DISAIN SISTEM PENUTUPAN TAMBANG MINERAL BERKELANJUTAN (Studi Kasus: Rencana Penutupan Tambang PT Freeport Indonesia Di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua )
HARY TRIEKURNIANTO BUDHYONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Disain Sistem Penutupan Tambang Mineral Berkelanjutan (Studi Kasus: Rencana Penutupan Tambang PT Freeport Indonesia Di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua) adalah karya saya sendiri dengan arahan bimbingan dari Komisi Pembimbing Penelitian dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan yang sebenar-benarnya.
Bogor, 16 September 2009
Hary Triekurnianto Budhyono P062050564
ABSTRACT Hary Triekurnianto Budhyono. 2009. Design of Sustainable Minerals Mine Closure System (Case Study: Mine Closure Planning of Freeport Indonesia company in Mimika District, Province of Papua). Under Direction of Santun R.P. Sitorus, Hariadi Kartodihardjo, and Marimin. Sustainable mine closure is a challenge for mining industries to contribute to sustainable development that requires long range planning. The objective of this research is to arrange a design of sustainable minerals mine closure system consisting of some scenarios toward sustainability of development and community existence in Mimika District after PTFI operation. Methods used to analyze the data included closure risk factor (CRF), ECM (exponential comparison method), ISM (interpretative structural modeling), AHP (analytical hierarchy process), Benchmarking analysis, and Dynamic System. The CRF analysis indicated that the total value of PTFI closure risk factor is 2,773 corresponding to an extreme closure risk rating. Benchmarking analysis showed that Australia and Canada are feasible benchmark target countries for Indonesia. The criteria of health and safety of community is a criteria with the highest discrepancy average value (-20,029) compared with nine other criteria of key sustainable mine closure success factors that should be applied in Indonesia to achieve Australian and Canadian standards. The AHP analysis demonstrated that the best alternative for sustainable mine closure is integrated planning based on the optimal utilization of natural resources applied from the beginning of mining operation (weight 0.594). To create sustainability after PTFI mining operation, all PTFI’s stakeholders should be focused to develop the economic and social activities to replace full dependence on PTFI. The Dynamic system analysis showed that sustainability for social, economic, and environmental aspects in Mimika District cannot be achieved if the mining benefit and development activities are managed as usual or in the present condition until PTFI’s mining closure. This research resulted four alternatives scenario policy of sustainable mine closure. The best scenario for implementation in Mimika District is very optimistic scenario that applied in 2017. This scenario to be resulted: the sustainability point to be achieved in 2028 or 13 years before PTFI’s mining closure, Mining Benefit Transformation Result Value (MBTRV) – Mining Benefit Average Value (MBAV) is 59,01 quintillions rupiah and to have MBTRV is 149.42 quintillions rupiah when PTFI’s mining closure, increasing of environmental quality value 62.71% when PTFI’s mining closure compared with before applied scenario, conflicts potential is emerging in 2030 and conflicts occurrence is happened in 2035.
Key words:
sustainable mine closure, dynamic system, benchmarking analysis, sustainable development, minerals, indicators, scenarios, PT Freeport Indonesia,
RINGKASAN Hary Triekurnianto Budhyono. 2009. Disain Sistem Penutupan Tambang Mineral Berkelanjutan (Studi Kasus: Rencana Penutupan Tambang PT Freeport Indonesia Di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua). Di bawah bimbingan: Santun R.P. Sitorus, Hariadi Kartodihardjo, dan Marimin. Penutupan tambang oleh World Bank dan IFC (2002) diistilahkan sebagai it’s not over when it’s over. Mengapa demikian? Karena kemungkinan bencana lingkungan dapat muncul sewaktu-waktu walaupun kegiatan penutupan tambang telah selesai dilaksanakan. Sedikitnya ada tiga masalah utama yang muncul, yaitu terhentinya manfaat ekonomi, menurunnya fungsi-fungsi pelayanan sosial, dan menurunnya kegiatan perlindungan lingkungan hidup. Kondisi ini dapat bertambah parah apabila sumber pendapatan ekonomi daerah hampir sepenuhnya bergantung pada pendapatan bahan tambang untuk menjalankan kegiatan pembangunan di daerah tersebut. Oleh karena itu, diperlukan rencana penutupan tambang (RPT) yang komprehensif dan dapat diaplikasikan. Sebab, apabila tidak kota bekas tambang dapat berubah menjadi “kota hantu” (ghost town). Paradigma kegiatan penutupan tambang mengalami banyak pergeseran. Seabad yang lalu ketika pertambangan mengambil habis bijih tambang dan produksi terhenti maka tambang ditutup seadanya dan ditinggalkan (World Bank dan IFC, 2002). Namun demikian, sejak konsep Pembangunan Berkelanjutan (PB) dicetuskan oleh WCED (1987) dan kemudian didorong oleh Deklarasi Rio tahun 1992, fokus perhatian global tertuju pada keberlanjutan dan publik menginginkan PB dilengkapi dengan informasi mengenai kinerja-kinerja sosial, ekonomi dan lingkungan (McAllister et al., 1999). Berbagai negara segera respon PB untuk diterapkan pada kebijakan pertambanganya. MMSD (2002) memperjelas rumusan kerangka penerapan PB di pertambangan adalah “bagaimana sektor ini berkontribusi pada kemakmuran dan kesejahteraan manusia pada saat ini tanpa mengurangi potensi dari generasi mendatang untuk melakukan hal yang sama”. Pertanyaannya adalah bagaimana sektor pertambangan di Indonesia untuk merespon PB ini? Indonesia baru mempunyai regulasi khusus penutupan tambang setelah 63 tahun merdeka, yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Walau regulasi ini mulai mencoba mengakomodasikan PB, namun porsi penjelasan, kriteria dan indikator keberlanjutan sosial dan ekonomi belum dijelaskan serinci kegiatan pemulihan fisik daerah bekas tambang. Apabila dibandingkan dengan negara lain, Australia mengeluarkan kebijakan di sektor pertambangannya untuk merespon PB pada tahun 1991(McAllister et al., 1999), Kanada pada tahun 1996 (Shinya, 1998), dan Afrika Selatan pada tahun 2002 (ESMAP et al., 2005). India sampai tahun 2006 tidak mempunyai pedoman penutupan tambang yang ilmiah (Singam et al., 2006). Tujuan berkelanjutan dari penutupan tambang menurut Kempton (2003) adalah untuk proteksi pada kesehatan manusia dan ekologi, meminimisasi beban abadi pada lingkungan dan mencari penyelesaian yang permanen. Robertson dan Shaw (1999) berpendapat bahwa penutupan tambang yang mendukung PB adalah penutupan tambang yang tetap berkontribusi pada keberlanjutan sosial-ekonomi setempat. Strongman (2002) mengatakan bahwa penerapan konsep PB pada penutupan tambang adalah adanya keberlanjutan manfaat dan nilai-nilai tambang yang terus dirasakan setelah penutupan tambang. Dengan demikian pertanyaannya adalah bagaimana proses untuk mewujudkan keberlanjutan manfaat-manfaat tersebut ketika penutupan tambang tiba dan setelahnya.
Untuk menjawab permasalahan dan tantangan di atas, penelitian ini dilaksanakan dengan studi kasus pada Rencana Penutupan Tambang (RPT) PT Freeport Indonesia (PTFI). Alasannya adalah: pertama, kontribusi PTFI yang sangat besar pada PDRB Kabupaten Mimika dan pada PDRB Propinsi Papua serta berkontribusi pada kegiatan pengembangan masyarakat setempat yang sangat nyata. Kedua, tingkat faktor resiko penutupan (CRF ) tambang PTFI masuk dalam kategori “ekstrim” (Laurence 2001; 2006). Sehubungan dengan kontribusi yang besar dan resiko penutupan tambang PTFI yang ekstrem maka diperlukan sebuah RPT yang komprehensif dan terpadu yang dapat diterapkan. Apabila tidak, kota Timika dan sekitarnya dapat menjadi kota hantu. Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun disain sistem penutupan tambang mineral berkelanjutan dalam bentuk skenario-skenario menuju keberlanjutan pembangunan dan kehidupam masyarakat di Kabupaten Mimika pada SaPeT PTFI. Penelitian ini dilaksanakan selama periode Januari 2008 - Januari 2009 di Kabupaten Mimika (tempat operasi tambang PTFI), dengan mewawancarai para pemangku kepentingan (PPK) terkait penutupan tambang. Wawancara dengan pakar dilakukan di Jakarta, Bogor, dan Bandung, serta korespondensi pakar di Negara Kanada dan Negara Australia. Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan sistem. Metode yang dipakai adalah: pertama, Hard System Methodology (HSM) yaitu sistem dinamik. Kedua, Soft System Methodology (SSM) yang berupa: ISM (Interpretative Structural Modeling), AHP (Analitical Hierarchy Process), analisis patok duga (benchmarking analysis), dan MPE (metode perbandingan eksponensial). Indikator-indikator keberlanjutan penutupan tambang pada SaPeT PTFI didapatkan melalui teknik MPE terhadap gabungan data dan informasi yang dihasilkan dari analisis Faktor Resiko Penutupan tambang (CRF) dan analisis kebutuhan PPK. Faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang berkelanjutan dikaji dengan menggunakan metode patok duga, yang terdiri dari: (i). AHP yang diolah melalui perangkat lunak Criterium Decision Plus version student untuk menentukan kelayakan Australia dan Kanada sebagai negara target patok duga; (ii) MPE digunakan menilai peringkat Indonesia dan dua negara target; (iii) analisis kesenjangan menentukan faktor kunci penentu yang perlu diterapkan di Indonesia. Untuk mengetahui komponen-komponen yang dominan dalam perencanaan penutupan tambang berkelanjutan dilakukan wawancara pakar dengan teknik AHP dan diolah melalui perangkat lunak Expert Choice 2000 terhadap tiga pilihan perencanaan penutupan tambang. Skenario-skenario keberlanjutan kondisi saat ini, menjelang, dan pada SaPeT diperoleh dengan melakukan analisis sintesis dari hasil analisis sistem dinamik dan ISM, AHP, serta analisis patok duga. Perangkat lunak yang digunakan adalah Powersim Constructor versi 2.5. Indikator-indikator keberlanjutan penutupan tambang PTFI, yaitu: (a) aspek lingkungan, diantaranya: minimisasi beban abadi pada lingkungan, pembentukan lahan akhir, dan perlindungan pada ekosistem dan manusia; (b) aspek sosial, diantaranya: pelayanan kesehatan dan pendidikan, peningkatan kualitas SDM, pemulihan hak masyarakat dalam mengorganisasikan, pembentukan lembaga atau forum penutupan tambang, dan kesehatan dan keamanan sosial; dan (c). aspek ekonomi, diantaranya: keberadaan pasar untuk produk-produk lokal, jumlah kegiatan ekonomi yang tujuan pasarnya selain ke PTFI, pembangunan sumber ekonomi lain selain pertambangan PTFI, jumlah tujuan pasar produk sektor selain tambang ke luar Mimika, kontribusi sumber ekonomi selain tambang pada PDRB, dan peningkatan iklim investasi Hasil analisis ISM atas lima elemen program dalam membangun sistem penutupan tambang berkelanjutan diperoleh lima faktor pengerak kunci yang dipilih
berdasarkan analisis situasional dan kebutuhan pembangunan Kabupaten Mimika di masa depan. Kelima faktor tersebut yaitu: kualitas SDM, adanya Badan Pengelola Penutupan Tambang Berkelanjutan (BPPTB), infrastruktur yang memadai, investasi ekonomi baru, dan perlindungan dan pelestarian lingkungan. Kelima faktor penggerak kunci inilah yang menjadi input terkontrol dalam analisis sistem dinamik. Hasil Analisis patok duga menunjukkan bahwa Australia dan Kanada layak menjadi negara target patok duga bagi Indonesia. Analisis kesenjangan menunjukkan bahwa kesenjangan nilai kriteria Indonesia dibandingkan dua negara target patok duga, semuanya mempunyai nilai kesenjangan negatif. Artinya semua faktor tersebut berguna atau menjadi syarat bagi Indonesia untuk mencapai standar penutupan tambang mineral seperti standar di kedua negara patok duga tersebut. Analisis AHP, menunjukkan bahwa aktor pemerintah (0,454) dan masyarakat setempat (0,228) merupakan aktor yang paling berperan (68,2 %) dalam menentukan kebijakan dan kesuksesan kegiatan penutupan tambang. Aspek ekonomi (0,337) mempunyai nilai bobot tertinggi kemudian diikuti aspek sosial (0,226) dan aspek lingkungan (0,177). Faktor kualitas SDM (0,102), penciptaan lapangan kerja (0,085), ketaatan pada regulasi (0,083), dan faktor pendidikan dan kesehatan (0,079), merupakan empat faktor utama diantara 15 faktor yang dianalisis. Tujuan keberlanjutan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (0,385) adalah tujuan utama disusul oleh tujuan menuju keberlanjutan kualitas kehidupan sosial masyarakat (0,351). Pilihan kebijakan perencanaan terpadu berdasarkan SDA unggulan sejak dini merupakan pilihan yang terbaik (0,594). Hasil analisis sistem dinamik menunjukkan bahwa keberlanjutan pembangunan dan keberadaan masyarakat di Kabupaten Mimika tidak dapat dicapai jika manfaat tambang dan kegiatan-kegiatan pembangunan dikelola seperti kondisi saat ini sampai penutupan tambang PTFI. Karena mempunyai NHTMT – NMTR yang negatif. Diperlukan skenario untuk mencapai keberlanjutan. Ada empat pilihan skenario kebijakan penutupan tambang yang dihasilkan dari penelitian ini, yaitu skenario optimis aplikasi tahun 2012, 2017, dan 2022 serta skenario optimis aplikasi tahun 2012. Pilihan skenario kebijakan terbaik adalah Skenario Sangat Optimis Aplikasi 2017. Skenario ini menghasilkan: titik keberlanjutan dapat dicapai pada tahun 2028 atau 13 tahun sebelum SaPeT PTFI, NHTMT – NMTR sebesar 59,01 triliyun rupiah dan mempunyai NHTMT sebesar 149,42 triliyun rupiah pada SaPeT PTFI (2041), kenaikan kualitas lingkungan sebesar 62,71% pada SaPeT PTFI dibandingkan sebelum skenario, dan potensi konflik terjadi pada tahun 2030 dan kejadian konflik terjadi pada tahun 2035. Untuk menuju keberlanjutan pada saat sebelum masa penutupan tambang PTFI tiba dan setelahnya, Pemda Mimika perlu melakukan beberapa hal, yaitu: meningkatkan kemampuan SDM, ketersediaan infrastruktur, investasi ekonomi baru, dan meningkatkan kemampuan pemda dalam memimpin aktifitas pembangunan berkelanjutan. Selain itu, Pemda Mimika juga perlu membentuk BPPTB dan melakukan kajian SDA unggulan secara mendalam dan mengimplementasikannya. Pemerintah sebaiknya mulai mempertimbangkan untuk memasukkan tujuantujuan, kriteria dan indikator keberlanjutan sosial dan ekonomi disamping tujuan, kriteria dan indikator keberlanjutan lingkungan (pemulihan fisik) dalam kebijakan rencana penutupan tambang. Demikian juga, bagi daerah yang mempunyai SDA sedang ditambang saat ini, pembuatan dokumen:”Disain sistem penutupan tambang berkelanjutan”, sebaiknya disusun untuk melengkapi dokumen RPT yang berlaku dan dapat dijadikan salah satu pedoman dasar perencanaan dan pengelolaan pembangunan daerah.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009
Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DISAIN SISTEM PENUTUPAN TAMBANG MINERAL BERKELANJUTAN (Studi Kasus: Rencana Penutupan Tambang PT Freeport Indonesia Di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua )
HARY TRIEKURNIANTO BUDHYONO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Kualifikasi: 1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA 2. Dr. Ir. Erliza Noor
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1.
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA
2.
Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1.
Dr. Ir. S. Witoro Soelarno, M.Si
2.
Dr. Ir. Oteng Haridjaja, M.Sc
Judul Disertasi
: Disain Sistem Penutupan Tambang Mineral Berkelanjutan (Studi Kasus: Rencana Penutupan Tambang PT Freeport Indonesia Di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua)
Nama
: Hary Triekurnianto Budhyono
NRP
: P 062050564
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ketua
Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. Anggota
Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS.
Tanggal Ujian: 16 September 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah Ta’ala berkat pertolongan dan rahmatNya saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Humphreys, Sachs, dan Stiglitz (2007) dalam buku mereka berjudul
“Escaping The Resource Curse” mengatakan bahwa
negara-negara yang berlimpahan SDA seperti minyak dan gas, performa pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahannya (good governance) kerap lebih buruk dibandingkan negara-negara yang SDA-nya lebih kecil. Anugerah ini kerap kali menjadi penghambat daripada menciptakan pembangunan yang stabil dan berkelanjutan. Sebuah paradoks dan menimbulkan pertanyaan, mengapa kekayaan
SDA
sering
menimbulkan
masalah
buruk
ketimbang
kebaikan?
Penelitian ini merupakan satu bentuk kontribusi dalam upaya penyelesaian permasalahan penutupan tambang yang selalu dihadapi
oleh pemerintah,
perusahaan tambang dan masyarakat. Juga diharapkan menjadi satu bagian jalan keluar menghindarkan laknat SDA tersebut terjadi di sektor pertambangan di Indonesia tercinta. Hampir dibanyak kasus penutupan tambang di dunia, termasuk di Indonesia menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi daerah dan masyarakat yang ditinggalkannya. World Bank dan IFC (2002) menyebut penutupan tambang sebagai it’s not over when it’s over. Sampai saat ini focus kebijakan dan kegiatan penutupan tambang
hanyalah
mengelola kerusakan fisik lingkungan saja.
Keberlanjutan manfaat sosial dan ekonominya baru dalam bentuk wacana dan konsep, belum tersedia sebuah rumusan konkrit yang mudah diaplikasikan. Disain sistem penutupan tambang berkelanjutan (PTB) sebagai hasil akhir dari penelitian ini, disusun dari: (a) indikator-indikator keberlanjutan lingkungan, ekonomi, dan sosial hasil dari analisis kebutuhan para pemangku kepentingan (PPK) dan analisis Faktor Resiko Penutupan dan analisis MPE; (b) faktor-faktor penggerak kunci PTB hasil dari analisis ISM; (c) komponen-komponen dominan dalam perencanaan PTB hasil dari analisis AHP; (d)
faktor-faktor kunci penentu
keberhasilan PTB hasil dari analisis benchmarking; dan (e) skenario-skenario PTB hasil dari analisis sistem dinamik. Hasil aplikasi pada rencana penutupan tambang PT Freeport Indonesia (PTFI) didapatkan ada empat skenario kebijakan penutupan tambang berkelanjutan. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, M.Sc, Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS, dan Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc., sebagai tim komisi pembimbing yang telah memberikan
kontribusi pemikiran, saran, dan bimbingannya.
Terima kasih disampaikan juga
kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSPSL)
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS dan seluruh staf sekretariat PSL atas
perhatian, dukungan, dan waktunya. Kepada Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS selaku Dekan Pascasarjana, disampaikan terima kasih atas perhatiannya. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng sebagai penguji luar komisi saat ujian tertutup yang telah memberikan masukan sangat berharga. Terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Dr. Ir. S. Witoro Soelarno, M.Si dan Dr. Ir. Oteng Haridjaja, M.Sc. selaku penguji luar komisi saat ujian terbuka yang telah banyak memberikan masukan dan menambah bobot disertasi ini. Rasa terima kasih juga disampaikan kepada para pakar baik yang berasal dari perguruan tinggi, kalangan industri tambang, kalangan LSM di Mimika, dan asosiasi pertambangan yang terlibat dalam wawancara dan pengisian kuesioner atas sumbangan pikiran dan pendapat yang sangat berharga sehingga proses analisis yang dibutuhkan dalam penelitian ini bisa terselesaikan dengan baik. Terima kasih secara khusus disampaikan kepada Manajemen PTFI yang telah memberikan kesempatan, dukungan beasiswa dan biaya penelitian serta data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Saya menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sebuah kesempurnaan, walaupun demikian sangat diharapkan hasil-hasil yang telah dicapai dalam penelitian ini dapat bermanfaat bagi PPK pertambangan. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas bantuan dan perhatiannya dalam menyelesaikan disertasi ini. Secara khusus kepada kedua orang tua saya yang telah membesarkan saya dengan mendidik secara baik dan benar dalam menghadapi kehidupan. Kepada istri saya terkasih, Fita D. Manan, dan anak-anakku tercinta, Tari dan Rina yang telah memberikan perhatian penuh, dorongan semangat dan moril serta selalu bersama menemani saya dalam setiap saat.
Bogor, 16 September 2009 Hary Triekurnianto Budhyono
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Situbondo (Jawa Timur) pada tanggal 13 Desember 1963 merupakan anak ketiga dari pasangan Kyai Buchari dan Emmy Asiatun. Penulis mengikuti SD, SMP, dan SMA di Situbondo. Pendidikan jenjang S1 diselesaikan pada Jurusan Agronomi (Budidaya Pertanian) di Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor (1987). Selanjutnya penulis mendapatkan beasiswa dari PT. Freeport Indonesia (PTFI) untuk menyelesaikan pendidikan S2 dengan spesialisasi Environmental Management pada The University of Southern Queensland (2005) di Australia dan beasiswa yang sama untuk pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di IPB (2005 – sekarang). Selain itu penulis juga mengikuti pendidikan informal/diklat antara lain: mengikuti Job Training and Comparative Study di Belgia, Belanda, dan Perancis dalam bidang budidaya jamur kancing (1988); kursus AMDAL A di Universitas Indonesia (1997); Workshop Participatory Rural Appraisal and Logical Framework Analysis di Jakarta (1999); kursus “Cross Cultural Management" oleh The World Trade Institute-Jakarta (2000): “Community Development Short Course for Oil, Gas, and Mines Industry, Center of Human Resource and Environmental Research” dari Universitas Indonesia (2002); Manajemen Resiko oleh LPPM-Jakarta (2004); kursus “Senior Operational Inspector” dari Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral-Jakarta (2004); dan kursus Rencana Penutupan Tambang oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Energi dan Sumber Daya Mineral, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknologi Mineral dan Batubara di Bandung (2006). Penulis juga aktif berpartisipasi pada lokakarya dan seminar yang terkait dengan pertambangan, penutupan tambang, CSR, dan Pengembangan Masyarakat (2000 -2008) Riwayat penugasan dan jabatan penulis antara lain: Wakil Manajer Proyek Perencanaan dan Pengembangan PT. Baros Mushroom Industry ( 1987 – 1989); Reporter /Kontributor pada Majalah Tumbuh, Citra Agribusiness Indonesia (1990 – 1991); Manager Kebun PT Insan Krida Utama (1989 – 1994); dan bekerja pada PT Freeport Indonesia dengan jabatan terakhir sebagai General Superintendent Pembangunan Berkelanjutan (1994 - 2008). Penulis berperan dalam membuat konsep, membangun dan mengembangkan program Pengembangan Masyarakat PTFI serta berperan dalam mendirikan dan memberikan penguatan kelembagaan LSM lokal di Mimika, LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro) sebagai pengelola Dana Kemitraan PTFI (2000-2005). Karya ilmiah yang dipresentasikan dalam National Conference on Management Research di Universitas Hasanudin di Makasar berjudul “Strategic management of community development on mining industry for Long-term business sustainability and to contribute sustainable development (Case study: Community development program of PT Freeport Indonesia)” (2008). Sebagai speaker/fasilitator pada : Systems design of mineral mine closure in Indonesia that contributes on sustainable development”. Mining Colloquium 2007, di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung (2007). Pada saat bertugas di Papua, penulis juga aktif menjadi fasilitator program pengembangan masyarakat dan penguatan kapasitas kelembagaan untuk lembaga-lembaga swadaya masyarakat di desa-desa di wilayah Kabupaten Mimika dan beberapa kabupaten tetangga dari Mimika.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................
xx
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................
xxvii
BAB I.
BAB II.
PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ........................................................................
1
1.2. Tujuan Penelitian .....................................................................
6
1.3. Manfaat Penelitian ...................................................................
6
1.4. Kerangka Pemikiran .................................................................
7
1.5. Perumusan Masalah ................................................................
13
1.6. Nilai Kebaruan (Novelty) ..........................................................
18
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
19
2.1. Dasar Kerja Pengelolaan Pertambangan ................................
19
2.2. Pertambangan dan Kesejahteraan Rakyat ..............................
20
2.3. Karakteristik Kegiatan Pertambangan .....................................
22
2.4. Definisi, Konseptual dan Tujuan Penutupan Tambang ............
23
2.5. Pandangan Internasional tentang Penutupan Tambang .........
25
2.6. Dampak-Dampak Penutupan Tambang ..................................
27
2.7. Penutupan Tambang dan Perencanaan Pembangunan Regional....................................................................................
32
2.8. Pengelolaan Tailing dan Air Asam Tambang Saat Penutupan Tambang .................................................................................. 2.9. Rehabilitasi dan Reklamasi pada Tanah Tailing .....................
33
2.10. Pengelolaan Sumberdaya Tambang Berkelanjutan ..............
38
2.11. Indikator-Indikator Pembangunan Berkelanjutan ...................
46
2.12. Penutupan Tambang dan Pembangunan Berkelanjutan .......
53
2.12.1. Kinerja Keberlanjutan Ekonomi ..................................
53
2.12.2. Kinerja Keberlanjutan Sosial .......................................
53
2.12.3. Kinerja Keberlanjutan Lingkungan ..............................
54
2.13. Stakeholder Pertambangan, Kekuasaan dan Peranannya ....
57
36
xiv
BAB III.
2.14. Penelitian-Penelitian Penutupan Tambang ...........................
59
2.15. Alat-Alat Analisis Penelitian ...................................................
60
2.15.1. Analisis Faktor Resiko Penutupan ............................
60
2.15.2. Pendekatan Sistem ...................................................
62
2.15.3. Disain dan Model.......................................................
63
2.15.4. Proses Hierarki Analitik .............................................
64
2.15.5. Analisis Patok Duga (Benchmarking) .......................
66
2.15.6. Metode Perbandingan Eksponensial ........................
67
2.15.7. Teknik Permodelan Interpretasi Struktural ...............
67
METODE PENELITIAN ................................................................
70
3.1. Tempat dan Waktu....................................................................
70
3.2. Rancangan Penelitian ..............................................................
70
3.3. Jenis data dan peubah yang diamati........................................
70
3.3.1. Jenis data dan peubah yang diamati untuk tujuan (1)....
70
3.3.2. Jenis data dan peubah yang diamati untuk tujuan (2)....
72
3.3.3. Jenis data dan peubah yang diamati untuk tujuan (3)....
72
3.3.4. Jenis data dan peubah yang diamati untuk tujuan (4)....
73
3.3.5. Jenis data dan peubah yang diamati untuk tujuan (5)....
75
3.4. Teknik pengumpulan data dan kerangka penetapan responden ..............................................................................
75
3.4.1. Teknik pengumpulan data dan kerangka penetapan responden untuk tujuan (1)......................................... 3.4.2. Teknik pengumpulan data dan kerangka penetapan responden untuk tujuan (2) ........................................ 3.4.3. Teknik pengumpulan data dan kerangka penetapan responden untuk tujuan (3) ........................................ 3.4.4. Teknik pengumpulan data dan kerangka penetapan responden untuk tujuan (4) ........................................ 3.4.5 Teknik pengumpulan data dan kerangka penetapan responden untuk tujuan (5) ........................................ 3.5. Teknik analisis data.................................................................
75 76 76 77 77 78
3.5.1. Teknik analisis data untuk tujuan (1)..........................
78
3.5.2. Teknik analisis data untuk tujuan (2) ..........................
81
3.5.3. Teknik analisis data untuk tujuan (3) ..........................
83
3.5.4. Teknik analisis data untuk tujuan (4) ..........................
85
3.5.5. Teknik analisis data untuk tujuan (5) ..........................
85
xv
BAB IV.
BAB V.
BAB VI.
KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ...................................
86
4.1. Gambaran Umum Kebijakan Penutupan Tambang ................
86
4.1.1. Perkembangan Kebijakan Penutupan Tambang di Indonesia .....................................................................
85
4.1.2. Kebijakan-Kebijakan Penutupan Tambang di Negara lain ................................................................................
92
4.2. Gambaran Umum Kabupaten Mimika.....................................
98
4.2.1. Kondisi Fisik Alam..........................................................
100
4.2.2. Kependudukan dan Sosial..............................................
104
4.2.3. Ekonomi Wilayah ...........................................................
112
4.2.4. Sistem Transportasi........................................................
119
4.2.5. Rencana Tata Ruang Kabupaten Mimika.......................
122
4.2.6. Potensi Wilayah dan Komoditas Unggulan.....................
122
4.3. Gambaran Umum Kegiatan PT Freeport Indonesia ................
126
4.3.1. Kegiatan Operasi Penambangan ...................................
126
4.3.2. Pengaruh Lingkungan Hidup dan Kegiatan Pengelolaannya ..............................................................
131
4.3.3. Pengaruh Sosial dan Kegiatan Pengelolaannya.............
134
4.3.4. Pengaruh Ekonomi dan Kegiatan Pengelolaannya........
138
4.3.5. Kegiatan PTFI Terkait Penutupan Tambang .................
139
4.3.6. Kegiatan PTFI Menuju Pembangunan Berkelanjutan ....
141
INDIKATOR-INDIKATOR KEBERLANJUTAN BAGI PENUTUPAN TAMBANG PTFI..............................................................................
143
5.1. Indikator-Indikator Keberlanjutan Berdasarkan Analisis Faktor Resiko Penutupan dan Prinsip-Prinsip PB...............................
143
5.2. Atribut Keberlanjutan Berdasarkan Pendapat PPK...........................................................................................
145
5.2. 1. PPK Penutupan Tambang PTFI ....................................
145
5.2.2. Faktor-Faktor Penting dan Strategis Penutupan Tambang Menurut PPK ................................................
147
5.3. Penentuan Indikator-Indikator Keberlanjutan Penutupan Tambang PTFI .........................................................................
149
FAKTOR-FAKTOR PENGGERAK KUNCI PENUTUPAN TAMBANG PTFI BERKELANJUTAN...............................................
152
xvi
BAB VII
BAB VIII.
6.1. Struktur Faktor Penggerak Kunci Penutupan Tambang Berkelanjutan............................................................................
152
6.1.1. Elemen Sektor Masyarakat yang Terpengaruh ..............
152
6.1.2. Elemen Elemen Kebutuhan dari Program......................
156
6.1.3. Elemen Elemen Kendala Utama.....................................
158
6.1.4. Elemen Tujuan dari Program.........................................
162
6.1.5. Elemen Tolok Ukur untuk Menilai Setiap Tujuan Program...........................................................................
165
6.2. Faktor-faktor Penggerak Kunci Sistem Penutupan Tambang PTFI Berkelanjutan ..................................................................
168
FAKTOR-FAKTOR KUNCI PENENTU KEBERHASILAN PENUTUPAN TAMBANG BERKELANJUTAN...............................
172
7.1. Penentuan Negara Target Patok Duga ...................................
172
7.2. Penentuan Faktor-Faktor Kunci Penentu Keberhasilan Penutupan Tambang dan Nilai Bobot Setiap Faktor...............
174
7.3.Penentuan Rangking Indonesia dan Negara Target Patok Duga..........................................................................................
176
7.4. Faktor-Faktor Kunci Penentu Keberhasilan Penutupan Tambang Berkelanjutan yang Akan Diterapkan Di Indonesia..
178
7.5. Strategi Implementasi Faktor Kunci Penentu Keberhasilan Penutupan Tambang ................................................................
179
KOMPONEN-KOMPONEN DOMINAN DALAM PERENCANAAN PENUTUPAN TAMBANG BERKELANJUTAN................................
185
8.1. Hasil Pembobotan pada Setiap Komponen..............................
186
8.1.1. Pembobotan Komponen Aktor dalam Penutupan Tambang ......................................................................
186
8.1.2. Pembobotan Komponen Aspek dalam Penutupan Tambang ...................................................................... 8.1.3. Pembobotan Komponen Faktor-Faktor dalam Penutupan Tambang .................................................... 8.1.4. Pembobotan Komponen Tujuan-Tujuan dalam Penutupan Tambang .................................................... 8.1.5. Pembobotan Komponen Alternatif dalam Penutupan Tambang ...................................................................... 8.2. Strategi Implementasi Komponen Dominan Penutupan Tambang...................................................................................
188 190 190 191 193
xvii
BAB IX.
BAB X.
SISTEM DINAMIK PENUTUPAN TAMBANG MINERAL YANG BERKELANJUTAN........................................................................... 9.1. Analisis Kebutuhan Sistem.......................................................
196
9.2. Formulasi masalah....................................................................
197
9.3. Identifikasi sistem......................................................................
197
9.3.1. Sub Model Sosial..........................................................
201
9.3.2. Sub Model Lingkungan.................................................
204
9.3.3. Sub Model Ekonomi......................................................
206
9.4. Validasi Model...........................................................................
209
9.4.1. Validasi Struktur Model..................................................
209
9.4.2. Validasi Kinerja..............................................................
212
9.5. Simulasi Model Berdasarkan Kondisi Saat Ini.........................
213
9.5.1. Simulasi Sub Model Sosial...........................................
214
9.5.2. Simulasi Sub Model Lingkungan..................................
219
9.5.3. Simulasi Sub Model Ekonomi.......................................
221
SKENARIO DAN ARAHAN KEBIJAKAN PENUTUPAN TAMBANG BERKELANJUTAN.......................................................
230
10.1. Rasionalisasi Pembuatan Skenario Penutupan Tambang Berkelanjutan........................................................................ 10.2. Skenario-Skenario Penutupan Tambang PTFI Berkelanjutan 10.2.1. Skenario MKMB pada SaPeT..................................... 10.2.2. Skenario Pesimis......................................................... 10.2.3. Skenario Moderat........................................................ 10.2.4. Skenario Optimis......................................................... 10.2.5. Skenario Sangat Optimis............................................. 10.3.
Arahan Kebijakan dan Strategi Implementasi Setiap Skenario Terpilih.................................................................. 10.3.1. Pilihan Kebijakan Pertama: Skenario Sangat Optimis Aplikasi 2012................................................ 10.3.2. Pilihan Kebijakan Kedua: Skenario Sangat Optimis Aplikasi 20110.......................................................... 10.3.3. Pilihan Kebijakan Ketiga: Skenario Sangat Optimis Aplikasi 2022.............................................................
10.3.4. Pilihan Kebijakan Empat: Skenario Optimis Aplikasi 2012.......................................................................... 10.4. Operasionalisasi Arahan Kebijakan Penutupan Tambang Mineral Berkelanjutan..........................................................
196
230 234 235 236 237 238 239 240 241 247 252 255 263
xviii
10.5.
Disain Sistem Generik Penutupan Tambang Berkelanjutan dan Penerapannya...............................................................
266
KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................
271
11.1. Kesimpulan.............................................................................
271
11.2. Saran......................................................................................
273
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
275
DAFTAR ISTILAH (GLOSSARY).......................................................................
285
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................................
294
BAB XI.
xix
DAFTAR TABEL
No 1
2 3 4 5 6
Halaman Perusahaan tambang di Indonesia yang telah memasuki tahap penutupan mulai tahun 1986 dan selesai pada tahun 2004 ..........................................................................
8
Tingkat resiko penutupan tambang pada beberapa tempat penambangan (Laurence, 2003) ........................................
28
Indikator-indikator kinerja Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan (diadopsi dari GRI, 2006) .............................
46
Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (MMSD, 2002) ...................................................................................
51
Ringkasan kunci keberlanjutan untuk sektor pertambangan dan mineral (Azapagic, 2004)......................
52
Peranan PPK selama siklus hidup tambang, termasuk pada saat penutupan tambang (World Bank dan IFC, 2002)....................................................................................
59
7
Tujuan penelitian, jenis data, teknik analisis yang dipakai dan keluarannya..................................................................
8
Identifikasi PPK, peranan dan kekuatan pengaruh dalam menuju SaPeT PTFI...........................................................
79
9
Sub elemen sektor masyarakat yang terpengaruh..............
81
10
Matriks Interaksi Tunggal Terstruktur (Structural Self Interaction Matrix/SSIM) faktor-faktor penggerak kunci desain sistem penutupan tambang yang berkelanjutan untuk Elemen Sektor Masyarakat yang Terpengaruh.........
82
Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty pada AHP (Marimin, 2004).................
85
Rata-rata curah hujan, hari hujan, kelembaban udara, kecepatan angin, tekanan udara, dan suhu udara minimum dan maksimum di Kabupaten Mimika pada tahun 2005...........................................................................
105
Proyeksi penduduk Kabupaten Mimika dan beberapa distrik contoh tahun 2006 – 2041.......................................
105
Jenis mata pencaharian di Kabupaten Mimika antara lakilaki dan perempuan .........................................................
108
Karakteristik distrik, jumlah anak usia pendidikan dasar dan fasilitas pendidikan di Kabupaten Mimika pada tahun 2006.....................................................................................
109
16
Sarana kesehatan di Kabupaten Mimika pada tahun 2006.
110
17
Tenaga kesehatan yang tinggal di setiap distrik pada tahun 2006...........................................................................
111
11 12
13 14 15
71
xx
18 19
20 21 22 23
24 25
26 27
Sepuluh penyakit pembunuh di RSMM untuk pasien rawat jalan dan rawat inap pada tahun 2006................................
111
PDRB Kabupaten Mimika atas dasar harga yang berlaku dirinci menurut lapangan usaha tahun 2001 – 2005 (dalam jutaan rupiah).......................................................................
113
Luas panen, produksi dan produksi rata-rata tanaman bahan makanan di Kabupaten Mimika tahun 2005.............
114
Perkembangan produksi daging di Kabupaten Mimika tahun 2001-2005..................................................................
115
Luas hutan di Kabupaten Mimika sesuai dengan jenisnya tahun 2003 – 2005.............................................................
116
Persentase luas wilayah operasi PTFI dibandingkan luas wilayah Kabupaten Mimika, Pulau Papua, dan Negara Indonesia.............................................................................
117
Potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan Kabupaten Mimika pada tahun 2002 – 2006.......................
118
Panjang jalan di Kabupaten Mimika dirinci menurut status jalan, kondisi jalan dan permukaan jalan pada tahun 2000 – 2005..................................................................................
120
Kontribusi Pendanaan PM PTFI terhadap industri pertambangan (dalam US$ Juta).........................................
136
Pendanaan Program PM PTFI pada tahun 2006 sampai Bulan Oktober......................................................................
136
28
Alokasi Dana Kemitraan PTFI dari tahun 1996 – 2006.......
29
Dampak ekonomi dan fiskal PTFI kepada negara, Provinsi Papua, dan Kabupaten Mimika tahun 2001 – 2007.............
139
Hasil analisis Faktor Resiko Penutupan (CRF) pada rencana penutupan tambang PTFI......................................
143
Identifikasi PPK, peranan dan kekuatan pengaruh dalam menuju SaPeT PTFI di Kab. Mimika yang mendukung pencapaian PB.....................................................................
146
Faktor-faktor strategis penutupan tambang PTFI menurut PPK......................................................................................
148
Hasil perhitungan MPE untuk atribut-atribut yang menentukan indikator-indikator keberlanjutan pada penutupan tambang PTFI....................................................
149
Indikator-indikator keberlanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi dengan nilai MPE tertinggi pada penutupan tambang PTFI......................................................................
151
Sub elemen pada elemen sektor masyarakat yang terpengaruh..........................................................................
153
Hasil matriks reachability dan interpretasi dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program....................
154
30 31
32 33
34
35 36
137
xxi
37
Sub elemen kebutuhan dari program..................................
156
38
Hasil matriks reachability dan interpretasi dari elemen kebutuhan dari program.......................................................
157
39
Sub elemen kendala utama program...................................
159
40
Hasil matriks reachability dan interpretasi dari elemen kendala utama program.......................................................
160
41
Sub elemen tujuan program................................................
42
Hasil matriks reachability dan interpretasi dari elemen tujuan program.....................................................................
163
Sub elemen tolok ukur untuk menilai setiap tujuan program................................................................................
166
Hasil matriks reachability dan interpretasi dari tolok ukur untuk menilai setiap tujuan program ...................................
166
45
Atribut faktor-faktor kunci penentu keberhasilan.................
175
46
Matrik evaluasi faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang mineral yang berkelanjutan menggunakan metode MPE ..............................................
176
Kesenjangan nilai kriteria kunci penentu keberhasilan penutupan tambang mineral yang berkelanjutan Indonesia dengan dua negara target patok duga.................................
178
Kontribusi Pendanaan PM PTFI terhadap industri pertambangan......................................................................
181
Analisis kebutuhan PPK dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan........................................................
196
Data hasil validasi model penutupan tambang PTFI berkelanjutan.......................................................................
213
Faktor-faktor penggerak kunci penutupan tambang PTFI berdasarkan hasil analisis ISM............................................
230
Strategi implementasi faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang yang perlu diterapkan...
231
Aktor, aspek, faktor, dan tujuan-tujuan serta alternatifalternatif keputusan yang dominan dalam perencanaan penutupan tambang berkelanjutan......................................
232
Perubahan kondisi faktor penggerak kunci penutupan tambang berkelanjutan PTFI................................................
233
Lima skenario untuk menuju penutupan tambang PTFI berkelanjutan.......................................................................
234
Penerapan Lima skenario untuk menuju penutupan tambang PTFI berkelanjutan..............................................
235
Urutan skenario menuju penutupan tambang mineral PTFI berkelanjutan.......................................................................
241
43 44
47
48 49 50 51 52 53
54 55 56 57
162
xxii
58
59
60
61
62
Persentase peningkatan beberapa aspek dan variabel penting setelah aplikasi skenario pertama dibandingkan kondisi semula.....................................................................
245
Persentase peningkatan beberapa aspek dan variabel penting setelah aplikasi skenario kedua dibandingkan kondisi semula.....................................................................
251
Persentase peningkatan beberapa aspek dan variabel penting setelah aplikasi skenario ketiga dibandingkan kondisi semula.....................................................................
255
Persentase peningkatan beberapa aspek dan variabel penting setelah aplikasi skenario keempat dibandingkan kondisi semula.....................................................................
260
Matriks proses penyusunan disain sistem penutupan tambang berkelanjutan........................................................
270
xxiii
DAFTAR GAMBAR No 1
Halaman Ilustrasi penutupan tambang yang berkelanjutan (dikembangkan dari Soelarno, 2007) .................................
11
2
Formulasi dan pemecahan masalah penelitian ..................
17
3
Pengeluaran eksploitasi Indonesia dibandingkan negara lain pada tahun 2004 (MEG dalam PWC, 2006) .................
21
Konseptual penutupan tambang secara tradisional dan berkelanjutan (diolah dari van Zyl, 2005) ............................
25
Pengaruh-pengaruh penutupan tambang pada ekonomi, sosial, dan bio-geofisik (Warhurst, 2000) ............................
30
Aplikasi dari kerangka kerja pengelolaan tailing melalui siklus hidup (MAC, 1998) ...................................................
34
Konsep pemanfaatan ModADA PTFI tahap pasca tambang (PT Freeport Indonesia, 2005) .............................
38
Struktur hirarki penentuan disain penutupan tambang berkelanjutan.......................................................................
73
Struktur hirarki penentuan disain penutupan tambang berkelanjutan.......................................................................
74
Perbandingan potensi kebijakan dan potensi mineral Indonesia di antara negara lain (Basri, 2006)......................
92
Tingkat penerapan PB pada kerangka hukum dan kebijakan sektor pertambangan di beberapa negara (ESMAP et al., 2005)...........................................................
95
Peta wilayah penelitihan di Kabupaten Mimika, Provisi Papua ..................................................................................
99
Gambar Daerah Operasi PTFI dari Dataran Tinggi sampai Di Dataran Rendah ............................................................
130
14
Daerah Kontrak Karya blok A dan blok B PTFI ..................
132
15
Matriks Driver Power-Dependence untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program...............................
154
Diagram model ISM dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program...........................................................
155
Matriks Driver Power-Dependence untuk elemen kebutuhan dari program.......................................................
157
18
Diagram model ISM dari elemen kebutuhan dari program..
158
19
Matriks Driver Power-Dependence untuk elemen kendala utama program.....................................................................
160
20
Diagram model ISM dari elemen kendala utama program..
161
21
Matriks Driver Power-Dependence untuk elemen tujuan program................................................................................
164
4 5 6 7 8 9 10 11
12 13
16 17
xxiv
22
Diagram model ISM dari elemen tujuan program................
165
23
Matriks Driver Power-Dependence untuk tolok ukur untuk menilai setiap tujuan program..............................................
167
Diagram model ISM dari elemen tolok ukur untuk menilai setiap tujuan program..........................................................
168
Diagram hirarki AHP keunggulan Penutupan Tambang Berkelanjutan Suatu Negara................................................
173
Diagram hirarki AHP dalam disain sistem penutupan tambang berkelanjutan........................................................
186
27
Nilai setiap komponen aktor pada penutupan tambang.......
187
28
Nilai bobot aspek-aspek penutupan tambang hasil analisis AHP......................................................................................
188
Diagram pohon hasil AHP level aktor dan aspek disain sistem penutupan tambang berkelanjutan...........................
189
Nilai bobot faktor-faktor penutupan tambang hasil analisis AHP......................................................................................
190
Nilai bobot komponen tujuan penutupan tambang hasil analisis AHP.........................................................................
191
Diagram hasil AHP dan bobot masing-masing alternatif kebijakan dalam disain sistem penutupan tambang berkelanjutan ......................................................................
192
Diagram kotak hitam (input-output) disain penutupan tambang mineral berkelanjutan............................................
198
Diagram sebab akibat (Causal Loop) Model Penutupan Tambang PT. Freeport Indonesia........................................
200
Diagram sebab akibat (Causal Loop) Sub Model Sosial pada penutupan tambang PT. Freeport Indonesia...........
202
Diagram Alir Sub Model Sosial pada penutupan tambang PT. Freeport Indonesia........................................................
203
Diagram sebab akibat (Causal Loop) Sub Model Lingkungan pada penutupan tambang PT. Freeport Indonesia.............................................................................
205
Diagram Alir Sub Model Lingkungan pada penutupan tambang PT. Freeport Indonesia.........................................
206
Diagram sebab akibat (Causal Loop) Sub Model Ekonomi pada penutupan tambang PT. Freeport Indonesia............
207
Diagram Alir Sub Model Ekonomi pada penutupan tambang PT. Freeport Indonesia ........................................
208
(a) Pertumbuhan Penduduk; (b) Fluktuasi perkembangan penduduk akibat factor-faktor yang berpengaruh................
215
42
Kontribusi Community Development PTFI...........................
216
43
Perkembangan jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan............................................................................
218
24 25 26
29 30 31 32
33 34 35 36 37
38 39 40 41
xxv
44
Potensi konflik dan kejadian konflik....................................
218
45
Luas hutan di Kabupaten Mimika sampai SaPeT PTFI dan setelahnya............................................................................
219
46
Pencemaran lingkungan dan kualitas lingkungan................
221
47
Nilai manfaat tambang dan jumlah penambangan..............
222
48
Kontribusi PTFI dan sektor lain terhadap PDRB Mimika.....
223
49
Kontribusi PTFI dan sektor lain terhadap APBD Mimika.....
224
50
Perkembangan NHTMT, MT, dan NMTR (Rt2MT) mulai tahun 2002-2041.................................................................
226
51
Hubungan NMT, Rt2MT, dan NHTMT (total).......................
227
52
Hubungan NMT, Rt2MT, dan NHTMT PTFI bagi Kab. Mimika(NHTMTMMK) serta NHTMT (total)...................
229
Hasil simulasi skenario pesimis pada kelima tahun aplikasi hubungannya dengan Rt2MT..............................................
236
Hasil simulasi skenario moderat pada kelima tahun aplikasi hubungannya dengan Rt2MT.................................
237
Hasil simulasi skenario optimis pada kelima tahun aplikasi hubungannya dengan Rt2MT..............................................
239
Hasil simulasi skenario sangat optimis pada kelima tahun aplikasi hubungannya dengan Rt2MT.................................
240
Perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan di Kab. Mimika sebelum dan setelah skenario sangat optimis 2012.....................................................................................
243
Perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan di Kab. Mimika sebelum dan setelah skenario sangat optimis 2017.....................................................................................
249
Perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan di Kab. Mimika sebelum dan setelah skenario sangat optimis 2022.....................................................................................
253
Perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan di Kab. Mimika sebelum dan setelah skenario optimis 2012..
258
Perkembangan kontribusi PTFI dan sektor lain pada APBD Kab. Mimika sebelum dan setelah setiap skenario diterapkan............................................................................
262
Model umum disain sistem penutupan tambang berkelanjutan.......................................................................
269
53 54 55 56 57
58
59
60 61
62
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1
Gambar saat melakukan FDG ……………………..................
294
2
Data validasi model penutupan tambang berkelanjutan.........
295
3
Kependudukan di Kabupaten Mimika 2002 – 2050 (prakiraan)..............................................................................
297
Kontribusi Community Development (Dana Kemitraan PTFI).......................................................................................
298
Perkembangan jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan..............................................................................
299
Persentase jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan..............................................................................
300
Pencemaran Lingkungan, Kualitas Lingkungan dan Penutupan Hutan....................................................................
301
8
Nilai manfaat tambang dan jumlah penambangan.................
302
9
Kontribusi PTFI dan sektor lain terhadap PDRB Mimika.......
303
10
Kontribusi PTFI dan sektor lain terhadap APBD Mimika.......
304
11
Perbandingan NHTMT dengan NHTMT Kabupaten Mimika.
305
12
NHTMT untuk masing-masing tahun aplikasi pada skenario pesimis....................................................................................
306
NHTMT untuk masing-masing tahun aplikasi pada skenario moderat...................................................................................
307
NHTMT untuk masing-masing tahun aplikasi pada skenario optimis....................................................................................
308
NHTMT untuk masing-masing tahun aplikasi pada skenario sangat optimis.........................................................................
309
Perubahan faktor-faktor penggerak kunci menuju skenario sangat optimis 2012...............................................................
310
Perubahan faktor-faktor penggerak kunci menuju skenario sangat optimis 2016...............................................................
317
Perubahan faktor-faktor penggerak kunci menuju skenario sangat optimis 2022...............................................................
324
Perubahan faktor-faktor penggerak kunci menuju skenario optimis 2012...........................................................................
331
4 5 6 7
13 14 15 16 17 18 19
xxvii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sektor pertambangan mempunyai manfaat sangat penting bagi pembangunan, modernisasi,
dan
pertumbuhan
ekonomi
khususnya
bagi
negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Manfaat itu akan terhenti ketika penambangan memasuki tahap penutupan. Penutupan tambang oleh World Bank dan IFC (2002) diistilahkan sebagai it’s not over when it’s over.
Mengapa disebut demikian?
Karena kemungkinan bencana lingkungan dapat muncul sewaktu-waktu walaupun penutupan tambang telah selesai ditutup dan memasuki saat pasca tambang. Kota bekas tambang dapat berubah menjadi “kota hantu” (ghost town), sebab kegiatan ekonomi, sosial dan keamanan lingkungan tidak dapat mendukung lagi keberlanjutan pembangunan dan kehidupan masyarakat disana. Dampak ini, akhirnya menjadi beban masyarakat, daerah atau negara dimana tambang itu dioperasikan.
Di
negara-negara berkembang, dampak penutupan akan makin parah karena mereka tidak mempunyai atau mempersiapkan diri untuk membangun kegiatan ekonomi lain sebagai pengganti pendapatan dari tambang.
Selain itu, karakteristik kegiatan
pertambangan di Asia ditandai dengan pengelolaan lingkungan yang buruk (Burke, 2006).
Kegiatan pertambangan juga merupakan salah satu penyebab degradasi
lahan yang utama (Sitorus, 2004b). Pembentukan lahan akhir merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung kegiatan ekonomi lain setelah penutupan atau pasca tambang (van Zyl, 2005). Paradigma pengelolaan tambang, termasuk kegiatan penutupan telah mengalami banyak pergeseran. Seabad yang lalu ketika pertambangan mengambil habis bijih tambang dan produksi terhenti maka tambang ditutup seadanya dan ditinggalkan (World Bank dan IFC, 2002). Di Australia ada 500 bekas tambang, di Kanada ada 10.139 dan di USA sebanyak 557.650 bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja setelah nilai ekonomi bahan tambangnya berakhir atau tidak layak terus ditambang
(IIED
dan WBCSD,
2002).
Namun
demikian,
sejak
konsep
Pembangunan Berkelanjutan (PB) atau Sustainable Development dicetuskan oleh WCED (1987) dan kemudian pula didorong oleh Deklarasi Rio (Rio Earth Summit) tahun 1992, fokus perhatian global tertuju pada keberlanjutan dan publik menginginkan PB dilengkapi dengan informasi mengenai kinerja-kinerja sosial, ekonomi dan lingkungan (McAllister et al., 1999). Secara mengejutkan, hanya perusahaan-perusahaan pertambangan yang proaktif dalam merespon pergeseran
paradigma ini (Mudd, 2007). Sejak tahun 1995 terjadi peningkatan penelitian yang menyarankan
indikator-indikator
PB
yang
relevan
untuk
pelaporan
isu-isu
keberlanjutan (sustainability reports) pada industri pertambangan (Azapagic, 2004). Terkait dengan penutupan, Kunanayagam (2006) mengatakan bahwa kurang lebih 15 tahun yang lalu rencana penutupan tambang masih mencakup aspek-aspek perekayasaan dari penyerahan daerah operasi dan aspek-aspek yang terkait pada teknik perbaikan lingkungan saja. Tetapi, pada akhirnya perusahaan-perusahaan pertambangan terkemuka mempelopori perlunya penutupan tambang dilakukan melalui sebuah pendekatan terpadu (sosial, lingkungan hidup, kerekayasaan, dan keuangan). Kerangka penerapan PB di pertambangan adalah bagaimana sektor ini berkontribusi kepada kemakmuran dan kesejahteraan manusia pada saat ini tanpa mengurangi potensi dari generasi mendatang untuk melakukan hal yang sama (MMSD,
2002).
Namun
mengaplikasikan
prinsip-prinsip
PB
pada
industri
pertambangan, termasuk pada kegiatan penutupan tambang tidaklah mudah dan ada masalah. Selain berpengaruh pada kenaikan biaya kegiatan lingkungan hidup dan sosial perusahaan, terlebih bagi perusahaan dengan pengembalian modal terbatas (Humphreys, 2001), alasan lainnya adalah: (1) secara intrinsik bahan tambang itu sendiri tidak berkelanjutan (unsustainable) sehingga bagaimana generasi mendatang dapat memenuhi kebutuhan bahan tambang yang sama (Mudd, 2007); (2) keberhasilan penerapan PB ditentukan oleh penerapannya pada seluruh siklus hidup tambang (Batista, 2000; ANZMEC dan MCA, 2000; AGDITR, 2006; Saeedi et al., 2006; Mugonda, 2006); (3). di negara berkembang regulasi penutupan tambang hanya sebatas tahap embrio dan persyaratan dari pemerintah kadangkala harus
dinegosiasikan sebelum menyelesaikan rencana penutupan tambang
(Kunanayagam, 2006); dan (4) masih adanya perbedaan yang menyolok tentang konsep dan tujuan penutupan tambang yang berkelanjutan. CCC dan UNEP (2001), Hoskin (2002), dan van Zyl (2005) menyatakan tujuan penutupan tambang adalah untuk mencapai kestabilan, keamanan bagi manusia dan hewan, pemulihan untuk keindahan lansekap dan meniadakan resiko, dan peningkatan nilai ekonomi dari pembentukan lahan akhir serta meningkatkan citra perusahaan.
Tujuan tersebut oleh Kempton (2003) disebut sebagai tujuan
tradisional dari penutupan tambang. Tujuan berkelanjutan dari penutupan tambang menurut Kempton (2003) adalah untuk proteksi pada kesehatan manusia dan ekologi, meminimisasi beban abadi pada lingkungan dan mencari penyelesaian yang permanen.
2
Konsep-konsep
tujuan
penutupan
tambang
tersebut
semuanya
tidak
membicarakan tentang keberlanjutan sosial-ekonomi ketika operasi berakhir. Sementara itu, Robertson dan Shaw (1999) berpendapat tentang penutupan tambang yang mendukung PB dan tetap berkontribusi pada keberlanjutan sosialekonomi setempat.
Juga, MMSD (1999), World Bank dan IFC (2002), dan
Strongman (2002) menyatakan bahwa penerapan konsep PB pada penutupan tambang adalah adanya keberlanjutan manfaat dan nilai-nilai tambang yang terus dirasakan setelah penutupan tambang. Namun demikian, tidak satupun konsepsi tersebut menjelaskan tentang rancangan keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang seharusnya dibangun pada saat penutupan tambang (SaPeT), sehingga tambang tetap dapat terus berkontribusi pada PB walau telah digantikan oleh sektor non-tambang. Sebuah penutupan tambang memerlukan teknologi yang tepat.
Sebab bila
tidak, munculnya sisa-sisa kerusakan lingkungan setelah pekerjaan reklamasi dan penutupan tambang selesai sangat tergantung dari pengembangan dan teknik-teknik reklamasi yang dipilih (Robertson dan Shaw,1998).
Kegiatan penutupan juga
memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk pemulihan yang bersifat fisik bentang alam, penyelesaian masalah tenaga kerja dan masalah lainnya. Sebagai contoh, sebuah industri batu-bara muda di Jerman memerlukan biaya lebih dari 5 milyar dollar Amerika untuk rehabilitasi daerah tambang, stabilisasi tempat pembuangan limbah yang luas, pembongkaran dari fasilitas dan peralatan pendukung.
Di
Polandia penutupan satu sampai tiga tambang batu bara memerlukan biaya 500 juta dollar Amerika untuk uang pesangon 100 orang pekerja dan 1,5 milyar dollar Amerika untuk kegiatan penutupan fisik (World Bank dan IFC, 2002). Pemerintah Indonesia belum mempunyai regulasi khusus tentang penutupan tambang sampai tahun 2007 (Soelarno, 2007). Regulasi penutupan tambang baru ditetapkan oleh pemerintah pada tanggal 29 Mei 2008 melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor: 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, Walaupun demikian, pada tahun sebelumnya, absennya regulasi ini menimbulkan masalah yang berat tidak hanya pada perusahaan namun juga bagi pemerintah terlebih lagi masyarakat setempat. Sebagai contoh, PT NMR (Newmont Minahasa Raya) di Minahasa, Sulawesi Utara yang pada tahun 2005 dilakukan penutupan telah menuai banyak persoalan dengan masyarakat setempat. Ketersediaan kebijakan dan perangkat hukum yang menentukan praktek penutupan dan reklamasi tambang makin dipersyaratkan secara internasional untuk dipenuhi (Joyce dan Thomson, 2000) dan disana juga tersedia indikator-indikator dan standar-
3
standar kriteria dalam kegiatan penutupan tambang yang akan dilakukan oleh perusahaan, masyarakat dan pemerintah (Hoskin, 2002). Kegiatan penutupan tambang juga memerlukan keterlibatan Para Pemangku Kepentingan (stakeholder) atau disingkat PPK selama siklus hidup tambang,
Di
Indonesia keterlibatan PPK ini masih rendah, khususnya pemerintah daerah dan pusat dalam memimpin kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi lain selain dari tambang jauh sebelum masa penutupan tambang. Absennya keterlibatan PPK ini merupakan salah satu pemicu terjadinya konflik di hampir semua daerah pertambangan. Keterlibatan PPK dalam perencanaan penutupan tambang serta pembuatan keputusan merupakan hal yang kritis dalam pencapaian penyelesaian penambangan dan keberlanjutan hasil-hasil (AGDITR, 2006). Tantangan-tantangan industri tambang kedepan adalah menerapkan PB pada seluruh siklus hidup tambang, pengembangan teknologi yang ramah lingkungan melalui penerapan produksi bersih, dan membangun kemampuan untuk memelihara keseimbangan antara keuntungan dan perlindungan lingkungan hidup (Moore dan Noller, 2000). Juga, perusahaan dituntut harus memiliki tanggung jawab etika (ethical responsibility) dalam berkontribusi pada
pelestarian, memastikan
kehadirannya memberikan manfaat nyata kepada ekosistem, dan daerah yang ditinggalkannya akan berkondisi lebih baik dibandingkan dengan sebelum ditambang (Sweeting, 2000).
Bagi Indonesia selain tantangan tersebut, tantangan lainnya
adalah pencapaian tujuan-tujuan pembangunan milinium (Millennium Development Goals/MDGs): pengentasan kemiskinan dan kelaparan, pencapaian kebutuhan pendidikan dasar, memastikan lingkungan hidup berkelanjutan, dan lainnya. Untuk menjawab permasalahan dan tantangan-tantangan di atas, penelitian ini dilaksanakan dengan studi kasus pada Rencana Penutupan Tambang (RPT) PT Freeport Indonesia (PTFI). Alasannya adalah: pertama, kontribusi PTFI pada tahun 2007 pada PDRB Kabupaten Mimika adalah 95,56 % dan pada PDRB Propinsi Papua sebesar 44,87 %
serta berkontribusi pada kegiatan pengembangan
masyarakat setempat sebesar 76,74 juta Dolar Amerika pada tahun yang sama (LPEM-FEUI, 2008). Kedua,
tingkat faktor resiko penutupan (The Closure Risk
Factor /CRF ) tambang PTFI masuk dalam kategori “ekstrim” (Laurence 2001, 2006). Sehubungan dengan kontribusi yang besar dan resiko penutupan tambang PTFI yang ekstrem maka diperlukan sebuah RPT yang komprehensif dan terpadu yang dapat diterapkan. Sebab apabila tidak mempunyai RPT yang tepat maka kota Timika dan sekitarnya dapat menjadi kota hantu.
Selain itu, regulasi tentang
reklamasi dan penutupan tambang di Indonesia baru ditetapkan pada tahun 2008
4
yang mana masih berfokus pada prosedur dan teknis kegiatan reklamasi dan penutupan tambang namun
belum menyentuh bagaimana cara membangun
keberlanjutan setelah tambang berakhir. Dengan demikian pertanyaannya adalah bagaimana proses membangun atau menyusun disain sistem penutupan tambang agar terjadi keberlanjutan pembangunan dan penghidupan masyarakat
ketika
sebuah perusahaan tambang selesai beroperasi? Pembuatan RPT seperti melakukan tindakan-tindakan, dan mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang dapat terukur keberhasilannya selama masa operasi tambang akan mendorong kesuksesan akhir penutupan tambang dan dapat menyediakan kepastian bagi pengembangan potensi yang akan datang untuk ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat (IIED dan WBCSD, 2002).
Dengan
demikian sebuah RPT yang berkelanjutan diasumsikan sebagai RPT yang telah menerapkan prinsip-prinsip, mempunyai indikator-indikator dan standar-standar serta kriteria PB yang majemuk sehingga tujuan keberlanjutan manfaat sosial-ekonomi dan perlindungan pada kesehatan manusia dan lingkungan dapat tercapai secara berkesinambungan. Untuk menyelesaikan tantangan-tantangan dari penerapan PB diperlukan sebuah pendekatan sistem, yang berfokus pada pengamatan dan pemahanan hubungan-hubungan antara bagian-bagian didalam sistem dan keseluruhan fungsi sistem secara terintegrasi (Laurence, 2001; Azapagic dan Perdan, 2005). O’Regan dan Moles (2006) menggunakan sistem dinamik untuk membuat model interaksi antara faktor-faktor lingkungan dan ekonomi pada industri pertambangan. Sebuah persoalan yang dikaji dengan menggunakan teori sistem bila persoalan itu memenuhi karakteristik: komplek, probabilistik, dan dinamis (Eriyatno dan Sofyar, 2007). Persoalan penutupan tambang memenuhi ketiga karakteristik itu. Dengan demikian, dalam penelitian ini metode pendekatan sistem yang dipakai adalah: pertama,
Hard System Methodology (HSM) yaitu sistem dinamik.
Kedua, Soft
System Methodology (SSM) yang berupa: ISM (Interpretative Structural Modeling), AHP (Analitical Hierarchy Process), analisis patok duga (benchmarking analysis), dan MPE (Metode Perbandingan Eksponensial). 1.2.
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun disain sistem penutupan
tambang
mineral
berkelanjutan
dalam
bentuk
skenario-skenario
menuju
keberlanjutan pembangunan dan kehidupan masyarakat di Kabupaten Mimika pada
5
SaPeT PTFI. Tujuan utama tersebut dirinci kedalam lima tujuan antara sebagai berikut: 1. Mengetahui indikator-indikator keberlanjutan untuk merumuskan keberlanjutan pada SaPeT PTFI 2. Mengetahui faktor-faktor penggerak kunci yang dapat digunakan untuk menentukan keberlanjutan pembangunan dan penghidupan masyarakat di Kabupaten Mimika 3. Mengetahui faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang berkelanjutan berdasarkan pada praktek-praktek terbaik yang dikembangkan negara lain. 4. Mengetahui komponen-komponen yang dominan dalam perencanaan penutupan tambang mineral berkelanjutan 5. Menyusun skenario-skenario keberlanjutan kondisi saat ini, menjelang, dan pada saat penutupan tambang.
1.3.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk peningkatan pengelolaan
manfaat pertambangan secara berkelanjutan bagi pemerintah dan masyarakat setempat
walaupun industri tambang telah selesai beroperasi,
Selain itu, hasil
penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi ilmu pengetahuan. Berkontribusi pada pengembangan studi-studi tentang pengelolaan SDA dalam bidang pertambangan dan memberikan pemikiran serta pondasi ilmiah pada RPT, khususnya bagi tambang mineral. 2. Bagi Para Pemangku Kepentingan (PPK), antara lain: ·
Pada tingkat nasional, masukan bagi perancangan kebijakan dan regulasi pengelolaan
industri
tambang
berkelanjutan,
khususnya
dalam
RPT
berkelanjutan ·
Pada tingkat daerah, Pemda Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika diperoleh indikator-indikator
dan skenario-skenario keberlanjutan sebagai
masukan dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan di Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika dalam mempersiapkan
menghadapi
berakhirnya
operasi PTFI ·
Bagi PTFI
akan memperoleh informasi tentang rancangan-rancangan
keberlanjutan penutupan tambang yang dapat digunakan dasar
untuk
meningkatkan fokus pengelolaan manfaat tambang selama periode operasi saat ini
6
1.4. Kerangka Pemikiran Dalam konteks pembangunan berkelanjutan (PB), perumusan tujuan-tujuan penutupan tambang berkelanjutan baru sebatas kerangka konsep dan teoritis seperti yang dikembangkan oleh Robertson (1990), Robertson dan Shaw (1999), MMSD (1999, 2002), World Bank dan IFC (2002), Strongman (2002), Kempton (2003), Azapagic (2004),
dan Kunanayagam (2006) menyatakan bahwa
penutupan
tambang yang berkelanjutan adalah apabila manfaat tambang tetap secara terus menerus dirasakan walaupun industri tambang telah selesai beroperasi. Artinya, masyarakat setempat dan PPK lain tetap terus mendapatkan manfaat ekonomisosial dan perlindungan lingkungan seperti yang didapatkan mereka saat tambang masih beroperasi.
Namun, sering kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya,
manfaat-manfaat itu terhenti, bahkan menyisakan kerusakan lingkungan yang berat dan memerlukan penanganan yang tidak mudah serta murah. Contoh yang ekstrim Indonesia adalah Pulau Bangka dan Singkep yang saat ini telah menjadi daerah mati. Pulau Bangka dan Singkep yang saat tambang timah beroperasi mempunyai kehidupan bergairah, namun setelah bahan tambangnya habis dikuras, habis juga aktifitas kehidupan masyarakat disana, terutama di Pulau Singkep. Pengalaman penutupan tambang lain di Indonesia ditampilkan pada Tabel 1. Perkembangan terakhir terhadap kondisi ekonomi dan sosial di daerah-daerah dimana
tambang
tersebut
dioperasikan
sebelumnya
adalah
belum
terjadi
keberlanjutan manfaat sosial dan ekonomi seperti ketika tambang tersebut masih beroperasi.
Kondisi ini akan bertambah parah jika tambang menjadi sumber
pendapatan ekonomi utama disana, karena sumber pendapatan ekonomi dan manfaat sosial sebagai pengganti pendapatan dari tambang belum dipersiapkan sebelumnya. Tabel 1. Perusahaan tambang di Indonesia yang telah memasuki tahap penutupan mulai tahun 1986 dan selesai pada tahun 2004. Perusahaan
Perusahaan
Lokasi
Induk
Operasi
Mulai
Selesai
Penutupan
Produksi Tahunan
PT.Prima Lirang Mining
Billiton – Gencor Ltd
Pulau Wetar, NTT
1986
1999
8.790 Kg
PT. Barisan Tropical Mine PT. Indo Muro Kencana
Leverton Gold NL
Bengkulu
1997
2000
2.450 Kg.
Aurora Gold Ltd
Kalimatan Selatan
1994
2002
5.620 Kg
PT. Gosowong Halmahera
Newcrest Mining Ltd
Maluku Utara
1999
2002
6.300 Kg
7
PT. Newmont Minahasa Raya
Newmont Gold USA
Sulawesi Utara
1996
2004
7.160 Kg
PT. Kelian Equatorial
Rio Tinto Indonesia
Kalimantan Timur
1992
2004
11.670 Kg
PT. Kendilo Coal
BHP-Billiton Plc.
Kalimantan Timur
1993
2002
956.750 Ton
Sumber: Mulyono (2001) dalam Cesare dan Maxwell (2003).
Selain pentingnya keberlanjutan manfaat-manfaat sosial dan ekonomi, keberlanjutan perlindungan lingkungan setelah tambang berakhir adalah sangat penting juga.
Sebab, jika tidak tertangani secara tepat, munculnya sisa-sisa
pencemaran lingkungan bisa dapat membahayakan kesehatan dan keamanan masyarakat dimana tambang dioperasikan sebelumnya. Seperti air asam batuan (AAB) atau air asam tambang yang
bila telah mencemari lingkungan akan
memerlukan waktu 3000 tahun untuk penanganannya dan AAB merupakan sebuah tantangan yang menakutkan (berat) dan hingga saat ini belum ada penyelesaian yang sifatnya global (Kempton, 2003). Sebuah model praktek terbaik penutupan tambang yang disebut oleh World Bank dan IFC (2002) adalah penutupan Pertambangan Sullivan di Kanada pada tahun 2001.
Pemerintah setempat, Distrik Kimberley memimpin untuk mencari
kegiatan apa yang dapat dijadikan sumber pendapatan ekonomi sebagai pengganti sektor tambang yang merupakan sumber pendapatan utama kala itu.
Kegiatan
pencarian ini dilakukan 20 tahun sebelum masa penutupan tambang. Akhirnya mereka berhasil menemukan bahwa kegiatan turisme sebagai penggantinya. Namun, pada tahun 2007 dilaporkan bahwa telah terjadi kecelakaan yang diakibatkan munculnya gas asing yang beracun yang membuat pingsan petugas saat melakukan monitoring dan evaluasi di daerah bekas tambangnya. Dari kerangka hukum dan kebijakan, sebelum tahun 2008 kuartal kedua, tidak ada landasan hukum yang dijadikan pedoman penutupan tambang di Indonesia. Regulasi-regulasi yang dapat dijadikan pedoman dalam penutupan tambang adalah UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan pada pasal 30;
Kep Men No 1211.k/008/M.PE/1995 tentang Penanggulangan
Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum, pada Bab IVPasca Tambang; dan PP 75 tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas PP 32 tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU No. 11 tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan. Regulasi tersebut ditambah dengan kesepakatan PPK yang dijadikan dasar pembuatan dan pelaksanaan RPT saat ini.
Contoh
penutupan tambang Kelian Equatorial Mining (KEM) pada mulai tahun 1992 dan selesai tahun 2004 dilaksanakan hanya berdasarkan standar-standar, indikator
8
kinerja, dan kriteria-kriteria yang dihasilkan dari kesepakatan semua PPK disana melalui pembentukan Komite Pengarah Penutupan Tambang (Kunanayagam, 2006). Absennya hukum tentang penutupan tambang, berarti absennya tangggung jawab, kriteria dan standar untuk kegiatan rehabilitasi yang mesti dilaksanakan dan dikelola
oleh
perusahaan,
pemerintah,
dan
masyarakat
(Hoskin,
2002).
Kunanayagam (2006) melaporkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang belum memiliki regulasi penutupan tambang.
Batista (2000)
menyatakan bahwa pertambangan dalam kontek PB harus memadukan kriteria keberlanjutan kedalam seluruh tahap dari proyek pertambangan mulai dari eksplorasi sampai pada pengembangan, pengoperasian, dan ekstraksi, penutupan dan setelah tambang berakhir.
AGDITR (2006) menyatakan bahwa sebuah kebijakan
penutupan/penyelesaian tambang akan menetapkan aspirasi dan arahan tingkat tinggi yang diperlukan perusahaan untuk penutupan tambang. Biasanya kebijakan ini memuat komitmen tentang proses penutupan, keterlibatan PPK, minimalisasi resiko terhadap lingkungan, memenuhi persyaratan peraturan, aspirasi sosial dan masyarakat, serta upaya penyempurnaan yang berkesinambungan.
Kekosongan
regulasi penutupan tambang juga menjadi salah satu penyebab penurunan investasi di sektor pertambangan ini.
PWC (2006) melaporkan bahwa sampai Bulan
Desember 2005, Indonesia tidak ada kemajuan baru yang signifikan terkait dengan prioritas memperbaiki kondisi investasi yang dicanangkan pemerintah tahun 2004, khususnya dalam hal menjamin keadilan dalam investasi kepemilikan asing dan penutupan tambang. Walaupun akhirnya, pada bulan Mei tahun 2008 pemerintah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor: 18 menetapkan peraturan tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang.
Namun peraturan inipun masih
berorientasi pada perbaikan fisik belum berfokus atau mendorong terjadinya keberlanjutan manfaat sosial dan ekonomi setelah tambang berakhir.
Hal ini dapat
berakibat pada pelaksanaan RPT yang dibuat oleh perusahaan tambang walaupun telah dikonsultasikan kepada PPK untuk mendapatkan tanggapan, saran, pendapat dan pandangan mereka, belum dapat menyelesaikan persoalan yang mendasar, yakni keberlanjutan manfaat-manfaat sosial dan ekonomi setelah tambang selesai beroperasi. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dan mencapai keberlanjutan maka manfaat tambang yang berasal dari eksploitasi bahan tambang perlu ditransformasikan pada kegiatan-kegiatan pembangunan yang dapat menggantikan nilai manfaat bahan tambang mulai saat ini sampai ketika SaPeT tiba dan
9
setelahnya. Kegiatan pembangunan tersebut dapat ditunjukan dengan sebuah nilai kegiatan yang dalam penelitian ini sebut sebagai “nilai hasil transformasi manfaat tambang (NHTMT)”. Konsep dan prinsip-prinsip PB antara lain mensyaratkan adanya keadilan antar dan inter generasi. Karena bahan tambang secara intrinsik unsustainable (Mudd, 2007) dan konsep penutupan tambang berkelanjutan bertujuan adanya keberlanjutan manfaat sosial dan ekonomi sampai setelah tambang berakhir dioperasikannya maka diperlukan sebuah nilai yang menggambarkan adanya keberlanjutan ini. Dalam penelitian ini, nilai keberlanjutan tersebut ditunjukkan dengan apa yang dinamakan sebagai “Nilai Manfaat Tambang Rata-Rata (NMTR).
NMTR ini
merupakan nilai rata-rata dari bahan tambang selama umur tambang beroperasi. Dengan demikian NMTR merupakan sebuah garis lurus horisontal dari sejak tambang menghasilkan sampai operasi berakhir dan setelahnya.
Garis lurus
tersebut dinamakan juga sebagai “garis keberlanjutan”. Garis keberlanjutan juga dapat mewakili nilai-nilai keberlanjutan manfaat
tambang yang dihasilkan oleh
bahan tambang saat tambang masih beroperasi maupun manfaat tambang yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan hasil transformasi manfaat tambang setelah tambang ditutup. Keberlanjutan
manfaat
sosial
dan
ekonomi
dari
kegiatan-kegiatan
pembangunan hasil transformasi manfaat tambang baik pada saat tambang masih beroperasi maupun setelahnya dapat terjadi apabila NHTMT bertemu/memotong atau melampaui garis keberlanjutan atau NMTR. sebelumnya, dapat diilustrasikan seperti
Untuk mempermudah penjelasan
pada Gambar 1, yang mana telah
disesuaikan dengan siklus hidup tambang dari PTFI sebagai studi kasus dalam penelitian ini.
PTFI mulai beroperasi sejak tahun 1972 dan masa penutupan
tambangnya akan tiba tahun 2041, apabila termasuk perpanjangan dua kali 10 tahun.
10
Gambar 1.
Ilustrasi penutupan tambang berkelanjutan (dikembangkan dari Soelarno, 2007)
Pada Gambar 1 menjelaskan bahwa keberlanjutan dan ketidak berlanjutan pada SaPeT ditentukan berapa NHTMT yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilaksanakan saat ini sampai SaPeT PTFI, apakah NHTMT setara atau di atas/di bawah dari nilai manfaat tambang rata-rata (NMTR) hasil eksploitasi bahan tambang selama masa operasi. Apabila NHTMT setara dengan NMTR pada SaPeT PTFI maka kondisi keberlanjutan tercapai, yaitu pada titik A. Titik-titik yang berada diantara titik A dan C merupakan titik-titik ketidak berlanjutan pada SaPeT, karena mempunyai NHTMT lebih kecil dari NMTR. Apabila jarak titik A ke arah titik C makin jauh, kondisi ketidakberlanjutan makin parah.
Titik-titik ini
merupakan kondisi yang tidak diharapkan terjadi, sebab bila terjadi Timika akan menjadi kota mati.
Sebaliknya, titik-titik yang berada diantara titik A dan titik B
merupakan titik-titik keberlanjutan. Makin jauh jarak antara titik A ke arah titik B, berarti kondisi keberlanjutan makin meningkat dan baik. Ini merupakan kondisi yang akan dirumuskan dan merupakan tujuan akhir dari penelitian ini, termasuk bagaimana menentukan kondisi keberlanjutan saat ini (2007) dan menyusun skenario-skenario keberlanjutan pada SaPeT PTFI,
yaitu titik-titik yang berada
diantara titik A dan titik B. Untuk mendapatkan skenario-skenario penutupan tambang berkelanjutan, komponen-komponen, aspek-aspek, atau faktor-faktor yang dianalisis, meliputi: 1. Komponen-komponen sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup pada kondisi saat ini dianalisis dengan menggunakan analisis Resiko Penutupan Tambang (CRF) dan analisis kebutuhan dari pendapat PPK serta analisis MPE untuk mengetahui
11
indikator-indikator keberlanjutan dari ketiga komponen itu. keberlanjutan ini menjadi masukan
Indikator-indikator
untuk menentukan faktor penggerak kunci
menuju penutupan tambang berkelanjutan. Hasil analisis ini menjadi masukan (input terkontrol) dalam analisis sistem dinamik untuk menyusun skenarioskenario penutupan tambang berkelanjutan. 2. Kriteria atau faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang yang berkelanjutan yang merupakan hasil praktek-praktek terbaik yang dikembangkan oleh negara target patok duga (benchmark) pada kegiatan penutupan tambangnya, dengan menggunakan analisis patok duga. Hasil analisis ini menjadi masukan dalam menyusun skenario-skenario penutupan tambang berkelanjutan. 3. Multi faktor terkait dengan aspek-aspek lingkungan hidup, sosial, ekonomi, hukum dan kelembagaan, dan teknologi dan biaya penutupan tambang, yang merupakan komponen-komponen paling dominan pada kondisi yang ideal dalam penutupan tambang berkelanjutan.
Analisis AHP digunakan untuk mengkaji
pendapat para pakar. 4. Komponen-komponen lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi kondisi saat ini yang merupakan hasil pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) seperti yang dilaporkan oleh PTFI serta melakukan analisis situasional terhadap kondisi dan keadaan Kabupaten Mimika kondisi saat ini.
Semua data dan informasi yang hasilkan menjadi masukan
dalam melakukan analisis
sistem dinamik untuk menentukan keberlanjutan
kondisi saat ini, menjelang, dan SaPeT PTFI. Hasil akhir dari penelitian ini berupa disain penutupan tambang mineral berkelanjutan yang terdiri dari pilihan-pilihan skenario terbaik menuju menuju keberlanjutan pembangunan dan penghidupan masyarakat di Kabupaten Mimika pada SaPeT PTFI. Disain ini juga dilengkapi dengan strategi-strategi implementasi sebagai masukan utama bagi PPK. 1.5. Perumusan Masalah Perumusan masalah penelitian dimulai dengan pertanyaan penelitian (research question) yaitu apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan penutupan tambang berkelanjutan dan faktor-faktor apa yang seharusnya dibangun untuk menciptakan
keberlanjutan
pembangunan
dan
penghidupan
masyarakat
di
Kabupaten Mimika pada SaPeT PTFI dan setelahnya?
12
Untuk mencapai penutupan tambang berkelanjutan dapat dilakukan dengan mengintegrasikan dan mengorganisasikan semua faktor-faktor yang saling terkait, antara lain: potensi-potensi daerah, kebutuhan PPK, dan penyelesaian dari permasalahan
yang ada serta praktek-praktek terbaik penutupan tambang yang
dikembangkan negara lain. Potensi daerah dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang akan terjadi pada SaPeT PTFI. Potensi daerah dapat berupa kemajuan-kemajuan yang dihasilkan dari kegiatan pembangunan pada saat tambang beroperasi (kondisi saat ini) atau SDA yang belum dimaksimalkan pemanfaatannya. Disisi lain hasil pembangunan tersebut juga harus dapat dikembangkan dan sejalan untuk mencapai penutupan tambang yang berkelanjutan tersebut. Berikut ini adalah potensi-potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Mimika dan permasalahan yang ada terkait dengan penutupan tambang PTFI: a. Dalam aspek ekonomi, sampai saat ini kontribusi PTFI bagi pembangunan di Kabupaten Mimika dan di Papua sangat nyata.
Contoh, pada tahun 2007,
persentase kontribusi PTFI pada PDRB Kabupaten Mimika adalah 95,56 % dan pada PDRB Propinsi Papua sebesar 44,87 %. Persentase kontribusi PTFI pada tahun yang sama pada APBD Kabupaten Mimika adalah 74,32 % dan pada APBD Provinsi Papua sebesar 6,35 %. Permasalahan yang timbul pada SaPeT PTFI adalah kontribusi ekonomi ini pasti akan terhenti dan bila sektor nontambang belum siap untuk menggantikan sebagai sumber ekonomi baru. Demikian pula, kegiatan bisnis pemasok ke PTFI dapat terhenti. Masalah yang akan timbul antara lain: kehilangan pendapatan daerah dan masyarakat, berkurangnya kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur umum di Mimika, kehilangan permintaan untuk pemasok, kehilangan permintaan tenaga kerja terampil, nilai rumah dan lahan di Mimika dapat menurun, dan kehilangankehilangan sumber ekonomi lainnya. Potensi yang dapat dikembangkan adalah potensi perikanan laut dan darat, potensi kehutanan dan perkebunan, dan kemungkinan adanya sumber tambang baru.
Mimika juga mempunyai lahan
hutan tanaman sagu yang luas di Papua, yang dapat digunakan sebagai sumber pangan alternatif dan jangka panjang. Di Mimika juga memiliki potensi alam yang memungkinkan untuk membangun pembangkit listrik tenaga air, mengingat adanya curah hujan yang tinggi dan perbedaan ketinggian tempat di dataran tinggi dan di dataran rendah yang menyolok.
Beberapa tempat diantaranya
memiliki air terjun alami yang bisa dimanfaatkan sebagai pemasok listrik. b. Dalam aspek sosial, PTFI juga berkontribusi sangat nyata pada kegiatan pengembangan masyarakat setempat dilihat dari segi penyediaan dana dan juga
13
penyelenggaraan kegiatan pengembangan masyarakat yang didukung oleh karyawan PTFI yang berkualitas. PTFI juga sebagai lembaga donor utama dengan
menyediakan
Dana
Kemitraan
untuk
Lembaga
Pengembangan
Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK), yakni sebesar satu persen dari pendapatan kotor PTFI setiap tahun. LPMAK mengelola program pendidikan, kesehatan dan ekonomi serta program pengembangan masyarakat lainnya yang terbesar di Mimika, atau mungkin sampai di Asia Tenggara. Ada dua rumah sakit yang dimiliki LPMAK yang melayani kesehatan kurang lebih separuh dari jumlah penduduk Mimika.
Kontribusi PTFI dalam bidang sosial ini untuk program
pengembangan masyarakat
adalah sebesar 76,74 juta Dolar Amerika pada
tahun 2007 (LPEM-FEUI, 2008). Permasalahan yang timbul pada SaPeT PTFI adalah kontribusi pada program dan pelayanan sosial ini pasti akan terhenti dan bila lembaga lain non-PTFI, termasuk Pemerintah Daerah (PEMDA) Mimika dan lembaga
pengembangan
masyarakat
lainnya
belum
siap
untuk
menyelenggarakan keberlanjutan program sosial saat ini dan juga karena adanya keterbatasan ketersediaan dana maka kehidupan di Kabupaten Mimika, khususnya pelayanan sosial bisa memburuk dan terhenti. Permasalahan yang akan timbul pada SaPeT PTFI, antara lain: kehilangan manfaat kesejahteraan sosial, pengurangan manfaat pendidikan dan pelayanan kesehatan, kehilangan hak untuk mengorganisasikan (terutama bagi organisasi yang mendapat dana utama dari PTFI ) dan lainnya. Potensi yang dapat dikembangkan adalah potensi non-tambang sebagai sumber ekonomi baru, SDM yang sehat dan telah terdidik selama masa operasi tambang sebagai penerus pembangunan, organisasiorganisasi setempat seperti: LPMAK, LEMASA (Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme), dan LEMASKO (Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro) dan organisasi lainnya harus mampu berperan menggantikan fungsi pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh PTFI. c. Dalam aspek lingkungan, ada dua pengaruh utama dari kegiatan PTFI pada lingkungan hidup sekitarnya yaitu air asam batuan (AAB) dari timbunan batuan penutup dan tailing yang merupakan butiran pasir sisa dari hasil pemrosesan bijih.
Pengaruh lainnya adalah: kestabilan lereng di daerah tambang dan
perubahan topografi, dua lubang besar tambang Ertzberg dan Grasberg-daerah tambang saat ini, menurunnya keragaman hayati baik hewan dan tanaman di daerah-daerah dimana bentang alamnya dibuka, dan menurunnya kualitas udara karena emisi-emisi gas buang dari pabrik pengelolahan, pabrik batu gamping dan instalasi PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap).
Juga terjadinya penurunan
14
kualitas air di sepanjang Sungai Aghawagon dan Otomona karena digunakan sebagai sarana transportasi tailing dari pabrik pengolahan di dataran tinggi sampai di ModADA, menurunnya kualitas air muara, terjadinya pendangkalan di daerah muara. Pengaruh lainnya adalah hancurnya hutan hujan tropis seluas 230 Km2 akibat digunakan sebagai daerah pengendapan tailing atau ModADA di dataran rendah.
Disamping itu penurunan kualitas lingkungan terjadi di luar
daerah perusahaan, khususnya di kota Timika
dimana sampah berserakan,
saluran drainase yang buruk, dan tidak mempunyai unit pengelolaan limbah. Permasalahan yang mungkin timbul adalah bagaimana kelanjutan untuk mereklamasi atau memulihkan bentang alam yang terganggu tersebut agar tetap mendukung ekosistem atau rencana peruntukan lainnya dari bekas daerah tambang itu. Beberapa potensi yang dapat terus dikembangkan kedepan adalah tata kelola ramah lingkungan pada komplek perumahan karyawan dan perkantoran perusahaan, dimana di setiap unit pemukiman dan perkantoran perusahaan telah tersedia satu unit instalasi pengelolaan air limbah (IPAL). Demikian juga, hasil pelaksanaan reklamasi PTFI baik di daerah tambang, di daerah tailing dan di muara memberikan keyakinan bahwa alam bisa kembali cepat pulih ketika daerah yang terganggu tidak digunakan lagi. Juga, reklamasi dengan metode suksesi alami yang sangat sukses di daerah ModADA, telah terjadi penghutanan kembali secara alami dari daerah yang terganggu. Demikian juga teknologi dan teknik pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan telah memberikan keyakinan bahwa pengelolaan lingkungan pada SaPeT bisa ditangani dengan baik. Formulasi dan pemecahan masalah penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, beberapa kegiatan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1. Analisis menentukan indikator-indikator keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Analisis ini dilakukan dengan cara: (a) menentukan faktor-faktor
resiko penutupan tambang PTFI dengan permodelan Closure Risk Factor (CRF) dari
Laurence (2001, 2006). (b) menentukan indikator-indikator yang penting
dan strategis berdasarkan pendapat dari PPK penutupan tambang PTFI. Analisis kebutuhan PPK
digunakan untuk mendapatkan indikator tersebut.
Daftar
panjang dari kedua analisis itu kemudian dianalisis dengan teknik MPE untuk mendapatkan indikator-indikator keberlanjutan. 2. Analisis untuk mengetahui faktor penggerak kunci penutupan tambang yang berkelanjutan dengan menggunakan teknik ISM.
Pemilihan elemen dan sub
15
elemen dalam membuat program penutupan tambang berkelanjutan akan ditentukan dari pendapat pakar dan analisis dari indikator-indikator keberlanjutan .
Faktor-faktor inilah yang akan digunakan sebagai masukan utama dalam
menyusun
formulasi kebijakan dan perencanaan strategis terkait penutupan
tambang berkelanjutan.
Tujuan Penutupan Tambang Berkelanjutan
Penurunan Perlindungan Lingkungan hidup
Penurunan Manfaat Sosial
Analisis Kebutuhan PPK
Terhentinya Manfaat Ekonomi
Analisis Faktor Resiko Penutupan Tambang
MPE
Indikator- Indikator Keberlanjutan Analisis Sistem Dinamik
Ketidaktersediaan Kerangka hukum Penutupan Tambang Berkelanjutan
Analisis Patok Duga: AHP: Kelayakan Negara Target Patok Duga Judgement Pakar: Faktor Kunci Penentu Keberhasilan Penutupan Tambang dan Pembobotan Setiap Faktor. MPE: Rangking negara target
ISM : Faktor
AHP: Komponen
Analisis Kesenjangan:
Penggerak Kunci Penutupan Tamb. Berkelanjutan
Dominan dlm perencanaan penutupan Tamb. berkelanjutan
Faktor Kunci Penentupan Keberhasilan Penutupan Tambang Berkelanjutan
Skenario-Skenario Penutupan Tamb. Berkelanjutan Strategi Implementasi
Disain Sistem Penutupan Tambang Mineral Berkelanjutan
Gambar 2. Formulasi dan pemecahan masalah penelitian
3. Analisis menentukan faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang dari dua negara target, Australia dan Kanada yang dapat diterapkan di Indonesia dalam membuat kebijakan dan perencaan strategis penutupan tambang berkelanjutan. Untuk itu dilakukan wawancara pakar. Dalam melakukan analisis patok duga, juga dilakukan serangkaian analisis berupa: (a) metode AHP untuk menilai kelayakan sebuah negara yang akan dijadikan target patok duga. (b) MPE untuk menentukan rangking negara target patok duga berdasarkan kriteria-kriteria atau faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang yang dikembangkan oleh negara target patok duga dan dibobot sesuai dengan pendapat pakar. (c) analisis kesenjangan untuk menilai kesenjangan pencapaian Indonesia pada setiap
nilai kriteria atau faktor-faktor kunci yang ada
dibandingkan dengan negara target patok duga.
16
4. Analisis
untuk
berpengaruh
mengetahui
dalam
komponen-komponen
perencanaan
penutupan
yang tambang
dominan
yang
berkelanjutan.
Komponen-komponen ini seterusnya akan memperkaya pembahasan saat melakukan analisis sistem dinamik dan menyusun skenario-skenario penutupan tambang berkelanjutan. Untuk itu dilakukan wawancara pakar dengan metode AHP untuk menilai bobot setiap komponen yang dianalisis. 5. Analisis untuk mengetahui keberlanjutan kondisi saat ini dan pada SaPeT PTFI berdasarkan hasil analisis kebutuhan dan formulasi masalah yang juga terkait dengan analisis-analisis yang dilakukan sebelumnya. analisis sistem dinamik.
