KATALOG
Diselenggarakan oleh Held by:
Atas dukungan Supported by:
2
Foto: Agung ‘Abe’ Natanael
3
4
Foto: Agung ‘Abe’ Natanael
5
Pengantar Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta
Assalamualaikum Wr. Wb. Teriring puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, kita dapat menyaksikan terselenggaranya pameran seni rupa kontemporer Jakarta Biennale 2013: SIASAT. Atas nama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, saya menyampaikan rasa bangga dan apresiasi kepada segenap pimpinan Dewan Kesenian Jakarta, jajaran pengurus Jakarta Biennale 2013, dan tentu saja seniman-seniman yang telah membuat perhelatan seni rupa yang besar dan berskala internasional ini bisa terlaksana. Jakarta Biennale 2013 merupakan perhelatan akbar seni rupa kontemporer yang hadir setiap dua tahun, dan didukung secara penuh oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta. Tahun ini, untuk yang ke-15 kalinya Jakarta Biennale kembali dilaksanakan, melibatkan seniman-seniman, baik individu maupun kelompok dan komunitas dari 16 negara, serta partisipasi ratusan pekerja kreatif lintas disiplin. Beragam karya seni rupa kontemporer ditampilkan di ruang pamer, dan bermacam kegiatan artistik yang melibatkan komunitas dan warga diselenggarakan di ruang kota Jakarta. Perhelatan ini mendukung penciptaan ruang kreatif kota melalui partisipasi warga, menjalin hubungan dengan warga kota yang mampu meningkatkan dan memperluas daya cipta, kreasi, dan artistik seluruh pihak. Lebih jauh lagi, perhelatan ini merupakan kontribusi Jakarta dalam wacana seni dan budaya kontemporer dunia, dan menjadi forum bagi seniman serta komunitas seni rupa nasional dan internasional.
Wassalamualaikum Wr. Wb. Jakarta, 9 November 2013
Dr. Arie Budhiman, M.Si
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta
Foreword by Jakarta City Goverment Tourism and Culture Department
May Peace, His Mercy and Blessings be Upon Us All, With our gratitude for God’s infinite mercy and blessings, we are able to witness this contemporary art exhibition, the Jakarta Biennale 2013: SIASAT. On behalf of the Government of DKI Jakarta Province, I would like to express our pride and appreciation to the leadership of the Jakarta Arts Council, the organisers of the Jakarta Biennale 2013, and certainly all the artists who have made this grand art festival of international repute possible. The Jakarta Biennale 2013 is a grand contemporary art festival held biannually, and fully supported by the Jakarta Arts Council and the DKI Jakarta Tourism and Culture Agency. This year, for the fifteenth time, Jakarta Biennale is again organised involving artists, as individuals, collectives and communities, from sixteen countries, not to mention hundreds of creative workers from across disciplines. A diversity of the arts is on display in exhibition halls, and all kinds of artistic activities involving communities and the public are organised around Jakarta’s urban spaces. This festival supports the development of creative spaces of the city through public participation, networking with residents of other cities who can promote and widen the creative and artistic capacities for all. Moreover, this festival is Jakarta’s contribution to the world’s contemporary art and cultural discourse, and serves as a forum for artists as well as the national and international art community.
Peace, Mercy and Blessings to us all, Jakarta, 9 November 2013
Dr. Arie Budhiman, M.Si.
Head of Jakarta City Government, Tourism and Culture Department
Siasat Sebuah Pengantar An Introduction
8
Pada 2013 ini, Jakarta Biennale tiba pada penyelenggaraan yang ke-15. Perjalanan panjang ini bermula pada 1974, saat biennale pertama kali diselenggarakan dengan nama Pameran Seni Lukis Indonesia dan mulai disebut sebagai Biennale Seni Lukis. Juga setelah itu, penyelenggaraan biennale sempat beberapa kali tersendat dan berganti nama. Biennale sendiri baru hadir dengan nama Biennale Seni Rupa Jakarta sejak 1993, menanggalkan istilah “seni lukis” demi memperluas cakupan medium seni yang hendak ditawarkan. Baru sejak 2009 kegiatan dua tahunan ini menggunakan nama Jakarta Biennale, dan di saat yang bersamaan mengembangkan diri menjadi sebuah perhelatan berskala internasional. Puluhan tahun telah berlalu beserta segala perubahan, perkembangan, kontroversi, kontribusi, kegagalan, serta pencapaiannya. Bermula dari penyelenggaraan yang prestisenya lebih terbatas pada kalangan medan sosial seni rupa, hingga perlahan menjadi sebuah perhelatan yang lebih relevan dengan konteks kota. Jakarta Biennale kini berusaha memperluas pengalaman artistik seniman dan warga dalam sebuah ruang kota. Kita sekarang bisa melihat Jakarta Biennale sebagai sebuah perhelatan yang memiliki kesadaran penuh bahwa ia adalah suatu kegiatan yang berkelanjutan, yang diselenggarakan untuk menawarkan gagasan kritis dalam menanggapi situasi sosial-budaya kontemporer melalui eksperimentasi maupun penemuan strategi artistik.
This year, Jakarta Biennale is held for the fifteenh time. This long journey began in 1974, when the biennale was first held with the name Exhibition of Indonesian Paintings and was beginning to be called the Painting Biennale. In the following years, the biennale went through hiccups and name changes several times. It only emerged as Jakarta Art Biennale in 1993, doing away with the term “painting” in order to widen the scope of art mediums. And only in 2009 the biennale adopted the name Jakarta Biennale, while at the same time developed itself into an international event. Decades have passed with all the changes, developments, controversies, contributions, failures, as well as achievements. It began as an event with a prestige that was limited only to the art social sphere, and slowly transformed into an event that was more relevant to the city it dwells in. Jakarta Biennale is now trying to widen the artistic experience of the artists and the public in an urban space. We can now see Jakarta Biennale as an event that has full awareness of it being a continuous activity, organized meticulously to offer critical thoughts that respond to the contemporary socio-cultural situation through artistic experimentation and the discovery of new artistic strategies. In order to accomplish observations that are both critical and continuous, Jakarta Biennale needs to become an independent institution that can sustainably work together with diverse parties. This is crucial in order to be more responsive in
Demi mencapai pengamatan maupun pembacaan yang berkelanjutan, Jakarta Biennale perlu menjadi sebuah lembaga mandiri, yang dapat menjalin kerjasama secara berkesinambungan dengan berbagai pihak. Sehingga ia dapat lebih tanggap dan sigap membaca, memetakan serta mengelola makna dari fenomena yang terus berkembang, dan dengan cepat merancang strategi untuk berkontribusi terhadap segala perubahan sosial dan budaya yang berlangsung. Ini adalah tantangan yang harus dijawab oleh sebuah lembaga Jakarta Biennale. Penyelenggaraan Jakarta Biennale ke-15 ini diharapkan dapat mengawali pembentukan sebuah lembaga yang mandiri dan berkelanjutan. Salah satu tantangan tersebut adalah melihat kembali posisi warga di tengah perencanaan dan perkembangan kota. Hingga saat ini, imajinasi tentang kota yang lebih maju masihlah berorientasi penuh pada perkembangan ekonomi. Orientasi semacam ini jelas mengabaikan sejarah yang dengan terang mengabarkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidaklah serta-merta berujung pada perbaikan kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Ketika pembangunan ekonomi diartikulasikan hanya dengan angka dan statistik, warga, manusianya, cenderung terabaikan. Padahal, sejarah-sejarah kecil yang hadir setiap harinya justru memperlihatkan bahwa berbagai kreasi maupun inovasi justru banyak dilakukan oleh warga, meski penuh spekulasi, namun dengan segala kemampuannya tetap dapat bertahan. Cukup banyak warga kota yang hidup tanpa kehadiran negara, dan tak sedikit dari mereka yang diam-diam berkontribusi terhadap kehidupan kotanya. Sekarang, sudah saatnya kita perlu melihat kembali berbagai praktik-praktik warga ini dengan sudut pandang berbeda. Dalam upaya mendorong proses pencanggihan praktikpraktik warga yang sporadis dan spekulatif tersebut, kita perlu melihatnya dengan lebih kritis,
reading, mapping and managing the meaning of continuously-evolving phenomena. Also important is the responsibility to design expedient strategies that can contribute to a wide range of social and cultural changes. All these form the challenges that Jakarta Biennale must face as an institution. Thus, this fifteenth occasion is expected to initiate the formation of such an independent and sustainable institution. In recent years, it is becoming more urgent to revisit and re-examine the position of the public in the planning and development of the city. To this date, progress is imagined solely as economic development. Such an orientation is clearly negligent of history that informs us that blind devotion to economic development does not necessarily lead to betterment of social and cultural life of the people. When economic development is expressed only in terms of statistics, the people, the humans, are often left out. Whereas the petite histoire that happen every day show that it is the people who create and innovate, often with much speculation, as means to survive in this day and age. Many urban dwellers thrive despite the absence of the state, and some among them have been contributing to the life of the city. It is about time that we start seeing these practices from a new perspective. To encourage sophistication of these sporadic and speculative practices, we need to see them with a critical eye, to rearrange, formulate, and make them more expandable, spreadable, and locally adaptable. In short, we need to see them as knowledge production and distribution processes. Based upon this observation, Jakarta Biennale has chosen SIASAT as the theme this year. An Arabic loanword, “siyasah” has a wide meaning in the Indonesian language. In addition to investigation or criticism, it can also mean politics, trickery, tactics, or “reason” as means to achieve
9
10
untuk menata ulang, memformulasikan, dan menjadikannya bisa terus diperluas, disebarkan, dan diadaptasi secara lokal, atau dengan kata lain, melihatnya sebagai sebuah proses produksi dan distribusi pengetahuan. Berdasarkan amatan tersebut, Jakarta Biennale 2013 memilih SIASAT sebagai tema tahun ini. Kata serapan dari bahasa Arab ini, “siyasah” memiliki makna yang luas dalam bahasa Indonesia. Selain investigasi maupun kritik, ia juga bisa berarti politik, muslihat, taktik, maupun “akal” untuk mencapai tujuan. Dia bisa jadi kata benda maupun kata kerja. Melalui SIASAT, Jakarta Biennale 2013 ingin memeriksa ulang posisi dan praktik artistik warga dalam menyiasati segala keterbatasan, ketidakstabilan, masalah, ancaman, potensi, maupun kesempatan yang dihadapi di ruang kota, dan bagaimana siasatsiasat warga tersebut lahir secara organik, tumbuh secara mengejutkan, serta membentuk struktur dan pola tersendiri, dan akhirnya berperan dalam kehidupan kota. Siasat-siasat itu tumbuh di kota Jakarta yang telanjur terfragmentasi, yang tak memberikan pengalaman ruang yang utuh maupun menyeluruh bagi warganya. Menanggapi hal tersebut, sejak 2009 Jakarta Biennale tidak hanya menampilkan karya-karya di ruang pamer, tapi juga mengadakan proyek seni dan intervensi artistik di ruang kota. Ini bukannya tanpa sebab. Kota ini terlalu besar untuk sebuah kegiatan yang terpusat. Sekalipun berdekatan, ruang-ruang di Jakarta belum tentu berkaitan, dan masing-masing ruang memiliki karakternya sendiri. Atas dasar itu, Jakarta Biennale turut berlaku secara sporadis dan organik, untuk menanggapi ruang kotanya secara spesifik sambil tetap berkaitan. Sebuah proyek seni rupa di ruang publik bisa jadi lebih penting untuk dialami oleh orang-orang di ruang itu daripada untuk bisa disaksikan seluruh pengunjung Jakarta Biennale. Dengan kesadaran itu pula Jakarta Biennale 2013 mencoba mengawali upaya memperluas pengalaman artistik di wilayah-wilayah yang belum banyak tersentuh oleh kegiatan seni rupa kontemporer seperti wilayah Timur, Barat, dan Utara. Para seniman, baik individu maupun kelompok, dari dalam maupun luar negeri, ditantang untuk mengolah gagasan artistiknya dalam ruang publik, yang dalam perhelatan tahun
certain ends. SIASAT can be both a verb and a noun. Through SIASAT, Jakarta Biennale 2013 aims to reexamine the position and artistic practices of the public in getting around, siasating the constraints, instabilities, problems, threats, as well as seizing the potentials and opprtunities presented by the urban space. Also observed is how these siasat are born organically, establish their own structures and patterns, and ultimately play a role in the city life. Jakarta is a fragmented city. There is simply no opportunity for the citizens to experience the city wholly and comprehensively. In response to this, since 2009 Jakarta Biennale not only display artworks in exhibition halls, but also organize art projects and artistic interventions in the urban space. This was not without reason—the city is simply too large for a centralized activity. Though they may be close to each other, the spaces in Jakarta are not necessarily related, and each has its own characteristic. It might be more effective, and more in tune to the urban landscapes of Jakarta, to approach each space with a specific artwork rather than displaying all the artworks in one place. It is with that awareness that Jakarta Bienalle has chosen to act sporadically and organically, to respond to the urban space specifically while still maintain a commonality. This year, Jakarta Biennale aims to expand the artistic experience to areas that are rarely touched by contemporary art activities, such as the East, West, and North of the city. Artists, both individuals and groups, from home and abroad, are challenged to process their artistic ideas in the public space, which, in this event materialize in markets, parks, city walls, schools, and residential areas. Next, it is important for us to see art practices among the public as part of the ongoing social struggles, so that they would not only to be celebrated but also questioned, criticized, and optimized. That is why this Jakarta Biennale focuses itself on project-based works, research, interdisciplinary work, as well as collaboration with communities that involve public participation. To complement this year’s discussion of the theme SIASAT, Jakarta Biennale also organize Public and Sattelite Programs that involve people from outside the art social field. In the Public Porgram, there are discussions that focus on
ini terwujud di pasar, taman, tembok-tembok kota, sekolah, dan permukiman. Di tataran selanjutnya, sangat penting untuk melihat praktik-praktik seni rupa yang melibatkan diri dengan persoalan sosial masyarakat ini sebagai bagian dari pergumulan sehari-hari, agar tak cuma dirayakan tapi juga dipertanyakan, dikritisi, dan dioptimalkan. Oleh karena itu Jakarta Biennale kali ini memfokuskan diri pada karya-karya berbasis proyek, riset, kerja lintas disiplin, maupun kerja bersama komunitas yang melibatkan partisipasi warga. Melengkapi pembahasan tema SIASAT tahun ini, Jakarta Biennale turut mengadakan Program Publik dan Program Satelit yang melibatkan orang-orang dari luar medan sosial seni rupa. Dalam Program Publik, ada Bincang yang menitikberatkan pada dialog tentang wacana kota, warga, dan negara, serta peran seni dan seniman dalam konteks strategi praktek seni rupa kontemporer. Juga tentang pendidikan seni rupa yang telah sekian lama dipertanyakan dan upaya eksperimentasinya. Dalam upaya mendorong apresiasi dan edukasi publik, diadakan pula Biennale Tur agar publik dapat mengunjungi lokasi pameran yang tersebar di beberapa wilayah. Diikuti oleh sejumlah lokakarya, juga hiburan musik dan pertunjukan. Program Satelit merupakan program yang menghubungkan Jakarta Biennale dengan sejumlah komunitas dan lembaga budaya lewat suatu program bersama. Ada Ekskul Fair yang melibatkan siswa-siswa sekolah menengah pertama dan atas, serta Temu Komunitas yang mengajak berbagai komunitas berkumpul dan berkegiatan bersama di tengah perhelatan Jakarta Biennale. Selain itu, Jakarta Biennale mencoba untuk memulai tradisi baru dengan mengadakan pameran seniman muda Jakarta, sebagai upaya memantik eksperimentasi di kalangan seniman muda. Tentunya, beriringan dengan berbagai terobosan yang coba dilakukan, banyak pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan untuk mendorong Jakarta Biennale menjadi sebuah lembaga yang mampu lebih jauh berkontribusi pada gagasan artistik secara kritis di masyarakat. Lebih jauh lagi, untuk menjadikan Jakarta Biennale sebagai sebuah landasan kerja bersama yang melibatkan berbagai pihak dalam suatu jaringan yang berkesinambungan.
the discourse about the city, public, and state, as well as the role of art and artists in the context of contemporary art practices. There is also a discussion about art education that has been questioned for so long as well as experimentation efforts. In order to encourage public appreciation and education, Biennale Tour is held for the public to visit exhibition locations spread across the city. This will be followed by workshops, musical entertainment, and performances. The Satellite Program links Jakarta Biennale with a number of communities and cultural institutions through a joint program. There is the Ekskul Fair involving high school students, and Community Gathering that invites diverse communites to hold activities in the middle of Jakarta Biennale events. In addition to that, Jakarta Biennale is trying to start a new tradition with its Jakarta young artists’ exhibition, as an effort to spark experimentations among emerging talents. Certainly, along with the many attempted breakthroughs, there are many homework that need to be done in order to turn Jakarta Biennale into an institution that can further contribute to developing critical artistic ideas in society, and make it a common platform that encourage collaboration between various parties within a sustained network.
Ade Darmawan Jakarta Biennale 2013: SIASAT
Direktur Eksekutif / Executive Director
11
PEMBUKAAN Sabtu, 9 November 2013 / 19.00 - 24.00 Pelataran dan Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki Dimeriahkan oleh performans Melati Suryodarmo
(Indonesia), Khaled Jarrar (Palestina), disc jockey dari Café Mondo Jakarta, dan OM Iler PMR alias Irama Teler Pengantar Minum Racun.
SIASAT
PROGRAM PUBLIK BINCANG
Pameran karya dan presentasi proyek seni rupa karya seniman Indonesia dan mancanegara Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki 10–30 November 2013 / 10.00–20.00 12
Museum Seni Rupa dan Keramik 9–30 November 2013
Selasa-Minggu: 09.00 – 15.00 Hari Senin dan Hari Libur Nasional Tutup
Performans
Melati Suryodarmo Indonesia
Taman Suropati 10 November 2013 / 15.00 – 17.00
Happening Arts KUNSTrePUBLIK Jerman
Pasar Senen 11 November 2013 / 11.11
Performans
Etienne Turpin Kanada
Dimulai dari Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta 10 & 17 November 2013 / 10.00 Dimulai dari Pasar Burung Pramuka 17 November 2013 / 14.00
Bincang Seniman
Seniman: Abdulrahman Saleh (Indonesia), Babi Badalov (Azerbaijan, Prancis), Etienne Turpin (Kanada), Euridice Kala (VANSA, Afrika Selatan), Ho Tzu Nyen (Singapura), Julia Sarisetiati (Indonesia), Lifepatch Collaboration (Indonesia), Lost Generation (Malaysia), mixrice (Korea Selatan), Saleh Husein (Indonesia) 10 November 2013 / 14.00–17.00
Diskusi # 1 Proyek Seni Rupa dan Gagasan Perubahan Sosial Pembicara: Khaled Jarrar (Palestina), Jimmy Ogonga (Kenya), Moelyono (Indonesia), Sanne Oorthuizen (CASCO, Belanda) 11 November 2013 / 15.00–18.30
Diskusi # 2 Spekulasi Ruang, Strategi Warga dan Negara
Pembicara: Ginggi Syarif Hasyim (Kepala Desa Jatisura, Jatiwangi, Indonesia), Jemmy Irwansyah (Peneliti, pengajar, Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia), Vit Havranek (TRANZIT), Wok the Rock (Yogyakarta), KUNSTrePUBLIK (Jerman) 12 November 2013 / 15.00–18.30
Diskusi # 3 Eksperimentasi Lembaga Pendidikan Seni Rupa
Pembicara: Monika Irayati Irsan (pendiri Erudio School of Art, Jakarta, Indonesia), Soesilo Adinegoro (pengurus Sanggar Anak Akar, Indonesia), Sujud Dartanto (kurator, pengajar di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Indonesia), Yuka Dian Narendra (peneliti di Center for Arts & Design – Surya University Research and Education Center, Serpong, Indonesia). 13 November 2013 / 15.00–18.30 Rangkaian program BINCANG diadakan di Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki
TUR BIENNALE Tur Siasat # 1 Dipandu oleh: Direktur Artistik/Eksekutif
17 November 2013 / 10.00–16.00
Tur Siasat # 2 A (Edisi Anak-anak) Dipandu oleh: Serrum & Koordinator Program Ekskul Fair
24 November 2013 / 10.00–17.00
Tur Siasat # 2 B
Dipandu oleh Direktur Artistik/Eksekutif, Koordinator Self-Portrait Exhibition, Koordinator Pameran Pelicin
24 November 2013 / 10.00–17.00
Tur Siasat # 3 Dipandu oleh: Kurator/Seniman
PROGRAM SATELIT TEMU KOMUNITAS
10, 16, 23, 30 November 2013
Piknikasik
Pelataran Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki 10 November 2013
Acara memotret “Light on Site” bersama Nocturlight Bogor
30 November 2013 / 10.00–17.00
Pelataran Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki 16 November 2013 / 18.00–20.00
LOKAKARYA
Memotret bersama Nocturlight Bogor, I Light This (Jakarta), BULB (Bandung), dan Sparkling (Serang).
KOMIK CURHAT KANTORAN bersama Abdulrahman Saleh
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia 18 November 2013 / 17.00
TAMAN BELAJAR FOTOGRAFI GRATIS bersama Kelas Pagi
Taman Langsat 17 November 2013 / 09.00 – 21.00
SERRUM FOR KIDS bersama: SERRUM Dalam Tur Siasat #2 A – Edisi Anak-anak
24 November 2013 / 10.00
HIBURAN MALAM MINGGU Malam Musik, Visual, Pesta dan Bazaar
Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki 23 November 2013 / 18.00–20.00
Craft Day
Pelataran Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki 30 November 2013 / 10.00–18.00
PELICIN
Pameran karya seniman muda Jakarta Galeri Salihara Pembukaan: 19 November 2013 / 19.00 Pameran: 20–30 November 2013
EKSKUL FAIR
Art:1 New Museum, Art:1 23–24 November 2013
Hiburan Malam Minggu #1
Pelataran Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki 16 November 2013 / 18.30–00.00
Hiburan Malam Minggu #2
Komunitas Salihara 30 November 2013 / 17.00–00.00 Acara ini akan menutup perhelatan Jakarta Biennale 2013: SIASAT
SELF-PORTRAIT EXHIBITION
Cemara 6 Galeri Pembukaan: 23 November 2013 / 19.00 Pameran: 24 November – 7 Desember 2013
13
OPENING SATURDAY, 9 NOVEMBER 2013 / 19.00-24.00 Teater Jakarta Basement Parking Space – Taman Ismail Marzukii Opening performance by Melati Suryodarmo (Indonesia),
Khaled Jarrar (Palestine), Disc Jockey from Café Mondo Jakarta, and OM Iler PMR alias The Drunken Rhythm to Drink Poison With.
SIASAT
PUBLIC PROGRAM DISCUSSION
Artwork exhibition and art project presentation by Indonesian and international artists Teater Jakarta Basement Parking Space – Taman Ismail Marzuki 10–30 November 2013 / 10.00 – 20.00 14
Fine Arts and Ceramics Museum 9–30 November 2013
Tuesday-Sunday: 09.00 – 15.00 Closed on Mondays and national holidays.
Performans
Melati Suryodarmo Indonesia
Taman Suropati 10 November 2013 / 15.00 – 17.00
Happening arts KUNSTrePUBLIK Germany
Pasar Senen, Central Jakarta 11 November 2013 / 11.11
Performance
Etienne Turpin Canada
Starts from Teater Jakarta Basement Parking Space – Taman Ismail Marzuki 10 & 17 November 2013 / 10.00 Starts from Pasar Burung Pramuka, East Jakarta 17 November 2013 / 14.00
Artists’ Talk
Artists: Abdulrahman Saleh (Indonesia), Babi Badalov (Azerbaijan, Prancis), Etienne Turpin (Kanada), Euridice Kala (VANSA, Afrika Selatan), Ho Tzu Nyen (Singapura), Julia Sarisetiati (Indonesia), Lifepatch Collaboration (Indonesia), Lost Generation (Malaysia), mixrice (Korea Selatan), Saleh Husein (Indonesia) 10 November 2013 / 14.00–17.00
Discussion # 1 Arts Project and The Notion of Social Change
Speakers: Khaled Jarrar (Palestine), Jimmy Ogonga (Kenya), Moelyono (Indonesia), Sanne Oorthuizen (CasCo, Netherland) 11 November 2013 / 15.00–18.30
Discussion # 2 Speculating Space, Civil Strategy, and the State
Speakers: Ginggi Syarif Hasyim (chief of Desa Jatisura, Jatiwangi, Indonesia), Jemmy Irwansyah (researcher and lecturer, Center for Political Studies Universitas Indonesia), Vit Havranek (TRANZIT), Wok the Rock (Yogyakarta), KUNSTrePUBLIK (Germany) 12 November 2013 / 15.00–18.30
Discussion # 3 Experiments of Arts Education Institutions
Speakers: Monika Irayati Irsan (founder of School of Art, Jakarta, Indonesia), Soesilo Adinegoro (Sanggar Anak Akar, Indonesia), Sujud Dartanto (curator, lecturer at Indonesian Institute of the Arts, Yogyakarta, Indonesia), Yuka Dian Narendra (researcher at Center for Arts & Design – Surya University Research and Education Center, Serpong, Indonesia). 13 November 2013 / 15.00–18.30 The DISCUSSION program series is held at Teater Jakarta Basement Parking Space – Taman Ismail Marzuki
BIENNALE TOUR Siasat Tour # 1 With Artistic/Festival Director
17 November 2013 / 10.00–16.00
Siasat Tour #2 A (For Kids) With Serrum & Coordinator of Extracurricular Fair
24 November 2013 / 10.00–17.00
Siasat Tour # 2 B
With Artistic/Festival Director, Coordinator of Self-Portrait Exhibition & Coordinator of Pelicin Exhibition
24 November 2013 / 10.00–17.00
Siasat Tour # 3 With curators and artists
30 November 2013 / 10.00–17.00
WORKSHOP
OFFICE DIARY COMIC with Abdulrahman Saleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia 18 November 2013 / 17.00
FREE PHOTOGRAPHY LEARNING PARK with Kelas Pagi Taman Langsat 17 November 2013 / 09.00 – 21.00
SERRUM FOR KIDS with: SERRUM in Siasat Tour #2 A (For Kids)
24 November 2013 / 10.00
SATURDAY NIGHT ENTERTAINMENT Nights for music, visual, party, and bazaar
Saturday Night Entertainment #1
Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki 16 November 2013 / 18.30–00.00
SATELLITE Program COMMUNITY GATHERING 10, 16, 23, 30 November 2013
Gathering with Piknikasik
Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki 10 November 2013
Photography session “Light on Site” with Nocturlight Bogor Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki 16 November 2013 / 18.00–20.00
Photography session with Nocturlight Bogor, I Light This (Jakarta), BULB (Bandung), and Sparkling (Serang). Teater Jakarta Basement Parking Space – Taman Ismail Marzuki 23 November 2013 / 18.00–20.00
Craft Day
Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki 30 November 2013 / 10.00–18.00
PELICIN
Jakarta young artists’ exhibition Galeri Salihara Opening: 19 November 2013 / 19.00 Exhibition: 20 – 30 November 2013
EXTRACURRICULAR FAIR Art:1 New Museum, Art:1 23–24 November 2013
Saturday Night Entertainment #2 Komunitas Salihara 30 November 2013 / 17.00–00.00
The Saturday Night Entertainment events will close Jakarta Biennale 2013: SIASAT.
SELF-PORTRAIT EXHIBITION
Cemara 6 Galeri Opening: 23 November 2013 / 19.00 Exhibition: 24 November –7 Desember 2013
15
16
17
Foto: Agung ‘Abe’ Natanael
18
19
PEMBUKAAN OPENING
Pelataran dan Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki
9 NOVEMBER 2013 / 19.00-24.00
Malam pembukaan Jakarta Biennale 2013: SIASAT menampilkan karya performans Melati Suryodarmo, seniman performans Indonesia, berjudul Sweet Dreams Sweet. Acara ini turut dimeriahkan oleh para disc jockey muda bertalenta dari Café Mondo Jakarta, yang setiap bulan memiliki kegiatan rutin bernama Orkes Dorong Mondo dan senantiasa memainkan musik-musik pilihan dari Indonesia dan Asia Tenggara tempo dulu hingga kini. Sebagai penutup malam pembukaan perhelatan seni rupa berskala internasional ini, Jakarta Biennale 2013 dengan bangga menampilkan kelompok legendaris OM ILer PMR alias Orkes Madun Irama Teler Pengantar Minum Racun. Orkes dangdut teler yang tenar pada akhir 1980-an ini siap mendendangkan irama-irama komedi hingga tengah malam untuk warga Jakarta yang berbahagia.
Jakarta Biennale 2013: SIASAT opening night presents the performance of Melati Suryodarmo, an Indonesian performance artist, titled Sweet Dreams Sweet. This event will also be livened up by the young talented disc jockeys from Café Mondo Jakarta, who regularly organize their Orkes Dorong Mondo every month playing a selection of olden and contemporary Indonesian and Southeast Asian songs. To conclude the opening of this art festival of international repute, the Jakarta Biennale 2013 proudly presents the legendary group OM ILer PMR alias Irama Teler Pengantar Minum Racun (Uncle Drool PMR or The Drunken Rhythms to Drink Poison With), the famous 1980’s “drunken” dangdut orchestra ready to enchant the jubilant Jakarta crowd with their comedic rhythms until midnight.
Siasat
22
ABDULRAHMAN SALEH alias MAMAN (Indonesia) ACE HOUSE Collective (Indonesia) AGAN HARAHAP (Indonesia) akumassa (Indonesia) ANTON ISMAEL (Indonesia) ARTLAB (Indonesia) & KEG DE SOUZA (Australia) AWAN SIMATUPANG (Indonesia) BABI BADALOV (Azerbaijan, Prancis) CASCO (Belanda) DANURI alias PAK NUR (Indonesia) DAVY LINGGAR (Indonesia) EKO NUGROHO (Indonesia) ENRICO HALIM (Indonesia) ETIENNE TURPIN (Kanada) FINTAN MAGEE (Australia) FRANÇOISE HUGUIER (Prancis) GUNTUR WIBOWO (Indonesia) HO TZU NYEN (Singapura) ICARO ZORBAR (Kolombia) JATIWANGI ART FACTORY & TROTOARt (Indonesia) JIMMY OGONGA (Kenya) JULIA SARISETIATI (Indonesia) KHALED JARRAR (Palestina) KUNSTrePUBLIK ( Jerman) Lifepatch Collaboration (Indonesia) LOST GENERATION (Malaysia) M.R. ADYTAMA PRANADA (Indonesia) MELATI SURYODARMO (Indonesia) MELLA JAARSMA & NINDITYO ADIPURNOMO (Indonesia) MIXRICE (Korea Selatan) MOELYONO (Indonesia) MUFTI PRIYANKA alias AMENK (Indonesia) NARPATI AWANGGA alias OOMLEO (Indonesia) NGUYỄN TRINH THI (Vietnam) PAUL MONDOK (Filipina) RIYAN RIYADI alias THE POPO (Indonesia) RIZKY ADITYA NUGROHO alias BUJANGAN URBAN (Indonesia) RULI BANDHRIYO alias LOVEHATELOVE (Indonesia) SALEH HUSEIN (Indonesia) SANGGAR ANAK AKAR (Indonesia) SEBASTIAN DIAZ MORALES (Argentina) SERRUM & DINAS ARTISTIK KOTA (Indonesia) TRANZIT (Republik Ceska) VISUAL ARTS NETWORK OF SOUTH AFRICA / VANSA (Afrika Selatan) WOK tHE ROCK (Indonesia) XU TAN (China) YUSUF ISMAIL feat. Labtek Indie (Indonesia) Foto: Agung ‘Abe’ Natanael
23
Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki
PAMERAN Exhibition: 10-30 NOVEMBER 2013 / 10.00–20.00
24
25
Foto: Ary Sendy / Jakarta Biennale 2013: SIASAT
26
27
Foto: Agung ‘Abe’ Natanael & Ary Sendy / Jakarta Biennale 2013: SIASAT
28
ABDULRAHMAN SALEH alias MAMAN (Indonesia) ACE HOUSE Collective (Indonesia) AGAN HARAHAP (Indonesia) ANTON ISMAEL (Indonesia) ARTLAB (Indonesia) & KEG DE SOUZA (Australia) BABI BADALOV (Azerbaijan, Prancis) CASCO (Belanda) DAVY LINGGAR (Indonesia) ENRICO HALIM (Indonesia) ETIENNE TURPIN (Kanada) FRANÇOISE HUGUIER (Prancis) HO TZU NYEN (Singapura) ICARO ZORBAR (Kolombia) JIMMY OGONGA (Kenya) JULIA SARISETIATI (Indonesia) KHALED JARRAR (Palestina) Lifepatch Collaboration (Indonesia) LOST GENERATION (Malaysia) MELATI SURYODARMO (Indonesia) MIXRICE (Korea Selatan) MOELYONO (Indonesia) MUFTI PRIYANKA alias AMENK (Indonesia) NARPATI AWANGGA alias OOMLEO (Indonesia) NGUYỄN TRINH THI (Vietnam) PAUL MONDOK (Filipina) SALEH HUSEIN (Indonesia) SANGGAR ANAK AKAR (Indonesia) SERRUM & DINAS ARTISTIK KOTA (Indonesia) TRANZIT (Republik Ceska) VISUAL ARTS NETWORK OF SOUTH AFRICA / VANSA (Afrika Selatan) WOK THE ROCK (Indonesia) XU TAN (China) YUSUF ISMAIL feat. Labtek Indie (Indonesia)
Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki Jl. Cikini Raya No. 73 Jakarta Pusat T: +62 21 319 37 639 / 316 27 80 / 398 99 634 F: +62 21 319 24 616 E:
[email protected] W: jakartabiennale.net
29
Abdulrahman Saleh alias Maman
Indonesia
30 130
Manusia Gerobag
Presentasi lokakarya, instalasi objek, fotografi, video
Workshop presentation, object installation, photography, video 2013
Manusia Gerobag, 13 Oktober 2013. Foto: Sonang Elyas / Jakarta Biennale 2013: SIASAT.
Bagi Abdulrahman Saleh alias Maman, tidak ada alasan untuk tidak mempercantik gerobak. Penampang alat pengangkut barang beroda dua ini biasanya dibiarkan polos tak terurus oleh para penariknya, atau dalam istilah Maman “manusia gerobag”. Gerobak-gerobak itu digunakan oleh para “manusia gerobag” untuk mengangkut barang bekas yang diberikan atau dijual kepada mereka. Selain sebagai sumber penghidupan, gerobak juga menjadi tempat hunian bagi sebagian penariknya. Pada Oktober 2013, Maman mengadakan rangkaian lokakarya dengan para penarik gerobak itu. Ia mengajak mereka untuk mendandani gerobaknya dengan warna-warni cat, gambar, dan tulisan “curhatan” mereka sendiri. Lokakarya panduan Maman melibatkan beberapa lokasi lapak di Jakarta. Hasilnya adalah gerobak-gerobak yang dihiasi gambar-gambar dengan tulisan yang menegaskan harapan, kebanggaan profesi, dan kritik sosial dengan nada jujur dan terkadang jenaka, seperti “Sampahmu Berkahku”, “Tukang Gerobak Juga Mau Naik Haji”, “Daripada Pengangguran Lebih Baik Ayo Mulung”, maupun “Terima sampah masyarakat”. Seluruh proses lokakarya ia dokumentasikan dalam situs manusiagerobag.tumblr.com. Selain itu, ia membuat sebuah video menyerupai acara televisi, dipandu oleh seorang pembawa acara dengan julukan Mr. Gro, yang menayangkan proses sosialisasi, diskusi, hingga penggambaran dinding gerobak. Acara-acara Mr. Gro bisa disaksikan di Youtube.com dalam kanal NGEPOTV. Seluruh dokumentasi lokakarya berupa foto dan video, juga sejumlah gerobak hasil lokakarya, ditampilkan kembali oleh Maman di ruang pameran sebagai presentasi hasil kolaborasi antara seniman dan “manusia gerobag”. Tidak ada alasan untuk tidak mempercantik gerobak, dan untuk mewujudkannya, dibutuhkan proses yang panjang.
For Abdulrahman Saleh, alias Maman, there is no reason not to dress a gerobag, an improvised cart to carry junk or scrap. These gerobaks are usually left plain by their pullers, whom Maman calls “gerobag people”. Aside from being their means to earn a living, gerobaks are also the place where some of them live. In October 2013, Maman held a series of workshops with gerobak people. He invited them to dress their gerobaks with colorful paints, drawings, and their own “words of wisdom”. The workshops involved several pooling locations around Jakarta. The results are gerobaks decorated with paintings and writings that affirm the hopes, pride of their trade, and frank and often playful social criticisms, such as “Your Trash is My Blessing”, “Gerobag People Want to Go on Hajj Too”, “Better Collect Junk Than Be Jobless”, or “We Take Society’s Trash”. Maman documented the entire process on manusiagerobag.tumblr.com. He also made a video resembling a TV show, presented by a host nicknamed Mr. Gro, showing the socialization processes, discussions, and the decorations of the gerobaks. Mr. Gro’s shows can be seen on YouTube.com channel NGEPOTV. All photo and video documentation of these workshops, as well as some of the gerobaks produced, is presented in the exhibition halls as a result of a collaboration between the artist and the gerobag people. There is no reason not to dress a gerobak, and it was necessary to go through a long process to make it happen.
Abdulrahman Saleh lahir di Yogyakarta, 1974. Ia alumnus Jurusan Seni Murni di Institut Seni Indonesia di kota kelahirannya. Pada 2006, ia “nyasar” di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Anak Tangerang, lalu membuat serial lokakarya “komik curhat” bersama anak-anak Lapas tersebut. Hasil lokakarya itu pernah dipamerkan dan dibukukan pada Jakarta Biennale XIII 2009: ARENA. Bersama komunitas Rumah Tanpa Jendela di Depok, Jawa Barat, ia giat mengajar komik dan film animasi sederhana kepada anak-anak mantan narapidana.
Abdulrahman Saleh was born in Yogyakarta, 1974. He graduated from the Fine Art Department of the Indonesian Institute of the Arts in his hometown. In 2006, he “got lost” in Tangerang Child Correction Institution, and created a “comic diary” with the children at the institution. The results of these workshops have been exhibited and published as a book in Jakarta Biennale XIII 2009: ARENA. With the Rumah Tanpa Jendela (Windowless House) community in Depok, West Java, he actively teaches comic-making and simple animations to children formerly in trouble with the law.
31
ACE HOUSE Collective
Indonesia
32
Realis Tekno Museum
Presentasi proyek Project presentation
Dimensi bervariasi Various dimensions 2013
Rencana tata ruang dan objek instalasi Realis Tekno Museum / ACE HOUSE Collective, 2013.
Sudah lumrah bagi warga Bandungan melihat tanah mereka dilalui begitu banyak orang. Terletak di antara Yogyakarta dan Semarang, daerah ini tersohor akan pemandangan alam pegunungannya yang elok. Alhasil, kawasan ini tidak saja diramaikan oleh pengendara yang lalu-lalang di antara dua kota besar yang mengapitnya, tapi juga oleh para wisatawan yang ingin mencari ketenangan. ACE HOUSE Collective (AHC), yang selama ini akrab dengan perkembangan budaya populer, melihat Bandungan sebagai kasus yang unik. Banyaknya pendatang yang masuk-keluar di kawasan itu mendorong terjadinya percampuran budaya luar dengan budaya setempat. Warga Bandungan pun, yang kebanyakan petani, berkenalan dengan gaya hidup urban yang datang bersamaan dengan para wisatawan. Generasi muda Bandungan mulai banyak yang memakai busana dan gaya rambut terkini. Sementara itu, kegiatan balapan liar, prostitusi, dan perjudian mulai tampak di berbagai pojok desa-desa. AHC awalnya melihat perkembangan ini sebagai usaha warga setempat untuk menciptakan hiburan di tengah hilir mudik para pendatang. Usai pengamatan lebih lanjut akan keseharian warga setempat, AHC mendapati bahwa kegiatankegiatan bawaan para pendatang tidak saja telah menjadi bagian dari realitas warga Bandungan, tapi juga melahirkan simbol kemapanan baru dalam sebagian besar masyarakatnya. Karya AHC dalam Jakarta Biennale 2013 adalah hasil pengolahan catatan dan amatan mereka selama di Bandungan dalam bentuk mini pop-up museum. Pada sebuah dinding, ada lukisan motor balap yang bersanding dengan susunan piagam penghargaan. Di dinding-dinding lainnya, terdapat sejumlah tulisan yang meninjau gaya hidup mudamudi Bandungan saat ini. Sementara itu, di bagian tengah museum, terdapat satu set permainan judi yang biasa dimainkan warga Bandungan.
