diri di ambang pintu untuk beberapa saat dan menggaruk luka kering di kepalaku hingga berdarah lalu aku melangkah menghampiri Ayah. Ayahku telah melepaskan kemejanya dan sekarang ia berada di barisan antrean menuju ke meja kasir. Ia berdiri di belakang barisan pria yang tak teratur, semuanya memegang tiket dan seperti dia, semua pria itu melongok dari balik kepala orang di depannya untuk melihat seberapa panjang antrean tersebut. Aku berdiri di samping ayahku. "Pa?" panggilku. Ia tidak tampak terkejut mendengar suaraku. Ia menatap lurus ke arah meja kasir, ke arah jeruji di depan jendela kasir dan lubang di bawah kaca tempat uang diletakkan sebelum diambil oleh petugas kasir. "Apa?" sahutnya. "Apakah benar kau memukul Nenek?" Ia masih tidak melirikku. "Apakah benar?" Ia berdeham. "Ya," bisiknya. "Sekarang pulanglah ke rumah. Keluar dan tempat kotor ini." "Kita tidak memiliki rumah," sahutku. Tangannya yang menggantung lemas di sisi tubuhnya mengepal dan cacing-cacing merah jemarinya bersembunyi di balik buku jarinya yang berbulu. "Pulang," katanya. "Kenapa kau memukulnya?" Ia menoleh ke arahku. "Karena ia ingin dipukul," katanya. Ia berpaling kembali melihat kasir. "Aku memukulnya karena ia mendesakku. Ia tahu aku akan memukulnya tapi ia terus mendesakku. Lalu ia mengusirku dari rumahnya. Aku memukulnya dan ia tahu akan melakukan itu." "Apakah kau tidak lulus ujian di Trinity?" Jakunnya bergerak naik-turun saat ia melihat lurus ke depan. "Kau tidak lulus?" Ia menoleh ke arahku dan terlihat genangan air di matanya. "Tahukah kau? Kau bahkan mirip dengannya." "Mirip siapa?" "Nenekmu. Kalian seperti sepasang orang aneh yang terus memperhatikan kehidupan orang lain." Aku merasa kasihan dan bersalah serta kasihan pada diriku sendiri. Aku terus menatapnya. Jika ia menangis, aku akan mengatakan turut bersedih. Lalu, mungkin, setelah ia menangis di sini kami dapat pergi ke rumah makan murah dekat rumah Bibi Evelyn untuk menyantap sepotong kue. Tapi ia hanya terbatuk, memasukkan tangan ke sakunya, dan berpaling kembali ke jendela kasir. "Pulanglah," katanya. Aku berjalan keluar. Dalam perjalanan pulang ke rumah Bibi Evelyn aku membeli sebatang cokelat Mars dengan uang yang kemarin diberikan Ayah untuk mengganti cokelat yang terjatuh di
ruang keluarga dan mungkin diambil oleh Liam atau salah satu dari si kembar.
---oOo---
Saat aku kembali, semua orang sedang duduk mengelilingi meja dapur. Paman Gerald duduk di ujung dekatnya. Ia sedang bermain menggerakkan tangan membuat menaranya," bisiknya. "Buka
dekat toilet, bersama si kembar yang duduk di dengan mereka. Ia berbisik dan tersenyum seraya bentuk gereja dan menaranya. "Ini gereja, dan ini pintu dan ada orang di dalam."
Si kembar tertawa saat jemari Paman Gerald menyembul dan bergerak-gerak seperti orang telanjang dan itu membuatku ingin muntah. Ia tidak melakukannya lagi dan saat ia berkata, "Buka pintu," si kembar membuka mulut lebar-lebar memperlihatkan sisa bubur bayi dan benang-benang liur di antara geligi mereka. Liam duduk dekat pintu ke ruang keluarga. Ia selalu duduk di sana. Ibuku dan Bibi Evelyn duduk berdampingan, saling berpegang tangan di tengah. Ibuku baru saja menangis. Mereka semua membicarakan hal-hal sepele. Tentang pernikahan dan pendamping mempelai wanita yang mengunyah permen karet dan tersedak di tengah upacara kemudian melontarkan permennya ke gaun pengantin. Tentang pai ayam untuk teman minum teh dan meski semuanya lapar, ibuku berkeras kami semua harus menunggu ayahku pulang. Saat tiba pukul tujuh dan ia tak kunjung pulang, kami bersantap, kecuali Paman Gerald. Ia tidak makan karena ia tidak suka makan di depan orang banyak, bahkan di depan keluarganya sendiri. Aku menatap tatakan piring bergambar perburuan rubah, orang-orang bertudung menunggang kuda, anjing dan rubah mati menggantung di pagar. Ibuku melihat aku sedang memperhatikan gambar rubah. Ia menggerakkan tangannya membentuk tapak rubah dan membuat mimik wajah menakuti. Aku tersenyum dan ia membalas. Aku bertanyatanya apakah ini berarti ia sudah merasa lebih baik, dan jika benar, kapan aku akan merasa lebih baik? Liam mengangkat piringnya, mendekatkannya ke wajah, kemudian, saat ia pikir tak ada yang memperhatikan, ia menyeruput isi pai. "Liam," seru Bibi Evelyn, "pergi ke kamarmu dan tinggalkan kami agar kami dapat berbincang."
Liam pergi tanpa berkata-kata dan si kembar mengikutinya seperti anak-anak anjing. "Baik," kata ibuku. "Aku seharusnya menceritakan dari awal apa yang telah dilakukan ayahmu. Tapi sekarang, setelah semuanya terbuka, mungkin aku dapat meluruskan persoalan." Ia menyeduh tehnya seraya berbicara dan aku tak mendengar sendok berdenting menyentuh sisi cangkir. Ia menceritakan bahwa ayahku memukul Nenek saat mereka bertengkar dan Nenek terjatuh membentur lemari. Itu kecelakaan dan ia langsung dibawa ke rumah sakit untuk dijahit lukanya.
Saat aku menanyakan mengapa Pa tidak meminta maaf agar kami dapat pulang, Ibu berkata, "Ia telah meminta maaf, tapi belum diterima." Ibu mengatakan bahwa kami tak akan lama tinggal di sini. Mungkin kami akan tinggal di hotel untuk sementara hingga mendapatkan flat sendiri. "Hotel seperti apa?" aku bertanya. "Yang murah," kata Paman Gerald dari tempat duduknya di ujung meja dekat toilet. "Ada sebuah hotel nyaman dekat gerbang Phoenix Park," sahut ibuku. "Berdekatan dengan kebun binatang dan gajah. Kita dapat memberinya kacang." "Apakah Pa akan dipenjara?" "Nenekmu tidak mengajukan gugatan," kata Bibi Evelyn. "Ia tahu itu adalah kecelakaan."
---oOo---
Telepon berdering dan ibuku bergegas mengangkatnya. "Mereka menutupnya," katanya. Telepon berdering kembali. Ibu menjawab. "Mereka menutupnya lagi," katanya. Telepon berdering sekali lagi. Kali ini aku yang menjawab. "Halo," sahutku. "Ini Ayah. Apakah ibumu ada? Apakah ia baik-baik saja?" "Ya. Mam baik-baik saja. Kami baru saja menyantap pai ayam dan sekarang sedang minum teh serta menikmati kue." "Aku akan segera pulang. Dapatkah kau memberitahu Ibu?" "Oke. Dah." Aku berdiri di dekat telepon, berharap akan berdering lagi. "Tadi Ayah," kataku. "Kenapa kau berteriak-teriak di telepon?" ibuku bertanya. "Karena Ayah bernapas keras sekali. Seperti berbicara dengan traktor atau semacamnya." "Mungkin ia hanya serak dan tersedak asap rokok yang memenuhi tempat kotor itu," kata Bibi Evelyn.
Aku mengambil potongan kue dan pergi ke ruang keluarga.
---oOo---
Ayahku tidak pulang selama dua hari dan aku membayangkan ia berada di penjara Mountjoy. Aku bermimpi buruk melihat ia berada di sebuah sel dengan toilet di sudut ruangan serta seorang pria bertato dan berkepala gundul tidur di ranjang bertingkat di atas Ayah. Ayah pulang Kamis pagi saat aku sedang di toko buku bersama Bibi Evelyn. Ia mengenakan mantel baru berwarna cokelat dengan tepian dan kerah berbulu tebal. Kumisnya mulai terbentuk di atas bibir. "Kabar baik," katanya, seraya meraihku dengan tangan merah dinginnya, "kita mendapatkan rumah baru." "Di mana?" aku bertanya. "Ballymun. Sebuah rumah susun. Lantai dua belas dari lima belas lantai," serunya. "Lantai dua belas!" kataku. "Kita akan tinggal di gedung pencakar langit?" "Ya. Dan kolam renang sedang dibangun serta seharusnya akan selesai dalam beberapa minggu. Dan jendela kamarmu kau dapat melihat jumbo jet melayang menuju Amerika." "Kapan kita pindah?" "Besok, pagi-pagi sekali." Bibi Evelyn membalikkan tanda di pintu yang tertera tulisan "Akan Kembali dalam 5 Menit". "Sebaiknya kita mulai berkemas," katanya. "Naiklah dan cari Helen." Kami naik dan mendapati ibuku duduk di sebuah kursi di bawah jendela ruang keluarga. Televisi tidak menyala dan ia sedang tidak melakukan apa pun. "Kau dapat sebuah flat, Helen! Sebuah flat perusahaan baru dan kau bisa pindah besok," kata Bibi Evelyn. "Kau dapat membawa perabotan dan gudang di atas dan ranjang di kamar tambahan." Ayahku berdiri dekat perapian dan memainkan kotak korek api. Ibuku mengangguk tanpa berkata apa pun. "Beberapa tetangga pasti mau menyumbangkan sedikit barang. Tapi kita tidak mempunyai banyak waktu. Aku akan mulai mendatangi mereka sekarang." Ibuku mengernyit. Bibi Evelyn beranjak dari bangku panjang dan menghampiri ibuku. Ia meraih tangan ibuku seakan menuntun seorang cacat yang berusaha berdiri. Tapi ibuku tak menyambut uluran tangan adiknya. Ia berterima kasih dan meninggalkan ruangan. "Tidak perlu mengejarnya," seru ayahku. Aku diam dan menyalakan televisi.[]
24
Pukul delapan pagi, aku berdiri dengan koper biru di samping kakiku memperhatikan Ayah dan pamanku memasukkan barang ke sebuah truk kotor. Ibuku membantu dengan memberikan petunjuk serta meletakkan benda-benda kecil di toli. Aku menawarkan bantuan tapi ia menyuruh aku duduk dan menunggu di samping koperku berjaga-jaga bila ada yang membutuhkan sesuatu dari dalam rumah. "Seperti apa?" aku bertanya. "Seperti mengambilkan secangkir teh atau segelas air bila kami kehausan." Aku duduk di trotoar dan mengambil sebungkus plester luka. Aku mengenakan satu pada lututku, menunggu sejenak, kemudian menariknya lepas. Aku menyukai rasa sakit saat plester itu ditarik. Aku menikmati saat bulu-buluku turut tercabut dan meninggalkan bidang bersih halus di kulitku. Paman Gerald melihat apa yang kulakukan. Ia melambaikan jarinya ke arahku, membuat tanda silang. Aku tersenyum dan membalas tanda silangnya, seperti biasa, ia tidak tahu harus bagaimana. Ia mundur dan menatapku, tangannya tegap di sisi tubuhnya. Ia berbalik kembali ke truk dan menggeser sebuah lemari pendek beberapa inci untuk alasan yang tidak jelas. Kadang seakan Paman Gerald tidak pernah menganggap hidup ini terlalu serius. Ia mencoba segala sesuatu, karena tidak ada yang memperhatikannya, mengubah arah, melakukan hal lain, dan tak peduli pada apa yang terjadi kemudian. Sekelompok tetangga berkumpul. Mereka terdiri atas lima wanita dan dua pria. Mereka berdiri berkerumun di trotoar di depan rumah nomor 17. Cara mereka berdiri merapat menunjukkan bahwa mereka adalah satu keluarga. Mereka menatap seakan memiliki satu pikiran. Saat salah seorang menatapku, yang lain pun menatapku. Saat salah seorang menatap ibuku, semuanya menatap ibuku. Saat salah seorang memperhatikan Paman Jack menyalakan rokok, mereka semua memperhatikannya. Seorang wanita memegang sendok kayu berlumur bubur di ujungnya, dan seorang lagi sedang memegang lap piring. Mereka bilang ingin mengucapkan selamat jalan, tapi tampak jelas mereka datang ingin melihat keadaan sebuah keluarga yang hancur. Ibuku menatap mereka dan melambaikan tangan. Tiba-tiba saja mereka bergerak maju ke pintu truk dan mengelilinginya. Ibu mundur menjauhi mereka. "Kudengar ada pemanas terpusat di setiap flat," kata seorang wanita kurus berambut merah. "Dan akan ada sebuah kolam renang nantinya," kata si wanita yang memegang sendok kayu.