Untuk itu digunakan
Model yang disusun dari hasil analisis ini dapat
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Hartrisari, 2007).
Hasil analisis sistem dinamik bersama
dengan hasil analisis ISM, AHP dan Patok duga digunakan untuk menyusun skenario-skenario penutupan tambang yang berkelanjutan.
1.6.
Nilai Kebaruan (Novelty)
Kebaruan dari penelitian ini adalah: (1) Penerapan nilai-nilai PB, pengetahuan dan kajian keberlanjutan manfaat tambang berdasarkan penelitian di lapangan dengan melakukan analisis faktor-faktor resiko penutupan tambang dan analisis kebutuhan PPK untuk mengetahui indikator-indikator keberlanjutan; (2) Faktor-faktor penggerak kunci penutupan tambang yang berkelanjutan ditentukan dengan menggunakan analisis ISM; (3) Penggunaan analisis patok duga (Benchmarking analysis) untuk menentukan
faktor-faktor
kunci
penentu
keberhasilan
Penutupan
Tambang
berkelanjutan; dan (4) Penggunaan sistem dinamik dalam menentukan keberlanjutan kondisi pada saat ini dan dalam merumuskan skenario-skenario penutupan tambang berkelanjutan
17
BAB II . TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Kerja Pengelolaan Pertambangan Di dalam Al Quran Tuhan Yang Maha Pencipta banyak menjelaskan tentang bagaimana tanggung jawab manusia dalam mengelola alam semesta ini. Sebagai contoh pada Surat Al Baqarah ayat 29, yang berbunyi: “Dialah Tuhan yang mengadakan apa yang dibumi seluruhnya untuk kamu, kemudian Dia menyengaja langit, maka dibuatNya tujuh langit dan Dia Maha Tahu atas segala sesuatu”.
Selanjutnya mengenai bagaimana “cara” pengelolaan kekayaan
tersebut adalah disampaikan pada surat yang sama di ayat 168, yang berbunyi: “Hai manusia! makanlah sebagian makanan yang ada di bumi ini, yang halal dan baik, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan, karena setan itu musuhmu
yang
terang”.
Dengan
demikian
jelaslah
bahwa
manusia
diperintahkan hanya makan “sebagian makanan yang ada” dan dengan cara yang halal dan baik pula. Apabila
dikaitkan
dengan
pengelolaan
pertambangan
maka
kita
dianjurkan:, Pertama, untuk memanfaatkannya secara wajar tidak berlebihan (makanlah sebagian yang ada).
Bahan tambang secara intrinsik tidak
berkelanjutan (unsustainable) sehingga bila generasi saat ini ‘hanya memakan sebagian’ dari bahan tambang tersebut niscaya generasi berikutnya masih mempunyai kesempatan serupa untuk memanfaatkan bahan tambang yang sama. Kedua, tambang perlu dikelola dengan cara yang halal dan baik, dapat diartikan bahwa pengelolaan tambang bukan hanya memenuhi manfaat ekonomi bagi para investor, namun tambang juga harus meninggalkan keadaan lingkungan yang baik setelah dioperasikan dan memberikan manfaat sosialekonomi bagi kesejahteraan manusia, terutama untuk semua PPK, termasuk MSLT (masyarakat sekitar lingkar tambang).
Manfaat ini, tentunya harus
dirasakan oleh PPK sejak tambang mulai beroperasi, saat beroperasi, dan setelah selesai beroperasi. Penerapan prinsip-prinsip PB pada bidang pertambangan, selama siklus hidup tambang dipercaya dapat menciptakan keberlanjutan manfaat-manfaat sosial-ekonomi
dan
perlindungan
lingkungan
setelah
tambang
berakhir
dioperasikan. Dengan demikian, timbul sebuah pertanyaan yaitu apakah dapat diasumsikan bahwa penerapan prinsip-prinsip PB pada kegiatan pertambangan,
termasuk pada saat penutupan merupakan salah satu cara yang halal dan baik dari manusia untuk memanfaatkan kekayaan alam yang dianugrahkan olehNya? Tentunya dapat dimungkinkan bahwa penelitian ini merupakan sebuah jawaban kecil untuk pertanyaan itu.
2.2. Pertambangan dan Kesejahteraan Rakyat Berdasarkan
konvensi-konvensi
atau
kebijakan-kebijakan
tradisional,
menyatakan bahwa negara-negara yang memiliki deposit-deposit mineral yang kaya adalah beruntung (Davis dan Tilton, 2002). Indonesia termasuk 10 negara terbesar dunia dalam kandungan bahan mineral dan batubara, seharusnya posisi ini dapat menguntungkan rakyatnya. Pengelolaan tambang Indonesia pada saat ini dapat digambarkan sebagai berikut: hasil tambang belum nyata meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat sekitar lingkar tambang (MSLT); kerusakan lingkungan hidup makin meningkat karena kontrol yang kurang memadai dan efektif; perusahaan-perusahaan tambang mendapatkan tekanantekanan sosial dan politik secara dramatik sehingga tidak nyaman dan aman dalam beroperasi; pemerintah tumpul dalam melakukan pembinaan dan kontrol; ketersediaan payung kebijakan dan hukum tidak sesuai dengan kebutuhan dan dinamika kegiatan tambang; adanya pandangan mengenai perbedaan dan perlakukan bagi PMA (Penanaman Modal Asing) dan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri)-isu nasionalisasi, dan gejolak sosial serta konflik sering muncul di daerah-daerah penghasil tambang. PWC (2006) menyatakan bahwa pengeluaran kegiatan eksplorasi di Indonesia kurang dari 1,5 % dari jumlah keseluruhan secara global pada tahun 2004 yang mencapai 3.8 milliar dolar Amerika. Sementara itu, Amerika Latin untuk pengeluaran kegiatan eksplorasinya adalah sebesar 21, 9 % dan Australia 14,7 % seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3. Dengan demikian, masih ada ruang yang sangat luas untuk mencapai amanah UUD 45 pasal 33 pasal 3 dengan potensi sumberdaya mineral dan energi yang dimiliki Indonesia. Namun belum dimanfaatkan secara optimal. Ketua PERHAPI mengatakan bahwa tingkat eksplorasi pertambangan di Indonesia secara rata-rata masih dibawah 5 % dari cadangan yang terbukti ada. Kalau dibandingkan dengan potensi cadangan yang ada, tingkat eksplorasi yang dilakukan rata-rata hanya dibawah 1 %. Sebagai contoh, produksi rata-rata batu bara Indonesia mencapai 149 juta ton pada tahun 2005, jika dibandingkan
20
dengan total sumber daya batu bara yang mencapai 57,8 miliar ton, maka tingkat produksinya hanya sekitar 0,25 %. Data ini hanya mengungkapkan tentang batu bara padahal Indonesia masih memiliki potensi tambang mineral lainnya seperti tembaga, emas, perak, timah, bauksit, dan nikel. Dari segi pendapatan negara, Ketua PERHAPI mengatakan bahwa nilai ekspor hasil tambang di tahun 2005 mencapai US $ 9.3 miliar meningkat 27 % dibandingkan dengan nilai ekpor tahun 2004, yakni hanya sebesar 7,3 miliar dolar Amerika.
Bagian Dunia Lainnya
Australia
Amerika Serikat
Afrika
Kanada
Amerika Latin
Pasifik & Asia Tenggara
Kurang dari
Gambar 3. Pengeluaran eksplorasi Indonesia dibandingkan negara lain pada tahun 2004 (MEG dalam PWC,2006) Dengan demikian semestinya pemanfaatan tambang Indonesia dapat ditingkatkan
eksploitasinya
dan
dimanfaatkan
sebesar-besarnya
bagi
kesejahteraan rakyat Indonesia, khususnya bagi MSLT. Namun kenyataannya lain. Dengan tingkat ekspoitasi yang rendah ini, ternyata hasil tambang hanya dinikmati oleh segelintir orang di Indonesia (Walhi, 2005). Otto et al. (2006) terkait pengaruh tambang mineral pada masyarakat mengatakan bahwa pengaruh pembangunan tambang mineral pada masyarakat adalah sulit untuk diwujudkan tanpa ketersediaan hukum yang memadai dan administrasi pemerintahan yang efektif. Oleh karena itu pengelolaan dan kebijakan pertambangan yang bagaimana, khususnya kegiatan penutupan tambang seharusnya dibangun oleh pemerintah sehingga manfaat tambang tetap
21
berkelanjutan dalam berkontribusi pada kesejahteraan rakyat setelah sebuah pertambangan selesai dioperasikan. Manfaat yang berkelanjutan inilah yang seharusnya menjadi fokus tujuan yang harus dicapai dari sebuah kegiatan penutupan tambang melalui disain atau rancangan penutupan yang sudah direncanakan dan dikelola pada saat sebuah tambang masih beroperasi. Sehingga sebuah rancangan penutupan tambang yang bertujuan untuk menciptakan berkelanjutan manfaat tambang merupakan pengejawantahan dari UUD 45 pasal 33 ayat 3 itu.
2.3. Karakteristik Kegiatan Pertambangan Hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam sebuah rancangan dan pengelolaan kegiatan penutupan tambang adalah mengetahui sifat-sifat bisnis pertambangan dan hubungannya dengan lingkungan sekitarnya. Berikut ini sifatsifat khusus bisnis pertambangan yang membedakan dengan bisnis lainnya (diadopsi dari Otto dan Cordes, 2002; dan beberapa referensi lain), adalah: (1) industri tambang sangat komplek dan beresiko tinggi; (2) padat modal, proyek tambang kelas menegah perlu modal 200 – 500 juta USA dolar sedangkan untuk skala besar perlu modal sampai 1 milyar USA dolar; (3) investasi yang lama/panjang sebelum menghasilkan arus kas positif, contoh: untuk tambang skala menegah dan besar membutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk menghasilkan arus kas positif; (4) harga hasil tambang berfluktuasi; (5) biasanya dioperasikan di daerah-daerah terpencil dan tidak bisa dipindahkan, artinya kalau di suatu tempat ada potensi bahan tambang tempat itu saja yang bisa di eksploitasi walau tempat itu adanya di dalam kawasan hutan lindung/untuk peruntukan lain atau ditempat yang tidak aman sekalipun; (6) umur proyek terbatas ditentukan oleh potensi cadangan yang dapat dikelola; (7) adanya keharusan untuk melakukan reklamasi selama proyek berjalan dan pada saat tahap penutupan tambang; (8) tingkat kesuksesan proyek ekslorasi diperkirakan hanya 4 : 100, artinya dari 100 temuan anomali kira-kira hanya empat temuan yang bisa dikembangkan lebih lanjut; dan (9) jenis dan tarif pajak yang dibebankan pada perusahaan tambang akan berpengaruh langsung kepada ROI atau IRR. Butir e, f, dan g di atas adalah karakteristik pertambangan yang sering kali diperdebatkan, karena terkait langsung kepada potensi ekonomi dan permasalahan lingkungan serta sosial setempat yang ditimbul dimana tambang itu dioperasikan serta menentukan apakah sebuah manfaat tambang tetap
22
memberikan manfaat berkelanjutan walau tambang telah memasuki saat penutupan. Bergeron
(2002)
mengatakan
bahwa
isu
global
dalam
industri
pertambangan menyangkut, pertama adalah isu-isu tentang keberlanjutan yang komplek meliputi: perlindungan pada opsi-opsi untuk generasi yang akan datang; promosi untuk stabilitas sosial dan masyarakat; konservasi dan restorasi pada isu-isu tata kelola lingkungan pertambangan global; stabilitas hukum dan regulasi; efisiensi dari sektor regulator; dan perpajakan yang adil dan kompetitif. Kedua adalah isu-isu khusus industri pertambangan, meliputi: citra publik pada kegiatan pertambangan (eksplorasi, penambangan, prosesing); kinerja hal-hal yang menyangkut teknik (geologi, identifikasi lokasi kandungan mineral (grade) tertinggi yang dapat dieksploitasi, rancangan dan evaluasi proyek, pengelolaan dan pemantauan tambang, inovasi dan penelitian & pengembangan); dan kinerja menyangkut keuangan (harga komoditas, harga saham, ROI, agency rating). Penerapan standar lingkungan hidup yang terpadu didalam hukum pertambangan telah menjadi norma di hampir semua negara.
Walaupun
pengertian komitmen sosial adalah tidak sama secara internasional, ia menjadi praktek standar untuk menghubungkan inisiatif-inisiatif kegiatan pembangunan dengan hak-hak pembangunan tambang mineral.
Sebagai contoh, Ghana
mensyaratkan sebuah program rinci untuk rekruitmen dan pelatihan bagi masyarakatnya (Ghanaians)
ketika perusahan-perusahan melamar untuk
mendapatkan hak pengelolaan pertambangan (Otto et al., 2006). 2.4. Definisi, Konseptual dan Tujuan Penutupan Tambang Secara umum, penutupan tambang didefinisikan sebagai pengakhiran kegiatan eksploitasi pertambangan secara tetap dan menyeluruh.
Ada
beberapa tentang tujuan penutupan tambang, antara lain bahwa penutupan tambang bertujuan untuk meninggalkan daerah bekas tambang dalam keadaan yang stabil dan aman untuk manusia dan makluk hidup lainnya (Soelarno, 2006), mengurangi limbah padat, cair dan gas-gas serta limbah lainya yang mempunyai pengaruh merugikan dari pertambangan (CCC and UNEP, 2001). Hoskin (2002) mengatakan bahwa tujuan dari penutupan tambang adalah untuk meninggalkan daerah bekas tambang pada sebuah kondisi yang aman dan stabil, sedikit untuk terjadinya dampak-dampak pada lingkungan hidup, sehingga bekas fasilitas-fasilitas tambang dapat dialihkan untuk
penggunaan lahan
23
lainnya, dan dapat digunakan untuk penggunaan lahan lain yang ekonomis. Lebih jauh dan secara komprehensif, Rykaart dan Caldwell (2006) mengatakan tujuan-tujuan dari penutupan tambang adalah: meniadakan resiko-resiko kesehatan dan keamanan terhadap manusia dan binatang; mencegah, meniadakan, atau meminimalkan dampak-dampak terhadap lingkungan hidup; mereklamasi daerah bekas tambang kepada kelayakan sosial dan nilai ekonomi dari
lahan;
aman
dalam
melepaskan
tanggungan-tanggungan;
dan
meningkatkan citra perusahaan. Pemerintah Australia (2006) mengatakan bahwa rehabilitasi tambang ada sebuah program yang berjalan didisain untuk memulihkan kualitas fisik, kimia, dan biologi atau potensi udara, air dan lahan yang diganggu oleh pertambangan. Hasil “Lokakarya Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Penutupan Tambang” pada 20 Februari – 2 Maret 2006 di Bandung, dikatakan bahwa penutupan tambang adalah pengakhiran kegiatan eksploitasi pertambangan secara tetap dan menyeluruh Dijelaskan pula bahwa tahapan proses penutupan tambang dibedakan menjadi dua bagian penting, yakni perencanaan penutupan (closure plan) dan penerapan atau pelaksanaan rencana penutupan. Penutupan tambang juga sangat terkait pembentukan lahan akhir setelah tambang berakhir. Terkait dengan itu, menurut Sitorus (2004) kebijakan dalam pengembangan
sumberdaya
lahan
berkelanjutan
merupakan
kebijakan
sumberdaya lahan yang bertanggung jawab terhadap generasi saat ini maupun generasi yang akan datang terdiri dari satu himpunan peraturan serta tindakan yang berhubungan dengan penggunaan sumberdaya lahan untuk membuat perekonomian bekerja secara efisien serta dapat berlangsung dalam waktu yang tidak terbatas, tidak menurunkan pola konsumsi serta tidak menimbulkan resiko yang besar bagi generasi yang akan datang, tetapi justru sebaliknya akan membuat generasi yang akan datang lebih sejahterah.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi tersedianya sumberdaya lahan di masa mendatang adalah faktor teknologi, faktor permintaan dan gaya hidup, faktor kelembagaan, dan faktor pemerataan dan keadilan. Pada
Gambar
4
terlihat
bahwa
siklus
hidup
sebuah
kegiatan
pertambangan adalah: eksplorasi, pembangunan kontruksi (mine development), operasi, penutupan tambang dan pasca tambang.
Menurut van Zyl (2005)
penutupan tambang harus memperhatikan penggunaan lahan untuk masa yang akan datang sehingga bisa berkelanjutan untuk membangun kegiatan-kegiatan
24
ekonomi lainnya dari lahan itu setelah pasca tambang.
Berdasarkan siklus
hidup tambang tersebut, penelitian ini difokuskan untuk membangun disain tepat sesaat tambang memasuki saat penutupan, bukan saat setelah pasca tambang.
Penutupan Sementara
Operasi Yang Berjalan
Operasi
Penutupan Eksploirasi Penutupan Tambang Berkelanjutan
Pasca - Penutupan
Pembangunan Tambang
Waktu
Penggunaan Lahan Yang Akan Datang
Gambar 4. Konseptual penutupan tambang secara tradisional dan berkelanjutan (dikembangkan dari van Zyl, 2005). 2.5. Pandangan Internasional Tentang Penutupan Tambang Di bawah ini adalah pertimbangan-pertimbangan internasional yang dapat memberikan gambaran bahwa adanya kebutuhan perencanaan
penutupan
tambang yang berwawasan PB telah dikembangkan sejak lama oleh lembagalembaga yang perduli terhadap hubungan pertambangan dan lingkungan hidup, kejadian-kejadian itu adalah (diadopsi Hoskin, 2002 dan dari berbagai sumber): a) Tahun 1987, Komisi Brundtland menghasilkan rumusan yang dikenal baik dengan nama pembangunan berkelanjutan dan didefinisikan sebagai “pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan
kemampuan dari generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri”.
Laporan dari komisi ini disiapkan
oleh kaum lingkungan hidup, merupakan tekanan yang dihasilkan oleh suara publik yang sangat vokal supaya pemerintah menciptakan regulasi yang lebih
25
kuat untuk memaksa industri pertambangan agar lebih sensitif terhadap lingkungan hidup. b) Pada Bulan Juni 1991, sebuah konferensi yang diselenggarakan di Berlin, yang bernama: International Round Table Conference on Mining and Environment menghasilkan sebuah skema awal yang dikenal sebagai “necessary environmental guilines and strategies on mining with emphasis on developing countries”. Walapun penutupan tambang tidak dibahas secara khusus disini.
Disinggung juga, pada beberapa negara, AMDAL atau
Environmental Impact Assessments (EIA), sekarang sebagai persyaratan hukum, kondisi ini dapat dipakai sebagai kendaraan agar perusahaan diwajibkan untuk membuat rencana rinci dari penutupan tambangnya. c) Tahun 1992, Sebuah konferensi yang dikenal dengan nama “United Nations Conference on Environment and Development” atau lebih dikenal sebagai Konferensi Rio menghasilkan Agenda 21, yakni merupakan program untuk pengelolaan lingkungan hidup pada abad ke 21. Konferensi ini menekankan adanya kebutuhan untuk mengadopsi pedoman-pedoman tentang lingkungan hidup untuk pembangunan sumber daya alam. Sejak itulah, UNEP (United Nations Environment Programme) dan lembaga-lembaga internasional lainnya menyiapkan pedoman-pedoman tentang lingkungan hidup untuk sektor mineral/pertambangan. d) Tahun 1994,
World Bank, UNEP, dan ICME (the International Council for
Metals and the Environment) menyelenggarakan sebuah koferensi yang dinamakan “International Conference on Development, Environment and Mining” yang bertujuan untuk saling tukar informasi, ide, pandanganpandangan dan penyelesaian-penyelesaian dengan pembahasan disekitar pembangunan
mineral
yang
berkelanjutan
(sustainable
mineral
development). e) Tahun 1997, DESA (United Nations Division of Economic and Social Affairs) dan UNEP menyusun Pedoman-pedoman tentang lingkungan hidup untuk operasi pertambangan dan pendekatan-pendekatan didiskusikan pada implementasi, pemantauan, penguatan dan partisipasi. f) Tahun 1998, UNEP berkerja sama dengan ICME menghasilkan dokumen yang dinamakan “Case Studies on Tailings Management”. UNEP dan WHO (World Health Organisation) juga menyiapkan sebuah petunjuk
pelatihan
(training manual) yang disebut ‘Mine Rehabilitation for Environment and
26
Health Protection: A Training Manual’ untuk memperkenalkan personelpersonel tambang pada keterampilan-keterampilan baru. g) Tahun 1999, konferensi kedua tentang “International Round Table Coference on Mining and Environment” diselenggarakan kembali di Berlin dan menghasilkan ‘the Berlin II Guidelines’ yang meliputi seksi utama pada perencanaan penutupan tambang dan rehabilitasi yang mana dibagi menjadi tiga tahap yakni: tahap perencanaan (the Planning stage); tahap Penanganan Aktif (the Active Care stage); dan tahap pasif (the Passive Care stage). h) Pada tahun 2002, ICMM (the International Council on Mining and Metals) menetapkan “Global Mining Initiative”
untuk menyediakan sebuah fokus
global pada PB dari industri-industri pertambangan dan metal dunia. ICMM ini mengadopsikan PB yang didefinisikan oleh Komisi Brundtland pada sektor pertambangan dan metal. i)
Pada tahun 2008, ICMM akhirnya mengeluarkan sebuah pedoman untuk penutupan tambang yang berjudul: “Planning for Integrated Mine Closure: Toolkit”.
2.6. Dampak-Dampak Penutupan Tambang Secara umum kegiatan penambangan dibagi dalam tiga tahapan kegiatan yakni kegiatan sebelum operasi, saat operasi dan penutupan tambang. Ketiga tahapan kegiatan itu mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan dimana tambang itu dioperasikan. Pengaruh kegiatan penambangan pada tahap sebelum dan saat operasi terhadap ketiga aspek itu sepenuhnya masih bisa dikelola baik oleh perusahaan, sebab perusahaan dan masyarakat sekitarnya masih merasakan manfaat ekonomi dan sosial dari kegiatan penambangan itu.
Tidak demikian bila bahan tambang
sudah habis dan penambangan itu telah masuk kedalam tahap penutupan tambang, manfaat ekonomi yang biasanya didapatkan tentunya akan berubah dan kemungkinan besar akan terjadi penurunan. Hasil penelitian Laurence (2001, 2006) mengelompokkan resiko penutupan tambang berdasarkan hubungan antara faktor resiko penutupan dengan kerumitan dari penutupan, yakni: resiko lingkungan hidup, resiko keamanan dan kesehatan, resiko bagi masyarakat dan sosial, resiko penggunaan lahan akhir, resiko aspek hukum dan keuangan, dan resiko secara teknik, seperti tertera pada Tabel 2.
27
Tabel 2. Tingkat resiko penutupan tambang pada beberapa tempat penambangan (Laurence, 2006) Tingkat Resiko Penutupan
CRF
Karakteristik Tipe
> 2000
Ekstrim
Lokasi yang sensitif secara lingkungan dan sosial, penyimpangan lingkungan yang ekstensif, persoalan pada masa lalu
1500 2000
Sangat Tinggi
10001500
Tinggi
500 1000
Sedang
< 500
Rendah
Dekat dengan daerah yang secara ekstrim sensitif misalnya warisan dunia, kota-kota tambang yang sudah lama mantap, komoditi-komoditi yang peka seperti uranium, asbes Tambang permukaan yang luas yang dekat dengan daerah yang tetap; tambang di negara berkembang; tambang emas atau lain yang berpotensi menghasilkan air asam tambang; tambang dimana saja yang mempekerjakan masyarakat lokal Tambang batubara bawah tanah dengan pencabutan pilar; tambang batu keras yang menggunakan metode gua; suspect crown pillar; tambang emas di daerah terpencil, daerah daerah setengah tandus Tambang yang membuka alluvial yang menggunakan kimia-bebas dari perlakukan gaya berat; tambang batu bara bawah tanah hanya pada saat pekerjaan pertama kali; tambang tanah liatdekat pusat daerah-digunakan sebagai tempat penimbunan sampah atau kegunaan lain untuk penutupan; operasi ekstratif kecil
Contoh OK Tedi (Papua Nugini), Grasberg (PTFI) atau tambang terbuka berskala besar lainnya di Pasifik, Indonesia. Menggunakan tranportasi sungai dan laut dalam untuk pembuangan tailing Arnhem land uranium mines; Butte: Broken Hill; Witternoon blue asbestos.
Hunter Valley strip mines; Pine Creek geosynline gold mines; Zambian copperbelt;
Lake Macquarie tambang batu bara bawah tanah; Northparkes tambang blok gua;
New England tambang sapphire; ekstrasi pasir pada ibukota negara atau ibukota provinsi
Daftar faktor-fakor resiko itulah yang dipakai sebagai dasar untuk mengidentifikasikan
faktor-faktor
resiko
penutupan
tambang
dari
PTFI.
Penutupan tambang PTFI dinilai mempunyai tingkat resiko penutupan katagori “ekstrim” dengan nilai CRF > 2000, termasuk juga tambang Ok Tedi di Papua Nugini pada katagori ini. Penutupan tambang dalam kategori ini, mempunyai karakteristik: sensitif secara lingkungan hidup dan sosial di lokasi operasi,
28
ekstensif penyimpangan lingkungan hidup, dan tergantung pada waktu yang lalu (subjected to past). Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Sementara itu, ICMM (2008) membagi resiko-resiko penutupan sebagai berikut: resiko kesehatan dan keamanan, lingkungan hidup, sosial, reputasi, hukum, dan resiko keuangan. Juga dikatakan oleh ICMM (2008) bahwa tujuan-tujuan penutupan tambang mensyaratkan adanya kemajuan dalam mereduksi resiko-resiko dan hal-hal yang tidak diketahui sampai setelah pasca penutupan tambang. Oleh karena itu sesuai dengan UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mewajibkan kepada setiap usaha kegiatan untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup untuk menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.
Sehingga,
rencana kegiatan penutupan tambang adalah juga tak kalah pentingnya dibandingkan dengan dua tahap kegiatan lainnya itu. Robertson dan Shaw (1999) mengelompokkan dampak-dampak lingkungan hidup dari sebuah rencana penutupan tambang, yakni: kestabilan secara fisik; kestabilan secara kimia; penggunaan lahan seperti sebelum tambang atau untuk kebutuhan lain; dan mendukung pembangunan berkelanjutan, tetap berkontribusi pada keberlanjutan sosial dan ekonomi setempat. Dampak penutupan tambang pada lingkungan dapat melalui dua cara, yaitu: pertama, bekas daerah tambang yang ditinggalkan begitu saja dan berdampak sangat buruk. Kedua, bekas tambang yang sudah direhabilitasi atau direklamasi namun masih menimbulkan dampak buruk pada lingkungan setelah pasca tambangnya selesai. Di Australia ada 500 bekas tambang , di Kanada ada 10.139 dan di USA sebanyak 557.650 bekas tambang yangg ditinggalkan begitu saja setelah nilai ekonomi bahan tambangnya berakhir atau tidak layak terus ditambang (IIED dan WBCSD, 2002).
Dampak-dampak terhadap lingkungan dapat meliputi:
gangguan pada lansekap alam, bahaya keamanan, kontaminasi air permukaan dan air tanah, dan lainnya. Sebagai contoh: aliran asam dari tambang Wheal Jane dan tambang lainnya yang ditinggalkan di Inggris (UK) mengakibatkan terkontaminasinya sungai-sungai lokal disana.
Di Indonesia, adanya kasus
pencemaran Teluk Buyat saat PT Newmont Minahasa Raya PT NMR) di Sulawesi Utara akan memasuki tahap penutupan tambangnya. Walau akhirnya disana terbukti tidak ada pencemaran seperti yang dituduhkan itu. Namun dana yang dikeluarkan perusahaan tersebut untuk penanganan kasus ini adalah tidak sedikit. Contoh lain, kerusakan lingkungan yang sangat parah dan tak terkontrol
29
dari daerah-daerah bekas pertambangan liar, baik di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra. Pengaruh-pengaruh dari penutupan tambang secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 5, terlihat bahwa penutupan tambang akan berpengaruh pada ekonomi, sosial dan bio-geofisik. Pengaruh ekonomi dan sosial cenderung bersifat menurun sedangkan pengaruh pada lingkungan cenderung bersifat memperbaiki. Lingkungan hidup bisa menjadi membaik karena sumber dampak yang menyebabkan lingkungan rusak sudah tidak ada sehingga lingkungan hidup mempunyai kesempatan untuk memperbaiki dirinya sendiri secara alami. Proses penutupan tambang yang sebagian besar meliputi pemulihan dan rehabilitasi lingkungan hidup adalah mempercepat terjadinya perbaikan alam itu sendiri.
Pengaruh Ekonomi
Pengaruh Sosial •Kehilangan manfaat kesejahteraan sosial • Kehilangan hak untuk mengorganisasikan • Penguranan manfaat pendidikan • Perasaan tidak mempunyai pekerjaan • Ketergantungan pada alkohol dan obat-obatan • pelanggaran rumah tangga • Kesehatan dan kesejahteraan •Resiko bahaya yang ditimbulkan oleh dam atau fasilitas peralatan yang tidak aman
Penutupan Pelayanan dan Industri pemasok
Penutupan Proyek Pertambangan
•Kehilangan nilai rumah dan lahan • Pengurangan mobilitas mendapatkan kerja baru • Kehilangan pendapatan • Kehilangan permintaan tenaga kerja trampil • Kehilangan permintaan utk pemasok • Sewa sumberdaya berkurang terbatas untuk inves kembali •Berkurangnya pemeliharaan untuk transportasi dan infrastruktur umum
Pengaruh Bio-giofisik Pengaruh setempat pada bio-giofisik dasar-dasar Penghidupan
Gambar 5. Pengaruh-pengaruh penutupan tambang pada ekonomi,sosial, dan bio-geofisik (diolah dari Warhurst, 2000) Berdasarkan penjelasan sebelumnya, adalah tepat bahwa penelitihan ini dilakukan, yang mana hasilnya diharapkan dapat berkontribusi langsung maupun tidak langsung kepada rancangan kebijakan dan pembangunan pertambangan
30
yang berkelanjutan di Indonesia terutama untuk proses penutupan tambang, khususnya pada fasilitas atau daerah penimbunan/kolam/pengendapan tailings yang hasil proses penambangan. Penutupan tambang akan berpengaruh langsung pada penurunan manfaat sosial-ekonomi dan pemulihan kerusakan lingkungan bio-geofisik di daerah tambang itu dioperasikan.
Pengaruh pada aspek sosial biasanya kepada
masyarakat sekitar lingkungan tambang (MSLT) yang akan meliputi: kehilangan manfaat kesejahteraan sosial, penurunan manfaat pelayanan pendidikan dan kesehatan, kehilangan hak politik untuk mengorganisasikan, relokasi penduduk, timbulnya pengangguran, munculnya ketergantungan pada minuman keras, keamanan, dan lainnya. Pada aspek ekonomi
pengaruhnya adalah: kehilangan pendapatan;
kehilangan permintaan pada tenaga kerja yang trampil; kehilangan pasokan barang dan jasa; penurunan untuk mendapatkan lapangan kerja baru; pengurangan pemeliharaan sarana transportasi dan infrastruktur umum; pemerintah kehilangan pendapatan atas pajak, royalti, dan pungutan lainnya, penurunan nilai tempat tinggal dan lahan, dan lainnya (diolah dari Warhurst, 2000). Sedangkan pengaruh pada bio-geofisik dari penutupan tambang tidak menjadi tidak seburuk dibandingkan pengaruh secara sosial dan ekonomi. Karena lingkungan hidup yang biasanya terganggu saat kegiatan operasi, saat penutupan tambang tidak terganggu lagi, alam mempunyai kesempatan untuk memulihkan dirinya sendiri bila masih dalam batas kemampuan pulih alamiahnya. Walaupun demikian dampak bio-geofisik yang dapat muncul saat penutupan adalah air asam tambang dan bantuan penutup (over burden), lahan penempatan tailing, gangguan yang berat pada bentang alam pada bekas lubang tambang dan tambang bawah tanah, kehilangan keragaman hayati dan sumber daya alam lainnya seperti hasil hutan, laut, sungai, danau dan lainnya Proyek pertambangan disamping mempunyai dampak positif kepada masyarakat atau negara dalam bentuk penyediaan lapangan pekerjaan, pembayaran pajak, dan pembangunan regional. Juga, memunculkan dampak negatif yang bersifat sementara, seperti kebisingan, mengganggu pemandangan dan bentang alam, dan penurunan lingkungan hidup (Robertson dan Shaw, 1998) serta kerusakan pada keragaman hayati di dalam ekosistem alamiahnya (IUCN and ICMM, 2002). Ia juga dapat merubah bentang alam secara ekstrim berbeda dari kondisi alam semula. Mengelola dampak-dampak negatif dan
31
mempertahankan keberlanjutan dampak positif itu bukanlah sebuah pekerjaan yang ringan, apalagi bila hal itu dilakukan pada saat beberapa tahun menjelang atau ketika tambang memasuki tahap penutupan. 2.7. Penutupan Tambang dan Perencanaan Pembangunan Regional Kegiatan
penutupan
tambang
untuk
menuju
keberlanjutan
perlu
diselaraskan dengan program pembangunan baik secara nasional dan regional. Menurut UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional tahun 2000-2004, yang terkait dengan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan terdapat pada prioritas program nomor 3 yang berbunyi: “Mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan”.
Untuk mencapai
tujuan dan sasaran program ini ada tujuh kelompok program dalam percepatan pemulihan
ekonomi
dan
penciptaan
landasan
pembangunan
ekonomi
berkelanjutan, adalah sebagai berikut: a) Menanggulangi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. b) Mengembangkan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi sebagai tulang punggung
sistem
ekonomi
kerakyatan
dan
memperluas
partisipasi
masyarakat dalam pembangunan. c) Menciptakan stabilitas ekonomi dan keuangan agar tercipta iklim kondusif bagi peningkatan investasi dan ekspor yang sangat penting bagi percepatan pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. d) Memacu peningkatan daya saing terutama untuk meningkatkan ekspor nonmigas, termasuk pariwisata, dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional. e) Meningkatkan investasi dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi, terutama investasi berdasarkan ekuitas dari pada berdasarkan pinjaman. f) menyediakan sarana dan prasarana penunjang pembangunan ekonomi (transportasi,
pos,
telekomunikasi,
informatika,
listrik,
energi
dan
pertambangan, serta pengairan dan irigasi) g) Memanfaatkan kekayaan sumber daya alam nasional dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan kelestarian lingkungan. Menurut Salim (1993) bahwa pembangunan bukanlah hanya kegiatan membangun pabrik, jalan dan lainnya.
Pembangunan juga bukan hanya
kegiatan pendidikan, kesehatan, sosial dan lainnya.
Hakekat pembangunan
32
Indonesia adalah tertuju pada diri manusia, membangun manusia Indonesia yang utuh, pembangunan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan Maha Pencipta; kedua, keselarasan hubungan manusia dengan masyarakat; ketiga, keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan alam. Dengan demikian ciri utama yang ingin dibangun dalam diri Manusia dan Masyarakat Indonesia adalah keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara diri manusia dengan Tuhan, masyarakat dan lingkungan. Dikatakan juga oleh Salim (1993) bahwa pola pembangunan
dengan
pengembangan
lingkungan
hidup,
memerlukan
pengetatan penggunaan air dan tanah, serta sumber alam lainnya.
Saingan
dalam pemakaian air, tanah, dan sumber alam lainnya, mungkin tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme pasar, sehingga disini peranan Pemerintah diperlukan. Terkait dengan Penataan Ruang, sesuai dengan UU No. 26 tahun 2007, pada BAB II pasal 2 disebutkan bahwa “Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan azas: (a) keterpaduan; (b) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; (c) keberlanjutan; (d) keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; (e) keterbukaan; (f) kebersamaan dan kemitraan; (g) perlindungan kepentingan umum; (h) kepastian hukum dan keadilan; dan (i) akuntabilitas. Sesuai dengan Keputusan Menteri PU No. 640/KPTS/1986 BAB III, RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) setidak-tidaknya berisikan hal-hal sebagai berikut: (a) Kebijakan pengembangan penduduk kota, (b) Rencana pemanfaatan ruang kota, (c) Rencana struktur pelayanan kegiatan kota, (d) Rencana sistem transportasi, (e) Rencana jaringan utilitas kota, (f) Rencana kepadatan bangunan, (g) Rencana ketinggian bangunan, (h) Rencana pemanfaatan air baku, (i) Rencana penanganan lingkungan kota, (k) Tahapan pelaksanaan pembangunan, (l) Indikasi unit pelayanan kota.
2.8. Pengelolaan Tailing dan Air Asam Tambang Saat Penutupan Tambang Tailing adalah sisa batuan alami yang halus sampai sangat halus yang dihasilkan dari proses pengambangan (floating process) untuk mengekstraksi tembaga, emas dan perak dari batuan-batuan tambang yang dihancurkan (Laporan RKL dan RPL PTFI, 2005).
Umumnya pengelolaan tailing dikelola
melalui beberapa cara seperti ditampung didalam kolam-kolam atau dam-dam
33
yang dibuat khusus dan bisa langsung dialirkan ke laut dalam, yang dikenal dengan sebutan sub marine tailing deposition. MAC (the Mining Association of Canada) tahun 1998 memberikan sebuah pedoman pengelolaan tailing yang dipadukan dengan siklus hidup dari penanganan tailing itu sendiri mulai dari: pemilihan tempat dan perancangan, kontruksi, operasi, dan penonaktifan dan penutupan (decommissioning and closing), seperti pada Gambar 6.
Kebijakan dan Komitmen
Perencanaan
Penyerahan dan Penutupan Operasi
Kontruksi
Implemetasi Rencana
Pemilihan Tempat dan rancangan
Tinjauan Manajemen untuk Perbaikan Berkesinambungan
Pengecekan dan Tindakan Koreksi
Gambar 6. Aplikasi dari kerangka pengelolaan tailing melalui siklus hidup (MAC, 1998) Tempat penampungan tailing adalah menggunakan areal yang luas, dengan demikian dampak pada lingkungan juga akan meluas dan berat, pada SaPT daerah ini memerlukan penanganan yang terpadu dan komprehensif agar tidak membahayakan masyarakat dan lingkungan hidup di sekitarnya. Menurut Balkau (1998) terkait dengan pengelolaan tailing maka akan memunculkan isuisu seperti: kualitas air, binatang liar, penutupan dan reklamasi, cianida dan kesiapan penanganan keadaan bahaya.
Seperti yang digambarkan oleh ICMM
(2006) yang mengklasifikasikan beberapa dampak potensial dari daerah pengendapan tailing kepada lingkungannya, khususnya yang terkait dengan keragaman hayati, yakni sebagai berikut:
34
a. Dampak pada keragaman terrestrial: kehilangan dari ekosistem-ekosistem dan habitat-habitat; kehilangan species-species yang jarang dan langka; dan berpengaruh pada species-species yang sensitive. b. Dampak pada keragaman hayati akuatik dan dampak dari buangan-buangan: merubah rezim hidrologi; merubah rezim hydrogeologi; meningkatnya logam berat, keasaman dan pencemaran; meningkatnya kekeruhan; dan resiko pada kontaminasi air bawah tanah. c. Dampak pada kualitas air terkait dampaknya pada keragaman hayati: meningkatnya partikel-partikel ambien(TSP); meningkatnya ambien sulfur diosida (SO2); meningkatnya ambien oksida-oksida nitrogen (NOx) dan meningkatnya ambien logam-logam berat. d. Dampak pada kegiatan sosial terkait keragaman hayati: kehilangan akses ketempat sumber ikan; kehilangan akses pada sumber tanaman buahbuahan dan obat-obatan; kehilangan akses pada lahan pertanian dan padang pengembalaan; dan terbatanya akses pada sumber-sumber keragaman hayati. Pada saat penutupan tambang kondisi-kondisi fisik, kimia dan biologi dari potensi udara, air dan lahan di daerah pengendapan tailing perlu dilakukan pemulihan. Seperti yang dikemukakan oleh Australian Goverment-Department of Industry Tourisme and Resources / AGDITR (2006) bahwa isu dari penutupan tambang berkelanjutan perlu ditujukan sejak dalam tahap perencanaan kegiatan operasi pertambangan yang dilakukan untuk meminimalkan masalah-masalah yang akan datang.
Hal ini juga sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam
“Lokakarya Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Penutupan Tambang” pada 20 Februari – 2 Maret 2006 di Bandung, bahwa tujuan penutupan tambang adalah mencegah atau meminimalkan dampak jangka panjang; dan membentuk ekosistem alami yang berkelanjutan (self-sustaining) atau tataguna lahan pasca tambang yang disepakati. Masalah lingkungan utama lain dari pertambangan yaitu air asam batuan (AAB) atau acid mine drainage, kadang disebut juga sebagai acid rock drainage. AAB ini memerlukan waktu ratusan sampai ribuan tahun untuk dilakukan penanganan sampai dapat dikatakan aman bagi lingkungan hidup. Kempton (2003) menginformasikan sebuah tambang di Montana (USA), ZortmanLandusky Mine memerlukan waktu penanganan 300 tahun.
Demikian juga
35
sebuah tambang di California, Iron Mountain Mine malah memerlukan waktu 3000 tahun. Menurut AGDITR (2006) sumber-sumber dari AAB ini adalah: tumpukan limbah batuan (waste rock piles),timbunan bijih (ore stockpiles), fasilitas penempatan tailing (tailing storage fasilities), lubang tambang terbuka (pits and open cuts), tambang bawah tanah (underground mines), hamparan pelindian bijih (heap leach pads), dan timbunan lindi (leach piles). Penanganan AAT ini haruslah dilakukan terus-menerus selama siklus hidup tambang, baik sejak mulai eksplorasi, kontruksi, operasi, dan sampai penutupan tambang.
2.9. Rehabilitasi dan Reklamasi pada Tanah Tailing Kegiatan pertambangan menyebabkan terjadinya degradasi tanah atau lahan. Degradasi tanah merupakan hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi kegunaan tanah, kehilangan atau perubahan kenampakan tanah yang tidak dapat diganti. Degradasi tanah diperbaiki melalui rehabilitasi baik berupa reklamasi maupun restorasi.
Reklamasi didefinisikan sebagai kegiatan yang
bertujuan untuk memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu untuk beberapa penggunaan, sedangkan restorasi merupakan perlakuan perbaikan kembali ke penggunaan awal (Sitorus, 2004b). Tambunan (2006) menyatakan bahwa secara teknis prinsip penutupan tambang akan meliputi: aman dan stabil, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, memenuhi peraturan pemerintah, dan memperbaiki lahan bekas tambang.
Secara non-
teknis prinsip penutupan tambang akan meliputi, bertanggung jawab secara sosial, mengutamakan partisipatif dan bijaksana dalam keuangan.
Menurut
Balkau (1998) setelah penutupan tambang, seluruh area termasuk tempat penimbunan tailing harus ditinggalkan dalam kondisi stabil baik secara fisik maupun secara kimiawi.
Kestabilan ini sebaiknya sudah menjadi karakteristik
intrinsik dari rancangan akhir area yang akan ditutup, dan disana sebaiknya hanya memerlukan sedikit untuk pengawasan/penjagaan dan intervensi. ICMM (2006) menjelaskan beberapa terminologi tentang rehabilitasi didaerah bekas tambang, yakni: a) reklamasi: proses secara umum dimana permukaan
lahan
dikembalikan
kepada
berbagai
bentuk
yang
dapat
dimanfaatkan kembali; b) pemulihan (restoration): reklamasi yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ekologi dan mempromosikan penutupan dan penyembuhan sesuai
keterpaduan ekologis; pengembalian kembali dari
36
ekosistem asli (sebelum penambangan) kepada semua aspek dari fungsi-fungsi dan struktur-strukturnya; c) rehabilitasi: proses kemajuan menuju pengembalian kembali kepada ekosistem asli; dan d) penggantian (replacement): penciptaan ekosistem alternatif kepada ekosistem yang asli.
Didefinisikan pula bahwa
pemulihan secara ekologi (ecological restorasi) adalah serangkaian besar tentang aktifitas-aktifitas, seperti: peningkatan, perbaikan, dan rekontruksi dari ekosistem yang terdegradasi, dan mengenai pengoptimalan pengembalian keragaman hayati, yang dapat tercermin dari pemantapan kembali kemampuan dari suatu lahan untuk menangkap dan memelihara serta menahan sumberdayasumberdaya yang fundamental, seperti energy, air, nutrisi dan species-species. Tibbet (2005) mengatakan keberhasilan dari rehabilitasi, biasanya ditentukan oleh kualitas dari tanah atau lahan yang telah direkontruksi dan penutupan tanaman-tanamannya.
Hal ini memerlukan interaksi atau keterlibatan dari
insinyur-insinyur geoteknik, ahli hidrologi, ahli botani, dan skateholder setempat untuk menentukan tipe-tipe yang cocok dalam penggunaan lahan dan perencanaan species yang akan di bibitkan atau semaikan.
Rekontruksi
ekosistem yang berkelanjutan memerlukan dari proses-proses yang cocok baik di bawah permukaan tanah dan di atas tanah sehingga dengan demikian memerlukan manipulasi yang cermat dari komponen-komponen biotik dan abiotik. Mulligan (2003) memformulasikan strategi rehabilitasi, dari hasil studinya pada industri batu bara di Australia, yakni meliputi: kestabilan bentuk lahan (landform stability), kestabilan ekosistem, kondisi-kondisi yang toleran untuk pertumbuhan (tolerable conditions for growth), komposisi spesies, siklus nutrisi, kemampuan reproduktif, penerimaan dan ketahanan pada gangguan-gangguan (resillence to disturbance), dan kriteria yang lengkap.
Tongway dan Hindley
(2003) merumuskan indikator untuk keberhasilan rehabilitasi ekosistem melalui verifikasi dari indikator-indikator EFA (Environmental Function Analysis), yang terdiri dari kriteria: kestabilan, infiltrasi, pernafasan tanah (soil respiration), dan ukuran kelompok makanan (nutrient pool size).
Randall (2004) mendifinisikan
EFA sebagai sebuah proses monitoring lapangan yang menggunakan indikatorindikator sederhana untuk menilai bagaimana sebuah landsekap bekerja dengan baik sebagai sebuah sistem ekologi.
37
Gambar 7. Konsep pemanfaatan ModADA PTFI tahap pasca tambang (PT Freeport Indonesia, 2006) Konsep reklamasi yang dikembangkan di daerah pengendapat tailing PTFI (ModADA PTFI) dengan melalui dua pendekatan yakni: pertama, suksesi alami tanaman-tanaman yang berada pada daerah-daerah baru yang sudah tidak aktif, dipelihara terus berkembang menjadi hutan klimak. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan nilai-nilai ekologis dari suksesi alami itu. Kedua, mengkonversi daerah-daerah baru yang sudah tidak aktif untuk kegiatan pertanian (perikanan dan perternakan) dan penanaman tanaman hutan untuk agroforestri. Pendekatan ini bertujuan untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari hasil reklamasi dan penanaman tahaman hutan. Akhirnya konsep ini oleh PTFI diperbarui, dimana pada saat pasca tambang daerah ModADA itu akan memberikan fungsi secara ekologi, sosial dan ekonomi seperti tampak pada Gambar 7 (PT Freeport Indonesia, 2006).
2.10.
Pengelolaan Sumberdaya Tambang Berkelanjutan
Sejak World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987, mendefinisikan “Pembangunan Berkelanjutan (PB)” sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan
kemampuan dari generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan mereka sendiri”, hampir semua aktifitas bisnis dunia mendasarkan
38
pengelolaan
operasinya
untuk
mendukung
PB
ini,
termasuk
sektor
pertambangan, dimana mereka menjadikan prinsip-prinsip PB sebagai dasar dari pengambilan keputusan operasi dan di beberapa negara telah memasukkannya kedalam regulasi-regulasi pertambangan dan juga dalam regulasi pengelolaan lingkungan hidup secara lebih rinci. Seperti yang dikemukakan Otto dan Cordes (2002) bahwa revolusi sosial-lingkungan hidup secara nyata telah merubah bagaimana pendekatan-pendekatan yang dilakukan industri pertambangan internasional dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan bisnisnya. Menyikapi pengertian PB dari Komisi Bruntland itu, Fauzi (2004) mengatakan secara implisit yang menjadi perhatian konsep itu adalah pertama, menyangkut pentingnya memperhatikan kendala sumberdaya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan
dan
konsumsi.
Kedua,
menyangkut
perhatian
pada
kesejahteraan generasi mendatang. Adalah hal yang sangat tidak mungkin membicarakan hubungan pembangunan berkelanjutan dengan pertambangan pada beberapa dekade tahun yang lalu. Namun, saat ini merupakan hal yang sangat wajar dan menjadi kebutuhan, keadaan ini dipicu adanya perkembangan jaman yang dramatik, kemajuan sistem komunikasi dan teknologi, tuntutan bisnis, terbatasnya daya dukung alam, isu-isu lingkungan global (pertumbuhan penduduk, kemiskinan dan pemanasan global), dan adanya unsur-unsur “global common” yang tidak bisa dihindari lagi menyebabkan dunia dan perusahaan pertambangan dituntut untuk menyesuaikan diri dalam operasi kegiatan bisnisnya. Otto et al. (2006) mengatakan bahwa para politikus mendorong secara terus menerus untuk penyerahan bukti-bukti bahwa sumberdaya mineral dikembangkan dalam kerangka keberlanjutan yang memberikan manfaat pada saat ini dan juga bagi generasi yang akan datang. Strategi penerapan PB yang disarankan oleh Salim (2005) bagi pembangunan nasional di Indonesia adalah meliputi: (1). “eko-efisiensi” pembangunan dengan maksimalisasi: Pemakaian sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui yang dapat didaur ulang (recyclable non-renewable resources); pemakaian energi yang dapat diperbaharui dan energi yang tidak mengeluarkan karbon (zero carbon energy); teknologi bersih, tanpa limbah dan polusi;dan penghematan ruang dengan nano-teknologi; (2) kembangkan keunggulan dayasaing RI bertumpu pada terresterial dan marine tropical resources dengan bio-
39
teknologi, marin-teknologi, material-teknologi, nano-teknologi.
Contohnya:
kepompong kupu-kupu bahan tekstil; minyak ikan untuk obat dan kosmetik; kulit kayu dan minyak kelapa untuk obat; air-liur pacet untuk obat pencairan darah; bunga dan buahan eksotik untuk industri ekspor; (3) sustainable transportasi darat, kereta-api, sungai, laut dan udara (trunk and feeder line); (4) sustainable pertanian organik; (5) sustainable energi dengan mensubstitusi energi BBM dengan gas sebagai jembatan; (6) sustainable Industri dengan teknologi bersih; (7) sustainable lembaga keuangan menggunakan “prinsip Equator” IFC; dan (8) strategi reformasi “Good Governance” dengan segi tiga kemitraan Pemeritah, Pengusaha dan Madani (Masyarakat). Selanjutnya Salim (2005) juga merumuskan untuk mencapai Indonesia 2010 diperlukan beberapa hal penting yakni: (1) keberlanjutan ekonomi memuat pemberantasan kemiskinan, kenaikan produktifitas, pembukaan lapangan kerja penuh, memperkuat ketahanan keuangan dan keunggulan kompetitif bangsa; (2) keberlanjutan sosial memuat terwujudnya “Millennium Development Goals” dan kehidupan masyarakat berkohesi sosial; dan (3) keberlanjutan lingkungan memuat perkayaan ekosistem pendukung kehidupan. Mengoperasionalkan konsep PB kedalam sebuah kegiatan adalah tidaklah mudah. Terkait dengan hal itu Perman et al. (1996) mengelaborasi konseptual keberlanjutan ini dengan mengajukan lima alternatif pengertian: (1) Suatu kondisi dikatakan berkelanjutan (sustainable) jika utilitas diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun sepanjang waktu (nondeclining consumption); (2) Keberlanjutan adalah kondisi di mana sumber daya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi di masa mendatang.; (3) Keberlanjutan adalah kondisi di mana sumber daya alam (natural capital stock) tidak berkurang sepanjang waktu (non-declining); (4) Keberlanjutan adalah kondisi di mana sumber daya alam dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumber daya alam; (5) Keberlanjutan adalah kondisi di mana kondisi minimum keseimbangan dan daya tahan (reselience) ekosistem terpenuhi. Selain definisi operasional di atas, Harris (2000) melihat bahwa konsep keberlanjutan dapat diperinci menjadi tiga aspek pemahaman: (a) Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintah dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak
40
produksi pertanian dan industri; (b) Keberlanjutan lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk katagori sumber-sumber ekonomi; (c) Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik. Pentingnya PB pada pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya tambang dalam hal ini, juga dikemukakan oleh Sitorus (2004a): (1) terbatasnya cadangan-cadangan
sumber-sumber
yang
tidak
dapat
diperbaharui;
(2)
terbatasnya kemampuan lingkungan untuk dapat menyerap polusi;
(3)
terbatasnya lahan yang dapat ditanami; dan (4) terbatasnya produksi persatuan luas lahan, atau batasan fisik terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital. Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa konsep pembangunan sumberdaya yang berkelanjutan mengandung aspek-aspek:
(1) keberlanjutan ekologi
(ecological sustainability). Terkait dengan sektor pertambangan, hal ini berarti bahwa pemanfaatan sumberdaya tambang hendaknya tidak melewati batas daya dukungnya.
Peningkatan kapasitas dan kualitas ekosistem menjadi hal yang
utama; (2) keberlanjutan sosial-ekonomi (sosioeconomic sustainability). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan di sektor pertambangan perlu memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pemanfaat sumberdaya tambang pada tingkat individu; (3) keberlanjutan masyarakat (community sustainability). komunitas
Hal ini berarti bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi
atau
pertambangan (institutional
masyarakat
yang
perlu
berkelanjutan;
sustainability).
Hal
menjadi dan
ini
(4)
perhatian
pembangunan
keberlanjutan
kelembagaan
terkait bagaimana
tetap
menjaga
keberlanjutan kelembagaan dengan memelihara kesehatan finansial dan penyelenggaraan administrasi yang merupakan prasyarat dari ketiga pilar pembangunan berkelanjutan yang disebutkan sebelumnya. Robertson (1990) merumuskan ada enam prinsip dari pertambangan berkelanjutan, yakni: a) perencanaan untuk kebutuhan sumberdaya dari pertambangan berkelanjutan adalah sebuah kemendesakan secara global; b) keberlanjutan dari manfaat-manfaat sosial dan ekonomi distimulasi saat tambang masih aktif beroperasi adalah sebuah tujuan antara dari keberlanjutan dan
41
perencanaan suksesi di daerah tambang; c) penentuan dari dampak-dampak potensial dan optimalisasi dari pengembangan tambang, operasi dan reklamasi untuk meminimalkan dampak-dampak tersebut adalah sebuat persyaratan untuk pertanggungjawaban yang baik; d) perencanaan dan penyediaan untuk pengelolaan penggunaan lahan berkelanjutan pada pasca tambang dan menjaga terjadinya suksesi adalah kebutuhan; e) keterlibatan semua stakeholder di dalam perencanaan, eksekusi, dan proses-proses suksesi adalah sangat penting; f) pencapaian sebuah keputusan kesepakatan pada perencanaan tambang mensyaratkan platform untuk perubahan secara teknis dan informasi sosial dan sudut pandang-sudut pandang (untuk mencapai pengertian yang universal dan komprehensif) dan sebuah prosedur akunting (pembuatan keputusan) bahwa mengikuti semua dasar-dasar penilaian. Moore dan Noller (2000) pertambangan pada masa yang akan datang tergantung pada kemampuan industri untuk memelihara keseimbangan antara keuntungan dan perlindungan terhadap lingkungan. World Bank dan IFC (2002) merumuskan sebuah konsep bahwa keberlanjutan setelah penutupan tambang dapat dicapai dengan sukses bila: a) pengelolaan lingkungan hidup menjadi prioritas selama masa hidup tambang, sehingga pengelolaan lingkungan hidup pada saat penutupan akan lebih mudah dikelola dan lebih murah; b) konsultasi dengan masyarakat setempat dapat terjadi dan hubungan dengan PPK dibangun sebelum dan selama masa hidup tambang, sehigga disana telah terjadi sebuah dasar yang solid untuk melakukan konsultasi dalam perencanaan di sekitar isuisu penutupan tambang; c) sumberdaya keuangan telah disisihkan, sehingga rencana penutupan tambang dapat dilaksanakan dan masyarakat setempat dapat lebih baik mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang akan datang; dan e) kemitraan telah dibangun dan dilaksanakan selama operasi, sehingga
kesempatan
untuk
pemindahan
penanganan
aset-aset
untuk
digunakan masyarakat dan untuk memelihara pelayanan sosial setelah penutupan akan lebih sukses terjamin. Sementara itu, The Chamber of Minerals and Energy of Western Australia Inc. (2000) menetapkan bahwa perencanan penutupan tambang untuk pembangunan
perlu mempertimbangkan: a)
kesehatan masyarakat dan keamanan; b) persyaratan-persyaratan regulasi; c) Kestabilan secara geoteknik dari pembentukan lahan akhir; d) keberlanjutan dari area-area yang telah direvegatasi; e) prioritas pada flora dan fauna; f) indikator
42
khusus setempat; g) ekspektasi dari para stakeholder; dan i) tujuan-tujuan penggunaan lahan pasca tambang. Strongman (2002), mengatakan bahwa tidak ada kesepakatan yang tunggal
tentang
pertambangan.
definisi
pembangunan
berkelanjutan
untuk
industri
Walaupun demikian, ia berpendapat ada lima elemen kunci
untuk proyek pembangunan pertambangan berkelanjutan, yaitu:
dapat hidup
terus secara keuangan (financially viable); perduli kepada lingkungan hidup (environmentally sound); bertanggungjawab secara sosial (socially responsible); diimplementasikan dengan tata kelola yang baik dan sehat baik didalam perusahaan, tetapi juga di masyarakat dan pemerintah; dan mempunyai keberlangsungan nilai (have lasting value).
Hal ini juga dikemukakan oleh
Roper (2000) yang menyatakan bahwa dalam tiga tahun terakhir ini banyak perkembangan yang dilakukan oleh industri pertambangan, mineral dan metal, yakni antara lain: konsentrasi yang lebih besar dari perusahaan-perusahaan ke dalam industri; pergerakan untuk mengintegrasikan pertimbangan-pertimbangan lingkungan hidup, sosial dan ekonomi kedalam penyelenggaraan bisnis didasarkan pembangunan berkelanjutan; permintaan untuk dan provisi dari peningkatan tranparansi operasi-operasi perusahaan; keterlibatan yang lebih besar
dari
para
pemangku
kepentingan
(stakeholders)
yang
memiliki
kepentingan pada industri; dan adanya pendirian GMI (Global Mining Initiative)sebuah program dimulai oleh perusahaan-perusahaan pertambangan, mineral dan metal untuk merespon terhadap perubahan-perubahan ekspektasi dari masyarakat. Terkait tentang definisi sebuah bisnis untuk pembangunan berkelanjutan, IISD (the International Institute for Sustainable Development) pada tahun 1992 mendefinisikan bisnis untuk pembangunan berkelanjutan adalah: “untuk bisnis perusahaan, pembangunan berkelanjutan berarti mengadopsi strategi dan aktifitas-aktifitas bisnis yang dapat memenuhi kebutuhan perusahaan dan para pemangku kepentingan saat ini dengan tetap menjaga perlindungan, keberlanjutan, dan peningkatan sumber daya manusia dan alam yang diperlukan untuk masa yang akan datang” Dengan demikian keberlanjutan disini ditujukan bagaimana membangun dan mendisain sebuah keberlanjutan untuk bisnis itu sendiri dan semua pihak yang berkepentingan dengan bidang pertambangan, seperti masyarakat lingkar tambang, pendapatan ekonomi, kondisi sosial dan kondisi lingkungan hidup
43
didaerah itu saat ini dan tanpa mengurangi kemampuan dari generasi yang akan datang untuk memanfaatkannya. Nash (2000) mengatakan bahwa manfaat-manfaat dari memadukan pertimbangan-pertimbangan aspek-aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi kedalam
proses
pembuatan
keputusan
pertambangan saat ini makin meningkat.
pada
perusahaan-perusahaan
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa kegiatan pengelolaan pertambangan tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan aspek-aspek lingkungan dan sosial dimana tambang itu beroperasi. Untuk itu
ICMM (2003), merumuskan dan mengesahkan “ICMM
Sustainable Development Framework” yang terdiri dari 10 buah prinsip tentang PB dan pada prinsip yang kedua dikatakan: ‘integrate sustainable development considerations within the corporate decision- making process’.
Begitu juga
sembilan CEO dari perusahaan pertambangan terbesar didunia pada tahun 1999 memformulasikan sebuah proyek yang diberi nama Pertambangan, Mineral dan Pembangunan
Berkelanjutan
(the
Mining,
Minerals
and
Sustainable
Development atau MMSD) dan mereka mempublikasinya “Tujuh Pertanyaan untuk Keberkelanjutan” (Seven Questions to Sustainability).
Pertanyan-
pertanyaan itu adalah sebagai berikut: a) keikutsertaan Apakah proyek itu telah dijelaskan
kepada
masyarakat
yang
berkepentingan
melalui
proses
penyampaian yang adil?; b) masyarakat/penduduk sekitarnya. Apakah struktur sosial dan budaya masyarakat setempat telah dimengerti dan dihormati?; c) lingkungan (environment). Apakah pengaruh-pengaruh secara pontensial (pada lingkungan) telah dimengerti dan dihormati?; d) ekonomi. Apakah pengaruhpengaruh ekonomi telah diprediksikan secara cukup atau benar pengaruhnya di tingkat lokal setempat dan di tingkat regional?; e) tradisional dan bukan kegiatan pemasaran (traditional and non-market activities). Apakah ada kegiatan-kegiatan lain yang tidak berhubungan di dalam daerah itu dan secara regional dipengaruhi dan melalui “cara” apa?; f) rancangan dan tata kelola kelembagaan (institutional arrangement and governance).
Apakah regulasi-regulasi dan institusi-institusi
pemerintah disiapkan secara cukup untuk pemerintah bertindak sebagai hakim yang adil selama proses pembuatan regulasi?; dan g) sintesa/perpaduan dan pembelajaran yang terus-menerus (synthesis and continuous learning). Apakah mempunyai efek yang menyeluruh dari proyek yang telah dinilai dalam pandangan keseimbangan dan keadilan yang jangka panjang dan manfaat yang
44
terus menerus? Proyek dari MMSD ini juga digerakkan dengan empat tujuan akhir, yaitu: a. Mengakses penggunaan tambang dan mineral global dalam rangka transisi kepada pembangunan berkelanjutan – catatan risalahnya pada masa lalu dan kontribusinya saat ini dan pengurangan dari kemakmuran ekonomi, kesejahteraan manusia, kesehatan ekosistem dan pembuatan keputusan yang dapat dipertanggunggugatkan (ecosystem health and accountable decision-making). b. Mengidentifikasi jika dan bagaimana pelayanan disediakan oleh sistem mineral dapat memenuhi sesuai dengan pembangunan berkelanjutan dalam masa yang akan datang c. Mengajukan elemen-elemen kunci dari rencana aksi untuk perbaikan dalam sistem-sistem mineral; dan d. Membangun sebuah program atau kebijakan organisasi (platform) untuk analisis dan perjanjian pada kerjasama yang sedang berjalan dan jejaring kerja diantara semua masyarakat yang tertarik. The Mining Assosiation of Canada (MAC) juga mengembangkan konsep PB
untuk
pertambangan
yang
berjudul
“Menuju
Pertambangan
yang
Berkelanjutan” (Toward Sustainable Mining), konsep itu terdiri dari prinsip-prinsip sebagai berikut: melibatkan masyarakat; menggunakan dialog (engaging dialogue);
bertanggungjawab
(responsibility
to
(transparancy
and
pada
stewardship); accountability);
pengawalan/pembinaan
transparansi pembinaan
dan
sumberdaya
pertanggunggugatan
lingkungan
(environmental
stewardship); terus melanjutkan perbaikan (continuous improvement); melindungi hak azasi (protection of human rights); menghormati pada budaya dan adat/kebiasaan (respect for cultures and customs); hukum dan etika (legal and ethical conduct); mendukung masyarakat (community support); dan respon pada prioritas-prioritas masyarakat di semua tahap dari selama masa hidup tambang (response to community priorities at all stages of mine life) Soelarno (2005) mengatakan bahwa pada saat pasca tambang terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup, kegiatan ekonomi dan penurunan kegiatan sosial adalah merupakan sebuah kondisi yang sangat tidak dikehendaki. Kemungkinan terjadinya penurunan pada kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomi adalah sangat mungkin terjadi. Namun untuk aspek lingkungannya tidak terjadi, sebab lingkungan yang terganggu sudah selesai sehingga daerah-daerah bekas
45
tambang dapat melakukan pengembangan sendiri (suksesi alami) asal tidak terdapat bahan-bahan yang berbahaya bagi fauna dan flora disana. 2.11. Indikator-Indikator Pembangunan Berkelanjutan Sehubungan dengan itu, perusahan pertambangan untuk tetap bertahan dan berkelanjutan dimasa yang akan datang adalah diperlukan komitmen dan penerapan mendasar dari prinsip-prinsip PB didalam operasi mereka.
Seperti
yang dikatakan oleh Brandy (2005) bahwa ada tujuh kompetitif elemen yang harus dimiliki oleh perusahaan pertambangan yakni: keterampilan
(knowledge
and
skills);
hubungan
pengetahuan dan
emosional
(emotional
connection); kepemimpinan, visi, dan hasrat/semangat (leadership, vision, and desire); kualitas (quality); kredibilitas keuangan (financial credibility); kredibilitas sosial (social credibility; dan kredibilitas lingkungan hidup (environmental credibility). Dengan demikian, dari pembahasan di atas, diperlukan adanya sebuah indikator keberhasilan yang bisa diukur secara nyata untuk menilai penerapan prinsip-prinsip PB dalam sebuah kegiatan bisnis, termasuk pertambangan. Untuk itulah GRI (Global Reporting Initiative) pada tahun 2006 menerbitkan sebuah dokumen yang bernama Sustainability Reporting Guildelines dimana dijelaskan sangat jelas indikator-indikator keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, seperti yang diterangkan pada Tabel 3 yang diadopsi dari dokumen GRI itu. Tabel 3. Indikator-indikator kinerja Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan (diadopsi dari GRI, 2006) Kinerja Bidang
Aspek -Aspek
Indikator-Indikator Kinerja
Ekonomi
Kinerja Ekonomi
Nilai ekonomi dikumpulkan dan didistribusikan, termasuk pendapatanpendapatan, biaya-biaya operasi, komensasi karyawan, donasi, dan investasi-investasi lain untuk masyarakat, menjaga tingkat upah, dan pembayaran pada penyedia-penyedia modal, dan untuk pemerintah Implikasi keuangan dari perubahan iklim ekonomi Jaminan dari organisasi dalam menentukan kewajiban-kewajiban perencanaan manfaat pension. Bantuan keuangan diterima dari pemerintah
46
Tabel 3. (Lanjutan) Ketersediaan/kehadiran pasar
Dampak ekonomi langsung
Lingkungan Hidup
Material baku
atau
bahan
Energi
Air
Keragaman hayati
Emisi, limbah
efluent
dan
Tingkat upah awal dibandingkan pada upah lokal minimal untuk lokasi-lokasi yang nyata dari operasi. Praktek-praktek dan proporsi dari pengeluaran pada pemasok-pemasok lokal pada lokasi-lokasi nyat dari operasi Prosedur dari pengikutsertaan lokal, dan proporsi dari senior management didalam lokasi dari operasi yang nyata adalah berasal dari masyarakat setempat Gambaran dari investasi-investasi infrastruktur dan pelayanan-pelayanan mendukung penyediaan manfaat publik Dampak-dampak ekonomi secara tidak langsung Bobot dari material-material yang digunakan Presentasi dari material-material yang digunakan yang dapat didaur ulang. Konsumsi energi langsung dibedakan berdasarkan sumber energi pokok. Konsumsi energi tidak langsung dibedakan berdasarkan sumber energi pokok. Persentase konsumsi energi total sesuai dengan tingkat pembaruan kembali sumberdaya-sumberdayanya Energi total yang disimpan tergantung pada konservasi dan perbaikan-perbaikan efisiensi Inisiatif untuk menyediakan produk-produk dan pelayanan-pelayanan efisien-energi Inisiatif untuk mengurangi konsumsi energi tak langsung Total air yang diambil dari sumbernya Sumber-sumber air dan habitat habitat terkait yang terpengaruh secara nyata oleh pengambilan air Persentasi dan volume total dari air yang didaur ulang dan dipergunakan kembali Lokasi dan ukuran dari lahan yang dimiliki, dikontrak, dikelola, atau yang berdekatan dengan, area-area yang diproteksi Gambaran dampak-dampak yang nyata dari aktifitas pada area-area yang diproteksi Program-program untuk mengelola dmpakdampak pada keragaman hayati Jenis-jenis atau kelompok-kelompok yang masuk pada species-species dalam ‘IUCN Red List’ pada habitat yang berada di dalam area-area yang dipengaruhi oleh operasioperasi yang rusak dibawah tingkat resiko kepunahan. Emisi-emisi gas rumah kaca Emisi-emisi dari subtansi-subtansi penipisan ozon
47
Tabel 3. (Lanjutan)
Produk-produk dan pelayananpelayanan
Ketaatan
Tranport
Keseluruhan
NOx, SOx, dan emisi-emisi udara lain yang nyata berdasarkan berat Jumlah total dari limbah yang dibedakan oleh tipe dan tempat yang dituju (tempat pembuangan akhir) Udara total yang dikeluarkan dan kualitasnya Jumlah total dan volume dari tumpahantumpahan yang nyata Bahan-bahan lain yang relevan yang merupakan pada emisi-emisi gas rumah kaca yang tak langsung Berat/beban yang diangkut, diimpor, atau limbah yang dianggap berbahaya yang dibawh diekspor pengawasan ‘the Basel Convention Annex I,II,III, dan VIII’ Sumber-sumber air dan habitat-habitat terkait yang secara nyata dipengaruhi oleh air yang dilepaskan (air limbah) dan runoff Inisiatif untuk mengelola dampak lingkungan hidup dari produk-produk dan pelayananpelayanan, dan memperluas pengurangan dampak. Persentase dari produk-produk yang terjual yang diklaim kembali pada produk-produk akhir yang masa hidup kegunaan dibedakan berdasarkan kelompok produk Kecelakaan-kecelakaan dari, dan denda-denda atau sanksi-sanksi non-monitary untuk, ketidak taatan pada regulasi-regulasi yang lingkungan hidup yang dapat diaplikasikan. Dampak lingkungan hidup yang nyata dari transportasi yang digunakan untuk maksud kegiatan logistik Total Pengeluaran-pengeluaran untuk perlindungan lingkungan hidup dikelompokkan berdasarkan tipenya.
Sosial Pratek-praktek kerja dan kenyamanan kerja
Ketenagakerjaan
Pekerja/Pengelolaan HubunganHubungan
Rincian jumlah tenaga kerja berdasarkan tipe pekerjaan dan region Jumlah total dan tingkat dari turnover dikelompokkan berdasarkan kelompok umur dan gender Manfaat-mafaat minimum disediakan kepada para pekerja penuh waktu (tetap), yang mana tidak disediakan untuk para karyawan tetap dan paruh waktu Persentase dari para karyawan yang diwakili oleh organisasi-organisasi serikat pekerja yang independen atau dilindungi oleh persetujuan tawar menawar kolektif.
48
Tabel 3. (Lanjutan)
Hal-hal yang berhubungan dg Kesehatan dan Keselamatan kerja.
Pelatihan dan pendidikan
Keragaman dan persamaan kesempatan
Hak Azazi
Praktek-praktek manajemen
Praktek-praktek periode minimal peringatan dan konsultasi serta negosiasi dengan karyawan dan atau perwakilan mereka mengenai perubahan-perubahan operasional. Persentasi dari karyawan yang mewakili dalam pengelolaan bersama secara formal-komite kesehatan dan keselamatan pekerja yang dapat menolong untuk memonitor dan memberikan nasehat pada hal-hal yang berhubungan dengan program-program kesehatan dan keselamatan kerja. Tingkat kecelakaan, hal-hal yang berhubungan dengan penyakit, kehilangan hari kerja, dan kemangkiran dan jumlah dari pekerjaan terkait dengan fatalitas Pendidikan, pelatihan, konseling, pencegahan dan program risiko-kontrol diberlakukan untuk para pekerja, keluarga pekerja, dan jumlah masyarakat yang terpengaruh HIV/AIDS atau penyakit menular serius yang lain. Elemen-elemen yang berhubungan dengan pendekatan pengelolaan kesehatan dan keselamantan Topic-topic kesehatan dan keselamatan yang dilindungi oleh kesepakatan-kesepakatan formal dengan serikat pekerja. Jumlah rata-rata jam untuk pelatian setiap tahun untuk setiap karyawan dibedakan untuk setiap kelompok pekerja. Program-program untuk pengelolaan keterampilan dan pembelajaran terus-menerus yang mendukung keberlanjutan masa kerja dari pekerja dan membantu mereka dalam mengelola masa akhir kerja. Persentase dari karyawan yang menerima secara teratur tinjauan (review) kinerja dan pengembangan karier Komposisi dari badan pengelola dan dirinci per kelompok karyawan berdasarkan gender, kelompok umur, anggota kelompok-kelompok minoritas, dan indikator-indikator keragaman lainnya. Perbandingan tingkat upah untuk laki-laki dan wanita dirincikan berdasarkan kelompok karyawan. Persentasi dari kesepakatan-kesepakatan dari investasi nyata yang memasukkan klausaklausa hak azasi manusia atau yang menjalani penyaringan hak azasi manusia Presentasi dari para pemasok utama dan kontraktor yang menjalani penyaringan tentang hak azasi manusia Tipe dari pelatian karyawan pada kebijakankebijakan dan prosedur tentang aspek-aspek
49
Tabel 3. (Lanjutan)
Ketidak adaan perbedaan Kebebasan berasosiasi
Tenaga kerja anakanak Angkatan dan kewajiban tenaga kerja Praktek-praktek kedisiplinan
Praktek-praktek keamanan
Kemasyarak atan
Hak-Hak masyarakat asli Masyarakat
Korupsi
Kebijakan publik
Anti-tingkah laku yang kompetitif
Tanggungjawab dari produk
Kesehatan dan keselamatan pelanggan
Produk dan jasa-jasa pelayanan
hak azasi manusia yang relevan dengan operasi, termasuk berapa banyak karyawan yang dilatih. Kejadian-kejadian adanya perbedaan Kejadian-kejadian pada pelanggaran dari kebebasan berasosiasi dan tawar-menawar kolektif Kejadian-kejadian pada tenaga kerja anak-anak. Kejadian-kejadian pada angkatan dan kewajiban tenaga kerja Prosedur untuk komplain dan keluhan yang diajukan oleh pelanggan, karyawan, dan masyarakat mengenai hak azasi manusia, termasuk penyediaan-penyediaan untuk nonretaliasi (pembalasan dendam) Persentasi dari petugas keamanan yang dilatih dalam kebijakan-kebijakan organisasi atau prosedur mengenai hak azasi manusia Kejadian yang melibatkan hak-hak dari masyarakat asli Program dan praktek-praktek untuk menilai dan mengelola dampak-dampak dari operasi pada masyarakat, termasuk saat sebelum operasi, pada masa operasi dan saat meninggalkan operasi Memperluas pelatihan dan analisis resiko untuk mencegah korupsi Pengambilan aksi-aksi dalam merespon kejadian-kejadian korupsi Berpartisipasi dalam pengembangan kebijakan publik dan peng-lobi-an Nilai total dari kontribusi pada partai-partai politik atau terkait organisasi-organisasi dirincikan berdasarkan negara Kejadian-kejadian dari aksi-aksi hukum untuk anti-tingkah laku competitif, anti-trust, and praktek-praktek monopoli, dan pendapatanpendapatannya Prosedur untuk perbaikan kesehatan dan keselamatan melalui siklus hidup produk dan jasa-jasa pelayanan. Jumlah dan tipe dari kejadian-kejadian ketidak taatan pada regulasi mengenai efek-efek dari kesehatan dan keselamatan produk danjasajasa pelayanan. Prosedur untuk produk dan jasa-jasa pelayanan informasi dan labeling Jumlah dan tipe dari kejadian-kejadian ketidak taatan pada regulasi mengenai produk dan informasi jasa-jasa pelayanan dan labeling
50
Tabel 3. (Lanjutan)
Komunikasikomunikasi pemasaran
Keleluasaan pelanggan
pribadi
Prosedur-prosedur terkait pada kepuasan pelanggan, termasuk hasil-hasil survey mengenai tingkat kepuasan pelanggan Prosedur dan program untuk ketaatan pada hukum-hukum, standar-standar, dan kode-kode voluntari terkait pada komunikasi pemasaran termasuk iklan, promosi dan pemberian sponsor Jumlah dan tipe dari kejadian-kejadian ketidak taatan pada regulasi-regulasi terkait pada komunikasi pemasaran termasuk iklan, promosi dan pemberian sponsor Presentasi dari data pelanggan yang dilindungi oleh data prosedur perlindungan Jumlah dari komplain yang subtansial mengenai pelanggaran pada keleluasan pribadi pelanggan
Demikian juga terkait dengan indikator PB itu,
MMSD (2002) juga
mengeluarkan sebuah kerangka yang dinamakan “A Sustainable Development Framework for the Minerals Sektor”, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4. Secara khusus untuk sektor pertambangan, Azapagic (2004) mengembangkan isu-isu
kunci
keberlanjutan
untuk
sektor
pertambangan
dan
mineral.
Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 4. Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (MMSD, 2002) Aspek
Tujuan-Tujuan atau Prioritas-Prioritas
Ekonomi
Sosial
Lingkungan
Hidup
Memaksimalkan kesejahteraan manusia Memastikan penggunaan yang efisien dari semua sumberdaya, alam, dan sebailiknya melalui pemaksimalan sewa (maximizing rents) Melakukan identifikasi dan internalisasi biaya-biaya lingkungan hidup dan sosial. Memelihara dan meningkatkan kondisi-kondisi yang dapat memajukan perusahan-perusahaan Memastikan adanya distribusi yang adil dari biaya-biaya dan manfat-manfaat dari pembangunan untuk kehidupan saat ini Menghargai dan meningkatkan hak-hak dasar dari manusia, termasuk kebebasan berpolitik dan bermasyarakat, otonomi budaya, kebebasan sosial dan ekonomi, dan keamanan sendiri. Melakukan perbaikan secara terus-menerus; memastikan bahwa penghabisan-penghabisan sumberdaya alam tidak akan menghilangkan generasi yang akan datang melalui penggantian (replacement) dengan bentuk kapital yang lainnya. Mempromosikan tanggugjawab yang konsisten pada sumberdayasumberdaya alam dan lingkungan hidup, termasuk melakukan remediasi dari kerusakan-kerusakan masa lalu. Meminimalkan limbah dan kerusakan lingkungan selama pelaksanaan keseluruhan rantai supply Melakukan uji coba kebijakan dimana dampak-dampak belum
51
Tabel 4. (Lanjutan) Tata
Kelola
(governance)
diketahui atau tidak dapat diprediksikan Mengoperasikan dalam batasan-batasan ekologis dan melindungi kapitas sumberdaya alam yang kritis Mendukung demokrasi dan pembuatan keputusan yang partisipatif. Memperkuat kebebasan perusahaan dengan memberlakukan sebuah sistem yang bersih, peraturan yang adil dan penyediaan insentif-insentif Menghindari konsentrasi yang berkelebihan pada kekuatan melalui kontrol yang wajar dan seimbang. Adanya tranparasi melalui penyediaan akses kepada seluruh stakeholder pada informasi-informasi yang relevant dan akurat. Adanya rasa tanggunggugat untuk keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan , yang didasarkan pada analisis yang komprehensif dan dapat diandalkan. Menguatkan kebersamaan dalam rangka membangun kepercayaan dan tujuan-tujuan yang telah dibagikan (masingmasing) dan nilai-nilai yang dianut. Memastikan bahwa keputusan-keputusan dibuat pada tingkat yang sebenarnya, menganut pada prinsip subsidiarity dimana memungkinkan.
Tabel 5. Ringkasan kunci keberlanjutan untuk sektor pertambangan dan mineral (Azapagic, 2004). Isu-isu Ekonomi
Isu-Isu Lingkungan Hidup
Isu-Isu Sosial
Kontribusi pada GDP dan penciptaan kesejahteraan Biaya-biaya, penjualan dan keuntungan Distribusi dari pendapatan dan kesejahteraan Investasi (modal, karyawan, masyarakat, pencegahan pencemaran, dan penutupan tambang) Nilai bagi pemegang saham Nilai tambah
Kehilangan keragaman hayati Emisi ke udara Penggunaan energi Dampak pada pemanasan global dan lingkungan hidup lainnya Penggunaan lahan, manajemen dan rehabilitasi Gangguan Menghasilkan bahan beracun Penggunaan sumber daya dan ketersediaannya Limbah padat Penggunaan air, efluen, dan pelindian (termasuk AAB)
Penyuapan dan korupsi Penciptaan lapangan kerja Pendidikan bagi karyawan dan pengembangan keterampilan Persamaan kesempatan dan tidak diskriminasi Kesehatan dan keselamatan Hak azasi dan etika bisnis Hubungan pekerja/manajemen Hubungan dengan masyarakat lokal Keterlibatan PPK (stakeholder) Distribusi kesejahteraan
52
2.12.
Penutupan Tambang dan Pembangunan Berkelanjutan
2.12.1. Kinerja Keberlanjutan Ekonomi PB dalam kontek ekonomi global memerlukan sebuah kesabaran dan keterpaduan (delicate) keseimbangan jangka panjang antara aktivitas manusia dan
kemampuan
alamiah
alam
untuk
memperbaharui
dirinya
sendiri
(MacNaughton dan Stephens, 2004). ESMAP, The World Bank, dan ICMM (2005) memformulasikan bagaimana perusahaan-perusahaan pertambangan terkait dengan penutupan tambangnya untuk mencapai keberlanjutan ekonomi: meningkatkan pengembangan ekonomi setempat melalui ketersediaan barang dan pelayanan (services) di masyarakat atau wilayah yang terkena dampak. Keberlanjutan ini dapat diukur apabila keputusan atau kebijakan dari perusahaan pertambangan
dapat
menyebabkan adanya pengaruh positif
kepada sistem ekonomi di tingkat lokal, nasional dan global; aliran kapital yang meningkat di antara para pihak yang berkepentingan dan adanya peningkatan kinerja ekonomi serta keberadaan pasar.
Oleh karena itu, keputusan atau
kebijakan internal yang dibuat haruslah berdampak keberlanjutan ekonomi bagi organisasi itu sendiri dan para pihak yang berkepentingan terkait, termasuk pemerintah dan masyarakat sekitarnya. 2.12.2. Kinerja Keberlanjutan Sosial ESMAP, The World
Bank, dan ICMM (2005) memformulasikan
bagaimana perusahan-perusahan pertambangan terkait dengan penutupan tambangnya untuk mencapai keberlanjutan sosial, yakni melalui: peningkatan para pekerja tambang untuk
kemajuan yang profesional dan meningkatkan
kemampuan tehnik mereka, pengurangan pekerja tampak disalurkan ke sektor lain, memberikan peluang dan insentif pada mitra kerja setempat atau lembagalembaga pengembangan regional untuk penempatan tenaga kerja pada sektor lainnya, dan memberikan peluang dan insentif untuk konversi ulang fasilitasfasilitas tambang yang ditutup untuk penggunaan lain. Keberlanjutan sosial berhubungan erat dengan bagaimana sebuah masyarakat dapat terus hidup berkelanjutan walau tambang sudah ditutup. Oleh karena itu keberlanjutan sebuah masyarakat akan dipengaruhi secara langsung oleh modal dari masyarakat itu sendiri (community capital), yang terdiri dari modal: sumberdaya alam, sifat-sifat fisik, ekonomi, manusia, sosial, dan bentuk budaya. Roseland (2005) memerinci tindakan-tindakan yang harus dilakukan dalam penguatan modal masyarakat untuk keberlanjutan pembangunan
53
masyarakat, adalah sebagai berikut: a) meminimalkan konsumsi modal sumberdaya alam yang penting, seperti melakukan: konservasi dan peningkatan sumberdaya alam, pengelolaan sumberdaya berkelanjutan, produksi bersih, dan meminimalkan limbah; b) perbaikan modal fisik (infrastruktur), seperti: fasilitas publik, air dan sanitasi, transportasi yang efisien, keamanan, kualitas perumahan, kecukupan infrastruktur, dan telekomunikasi; c) Penguatan modal ekonomi, meliputi: memaksimalkan penggunaan dari sumberdaya yang ada, sirkulasi dollar didalam sebuah masyarakat, mengganti impor, menciptakan sebuah produksi baru, perdagangan yang adil dengan yang lain, dan pengembangan lembaga keuangan masyarakat; d) peningkatan modal manusia, difokuskan pada: kesehatan, pendidikan, nutrisi, literasi (kemampuan membaca dan
menulis),
dan
kohesi
(kerukunan)
keluarga
dan
masyarakat;
e)
mengembang biakkan modal sosial, dengan perhatian pada: efektif dan representatif penguatan
dari
pemerintah
kemampuan,
daerah,
partisipatif
organisasi-organisasi
dalam
perencanaan,
yang
akses
kuat,
kepada
informasi, dan kolaborasi dan kemitraan; dan f) peningkatan modal budaya, akan meliputi: memberikan perhatian pada tradisi dan nilai-nilai, warisan dan tempat budaya, kesenian-kesenian, keanekaragaman dan sejarah sosial. Keberlanjutan ini dapat diukur apabila dengan adanya keputusan atau kebijakan dari perusahaan pertambangan menjamin adanya lapangan
dan
kenyamanan kerja, penghargaan pada HAM, perlindungan hukum bagi rakyat, menurunnya
korupsi,
meningkatnya
derajat
kesehatan,
pendidikan
dan
keterampilan masyarakat, dan terwujudnya kesejahteraan rakyat. 2.12.3. Kinerja Keberlanjutan Lingkungan Pada Agenda Lokal 21, hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro (Juni 1992), dalam pasal 40 disebutkan bahwa “Pembangunan Berkelanjutan merupakan proses yang mana dari pada ekonomi, finansial, perdagangan, energi, pertanian, industri, dan kebijakan lainnya dirancang agar secara ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berkelanjutan”.
Selanjutnya berkaitan dengan peranan
Pemerintah Lokal, dalam pasal 28 disebutkan bahwa “ berhubung banyak masalah Agenda 21 beserta penyelesaiannya berakar pada kegiatan lokal, keikut-sertaan kerjasama dari pemerintah daerah akan merupakan faktor yang sangat menentukan.
54
“The
Commonwealth
Government–Australia”
(1990)
mewujudkan
keterlibatan mereka secara lokal dengan merumuskan sebuah dokumen yang bernama “Ecological Sustainable Development (ESD)” dan didifinisikan sebagai: ‘pemanfaatan/penggunaan, konservasi dan peningkatan sumber-sumber daya masyarakat sehingga proses-proses ekologi yang terjadi dimana kehidupan itu bergantung dapat terpelihara, dan total kualitas hidup, masa sekarang dan yang akan datang dapat ditingkatkan. Prinsip-prinsip ESD yang dikembangkan oleh Pemerintah Australia (1992) adalah sebagai berikut: a) Perlindungan
keanekaragaman
hayati
dan
keutuhan
ekologis
(conservation of biodiversity and ecological integrity). Perlindungan terhadap keanegaragaman hayati dan keutuhan ecologis dari suatu ekosistem, spesies-species dan keanekaragaman genetic diantara species-species perlu dipelihara. Hal ini merupakan sumber kesejahteraan bagi umat manusia. b) Perlindungan
keanekarangaman
budaya
(conservation
of
cultural
diversity). Prinsip pada nomor satu di atas dapat diaplikasikan juga pada keanekaragaman budaya. Hal ini termasuk pengetahuan tradisional tentang keanekaragaman hayati perlu dipelihara. Kehilangan budaya tradisional juga berpengaruh pada tersedianya sumber-sumber tradisional bagi sumber kesejahteraan manusia. c) Perbaikan kesejateraan individu dan masyarakat (improvement of individual and community well-being).
Tujuan dari prinsip ini adalah
perbaikan kesejahteraan individu dan masyarakat mengikuti keadaan dari kemajuan ekonomi tanpa mengganggu atau merusak kesejahteraan bagi generasi mendatang (Hawke, 1991). d) Keadilan antar generasi (intergenerational equity). Generasi saat ini diharuskan juga untuk memelihara sumberdaya alam yang saat ini mereka kuasai untuk dipergunakan oleh generasi yang akan datang sesuai dengan tingkat sumber daya alam yang saat ini dinikmati. Komponen kunci dari prinsip ini adalah sebagai berikut: (a) masyarakat antara satu generasi dengan generasi berikutnya adalah mitra, (b) generasi sekarang tidak memberikan beban eksternalitas pembagunan kepada generasi mendatang, (c) setiap generasi mewarisi kekayaan sumber alam serta kualitas habitat yang kurang lebih ekivalen secara fisik, ekologis, sosial dan ekonomi.
55
e) Keadilan didalam satu generasi (intragenerational/social equity). Prinsip ini memfokuskan kepada keadilan diantara satu generasi, termasuk didalamnya keberhasilan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, atau tidak terdapatnya kesenjangan antara individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat mengenai kualitas hidup. f)
Pencegahan dini (precautionary). Prinsip ini mengandung pengertian bahwa apabila terdapat ancaman adanya kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, tidak ada alasan untuk menunda upaya-upaya pencegahan kerusakan tersebut . Dalam menerapkan prinsip ini para pengambil keputusan harus dilandasi oleh: (a) evaluasi yang sungguh-sungguh untuk mencegah seoptimal mungkin kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan dan (b) melakukakan penilaian (assessment) dengan melakukan analisis resiko dengan menggunakan berbagai pilihan-pilihan.
g) Partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan (community
participation in decision-making).
Dalam prinsip ini, keterlibatan atau
partisipasi masyarakat diberikan akses dalam proses pengambilan keputusan, termasuk keterlibatan dalam pembahasan tentang kerusakan lingkungan sekitar, dampak kesehatan, kesempatan kerja dan lainnya. h) Penghilangan/peniadaan dan pencantuman (omissions and inclusions). Dalam prinsip diakui bahwa adanya dimensi global dalam permasalahan lingkungan, seperti pemanasan global, penipisan lapisan ozon, penggurunan dan polusi pada air, sungai dan lautan, yang berbatasan secara nasional maupun secara regional. ESMAP, The World Bank, dan ICMM (2005) memformulasikan bagaimana perusahan-perusahan pertambangan terkait dengan penutupan tambangnya untuk mencapai keberlanjutan lingkungan hidup, melalui: penutupan tambang yang berdasarkan pada rencana reklamasi, menciptakan habitat, keragaman hayati, dan area-area yang dilindungi, dan selalu melakukan pemantauan dan pelaporan. Keberlanjutan ini dapat diukur apabila keputusan atau kebijakan dari perusahan pertambangan dapat menyebabkan keberlangsungan pada sistemsistem alami dari makluk hidup dan non-makluk hidup termasuk ekosistem, lahan atau tanah, air dan udara.
Ia juga perlu mengelola keberlanjutan terhadap
masukan lingkungan seperti bahan baku, energi dan air dan juga out put kepada lingkungan seperti emisi-emisi, limbah cair
dan limbah.
Termasuk juga
56
bagaimana pengaruh keputusan dan kebijakan yang dibuat pada keragaman hayati, biaya-biaya bagi perlindungan lingkungan, dan bagaimana ketaatan terhadap hukum-hukum lingkungan baik lokal, nasional, regional dan global. 2.13.
Stakeholder Pertambangan, Kekuasaan dan Peranannya
Stakeholder dalam pengertian terkait dengan penutupan tambang adalah pihak-pihak yang terlibat secara langsung dengan proses penutupan tambang. Terdapat perbedaan mendasar antara kepentingan perusahaan-perusahaan tambang dengan kepentingan masyarakat dimana tambang itu berada. Perusahaan tambang biasanya menginginkan untuk membangun tambang, mencapai pengembalian modal yang baik untuk pemegang saham, kemudian pergi setelah produksi berakhir, sehingga mereka bisa membangun tambang lagi dan melanjutkan produksi dimana saja.
