Diselenggarakan oleh Held by:
Atas dukungan Supported by:
Agung ‘Abe’ Natanael Farid Rakun JJ Rizal Reza Mustar Yuka Dian Narendra Yusi Avianto Pareanom
Redaktur Editors:
Ardi Yunanto & Ninus D. Andarnuswari
Agung ‘Abe’ Natanael Farid Rakun JJ Rizal Reza Mustar Yuka Dian Narendra Yusi Avianto Pareanom
BERKAS: Terbitan Berkala Jakarta Biennale © Dewan Kesenian Jakarta, 2013 Redaktur Editors: Ardi Yunanto & Ninus D. Andarnuswari Kontributor Contributors: Agung ‘Abe’ Natanael, Farid Rakun, JJ Rizal, Reza Mustar, Yuka Dian Narendra, Yusi Avianto Pareanom Penerjemah Translator: Miki Salman Penerjemah cerita pendek Short story translator: Dewi Anggraeni Desain Design Cover photo: Agung ‘Abe’ Natanael Diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta sebagai pendukung acara Jakarta Biennale 2013: SIASAT Cetakan pertama, November 2013, Jakarta, 1000 eksemplar.
Jakarta Biennale 2013: SIASAT Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki Jl. Cikini Raya No. 73, Jakarta Pusat, Indonesia T: +62 21 319 37 639 / 316 27 80 / 398 99 634 F: +62 21 319 37 639 www.jakartabiennale.net @jakartabiennale
jakartabiennale2013
jakartabiennale
Content
Pengantar
8
6
oleh by Ardi Yunanto & Ninus D. Andarnuswari
Jokowi dan Arsitektur Betawi 11 Jokowi and Betawi Architecture 19 esai oleh essay by JJ Rizal
Like, Share, Comment: Kreativitas, Warga Kota, dan Perubahan Sosial
Like, Share, Comment: Creativity, Citizen, and Social Change esai oleh essay by Yuka Dian Narendra Kartun oleh Cartoon by Reza Mustar
37
46
Fotografi oleh Photography by Agung ‘Abe’ Natanael
Surat Putus Kampungan 73 Kampung surat oleh letter by Farid Rakun
27
59
81
Muslihat Musang Emas dan Elena 113 The Golden Fox Trickery and Elena 121
cerita pendek oleh a short story by Yusi Avianto Pareanom
128 130
Tentang Para Kontributor About the Contributors Tentang Para Redaktur About the Editors
132
Jakarta Biennale 2013
134
Pengantar
6
Barangkali Jakarta memang kota telanjur. Hutan rimbun telanjur digantikan dengan hutan beton, kawasan resapan air telanjur dijadikan ladang bisnis hasil kongsi, lalu singkat kata: banjir merajalela. Atau, buruknya sistem transportasi umum selama puluhan tahun membuat penggunaan kendaraan pribadi tak terbendung: macet pun melanda hampir di setiap sudut kota. Dua itu saja, sudah cukup membuat foto macet dan banjir pantas dijadikan gambar kartu pos atau brosur pariwisata ibukota, tanpa perlu repot mengubah slogan bahasa Inggrisnya: Enjoy Jakarta. Tanpa pernah terurai tuntas, peliknya problem yang itu-itu saja selama puluhan tahun itu kemudian disiasati oleh warganya. Sebagian siasat warga itu dilakukan demi bertahan hidup, sebagian demi memanfaatkan celah-celah dalam sistem yang gagal memberikan kelayakan hidup bagi warga. Sebagian dianggap menimbun masalah baru, sebagian dianggap sebagai solusi. Sebut saja secara acak: kemacetan luar biasa melahirkan ojek, kurangnya ruang bermain anak melahirkan odong-odong, atau kurangnya ruang publik melahirkan komunitaskomunitas yang dipertemukan oleh media sosial. Segala persoalan menahun ibukota untuk sementara diatasi dengan solusi yang juga sementara dari warga, yang akhirnya berlangsung dalam jangka waktu lama sebagai praktik-praktik yang mapan dalam keseharian warga— budaya baru. Timbullah pertanyaan: apakah duo pemimpin Jakarta kita, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, yang akrab disapa Jokowi dan Ahok, dalam misi mereka untuk menyelesaikan persoalan kronis ibukota, akan mempertimbangkan sumbangsih siasat-siasat warga, terutama yang telanjur membudaya? Namun jika ada satu hal yang hal yang bisa ditekankan, itu adalah: pemerintah Jakarta mesti kembali dilihat sebagai sebuah lembaga. Dengan demikian, warisan rezim Orde Baru berupa kata “oknum” mesti dicermati kembali. Pada masa Orde Baru, seperti yang kita tahu, kata “oknum” sengaja digunakan untuk menyelamatkan citra lembaga pemerintah yang tak bisa mengontrol kelakuan buruk anggotanya. Pengertiannya: “oknum” adalah yang lain, bukan bagian dari lembaga. Maka, yang selama bertahun-tahun membiarkan para pedagang kaki lima berjualan di jalanan, pasar, maupun terminal, dan menarik pungli dari mereka, adalah “oknum”, bukan pemerintah. Melihat kembali pemerintah Jakarta sebagai sebuah lembaga berarti melihat bahwa “oknum” adalah bagian dari perwujudan kelembagaan di tengah-tengah masyarakat. Sebagai
lembaga yang membiarkan dirinya “diwakili” oleh “oknum” selama bertahun-tahun hingga menjadi sebuah ketelanjuran lain, pemerintah sama bersalahnya dengan semua pedagang kaki lima yang dianggap mengganggu ketertiban umum itu. Maka, usaha menyingkirkan “pengganggu ketertiban umum” demi alasan apa pun, perlu turut mempertimbangkan kesalahan silam pemerintah tersebut. Apalagi, siapa pun tahu, mengusir pedagang kaki lima dari sekitaran pasar jauh lebih mudah daripada, katakanlah, mengosongkan real estate maupun membongkar superblok-superblok di tengah kota, atau vila-vila di Puncak yang diizinkan oleh negara, yang keberadaannya jelas menyebabkan resapan air kota kian menipis dan banjir di ibukota semakin sering. Semua ketelanjuran di kota ini perlu diselesaikan dengan terlebih dulu mengurai banyak hal yang berkelindan. Demi tidak menghilangkan sepenuhnya, kalau tidak bisa disebut menghargai, siasat-siasat yang hidup dan telanjur membudaya di keseharian warga Jakarta dan turut membentuk identitasnya. Dan apakah peran sebuah terbitan yang mendaku membicarakan Jakarta, dengan tema Siasat, dari perhelatan Jakarta Biennale 2013 dengan tema yang sama? Ketika Jakarta Biennale telah berkembang sebagai pembacaan berkelanjutan atas kota, maka buku ini menawarkan dirinya sebagai sebuah catatan tentang kota; bahan tinjauan untuk melihat tanpa tergesa, untuk tidak larut dalam siklus ketelanjuran tanpa henti. Di dalamnya, dimuat bahasan persoalan kota dalam konteks luas kebudayaan, yang rencananya terbit setiap kali Jakarta Biennale diadakan. Melibatkan kontributor yang mewakili semangat dan fokus Jakarta Biennale, buku ini memosisikan diri sebagai media yang mewadahi gagasan-gagasan kritis dalam pembacaan dan investigasi atas berbagai fenomena kota terkini. Edisi perdana ini tampil ramping. Para kontributor mewakili ragam format karya media cetak, yaitu esai, surat, cerita pendek, kartun, dan fotografi. Bersama-sama, mereka memanfaatkan potensi media cetak, media yang memungkinkan informasi dihadirkan dan diserap tanpa lepas dari bingkai dan latar yang utuh. Akhir kata, selamat membaca.
Ardi Yunanto & Ninus D. Andarnuswari
7
8
Perhaps Jakarta is indeed a telanjur1 city. A jungle of trees is telanjur replaced by a jungle of concrete. Catchment areas have telanjur-ly been turned into business fields, and the result: widespread flooding. Or, bad public transportation system neglected for decades has led to an explosion in private vehicle ownership, and the result: traffic jams choking all corners of the city. Just those two are enough to make traffic jams and flooding as pictures on postcards or the city’s tourism brochures, without the need to change the English slogan: Enjoy Jakarta. Without unraveling, the difficult problems, the many telanjurs, have been coped with and addressed by Jakarta’sresidents. Some such solutions are devised in order to survive, some to exploit the gaps in a system that has failed to provide proper living for its residents. Some are said to just bury old problems, while others are considered solutions. Just to name a few: the incredible traffic jams have given rise to ojeks (the motor cycle taxis), the lack of playgrounds have brought about the odong-odong, the street carousels-on-wheels, or the lack of public spaces have created communities that were enabled by social media. All these chronic problems of the capital city in the interim have been addressed by no-less interim solutions from the people, which then last for a long time and become established practices in the people’s daily lives—new cultures. Then the question arises: will the dear duo leadership of Jokowi and Ahok, who have set out to resolve these problems, also consider the contributions these public solutions have made to the city, especially those that have established themselves in the city’s culture? But, if there is one thing to be emphasized here, it would be: seeing the government of Jakarta as an institution again. That way, the term oknum,2 a legacy of the New Order regime, must be reconsidered. During the New Order, as we know, the term oknum was intentionally used in order to save the image of government institutions which were incapable to control bad behavior of its agents. The meaning: oknum is the other, not part of the institution. Then, the ones who had for years allowed extortion from street vendors vending on the streets, markets, terminals are oknum and not the government officials. Seeing anew the government of Jakarta as an institution means that oknum is part of the manifestation of the institution amidst society. As an institution which has let itself be “represented” by the oknum for decades until it became another ketelanjuran, the government
The word ‘telanjur’ (adv, adj, n) has no equivalent in English. It refers to a condition where something has taken place and nothing can be done anymore to undo the resulted situation. Ketelanjuran is also used to refer to the noun form. 2 “Oknum” refers to rogue elements. 1
is as culpable as all the street vendors considered to disrupt public order. So that efforts to get rid off the “disrupters of public order” for any reason must also consider the past liabilities of the government. Especially, anyone knows, evicting street vendors from around the markets is so much easier than, say, evacuating real estates or tearing down the superblocks in the middle of the city, or the villas in Puncak that have been allowed by the state, whose existence has clearly reduced the water catchment area inevitably causing frequent floods in the city. All of the ketelanjuran in this city must first be resolved by disentangling the many things that are entangled. For the sake of not completely eliminating all, if not to say appreciate, the various copings and solutions that exist and are ingrained in the daily culture of Jakartans, which contributes to their identity. And what is the role of a publication that claims to talk about Jakarta, under the theme of Siasat, of this Jakarta Biennale 2013 festivity with the same theme? Since the Jakarta Biennale has developed into a continuous reading of the city, this book presents itself as a note; a material for review, to see without having to rush, and not be carried away in the cycle of unending ketelanjuran. Inside are considerations about city problems within a wide context of the culture; to be published each time the Jakarta Biennale occurs. Involving contributors who represent the spirit and focus of the Jakarta Biennale, this book positions itself as a media which accommodates critical ideas in the reading and investigation of the various city phenomena today. This first edition is quite slim. The contributors represent a variety of print media formats, i.e. essays, a short story, a cartoon, and photography. Together they make use of the print potential, a medium that allows information to be presented and absorbed without being cut off from an intact frame and background. Finally, enjoy your reading.
Ardi Yunanto & Ninus D. Andarnuswari
9
10
Jokowi dan Arsitektur Betawi esai oleh
JJ Rizal
Bagaimanakah sebaiknya mendiskusikan niat Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang disampaikan dalam pertemuan dengan para arsitek di Jakarta pada 22 Desember 2012 ihwal urgensi pembangunan gedung dengan arsitektur Betawi di kota Jakarta? Pada 27 Juni 2013, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) menyikapi niat gubernur yang akrab disapa Jokowi itu dengan menggelar diskusi “Identitas Kota Jakarta”. Jika menelaah pemberitaan, hasilnya adalah kegamangan—kalau tidak dapat disebut kebingungan. “Lebih tepat bila Jakarta tidak hanya menerapkan arsitektur khas Betawi, namun juga arsitektur Nusantara,” kata arsitek Achmad Noerzaman. Jadi tidak tepat arsitektur Betawi dipatenkan sebagai identitas Jakarta. Tidak ada urgensinya juga. Pendapat ini diamini perwakilan Pemda DKI Jakarta, Poernomo Singgih, “Sulit menginterpretasikan identitas Jakarta dalam bangunan. Arsitektur Betawi itu kalau diatur dengan sangat rigid akan mematikan kreatifitas.” Pada 11 November 2013, seminar serupa diadakan Suku Dinas Kebudayaan Kota Administratif Jakarta Barat. Meskipun dihadiri perwakilan organisasi budaya Betawi seperti di pertemuan IAI sebelumnya, pertemuan itu tetap belum memberikan inspirasi nilai arsitektur Betawi. Celakanya, berhembus berita Jokowi pun jadi ikut bimbang, tepatkah menerapkan arsitektur Betawi pada kota Jakarta yang tidak hanya milik orang Betawi? Maka, berdengunglah kembali apa yang sering dinyatakan oleh arsitek Eko Budihardjo pada 1980-an: betapa pentingnya menyikapi ide tentang arsitektur yang beridentitas tradisi sebagai tantangan untuk melakukan vernacular revival, dalam arti bukan melulu sekadar sibuk mencerap wadah fisiknya, melainkan, yang lebih penting lagi, justru falsafah, tata nilai, dan makna lambang-lambang tradisionalnya yang tidak kasat mata. Seperti apa? Misalnya, yang menyangkut tatakrama ruang atau peletakan massa bangunan dan komposisinya yang terkait pada norma serta kepercayaan yang dianut orang Betawi. Dengan kata lain, ide arsitektur Betawi seharusnya lebih merupakan diskusi untuk menemukan sistem pengetahuan lokal (local knowledge system) yang berakar pada kearifan lokal (local wisdom) dan pranata
Betawi dalam esai ini mengacu kepada masyarakat yang membentuk kebudayaan di wilayah yang secara geografis lebih luas daripada wilayah administrasi DKI Jakarta saat ini. Wilayah tersebut meliputi Bekasi, Sawangan, bahkan sampai ke Gunung Putri dan daerah pinggiran Citarum. Keberadaan kebudayaan Betawi terbentuk melalui proses sejarah yang panjang, dari masa prasejarah yang dibuktikan dengan penemuan arkeologis di sepanjang aliran sungai Ciliwung, kemunculan kekuatan agama Islam dan Tionghoa, kedatangan orang Eropa, urbanisasi dan penyerahan kedaulatan Republik Indonesia 1949, lalu memuncak pada masa pemerintahan Jakarta oleh Gubernur Ali Sadikin (19661977) di era rezim Orde Baru, serta masa Jakarta dikuasai kekuatan modal pada 1980-an.
11
BERKAS
12
ilmiah (scientific institution) sebagai penunjangnya. Dengan memanfaatkan rekayasa mutakhir, ide arsitektur Betawi itu dapat dijadikan siasat agar Jakarta keluar dari maut. Mengapa maut? Sebab, semakin santer saja para pakar pengamat Jakarta bicara betapa ibukota Republik Indonesia ini tengah berada dalam bahaya kehancuran ekologis akibat krisis kawasan hijau, yang akibat nyata dan langganannya adalah banjir. Bahaya itu bisa saja kita sandingkan dengan ancaman maut gempa bumi dan tsunami yang setiap saat bisa terjadi di Kota Kobe dan kota-kota lain di Jepang. Tetapi jika ancaman itu membuat pemerintah Jepang terpanggil untuk menggali kearifan arsitektur tradisional (folk architecture) yang lentur terhadap gempa, mengapa ide arsitektur Betawi tidak juga dikembangkan untuk menangkal banjir dan bencana ekologis lainnya? Bukankah sejarawan Restu Gunawan sudah pula meriset tentang banjir sebagai bahaya maut paling tua di Jakarta? Dan ia menyimpulkan bahwa pengendalian banjir Jakarta dengan cara struktural dan nonstruktural saja tidak cukup, harus juga dikembangkan arsitektur Betawi di dalam permukiman yang berupa rumah panggung. Adalah benar rumah panggung arsitektur Betawi merupakan kompromi terhadap alam Jakarta, yang menurut istilah orang Betawi “kampungnye aer”, tetapi apakah itu saja siasat yang diwariskan sistem pengetahuan lokal arsitektur Betawi? Ada pantun dari khasanah dunia lama Betawi, terutama yang berada di Jakarta Selatan: “Dari Kampung Limo ke Sawangan, jalannye adem matahari kealingan, bikin rumah bukan permaenan, cuman tida kepanasan tida keembunan.” Seperti pada umumnya tradisi suku bangsa di Indonesia, pantun tersebut menandaskan bahwa rumah buat orang Betawi memang bukan sekadar wadah fisik. Tidak pula melulu ihwal bentuk atap, struktur, atau massa bangunan saja, tetapi lebih-lebih suatu konsep ruang. Sedangkan konsep ruang itu berkait erat dengan kekhasan dan prilaku orang Betawi. Orang Betawi dibentuk oleh alam Jakarta yang lahir bersama banjir dari hujan tropis 5000 tahun lalu yang mengikis punggung pegunungan vulkanik Salak dan Gede. Air itu membentuk sungai-sungai yang membawa tanah ke laut, lantas berangsur-angsur jadi dataran endapan lebar yang landai dengan danau-danau, rawa-rawa, dan hutan tropis. Penemuan arkeologis masyarakat purba di Jakarta, yang banyak berlokasi di tepian sungai, menjelaskan bahwa orang Betawi adalah masyarakat sungai yang mengembangkan kemampuan bercocok tanam. Mayoritas nama tempat di Jakarta yang identik dengan pohon bahkan hutan dan air— Jatipadang, Utankayu, Kampung Rambutan, Pedurenan, Tanjungbarat, Telukgong, Rawagatel, Pulomas—bukan saja pengingat masa lampau Jakarta, tetapi juga berkait erat dengan kekhasan dan prilaku orang Betawi yang berpandangan bahwa alam menguasai manusia dan manusia integral dengan alam. Maka, ruang dalam arsitektur Betawi sebenarnya berperan untuk memenuhi fungsi-fungsi manusia dalam alam serta tunduk pada hukum-hukumnya. Tak heran jika setiap individu Betawi mempunyai berbagai kewajiban terhadap alam. Simbol ukiran yang disebut bebulan di atas pintu masuk rumah Betawi menegaskan arti penting siklus alam yang harus diperhatikan oleh manusia jika tidak ingin bahla atau celaka. Sebaliknya, jika manusia selaras dengan alam maka, “Menang biji menang papan” alias mendapat keuntungan berganda. Alhasil ruang terbuka di dalam konsep arsitektur Betawi menjadi subjek yang memiliki identitas sendiri, bukan hanya sebagai pendukung dari objek rumah di tengahnya. Rumah adalah aset yang dikelilingi aset-aset lain yang bahkan jauh lebih berharga daripada rumah itu sendiri secara material maupun kultural. Kebun pribadi misalnya, mendominasi halaman rumah karena pepohonan buah-buahan dan obat-obatan adalah aset paling berharga yang mengandung nilai material sekaligus spiritual.
Jokowi dan Arsitektur Betawi esai oleh JJ Rizal
“Puhun gempyok tempat neduh, batang koat peranti begantung,” begitu ungkapan khas petani buah Betawi. Artinya, kebun bukan sekadar pelindung dari iklim, penjamin sirkulasi sekaligus pemberi kualitas udara yang baik, serta penghasil buah-buahan sebagai sumber pendapatan, melainkan juga suatu medium untuk memahami bagaimana manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan alam. Bahkan yang terakhir ini dikuatkan dengan kepercayaan orang Betawi, “Orang mati itu tidak sama dengan kedebongan pisang.” Maknanya, ruh seseorang tetap hadir di lingkungan rumah keluarga tempat ia pernah hidup. Oleh karena itu, orang Betawi mengutamakan mengubur jenazah keluarganya di pekarangan rumahnya sendiri. Tidak aneh jika kemudian sering terdengar patut-patut alias tatakrama Betawi: “Kencing jangan sembarangan, puhunan ade penunggunye.” Ini boleh jadi ungkapan gaibiyah Betawi, tetapi cobalah percaya bahwa pohon adalah ruang leluhur, dan lingkungan pepohonan ini memberi jaminan ketenangan sebab secara batiniah seseorang senantiasa mendapat perlindungan leluhur yang berada tak pernah jauh. Betapa tipis batas ruang dalam dengan ruang luar dalam arsitektur Betawi. Dalam tata ruang rumah Betawi, apa pun jenisnya—gudang, bapang/kebaya, joglo—ruang yang terbesar adalah dapur. Ini terkait dengan pola konsumsi penghuninya yang dibentuk oleh alam lingkungan yang menyediakan aneka kebutuhan makanan. Maka, jika kita buka Kamus Bahasa Melayu Betawi nyatalah betapa banyak istilah untuk kegiatan yang berkaitan dengan makan, mulai dari dahar, gegares, sampai ngelebok, yang biasanya ditutup dengan cuci mulut atau makan buah-buahan. Bahkan, di luar kegiatan makan pagi, siang, dan malam dikenal juga aneka waktu untuk kegiatan mengudap, seperti mindo, nyahi, ngegahwa. Makan pagi, siang, dan malam menunya pun berbeda-beda. Ini dapat dilakukan karena kebun di sekitar rumah adalah ruang bagi aneka jenis pohon produktif, termasuk bumbu-bumbuan dan obat-obatan. Pohon obatobatan ini dalam arsitektur Betawi dijadikan pagar yang tidak kaku dan tegar, sohor disebut pager puhun. Dari pager puhun berupa pohon saga, sirih, teleng, lahirlah obat-obat khas untuk sariawan, demam, atau batuk. Dari dapur dan kebun yang kaya itulah lahir pengetahuan pengobatan, juga kuliner khas, seperti sayur kembang duren, sayur sambel godog, nasi goreng kunyit daun mengkudu, sambel masak goreng asem; juga aneka sambal, semisal sambal gandaria, sambal limo, serta jenis-jenis asinan dan manisan. Dengan demikian dapat dipahami ketika F. de Haan di dalam bukunya yang tersohor Oud Batavia mengungkapkan bagaimana ia menyaksikan ruang arsitektur Betawi. Arsiparis ini menyatakan, banyak rumah di kampung-kampung di Batavia pada 1920-an dikelilingi kebun dan halaman yang ditanami sayur serta buahbuahan. Keadaan ini tak banyak berubah pada 1970-an, manakala
13
Dahar adalah bahasa tinggi Betawi yang berarti “makan”. Kata gegares dan ngelebok yang merupakan bahasa rendah Betawi, memiliki arti yang sama. Mindo adalah bahasa Betawi yang berarti “menghabiskan sisa makanan”. Sementara nyahi berarti “minum teh kala sore sambil ditemani kudapan”, dan ngegahwa berarti “minum kopi dengan ditemani kudapan”.
BERKAS
Bentuk rumah Betawi dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan struktur atapnya. “Rumah Gudang” memiliki denah segi empat yang memanjang dari depan ke belakang dengan atap berbentuk pelana, maupun perisai. Sementara atap pelana pada “Rumah Bapang/Kebaya” berbentuk pelana yang tidak penuh. Bagian tengah atap pelana pada Rumah Bapang agak mematah dan melandai ke dua sisi luar rumah. Bentuk ketiga rumah Betawi adalah “Rumah Joglo” yang berdenah empat persegi panjang beratap gaya gunung, atau joglo, di bagian tengahnya. Atap joglo merupakan pengaruh arsitektur Jawa pada arsitektur rumah Betawi. Bedanya tidak seperti rumah joglo di Jawa Tengah, tiang-tiang penopang struktur atap joglo pada arsitektur Betawi tak menjadi patokan langsung bagi pembagian ruang pada denah.
Rumah Gudang
Rumah Bapang
Rumah Joglo
14
Kebun Buah-buahan
Ilustrasi rumah-rumah Betawi di antara berbagai pepohonan buahbuahan di perkampungan Betawi di Condet.
Pola tapak rumah di Balekambang, Condet. Sumber: Ismet B. Harun, Hisman Kartakusuma, Rachmat Ruchiyat, dan Umar Sudiarso, Rumah Tradisional Betawi (Dinas Kebudayaan Pemda DKI Jakarta, 1991).