---oOo---
Paman Jack dan Paman Tony duduk di bak truk bersama perabotan dan aku gembira duduk di kabin depan, di antara ayah dan ibuku. Aku senang duduk di bangku truk tinggi dan memperhatikan tangan kekar ayahku memutar roda kemudi saat mengeluarkan truk dari impitan kendaraan yang parkir. Kami berkendara melalui jalan yang penuh sesak. Pemandangan indah pertokoan berderet di sepanjang Jalan North Circular. Aku melihat anakanak berjalan ke sekolah dan merasa bebas. Aku memegang tangan ibuku. Namun, saat mendekati Ballymun, perasaanku berubah. Jalannya menyempit dan sisisisinya dipenuhi sampah. Rumah-rumah di sini kecil, kusam, dengan pintu dan jendela tak bercat. Saat kami memarkirkan truk di tempat parkir di lantai dasar salah satu menara tinggi Ballymun, jelas tak akan ada sesuatu yang baik terjadi
di sini. Ayahku melompat turun dari truk dan aku turun dibantu olehnya. Aku merasa berat dan lelah. Aku melihat ke sekeliling. Semuanya ada tujuh menara dan lusinan blok flat yang lebih kecil mengelilingi kami. Jalan ramai terbentang di ujung tempat parkir. Gedung sekolah besar berada di seberang jalan ramai dan setelah sebuah tempat putaran kendaraan. Ibuku tetap duduk di truk, tangannya berada di pangkuan. Ayahku menyuruh Paman Jack dan Paman Tony keluar dari bak truk dan ia merangkul bahuku. "Setiap menara dinamai sesuai dengan orang-orang yang menandatangani proklamasi Republik Irlandia pada 1916," katanya. "Mana menara kita?" aku bertanya. "Plunkett," jawabnya. "Yang di sana. Menara yang berdiri di tengah."
---oOo--Tidak mungkin melihat tujuh menara itu dalam sekali pandang. Mereka terlalu banyak dan berdekatan sehingga menutupi langit. Untuk melihat mereka semua, kau harus berputar satu lingkaran. Bagaimana dapat disebut baru jika menara-menara itu tampak lusuh dan kotor? Bangunan-bangunan ini seperti gigi-gigi keropos, busuk, dipenuhi noda ter berwarna cokelat. Gigi-gigi raksasa kotor dan jelek. "Bagaimana mengangkut barang ke atas sana?" aku bertanya kepada ayahku. "Menggunakan lift, bodoh." Kami naik ke rumah baru kami. Tidak seperti lift yang kotor, tangga yang kotor, dan koridor yang kotor, dinding flat kami putih bersih dan tak beraroma urine atau puntung rokok basah. Namun, flat itu sangat kecil dengan semua ruang yang serba kecil: dapur kecil, ruang keluarga kecil yang hanya cukup untuk satu bangku panjang, televisi, dan beberapa kursi. Toilet terkecil yang pernah aku lihat, dengan bak mandi yang hanya cukup untuk orang kerdil. Dan dua kamar tidur kecil, keduanya memiliki jendela yang tak dapat dibuka dengan pemandangan ke bawah, ke arah hamparan aspal lapangan parkir. Seperti orang-orang yang tinggal di menara, kami harus membuang sampah melalui saluran pembuangan yang terbuat dan bahan kain parasut, dan saluran pembuangan itu berada di atas tangga dekat jendela kamarku. "Aku tidak ingin tidur dekat saluran pembuangan sampah," aku mengajukan keberatan. "Ya, tidak ada tempat lain," jawab ayahku. Kami masuk ke kamar tidur terbesar. Ruangan itu dilengkapi lemari dinding dilapisi cermin gelap. "Jika aku harus tidur di sini," kata ibuku, "aku akan menutup cermin terlebih dulu." "Pertama kita harus menaikkan barang-barangnya," kata ayahku dan kami turun menggunakan lift.
---oOo--Meski masih banyak barang yang harus dinaikkan, ayahku berkeras bahwa Paman Jack dan Paman Tony harus pergi. Tapi Paman Tony kembali membawa lima kantong keripik pedas serta kami semua duduk di halaman berumput kecil dekat truk dan makan bersama. "Baiklah. Kalian dapat meninggalkan kami," kata ayahku. "Kami dapat mengurus sisanya sendiri." Mereka pergi setelah ayahku memberi sedikit uang untuk ongkos naik taksi. Pemanas terpusat di dalam gedung dinyalakan sangat tinggi. Kami kepanasan di dalam, dan rasanya seperti diguyur air dingin saat kami keluar. Setiap kali usai menaikkan satu barang, ayahku membasuh kepalanya di bawah keran air dingin. Kami berdiri di dapur yang kosong dan memperhatikannya seraya mengipasi diri menggunakan sobekan karton dan kardus barang. "Baiklah. Kita harus berbicara dengan perusahaan untuk mematikan pemanasnya," kata Ayah. "Kita tidak dapat tinggal seperti di daerah tropis." Ibuku menengok ke luar jendela memandangi deretan gedung gelap di belakang kami dan mendesah. "Aku telah berbincang dengan tetangga baru kita, Nyonya McGahern, dan katanya termostat diatur oleh perusahaan dan pelanggan tidak dapat mengubahnya." Ayahku mengelengkan kepala. "Kita akan terbiasa," kata Ibu. "Hanya, kita harus mengenakan pakaian musim panas." Amarah ayahku memuncak. "Baik sekali sikapmu padahal kita baru saja tiba. Sejak kapan kau begitu cepat percaya pada kata-kata wanita tua yang ingin tahu urusan orang?"
"Aku tidak mengatakan soal wanita tua atau ikut campur urusan orang." "Aku melihatnya berdiri di luar, mengintip semua kotak yang kita naikkan. Dan kau! Kau berbicara dengan orang asing dan kau mengizinkannya masuk?" "Michael, aku pikir tidak...." "Aku sendiri akan menemui beberapa tetangga untuk mencari penjelasan yang lebih baik." "Membuang waktu mencari pendapat lain," kata ibuku. "Aku tahu jawaban akan sama saja." Ayah keluar membanting pintu di belakangnya. Aneh sekali berdiri bersama ibuku di dapur yang kosong di belakang pintu yang baru saja dibanting dan keributan yang telah terjadi. Berdiri tanpa melakukan apa pun, dan aneh sekali tidak memiliki pilihan selain keluar lewat pintu yang sama tanpa berkata-kata. Meski hari telah gelap saat kami selesai berbenah dan meletakkan perabot di tempat yang diinginkan, ayahku berkata bahwa kami harus berjalan-jalan sebelum makan dan pergi tidur. "Kita akan menjelajahi sekeliling kemudian minum teh di bar setempat.