Dilain pihak masyarakat setempat
menginginkan kesejahteraan dan kesempatan pendapatan saat sebelum tambang berakhir, sehingga mereka dapat memperbaiki standar kehidupannya dan generasi yang sukses dengan kehidupan yang lebih baik dibandingkan nenek moyangnnya (Strongman, 2000). Oleh karena itu, mengidentifikasikan dan memelihara hubungan baik dengan semua stakeholder sejak sebelum operasi, saat operasi dan pada tahap penutupan tambang adalah sangat penting untuk mengelola dan memelihara pembanguan berkelanjutan secara jangka panjang di daerah sekitar pertambangan. Khusus, pada saat penutupan tambang konsultasi dengan para stakeholder merupakan bagian penting dalam pembuatan rencana penutupan tambang. Seperti yang dikatakan ANZMEC (2000) bahwa identifikasi stakeholderstakeholders kunci dan membangun hubungan baik dengan mereka merupakan hal yang mendasar menuju kesuksesan proses penutupan tambang.
Tanpa
proses konsultasi ini pemerintah tidak akan memberikan izin untuk penutupan tambang (PerMen ESDM No 18 Tahun 2008). IIED dan WBCSD (2002), menyatakan ada tiga kelompok katagori stakeholder, yakni: a) perusahaan, terdiri: karyawan, manajemen, dan para pemegang saham; b) masyarakat, terdiri: pelaku bisnis setempat dan para penyedia layanan, pemilik tanah, pemerintah setempat; dan c) pemerintah pusat (The State), yang terdiri: pejabat yang berwenang dan regulator lainnya, lembaga pengelola tanah (Indonesia,
Badan Pertanahan Nasional); lembaga-lembaga
pemerintah lainnya. MacNaughton dan Stephens (2004) mendefinisikan PPK
57
sebagai seseorang individu, lembaga pemerintahan, atau organisasi non pemerintah (NGO) yang mempunyai kepentingan pada sebuah situasi dan kekuatan untuk mencipta, meningkatkan, atau menggagalkan keluaran-keluaran yang potensial (frustate potential outcomes). Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa, strategi, metodologi dan sistem pengelolaan PPK yang efektif dapat mencapai PB melalui pencapaian tujuan-tujuan pembangunan ekonomi, perlindungan lingkungan hidup, dan kualitas hidup. PB dalam kontek ekonomi global memerlukan sebuah kesabaran dan keterpaduan (delicate) keseimbangan jangka panjang antara aktivitas manusia dan kemampuan alamiah alam untuk memperbaharui dirinya sendiri. MMSD (2002) menyatakan bahwa proses konsultasi PPK ini mempunyai dua tujuan yakni: mencoba mendapatkan tokoh kunci untuk bersama-sama saling tukar informasi dan membuat keputusan, dan memastikan bahwa terciptanya kepemilikan bersama atas keputusan-keputusan yang sudah disepakati itu. Proses konsultasi ini akan menjadi lebih efektif apabila dimasa ada keseimbangan kekuatan pengaruh dari masing-masing stakeholder yang terlibat. Pengaruh dari stakeholder akan tergantung pada: ketertarikannya pada hasil akhir penutupan tambang, hak dan wewenang hukum yang dimilikinya, akses ke pendukung eksternal yang dimiliki, dan kemampuannya untuk memhalangi hasil akhir. World Bank dan IFC (2002), terkait dengan siapa mengerjakan apa ketika penutupan tambang dapat dilihat pada Tabel 6.
Yang menarik disini adalah
pemerintah lokal (dalam hal ini bisa pemerintah pusat, provinsi, dan daerah) sebagai aktor mereka berperan mulai dari awal memikirkan proses perencanaan regional penutupan untuk merancang mitra-mitra dan aktivitas-aktivitas ekonomi berkelanjutan sejak mulai tahap eksplorasi sampai pada tahap pasca tambang. Tanggungjawab perusahaan melakukan konsultasi, merancang site dengan rencana penutupan, dan juga membangun mitra-mitra. Berdasarkan penjelasan ini adalah penting bagi pemerintah pusat, Propinsi Papua dan Kabupaten Mimika untuk mulai saat ini memikirkan dan membangun sumber-sumber aktifitas ekonomi baru yang berkelanjutan selain PTFI. PTFI dapat menjadi mitra utama dalam kegiatan pengembangan ekonomi ini.
58
Tabel 6.
Peranan PPK selama siklus hidup tambang, termasuk pada saat penutupan tambang (World Bank dan IFC, 2002) Siklus Hidup Tambang
Aktor-Aktor
Kerangka Kerja
Pemerintah Pusat
Rancang peran dan tanggung jawab
Pantau – Melaksanakan Pengawasan Informasikan
Perusahan Tambang
Dukung/ Kerjasama
Konsultasi – Rancangan lokasi proyek dengan tinjauan penutupan – Patner-patner
Masyarakat
Dukung/ Kerjasama
Pemerintah Setempat LSM/ Organisasi Masyarakat Lembaga Internasional
2.14.
Dukung/ Kerjasama Dukung/ Kerjasama Dukung/ Kerjasama
Eksploitasi
Kontruksi
Operasi
Penutupan
Pasca Tambang Pantau dan informasi
Pemantauan awal dan mendukung Memadukan perencanaan penutupan tambangdalam bentuk proses dan patner-patner berkelanjutan/sejati bersama perusahaan dan lainnya Mulai proses perencanaan regional dengan pemikiran awal penutupan tambang untuk membentuk patner berkelanjutan – Kegiatan-kegiatan ekonomi berkelanjutan Menghubungkan kepada LSM internasional – Penguatan kelembagaan untuk masyarakat lokal – Memantau dan menginformasikan Penyebaran praktek-praktek terbaik penutupan tambang – Membangun dan mengembangkan standar-standar dan pedoman-pedoman – Bekerja dengan pemerintah, perusahaan, dan masyarakat.
Penelitian-Penelitian Penutupan Tambang
Dari
hasil
studi
pustaka dan konsultasi dengan beberapa pakar
pertambangan nasional dan internasional dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa penelitian ilmiah tentang penutupan tambang terkait dengan bagaimana menerapkan prinsip-prinsip PB pada RPT dan pelaksanaannya adalah sangat sedikit yang bisa ditampilkan sebagai pustaka. Seperti yang dikatakan oleh Singam et al. (2006) mengatakan bahwa sampai saat ini di India belum ada pedoman penutupan tambang yang ilmiah. Walaupun demikian berikut ini satu contoh disertasi tentang penutupan tambang yang terkait dengan tujuan PB dengan judul “ Perencanaan Pembangunan Pasca Tambang untuk Menunjang Pembangunan Berkelanjutan (Studi Kasus pada Pertambangan Batubara PT Kaltim Prima Coal di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur)”. Disertasi ini dihasilkan oleh Soemarno Witoro Soelarno dari Program Studi Ilmu Lingkungan-Program Pascasarjana Universitas Indonesia yang dikukuhkan pada tanggal 30 Juni 2007. Soelarno (2007) dalam disertasinya mengatakan bahwa pertambangan mempunyai kekuatan yang signifikan untuk dikembangkan sebagai penggerak
59
pembangunan di daerah terpencil dimana pertambangan itu berada.
Hasil
Proses Hirarki Analisis menunjukkan bahwa pada perencanaan penutupan tambang yang menunjang pembangunan berkelanjutan, para pihak pemangku kepentingan sepakat faktor perlindungan dan kelestarian fungsi lingkungan mendapat bobot paling besar untuk diperhatikan, kemudian diikuti oleh pembangunan dan keberlanjutan ekonomi, serta sosial dan kesehatan masyarakat.
Permodelan sistem dinamik menunjukkan bahwa kombinasi
pengusahaan tanaman karet, kelapa sawit, dan hutan dengan dana investasi dari royalti batubara, dapat mendukung pembangunan berkelanjutan di wilayah Kabupaten Kutai Timur pada masa pasca tambang.
2.15. Alat-Alat Analisis Penelitian 2.15.1. Analisis Faktor Resiko Penutupan (the Closure Risk Factor) Hasil
penelitian
Laurence
(2001,
2006)
mengelompokkan
resiko
penutupan tambang berdasarkan hubungan antara faktor resiko penutupan dengan kerumitan dari penutupan disesuaikan juga dengan skala dan kondisinya masing-masing daerah pertambangan. Resiko penutupan tambang PTFI dinilai mempunyai tingkat resiko penutupan katagori “ekstrim” dengan nilai CRF > 2000, termasuk juga tambang Ok Tedi di Papua Nugini pada katagori ini. Penutupan tambang dalam katagori ini, mempunyai karakteristik: sensitif secara lingkungan hidup dan sosial di lokasi operasi, ekstensif penyimpangan lingkungan hidup, dan tergantung pada waktu yang lalu (subjected to past).
Model resiko
penutupan tambang yang dikembangkan itu adalah: CRF = S (RE + RSH + RC + RLU + RLF +RT). CRF merupakan ukuran sederhana secara kulitatif dan kuantitatif dari berbagai komponen resiko nyata dari penutupan tambang yang dapat ditangkap atau diidentisikasi. Komponen tersebut adalah: RE : Resiko lingkungan hidup (environmental risks), yang terdiri subkomponen: air, udara, sistem-sistem lahan, dan limbah. RSH: Resiko keamanan dan kesehatan (safety and health risks), yang terdiri
sub-
komponen:
fasilitas-fasilitas
pngelolaan
terbuka,
terowongan-terowongan atau gua-gua, infrastruktur, dan keamanan (pencurian dan penjarahan) RC:
Resiko bagi masyarakat dan sosial (community and social risks), yang terdiri dari sub-komponen: karyawan, pemilik lahan, serikat pekerja, penduduk yang terkena dampak, pemerintah daerah,
60
dampak umum pada masyarakat (lokal, regional, nasional, dan internasional), penduduk pendatang (new settler). RLU: Resiko penggunaan lahan akhir, yang terdiri dari sub-komponen: nilai-nilai lahan hasil pembentukan akhir bekas daerah tambang seperti lahan pertanian, lahan indutri, lahan taman dan lain-lain. RLF: Resiko aspek hukum dan keuangan (legal and financial risks) yang terdiri dari sub-komponen: ketaatan pada kebijakan dan regulasi, para pemberi kredit, pajak, royalti, biaya rehabilitasi, biaya penyelamatan barang-barang bekas, dan lainnya. RT:
Resiko secara teknik (technical risks), yang terdiri dari subkomponen: rencana penutupan, tim penutupan, sumberdaya, kemajuan rehabilitasi dibandingkan rencana, dan lainnya.
Besarnya perubahan lingkungan akibat kegiatan (dampak) ditentukan oleh: besarnya kegiatan (jenis, besarnya kegiatan, banyaknya limbah, dsb) dan Kepekaan lingkungan hidup (jenis, mutu dan kecenderungan atau kondisi awal ekosistem). Pemerintah melalui pasal 16 UU No. 4 Tahun 1982 dan Pasal 3(2) PP No. 29 Tahun
1986 menentukan secara rinci Faktor Penentu Dampak
Penting. Sebuah dampak dikatakan sebagai dampak penting bila: a. Jumlah manusia terkena dampak, yaitu: (1) jumlah manusia yang terkena dampak yang bukan sasaran manfaat proyek sama atau lebih besar dari manusia yang direncanakan mendapat manfaat dari proyek. (2) jumlah manusia yang terkena dampak aman atau lebih besar dari jumlah manusia yang tidak akan terkena dampak dalam wilayah yang ditentukan dalam kerangka acuan ANDAL atau SEL. b. Luas wilayah persebaran dampak, yaitu: (1) luas wilayah persebaran minimum 2x luas wilayah kegiatan. (2) luas wilayah persebaran melampaui batas negara, sehingga mengancam hubungan antar negara. c. Lamanya dampak berlangsung, yaitu: (1) berlangsung pada seluruh tahap : pra-konstruksi, konstruksi, dan pasca konstruksi (operasional). (2) berlangsung selama minimal separuh dari umur kegiatan. d. Intensitas dampak, yaitu dampak positif atau negatif menyebabkan kemerosotan daya toleransi secara drastis dalam waktu yang relatif singkat dalam ruang yang relatif luas. e. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak, yaitu banyak komponen lingkungan lainnya terkena dalam waktu yang relatif singkat dalam ruang yang relatif luas. f.
Sifat kumulatif dampak terdiri: (1) akumulasi dampak yang terjadi dalam kurun waktu relatif singkat dan ruang yang relatif luas sehingga bobot
61
dampaknya bertambah besar. (2) terjadi gejala antagonistik dalam wilayah persebaran dampak.
seinergitik atau
g. Berbalik dan tidak berbaliknya dampak, artinya ada komponen lingkungan yang terkena dampak ulang yang tidak berbalik. 2.15.2. Pendekatan Sistem Pemikiran kesisteman merupakan pendekatan ilmiah untuk mengkaji permasalahan yang memerlukan telaah berbagai hubungan yang relevan, komplementer dan terpecaya. Teori sistem dipelopori oleh Bertalanffy pada tahun 1968, yang memperkenalkan suatu kerangka konsep dan teori umum yang dapat diterapkan pada berbagai bidang ini, yang dikenal dengan nama General System Theory (GST). GST ini didasari oleh pemikiran perlunya keahlian generalis dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien (Eriyatno dan Sofyar, 2007). Penerapan konsep PB (Pembangunan Berkelanjutan) pada sebuah kegiatan memerlukan keterpaduan berbagai disiplin ilmu dalam merumuskan permasalahan yang komplek sehingga diperlukan sebuah pendekatan sistem. Azapagic dan Perdan (2005) mengatakan untuk menyelesaikan tantangantantangan dari penerapan PB diperlukan sebuah pendekatan sistem, yang dapat berfokus pada pengamatan dan pemahanan hubungan-hubungan antara bagianbagian didalam sistem dan keseluruhan fungsi sistem secara terintegrasi. Para ahli sistem memberikan batasan bahwa sebuah kajian menggunakan teori sistem bila sebuah persoalan memenuhi sifat-sifat: komplek, dinamis, dan probabilistik. Sistem didefinisikan sebagai suatu agregasi atau kumpulan obyek-obyek yang saling menerangkan dalam interaksi dan menerangkan satu sama lain (Eriyatno dan Sofyar, 2007).
Marimin (2005) mendefinisikan sistem sebagai
suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam lingkungan komplek.
Tiga
karakteristik dari pendekatan sistem adalah sibernetik, berorientasi pada tujuan; holistik, merupakan cara pandang yang utuh terhadap kebutuan sistem; dan efektif, sistem harus dapat dioperasionalkan. Hartrisari (2007) menjelaskan tahapan pendekatan sistem dapat meliputi: (1) Analisis kebutuhan antar pelaku; (2) Formulasi permasalahan; (3) Identifikasi sistem;
(4) permodelan sistem; (5) Verifikasi dan validasi model ; dan (6)
Implementasi model. Keungulan pendekatan sistem adalah: biaya analisis lebih murah, kompresi waktu, manipulasi melalui perubahan variabel, biaya kesalahan
62
lebih kecil dari trial-error approach, dapat memasukkan faktor ketidakpastian, dan
alternatif solusi lebih banyak.
Menurut Marimin (2007) keunggulan
penggunaan sistem adalah menonjolkan tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri; konsep sistem berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisa, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya; dan memberikan gambaran yang lebih luas mengenai variabel-variabel yang harus ditangani dalam mengelola suatu sistem organisasi. Sistem dinamik dapat digunakan untuk menganalisis aspek fisik suatu industri atau proses produksi serta hal-hal yang berkaitan dengan perumusan strategi di masa mendatang (Eriyatno dan Sofyar, 2007).
Ini berarti bahwa
sistem dinamik juga dapat digunakan untuk mengetahui dan menguji kebijakan yang diperlukan di masa mendatang.
Forrester (1961) dalam Eriyatno dan
Sofyar (2007) mengemukakan bahwa sistem dinamik dititik-beratkan pada analisis karakteristik struktur sistem yang selanjutnya dipetakan secara nyata. Permodelan dengan sistem dinamik merupakan model deterministik yang didasarkan pada proses fisik yang terjadi.
Untuk mengerjakan seluruh
pekerjaan pembuatan model dapat digunakan perangkat lunak power constructor (Eriyatno dan Sofyar, 2007).
Selanjutnya Coyle (1996) dalam
Eriyatno dan Sofyar (2007) mengatakan bahwa manfaat utama dari sistem dinamik adalah mendapatkan kualitas yang dapat diperbandingkan dari rancangan maupun kinerja dan sistem yang dapat dikelola. Penggunaan model sistem dinamik di dunia pertambangan terkait dengan penerapan nilai-nilai PB, O’Regan dan Moles (2006) mengatakan bahwa sistem dinamik dapat menggambarkan hubungan timbal balik antara kebijakan lingkungan hidup, ekonomi dan aliran dari investasi mineral internasional, melewati batasanbatasan secara organisasi dan nasional.
2.15.3. Disain dan Model Disain dari sebuah sistem adalah disain dari komponen-komponen dan hubungannya (Churchman, 1971 dalam Walls et al., 2001).
Disain sistem
menekankan bahwa semuanya diakui saling berhubungan (Stokes dan Chellman, 2006).
Lebih lanjut Stokes dan Chellman (2006) mendefinisikan
disain adalah sebuah ciptaan, berorientasi tujuan, penyelidikan berdisiplin yang
63
bertujuan untuk menyelesaikan beberapa hal sebagai berikut: (1) diagnose dan gambaran
dari
disain
situasi
masalah;
(2)
klarifikasi
alasan
untuk
mempekerjakan (engaging) disain; (3) menetapkan batasan-batasan dari disain yang diteliti; (4) merumuskan ide inti, nilai-nilai, dan imajinasi dari sistem mendatang yang akan menjadi pedoman disain; (5) menemukan harapanharapan, aspirasi, usulan-usulan dan persyaratan-persyaratan dari sistem yang akan didisain; (6) menciptakan dan mengevaluasi representasi pilihan dari sistem mendatang; (7) memantapkan kriteria melalui evaluasi pilihan-pilihan; (8) menggunakan kriteria, pilih alternatif yang paling menjanjikan; (9) gambaran dari sistem mendatang; dan (10) rencana untuk pengembangan dari sistem yang didasarkan pada deskripsinya. Walls et al. (2006) menjelaskan
kepada
menyatakan bahwa teori disain sistem harus
kita bagaimana
memantapkan
hubungan-hubungan
diantara komponen-komponen dari sebuah sistem untuk mencapai sebuah tujuan yang khusus. Selanjutnya dinyatakan juga bahwa sebuah teori disain harus mempunyai dua aspek yaitu satu berurusan dengan produk dan satu lagi berurusan dengan proses dari disain. Turban et al. (2005) menyatakan bahwa model merupakan representasi atau abstraksi sederhana dari realitas. Aminullah (2003) menyatakan model dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu model kuantitatif, kualitatif dan ikonik. Model biasanya disederhanakan karena realitas terlalu kompleks untuk digambarkan secara tepat dan karena banyak dari kompleksitas tersebut secara aktual tidak relevan untuk memecahkan masalah khusus. Fauzi dan Anna (2005) mengemukakan dalam membangun sebuah model supaya hasilnya adalah reliable diperlukan beberapa tahapan yaitu identifikasi, membangun asumsi, konstruksi model, analisis, intepretasi, validasi dan implementasi. Menurut Turban et al. (2005) manfaat-manfat menggunakan model dalam sistem pendukung manajemen, adalah: (1) Manipulasi model (mengubah variabel keputusan atau lingkungan) jauh lebih mudah ketimbang memanipulasi sistem riil. Eksperimentasi lebih mudah dan tidak berinterferensi dengan operasional harian dari organisasi. (2). Model memungkinkan kompresi waktu. (3) Biaya analisis permodelan jauh lebih rendah ketimbang biaya eksperimen yang serupa yang dilakukan pada sebuah sistem riil. (4) Biaya pembuatan kesalahan
selama
menggunakan
eksperimen
model,
coba-salah
dibandingkan
dengan
jauh
lebih
rendah
menggunakan
ketika
sistem
riil.
64
(5) Lingkungan bisnis mencakup ketidakpastian yang dapat dipertimbangkan. Manajer dapat mengestimasi resiko dari tindakan-tindakan tertentu. (6) Model matematika memungkinkan analisis terhadap sejumlah solusi yang sangat besar ,dan kadang-kadang tak terbatas. (7) Model memperkuat pembelajaran dan pelatihan. (8) Metode model dan solusi tersedia di Web.
2.15.4. Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierachy Process) Prinsip kerja
Metode Proses Hirarki
Analitik
atau AHP adalah
penyederhanaan suatu persoalan komplek yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hirarki. Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan yang akan dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Artinya persoalan yang komplek dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya (Marimin, 2005). Eriyanto dan Sofyar (2007) menyebutkan langkah-langkah dalam melakukan metoda AHP adalah:
a)
penyusunan hirarki; b) penyusunan kriteria; c) penilaian kriteria dan alternatif; dan 4) penentuan prioritas. Eriyanto dan Sofyar (2007) menjelaskan tentang sembilan prinsip yang sekaligus merupakan keuntungan penggunaan metoda AHP: (a) prinsip kesatuan, AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan yang tidak terstruktur; (b) prinsip kompleksitas, AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks; (c) Prinsip saling ketergantungan, AHP mencerminkan kecenderungan alami, dari pemikiran untuk memilah-milah elemen dalam satu sistem, pada berbagai tingkat yang berlainan dan pengelompokkan unsur-unsur yang serupa dalam setiap tingkat; (d) prinsip pengukuran, AHP menghasilkan satu skala untuk mengukur hal-hal dan terwujudnya suatu metode untuk menetapkan prioritas; (e) prinsip konsistensi, AHP melacak konsistensi logis dari berbagai pertimbangan yang dipakai untuk menetapkan berbagai prioritas; (f) prinsip sintesis, AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif; (g)
prinsip tawar
menawar, AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem
dan
memungkinkan
organisasi
dapat
memilih
alternatif
terbaik
berdasarkan tujuan-tujuan mereka; (h) prinsip pemilihan konsensus, AHP tidak
65
memaksakan konsensus tetapi mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda; dan (i) prinsip penulangan proses, AHP memungkinkan organisasi memperhalus definisi mereka atas satu persoalan dan memperbaiki berbagai pertimbangan serta pengertian mereka melalui berbagai pengulangan. Beberapa kelemahan AHP sebagai alat analisis kriteria majemuk adalah tidak bisa menangkap feed back dari bawah pada diagram hirarki yang ada dan juga tidak bisa mengukur atau mendeteksi konsensus dari pendapat pakar karena nilai yang dipakai adalah nilai rata-rata. Dunn (2003) mengatakan bahwa analisis hierarki dapat mengidentifikasikan tiga macam sebab, yaitu sebab yang mungkin, sebab yang masuk akal, dan sebab yang dapat diubah. Sebab yang mungkin merupakan kejadian-kejadian atau tindakan-tindakan yang meskipun tipis, dapat memberikan andil pada terjadinya situasi permasalahan. Sebab yang masuk akal merupakan sebab yang penting dalam terjadinya situasi yang problematis itu.
Sebab yang dapat diubah merupakan sebab yang menjadi
sasaran dari kontrol atau manipulasi yang dilakukan oleh pengambil kebijakan, karena tidak ada kebijakan yang dapat diberlakukan untuk mengatasi sebuah masalah. 2.15.5. Analisis Patok Duga (Benchmarking) Menurut Watson (1993) dalam Eriyatno dan Sofyar (2007), patok duga merupakan praktek yang memperlancar masukan informasi baru secara terus menerus ke dalam suatu organisasi. Patok duga dapat didefinisikan sebagai sebuah kegiatan dimana organisasi-organisasi menyelenggarakan secara terus-menerus dalam pembelajaran diri sendiri dan membandingkan mereka sendiri dengan para pemimpin-pemimpin dalam bidang bisnis mereka sehingga mereka dapat mengidentifikasi, adaptasi, dan mengaplikasi praktek-praktek yang lebih baik secara signifikan. Geerlings et al. (2006) mendefinisikan patok duga sebagai pendekatan terstruktur untuk mengumpulkan dan memberikan data, informasi, ide-ide, dan metode yang bertujuan untuk mendapatkan perbandingan yang akan saling bermanfaat diantara semua kelompok yang terlibat. Patok duga bukanlah kegiatan yang berdiri sendiri, atau solusi untuk meningkatkan kinerja yang buruk, melainkan sebagai program perubahan bisnis atau industri yang komplementer terhadap perencanaan strategis (Eriyatno dan Sofyar (2007).
66
Tujuan patok duga adalah menentukan faktor kunci keberhasilan, dan mendapatkan data dan informasi keunggulan bersaing praktek terbaik (best practice) dalam hal produktifitas, sumberdaya fisik, sumber daya keuangan dan profitabilitas. Analisis ini dapat digunakan sebagai program perubahan bisnis atau industri yang komplementer terhadap perencanaan strategis. Keunggulan analisis patok duga adalah dapat menyediakan informasi seberapa jauh kedepan atau ketertinggalan suatu induvidu bisnis dibandingkan pesaingnya (Eriyatno dan Sofyar, 2007). MCA (2006) sangat mempercayai bahwa manfaat-manfaat melakukan patok duga regulasi dalam sektor pertambangan dan berperan juga dalam meningkatkan efisiensi ekonomi negara, dalam hal ini negara Australia. ITTC (2002) menerangkan tahapan proses patok duga, adalah sebagai berikut: 1. Perencanaan yang terdiri dari: menentukan apa yang akan dipatok duga, rumuskan motif dan usulan untuk patok duga, menyetujui mitra patok duga, identifikasi variabel kinerja kunci, identifikasi tim patok duga, menentukan metode pengumpulan data, membangun format dari perubahan data; 2. Mengumpulkan data; 3. Melakukan analisis, yang terdiri dari pekerjaan-pekerjaan: identifikasi penyimpangan dan identifikasi penyebab penyimpangan; dan 4. Implementasi, yang meliputi pekerjaan: mengkomunikasikan penemuanpenemuan dari analisis, membuat tujuan akhir (goal) untuk perbaikan, dan penerapan perbaikan dalam prosedur-prosedur. 2.15.6. Metode Perbandingan Eksponensial Metode Perbandingan Eksponensial atau disingkat MPE adalah salah satu teknik pengambilan keputusan berbasis kinerja.
MPE merupakan salah
satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak. Teknik ini digunakan sebagai pembantu keputusan bagi individu pengambilan keputusan untuk merancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses. Keuntungan metode ini mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis sebab menghasilkan nilai urutan prioritas alternatif keputusan yang lebih nyata (Marimin, 2005). Eriyanto (1998) dalam Eriyanto dan Sofyar (2007) menyebutkan bahwa langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pemilihan keputusan dengan menggunakan MPE adalah: (1) menyusun kriteria keputusan
67
yang akan dikaji, (2) menentukan derajat kepentingan relatif setiap kriteria keputusan dengan menggunakan skala konversi tertentu sesuai dengan keinginan pengambil keputusan, (3) menentukan derajat kepentingan relatif setiap pilihan keputusan pada setiap kriteria keputusan, dan (4) menentukan total skor pada setiap alternatif. 2.15.7. Teknik Permodelan Interpretasi Stuktural (ISM) Teknik Permodelan Interpretasi Stuktural atau Interpretative Structural Modelling (ISM) adalah suatu metodologi dengan menggunakan bantuan komputer yang dapat membantu suatu kelompok untuk mengidentifikasi hubungan antara gagasan/ide dan struktur penentu dalam sebuah masalah yang komplek (Eriyatno dan Sofyar, 2007). Kanungo dan Bhatnagar (2002) ISM adalah sebuah metodologi yang terbukti yang memungkinkan seseorang untuk memetakan hubungan-hubungan yang komplek antara elemen majemuk (multiple elements) di dalam sebuah situasi yang komplek. Teknik ISM juga merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif.
Tentang penggunaan ISM, Eriyatno dan Sofyar
(2007) menjelaskan bahwa ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa jenis struktur, termasuk pengaruh struktur (misalnya ‘mendukung’ atau ‘memperburuk’), struktur prioritas (misalnya ‘lebih penting dari’ atau ‘akan dipelajari lebih dahulu’) dan katagori dari setiap gagasan/ide (misalnya ‘mempunyai kategori yang sama dengan’). Selanjutnya menurut Marimin (2005) langkah-langkah ISM adalah sebagai berikut : 1. Identifikasi elemen. Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Hal ini dapat diperoleh melalui penelitian, brainstorming, dan hal-hal lain. 2. Membangun hubungan kontektual dari antar elemen tesebut yang didasarkan pada tujuan dari permodelan. 3. Membangun Matriks Interaksi Tunggal Terstruktur (Structural Self Interaction Matrix/SSIM).
Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap
elemen hubungan yang dituju. Empat simbol yang digunakan adalah: V..... hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, tidak sebaliknya A..... hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, tidak sebaliknya X .... hubungan interrelasi antara Ei terhadap Ej (dapat sebaliknya) O .....menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan
68
4. Matriks Reachability (Reachability Matrix): Sebuah RM yang dipersiapkan kemudian merubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner. Aturan-aturan konversi nerikut menerapkan: a. Jika hubungan Ei terhadap Eji = 0 dalam RM b. Jika hubungan Ei terhadap Eji = 1 dalam RM c. Jika hubungan Ei terhadap Eji = 1 dalam RM d. Jika hubungan E i terhadap Eji = 0 dalam RM
Ej = V dalam SSIM, maka elemen E ij = 1 dan Ej = A dalam SSIM, maka elemen E ij = 0 dan Ej = X dalam SSIM, maka elemen E ij = 1 dan Ej = O dalam SSIM, maka elemen E ij = 0 dan
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect Reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1, maka Eik = 1. 5. Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua perangkat diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem: Reachability Set (Ri), adalah sebuat set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen Ei, dan Antecendent Set (Ai), adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri = Ri /\ Ai, adalah elemen-elemen level 1.
Pada iterasi-iterasi berikutnya elemen-
elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama.
Selanjutnya, seluruh
elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level yang berbeda. 6. Matriks Canonical: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph. 7. Digraph adalah konsep berasal dari directional graph, sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung, dan level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical.
Graph awal
tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir. 8. Interpretative Structural Model:
ISM dibangkitkan dengan memindahkan
seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu, ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen dan alur hubungannya.
69
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Lokasi penelitian di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, yang merupakan tempat operasi penambangan PTFI. Jakarta,
Bogor,
dan
Bandung
Selain itu, penelitian juga dilakukan di untuk
mendapatkan
pendapat
pakar.
Korespondensi melalui surat elektronik juga dilakukan dengan pakar di Australia dan di Kanada. Waktu pelaksanaan penelitian selama 12 bulan, dimulai bulan Januari 2008 sampai Januari 2009.
3.2.
Rancangan Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran dan perumusan masalah pada Bab
Pendahuluan, penelitian ini bertujuan memperoleh keluaran berupa disain sistem penutupan tambang mineral berkelanjutan yang memuat sejumlah skenarioskenario keberlanjutan manfaat-manfaat ekonomi, sosial dan perlindungan lingkungan pada SaPeT.
Penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai disain
sistem dimana kegiatan-kegiatan penelitian, termasuk kajian-kajian didalamnya adalah merupakan sebuah proses mengelola input-input untuk mencapai tujuan. Disamping itu, persoalan penutupan tambang termasuk persoalan yang komplek, probabilistik, dan dinamis, sehingga perlu pendekatan sistem untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan (Laurence, 2001; Azapagic dan Perdan, 2005;
O’Regan dan Moles, 2006; Eriyatno dan Sofyar, 2007).
Rancangan
penelitian yang dilakukan untuk mencapai tujuan umum dan tujuan-tujuan antara penelitian, mencakup: pengumpulan berbagai jenis data dari berbagai sumber, teknik pengambilan contoh, teknik analisis data, dan keluaran yang ditargetkan, dapat dilihat pada Tabel 7. 3.3.
Jenis data dan peubah yang diamati
3.3.1. Jenis data dan peubah yang diamati untuk tujuan (1) Berdasarkan cara mendapatkan data, ada dua jenis data yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan ini adalah : Pertama, data yang berupa parameter atau variabel yang berupa faktor-faktor resiko penutupan yang dikembangkan oleh Laurence (2001, 2001).
Tabel 7.
Tujuan penelitian, jenis data, teknik analisis yang dipakai dan keluarannya
Tujuan Penelitian
Jenis dan sumber data
1.Mengetahui indikator-indikator keberlanjutan untuk merumuskan keberlanjutan pada SaPeT PTFI
Data sumber pustaka dan survey lapangan
Data faktor penting dan strategis melalui FGD dan wawancara PPK
Faktor-faktor resiko yang mungkin timbul pada SaPeT dan Faktor-Faktor penting dan strategis
2.Mengetahui faktorfaktor penggerak kunci yang dapat digunakan untuk menentukan keberlanjutan pembangunan dan penghidupan masyarakat di Kabupaten Mimika 3.Mengetahui faktorfaktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang berkelanjutan
Survei pendapat pakar dan kajian referensi tentang elemen dan sub elemen program penutupan tambang ditambah indikatorkeberlanjutan hasil MPE Survei pendapat pakar tentang faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan.
4.Mengetahui komponenkomponen yang dominan dalam perencanaan penutupan tambang mineral berkelanjutan 5.Menyusun skenario dan arahan kebijakan penutupan tambang mineral berkelanjutan
Survei pendapat pakar tentang multi faktor penutupan tambang
Data sekunder dan primer hasil wawancara dengan PPK
Teknik Penetapan Responden Studi pustaka: faktor resiko penutupan tambang (Laurence 2001, 2006). Dampak penutupan (Warhurst, 2000). Dirangkai dengan indikator keberlanjutan dari (MMSD, 2002; Azapagic, 2004 ; GRI, 2006) FGD (Focus Group Discussion) dan wawancara langsung dengan perwakilan PPK yang telah teridentifikasi Judgement peneliti
Identifikasi kepakaran dan pengetahuan tentang sosial, ekonomi, dan lingkungan pertambangan, kaitanya dengan penutupan tambang
Identifikasi kepakaran dan pengetahuan tentang faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang pada negara Australia dan Kanada Identifikasi kepakaran dan pengetahuan tentang sosial, ekonomi, dan lingkungan pertambangan, kaitanya dengan penutupan tambang
Teknik Analisis Data Analisis Faktor Resiko penutupan tambang/ CRF (Laurence 2001,2006)
Keluaran
Analisis kebutuhan PPK
Faktor-Faktor penting dan strategis menurut PPK
MPE
Indikatorindikator keberlanjutan yang berpengaruh pada penutupan tambang Faktor-faktor penggerak kunci yang berpengaruh pada penutupan tambang berkelanjutan
ISM
Nilai/skor faktor-faktor resiko yang mungkin timbul pada SaPeT PTFI
Analisis patok duga (benchmarking ): AHP, MPE, dan Analisis kesenjangan.
Faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang yang perlu diterapkan
AHP
Nilai skor/urutan prioritas faktorfaktor penentu penutupan tambang berkelanjutan
Analisis sintesis dari hasil Analisis sistem dinamik dan ISM, AHP, serta analisis patok duga
Sejumlah skenario kebijakan penutupan tambang berkelanjutan.
71
Faktor-faktor ini juga akan diperkaya dengan dampak-dampak penutupan tambang
dari
Warhurst
(2000),
kemudian
dipersandingkan
indikator
keberlanjutan dari (MMSD, 2002; Azapagic, 2004 ; GRI, 2006). Faktor-faktor ini dikelompokkan menjadi: resiko lingkungan hidup, resiko keamanan dan kesehatan, resiko bagi masyarakat dan sosial, resiko penggunaan lahan akhir, resiko aspek hukum dan keuangan, dan resiko secara teknik. Faktor-faktor resiko penutupan yang telah teridentifikasi dari hasil uji pada resiko-resiko yang mungkin timbul pada SaPeT PTFI akan menjadi masukan untuk proses analisis CRF (closure risk factor). Kedua, data-data yang berupa faktor-faktor penting yang dibutuhkan oleh
PPK pada SaPeT PTFI.
Faktor-
faktor/Peubah atau informasi yang dibutuhkan terkait isu-isu dampak penutupan tambang pada aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Kedua jenis data ini kemudian dikaji dengan metode MPE.
3.3.2. Jenis data dan peubah yang diamati untuk tujuan (2) Data yang diperlukan untuk mencapai tujuan ini adalah parameter atau variabel-variabel yang diperoleh dari survei pendapat pakar.
Mengacu pada
Saxena (1992) dalam Marimin (2005) ada sembilan elemen yang dapat digunakan menyusun program. Program dalam penelitian ini adalah membuat disain penutupan tambang mineral berkelanjutan. Berdasarkan pendapat pakar, pengalaman peneliti, dan kajian referensi elemen-elemen yang digunakan untuk membuat formulasi kebijakan dan perencanaan strategis penutupan tambang, adalah: (a) elemen sektor masyarakat yang terpengaruh, (b) elemen kebutuhan program, (c) elemen kendala utama, (d) elemen tujuan program, dan (e) elemen tolok ukur untuk menilai setiap tujuan.
3.3.3. Jenis data dan peubah yang diamati untuk tujuan (3) Data yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan ini adalah parameter atau variabel-variabel yang diperoleh dari survei pendapat pakar, yaitu akan meliputi: (a) kelayakan negara yang akan dijadikan negara target duga (benchmark) bagi Indonesia. (b) kriteria-kriteria atau faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang dan pemberian nilai bobot untuk setiap kriteria atau faktor. Kelayakan sebuah negara sebagai negara target patok duga bagi Indonesia, kriteria yang dipakai sesuai yang dikemukakan oleh Kotler et al. (1998), yaitu:
(a) kepemimpinan pemerintah suatu negara, (b) kebudayaan, 72
sikap, dan nilai suatu negara, (c) anugrah SDA dan SDM suatu negara, (d) kohesi sosial suatu negara, (e) Organisasi industri suatu negara. Alternatif yang dinilai sebagai negara target bagi Indonesia adalah Australia dan Kanada. Struktur hirarki yang dinilai disusun dari tujuan, kriteria dan alternatif seperti tampak pada Gambar 8.
Fokus
Keunggulan Dalam Penutupan Tambang Berkelanjutan Suatu Negara
Kriteria
Kepemimpinan Pemerintahan Suatu Negara
Kebudayaan, Sikap & Nilai Suatu Negara
Anugrah SDA &SDM Suatu Negara
Kohesi Sosial Suatu Negara
Organisasi Industri Suatu Negara
Tujuan
Indonesia
Gambar 8.
Australia
Kanada
Struktur hirarki penentuan keunggulan penutupan tambang berkelanjutan
3.3.4. Jenis data dan peubah yang diamati untuk tujuan (4) Data yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan ini adalah parameter atau variabel-variabel yang diperoleh dari survei pendapat pakar terhadap pilihanpilihan atau alternatif dalam menyelesaikan persoalan dan menuju penutupan tambang yang berkelanjutan. Alternatif yang diajukan merupakan penyelesaian masalah dalam mencapai penutupan tambang berkelanjutan yang didasarkan pada konsep dan teori penerapan PB pada sektor pertambangan. Alternatif yang tersedia adalah: perencanaan terpadu pembangunan berdasarkan SDA unggulan, membayar kompensasi daerah bekas tambang, dan perencanaan terpadu pembangunan berdasarkan SDA unggulan sejak dini. Ada dua penilaian pakar, pertama penilaian terhadap struktur hirarki seperti tampak pada Gambar 9. Kedua penilaian pakar pada masing-masing variabel didalam tujuan, aktor, aspek, faktor dan tujuan-tujuan. Aktor yang berperan dalam penentuan penutupan tambang berkelanjutan adalah: pemerintah (Pemda Tingkat II, Provinsi dan pemerintah pusat), 73
manajemen perusahaan, karyawan perusahaan (penduduk setempat dan pendatang), masyarakat setempat dimana tambang dioperasikan, dan LSM setempat dan nasional.
Aspek yang berkaitan adalah lingkungan, sosial,
ekonomi, hukum dan kelembagaan, serta teknologi dan biaya.
Disain Penutupan Tambang yang Berkelanjutan
Fokus
Aktor
Aspek
Manajemen perusahaan
Pemerintah
Lingkungan
Karyawan perusahaan
Sosial
Masyarakat setempat
LSM setempat & nasional
Hukum dan kelembagaan
Ekonomi
Teknologi dan biaya
Faktor • Proteksi ekologi & manusia • Produktifitas lahan akhir • Kontri.pd lingk. global
Tujuan
Pilihan
• Keterlibatan PPK • Penddk & kesehatan • Penciptaan lap. kerja • Kualitas SDM
Keberlanjutan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
Perencanaan terpadu pembangunan berdasarkan SDA unggulan
Gambar 9.
• Kontrib. pd PDB • Mendorong iklim investasi • Peluang ekonomi baru
Keberlanjutan perlindungan & pelestarian fungsi lingkungan
Membayar kompensasi daerah bekas tambang
•Badan/forum utk Penutupan •Ketaatan pd regulasi • Resolusi & pengelolaan konflik
• Efektifitas teknologi & biaya penutupan • Rencana dan tim Penutupan
Keberlanjutan kualitas kehidupan sosial masyarakat
Perencanaan terpadu pembangunan berdasarkan SDA Unggulan sejak dini
Struktur hirarki penentuan disain penutupan tambang berkelanjutan
Faktor
yang
mempengaruhi
desain
penutupan
tambang
yang
berkelanjutan adalah proteksi ekologi dan manusia, produktifitas lahan akhir, kontribusi pada lingkungan global, keterlibatan PPK, pendidikan dan kesehatan, penciptaan lapangan kerja, kualitas SDM, kontribusi pada PDB, mendorong iklim investasi, peluang ekonomi baru, badan / forum untuk penutupan, ketaatan pada regulasi, resolusi dan pengelolaan konflik, efektifitas teknologi dan biaya penutupan, serta rencana dan tim penutupan. Tujuannya
adalah
keberlanjutan
pembangunan
dan
pertumbuhan
ekonomi, keberlanjutan perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan, dan keberlanjutan kualitas kehidupan sosial masyarakat. Pilihan yang tersedia yaitu : perencanaan terpadu pembangunan berdasarkan SDA unggulan, membayar kompensasi daerah bekas tambang, dan perencanaan terpadu pembangunan berdasarkan SDA unggulan sejak dini.
74
3.3.5. Jenis data dan peubah yang diamati untuk tujuan (5) Data yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan ini adalah data primer dan sekuder yang berupa: variabel input terkendali, variabel input tidak terkendali, variabel output dikehendaki, variabel output tidak dikehendaki dan variabel kontrol sistem. Peubah atau informasi dari hasil analisa kebutuhan PPK, faktorfaktor penggerak kunci keberlanjutan penutupan tambang, faktor –faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang dari negara patok duga, dan prioritas arahan kebijakan dan strategi penutupan tambang berkelanjutan juga akan menjadi input atau output pada penyusunan sistem dinamik.
3.4.
Teknik pengumpulan data dan kerangka penetapan responden
3.4.1. Teknik pengumpulan data dan kerangka penetapan responden untuk tujuan (1) Ada dua teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini, yaitu: (a) studi pustaka yang relevan dan pengamatan di lapangan tentang faktor-faktor resiko penutupan tambang mengacu pada hasil penelitian Laurence (2001, 2006), dan (b) FGD (focus group discussion) dan wawancara dengan perwakilan PPK yang dipilih secara ketat berdasarkan kekuatan pengaruh dan peranan pada SaPeT PTFI. Pengambilan responden didasarkan kombinasi pertimbangan didasarkan pada peranan PPK tentang ‘siapa mengerjakan apa ketika penutupan tambang’ (World Bank dan IFC, 2002). Dengan demikian responden diambil perwakilan dari kelompok PPK dari penutupan tambang PTFI, yaitu perwakilan dari: pemerintah (daerah dan pusat), manajemen perusahaan, karyawan perusahaan, masyarakat, LSM setempat.
Responden terpilih secara ketat untuk FGD dan
wawancara perorangan sebanyak 20 orang, dengan Komposisi PPK perwakilan dari pemerintah daerah dan pusat sebesar 26,3 %, masyarakat 47,4 %, dan perwakilan manajemen serta karyawan PTFI sebesar 26,3 %. Pada Lampiran 1 merupakan gambar-gambar saat melakukan FGD dengan masyarakat dan LSM setempat serta beberapa wawancara perorangan dengan pejabat Pemda Mimika. Wawancara dengan perwakilan dari pemerintah pusat dilakukan di Jakarta dengan pejabat dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Informasi atau jawaban dari wawancara dengan PPK bersama dengan hasil studi pustaka menjadi masukan untuk proses analisis selanjutnya. 75
3.4.2. Teknik pengumpulan data dan kerangka penetapan responden untuk tujuan (2) Teknik wawancara mendalam dengan pakar yang terseleksi ketat telah dilakukan dalam mendapatkan informasi tentang faktor-faktor penggerak kunci menuju penutupan tambang berkelanjutan yang dikembangkan dari elemenelemen dan sub elemen atau indikator-indikator keberlanjutan. Penentuan pakar dilakukan berdasarkan identifikasi kepakaran dan pengetahuan tentang faktorfaktor
yang
yang
berpengaruh
untuk
mencapai
penutupan
tambang
berkelanjutan. Pakar yang diundang adalah dari kalangan pemerintah, perguruan tinggi, industri tambang, dan lembaga swasta yang relevan. pakar yang terlibat, yaitu
Ada enam responden
satu pakar dari LPEM-FEUI, satu pakar dari
Departemen ESDM, dua pakar dari kalangan industri tambang, satu pakar praktisi pertambangan dan satu pakar pengembangan masyarakat dan penguatan kelembagaan di Indonesia. 3.4.3. Teknik pengumpulan data dan kerangka penetapan responden untuk tujuan (3) Teknik wawancara mendalam dengan pakar yang terseleksi ketat telah dilakukan dalam mendapatkan informasi tentang kriteria-kriteria atau faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang yang dikembangkan di dua negara target patok duga, Australia dan Kanada. Pembobotan atas kriteria atau faktor itu juga didasarkan pada penilaian pakar.
Penentuan pakar dilakukan
berdasarkan identifikasi kepakaran dan pengetahuan tentang praktek terbaik penutupan tambang yang dikembangkan oleh negara target patok duga dan juga bagaimana praktek-praktek penutupan tambang di Indonesia. Pakar
yang
diundang
adalah
dari
kalangan
industri
tambang
internasional, perguruan tinggi, dan perusahaan tambang di Indonesia, yang semuanya berjumlah empat responden pakar adalah: satu pakar dari perusahaan tambang tingkat dunia di Australia, satu pakar dari University of British Columbia di Kanada, satu pakar dari PTFI, dan satu pakar dari konsultan lingkungan pertambangan di Indonesia.
76
3.4.4. Teknik pengumpulan data dan kerangka penetapan responden untuk tujuan (4) Teknik wawancara mendalam dengan pakar yang terseleksi ketat telah dilakukan dalam mendapatkan informasi tentang penentuan penutupan tambang berkelanjutan. Penentuan pakar dilakukan berdasarkan identifikasi kepakaran dan pengetahuan tentang penyusunan arahan kebijakan dan strategi menuju penutupan tambang berkelanjutan di Indonesia. Pakar yang diundang adalah dari kalangan pemerintah, industri tambang, perguruan tinggi,
yang semuanya berjumlah enam responden pakar.
Wawancara dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah tiga orang pakar memberikan pendapat mereka terhadap struktur hirarki yang telah diusulkan sebelumnya, ketiga pakar itu, yakni: satu pakar senior sosial, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia, satu orang pakar dari PERHAPI (Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia) dan Fakultas Pertambangan ITB (Institut
Teknologi
Bandung),
dan
satu
orang
konsultan
lingkungan
pertambangan dari industri tambang. Tahap kedua adalah ada tiga orang pakar yang dimintai pendapatnya dalam memberikan nilai pada variabel atau faktorfaktor dari tujuan utama, aktor, aspek-aspek, kriteri/faktor pengaruh, tujuantujuan, dan alternatif dalam menentukan penutupan tambang berkelanjutan. Tiga pakar terpilih itu adalah: satu pakar dari Pusat Studi Reklamasi Tambang - IPB (Institut Pertanian Bogor), satu pakar dari Departemen ESDM, dan satu pakar dari PTFI. 3.4.5. Teknik pengumpulan data dan kerangka penetapan responden untuk tujuan (5) Teknik pengumpulan data, informasi, dan dokumen yang relevan dilakukan melalui survei literatur dan kepustakaan dari berbagai sumber terkait penutupan tambang berkelanjutan.
Juga data dipakai dari hasil wawancara
dengan PPK untuk analisa kebutuhan. Demikian juga wawancara pakar terkait analisis-analisis lain yang dilakukan dalam penelitian ini.
Informasi dari hasil
analisis ISM, AHP dan analisis patok duga akan menjadi masukan penting saat penyusunan skenario-skenario keberlanjutan kondisi saat ini, menjelang, dan pada SaPeT. Informasi-informasi yang relevan dan penting didapatkan secara lengkap dari Pemda Kabupaten Mimika, dari PTFI dan dari LSM setempat.
77
Begitu juga informasi-informasi terkait dengan kerangka penutupan tambang berkelanjutan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga yang terkait langsung
maupun
tidak langsung
dengan pembangunan
pertambangan
internasional, didapatkan dengan mengunjungi website mereka, seperti dari MMSD (Mining Mineral and Sustainable Development), ICMM (International Council on Mining and Metal), UNEP (United Nation Environment Programme), MCA (Mineral Council of Australia), ANMEC (Australia and New Zealand Mineral and Energy Council), GRI
(Global Reporting Initiative)
terkait dengan
Sustainability Reporting guidelines, QMC (Queensland Mining Council), MAC (Mining Association of Canada), dan lainnya.
Di Indonesia mendapatkan
masukan informasi dari Departemen ESDM. Selain itu, dikunjungi juga website dari JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) dan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup).
3.5.
Teknik analisis data
3.5.1. Teknik analisis data untuk tujuan (1) Ada tiga teknik analisis data yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersedianya indikator-indikator keberlanjutan pada SaPeT, yaitu: (a) Analisis Faktor Resiko Penutupan (CRF). Laurence (2001, 2006) berdasarkan hasil penelitiannya pada lima tambang di Daerah Australia Utara, berhasil mengelompokkan resiko penutupan tambang berdasarkan hubungan antara faktor resiko penutupan dengan kerumitan dari penutupan disesuaikan juga dengan skala dan kondisinya masingmasing daerah pertambangan.
Model resiko penutupan tambang
yang
dikembangkan itu adalah: CRF = S (RE + RSH + RC + RLU + RLF +RT). CRF merupakan ukuran sederhana secara kualitatif dan kuantitatif dari berbagai komponen resiko nyata dari penutupan tambang yang dapat ditangkap atau diidentisikasikan. Komponen tersebut adalah: RE : Resiko lingkungan hidup (environmental risks), RSH: Resiko keamanan dan kesehatan (safety and health risks), RC: Resiko bagi masyarakat dan sosial (community and social risks), RLU: Resiko penggunaan lahan akhir(final land use risks), RLF: Resiko aspek hukum dan keuangan (legal and financial risks), RT: Resiko secara teknik (technical risks),
78
Tiap komponesi dan sub kompenen pada model ini dihitung berdasarkan tingkat probabilitas dan konsekuensi dari setiap resiko dari sub komponen atau faktor-faktor yang teridentifikasi pada
saat penutupan tambang (SaPeT).
Pemberian bobot penilaian pada probabilitas diberikan skor antara 1 sampai 10. Skor 1, berarti merupakan faktor yang dinilai jarang terjadi pada SaPeT sedangkan skor 10 berarti faktor yang dinilai pasti terjadi pada SaPeT. Penilaian pada konsekuensi diberikan skor antara 1 sampai 10. Skor 1 berarti faktor yang dinilai memberikan pengaruh yang tidak nyata pada SaPeT sedangkan skor 10 berarti faktor yang dinilai bisa menimbulkan malapetaka (catastrophic). (b) Analisis kebutuhan PPK berdasarkan faktor penting dan strategis. Sebelum melakukan analisis kebutuhan PPK, langkah pertama adalah melakukan pemetaan PPK.
Selanjutnya melakukan analisis peranan dan
kekuatan PPK seperti pada Tabel 8 yang matrik analisis PPK yang dikembangkan oleh ICMM (2005). Tabel 8.
Identifikasi PPK, peranan dan kekuatan pengaruh dalam menuju SaPeT PTFI.
Aktor-Aktor PPK Pemerintah Pusat ESDM, KLH, Bapenas, dan DPRRI Pemerintah Provisi Papua dan Pemda Mimika
Peranan -Menyediakan kerangka hukum dan regulasi untuk penutupan tambang -Pemantauan dan pengawasan -Dan lain-lain -Membangun mitra untuk membuat perencanaan pembangunan regional atau kawasan setempat. -Pemantauan dan pengawasan
Dan lainnya
- Dan lain-lain
Kekuatan Pengaruh -Persetujuan dokumen Rencana Reklamasi dan Rencana Penutupan Tambang (RR & RPT) -Persetujuan dokumen RR & RPT Membentuk dan menyetujui komite penutupan tambang (KPT) - Dan lain-lain
(c) Analisis dengan menggunakan MPE Untuk mendapatkan indikator-indikator keberlanjutan menuju penutupan tambang yang berkelanjutan dengan menggunakan teknik analisis MPE berdasarkan data masukan dari hasil analisis resiko penutupan tambang (CRF) dan hasil analisa kebutuhan menurut PPK. Teknik MPE ini digunakan sebagai pembantu keputusan bagi individu pengambilan keputusan untuk merancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses. Keuntungan metode ini mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis sebab menghasilkan nilai urutan prioritas alternatif keputusan yang lebih nyata
79
(Marimin, 2005). Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam MPE adalah:
m Total nilai (TNi) = (RK ij)TKK j
Keterangan: TNi RK ij TKK j n m
= Total nilai alternatif ke -i = derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan i = derajat kepentingan kritera keputusan ke-j; TKKj > 0; bulat = jumlah pilihan keputusan = jumlah kriteria keputusan
Kriteria pemilihan yang digunakan dalam menentukan indikator-indikator keberlanjutan menuju penutupan tambang berkelanjutan adalah: tingkat efektifitas, tingkat keseriusan pengaruh dan tingkat pengaruh pada keberlanjutan.
Kriteria pemilihan ‘tingkat efektifitas’ adalah untuk menentukan
apakah resiko-resiko yang muncul SaPeT nanti akan efektif untuk berpengaruh atau
menentukan
tingkat
keberlanjutan.
Kandungan
komponen
untuk
menentukan ‘tingkat keseriusan pengaruh’ didasarkan pada Faktor Penentu Dampak Penting yang mengacu pada pasal 16 UU No. 4 Tahun 1982 dan Pasal 3(2) PP No. 29 Tahun 1986, yang terdiri dari : a. Jumlah manusia yang terkena dampak; b. Luas wilayah persebaran dampak; c. Lamanya dampak berlangsung; d. Intensitas dampak; e. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak; f. Sifat akumulatif dampak; dan g. Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) pengaruh dampak tersebut.
Kriteria pemilihan
‘tingkat pengaruh pada keberlanjutan’ adalah untuk menentukan apakah resikoresiko yang muncul SaPeT akan berpengaruh mendorong atau tidak mendorong pencapaian keberlanjutan. Untuk menentukan pengaruh masing-masing atribut berdasarkan kriteria yang ada maka digunakan nilai satu (1) yang menunjukkan pengaruh rendah pada kriteria yang ada. Nilai dua (3) menunjukkan pengaruh sedang dan nilai 5 (lima) menunjukkan pengaruh tinggi dari atribut tersebut pada kriteria. Nilai angka dua (2) dan empat (4) dapat dipergunakan bila nilai dari atribut itu pengaruhnya kepada kriteria terletak masing-masing diantara nilai satu (1) ke tiga (3) dan nilai tiga (3) ke lima (5).
80
3.5.2. Teknik analisis data untuk tujuan (2) Teknik analisis yang digunakan dalam mencapai tujuan ini adalah ISM (Interpretative Structural Modelling).
Teknik ISM memberikan basis analisis
dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan dan perencanaan strategis (Marimin, 2005). Dengan demikian membangun disain sistem penutupan tambang mineral yang berkelanjutan merupakan sebuah program di dalam kajian teknik ISM ini. Menurut rujukan Saxena 1994 dalam MCA (2000),
Marimin (2005), ANZMEC dan
MCA (2005), AGDITR (2006), World Bank dan IFC (2002),
Azapagic (2004), Kempton (2003), Roseland (2005), dan ICMM (2008) serta berdasarkan hasil kajian pendapat pakar yang juga merupakan kegiatan dalam penelitian ini, disusunlah program untuk menuju penutupan tambang mineral berkelanjutan yang terbagi atas lima elemen, yakni: (1) Sektor masyarakat yang terpengaruh (2) Kebutuhan dari program (3) Kendala utama (4) Tujuan dari program (5) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan Tiap-tiap elemen itu kemudian diuraikan menjadi sub elemen-sub elemen yang merupakan faktor-faktor dari elemen yang dikaji. Sub elemen ini didalam penelitian ini, dipilih dari indikator-indikator keberlanjutan yang mempunyai skor tinggi dari hasil teknik MPE sebelumnya. Misalnya untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruh, sub elemen-sub elemen yang akan dikaji adalah dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Sub elemen sektor masyarakat yang terpengaruh No
Sub Elemen
Atribut
1
Penutupan pemasok barang dan jasa Pelayanan pendidikan dan kesehatan dari PTFI
Pemasok barang dan jasa setempat kehilangan tujuan pasarnya Pelayanan untuk kegiatan pendidikan dan kesehatan yang biasa diberikan PTFI dapat terhenti, seperti RSMM, RS Waa Banti, Asrama-asrama pelajar, dll Perlindungan dan pelestarian lingkungan di dalam dan di luar daerah operasi PTFI dapat terhenti
2
3
4
Kegiatan perlindungan dan pelestarian lingkungan di daerah operasi PTFI Kehilangan pendapatan masyarakat
Pendapatan masyarakat akan berkurang, karena para karyawan dan keluarganya meninggalkan Mimika
81
Tabel 9 (Lanjutan) 5
Dana pengembangan masyarakat terhenti
6
Permintaan tenaga kerja setempat menurun Kehilangan nilai rumah dan lahan Keadaan lingkungan meningkat membaik pada daerah yang terganggu Berkurangnya untuk pemeliharaan transportasi dan infrastuktur umum Hilangnya sumber pendapatan daerah ( PDRB terganggu) Kehilangan hak untuk mengorganisasikan
7 8
9
10
11
12
13 14
Dana pengembangan masyarakat akan terhenti, termasuk dukungan dana dan bantuan teknis kepada LSM-LSM lokal Permintaan tenaga kerja setempat akan terhenti Nilai rumah dan lahan akan menurun pada SaPeT Keadaan daerah yang terganggu membaik sebab terhentinya sumber pencemaran lingkungan dari limbah dari operasi PTFI. Transportasi dan infrastruktur umum yang saat ini dibantu PTFI akan terpengaruh Kontribusi PTFI pada PDRB Mimika akan terhenti
Lembaga-lembaga yang didirikan bersama antara pemerintah, PTFI dan masyarakat atau lembaga milik masyarakat dapat menurun kegiatannya bahkan kemungkinan bisa terhenti Kesehatan dan keamanan Kemungkinan timbulnya sisa-sisa pencemaran karena masyarakat tidak ditangani dengan tepat yang berpengaruh pada kesehatan dan keamanan masyarakat Akses masyarakat kepada Membaiknya daerah yang terganggu, masyarakat SDA pulih dapat kembali mempunyai akses ke SDA semula Kemungkinan terjadinya Konflik bisa terjadi karena masyarakat kehilangan konflik pekerjaan, rasa pengangguran, perebutan hak. Sumber: Hasil Analisis (2009)
Sub elemen ini kemudian dibuat Structural Self Interaction Matrix (SSIM) untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruh. Matrik inilah yang kemudian dimintai pendapat pakar terpilih dalam menentukan hubungan setiap sub elemen atau faktor, seperti pada Tabel 10. Hasil penilaian pakar pada SSIM diolah pada perangkat lunak ISM yang diproduksi oleh Wijaya (2004). Tabel 10. Matriks Interaksi Tunggal Terstruktur (Structural Self Interaction Matrix/SSIM) faktor-faktor penggerak kunci desain sistem penutupan tambang yang berkelanjutan untuk Elemen Sektor Masyarakat yang Terpengaruh. Elemen ke- i yang merupakan faktor penggerak keberlanjutan penutupan tambang berkelanjutan* 1 2 3 4
Elemen ke- j yang merupakan faktor penggerak keberlanjutan penutupan tambang berkelanjutan* 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14
82
Tabel 10 (Lanjutan) Elemen ke- i yang merupakan faktor penggerak keberlanjutan penutupan tambang berkelanjutan* 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Elemen ke- j yang merupakan faktor penggerak keberlanjutan penutupan tambang berkelanjutan* 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14
* Keterangan 1
Penutupan pemasok barang dan jasa
8
2
Pelayanan pendidikan dan kesehatan dari PTFI Kegiatan perlindungan dan pelestarian lingkungan di daerah operasi PTFI atau Kehilangan pendapatan masyarakat Dana pengembangan masyarakat terhenti Permintaan tenaga kerja setempat menurun Kehilangan nilai rumah dan lahan
9
3 4 5 6 7
11 12 13
Keadaan lingkungan meningkat membaik pada daerah yang terganggu Berkurangnya untuk pemeliharaan transportasi dan infrastuktur umum Hilangnya sumber pendapatan daerah ( PDRB terganggu) Kehilangan hak untuk mengorganisasikan Kesehatan dan keamanan masyarakat Akses masyarakat kepada SDA pulih
14
Kemungkinan terjadinya konflik
10
3.5.3. Teknik analisis data untuk tujuan (3) Teknik analisis data yang digunakan dalam mencapai tujuan ini ada tiga alat analisis yaitu: (a) AHP, teknik analisis ini digunakan untuk menentukan kelayakan sebuah negara yang akan dijadikan negara target patok bagi Indonesia berdasarkan kriteria yang ada dalam menuju keunggulan sebuah negara dalam penutupan tambang bekelanjutan. Karena variable yang dianalisis < 20 variabel maka perangkat lunak yang digunakan adalah Criterium Decision Plus version Student. Struktur hirarki yang dilakukan penilaian oleh pakar adalah seperti yang ditampilkan pada Gambar 8 sebelumnya.
Secara teknis pekerjaan
analisis AHP ini sama dengan yang dijelaskan pada bagian sebelumnya dalam Bab Metodologi . (b) MPE, teknik analisis ini digunakan untuk memberikan peringkat pada negara target patok duga, Australia dan Kanada dan juga Indonesia berdasarkan 83
kriteria-kriteria atau faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang yang merupakan praktek-pratek terbaik yang dikembangkan negara target patok duga. (c) Analisis kesenjangan, teknik analisis ini digunakan untuk menilai nilai kesenjangan antara nilai kriteria-kriteria atau faktor-faktor kunci keberhasilan penutupan dari tiap negara target patok duga dibandingkan dengan nilai kriteria-kriteria atau faktor-faktor penentu kunci keberhasilan penutupan dari Indonesia.
Nilai hasil teknik MPE untuk setiap kriteria atau faktor yang
digunakan dalam analisis ini.
Kriteria-kriteria atau faktor-faktor yang
mempunyai nilai kesenjangan yang tinggi hasil perbandingan nilai kreteria Indonesia dengan negara target patok duga itulah yang menjadi faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang yang perlu dikembangkan di Indonesia.
3.5.4. Teknik analisis data untuk tujuan (4) Teknik analisis data yang digunakan dalam mencapai tujuan ini adalah AHP dengan menghitung bobot faktor dan melakukan pemeringkatan terhadap bobot faktor penentu pilihan untuk menuju pentupan tambang berkelanjutan. Struktur hirarki yang dimasukan kedalam perangkat lunak adalah seperti yang pada Gambar 9 yang ditampilkan dan dibahas sebelumnya.
Perbandingan
secara berpasangan dilakukan secara verbal atau numerik (Marimin, 2004) sesuai dengan tingkat kepentingan (importance), preferenci, atau kemungkinan (likelihood) antara, aktor, aspek, kriteria, tujuan, dan alternatif yang ada. Karena variabel yang dianalisis dalam penelitian ini lebih dari 20 variabel, perangkat lunak yang digunakan adalah Expert Choice 2000. Menurut Saaty (1983) dalam Marimin (2004) mengatakan bahwa untuk berbagai persoalan skala 1 sampai 9 adalah terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 11.
Nilai perbandingan A dan B dalam tabel tersebut
adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan B dengan A. Tahap akhir dalam analisis AHP adalah penentuan prioritas yang dilakukan dengan menggunakan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) untuk setiap kriteria dan alternatif. Nilai-nilai perbandingan relatif tersebut diolah dengan
menggunakan
manipulasi
matriks
atau
melalui
penyelesaian persamaan matematik untuk menentukan tingkat relatif dari seluruh alternatif yang ada. Untuk mengetahui apakah dalam penentuan prioritas itu 84
pakar yang memberikan penilaian konsisten atau tidak digunakan cara perhitungan CR (Consistency Ratio), Bila nilai CR kurang dari 10 %, berarti penilaian pakar itu konsisten dan sebaliknya. Tabel 11. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty pada AHP (Marimin, 2004) Nilai 1 3 5 7 9 2, 4, 6, 8
Keterangan Kriteria/Alternatif A sama penting dengan Kriteria/Alternatif B A sedikit lebih penting dari B A jelas lebih penting dari B A sangat jelas lebih penting dari B A mutlak lebih penting dari B Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Apabila, pakar dalam memberikan penilaian tidak konsisten dimana nilai CR > 0,1 maka dilakukan penyesuaian sehingga nilai CR<0,1. Penyesuaian nilai CR langsung dilakukan saat memasukkan data penilaian untuk setiap pakar. Dalam melakukan penyesuaian nilai matrik dicari nilai yang dapat memperoleh nilai CR 0.09.
Penyesuaian nilai matrik ini kemudian dilakukan konfirmasi
kembali ke pakar yang bersangkutan. Setelah data nilai matrik dari masingmasing pakar telah dimasukkan, hasil akhir yang dipakai adalah tampilan diagram dan nilai prioritas pada bagian partisipan Combined.
3.5.5. Teknik analisis data untuk tujuan (5) Teknik analisis data yang digunakan dalam mencapai tujuan ini adalah pendekatan sistem atau analisis sistem dinamik, untuk merumuskan kondisi keberlanjutan saat ini, saat menjelang dan pada SaPeT PTFI dengan menggunakan perangkat lunak Powersim Constructor versi 2.5. Disamping itu analisis atau sintesis dari sistem dinamik bersama-sama dengan masukan dari hasil analisis: ISM, AHP dan analisis patok duga digunakan untuk menyusun skenario-skenario
keberlanjutan
penutupan
tambang.
Tahapan
dalam
melakukan analisis sistem dinamik adalah: analisis kebutuhan dari PPK, formulasi masalah, identisikasi sistem, simulasi sistem, dan validasi.
Analisis
kebutuhan yang dilakukan pada bagian sebelumnya juga menjadi masukan bagi analisis ini.
85
BAB IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Kebijakan Penutupan Tambang 4.1.1. Perkembangan Kebijakan Pertambangan dan Penutupan Tambang Di Indonesia Perkembangan kebijakan atau regulasi di sektor pertambangan di Indonesia sangat lambat, termasuk juga regulasi terkait dengan penutupan tambang. Peraturan perundang-undangan utama di bidang pertambangan adalah UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 1967 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto, Jendral
TNI dan Sekretaris Kabinet Ampera
Sudharmono S.H., Brig.Jen. TNI. Setelah 42 tahun kemudian, UU ini diperbarui dengan dikeluarkannya UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang disahkan pada tanggal 12 Januari 2009.
Sementara itu,
Indonesia baru mempunyai peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur penutupan tambang pada tahun 2008 atau setelah 63 tahun merdeka, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Mentri Energi dan Sumber Daya Mineral No 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang.
Melihat
perkembangan ini, sungguh sangat ironis, Indonesia yang kaya sumberdaya mineral dan batubara tidak mampu mengelola SDA ini untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai amanah UUD 1945.
Kekosongan kebijakan dan
regulasi tentang penutupan tambang inilah yang menjadi salah satu penyebab juga menurunnya investasi pertambangan di Indonesia. Walaupun demikian, berikut ini secara sistematik adalah regulasi-regulasi yang dibuat oleh pemerintah terkait dengan pertambangan dan pengelolaan lingkungan di daerah pertambangan: a. UUD 45 yang telah diamandemen pada perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat, pada pasal 33 ayat 3 dinyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Mengacu
kepada pasal itu, jelas bahwa kegiatan penutupan tambang yang juga merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan pertambangan seharusnya diorientasikan menuju sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
b. UU
No
11
tahun
1967
tentang
Ketentuan-Ketentuan
Pokok
Pertambangan. Pada pasal 30, menyebutkan bahwa “Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang Kuasa Pertambangan (KP) diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat sekitarnya”.
UU ini telah diperbaharui dengan UU No 4 tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Terkait dengan PB, di dalam UU ini dikatakan bahwa berazaskan “berkelanjutan dan berwawasan lingkungan” (BAB II, Pasal 2, Butir d)
yang diartikan
sebagai “asas yang secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi ,lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang”. Namun kegiatan penutupan tambang sama sekali tidak diatur secara jelas dan berkelanjutan. Pada pasal 99 – 101, hanya dikatakan bahwa para pemegang izin pertambangan perlu melakukan reklamasi dan pasca tambang dengan menyediakan dana jaminan reklamasi dan penutupan tambang.
Dengan demikian, penelitian ini
dihasilkan formulasi bagaimana mengintegrasikan ketiga dimensi tersebut untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat saat ini dan pada SaPeT serta setelahnya. c. UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada pasal 3 butir a, b, dan c disebutkan bahwa ”Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan ketahanan
nasional
dengan:
terwujudnya
keharmonisan
antara
lingkungan alam dan lingkungan buatan; terwujudnya keterpaduan dalam keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang”.
Dengan demikian kegiatan
penutupan tambang juga perlu dirancang juga untuk mencapai tujuan Penataan Ruang, khususnya mewujudkan ruang wilayah nasional yang berkelanjutan, perlindungan fungsi ruang, dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan.
87
d. UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada pasal 4 butir a, b, c, d, dan e. Pada butir c disebutkan bahwa “ sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan”.
Dengan demikian sebuah
penutupan tambang juga harus bertujuan sebagaimana disebutkan pada butir c itu. e. UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada BAB VII tentang Perencanaan Pembangunan Daerah, di pasal 150 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa “dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah disusn perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem
perencanaan
pembangunan
nasional”;
“
perencanaan
pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pemerintah propinsi, kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Terkait dengan regulasi ini, pemerintah Propinsi Papua dan Kabupaten Mimika memegang peranan penting dalam perencanaan penutupan tambang PTFI kelak. Peranan dan kewenangan Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota secara jelas diatur juga dalam UU No. 4 tahun 2009. f.
UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Pada pasal 14 butir c disebutkan bahwa “penerimaan
Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah”. g. KepMen PE No 1211.k/008/M.PE/1995, tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Pencemaran
Lingkungan
pada
Kegiatan
Usaha
Pertambangan Umum. Pada BAB IV tentang Pasca Tambang. Pada pasal Pasal 26 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa “ pengusaha pertambangan wajib menyampaikan laporan tertulis kepada Dirjen mengenai rencana penutupan tambang selambatnya 1 tahun sebelum operasi berakhir; “kewajiban pada ayat 1 berlaku juga bagi rencana pengembalian seluruh/ sebagian wilayah usaha pertambangan tahap eksploitasi/operasi produksi”.
Pada pasal 27 disebutkan bahwa “ dalam
laporan rencana penutupan tambang tersebut pada pasal 26 ayat 1, juga memuat tentang adanya dampak lingkungan yang perlu dikelola pada
88
pasca tambang dan pelaksanaan pengelolaan dampak lingkungan yang dimaksud. Sedangkan pada pasal 28 menyebutkan bahwa “batas waktu tanggung jawab pengusaha pertambangan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada pasca tambang ditetapkan oleh Dirjen”. Dalam KepMen ini sangatlah jelas bahwa penutupan tambang hanya diartikan dan dilaksanakan secara sempit, hanya bagaimana mengelola dampak lingkungan pada saat pasca tambang. Keberlanjutan sosial dan ekonomi secara lebih rinci tidak “diharuskan” untuk dimasukkan dalam sebuah RPT. Walaupun pada akhirnya pemerintah melalui Peraturan Mentri ESDM mengeluarkan Peraturan Mentri Nomor 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan tambang.
Namun belum dapat
dijadikan acuan yang jelas dan terukur dalam melakukan penutupan tambang yang berkelanjutan. h. PP No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Dampak Lingkungan. Pada pasal 1 dan 2 disebutkan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup seperti pengubahan bentuk lahan dan bentang alam wajib memiliki AMDAL. Sehingga rencana penutupan tambang juga telah dimasukkan dalam pembuatan AMDAL sebelum kegiatan/usaha itu dimulai. i.
PP No 75 tahun 2001 tentang Perubahan Kedua atas PP No 32 tahun 69. Pasal 46 ayat 4 disebutkan bahwa “ sebelum meninggalkan bekas wilayah KP-nya, baik karena pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang
KP
harus
terlebih
dahulu
melakukan
usaha-usaha
pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum”. j. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 18 tahun 2006 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang.
Pasal-pasal yang
mengatur penutupan tambang telah secara detil mengatur tata cara penutupan, jaminan biaya penutupan, pelaporan dan lainnya.
Namun
tidak ada pasal yang memberikan standar dan kriteria tentang tata cara untuk menciptakan keberlanjutan manfaat sosial dan ekonomi pada saat penutupan dan pasca tambang. Selain itu, sebelum peraturan ini diberlakukan
penutupan
tambang
di
Indonesia
hanya
dilakukan
berdasarkan kesepakatan PPK dalam menetapkan standar-standar,
89
indikator
kinerja
dan
kriteria-kriteria
dan
diidentifikasikan
bahwa
pemerintah lemah dalam memberikan instruksi dan pedoman-pedoman mengenai penutupan tambang dan butir-butir kriteria akhir yang menjadi tanggung jawab perusahaan.
Seperti yang terjadi pada penutupan
tambang Mt. Muro tahun 2002, Gosowong dan Kelian tahun 2004 (Cesare dan Maxwell, 2003).
Juga saat penutupan tambang Kelian
Equatorial Mining (KEM) yang selesai tahun 2004 dilaksanakan hanya berdasarkan standar-standar, indikator kinerja, dan kriteria-kriteria yang dihasilkan dari
kesepakatan semua PPK disana melalui pembentukan
Komite Pengarah Penutupan Tambang (Kunanayagam, 2006)
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat secara nyata bahwa telah terjadi kekosongan kebijakan penutupan tambang di Indonesia dalam waktu yang sangat panjang.
Apabila semua regulasi pertambangan terkait dengan
penutupan tambang seperti seperti yang diatur pada: (a) UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan pada pasal 30 yang telah diperbarui
dengan
UU
No
4
Tahun
2009,
(b)
Kep
Men
No.
1211.k/008/M.PE/1995 tentang Penanggulangan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum pada Bab IV- Pasca Tambang, (c) PP 75 tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas PP 32 tahun 1969, dan (d) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang di tentang Pelaksanaan UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dijadikan dasar kebijakan dalam melakukan kegiatan penutupan tambang belumlah memadai untuk mewujudkan penutupan tambang berkelanjutan.
Karena keberlanjutan manfaat-manfaat
sosial-ekonomi dan perlindungan lingkungan belum diatur secara jelas dan rinci. Regulasi tersebut hanyalah mengatur bagaimana melaksanakan penutupan tambang secara fisik saja. Dengan demikian dampaknya keberlanjutan yang diharapkan sesuai azas UU No 4 Tahun 2009 tidak akan dapat diwujudkan. Absennya hukum tentang penutupan tambang, berarti absennya tangggung jawab, kriteria dan standar untuk kegiatan rehabilitasi yang mesti dilaksanakan dan dikelola oleh perusahaan, pemerintah, dan masyarakat (Hoskin, 2002).
Terkait dengan
pembuatan kerangka hukum pada sektor pertambangan, Batista (2000) mengatakan bahwa pertambangan dalam kontek pembangunan berkelanjutan
90
(PB) harus memadukan kriteria keberlanjutan kedalam seluruh fase dari proyek pertambangan
mulai
dari
eksplorasi
sampai
pada
pengembangan,
pengoperasian, dan ekstraksi, penutupan dan setelah tambang berakhir. Pedoman-pedoman Berlin (the Berlin Guidelines, 1999), menyatakan bahwa jika PB adalah didefinisikan sebagai keterpaduan dari pertimbangan-pertimbangan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup, kemudian sebuah projek pertambangan yang dibangun atau dikembangkan, dioperasikan dan ditutup dalam kerangka yang dapat diterima dari sisi lingkungan hidup dan sosial maka dapat dinilai bahwa proyek itu telah berkontribusi kepada PB. Demikian pula yang dikemukakan oleh Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) bahwa absennya kebijakan penutupan tambang yang berorientasi pada PB di Indonesia dan belum selesainya RUU Mineral dan Batu Bara (MINERBA) sebagai payung hukum kegiatan pertambangan di Indonesia menjadi penyebab utama rendahnya tingkat eksplorasi pertambangan di Indonesia.
Hal ini
dikemukkan sebelum disahkan UU No. 4 Tahun 2009 itu. Sementara itu, PWC (2006) mengemukakan bahwa sampai Bulan Desember 2005, Indonesia tidak ada kemajuan baru yang signifikan terkait dengan prioritas memperbaiki kondisi investasi yang dicanangkan pemerintah tahun 2004, khususnya dalam hal menjamin keadilan dalam investasi kepemilikan asing dan ketentuan-ketentuan penutupan tambang. Dengan demikian, masalah-masalah lemahnya kebijakan atau regulasi itulah yang menjadi penyebab rendahnya investasi di sektor pertambangan dibandingkan dengan potensi cadangan tambang yang potensial di Indonesia, yang tertera pada
Gambar 10.
Bahkan belum memadainya kebijakan
penutupan tambang, telah menjadi salah satu penyebab timbulnya masalah sosial dan ekonomi bahkan politik pada saat penutupan tambang PTNMR di Sulawesi Utara pada tahun 2004. Masyarakat disana melakukan protes karena kesehatan mereka terganggu dan diisukan seperti penyakit Minamata. Bahkan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH)memperkarakan PTNMR ke pengadilan, walau akhirnya KLH kalah dalam sidang gugatannya.
Walaupun akhirnya
Peraturan Menteri ESDM No 18 Tahun 2008 dan UU No 4 Tahun 2009 telah disyahkan namun belum dapat digunakan dalam menuju penutupan tambang yang berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis patok duga (benchmarking) dengan menggunakan negara target patok duga Australia dan
91
Kanada untuk mengidentifikasikan atau menentukan faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang di kedua negara tersebut yang dikembangkan dan merupakan praktek-praktek terbaik penutupan tambang yang perlu diterapkan di Indonesia menuju keberlanjutan setelah tambang berakhir dioperasikan.
Gambar 10. Perbandingan potensi kebijakan dan potensi mineral Indonesia di antara negara-negara lain (Basri, 2007)
4.1.2. Kebijakan-Kebijakan Penutupan Tambang di Negara Lain Desakan global agar kegiatan pertambangan menerapkan prinsip-prinsip PB selama siklus hidup tambangnya makin gencar.
Lembaga-lembaga
internasional yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan pertambangan, lingkungan hidup, dan pembangunan seperti World Bank, UNEP, IISD, ICMM, MAC, dan lainnya, juga berpegang pada prinsip-prinsip PB dan mendesak
perusahaan-perusahaan
dunia
untuk
memasukkannya
dalam
kebijakan operasional perusahaan. Sebagai contoh IFC (International Finance Coorporation) dari World Bank Group, pada tanggal 30 April 2006 telah mengesahkan sebuah dokumen yang disebut sebagai “Performance Standards on Social and Environmental Sustainability” yang berisi delapan standar kinerja,
92
antara lain: sistem pengelolaan dan penilaian sosial dan lingkungan hidup, dan konservasi keragaman hayati dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Juga, GRI (2006) yang didukung oleh LSM besar dan
berpengaruh, seperti Sierra Club, Friends of the Earth, WWF (World Wildlife Fund) dan perusahaan besar mengeluarkan ‘Sustainability Reporting Guidance’ yang memuat bagaimana perusahaan menghasilkan sebuah laporan yang menggambarkan kesuksesan dalam mencapai keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. Pengaruhnya adalah pemerintah dari banyak negara penghasil tambang dan perusahaan-perusahaan tambang besar dunia menanggapinya secara positif dan mulai penerapan PB pada perumusan kebijakan pertambangan dan kegiatan bisnis mereka. Pemerintahan seperti Australia, Kanada, Afrika Selatan, Amerika Latin, Amerika Serikat dan sebagian negara-negara Eropa telah mengembangkan PB pada sektor pertambangannya. Misalnya, Australia pada tahun 1991 melalui Kelompok Kerja ‘Ecologically Sustainable Development’ merumuskan PB pada sektor pertambangannya seperti: “... memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan bahan mentah mineral untuk masyarakat (society) terpenuhi, tanpa mengorbankan kemampuan dari masyarakat yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka, atau dari lingkungan alam untuk berkelanjutan secara tidak terbatas pelayanan kualitas lingkungan hidup (seperti sistem iklim), keragaman biologi, dan integritas ekologis” Begitu juga Placer Dome Inc., perusahaan tambang Kanada ini pada tahun 1998 telah mengadopsi kebijakan berkelanjutan pada kegiatan pertambangannya (McAllister, 1999), dengan rumusan sebagai berikut: “... keberlanjutan berarti eksploirasi, desain, kontruksi, operasi, dan penutupan tambang dalam rangka menghormati dan menyikapi kebutuhan-kebutuhan sosial, lingkungan hidup dan ekonomi dari generasi saat ini dan mengantisipasi kebutuhan dari generasi yang akan datang di masyarakat dan negara-negara dimana kami berkerja. Kami berkomitmen untuk mendemontrasikan bahwa melalui kebijakan ini kami dapat berkontribusi kepada perbaikan-perbaikan jangka panjang pada kualitas hidup dan bertindak sebagai pelayan untuk lingkungan”. ESMAP, The World Bank, dan ICMM (2005) menyatakan bahwa pelingkupan instrumen-instrumen kebijakan dan hukum dapat menjadi alat-alat untuk
meningkatkan
kontribusi
dari
sektor
pertambangan
kepada
PB.
Keberlanjutan dalam sektor mineral ini termasuk promosi kegiatan-kegiatan industri
pertambangan,
penciptaan
kondisi-kondisi
yang
kondusif
untuk
93
pertumbuhan industri pertambangan dan keberlanjutan secara jangka panjang, konversi dari sumberdaya tidak terbarukan dan penghabisan-penghabisan modal sumberdaya alam kedalam keberlanjutan modal manusia, sosial dan modal keuangan.
Penutupan tambang harus menjadi bagian yang terpadu dengan
siklus hidup penambangan secara keseluruhan dan penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (PB) pada sebuah kebijakan dan perangkat hukum pertambangan telah dilakukan oleh negara-negara tambang di Afrika Selatan (ICMM, 2006). Dengan demikian jelas bahwa kebijakan dan hukum tentang penutupan tambang yang tepat akan sangat berkontribusi bagi terlaksananya PB dari sektor ini. Bila dikaitkan dari jumlah investasi (pengeluaran eksplorasi), Afrika pada tahun 2004 jumlah pengeluaran eksplorasinya adalah 16,1 % dari total pengeluaran eksplorasi dunia. Indonesia kurang dari 1,5 % dan selengkapnya untuk negara-negara lain seperti tertera pada Gambar 3 di Bab Tinjauan Pustaka.
Beberapa negara yang telah menerapkan PB pada kebijakan dan
kerangka hukum pada sektor pertambangannya seperti tampak pada Gambar 11.
Afrika Selatan adalah negara yang paling tinggi dalam menerapkan
kebijakan, kerangka hukum, dan regulasi lain yang relevan untuk mencapai PB dibandingkan empat negara lainnya yang disurvei, yakni: Zimbabwe, Tanzania, Namibia, dan Botswana. Hasil penelitian yang dilakukan oleh ketiga lembaga itu juga menyebutkan bahwa kerangka kebijakan dan hukum supaya bekerja mendukung PB, perlu juga
dilengkapi oleh peraturan perundang-undangan yang lain yang terkait
dengan penyediaan-penyediaan: persyaratan dari penyediaan pelayananpelayanan,
keadilan lapangan pekerjaan, pelatihan dan pengembangan
keterampilan-keterampilan, dan terkait dengan beberapa instrumen yang tercipta untuk mempromosikan pertumbuhan sosial dan ekonomi pada tingkat lokal dan regional.
Sebagai contoh, Afrika Selatan dalam peraturan pertambangannya
yang dibuat tahun 2002, yakni: ‘Mining and Petroleum Resources Development Act” mengakui kebutuhan pemerintah: “Untuk mempromosikan pembangunan daerah dan pedesaan dan peningkatan sosial dari masyarakat yang terkena dampak dari tambang” Tujuan utama adalah memastikan bahwa para pemegang hak pertambangan dan produksi berkontribusi pada pembangunan sosialekonomi di daerah dimana mereka beroperasi”
94
Kebijakan Pertambangan (%)
Hukum Pertambangan (%)
Regulasi Lain Terkait (%)
Persentase Pencakupan
Gambar 11. Tingkat penerapan PB pada kerangka hukum dan kebijakansektor pertambangan di beberapa negara (ESMAP et al., 2005). Tanpa sebuah kerangka hukum yang baik untuk penutupan tambang, perusahaan tambang tidak mengetahui kewajiban-kewajiban dan kesanggupan tanggung jawab mereka yang akan datang, dan masyarakat tidak mengetahui hak atau tanggung jawab-tanggung jawabnya. Kekosongan (absence) sebuah kerangka hukum yang komprehensif untuk penutupan tambang dapat juga menyebabkan ketidakefisienan dan kebingungan diantara menteri-menteri dan bagian-bagian pemerintah di tingkat pusat, regional dan daerah (World Bank dan IFC, 2002). Terkait
adanya
perbedaan
pendekatan
penutupan
tambang
yang
dilaksanakan oleh negara maju dan berkembang pada saat ini. Kunanayagam (2006) mengatakan bahwa di negara maju penutupan dilakukan sesuai pendekatan penutupan tambang yang diatur dalam regulasi yang berlaku, sedangkan di negara berkembang regulasi penutupan tambang belum ada. Sebagai contoh di Indonesia, Brasil, Afrika Selatan dan Namibia regulasi tentang penutupan tambang hanya sebatas tahap embrio dan persyaratan dari pemerintah harus kadangkala dinegosiasikan sebelum menyelesaikan rencana penutupan tambang).
Singam et al. (2006) juga menginformasikan bahwa
sampai saat ini di India tidak pedoman penutupan tambang yang ilmiah.
95
Bentuk pemerintahan juga akan mempengaruhi bagaimana seharusnya sebuah kebijakan, termasuk regulasi dalam penutupan tambang itu disusun. Untuk itu World Bank dan IFC (2002) menyatakan bahwa pada negara-negara dengan sistem federal, seperti Amerika, Kanada, Australia, Brasil, dan Argentina, atau pada negara-negara yang mempertimbangkan kewenangan desentralisasi, seperti Indonesia, regim regulasi perlu untuk menetapkan secara jelas batas-batas antara kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan daerah. Hal ini diperlukan untuk menentukan garis kewenangan dan tanggungjawab melakukan pemantauan pada saat tahap penutupan selesai. AGDITR (2006) menyatakan bahwa sebuah penutupan atau penyelesaian tambang akan menetapkan aspirasi dan arahan tingkat tinggi yang diperlukan oleh perusahaan untuk penutupan tambang. Biasanya, kebijakan ini memuat tentang proses penutupan, keterlibatan PPK (stakeholders), minimalisasi resiko terhadap lingkungan, memenuhi persyaratan peraturan, aspirasi sosial dan masyarakat, serta upaya penyempurnaan yang berkesinambungan. World Bank dan IFC (2002) juga merumuskan bahwa sebuah kerangka hukum dan peraturan untuk penutupan tambang harus memenuhi:
Menjelaskan isu-isu terkait dengan rencana penutupan sebagai bagian dari proses persetujuan.
Menentukan prosedur-prosedur penutupan tambang, persyaratan dan standar-standar
lingkungan
hidup,
dan
tanggung
jawab
dan
kewenangan institusi, termasuk: o
Persyaratan-persyaratan
dan
prosedur
untuk
memastikan
konsultasi yang efektif dan bermanfaat terselenggara dengan masyarakat setempat sebagai bagian dari persiapan dan perencanaan penutupan tambang. o
Tanggung jawab pada pemantauan dan pengelolaan yang sedang berlangsung jika kewajiban-kewajiban
lingkungan
diberlakukan.
Mensyaratkan memperbaharui secara teratur rencana penutupan tambang selama masa hidup tambang
Mengalokasikan tanggung jawab-tanggung jawab untuk menyediakan keuangan yang cukup dalam menutupi biaya-biaya penutupan.
Bagaimana Indonesia?
Sebenarnya di Indonesia telah diberlakukan
perlunya menyusun rencana penutupan tambang pada saat membuat AMDAL.
96
Ketentuan rinci seperti di atas di Indonesia telah dirumuskan sebelumnya seperti yang dilaporkan oleh Cesare dan Maxwell (2003) bahwa telah dibentuk konsorsium dari perusahaan tambang dalam bentuk Komite Pengendali Penutupan Tambang Industri (the Industry Mine Closure Steering Committee) yang bermitra dengan Departemen Sumber Daya Energi dan Mineral untuk menyusun kebijakan tentang tambang.
Tim ini berhasil menyusun sebuah
pedoman penutupan tambang yang lebih rinci dengan memfokuskan pada aspek-aspek kunci: keterlibatan PPK (stakeholders), perencanaan, penyediaan keuangan, pelaksanaan, standar-standar kriteria rancangan penutupan dan penyerahan (relinquishment).
Dalam perkembangannya pedoman tersebut
sampai pada bulan Mei 2003 baru berbentuk usulan konsep dengan yang diberi nama “Reklamasi Dan Penutupan Tambang”, namun hingga tahun 2007 tidak kunjung disahkan dan diberlakukan. Akibat dari kekosongan regulasi ini, kasus seperti saat penutupan tambang Kelian Equatorial Mining (KEM) pada tahun 2004 seharusnya tidak terjadi.
Karena ketidak adaan regulasi penutupan
tambang, KEM membentuk Komite Pengarah Penutupan Tambang (Mine Closure Steering Committee) yang terdiri dari unsur pemerintah pusat, provinsi dan daerah, masyarakat setempat, dan wakil perusahaan. Komite inilah yang menetapkan standar-standar, indikator kinerja, dan kriteria yang diperlukan untuk pelaksanaan penutupan tambang perusahaan itu (Kunanayagam, 2006). Di negara seperti Australia, semua negara bagian dan daerah (Territory) mempunyai
kebijakan
pembangunan
tempat
penutupan
tambang
dimana
operasi-pasca–rehabilitasi
rencana-rencana
tambang
dari
setiap
perusahaan tambang diperlukan persetujuan dari lembaga pertambangan yang relevan (World Bank dan IFC 2002). Australia juga memberlakukan bahwa isuisu penutupan tambang adalah sebuah pertimbangan penting saat melakukan penilaian terhadap usulan penambangan. tambang
harus
dimasukkan
dalam
Di Indonesia kegiatan penutupan
dokumen
AMDAL
sebagai
syarat
penambangan. Di negara bagian California, Amerika Serikat, ada sejumlah lembagalembaga yang berbeda yang mengadministrasi hukum-hukum dan regulasiregulasi mereka yang berlaku untuk penutupan tambang.
Dua hal penting
adalah lembaga-lembaga lokal yang mengontrol penggunaan lahan, sedangkan lembaga dari negara bagian yang bertanggung jawab untuk perlindungan kualitas air.
Hukum-hukum penggunaan lahan mengatur penggunaan lahan
97
pasca tambang dan memastikan bahwa topografi akhir, drainase, penanaman kembali tanaman (revegetation), dan lainnya adalah sesuai untuk mendukung penggunaan lahan pasca tambang (IIED dan WBCSD, 2002). Kanada lebih maju lagi dalam menyikapi PB di sektor pertambangannya. Shinya (1998) melaporkan bahwa Kanada mempersiapkan untuk memasuki abad ke- 21 di sektor pertambangannya dengan mengeluarkan sebuah kebijakan baru pada bulan Nopember 1996 yang berjudul: Kebijakan Mineral dan Metal Pemerintah Canada: Kemitraan untuk Pembangunan Berkelanjutan ( The Minerals and Metals Policy of the Government of Canada: Partnerships for Sustainable Development). penutupan
tambang
Dalam kebijakan itu juga dikemukakan bahwa
harus
merupakan
bagian
terpadu
dari
proses
pembangunan tambang, penyediaan biaya untuk penutupan tambang diletakkan pada prioritas yang sama yang diberikan saat memulai investasi tambang, dan pemerintah dan industri bekerja sama untuk memastikan bahwa mekanisme yang efisien telah dikembangkan untuk tanggung jawab keuangan pelaksanaan penutupan.
