tidak mengizinkan para perempuan bekerja di luar negeri dan memberikan sangsi bagi mereka yang melanggar, sementara itu negara matrilokal justru mendukung bermigrasinya perempuan ke luar negeri dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang memudahkan hal tersebut (Gosh, 2009). Rosadi (2010) menjelaskan sebenarnya dalam kondisi normal (artinya ketika tidak mengalami kesulitan ekonomi), masyarakat Indramayu menganut pembagian kerja antara laki-laki dengan perempuan
berdasarkan sistem patriarkat, dimana laki-laki
berperan di ranah publik dengan mencari nafkah, sementara perempuan melakukan pekerjaan domestik seperti mengurus rumah dan mengasuh anak. Meski demikian, pada saat keadaan tersebut tidak tercapai, maka perempuan mau tidak mau ikut berpartisipasi mencari nafkah. Ini menunjukkan pembagian peran dalam masyarakat Indramayu tidak bersikap kaku, artinya bersifat fleksibel mengikuti kondisi yang ada. Flekibilitas peran dalam masyarakat inilah yang membuat para istri di desa Dadap tidak khawatir tindakannya bermigrasi tidak diterima lingkungan. Hasil penelitian ini menunjukkan secara umum komponen mikrosistem yang turut berperan dalam mendorong terjadinya perceraian pada sebagian besar penduduk desa Dadap adalah keluarga, dimana seringkali keluarga justru meminta individu mengakhiri pernikahannya. Dalam hal ini, peran norma subyektif yang dimiliki individu mempunyai keterlibatan ketika individu memutuskan untuk menuruti keinginan keluarga besarnya tersebut. Menurut Ajzen (1991), norma subyektif merupakan penentu intensi individu untuk berperilaku. Norma subyektif terkait dengan sejauh mana orang-orang terdekat individu mendukung atau tidak mendukung perilaku yang akan ditampilkan. Jika orang lain yang dianggap berpengaruh memandang perilaku yang ingin ditampilkan individu sebagai sesuatu yang positif dan individu termotivasi untuk memenuhi harapan orang lain tersebut, maka ia akan semakin berintensi untuk melakukan perilaku. Sebaliknya, jika orang lain yang dianggap berpengaruh tidak mendukung individu untuk menampilkan perilaku tersebut dan individu termotivasi untuk memenuhi harapan orang lain tersebut, maka ia akan berintensi untuk tidak melakukan perilaku 202 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
tersebut. Mengacu pada Ajzen (1991), ketika individu merasa orang yang relevan dalam hidupnya lebih menyukai ketika ia mempertahankan pernikahannya daripada mengakhirinya (Johnson dkk, 1999; Levinger, 1976), maka intensinya untuk mempertahankan pernikahannya semakin besar. Salah satu sumber norma subyektif adalah keluarga (Ajzen, 1991). Dalam hampir semua kebudayaan lokal di Indonesia, keluarga merupakan lembaga utama dan pertama yang sangat dijunjung tinggi (Suhartini, 2013). Dengan demikian, individu cenderung akan mengikuti preferensi sikap keluarganya. Berikutnya secara khusus pada partisipan penelitian ini, konteks makrosistem, mesosistem, mikrosistem, dan karakteristik personal turut memengaruhi dinamika komitmen pernikahan partisipan. Komponen makrosistem yang memengaruhi komitmen pernikahan adalah nilai-nilai tentang pernikahan dan anak, yang menjadi pedoman bagi partisipan untuk memulai, menjalankan, dan mempertahankan pernikahan. Nilai-nilai tentang ‘keharusan’ menikah bagi perempuan dan nilai-nilai tentang peran anak dalam menyokong hidup orang tua di masa depan, merupakan salah satu faktor yang mendorong partisipan untuk menikah. Selanjutnya, nilai tentang anak bukan hanya menjadi faktor yang memotivasi partisipan untuk menikah, namun juga untuk mempertahankan pernikahan meski pada akhirnya ketika pernikahan sudah sedemikian buruk faktor anak tak lagi menjadi bahan pertimbangan. Selain itu, ekspektasi tentang bagaimana seharusnya kriteria seorang suami (mampu mencari nafkah, dapat melindungi) menjadi pedoman partisipan untuk memilih pendamping hidup dan menjalani interaksi sehari-hari dengan pasangannya tersebut setelah menikah. Terkait dengan hal ini, sejumlah ahli mengatakan budaya atau nilai-nilai yang ada di suatu budaya memang dapat memengaruhi pemikiran, perasaan, dan cara pandang individu (Hogg & Vaughan, 2005; Ratnaer, 2006), yang pada akhirnya memandu individu tersebut berperilaku atau berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Kondisi dan nilai-nilai makrosistem setempat menjadi pendorong sebagian besar perempuan di desa Dadap, termasuk partisipan penelitian ini, untuk bermigrasi menjadi TKW di luar negeri. Migrasi ini membuat banyak pasutri di desa Dadap menjalani pernikahan jarak jauh dengan pasangannya. Profesi TKW 203 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
dan pernikahan jarak jauh inilah yang kemudian menimbulkan banyak permasalahan bagi partisipan dalam mempertahankan komitmen pernikahannya, yakni timbulnya konflik pada level mesosistem dan level mikrosistem. Konflik pada level mesosistem dipicu oleh adanya nilai yang dianut masyarakat setempat (makrosistem), yakni adanya pandangan terhadap perempuan sebagai aset ekonomi keluarga (Rosadi, 2010; Djohar, 2006). Pandangan tersebut membuat pihak suami maupun keluarga besar istri sama-sama merasa berhak menguasai penghasilan istri sehingga menimbulkan konflik diantara kedua pihak tersebut. Konflik pada level mesosistem ini ternyata tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap komitmen pernikahan partisipan. Hal tersebut terjadi karena partisipan memiliki otonomi dalam memutuskan apakah akan tetap berkomitmen atau tidak sehingga tidak terpengaruh oleh kecenderungan tertentu dari keluarga. Dalam mengambil keputusan, partisipan mengacu pada penilaiannya tentang bagaimana proximal process yang selama ini dijalani bersama pasangannya. Dengan demikian, belief yang dimiliki partisipan tentang pasangan memegang peranan utama bagi keberlangsungan pernikahan (Reis, Clark, Holmes, 2004; Cutrona, Shaffer, Wesner, & Gardner, 2007) bila dibandingkan dengan pengaruh keluarga besar. Dalam konteks mikrosistem, keluarga juga berpengaruh dalam dinamika kehidupan pernikahan partisipan. Bentuk pengaruh keluarga terhadap komitmen pernikahan partisipan adalah bagaimana orang tua bersikap atau berperilaku dalam pernikahannya menentukan bagaimana partisipan berperilaku dalam pernikahannya atau terhadap pasangannya. Pengalaman orang tua yang dinilai pahit oleh partisipan membuat mereka bertekad untuk tidak melakukan hal yang serupa. Sebagai contoh, perilaku ibu yang dinilai terlalu sabar dan pasrah dalam menghadapi kesewenang-wenangan suami membuat seorang partisipan tidak mau bersikap yang sama jika mengalami hal serupa. Partisipan menilai tindakan ibundanya tersebut sebagai hal yang merugikan diri sendiri. Contoh lainnya, perilaku ibu yang senantiasa berbakti pada suami membuat partisipan ingin melakukan hal yang sama. Terkait dengan hal ini, Weigel, Bennet, dan BallardReisch (2003) menyatakan melalui pengalaman yang didapat dari keluarga asalnya, individu belajar mengenai seperti apa seharusnya relasi personal yang 204 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
intim dengan pasangan. Individu mengamati bagaimana relasi pernikahan dalam keluarganya, mempelajarinya, dan kemudian memutuskan apakah mereka ingin melakukan sesuatu yang berbeda terhadap relasi yang sedang dijalaninya saat ini atau tidak. Selain itu, hasil penelitian Weigel, Bennet, dan Ballard-Reisch (2003) juga menunjukkan persepsi individu tentang komitmen dipengaruhi oleh pengetahuan yang didapat dari keluarga asal, misalnya melalui pesan dan pembelajaran yang terjadi selama individu tumbuh di tengah keluarganya. Tema tema yang biasa muncul dari pesan atau pembelajaran yang disampaikan oleh orangtua terhadap anak antara lain mengenai dedikasi terhadap pasangan, cinta, kebahagiaan, dan tetap bersama dalam keadaan ssuka dan duka. Meski demikian, ada pula tema-tema yang pada akhirnya membuat individu menjadi enggan untuk berkomitmen yakni komitmen bisa menimbulkan emotional pain (Weigel, Bennet, & Ballard-Reisch, 2003). Keluarga juga berperan dalam menanamkan nilai-nilai mengenai istri bekerja dalam diri partisipan. Sikap yang positif terhadap istri bekerja mendorong partisipan untuk mengambil tindakan yang serupa dan menjadikan mereka mengalami pernikahan jarak jauh dengan pasangan. Pada partisipan penelitian ini, hasil amatan terhadap sosok ibu (selaku mikrosistem) yang juga bekerja mencari nafkah untuk membantu ayah bisa jadi membuat mereka menganggap wajar peran istri sebagai pencari nafkah. Selain itu, pada partisipan penelitian ini, hal yang juga mendorong partisipan untuk mencoba pertama kalinya pengalaman bekerja di luar negeri adalah teman atau tetangga, yang merupakan komponen mikrosistemnya. Keberhasilan teman atau tetangga dalam meningkatkan taraf ekonomi keluarga dengan menjadi TKW memotivasi partisipan untuk melakukan hal yang serupa. Fenomen ini ternyata bukan hanya terjadi di desa Dadap, namun juga daerah lain di Indonesia. Sebagai contoh, hasil penelitian Ariani (2013) terhadap TKW di kabupaten Demak, Jawa Tengah, menunjukkan hal yang serupa. Dari pengalaman awal semasa lajang inilah partisipan belajar bahwa profesi sebagai TKW merupakan profesi yang dapat diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Selain pengaruh keberhasilan teman atau tetangga, hal lain yang mendorong partisipan memulai karirnya sebagai TKW adalah keinginan untuk membantu orang tua. Sebagai seorang anak, rasa kasihan melihat orangtua 205 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