Jokowi dan Arsitektur Betawi esai oleh JJ Rizal
Lea Jelinek melakukan riset di daerah Kebon Kacang yang kemudian dibukukan menjadi The Wheel of Fortune: The History of Poor Community in Jakarta. “Ibu Cia orang Betawi asli, rumahnya yang berlantai tanah dikelililingi oleh kebun sayur, pohon buah-buahan dan ada kolam ikan, kandang ayam juga kambing,” ungkap Jelinek. Ditambahkannya bahwa sebagian hasil kebun itu dikonsumsi sendiri dengan para tetangga, lainnya dibungkus lantas dijual ke Pasar Tanah Abang atau dijajakan keliling kampung. Asep Suryana yang mempelajari sejarah petani buah-buahan Betawi di Pasar Minggu secara tidak langsung menjelaskan bagaimana ruang arsitektur orang Betawi yang guyub dengan alam itu mengilhami pemerintah kolonial menjalankan usul H. van Breen pada 1918 tentang perlunya membangun kawasan hijau di selatan Batavia sebagai siasat mencegah banjir sekaligus sebagai penyedia pasokan buah-buahan di kota. Lebih jauh pada 1938, nilai kawasan hijau perkotaan ini bukan saja dikuatkan tetapi juga diluaskan sebagai acuan bagi kota-kota di Jawa melalui dokumen Toelichting op de “Stadsvormingsordonantie Stadsgemeenten Java” (memorandum penjelasan tentang “Dekrit Perencanaan untuk Kota-kota di Jawa”). Meski sempat surut pada zaman Jepang, fungsi arsitektur Betawi di Pasar Minggu pada 1950-an dikuatkan kembali terkait rujukan Rencana Induk Jakarta. Walikota Sudiro bersama ahli tatakota Kenneth Waits dari PBB menyusun rencana itu agar kebun pribadi dapat menjadi kategori terbesar dalam upaya membuat sabuk hijau Jakarta demi mencegah banjir, sekaligus menciptakan resapan dan penampungan air. Mobilisasi masif berhasil meluaskan pertumbuhan rumah kebon di Pasar Minggu. Tidak aneh jika pada 1962, Bing Slamet mendendangkan lagunya yang sohor: “Pepaya, mangga, pisang, jambu dibeli dari Pasar Minggu”. Lagu ini bukan saja suatu dokumentasi zaman ketika buah lokal Jakarta jadi tuan di rumah sendiri, tetapi juga zaman ketika pemerintah sukses mendorong partisipasi warga secara besar-besaran untuk membuat lingkungan hijau yang produktif. Meskipun pada saat yang bersamaan di tengah kota Sukarno sedang giat-giatnya melaksanakan mimpinya sebagai arsitek dengan mengubah lingkungan arsitektur Betawi menjadi kawasan hijau kota, sebagai dukungan simbolik terhadap upayanya membangun karakter bangsa melalui pendirian monumen dan kompleks olahraga. Di tengah kota Jakarta itu, Ali Sadikin, yang disebut sebagai kado perpisahan terbaik Sukarno bagi Jakarta, memang sudah sukar melihat keberadaan arsitektur Betawi, tetapi di selatan ia masih melihat hal itu. Terdorong sebagai Gubernur Jakarta yang tengah mencari identitas budaya kotanya, ia pada pertengahan 1970-an menetapkan Condet—tidak jauh dari Pasar Minggu—sebagai daerah cagar budaya Betawi. Sadikin bahkan membuat ketetapan hukum terkait rumah-rumah berarsitektur Betawi di Condet dan pemanfaatan lingkungan sekelilingnya. Dengan begitu ia memiliki jaminan yang lebih kuat bukan hanya terkait pasokan buah-buahan, melainkan yang jauh lebih penting lagi terkait pemanfaatan arsitektur Betawi sebagai benteng pemertahanan kawasan hijau di selatan kota dalam upaya menanggulangi banjir dan menyaring pasokan air minum untuk Jakarta. Namun, ketika Sadikin menengok Condet, daerah Pasar Minggu sesungguhnya tengah berubah drastis lantaran perangsekan tentara Angkatan Darat. Setelah proyek Trikora Sukarno selesai, mereka tidak meninggalkan wilayah itu sebagai area latihan perang, tetapi malah membangun kompleks perumahan dan bahkan markas Yon Zipur. Pembangunan itu ditambah lagi dengan adanya perumahan Departemen Pertanian dan kebun binatang, sebelum akhirnya menjadi lahan spekulan karena difungsikan sebagai daerah permukiman penyangga Jakarta pada akhir 1970-an, mengikuti perencanaan Jabotabek yang menekankan saling ketergantungan antara Jakarta dengan daerah-daerah di sekitarnya. Hampir bersamaan, Tommy dan Bambang, anak-anak Soeharto, ikut membuat kompleks perumahan dengan
15
BERKAS
16
fasilitas lapangan golf di daerah Sentul dan Hambalang, yang meliputi 11.000 hektar. Condet pun menyusul mengalami hal yang sama. Tercatat pada 1991 di Condet tinggal bersisa tujuh rumah arsitektur Betawi. Bagaimana hendak bertahan jika spekulan telah membuat harga tanah meroket melampaui keuntungan yang bisa didapat dari bertani buah? Alihalih mendorong atau mensubsidi pemertahanan arsitektur Betawi dengan ruang hijaunya, malahan rimbun pohon yang bernilai lingkungan hidup tinggi dituding sebagai sarang hewan berbisa, hama tikus, dan nyamuk mematikan. Sebagai gantinya pemerintah mendorong kecenderungan ke arah estetika kota dengan menyarankan pengadaan taman dengan tanaman rumput dan bunga yang dipangkas rapi. Demikianlah tekanan demografis yang semakin tinggi terhadap kawasan hijau dan pertarungan antara penggunaan tanah untuk kebun buah-buahan dan perkotaan. Penyusutan arsitektur Betawi berarti pula penyusutan zona hijau di bagian selatan Jakarta. Provitabilitas ekonomi mendikte kawasan hijau berubah menjadi perumahan, bahkan hutan-hutan pegunungan di selatan Pasar Minggu dan Condet tinggal berupa kapling besar tanah kosong investasi yang menghilangkan kemampuan Jakarta untuk bertahan. Kota diperluas nyaris tanpa bertujuan melestarikan kawasan hijau. Kota jasa berjaya ketimbang kota hijau dan kata orang Betawi saat itulah “kampung pohon” dan “kampung air” telah diambil alih manusia, menjadi kampung manusia. Bencana ekologi telah dimulai dari pinggir Jakarta dan berdampak parah dari segi ekonomi, juga segi kesehatan masyarakat, fisik maupun mental. Alhasil ketika master plan 1985–2005 mengungkap tentang rencana antisipasi banjir, maka Gubernur Suprapto yang saat itu memimpin Jakarta (1982–1987) menyatakan, “Sungguh berat menyelesaikan banjir dengan 6,5 juta jiwa penduduk Jakarta dan perkembangan wilayahnya yang kacau serta semena-mena terhadap daerah hijau.” Demikianlah kualitas lingkungan Jakarta merosot. Meskipun penurunan air tanah dan krisis air bersih serta banjir telah membuat pemerintah mengarahkan perluasan kota ke arah timur dan barat sepanjang pantai utara berdasar konsep Pantura, perluasan kota ke wilayah selatan tidak berhenti. Jakarta kemudian tidak siap mengantisipasi dan beradaptasi terhadap fenomena pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim, sehingga terjadi peningkatan curah hujan dan banjir yang menghebat, seperti yang mulai ditunjukkan pada 1996 dan tahun-tahun berikutnya. Sebaliknya, saat musim kemarau terjadi krisis air bersih. Siklus air telah rusak karena kawasan hijau dikikis jalanan aspal beton dan bangunan raksasa yang rakus menyedot air tanah. Akibatnya, intrusi air laut merusak keseimbangan hidrologis, menyebabkan permukaan air tanah menurun dan mutu air tanah merosot. Jakarta tidak punya kemampuan melunakkan suhu panas. Jakarta tidak mampu memperbaiki udaranya yang sangat kotor, tercemar, dan mengganggu kesehatan. Sirkulasi udaranya buruk dan penuh debu. Pada 1999 Jakarta pun dinisbatkan sebagai kota berkualitas udara terburuk ketiga di dunia. Penyakit infeksi saluran pernapasan akut sejak itu menduduki 10 besar penyakit yang paling banyak diderita penghuni Jakarta. Sumber kekacauan itu tentu dapat dirunut pada kegagalan perencanaan Jakarta. Pengembangan Jakarta mendurhakai konsep yang sudah digariskan dalam Toelichting 1938, Outline Plan Jakarta 1957, dan Rencana Struktur Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005 yang menekankan pentingnya penanaman pohon-pohon dan perawatan pemandangan alamiah Jakarta sebagai kawasan tropis yang hijau. Dalam konteks itu, arsitektur Betawi memainkan peranan yang muncul dari pengalaman panjang masyarakat yang hidup di wilayah yang lahir bersama banjir, yang mengembangkan sistem pengetahuan lokal untuk bertahan. Arsitekturnya mengenalkan konsep panggung, tetapi untuk menanggulanggi banjir dan efek pemanasan global serta perubahan iklim lainnya memang diperlukan langkah lebih jauh. Dan
Jokowi dan Arsitektur Betawi esai oleh JJ Rizal
itu telah dijawab dengan tata ruang cerdas untuk mengantisipasi, beradaptasi dan memitigasi masalah lingkungan. Arsitektur Betawi, seperti nama-nama tempat di wilayahnya yang identik dengan air dan pohon itu, adalah pengingat masa lampau Jakarta sekaligus inspirasi untuk membentuk masa depan Jakarta yang seharusnya dibangun dengan orientasi ruang yang luas bagi air dan pohon, sebuah arahan untuk menuju kota biru sekaligus kota hijau. Itulah arti urgensi arsitektur Betawi. Jadi bukan sekadar ornamen ragam hias lisplang gigi balang, langkan, atep bapang, atau gudang, melainkan bagaimana dengan rekayasa mutakhir pemerintah kota Jakarta beserta para arsitek mampu mengembangkan bangunan ramah lingkungan yang kini sohor disebut green building itu, dengan mencerap inspirasi dan kreativitas arsitektur Betawi. Inilah siasat yang harus dilakukan, menghidupkan kembali arsitektur Betawi yang bukan saja warisan sejarah, melainkan juga siasat pemertahanan kawasan hijau, yang telah mati oleh orientasi provitabilitas ekonomi dalam melihat ruang kota. Inilah tantangan supaya Jakarta selamat dari bahaya kehancuran ekologis yang sedang mengancam akibat krisis kawasan hijau. Mari, kita pinjam ungkapan yang lahir dari arsitektur Betawi itu sendiri: “Jendela ngablak tengah hari bolong”, jangan sia-siakan kesempatan sebelum semua tak tertolong.
Lisplang gigi balang adalah ornamen hias di pinggir atap rumah Betawi.
Langkan adalah pagar teras rumah Betawi.
17
18
Jokowi and Betawi Architecture essay by
JJ Rizal
How shall we discuss the intentions of Jakarta Governor Joko Widodo that he related during a meeting with architects in Jakarta on December 22 regarding the urgency of constructing buildings with Betawi architecture in Jakarta? On 27 June 2013, the Indonesian Architects Association (IAI) responded to the Governor’s intentions, affectionately called Jokowi, by organizing a discussion titled “The Identity of Jakarta”. Judging by the news, the results were ambivalent – if not to call it confused. “It would be more proper if Jakarta does not just apply Betawi traditional architecture, but also the architecture of Nusantara (the Archipelago),” said Achmad Noerzaman. It is not right to ‘patent’ Betawi architecture as the identity of Jakarta. There is also no urgency for it. This opinion was seconded by Poernomo Singgih, the representative of the DKI Jakarta Government: “It is difficult to interpret the identity of Jakarta into buildings. If you rigidly regulate Betawi architecture it will kill creativity.” On 11 November 2013, a similar seminar was organized by the Cultural Bureau of West Jakarta Administrative Municipality. Although attended by representatives of Betawi cultural organizations, like the previous IAI meeting, this meeting still could not come up with an inspiration about Betawi architectural values. And, alas, we hear news that even Jokowi himself is now in doubt. Would it be right to apply Betawi architecture to Jakarta that does not belong only to the Betawi? Thus we hear again the echoes of what architect Eko Budiharjo questioned in 1980’s: how important it is to respond to ideas about architecture that embody traditional identities as a challenge to do a vernacular revival, in the sense that we are not only preoccupied by merely recognizing its physical medium, but, more importantly so, the philosophy, values, and the significance of traditional symbols that are intangible. Like what? For example, those that deal with the etiquette of space or placement of the building mass and composition that pertain to norms and beliefs held by the Betawi. In other words, the idea of Betawi architecture should be more of a discussion to explore the local knowledge system that is rooted in local wisdom
Betawi in this essay refers to the people who form the culture in the region that is geographically wider than the current administrative region of DKI Jakarta. This region includes Bekasi, Sawangan, even to Gunung Putri and the banks of Citarum. The presence of Betawi culture is established through a long historical process, from prehistory as evidenced by the archaeological finds along the Citarum river, the appearance of Islam and the Chinese, arrival of Europeans, urbanization and the international recognition of the Republic of Indonesia’s sovereignty in 1949, peaking with Governor Ali Sadikin’s tenure (1966-1977) during the New Order regime, and the time of Jakarta controlled by the power of capital in the 1980’s. DKI Jakarta, or Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Special Capital Region of Jakarta), is the official name of the capital city of this country.
19
BERKAS
20
and scientific institution as its support. By applying contemporary ingenuity, the idea of Betawi architecture can be used as a siasat, a solution, to avert Jakarta from demise. A demise? Yes, because we hear, with ever more resounding alarm, experts and observers of Jakarta speak of how this capital city is in danger of an impending ecological disaster, of which floods that inundate this city with regularity are the most stark evidence. We may just compare this danger with the constant threats of earthquake and tsunami that may happen anytime in, say, Kobe or any other city in Japan. But if this threat moves the Japanese government to delve into the wisdom of local folk architecture that is resilient to earthquakes, why not develop the idea of Betawi architecture to prevent floods and other ecological disasters? Was it not the historian Restu Gunawan whose research shows that floods have always been the oldest historical danger in Jakarta? And he concluded that addressing floods in Jakarta by structural and non-structural means would not be enough, that Betawi architecture must be developed in residential areas in the form of houses on stilts. It is true that Betawi houses on stilts are a compromise for Jakarta’s natural environment, which, according to the Betawi was “kampungnye aer” (a watery village). But is that really the only siasat that can be passed on by the local architectural knowledge of the Betawi? There is this old rhyme from the Betawi olden days, especially those in South Jakarta: “Dari Kampung Limo ke Sawangan, jalannye adem matahari kealingan, bikin rumah bukan permaenan, cuman tida kepanasan tida keembunan.” (From Limo to Sawangan, the path is cool covered from the sun, building a house is no playtime, not just keeping cool or staying dry.) As is common in the tradition of the many peoples of Indonesia, this rhyme underscores that for the Betawi the house is not just a physical medium. It is not always a matter of the shape of the roof, structure, or the building mass only, but more so a concept of space. And the concept of space is intimately related with the traits and habits of the Betawi. The Betawi were shaped by the natural environment of Jakarta, a city born from the floods that came with the tropical deluge 5000 years ago that eroded the volcanic soil of Salak and Gede. That water then shaped the rivers that brought silt to the sea, and slowly became the expansive alluvial plains with lakes, marshes and tropical forests. The archaeological findings of ancient communities in Jakarta, many located along rivers, tell us that the Betawi are riparian people who identify themselves with trees, even forests, and water. Look at the placenames: Jatipadang (Teak Plains), Utankayu (Timber Forest), Kampung Rambutan (Rambutan Village), Pedurenan (Durian Groves), Tanjungbarat (West Cape), Telukgong (Gong Bay), Rawagatel (Itchy Marshes), Pulomas (Golden Island). They not only remind us of Jakarta’s past, but they are closely associated with the qualities and habits of the Betawi who see that nature controls humans and humans are an integral part of nature. Hence, space in Betawi architecture actually plays a role to fulfil human functions in nature and is subject to its laws. It is no wonder that every Betawi individual has a range of obligations to nature. The symbol bebulan (moon) carved over the doors into a Betawi house underscores the significance of the natural cycle that must be heeded by humans if they wish to avoid disaster. Conversely, when humans are in harmony with nature, “Menang biji menang papan” (win the move, win the board), meaning you gain multiple benefits. This means that open space in the concept of Betawi architecture is a subject that has its own identity, not only as a support of the house in the middle. The house is an asset surrounded by other assets that are even more valuable than the house itself, both materially and culturally. A private garden, for instance, dominates the front yard of the house because fruits and medicinal plants are among the most valuable assets that embody both material and spiritual values.
Jokowi and Betawi Architecture essay by JJ Rizal
“Puhun gempyok tempat neduh, batang koat peranti begantung,” (Gempyok tree a place to shelter, a strong trunk make strong instruments), another Betawi rhyme popular among fruit farmers. The garden does not just protect you from the elements, it ensures good circulation and gives you good air, not to mention the fruits as the source of livelihood, but also a medium to understand how humans are one with nature. And this last notion is further strengthened by Betawi belief, “Orang mati itu tidak sama dengan kedebongan pisang” (The dead are not like your banana stalk). Spirits, they believe, endure in the environment of the house where the person lived. That is why the Betawi make it a priority to bury their family in their house yards. It is no coincidence that we often hear about Betawi mannerism: “Kencing jangan sembarangan, puhunan ade penunggunye” (Thou shalt not piss anywhere, the trees have spirits). It may only be a Betawi superstition, but now try and imagine that trees are a space for spirits, and these arboreta provide tranquility because spiritually someone gets protection from the ancestors that are never too far away. Now, there is only a slight difference between indoor and outdoor space in Betawi architecture. In the spatial arrangement of a Betawi house, whatever it is— gudang, bapang/kebaya, joglo—the biggest room is always the kitchen. This is related to the consumption pattern of its inhabitants that is shaped by the natural environment that provides all the food needs. Hence, when we open the Kamus Bahasa Melayu Betawi (Melayu Betawi Dictionary), it becomes apparent how much of the vernacular pertains to food, from dahar, gegares, to ngelebok, which is then concluded with cuci mulut or eating fruits. Even, aside from breakfast, lunch, and dinner, the Betawi also recognize a variety of times for snacking, such as mindo, nyahi, ngegahwa. The breakfast, lunch, and dinner menus are diverse as well. This is possible because the garden around the house is a place for different types of productive vegetation, including spices and medicinal plants. The medicial plants in Betawi architecture are made as a flexible but strong fence, famously called pager puhun. From pager puhun composed of plants like saga (Adenanthera pavonina), sirih (Piper betle), teleng (Clitoria ternatea), medicines for thrush, fevers, or coughs are derived. This rich kitchen and garden gives birth to a rich body of knowledge on medicine, and unique culinary treats like sayur kembang duren, sayur sambel godog, nasi goreng kunyit daun mengkudu, sambel masak goreng asem; also a variety of sambal, like sambal gandaria, sambal limo, and various types of sweet and salted pickles. Hence we can understand how F. de Hann describes the Betawi architectural space in his famous book Oud Batavia. This archivist said that many houses in the kampungs of Batavia in 1920’s were surrounded by gardens and yards planted with vegetables and fruits. This situation did not change much in the 1970’s, when Lea Jelinek conducted research in Kebon Kacang and later turned it into a book,
21
Dahar is high Betawi language for “to eat”. Gegares and ngelebok are the low Betawi words with the same meaning. Mindo is Betawi for “finishing leftover food”. Nyahi means “having tea in the afternoon with snacks”, and ngegahwa means “having coffee with snacks”.
BERKAS
The shape of the Betawi house can be distinguished based on the shape and the structure of its roof. The Rumah Gudang has a rectangular footprint stretching from the front to the back with the roof in the shape of a saddle, or a shield. While the saddle roof of a Rumah Bapang/Kebaya is shaped as an incomplete saddle. The middle part of the saddle roof in a Rumah Bapang is a bit angled and slopes out to both sides of the house. The third shape of the Betawi house is Rumah Joglo, which has a rectangular footprint with a mountain-shape roof (joglo) in the middle part. The joglo roof is an influence from Javanese architecture on Betawi architecture. But unlike the joglo in Central Java, the pillars that support the joglo roof in Betawi architecture do not determine the division of the space in the blueprint.
Rumah Gudang
Rumah Bapang
Rumah Joglo
22
Fruit Gardens
Illustration of Betawi houses amidst fruit trees in Betawi kampungs in Condet.
Floorprint of a house in Balekambang, Condet. Source: Ismet B. Harun, Hisman Kartakusuma, Rachmat Ruchiyat, and Umar Sudiarso, Rumah Tradisional Betawi (Dinas Kebudayaan Pemda DKI Jakarta, 1991).
Jokowi and Betawi Architecture essay by JJ Rizal
The Wheel of Fortune: The History of Poor Community in Jakarta. “Ibu Cia is a native Betawi, her house with earthen floors is surrounded by vegetable gardens, fruit trees and there is a fish pond, chicken coop and goats too,” said Jelinek. She added that some of the produce were for her own consumption and shared with neighbors, while others are wrapped and then sold at Pasar Tanah Abang or peddled around the village. Asep Suryana, who studied the history of Betawi fruit vendors in Pasar Minggu, indirectly explained how the architectural space of the Betawi that is one with nature inspired the colonial government to apply the suggestion of H. van Breen in 1918 about the need to develop a green area to the south of Batavia as a way to prevent floods as well as to supply fruits to the city. Furthermore, in 1938, the value of urban green space was not only strengthened but also widened as a reference for other cities in Java in the document Toelichting op de “Stadsvormingsordonantie Stadsgemeenten Java” (an explanatory memorandum about “Planning Decree for Cities in Java”). Although it abated during the Japanese occupation, the function of Betawi architecture in Pasar Minggu in the 1950’s was reaffirmed in reference to the Jakarta Masterplan. Mayor Sudiro with the urban planning expert Kenneth Waits from the UN designed the plan so that private gardens can become the main category in the effort to create the Jakarta green belt to prevent floods, and to create water catchment and storage. This massive mobilization succeeded in expanding the growth of rumah kebon (garden houses) in Pasar Minggu. Hence we have the famous 1962 chacha sung by the child star Bing Slamet: “Pepaya, mangga, pisang, jambu dibeli dari Pasar Minggu” (Papaya, mango, banana, guava, bought in Pasar Minggu). This song does not just document the times when local Jakarta fruits were masters of their own domain, but also the time when the government successfully promoted the participation of its residents on a massive scale to create a productive green environment. Although at the same time Soekarno was actively realising his dreams as an architect downtown by transforming the Betawi architectural landscape into urban greenery, making it a symbolic support for his efforts to build the nation’s character through the development of a sports complex and monuments. In the middle of Jakarta, for Ali Sadikin, considered by many to be Sukarno’s best parting gift for Jakarta, it was difficult to find the presence of Betawi architecture, but in the south he was still able to see it. As the Jakarta Governor in search of his city’s cultural identity, in the mid-1970’s he established Condet—not far from Pasar Minggu—as a Betawi cultural reserve. Sadikin even passed a bylaw regarding houses with Betawi architecture in Condet and the use of the surrounding areas. That way he gained a stronger assurance, not only about the fruit supply, but more importantly about the use of Betawi architecture as the fortress to preserve green space in the city’s south in the effort to prevent floods and filter drinking water supply for Jakarta. But when Sadikin inspected Condet, Pasar Minggu area was in the midst of a drastic change thanks to landgrab by the Army. After Sukarno’s Trikora project concluded, they did not leave the area as their war training grounds, but went on to build a housing complex and even the headquarters of the Army Combat Engineers Battalion. On top of that, there was also housing development for the Department of Agricultural and the zoo, before the speculators took over as it was turned into a supporting residential zone for Jakarta in the late 1970’s, following the planning for Jabotabek, that emphasizes the interdependence of Jakarta and its surrounding areas. At almost the same time, Tommy and Bambang, the sons of Soeharto, partook in the housing developments and golf facilities in Sentul and Hambalang covering 11,000 hectares. Condet too experienced the same fate. Records show that by 1991 only seven Betawi houses remained in Condet. How can one survive when land speculators cause the price of land to skyrocket beyond the profits that one can gain from planting fruits? Rather than encouraging or subsidizing the preservation of Betawi architecture with its green space, this greenery with its rich environmental value was accused as the
23
BERKAS
24
nest for all things poisonous, rats, and deadly mosquitos. In its place, the government promotes urban aesthetics that proposes neatly manicured grass lawns and flowery plants. Such is the increasing demographic pressure to green spaces and the battle between land use for fruit gardens and urban-scape. The shrinking of Betawi architecture also means the shrinking of green zones in the south of Jakarta. Profitability dictates that green areas should be turned into housing, even the hilly forests to the south of Pasar Minggu and Condet are now big empty plots of land for investment that have undermined the ability of Jakarta to sustain. The city has expanded nearly without any vision to preserve green spaces. A service city is victorious over a green city and, as the Betawi would say, that will be the time when “kampung of trees” and “kampung of water” would be run over by humans, and become a kampung of humans. Ecological disaster has crept from the edges of Jakarta and has had a grave impact on the economy, as well as public health, physical as well as mental aspects. As a result, when the 1985-2005 master plan revealed the planning for flood controls, then Governor Suprapto (1982-1987) stated, “It is very difficult to solve floods with 6.5 million people in Jakarta and its messy spatial growth that disregards the green space.” Thus, the quality of Jakarta’s environment declined. Even though the drop in ground water tables, potable water crisis and floods have led the government to direct the expansion of the city to the east and west along the northern coast, the southward expansion did not stop. Jakarta was not ready to anticipate and adapt to the global warming phenomenon that has impacted the climate, with increased deluge and floods, as was demonstrated in 1996 and the years that followed. On the other hand, dry seasons brings about water crisis. The water cycle has been damaged because the green areas have been chipped away by asphalt and concrete and giant buildings that greedily suck up the ground water. As a result, seawater intrusion has disrupted the hydrological balance, caused land subsidence and a decline in water quality. Jakarta does not have the power to alleviate the hot temperature. Jakarta is incapable of fixing its dirty and polluted air that damages health. Its air circulation is bad and dusty. In 1999 Jakarta was annointed as the third worst city in the world in terms of air quality. Acute respiratory illenesses have risen up in the ranking of 10 deadliest illnesses suffered by Jakartans. The source of this mess can be traced with certainty to the failure of Jakarta’s planning. The development of Jakarta has been a treachery to the concept that was enshrined in Toelichting 1938, Outline Plan Jakarta 1957, and Spatial Structure Plan of DKI Jakarta 1985-2005, all of which emphasized the importance of planting trees and preserving the natural landscape of Jakarta as a green tropical city. In this context, Betawi architecture plays a role that stems from the long experience of the people who were born with the floods, who developed a system of local knowledge to survive. Their architecture introduced the concept of stilted
Jabotabek: acronym for Jakarta and its three surrounding suburbs, Bogor, Tangerang, and Bekasi.