4.2. Gambaran Umum Kabupaten Mimika Kabupaten Mimika dalam penelitian ini merupakan salah satu kabupaten dalam Provinsi Papua dan termasuk bagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah kerja operasi PTFI terletak di dalam wilayah kabupaten ini. Kabupaten Mimika beribukota di Timika, memiliki luas wilayah sebesar 20.039 km2 atau 4,75 % dari luas wilayah Provinsi Papua. o
o
Secara geografis Kabupaten Mimika terletak antara 134 31’ - 138 31’ o
o
Bujur Timur dan 4 60’- 5 18’ Lintang Selatan, dengan batas-batas fisik sebagai berikut: Batas Utara
: Wilayah Kabupaten Paniai, Nabire, dan Tolikara
Batas Timur
: Wilayah Kabupaten Asmat dan Yahokimo
Batas Selatan : Laut Arafuru Batas Barat
: Kabupaten Kaimana
Sebelum tahun 1996, wilayah yang dikenal dengan nama Mimika ini dibawah Pemerintahan Pembantu Bupati Fak-Fak wilayah Mimika, sebag ai bagian wilayah Kabupaten Fak-Fak. Pada tanggal 13 Agustus 1996, wilayah ini ditetapkan sebagai
Kabupaten Administratif Mimika dengan dipimpin Pejabat
Bupati Kabupaten Administratif.
Pada tanggal 18 Maret 2000 kabupaten ini
98
ditetapkan sebagai Kabupaten Definitif, dengan dinas-dinas dan lembagalembaga teknis daerah serta telah mempunyai
anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Kabupaten Mimika saat ini memiliki 12 distrik (setingkat kecamatan) yang terdiri dari enam kelurahan dan 78 kampung atau desa yang tersebar di dataran rendah sampai dataran tinggi. Sembilan distrik yang terletak di dataran rendah adalah Mimika Barat, Mimika Barat Tengah, Mimika Barat Jauh, Mimika Timur, Mimika Timur Tengah, Mimika Timur Jauh, Mimika Baru, Kuala Kencana, dan Jita.. Sedangkan, tiga distrik yang terletak di dataran tinggi, yaitu Tembagapura, Agimuga, dan Jila (Bappeda dan BPS Kab. Mimika, 2005). Tembagapura inilah terletak daerah penambangan PTFI.
Di Distrik
Daerah kerja PTFI
terletak meliputi wilayah dari daerah dataran tinggi dan dataran rendah sampai daerah pisisir pantai. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Peta wilayah penelitihan di Kabupaten Mimika, Provisi Papua.
99
4.2.1. Kondisi Fisik Alam
Fisiografi Dari aspek fisiografi, wilayah Kabupaten Mimika mempunyai daerah mulai dari daerah pantai sampai pegunungan. Sebagian dari pegunungan Jayawijaya dengan puncaknya yang mempunyai salju abadi masuk dalam wilayah Kabupaten Mimika. Berdasarkan topografinya maka wilayahnya dapat dibagi menjadi lima daerah (zone), yaitu: daerah dataran rendah atau low land zone (0 – 650 mdpl) yang terdiri: pantai, rawa pasang surut, rawa gambut, tanah aluvial, dan dataran yang berteras-teras, daerah pegunungan atau montane zone (650 – 3.200 mdpl), daerah bagian rendah dari pegunungan tinggi atau sub alpine zone (3.200 - 4.170 mdpl), daerah pegunungan tinggi atau alpine zone (4.170 – 4.585 mdpl), dan daerah nival atau nival zone (diatas 4.585 mdpl). Berdasarkan luas wilayah setiap distrik, luas wilayah daerah dataran rendah yang meliputi sembilan distrik adalah seluas 78,83 % luas total wilayah Kabupaten Mimika. Sedangkan luas wilayah dataran tinggi, yang terdiri dari tiga distrik adalah seluas 21,17 % dari luas total Kabupaten Mimika (Bappeda dan BPS Kab. Mimika, 2005). Wilayah kerja PTFI juga meliputi daerah-daerah yang mewakili pembagian keempat daerah itu, kecuali daerah nival. Hidrologi Secara hidrologi, Kabupatem Mimika terdiri atas beberapa daerah aliran sungai (DAS) dan ada empat DAS utama yang sangat dikenal
yaitu:
DAS
Kamora di sebelah Barat, DAS Ajkwa di tengah , dan DAS Minajerwi dan DAS Mawati terletak disebelah Timur, bila Kota Timika dijadikan sebagai titik pusat. DAS tersebut terletak pada bentang alam mulai pegunungan sampai dataran rawa, dataran kipas aluvial dan kipas aluvial. Disamping satuan wilayah sungai (SWS) atau DAS itu ada beberapa SWS yang berukuran sedang sampai kecil. Sungai-sungai ini bermuara di pantai Laut Arafura. . Kuantitas
DAS
berdasarkan
hasil
perhitungan
empirik
dengan
memperhatikan daerah tangkapan, intensitas hujan, evapotranpirasi, tanah penutup, kemiringan lereng, dan koefisien aliran permukaan maka volume air larikan pertahunnya yang masuk ke DAS Kamora adalah sebesar 3.999 milyar m3 (RDTR DAS KAMM, 1996).
100
Karakteristik fisik sungai-sungai pada bagian pegunungan membentuk pola pengaliran yang menganyam (dendritik). Di bagian tengah yang menempati bentang alam daratan, umumnya menunjukkan pola pengairan semi menganyam (semi-dendritik) hingga sejajar dengan di beberapa sungai utama membentuk kelokan.
Pada bagian hulu (Utara) sungai tersebut umumnya kecil dan dalam
dengan lembah sungai berbentuk V berarus sedang, di beberapa tempat dijumpai jeram-jeram dan semakin ke hilir (Selatan) dimensi sungai melebar dan relatif dangkai. Lebar sungai di bagian hilir berkisar dari 100 – 150 m dengan kedalaman pada musim kemarau 3- 6 m, sedangkan pada waktu musim hujan antara 5 – 8 m. (Pemerintah Kabupaten Mimika, 2002).
Kandungan sedimen
yang terdapat pada sungai-sungai utama itu umumnya masih rendah kecuali Sungai Ajkwa sebelum dipisahkan dari sistem sungai yang dipergunakan untuk transportasi tailing. PTFI menggunakan sistem Sungai Aghawagon dan Sungai Otomona untuk mengangkut tailingnya kesebuah daerah pengendapan yang terletak di dataran rendah yang dinamakan ModADA (Modified Ajkwa Deposition Area). Sedimen di kedua sungai itu lebih tinggi di bandingkan sungai-sungai lainnya, karena kandungan dari tailing pada alirannya. Luas daerah pengendapan ini adalah sebesar 230 km2, yang direncanakan mampu menampung tailing sampai akhir masa penambangan.
Geologi Secara geologi, batuan yang umumnya menyusun wilayah Kabupaten Mimika termasuk batuan tua di Indonesia, yaitu batuan sedimen dan batuhan ubahan yang berumur Precambrium (kira-kira 667 juta tahun) hingga Recen. Bantuan sedimen dan ubahan ini menempati bentang alam pegunungan yang relatif memanjang dari Barat ke Timur, umumnya telah mengalami deformasi melalui pelipatan, pengangkatan dan patahan, terdiri atas: batu gamping, batu pasir, batu pasir kuarsa, batu lumpur, kwarsit, argilit, batu sabak, batu tanduk, dan setempat batuan-batuan ini diterobos oleh batuan diorit. Sifat fisik satuan batuan yang menyusun Wilayah Kabupaten Mimika pada umumnya, adalah sebagai berikut: a) satuan batuan sedimen dan batuan ubahan;b) satuan batuan terobosan diorit (proses mineralisasi batuan ini ditemui di wilayah penambangan PTFI, di Gunung Bijih (Ertsberg) dan Grasberg; c) endapan fankonglomerat; d) endapan pasir, e) pasir lempungan, dan kerikil-
101
kerakal; f) endapan pasir lanuan, lempung pasiran, dan gambut; g) endapan lumpur, lanau, dan gambut; endapan pasir dan pasir lempungan; h) endapan aluvium sungai; dan i) endapan sedimen tailing (material sisa penambangan yang terangkut aliran sungai dengan butiran halus hingga kasar bahkan kerikilan). Berdasarkan satuan wilayah geologi lingkungan, wilayah Kabupaten Mimika dapat diuraikan sebagai berikut: a) wilayah daratan aluvial sungai, wilayah ini menempati DAS utama dan merupakan daerah limbah banjir yang batuan penyusunnya merupakan endapan hasil deformasi bantuan induk yang terangkut dan diendapkan oleh arus sungai; b) wilayah daratan sedimen tailing, wilayah ini merupakan daratan di dataran rendah yang merupakan daerah pengendapan tailing; c) wilayah daratan pantai, wilayah ini menempati bentang alam daratan pantai dengan kemiringan lapangan < 2 %; d) wilayah daratan rawa bakau estuarium, wilayah ini menempati bentang alam rawa bakau estuarium yang mempunyai kemiringan lapangan < 2 %, dengan elevasi mencapai 3 m di atas muka laut; e) wilayah dataran rendah berawa, wilayah ini menempati bentang alam dataran rendah rawa yang mempunyai kemiringan lapangan < 2 %, dengan elevasi dari 3 hingga 20 m di atas muka laut; f) wilayah dataran aluvium, wilayah ini menempati bentang dataran aluvial yang mempunyai kemiringan lapangan berkisar dari 2 % hingga 8 %, dengan elevasi mencapai hingga 100 m di atas muka laut; g) wilayah kipas aluvial, wilayah ini menempati bentang alam kipas aluvial dengan relief permukaan yang bergelombang hingga landai dengan kemiringan lereng bervariasi dari 2 % hingga 15 % dan elevasi dari 50 m hingga 300 m di atas muka laut; dan h) wilayah pegunungan, wilayah ini menempati bentang alam pegunungan yang mempunyai kemiringan lereng umumnya terjal berkisar antara 15 % hingga 50 % atau lebih sampai hampir tegak dengan elevasi 250 hingga 5.000 m di atas muka laut.
Keadaan Tanah Tanah di wilayah Kabupaten Mimika sebagian besar berkembang dari batuan sedimen aluvium undak terumbu koral (di bagian Tengah dan Selatan) dan sebagian kecil terdiri dari batuan sedimen yura (bagian Utara). Jenis tanah di wilayah kabupaten ini, umumnya terdiri dari: Aluvial (45 %), Litosol (23 %), Mediteran (2 %), Organosol (30 %), Podsolik (0,14 %), dan Regosol (0,78 %). Tanah aluvial terdapat pada bagian Tengah wilayah kabupaten ini yang
102
merupakan hutan rawa. Tanah aluvial yang berasosiasi dengan gambut terdapat pada bagian Selatan yang merupakan hutan payau. Tanah litosol terdapat di bagian Utara yang merupakan wilayah pegunungan dengan lereng terjal. Tanah podsolik, mediteran, dan organosol terdapat pada bagian Tengah, sedangkan tanah regosol dijumpai di pesisir pantai selatan dengan luasan yang sempit. Sifat kimia tanah menentukan tingkat kesuburan suatu tanah. Berikut ini adalah uraian singkat sifat-sifat kimia tanah di wilayah Kabupaten Mimika: a) reaksi tanah (pH) dan kejenuhan aluminium. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa reaksi tanah di wilayah ini umumnya masam sampai agak alkalis, sedangkan kejenuhan Al tergolong sedang sampai sangat rendah; b) C-organik dan N-total. Tanah aluvial yang berasosiasi dengan gambut memiliki kandungan C-organisk yang tergolong tinggi, sedangkan tanah regosol, aluvial, dan podsolik tergolong rendah sampai sangat rendah.
Kandungan N-total tergolong sedang
pada tanah aluvial yang berasosiasi dengan gambut dan tergolong rendah sampai sangat rendah pada jenis tanah lainnya; c) fospor (P) dan kalium (K). Kandungan P pada tanah-tanah di wilayah kabupaten ini umumnya tergolong sangat tinggi sampai sangat rendah. Kandungan K hanya mempunyai kisaran nilai sedang sampai rendah; d) kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB). Nilai KTK tanah di wilayah kabupaten ini umumnya tergolong sedang sampai sangat rendah, sedangkan KB tergolong sangat tinggi hingga sangat rendah.
Nilai KTK dan KB yang menunjukan banyaknya kation-kation yang
diserap dan tersedia bagi tanaman; e) basa-basa dapat ditukar (Ca, Mg, K, dan Na). Kandungan Ca tanah-tanah di wilayah kabupaten ini umumnya tergolong tinggi, sedang, rendah, sampai sangat rendah. Kadar Mg bervariasi dari sangat tinggi hingga sangat rendah. Kadar K tergolong rendah dan sangat rendah, sedangkan kadar Na juga tergolong rendah dan sangat rendah.
Berdasarkan
uraian di atas, tingkat kesuburan tanah-tanah di wilayah Kabupaten Mimika tergolong rendah dilihat dari nilai-nilai KTK, KB, P2O5, K2O, dan kandungan bahan organik. Sifat fisik tanah yang antara lain diperlihatkan oleh tekstur tanah menunjukkan bahwa pada umumnya tekstur tanah di wilayah kabupaten ini adalah liat, lempung berliat, lempung berpasir, lempung liat berdebu, pasir berlempung, lempung berdebu, dan pasir berlempung (Pemerintah Kabupaten Mimika, 2002).
103
Penggunaan Lahan Penggunaan lahan bersifat dinamis, artinya berubah-ubah dari waktu ke waktu, seiring dengan pemanfaatan oleh manusia.
Dua kelompok utama
penggunaan lahan dari hasil interpretasi citra landsat Maret 2002 di wilayah Kabupaten Mimika adalah penggunaan lahan budidaya dan non budidaya. Secara rinci penggunaan lahan pada tahun 2002 adalah sebagai berikut: pertambangan, permukiman, pengendapan tailing, hutan, rawa, dan rawa payau (Pemerintah Kabupaten Mimika, 2002). Menurut Bappeda dan BPS Kabupaten Mimika (2005) jenis penggunaan lahan bukan sawah di tahun 2005, secara rinci adalah sebagai berikut: perumahan/ kampung 29.397 ha, jasa/perkantoran 517 ha, tegalan/ladang 14.579 ha, perkebunan 1.475 ha, perternakan 2,25 ha, perikanan 1,15 ha dan penggunaan lahan lain-lain seluas 1.948.843 ha.
Iklim Iklim di Kabupaten Mimika termasuk tipe A menurut Schmit dan Ferguson. Rata-rata suhu udara minimum selama tahun 2005 sebesar 21,96 0C dan maksimum 33,74 0C.
Tekanan udara minimum pada tahun yang sama
adalah sebesar 1.005,52 Mbs dan maksimum 1.015,42 Mbs. Kelembaban ratarata di Kabupaten Mimika pada tahun 2005 sebesar 88,67 % dengan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Juli. Curah hujan tertinggi pada tahun 2005 terjadi bulan Juli sebesar 838 mm dan terendah terjadi pada bulan Februari sebesar 192 mm. Secara lengkap data iklim pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 12.
4.2. 2. Kependudukan dan Sosial Kependudukan Perkembangan Kabupaten Mimika juga tidak dapat dilepaskan dari keberadaan PTFI, perusahaan tambang tembaga dan emas yang diberikan kepercayaan oleh pemerintah Indonesia melakukan eksplorasi mineral tambang melalui dua kontrak karya yang ditandatangani pada tahun 1967 dan tahun 1991. Jumlah penduduk Kabupaten Mimika mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 jumlah penduduk mencapai 101.036 jiwa dan pada tahun 2005 mencapai 126.430 jiwa atau peningkatannya setara 4,58 % dalam
104
waktu lima tahun. Namun dua tahun kemudian, pada tahun 2007 penduduk kabupaten ini telah mencapai 155.528 jiwa atau meningkat 4,23 %. Tabel 12. Rata-rata curah hujan, hari hujan, kelembaban udara, kecepatan angin, tekanan udara, dan suhu udara minimum dan maksimum di Kabupaten Mimika pada tahun 2005. Bulan
Curah Hujan
Hari Hujan
Kelembaban Udara
Kecepatan Angin
(mm)
(hari)
(%)
(knot)
Tekanan Udara Min Mak Mutlak Mutlak (Mbs)
(Mbs)
Suhu Udara Min Mak Mutlak Mutlak 0
( C)
0
( C)
Januari Februari
214 192
20 21
84 86
9 9
1003,8 1004,2
1015.3 1015,7
22,1 22,5
34,6 34,8
Maret
471
28
87
9
1004,5
1017,5
22,7
35,0
April Mei
509 447
27 29
89 90
9 11
1005,4 1006,2
1015,0 1014,8
22,0 22,3
34,2 33,8
Juni Juli
767 838
28 31
91 92
8 8
1007,3 1007,7
1015,1 1015,7
22,0 21,6
32,4 31,6
Agustus September Oktober Nopember Desember
686 658 469 347 444
29 29 30 27 29
91 90 89 86 89
8 8 7 8 6
1006,9 1006,9 1006,0 1004,4 1003,0
1016,9 1016,1 1014,9 1013,9 1014,1
21,4 21,0 22,4 21,2 22,4
31,2 33,4 34,4 34,8 34,8
Sumber: Bappeda dan BPS Kabupaten Mimika (2005).
Proyeksi penduduk yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk dan laju pertambahan penduduk di Kabupaten Mimika pada tahun 2007, menunjukkan bahwa jumlah penduduk pada tahun 2041 pada SaPeT PTFI adalah sebesar 636.153 jiwa.
Secara rinci proyeksi penduduk di wilayah ini setiap 10 tahun
kedepan mulai tahun 2007 dan beberapa distrik contoh seperti: Mimika Barat Jauh, Mimika Baru, Kuala Kencana, Tembagapura, dan Agumuga dapat dilihat pada Tabel 13. Persebaran dan kepadatan penduduk antar distrik atau kecamatan di Kabupaten Mimika tidak merata.
Hasil sensus tahun 2006/2007, tingkat
kepadatan penduduk di daerah perkotaan jauh lebih tingggi jika dibandingkan dengan kepadatan penduduk yang tinggal jauh dari ibu kota kabupaten. Misalnya di Distrik Mimika Baru, tempat Ibu Kota Timika berada, mempunyai kepadatan penduduk sebesar 41,09 jiwa/km2. Juga di Distrik Kuala Kencana, tempat karyawan PTFI berada mempunyai kepadatan penduduk 38,97 jiwa/km2. Distrik yang terjauh dari ibu kota kabupaten,
105
Mimika Barat Jauh hanya mempunyai kepadatan penduduk 0,52 jiwa/km2 dan disisi Timur yakni Distrik Agimuga dengan kepadatan penduduk 0,32 jiwa/km2. Tabel 13. Proyeksi penduduk Kabupaten Mimika dan beberapa distrik contoh tahun 2007 – 2041 Laju Kabupaten/ Distrik contoh
Pertumbuhan (%)
Mimika (seluruhnya) Mimika Barat Jauh Mimika Baru Kuala Kencana Tembagapura Agimuga Distrik Lainnya (7)
4,23 4,23 4,23 4,23 4,23 4,23 4,23
Jumlah
Proyeksi Jumlah Penduduk (Jiwa)
Penduduk Tahun 2007 (Jiwa) 155.528 1.732 91.051 19.913 17.215 566 25.051
2017
2027
2037
2041
235.362 2.621 137.788 30.135 26.052 857 37.910
356.175 3.966 208.516 45.603 39.424 1.296 57.369
539.002 6.002 315.549 69.011 59.661 1.962 86.817
636.153 7.084 372.424 81.450 70.414 2.315 102.466
Sumber: Hasil Analisis (2008)
Bila dirata-ratakan, maka kepadatan penduduk Kabupaten Mimika dengan 12 distrik adalah 9,40 jiwa/km2. Tingkat kepadatan penduduk ini masih tergolong rendah di bandingkan wilayah lain di Indonesia. Proyeksi kepadatan penduduk Kabupaten Mimika pada SaPeT PTFI di tahun 2041 jika luas wilayah kabupaten tidak bertambah adalah 31,50 jiwa/km2. Bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk di Pula Jawa pada tahun 2000 adalah 975 jiwa/km2 . Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi pada tahun yang sama masing-masing adalah 93, 21, dan 80 jiwa/km2 (BPS, 2002). Arus migrasi ke Kabupaten Mimika dalam lima tahun terakhir sangat tinggi, itupun tidak hanya terjadi di distrik-distrik utama saja. Namun terjadi di 12 distrik yang ada. Distrik Mimika Timur, Mimika Timur Jauh, Mimika Baru, Kuala Kencana, dan Distrik Tembaga memiliki tingkat migrasi yang tinggi dengan kisaran 0,06 – 32,04 persen.
Sosial budaya Keragaman suku di Kabupaten ini sangatlah unik. Suku asli di wilayah ini adalah Suku Amungme yang berasal dari daerah pegunungan dan Suku Kamoro yang berasal dari daerah pantai.
Disamping itu wilayah ini juga kedatangan
suku-suku dari daerah kabupaten tetangga dekat seperti Suku Dani, Nduga, Ekari, Damal, dan Moni. Kelima suku ini biasa disebut sebagai kekerabatan
106
suku. Adanya PTFI juga mendorong daerah ini dibanjiri suku-suku tetangga dekat juga suku-suku di Papua yang berasal dari Biak, Serui, Jayapura, Manokwari dan lainnya. Sampai juga kedatangan suku-suku dari luar Papua, seperti dari: Jawa, Bali, Sumatra dan lainnya Bahkan juga dari manca negara yang sebagian besar sebagai pekerja di PTFI atau berhubungan bisnis dengan perusahaan itu. Ada dua lembaga masyarakat yang diakui oleh masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Mimika, yakni Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (Lemasa) dan Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (Lemasko). Kedua lembaga adat inilah yang mempunyai kekuatan utama sebagai para pemangku kepentingan (PPK) atau stakeholder di wilayah kabupaten ini. Mereka dapat berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan dan penyelesaian masalah yang dihadapi oleh pemerintah, perusahan-perusahan yang beroperasi di daerah Mimika dan masyarakat sekitarnya. Masing-masing lembaga ini dipimpin oleh seorang Direktur Eksekutif yang dilengkapi oleh pejabat pada bidang-bidang, seperti: ekonomi, sosial dan budaya, dan lainnya. Hasil Sensus Penduduk Kabupaten Mimika 2006/2007, memperlihatkan bahwa komposisi masyarakat Mimika non Papua adalah 54,84 %, ini lebih banyak jika dibandingkan jumlah masyarakat Papua itu sendiri, yakni hanya 48,18 %. Tiga agama mayoritas yang dianut oleh penduduk di Kabupaten Mimika ini, yakni agama Protestan (41,74 %) yang merupakan mayoritas pertama diikuti oleh agama Islam (33,04 %) dan agama Katolik (25,01).
Penganut agama
lainnya seperti agama Hindu (0,12 %), agama Budha (0,07 %), dan agama Khong hu Chu (0,01 %).
Struktur mata pencaharian Mata pencaharian penduduk di Kabupaten Mimika cukup beragam. Pertambangan merupakan mata pencaharian utama penduduk Mimika yakni sebanyak 18.967 orang (28,60%), kemudian diikuti oleh penduduk dengan mata pencaharian sebagai petani sebanyak 18.220 orang (27,47 %) dan di bidang perdagangan sebanyak 3.810 orang (5,74 %). Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14.
107
Tabel 14. Jenis mata pencaharian di Kabupaten Mimika antara laki-laki dan perempuan. Mata Pencaharian
Laki-Laki
Perempuan
Total
Persentase
13.884 100 2.163 489 2.700 2.893 4.270 18.746 1.327 2.507 4.713 3.044 56.836
4.336 27 869 31 38 917 44 221 599 16 1.415 970 9.483
18.220 127 3.032 520 2.738 3.810 4.314 18.967 1.926 2.523 6.128 4.014 66.319
27,47 0,19 4,57 0,78 4,13 5,74 6,50 28,60 2,90 3,80 9,24 6,05 100
Petani Peternak Nelayan Industri Kontruksi Perdagangan Transportasi Pertambangan Pegawai Negri Sipil TNI/Polri Jasa Lainnya Lainnya Jumlah Diolah dari BPS Kabupaten Mimika (2007).
Pendidikan Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator kemajuan suatu wilayah dan juga komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang diukur dari lamanya sekolah dan angka melek huruf.
Pendidikan memegang peranan
penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Penduduk Kabupaten Mimika berdasarkan pendidikan yang ditamatkan, pada umumnya cukup baik.
Pada tahun 2007, sebanyak 5,11 % penduduk
Kabupaten Mimika yang tamat perguruan tinggi (PT), tamat SLTA 33,04 %, tamat SLTP 15,79 %, tamat SD 21,96 %, dan tidak tamat sebesar 24,10 %. Pada Tabel 15 terlihat bahwa Distrik Mimika baru yang merupakan distrik ibu kota kabupaten jumlah SD dan SLTP yang lebih banyak dibandingkan dengan distrik lainnya yang mempunyai luas wilayah yang lebih luas.
Mimika Barat
merupakan sekolah dengan jarak terjauh yang dapat dijangkau bila di kampung tidak ada sekolah. Angka melek huruf Latin di wilayah ini tinggi berkisar antara 78,23 – 98,86 %. Bahkan ada tujuh distrik yang mempunyai angka melek huruf di atas 90 %, yakni: Distrik Mimika Barat, Tembagapuran, Jila, Jita, Mimika Baru, Mimika Timur Jauh, dan Kuala Kencana.
Tingginya angka melek huruf di distrik itu tidak
diperngaruhi oleh jauh atau dekatnya dengan ibu kota kabupaten.
108
Tabel 15. Karakteristik distrik, jumlah anak usia pendidikan dasar dan fasilitas pendidikan di Kabupaten Mimika pada tahun 2007.
Distrik
Mimika Barat Mimika Barat Jauh Mimika Barat Tengah Mimika Timur Mimika Timur Tengah Mimika Timur Jauh Mimika Baru Kuala Kencana Tembagapura Agimuga Jila Jita Jumlah
Luas Wilayah 2 (km )
Jumlah Kampung
10 5 9 8 5 5 11 7 8 4 8 5 85
2.914 2.356 3.315 1.789 726 1.049 2.216 511 1.280 1.772 1.097 1.014 20.039
Jumlah Anak Usia
Jumlah
Sekolah
Sekolah
7 - 12 Tahun 502 245 277 1.250 386 375 10.921 2.857 964 66 533 215 18.591
13 - 15 Tahun 253 110 126 422 143 150 3.803 1.017 335 55 206 105 6.725
SD
SLTP
3 4 9 10 5 3 24 7 4 4 3 3 79
1 1 1 1 1 1 11 4 2 1 1 1 26
Rata-rata jarak ke sekolah terdekat jika di kampung tidak ada sekolah (km2) SD SLTP 27,09 65,00 25,00 9,50 9,60 0,10
28,40 52,50 40,88 5,79 15,00 17,40 10,88 5,50 13,17 24,00 33,14 49,05
Sumber: BPS Kabupaten Mimika (2007).
Kesehatan Kualitas kesehatan penduduk dapat dijadikan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Kualitas kesehatan ini dapat dilihat dari beberapa aspek kesehatan, seperti: Angka Harapan Hidup, Angka Kematian Bayi, dan status kesehatan penduduk.
Status kesehatan penduduk dapat diukur dari
angka kesakitan dan status gizi. Untuk melihat upaya peningkatan dan status kesehatan, dapat diketahui dari
penolong kelahiran, ketersediaan sarana
kesehatan, dan jenis pengobatan. Dari Tabel 16 dan 17, dapat diambil kesimpulan bahwa Kabupaten Mimika masih sangat kekurangan sarana dan ketersediaan tenaga kesehatan, terutama untuk distrik-distrik yang letaknya jauh dari ibu kota dan juga tidak mempunyai atau jauh untuk akses rumah sakit. Misalnya untuk distrik-distrik seperti Mimika Barat, Mimika Barat Jauh, Mimika Barat Tengah, Mimika Timur Jauh, Agimuga, Jila, dan Jita. Distrik Tembagapura, Mimika Baru dan Kuala Kencana merupakan distrik yang lebih mudah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, karena di tiga distrik itu sarana dan tenaga kesehatan lebih tersedia dibandingkan dengan distrik-distrik lainnya.
109
Tabel 16. Sarana kesehatan di Kabupaten Mimika pada tahun 2007 Distrik
Mimika Barat Mimika Barat Jauh Mimika Barat Tengah Mimika Timur Mimika Timur Tengah Mimika Timur Jauh Mimika Baru Kuala Kencana Tembagapura Agimuga Jila Jita Jumlah
Rumah Sakit (RS) 0 0 0 0 0 0 1 0 2 0 0 0 3
RS Bersalin/ Rumah Bersalin 0 0 0 0 0 0 3 0 1 0 0 0 4
Poliklinik/ Balai Pengobatan 0 0 0 1 0 1 8 2 0 0 0 0 12
Puskesmas
Puskesmas Pembantu
1 1 1 1 1 1 4 0 0 1 1
0 2 1 1 3 2 3 6 2 2 1
1 13
1 24
Sumber: BPS Kabupaten Mimika (2007)
Malaria, infeksi saluran pernafasan atas akut (ISPA), dan tuberkulosis paru merupakan tida penyakit pembunuh terutama di Kabupaten Mimika dilihat dari jumlah pasien rawat jalan yang berkunjung di RSMM pada tahun 2007. Penyakit pembunuh dari pasien rawat inap di tahun yang sama adalah malaria, diare dan gastroenteritis, dan pneumonia. Penyakit HIV muncul dan diderita oleh pasien rawat inap sebesar 1,86 % dari total kunjungan pasien rawat inap per tahun 2007. Menurut RSMM (2008) penyakit HIV ini baru mulai muncul di Timika sejak tahun 2005. Sepuluh besar penyakit pembunuh tersebut secara rinci untuk pasien rawat jalan dan rawat inap dapat dilihat pada Tabel 18. Penyakit-penyakit pembunuh tersebut sangatlah erat dengan kualitas hidup di Kabupaten Mimika.
Seperti penyakit TBC, dimana Indonesia
merupakan nomer tiga dunia sebagai penderita penyakit ini. WHO (World Health Organisation) menemukan bahwa penyakit TBC ini akan menurun seiring dengan kemamuran yang terjadi di negara itu, yang mana disana tersedia: air bersih, gizi yang baik, perumahan dengan sanitasi dan lingkungan yang bersih/baik, perilaku sehat dan olah raga. Sebagian besar pelayanan kesehatan baik kuratif dan preventif di sediakan oleh PTFI melalui program sosial dari perusahaan itu. Ada dua rumah sakit besar di Kabupaten Mimika yang didanai melalui program Dana Kemitraan PTFI yang diberikan kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro), yaitu:
110
RSMM (Rumah Sakit Mitra Masyarakat) yang terletak di dataran rendah dan RSWB (Rumah Sakit Waa Banti) yang terletak di dataran tinggi. Sebenarnya pemerintah sejak tiga tahun lalu telah mendirikan Rumah Sakit Umum yang cukup besar, namun hingga saat ini belum dioperasikan oleh pemerintah. Tabel 17. Tenaga kesehatan yang tinggal di setiap distrik pada tahun 2007 Dokter Spesialis
Distrik Mimika Barat Mimika Barat Jauh Mimika Barat Tengah Mimika Timur Mimika Timur Tengah Mimika Timur Jauh Mimika Baru Kuala Kencana Tembagapura Agimuga Jila Jita Jumlah
0 0 0 0 0 1 2 0 2 0 0 0 5
Dokter Umum
Dokter Gigi
1 0 1 1 0 2 6 2 2 0 1 1 17
0 0 0 0 0 1 2 0 2 0 0 0 5
Mantri Kesehatan 1 1 2 0 4 3 8 3 4 2 1 2 31
Bidan
2 0 0 2 0 0 8 2 1 0 0 0 15
Dukun Bayi Terlatih 2 1 0 4 3 2 6 2 4 0 0 0 24
Dukun Bayi Belum Terlatih 0 4 0 3 5 1 3 1 5 0 0 0 22
Sumber: BPS Kabupaten Mimika (2007)
Ada hal yang perlu diperhatikan mengenai keberlanjutan pelayanan kesehatan di RSMM dan RSWB setelah penutupan tambang PTFI, karena hingga saat itu LPMAK sebagai pemilik rumah sakit masih memberikan pelayanan gratis bagi masyarakat Suku Amungme dan Kamoro dan lima kekerabatan suku (Suku Dani, Nduga, Damal, Moni, dan Ekari/Mee). Partisipasi masyarakat baru sebatas membayar uang pendaftaran. Tabel 18. Sepuluh penyakit pembunuh di RSMM untuk pasien rawat jalan dan rawat inap pada tahun 2007. Nama Penyakit Rawat Jalan
2007
Malaria Infeksi saluran nafas bagian atas akut lainnya (ISPA)
19,77% 16,78%
Tuberkulosis paru lainnya Diare dan gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu (kolitis infeksi) Cedera YDT lainnya,YTT dan daerah badan multipel Dispepsia
5,02% 3,77% 2,80% 2,44%
Nama Penyakit Rawat Inap Malaria Diare dan gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu (kolitis infeksi) Pneumonia Penyulit kehamilan dan persalinan lainnya Cedera YDT lainnya,YTT dan daerah badan multipel Cedera intrakranial
2007 27,76% 7,73% 5,06% 2,80% 2,59% 2,42%
111
Tabel 18 (Lanjutan) Nama Penyakit Rawat Jalan
2007
Penyakit sistem kemih lainnya
2,00%
Infeksi kulit dan jaringan subkutan Bronkitis, emfisema dan penyakit paru obstruktif kronik lainnya Gangguan jaringan lunak lainnya
1,76% 1,64% 1,64%
Nama Penyakit Rawat Inap
2007
Penyulit yg lebih banyak berhubungan dg masa nifas & kondisi obsterik lainnya Tuberkulosis paru lainnya Penyakit virus gangguan defisiensi imun pada manusia (HIV) Penyakit sistem kemih lainnya
2,41% 2,06% 1,86% 1,56%
Sumber : RSMM ( 2008).
4.2.3. Ekonomi Wilayah Data dan
informasi
yang
diperoleh
menunjukkan
bahwa
sektor
pertambangan adalah sektor yang memberikan kontribusi sangat besar terhadapat PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Mimika. Ratarata kontribusi per tahun sektor tambang adalah sebesar 90 %. 2005, kontribusi sektor tambang adalah 96,88 %.
Pada tahun
Sektor yang memberikan
kontribusi urutan kedua adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 0,81 %, menyusul sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 0,70 % dan bangunan 0,69 %.
sektor pertanian mempunyai kontribusi urusan ke lima
sebesar 0,53 % dan ke enam sektor jasa-jasa lainnya 0,22 %. Sektor pertanian, meliputi tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, perternakan dan hasilnya, kehutanan dan perikanan. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 19. Sangatlah jelas bahwa pada periode tahun 2001 – 2005 sektor pertambangan sangat menentukan bagi PDRB Kabupaten Mimika.
Dengan
demikian, terkait dengan masa penutupan tambang PTFI nantinya, diperlukan pembangunan kegiatan-kegiatan lain di Kabupaten Mimika untuk menggantikan sumber ekonomi yang sangat besar dari sektor pertambangan pada saat ini. Oleh karena itu PPK, dalam hal ini Pemda Mimika sangat diperlukan memimpin untuk mencari sektor pengganti ini bagi keberlangsungan masyarakat Mimika kedepan. Industri pengolahan Pada Tabel 19, terlihat bahwa industri pengelolaan pada tahun 2005 hanya berkontribusi sebesar 0,02 % yang berupa industri kecil kerajinan rumah tangga. Industri pengelolaan lain yang ada, seperti industri pemuatan etilen, industri fabrikasi, dan lainnya yang kesemuanya untuk mendukung kegiatan perusahan tambang. Dalam tiga tahun terakhir telah dibangun industri untuk pengilangan minyak yang terletak di depat pelabuhan laut Pomako.
112
Tabel 19. PDRB Kabupaten Mimika atas dasar harga yang berlaku dirinci menurut lapangan usaha tahun 2001 – 2005 (dalam jutaan rupiah) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan & Galian - Penggalian Industri pengelolahan Listrik dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel & resto. Pengangkutan & komunikasi Keuangan, persewaan & perusahaan jasa Jasa-jasa Jumlah PDRB
2000 107,119.24 12,391,597.95 7,019.94
PDRB Kabupaten Mimika (dalam jutaan rupiah) 2001 2002 2003 124,262.69
133,992.51
14,698,431.80 14,368,082.29 7,788.31 8,912.99
146,514.68
% 2005
2004 2005*
156,757.70
14,471,075.30 14,055,313.43 10,105.55 11,511.14
169,202.97
0.53%
31,133,946.55 96.88% 13,027.16 0.04%
2,607.70
3,330.10
3,969.75
4,583.47
5,377.29
6,448.45
0.02%
2,791.53
3,437.80
5,873.67
7,213.30
10,518.55
14,967.99
0.05%
104,620.06
121,791.15
144,471.65
165,113.39
192,249.65
221,567.72
0.69%
119,497.80
145,653.06
172,770.02
194,021.67
224,022.75
261,197.61
0.81%
59,368.28
72,673.83
93,809.94
124,095.94
170,608.45
223,995.85
0.70%
12,630.06 33,305.88 12,840,558.44
13,368.80 14,421.04 42,148.58 51,677.22 15,232,886.12 14,997,981.08
16,803.18 18,172.40 54,893.22 61,841.44 15,194,419.70 14,906,372.80
19,338.38 0.06% 71,538.59 0.22% 32,135,231.27 100.00%
Sumber: Bappeda dan BPS Kabupaten Mimika (2005). Catatan: * Angka sementara
113
Pertanian Tanaman pangan yang banyak ditanam di Kabupaten Mimika adalah jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, sayur-sayuran dan buah-buahan. Sebagian besar tanaman tersebut berasal berada di wilayah Distrik Mimika Baru dan Kuala Kencana. Kedelei merupakan tanaman dengan luas panen yang terendah. Berbagai sayuran mempunyai luas panen yang tertinggi dibandingkan tanaman lain yang diusahakan. Rata-rata produksi masih tergolong masih sangat rendah, seperti padi dan jagung yang hanya masing-masing 2,49 ton/ha dan 2,17 ton/ha. Padahal rata-rata produksi tanaman padi secara nasional adalah 6 – 9 ton/ha. Produksi jagung adalah 4 ton/ha, untuk jagung hibrida bisa 7 – 8 ton/ha. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 20. Sayuran yang telah diusahakan adalah bayam, kangkung, buncis, kacang panjang, tomat, ketimun, labu siam, lobak, cabe, bawang merah, bawang putih, sawi, petsai, wortel, kubis, bawang daun, dan terong. Disamping itu, beberapa sayuran yang juga didatangkan dari kabupaten tetangga dan Pulau Jawa atau Makasar, untuk memenuhi permintaan penduduk Mimika yang terus meningkat. Produksi sayuran di Mimika ini belum dapat memenuhi permintaan pasar saat ini. Buah-buahan yang telah biasa ditanam di Kabupaten Mimika adalah alpokat, mangga, rambutan, langsat, jeruk besar (seperti jeruk Bali), jeruk keprok, jambu biji, jambu air, sawo, pepaya, pisang, salak, nenas, nangka, semangka, melon, petai, dan lainnya. Tabel 20. Luas panen, produksi dan produksi rata-rata tanaman bahan makanan di Kabupaten Mimika tahun 2005. Jenis Tanaman Padi Talas/Keladi Jagung Kedelei Kacang Tanah Kacang Ijo Ubi Kayu Ubi Jalar Sayuran Buah-buahan
Luas Panen (ha) 45 85 240 3 135 130 161 994 331
Produksi (ton) 112 468 520 2 196 1158 1429 4982 2576
Rata-rata produksi (ton/ha) 2.49 5,51 2,17 0,67 1,45 8,91 8,88 5,01 7,78
Sumber: Bappeda dan BPS Kabupaten Mimika (2005)
114
Jenis ternak yang telah dikembangkan di Kabupaten Mimika antara lain: sapi, kambing, babi dan unggas (itik dan ayam ras).
Kelinci juga pernah
dikembangkan, terutama di daerah dataran tinggi. Untuk mengetahui produksi daging ternak di Kabupaten Mimika sejak tahun 2001 sampai 2005 dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Perkembangan produksi daging di Kabupaten Mimika tahun 2001-2005 Jenis Ternak
Produksi daging (kg) tahun 2002 2003 2004
2001 Sapi Kambing Babi Unggas
23.857 1.404 16.538 16.659
23.857 1.728 20.592 57.587
1.074.760 1.728 20.592 57.587
1.106.820 1.600 41.888 23.380
2005 1.200.000 1.800 16.900 26.460
Sumber: Bappeda dan BPS Kabupaten Mimika (2005)
Peningkatan produksi daging sapi yang sangat tajam sebesar 4.405 % dari tahun 2002 ke tahun 2003 dan seterusnya konstan adalah diakibatkan adanya tempat perternakan sapi untuk penggemukan dan pemotongan sapi di daerah dekat
SP 6 (daerah satuan pemukiman transmigrasi).
Anak sapi
didatangkan dari Australia, setelah beberapa lama digemukkan kemudian di potong dan dijual untuk pasar di Kabupaten Mimika saja, termasuk dikonsumsi untuk kebutuhan karyawan PTFI.
Sebelumnya daging sapi yang diperlukan
didatangkan dari luar Papua bahkan dari luar negeri.
Dari informasi yang
didapatkan dilapangan dan pengamatan langsung, produksi daging tersebut sampai saat ini tahun 2008 masih belum cukup memenuhi kebutuhan penduduk Mimika, terutama daging unggas, kambing dan lainnya. Kehutanan Potensi hutan di Kawasan Selatan Papua sangat besar.
Kabupaten
Fakfak dan Kabupaten Mimika merupakan penghasil kayu terbesar di kawasan ini.
Tahun 1999 tercatat bahwa luas hutan produksi Kabupaten Mimika
2.066.687 ha dan luas efektif adalah besar 1.136.677,85 ha dengan produksi kayu sebanyak 26.041.289,54 m3. Hutan terluas yang ada di Kabupaten Mimika adalah hutan produksi. Hutan produksi yang paling banyak berada di Distrik Mimika Barat.
Distrik
Tembagapura memiliki hutan lindung dan hutan APL (areal penggunaan lain) jika
115
dibandingkan dengan distrik lainnya. Di wilayah ini juga ada Taman Nasional Lorentz. Selengkapnya jenis hutan dan luasannya dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Luas hutan di Kabupaten Mimika sesuai dengan jenisnya tahun 2003 – 2005. Jenis hutan
Luas Hutan (ha) tahun 2003 2004
Hutan lindung
2005
303.444
303.444
306.444
65.212
65.212
65.277
154.753 200.830
154.753 200.830
153.753 200.830
- Dapat dikonversi
571.795
571.795
571.795
Taman Nasional Lorentz
823.252
823.253
823.252
2.119.286
2.119.287
2.121.351
Hutan APL Hutan Produksi: - Terbatas - Tetap
Jumlah Sumber: Bappeda dan BPS Kabupaten Mimika (2005)
Jumlah HPH (Hak Pengusahaan Hutan) di Kabupaten Mimika data tahun 2004/2005 adalah lima HPH, sedangkan di seluruh Papua baik dari Provinsi Papua maupun Papua Barat sebanyak 68 HPH. Keputusan Gubernur Papua akan memulangkan atau menutup operasi 63 HPH karena dinilai nakal dan tidak mentaati ketentuan yang berlaku dan hanya lima HPH yang terus diberikan izin beroperasi.
Pemda Papua mensyaratkan agar semua HPH yang beroperasi di
Papua mendirikan pabrik pengelolaan hasil hutan.
Dengan demikian akan
membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat Papua dan meningkatkan nilai tambah hasil hutan tersebut.
Pertambangan Kegiatan pertambangan merupakan penggerak utama perekonomian di wilayah Kabupaten Mimika. Banyak kegiatan bisnis yang berkembang baik di dalam wilayah kabupaten maupun dari dan ke luar wilayah kabupaten dalam rangkan mendukung kegiatan pertambangan ini. Di wilayah kabupaten ini
terdapat operasi perusahan PTFI yang
merupakan perusahan pertambangan tembaga dan emas kelas dunia. Areal kontrak karya PTFI yang meliputi wilayah Blok A dan Blok B. Wilayah Blok A, yang merupakan daerah tambang berada di
wilayah Distrik Tembagapura.
Sedangkan Blok B, yang merupakan daerah pendukung berada di sebagian wilayah Distrik Tembagapura, Kuala Kencana, Mimika Baru, Mimika Timur, dan
116
Mimika Timur Jauh. Total luas Blok A dan Blok B adalah 212.950 ha atau 10,63 % dari luas wilayah Kabupaten Mimika atau 0,50 % luas pulau Papua atau hanya seluas 0,11 % luas wilayah negara Indonesia. Luas daerah tambang, Blok A mempunyai persentase yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan luas Kabupaten Mimika, Pulau Papua, dan Indonesia. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Persentase luas wilayah operasi PTFI dibandingkan luas wilayah Kabupaten Mimika, Pulau Papua, dan Negara Indonesia. Luas Daerah Operasi PTFI (ha)
Persentase Luas Blok A terhadap Persentase Luas Blok B terhadap Persentase Luas Blok A+B terhadap
10.000 202.950
Kab Mimika 2.003.900 0,50% 10,13%
212.950
10,63%
Luas wilayah (ha) Pulau Negara Papua Indonesia 42.198.100 191.944.000 0,02% 0,01% 0,48% 0,11% 0,50%
0,11%
Sumber: Diolah dari berbagai sumber (2009).
Di wilayah kabupaten ini juga terdapat penambangan galian C, yang berupa bahan galian pasir, kerikil, dan batu. Potensi galian C ini cukup tinggi dan tersebar hampir diseluruh wilayah kabupaten.
Namun potensi ini baru
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan-kegiatan pembangunan yang ada di dalam wilayah Kabupaten Mimika saja. Padahal beberapa kabupaten tetangga juga memerlukannya, seperti Kabupaten Merauke, yang sangat sulit untuk mendapatkan bahan ini di wilayahnya. Perikanan Kabupaten Mimika yang mempunyai panjang garis pantai kurang lebih 340 km dan lebar laut 7,4 km atau luas laut sebesar 2.516 km2, menyimpan potensi perikanan yang besar.
Namun masih rendah dalam tingkat
pemanfaatannya. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 24. Jumlah desa pesisir adalah sebanyak 43 kampung yang tersebar di 8 distrik dengan total jumlah penduduk 16.048 jiwa pada tahun 2005. Teknologi yang dipakai juga masih sederhana. Dalam bidang usaha budidaya air tawar teknologi yang ada adalah: kolam tradisional, karamba apung dan jaring tancap.
Dalam bidang
usaha penangkapan, teknologi yang dipakai adalah: pancing tangan/tradisional, jala udang, jaring insang, mekanisasi (ketinting, motor tempel, dan motor dalam),
117
mini trawl, dan jaring lingkar.
Teknologi yang dipakai dalam bidang usaha
pengelolaan hasil perikanan adalah penggaraman dan pengasapan. Tabel 24. Potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan Kabupaten Mimika pada tahun 2002 – 2006. Uraian
Luas perairan (Ha)
Potensi Produksi Lestari (ton/th)
1. Budidaya a. Air tawar
Produksi Tahun (ton)
2002
2003
2004
2005
2006
Tingkat Pemanfaatan ratarata/ tahun (%)
Tingkat Pemanfaatan tahun 2006
26.47
28,89
(%)
12.250
173,10
66,40
45,00
33,00
34,70
50,00
8.000 – 11.000
76.725
-
-
-
-
-
0,00
3.250
10.305
-
-
-
-
-
0,00
3.800
3.990 91.193
66,40
45,00
33,00
34,70
50,00
0,05
0,00 0,00 0,05
97
17
20
21
22
22
20,90
22,52
18.250 10.950
65 339
85 369
89 485
94 509
98 545
0,47 4,10
0,54 4,98
25.550 556
1.238 12
1.438 22
1.440 23
1.512 24
1.695 28
5,73 3,92
6,63 5,03
127.750 183.153 274.346
2.951 4.621 4.687
3.956 5.888 5.933
4.159 6.216 6.249
4.367 6.527 6.562
4.662 7.050 7.100
3,15 3,31 3,36
3,65 3,85 3,90
b. Payau - Intensif - Semi insentif Tradisional c. Laut Jumlah 1 2. Penangkapan a. Perairan Umum b. Perairan Laut: - udang - kepiting - kakap putih - sirip hiu - ikan lainnya Jumlah 2 Jumlah 1+2
61,2 251.600
Sumber : diolah dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Mimika (2006)
Dari Tabel 24, terlihat bahwa rata-rata tingkat pemanfaatan perikanan pada tahun 2002 – 2006 di Kabupaten Mimika masih sangat rendah, yakni hanya 3,36 dari potensi produksi lestari pertahunnya.
Misalnya pemanfaatan
sumberdaya udang pada tahun 2002 sampai 2006 rata-rata hanya 0,47 % dari potensi produksi lestari pertahunnya. Rata-rata pemanfaatan perikanan yang tertinggi terjadi pada ikan kakap, yakni 5,73 % dari potensi produksi lestari pertahunnya.
Walaupun angka ini tertinggi, namun masih tergolong sangat
rendah, di bawah 10 %.
118
4.2.4.
Sistem Transportasi
Jaringan transportasi darat Sistem transportasi darat meliputi sistem jaringan transportasi jalan dan angkutan sungai. Sistem transportasi jaringan jalan terdiri dari jalan arteri primer, jalan arteri sekunder, jalan kolektor primer, jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer, dan jalan lokal sekunder. Sistem jaringan transportasi sungai di wilayah kabupaten ini terdiri dari lintas utama, lintas pengumpul, dan lintas lokal. Perkembangan pembangunan jalan di kabupaten ini sangat lambat. Peningkatan panjang jalan hanya 5,40 % atau sepanjang 23,05 km dari tahun 2001 ke tahun 2002, seterusnya sampai tahun 2005 tidak ada peningkatan panjang jalan. Kondisi jalan yang rusak juga lebih panjang dibandingkan dengan kondisi jalan yang baik dan sedang. Begitu pula permukaan jalan dengan aspal lebih pendek dibandingkan dengan permukaan jalan dari tanah dan lainnya. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 25. Kabupaten Mimika memiliki garis pantai yang terletak di dataran rendah dan didominasi oleh rawa-rawa sehingga kontruksi jalan untuk menghubungkan antar distrik dan antar kabupaten tetangga masih sangat terbatas.
Hal ini
menyebabkan tingginya harga barang di distrik-distrik yang masih belum terhubung, yang disebabkan tingginya biaya transportasi. Untuk mengatasi masalah tingginya biaya transportasi dan juga membuka isolasi antar wilayah serta menghubungkan pusat-pusat sistem produksi dengan ibukota kabupaten sebagai ruas jalan Trans Papua, Pemerintah Kabupaten Mimika antara lain, sedang mengupayakan pembangunan ruas jalan Potowaiburu di Distrik Mimika Barat Jauh sampai di Distrik Agimuga yang terletak di bagian Timur wilayah kabupaten ini. Dalam mengatasi keterisolasian dengan daerah pengunungan tengah, di wilayah dataran tinggi, akan dibangun ruas jalan Timika-Enarotali (Kabupaten Paniai), Timika-Ilaga (Kabupaten Puncak Jaya) dan di wilayah timur akan dibangun ruas jalan Timika-Agimuga-Sawerma (Kabupaten Asmat). Selain itu, Pemerintah Kabupaten Mimika dan 12 kabupaten lainnya di Kawasan Pengunungan Tengah dan Selatan Papua telah merencanakan untuk pembangunan jalur kereta api yang mengarah dari daerah timur, yaitu Kabupaten Merauke melintasi Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Mimika serta berakhir di bagian barat, yaitu Kabupaten Kaimana.
119
Tabel 25. Panjang jalan di Kabupaten Mimika dirinci menurut status jalan, kondisi jalan dan permukaan jalan pada tahun 2000 – 2005. Uraian 2000
Panjang Jalan di Kabupaten Mimika (km) tahun 2001 2002 2003 2004
2005
A. Status Jalan - Jalan Negara - Jalan Provinsi - Jalan Kota/Kabupaten B. Kodisi Jalan - Baik - Sedang - Rusak C. Permukaan Jalan - Aspal - Kerikil - Tanah dan lainnya
-
-
-
-
-
-
42,50 426,85
42,50 426,85
42,50 449,90
42,50 449,90
4,.50 449,90
42,50 449,90
142,55 131,34 195,46
79,83 96,88 292,69
59,33 85,97 347,09
61,61 98,25 332,54
73,30 87,43 331,67
77,92 90,83 323,65
73,39 133,07 262,89
76,66 145,01 247,73
79,01 184,86 228,53
82,37 226,00 184,03
94,07 216,70 181,63
98,68 215,49 178,23
Sumber: Bappeda dan BPS Kabupaten Mimika (2005)
Transportasi sungai di wilayah Kabupaten Mimika digunakan terutama untuk
menjangkau
transportasi jalan.
daerah-daerah
yang
tidak
dapat
dijangkau
dengan
Pada umumnya orientasi dari sungai-sungai yang ada di
wilayah ini adalah Utara – Selatan sehingga sedikit sekali melayani transportasi arah Barat – Timur. Transportasi arah Barat-Timur dapat dilayani bila melewati perairan pantai yang membujur dari Barat ke Timur. Sarana transportasi sungai yang saat ini biasa dipergunakan masyarakat adalah perahu motor tempel atau perahu tradisional. Beberapa perahu cepat (speed boat) juga digunakan, yang biasanya digunakan oleh pegawai pemerintah dan perusahaan. Pemanfaatan sistem transportasi sungai sampai saat ini belum optimal, padahal potensinya sangat besar dilihat dari: jumlah dan besar sungai yang ada di seluruh wilayah Kabupaten Mimika, hampir semua wilayah pelosok kampung khususnya di dataran rendah dapat dijangkau, dan masyarakat telah secara turun temurun memanfaatkannya. Jaringan transportasi laut Sistem transportasi laut di Kabupaten Mimika merupakan sistem transportasi yang sangat penting dan paling banyak digunakan oleh masyarakat dalam memenuhi perjalanan. Sistem transportasi ini mempunyai simpul-simpul yang digambarkan melalui pelabuhan, terdiri dari kelas: pelabuhan utama, pengumpul dan perintis.
120
Pelabuhan utama di Kabupaten Mimika adalah Pelabuhan Poumako. Pelabuhan ini memberikan pelayanan arus barang dan jasa di kabupaten ini dan juga sebagai pelabuhan yang mendukung arus barang dan jasa ke daerah Pengunungan Tengah dan Selatan Papua. Rencananya Pelabuhan Poumako ini kedepan akan dikembangkan hingga menjadi sebuah kawasan pelabuhan seluas 650 ha dan meliputi empat darmaga, yaitu darmaga peti kemas, darmaga penumpang umum, dermaga perintis/rakyat, dan dermaga pangkalan angkatan laut. Selain Pelabuhan Poumako itu, Kabupaten Mimika juga mempunyai pelabuhan
khusus
Amamapare.
bongkar
muat
barang milik
PTFI
yaitu
Pelabuhan
Juga ada pelabuhan rakyat yang terletak dibeberapa distrik,
seperti di Atuka, Kokonao, Potowaiburu, Kapiraya, dan Jita. Pelabuhan rakyat inilah yang akan dikembangkan dalam mendukung perkembangan Mimika kedepan.
Jaringan transportasi udara Transportasi udara di Papua transportasi yang sangat penting di Papua, termasuk juga di Kabupaten Mimika.
Transportasi udara eksternal antara
wilayah Kabupaten Mimika dan wilayah-wilayah lainnya di Indonesia dilayani oleh Bandara Moses Kilangin yang terletak di Distrik Mimika Baru, di pusat Kota Timika. Bandara ini merupakan pelabuhan udara yang mampu melayani pendaratan jet ukuran menengah, diantaranya pesawat Boeng 737. Bandara ini dibangun oleh PTFI untuk mendukung operasional perusahaan.
Awalnya
bandara ini dikelola oleh PTFI, saat ini pengelolaannya ditangani oleh AVCO (PT Airfast Aviation Facilities company). Penerbangan yang terjadwal di bandara ini adalah Merpati Nusantara Airlines, Garuda, dan beberapa penerbangan umum nasional yang melayani Indonesia bagian Timur. Bandara
ini
melayani
rute-rute
penerbangan
domestik
yang
menghubungkan Timika dengan kota-kota seperti: Jayapura, Sorong, Biak, Ambon, Manado, Makasar, Denpasar, Surabaya, dan Jakarta. Juga melayani dua rute penerbangan internasional, yakni rute Timika ke Darwin (Australia) dan Timika – Guam.
Disamping itu, melayani penerbangan perintis yang
menghubungkan Timika dengan kota-kota atau kecamatan-kecamatan di pedalaman Papua, seperti rute Timika – Agimuga, Timika-Ilaga, Timika- Nabire dan lainnya.
121
4.2.5. Rencana Tata Ruang Kabupaten Mimika Pemerintah Kabupaten Mimika pada tahun 2002 berhasil menyusun sebuah laporan tentang Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR) Kabupaten Mimika. Kemudian pada tahun 2005, Pemda Mimika juga berhasil menyusun sebuah buku mengenai Mimika Dalam 3 Dimensi Waktu (Dahulu, Kini, dan Masa Datang). Ada 18 sektor prioritas yang akan dikembangkan untuk Mimika dimasa mendatang. Pada sektor tata ruang (sektor prioritas ke-13), Tata ruang Kabupaten Mimika akan dibagi Tata Ruang Kota Timika dan Tata Ruang Ibukota Distrik. Dimasa depan, pemerintah Kabupaten Mimika juga merencanakan untuk Pembangunan Kota Baru Pelabuhan Poumako, Pembangunan Tugu Selamat Datang dan Pembangunan Sarana olahraga sampai bertaraf internasional. Dalam RRTR Kabupaten Mimika, wilayah ini dibagi menjadi beberapa kawasan, yaitu: kawasan lindung, kawasan hutan lindung, kawasan taman nasional, kawasan rawa bakau, kawasan sempadan sungai, kawasan sepadan pantai, kawasan penyangga tegangan tinggi, kawasan budidaya, kawasan tanaman pangan lahan kering, kawasan tanaman pangan lahan basah, kawasan pertanian tanaman perkebunan, kawasan pengembangan tanaman sagu, kawasan
peternakan,
kawasan
industri,
kawasan
perikanan,
kawasan
parawisata, kawasan pertambangan, kawasan ModADA, kawasan transmigrasi, kawasan
perkotaan,
kawasan
pengembangan
perkotaan,
kawasan
pengembangan budaya Amungme, kawasan campuran, kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, kawasan pertahanan dan keamanan, kawasan CBD (kegiatan perdagangan dan pertokoan), kawasan pedesaan, kawasan bandara, kawasan pengembangan pelabuhan nusantara, kawasan pengembangan pangkalan pendaratan ikan, dan kawasan riset dan hutan cadangan pangan.
4.2.6. Potensi Wilayah dan Komoditas Unggulan Berdasarkan data dan informasi dari berbagai sumber, utamanya dari Pemerintah Kabupaten Mimika (2005), analisis situasional dan kondisi di wilayah Kabupaten Mimika, berikut ini diuraikan beberapa potensi Kabupaten Mimika untuk mendukung pengembangan pada masa yang akan datang. Letak strategis Letak geografis Kabupaten Mimika adalah sangat strategis ditinjau dari peranannya sebagai titik sentral dan sebagai penyangga bagi kabupatenkabupaten yang berada di Kawasan Pengunungan Tengah dan Pesisir Selatan
122
Papua. Bahkan kabupaten ini juga dapat berperan sebagai titik pengembangan pelayanan industri dan jasa di Kawasan Timur Indonesia dan di Kawasan Rim Pasifik Selatan.
Letak strategis inilah yang diharapkan akan mengakibatkan
lonjakan besar dalam mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Potensi lainnya adalah luas wilayah kabupaten ini sebesar 21.522 km2 dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Selain itu, adanya daerah dataran tinggi dan dataran rendah yang mempunyai tingkat perbedaan ketinggian yang ekstrem serta banyaknya sungai yang mengalir berpotensi untuk pengembangan listrik tenaga air. Sumber daya alam Potensi SDA Kabupaten Mimika selain tambang tembaga dan emas yang saat ini sedang dikelola PTFI adalah pertambangan galian golongan C yang cukup potensial mendukung pembangunan saat ini dan mendatang. Pada dua tahun terakhir pasir sisa tambang atau tailing dari PTFI telah dijadikan bahan bangunan dan dikirim ke luar Mimika, misalnya ke Kabupaten Merauke. Selain itu, dilaporkan ada sumber tambang emas dan tembaga baru yang saat ini sedang diteliti dan terletak disebelah Timur dari daerah penambangan PTFI. Selain potensi tambang mineral di atas, berikut ini diuraikan beberapa potensi SDA dan komoditas unggulan per sektor untuk mendukung pertumbuhan Mimika saat ini dan kedepan. a.
Sektor pertanian dan perkebunan Pertanian dan perkebunan merupakan sektor unggulan jangka panjang
yang dapat dikembangkan di Kabupaten Mimika karena sebagian besar lahan yang tersebar di beberapa distrik (kecamatan). didukung oleh iklim sesuai untuk pengembangan tanaman. Di Distrik Mimika Tengah, Mimika Barat, Mimika Barat Tengah sampai Distrik Mimika Barat Jauh terbentang luas lahan yang sesuai untuk pengembangan tanaman padi sawah, padi gogo, jagung, tanaman palawija, sayur-sayuran, buah-buahan, kelapa, kelapa sawit, kopi, coklat dan karet. Hasil kajian dari Departemen Transmigrasi menunjukkan terdapat areal lahan seluas 90.000 ha di Distrik Mimika Barat yang memiliki tingkat kesesuaian lahan Sangat Sesuai (S1) untuk pengembangan tanaman sawit. Selain itu, di Distrik Agimuga, Kuala Kencana, dan Mimika Baru yang semuanya terletak di dataran rendah memiliki lahan yang sesuai untuk pengembangan kopi arabika, jeruk, nenas, avokat, rambutan, durian, dan matoa. Kabupaten Mimika juga memiliki potensi hutan tanaman sagu yang luas sebesar
123
32.231 ha. Hutan sagu alami ini ditemui di sepanjang Pantai Selatan Papua, terbentang dari Distrik Jita, Mimika Baru, Mimika Tengah, Mimika Barat, Mimika Barat Tengah hingga Mimika Barat Jauh.
PEMDA telah menetapkan untuk
mengupayakan sagu sebagai sumber pangan dengan tetap memperhatikan proses penanaman kembali.
Sagu juga sangat potensial diproduksi sebagai
tepung sagu yang banyak dibutuhkan di dalam negeri dan luar negeri. Terkait dengan pengembangan sagu, PTFI juga melakukan kajian potensi sagu untuk bio-fuel bekerjasama dengan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) Lampung.
Hasil sementara menunjukkan tanaman ini cukup
potensial sebagai penghasil etanol. Beberapa Satuan Pemukiman (SP) dari program transmigrasi antara lain SP I, IV, V, dan SP VI dikembangkan menjadi daerah kawasan tanaman pangan padi serta beberapa distrik, antara lain: Distrik Mimika Timur, Mimika Tengah, Mimika Barat, dan Mimika Barat Tengah.
Distrik ini sangat potensial karena
memiliki daerah delta yang banyak dilalui sungai-sungai sebagai sumber pengairan. b. Sektor perikanan dan kelautan Sektor ini masih belum dikelola secara optimal. Sesuai dengan Tabel 24 pada halaman 118, bahwa rata-rata tingkat pemanfaatan perikanan baik budidaya dan penangkapan pada tahun 2000 - 2006 hanya sebesar 3,36% dari produksi lestari setiap tahunnya.
Potensi yang besar ini karena Kabupaten
Mimika berbatasan langsung dengan Laut Arafura yang merupakan salah satu wilayah yang berpotensi perikanan laut terbesar di Indonesia. Sampai saat ini kontribusi sektor ini terhadap perekonomian Mimika masih sangat minim. Beberapa komoditas perikanan unggulan memiliki potensi dan nilai jual yang tinggi, antara lain: ikan kakap puti/barramundi (Giant Perth) dengan potensi tangkapan per tahun 25.550 ton; udang Black Tiger (Penaeus monodon) dengan potensi tangkapan 18.250 ton/tahun; ikan mulut tikus dengan potensi tangkapan 36.500 ton/tahun; ikan bubara dengan potensi tangkapan per tahun 18.250 ton; dan kepiting mangrove (Scylla serrata) dengan potensi tangkapan 10.950 ton/tahun.
Potensi perikanan laut ini juga didukung oleh keadaan umum
sepanjang garis pantai Papua Selatan, antara lain: panjang garis pantai di Kabupaten Mimika 340 km dengan lebar laut 7.4 km, jumlah desa di pesisir pantai 41 kampung dengan jumlah penduduk 16.048 jiwa pada tahun 2004.
124
Potensi perikanan darat di Mimika juga sangat besar untuk dikembangkan karena Mimika memiliki kawasan rawa yang luas, sungai yang banyak, dan curah hujan yang tinggi sehingga cocok untuk pengembangan perikanan air tawar. Sesuai dengan data yang ditampilkan pada Tabel 24 di halaman 118, potensi budidaya tambak cukup tinggi, yaitu: tambak kategori intensif seluas 8.000 – 11.000 ha, semi intensif seluas 3.250 ha dan tambak tradisional seluas 3.800 ha (Puslit SDM dan Lingkungan, 1999). c. Sektor kehutanan Luas hutan produksi di Kabupaten Mimika secara detil dapat dilihat pada Tabel 22 pada halaman 116. Jenis kayu yang tumbuh baik di Kabupaten Mimika dan mempunyai nilai tinggi adalah: kayu besi, matoa, gaharu, kayu putih, kayu cina, kayu dragon, dan berbagai
jenis rotan.
Data menunjukkan bahwa
produksi yang cukup tinggi pada jenis kayu besi dan kayu cina banyak terdapat di Kecamatan Jita, Mimika Timur, Mimika Baru, Mimika Tengah, Mimika Barat, Mimika Barat Tengah, dan Mimika Barat Jauh.
d. Sektor peternakan Pada sektor ini komoditas perternakan yang dapat dikembangkan di Kabupaten Mimika adalah sapi, kambing, babi, ayam buras dan itik. Pengembangan ternak sapi dan kambing cukup sulit karena sulit mendapatkan bibit non-lokal untuk kedua hewan tersebut dan bibit unggul dari luar harganya mahal. e. Sektor pariwisata Sektor pariwisata di Kabupaten Mimika potensial untuk dikembangkan. Beberapa daerah dan kegiatan wisata yang telah dikembangkan, antara lain: wisata alam Taman Nasional Laurentz seluas 781.185 ha terletak di Kecamatan Agimuga.
Pulau Puriri, Bidadari, dan Kampus Biru sebagai wisata bahari.
Daerah Pigapu dan Otakwa dapat dikembangkan sebagai Pusat Wisata Berburu. Daerah Kaugapu dapat dikembangkan menjadi Pusat Budaya.
Daerah
Timika Pantai sebagai budaya sejarah karena disana ada situs peninggalan Perang Dunia II. Ada kegiatan budaya tahunan atau beberapa tahunan yang dinamakan sebagai Kegiatan Festival Kamoro.
Pada festival ini ditampilkan
hasil-hasil ukiran, kesenian dan adat-istiadat Suku Kamoro.
125
4.3.
Gambaran Umum Kegiatan PT Freeport Indonesia
4.3.1. Kegiatan operasi penambangan PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah perusahaan PMA yang bergerak di bidang pertambangan Tembaga dan Emas dan telah beroperasi sejak tahun 1972 di Kabupaten Mimika, Propinsi Papua. Kegiatan yang berlangsung pada saat ini didasarkan kepada Kontrak Karya Kedua antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PTFI yang ditandatangani pada tahun 1991. Batas-batas daerah kerja PTFI adalah: sebelah Utara adalah Pegunungan Jayawijaya, berbatasan dengan Kabupaten Puncak Jaya. Sebelah Timur dengan Taman Nasional Lorentz. Sebelah Selatan dengan Laut Arafura.
Sebelah Barat
berbatasan dengan Kota Timika, Kabupaten Mimika, berbatasan dengan Kabupaten Kaimana.
Sebelah Barat Laut berbatasan dengan Pegunungan
Jayawijaya yang berbatasan dengan Kabupaten Paniai. Bijih yang ditambang terletak pada ketinggian lebih dari 4.000 m di atas permukaan laut di daerah Erstberg dan Grasberg dalam wilayah Kontrak Karya seluas 100 km2. Pada saat ini PTFI mengoperasikan tambang terbuka Grasberg dan tambang bawah tanah DOZ (Deep Ore Zone) dengan target produksi harian sekitar 240 ribu ton bijih. Dengan jumlah cadangan sekitar 2,7 milyar ton terdapat cukup bijih untuk ditambang sampai dengan jangka waktu Kontrak Karya dan perpanjangannya berakhir. PTFI berkembang pesat setelah penemuan cebakan Grasberg (pada ketinggian > 4.000 m di atas permukaan laut di daerah Erstberg dan Grasberg) pada tahun 1988. Penemuan ini memungkinkan PTFI melakukan perluasan operasi pertambangan, yaitu dari 125.000 ton bijih/hari menjadi 160.000 ton bijih/hari (160K). Sejak tahun 1998 PTFI telah mengoperasikan tambang terbuka Grasberg dan tambang bawah tanah dengan target produksi 240 ribu ton bijih/hari. Secara garis besar ada empat kegiatan utama dari PTFI, yaitu: pengelolaan batuan penutup dan air asam tambang, pengolahan bijih dan pengeringan konsentrat, pengelolaan tailing, dan kegiatan penunjang (Laporan RKL/RPL PTFI, 2007). Pengelolaan batuan penutup dan air asam tambang Untuk menambang bijih pada penambangan terbuka perlu disingkirkan terlebih dahulu batuan yang menutupi batuan bijih. Batuan yang menutupi batuan bijih dan tidak mengandung cukup mineral berharga untuk diolah disebut batuan penutup. Perbandingan jumlah batuan penutup yang harus disingkirkan dan bijih
126
yang dihasilkan adalah sekitar 3:1. Batuan penutup diangkut dari dalam tambang terbuka Grasberg dan ditimbun di daerah sekitarnya. Setelah mencapai ketinggian akhir maka timbunan batuan penutup direklamasi dengan penanaman tanaman spesies lokal. Sebelum ditambang, batuan penutup tidak mempunyai kontak dengan oksigen dan air, karena terletak di bawah permukaan tanah sehingga tetap stabil. Setelah diangkat dan ditimbun maka akan mengalami kontak dengan udara dan air. Batuan penutup jenis tertentu, yaitu yang mengandung mineral sulfida (belerang), dapat menghasilkan asam karena bereaksi dengan oksigen dan air. Air asam tersebut terbawa oleh air hujan menjadi air asam batuan (AAB) yang dikelola secara seksama. PTFI memanfaatkan batuan gamping yang cukup melimpah di daerah tambang Grasberg dan bubur kapur yang diproduksi dari batu gamping lokal untuk melakukan pencegahan dan penetralan air asam batuan. PTFI mempunyai sistem pengumpulan AAB berupa jalur pipa dan terowongan bawah tanah yang membawa air asam menuju fasilitas penetralan di kompleks Pabrik Pengolahan Bijih di MP74. Air asam yang telah dinetralkan, didaur ulang untuk keperluan operasional Pabrik Pengolahan Bijih. Pengolahan bijih dan pengeringan konsentrat Bijih yang dihasilkan dari tambang dikirim melalui terowongan vertikal ke bawah dan ban berjalan menuju Pabrik Pengolahan Bijih yang terletak di sebuah lembah sempit pada ketinggian 2.800 m di atas permukaan laut. Di Pabrik Pengolahan Bijih mineral Tembaga, Emas dan Perak diekstrak menggunakan teknik flotasi
(pengapungan) yang umum digunakan oleh pabrik-pabrik
pengolahan bijih sejenis di dunia. Mula-mula batuan bijih digiling sampai halus dan dicampur dengan air dalam jumlah yang besar pada mesin penggiling yang kemudian dialirkan ke dalam tangki-tangki flotasi. Pada tangki-tangki flotasi diberikan gelembung-gelembung udara dan reagen yang bergerak dari dasar tangki menuju ke permukaan. Dalam perjalanannya ke permukaan gelembung-gelembung tersebut menangkap dan mengumpulkan mineral berharga dari permukaan butir-butir halus hasil gerusan batuan bijih. Setelah sampai di permukaan, gelembung berubah menjadi buih yang telah kaya dengan mineral berharga. Buih tersebut kemudian dikumpulkan menjadi bubur konsentrat dan dikirim melalui jalur pipa menuju Pabrik
127
Pengeringan Konsentrat di daerah Pelabuhan Amamapare yang terletak sekitar 120 km di sebelah selatan Pabrik Pengolahan Bijih. Pengeringan dilakukan dengan penyaringan bertekanan tinggi (filter press) dan pemanasan. Konsentrat kering berupa butiran pasir halus berwarna hitam merupakan produk akhir PTFI. Konsentrat dikapalkan menuju pabrik peleburan tembaga di seluruh penjuru dunia termasuk PT Smelting-Pabrik Peleburan dan Pemurnian Gresik, yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur Pengelolaan tailing Hanya sekitar 3 % dari total bijih yang diolah di pabrik berubah menjadi konsentrat. Pasir yang tersisa dari proses pengolahan bijih dinamakan tailing. Dengan demikian, jumlah tailing yang dihasilkan adalah sekitar 230 ribu ton/hari. Diperlukan lahan yang cukup luas untuk menyimpan tailing yang telah dan akan terakumulasi sampai akhir masa tambang. Dalam rangka menyusun AMDAL 300K tahun 1996-1997, PTFI menugaskan konsultan internasional untuk mempelajari berbagai opsi pengelolaan tailing. Dari belasan opsi yang dipelajari akhirnya dipilih dan disetujui satu opsi untuk dilaksanakan, yaitu sebagai berikut: tailing dari Pabrik Pengolahan Bijih di dataran tinggi diangkut melalui sistem sungai Aghawagon – Otomona menuju suatu daerah yang khusus dialokasikan (designated) untuk menampung tailing. Supaya tidak terjadi perluasan dampak secara lateral, dibangun dua buah tanggul yang membujur pada arah Utara– Selatan yang dikenal sebagai Tanggul Barat (± 50 km) dan Tanggul Timur (± 54 km). Jarak kedua tanggul bervariasi antara 4 – 7 km dan luas total lahan di antara kedua tanggul adalah 230 km2. Dalam dokumen AMDAL 300K daerah dinamakan Daerah Pengendapan Ajkwa yang Dimodifikasi dan kemudian lebih dikenal dengan nama ModADA. Di dalam ModADA pengendapan tailing terjadi secara merata mengikuti aliran air permukaan yang terus berpindah-pindah dan bercabang-cabang. PTFI terus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pengendapan tailing dalam ModADA. Tinggi tanggul terus ditambah mengikuti tinggi endapan tailing dan dijaga agar mampu menampung air dari perkiraan kejadian banjir terbesar (Maximum Probable Flood). Pengendapan tailing dalam ModADA disebabkan oleh gaya gravitasi sehingga terdistribusi menurut ukuran partikel. Partikel kasar mengendap di bagian utara ModADA (kira-kira berjarak lebih kurang 2 km sejajar dengan kota Timika). Partikel berukuran sedang mengendap di sebelah utara
128
ModADA hingga sampai sebelum daerah sagu. Partikel halus mengendap di daerah sagu sampai ujung selatan ModADA di dekat muara Ajkwa. Partikel yang sangat halus mengendap di Estuari Ajkwa dan sisanya terbawa sampai ke Laut Arafura di selatan pantai Mimika. Pola penyebaran tailing di Estuari Ajkwa dan Laut Arafura sampai masa pasca tambang telah diprediksi melalui sebuah model komputer 3-Dimensi yang dikembangkan oleh ahli pemodelan dari ITB. Selain itu, juga telah diidentifikasi dan dikuantifikasi risiko ekologi dan kesehatan manusia dari tailing melalui suatu studi Ecological Risk Assessment yang dilakukan oleh tim peneliti dari dalam dan luar negeri selama 4 tahun (1998 – 2002). PTFI telah melakukan berbagai penelitian dan percobaan penghijauan lahan tailing dan menanam bermacam tanaman budidaya untuk menunjukkan bahwa setelah masa tambang berakhir ModADA dapat diubah menjadi lahan produktif dalam waktu tidak terlalu lama dan dengan biaya tidak terlalu besar. Hasil penelitian Taberima (2009) menunjukkan bahwa tanah yang berkembang dari tailing di ModADA telah menunjukkan adanya perkembangan struktur yang lebih baik pada horison permukaan dibandingkan horison di bawahnya. Kegiatan penunjang Untuk dapat melakukan usahanya, PTFI menyelenggarakan berbagai kegiatan penunjang skala besar seperti pembangkitan tenaga listrik dan jaringan distribusinya, gudang-gudang logistik, penyediaan sarana dan prasarana angkutan darat, laut dan udara, bengkel-bengkel pemeliharaan kendaraan dan peralatan berat. Selain itu untuk sekitar 18.000 karyawan dan keluarganya PTFI juga menyediakan fasilitas perkotaan dan pusat-pusat pemukiman seperti kompleks perkantoran, perumahan, asrama, hotel, kantin umum, rumah sakit, sekolah, pusat perbelanjaan, pusat rekreasi dan berbagai fasilitas lainnya. Setiap hari kegiatan penunjang ini menghasilkan limbah padat dan limbah cair dalam jenis dan jumlah yang tidak sedikit. Untuk menjaga lingkungan, PTFI sejak semula telah menyelenggarakan pengelolaan limbah secara terpadu. Limbah padat atau limbah cair tidak diperbolehkan untuk dibuang secara sembarangan ke lingkungan. Tidak dijumpai sampah yang berserakan di pemukiman, jalan ataupun sungai di seluruh wilayah kerja PTFI. Semua fasilitas tempat tinggal, perkantoran dan sarana umum diperlengkapi dengan tempat sampah dalam ukuran dan jumlah yang cukup. Limbah padat domestik diambil dan diangkut secara berkala oleh armada truk sampah dan dibuang ke tempat-
129
tempat pembuangan akhir (TPA) yang terletak di daerah tambang, di MP72 dan di MP38. Khusus untuk limbah yang dapat digunakan kembali dilakukan daur ulang. Sebagai contoh, ban bekas di-revulkanisasi atau digunakan untuk penahan erosi. Sampah organik digunakan untuk bahan pembuat kompos. Aki bekas dihibahkan kepada pabrik daur ulang di Jakarta dan Surabaya. Demikian pula besi dan logam bekas lainnya. Oli bekas dijadikan bahan bakar di Pabrik Kapur dan di Pabrik Pengeringan Konsentrat. Semua limbah cair domestik disalurkan melalui jalur pipa menuju instalasi pengolahan air limbah (IPAL) terdekat. PTFI mengoperasikan 10 IPAL yang tersebar dari daerah tambang sampai ke pelabuhan. Setelah diolah, limbah cair dapat dialirkan kembali ke lingkungan. Limbah B3 seperti limbah hidrokarbon, abu pembakaran limbah medis, dan bahan kimia kadaluwarsa dikirim ke PPLI (Prasada Pamunah Limbah Industri) di Cibinong, Jawa Barat untuk penanganan dan pembuangan akhir.
Gambar 13. Gambar Daerah Operasi PTFI dari Dataran Tinggi sampai Di Dataran Rendah Pengelolaan lingkungan di seluruh wilayah kerja PTFI merupakan tanggung jawab manajer tiap lokasi kerja dan di bawah koordinasi Departemen Lingkungan Hidup. Sistem Manajemen Lingkungan (SML)PTFI mengacu kepada standar ISO 14001 dan telah disertifikasi dan diawasi oleh SGS sejak tahun
130
2001. Pekerjaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang bersifat rutin dilakukan berdasarkan prosedur baku operasi (SOP) yang dievaluasi dari waktu ke waktu sehingga dapat terjadi perbaikan secara terus menerus. Karyawan diberikan pelatihan yang cukup untuk dapat memahami dan melaksanakan SOP ini. Pelaksanaan SML di lapangan diperiksa melalui inspeksi dan audit lingkungan secara berkala. Sekali setahun dilakukan Kaji Ulang Manajemen atas SML PTFI secara keseluruhan. Visi PTFI adalah untuk menjadi perusahaan tambang yang secara aktif bertanggungjawab dalam bidang lingkungan hidup. Secara garis besar kegiatan operasi tambang PTFI mulai dari dataran tinggi hingga dataran rendah seperti pada Gambar 13. Daerah Kontrak Karya blok A dan blok B tertera pada Gambar 14. Seperti kegiatan pertambangan pada umumnya, demikian pula kegiatan penambangan PTFI mempunyai pengaruh yang nyata kepada lingkungan hidup, sosial dan ekonomi.
Terkait dengan penutupan tambang berkelanjutan maka
pengaruh kerusakan pada lingkungan hidup perlu dipulihkan sesuai dengan rencana peruntukannya sehingga menjamin keamanan bagi hewan, tanaman dan manusia yang akan hidup di dalamnya. Manfaat sosial dan ekonomi dapat bisa terus dirasakan oleh masyarakat sekitarnya walaupun berasal dari kegiatankegiatan lain yang dibangun dari hasil manfaat bahan tambang.
4.3.2. Pengaruh lingkungan hidup dan kegiatan pengelolaannya Ada dua pengaruh utama dari kegiatan PTFI pada lingkungan hidup sekitarnya yaitu air asam batuan (AAB) dari timbunan batuan penutup dan tailing yang merupakan butiran pasir sisa dari hasil pemrosesan bijih.
Selain itu,
pengaruh lainnya adalah kestabilan lereng di daerah tambang (kemungkinan erosi dan longsor) dan perubahan topografi. Sampai saat ini ada dua lubang besar setelah bahan tambangnya dikeluarkan, yakni bekas tambang Ertzberg dan daerah tambang saat ini, Grasberg. Menurunnya keragaman hayati baik hewan dan tanaman di daerah-daerah dimana bentang alamnya dibuka untuk mendukung panambangan baik di dataran tinggi dan di dataran rendah. Menurunnya kualitas udara karena emisi-emisi gas buang baik dari pabrik pengelolahan, pabrik batu gamping dan intalasi PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Menurunnya kualitas air di sepanjang Sungai Aghawagon dan Otomona karena digunakan sebagai sarana transportasi tailing dari pabrik pengolahan di dataran tinggi sampai di ModADA dan juga menurunnya kualitas
131
air muara dan terjadinya pendangkalan di daerah muara. Pengaruh lainnya adalah hancurnya hutan hujan tropis seluas 230 Km2 akibat digunakan sebagai daerah pengendapan tailing atau disebut sebagai ModADA di dataran rendah.
Gambar 14. Daerah Kontrak Karya blok A dan blok B PTFI.
132
Pengaruh-pengaruh lingkungan hidup itu perlu dikelola agar tidak membahayakan selama kegiatan operasi dan sesuai dengan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengelolaan dampak lingkungan yang baik saat operasi tambang sedang berjalan akan berpengaruh positif kepada perbaikan lingkungan saat tambang memasuki saat penutupan dan juga akan mengurangi biaya dan resiko-resiko. Oleh karena itu, sesuai dengan dokumen AMDAL 300 K, program-program pengelolaan dan pemantauan lingkungan PTFI, antara lain sebagai berikut: air asam tambang dan timbunan batuan penutup, kestabilan lereng dan perubahan topografi, hidrologi dan geohidrologi, geokimia dari tailing, reklamasi di daerah dataran tinggi dan dataran rendah, kontruksi dan kestabilan tanggul tempat pengendapan tailing, limbah padat, cair dan B3 baik dari industri maupun dari domestik, dan kualitas air dan kualitas udara ambien
serta
pengelolaan dan pemantauan lainnya sebagaimana yang dilaporkan secara teratur dalam dokumen RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan)
dan RPL
(Rencana Pemantauan Lingkungan) Untuk mendukung upaya-upaya pengelolaan dan pemantauan berjalan baik dan lancar sesuai dengan target dan juga persyaratan dari regulator, PTFI juga menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pendukung, adalah sebagai berikut: aplikasi sistem manajemen lingkungan perusahaan dengan persyaratan ISO 14001 atau SNI (Standard Nasional Indonesia) 19-14001; melakukan audit internal dan eksternal secara teratur;
pengelolaan laboratorium lingkungan,
membangun satu unit pabrik gamping, membangun IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah) di setiap satu unit kegiatan domestik atau rumah tangga; melakukan kerjasama penelitian dengan lembaga penelitian di perguruan tinggi dan swasta; melakukan perekaman dengan citra satelit untuk melihat dampak tailing terhadap vegetasi, pola aliran air, perkembangan perubahan lahan di daerah sekitar Timika dan proyek PTFI; dan mengadakan pendidikan kepedulian lingkungan baik untuk internal perusahaan maupun eksternal, seperti publik di Mimika. Dalam mendukung kegiatan pengelolaan lingkungan, PTFI setiap tahun mengalokasikan dana yang cukup.
Misalnya untuk tahun 2006 jumlah dana
yang digunakan adalah sebesar 27,5 juta US Dolar. Pada tahun 2005 biaya lingkungan PTFI sebesar 20 juta US Dolar, sedangkan pada tahun 2007 adalah sebesar 36,2 juta US Dollar.
Pada tahun 2008 PTFI menganggarkan dana
sebesar 44,15 juta US Dolar untuk biaya pengelolaan lingkungannya.
133
Penghargaan dan pengakuan yang diterima PTFI baik dari pemerintah Indonesia maupun lembaga internasional sebagai hasil dari pencapaianpencapaian dalam pengelolaan lingkungan hidup, adalah sebagai berikut: a. Mendapatkan nilai BIRU MINUS untuk PROPER (Penilian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup) untuk tahun 2006 – 2007, berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 483, tertanggal 31 Juli 2008 b. Penghargaan Lingkungan Pertambangan tahun 2007 dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai pelaksana Reklamasi Kegiatan Pertambangan Mineral untuk periode kegiatan pertambangan 2004-2006. c. Memperoleh akreditasi
dari
NATA (National Association of Testing
Authorities, Australia) dan sertifikat akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN-BSN) untuk Laboratorium Lingkungan PTFI, sebagai pengakuan untuk kemampuan pengujian hampir seluruh aktifitas pengujian yang dapat dilakukan oleh laboratorium ini. d. PTFI
menerima
sertifikat
ISO
14001,
standar
internasional
sistem
pengelolaan lingkungan. PTFI telah menerapkan ISO 14001 dalam pelaksanaan pengelolaan program lingkungan hidupnya. e. Menerima penghargaan Pelaporan Pembangunan Berkelanjutan tahun 2007 dari National Center for Sustainability Reporting (NCSR).
Sustainability
Reporting ini merupakan sebuah sistem pelaporan yang menggambarkan keberhasilan kegiatan bisnis dalam mengelola aspek-aspek keberlanjutan lingkungan, sosial dan aspek ekonomi seperti yang diperkenalkan oleh GRI (2006).
4.3.3. Pengaruh sosial dan kegiatan pengelolaannya Pengaruh sosial dari kegiatan PTFI adalah antara lain: mengurangi akses masyarakat ke tempat dan mendapatkan sumber daya yang biasa mereka peroleh secara tradisional, seperti bahan pangan, kebutuhan papan dan lainnya; menimbulkan urbanisasi atau migrasi dari daerah kabupaten sekitarnya dan di luar Papua bahkan dari luar negeri; tekanan terhadap lahan dan perumahan masyarakat, tekanan terhadap budaya masyarakat pada kegiatan tambang.
setempat, dan persepsi
Disamping itu manfaat sosial yang
dirasakan oleh masyarakat, adalah antara lain: kualitas
kesehatan; pengembangan
negatif
pelayanan dan perbaikan
SDM setempat
melalui
penyediaan
134
pendidikan, beasiswa dan keterampilan; pembinaan pengusaha kecil dan menengah; penguatan kapasitas kelembagaan, memberikan akses bagi pengambilan
keputusan
oleh
masyarakat,
khususnya
dalam
pengolaan
pengembangan masyarakat; pengembangan potensi budaya setempat
dan
lainnya. Untuk mengelola pengaruh sosial yang negatif kepada masyarakat sekitarnya dan juga meningkatkan manfaat sosial dari kegiatan PTFI, maka perusahaan menyelenggarakan program pengembangan masyarakat dan juga beberapa kegiatan yang terkait dengan komitmen sosialnya, yang saat ini dikenal dengan nama Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Program pengembangan masyarakat yang dijalankan oleh PTFI sangat beragam.
Namun
berdasarkan sumber pendanaannya dapat
dikelompokkan dua kelompok, yaitu: a) Program pengembangan masyarakat dari dana operasional PTFI dan b) Program pengembangan masyarakat dari Dana Kemitraan PTFI. PTFI juga mengalokasikan Dana Kapital, yaitu sejumlah dana untuk pembangunan sarana dan prasarana dalam mendukung kegiatan program PM. Perusahan juga memberikan donasi-donasi yang terkait dengan PM. Program PM yang bersumber dari dana operasional perusahaan dikelola langsung oleh PTFI dengan melakukan pembinaan dan pengembangan putra/putri masyarakat setempat untuk mengelola kegiatan PM. Programprogramnya, meliputi: a) pengembangan infrastruktur tiga desa (Banti, Aroanop, Tsinga) di
dataran tinggi; b) program rekognisi
Kamoro;
c) program
pengembangan dan pendampingan masyarakat 5 desa (Tipuka, Ayuka, Nawaripi, Koperapoka, dan Nayaro) di dataran rendah; d) pengembangan usaha kecil dan menengah bagi masyarakat; e) percontohan dan alih teknologi pertanian dan peternakan; f) penguatan Lembaga Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan (YAHAMAK); g) penyediaan Dana Perwalian bagi masyarakat Amungme dan Kamoro; h) pengembangan SDM di Institut Pertambangan Nemangkawi di Kuala Kencana; i) peningkatan kesehatan dan pengendalian penyakit malaria; dan j) bina hubungan masyarakat. Program pengembangan bersumber dari ”Dana Kemitraan (DK) PTFI” atau sebelumnya disebut ”Dana 1%”, adalah sebesar satu persen dari pendapatan kotor tahunan PTFI. Program ini dibentuk dan dilaksanakan sejak tahun 1996 sampai tahun 2006 dan telah diperpanjang selama lima tahun
135
sampai
tahun
2011.
Kewenangan
pengelolaan
DK
PTFI
adalah
LPMAK(Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro), sebuah organisasi lokal di Mimika yang dibentuk bersama oleh pemerintah daerah, PTFI, lembaga adat, dan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Program-program yang dikelola difokuskan pada bidang-bidang: pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dukungan bagi lembaga adat dan bagi aspek keagamaan, dan memberikan bantuan kemanusiaan. PTFI mengeluarkan dana yang cukup besar untuk membiayai program PM-nya. Bila dibandingkan dengan total kontribusi dari seluruh industri pertambangan di Indonesia, kontribusi dana PM PTFI sejak tahun 2002 sampai 2006 rata-rata mencapai di atas 50 % setiap tahunnya. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 26. Pada tahun 2006 kontribusi Comdev PTFI sebesar 63.83 % dari total seluruh Comdev industri tambang di Indonesia. Tabel
26.