bekerja keras demi mencukupi kebutuhan keluarga dengan penghasilan yang seringkali tidak mencukupi membuat partisipan yang ketika itu masih kanakkanak kemudian bertekad membantu orang tuanya mencari nafkah setelah dewasa kelak. Terkait dengan hal ini, pada sejumlah masyarakat di Indonesia, telah terjadi pergeseran ekspektasi terhadap anak, dimana anak perempuan kini lebih diharapkan menjadi tumpuan ekonomi daripada anak laki-laki. Hal ini bukan hanya terjadi di Indramayu (Soedijar, 2004), namun juga di luar Indramayu. Sebagai contoh, fenomen yang terjadi di desa Godong, Grobogan, Jawa Tengah (Astuti, 2009). Jika pada masa sebelum migrasi, anak laki-laki masih diharapkan untuk bekerja seperti membantu pengerjaan sawah, namun pada masa setelah migrasi justru anak perempuanlah yang menjadi dambaan orang tua karena dianggap mudah mendapatkan uang dengan bekerja sebagai TKW di luar negeri (Astuti, 2009). Meski secara ekonomi anak perempuan sangat diharapkan dan dibutuhkan, namun secara sosiokultural anak laki-laki tetap menjadi kebanggaan keluarga. Hal ini terlihat dari sikap orang tua di desa Godong yang lebih memilih menyekolahkan anak laki-laki dengan menggunakan biaya yang diperoleh anak perempuan dari hasil kerjanya sebagai TKW (Astuti, 2009). Dibandingkan dengan keluarga dan teman, komponen mikrosistem lainnya yang berpengaruh lebih kuat dalam membentuk komitmen pernikahan partisipan adalah interaksi antara partisipan dengan suaminya. Salah satu bentuk interaksi tersebut adalah terjadinya konflik dalam pernikahan mereka yang dipicu oleh kegagalan peran yang dilakukan suami, baik yang terjadi selama istri bermigrasi atau yang sudah terjadi sejak awal pernikahan. Dalam kegagalan peran yang terjadi pada saat istri bermigrasi, suami yang semula diamanahkan untuk menjadi pencari nafkah, mengelola uang istri, melakukan tugas domestik, menjaga kesetiaan, atau menjaga hubungan baik dengan keluarga istri, ternyata lalai menjalankan hal tersebut. Kegagalan peran para suami saat istri bermigrasi bisa jadi disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor lingkungan, yakni berupa modelling terhadap lingkungan sekitarnya yang pada umumnya melakukan kegagalan serupa dan kegagalan tersebut dianggap sebagai fenomen yang tidak asing lagi oleh masyarakat sekitar. Kedua, menurut Hakim (2003), kegagalan peran tersebut disebabkan oleh faktor personal berupa resistensi diri terhadap 206 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
peran baru yang dijalaninya (peran domestik, mengelola penghasilan istri), yang akhirnya membuatnya enggan menjalani peran yang diamanahkan istri padanya. Resitensi diri ini bisa jadi muncul karena suami memiliki harga diri yang tinggi dan masih memegang nilai patriarkat secara kuat, dimana suami didudukkan dalam posisi yang “lebih tinggi” dari istri (Hakim, 2003). Keengganan menjalani peran ini membuat para suami mengalami kekosongan peran sehingga mengisi kegiatannya dengan hal-hal yang tidak produktif, seperti berselingkuh atau menghamburkan uang istri untuk hal yang tidak produktif. Dengan demikian, faktor lingkungan (modelling terhadap orang sekitar) dan karakteristik personal suami (resistensi peran) berperan sebagai pemicu terjadinya konflik pada level mikrosistem ini. Terkait dengan kegagalan peran tersebut, Bochner dan Eisenberg (1987) mengemukakan bagaimana sebuah peran dijalankan dalam relasi pernikahan menjadi acuan bagi individu untuk bersikap dan berinteraksi dengan pasangan. Menurut Weigel, Bennet, dan Ballard-Reisch (2006), pasutri seringkali melakukan penilaian sejauh mana peran-peran yang dijalankan oleh masingmasing pihak telah adil dan memuaskan. Ketika pasangan dinilai telah menjalankan peran secara adil dan memuaskan, maka individu akan memandang relasi secara positif dan mempertahankan pernikahan (Weigel, Benner, BallardReisch, 2006). Pada sebagian kecil partisipan, kegagalan peran tersebut bahkan sudah terjadi sejak awal pernikahan, namun ketika itu mereka masih memilih untuk bertahan. Dalam teori Interdependensi, kegagalan peran yang dilakukan suami tersebut dapat dikategorikan sebagai cost yang dapat menurunkan tingkat kepuasan terhadap relasi. Partisipan yang sebelumnya memiliki ekspektasi tertentu terhadap suami (comparison level) harus kecewa ketika hasil yang diperoleh (outcome) tidak sesuai dengan ekspektasi tersebut. Perolehan outcome yang berada di bawah comparison level inilah yang merupakan cost dan menyebabkan terjadinya ketidakpuasan terhadap pasangan atau relasi (Rusbult, Arriaga, & Agnew, 2003). Berbeda dengan konflik pada level mesosistem yang tidak banyak memengaruhi komitmen pernikahan, konflik pada level mikrosistem atau proximal process (interaksi antara partisipan dengan suami) tersebut memberikan pengaruh yang signifikan pada komitmen pernikahan. Hal ini dimungkinkan 207 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
terjadi karena salah satu ciri dari intimate relationship adalah adanya interdependensi antara individu dengan pasangannya, dimana perilaku apapun yang ditampilkan oleh satu pihak akan berpengaruh terhadap pihak lainnya (Berscheid, Snyder, & Omoto, 2004). Dalam perspektif Bioekologi, proximal process itu sendiri merupakan inti atau penentu utama dalam perkembangan manusia. Dengan demikian, terganggunya atau tidak optimalnya proximal process secara otomatis akan memengaruhi jalannya perkembangan (Bronfenbrenner, 2005). Sementara itu, menurut teori Interdependensi, pada proximal process antara partisipan dan suaminya tersebutlah terkandung transaksi reward – cost yang menentukan apakah sebuah relasi layak untuk dijalani atau tidak (Rusbult, Arriaga, & Agnew, 2003). Konflik pada proximal process memberikan pengaruh yang signifikan pada komitmen pernikahan. Pengaruh tersebut tercermin dalam bentuk bahwa keputusan partisipan untuk berkomitmen ditentukan oleh bagaimana persepsi partisipan terhadap proximal processnya, yakin terkait dengan bagaimana suami menjalankan perannya selama ini dan bagaimana suami berespon terhadap situasi sulit yang terjadi. Berbagai persepsi tersebut menghasilkan karakteristik personal yang nantinya turut memengaruhi komitmen pernikahan, yakni kemampuan menoleransi situasi sulit serta kesediaan melakukan tindakan pemeliharaan relasi. Karakteristik personal inilah yang pada akhirnya akan memengaruhi proximal process kembali. Dengan demikian, proximal process dan karakteristik personal memiliki hubungan yang saling memengaruhi satu sama lain dalam perannya terhadap komitmen pernikahan partisipan (Bronfenbrenner, 2005). Adapun karakteristik personal partisipan dan proximal process yang terjadi turut dibentuk oleh nilai-nilai budaya yang mereka anut tentang bagaimana seharusnya pasutri bertingkah laku. Nilai-nilai ini bersumber dari pandangan masyarakat setempat (makrosistem). Sebagai contoh, meski para istri ini telah menjadi pencari nafkah, namun mereka tetap menganut nilai pada budaya patriarkat dimana suami tetap diharapkan berperan sebagai pencari nafkah dan pemimpin istri. Dengan demikian, ketika suami tidak melaksanakan peran tersebut, maka memicu timbulnya konflik. Contoh lainnya, adanya nilai lokal bahwa istri sudah sepatutnya menghargai berapa pun penghasilan suami, membuat 208 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
mereka tidak mempermasalahkan besar – kecilnya pendapatan suami asalkan suami menunjukkan usahanya dalam mencari nafkah. Sebaliknya, ketika suami lalai dalam menjalani peran yang diharapkan padanya (misalnya tidak menafkahi atau menyakiti hati istri dengan berselingkuh), maka menurut partisipan, sesuai dengan ajaran agama, mereka boleh menggugat cerai suami. Terkait dengan berbagai contoh diatas, Hogg dan Vaughan (2005) serta Ratnaer (2006) menyatakan bagaimana individu memandang, memahami, merasakan dan memaknai sesuatu dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang ada di sekelilingnya. Dengan demikian, dinamika berkomitmen partisipan terhadap pernikahannya dibentuk oleh nilai, pandangan, dan kebiasaan masyarakat di tempat tinggalnya. Meski ada sejumlah partisipan yang sempat menjadikan anak (komitmen struktural) dan nilai pribadi sebagai barrier dalam pernikahan (komitmen moral), secara dominan seluruh partisipan dalam penelitian ini memaknai komitmen pernikahannya sebagai komitmen personal (Johnson dkk, 1999) atau komitmen endogen (Arriaga & Agnew, 2003). Disebut komitmen endogen apabila komitmen bersumber dari dalam relasi itu sendiri dan bukan dari faktor-faktor eksternal. Pada partisipan penelitian ini, komitmen pernikahan yang terbentuk berasal dari ketertarikan partisipan terhadap pasangan dan relasi yang dijalaninya. Ketertarikan ini muncul dari penilaian positif para partisipan terhadap suaminya masing-masing yang dipersepsikan telah memenuhi peran yang diharapkan. Dalam hal ini, partisipan yang merasa suami atau relasi pernikahannya lebih banyak memberikan reward dibandingkan cost akan merasa pernikahan layak untuk dipertahankan meski mengalami situasi sulit sekalipun. Sebaliknya, ketika partisipan merasa pernikahannya sudah sedemikian banyak memberikan cost, maka mereka memilih untuk mengakhirinya. Menurut teori Interdependensi, manusia memang memiliki kecenderungan untuk menjalin interaksi dengan orang yang dapat menyediakan keuntungan maksimal (maximum reward) dengan pengorbanan seminimal mungkin (minimum cost) (Rusbult, Arriaga, & Agnew, 2003). Hal ini sesuai dengan sejumlah penelitian yang dilakukan di negara penganut budaya individualistik maupun kolektivistik menemukan adanya korelasi positif antara kepuasan terhadap relasi romantis dengan komitmen terhadap relasi romantis tersebut. individu yang merasa kebutuhannya dapat dipenuhi oleh pasangannya dan mendapat banyak manfaat 209 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