Bagaimana?" Kami turun menggunakan lift dan aku harus menutup hidungku selama berada di dalam lift, begitu pula ibuku. Ayahku menekan tombol ruang bawah tanah. "Ayo kita melihat-lihat," katanya. "Apa yang ada di sana?" aku bertanya. "Arena kegiatan. Setiap menara memiliki satu arena kurasa." Namun, saat kami ke sana, arena tersebut ditutup. Sebuah tanda petunjuk waktu buka tergantung di pintu: arena buka pada Sabtu malam. Juga terdapat lembar berisi jadwal kegiatan. Besok diadakan pelajaran bermain gitar untuk anak laki-laki berusia sepuluh hingga enam belas tahun. "Ini dia," kata ayahku. "Pelajaran musik." "Bagus," sahutku. "Tapi aku lapar." "Kita melihat-lihat lagi sejenak. Baru setelah itu kita makan." Saat kami keluar dari lift, aku melihat ke puncak menara, yang mencuat dari dasar beton dan menjulang tinggi melebihi gedung lainnya di Dublin. Lurus ke angkasa seakan memuaskan dahaga dan awan-awan putih, atau mencoba bermandi hujan. Kami berjalan-jalan di antara menara. Seluruh dinding batanya bernoda abu-abu gelap, seperti luka yang meneteskan darah. Satu-satunya warna yang terlihat adalah cat jendela yang mengelupas dan hitam-merah grafiti dinding lantai dasar. Balkon-balkon beton dipenuhi jemuran basah. Koridor yang panjang dan tangga dipenuhi benda yang dilemparkan penghuni di atasnya. Tidak ada pohon. Hanya ada sedikit barisan rerumputan liar di belakang gedung. Di sepanjang barisan rerumputan terdapat pagar berkawat duri yang memisahkan gedung rumah susun dan perumahan di belakangnya. Terdengar suara riuh orang-orang. Sangat ramai. Orang-orang membawa kantong plastik belanjaan, naik-turun tangga yang gelap. "Semua orang di sini bertampang buruk dibandingkan dengan Mami," ujarku. Ibuku menghentikan langkahnya. "Itu perkataan yang tidak baik." Ayahku terus berjalan dan saat ia agak jauh dan kami, ia berhenti lalu menoleh ke arah ibuku. "Kau benar, John. Ibumu sangat cantik. Ia membuat orang lain tampak buruk." Ibu menundukkan kepala dan kami berjalan kembali. Kami berjalan menyeberangi lapangan parkir di depan sekolah. Sekolah yang ayahku ingin aku melihatnya, dan kami melewati sebuah pub. Aroma keripik membuat air liurku menetes. "Aku kelaparan," seruku. "Tahanlah sesaat lagi," sahut ayahku. "Kita selesaikan dulu melihat-lihat." "Tidak," kata ibuku. "Kita harus makan." Kami masuk ke The Slipper, salah satu dari tiga pub berjarak sekitar dua menit dari kompleks rumah susun. Berisik sekali di dalam, penuh suara musik dan obrolan pria-wanita. Dindingnya dipenuhi gambar pesawat terbang. Aku bertanya kepada ayahku berapa banyak mesin sebuah Jumbo 747. Ia jawab, "Cukup banyak," dan kami tertawa bersama.[]
25
Hari pertama kami habiskan untuk memasukkan barang-barang ke dalam lemari dan mengatur ulang letak perabotan. Hari kedua kami berbelanja ke toko. Kami harus membeli semua kebutuhan dan yang paling sepele: garam, merica, tepung puding, dan tepung semolina, hingga panci, lampu pijar, baterai, serta peralatan untuk memperbaiki benda-benda rusak pemberian orang-orang. Di supermarket ayahku menjatuhkan sebotol saus tomat ke lantai dan pecah. Percikan saus mengotori celana panjang ibuku. "Michael!" seru ibuku. "Bila aku tak mengenalmu dengan baik, aku akan mengira kau sengaja melakukannya." "Baik," sahut ayahku seraya menyingkir dan botol yang pecah, "kau tak mengenalku dengan baik, dan itu tidak mengherankan." "Beraninya kau berkata seperti itu kepadaku!" ibuku membentak, tak peduli dengan dua wanita tua yang menatapnya dari bagian makanan beku. "Aku akan bicara bila aku ingin bicara," sahut ayahku. Ibuku melipat tangannya di depan dada dan menatap tajam ke arah Ayah. "Kesabaranku sudah habis, Michael, kesabaranku yang dengan susah payah kuraih. Maka bersyukurlah bila kau menemukan kain basah untuk membersihkan semua noda ini dari pakaianku." Ayahku tersenyum ke arah ibuku, sebuah senyuman hangat, dan Ibu membalasnya seakan telah memaafkan. Aku tak mengerti mengapa ia melakukannya. Apa yang terjadi di antara mereka? Pengertian seperti apa yang mereka miliki? Mengapa ibuku menatapnya begitu hangat? Ayahku pergi mencari kain basah, dan saat kembali ia langsung membersihkan celana panjang Ibu yang tak lagi marah kepadanya. Mereka berciuman lama sekali kemudian kami membayar barang-barang kami.
---oOo---
Pagi di hari ketiga kami di Ballymun, aku bangun dan merasakan sakit di gigiku. Rasanya sakit sekali seperti ada pecahan kaca menancap di rahang kiriku setiap kali aku menarik napas. Ibuku menyuruhku berpakaian. "Ayo kita ke dokter gigi," katanya. "Aku akan membawamu ke balai kesehatan." Balai kesehatan berada di ujung, bersebelahan dengan pusat perbelanjaan. Kami berjalan menyusuri gang yang dindingnya dicat biru bergaris merah. Cerah dan bersih, berbeda dengan kompleks rumah susun yang tak mendapat panas matahari, cahaya, baik di dalam maupun di antara menara-menara. Pusat perbelanjaan itu seperti negeri lain. Bahkan meski gigiku berdenyut, aku merasa seakan sedang berlibur. Di dalam pusat perbelanjaan, cahaya benderang dan aroma menggiurkan donat dan toko roti melayang di udara.
Dalam balai kesehatan ada klinik dokter umum, klinik dokter gigi, dan seorang ahli kimia. Ruang tunggu dipenuhi orang-orang yang sedang membaca majalah. Ibuku mengatakan kepada wanita yang berjaga di meja penerima pasien bahwa aku sedang kesakitan. Kami diminta menunggu lima menit. Dokter gigi itu bernama dr O'Connor. Tubuhnya tinggi dan berbahu lebar, mengenakan pakaian mewah gelap dengan saputangan merah menyembul dari sela sakunya. Aku mengatakan kepadanya sakit di gigiku dan ia melihat ke dalam mulutku menggunakan sebatang logam yang memiliki cermin bulat di ujungnya. Kemudian, tanpa memberi peringatan, ia menarik bibirku ke bawah dan menancapkan jarum suntik ke gusiku. "Itu akan menghentikan rasa sakitnya. Sekarang, tenanglah di kursi sejenak sementara aku mencabut gigimu," katanya. Di langit-langit di atasku terdapat lukisan besar yang kuperhatikan selagi ia mencabut gigiku. Ia memberitahu aku lukisan itu karya Bruegel. Aku akan mengingatnya. Aku mengingat wajah para petani, wanita, dan anak-anak berpakaian cokelat yang sedang memunguti kentang dan tanah bersalju. Tanpa sarung tangan, topi, ataupun syal. "Tidak ada asyiknya bila memandangi langit-langit putih," kata dr O'Connor. "Lebih baik melihat orang yang sakitnya lebih parah daripada kita." "Aku tidak merasakan apa pun," sahutku saat ia selesai, dan ia menjabat tanganku seraya tersenyum lama sekali. "Bocah yang baik. Tadi aku khawatir harus memberimu suntikan tambahan." Aku menyukainya dan membayangkan apa jadinya bila aku memiliki ayah yang berbeda.
---oOo--Segera setelah aku dapat kembali mengunyah makanan, ibuku membuatkan jamur dan sosis goreng serta kami bersantap sambil mendengarkan radio keras-keras mengalahkan suara bantingan pintu dan pertengkaran tetangga. Pukul setengah empat ayahku masuk. "Aku akan mulai bekerja dua hari lagi," katanya. Ibuku menepuk lengannya. Mata Ayah mengikuti gerakan tangan ibuku. "Aku tidak sedang sekarat," katanya. "Ini belum usai." "Pekerjaan apa?" aku bertanya. "Apakah kau berhasil masuk Trinity?" "Tidak. Aku mendapatkan beasiswa di sebuah pabrik logam." "Tapi apakah kau akan tetap mengikuti ujian masuk Trinity?" aku bertanya kembali. "Tidak sekarang," katanya. "Sekarang aku harus mendapatkan sepotong roti."
"Apa?" seruku. "Oh, pikirkanlah sendiri," katanya, "dan sambil memikirkannya, pergilah ke toko membeli susu dan sebungkus rokok Silk Cut warna ungu." "Berapa uang yang akan kau terima setiap minggunya?" tanyaku. "Pergilah dan aku akan kuberitahu saat kau pulang nanti." Aku bangkit dan seakan ibuku membaca pikiranku, ia berkata, "Mengapa kita tidak pergi ke kota besok saja? Kita menjadi wisatawan untuk sehari." Aku pergi ke toko membeli rokok pesanan ayahku dan saat aku pulang, ternyata liftnya rusak lagi. Aku harus melewati tangga yang dipenuhi bau urine.
---oOo---
Mentari bersinar cerah di atas Dublin memancarkan kehangatan. Ayahku mengenakan kacamata hitam membuat tampangnya seperti kaca depan mobil dan ibuku mengenakan gaun terusan selutut warna pink serta sepatu bot putih. Mereka berdua tampak seperti bintang film lagi. Kami berjalan menyusuri trotoar lebar Jalan O'Connell hingga Jalan Grafton, yang membelok di ujungnya menuju pasar Stephen's Green dan Dandelion. Jalan dipenuhi orang berbelanja dan bersantap. Ratusan bus berbaris seperti gajah-gajah kaleng, dengan mata-mata kecil di dalamnya, masing-masing mengamati dunia. Orang-orang berpakaian bagus keluar-masuk taksi. Orang-orang berkoper datang dan pergi dari lobi hotel. Semua sibuk melakukan sesuatu. Kami makan siang di Bewley's dan setelah itu kami berjalan-jalan ke Stephen's Green. Kami membeli es krim dan menyantapnya seraya memperhatikan bebek-bebek diberi makan oleh anak-anak kecil. Ketika hari menjelang gelap kami berjalan kembali menyusuri Jalan Grafton. Lampu jalan bundar menyala putih seperti acar bawang dan saat kami melewati Jalan Moore kami harus melangkahi jalan yang dibasahi air sabun buangan pencucian sayuran dari pasar tadi pagi. Aku berharap dapat tinggal di sini, di kota, dekat lampu-lampu jalan dan pengamen-pengamen jalanan. Aku menggenggam tangan ibuku dan ayahku bersiul seraya kami berjalan sekali lagi menyusuri Jalan O'Connell. Kami melewati gedung bioskop dan aku berhenti. "Dapatkah kita menonton film? Dapatkah kita melihat film apa yang sedang diputar?" Ayahku mengangkat bahu. "Aku tidak melihat alasan mengapa tidak." Bioskop itu sedang memutar film Butch Cassidy and the Sundance Kid, tapi anakanak di bawah usia enam belas tahun tidak boleh masuk. "Berjalan saja di belakangku," kata ayahku. "Masuk saja." Ibuku setuju. Kami membeli tiket dan memberikannya kepada petugas pemeriksa tiket. Meski film telah mulai diputar dua belas menit yang lalu, aku duduk di antara ayah dan ibuku di baris ketujuh dan depan dan itu adalah film terbaik yang pernah kutonton.