Kontribusi Pendanaan PM PTFI pertambangan (dalam US$ Juta)
Uraian Kegiatan
2002
Total Comdev industri tambang Comdev PTFI % Comdev PTFI thd. industri tambang*
terhadap
industri
Jumlah Dana Comdev (US $ Juta) 2003 2004 2005
2006
57,44 39,66
77,74 41,12
62,29 43,46
90,52 63,99
120,22 76,74
69,05%
52,89%
69,77%
70,69%
63,83%
* Dihitung kembali dari (PWC, 2007 dalam LPEM-FEUI, 2008)
Tabel 27. Pendanaan Program PM PTFI pada tahun 2008 sampai Bulan Oktober Kegiatan
Aktual tahun 2008 sampai Oktober (US Dollar)
Dana Kemitraan (LPMAK) Program Pengembangan Masyarakat (SLD) Dana-dana Perwalian Kesehatan Masyarakat & Pengendalian Malaria
37.489.927 13.374.984 1.100.000 7.932.407
Institut Pertambangan Nemangkawi Asrama Tomawin Tailing Utilization
11.765.132 321.131 810.504
Total Dana Operasional & Dana Kemitraan Dana Kapital
72.794.085 3.429.630
Donasi PTFI berkaitan dengan program PM Jumlah
1.394.285 77.618.000
Sumber : SLD PTFI (2008)
136
Pada tahun 2008 sampai bulan Oktober PTFI telah menyeluarkan dana untuk
pengembangan
masyarakat
sejumlah
77.618.000
US
Dollar.
Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 27. Bila dilihat berdasarkan dana yang dikelola maka program PM yang dikelola oleh LPMAK adalah sebesar 48,3 % dari total dana PM yang dialokasikan oleh PTFI. Hal ini menunjukkan bahwa LPMAK sebagai lembaga lokal di Mimika telah mampu mengelola dana dan beragam jenis program PM. Secara rinci besarnya DK PTFI yang dialokasikan sejak tahun 1996 sampai 2007 dapat dilihat pada Tabel 28. Dana tahun 2006 meningkat hampir lima kali lipat dari tahun 1996. Tabel 28. Alokasi Dana Kemitraan PTFI dari tahun 1996 – 2007 Jumlah Dana Kemitraan Dalam US Dolar Dalam Juta Rupiah Jumlah Dana Kemitraan Dalam US Dolar Dalam Juta Rupiah
1996
1997
1998
1999
2000
2001
10.810.150
12.742.915
16.625.288
21.117.015
13.504.330
17.317.229
25.209
38.751
179.705
158.044
117.256
179.636
2002
2003
2004
2005
2006
2007
18.313.298
21.841.766
18.041.433
40.534.482
51.828.368
51.368.863
172.306
189.038
161.838
393.855
472.756
475.498
Sumber : SLD PTFI, 2008
Beberapa penghargaan dan pengakuan dari pemerintah Indonesia dan lembaga internasional
terkait dengan hasil pencapaian-pencapaian dari
pelaksanaan program sosialnya atau program PM PTFI, adalah sebagai berikut: a. Penghargaan internasional dalam bidang PM atau “Community Development Excellence Award” , dari Asia Mining Congress di Singapura 9 April 2009 untuk pengembangan SDM Papua berkelanjutan di Institut Pertambangan Nemangkawi (IPN) yang didirikan dan dikelola oleh PTFI. b. Meraih penghargaan Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium atau "Millennium Development Goals (MDGs)" 2008 untuk kategori "Memerangi HIV/AIDS, Malaria, Tuberkulosis, dan Penyakit lainnya". MDGs Award merupakan kerjasama antara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kantor Menteri Negara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Metro TV dan diberikan kepada institusi pemerintah dan dunia swasta yang menjalankan
program-program
menuju
tujuan-tujuan
pembangunan
milenium.
137
c. Menerima Piagam Penghargaan Utama Menteri Negara Perumahan Rakyat atas dukungannya terhadap Pembangunan Perumahan sebagai bagian dari CSR. Tujuan dari penghargaan ini adalah mendorong dunia usaha agar lebih peduli dalam mendukung pembangunan perumahan sehingga dapat mempercepat pemenuhan perumahan layak huni bagi karyawan dan masyarakat. 4.3.4. Pengaruh ekonomi dan kegiatan pengelolaannya Ada dua pengaruh utama dalam aspek ekonomi dari kegiatan PTFI bagi negara dan masyarakat sekitarnya, yakni: Pertama,
berupa manfaat secara
langsung, seperti: pajak penghasilan badan, royalti, dividen pemerintah dan pajak serta pungutan lain. Kedua, manfaat tidak langsung yang berupa dampak pertumbuhan ekonomi di Papua dan Indonesia (LPEM-FEUI, 2008) dan pelaksanaan komitmen sosialnya yang berupa: Dana Kemitraan atau Dana 1 % untuk pengembangan masyarakat sekitarnya dan dana perwalian untuk masyarakat Amungme dan Komoro, dua suku sebagai pemilik hak ulayat daerah operasi perusahaan. Berikut ini adalah beberapa kontribusi PTFI kepada pertumbuhan ekonomi baik bagi Mimika, Papua maupun bagi Indonesia (pusat) yang merupakan hasil analisa LPEM-FEUI (2008), adalah sebagai berikut: a. Kontribusi terhadap pembentukan PBD dan PDRB. Pada tahun 2007 PTFI diperkirakan memberikan kontribusi pada pembentukan Produk Domestik Bruto Nasional (PDB) adalah sebesar 64,58 trilyun rupiah (2,42 %), sedangkan kontribusi pada pembentukan PDRB Papua pada tahun yang sama adalah sebesar 34,34 triyun rupiah (44,87 %). Kontribusi pada pembentukan PDRB Mimika adalah sebesar 32,71 trilyun (95,56 %). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 29. b. Kontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja.
Pada tahun 2005 PTFI
diperkirakan memberikan kontribusi terhadap penciptaan kesempatan kerja secara nasional sebesar 277 ribu kesempatan orang kerja. Untuk Papua di tahun yang sama, PTFI
memberikan kontribusi terhadap penciptaan
kesempatan kerja secara nasional sebesar 229 ribu kesempatan orang kerja (LPEM-FEUI, 2006).
138
Tabel 29.
Uraian
Dampak ekonomi dan fiskal PTFI kepada negara, Provinsi Papua, dan Kabupaten Mimika tahun 2001 – 2007
2001
Dampak Ekonomi dan Fiskal PTFI (dalam Milyar Rupiah) 2002 2003 2004 2005 2006
2007
PDB Nasional Persentase Kontribusi PTFI (%)
1.646.322
1.821.833
2.013.675
2.295.826
2.784.960
3.339.480
3.957.404
1,75
1,22
1,15
1,08
2,78
2,57
2,42
PDRB Papua Persentase Kontribusi PTFI (%)
24.556
23.097
28,726
31.846
51.538
64.361
76.544
55,34
40,90
46,63
28,53
62,54
56,71
44,87
PDRB Mimika Persentase Kontribusi PTFI (%)
15.051
11.822
15.177
14.907
32.196
33.331
34.237
98,64
97,71
98,19
97,58
97.23
76,51
95,56
APBN Negara Persentase Kontribusi PTFI (%)
-
304.895
340.658
400.334
494.150
654.882
706.791
-
0,59
0,84
0,57
1.69
2,23
2,34
-
2.020
2.276
2.428
2.741
4.895
5.372
-
3,70
3,70
4,28
6,66
6,26
6,35
332
362
392
598
1.024
815
42,33
42,62
42,83
53,44
52,19
74,32
APBD Provinsi Papua Persentase Kontribusi PTFI (%)
APBD Kab. Mimika Persentase Kontribusi PTFI (%) Sumber: LPEM-FEUI (2008)
c. Kontribusi terhadap penerimaan negara. Pada tahun 2007 kontribusi fiskal PTFI terhadap APBN mencapai Rp 16,51 trilyun rupiah atau sekitar 2,34 % dari total APBN. Kontribusi pada APBD Provinsi Papua adalah mencapai 341 milyar rupiah (6,35 %), sedangkan untuk APBD Mimika adalah sebesar 605 milyar rupiah (74,32 %). d. Kontribusi terhadap pengembangan masyarakat pada tahun 2007,
PTFI
telah memberikan kontribusi dalam menyalurkan dana pengembangan masyarakat sebesar 76,74 juta US Dollar atau sekitar 63,83 % dari total dana pengembangan masyarakat yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan di Indonesia. 4.3.5. Kegiatan PTFI terkait penutupan tambang. Beberapa kegiatan perusahaan yang dilakukan saat ini terkait dengan Rencana Penutupan Tambang (RPT), antara laian: a. PTFI telah membuat suatu rencana konseptual pasca tambang pada tahun 1997 sebagai bagian dari studi penunjang ANDAL 300K. Rencana ini mengidentifikasi fasilitas dan operasi utama yang akan dihentikan dan ditutup, jadwal penutupan, tindakan-tindakan yang akan diambil untuk
139
penutupan, serta estimasi biaya untuk kegiatan penutupan tersebut. Dokumen Rencana Pasca Tambang merupakan dokumen yang ‘hidup’ (living document) dan akan diperbarui dari waktu ke waktu. Pada bulan Desember 2004, PTFI menyelesaikan rencana pengelolaan penutupan tambang yang telah diperbaharui. b. PTFI telah menyediakan dana untuk pembiayaan kegiatan penutupan tambang dan reklamasi pada akhir masa tambang dalam bentuk accounting reserve. Hingga akhir triwulan kedua pada tahun 2008 jumlah kewajiban yang telah dibukukan dalam bentuk accounting reserve tersebut sebesar US$ 69.916.301. Disamping itu, sejak tahun 1996 PTFI mulai menyisihkan dana kas secara teratur dalam bentuk deposito yang direncanakan pada akhir masa tambang jumlahnya akan mencapai US$100 juta (sudah termasuk bunga).
Hingga akhir triwulan kedua tahun 2008
jumlah dana deposito
pasca tambang yang telah terakumulasi adalah sebesar US$ 10.664.644 (Laporan RKL/RPL PTFI, 2007). c. Pada tanggal 17 dan 18 Juni 2008, PTFI bekerjasama dengan UNIPA (Universitas
Negeri
Papua)
menyelenggarakan
sebuah
Simposium
Pengelolaan AAB PTFI yang dihadiri oleh ahli-ahli dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan ahli dari luar negeri. Para ahli yang berpartisipasi itu berasal dari institusi pendidikan antara lain: Universitas Negeri Papua (UNIPA); Universitas Negeri Cendrawasih (UNCEN); Institut Teknologi Bandung (ITB); Universitas Gajah Mada (UGM); Universitas Diponogoro (UNDIP); Institut Pertanian Bogor (IPB); dan EGI (Sydney, Australia). Beberapa hasil rumusan simposium itu adalah: (1). PTFI berupaya secara sungguh-sungguh dalam mengelola AAB agar aman bagi lingkungan sekitarnya pada saat ini dan telah mengembangkan praktek-praktek yang baik untuk menyongsong masa penutupan tambang. (2) Hasil-hasil penelitian, praktek-praktek pengelolaan saat ini, dan tahapan pengoperasian tambang terbuka dan tambang bawah serta didukung oleh karakteristik dan potensi alam di sekitar wilayah PTFI yang unik tidak dimiliki industri tambang lain, telah memberikan harapan yang besar dan
keyakinan bahwa
pengelolaan AAB PTFI saat ini dapat dijadikan dasar pengelolaan selanjutnya. (3). PTFI perlu secara terus menerus melakukan perbaikanperbaikan penanganan untuk memberikan keyakinan yang lebih besar disertai pengembangan-pengembangan baru baik dalam segi teknologi yang
140
dipakai maupun aspek lain yang terkait. (4). Simposium ini telah menambah wawasan baik bagi PTFI maupun para akademisi yang hadir.
Dengan
demikian perlu dilakukan secara berkesinambungan dan didokumentasikan dengan baik untuk dijadikan bahan penting dalam membangun industri pertambangan di Papua khususnya dan di Indonesia pada umumnya. d. Strategi
pengelolaan
mempertimbangkan
program
pada
pengembangan
persiapan-persiapan
masyarakat
pencapaian
mulai
pekerjaan
penutupan dan pasca tambang yang efektif dan efisien serta diarahkan untuk keberlanjutan setelah tambang berakhir. Strategi kemitraan yang setara dan saling menguntungkan dalam menyelenggarakan program pengembangan masyarakat adalah salah satu contoh. 4.3.6. Kegiatan PTFI terkait pembangunan berkelanjutan Kegiatan-kegiatan pengelolaan perusahaan baik pada bidang operasi tambang maupun pengelolaan lingkungan hidup dan sosial yang menunjukkan bahwa adanya implementasi prinsip-prinsip PB, adalah sebagai berikut: a.
Prinsip-prinsip PB telah dimasukkan dalam kebijakan perusahaan dan menjadi praktek-praktek pengelolaan operasional perusahaan.
Contoh:
kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan kegiatan “Freeport Goes Green”. Juga, mengembangkan Kawasan Pengamatan Suksesi Alami di MP21 untuk mempromosikan keberadaan sumber daya alam di daerah pengendapan pasir sisa tambang (SIRSAT atau tailings) melalui kegiatan pendidikan dan rekreasi. Proses suksesi alami di area ini terjadi tanpa campur tangan manusia telah menunjukkan keyakinan bahwa bekas lahan tailing dapat dilakukan reklamasi dengan hasil yang baik. b.
PTFI terlibat dalam kegiatan-kegiatan internasional untuk mengaplikasikan prinsip-prinsim PB dalam kegiatan industri tambang. Terlibat dalam MMSD dan menjadi anggotan ICMM, bahkan Presiden and CEO FreeportMcMoRan Copper & Gold, Richard Adkerson sebagai Ketua ICMM pada tahun 2008. ICMM merupakan organisasi internasional yang mendorong implementasi prinsip-prinsip PB sebagai salah satu dasar solusi di sektor tambang dan metal.
c.
Membentuk
Dewan
Penasehat
Pembangunan
Berkelanjutan
atau
Sustainable Development Advisory Council (SDAC) sesuai komitmen perusahaan di dalam AMDAL 300K. Dewan ini berfungsi untuk memberikan
141
saran
dan
rekomendasi
strategis
mengenai
prakarsa-prakarsa
pembangunan berkelanjutan PTFI. SDAC bersidang sekurangnya empat kali setahun untuk menilai dan meninjau hal-hal yang berkaitan dengan program pembangunan berkelanjutan PTFI yang meliputi bidang lingkungan hidup, kesehatan masyarakat, pendidikan, hak-hak azasi manusia, kebudayaan, gender dan pembangunan ekonomi.
Bidang keahlian
para ahli yang
terlibat, antara lain: ahli lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, ahli kesehatan, ahli ekonomi pembangunan, ahli pemberdayaan wanita, ahli antropologi, ahli hukum dan HAM, dan ahli ekologi manusia. d.
Masyarakat telah mampu mengelola program PM-nya sendiri.
Seperti:
LPMAK telah berperan sebagai agen PM yang strategis dan penting. Beberapa pengusaha putra dan putri asli daerah hasil pembinaan dalam Usaha Kecil dan Menengah telah mampu mengelola usahanya dan juga dipercaya oleh pemerintah untuk terlibat dalam proyek-proyek pembangunan di Mimika.
Beberapa peserta program beasiswa telah bekerja di
perusahaan-perusahaan dan pemerintah baik di Papua maupun di luar Papua.
Bahkan beberapa diantaranya menjadi pejabat penting di
Kabupaten Mimika dan Kabupaten lain di Papua. e.
Terjadi
kemitraan
anatara
PTFI
dan
Pemda
Mimika
yang
saling
menguntungkan dalam pelaksanaan program PM, khususnya dibidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi serta pembangunan infrastruktur umum f.
Proyek-proyek kesehatan, pendidikan dan ekonomi telah memberikan keyakinan adanya keberlanjutan. LPMAK mempunyai dua rumah sakit, yaitu RS Waa Banti untuk di dataran tinggi dan RSMM (Rumah Sakit Mitra Masyarakat) di dataran rendah.
g.
Beberapa proyek pertanian dan perikanan dikelola untuk keberlanjutan. Misalnya. Penanaman sagu unggul di Kampung Nayaro seluas 85 hektar. Proyek ini untuk peningkatan pendapatan keluarga, ketahanan pangan dan juga sebagai sumber bibit sagu unggul di wilayah ini.
h.
Pembangunan infrastruktur untuk umum, baik yang langsung diserahkan kepada pemerintah maupun yang dikelola oleh pihak ketiga.
Contoh,
pembangunan dan perluasan bandar udara Moses Kilangin di Timika, dan pembangunan dua lapangan terbang (LAPTER) di daerah dataran tinggi, yaitu Mulu di desa Tsinga dan Ombani di desa Aroanop.
142
BAB V. INDIKATOR-INDIKATOR KEBERLANJUTAN BAGI PENUTUPAN TAMBANG PTFI
5.1. Indikator-Indikator Keberlanjutan Berdasarkan Analisis Faktor Resiko Penutupan dan Prinsip-Prinsip PB. Berdasarkan analisis Faktor Resiko Penutupan (The Closure Risk Factor /CRF) yang dikembangkan oleh Laurence (2001, 2006) dengan mengaplikasikan enam faktor resiko utama pada rencana penutupan tambang (RPT) PTFI maka pada Tabel 30 disajikan hasil analisis CRF berupa faktor-faktor resiko penutupan yang kemungkinan besar dapat terjadi pada SaPeT PTFI yang dijadwalkan pada tahun 2041.
Faktor-faktor resiko ini merupakan hasil identifikasi beberapa
literatur yang relevan, laporan-laporan RKL dan RPL dari PTFI, dan pengamatan langsung di lapangan. Peneliti selama 12 tahun bekerja di daerah operasi PTFI di Kabupaten Mimika dan kurang lebih 3 tahun bekerja di Kantor PTFI di Jakarta telah memberikan pengetahuan dan pengalaman mendalam pada proses analisis ini.
Literatur yang relevan diantaranya dari Warhurst (2000) yang
menjelaskan tentang dampak-dampak penutupan tambang, MMSD (2002) yang mengembangkan nilai-nilai PB pada sektor pertambangan, Azapagic (2004) yang mengembangkan indikator-indikator keberlanjutan di sektor pertambangan, dan GRI (2006) yang mengembangkan bagaimana membuat laporan industri yang menampilkan keberhasilan-keberhasilan menuju PB, khususnya dalam aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi. Tabel 30.
Hasil analisis Faktor Resiko Penutupan (CRF) pada rencana penutupan tambang PTFI
Isu Penutupan Tambang Utama
Sub Isu
Kejadian (Event)
Lingkungan (RE)
Air
Kontaminasi air tanah
Udara
hidup
Probabilitas
Konsekuensi
Resiko Kuantitatif
(P) 6
(K) 9
54
Air asam batuan Salinitas Aliran ke hilir dapat diminum Sedimentasi Debu (radioaktif)
8 7 5
10 8 8
80 56 40
8 4
8 3
64 12
Gas rumah kaca
7
5
35
Emisi gas lain (SO2)
7
5
35
Tabel 30 (Lanjutan) Debu
Tailing
8
8
64
Daerah yang telah direhabilitasi
5
5
25
Tempat timbunan Keindahahan Infrastruktur bangunan, camp, dll Kontaminasi tanah Potensi erosi Revegetasi Pemantapan fauna & flora
8 6 7
8 6 8
64 36 56
8 9 7 8
8 9 7 8
64 81 49 64
Pembentukan kembali timbunan
7
8
56
Zat-zat berbahaya Sisa-sisa hasil ikutan (tails)
8 8
8 8
64 64
Domestik
3
3
9 1072
Lubang terbuka
9
9
81
Selokan-selokan Bangunan/peralatan Ancaman sabotase/pencurian
8 8 9
8 9 7
64 72 63
Udara gas Sub total resiko kemanan dan kesehatan Penggunaan lahan Bernilai tinggi Hutan hujan tropis dan daerah alpine (dekat Lauren Cagar Alam)
6
7
10
10
42 322 100
Masyarakat/sosial
Pemberian hak/konflik
8
8
64
Relokasi/demobilisasi
9
8
72
Serikat pekerja Pemilik tanah
Isu kesehatan Milik masyarakat asli
8 8
8 8
64 64
Dampak pada masyarakat
Dana pengembangan masyarakat Pendapatan Pemda Mimika Pendapatan Provinsi Papua Pendapatan Negara
10
9
90
10
9
90
10
6
60
10
2
Nilai sewa Ketaatan Pekerja
9 5 8
9 5 8
20 524 81 25 64
Bisnis-Bisnis
10
8
80
Sistem lahan
Limbah-limbah
Sub total resiko lingkungan hidup Keamanan/kesehatan
Ketidakamanan pembukaan Infrastruktur Keamanan
Pekerja
Sub total resiko masyarakat/ sosial Hukum / keuangan Pemerintah Pemanfaat (creditors)
144
Tabel 30 (Lanjutan) Kontraktorkontraktor/pemasok barang dan jasa
10
8
80
Pemerintah Penyeluaran rehabilitasi
10 10
5 6
50 60
Protes, PR perusahaan
8
8
64
Rumit
10
10
504 100
Kemajuan rehabilitasi
Kemajuan yang baik
6
9
54
Tim penutupan
Manajemen
5
5
25
Cadangan/ sumberdaya
Kehabisan
8
9
72
8
9
251 2773
Biaya untuk rehabilitasi Sikap permusuhan publik Sub total resiko hukum/keuangan Teknik Rencana penutupan
Sub total resiko teknik Nilai total faktor resiko penutupan Sumber: Hasil Analisis (2009)
Tabel 30 menunjukkan bahwa hasil perhitungan total Faktor Resiko Penutupan tambang PTFI untuk enam komponen yang dianalisis adalah 2773. Laurence (2001, 2006) berpendapat bahwa CRF PTFI adalah > 2000. Dari faktorfaktor resiko yang mempunyai nilai resiko kuantitatif lebih dari 50 akan digunakan sebagai informasi masukan dalam analisis MPE untuk menentukan indikatorindikator keberlanjutan pada SaPeT PTFI. 5.2. Atribut Keberlanjutan Berdasarkan Pendapat PPK 5.2.1. PPK Penutupan Tambang PTFI Identifikasi dan membangun hubungan baik dengan PPK merupakan hal mendasar menuju kesuksesan proses penutupan tambang (ANZMEC, 2000), demikian juga proses konsultasi dengan PPK merupakan persyaratan dari pemerintah (Keputusan Menteri ESDM No. 18 Tahun 2008). Terkait dengan penutupan tambang, analisis stakeholder merupakan sebuah proses untuk mengidentifikasi semua anggota masyarakat yang tertarik pada penutupan tambang
dan siapa-siapa yang akan terpengaruh oleh proses penutupan
tambang.
Analisis ini juga dilengkapi dengan pengaruh, kewenangan, dan
kekuatan dari masing-masing PPK yang telah teridentifikasi.
MMSD (2000)
mengemukakan bahwa pengaruh dari stakeholder akan tergantung pada: 145
ketertarikannya pada hasil akhir penutupan tambang, hak dan wewenang hukum yang
dimilikinya,
akses
ke
pendukung
eksternal
yang
dimiliki,
dan
kemampuannya untuk memblok hasil akhir. Bagaimana PPK terkait dengan PB, seperti yang dijelaskan oleh MacNaughton dan Stephens (2004) bahwa, strategi, metodologi dan sistem pengelolaan PPK yang efektif dapat mencapai PB melalui pencapaian tujuan-tujuan pembangunan ekonomi, perlindungan lingkungan hidup, dan kualitas hidup. Berdasarkan penjelasan sebelumnya dan konsep dari World Bank dan IFC (2002) tentang siapa mengerjakan apa ketika penutupan tambang dalam kerangka PB, pada Tabel 31 disajikan hasil analisis berupa identifikasi dan peranan serta kekuatan pengaruh masing-masing PPK terkait dengan saat penutupan tambang (SaPeT) PTFI yang berkontribusi pada PB, khususnya PB di Kabupaten Mimika. PPK dari unsur pemerintah pusat terdiri dari ESDM, KLH, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPENAS), dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI). PPK dari unsur pemerintah daerah adalah PEMPROV Papua dan PEMDA Mimika.
PPK dari unsur PTFI terdiri dari
manajemen perusahaan dan karyawan perusahaan. PPK dari unsur masyarakat setempat adalah para pemasok setempat (pemasok kebutuhan operasional tambang, kebutuhan rumah tangga karyawan, dan lainnya), penyedia layanan (layanan perbankan, penyedia tenaga kerja, penyedia transportasi, dan lainnya), para pemilik tanah (pemilik tanah ulayat baik di dataran rendah, dataran tinggi dan daerah pesisir).
PPK dari LSM setempat seperti: Lemasko, Lemasa,
LPMAK, YAHAMAK, LBH Timika, dan lainnya.
PPK dari unsur lembaga
internasional dan nasional yang mempunyai kekuatan pengaruh pada penutupan tambang PTFI secara berkelanjutan, antara lain: MMSD, ICMM, UNEP, World Bank, WALHI, JATAM, dan lainnya. Tabel 31. Identifikasi PPK, peranan dan kekuatan pengaruh dalam menuju SaPeT PTFI di Kab. Mimika yang mendukung pencapaian PB Aktor-Aktor PPK Pemerintah Pusat ESDM, KLH, BAPENAS, dan DPRRI
Peranan - Menyediakan kerangka hukum dan regulasi untuk penutupan tambang - Pemantauan dan pengawasan - Menginvestasikan dan mendistribusikan pendapatan ekonomi dan fiskal dari PTFI - Mendorong adanya perencanaan pembangunan di Kawasan Papua dan di Kabupaten Mimika
Kekuatan Pengaruh - Persetujuan dokumen Rencana Reklamasi dan Rencana Penutupan Tambang (RR & RPT)
146
Tabel 31 (lanjutan) Pemerintah Provisi Papua dan Pemda Mimika
PT Freeport Indonesia Manajemen dan karyawan
Masyarakat setempat: Pemasok setempat, penyedia layananlayanan, pemilik tanah, dll LSM setempat: LEMASKO, LEMASA, LPMAK, YAHAMAK, dll
Lembaga Nasional & Internasional World Bank, UNEP, ICMM, MMSD. WALHI, JATAM, dll.
- Membangun mitra untuk membuat perencanaan pembangunan regional atau kawasan setempat. - Pemantauan dan pengawasan - Menghindari ketergantungan pada perusahaan - Menggunakan pendapatan dari tambang saat ini untuk persiapan dan membangun masa depan. Seperti: mengembangkan kegiatankegiatan ekonomi berkelanjutan - Membuat RR & RPT - Mendukung RPT yang disetujui dengan penyediaan dana, teknologi, tenaga ahli, dan tenaga kerja - Pemantauan dan pengawasan - Membangun kemitraan dengan Provinsi Papua dan Pemda Mimika dalam rangka membangun kemampuan dan modal sosial setempat - Mendukung pelaksanaan penutupan tambang - Menghindari ketergantungan pada perusahaan - Menggunakan pendapatan dari tambang saat ini untuk persiapan dan membangun masa depan - Mendukung pelaksanaan penutupan tambang - Menghindari ketergantungan pada perusahaan - Menggunakan pendapatan dari tambang untuk persiapan dan membangun masa depan - Membangun dan mengembangkan strandarstrandar dan pedoman-pedoman terbaik penutupan tambang bekerjasama dengan pemerintah, PTFI, dan masyarakat - Penyebaran praktek-praktek terbaik penutupan tambang
- Persetujuan dokumen RR & RPT Membentuk dan menyetujui komite penutupan tambang (KPT)
- Melaksanakan RR & RPT sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku, termasuk kesepakatankesepakatan yang dibuat bersama Pemda dan masyarakat Mimika - Berpartisipasi dalam proses konsultasi saat pembuatan dokumen Rencana Penutupan Tambang - Memantau kegiatan tambang dan penutupan - Berpartisipasi dalam proses konsultasi saat pembuatan dokumen Rencana Penutupan Tambang - Memantau kegiatan tambang dan penutupan - Mendukung Pemda Papua dan Mimika dalam: perencanaan pembangunan, mengembangkan sektor ekonomi sebagai pengganti sumber ekonomi dari PTFI
Sumber: Hasil Analisis (2009)
5.2.2. Faktor-Faktor Penting dan Strategis Penutupan Tambang Menurut PPK Berdasarkan form kuesioner yang telah diisi oleh para responden yang mewakili PPK, faktor-faktor penting dan strategis yang dibutuhkan pada SaPeT PTFI
dapat dilihat pada Tabel
32.
Faktor-faktor tersebut kemudian
dikelompokkan kembali ke dalam indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup atau ekologi.
147
Tabel 32. Faktor-faktor strategis penutupan tambang PTFI menurut PPK No
Faktor strategis penutupan tambang
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Penanganan tailing Penanganan pencemaran dan kasus-kasus lingkungan Upaya-upaya pemantapan kembali flora Upaya-upaya Pemantapan kembali fauna Penanganan munculnya bencana banjir, tanah longsor, dan lainnya Pengunaan lahan akhir untuk perternakan, perikanan, kehutanan Penggunaan lahan akhir untuk daerah industri, komersial, perumahan Penggunaan lahan akhir untuk taman nasional atau daerah budaya Pemulihan akses masyarakat kepada sumber daya (hutan, laut dan gunung)
10 11 12 13 14 15
Perlindungan bagi keselamanatan ekologis dan manusia Fungsi pelayanan kesehatan Peningkatan tingkat pendidikan masyarakat Peningkatan kualitas SDM Pembangunan sektor pengganti pertambangan Peran masyarakat adat dalam pengambilan keputusan dan berkomunikasi dengan perusahaan
Lingkungan Sosial Sosial Sosial ekonomi Sosial
16
Jumlah keberhasilan program sosial yang dilaksanakan oleh PTFI dan Pemda Mimika
Sosial
17 18
Peranan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan Penyerahan fasilitas-fasilitas perusahaan untuk mendukung pembangunan selanjutnya
Lingkungan Sosial
19
Ketersediaan hukum dan regulasi yang mengatur penutupan tambang dari pusat, propinsi dan daerah Pembentukan lembaga atau forum untuk mempersiapkan penutupan tambang Tingkat ketersediaan teknologi penutupan tambang Ketersediaan dana untuk biaya penutupan tambang Tersedia rencana penutupan tambang Ketersediaan tim penutupan tambang di perusahaan yang lengkap keahliannya Pembukaan jalur-jalur transportasi yang mudah ke Pasifik dan Australia Perencanaan pembuatan pariwisata di daerah bekas tambang Pembukaan pasar ke Pasifik dan Ke Australia Perlu adanya koleksi plasma nuffah untuk flora dan fauna Dibuka lembaga pendidikan Perguruan Tinggi khusus pertambangan Penyamaan persepsi Pemda Mimika dan PTFI untuk persiapan penutupan tambang Peranan pemerintah dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan Kebudayaan asli masyarakat diperkenalkan ke nasional dan internasional Masyarakat dilatih untuk menghasilkan pendapatan yang tidak tergantung pada tambang Penyediaan sarana transportasi antara dataran tinggi dan dataran rendah Peranan pemerintah Mimika, povinsi dan pusat dalam proses penutupan tambang Perlu penyusunan PERDA untuk persiapan penutupan tambang-SK Bupati dulu Perlu badan pengelola tutup tambang dan atau pasca tambang Tersedia pusat energi alami untuk kegiatan pembangunan ekonomi berkelanjutan Penyerahan fasilitas di Tembagapura sebagai ibu kota distrik Tembagapura Dana abadi untuk pengembangan masyarakat masa pasca tambang
Sosial
20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Kelompok Indikator Lingkungan Lingkungan Lingkungan Lingkungan Lingkungan Lingkungan Lingkungan Lingkungan Sosial
Sosial Lingkungan ekonomi Sosial Sosial Ekonomi Ekonomi ekonomi Lingkungan Sosial Sosial Sosial Sosial ekonomi Sosial Sosial Sosial Lingkungan Sosial Sosial
148
Sumber: Hasil analisis kebutuhan PPK (2009)
5.3. Penentuan Indikator-Indikator Keberlanjutan Penutupan Tambang PTFI
Hasil
analisis
Faktor
Resiko
Penutupan
Tambang
pada
PTFI
digabungkan dengan hasil analisis kebutuhan PPK dikaji dalam menentukan indikator-indikator keberlanjutan. Teknik analisis yang digunakan adalah Metode Pembandingan Eksponensial (MPE). Kriteria pemilihan didasarkan pada: (1) tingkat efektifitas mempunyai nilai bobot kriteria tiga (3), (2) tingkat keseriusan pengaruh bernilai bobot kriteria (3), (3) tingkat pengaruh pada keberlanjutan mempunyai nilai bobot kriteria (4). Untuk menentukan pengaruh masing-masing atribut atau indikator berdasarkan kriteria yang ada maka digunakan nilai satu (1) yang menunjukkan pengaruh rendah pada kriteria yang ada. Nilai dua (3) menunjukkan pengaruh sedang dan nilai 5 (lima) menunjukkan pengaruh tinggi dari atribut tersebut pada kriteria. Nilai angka dua (2) dan empat (4) dapat digunakan bila nilai dari atribut itu pengaruhnya pada kriteria terletak masing-masing diantara nilai satu (1) ke tiga (3) dan nilai tiga (3) ke lima (5). Hasil analisis untuk menentukan indikatorindikator keberlanjutan penutupan tambang PTFI dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Hasil perhitungan MPE untuk atribut-atribut yang menentukan indikator-indikator keberlanjutan pada penutupan tambang PTFI
No
A 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Aspek dan Atribut
Lingkungan Penanganan tailing Pemantapan kembali flora Pemantapan kembali fauna Penanganan pencemaran air permukaan dan air tanah (AAB) serta emisi-emisi lainnya Reklamasi daerah yang terganggu Restorasi habitat yang terganggu Minimisasi beban abadi pada lingkungan Pembentukan lahan akhir Perlindungan pada ekosistem dan manusia
Kreteria Penentuan Penentuan Atribut Penutupan Tambang Efek KesePengatifiriusan ruh tas Penga- pada ruh Keberlan -jutan
Skor MPE
Rangking
4 4 4
4 3 3
5 3 3
3445 388 388
5 17 17
3
3
3
351
18
5 3
3 3
3 3
449 351
16 18
5
3
5
3331
6
3
5
5
3777
3
3
3
5
3233
8
149
10
Kontribusi pada pelestarian lingkungan global
3
2
4
1067
14
1
3
1
83
21
3
3
5
3233
8
3
3
5
3233
8
3
3
5
3233
8
3
1
3
271
19
4
5
5
3814
2
5
3
4
1230
12
4
3
4
1169
13
5 3
5 5
5 3
3875 895
1 15
4
3
5
3270
7
4 5 4 4
4 4 4 4
5 5 4 5
3445 3506 1344 3445
5 4 11 5
5
5
5
3875
1
4
5
5
3814
2
3
3
3
351
18
5
3
3
449
16
4
4
5
3445
5
5
5
4
1774
9
5
5
4
1774
9
4
4
5
3445
5
5
5
5
3875
1
5
5
5
3875
1
1
3
1
83
21
5
5
5
3875
1
5
5
5
3875
1
3
3
5
3233
8
Tabel 33 (Lanjutan) 11
12
13 14 15 B 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 C 34 35 36 37 38 39
Penanganan munculnya bencana banjir, longsor dan bencana alam lain karena aktifitas pertambangan Penanganan lingkungan hidup secara keseluruhan di wilayah Mimika (penggunaan produksi bersih, penggunaan SDA secara berkelanjutan, dll) Konservasi dan peningkatan sumberdaya alam Ketersediaan teknologi penutupan Kemajuan-kemajuan dari kegiatan rehabilitasi (reklamasi dan lainya) dibandingkan rencana Sosial Pelayanan kesehatan dan pendidikan Peranan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan dan komunikasi dengan perusahaan Peranan masyarakat dalam pengambilan keputusan pembangunan di Mimika Peningkatan kualitas SDM Tingkat stabilitas sosial Pemulihan hak masyarakat dalam mengorganisasikan Pengembangan budaya setempat Peningkatan keterampilan kerja Penciptaan lapangan kerja baru Ketaatan terhadap regulasi terkait Pembentukan lembaga atau forum penutupan tambang Ketersediaan hukum dan regulasi penutupan tambang Penanganan konflik Peranan lembaga lokal dalam penanganan pelanggaran hukum terkait dengan aspek lingkungan , ekonomi, dan sosial Penyerahan fasilitas-fasilitas perusahaan Pembentukan tim penutupan Adanya rencana penutupan tambang yang memenuhi syarat. Tersedianya dana abadi Ekonomi Keberadaan pasar untuk produkproduk lokal Jumlah kegiatan ekonomi di Mimika yang tujuan pasarnya selain ke PTFI Jumlah pendapatan penduduk Mimika yang dibelanjakan ke luar Mimika Pembangunan sumber ekonomi lain selain pertambangan PTFI Jumlah tujuan pasar produk sektor selain tambang ke luar Mimika (nasional atau internasional) Pengembangan lembaga keuangan
150
di masyarakat Distribusi pendapatan masyarakat
40
3
3
5
3233
8
5
5
5
3875
1
3
3
1
109
20
4 3 5
4 3 5
5 5 4
3445 3233 1774
5 8 9
3
4
5
Tabel 33 (Lanjutan) Kontribusi sumber ekonomi selain tambang kepada PDRB Kontribusi sumber ekonomi tambang kepada PDRB Perkembangan pemasok lokal Peningkatan iklim investasi Ketersediaan biaya penutupan Bobot
41 42 43 44 45
Sumber : Hasil Analisis (2009) Tabel 34 menunjukkan indikator-indikator keberlanjutan yang dipilih dari atribut-atribut atau indikator yang mempunyai nilai rangking 10 besar. Indikator ini digunakan untuk menentukan faktor penggerak kunci dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan dengan menggunakan teknik ISM. Tabel 34. Indikator-indikator keberlanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi dengan nilai MPE tertinggi pada penutupan tambang PTFI No
Indikator Lingkungan
Indikator Sosial
Indikator Ekonomi
Minimisasi beban abadi pada lingkungan Pembentukan lahan akhir
Pelayanan kesehatan dan pendidikan Peningkatan kualitas SDM
3
Perlindungan pada ekosistem dan manusia
4
Penanganan lingkungan hidup secara keseluruhan di wilayah Mimika
Pemulihan hak masyarakat dalam mengorganisasikan Pengembangan budaya setempat
Keberadaan pasar untuk produkproduk lokal Jumlah kegiatan ekonomi di Mimika yang tujuan pasarnya selain ke PTFI Pembangunan sumber ekonomi lain selain pertambangan PTFI
5
Konservasi dan peningkatan sumberdaya alam Ketersediaan teknologi penutupan
1 2
6
7
Penanganan tailing
8 9 10
Peningkatan keterampilan kerja Pembentukan lembaga atau forum penutupan tambang Ketersediaan hukum dan regulasi penutupan tambang Tersedianya dana abadi Kesehatan dan keamanan sosial
Jumlah tujuan pasar produk sektor selain tambang ke luar Mimika (nasional atau internasional) Pengembangan lembaga keuangan di masyarakat Distribusi pendapatan masyarakat Kontribusi sumber ekonomi selain tambang kepada PDRB Peningkatan iklim investasi Ketersediaan biaya penutupan Perkembangan pemasok barang dan jasa
Sumber : Hasil Analisis (2009)
151
BAB VI. FAKTOR-FAKTOR PENGGERAK KUNCI PENUTUPAN TAMBANG PTFI BERKELANJUTAN
6.1. Struktur Faktor Penggerak Kunci Penutupan Tambang Berkelanjutan Menurut rujukan Saxena 1994 dalam MCA (2000),
Marimin (2005), ANZMEC dan
MCA (2005), AGDITR (2006), World Bank dan IFC (2002),
Laurence (2001, 2006), Kempton (2003), Azapagic (2004), Roseland (2005), dan ICMM (2008) serta berdasarkan hasil kajian pendapat pakar maka disusunlah program untuk menuju penutupan tambang mineral berkelanjutan yang terbagi atas lima elemen, yaitu: (1) Sektor masyarakat yang terpengaruh (2) Kebutuhan dari program (3) Kendala utama (4) Tujuan dari program (5) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan Lima elemen hasil kajian ini, kemudian pada setiap elemennya dijabarkan menjadi rincian sejumlah sub elemen. Sub elemen ini berupa indikator-indikator keberlanjutan yang merupakan hasil dari analisis MPE sebelumnya yang mempunyai nilai tinggi, yang telah dipilah-pilah sesuai dengan konteks kelima elemen program tersebut. Berikut ini adalah hasil hubungan kontekstual antar sub elemen pada setiap elemen yang digambarkan dalam bentuk terminologi sub-ordinat yang mengacu pada perbandingan berpasangan antar sub elemen, dimana terkandung suatu arahan pada hubungan tersebut (Eriyanto, 1998) Hasil yang digunakan dalam model ISM adalah kajian dari pendapat pakar melalui wawancara mendalam seperti yang tertuang pada Matriks Interaksi Tunggal Terstruktur (Structural self Interaction Matrix/SSIM). Pakar yang terlibat dalam proses ini adalah pakar dari kalangan perguruan tinggi, industri tambang, dan pemerintah serta LSM yang terpilih berdasarkan pengetahuan, pengalaman di bidang pertambangan, dan juga mereka mengenal operasi PTFI dari dekat. 6.1.1. Elemen Sektor Masyarakat yang Terpengaruh Tabel 35 menunjukan 14 sub elemen hasil
kajian elemen sektor
masyarakat yang terpengaruh pada program membangun sistem penutupan
tambang mineral berkelanjutan.
Hasil kajian sub elemen pada analisis ISM
berupa: (a) Matriks Reachability dan interpretasi dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program, yang disajikan pada Tabel 36. (b) Matriks Driver Power-Dependence untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program, disajikan pada Gambar 15. (c) Diagram model struktural ISM dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program seperti disajikan pada Gambar 16. Tabel 35. Sub elemen pada elemen sektor masyarakat yang terpengaruh No
Sub Elemen
Atribut
1
Penutupan pemasok barang dan jasa Pelayanan pendidikan dan kesehatan dari PTFI
Pemasok barang dan jasa setempat kehilangan tujuan pasarnya ke PTFI Pelayanan untuk kegiatan pendidikan dan kesehatan yang biasa diberikan PTFI dapat terhenti, seperti RSMM, RS Waa Banti, Asrama-asrama pelajar, dll Perlindungan dan pelestarian lingkungan di dalam dan yang mungkin berpengaruh ke luar dari daerah operasi PTFI dapat terhenti Pendapatan masyarakat akan berkurang, karena para karyawan dan keluarganya meninggalkan Mimika Dana pengembangan masyarakat akan terhenti, termasuk dukungan dana dan bantuan teknis kepada LSM-LSM lokal Permintaan tenaga kerja setempat akan terhenti
2
3
4 5
6 7 8
9
10 11
Kegiatan perlindungan dan pelestarian lingkungan di daerah operasi PTFI Kehilangan pendapatan masyarakat Dana pengembangan masyarakat terhenti Permintaan tenaga kerja setempat menurun Kehilangan nilai rumah dan lahan Keadaan lingkungan meningkat membaik pada daerah yang terganggu Berkurangnya untuk pemeliharaan transportasi dan infrastuktur umum Hilangnya sumber pendapatan daerah ( PDRB terganggu) Kehilangan hak untuk mengorganisasikan
12
Kesehatan dan keamanan masyarakat
13
Akses masyarakat kepada SDA pulih Kemungkinan terjadinya konflik
14
Nilai rumah dan lahan akan menurun pada SaPeT Keadaan daerah yang terganggu membaik sebab terhentinya sumber pencemaran lingkungan dari limbah dari operasi PTFI. Transportasi dan infrastruktur umum yang saat ini dibantu PTFI akan terpengaruh Kontribusi PTFI pada PDRB Mimika akan terhenti Lembaga-lembaga yang didirikan bersama antara pemerintah, PTFI dan masyarakat atau lembaga milik masyarakat dapat menurun kegiatannya bahkan kemungkinan bisa terhenti Kemungkinan timbulnya sisa-sisa pencemaran karena tidak ditangani dengan tepat yang berpengaruh pada kesehatan dan keamanan masyarakat Membaiknya daerah yang terganggu, masyarakat dapat kembali mempunyai akses ke SDA semula Konflik bisa terjadi karena masyarakat kehilangan pekerjaan, rasa pengangguran, perebutan hak, dan lainnya.
Sumber: Hasil Analisis (2009)
Tabel 36 menunjukkan bahwa elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program mempunyai tingkatan elemen kunci rangking satu sampai empat dengan nilai Driver Power tertinggi bernilai 10 dan terendah bernilai 1. Sub elemen peringkat satu adalah sub elemen kunci yaitu: (1) penutupan pemasok
153
barang dan jasa dan (3) kegiatan perlindungan dan pelestarian lingkungan di daerah operasi PTFI. Tabel 36.
Hasil matriks reachability dan interpretasi dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program
Sub elemen
E1
E2
E3
E4
E5
E6
E7
E8
E9
E10
E11
E12
E13
E14
DP
EK
E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 0 0 1 1
0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 0 0 1 1
1 1 1 1 1 1 0 0 1 1
1 1 1 1 1 1 0 0 1 1
0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
1 1 1 1 1 1 0 0 1 1
1 1 1 1 1 1 0 0 1 1
1 1 1 1 1 1 0 0 1 1
1 1 1 1 1 1 0 0 1 1
0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
1 1 1 1 1 1 0 0 1 1
10 9 10 9 9 9 1 2 9 9
1 2 1 2 2 2 4 3 2 2
E11
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
2
3
E12
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
4
E13
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
4
E14
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
4
Dep
1
8
1
8
8
8
1
1
8
8
9
9
2
10
3
3
3
5
5
3
3
2
2
4
1
Level 5 3 5 Sumber : Hasil Analisis (2009)
Keterangan: Dep = Dependence DP = Driver Power EK = Elemen Kunci atau rangking
Angka 1 = Terdapat hubungan kontektual Angka 0 = Tidak terdapat hubungan kontektual
E1, E3
10 E2, E4, E5, E6, E9, E10
9
D a y a
8
Sektor IV (Independence)
Sektor III (Linkage) 7 6
D o0 1 2 3 r Sektor I (Autonomus) o n g E8 E7
E13
5 4
4 3
5
6
7
8
9
10
Sektor II (Dependent)
2
E11
1
E12 E14
0 Ketergantungan (Dependence)
Gambar 15. Matriks Driver Power-Dependence untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program 154
Gambar 15 dan Gambar 16 menunjukkan faktor-faktor kunci penggerak elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program menuju sistem penutupan tambang berkelanjutan dengan studi kasus RPT PTFI yaitu sub elemen-sub elemen yang terletak pada sektor IV (independent): (1) penutupan pemasok barang dan jasa dan (3) kegiatan perlindungan dan pelestarian lingkungan di daerah operasi PTFI. Dua sektor masyarakat tersebut adalah termasuk peubah bebas, berarti mempunyai kekuatan pengerak (driver power) yang besar terhadap keberhasilan program, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap program (strong driver weak dependent variable)
Level-1:
Level-2:
E7. Nilai rumah dan lahan
E12. Kesehatan dan keamanan masyarakatt
E13. Akses masyarakat pada SDA
E8. Keadaan Lingkungan membaik pada daerah yang terganggu
E14. Kemungkinan Terjadinya konflik
E11. Kehilangan hak mengorganisasikan
Level-3: E2. Pelayanan pendidikan & kesehatan dari PTFI
E4. Kehilangan pendapatan masyarakat
Level-4:
E5. Dana pengembangan masyarakat
E6. Permintaan tenaga kerja setempat
E1. Penutupan pemasok barang dan jasa
E9. Pemelihataan transportasi dan infrastruktur umum
E10. Sumber pendapatan daerah
E3. Perlindungan dan Pelestarian lingkungan Di daerah operasi PTFI
Gambar 16. Diagram model ISM dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program Sektor masyarakat yang terpengaruh program penutupan tambang berkelanjutan seperti: pelayanan kesehatan dan pendidikan dari PTFI (2), kehilangan pendapatan
masyarakat (4), dana pengembangan masyarakat
terhenti (5), permintaan tenaga kerja setempat menurun (6), berkurangnya untuk pemeliharaan transportasi dan infrastuktur umum (9), dan hilangnya sumber pendapatan daerah (10) merupakan peubah linkages dari sistem.
Setiap
tindakan untuk meningkatkan peranan dari sektor-sektor tersebut akan menghasilkan sukses program menuju sistem penutupan tambang mineral
155
berkelanjutan, sedangkan lemahnya perhatian terhadap sektor-sektor tersebut akan menyebabkan kegagalan program. Analisis lebih lanjut pada sektor II (dependent), menunjukkan bahwa sektor-sektor masyarakat yang terpengaruh seperti:
kehilangan hak untuk
mengorganisasikan (11), kesehatan dan keamanan masyarakat (12), dan kemungkinan terjadinya konflik (14) adalah termasuk peubah tidak bebas terhadap peubah lainnya dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan. 6.1.2. Elemen Kebutuhan dari Program Tabel 37 menunjukkan 13 sub elemen hasil
kajian elemen sektor
masyarakat yang terpengaruh pada program membangun sistem penutupan tambang mineral berkelanjutan.
Hasil kajian sub elemen pada analisis ISM
berupa: (a) Matriks Reachability dan interpretasi dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program, yang disajikan pada Tabel 38. (b) Matriks Driver Power-Dependence untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program, disajikan pada Gambar 17. (c) Diagram model struktural ISM dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program disajikan pada Gambar 18. Tabel 37. Sub elemen kebutuhan dari program No
Sub Elemen
Atribut
1
Kualitas SDM
2
Kebijakan pemerintah
3
Badan pengelola penutupan tambang berkelanjutan Teknologi penutupan tambang
Kualitas SDM yang terampil bagi penutupan dan pembangunan kedepan Kebijakan pemerintah terkait pengelolaan SDA berkelanjutan Sebuah badan dibentuk dan terdiri dari PPK
4 5
9
Pemasaran dan aksesibilitas pasar lokal dan luar Infrastruktur yang memadai Investasi membangun sumber ekonomi baru Teknologi pengembangan produk baru Biaya penutupan tambang
10
Dana abadi
11
Keterlibatan PPK dalam penyusunan RPT (rencana penutupan tambang Mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah
6 7 8
12
13
Pelayanan pendidikan dan kesehatan
Teknologi penutupan tambang yang tepat salah kunci sukses penutupan Pemasaran dan aksesibilitas pasar lokal dan luar bagi produk-produk baru setempat Infrastruktur Investasi untuk meningkatkan kegiatan ekonomi baru dan persiapan pemulihan ekonomi nanti SaPeT Teknologi untuk mengembangkan produk unggulan baru, misalnya: produk dari sagu Biaya penutupan tambang tersedia sejak tambang masih dioperasikan Dana abadi untuk melanjutkan program pengembangan masyarakat saat ini Keterlibatan peran para pemangku kepentingan (PPK) dalam penutupan tambang Pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah serta koperasi sebagai tulang punggung ekonomi kerakyatan Keberlanjutan pelayanan pendidikan dan kesehatan terus berlanjut
Sumber: Hasil Analisis (2009)
156
Tabel 38 menunjukkan bahwa elemen kebutuhan dari program mempunyai tingkatan elemen kunci rangking satu sampai empat dengan nilai Driver Power tertinggi bernilai 13 dan terendah bernilai 8. Sub elemen peringkat satu adalah sub elemen kunci yaitui: (1) kualitas SDM Tabel 38.
Sub Elemen E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 Dep
E 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
E2 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
Hasil matriks reachability dan interpretasi dari elemen kebutuhan dari program E3 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3
E4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 12
E5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 12
E6 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 3
E7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 12
E8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 12
E9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 12
E10 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 3
E11 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 12
E12 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 12
E13 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13
2
3
2
2
2
3
2
2
1
Level 5 4 3 2 Sumber : Hasil Analisis (2009)
Keterangan: Dep = Dependence DP = Driver Power EK = Elemen Kunci atau rangking
10 E2, E4, E5, E6, E9, E10
9 Sektor IV (Independent)
Daya dorong ( Driver power)
Elemen Kunci 1 2 3 4 4 3 4 4 4 3 4 4 5
Angka 1 = Terdapat hubungan kontektual Angka 0 = Tidak terdapat hubungan kontektual
E1, E3
0
Driver Power 13 12 9 8 8 9 8 8 8 9 8 8 1
8
Sektor III (Linkage)
7 6 5 1
2
3
Sektor I (Autonomus)
E8 E7
E13
4
4 3
5
6
7
8
9
10
Sektor II (Dependent)
2
E11
1
E12 E14
0
Ketergantungan ( Dependence)
Gambar 17. Matriks Driver Power-Dependence untuk elemen kebutuhan dari program 157
Gambar 17 dan Gambar 18 menunjukkan faktor-faktor kunci penggerak elemen kebutuhan program menuju sistem penutupan tambang berkelanjutan dengan studi kasus RPT PTFI. Faktor kunci tersebut adalah sub elemen-sub elemen yang terletak pada sektor IV (independent), yaitu: (1) kualitas SDM (3) Badan Pengelola Penutupan Tambang Berkelanjutan (BPPTB), (6) infrastruktur yang memadai, dan (10) pelayanan pendidikan dan kesehatan. Keempat sub elemen tersebut adalah termasuk peubah bebas, berarti mempunyai kekuatan pengerak (driver power) yang besar terhadap keberhasilan program, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap program (strong driver weak dependent variable).
Level-1:
E13. Pelayanan pendidikan & kesehatan
Level-2: E4. Teknologi penutupan tambang
Level-3:
E5. Pemasaran & akssesibilitas pasar lokal & luar
E7. Investasi membangun sumber ekonomi baru
E3. Badan Pengelola Penutupan Tambang Berkelanjutan
Level-4:
Level-5:
E8. Teknologi pengembangan produk baru
E6. Infrastruktur yang memadai
E9. Biaya penutupan tambang
E11. Keterlibatan PPK dalam RPT
E12. Mengembang. usaha mikro. Kecil & menengah
E10. Dana abadi
E2. Kebijakan pemerintah
E1. Kualitas SDM
Gambar 18. Diagram model ISM dari elemen kebutuhan dari program Kebutuhan-kebutuhan
program
penutupan
tambang
berkelanjutan
seperti: teknologi penutupan tambang (4), pemasaran dan aksesibilitas pasar lokal dan luar (5), investasi membangun sumber ekonomi baru (7), teknologi pengembangan produk baru (8), biaya penutupan tambang (9), keterlibatan PPK dalam penyusunan RPT (11) dan mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (12) merupakan peubah linkages dari sistem atau terletak di sektor III pada Gambar 17. Setiap tindakan untuk meningkatkan peranan dari kebutuhankebutuhan program atau peubah-peubah tersebut akan menghasilkan sukses 158
program menuju sistem penutupan tambang mineral berkelanjutan, sedangkan lemahnya perhatian terhadap peubah-peubah tersebut akan menyebabkan kegagalan program. Analisis lebih lanjut pada sektor II (dependent), menyatakan bahwa kebutuhan program seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan (13) adalah termasuk peubah tidak bebas terhadap peubah lainnya dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan. 6.1.3. Elemen Kendala Utama Tabel 39 menunjukkan 13 sub elemen hasil
kajian elemen kendala
utama program membangun sistem penutupan tambang mineral berkelanjutan. Hasil kajian sub elemen pada analisis ISM berupa: (a) Matriks Reachability dan interpretasi dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program, disajikan pada Tabel 40.
(b) Matriks Driver Power-Dependence untuk elemen sektor
masyarakat yang terpengaruh program, disajikan pada Gambar 19. (c) Diagram model struktural ISM dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program disajikan pada Gambar 20. Tabel 39. Sub elemen kendala utama program No
Sub Elemen
Atribut
1
Keterbatasan keterampilan SDM
2
Kemampuan PEMDA untuk memimpin
3
Keterlibatan PPK dalam penyusunan RPT Terbatasnya infrastruktur yang memadai Timbulnya konflik
Keterampilan SDM yang belum mencukupi dalam menyusun kegiatan keberlanjutan manfaat tambang Kemampuan PEMDA dalam memimpin untuk menuju penutupan tambang berkelanjutan masih perlu dibangun Keterlibatan PPK, khususnya masyarakat dalam penyusunan RPT belum terakomodasi baik Infrastruktur saat ini belum menunjukkan atau memadai dalam pembangunan kedepan Konflik dalam memperebutkan fasilitas perusahaan, hilangnya pekerjaan dan hak mengorganisasikan Sektor pengganti belum dikembangkan dengan perencanaan yang tepat dan jangka panjang Biaya penutupan yang dipersiapkan belum tentu dapat menyelesaikan pembiayaan kegiatan penutupan Dana abadi belum dibentuk dalam melanjutkan kegiatan pengembangan masyarakat Kebijakan yang ada belum ditujukan untuk tercapainya tujuan-tujuan PB Pemasaran keluar dan kedalam Kabupaten Mimika terbatas karena sarana dan prasarana yang tidak memadai PTFI belum mensosialisasikan RPTnya
4 5 6 7
Perkembangan sektor pengganti ekonomi non tambang yang lambat Keterbatasan biaya penutupan
8
Belum adanya dana abadi
9
Kebijakan penutupan belum berorientasi pada PB Rendahnya akses pasar
10
11 12
13
Kurang sosialisasi RPT perusahaan pada masyarakat Keterbatasan kemampuan teknologi penutupan Kontribusi yang sangat nyata PTFI pada PDRB Mimika dan PDB
Teknologi yang masih terbatas dalam menangani pencemaran lingkungan. Misalnya: AAB, penanganan Limbah dan lainnya Kontribusi yang tinggi belum dikelola baik dalam menciptakan sumber ekonomi pengganti tambang
159
Propinsi Papua
dan peningkatan infrastruktur
Sumber: Hasil Analisis (2009)
Tabel 40 menunjukkan bahwa elemen kendala utama program mempunyai tingkatan elemen kunci rangking satu sampai lima dengan nilai Driver Power tertinggi bernilai 12 dan terendah bernilai 1. Sub elemen peringkat satu, yaitu: (1) keterbatasan keterampilan SDM dan (2) kemampuan PEMDA untuk memimpin. Tabel 40.
Sub Elemen E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 Dep
E1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
E2 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
Hasil matriks reachability dan interpretasi dari elemen kendala utama program. E3 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 4
E4 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3
E5 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 10
E6 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 1 0 1 9
E7 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 1 0 1 9
E8 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 4
E9 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 3
E10 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 10
E11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
E12 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 1 1 1 10
E13 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3
1
2
2
3
4
1
6
1
4
Level 5 5 3 4 Sumber : Hasil Analisis (2009)
Keterangan: Dep = Dependence DP = Driver Power EK = Elemen Kunci atau rangking
E1, E2
Driver Power 12 12 6 6 1 5 5 1 6 1 7 1 7
Elemen Kunci 1 1 3 3 5 4 4 5 3 5 2 5 2
Angka 1 = Terdapat hubungan kontektual Angka 0 = Tidak terdapat hubungan kontektual
12
Sektor IV (Independent)
Sektor III (Linkage)
11 10
D a y a
9 8 E11
E13
7
E4, E9 E3 6 3 4 5 5
D0 1 2 o r o n g Sektor I (Autonomus)
6
7
8
9 E6, E7 10
4 3 2
Sektor II (Dependent)
E8 1
E5, E10, E12
0 Ketergantungan (Dependence)
160
Gambar 19. Matriks Driver Power-Dependence untuk elemen kendala utama program Gambar 19 dan Gambar 20 menunjukkan faktor-faktor kunci penggerak elemen
kendala
utama
program
menuju
sistem
berkelanjutan dengan studi kasus RPT PTFI.
penutupan
tambang
Faktor tersebut adalah sub
elemen-sub elemen yang terletak pada sektor IV (independent), yaitu: keterbatasan keterampilan SDM(1), kemampuan PEMDA (Mimika) untuk memimpin (2), kurang sosialisasi RPT perusahaan pada masyarakat (11), kontribusi yang sangat nyata PTFI pada PDRB Mimika dan PDB Provinsi Papua (13). Keempat elemen kendala utama tersebut adalah termasuk peubah bebas, berarti mempunyai kekuatan pengerak (driver power) yang besar terhadap keberhasilan program, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap program (strong driver weak dependent variable)
Level-1:
Level-2:
Level-3:
Level-4:
E5. Timbulnya konflik
E8. Belum adanya dana abadi
E6. Perkembangan sektor pengganti ekonomi non tambang yang lambat
E3. Keterlibatan PPK dlm menyusun RPT
E4. Terbatasnya infrastruktur yang memadai
E1. Keterbatasan Keterampilan SDM
E10. Rendahnya akses ke pasar
E12. Keterbatasan kemanpuan Teknologi penutupan
E7. Keterbatasan biaya penutupan
E9. Kebijakan penutupan tambang yang belum berorientasi PB
E2. Kemampuan Pemda untuk memimpin
E13. Kontribusi sangat nyata PTFI pada PDRB Mimika & PDB Provinsi
E11. Kurang sosialisasi RPT perusahaan pada masyarakat
Gambar 20. Diagram model ISM dari elemen kendala utama program
Analisis lebih lanjut pada sektor II (dependent), menunjukkan bahwa kendala-kendala utama program seperti: timbulnya konflik (5), perkembangan sektor pengganti ekonomi non tambang yang lambat (6), keterbatasan biaya penutupan (7), rendahnya akses pasar (10), dan keterbatasan teknologi penutupan (12) adalah termasuk peubah tidak bebas terhadap peubah lainnya dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan.
Sub elemen belum adanya
dana abadi berada di sektor I atau bersifat autonomus. Peubah ini berdiri sendiri 161
tidak mempengaruhi atau tidak dipengaruhi sistem sistem. Namun bila melihat hasil analisis elemen tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, sub elemen dana abadi masuk pada sektor IV (independent), sehingga sub elemen ini memerlukan pembahasan lebih lanjut. Dana abadi sangat berpengaruh pada keberhasilan penutupan tambang berkelanjutan. Kendala-kendala utama program seperti
keterlibatan PPK dalam
penyusunan RPT (3) dan terbatasnya infrastruktur yang memadai (4), dan kebijakan penutupan yang belum berorientasi pada PB (9) merupakan peubah yang terletak pada garis di antara sektor IV dan sektor I serta mempunyai nilai rangking yang sama yaitu 3, namun mempunyai level-3 seperti sub elemen 13 (kontribusi yang sangat nyata PTFI pada PDRB Mimika dan PDB Provinsi Papua).
Dengan demikian sub elemen 3,4, dan 9 cenderung bersifat
independent. 6.1.4. Elemen Tujuan dari Program Tabel 41 merupakan 12 sub elemen hasil
kajian elemen sektor
masyarakat yang terpengaruh pada program membangun sistem penutupan tambang mineral berkelanjutan.
Hasil kajian sub elemen pada analisis ISM
berupa: (a) Matriks Reachability dan interpretasi dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program, disajikan pada Tabel 42. (b) Matriks Driver PowerDependence untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program, disajikan pada Gambar 21. (c) Diagram model struktural ISM dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program disajikan pada Gambar 22.
Tabel 41. Sub elemen tujuan program No
Sub Elemen
Atribut
1
Meningkatkan kualitas SDM
2
Meningkatkan ketersediaan infrastruktur Keberlanjutan manfaat sosial dan ekonomi
Meningkatkan kualitas SDM dalamkegiatan PB Infrastruktur tersedia untuk mendukung kebutuhan pembangunan kedepan Manfaat sosial dan ekonomi yang saat ini dirasakan masyarakat terus berlanjut dan meningkat walaupun PTFI selesai beroperasi Konservasi dan pelestarian fungsi lingkungan tetap terjaga walaupun PTFI selesai beroperasi Ada sektor ekonomi baru yang menggantikan sumber ekonomi tambang BPPTB bertanggung jawab agar kegiatan penutupan tambang berjalan lancar dan keberlanjutan perlindungan lingkungan dan
3
4
Konservasi dan pelestarian fungsi lingkungan
5
Membentuk sektor ekonomi baru
6
Membentuk badan pengelola penutupan tambang berkelanjutan (BPPTB)
162
7
manfaat sosial serta ekonomi terus meningkat Lapangan kerja baru tercipta
Menciptakan lapangan kerja baru
Tabel 41 (Lanjutan) No
Sub Elemen
Atribut
8
Adanya investor baru
9
Minimisasi beban abadi pada lingkungan
10
Tidak adanya konflik
11
Mengembangkan ekonomi kerakyatan
12
Memberikan pelatihan keterampilan kepada karyawan
Investor baru melakukan kegiatan ekonomi baru dengan tetap ramah lingkungan Beban abadi pada lingkungan akibat limbah tambang ditangani baik sehingga tidak mengganggu kesehatan dan keamanan masyarakat selamanya Penutupan tambang tidak menimbulkan konflik yang tidak bisa terkelola baik Usaha mikro, kecil dan menengah serta koperasi dikembangkan sebagai basis ekonomi kerakyatan Pelatihan bagi karyawan untuk bidang tambang atau non tambang sebagai persiapan SaPeT nanti
Sumber: Hasil Analisis (2009)
Tabel 42 menunjukkan bahwa elemen tujuan program mempunyai tingkatan elemen kunci rangking satu sampai delapan dengan nilai Driver Power tertinggi bernilai 10 dan terendah bernilai 1. Sub elemen peringkat satu adalah sub elemen kunci yaitu: (1) membentuk Badan Pengelola Penutupan Tambang Berkelanjutan (BPPTB). Tabel 42.
Hasil matriks reachability dan interpretasi dari elemen tujuan program
Sub Elemen
E1
E2
E3
E4
E5
E6
E7
E8
E9
E10
E11
E12
E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 Dep
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2
1 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 0 6
1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 3
1 1 0 0 1 1 0 1 0 0 0 0 5
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1
1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 9
0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 9
1 1 1 0 1 1 0 1 0 1 0 1 8
1 1 0 0 1 1 0 1 0 0 1 0 6
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 2
Level 7 6 3 5 Sumber : Hasil Analisis (2009)
4
7
1
7
1
2
3
6
Driver Power
Elemen Kunci
8 7 3 2 6 10 1 7 1 1 3 4
2 3 6 7 4 1 8 3 8 8 6 5
Keterangan: Dep DP EK
= Dependence = Driver Power = Elemen Kunci atau rangking
Angka 1 = Terdapat hubungan kontektual Angka 0 = Tidak terdapat hubungan kontektual
163
Pada Gambar 21 dan Gambar 22
menunjukkan bahwa faktor-faktor
kunci penggerak elemen tujuan program menuju sistem penutupan tambang berkelanjutan dengan studi kasus RPT PTFI adalah sub elemen-sub elemen yang terletak pada sektor IV (independent), yaitu: (1) meningkatkan kualitas SDM, (2)meningkatkan ketersediaan infrastruktur, (6) membentuk BPPTB, dan (8) adanya investor baru.
Empat tujuan program tersebut adalah termasuk
peubah bebas, berarti mempunyai kekuatan pengerak (driver power) yang besar terhadap keberhasilan program, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap program (strong driver weak dependent variable)
E6 Sektor IV (Independent)
10
E1
D a y a
Sektor III (Linkage)
9 8
E8
E2
7 6
E5
5
D 0 o r o n g
1
2
3
E12
4
4 3
E4
Sektor I (Autonomus)
5
6
7
8
9
E3, E11
2 1
Sektor II (Dependent) 0 Ketergantungan (Dependence)
E10 E7, E9
Gambar 21. Matriks Driver Power-Dependence untuk elemen tujuan program Tujuan-tujuan program penutupan tambang berkelanjutan membentuk sektor ekonomi baru (5)
merupakan peubah linkages dari sistem.
Setiap
tindakan untuk meningkatkan peranan dari sektor-sektor tersebut akan menghasilkan sukses program menuju sistem penutupan tambang mineral berkelanjutan, sedangkan lemahnya perhatian terhadap sektor-sektor tersebut akan menyebabkan kegagalan program. Analisis lebih lanjut pada sektor II (dependent), menunjukan bahwa tujuan-tujuan program seperti:
keberlanjutan manfaat sosial dan ekonomi(3),
menciptakan lapangan kerja baru (7), minimalisasi beban abadi pada lingkungan (10), dan mengembangkan ekonomi kerakyatan (11) adalah termasuk peubah 164
tidak bebas terhadap peubah lainnya dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan.
Tujuan-tujuan program atau sub elemen konservasi dan
pelestarian fungsi (4) dan memberikan pelatian pada karyawan di sektor I atau bersifat autonomus. Walaupun peubah berada di sektor I, namun terletak di Level-2 selevel dengan sub elemen 3 dan 11 akan dikaji lebih lanjut untuk dimasukkan sebagai elemen yang mempengaruhi sistem yang sedang dianalisis ini.
E7. Menciptakan lapangan kerja baru
Level-1:
E3. Keberlanjutan manfaat sosial dan ekonomi
Level-2:
E4. Konservasi dan pelestarian fungsi lingkungan
Level-3:
E10. Tidak adanya Konflik
E9. Minimalisasi beban abadi pada lingkungan
E11. Mengembangkan. ekonomi kerakyatan
E12. Memberikan pelatihan keterampilan pd karyawan
E5. Membentuk sektor ekonomi baru
Level-4:
E1. Meningkankan kualitas SDM
Level-5:
E2. Meningkatkan Ketersediaan infrastruktur
E8. Adanya investor baru
E6. Membentuk Badan Pengelola Penutupan Tambang Berkelanjutan
Gambar 22. Diagram model ISM dari elemen tujuan program 6.1.5. Elemen Tolok Ukur untuk Menilai Setiap Tujuan Program Tabel 43 menunjukkan 9 sub elemen hasil
kajian elemen sektor
masyarakat yang terpengaruh pada program membangun sistem penutupan tambang mineral berkelanjutan.
Hasil kajian sub elemen pada analisis ISM
berupa: (a) Matriks Reachability dan interpretasi dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program, disajikan pada Tabel 44. (b) Matriks Driver PowerDependence untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program, 165
disajikan pada Gambar 23. (c) Diagram model struktural ISM dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program disajikan pada Gambar 24. Tabel 43. Sub elemen tolok ukur untuk menilai setiap tujuan program No
Sub Elemen
Atribut
1
IPM (indeks pembangunan manusia) atau HDI meningkat Lapangan kerja baru tersedia dan meningkat Kontribusi ekonomi baru pada PDRB Mimika dan Provinsi Papua meningkat Pelayanan kebutuhan sosial masyarakat berjalan lancar dan meningkat Tidak ada percemaran lingkungan
HDI Mimika terus tumbuh dan meningkat dibandingkan saat ini Jumlah tenaga kerja yang tumbuh telah mempunyai pekerjaan Sektor ekonomi baru yang dibangun telah memberikan kontribusi berarti pada PDRB Mimika dan Provinsi Papua
2 3
4
5
6
Adanya badan pengelola penutupan tambang berkelanjutan (BPPTB) Dana abadi terkelola secara tepat Infrastruktur tersedia dan memadai Terjadi peningkatan nilai investasi
7 8 9
Pelayanan kebutuhan sosial mengalami peningkatan mutu dan kuantitas fasilitas Tidak terjadi pencemaran lingkungan yang mengganggu kesehatan dan keamanan masyarakat secara jangka panjang BPPTB telah bekerja secara efektif dan efisien dalam mengantarkan pada penutupan tambang PTFI yang berkelanjutan Dana abadi termanfaatkan untuk kegiatan pengembangan masyarakat secara berkelanjutan Infrastruktur yang dibangun dan dikembangkan telah dapat mendukung PB Nilai investasi baru meningkat untuk sektor non tambang atau tambang baru dan dijalankan sesuai prinsip PB
Sumber: Hasil Analisis (2009)
Tabel 44 menunjukkan bahwa elemen tolok ukur untuk menilai setiap tujuan program mempunyai tingkatan elemen kunci rangking satu sampai empat dengan nilai Driver Power tertinggi bernilai 6 dan terendah bernilai 1. Sub elemen peringkat satu adalah sub elemen kunci yaitu: (6) adanya BPPTB. Tabel 44. Sub Elemen E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 Dep Level
E1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 1
Hasil matriks reachability dan interpretasi dari tolok ukur untuk menilai setiap tujuan program E2 0 1 0 0 1 1 1 1 1 6 4
E3 0 1 1 0 1 1 1 1 1 7 3
E4 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 2
E5 0 0 0 0 1 1 0 0 0 2 5
E6 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 6
E7 0 0 0 0 0 1 1 0 0 2 5
E8 0 1 0 0 1 1 1 1 1 6 4
E9 0 1 0 0 1 1 1 1 1 6 4
Driver Power 1 6 3 2 7 9 7 6 6
Elemen Kunci 6 3 4 5 2 1 2 3 3
Sumber : Hasil Analisis (2009)
Keterangan: Dep DP EK
= Dependence = Driver Power = Elemen Kunci atau rangking
Angka 1 = Terdapat hubungan kontektual Angka 0 = Tidak terdapat hubungan kontektual
166
E6
9
Sektor IV (Independent) E5, E7
D a y a
Sektor III (Linkage)
8 7 6
E2, E8, E9
5
1 2 d0 o r o n Sektor I (Autonomus) g
3
44
5
6
7
8
3
E3
2
Sektor II (Dependent)
1
9
E4 E1
0
Ketergantungan (Dependence)
Gambar 23. Matriks Driver Power-Dependence untuk tolok ukur untuk menilai setiap tujuan program Gambar 23 dan Gambar 24 menunjukkan faktor-faktor kunci penggerak elemen tolok ukur untuk menilai setiap tujuan program menuju sistem penutupan tambang berkelanjutan dengan studi kasus RPT PTFI adalah sub elemen-sub elemen yang terletak pada sektor IV (independent), yaitu: (5) tidak adanya pencemaran lingkungan, (6) adanya BPPTB, dan (7) dana abadi yang terkelolah secara tepat. Ketiga tolok ukur tersebut adalah termasuk peubah bebas, berarti mempunyai kekuatan pengerak (driver power) yang besar terhadap keberhasilan program, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap program (strong driver weak dependent variable) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan program penutupan tambang berkelanjutan seperti: lapangan kerja baru tersedia dan meningkat (2), infrastruktur tersedia dan memadai (8), dan terjadi peningkatan nilai investasi (9) merupakan peubah linkages dari sistem. Setiap tindakan untuk meningkatkan peranan dari sektor-sektor tersebut akan menghasilkan sukses program menuju sistem penutupan tambang mineral berkelanjutan, sedangkan lemahnya perhatian terhadap sektor-sektor tersebut akan menyebabkan kegagalan program. Analisis lebih lanjut pada sektor II (dependent), menyatakan bahwa tolok ukur untuk menilai setiap tujuan program seperti: kontribusi ekonomi baru pada PDRB Mimika dan Provinsi Papua Meningkat (3), pelayanan kebutuhan sosial masyarakat berjalan lancar dan meningkat (4), dan IPM (indeks pembangunan 167
manusia atau HDI meningkat (1) adalah termasuk peubah tidak bebas terhadap peubah lainnya dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan.
Level-1:
E1. IPM/HDI meningkat
Level-2:
E4. Pelayanan kebutuhan sosial masyarakat berjalan lancar dan meningkat
Level-3:
Level-4:
E3. Kontribusi ekonomi baru pd PDRB Mimika dan Provinsi Papua Meningkat
E2. Lapangan kerja baru tersedia & meningkat
Level-5:
Level-6:
E8. Infrastruktur tersedia & memadai
E5. Tidak ada Pencemaran lingkungan
E9. Terjadi peningkatan nilai investasi
E7. Dana abadi terkelola secara tepat
E6. Adanya Badan Pengelola Penutupan Tambang Berkelanjutan
Gambar 24. Diagram model ISM dari elemen tolok ukur untuk menilai setiap tujuan program 6.2. Faktor-faktor Penggerak Kunci Sistem Penutupan Tambang PTFI Berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis ISM atas lima elemen program dalam membangun sistem penutupan tambang berkelanjutan.
Berikut ini diuraikan faktor-faktor
pengerak kunci dan peubah yang independent untuk masing-masing elemen program, yaitu: 1. Elemen sektor masyarakat yang terpengaruh program, meliputi: faktor-faktor pengerak kunci yang juga faktor independent adalah: penutupan pemasok barang dan jasa, dan kegiatan perlindungan dan pelestarian lingkungan di daerah operasi PTFI. 2. Elemen kebutuhan dari program, meliputi: faktor-faktor pengerak kunci adalah kualitas SDM.
Faktor independent adalah: kualitas SDM, Badan
168
Pengelola Penutupan Tambang Berkelanjutan (BPPTB), infrastruktur yang memadai, dan pelayanan pendidikan dan kesehatan. 3. Elemen kendala utama program, meliputi: faktor-faktor pengerak kunci adalah: keterbatasan keterampilan SDM , dan kemampuan PEMDA (Kabupaten
Mimika)
untuk
memimpin.
Faktor
independent
adalah:
keterbatasan keterampilan SDM, kemampuan PEMDA (Mimika) untuk memimpin, kurang sosialisasi RPT perusahaan pada masyarakat, kontribusi yang sangat nyata PTFI pada PDRB Mimika dan PDB Provinsi Papua. 4. Elemen tujuan dari program, meliputi: faktor-faktor pengerak kunci adalah: membentuk Badan Pengelola Penutupan Tambang Berkelanjutan atau disingkat BPPTB. Faktor independent adalah: meningkatkan kualitas SDM, meningkatkan ketersediaan infrastruktur, membentuk BPPTB, dan adanya investor baru. 5. Elemen tolok ukur untuk menilai setiap tujuan program, meliputi: faktor-faktor pengerak kunci adalah adanya BPPTB. Faktor independent adalah: tidak adanya pencemaran lingkungan, adanya BPPTB, dan
dana abadi yang
terkelola secara tepat. Berdasarkan analisis situasional dan kondisi daerah di Kabupaten Mimika seperti yang dipaparkan pada Bab IV- Keadaan Umum maka dipilih enam faktor pengerak kunci yang dijadikan sebagai input terkontrol bagi analisis sistem dinamik penutupan tambang yang berkelanjutan pada Bab IX. Faktor-faktor ini dikontrol dan dikelola di dalam analisis sistem dinamik untuk mendapatkan skenario-skenario keberlanjutan penutupan tambang PTFI.
Faktor-faktor
tersebut, yaitu: 1. Kualitas sumberdaya manusia. Faktor kualitas SDM di Kabupaten Mimika, khususnya masyarakat asli masih lebih rendah dibandingkan dengan kualitas SDM para pendatang. Hal ini dilihat pada angkatan kerja yang bekerja di PTFI dan juga yang bekerja di lembaga swasta lainnya serta yang bekerja di pemerintah.
Rendahnya kualitas SDM ini, terlebih khusus masyarakat
pemilik hak ulayat dari daerah operasi tambang PTFI, yaitu: suku Kamoro (di dataran rendah) dan suku Amungme (di dataran tinggi) sangat dipengaruhi oleh buruknya sarana dan prasarana pendidikan.
Di daerah pedalaman
kekurangan tenaga guru sudah sangat biasa terjadi. Bahkan ada beberapa sekolah baik SD dan SMP yang hanya mempunyai guru 2 – 3 orang. Belum 169
lagi menyinggung soal mutu guru dan pelajaran. Selain itu, kualitas SDM ini juga dipengaruhi oleh kualitas kesehatan. Pelayanan kesehatan di wilayah ini, khususnya di pedalaman
masih sangat rendah. Hal ini disebabkan
karena kurang memadai sarana dan prasarana yang dibutuhkan bagi pelayanan kesehatan dengan standar yang wajar. Sementara itu pelayanan kesehatan yang baik diselenggarakan oleh PTFI untuk karyawan dan keluarganya. Pelayanan kesehatan di RSWB dan RSMM yang dimiliki oleh LPMAK dengan dukungan Dana Kemitraan PTFI diberikan secara gratis untuk masyarakat suku Kamoro dan Amungme serta lima kekerabatan suku (Moni, Nduga, Dani, Ekari, dan Moni). Hal ini akan bermasalah besar bila SaPeT PTFI tiba, Dana Kemitraan PTFI terhenti, dan akhirnya operasional RSMM, RSWB dan program lainnya juga terhenti.
Dengan demikian,
disamping karena hasil analisis ISM yang menyatakan bahwa faktor kualitas SDM adalah sebagai faktor penggerak kunci penutupan tambang PTFI berkelanjutan. SDM juga diperlukan untuk mengelola kegiatan penutupan tambang dan kegiatan pembangunan menuju keberlanjutan Mimika namun belum tersedia dan dipersiapkan. Oleh karena itu faktor ini sangat layak sebagai faktor penggerak kunci penutupan tambang PTFI berkelanjutan. 2. Adanya Badan Pengelola Penutupan Tambang Berkelanjutan (BPPTB). BPPTB ini merupakan perwujudan dari hasil FGD dengan PPK di Kabupaten Mimika. PPK sangat membutuhkan adanya sebuah forum atau badan yang akan menangani penutupan tambang. Nama BPPTB ini merupakan usulan peneliti.
BPPTB ini berfungsi atau berperan untuk mengkoordinasikan
perencanaan dan pengelolaan
kegiatan-kegiatan
pembangunan yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan PB di Kabupaten Mimika. BPPTB ini juga memastikan bahwa kegiatan pembangunan diorientasikan pemenuhan kebutuhan saat ini dan dimasa mendatang. BPPTB ini perlu didukung oleh peraturan daerah dan keanggotaannya merupakan perwakilan dari semua perwakilan PPK, seperti dari: PEMDA Mimika, PTFI, LSM lokal (LPMAK, LEMASA, LEMASKO, YAHAMAK, dan lainnya), dan para tokoh agama. Dengan demikian, karena badan ini belum terbentuk, namun sangat dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan dan hasil analisis ISM maka faktor BPPTB ini layak sebagai faktor penggerak kunci penutupan tambang PTFI yang berkelanjutan.
170
3. Infrastruktur. Hasil pengamatan lapangan di kota Timika dan juga di seluruh pelosok pedalaman di Mimika seperti yang telah dipaparkan pada Bab IV Keadaan Umum, infrastruktur publik sangat penting bagi aktifitas dan keberlanjutan pembangunan. Sampai saat ini masih banyak infrastruktur di Mimika yang merupakan hasil kontribusi PTFI kepada pemerintah sebagai pelaksanaan komitmen sosialnya.
Misalnya pembangunan beberapa
jembatan, jalan, fasilitas lapangan terbang, dan lainnya. Tentunya kontribusi nyata ini akan berakhir dengan berakhirnya operasi penambangan PTFI disana. Oleh karena itu, faktor ini sangat layak sebagai faktor penggerak kunci penutupan tambang PTFI berkelanjutan. 4. Investasi ekonomi baru. Sampai saat ini PTFI merupakan sumber pendapatan ekonomi utama bagi pemerintah dan masyarakat Mimika. Sumber pendapatan ekonomi baru sebagai pengganti PTFI kelak adalah mutlak dibutuhkan.
Sumber ekonomi baru ini dapat dibangun dari SDA
tambang lain dan juga dari SDA yang dapat diperbaharui, seperti sektor perikanan, pertanian, dan kehutanan. Dengan faktor ini sangat layak sebagai faktor penggerak kunci penutupan tambang PTFI berkelanjutan.
Karena
disamping sesuai dengan hasil analisis ISM juga secara nyata faktor ini sangat dibutuhkan.
5.
Perlindungan dan pelestarian lingkungan. Faktor ini merupakan aspek lingkungan yang utama mengingat dampak yang berat dan berbahaya dari operasi operasi PTFI adalah AAB dan tailing. AAB sampai saat ini disebut sebagai monster yang berbahaya bagi lingkungan karena belum ada solusinya secara permanen dan global. Para ahli menyatakan bahwa AAB perlu penanganan beratus tahun bahkan beribu tahun.
Apabila teknologi
dan teknik reklamasi yang digunakan tidak tepat kelak maka kemungkinan munculnya sisa-sisa bahan yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan bisa saja terjadi setelah penutupan ataupun saat pasca tambang. Akibatnya, beban ini tentunya akan menjadi beban dari pemerintah dan masyarakat Mimika terutama.
Pembangunan ekonomi dan sosial yang dilaksanakan
tentunya akan terganggu. Selain itu, kegiatan pembangunan ekonomi dan sosial lain yang dilaksanakan di Mimika, sejak saat ini perlu memperhatikan dan memastikan bahwa perlindungan dan pelestarian lingkungan juga dilaksanakan.
Oleh karena itu, faktor ini sangat penting dan mendesak
sebagai faktor penggerak kunci penutupan tambang PTFI berkelanjutan. 171
BAB VII. FAKTOR-FAKTOR KUNCI PENENTU KEBERHASILAN PENUTUPAN TAMBANG BERKELANJUTAN
7.1.
Penentuan Negara Target Patok Duga Pada penelitian ini negara target patok duga yang digunakan adalah
Australia
dan
Kanada.
Alasannya,
adalah
Australia dengan
sistem
pemerintahan federal, telah mempunyai kebijakan penutupan tambang yang mensyaratkan pada semua perusahaan tambangnya untuk mengembangkan secara spesifik setempat pada rencana rehabilitasi pasca tambang untuk disetujui oleh lembaga-lembaga tambang yang relevan (IIED et al., 2002). Indonesia yang mempunyai sistem pemerintahan desentralisasi atau otonomi daerah, kandungan spesifik setempat akan menjadi hal yang tidak dapat dielakkan untuk dipenuhi oleh perusahaan tambang yang beroperasi di sebuah daerah, dan ini bisa jadi berbeda dengan kebutuhan dari daerah lainnya.
Kanada yang mempunyai sistem pemerintahan federal seperti
Australia dan juga Indonesia dengan sistem desentralisasinya maka regulasi perlu dispesifikkan secara jelas pembatasan antara kewenangan dari lembagalembaga di pemerintah pusat dengan lembaga-lembaga yang ada di provinsi dan kabupaten (World Bank dan IFC, 2002). Selain itu, Kanada merupakan negara yang mengembangkan praktek terbaik (best practice) dalam penutupan tambang, seperti saat penutupan Tambang Sullivan yang terletak di Barat Laut Kanada disebut sebagai sebuah model praktek terbaik penutupan tambang, karena pemerintah setempat telah memimpin untuk mencari sumber ekonomi pengganti tambang 20 tahun jauh sebelum tambang ditutup pada tahun 2001 (World Bank dan IFC, 2002). Selain itu, menurut Shinya (1998) Kanada memasuki abad ke-21 telah mempersiapkan sektor pertambangannya dengan mengeluarkan sebuah kebijakan baru pada bulan Nopember 1996 yang berjudul: Kebijakan Mineral dan Metal Pemerintah Canada: Kemitraan untuk Pembangunan Berkelanjutan ( The Minerals and Metals Policy of the Government of Canada: Partnerships for Sustainable Development). Sebuah perusahaan tambang di Kanada Placer Dome Inc. pada tahun 1998 telah mengadopsi kebijakan berkelanjutan pada kegiatan pertambangannya (McAllister et al., 1999).
Untuk menentukan apakah kedua negara tersebut layak dijadikan negara patok duga bagi Indonesia, faktor-faktor keunggulan suatu negara yang dikemukakan oleh Kotler et al. (1998) digunakan dalam analisis selanjutnya. Faktor-faktor ini kemudian dimintai pendapat pakar melalui wawancara mendalam dengan menggunakan teknik AHP (Analytical Hierarchy Process) seperti disajikan pada Gambar 25.
Keunggulan Dalam Penutupan Tambang Berkelanjutan Suatu Negara
Fokus
Kriteria
Kepemimpinan Pemerintahan Suatu Negara (0,191)
Kebudayaan, Sikap & Nilai Suatu Negara (0,327)
Anugrah SDA &SDM Suatu Negara (0,230)
Kohesi Sosial Suatu Negara (0,138)
Organisasi Industri Suatu Negara (0,115)
Tujuan
Indonesia (0,196)
Australia (0,397)
Kanada (0,407)
Gambar 25. Diagram Hirarki Keunggulan Penutupan Tambang Berkelanjutan Suatu Negara Pendapat para pakar yang dituangkan dalam kuesioner kemudian diolah dengan teknik geomean untuk mendapatkan ‘nilai rata-rata’ pendapat pakar. Nilai bobot masing-masing faktor untuk menentukan negara target patok duga dalam mencapai penutupan tambang mineral yang berkelanjutan adalah sebagai berikut: 1. Kepemimpinan pemerintah suatu negara (0,191), meliputi: kepemimpinan bervisi, dukungan strategis pemerintah, efisiensi administratif pemerintahan, konsistensi kebijakan publik, stabilitas publik. 2. Kebudayaan, sikap, dan nilai suatu negara (0,327),
meliputi: budaya
produktifitas, semangat kewirausahaan, sikap investasi dan permodalan, nilai-nilai para pelaku. 173
3. Anugrah sumbedaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM) suatu negara (0,230), meliputi: ketersediaan SDA dan SDM, tingkat teknologi, demografi populasi. 4. Kohesi sosial suatu negara (0,138), meliputi: distribusi kekayaan, distribusi kekuasaan, dan homogenitas kebudayaan. 5. Organisasi industri suatu negara (0,115), meliputi: intensitas daya saing, diversifikasi industri, norma-norma kerjasama, badan-badan usaha milik negara atau swasta. Faktor Kebudayaan, sikap, dan nilai suatu negara, merupakan faktor yang mempunyai nilai bobot tertinggi (0,327) diikuti oleh faktor anugrah SDA dan SDM suatu negara (0,230). Faktor yang mempunyai nilai bobot terendah adalah faktor organisasi industri suatu negara. Pendapat pakar juga menyatakan bahwa nilai bobot negara Australia (0,397)dan Kanada (0,407) lebih unggul dibandingkan dengan nilai bobot Indonesia (0,196) dalam kegiatan penutupan tambang mineral yang berkelanjutan.
Dengan demikian kedua
negara tersebut layak dijadikan negara target patok duga dalam penelitian ini. 7.2.
Penentuan Faktor-Faktor Kunci Keberhasilan Penutupan Tambang dan Nilai Bobot Setiap Faktor Berdasarkan
analisis
situasional
terhadap
perkembangan
kegiatan-
kegiatan penutupan tambang mineral di negara Australia dan Kanada dapat diketahui bahwa negara tersebut memiliki faktor-faktor kunci yang menentukan keberhasilan dalam menuju penutupan tambang berkelanjutan.
Melalui
pendapat pakar, diperoleh 10 faktor kunci penentu keberhasilan yang layak digunakan
untuk
mengukur
keberhasilan
kegiatan
penutupan
tambang
berkelanjutan, seperti pada Tabel 45. Untuk mendapatkan ‘nilai bobot rata-rata’ dari semua pendapat pakar pada setiap faktor-faktor tersebut dipakai: (a) teknik modus dipakai bila pendapat para pakar mempunyai nilai bobot yang banyak muncul, dan (b) teknik geomean digunakan bila pendapat pakai mempunyai nilai bobot yang berimbang diantara pakar atau berbeda untuk masing-masing pakar. Kisaran nilai yang digunakan adalah angka satu (1) untuk nilai bobot terendah sebagai faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang, sedangkan nilai bobot yang tertinggi adalah angka lima (5). Hasilnya adalah faktor ketersediaan dana mempunyai nilai bobot yang paling tinggi (5) dibandingkan dengan faktor lainnya.
Nilai bobot yang 174
terendah (3) adalah: faktor teknologi penutupan, memenuhi tujuan-tujuan penggunaan lahan pasca tambang, dan indikator-indikator khusus setempat. Tabel 45. Atribut faktor-faktor kunci penentu keberhasilan Kode Atribut a
b
c
d
e
f
g
h
Faktor-faktor kunci penentu keberhasilan
Bobot
Kelembagaan. Terdapatnya badan-badan atau organisasi formal independen perumus kebijakan penutupan tambang yang menyuarakan kepentingan pemerintah pusat dan daerah, perusahaan tambang, dan masyarakat. Teknologi penutupan tambang. Ketersediaan teknologi penutupan tambang yang tepat, termasuk teknik-teknik reklamasi bekas daerah tambang yang tidak memunculkan kembali sisa-sisa kerusakan lingkungan setelah pekerjaan reklamasi dan penutupan tambang selesai. Kebijakan pemerintah. Adanya dukungan kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan penutupan tambang yang memproteksi kepentingan industri tambang dan masyarakat serta lingkungan hidup, dengan menerapkan kebijakan antara lain: Perbaikan kondisi lingkungan hidup yang meliputi: kualitas air permukaan, air tanah, air laut, kualitas tanah dan udara sesuai baku mutu lingkungan, stabilitas dan keamanan batuan penutup-kolam tailinglahan bekas tambang-dan struktur-struktur buatan, keragaman hayati, pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai peruntukannya Keselamatan dan kesehatan kerja saat penutupan Konservasi bahan galian meliputi: data mengenai bahan galian yang tidak dieksploitasi dan /atau diolah serta sisa pengelolaan bahan galian Ketersediaan biaya penutupan yang mencukupi Penutupan tambang dimasukkan dalam pengelolaan keseluruhan siklus hidup tambang sejak studi kelayakan sampai pasca tambang Rencana reklamasi dan penutupan tambang di-up date selama masa operasi tambang. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelepasan. Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan, yang juga berorientasi pada “keberlanjutan manfaat sosial dan ekonomi” Ketersediaan SDM. Adanya SDM yang ahli, handal, dan berpengalaman dalam menangani pekerjaan dan permasalahan penutupan tambang dengan tepat Keterlibatan dan memenuhi ekspektasi para pemangku kepentingan (PPK atau stakeholders). Adanya lembaga formal dan non formal di tingkat masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan kegiatan penutupan tambang. Lembaga ini juga berperan dalam mensukseskan penutupan tambang dan mencari kegiatan-kegiatan yang menciptakan keberlanjutan setelah tambang selesai melalui keterlibatan aktif dari PPK dalam menentukan hasil akhir dari rencana penutupan tambang Infrastruktur. Tersedianya dukungan infrastruktur fisik bagi kebutuhan pengembangan wilayah setelah tambang berakhir yang dapat mendukung pengembangan sektor non tambang sebagai sumber ekonomi pembangunan Ketersediaan dana. Ketersediaan dana sudah dipersiapkan jauh sebelum masa penutupan tambang tiba
4
Kesehatan dan keamanan masyarakat. Adanya orientasi bahwa hasil akhir penutupan tambang tidak menimbulkan gangguan kesehatan dan keamanan masyarakat yang bersumber dari daerah bekas tambang. Beban abadi pada lingkungan diminimalisasikan dan juga proteksi pada kesehatan manusia dan ekologi, termasuk adanya kestabilan geoteknik dari pembentukan lahan akhir.