darinya akan mengembangkan ketergantungan terhadap relasi romantis (Drigotas & Rusbult, 1992), yang pada akhirnya akan meningkatkan komitmen individu (Givertz & Segrin, 2005; Impett, Beals & Peplau, 2001; Lin & Rusbult, 1995; Panayiotou, 2005; Rusbult, Johnson & Moorow, 1986; Sabatelli & Cecil-Pigo, 1985; Wieselquist, 2009). Dengan demikian, tidak hanya pada budaya individualistik yang mengutamakan kepentingan pribadi, pada budaya kolektivistik yang mengutamakan kepentingan kelompok, individu yang merasa puas terhadap relasi romantisnya juga akan termotivasi untuk mempertahankan relasi romantis tersebut. Menurut peneliti, era globalisasi memungkinkan nilai-nilai individualisme yang mengutamakan kesejahteraan pribadi diadopsi oleh individu yang tinggal dalam budaya kolektivistik (termasuk Indonesia) sehingga membuat mereka tidak hanya mengutamakan kesejahteraan kelompok tapi juga mulai memikirkan kesejahteraan pribadi, salah satunya dengan mencapai kepuasan dalam relasi romantis. Dalam penelitian ini terungkap bahwa partisipan memersepsi komitmen pernikahannya sebagai sesuatu yang bersifat mutual, yakni ketika menilai interaksinya dengan suami selama ini bersifat positif maka mereka akan berperilaku positif pula terhadap suami. Sebaliknya, ketika mereka menilai bahwa interaksinya dengan suami bersifat negatif, maka mereka akan berperilaku negatif pula terhadap suami. Hasil penelitian ini sejalan dengan apa yang telah diungkapkan oleh teori Bioekologi, yakni proximal process yang terjadi antara individu dengan mikrosistemnya haruslah bersifat mutual (Bronfenbrenner, 2005). Mutualisme
dalam
pernikahan
menjadi
penting
karena
individu
ingin
pasangannya memiliki ekspektasi dan merasakan hal yang sama mengenai relasi (Knobloch & Solomon, 2003). Dengan adanya mutualisme dalam relasi, maka relasi pernikahan itu sendiri akan menjadi memuaskan dan berkualitas bagi individu yang menjalani (Weigel, 2010). Yang membuat mutualisme menjadi sedemikian penting dalam pernikahan adalah karena dalam relasi yang intim, persepsi dan perilaku individu akan saling memengaruhi dengan persepsi dan perilaku pasangannya (Kelley & Thibaut, dalam Weigel, 2010). Dengan demikian, hal tersebut membuat kesejahteraan individu dalam relasi romantis menjadi tergantung pada perasaan, perilaku, dan pikiran dari pasangannya. Mengacu pada hasil penelitian ini, perilaku pasangan 210 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
yang positif akan membuat individu merasa nyaman berada dalam relasi dan merasa relasi layak untuk dipertahankan. Sebaliknya, perilaku pasangan yang negatif akan membuat individu merasa tidak nyaman berada dalam relasi dan merasa relasi tidak cukup layak untuk dipertahankan. Temuan ini menguatkan penelitian sebelumnya yang menyatakan persepsi bahwa pasangannya merupakan pribadi yang responsif membuat individu merasa lebih dekat dan lebih intim dengan pasangannya serta merasa lebih puas dengan relasi yang dijalani. Sebaliknya ketika individu memersepsi pasangannya sebagai pribadi yang tidak responsif, maka kepuasan dan komitmen pernikahan serta kedekatan hubungan akan menurun (Reis, Clark, Holmes, 2004 ; Cutrona, Shaffer, Wesner, & Gardner, 2007). Migrasi tidak hanya menimbulkan konflik pada level mikrosistem atau mesosistem saja, namun juga ikut memengaruhi pembentukan karakteristik personal partisipan. Karakteristik personal yang dihasilkan melalui pengalaman bermigrasi inilah yang berperan dalam menentukan bagaimana individu menghadapi berbagai persoalan atau konflik yang terjadi dalam pernikahannya. Piper (2009) menyatakan, bekerja di luar negeri dapat membuat perempuan menjadi
lebih percaya diri dan merasa berharga. Perasaan berharga tersebut
merupakan bagian dari komponen self esteem yang positif (Piper, 2009). Heatherton dan Wyland (2000) mengatakan self esteem yang meningkat dapat dihasilkan melalui akumulasi dari berbagai pengalaman keberhasilan yang dilalui individu. Pada partisipan penelitian ini, keberhasilan partisipan dalam menjalankan peran pencari nafkah menghasilkan self esteem yang positif. Tampilan self esteem tersebut muncul dalam bentuk penolakan partisipan terhadap perlakuan-perlakuan suami yang dianggap merendahkan atau menyengsarakan dirinya. Partisipan menjadi lebih peka dan sadar terhadap tindakan-tindakan suami yang
dirasa
merendahkan
harga
dirinya,
seperti
berselingkuh
atau
menyelewengkan penghasilan istri. Alih-alih menerima begitu saja, mereka memilih untuk tidak dapat lagi menoleransi perbuatan tersebut selama tidak ada perbaikan diri dari suami. Partisipan memaknai dirinya memiliki keterhubungan dan saling ketergantungan dengan orang lain. Konsep ini dinamakan interdependent self 211 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
construal. Individu yang menganut interdependent self construal meyakini bahwa dirinya merupakan bagian dari sebuah relasi sosial dan mengakui bahwa tingkah lakunya ditentukan atau diarahkan oleh persepsinya tentang pikiran, perasaan, dan reaksi orang yang berada dalam relasi tersebut (Supratiknya, 2006). Dengan demikian, bagaimana respon partisipan terhadap situasi sulit yang dihadapi ditentukan oleh persepsi partisipan terhadap pikiran, perasaan, dan tindakan sang suami, selaku terdekat yang berinteraksi dengannya dalam relasi pernikahan. Cara pandang partisipan yang demikian barangkali dipengaruhi oleh sejumlah nilainilai agama yang dianutnya tentang bagaimana pasutri harus berinteraksi satu sama lain, yakni istri diharuskan berbakti pada suami selagi suami dapat menjadi imam
yang baik dan diperbolehkan bercerai ketika suami tidak lagi dapat
diteladani. Penjelasan lain, konsepsi interdependent self construal yang dianut partisipan ini mencerminkan adanya kesadaran partisipan akan pentingnya relasi yang mutual dengan suami, yang mana kesadaran ini timbul seiring dengan meningkatnya rasa keberhargaan diri akibat keberhasilannya menjalankan peran sebagai pencari nafkah. Secara keseluruhan dari hasil penelitian ini, peneliti menarik sejumlah kesimpulan mengenai dinamika komitmen pernikahan pada para TKW di desa Dadap, Indramayu, yakni sebagai berikut:
Konteks makrosistem merupakan pre-determined bagi interaksi antara berbagai konteks lingkungan yang mengelilingi partisipan, yakni mikrosistem (interaksi partisipan dengan pasangan, keluarga, atau lingkungan sekitarnya), mesosistem (interaksi pasangan dengan keluarga partisipan), dan karakteristik personal partisipan itu sendiri, yang mana berbagai interaksi tersebut berperan dalam dinamika kehidupan pernikahan
partisipan,
termasuk
dinamika
berkomitmen terhadap
pernikahannya.
Bagaimana partisipan mengartikan pernikahan, membangun ekspektasi tertentu terhadap pasangan dan pernikahan, memilih dan berinteraksi dengan pasangan, serta menjalani pernikahan bersumber pada nilai-nilai peran tradisional, dimana suami diposisikan sebagai pemimpin, pelindung, pengayom keluarga, yang sekaligus dapat menyediakan 212 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
pemenuhan kebutuhan materi (nafkah) maupun psikologis (afeksi); sementara itu istri bertugas di sektor domestik, melayani, dan berbakti pada suami. Keadaan perekonomian (kemiskinan struktural, kemiskinan kultural) dan kondisi sosiokultural setempat (nilai, kebiasaan, gaya hidup) membuat partisipan pada akhirnya bersikap fleksibel terhadap aspek tertentu dari nilai peran tradisional yang dianutnya tersebut, yakni menyangkut pergeseran peran, dimana istri tidak hanya bertugas di sektor domestik, namun juga tampil sebagai pencari nafkah. Migrasi yang dilakukan istri membuat peran tradisional ini berubah drastis dan goncang dimana pada akhirnya peran yang ada tidak didelegasikan secara normal. Hal ini terjadi karena, meski migrasi membawa perubahan ekonomi keluarga ke arah yang lebih baik, namun ada aspek-aspek lain dalam pernikahan yang menjadi sulit dipenuhi seperti komunikasi, pengaturan keuangan, aktivitas seksual.
Pengalaman migrasi dan statusnya sebagai pencari nafkah, tidak serta merta membuat para partisipan ini melepaskan nilai peran tradisional tersebut secara total. Hanya saja mereka menjadi lebih menekankan aspek mutualisme (misalnya istri akan berbakti selama suami menjalankan perannya sebagai kepala rumah tangga dengan baik), lebih menyadari pentingnya memperjuangkan kesejahteraan pribadi (istri akan mengakhiri pernikahan atau meninggalkan suami yang dirasa sudah sedemikian buruk bagi dirinya), dan menjadi lebih berani ‘bersuara’ ketika terjadi pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut oleh pasangan.
Dorongan yang begitu kuat pada diri partisipan untuk menjadi TKW ternyata menimbulkan dilema, baik di pihak suami maupun istri. Keduanya menyadari adanya konsekuensi negatif yang mungkin terjadi dari pernikahan jarak jauh yang dijalani, namun mereka merasa seolah tak punya pilihan untuk mengatasi situasi ekonomi selain dengan menjadi TKW. Ketika pada akhirnya migrasi istri benar-benar berubah menjadi sumber konflik, meski banyak pihak/ context lingkungan yang memengaruhi,
namun
dalam
penyelesaian
masalah
dan
proses
berkomitmen, partisipan mendasari keputusan yang diambil berdasarkan 213 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
evaluasinya terhadap proximal process antara dirinya dengan suami selama ini, yang mana di dalamnya terkandung prinsip-prinsip transaksional.
214 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
BAB 7 PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian, keterbatasan penelitian, serta saran teoritis bagi penelitian selanjutnya maupun saran praktis bagi berbagai pihak terkait.
