Direct Lending Kepada BUMN Sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Riza Azmi
Pendahuluan Pemerintah khususnya Kementerian Keuangan dewasa ini dihadapkan pada keterbatasan anggaran negara dalam memenuhi kebutuhan pendanaan infrastruktur untuk menunjang pembangunan nasional. Berdasarkan data Bappenas yang diambil dari draft naskah teknoraktik Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, tidak kurang dari Rp5.452 triliun dana yang dibutuhkan untuk membiayai investasi di bidang infrastruktur prioritas termasuk sektor transportasi (darat, udara dan laut), ketenagalistrikan, perumahan dan air bersih. Bila dibagi rata dalam 5 tahun saja, kurang lebih Rp1.090 triliun yang harus dialokasikan Pemerintah dalam APBN. Sementara itu, kemampuan APBN dalam membiayai proyek infrastuktur tersebut dibatasi oleh masih tingginya belanja mengikat yang wajib dialokasikan dalam APBN seperti anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, transfer daerah dan belanja gaji PNS yang membatasi kapasitas fiskal untuk kegiatan investasi. Sehingga keikutsertaan sumber-sumber pendanaan lain di luar APBN dalam membiayai proyek infrastruktur sangat diharapkan untuk mengisi financing gap pembiayaan infrastuktur nasional. Salah satu potensi pendanaan datang dari BUMN. Tercatat posisi keuangan beberapa BUMN yang bergerak di bidang usaha infrastruktur seperti PT Pelindo 1 sampai 4, PT Angkasa Pura 1 dan 2 serta beberapa BUMN lainnya masih memiliki excess of leverage. Kecuali PT PLN, debt to equity ratio (DER) seluruh BUMN infrastruktur masih di bawah 100%. Beberapa Persero tersebut juga mencatatkan kinerja operasional positif yang berkelanjutan dengan rentang return on asset (ROA) 1% - 20%. Potensi beberapa BUMN tersebut telah dilirik oleh development banks dengan menawarkan skema Direct Lending kepada BUMN sebagai salah satu alternatif pembiayaan infrastruktur tanpa melalui APBN. Tulisan ini mencoba mengulas lebih lanjut potensi pemanfaatan direct lending serta risikonya kepada APBN.
Pelaksana pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.
Keterlibatan BUMN dan APBN dalam Pembangunan Infrastruktur Selama ini proyek infrastruktur seperti pelabuhan laut, bandara udara, jaringan listrik dan prasarana kereta api yang dibangun oleh BUMN dibiayai melalui pinjaman komersial BUMN dan APBN melalui pinjaman Subsidiary Loan Agreement (SLA). Proyek-proyek infrastruktur yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan menjadi prioritas Pemerintah biasanya diarahkan untuk didanai oleh pinjaman bank pembangunan baik multilateral maupun bilateral seperti Bank Dunia, ADB, JICA dan KfW dengan skema SLA. Pinjaman SLA yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 10 tahun 2011 melibatkan Pemerintah dalam hal ini pihak Bappenas dan Kementerian Keuangan dalam proses penilaian teknis dan pendanaan serta lembaga legislatif dalam proses persetujuan penganggaran dan pencairannya. Terdapat dua tahapan pemrosesan Pinjaman SLA yaitu adanya loan agreement antara Pemerintah dan lender; serta on-lending agreement antara Pemerintah dan BUMN sebagai syarat efektifnya pinjaman. Pricing yang dikenakan kepada BUMN adalah setara dengan sovereign debt berbunga rendah biasanya LIBOR plus satu sampai dua persen ditambah margin yang dikenakan Pemerintah.