---oOo---
Setelah menonton film, kami menyantap ikan dan keripik di bangku di pelataran Universitas Trinity. Meski hari telah gelap dan agak dingin sekarang, masih banyak mahasiswa duduk mengenakan mantel mereka di atas rerumputan atau berjalan dan mengendarai sepeda sepanjang jalan setapak yang diratakan dengan batu-batu kerikil bulat. Meski mereka orang asing, ayahku tersenyum ke arah mahasiswa yang hilir-mudik. Kepalanya menengok ke kiri dan ke kanan memperhatikan mereka menuruni tangga dekat tempat kami duduk. Ia memperhatikan saat mereka keluar-masuk pintu di belakang kami, mengambil sepeda mereka, dan mengendarainya menuju jalan. Lalu ia mendongak melihat jendela-jendela yang diterangi lampu dan menganggukkan kepalanya. "Kau akan berada di sini satu saat nanti," ujarku. "Itu adalah harapan yang sangat besar," sahutnya. Ibuku mengecup pipi Ayah dan menggenggam tangannya. "Ikan dan keripiknya lezat," sahutku, "tapi aromanya lebih lezat lagi. Andai aku dapat menyantap aromanya." Mereka tertawa. "Waktunya pulang," kata ibuku dan seraya bangkit berdiri, ia mencoba menarikku. Tapi aku terlalu berat untuknya hingga ia limbung. Aku menangkapnya sebelum ia jatuh. Ayahku tertawa. "Pasangan yang aneh," serunya.
---oOo---
Pulangnya kami duduk di dek atas bus bertingkat. Empat pria mabuk naik dan berteriak-teriak saat mereka mendaki tangga. Aku menengok melihat mereka. Mereka berjalan sempoyongan. Mereka meraung, menyumpah, menyanyi, dan duduk dengan kasar di bangku. Saat melewati kami menuju ke barisan depan, salah satu dari mereka menjatuhkan botol ke lantai. Ibuku menyeka cipratan cairan yang membasahi kakinya tanpa berkata apa pun. Pria-pria mabuk itu duduk di bangku di depan kami dan membicarakan malam mereka. Lalu salah satu dari mereka menengok ke arah kami. Ia menatap lama ke arah ibuku. Ayahku melipat tangannya di depan dada. Lututnya bergetar naik-turun. Ibuku berdiri dan aku mengikutinya. "Apa ini?" seru si pemabuk. "Keluarga raksasa? Dan lihat. Raksasa perempuan yang cantik." Ayahku berdiri dan si pemabuk kedua berkata, "Mau bermain basket? Apa nama tim kalian? The Beanstalks?"
"Ayolah," kata ayahku. "Kita pindah ke bawah." Ia mendorong punggungku saat berjalan dan menyuruhku bergegas. Kami turun dan duduk dekat sopir yang menengok ke arah kami. "Agak menyebalkan di sana. Selalu begitu setiap malam." Kami mengangguk setuju dan ia tersenyum ke arah kami dari pantulan kaca spion. Meski para pemabuk itu duduk di atas, aroma alkohol sangat kuat tercium seakan mereka mengeluarkan wiski serta bir dan kulit mereka dan tercecer ke lantai. Tanpa peringatan, Ayah memukul belakang kepalaku sangat keras. "Tolol!" teriaknya. "Berhenti menggaruk kepalamu." "Maaf," sahutku, tapi sesungguhnya aku tidak meminta maaf. Para pemabuklah yang telah membuatnya marah, bukan aku. Ibuku menatap ke luar jendela. Jika ayahku tidak di sini, ia akan menghampiriku dan mengatakan sesuatu. Tapi ia hanya menggelengkan kepalanya seakan berkata, "Betapa bodoh." Tapi kepada siapa ia berkata, aku atau Ayah?
---oOo---
Sabtu kedua kami di Ballymun. Sudah lebih dari seminggu dan sekarang aku kembali dan pasar menenteng dua botol susu, satu pon gula, dan dua bungkus roti. Aku mendekati blok kami saat melihat geng Ballymun di ujung bawah tangga. Mereka adalah anak-anak lelaki remaja, beberapa tahun lebih tua dariku. Mereka menyandar ke dinding seraya mengisap rokok, tertawa, menyumpah, dan menunggu orang lewat agar mereka dapat melontarkan kata-kata kotor. Meski tidak ada dan mereka yang tubuhnya sama tinggi denganku, aku memilih naik lift tanpa mempedulikan bau busuknya, hanya demi menghindari mereka.
---oOo---
Aku menunggu lift. Aku tahu dinding akan dipenuhi bekas muntah dan urine. Kadang berhari-hari sebelumnya, kotoran-kotoran itu dibersihkan dengan seember air, kain pel, atau dijilati oleh anjing-anjing. Urine biasanya menghiasi sudut dinding lift. Urine bersifat kental dan lengket sehingga tidak mengalir hingga jauh. Aku tak pernah melihat urine berwarna oranye seperti itu, sangat kental dan lengket. Ketika liftnya tiba, aku mengangkat belanjaan dan masuk. Di dalam lift ada seorang gadis sedang berjongkok menghadap ke tembok seperti berada di toilet. Ia seumurku, sekitar sebelas atau dua belas, menoleh dan tersenyum kepadaku. Aku berharap ia berdiri, menarik kembali celananya, dan keluar dari lift, tapi ia hanya diam dan terus berjongkok. Dalam perjalanan naik ke lantai dua belas, aku melirik celana dalam putihnya yang bernoda kecokelatan, merenggang di antara lututnya yang berbilur biru. Aku bertanya-tanya apakah ia tahu aku sedang memperhatikan noda di celananya dan aku merasa malu; lebih malu, kurasa, karena ia tidak peduli. Ia tersenyum kepadaku saat ia berdiri dan menekan tombol. Aku membalas
senyumannya. Ia berlari keluar dari lift di lantai sebelas, meninggalkan seonggok tinja kehitaman di sudut lift. Ibuku berbaring di ranjang meski ini belum malam, apalagi gelap. Ia tidak tidur, tapi ia berbaring telentang, menatap langit-langit. Aku berdiri di pintu dan bercerita tentang gadis yang buang air besar di lift. "Seperti apa rupanya?" ibuku bertanya. "Giginya putih sekali," jawabku. Tapi mungkin aku mengira giginya putih karena kontras dengan bibirnya yang sangat merah. "Oh, ya," sahut ibuku seraya memejamkan matanya.
---oOo---
Selama minum teh, kami mendengarkan deru mesin jahit di lantai atas. Tepat di atas flat kami tinggal tiga wanita yang salah satunya selalu menggunakan mesin jahit pada pukul lima hingga waktu aku pergi tidur. Ayahku tertawa seraya berkata, "Tiga wanita di atas itu, mereka hampir buta." "Oh, ya?" sahut ibuku. "Ya, dan mereka bersaudara. Mereka hampir tak dapat melihat melebihi ujung hidung mereka sendiri." “Tapi, jika mereka nyaris buta, bagaimana mereka dapat menggunakan mesin jahit?" tanya ibuku. "Itu satu yang penglihatannya paling baik," sahut Ayah, "dan ia hanya menjahit taplak meja, yang tak memerlukan keterampilan khusus." "Bagaimana kau tahu?" aku bertanya. "Aku bekerja bersama pria yang bercerita tentang mereka," katanya. "Mereka cukup terkenal di lingkungan ini. Orang mengatakan orangtua mereka adalah dua orang saudara sepupu." "Bagaimana mereka dapat menghidupi diri bila mereka buta dan tak memiliki suami?" tanyaku. "Mana aku tahu?" sahut ayahku. "Bagaimana semua wanita lahir ke dunia yang kata orang adalah milik kaum pria ini?" Ibuku memukul sisi cangkirnya dengan sendok dan ia mendeham. "Hanya bercanda," kata Ayah. "Hanya bercanda." Tapi kemudian, ketika kami mendengar mereka membuat keributan, ayahku menyebut mereka "tiga tikus buta". Ia mendendangkan lagu anak-anak seraya menatap langit-langit.
---oOo---
Keesokan paginya, saat menikmati sarapan, kami mendengar tiga wanita di lantai atas. Kedengarannya seakan mereka mengetuk-ngetuk lantai dengan gagang sapu. "Ah, tiga tikus buta berjalan dengan tongkat mereka," kata ayahku. Namun, aku yakin kemarin melihat mereka keluar dari lift. Tiga wanita itu berusia sekitar awal dua puluhan, berambut gelap panjang, dan mata berwarna gelap. Mereka mengenakan parfum yang aromanya menyengat. Aku tidak melihat mereka menggu-nakan tongkat atau kacamata hitam. Mereka tampak normal bagiku. Bahkan dua di antara mereka mengenakan sepatu hak tinggi. Aku mengernyit. Ibuku berhenti makan. "Mereka tidak sepenuhnya buta," ayahku melanjutkan. "Jika mereka sungguh-sungguh buta, mereka akan tinggal di rumah tanpa banyak bergerak dan memelihara anjing penuntun."
---oOo--Hari menjelang siang, dan aku masih bersama ayahku. Aku melihat tiga wanita itu lagi di dekat tangga di luar flat kami. Kami sedang mengecat pintu depan flat. Aku berdiri di plastik penutup lantai membantunya memegang kaleng cat. Ia berhenti mengecat dan meraih bahuku. "Tiga tikus buta arah jam dua belas," bisiknya. "Apa?" sahutku. "Di depan," bisiknya lagi, "tiga tikus buta di ujung lorong." Saat ayahku menyiulkan lagu Three Blind Mice, para wanita itu berjalan ke arah tangga di sisi menara. "Ayo kita ikuti mereka," kataku. Salah satu dari mereka mendengar kata-kataku dan menoleh. Wanita itu tampak tak terganggu; bahkan tampak senang dan berhenti melangkah sejenak. Aku berpaling ke arah ayahku. Ia tetap bersiul dan menatap wanita itu yang akhirnya berbalik dan menyusul rekan-rekannya. Ayah mengamati hingga mereka menghilang dan pandangan.
---oOo---
Bibi Evelyn datang berkunjung. Ia membawa sekotak kue krim dan sebuah poster untuk digantung di dinding lorong. Ia memperhatikan dengan saksama setiap sudut flat dan saat ia selesai, ia berdiri di depan foto pernikahan orangtuaku yang diletakkan di atas lemari dekat pintu dapur. "Kulihat kau membawa keglamoran masa lalumu," katanya. "Apakah kau tidak memajang foto pernikahanmu?" tanya ibuku. "Sama sekali tidak. Rasanya seperti memandang sepasang hantu."
Bibi Evelyn berkacak pinggang. Ia tak akan pergi tanpa bertengkar terlebih dulu. "Kertas pelapis dindingnya bagus, bersemu merah muda dengan sedikit sentuhan bunga-bunga kuning ber... garis-garis mencuat itu." "Benang sari," sahutku. "Itu namanya benang sari."