7.1. Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan utama, yakni bagaimana dinamika komitmen pernikahan TKW di desa Dadap, Indramayu, dikaitkan dengan interaksi individu dengan berbagai context lingkungan yang mengelilinginya dan karakteristik personalnya (person). Menjawab pertanyaan utama penelitian, hasil penelitian ini menemukan bahwa tampaknya context makrosistem merupakan pre-determined bagi interaksi antara berbagai context lingkungan yang mengelilingi partisipan, yakni mikrosistem (interaksi partisipan dengan pasangan, keluarga, atau lingkungan sekitarnya), mesosistem (interaksi pasangan dengan keluarga partisipan), eksosistem, dan karakteristik personal partisipan itu sendiri, yang mana berbagai interaksi tersebut berperan dalam dinamika komitmen pernikahan partisipan. Diantara berbagai context lingkungan yang saling berinteraksi tersebut, tampaknya interaksi antara individu dengan mikrosistemnya, dalam hal ini pasangan, atau yang dinamakan proximal process, dan karakteristik personal yang dihasilkan dari proximal process tersebut menjadi penentu utama komitmen pernikahan partisipan. Dengan demikian, interaksi antara berbagai context yang mengelilinginya, proximal process (khususnya interaksi antara individu dengan pasangan), dan person berperan dalam dinamika komitmen pernikahan pada TKW di desa Dadap, Indramayu. Secara teoritis, hasil penelitian ini memiliki implikasi terhadap dua buah teori, yakni teori Bioekologi yang menjadi landasan dalam penelitian ini dan teori Interdependensi yang dikritik dalam penelitian ini. Pada teori Bioekologi, temuan penelitian ini menunjukkan kesesuaian sekaligus memperluas teori tersebut dalam menjelaskan mengenai komitmen pernikahan pada TKW di desa Dadap, 215 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Indramayu. Teori Bioekologi mengatakan bahwa perkembangan individu dipengaruhi oleh context lingkungan yang mengelilinginya (makrosistemeksosistem-mesosistem-mikrosistem), dimana interaksi antara individu dengan mikrosistemnya (proximal process) merupakan penentu utama perkembangan individu. Hasi penelitian ini menunjukkan hal yang serupa, dimana secara spesifik context lingkungan yang lebih luas turut membentuk komitmen pernikahan partisipan dengan menjadi pedoman bagaimana individu atau pasutri harus berinteraksi, bersikap dan menjalani pernikahan. Dengan kata lain, context lingkungan menjadi faktor yang melatari/melandasi proximal process yang terjadi antara individu dengan suaminya. Sementara itu, dalam hasil penelitian ini, keputusan untuk tetap berkomitmen dan bagaimana partisipan merespon situasi sulit yang terjadi lebih banyak ditentukan oleh proximal process dengan suami dan karakteristik personal partisipan yang dihasilkan oleh proximal process itu sendiri. Secara spesifik, hasil penelitian ini menunjukkan diantara berbagai komponen mikrosistem lainnya, tampaknya proximal process yang berperan penting dalam komitmen pernikahan merupakan proximal process yang terjadi antara individu dengan suaminya, dan bukan dengan yang lainnya. Dengan demikian, tidak semua komponen mikrosistem menjadi penentu utama perkembangan individu. Hasil penelitian ini memperluas peran context lingkungan yang lebih luas (makrosistem) dalam teori Bioekologi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran lingkungan bukan hanya terbatas pada perkembangan individu saja, namun juga terhadap interaksi pada context mesosistem individu. Misalnya, nilai-nilai masyarakat setempat mengenai harapan ekonomi terhadap perempuan yang bekerja (konteks makrosistem) mendorong terjadinya konflik antara mertua dan menantu (konteks mesosistem). Selain itu, context makrosistem juga berperan dalam membentuk interaksi di context mikrosistem individu. Sementara itu bila dibandingkan dengan teori Interdependensi, meski memiliki kesesuaian secara umum, hasil penelitian ini menunjukkan adanya sejumlah
perbedaan
pada
aspek-aspek
tertentu
darinya.
Dalam
teori
Interdependensi, komitmen pernikahan dipandang sebagai hasil interaksi antara 216 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
individu dengan pasangan, yang semata-mata berorientasi pada reward atau kepuasan pribadi individu, dimana individu dipandang sebagai mahluk yang pasif, yang perannya dalam berkomitmen semata-mata hanya sekedar sebagai penerima reward dari pasangan. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan kesesuaian dengan teori Interdependensi secara umum, dimana penentu utama komitmen pernikahan pada partisipan adalah interaksi antara partisipan dengan suaminya terkait transaksi reward-cost, yakni dalam bentuk sejauhmana suami menjalankan peran yang diharapkan dan bagaimana suami menyikapi situasi sulit yang terjadi. Meski menunjukkan kesesuaian, pada sejumlah aspek hasil penelitian ini memiliki perbedaan dari teori Interdependensi, yakni komitmen pernikahan bukan sematamata berorientasi pada reward saja, namun merupakan hasil interaksi antara individu dengan pasangan dalam kerangka yang lebih luas. Bagi partisipan, cost yang timbul dalam pernikahan tidak serta merta membuatnya mengakhiri pernikahan, namun dianggap sebagai keadaan yang masih dapat diperbaiki bersama (asalkan suami kooperatif). Selain itu, alih-alih bersikap pasif, partisipan secara aktif mengusahakan terbentuknya komitmen pernikahan melalui tindakan pemeliharaan relasi yang dilakukannya (seperti memaafkan pasangan, bersabar, mensyukuri keadaan, mendevaluasi pasangan alternatif, bertahan dalam pernikahan yang tidak memuaskan) atau tidak serta merta langsung mengakhiri pernikahan saat cost hadir, melainkan melakukan evaluasi terhadap interaksinya dengan suami selama ini (seperti bagaimana reputasi suami di masa lalu, bagaimana suami menghadapi situasi sulit di masa kini) sebelum mengambil keputusan. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya aspek karakteristik personal, yang lebih luas, yang berperan dalam komitmen pernikahan, yakni kemampuan individu menoleransi situasi sulit, termasuk adanya unsur “kebertahanan” sebelum memutuskan untuk mengakhiri pernikahan. Bagi partisipan penelitian ini, orientasi dalam relasi pernikahan bukan semata-mata reward, namun juga proses dan pertumbuhan relasi. Berbeda dengan teori Interdependensi, dalam penelitian ini komitmen pernikahan bukan hanya dipengaruhi oleh interaksi dengan pasangannya (mikrosistem), namun juga konteks lingkungan lain yang lebih luas seperti 217 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
mikrosistem lain, mesosistem, eksosistem, dan makrosistem, meskipun berbagai konteks tersebut memberikan pengaruh secara tidak langsung dan kurang kuat. Kemudian, interaksi antara individu dengan pasangan, bukan semata-mata dilandasi oleh prinsip untung-rugi saja, namun didasarkan pula pada sistem nilai masyarakat setempat, yakni:
Meski para istri ini telah menjadi pencari nafkah, namun mereka tetap menganut nilai pada budaya patriarkat dimana suami tetap diharapkan berperan sebagai pencari nafkah dan pemimpin istri.
Mengacu pada nilai agama, istri harus berbakti pada suami selama suami berada dijalan yang benar dan diperbolehkan bercerai ketika suami lalai bertanggung jawab.
Istri sudah sepatutnya menghargai usaha keras suami meski hasil yang didapatkan tidak mencukupi dan merasa tidak patut bertengkar dengan suami hanya karena uang atau ekonomi.
Dari berbagai pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa meski teori Interdependensi dapat menjelaskan komitmen pernikahan pada TKW di desa Dadap, Indramayu, namun tetap harus menyertakan context lingkungan yang lebih luas, yang mengelilingi individu, agar mendapatkan pemahaman yang komprehensif.
Selain itu, dapat pula disimpulkan bahwa teori Bioekologi
memiliki kesesuaian dalam menjelaskan komitmen pernikahan pada TKW di desa Dadap, Indramayu. Teori Bioekologi bukan hanya dapat menjelaskan interaksi antara individu dengan pasangannya selaku mikrosistemnya, namun juga dengan individu lain dalam mikrosistemnya maupun dengan lingkungan lain yang lebih luas (makrosistem, eksosistem, mesosistem) sebagai faktor yang dapat memengaruhi komitmen pernikahan.
7.2 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki sejumlah keterbatasan. Pertama, partisipan penelitian ini adalah TKW sehingga karenanya berfokus pada narasi pengalaman dari pihak istri saja, yang mana tidak menutup kemungkinan narasi ini bertolak belakang dengan narasi yang dituturkan oleh pihak suami. Kedua, hal lain yang 218 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
harus diperhatikan adalah adanya kemungkinan partisipan hanya menampilkan citra diri positif dan tidak mengemukakan aspek diri yang negatif kepada peneliti. Dimungkinkan pula partisipan hanya mengungkapkan apa yang ingin mereka ungkapkan kepada peneliti. Ketiga, keterbatasan sumber daya dan waktu yang dimiliki peneliti membuat penelitian ini tidak dilakukan secara longitudinal sehingga komponen waktu (time) dalam penelitian ini kurang menonjol. Para ahli menyarankan, dalam penelitian yang menggunakan kerangka teori Bioekologi sebaiknya memang dilakukan secara longitudinal (Bronfenbrenner & Morris, 2006).
7.3 Saran 7.3.1 Saran Teoritis Mengingat narasi pengalaman partisipan dalam penelitian ini hanya bersumber dari pihak istri, dan hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh yang bersifat langsung dan lebih kuat dari interaksi antara partisipan dengan suami terhadap komitmen pernikahan, maka dalam penelitian selanjutnya hendaknya peneliti mempertimbangkan untuk melibatkan suami sebagai partisipan penelitian. Kemudian, mengingat penelitian ini kurang melibatkan komponen waktu (time) dan para ahli menyarankan agar penelitian yang menggunakan kerangka teori Bioekologi sebaiknya dilakukan secara longitudinal (Bronfenbrenner & Morris, 2006), maka penelitian selanjutnya perlu melakukan hal tersebut agar komponen waktu (time) dalam teori Bioekologi terlibatkan.
7.3.2 Saran Praktis Pengiriman TKW ke luar negeri, khususnya dari desa Dadap, masih akan terus dilakukan, sementara pernikahan jarak jauh itu sendiri berpotensi menjadi ancaman bagi keberlangsungan pernikahan. Dengan demikian, maka kebijakan yang dapat dirumuskan berdasarkan hasil penelitian ini, antara lain:
1. Kebijakan yang terkait dengan persiapan keberangkatan, saat migrasi, dan setelah kepulangan TKW ke keluarganya (dalam konteks pernikahan dan keluarga) 219 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya persoalan-persoalan dalam pernikahan yang dicetuskan oleh migrasi yang dilakukan istri. Persoalan yang tergambar di sini adalah ketidaksiapan suami dalam bertukar peran dengan istri. Ketidaksiapan tersebut dimanifestasikan dalam
bentuk,
misalnya
berselingkuh,
main
perempuan,
atau
menghambur-hamburkan penghasilan istri. Persoalan lain yang muncul adalah konflik antara suami dengan keluarga besar istri. Adapun persoalan lain yang tidak menutup kemungkinan dapat terjadi adalah masalah kekuasaan dalam relasi pasutri setelah kembalinya istri dari luar negeri. Terkait dengan hal tersebut, perlu dirumuskan suatu kebijakan yang berfokus pada optimalisasi ketahanan dan harmoni dalam relasi pernikahan sebelum, saat, dan setelah istri bermigrasi. Mengingat tema yang muncul dalam penelitian ini adalah peran yang dijalankan oleh pasangan, maka sebelum migrasi dilakukan, pasutri dan anggota keluarga lainnya hendaknya diberi pengarahan dan pembekalan
ketrampilan
untuk
menerima,
menegosiasikan
atau
menjalankan peran baru yang dijalankan oleh masing-masing pihak. Adapun kebijakan terkait optimalisasi kualitas pernikahan selama migrasi berfokus pada pengelolaan hubungan dengan suami dan anggota keluarga lainnya. Sementara itu, untuk kebijakan paska kepulangan para TKW ini ke tanah air difokuskan pada penyesuaian mereka dengan nilai-nilai dan kondisi sosial budaya di kampung halamannya dan penyesuaian suami terhadap nilai-nilai atau pola pikir yang dibawa istri dari luar negeri.