Ketimbang pinjaman
komersial,
Pinjaman SLA
jelas
menawarkan sumber pembiayaan yang lebih murah karena risikonya secara langsung ditanggung oleh Pemerintah melalui APBN. Sehingga lender tidak lagi melihat kesehatan balance sheet BUMN dalam menentukan bunga dan masa pinjaman. Namun demikian, terdapat potensi moral hazard dalam penyiapan proyek yang umumnya dibantu oleh bank pembangunan. Kemungkinan buruk tersebut muncul karena keberhasilan pembangunan proyek tidak lagi menjadi poin penting dalam menentukan risiko kemampuan membayar kembali BUMN. Meskipun ada tanggung jawab moral bagi bank pembangunan apabila proyek tersebut nantinya gagal, namun kegagalan sepenuhnya tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah. Apabila merujuk kepada matriks risiko fiskal yang disusun oleh Polackova (1998), eksposure yang ditanggung oleh Pemerintah memiliki karakteristik eksplisit dan langsung menjadikan Pinjaman SLA berada pada kuadran risiko fiskal yang paling tinggi. Di samping tingginya risiko yang ditanggung oleh APBN ketika terjadi keterlambatan dan gagal bayar pinjaman SLA, mekanisme ini juga membutuhkan waktu yang relatif lama untuk memprosesnya. Tidak kurang dari satu setengah hingga dua
tahun waktu yang diperlukan dalam proses pengusulan di Bappenas hingga pinjaman efektif. Beberapa tahapan birokrasi termasuk pembahasan di lembaga legislatif harus dilalui agar pinjaman SLA disetujui dan dicairkan. Lamanya tahapan administrasi birokrasi yang harus dilalui tersebut menyebabkan banyak proyek BUMN yang didanai SLA mengalami keterlambatan penyelesaian, jauh dari waktu yang ditargetkan. Konsep Pinjaman Langsung kepada BUMN dalam Pendanaan Infrastruktur Pinjaman langsung yang merupakan inisiatif beberapa lender multilateral diantaranya Bank Dunia merupakan salah satu terobosan yang langsung menyalurkan pinjamannya kepada BUMN tanpa melalui rentetan birokrasi anggaran Pemerintah. Namun demikian, lender hanya dapat memberikan pinjaman langsung kepada BUMN dengan pricing setara soverign debt apabila pinjaman tersebut dijamin oleh Pemerintah Indonesia. Tanpa adanya jaminan, maka term and condition serta kapasitas pemberian pinjaman akan terbatas mengingat ruang lingkup bisnis bank pembangunan adalah membantu Pemerintah negara berkembang dalam pembangunan ekonomi. Lembaga keuangan multilateral memiliki keterbatasan dalam mengelola dana murah yang bersumber dari iuran keanggotaan negara-negara anggotanya dan sumber pinjaman lunak dari negara donor. Dana tersebut tidak bisa serta merta dipinjamkan kepada pihak swasta termasuk BUMN dengan ketentuan pinjaman komersial. Dikarenakan pihak lembaga keuangan multilateral hanya dapat memberikan Pinjaman Langsung kepada BUMN dengan pricing pinjaman SLA apabila dijamin oleh Pemerintah, tentunya jaminan tersebut menimbulkan risiko fiskal di kemudian hari. Adanya klausul jaminan Pemerintah dalam syarat pendanaan direct lending menegaskan eksistensi peran/intervensi Pemerintah terhadap pengelolaan BUMN. Berdasarkan teori ekonomi mainstream, campur tangan Pemerintah hanya dapat dilakukan ketika terjadi market failure. Kita dapat melihat bahwa asumsi pasar sempurna tidak tercapai dalam pendanaan infrastruktur. Pasar pendanaan infrastruktur dikatakan jauh dari sempurna salah satunya karena tenor-nya relatif lebih panjang dari yang ditawarkan oleh bank komersial dalam negeri. Lamanya waktu pinjaman yang dibutuhkan tersebut serta merta berdampak kepada tingkat bunga yang relatif tinggi dibandingkan pinjaman non-infrastruktur. Kedua fitur pendanaan infrastruktur menjadikan pembentukan pasarnya menjadi terbatas.