It is all too common for residents of Bandungan to see so many people traverse across their land. Located between Yogyakarta and Semarang, this place is famous for its beautiful natural landscape. Not only is this place frequented by those who travel between the two cities, but also by tourists who seek some peace of mind. ACE HOUSE Collective (AHC), no stranger to popular culture trends, sees Bandungan as a unique case. The traffic of people coming in and out of this place has encouraged a mixing between local and non-local cultures. Bandungan residents, who are mostly farmers, have now become acquainted with “urban” lifestyles, which arrived with tourism. The youth of Bandungan now wear the latest fashion and hairstyles. Street bike races, prostitution, and gambling too can now be seen in certain corners of the villages. AHC initially saw these shifts as an attempt by locals to provide for entertainment amidst the traffic of outsiders. After further observation of their daily lives, AHC found that these “imported” activities not only have become the present reality of Bandungan people, but that the changes have created new symbols of prosperity among many of the population. AHC’s work in Jakarta Biennale 2013 was created based on their notes and observations in Bandungan and it is presented as a mini pop-up museum. On one wall is a painting displayed of a motorcycle race next to a display of certificates of achievement. On other walls, there are texts reviewing the lifestyles of the Bandungan youth today. While in the middle of the museum is a gambling set Bandungan people commonly play.
Didirikan oleh beberapa seniman muda era 2000-an di Yogyakarta, ACE HOUSE Collective merupakan laboratorium seni yang mengkaji budaya populer sebagai resistensi dan sumber utama dalam berkarya. Informasi selengkapnya dapat diakses pada acehouse.weebly.com.
Established by several young artists in Yogyakarta of the 2000’s, ACE HOUSE Collective is an art laboratory that studies popular culture as resistance and as the main source of their creative work. For more information go to acehouse. weebly.com.
33
Agan Harahap
Indonesia
34
Celebrity Friends
Instalasi foto Photo installation
Dimensi bervariasi Various dimensions 2013
Agan Harahap & Rihanna, 2013.
Jelang konser Metallica di Jakarta pada akhir Agustus 2013, beredar foto-foto Lars Ulrich, penggebuk drum kelompok musik metal legendaris itu, sedang mabuk-mabukan bersama seorang pemuda Indonesia. Media-media sosial langsung ramai. Siapa gerangan makhluk beruntung, atau malah kurang ajar ini? Agan Harahap namanya, dan Lars Ulrich bukan satu-satunya selebriti yang punya pengalaman intim dengannya. Pada Juli 2012, Agan membeberkan kisahnya bersama tokoh-tokoh dunia dalam Temanteman Selebriti. Isi buku itu sungguh menantang iman. Cerita-cerita Agan berinteraksi dengan berbagai tokoh dunia, dari Muammar Qaddafi sewaktu perang di Libya sampai Megawati sewaktu pameran kain songket di kediamannya, terlalu luar biasa untuk langsung kita percaya. Sialnya, foto yang ditampilkan begitu meyakinkan, jauh dari kesan manipulasi. Bagaimana kita bisa membuktikannya? Pengalaman membaca buku Agan sesungguhnya mengingatkan akan pengalaman bermedia kita lewat foto. Sejak kehadiran internet, kian ramai ditemukan di media sosial foto-foto warga biasa bersama orang-orang tenama. Tujuannya sederhana: meningkatkan citraan diri di hadapan publik, sebuah kecenderungan yang sebenarnya sudah ada sejak lama. Ketika fotografi pertama kali ditemukan, pelanggan pertamanya adalah kaum bangsawan yang meminta dibuatkan foto keluarga dengan latar megah dan kostum mewah, sebagai dokumentasi akan kemakmuran keluarga bagi generasi mendatang. Ketika fotografi menjadi konsumsi khalayak, foto yang warga pasang di ruang tamu mereka, selain foto keluarga, adalah foto mereka bersama dengan orang kondang. Jakarta Biennale 2013 menyibak babak selanjutnya dari petualangan Agan. Kita disuguhi peristiwa yang melanda orang-orang ternama yang sepertinya tak mungkin bergaul dengan warga biasa, apalagi bersama-sama melakukan hal-hal yang tak biasa. Dan, kembali, Agan berada di tengah mereka.
Right before the Metallica concert in Jakarta in late August 2013, photos of Lars Ulrich, the drummer of this legendary metal band, being drunk with an Indonesian young man circulated on the internet. Social media was provoked. Who is this lucky bastard? His name is Agan Harahap, and Lars Ulrich is not the only celebrity to have had such an intimate experience with him. In July 2012, Agan revealed his story with other world figures in his book Teman-teman Selebriti (Celebrity Friends). The content of his book could really shake one’s senses. Agan’s stories of interacting with world figures, from Muammar Qaddafi during the war in Libya to Megawati at a songket exhibition at her house, are too fantastic to be true. But, alas, the photos are just too convincing. They do not seem to have been manipulated. How do we prove or disprove this? Reading Agan’s book reminds us of our experience with the photographic medium in the internet age. Since social media has taken off in recent years, we are seeing more and more photos of common folk with famous people dotting our bandwidth. There is usually a simple purpose behind this: to up one’s self image in the public eye. An age-old preoccupation, really. When photography was first invented, the first customers were the nobility who would ask for a family picture with a grand background and plush costumes—a documentation of their family wealth and stature for the future generation. When photography became public consumption, aside from family photos, people would display their pictures with celebrities. Jakarta Biennale 2013 reveals for us the next chapter of Agan’s adventure. We are shown snapshots of events involving famous people with whom, it seems, it is impossible to interact for regular folk, engaging in the commission of regular deeds together. And, again, we find Agan among them.
Agan Harahap lahir di Jakarta pada 1980. Ia lulusan Sekolah Tinggi Desain Indonesia di Bandung pada 2005. Sebagai pekerja visual, ia sempat berprofesi sebagai penyunting foto digital untuk Tarzan Photo Studio dan fotografer untuk Trax Magazine. Sebagai seniman, ia pernah memamerkan karyakaryanya di Asia Tenggara, Korea Selatan, Jepang, Portugal, Kolombia, dan Australia. Pada 2008, ia menjadi salah satu nomine penerima penghargaan untuk bidang Fotografi dalam ajang Indonesia Art Award.
Agan Harahap was born in Jakarta in 1980. He graduated from the Indonesian Design School in Bandung in 2005. As a visual worker, he had worked as digital photo editor for Tarzan Photo Studio and a photographer for Trax Magazine. As an artist, he had exhibited his work in Southeast Asia, South Korea, Japan, Portugal, Colombia, and Australia. In 2008, he was a nominee of best photography award at the Indonesia Art Awards event.
35
Anton Ismael
Indonesia
36
Belajar Bekerja
Instalasi objek Object installation
Dimensi bervariasi Various dimensions 2013
Anton Ismael & Kelas Pagi. kelaspagijakarta.blogspot.com
Anton Ismael percaya bahwa siapa saja bisa menjadi fotografer. Pada 2006 ia diminta oleh tiga kawannya untuk mengajar fotografi. Sebuah kelas pun dibuka, awalnya pada pagi hari pukul 06.00–08.00, karena dua jam itulah waktu luang yang dimiliki para calon murid dan si guru. Sebutan Kelas Pagi lalu lahir, berikut ketertarikan orang-orang lain yang mendengar bahwa sebuah kelas fotografi gratis telah dibuka. Ya, gratis. Siapa pun boleh ikut—syaratnya satu: mau bangun pagi. Dari tahun ke tahun peminat Kelas Pagi membludak. Pesertanya kian beragam—tidak saja fotografer-fotografer muda yang haus ilmu dan wawasan, tapi juga ibu rumah tangga, penulis, pemilik bengkel, kuli bangunan. Beberapa dari mereka kini bekerja sebagai fotografer profestional, sebagaimana yang Anton lakukan sejak 2000. Melalui Kelas Pagi, Anton merasa diperkaya berkat perjumpaan-perjumpaan dengan banyak orang. Proses saling berbagi ilmu dan pengalaman berlangsung, memperkaya kurikulum Kelas Pagi dengan wawasan-wawasan selain ilmu dan teknik fotografi itu sendiri. Dan, keyakinan Anton terbukti, siapa saja bisa menjadi fotografer—profesional. Dari pengalaman ini, muncul pertanyaan di benak Anton terkait posisi pendidikan formal dalam dunia profesional: apa pentingnya CV, yang digadang-gadang sebagai representasi diri di muka perusahaan atau kantor yang diincar, jika toh pendidikan nonformal seperti Kelas Pagi bisa membuat seseorang berjejaring dan mendapatkan pekerjaan yang diinginkan? Melalui Belajar Bekerja, Anton mengajak audiens membayangkan apa yang sedang terjadi dalam sistem pendidikan kita.
Anton Ismael believes that anyone can become a photographer. In 2006 he was asked by three of his friends to teach them photography. So a class was opened, initially in the morning between 06.00–08.00, because that was the only two free hours the prospective pupils and the guru had. The name Kelas Pagi (Morning Class) was born, which was followed by the interest of others who heard through the word of mouth about this free photography class. Yes, free. Anyone can attend— with just one condition: willing to wake up early. As years went by, the interest in Kelas Pagi swelled. The participants became more diverse— not just young photographers eager to learn and expand their horizons, but also homemakers, writers, garage owners, construction workers. Some of them now work as professional photographers, as Anton has been doing since 2000. Kelas Pagi has been an enriching experience for Anton Ismael thanks to new encounters with such a diversity of people. The process of knowledge and experience sharing occured, enriching the curriculum of Kelas Pagi with knowledge outside of the knowledge and techniques of photography itself. And Anton Ismael’s belief was proven, that, indeed, anyone can become a photographer—even professionally. From this experience, Anton began questioning the need for formal education in the professional world: what is a CV so important for, heralded as one’s personal representation for coveted companies or offices, when non-formal education like Kelas Pagi can enable a person to network and get a desired job? Through Belajar Bekerja, Anton invites the audience to imagine what is happening in our education system.
Anton Ismael lahir di Jakarta pada 1975. Ia mendapatkan gelar Bachelor of Art dalam fotografi dari Royal Melbourne Institute of Technology. Berkarier sejak 2000, ia mendirikan studio Third Eye lima tahun kemudian. Bersama Kelas Pagi, ia telah menyelenggarakan beberapa pameran foto. Kunjungi situsnya di kelaspagi.com.
Anton Ismael was born in Jakarta in 1975. He earned his Bachelor of Art in photography from the Royal Melbourne Institute of Technology. Starting his career in 2000, he founded his studio, Third Eye, five years later. With Kelas Pagi, he has held several photo exhibitions. Visit his site at kelaspagi.com.
37
Artlab
Indonesia &
Keg de Souza
Australia
38
Vertical Villages: Level Up
Instalasi objek Object installation
Dimensi bervariasi Various dimensions 2013
Ilustrasi: Artlab ruangrupa, 2013.
Pekerjaan adalah ranah pertarungan, dan berstrategi adalah bagian yang vital dalam kerutinan setiap pekerja. Setiap warga pada dasarnya mempolakan kebiasaan hidup berdasarkan profesi yang mereka lakoni, dari pemilihan lokasi tempat tinggal, jam istirahat, rute transportasi harian, hingga pencitraan diri lewat pakaian, kartu nama, dan berbagai atribut lainnya. Dalam beberapa profesi, diperlukan pula strategi dalam menjalin koneksi dan mencari jenjang baru dalam berkarier. Realitas serupa dialami para pekerja di Jakarta. Kota megapolitan ini setiap tahunnya menjadi saksi mata akan kedatangan jutaan calon pekerja dari berbagai daerah yang ingin mengadu nasib di ibukota. Lapangan kerja yang kian sesak jelas menuntut strategi tersendiri di kalangan pekerja agar bisa menyambung hidup. Pada aspek inilah Art Lab dan Keg de Souza mengarahkan bidikannya. Keduanya berkolaborasi mengulik berbagai rupa strategi orang-orang sukses di Jakarta, berdasarkan gaya hidup dan kegiatan para kelas pekerja menengah-atas yang datang dan bekerja di Jakarta dan/atau yang memang berasal dari Jakarta.
A job is a fighting arena, and strategizing is a vital part in the routine of every worker. Every citizen, basically, patterns his living habits around their chosen profession, from choosing their place of living, rest hours, daily transportation routes, to personal image-making through one’s dresses, business cards, and other attributes. In certain professions, it is necessary to develop strategies to make connections, network and seek ways to elevate one’s career. Such is the reality of workers in Jakarta too. Every year, this megapolis witnesses the arrival of millions of jobseekers from a variety of regions who want to try their luck in the city. This situation of tight job opportunities certainly demands a specific strategy of workers to make ends meet. It is this aspect that is in the crosshairs of Art Lab and Keg de Souza. The two collaborate to explore the various forms of strategies of those who made it in Jakarta, based on the lifestyles and activities of the upper-middle class workers who have come to Jakarta or are originally from Jakarta.
Art Lab merupakan salah satu program organisasi ruangrupa, Jakarta, sejak 2008. Program ini bertujuan menjaring individu maupun kelompok dari berbagai latar belakang dan disiplin untuk menghasilkan karya dengan medium dan pendekatan artistik yang beragam. Pada 2012, Art Lab berkolaborasi dengan Keg de Souza dalam proyek Vertical Villages di Sydney, Australia. Seniman kelahiran 1978 asal Sydney ini gemar bereksperimen dengan berbagai medium seni, dari gambar diam, gambar bergerak, hingga instalasi. Ia juga aktif menerbitkan buku, majalah, dan zine dengan nama All Thumbs Press. Untuk kabar terbarunya simak: allthumbspress.net.
Art Lab is one of the programs of ruangrupa, Jakarta, which started in 2008. This program aims to net individuals or groups from different backgrounds and disciplines to produce work with diverse mediums and artistic approaches. In 2012, Art Lab collaborated with Keg de Souza in the project Vertical Villages in Sydney, Australia. This Sydney artist, born in 1978, likes to experiment with different art mediums, from still pictures, moving pictures, to installations. She also actively publishes books, magazines, and zines under the name All Thumbs Press. For the latest news about her, go to allthumbspress.net.
39
Babi Badalov
Azerbaijan, Prancis
40
Jakarta Diary
Lukisan dan mural Painting and murals Dimensi bervariasi Various dimensions 2013
Karya-karya / the works of Babi Badalov. babibadalovvisualpoetry.wordpress.com
Bagi perantau seperti Babi Badalov, rumah menjadi nama dari setiap tempat singgah. Sejak dideportasi Azerbaijan dan Rusia pada pertengahan 1990-an, hidupnya berpindahpindah melintasi batas negara, ke tempat mana pun yang tidak mempermasalahkan reputasi dirinya sebagai seniman yang tanpa tedeng alingaling melontarkan kritik sosial. Badalov sempat menetap di Wales selama beberapa tahun, sampai akhirnya ia harus bertolak ke Prancis pada akhir 2000-an karena Menteri Dalam Negeri Inggris Raya menolak memberi suaka bagi Badalov. Akibat migrasi berkelanjutan ini, tak ada bahasa yang benar-benar lekat pada benak Badalov. “Desa tempat kelahiran saya menggunakan bahasa Talish, kurang lebih mirip dengan bahasa Persia. Saya menggunakan bahasa Azeri sewaktu sekolah di Azerbaijan, lalu bahasa Rusia ketika saya berkegiatan di sana, dan sekarang bahasa Inggris,” jelas sang seniman pada St. Petersburg Times, 2008 silam, “Saya jadi punya paranoia tersendiri terhadap bahasa. Sepanjang hidup, saya menghadapi perubahan yang begitu mendadak dari satu bahasa ke bahasa lainnya, dari aksara Sirilik ke aksara Latin.” Hambatan bahasa ini Badalov ekspresikan dalam lukisan dan mural ciptaannya. Karya-karya visualnya seringkali berupa kolase dari gambargambar buatannya, potongan koran dan majalah, benda-benda yang ia temukan di jalan, serta untaian aksara dari berbagai bahasa yang pernah ia alami. Thomas Campbell, seorang kurator yang pernah memamerkan karya Badalov, menyebut lukisan seniman asal Azerbaijan ini sebagai junk art. “Ia mengambil imaji-imaji yang sering kita lihat sehari-hari, yang seringkali kita abaikan begitu saja. Semua itu ia susun kembali menjadi sebuah karya visual yang puitis.” Perhelatan Jakarta Biennale XV 2013 semakin memperluas horison petualangan Badalov. Babi Badalov merespons apa pun yang ia lihat dan temukan selama seminggu di Jakarta dalam bentuk lukisan dan mural.
For a drifter like Babi Badalov home is the name of every place where he stops. Since being deported from Azerbaijan and Russia in the mid-1990’s, life has taken him across state borders, to any place that has no problem with his reputation as an artist who will not hesitate to voice social criticisms. Badalov lived in Wales for some years until he had to leave for France in the late 2000’s because the Home Secretary of Great Britain refused to give asylum to Badalov. As a result of this continuous migration, no language has truly stuck in Badalov’s mind. “My home village speaks Talish, more or less like Farsi. I used Azeri when I was a school kid in Azerbaijan, then Russian when I was active there, and now English,” he explains to St. Petersburg Times in 2008. “So I have my own paranoia towards languages. All my life, I confronted such sudden changes from one language to another, from Cyrillic letters to Latin.” Badalov expresses this language barrier in his paintings and murals. His visual works are often a collage of his drawings, newspaper and magazine clippings, items he found on the streets, as well as strings of letters from the languages he experienced. Thomas Campbell, a curator who exhibited Badalov’s work in the past, calls his paintings junk art. “He takes images that we see every day, the ones we often overlook. He then recomposes all these things into poetic visual work.” Jakarta Biennale 2013 continues to expand the horizons of Badalov’s adventure. Babi Badalov responded to anything he saw and encountered over one week in Jakarta in his paintings and murals.
Babi Badalov, yang kini berdomisili di Prancis, adalah seniman kelahiran Azerbaijan pada 1959. Pada 1980-an, ia dikenal sebagai salah seorang seniman bawah tanah di medan seni rupa St. Petersburg, Rusia. Sejak pertengahan 1990-an hingga kini ia aktif mengikuti berbagai pameran seni rupa di sejumlah kota di dunia.
Babi Badalov, who currently lives in France, was born in Azerbaijan in 1959. In the 1980’s he was a renowned underground artist in the St. Petersburg art scene in Russia. Since the mid-1990’s today, he has actively participated in various art exhibitions in many cities around the world.
41
CASCO
Belanda
42
Entanglement – Siasat: 15th Jakarta Biennale
Instalasi teks, foto, dan poster Text, photo, and poster installations Dimensi bervariasi Various dimensions 2013
Entanglement adalah sebuah rangkaian proyek yang saat ini tengah diselenggarakan CasCo di kota tempat tinggal mereka: Utrecht, Belanda. Proyek ini berlandaskan pada pemikiran filsuf Gilles Deleuze dan Félix Guattari tentang manusia sebagai garis, yang selalu bergerak, berubah, dan tumbuh serupa rimpang—dari titik mana pun bisa tumbuh tunas baru. CasCo membayangkan gagasan serupa terwujud dalam aktivitas warga di ruang kota untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan sehari-hari. Memetakan hal ini tidak saja akan mengungkap hubungan antarwarga dalam suatu kota, tapi juga cara warga memahami ruang-ruang yang menaungi mereka. Jadilah, sebagai bagian awal dari pelaksanaan Entanglement, CasCo menyusuri pergerakan warga dalam kontur kota Utrecht. Satu lajur pergerakan warga yang lazim mereka temui: dari rumah ke sekolah, dari stasiun kereta ke tempat kerja, dari rumah ke swalayan lalu kembali. Pola ini menunjukkan bahwa kebanyakan warga Utrecht memahami kotanya secara normatif dan fungsional, karena para warga memetakan kebiasaan mereka mengikuti jalan dan fasilitas yang disediakan pengelola kota. Menariknya, CasCo juga menemukan jalur-jalur alternatif yang seolah tumbuh dengan sendirinya. Di Jakarta, CasCo memetakan beberapa komunitas atau organisasi seni rupa yang aktif mengusung wacana ruang publik, yang juga berpartisipasi dalam Jakarta Biennale 2013. Hasilnya ditampilkan lewat sebuah instalasi. Melalui sebuah lokakarya di area instalasi mereka, CasCo juga membagikan pengetahuan akan pemetaan tersebut kepada publik. Masing-masing komunitas yang terlibat diberi Entanglement Toolbox untuk menggambarkan relasi-relasi yang mereka temukan dalam wujud garis dan diagram. Poster yang dihasilkan dari lokakarya tersebut dapat diapresiasi audiens selama Biennale berlangsung.
Entanglement is a project series that CasCo is currently holding in their hometown: Utrecht, the Netherlands. This project is based on the thoughts of the philosophers Gilles Deleuze and Félix Guattari about humans as lines, constantly in motion, changing, and growing as rhizomes— from where new shoots can grow. CasCo imagines a similar idea manifesting in the activities of people in the city to meet their needs and interests every day. Mapping this not only reveals the relations between people in a city, but also the way with which they understand the spaces surrounding them. Thus, as a beginning to Entanglement, CasCo followed the movements of people in Utrecht. A route they commonly found: from home to school, from the train station to a workplace, from home to a supermarket, and back. This pattern shows that most Utrecht residents understand their city normatively and functionally, because people map their habits following the paths and facilities provided by city administrators. Interestingly, CasCo also found alternative routes that grow organically. In Jakarta, CasCo mapped several art communities and organizations who actively support the discourse of public space, some of whom are also participating in the Jakarta Biennale 2013. The results are presented in an installation. Through a workshop in the installation area, CasCo also shares their mapping knowledge with the public. Each of the communities involved were given an Entanglement Toolbox to describe the relations that they find in the forms of lines and diagrams. The posters produced from this workshop can be appreciated by the audience throughout the Biennale.
CasCo didirikan sebagai sebuah wahana untuk seni eksperimental di Utrecht, Belanda, pada 1990. Programprogramnya diadakan untuk mengeksplorasi seni di ranah publik dengan mempertanyakan relasi antara seni dan lingkungan fisik, sosial, dan politiknya. Pameran yang pernah diikuti oleh CasCO di antaranya adalah Venice Biennale 2013 dan The Grand Domestic Revolution GOES ON – LONDON together! 2012 di London. Kunjungi situs CasCo di cascoprojects.org untuk informasi lebih lanjut.
CasCo was founded as a vehicle for experimental art in Utrecht, the Netherlands, in 1990. Its programs are held to explore art in the public space by questioning the relations between art and the physical, social, and political environments. Exhibitions that CasCo attended include the Venice Biennale 2013 and The Grand Domestic Revolution GOES ON – LONDON together! 2012 in London. Visit CasCo’s site at cascoprojects.org for further information.
43
Davy Linggar
Indonesia
44
Doing Nothing
Instalasi Installation
Dimensi bervariasi Various dimensions 2013
Hingar-bingar kota Jakarta yang terlalu sering menjadi absurd adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak warganya. Situasi dan ruang publik kerap menjadi ajang pertempuran hebat antara prinsip dan nalar, yang di baliknya ada usaha untuk memperjuangkan kelangsungan hidup. Dalam karyanya Doing Nothing, Davy Linggar menengahkan usahanya untuk menyiasati ruang dan situasi semacam itu dengan jarak. Merasa terganggu dengan kondisi ruang yang disediakan untuk karyanya dalam Jakarta Biennale 2013, Davy memutuskan untuk memfokuskan proses berkaryanya pada “gangguan” tersebut dan menjadikannya titik berangkat untuk pembahasan ideologinya. Dalam keseharian dan proses berkaryanya selama ini, prinsip mengambil jarak dan berdiam juga selalu digunakan oleh Davy. Rumahnya menjadi suaka yang memberikan keheningan dan ruang berdiam untuk melihat dunia luar. Instalasi Doing Nothing adalah karya “site specific” yang dihadirkan dengan lukisan, fotografi, video, dan sejumlah objek lain yang diambil dari rumah pribadinya. Karya tersebut hanya bisa disaksikan secara kesatuan dari suatu jarak, dengan kaca yang memisahkan penonton dan karya tersebut. Goresan kuas yang menghadirkan bendabenda dari ruang keluarganya dalam imaji yang kabur memberikan kesempatan bagi penonton untuk menciptakan persepsi mereka sendiri, begitu juga permainan dimensi ruang dan benda-benda lain dalam instalasi tersebut. Dengan mengambil jarak, persepsi baru yang mungkin lebih jernih itu bisa tercipta.
The hubbub of Jakarta, growing absurd too often, is something that its residents are unable to avert. Situations and public spaces often become an arena of great struggles between principles and logic, behind which people labor to sustain themselves. In his work Doing Nothing, Davy Linggar presents his own efforts to evade this situation and space with distance. Disturbed by the conditions of the space provided for his work at Jakarta Biennale 2013, Davy decided to focus his creative process on this “disturbance” and make it his point of departure to discuss his ideology. He applies this principle of maintaining distance and staying put in day-to-day routines and creative process. His home is a sanctuary that affords him the tranquility and a space where he can be still and observe the world outside. The installation Doing Nothing is a “site specific” work presented through paintings, photography, video, and a number of other objects taken from his house. His work can only be seen as a whole from a distance, with a glass that separates the spectators from his work. The brush strokes that present the objects from his living room in a blurred image provides the audience with an opportunity to construct their own perception, so does his play on the dimensions of space and other objects in that installation. By taking a distance, a new, perhaps clearer, perception may materialize.
Davy Linggar lahir di Jakarta pada 1974 dan mempelajari seni lukis di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (1993–1995). Berikutnya, ia justru memilih studi fotografi dengan hijrah ke Jerman, tepatnya di Universitaet Gesamthochschule Essen (1995–1997). Aktif berpameran sejak 1990, Davy berkutat dengan fotografi, lukisan, dan instalasi. Pada 2005 kolaborasinya bersama Agus Suwage berjudul Pink Swing Park memercikkan kontroversi dan terus menjadi pembahasan dalam diskusi tentang kebebasan berekspresi dan peran organisasi masyarakat di Indonesia. Pameran tunggalnya yang terakhir adalah Sketch, Photo, Image (2008) di Ark Galerie, Jakarta. Kunjungi situsnya di davylinggar.com.
Davy Linggar was born in 1974 and studied painting at the Faculty of Arts and Design, Bandung Institute of Technology (1993-1995). But then he chose to study photography and migrated to Germany, to Universitaet Gesamthochschule Essen (1995–1997). Actively exhibiting since 1990, Davy labors with photography, painting, and installation. In 2005 his collaboration with Agus Suwage titled Pink Swing Park sparked a controversy and continued to be a subject of discussions about freedom of expression and the role of mass organizations in Indonesia. His latest solo exhibition was Sketch, Photo, Image (2008) at Ark Galerie, Jakarta. Visit his site at davylinggar.com.
45
Enrico Halim
Indonesia
46 136
Berteduh di Bawah Siasat Taking Shelter in ‘Siasat’ Presentasi proyek seni rupa bersama warga Art project with the people 2013
Enrico Halim, Oktober 2013. Foto: Sonang Elyas, Tegar Umbara, Ardilla Thunggal / Jakarta Biennale 2013: SIASAT.
“Seni tidak hidup dalam galeri saja, tapi juga di tengah-tengah warga,” tukas Enrico Halim, “Seringkali kita tidak sadar bahwa apa yang kita lakukan sehari-hari sesungguhnya punya nilai seni.” Ia mencontohkan pedagang cutting sticker dan pembuat bingkai gambar di pasar-pasar. Kerja-kerja mereka bisa jadi terlihat remeh atau kurang nyeni karena selalu mengikuti kemauan pembeli, tapi butuh presisi dan imajinasi tersendiri agar mereka bisa menghasilkan dagangan yang menarik perhatian. Berbekal pandangan ini, Enrico mengundang sepuluh orang guru dan seniman untuk mengadakan kegiatan berkesenian bersama kalangan non-seniman, mulai dari pedagang-pedagang di tempat-tempat umum hingga siswa-siswa sekolah. Proyek ini berlangsung selama Oktober sampai November 2013 di beberapa lokasi di Jakarta. Di Stasiun Pasar Senen, misalnya, guru-guru MAN 18 mengadakan lokakarya seni untuk murid-muridnya di halaman stasiun. Sejumlah calon penumpang, kebanyakan anakanak, turut berpartistipasi. Di Pasar Palmerah, dosen dan mahasiswa Universitas Bina Nusantara memanfaatkan ulang spanduk-spanduk bekas sebagai kanvas yang siap dilukis penghuni pasar maupun warga sekitarnya. Saat jam pulang sekolah, anak-anak SD di kawasan itu datang berhamburan dan ikut melukis bersama. Sepanjang pelaksanaan proyek, para pegiat program memanfaatkan biobemo sebagai sarana angkut alat dan materi berkesenian. Kendaraan tenaga listrik itu, hasil kerja Enrico bersama kawan-kawan Aikon, aslinya dikembangkan sebagai alternatif murah dan ramah lingkungan bagi kendaraan bahan bakar bensin—biobemo edisi terakhir bisa menempuh jarak 30 kilometer setelah disetrum selama empat jam penuh. Enrico berniat memperluas dimensi penggunaan biobemo untuk kepentingan pendidikan dan pencerahan publik.
“Art does not live in galleries only, but also amidst people,” says Enrico Halim. “Often we do not realize that what we do every day actually has artistic value.” He gives the example of the cutting sticker vendors and frame makers in the markets. Their work may seem petty or not too artsy, as they would always follow what their buyers want, but it requires a certain kind of precision and imagination in order to produce attractive goods for sale. With this in mind, Enrico Halim invited ten teachers and artists to do art activities with non-artists, from street vendors to schoolchildren. This project takes place throughout October until November 2013 in several locations in Jakarta. At Pasar Senen Train Station, for instance, teachers from MAN 18 (Primary Level Madrassa) held an art workshop for their pupils at the station grounds. Some passengers, especially children, participated. At Palmerah Market, lecturers and students of Bina Nusantara University reused second-hand banners as canvass to be painted by market vendors as well as residents around the area. After school hours, primary schoolchildren in the area came in droves and painted together. Throughout this series of event, the organisers used biobemo as their means of transportation to carry art tools and materials. This electricpowered vehicle, a fruit of Enrico Halim’s labor with his friends at Aikon, was originally developed as a cheap and environmentally friendly alternative to gasoline-fueled vehicles—the latest biobemo can travel up to 30 kilometers on a four-hour charge. Enrico Halim intends to widen the scope of the biobemo use for education purposes and public enlightenment.
Enrico Halim menyelesaikan studinya di bidang desain grafis pada 1993. Setahun kemudian, pria kelahiran Bandung ini mendirikan Aikon, media cetak pertama di Indonesia yang didistribusikan secara gratis dengan prinsip berkelanjutan. Sepanjang perjalanannya, kerja-kerja Enrico dan Aikon berkembang ke ranah desain sosial, dengan harapan dapat menciptakan masyarakat yang berpikiran terbuka. Sekali seminggu, Enrico mengajar Desain Komunikasi Visual di Universitas Tarumanegara, Jakarta.
Enrico Halim completed his studies in graphic design in 1993. A year later, this native of Bandung established Aikon, the first print media in Indonesia that was distributed freely with sustainability in mind in the hope that it would lead to an open-minded society. Once a week, Enrico Halim teaches Visual Communication Design at Tarumanagara University in Jakarta.
47
Etienne Turpin
Kanada
48 138
For A Minor Ornithology
Instalasi objek dan performans Diagrams and performance 2013
Pasar Burung Pramuka, Jakarta Timur / Pramuka Bird Market, East Jakarta. Foto: Etienne Turpin, 2013.
Dari Pasar Burung Pramuka di Jakarta, Turpin berupaya menghubungkan pasar kontemporer dan peninggalan kolonialisme. Ia melakukannya dengan menciptakan serangkaian instalasi dan pertunjukan yang diolah berdasarkan riset terhadap penghuni pasar: burung dan penjual burung. Turpin berangkat dari upaya tiga tokoh dalam sejarah kolonialisme yang terlibat dalam pengumpulan burung tropis, yaitu Robert Boyle, Charles Willson Peale, dan Alfred R. Wallace. Dengan bekal di atas, ia mencoba memahami ruang kontemporer Pasar Burung Pramuka yang menurut laporan organisasi ProFauna 2009 menampung 159 spesies burung yang hampir punah. Melalui penyelidikannya, ia mempertanyakan apa saja bentuk-bentuk warisan kolonial dalam penangkapan burung, dan bagaimana pengetahuan lokal, produksi komersial, serta kecakapan dan tradisi memengaruhi praktik warisan kolonial yang ada. Dari sini, dapat diketahui bagaimana kenikmatan manusia yang dibetikkan oleh kicauan burung terkait dengan realitas ilmiah, pedagogis, dan kolonial dalam sejarah nusantara. Proyek Turpin terdiri atas dua bagian. Pertama, hasil amatan Turpin yang ditampilkan dalam diagram dan instalasi audio berbasis gramofon; diagram itu dipampangkan di dinding sekaligus dicetak sebagai peta yang dapat dibawa oleh audiens. Sebuah esai, “Some Notes for a Minor Ornithology”, yang ditulis Turpin bersama AnnaSophie Springer dari K. Verlag, Berlin, Jerman, dimuat dalam bahasa Inggris dan Indonesia di balik peta tersebut. Kedua, performans yang diolah dari hasil wawancaranya dengan para pedagang tentang praktik-praktik yang berlangsung dalam pasar.
From Pasar Burung Pramuka [Pramuka Bird Market] in Jakarta, Etienne Turpin attempts to relate the contemporary market to legacies of colonialism. He did this by creating a series of diagrams and performances based on his research of market occupants: the birds and their traders. Turpin started from the endeavors of three historical colonial figures who were involved in the collection of tropical birds: Robert Boyle, Charles Willson Peale, and Alfred R. Wallace. With these considerations in mind, he tried to understand the contemporary space of Pramuka Bird Market, which, according to a 2009 report by ProFauna, holds about 159 species of endangered and nearly extinct birds. Through his investigations, he questions the colonial heritage that persisted in the ongoing practice of bird capture, and how local knowledge, commercial production, as well as skills and traditions have influenced the practices that have persisted to this day. From here, one can learn how human enjoyment of bird chirping is related to scientific, pedagogic, and colonial realities in the history of the archipelago. Turpin’s projectis comprised of two parts: the first is a series of diagrams and a gramophonebased audio installation; these diagrams are displayed on the wall of the gallery, but are also reproduced as free take-away folded maps, with a short essay, “Some Notes for a Minor Ornithology,” written together with AnnaSophie Springer from K. Verlag, Berlin, printed in English and Indonesian on the back. The second part is a series of performances produced from his interviews with traders about practices that take place in the market.
Etienne Turpin lahir di Kanada, 1980. Ia pendiri dan direktur anexact office, sebuah inisiatif yang bergerak melalui penyelidikan teoretis, riset empiris urban, dan eksperimen artistik serta kuratorial. Ia juga pemegang gelar PhD (Filsafat) dari University of Toronto, Canada. Karyakaryanya telah dipamerkan di Amerika Utara, Eropa, dan Asia Tenggara. Lebih jauh tentang anexact, bisa dilihat di situs anexact.org.
Etienne Turpin was born in Canada in 1980. He is the founder and director of anexact office, an initiative that works through theoretical investigation, empirical urban research, and artistic and curatorial experimentation. He also holds a PhD (Philosophy) from the University of Toronto, Canada. His work has been exhibited in North America, Europe, and Southeast Asia. For further information visit anexact.org.
49
FranÇoise Huguier
Prancis
50
Workshop 21–25 Oktober 2013 / Partisipants: Ifan Hartanto, Yogi Kusuma, Anton Ismael, Agustinus Eko, Danny Widjaja, George Mandagie, Mulia Idznillah, Sonang Elyas, Stevano Rojalalo.
Françoise Huguier adalah tokoh yang disegani dalam dunia fotografi Prancis. Kariernya bermula sejak 1970-an, sebagai fotografer mode di Vogue dan New York Times, lalu beralih mengerjakan proyek-proyek foto yang lebih personal dan sosial. Pada 1993, ia menerima penghargaan World Press Photo dan pada 1994 menjadi kreator Bienial Exposition of African Photography di Bamako, Mali. Selama lima hari Huguier bekerja bersama delapan fotografer muda Indonesia, hasil kolobrasi sang fotografer Prancis dengan Kelas Pagi dan Galeri Antara. Premis yang ia ajukan sederhana: apabila Anda berhadapan dengan seorang asing yang baru pertama kali ke Jakarta, dan ia meminta untuk ditunjukkan satu hal yang menjadi ciri khas Jakarta, apa tawaran Anda? Setelah berdiskusi panjang, para peserta menjatuhkan pilihannya pada sejumlah topik. Beberapa ingin menyorot polusi yang kian hari kian lekat dengan ruang-ruang Jakarta. Beberapa lainnya ingin mengungkap fenomena sosial di kalangan warga ibukota, dari masalah perumahan hingga konsumsi barang bajakan. Kita berkesempatan menyaksikan hasil lokakarya tersebut selama Jakarta Biennale 2013.
Françoise Huguier is a respected figure in French photography. She started her career since the 1970’s as a fashion photographer for Vogue and New York Times, and afterwards continued to do more personal and social photography projects. In 1993, she won the World Press Photo award and in 1994 became the creator of Bienial Exposition of African Photography in Bamako, Mali. For five days in October Huguier worked with eight Indonesian young photographers, a collaboration of this French photographer with Kelas Pagi and Galeri Antara. The premise that she proposed was simple: if you meet a foreigner in Jakarta for the first time, who asks you to show one place that marks Jakarta, what would you offer? After a long discussion, the participants decided on several topics. Some wanted to highlight pollution that fills Jakarta spaces. Others want to reveal the social phenomena among its people, from housing to consumption to piracy. We have the opportunity to see the results of this workshop during the Jakarta Biennale 2013.
51
Ho Tzu Nyen
52
Pythagoras
Instalasi video
Video installation 2013
Singapura
Menurut kisah Yunani Kuno, filsuf Pythagoras memiliki metode unik dalam mendidik muridmuridnya. Ia mengajar sambil bersembunyi di balik tirai sehingga para murid hanya bisa mendengar suara ceramah tanpa mengetahui wajah sang guru. Menurutnya, tatap muka hanya akan mengganggu konsentrasi para murid dalam menangkap ajarannya. Karya Ho Tzu Nyen mengajak kita “menyimak tirai” itu. Proyeksi video menampilkan gambar sebuah tirai dalam keadaan tertutup. Perlahan tirai terbuka, menampakkan tirai lain yang berbeda warna. Suara musik yang entah berasal dari mana mengiringi terbukanya lapisan tirai demi tirai, dan kita mulai menerka-nerka apa yang tersembunyi di balik tirai. Saat tirai akhir terbuka, sang sumber bunyi menatap balik kita lekat-lekat. Ho Tzu Nyen menggali gagasan mengenai tirai Pythagoras melalui eksplorasi artistiknya terhadap permainan visual dan suara, menciptakan drama fantastik melalui harmoni suara dan gambar, gerak dan keheningan, terang dan gelap. Karyanya menggambarkan realitas peradaban dari masyarakat industri ke masyarakat informasi. Kita adalah murid-murid yang duduk menghadap tirai. Apa pun yang kita ketahui adalah persepsi, semacam ilusi tentang kebenaran, yang terbentuk dari apa yang kita lihat dan dengar dalam keseharian kita yang terbiasa menghadapi teks di berbagai media: di televisi, koran, radio, jejaring sosial di internet, billboard pinggir jalan, sampai brosur-brosur di pusat perbelanjaan.