Jokowi and Betawi Architecture essay by JJ Rizal
houses, but addressing floods and other effects of global warming and climate change require further steps. And that has actually been answered by an intelligent spatial planning to anticipate, adapt and mitigate environmental problems. Betawi architecture, like the placenames in the city that identify themselves with water and trees, is a reminder of Jakarta’s past as well as an inspiration to shape Jakarta’s future which should be built with an orientation of a wide space for water and trees, a direction towards a blue and, at the same time, a green city. That is the true significance of the urgency of Betawi architecture. It is not merely about the variety of decorative ornaments adorning the lisplang gigi balang, langkan, bapang or gudang roof. It is how the sophistication and ingenuity of the Jakarta city government and its band of architects are able to develop environmentally-sound buildings, by recognizing the inspiration and creativity of Betawi architecture. This is the siasat that must be taken, by resuscitating the Betawi architecture, which not only is an historical heritage, but a siasat to preserve green spaces that have been killed by the economic orientation of profitability in seeing the urban space. This is the challenge to salvage Jakarta from the ongoing ecological destruction due to a crisis of green space. Let us borrow another saying from Betawi architecture itself: “Jendela ngablak tengah hari bolong”, jangan sia-siakan kesempatan sebelum semua tak tertolong. (“Windows asunder and the sun is high”, let us not squander, lest we be doomed to die.)
Lisplang gigi balang is a decorative ornament along the roof edges of a Betawi house.
Langkan is the fence of the Betawi house terrace.
25
26
Like, Share, Comment: Kreativitas, Warga Kota, dan Perubahan Sosial esai oleh
Yuka Dian Narendra
Suatu hari saya datang ke acara bertajuk Indonesia Community Network (ICN) 2013 di Jakarta Convention Center. Acara yang diselenggarakan pada 28 September 2013 itu diikuti oleh bermacam organisasi dan perkumpulan, dan dibuka oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Menteri Komunikasi dan Informasi.1 Dalam bayangan saya, di sana saya akan menemukan profil berbagai komunitas yang aktif dalam produksi kultural baru. Ternyata saya salah besar. Seperti pameran produk industri pada umumnya, ajang tersebut hanya menampilkan produk dan kegiatan spesifik yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Mulai dari kelompok pemilik golongan darah yang dianggap langka, hingga kelompok pelindung satwa tertentu. Saya bingung dan mulai curiga. Bisa jadi cara pandang saya selama ini salah. Jangan-jangan justru sayalah yang keliru karena selama ini menganggap bahwa kelompok, organisasi, maupun klub peminat hal tertentu yang ada dalam acara itu bukanlah komunitas. Oleh karena itu, mungkin, saya juga salah ketika memaknai produksi kebudayaan yang ada dalam ajang itu sebagai semata komoditas alternatif dari industri besar. Atau, saya juga salah karena berharap bahwa aktivitas dari komunitas ini akan memiliki efek bola salju dan akan berubah menjadi gerakan sosial yang signifikan. Pada akhirnya telanjur berharap bahwa negara telah mengubah cara pandangnya mengenai kebudayaan dan artefak-artefaknya ke dalam konteks yang lebih luas daripada sekadar praktik ekonomi, adalah kesalahan terbesar saya. Saya jadi teringat dengan sebuah acara bertajuk Social Media Festival kedua yang diselenggarakan setahun sebelum ajang ICN 2013. Dalam festival itu, berbagai komunitas, klub, organisasi, hingga kaum pemodal tumpah ruah menjadi satu. Terjadilah pertemuan berbagai pihak yang diharapkan dapat memicu inisiatif dan inovasi baru seputar isu-isu kontemporer, dalam kemasan jargon “kreatif.” Saya sungguh terganggu dengan eksploitasi istilah “kreatif ” yang saya tengarai semakin meluas gaungnya sejak Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dibentuk oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009. Kreativitas menjadi kata kunci baru bagi negara untuk menjelaskan munculnya ranah ekonomi baru yang tidak dapat mereka jelaskan—dan juga kuasai. Menguasai arena investasi pasar modal mungkin lebih mudah bagi negara dibandingkan menjelaskan bagaimana toko fesyen alternatif berhasil mengakumulasi uang miliaran rupiah,2 atau bagaimana transaksi mainan dan barang-barang hobi secara online Lebih jauh tentang kegiatan ini, lihat tautan: http://indonesiakreatif.net/events/pre-event-indonesia-communitynetwork-2013/. 2 Bagi saya tidak perlu data statistik untuk memahami ini. Pergilah ke Bandung dan hitung sendiri berapa banyak distro (toko fesyen independen) yang berserakan. Pergilah ke festival metal dan hitunglah berapa banyak kaos band metal lokal yang diproduksi, baik asli maupun bajakan. 1
27
BERKAS
28
yang tidak kecil jumlahnya berjalan. Terlepas dari itu semua, tidak penting mempersoalkan siapa yang mengeksploitasi idiom “kreatif ” dan “kreativitas.”3 Persoalan mendasarnya adalah bagaimana penempatan konteks yang salah dari kreativitas hanya akan membuka ruang selingkuh baru antara kelompok pemodal dengan berbagai inisiatif publik tersebut. Saya melihat adanya kerancuan pengertian komunitas dan bagaimana relasinya dengan kreativitas. Seolah “komunitas” dengan “kreativitas” adalah dua hal yang selalu terkait. Seolah kegiatan ekonomi baru menjadi kreatif ketika digarap oleh “komunitas.” Kerancuan ini menjadi persoalan ketika negara melegitimasinya melalui keputusan Presiden tentang industri kreatif—berikut keempatbelas sektornya.4 Pertanyaan saya terhadap acara ICN 2013 itu: bagaimana hubungan keempatbelas sektor ekonomi kreatif itu dengan komunitas? Saya jadi bertanya-tanya apakah misalnya komunitas suatu merek motor, penggemar band, tokoh kartun, maupun pecinta binatang, dapat dianggap sebagai komunitas yang melakukan produksi makna-makna baru dalam kebudayaan? Apakah mereka hanyalah perkumpulan yang merayakan kesamaan-kesamaan baru secara kolektif ? Atau mereka sebenarnya sedang mengonstruksi habitus yang baru melalui konsumsi budaya populer?5 Dalam perspektif ilmu sosial, komunitas merupakan sekelompok manusia yang tinggal dalam lingkungan tertentu, baik desa, kota, negara, maupun wilayah, dengan kesamaan latar belakang identitas, baik ras, ideologi, dan agama.6 Warga Jakarta sejatinya adalah komunitas. Sementara, manusia yang bergabung berdasarkan minat dan kepentingan adalah kelompok, klub, atau apa pun itu. Meski di masa kini kebudayaan populer berhasil mereproduksi makna komunitas sebagai subkultur dari kebudayaan dominan tertentu, komunitas tetap saja tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah organisasi yang memiliki struktur baku.
Sungguh, sebenarnya tidak ada yang salah dengan menjelmanya kelompok penggemar menjadi komunitas. Ambil saja contoh geng pengendara skuter ekstrim, yang sering disebut sebagai vespa tikus, atau vespa gembel. Geng motor ini telah melampaui geng pemilik kendaraan bermotor roda dua merek Vespa. Mereka telah mampu mengapropriasi Vespa ke dalam konteks baru yang khas “Dunia Ketiga”: dari simbol urbanitas modern yang eksotik ciptaan Italia menjadi ekspresi estetik yang nyeleneh khas Indonesia.7 Terkadang vespa-vespa tikus itu sudah tidak berbentuk Vespa lagi, melainkan seperti gubuk beroda empat yang melaju dengan asap tebal. Maka jelaslah mana yang kelompok (penggemar atau pemilik Vespa) dan mana yang komunitas (pengendara vespa tikus). Transformasi kelompok penggemar menjadi komunitas memang bukanlah sesuatu yang mustahil. Setidaknya hal itu
3 Lihat Instruksi Presiden RI No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Dokumen dapat diunduh dari: http://www.budpar.go.id/userfiles/file/7193_2610-Inpres6Tahun2009.pdf. 4 Lihat Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 6 Tahun 2009, ibid. Informasi yang saya temukan di sebuah situs bertema Indonesia kreatif, yang turut mendukung kegiatan ekonomi kreatif berbasis komunitas, membuat saya mempertanyakan apa relasi komunitas dengan kreativitas. 5 Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 2002). 6 Lihat konsep Gemeinschaft dan Gesselschaft dalam Ferdinand Tönnies, Community and Society (terj. oleh Charles Price Loomis) (East Lansing: Michigan State University Press, 1957). 7 Vespa didesain pertama kali oleh Corradino D’Ascanio pada 1946. Desainnya diharapkan dapat menjawab persoalan mobilitas di ruang urban Italia. Lihat tautan berikut: http://www.concapeligna.it/famosi/d’ascanio/corradino_d_ ascanio.htm
Like, Share, Comment esai oleh Yuka Dian Narendra
merupakan hasil dari keinginan untuk mereproduksi subkultur yang dikonsumsi anggota kelompok/komunitas tersebut. Reproduksi ini—walau semata sebuah praktik apropriasi— tidak dapat dianggap sepi karena pada akhirnya dapat membangun jejaring produksi maknamakna kebudayaan baru. Katakanlah, dari ekspresi kebudayaan menjadi praktik subkultural yang memberi posisi sosio-kultural bagi pelakunya. Praktik mengakali skuter butut bisa berkembang menjadi artikulasi identitas—sebagai “anak Vespa bawah tanah”, dan pada akhirnya berhasil merangkai jejaring ekonomi serta kekuatan modal di dalam jejaring sosial tersebut, seperti terwujudnya bengkel modifikasi Vespa atau distro penjual produk lokal untuk pengendara Vespa bawah tanah. Contoh komunitas Vespa bawah tanah itu hanya salah satu fenomena dari bermacam praktik serupa di berbagai bidang kebudayaan. Komunitas punk, metal dan hip-hop; komunitas seniman grafiti, komunitas pemain cosplay dan anime, komunitas komik, dan lainnya. Jejaring ekonomi komunitas itu mampu melayani diri dan komunitasnya sendiri tanpa perlu melibatkan kekuatan modal yang lebih besar. Dalam kasus subkultur musik misalnya: band, album rekaman, merchandise, perusahaan rekaman, distro yang berkaitan dengan subkultur band tersebut, festival dan konser band-band sejenis, radio dan zine (yang bentuk keduanya kini diambil alih oleh situs web) sebagai media promosi alternatif, juga musikus, pelaku media, penggemar, promotor acara dan lainlainnya—semua itu merupakan rangkaian produksi kultural yang saling terkait. Yang terpenting— dan sering kali dilupakan oleh para pelaku industri besar yang ingin meniru pola produksi subkultural—adalah runtuhnya batas antara pelaku (produsen) dengan penikmat (konsumen). Dalam konteks ini, kreativitas memang merupakan kata kunci yang berimplikasi ekonomi. Namun kata kunci tersebut tidak serta-merta dapat diglorifikasi sebagai jawaban jitu untuk menyiasati keterpurukan ekonomi. Dalam kelompok subkultural, kreativitas justru hanyalah sebuah metode untuk melakukan praktik kultural yang mereka yakini. Pelaku subkultur—yang dalam kasus ini kemudian disalahartikan oleh negara sebagai komunitas—biasanya adalah kelompok yang termarjinalkan dalam peta kebudayaan. Merasa tidak menemukan tempat dalam narasi besar kebudayaan, mereka lalu menciptakan sendiri kebudayaan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Oleh karena itu, menjadi masuk akal jika praktik semacam itu diidentifikasi sebagai subkultur: posisinya selalu berada di bawah bayang-bayang kebudayaan dominan. Masuk akal pula jika kelompok subkultur ini resisten terhadap segala sesuatu yang dinilai sebagai arus besar. Kelompok masyarakat yang berada di luar itu lalu memaknai fenomena ini sebagai kreativitas, semata karena jawaban alternatif yang ditawarkan oleh kelompok subkultural ini sering kali melawan logika umum. Semangat perlawanan terhadap narasi dominan—apakah itu nilai kebudayaan ataupun sistem sosial—memungkinkan komunitas tertentu memberdayakan kreativitasnya sendiri dengan berbagai muatan. Sekalipun kreativitas dapat dimaknai sebagai ruh yang membuat mereka tampak berdaya menghadapi situasi tertentu—yang, mungkin, dalam pemahaman negara adalah krisis ekonomi— kreativitas mereka hanyalah dorongan bermain yang metodologis untuk menyiasati keadaan. Andaipun ada yang mereka glorifikasi, tidak lain itu adalah “sesuatu” yang mereka lawan, bukan metode bersiasatnya. Glorifikasi kreativitas yang dilakukan negara melalui jargon ekonomi kreatif menjadi absurd ketika kreativitas itu dianggap sebatas modus ekonomi alternatif, atau ekonomi yang liyan. Seolah dengan menekuni bidang-bidang yang tidak umum, dengan terlibat dalam aktivitas publik liyan, dengan meruntuhkan batas antara bersenang-senang di waktu senggang dengan mencari uang, maka label kreatif layak disandang. Terlebih ketika media massa menampilkan peristiwa-peristiwa seputar komunitas yang membuat para pelakunya tampak berbeda dari orang kebanyakan alias tampak “keren.”
29
BERKAS
30
Semua itu menjadi semakin lengkap ketika para pelaku berbagai aktivitas akhir pekan turut serta. Kini, tipisnya batasan antara komunitas yang sungguh melakukan produksi kultural dengan kelompok peminat membuat keduanya semakin sulit dibedakan, seolah keduanya sama-sama aktivitas yang kreatif dan layak dibubuhi label ekonomi kreatif. Padahal semua contoh saya sebelumnya itu jelas berbeda dengan komunitas pemilik motor besar yang berkeliling kota di hari Minggu, maupun komunitas berkebun atau komunitas bersepeda di akhir pekan. Kelompokkelompok antusias semacam itulah yang bergabung meramaikan acara bernama Social Media Festival yang diadakan pada Oktober 2013. Mereka mencakup aktivis urban dan bahkan kelompok dengan modus bisnis alternatif yang memang tidak dapat ditemukan dalam ranah ekonomi formal. Bagaimana dengan gagasan Muhammad Yunus tentang ekonomi alternatif yang menjawab persoalan esensial “Dunia Ketiga”?8 Sangat mungkin jika ia tinggal di Indonesia, ia akan terlibat dalam berbagai aktivitas ekonomi kreatif. Laman situs internetnya akan terpampang di situs festival media sosial besar yang disponsori oleh pemilik modal besar juga. Saya menyebut acara itu sebagai penggorengan komunitas—katakanlah—kreatif, yang dapat dilihat sebagai upaya pemberangusan potensi keterlibatan politik. Logikanya seperti ini. Pertama, kekuatan dalam sektor ekonomi kreatif adalah demokratisasi, terutama melalui teknologi media massa dan praktik-praktik kultural remeh-temeh. Melalui bantuan teknologi digital masa kini, semua orang dapat melakukan produksi kulturalnya sendiri: dari membuat film, karya seni rupa, album rekaman, maupun menjual merek fesyen buatan sendiri secara online. Teknologi komunikasi digital masa kini mampu menghubungkan orang dari berbagai pelosok dunia, apalagi orang dalam satu kota seperti Jakarta. Maka tidak sulit sebenarnya untuk membangun konsensus bersama akan isu apa pun. Gejala signifikan dapat kita temui dalam kasus “Cicak versus Buaya.”9 Dukungan satu juta suara berhasil diperoleh untuk Komisi Pemberantasan Korupsi ketika negara mencoba membubarkannya. Kasus “Indonesia Unite” adalah contoh lain, ketika seorang selebriti berhasil membangun opini publik untuk melawan terorisme dan gerakan Islam transnasional.10 Kedua kasus tersebut menjadi mungkin berkat bantuan media sosial seperti Facebook dan Twitter. Keduanya seperti menginspirasi semua orang bahwa pada hari ini semua menjadi mungkin untuk dilakukan. Media sosial membuka akses bagi semua orang untuk membangun opini dan bahkan menginisiasi terbentuknya konsensus atas isu tertentu. Kedua, keadaan seperti itu menunjukkan keberhasilan demokratisasi melalui ruang media di satu sisi. Namun di sisi lain, persoalan baru muncul. Aktivisme warga yang terjadi dan berebut masuk ke dalam kesadaran publik melalui ruang media sosial kebanyakan berasal atau berpusat di Jakarta—contoh kasus ruang kota yang gagal. Jakarta tidak memiliki ruang publik yang cukup bagi warganya. Fragmentasi antarkotamadya bersinergi dengan buruknya transportasi publik dan kemacetan luar biasa sehingga membatasi mobilitas warga. Belum lagi ketika alam melumpuhkan 8 Muhammad Yunus adalah seorang profesor bidang ekonomi dan bankir dari Bangladesh yang mendapatkan Nobel Perdamaian pada 2006. Lihat autobiografinya berjudul Banker to the Poor: Micro-Lending and the Battle Against World Poverty (New York: PublicAffairs, 2003). Lihat juga tautan berikut: http://www.businessweek.com/ stories/2005-12-25/nobel-winner-yunus-microcredit-missionary. 9 Salah satu laporan jurnalistik tentang “Cicak versus Buaya” dapat dilihat di situs Inside Indonesia melalui tautan berikut: http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/snatching-victory-3. 10 Indonesia Unite adalah gerakan nasionalisme kontemporer yang digagas oleh penyiar radio bernama Pandji Pragiwaksono dan digerakkan melalui media sosial Twitter setelah meledaknya bom di J.W. Marriot dan Ritz Carlton, Jakarta, 17 Juli 2009. Keberhasilan ciyapan Pandji Pragiwaksono membuatnya tampil sebagai nasionalis muda yang lantas menginisiasi beragam kegiatan bertema kebangsaan. Ia lalu menulis buku Nasional.Is.Me (2010). Lihat laman: http://pandji.com/indonesiaunite. Ketika esai ini dibuat, situs indonesiaunite.com tidak aktif lagi. Untuk sumber lain, lihat laman Facebook https://www.facebook.com/indonesiaunite, dan: http://kompascom.kompasiana. com/2009/07/27/kompascom-dukung-gerakan-indonesiaunite-647.html.
Like, Share, Comment esai oleh Yuka Dian Narendra
Jakarta dengan banjir. Situasi tersebut membuat warga Jakarta sama sekali tidak beruntung, apalagi nyaman hidup. Kefrustrasian tinggal di kota semacam itu membuat warga Jakarta semakin jauh dengan relasi sosial yang seharusnya berpeluang memberdayakan warga.
Sebagaimana kota lain, Jakarta adalah kota yang telanjur dihuni oleh manusia. Dalam kondisi telanjur ini, Jakarta mau tidak mau harus memberi jaminan kehidupan bagi siapa pun yang tinggal di dalamnya. Dan, belum selesai dengan berbagai persoalan pembangunan infrastruktur dan tata kota—seperti macet dan banjir—Jakarta kini telah telanjur pula dibangun sebagai pintu gerbang Indonesia menuju dunia internasional. Alhasil, Jakarta memiliki potensi kultural yang penting. Secara politis Jakarta telah menjadi arena pertemuan berbagai kebudayaan, baik dalam konteks lokal maupun global. Namun narasi ekonomi yang dominan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat di Jakarta membuat arena pertemuan budaya tersebut selalu berhadapan dengan logika kapitalisme. Sebagai gambaran, mal telah menggantikan ruang-ruang publik di Jakarta. Menyiasati kota yang telanjur tidak ramah, tidak humanis, dan bahkan kejam sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Jakarta. Kurangnya ruang publik membuat kita semua menganggap lumrah pemandangan anak-anak kelas menengah yang bermain di mal mewah. Sementara kita memaklumi anak-anak kelas bawah yang bermain dengan odong-odong, seperti kita memaklumi jutaan sepeda motor memadati jalan raya ibukota karena gagalnya sistem transportasi umum. Kita pun bergembira ketika perjalanan dari kantor ke rumah yang biasa memakan waktu dua jam dapat kita tempuh dalam waktu empatpuluh lima menit saja. Lantas apa hubungan semua itu dengan kreativitas? Harus diakui bahwa inisiatif yang datang melalui media sosial memberi dampak positif bagi proses demokratisasi liyan, ketika jalur aspirasi yang seharusnya ditempuh malah buntu. Akan tetapi kita tidak dapat berhenti di situ. Persoalannya, inisiatif publik semacam itu seringkali meminjam logika dagang untuk memosisikan dirinya sebagai alternatif narasi kebudayaan ketimbang berusaha menempuh jalan yang berat, yaitu mengonstruksi habitus masyarakat Indonesia baru. Jejaring media sosial memungkinkan inisiatif semacam itu merebut panggung politik dan mengganti narasi dominan negara, namun apalah yang dapat dilakukan media sosial selain meraih like dan follower sebanyak mungkin? Sementara, ketika semua itu belum tentu merepresentasikan kondisi konkret masyarakat, data statistik menambah kesan besarnya dukungan. Dukungan ini bukanlah representasi suara kolektif akan tetapi semata konversi dari pasar potensial (konsumen). Tidakkah bagi kelompok pemodal, masyarakat hanyalah kuantifikasi pasar potensial semata? Untuk itulah, dalam gerakan atau inisiatif publik macam ini, para pemodal besar merasa perlu masuk dan membuat seolah keberadaan mereka menjamin keberhasilan gerakan atau inisiatif tersebut. Seolah bagai kebetulan, rangkaian kejadian ini berjalan seiring dengan inisiasi ekonomi kreatif oleh negara. Berbagai macam inisiatif, gerakan, dan aktivisme warga melalui komunitas maupun kelompok tadi lantas berada dalam ranah-ranah yang diinterpretasikan negara sebagai upaya pembangunan jejaring ekonomi alternatif.11 Masuknya warga kota ke dalam jejaring media sosial melalui komunitas dan kelompok-kelompok inisiatif itu 11 Mohon lihat kembali keempatbelas sektor ekonomi kreatif versi negara dalam Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.