Sementara itu, lembaga keuangan multilateral seperti World Bank dan ADB didirikan untuk memberikan pendanaan murah dengan tenor jangka panjang dalam rangka membantu negara berkembang dalam meningkatkan investasinya. Bila ditarik sedikit ke belakang, sebagaimana diutarakan oleh Easterly (2001), tujuan pendirian World Bank adalah terkait dengan kebutuhkan investasi negara berkembang sebagai syarat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Meskipun investasi sebenarnya bukanlah faktor utama dalam mempercepat kenaikan pendapatan per-kapita negara berkembang, melainkan lebih kepada faktor produktifitas sebagaimana ditunjukkan oleh Solow Growth Model, tetap saja fasilitas pendanaan murah yang diberikan oleh lembaga keuangan internasional tersebut sangat mungkin untuk dimanfaatkan. Terlebih pengganti produk development bank tersebut tersebut sukar ditemukan di international financial market. Berdasarkan hal tersebut, konsekuensi logis terhadap campur tangan Pemerintah kepada BUMN dalam pembiayaan infrastruktur adalah membuka akses pendanaan dari lembaga keuangan multilateral/bilateral yang dulunya hanya kepada Pemerintah diperluas kepada BUMN. Dengan demikian BUMN dapat mendapatkan pendanaan murah dengan tenor jangka panjang agar yang tidak tersedia di pasar keuangan. Mitigasi Risiko Fiskal atas Direct Lending Seperti yang telah diutarakan pada bagian awal tulisan ini, jaminan Pemerintah dapat memicu konsekuensi fiskal di kemudian hari. Gagal bayar BUMN kepada development bank akan beralih menjadi tanggungan Pemerintah. Meskipun karakteristik risiko yang timbul relatif tidak langsung seperti Pinjaman SLA dimana APBN selalu terekspose setiap tahunnya, Pemerintah perlu mengupayakan bagaimana skema pinjaman langsung ini dapat meminimalisir terjadinya gagal bayar BUMN. Dalam konsep pengelolaan fiskal yang baik, setiap penjaminan yang diterbitkan oleh Pemerintah harus dikelola dengan memperhatikan prinsip-prinsip manajemen risiko fiskal. Hal pertama yang perlu diantisipasi oleh Kementerian Keuangan sebagai pengelola fiskal adalah membatasi moral hazard akibat information asymmetry antara BUMN, Pemerintah dan lender. Masalah ini begitu penting karena adanya declare pinjaman proyek tertentu akan dijamin Pemerintah mengurangi insentif bagi
development bank untuk benar-benar menilai persiapan proyek yang akan dibangun. Oleh karena itu, Pemerintah tidak dapat bergantung kepada para lender tersebut dalam memastikan apakah persiapan proyek telah dilaksanakan dengan baik dan apakah keuangan BUMN nantinya memiliki kemampuan bayar kembali yang cukup. Lebih lanjut, seluruh informasi mengenai usulan pinjaman langsung dipegang oleh BUMN. Oleh karena itu, Pemerintah memerlukan suatu mekanisme yang dapat mengurangi information asymmetry tersebut agar Pemerintah dapat memastikan pinjaman proyek yang dijamin adalah proyek yang layak secara teknis dan keuangan. Langkah yang paling tepat untuk menghilangkan masalah tersebut adalah dengan cara menilai kelayakan aspek teknis baik berupa desain, lokasi, kesiapan manajemen proyek, dampak lingkungan, serta aspek keuangan yang memastikan pengembalian proyek infrastruktur tersebut mampu untuk membayar segala kewajibannya sehingga tidak memberatkan posisi keuangan BUMN di masa yang akan datang. Namun, Pemerintah tidak memiliki suatu keahlian untuk melakukan assessment terhadap kelayakan keduanya. Knowledge dan pengalaman atas assessment kredit umumnya dimiliki oleh lembaga perbankan yang terbiasa menganalisis kredit. Pemerintah dapat menugaskan salah satu lembaga