According to an Ancient Greek fable, the philosopher Pythagoras had a unique method to teach his pupils. He taught while hiding behind a curtain so that his pupils could only hear his voice without knowing their teacher’s face. He thought that face-to-face encounters could only interfere with his pupils’ concentration and ability to absorb his teachings. Ho Tzu Nyen’s work invites us to “listen to the curtain”. A video projection shows us an image of a closed curtain. The curtain is slowly opened, revealing another curtain of a different color. Music, emanating from who knows where, accompanies the opening of the curtains, one after another, and we are made to guess what will be revealed behind these curtains, until the last curtain is opened and we are confronted with the source of the sound, squarely staring back at us. Ho Tzu Nyen explores the idea about Pythagoras’ curtains through his artistic exploration of visual and aural play, creating fantastic drama through the harmony of sounds and images, movement and silence, light and darkness. His work illustrates the civilizational realities of industrial society to information society. We are pupils facing the curtain. Whatever it is that we know is merely perception, an illusion about the truth, shaped from what we have seen and heard in our daily lives. We, who have gotten used to encounter texts in all sorts of media: television, newspapers, radio, internet’s social networks, roadside billboards, brochures in shopping malls, and whathaveyou.
Ho Tzu Nyen lahir di Singapura, 1976. Ia telah menggelar beberapa pameran tunggal di Substation Gallery, Singapura (2003); Contemporary Art Centre of South Australia, Adelaide (2010); Artspace, Sydney (2011); dan Mori Art Museum, Tokyo (2012). Beberapa karyanya diputar pada sejumlah festival film: Cannes International Film Festival, Prancis (2009) dan Sundance Film Festival, Utah (2012).
Ho Tzu Nyen was born in Singapore in 1976. He has held a number of solo exhibitions at The Substation, Singapore (2003); Contemporary Art Centre of South Australia, Adelaide (2010); Artspace, Sydney (2011); and Mori Art Museum, Tokyo (2012). Some of his works have been screened at several film festivals, including Cannes International Film Festival, France (2009) and Sundance Film Festival, Utah (2012).
53
Icaro Zorbar
Kolombia
54
Eves
Instalasi video Video installation
Ukuran bervariasi Various dimensions 2013
Layaknya karya-karya Icaro Zorbar sebelumnya, Eves menampilkan ketertarikan sang seniman terhadap orkestrasi benda-benda dalam permainan audiovisual. Spesifiknya, benda-benda yang dipakai adalah produk teknologi analog. Pemanfaatan perangkat-perangkat analog ini merupakan usaha seniman untuk menempatkan mereka dalam sejarah kebendaan manusia modern, memberi konteks baru bagi rasa-rasa masa lampau di zaman yang kian digital ini. Dalam Eves, Zorbar memanfaatkan sejumlah pengeras suara berbahan kayu sebagai atraksi utama. Masing-masing pengeras suara akan memainkan berbagai bebunyian yang Zorbar rekam, memamerkan ragam rasa yang mungkin dihasilkan perangkat analog ini. Para pengeras suara juga berfungsi sebagai layar, yang diproyeksikan sebuah video kunangkunang yang sedang berpendar. Berkat proyeksi video ini, permukaan setiap pengeras suara akan tercerahkan, memamerkan keunikan tekstur masing-masing objek. Zorbar mengatur kemunculan gambar dan bebunyian sedemikian rupa, sehingga rangkaian benda-benda yang ia tata ini menjadi simfoni audiovisual yang padu.
Like Icaro Zorbar’s earlier works, Eves presents the artist’s attraction to orchestration of objects in an audiovisual play. He specifically used objects of analog technology in an effort to place them in the history of objects of modern humankind, and give a new context to senses of the past in this increasingly digital era. In Eves, Zorbar uses an array of wooden loudspeakers as the main attraction. Each loudspeaker will play a range of sounds that Zorbar recorded, displaying a plurality of senses that these analog equipments are able to produce. The loudspeakers also function as screens onto which a video of shimmering fireflies is projected, lighting up the surface of each loudspeaker, revealing the unique texture of each object. Zorbar’s arrangement of images and sounds superimposed on objects becomes a harmonious audiovisual symphony.
Icaro Zorbar lahir pada 1977. Ia gemar sekali berkarya dengan orkestrasi benda-benda, permainan suara, dan proyeksi gambar. Lulus dari Universidad Nacional de Colombia dengan gelar Master of Fine Arts, Zorbar sudah keliling dunia memamerkan berbagai instalasi hasil rekaannya. Lebih lanjut tentang karyanya, lihat: icarozorbar.com.
Icaro Zorbar was born in 1977. He likes to create orchestrations of objects, with sounds and image projections. A graduate of Universidad Nacional de Colombia with a Master of Fine Arts degree, Zorbar has traveled around the world to exhibit the various installations he conceived. More about his work: icarozorbar.com.
55
Jimmy Ogonga
Kenya
56
Silence of the Lambs
Instalasi foto Photo installation
Dimensi bervariasi Various dimensions 2013
Hannibal Lecter, kanibal pembunuh berantai itu, bertanya dari balik jeruji penjara, “Mereka akan menyembelih domba-domba itu?” Clarence Starling, detektif yang mendapat tugas untuk menggali informasi dari sang kriminal, menjawab, “Ya. Dan mereka semua berteriak.” Lecter tersenyum tipis, “Dan kamu kabur begitu saja?” Starling menggeleng, “Tidak. Saya coba bebaskan mereka. Saya... saya buka pintu kandang, tapi domba-domba itu diam saja. Mereka bergeming, bingung.” Adegan ini merupakan momen penting dalam Silence of the Lambs, film Jonathan Demme pada 1991, yang diadaptasi dari novel Thomas Harris berjudul sama. Sebelum adegan itu, Starling selalu terbawa permainan psikologis Lecter, yang memang kharismatik dan pintar membawa diri, sampai-sampai si detektif mau menceritakan trauma masa kecilnya. Setelah itu, Starling baru paham apa yang menghambat alam pikirnya selama ini dan mulai bisa mengambil inisiatif sendiri—termasuk lepas dari pengaruh permainan psikologis Lecter. Starling tak lagi sama dengan “domba-domba” yang membuatnya trauma itu. Dalam amatan Jimmy Ogonga, “domba-domba” itu adalah warga yang naif akan dunia yang mereka huni. Sekarang ini, perubahan dimaknai begitu sempit—sebagai pencapaian yang kasat mata, tapi tidak sebagai proses-proses yang menyokong hidup masyarakat. Warga jadinya begitu reaksioner merayakan setiap terobosan, tapi abai pada gambaran besar di balik itu, pada kenyataan bahwa terobosan yang sama bisa jadi malah memberatkan pilar-pilar penyokong kehidupan bersama. Sepanjang kariernya sebagai seniman, Ogonga rajin membahas geliat politik di benua Afrika melalui karya-karyanya. Dalam Jakarta Biennale 2013, ia menghadirkan pembacaannya tentang keabaian warga terhadap geliat di sekitar mereka dalam bentuk instalasi foto. Topiknya beragam, dari budaya konsumsi hingga pola partisipasi politik yang dilakukan warga.
Hannibal Lecter, that cannibalistic serial killer, asked from behind bars, “They were slaughtering the lambs?” and Clarence Starling, the detective tasked to extract information from the killer, answered, “And they were screaming.” Lecter smiled slyly, “And you ran away?” Starling shook her head, “No. First I tried to free them. I... I opened the gate to their pen, but they wouldn’t run. They just stood there, confused. They wouldn’t run.” This scene is an important moment in Silence of the Lambs, Jonathan Demme’s 1991 film, an adaptation of a novel by Thomas Harris of the same title. Before this scene, Starling was always taken by Lecter’s mind games, who is, indeed, smooth and charismatic, to the point that the detective was willing to share her childhood traumas. Only after that, Starling understood what has been blocking her thoughts all along and was able to take initiative—including to free herself of Lecter’s mind games. Starling was no longer like those “sheep” who traumatized her before. In Jimmy Ogonga’s observation, the “sheep” are people who are naïve about the world they are living in. These days, change is understood so narrowly—as a measurable achievement, but one that excludes the processes that support the life of society. People become reactionaries who celebrate every breakthrough, but ignorant of the bigger picture beyond it, of the reality that the same breakthroughs can weigh on the pillars supporting society’s life. Throughout his career as an artist, Ogonga likes to discuss the political dynamics of the African continent through his work. In the Jakarta Biennale 2013, he presents his reading of the public’s naïvette about the dynamics around them in a photo installation. The topics are diverse, from the culture of consumption to public political participation.
Jimmy Ogonga lahir di Nairobi pada 1977. Ia belajar seni secara otodidak—dengan menggambar pemandangan alam dan tokoh-tokoh tersohor di kampung halamannya. Seiring berjalannya waktu, ia mulai berkarya dengan medium patung, foto, dan video. Pada 2001, ia mendirikan Nairobi Arts Trust, bekerja sama dengan Centre of Contemporary Arts in Africa di Belgia, untuk membantu pendanaan karya-karya seni di Kenya. Selengkapnya tentang aktivitas sang seniman dapat disimak di jimmyogonga.com.
Jimmy Ogonga was born in Nairobi in 1977. He taught himself art by drawing natural scenery and the celebrated figures of his hometown. Slowly, he began working with sculpture, photo, and video medium. In 2001, he established the Nairobi Arts Trust, working together with the Centre of Contemporary Arts in Africa in Belgium, in order to help fund works of art in Kenya. To find out more about this artist’s activity, go to jimmyogonga.com.
57
Julia Sarisetiati
Indonesia
58
Tagline for Artistic Society
Instalasi video Video installation 2013
Pembuatan video / the making of: Tagline for Artistic Society, 23 Oktober 2013. Foto: Nissal Nur Afryansyah, 2013.
Seni bukan semata-mata soal menciptakan lukisan atau memahat patung. Dalam berkesenian seseorang harus memiliki daya cipta, berkreasi, serta membuka ruang makna seluas-luasnya dari suatu benda atau peristiwa. Dengan kata lain, berkesenian memberi kesempatan bagi seseorang untuk mengaktualisaskian diri secara utuh. Siapa saja, apa pun profesinya, bisa menjadikan seni sebagai kontribusi bagi sesama dan lingkungannya. Gagasan ini menjadi pengantar diskusi dalam video karya Julia Sarisetiati. Seniman yang akrab dipanggil Sari ini prihatin akan corak kehidupan ibukota yang kian melanggar nalar. Setiap hari ia melihat para warga pergi-pulang kantor dengan wajah datar, saking terbiasanya dengan kemacetan di jalan, padahal setiap tahunnya mereka membayar pajak mahal sebagai modal pemerintah membereskan segala keruwetan kota. Ini baru satu, sementara ada sejuta problema lainnya dalam kehidupan manusia modern. Jadilah, ia mengumpulkan empat mahasiswa ilmu sosial untuk berdiskusi. Sebagai calon akademisi yang berkecimpung di bidang kesejahteraan rakyat, mereka telah memiliki amatan masing-masing tentang kehidupan sekitar—diskusi ini menjadi kesempatan bagi mereka untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang sudah mereka pelajari. Ditawarkanlah seni sebagai jalan keluar warga dari keabsurdan dunia. Lewat seni, warga bisa kembali menghayati kehidupan, atau sebagaimana yang diungkapkan para peserta diskusi: “Hidupmu adalah karya (seni)mu.” Sepanjang Jakarta Biennale 2013, pengunjung bisa menyaksikan diskusi ini lewat instalasi video Sari.
Art is not just paintings or statues. In art one must have creative power, create, and afford, as broad as possible, the space for meaning from an object or event. In other words, art provides the opportunity for anyone to self-actualize wholly. Anyone, whatever their profession, can make art as a contribution to others and his or her environment. This idea is introduced in Julia Sarisetiati’s video work. The artist, whom friends call Sari, is concerned about the lifestyles in the capital city that offends logic more and more. She sees people going to and fro the office every day, plain faced, so used are they to the dense traffic despite the fact that every year they pay taxes so that the government could manage this mess. This is but one of a myriad of problems in the lives of modern humans. So she collected four social science students to discuss. As aspiring academics in the field of public welfare, they surely have their own observations about surrounding lives—this discussion became an opportunity to apply the knowledge they gained. Art is then offered as a way out for people in the city from such worldly absurdities. Through art, people can appreciate life anew, or, as the discussion participants said: “Your life is your (artistic) work.” Throughout the Jakarta Biennale 2013, visitors can experience this discussion through Sari’s video installation.
Julia Sarisetiati lahir di Jakarta pada 1981. Ia menyelesaikan studi Fotografi di Universitas Trisakti Jakarta. Karier keseniannya terentang meliputi posisi sebagai fotografer, kurator, pengarah artistik, dan seniman, yang telah berpartisipasi dalam banyak proyek dan pameran sejak 2007. Ia pernah mengikuti residensi seniman di Korea Selatan, juga menjadi manajer di ruangrupa dari 2008– 2012. Saat ini ia tengah menangani RURU Corps dalam kedudukannya sebagai manajer artistik.
Julia Sarisetiati was born in Jakarta in 1981. She completed Photography studies at the University of Trisakti, Jakarta. She has worked as a photographer, curator, artistic director, and artist who has participated in many projects and exhibitions since 2007. She has attended an artist residency in South Korea, and has been a manager at ruangrupa from 2008-2012. She currently manages RURU Corps as the artistic manager.
59
Khaled Jarrar
Palestina
60
The Soldier
Performans dan dokumentasi performans
Performance and performance documentation 60 menit 2013
Di atas warga ada tentara, di atas tentara ada negara. Skema macam ini seringkali kita temui dalam rezim-rezim otoriter, di mana militer menjadi bagian dari usaha negara mengatur warga. Operasi militer yang padu dan terstruktur menjadi solusi yang efektif untuk menekan perlawanan gerakan-gerakan sipil. Dalam beberapa kasus, tentara menjelma jadi negara itu sendiri, sebagaimana yang sedang berlangsung di Korea Utara, Fiji, dan Republik Afrika Tengah. Meski begitu, pemanfaatan militer sebagai kontrol atas warga terjadi juga di negaranegara yang mengaku demokratis. Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh. Pada Maret 2013 di Indonesia, terjadi kasus penembakan empat tahanan penjara Cebongan oleh sebelas anggota Kopassus. Presiden menyematkan status pahlawan pada para penembak, yang secara efektif juga melanggengkan impunitas hukum di kalangan militer. Ada pula kasus-kasus kekerasan militer pada sipil yang terjadi saat integrasi Papua pada 1960-an dan separasi Timor Leste pada akhir 1990-an. Negara mengemukakan “demi kepentingan warga” sebagai alasan di balik tindaktanduk mereka. Khaled Jarrar, seniman dan warga Palestina, sudah cukup sering menyaksikan agresi militer atas “kepentingan warga” di tempat tinggalnya. Negaranya terlibat bentrokan senjata dengan Israel, dan tentara sudah menjadi bagian yang tak terelakkan dalam keseharian warga. Terinspirasi dari realitas ini, Jarrar mengadakan performans di mana dirinya mengenakan kostum tentara dan berdiri diam selama sejam penuh. Ia menjelma tentara yang bergeming mewakili militer yang sudah dicuciotak sedemikian rupa oleh negara sehingga patuh buta terhadap tindak-tanduk penguasa. Kostum tentara yang polos tanpa atribut menyiratkan kalau opresi militer bisa terjadi kapan dan di mana saja.
The military is above citizens, and above the military is the state. This scheme is common in authoritarian regimes, where the military plays a big part in the state’s effort to control its subjects. Organized and structured military operations become an effective means to suppress the resistance of civil movements. In some cases, the military has become the state itself, such as in North Korea, Fiji, and the Central African Republic. In spite of that, the use of the military to control citizens also occurs in countries that claim to be democratic. One does not need to go too far to find examples. In March 2013 in Indonesia, eleven members of Kopassus, the Indonesian Army Special Forces, shot four detainees dead inside a prison. The President quickly rewarded the shooters with a hero status, effectively sustaining legal impunity for the military. There have also been cases of military violence on civilians during the integration of Papua in the 1960’s and Timor-Leste secession in late 1990’s. The state justifies its actions as being “in the interests of citizens”. Khaled Jarrar, an artist and resident of Palestine, has often witnessed military aggression in the name of “citizens’ interests” where he lives. His country has been involved in armed conflict with Israel, and the military has become an inescapable daily reality for the population. Inspired by this reality, Jarrar presents a performance where he wears a military uniform and stands still for a full hour. He transforms himself into a soldier who does not budge to represent the military that has been brainwashed in such a way by the state that it blindly abides by the whims of its rulers. The plain uniform sans attributes implies that military operations can take place anytime, anywhere.
Khaled Jarrar lahir di Jenin, Palestina, pada 1976. Ia menyelesaikan studi Desain Interior di Palestine Polytechnic University pada 1996, dan studi Jurusan Seni Visual di International Academy of Art Palestine pada 2011. Sebagai seniman, ia pernah pameran di Palestina, Israel, Prancis, Jerman, Yugoslavia, dan kota-kota lainnya di dunia. Sebagai pembuat film, ia pernah menang FIPRESCI Prize dan Muhr Arab Special Jury Prize untuk The Infiltrators, dokumenter panjang pertamanya, di Dubai International Film Festival 2012.
Khaled Jarrar was born in Jenin, Palestine, in 1976. He completed an Interior Design Study at Palestine Polytechnic University in 1996, and Visual Arts Study at the Palestine International Academy of Arts in 2011. As an artist, he has participated in exhibitions in Palestine, Israel, France, Germany, Yugoslavia, and other countries around the world. As a filmmaker, he has won the FIPRESCI Prize and Muhr Arab Special Jury Prize for The Infiltrators, his first feature documentary, at Dubai International Film Festival 2012.
61
Lifepatch Collaboration
Indonesia
62 1
2
3
Dining Space Project
Instalasi objek, performans Object installation, performance 2013
Fotografi: 1. Lifepatch 2. Otakatik Creative Workshop, 2013 3. Permablitz Yogyakarta / 2013.
Tak ada yang abadi di dunia ini, tak terkecuali makanan yang kita telan sehari-hari. Sebagaimana yang sering diberitakan, semakin hari Indonesia makin tidak mandiri perihal bahan pangan. Bahanbahan pangan yang dulunya banyak tersedia di nusantara, semisal beras dan kacang kedelai, semakin banyak diimpor dan dijual dengan harga murah. Pasar jadi tidak stabil, menjadikan petani-petani kita makin kesulitan, baik untuk menyambung hidup maupun meningkatkan produksi. Bersamaan dengan itu, kaum elit dan borjuis sedang giat-giatnya menjadikan “makan” sebagai kegiatan waktu luang nomor wahid. Makan yang sejatinya kebutuhan dasar semakin kabur maknanya oleh liputan kuliner eksotis yang belakangan merajalela di media massa. Konsumsi digiatkan, produksi diabaikan. Perkembangan ini mengusik Lifepatch. Menanggapi isu keberlangsungan pangan yang kian genting, kelompok asal Yogyakarta ini ingin mengajak warga untuk melakukan inovasi dan budidaya atas bahan pangan lokal yang tersedia. Melalui Dining Space Project, Lifepatch berkolaborasi dengan individu dan kelompok diYogyakarta yang sama-sama aktif mendistribusikan pengetahuan alternatif, antara lain Elia Nurvista, yang pernah mengolah ampas pengolahan minyak kacang alias cundring jadi gulagula dan pai cundring; Otakatik Creative Workshop, kelompok pakar bahan daur ulang beling; Teapot Experience, yang kerap mengadakan lokakarya tentang pembuatan perabot dari tanah liat; dan Permablitz Yogyakarta, yang giat mengkampanyekan kegiatan berkebun demi tercapainya swasembada pangan untuk daerah urban. Kolaborasi ini mencerminkan pola kerja Lifepatch yang berprinsip pada DIY (Do-It-Yourself) dan DIWO (Do-It-With-Others). Tiap kelompok atau individu seniman memiliki sudut “laboratorium” masing-masing untuk mengolah bahan pangan dan menciptakan peralatan, dari fermentasi sampai eksperimentasi, dan pengunjung bisa menyaksikan mereka bekerja secara langsung.
Nothing lasts forever in this world, and certainly not the food we consume every day. As we often hear in the news, day by day Indonesia is becoming less and less independent about its food supplies. More and more foodstuffs that used to be abundant in the archipelago, like rice and soya beans, are now being imported and sold cheaply. The markets have become unstable, and our farmers are increasingly stressed, both to sustain their livelihoods as well as to increase production. In the meantime, the elite and the bourgeoisie are busy turning “eating” into their number one pastime. The meaning of food, supposedly a basic need, is blurred by exotic culinary programs now abound in mass media. Consumption is pushed, and production is overlooked. This bothers Lifepatch. Responding to the problem of food sustainability that is increasingly critical, this Yogyakarta-based group wants to invite people to innovate and cultivate available local foodstuffs. Through their Dining Space Project, Lifepatch collaborates with individuals and groups in Yogyakarta who are actively engaging in distributing alternative knowledge, including Elia Nurvista, who once processed waste from nut oil processing into candies and pies, locally known as cundring; Otakatik Creative Workshop, experts in glass recycling; Teapot Experience, who hold workshops about how to make utensils from clay; and Permablitz Yogyakarta, who actively promote gardening in their campaign to achieve urban food self-sufficiency. This collaboration reflects Lifepatch’s DIY (Do-It-Yourself) and DIWO (Do-It-WithOthers) approach to working. Every artist group or individual has their own “laboratory” to themselves to process food and create utensils, from fermentation to experimentation, and visitors can see them work directly.
Lifepatch, berdiri pada 26 Maret 2012 di Yogyakarta, merupakan organisasi berbasis komunitas yang menciptakan aplikasi kreatif dan tepat guna di bidang sains, seni, dan teknologi. Karya-karya mereka sebelumnya meliputi Hackteria: DIY Microscope Webcam, Listrik DC Air Laut, dan Microtransformer: instalasi langkah-langkah fermentasi buah. Lifepatch pernah berpartisipasi dalam pameran seni rupa di Jakarta, Bandung, dan Kuala Lumpur. Temukan mereka di lifepatch.org.
Lifepatch, established on 26 March 2012 in Yogyakarta, is a community-based organization that produces creative and appropriate-use applications in science, arts, and technology. Their prior works include Hackteria: DIY Microscope Webcam, Listrik DC Air Laut, and Microtransformer: steps in fruit fermentation installation. Lifepatch had previously participated in art exhibitions in Jakarta, Bandung, and Kuala Lumpur. Find them on lifepatch.org.
63
Lost Generation
Malaysia
64
Urban Memory
Instalasi benda-benda Installation of objects Dimensi bervariasi Various dimensions 2013
Pembangunan kadang mengorbankan kenangan. Demi mewujudkan Kuala Lumpur sebagai kota metropolis kelas dunia, pemerintah kota merencanakan pembangunan infrastruktur bisnis yang megah di atas lahan-lahan yang ditempati situs bersejarah, termasuk di antaranya bangunan-bangunan peninggalan masa kolonial. Warga protes. Bangunan-bangunan megah ini hadir tanpa latar sejarah di tengah warga, menggusur tempat-tempat yang selama ini menjadi bagian dari kerutinan dan kenangan kolektif masyarakat Malaysia. Lost Generation turut terusik akan perkembangan ini. Jadilah kelompok seniman ini turun ke jalan dan mewawancarai warga Kuala Lumpur, dari beragam etnis dan profesi, tentang kota yang mereka huni itu. Mereka catat apa saja yang menjadi kenangan dan kegelisahan warga akan Kuala Lumpur, mereka tanyakan pula bagaimana sebaiknya kota metropolitan itu dibangun menurut pandangan warga. Hasil wawancara ini menjadi dasar bagi instalasi yang mereka pamerkan di Jakarta Biennale 2013. Di satu sisi tembok, mereka tampilkan pendapat para warga lewat kombinasi foto dan teks. Di sisi lain, mereka tunjukkan cara-cara mengokupasi tanah sebagai bentuk perlawanan terhadap agenda perencanaan pemerintahan kota yang tidak sensitif pada keseharian warga.
Development sometimes sacrifices memory. To turn Kuala Lumpur into a world-class metropolis, the city government plans to build a plush business infrastructure on lands occupied by historic sites, including buildings that have dating back to colonial times. People protested. These imposing buildings appeared without any historical background among the people, overrunning places that have for so long been part of the collective memory and routine. Lost Generation is also disturbed by this development. So this group of artists took it to the streets and interviewed denizens of Kuala Lumpur, of all ethnicities and professions, about the city where they live. They recorded the things that have become the people’s memory and anxieties about Kuala Lumpur. They also asked how the metropolis should be rebuilt in the people’s view. Their interview became the basis for the installation they are exhibiting at the Jakarta Biennale 2013. On one side of the wall, they present the opinions of the people in a combination of photos and texts. On another, they show ways to occupy land as a form of resistance to the planning agenda of the city government that is insensitive to the daily lives of the people.
Lost Generation, kerap disingkat Lostgen, merupakan kelompok seniman yang didirikan Yeoh Lian Heng dan sejumlah seniman Malaysia pada 2004 di Kuala Lumpur. Komunitas ini merupakan ruang eksperimental bagi penciptaan karya yang didasarkan pada orisinalitas, kreativitas, individualitas, serta bertujuan mempromosikan seni kontemporer. Karya-karya mereka dapat diakses pada lostgenerationspace.blogspot.com.
Lost Generation, often abbreviated as Lostgen, is a group of artists founded by Yeoh Lian Heng and several Malaysian artists in 2004 in Kuala Lumpur. This community is an experimental space for the creation of work based on originality, creativity, and individuality, and it aims to promote contemporary art. Their work can be accessed on lostgenerationspace.blogspot.com.
65
Melati Suryodarmo
66 143
Sweet Dreams Sweet
Dokumentasi performans
Performance documentation 2013
Indonesia
“Ketika kemajemukan dipaksakan untuk menjadi keseragaman,” tutur Melati Suryodarmo dalam pengantar performansnya, “ketika itu pula pribadi-pribadi menjadi surut peran dan fungsinya. Gejala yang seolah melawan individualisme dalam kehidupan modern ini seolah tersiasati dalam gerakan yang seragam. Keragaman menjadi sesuatu yang perlahan asing.” Pemikiran itu yang Melati coba wujudkan bersama tiga puluh penari lainnya dalam performans Sweet Dreams Sweet. Masing-masing pelaku mengenakan kostum serba putih, dengan selendang menutupi wajah mereka. Para penari berjalan berpasangan, melakukan berbagai macam gerak tanpa melepas tautan tangan mereka sedetik pun. Ke manapun mereka berjalan, mereka melakukan koreografi yang sama berulang-ulang.
“When diversity is imposed to become uniformity,” says Melati Suryodarmo in the introduction to her performance, “it is then that individuals lose their role and function. Indications that seem to go against individualism in this modern life seem to be tricked in uniform movements. Diversity is slowly becoming alien.” It is this idea that Melati is trying to present with thirty other dancers in the performance entitled Sweet Dreams Sweet. Each actor wears an all-white costume, with a scarf covering her face. Dancers also walk in pairs, making all sorts of movements without letting go of the hold for even a second. Wherever they go, they perform the same repetitive choreography.
Melati Suryodarmo, lahir di Solo pada 1969, adalah seorang seniman yang gemar memadukan gerak tubuh dengan video, fotografi, dan instalasi benda-benda. Berpendidikan di bidang Hubungan Internasional, Melati menimba ilmu perihal seni rupa dan performans di Hochschule fuer Bildende Kuenste, Jerman, di bawah bimbingan Anzu Furukawa, Mara Mattuschka, dan Marina Abramovic. Selain berkesenian, ia turut aktif membidani Padepokan Lemah Putih di Desa Plesungan, Solo, sebuah inisiatif budaya yang telah berkegiatan sejak 2007, salah satunya sebagai penyelenggara ajang seni performans internasional tahunan, Undisclosed Territory.
Melati Suryodarmo, born in Solo in 1969, is an artist who likes to combine body movements with video, photography, and installation of objects. With a background in International Relations, Melati learned art and performance at the Hochschule fuer Bildende Kuenste, Germany, under the direction of Anzu Furukawa, Mara Mattuschka, and Marina Abramovic. Aside from her artistic endeavors, she also founded Padepokan Lemah Putih in Plesungan Village, Solo, a cultural initiative that has been organising many art performances since 2007 such as the annual Undisclosed Territory.
67
Mixrice
Korea Selatan
68
Plants That Evolve (in some way or other)
Video 14 menit, 10 cetak pigmen, busa plastik, tanah liat
Video 14 minutes, 10 pigment prints, urethane foam, clay 2013
1. Protected Tree in Danger of Being Submerged. Trees for Public Services; a Site where Living Rocks Placed, Naeseongcheon, 2013 / mixrice. 2. People who Protect Mountain and Borra Village, Miryang, 2013 / mixrice.
Legenda dan cerita rakyat Asia kerap berhubungan dengan tanah dan tumbuhan, sebagai penanda akan nilai-nilai spiritual yang mereka sematkan pada benda-benda di lingkungan mereka. Hal ini tidak terjadi lagi di Asia modern—program pembangunan yang sedang gencar digalakkan di kawasan ini menjadikan tanah dan tumbuhan sebagai alat untuk bertahan hidup semata. Maka, legenda dan cerita rakyat bahkan tidak lagi menjadi dongeng pengantar tidur. Keterputusan ini mengusik Cho Jieun dan Yang Chulmo, duo seniman Korea Selatan yang berkegiatan dengan nama mixrice. Mereka ingat bagaimana para leluhur mereka mengagungkan tanaman sebagai “jiwa-jiwa” yang menghubungkan komunitas dengan lingkungannya. Artinya, apabila dilihat dengan kacamata sosio-historis, tanaman merupakan saksi bisu akan sejarah sebuah tempat, terlebih lagi orang-orang di masa lampau mulai berpikir untuk menetap apabila sudah menemukan tanah yang cukup subur untuk bercocoktanam. Melacak sisa-sisa keberadaan mereka sama dengan mengarsir garis sejarah lingkungan di sekitarnya. Jadilah, dalam rangka Jakarta Biennale 2013, mixrice menelusuri tempat-tempat di Seoul dan Jakarta berdasarkan legenda dan cerita rakyat yang beredar. Mereka rekam tempat-tempat tersebut, mengumpulkan benda-benda yang ada di lokasi, dan menyusunnya menjadi sebuah instalasi. Dari sini dapat terlihat bagaimana ruang-ruang yang kita diami selama ini terbentuk.
Legends and folklores of Asia often relate to earth and plants as signifiers of spiritual values that they attach to objects in their environment. This is no longer happening in modern Asia— development programs running at full throttle in the region have made earth and plants as mere means for sustenance. Hence, legends and lore today are not even told as bedtime stories anymore. This disruption bothers Cho Jieun and Yang Chulmo, a South Korean artist duo who work under the moniker mixrice. They still recall how their ancestors revered plants as “souls” that connect the communities to their environment. So if one is to see this from a socio-historical perspective, plants are silent witnesses to the history of a place, especially considering how people in the past settled when they found fertile lands to plant. Tracing the remnants of their existence is akin to tracing the historic lines of their surrounding environment. Thus, for the Jakarta Biennale 2013, mixrice traced the places in Seoul and Jakarta following legends and folklores that have lingered around since. They recorded these places, collected objects in these locations, and rearranged them into installations. Here we can see how the places that we occupy have taken their shapes today.
mixrice adalah nama yang digunakan Cho Jieun dan Yang Chulmo sejak mulai berkesenian pada 2002. Karya-karya mereka merupakan pengolahan dari beragam strategi dialog dan medium seni, dari fotografi, komik, mural, video, sampai performans. Hingga sekarang duo ini telah berpartisipasi dalam berbagai pameran, baik di dalam maupun luar Korea Selatan.
mixrice is the moniker Cho Jieun and Yang Chulmo have used since they started making art in 2002. Their works are produced from a variety of strategies and mediums, from photography, comics, murals, video, to performance. This duo has taken part in many exhibitions, both in South Korea and beyond.
69
Moelyono
Indonesia
70
Art Goes to Village Tactic
Instalasi objek dan dokumen
Installation of objects and documents 2013
Moelyono di tengah berbagai kegiatannya bersama warga desa / Moelyono during his activities with the villagers.
Suatu peradaban akan stagnan apabila masyarakatnya tuna acuan. Ketiadaan kesadaran kritis di benak warga hanya akan melanggengkan ketidakadilan dalam keseharian, yang pada perkembangannya bisa menghalangi perubahan dan kemajuan zaman. Oleh karena itu, perlu diupayakan apresiasi budaya secara berkelanjutan, dan apresiasi budaya hanya bisa terjadi apabila warga punya bekal untuk berekspresi secara kritis. Pembekalan ini beragam rupanya dan bisa diusahakan dengan berbagai cara. Ilmuwan melakukannya lewat esai-esai analisis kritis, para ekonom lewat angka statistik dalam analisis ekonomi—Moelyono, sebagai seorang seniman, lewat ekspresi kesenian rakyat. Sejak 1980-an, Moelyono giat bergerilya dari desa ke desa, mengadakan lokakarya seni bagi warga. Bersama warga desa, Moelyono telah melakukan banyak kegiatan pemberdayaan sosial, ekonomi, dan politik. Ia pernah mengajar anakanak menggambar di Brumbun, Tulungagung. Saat Marsinah terbunuh pada 1993, ia mengajak para buruh membuat pameran tentang Marsinah. Di Ponorogo dan Pacitan, dia membentuk Child Center Community Development (CCCD) untuk mengembangkan potensi seni budaya lokal yang lebih luas, tak hanya seni rupa. Bagi seniman kelahiran Tulungagung ini, seni seharusnya berguna bagi masyarakat. Seniman tidak boleh netral dan hanya menjadikan masyarakat sebagai objek estetik untuk hasil karyanya. Seni seharusnya menjadi jalan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat. Moelyono menamai kegiatan berkesenian yang ia lakukan bersama warga ini “media penyadaran”, yang ia presentasikan pada perhelatan Jakarta Biennale 2013. Di antara karya-karya Jakarta Biennale 2013 lain yang kebanyakan bertemakan realitas urban, presentasi Moelyono menghadirkan paradigma berkesenian yang berbeda.
A civilization will stagnate when its society has lost its bearings. The lack of critical awareness in the minds of the people will only perpetuate daily injustices, which, in turn, will obstruct change and the progress of times. This is where a sustained appreciation of culture becomes key, and this cannot happen when people do not have the means to express themselves critically. This may manifest itself in various forms and there are different ways to achieve it. Scientists do this through critical analytical essays; economists through numbers and statistics in their analysis of the economy—Moelyono, as an artist, through popular artistic expression. Since the 1980’s, Moelyono went steadfastly from village to village, holding art workshops for the villagers and conducting many social, economic, and political empowerment activities with them. He taught children drawing in Brumbun, Tulungagung. When Marsinah, the slain labor activist, was killed in 1993, he invited workers to organize an exhibition about her. In Ponorogo and Pacitan, he founded the Child Center Community Development (CCCD) to develop the local art and cultural potential more widely, which means beyond paintings and sculpture. To this native of Tulungagung, art must be useful for society. Artists cannot remain neutral and only treat people as an aesthetic object to produce their work. Artists must provide a way to awaken public awareness. Moelyono named the art activity he conducts with communities as “awakening media”, which he presents at the Jakarta Biennale 2013. Amid other works in the Jakarta Biennale 2013, that mostly propose themes of urban reality, Mulyono’s presentation brings an entirely different paradigm.
Moelyono lahir pada 1957. Ia belajar Seni Lukis di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Saat ini ia bermukim di Desa Winong, Tulungagung, Jawa Timur. Pada 1993, ia mendirikan Yayasan Seni Rupa Komunitas (YSRK) yang bertujuan mengajak masyarakat untuk berkesenian dan mengungkapkan masalah dalam bahasa seni rupa. Ia pernah meraih penghargaan Fellowships Innovator for the Public dari Yayasan Ashoka Indonesia pada 1992, yang disusul oleh Hadiah Seni Gubernur Jawa Timur pada 2001.
Moelyono was born in 1957. He teaches Painting at the Indonesian Art Institute, Yogyakarta. He currently resides in Winong village, Tulungagung, East Java. In 1993 he founded Yayasan Seni Rupa Komunitas (YSRK), a foundation that aims to encourage communities to engage in the arts and express problems with the language of art. He received the Fellowships Innovator for the Public award from Yayasan Ashoka Indonesia in 1992, and later the East Java Governor’s Art Prize in 2001.
71
Mufti Priyanka alias Amenk
Indonesia
72
Bagi sebagian warga, keluarga bahagia adalah Keluarga Berencana: satu ayah, satu ibu, dan anak tidak lebih dari dua. Rasionalisasi di balik itu: jumlah anak yang sedikit (dengan jarak kelahiran yang terencana) akan menghasilkan jumlah kebutuhan yang lebih sedikit, dan dengan begitu lebih sedikit pula beban yang harus ditanggung keluarga untuk menghidupi diri. Artinya: hanya dengan mengatur kuantitas keturunan, kualitas “keluarga bahagia” bisa tercapai. Bagi warga lainnya, keluarga bahagia adalah Keluarga Berpunya: satu ayah, satu ibu, anak bisa lebih dari dua, bisa juga tidak, tapi kepemilikan materi berlimpah. Rasionalisasi di balik itu: keluarga di iklan-iklan terlihat lebih harmonis setelah mereka tamasya dengan mobil model
terbaru, bertukar kata dengan telepon genggam teranyar, maupun belanja bersama di pusat perbelanjaan terkini. Artinya: hanya dengan membeli produk yang tepat, “keluarga bahagia” bisa tercapai. Adalah ragam persepsi “keluarga bahagia” ini yang Mufti Priyanka coba petakan dalam karya muralnya kali ini. Mufti Priyanka, yang dikenal dengan nama Amenk, lahir di Bandung pada 1980. Ia menempuh studi Strata 1 Jurusan Pendidikan Seni Rupa di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Di kota kelahirannya itu, ia aktif berkegiatan sebagai anggota kolektif A Stone A yang mengeksplorasi seni visual, pertunjukan, musik noice rock, dan multimedia; juga kolektif Pemandangan yang memainkan puisi lewat musik dan karya visual.
I Need Just More Affection Modjok Indehoj Mural
14 x 2,3 meter 2013
73
To some people, a happy family is a Planned Family: a father, a mother, and no more than two children. The logic behind this: a small number of children (with a planned interval between births) will result in lower needs, and that way there will be less burden on the family to sustain itself. In other words: by controlling the quantity of offspring, one can achieve the quality of a “happy family”. To others, a happy family is a Propertied Family: a father, a mother, there can be more than two children, or none at all, as long as there is a possession of a plethora of things. The idea behind this: families in advertising seem more harmonious when they ride cars of the latest model, exchange words with the latest cellphone,
and shop together in the most glitzy shopping malls. In other words: just by purchasing the right products, one can achieve a “happy family”. Mufti Priyanka is mapping a variety of perceptions about the “happy family” in his murals this time.
Mufti Priyanka, also known as Amenk, was born in Bandung in 1980. He holds an undergraduate degree from the Art Pedagogy Department of Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. In his hometown he is actively involved as a member of A Stone A collective, which explores visual art, performance art, noise rock music, and multimedia; he is also involved in Pemandangan, a collective that performs poetry through music and visual art. His works are also available on muftypriyanka.deviantart.com.