5
3
4
4
3
4
5
175
Tabel 45. (Lanjutan) Kode Atribut i
j
Faktor-faktor kunci penentu keberhasilan
Bobot
Memenuhi tujuan-tujuan penggunaan lahan pasca tambang. Pembentukan lahan akhir daerah bekas tambang dan operasi pendukungnya dapat digunakan kembali sesuai dengan tujuan-tujuan yang dibutuhkan oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Indikator-indikator khusus setempat. Indikator-indikator kebutuhan pembangunan di daerah dimana tambang dioperasikan terakomodasikan dan dapat dikembangkan untuk keberlanjutan kehidupan masyarakat setelah tambang
3
4
Sumber: Hasil judgement pakar (2009)
7.3.
Penentuan Rangking Indonesia dan Negara Target Patok Duga Tabel 46 merupakan hasil penilaian para pakar terhadap nilai pencapaian
untuk setiap kriteria (faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang) di Indonesia dan dua negara target patok duga.
Nilai tersebut
merupakan ‘nilai rata-rata pakar’ yang diolah dengan menggunakan teknik modus dan atau geomean.
Penilaian menggunakan angka satu untuk nilai
pencapaian terendah pada setiap kriteria yang dinilai dan angka sembilan merupakan nilai tertinggi. Hasil penilaian menunjukkan, tidak satupun dari 10 kriteria atau faktor-faktor kunci tersebut Indonesia memiliki nilai keberhasilan yang sama atau melampaui nilai-nilai yang dicapai oleh dua negara yang dijadikan target patok duga untuk setiap kriteria. Tabel 46.
Alternatif Keputusan Indonesia Australia Kanada Bobot Kriteria
Matrik evaluasi faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang mineral yang berkelanjutan menggunakan metode MPE
Kriteria (Faktor-Faktor Kunci Penentu Keberhasilan) a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
Nilai Keputusan
Peringkat
4
5
4
3
4
2
3
3
3
4
1,405
3
6 6
6 7
7 7
6 8
5 7
7 7
7 7
6 8
6 7
6 6
26,770
2
34,400
1
4
3
4
4
3
4
5
5
3
4
Sumber: Hasil judgement pakar dan perhitungan MPE (2009)
* Keterangan: a. b. c. d. e. f.
Kelembagaan Teknologi penutupan tambang Kebijakan pemerintah Ketersediaan SDM Keterlibatan dan memenuhi ekspektasi PPK Infrastruktur
g. h. i. j.
ketersediaan dana Kesehatan dan keamanan masyarakat Memenuhi tujuan-tujuan penggunaan lahan pasca tambang Indikator-indikator khusus setempat
176
Pada
kriteria
infrastruktur,
Indonesia
memperoleh
nilai
terendah
dibandingkan nilai pencapaian kriteria lainnya dan Australia serta Kanada memperoleh nilai pencapaian lebih dari tiga kali dari nilai Indonesia, yakni masing-masing mendapat nilai tujuh. Infrastuktur jelas Indonesia masih dibawah standar Australia dan Kanada dalam mendukung keberlanjutan pembangunan setelah penutupan tambang. Selain itu, daerah tambang di Indonesia berada di daerah-daerah terpencil dan biasanya pembangunan infrastruktur menjadi beban pembiayaan para perusahaan tambang yang beroperasi disana. demikian,
ketersediaan
dukungan
infrastuktur,
selain
Dengan
mempengaruhi
keberlanjutan setelah tambang berakhir juga menentukan bersedianya dan tidak bersedianya investor tambang untuk menginvestasikan modalnya di sebuah negara. Infrastruktur yang baik juga akan mempengaruhi mutu pelayanan publik dari pemerintah. Melihat keadaan infrastruktur di Kabupaten Mimika saat ini, sepertinya PEMDA Mimika perlu bekerja lebih keras lagi untuk memastikan adanya keberlanjutan pembangunannya setelah PTFI berakhir operasinya disana. Walaupun saat ini banyak infrastruktur umum yang dibangun atas kerjasama PTFI dan PEMDA Mimika, namun belum cukup untuk menunjang keberlanjutan setelah penutupan tambang pada tahun 2021 atau 2041. Misalnya, transportasi darat dan sungai yang menghubungkan antar ibu kota kecamatan saja dengan harga terjangkau secara luas oleh masyarakat belum tersedia, sehingga banyak hasil perikanan dan pertanian yang tidak bisa segera dipasarkan. Kriteria teknologi penutupan mendapatkan nilai pencapaian yang tertinggi untuk Indonesia, yakni lima, walaupun nilai tersebut masih dibawah nilai pencapaian dari Australia dan Kanada dengan nilai pencapaian berturut-turut enam dan tujuh. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi yang dipakai di Indonesia hampir menyamai apa yang dipakai di Australia walaupun masih tidak setarap dengan di Kanada.
Seperti diketahui bahwa investor pertambangan di
Indonesia kebanyakan dari luar negeri, sehingga sangatlah mungkin teknologi penutupan yang dipakai di negaranya juga dipakai di Indonesia. Menurut data, Australia berinvestasi di sektor ini di Indonesia lebih banyak dibandingkan investasi dari Kanada.
Dengan demikian teknologi penutupan tambang di
Indonesia masih dapat mendukung kegiatan-kegiatan penutupan tambang kedepan karena adanya pengaruh alih teknologi atau kerjasama dengan investor asing tersebut. 177
Nilai-nilai pencapaian yang diberikan para pakar tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan MPE.
Negara yang paling berhasil dalam
mencapai kriteria-kriteria atau faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang adalah Kanada (34.400) diurutan pertama kemudian diikuti Australia (26.770) diurutan kedua, dan Indonesia diurutan terakhir (1.405). Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan-kesenjangan di Indonesia yang dapat dijadikan peluang atau ruang perbaikan dalam menuju penutupan tambang yang berkelanjutan dengan mendasarkan pada kriteria-kriteria atau faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang yang diterapkan dua negara target patok duga tersebut. 7.4.
Faktor-Faktor Kunci Penentu Keberhasilan Penutupan Tambang Berkelanjutan yang Akan Diterapkan Di Indonesia Nilai kesenjangan setiap kriteria atau faktor-faktor kunci penentu
keberhasilan antara Indonesia dengan dua negara target patok duga, Australia dan Kanada dapat dilihat pada Tabel 47. Tabel 47. Kesenjangan nilai kriteria kunci penentu keberhasilan penutupan tambang mineral yang berkelanjutan Indonesia dengan dua negara target patok duga Kode Atri -but a b c
Kriteria atau faktorfaktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang
Nilai kriteria Indonesia
Kelembagaan Teknologi penutupan tambang Kebijakan pemerintah
Nilai kriteria target patok duga Australia
Kanada
Kesenjangan nilai kriteria Indonesia dg negara target patok duga AusKanatralia da
Ratarata kesenjangan
Rank
256
1,296
1,296
-1,040
-1,040
-1,040
6
125
216
343
-91
-218
-155
9
256
2,401
2,401
-2,145
-2,145
-2,145
5
d
Ketersediaan SDM
81
1,296
4,096
-1,215
-4,015
-2,615
3
e
Keterlibatan dan memenuhi ekspektasi PPK
64
125
343
-61
-279
-170
8
f
Infrastruktur
16
2,401
2,401
-2,385
-2,385
-2,385
4
g
Ketersedian dana
243
16,807
16,807
-16,564
-16,564
-16,564
2
243
7,776
32,768
-7,533
-32,525
-20,029
1
27
216
343
-189
-316
-253
7
256
1,296
1,296
-1,040
-1,040
-1,040
6
h
i j
Kesehatan dan keamanan masyarakat Memenuhi tujuantujuan penggunaan lahan pasca tambang Indikator-indikator setempat Sumber: Hasil analisis (2009)
178
Hasil perhitungan pada Tabel 47 menunjukkan bahwa kesenjangan nilai kriteria Indonesia dibandingkan dua negara target patok duga, Australia dan Kanada semuanya mempunyai nilai kesenjangan negatif.
Ini berarti bahwa
semua faktor tersebut berguna atau menjadi syarat bagi Indonesia untuk mencapai standar penutupan tambang mineral seperti standar di kedua negara patok duga tersebut.
Nilai kriteria kode atribut (h) yakni kesehatan dan
keamanan masyarakat memiliki nilai rata-rata selisih/kesenjangan yang tertinggi, yakni -20.029 dibandingkan dengan Australia (terpaut -7.533) ataupun Kanada (terpaut -32.525). Namun jika dibandingkan dengan Australia, kriteria kesehatan dan keamanan masyarakat ini mempunyai nilai kesenjangan rangking dua. Kriteria yang mempunyai nilai kesenjangan diurutan kedua adalah kriteria ketersediaan dana dengan nilai rata-rata kesenjangan – 16.564.
Kemudian
kriteria yang mempunyai nilai kesenjangan diurutan ketiga adalah ketersediaan SDM. Kriteria kebijakan pemerintah mempunyai nilai rata-rata kesenjangan diurutan kelima. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa kebijakan pemerintah Indonesia terkait penutupan tambang dan reklamasi baru disyahkan pada tanggal 29 Mei 2008, dan itupun belum terlalu jelas mengenai kriteria dan standar untuk menuju kontribusi tambang pada PB. Australia dan Kanada telah mulai menerapkan prinsip-prinsip PB pada kebijakan pertambangannya jauh-jauh hari sebelum Indonesia, yakni tahun 1991 dan 1996 (McAllister et al., 1999), dan prinsipprinsip PB diadopsi dalam kebijakan pertambangannya. Kriteria teknologi penutupan mempunyai kesenjangan yang paling rendah dibandingkan kriteria lainnya.
Dengan demikian semua faktor-faktor kunci penentu keberhasilan
tersebut perlu dikembangkan dan diterapkan di Indonesia untuk menuju penutupan tambang mineral yang berkelanjutan, dengan urutan prioritas dimulai dari kriteria yang mempunyai nilai kesenjangan yang tertinggi sampai dengan kriteria yang mempunyai nilai kesenjangan terendah.
7.5.
Strategi Implementasi Faktor Kunci Penentu Keberhasilan Penutupan Tambang
Berdasarkan hasil analisis situasional di Kabupaten Mimika dan RPT PTFI yang
merupakan
studi
kasus
dalam
penelitian
ini,
beberapa
strategi
implementasi untuk setiap kriteria atau faktor kunci penentu keberhasilan yang
179
dapat dipertimbangkan oleh PPK PTFI untuk diterapkan menuju penutupan tambang yang berkelanjutan, diuraikan berikut ini: a. Kesehatan dan keamanan masyarakat adalah kriteria atau faktor kunci penentu keberhasilan
di
Indonesia
yang
mempunyai
nilai
rata-rata
kesenjangan tertinggi pertama (-20.029) atau terpaut -7.533 dengan Australia dan -32.525 dengan Kanada.
Hasil akhir penutupan tambang perlu
diupayakan agar tidak menimbulkan gangguan kesehatan dan keamanan masyarakat yang bersumber dari daerah bekas tambang. Munculnya sisasisa kerusakan lingkungan setelah pekerjaan reklamasi dan penutupan tambang selesai tergantung secara kuat pada pengembangan dan teknikteknik reklamasi yang dipilih (Robertson dan Shaw, 1998). Dengan demikian strateginya adalah: (1) terus meningkatkan kerjasama dengan para akademisi dan praktisi nasional dan internasional untuk mengembangkan teknologi reklamasi dan penutupan tambang yang tepat. Misalnya yang terkait dengan air asam batuan (AAB) dan penanganan tailing serta batuan penutup. (2) PTFI perlu memberikan update secara berkala kepada PPK, khususnya PEMDA dan masyarakat Mimika tentang perkembangan teknologi tersebut. b. Ketersediaan dana adalah kriteria atau faktor kunci penentu keberhasilan di Indonesia yang mempunyai nilai rata-rata kesenjangan tertinggi kedua (16.564). Ketersediaan dana harus dipersiapkan jauh hari sebelum SaPeT tiba atau saat tambang masih beroperasi dan mempunyai pendapatan. Dengan demikian strateginya adalah: (1) melaksanakan ketentuan-ketentuan pada Peraturan Menteri ESDM No. 18 tahun 2008, khususnya pada Bab VI Pasal 35-43 tentang jaminan penutupan tambang berikut ketentuanketentuan lainnya. Semua PPK penutupan tambang PTFI, khususnya PTFI mulai untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Peraturan Menteri ESDM No. 18 tahun 2008 (2) PTFI terus meningkatkan hubungan baik dengan PPK, khususnya masyarakat setempat.
Mempersiapkan
sumber keuangan sejak dini dapat membuat RPT dapat dilaksanakan dan masyarakat setempat dapat lebih baik mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang akan datang (World Bank dan IFC, 2002). (3) Dana kegiatan pengembangan
masyarakat
dan
juga
dana
tanggungjawab
sosial
perusahaan (CSR/corporate Social Responsibility) yang sangat besar seperti pada Tabel 48 perlu didisain ulang dan difokuskan untuk mendorong 180
terjadinya keberlanjutan kegiatan perlindungan lingkungan, manfaat-manfaat sosial dan ekonomi selagi PTFI masih aktif beroperasi saat ini. (4) Dana pembangunan dari PEMDA Mimika dan pemerintah pusat untuk Kabupaten Mimika lebih difokuskan dan diprioritaskan untuk membangun infrastruktur yang menunjang keberlanjutan pembangunan dan kegiatan ekonomi nontambang
dan
mengembangkan
potensi
perikanan,
perkebunan
dan
kehutanan serta membangun SDM Mimika secara berkelanjutan. c. Ketersediaan SDM adalah kriteria atau faktor kunci penentu keberhasilan di Indonesia yang mempunyai nilai rata-rata kesenjangan tertinggi tiga (-2,615) atau terpaut -1.215 dengan Australia dan -4.015 dengan Kanada. Adanya SDM yang ahli, handal, dan berpengalaman sangat diperlukan dalam menangani pekerjaan dan permasalahan penutupan tambang dengan tepat. Dalam hal ini termasuk ketersediaan SDM yang dapat merancang keberlanjutan perlindungan lingkungan, manfaat-manfaat sosial dan ekonomi setelah PTFI selesai beroperasi di Mimika.
Dengan demikian strateginya
adalah: (1) disain ulang pengembangan SDM Mimika menuju SDM yang berkemampuan merancang dan menciptakan keberlanjutan sosial, ekonomi, dan perlindungan setelah PTFI selesai beroperasi. (2) pengembangan SDM Mimika untuk menguasai teknologi penutupan tambang. Kualitas SDM yang baik dan bermutu sebagian besar berasal dari pendatang yang bekerja di PTFI, yang kemungkinan besar bila memasuki SaPeT akan kembali ke tempat asalnya, baik yang dari luar Mimika atau Papua maupun yang dari tenaga kerja asing. Tabel
48.
Kontribusi Pendanaan pertambangan
Uraian Kegiatan Total Comdev industri tambang di Indonesia Comdev PTFI % Comdev PTFI thd. industri tambang*
2002
PM
PTFI
terhadap
Jumlah Dana Comdev (US $ Juta) 2003 2004 2005
industri
2006
57,44 39,66
77,74 41,12
62,29 43,46
90,52 63,99
120,22 76,74
69,05%
52,89%
69,77%
70,69%
63,83%
* Dihitung kembali dari (PWC, 2007 dalam LPEM UI, 2008)
d. Infrastruktur adalah kriteria atau faktor kunci penentu keberhasilan di Indonesia yang mempunyai nilai rata-rata kesenjangan tertinggi keempat (2.385).
Tersedianya dukungan infrastruktur fisik sangat diperlukan bagi 181
kebutuhan pengembangan wilayah setelah tambang berakhir yang dapat mendukung pengembangan sektor non tambang sebagai sumber ekonomi pembangunan. Perbaikan modal fisik (infrastruktur) seperti: fasilitas publik, air dan sanitasi, transportasi yang efisien, keamanan, kualitas perumahan, kecukupan infrastruktur, dan telekomunikasi merupakan tindakan-tindakan yang perlu diambil dalam penguatan modal masyarakat untuk keberlanjutan pembangunan masyarakat (Roseland, 2005). Hasil analisis situasional infrastruktur di Kabupaten Mimika belum cukup mendukung kegiatan sosial dan ekonomi saat ini, apalagi nanti setelah PTFI selesai beroperasi. Dengan demikian strateginya adalah: (1) meningkatkan pembangunan infrastruktur fisik untuk mendorong terjadinya keberlanjutan sosial dan ekonomi namun tetap memberikan perlindungan lingkungan. (2) pembangunan infrastruktur yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor non-PTFI yang mempunyai tujuan pasar non PTFI dan keluar dari Mimika. e. Kebijakan pemerintah adalah kriteria atau faktor kunci penentu keberhasilan di Indonesia yang mempunyai nilai rata-rata kesenjangan kelima (-2.145). Dukungan
kebijakan
pemerintah
dalam
penyelenggaraan
penutupan
tambang yang memproteksi kepentingan industri tambang dan masyarakat serta lingkungan hidup sangat diperlukan.
Walaupun Peraturan Menteri
ESDM No 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang telah diberlakukan, namun belum dapat mendorong terjadinya keberlanjutan manfaat-manfaat sosial dan ekonomi serta perlindungan lingkungan pada SaPeT.
Dilain
pihak,
Indonesia
mempunyai
sistem
pemerintahan
desentralisasi sehingga yang dibuat pemerintah daerah menjadi sangat kuat dan efektif dalam membuat kebijakan dan regulasi yang mendorong tercapainya tujuan pembangunan setelah tambang.
Oleh karena itu,
strateginya adalah: (1) membuat kebijakan daerah (PERDA) tentang strategi dan perencanaan PEMDA Mimika dalam menghadapi dampak-dampak penting dari penutupan tambang PTFI dan mencari solusi yang permanen dan berkelanjutan. (2) membentuk Badan Penutupan Tambang Berkelanjutan (BPPTB) yang bertanggung jawab pada perencanaan dan implementasi penutupan tambang berkelanjutan. f.
Kelembagaan adalah kriteria atau faktor kunci penentu keberhasilan di Indonesia yang mempunyai nilai rata-rata kesenjangan keenam (-1.040). Terdapatnya badan-badan atau organisasi formal independen perumus 182
kebijakan penutupan tambang yang menyuarakan kepentingan pemerintah pusat dan daerah, perusahaan tambang, dan masyarakat merupakan satu keharusan. Saat ini, belum ada organisasi yang dibentuk terkait penutupan tambang PTFI kelak. Strategi implementasinya adalah: (1) membentuk dan memberfungsikan BPPTB jauh sebelum penutupan tambang PTFI. (2) LSM setempat perlu diberikan sosialisasi RPT PTFI. g. Indikator-indikator setempat adalah kriteria atau faktor kunci penentu keberhasilan di Indonesia yang mempunyai nilai rata-rata kesenjangan keenam (-1.040). Indikator khusus setempat perlu dipertimbangkan dalam membuat perencanaan penutupan tambang untuk pembangunan (The Chamber of Minerals and Energy of Western Australia Inc., 2000). Berdasarkan potensi SDA Kabupaten Mimika yang tinggi untuk mendukung keberlanjutan setelah PTFI selesai dan adanya hambatan alam yang berat dalam mengembangkan potensi itu, maka strateginya adalah: (1) identifikasi indikator-indikator kebutuhan
menuju PB di Mimika sebagai masukan
penting dalam penyusunan perencanaan pembangunan jangka panjang dan menegah. (2) pelaksanaan pembangunan di Mimika harus difokuskan mewujudkan kesejahteraan rakyat saat ini dan dimasa mendatang dengan mengembangkan potensi SDAnya secara berkelanjutan. h. Memenuhi tujuan-tujuan penggunaan lahan pasca tambang adalah kriteria atau faktor kunci penentu keberhasilan di Indonesia yang mempunyai nilai rata-rata kesenjangan ketujuh (-253) atau terpaut -316 dengan Australia dan – 253 dengan Kanada. Pembentukan lahan akhir daerah bekas tambang dan operasi pendukungnya dapat digunakan kembali sesuai dengan tujuantujuan yang dibutuhkan oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Pembentukan lahan akhir merupakan satu faktor penting untuk mendukung kegiatan ekonomi lain setelah penutupan atau pasca tambang (van Zyl, 2005). Dengan demikian strateginya adalah: (1) kegiatan reklamasi lahan bekas tambang yang dilakukan oleh PTFI perlu dilakukan kontrol, monitoring dan evaluasi oleh lembaga pemerintah yang berwenang dan hasilnya diinformasikan kepada PPK. (2) pembentukan lahan akhir disesuaikan dengan kebutuhan PPK ketika penutupan tambang. i.
Keterlibatan dan memenuhi ekspektasi PPK adalah kriteria atau faktor kunci penentu keberhasilan
di
Indonesia
yang
mempunyai
nilai
rata-rata
kesenjangan kedelapan (-170) atau terpaut -61 dengan Australia dan – 279 183
dengan Kanada.
Adanya lembaga formal dan non formal di tingkat
masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan kegiatan penutupan tambang sangat diperlukan. Keterlibatan PPK sejak awal dan selama siklus hidup tambang akan mengurangi terjadinya konflik saat penutupan tambang dan lebih murah dalam pembiayaannya serta menjamin kesuksesan penutupan (ANZMEC, 2000). Keterlibatan PPK dalam perencanaan penutupan tambang serta pembuatan keputusan merupakan hal yang kritis dalam pencapaian penyelesaian penambangan dan keberlanjutan hasil-hasil (AGDITR, 2006). Dengan demikian strateginya adalah: (1) melibatkan perwakikan dari pemerintah, perusahaan, LEMASA, LEMASKO, YAHAMAK, dan LSM setempat lain di Mimika membentuk BPPTB. (2) PTFI perlu melakukan sosialisasi RPT yang sudah disusun. j.
Teknologi penutupan tambang adalah kriteria atau faktor kunci penentu keberhasilan di Indonesia yang mempunyai nilai kesenjangan keenam (-155) atau terpaut -91 dengan Australia dan – 218 dengan Kanada. Ketersediaan teknologi penutupan tambang yang tepat diperlukan termasuk teknik-teknik reklamasi bekas daerah tambang yang tidak memunculkan kembali sisa-sisa kerusakan lingkungan setelah pekerjaan reklamasi dan penutupan tambang selesai. Strateginya adalah: (1) perlu mempercepat terjadinya alih teknologi penutupan tambang dari ahli-ahli yang dimiliki investor asing, termasuk dari Australia dan Kanada kepada SDM Mimika khususnya dan Indonesia pada umumnya. (2) mengembangkan teknik reklamasi dan teknologi penutupan tambang, serta merancang dan mengaplikasikan PB pada kegiatan pembagunan Mimika saat ini.
184
BAB VIII. KOMPONEN-KOMPONEN DOMINAN DALAM PERENCANAAN PENUTUPAN TAMBANG BERKELANJUTAN
8.1. Pembobotan pada Setiap Komponen Model AHP digunakan untuk memilih arahan kebijakan yang mudah dan penting menuju penutupan tambang berkelanjutan.
Gambar 26 merupakan
diagram hirarki AHP yang telah didiskusikan dan mendapat pendapat dari tiga pakar utama melalui wawancara yang mendalam. Pakar yang terlibat: satu pakar dari Ketua PERHAPI (Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia) dan Guru Besar Fakultas Pertambangan ITB, satu pakar senior dibidang sosial, lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, dan satu pakar dari konsultan lingkungan pada industri tambang. Pada diagram itu juga tertera nilai bobot untuk masing-masing variabel hasil dari perhitungan analisis. Hirarki AHP disusun dengan enam level yang memperlihatkan tahapan proses penetapan prioritas yang dimulai dari penetapan fokus pada level
l.
Level 2 adalah aktor yang terdiri dari: pemerintah (pusat, provinsi, dan kabupaten), manajemen perusahaan, karyawan perusahaan, masyarakat setempat, dan LSM setempat dan nasional.
Aktor ini dapat diartikan juga
sebagai PPK terkait dengan penutupan tambang PTFI dan masing-masing aktor mempunyai peranan dan kekuatan pengaruh. Level 3 adalah aspek, meliputi: lingkungan, sosial, ekonomi, hukum dan kelembagaan, dan teknologi dan biaya. Level 4 adalah faktor-faktor yang merupakan kriteria menuju penutupan tambang berkelanjutan.
Faktor-faktor ini ditentukan berdasarkan konsep dan prinsip-
prinsip penutupan tambang berkelanjutan yang dikembangkan negara-negara tambang maju, mengacu pada prinsip-prinsip PB, dan juga didasarkan dari hasil analisis sebelumnya seperti analisis kebutuhan PPK dan analisis Faktor Resiko Penutupan tambang (Laurence 2001, 2006) yang diaplikasikan untuk kasus PTFI. Level 5 adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari sistem penutupan tambang meliputi: keberlanjutan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan, dan keberlanjutan kualitas kehidupan sosial masyarakat. Level 6 adalah pilihan-pilihan prioritas kebijakan yang dianalisis dan
digunakan dalam membuat disain sistem
penutupan tambang yang berkelanjutan.
Pilihan-pilihan kebijakan yang diajukan adalah perencanaan terpadu berdasarkan SDA unggulan,
kompensasi
daerah bekas
tambang,
dan
perencanaan terpadu berdasarkan SDA unggulan sejak dini. Hasil pengisian kuesioner matriks perbandingan berpasangan yang disampaikan kepada tiga pakar dari kalangan perguruan tinggi, industri tambang, dan pemerintah (Departemen ESDM) kemudian diolah dengan
perangkat lunak Expert Choice
2000. Hasil analisis AHP pada setiap level dari hirarki disain sistem penutupan tambang berkelanjutan, dapat dilihat pada Gambar 26. Bobot dan prioritas yang dianalisis adalah hasil kombinasi (combined) dari pendapat para pakar pada setiap matriks berpasangan.
Hasil selengkapnya nilai bobot masing-masing
variabel dapat dilihat pada Lampiran 6.
Disain Sistem Penutupan Tambang Berkelanjutan
Fokus
Aktor
Aspek
Pemerintah (0,454)
Lingkungan (0,177)
Manajemen Perusahaan
Karyawan Perusahaan (0.090)
(0,164)
Sosial (0,226)
Ekonomi (0,337)
Masyarakat Setempat
LSM setempat & nasional
(0.228)
(0.064)
Hukum dan Kelembagaan (0,114)
Teknologi dan Biaya
(0,147)
Faktor • Proteksi ekologi & manusia (0,047) • Produktifitas lahan akhir (0,069) • Kontri.pd lingk. Global ( 0,036)
Tujuan
Pilihan
• Keterlibatan PPK (0.061) • Penddk & kesehatan (0,079) • Penciptaan lap. Kerja (0,085) • Kualitas SDM (0,102)
Keberlanjutan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (0,385)
Perencanaan terpadu pembangunan berdasarkan SDA unggulan (0,335)
Gambar 26.
• Kontrib. pd PDRB (0,052) • Mendorong iklim investasi (0,053) • Peluang ekonomi baru (0,064)
Keberlanjutan perlindungan & pelestarian fungsi lingkungan (0,264)
Membayar kompensasi daerah bekas tambang (0,071)
•Badan/forum utk • Efektifitas teknologi Penutupan (0,063) & biaya penutupan •Ketaatan pd regulasi (0,062) (0,083) • Rencana dan • Resolusi & pengelolaan tim Penutupan konflik (0.068) (0,076)
Keberlanjutan kualitas kehidupan sosial masyarakat (0,351)
Perencanaan terpadu pembangunan berdasarkan SDA Unggulan sejak dini (0,594)
Diagram hirarki AHP dalam disain sistem penutupan tambang berkelanjutan
8.1.1. Pembobotan Komponen Aktor dalam Penutupan Tambang Pada level 2 (aktor) hasil analisis menunjukkan bahwa pemerintah dan masyarakat setempat merupakan aktor yang paling berperan dalam penentuan 186
kebijakan penutupan tambang yang berkelanjutan dengan bobot berturut-turut 0,454 dan 0,228. dominan
(68,2
Hal ini menunjukkan bahwa kedua aktor ini menjadi lebih %)
dalam
menentukan
kebijakan
penutupan
tambang
berkelanjutan dan kesuksesan kegiatan penutupan tambang. Sebagai contoh, saat penutupan Tambang Sullivan di Kimberley Distrik di Kanada disebut sebagai praktek-praktek penutupan tambang terbaik dunia , dimana pemerintah daerah memimpin untuk mencari sumber ekonomi baru bagi daerahnya yang dilakukan 20 tahun sebelum tambang tersebut ditutup tahun 2001 (World Bank dan IFC, 2002).
Konsultasi dengan masyarakat setempat sejak dini akan
mendorong terjadinya keberlanjutan-keberlanjutan hasil-hasil dan kesuksesan penutupan tambang (ANZMEC, 2000; MMSD, 2002; dan AGDITR, 2006). Hasil analisis AHP untuk level 2, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27. Nilai setiap komponen aktor pada penutupan tambang
Manajemen dan karyawan perusahaan mempunyai nilai bobot urutan ketiga dan keempat yaitu berturut-turut 0,164 dan 0,090.
Manajemen
perusahaan berperan dalam membuat RPT (rencana penutupan tambang) dan mentaati kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan hasil-hasil dari konsultasi dengan masyarakat setempat.
Walaupun aktor LSM setempat dan nasional
memperoleh bobot terendah yaitu 0,064, namun peranan mereka dapat menentukan sukses dan gagalnya penutupan tambang. Mereka berperan untuk menginformasikan pratek-praktek terbaik penutupan tambang, baik berasal dari luar maupun ke dalam masyarakat atau pemerintah setempat dan sebaliknya (World Bank dan IFC, 2002).
187
8.1.2. Pembobotan Komponen Aspek dalam Penutupan Tambang Pada level 3 (aspek), hasil analisis AHP yang telah dihitung secara global nilai bobotnya dari pendapat para pakar, menunjukkan bahwa komponen aspek ekonomi mempunyai nilai bobot tertinggi yaitu 0,337. Nilai bobot tertinggi kedua pada aspek sosial yaitu 0,226. lingkungan yaitu 0,177.
Nilai bobot tertinggi ketiga pada aspek
Hal ini berarti bahwa
aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan mempunyai peranan sangat penting (74 %) untuk dikelola menuju penutupan tambang yang berkelanjutan dibandingkan aspek-aspek lainnya. Keberlanjutan ketiga aspek itu pada tambang selesai dioperasikan menjadi tolok ukur bahwa penutupan tambang yang dilaksanakan telah menerapkan prinsipprinsip PB (Robertson dan Shaw, 1999; MMSD, 1999; World Bank dan IFC,2002; dan Strongman, 2002).
Aspek hukum dan kelembagaan merupakan aspek
dengan nilai bobot terendah yaitu 0,114.
Untuk selengkapnya nilai masing-
masing aspek dapat dilihat pada Gambar 28.
Ekonomi Sosial Lingkungan Teknologi dan biaya Hukum dan kelembagaan
0.337 0.226 0.177 0.147 0.114
Gambar 28. Nilai bobot aspek-aspek penutupan tambang hasil analisis AHP
Berdasarkan peranan masing-masing aktor pada setiap aspek yang dibutuhkan dalam perencanaan penutupan tambang berkelanjutan,
aktor
pemerintah menempatkan aspek ekonomi diurutan pertama dengan nilai bobot 0,353 dan merupakan aspek yang perlu diperhatikan untuk menuju penutupan tambang berkelanjutan. Aktor manajemen perusahaan, karyawan perusahaan, dan aktor masyarakat setempat juga menempatkan aspek ekonomi pada urutan pertama yang perlu dikelola dengan nilai bobot aspek ekonomi berturut-turut untuk setiap aktor adalah 0,324; 0,292; dan 0,385. Diagram Pohon hasil analisis AHP selengkapnya tertera pada Gambar 29. Aktor LSM lebih menitik beratkan pada aspek sosial dan lingkungan baru kemudian ekonomi dengan nilai bobot berturut-turut 0,319; 0,195; dan 0,161. Dengan demikian aspek ekonomi menjadi perhatian utama dari empat aktor 188
penentu dalam menyusun perencanaan penutupan tambang berkelanjutan. Aspek hukum dan kelembagaan di hampir semua aktor mempunyai nilai bobot terendah dibandingkan aspek lain. Aktor karyawan perusahaan menempatkan aspek lingkungan mempunyai bobot terendah yaitu 0,062. Nilai bobot aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan pada semua aktor lebih tinggi dibandingkan nilai bobot pada aspek hukum dan kelembagaan, dan juga teknologi dan biaya. Hasil ini menunjukkan bahwa ketiga aspek tersebut merupakan aspek penting yang perlu
diperhatikan
dalam
menyusun
kebijakan
penutupan
tambang
berkelanjutan.
Gambar 29. Diagram pohon hasil AHP level aktor dan aspek disain sistem penutupan tambang berkelanjutan 189
8.1.3. Pembobotan Komponen Faktor-Faktor dalam Penutupan Tambang Pada level 4, hasil perhitungan nilai bobot secara global menunjukkan bahwa faktor atau kriteria dalam menentukan penutupan tambang berkelanjutan yang paling utama adalah: kualitas SDM (0,102), penciptaan lapangan kerja (0,085), ketaatan pada regulasi (0,083), dan faktor pendidikan dan kesehatan (0.079).
Ketiga faktor (26,6%) dari empat faktor utama ini merupakan faktor-
faktor pada aspek sosial. Apabila ditambah faktor dari aspek sosial lainnya yaitu faktor keterlibatan PPK dengan nilai bobot 0,061 maka faktor-faktor sosial mempunyai peranan 32,7% yang perlu dipertimbangan dalam perencanaan penutupan tambang berkelanjutan.
Diurutan kedua adalah faktor-faktor dari
aspek hukum dan kelembagaan (22,4%), kemudian berturut-turut faktor-faktor dari aspek ekonomi (16,7%), aspek lingkungan (15,2%), dan faktor dari aspek teknologi
dan biaya penutupan tambang (13,8%).
Hasil
analisis
AHP
selengkapnya untuk setiap faktor (level 4) tertera pada Gambar 30.
Kualitas SDM Penciptaan lapangan kerja Ketaatan pd regulasi Pendidikan dan kesehatan Rencana dan tim penutupan Produktifitas lahan akhir Resolusi & pengelolaan konflik Peluang ekonomi baru Badan penutupan tambang Efektifitas teknologi & biaya Keterlibatan PPK Mendorong iklim investasi Kontribusi pd PDRB Proteksi Ekologi & manusia Kontribusi pd lingkungan global
0.102 0.085 0.083 0.079 0.076 0.069 0.068 0.064 0.063 0.062 0.061 0.053 0.052 0.047 0.036
Gambar 30. Nilai bobot faktor-faktor penutupan tambang hasil analisis AHP
8.1.4. Pembobotan Komponen Tujuan-Tujuan dalam Penutupan Tambang Pada
level
5
(tujuan
penutupan
tambang
berkelanjutan),
hasil
perhitungan nilai bobot secara global terhadap semua variabel, menunjukkan bahwa
tujuan
keberlanjutan
pembangunan
dan
pertumbuhan
ekonomi
merupakan tujuan utama dalam perencanaan penutupan tambang berkelanjutan, dengan nilai bobot 0,385. Diurutan kedua adalah tujuan menuju keberlanjutan 190
kualitas kehidupan sosial masyarakat dengan nilai bobot 0,351. Keberlanjutan manfaat-manfaat sosial dan ekonomi merupakan tujuan dari penutupan tambang berkelanjutan ((Robertson dan Shaw, 1999; MMSD, 1999; World Bank dan IFC,2002; dan Strongman, 2002).
Tujuan keberlanjutan perlindungan dan
pelestarian fungsi lingkungan diurutan terakhir dengan nilai bobot yaitu 0,263 (Gambar 31).
Keberlanjutan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Keberlanjutan kualitas kehidupan sosial masyarakat Keberlanjutan perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan
0.385 0.351 0.263
Gambar 31. Nilai bobot komponen tujuan penutupan tambang hasil analisis AHP Tujuan keberlanjutan perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan pada urutan terakhir hasil analisis AHP pendapat para pakar menunjukkan bahwa fungsi lingkungan akan berangsur pulih pada daerah yang terganggu operasi tambang setelah daerah tersebut tidak terganggu lagi secara fisik dan kimia.
Sebagai contoh, pada daerah pengendapan tailing ModADA di PTFI,
kondisi lingkungan di titik-titik luasan area tertentu yang sudah tidak aktif (tidak dilalui aliran tailing) berangsur segera membaik setelah dilakukan reklamasi atau dirancang terjadinya suksesi alami di area tersebut. dikemukakan oleh selesai
sehingga
Hal ini seperti yang
Soelarmo (2005) bahwa lingkungan yang terganggu sudah daerah-daerah
bekas
tambang
dapat
melakukan
pengembangan sendiri (natural suksesi) asal tidak terdapat bahan-bahan yang berbahaya bagi fauna dan flora disana. Walaupun demikian, apabila muncul sisa-sisa kerusakan lingkungan setelah pekerjaan reklamasi dan penutupan tambang selesai sangat tergantung dari pengembangan dan teknik-teknik reklamasi yang dipilih (Robertson dan Shaw,1998). 8.1.5. Pembobotan Komponen Alternatif dalam Penutupan Tambang Pada
level
6
(alternatif-alternatif),
pilihan
kebijakan
membayar
kompensasi daerah bekas tambang merupakan pilihan kebijakan buruk atau paling kecil nilai bobotnya yaitu 0,071 dibandingkan dua pilihan kebijakan 191
lainnya.
Pilihan kebijakan perencanaan terpadu berdasarkan SDA unggulan
sejak dini merupakan pilihan yang terbaik dan tertinggi nilai bobotnya, yaitu 0,0594. Pilihan kebijakan perencanaan terpadu berdasarkan SDA unggulan merupakan pilihan urutan kedua dengan nilai bobot 0,335 (Gambar 32)
Perencanaan terpadu pembangunan berdasarkan SDA unggulan sejak dini Perencanaan terpadu pembangunan berdasarkan SDA unggulan Membayar kompensasi daerah bekas tambang
0.594 0.335 0.071
Gambar 32. Diagram hasil AHP dan bobot masing-masing alternatif kebijakan dalam disain sistem penutupan tambang berkelanjutan Pilihan kebijakan membayar kompensasi daerah bekas tambang merupakan sebuah pilihan yang harus dihindari.
Kebijakan ini sudah jauh
ditinggalkan oleh negara-negara tambang yang maju. Seperti yang dilaporkan World Bank dan IFC (2002) bahwa seabad yang lalu penutupan tambang dilakukan seadanya saja setelah bahan tambangnya habis. Di Australia ada 500 bekas tambang , di Kanada ada 10.139 dan di USA sebanyak 557.650 bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja setelah nilai ekonomi bahan tambangnya berakhir atau tidak layak terus ditambang (IIED dan WBCSD, 2002). Hal ini dapat menjadi malapetaka lingkungan, sosial dan ekonomi bagi tempat dimana tambang dioperasikan sebelumnya. Kebijakan ini hanya bersifat sangat jangka pendek dan tidak menjawab kebutuhan akan keberlanjutan manfaat-manfaat sosial, ekonomi dan perlindungan lingkungan setelah tambang selesai. Tidak menutup kemungkinan keadaan seperti ini telah terjadi di Indonesia beberapa tahun sebelum pemerintah melalui Meteri ESDM mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang yang disyahkan tanggal 29 Mei 2008 Pilihan kebijakan perencanaan terpadu berdasarkan SDA unggulan sejak dini mengimplikasikan bahwa untuk menuju penutupan tambang berkelanjutan maka kegiatan-kegiatan pembangunan perlu direncanakan secara terpadu berdasarkan pada pengelolaan secara optimal potensi-potensi SDA unggulan setempat yang harus dilakukan pada saat tambang masih beroperasi. Perencanaan
terpadu
pembangunan
sejak
dini
memungkinkan
sektor 192
pertambangan berkontribusi pada kegiatan-kegiatan pembangunan menuju PB dan merupakan suksesi untuk menggantikan sumber manfaat ekonomi dan sosial yang sebelumnya dari manfaat tambang berganti menjadi berasal dari manfaat non tambang.
Hal ini dipertegas oleh
perencanaan suksesi dari
Robertson ( 1990) bahwa
keberlanjutan dari manfaat-manfaat sosial dan
ekonomi distimulasi saat tambang masih aktif beroperasi adalah sebuah tujuan antara dari keberlanjutan dan perencanaan suksesi di daerah tambang. Dengan demikian perencanaan sejak dini adalah sebuah kebutuhan yang mendesak saat ini bagi PPK PTFI dalam menuju penutupan tambang berkelanjutan dari perusahaan ini.
8.2. Strategi Implementasi Komponen Dominan Penutupan Tambang Berdasarkan analisis situasional Kabupaten Mimika terkait dengan operasi PTFI dan untuk menuju penutupan tambang yang berkelanjutan, berikut ini
disampaikan
beberapa
strategi
mengimplementasikan pilihan kebijakan
yang
perlu
dilakukan
dalam
perencanaan terpadu berdasarkan
SDA unggulan sejak dini, sebagai berikut: 1. Semua sumber daya yang ada di Kabupaten Mimika khususnya dan di Propinsi Papua pada umumnya perlu difokuskan pemanfaatannya untuk segera (saat ini juga) membangun kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomi yang dapat menggantikan manfaat-manfaat ekonomi dan sosial yang saat ini diperoleh dari operasi PTFI. PTFI berkontribusi sangat nyata pada PDRB Kabupaten Mimika dan Propinsi Papua.
Misalnya, pada tahun 2007
kontribusi kepada PDRB Kabupaten Mimika adalah 95,56% dan pada PDRB Propinsi Papua sebesar 44,87%
serta berkontribusi pada kegiatan
pengembangan masyarakat setempat sebesar 76,74 juta Dolar Amerika pada tahun yang sama (LPEM-FEUI, 2008). Banyak kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang saat ini masih menggantungkan hampir 100% pada sumber pendanaan dari PTFI dan inisiatif untuk kegiatan suksesi belum menunjukkan kemajuan yang dapat diandalkan di masa mendatang.
Misalnya, kegiatan usaha kecil dan
menengah (UKM) yang saat ini dibina pemerintah dan PTFI kurang lebih 50% dari jumlah UKM yang ada masih mempunyai tujuan pasar ke PTFI. Dengan demikian strateginya adalah: (1) segera menemu kenali potensi-potensi SDA unggulan non tambang yang dapat dijadikan sumber pendapatan ekonomi 193
baru yang mempunyai tujuan pasar di dalam dan ke luar Mimika.
(2)
meningkatkan pengembangan kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat yang mempunyai tujuan pasar diluar PTFI dan dapat menjangkau pasar luar Mimika atau Papua. (3) hasil kegiatan ekonomi masyarakat atau ekonomi lain non tambang, mulai dipergunakan untuk menggantikan secara bertahap pembiayaan-pembiayaan kegiatan-kegiatan sosial yang saat ini masih 100% bergantung pada PTFI. SDA yang potensial seperti perikanan, kehutanan dan kebun sagu yang luas (penjelasan rinci pada BAB IV pada butir 4.2.6) perlu segera dioptimalkan pemanfaatannya dengan didukung oleh pengembangan teknik budidaya yang berkelanjutan. Kebun sagu di Mimika merupakan kebun sagu yang besar di Papua bahkan di Indonesia. Pengembangan sagu menjadi sumber pangan nasional dan modern di perlukan sekali untuk masa mendatang, seperti pembuatan tepung sagu yang saat ini banyak permintaan pasar dari luar negeri yang belum terpenuhi, misalnya dari Cina. Padahal sejak 10 tahun yang lalu PTFI telah mengembangkan sagu unggul dari segi produksi, tahan penyakit dan hama, kegenjahan umur panen melalui penelitihan
yang
berkesinambungan
dengan
Cendrawasih) dan UNIPA (Universitas Papua).
UNCEN
(Universitas
Pendirian segera pabrik
tepung sagu haruslah menjadi prioritas bagi PPK pembangunan di Mimika. Jika tidak, ketidak berlanjutan manfaat sosial dan ekonomi setelah PTFI setelah kemungkinan besar dapat terjadi. Pemberlakukan teknologi budidaya yang berkelanjutan juga diperlukan dalam pengembangan sektor perikanan dan kehutanan di Mimika. 2. Pada aspek lingkungan,
strategi implementasi dari pilihan kebijakan ini
adalah selain mengembangkan teknologi budidaya berkelanjutan, melalui penerapan teknologi bersih (cleaner production) salah satunya, teknologi penanganan AAB (air asam batuan) atau air asam tambang dan zat-zat pencemar lain yang berbahaya perlu terus ditingkatkan kehandalan dan keberfungsiannya.
Secara dini, masyarakat perlu diberikan pemahaman
tentang tindakan-tindakan yang dilakukan perusahaan dalam mengamankan dampaknya. Selain itu, kerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga profesional terkait perlu terus dilakukan dan ditingkatkan dalam rangka memberikan kepastian ilmiah dan meningkatkan kemampuan teknologi penanganan AAB secara berkesinambungan.
Munculnya sisa-sisa zat 194
berbahaya bagi kesehatan dan keamanan manusia, hewan dan tumbuhan tidak terjadi pada SaPeT PTFI tiba dan saat setelah pasca tambang. 3. Pada aspek sosial, strategi yang diperlukan adalah:
(1) PPK PTFI,
khususnya PEMDA Mimika segera mencari sumber pendanaan yang berkelanjutan
untuk
menggantikan kegiatan-kegiatan
sosial,
seperti
kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang saat ini masih mendapat seluruh pendanaannya dari PTFI. Pembentukan dana abadi (dari sumber PTFI saat ini)
yang dirancang dan dikelola lebih terarah dan tepat
merupakan sebuah langkah strategis yang perlu segera direalisasikan. Saat ini banyak dana-dana pengembangan masyarakat yang terkelola secara tidak tepat dan tidak diarahkan untuk membangun kegiatan-kegiatan yang berdampak nyata pada keberlanjutan kehidupan masyarakat di Kabupaten Mimika setelah PTFI selesai.
(2) pembangunan infrastruktur yang dapat
mendukung timbulnya kegiatan pembangunan sosial yang menjamin keberlanjutan manfaat-manfaat sosial pada SaPeT PTFI perlu dilakukan. 4. Pada aspek hukum dan kelembagaan.
Persoalan penutupan tambang
adalah persoalan yang sangat rumit, probabilistik dan dinamik. Hasil AHP menyatakan bahwa pemerintah (pusat, propinsi dan daerah) merupakan aktor utama yang menentukan. Oleh karena itu strategi implementasinya adlah pemerintah dalam hal ini PEMDA Mimika perlu membentuk BPPTB. Walaupun faktor badan penutupan tambang memperoleh nilai bobot yang kecil 0,063 berdasarkan pendapat pakar, namun berdasarkan hasil analisis resiko penutupan dan analisis kebutuhan PPK, faktor ini merupakan salah satu indikator keberlanjutan sosial. Demikian juga, menurut hasil analisis ISM, faktor ini termasuk faktor kelembagaan yang merupakan salah satu faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang yang perlu diterapkan di Indonesia. Badan ini dapat terdiri dari perwakilan dari masing-masing PPK Kabupaten Mimika dan pembentukannya perlu didukung oleh PERDA sebagai dasar hukum operasionalnya. Hasil analisis AHP dan strategi implementasinya akan menjadi masukan informasi penting sebagai input terkontrol pada kotak hitam pendekatan sistem dan sebagai dasar pertimbangan dalam menyusun skenario-skenario keberlanjutan pada saat menjelang dan SaPeT PTFI.
195
BAB IX. SISTEM DINAMIK PENUTUPAN TAMBANG MINERAL YANG BERKELANJUTAN
9.1. Analisis Kebutuhan Sistem Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dalam pendekatan sistem, dan sangat menentukan kelayakan sistem yang akan dibangun. Dalam tahap ini, dilakukan inventarisasi kebutuhan PPK (stakeholder) yang terlibat, sebagai masukan dalam model. Masing-masing pelaku memiliki kebutuhan dan pandangan
terhadap
dampak-dampak
buruk
penutupan
tambang
pada
keberlanjutan manfaat-manfaat sosial, ekonomi dan perlindungan lingkungan yang dirasakan oleh PPK saat ini. Berdasarkan hasil pemetaan PPK, yang terlibat dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan adalah pemerintah, manajemen perusahaan, karyawan perusahaan, masyarakat setempat, dan LSM setempat dan nasional, kontraktor dan pemasok barang dan jasa, kalangan akademisi.
Analisis kebutuhan PPK
dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan disajikan pada Tabel 49. Tabel 49. No.
Analisis kebutuhan PPK dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan
Pihak Berkepentingan
1.
Pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten Mimika
2.
Manajemen perusahaan
3
Karyawan perusahaan
4
Masyarakat setempat
Kebutuhan Adanya sumber pendapatan ekonomi pengganti tambang Peningkatan investasi ekonomi non tambang Terjaganya kualitas lingkungan saat penutupan tambang dan Tidak menimbulkan konflik sosial Sejalan dengan tujuan pembangunan dan pengembangan wilayah Penyerahan beberapa fasilitas perusahaan untuk kegiatan pemerintah Mentaati kebijakan dan regulasi tentang penutupan tambang Pelaksanaan penutupan yang berjalan lancar dan aman sesuai dengan teknologi dan biaya yang tersedia Tidak menimbulkan perncemaran lingkungan pada SaPeT dan setelahnya. Tidak menimbulkan konflik sosial dan ekonomi Rencana penutupan tambang disetujui pemerintah dan masyarakat setempat Memperoleh hak-haknya saat demobilisasi dan relokasi Memperoleh pelatihan untuk trampil dan bekerja di sektor lain Tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan Tidak menimbulkan bahaya pada lingkungan sekitarnya, khususnya bagi karyawan penduduk setempat Keberlanjutan berlanjutan manfaat program sosial, ekonomi seperti dirasakan saat ini Keberlanjutan pelayanan publik yang saat ini diberikan perusahaan Perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan untuk kehidupannya di masa mendatang Keterlibatan dalam pembuatan RPT dan kegiatan pelaksanaan penutupan
Tabel 49 (Lanjutan) 5
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk LSM yang memperoleh dana pengembangan dari PTFI
6
Kalangan perguruan tinggi (akademisi)
7
Kontraktor atau pemasok barang dan jasa
Tidak ada pencemaran lingkungan dan kerusakan sosial pada SaPeT PTFI Menyisihkan dana abadi untuk kelanjutan kegiatan pengembangan masyarakat saat ini Mentaati kebijakan dan regulasi dari pemerintah Tidak melanggar hak-hak masyarakat setempat Tidak ada pencemaran lingkungan. Tidak ada penurunan pendapatan ekonomi pemerintah dan masyarakat Keterlibatan dalam pembuatan RPT dan kegiatan pelaksanaan penutupan Pembayaran atas hak-hak Adanya sumber kegiatan ekonomi baru pengganti sektor tambang Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan konflik sosial
Sumber: Hasil analisis (2009)
9.2.
Formulasi Masalah Berdasarkan hasil analisis kebutuhan pada Tabel 49 terlihat bahwa
terdapat
kebutuhan-kebutuhan
yang
sejalan
(sinergis)
dan
kontradiktif.
Kebutuhan pada “kualitas lingkungan membaik (tidak adanya pencemaran lingkungan)”, “tidak ada konflik sosial”, “mentaati kebijakan dan regulasi penutupan”, adalah merupakan kebutuhan yang sinergis bagi semua pelaku sistem. Sementara itu “keberlanjutan manfaat-manfaat sosial dan ekonomi”, dan “biaya penutupan” merupakan kebutuhan yang kontradiktif.
Kebutuhan yang
kontradiktif dapat dikenali berdasarkan dua hal, yaitu kelangkaan sumberdaya dan perbedaan kepentingan. Adanya faktor-faktor yang merupakan kebutuhan kontradiktif yang telah teridentifikasi pada saat analisis kebutuhan ini dapat menyebabkan tujuan sistem sulit tercapai, bahkan tidak akan tercapai (Hartrisari, 2007).
Oleh karena itu, perlu dicarikan solusinya.
Pendekatan yang dapat
digunakan untuk itu adalah menyusun diagram lingkar sebab-akibat (causal-loop diagram) atau diagram input-output (black box diagram)
9.3. Identifikasi Sistem Secara garis besar ada enam kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja suatu sistem, yaitu: (1) variabel output yang dikehendaki, yang ditentukan berdasarkan hasil analisa kebutuhan, (2) variabel output yang tidak dikehendaki, (3) variabel input yang terkontrol, (4) variabel input yang tidak terkontrol, (5) variabel input lingkungan dan (6) variabel kontrol sistem (Manecth dan Park,
197
1977). Pada sistem penutupan tambang berkelanjutan, variabel-variabel yang mempengaruhi sistem tersebut adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 33.
INPUT LINGKUNGAN: UUD 1945 pasal 33 ayat 3, UU No 4 Th. 2009, UU No 23 Th.1997, UU No 26 Th 2007, UU No 32 Th 2004 , UU No 33 Th 2004, PerMenESDM No. 18 Th. 2008
Batasan Sistem
Output yang diharapkan: • Terpeliharanya kualitas lingkungan • Kualitas SDM meningkat • Kemampuan Pemda Mimika meningkat • Infrastruktur tersedia sesuai kebutuhan • Tersedia pilihan skenario penutupan tambang berkelanjutan • Kualitas sosial masyarakat meningkat • Pertumbuhan ekonomi meningkat • Tersedia dana abadi
Input Tak Terkontrol: • Kondisi politik dan ekonomi nasional • Kebutuhan dan kepentingan masyarakat • Perubahan tata pemerintahan • Perubahan peraturan perundang-undangan • Kondisi sosial budaya masyarakat • Penurunan keragaman hayati (kehati) • Iklim lokal dan global • Tekanan LSM dan publik
Disain Sistem Penutupan Tambang Mineral Berkelanjtan Input Terkontrol: • SDM • Kemampuan dan kepemimpinan Pemda • Investasi ekonomi • Badan Penut.Tamb.Berkelan. (BPPTB) • Infrastruktur • Tata kelola perlindungan dan pelestarian lingk. • Teknologi penutupan tambang • Dana pengembangan masyarakat
Manajemen Pengendalian
Output Tak Diharapkan: • Terjadi pencemaran lingkungan • Timbul konflik sosial • Biaya penutupan tambang tak terkendali • Infrastruktur memburuk • Pelayanan pendidikan dan kesehatan memburuk. • Pertumbuhan ekonomi menurun •Timika menjadi kota hantu
Batasan sistem
Gambar 33. Diagram kotak hitam (input-output) disain sistem penutupan tambang mineral berkelanjutan Pada Gambar 33 nampak bahwa dalam sistem penutupan tambang masukan/input yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan adalah input lingkungan, input terkontrol, dan input tak terkontrol. Input lingkungan mencakup peraturan dan perundangan. Input terkontrol merupakan input/masukan yang dapat
dikendalikan/dikontrol
pelaksanaan
manajemennya
dalam
sistem
penutupan tambang berkelanjutan, sedangkan input tidak terkontrol merupakan input/masukan yang tidak dapat dikontrol.
Batasan sistem merupakan batas
agar penelitian ini tidak melebihi dan berfokus pada tujuan penelitian. Variabel-variabel yang mencakup input terkontrol adalah merupakan hasil analisis ISM atas lima elemen program dalam membangun sistem penutupan tambang berkelanjutan dan analisis kebutuhan PPK, yaitu: SDM, kemampuan dan kepemimpinan PEMDA Mimika, investasi ekonomi, Badan Pengelola 198
Penutupan Tambang Berkelanjutan (BPPTB), infrastruktur yang memadai, tata kelola perlindungan dan pelestarian lingkungan, teknologi penutupan, dan dana abadi. Variabel-variabel yang termasuk input tidak terkontrol yaitu: kondisi politik dan ekonomi nasional, kebutuhan dan kepentingan masyarakat, perubahan tata pemerintahan, perubahan peraturan perundang-undangan, kondisi sosial budaya masyarakat, penurunan keragaman hayati (kehati), iklim lokal dan global, dan tekanan LSM dan publik.
Dalam proses umpan balik terhadap input terkontrol
dan tidak terkontrol diperoleh output yang dikehendaki dan tidak dikehendaki yang dapat digunakan untuk menilai kinerja sistem. Output yang dikehendaki adalah output dari hasil umpan balik input yang diharapkan muncul dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan, sedangkan output yang tidak dikehendaki merupakan output yang tidak dikehendaki terjadi. Output/keluaran yang dikehendaki dari pelaksanaan sistem penutupan tambang berkelanjutan yaitu: terpeliharanya kualitas lingkungan, kualitas SDM meningkat, kemampuan PEMDA Mimika meningkat, infrastruktur tersedia sesuai kebutuhan, tersedia pilihan skenario penutupan tambang berkelanjutan, kualitas sosial masyarakat meningkat, dan pertumbuhan ekonomi meningkat. Sementara itu, output atau keluaran yang tidak dikehendaki yaitu: terjadi pencemaran lingkungan, timbul konflik sosial, biaya penutupan tambang takterkendali, infrastruktur memburuk, pelayanan pendidikan dan kesehatan memburuk, pertumbuhan ekonomi menurun, dan Timika menjadi kota hantu. Hubungan antar variabel-variabel dalam sistem digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat (causal loop diagram) seperti pada Gambar 34. Berdasarkan Gambar diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) sistem penutupan tambang berkelanjutan di atas nampak bahwa kegiatan industri pertambangan sangat berpengaruh terhadap sistem sosial, ekonomi dan lingkungan.
Keberadaan industri pertambangan khususnya terkait dengan
kegiatan selama operasional berlangsung sangat mempengaruhi aspek sosial seperti terbukanya lapangan kerja, peningkatan infrastruktur, pertambahan penduduk, khususnya pendatang. Disisi lain, dapat menyebabkan terjadinya konflik, sehingga pengembangan CSR (corporate social responsibility)/CD (community development) merupakan media yang dapat meningkatkan dampak positif dan meminimalisasi dampak negatif khususnya dari aspek sosial.
199
Gambar 34.
Pada
Diagram sebab akibat (Causal Loop) Model Penutupan Tambang PT. Freeport Indonesia aspek
lingkungan,
kegiatan
industri
pertambangan
akan
memanfaatkan SDA bahan tambang sehingga dapat menambah degradasi lingkungan dan penurunan keanekaragaman hayati yang berdampak pada kualitas lingkungan sekitarnya. Dalam upaya meminimalisasi dampak tersebut maka penggunaan teknologi seperti: pemasangan IPAL, penggunaan teknik 3R (reuse, recycle, dan reduce) dan kegiatan reklamasi pada daerah-daerah yang terganggu merupakan tindakan untuk mengurangi terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Pada aspek ekonomi, kegiatan industri pertambangan akan memanfaatkan SDA bahan tambang untuk berproduksi optimal untuk mendapatkan nilai ekonomi
yang
merupakan
pendapatan
dari
perusahaan.
Pendapatan
perusahaan ini sangat menentukan kontribusi perusahaan terhadap pendapatan 200
pemerintah
dan
berpengaruh
pendapatan
pada
kenaikan
masyarakat
(termasuk
nilai
dan
rumah
karyawan).
lahan
serta
Juga
berdampak
meningkatkan jumalah pemasok barang dan jasa. Pada akhirnya kegiatan pada ketiga aspek itu akan menentukan “Nilai Hasil Transformasi Manfaat Tambang (NHTMT) secara ekonomi yang dipengaruhi oleh faktor pendapatan masyarakat, pendapatan pemerintah, kegiatan sosial dari CSR/CD serta dampaknya terhadap lingkungan.
Dari diagram sebab akibat
(causal loop) di atas diketahui bahwa dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan,
aspek-aspek
sosial,
ekonomi
dan
lingkungan
memiliki
peranan/pengaruh masing-masing terhadap tingkat nilai hasil transformasi manfaat tambang. 9.3.1. Sub Model Sosial Sub model sosial dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel sosial, seperti jumlah penduduk, lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur lainnya. Pengaruh variabel-variabel sosial tersebut terhadap sistem disajikan pada Gambar 35, yang menunjukan bahwa jumlah penduduk sangat dipengaruhi oleh tingkat kelahiran, kematian, imigrasi dan emigrasi. Jumlah kelahiran dan tingkat imigrasi berpengaruh pada jumlah penduduk. Tingkat kematian dan emigrasi berpengaruh pada pengurangan jumlah penduduk. Peningkatan penduduk juga berdampak terhadap perubahan tingkat pendidikan, kebutuhan lapangan kerja, dan terjadinya konflik. Kegiatan industri pertambangan berpengaruh pada peningkatan imigrasi. Kegiatan CSR/CD dari industri pertambangan dimaksudkan untuk meminimalisasi dampak sosial yang negatif dan meningkatkan dampak yang positif seperti pengembangan pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lainnya.
Kesemua variabel tersebut
dapat berpengaruh pada keberlanjutan sosial dan peningkatan pendapatan masyarakat. Pada akhirnya pendapatan masyarakat akan berpengaruh pada keberlanjutan ekonomi di dalam sub sistem ekonomi. Berdasarkan Gambar 36, faktor penting yang menjadi fokus kajian adalah tingkat pertambahan penduduk (populasi), kegiatan CD/CSR, konflik dan pendidikan. Beberapa hal yang mempengaruhi jumlah penduduk di lokasi kajian berdasarkan model yang telah dibuat, yaitu: kematian, emigrasi (perpindahan penduduk keluar lokasi), kelahiran, dan imigrasi (perpindahan penduduk masuk 201
kedalam lokasi). Perubahan-perubahan pada variabel tersebut tentu saja sangat terkait dengan keberadaan PTFI di Kabupaten Mimika. Jumlah normal emigrasi, jumlah normal imigrasi, fraksi lahir, tingkat usia hidup manusia di Kabupaten Mimika digunakan dalam analisis penyusunan model penutupan tambang berkelanjutan.
Gambar 35. Diagram sebab akibat (Causal Loop) Sub Model Sosial pada penutupan tambang PT. Freeport Indonesia
202
Gambar 36. Diagram Alir Sub Model Sosial pada penutupan tambang PT. Freeport Indonesia Model penutupan tambang berkelanjutan sub model sosial menggunakan beberapa asumsi yang akan membatasi keberlakuan model.
Asumsi-asumsi
tersebut adalah: 203
1.
Laju angka kematian dianggap tetap dengan tidak terjadi perubahan fraksi mortalitas.
2.
Laju emigrasi dianggap tetap dengan menggunakan rata-rata tiap tahun dan tidak terjadi perubahan fraksi normal emigrasi.
3.
Laju imigrasi dianggap tetap dengan menggunakan rata-rata tiap tahun dan tidak terjadi perubahan fraksi normal imigrasi. Berdasarkan sub model sosial memperlihatkan bahwa kelahiran dan
imigrasi berfungsi sebagai laju masukan pada level populasi.
Kelahiran
merupakan perkalian antara populasi dengan fraksi lahir yang terdapat sebagai constanta, dan untuk imigrasi merupakan perkalian antara populasi dengan normal imigrasi yang terdapat sebagai constanta.
Kematian dan emigrasi
berfungsi sebagai laju keluaran pada level populasi, untuk kematian merupakan perkalian antara populasi dengan umur yang merupakan harapan hidup rata-rata setiap tahun membentuk sebagai graph, dan untuk emigrasi merupakan perkalian antara populasi dengan normal emigrasi yang terdapat sebagai constanta. Demobilisasi sebagai auxiliary merupakan hasil perkalian dari populasi dengan fraksi demobilisasi dari lapangan kerja sebesar 96,8% sebagai constanta,
yang
menggambarkan
persen
angkatan
kerja
pada
sektor
pertambangan terhadap populasi penduduk yang ada. 9.3.2. Sub Model Lingkungan Sub model lingkungan dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel lingkungan, seperti permasalahan pencemaran air, polusi udara, limbah tailing, dan penurunan SDA terhadap keberlanjutan sistem penutupan tambang. Pengaruh variabel-variabel lingkungan tersebut terhadap sistem kemudian disajikan dalam diagram sebab akibat (causal loop), seperti pada Gambar 37. Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) pada Gambar 37, diketahui
bahwa
kegiatan industri
pertambangan
berpengaruh terhadap
keberadaan SDA, pencemaran air, polusi udara, limbah tailing dan degradasi lahan, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada perubahan kualitas lingkungan. Dalam upaya meminimalisasi dampak penambangan terhadap lingkungan, variabel penting sebagai media pengelolaan lingkungan adalah berupa penggunaan teknologi pengelolaan lingkungan dan kegiatan reklamasi lahan. 204
Gambar 37.
Diagram sebab akibat (Causal Loop) Sub Model Lingkungan pada penutupan tambang PT. Freeport Indonesia
Model penutupan tambang berkelanjutan sub model lingkungan yang telah dirumuskan dapat digunakan dengan beberapa asumsi yang akan membatasi keberlakuan model. Asumsi-asumsi tersebut adalah : (1) jumlah limbah tailing merupakan sisa dari bahan tambang sekitar 97%, (2) tingkat pencemaran udara dan air di lihat dari persentase parameter yang melebihi nilai ambang batas yang ditentukan, dan (3) bencana alam tidak terjadi.
Pada sub model lingkungan
memperlihatkan bahwa pertambahan limbah tailing berfungsi sebagai laju yang mempengaruhi pengurangan pada kapasitas areal tailing (luasan ModAda menjadi berkurang). Pertambahan degradasi hutan berfungsi sebagai laju keluaran pada level hutan merupakan perkalian antara fraksi degradasi hutan sebagai constanta dengan luasan hutan.
205
Gambar 38. Diagram Alir Sub Model Lingkungan pada penutupan tambang PT. Freeport Indonesia 9.3.3. Sub Model Ekonomi Sub model ekonomi dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan terdiri dari
variabel-variabel ekonomi pengaruhnya terhadap sistem, seperti yang
disajikan pada Gambar 39.
Asumsi-asumsi yang membatasi sub model
ekonomi, antara lain: tidak memperhitungkan discount rate dan nilai 1dolar Amerika = 10.000 rupiah.
206
Variabel-variabel ekonomi tersebut meliputi: pendapatan PPK terkait, kapasitas bahan tambang, dan nilai hasil transformasi manfaat tambang (NHTMT).
NHTMT merupakan pengaruh dari pendapatan masyarakat,
pendapatan kabupaten, pendapatan propinsi dan pendapatan negara.
Hal
tersebut
dari
terjadi
karena
adanya
kontribusi
kegiatan
pertambangan
pendapatan perusahaan sebagai pengelola produksi bahan tambang. Selain itu, NHTMT juga dipengaruhi oleh aspek sosial yang berupa dampak ikutan dari adanya kegiatan CSR/CD seperti perubahan tingkat pendidikan, kesehatan dan infrastruktur lainnya, serta pengaruh aspek lingkungan khususnya kualitas lingkungan. Hal ini dapat dikatakan berkelanjutan jika dari aspek-aspek tersebut mengalami keseimbangan positif.
Gambar 39.
Diagram sebab akibat (Causal Loop) Sub Model Ekonomi pada penutupan tambang PT. Freeport Indonesia
207
Pada Gambar 40 terlihat bahwa peningkatan kegiatan penambangan dalam aspek ekonomi berdampak terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya berdampak terhadap peningkatan pendapatan ekonomi daerah dan akhirnya berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat. Model penutupan tambang berkelanjutan ini sangat dipengaruhi oleh NHTMT. Berdasarkan bagan model yang telah dibuat, untuk mencapai NHTMT yang tinggi diperngaruhi beberapa faktor, yaitu: kontribusi dari CD/CSR, pendapatan kabupaten mimika dan pendapatan masyarakat. Dampak negatif pada NHTMT yang dianggap perlu adalah semakin menurunnya nilai kualitas lingkungan. Sub model ekonomi ini menggunakan asumsi nilai kurs rupiah yang konstan sampai masa penutupan tambang PTFI.
Gambar 40.
Diagram Alir Sub Model Ekonomi pada penutupan tambang PT. Freeport Indonesia 208
9.4. Validasi Model Proses validasi bertujuan untuk menilai keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah, karena pengetahuan ilmiah yang bersifat obyektif harus taat fakta. Proses melihat keserupaan seperti ini disebut validasi output atau kinerja model. Dalam pekerjaan pemodelan, obyektif itu ditunjukkan dengan sejauh mana model dapat menirukan fakta. Hartrisari (2007) mengemukakan bahwa validasi model ditujukan untuk melihat kesesuaian hasil model dibandingkan dengan realitas bila model dijalankan dengan data yang lain. 9.4.1. Validasi Struktur Model. Validasi struktur model merupakan proses validasi utama dalam berpikir sistem. Pada proses ini bertujuan untuk melihat sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata, yang berkaitan dengan batasan sistem, variabel-variabel pembentuk sistem, dan asumsi mengenai interaksi yang terjadi dalam sistem. Validasi struktur dilakukan dengan dua bentuk pengujian, yaitu; uji kesesuaian struktur dan uji kestabilan struktur (Forrester, 1968).
a. Uji Konstruksi/Kesesuaian Struktur Uji kesesuaian struktur dilakukan untuk menguji apakah struktur model tidak berlawanan dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata dan apakah struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan (Sushil, 1993). Hal ini akan meningkatkan tingkat kepercayaan atas ketepatan dari struktur model.
Pada model yang telah dibangun dapat dilihat dari
bertambahnya revenue akan menambah kontribusi CD/CSR, dan kualitas lingkungan akan berkurang, tetapi dengan adanya teknologi penurunan kualitas lingkungan tersebut dapat diminimalisasi. Data perubahannya secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 4, 7, dan 8. Berdasarkan contoh tersebut dengan kata lain, struktur model dinamis yang dibangun adalah valid secara teoritis. b. Uji Kestabilan Struktur Uji
kestabilan
struktur
model
dilakukan
dengan
cara
memeriksa
keseimbangan dimensi peubah pada kedua sisi persamaan model (Sushil, 1993). Setiap persamaan yang ada dalam model harus menjamin keseimbangan dimensi antara variabel bebas dan variabel terikat yang membentuknya. Uji kestabilan struktur model penutupan tambang berkelanjutan dapat diperiksa dengan cara menganalisis dimensi keseluruhan interaksi peubah209
peubah yang menyusun model tersebut yang terdiri dari beberapa sub model. Dimensi tersebut meliputi tanda, bentuk respon dan satuan dari persamaan (equation) matematis yang digunakan. Sub Model Sosial Pemeriksaan satuan terhadap persamaan yang berkaitan dengan sub model sosial adalah : flow flow flow flow flow flow flow aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux
JPT = +dt*PJPT JSD = +dt*PJSD JSMA = +dt*PJSMA JSMP = +dt*PJSMP JTSD = +dt*PJTSD LapKer = +dt*KesKer Pddk = -dt*Emg+dt*Img+dt*Kelhrn -dt*Kem Emg = (Pddk*AEN)+ND Img = (Pddk*AIN)+ImgPTFI Kelhrn = (Pddk*ALahir)+ImgPTFI Kem = Pddk*(AKem+Kes_dan_Kam) KesKer = MT/CKesKer PJPT = Pddk*(CPJPT+FMCDP) PJSD = Pddk*(CPJSD+FMCDP) PJSMA = Pddk*(CPJSMA+FMCDP) PJSMP = Pddk*(CPJSMP+FMCDP) PJTSD = Pddk*(CPJTSD+FMCDP) ADemob = LapKer*FDLK DegLing = (Penc_Air+Penc_Udara+DegLhn)*100 FMCDP = KCDPend*CCDP ImgPTFI = MT*CImgPTFI KCDAg = PCDPTFI*FKCDAg KCDKes = PCDPTFI*FKCDKes KCDPend = PCDPTFI*FKCDPend KCDPerum = PCDPTFI*FKCDPerum KCDPr = PCDPTFI*FKCDPr KCDPU = PCDPTFI*FKCDPU Kes_dan_Kam = DegLing*FKdK KL = NKL-(DegLing/100) KPTFI = WKPTFI+PKPTFI MCDK = KCDKes*FMCDK MT = Revenue*Kurs PCDPTFI = MT*FPCDPTFI Penambangan = FP*Fraksi_Penam PerPddk = (Kelhrn+Img-Kem-Emg)
Tanda
kurang
(-)
untuk
-dt*Emigrasi
dan
-dt*Kematian
karena
menyebabkan penurunan jumlah populasi dan Tanda kurang (+) untuk +dt*Imigrasi dan +dt*Kelahiran karena menyebabkan pertambahan jumlah populasi dengan berubahnya waktu. Hal yang sama terlihat pada pertambahan penduduk yang akan semakin bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah kelahiran dan imigrasi tetapi akan semakin berkurang apabila jumlah emigrasi dan kematian semakin tinggi.
210
Sub Model Lingkungan Pemeriksaan satuan terhadap persamaan yang berkaitan dengan sub model lingkungan adalah : flow flow aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux
Htn = +dt*RehHtn -dt*DegHtn NL = -dt*PNL DegHtn = Htn*FDegHtn RehHtn = Htn*FRH DegLhn = (LPKTail/Kap_Tam_Tailing)*Maks_DegLhn*(NL) DegLing = (Penc_Air+Penc_Udara+DegLhn)*100 FDegHtn = LPKTail/Htn KL = NKL-(DegLing/100) KPTFI = WKPTFI+PKPTFI LPKTail = ((Kap_Tam_Tailing+APPTFI)*PKTTail)-Rekl LT_Total = KBT*FLT LTailing = ProdTam*FLT Maks_DegLhn = (APPTFI+Kap_Tam_Tailing)/LLKPTFI Penc_Air = ((ProdTam/CProdTamPA)*(FPA*NL))/Tech Penc_Udara = (((ProdTam/CProdTamPU)*(FPU*NL))/Tech)+PU PKTTail = PAT/LT_Total PPenggBT = ProdTam/KBT Rekl = ProdTam*CRklm
Berdasarkan rumus matematik di atas, maka pencemaran limbah tailing dipengaruhi oleh produktivitas kegiatan tambang. Semakin bertambah kegiatan penambangan maka jumlah total dari pencemaran lingkungan yang ada akan bertambah. Pada variabel kualitas lingkungan juga dapat terlihat apabila persen dari jumlah pencemaran lingkungan semakin bertambah maka kualitas lingkungan akan semakin berkurang karena total nilai lingkungan akan dikurangi dengan pencemaran lingkungan.
Dengan demikian, dimensi interaksi dari
peubah-peubah yang berkaitan dengan nilai pada sub model lingkungan tetap konsisten. Sub Model Ekonomi Pemeriksaan satuan terhadap persamaan yang berkaitan dengan sub model ekonomi adalah : flow flow flow flow flow flow flow flow aux aux aux aux aux aux aux
KLAMi = +dt*PKLAMi KLAN = +dt*PKLAN KLAPa = +dt*PKLAPa KLPMi = +dt*PKLPMi KLPN = +dt*PKLPN KLPPa = +dt*PKLPPa NHTMT = +dt*PHTMT ProdTam = +dt*Penambangan Penambangan = FP*Fraksi_Penam PHTMT = FPHTMT*NHTMT PKLAMi = KLAMi*FPKLAMi PKLAN = KLAN*FPKLAN PKLAPa = KLAPa*FPKLAPa PKLPMi = KLPMi*FPKLPMi PKLPN = KLPN*FPKLPN
211
aux aux aux aux aux
aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux aux
PKLPPa = KLPPa*FPKLPPa FPHTMT = HTMT/NHTMT Fraksi_Penam = Ss_Penam/KBT Hasil_Penam = ProdTam HTMT= Inc_Masy_DPTFI+TKPMi+TKPN+TKPPa+KCDAg+KCDKes+KCDPend+KCDPer um+KCDPr+KCDPU Inc_Masy_DPTFI = (MT+Pemasok_BJ)*CPTFIIncMasy Inc_Per_Kapita = Inc_Masy_DPTFI+Inc_Per_Kapita_N KCDAg = PCDPTFI*FKCDAg KCDKes = PCDPTFI*FKCDKes KCDPend = PCDPTFI*FKCDPend KCDPerum = PCDPTFI*FKCDPerum KCDPr = PCDPTFI*FKCDPr KCDPU = PCDPTFI*FKCDPU KPAMi = KPKPAMi*MT KPAN = KPKPAN*MT KPAPa = KPKPAPa*MT KPPMi = KPKPPMi*MT KPPN = KPKPPN*MT KPPPa = KPKPPPa*MT KPTFI = WKPTFI+PKPTFI MT = Revenue*Kurs NTPS = MT*FNTPS Pemasok_BJ = MT*FPBJ Revenue = ProdTam*KPR*Penambangan Ss_Penam = KBT-Hasil_Penam TAPBDMi = KLAMi+KPAMi TAPBDPa = KLAPa+KPAPa TAPBN = KLAN+KPAN TKPMi = KPAMi+KPPMi TKPN = KPAN+KPPN TKPPa = KPAPa+KPPPa TPDBN = KLPN+KPPN TPDRBMi = KLPMi+KPPMi TPDRBPa = KLPPa+KPPPa
Untuk pertambahan pendapatan akan semakin meningkat apabila nilai perbandingan pertumbuhan ekonomi dengan populasi lebih besar dibandingkan pada tahun simulasi sebelumnya.
Dengan demikian, dimensi interaksi dari
peubah-peubah yang berkaitan dengan nilai pada sub model ekonomi tetap konsisten. Hal itu sejalan dengan NHTMT akan semakin meningkat pula apabila faktor kontribusi CD/CSR semakin besar. 9.4.2. Validasi Kinerja Validasi kinerja atau output model adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah membandingkan validasi kinerja model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris.
212
Berdasarkan hasil analisis sistem dinamis dapat dilihat bahwa perilaku model penutupan tambang berkelanjutan dapat terpenuhi syarat kecukupan struktur dari suatu modelnya dengan melakukan validasi atas perilaku yang dihasilkan oleh suatu struktur model. Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan dapat digunakan: 1) Absolute Mean Error (AME) adalah penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual, 2) Absolute Variation Error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap aktual. Tabel 50. Data hasil validasi model penutupan tambang PTFI berkelanjutan Validasi Variabel Penduduk CD PTFI Pendapatan PTFI (Revenue) Kontribusi PTFI thd PDRB Mimika Kontribusi PTFI thd PDRB Papua Kontribusi PTFI thd PDB Nasional Kontribusi PTFI thd APBD Mimika Kontribusi PTFI thd APBD Papua Kontribusi PTFI thd APBN Sumber: Hasil analisis (2009)
AME (%) 0,33 0,02 0,57 0,00 0,09 0,02 0,00 0,11 0,22
AVE (%) 1,14 0,66 0,23 0,25 0,01 0,31 0,04 0,27 0,52
Hasil uji menunjukkan bahwa keluaran model penutupan tambang berkelanjutan yang tertera pada Tabel 50, untuk semua variabel masih memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) dan Absolute Variation Error (AVE) yang cukup kecil. Nilai AME terbesar adalah pada pendapatan PTFI (revenue) dengan nilai 0,57% sedangkan nilai AVE terbesar pada jumlah penduduk dengan nilai 1,14%, tetapi nilai tersebut masih dibawah nilai batas penyimpangan (< 10 %). Dengan demikian, berdasarkan hasil uji ini disimpulkan bahwa model penutupan tambang PTFI berkelanjutan mampu mensimulasikan perubahan-perubahan nyata (alami) yang terjadi di Kabupaten Mimika.
Secara rinci dan lengkap hasil validasi
perilaku model dapat dilihat pada Lampiran 2. 9.5. Simulasi Model Berdasarkan Kondisi Saat Ini Simulasi dari hasil pemodelan sistemik digunakan untuk melihat pola kecenderungan perilaku model. Hasil simulasi model dianalisis pola dan kecenderungannya, ditelusuri faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pola dan kecenderungan tersebut, dan dijelaskan bagaimana mekanisme kejadian
213
tersebut berdasarkan analisis struktur model. Simulasi model dilakukan dengan menggunakan Powersim Constructor versi 2.5. Hasil simulasi model yang memunculkan variabel-variabel yang sensitif dianalisis pola dan kecenderungannya dan beberapa variabel tambahan sebagai faktor penting merupakan input dari ISM (Interpretative Structural Modelling). Melalui pendekatan sistem dilakukan analisis kebutuhan, formulasi masalah, dan identifikasi sistem untuk membangun model penutupan tambang berkelanjutan. Model yang dihasilkan dibandingkan dengan kondisi saat ini untuk melihat adanya perbedaan (gap) dari keduanya. Dari perbedaan kedua kondisi tersebut diidentifikasi faktor strategis penting sebagai dasar untuk merumuskan alternatif kebijakan dan skenario-skenario keberlanjutan. 9.5.1. Simulasi Sub Model Sosial. Simulasi sub model sosial yang diamati terdiri dari empat komponen yang terkait dengan terjadinya perubahan sosial termasuk perubahan pada aspekaspek kependudukan pada SaPeT. Aspek kependudukan tersebut yaitu populasi, demobilisasi, konflik dan kontribusi CD/CSR PTFI. Populasi penduduk ditentukan oleh variabel-variabel yaitu imigrasi, emigrasi, angka kelahiran dan angka kematian. Untuk mengetahui jumlah penduduk Kabupaten Mimika saat ini sampai pada SaPeT PTFI dapat digunakan rumus sebagai berikut: Pddk Img Emg Kelhrn Kem
= -dt*Emg+dt*Img+dt*Kelhrn-dt*Kem = (Pddk*AIN)+ImgPTFI = (Pddk*AEN)+ND = (Pddk*ALahir)+ImgPTFI = Pddk*(AKem+Kes_dan_Kam)
Dimana: Pddk Img Emg Kelhrn Kem AIN AEN ImgPTFI ND AKem
= jumlah penduduk (jiwa) = Imigrasi (jiwa) = Emigrasi (jiwa) = Kelahiran (jiwa) = Kematian (jiwa) = Angka imigrasi normal (%) = Angka emigrasi normal (%) = Imigrasi karena keberadaan PTFI (%) = Nilai demobilisasi (jiwa) = Angka kematian (%) Kes_dan_kem = fraksi angka kesehatan dan keamanan terhadap jumlah kematian (%)
Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas, pertumbuhan jumlah
penduduk
dan
perubahan-perubahan
faktor-faktor
yang
214
mempengaruhinya sejak saat ini (2002) sampai SaPeT PTFI (2041) dapat dilihat pada Gambar 41. Pada Gambar 41a terlihat bahwa jumlah penduduk pada tahun 2002 sebanyak 110.518 jiwa, tahun 2007 terjadi peningkatan sebanyak 161.301 jiwa dan pada tahun 2020 meningkat sebanyak 228.082 jiwa, tetapi pada tahun 2041 mengalami penurunan dari 276.607 jiwa menjadi 256.292 jiwa pada tahun 2042. Penurunan ini dikarenakan adanya demobilisasi karyawan dan kontraktor PTFI yang terjadi pada SaPeT. Jumlah emigrasi rata-rata dari tahun 2013 sampai 2040 berkisar 2.000 jiwa per tahun, tetapi pada tahun 2041 (SaPeT PTFI) terjadi emigrasi
sebanyak 22.953 jiwa. Selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 3.
(a) Gambar 41.
(b)
Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Mimika dan fluktuasi perkembangan penduduk dari faktor yang berpengaruh
Pada Gambar 41b, angka kematian sedikit lebih cepat pertumbuhannya pada tahun-tahun mendekati penutupan tambang yaitu mulai tahun 2035 sampai tahun 2042 dan setelahnya sampai tahun 2044 serta menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan angka kelahiran.
Hal ini seiring dengan penurunan
kualitas lingkungan, penurunan dana pelayanan kesehatan, penurunan luasan hutan di Kabupaten Mimika, terjadinya konflik, dan penurunan keseluruhan dana CD/CSR PTFI. Kontribusi CD/CSR PTFIkepada masyarakat sekitar daerah operasinya meliputi program di bidang sosial dan ekonomi. yaitu
pertanian,
keagamaan,
pendidikan,
Program CD/CSR tersebut
kesehatan,
perumahan
dan
pengembangan usaha. Untuk mengetahui perkembangan kontribusi CD/CSR PTFI sampai pada SaPeT dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: 215
KCDPr KCDAg KCDPend KCDKes KCDPerum KCDPU
= PCDPTFI*FKCDPr = PCDPTFI*FKCDAg = PCDPTFI*FKCDPend = PCDPTFI*FKCDKes = PCDPTFI*FKCDPerum = PCDPTFI*FKCDPU
Dimana : KCDPr KCDAg KCDPend KCDKes KCDPerum KCDPU
= Kontribusi PTFI untuk = Kontribusi PTFI untuk = Kontribusi PTFI untuk = Kontribusi PTFI untuk = Kontribusi PTFI untuk = Kontribusi PTFI untuk
Dengan menggunakan diketahui.
bidang pertanian (rupiah) bidang keagamaan (rupiah) bidang pendidikan (rupiah) bidang kesehatan (rupiah) bidang perumahan (rupiah) bidang pengembangan usaha (rupiah)
rumus diatas maka kontribusi CD/CSR dapat
Perilaku struktur menurut waktu dari peubah
kontribusi CD/CSR
seperti digambarkan pada Gambar 42.
Gambar 42. Kontribusi CD atau CSR PTFI Pada Gambar 42 menunjukkan bahwa kontribusi CD PTFI terbesar adalah pada bidang kesehatan dengan perincian, pada tahun 2002 sebesar Rp. 32.481.693.961, tahun 2007 sebesar Rp. 183.613.401.565, tahun 2020 sebesar Rp. 149.915.206.698, dan terus mengalami penurunan sampai pada SaPeT PTFI (2041) dimana nilai kontribusi CD pada
sektor kesehatan berkurang
menjadi sebesar Rp. 68.990.692.437. Kontribusi CD PTFI terkecil adalah pada bidang perumahan dimana pada tahun 2002 sebesar Rp. 5.64878.710, tahun 2007 sebesar Rp. 31.796.467.100, tahun 2020 sebesar Rp. 25.960.926.038 dan pada tahun 2041 sebesar Rp. 11.947.168.690. Secara rinci kontribusi CD PTFI dapat dilihat pada Lampiran 4. Program perumahan PTFI untuk masyarakat
216
sudah berkurang sejak mendekati tahun 2009, karena dinilai tidak menciptakan kemandirian. Perkembangan jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
ini
digunakan melihat besarnya banyaknya dan perbandingan jumlah penduduk berdasarkan pendidikannya, maka kondisi tersebut adalah sebagai berikut: JPT JSD JSMA JSMP PSD PSMA PSMP PPT
= +dt*PJPT = +dt*PJSD = +dt*PJSMA = +dt*PJSMP = (JSD/Pddk)*100 = (JSMA/Pddk)*100 = (JSMP/Pddk)*100 = (JPT/Pddk)*100
Dimana: Pddk JSD JSMP JSMA JPT PSD PSMP PSMA PPT
= Jumlah penduduk (jiwa) = jumlah penduduk lulus SD (jiwa) = jumlah penduduk lulus SMP (jiwa) = jumlah penduduk lulus SMA (jiwa) = jumlah penduduk lulus Perguruan Tinggi (jiwa) = persen penduduk lulus SD (%) = persen penduduk lulus SMP (%) = persen penduduk lulus SMA (%) = persen penduduk lulus PT (%)
Dengan
menggunakan
rumus
diatas
maka
jumlah
penduduk
berdasarkan tingkat pendidikan dapat diketahui. Perilaku struktur menurut waktu dari peubah jumlah penduduk seperti digambarkan pada Gambar 43. Pada Gambar 43 menunjukkan perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Mimika berdasarkan tingkat pendidikan cenderung mengalami peningkatan. pendidikan
Pada SaPeT PTFI jumlah penduduk berdasarkan tingkat mengalami
penambahan
lebih
lambat,
tetapi
berdasarkan
perbandingan dengan jumlah penduduk total sendiri mengalami penurunan. Secara rinci perkembangan jumlah penduduk berdasarkan jenjang pendidikan mulai SD (Sekolah Dasar) sampai PT (Perguruan Tinggi) dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6. Pada sub model sosial, konflik dipengaruhi oleh perubahan variabel kualitas lingkungan. Untuk mngetahui kemungkinan potensi dan kejadian konflik yang akan muncul menjelang SaPeT PTFI, maka dipergunakan rumus berikut: Kejadian_Konflik = KL<0.5 Potensi_Konflik = KL<0.55 Dimana : KL
= Kualitas lingkungan (%)
217
Gambar 43. Perkembangan jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan Dengan menggunakan rumus di atas maka potensi konflik dan kejadian konflik dapat perkirakan. Perilaku struktur menurut waktu dari peubah, maka potensi dan kejadian konflik menjelang penutupan tambang PTFI seperti tertera pada Gambar 44. Pada Gambar 44 memperlihatkan potensi konflik dan kejadian konflik diperkirakan akan terjadi berturut-turut pada tahun 2020 dan tahun 2023 sampai SaPeT PTFI dan setelahnya.
Kemungkinan terjadinya konflik ini disebabkan
adanya keresahan masyarakat menjelang penutupan tambang PTFI. Keresahan masyarakat dapat berupa: merasa kehilangan pekerjaan, rasa penggangguran, kompetisi dalam mencari pekerjaan dan lainnya (Warhurst, 2000). Bisa juga resah karena menghawatirkan lingkungan yang telah rusak tidak bisa dipulihkan kembali untuk modal masa depan.
Gambar 44. Potensi konflik dan kejadian konflik 218
9.5.2. Simulasi Sub Model Lingkungan. Simulasi sub model lingkungan yang diamati adalah meliputi terjadinya perubahan penutupan hutan, pencemaran lingkungan, dan kualitas lingkungan. Penutupan hutan ini digunakan melihat besarnya luasan penutupan hutan, maka kondisi tersebut adalah sebagai berikut: Htn
= +dt*RehHtn -dt*DegHtn DegHtn = Htn*FDegHtn RehHtn = Htn*FRH Dimana : Htn DegHtn RehHtn FDegHtn FRH
= luas hutan (ha) = degradasi hutan (ha) = rehabilitasi hutan (ha) = fraksi degradasi hutan (%) = fraksi rehabilitasi hutan (%)
Dengan menggunakan
rumus di atas maka penutupan hutan dapat
diketahui. Perilaku struktur menurut waktu dari peubah penutupan hutan seperti tertera pada Gambar 45.
Gambar 45. Luas hutan di Kabupaten Mimika sampai SaPeT PTFI dan setelahnya Berdasarkan gambar kecenderungan luasan hutan semakin menurun dimana pada tahun 2002 seluas 2.119.186 ha, tahun 2007 seluas 2.092.649 ha, tahun 2020 seluas 1.953.146 ha dan terus mengalami penurunan dimana pada tahun 2041 menjadi 1.565.264 ha.