2. Kebijakan terkait pemberdayaan pasangan (suami) yang ditinggalkan Dari hasil penelitian ini terungkap pula bahwa pada umumnya suami melakukan kegiatan yang cenderung negatif dan kurang produktif selama ditinggal istri bermigrasi ke luar negeri. Penting kiranya bagi petugas terkait (perangkat desa, BP4 setempat atau lembaga lainnya) untuk mengembangkan dan menginisiasi suatu program kegiatan positif secara berkala yang diharapkan dapat mengurangi perilaku negatif dan kurang produktif yang biasanya dilakukan oleh para suami selama ditinggal sang 220 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
istri bekerja ke luar negeri. Program ini dapat berupa, misalnya, pemberian ketrampilan wirausaha, kegiatan olahraga bersama, atau paguyuban berisi suami-suami senasib untuk saling menguatkan dan mengingatkan satu sama lain (paguyuban ini sebaiknya didampingi petugas BP4 yang secara berkala memberikan penyuluhan atau konseling kepada mereka).
3. Kebijakan terkait pengaturan keberangkatan TKW keluar negeri Mengingat kepergian para istri menjadi TKW menjadi sumber dari sejumlah konflik dalam pernikahan pasutri, maka perlu adanya kebijakan yang berfokus pada pengaturan keberangkatan TKW bilamana arus migrasi ini sulit untuk dihentikan. Interval keberangkatan TKW dari satu migrasi ke migrasi lainnya sebaiknya tidak terlalu sering. Hal tersebut bertujuan agar TKW memiliki kesempatan untuk membangun pondasi yang kuat dalam relasi pernikahannya.
221 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, J.M., & Jones, W.H. (1997). The conceptualization of marital commitment: An integrative analysis. Journal of Personality and Social Psychology, 72(5), 11771196. Adams, J.M., & Jones, W.H. (1999). Interpersonal commitment in historical perspective. In. J.M. Adams & W.H.Jones (Eds.), Handbook of interpersonal commitment and relationship stability. (pp.193-203). New York: Kluwer Academic/Plenum Publisher. Adamsons, K., O’Brien, M., & Pasley, K. (2007). An ecological approach to father involvement in biological and stepfather familie. Fathering, 5, 129 – 147. Agnew, C.R., & Dove, N.L. (2011). Relationship commitment and perceptions of harm to self. Journal of Basic and Applied Social Psychology, 33, 322-332. Agnew, C. R., Van Lange, P.A.M., Rusbult, C. E., & Langston, C.A. (1998). Cognitive interdependence: Commitment and the mental representation of close relationship. Journal of Personality and Social Psychology, 74, 939-954. Ajzen, I. (1991). Attitudes, Personality, and Behavior. Berkshire, England: Open University Press, McGraw-Hill Education. Albert, I., Trommsdorff, G., Mayer, B. Schwarz, B. (2005). Value of children in urban and rural Indonesia: Socio-demographic indicators, cultural aspects, and empirical findings. In Gisela Trommdorff and Bernhard Nauck (Eds.), The value of children in cross-cultural perspective: Case studies from eight society. (pp.171-207). Lengerich: Pabst Science. Allgood, S.M., Harris, S., Skokgrand, L., & Lee, T.R. (2009). Marital commitment and religiosity in a religiously homogenous population. Marriage and Family Review, 45, 52-67. Amato, P.R. (2000). The Consequences of Divorce for Adults and Children. Journal of Marriage and the Family, 62, 1269–1287. Amato, P. R., & DeBoer, D.D. (2001). The transmission of marital instability across generations : Relationship skills or commitment to marriage?. Journal of Marriage and Family, 63, 1038-1051. Amato, P. R., & Hohmann-Marriot, B. (2007). A comparison of high and low distress marriages that end in divorce. Journal of Marriage and Family, 69, 621- 638. Amato, P.R., & Previti, D. (2003). People’s reason for divorcing: Gender, social class, the life course, and adjustment. Journal of Family Issues, 24,602-626. 222 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Ariani, I. (2013). Peran dan Faktor Pendorong Menjadi Tenaga Kerja Wanita (Studi Kasus di Kabupaten Demak). Semarang: Universitas Diponegoro. Arriaga, X.B., & Agnew, C.R. (2001). Being committed: Affective, cognitive and conative components of relationship commitment. PSPB, 27(9), 1190-1203. Arriaga, X.B., Reed, J.T., Goodfriend, W., & Agnew, C.R. (2006). Relationship perceptions and persistence: Do fluctuations in perceived partner commitment undermine dating relationship?. Journal of Personality and Social Psychology, 91(6), 1045-1065. Astuti, T.M.P. (2009). Sosialisasi anak dan melemahnya tradisi dalam migrasi internasional: Kasus TKW dari Godong, Grobogan, Jawa Tengah. Humaniora, 21(2). Ayhan, S.H. (2014). How domarried women respond when their husband lose their jobs? Evidence from Turkey during the recent crisis. Diakses pada 19 Januari 2015 dari www.scuoledidottorato.unicatt.it Ballard-Reisch, D.S., Weigel, D.J., & Zaguidoulline, M.G. (1999). Relational maintenance behaviors, marital satisfaction, and commitment in Tatar, Russian, and Mixed-Russian-Tartar marriages: An exploratory analysis. Journal of Family Issues, 20, 677-697. Barnes, B. (2011). Teachers’ Perception and Understandings of Diversity and Inclusive Education: A Case Study. Stellenbosch University. Bauserman, S.A.K., & Arias, I. (1992). Relationships among marital investment, marital satisfaction, and marital commitment in domestically victimized and non victimized wives. Violence and Victims, 7(4), 287-296. Behan, K.G. (2012). A Qualitative Analysis of Clinical Record from A Trauma Response Program for Families Exposed to Violance. Oregon State University. Berscheid, E., Snyder, M., & Omoto, A.M. (2004). Measuring closeness: The Relationship Closeness Inventory (RCI) revisited. In D.J. Mashek & A. Aron (Eds.), Handbook of closeness and intimacy (pp. 81 -101). Mahwah, NJ: Erlbaum.Collins, R. (1987). Sociology of Marriage and The Family. Illinois: Nelson-Hall, Inc. Birnie, C., McClure, M.J., Lydon, J.E., & Holmberg, D. (2009). Attachment avoidance and commitment aversion: A script for relationship failure. Personal Relationship, 16, 79-97. Boyce, C., & Neale, P. (2006). Conducting in-depth interviews: A guide for designing
223 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
and conducting In-depth interviews for evaluation input. Pathfinder International Tool Series. Brewer, S.J. (1993). Reconceptualizing marital commitment: An interpretive interactional, qualitative study. Unpublished doctoral dissertation, University of Connecticut, Storrs. Bronfenbrenner, U. (2005). Making human being human: Bioecological perspective on human development. California: Sage Publications, Inc. Bronfenbrenner, U., & Morris, P.A. (2006). The bioecological model of human development. In Damon, William, & R.M. Lerner, Handbook of child psychology, volume one: Theoretical models of human development (pp.793829). Canada: John Wiley & Sons, Inc. Broman, C.L. (2002). Thinking of divorce but staying married. Journal of Divorce and Remarriage, 37, 151 – 162. Bromlett, M.D., & Mosher, W.D. (2002). Cohabition, marriage, divorce, and remarriage in the United States. (Vital and Health Statistics, Series 23, No.22). Washington DC: U.S. Government Printing Office. Brooks, Prudence. (2007). A Qualitative Study of Factors that Contribute to Satisfaction and Resiliency in Long-Term African-American Marriages. Disertasi. Texas: Our Lady of The Lake University. Bui, K.T., Peplau, L.A., & Hill, C.T. (1996). Testing the Rusbult model of relationship commitment and stability in a 15-year study of heterosexual couples. PSPB, 22(12), 1244-1257. Campbell, W.K., & Foster, C.A. (2002). Narcissism and commitment in romantic relationships : An investment model analysis. Personality and Social Psychology Bulletin, 28(4), 484-495. Carrere, et.al. (2000). Predicting marital stability and divorce in newlywed couples. Journal of Family Psychology, 14(1), 42-48. Cairns, R.B., & Cairns, B.D. (1995). Social ecology over time and space. In U. Bronfenbrenner (Ed.). Making human beings human: Bioecological perspectives on human development (pp.16 – 21). C: Sage Publications, Inc. Cherlin, A.J. (2004). The deinstitutionalization of American marriage. Journal of Marriage and Family, 66, 848-861 Clements, M.L., Stanley, S.M., & Markman, H.J. (2004). Before they said “I do”: Discriminating among marital outcomes over 13 years. Journal of Marriage and Family, 66, 613 – 626. 224 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Collins, R. (1987). Sociology of Marriage and Family: Gender, Love, and Property. Illinois: Nelson-Hall, Inc. Cox, C. L., Wexler, M. O., Rusbult, C. E., & Gaines Jr, S. O. (1997). Prescriptive support and commitment processes in close relationship.Journal of Social Psychology Quarterly, 60, 79- 90. Craig, M.J. (2009). The Influence of Early Parent Involvement on Later Learning-Related Social Skills: A Latent Growth Curve Analysis. Florida State University. Crawford, D.W., Feng, D., Fischer, J.L., Diana, L.K. (2003). Influence of love, equity, and alternatives on commitment in romantic relationships. Family and Consumer Sciences Research Journal, 31(3), 253-271. Creswell, J.W. (2004). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions.California: Sage Publication, Inc. Cupach, W.R., & Metts, S. (1986). Accounts of relational dissolution: A comparison of marital and non marital relationships. Communication Monograph, 53, 311-334. Personal Relationships, 24, 177-195. Cutrona, C., Shaffer, P.A., Wesner, K.A., & Gardner, K.A.(2007). Optimally matching support and perceived spousal sensitivity. Journal of Family Psychology, 21, 754-758. Darmawan, W. (2010). Potret kehidupan social ekonomi di kabupaten Indramayu: tinjauan historis tahun 1970 – 2007. Jurnal Penelitian Pendidikan, 11(1). Davis, L.E., & Strube, M.J. (1993). An Assessment of romantic commitment among Black and White dating couples. Journal of AppliedSocial Psychology, 23(3), 212-225. Djohar, A. (2006). Model Sosial dan Upaya Pemecahan Masalah Trafikking Anak untuk Tujuan Dilacurkan: Studi Kasus Komunitas Desa Amis, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu. Depok: Universitas Indonesia. Dollahite, D.C., & Lambert, N.M. (2007). Forsaking all others: How religious involvement promotes marital fidelity in Christian, Jewish, and Muslim Couples. Review of Religious Research, 48(3), 290-307. Drigotas, S.M., & Rusbult, C.E. (1992). Should i stay or should i go? A dependence model of breakup. Journal of Personality and Social Psychology, 62, 1, 62-87. Drigotas, S.M., Rusbult, C.E., & Verette, J.E. (1999). Level of commitment, mutuality of Commitment, and couple well being. Personal Relationship (6), 389-409. Duffy, S.M., & Rusbult, C.E. (1986). Satisfaction and commitment in homosexual And heterosexual relationships. Journal of Homosexuality, 12, 1-23. 