Narpati Awangga
74
Helm Ajaiyp
Instalasi, objek, video, performans
Installation, object, video, performance Ukuran bervariasi
various dimensions 2013
alias
oomleo
Indonesia
Adakah yang bisa dilakukan seorang pembonceng sepeda motor saat terjebak dalam kemacetan di ibukota? Kini kendaraan roda dua itu pun tidak lagi ampuh untuk mengakali jamjam macet, saking banyaknya jumlah kendaraan bermotor di ibukota. Pada 2012, kendaraan bermotor di Jakarta berjumlah lebih dari tiga belas juta dan sepeda motor lebih sekitar delapan juta. Berbeda dengan penumpang mobil yang bisa duduk nyaman di jok yang empuk dan ruang yang sejuk, pembonceng motor tidak bisa membiarkan dirinya tertidur, jika tidak ingin terjatuh dan mengalami kecelakaan. Masalahnya lagi, tak banyak yang bisa dilakukan seorang pembonceng untuk mengisi waktu dalam keterbatasan ruang dan gerak. Narpati Awangga alias oomleo punya solusi bagi permasalahan pelik ini. Perkenalkan Helm Ajaiyp, helm yang bagian belakangnya dilengkapi perangkat digital interaktif berukuran mini untuk para pembonceng sepeda motor. Dari satu alat tersebut, para pembonceng bisa mendengarkan musik, melihat peta, menonton video animasi, juga video musik karaoke—sehingga mereka bisa membonceng sambil bernyanyi. Bagian belakang Helm Ajaiyp juga disertai dengan kabel ke helm pembonceng, sehingga komunikasi antara keduanya dapat berlangsung dengan tenteram selama perjalanan. Helm Ajaiyp karya oomleo diperkenalkan layaknya sebuah produk baru yang dipromosikan kepada calon konsumen. Berbagai keunggulan produk tersebut dipaparkan melalui alat peraga, testimoni, presentasi media cetak, dan promosi oleh para Sales Promotion Girl.
What can a motorcyclist do when she or he is trapped in Jakarta’s notorious traffic? These days, even a motorcycle is no longer an effective mode of transportation to beat the rush hour. In 2012, more than thirteen million vehicles congested Jakarta roads, around eight million of which are motorcycles. Unlike car passengers, who can sit comfortably in an air-conditioned space on soft cushions, motorcyclists cannot allow themselves to fall asleep, lest they fall and get injured. The problem is, there is not much that a motorcycle passenger can do as pastime in the constraints of space and movement when riding a motorcycle. Narpati Awangga, better known as oomleo, has come up with a solution to this complicated problem. Introducing the Helm Ajaiyp, oomleo offers a helmet with a mini digital interactive device on its backside for the enjoyment of motorcycle passengers. With this device, the passengers can listen to music, browse maps, watch animation videos, and even do karaoke— so they can sing while riding. Helm Ajaiyp also has a cable connecting the driver’s helmet to the passenger’s to enable communication between the two during the ride. oomleo’s Helm Ajaiyp is introduced like a new product promoted to potential customers. The advantages of this product are promoted with props, testimonials, printed media presentation, and Sales Promotions Girls.
oomleo terlahir sebagai Narpati Awangga di Jakarta pada 1978. Ia belajar seni grafis di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, sebelum kembali ke Jakarta. Sejak akhir 2003, ia bergabung dengan ruangrupa sebagai penjaga gawang data digital dan situs ruangrupa. Selain itu ia menekuni dunia desain grafis dan website. Hingga akhirnya memilih pixel art sebagai jalan hidupnya.
oomleo was born as Narpati Awangga in Jakarta in 1978. He studied graphic art at Indonesia Arts Institute, Yogyakarta, before returning to Jakarta. Since late 2003 he joined ruangrupa as the guardian of the digital data and the ruangrupa website. He immersed himself in graphic design and website-making, before finally decided to focus on pixel art as his path in life.
75
Nguyễn Trinh Thi
76
Landscape Series
Instalasi objek Object installation
Dimensi bervariasi Various dimensions 2013
Vietnam
Tumblr dan platform micro-blogging untuk generasi sekarang kurang-lebih sama dengan kartupos untuk generasi terdahulu. Keduanya sama-sama berfungsi untuk mengudarakan kabar singkat, dengan secarik gambar sebagai penguat pesan. Gambargambarnya khas: bersifat laporan pandangan mata, dan sering berwujud temuan-temuan menarik yang ingin dibagikan sang pengirim. Bedanya, Tumblr bersifat sosial, mempertemukan diri dengan massa di dunia maya, sementara kartupos lebih personal, menghubungkan satu individu dan individu lain yang terikat suatu hubungan personal. Sejarah mencatat kartupos mulai lazim digunakan pada akhir abad 19. Di periode yang sama, bangsa Eropa sedang banyak tersebar di Asia dan Afrika dalam misi membentuk koloni—setiap sampai di suatu negara, mereka mengirimkan kartupos ke keluarga di tanah air, sekadar memberi tahu kalau mereka selamat dalam perjalanan. Kebiasaan para imperialis Eropa mengirim kartupos ini kemudian turut dilakukan oleh warga pribumi negara kolonial. Untuk kawasan India dan Asia Tenggara, perkaranya adalah aksesibilitas. Dalam sistem harga yang diberlakukan para imperialis, kartupos adalah sarana surat-menyurat paling murah yang tersedia bagi warga pribumi. Nguyên Trinh Thi punya perhatian khusus pada budaya kartupos, yang kian tergantikan fungsinya oleh medium komunikasi digital. Menariknya, di Vietnam, budaya kartupos masih hidup di sejumlah kalangan warga. Melalui perhelatan Jakarta Biennale 2013, Nguyên ingin mengajak para pengunjung untuk kembali mendalami medium “arkais” ini, tapi dengan konteks yang berbeda. Gambar-gambar yang Nguyên gunakan dalam kartupos bersifat keseharian—meliputi ekspresi wajah dan tubuh warga, yang memberi petunjuk pada kerutinan mereka. Pengunjung bisa mengisi pesan untuk seorang penerima di kartupos itu, dan sang seniman akan mengirimkannya ke alamat-alamat yang dituju pada akhir biennale.
Tumblr and micro-blogging platforms for the current generation is not unlike postcards for the yestercentury generation. Both function to convey a short message, with a picture to enhance the message. The pictures are distinct: like an observation report, often interesting finds that the sender wants to share. The difference is that Tumblr is social, bringing oneself to the virtual masses, while postcards are more personal, connecting two individuals who have a personal relationship. History notes that postcards became popular in late 19th century. In the same period, Europeans were spreading all over Asia and Africa in their mission to establish colonies—upon arriving in a country, they would send a postcard to the families back home, if only to inform of their safe arrival from a long journey. The indigenous citizens of the colonies then followed this habit of European imperialists. For those in India and Southeast Asia, it was a matter of accessibility. In the pricing system applied by the imperialists, postcards became the cheapest means of correspondence available for the indigenous population. Nguyên Trinh Thi has a special attention to postcard culture, whose function is increasingly being supplanted by digital communication mediums. Interestingly, in Vietnam, the postcard culture still survives in certain segments of society. Through the Jakarta Biennale 2013, Nguyên wants to invite the audience to revisit this “archaic” medium, albeit with a different context. The images Nguyên uses in her postcards are quotidian—facial and bodily expressions, suggestive of daily routines. Visitors can write down messages for the postcard recipients, and the artist will send them off to the intended addresses at the conclusion of the Biennale.
Nguyên Trihn Thi, bermukim di Hanoi, adalah seorang pembuat film dan video. Ia menyelesaikan studi fotografi dan jurnalisme di University of Iowa, dan menimba ilmu perihal film etnografis di University of California. Dokumenter dan film eksperimental buatannya sudah singgah di banyak festival film dan galeri seni dunia. Pada 2009, ia mendirikan Hanoi Doclab, pusat pembelajaran dan pemberdayaan sinema dokumenter dan video eksperimental di Vietnam. Kenali dia lebih lanjut di nguyentrinhthi.wordpress.com.
Nguyên TrinhThi, residing in Hanoi, is a film- and videomaker. She completed her photography and journalistic studies at the University of Iowa, and studied ethnography at the University of California, San Diego. Her documentaries and experimental films have been screened at many festivals and galleries around the world. In 2009, she started Hanoi Doclab, a documentary and video learning and empowerment center in Vietnam. Get to know her on nguyentrinhthi.wordpress.com.
77
Paul Mondok
Filipina
78
Gold Hand Dimensi bervariasi, media campuran / various dimensions, mix media. 2013.
79
Dunia sehari-hari, bagi Paul Mondok, tidaklah sama dengan apa yang dipandang atau dicerap kebanyakan orang. Bagi Mondok, sejuta misteri tersimpan di balik apa yang kita persepsikan secara spontan dan terima “apa adanya”. Dalam karyakaryanya, ia kerap memainkan bentuk, fungsi, dan makna benda-benda di sekitarnya, yang ia temui dalam kegiatan sehari-hari, hingga muncul keseimbangan baru yang tak terduga. Secara intuitif, lewat karya-karya itu ia menangkap absurditas dan kontradiksi dari apa yang kita definisikan sebagai realitas. Di Jakarta Mondok menggali potensi dari benda-benda yang ia temui secara sporadis. Ia memadupadankan benda-benda itu untuk memunculkan anomali tersendiri dalam ruang pameran.
Everyday living, to Paul Mondok, is not like what most people see or perceive. To Mondok, there are a million mysteries behind what we would spontaneously perceive and take for granted. In his works, he often plays with shapes, functions, and the meanings of objects around him that he encounters every day, until a never before imagined balance is achieved. Intuitively, through his work he captures absurdity and contradiction in what we define as reality. In Jakarta, Mondok explored the potential of objects he encountered sporadically. He mixedand-matched these objects to reveal a particular anomaly in the exhibition hall
Paul Mondok, lahir pada 1978 di Filipina, memperoleh gelar sarjananya dari Jurusan Seni Murni di University of the Philippines. Aktif bereksperimen di ruang-ruang seni alternatif di Manila, ia telah berpartisipasi dalam banyak pameran, di antaranya di Manila, Hong Kong, Singapura, Texas, dan New York.
Paul Mondok, born in the Philippines in 1978, earned his degree from the Fine Arts Department of the University of the Philippines. Actively experimenting in alternative art spaces in Manila, he has taken part in many exhibitions, including in Manila, Hong Kong, Singapore, Texas, and New York.
Saleh Husein
Indonesia
80
Arabian Party
Instalasi dan objek Installation and objects Ukuran bervariasi Various dimensions 2013
Sesungguhnya, sejak keruntuhan rezim Orde Baru, kita tidak lagi bicara soal sejarah tapi sejarah-sejarah. Kebenaran yang tadinya diproduksi secara terpusat, kini berada di tangan setiap warga. Artefak-artefak yang sebelumnya tak mendapat tempat dalam sejarah “resmi” versi pemerintah, kini memuat potensi historis yang tak terpikirkan sebelumnya. Alhasil, begitu banyak garis sejarah baru yang bisa dan siap dimunculkan. Saleh Husein gemar sekali berkutat pada penyibakan sejarah-sejarah tersembunyi ini. Pemantiknya adalah pertanyaan salah seorang teman ayahnya akan latar belakang marga Husein, yang kemudian mendorong seniman kelahiran Jeddah ini untuk melacak jejak budaya Arab dalam geliat kultural Indonesia. Dalam kesempatan ini, Saleh Husein menampilkan sejumlah temuannya tentang geliat politik warga peranakan Arab pada 1930an. Penjelajahan sang seniman bermula pada satu tulisan di Harian Matahari, tertanggal 1 Agustus 1934, yang memuat ajakan Abdurrahman Baswedan bagi sesama warga keturunan Arab untuk menganut asas kewarganegaraan “di mana saya lahir, di situlah tanah airku”. Pemikiran ini kemudian dibahas dalam Konferensi Pemuda Keturunan Arab, 4-5 Oktober 1934 di Semarang, yang berujung pada deklarasi Sumpah Pemuda Keturunan Arab sebagai bentuk dedikasi terhadap tanah air Indonesia, dan pendirian Partai Arab Indonesia sebagai wadah politik untuk mendukung perjuangan kemerdekaan nusantara. Penjelajahan Saleh Husein kemudian berlanjut pada Partai Arab Sosialis Indonesia. Partai ini memiliki konsep lain akan nasionalisme warga keturunan Arab di Indonesia, yang pada perkembangannya terlibat dalam perang ideologi dengan Partai Arab Indonesia.
In truth, since the fall of Indonesia’s New Order regime, we no longer talk about history, but of histories. Truth, which used to be centrally produced, is now in the hands of everyone. Artifacts, which previously did not have a place in the “official” history by the ruling regime, now contain an unprecedented historical potential. As a result, today there are so many historical lines that can, and are ready to, come to fore. Saleh Husein really likes to engross himself in revealing hidden histories. It started when one of his father’s friends asked about the origins of the surname Husein, which then set off the artist, born in Jeddah, to trace the Arabic cultural traces in Indonesian cultural gesticulations. In this opportunity, Saleh Husein presents a number of his findings about the political endeavors of Arab-Indonesians in the 1930’s. The artist’s exploration started with an article in the daily Harian Matahari. On 1 August 1934, Abdurrahman Baswedan made the call to fellow Arab-Indonesians to adopt the “where I am born, there is my homeland” nationality principle. This thought was then discussed in the ArabIndonesian Youth Conference in Semarang on 4-5 October 1934, which resulted in the Oath of Arab-Indonesian Youth as their show of dedication to the Indonesian homeland, and the establishment of the Arab Indonesian Party as a political forum to support the independence struggle of the archipelago. Saleh Husein’s exploration then continued to the Socialist Arab Indonesian Party. This party promoted a different Arab-Indonesian concept of nationalism, and was later involved in an ideological struggle with the Arab-Indonesian Party.
Saleh Husein lahir di Jeddah, Arab Saudi, pada 1982. Ia kuliah di jurusan Seni Lukis, Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta. Selain menjadi gitaris grup musik White Shoes & The Couples Company, ia juga seorang seniman yang aktif dalam berbagai perhelatan seni rupa, di antaranya: Occupying Space: ASEAN Performance Art Event pada 2007 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta; Jakarta Biennale XIII: ARENA pada 2009; dan BEASTLY pada 2011 di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta.
Saleh Husein was born in Jeddah, Saudi Arabia, in 1982. He studied Painting at the Faculty of Arts, of the Jakarta Institute of the Arts. Aside from being the lead guitarist of the band White Shoes & The Couples Company, he is also an artist who has taken part in many art events, including: Occupying Space: ASEAN Performance Art Event in 2007 at Galeri Nasional Indonesia, Jakarta; Jakarta Biennale XIII: ARENA in 2009; and BEASTLY in 2011 at Cemeti Art House, Yogyakarta.
81
Sanggar Anak Akar
Indonesia
82
Kegiatan anak-anak di Sanggar Anak Akar / the students’ activities in Sanggar Anak Akar
Setiap pribadi adalah guru sekaligus murid. Itulah prinsip yang mendasari komunitas belajar bersama yang dinamis bernama Sanggar Anak Akar. Cikal-bakal komunitas ini lahir dari program Biro Advokasi Anak dari Institut Sosial Jakarta pada akhir 1980-an, berupa rumah singgah untuk anak-anak di lingkungan permukiman Kampung Melayu Kecil dan Matraman. Misinya adalah menghadirkan fasilitas pendidikan dan program pengembangan diri bagi anak-anak pinggiran— anak-anak yang tinggal di permukiman yang tidak kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan anak, seperti anak jalanan, anak pemulung sampah, anak urban pekerja kota, dan anak pengasong. Kurikulum Sanggar Anak Akar berpijak pada pengembangan karya, cipta, karsa,dan rasa. Anak-anak diberi kesempatan untuk belajar memainkan musik, teater, menjalankan tabloid, membuat kerajinan tangan, memanfaatkan medium audiovisual, dan menjalankan bisnis. Setelah setia menjalani program-program ini selama hampir 25 tahun, Sanggar Anak Akar menghasilkan anak-anak yang produktif dalam bidang seni. Mereka pernah tampil sebagai ansambel musik dalam Kongres Perempuan Asia Pasifik di Bangkok, Thailand, pada 2002; mengadakan lokakarya musik di beberapa sekolah pada 2009; memproduksi delapan film pendek; menampilkan operet di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki; menerbitkan tiga buku; dan menyelenggarakan festival anak Akarnaval tiap tahun sejak 2010. Beberapa alumni, ketika sudah cukup umur dan pengalaman, turut menjadi pengajar bagi Sanggar Anak Akar; menjadi modal penting bagi organisasi ini untuk terus berkembang di hari-hari mendatang. Menjelang usia seperempat abadnya, Sanggar Anak Akar berpartisipasi di Jakarta Biennale 2013 lewat instalasi yang secara berkala berubah. Medium teks, foto, video, dan gambar pun dimanfaatkan untuk memamerkan dokumentasi proses pembelajaran dengan prinsip partisipatif yang berlangsung di komunitas mereka. Audiens dapat menyaksikan performans dan livestreaming kegiatan-kegiatan mereka selama November 2013.
Every person is both a teacher and a student. That is the founding principle of the dynamic shared learning community named Sanggar Anak Akar. This community originated from a safehouse founded by the Child Advocacy Bureau of the Jakarta Social Institute in the late 1980’s for children of Kampung Melayu Kecil and Matraman neighborhoods of Jakarta. Its mission is to provide an education facility and self-development programs for marginalized children—those who live in places not conducive to child development, like street children, children of trash collectors, urban child workers, and child street vendors. Sanggar Anak Akar’s curriculum centers on the development of arts, creativity, initiative, and the senses. Children are given the opportunity to learn to play music, theater, publish a tabloid, use audiovisual medium, and run a business. After faithfully running this program for 25 years, Sanggar Anak Akar has brought into the world children who are productive in the arts. They have performed as a music ensemble in the Asia-Pacific Women’s Congress in Bangkok, Thailand, in 2002; held a music workshop in a number of schools in 2009; produced eight short films; performed plays at Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki; published three books; and held Akarnaval children’s festival every year since 2010. Some of the alumni, when they are old and experienced enough, returned as teachers at Sanggar Anak Akar, an important asset for this organization to continue developing in the future. Nearing its 25th anniversary, Sanggar Anak Akar is participating in the Jakarta Biennale 2013 with a continuously changing installation. The mediums of text, photo, video, and pictures are used to exhibit the documentation of their participatory learning process taking place in their community. Not only that, the audience will be able to see their performance and a live streaming of activities at Sanggar Anak Akar throughout November 2013.
Sanggar Anak Akar telah aktif berkegiatan sejak 1989, namun baru diresmikan sebagai program berkelanjutan pada 1994, lalu dilepaskan dari organisasi Institut Sosial Jakarta pada 2000. Kenali mereka di sanggaranakakar.org.
Sanggar Anak Akar has been active since 1989, but was only officially established as a self-sustaining program in 1994, and spun off from the Jakarta Social Institute in 2000. Get to know them at sanggaranakakar.org.
83
SERRUM & Dinas Artistik Kota
Indonesia
84
Bagaimana Memasang Instalasi Installation
Dimensi bervariasi Various dimensions 2013
Sketsa karya Bagaimana Memasang / original sketches for How to Install.
SERRUM berkolaborasi dengan kawan-kawan Dinas Artistik Kota menciptakan sejumlah mesin otomatis. Ada mesin ketik yang bisa mengetik sendiri, kuas rol yang bisa mengecat tembok sendiri, lampu pijar kamera yang bisa menyala sendiri, wayang kertas yang bisa bergerak tanpa dalang, dan beberapa instalasi lainnya. Bahan dasarnya berasal dari benda dan peralatan seharihari, seperti kumpulan gir bekas sepeda, kayu-kayu yang tidak terpakai, kipas angin tua, televisi yang telantar, dan perangkat komputer yang sudah ketinggalan zaman. Lewat mesin-mesin otomatis ini, SERRUM ingin menampilkan sebuah alur kerja yang independen, dari pengadaan sumber energi, pemanfaatan barang-barang yang ada, hingga pembuahan hasil. Proses ini merupakan simbol atas suatu usaha menyiasati keadaan ketika suatu organisasi harus bisa menghidupi dirinya sendiri, sebagaimana yang SERRUM usahakan selama tujuh tahun eksistensi mereka. Pemanfaatan barang-barang bekas mewakili filosofi SERRUM dalam memaksimalkan sumber daya dan dana yang terbatas untuk mencapai suatu tujuan bersama. Beberapa ikon benda merujuk pada programprogram yang SERRUM sudah lakukan, seperti Propagraphic Movement, Project_Or, Kuliah Terbang, hingga Dinas Artistik Kota sendiri.
SERRUM collaborated with colleagues from Dinas Artistik Kota (Municipality Artistic Agency) to create a range of automatic machines; such as a typewriter than can type by itself, a painting roll that can paint a wall by itself, a camera flashlight that flashes on its own, a paper shadow puppet that can move sans puppeteer, and a range of other installations. The basic materials are common day-to-day things, like a bicycle gear assembly, scrap pieces of wood, an old fan, an obsolete television set, and computer equipment from a bygone era. With these automatic machines, SERRUM wants to show an independent flow of work, from energy generation using available items to producing goods. This process symbolizes an effort to make the most of a situation, to siasat, when an organization must sustain itself, not unlike what SERRUM has been doing in the seven years of its existence. The use of scrap material represents SERRUM’s philosophy of maximizing limited resources and funds to achieve a common goal. Some of the icons of the items refer to programs SERRUM conducted in the past, including Propagraphic Movement, Project_ Or, Kuliah Terbang (Flying Lecture), to Dinas Artistik Kota itself.
SERRUM merupakan organisasi yang sejak 2006 bergerak dalam bidang pendidikan sosial melalui medium seni rupa. Para pendirinya adalah alumni dan mahasiswa Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta: M.G. Pringgotono, Arif Kurniawan, Arief Rachman, M. Sigit Budi S., J.J. Adibrata, Gunawan Wibisono, dan R.M. Herwibowo. Pada perkembangannya, SERRUM membentuk Dinas Artistik Kota untuk menangani karya-karya di ruang publik. Informasi lebih lengkap mengenai kegiatan mereka dapat diakses pada serrum.org dan dinasartistikkota.webs.com.
SERRUM has been active in social education through the medium of art since 2006. The founders include alumni and students of the Art Department of Universitas Negeri Jakarta: M.G. Pringgotono, Arif Kurniawan, Arief Rachman, M. Sigit Budi S., J.J. Adibrata, Gunawan Wibisono, and R.M. Herwibowo. Later, SERRUM established Dinas Artistik Kota to create works in public spaces. For more on SERRUM go to serrum.org and dinasartistikkota.webs.com.
85
TRANZIT
Republik Ceska
86
Encyclopedia of Failure
Presentasi proyek Project presentation
Dimensi bervariasi Various dimensions 2013
Proyek-proyek TRANZIT sering membicarakan tanah kelahiran mereka: Republik Ceska dan negara-negara Eropa Timur. Benang merahnya: bagaimana posisi mereka di tengah geliat kultural Benua Eropa dan bagaimana orang-orang luar Eropa Timur melihat kehidupan dalam kawasan mereka. Pemantiknya adalah sejarah. Setelah keruntuhan Tembok Berlin pada 1990, rezimrezim komunis Eropa Timur turut terjungkal dan demokrasi liberal yang dianggap “standar kehidupan” di Eropa Barat pun merasuki kawasan itu. Lalu banyak unsur kehidupan dalam Republik Ceska yang tampak eksotis di mata Eropa Barat, termasuk kesenian. Sekalipun rezim berganti, jejak-jejak realisme sosialis yang biasa jadi artikulasi komunisme masih kentara dalam karya-karya seniman Republik Ceska. Para praktisi seni rupa di Eropa Barat menganggapnya eksotis, juga ahistoris. TRANZIT berpikir sebaliknya. Bisa jadi apa yang dianggap benar oleh konsepsi seni rupa Eropa Barat tidak berlaku di Eropa Timur, bisa jadi pula kalau yang salah sebenarnya adalah rumusan Eropa Barat akan kesenian. Fenomena ini yang TRANZIT coba runut dalam sebuah pamerandalam-pameran bertajuk Encyclopedia of Failure, di mana failure dalam kasus ini merujuk pada perkembangan “salah tempat-salah zaman” dalam kesenian Republik Ceska. Mereka menyeleksi karya-karya seni Republik Ceska yang dianggap melenceng dari konsepsi seni Eropa Barat, dan menautkannya dengan tinjauan mereka atas pergolakan politik yang terjadi di Eropa Timur. Pameran mereka juga menghadirkan bacaan TRANZIT tentang perkembangan seni rupa di Indonesia. Setelah mempelajari sejumlah pustaka dan arsip seni di Jakarta, mereka menangkap ada kemiripan antara pergolakan politik dan kesenian Indonesia dengan Eropa Timur.
TRANZIT’s projects often concern their homeland: the Czech Republic in particular and Eastern European countries in general. The common theme is their position amid the cultural gesticulations of the European continent and how non-Eastern Europeans view life of this region. And the trigger is history; after the fall of the Berlin Wall in 1990, communist regimes of Eastern Europe collapsed and liberal democracy, considered the “standard of living” in Western Europe, permeated through. Since then many aspects of life in the Czech Republic were seen as exotic from the Western European perspective, including art. Although the regime has changed, traces of socialist realism that used to be the common articulation of communism are still evident in the works of Czech Republic artists. Art practitioners in Western Europe consider that as exotic, not to mention ahistoric. TRANZIT thinks the opposite. It may just be that what is considered ‘right’ by the Western European concept of art may not be valid in Eastern Europe. It could also be the case that the Western European formulation of art is ‘wrong’. It is this phenomenon that TRANZIT is trying to look into in an exhibition-within-exhibition entitled Encyclopedia of Failure, where failure refers to the origination of “wrong place-wrong era” in Czech art. They selected Czech works considered to deviate from the Western European concept of art, and linked these with their own review about political upheavals that took place in Eastern Europe. Their exhibition also puts forward TRANZIT’s reading on the development of art in Indonesia. After studying some literature and art archives in Jakarta, they identified a similarity between political upheavals and art in Indonesia and the developments in Eastern Europe.
Berkegiatan sejak 2002, TRANZIT adalah jaringan kurator yang tersebar di Republik Ceska, Austria, Hungaria, Slovakia, dan Romania. Jaringan ini bersifat polisentris. Setiap perwakilan TRANZIT di kelima negara merupakan kolektif yang otonom, yang berkolaborasi satu sama lain untuk mengolah konteks sosio-historis di sekitar mereka menjadi karya intelektual dan pameran seni.
Active since 2002, TRANZIT is a network of curators spread across the Czech Republic, Austria, Hungary, Slovakia, and Romania; this network is polycentric. TRANZIT’s representatives in each of the five countries are autonomous collectives, collaborating with each other to investigate the socio-historical context around them and turn it into intellectual work and art exhibitions.
87
VISUAL ARTS NETWORK OF SOUTH AFRICA
88
Pan African Network of Independent Contemporaneity Instalasi interaktif Interactive installation 2013
Afrika Selatan
Pemanfaatan internet untuk telekomunikasi real-time bukanlah hal baru. Kegiatan-kegiatan sejenis sudah banyak kita lakukan dalam keseharian kita, dari mengobrol via Skype hingga menonton live streaming pertandingan bola. VANSA bersama Picha, kelompok seniman asal Republik Kongo, mencoba memperluas dimensi penggunaan internet untuk bidang seni lewat PANIC, kependekan dari Pan African Network of Independent Contemporaneity, serangkaian pameran dan diskusi yang dilakukan secara bersamaan di beberapa kota di benua Afrika. Setiap pameran terhubung dengan pameran lainnya via jaringan internet, sehingga pengunjung pameran di Johannesburg untuk mengintip pameran yang sedang terjadi di Lubumbashi atau kota-kota Afrika lainya yang terlibat dalam jaringan ini. PANIC merupakan cara Picha dan VANSA menyiasati geografi dan iklim politik benua Afrika yang kerap menghalangi pertukaran gagasan antarwilayah. Internet memungkinkan hal tersebut terjadi dengan aman, murah, dan terkendali. Ada tiga elemen dalam PANIC. Pertama, PANIC TALKS, perbincangan online antara kurator dan manajer ruang-ruang seni di seluruh Afrika. Kedua adalah PANIC MAP, visualisasi hubungan antara ruang seni kontemporer di semua benua tersebut dan konteks kolaborasi kreatif dan finansial global, yang hasil akhirnya berwujud poster yang dapat diunduh dari situs VANSA. Terakhir, PANIC DATA, yaitu hasil riset VANSA bekerjasama dengan British Council dan EUNIC dalam menelusuri perniagaan barang dan jasa kreatif atau budaya Afrika Selatan di tataran regional dan internasional. Jakarta Biennale 2013 menjadi kesempatan bagi Vansa untuk memperluas cakupan PANIC. Mereka mengadakan pameran dalam pameran, yang tidak saja dapat disaksikan oleh warga Jakarta tapi juga oleh kawan-kawan di Afrika
Using the Internet for real-time telecommunication is nothing new. We have done and seen many such activities every day, from “skyping” to watching live streaming of football matches. VANSA, together with Picha, an artist group from the Congo Republic, tries to expand the dimension of using the Internet for art through PANIC, which stands for Pan African Network of Independent Contemporaneity, a series of exhibitions and discussions conducted contemporaneously in several cities across the African continent. Each exhibition is linked to another through the Internet, so that visitors in an exhibition in Johannesburg can take a peek at an exhibition happening in Lubumbashi or other African cities involved in this network. PANIC is Picha and VANSA’s way to get around the geographical constraints and political climates of the African continent, often obstructing the exchange of ideas across locales. The Internet enables this safely, cheaply, and controllably. PANIC has three elements: First, PANIC TALKS, an online conversation between curators and managers of art spaces all around Africa. Second, PANIC MAP, which is a visualization of connections between contemporary art spaces across the continent as well as the creative collaborative and global financial contexts that ultimately produces a poster that can be downloaded from the VANSA website. Lastly, PANIC DATA, a result of VANSA’s research in collaboration with the British Council and EUNIC that traces the trade of goods and creative services or culture of South Africa at the regional and international levels. The Jakarta Biennale 2013 becomes an opportunity for VANSA to expand the reach of PANIC. They organize an exhibition-within-anexhibition that can be seen not only by Jakartans, but by friends in Africa as well.
VANSA, kependekan dari Visual Arts Network of South Africa, mulai berkegiatan dalam bidang seni visual sejak 2003. VANSA mengembangkan berbagai inisiatif dan intervensi, misalnya menyelenggarakan Konferensi Seni Visual pada 2006 dengan lebih dari 200 orang delegasi dari seluruh negeri dan mengembangkan Art Bus, di Durban pada 2008, yang bertujuan meningkatkan minat pengunjung galeri, baik swasta maupun milik negara. Kunjungi situs mereka di vansa.co.za.
VANSA, short for Visual Arts Network of South Africa, began its visual art endeavors in 2003. VANSA developed a host of initiatives and interventions, such as the Visual Arts Conference in 2006 involving more than 200 delegates from the entire country and developing into the Art Bus in Durban in 2008 to draw more people to visit galleries, both private and public galleries. Visit their site at vansa.co.za.
89
Wok The Rock
Indonesia
90
Trash Squad
Instalasi video dan benda-benda Dimensi bervariasi
Video and object installation Various dimensions 2013
Bendera / the flag of: Trash Squad.
Bagi anak muda ibukota sekarang, 7-Eleven adalah kunci pergaulan. “Buat apa nongkrong di toko kelontong?” Mungkin begitu tanya para orangtua saat memergoki anaknya pulang larut karena terlalu lama bergaul di 7-Eleven. Bentuk keduanya memang mirip—bedanya 7-Eleven lebih nyaman buat disinggahi berlamalama karena di situ tersedia kursi dan meja. Aslinya fasilitas ini disediakan 7-Eleven sebagai cara untuk menyiasati habisnya kuota izin pembangunan minimarket di Jakarta. Jadilah, 7-Eleven mendaftarkan diri sebagai kafe, sebuah keputusan yang pada perkembangannya memperkaya khazanah pergaulan ibukota. Woto Wibowo alias Wok The Rock sering melihat sejumlah kelompok anak punk mengadakan rapat di 7-Eleven, bersebelah meja dengan “anak gaul ibukota” yang terkenal konsumtif itu dan “warga biasa” lainnya. Pemandangan seperti ini hampir tidak mungkin ditemukan di tempat-tempat nongkrong lain, di kafe dan klub yang batasan sosialnya jauh lebih tinggi dibanding 7-Eleven. Stigma anak punk sebagai biang rusuh dan tukang bikin onar seringkali menjadi cukup alasan bagi khalayak kebanyakan untuk menghindari mereka—yang pada perkembangannya menciptakan sekat antara anak punk dan warga ibukota lainnya. Sang seniman berniat mendorong pertemuan antarwarga di 7-Eleven ini lebih jauh. Ia membentuk Trash Squad, sebuah tim pembersih yang beranggotakan anak-anak punk, yang menyanyikan lagu mars dan yel-yel setiap habis membereskan bekas jajanan remaja nongkrong 7-Eleven. Dari sini, segala sekat yang tercipta akibat stigma dipertanyakan. Salah satunya: anak punk, yang semula dianggap lekat dengan kesan serampangan, ternyata bisa juga membenahi kekacauan dunia tongkrongan.
For today’s Jakarta youth, 7-Eleven is the key to social life. Parents may wonder, “why hang out at a mini market?” when they catch their children coming home late after hanging out a bit too long at a 7-Eleven. A mini market and a 7-Eleven may look alike, with a slight difference—a 7-Eleven is more comfortable for extended sittings because it provides chairs and tables. Originally this was 7-Eleven’s way to siasat (get around) the minimarket permit quota in Jakarta that had reached its limits. Thus, 7-Eleven listed itself as a café, a decision that in turn has enriched the variety of social life in Jakarta. Woto Wibowo, a.k.a. Wok The Rock, often observes “punk” groups holding meetings at 7-Eleven next to a table of stereotypically consumptive “Jakarta brats” and other “ordinary people”. This sight is impossible to find in other mingling places, cafes and clubs where social barriers are far higher than that of 7-Eleven. The “punk kid” stigma, filthy and riotous troublemakers, is reason enough for common folk to avoid them—which created barriers between punk kids and other city inhabitants. The artist intends to encourage such interdenizen encounters at 7-Eleven further. He founded the Trash Squad, a punk cleaning troop, who sing marches and patriotic songs as they clean the place after other, more “regular” teenagers hang out there. Here, we question barriers created by stigma, like punks, usually associated with rowdiness, can, in fact, tidy up the mess left behind by “common people” at popular hangouts.
Woto Wibowo, dikenal juga sebagai Wok The Rock, lahir di Madiun pada 1975. Ia adalah lulusan Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Pada 2004, ia memproduksi seri kompilasi Video Battle bersama Wimo Ambala Bayang. Ia juga dikenal aktif dalam dunia musik underground di Yogyakarta: memproduksi musik bersama musisi-musisi lokal, menjalankan label musik Yes No Wave Music, menjadi kurator dalam sejumlah pertunjukan musik di Yes No Klub, dan menulis artikel untuk website Free Music Archive dan Xeroxed. Kenali dia lebih lanjut di woktherock.com.
Woto Wibowo, also known as Wok The Rock, was born in Madiun in 1975. He graduated from the Visual Communication Design department at the Indonesian Institute of the Arts, Yogyakarta. In 2004, he produced the compilation series Video Battle with Wimo Ambala Bayang. He is also known to be active in the Yogyakarta underground music scene, making music with local musicians, running the Yes No Wave Music label, curating several music shows in Yes No Klub, and writing articles for the website Free Music Archive and Xeroxed. Learn more about him at woktherock.com.
91
Xu Tan
China
92
Adaptation and Thought Spasm
Video kanal ganda Double channel video 30 menit 2013
Rencana instalasi dan gambar video Adaptation and Thought Spasm, Xu Tan, 2013.
Karya ini berbicara tentang sejarah sebagai landasan relasi manusia dengan masyarakatnya. Ada dua aspek yang dibahas. Pertama, bagaimana individu melihat sejarah masyarakatnya sendiri dan, kedua, bagaimana sejarah sebuah masyarakat terbentuk dalam benak-benak pelakunya. Titik berangkat Xu Tan adalah bahasa. Baginya, perbendaharaan kata seseorang merupakan petunjuk akan caranya memandang dunia— termasuk di dalamnya peristiwa-peristiwa yang sudah, sedang, dan akan terjadi. Masalahnya, seiring dengan kian beragam laju informasi di abad ini, makna kata-kata menjadi nisbi. Apa yang tadinya dirasa pasti, kini harus digali lagi. Xu Tan pernah membahas perkara pertautan bahasa dan pandangan dunia dalam Dictionary of Keywords pada 2008. Sang seniman turun ke jalan dan melakukan wawancara dengan sejumlah warga di kawasan tempat tinggalnya. Dari sejumlah wawancara ini, ia menemukan beberapa kata yang berulang, di antaranya “korupsi”, “asuransi”, dan “pekerja”. Kata-kata ini kemudian ia coba petakan penggunaannya di Google dan media-media sosial: berapa sering ia muncul, untuk topik apa saja ia digunakan, siapa saja yang menggunakan, dan sebagainya. Hasil penelitian ia olah menjadi instalasi video dan benda-benda. Metode serupa Xu Tan ulangi dalam Adaptation and Thought Spasm. Narasumbernya kali ini: seniman-seniman di negara dunia ketiga.
This work is concerned with history as the foundation of human relations within society. Two aspects are addressed: First, how individuals see the history of their own society; and, second, how a society’s history is formed in the minds of its actors. Xu Tan’s point of departure is language. To him, one’s vocabulary is a clue to one’s worldview—including events that have happened, are happening, and will happen. The problem is that with the speed and the variety of ways with which information flows in this century, the meanings of these words become ambiguous. What was thought as certain now has to be revisited. Xu Tan addresses the linkages between language and worldviews in his Dictionary of Keywords in 2008. The artist went to the streets and interviewed a number of people in his neighborhood. From these interviews he found certain words were repeated, including “corruption”, “insurance”, and “workers”. He then tried to map the use of these words on Google and social media: how often they appeared, for what topics they are used, who uses them, and so forth. He reproduced his findings into an installation of video and objects. Xu Tan repeated the same method in Adaptation and Thought Spasm. His sources this time: artists in developing countries.
Xu Tan lahir di Wuhan pada 1957. Pada 1993, ia bergabung dengan Big Tail Elephant Group, kelompok seniman yang berdomisili di Guangzhou. Beberapa pameran yang pernah ia ikuti: Taipei Biennial pada 1998; Asia-Pacific Triennal of Contemporary Art di Brisbane, Australia, pada 1999; Berlin Biennial pada 2002; Gwangju Biennial di Korea Selatan pada 2002; Guangzhou Triennial pada 2005; dan Venice Biennial pada 2009.
Xu Tan was born in Wuhan, People’s Republic of China, in 1957. In 1993, he joined the Big Tail Elephant Group, a group of artists living in Guangzhou. Some of the exhibitions he attended include: Taipei Biennial in 1998; Asia-Pacific Triennal of Contemporary Art in Brisbane, Australia, in 1999; Berlin Biennial in 2002; Gwangju Biennial in South Korea in 2002; Guangzhou Triennial in 2005; and Venice Biennial in 2009.
93
Yusuf Ismail feat. Labtek Indie
Indonesia
94
In the Name of Futile Gesture
Instalasi video Video installation 2013
Simulasi instalasi In The Name of Futile Gesture / Yusuf Ismail, 2013.