31
BERKAS
32
sesungguhnya merupakan sebuah penanda bahwa warga berupaya untuk terlibat aktif dalam proses demokratisasi politik dan proses pembentukan kebudayaan.12 Namun hilangnya relasi sosial yang kemudian seolah-olah tergantikan oleh keterhubungan via media sosial membuat fenomena ini menggelembung, hingga muncul ilusi bahwa hal itu akan berdampak pada lahirnya gerakan sosial besar. Dalam kasus Social Media Festival, ilusi tersebut diamplifikasi oleh banyaknya kelompok warga dengan inisiatif serupa.13 Padahal bisa jadi yang tampil hanya representasi dari gerakan/ aktivisme/ komunitas/ kelompok/ klub dalam bentuk logo—hal yang tidak sulit untuk dibuat menjadi “ada” dengan bantuan teknologi masa kini. Ilusi yang muncul kemudian adalah besaran massa yang terkumpul dan akan bergerak dalam payung besar “ekonomi kreatif ”. Lalu kita bakal terlalu sibuk menghitung besaran massa dan dukungan pemodal besar, sehingga kita lupa akan kerancuan konsep komunitas, kelompok, klub, organisasi, paguyuban, dan lain-lainnya. Pada akhirnya, narasi dominan negara mengenai pertalian antara ekonomi kreatif dengan komunitas bisa menggiring kita untuk berpikir gampangan. Ribuan orang berkebun di lingkungan masing-masing pada setiap akhir pekan dapat membuat kita merasa bahwa persoalan ruang hijau Jakarta, bahkan Indonesia, dapat selesai. Meski tidak ada yang salah dengan gerakan macam ini, efek ketidakmampuan kita untuk mengategorikan berbagai aktivitas kolektif warga berpeluang untuk membuat aktivisme warga yang bersifat politis menjadi hedonisme semata. Tentu saja ini riskan. Mengapa? Sekali lagi, kolektivitas warga kota (dan negara) yang terbangun melalui berbagai praktik kultural kolektif ini—apalagi dengan dukungan jejaring media sosial—sebenarnya berpotensi untuk memosisikan warga secara signifikan ketika mereka berhadapan dengan kekuasaan. Dengan ini, warga sesungguhnya memiliki daya negosiasi politik yang kuat, dan dengan sendirinya hal macam ini dapat mengancam hegemoni negara. Oleh karena itu, dalam bayangan saya yang cukup paranoid, negara barangkali memang sengaja menggelontorkan isu ekonomi kreatif dan merancukan makna komunitas dan kelompok. Praktik kultural warga dikerdilkan ke dalam makna ekonomi semata, membuatnya menjadi semacam hype melalui media sosial dan berbagai festival. Dengan demikian, akan sulit bagi komunitas yang telanjur dianggap kreatif ini untuk mentransformasikan dirinya menjadi sebuah gerakan sosial yang signifikan. Sialnya, narasi macam ini mulai merebut mimbar politik warga. Warga mulai mengamini cara berpolitik hedonistik ini. Buktinya, semakin banyak warga yang membuat komunitas ini dan itu, mulai dari komunitas yang membayangkan dirinya sebagai ekstensi dari serial komik Tintin, hingga komunitas yang bereksperimen dengan peninggalan budaya masa silam, seperti aspirasi untuk membuat museum virtual maupun gerakan berhari Minggu di Museum Nasional. Banyak warga Jakarta yang menikmati waktu senggang di Museum Fatahillah, akan tetapi hanya untuk berfoto ria. Sementara narasi sejarah kota tetap hening tidak tersentuh dan tidak sampai ke generasi berikutnya. Kesadaran historis warga belum tentu dapat terbentuk sekalipun mereka menginap sebulan di Museum Fatahillah. Lagi-lagi, ruang Jakarta dapat menjadi pihak yang paling bersalah. Kembali pada bahasan ruang publik di atas, hilangnya ruang publik membuat warga Jakarta lupa akan interaksi sosial yang sesungguhnya. Setelah warga lupa akan interaksi sosial itu, menjadi masuk akal
Merujuk pada Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis dan London: The University of Minnesota Press, 1995). 13 Dari situs socmedfest.org, diakses 18 November 2013, pukul 21:30. 12
Like, Share, Comment esai oleh Yuka Dian Narendra
jika warga kehilangan kemampuan untuk mengorganisasi massa. Padahal, kemampuan tersebut mutlak diperlukan untuk membangun gerakan sosial, apa pun gerakannya. Media sosial menggantikan ini semua. Menggantikan ruang publik secara fisik dengan perjumpaan dalam forum virtual. Menggantikan praktik organisasi massa melalui fitur-fitur piranti lunak. Tidak lupa, idiom “kreatif ” yang bisa jadi telah bersemayam dalam benak setiap orang telah menggantikan semangat perlawanan dan daya kritis warga menjadi sebatas “bersenangsenang” dan “menghasilkan” secara ekonomi. Asumsi demokratis yang ditawarkan media sosial membuat pemodal besar dapat menelusup masuk, bukan karena kekuatan modal yang dimilikinya, melainkan karena gagasan egalitarian dan demokratisasi. Ketika semua sudah berada di dalam pusaran itu, jargon ekonomi kreatif negara terdengar seperti terompet malaikat Isrāfīl yang meniupkan penanda akhir zaman. Begitu terompet itu ditiupkan, hilanglah sudah daya negosiasi warga terhadap kuasa dominan.
Peluang warga untuk memaknai kotanya akan makin jauh terperosok ke dalam kegiatan hedonistik semata jika gerakan sosial yang signifikan tidak pernah terwujud. Tanpa gerakan sosial, warga kota akan tetap terkurung dalam narasi dominan kapitalisme: bahwa inisiatif dan upaya kreatif warga kota untuk memaknai ruang hidupnya tidak akan mampu terwujud tanpa uang. Sementara, masuknya kuasa modal ke dalam aktivisme warga—entah kebetulan atau disengaja—justru menyemplungkan inisiatif warga ke dalam sebuah penggorengan besar dan meruntuhkan semangat resistensi warga terhadap kota yang sedemikian terbentuk oleh kekuasaan modal. Upaya warga menyiasati kota menjadi semata perayaan kolektif yang berhenti hanya pada penggalangan massa. Kegiatan bersama yang dapat berfungsi sebagai sarana bagi warga untuk belajar hidup berdampingan secara damai justru menjadi momen pendataan riset pasar. Ketika hal ini terjadi, maka yang terbangun adalah sekat-sekat baru yang berbasis pada logika ekonomi pasar dalam melihat manusia, yaitu kelompok masyarakat yang berdaya beli. Dengan demikian, aktivisme warga tidak akan pernah berhasil menjadi gerakan sosial yang berarti sehingga perubahan relasi warga dengan kuasa kota tidak akan pernah terjadi. Idealnya, warga, melalui aktivisme kolektif dan demokratisasi jejaring media sosial, belajar untuk mengonstruksi (termasuk merekonstruksi dan mendekonstruksi) modal sosialnya sendiri.14 Hal itu misalnya, dapat mewujud dalam praktik saling menjaga rumah dan harta benda satu sama lain. Dalam skala yang lebih besar, warga dapat belajar untuk melindungi kepentingan kelompok warga lainnya dengan alasan bahwa mereka saling membutuhkan. Warga belajar menjadi mandiri. Namun patut diwaspadai pula, jika warga mampu mengatasi segala persoalannya sendiri, maka negara memiliki alasan untuk melepas tanggung-jawabnya. Ketika berkebun bersama keluarga di akhir pekan menjadi gaya hidup yang diminati warga kota misalnya, hal itu dapat membuat negara berhenti berpikir bahwa sudah menjadi kewajiban mereka untuk mewujudkan kota yang hijau dan bebas polusi kepada warganya. Bila perlu, inisiatif warga untuk menanam tanaman dan menghijaukan Jakarta dimapankan pemerintah kota dengan serangkaian kebijakan dan regulasi yang sistematis. Sementara
14 Lihat Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of the American Community (London: Simon & Schuster Paperbacks, 2000), hlm. 19.
33
BERKAS
34
sejatinya, kota yang hijau dan bebas polusi seharusnya merupakan hak warga kota yang dapat diperoleh secara alamiah. Selain itu, gagasan perubahan sosial melalui berbagai aktivisme publik akan selalu dapat digerus oleh penguasa modal, dengan cara membuat segalanya tampak spektakuler bagaikan sebuah pertunjukan. Jargon ekonomi kreatif membuat semua aspirasi publik dapat terukur oleh neraca dagang. Jika aspirasi tidak dapat memicu like, comment, dan share, maka hal itu bisa dianggap gagal menemukan abstraksi ekonominya. Warga memerlukan kesempatan untuk mengonstruksi habitus baru yang sesuai. Warga perlu merebut kesempatan untuk membayangkan diri mereka sendiri dalam sebuah struktur masyarakat yang mereka inginkan. Narasi ekonomi kreatif mengintervensi kesempatan tersebut dengan iming-iming ekonomi yang menarik. Pemilik modal juga telanjur berpikir bahwa Jakarta sama dengan Indonesia. Mereka menerapkan metode dan gagasan-gagasan bisnis sehingga menjakartakan daerah lain di Indonesia. Bukan saya ingin membandingkan mana yang lebih penting. Namun jika rakyat Indonesia dirasa perlu berkebun oleh sebagian orang (silogisme aneh untuk negara yang katanya agraris), apakah tidak penting pula kampanye merehabilitasi korban kekerasan 1965? Apakah terlibat dalam aktivisme leisure bernuansa nasionalis berarti menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa? Jika “tidak takut melawan terorisme” itu penting, bagaimana dengan gerakan deradikalisasi? Mengapa tidak ada upaya kreatif gegap gempita yang serupa untuk menentang pelarangan pendirian rumah ibadah? Atau tuntutan untuk bersikap tegas kepada negara tetangga yang ketahuan mematamatai kita?
Like, Share, Comment esai oleh Yuka Dian Narendra
35
36
Like, Share, Comment: Creativity, Citizen, and Social Change essay by
Yuka Dian Narendra
One day, I came to an event called Indonesia Community Network (ICN) organized at the Jakarta Convention Center. The event, held on 28 September 2013, was attended by various organizations and associations, and officially opened by the Minister of Tourism and Creative Economy and the Minister of Communication and Information.1 I expected to find the profiles of various communities actively participating in the production of new cultures. Boy, was I wrong. Like the usual industrial product expositions, this event only displayed products and specific activities that I had never heard of before. From a group of people with rare blood types to groups of people protecting certain animal species. I was confused and I became suspicious. Perhaps I had been seeing things wrongly. Or maybe it is I who was wrong for considering thus far the groups, organizations, or hobby clubs in that event not as communities. And, therefore, perhaps, I was also wrong to understand the cultural products on offer at the expo as merely alternative commodities apart from those from big industries. Or, I was also wrong for hoping that the activity of these communities could snowball into a significant social movement. Hoping headlong that the state has changed its views about culture and its artifacts into a wider context than mere economic practices was, ultimately, my biggest mistake. So now I recall another event titled Social Media Festival, the second one, held one year prior to the ICN 2013 event. In that festival, a plethora of communities, clubs, organizations and capital owners spilled into a hodgepodge; a meeting of parties hoped to spark new initiatives and innovations around contemporary issues, under the package of the jargon “creative”. I am really vexed by the exploitation of the term “creative”, and I assume this has spread wider since the Ministry of Tourism and Creative Economy was established by the government of Susilo Bambang Yudhoyono in 2009. Creativity became the keyword for the state to explain the economic domain that they were not able to explain—and also control. To control the capital investment market arena is perhaps easier for the state than explaining how an alternative fashion store can accumulate billions of rupiah,2 or how online toy and hobbyist transactions occur involving huge amounts. Regardless of it all, it really is not that important
More on this activity, see: http://indonesiakreatif.net/events/pre-event-indonesia-community-network-2013. I really do not need statistics to understand this. Just go to Bandung and estimate yourself the number of independent fashion stores scattered all over the city. Go to metal festivals and calculate how many local band t-shirts produced, both original and pirated. 1 2
37
BERKAS
38
to dispute who exploited the idiom “creative” and “creativity.”3 The fundamental problem here is how the wrong contextual placement of creativity only presents a new opportunity for an affair between capital owner groups and these various public initiatives. I acknowledge that there is an ambiguity in the meaning of community and how it relates to creativity. Are “community” and “creativity” two matters that are always related? Does an economic activity only become creative when it is done by a “community”? This ambiguity becomes a problem when the state legitimizes it through a presidential decision regarding creative industry—along with its fourteen sectors.4 My question regarding the ICN 2013 event: what is the connection of the fourteen creative economic sectors with community? I wonder, can, say, a certain bike-brand community, a band fan club, or cartoon character, or animal lover community be considered a community that produces new cultural meanings? Are they only an association celebrating a certain new same-ness collectively? Or are they actually constructing a new habitus through the consumption of popular culture?5 From the perspective of the social sciences, a community is a group of people who live in a certain environment, can be a village, a city, a state, or a territory, with the same background of identity, be it racial, ideological, or religious.6 The people of Jakarta are actually a community. Whereas people who get together based on a hobby or an interest are a group, club, or whatever it is. Even though these days popular culture succeeded in reconstructing the meaning of community as subculture of a certain dominant culture, a community still cannot be categorized as an organization having a fixed structure.
Really, there is in itself nothing wrong about turning a hobby group into a community. Take, for instance, the extreme scooter rider gang, often referred to as the rat vespa, or the ragtag vespa. This motorcycle gang has exceeded the gang of owners of Vespa-brand motorcycles. They have managed to appropriate the Vespa into a new, characteristically “Third World” context: from a symbol of an exotic Italian-made modern urbanity into an aesthetic unabashed expression that is characteristically Indonesian.7 Sometimes these rat vespas do not even resemble the Vespa anymore, but are more like a four-wheeled shack rolling with thick smoke. So it is clear which one is a group (fans or owners of Vespa) and which one is a community (riders of rat vespas). The transformation of a fan group into a community is not anything impossible. At least this is a result of the desire to reproduce a subculture consumed by members of the group/community. Such reproduction—even though merely a practice of appropriation—cannot be dismissed because ultimately it can build a network which could produce new culture meanings. Say, from a cultural expression becoming a subcultural
3 See Presidential Instruction No. 6 of 2009 regarding the Development of the Creative Economy. This document can be downloaded from: http://www.budpar.go.id/userfiles/file/7193_2610-Inpres6Tahun2009.pdf. 4 See Presidential Instruction No. 6 of 2009, ibid. Information I found on a site with the theme creative Indonesia, which also supported creative economic activities based on communities made me question the relation between community and creativity. 5 Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 2002). 6 See the concept of Gemeinschaft and Gesselschaft in Ferdinand Tönnies, Community and Society (translation by Charles Price Loomis) (East Lansing: Michigan State University Press, 1957). 7 Vespa was first disigned by Corradino D’Ascanio in 1946. The design was intended to address the problem of mobility in Italian cities. See the following link: http://www.concapeligna.it/famosi/d’ascanio/corradino_d_ascanio.htm
Like, Share, Comment essay by Yuka Dian Narendra
practice that affords a socio-cultural position for the actors. The practice of manipulating a decrepit scooter can develop into an articulation of identity—as “underground Vespa kids”, and ultimately succeed in weaving an economic network and capital strength into the social network, such as the appearance of Vespa modification shops or clothing shops distributing local products for underground Vespa riders. The example of the underground Vespa community is but one of the phenomenon from many similar practices in various cultural fields. The punk, metal and hip-hop communities; the graffiti artist communities; cosplay and anime player communities; comic communities; and others. The economic network of such communities is able to serve itself and its own community without having to involve the power of bigger capital. In the cases of music subcultures, for instance: bands, recording albums, merchandise, recording studios, the shops related to the band subcultures, festivals and concerts of similar bands, radio and zines (which has now been taken over by websites) as alternative promotion media, as well as musicians, media actors, fans, event promoters and others—all are part of an interconnected chain of cultural production. What is most important—and often times overlooked by the big industry actors who wish to copy the subcultural modes of production—is the destruction of barriers between the actors (producers) and users (consumers). In this context, creativity is indeed the keyword that has economic implications. However, this keyword cannot just suddenly be glorified as the remedy to address one’s economic maladies. In subcultural groups, creativity is but only one method to conduct the cultural practice that they believe in. The subculture’s actors—in this case misunderstood by the state as communities—are usually marginalized groups on a cultural map. Feeling that they do not belong in a grander cultural narrative, they then create their own culture that suits their needs. It, therefore, makes sense that such practices are identified as subculture: their positions are always under the shadows of the dominant culture. It also makes sense that the subculture group is resistant towards everything seen as mainstream. Society groups that are outside of them then understand this phenomena as creativity, only because the alternative answer offered by these subcultural groups often times go against the common logic. The spirit of resistance against the dominant narrative—whether it is a cultural value or social system—allows certain communities to empower their own creativity with various contents. Even though creativity can be understood as the spirit that makes them appear empowered in facing certain situations—which, perhaps, in the eyes of the state is an economic crisis—their creativity is only a methodological encouragement to address a situation. If there is anything that they glorify, it is none other than “something” which they resist, not the method of addressing it. The glorification of creativity that the state is committing via the jargon of the creative economy becomes absurd when creativity is considered merely an alternative economic modus, or economy of the other. As though by choosing to engage in uncommon fields, by being involved in the public activity of the other, by tearing down the barriers between having fun during spare time and by making money, then one deserves to be labeled creative. Especially when mass media presents the events around these communities by making the actors look different than the rest, in other words “cool” or “hip”. All of this is even more complete when the actors of various weekend activities take part. Now, the thin line between communities who are really engaged in cultural production and hobby groups make it ever more so difficult to distinguish the two, as though both are creative activities and deserve the label creative economy. Whereas all of the examples I have given above are clearly different from the big-bike motorcycle-owner community
39
BERKAS
40
who go on joyrides across the city on Sundays, or the weekend gardening community or biking community. It is these enthusiastic groups that crowded the so-called Social Media Festival held in October 2013. They include urban activists and even groups with alternative business modes that indeed cannot be found in the domain of the formal economy. What about the idea of Muhammad Yunus about the alternative economy being the answer to the essential problem of the “Third World”?8 It is highly plausible that had he lived in Indonesia, he would have been involved in various creative economy activities. His website would be displayed on the website of the social media festival sponsored by owners of big capital. I call these events a fudging of so-called creative communities, which can be seen as an effort to eradicate the potential for political involvement. Here is the logic. First, the strength in the creative economy sector is democratization, especially through mass media technology and trivial cultural practices. With the help of current digital technology, everybody can do their own cultural production; from making films, art, record albums, or sell their own fashion labels online. Today’s digital communication technology is able to connect people from different corners of the world, especially people in a city like Jakarta. Then it is not difficult to build a consensus on whatever issue. We can find a significant indication in the case of “Cicak versus Buaya.”9 The campaign succeeded to gather one million supporters for the Corruption Eradication Commission when the state tried to disband it. The case of “Indonesia Unite” is another example, when a celebrity succeeded to build a public opinion to fight terrorism and transnational Islamic movements.10 Both cases were made possible with the help of social media such as Facebook and Twitter. Social media make us believe that today anything is possible. Social media open access for everyone to build opinions and even initiate the formation of a consensus on a certain issue. Second, on the one hand, such a situation illustrates the success of democratization through the media space. But on the other, there is a new problem. Most community activism that takes place and competes to receive public awareness through the social media space originates from or is centered in Jakarta—a case in point, the failure of urban space. Jakarta does not have sufficient public space for its residents. The fragmentation between its five municipalities in synergy with bad public transportation and amazing traffic jams limits the public’s mobility. Add to that nature, which can paralyze the city during floods. This situation makes Jakartans wholly unfortunate, living in discomfort. The frustration of living in such a city has put Jakartans further away from social relations that should have been the opportunity to empower citizens.
8 Muhammad Yunus is a professor in economics and banker from Bangladesh who won the Nobel Peace Prize in 2006. See his autobigraphy entitled Banker to the Poor: Micro-Lending and the Battle Against World Poverty (New York: PublicAffairs, 2003). See also the following link: http://www.businessweek.com/stories/2005-12-25/nobel-winneryunus-microcredit-missionary. 9 “Gecko versus Crocodile”. One of the journalistic reports regarding “Cicak versus Buaya” can be seen on Inside Indonesia website through the following link: http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/snatching-victory-3. 10 Indonesia Unite is a contemporary nationalist movement launched by a radio host named Pandji Pragiwaksono and mobilized through Twitter social media after the bomb explosion at J.W. Marriot and Ritz Carlton Hotels, Jakarta, 17 July 2009. The success of Pandji Pragiwaksono tweets turned him into a young nationalist who then initiated a series of activities with nationalist themes. He then wrote the book Nasional.Is.Me (2010). See the website: http://pandji. com/indonesiaunite. When this essay was written, the site indonesiaunite.com was no longer active. For other sources, see Facebook page https://www.facebook.com/indonesiaunite, and: http://kompascom.kompasiana.com/2009/07/27/ kompascom-dukung-gerakan-indonesiaunite-647.html.
Like, Share, Comment essay by Yuka Dian Narendra
Like other cities, Jakarta is a city that had headlong been populated. In such a ‘headlong’ condition, Jakarta, like it or not, must provide livelihood guarantees to anyone residing within it. And, still not done with the many infrastructure and city planning issues—like traffic and flooding—Jakarta has now been built, headlong, as the Indonesia’s gateway to the world. As a result, Jakarta has an important cultural potential. Politically, Jakarta has become the meeting arena of diverse cultures, both in the local and global context. However, the dominant economic narrative in the many aspects of life in Jakarta confronts this meeting arena with the logic of capitalism. As an illustration, malls have replaced public spaces in Jakarta. Coping with a city that is already unfriendly, not humanistic, and even cruel is part of the daily reality of Jakarta’s residents. This lack of public space made us all accept as common the sight of middle-class kids playing in posh malls. Meanwhile, we also accept as commonplace the sight of lower class kids enjoying odong-odong,11 as we also accept the millions of motorcycles choking the city streets due to the failure of our public transportation system. We are also all too happy when the trip home from office that would normally take two hours can be covered in only forty-five minutes. So what does all this have to do with creativity? We must admit that the initiatives that have come by way of social media have had a positive impact on the democratization process for the rest, when the channels of aspiration that would normally be used lead nowhere. However, we cannot stop there. Problem is, such public initiatives often borrow the logic of trade to position itself as an alternative cultural narrative rather than trying to take the difficult path, namely, to construct a mode for a new Indonesian society. Social media networks have enabled such initiatives to take over the political stage and supplant the dominant narrative of the state, but what can social media do other than gain as many likes and followers? In the meantime, when all this may not necessarily represent the concrete conditions of society, statistical data add the impression of large support. This support is not a representation of a collective voice but is merely a conversion of a potential market (consumers) of industry and capitalism. Is it not true that for capital owners, the public is merely a quantification of the potential market? For that reason, in such public movements or initiatives, the big capital owners feel the need to be involved and create the impression as though their presence will ensure the success of such movements or initiatives.