---oOo--Kami masuk ke dapur dan duduk di meja menikmati sepoci teh. Ayahku memangku sebuah buku, The Science of Understanding the Depressive Mind. Tapi buku itu tampak hanya sebagai sandaran tangannya. Aku belum pernah melihatnya membaca buku sejak kami pindah ke tempat ini. Ibuku menguap dan Bibi Evelyn terus berbicara. "Apakah kau tahu bahwa dr Behan meninggal minggu kemarin? Ia telah menghadap Tuhan. Oh, ia selalu menghormati kekurangan pasiennya. Ia tak pernah memeriksa pasien wanita di bawah umur enam belas tanpa ditemani ibunya, begitu pula dengan anak laki-laki." Ibuku tak berkomentar, alih-alih berbicara, ia malah menguap lagi. "John, berhenti menggaruk kepalamu," kata ayahku. Teriakan dari flat sebelah dimulai. Seorang wanita berteriak dan Bibi Evelyn melihat ibuku. "Bila kau telah terbiasa dengan suara berisik seperti itu, kukira akan lebih baik," katanya. "Di sini terlalu panas tapi secara keseluruhan tempat ini cukup nyaman. Kupikir kau telah membuatnya nyaman." Aku dapat melihat ibuku mengernyit dan ia tahu, seperti juga aku, bahwa Bibi Evelyn berbohong. Untuk pertama kalinya aku bertanya-tanya apakah bakatku diturunkan dari ibuku, yang melihat apa yang kulihat: Bibi Evelyn mengangkat bahu saat berkata, "Cukup nyaman," dan bahasa tubuhnya tak sesuai dengan perkataannya. Aku mulai menajamkan kemampuanku, menguasainya. Saat aku mendeteksi kebohongan, aku merasakan panas di sekitar telinga dan kerongkonganku, tapi aku tidak merasa mual. Akhirnya aku menjadi seorang ahli. Aku menghafal lebih banyak kutipan dari buku. Ini salah satu kesukaanku: "Banyak orang tidak menyadari tanda dan ekspresi para pembohong. Ekspresi wajah dan gerak tubuh sering terlihat atau tidak terlihat kecuali kau memiliki mata yang sangat awas, sebuah naluri, sebuah bakat, kau tidak akan mampu melihatnya dan tak akan dapat mendeteksi kebohongan." Bibi Evelyn terus berbicara dan kali ini ia membahas pekerjaan di pabrik, tempat ayahku mengenakan celana terusan untuk kerja, dan menggunakan las buat menyambung potongan-potongan logam. "Untung itu hanya sementara," kata Bibi Evelyn, "guna mengurangi kesulitan keuanganmu."
Ayahku bangkit berdiri. "Tidak ada yang akan mati hanya karena menjadi buruh
kasar," katanya. "Kau berbicara seakan bekerja di pabrik adalah kutukan fistula berbau busuk." "Fistula itu apa, sih?" tanya Bibi Evelyn. Semua orang menatap ayahku, tapi tak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun. Aku bergegas mengambil kamus di meja kopi dan membawanya kembali ke dapur. "Tunggu, aku kuberitahu." Aku membaca maknanya sekali saja, menutup kamus di dadaku, dan mengingatnya dalam kepalaku. "Fistula adalah lubang di anus manusia yang mengeluarkan nanah berbau busuk dan kotoran sepanjang hari," seruku. Ayahku tertawa dan terus tertawa. "Oh, di saat seperti ini aku bersyukur memilikimu," katanya. Wajah Bibi Evelyn merah. Telinga dan lehernya juga semerah obat batuk. "Oh," katanya. "Aku mengucapkan sesuatu yang salah saat aku hanya mencoba menunjukkan perhatianku dan sekarang aku dimusuhi." "Aku tahu itu," kata ibuku. "Tidak perlu khawatir." Bibi Evelyn menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba memancing pertengkaran lagi. "Baik, Helen, ini adalah berkah tersembunyi yang tak akan kaudapatkan lagi. Maksudku, sebuah berkah yang hanya sekali kaumiliki, bukan begitu?" Ibuku mengernyit. "Apa maksudmu?" "Lebih baik, karena kau hanya memiliki John, tidak ada anak lain yang harus diurus. Maksudku, di tempat ini, dan semuanya." Ibuku beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke bak cuci, memunggungi Bibi Evelyn. Ia menggosokkan selembar kain basah di atas papan pengering. Diam-diam aku menghitung bersamanya. Ia menggosokkan kain maju-mundur tepat sepuluh kali. Ayahku meninggalkan ruangan tanpa berpamitan. Sekali lagi tak ada yang berbicara. Bibi Evelyn memainkan sendok tehnya dan memutar-mutar piring kosongnya. Menurut jam di samping jendela, kami saling berdiam diri selama tiga menit. Tapi rasanya seperti tidak ada seorang pun di dunia ini yang akan berbicara lagi, dan kerongkonganku terasa penuh oleh debu kering. "Baiklah," kata ibuku, berpaling kepada adiknya, "waktunya minum teh." Bibi Evelyn melihat arlojinya. "Ya, ampun! Apa yang terjadi dengan waktu?" "Berjalan sebagaimana mestinya," sahut ibuku. "Kita bertemu kembali hari Minggu, kan?" tanya Bibi Evelyn saat ibuku menemaninya ke pintu dapur. "Ya. Hari Minggu." Pintu depan dibanting dan aku hanya berdua dengan ibuku. "Mengapa ia berkata
demikian?" aku bertanya. "Apa maksudnya berkata, 'Untung kau hanya dapat memiliki satu anak? Kupikir aku memang diinginkan sebagai anak tunggal." "Ia tak berhak mengatakan itu. Ia marah kepada ayahmu dan ia tak berpikir dengan jernih." "Tapi tetap saja ia mengucapkan sesuatu yang buruk." "Aku tidak peduli yang ia katakan." Ibu meraih lenganku dan aku maju memeluknya. "Bagus. Sekarang, cuci tangan sebelum minum teh."
---oOo--Dalam berita terpampang gambar anak-anak Afrika yang kelaparan. "Menyedihkan," kata ibuku, "saat anak-anak malang itu mati, mereka diusung dengan kereta barang." "Kau mau aku mematikan televisinya?" aku bertanya. "Tidak," sahutnya. "Biarkan saja." Sesudah menonton warta berita, kami duduk menikmati teh di dapur. Setelah keheningan beberapa lama, ayahku berkata, "Dengar. Tiga tikus buta itu lagi." Dari lantai atas terdengar suara mesin jahit dan sesaat kemudian seseorang berjalan menyeberangi ruangan menggunakan sepatu hak tinggi. "Tongkat bantu berjalan," kata ayahku. "Dengar." Ia mulai menyiulkan lagu itu lagi, "Three blind mice, three blind mtce, see how they run...." "Mereka mulai lagi," katanya. "Meeces to pieces," sahut ibuku, matanya berair. "Apa yang kaubicarakan?" aku bertanya. "Jangan bertanya dan aku akan mengatakan sejujurnya," sahut ayahku. "Tapi kau memang berbohong," kataku. Ia tak mempedulikan aku. Aku tak dapat memercayainya dan ibuku mendorong keripik ke dalam kuning telur mata sapinya. Aku benci bila Ayah tak menggubrisku, dan darah mengalir memenuhi semua saluran di lehernya membuatku kesulitan menelan. Ada yang salah dan aku ingin tahu apa itu. Aku beranjak dari meja dan meninggalkan makananku. Mereka tidak memanggilku dan aku tak aneh. Aku masuk ke kamarku dan menulis surat lagi untuk Guinness Book of Records. Tapi saat aku selesai, aku khawatir mereka tidak suka karena aku tinggal di Ballymun. Maka aku menambahkan catatan:
NB: Aku mencantumkan alamat sementara kami di Dublin, yaitu di Ballymun, tempat kami tinggal selama beberapa bulan hingga ayahku selesai membangun rumah di Donnbrook.
---oOo---
Hari Minggu kami pergi menghadiri misa bersama Bibi Evelyn, Paman Gerald, si kembar, dan Liam. Kami menghabiskan makan malam dan sekarang aku dan ibuku berdua di dapur mendengarkan radio. "Mam, aku ingin bertanya apakah aku boleh memiliki radio di kamarku?" "Untuk apa?" "Untuk menutupi suara berisik dari saluran pembuangan sampah. Aku tak suka suara dan baunya." "Kau ini seperti orang kaya yang selalu memaksakan diri hidup di atas asap penggilingan," katanya. Ayahku masuk ke dapur dari arah belakangku. Ia pasti baru saja berbaring di bangku panjang. Ia tidak menghadiri misa tadi pagi. "Kita tak mampu membeli radio lagi," ujarnya. "Tapi aku benci suara dan baunya dan aku tak ingin tidur di kamar itu lagi." Ia menatap ibuku. "Baiklah," katanya, "kau dapat tidur bersama ibumu, jika kau mau." "Tapi di mana kau akan tidur?" "Aku akan tidur di bangku panjang. Aku sudah terbiasa." "Gagasan bagus," sahutku. "Tidak akan ada yang tidur di bangku panjang," seru ibuku. "Baiklah," kata ayahku seraya menggaruk jenggotnya yang sekarang lebih hitam dan tebal daripada biasanya. "Hingga kita memiliki rumah sendiri, kau akan tidur bersama ibumu, dan aku akan tidur di kamar berbau sampah." Ia mengedipkan matanya dengan riang ke arahku, tapi ibuku tidak yakin. "Mengapa kita tidak membicarakannya lagi?" katanya. "Mungkin nanti." "Bukan masalah sulit," sahut ayahku. "Aku akan tidur di kamar yang kecil dan kalian berdua berbagi ranjang besar itu." "Bukankah lebih baik jika seseorang tidur di bangku panjang?" ibuku bertanya. "Aku tidak akan tidur di bangku panjang," sahutku. "Aku pun tidak," sahut ayahku. Ibuku menatap tajam dan dingin ke arah ayahku. "Demi jagat, Michael! Kau baru saja mengatakan telah terbiasa tidur di bangku panjang." "Aku tidak serius," katanya. "Baik," sahut ibuku seraya beranjak, "terserah kalian saja."
---oOo---
Tadi malam ayahku akhirnya tidur di bangku panjang. Dan sekarang kami bertiga berdiri, masih mengenakan piyama, di ruang keluarga seusai sarapan, melihat selimut, bantal, tisu, bekas bungkus permen yang berantakan sisa kesibukan ayah tadi malam. Ibuku mengingatkannya agar merapikan ruangan dan memunguti sampah di tempat ia tidur tadi malam. Ayahku menyahut, "Apa bedanya liang kubur ini berantakan atau tidak?" Ibuku menggelengkan kepala dan mencoba tersenyum. "Tidak terlalu buruk," sahutnya. "Ada saja sisi baiknya." "Di mana?" aku bertanya. "Apakah menara ini memiliki sisi kelima yang tidak aku ketahui?" Ayahku meninju lenganku seakan berkata, "Lelucon yang bagus," dan ibuku menghela napas. Tadi malam aku tidur tanpa suara di sampingnya. Rasanya hangat dan ia berbaring menyamping serta tak bergerak semalaman. Mimpiku panjang dan jelas. Dan aku suka tidur bersamanya karena kami berbincang sebelum ia mematikan lampu. Dan saat ia mengantuk, suaranya berubah lembut dan ramah.