Penurunan luasan hutan ini dikarenakan 219
kebutuhan penduduk akan penggunaan lahan baik untuk perumahan dan kegiatan perekonomian lainnya. Nilai kualitas lingkungan (NKL) diperoleh dari nilai pencemaran khususnya pencemaran air, pencemaran udara dan pencemaran limbah (cair dan padat) yang menyebabkan degradasi lahan. Untuk mengetahui nilai NKL, maka dapat digunakan rumus sebagai berikut: Penc_Air = ((ProdTam/CProdTamPA)*(FPA*NL))/Tech Penc_Udara = (((ProdTam/CProdTamPU)*(FPU*NL))/Tech)+PU DegLhn = (LPKTail/Kap_Tam_Tailing)*Maks_DegLhn*(NL) KL = NKL-(DegLing/100) Dimana : Penc_Air= Pencemaran air (%) DegLhn = Degradasi lahan (%) Penc_Udara = Pencemaran Udara (%) KL = Kualitas lingkungan (%) ProdTam = jumlah produksi tambang (ton) CProdTamPA = konstanta produksi tambang terhadap pencemaran air CProdTamPU = konstanta produksi tambang terhadap pencemaran udara FPA = fraksi pencemaran air (%) FPU = fraksi pencemaran udara (%) NL = nilai lingkungan (%) Tech = technologi pengelolaan lingkungan terhadap pencemaran air dan udara (%) LPKTail = laju penggunaan areal tailing (ha) Kap_Tam_Tailing = kapasitas luasan lahan untuk tailing tambang (ha) Maks_DegLhn = maksimum luasan degradasi lahan dari Kabupaten Mimika (ha)
Dengan menggunakan rumus diatas maka pencemaran lingkungan dan nilai kualitas lingkungan dapat diketahui. Perilaku struktur menurut waktu dari peubah pencemaran lingkungan dan kualitas lingkungan tertera pada Gambar 46. Tingkat pencemaran dan degradasi lahan akan mempengaruhi tingkat kualitas lingkungan.
Degradasi lahan atau lingkungan di daerah operasi PTFI
secara nyata terjadi pada daerah MoADA atau daerah pengendapan tailing yang berada di dataran rendah. Selain itu, juga terjadi di daerah tambang di dataran tinggi dan di daerah muara. Pencemaran udara dan air dihitung berdasarkan nilai persentase parameter yang melebihi baku mutu yang didapatkan dari data Laporan RKL/RPL PTFI tahun 2007.
Secara lengkap data hubungan
pencemaran lingkungan, kualitas lingkungan dan luas hutan tercantum pada Lampiran 7.
220
Gambar 46. Pencemaran lingkungan dan kualitas lingkungan Pada Gambar 46 menunjukkan bahwa kualitas lingkungan mengalami penurunan secara perlahan sampai pada SaPeT PTFI (2041) dan setelah itu perlahan mengalami kenaikan kembali. Hal ini dikarenakan sumber dampak kerusakan lingkungan telah berhenti pada SaPeT, kemajuan dari kegiatan reklamasi yang dilakukan PTFI, dan terjadinya suksesi alami cukup pesat dalam memperbaiki daerah-daerah yang terganggu. 9.5.3. Simulasi Sub Model Ekonomi Simulasi sub model ekonomi digunakan untuk mengetahui nilai hasil transformasi manfaat tambang (NHTMT). NHTMT didapatkan atau dipengaruhi oleh faktor nilai manfaat tambang (NMT), pendapatan masyarakat, pendapatan pemerintah, nilai kegiatan sosial dari CSR/CD dan nilai kualitas lingkungan yang dihasilkan dari operasi tambang PTFI. NMT dan jumlah penambangan bahan tambang sampai pada SaPet PTFI disimulasikan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Penambangan Manfaat Tambang
= FPW*Fraksi_Penam (ton/thn) = Revenue*Kurs(rupiah)
Dimana : FPW
= fraksi jumlah eksploitasi penambangan berdasarkan waktu kontrak karya bila diperpanjang (ton) Fraksi_Penam = fraksi penambangan (%)
Dengan menggunakan rumus di atas maka nilai manfaat tambang dan jumlah penambangan dapat diketahui dan tertera pada Gambar 47.
221
Gambar 47. Nilai manfaat tambang dan jumlah penambangan
Nilai manfaat tambang (NMT) mengalami peningkatan mulai tahun 2002 tetapi kemudian secara perlahan mengalami penurunan pada tahun 2011 dan terus menurun pada SaPeT PTFI.
Pada tahun 2002 NMT sebesar Rp.
19.229.039.758.845, tahun 2007 sebesar Rp. 168.995.307.468.640, tahun 2020 sebesar Rp. 137.979.941.737.300, dan terus mengalami penurunan sampai tahun 2041 NMT PTFI
menjadi sebesar Rp. 63.498.106.246.722.
Jumlah
penambangan bahan tambang (ton per tahun) juga mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2002 jumlah penambangan sebanyak 110.417.297 ton, tahun 2007 sebanyak 87.571.018 ton, tahun 2020 sebanyak 47.929.284 ton, kemudian tahun 2041 sebanyak 18.103.341 ton. Hal inilah yang menyebabkan menurunnya NMT karena ketersediaan bahan tambang yang terbatas (unsustainable). Selengkapnya NMT dan jumlah bahan tambang dari tahun 2002 sampai 2041 dapat dilihat pada Lampiran 8. Nilai kontribusi PTFI dan sektor lain terhadap PDRB Kabupaten Mimika ini digunakan melihat besarnya nilai kontribusi atau manfaat dari keberadaan PTFI dan perbandingannya dengan sektor lain (non tambang) pada pendapatan Kabupaten Mimika. Nilai kontribusi pada PDRB tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: KPPMi = KPKPPMi*MT KLPMi = +dt*PKLPMi TPDRBMi = KLPMi+KPPMi PrsKLPMi = (KLPMi/TPDRBMi)*100 PrsKPPMi = (KPPMi/TPDRBMi)*100 Dimana : KPPMi = Kontribusi PTFI terhadap PDRB Mimika (rupiah) KLPMi = Kontribusi sector lain terhadap PDRB Mimika (rupiah) TPDRBMi = Total PDRB Mimika (rupiah) PrsKPPMi = Persentase kontribusi PTFI terhadap PDRB Mimika (%) PrsKLPMi = Persentase kontribusi sector lain terhadap PDRB Mimika (%)
222
Dengan menggunakan rumus di atas maka perubahan kontribusi PTFI dan sektor lain terhadap PDRB Kabupaten Mimika dapat diketahui. Perilaku struktur menurut waktu dari peubah kontribusi PTFI dan sektor lain dapat dilihat pada Gambar 48.
Gambar 48. Kontribusi PTFI dan sector lain terhadap PDRB Kabupaten Mimika
Pada Gambar 48 menunjukkan kontribusi PTFI terhadap PDRB Kabupaten Mimika pada tahun 2002 adalah sebesar Rp. 11.537.423.855, tahun 2007 sebesar Rp. 32.785.089.649, tahun 2020 sebesar Rp. 26.768.108.697 dan pada tahun 2041 sebesar Rp. 12.318.632.612. Jumlah persentase kontribusi dari PTFI terhadap PDRB Kabupaten Mimika pada tahun 2002 sebesar 97,71%, tahun 2007 sebesar 95,57%, tahun 2020 sebesar 93,93% dan terus mengalami penurunan sampai tahun 2041 sebesar 85,25%. Secara rinci kontribusi PTFI pada PDRB Mimika dapat dilihat pada Lampiran 9. Nilai kontribusi PTFI dan sektor lain terhadap APBD Kabupaten Mimika dapat digunakan melihat besarnya nilai kontribusi dari manfaat keberadaan PTFI dan perbandingannya dengan sektor lain.
Nilai kontribusi pada APBD tersebut
dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: KPAMi = KPKPAMi*MT KLAMi = +dt*PKLAMi TAPBDMi = KLAMi+KPAMi PrsKLAMi = (KLAMi/TAPBDMi)*100 PrsKPAMi = (KPAMi/TAPBDMi)*100 Dimana : KPAMi = Kontribusi PTFI terhadap APBD Mimika (rupiah) KLAMi = Kontribusi sector lain terhadap APBD Mimika (rupiah) TAPBDMi = Total APBD Mimika (rupiah) PrsKPAMi = Persentase kontribusi PTFI terhadap APBD Mimika (%) PrsKLAMi = Persentase kontribusi sector lain terhadap APBD Mimika (%)
223
Dengan menggunakan rumus di atas maka perubahan kontribusi PTFI dan sektor lain terhadap pendapatan Kabupaten Mimika dapat diketahui. Perilaku struktur menurut waktu dari peubah kontribusi PTFI dan sektor lain (Gambar 49).
Gambar 49. Kontribusi PTFI dan sektor lain terhadap APBD Mimika Pada Gambar 49 menunjukkan kontribusi PTFI terhadap APBD Kabupaten Mimika pada tahun 2002 sebesar Rp. 140.371.990, tahun 2007 sebesar Rp. 605.003.201, tahun 2020 sebesar Rp. 493.968.191 dan pada tahun 2041 sebesar Rp. 227.323.220. Persentase kontribusi dari PTFI terhadap PDRB Kabupaten Mimika pada tahun 2002 sebesar 42,3%, tahun 2007 sebesar 74,3%, tahun 2020 sebesar 68,87% dan terus mengalami penurunan sampai tahun 2041 sebesar 47,83%. Secara rinci kontribusi PTFI pada APBD Mimika dapat dilihat pada Lampiran 10. Penutupan
tambang
berkelanjutan
terjadi
apabila
terciptanya
keberlanjutan manfaat sosial-ekonomi dan perlindungan lingkungan pada SaPeT dan setelahnya.
Karena manfaat tambang dari bahan tambang adalah tidak
berkelanjutan (unsustainable), maka manfaat dari yang diperoleh dari bahan tambang ini perlu ditranformasikan kepada upaya-upaya kegiatan dari ketiga aspek tersebut yang berkelanjutan. Kegiatan tersebut di dalam sistem diwakili oleh angka NHTMT.
Sesuai dengan konsep PB bahwa sesuatu kegiatan
dikatakan dikatakan berkelanjutan bila manfaat yang dihasilkan oleh kegiatan tersebut dapat terus dinikmati oleh generasi saat ini dan generasi mendatang, sehingga nilai manfaat tambang rata-rata (NMTR atau Rt2MT) dapat dijadikan patokan ukuran atau indikator keberlanjutan dari kegiatan pertambangan. NMTR diperoleh dari nilai rata-rata manfaat dari bahan tambang (nilai manfaat tambang/NMT) sejak saat ini (data dari tahun 2002) sampai SaPeT PTFI (2041). 224
Kontribusi PTFI diberikan kepada nasional, Propinsi Papua dan Kabupaten Mimika. Dalam penelitian ini dibahas dan dibedakan dua katagori kontribusi yang dapat menggambarkan keberlanjutan secara nasional ditambah Propinsi Papua dan untuk Kabupaten Mimika sendiri. Dengan demikian nilai NHTMT juga ada dua yaitu Pertama, NHTMT untuk Nasional, Propinsi Papua, dan Kabupaten Mimika. Kedua, adalah NHTMT hanya untuk Kabupaten Mimika atau disingkat NHTMTMMK. NHTMT untuk Kabupaten Mimika dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut: MT = (ProdTam*FPR*Penambangan)*Kurs NHTMT = +dt*PHTMT PHTMT = FPHTMT*NHTMT HTMT = Inc_Masy_DPTFI+ TKPMi+ KCDAg+ KCDPerum+ KCDPr+ KCDPU
KCDKes+
KCDPend+
Dimana : MT = Manfaat Tambang (Rupiah) ProdTam = Jumlah total bahan tambang yang telah dieksploitasi (ton/tahun) FPR = Konstanta produksi tambang Penambangan = Jumlah eksploitasi bahan tambang (ton/tahun) NHTMT = Nilai hasil transformasi manfaat tambang (Rupiah) PHTMT = Laju pertumbuhan hasil transformasi manfaat tambang (Rupiah) FPHTMT= Fraksi pertumbuhan hasil transformasi manfaat tambang (%) Rt2MT = Rata-rata manfaat tambang (rupiah) KCDAg = kontribusi community development bidang agama (rupiah) KCDKes = kontribusi community development bidang kesehatan (rupiah) KCDPend = kontribusi community development bidang pendidikan (rupiah) KCDPerum = kontribusi community development bidang perumahan (rupiah) KCDPr = kontribusi community development bidang pertanian (rupiah) KCDPU = kontribusi community development bidang pengembangan usaha (rupiah) TKPMi = total kontribusi PTFI terhadap pendapatan Mimika (rupiah) Inc_Masy_DPTFI = pendapatan masyarakat dengan keberadaan PTFI (rupiah)
Dengan menggunakan rumus diatas maka perubahan NHTMT dapat diketahui. Perilaku struktur tipe NHTMT menurut waktu dari peubah Nilai hasil transformasi manfaat tambang digambarkan pada Gambar 50. Pada Gambar 50 menunjukkan hasil simulasi sistem dinamik mengenai perkembangan hubungan NHTMT, NMT, dan NMTR mulai tahun 2002-2041. NMT berfluktuasi secara signifikan. Pada tahun 2002 NMT adalah sebesar Rp. 19.229.039.758.845
kemudian
pada
tahun
2007
menjadi
sebesar
Rp.
168.995.307.468.640. Pada tahun 2008 meningkat sampai sebesar Rp. 177.810.782.167.270, tetapi pada tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan secara
perlahan
sehingga
pada
tahun
2020
bernilai
sebesar
Rp.
137.979.941.737.300 dan pada tahun 2041 menjadi Rp. 63.498.106.246.722.
225
Secara rinci NHTMT kontribusi PTFI bagi Kabupaten Mimika dan NMT dapat dilihat pada Lampiran 11.
Gambar 50. Hubungan NMT, NMTR, dan NHTMT PTFI bagi Kab. Mimika.
NHTMTMMK (NHTMT bagi Kabupaten Mimika) pada tahun 2002 adalah sebesar Rp. 73.235.436.660 dan meningkat pada tahun 2007 menjadi sebesar Rp. 557.343.216.648 serta terus meningkat sehingga pada tahun 2020 menjadi sebesar Rp. 4.344.241.815.030 dan pada SaPeT PTFI (2041) NHTMT sebesar Rp. 6.473.993.939.589. Secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 11. Walaupun NHTMT terus meningkat, namun nilainya tidak dapat melampaui NMTR atau Rt2MT yang bernilai sebesar Rp. 90.408.163.265.306. Perbedaan antara NHTMT dan NMTR pada SaPeT PTFI adalah sebesar Rp. 83,93 trilyun. Hal ini berarti bahwa penutupan tambang PTFI yang berkelanjutan tidak tercapai atau dengan kata lain keberlanjutan manfaat sosial, ekonomi dan perlindungan lingkungan tidak tercapai bagi Kabupaten Mimika pada SaPeT PTFI. NHTMT dari total keseluruhan kontribusi PTFI atau kontribusi PTFI pada Kabupaten Mimika, Propinsi Papua, dan Nasional dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut: MT
= (ProdTam*FPR*Penambangan)*Kurs
NHTMT PHTMT
= +dt*PHTMT = FPHTMT*NHTMT HTMT = Inc_Masy_DPTFI+ TKPMi+ TKPN+ TKPPa + KCDAg+ KCDKes+ KCDPend+ KCDPerum+ KCDPr+ KCDPU
226
Dimana : MT = Manfaat Tambang (Rupiah) ProdTam = Jumlah total bahan tambang yang telah dieksploitasi (ton/tahun) FPR = Konstanta produksi tambang Penambangan = Jumlah eksploitasi bahan tambang (ton/tahun) NHTMT = Nilai hasil transformasi manfaat tambang (Rupiah) PHTMT = Laju pertumbuhan hasil transformasi manfaat tambang (Rupiah) FPHTMT = Fraksi pertumbuhan hasil transformasi manfaat tambang (%) Rt2MT = Rata-rata manfaat tambang (rupiah) KCDAg = kontribusi community development bidang agama (rupiah) KCDKes = kontribusi community development bidang kesehatan (rupiah) KCDPend = kontribusi community development bidang pendidikan (rupiah) KCDPerum = kontribusi community development bidang perumahan (rupiah) KCDPr = kontribusi community development bidang pertanian (rupiah) KCDPU = kontribusi community development bidang pengembangan usaha (rupiah) TKPMi = total kontribusi PTFI terhadap pendapatan Mimika (rupiah) TKPN = total kontribusi PTFI terhadap pendapatan nasional (rupiah) TKPPa = total kontribusi PTFI terhadap pendapatan Papua (rupiah) Inc_Masy_DPTFI = pendapatan masyarakat dengan keberadaan PTFI (rupiah)
Dengan menggunakan rumus diatas maka perubahan NHTMT untuk total keseluruhan kontribusi PTFI dapat diketahui.
Perilaku struktur NHTMT total
menurut waktu dari peubah NHTMT tertera pada Gambar 51.
Gambar 51. Hubungan NMT, Rt2MT, dan NHTMT (total) Pada Gambar 51 menunjukkan hasil simulasi sistem dinamik mengenai perkembangan hubungan NHTMT, MT, dan NMTR (Rt2MT) mulai tahun 20022041. Nilai manfaat tambang (NMT) atau disingkat nilai MT berfluktuasi secara signifikan. Sama seperti Gambar 50, pada tahun 2002 nilai MT bernilai sebesar 227
Rp. 19.229.039.758.845 kemudian menjadi sebesar Rp. 168.995.307.468.640 pada tahun 2007. Pada tahun 2008 meningkat sampai
sebesar Rp.
177.810.782.167.270, tetapi pada tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan secara
perlahan
sehingga
pada
tahun
2020
bernilai
sebesar
Rp.
137.979.941.737.300 dan pada tahun 2041 menjadi Rp. 63.498.106.246.722. Secara rinci NHTMT jumlah keseluruhan kontribusi PTFI dan NMT dapat dilihat pada Lampiran 11. NHTMT pada tahun 2002 adalah sebesar Rp. 122.286.255.674 dan meningkat pada tahun 2007 menjadi sebesar Rp. 889.802.798.468 serta terus meningkat sehingga pada tahun 2020 menjadi sebesar Rp. 6.459.019.533.957 dan pada SaPeT PTFI (2041) NHTMT sebesar Rp. 9.621.768.531.283. Secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 11. Walaupun NHTMT terus meningkat, namun nilainya tidak dapat melampaui NMTR atau Rt2MT yang bernilai sebesar Rp. 90.408.163.265.306. Perbedaan antara NHTMT dan NMTR pada SaPeT PTFI adalah sebesar Rp. 80,78 trilyun. Hal ini berarti bahwa penutupan tambang PTFI yang berkelanjutan tidak tercapai atau dengan kata lain pada SaPeT PTFI tidak akan keberlanjutan manfaat sosial, ekonomi, dan perlindungan lingkungan. Oleh karena itu, skenario-skenario keberlanjutan perlu dirancang dengan mengelola faktor-faktor kunci penggerak penutupan tambang berkelanjutan sampai terjadi sebuah kondisi dimana angka NHTMT sama atau melebihi angka NMTR. Pembahasan skenario-skenario keberlanjutan dipaparkan pada Bab X. Pada Gambar 51 menunjukkan hasil simulasi sistem dinamik mengenai perkembangan hubungan NHTMT, MT, dan NMTR (Rt2MT) mulai tahun 20022041. Nilai manfaat tambang (NMT) atau disingkat nilai MT berfluktuasi secara signifikan. Sama seperti Gambar 50, pada tahun 2002 nilai MT bernilai sebesar Rp. 19.229.039.758.845 kemudian menjadi sebesar Rp. 168.995.307.468.640 pada tahun 2007. Pada tahun 2008 meningkat sampai
sebesar Rp.
177.810.782.167.270, tetapi pada tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan secara
perlahan
sehingga
pada
tahun
2020
bernilai
sebesar
Rp.
137.979.941.737.300 dan pada tahun 2041 menjadi Rp. 63.498.106.246.722. Secara rinci NHTMT jumlah keseluruhan kontribusi PTFI dan NMT dapat dilihat pada Lampiran 11. NHTMT pada tahun 2002 adalah sebesar Rp. 122.286.255.674 dan meningkat pada tahun 2007 menjadi sebesar Rp. 889.802.798.468 serta terus meningkat sehingga pada tahun 2020 menjadi sebesar Rp. 6.459.019.533.957 228
dan pada SaPeT PTFI (2041) NHTMT sebesar Rp. 9.621.768.531.283. Secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 11. Walaupun NHTMT terus meningkat, namun nilainya tidak dapat melampaui NMTR atau Rt2MT yang bernilai sebesar Rp. 90.408.163.265.306. Perbedaan antara NHTMT dan NMTR pada SaPeT PTFI adalah sebesar Rp. 80,78 trilyun. Hal ini berarti bahwa penutupan tambang PTFI yang berkelanjutan tidak tercapai atau dengan kata lain pada SaPeT PTFI tidak akan keberlanjutan manfaat sosial, ekonomi, dan perlindungan lingkungan. Oleh karena itu, skenario-skenario keberlanjutan perlu dirancang dengan mengelola faktor-faktor kunci penggerak penutupan tambang berkelanjutan sampai terjadi sebuah kondisi dimana angka NHTMT sama atau melebihi angka NMTR. Pembahasan skenario-skenario keberlanjutan dipaparkan pada Bab X. Apabila NHTMT Kabupaten Mimika saja dan NHTMT total keseluruhan dari kontribusi PTFI di dalam satu grafik, maka hubungannya dengan NMT atau MT dan Rt2MT dapat dilihat pada Gambar 52.
Pada penelitian ini skenario-
skenario yang disusun didasarkan pada NHTMTMPN (total keseluruhan kontribusi PTFI bagi Mimika, Papua, dan Nasional) atau tidak berdasarkan NHTMT MMK.
Gambar 52. Hubungan NMT, Rt2MT, dan NHTMT PTFI bagi Kab. Mimika(NHTMTMMK) serta NHTMT (total).
229
BAB X. SKENARIO DAN ARAHAN KEBIJAKAN PENUTUPAN TAMBANG BERKELANJUTAN
10.1.
Rasionalisasi Berkelanjutan
Pembuatan
Skenario
Penutupan
Tambang
Dasar utama yang dipakai sebagai pembuatan skenario-skenario penutupan tambang mineral berkelanjutan (PTMB) adalah sebagai berikut: (i) hasil analisis ISM mengenai faktor-faktor penggerak kunci penutupan tambang berkelanjutan,
tertera
pada
Tabel
51;
(ii)
hasil
analisis
patok
duga
(benchmarking) tentang strategi implementasi faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang yang perlu diterapkan di Indonesia (lihat Tabel 52); dan (iii) hasil analisis AHP tentang aktor, aspek, faktor, dan tujuan-tujuan serta alternatif-alternatif keputusan yang dominan dalam perencanaan penutupan tambang berkelanjutan (lihat Tabel 53). Tabel 51.
Elemen-elemen program Sektor masyarakat yang terpengaruh program
Kebutuhan program
Faktor-faktor penggerak kunci penutupan tambang PTFI berdasarkan hasil analisis ISM. Faktor-faktor pengerak kunci - Penutupan pemasok barang dan jasa - Kegiatan perlindungan dan pelestarian lingkungan di daerah operasi PTFI. - Kualitas SDM.
Kendala utama program
- Keterbatasan keterampilan SDM , - Kemampuan PEMDA (Kabupaten Mimika) untuk memimpin.
Tujuan utama program
- Membentuk BPPTB
Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan program
- adanya BPPTB
Sumber: hasil analisis (2009)
Faktor-faktor independent - Penutupan pemasok barang dan jasa - Kegiatan perlindungan dan pelestarian lingkungan di daerah operasi PTFI.
- Kualitas SDM, - Badan Pengelola Penutupan Tambang Berkelanjutan (BPPTB), - Infrastruktur yang memadai - Pelayanan pendidikan dan kesehatan - Keterbatasan keterampilan SDM - Kemampuan PEMDA (Mimika) untuk memimpin - Kurang sosialisasi RPT perusahaan pada masyarakat - Kontribusi yang sangat nyata PTFI pada PDRB Mimika dan PDB Provinsi Papua - Meningkatkan kualitas SDM - Meningkatkan ketersediaan infrastruktur, - Membentuk BPPTB - Adanya investor baru - Tidak adanya pencemaran lingkungan - Adanya BPPTB - Dana abadi yang terkelola secara tepat.
Tabel 52. Strategi implementasi faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang yang perlu diterapkan Rangking 1
Faktor kunci penentu Ketersediaan dana
2
Ketersediaan SDM
2
Infrastruktur
3
Kebijakan pemerintah
3
Keterlibatan dan memenuhi ekspektasi PPK Kesehatan dan keamanan masyarakat
3
4
Kelembagaan
5
Memenuhi tujuan-tujuan penggunaan lahan pasca tambang Indikatorindikator setempat
5
6
Teknologi penutupan tambang
Strategi implementasi faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang yang perlu diterapkan (1) melaksanakan ketentuan-ketentuan pada Peraturan Menteri ESDM No. 18 tahun 2008, khususnya tentang penyediaan dana oleh perusahaan. (2) dana CD lebih difokuskan untuk mendorong terjadinya keberlanjutan ekonomi-sosial dan perlindungan lingkungan di masa mendatang. (3) PTFI terus meningkatkan hubungan baik dengan PPK.(4) dana pembangunan difokuskan dan diprioritaskan untuk membangun infrastruktur yang menunjang keberlanjutan pembangunan (1) disain ulang pengembangan SDM Mimika menuju SDM yang berkemampuan merancang dan menciptakan keberlanjutan sosial, ekonomi, dan perlindungan setelah PTFI selesai beroperasi. (2) pengembangan SDM untuk menguasai teknologi penutupan tambang. (1) meningkatkan pembangunan infrastruktur fisik untuk mendorong terjadinya keberlanjutan sosial dan ekonomi namun tetap memberikan perlindungan lingkungan. (2) pembangunan infrastruktur yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dari sektor non-PTFI yang mempunyai tujuan pasar non PTFI dan keluar dari Mimika. (1) membuat kebijakan daerah (PERDA) tentang strategi dan perencanaan PEMDA Mimika dalam menghadapi dampak-dampak penting dari penutupan tambang PTFI dan mencari solusi yang permanen dan berkelanjutan. (2) membentuk Badan Penutupan Tambang Berkelanjutan (BPPTB) yang bertanggung jawab pada perencanaan dan implementasi penutupan tambang berkelanjutan. (1) melibatkan perwakikan dari pemerintah, perusahaan, Lemasa, Lemasko, Yahamak, dan LSM setempat lain di Mimika membentuk BPPTB. (2) PTFI perlu melakukan sosialisasi RPT yang sudah disusun (1) PTFI terus meningkatkan kerjasama dengan para akademisi dan praktisi nasional dan internasional untuk mengembangkan teknologi reklamasi dan penutupan tambang yang tepat. (2) PTFI perlu memberikan update secara berkala kepada PPK, khususnya PEMDA dan masyarakat Mimika tentang perkembangan teknologi tersebut. (1) membentuk dan memberfungsikan BPPTB jauh sebelum penutupan tambang PTFI. (2) LSM setempat perlu diberikan sosialisasi RPT PTFI. (1) kegiatan reklamasi lahan bekas tambang yang dilakukan oleh PTFI perlu dilakukan kontrol, monitoring dan evaluasi oleh lembaga pemerintah yang berwenang dan hasilnya diinformasikan kepada PPK. (2) pembentukan lahan akhir disesuaikan dengan kebutuhan PPK ketika penutupan tambang (1) identifikasi indikator-indikator kebutuhan menuju PB di Mimika sebagai masukan penting dalam penyusunan perencanaan pembangunan jangka panjang dan menegah. (2) pelaksanaan pembangunan di Mimika harus difokuskan mewujudkan kesejahteraan rakyat saat ini dan dimasa mendatang dengan mengembangkan potensi SDAnya secara berkelanjutan (1) perlu mempercepat terjadinya alih teknologi penutupan tambang dari ahli-ahli yang dimiliki investor asing, termasuk dari Australia dan Kanada kepada SDM Mimika khususnya dan Indonesia pada umumnya. (2) mengembangkan teknik reklamasi dan teknologi penutupan tambang, serta merancang dan mengaplikasikan PB pada kegiatan pembagunan Mimika saat ini.
Sumber: hasil analisis (2009)
Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 51, 52, dan Tabel 53 terdapat beberapa variabel yang memiliki kesamaan fungsi dengan variabel lain dan berdasarkan analisis situasi di Kabupaten Mimika, maka faktor-faktor pengerak 231
kunci penutupan tambang PTFI berkelanjutan yaitu: (1) kualitas SDM, (2) investasi ekonomi baru, (3) Badan Pengelola Penutupan Tambang Berkelanjutan (BPPTB), (4) infrastruktur, dan (5)
perlindungan dan pelestarian lingkungan.
Kelima faktor ini dalam sistem penutupan tambang berkelanjutan berfungsi juga sebagai input terkontrol sesuai pada Gambar 33. Tabel 53. Aktor, aspek, faktor, dan tujuan-tujuan serta alternatif-alternatif keputusan yang dominan dalam perencanaan penutupan tambang berkelanjutan Level analsis AHP Aktor Aspek-aspek Faktor-Faktor
Tujuan-Tujuan
Pilihan-Pilihan keputusan
Nilai bobot pada setiap variabel yang dianalisis Pemerintah (0,454), masyarakat setempat (0,228), manajemen perusahaan (0.164), karyawan perusahaan (0,090), dan LSM setempat/nasional (0,064) Aspek ekonomi (0,337), sosial (0,226), lingkungan (0,177), teknologi dan biaya (0,147), dan aspek hukum dan kelembagaan (0,114). Kualitas SDM (0.102), penciptaan lapangan kerja (0.085), ketaatan pada regulasi (0.083) pendidikan dan kesehatan (0.079), rencana dan tim penutupan (0.076), produktifitas lahan akhir (0.069), resolusi dan pengelolaan konflik (0.068), peluang ekonomi baru (0.064), Badan penutupan tambang (0.063), efektifitas teknologi dan biaya (0.062), keterlibatan PPK (0.061), mendorong iklim investasi (0.053), kontribusi pada PDRB (0.052), proteksi ekologi dan manusia (0.047), dan kontribusi pada lingkungan global (0.036). Tujuan keberlanjutan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (0,385) tujuan keberlanjutan kualitas kehidupan sosial masyarakat (0,351), dan tujuan pada keberlajutan perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan (0,264). Perencanaan terpadu pembangunan berdasarkan SDA unggulan sejak dini (0,594), perencanaan terpadu pembangunan berdasarkan SDA unggulan (0,335), dan membayar kompensasi daerah bekas tambang (0.071)
Sumber: hasil analisis (2009)
Berdasarkan
strategi
implementasi
faktor-faktor
kunci
penentu
keberhasilan penutupan tambang yang perlu diterapkan seperti tertera pada Tabel 52 dan juga variabel-variabel yang dominan hasil analisis AHP, maka keadaan (state) faktor-faktor penggerak kunci di masa depan sampai penutupan tambang PTFI dan setelahnya terdapat empat kemungkinan kondisi yang akan terjadi. Misalnya faktor pengerak kunci kualitas SDM, empat kemungkinan kondisi yang diprediksi dapat terjadi yaitu: (1) tetap seperti kondisi sekarang, (2) mulai memahami PB dalam mengembangkan potensi daerah, (3) mampu mengaplikasikan PB walaupun belum sepenuhnya berhasil, dan (4) mampu mengaplikasikan PB dan sepenuhnya berhasil. Kemungkinan perubahan kondisi masing-masing faktor penggerak kunci lainnya dapat dilihat pada Tabel 54.
232
Tabel 54. Perubahan kondisi faktor penggerak kunci penutupan tambang berkelanjutan PTFI. No
1
Faktor Penggerak kunci Kualitas Manusia
2
Investasi ekonomi baru
3
BPPTB
4
Infrastruktur
5
Perlindungan dan pelestarian lingkungan
Keadaan (state) faktor pengerak kunci di masa depan 1A 1B 1C Tetap seperti saaat ini. (SDM Mimika belum disiapkan menghadapi penutupan tambang) 2A Tetap seperti saat ini (sektor non tambang hanya berkontribusi dibawah 10%) 3A Tetap seperti saat ini (belum dibentuk)
4A Tetap seperti saat ini (belum me-madai)
5A Pencemaran lingkungan akibat tambang PTFI masih muncul dan akibat pembangunan sektor non tambang dikelolah seperti saat ini
1D
SDM Mimika dipersiapkan penutupan tambang dan memahami PB bagi pembangunan
SDM Mimika mampu berperan dan berhasil 50 % mengaplikasikan PB dalam pembangunan Mimika
SDM Mimika mampu berperan dan berhasil 100 % mengaplikasikan PB dalam pembangunan Mimika
2B Sektor non tambang mampu berkontribusi 25%) untuk mendukung keberlanjutan 3B Akan dibentuk sesaat menjelang masa penutupan tambang (2-3 tahun sebelum 2041) 4B Ada peningkatan sesuai kebutuhan pembangunan saat itu 5B Pencemaran lingkungan akibat tambang PTFI dan pembangunan sektor non tambang masih muncul walaupun telah ada perbaikan teknologi pengelolaannya
2C Sektor non tambang mampu berkontribusi 50%) untuk mendukung keberlanjutan
2D Sektor non tambang telah berkontribusi sampai 100% untuk mendukung keberlanjutan 4D Telah dibentuk jauh sebelum masa penutupan tambang dan 100% berfungsi
3C Telah dibentuk jauh sebelum masa penutupan tambang dan 50% berfungsi
4C Memadai untuk mendukung 50% keberlanjutan pembangunan
4D Memadai untuk mendukung 100% keberlanjutan pembangunan
5C Pencemaran lingkungan tidak ada walaupun kemungkinannya masih muncul karena keterbatasan teknologi reklamasi tambang dan kurang diterapkannya produksi bersih.
5D Tidak ada pencemaran lingkungan yang permanen baik berasal dari sisa tambang maupun akibat pembangunan, karena terkelola baik dan berkelanjutan
Sumber: hasil analisis (2009)
233
10.2. Skenario-Skenario Penutupan Tambang PTFI Berkelanjutan Berdasarkan Tabel 55 disusun lima skenario penutupan tambang PTFI berkelanjutan, yaitu skenario menunggu kehancuran dan menuai bencana pada SaPeT(MKMB).
Skenario ini adalah cerminan dari bila manfaat PTFI dan
kegiatan pembangunan di Kabupaten Mimika diselenggarakan seperti kondisi saat ini.
Kedua adalah skenario pesimis yang merupakan skenario mencari
peluang yang tidak maksimal. Ketiga, skenario moderat adalah skenario untuk bertahan sambil mencari peluang.
Keempat, skenario optimis merupakan
skenario dengan cara melakukan perbaikan secara menyeluruh.
Kelima,
skenario sangat optimis adalah skenario yang disusun dengan ketentuan: menggunakan
keseluruhan
NHTMT
secara optimal
untuk
keberlanjutan
pembangunan dan keberadaan masyarakat Mimika pada SaPeT PTFI dan setelahnya. Selengkapnya tertera pada Tabel 55. Tabel 55. Empat skenario untuk menuju penutupan tambang PTFI berkelanjutan. No
Kondisi skenario
1
MKMB pada SaPeT
Urutan kombinasi faktor penggerak kunci untuk setiap skenario 1A&2A&3A&4A&5A
2 3 4 5
Pesimis Moderat Optimis Sangat Optimis
1B&2B&3A&4A&5B 1B&2C&3B&4A&5A 1C&2C&3C&4C&5D 1D&2D&3D&4D&5D
Sumber: hasil analisis (2009)
Keberlanjutan pada SaPeT PT tercapai bila NHTMT sama atau melebihi NMTR atau NHTMT – NMTR = 0 atau lebih dari 1 dan kondisi ini harus terjadi maksimal pada SaPeT (2041) atau sebelum SaPeT PTFI. Makin tinggi hasil NHTMT – NMTR, maka level keberlanjutan penutupan tambang makin tinggi. Kondisi tersebut diilustrasikan pada Gambar 1 dan Gambar 51 dan 52 yang merupakan hasil analisis sistem dinamik penutupan tambang berkelanjutan. Bila NHTMT – NMTR hasilnya negatif berarti tidak terjadi keberlanjutan.
Dengan
demikian, untuk mendapatkan skenario keberlanjutan penutupan tambang PTFI dengan melakukan simulasi aplikasi kelima skenario tersebut ke dalam sistem dinamik kembali berdasarkan waktu yang akan datang sampai pada SaPeT PTFI. Ada lima kali tahun penerapan setiap skenario yaitu tahun 2012, 2017, 2022,2027, dan 2032. Hasil simulasi pada sistem dinamik untuk setiap skenario pada lima kali tahun penerapan tersebut dapat dilihat pada Tabel 56. 234
Tabel 56. Penerapan Lima skenario untuk menuju penutupan tambang PTFI berkelanjutan Kondisi skenario
Besarnya NHTMT – NMTR pada SaPeT PTFI (2041) untuk setiap tahun penerapan masing-masing skenario dan tahun dimana NHTMT = NMTR atau tahun keberlanjutan dapat dicapai 2012 2017 2022 2027 2032
MKMB pada SaPeT Pesimis
-8.07864E+13
-8.07864E+13
-8.07864E+13
-8.07864E+13
-8.07864E+13
-6.36696E+13
-6.90385E+13
-7.31766E+13
-7.62074E+13
-7.83207E+13
-4.69915E+13 7.07663E+12
-5.71545E+13
-6.50992E+13
-7.10316E+13
-7.52849E+13
Tahun 2036 1.0626E+14
-1.63988E+13 5.90132E+13
-3.57293E+13 1.89403E+13
-5.11139E+13
-7.80104E+13
-1.405E+13
-4.07059E+13
Moderat Optimis
Sangat optimis
Tahun 2021
Tahun 2028
Tahun 2036
Sumber: hasil analisis (2009) Tabel 56 menunjukkan bahwa skenario MKMB pada SaPeT PTFI, pesimis, dan skenario moderat yang diterapkan pada kelima kali tahun aplikasi skenario menghasilkan NHTMT – NMTR yang negatif pada SaPeT PTFI (tahun 2041). NMTR selama PTFI beroperasi berdasarkan data time series dari tahun 2002 sampai 2007 sebesar Rp. 90.408.163.265.306 sampai PTFI memasuki masa penutupan tambang.
Secara rinci kondisi penerapan masing-masing
skenario pada kelima kali tahun penerapan dijelaskan sebagai berikut: 10.2.1. Skenario MKMB pada SaPeT Skenario MKMB ini merupakan skenario bila manfaat PTFI dan kegiatan pembangunan di Kabupaten Mimika diselenggarakan seperti kondisi saat ini atau dirumuskan dengan komposisi kelima faktor penggerak kunci penutupan tambang sebagai berikut: 1A&2A&3A&4A&5A. Skenario ini menghasilkan nilai yang negatif yaitu NHTMT – NMTR = -8.07864E+13 rupiah atau – 80,78 triyun rupiah pada tahun 2041 (SaPeT PTFI) untuk kelima kali tahun penerapan. Dengan demikian keberlanjutan penutupan tambang tidak tercapai pada skenario ini.
Agar skenario ini dapat mencapai keberlanjutan pembangunan dan
keberadaan masyarakat di Kabupaten Mimika maka diperlukan kegiatankegiatan pembangunan yang menghasilkan nilai ekonomi sebesar Rp. 80, 78 triyun pada tahun 2041. Selengkapnya seperti yang tertera pada Gambar 51 di BAB IX. 235
10.2.2. Skenario pesimis Skenario pesimis dengan komposisi faktor penggerak kunci yaitu 1B&2B&3A&4A&5B, merupakan skenario yang
berarti: (1B). SDM Mimika
dipersiapkan untuk penutupan tambang dan
telah memahami PB bagi
pembangunan; (2B). Investasi ekonomi baru dari sektor non tambang mampu berkontribusi 25% untuk mendukung keberlanjutan setelah penutupan tambang PTFI; (3A). BPPTB belum dibentuk; (4A). Kondisi infrastruktur di Kabupaten Mimika seperti saat ini (belum memadai) sampai SaPeT PTFI; dan (5B). Pencemaran lingkungan akibat tambang PTFI dan pembangunan sektor non tambang masih muncul walaupun telah ada perbaikan teknologi pengelolaannya. Hasil simulasi skenario ini kedalam sistem dinamik tertera pada Gambar 53.
Gambar 53. Hasil simulasi skenario pesimis pada kelima tahun aplikasi hubungannya dengan Rt2MT. Berdasarkan Tabel 56 dan Gambar 53, hasil simulasi skenario pesimis pada kelima tahun penerapan adalah mempunyai NHTMT – NMTR = negatif pada SaPeT PTFI. Pada tahun aplikasi skenario di tahun 2012 menghasilkan NHTMT – NMTR sebesar -6.36696E+13 rupiah pada SaPeT PTFI. Makin bertambah negatif bila diterapkan pada tahun mendekati SaPeT PTFI. Secara rinci nilai NHTMT dan NMTR untuk skenario ini dapat dilihat pada Lampiran 12. Akhirnya, apabila skenario ini diaplikasikan pada tahun 2032 atau 8 tahun 236
sebelum SaPeT PTFI tiba maka besarnya NHTMT – NMTR menjadi 7.83207E+13 rupiah pada SaPeT. Dengan demikian skenario ini seharusnya dihindari atau tidak dipilh oleh PPK, apabila masyarakat Mimika menginginkan keberlanjutan manfaat sosial, ekonomi dan perlindungan lingkungan pada SaPeT PTFI.
10.2.3. Skenario moderat Skenario moderat dengan komposisi faktor penggerak kunci yaitu 1B&2C&3B&4A&5A, merupakan skenario yang
berarti: (1B). SDM Mimika
dipersiapkan untuk penutupan tambang dan
telah memahami PB bagi
pembangunan; (2C). Investasi ekonomi baru dari sektor non tambang mampu berkontribusi 50% untuk mendukung keberlanjutan setelah penutupan tambang PTFI; (3B). BPPTB dibentuk sesaat menjelang masa penutupan tambang (2-3 tahun sebelum 2041); (4A). Kondisi infrastruktur di Kabupaten Mimika seperti saat ini (belum memadai) sampai SaPeT PTFI; dan (5A). Pencemaran lingkungan akibat tambang PTFI dan pembangunan sektor non tambang masih muncul walaupun telah ada perbaikan teknologi pengelolaannya. Hasil simulasi skenario ini kedalam sistem dinamik tertera pada Gambar 54.
Gambar 54. Hasil simulasi skenario moderat pada kelima tahun aplikasi hubungannya dengan Rt2MT. Berdasarkan Tabel 56 dan Gambar 54, hasil simulasi skenario moderat pada kelima tahun penerapan adalah mempunyai NHTMT – NMTR = negatif 237
pada SaPeT PTFI. Pada tahun aplikasi skenario di tahun 2012 menghasilkan NHTMT – NMTR sebesar -4.6991E+13 rupiah pada SaPeT PTFI. Makin bertambah negatif bila diterapkan pada tahun mendekati SaPeT PTFI. Akhirnya, apabila skenario ini diaplikasikan pada tahun 2032 atau 8 tahun sebelum SaPeT PTFI tiba maka besarnya NHTMT – NMTR menjadi -7.52849E+13 rupiah pada SaPeT. Secara rinci nilai NHTMT dan NMTR untuk skenario ini dapat dilihat pada Lampiran 13. Dengan demikian skenario ini seharusnya dihindari atau tidak dipilh oleh PPK, apabila masyarakat Mimika menginginkan keberlanjutan manfaat sosial, ekonomi dan perlindungan lingkungan pada SaPeT PTFI, walaupun skenario ini masih lebih baik dari pada skenario pesimis. 10.2.4. Skenario optimis Skenario optimis dengan komposisi faktor penggerak kunci yaitu: 1C&2C&3C&4C&5D, merupakan skenario yang
berarti: (1C). SDM Mimika
mampu berperan dan berhasil 50 % mengaplikasikan PB dalam pembangunan Mimika ; (2C). Investasi ekonomi baru dari sektor non tambang mampu berkontribusi 50% untuk mendukung keberlanjutan setelah penutupan tambang PTFI; (3C). BPPTB telah dibentuk jauh sebelum masa penutupan tambang dan 50% berfungsi; (4C). Kondisi infrastruktur di Kabupaten Mimika memadai untuk mendukung 50% keberlanjutan pembangunan sampai SaPeT PTFI; dan (5D). Tidak ada pencemaran lingkungan yang permanen baik berasal dari sisa tambang maupun akibat pembangunan, karena terkelola baik dan berkelanjutan. Hasil simulasi skenario ini kedalam sistem dinamik tertera pada Gambar 55. Berdasarkan Tabel 56 dan Gambar 55, hasil simulasi skenario optimis pada kelima tahun penerapan tersebut menghasilkan NHTMT – NMTR bernilai positif dan negatif pada SaPeT PTFI.
Untuk tahun penerapan skenario pada
tahun 2017, 2022, 2027, dan 2032 menghasilkan NHTMT – NMTR negatif, berturut-turut sebesar -1.63988E+13 rupiah, -3.57293E+13 rupiah, -5.11139E+13 rupiah dan -7.80104E+13 rupiah. Aplikasi skenario optimis pada tahun 2012 menghasilkan NHTMT – NMTR positif, yaitu sebesar 7.07663E+12 rupiah atau 7,077 triyun rupiah. Skenario optimis yang diaplikasikan pada tahun 2012 dapat mencapai titik keberlanjutan (NHTMT = NMTR) pada tahun 2036 atau lima tahun sebelum waktu penutupan tambang PTFI. Dengan demikian skenario optimis yang diaplikasikan di tahun 2012 dapat menjadi alternatif pilihan skenario dalam menyusun kebijakan menuju keberlanjutan pembangunan dan keberadaan 238
masyarakat Kabupaten Mimika pada SaPeT PTFI. Secara rinci nilai NHTMT dan NMTR untuk skenario ini dapat dilihat pada Lampiran 14.
Gambar 55. Hasil simulasi skenario optimis pada kelima tahun aplikasi hubungannya dengan Rt2MT. 10.2.5. Skenario sangat optimis Skenario sangat optimis dengan komposisi faktor penggerak kunci yaitu: 1D&2D&3D&4D&5D, merupakan skenario yang
berarti: (1D). SDM Mimika
mampu berperan dan berhasil 100 % mengaplikasikan PB dalam pembangunan Mimika; (2D). Investasi ekonomi baru dari sektor non tambang telah berkontribusi sampai 100% untuk mendukung keberlanjutan setelah penutupan tambang PTFI; (3D). BPPTB telah dibentuk jauh sebelum masa penutupan tambang dan 100% berfungsi; (4D). Kondisi infrastruktur di Kabupaten Mimika memadai untuk mendukung 100% keberlanjutan pembangunan sampai SaPeT PTFI; dan (5D). Tidak ada pencemaran lingkungan yang permanen baik berasal dari sisa tambang maupun akibat pembangunan, karena terkelola baik dan berkelanjutan. Hasil simulasi skenario ini kedalam sistem dinamik tertera pada Gambar 56. Berdasarkan Tabel 56 dan Gambar 56, hasil simulasi skenario sangat optimis pada kelima tahun aplikasi tersebut menghasilkan bernilai positif dan negatif pada SaPeT PTFI.
NHTMT – NMTR
Untuk tahun aplikasi skenario 239
pada tahun 2017 dan 2032 menghasilkan NHTMT – NMTR negatif, yaitu berturut-turut sebesar -1.405E+13 rupiah dan -4.070E+13 rupiah. Aplikasi skenario sangat optimis pada tahun 2012, 2017, dan 2022 menghasilkan NHTMT – NMTR positif, berturut-turut sebesar 1.0626E+14 rupiah, 5.90132E+13 rupiah, dan 1.89403E+13 rupiah. Pada skenario ini tercapai tiga titik keberlanjutan ( NHTMT = NMTR) pada tahun 2021, 2028, dan 2036 untuk tahun aplikasi skenario berturut-turut di tahun 2012, 2017, dan di tahun 2022. Dengan demikian skenario ini mempunyai tiga titik keberlanjutan dan dapat dipilih dalam menyusun kebijakan menuju keberlanjutan pembangunan dan keberadaan masyarakat Kabupaten Mimika pada SaPeT PTFI. Secara rinci nilai NHTMT dan NMTR untuk skenario ini dapat dilihat pada Lampiran 15.
Gambar 56.
10.3.
Hasil simulasi skenario sangat optimis pada kelima tahun aplikasi hubungannya dengan Rt2MT.
Arahan Kebijakan dan Strategi Implementasi Setiap Skenario Terpilih Berdasarkan informasi dari Tabel 56, Gambar 55, dan Gambar 56,
didapatkan dua skenario kebijakan yang dapat dipilih karena menghasilkan NHTMT – NMTR yang positif dan mempunyai NHTMT = NMTR (titik keberlanjutan) terjadi sebelum masa penutupan tambang PTFI tiba (2041). Pada skenario optimis yang menghasilkan NHTMT – NMTR yang positif dan mempunyai NHTMT = NMTR terjadi pada 2036 atau lima tahun sebelum masa 240
penutupan tambang PTFI tiba (2041). Pada skenario sangat optimis ditemukan tiga titik keberlanjutan yakni terjadi pada tahun 2021, 2028, dan 2036 serta menghasilkan NHTMT – NMTR yang positif. Selengkapnya tertera pada Tabel 62. Tabel 57 menunjukkan bahwa skenario sangat optimis aplikasi 2012 merupakan pilihan skenario pertama karena mempunyai nilai persentase selisih NHTMT dan NMTR pada SaPeT yang tertinggi yakni 54,03% dan titik keberlanjutan terjadi pada tahun 2021 atau 20 tahun sebelum SaPeT PTFI. keempat pilihan skenario yang memenuhi syarat keberlanjutan pada SaPeT PTFI. Pilihan skenario terakhir atau urutan keempat adalah skenario optimis aplikasi 2012 karena mempunyai nilai persentase selisih NHTMT dan NMTR pada SaPeT yang terendah yakni 7,26% dan titik keberlanjutan terjadi pada tahun 2036 atau lima tahun sebelum SaPeT PTFI. Tabel 57. Urutan skenario kebijakan menuju penutupan tambang mineral PTFI berkelanjutan Pilihan Skenario Kebijakan
Nama skenario
Besarnya NHTMT pada SaPeT PTFI (Rupiah)
NHTMT – NMTR (Rupiah) pada SaPeT PTFI (2041)
Tahun saat mencapai titik keberlanjutan (NHTMT = NMTR )
Persentase selisih NHTMT dan NMTR pada SaPeT PTFI
Pertama
Sangat optimis aplikasi 2012 Sangat optimis aplikasi 2017 Sangat optimis aplikasi 2022 Optimis aplikasi 2012
1.96668E+14
1.0626E+14
2021
54,03 %
1.49421E+14
5.90132E+13
2028
39,49 %
1.09349E+14
1.89403E+13
2036
17,32 %
9.74848E+13
7.07663E+12
2036
7,26 %
Kedua Ketiga Keempat
Sumber: Hasil analisis (2009)
10.3.1. Pilihan Kebijakan Pertama: Skenario Sangat Optimis Aplikasi 2012 Dalam pilihan kebijakan pertama atau skenario kebijakan sangat optimis yang diaplikasikan pada tahun 2012, pengembangan kebijakan dan tujuan-tujuan kebijakan yang ingin dicapai adalah meliputi: (1) SDM Mimika mampu berperan dan berhasil 100 % mengaplikasikan PB
dalam pembangunan Mimika; (2)
Investasi ekonomi baru dari sektor non tambang telah
berkontribusi sampai
100% untuk mendukung keberlanjutan setelah penutupan tambang PTFI; (3) BPPTB telah dibentuk jauh sebelum masa penutupan tambang dan 100% berfungsi; (4) Kondisi infrastruktur di Kabupaten Mimika
memadai untuk 241
mendukung 100% keberlanjutan pembangunan sampai SaPeT PTFI; dan (5) Tidak ada pencemaran lingkungan yang permanen baik berasal dari sisa tambang maupun akibat pembangunan, karena terkelola baik dan berkelanjutan. Implikasi dari hasil penerapan (simulasi) pilihan kebijakan pertama pada sistem penutupan tambang mineral yang berkelanjutan terjadi perubahanperubahan pada indikator-indikator keberlanjutan. Indikator-indikator penting keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan di Kabupaten Mimika yang terpengaruh, adalah sebagai berikut: (1) titik keberlanjutan (NHTMT = NMTR) terjadi pada tahun 2021 atau 20 tahun sebelum SaPeT PTFI; (2) terjadi peningkatan jumlah penduduk yang mempunyai jenjang pendidikan perguruan tinggi (PT) sebesar 10,91% pada tahun 2021 (saat tercapai titik keberlanjutan) dibandingkan sebelum skenario ini diterapkan. Pada saat skenario ini belum diterapkan jumlah siswa PT adalah sebesar 19.039 siswa pada tahun 2021 dan jumlah ini meningkat menjadi 21.370 siswa pada saat setelah penerapan skenario sangat optimis; (3) terjadi peningkatan kualitas lingkungan sebesar 37,44% pada tercapai titik keberlanjutan (2021) dan peningkatan sebesar 78,57% pada SaPeT PTFI (2041) dibandingkan tanpa penerapan skenario kebijakan ini (Gambar 57a dan 57b); (4) terjadi peningkatan kontribusi dari kegiatan non-tambang PTFI terhadap PDRB dan APBD Kabupaten Mimika baik pada saat tercapai titik keberlanjutan dan pada SaPeT PTFI. Kontribusi PTFI akan menurun dan makin tajam pada SaPeT PTFI, yakni: untuk PDRB menurun sebanyak 97,89% dan untuk APBD sebanyak 75,46%; (5) potensi konflik terjadi pada tahun 2031 dan kejadian konflik terjadi pada tahun 2036; dan (6) terjadi peningkatan NHTMT yang sangat tajam sebesar 92.33% pada saat tercapai titik keberlanjutan (2021) dan sebesar 95,11% pada SaPeT PTFI (2041).
Secara
rinci perubahan-perubahan ini dapat dilihat pada Tabel 58 dan Lampiran 16. Sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 57a dan 57b, yang menunjukkan kondisi perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan sebelum dan setelah skenario sangat optimis diaplikasikan pada tahun 2012. Persentase kualitas lingkungan sebelum simulasi aplikasi skenario, seperti tertera pada Gambar 57a menunjukkan penurunan yang sangat tajam, yaitu dari 0,826% di tahun 2002 (data awal penelitian) menjadi 0,144% di tahun 2041 (SaPeT PTFI) atau menurun sebesar 82,57%. Namun, setelah aplikasi skenario sangat optimis 2012, seperti tertera pada Gambar 57b menunjukan penurunan yang cukup landai, yaitu dari 0,826% di tahun 2002 menjadi 0.672% di tahun 2041 atau 242
menurun sebesar 18,64%. Skenario ini berhasil menaikkan kualitas lingkungan sebesar 63,92% pada SaPeT PTFI di tahun 2041.
( a). Kondisi sebelum penerapan skenario
(b). Kondisi setelah penerapan skenario sangat optimis pada tahun 2012 Gambar 57. Perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan di Kab. Mimika sebelum dan setelah skenario sangat optimis 2012
Persentase kualitas lingkungan, baik sebelum dan setelah aplikasi skenario menunjukkan peningkatan perlahan-lahan setelah SaPeT PTFI. Hal ini sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa, pertama, hasil-hasil kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh PTFI telah memberikan keyakinan yang kuat bahwa daerah bekas tambang dan kegiatan operasional lainnya dapat segera direklamasi dan tanaman bahan reklamasi tumbuh baik dan normal. Kedua, proses suksesi alami berlangsung sangat cepat dan normal, khususnya di daerah-daerah bekas endapan tailing di ModADA yang sudah tidak aktif digunakan lagi. Proses suksesi alami terjadi di daerah ModADA adalah mulai dari lahan bekas tailing yang tidak 243
aktif ditumbuhi rumput dan pakis-pakisan kemudian ditumbuhi tanaman semak belukar sampai membentuk hutan muda terus menuju hutan klimak. Soelarno (2007) mengatakan biasanya kondisi lingkungan daerah bekas tambang dan sekitarnya akan pulih kembali setelah operasi tambang berhenti, karena lingkungan bisa memulihkan dirinya sendiri.
Kondisi ini bisa terjadi
apabila tidak muncul sisa-sisa kerusakan lingkungan setelah pekerjaan reklamasi dan penutupan tambang selesai. Sebab teknik dan teknologi reklamasi yang dipilih dapa menentukan munculnya sisa-sisa kerusakan lingkungan (Robertson dan Shaw, 1998).
Seperti diketahui bahwa semua operasi penambangan,
begitupun tambang PTFI menghasilkan material yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan manusia, yaitu AAB (air asam batuan) dan tailing (beberapa logam berat terdapat didalamnya). AAB sendiri sangat susah untuk dinetralisasi. Banyak ahli mengatakan bahwa AAB merupakan monster bagi lingkungan dan hampir tidak mungkin bisa terselesaikan. Kempton (2003) mengatakan bahwa AAB memerlukan perlakuan selama 3000 tahun dan merupakan masalah global yang belum menemukan solusinya.
Oleh karena itu program penelitian dan
penanganan AAB PTFI yang dilakukan lebih dari 10 tahun perlu terus ditingkatkan dan hasilnya secara rutin harus diinformasikan kepada PPK baik di Kabupaten Mimika, di Papua dan di tingkat nasional. Berdasarkan hasil analisis ISM pada Tabel 51 di dalam bab ini juga dan analisis situasional di lapangan, kendala-kendala yang ada dan dihadapi oleh PPK di Kabupaten Mimika untuk mencapai tujuan-tujuan berkelanjutan dari skenario kebijakan ini adalah waktu yang sangat singkat untuk mengaplikasikan skenario ini yaitu hanya tiga tahun dari saat ini (2009) menuju 2012. Beberapa kendala lainnya, adalah sebagai berikut: (1) infrastruktur yang masih jauh dari memadai untuk mendukung kebutuhan pembangunan saat ini dan kedepan. Misalnya transportasi darat (jalan darat) yang belum tersedia antara ibu kota kecamatan dan ibu kota kabupaten serta antar ibu kota kecamatan itu sendiri, terutama terjadi pada ibu kota kecamatan yang letaknya di pedalaman atau jauh dari ibu kota kabupaten baik yang terletak di pesisir pantai maupun yang terletak di dataran tinggi (lebih dari 2500 mdpl). (2) sarana dan prasarana serta akses masyarakat kepada kesehatan dan pendidikan masih rendah, khususnya dialami oleh masyarakat pedalaman.
Misalnya, banyak SD atau SMP yang jumlah
gurunya hanya 3-5 orang saja, termasuk seorang Kepala Sekolah. Sehingga
244
Tabel 58. Persentase peningkatan beberapa aspek dan variabel penting setelah aplikasi pilihan skenario pertama dibandingkan kondisi semula. No Aspek dan variabel penting dan strategis yang terpengaruh pada saat skenario sangat optimis diterapkan tahun 2012
Satuan setiap variabel
Nilai perubahan aspek dan variabel Nilai perubahan aspek dan variabel pada saat kondisi pada saat ini dan saat mencapai ini dan pada SaPeT PTFI (2041) titik keberlanjutan (NHTMT = NMTR) Nilai saat sebelum aplikasi skenario (2021)
A
B
C
D
NHTMT= NMTR (2021) setelah aplikasi skenario
Persentas e perubaha n setelah aplikasi skenario
Nilai pada SaPeT PTFI sebelum aplikasi skenario (2041)
Nilai pada Persentase SaPeT PTFI perubahan setelah setelah aplikasi aplikasi skenario skenario (2041)
Aspek Sosial Jumlah penduduk
Jiwa
Kontribusi CD PTFI (Kesehatan) Penduduk berdasarkan jenjang pendidikan (Perguruan Tinggi) Potensi dan kejadian konflik
Juta rupiah Siswa
298,397 145,398
381,283 145,398
21.74% 0.00%
381,467 68,990
1,075,390 68,990
64.53% 0.00%
19,039
21,370
10.91%
36,308
55,232
34.26%
Potensi konflik terjadi pada tahun 2031 dan kejadian konflik terjadi tahun 2036
Aspek Lingkungan Luasan hutan
Hektar
Pencemaran air
%
Pencemaran udara
%
Degradasi lahan
%
Kualitas lingkungan Aspek Ekonomi Kontribusi tambang pada PDRB Mimika Kontribusi non-tambang pada PDRB Mimika Kontribusi tambang pada APBDMimika Kontribusi non-tambang pada APBD Mimika Nilai hasil transformasi manfaat tambang (NHTMT)
2.34%
1,565,264
1,688,746
7.31%
0.277
0.105 -163.81%
0.411
0.152
-170.39%
0.0914
0.0319 -186.52%
0.189
0.0634
-198.11%
%
0.1290 0.503
0.0588 -119.39% 0.804 37.44%
0.255 0.144
0.113 0.672
-125.66% 78.57%
% % % %
93.69 6.31 68.10 31.90
85.25 14.75 47.83 52.17
43.08 56.92 27.26 72.74
-97.89% 74.09% -75.46% 28.28%
9.62177E+12 1.96668E+14
95.11%
Rupiah
1,938,593
1,985,058
87.84 12.16 60.85 39.15
-6.66% 48.11% -11.91% 18.52%
6.7526E+12 8.8000E+13
92.33%
245
kualitas SDM di Mimika masih rendah. Demikian pula, puskesmas banyak yang tidak mempunyai dokter. Dokter yang tersedia hanya mampu melayani kurang lebih tiga hari di satu desa setiap minggunya. Para dokter harus bergilir ke daerah pelayanan lain yang telah ditentukan. Secara rinci jumlah dokter dan akses masyarakat ke sarana kesehatan dapat dilihat pada Tabel 16 dan 17 pada BAB IV halaman 110-111. (3) ketergantungan yang sangat tinggi kepada manfaat dan hasil kegiatan PTFI sebagai satu-satunya sumber pendapatan ekonomi bagi pemerintah dan masyarakat Mimika.
Dilain pihak, disinyalir
sebanyak 75% dari pendapatan karyawan PTFI dibelanjakan keluar Kabupaten Mimika (Bupati Mimika, 2006). (4) kurangnya kemampuan PEMDA Mimika dalam memimpin untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan. PEMDA belum memanfaatkan hasil operasi PTFI secara optimal untuk menciptakan kegiatan-kegiatan pembangunan yang mendorong keberlanjutan ekonomi, sosial, dan perlindungan lingkungan selain yang bersumber dari PTFI.
Selain itu,
PEMDA Mimika juga belum memanfaatkan secara optimal sumber daya manusia atau karyawan PTFI yang berkemampuan baik untuk membantu merumuskan, menciptakan dan mengelola kegiatan-kegiatan untuk keberlanjutan Mimika setelah PTFI selesai beroperasi.
PEMDA Mimika juga belum menyadari
sepenuhnya acaman yang akan mengancam keberlanjutan pembangunan Mimika setelah PTFI selesai beroperasi.
Sampai saat ini PEMDA belum
mempersiapkan apapun terkait penutupan tambang PTFI nantinya. (5) belum adanya sosialisasi RPT perusahaan kepada PPK, khususnya untuk PEMDA dan masyarakat di Mimika.
Padahal keterlibatan PPK pada proses perencanaan
penutupan tambang dan pembuatan keputusan merupakan salah satu faktor penentu adanya keberlanjutan-keberlanjutan manfaat tambang yang saat ini dirasakan sampai setelah operasi tambang selesai (AGDITR, 2006). Absennya keterlibatan PPK merupakan salah satu pemicu terjadinya konflik di hampir semua daerah pertambangan.
Pada simulasi penerapan skenario ini, konflik
terjadi pada tahun 2036 atau lima tahun sebelum SaPeT PTFI. Skenario ini merupakan skenario kebijakan yang sangat berat untuk dilaksanakan mengingat kondisi dan situasi di Mimika saat ini serta kendalakendala yang telah disebutkan di atas. Apalagi harus diterapkan pada tahun 2012 atau tiga tahun kedepan. Oleh karena itu, tindakan-tindakan strategis yang harus dilaksanakan oleh PPK untuk mencapai tujuan-tujuan berkelanjutan pada SaPeT PTFI di dalam skenario kebijakan ini, yaitu sebagai berikut: (1) 246
membentuk BPPTB paling lambat pada tahun 2010 dan telah berfungsi 100 % pada tahun 2012 dalam mengkoordinasikan perencanaan dan pengelolaan kegiatan-kegiatan pembangunan menuju tercapainya titik keberlanjutan pada tahun 2021; (2) melatih dan meningkatkan kemampuan pegawai pemerintah (termasuk bupati, camat dan lurah) dan para pemimpin LSM setempat serta tokoh-tokoh
masyarakat
tentang
kegiatan-kegiatan
dan
prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan serta bagaimana pengaruh dan mengaplikasinya di Kabupaten Mimika; (3) menyeleksi dan meningkatkan kinerja usaha-usaha ekonomi yang dilakukan masyarakat Mimika saat ini serta
terindikasi dapat
mendorong terjadinya keberlanjutan ekonomi dan sosial setelah PTFI selesai beroperasi; (4) meningkatkan investasi ekonomi baru non-tambang PTFI untuk menggantikan sepenuhnya sumber pendapatan ekonomi dari PTFI pada SaPeT dan setelahnya.
Misalnya pengembangan industri tepung sagu mengingat
Mimika mempunyai kebun sagu alami yang luas di Papua. Juga pengembangan industri perikanan, mengingat potensi yang terkelola saat ini baru dibawah 5%; (5) meningkatkan akses masyarakat dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang mendorong keberlanjutan ekonomi, sosial, dan perlindungan lingkungan melalui peningkatan dan perbaikan secara terus menerus infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ketiga aspek tersebut; dan (6) mewajibkan
untuk
setiap
kegiatan-kegiatan
ekonomi
dan
sosial
untuk
mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (PB) pada kegiatan operasionalnya dalam rangka melindungi dan melestarikan lingkungan hidup di seluruh wilayah Kabupaten Mimika saat ini dan masa yang akan datang melalui penerapan produksi bersih, peningkatan partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan, pemberlakukan dengan ketat IPAL pada setiap kegiatan, dan lainnya. Program penanganan AAB dan tailing harus secara terus menerus dikembangkan dan hasilnya disosialisasikan kepada PPK secara berkala dan wajar.
10.3.2. Pilihan Kebijakan Kedua: Skenario Sangat Optimis Aplikasi 2017 Dalam pilihan kebijakan kedua atau skenario kebijakan sangat optimis yang diaplikasikan pada tahun 2017 pengembangan kebijakan dan tujuan-tujuan kebijakan yang ingin dicapai sama seperti pada dalam skenario kebijakan sangat optimis aplikasi 2012 atau seperti pada butir 10.3.1 di atas.
247
Implikasi dari hasil penerapan (simulasi) pilihan skenario kebijakan kedua pada sistem penutupan tambang mineral yang berkelanjutan terjadi perubahanperubahan pada indikator-indikator keberlanjutan. Indikator-indikator penting keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan di Kabupaten Mimika yang terpengaruh, adalah sebagai berikut: (1) titik keberlanjutan (NHTMT = NMTR) terjadi pada tahun 2028 atau 13 tahun sebelum SaPeT PTFI; (2) terjadi peningkatan jumlah penduduk yang mempunyai jenjang pendidikan perguruan tinggi (PT) sebesar 9,91% pada tahun 2028 (saat tercapai titik keberlanjutan) dibandingkan sebelum skenario ini diterapkan. Pada saat skenario ini belum diterapkan jumlah siswa PT adalah sebesar 19.039 siswa pada tahun 2028 dan jumlah ini meningkat menjadi 28.753 siswa pada saat setelah penerapan skenario sangat optimis; (3) terjadi peningkatan kualitas lingkungan sebesar 49,33% pada tercapai titik keberlanjutan (2021) dan peningkatan sebesar 78,25% pada SaPeT PTFI (2041) dibandingkan tanpa penerapan skenario kebijakan ini (Gambar 58a dan 58b); (4) terjadi peningkatan kontribusi dari kegiatan non-tambang PTFI terhadap PDRB dan APBD Kabupaten Mimika baik pada saat tercapai titik keberlanjutan dan pada SaPeT PTFI. Kontribusi PTFI akan menurun dan cukup tajam pada SaPeT PTFI, yakni: untuk PDRB menurun sebanyak 56,45% dan untuk APBD sebanyak 52,13%; (5) potensi konflik terjadi pada tahun 2030 dan kejadian konflik terjadi pada tahun 2035; dan (6) terjadi peningkatan NHTMT yang sangat tajam sebesar 90,72% pada saat tercapai titik keberlanjutan (2028) dan sebesar 93,56% pada SaPeT PTFI (2041).
Secara
rinci perubahan-perubahan ini dapat dilihat pada Tabel 59 dan Lampiran 17. Sebagai contoh seperti yang tertera pada Gambar 58a dan 58b, yang menunjukkan kondisi perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan sebelum dan setelah skenario sangat optimis diaplikasikan pada tahun 2017. Persentase kualitas lingkungan sebelum simulasi aplikasi skenario, seperti tertera pada Gambar 58a menunjukkan penurunan yang sangat tajam, yaitu dari 0,826% di tahun 2002 (data awal penelitian) menjadi 0,144% di tahun 2041 (SaPeT PTFI) atau menurun sebesar 82,57%. Namun, setelah aplikasi skenario sangat optimis 2017, seperti tertera pada Gambar 58b menunjukan penurunan yang cukup landai, yaitu dari 0,826% di tahun 2002 menjadi 0.662% di tahun 2041 atau menurun sebesar 19,85%. Skenario ini berhasil menaikkan kualitas lingkungan sebesar 62.71% pada SaPeT PTFI di tahun 2041. Sementara itu, pada skenario kebijakan sangat optimis yang diaplikasikan tahun 2012 (pilihan 248
kebijakan pertama) berhasil menaikkan kualitas lingkungan 63,92% atau 1,21% lebih tinggi.
( a). Kondisi sebelum penerapan skenario
(b). Kondisi setelah penerapan skenario sangat optimis pada tahun 2017 Gambar 58. Perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan di Kab. Mimika sebelum dan setelah skenario sangat optimis 2017 Sama seperti skenario sangat optimis aplikasi 2012, persentase kualitas lingkungan,
baik
sebelum
dan
setelah
aplikasi
skenario
menunjukkan
peningkatan perlahan-lahan setelah SaPeT PTFI. Peningkatan ini disebabkan terjadinya proses pemulihan secara alamiah pada daerah-daerah bekas tambang dan daerah operasi lainnya. Penjelasan rincinya seperti pada butir 10.3.1. di atas. Pada skenario ini, perkembangan teknologi penanganan AAB dan tailing juga perlu secara berkala disampaikan kepada PPK. Skenario kebijakan ini akan diterapkan delapan tahun kedepan, yaitu tahun 2017. Walaupun demikian, berdasarkan hasil analisis ISM pada Tabel 51 di dalam bab ini juga dan analisis situasional di lapangan, kendala-kendala yang ada dan dihadapi oleh PPK di Kabupaten Mimika untuk mencapai tujuan-tujuan berkelanjutan dari skenario kebijakan ini, yaitu sebagai berikut: (1) infrastruktur yang masih jauh dari memadai untuk mendukung kebutuhan pembangunan saat 249
ini dan kedepan. Kekurangan ini terutama infrastruktur yang mendukung kegiatan pendidikan, kesehatan, dan kegiatan ekonomi serta kegiatan pelayanan pemerintah; (2) PTFI masih sebagai satu-satunya sumber pendapatan ekonomi bagi pemerintah dan masyarakat Mimika. Walaupun kemungkinan sektor lain non-PTFI akan mulai bertumbuh dalam kurung waktu delapan tahun kedepan menuju tahun aplikasi skenario ini, yaitu di tahun 2017; (3) kurangnya kemampuan PEMDA Mimika dalam memimpin untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan.
PEMDA kemungkinan merasa bahwa waktu
delapan tahun untuk aplikasi skenario kebijakan ini masih panjang. Sehingga sumberdaya yang ada belum difokuskan untuk mempersiapkan kegiatan RPT; (4) kurangnya sosialisasi RPT perusahaan kepada PPK, khususnya untuk PEMDA dan masyarakat di Mimika; dan (5) konflik terjadi satu tahun lebih cepat dari pada skenario kebijakan pilihan pertama. Pada simulasi penerapan skenario ini, konflik terjadi pada tahun 2035 atau enam tahun sebelum SaPeT PTFI. Tindakan-tindakan strategis yang perlu dilaksanakan oleh PPK penutupan tambang PTFI di Kabupaten Mimika untuk mencapai tujuan-tujuan berkelanjutan pada SaPeT PTFI, yaitu sebagai berikut: (1) membentuk BPPTB paling lambat pada tahun 2015 dan telah berfungsi 100 % pada tahun 2017; (2) melatih dan meningkatkan kemampuan pegawai pemerintah (termasuk bupati, camat dan lurah) dan para pemimpin LSM setempat serta tokoh-tokoh masyarakat tentang kegiatan-kegiatan
dan
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan
serta
bagaimana pengaruh dan mengaplikasinya di Kabupaten Mimika. Prinsip-prinsip PB perlu mulai diperkenalkan kepada para pelajar SD, SMP, SMA dan PT secara proporsional.
Diharapkan di tahun 2017 sudah banyak masyarakat yang
memahami dan dapat mengaplikasikan PB pada kegiatan pembangunan di Mimika; (3) melatih para pelaku kegiatan ekonomi dan sosial baik yang dimiliki oleh pemerintah dan swasta saat untuk dikembangkan menjaga keberlanjutan ekonomi dan sosial setelah PTFI selesai beroperasi; (4) meningkatkan promosi untuk menarik investasi ekonomi baru non-tambang PTFI untuk menggantikan sepenuhnya sumber pendapatan ekonomi dari PTFI pada SaPeT dan setelahnya; (5) meningkatkan infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial, dan perlindungan lingkungan; dan (6) mewajibkan untuk setiap kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial untuk mengembangkan
dan
menerapkan
prinsip-prinsip
PB
pada
kegiatan
operasionalnya dalam rangka melindungi dan melestarikan lingkungan hidup. 250
Tabel 59. Persentase peningkatan beberapa aspek dan variabel penting setelah aplikasi pilihan skenario kedua dibandingkan kondisi semula. No
Aspek dan variabel penting dan strategis yang terpengaruh pada saat skenario sangat optimis diterapkan tahun 2012
Satuan setiap variabel
Nilai perubahan aspek dan variabel kondisi pada saat ini dan saat mencapai titik keberlanjutan (NHTMT = NMTR) Nilai saat sebelum aplikasi skenario (2028)
A
B
C
D
Aspek Sosial Jumlah penduduk Kontribusi CD PTFI (Kesehatan) Penduduk berdasarkan jenjang pendidikan (Perguruan Tinggi) Potensi dan kejadian konflik Aspek Lingkungan
Jiwa Juta rupiah
352,398 114,709
NHTMT= NMTR (2028) setelah aplikasi skenario 485,097 114,709
Nilai perubahan aspek dan variabel pada saat ini dan pada SaPeT PTFI (2041)
Persentase Nilai pada perubahan SaPeT PTFI setelah sebelum aplikasi aplikasi skenario skenario (2041) 27.36% 0.00%
Nilai pada Persentase SaPeT PTFI perubahan setelah setelah aplikasi aplikasi skenario skenario (2041)
381,467 68,990
Siswa 25,905 28,753 9.91% 36,308 Potensi konflik terjadi pada tahun 2030 dan kejadian konflik terjadi tahun 2035
Luasan hutan
Hektar
Pencemaran air
914,458 68,990
58.28% 0.00%
48,658
25.38%
1,824,115
1,868,411
2.37%
1,565,264
1,657,436
5.56%
%
0.325
0.125
-160.00%
0.411
0.154
-166.88%
Pencemaran udara
%
0.1230
0.0445
-176.40%
0.189
0.0664
-184.64%
Degradasi lahan
%
0.1720
0.0810
-112.35%
0.255
0.117
-117.95%
Kualitas lingkungan
%
0.380
0.750
49.33%
0.144
0.662
78.25%
% % % %
91.62 8.38 61.92 38.08
84.16 15.84 54.21 45.79
-8.86% 47.10% -14.22% 16.84%
85.25 14.75 47.83 52.17
54.49 45.51 31.44 68.56
-56.45% 67.59% -52.13% 23.91%
90.72% 9.62177E+12 1.49421E+14
93.56%
Aspek Ekonomi Kontribusi tambang pada PDRB Mimika Kontribusi non-tambang pada PDRB Mimika Kontribusi tambang pada APBDMimika Kontribusi non-tambang pada APBD Mimika Nilai hasil transformasi manfaat tambang (NHTMT)
Rupiah
8.32909E+12 8.97093E+13
251
10.3.3. Pilihan Kebijakan Ketiga: Skenario Sangat Optimis Aplikasi 2022 Dalam pilihan kebijakan kedua atau skenario kebijakan sangat optimis yang diaplikasikan pada tahun 2022 pengembangan kebijakan dan tujuan-tujuan kebijakan yang ingin dicapai sama seperti pada dalam skenario kebijakan sangat optimis aplikasi 2012 atau seperti pada butir 10.3.1 di atas. Implikasi dari hasil penerapan (simulasi) pilihan kebijakan pertama pada sistem penutupan tambang mineral yang berkelanjutan terjadi perubahanperubahan
pada
indikator-indikator
keberlanjutan.
Indikator-indikator
keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan di Kabupaten Mimika yang terpengaruh, adalah sebagai berikut: (1) titik keberlanjutan (NHTMT = NMTR) terjadi pada tahun 2036 atau lima tahun sebelum SaPeT PTFI; (2) terjadi peningkatan jumlah penduduk yang mempunyai jenjang pendidikan perguruan tinggi (PT) sebesar 12,35% pada tahun 2036 (saat tercapai titik keberlanjutan) dibandingkan sebelum skenario ini diterapkan. Pada saat skenario ini belum diterapkan jumlah siswa PT adalah sebesar 32.807 siswa pada tahun 2038 dan jumlah ini meningkat menjadi 37.430 siswa pada saat setelah skenario sangat optimis; (3) terjadi peningkatan kualitas lingkungan sebesar 65,94% pada tercapai titik keberlanjutan (2038) dan peningkatan sebesar 78,05% pada SaPeT PTFI (2041) dibandingkan tanpa penerapan skenario kebijakan ini (Gambar 59a dan 59b); (4) terjadi peningkatan kontribusi dari kegiatan non-tambang PTFI terhadap PDRB dan APBD Kabupaten Mimika baik pada saat tercapai titik keberlanjutan dan pada SaPeT PTFI. SaPeT PTFI.
Kontribusi PTFI akan menurun pada
Namun, tidak setajam penurunan yang terjadi pada skenario
kebijakan pertama dan kedua.
Pada skenario pilihan ketiga, PDRB menurun
sebanyak 36,53% dan untuk APBD sebanyak 38,12%; (5) potensi konflik terjadi pada tahun 2020-2021 dan kejadian konflik terjadi pada tahun 2035; dan (6) terjadi peningkatan NHTMT yang cukup tajam sebesar 89,68% pada saat tercapai titik keberlanjutan (2036) dan sebesar 91,20% pada SaPeT PTFI (2041). Secara rinci perubahan-perubahan ini dapat dilihat pada Tabel 60 dan Lampiran 18. Sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 59a dan 59b, yang menunjukkan kondisi perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan sebelum dan setelah skenario sangat optimis diaplikasikan pada tahun 2022. Persentase kualitas lingkungan sebelum simulasi aplikasi skenario, seperti tertera pada Gambar 59a menunjukkan penurunan yang sangat tajam, yaitu dari 0,826% di 252
tahun 2002 (data awal penelitian) menjadi 0,144% di tahun 2041 (SaPeT PTFI) atau menurun sebesar 82,57%. Namun, setelah aplikasi skenario sangat optimis 2012, seperti tertera pada Gambar 59b menunjukan penurunan yang cukup landai, yaitu dari 0,826% di tahun 2002 menjadi 0.656% di tahun 2041 atau menurun sebesar 20,58%. Skenario ini berhasil menaikkan kualitas lingkungan sebesar 61,99% pada SaPeT PTFI di tahun 2041. Sementara itu, pada skenario kebijakan sangat optimis yang diaplikasikan tahun 2012 (pilihan kebijakan pertama)
berhasil menaikkan kualitas lingkungan 63,92% atau 1,94%
lebih
tinggi dari pada kualitas lingkungan pada pilihan skenario kebijakan ketiga.
( a). Kondisi sebelum penerapan skenario
(b). Kondisi Setelah penerapan skenario sangat optimis pada tahun 2022 Gambar 59. Perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan di Kab. Mimika sebelum dan setelah skenario sangat optimis 2022 Sama seperti skenario sangat optimis aplikasi 2012, persentase kualitas lingkungan,
baik
sebelum
dan
setelah
aplikasi
skenario
menunjukkan 253
peningkatan perlahan-lahan setelah SaPeT PTFI. Peningkatan ini disebabkan terjadinya proses pemulihan secara alamiah pada daerah-daerah bekas tambang dan daerah operasi lainnya. Penjelasan rincinya seperti pada butir 10.3.1. di atas. Pada skenario ini, perkembangan teknologi penanganan AAB dan tailing juga perlu secara berkala dan lebih sering disampaikan kepada PPK. Hal ini mengingat potensi konflik bisa terjadi pada tahun 2020-2021 atau 20 tahun sebelum SaPeT PTFI (2041). Skenario kebijakan ini akan diterapkan 13 tahun kedepan, yaitu tahun 2022. Ini berarti pemerintah Kabupaten Mimika masih mempunyai waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkannya sejak saat ini. Berdasarkan hasil analisis ISM pada Tabel 51 di dalam bab ini juga dan analisis situasional di lapangan diasumsikan jalannya pembangunan seperti yang diselenggarakan pada saat ini. Kendala-kendala yang kemungkinan ada dan akan dihadapi oleh PPK di Kabupaten Mimika untuk mencapai tujuan-tujuan berkelanjutan dari skenario kebijakan ini, yaitu sebagai berikut: (1) infrastruktur belum mendukung kebutuhan pembangunan, khususnya transportasi darat yang menghubungkan dari ibu kota kabupaten ke ibu kota kecamatan dan ke desa-desa atau kampung di pedalaman dataran tinggi maupun desa-desa yang berada di sepanjang pantai.
Hal ini
mengingat kondisi geografis yang cukup berat dan juga perkembangan infrastruktur saat ini yang sangat-sangat lamban; (2) PTFI masih sebagai satusatunya sumber pendapatan ekonomi bagi pemerintah dan masyarakat Mimika. Walaupun kemungkinan sektor lain non-PTFI akan mulai banyak bertumbuh dalam kurung waktu 13 tahun kedepan menuju tahun aplikasi skenario ini, yaitu di tahun 2022; (3) kemampuan PEMDA Mimika kemungkinannya belum sepenuhnya mencukupi kebutuhan dalam memimpin untuk mencapai tujuantujuan pembangunan berkelanjutan.
Terutama apabila pemahaman dan
implementasi konsep PB belum dilakukan seperti kondisi saat ini; (4) konflik terjadi 10 tahun lebih cepat dari pada skenario kebijakan pilihan pertama. Hal ini sejalan karena skenario ini diaplikasikan pada tahun 2022, kemungkinannya masyarakat resah karena kemanfaatan PTFI dipergunakan sesuai dengan pengunaan saat ini atau tidak ada perubahan kearah keberlanjutan dan kemandirian masyarakat.
254
Tabel 60. Persentase peningkatan beberapa aspek dan variabel penting setelah aplikasi pilhan skenario ketiga dibandingkan kondisi semula. No Aspek dan variabel penting dan strategis yang terpengaruh pada saat skenario sangat optimis diterapkan tahun 2012
A
B
C
D
Aspek Sosial Jumlah penduduk Kontribusi CD PTFI (Kesehatan) Penduduk berdasarkan jenjang pendidikan (Perguruan Tinggi) Potensi dan kejadian konflik Aspek Lingkungan Luasan hutan Pencemaran air Pencemaran udara Degradasi lahan Kualitas lingkungan Aspek Ekonomi Kontribusi tambang pada PDRB Mimika Kontribusi non-tambang pada PDRB Mimika Kontribusi tambang pada APBDMimika Kontribusi non-tambang pada APBD Mimika Nilai hasil transformasi manfaat tambang (NHTMT)
Satuan setiap variabel
Jiwa Juta rupiah
Nilai perubahan aspek dan variabel kondisi Nilai perubahan aspek dan variabel pada saat pada saat ini dan saat mencapai titik ini dan pada SaPeT PTFI (2041) keberlanjutan (NHTMT = NMTR) Nilai saat NHTMT= Persentase Nilai pada Nilai pada Persentase sebelum NMTR perubahan SaPeT PTFI SaPeT PTFI perubahan aplikasi (2036) setelah sebelum setelah setelah skenario setelah aplikasi aplikasi aplikasi aplikasi (2036) aplikasi skenario skenario skenario skenario skenario (2041) (2041) 794,843 68,990
52.01% 0.00%
Siswa 32,807 37,430 12.35% 36,308 44,376 Potensi konflik terjadi pada tahun 2020 - 2021 dan kejadian konflik terjadi tahun 2035
18.18%
Hektar % % % % % % % % Rupiah
383,604 84,520
632,828 84,520
39.38% 0.00%
381,467 68,990
1,670,688 0.379 0.1630 0.2230 0.235
1,724,038 0.145 0.0596 0.1050 0.690
3.09% -161.38% -173.49% -112.38% 65.94%
1,565,264 0.411 0.189 0.255 0.144
1,636,134 0.156 0.0683 0.119 0.656
4.33% -163.46% -176.72% -114.29% 78.05%
88.15 11.85 53.52 46.48
74.81 25.19 43.46 56.54
-17.83% 52.96% -23.15% 17.79%
85.25 14.75 47.83 52.17
62.44 37.56 34.63 65.37
-36.53% 60.73% -38.12% 20.19%
89.68% 9.62177E+12 1.09349E+14
91.20%
9.31339E+12 9.02156E+13
255
Tindakan-tindakan strategis yang perlu dilaksanakan oleh PPK penutupan tambang PTFI di Kabupaten Mimika untuk mencapai tujuan-tujuan berkelanjutan pada SaPeT PTFI, yaitu sebagai berikut: (1) membentuk BPPTB paling lambat pada tahun 2020 dan telah berfungsi 100 % pada tahun 2022; (2) melatih dan meningkatkan kemampuan pegawai pemerintah (termasuk bupati, camat dan lurah) dan para pemimpin LSM setempat serta tokoh-tokoh masyarakat tentang kegiatan-kegiatan
dan
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan
serta
bagaimana pengaruh dan mengaplikasinya di Kabupaten Mimika. Prinsip-prinsip PB perlu mulai diperkenalkan kepada para pelajar SD, SMP, SMA dan PT secara proporsional.
Diharapkan di tahun 2022 sudah banyak masyarakat yang
memahami dan dapat mengaplikasikan PB pada kegiatan pembangunan di Mimika; (3) melatih para pelaku kegiatan ekonomi dan sosial baik yang dimiliki oleh pemerintah dan swasta saat untuk dikembangkan menjaga keberlanjutan ekonomi dan sosial setelah PTFI selesai beroperasi; (4) meningkatkan promosi untuk menarik investasi ekonomi baru non-tambang PTFI untuk menggantikan sepenuhnya sumber pendapatan ekonomi dari PTFI pada SaPeT dan setelahnya; (5) meningkatkan infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial, dan perlindungan lingkungan; dan (6) mewajibkan untuk setiap kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial untuk mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (PB) pada kegiatan operasionalnya dalam rangka melindungi dan melestarikan lingkungan hidup di seluruh wilayah Kabupaten Mimika saat ini dan masa yang akan datang. 10.3.4. Pilihan Kebijakan Empat: Skenario Optimis Aplikasi 2012 Dalam pilihan kebijakan keempat atau skenario kebijakan optimis yang diaplikasikan pada tahun 2012, pengembangan kebijakan dan tujuan-tujuan kebijakan yang ingin dicapai adalah: (1) SDM Mimika
mampu berperan dan
berhasil 50 % mengaplikasikan PB dalam pembangunan; (2) investasi ekonomi baru dari sektor non tambang mampu berkontribusi 50% untuk mendukung keberlanjutan setelah penutupan tambang PTFI; (3) BPPTB telah dibentuk jauh sebelum masa penutupan tambang dan 50% berfungsi; (4) kondisi infrastruktur di Kabupaten
Mimika
memadai
untuk
mendukung
50%
keberlanjutan
pembangunan sampai SaPeT PTFI; dan (5) tidak ada pencemaran lingkungan
256
yang permanen baik berasal dari sisa tambang maupun akibat pembangunan, karena terkelola baik dan berkelanjutan. Implikasi dari hasil penerapan (simulasi) pilihan kebijakan pertama pada sistem penutupan tambang mineral yang berkelanjutan terjadi perubahanperubahan
pada
indikator-indikator
keberlanjutan.
Indikator-indikator
keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan di Kabupaten Mimika yang terpengaruh, adalah sebagai berikut: (1) titik keberlanjutan (NHTMT = NMTR) terjadi pada tahun 2036 atau lima tahun sebelum SaPeT PTFI; (2) terjadi peningkatan jumlah penduduk yang mempunyai jenjang pendidikan perguruan tinggi (PT) sebesar 16,25% pada tahun 2036 (saat tercapai titik keberlanjutan) dibandingkan sebelum skenario ini diterapkan. Pada saat skenario ini belum diterapkan jumlah siswa PT adalah sebesar 32.807 siswa pada tahun 2036 dan jumlah ini meningkat menjadi 21.370 siswa pada saat setelah skenario optimis; (3) terjadi peningkatan kualitas lingkungan sebesar 55,58% pada tercapai titik keberlanjutan (2036) dan peningkatan sebesar 69,68% pada SaPeT PTFI (2041) dibandingkan tanpa penerapan skenario kebijakan ini (Gambar 60a dan 60b); (4) terjadi peningkatan kontribusi dari kegiatan non-tambang PTFI terhadap PDRB dan APBD Kabupaten Mimika baik pada saat tercapai titik keberlanjutan dan pada SaPeT PTFI. Kontribusi PTFI akan menurun pada SaPeT PTFI. Namun, tidak setajam penurunan yang terjadi pada skenario kebijakan pertama dan kedua.
Pada skenario pilihan keempat, PDRB menurun sebanyak 36,10% dan
untuk APBD sebanyak 37,44%; (5) potensi konflik terjadi pada tahun 2025 dan kejadian konflik terjadi pada tahun 2029; dan (6) terjadi peningkatan NHTMT yang tajam sebesar 89,57% pada saat tercapai titik keberlanjutan (2036) dan sebesar 90,13% pada SaPeT PTFI (2041).
Secara rinci perubahan-perubahan
ini dapat dilihat pada Tabel 61 dan Lampiran 19. Sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 60a dan 60b, yang menunjukkan kondisi perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan sebelum dan setelah skenario optimis diaplikasikan pada tahun 2012. Persentase kualitas lingkungan sebelum simulasi aplikasi skenario, seperti tertera pada Gambar 60a menunjukkan penurunan yang sangat tajam, yaitu dari 0,826% di tahun 2002 (data awal penelitian) menjadi 0,144% di tahun 2041 (SaPeT PTFI) atau menurun sebesar 82,57%.
Namun, setelah aplikasi skenario optimis 2012,
seperti tertera pada Gambar 60b menunjukan penurunan yang cukup landai, yaitu dari 0,826% di tahun 2002 menjadi 0.475% di tahun 2041 atau menurun 257
sebesar 42,49%. Skenario ini berhasil menaikkan kualitas lingkungan sebesar 63,92% pada SaPeT PTFI di tahun 2041. Skenario ini berhasil menaikkan kualitas lingkungan sebesar 40,07% pada SaPeT PTFI di tahun 2041. Peningkatan kualitas lingkungan yang paling rendah pada skenario ini dibandingkan ketiga pilihan skenario kebijakan sebelumnya. Sementara itu, pada skenario kebijakan sangat optimis yang diaplikasikan tahun 2012 (pilihan kebijakan pertama) berhasil menaikkan kualitas lingkungan 63,92% atau 23,84% lebih tinggi dari pada kualitas lingkungan pada pilihan skenario kebijakan keempat.