As though a coincidence, this string of events came about along with the initiation of creative economics by the state. The various types of public initiatives, movements, and activism through communities or groups suddenly find themselves to be in the midst of domains that the state interprets as an effort to build a network of the creative economy.12 The entrance of urban residents into social media networks through communities and initiative groups actually signifies that people are trying to be actively involved in the process of political democratization and the process of cultural formation.13 But the loss of social relations, which are then replaced by connectedness via social media, blows up this phenomena, so Improvised foot-driven street carousels. Please revisit the fourteen creative economic sectors according to the state in the Presidential Instruction No. 6 of 2009 regarding Development of Creative Economy. 13 Referring to Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis dan London: The University of Minnesota Press, 1995). 11 12
41
BERKAS
42
an illusion appears that this may lead to the birth of a big social movement. In the case of the Social Media Festival, this illusion was amplified by the large number of groups with similar initiatives.14 While it may just be that what appeared was only a representation of the movement/activism/community/group/club as logos—something that can easily be turned into “being” with the help of current technologies. The illusion that then appears is the size of the masses that have gathered who will be moving under the giant umbrella of the “creative economy”. Then we will all be too busy calculating the size of these masses and the support of big capital, until we forget about the ambiguity of the concept of community, group, club, organization, guild, and so forth. In the end, the dominant narrative of the state about the ties between creative economy and community can lead us to think simplistically. The thousands of people engage in gardening in their own neighborhoods on weekends can make us feel that the problem of green spaces in Jakarta, even Indonesia, can be resolved. Even though there is nothing wrong with such a movement, the effect of our inability to categorize the various collective activities of people may turn political community activism into mere hedonism. This is certainly risky. Why so? Once again, the collectivity of urban (and state) residents built from the various collective cultural activities—especially with the support of social media networks—actually may have the potential to position the people in a significant way when they are confronted with authority. This way, people actually have a strong negotiating power, and inevitably this can threaten the hegemony of the state. As such, in my rather paranoid imagination, the state perhaps is intentionally trying to water down the issue of the creative economy and blur the meaning of community and group. People’s cultural practices are dwarfed into an economic meaning only, turning it into a kind of hype through social media and various festivals. Thereby, it will be difficult for communities who are now considered creative to transform themselves into a significant social movement. What is damning, this narrative is beginning to take over the political stage of the people. People begin to approve of such hedonistic political means. As proof, many more people now create this and that community, from a community imagining itself as an extension to the Tintin comic series, to communities experimenting with cultural heritage, such as aspirations to create virtual museums or the movement to spend Sundays at the National Museum. Many Jakartans spend their free time at the Fatahillah Museum, but merely for the pretty pictures. Whereas the historical narrative of the city remains silent and untouched, not passed on to the next generation. The historical awareness of the people may not form even though they spend a month sleeping at the Fatahillah Museum. Again, Jakarta’s space can be the most guilty party. Going back to the discussion of public space above, the loss of public space makes Jakartans forget about the actual social interaction. After people forgot about social interaction, it begins to make sense that people have lost their ability to organize masses whereas this ability is absolutely needed to build social movements, whatever the movement. Social media has replaced all of this. It replaced the physical public space with meetings in virtual forums. It replaced the practice of mass organizations with software features. Not to forget, the idiom “creative” that may have been embedded in the minds of every person has replaced the spirit of resistance and critical powers only as far as “having fun” and “being productive” economically. The democratic
14
From the site socmedfest.org, accessed on 18 November 2013, at 21:30.
Like, Share, Comment essay by Yuka Dian Narendra
assumption offered by social media allows big capital to sneak in, not because of the capital powers possessed, but the egalitarian and democratization ideas. When everyone finds himself in this spiral, the state’s creative economy jargon sounds like the horns of angel Raphael signifying the end of times. As the horn is blown, the people’s bargaining powers against the dominant powers evaporate.
The opportunity for people to understand their city will further slide into mere hedonistic activities if a significant social movement never materializes. Without a social movement, city residents will remain confined in the dominant narrative of capitalism: that the initiatives and creative efforts of city residents to understand their living space will not be realized without money. Meanwhile, the introduction of the power of capital into people’s activism— unwittingly or otherwise—actually plunges the people’s initiatives into a giant frying pan and destroys the spirit of resistance of people towards the city that has been shaped by the power of capital. People’s efforts to cope with the city becomes only a collective celebration that stops at mobilization of the masses. The common activity that can function as a means for people to live together in peace becomes a moment for market research data collection. When that happens, new barriers are established based on the logic of the market economy in seeing humans, that is, a society with purchasing power. That way, public activism will never succeed to become a meaningful social movement so that there will never be a change in the relation of the public with the city. Ideally, the public, through collective activism and democratization of the social media, learns to construct (including reconstruct and deconstruct) their own social capital.15 That, for example, can be realized in the practice of looking after each others’ houses and property. In a larger scale, people can learn to protect the interests of other citizen groups because they need each other. People learn to become independent. But we must be cautious, for when people are now able to overcome their own problems, the state has a reason to waive its responsibility. When gardening with the family during weekends becomes a lifestyle practiced by city residents, for instance, that can cause the state to stop thinking that it is its responsible to the people to realize a green city, free of pollution. If necessary, the people’s initiative to plant and make Jakarta green shall be enshrined in a range of systematic policies and regulations by the city government. Whereas ideally, a green city free of pollution should have been the right of the people of the city that can be obtained naturally. In addition to that, the idea of social change through various public activisms will always be eroded by the controllers of capital, by making everything seem spectacular like a show. The creative economy jargon makes all public aspirations measurable by trade scales. When aspirations cannot trigger likes, comments, and shares they could be considered to have failed finding economic abstractions. People need the opportunity to construct a new proper habitat. People need to seize the opportunity to imagine themselves in a social structure that they want. The creative economy narrative intervenes that opportunity with the promise of an appealing economic reward. Capital owners also have taken up the idea that Jakarta and Indonesia are the same. They
15 See Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of the American Community (London: Simon & Schuster Paperbacks, 2000), p. 19.
43
BERKAS
apply the business methods and ideas that have ‘jakartanized’ other regions in Indonesia. Not to compare which one is more important, but if the Indonesian people are seen to need gardening by some others (a rather strange syllogism for a country thought to be agrarian), is it also not important to campaign for the rehabilitation of the victims of 1965 violence? Does involvement in leisurely activities with nationalistic nuances mean that the nation’s problems are resolved? If “not afraid to fight terrorism” is important, what about a deradicalization movement? Why is there no similar boisterous creative effort to resist the prohibition of building houses of worship? Or the demands to act affirmatively towards a neighboring country caught to be spying on us?
44
Like, Share, Comment essay by Yuka Dian Narendra
45
46
kartun oleh cartoon by
Reza Mustar
47
Socializing During Work
BERKAS
48
- Let’s use my credit card... we’ll get 10% discount... then you’ll just pay the pool to me... - Right....
Reza Mustar
49
BERKAS
50
- I’m so pissed... I’m not going to Phuket this year because I bought the promo ticket late. So it’s Bali again… - Gosshhh... how boring.... - I know, right!!! I’m pissed!!
Reza Mustar
51
- Do it on a canvas… so it can be sold put in a gallery.
BERKAS
52
- How many? - Just me... but can you put me near a plug?
Reza Mustar
53
BERKAS
54
Coffee by the date.
Reza Mustar
55
BERKAS
56
- Bro... turn the AC up a bit.... - Okay....
Reza Mustar
57
58
fotografi oleh photography by
Agung ‘Abe’ Natanael
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
Surat Putus Kampungan surat oleh
Farid Rakun
73
74
Atik yang bohay (semoga masih boleh aku memanggilmu demikian), Izinkan aku mengutip sepenggal dialog dari Burung-burung Manyar, karangan Romo Mangun yang akhir-akhir ini semakin kamu gandrungi itu: “Kalau Indonesia kelak merdeka, negara kita tidak akan kejam.” “Mudah-mudahan, Tik.” “Tidak boleh mudah-mudahan, Pap. Harus.”
Ketika kamu temukan dan, semoga, baca surat ini, kamu mungkin sedang berada di pesawat balik ke Rotterdam. Sengaja hanya kutulis, lalu kuselipkan saja surat ini ke dalam tasmu. Mending aku membayar lebih beberapa ratus dolar untuk menunda penerbanganku. Sekian belas jam duduk di sampingmu dan mengalami lagi banjir air matamu, aku tak akan mampu. Aku minta maaf karena perbuatanku membuat perjalanan ke kampung halaman, yang seharusnya jadi sebuah perjalanan produktif ini, berantakan. Tapi aku setuju, perpisahan ini memang tak terelakkan lagi. Memang semua bermula karena aku yang kelepasan ngomong Belanda, “Verrekt!”. Kamu tentu belum lupa. Waktu itu aku mengumpat ke arah materi-materi pameran di bagian kanan pintu masuk, di ruang pamer Erasmus Huis itu. Sabtu sore terakhir. Aku pikir kamu akan tertawa, kemudian menghardik, “Ih, cabul! Manggil-manggil perek!” seperti biasanya. Ketika malah tatapan kebencian yang kudapat, aku sadar bahwa yang kulupa adalah bagaimana perjalanan kali ini sudah membuat kau berpihak kepada mereka. Aku lupa bahwa dulu, sebelum kita bertemu di Delft, kamu memulai kariermu lewat jalur “kemanusiaan” semacam ini. Ke Aceh, habis tsunami. Dan kamu memang mulai sering mengungkit-ungkit tema penggusuran di Waduk Pluit atau Kali Ciliwung beberapa saat terakhir, ketika kita masih di Rotterdam sebelum berangkat. Namun kupikir pergi sekolah ke luar negeri sudah mengubahmu. Kupikir kau sudah lebih seperti aku. Ya, aku, yang di atas kertas bergelar seorang ahli tata kota. Tapi latar belakang keluarga tentara membuat aku ini pada dasarnya seorang serdadu, atau soldadu, dari kata soldei alias upah. Kata kontemporernya: profesional, atau orang upahan untuk membela dan menyokong kepentingan siapa pun yang mengupah. Bagiku, ekonomi harus ditempatkan di atas segalanya. Kemanusiaan, atau kesejahteraan bangsa, tentu penting, tapi tidak semendesak kemakmuran masing-masing kita sebagai orang ini. Kita harus bertanggung jawab penuh terhadap diri
75
BERKAS
76
sendiri, terlebih ketika tak ada memang yang mengurusi. Karena itulah materi pameran di ruang pameran kanan itu tak sejalan denganku. Aku tak tahu saat itu bahwa perdebatan kita akan berakhir begini, jadi izinkanlah aku membela diri dalam surat ini. Maaf, sekali lagi, tapi emosiku tak terbendung melihat gambar-gambar yang kebanyakan dibuat oleh arsitek-arsitek lokal itu. Jika memang kemiskinan adalah yang mereka perangi, mengapa mereka mempertahankannya begitu rupa? Bahkan sampai mengajukan solusi arsitektur demi mempertahankan permukiman kumuh! Bukan saja itu akan membuat kota menjadi buruk rupa, tapi kekumuhan itu biang penyakit, termasuk penyakit sosial. Mereka yang kumuh harus dibersihkan bukan hanya karena mereka tidak memperindah wajah kota, tapi bahkan dari zaman Ali Sadikin pun seantero kota sudah menganggap mereka berpotensi mengganggu ketertiban umum. Tak percaya? Cek saja buku catatan beliau yang diterbitkan dengan judul Gita Jaya, yang terbit persis setahun sebelum aku lahir itu. Dengan logika komando dari penguasa di atas, kaum sol-sepatu di bawah macam mereka itu harus terus kita beri terapi kejut dan bentakan dari atas. Masih sejalan dengan Ali Sadikin zaman itu, sekarang ini semua tingkat kepemimpinan, dari DKI-nya Jokowi dan Ahok, sampai pusat lewat Kemenparekraf, masih berpendapat sama. Terbukti lewat keterlibatan mereka dalam pameran “eksplorasi desain inovatif ” yang digagas oleh kawan-kawan arsitek lokal yang pernah sekolah ke luar negeri, sehingga berbau internasional ini. Buatku pameran ini adalah sebuah bukti bahwa kita semua, pemerintah dan profesional, setuju bahwa kaum pinggiran kota ini masalah yang musti bukan saja dipecahkan, tapi seharusnya diberantas! Tentu yang kita bunuh bukanlah manusianya, tapi kemiskinannya. Bikin mereka kaya cukupan, sehingga bisa bayar, tak lagi colong listrik, air, dan sewa. Bikin mereka masuk dan bekerja dalam sistem. Semua pihak senang. Beres, tokh? Belum lagi kalau kita menyentuh arsitektur yang kawan-kawanmu itu hadirkan! Arsitektur dengan wajah apalagi yang hadir lewat pendekatan mereka itu? Bahkan apakah itu Arsitektur? Bagiku, karya mereka mencerminkan apa yang terjadi jika siapa pun tinggal di lingkungan yang penuh koreng dan kudis. Tambal-sulam jugalah estetika yang bisa ia hadirkan. Masih ingat kamu, bahwa ada dari mereka yang hanya bantu masyarakat bikin MCK! Tak ada terobosan desain yang mereka tawarkan, boro-boro ngurusin tampilannya seperti apa. Bikin sekolah-sekolah, sanggar-sanggar yang tak jelas juntrungannya. Aku bingung, dalam otak mereka, siapa yang akan meng-hire mereka di masa depan bila mereka bawa contoh karya macam itu? Mau ditaruh di mana muka Jakarta bila begini? Sedih tak ayal menghampiriku bila mengingat sebenarnya kita datang ke pameran tersebut untuk melihat salah satu project kita berdua, yang kita kerjakan bersama beberapa rekan asal Belanda dan Swiss yang ter-display di sebelah kiri ruang pamer, langsung berseberangan dengan para perancang kampungan tadi. Sedih, karena hal tersebut tak mungkin terjadi lagi. Seperti banyak hubungan percintaanku sebelum kamu, kita itu tersatukan oleh hasrat dan keseriusan profesional kita. Setelah dengan bangga aku mematuti panel yang menunjukkan project kita yang berwarnawarni, di-render secara profesional, mengubah citra kampung yang kampungan menjadi hunian layak huni, dan tentunya layak pamer, ada rasa pilu yang kurasakan ketika menengok mukamu yang menatap panel yang sama dengan pandangan kosong. Seakan mempertanyakan alasan awal mengapa kamu sudi melibatkan diri ke dalam project seperti ini. Di titik itu seharusnya aku sadar bahwa hubungan ini sudah tak tertolong lagi. Tapi, mengutip kamu yang mengutip Romo Mangun, yang kamu anggap “Bapak Arsitektur Modern Indonesia” itu: “Yang seharusnya dan senyatanya itu kan masih dua soal yang belum tentu klop.” Dasar Romo manyun.
Surat Putus Kampungan surat oleh Farid Rakun
Senasib dengan project kita, dengan pandangan kosong kamu seperti mempertanyakan kesahihan materi-materi pameran yang terdiri dari karya-karya yang menurutku bertaraf internasional, terkelompok di sebelah kiri ruang pameran. “Kamu pikir pameran yang seperti punya pembagian kiri-kanan ini disengaja atau tidak?” tanyaku saat itu mencoba mencairkan suasana, berharap kamu bisa bercanda dan tersenyum lagi. Tapi kamu hanya diam, melengos, dan akhirnya bilang bahwa ternyata mental kita masih mental jajahan dan pandanganku merupakan salah satu buktinya, ketika kita berdebat setelahnya. Tudinganmu itu tak bisa tidak menjajah pikiranku beberapa saat belakangan ini. Ya, bagiku kamulah yang penjajah, bukan orang-orang asing itu! Begini pendapatku: dunia sudah berubah. Kekuatan kapitalisme global sudah tak terbendung membuat swasta jaya kapan-kapan dan di mana-mana. Kalau mau omong citra, belalah semua citra selain citra kampung, yang memang tak pernah ramah pasar. Kecuali bila itu dapat mendongkrak harga, semisal membuat singkong yang biasa laku cuma seribu jadi lima kali lipat harganya semula, baru okelah kampung sebagai estetika itu kau hadirkan. Gunakan saja kesempatan yang boleh jadi tak datang dua kali ini. Seperti yang kita berdua tahu, bukan hanya perusahaan-perusahaan bangsa Belanda yang tertarik dengan perkembangan kota dan bangsa Indonesia sekarang ini. Korporasi-korporasi asal Jerman, Prancis, Jepang, Amerika Serikat, Kanada, sampai negeri-negeri Skandinavia yang kaya itu juga (belum menyebut negeri China, yang secara pribadi aku masih belum yakin bagaimana harus menentukan sikap). Apa salahnya bekerja mendukung mereka? Bukankah dengan minat bekerja di sini mereka sudah membuktikan dukungan mereka kepada kita? Transnasional dong, Neng! Tidak zaman lagi mengurus jati diri dan bahasa citra, yang katamu artinya “mementingkan kejujuran sikap dalam merancang.” Kuno itu, ah! Jadi emosi aku membicarakan ini. Tapi lihatlah bagaimana sejarah manusia melakukan perjuangan mereka lewat estetika. Kamu seharusnya belajar dari Romo-mu itu, yang mewarnai kampung di Kali Code cuma biar kampung itu menjadi indah di mata para pejabat yang ketika itu ingin menggusur mereka. Estetika tak pernah netral. Dia bukan perkara visual semata, tapi lebih tentang survival. Untuk itulah gambar-citraan cantik harus rajin kita bikin dan sebarkan, salah satunya melalui pameran ini walau terlebih sering lagi lewat media massa serta reklame-reklame raksasa di seluruh penjuru kota. Seperti yang kita pelajari di universitas dulu, gunakan dan pelajarilah trend gaya-gaya perancangan yang sedang laku. Fungsi juga, gunakan saja! Kalau apartemen sedang laku, bikin apartemen, superblok, rancang superblok, bahkan kampung, garap saja kampung itu. Hanya begitulah cara untuk laris, dikenal, dan mendapat banyak pengakuan. Dan dengan begitu survive. Mereka yang kau bela itu jelek (dan sepertinya bahkan para agen pembela mereka, geng kananmu itu, amat ingin mempertahankan kejelekan mereka), sedangkan apa yang kami tawarkan cantik. Baru. Menimbulkan hasrat. Bayangkan Manggarai yang tak lagi kumuh, namun punya pencakar langit berkesan piramida terbalik, misalnya. Akankah warga kampung di situ tetap gemar tawuran dengan kampung lain di seberang kali, ketika mereka bahkan tak lagi hidup dalam kampung tapi disusun efektif secara vertikal, seperti banyak proposal yang kita lihat di sini dan banyak lagi di pameran serupa yang pernah kita berdua ikuti? Tidakkah ini bukan saja lebih livable bagi mereka,tapi yang terpenting juga buat kita? Aku bangga dikategorikan bersama kawan-kawan perancang di bagian kiri pameran. Memang mayoritas orang asing dimasukkan ke bagian ini, yang boleh jadi bermoyang langsung para agresor yang selalu kita curigai. Tetapi sekarang, kita juga yang mengemisngemis agar mereka sudi kembali. Bila dulu kita sebut zaman agresi mereka sebagai zaman
77
BERKAS
78
dursetut, nah, sekarang terbukti kangen juga kita ini di-setut-setut mereka. Kita memang pengemis mentalnya, sampai kadang malu punya kulit sawo matang ini. Satu lagi hal yang harus kuluruskan: ingat ketika kamu memuji perubahan Kereta Api Commuter Line yang baru tahun ini diberlakukan? Menurutmu perubahan ini cerdas dan tepat guna. Tak ada pembangunan infrastruktur yang menyumbat aktivitas kota sehari-hari, yang ada hanya strategi pengaturan ulang, dari peremajaan armada kereta, perubahan jumlah bagi masing-masing kelas pelayanan, rebranding, sampai perjuangan subsidi bagi setiap penumpang untuk menekan harga yang bisa jadi amat melonjak. “Lihat efek tiket kartu langganan, satu pintu keluar-masuk yang terkontrol, dan keberpihakan kepada warga yang tak mampu lewat subsidi: meningkatnya tingkat keamanan dan kenyamanan penumpang, yang diikuti lonjakan angka penumpang. Bukankah itu suatu teladan yang patut kita contoh?” ujarmu. Saat itu aku mengangguk setuju. Namun, sejujurnya, anggukan itu hanyalah kemalasanku. Kemalasan untuk berdebat, dan ketidakinginanku untuk memikirkan hal yang tak pernah kunikmati manfaatnya. Aku hampir tak pernah naik kereta di Jakarta. Untuk mobilku, jalanan tetap (kalau tak tambah) macet, tak berubah banyak. Tak banyak juga pembangunan yang ditawarkan pengembangan macam ini bagi perancang seperti kita untuk berproyek, bukan? Tapi buatku subsidi itu yang paling menuai pertanyaan: sampai kapan subsidi ini bisa bertahan, dan lebih penting lagi siapa yang melihat dan menikmati? Lagi-lagi para cecunguk yang kalah itu. Mereka itu jongos, jangan perlakukan mereka seperti ndoro yang patut dibela. Mereka kalah persaingan, atau terkadang keduluan start, dan hidup memang tak pernah ramah untuk yang kalah. Subsidi itu cuma obat bius sementara, ketika habis mereka akan terbangun dengan derita yang lebih tak tertahankan. Kamu itu seperti layaknya kereta api ini, agaknya resisten dengan perubahan. Kamu percaya pada pembentukan kepribadian yang merdeka, dan perubahan akan mengalir seiring kepribadian yang terbentuk tersebut. Menurutmu, dengan cara ini tak ada yang dipaksakan, tidak perlu ada apa pun yang dikarbit. Sebuah cita-cita luhur yang demi pencapaiannya kita tidak punya waktu. Andaikan aku ini seorang menteri, akan kupakai kuasaku demi minteri para jelata ini. Akan kugalakkan pembangunan macam Transjakarta Busway, seperti yang dilakukan oleh Sutiyoso (kuharap MRT dan Monorail yang sedang diperjuangkan pemerintah kota sekarang mengambil jalur ini). Melalui program-program ini dipraktikkan betul kekuatan terapi kejut pada ruang terbangun kota untuk—meminjam kata-kata Abidin Kusno yang sama-sama sering kita kutip—“menaklukkan perilaku, serta reka ulang imajinasi warga terhadap kotanya dengan meninggalkan jejak yang amat terlihat.” Mereka juga menggunakan operasi membangun secara maksimal, besar-besaran. Kehebohan media massa tak terbendung. Banyak lapangan pekerjaan, walau sekejap, mereka hadirkan. Bukankah itu fungsi pembangunan bagi ekonomi? Omong-omong pembangunan, sebagai profesional dan anak ABRI, tak bisa tidak aku memang masih kagum pada mantan Presiden Soeharto, Bapak Pembangunan kita itu. Mengangguk setuju aku setiap kulihat kaus atau stiker yang di atasnya terbubuhkan foto beliau, yang makin banyak terlihat akhir-akhir ini. Decak kagumku tak tertahan ketika kubaca kutipan kata-kata mutiara tambahan di sana: “Piye kabare, masih enak jamanku to?” Ingin suatu ketika nanti, kalimat yang sama kusemburkan ke seorang mantan kekasih yang mengajak rujuk. Mungkinkah ke kamu suatu saat nanti? Aku bisa bayangkan mukamu sekarang ikutan Romo kegemaranmu itu: manyun. Aku ini, berlawanan denganmu yang kereta, lebih mirip proyek Busway: lebih niat memanfaatkan pembangunan sebagai motor ekonomi. Harus besar-besaran. Korban yang
Surat Putus Kampungan surat oleh Farid Rakun
tertelan memang warga nomor sekian itu beserta permukiman kumuh mereka. Mereka harus pindah, dan menjadi bahan bakar tenaga kerja di kawasan-kawasan yang sudah ditentukan agar roda ekonomi besar terus berjalan. Mereka inilah nanti yang di masa depan akan “kami undang masuk menjadi kelas menengah baru yang harus terus tumbuh secara angka, dengan syarat mereka harus menyesuaikan diri dengan norma dan bentuk lingkungan baru ini” (lagi-lagi mengutip si Abidin Kusno). Dalam proses pemindahan yang “sukarela” (dibikin sukar-sukar sampai rela) ini, bersamaan dengan perubahan sektor ekonomi informal ke sebuah sistem hibrida yang punya sumbangan bagi sistem finansial global, adalah kesempatan bagiku dan kawan-kawan arsitek untuk berproyek. Ikut sumbang ide, keahlian, dan tenaga demi pembangunan. Mengikuti pola pikir dan pandang ini, aku percaya bahwa superblok, beserta Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang sebisa mungkin meniadakan campur tangan pemerintah dalam pelaksanaan ekonomi global adalah jawabannya. Hidup pasar bebas. Hidup pembangunan. Terakhir, seperti niatan awal mengapa kutulis surat ini, aku mengucapkan selamat tinggal dan semoga sukses bagimu. Aku bisa melihat alasan rencanamu untuk meninggalkan Rotterdam, dan kembali ke Jakarta dalam waktu dekat. Walau harus jujur, aku tak sepenuhnya mengerti. Mengapa perjuangan harus kau lakukan dari dalam negeri yang karut-marut itu? Bukankah banyak hal yang dapat kau lakukan malah ketika kau tak di Jakarta, tapi bersamaku di Eropa? Keputusan itu memang keputusan pribadimu, tapi kalau kau sudah tidak lagi tergiur dengan masa depan praktik desain internasional yang mungkin bisa kita raih bersama, aku memang sudah tidak bisa lagi meneruskan hubungan ini, dan berterima kasih bahwa kamulah yang akhirnya cukup berani untuk menyebutkan kata “putus.” Aku memang sakit hati dan tak bisa mengerti, tapi sebenarnya aku kagum dengan kemampuanmu untuk melepas semua ambisi dan tiba-tiba memutuskan untuk mudik selamanya ke negeri tercinta. Seperti ada panggilan kuat dari dasar hati yang tak pernah aku alami atau pahami. Karena paham hidup kita yang berseberangan inilah, untuk sekarang hanya doaku yang bisa kusertakan, seperti Papinya si Atik di kutipan awal surat ini. Walau ini berarti kita akan terus-menerus berada di pihak yang berlawanan, kudoakan semoga kau berhasil menggapai cita-citamu yang baru. Tapi, sepertinya tidak boleh hanya semoga, Tik. Mungkin harus. Kecup sayang untuk terakhir kali, Teto-mu Jakarta, 16 Juni 2013
79
BERKAS
Catatan Akhir Pilihan kata dan gaya bahasa diambil, dan di beberapa tempat diplesetkan, dari novel dan buku Y. B. Mangunwijaya, BurungBurung Manyar ( Jakarta: Djambatan, 2007), dan Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektural Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh/Latihan-latihan Praktis, cetakan kelima ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013); juga dari buku Abidin Kusno, Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto (Yogyakarta: Ombak, 2009), yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Lilawati Kurnia dan disunting oleh Manneke Budiman.