---oOo--Ketika ayahku pulang kerja, aku menanyakan seperti apa pabrik itu. Ia mengangkat bahu. "Membuatku jauh dari kesulitan," katanya. Kata-kata yang tak biasa ia ucapkan. "Kukira kau dapat membaca di bus," aku berkata. "Kau dapat belajar untuk menghadapi ujian masuk Trinity." "Dan itulah tepatnya yang kulakukan," sahutnya. Tapi itu adalah kebohongan. Aku memeriksa tasnya saat ia sedang di kamar mandi; tidak ada buku. Mungkin ia membaca di malam hari saat aku dan ibuku telah pergi tidur, tapi kurasa tidak. Kedengarannya ia menonton televisi. Aku membiarkan diriku terjaga. Dan saat tengah malam aku beranjak dari ranjang mencari ayahku. Ia tidak berada di kamar tidur. Ia berada di ruang keluarga, duduk di bangku panjang menonton televisi. "Kau masih terjaga," sapanya. "Aku tidak dapat tidur." "Apakah kau bermimpi buruk?" Aku tertawa. "Tidak, hanya terbangun." "Duduklah bersamaku dan menonton ini." "Tapi tidak ada apa pun." Acara televisi habis selepas tengah malam ditandai dengan suara lonceng Angelus. "Aku tahu. Tapi menatap layar kosong membantuku berpikir. Lagi pula, Crito menyukai pantulan dirinya di kaca gelap ini." Aku terlonjak dan bangku panjang. Aku tak dapat memercayainya.
"Crito? Crito di sini? Siapa yang membawanya?"
"Tidak, duduklah. Crito tidak ada di sini." "Lalu kenapa kau berbicara seakan Crito ada di sini?" "Aku membayangkan ia ada di sini," katanya. "Ini. Lihat." Ayahku mulai membelai udara kosong di antara kami, lembut, membentuk tubuh kucing, seakan Crito sedang duduk di sana. Lalu ayah menepuk pahanya seakan mengundang Crito duduk di pangkuannya. Ia berseru, "Hop," saat Crito melompat dan ia terus membelai punggungnya, kali ini lebih panjang, rata. "Kau lihat, seakan ia berada di sini." Aku menelan ludah dua kali hingga kerongkonganku kering lagi dan berpaling menatap tirai. "Itu gila, Pa. Aku tidak tahu kalau kau sudah sinting." "Tidurlah bila kau tak ingin tertidur di sekolah besok." Aku bangkit. "Aku bahkan belum mulai bersekolah. Mami berusaha menghindarkan aku dan panggilan Ballymun National School." Ibuku ingin aku bersekolah di sebuah sekolah biara, seperti yang berada dekat toko buku Bibi Evelyn. Sekolah itu dikelilingi tembok bata tinggi, memiliki gua dan patung Perawan Maria serta kolam air suci di taman depan. "Ya, tentu saja. Tapi kau tetap harus tidur. Kita bertemu lagi besok." "Malam, Pa." "Malam, John." Ia mengecup tanganku sebagai lelucon dan aku tertawa.
---oOo--Kami telah berada di Ballymun selama hampir dua minggu dan aku ingin bersekolah. Aku ingin mendapat teman baru dan bosan berkeliaran di sekitar flat. Aku telah membaca semua bukuku. Tidak ada yang dapat kutuliskan di "Gol of Seil" dan meski membuat panggung boneka baru dari karton bekas kotak apel untuk ibuku. Tidak ada lagi yang dapat kulakukan. Maka aku berjalan menaiki ketujuh menara. Dan saat aku kelelahan naik-turun tangga, aku menatap Ballymun dari jendela, atau berbaring di ranjang ibuku sambil membaca. Kamar yang kami tempati bersama sekarang lebih baik setelah ia memasang kertas pelapis dinding menutupi cermin bercat cokelat.
---oOo--Dalam tiga hari aku melihat empat ambulans dan delapan mobil Garda. Kadang si orang yang terluka berada di ambulans bersama orang yang telah melukainya. Kadang wanita menyakiti pria, kadang wanita saling melukai, dan kadang pria mabuk melukai wanita setelah teriakan-teriakan panjang, tapi teriakan wanita lebih nyaring daripada pria.
Aku melihat seorang wanita yang tak sadarkan diri ditandu ke dalam ambulans. Cara pintunya membuka, dan petugas ambulans berpakaian putih meluruskan tandu sebelum masuk ke dalam ambulans, tampak seperti seorang koki meletakkan makanan di loyang sebelum masuk ke dalam oven. Aku dapat melihat cucian terlepas dan tali jemuran di balkon mereka dan jatuh ke lantai dasar. Bila tidak jatuh atau ditiup angin, anak-anaklah yang mencurinya. Lantai dasar rumah susun ini adalah daerah yang paling dihindari oleh para penghuninya. Daerah itu dibiarkan kosong dan tak terurus.[]
26
Sebuah surat datang kemarin memberitahukan bahwa aku harus masuk Ballymun National School di seberang jalan. Hanya membutuhkan waktu dua menit dan aku dapat melihat menara Plunkett dari jendela ruang kelasku. Aku akan mulai sekolah besok, dan ini hari bebasku yang terakhir. Aku bangun kesiangan dan langsung ke dapur untuk sarapan. Ibuku masih tidur, tapi seseorang telah meninggalkan dua buku tulis baru di atas meja. Aku mengambil pisau dan laci dan memotong selembar kertas koran di celah antara lemari dan kulkas serta menggunakan lembaran koran itu untuk membungkus buku-buku baruku. Kemudian aku melihat sebuah catatan terjatuh dari meja. Ayahku yang meninggalkan catatan itu bersama dengan uang lima pound direkatkan menggunakan selotip.
Putraku tersayang, Semoga harimu menyenangkan besok. Dan ini sedikit uang untuk membeli hadiahmu sendiri. Kuharap ini akan menggembirakanmu. Dengan cinta, Pa Aku berjalan menyeberangi jalan melewati dua blok menuju toko mainan di pusat perbelanjaan yang luas. Aku belum pernah masuk ke sebuah toko mainan sebesar dan seterang itu. Aku melihat berkeliling selama beberapa jam sebelum akhirnya memilih sebuah mobil dengan kemudi jarak jauh bernama Johnny Speed, Mobil Balap Terhebat yang Pernah Dibuat, oleh Topper Toys. Aku membalik kotaknya dan membaca setiap inci tulisannya. Aku terpukau melihat foto berwarna besar di pembungkusnya. Mobil itu adalah Jaguar XKE konvertibel warna merah menyala. Di tempat duduk depan terdapat boneka pengemudi berwarna kulit. Mobil itu dapat bergerak maju-
mundur. Rodanya pun dapat dikendalikan sehingga dapat membelok. Tak ada yang memiliki mainan ini dan aku dapat mengemudikannya di belakang kompleks. Jika ada orang berhenti untuk menanyakan, aku dapat memberi mereka penjelasan. Jika aku memiliki uang yang kuambil dari Nenek, aku dapat membeli perlengkapannya. Aku dapat membeli lintasan balap, para petugas pit-stop yang mengenakan celana terusan dan topi, podium untuk penonton, serta petugas yang mengibarkan bendera finis kotak-kotak hitam-putih. Uang kembalianku masih cukup untuk membeli baterai, sebatang cokelat Mars, dan sebotol Fanta. Kemudian aku duduk di sebuah bangku besar di tengah kehangatan pusat perbelanjaan dan membaca petunjuk pemakaian mainan baruku. Saat aku yakin telah memahami cara kerjanya, aku meraih mobilku dan kotak kendalinya dari bungkusan busa lalu melakukan uji coba pertama di atas lantai mengkilap pusat perbelanjaan.
Mobil itu berjalan dan melaju kencang! Dua wanita menghampiri dan berdiri menonton di sampingku. Kotak kendali dan mobil Jaguar dihubungkan kabel sepanjang tiga puluh kaki hingga mobilku dapat menjelajah cukup jauh. "Ajaib bukan?" seru seorang wanita. "Ini baru," sahutku. "Aku baru saja mendapatkannya sebagai hadiah ulang tahun." "Selamat ulang tahun." "Hadiah yang bagus." "Terima kasih, aku menyukainya," sahutku. "Daah," kata seorang wanita. "Kami masih harus berbelanja," kata yang lain, dan mereka pun berlalu. Aku berharap orang-orang akan menonton. Aku menjalankan Jaguarku mengelilingi bangku. Kabelnya tersangkut, tapi aku melepaskannya dan mencoba lagi. Saat kedua kali, aku berhasil melakukannya dengan baik.
---oOo--Aku berjalan pulang ke rumah susun. Geng anak laki-laki itu bergerombol di dekat lift. Kali ini aku harus menggunakan tangga. Jika ada dan mereka yang berbicara kepadaku, aku akan berhenti sejenak sebelum menjawab, menarik napas dalam agar tak terdengar gugup. Saat aku menginjak lantai satu, salah seorang anggota geng berlari mengejarku. Aku tetap berjalan menyusuri balkon, tapi ia berhasil menyusul. "Minggir tolol!" serunya. Aku tidak menghalangi jalan, maka aku merapat ke sisi kiri tangga dan terus berjalan. "Kataku, minggir, bodoh!" serunya lagi. Aku terus berjalan hingga lantai dua dan berbelok ke kanan, berpura-pura tinggal di lantai ini. Anggota geng lainnya telah berada di belakangku. Aku berhenti dan berbalik. Aku menggunakan logat Dublin. "Howya?
Aku baru saja pindah dari Gorey." "Aku akan menunjukkan kepadamu, Gorey," ujar anak yang bertubuh paling jangkung. Aku menghitung jumlah mereka: hanya berlima, bukan selusin seperti perkiraanku. "Berapa tahun umurmu?" tanya salah seorang dan mereka. "Sebelas," jawabku. "Lalu, kenapa kau tidak berada di sekolah?" tanya anak yang berdiri di tangga, yang satu matanya berwarna biru dan satunya lagi cokelat. Sekarang kami semua sedang berdiri di balkon di depan flat nomor 29. Kuharap seseorang akan mendengar bila ada keributan.