Bagi sebagian orang, banjir informasi lewat internet bisa jadi hal yang menakjubkan. Bagi sebagian lainnya, bisa jadi malah mengganggu. Bagi Yusuf Ismail, seorang seniman video, internet merupakan ruang pamer interaktif yang mampu menjangkau audiens secara luas. Karakteristik internet sebagai medium interaktif ini ia manfaatkan dalam karya-karyanya, terlebih saat muncul momentum viral suatu peristiwa. Pada April 2013, video-video berisi potongan klip Arya Wiguna yang diiringi lagu remix amatir beredar luas di media-media sosial dalam waktu singkat. Arya Wiguna adalah seorang laki-laki yang waktu itu sedang disorot oleh media massa karena berseteru dengan Eyang Subur, seorang guru spiritual, dalam kasus perebutan seorang perempuan. Dalam suatu konferensi pers, Arya menggebrak meja sembari berteriak, “Demi Tuhan!” Potongan adegan itulah yang menjadi bahan utama dalam video-video di atas, yang salah satunya diciptakan olehYusuf. Diunggah di Youtube pada 22 April 2013, video Yusuf berjudul Demi Tuhan Style – Psy feat. Arya Wiguna telah ditonton lebih dari 1,5 juta kali. Yusuf melanjutkan hasrat main-mainnya dalam karya bertajuk In the Name of Futile Gesture. Instalasi video ini menampilkan citraan Augmented Reality yang dihubungkan dengan Kinect. Di depan Kinect, audiens bisa bermain dan menyesuaikan diri dengan instruksi yang ditampilkan di layar. Sebuah tayangan lain, berupa kejutan bagi audiens, disiarkan langsung dari YouTube selama pameran berlangsung. Siapa saja bisa mengaksesnya karena alamat kanalnya diterakan di area instalasi. Dalam mempersiapkan karya ini, Yusuf bekerjasama dengan senimanseniman lain, yaitu Labtekindie, yang menggarap citraan Augmented Reality, dan para praktisi 3D dari Sembilan Matahari.
The flood of information on the Internet amazes some people, whereas for others, it can be a nuisance. To Yusuf Ismail, a video artist, the Internet is an interactive exhibition space that enables him to reach a wide audience. He makes good use of the Internet’s interactive nature in his works, especially during the occurrence of a ‘viral event’. In April 2013, videos containing clips of Arya Wiguna accompanied by amateur remixed songs spread widely and quickly over social media. Arya Wiguna drew the attention of mass media because he got into a row with Eyang Subur, a spiritual guru, over a woman. In a press conference, Arya slammed a table while screaming, “Demi Tuhan!” (“I Swear to God!”) And this clip was exploited in the videos above, one of which was created by Yusuf Ismail. Uploaded to YouTube on 22 April 2013, Yusuf Ismail’s video, Demi Tuhan Style – Psy feat. Arya Wiguna has been watched more than 1.5 million times. Yusuf Ismail continued his playful whims in his work In the Name of Futile Gesture. This video installation shows images of Augmented Reality linked with Kinect. In front of Kinect, the audience can play and adapt to instructions shown on the screen. Another presentation remains a surprise for the audience as it will be broadcast directly from YouTube during the exhibition. Anyone can access it as the channel address is displayed in the installation area. To prepare this installation Yusuf Ismail collaborated with other artists, such as Labtekindie, who worked on the imagery of Augmented Reality, and 3D practitioners from Sembilan Matahari.
Yusuf Ismail lahir di Bogor pada 1981. Ia aktif dalam berbagai ajang pameran seni video baik didalam dan luar negeri sejak 2004, di antaranya Mediactions di Jepang (2010), Moving Images from Indonesia di Berlin (2011), dan OK. Video di Jakarta (2011). Ia lulusan jurusan Seni Patung, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Karya-karyanya bisa dilihat di situs fluxcup. blogspot.com.
Yusuf Ismail was born in Bogor in 1981. He has been active in many video art exhibitions both in Indonesia and abroad since 2004, including Mediactions in Japan (2010), Moving Images from Indonesia in Berlin (2011), and OK. Video in Jakarta (2011). He is a graduate of the Sculpture Department, Arts and Design Faculty of Bandung Institute of Technology (ITB). You can see more of his works on fluxcup.blogspot.com.
95
Museum Seni Rupa dan Keramik Fine Arts and Ceramics Museum
Pameran Exhibition: 9–30 November 2013 / 11.00–15.00 Selasa–Minggu Tuesday–Sunday: 09.00–15.00 Hari Senin dan Hari Libur Nasional tutup Closed on Monday and National Holidays
96
Foto: Ary Sendy / Jakarta Biennale 2013: SIASAT
97
98
akumassa (Indonesia) JATIWANGI ART FACTORY & TROTOARt (Indonesia) MELLA JAARSMA & NINDITYO ADIPURNOMO (Indonesia) M.R. ADYTAMA PRANADA (Indonesia SEBASTIAN DIAZ MORALES (Argentina)
Museum Seni Rupa dan Keramik Fine Arts and Ceramics Museum Jl. Pos Kota No. 2 Jakarta Barat T: +62 21 692 60 90 W: museumsenirupa.com E:
[email protected] W: jakartabiennale.net
Gedung Museum Seni Rupa dan Keramik karya arsitek W.H.F.H. van Raders ini dibangun pada 1870 dengan
arsitektur gaya Neo Klasik. Setelah beberapa kali beralih fungsi selama masa penjajahan Belanda, pendudukan
Jepang, dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia,
gedung ini diresmikan sebagai Gedung Balai Seni Rupa
saat Orde Baru pada 1976. Di dalam gedung ini terdapat Museum Keramik yang diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1977. Semenjak 1990, Balai
Seni Rupa digabung dengan Museum Keramik menjadi
Museum Seni Rupa dan Keramik. Gedung yang termasuk sebagai bangunan cagar budaya ini menyimpan lebih dari 500 karya seni rupa Indonesia.
The Fine Arts and Ceramics Museum building, created by the architect W.H.F.H. van Raders, was built in 1870 in
Neo-Classic architectural style. Having gone through several
changes in function since the Dutch colonial era, through the Japanese occupation, and Indonesian independence, during the New Order this building was formalized as the Fine
Arts Building in 1976. Within the building is the Ceramics
Museum inaugurated by then Jakarta Governor Ali Sadikin
in 1977. Since 1990, the Fine Arts Building was merged with the Ceramics Museum, hence the current name, the Fine
Arts and Ceramics Museum. This cultural heritage building holds more than 500 works of Indonesian fine art.
99
akumassa
100
Indonesia
1
132
2
akumassa ad Hoc
Video, presentasi proyek
Video, project presentation 2013
1. Area permukiman di bantaran kali Sentiong, Johar Baru, Jakarta Pusat / settlements in the riverbank area of Sention, Johar Baru, North Jakarta. 2. Pedagang pakaian loak di Pasar Senen, Jakarta Pusat / flea merchants in Pasar Senen, Central Jakarta / akumassa, 2013.
“Kau tak akan mengenal Jakarta kalau belum mengenal Senen,” ujar banyak perantau di Jakarta. Kawasan Senen memang lengkap: kaki lima, pasar, toko, tempat hiburan, terminal, stasiun, semua ada. Di sini orang seolah bisa mendapatkan barang apa saja dan bertemu siapa saja, termasuk “buaya Senen” sebutan bagi tukang copet, jambret, pelacur, dan preman. Sejak awal abad ke-20 Senen telah menjadi jantung kota Jakarta yang tak pernah tidur dari segala peristiwa. Di Senen, Peristiwa Malari 1974 terjadi; di Senen pula, para seniman Jakarta pernah mangkal sebelum hijrah ke Taman Ismail Marzuki. Berbagai pusat perbelanjaan modern dibangun, namun para pedagang kaki lima dan barang loak tetap bertahan, mengisi setiap ruang yang tersisa. Meski tak kurang yang terlanda kesialan, orang-orang tak pernah berhenti mengadu nasib di kawasan yang penuh kemungkinan dan “keajaiban” ini. akumassa mencoba merekam berbagai kenyataan sosial di kawasan Senen ini melalui sebuah proyek seni rupa, berkolaborasi dengan Komunitas Anak Seribu Pulau, Blora; Komunitas Djuanda, Tangerang Selatan; Komunitas Suburbia, Depok; Komunitas Pasir Putih, Lombok Utara; dan Komunitas Sarueh, Padangpanjang. Selama riset, perwakilan dari tiap komunitas tinggal di markas Komunitas Paseban, Senen. Hasil riset diolah menjadi karya video dan instalasi, yang memperlihatkan Senen sebagai salah satu wajah kota dengan masyarakat yang terus bersiasat untuk bertahan hidup.
“You don’t know Jakarta if you don’t know Senen,” many Jakarta drifters would say. Jakarta’s Senen district indeed has a complete offering: street hawkers, a market, shops, entertainment, a bus terminal, a train station, everything is there. It seems that at Senen anyone can find anything and meet anyone, including the “Senen crocodiles”, or: the pickpockets, thiefs, prostitutes, and thugs. Since the early 20th century, Senen has been the heart of Jakarta, never asleep and always going through all sorts of events. It was in Senen that the bloody Malari Incident took place in 1974; in Senen, Jakarta’s artists hung out before they migrated to Taman Ismail Marzuki. All kinds of modern shopping centers have been built, but the street hawkers and knickknack dealers remained, filling the remaining gaps. Though misfortunes are abound, people never refrain from trying their luck in this place, a place that is full of possibilities and “miracles”. akumassa is trying to record the many social realities in Senen in their art project, collaborating with Komunitas Anak Seribu Pulau, Blora; Komunitas Djuanda, South Tangerang; Komunitas Suburbia, Depok; Komunitas Pasir Putih, North Lombok; and Komunitas Sarueh, Padangpanjang. During their research, representatives of each community lived in the headquarters of Komunitas Paseban, Senen. Their research outcome was processed into video and installation art showing how Senen is one face of the city where people continue to find ways to thrive and survive.
akumassa merupakan program pendidikan dan pemberdayaan komunitas melalui media, yang dibentuk oleh Forum Lenteng, organisasi yang didirikan oleh pekerja seni, peneliti budaya, mahasiswa komunikasi/ jurnalistik pada 2003 di Jakarta. Sejak 2008, akumassa aktif memfasilitasi kerja kolaborasi, mengadakan pelatihan penggunaan media, dan berjejaring dengan berbagai komunitas di sejumlah kota. Lebih jauh tentang akumassa, kunjungi situs akumassa.org.
akumassa is a community education and empowerment program that focuses on the use of media, developed by Forum Lenteng, an organization established by art workers, cultural researchers, communication and journalistic students in Jakarta in 2003. Since 2008, akumassa has been active in facilitating collaborative works, holding trainings on media use and networking with communities in other cities. More on akumassa, visit akumassa.org.
Akumassa Ad Hoc: Koordinator: Otty Widasari / Tim: Manshur Zikri, asal dari Pekanbaru, Riau. Perwakilan akumassa Jakarta: Forum Lenteng / Dian Komala, asal dari Sukabumi, Jawa Barat. Perwakilan akumassa Depok: Komunitas Suburbia / Harryaldi Kurniawan, asal dari Padangpanjang. Perwakilan akumassa Padangpanjang: Komunitas Sarueh / Muhammad Sibawaihi, asal dari Lombok Utara. Perwakilan akumassa Lombok Utara: Komunitas Pasir Putih. / Auviar Rizky Wicaksanti, asal dari Blora. Perwakilan akumassa Blora: Komunitas Anak Seribu Pulau / Anib Basatada Wicaksono, asal dari Blora. Perwakilan akumassa Blora: Komunitas Anak Seribu Pulau / Mufti Al Umam, asal dari Tangerang Selatan. Perwakilan akumassa Ciputat: Komunitas Djuanda. / Andrie Sasono Soedibyo, asal dari Jakarta. Perwakilan dari Jakarta: Forum Lenteng. / Jayu Juli (pengamat), asal dari Bekasi. Perwakilan dari akumassa Depok: Komunitas Suburbia.
101
Jatiwangi Art Factory & Trotoart
Indonesia
102 139
Project 12 x 26 m Under the Speed Presentasi proyek, video, instalasi
Project presentation, video, installation 2013
Kondisi ruang di bawah jembatan layang di Penjaringan, Jakarta Utara / under the overpass in Penjaringan, North Jakarta.
Kawasan Penjaringan di Jakarta Utara tidak punya banyak ruang bagi warganya. Permukiman di daerah itu berdempet-dempetan, sementara mayoritas lahan lainnya sudah menjadi jalan tol yang membentang sejak akhir 2000-an. Warga setempat terpaksa bersiasat dengan sedikit ruang yang tersisa. Jadilah kolong jalan tol dimanfaatkan untuk berbagai jenis kegiatan dan keperluan, dari parkir truk, penimbunan sampah harian, hingga lokasi adu bilyar antarwarga. Menurut amatan kelompok TROTOARt yang bermukim di Penjaringan, ada satu peluang baru yang bisa dikembangkan di kolong jalan tol Penjaringan, yakni pengadaan lapangan futsal sebagai sarana olahraga rakyat. Proyek sosial ini turut melibatkan Jatiwangi Art Factory ( JAF). Organisasi budaya asal Majalengka itu melengkapi lapangan futsal dengan pagar bambu, agar warga bisa bermain bola tanpa rasa khawatir bola melayang ke jalan raya. Adapun JAF ikut mengembangkan Bangunin Sahur, video hasil dokumentasi TROTOARt tentang kebiasaan warga setempat membangunkan orang sahur dengan beragam alat musik. Ritual ini biasanya dimulai dengan satu rombongan yang membangunkan orang-orang di salah satu pojok Penjaringan. Di pojok-pojok lain, muncul beberapa rombongan melakukan hal serupa. Ketika rombongan-rombongan ini bertemu, mereka bersatu menjadi rombongan besar untuk memeriahkan suasana sahur. Pemutaran perdana Bangunin Sahur menjadi puncak dari acara peresmian lapangan futsal, mempertemukan warga dengan ragam kebersamaan yang mereka jalin selama ini.
The Penjaringan area in North Jakarta does not have a lot of public spaces for its residents. Houses in this area are squeezed together, while much of the land has been turned into highways since the late 2000’s. The people of the area are forced to make do with whatever little room is left. For example, the underside of the highway is now used for all sorts of activities, from truck parking, to trash disposal, to a billiard arena for its residents. TROTOARt group, living in Penjaringan, observes that there is one opportunity that can be developed underneath the highways in Penjaringan: futsal courts as a sports facility for the people. This social project involved Jatiwangi Art Factory ( JAF), a cultural organisation from Majalengka. They surrounded the futsal courts with bamboo fences, so that people can play without worrying that the ball will fly onto the streets. JAF also helped developed Bangunin Sahur; TROTOARt’s documentation video about the habit of locals to wake people up for Ramadan dawn meal with various musical instruments. This ritual usually starts with a group of people waking people up in one corner of Penjaringan. From other corners we see other groups appearing doing the same. When these groups converge, they become a big group entertaining people at the dawn meal. The premiere of Bangunin Sahur became the highlight at the inauguration of the futsal field, where people from different backgrounds came together, diverse in the togetherness they have fostered.
TROTOARt dibentuk pada 2001 oleh para pelukis di Jalan Pintu Besar Selatan, Kawasan Kota Tua. Pada perkembangannya, TROTOARt berkolaborasi dengan banyak komunitas untuk mewujudkan berbagai kegiatan seni. Proyek ini menjadi awal kolaborasi mereka dengan organisasi budaya Jatiwangi Art Factory yang didirikan di Jatiwangi, Jawa Barat, pada 2005. Organisasi budaya ini berfokus pada kajian kehidupan perdesaan lokal lewat berbagai kegiatan seni dan budaya.
TROTOARt was established in 2001 by painters at Jalan Pintu Besar Selatan of Kota Tua (the Old City). Along the way, TROTOARt collaborated with many communities engaging in various artistic endeavors. This project marks the beginning of their collaboration with the cultural organisation Jatiwangi Art Factory that was established in Jatiwangi, West Java, in 2005. This cultural organisation focuses on rural cultural studies of the local area through various art and cultural activities.
103
M.R. Adytama Pranada
104
The Urban Archaeologist Instalasi Installation
Dimensi bervariasi Various dimensions 2013
Indonesia
Museum konon adalah tempat berdiamnya benda-benda yang katanya penting dalam sejarah. Kata siapa? Sesungguhnya, museum hanyalah satu di antara jutaan versi sejarah lainnya. Sejarah tidaklah tunggal. Ia hadir dalam berbagai bentuk pada benak warga, tergantung apa yang dianggap penting oleh masing-masing individu. Sifat sejarah yang cair ini menjadi menarik apabila kita amati lagi kasus-kasus pencurian benda pusaka di candi dan museum. Bagi negara, artefak-artefak ini perlu dicari karena berguna bagi pembangunan identitas bangsa. Bagi si pencuri, artefak-artefak ini perlu dicuri karena berkhasiat bagi peningkatan kualitas hidup—serta berbagai alasan lainnya. Sifat sejarah yang cair ini pula yang M.R. Adytama Pranada ingin jelajahi. Ia perhatikan kembali benda-benda di musum, mencari tahu nilai apa yang disematkan museum kepada benda-benda itu, membongkarnya, dan menciptakan sejarah versinya sendiri menurut pemaknaan masa sekarang.
A museum, they say, is a place where objects, supposedly of historical importance, are housed. Who said so? Actually, a museum is just one among other millions of versions of narrating history. History is not singular. It is present in various forms in the minds of people, depending on what each individual considers important. This fluid nature of history is interesting if we take another look at the cases of theft of hallowed objects from temples and museums. For the state, these artifacts need to be tracked down because they are useful to build the nation’s identity. For the thief, these artifacts had to be stolen in order to improve their quality of life—and a host of other excuses. It is this fluid nature of history, too, that M.R. Adytama Pranada explores. He took another look at objects in museums, to identify the values the museums attach to these objects, deconstruct these values, and recreate his own version of history according to a contemporary way of seeing things.
M.R. Adytama Pranada, akrab dipanggil Charda, lahir di Surabaya pada 1987. Ia menempuh studi di Fakultas Desain dan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung dan lulus pada 2010. Sejak di bangku kuliah hingga saat ini, ia telah berpatisipasi dalam sejumlah pameran dan proyek seni, antara lain Indonesian Print Making Triennale, Bentara Budaya Jakarta (2009); Zona Masa Depan, Pasar Seni ITB, Bandung (2010); Survey III: From Whom The Bell Tolls, Edwin’s Gallery, Jakarta (2011).
M.R. Adytama Pranada, or Charda as his friends call him, was born Surabaya in 1987. He studied at the Faculty of Design and Arts at the Bandung Institute of Technology and graduated in 2010. Since attending college until today, he has participated in a number of exhibitions and art projects, including Indonesian Print Making Triennale, Bentara Budaya Jakarta (2009); Zona Masa Depan, Pasar Seni ITB, Bandung (2010); Survey III: From Whom The Bell Tolls, Edwin’s Gallery, Jakarta (2011).
105
Mella Jaarsma & Nindityo Adipurnomo
Indonesia
106 142
Yang Tertinggal (The Ones Left Behind) Instalasi video Video installation 2013.
Potongan gambar video tentang orkes tanjidor / video stills of the tanjidor group. Mella Jaarsma & Nindityo Adipurnomo, 2013.
Tanjidor berasal dari kata tanger, yang dalam bahasa Portugis berarti ‘memainkan musik’. Awalnya tanjidor adalah sejenis orkes yang dimainkan oleh budak-budak milik orang Belanda pada abad ke-18, dengan alat musik antara lain terompet, klarinet, tuba, tambur, drum bass, dan simbal. Tugasnya memeriahkan jamuan makan atau pesta dansa para majikan Belanda dengan lagu-lagu mars, polka, dan parade. Berkat warisan turun-temurun sejak abad ke-19, tanjidor masih dipraktikkan oleh beberapa kalangan di nusantara sampai sekarang. Salah satu grup tanjidor yang masih bertahan hingga kini adalah kelompok Pusaka Tiga Suara. Kelompok ini bermarkas di bilangan Pasar Rebo, Jakarta Timur, dan beraktivitas sehari-hari di bawah pimpinan Maah Piye. Mereka terus bertahan memainkan musik tersebut meski hanya berlatih saat menjelang tampil. Karena pendapatan dari bermain tanjidor tidak memadai, para musisi itu sehari-harinya memiliki profesi lain agar bisa menyambung hidup. Bekerja sama dengan Lembaga Kebudayaan Betawi, Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo melakukan observasi atas sosok-sosok musikus ini. Pasangan seniman itu tinggal bersama dengan awak Pusaka Tiga Saudara, berinteraksi langsung dengan mereka, sembari merekam keseharian para musisi ini. Kolaborasi ini menghasilkan suatu pembacaan tentang seluk-beluk kehidupan musikus tanjidor dan bagaimana musik tanjidor dihidupkan oleh para musikusnya, yang Mella dan Nindityo olah menjadi suatu instalasi video.
Tanjidor comes from the word tanger, Portuguese for ‘to play music’. Originally tanjidor was a type of ensemble played by Dutch slaves in the 18th century, with instruments that included the trumpet, clarinet, tuba, tambourine, bass drum, and cymbals. Their job was to entertain during dinners or dance parties of their Dutch masters with marches, polkas and parade songs. Passed through generations since the 19th century, tanjidor is still practiced by a few groups in the archipelago today. One of the few remaining tanjidor groups is the Pusaka Tiga Saudara ensemble. This group is based in Pasar Rebo area in East Jakarta, and is led by Maah Piye. They continue to play these instruments even though they practice only before performing. As the income from playing tanjidor is not sufficient, these musicians also have other professions in order to survive. In collaboration with Lembaga Kebudayaan Betawi (Betawi Cultural Institute), Mella Jaarsma and Nindityo Adipurnomo observed these musicians. This artist couple lived with the crew of Pusaka Tiga Saudara, interacting directly with them, while recording their daily lives. This collaboration produced a reading of the daily lives of these tanjidor musicians and how tanjidor music is brought to live by the musicians, which Mella Jaarsma and Nindityo Adipurnomo turned into a video installation.
Mella Jaarsma lahir di Emmeloord, Belanda, pada 1960, sedangkan Nindityo Adipurnomo lahir di Semarang pada 1961. Mella, lulusan Minerva Fine Art Academy, Groningen, menetap di Yogyakarta sejak 1984, kemudian pada 1988 bersama Nindityo, lulusan Institut Seni Indonesia, mendirikan Galeri Cemeti, yang sebelas tahun kemudian berganti nama menjadi Rumah Seni Cemeti. Pasangan seniman ini meraih berbagai penghargaan, baik sebagai pasangan kolaborasi maupun individu. Bersamasama, di antaranya adalah John D. Rockefeller 3rd Award (2006) dan Yogyakarta Biennale Art Award (2010).
Mella Jaarsma was born in Emmeloord, the Netherlands, in 1960, and Nindityo Adipurnomo was born in Semarang, Indonesia, in 1961. Mella Jaarsma, a graduate of the Minerva Fine Art Academy, Groningen, resides in Yogyakarta after 1984, and in 1988, with Nindityo Adipurnomo, a graduate of the Indonesia Institute of the Arts, established Cemeti Gallery, which eleven years later was renamed to Cemeti Art House. This artist couple received numerous awards, both as a collaborative couple as well as individually, including the John D. Rockefeller 3rd Award (2006) and Yogyakarta Biennale Art Award (2010).
107
Sebastian Diaz Morales
108
Jam
Video kanal tunggal Single channel video 12 menit 2013
Argentina
Jalanan Jakarta makin padat. Peningkatan jumlah kendaraan tidak diikuti dengan penambahan jalan raya di ibukota. Akibatnya, menurut catatan terakhir Dinas Perhubungan DKI Jakarta, saat ini terdapat 100 titik rawan macet di 46 kawasan ibukota. Sebastian Diaz Morales mencoba memberi gambaran akan statistik pelik ini lewat eksperimentasi visual dalam Jam. Karya video tersebut merupakan respons sang seniman terhadap pemandangan kemacetan yang ia terus-menerus dapati di Jakarta. Ia merekam seorang kawannya melintasi berbagai jalanan ramai di Jakarta menjadi sebuah cerita. Karya ini merupakan pengembangan karya Pasajes I (2012) dan Pasajes II (2013). Dalam kedua video itu, Morales memanfaatkan kemampuan medium sinema untuk merekatkan gambar-gambar yang sejatinya tak berhubungan menjadi sebuah keutuhan yang saling bertautan. Sang seniman merekam seorang kawan berjalan melintasi berbagai ruang di beberapa bangunan di Buenos Aires, Argentina, dan membuatnya seolah tetap berada dalam satu bangunan. Melalui piranti lunak penyuntingan gambar, Morales menata ulang geografi Buenos Aires yang ia sudah hafal betul menjadi sebuah kota baru berisikan pintupintu dan tangga-tangga yang tak ada habisnya. Dalam Jam, Morales mengubah Jakarta menjadi kota yang sudah diambilalih oleh kendaraan bermotor. Sepanjang video, satusatunya orang yang terlihat berjalan kaki hanyalah kawan Morales. Kadang kita bisa melihat dirinya dengan sigap menyelip di antara lalu-lalang motor dan mobil, kadang kita melihatnya sebagai satu titik kecil di tengah lautan kendaraan yang masif. Kontras ini kian dipertegas oleh bunyi: sang seniman menajamkan derap perlahan kawannya, agar terdengar di tengah gemuruh lalu lintas yang seolah tak ada habisnya.
Jakarta’s streets are increasingly congested, as they can no longer keep up with the increasing vehicle volume. The latest data from Jakarta Transportation Office shows at least 100 congestion spots in 46 areas all over the city. Sebastian Diaz Morales attempts to illustrate these complicated statistics through his visual experimentation in Jam. This video work is the artist’s response to his constant encounters with traffic jams in Jakarta. He recorded his friend crossing crowded streets in Jakarta and weaved it into a story. This work is a progression of Pasajes I (2012) and Pasajes II (2013). In both videos, Morales makes use of the affordances of the cinematic medium, stitching together images that are originally unrelated into an interlinked unity. The artist recorded his friend walking across various spaces in some buildings in Buenos Aires, Argentina, and makes it look as though it is happening in the same building. He rearranged the geography of Buenos Aires, a city that he knows like the back of his hand, into a place with endless doors and stairs. In Jam, Morales presents Jakarta as a city taken over by motorized vehicles. Throughout the video, the only person seen walking is Morales’ friend. Sometimes we see him skillfully slipping through the gaps between cars and motorbikes, another time he is but a tiny dot in a sea of vehicles. To add emphasis to this contrast, the artist highlighted the sound of the footsteps of his friend to be audible amidst the thundering sound of the unending traffic.
Sebastian Diaz Morales lahir di Comodoro Rivadavia, Argentina, pada 1975. Ia berdomisili di Amsterdam, Belanda. Di kota yang sama, Morales menimba ilmu dari akademi seni rupa setempat bernama Rijksakademie van Beeldende Kunsten. Sepanjang kariernya, ia banyak menghasilkan karya-karya video sebagai respons atas lanskap urban yang ia temui. Pada 2010, ia merilis dokumenter panjang pertamanya, The Way Between Two Points, yang diputar perdana di International Film Festival Rotterdam.
Sebastian Diaz Morales was born in Comodoro Rivadavia, Argentine, in 1975. He resides in Amsterdam, the Netherlands. In the same city, Morales studied at the Rijksakademie van Beeldende Kunsten. Throughout his career, he has produced many video works in response to urban landscapes he encountered. In 2010, he released his first long documentary, The Way Between Two Points, which premiered at the International Film Festival Rotterdam.
109
Ruang Kota City Spaces
OKTOBER–NOVEMBER 2013
110
Foto: Ary Sendy / Jakarta Biennale 2013: SIASAT
111
7 6 1
112
4
2
5
1
Mural DANURI alias PAK NUR (Indonesia)
2
EKO NUGROHO (Indonesia) 3
FINTAN MAGEE (Australia) 4
GUNTUR WIBOWO (Indonesia) 5
RIYAN RIYADI alias THE POPO (Indonesia)
6
RIZKY ADITYA NUGROHO alias BUJANGAN URBAN (Indonesia)
7
RULI BANDHRIYO alias LOVEHATELOVE
3
Untuk informasi lebih lanjut, pantau terus: For further information, please check: Twitter: @jakartabiennale Facebook: jakartabiennale2013 Instagram: jakartabiennale Website: jakartabiennale.net mural.jakartabiennale.net
113
Danuri
alias
Pak nur
Indonesia
114 1
Jalan T.B. Simatupang bersisian dengan lingkar tol dalam kota Jakarta. Di salah satu titiknya, yaitu jembatan layang yang melintas di atas perempatan Tanjung Barat, Jakarta Selatan, kemacetan panjang kerap terjadi dari arah selatan, tepatnya di Jl. Lenteng Agung Barat. Pasalnya, ada lampu merah yang menghadang di belokan ke arah Pasar Rebo, juga portal kereta yang siap menghentikan arus mobil dan motor untuk mempersilakan kereta listrik lewat. Ditambah lagi, pilar penyangga jembatan layang itu menyita ruang jalan sehingga jalanan menjelang lampu merah menyempit. Danuri alias Pak Nur tahu betul kondisi jalanan itu, ia tinggal di sekitar kolong jembatan layang tersebut. Bekerja sebagai pemulung, ia mengasah keahlian seninya secara otodidak. Medium apa saja, misalnya gerobak, ia gambari. Sejak 2005, ia berinisiatif melukis mural di tembok-tembok kota. Karya Pak Nur sebagian besar berupa teks, berisi pesan-pesan yang sifatnya normatif atau moralistik, di antaranya, “Kejujuran itu milik kita yang paling berharga”, “Semoga kata-kataku seperti kata hatiku dan juga seperti perbuatanku”, dan “Paling berbahaya adalah
pejabat yang profesional, tapi tidak jujur alias korup”. Di tengah-tengah dekadensi nilai kepemimpinan dan kemasyarakatan, pesan-pesan itu tanpa tedeng aling-aling menohok pembacanya. Untuk Jakarta Biennale 2013, di tembok jembatan layang Jl. T.B. Simatupang yang menjadi saksi bisu keruwetan lalu-lintas itu, Pak Nur menciptakan mural yang berbunyi “Jadilah diri sendiri seutuhnya. Buatlah prestasi yang Anda sumbangkan untuk kehidupan ini.” Bagi para pekerja ibukota yang tiap hari menghabiskan waktu berjam-jam di tengah kemacetan, pesan itu bisa jadi sebuah ajakan yang menyejukkan. Pak Nur lahir dengan nama Danuri pada 1955. Pria yang cuma sekolah sampai kelas IV SD ini pernah menjadi preman di Tanjung Priok dan Pulo Gadung, dan sejak 2004 tinggal di kolong jembatan layang Jl. T.B. Simatupang. Karena muralnya, ia biasa didatangi petugas dari Dinas Sosial, DLLAJR, atau Satpol PP. Jika demikian, tanpa gentar ia akan memperlihatkan kliping liputan Koran Tempo dan Kompas, juga surat undangan dari Indonesia Corruption Watch dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang pernah diterimanya. “Surat sakti” tersebut biasanya ampuh untuk melindungi diri dan karyanya.
Mural
Jembatan Layang di Jl. T.B. Simatupang, Jakarta Selatan.
Foto: Agung ‘Abe’ Natanael / Jakarta Biennale 2013: SIASAT.
Flyover at Jl. T.B. Simatupang, South Jakarta. 3,5 x 10 meter 2013
115
The T.B. Simatupang Street parallels the southern stretch of the Jakarta outer ringroad. In one spot, that is, the overpass above Tanjung Barat crossroad, traffic often backs up from the south, from Lenteng Agung Barat Street to be precise. The traffic is particularly bad because there is a traffic light that blocks the flow at the turn to Pasar Rebo, and a railroad crossing that repeatedly halts traffic to allow trains to pass. On top of that, the pillars supporting the highway above take up space, narrowing the road right before the traffic light. Danuri, a.k.a. Pak Nur, knows this stretch of road very well, because he lives under that overpass. Working as a scrap collector, he honed his artistic skills as an autodidact. He draws on any medium, like his gerobak. Since 2005 he has been painting murals all over the city. Pak Nur mostly paints texts, containing messages of normative or moral nature, like, “Honesty is our most precious possession”, “Hopefully my words are like my heart and also my deeds”, and “Most dangerous are professional officials, but dishonest or corrupt”.
Amidst the decadence of leadership and societal values, these messages often go right at the heart of the matter. For the Jakarta Biennale 2013, on the walls of T.B. Simatupang overpass that silently witnesses the traffic mess, Pak Nur created a mural which reads “Become your whole self. Make achievements that you can contribute for this life.” For workers of the city who spend hours each day in such traffic, this message can soothe the day.
Pak Nur was born as Danuri in 1955. This man, who only graduated grade IV of primary school, had once been a street thug in the notorious Tanjung Priok and Pulo Gadung areas of Jakarta. Since 2004 he took up residence under a T.B. Simatupang overpass. Because of his murals he is often visited by Social Services, the Highway and Traffic Service, or the Municipal Police. When confronted, he would not hesitate to show news clippings of Tempo and Kompas newspapers, as well as invitations from Indonesia Corruption Watch and the Corruption Eradication Commission. These “magic letters” are usually powerful enough to protect him and his work.
Eko Nugroho
Indonesia
116 2
Mural
Terowongan RC Veteran, dekat Gerbang Tol JORR Veteran Jl. RC Veteran Raya, Jakarta Selatan
RC Veteran tunnel, near JORR Veteran Gate RC Veteran Raya Street, South Jakarta
Ruas tol JORR Veteran merupakan akses penting bagi warga Bintaro, Serpong, dan sekitarnya untuk mencapai Jakarta. Banyak di antara mereka yang bekerja di Jakarta, dan tiap pagi bagai berlomba-lomba dalam arus lalulintas yang padat menuju kawasan bisnis atau pemerintahan Jakarta. Sementara, bagi warga Jakarta, ruas jalan tersebut adalah penghubung untuk mencapai Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir. Arus lalu-lintas padat menuju pemakaman itu memiliki waktunya tersendiri, misalnya pada waktu ziarah menjelang bulan puasa atau hari Lebaran. Tembok terowongan RC Veteran mungkin tak memiliki makna apa pun bagi para pengguna jalan yang tiap pagi dan petang melintasi tempat tersebut. Bagi mereka, terowongan itu, seperti halnya ruas jalan lain yang mereka lewati, sekadar ada di sana untuk melayani kepentingan mereka. Tempat tujuan telah menanti, kemacetan yang melelahkan sebaiknya dilupakan segera. Persis di sanalah Eko Nugroho melukis muralnya. Seniman produktif ini menampilkan satu sosok setengah badan yang wajahnya memakai topeng bermotif rupa-rupa, dengan balon kata di sebelahnya berbunyi, “Toleransi di Bawah Batu”. Ada juga badan seekor ular tanpa ekor, dengan “kepala” yang seperti disemati kacamata selam di mana sepasang mata manusia terlihat. Sekali lagi Eko mempertunjukkan kekhasannya, memanfaatkan pola dan tekstur secara berulang, sembari memasukkan unsurunsur alam dan budaya yang ada di Indonesia.
The JORR Veteran toll road stretch is an important point of access to Jakarta for residents of Bintaro, Serpong, and the surrounding areas. Many people work in the city and every morning they go through the dense traffic to reach the business and government centers downtown. Meanwhile, for the people of Jakarta, this stretch is an access point to reach the Tanah Kusir Public Cemetery. The traffic towards the cemetery has its own timing, for instance, prior to the fasting month of Ramadhan or Eid-ul-Fitr. The walls of the RC Veteran tunnel may not have much meaning for the passers by who go through it each morning or afternoon. To them, the tunnel is just that, just there for them to go through and serve their needs. It is the destination that awaits. The tiring traffic is better to be forgotten. It is exactly there that Eko Nugroho painted his mural. This productive artist depicts a half-bodied figure with a face masked with a variety of motifs with a text balloon next to it saying, “Tolerance Under a Rock”. Then there is a tail-less snake with its “head” wearing scuba goggles with human eyes peeking through. Once again, Eko shows his signature, using patterns and textures, while introducing elements of nature and culture that exist in Indonesia.
Eko Nugroho lahir di Yogyakarta pada 1977 dan menyelesaikan studinya di jurusan Seni Lukis Institut Seni Indonesia, di kota yang sama. Karya-karyanya telah ditampilkan di banyak galeri dan pameran internasional di Australia, Jepang, Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Italia, dan Singapura. Awal tahun ini, desain Eko dipakai untuk syal produk Louis Vuitton. Dan baru-baru ini namanya masuk dalam kategori 100 seniman paling berpengaruh di dunia versi majalah Art Review. Kunjungi situsnya di ekonugroho.or.id.
Eko Nugroho, born in Yogyakarta in 1977, completed his Painting studies at the Indonesian Institute of the Arts in the same city. He had exhibited in many galleries and international exhibitions in Australia, Japan, United States, the Netherlands, Germany, Italy, and Singapore. Early this year, Louis Vuitton commissioned his design for a scarf. And recently his name was cited as one of the 100 most influential artists in the world by Art Review magazine. Visit his site at ekonugroho.or.id.
117
Fintan Magee
Australia
118 3
Fintan Magee gemar bermain dengan bentuk. Mural buatannya merupakan kombinasi citra nyata dari peristiwa sehari-hari dengan imajinasi liar dalam kepalanya. Ketika media heboh dengan peristiwa Felix Baumgartner terjun bebas dari angkasa luar ke bumi pada Oktober 2012, Magee meresponsnya dengan sebuah mural yang menampilkan sang astronot sedang berenang gaya punggung. Sebagaimana yang ia kemukakan pada sebuah media Australia, Magee ingin orang-orang “bercakap-cakap tentang sebuah peristiwa bersama” bahkan “membuat lelucon dan bersenang-senang” ketika melihat mural buatannya. Hal serupa ia lakukan ketika kota tempat tinggalnya dua kali dilanda banjir pada awal 2013, ia melukiskan sejumlah mural bertemakan kegiatan yang dilakukan warga saat musibah itu terjadi. Ada satu mural bergambar orang yang sedang memancing di atas gajah, ada yang menampilkan seorang pemuda bermain panah-panahan ketika banjir, ada juga mural
tentang sebuah bahtera raksasa yang menampung rumah dan kendaraan warga. Jakarta Biennale 2013 memboyong Fintan Magee ke sebuah gardu listrik di belakang kampus Interstudi, Jakarta Selatan. Tak jauh dari situ ada sebuah taman, tempat anak muda bermain basket dan futsal dari siang sampai malam. Ada pula sejumlah warung makan tenda, yang akrab disinggahi mahasiswa dan karyawan di kawasan itu, alternatif murah meriah dari 7-Eleven setempat yang juga tak kalah ramainya. Mural buatan Magee adalah amatan sang seniman akan keragaman aktivitas warga di tempat ini. Fintan Magee bermula sebagai seniman grafiti di jalanan Brisbane. Seiring berjalannya waktu, lelaki kelahiran Lismore ini melihat sejumlah kemungkinan asyik dalam seni mural dan mulai mendalaminya. Beberapa kota yang sempat menjadi rumah bagi mural buatannya: Oslo, Wina, Dublin, Copenhagen, London, dan Hong Kong. Karya dan kabar terbaru sang seniman dapat disimak di fintanmagee.com.
Mural
Gardu listrik PLN di belakang STIKOM Interstudi, Jakarta Selatan. PLN station behind STIKOM Interstudy, South Jakarta. 2013
119
Fintan Magee enjoys playing with forms. The murals he creates are a combination of real images from everyday events and the wild imagination in his head. When the media went abuzz about Felix Baumgartner’s freefall from the edge of space in October 2012, Magee responded with a mural of an astronaut swimming a backstroke. As he told Australian media, he wants people to “converse about shared events” even “creating jokes and having fun” whilst seeing the murals he created. He did something similar when the city he lives in flooded twice in early 2013, he painted a series of murals about the things citizens did during the catastrophe. One mural portrayed a person fishing on top of an elephant, another showed a young man doing archery during the flood, yet another depicted a giant ark holding the people’s houses and vehicles. The Jakarta Biennale 2013 brings Fintan Magee to an electricity station behind the Interstudi campus, South Jakarta. Nearby is a park
where young people play basketball and futsal from noon to evening. There are also food stalls frequented by university students and employees from around the area, a cheap alternative to the local 7-Eleven that is no less crowded. Magee’s mural is his observation of the variety of things people do in this place.