80
Istilah “Verrekt” adalah ungkapan tak baku bahasa Belanda yang artinya adalah “Keseleyolah kau!”, atau dalam bahasa Inggris saat ini berarti “damned”. Kata “Verrekt” dalam “surat” ini mencontek istilah yang digunakan oleh Romo Mangun dalam novelnya Burungburung Manyar, dan digunakan karena itu adalah slang Belanda, biasa diucapkan pula oleh orang-orang yang Kebelanda-belandaan, dan bunyinya dekat dengan umpatan “perek”. Arti kata “perek” yang populer sejak 1980-an di Jakarta adalah “perempuan eksperimen” atau perempuan yang bukan pelacur namun gemar bereksperimen secara seksual dengan banyak lelaki. “Dursetut” adalah istilah yang merujuk pada masa Agresi Militer Belanda I dan II. Asalnya dari kata “doorstoot” yang arti harafiahnya adalah “tohokan” atau “pukulan menerobos”. “Setut” adalah slang zaman ini yang setara dengan kata “embat”, “hajar” atau “beri pelajaran” dan bisa dipakai untuk menjelaskan: memukul, menghabisi, menampar, menipu, mengerjai, sampai menyetubuhi. Imajinasi untuk menggunakan slogan “Piye Kabare, Masih Enak Jamanku To?” dipinjam dari Soeharto Song : DJ T4UMY & Mr X-Katrok @xplusk. Tautan: http://bit.ly/1hvb8xx, terakhir diakses 31 Oktober 2013. Soal penggusuran demi penciptaan sumber daya manusia bagi Kawasan Ekonomi Khusus dapat dilihat dalam kajian Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), lewat laman-laman seperti http://bit.ly/16NYYIB dan http://bit.ly/ UXVXB3, terakhir diakses 31 Oktober 2013.
A Breakup Letter from Kampung letter by
Farid Rakun
81
82
Yourhotness Atik (if you still allow me to call you so), Allow me to quote a snippet from Romo Mangun’s Burungburung Manyar, whom you are crazy about these days: “One day when Indonesia is free, our country will no longer be loathsome.” “Hopefully, Tik.” “Not hopefully, Pap. It must.” When you find and, hopefully, read this letter, you may already be on your flight back to Rotterdam. I wrote this letter purposely indeed, and slipped it into your bag. I’d rather lose several hundred extra dollars and not take this flight. Sitting next to you on that long flight and once again suffer your flood of tears, I don’t think I could stand it. I apologize for what I had done. Now the journey back home, which should have been a productive trip, it is all messed up. But I have to agree that this break up was inevitable anyways. Yes, I started it all thanks to that Dutch gaffe of mine, “Verrekt!” I’m sure it still rings fresh in your head. I scoffed at the stuff exhibited to the right of the door in that Erasmus Huis exhibition hall. That was last Saturday afternoon. I thought you would laugh, and then chastise me, “How lewd! Calling perek!” as usual. And when I found myself at the receiving end of that spiteful look, I suddenly recognized, and it almost escaped me, how this trip made you side with them. I almost forgot that way back, before we met at Delft, you embarked on your career on such a “humanitarian” path: Aceh, posttsunami. I should have seen this coming when you were nitpicking on the evictions at Pluit Reservoir and Ciliwing Riverbanks as we were leaving Rotterdam before coming here. But for a while there I really thought that attending school abroad should have changed you. I thought you had become like me.
Romo Mangun, or Father Mangun, was born as Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (1929-1999). Born in Ambarawa, Central Java, he was known as the Father of Modern Architecture of Indonesia. He studied theology in Yogyakarta, and architecture in Aachen (Germany) and Aspen, Colorado (US). His work among the poor of Kali Code, Yogyakarta, is forever remembered as one of his greatest works, as he received the Aga Khan Award for Architecture (1992) for helping people build better housing and a community center. He also received the Ramon Magsaysay Award (1996) for his literary achievements, he wrote among others outstanding novels such as Hiu-hiu, Ido, Homa and Burung-burung Manyar, which is the main reference for this letter. The word ‘verrekt’ is a Dutch vernacular meaning “Wrench your ankle!”. In English today, it’s similar to ‘damned’. The word ‘verrekt’ in this “letter” is taken from Romo Mangun’s novel,
83
BERKAS
84
Yes, me, with an urban planning degree on paper. But my family’s military background basically made me a serdadu, or soldadu, or “one who is getting paid”. The word for it today: professional, who gets paid to serve the interests of whoever pays. To me, economy must be placed above all else. Humanity or people’s welfare are certainly important, but not as pressing as individual prosperity to each of us as humans. We must be fully responsible of our selves especially when no one is there to care for us. That’s why that stuff exhibited on the right wall was not agreeable to me. How could I have anticipated that our debate would end up like this? So allow me to propose my defense in this letter. Sorry, again, but seeing the works of these local architects just made me sick. If it is poverty that they hate, why do they want to keep it so badly? Even coming up with architectural solutions to preserve these slums! Not only do they make the city look ugly, but slums also breed diseases, including those of the social kind, that disrupt public order. They don’t belong in this city and they must be cleaned! But you certainly can’t expect them to clean or eradicate themselves. I’d go with the way Ali Sadikin did things: a shock therapy from above! Command and control, like a venerated commander to a good soldier. And I’m in good company here. From the DKI of Jokowi and Ahok, to the Minister of Tourism and Creative Economy, leadership on all levels still thinks today the way Ali Sadikin did way back. Just see how they all have been supportive of this exhibition of “innovative design exploration” dreamed up by our colleagues who have studied abroad, giving it international credibility. This exhibition proves, to me, that all of us, government and professionals, agree that the urban marginalized is not just a problem to be solved, but a problem to be eradicated! No, we won’t eliminate the humans, certainly, but we definitely should kill poverty. Let’s make them better off by a bit so that they can pay—not steal—electricity, water, and rent. Allow them to work within the system. Everyone’s happy. All good, right? Now, let’s take a look at the “architecture” of your friends! What kind of architecture do they wish to manifest through their approach? Is that even architecture? Do they even have an approach? I suppose their works are only good to the extent that they provide a glimpse to the kind of living that transpires in an environment full of scabs, rashes and puss. And if that wasn’t their intention, then it’s a patchup job, at best. A prime example of ragtag esthetics. Remember that public toilet they helped build for the communities? Not exactly a design breakthrough, and they don’t even seem to care about its looks. Then there are schools, some obscure activity centers, what for? I’m a bit confused, do they really think someone would hire them with such a portfolio? Where do you put Jakarta on the world map with that?
Burung-burung Manyar, frequently uttered by Indonesians who want to be like the Dutch. The ‘verrekt’ pronounciation is close to ‘perek’, an Indonesian word which is short for ‘perempuan eksperimen’ or ‘experimental woman’; it refers to a woman who likes to sexually experiment with many men. Serdadu (Indonesian) means soldier.
DKI, an acronym for Daerah Khusus Ibukota (Capital Special Region). DKI Jakarta is the official name of the capital city.
A Breakup Letter from Kampung letter by Farid Rakun
I am saddened to think that we actually came to the exhibition to see our own project—yours and mine, which we built with our colleagues from the Netherlands and Switzerland. Our work was displayed on the left wall of the exhibition hall, opposite those kampungan designers. I am sad because that will never happen again. Like in my many relationships before you came, we were united by our professional desire and gravitas. I stood there, fixated at the panel on which our project was displayed. I was proud. It was colorful, professionally rendered. The kampung is now transformed into a proper place to live, which certainly made it a proper work to exhibit. So it was painful for me to see how you were staring at the same panel with such an empty look, as if regretting that you took part in such a project at all. I should have realized at that point that this relationship may be doomed. But, to quote you quoting Romo Mangun, your ‘Father of Modern Indonesian Architecture’: “What should be and what is are two matters that may not necessarily coincide.” Damn you, Romo manyun. How fitting. You, with your blank look questioning the validity of works that I think are unquestionably world class. “Do you think it’s on purpose that the exhibition seems to be divided between left and right?” I asked, in a vain attempt to break the ice, hoping that you could loosen up a bit and smile once more. But you were icy, with a smirk on your face. And then you ranted on that we have this inferiority complex of the oppressed, that I am a living and breathing proof of it, that I am this and this and that. Frankly, now I feel oppressed with your incriminations. Yeah, to me you are the oppressor, not those foreigners! Here’s what I think: the world has changed. The forces of global capitalism are unfettered and the private sector has been victorious anytime and anywhere. If you want to speak of images, defend anything but that kampung, which has never exactly been marketfriendly. Unless kampung can jack up the price, say, of your humble singkong, so that it sells five times its original price of a thousand, then bring on the esthetics of kampung all you want. An opportunity may not come twice, and I think you should seize it. We both know, it is not just Dutch companies who are interested in the development of Indonesian cities these days. German, French, Japanese, American, Canadian, those rich Scandinavians, not to mention the Chinese, about whom I’m personally still undecided. What’s wrong with us working to support them? Does it not say something about their support for us that they want to do business here? Go transnational, neng! Enough with the never-ending identity crisis. Too much talk about the language of images, which, you say, “should put honesty above all else in design.” That’s so passe!
Manyun is a slank for sulky expression. It is pronounced almost similarly with Mangun.
Neng (Sundanese) means miss.
85
BERKAS
86
I’m getting fiery now. Look at how human history has struggled by the ways of esthetics. Learn from your Romo. He painted a kampung at Kali Code so that the place can look pretty in the eyes of those officials, to whom eviction was the only option back then. Esthetics is never neutral. It’s no longer just visual, it’s a matter of survival. That’s why we need to work hard to create and spread pretty pictures and imagery, including this exhibition, and even more so through mass media and giant advertising banners all over the city. Like the things we learned in universities. Use and study the latest, best selling design trends. Function too, use that! When apartments are selling, build apartments. When superblocks are all the rage, build superblocks. Even kampung, work them kampungs. That’s the only way to sell, to be known, and get a lot of recognition. That’s how we survive. Those whom you defend are ugly (and even the agents of those defenders, your rightist gang, want to keep them ugly). What we offer, on the other hand, is pretty. New. It rouses desires. Imagine Manggarai no longer a slum. Let’s put a skyscraper there or, say, an inverted pyramid. Will the kampung-folk there continue to brawl with their perennial rivals across the river when they no longer even live in a kampung, but are stacked vertically and effectively, like the many proposals we have seen here and many more in other similar exhibitions that we have attended? Isn’t this not only more livable for them, but more importantly so, for us too? I am proud to be bunched together with the designers on the left in the exhibition. Yes, along with most foreigners whose direct ancestors could just as well have been the very aggressors whom our grandparents were always suspicious of. But now it’s us who are begging for them to come back. Our opas and omas used to call their agresi, when they returned to reclaim Indonesia after the Japanese left, the dursetut era. You see how today we actually miss their setut. Yes, we have that beggar mentality. That’s why we’re ashamed of having this dark sawo skin. I must rectify one more thing: remember when you praised the changes to the Commuter Line Train this year? It was smart, you thought, not to mention appropriate. There was no infrastructure construction that would choke the day-to-day business of the city. It was only a strategy of rearranging things, refurbishing the carriages, tweaking the capacities of each service class, rebranding, even fighting to secure subsidies to make prices, that may otherwise have been too steep, affordable for any passenger. “Look at the effect of the rail pass,” you exclaimed,“ one controlled exit-entry gate, and taking sides with those who can’t otherwise afford this facility without subsidy. Safety and comfort have improved, and now a steep rise in the number of passengers. Is this not an example to follow?” you said. I nodded in approval.
‘Dursetut’ is a word originating from the era of the Dutch Military Agression I & II (1947 and 1948), from the Dutch word ‘doorstoot’, meaning ‘a knockout’ or ‘a strike out’. ‘Setut’, cut out from ‘dursetut’, is similar to ‘get him’, ‘beat him’, or give him a lesson’. It can also be used to represent ‘to hit, bash, smack, trick, dupe, and have sex with’.
A Breakup Letter from Kampung letter by Farid Rakun
But, frankly, I was just being lazy. I’m too lazy to spend the effort thinking about something of which I won’t enjoy the benefits. I almost never take the train in Jakarta. For my car, the roads are still (if not more) congested. Nothing has changed much, and there isn’t much that such development can offer designers like us in terms of projects anyways, right? But more than that, to me it is the subsidy that raises questions: how long can these subsidies last? More importantly, who benefits from it? Again, it is these losers. They are losers in the competition, perhaps laggards at the start, and the world is never too kind to losers. Subsidy is just a painkiller, and when it is over, they’re in for a rude awakening. And you know what? You’re like that train, a bit resistant to change. You believe in the free formation of personality, and that change will inevitably follow that changing personality. That way, you think, nothing is being forced, nothing needs to be boosted. A noble dream for which, unfortunately, we do not have the luxury of time. If I were a minister (menteri), I will use my powers to smarten (minteri) these underlings. I will push for developments like the Transjakarta Busway, as Sutiyoso did (I hope that MRT and Monorail that the current city government is fighting for will take this path). These projects are the shock therapy that this city needs in order to “conquer the behavior and reengineer the imagination of the denizens of their city by leaving a very visible trace,” as Abidin Kusno, whom both you and I like to quote, would say. Maximum development operations on a massive scale. Mass media will just love the sensationalism of it all. A lot of jobs, however briefly, will be created. Isn’t that the purpose of development for the economy? And speaking of development, as a professional and a soldier’s son, I can’t help but admire former President Soeharto, our dear Father of Development. I nod my head in approval each time I see a t-shirt or a sticker with his photo, which we have been seeing more and more as of late, and I would exclaim reading the added words of wisdom there: “Piye kabare, wasn’t it good in my time?” How I’d love to utter those very words to an ex-lover asking to come back. Could she be you one day? I can imagine your face looking like your favorite Romo: manyun. I am the opposite of you, the train. I’m like the Busway: more willing to use development as an economic motor. It must be massive, and inevitably there will be victims: those at the bottom along with their dirty slums. They must move, and there’s plenty of work for them in designated regions so they can turn the big wheels of the economy. In the future, they are the ones whom “we will invite to enter the nouveau-middle class who must continue to grow in absolute terms, provided that they adapt themselves to the new norms and environment” (again, to quote Abidin Kusno). Within this
87
“Piye kabare?” ( Javanese) means “Howdy?”
BERKAS
88
“voluntary” process of transfer (made ever so slightly more difficult to be worth fighting for), as the informal economic sector transforms into a hybrid system that contributes to the global financial system, I find my opportunity, with my architect friends, to do projects. We shall contribute ideas, expertise, and labor for development. Consistent with this line of thought, I believe that the superblock, along with its Special Economic Zone, is the answer. Life is a free market. Long live development! Lastly, as my original intentions in writing this letter, I wish you good bye and success. I can see why you want to leave Rotterdam and return to Jakarta in the near future. Although I must confess that I don’t fully understand. Why must you continue the fight from within the domestic mess? Isn’t there much more that you can do when you are actually not in Jakarta, but with me in Europe? That decision is yours to make, of course, but if you are no longer enticed by the future of international design practice, which we may just achieve together, I really cannot continue this relationship, and I am thankful that it is you who finally dared to say the word “breakup.” Yes I am hurt, a bit, and I can’t fully understand, but I am actually in awe of your ability to let go of all the ambitions and suddenly decide to return home forever to your beloved country. As though there is this great calling from the bottom of your heart that I can never have. As our worldviews are too polarly opposite, for now I can only send you along my prayers. Though this may mean that we will forever remain on the opposite banks, I pray that you can achieve your dreams. Not just hopefully, Tik. Maybe you must. Kissing you with affection for the last time, Your Teto Jakarta, 16 June 2013
A Breakup Letter from Kampung letter by Farid Rakun
End Notes The vocabulary and style were chosen, and in some places contorted, from books by Y. B. Mangunwijaya: Burung-Burung Manyar ( Jakarta: Djambatan, 2007), and Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektural Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh/Latihan-latihan Praktis, fifth edition ( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013); also a book by Abidin Kusno: Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto (Yogyakarta: Ombak, 2009), translated into Indonesian by Lilawati Kurnia and edited by Manneke Budiman. The idea to use the slogan “Piye Kabare, Masih Enak Jamanku To?” is borrowed from Soeharto Song: DJ T4UMY & Mr X-Katrok @xplusk. Link: http://bit.ly/1hvb8xx(last accessed on 31 October 2013). Regarding evictions for the purpose of creating human resources for the Special Economic Zone can be seen in the study of the Masterplan for the Acceleration of Expansion of Indonesian Economic Development (MP3EI), through webpages such as http://bit.ly/16NYYIB and http:// bit.ly/UXVXB3 (last accessed on 31 October 2013).
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
Muslihat Musang Emas dan Elena cerita pendek oleh
Yusi Avianto Pareanom
“Kita punya peluang mendirikan agama baru, Don,” kataku kepada Donny, adik sepupuku. “Kok bisa begitu, Mas?” Kami berdua sedang ngopi di salah satu kedai di kompleks Kalibata City, tempat tinggal Donny. Aku mengunjunginya dan kami mengobrol. Awalnya, seperti biasa, kami ngrasani kerabat-kerabat kami yang lain sampai akhirnya obrolan berbelok. 113
Aku lalu bercerita tentang peruntungan seorang kawanku yang pengusaha. Kisah bermula ketika ia jalan-jalan ke sebuah pasar di Beijing. Di sana ia melihat sepatu yang modelnya menarik. Ia yakin sepatu macam itu bakal laku di Indonesia. Ia akhirnya memesan sepatu itu dalam berbagai ukuran dan membayar di tempat. Sebulan kemudian pesanannya tiba. Alangkah kagetnya ia ketika melihat sepatu yang datang satu kontainer ternyata kiri semua. Segera ia menelepon si pedagang sepatu di Cina. Jawaban yang ia terima sungguh membuatnya melongo. “Lho, yang kamu tunjuk di toko kan memang sepatu kiri,” kata si pedagang sepatu. Terpaksa ia memesan lagi, kali ini sepatu kanan dalam jumlah yang sama. Tak mungkin ia menjual sepatu sebelah saja. Ia sadar posisi tawarnya lemah, di Cina banyak industri rumah tangga yang bisa mengerjakan sepatu kiri semua berapa pun banyaknya tanpa harus rugi jika si tertipu menolak memesan pasangannya. “Hubungannya dengan agama baru?” tanya Donny. “Begini, kalau uangku tak berseri, aku ingin membuat kekeliruan yang sama berulangulang. Aku ingin tahu sampai berapa lama si pedagang sepatu itu tahan mengirimkan sepatu kiri semua. Aku ingin membeli rasa sungkannya. Jika sampai pemesanan yang ke-113 ia tetap mengirimkan sepatu kiri, aku menyerah. Aku akan mendirikan agama baru dengan menjadikannya sebagai tuhan. Ia yang tak punya takut niscaya tuhan belaka. Dan kau sebagai fotografer bisa merekam berdirinya agama baru ini,” kataku. Donny meringis. Ia tidak tertawa sebagaimana kawan-kawan yang lain yang mendengar cerita itu. “Cerita biasa, Mas.” “Anjing, ini penipuan ajaib.” “Kau belum dengar yang ini,” kata Donny. Donny bercerita selama dua jam. Berikut kisahnya yang kususun ulang.
BERKAS
114
Bel apartemen Donny berbunyi tepat pada menit kedua lagu “We All Fall in Love Sometimes” dari Elton John berputar. Lagu itu sudah Donny mainkan tiga kali pagi itu dan mungkin akan ia putar lagi. Ia bukan penggemar berat diva Inggris itu—ya, baginya tak ada penyanyi Britania yang lebih layak disebut diva ketimbang Sir Elton—tapi lagu pop itu pas betul dengan suasana hatinya. Yang datang adalah kurir yang mengantar pesanannya, seragam serdadu Jepang Perang Dunia II. Ia membelinya dari butik khusus di Bandung. Tangannya mengelus-elus seragam hijau pupus itu sebelum memasangkan tanda pangkat kapten. Seragam itu modalnya datang ke acara pernikahan dua orang anggota New Jakarta Reenactment Community, kelompok yang gemar berkumpul dan berlakon secara amatiran memerankan adegan dari berbagai masa. Pasangan yang akan menikah itu meminta anggota yang lain datang mengenakan kostum masa Perang Dunia II. Yang kostumnya paling heboh bakal diajak ikut bulan madu, begitu bunyi pesan mereka dengan tambahan lima macam emoticon. Donny tahu mereka sedang bercanda. Tapi, ia tahu juga bahwa teman-temannya yang lain tak akan melewatkan kesempatan berdandan habis-habisan. “Aku mau pakai seragam perwira Nazi,” kata Elena, ketika membaca pesan itu bersama Donny di sebuah rumah kopi, “dan aku jamin lipstik merahku bakal tak ada yang mengalahkan terangnya di pesta nanti.” “Merah yang bagaimana?” tanya Donny. “Seperti yang di poster film lama,” kata Elena. Donny memaafkan Elena yang tak bisa atau tak mau merumuskan secara spesifik warna merah gincu yang ia ingin pakai. Kepada orang lain ia akan mengejar dengan pertanyaan poster film apa, film negara mana, lama di sini merujuk ke posternya atau filmnya, dan sebangsanya. Ia punya kecenderungan seperti itu. Tapi, hatinya dari dulu lemah terhadap orang yang ia taksir, dan keceketeran ini menjadi-jadi di hadapan Elena. “Awas, jangan jadi pengecut pas datang ke kondangan nanti,” kata Elena. “Maksudmu?” “Jangan pakai baju yang biasa-biasa saja dengan alasan itu pakaian pegawai negeri tahun segitu. Jangan cari gampangnya juga dengan pakai baju sobek-sobek terus bilang dirimu laskar pejuang. Pokoknya mesti usaha.” “Aduh.” “Kau harus pakai busanamu sejak dari rumah. Jangan pakai di kamar mandi tempat resepsi. Jangan pula coba-coba naik taksi atau bawa mobil sendiri seperti dulu. Nggak seru, tahu. Kau tinggal di Kalibata City, kan? Naik KRL saja kalau angkot rerlalu repot.” “Bakal dapat hadiah apa kalau aku berani?” “Buktikan dulu, baru nanti kita bicara soal hadiah,” kata Elena. Donny percaya bahwa Elena akan benar-benar muncul dengan seragam yang ia janjikan. Mungkin sepasang pengantinnya akan berdandan lebih heboh lagi. Donny tak berani seperti itu, mengenakan seragam prajurit Gestapo terlalu ekstrem. Ia pernah jengah setengah mati ketika ada beberapa orang kulit putih memaki-maki temannya yang mengenakan seragam perwira SS ketika mereka berkumpul di kawasan Kota. Pilihan baju serdadu Jepang ia rasa aman dan cukup keren. Ia punya alasan lain yang sedikit sentimentil. Dua puluh lima tahun yang lalu, ketika ia masih kanak-kanak, Donny pernah begitu terpukau melihat kakaknya berlakon sebagai perwira Jepang yang kejam dalam pementasan tujuh belasan di kampung mereka di Semarang. Jauh hari sebelum pentas, kakaknya yang saat itu masih duduk di bangku SMA sudah berhasil memikat orang-orang kampung yang menonton latihan dengan pengucapan makian bagero yang sangat meyakinkan. Latihan-
Muslihat Musang Emas dan Elena cerita pendek oleh Yusi Avianto Pareanom
latihannya lalu sangat ditunggu dan untuk setiap bagero yang keluar dari mulutnya penonton bertepuk tangan. Mungkin karena antusiasme itu, pada malam pentas kakaknya akhirnya melontarkan bagero lebih dari lima puluh kali untuk pertunjukan yang hanya tiga puluh menit. Kakaknya itu sangat melindungi dirinya semasa ia kecil. Kakaknya meninggal dunia empat bulan bulan yang lalu. Itulah alasannya memilih seragam serdadu Jepang. Ia membayangkan seandainya kakaknya masih hidup kakaknya pasti senang bergabung dengan komunitas pelakonan ulang dan bisa jadi bintang di sana. Donny ikut komunitas pelakonan ulang karena Elena. Ia tidak diajak, tapi karena Elena menyebut-nyebut tentang komunitas ini, ia bergabung supaya punya alasan untuk sering bertemu. Jika saja Elena menyebut tentang Komunitas Penggemar Cobek dan Ulekan atau Komunitas Perawat Gambar Umbul atau Sekte Penyembah Velvet Underground ia bakal bergabung juga tanpa berpikir dua kali. Ia bertemu Elena tiga bulan yang lalu pada malam amal komunitas pecinta hutan bakau— para anggotanya, seperti anggota komunitas-komunitas lain, lebih senang menamai kelompok mereka dengan bahasa Inggris: Mangrove Addicts. Ia sebetulnya tidak terlalu peduli pada bakau. Tentu, ia suka jika bakau terjaga. Tapi, kalau diminta benar-benar berkeringat untuk perbakauan, ia akan mlipir sebelum melarikan diri. Ia bergabung dengan komunitas bakau dan juga dengan komunitas-komunitas lain sebelumnya karena alasan tunggal: mencari teman kencan. Semua berawal dari setahun yang lalu. Donny yang saat itu baru saja bercerai betah mengurung diri di apartemennya. Beberapa pekerjaan yang nilainya besar ia tolak begitu saja. Tiga kawan dekatnya—Herman, Kandar, dan Sinyo—jengkel. Mereka lalu mengajaknya ikut acara berbagai komunitas di Jakarta. “Untuk apa?” tanya Donny. “Seru-seruanlah, Bung,” kata Kandar. Jawaban itu menjengkelkan Donny. Tapi, ia akhirnya ikut juga karena ketiga temannya tak berhenti mengajaknya. Baru pada acara ketiga Donny mafhum kalau teman-temannya itu ternyata sedang berburu teman kencan. Donny tak bisa menahan tawa ketika Kandar bilang bahwa kelompok mereka punya nama, Sarekat Muslihat Musang Emas. “Dulu namanya Sarekat Jasa Khilaf, Bung. Tapi, Sarekat Muslihat Musang Emas lebih nyeni,” kata Sinyo. Menurut ketiga kawannya, perempuan-perempuan yang mereka temui bukan jenis yang gampangan—sekalipun bisa khilaf tentunya—dan justru itu yang membuat perburuan menarik. Donny yang awalnya mencibir akhirnya tertantang. Bukan karena bakal ada imbalan seks jika perburuan berhasil, melainkan karena perburuan—sukses atau tidak—ia yakini bisa menghiburnya. Sebelumnya, ia banyak murung karena sulit menemui anak perempuannya yang ikut mantan istrinya. Mantannya itu memusuhinya. Kalau perburuan bisa berlanjut ke ranjang, ia akan bersyukur. Ia membutuhkan seks. Ia tahu bahwa untuk urusan seks ia bisa memakai jasa perempuan penghibur tetapi ia tak suka setelah pernah mencoba sekali. Ia tahu juga bahwa memuaskan diri sendiri adalah jalan keluar yang mudah. Tapi, hari-hari itu, kalau ia melakukannya, hatinya malah sering nelangsa setelah hajatnya selesai.