"Aku tidak ingin bersekolah," jawabku. "Lalu kalian kenapa tidak bersekolah?" Mereka mengatakan kepadaku bahwa mereka pun tidak ingin bersekolah. Aku bertanya-tanya bagaimana mereka dapat menghindari panggilan dari sekolah, tapi aku tak bertanya. Mereka semua berumur sekitar tiga belas atau empat belas tahun. Tak ada yang tubuhnya setinggi aku dan aku tidak takut dipukuli seperti biasanya. Tapi aku masih lebih memilih mereka meninggalkan aku sendiri agar aku dapat pulang dan bermain dengan mobil baruku. "Apa yang ada di dalam bungkusan besar itu?" tanya si jangkung, yang berambut pirang di pucuk kepalanya, dengan kuncir kecil berminyak menggantung di belakang kepala. "Belanjaan," jawabku. "Tidak terlihat seperti belanjaan." "Tampaknya seperti kotak warna-warni." Aku mundur sedikit hingga menyentuh dinding balkon dan aku menyadari hanya akan membuat mereka semakin penasaran. "Ini mobil kemudi jarak jauh," sahutku. "Berikan kepada kami," seru anak yang matanya berbeda warna. "Baiklah," jawabku. "Tapi biarkan aku yang menjalankan pertama kali. Aku akan menunjukkan kepada kalian." Aku mengeluarkan mobilnya dan kotak pembungkus dan memastikan mereka tidak melihat tanganku yang gemetar. Aku memasangkan baterainya dan memikirkan langkah selanjutnya. Aku mengendalikan mobil itu sepanjang balkon hingga ke ujung dan berbelok saat mencapai tangga. Mereka memperhatikan. "Beri aku rokok," kataku. "Aku akan menunjukkan sesuatu kepada kalian." Si anak dengan kuncir berminyak memberiku sebatang rokok, yang kumasukkan ke dalam kabin mobilku. Kemudian dari jarak sepuluh kaki aku menjalankan mobil itu menghampirinya. "Sialan," katanya. "Aku mendapat kiriman rokok!" "Ya," sahutku. "Sialan." Aku berharap tidak mengatakan itu tadi. Mereka menatapku dan menyuruhku ke ujung
lain balkon. Aku mengambil rokok itu dari mobil dan memasukkannya ke dalam saku. Aku memastikan mereka melihat gerakanku. Mereka memanggilku. "Mau bergabung?" tanya si anak berkuncir. "Oke," sahutku. "Tapi kau harus memberikan mobilmu," sahut si anak yang terpendek. "Sebagai jaminan. Lebih baik daripada membayar iuran anggota." Aku membungkuk untuk memasukkan mobil baruku ke dalam kotak pembungkusnya. Aku mencoba tenang dan mengambil jeda dengan menjatuhkan baterainya agar dapat menahan tangisku. Aku menelan ludah beberapa kali sebelum mendongak. "Apakah geng kalian memiliki nama?" aku bertanya. "Ya," sahut anak yang menyandar ke dinding balkon. Sebatang rokok terselip di atas daun telinganya. "Kami disebut The Fangs." Mereka semua tertawa dan aku pun turut tertawa, meski aku tahu mereka menertawakan aku: mereka tidak bernama The Fangs. Aku memberikan mobil baruku dan kami berjabat tangan. Mereka menyebut nama masing-masing. Si pemimpin bernama Mark. Ia adalah anak yang bertubuh paling jangkung dan berkuncir. Anak yang matanya berbeda warna bernama Colman. "Satu lagi," kata Mark, "kau harus melakukan sebuah tugas sebelum menjadi anggota penuh." "Apa?" "Kau harus pergi ke perumahan baru itu dan membawakan kami sebuah bak cuci baru." "Ya," Colman menimpali. "Dan bawa kepada kami pukul lima besok." Mereka memintaku bersumpah jika tertangkap akan mengaku tak mengenal mereka, dan mereka berjanji akan mengaku tak mengenal diriku. "Tentu," sahutku dan kami berjabat tangan kembali. Tanganku tidak lebih basah daripada tangan mereka. Mereka menanyakan menara tempat aku tinggal dan nomor flatku. Aku memberitahukan menaranya, tapi memberikan nomor flat Nyonya McGahern. Seharusnya aku tidak memberitahu di lantai mana aku tinggal. "Tapi sebaiknya kau tak datang ke tempatku," ujarku. "Ibuku tuli dan buta. Ia mudah marah bila terkejut." Aku semakin lihai berbohong. Wajahku tidak terasa panas dan tubuhku tidak bergetar. Aku berdiri tegap dan kuat di atas kakiku. Mark memberitahukan bagaimana gedung perumahan itu dikerjakan. Pertama si mandor datang kemudian membuat parit-parit. Lalu adonan beton dituang ke dalam parit. "Apakah ada yang pernah terjebak dalam beton basah?" aku bertanya. Mereka tertawa dan saling memandang. "Lebih baik kami menyerahkan urusan itu
kepadamu," sahut Colman dan dalam komandonya, semua anggota geng beranjak mengikutinya. Beberapa saat kemudian, Mark kembali. "Jangan lupa," katanya. "Kita bertemu besok di ujung bawah tangga." Mobil baruku dikempit di bawah ketiaknya.
---oOo---
Aku tidak takut kepada mereka. Aku hanya takut mereka akan mempermalukan aku. Aku akan melakukan apa pun yang setuju kulakukan. Aku akan mencuri bak cuci dari rumah kosong yang bukan milik siapa pun.
Aku menyeberangi jalan menuju perumahan baru. Dan setelah para pekerja meninggalkan lokasi, aku menyusuri dinding yang belum selesai. Saat aku siap, aku masuk ke halaman belakang memanjat sebuah jendela bercat putih yang masih basah. Cat itu mengotori celana dan tanganku. Bau cat basah seperti krim kue membuat aku harus bernapas melalui mulut. Aku masuk ke ruang keluarga dan duduk di karpet baru yang lembut. Ruangannya sangat luas dan bersih. Aku berbaring telentang dan berguling-guling. Aku melepas celanaku untuk merasakan permukaan karpet di kaki telanjangku. Aku juga melepaskan celana dalamku untuk merasakan lembutnya karpet saat menyentuh bokongku. Aku berpakaian kembali dan masuk ke kamar mandi. Aku duduk di lantai yang baru dan memainkan dudukan keran yang berbentuk lumba-lumba. Rumah besar yang indah. Aku ingin tinggal di sebuah rumah yang belum pernah dihuni. Aku menarik bak cucinya, tapi benda itu telah dipasangkan ke tembok menggunakan sekrup. Aku pergi. Hari mulai gelap dan berjalan melalui parit-parit rasanya seperti berjalan menyusuri labirin. Aku menulisi beton yang basah, dan memutuskan sehelai benang yang digunakan para pekerja untuk menandai batas ruangan rumah baru. Aku harap para anggota geng melihat apa yang kulakukan. Aku membayangkan tinggal di sebuah rumah baru, lebih besar dan lebih bersih daripada flat kami. Juga dengan jendela yang lebih besar. Rumah itu memiliki tangga. Aku merindukan tangga pondok nenekku yang menuju ke kamar tidur ayah dan ibuku. Waktu hampir pukul enam dan aku belum mendapatkan sebuah bak cuci. Aku kelaparan dan kelelahan dan aku harus pulang. Aku akan mengambil bak cucinya besok.
---oOo---
Ibuku berada di dapur. Ia duduk di lantai bersilang kaki. Lengannya bertumpu di lutut. Serpihan-serpihan piring pecah bertebaran di lantai. Ia tampak baru saja menangis. Helaian rambut basah menempel di wajahnya.
"Apa yang terjadi?" aku bertanya. Ia menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Apa yang terjadi denganmu?" "Tidak ada." "Celanamu penuh cat." Aku ingin menceritakan kepadanya. Aku ingin menceritakan segalanya, tentang rumah baru, geng, tapi tidak sekarang. Aku ingin tahu kenapa ia menangis. "Aku membantu orang mengecat dinding di ruang bawah tanah. Bersama orang dari balai masyarakat." "Kau harus merendam pakaianmu."
"Tapi mengapa kau duduk di lantai? Mengapa kau menangis?" "Duduklah dan akan kuceritakan," katanya. Meski sepertinya ia memintaku duduk di kursi, aku malah menyingkirkan serpihan piring pecah dan duduk di lantai. "Tadi aku sedang memeras jeruk tapi jeruk itu kering sekali hingga aku merasa seperti mencekik seseorang hanya demi mengeluarkan sedikit cairan darinya." Aku menatap matanya dengan saksama, dan ia membuang muka. "Aku mendadak marah. Marah kepada benda kecil ini. Aku meraih sebuah piring yang ditinggalkan ayahmu di rak pagi tadi dan melemparnya ke dinding." "Apa ada yang bisa kubantu? Kau ingin aku menolongmu?" Ia meraih tanganku. "Ya, kau dapat membantu. Kau dapat belajar dengan rajin, lulus dengan nilai tertinggi, menjadi dokter gigi atau pilot atau apa pun yang berguna, menikahi seorang wanita yang memiliki otak dan setidaknya empat orang anak. Dan nyanyikan Auld Lang Syne saat pemakamanku." "Tapi aku tak dapat menyanyi," kataku. "Kalau begitu putar saja kaset," dia membalas. "Pemutar kaset tidak akan muat dalam peti mati." Dan kami terdiam hingga akhirnya ia berkata, "Aku mencintaimu lebih dan seharusnya. Tak peduli apa pun yang kaulakukan, aku akan mencintaimu dan itu adalah hal yang tak akan pernah kaupahami." "Aku akan memahaminya," sahutku. Aku meringkuk dan menyandarkan kepalaku di pangkuannya.
"Bangunlah, John. Aku harus ke ranjang. Aku sangat lelah." "Lagi? Kau selalu kelelahan dan mengantuk." Ia menguap seraya bangkit dan aku menatapnya berjalan ke kamar tidur. []
27
Ini adalah hari pertamaku di Ballymun National School. Ibuku datang mengantarku sampai penyeberangan pejalan dan menunjuk ke arah gedung sekolah berwarna kelabu. Hanya lima puluh kaki dan rumah. "Itu dia," katanya, tersenyum, melambaikan lengan semampainya. Gerakannya saat menunjuk gedung kotak beton itu seakan sangat indah, mengingatkanku saat kami mengunjungi rumah besar di Gorey. "Aku dapat melihatnya sendiri," sahutku. "Aku tahu," katanya. "Tapi aku ingin menunjukkannya kepadamu." "Oke. Dah." Tiba-tiba wajahnya murung, seakan ia menangis tanpa air mata dan ia meninggalkanku tanpa mengucapkan selamat tinggal. Aku menyeberang jalan.