225 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Eaton, J., Struthers, C.W., & Santelli, A.G. (2006). The mediating role of perceptual validation in the repentance-forgiveness process. Personality and Social Psychology Bulletin, 32, 1389-1401. Ehrenberg, M.F., Robertson, M., & Pringle, J. (2012). Attachment style and marital commitment in the context of remarriage. Journal of Divorce and Remarriage, 53, 204-219. Fakher, N.M.K. (2013). Cultural Dimension and Marital Relationship. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Farida, I. (2001). Pengaruh Kepuasan dengan Pasangan, Kualitas Alternatif, dan Investasi yang Telah Dikeluarkan terhadap Komitmen Suami dalam Perkawinan. Jakarta: Universitas Indonesia. Fauzi, A. (2014). Eskalasi Perceraian di Lingkungan TKI Masyarakat Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep. Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim Finkel, E.J., Rusbult, C.E., Kumashiro, M., & Hannon, P.A. (2002). Dealing with betrayal in close relationship : Does commitment promote fogiveness?. Journal of Personality and Social Psychology, 82(6), 956-974. Firdaus, Faradillah. (2008). Hubungan Tipe Kepribadian dan Komitmen Perkawinan dengan Pemaafan terhadap Kebohongan pada Pasangan dalam Perkawinan Bugis. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Fitness, J. (2001). Betrayal, rejection, revenge, and forgiveness. In M.R. Leary (ed.), Interpersonal rejection (pp.73-103). New York: Oxford University Press. Follingstad, D.R., Rogers, M.J., Duvall, J.L. (2012). Factors predicting relationship satisfaction, investment, and commitment when women report high prevalence of psychological abuse. Journal of Family Violence, 27, 257-273. Frisco, M. L., Muller, C., & Frank, K. (2007). Parents’ union dissolution and adolescents’school performance: Comparing methodological approaches. Journal of Marriage and Family, 69, 721 – 741. Gagne, F.M., & Lydon, J.E. (2003). Identification and the commitment shift: Accounting for gender differences in relationship illusions. Personality and Social Psychology Bulletin, 29, 907 – 919. Gaine, G.S., & LaGuardia, J.G. (2009). The unique contributions of motivations to maintain relationship and motivations toward relational activities to relationship well-being. Motiv.Emot, 33,184-202. Givertz, M., Segrin, C., Hanzal, A. (2009). The association between satisfaction and
226 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
commitment differs across marital couple types. Communication Research, 36(4), 561-584. Gottman, J.M., Coan, J., Carrere, S., & Swanson, C. (1998). Predicting marital happiness and stability from newlywed interactions. Journal of Marriage and The Family, 60, 5 – 22. Gottman, J.M., & Levenson, R.W. (2000). The timing of divorce: Predicting when a couple will divorce over 14 year period. Journal of Marriage and The Family, 62, 737 – 745. Greenfield, P. (2009). Linking social change and development change: Shifting pathways of human development. Developmental Psychology, 45(2), 401 – 418. Gordon, C.L., & Baucom, D.H. (2009). Examining the individual within marriage: Personal strength and relationship satisfaction. Personal Relationships, 16, 421– 435. Gudykunst, W.B., Matsumoto, Y., Ting-Toomey, S., Nishida, T., Kim, K., & Heyman, S. (1996). The influence of cultural individualism collectivism, self construal, and individual values on communication styles across culture. Human Comm Research, 22, 510-543. Guhn, M.A. (2009). Examining Interactions Between Social and Cultural Child and Neighborhood Characteristics on Children’s Developmental Outcomes: Studies From The Population-Based Early Development Instrument Project. Vancouver: The University of British Columbia. Ham, B. (2003). The effect of divorce on the academic achievement of high school seniors. Journal of Divorce and Remarriage, 38, 167-185. Hakim, A.L. (2003). Perceraian di Kalangan Kaum Migran: Penelitian di 4 Desa di Kabupaten Tulung Agung, Jawa Timur. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Hango, D. W., & Houseknecht, S. K. (2005). Marital disruption and accidents/injuries among children. Journal of Family Issues, 26, 3 – 31. Hapsari, B.T., & Iqbal, F. (2011). Komunikasi suami istri dalam mengatasi konflik pada pasangan suami istri bercerai (Studi kasus pasangan suami istri bercerai di Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta). Jurnal Pemikiran Islam, 7(2). Harkonen, U. (2007). The Bronfenbrenner ecological system theory of human development. Artikel dipublikasikan pada Scientic Article of V International Conference Person, Clour, Nature, Music. Latvia: Daugavpils University. Hastuti. (2009). Pembagian Kerja serta Peran Suami Istri dalam Pengambilan Keputusan di Rumah Tangga Pedesaan: Fenomena 2 Dusun di Sisi Selatan Gunung Merapi, 227 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Haryono, P., & Suciarto, S. (2010). Laporan Akhir Persepsi Masyarakat tentang Wanita secara Sosiokultural, Motivasi Kerja Wanita, dan Pembagian Peran secara Seksual di Yogyakarta pada Masa Kini. Semarang: Pusat Studi Wanita LPPM Universitas Soegijapranata. Heaton, T.B., & Albrecht, S.L.(1991). Stable unhappy marriages. Journal of Marriage and The Family, 53, 747-758. Hermalin, A.I., Roan, C., & Perez, A. (1998). The Emerging Role of Grandparents in Asia. Paper presented at the 1998 annual Meeting of The Population Association of America, Chicago, April 2-4, 1998. Ho, M.Y., Chen, S.X., Bond, M.H., Hui, C.M., Chan, C., & Friedman, M. (2012). Linking adult attachment styles to relationship satisfaction in Hongkong and the United States: The mediating role of personal and structural commitment. Journal of Happiness Studies, 13, 565-578. Hogg, M., &Vaughan, G.M. (2005). Introduction to Social Psychology. Australia: Pearson Education in Australia. Imelda, N. (2004). Hubungan antara Komitmen Perkawinan dengan Tingkat Pemafaan pada Istri yang Merasa Disakiti. Depok: Universitas Indonesia. Impett, E. A., Beals, K.A., & Peplau, L. (2001). Testing the investment model of relationship commitment and stability in a longitudinal study of married couples. Journal of Current Psychology, 20, 312- 326. Indahwati. (2014). Wacana perceraian dan selebriti perempuan dalam program talkshow Hitam Putih di Trans 7. Commonline Departemen Komunikasi, 3(3), 707-718. Irsyad, S. (2013). The reasons for a divorce: Six cases from the religion court of Purwokerto in Central Java, Indonesia. Sosiohumanika, 6(1), 49-56. Jin, B., Park, J.Y., & Kim, H.S. (2010). What makes online community commit? A social exchange perspective. Behavior and Information Technology, 29(6),587-599. Johnson, D.J., & Rusbult, C.E. (1989). Resisting temptation: Devaluation of alternative partners as a means of maintaining commitment in close relationship. Journal of Personality and Social Psychology, 57(6), 967-980. Johnson, M.P. (1973). Commitment: A conceptual structure and empirical application. The Sociology Quarterly, 14(3), 395-406. Johnson, M.P. (1999). Personal, moral, and structural commitment to relationships:
228 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Experiences of choice and constraint. In. J.M. Adams & W.H.Jones (Eds.), Handbook of interpersonal commitment and relationship stability. (pp.73-87). New York: Kluwer Academic/Plenum Publisher. Johnson, M. P., Caughlin, J., & Huston, T. L. (1999). The tripartite nature of marital commitment: personal, moral, and structural reason to stay. Journal of Marriage and Family, 61, 160-177 Jones, G.W. (2001). Which Indonesian women marry youngest, and why?. Journal of Southeast Asian Studies, 32(1), 67-78. Jones, G.W., Asari, Y., & Djuartika, T. (1994). Divorce in West Java. Journal of Comparative Family Studies, 25(3), 395-416. Jones, W.H., Adams, J.M., Monroe, P.R., & Berry, J.O. (1995). A psychometric exploration of marital satisaction and commitment. Journal of Social Behavior and Personality, 10(4), 923-932. Junaidi, A. (2011). Konstruksi Pernikahan TKW (Studi tentang Komitmen Pernikahan TKW di desa Patok Picis, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Malang: IAIN Sunan Ampel. Kasim, S. (2010). Budaya Dermayu: Nilai-nilai historis, estetis, dan transendental. Yogyakarta: Pustaka Djati. Karney, B.R., & Frye, N. E. (2002). “But we’ve been getting better lately”: Comparing prospective and retrospective views of relationship development. Journal of Personality and Psychology, 82, 222 – 238. Khumas, A. (2012). Model Penjelasan Intensi Cerai Perempuan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Kitson, G.C. (2006). Divorce and relationship dissolution research: Then and now. In. M.A.Fine & J.H.Harvey (Eds.), Handbook of divorce and Relationship Dissolution. (pp.15-40). London: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Knobloch, L.K., & Solomon, D.H. (2003). Manifestation of relationship conceptualizations in conversations. Human Communication Research, 29, 482 – 515. Knoester, C., & Booth, A. (2000). Barriers to divorce : When are they effective? When are they not? Journal of Family Issues, 21, 78-99. Koentjaraningrat. (1984). Kebudayan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Kurdek, L.A. (1997). Relationship between neuroticism and dimension of relationship commitment: Evidence from gay, lesbian, and heterosexual couples. Journal of Family Psychology, 11(1), 109-124 229 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Kustini. (2002). Perceraian di Kalangan Buruh Migran Perempuan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Lalonde, N., Hynie, M., Pannu, M., & Tatla, S. (2004). The role of culture in interpersonal relationships: Do second generation South Asian Canadians want a traditional partner? Journal of Cross Cultural Psychology, 35, 503 – 524. Lambert, N.M., & Dollahite, D.C. (2006). How religiosity helps couples prevent, resolve, and overcome marital conflict. Family Relations, 55(4), 439-449. Laporan Asian Migrant Care. (2007). Underpayment 2: Pemerasan Sistematis Berkepanjangan pada Buruh Migrant Indonesia di Hong Kong: Suatu Studi