115
BERKAS
Sampai acara ketujuh yang ia ikuti, Donny belum beruntung. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Ia benar-benar gagu di tengah perempuan-perempuan yang bersikap sangat ramah kepadanya sekalipun. Ketiga kawannya gemas. “Don, mereka itu ngebet sama kamu lho,” kata Herman. “Mosok?” tanya Donny. “Kamu itu kan paling paling mbois di antara kita. Paling pintar bermulut manis pula,” kata Herman. “Itu dulu.” Keberaniannya memulai percakapan dengan perempuan mengempis semenjak perceraiannya. Mantan istrinya benar-benar berhasil merusak kepercayaan dirinya setelah serangkaian pertengkaran buruk sebelum mereka bercerai. Yang paling melukai Donny adalah ketika perempuan itu bilang tak pernah mencintainya karena ia memang tak layak dicintai.
116
Acara kedelapan yang ia ikuti adalah pertemuan para penggemar karya Haruki Murakami. Donny mengenal nama Murakami, ia pernah menonton sebuah film yang diangkat dari novel Murakami, tapi sebetulnyalah ia belum pernah membaca satu pun tulisannya. Ia ikut lagi-lagi karena ketimbang bengong di rumah. Siapa nyana, Murakami mengubah peruntungannya— secara tidak langsung. Donny sedang duduk menunggu ketiga temannya selesai berhandai-handai setelah acara ditutup ketika seorang perempuan yang Donny taksir berusia 20-an akhir duduk begitu saja di sampingnya. Perempuan berkulit cerah itu mengeluarkan pil dari tasnya dan meminumnya. Spontan, Donny bertanya, “Sakit, Mbak?” “Ndak, ng... ini pil bulanan.” “Sakit bulanan?” “Bukan. Ini pil biar aman tiap bulan. Tahu sendirilah, Mas. Saya minum teratur pada jam yang sama supaya ndak lupa. Kalau ngandelin pasangan pakai pengaman kok masih was-was.” Perempuan itu kemudian berlalu setelah tersenyum. Donny bukan laki-laki dungu. Ia tahu apa yang diminum perempuan itu, setidaknya demikian jika pengakuan itu benar. Donny sempat memikirkan sekiranya perempuan itu melemparkan isyarat dan ia kurang sigap. Ia tak terlalu menyesali jika benar demikian. Keterbukaan perempuan itu kepadanya, si orang asing, menyadarkan dirinya bahwa ia masih punya harapan. Insiden itu membuat Donny bisa rileks. Pada acara-acara berikutnya kefasihan lidahnya sudah kembali. Dengan cepat ia beroleh kenalan baru perempuan. Dalam hati, Donny juga membenarkan dengan malu-malu perkataan teman-temannya, bahwa parasnya memang oke. Perkenalan-perkenalan itu ada yang berlanjut ke ranjang, ke pekerjaan, ke keduanya atau tidak berlanjut sama sekali. Donny tak terlalu risau. Ia menikmati yang bisa ia dapat. Ia tak pernah membanggakan kepada teman-temannya jika yang ia kencani kebetulan seorang sosialita atau model yang punya nama—dua kelompok yang selalu ada saja di komunitas mana pun. Teman-temannya iri, tapi bagi Donny perempuan-perempuan itu teman kencan biasa, kebetulan saja nama mereka dikenal banyak orang. Ia pernah berpacaran dengan model dan bintang film sebelum ia menikah. Mantan istrinya juga salah seorang juara ajang Abang None Jakarta. Donny masih akan terus nyaman dengan situasinya jika anggota Sarekat Muslihat Musang Emas tidak mengundurkan diri satu per satu. Herman bertemu pacar di komunitas filateli, Kandar mendapat pekerjaan baru di Myanmar, dan Sinyo—satu-satunya anggota yang bukan lajang—terhinggapi ciut nyali setelah istrinya mulai curiga.
Muslihat Musang Emas dan Elena cerita pendek oleh Yusi Avianto Pareanom
Donny sempat berpikir untuk menyudahi saja ikut acara komunitas ini dan itu. Sarekat yang anggotanya seorang saja jelas tak asyik. Terlebih, ia mulai terjangkit perasaan tak nyaman yang sering ia dapatkan setelah kencan. Ia tak mengeluhkan seksnya, tapi ia merasa menjadi penipu dan ia terganggu. Ia ingin hubungan yang lebih tulus dan serius. Sebetulnya, Donny tak berminat datang ke malam amal komunitas bakau. Selain bukan pecinta sejati bakau, minatnya juga sudah luntur gara-gara ketiga temannya absen. Tapi, salah seorang pengurus komunitas itu, seorang laki-laki yang selalu tampak aleman, memintanya membantu urusan dokumentasi. Donny bersedia karena yang memintanya pernah memberinya orderan besar dan kebetulan juga ia sedang agak luang. Hati Donny berdesir begitu melihat Elena yang malam itu mengenakan baju putih longgar, celana jins biru, dan sepatu but kulit hitam. Ia tak pernah bertemu Elena pada acara komunitas bakau sebelumnya. Di mata Donny, paduan busana sederhana itu terlihat sangat serasi. Gawat, pikirnya, jangan-jangan ia jatuh hati pada pandangan pertama. Tapi, ia tak berani bilang apa-apa. Kefasihan lidahnya yang sudah kembali dalam beberapa bulan terakhir menghilang lagi malam itu. Bahkan, sebetulnyalah ia tak berani memotret Elena dari dekat. Ia terlalu gugup. Sepulangnya dari acara, Donny melihat-lihat lagi gambar Elena yang ia ambil. Ia menaksir usia perempuan itu tiga puluhan awal, tak beda jauh darinya. Rahang Elena sedikit tegas dan dadanya boleh dibilang rata, bukan tipe kesukaan Donny. Tapi, semalaman ia tak bisa tidur memikirkan Elena. Keesokan harinya, pada acara lanjutan di Cilincing, ia melihat Elena lagi. Elena yang pagi itu mengenakan rok mini dan kaus oblong terlihat lebih kecil daripada malam sebelumnya. Donny tak pernah tertarik kepada perempuan dengan perawakan sekecil itu sebelumnya. Tapi, desir di hatinya menjadi. Tanpa Donny duga, Elena datang mendekatinya. Donny melihat ada tonjolan di balik kausnya. Tidak besar tetapi cukup menenteramkan hati Donny. “Mas, lihat itu deh, besar sekali ya, kalau difoto lucu,” kata Elena, menunjuk sesuatu di atas permukaan sungai. Tawanya terdengar merdu di telinga Donny. Yang Elena tunjuk ternyata kotoran manusia yang ukurannya aduhai. Entah manusia macam apa yang bisa mengeluarkan kotoran sedemikian pulen: besar, panjang, dan melengkung seperti bulan sabit. Donny kagum dan ikut tertawa. Ia memotretnya. Seandainya Elena memintanya membungkus kotoran itu untuk kenang-kenangan, ia akan patuh. Obrolan mereka pagi itu singkat, tapi Donny sudah girang bukan kepalang. Ia mendapatkan nomor Elena. Sepanjang acara ia berkali-kali mencuri mengambil gambar Elena yang sepertinya juga tahu dan tidak keberatan. Namun, Donny girang kepagian. Hari yang menggembirakan itu berkelok. “Kau suka kepada Elena?” tanya pengurus komunitas bakau yang meminta jasanya. Donny menyeringai. “Kelihatan sekali, ya?” “Hm, begini lho, Don...” Si lelaki aleman itu bercerita kalau Elena terlahir sebagai Martin Manurung dan masih menyandang nama itu. Elena memang sudah berganti kelamin delapan bulan sebelumnya, tapi permohonan pergantian status hukumnya belum selesai.
117
BERKAS
118
“Kurasa kau perlu tahu, Don,” kata si lelaki aleman. Sepulang dari Cilincing, Donny membeli sebotol wiski dan minum sendirian di apartemennya. Ia ingin mabuk tetapi tak berhasil. Yang datang justru air matanya. Ia jengkel setengah mati membayangkan mantan istrinya yang pasti akan menertawainya pol-polan jika tahu situasinya. Ia juga belum sanggup membayangkan reaksi keluarga dan teman-temannya jika ia ingin serius dengan Elena. Selama sepekan Donny menyumpah-nyumpah sendiri. Sepekan berikutnya Donny menyumpah-nyumpah lagi. Sepekan berikutnya lagi ia masih menyumpah-nyumpah, tapi serapahnya mulai goyah. Rasa sukanya kepada Elena masih kuat. Semakin malah. Ia sempat berpikir jangan-jangan Elena adalah tukang jampi-jampi. Dan, ia pun menyumpah-nyumpah lagi karena alasan yang berbeda. Ia lalu melakukan sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia pikir bakal lakukan saat akan mendekati orang yang ia taksir, membuat daftar pros and cons seperti pemuda-pemudi unyu yang pertama kali mengenal cinta. Ia menulis yang masuk ke dalam kantung cons terlebih dahulu: hinaan mantan istri, ibu yang nelangsa jika tahu, ketidakpahaman kawan-kawan dekat yang disarukan sebagai permakluman sehingga membuat semuanya lebih anjing lagi, kotbah tak diundang dari siapa pun yang merasa kenal dengannya, kulit gelap, bodi kecil, dada rata, vagina palsu. Donny berhenti di vagina palsu sekalipun masih banyak lagi yang terlintas di kepalanya. Pros: poni, rajah lebah madu mungil di tangan kiri, suka, suka, suka.... Semenit kemudian Donny merobek kertas berisikan daftar sialan itu. Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia sudah jatuh hati. Ia pertama kali melihat Elena sebagai perempuan. Dan, memang kenyataannya Elena seorang perempuan, bukan? Ia meyakin-yakinkan dirinya lagi dengan pemikiran bahwa semua orang membawa sejarahnya masing-masing. Memangnya siapa ia yang boleh menghakimi seseorang? Ia pun mengontak Elena suatu siang dan mengajaknya makan bersama. Ia pura-pura kebetulan sedang ada urusan di gedung kantor Elena berada. Ia sengaja ke sana dua jam sebelumnya. “Kautahu aku perempuan jadi-jadian, bukan?” tanya Elena siang itu. “Jangan bilang begitu, ah.” “Ih, kau baik ya,” ujar Elena. “Kau tak perlu bercerita yang pribadi-pribadi.” “Kau kawan baru. Aku tak ingin kautahu dari orang lain.” Elena lalu bercerita bahwa ia merasa dirinya bukan lagi Martin sejak usia tiga belas tahun. Ia baru berani mengenakan baju perempuan semasa kuliah setelah ayahnya meninggal. Ia menjalani operasi di Bangkok setelah ibunya meninggal setahun lalu. “Dulu waktu sekolah sempat pacaran dengan cewek? Eh, sori, jadi lancang,” kata Donny. “Santai saja. Sama cewek sih sering, dan aku menikmati, setidaknya awalnya,” kata Elena. “Kok?” “Aku tidak happy dengan tubuhku. Dan, orang yang tidak bahagia sulit bikin orang lain senang.” “Sudah pacaran dengan berapa laki-laki?” Elena meninju bahu Donny. “Sialan, memangnya aku perempuan apaan?” “Belum pernah?” “Mau tahu saja.” Donny tersenyum. Siang itu ia sempat berpikir bahwa ia mungkin akan menjadi laki-laki pertama yang memasuki Elena. Ia pulang dengan rasa bungah. Namun, bukan harapan akan
Muslihat Musang Emas dan Elena cerita pendek oleh Yusi Avianto Pareanom
beroleh yang semacam itu yang membuat Donny ingin terus bertemu Elena. Ia merasa benarbenar nyambung dengan Elena yang bekerja sebagai penasihat keuangan itu. Wawasan Elena luas dan diam-diam membikin Donny sedikit malu saat pura-pura paham omongan Elena. Pada pertemuan berikutnya, Donny yakin bahwa ia memang sudah jatuh hati sejatuhjatuhnya. Elena selalu bisa membuatnya tertawa karena perkara remeh-temeh, serupa saat perempuan itu menunjuk kotoran berukuran besar di Cilincing. Maka, Donny pun mencari-cari alasan untuk bisa sering bertemu dengan Elena, termasuk ikut komunitas pelakonan ulang. Hanya, sampai beberapa pertemuan selanjutnya, Donny masih belum berani menyampaikan isi hatinya. Ia sedang menabung keberanian. Sebetulnya ia berharap dan tidak keberatan sama sekali jika Elena yang bilang duluan. Sayangnya hal itu tak terjadi. Donny akhirnya berketetapan akan menyatakan isi hatinya kepada Elena pada pesta pernikahan yang akan ia hadiri dengan seragam serdadu Jepang itu. Ia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia tak peduli jika dunia menertawakannya—atau lebih tepatnya ia masih peduli tetapi akan mencoba menabah-nabahkan diri. Seperti ungkapan klise, hati sudah bicara. Ia yakin Elena juga suka kepadanya. Pesta pernikahan di Gedung Arsip Nasional malam itu meriah sekali. Sang pengantin laki-laki berdandan ala Jenderal Douglas McArthur sementara si pengantin perempuan memilih bergaya ala Winston Churcil. Donny mencari-cari Elena. Setelah satu jam, baru ia melihat Elena masuk ruang pesta. Benar, Elena mengenakan seragam perwira SS. Benar, lipstiknya merah menggairahkan seperti dalam poster film lama. Donny ingin mencium perempuan itu saat itu juga. Elena melambaikan tangan kepadanya. Bersama Elena datang seorang perempuan yang berdandan ala Marlene Dietrich. “Don, kenalkan ini Lisa, pacarku. Lisa, ini Donny, teman baruku yang baik yang sering kuceritakan itu,” kata Elena. Sekiranya Donny membawa pedang pendek sebagai pelengkap kostumnya, barangkali ia akan menyobek perutnya malam itu juga di tempat pesta. “Kapan memangnya pesta itu?” tanyaku. “Dua hari yang lalu, Mas.” Aku sebenarnya ingin mengajak Donny bicara tentang gender dan seksualitas. Tapi, saat melihat wajahnya yang kusut aku tahu ia takkan berminat bicara soal itu. Aku mengacak-acak rambutnya. “Nasibmu kok cemerlang sekali, Don?” “Matamu, Mas. Kepalaku pecah ini.” “Malam ini tak cukup kopi, Don,” kataku. Malam itu aku mentraktirnya minum di sebuah bar di Kemang. Setelah menenggak sloki wiski keempatnya, Donny berkata, “Ketimbang bikin agama baru, bikin Komunitas Hati Remuk Karena Sebab-sebab yang Tak Tertanggungkan saja, Mas.”
119
120
The Golden Fox Trickery and Elena a short story by
Yusi Avianto Pareanom
“We have an opportunity to create a new religion, Don,” I said to Donny, my younger cousin. “How is that, exactly?” We were having coffee at one of the coffee shops in Kalibata City, an apartment complex where Donny lived. I visited him and we had small talk. In the beginning, like always, we gossiped about our relatives until the subject changed. 121
I told him a story about my friend, a businessman, who tried his luck. The story began when he walked along a market in Beijing. There he saw a pair of shoes with an interesting style. He was convinced that that kind of design would sell huge in Indonesia. So he ordered the shoe in every size and paid right away. A month later, his order arrived. He was shocked like hell seeing that the shoes in the container were all left sides. He called the shoe seller in China right away. But the answer he got really made him gape in astonishment. “But in the store, you only pointed at the left shoe,” said the shoe seller. He had no choice but to make another order, this time, the right sides in exactly the same amount. It was impossible, of course, to sell one-sided shoes only. He knew that his bargaining position was weak, because in China, there are a great number of home industries which are able to produce only left shoes no matter how many without having to feel a total loss if the cheated refuses to order the other side. “What’s new religion got to do with it?” Donny asked. “Here, if I were richer than God, I would like to make the same mistake over and over again. I just wanna know how long the shoe seller is willing to ship the left shoes. I want to buy his sense of embarrasment. If until the 113th order he still sends the left shoes, I’ll give up. I will create a new religion and make him god. Whoever has no fear must be god himself. And you, as a photographer, can document the founding of this new religion,” I said. Donny grinned. He did not laugh as my other friends did when they heard the story. “It’s just an ordinary story.” “Fuck you. This is one hell of a con game.” “But you never heard this one,” Donny said. Donny told a story for two hours. Here is the story which I have rearranged.
BERKAS
122
The bell in Donny’s apartment rang exactly at the second minute of Elton John’s “We All Fall in Love Sometimes.” Donny had played that song already three times that morning, and maybe he would play it again. He was not a fan of that English diva—yes, to him, there were no British singers that were good enough to be called “diva” than Sir Elton himself—however, the pop song fitted his mood. It was a carrier who brought his order; a Japanese soldier uniform from the World War II era. He bought it from a special boutique in Bandung. His hand stroked the grey-green uniform before he embedded captain insignia on it. That uniform was his asset in order to attend the wedding of two members of the New Jakarta Reenactment Community; a group of people who liked to gather and reenact scenes from any era, amateurishly. The couple who were getting married asked the other members to wear any costumes from the World War II era. Whoever wears the most outrageous costume will be invited to our honeymoon; that was their short message, added with five kinds of emoticons. Donny knew they were only joking. But he also knew that his other friends wouldn’t throw away an opportunity to dress all out. “I want to wear the Nazi uniform,” said Elena when reading the short message with Donny in a coffee shop, “and I assure you that no one at the party can beat the brightness of my red lipstick.” “How red, exactly?” Donny asked. “Like in the old movie posters,” Elena answered. Donny forgave Elena who could not or would not formulate specifically how red the lipstick was she wanted to wear. To other people, he would bombard them wih questions such as: What movie? Which country? Does ‘old’ here refer to the poster or the film? And so on. He had that tendency. But he always had a soft spot for a woman he had a crush on, and that weakness worsened in front of Elena. “I warn you, don’t be a coward when you come to the wedding,” said Elena. “What do you mean?” “Don’t wear regular cloths and say that that is what government officers used to wear in that era. And don’t seek the easy way out by wearing shabby cloths and say that you’re reenacting a fighter. You must go all out.” “Ouch.” “You must already wear your costume before you leave your place. Don’t put it on in the restroom at the reception hall. And don’t you dare to ride a taxi or bring your own car, like you are used to do. It’s no fun, you know. You live in Kalibata City apartement, right? Then take the train, instead, if it’s too difficult for you to ride on a shared taxi.” “What will I get if I dare?” “Prove it first, then we’ll talk about what you’ll get,” Elena said. Donny believed that Elena would really come up with the uniform she promised. And the wedded couple might be wearing more outrageous costumes. Donny had no guts to do such thing, wearing a Gestapo uniform would be too extreme. He once felt embarassed to death when a few white men cursed his friend who wore an SS uniform when they got together in Kota area. He felt rather secure and cool, too, by the Japanese soldier uniform he had chosen. Besides, he had another reason which was a bit sentimental. Twenty five years ago, when he was still a child, Donny was very impressed with his big brother who was acting as a ruthless Japanese sodier in a drama as a part of 17th August festivities at their quarter in Semarang. Even long before the performance, his brother, who was still a high school student at the
The Golden Fox Trickery and Elena a short story by Yusi Avianto Pareanom
time, successfully impressed the neighbors who watched him practicing when he said the swearword bagero—idiot—very convincingly. The neighbors always waited for his practice and they would clap their hands for every bagero that came out of his mouth. And maybe because of that enthusiasm, on the night of the performance, his brother blasted the bagero more than fifty times in a thirty minutes play. His brother always protected him when he was little. His brother passed away four months ago. And that was the reason why he chose the Japanese soldier uniform. He imagined that if his brother had still been alive, he would have gladly joined the reenactment community and became the star there. Donny joined the reenactment community because of Elena. He was not invited, but Elena mentioned this community frequently, so he joined in order to have a reason for them to meet more often. Even if Elena mentioned about the Mortar and Pestle Fan Community or the Picture Card Carer Community or the Velvet Underground Worshipper Sect, he would still join without having to think twice. He met Elena three months ago at a charity night hosted by a mangrove lovers community—their members, just like any other community’s members, preferred to label their group in English: Mangrove Addicts. Actually, he did not really care about mangroves. Of course, he would like to have it preserved. But if he were asked to sweat himself for the sake of mangroves, he would rather sneak off before running away for good. As before, he joined the mangrove lovers community, and other communities as well, for one reason only: looking for dates. It began a year ago. Donny who was just divorced liked to lock himself up in his apartement. He even rejected some projects which promised him huge money. His three close friends— Herman, Kandar and Sinyo—felt irritated. Then they asked him to join various community events in Jakarta. “What for?” Donny asked. “For fun, dude,” Kandar answered. Donny was annoyed by the answer. But he eventually joined in because his three friends would not stop inviting him. At the third event, Donny finally understood that his friends were actually hunting for possible dates. Donny could not stop laughing when Kandar said that their group has a name: the Golden Fox Trickery Guild. “It used to be the Negligent Service Guild, dude. But Golden Fox Trickery Guild sounds more artsy,” Sinyo said. According to his three friends, the women they met were not the easy type—even though they could be negligent, of course—and that made the hunting more interesting. Donny, who sneered at them at first, eventually felt challenged. It was not because of the sex, as a reward, if he succeeded, but because he was convinced that the hunting itself— success or not—might entertain him. He was always in a gloomy mood for it was difficult for him to see his daughter who lived with his ex-wife. His ex-wife despised him. If the hunting proceeded to bed, he would be grateful. He needed sex. He knew that he could use the help of a prostitute, but he did not like it after he tried it once. He also knew that satisfying himself would be the easy way out. But those days, if he did it, he felt rather miserable afterwards.