Fintan Magee began as a graffiti artist on the streets of Brisbane. Born in Lismore, he saw exciting opportunities in mural art and began exploring it. Several cities hosted his murals, including Oslo, Vienna, Dublin, Copenhagen, London and Hong Kong. For the latest work and news about the artist go to fintanmagee.com.
Guntur Wibowo
Indonesia
120 4
Kompleks Permata, lebih tenar dikenal sebagai Kampung Ambon, terlihat seperti permukiman warga perantauan lainnya di ibukota: padat dan agak homogen secara etnis. Sejak akhir April 2013, kesan adem ayem itu mendadak berubah kelam di benak warga nusantara. Polisi melakukan penggerebekan dan berhasil mengamankan sejumlah barang bukti berupa senjata tajam, senjata api, ganja, alat penghisap sabu, dan minuman keras. Media-media nasional ramai memberitakan kejadian ini. Ada yang mengulik kebiasaan transaksi narkoba di Kampung Ambon yang konon tumbuh sejak awal 1990-an, ada pula yang melacak aktris dan pejabat mana saja yang rajin singgah di pasar narkoba daerah itu. Mengutip salah satu liputan media, Kampung Ambon “sudah selayaknya Las Vegas di Amerika. Narkoba, judi, dan kekerasan sudah menjadi hal yang biasa di sana.” Sejarah Kampung Ambon sendiri tidak sependek lintingan ganja. Pada 1945, daerah ini masihlah lahan tak tergarap, satu dari sekian wilayah kumuh di antara belantara kota Jakarta yang sedang tumbuh. Lalu datanglah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dengan program
perbaikan kampung pada 1969. Wilayah kampung yang tadinya dianggap bermasalah, dilihat sebagai potensi baru dalam pengembangan urban. Tercatat Pemerintah DKI Jakarta menghabiskan Rp60 juta untuk membangun kawasan Kampung Ambon. Pada 1973, kawasan ini identik dengan etnis asal Ambon yang semula tinggal di wilayah Senen, Jakarta Pusat. Pemerintah DKI Jakarta memutuskan untuk memindahkan mereka ke Kampung Ambon karena sering terlibat pertikaian antarwarga di Senen. Dari wilayah kumuh hingga ke sarang narkoba, perubahan persepsi publik terhadap Kampung Ambon inilah yang dilaburkan Guntur Wibowo pada muralnya. Karyanya menjadi usaha untuk menempatkan dugaan masa kini dalam suatu garis sejarah.
Guntur Wibowo lahir di Temanggung pada 1980. Ia lulusan Jurusan Seni Lukis di Institut Kesenian Jakarta pada 2005. Karya-karyanya muralnya tersebar di berbagai tembok Jakarta. Beberapa pameran yang ia pernah ikuti adalah Breaking the Wall - The Street Art Show pada 2010 di Jakarta; Feel the Vibe pada 2010 di Ars Longa Gallery, Yogyakarta; C.H.A.N.C.E pada 2011 di Sika Gallery, Bali; dan Asian Art Biennale 2012 di Bangladesh.
Mural
Kampung Ambon, Kelurahan Kedaung Kaliangke,
Foto: Agung ‘Abe’ Natanael / Jakarta Biennale 2013: SIASAT.
Cengkareng, Jakarta Barat
Kampung Ambon, Kedaung Kaliangke Ward, Cengkareng, West Jakarta 2013
121
Kompleks Permata, better known as Kampung Ambon, looks just like any other migrant residential area of the capital city of Jakarta: dense and rather ethnically homogeneous. Since April 2013, this peaceful image suddenly turned gloomy in the public eye. The police conducted a raid and managed to seize contraband items, such as sharp weapons, firearms, cannabis, drugs paraphernalia, and alcohol. This event was widely covered in national media. Some of the coverage looked into drug transactions that thrived in Kampung Ambon since the 1990’s, while others traced actresses or public officials who frequented its drug markets. To quote once such coverage, Kampung Ambon “is like Las Vegas in America. Drugs, gambling, and violence is common there.” Kampung Ambon’s own history is not as short as a joint. In 1945, this place was still a neglected place, one of many shanties in a growing urban jungle that is Jakarta. Then came the famous Governor of Jakarta, Ali Sadikin, with his kampung improvement program in 1969. The kampungs, long thought to be a problem and a burden, were now seen as a new urban development potential. Records show that the
Government of Jakarta spent Rp60 million (1969 Rupiah) to develop Kampung Ambon area. In 1973 this place became associated with the Ambon ethnic group who previously occupied Senen, Central Jakarta. The government of Jakarta then decided to relocate them to Kampung Ambon because they were often involved in brawls with other groups in Senen. From a shanty town to a drug den, it is this shift in public perception about Kampung Ambon that Guntur Wibowo attempts to capture in his mural. His work is an endeavor to place perceptions about the present in an historical timeline.
Guntur Wibowo was born in Temanggung in 1980. He graduated from the Painting Department, Jakarta Institute of the Arts, in 2005. His murals can be found on many walls throughout Jakarta. Among the exhibitions he attended are Breaking the Wall - The Street Art Show in 2010 in Jakarta; Feel the Vibe in 2010 at Ars Longa Gallery, Yogyakarta; C.H.A.N.C.E. in 2011 at Sika Gallery, Bali; and Asian Art Biennale 2012 in Bangladesh.
Riyan Riyadi
alias
The Popo
Indonesia
122 5
“Aku tak percaya hari akhir. Aku percaya Jakarta hujan sedikit banjir.” Kalimat itu pernah menghiasi sebidang tembok jembatan layang di kawasan Slipi. Jika Anda tertohok membacanya, itu bukan maksud dan kesengajaan seniman Riyan Riyadi alias The Popo, pembuatnya. Riyan memperlakukan karyanya sebagai visual diary, dengan memanfaatkan karakter berwajah lonjong tanpa hidung dan bermata bulat menonjol yang ia namai The Popo. Lewat karakter itu, ia merespons ruang dan fenomena, mengeluarkan komentarkomentar yang bermunculan di benaknya selayaknya orang lain menuliskan diary. Bagi yang mengikuti karyanya, akan mudah untuk menangkap kritik sosial dari visual diary tersebut. Hal itu tidak lain karena Riyan merasakan apa yang berlangsung di suatu ruang dan sekadar ingin bersikap jujur. Ia tidak dengan sengaja mencari-cari ruang kosong untuk digambari. Grafiti di kawasan Jalan Prapanca, “Demi fly over pohon game over”, misalnya, adalah “keluhannya” karena pohon-pohon ditebang demi pembangunan jembatan layang baru. “Saya kepanasan dong, pohon-pohon itu sudah enggak ada lagi,” ungkapnya dalam suatu wawancara.
Namun ia tidak berpretensi untuk menyampaikan aspirasi khalayak. “Jika ada yang merasa terwakilkan, ya, itu efek,” tambahnya. Karya Riyan untuk Jakarta Biennale 2013 adalah respons terhadap lingkungan di sekitar tembok jembatan layang di Tambora, Jakarta Barat. Di bawah jembatan tersebut terdapat Pasar Pagi Asemka, sentra grosir aksesoris, suvenir, kosmetik, dan alat tulis yang memiliki riwayat panjang. Goresan kuas Riyan mengekspresikan fragmenfragmen kegiatan, bagian dari dinamika kehidupan pasar tersebut. Dan, seperti biasa, humor tak ketinggalan menyertai gambar-gambarnya.
Riyan Riyadi alias The Popo lahir di Jakarta pada 1982. Ia pernah kuliah di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta. Mulai dikenal sebagai street artist sejak 2001, ia mendapatkan penghargaan sebagai The Best Mural Artist dalam ajang Tembok Bomber Award 2010. Pada tahun itu juga ia mengadakan pameran tunggal di RURU Gallery, Jakarta, juga berpartisipasi dalam ajang Singapore Nite Festival. Ia juga bekerja sebagai dosen di almamaternya, dalam program studi Komunikasi Visual. Lebih lanjut tentang The Popo dalam dilihat di thepopopaint.blogspot.com.
Mural
Jembatan Layang Pasar Pagi Asemka, Jakarta Barat.
Foto: Agung ‘Abe’ Natanael / Jakarta Biennale 2013: SIASAT.
Pasar Pagi Asemka Overpass, West Jakarta. 2013
123
“Aku tak percaya hari akhir. Aku percaya Jakarta hujan sedikit banjir.” (I don’t believe in the Judgment Day. I believe Jakarta is flooded when it rains a little). This sentence had once adorned a wall of an overpass in Slipi area. If you are a bit shocked by it, that was not at all the intention of Riyan Riyadi alias The Popo, who created the mural. Riyan treats his work as a visual diary through a character he invented that has an elongated face, no nose and prominent round eyes whom he named The Popo. Through this character, he responds to space and phenomena, expresses the comments that occur in his head, not unlike someone writing a diary. To those who follow his work, it would be easy to catch social criticisms from this visual diary. Riyan Riyadi just feels what is taking place in a space and only wants to be honest about it. He doesn’t just intentionally find an empty space to draw on. The graffiti on Jalan Prapanca, “For the sake of the flyover, trees are game over”, for example, is his “complaint” because trees were cut down to make way for the new flyover. “I will get hot, those trees are not there anymore,” he said in an interview. But he does not pretend to express
public aspirations. “If someone feels represented, well, that’s just an effect,” he says. Riyan Riyadi’s work for the Jakarta Biennale 2013 is a response to the environment around the overpass wall at Tambora, West Jakarta. Under that bridge is the Pasar Pagi Asemka Market, a center for accessories, souvenirs, cosmetics, stationery grocers that has a long history. Riyan Riyadi’s brush strokes express fragments of activities, part of the dynamics around the market. And, as usual, humor is always a part of his paintings.
Riyan Riyadi alias The Popo was born in Jakarta in 1982. He had once attended the Jakarta Social and Political Sciences Institute (IISIP). He is known as a street artist since 2001. He was awarded The Best Mural Artist award during the Tembok Bomber Award 2010. In that year too he held a solo exhibition at RURU Gallery, Jakarta, and also participated in Singapore Nite Festival. He also lectures at his almamater in the Visual Communication studies program. For more on The Popo visit thepopopaint. blogspot.com.
Rizky Aditya Nugroho
alias
Bujangan Urban
Indonesia
124 6
Jalur Thamrin-Sudirman barangkali adalah hutan beton paling luas di seluruh Indonesia. Padahal puluhan tahun lalu, kawasan Thamrin dan Sudirman masih berupa lahan kosong dan lahan perkebunan, sebagaimana tergambar dari nama Kebon Kosong dan Kebon Kacang di sekitarnya. Di kawasan bergengsi yang kerap dijuluki Segitiga Emas ini, sejumlah perusahaan bonafide mengisi gedung-gedung perkantoran dan pusat-pusat perbelanjaan. Tak heran jika kawasan ini begitu ramai oleh warga dan pekerja—mobilitas di kawasan ini sangat tinggi pada pagi hari, istirahat makan siang, dan sore hari saat jam pulang kerja. Pada tembok di salah satu ruas jalan di depan Wisma BNI 46, sebuah mural karya Bujangan Urban menyapa dengan kalimat “Loyalitas Tanpa Batas Bikin Hidup Jadi Terbatas”. Tembok ini menjadi semacam celetukan ringan dan kritis yang
terbaca oleh para pekerja di tengah mobilitasnya yang padat demi memenuhi tuntutan pekerjaan. Seolah mengajak untuk merenungi sesaat arti sebuah rutinitas dan makna bekerja.
Bujangan Urban terlahir dengan nama lengkap Rizky Aditya Nugroho. Ia menempuh kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual Interstudi mulai 2003 dan sejak itu pula ia tergabung dalam Artcoholic, komunitas seni jalanan yang aktif menanggapi ruang-ruang publik Jakarta. Karya muralnya telah menyebar dari sekolah-sekolah hingga jembatan layang di kota Jakarta hingga ke kota lainnya. Ia menjadi salah satu seniman grafiti yang paling banyak menginspirasi para remaja untuk belajar membuat grafiti. Ia terlibat sebagai kurator dalam pameran tunggal The Popo di RURU Gallery (2010); art director untuk respectastreesartgalery.com (2010), GARDUHOUSE (2010), dan Jakarta Street Art United Exhibition (2009).
Mural
Tembok di depan Wisma BNI 46, Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat.
Foto: Sonang Elyas / Jakarta Biennale 2013: SIASAT.
Wall in front of BNI 46 Building, Jl. Jenderal Sudirman, Central Jakarta. 2013
125
The Thamrin-Sudirman stretch is perhaps the densest concrete jungle in Indonesia. It was only a few decades ago that Thamrin and Sudirman were still empty plots and gradens, as one can tell from the names Kebon Kosong (Empty Garden) and Kebon Kacang (Peanut Garden) in its vicinity. In this upmarket area, part of the so-called Golden Triangle of Jakarta, reputable companies occupy the office buildings and shopping centres. It is no suprise that this place is crowded by office workers, executives and other residents of the city—the mobility within the area is very high in the morning, during lunchbreaks, and the afternoon when office hour ends. On a wall in front of the BNI 46 Building, a mural by Bujangan Urban greets us with the sentence “Loyalitas Tanpa Batas Bikin Hidup Jadi Terbatas” (Limitless Loyalty Limits Life).
This wall becomes a critical but lighthearted remark for workers in the midst of their rush to meet their professional demands, as though suggesting us to pause and think about the meaning of our routines.
Bujangan Urban (Urban Bachelor) was born Rizky Aditya Nugroho. He did his undergratuate studies at the Interstudi’s Visual Communication Design department, which he finished in 2003, and afterwards joined Artcoholic, a street art community actively working in Jakarta’s public spaces. His murals are spread around from schools to flyovers, in Jakarta and other cities. He is among the graffitti artists who has strongly inspired teenagers to learn graffiti. He was involved as a curator in the solo exhibition of The Popo at RURU Gallery (2010); as art director for respectastreesartgalery.com (2010), GARDUHOUSE (2010), and Jakarta Street Art United Exhibition (2009).
Ruli Bandhriyo alias LoveHateLove
Indonesia
126 7
Siapa yang tidak tahu kawasan Thamrin dan Sudirman? Kawasan ini merupakan hutan beton yang menjadi jantung bagi ibukota. Ia menjadi rumah bagi gedung-gedung pemerintahan, pusat perbelanjaan, serta kantor perwakilan berbagai perusahaan nasional dan multinasional. Saking tingginya tingkat aktivitas di daerah ini, pemerintah daerah menerapkan peraturan satu-mobil-tigapenumpang di jalan raya kawasan ini pada pagi dan sore hari, untuk mengendalikan jumlah kendaraan yang berseliweran sehingga waktu para pekerja tidak terbuang percuma di jalan. Terowongan Dukuh Atas adalah salah satu ruas jalan yang terkena peraturan ini. Posisinya memang vital; ia menghubungkan ruas utama Jl. Jenderal Sudirman dengan jalan yang warga bisa lalui untuk mencapai daerah-daerah ramai lainnya di ibukota, macam Kuningan dan Cikini. Ruli Bandhriyo, juga dikenal sebagai Lovehatelove,
melihat terowongan ini sebagai tempat yang identik dengan waktu. Orang-orang yang melalui jalan ini pasti diburu waktu, demi mengejar kepentingan yang harus segera dituntaskan, bisa dari mengejar janji dengan klien hingga ingin cepat sampai di rumah untuk beristirahat. Atas pengamatannnya ini, sang seniman menghadirkan mural yang menampilkan banyak tangan. Masingmasing tangan mewakili aktivitas yang mungkin sedang dan akan dilakoni para pengendara kendaraan di sekitar Terowongan Dukuh Atas.
LoveHateLove terlahir sebagai Ruli Bandhriyo di Yogyakarta pada 1984. Ia mulai menjadi seniman street art sejak 2000, saat ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta. Di kota yang sama, ia bersama sejumlah kawan mendirikan sebuah kelompok pelukis grafiti bernama YK Urban pada 2009.
Mural
Kolong Jembatan Dukuh Atas, Jakarta Pusat.
Foto: Agung ‘Abe’ Natanael & Sonang Elyas / Jakarta Biennale 2013: SIASAT.
Dukuh Atas Underpass, Central Jakarta. 2013
127
Who doesn’t know the Thamrin and Sudirman areas? This place lies right in the middle of the concrete jungle, right at the heart of the capital of Indonesia. It houses government buildings, shopping malls, as well as offices of national and multinational corporations. So busy is the activity in this area that the city government had imposed the three-in-one rule for private cars entering these streets in the morning and afternoon rush hours, supposedly to control vehicle traffic to save valuable transit time for office workers. The Dukuh Atas underpass is one of the streets covered by this regulation. Indeed, it has a vital position; connecting the main Jenderal Sudirman Street with other roads that city residents use to reach other crowded places in the city, like Kuningan and Cikini. Ruli Bandhriyo, a.k.a. Lovehatelove, associates this underpass with time. People passing through this place are
chased by time, always running after something that they must accomplish, be it appointments with clients or getting home fast to rest. Based on observations, the artist presents a mural that shows a swarm of hands. Each hand represents an activity that people in the vehicles are or going to be doing nearby.
LoveHateLove was born as Ruli Bandhriyo in Yogyakarta in 1984. He began as a street artist in 2000, while he was still attending Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta (Yogyakarta Senior High School of the Arts). In the same city, he, along with his friends, established a graffiti group called YK Urban in 2009.
10
9
12 16
17
11
11
128
11
8 13
8 14
14
11 11
17
14
11
8 8
8
11
11
129
Instalasi, lokakarya, performans, dan proyek seni rupa Installations, workshops, and art projects
15
8
ABDULRAHMAN SALEH alias MAMAN (Indonesia)
9
akumassa (Indonesia)
10
AWAN SIMATUPANG (Indonesia)
11
ENRICO HALIM (Indonesia)
12
ETIENNE TURPIN (Kanada)
13
Jatiwangi Art Factory & Trotoart (Indonesia)
14
Kunstrepublik ( Jerman)
15
Mella Jaarsma & Nindityo Adipurnomo (Indonesia)
16
MELATI SURYODARMO (Indonesia)
17
SERRUM & DINAS ARTISTIK KOTA (Indonesia)
Abdulrahman Saleh alias Maman
Indonesia
12–13 Oktober 2013 / Saung Manggar, Kalimalang, Jakarta Timur.
12–13 Oktober 2013 / Saung Manggar, Kalimalang, East Jakarta.
19–20 Oktober 2013 / Lapak Kedoya, samping Gedung Metro TV,
19–20 Oktober 2013 / Lapak Kedoya, next to Metro TV Building,
Jakarta Barat.
West Jakarta.
23–24 Oktober 2013 /Daerah Pancoran, Jakarta Selatan.
23–24 Oktober 2013 / Pancoran Area, South Jakarta.
26–27 Oktober 2013 / Lapak para penarik gerobak di Pejaten,
26–27 Oktober 2013 /Gerobag pool in Pejaten, Jatipadang Poncol,
Jatipadang Poncol, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Pasar Minggu, South Jakarta.
2–3 November 2013 /Lapak para penarik gerobak di Pisangan,
2–3 November 2013 /Gerobag pool in Pisangan, East Ciputat,
Ciputat Timur, Tangerang.
Tangerang.
130 8
30
Selama pertengahan Oktober hingga awal November 2013, Abdulrahman Saleh menyelenggarakan lokakarya bersama para penarik gerobak untuk mendandani gerobakgerobak milik para pengumpul barang bekas ini, dengan warna-warni cat, gambar, dan tulisan “curhatan” mereka sendiri. From mid October to early November 2013, Abdulrahman Saleh organised workshops with gerobak pullers to beautify the carts of these scrap collectors with colorful paint, pictures, and their own “words of wisdom”.
Manusia Gerobag
Lokakarya Workshop
2013
Fotografi: Agung ‘Abe’ Natanael & Sonang Elyas / Dokumentasi Jakarta Biennale 2013: SIASAT.
131
akumassa
132 9
100
Indonesia
Selama Oktober 2013, akumassa berkesenian bersama warga Senen, berkolaborasi dengan Komunitas Anak Seribu Pulau dari Blora, Komunitas Pasir Putih dari Lombok Utara, Komunitas Djuanda dari Tangerang Selatan, dan Komunitas Sarueh dari Padangpanjang. Sepanjang pelaksanaan proyek seni ini, perwakilan dari tiap komunitas tinggal di markas Komunitas Paseban, Senen. Bersama, mereka mengadakan lokakarya fotografi menggunakan kamera ponsel dengan anak-anak setempat, serta pembuatan film dokumenter bersama warga tentang lingkungan Senen. Hasil lokakarya dan produksi film dipamerkan perdana pada 7 November 2013 di Kelurahan Paseban.
Lokakarya fotografi menggunakan kamera ponsel oleh akumassa dengan anak-anak setempat di Paseban, Senen, Jakarta Pusat / akumassa with the locals during a workshop on camera phone photography in Paseban, Senen, Central Jakarta. Foto: Ary Sendy / Jakarta Biennale 2013: SIASAT.
Throughout Oktober 2013, akumassa makes art with residents of Senen, in collaboration with Komunitas Anak Seribu Pulau from Blora, Komunitas Pasir Putih from North Lombok, Komunitas Djuanda from Tangerang Selatan,and Komunitas Sarueh from Padangpanjang. Throughout this art project, representatives of each community stayed at the headquarters of Komunitas Paseban, Senen. Together, they held photography workshops with mobile phone cameras with the local children, and made documentary films with the residents about Senen neighborhood. The results of the workshop and the films are premiered on 7 November 2013 at Paseban Ward Office.
133
Awan Simatupang
Indonesia
134 10
No.
Instalasi Installation 3,5 x 2,5 x 2 m 2013
Model instalasi No., dan kumpulan plat nomor mobil / original sketches for No., and a stack of license plates.
Tak terhitung berapa banyak angka yang menandai identitas kita. Ada nomor telepon genggam, kartu tanda penduduk, rekening tabungan, dan sebagainya. Sialnya, jumlah angkaangka vital ini melebihi kapasitas ingatan kita, sehingga kita kadang lupa akan keberadaan mereka walau signifikansinya dalam keseharian kita tak terelakkan lagi. Melalui instalasinya yang bertajuk No., Awan Simatupang ingin menambah sederet nomor lagi dalam khazanah angka-angka penanda identitas kita: plat nomor kendaraan bermotor. Instalasi Awan berwujud kepala bayi raksasa yang sedang tertawa. Ia menempelkan kerangka besi yang membentuk si kepala bayi dengan platplat nomor kendaraan bermotor. Khusus untuk mendapatkan plat-plat tersebut, seniman peraih Tempo Award 1991 ini membuat pengumuman yang dimuat di situs Jakarta Biennale dan akun Facebook-nya sendiri, mengajak warga untuk menyerahkan plat nomor mereka yang sudah tidak terpakai. Selain itu, Awan juga mengumpulkan plat sendiri lewat kawan-kawannya dan pemulung barang bekas. Hingga 9 November 2013, warga dipersilakan datang untuk berkontribusi. Di balik plat tersebut, warga diminta untuk mencoretkan kesan atau pesan mereka tentang kota Jakarta. Awan butuh dua ribu plat untuk menyempurnakan instalasi yang berlokasi di gerbang Taman Ismail Marzuki ini. Melalui instalasi ini pula, Awan ingin mengajak warga Jakarta melihat lalu lintas ibukota dengan sudut pandang berbeda. Terlalu sering kita menyebut angka dalam rangka mengeluhkan jumlah kendaraan yang semakin memenuhi jalanan. Plat-plat nomor pada instalasi ini mengajak kita untuk introspeksi diri, mengingat kembali kontribusi kita sebagai pengguna kendaraan bagi keramaian jalanan ibukota.
It is almost unknown how many numbers mark our identity: our cellphone numbers, residential ID numbers, bank accounts, and so on. Too bad, the number of these vital numbers exceeds the capacity of our memory, so we often forget them despite their significance in our daily lives. Through his installation entitled No., Awan Simatupang likes to add another set of numbers into the collection of our identity-marking numbers: the license plate. Awan Simatupang’s installation takes the shape of a giant laughing baby. He attached license plates to the steel skeleton that forms the baby’s head. To get these plates, this artist, who won the 1991 Tempo Award, put up an announcement on the website of the Jakarta Biennale and on his own Facebook account, inviting people to donate their old license plates. Awan Simatupang also collected the license plates himself through his friends and scrap metal collectors. On the back of these license plates, people were asked to pen down their messages about Jakarta. He required two thousand license plates to complete this installation located at the gate of Taman Ismail Marzuki. Through this installation, Awan Simatupang also wants to invite the people of Jakarta to see the capital city’s traffic from a different angle. We often cite numbers when we complain about the number of vehicles choking the streets. The license plates in this installation invite us to reflect, introspect, and recall our own contributions as vehicle users to crowd Jakarta’s streets.
Awan Simatupang lahir di Jakarta pada 1967. Ia lulus dari Institut Kesenian Jakarta pada 1991. Karya-karyanya telah dipamerkan dalam berbagai perhelatan seni rupa sejak 1991, di antaranya Biennale Seni Rupa Indonesia 1995, ArtSingapore di Taksu Gallery pada 2005, dan Artpreneurship, Space & Image di Jakarta pada 2010. Sepanjang dekade 2000-an ia juga telah menyelenggarakan pameran tunggal di Jakarta sebanyak tiga kali. Kini ia tinggal di kota kelahirannya.
Awan Simatupang was born in Jakarta in 1967. He graduated from the Jakarta Institute of the Arts in 1991. He has exhibited in various art events since 1991, including The Jakarta Art Biennale in 1995; ArtSingapore at Taksu Gallery in 2005; and Artpreneurship, Space & Image in Jakarta, 2010. Throughout the 2000’s, he held three solo exhibitions in Jakarta. He currently resides in his hometown.
135
Enrico Halim
Indonesia
136 11
46
Menggunakan bemo tenaga listrik, Enrico Halim bersama sepuluh orang guru dan seniman mengadakan kegiatan berkesenian bersama kalangan non-seniman ibukota, mulai dari pedagang-pedagang di tempat-tempat umum hingga siswa-siswa sekolah. Tujuannya sederhana: membawa seni ke ruang publik. Proyek ini berlangsung di Stasiun Senen, Jakarta Pusat; sekitaran Stasiun Tebet, Jakarta Selatan; Pasar Jatinegara, Jakarta Timur; Pasar Palmerah, Jakarta Selatan; Pasar Minggu, Jakarta Selatan; sekitaran Pasar Mede, Jakarta Selatan; serta bantaran Kali Ciliwung, Jakarta Selatan. Using an electric bemo, Enrico Halim with ten teachers and artists hold art activities with the city’s non-artists, from street vendors to students. The aim is simple: to bring art into the public space. This project takes place at Senen Train Station, Central Jakarta; around Tebet Train Station, South Jakarta; Jatinegara Market, East Jakarta; Palmerah Market, South Jakarta; Pasar Minggu, South Jakarta; around Pasar Mede, South Jakarta; and along the banks of Ciliwung River, South Jakarta
Adakah Seni di Antara Kita?
Proyek seni rupa bersama warga Art project with people 2013
Fotografi: Agung ‘Abe’ Natanael & Tegar Umbara / Dokumentasi Jakarta Biennale 2013: SIASAT.
137
Etienne Turpin
Kanada
Performans Performances 10 November 2013 / 10.00: Dimulai dari ruang parkir bawah tanah Teater Jakarta. Starts at Teater Jakarta Basement Parking Space. 17 November 2013 / 10.00: Dimulai dari ruang parkir bawah tanah Teater Jakarta. Starts at Teater Jakarta Basement Parking Space. 17 November 2013 / 14.00: Dimulai dari Pasar Burung Pramuka, Jakarta Timur. Starts at Pasar Burung Pramuka. Silakan lihat peta di area karya Turpin untuk informasi lebih lanjut. See take-away maps at Turpin’s exhibition area for more details.
138 12
48
For A Minor Ornithology Performans 2013
Jatiwangi Art Factory & Trotoart
Indonesia
139 13
102
Kondisi ruang di bawah jembatan layang di Penjaringan, Jakarta Utara Under the overpass in Penjaringan, North Jakarta.
Saking sedikitnya ruang tersisa di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, sudah lazim bagi warga setempat untuk berkegiatan di bawah kolong jalan tol. Di tempat yang sama pula, TROTOARt dan Jatiwangi Art Factory berinisiatif membangun lapangan futsal sebagai sarana olahraga rakyat. Tak lupa mereka tambahkan pagar bambu bercorak rupa-rupa di sekeliling lapangan, agar fasilitas ini terlihat elok dan warga bisa bermain bola tanpa rasa khawatir bola melayang ke jalan raya. Lapangan futsal ini diresmikan dengan pemutaran perdana Bangunin Sahur, video tentang kebiasaan warga Penjaringan sebelum memulai puasa.
So little space remains in Penjaringan, North Jakarta. Much of the land is occupied by a highway, under which the locals do various daily activities, from garbage disposal to truck parking space to billiard competition between residents. TROTOARt and Jatiwangi Art Factory aims to expand the use of the area, by building a futsal arena as a sport facility for the locals. The two collectives equipped the arena with a painted bamboo fence, so that the facility would look attractive and people could play futsal in it without worrying the ball may stray onto the streets. The opening of the arena was marked with the premiere of Bangunin Sahur (Waking People Up for Sahur), a video on the habits of the Penjaringan residents during the fasting month.
Kunstrepublik
Jerman
Celebration Improvisation
Happening Arts 11 November 2013 / 11.11 / Pasar Senen, Jakarta Pusat Central Jakarta Informasi selengkapnya / For further information : jakartabiennale.net.
140 14
KUNSTrePUBLIK piawai mewujudkan intervensi di ruang publik yang memicu wacana seputar sejarah dan perkembangan mutakhir suatu ruang. Tujuan kelompok asal Berlin ini tak cuma menciptakan provokasi, tapi juga melibatkan diri dalam penggagasan dan perencanaan urban, pendidikan, penciptaan seni, dan kurasi. KUNSTrePUBLIK menyikapi suatu ruang berdasarkan riset sejarah. Misalnya pada 2010 di Halle, Jerman, mereka meminta seorang muazin untuk menyerukan data statistik dari menara lonceng Red Tower. Statistik tentang kontribusi ekonomi dan budaya warga pendatang itu dikumandangkan lima kali layaknya azan di kota dengan penduduk muslim paling sedikit di Jerman. Aksi ini, bertajuk Fear Has Big Eyes, mempertanyakan rasa takut terkait Islamofobia, pengangguran, dan hilangnya kontrol atas perekonomian. Video dokumentasi aksi itu di putar di Kitakyushu Biennial 2011. Dalam rangkaian Jakarta Biennale 2013, KUNSTrePUBLIK melaksanakan performans khas mereka di Senen. Sebelum beraksi, mereka mendalami terlebih dulu latar belakang tempat itu. Sebagai salah satu kawasan niaga teramai di Jakarta sejak 1970-an, Senen jelas memuat banyak cerita yang menarik untuk disampaikan. Cerita-cerita ini yang KUNSTrePUBLIK olah menjadi happening art yang sarat akan unsur kejut. Wujud karya akan diketahui audiens pada hari H—petunjuknya, seperti meletakkan “bom” di keramaian. Begitu meledak, massa buyar, menyebar. Saat “korban” berjatuhan, massa berkerumun kembali di sekeliling titik ledakan “bom”. Kejutan dari KUNSTrePUBLIK diadakan untuk warga Jakarta di Senen. Untuk menikmati pertunjukan mereka, warga bisa datang ke lokasi pada waktu yang ditentukan.
KUNSTrePUBLIK is a master of realizing interventions in the public space to spark discourses around history and the latest developments of spaces. The objective of this Berlin-based group is not only to provoke, but also to involve itself in exploring ideas on urban planning, education, art creation, and curation. KUNSTrePUBLIK responds to a space following historical research. In 2010 in Halle, Germany, for instance, they asked a muezzin to announce statistical data from the Red Tower belltower. The statistics about economic and cultural contributions of migrants was announced five times a day like the Muslim call to prayer in a city with the least muslim population in Germany. This act, titled Fear Has Big Eyes, questioned Islamophobia, unemployment, and the loss of control over the economy. The video documentation of this act was screened at the Kitakyushu Biennial 2011. For Jakarta Biennale 2013, KUNSTrePUBLIK conducts their signature performance in Senen. Before performing, they studied the rich history of the place, looking for stories that could be used as the basis of their performance. As one of the busiest trade centers in Jakarta since 1970s, Senen certainly is not short of interesting stories to be told. This time KUNSTrePUBLIK plays with the element of surprise. The audience will only learn about what their work looks like on the day of the performance. KUNSTrePUBLIK likens their happening arts to placing a “bomb” in the crowds—as the “bomb” explodes, the public scatters. When “victims” fall, the crowd gathers again around the epicenter of the “bomb”. KUNSTrePUBLIK’s surprise is presented for Jakartans in Senen. To enjoy their performance, be at the scene at scheduled times.
KUNSTrePUBLIK adalah kelompok seniman yang terdiri atas Matthias Einhoff, Philip Horst, Markus Lohmann, Harry Sachs, dan Daniel Seiple. Pameran pertama mereka, “Skulpturenpark Berlin_Zentrum”, berlokasi di 62 lahan kosong yang tadinya dikenal sebagai jalur kematian Tembok Berlin. Sejak 2006 mereka kerap berpartisipasi di berbagai ajang seni publik, selain menerima kunjungan dari sejumlah universitas dan mengadakan lokakarya di berbagai negara tentang strategi alternatif dan subversif dalam seni publik.
KUNSTrePUBLIK is an artist collective whose members include Matthias Einhoff, Philip Horst, Markus Lohmann, Harry Sachs, and Daniel Seiple. Their first exhibition, “Skulpturenpark Berlin_Zentrum”, was located in 62 empty plots along what is known as the Death Alley along the Berlin Wall. Since 2006 they have been participating in many public art events, in addition to hosting visits from universities and holding workshops in several countries on alternative and subversive strategies in public art.
141
Mella Jaarsma & Nindityo Adipurnomo
Indonesia
142 15
106
Yang Tertinggal
Rekaman dari video Video still 2013
Bekerja sama dengan Lembaga Kebudayaan Betawi, Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo melakukan tinjauan atas kelompok musik tanjidor Pusaka Tiga Suara yang bermarkas di bilangan Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur, pada akhir Oktober 2013. Pasangan seniman itu tinggal bersama sosok-sosok musikus itu, berinteraksi langsung dengan mereka, sembari merekam keseharian para musisi ini. Kolaborasi ini menghasilkan suatu pembacaan tentang seluk-beluk kehidupan musikus tanjidor dan bagaimana musik tanjidor dihidupkan oleh para musikusnya, yang Mella dan Nindityo olah menjadi suatu instalasi video.
Salah satu momen pengambilan gambar untuk karya video Mella Jaarsma & Nindityo Adipurnomo di Setu Babakan, Jakarta, 2013 / during the shooting of Mella Jaarsma & Nindityo Adipurnomo’s video in Setu Babakan, Jakarta, 2013. Foto: Agung ‘Abe’ Natanael / Jakarta Biennale 2013: SIASAT.
Collaborating with Lembaga Kebudayaan Betawi (Betawi Cultural Institute), Mella Jaarsma and Nindityo Adipurnomo observed Pusaka Tiga Suara, a tanjidor music group from Kalisari, Pasar Rebo, East Jakarta, in late October 2013. This artist couple lived with these musicians, interacted directly with them, while recording their daily activities. This collaboration produced a reading about the day to day lives of tanjidor musicians and how tanjidor is brought to live by these musicians, which Mella and Nindityo turned into an installation video.
Melati Suryodarmo
Indonesia
Performans Performances 10 November 2013 / 15.00 - 17.00 Taman Suropati, Jakarta Pusat
143 16
66
Sweet Dreams Sweet
Dokumentasi performans
Performance documentation 2013
SERRUM & Dinas Artistik Kota
144 17
A Bulding to Long For
Situs, media sosial, manipulasi digital, video
Site, social media, digital manipulation, video 2013
Indonesia
Gedung-gedung pemerintahan selalu menampilkan citraan tertentu—yang biasanya berwibawa— kepada publik. Meski begitu, cara publik memahami gedung-gedung pemerintahan bisa jadi berbeda dengan yang dimaksudkan pemerintah, bisa karena arsitektur gedungnya, bisa juga karena reputasi lembaga atau instansi yang menghuninya. Berbekal gagasan ini, SERRUM memilih beberapa gedung pemerintahan untuk “didandani” sesuai kreativitas masyarakat. SERRUM membuat contoh pola—berupa foto—gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, DPR/ MPR, dan Mahkamah Konstitusi, kemudian meminta masyarakat merombak wajah gedunggedung itu dengan cara mengunduh foto tersebut melalui halaman khusus Gedung Idaman pada jejaring sosial dan situs web. Foto gedunggedung itu boleh diwarnai, diberi motif, atau dilukis sesuka hati melalui teknik manipulasi digital, lalu diunggah kembali ke situs web yang sama. Bersamaan dengan itu, SERRUM turut mewawancarai orang-orang di sekitar gedunggedung terkait, misalnya tukang ojek, pedagang, karyawan, dan warga yang bermukim di sekitar gedung. Para narasumber diminta beropini tentang apa yang sekiranya bagus atau cocok untuk dilukis di gedung tersebut. Didampingi seorang ilustrator dari pihak SERRUM, narasumber akan mewujudkan idenya dalam bentuk gambar. Melalui kegiatan ini, SERRUM mengajak masyarakat menciptakan karya seni sembari menyuarakan uneg-uneg menurut sudut pandang mereka. Bagaimana hasil karya masyarakat dalam merombak wajah gedung-gedung penting di Jakarta? Karya mereka secara lengkap dapat dilihat pada akun facebook Gedung Idaman dan situs gedungidaman.tumblr.com.
Government buildings always present a certain image—usually that of gravitas—to the public. Nevertheless, the way the public sees government buildings may just as well be different from what the government intended, be it for its architecture, or also for the reputation of the institution that is housed within. With that in mind, SERRUM has chosen several government buildings to be “dressed” with public creativity. SERRUM reproduced cutout photographs of the Corruption Eradication Commission, the Judicial Commision, the National Parliament, and the Constitutional Court buildings, then asked people to alter the face of the buildings by downloading the photos through a special Gedung Idaman page on social media and websites. The photos of these buildings can be colored, decorated with motifs, or painted as one pleases with digital manipulation techniques, then uploaded to the same website. Concurrently, SERRUM also interviewed people near these buildings, for instance motorcycle taxi drivers, street vendors, office workers, and people living near those buildings. They were asked to give their opinions about what they would like to see being painted on these buildings. With an illustrator from SERRUM, the interviewees realize these ideas in a picture. Through this activity, SERRUM invites people to create art while voicing their thoughts and points of view. How would people change the looks of important buildings in Jakarta? Their work can be seen on the facebook account Gedung Idaman and gedungidaman.tumblr.com.
SERRUM merupakan organisasi yang sejak 2006 bergerak dalam bidang pendidikan sosial melalui medium seni rupa. Para pendirinya adalah alumni dan mahasiswa Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta: M.G. Pringgotono, Arif Kurniawan, Arief Rachman, M. Sigit Budi S., J.J. Adibrata, Gunawan Wibisono, dan R.M. Herwibowo. Pada perkembangannya, SERRUM membentuk Dinas Artistik Kota untuk menangani karya-karya di ruang publik. Informasi selengkapnya dapat diakses pada situs serrum.org dan dinasartistikkota.webs.com.
SERRUM is an organization that since 2006 has been engaging in social education activities through the arts. Their founders are alumni and students of the Art Department of Universitas Negeri Jakarta: M.G. Pringgotono, Arif Kurniawan, Arief Rachman, M. Sigit Budi S., J.J. Adibrata, Gunawan Wibisono, and R.M. Herwibowo. Later, SERRUM founded Dinas Artistik Kota to address art in public spaces. To find out more go to serrum.org and dinasartistikkota.webs.com.