Mendalam. Lavner, J.A., & Bradbury, T.N. (2012). Why do even satisfied newlyweds eventually go on to divorce? Journal of Family Psychology, 26(1), 1 – 10. Levinger, G. (1976). A social psychological perspectives on marital dissolution. Journal of Social Issues, 32, 21-47. Lewthwaite, B. (2011). Applications and Utility of Urie Bronfenbrenner’s Bio-ecological Theory. Kanada: Manitoba Education Research Network. Levine, R., Sato, S., Hashimoto, T., & Verma, J. (1995). Love and marriage in eleven cultures. Journal of Cross Cultural Psychology, 26, 554-571. Lin, Y.H.W., & Rusbult, C.E. (1995). Commitment to Dating Relationships and CrossSex Friendships in America and China. Journal of Social and Personal Relationship, 12, 7-26. Lydon, J.E., Fitzsimons, G.M., & Naidoo, L. (2003). Devaluation versus enhancement of attractive alternatives: A critical test using the calibration paradigm. Personality and Social Psychology Bulletin, 29, 349-359. Lydon, J., Meana, M., Sepinwall, D., Richards, N., & Mayman, S. (1999). The commitment calibartion hypothesis: When do people devalue attractive alternatives?. Personality and Social Psychology Bulletin, 25, 152-161. Lydon, J., & Zanna, M.P. (1990). Commitment in the face of adversity : A valueaffirmation approach. Journal of Personality and Social Psychology, 58(6), 10401047. Matsumoto, D., & Juang, L. (2008). Culture and Psychology. Belmont: Thomson & Wodsworth. Menzies-Toman, D.A., & Lydon, J.E. (2005). Commitment-motivated benign appraisals of partner transgression : Do they facilitate accomodation. Journal of Social and Personal Relationships, 22(1), 111-128. 230 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Mehndiratta, M.M., Paul, B., & Mehndiratta, P. (2007). Arranged marriage, consanguinity, and epilepsy. Neurology Asia, 12, 15-17. Miles, M.B., Huberman, A.M., Saldana, J. (2014). Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook. CA: Sage Publications, Inc. Miller, R. S., & Perlman. (2009). Intimate relationship. New York: McGraww-Hill. Miller, P.J.E., & Rempel, J.K. (2004). Trust and partner-enhancing attributions in close relationships. Personality and Social Psychology Bulletin, 30, 695 – 705. Moleong, L.J. (1991). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Murray, S.L., Bellaria, G.M., Rose, P., & Griffin, D.W. (2003). Once hurt, twice hurtful: How perceived regard regulates daily marital interaction. Journal of Personality and Social Psychology, 84 (1), 126 – 147. Nazarudin, P. (1998). Makna Kawin Muda dan Perceraian: Upaya Memahami Masalah dari Perspektif Penyandang Masalah, Studi di Kecamatan Kandanghaur, Indramayu. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia. Neff, L.A., & Karney, B.R. (2009). Stress and reactivity to daily relationship experiences: How stress hinders adaptive processes in marriage. Journal of
Personality and
Social Psychology, 97, (3), 435–450. Nelson, J.A., Kirk, A.M., Ane, P., & Serres, S.A. (2011). Religious and spiritual values and moral commitment in marriage: Untapped resources in couples counseling? Counseling and values, 55, 228 -246. Nock, S.L. (1995). Commitment and dependency in marriage. Journal of Marriage and Family, 57(2), 503-514. Olson, D.H., & DeFrain, J. (2006). Marriages and Families: Intimacy, Diversity and Strenghts. New York: McGraw-Hill Publisher. Oyserman, D., & Lee, S.W. (2008). Does culture influence what and how we think? Effects of priming individualism and collectivism. Psychological Bulletin, 134(2), 311 – 342. Orbuch, T.L., Veroff, J., Hassan, H., & Horrocks, J. (2002). Who will divorce: A 14-year longitudinal study of black couples and white couples. Journal of Social and Personal Relationships, 19, 549 – 568. Panayiotou, G. (2005). Love, commitment and response to conflict among Cypriot dating couples: Two models, one relationship. International Journal of Psychology, 40(2), 108-117. Paul, P. (2009). The Starter Marriage and The Future of Matrimony. New York: Random House Trade Paperback. 231 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Patrick, H., Cannevello, A., Knee, C.R., & Lonsbary, C. (2007). The role of need fulfillment in relationship functioning and well being: A self-determination theory perspectives. Journal of Personality and Social Psychology, 92(3), 434457. Patton, M.Q. (2002). Qualitatitve research and evaluation methods.Thousands Oaks: Sage Publication. Peddyastri, T.P. (2005). Stress dan Coping dalam Mempertahankan Pernikahan pada Pasangan dengan Suami yang Memiliki Cacat Fisik. Depok: Universitas Indonesia. Pistole, C. (2010). Long distance romantic couples: An attachment theoretical perspective. Journal of Marital and Family Therapy, 36(2), 115-125. Prananta, A.W. (2010). Metode social mapping untuk melihat peran ganda istri nelayan dalam rangka peningkatan kesejahteraan keluarga, paska Suramadu: Studi kasus di desa Sukolilo Barat, Dusun Sekar Bungo, Bangkalan. Pamator, 3(2), 179-187. Prianto, B., Wulandari, N.W., Rahmawati, A. (2013). Rendahnya komitmen dalam perkawinan sebagai sebab perceraian. Jurnal Komunitas, 5(2), 208 – 218. Price, C., & Kunz, J. (2003). Rethinking the paradigm of juvenile delinquency as related to divorce. Journal of Divorce and Remarraige, 39. Poerwandari, K.E. (2001). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: LPSP3 UI. Puspitasari, R., Indriana, Y., & Indrawati, E.S. (2009). Perilaku Ekstramarital pada Pria Dewasa. Semarang: Universitas Diponegoro. Rahmatika, N.S., & Handayani, M.M. (2012). Hubungan antara bentuk strategi coping dengan komitmen pernikahan pada pasangan dewasa madya dual karir. Jurnal Psikolgi Pendidikan dan Perkembangan, 1(3). Rahmawati, D. (2005). Gambaran Cinta Istri yang Menjalani Hubungan Jarak Jauh dengan Pasangan. Depok: Universitas Indonesia. Rahmawati, D., & Mastuti, E. (2013). Perbedaan tingkat kepuasan pernikahan ditinjau dari tingkat penyesuaian pernikahan pada istri Brigif 1 Marinir TNI AL yang menjalani
long
distance
marriage.
Jurnal
Psikologi
Pendidikan
dan
Perkembangan, 2(1). Ratner, C. (2006). Cultural Psychology: A Perspective on Psychological Functioning and Social Reform. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher. Ritchie, J., Lewis, J., McNaughton, Nicholls, C.M., Ormston, R. (2013). Qualitative 232 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Research Practice: A Guide for Social Students & Researchers. Sage Publication. Reis, H.T., Clark, M.S., & Holmes, J.G. (2004). Perceived partner responsiveness as an organizing construct in the study of intimacy and closeness. In D.J. Mashek & A. Aron (Eds.), Handbook of closeness and intimacy (pp.201 – 225). Mahwah, NJ: Erlbaum. Reiners, B.L. (2004). The Effects of Values and Religious Commitment on Relationship Commitment. Disertasi: Regent University. Rhatigan, D.L., & Axsom, D.K. (2006). Using the investment model to understand battered women’s commitment to abusive relationships. Journal of Family Violence, 21(2), 153-162. Rhatigan, D.L., & Streect, A. (2005). The impact of intimate partner violence on decision to leave dating relationships: A test of investment model. J Interpers Violence, 20, 1580-1597. Rhoades, G.K., Stanley, S.M., & Markman, H.J. (2006). Pre-engagement cohabitation and gender asymmetry in marital commitment. Journal of Family Psychology, 20(4), 553-560. Riggins-Caspers, K.M., Cardoret, R.J., Knutson, J.F., & Langbehn, D. (2003). Biologyenvironment
interaction
and
evocative
biology-environment
correlation:
Contributions of harsh discipline and parental psychopathology to problem adolescent behaviors. Behavior Genetics, 33, 205 – 220. Robinson, I.E., & Blanton, P.W. (1993). Marital strenghts in enduring marriages. Family Relations, 42, 38-45. Rosadi, I. (2010). Konsekuensi Migrasi Internasional terhadap Relasi Gender (Studi tentang Buruh Migran Internasional yang Telah Pulang Kembali kepada Keluarganya di Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat). Depok: Universitas Indonesia. Rusbult, C.E. (1983). A longitudinal test of the investment model : The development (and deterioration) of satisfaction and commitment in heterosexual involvements. Journal of Personality and Social Psychology, 45(1),101-117. Rusbult, C.E. (1980). Commitment and satisfaction in romantic associations : A test of the investment model. Journal of Experimental Social Psychology, 16, 172-186. Rusbult, C.E., Arriaga, X.B., & Agnew, C.R. (2003). Interdependence in close relationship.In G.J. Fletcher & M.S. Clark (Eds.), Handbook of social psychology: Interpersonal processes (pp.359 – 387). Malden, US: Blackwell Publisher, Ltd. 233 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Rusbult, C.E., Bissonnette, V.L., Arriaga, X.B., & Cox, C.L. (1998). Accommodation processes during the early years of marriage. In T.N. Bradbury (Ed.), The developmental course of marital dysfunction (pp.74-113). New York: Cambridge. Rusbult, C.E., & Buunk, B.P. (1993). Commitment processes in close relationship : An interdependence analysis. Journal of Social and Personal Relationships, 10, 175 –204. Rusbult, C.E., & Martz, J.M. (1995). Remaining in abusive relationship: An investment model analysis of nonvoluntary dependence. Personality ans Social Psychology Buletin, 21(6), 558-571. Rusbult, C.E., Martz, J.M., & Agnew, C.R. (1998). The investment model scale : Measuring commitment level, satisfaction level, quality of alternatives, and investment size. Personal Relationship, 5, 357-391. Rusbult, C.E., & Van Lange, P.A.M. (2003). Interdependence, Interaction, and Relationships. Annu Rev Psychol, 54, 351-375. Rusbult, C.E., Verrette, J., Whitney, G.A., Slovik, L.F., & Lipkus, I. (1991). Accommodation processes in close relationships: Theory and preliminary empirical evidence. Journal of Personality and Social Psychology, 60, 53-78. Rusbult, C.E., & Zembrodt, I.M (1983). Responses to dissatisfaction in romantic involvements: A multidimensional scaling analysis. Journal of Experimental Social Psychology, 19, 274-293. Sakardi. (1999). Hubungan Keakraban Suami Istri (Suatu Studi pada Mantan Pasangan Kawin Muda dan Cerai Dini di Indramayu berdasarkan Tinjauan Komunikasi antar Pribadi. Depok: Universitas Indonesia. Salman, I. (2010). Hubungan antara Tingkat Religiusitas Islami dengan Komitmen Pernikahan pada Perempuan Korban KDRT yang Mencabut Gugatan Cerai di Pengadilan Agama Bandung Timur. Bandung: Unisba. Sabatelli, R.M., & Cecil-Pigo, E.F. (1985). Relational interdependence and commitment in marriage. Journal of Marriage and the Family, 47, 931-937. Sanni, K.B., Udoh, N.A., Okediji, A., Modo, F.M., & Ezeh, L.N. (2010). Family types and juvenile delinquency issues among secondary school students in Akwa Ibom State, Nigeria: Counseling implication. J Soc Sci, 23(1), 21-28. Schoebi, D., Karney, B.R., Bradbury, T.N. (2012). Stability and change in the first 10 years of marriage : Does commitment confer benefits beyond the effect of satisfaction? Journal of Personality and Social Psychology, 102(4), 729-742. Scott, A.T. (2002). Communication characterizing successful long distance 234 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