---oOo---
Guru memintaku berdiri di depan kelas sementara ia memperkenalkan aku. "Ini siswa baru yang kuceritakan kemarin. Namanya John Egan dan ia pindah ke Dublin jauh-jauh dari Gorey. Aku harap kalian membuatnya betah." "Se-la-mat-pa-gi-John-E-gan," sapaan serempak bernada datar terlontar dari para siswa. Aku tak mengatakan apa pun. Aku ingin, tapi aku tak dapat menemukan satu kata pun yang baik untuk diucapkan. Aku menatap mereka dan mereka balas menatapku. Ruang kelas di sini lebih besar daripada ruang kelasku di Gorey. Sementara guru menjelaskan letak Gorey, aku menghitung jumlah siswa: sepuluh perempuan dan tujuh laki—laki. Di barisan tengah terdapat bangku kosong yang telah dibersihkan dari coretan. Aku duduk di bangku tersebut dan menghabiskan jam pelajaran hari pertama seakan baru bangun tidur. Ruangan itu memiliki sebuah jendela kecil untuk melihat keluar tapi ruangan itu terlalu panas. Guru baruku adalah seorang wanita gemuk pendek dengan rambut cokelat berpotongan pendek seperti pria. Ia mengenakan kacamata dan saat mengajukan pertanyaan ia melepas kacamata yang kemudian berayun di tangan gemuknya. Satu-satunya kesenangan dalam pelajarannya adalah mencoba menangkap kebohongannya. Ia menghampiri bangku kami dan memeriksa buku latihan. Saat ia berbohong kepada seorang murid, ia berbicara dengan suara pelan.
Ia mengatakan kepada si anak laki-laki lambat di sampingku, yang seluruh pekerjaannya salah, bahwa ia telah "mengerjakan dengan baik", dan suaranya sangat pelan hingga hampir tak terdengar.
Saat istirahat, tiga krat berisi botol kecil susu dan sekerat roti lapis selai diantarkan ke ruangan kelas kami. Susunya hangat dan selai di rotinya kering serta renyah. Aku tetap duduk di ruang kelas dan membaca. Saat makan siang aku mencari teman duduk dan melihat dua anak laki-laki, keduanya mengenakan kacamata, duduk di bawah jendela kelas. Kepala mereka tertunduk, wajah mereka menghadap makanan. Aku duduk di samping mereka. "Halo," sapaku. "Apakah kalian keberatan bila aku duduk di sini?" Mereka bergeser meski masih banyak ruang. Dan setelah aku duduk, mereka meletakkan roti lapis di pangkuan lalu menyeka tangan mereka ke celana masingmasing. Mereka pasti bertubuh pendek karena mereka harus menjulurkan leher untuk menatap wajahku. Aku bertanya tentang sekolah dan apa yang mereka lakukan pada liburan Paskah. Aku dengan mudah membaca anak-anak itu berbohong. Ia mengatakan pergi ke London saat Paskah dan ayahnya mengajaknya berjalan-jalan dengan mobil MG merah milik pamannya. Ia mengatakan bahwa mereka berkendara dengan kecepatan tujuh puluh mil per jam hingga topi ibunya terbang terbawa angin. Mengenai pergi ke London dan mobilnya, ia memang tidak berbohong, tapi tentang ibunya adalah dusta. Ibunya tidak turut dalam mobil ataupun mengenakan topi. Aku ingat kata-kata di buku yang mengatakan, "Salah satu bagian tersulit dalam mendeteksi kebohongan adalah bila sebagian pernyataan merupakan kebohongan. Sulit sekali memisahkan kebohongan dan bagian kalimat yang memang jujur." Aku perhatikan saat seseorang berbohong seakan ada sesuatu yang lewat di depan wajah mereka, seperti kabut. Seakan wajah mereka memudar sekejap, menjadi tampak tak nyata, bukan orang yang biasanya kau lihat. Sulit menunjukkan kapan hal tersebut terjadi. Tapi apa pun itu, aku dapat melihatnya.
---oOo---
Menjelang akhir jam sekolah, guruku memberitahukan bahwa minggu depan di sekolah kami akan diadakan penyemprotan. Semua anak akan berbaris (perempuan dan lakilaki dipisah dalam ruangan yang berbeda) hanya mengenakan celana dalam dan disemprot cairan yang dapat membunuh kutu dan telur kutu. Juga akan ada pemeriksaan penyakit cacing. Sepulang sekolah, aku mempunyai waktu satu setengah jam sebelum bertemu dengan geng dan harus membawa bak cuci yang kujanjikan. Setelah berjalan mengelilingi perumahan baru itu selama satu setengah jam, aku memutuskan tak akan menemui mereka. Aku tak mempedulikan mereka.
Aku berjalan menembus kegelapan jalan Ballymun, melewati rumah-rumah kos sewa
berpintu hijau dan berjendela kecil. Aku berjalan menembus asap dan bara api di lapangan, sisa-sisa kasur dan kereta bayi yang terbakar, serta aku menghafal nama-nama jalan dan pelat nomor kendaraan. Sekelompok teman tidak penting seperti juga hadiahku.
---oOo---
Aku pulang dan membuat roti lapis ham. Ayahku tidak berada di rumah dan meski hari belum gelap, ibuku tidur. Aku tak ingin membangunkannya. Aku memakan setengah roti lapis hamku, mengenakan piyama, dan berbaring di ranjang. Aku membaca bagian Guinness Book tentang meloloskan diri dari penjara. Aku suka mendengar nama James Kelly, yang meloloskan diri dari Broadmoor pada 28 Januari 1888. Ia menggunakan sebuah kunci yang ia buat dari kawat per korset. Kelly menghabiskan tiga puluh sembilan tahun sebagai manusia bebas, di Paris, New York, dan di laut. Pada 1927 ia kembali ke Broadmoor dan diminta menjalani sisa hukuman atas pembunuhan terhadap istrinya. Aku berpikir untuk menarik perhatian Guinness Book. Mungkin kali ini aku harus mengirimkan kepada mereka sebuah kaset rekaman percobaanku. Aku dapat melakukan percobaan dengan ibuku. Mungkin mereka telah membalas suratku dan surat itu menunggu di Gorey. Setelah satu jam melamun, aku tak dapat menahan keheninganku. Aku menepuk lengan ibuku guna membangunkannya. "Aku sedang tidur," katanya. "Kembalilah ke tempatmu. Kau menindihku." "Bagaimana aku dapat mengambil kirimanku?" aku bertanya. "Kiriman apa?" ia bertanya, seraya menggunakan punggung tangan menutup mulutnya menguap. "Aku sedang menunggu surat dan Guinness Book. of Records," sahutku. "Surat apa?" "Aku telah mengatakannya kepadamu. Aku menulis surat tentang bakat deteksi kebohonganku." Ia duduk dan meletakkan bantal di belakang kepalanya. "Buatkan aku secangkir teh dan ceritakan kembali." Aku membuat sepoci teh dan meletakkannya di baki bersama sebungkus biskuit Digestiue kemudian membawanya ke ranjang. Aku duduk di ujung ranjang dan menceritakan kepadanya. Ia tak akan melupakannya lagi. "Oh, ya," katanya. "Tapi apa kau pikir kebohongan-kebohongan ini tidak berbahaya? Dapatkah kau melihat maksud dari kebohongan itu? Itu adalah kebohongan putih. Ayahmu hanya malu mengakui bahwa kartu-kartu ucapan untukmu dibeli borongan selagi murah. Dan Nenek berbohong karena kadang tidak sopan membicarakan soal uang. Lagi pula, uang adalah pokok pembicaraan yang agak riskan saat itu." Apakah tidak sopan membicarakan soal uang? Ia mengatakan kejujuran tapi aku tak menyukai cara ia memercayainya. Dan yang lebih tak aku sukai adalah sikapnya yang seperti robot. Hanya bibirnya yang bergerak, bagian wajah lainnya bergeming.
"Aku tak peduli alasan mereka berbohong!" aku berteriak. "Apakah kau tak memahami intinya? Aku memiliki bakat." Ranjangnya berguncang hingga roti lapis ham tergelincir dari piring; roti dan ham jatuh terpisah, hamnya menempel di selimut. "John, tidak perlu berteriak seperti itu. Aku pikir mungkin kau hanya lebih perasa dibanding anak-anak seumurmu, dan itu hal yang bagus, sungguh bagus. Mungkin kau harus melihatnya dari sudut pandang lain. Tidak ada gunanya menjadi banteng di sebuah pasar Cina, ya, kan?" Aku melompat dari ranjang dan melangkah ke meja samping ranjang agar lebih dekat dengannya. "Kau pikir aku harus berhenti, seperti semua orang lainnya?" Aku memungut sebuah buku dan melambaikannya seraya berteriak kepadanya. Aku berharap memegang benda lain, tapi tak ada yang dapat kuraih, dan tak ada yang dapat menenangkan diriku. Aku merasa kosong dan ingin memegang atau menyentuh sesuatu. Aku juga ingin sesuatu di mulutku. "Apa kau ingin aku berpura-pura tak memiliki bakat?" Ia duduk dan meletakkan tangan di lututnya. "Tenanglah." "Tidak," teriakku. "Kau ini bodoh sekali. Bodoh, bodoh, bodoh!" "Tolong tenanglah. Kau tak perlu meneriaki aku. Aku tidak tuli." Ia gugup. Aku ingin tahu kenapa ia tak mendengarkan perkataanku dengan serius, tapi aku tak ingin berbicara lagi. Biar dia berbicara sendiri. Aku melangkah menuju ke pintu. "Aku akan menonton televisi." "Bagaimana denganku?" ia bertanya. "Apakah kau juga mengujinya kepadaku?" "Ya. Wajahmu memerah bahkan saat kau melontarkan kebohongan putih." "Begitu ya, Sersan Egan?" Jika aku tidak menenangkan diri, jika aku tidak meredakan amarah dalam tubuhku, aku dapat melakukan sesuatu yang buruk. Aku harus menghentikannya dan menenangkan diri. Aku menelan ludah dan mencoba tersenyum. "Ya," sahutku. "Maaf telah meneriakimu." "Kemarilah," katanya dan aku menghampirinya. Ia mencubit pipiku. Aku memberinya kecupan. Saat melakukan itu aku melihat sebuah lubang di siku gaun tidurnya dan lubang yang lebih besar di bawah ketiaknya. Aku dapat melihat kulitnya dan sebagian payudaranya. Aku memalingkan wajah. "Aku dapat menjadi terkenal," ujarku. Suaraku mi