145
Program Publik
146
147
Foto: Agung ‘Abe’ Natanael
148
BINCANG Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki TUR JAKARTA BIENNALE Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki LOKAKARYA Taman Belajar Fotografi Gratis bersama / with: Kelas Pagi Taman Langsat LOKAKARYA Komik Curhat Kantoran bersama / with Abdulrahman Saleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia LOKAKARYA SERRUM for kids Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki HIBURAN MALAM MINGGU Hiburan Malam Minggu #1
Pelataran Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki Hiburan Malam Minggu #2
Komunitas Salihara
149
BINCANG
Foto: Agung ‘Abe’ Natanael
10-13 November 2013
150
Bincang Seniman Artists’ Talk 10 November 2013 / 14.00–17.00 Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki presentasi 18 menit setiap seniman dengan istirahat 30 menit 18 minute presentation per artist with 30-minute breaks
Seniman / Artists: Abdulrahman Saleh (Indonesia), Babi Badalov (Azerbaijan, Prancis), Etienne Turpin (Kanada), Euridice Kala (VANSA, Afrika Selatan), Ho Tzu Nyen (Singapura), Julia Sarisetiati (Indonesia),
Lifepatch Collaboration (Indonesia), Lost Generation (Malaysia), mixrice (Korea Selatan), Saleh Husein (Indonesia)
Apa yang sebenarnya dapat dilihat dari kecenderungan praktik artistik seniman di suatu tempat dan fenomena sosial masyarakat yang memengaruhi praktik tersebut? Seluruh asumsi di benak publik ketika mengapresiasi sebuah karya, bisa diperjelas, diperkaya, bahkan dipertentangkan, dalam sesi bincang-bincang dengan para seniman tentang karya yang mereka tampilkan. Dalam sesi ini, pengunjung berkesempatan untuk berdialog langsung dengan sepuluh seniman peserta Jakarta Biennale 2013: SIASAT.
What can actually be seen from the tendencies of artistic practices in a certain place? What can be drawn from the social phenomena of the public that informs such practices? All of the assumptions in the public mind, when appreciating a work of art, can be clarified, enriched, even disputed, in this discussion session. Ten participating artists in Jakarta Biennale 2013: SIASAT will talk about their own work before the public, and visitors will have the opportunity to speak with them.
Diskusi # 1 Proyek Seni Rupa dan Gagasan Perubahan Sosial Arts Project and The Notion of Social Change 11 November 2013 / 15.00–18.30 Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki
Pembicara / Speakers: Khaled Jarrar (Palestina), Jimmy Ogonga (Kenya), Moelyono (Indonesia), Sanne Oorthuizen (CASCO, Belanda)
Semakin ke sini, seni rupa semakin melibatkan diri dengan publik. Kian lazim proyek-proyek seni rupa yang membuka ruang bagi keterlibatan warga, yang percaya bahwa karya seni rupa merupakan bagian dari suatu proses sosial yang terbuka. Gagasan yang sering dikemukakan: dengan berkesenian, warga dapat mengembangkan isi pikiran, yang berguna bagi peningkatan kualitas hidup dan lingkungan.Lalu bagaimana warga sebenarnya memandang seni? Bagaimana proyek atau praktik seni yang dijalankan oleh para seniman dengan beragam latar belakang konteks sosial, kebangsaan, dan politik, bersinggungan dengan agenda perubahan sosial? Seberapa jauh konsep keterlibatan komunitas atau khalayak berpengaruh dalam karya mereka? Bersama seniman-seniman internasional, diskusi ini bertujuan menakar kembali kemungkinan maupun kemustahilan perubahan sosial melalui strategi proyek seni rupa dari berbagai konteks.
In recent years, art has been increasingly open for public participation. Today more and more artists collaborate with the public in art projects, perceiving them as part of an open social process. The idea that is often proposed: people can develop their minds through art and such enlightenment will be useful in enhancing the quality of their life and environment. But then, how do people really see art? Also, how do artists from diverse social and political backgrounds correspond to the idea of social change within public consciousness? To what extent community or public involvement inform their work? Together with international artists, this discussion aims to explore again the possibilities, or impossibilities, of social change through art project strategies in various contexts.
151
Diskusi # 2 Spekulasi Ruang, Strategi Warga dan Negara speculating space, civil strategy, and the state 12 November 2013 / 15.00–18.30 Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki Pembicara / Speakers: Ginggi Syarif Hasyim (Kepala Desa Jatisura, Jatiwangi, Indonesia / Jatisura Village Chief, Jatiwangi),
Jemmy Irwansyah (Peneliti, pengajar / Researchers, lecturer: Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia / University of Indonesia Center for Political Studies), Vit Havranek (TRANZIT), Wok the Rock (Yogyakarta), KUNSTrePUBLIK ( Jerman)
152
Ketika kuasa negara tak lagi terpusat, begitu pula dengan praktik-praktik pemberdayaan warga. Pemerintah, di satu sisi, terus menjalankan program seni dan budaya untuk warga. Dalam pandangan sebagian aktivis maupun seniman, program-program pemerintah itu cenderung kuat di modal, tapi kerap salah kaprah dalam menanggapi kebutuhan masyarakat—terkadang tanpa melakukan prastudi tentang warga, hanya mengandalkan praduga. Di sisi lain, kian marak program-program pemberdayaan komunitas bentukan aktivis dan seniman, yang membuka ruangbagi warga untuk berpartisipasi secara aktif, berlandaskan catatan dan amatan mereka akan apa yang dibutuhkan bagi kesejahteraan bersama. Di atas kertas, kondisi keduanya membuka sebuah peluang untuk kerjasama, dalam beberapa kesempatan, kerjasama itu sudah terjadi, beriringan dengan pergerakan-pergerakan yang memilih untuk tetap independen. Diskusi ini menjadi kesempatan untuk meninjau lebih lanjut perubahan iklim politik pemberdayaan warga ini. Ketika struktur penguasa tak lagi dianggap lawan melainkan kawan dalam gerakan sosial, bagaimana kedua belah pihak beradaptasi dalam praktik-praktik keseharian mereka? Bagaimana pula perubahan ini berdampak terhadap strategi pemerintah dan seniman dalam menyingkap ideal-ideal yang ada di benak warga? Juga perubahan politik ruang macam apa yang terjadi dari praktik-praktik warga, negara, dan seniman?
When state power is no longer centralized in the hands of the authoritarian regime of Indonesia’s New Order, the practices of public empowerment thrived. The government, in the one hand, continues to organize art and cultural programs for the public. In the view of some activists and artists, those programs tend to have strong financial backing, but are often awkward in responding to public needs—sometimes without doing any preliminary studies about the public, relying solely on presumptions. On the other hand, more and more artists and activists implement what they think is vital for the common good by organizing community empowerment programs, providing the opportunity for the public to actively participate. On paper, the deficiencies on both sides present an opportunity for collaboration between governement and artists. In reality, such collaboration did occur, in parallel with several artists’ initiatives that choose to remain independent. This discussion is an opportunity to take a deeper look into this shift of the political climate of public empowerment. When the power structures are no longer seen as adversaries, how can the government and the artists adapt to this political breakthrough in their day-to-day practices? How do these changes impact the strategies of both parties in understanding the masses? What sort of changes in the politics of public space that have occurred from the practices of the public, the state, and artists?
Diskusi # 3 Eksperimentasi Lembaga Pendidikan Seni Rupa Experiments of arts education institutions 13 November 2013 / 15.00–18.30 Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki Pembicara / Speakers: Monika Irayati Irsan (pendiri / founder Erudio School of Art, Jakarta, Indonesia), Soesilo Adinegoro (pengurus / manager Sanggar Anak Akar, Indonesia),
Sujud Dartanto (kurator, pengajar / curator, lecturer: Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Indonesia),
Yuka Dian Narendra (peneliti / researcher: Center for Arts & Design – Surya University Research and Education Center, Indonesia).
Sampai sekarang, sistem pendidikan nasional belumlah tuntas diperdebatkan, sementara sistem yang berlaku sekarang dianggap tidak optimal dalam mengembangkan sumber daya manusia nusantara. Sebagian dari warga memilih untuk bersiasat—beberapa tahun belakangan, sejumlah komunitas dan individu bergiat menyediakan ruang-ruang pendidikan alternatif, tak terkecuali pendidikan seni rupa. Diskusi ini tidak saja menjadi kesempatan untuk mengetahui tantangan apa saja yang mereka hadapi dalam merintis jalur-jalur di luar sistem pendidikan formal, tapi juga untuk melihat kembali seberapa efektif eksperimen-eksperimen yang sudah dilakukan untuk edukasi seni rupa. Turut hadir dalam diskusi, sejumlah pelaku pendidikan di institusi formal. Menarik untuk mencari tahu seberapa jauh eksperimentasi dalam edukasi seni rupa bisa dipraktikkan, terutama dalam institusi formal? Kemudian, bagaimana inisiatif warga yang menyediakan pendidikan seni rupa alternatif bisa bertahan sekian lama dan diakui keberadaannya?
The national education system is a constant source of heated debates in our society. The existing system has too many times revealed its ineffectiveness in solving the problems of human resource development of this archipelago. Some people chose to get around this problem, and in recent years, a number of communities and individuals have taken up upon themselves to provide alternative spaces for education, art education no exception. This discussion is not only an opportunity to learn about the challenges they face in trailblazing new paths outside the formal education channels, but also to review the effectiveness of experiments that have been done so far in art education. This discussion invites several actors in the formal education sector. It is interesting to see to what extent the experiments in art education can be applied, especially in formal education institutions. It it is also interesting to see how such initiatives have been able to survive and be recognized for so long.
153
Tur Jakarta Biennale 17, 24, 30 November 2013 / 10.00
154
Tur Jakarta Biennale memberi kesempatan bagi siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum untuk bersama-sama menyaksikan karya-karya seni rupa kontemporer dalam Jakarta Biennale 2013: SIASAT. Dengan menggunakan bus khusus, peserta dapat mengunjungi Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta, Museum Seni Rupa dan Keramik, Cemara 6 Galeri, Galeri Salihara, termasuk sejumlah lokasi mural dan proyek seni rupa Jakarta Biennale lainnya di ruang publik Jakarta. Dalam tur yang dipandu oleh Direktur Festival, Direktur Artistik, dan para seniman ini, peserta mendapatkan penjelasan mengenai karyakarya, berikut cerita-cerita menarik di balik proses pembuatan karya. Acara ini gratis dengan jumlah peserta terbatas. Pendaftaran dapat dilakukan pada malam pembukaan Jakarta Biennale 2013: SIASAT pada 9 November 2013 atau dengan mengakses formulir pendaftaran pada situs jakartabiennale.net.
The Jakarta Biennale Tour gives the opportunity for students and the public to enjoy together the works of contemporary art in Jakarta Biennale 2013: SIASAT. Using a special bus, participants can visit the Basement Parking Space of Teater Jakarta, the Arts and Ceramics Museum, Cemara 6 Gallery, Galeri Salihara, including several mural locations and other Jakarta Biennale projects in Jakarta public spaces. In the tour guided by the Festival Director, Artistic Director, and artists, participants will get an explanation about the works, along with the interesting stories behind the process of the making. This event is free with limited number of participants.
Foto: Agung ‘Abe’ Natanael
Registration can be made at the opening night of Jakarta Biennale 2013: SIASAT on 9 November 2013, or by accessing the registration form at jakartabiennale.net.
155
Tur Siasat #1 17 November 2013 / 10.00–16.00 Dipandu oleh: Artistik/Festival Direktur Guided by : Artistic/Festival Director
10.00 Peserta berkumpul di depan pintu utama
Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki.
10.15–12.00 Perkenalan dan penjelasan mengenai
agenda tur. Menyaksikan karya-karya di Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta.
156
12.00–12.30 Istirahat.
12.30–12.40 Peserta berkumpul kembali di pintu
utama Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta.
12.40 Berangkat menuju Museum Seni Rupa dan Keramik.
13.40–13.45 Tiba di Museum Seni Rupa dan Keramik. 13.45–14.00 Menyaksikan karya-karya di Museum Seni Rupa dan Keramik.
14.00 Peserta berkumpul kembali di pintu
utama Museum Seni Rupa dan Keramik.
14.05 Persiapan menuju lokasi selanjutnya. Berangkat menuju lokasi mural Eko Nugroho.
15.00 Tiba di lokasi mural Eko Nugroho di
Terowongan RC Veteran, dekat Gerbang Tol JORR Veteran, Jakarta Selatan.
15.15 Berangkat menuju Taman Ismail Marzuki.
16.00 Tiba di Taman Ismail Marzuki. Acara tur berakhir.
10.00 Participants gather at the main gate of
Teater Jakarta Basement Parking – Taman Ismail Marzuki.
10.15–12.00 Introduction and explanation about the
tour agenda. Viewing the exhibition art at the Basement Parking of Teater Jakarta.
12.00–12.30 Break.
12.30–12.40 Participants gather again at the main gate of Teater Jakarta Basement Parking.
12.40 Departing for Fine Arts and Ceramics Museum.
13.40–13.45 Arriving at Fine Arts and Ceramics Museum.
13.45–14.00 Viewing works at the Fine Arts and Ceramics Museum.
14.00 Participants gather again at the main gate of the Fine Arts and Ceramics Museum. Preparing to go to the next location.
14.05 Departing for Eko Nugroho’s mural location.
15.00 Arriving at Eko Nugroho’s mural at RC
Veteran Tunnel, near Veteran JORR Toll Gate, South Jakarta.
15.15 Departing for Taman Ismail Marzuki.
16.00 Arriving at Taman Ismail Marzuki. Tour concludes.
Tur Siasat #2 A (Edisi Anak-anak / Children’s Edition)
Lokakarya SERRUM for KIDS / Khusus untuk siswa Sekolah Dasar SERRUM workshop for KIDS / Special for primary school students 24 November 2013 / 10.00-17.00 Dipandu oleh: SERRUM & Koordinator Program Ekskul Fair Guided by: SERRUM & Coordinator of Ekskul Fair Program
10.00 Peserta berkumpul di depan pintu utama
Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki.
10.15–12.00 Perkenalan dan penjelasan mengenai agenda tur. Peserta menyaksikan karya-karya di
Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta, kemudian mengikuti lokakarya yang dipandu oleh SERRUM.
12.00–12.30 Istirahat.
12.30 Peserta berkumpul kembali di pintu utama
Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta.
12.40 Berangkat menuju Museum Seni Rupa dan Keramik.
13.30–14.30 Tiba dan menyaksikan karya-karya
di Museum Seni Rupa dan Keramik,
dilanjutkan dengan mengikuti lokakarya membuat relief dari tanah liat.
14.30 Peserta berkumpul kembali di pintu utama
Museum Seni Rupa dan Keramik. Persiapan
14.35 menuju lokasi selanjutnya. Berangkat menuju Art1.
15.00 Tiba di Art1 dan peserta berkumpul di pintu utama ruang pamer.
15.05–15.30 Peserta diajak berkeliling melihat karya-
karya terpilih dari kegiatan ekstra kurikuler seni rupa sekolah-sekolah di Jakarta.
15.30–15.40 Berkumpul kembali di pintu utama Art1.
15.40 Berangkat menuju Taman Ismail Marzuki. 17.00 Tiba di Taman Ismail Marzuki. Acara tur berakhir.
10.00 Participants gather at the main gate of
Teater Jakarta Basement Parking – Taman Ismail Marzuki.
10.15–12.00 Introduction and explanation about the tour agenda. Viewing the exhibition at
the Basement Parking of Teater Jakarta, then attend the workshop guided by SERRUM.
12.00–12.30 Break.
12.30 Participants gather again at the main gate of Teater Jakarta Basement Parking.
12.40 Departing for Fine Arts and Ceramics Museum.
13.30–14.30 Arriving and viewing works of art at Fine Arts and Ceramics Museum, followed by a workshop to make clay reliefs.
14.30 Participants gather again at the main gate of the Fine Arts and Ceramics Museum. Preparation for the next location.
14.35 Departing for Art1.
15.00 Arriving at Art1 and participants gather at the main gate of the exhibition hall.
15.05–15.30 Participants take a look around to
view the selected works of fine arts
extracurricular program from schools in Jakarta.
15.30–15.40 Participants gather again at the main gate of Art1.
15.40 Departing for Taman Ismail Marzuki.
17.00 Arriving at Taman Ismail Marzuki. The tour concludes.
157
Tur Siasat # 2 B 24 November 2013 / 10.00–17.00 Dipandu oleh Direktur/Artistik Festival,Koordinator Self-Portrait Exhibition, Koordinator Pameran Pelicin. Guided by Festival Artistic/Director, Self-Portrait Exhibition Coordinator, Pelicin coordinator.
10.00 Peserta berkumpul di depan pintu utama
10.00
– Taman Ismail Marzuki.
10.15–12.00 Perkenalan dan penjelasan mengenai
10.15–12.00
158
Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta.
12.00–12.30 12.30
14.15 Menyaksikan pameran Self-Portrait
14.15–15.00 Exhibition di Cemara 6 Galeri.
Berangkat menuju Galeri Salihara.
15:00 Tiba di Galeri Salihara dan menyaksikan
17.00 Pelicin: Pameran Seniman Muda Jakarta.
Teater Jakarta. Break.
Participants gather again at the main gate of Teater Jakarta Basement Parking –
Berangkat menuju Cemara 6 Galeri.
12.40 Tiba di Cemara 6 Galeri.
Introduction and explanation about
exhibition at the Basement Parking of
Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta.
12.30 Peserta berkumpul kembali di pintu utama
Ismail Marzuki.
the tour agenda. Viewing works of the
agenda tur. Menyaksikan karya-karya di
12.00–12.30 Istirahat.
Participants gather at the main gate of
Teater Jakarta Basement Parking – Taman
Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta
12.40 14.15 14.15–15.00 15:00 17.00
Taman Ismail Marzuki.
Departing for Cemara 6 Galeri. Arriving at Cemara 6 Galeri.
Viewing the Self-Portrait Exhibition at Cemara 6 Galeri.
Departing for Salihara Gallery.
Arriving at Salihara Gallery and viewing Pelicin: Exhibition of Jakarta young artists.
Regulasi Tur Jakarta Biennale 1 Calon peserta perlu mengisi formulir pendaftaran secara online pada jakartabiennale.net atau mendaftar secara langsung pada malam pembukaan Jakarta Biennale 2013: SIASAT, 9 November 2013, di meja buku tamu. 2 Panitia akan mengkonfirmasi keikutsertaan peserta melalui e-mail / SMS / telepon, selambatnya 4 hari sebelum tur dimulai. 3 Panitia menyediakan fasilitas transportasi berupa bus dan konsumsi berupa makan siang.
4 Peserta yang berasal dari satu lembaga/institusi/kelompok, maksimal dapat mendaftarkan 5 orang anggotanya. 5 Peserta yang sudah terdaftar wajib mengikuti agenda yang sudah diberikan. 6 Panitia tidak mengikutsertakan pihak yang hadir langsung ke lokasi pameran, dan yang namanya tidak terdaftar dalam data peserta tur yang dimiliki panitia. 7 Disarankan untuk menggunakan transportasi umum pada saat menuju lokasi pertemuan. 8 Program ini gratis dan terbuka untuk siapa saja.
Tur Siasat # 3 30 November 2013 / 10.00–17.00 Dipandu oleh: Kurator/Seniman Guided by: Curator/Artists
10.00
Peserta berkumpul di depan pintu utama
10.00
10.15–12.00
Taman Ismail Marzuki.
Perkenalan dan penjelasan mengenai agenda
10.15–12.00
12.00–12.30 12.30–12.40 12.40 13.00 13.00–14.30 14.30–14.35 14.35 15.35 15.35–17:00 17:00
Istirahat.
Peserta berkumpul kembali di pintu utama
12.00–12.30 12.30–12.40
Tiba di Cemara 6 Galeri.
Menyaksikan pameran Self-Portrait
12.40 13.00
Exhibition di Cemara 6 Galeri.
13.00–14.30
pamer. Persiapan menuju lokasi selanjutnya.
14.30–14.35
Peserta berkumpul di pintu utama ruang
Tiba di Galeri Salihara.
14.35
Muda Jakarta di Galeri Salihara.
15.35
Menyaksikan Pelicin: Pameran Seniman Rangkaian tur diakhiri dengan menyaksikan
15.35–17:00
menjadi penutup perhelatan Jakarta Biennale
17:00
Hiburan Malam Minggu yang sekaligus 2013: SIASAT.
the Basement Parking of Teater Jakarta. Break.
Participants gather again at the main gate Taman Ismail Marzuki.
Departing for Cemara 6 Galeri. Arriving at Cemara 6 Galeri.
Viewing the Self-Portrait Exhibition at Cemara 6 Galeri.
Participants gather again at the main gate of the exhibition hall. Preparing to depart
Berangkat menuju Galeri Salihara sambil
melewati lokasi mural di sekitar Jakarta Pusat.
Introduction and explanation about the tour
of Teater Jakarta Basement Parking –
Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta. Berangkat menuju Cemara 6 Galeri.
Ismail Marzuki.
agenda. Viewing works of the exhibition at
tur. Menyaksikan karya-karya di Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta.
Participants gather at the main gate of
Teater Jakarta Basement Parking – Taman
Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta –
for the next location.
Departing for Salihara Gallery while passing mural locations around Central Jakarta. Arriving at Salihara Gallery.
Viewing Pelicin, the exhibition of Jakarta young artists.
Tour series end by the beginning of Saturday Night Entertainment that also concludes Jakarta Biennale 2013: SIASAT.
Jakarta Biennale Tour Regulations 1 Participants must fill an online registration form at jakartabiennale.net or register directly during the opening night of Jakarta Biennale 2013: SIASAT, on 9 November 2013, at the guest registration table. 2 Organizers will confirm the participation via e-mail/SMS/ phone at least four days prior to the tour. 3 Organizers will provide buses and lunch. 4 Institutional/group participants can register a maximum of 5 participants.
5 Participants who have registered must attend the arranged agenda. 6 Organizers will not take persons coming directly to the exhibition venues, or those who are not on the organizers’ list of tour participants. 7 It is suggested to use public transportation when going to the assembly location. 8 This program is free and open to all.
159
Lokakarya Workshop TAMAN BELAJAR FOTOGRAFI GRATIS FREE PHOTOGRAPHY LEARNING PARK bersama / with: Kelas Pagi 17 November 2013 / 09.00 – 21.00 Taman Langsat Jl. Langsat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
160
Sekolah fotografi tidak harus menguras isi tabungan. Sejak 2006, Kelas Pagi asuhan Anton Ismael telah beroperasi dengan gratis bagi masyarakat umum. Dalam kesempatan ini mereka mempersilakan masyarakat umum untuk mencicipi kegiatan mereka lewat bursa gratis keterampilan fotografi. Para murid Kelas Pagi “turun gunung” untuk berbagi ilmu dan tips. Mereka menempati sudut-sudut Taman Langsat dan saling berlomba menciptakan presentasi yang memikat audiens, mengoptimalkan berbagai media promosi. Siapa saja bisa mendatangi sudut-sudut yang diminati. Masingmasing menyajikan topik yang berbeda-beda sesuai apa yang ingin dibagikan pemilik “lapak” kepada masyarakat umum, baik tentang teknik fotografi maupun tips-tips yang tak boleh dilewatkan. Kelas Pagi adalah sekolah fotografi gratis yang didirikan Anton Ismael pada 2006. Muridmuridnya datang dari berbagai kalangan dan profesi, dari ibu rumah tangga hingga kuli bangunan; dari tiga orang pada kali pertama dibuka hingga 250 orang tiap angkatan. Waktu belajarnya pukul 6-9 pagi. Saat ini Kelas Pagi telah menghasilkan sejumlah fotografer profesional.
A photography school does not have to drain your savings. Kelas Pagi, under the guidance of Anton Ismael, has operated free of charge for the public since 2006. In this opportunity Kelas Pagi welcome the public to have a taste of its activities to hone photography skills. Students of Kelas Pagi will come down to share their knowledge and tips. They occupy the corners of Taman Langsat and compete to create presentations that appeal to the audience and optimize the various promotion media. Anyone can visit any corner of their liking. Each will present different topics Kelas Pagi’s students want to share, either photography techniques or tips that should not be missed. Kelas Pagi is a free photography school founded by Anton Ismael in 2006. His students come from all walks of life, from homemakers to construction workers; from three students when it first opened to 250 people per batch these days. The class is held from 6 to 9 every morning; today Kelas Pagi has produced several professional photographers.
KOMIK CURHAT KANTORAN OFFICE DIARY COMIC bersama / with: Abdulrahman Saleh 18 November 2013 / 17.00 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Puri Imperium Office Plaza UG 11–12, Jl. Kuningan Madya Kav. 5 – 6. Jakarta 12980 Terlalu banyak bekerja bisa menumpulkan kepala. Terlebih lagi di Jakarta, kota yang sudah pasti macet setiap jam pergi dan pulang kerja. Semakin sedikit waktu yang tersisa bagi warga untuk sekadar rehat dan merenung setelah terlalu banyak waktu dihabiskan di tempat kerja. Atas keresahan dan kegelisahan warga ini, Jakarta Biennale 2013 mengajak warga dan pekerja ibukota untuk menuangkan keluh di balik peluh sehari-hari dalam bentuk komik. Dipandu oleh seorang seniman komik kawakan, lokakarya ini menawarkan kesempatan untuk melepas penat selepas jam kerja, dengan cara mengkaryakan cerita dan uneg-uneg yang kawan-kawan hadapi di kantor dan tempat kerja.
All work and no play can make Joko bored, especially in Jakarta, where traffic jams are a fact of life during rush hours. There is not much time left for the people to just rest and reflect after spending too much time for working. In response to this unease and anxiety, the Jakarta Biennale 2013 invites workers of this city to confide their grievances into a comic. Guided by a renowned comic artist, this workshop offers an opportunity to loosen up after work, by turning grievances into stories of daily grind at the office and workplace.
SERRUM FOR KIDS bersama / with: SERRUM Dalam Tur Siasat #2 A – Edisi Anak-anak
24 November 2013 Kumpul mulai pukul 10.00 di depan pintu utama Gather at 10.00 at the main gate Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki. Pada Tur Siasat #2 A, Edisi Anak-anak, muridmurid sekolah dasar bisa menyaksikan karya seni rupa sambil bermain dan berkreasi. SERRUM, organisasi seni rupa yang didirikan oleh para alumnus Universitas Negeri Jakarta, mengajak murid-murid dari beberapa sekolah dasar di Jakarta untuk berwisata sambil mengapresiasi karya seni di dua lokasi pameran Jakarta Biennale 2013. Dalam lokakarya ini anak-anak diajak bermain tebak karya berhadiah. Mereka juga diajak untuk membuat relief dari tanah keramik, dengan bahan cetakan berupa gipsum, dalam berbagi bentuk: capung, kumbang, ikan, dedaunan, mobil-mobilan, yang setelah kering bisa dijadikan pin, bros, atau tempelan kulkas. Informasi selengkapnya tentang lokakarya ini, lihat Tur Siasat #2 A Edisi Anak-anak.
In Siasat Tour #2 A, Children’s Edition, primary school children can witness art works while playing and creating. SERRUM, an arts organization founded by alumni of the Jakarta State University, invites schoolchildren from several primary schools in Jakarta to go on a tour and appreciate works of art at two of the Jakarta Biennale 2013 exhibition locations. In this workshop, children are invited to play guess-anartwork game with prizes. They are also asked to create clay works of any shape they like: a dragonfly, beetle, fish, leaves, or cars, that can be used as brooches or fridge magnets. For more information about this workshop, see Siasat Tour #2 A Children’s Edition.
161
Hiburan Malam Minggu Saturday Night Entertainment 16 & 30 NOVEMBER 2013
2
162
1
3 1. Hightime Rebellion 2. Space System 3. Senyawa
Sebagai bagian dari rangkaian kegiatan JAKARTA BIENNALE 2013, Hiburan Malam Minggu hadir dua kali di dua lokasi pameran seni rupa yang dipresentasikan dalam Jakarta Biennale 2013. Hiburan Malam Minggu melibatkan para pemusik kontemporer lokal yang bersama-sama menyemarakkan kegiatan seni rupa dua tahunan ini lewat sebuah hiburan segar untuk warga kota Jakarta.
Hiburan Malam Minggu # 1 berlangsung pada Sabtu, 16 November 2013, di halaman Teater Jakarta, kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Program ini menghadirkan pertunjukan musik eksperimental di ruang terbuka, menyatukan konser musik dengan instalasi seni rupa dan video. Sederet pemusik lokal dipilih untuk tampil dan seorang perupa diundang untuk bekerja sama dengan kelompok mahasiswa arsitektur dalam merancang panggung serta merespons pelataran Teater Jakarta. Para pemusik tersebut merupakan talenta-talenta lokal yang berkarya dengan semangat eksperimental; menciptakan “bebunyian” baru melalui komposisi, pemanfaatan instrumen secara berbeda, permainan teknik remix, dan penggabungan elemen elektronik dengan elemen tradisional.
Hiburan Malam Minggu # 2 adalah pesta musik dan seni pada Sabtu, 30 November 2013, di Komunitas Salihara, salah satu kantong kegiatan budaya terpenting di Jakarta. Pesta ini terdiri atas tiga panggung. Panggung A menampilkan musik indoor, berlokasi di dalam ruangan Teater Salihara; Panggung B mementaskan musik outdoor dan menggelar area lantai dansa di Rooftop Salihara; sedangkan Panggung C merupakan area bazar seni. Hiburan Malam Minggu #2 bekerja sama dengan kelompok perupa muda untuk merancang suasana pesta di Teater Atap Salihara dan area bazar, juga berkolaborasi dengan kelompok seniman teater untuk merancang tata artistik di ruangan blackbox Teater Salihara. Semua kelompok musik yang tampil adalah band-band kontemporer dari beragam genre yang telah menuai pujian, baik berdasarkan cita rasa bermusiknya maupun keapikan penampilannya di atas panggung. Khusus pada kedua sesi Hiburan Malam Minggu ini, ruang pameran Jakarta Biennale 2013 dibuka lebih lama. Pengunjung bisa menikmati sajian musik dan visual, sambil melihat karya-karya seni rupa di ruang pameran hingga tengah malam.
As part of the JAKARTA BIENNALE 2013 series, Saturday Night Entertainment is to be held twice at two exhibition locations. Saturday Night Entertainment involves contemporary local musicians who together will liven up this biennial art event for the Jakarta public.
Saturday Night Entertainment # 1 is to be held on Saturday, 16 November 2013, at Teater Jakarta court, Taman Ismail Marzuki complex, Central Jakarta. This program presents an open-air experimental music show, enriching music concert with art and video installations. A range of local musicians are selected to perform and an artist is invited to work together with a group of architectural students to design the stage and respond artistically to the spatial features of the Teater Jakarta court. The musicians are local talents working with an experimental spirit; creating new “sounds” through peculiar compositions and different ways of using musical instruments.
Saturday Night Entertainment # 2 is a music show and party held on Saturday, 30 November 2013, at Komunitas Salihara, an important cultural enclave in Jakarta. There will be three stages. Stage A presents indoor music at the Salihara Theater; Stage B presents outdoor music and a dance floor at Salihara Rooftop; while Stage C will be occupied with an art bazaar. Saturday Night Entertainment #2 invites a group of young artists to create a jovial atmosphere at the Salihara Rooftop and bazaar area, along with a group of theater artists to design the artistic set in the blackbox hall of the Salihara Theater. All the music groups invited are contemporary bands hailing from different genres, that have been acclaimed for their musical tastes as well as their stage acts. During the Saturday Night Entertainment events, the exhibition halls of Jakarta Biennale 2013 will be open all night long. Visitors can enjoy musical and visual presentations, while seeing works of art until midnight.
Indra Ameng
Kurator Hiburan Malam Minggu
Curator of Saturday Night Entertainment
163
HIBURAN MALAM MINGGU SATURDAY NIGHT ENTERTAINMENT # 1 Musik eksperimental dan elektronik + instalasi arsitektural dan proyeksi visual Experimental and electronic music +architectural installations and visual projections Halaman Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki 16 November 2013 / 18.30–00.00
Panggung Eksperimental Experimental Stage Senyawa (Yogyakarta), Space System ( Jakarta) + Iswanto Hartono ( Jakarta) & kelompok mahasiswa arsitektur / architectural student group
164
Panggung Eksperimental menampilkan Senyawa dan Space System, para pemusik yang mengeksplorasi bunyi dari kombinasi bermacam instrumen unik. Mereka menawarkan “suara-suara” baru yang digali dari wilayah musik tradisional dan elektronik. Secara khusus perupa Iswanto Hartono diundang untuk bekerja sama dengan kelompok mahasiswa arsitektur demi merancang Panggung Eksperimental dengan merespons situasi ruang publik di halaman Teater Jakarta.
The Experimental Stage will present Senyawa and Space System, musicians who explore sounds from a combination of unique musical instruments. They offer new “sounds” explored from traditional and electronic realms. Special for this event, nationally-acclaimed artist Iswanto Hartono is invited to work with a group of architectural student design the Experimental Stage by responding to the public space situation at Teater Jakarta court.
Panggung Elektronik Electronic Stage Dangerdope ( Jakarta), Kracoon ( Jakarta), Terbujur Kaku (Surabaya) + Kelompok Visual Jalanan ( Jakarta) Panggung Elektronik menampilkan Dangerdope, Kracoon, dan Terbujur Kaku, para seniman musik elektronik yang memadukan bunyi serta visual bagai sebuah kolase, juga bermain-main dengan teknik remix dari berbagai sampel musik dan arsip audio. Di panggung ini Kelompok Visual Jalanan menciptakan karya visual dengan merespons musik yang dimainkan.
The Electronic Stage presents Dangerdope, Kracoon, and Terbujur Kaku, electronic music artists who combine sounds and visual as a collage, and performing remix techniques and a range of musical samples from various audio archives. On this stage, Kelompok Visual Jalanan creates visual works responding to the music performed.
HIBURAN MALAM MINGGU SATURDAY NIGHT ENTERTAINMENT #2 Musik + instalasi teatrikal + pesta + bazar Music + theatrical installation + party + bazaar Komunitas Salihara
Jl. Salihara No. 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan / South Jakarta 30 November 2013 / 17.00–00.00
Panggung Stage A: Teater Salihara Salihara Theater Kelelawar Malam ( Jakarta), White Shoes & The Couples Company ( Jakarta) + Kelompok Teater Miss Tjitjih ( Jakarta) Panggung A di dalam ruangan Teater Salihara menampilkan tontonan semi teatrikal. Kedua kelompok musik yang tampil mengusung jenis musik dan performa yang berbeda tapi samasama mengolah karakter artistik lokal yang khas. Mereka juga berkolaborasi dengan Kelompok Teater Miss Tjitjih yang legendaris.
Stage A at Salihara Theater presents a semitheatrical performance. The two music groups brings different types of music and performance by together they produce a distinctive local artistic character. They will also collaborate with the legendary Miss Tjitjih Theater Company.
Panggung Stage B: Teater Atap Salihara Hightime Rebellion ( Jakarta), Sentimental Moods ( Jakarta), Racun Kota ( Jakarta) Panggung B disemarakkan oleh tiga kelompok musik ibukota masa kini yang menghasilkan nada-nada dan irama dansa yang asyik. Stage B is levened up by three contemporary Jakarta music groups producing exciting rhythms and beats to dance to.
Panggung Stage C: Koridor Serambi Salihara Salihara Veranda Café Mondo DJ set: DJ Shunsuke, DJ AK 47 + bazaar Kelompok seniman muda dan mahasiswa membuka belasan stan yang menjual produkproduk seni dan cenderamata. Sekelompok DJ termasyhur ibukota yang berbasis di Café Mondo memeriahkan area ini dengan koleksi lagu-lagu terbaik dari masa ke masa.
Groups of young artists and students open dozens of stands, offering art products and souvenirs. A group of famous DJs from Café Mondo Jakarta will contribute to the excitement with a collection of best songs from different eras.
165
Program Satelit
166
167
168
TEMU KOMUNITAS Piknikasik
Pelataran Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki Acara memotret “Light on Site” bersama Nocturlight Bogor
Pelataran Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki Memotret bersama Nocturlight Bogor, I Light This (Jakarta), BULB (Bandung), dan Sparkling (Serang).
Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki Craft Day
Pelataran Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki PELICIN Pameran karya seniman muda Jakarta Galeri Salihara EKSKUL FAIR Art:1 New Museum, Art:1 SELF-PORTRAIT EXHIBITION Cemara 6 Galeri
169
Temu Komunitas Community Gathering 10, 16, 23, 30 November 2013 Pinknikasik Pelataran Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki 10 November 2013
Acara memotret “Light on Site” bersama Nocturlight Bogor Pelataran Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki 16 November 2013 / 18.00–20.00
Memotret bersama Nocturlight Bogor, I Light This (Jakarta), BULB (Bandung), dan Sparkling (Serang). Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki 23 November 2013 / 18.00–20.00
Craft Day Pelataran Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki 30 November 2013 / 10.00–18.00
170
Rutinitas dan absurditas kehidupan di Jakarta tak membuat warganya menyerah dalam keterasingan dan keabaian. Komunitas kerap menjadi jawaban, atau siasat, bagi mereka yang membutuhkan pelepasan atau aktualisasi diri sembari membangun kebersamaan. Berkat teknologi komunikasi masa kini, orang-orang yang memiliki minat atau fokus perhatian yang sama dapat saling menjamah dan menyatukan diri. Hingga terbentuklah wadah-wadah yang menyenangkan untuk berkegiatan bersama. Jakarta Biennale 2013 menyediakan ruang bagi komunitas-komunitas di Jakarta dan sekitarnya untuk beraktivitas dan memanfaatkan ruang publik bersama-sama, sekaligus untuk saling mempromosikan kegiatan kepada publik yang lebih luas. Ada Piknikasik, komunitas pecinta piknik, wadah bagi mereka yang mencari alternatif hiburan selain mal dan tempat perbelanjaan. Para anggota komunitas ini mengadakan piknik di pelataran Teater Jakarta pada 10 November 2013. Berikutnya, ada Nocturlight Bogor, kelompok pecinta fotografi yang mendalami teknik khusus lightgraphy, yaitu hasil pengembangan teknik low speed untuk menangkap efek gerak cahaya buatan. Komunitas ini mengadakan acara memotret bersama yang bertajuk “Light on Site” pada 16
November 2013 pukul 18.00–20.00. Lebih jauh lagi, Nocturlight Bogor juga mengajak komunitas fotografi lain, yaitu I Light This dari Jakarta, BULB dari Bandung, dan Sparkling dari Serang, untuk memotret bersama di ruang parkir bawah tanah Teater Jakarta pada 23 November 2013, pukul 18.00-20.00. Dua komunitas lain yang meramaikan Jakarta Biennale 2013 adalah Indonesian Walls dan Craft Day. Indonesian Walls merupakan wadah bagi para pemerhati street art yang giat menyebarkan informasi kepada masyarakat umum lewat internet. Para pecinta street art tersebut turut mempromosikan mural-mural para seniman peserta Jakarta Biennale 2013 kepada publik. Anda dapat mengikuti kabar mereka lewat akun Twitter @INA_Walls. Sementara itu, Craft Day, yang dirintis oleh Harjuni Rochajati dan Kedai Tjikini, adalah ajang kumpul-kumpul para individu yang giat menciptakan kerajinan tangan. Pada 30 November 2013, dari pukul 10.00–18.00, di pelataran Teater Jakarta, Craft Day menyelenggarakan bazar untuk memamerkan hasil karya para anggotanya, selain mengundang dua komunitas lain untuk berkontribusi. Dua komunitas tersebut adalah Nocturlight Bogor dan Card-to-Post, gerakan yang mempopulerkan kembali kartu pos melalui jaringan internet.