123
BERKAS
Donny still found no luck at the seventh event. He blamed himself. He became totally speechless in front of women who were very friendly to him. His three friends were annoyed. “Don, they want you,” Herman said. “Really?” Donny asked. “You’re the most badass among us. And you’re good at sweet-talking,” said Herman. “I used to be.” His courage to initiate a conversation with women shrank since the divorce. His ex-wife had really destroyed his confidence after all the fights they had before the divorce. One thing hurt him deeply was when she said she never loved him because he was not worth it to be loved.
124
The eighth event he joined was the Haruki Murakami’s fan gathering. Donny knew Murakami, having had watched a movie adapted from Murakami’s novel, but actually he had never read any of his books. Once again, he joined rather than letting his mind went blank at home. Who would guess that Murakami changed his luck—indirectly. After the gathering event was over, Donny was sitting alone while waiting for his three friends to finish socializing when a woman he figured being in her late twenties sat next to him. The fairskinned woman pulled out a pill from her purse and swallowed it. Spontaneously, Donny asked, “Are you sick, Miss?” “No, ehm... this is a monthly pill, sort of....” “For monthly period?” “No. This pill saves you every month. I bet you know what I mean. I drink it regularly at exactly the same hour so I won’t forget. I still feel insecure if I must rely on my partner.” She smiled, then walked away. Donny was not a stupid man. He knew what she just swallowed, at least he knew it if she told him the truth. Donny thought whether she actually gave him a sign he was not aware of. But even if he was not aware, he did not feel sorry. Her openness to him, even though she’s a stranger, made him realize that he still had a chance. That incident made Donny feel relaxed. At the next events, his sweet-tongue was back. He quickly got new female acquaintances. Secretly and shyly, Donny confirmed his friends’ comment about him; that he was good looking. The acquaintanceships proceeded to bed, to work, to both or even nowhere. Donny did not really care much. He enjoyed what he got. He never bragged in front of his friends if his date turned out to be a socialite or a famous model—two types of people who always appeared in any kind of community. His friends envied him, but for Donny, those women were only regular dates who happened to be famous and known by many people. He used to date a model and an actress before he got married. Even his ex-wife was a former Miss Jakarta. Donny would still be feeling comfortable with his current condition if only the members of the Golden Fox Trickery Guild had not stepped down one by one. Herman met his girlfriend in a philately community; Kandar got a new job in Myanmar, and Sinyo—the only member who was not a bachelor—shrivelled from fear after his wife started to be suspicious. Donny thought to end his activity of joining various community events. A guild with only one member was obviously no fun. Furthermore, he was often infected by a feeling of anxiety after the dates. He did not complain about the sex, but he felt that he had become a fraud and he was annoyed by it. He wanted a more serious, more sincere relationship.
The Golden Fox Trickery and Elena a short story by Yusi Avianto Pareanom
Actually, Donny did not want to come to the charity night of the mangrove lovers community. Other than he was not a real mangrove addict, his interest had faded away because his three friends did not show up. However, one of the community staff member, a man who always looked gayish, asked Donny to help him with the event documentation. Donny said yes because the man who asked him once gave him a big project, and also because he had a luxury of time. Donny’s heart fluttered when he saw Elena, who, that night, wore a loose white shirt, blue jeans, and black boots. He never saw Elena in any of the mangrove lovers community events before. In Donny’s eyes, the combination of that simple outfit really fitted her. Damn, he thought; maybe he had a crush at first sight. But he did not dare to say anything. His sweettongue, which had been back within these past couple of months, disappeared again that night. He actually did not dare to take Elena’s picture closely. He was too nervous. After the event, Donny saw Elena’s pictures which he just took. He guessed that she was in her early thirties, the same age with him. Elena’s jaw was a bit firm and her chest was rather small; not Donny’s type. But he could not sleep because he was thinking of Elena all night. The next day, in the proceeding event in Cilincing, he saw Elena again. That morning, Elena, who wore a T-shirt and mini skirt, looked a little more petit than the night before. Donny never felt attracted to petit women. But his heart fluttered more wildly. “Hey, look! It’s so huge. It must be hilarious in a picture,” Elena said, pointing at something on the river’s surface. Her laughter sounded melodious in Donny’s ears. Elena was pointing at human waste, which size was remarkable. It was unthinkable the kind of human who was able to produce such extraordinary waste: big, long and curvy like a crescent moon. Donny admired it and laughed too. He took a picture of it. If Elena had asked him to take the human waste as a souvenir, he had done it right away. That morning, they chatted only for a while, but Donny was very happy. He got Elena’s number. During the event, he secretly took her picture over and over again, and Elena herself seemed not to mind. However, Donny felt too happy too soon. The happy day turned into another direction. “You like Elena?” asked the mangrove lovers community staff member, who asked for his help. Donny grinned. “Is it obvious?” “Ehm, there is something...” The pretty guy told him that Elena was born as Martin Manurung and she actually still bore that name. Elena did change her genital eight months ago, but her request for a change of legal status was not granted yet. “I think you need to know it, Don,” said the pretty guy. On his way home from Cilincing, Donny bought a bottle of whiskey and drank alone in his apartment. He wanted to get drunk, but he failed. He shed tears instead. He became very irritated imagining his ex-wife who must roll on the floor laughing if she had known his current situation. He, too, could not imagine his family’s and friends’ reaction if he wanted to get serious with Elena. Donny cursed himself for a week. The next week, he still cursed himself. The week after, he still cursed himself, but the curse was less severe for his crush towards Elena was still strong.
125
BERKAS
Stronger, instead. He once thought that Elena might be a witch. And, he cursed himself again for a different reason. He then did something he never thought he would do when trying to get closer to someone he had a crush on; making pros and cons list like cute youngsters in love for the first time. He put all possibilities in the “cons” list first: his ex-wife’s insults, his mother’s sadness when she would find out; his friends’ who might not understand but will cover it up by trying to look as if they understand and making everything even more shitty; unwelcomed preaching from whomever knew him; tan skin, petit body, flat chast, fake vagina. Donny stopped at ‘fake vagina’ although there were still many things running around his head. “Pros”: hair bangs, small honey bee tattoo on her left hand, like her, like her, like her... . A minute later, Donny tore the damn list. He could not lie to himself. He was in love. The first time he saw Elena, he saw her as a woman, and Elena was a woman, right? He convinced himself by thinking that people carried their own history. And who was he to judge? One day, he called Elena and asked her to have lunch together. He pretended as if he had an errand in the building where Elena’s office was. He deliberately came to the building two hours before their meeting. 126
“You know that I’m a bogus woman, right?” asked Elena that day. “Hey, don’t say that.” “You’re so kind,” said Elena. “You don’t have to tell me private things.” “You’re a new friend. I don’t want you to know this from other people.” Elena then told him her story; how she felt that she was no longer Martin since she was thirteen years old. She had a courage to wear women’s clothing when she was a university student, after her father passed away. She had a genital surgery in Bangkok after her mother passed away last year. “Did you use to go out with girls when you’re still in school? Err, I’m sorry for being pushy,” said Donny. “Don’t worry. I frequently went out with girls, and I enjoyed it, at first, though,” said Elena. “Why is that?” “I wasn’t happy with my body. And it’s difficult for an unhappy person to make another person happy.” “How many guys have you gone out with?” Elena punched Donny’s shoulder. “How dare you, what kind of woman do you think I am?” “You never gone out with guys?” “It’s my business.” Donny smiled. That day, he thought that there might be a chance for him to be the first men who entered Elena. He came home happily. But it was not that kind of expectation which made Donny want to meet Elena more often. He felt that he could talk about anything with Elena, who worked as a financial consultant. Secretly, Donny felt a little ashamed by Elena’s deep insight when pretending to understand what she said. At their next meeting, Donny was convinced that he had already fallen in love with her— fallen very deeply. Elena always able to make him laugh with trivial things; just like when she
The Golden Fox Trickery and Elena a short story by Yusi Avianto Pareanom
was pointing at the enormous human waste in Cilincing. Donny then looked for a reason for him to be able to meet Elena more often, including joining the reenactment community. But until several next meetings, Donny still had no courage to tell her what he felt. He was saving his courage. He actually hoped and did not mind at all if Elena was the first one who would tell him. But it didn’t happen. Donny then decided to tell her what his heart felt at the wedding he would attend by wearing the Japanese soldier uniform. He was not able to wait any longer. He did not care whether the world would laugh at him—to be more precisely, he would still care but he would try to be resilient. Just like a cliche phrase; his heart had talked. He was sure that Elena also liked him. The wedding banquet in the National Archive Building was very merry. The groom was dressed up as General Douglas McArthur while the bride was dressed up as Winston Churchill. Donny was looking for Elena. After an hour, he saw Elena entering the wedding hall. She did wear an SS uniform. She did wear the seducing red lipstick like in the old movie posters. Donny wanted to kiss that woman right away. Elena waved her hand at him. Together with Elena, there was a woman who dressed up as Marlene Dietrich. “Don, this is Lisa, my girlfriend. Lisa, this is Donny, my good-hearted new friend I always talk to you about,” said Elena. If only Donny had brought a dagger as a complimentary to his costume, he would have slit his stomach in the wedding hall. “When was it?” I asked. “Two days ago.” Actually I wanted to discuss about gender and sexuality with Donny. But seeing his crumpled face, I knew he had no interest in talking about that stuff. I tousled his hair. “How could your fate be so marvellous?” “Fuck you. My head is blowing off here.” “Coffee is not enough tonight, Don,” I said. Tonight I treated him in a bar at Kemang. After swallowing his fourth shot of whiskey, Donny said, “Rather than creating a new religion, we should create the Heartbroken for Unbearable Reasons Community instead.”
127
Tentang Para Kontributor Agung ‘Abe’ Natanael lahir di Jakarta, 1982. Ia lulusan jurusan Jurnalistik, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta. Pada 2001, ia turut mendirikan Tanahijau, sebuah komunitas mahasiswa di Jakarta yang bergiat di wilayah jurnalistik, seni, dan budaya. Dua tahun kemudian ia menjadi anggota Forum Lenteng. Beberapa tahun terakhir ia bekerja sebagai fotografer. Ia pernah menjadi reporter berita harian di Media Kota News, Koran Jakarta, dan kontributor foto untuk majalah Family Doctors dan Bung!. Di sela kesibukannya, ia menjadi pemateri untuk sejumlah lokakarya fotografi. Karya-karya fotografinya, selain berada dalam jurnal ini, juga menjadi sampul bagi buklet dan katalog—tiga publikasi cetak Jakarta Biennale 2013: SIASAT. 128
Farid Rakun lahir di Jakarta, 1982. Ia membutuhkan waktu lebih daripada 10 tahun untuk menuntaskan pendidikan formalnya di jurusan Arsitektur di Universitas Indonesia pada 2005 dan meraih gelar master dalam bidang yang sama dari Cranbrook Academy of Art pada 2013. Tanpa pernah berkata tidak, agar bisa mempertanyakan segala sesuatu, ia merancang bangunan, mewujudkan produk, instalasi, selain menulis serta menyunting buku dan publikasi lain. Bekerja dengan beragam lembaga pendidikan dan kebudayaan—Universitas Indonesia, Universitas Tarumanagara, Cranbrook Academy of Art, University of Michigan, Hongkong University, Goethe-Institut, Institut Français Indonesia, ruangrupa, dan RUJAK Center for Urban Studies— ia percaya pada kebetulan yang produktif, yang mungkin memang dampak dari praktik kerjanya yang kolaboratif.
JJ Rizal lahir di Jakarta pada 1975. Sebagai sejarawan, ia aktif menyikapi berbagai persoalan di tengah masyarakat melalui tulisan-tulisan di berbagai media cetak dan sering dijadikan narasumber oleh beberapa stasiun radio dan televisi. Ia adalah pendiri sekaligus pemimpin Penerbit Komunitas Bambu yang banyak menerbitkan bukubuku sejarah Indonesia. Reza Mustar alias Azer lahir di Jakarta, 1983. Ia mulai menggambar sejak umur 4 tahun dengan menggunakan tembok kamar kakeknya sebagai kanvas, sebelum akhirnya kuliah di Jurusan Desain Komunikasi Visual Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada 2001. Ia pernah membuat panel-panel kartun yang merespons kekikukan para penumpang menaiki Transjakarta dan memajangnya di enam halte Transjakarta Koridor I pada 2004, saat moda transportasi itu belum setahun beroperasi di Jakarta. Setelah lulus pada 2006, ia sempat beberapa kali bekerja di media cetak yang meninggalkan kenang-kenangan sebuah kartu pers yang membuatnya selalu selamat dari tilang polisi lalu lintas. Saat ini, sambil tetap membuat komik strip, ia bekerja sebagai desainer grafis dan ilustrator.
Yuka Dian Narendra lahir di Jakarta, 1972. Sekarang ia mengepalai Departemen Kajian Kebudayaan Populer Indonesia di C4Ad (Center for Arts & Design) Surya Research and Education Center di Serpong, Tangerang. Minat penelitiannya adalah hal remeh-temeh dalam kebudayaan populer Indonesia, terutama kajian tentang subkultur musik metal. Kegemarannya terhadap musik metal itulah yang membuat Kandidat doktor bidang Cultural Studies dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini memutuskan untuk menulis disertasi subkultur metal Indonesia. Ia juga merekam dan memproduksi sejumlah album kelompok musik underground di studio rekaman kecil di rumahnya. Yusi Avianto Pareanom saat ini bekerja di Penerbit Banana. Lulusan Teknik Geodesi Universitas Gajah Mada ini pernah bekerja sebagai wartawan majalah TEMPO. Selain mengarang fiksi dan menulis nonfiksi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Bukunya antara lain adalah kumpulan cerita pendek Rumah Kopi Singa Tertawa (Penerbit Banana, 2011). Karyanya yang sebentar lagi terbit adalah novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi.
129
About the Contributors
130
Agung ‘Abe’ Natanael was born in Jakarta, 1982. He graduated from the Journalistic Department of the Jakarta Institute of Social and Political Sciences (IISIP). In 2001, he co-founded Tanahijau, a student community in Jakarta which is actively engaged in the fields of journalism, art, and culture. Two years later he became a member of Forum Lenteng. For the last several years he has been working as a photographer. He has been a reporter for Media Kota News, Koran Jakarta newspapers and photo contributor for Family Doctors and Bung! magazines. Amidst his busy schedule, he finds time to teach in various photography workshops. His photographic works, in addition to those in this journal, can be found on the covers of the booklet and catalogue—the three publications of the Jakarta Biennale 2013: SIASAT. Farid Rakun was born in Jakarta, 1982. A bachelor’s degree in architecture from University of Indonesia in 2005, and a masters in the same field in 2013 from Cranbrook Academy of Art, it took him more than ten years to complete his formal education. Slow is indeed his deliberate strategy to navigate this fast-paced, growthobsessed world. Saying no to nothing to be able to question everything, he has designed and built buildings, dreamed up products, installations and committed interventions, in addition to writing and editing books and other publications. Having worked with a diverse body of cultural and educational collaborators—University of Indonesia, Tarumanagara University, Cranbrook Academy of Art, University of Michigan, Hongkong University, Goethe-Insitut, Institut Franćais Indonesia, ruangrupa, and RUJAK Center for Urban Studies—he solidly believes in productive coincidences, that could just be an inexorable effect of the collaborative nature of his practice.
JJ Rizal was born in Jakarta in 1975. As a historian, he actively responds to the various problems in society through his writings in many print publications and has been a resouce person for many radio and television stations. He is the founder as well as director of Penerbit Komunitas Bambu, a publishing house that publishes books mainly on Indonesian history. Reza Mustar alias Azer was born in Jakarta, 1983. He began drawing since he was 4-years old using the walls of his grandfather’s house as his canvass, before finally attending the Communication Design Department at the Jakarta Arts Institute (IKJ) in 2001. He has drawn cartoon panels by responding to the awkwardness of Transjakarta busway passengers and displaying his works in six Corridor I Transjakarta bus stops in 2004, at that time this mode of transportation had been in operation barely one year. After graduating in 2006, he has worked in several print media which left him with a press card as a souvenir, which has come to good use to save him from police traffic fines. Today, while still making comic strips, he works as a graphic designer and an illustrator.
Yuka Dian Narendra was born in Jakarta in 1972. He heads the Department of Indonesian Popular Cultural Studies in C4Ad (Center for Arts & Design), Surya Research and Education Center in Serpong, Tangerang. His research interest is the trivialities in Indonesian popular culture, especially the study of metal music subculture. It was his interest in metal that made this Cultural Studies doctoral candidate from the Cultural Science Faculty of the University of Indonesia decide to write a dissertation on the Indonesian metal subculture. He also records and produces several albums for underground music groups in his small home studio. Yusi Avianto Pareanom currently works at Penerbit Banana, a publishing house. He is a graduate of the Geodesic Engineering Faculty at Gadjah Mada University, and previously worked as a journalist for TEMPO magazine. Aside from dreaming up fiction and writing non-fiction, he also translates foreign literature into Indonesian. His books include a collection of short stories Rumah Kopi Singa Tertawa (Penerbit Banana, 2011), and his soon-to-bepublished novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi.
131
Tentang Para Redaktur About the Editors
132
Ardi Yunanto lahir di Jakarta, 1980. Setelah lulus dari jurusan Arsitektur di Institut Teknologi Nasional di Malang, Jawa Timur, ia kembali ke Jakarta, kota tempat ia dibesarkan, pada 2003. Satu tahun kemudian ia bergabung dengan ruangrupa, organisasi seni rupa kontemporer, dan sejak 2007 menjadi pimpinan redaksi untuk Karbonjournal.org, jurnal terbitan ruangrupa tentang ruang publik dan budaya urban. Tiga buku yang dikerjakannya bersama sejumlah rekan adalah Stiker Kota (2009), Gerilya Urban (2010), dan Publik dan Reklame di Ruang Kota Jakarta (2013). Selama 2011–2012, ia menjadi pemimpin redaksi untuk majalah Bung!, proyek majalah empat edisi tentang kehidupan pria yang diterbitkan oleh ruangrupa. Dalam Jakarta Biennale 2013: SIASAT ini, ia berlaku sebagai Koordinator Publikasi yang mengurus penerbitan buklet, katalog, dan jurnal.
Ardi Yunanto was born in Jakarta, 1980. After graduating as an architect from Institut Teknologi Nasional in Malang, East Java, he returned to Jakarta, the city where he grew up, in 2003. A year later he joined ruangrupa, a contemporary art organization, and since 2007 he is the editor of Karbonjournal.org, a journal published by ruangrupa on public space and urban culture. With his colleagues he has produced three books: Stiker Kota (2009), Gerilya Urban (2010), and Publik dan Reklame di Ruang Kota Jakarta (2013). For 2011 and 2012, he was the editor of Bung! magazine, a four-edition project about men’s life published by ruangrupa. For the Jakarta Biennale 2013: SIASAT, he is the Publication Coordinator in charge of publishing the event’s booklet, catalogue, and journal.
Ninus D. Andarnuswari lahir di Salatiga, 1981. Gelar sarjananya diperoleh dari jurusan Sastra Prancis Universitas Indonesia pada 2005. Ia pernah bekerja sebagai anggota redaksi di Kepustakaan Populer Gramedia dan PlotPloint Publishing, serta terlibat dalam penerbitan beragam buku, baik fiksi maupun nonfiksi. Pada 2010 dan 2011 ia juga berperan sebagai asisten penyelenggara Anugerah Sastra Khatulistiwa. Saat ini ia bekerja sebagai penyunting, penerjemah, dan penulis independen. Dalam tim publikasi Jakarta Biennale 2013: SIASAT ini, ia menjadi salah satu penulis dan editor yang mengurus penerbitan katalog dan jurnal.
Ninus D. Andarnuswari was born in Salatiga, 1981. She obtained her degree from the French Literature Department at the University of Indonesia in 2005. She worked as an editor at Kepustakaan Populer Gramedia and PlotPoint Publishing, and she has been involved in the publication of a variety of books, both fiction and nonfiction. In 2010 and 2011, she also worked as the assistant organizer of the Khatulistiwa Literary Award. Currently, she works as an independent editor, translator, and writer. In the publication team of the Jakarta Biennale 2013: SIASAT, she is one of the writers and editors supporting the publication of the catalogue and the journal.
133
Jakarta Biennale 2013: SIASAT
134
Jakarta Biennale adalah perhelatan seni rupa kontemporer berskala internasional yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali, didukung sepenuhnya oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Dinas Pariwisata & Kebudayaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Awalnya biennale diadakan untuk membaca perkembangan seni lukis Indonesia, namun seiring zaman, biennale diselenggarakan sebagai pembacaan berkelanjutan atas kota. Biennale melihat dan memaknai kembali “kota” sebagai wilayah yang dinamis dan terus bergerak melalui praktik seni rupa kontemporer. Biennale juga berperan untuk membaca kecenderungan ekspresi kontemporer serta pencapaian artistik yang terkait dengan perkembangan isu, sosial, politik dan budaya terkini. Pada 2013, Jakarta Biennale mencapai penyelenggaraan yang ke-15, dan hadir dengan mengusung tema SIASAT. Sepanjang Oktober–November 2013, Jakarta Biennale menampilkan beragam karya seni rupa kontemporer dari seniman Indonesia dan mancanegara bersama proyek-proyek artistik yang secara langsung melibatkan peran penting warga kota, komunitas, lembaga budaya, serta kelompok seniman dan aktivis. BERKAS diterbitkan untuk membahas persoalan seputar tema yang diusung Jakarta Biennale dalam lingkup luas kebudayaan.
The Jakarta Biennale is a contemporary international art event held every two years, fully supported by the Jakarta Arts Council and the Jakarta City Government – Tourism and Culture Department. Initially this biennale was held as an attempt to chart the development of Indonesian paintings. With the passage of time, it evolved into a continuous reading of the city. The Biennale continues to see and reinterpret “the city” as a place in constant motion through contemporary art practices. The Biennale aims to discern the contemporary artistic tendencies and expressions that pertain to current social, political, and culturel issues. In 2013, the Jakarta Biennale is held for the fifteenth time, presenting the theme SIASAT. Throughout October–November 2013, the Jakarta Biennale presents various contemporary works of art from Indonesian and international artists involving artistic projects, importantly, the role of the city’s residents, communities, cultural institutions, as well as artist groups and activists. This book, BERKAS, is published to address the issues around the chosen theme of the Jakarta Biennale in a wider cultural scope.
Rekanan Ruang Pamer Exhibition Space Partners:
Rekanan Budaya Cultural Partners:
Rekanan Komunitas Community Partners:
Sponsor:
Rekanan Media Media Partners:
SEBAGAI bagian dari perhelatan Jakarta Biennale 2013, BERKAS diterbitkan untuk membahas persoalanpersoalan kota dalam konteks kebudayaan seputar tema yang diusung Jakarta Biennale. Pada 2013, tema Jakarta Biennale adalah SIASAT. BERKAS terbit setiap kali perhelatan seni rupa kontemporer berskala internasional ini diadakan. Edisi perdana terbitan ini menampilkan karya lima kontributor dalam beragam format karya media cetak, yaitu esai, surat, kartun, dan fotografi. AS PART of the Jakarta Biennale 2013, BERKAS, or folder, is published to discuss urban issues in the cultural context around the theme raised by the Jakarta Biennale 2013: SIASAT. BERKAS is published every time this contemporary international art event is organized. This is the inaugural edition which presents five works of Indonesian contributors in various formats, namely, essays, a letter, a cartoon, and photography. Redaktur Editors: Ardi Yunanto & Ninus D. Andarnuswari