marriages. Louisiana State University. Seccombe, K., Warner, R.L. (2004). Marriages and Families: Relationships in Social Context. Belmont: Thomson & Wadsworth. Shenton, A.K. (2004). Strategies for ensuring trustworthiness in qualitative research projects. Education for Informatin, 63, 63-75. Siemens, R.L. (2007). Couples’ Lived Experience of Unemployment Due to Injury: Navigating The Road Together. Trinity Western University. Tesis. Siregar, M. (2007). Keterlibatan Ibu Bekerja dalam Perkembangan Pendidikan Anak. Jurnal Harmoni Sosial, 2(1). Situmorang, A. (2005). Staying single in married world: The life of never married women in Yogyakarta and Medan. Asian Research Institute Working Paper, 38, 1-23. Smith-Hefner, N.J. (2005). The new Muslim romance: Changing patterns of courtship and marriage among educated Javanese youth. Journal of Southeast Asian Studies, 36(3), 441-459. Smith, L. (2011). Applying the Bioecological Theory of Human Development to Learning: Enhancing student engagement in online learning. In J. Skalicky, A. Adam, D. Abbot, & G. Kregor (Eds). Proceeding of 10th Teaching Matters Annual Conference. Sharing practices (Online). Hobart: Centre for the Advancement of Learning and Teaching, University of Tasmania. Soekarba, S.R., & Kenyowati, E. (2011). Tragedi Cinta dan Rumah Tangga dalam Lirik Lagu Tarling Indramayuan: Studi Kasus terhadap Lirik Lagu Tarling Indramayuan. Yogyakarta: Prosiding International Conference on Indonesian Studies. Soedijar, A. (2004). Faktor Pendukung Terjadinya Perdagangan Perempuan dan Anak di Daerah Asal (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu). Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial, Departemen Sosial RI. Sofiasta, A. (2010). Kebutuhan Seksual sebagai Penyebab Utama Tingginya Angka Perceraian Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Desa Songgon, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi. Malang: Universitas Islam Negeri Malang. Diakses dari http://lib.uin-malang.ac.id?mod=th_detail&id=05210041 Sprecher, S., Metts, S., Burleson, B., Hatfield, E., & Thompson, A. (1995). Domain of expressive interaction in intimate relationships: Association with satisfaction and commitment. Family Relations, 44(2), 203-210. Stanley, S.M., & Markman, H. J. (1992). Assesing commitment in personal relationship. Journal of Marriage and Family, 54, 595- 607. 235 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Sternberg, R.J. (1986). A triangular theory of love. Psychological Review, 93, 119-135. Suhardono, E. (1998). Model Teori Pengambilan Keputusan Paska Krisi Pernikahan: Suatu Kajian pada Klien Konseling Pernikahan di Beberapa Kota di Jawa. Depok: Universitas Indonesia. Suhartini, E. (2013). Peran wanita nelayan di dalam keluarga, rumah tangga, dan masyarakat Madura, Jawa Timur. Jurnal Inspirat, 5. Sulistiyo, P.A., & Wahyuni, E.S. (2012). Dampak remitan ekonomi terhadap posisi sosial buruh migran perempuan dalam rumah tangga. Jurnal Sosio Pedesaan, 6(3). Sun, Y., & Li, Y. (2002). Children’s well-being during parent’s marital disruption process: A pooled time-series analysis. Journal of Marriage and Family, 64, 742 – 762.Personality and Social Psychology, 1-14. Surra, C.A., Arizzi, P., & Asmussen, L.A. (1988). The association between reasons for commitment and the development and outcome of marital relationships. Journal of Social and Personal Relationships, 5, 47-63. Surra, C.A., Chandler, M., Asmussen, L., & Wareham, J. (1987). Effects of premarital pregnancy on the development of of interdependence in relationships. Journal of Social and Clinical Psychology, 5, 123-139. Surra, C.A., Hughes, D.K., Jacquet, S.E. (1999). The development of commitment to marriage: A phenomenological approach. In. J.M. Adams & W.H.Jones (Eds.), Handbook of interpersonal commitment and relationship stability. (pp.193-203). New York: Kluwer Academic/Plenum Publisher. Swan, W.B., Hixon, G.H., De La Ronde, C. (1992). Embracing the bitter ‘truth’: Negative self concept and marital commitment. Psychological Science, (3), 118121. Swick, K.J., & Williams, R.D. (2006). An analysis of Bronfenbrenner’s bioecological perspective for early childhood educations: Implications for working with families experiencing stress. Early Childhood Education Journal, 33 (5), 371 – 378. Swensen, C.H., & Trahaug, G, (1985). Commitment and the long-term marriage relationship. Journal of Marriage and The Family, 47, 939-945. Tabak, B.A., & McCullough, M.E. (2008). Conciliatory gestures by transgressors promote forgiveness by making transgressors seem more agreeable: A test of primatology’s valuable relationships hypothesis. Poster presented at the annual meeting of the Society for Personality and Social Psychology, Albuquerque. Retrieved from http://m.pnas.org/content/111/30/11211.abstract. 236 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Thornton, A., & Young-DeMarco, L. (2001). Four decades of trends in attitudes toward family issues in the United States: The 1960s through the 1990s. Journal of Marriage and The Family, 63(4), 1009-1037. Tsang, J., McCullough, M., & Fincham, F.D. (2006). Forgiveness and the psychological dimension of reconciliation: A longitudinal analysis. Journal of Social and Clinical Psychology, 25, 404 – 428. Tseng, S.H. (2004). Interagency Collaboration in Early Intervention: Participants Perspectives. University of Maryland. Vanderdrift, L.E., & Agnew, C.R. (2012). Need fulfillment and stay-leave behavior: On the diagnosticy of personal and relational needs. Journal of Social and Personal Relationship, 29(2), 228-245. Van Lange, P.A.M., Rusbult, C.E., Drigotas, S.M., Arriaga, X.B., Witcher, B.S., & Cox, C.L. (1997). Willingness to Sacrifice in close relationship. Journal of Personality and Social Psychology, 73, 1373-1395. Wazdi, D.F. (2006). Respon Perempuan terhadap Program Pengembangan Kecamatan: Kasus PPK Kecamatan Bongas, Kabupaten Indramayu. Depok: Universitas Indonesia. Weigel, D.J. (2010). Mutuality of commitment in romantic relationships: Exploring a dyadic model. Personal Relationships, 17, 495 – 513. Weigel, D.J., & Ballard-Reisch, D.S. (2002). Investigating behavioral indicators of relational commitment. Journal of Social and Personal Relationship., 19(3), 403423. Wieselquist, J. (2009). Interpersonal forgiveness, trust, and the investment model of commitment. Journal of Social and Personal Relationships, 26(4), 531-548. Wismanto, Y.B. (2004). Kepuasan Perkawinan: Ditinjau dari Komitmen Perkawinan, Penyesuaian Diadik, Kesediaan Berkurban, Kesetaraan Pertukaran, dan Persepsi terhadap Perilaku Pasangan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Wijayanti, W.,Widiastuti, M., Maryanti, S. (2009). Komitmen Perkawinan pada Pria yang Menjalani Hubungan Jarak Jauh. Jakarta: Universitas Indonusa Esa Unggul. Whitton, S.W., Stanley, S.W., & Markman, H.J. (2007). If I help my partner, will it hurt me? Perceptions of sacrifice in romantic relationships. Journal of Social and Clinical Psychology, 26, 64-92. Whitton, S.W., Rhoades, G.K., Stanley, S.M., & Markman, H.J. (2008). Effects of parental divorce on marital commitment and confidence. Journal of Family Psychology, 22 (5), 789-793. 237 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
Yin, R. K. (2003). Case Study Research Design and Methods. CA: Sage Publication, Inc.
Media Massa dan Internet Koran Sindo, 27 September. 2013. Kasus Perceraian di Indramayu Tertinggi Pelita Online, 5 September 2013. Nelayan Dadap Tidak Sejaya Dulu
ILO: 4 Juta Buruh Migran Bekerja di Luar Negeri Sepanjang 2012. Liputan 6.com, 18 Desember 2012. Diambil dari http://news.liputan6.com/read/470544/ilo-4-juta-buruhmigran-bekerja-di-luar-negeri-sepanjang-2012
Angka Perceraian di Indramayu Tertinggi se- Indonesia. Pikiran Rakyat Online, 1 Juli 2013 diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/node/240956
Tahun 2013, TKI Indramayu Paling Banyak Dikirim ke Luar Negeri, Tribunnews.com, 8 Januari 2014, diakses dari http://www.tribunnews.com/nasional/2014/01/08/tahun-2013tki-indramayu-paling-banyak-dikirim-ke-luar-negeri
Potret Kemiskinan Indramayu: Suami Penunggu Uang Kiriman Istri, Suara Pembaruan Online, 13 Nopember 2008. Diakses pada 10 September 2013 dari Fahmina Institut http://www.fahmina.or.id/profil/artikel--a-berita/artikel/448-potret-kemiskinanindramayu-suami-penunggu-uang-kiriman-istri-.html.
Musim Paila Tiba, Nelayan pun Lego Alat Rumah Tangganya. Republika Online, 15 Maret
2011,
diakses
pada
10
September
2013
dari
http://m.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/11/03/15/169522-musim-pailatiba-nelayan-pun-lego-alat-rumah-tangganya TKI Asal Indramayu Naik 50%, Republika Online, 7 Januari 2013, diakses pada 10 September
2013
dari
http://m.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-
nasional/13/01/07/mg8g6i-tki-asal-indramayu-naik-50-persen
80% Perceraian dari Keluarga TKI, Jawa Pos National Network, 10 Maret 2010, diakses pada 10 September 2013 dari http://m.jppn.com/news.php?id=59218
238 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.
TKW Dominasi Gugatan Cerai di Malang, ANTARA News, 7 Mei 2014, diakses pada 7 Juli 2014 dari http://m.antaranews.com/berita/433091/tkw-dominasi-gugatan-cerai-dimalang
Perceraian di Wonosobo Tinggi, Paling Banyak TKI, Liputan6.com, 20 Juli 2013, diakses pada 10 September 2013 dari http://news.liputan6.com/read/644324/perceraian-diwonosobo-tinggi-paling-banyak-tki
TKI Dominasi Angka Perceraian di Blitar, diakses pada 10 September 2013 dari http://www.blitarkab.go.id/2013/10/9225.html
239 UNIVERSITAS INDONESIA Komitmen pernikahan..., Melok Roro Kinanthi, FPSI UI, 2015.