Pinknikasik Teater Jakarta Court – Taman Ismail Marzuki 10 November 2013
“Light on Site” with Nocturlight Bogor Teater Jakarta Court – Taman Ismail Marzuki 16 November 2013 / 18.00–20.00
Taking Pictures with Nocturlight Bogor, I Light This (Jakarta), BULB (Bandung), and Sparkling (Serang). Teater Jakarta Basement Parking – Taman Ismail Marzuki 23 November 2013 / 18.00–20.00
Craft Day Teater Jakarta Court – Taman Ismail Marzuki 30 November 2013 / 10.00–18.00
The humdrum and absurdity of life in Jakarta does not make its people give up alienated and apathetic. Communities often become the answer, or siasat, for them who need a release or ways to self-actualize while at very same time building a sense of togetherness. Thanks to current communication technology, people who have a common interest or focus can find each other and link up. Thus, all kinds of genial forums are created to do all sorts of things together. The Jakarta Biennale 2013 provides a space for communities in Jakarta and beyond to hold activities and use the public space together, and to promote each other’s activities to a wider public. There is Piknikasik, a picnic-loving community, a place for those who seek alternative entertainment besides malls and shopping centers. Members of this community hold a picnic at the Teater Jakarta court on 10 November 2013. Then, there is Nocturlight Bogor, a club of photography-lovers who specialize in the special lightgraphy technique, a development of low speed technique to capture the effects of moving artificial light. This community will hold a collective photo session titled “Light on Site” on 16 November 2013 at 18.00–20.00. Furthermore, Nocturlight Bogorwill also invite other photography communities,
I Light This from Jakarta, BULB from Bandung, and Sparkling from Serang, to take photos together at the basement parking space of Teater Jakarta on 23 November 2013, at 18.00-20.00. Two other communities that have joined the Jakarta Biennale 2013 crowd is Indonesian Walls and Craft Day. Indonesian Walls is a forum for street art watchers who actively disseminate information to the public over the internet. These street art lovers also help to promote murals made by artists participating in the Jakarta Biennale 2013 to the public. You can follow their news via @INA_Walls. Meanwhile, Craft Day, pioneered by Harjuni Rochajati and Kedai Tjikini, is a forum for individuals who love to create handicrafts. On 30 November 2013, from 10.00–18.00, at the Teater Jakarta court, Craft Day holds a bazaar to exhibit the fruits of their labor, inviting two other communities to contribute, Nocturlight Bogor and Card-to-Post, a movement aiming to popularize postcards again through the internet.
171
Ekskul Fair
23 November 2013 / 10.00–18.00 24 November 2013 / 10.00–16.00
Art:1 New Museum, Art:1 Jl. Rajawali Selatan No. 2-4 Jakarta Pusat T: +62 21 64700168, 64700156
172
Siswa-siswi sekolah menengah umum di Jakarta turut berpartisipasi untuk meramaikan Jakarta Biennale 2013 dalam Ekskul Fair. Program ini merupakan ajang bagi siswa-siswi sekolah menengah untuk tampil mengekspresikan diri, terutama bagi mereka yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler seni rupa di sekolah masingmasing. Bekerja sama dengan Art Invasion dan Erudio School of Art, Ekskul Fair menyelenggarakan lomba bagi siswa-siswi, baik dari sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas. “Jakarta 2030” adalah tema yang dipilih bagi para peserta. Sebagai calon-calon pemegang posisi penting di masa depan, para peserta diminta membayangkan solusi kreatif bagi persoalan-persoalan Jakarta pada 2030. Karyakarya yang terpilih dari tiap sekolah diseleksi dan ditampilkan, lalu yang terbaik dipilih oleh dewan juri dan pengunjung. Selain itu, Ekskul Fair juga menyelenggarakan lomba program ekstrakurikuler, yang pemenangnya berhak mendapat gelar sebagai program ekskul terkreatif. Ekskul Fair diharapkan menjadi jembatan antara medan sosial seni rupa Indonesia dan remaja di Jakarta pada umumnya. Di antara kegiatan yang populer bagi remaja, dunia seni rupa termasuk yang tak banyak diketahui akibat langkanya akses dan sosialisasi yang baik. Minimnya infrastruktur dalam permuseuman memperburuk kondisi itu. Dengan adanya Ekskul Fair, siswa-siswi sekolah dipersilakan untuk mencicipi ranah seni rupa Indonesia yang sudah selayaknya mereka akrabi.
Public highschool students in Jakarta also participate to celebrate the Jakarta Biennale 2013 in the Extracurricular Fair. This program is an arena for public highschool students to perform self-expression, especially for those who join extracurricular art activities in their respective schools. In cooperation with Art Invasion and Erudio School of Art, Extracurricular Fair organizes competitions for students, be it from junior high schools or high schools. “Jakarta 2030” is the theme selected for the participants. As future holders of key positions, the participants are asked to imagine a creative solution for Jakarta’s problems in 2030. The selected works from each school are chosen and displayed, furthermore the best are selected by the judge’s council and visitors. Aside from that, Extracurricular Fair also organizes an extracurricular program competition, whose winner is rightful of the title as the most creative extracurricular program. Extracurricular Fair is expected to become a bridge between the Indonesian art social ground and Jakarta teenagers in general. Among popular activities for teenagers, the world of art is one of the least known due to poor access and proper socialization. Minimum infrastructure in museums worsens the condition. With the existence of Extracurricular Fair, highschool students are welcomed to have a taste of art sphere which they should be familiar with.
173
Foto: Agung ‘Abe’ Natanael
Pelicin
Pameran seniman muda Jakarta JAKARTA YOUNG ARTISTS’ EXHIBITION Brian Suryajaya Gautama, Cut and Rescue (Aditya Fachrizal Hafiz, Angga Cipta, Mario Julius, Rafsan Yuwono, dan Syaiful Ardianto), Faisal R. Yeroushalaim, Ika Vantiani, Moch. Hasrul, Natasha Gabriella Tontey, Putri Ayu Lestari, Sulaiman Said PEmbukaan opening: 19 November 2013 / 19.00 Pameran Exhibition: 20–30 November 2013 Senin - Sabtu / Monday – Saturday: 11.00 – 20.00 Minggu / Sunday: 11.00 – 15.00 Galeri Salihara Jl. Salihara No. 16 Pasar Minggu Jakarta Selatan T: +62 21–789 1202 W: salihara.org
174
Dari pertengahan hingga akhir bulan November 2013 di Galeri Salihara, senimanseniman muda unjuk karya dengan berbagai eksperimentasi seni rupa mereka dalam satu tema: uang. Karya mereka mengajak kita untuk menilai kembali nilai kepemilikan dan harga sebuah benda, sekaligus melihat kembali apa saja yang rela dilakukan orang demi uang hingga menciptakan mitos-mitos maupun hal-hal mistik yang mewakili hasrat dan impian terhadap kekayaan. Tujuh individu dan satu kelompok seniman ini menunjukkan hasil eksplorasi mereka. Melalui karya instalasi videonya, Brian Suryajaya Gautama menunjukkan hasil pengamatannya terhadap perilaku anggota masyarakat tertentu, dengan bertolak dari sebuah ayat dalam kitab Injil, “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang.” (1 Timotius 6: 10). Berikutnya, kelompok seniman Cut and Rescue, yang terdiri atas Aditya Fachrizal Hafiz, Angga Cipta, Mario Julius, Rafsan Yuwono, dan Syaiful Ardianto, memanfaatkan aneka medium di bawah judul Rejeki Anak Soleh dan Uang Ghoib. Bersama-sama, mereka menelusuri siasat warga perkotaan, berikut mitos-mitos yang beredar, dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Sementara
From mid to late November 2013 at Salihara Gallery, young artists present their work with a variety of art experimentation under one theme: money. Their work invites us to reappraise the value of posessions and the price of objects, including taking another look at what people are willing to do for money, along the way creating myths or mysticisms that represent desires and expectations of wealth. Seven individuals and one group of artists present the result of their explorations. Through his video installation, Brian Suryajaya Gautama presents the result of his observation about the behaviour of certain members of society, with a Biblical verse as his starting point, “For the love of money is the root of all evil.” (1 Timothy 6: 10). Next, Cut and Rescue, an artist group, whose members include Aditya Fachrizal Hafiz, Angga Cipta, Mario Julius, Rafsan Yuwono, and Syaiful Ardianto, use diverse mediums under the title Fortune of a Pious Child and the Unknown Money. Together, they trace the strategies (siasat) of urban residents, along with their myths, to meet their economic needs. Meanwhile, Putri Ayu Lestari explores the work of a ‘3-in-1 jockey’, as part of the residents’ strategy to get around the one-car-three-
Brian Suryajaya Gautama Cashflow Quadrant 2013
Cut and Rescue (Aditya Fachrizal Hafiz, Angga Cipta, Mario Julius, Rafsan Yuwono, Syaiful Ardianto) Rejeki Anak Soleh dan Uang Ghoib The Fortunes of a Pious Child and the Ghostly Money 2013
175
Ika Vantiani Jinzhi Fanzine 2013
Natasha Gabriella Tontey Serba-serbi Uang All About Money 2013
176
itu, Putri Ayu Lestari mengeksplorasi pekerjaan joki 3-in-1, sebagai bagian dari siasat warga untuk mengatasi peraturan lalu-lintas tentang kawasan satu-mobil-tiga-penumpang. Karyanya berupa jurnal harian, video, timetable, dan objek temuan, dirangkaikan di bawah tajuk B 317 AN. Selanjutnya, ada Ika Vantiani dengan karya berjudul Palsu di Alam Baka Pangkal Kaya di Alam Fana, yang menyoroti tradisi pembakaran uang dan rumah-rumahan kertas dalam upacara penghormatan terhadap leluhur masyarakat Tionghoa. Persoalan itu disajikan dalam sejumlah instalasi rumah-rumahan. Di sisi lain, asuransi yang juga merupakan topik menarik dalam pengelolaan uang, dibahas oleh Moch. Hasrul dalam instalasi Kardussurance. Ia meminjam sistem yang berlaku dalam asuransi, tetapi kali ini barang yang diagunkan adalah kardus. Sementara itu, Natasha Gabriella Tontey lebih tertarik dengan kali pertama uang diperkenalkan dalam lingkup domestik. Ia membahas cara dan proses orangtua memperkenalkan uang kepada anak-anaknya, dan menampilkannya dalam bentuk buku ilustrasi, video, dan permainan interaktif, di bawah judul Serba-serbi Uang. Ketika yang lain lebih membahas fenomena uang di mata masyarakat, lain lagi dengan dua seniman terakhir. Sulaiman Said alias Kamengski, menampilkan Dana Tunai Cepat. Melalui karyanya, ia membuat sejumlah iklan baris maupun pesan pendek yang memarodikan aksi-aksi tipu-tipu sejumlah orang untuk memperoleh uang secara instan. Terakhir adalah Faisal R. Yeroushalaim dengan proyeknya yang berjudul PT. Tilep Jaya. Karya ini merupakan hasil kolaborasi dengan para pencuri. Ia mengajak orang-orang untuk memajang fotofoto barang hasil curian mereka di dalam situsnya, tilepjaya.tumblr.com. Ia juga meminta mereka untuk menyertakan alasan mencuri serta siasat mereka dalam mencuri, sebelum akhirnya mencantumkan harga barang tilepan tersebut menurut ukuran mereka sendiri. Semua barang itu kemudian dipamerkan kembali layaknya lapak barang bekas, lengkap dengan katalog harga jual buatan para partisipan atau “pencuri” itu. Dari pertengahan hingga akhir bulan November 2013, dalam bentuk karya-karya seniman muda, Galeri Salihara akan kebanjiran uang.
passengers traffic rule. Her work is presented as a daily journal, video, timetable, and discovered object, arranged under the heading B 317 AN. Then there is Ika Vantiani with her work Fake in the Afterlife Makes you Rich in the Mortal Life, which highlights money and the paperhouse-burning tradition in the ancestor tribute ceremony of Chinese society. She presents her case in a toy house installation. Insurance is another interesting topic in money management, addressed by Moch. Hasrul in his installation Cardboxsurance. He borrows the system that applies in insurance, but this time the indemnified goods are cardboxes. Meanwhile, Natasha Gabriella Tontey is more interested in how money gets introduced within the domestic scope. She talks about the ways and processes within which parents introduce money to their children, and displays this in her illustration book, video, and interactive game, under the title All About Money. While others discuss the phenomenon of money in the eyes of society, the last two artists are different. Sulaiman Said, or Kamengski, displays Instant Cash Fund. Through his work, he creates various classified ads that parody the deceitful acts people use to get instant money. Last is Faisal R. Yeroushalaim with his project PT. Tilep Jaya (Victorious Swindlers Corp.). This work is a result of a collaboration with thieves. He invites people to show off the photographs of goods they have stolen on his website, tilepjaya. tumblr.com. He also asks them to include the reason for stealing as well as their strategy to steal, before finally mentioning the price of the stolen object according to their own indicators. All of these goods are then exhibited as if they are secondhand goods, complete with a price catalogue made by the participants or “thiefs”. From mid to late November 2013, in the form of young artists’ work, Salihara Gallery is flooded with money.
Self-Portrait Exhibition
Pembukaan Opening: 23 November 2013 Pameran Exhibition: 24 November–7 Desember 2013 Cemara 6 Galeri JL. H.O.S. Cokroaminoto No. 9–11, Menteng, Jakarta Pusat
Self-Portrait Exhibition mengajak siapa saja untuk membuat karya visual melalui potret diri. Anda bisa ikut serta berimajinasi dan menafsirkan konsep potret diri secara bebas, melalui beragam medium seperti ilustrasi, lukisan, foto, video, desain grafis, dan lainnya. Setidaknya 500 karya terpilih akan ditampilkan dalam pameran ini. Seleksi karya dilakukan oleh Ade Darmawan, Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2013, dan Saleh Husein, seniman yang turut memamerkan proyek seni rupanya di ruang parkir bawah tanah Teater Jakarta.
Self-Portrait Exhibition invites anybody to create visual work through self-portraits. You could participate by imagining and interpreting the concept of a self-portrait through various mediums such as illustration, painting, photo, video, graphic design, and others. At least 500 selected works are presented in this exhibition. The exhibited works were curated by Ade Darmawan, the Executive Director of the 2013 Jakarta Biennale, and Saleh Husein, an artist whose art project is exhibited in the basement parking space of Teater Jakarta. 177
Untuk berpartisipasi, kunjungi www.amild.com. For participation, visit www.amild.com.
Menuju lokasi-lokasi pameran Jakarta Biennale 2013: SIASAT dengan angkutan umum
178
Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki Jl. Cikini Raya No. 73, Jakarta Pusat. 1 Gunakan Metromini 17 dari arah Manggarai
yang menuju Senen dan turun langsung di depan kompleks Taman Ismail Marzuki. 2 Anda bisa juga naik bus Kopaja 502 dari arah Kampung Melayu yang menuju Tanah Abang, turun di Hero Gondangdia di Jl. R.P. Suroso, lalu menyeberang jalan dan masuk ke Jl. Cikini II. Taman Ismail Marzuki ada di ujung jalan tersebut. 3 Jika Anda naik bus Transjakarta Koridor 1 (jalur Blok M–Kota atau sebaliknya), turun di Halte Bank Indonesia, lalu sambung dengan naik Kopaja 502 tujuan Kampung Melayu. Anda bisa turun tepat di depan Taman Ismail Marzuki. 4 Jika Anda menggunakan kereta Commuterline Bogor–Jakarta Kota atau sebaliknya, turun di Stasiun Gondangdia atau Stasiun Cikini. Lanjutkan dengan naik ojek/bajaj dengan ongkos sekitar Rp7.000–10.000.
Basement Parking Space of Teater Jakarta – Taman Ismail Marzuki Jl. Cikini Raya No. 73, Central Jakarta. 1 Take Metromini 17 from Manggarai to Senen
and get off at Taman Ismail Marzuki.
2 You can also take Kopaja 502 from Kampung
Melayu to Tanah Abang, getting off at Hero Gondangdia on Jl. R.P. Suroso, then cross the street and walk to Jl. Cikini II. Taman Ismail Marzuki is further down the street on your left. 3 If you take the Transjakarta Corridor 1 bus (Blok M–Kota vv. route), get off at Bank Indonesia stop, then continue on with Kopaja 502 to Kampung Melayu. You can get off right in front of Taman Ismail Marzuki. 4 If you take the Bogor–Jakarta Kota Commuterline train, get off at Gondangdia Station or Cikini Station. Continue with ojek (motor taxi) or bajaj (three-wheeler taxis like tuktuk). The fare would be around Rp7,000–10,000.
Directions to exhibition locations of Jakarta Biennale 2013: SIASAT using public transportation
179
Museum Seni Rupa dan Keramik Jl. Pos Kota No. 2, Jakarta Barat. 1 Gunakan bus Transjakarta Koridor 1 (jalur
Blok M–Kota atau sebaliknya), turun di Halte Transjakarta Stasiun Kota, lalu jalan kaki melintasi terowongan bawah tanah yang mengarah ke Stasiun Kota. Dari pintu keluar, masuklah kembali ke dalam Stasiun Kota. Jalan lurus menuju pintu di depan Anda (arah Utara). Terus jalan sepanjang Jl. Lada. Setelah pertigaan, Anda akan memasuki Jl. Pos Kota. Museum Seni Rupa dan Keramik akan berada di sebelah kanan Anda. 2 Anda bisa naik kereta Commuterline Bogor– Jakarta, turun di Stasiun Kota/Beos, keluar melalui pintu sebelah Utara. Selanjutnya ikuti petunjuk di atas.
Fine Arts and Ceramics Museum Jl. Pos Kota No. 2, West Jakarta. 1 Take the Transjakarta Corridor 1 bus (Blok M–
Kota vv. route), get off at Stasiun Kota Stop, then walk through the tunnel towards Stasiun Kota. From the exit, enter Stasiun Kota again. Walk straight towards the door right in front of you (Northward). Continue walking along Jl. Lada. After the intersection, you will enter Jl. Pos Kota. The Fine Arts and Ceramics Museum (Museum Seni Rupa dan Keramik) will be on your right. 2 You can take the Bogor–Jakarta Commuterline Train, get off at Stasiun Kota/Beos, get out through the North gate. Then follow the directions above.
Menuju lokasi-lokasi pameran Jakarta Biennale 2013: SIASAT dengan angkutan umum
180
Komunitas Salihara Jl. Salihara No. 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. 1 Gunakan Mikrolet 16 dari arah Kampung
Melayu tujuan Pasar Minggu. Anda bisa turun persis di depan Komunitas Salihara (300 meter setelah Universitas Nasional) di Jl. Salihara No. 16. 2 Anda bisa menggunakan bus Transjakarta Koridor 6 (jalur Dukuh Atas–Ragunan atau sebaliknya), turun di Halte Mangga Besar, lalu turun dari halte ke arah kiri. Lanjutkan dengan naik angkutan apa saja menuju Pasar Minggu. Turun di Balai Rakyat Pasar Minggu, belok kiri masuk Jl. Salihara. Lanjutkan perjalanan sampai Anda menemukan Komunitas Salihara di sebelah kanan Anda. 3 Jika Anda naik Metromini 75 jurusan Pasar Minggu–Blok M, turun di Balai Rakyat Pasar Minggu, lalu ikuti petunjuk nomor 3. 4 Jika Anda menggunakan kereta Commuterline Bogor–Jakarta atau sebaliknya, turun di Stasiun Pasar Minggu (jangan tertukar dengan Stasiun Pasar Minggu Baru), lalu sambung naik ojek dengan ongkos Rp5.000–7.000.
Komunitas Salihara Jl. Salihara No. 16, Pasar Minggu, South Jakarta. 1 Use Mikrolet 16 from Kampung Melayu to
Pasar Minggu. You can get off right in front of Komunitas Salihara (300 meters after Universitas Nasional) on Jl. Salihara No. 16. 2 You can use the Transjakarta Corridor 6 bus (Dukuh Atas–Ragunan vv. route), get off at Mangga Besar Stop, then exit the stop towards your side. Continue by any public transport towards Pasar Minggu. Get off at Balai Rakyat Pasar Minggu, and turn left to Jl. Salihara. Walk until you find Salihara on your right. 3 If you take Metromini 75, the Pasar Minggu– Blok M route, get off at Balai Rakyat Pasar Minggu, then follow direction 2 above. 4 If you take the Bogor–Jakarta Comuterline Train, get off at Pasar Minggu Station (do not confuse it with Pasar Minggu Baru Station), then continue by ojek (motor taxi) with the fare of Rp5,000–7,000.
Directions to exhibition locations of Jakarta Biennale 2013: SIASAT using public transportation
181
Cemara 6 Galeri Jl. H.O.S. Cokroaminoto No. 9–11, Menteng, Jakarta Pusat. 1 Naik bus Metromini 15 dari arah Semanggi,
turun di belakang gedung Sarinah, menyeberang ke Jl. Sumatera. Susuri jalan tersebut, kuranglebih 300 meter. Di ujung gang, berbeloklah ke kiri. Tak jauh dari situ, Cemara 6 Galeri ada di sebelah kanan Anda. Atau dari belakang gedung Sarinah itu, Anda bisa sambung dengan naik ojek/bajaj dengan ongkos sekitar Rp5.000–7.000. 2 Jika Anda naik bus Transjakarta Koridor 1 (jalur Blok M–Kota atau sebaliknya) turun di Halte Sarinah. Masuk ke pelataran parkir gedung Sarinah, terus hingga ke bagian belakang. Seberangi jalan, masuk ke Jl. Sumatera. Selanjutnya, ikuti petunjuk nomor 1. 3 Anda bisa menggunakan kereta Commuterline jurusan Bogor–Jakarta Kota atau sebaliknya, turun di Stasiun Gondangdia, jalan ke arah kiri menuju Jl. Johar. Susuri jalan tersebut hingga menemukan persimpangan. Belok kiri di samping Cemara Hotel lalu masuk ke jalan di sebelah kanan ( Jl. H.O.S. Cokroaminoto). Galeri 6 Cemara akan ada di sebelah kiri Anda.
Cemara 6 Galeri Jl. H.O.S. Cokroaminoto No. 9–11, Menteng, Central Jakarta. 1 Take Metromini 15 from Semanggi, getting
off behind Sarinah building, crossing to Jl. Sumatera. Follow that street, more or less 300 meter. At the end of the alley, take a left. Not far from there is Cemara 6 Galeri on your right. Or, from behind the Sarinah building, you can continue by ojek/bajaj paying the fare of around Rp5,000–7,000. 2 If you take the Transjakarta Corridor 1 bus (Blok M–Kota vv route) get off at Sarinah Stop. Go to the Sarinah parking lot, through to the backside. Cross the street, enter Jl. Sumatera. Then follow direction number 1. 3 You can also take the Bogor–Jakarta Kota Commuterline Train, getting off at Gondangdia Station, walk towards the left to Jl. Johar. Follow that road until the intersection. Turn left next to Cemara Hotel then enter the road on your right ( Jl. H.O.S. Cokroaminoto). Cemara 6 Galeri will be on your left.
Senin
Selasa
Rabu
4
5
6
11
12
13
November
182
WACANA: Diskusi #1 / Proyek Seni Rupa dan Gagasan Perubahan Sosial / Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta - TIM / 15.00-18.30
WACANA: Diskusi #2 / Spekulasi Ruang, Strategi Warga dan Negara / Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta - TIM / 15.00-18.30
WACANA: Diskusi #3 / Eksperimentasi Lembaga Pendidikan Seni Rupa / Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta - TIM / 15.00-18.30
Happening Arts KUNSTrePUBLIK Pasar Senen, Jakarta Pusat 11.11
18
19
20
PAMERAN: Museum Seni Rupa dan Keramik / Selasa - Minggu 11.00-15.00 / Senin dan hari libur nasional tutup PAMERAN: Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta / 11.00-20.00 PELICIN: Pameran Seniman Muda Jakarta / Galeri Salihara KOMIK CURHAT KANTORAN / Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia / 17.00
Kamis
Jumat
7
8
Sabtu
Minggu
9 PEMBUKAAN Jakarta Biennale 2013: SIASAT / Pelataran dan Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta - Taman Ismail Marzuki (TIM)
10 PERFORMANS: Melati Suryodarmo (Indonesia) / Taman Suropati / 15.00-17.00 PAMERAN: Museum Seni Rupa dan Keramik / Selasa Minggu 11.00-15.00 / Senin dan hari libur nasional tutup WACANA: Bincang Seniman / 14.00-17.00 Piknikasik / Pelataran Teater Jakarta - TIM PAMERAN: Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta / 11.00-20.00 Performans: Etienne Turpin (Kanada) / Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta TIM / 10.00
14
21
15
16
17
HIBURAN MALAM MINGGU #1 / Pelataran Teater Jakarta - Taman Ismail Marzuki / 18.30-00.00
TUR BIENNALE #1 / Tur Siasat #1 / 10.00 - 16.00
Memotret “Light on Site” bersama Nocturlight Bogor / Pelataran Teater Jakarta TIM / 18.00 - 20.00
Performans: Etienne Turpin (Kanada) / Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta - TIM / 10.00 / Pasar Burung Pramuka / 14.00 LOKAKARYA: Taman Belajar Fotografi Gratis / Taman Langsat / 09.00 - 21.00
22
23
24
PAMERAN: Museum Seni Rupa dan Keramik / Selasa - Minggu 11.00-15.00 / Senin dan hari libur nasional tutup PAMERAN: Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta / 11.00-20.00 PELICIN: Pameran Seniman Muda Jakarta / Galeri Salihara Memotret bersama Nocturlight Bogor, I Light This (Jakarta), BULB (Bandung), dan Sparkling (Serang) / Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta - TIM / 18.00 - 20.00
EKSKUL FAIR / Art: 1 New Museum / 10.00 - 18.00
TUR BIENNALE #2 / Tur Siasat #2 A Edisi Anak-anak dan Tur Siasat #2 B / 10.00 - 17.00. TEMU KOMUNITAS / TEMPAT / JAM LOKAKARYA: SERRUM for Kids / diadakan selama Tur Biennale #2A / 10.00 EKSKUL FAIR / Art: 1 New Museum / 10.00 - 16.00
SELF-PORTRAIT EXHIBITION / Cemara 6 Galeri / Pembukaan: 19.00
183
Senin
Selasa
Rabu
25
26
27
PAMERAN: Museum Seni Rupa dan Keramik / Selasa - Minggu 11.00-15.00 / Senin dan hari libur nasional tutup PAMERAN: Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta / 11.00-20.00 PELICIN: Pameran Seniman Muda Jakarta / Galeri Salihara SELF-PORTRAIT EXHIBITION / Cemara 6 Galeri
2 SELF-PORTRAIT EXHIBITION / Cemara 6 Galeri
184
3
4
Kamis
Jumat
Sabtu
Minggu
28
29
30
1
PAMERAN: Museum Seni Rupa dan Keramik / Selasa - Minggu 11.00-15.00 / Senin dan hari libur nasional tutup
Desember
PAMERAN: Ruang Parkir Bawah Tanah Teater Jakarta / 11.00-20.00 PELICIN: Pameran Seniman Muda Jakarta / Galeri Salihara SELF-PORTRAIT EXHIBITION / Cemara 6 Galeri
TUR BIENNALE #3 / Tur Siasat #3 / 10.00 - 17.00 Craft Day Pelataran Teater Jakarta - TIM / 10.00 - 18.00 HIBURAN MALAM MINGGU #2 / Komunitas Salihara / 17.00-00.00 / Penutupan Jakarta Biennale 2013: SIASAT
5
6
7
8
SELF-PORTRAIT EXHIBITION / Cemara 6 Galeri
185
186
Foto: Agung ‘Abe’ Natanael
187
Jakarta Biennale 2013 mengucapkan terimakasih kepada Jakarta Biennale 2013 are grateful to Rekanan Ruang Pamer Exhibition Space Partners Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail Marzuki Teater Jakarta Yudith Hasyim, Iwan Museum Seni Rupa dan Keramik Ika Prikasih Setyowati, Fabrianto Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Irvandiaz, ST. M.Si Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Fajar Muhamad Reza, Reina Camelia Pasar Palmerah Bapak Supandi, Bapak Sofyan PD. Pasar Jaya Krisna Bayu, Marnaek Manurung Setu Babakan Indra Sutisna Komunitas Salihara Ening Nurjannah, Dara Hanafi Cemara 6 Galeri Inda C. Noerhadi, Jay M. Syahmenan 188
Art 1 Martha Gunawan, Novi Kristiani Rekanan Budaya Cultural Partners Goethe Institut Katrin Sohns, Nadine Freischlad Institut Francais Indonesia David Tursz, Gaetan Aubaret, Happy Herawati, Dimas Jayasrana Lembaga Kebudayaan Betawi H. Tatang Hidayat SH., Rudy Haryanto Kedutaan Palestina Fariz Mehdawi Rekanan Komunitas Community Partners Art Invasion Laila Nurazizah, Taufik Akbar, Dyanti Adeline Card to Post Rizky Ramadhan Craft Day Harjuni Rochajati Erudia School of Art Monika Irayati, Marda Yuanita Forum Lenteng Indonesian Wall Fakhruddinn Rezi Kampung segart Nocturlight Bogor Wahyu Dwiputro Perkumpulan Pamflet Generasi Piknikasik Rahne Putri, Stephany Josephine, Indira Bayurini, Shasha Disya, Anita Rizky ruangrupa SERRUM
Sponsors
Pengisi acara Hiburan Malam Minggu
Sampoerna Regina Ayudya, Yuliawati, Danilla
Senyawa
Acer Richie Daft
Space System
Goods Dept Aklie Jumadie
Karinding Attack
Moskav Ade Muir
Dangerdope
Pacific Paint Dece Limeyani
Kracoon
San Miguel Nouvera Aprileni
Terbujur Kaku White Shoes & The Couples Company
Rekanan Media Media Partners
Kelelawar Malam
Antara Foto Hermanus Prihatna, Lavanda Wirianata
Racun Kota
ArtinAsia.com Karen Wong
Sentimental Moods
Berita Satu Media Holdings (Jakarta Globe,
Hightime Rebellion
Suara Pembaruan, Investor Daily, Berita Satu.com)
Café Mondo
Sari Kusumaningrum, Reancy Triashari,
Iswanto Hartono
Budiman Mulyadi
Visual Jalanan
Creative Disc Titas Permatasari
Teater Miss Tjitjih
Culture 360 Sali Sasaki, Valentina Riccardi Elle Decor Janto Wihardja, Karina
Flash Comm Miftakul Arief
Flink Kartika Lin, Adrian Kamagi
The Hangover House Yusar Odang,
Free Magz! Amien Prahadian
Alexander Widodo, Dede, Alex
Gatra Habib Asyhari, Stefanus Septamada
The Jaya Pub Keke Tumbuan, Ardi Airlangga
Info Jakarta Maha Zulkarnain, Via Anwar
Keluarga Bapak Maah Piye
Jakarta Beat Pry S
Keluarga Bang Mamu
The Jakarta Post Nona Belle, Anton, Marita Christina
OM Iler PMR alias Orkes Madun Irama Teler
JAX Magazine Andrey Pradana
Pengantar Minum Racun: Johnny Iskandar
Kinescope Muhammad Adrai, Reiza Patter
Pusaka Tiga Saudara
MagPro (Farrago & iCreate) Adi Wira Prijanto, Bunga Sirait
Tony Raka Gallery
Majalah Cobra Anggun Priambodo
Wisma Bumi Asih Dolorosa Sinaga
Market+ Bungawati, Dolly Lesmana Media Indonesia Rini, Shanty Nurpatria Metro TV Kioen Moe, Yongky MRA Print Group (Trax Magazine, CosmoGirl!, Esquire) Achmad Reddyansyah Muvila Gayatri Nadya Plasa MSN Ricky Kurniawan, Billy Koesoemadinata Provoke! Magazine Andriansyah, Dewi Republika Online Achmad Muchlis Rolling Stone Indonesia Riandika RuruShop Radio Hauritsa Satulingkar.com Shelda Alni, Edwin Nazir, Farida Indriastuti Sinar Harapan Akhirina Putri
189
Susunan panitia dan tim kerja jakarta Biennale 2013 Jakarta Biennale 2013 organizing committee
Jakarta City Government
JAKARTA BIENNALE 2013
Tourism and CulturE DEPARTMENT Executive Director Ade Darmawan director of Cummunity Empowerment Ghazali Ahmad
Secretary Vicky Rosalina
Manager of Human Resourches of Profesion
Finance Andike Widyaningrum
Sita Erna Gustini
Licensing Coordinator Angga Wijaya Licensing Staff Anita Bonit, Deddy Hendrawan
190
Jakarta Arts Council
Managing Director Nadia Assistant for Managing Director Maya
Chairman Irawan Karseno
Sponsorship Monika Irayati, N.D. Kumalashinta
Secretary Alex Sihar
Communication Director Vidhyasuri Utami
Head of General Affair Madin Tyasawan
Media Relations Agatha Veronica,
Head of Finance and Administration Irvan A. Noe’man
Iwan Setiawan, Titaz Permatasari
Head of Programme Helly Minarti
Social Media Ratih Islamiy Sukma
Head of Visual Art Committee Hafiz
Website Content Ibnu Rizal
Secretary Sarnadi Adam
Design & Layout Henry Foundation, Hauritsa
Member Inda C. Noerhadi,
Distribution Coordinator kampungsegart
Irawan Karseno, Irvan A. Noe’man Gathering & Tour Coordinator Ajeng Nurul Aini Gathering & Tour Crew Dian Lestari, Thema Isriarti Putri Discussion & Artist Talk Coordinator Perkumpulan Pamflet Generasi Hiburan Malam Minggu Coordinator Indra Ameng Assistant for Hiburan Malam Minggu Coordinator Thema Isriarti Putri Workshop Coordinator Bagasworo Aryaningtyas, SERRUM Ekskul Fair Coordinator Erudio School of Art & Vidhyasuri Utami
Artistic Director Hafiz Rancajale
Resource & Hospitality Harjuni Rochajati
Assistant for Artistic Director Vicky Rosalina
Volunteer Achmad Abuzar, Adam Harefah,
Production Coordinator M.G. Pringgotono
Agustia, Albert Darmawan, Anindita Apsarin,
Production Team Studio SERRUM
Aniq Tasia, Annisa Setia Pertiwi, Ardilla,
Research & Database Andang Kelana
Bunga Manggar, Danang Joewono, Debora Stefanie Hariyanto, Dian Wahyu, Dinda Dwiyandari,
Main Venue Coordinator Arief Rachman
Dwinita Mardiani, Emanuella Puspita, Euis Azizah,
Cultural Venue Coordinator Riksa Afiaty
Farah Dienna, Fathul Hilal , Gilang Anastasia, Hima,
Public Venue Coordinator Bagasworo Aryaningtyas
Khusnul Khotimah, Isrohmadi, Jessica Kristie, Kadek Tantriana, Leafy Oktria Anjangi, Linda Sakti,
Mural Project Coordinator Bujangan Urban
Lukman Anugerah, Maria Catarina Rosalia,
Pelicin Exhibition Coordinator Angga Cipta
Meithasari Pertiwi, Menur Annisa, Mufqi Harits,
Self-Portrait Exhibition Coordinator Saleh Husein
Mutiara, Nabila Juni, Nerissa Arvianna, Nurul Aini,
Adakah Seni di Antara Kita Coordinator Enrico Halim
Nuufurella K Pangastiti, Nyda Aulia, Rifkhi Triyaputra, Riska Davi Satriawan, Saleh Ardiansyah,
Publication Coordinator Ardi Yunanto
Sheridan Olenka, Sonia Sanny, Tegar Umbara,
Editor & Writer Adrian Jonathan Pasaribu,
Vita Normalasari. Wiendy Anggraeni Sofion,
Ninus D. Andarnuswari, Fitri Ratna Irmalasari
Yulia Febrina
Translator Miki Salman Proofreader Roy Voragen
Artist Assistant Alfi Rifaldi, Asep Topan,
Design Zulfikar Arief
Citra Leonita, David Valentin, Ery Seprizal,
Video Documentation Coordinator Ari Rusyadi
Gesyada Anissa Namora Siregar, Reza Syahputra,
Video Documentation Staff Dyantini Adeline,
Rishma Riyasa, Tulus VJK Hutadjulu,
Edo Tanjung, Patar P. Pribadi, Shirley Tamara,
Yoshiko Damanik
Sutradani, Yovista Ahtajida Photo Documentation Coordinator Ary Sendy Photo Documentation Staff Agung Natanael, Sonang Elyas
191
192
Jakarta Biennale 2013: SIASAT © Dewan Kesenian Jakarta, 2013 Pemimpin redaksi Editor in chief Ardi Yunanto Redaktur Editor Adrian Jonathan Pasaribu, Ninus D. Andarnuswari Penulis deskripsi karya seniman Writer for artwork descriptions Adrian Jonathan Pasaribu, Ninus D. Andarnuswari, Fitri Ratna Irmalasari Penerjemah Translator Miki Salman Penyelaras akhir bahasa Inggris Proofreader Roy Voragen Penyedia data Data gatherer Vicky Rosalina, Andang Kelana, Bagasworo Aryaningtyas, Riksa Afiaty, Bujangan Urban, Maya Sambutan Foreword Dr. Arie Budhiman, M.Si Pengantar Introduction Ade Darmawan Program Indra Ameng, Vidhyasuri Utami, Harjuni Rochajati, Perkumpulan Pamflet Generasi, Angga Cipta, Riksa Afiaty Desain Design Zulfikar Arief Fotografi sampul Cover photo Agung ‘Abe’ Natanael Fotografi Photography Ary Sendy, Agung ‘Abe’ Natanael, Sonang Elyas, Tegar Umbara, Ardila Thunggal (Tim Dokumentasi Fotografi Jakarta Biennale 2013: SIASAT) Desain peta Map designer Andang Kelana Logo Jakarta Biennale 2013: SIASAT Henry Foundation
Rekanan Ruang Pamer Exhibition Space Partners:
Rekanan Budaya Cultural Partners:
Rekanan Komunitas Community Partners:
Sponsor:
Rekanan Media Media Partners:
ABDULRAHMAN SALEH alias MAMAN Indonesia ACE HOUSE Collective Indonesia AGAN HARAHAP Indonesia akumassa Indonesia ANTON ISMAEL Indonesia ARTLAB Indonesia & KEG DE SOUZA Australia AWAN SIMATUPANG Indonesia BABI BADALOV Azerbaijan, Prancis CASCO Belanda DANURI alias PAK NUR Indonesia DAVY LINGGAR Indonesia EKO NUGROHO Indonesia ENRICO HALIM Indonesia ETIENNE TURPIN Kanada FINTAN MAGEE Australia FRANÇOISE HUGUIER Prancis GUNTUR WIBOWO Indonesia HO TZU NYEN Singapura ICARO ZORBAR Kolombia JATIWANGI ART FACTORY & TROTOARt Indonesia JIMMY OGONGA Kenya JULIA SARISETIATI Indonesia KHALED JARRAR Palestina KUNSTrePUBLIK Jerman Lifepatch Collaboration Indonesia LOST GENERATION Malaysia M.R. ADYTAMA PRANADA Indonesia MELATI SURYODARMO Indonesia MELLA JAARSMA & NINDITYO ADIPURNOMO Indonesia MIXRICE Korea Selatan MOELYONO Indonesia MUFTI PRIYANKA alias AMENK Indonesia NARPATI AWANGGA alias OOMLEO Indonesia NGUYỄN TRINH THI Vietnam PAUL MONDOK Filipina RIYAN RIYADI alias THE POPO Indonesia RIZKY ADITYA NUGROHO alias BUJANGAN URBAN Indonesia RULI BANDHRIYO alias LOVEHATELOVE Indonesia SALEH HUSEIN Indonesia SANGGAR ANAK AKAR Indonesia SEBASTIAN DIAZ MORALES Argentina SERRUM & DINAS ARTISTIK KOTA Indonesia TRANZIT Republik Ceska VISUAL ARTS NETWORK OF SOUTH AFRICA / VANSA Afrika Selatan WOK tHE ROCK Indonesia XU TAN China YUSUF ISMAIL feat. Labtek Indie Indonesia
Jakarta Biennale 2013: SIASAT Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki Jl. Cikini Raya No. 73, Jakarta Pusat, Indonesia T: + 62 21 319 37 639 / 316 27 80 / 398 99 634 F: + 62 21 319 37 639
www.jakartabiennale.net @jakartabiennale jakartabiennale2013 jakartabiennale