keuangan milik Pemerintah yang memiliki keahlian di bidang kredit/pembiayaan infrastruktur untuk menilai apakah proyek infrastruktur yang dibiayai dari direct lending layak untuk dijamin oleh Pemerintah. Dengan demikian, dalam mekanisme direct lending adalah suatu keniscayaan untuk melibatkan BUMN pembiayaan infrastruktur Pemerintah yang memiliki kemampuan di bidang multi project credit assessment sebagai agen Pemerintah dalam menjembatani information asymmetry. Kedua, mekanisme direct lending memberikan daya tarik bagi BUMN untuk mengusulkan berbagai jenis proyek untuk dibiayai oleh bank pembangunan dan dijamin Pemerintah. Tentunya hal tersebut akan mengakibatkan banyak proyek BUMN minta dijamin Pemerintah sehingga terjadi over demand atas penerbitan government guarantee. Untuk mengurangi potensi masalah tersebut, Pemerintah perlu menetapkan suatu daftar kriteria yang memastikan hanya proyek infrastruktur bernilai ekonomi tinggi saja yang dapat diusulkan untuk dijamin Pemerintah. Dalam kriteria tersebut, harus ditekankan secara jelas hanya proyek infrastruktur yang dioperasikan oleh BUMN dan bernilai ekonomi tinggi yang dapat diberikan jaminan. Analisis terhadap dampak ekonomi proyek tersebut juga mesti disusun berdasarkan standar yang telah teruji. Termasuk
metode yang perlu dicantumkan dalam analisis kelayakan ekonomi adalah penetapan batas wilayah ekonomi dan analisis atas eksternalitas positif bagi sosial dan lingkungan dari proyek itu sendiri (Ali, 1990). Ketiga, Pemerintah harus memiliki kontrol manajemen yang kuat atas lembaga keuangan yang ditugaskan sebagai assessor. Meskipun fungsi penilaian kelayakan pinjaman proyek dilakukan dengan standar professional, namun kontrol manajemen tetap harus dipastikan di bawah Menteri Keuangan untuk memberikan insentif bagi manajemen assessor agar memperhatikan sisi kewajiban kontinjensi Pemerintah sebagai fokus utama kinerja manajemen. Keempat, usulan pinjaman direct lending wajib memuat langkah-langkah mitigasi risiko yang akan dihadapi ketika proyek berada pada tahap konstruksi dan operasional. Bercermin kepada Pinjaman SLA dimana banyak proyek yang ditengarai memiliki hambatan struktural berupa pembebasan lahan dan masalah perijinan, BUMN harus menyertakan pihak-pihak yang paling bertanggung jawab atas risiko tersebut. Sehingga ketika muncul risiko tereksekusinya jaminan Pemerintah dari faktor risiko di luar tanggung jawab manajemen BUMN, Kementerian Keuangan telah memiliki peta kontrol tanggung jawab untuk melakukan koordinasi dan langkah-langkah pencegahan. Kesimpulan Di tengah keterbatasan anggaran Pemerintah dalam menyediakan barang publik, Pinjaman Langsung kepada BUMN merupakan terobosan produk pendanaan yang diinisiasi oleh market dalam hal ini development bank dan memanfaatkan kekuatan dan fleksibiltas kondisi keuangan BUMN dalam pembangunan infrastruktur. Meskipun manfaat skema pinjaman ini dapat mengurangi ketergantungan atas Pinjaman SLA yang banyak mengalami keterlambatan penyelesaian, Pemerintah perlu menetapkan model bisnis yang dapat melindungi kewajiban kontinjensi yang timbul sebagai konsekuensi adanya jaminan Pemerintah. Referensi: Ali, I., (1990). Public Investment Criteria: Financial and Economic Internal Rate of Return. Asian Development Bank Report No. 50.
Easterly, W., & Easterly, W. R. (2001). The elusive quest for growth: economists' adventures and misadventures in the tropics. MIT press. Polackova, H. (1998). Contingent government liabilities: a hidden risk for fiscal stability (Vol. 1989). World Bank Publications.