( a). Kondisi sebelum penerapan skenario
(b). Kondisi Setelah penerapan skenario optimis pada tahun 2012 Gambar 60. Perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan di Kab. Mimika sebelum dan setelah skenario optimis 2012
Sama seperti pada ketiga pilihan skenario kebijakan sebelumnya, persentase kualitas lingkungan, baik sebelum dan setelah aplikasi skenario menunjukkan peningkatan perlahan-lahan setelah SaPeT PTFI. Peningkatan ini disebabkan terjadinya proses pemulihan secara alamiah pada daerah-daerah bekas tambang dan daerah operasi lainnya. Penjelasan rincinya seperti pada butir 10.3.1. di 258
atas. Pada skenario ini, perkembangan teknologi penanganan AAB dan tailing juga perlu secara berkala disampaikan kepada PPK. Skenario kebijakan ini akan diterapkan tiga tahun kedepan, yaitu tahun 2012. Berdasarkan hasil analisis ISM pada Tabel 51 di dalam bab ini juga dan analisis situasional di lapangan, kendala-kendala yang ada dan dihadapi oleh PPK di Kabupaten Mimika untuk mencapai tujuan-tujuan berkelanjutan dari skenario kebijakan ini adalah waktu yang sangat singkat untuk mengaplikasikan skenario ini yaitu hanya tiga tahun dari saat ini (2009) menuju 2012. Beberapa kendala lainnya, yaitu sebagai berikut: (1) infrastruktur yang masih jauh dari memadai untuk mendukung kebutuhan pembangunan saat ini dan kedepan. Misalnya transportasi darat (jalan darat) yang belum tersedia antara ibu kota kecamatan dan ibu kota kabupaten serta antar ibu kota kecamatan itu sendiri, terutama terjadi pada ibu kota kecamatan yang letaknya di pedalaman atau jauh dari ibu kota kabupaten baik yang terletak di pesisir pantai maupun yang terletak di dataran tinggi (lebih dari 2500 mdpl). (2) sarana dan prasarana serta akses masyarakat kepada kesehatan dan pendidikan masih rendah, khususnya dialami oleh masyarakat pedalaman.
Misalnya, banyak SD atau SMP yang jumlah
gurunya hanya 3-5 orang saja, termasuk seorang Kepala Sekolah, sehingga kualitas SDM di Mimika masih rendah. Demikian pula, puskesmas banyak yang tidak mempunyai dokter. (3) ketergantungan yang sangat tinggi kepada manfaat dan hasil kegiatan PTFI sebagai satu-satunya sumber pendapatan ekonomi bagi pemerintah dan masyarakat Mimika.
(4) kemampuan PEMDA Mimika dalam
memimpin untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan belum memadai. untuk
PEMDA belum memanfaatkan hasil operasi PTFI secara optimal
menciptakan
kegiatan-kegiatan
pembangunan
yang
mendorong
keberlanjutan ekonomi, sosial, dan perlindungan lingkungan selain yang bersumber dari PTFI.
Selain itu, PEMDA Mimika juga belum memanfaatkan
secara optimal sumber daya manusia atau karyawan PTFI yang berkemampuan baik untuk membantu merumuskan, menciptakan dan mengelola kegiatankegiatan untuk keberlanjutan Mimika setelah PTFI selesai beroperasi. PEMDA Mimika juga belum menyadari sepenuhnya acaman yang akan mengancam keberlanjutan pembangunan Mimika setelah PTFI selesai beroperasi. Sampai saat ini PEMDA belum mempersiapkan apapun terkait penutupan tambang PTFI nantinya. (5) belum adanya sosialisasi RPT perusahaan kepada PPK, khususnya untuk PEMDA dan masyarakat di Mimika. 259
Tabel 61. Persentase peningkatan beberapa aspek dan variabel penting setelah aplikasi pilihan skenario terakhir dibandingkan kondisi semula. No
Aspek dan variabel penting dan strategis yang terpengaruh pada saat skenario sangat optimis diterapkan tahun 2012
A
Aspek Sosial Jumlah penduduk Kontribusi CD PTFI (Kesehatan) Penduduk berdasarkan jenjang pendidikan (Perguruan Tinggi) Potensi dan kejadian konflik Aspek Lingkungan Luasan hutan Pencemaran air Pencemaran udara Degradasi lahan Kualitas lingkungan Aspek Ekonomi
B
C
D
Kontribusi tambang pada PDRB Mimika Kontribusi non-tambang pada PDRB Mimika Kontribusi tambang pada APBDMimika Kontribusi non-tambang pada APBD Mimika Nilai hasil transformasi manfaat tambang (NHTMT)
Satuan setiap variabel
Jiwa Juta rupiah
Nilai perubahan aspek dan variabel kondisi Nilai perubahan aspek dan variabel pada pada saat ini dan saat mencapai titik saat ini dan pada SaPeT PTFI (2041) keberlanjutan (NHTMT = NMTR) Nilai saat NHTMT= Persentase Nilai pada Nilai pada Persentase sebelum NMTR perubahan SaPeT PTFI SaPeT PTFI perubahan aplikasi (2036) setelah sebelum setelah setelah skenario setelah aplikasi aplikasi aplikasi aplikasi (2036) aplikasi skenario skenario skenario skenario skenario (2041) (2041) 383,604 84,520
609,955 84,520
37.11% 0.00%
381,467 68,990
Siswa 32,807 39,174 16.25% 36,308 Potensi konflik terjadi pada tahun 2025 dan kejadian konflik terjadi tahun 2029 Hektar % % % % % % % % Rupiah
706,310 68,990
45.99% 0.00%
45,445
20.11%
1,670,688 0.379 0.1630 0.2230 0.235
1,767,098 0.230 0.0904 0.1500 0.529
5.46% -64.78% -80.31% -48.67% 55.58%
1,565,264 0.411 0.189 0.255 0.144
1,679,642 0.248 0.1050 0.171 0.475
6.81% -65.73% -80.00% -49.12% 69.68%
88.15 11.85 53.52 46.48
72.71 27.23 42.39 57.61
-21.24% 56.48% -26.26% 19.32%
85.25 14.75 47.83 52.17
62.64 37.36 34.80 65.20
-36.10% 60.52% -37.44% 19.98%
89.57% 9.62177E+12 9.74848E+13
90.13%
9.31339E+12 8.92796E+13
260
Padahal keterlibatan PPK pada proses perencanaan penutupan tambang dan pembuatan keputusan merupakan salah satu faktor penentu adanya keberlanjutan-keberlanjutan manfaat tambang yang saat ini dirasakan sampai setelah operasi tambang selesai (AGDITR, 2006). Absennya keterlibatan PPK merupakan salah satu pemicu terjadinya konflik di hampir semua daerah pertambangan.
Pada simulasi penerapan skenario ini, konflik paling cepat
terjadi, yaitu pada tahun 2029 atau 22 tahun sebelum SaPeT PTFI. Dokumen RPT yang saat ini sedang dipersiapkan oleh PTFI baru disosialisasikan secara terbatas di dalam perusahaan. Skenario ini merupakan skenario kebijakan yang sangat berat untuk dilaksanakan mengingat kondisi dan situasi di Mimika saat ini serta kendalakendala yang telah disebutkan di atas. Apalagi harus diterapkan pada tahun 2012 atau tiga tahun kedepan. Oleh karena itu, tindakan-tindakan strategis yang harus dilaksanakan oleh PPK untuk mencapai tujuan-tujuan berkelanjutan pada SaPeT PTFI di dalam skenario kebijakan ini adalah hampir sama dengan pilihan skenario pertama, yaitu sebagai berikut: (1) membentuk BPPTB paling lambat pada tahun 2010 dan telah berfungsi 100 % pada tahun 2012 dalam mengkoordinasikan
perencanaan
dan
pengelolaan
kegiatan-kegiatan
pembangunan menuju tercapainya titik keberlanjutan pada tahun 2021; (2) melatih dan meningkatkan kemampuan pegawai pemerintah (termasuk bupati, camat dan lurah) dan para pemimpin LSM setempat serta tokoh-tokoh masyarakat
tentang
kegiatan-kegiatan
dan
prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan serta bagaimana pengaruh dan mengaplikasinya di Kabupaten Mimika; (3) menyeleksi dan meningkatkan kinerja usaha-usaha ekonomi yang dilakukan masyarakat Mimika saat ini serta
terindikasi dapat mendorong
terjadinya keberlanjutan ekonomi dan sosial setelah PTFI selesai beroperasi; (4) meningkatkan investasi ekonomi baru non-tambang PTFI untuk menggantikan sepenuhnya sumber pendapatan ekonomi dari PTFI pada SaPeT dan setelahnya. Misalnya pengembangan industri tepung sagu mengingat Mimika mempunyai kebun sagu alami yang luas di Papua. Juga pengembangan industri perikanan, mengingat potensi yang terkelola saat ini baru dibawah 5%; (5) meningkatkan akses masyarakat dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang mendorong keberlanjutan ekonomi, sosial, dan perlindungan lingkungan melalui peningkatan dan perbaikan secara terus menerus infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ketiga aspek tersebut; dan (6)
mewajibkan
untuk
setiap
kegiatan-kegiatan
ekonomi
dan
sosial
untuk
mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (PB) pada kegiatan operasionalnya dalam rangka melindungi dan melestarikan lingkungan hidup di seluruh wilayah Kabupaten Mimika saat ini dan masa yang akan datang melalui penerapan produksi bersih, peningkatan partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan, pemberlakukan dengan ketat IPAL pada setiap kegiatan, dan lainnya. Program penanganan AAB dan tailing harus secara terus menerus dikembangkan dan hasilnya disosialisasikan kepada PPK secara berkala dan wajar.
Gambar 61. Perkembangan kontribusi PTFI dan sektor lain pada APBD Kab. Mimika sebelum dan setelah setiap skenario diterapkan Gambar 61 menunjukkan perkembangan kontribusi PTFI dan peningkatan sektor lain pada APBD Kabupaten Mimika pada saat ini, menjelang, dan SaPeT PTFI sebelum dan setelah aplikasi skenario.
Pada saat sebelum aplikasi 262
skenario atau apabila kondisi saat dibiarkan terjadi sampai SaPeT PTFI maka kontribusi sektor lain tidak dapat menggantikan kontribusi PTFI yang telah berakhir padapenutupan tambangnya.
Pada aplikasi skenario sangat optimis
(SSO) 2012, kontribusi sektor lain pada APBD Mimika terus meningkat dan memotong atau dapat menggantikan kontribusi PTFI yang menurun pada tahun 2021 atau 20 tahun sebelum masa penutupan tambang PTFI tiba. Demikian juga untuk SS0 yang diaplikasikan pada tahun 2017 dan 2022, sektor lain akan menggantikan kontribusi PTFI pada APBD Mimika pada tahun 2028 dan 2036. 10.4.
Operasionalisasi Arahan Kebijakan Penutupan Tambang Mineral Berkelanjutan Keempat pilihan skenario tersebut perlu dijabarkan pada kegiatan-
kegiatan yang bersifat lebih operasional yang dimaksudkan agar PPK di Kabupaten Mimika lebih mudah untuk menterjemahkan kedalam kegiatan program-program pembangunannya menuju keberlanjutan pembangunan dan kehidupan masyarakat di Kabupaten Mimika semasa PTFI masih beroperasi dan pada saat penutupan tambang serta setelahnya. Penjabaran operasional dari keempat pilihan skenario kebijakan tersebut berdasarkan
kelima faktor
penggerak kunci dengan asumsi mengesampingkan kelima waktu skenario yang ada, adalah sebagai berikut:
a. Peningkatan kualitas SDM Mimika, dapat dicapai melalui kegiatankegiatan sebagai berikut:
Menyeleksi SDM Mimika yang berpendidikan minimal diploma baik dari kalangan masyarakat (LSM), industri/swasta, dan PEMDA untuk diberikan pengetahuan dan keterampilan tentang prinsip-prinsip PB dan bagaimana mengaplikasikannya.
Menambah pengetahuan dan keterampilan para pejabat PEMDA (mulai lurah, camat, bupati, kepala dinas, dll), tokoh agama dan adat, pejabat dikalangan swasta tentang prinsip-prinsip PB dan bagaimana mengaplikasikannya.
Melatih SDM Mimika secara khusus pengetahuan dan keterampilan terkait dengan kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial, lingkungan yang berkelanjutan untuk menciptakan keberlanjutan di Kabupaten Mimika sebelum penutupan tambang PTFI tiba. 263
Meningkatkan alokasi dana pengembangan SDM Mimika dengan fokus mempersiapkan SDM handal untuk membangun Mimika masa kini dan masa yang akan datang secara berkelanjutan.
Sesegera mungkin memperbaiki dan meningkatkan sarana prasarana pendidikan mulai jenjang SD sampai SLTA khususnya yang berada di pedalaman-pedalaman jauh dari Kota Timika.
Meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan dan fungsi pelayanan publik lainnya diseluruh pelosok pedalaman Mimika.
b. Peningkatan investasi ekonomi baru Mimika, dapat dicapai melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
Menyeleksi dan meningkatkan kemampuan dan permodalan UKMUKM yang saat ini beroperasi di wilayah Mimika serta mempunyai pasar selain ke PTFI agar mampu berkontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi Mimika non-PTFI.
Pelatihan tentang bisnis
berkelanjutan sangat diperlukan.
Melakukan promosi potensi SDA dan kebudayaan Mimika yang dapat dikembangkan dan menarik untuk dikelola oleh investor baru.
Melatih para pegawai PEMDA yang terkait untuk unggul dalam negosiasi dan dealing bisnis dengan pelaku bisnis nasional bahkan internasional
sehingga
menguntungkan
Mimika
secara
berkesinambungan.
Menyiapkan dan memberlakukan
Peraturan Daerah (Perda) yang
akomodatif, selaras dengan tujuan-tujuan PB, dan mampu mendorong peningkatan adanya investasi ekonomi baru.
Mengembangkan dan meningkatkan pendapatan ekonomi yang berasal dari SDA ungulan Mimika yang mempunyai pasar saat ini dan masa
depan.
Seperti:
penjualan
kepiting
ke
luar
Mimika,
pembangunan pabrik tepung sagu, pabrik tepung ikan, dan bahan olahan dari ikan.
Memberlakukan
untuk
menginternalisasikan
biaya
eksternalitas
pelaku bisnis baik yang berbasiskan SDA maupun yang tidak. Dengan kata lain semua pelaku bisnis harus memasukkan biaya sosial dan perlindungan lingkungan.
264
c. Pembentukan Badan Pengelola Penutupan Tambang Berkelanjutan (BPPTB), dapat dicapai melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
Mengadakan
lokakarya
mempersiapkan
dengan
menghadapi
peserta
penutupan
seluruh tambang
PPK PTFI
untuk dan
pembentukan BPPTB.
Membuat payung hukum untuk BPPTB yang berisi peran dan fungsi, tugas, tanggungjawab dan kewenangan, keanggotaan, dan sumber pendanaan kegiatannya.
d. Peningkatan ketersediaan infrastruktur, dapat dicapai melalui kegiatankegiatan sebagai berikut:
Meningkatkan
infrastruktur
yang
memudahkan
hubungan
dan
komunikasi antara desa-desa di pedalaman dengan tetangganya dan kota Timika.
Meningkatkan infrastruktur yang dibutuhkan untuk mengelola SDA unggulan yang telah mempunyai pasar untuk masa kini dan mengantisipasi kebutuhan masa depan.
Meningkatkan infrastruktur yang dibutuhkan untuk meningkatkan aktifitas pemasaran produk-produk asli Mimika keluar Mimika bahkan ke luar negeri.
Meningkatkan infrastruktur publik yang mendukung peningkatan kualitas sosial masyarakat secara berkelanjutan.
e. Peningkatan perlindungan dan pelestarian lingkungan, dapat dicapai melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
Pengembangan teknologi untuk penanganan limbah pertambangan (AAB dan tailing) serta limbah-limbah kegiatan lain di wilayah Mimika untuk menjaga kemampuan jasa lingkungannya secara jangka pendek dan jangka panjang.
Mengembangkan
dan
produksi
pada
bersih
memberlakukan semua
penerapan
kegiatan
yang
teknik-teknik
dilakukan
oleh
pemerintah, swasta, dan masyarakat secara wajar dan proporsional.
Mengembangkan teknik budidaya berkelanjutan, produksi lestari dan pengelolaan
berkelanjutan
(termasuk
panen)
bagi
komoditas-
265
komoditas
hasil
pertanian,
perikanan,
dan
perkebunan
serta
kehutanan.
Menjaga dan meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup
secara
terus-menerus
untuk
mendukung
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. 10.5.
Disain Sistem Generik Penutupan Tambang Berkelanjutan dan Penerapannya. Berdasarkan pemahaman terhadap pengertian-pengertian disain sistem
yang dinyatakan oleh Walls et al. (2001), dan Stokes dan Carr-Chellman (2006) serta hasil penelitian pada studi kasus RPT PTFI maka “Disain Sistem Penutupan Tambang Berkelanjutan (DSPTB)” dapat dirangkum dan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut: a. Tujuan akhir (goals) yang akan dicapai. Tujuan akhir yang hendak dicapai dari DSPTB adalah terciptanya keberlanjutan pembangunan dan kehidupan masyarakat setempat pada saat tambang masih beroperasi, saat penutupan dan setelah pasca tambang. b. Arahan kebijakan untuk mencapai tujuan akhir. Arahan kebijakannya, antara lain: (1) Perencanaan terpadu pembangunan daerah dengan mengoptimalkan penggunaan SDA unggulan, terutama SDA yang dapat diperbarui (sektor non tambang) dan dilakukan sejak dini atau jauh sebelum masa penutupan tambang tiba; (2) Peningkatan pertumbuhan dan kontribusi sektor lain (non-tambang) pada pertumbuhan dan sumber pendapatan ekonomi daerah semasa tambang masih beroperasi dengan menggunakan secara optimal kontribusi dari hasil tambang; dan (3) Peningkatan pembangunan dan peranan serta kontribusi dari sektor-sektor yang menjadi faktor-faktor penggerak kunci sistem penutupan tambang berkelanjutan yang telah teridentifikasi untuk keberlanjutan pembangunan daerah. c. Tindakan-tindakan strategis yang perlu dilakukan. strategis yang perlu dilakukan, antara lain:
Tindakan-tindakan
(1) Memadukan dan
mensinkronisasikan perencanaan pembangunan dan pertumbuhan daerah dengan siklus hidup tambang secara keseluruhan (sejak eksploirasi, studi kelayakan, operasi, penutupan dan pasca tambang), terutama pada daerah266
daerah dimana kontribusi hasil tambangnya sangat besar; (2) Meningkatkan dan mengembangkan kegiatan ekonomi yang berbasiskan SDA unggulan yang dapat diperbarui dimulai sejak awal tambang beroperasi sebagai sumber pengganti pendapatan ekonomi daerah yang sebagian besar atau hampir semuanya berasal dari sektor pertambangan; (3) Identifikasi dan membangun serta mengembangkan secara dini kegiatan-kegiatan yang menjadi
faktor-faktor
penggerak
kunci
sistem
penutupan
tambang
berkelanjutan; (4) meningkatkan kemampuan dan keterampilan SDM daerah (pegawai dan pejabat PEMDA dan masyarakat setempat yang terseleksi) dalam hal pemahaman prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (PB) dan penerapannya pada kegiatan pembangunan daerah, khususnya yang terkait bagaimana untuk mencapai tujuan-tujuan penutupan tambang berkelanjutan dan tujuan-tujuan PB pada umumnya; (5) Merancang ulang alokasi dana pembangunan
daerah baik yang berasal dari PEMDA dan dana
pengembangan masyarakat dari perusahan tambang serta pihak lainnya untuk
difokuskan
pada
kegiatan
pembangunan
masyarakat yang menumbuh kembangkan
dan
pengembangan
kegiatan-kegiatan ekonomi
berbasis SDA dapat diperbaharui dengan tujuan pasar lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan selain perusahaan tambang; (6) Membentuk dan mengelola dana abadi untuk menjamin kebutuhan dan menggantikan dana pengembangan sosial yang pada saat tambang beroperasi berasal dari atau diberikan
oleh
perusahaan
tambang;
(7)
Meningkatkan
kapasitas
kelembagaan lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga milik masyarakat serta membentuk sebuah badan pengelola penutupan tambang berkelanjutan yang keanggotaannya berasal dari perwakilan semua unsur PPK; (8) Menjaga dan meningkatkan kemampuan daya dukung dan daya tampung
lingkungan
hidup
secara
terus-menerus
untuk
mendukung
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian lingkungan serta penerapan prinsip-prinsip PB pada seluruh kegiatan
ekonomi
dan
sosial
yang
sedang
berlansung;
dan
(9)
Mengoptimalkan penggunaan potensi wilayah daerah sebagai sektor pengganti sumber ekonomi yang perlu dikembangkan untuk menentukan arah transformasi yang lebih tepat dan spesifik.
267
d. Bentuk model “DSPTB”.
Bentuk model disain sistem ini dibangun dari
komponen-komponen utama, sebagai berikut: 1. Nilai Hasil Transformasi Manfaat Tambang (NHTMT).
Sebuah nilai
menggambarkan hasil dari manfaat tambang (dari bahan tambang) yang ditransformasikan pada kegiatan-kegiatan pembangunan dan hasil kontribusi perusahaan tambang pada pendapatan daerah, provinsi, dan negara serta masyarakat.
2. Nilai Manfaat Tambang Rata-Rata (NMTR ). NMTR merupakan nilai relatif hasil rata-rata manfaat tambang yang dihasilkan dari bahan tambang selama tambang dioperasikan.
3. Nilai Manfaat Tambang (NMT). NMT merupakan nilai dari keseluruhan manfaat tambang yang berasal dari bahan tambang yang diproduksi selama tambang
dioperasikan.
Persamaan model disain sistem penutupan tambang berkelanjutan yang menggambarkan hubungan antara NMT, NMTR, dan NHTMT adalah sebagai berikut:
MT NHTMT PHTMT HTMT
= (ProdTam*FPR*Penambangan)*Kurs = +dt*PHTMT = FPHTMT*NHTMT = Inc_Masy_DPTFI+ TKPMi+ TKPN+ TKPPa + KCDAg+ KCDKes+ KCDPend+ KCDPr+ KCDPU
KCDPerum+
Dimana : MT= Manfaat Tambang (Rupiah) ProdTam = Jumlah total bahan tambang yang telah dieksploitasi (ton/tahun) FPR= Konstanta produksi tambang Penambangan= Jumlah eksploitasi bahan tambang (ton/tahun) NHTMT= Nilai hasil transformasi manfaat tambang (Rupiah) PHTMT = Laju pertumbuhan hasil transformasi manfaat tambang (Rupiah) FPHTMT = Fraksi pertumbuhan hasil transformasi manfaat tambang (%) Rt2MT = Rata-rata manfaat tambang (rupiah) KCDAg = kontribusi CD bidang agama (rupiah) KCDKes = kontribusi CD bidang kesehatan (rupiah) KCDPend = kontribusi CD bidang pendidikan (rupiah) KCDPerum = kontribusi CD bidang perumahan (rupiah) KCDPr = kontribusi CD bidang pertanian (rupiah) KCDPU= kontribusi CD bidang pengembangan usaha (rupiah) TKPMi = total kontribusi PTFI terhadap pendapatan Mimika (rupiah) TKPN = total kontribusi PTFI terhadap pendapatan nasional (rupiah) TKPPa = total kontribusi PTFI terhadap pendapatan Papua (rupiah) Inc_Masy_DPTFI = pendapatan masyarakat dengan keberadaan PTFI (rupiah)
Apabila persamaan model tersebut di atas dimasukkan data-data yang dibutuhkan atau data dari daerah tambang lain maka akan terbentuk model disain sistem penutupan tambang berkelanjutan seperti tertera pada Gambar 62. Keberlanjutan terjadi apabila garis NHTMT memotong
dan melampaui garis 268
NMTR yang terjadi sebelum masa penutupan tambang tiba. Pada Gambar 62, keberlanjutan terjadi setelah penerapan skenario. Pada saat sebelum penerapan skenario keberlanjutan tidak terjadi, karena garis NHTMT yang dihasilkan masih berada di bawah atau tidak memotong garis NMTR. Kelihatannya daerah-daerah yang mempunyai ketergantungan yang tinggi pada pertambangan keberlanjutan akan sulit untuk terjadi apabila manfaat tambang yang dihasilkan saat tambang masih beroperasi tidak ditransformasikan pada kegiatan-kegiatan pembangunan yang dapat menjamin keberlanjutan manfaat sosial dan ekonomi seperti yang dirasakan pada saat tambang masih beroperasi.
Gambar 62. Model umum disain sistem penutupan tambang berkelanjutan Model umum DSPTB ini dapat diterapkan di daerah-daerah lain yang mempunyai ketergantungan yang cukup tinggi pada
pertambangan dengan
melakukan penyesuaian pada variabel-variabel penyusun model, khususnya variabel penyusun NHTMT. Model ini dihasilkan dari analisis sistem dinamik dengan mendapat data dan informasi dari hasil analisis ISM, analisis Faktor Resiko Penutupan, analisis kebutuhan PPK, dan analisis MPE. Secara ringkas bagaimana proses penyusunan DSPTB diterangkan pada Tabel 62.
Matriks
penyusunan DSPTB ini didasarkan dan dikembangkan dari hasil penelitian pada kasus RPT PTFI, dimana ketergantungan Mimika sangat tinggi pada hasil pertambangan dan mempunyai variabel penyusun model yang komplek. 269
Tabel 62. Matriks proses penyusunan disain sistem penutupan tambang berkelanjutan Tahapan Komponen-Komponen Penutupan Tambang Pekerjaan Berkelanjutan
Proses-Proses Penyusunan Disain Penutupan Tambang Berkelanjutan (Disain Metode) Alat Analisis yang direkomendasikan
Enam faktor utama resiko penutupan tambang dari Laurence ( 2001; 2006)
Tahap Pertama
Analisis Faktor Resiko Penutupan (hasil wawancara dengan beberapa pakar di perusahaan tambang dan PEMDA setempat) Analisis Kebutuhan PPK (hasil wawancara Faktor-faktor penting dan strategis dengan PPK pertambangan, terutama menurut PPK (stakeholders) masyarakat setempat) Kondisi awal variabel-variabel penting pada aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan
Tahap Kedua
Tahap Ketiga
Tahap Keempat
Tahap Terakhir
Analisis Situasional dan Kondisi Awal Lapangan (Laporan RKL dan RPL, Laporan pembangunan dari Kabupaten, Data sekunder dan primer lainnya)
Kegiatan analisis yang dilakukan
Produk-Produk Disain Penutupan Tambang Berkelanjutan (Tujuan Akhir)
Identifikasi faktor-faktor resiko penutupan tambang yang mungkin muncul dan tingkat konsekuensinya
Faktor-faktor resiko penutupan tambang untuk daerah yang dimaksud (daerah dimana tambang beroperasi)
Identifikasi faktor penting dan strategis menurut PPK (Para Pemangku Kepentingan atau stakeholders)
Faktor-faktor penting dan strategis yang dibutuhkan dalam penutupan tambang menurut PPK
Identifikasi variabel-variabel yang berpengaruh dan dibutuhkan dalam menyusun sistem penutupan tambang
Variabel-variabel penyusun model DSPTB (Disain Sistem Penutupan Tambang Berkelanjutan)
Faktor-faktor resiko penutupan tambang
Analisis dengan menggunakan MPE Melakukan pembobotan terhadap semua faktor (Metode Perbandingan Eksponential). resiko penutupan dan faktor penting/strategis Faktor-faktor penting dan strategis Kriteria yang dipakai: efektifitas, keseriusan menurut PPK pengaruh, dan pengaruh pada keberlanjutan menurut PPK Indikator-indikator keberlanjutan untuk aspek ekonomi, sosial dan lingkungan bagi daerah yang dimaksud
Variabel-variabel penyusun model DSPTB
Faktor-faktor penggerak kunci penutupan tambang berkelanjutan Variabel-variabel penyusun model DSPTB
Indikator-indikator keberlanjutan untuk aspek ekonomi, sosial dan lingkungan bagi daerah yang dimaksud.
Analisis ISM (Interpretative Structural Modeling) dengan melakukan wawancara pakar.
Identifikasi elemen-elemen program terkait membangun DSPTB; Menyusun sub elemen Faktor-faktor penggerak kunci untuk setiap elemen program; Menyusun matriks penutupan tambang berkelanjutan untuk Driver Power-Dependence dan diagram model daerah yang dimaksud ISM untuk setiap elemen program
Analisis sistem dinamik
Model DSPTB untuk kondisi saat ini atau kondisi eksisting. Melakukan simulasi sistem untuk kondisi saat ini Catatan: Apabila keberlanjutan (NHTMT= atau > NMTR) tidak ditemui, proses dilanjutkan ke tahap berikutnya
Analisis sistem dinamik dan analisis sintesis
Melakukan simulasi sistem untuk mendapatkan skenario-skenario penutupan tambang berkelanjutan dengan menggunakan faktorfaktor penggerak kunci
Model DSPTB dengan dilengkapi beberapa skenario kebijakan
BAB XI. KESIMPULAN DAN SARAN
11.1. Kesimpulan Disain sistem penutupan tambang mineral berkelanjutan yang tersusun menghasilkan empat skenario menuju
keberlanjutan pembangunan dan
kehidupan masyarakat di Kabupaten Mimika pada SaPeT PTFI, yang ditunjukkan oleh Nilai Hasil Transformasi Manfaat Tambang (NHTMT) dikurangi Nilai Manfaat Tambang Rata-Rata (NMTR) bernilai positif dan titik keberlanjutannya tercapai pada saat sebelum masa penutupan tambang PTFI tiba. Sesuai dengan rincian tujuan penelitian dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Indikator-indikator keberlanjutan bagi penutupan tambang PTFI berkelanjutan adalah: a.
Indikator keberlanjutan aspek lingkungan, meliputi: minimisasi beban abadi pada lingkungan, pembentukan lahan akhir, perlindungan pada ekosistem
dan
manusia,
penanganan
lingkungan
hidup
secara
keseluruhan di wilayah Mimika, konservasi dan peningkatan sumberdaya alam, ketersediaan teknologi penutupan dan penanganan tailing. b.
Indikator keberlanjutan aspek sosial, meliputi: pelayanan kesehatan dan pendidikan, peningkatan kualitas SDM, pemulihan hak masyarakat dalam
mengorganisasikan,
pengembangan
peningkatan keterampilan kerja, pembentukan
budaya
setempat,
lembaga atau forum
penutupan tambang, ketersediaan hukum dan regulasi penutupan tambang, tersedianya dana abadi, dan kesehatan dan keamanan sosial. c.
Indikator keberlanjutan aspek ekonomi, meliputi: keberadaan pasar untuk produk-produk lokal, jumlah kegiatan ekonomi di Mimika yang tujuan pasarnya selain ke PTFI, pembangunan sumber ekonomi lain selain pertambangan PTFI, jumlah tujuan pasar produk sektor selain tambang ke luar Mimika (nasional atau internasional), pengembangan lembaga keuangan di masyarakat, distribusi pendapatan masyarakat, kontribusi sumber ekonomi selain tambang pada PDRB, peningkatan iklim investasi, ketersediaan biaya penutupan, dan perkembangan pemasok barang dan jasa.
2. Faktor-faktor penggerak kunci penutupan tambang PTFI berkelanjutan adalah: kualitas manusia (SDM), kemampuan pemda Mimika dalam memimpin, investasi ekonomi baru, Badan Pengelola Penutupan Tambang Berkelanjutan (BPPTB), infrastruktur yang memadai, perlindungan dan pelestarian lingkungan,
sosialisasi RPT (rencana penutupan tambang),
kontribusi sosial & ekonomi PTFI, dan pemasok barang dan jasa, dan dana abadi. 3. Faktor-faktor kunci penentu keberhasilan penutupan tambang berkelanjutan adalah: kelembagaan, teknologi penutupan tambang, kebijakan pemerintah, ketersediaan SDM, keterlibatan para pemangku kepentingan (PPK atau stakeholders)dan memenuhi ekspektasi, infrastruktur, ketersediaan dana, kesehatan
dan
keamanan
masyarakatnya,
memenuhi
tujuan-tujuan
penggunaan lahan pasca tambang, dan indikator-indikator khusus setempat. 4. Komponen-komponen yang paling dominan dalam perencanaan penutupan tambang berkelanjutan adalah: a. Pada level Aktor adalah pemerintah. b. Pada level aspek adalah aspek ekonomi. c. Pada level faktor dalah kualitas SDM. d. Pada level tujuan adalah tujuan keberlanjutan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. e. Pada level alternatif kebijakan adalah kebijakan perencanaan terpadu berdasarkan SDA unggulan sejak dini. 5. Ada
empat
pilihan
skenario
kebijakan
penutupan
tambang
PTFI
berkelanjutan untuk menuju keberlanjutan pembangunan dan keberadaan masyarakat di Kabupaten Mimika pada SaPeT PTFI, yaitu: a. Pilihan Kebijakan Pertama: Skenario Sangat Optimis Aplikasi 2012. b. Pilihan Kebijakan Kedua: Skenario Sangat Optimis Aplikasi 2017. c. Pilihan Kebijakan Ketiga: Skenario Sangat Optimis Aplikasi 2022. d. Pilihan Kebijakan Empat: Skenario Optimis Aplikasi 2012. Pilihan Kebijakan Kedua: Skenario Sangat Optimis Aplikasi 2017 merupakan pilihan skenario yang terbaik dan tepat untuk segera diimplementasikan serta tidak terlalu “memberatkan” PPK di Kabupaten Mimika. Pada skenario kebijakan ini titik keberlanjutan dicapai pada tahun 2028 atau 13 tahun sebelum SaPeT PTFI tiba.
272
11.2. Saran Berdasarkan hasil dan kesimpulan yang diperoleh, beberapa saran yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Untuk menciptakan keberlanjutan manfaat sosial, ekonomi, dan perlindungan lingkungan setelah masa penutupan dan pasca tambang maka disarankan agar sistem penutupan tambang berkelanjutan harus menjadi satu siklus hidup dalam sistem tambang. 2. Untuk mengkoordinasikan perencanaan dan pengelolaan kegiatan-kegiatan pembangunan menuju tercapainya titik keberlanjutan sebelum SaPeT PTFI tiba disarankan agar: a. Pemerintah Provinsi Papua melakukan percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi pada kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Papua untuk menciptakan pusat pertumbuhan baru selain PTFI dan mengurangi beban pembangunan dari PEMDA Mimika karena banyaknya penduduk masuk ke Mimika dari kabupaten lain. b. PEMDA Mimika membentuk Badan Pengelola Penutupan Tambang Berkelanjutan (BPPTB); mengalokasikan dana hasil tambang PTFI saat ini
untuk
diinvestasikan
dalam
meningkatkan
kualitas
SDM,
pembangunan infrastruktur, membangun sumber ekonomi baru, dan meningkatkan kegiatan perlindungan serta pelestarian lingkungan; melatih SDM PEMDA Mimika dan tokoh masyarakat yang terseleksi tentang pengetahuan dan keterampilan dalam membangun kegiatan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berkelanjutan; dan membentuk dana abadi untuk dimanfaatkan setelah operasi tambang PTFI selesai. c. PTFI perlu mendisain ulang pengelolaan program pengembangan masyarakat (PM) atau CSR-nya (termasuk dana abadi yang telah dibentuk) untuk mempercepat terjadinya kemandirian ekonomi dan sosial dari masyarakat peserta program; memperbesar persentase alokasi dana CSR pada kegiatan-kegiatan ekonomi yang mempunyai tujuan pasar selain ke PTFI dan berbasiskan SDA yang dapat diperbarui; dan terus meningkatkan pengembangan dan kemampuan teknologi penanganan AAB (air asam batuan) dan tailing. d. LPMAK perlu mendisain ulang program kesehatan gratis yang diberikan melalui
RSMM
dan
RSWB
untuk
menciptakan
keberlanjutan
pelayanannya; meningkatkan kualitas penerima program beasiswa dan 273
diprioritaskan untuk menciptakan SDM yang dapat berperan pada pembangunan Mimika kedepan;
meningkatkan dan memfokuskan
pengembangan ekonomi kerakyatan yang berbasiskan SDA unggulan yang dapat diperbaharui dan yang mempunyai tujuan pasar di luar PTFI atau
di
luar
Mimika;
dan
memadukan
dan
mensinkronisasikan
perencanaan dan pengelolaan program dengan masa operasi PTFI. 3. Untuk
mempercepat
keberadaan
pencapaian
masyarakat
di
keberlanjutan
Kabupaten
Mimika,
pembangunan
dan
disarankan
perlu
memfokuskan arah transformasi manfaat tambang pada pengembangan industri yang bertumpu pada komoditas unggulan dan berbasis SDA yang dapat diperbarui, seperti: industri tepung sagu, industri perikanan (ikan barramundi, sirip ikan hiu, kepiting mangrove, dan ikan unggulan lainnya), industri kehutanan, dan industri pariwisata alam.
Sebaiknya dihindari
konversi hutan hujan tropis yang ada dengan tanaman kelapa sawit. 4. Untuk memberikan data empiris dalam mendukung penerapan skenario kebijakan penutupan tambang berkelanjutan yang dipilih sebaiknya perlu dilakukan studi kelayakan atau evaluasi potensi wilayah secara rinci dalam rangka
mengetahui kontribusi ekonomi dari masing-masing sektor yang
terpilih sebagai sumber ekonomi baru pengganti pendapatan dari hasil tambang. 5. Untuk sektor lainnya seperti peningkatan kualitas SDM, infrastruktur, dan kegiatan perlindungan serta pelestarian lingkungan dalam mendukung penerapan skenario terpilih disarankan perlu dilakukan analisis gap, analisis kebutuhan, dan analisis potensi sumberdaya secara rinci untuk masing masing sektor tersebut. 6. Untuk dapat menjamin keberlanjutan pembangunan dan keberadaan masyarakat setempat setelah penutupan dan pasca tambang disarankan bagi daerah yang mempunyai SDA sedang ditambang saat ini, perlu disusun dokumen:”Disain Sistem Penutupan Tambang Berkelanjutan (DSPTB)”, melengkapi dokumen RPT yang sudah ada. Model DSPTB yang dihasilkan dari penelitian ini dapat diaplikasikan di daerah-daerah lain yang mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi pada hasil tambang. 7. Penelitian
yang
serupa
disarankan
dilakukan
pada
daerah-daerah
penambangan yang mempunyai kontribusi kepada pendapatan ekonomi daerah yang berbeda-beda. 274
DAFTAR PUSTAKA
Achterkamp, M.C. and Vos, J.F.J. 2007. Critically identifying stakeholders evaluating boundary critique as a vehicle for stakeholder identification. J. Systems Research and Behavioral Science 24 (1): 3 – 14. [AGDITR] The Australian Government Department of Industry Tourism and Resource. 2006a. Mine closure and completion. Leading Practice Sustainable Development Program for the Mining Industry. Australia. ____________. 2006b. Managing acid and metalliferous drainage handbook. Draft6 October 2006b. Leading Practice Sustainable Development Program for the Mining Industry. The Australian Government Department of Industry, Tourism and Resource. Australia. [ANZMEC] Australia and New Zealand Minerals and Energy Council and [MCA] the Mineral Council of Australia. 2000. Strategic framework for mine closure. Canberra. Azapagic, A. 2004. Developing a framework for sustainable development indicators for the mining and minerals industry. Journal of Cleaner Production 12 (6): 639 – 662. Azapagic, A. and Perdan, S. 2005. An integrated sustainability decision-support framework Part I: Problem structuring. International Journal of Sustainable Development & World Ecology 12: 98-111. Balkau, F. 1998. Environmental issues in tailings management. Case Studies on Tailing Management. International Council on Metals and The Environmental (ICME), and United Nations Environment Programme (UNEP). Canada and France. Bank Dunia. 2002. Mengundang investasi baru dalam bidang pertambangan. http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication [19 Oktober 2006]. Basri, M.C. 2007. Kondisi makro ekonomi dan kaitannya dengan sektor pertambangan dan perekonomian daerah. Dalam: UNCEN, UNIPA dan LPEM FEUI. Prosiding Seminar Sehari Peran Sektor Pengelolaan Sumberdaya Alam Bagi Pembangunan Nasional di Papua: Kajian Sosial, Ekonomi dan Lingkungan. Studi Kasus PT Freeport Indonesia; Jayapura, 18 Juni 2007. Indonesia: UNCEN, UNIPA dan LPEM FEUI hlm 30 - 40. Batista, E. 2000. Managing sustainable development in competitive legal framewaork for mining: Argentina, Chile, and Peru experiences. CEPMLP Internet Journal 12:3. http://www.dundee. ac.uk/cepmlp/journal/html/vol12/vol11-3.html [13 November 2006].
275
Bergeron, P. 2002. Investment in mining Asia the triple bottom line challenge and opportunity. Proceeding of the OECD Global Forum on International Investment; Paris, 7- 8 February 2002. France: Regional Institute of Environmental Technology. Brandy, A. 2005. The Sustainability Effect: Rethinking Corporate Reputation in the 21st Century. Hampshire, New York: Palgrave Macmillan. Burke, G. 2006. Opportunities for environmental management in the mining sector in Asia (abstract). The Journal of Environment & Development 15 (2): 224 – 235. Cesare, P. and Maxwell, P. 2003. Mine closure legislation in Indonesia: The role of mineral industry involvement. Natural Resources Forum 27: 42 – 52. CCC [Chilean Copper Commission] and [UNEP] United Nations Environment Programme. 2001. Abandoned mines: problems, issues and policy challenges for decision maker. Proceeding of Workshop on Abandoned Mines; Santiago, 18 June. Chile. Chown, D. and Hoffman, B. 2004. Pioneering new approaches in support of sustainable development in the extractive sector: guidelines for sustainable development assessments. International Council on Mining and Mineral, and World Bank. Davis, G.A. and Tilton, J.E. 2002. Should developing countries renounce mining? A perspective on the debate: http://www.icmm.com /uploads/62TiltonDavisfinalversion.pdf#search= 'Should%20developing %20countries%20renounce %20mining%3F%20A %20perspective%20on %20the%20debate. [19 Oktober 2006]. Eriyatno dan Sofyan, F. 2006. Riset Kebijakan Metode Penelitian untuk Pasca Sarjana. Bogor: IPB PRESS. [ESMAP] Energy Sector Management Assistance Program, World Bank, and ICMM [International Council on Mining and Metal]. 2005. Community Development toolkit. London. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum. Fauzi, A. dan Anna, S. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum. Geerlings, H., Klementchitz, R. and Mulley, C. 2006. Development of a methodology for benchmarking public transportation organizations: a practical tool based on an industry sound methodology. Journal of Cleaner Production 14 (2): 113 - 123.
276
Godet, M. and Roubelat, F. 1996. Creating the future: The use and misuse of scenarios. Long Range Planning 29 (2): 164-171. [GRI] Global Reporting Initiative. 2006. Sustainability Reporting Guildelines. Collaborating Centre of the UNEP: www.globalreporting.org [31 Maret 2006]. Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP, Bogor. Harris, J.M. 2000. Basic principles of sustainable development. Global Development and Environmental Institute, Tuft University, Medford, MA., USA. Hartwick, J.M. and Olewiler, N.D. 1998. The economics of natural resource use. USA: Addison-Wesley Educational Publishers, Inc. Hoskin, W. 2002. Mine closure – the 21st century approach avoiding future abandoned mines. CEPMLP Internet Journal 12:10. http://r0.unctad.org/infocomm/diversification/cape/pdf/otto.pdf#search [19 Oktober 2006]. Humphreys, D. 2001. Sustainable development: can the mining industry afford it? Resources Policy 27(1): 1 – 7. Humphreys, M., Sachs, J.D. and Stiglitz, J.E. 2007. Berkelit dari kutukan sumberdaya alam (Escaping the resource curse). Surya Kusuma dan B. Gunawan (penerjemah). The Samdhana Institute. Bogor Joyce, S.A. and Thomson, I. 2000. Two cultures of sustainable development. CEPMLP Internet Journal 11:7. http://www.dundee.ac.uk /cepmlp/journal/html/vol11/article11-7.html [27 September 2006]. [ICMM] International Council on Mining & Metal. 2006a. Good practice guidance for mining and biodiversity. London. _______. 2006b. Ecological reclamation that maximizes biodiversity gains: http://www.icmm.com/casestudy.php?rcd=10 [20 Nopember 2006]. _______. 2006c. Guidance paper: financial assurance for mine closure and reclamation. London. _______. 2008. Planning for integrated mine closure: Toolkit. London [IFC] International Finance Corporation. 2006. International Finance Corporations: Performance standards on social and environmental sustainability. [IIED] International Institute for Environment and Development. 2002. “Breaking New Ground”The MMSD Final Report. http://www.iied.org/ mmsd/finalreport/ [16 Juli 2006].
277
[IIED] International Institute for Environment and Development and [WBCSD] World Business Council for Sustainable Development. 2002a. Research on mine closure policy. England. _______________. 2002b. Mine for future-Appendix B: mine closure paper working. International Institute for Environment and Development and World Business Council for Sustainable Development, England. [IISD] International Institute for Environment and Development, [MMSD] Mining Mineral and Sustainable Development and [WBCSD] World Business Council for Sustainable Development. 2002. Seven questions to sustainability how to assess the contribution of mining and minerals activities, Working PaperTask 2 Work Group, MMSD North America. ITTC [International Towing Tank Conference]. 2002. Quality management system guidelines for benchmarking. United Kingdom. IUCN [The International Union for Conservation of Nature] and [ICMM] International Council on Mining & Metals. 2002. Integrating mining and biodiversity conservation: Case studies from around the world. Kanungo, S. and Bhatnagar, V.V. 2002. Beyond generic models for information system quality: The use of Interpretive Structural Modeling (ISM). J. Systems Research and Behavior Science 19 (2):531-549. Kempton, H. 2003. A sustainable closure framework for mine closure. Proceeding of ‘the 13th Annual MEMS Conference: Perspective on the economics of sustainable mining; Colorado, 9 – 11 April 2003. USA. Kemp, R., Parto, S. and Gibson, B.R. 2005. Governance for sustainable development: moving from theory to practice. International Journal Sustainable Development 8 (½): 12 – 30. Kunanayagam, R. 2006. Sustainable mine closure-Issues and lessons learnt. In: Fourie A and Tibbett M, editor. Mine Closure 2006. Proceedings of the First International Seminar on Mine Closure; Perth, 13 -15 September 2006. Australia: The University of Western Australia and Australian Centre For Geomechanics (ACG). 2006. pp. 13 – 19. Laurence, D.C. 2001. Classification of risk factors associated with mine closure. Mineral Resources Engineering 10 (3): 315 – 331. ___________. 2003. Mine closure risk modeling – A continuous improvement approach. Proceeding of 28 th Annual Meeting-Mining and The Environment; Sudbury, Ontario, May 2003. Canada. ___________. 2006. Optimization of the mine closure process. Journal of Cleaner Production 14: 285 - 298.
278
[LPEM FEUI] Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2008. Analisa dampak ekonomi dan fiskal PT Freport Indonesia. Jakarta. MacNaughton, A.L. and Stephens, J. 2004. Achieving sustainable development: meeting economic development, environmental protection, and quality of life goals through effective stakeholder management system, strategies, and methodologies. International Journal for Sustainable Business 11 (3): 2 – 57. Massey, M. 2004. Alternative development models: opportunities for sustainable industrialization. Industry and Environment Journal 27 (4): 33-36. United Nations Environment Programme Division of Technology Industry and Economics (UNEPDTIE). Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT Grasindo. [MCA] Minerals Council of Australia. 2005. Enduring value- The Australian Minerals Industry framework for sustainable development guidance for implementation. Australia. ____________________. 2006. Submission on productivity commission discussion draft report: performance benchmarking of Australian business regulation. Australia. McAllister, M.L., Scobe, M. and Veiga, M. 1999. Sustainability and the Canadian mining industry at home and abroad. CIM Bulletin-Canadian Institute Mining, Metallurgy and Petroleum 92 (1022): 85 – 92. [MMSD] Mining Mineral and Sustainable Development. 2002. Breaking New Ground: The Report of the Mining, Minerals and Sustainable Development Project. London: Earthscan Publications Ltd. Moore, R.M. and Noller, N.B. 2000. Future challenges facing the mining industry: an environmental health perspective. Industry and Environment Journal 23 (special issue): 41 - 43. United Nations Environment Programme Division of Technology Industry and Economics (UNEPDTIE). Mugonda, M. 2006. The socio-economic implications of mine closure-A South African and Zimbabwean scenario. In: Fourie A and Tibbett M, editor. Mine Closure 2006. Proceedings of the First International Seminar on Mine Closure; Perth, 13 -15 September 2006. Australia: The University of Western Australia and Australian Centre For Geomechanics (ACG). 2006. pp. 829 – 834. Mudd, G.M. 2007. Global trends in gold mining: Toward quantifying environmental and resource sustainability? Resources Policy 32(1-2): 42 – 56.
279
Muhammadi, E., Aminullah dan Susilo, S.B. 2001. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta: UMJ Press. Mulligan, D. 2003. Mine site rehabilitation in the Australian Coal Industry research toward sustainable solutions. http://www.zhoukou.gov. cn/szzy/lqh/lqh/fj/ Presentation%20to%20Chinese%207Oct03-20NRAVS%20Training3.htm [20 November 2006] Nash, G. 2000. Mining and metals processing: the commitment to sustainable development. Industry and Environment Journal 23 (special issue): 94 - 95. United Nations Environment Programme Division of Technology Industry and Economics (UNEPDTIE). [NMA] The National Mining Association. 1998. The future begins with mining: A vision of the mining industry of the future. The United States of America. O’Reagan, B and Moles, R. 2006. Using system dynamics to model the interaction between environmental and economic factors in the mining industry. Journal of Cleaner Production 14: 689 – 707. Ostensson, O. 2000. Mining and the environment the economic agenda. Industry and Environment Journal 23 (special issue): 44 - 46. United Nations Environment Programme Division of Technology Industry and Economics (UNEPDTIE). Otto, J. and Cordes, J. 2002. The regulation of mineral enterprises: A Global Perspective on Economics, Law and Policy. Westminster, USA: Rocky Mountain Mineral Law Foundation. Otto, J., Andrews, C., Cawood, F., Doggett, M., Guj, P., Stermole, F., Stermole, J. and Tilton, J. 2006. Mining Royalties: A Global Study of Their Impact on Investors, Government, and Civil Society. Washington DC, USA: The World Bank. Perman, R., Yue, M. and McGilvray, J. 1996. Natural Resources and Environmental Economics. Singapore: Longman. Petrie, J., Cohen, B. and Stewart, M. 2007. Decision support frameworks and metrics for sustainable development of minerals and metals. J. Clean Techno Environ Policy 9 (2): 133 – 145. PT Freeport Indonesia. 2006a. The elements of sustainable development: 2005 working toward sustainable development report. PT Freeport Indonesia. Jakarta ___________________. 2006b. Pengelolaan aktif daerah pengendapan tailing ModADA PT Freeport Indonesia. Laporan dan Model 3-D ModADA, Februari 2006. PT Freeport Indonesia. Jakarta.
280
___________________. 2008. Laporan Pelaksanaan dan Pemantauan Lingkungan -Tahun 2007. PT Freeport Indonesia. Jakarta. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknologi Mineral dan Batu Bara. 2006. Lokakarya ‘Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Penutupan Tambang’, 20 Februari – 2 Maret 2006 di Bandung, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Bandung, Indonesia. [PWC]
Price Waterhouse Copper. 2006, Mine Indonesia 2005: kecenderungan industri pertambangan Indonesia., Indonesia.
tinjauan
[QMC] Queensland Mining Council. 2001. Guidelines for mine closure planning in Queensland. http://www.gmc.com.au [19 September 2006]. Randall, J. 2004. Ecosystem function analysis: a tool for monitoring mine-site rehabilitation success. MESA Journal 35: 24 – 27. Robertson, A. and Shaw, S. 1998. Alternatives Analysis for mine development ad reclamation. Proceedings of the 22nd Annual BC Mine Reclamation Symposium; Pentiction, BC, 14-17 September 1998, pp. 95-110. Canada. ________________________.1999a. Mine closure-introduction. http://www. Robertsongeoconsultants.com/rgc_environmine/issue/closure.asp [6 Oktober 2006]. ________________________. 1999b. A Multiple Accounts Analysis for tailings site selection. Proceeding Sudbury ’99 Conference, Mining and the Environment II; Sudbury. Canada ________________________. 2004. Use of the Multiple Accounts Analysis process for sustainability optimization. Proceedings of SME Annual Meeting; Denver, 23 – 25 February 2004. Colorado. Roper, A. 2000. Mining and sustainable development: associations hold key to program of change. Industry and Environment Journal 23 (special issue): 26 - 31. United Nations Environment Programme Division of Technology Industry and Economics (UNEPDTIE). Roseland, M. 2005. Toward Sustainable Communities: Resources for Citizens and Their Governments. Canada: New Society Publishers Rustiadi, E., Saefulhakim, S. dan Panuju, D.R. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
281
Saeedi, G., Osanloo, M., Shahriar, K. and Bakhtavar, E. 2006. The economic and sosial aspects of mine closure at coal mines of Kerman in Iran. In: Fourie A and Tibbett M, (Editor). Mine Closure 2006. Proceedings of the First International Seminar on Mine Closure; Perth, 13 -15 September 2006. Australia: The University of Western Australia and Australian Centre For Geomechanics (ACG). 2006. pp. 811 – 818. Salim, E. 1993, Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES. _______. 2005. Agenda Bangsa 2005 – 2010. Bahan Kuliah S3 IPB, Program Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, tanggal 15 Oktober 2005. Shields, D.J. and Solar, S.V. 2000. Challenges to sustainable development in the mining sector. Industry and Environment Journal 23 (special issue): 16 - 19. United Nations Environment Programme Division of Technology Industry and Economics (UNEPDTIE). Shinya, W.M. 1998. Canada's new minerals and metals policy - Advancing the concept of SD in the mineral and metal industry. Resources Policy 24 (2): 95 – 104. Singam, J., Balla, L.K. and Singh, D.P. 2006. Strategies in mines closure vis-a-vis some Indian underground mines. In: Fourie A and Tibbett M, editor. Mine Closure 2006. Proceedings of the First International Seminar on Mine Closure; Perth, 13 -15 September 2006. Australia: The University of Western Australia and Australian Centre For Geomechanics (ACG). 2006. pp. 829 – 834 Sitorus, S.R.P. 2004a. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Bogor: Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan Departemen Tanah, Fakultas Pertanian IPB. ___________. 2004b. Kualitas, Degradasi dan Rehabilitasi Tanah. Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sekolah
Soelarno, S.W. 2006. Filosopi Penutupan Tambang. Dalam Diklat Perencanaan Penutupan Tambang. Prosiding Lokakarya Penutupan Tambang; Bandung, 20 Februari – 2 Maret 2006. Diklat Teknologi Mineral dan Batubara. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Indonesia. ________. 2007a. Penutupan tambang. Prosiding Seminar Sehari Menutup Tambang Secara Berkelanjutan: Jakarta, 24 Januari 2007. Yayasan Minergy Informasi Indonesia (YMII). Indonesia. ________. 2007b. Perencanaan pembangunan pasca tambang untuk menunjang pembangunan berkelanjutan (Studi kasus pada pertambangan batubara PT Kaltim Prima Coal di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur). Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.
282
Siagian, S.P. 2005. Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi dan Strateginya. Jakarta: PT Bumi Aksara. Stokes, H. and Carr-Chellman, A. 2007. Seeds of engagement: Design conversations for educational change. J. Systems Research and Behavioral Science 24 (1): 91 – 101. Strongman, J. 2000. Mine closure an overview the issues- A Presentation to the Government of Indonesia. Proceeding of Mine Closure Workshop; Jakarta, October 2000.World Bank. Indonesia. ___________. 2002. Sustainable mining development from concept to action. Proceeding of the Mining and the Community II Conference; Madang, 16 September 2002. Papua New Guinea. Sweeting, A.R. 2000. Future challenges for the large-scale mining industry. Industry and Environment Journal 23 (special issue): 93 - 94. United Nations Environment Programme Division of Technology Industry and Economics (UNEPDTIE). Taberima, S. 2009. Perkembangan tanah dari tailing di ModADA PTFI: Aspek reklamasi dan suksesi alami. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tambunan, R. 2006. Prinsip Penutupan Tambang. Dalam Diklat Perencanaan Penutupan Tambang. Prosiding Lokakarya Penutupan Tambang. Bandung, 20 Februari – 2 Maret 2006. Diklat Teknologi Mineral dan Batubara. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Bandung. Tibbett, M. 2005. Rehabilitating post-mining landscapes. htt://www.ferret. com.au/articles/62/0c031d62.asp [20 Nopember 2006]. Tongway, D.J. and Hindley, N.L. 2003. Indicator of rehabilitation success. Stage 2. Verification of indicators. Final report. CSIRO Sustainable Ecosystems, Canberra. Turban, E., Aronson, E.J. and Liang, P.T. 2005 Decision Support System and Intelligent System (Sistem Pendukung Keputusan dan Sistem Cerdas). Dwi Prabantini (Penerjemah). Yogyakarta: Penerbit ANDI. van Zyl, D. 2005. Sustainable development and mining communities. A Division of New Mexico Institute of Mining and Technology. Bureau of Geology and Mineral Resources. New Mexico. [UNEP] United Nations Environment Programme, [ICME] International Council on Metals and the Environment. 1998, Case Studies on Tailings Management: http:// www.icme.com and http://www.unepie.org [20 Nopember 2006].
283
Wait, S. 2004. Benchmarking A Policy Analysis. London: The Nuffield Trust. [WCED] World Commission on Environmental and Development. 1987. Common Future. Oxford, UK: Oxford University Press,.
Our
Walls, J.G., Widmeyer, G.R. and El Sawy, O.A. 2001. Building and information system design theory for vigilant EIS. J. Information System Research 3(1): 36-59. Warhurst, A. 2000. Planning for closure and sustainability indicators. Proceeding of Jornadas Iberoamericanas Sobre Cierre De Minas; Santa Maria de La Rabida, Huelva, 25 – 29 September 2000. Spain. World Bank and [IFC] International Finance Corporation. 2002. It’s Not Over When It’s Over: Mine Closure Around the World. Washington D.C. Wiryanto, K. 2006. Penutupan tambang PT NMR. Dalam Diklat Perencanaan Penutupan Tambang. Prosiding Lokakarya Penutupan Tambang; Bandung, 20 Februari – 2 Maret 2006. Diklat Teknologi Mineral dan Batubara. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Indonesia.
284
DAFTAR ISTILAH (GLOSSARY)
UMUM: AAB
AHP
= Air Asam Batuan atau Air Asam Tambang (AAT) atau AMD (Acid Mine Drainage) atau acid rock drainage (ARD). Batuan penutup hasil buangan setelah batuan bijih diambil dan mengandung mineral sulfida (belerang), dapat menghasilkan asam karena bereaksi dengan oksigen dan air. Air asam tersebut terbawa oleh air hujan menjadi AAB = The Australian Goverment Department of Industry Tourisme and Resource. = Analytical hierarchy process
AMDAL
= Analisa Mengenai Dampak Lingkungan
ANDAL
= Analisa Dampak Lingkungan
ANZMEC
= Australia and New Zealand Minerals and Energy Council
APBD
= AnggaranPendapatan dan Belanja Daerah
APL
= Areal Pengunaan Lain
Bapenas
= Badan Pembangunan Nasional
Bappeda
= Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Bijih
BPS
= ore atau bahan tambang yang mempunyai nilai ekonomi untuk diolah menjadi konsentrat = Badan Pengelola Penutupan Tambang Berkelanjutan. Sebuah badan yang direkomendasikan hasil penelitian ini yang berfungsi mengkoordinasikan perencanaan dan pengelolaan kegiatan pembangunan di Mimika menuju tercapainya tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan = Badan Pusat Statistik
CCC
= Chilean Copper Commission
Comdev
= Pengembangan masyarakat/PM (Community Development)
CRF CSR
= The Closure Risk Factor atau Faktor Resiko Penutupan tambang. CRF = S (RE + RSH + RC + RLU + RLF +RT) = Corporate Social Responsibility
DAS KAMM
= Daerah Aliran Sungai Kamora, Ajkwa, Minajerewi, dan Mawati
DESA
= United Nations-Division of Economic and Social Affairs
DOZ
= Deep Ore Zone. Satu lokasi penambangan bawah tanah di PTFI yang saat ini dikerjakan = Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
AGDITR
BPPTB
DPRRI ERA
ESD
= Ecological Risk Assessment. Sebuah studi untuk mengidentifikasikan dan mengkuantifikasi risiko ekologi dan risiko kesehatan manusia dari tailing PTFI yang dilakukan oleh tim peneliti dari dalam dan luar negeri selama 4 tahun (1998 – 2002). = Ecologically Sustainable Development.
ESDM
= Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
ESMAP
= Energy Sector Management Assistance Program
FGD
= Focus Group Discussion (Kelompok Diskusi Terarah)
285
GMI
= Global Mining Initiative
GRI
= Global Reporting Initiative. Lembaga internasional yang mengembangkan pedoman dalam membuat sistem pelaporan organisasi sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuan pembangunan berkelanjutan
GST
= General System Theory
HAM
= Hak Azasi Manusia
HPH
= Hak Pengusahaan Hutan
ICME
= International Council on Metals and the Environment
ICMM
= International Council on Mining & Metal
IFC
= International Finance Coorporation
IIED
= International Institute for Environment and Development
IISD
= International Institute for Environment and Development
IPAL
= Instalasi Pengelolaan Air Limbah
IPB
= Institut Pertanian Bogor
IPM
ISM
= Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) = Institut Pertambangan Nemangkawi di Timika. Sebuah sekolah keterampilan pertambangan yang didirikan PTFI untuk SDM Papua. = Interpretative structural modelling
ISO
= International Oganization for Standardization
ISPA
= Infeksi Saluran Pernafasan Atas
ITB
= Institut Pertanian Bogor
ITTC
= International Towing Tank Conference
IUCN
= The International Union for Conservation of Nature
JATAM
= Jaringan Advokasi Tambang
KAN-BSN
= Komite Akreditasi Nasional-Badan Sertifikasi Nasional
KB
= Kejenuhan basa
KEM KLH
= Kelian Equatorial Mining. Perusahaan tambang yang dioperasikan Rio Tinto Indonesia di Kalimantan Timur dan mulai masa penutupan pada tahun 1992 selesai penutupan tahun 2004 = Kementrian Lingkungan Hidup
KP
= Kuasa Pertambangan
KPT
= Komite Penutupan Tambang
KTK
= Kapasitas tukar kation
KTT
= Konferensi Tingkat Tinggi. Misalnya: KTT Bumi di Rio de Janeiro (Juni 1992) = Lembaga Masyarakat Adat Amugme. LSM lokal di Mimika untuk masyarakat adat Amungme yang merupakan salah satu pemilik hak ulayat di daerah operasi tambang PTFI = Lembaga Masyarakat Adat Kamoro. LSM lokal di Mimika untuk masyarakat adat Kamoro yang merupakan salah satu pemilik hak ulayat di daerah operasi tambang PTFI = Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
IPN
LEMASA
LEMASKO LPEM- FEUI
286
LPMAK
= Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro
LSM
= Lembaga Swadaya Masyarakat
MAC
= The Mining Association of Canada
MCA
= Minerals Council of Australia
MCSC
Minerba
= Mine Closure Streering Committee atau Komite Pengarah Penutupan Tambang = Millennium Development Goals atau Tujuan-Tujuan Pembangunan Milinium yang dicetuskan pada tahun 2000 = Mineral dan Batubara
MMSD
= Mining Mineral and Sustainable Development
ModADA
= Modified Ajkwa Deposition Area. Sebuah daerah di daratan rendah 2 yang dijadikan tempat pengendapan tailing PTFI seluas 230 Km = Metode Perbandingan Eksponensial
MDGs
MPE MSLT NATA
NCSR
NHTMT
NMA NMT
= Masyarakat Sekitar Lingkar Tambang. Masyarakat yang bertempat tinggal disekitar daerah tambang yang terpengaruh dan mempengaruhi hasil operasi tambang = National Association of Testing Authorities. Lembaga akreditasi dari Australia untuk memberikan akreditasi pada kemampuan laboratorium dalam melakukan pengujian-pengujian sampel tertentu. Lab. Lingkungan PTFI salah yang diakreditasi. = National Center for Sustainability Reporting. Sebuah lembaga nonpemerintah yang memberikan penghargaan atas pretasi lembaga bisnis yang menyelenggarakan sistem pelaporannya sesuai dengan pedoman GRI = Nilai Hasil Transformasi Manfaat Tambang. Sebuah istilah yang dihasilkan dari penelitian ini yang menggambarkan nilai hasil dari manfaat tambang (dari bahan tambang) yang ditransformasikan kepada kegiatan-kegiatan pembangunan dan hasil kontribusi perusahaan tambang kepada pendapatan daerah, propinsi, dan negara serta masyarakat. = The National Mining Association
PAD
= Nilai Manfaat Tambang. Istilah yang dihasilkan dari penelitian ini, yang menggambarkan nilai dari keseluruhan manfaat tambang yang berasal dari bahan tambang yang diproduksi selama tambang dioperasikan. = Nilai Manfaat Tambang Rata-Rata. Istilah yang dihasilkan dari penelitian ini yang menggambarkan nilai relatif hasil rata-rata manfaat tambang yang dihasilkan dari bahan tambang selama tambang dioperasikan. = Pendapatan Asli Daerah
PB
= Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development
PBB
= Perserikatan Bangsa Bangsa
PDB
= Pendapatan Domestik Bruto
PDRB
= Produk Domestik Regional Bruto
PERDA
= Peraturan Daerah
PERHAPI
= Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia
PLTU
= Pembangkit Listrik Tenaga Uap
PMA
= Penanaman Modal Asing
PPK
= Para Pemangku Kepentingan atau stakeholder tambang
NMTR
287
PROPER PTFI
= Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup = Perseroan Terbatas Freeport Indonesia
PTNMR
= Persesoan Terbatas Newmont Minahasa Raya
PWC
= Price Waterhouse Copper
QMC
= Queensland Mining Council
RC
= Resiko bagi masyarakat dan sosial (community and social risks)
RDTR
= Rencana Daerah Tata Ruang
RE
= Resiko lingkungan hidup (environmental risks)
RKL
= Rencana Pengelolaan Lingkungan
RLF
= Resiko aspek hukum dan keuangan (legal and financial risks)
RLU
= Resiko penggunaan lahan akhir (Land Utilization)
RM
= Reachability Matrix. Salah satu alat dalam melakukan analisis ISM
ROI
= Return of Invesment
RPL
= Rencana Pemantauan Lingkungan
RPT
= Rencana Penutupan Tambang
RR&RPT
= Rencana Reklamasi dan Rencana Penutupan Tambang
RRTR
= Rencana Rinci Tata Ruang
RSH
= Resiko keamanan dan kesehatan (safety and health risks)
RSMM
RT
= Rumah Sakit Mitra Masyarakat. Satu rumah sakit yang dimiliki LPMAK di dataran rendah di Kab. Mimika yang memperoleh bantuan Dana Kemitraan PTFI. = Rumah Sakit Waa Banti. Satu rumah sakit yang dimiliki LPMAK di dataran tinggi di Kab. Mimika yang memperoleh bantuan Dana Kemitraan PTFI. = Resiko secara teknik (technical risks)
RUTK
= Rencana Umum Tata Ruang Kota
SaPeT
= Saat penutupan tambang. Waktu dimana sebuah penambangan mulai memasuki tahap pekerjaan penutupan tambang. = Sumberdaya Alam
RSWB
SDA SDAC
SDM SML
SOP SSIM Tailing TPA TSP
= Dewan Penasehat Pembangunan Berkelanjutan PTFI atau Sustainable Development Advisory Council. Dewan ini pernah dipimpin oleh Prof. Otto Soemarwoto sebelum meninggal tahun 2008. = Sumberdaya Manusia = Sistem Manajemen Lingkungan. Sestem pengelolaan kegiatan program lingkungan PTFI dengan mengacu kepada standar ISO 14001 dan telah disertifikasi dan diawasi oleh SGS sejak tahun 2001. = Strandart Operation Prosedure (Prosedur Baku Operasi) = Structural Self Interaction Matrix. Tahapan pekerjaan dalam analisis ISM = Material sisa penambangan yang terangkut aliran sungan dengan bitiran halus hingga kasar bahkan kerikilan. = Tempat Pembuangan Akhir = Total suspended particle. Padatan tersuspensi total, salah satu indikator untuk menentukan kualitas air
288
UGM
= Universitas Gajah Mada
UK
= United Kingdom atau Inggris
UNCEN
= Universitas Cendrawasih di Jayapura- Papua
UNDIP
= Universitas Diponogoro di Semarang
UNEP
= United Nations Environment Programme
UNIPA
= Universitas Negeri Papua di Manokwari- Papua Barat
WALHI
= Wahana Lingkungan Hidup
WBCSD
= World Business Council for Sustainable Development
WCED
= World Commission on Environmental and Development
WHO
= World Health Organisation
WWF
= World Wildlife Fund
YAHAMAK
= Lembaga Hak Azasi Manusia Anti Kekerasan. Lembaga lokal di Mimika yang berkerja untuk meningkatkan kemampuan dan membela kaum perempuan d
KHUSUS ISTILAH-ISTILAH PADA PEMBAHASAN SISTEM DINAMIK A ADemob AEN AIN AKem ALahir APPTFI
= = = = = =
angka demobilisasi angka emigrasi normal angka imigrasi normal angka kematian angka kelahiran areal penggunaan lahan untuk perumahan dan perkantoran PTFI
B C CCDP CImgPTFI CKesKer CPJPT
= konstanta kontribusi CD pada bidang pendidikan = konstanta imigrasi dengan keberadaan PTFI = konstanta kesempatan kerja berdasarkan keberadaan PTFI = konstanta pertumbuhan jumlah penduduk berdasarkan lulusan pendidikan sampai Perguruan Tinggi CPJSD = konstanta pertumbuhan jumlah penduduk berdasarkan lulusan pendidikan sampai SD CPJSMA = konstanta pertumbuhan jumlah penduduk berdasarkan lulusan pendidikan sampai SMA CPJSMP = konstanta pertumbuhan jumlah penduduk berdasarkan lulusan pendidikan sampai SMP CPJTSD = konstanta pertumbuhan jumlah penduduk berdasarkan pendidikan yang tidak lulus SD CPKPAMi = konstanta dampak PTFI terhadap perubahan pendapatan Mimika CPKPAN = konstanta dampak PTFI terhadap perubahan pendapatan Mimika CPKPAPa = konstanta dampak PTFI terhadap perubahan pendapatan Mimika CPKPPMi = konstanta dampak PTFI terhadap perubahan PDB Mimika CPKPPN = konstanta dampak PTFI terhadap perubahan PDB Mimika CPKPPPa = konstanta dampak PTFI terhadap perubahan PDB Mimika CPR = konstanta pertumbuhan nilai revenue CProdTamPA = konstanta produksi tambang terhadap pencemaran air CProdTamPU = konstanta produksi tambang terhadap pencemaran udara
289
CPTFIIncMasy = konstanta keberadaan PTFI terhadap pendapatan masyarakat CRklm = konstanta reklamasi D DegHtn DegLhn DegLing Demob
= = = =
E Emg
= jumlah emigrasi
degradasi hutan degradasi lahan karena tailing nilai degradasi lingkungan jumlah demobilisasi saat penutupan tambang
F FDegHtn FDLK FKCDAg FKCDKes FKCDPend FKCDPerum FKCDPr FKCDPU
= fraksi degradasi hutan = fraksi demobilisasi dari jumlah lapangan kerja = fraksi kontribusi community development bidang agama = fraksi kontribusi community development bidang kesehatan = fraksi kontribusi community development bidang pendidikan = fraksi kontribusi community development bidang perumahan = fraksi kontribusi community development bidang pertanian = fraksi kontribusi community development bidang pengembangan usaha FKdK = fraksi kematian dan keamanan FLT = fraksi limbah tailing dari bahan tambang FMCDK = fraksi kontribusi community development terhadap mutu kesehatan FMCDP = fraksi nilai mutu pendidikan dari CD PTFI FNL = fraksi nilai lingkungan FNTPS = fraksi nilai tambah pemilik saham FPA = fraksi pencemaran air FPBJ = fraksi pemasok barang dan jasa FPCDPTFI = fraksi kontribusi dari community development PTFI FPHTMT = fraksi pertumbuhan hasil transformasi manfaat tambang FPKLAMi = fraksi pertumbuhan kontribusi sektor lain terhadap APBD Mimika FPKLAN = fraksi pertumbuhan kontribusi sektor lain terhadap APBN FPKLAPa = fraksi pertumbuhan kontribusi sektor lain terhadap APBD Papua FPKLPMi = fraksi pertumbuhan kontribusi sektor lain terhadap PDRB Mimika FPKLPN = fraksi pertumbuhan kontribusi sektor lain terhadap PDB nasional FPKLPPa = fraksi pertumbuhan kontribusi sektor lain terhadap PDRB Papua FPU = fraksi pencemaran udara FPW = fraksi jumlah eksploitasi penambangan berdasarkan waktu kontrak karya FRH = fraksi rehabilitasi hutan Fraksi_Penam = fraksi penambangan G H Hasil_Penam HTMT Htn
= hasil penambangan = nilai hasil transformasi manfaat tambang = luas hutan
I Img = jumlah imigrasi ImgPTFI = fraksi imigrasi dengan keberadaan PTFI Inc_Masy_DPTFI = pendapatan masyarakat dengan keberadaan PTFI Inc_Per_Kapita = pendapatan masyarakat per kapita
290
Inc_Per_Kapita_N J JPT JSD JSMA JSMP JTSD
= pendapatan masyarakat per kapita norman (tanpa ada tambahan dari PTFI)
= jumlah penduduk berdasarkan lulusan pendidikan sampai Perguruan Tinggi = jumlah penduduk berdasarkan lulusan pendidikan sampai SD = jumlah penduduk berdasarkan lulusan pendidikan sampai SMA = jumlah penduduk berdasarkan lulusan pendidikan sampai SMP = jumlah penduduk berdasarkan pendidikan yang tidak lulus SD
K Kap_Tam_Tailing KBT = KCDAg = KCDKes = KCDPend = KCDPerum = KCDPr = KCDPU = Kelhrn = Kem = Kes_dan_Kam = KesKer = KL = KLAMi = KLAN = KLAPa = KLPMi = KLPN = KLPPa = KPAMi = KPAN = KPAPa = KPPMi = KPPN = KPPPa = KPTFI = Kurs =
= kapasitas luasan lahan untuk tailing tambang kapasitas bahan tambang selama masa kontrak karya kontribusi community development bidang agama kontribusi community development bidang kesehatan kontribusi community development bidang pendidikan kontribusi community development bidang perumahan kontribusi community development bidang pertanian kontribusi community development bidang pengembangan usaha pertumbuhan kelahiran pertumbuhan kematian fraksi angka kesehatan dan keamanan terhadap jumlah kematian kesempatan kerja kualitas lingkungan kontribusi sektor lain terhadap APBD Mimika kontribusi sektor lain terhadap APBN kontribusi sektor lain terhadap APBD Papua kontribusi sektor lain terhadap PDRB Mimika kontribusi sektor lain terhadap PDB nasional kontribusi sektor lain terhadap PDRB Papua kontribusi PTFI terhadap APBD Mimika kontribusi PTFI terhadap APBN kontribusi PTFI terhadap APBD Papua kontribusi PTFI terhadap PDRB Mimika kontribusi PTFI terhadap PDB nasional kontribusi PTFI terhadap PDRB Papua tahun penutupan kontrak karya PTFI kurs rupiah terhadap dollar
L LapKer LLKPTFI LPKTail LT_Total LTailing LTB
jumlah lapangan kerja kabupaten mimika luas lahan konsesi milik PTFI laju penggunaan areal tailing limbah tailing total limbah tailing dari bahan tambang kapasitas bahan tambang pada lokasi tambang baru
= = = = = =
M Maks_DegLhn = maksimum luasan degradasi lahan dari kabupaten mimika MCDK = kontribusi community development terhadap mutu kesehatan MT = manfaat tambang PT.FI N ND NHTMT NKL NL
= = = =
nilai demobilisasi dari penutupan penambangan PTFI nilai hasil transformasi manfaat tambang nilai kualitas lingkungan nilai lingkungan
291
NTPS
= nilai tambah pemilik saham
O P PAT PCDPTFI Pddk Pemasok_BJ Penambangan Penc_Air Penc_Udara PerPddk PHTMT PJPT PJSD PJSMA PJSMP PJTSD PKLAMi PKLAN PKLAPa PKLPMi PKLPN PKLPPa PKPAPa PKPTFI PKTTail PNL PPenggBT PPT ProdTam PrsKLAN PrsKLAMi PrsKLAPa PrsKLPMi PrsKLPN PrsKLPPa PrsKPAMi PrsKPAN PrsKPPMi PrsKPPN PrsKPPPa PSD PSMA PSMP PTSD
= kapasitas bahan tailing = pertumbuhan kontribusi community development PTFI = jumlah penduduk kabupaten mimika pada tahun awal simulasi = nilai tambah pemasok barang dan jasa dengan keberadaan PTFI = jumlah bahan tambang yang di eksploitasi = pencemaran air = pencemaran udara = pertumbuhan penduduk = pertumbauhan hasil transformasi manfaat tambang = pertumbuhan jumlah penduduk berdasarkan lulusan pendidikan sampai Perguruan Tinggi = pertumbuhan jumlah penduduk berdasarkan lulusan pendidikan sampai SD = pertumbuhan jumlah penduduk berdasarkan lulusan pendidikan sampai SMA = pertumbuhan jumlah penduduk berdasarkan lulusan pendidikan sampai SMP = pertumbuhan jumlah penduduk berdasarkan pendidikan yang tidak lulus SD = pertumbuhan kontribusi sektor lain terhadap APBD Mimika = pertumbuhan kontribusi sektor lain terhadap APBN = pertumbuhan kontribusi sektor lain terhadap APBD Papua = pertumbuhan kontribusi sektor lain terhadap PDRB Mimika = pertumbuhan kontribusi sektor lain terhadap PDB nasional = pertumbuhan kontribusi sektor lain terhadap PDRB Papua = perbandingan kontribusi PTFI terhadap APBD Papua = perpanjangan kontrak karya PTFI = pertumbuhan kapasitas tambang menjadi tailing terhadap luasan kapasitas tampug tailing = perkembangan nilai lingkungan = penggunaan bahan tambang yang telah di eksploitasi = perbandingan jumlah pendidikan lulusan SMA dengan jumlah penduduk = jumlah produksi tambang = perbandingan kontribusi sektor lain terhadap APBN = perbandingan kontribusi sektor lain terhadap APBD Mimika = perbandingan kontribusi sektor lain terhadap APBD Papua = perbandingan kontribusi sektor lain terhadap PDRB Mimika = perbandingan kontribusi sektor lain terhadap PDB nasional = perbandingan kontribusi sektor lain terhadap PDRB Papua = perbandingan kontribusi PTFI terhadap APBD Mimika = perbandingan kontribusi PTFI terhadap APBN = perbandingan kontribusi PTFI terhadap PDRB Mimika = perbandingan kontribusi PTFI terhadap PDB nasional = perbandingan kontribusi PTFI terhadap PDRB Papua = perbandingan jumlah pendidikan lulusan SD dengan jumlah penduduk = perbandingan jumlah pendidikan lulusan SMA dengan jumlah penduduk = perbandingan jumlah pendidikan lulusan SMP dengan jumlah penduduk = perbandingan jumlah pendidikan tidak tamat SD dengan jumlah penduduk
292
PU
= pengaruh keberadaan hutan terhadap udara
Q R RehHtn Rekl Revenue Rt2MT
= = = =
S Ss_Penam
= sisa bahan tambang
T TAPBDMi TAPBDPa TAPBN Tech TKPMi TKPN TKPPa TPDBN TPDRBMi TPDRBPa
rehabilitasi hutan luas lahan yang dilakukan reklamasi nilai revenue rata-rata nilai manfaat tambang
= total APBD Mimika = total APBD Papua = total APBN = technologi pengelolaan lingkungan terhadap pencemaran air dan udara = total kontribusi PTFI terhadap pendapatan Mimika = total kontribusi PTFI terhadap pendapatan nasional = total kontribusi PTFI terhadap pendapatan Papua = total PDB Nasional = total PDRB Mimika = total PDRB Papua
U V W WKPTFI
= waktu habis kontrak karya PTFI
X Y
293
Lampiran 1. Gambar saat melakukan FGD analisis kebutuhan PPK
Saat FGD dengan LSM di Timika
Saat FGD dengan LSM di Timika
Saat FGD dengan Tokoh Masyarakat di Timika
294
Lampiran 2 Data validasi model penutupan tambang berkelanjutan
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 Mean AME Variance AVE
Data Validasi Penduduk Nilai Aktual Nilai Simulasi 110518 110518 131715 131799 135934 135873 150753 150038 155533 158529 136890.6 137351.4 0.336619169 141851782.6 160613843.4 0.132265245
Data Validasi Revenue Tahun Nilai Aktual Nilai Simulasi 2002 1910462000 1922903976 2003 2212165000 2208167690 2004 2371866000 2328575900 2005 4179118000 4125346287 2006 5790500000 5785268887 Mean 3292822200 3274052548 AME 0.005700172 Variance 2.25997E+18 2.26524E+18 AVE 0.00232859
Data Validasi Kontribusi PTFI terhadap PDRB Papua Tahun Nilai Aktual Nilai Simulasi 2002 9446673000 9422229482 2003 13394933800 13359414526 2004 9085663800 9081446009 2005 32231865200 32260207964 2006 36499123100 36447038031 Mean 20131651780 20114067202 AME Variance AVE
0.000873479 1.45427E+20 0.000116497
1.4541E+20
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 Mean AME Variance AVE
Data Validasi CD PTFI Nilai Aktual Nilai Simulasi 3.966E+11 3.96118E+11 4.112E+11 4.12927E+11 4.346E+11 4.34279E+11 6.399E+11 6.39429E+11 7.674E+11 7.66548E+11 5.2994E+11 5.2986E+11 0.000150287 2.73617E+22 2.71806E+22 0.00662048
Data Validasi Kontribusi PTFI terhadap PDRB Mimika Tahun Nilai Aktual Nilai Simulasi 2002 11551276200 11537423855 2003 14902296300 14905131909 2004 14546250600 14553599374 2005 31304170800 31352631780 2006 25501548100 25455183103 Mean 19561108400 19560794004 AME 1.60725E-05 Variance 7.10498E+19 7.12282E+19 AVE 0.002511753
Data Validasi Kontribusi PTFI terhadap PDB Nasional Tahun Nilai Aktual Nilai Simulasi 2002 22226362600 22305686120 2003 23157262500 23185760748 2004 24794920800 24799333333 2005 77421888000 77556510195 2006 85824636000 85621979529 Mean 46685013980 46693853985 AME 0.000189354 Variance 1.02691E+21 1.02367E+21 AVE 0.003149416
295
Lampiran 2 (Lanjutan) Data Validasi Kontribusi PTFI terhadap APBD Mimika Tahun Nilai Aktual Nilai Simulasi 2002 140535600 140371990 2003 154284400 154571738 2004 167893600 167657465 2005 319571200 319714337 2006 534425600 534269581 Mean 263342080 263317022.2 AME 9.5153E-05 Variance 2.81834E+16 2.81719E+16 AVE 0.000405339
Data Validasi Kontribusi PTFI terhadap APBD Papua Tahun Nilai Aktual Nilai Simulasi 2002 74740000 74800965 2003 83879000 83910372 2004 103918400 103621628 2005 182550600 182340306 2006 306427000 306040724 Mean 150303000 150142799 AME 0.001065854 Variance 7.99457E+15 7.97295E+15 AVE 0.002704765
Data Validasi Kontribusi PTFI terhadap APBN Tahun Nilai Aktual Nilai Simulasi 2002 1798880500 1797915217 2003 2861527200 2870617997 2004 2281903800 2282004382 2005 8351135000 8374452963 2006 14603868600 14636730284 Mean 5979463020 5992344169 AME 0.002154232 Variance 3.0219E+19 3.03762E+19 AVE 0.005203233
296
Lampiran 3 Kependudukan di Kabupaten Mimika 2002 – 2050 (prakiraan)
297
Lampiran 4 Kontribusi Community Development (Dana Kemitraan PTFI)
298
Lampiran 5 Perkembangan jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
299
Lampiran 6 Persentase jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
300
Lampiran 7 Pencemaran Lingkungan, Kualitas Lingkungan dan Penutupan Hutan
301
Lampiran 8. Nilai manfaat tambang dan jumlah penambangan
302
Lampiran 9 Kontribusi PTFI dan sektor lain terhadap PDRB Mimika
303
Lampiran 10 Kontribusi PTFI dan sektor lain terhadap APBD Mimika
304
Lampiran 11 Perbandingan NHTMT dengan NHTMT Kabupaten Mimika
305
Lampiran 12 NHTMT untuk masing-masing tahun aplikasi pada skenario pesimis
306
Lampiran 12 NHTMT untuk masing-masing tahun aplikasi pada skenario moderat
307
Lampiran 14 NHTMT untuk masing-masing tahun aplikasi pada skenario optimis
308
Lampiran 15 NHTMT untuk masing-masing tahun aplikasi pada skenario sangat optimis
309
Lampiran 16. Perubahan faktor-faktor penggerak kunci menuju skenario sangat optimis 2012
Gambar Lampiran 16A. Perubahan jumlah penduduk Kab. Mimika tahun 2002-2050 pada skenario optimis 2012 Tabel Lampiran 16A. Perubahan kependudukan dari 2002-2050 pada skenario optimis 2012
310
Lampiran 16 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 16B. Perubahan jumlah dana pengembangan Masyarakat (CD) PTFI dari 2002 – 2041 pada skenario sangat optimis 2012 Tabel Lampiran 16B. Perubahan CD dari 2002-2041 pada skenario sangat optimis 2012
311
Lampiran 16 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 16C. Perubahan pendidikan dan presentasenya dari 2002 – 2050 pada skenario sangat optimis 2012 Tabel Lampiran 16Cp. Perubahan pendidikan dari 2002-2050 pada skenario sangat optimis 2012
312
Lampiran 16 (Lanjutan) Tabel Lampiran 16Cpp. Perubahan presentase pendidikan dari 2002-2050 pada skenario sangat optimis 2012
Gambar Lampiran 16D. Perkembangan konflik menuju SaPeT PTFI pada skenario sangat optimis 2012 313
Lampiran 16 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 16E. Perkembangan luasan hutan di Kab. Mimika dari 2002 - 2050 pada skenario sangat optimis 2012
Gambar Lampiran 16F. Perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan di Kab. Mimika dari 2002 - 2050 pada skenario sangat optimis 2012 Tabel Lampiran 16F. Perkembangan pencemaran, kualitas lingkungan, dan luas hutan di Kab. Mimika dari 2002 - 2050 pada skenario sangat optimis 2012
314
Lampiran 16 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 16G. Perkembangan PDRB Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2012 Tabel Lampiran 16G. Perkembangan PDRB Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2012
315
Lampiran 16 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 16H. Perkembangan APBD Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2012 Tabel Lampiran 16H. Perkembangan APBD Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2012
316
Lampiran 17. Perubahan faktor-faktor penggerak kunci menuju skenario sangat optimis 2017
Gambar Lampiran 17A. Perubahan jumlah penduduk Kab. Mimika tahun 2002-2050 pada skenario sangat optimis 2017 Tabel Lampiran 17A. Perubahan kependudukan dari 2002-2050 pada skenario sangat optimis 2017
317
Lampiran 17 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 17B. Perubahan jumlah dana pengembangan Masyarakat (CD) PTFI dari 2002 – 2041 pada skenario sangat optimis 2017 Tabel Lampiran 17B. Perubahan CD dari 2002-2041 pada skenario sangat optimis 2017
318
Lampiran 17 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 17C. Perubahan pendidikan dan presentasenya dari 2002 – 2050 pada skenario sangat optimis 2017 Tabel Lampiran 17Cp. Perubahan pendidikan dari 2002-2050 pada skenario sangat optimis 2017
319
Lampiran 17 (Lanjutan) Tabel Lampiran 17Cpp. Perubahan presentase pendidikan dari 2002-2050 pada skenario sangat optimis 2017
Gambar Lampiran 17D. Perkembngan konflik menuju SaPeT PTFI pada skenario sangat optimis 2017 320
Lampiran 17 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 17E. Perkembangan luasan hutan di Kab. Mimika dari 2002 - 2050 pada skenario sangat optimis 2017
Gambar Lampiran 17F. Perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan di Kab. Mimika dari 2002 - 2050 pada skenario sangat optimis 2017 Tabel Lampiran 17F. Perkembangan pencemaran, kualitas lingkungan, dan luas hutan di Kab. Mimika dari 2002 - 2050 pada skenario sangat optimis 2017
321
Lampiran 17 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 17G. Perkembangan PDRB Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2017 Tabel Lampiran 17G. Perkembangan PDRB Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2017
322
Lampiran 17 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 17H.
Perkembangan APBD Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2017
Tabel Lampiran 17H. Perkembangan APBD Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2017
323
Lampiran 18 Perubahan faktor-faktor penggerak kunci menuju skenario sangat optimis 2022
Gambar Lampiran 18A. Perubahan jumlah penduduk Kab. Mimika tahun 2002-2050 pada skenario sangat optimis 2022 Tabel Lampiran 18A. Perubahan kependudukan dari 2002-2050 pada skenario sangat optimis 2022
324
Lampiran 18 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 18B. Perubahan jumlah dana pengembangan Masyarakat (CD) PTFI dari 2002 – 2041 pada skenario sangat optimis 2022 Tabel Lampiran 18B. Perubahan CD dari 2002-2041 pada skenario sangat optimis 2022
325
Lampiran 18 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 18C. Perubahan pendidikan dan presentasenya dari 2002 – 2050 pada skenario sangat optimis 2022 Tabel Lampiran 18Cp. Perubahan pendidikan dari 2002-2050 pada skenario sangat optimis 2022
326
Lampiran 18 (Lanjutan) Tabel Lampiran 18Cpp. Perubahan presentase pendidikan dari 2002-2050 pada skenario sangat optimis 2022
Gambar Lampiran 18D Perkembangan konflik menuju SaPet PTFI pada skenario sangat optimis 2022 327
Lampiran 18(Lanjutan)
Gambar Lampiran 18E. Perkembangan luasan hutan di Kab. Mimika dari 2002 - 2050 pada skenario sangat optimis 2022
Gambar Lampiran 18F. Perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan di Kab. Mimika dari 2002 - 2050 pada skenario sangat optimis 2022 Tabel Lampiran 18F. Perkembangan pencemaran, kualitas lingkungan, dan luas hutan di Kab. Mimika dari 2002 - 2050 pada skenario sangat optimis 2022
328
Lampiran 18 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 18G. Perkembangan PDRB Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2022 Tabel Lampiran 18G. Perkembangan PDRB Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2022
329
Lampiran 18 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 18H.
Perkembangan APBD Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2022
Tabel Lampiran 18H. Perkembangan APBD Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2022
330
Lampiran 19. Perubahan faktor-faktor penggerak kunci menuju skenario optimis 2012
Gambar Lampiran 19A. Perubahan jumlah penduduk Kab. Mimika tahun 2002-2050 pada skenario optimis 2012 Tabel Lampiran 19A. Perubahan kependudukan dari 2002-2050 pada skenario optimis 2012
331
Lampiran 19 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 19B. Perubahan jumlah dana pengembangan Masyarakat (CD) PTFI dari 2002 – 2041 pada skenario optimis 2012 Tabel Lampiran 19B. Perubahan CD dari 2002-2041 pada skenario optimis 2012
332
Lampiran 19 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 19C. Perubahan pendidikan dan presentasenya dari 2002 – 2050 pada skenario sangat optimis 2012 Tabel Lampiran 19Cp. Perubahan pendidikan dari 2002-2050 pada skenario optimis 2012
333
Lampiran 19 (Lanjutan) Tabel Lampiran 19Cpp. Perubahan presentase pendidikan dari 2002-2050 pada skenario optimis 2012
Gambar Lampiran 19D. Perkembangan konflik menuju SaPeT PTFI pada skenario optimis 2012 334
Lampiran 19 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 19E. Perkembangan luasan hutan di Kab. Mimika dari 2002 - 2050 pada skenario sangat optimis 2012
Gambar Lampiran 19F. Perkembangan pencemaran dan kualitas lingkungan di Kab. Mimika dari 2002 - 2050 pada skenario sangat optimis 2012 Tabel Lampiran 19F. Perkembangan pencemaran, kualitas lingkungan, dan luas hutan di Kab. Mimika dari 2002 - 2050 pada skenario sangat optimis 2012
335
Lampiran 19 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 19G. Perkembangan PDRB Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2012 Tabel Lampiran 19G. Perkembangan PDRB Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2012
336
Lampiran 19 (Lanjutan)
Gambar Lampiran 19H.
Perkembangan APBD Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2012
Tabel Lampiran 19H. Perkembangan APBD Kab. Mimika dari 2002 - 2041 pada skenario sangat optimis 2012
337