perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DINAMIKA WAYANG ORANG MANGKUNEGARAN DARI ISTANA KE PUBLIK (1881-1895)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh: PUTUT BAYU PRIBADI C0506044
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DINAMIKA WAYANG ORANG MANGKUNEGARAN DARI ISTANA KE PUBLIK 1881-1895
Disusun oleh: PUTUT BAYU PRIBADI C0506044
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing
Prof. Dr. Samsi Haryanto, M.Pd NIP. 194404041976031001
Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum NIP. 195402231986012001
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DINAMIKA WAYANG ORANG MANGKUNEGARAN DARI ISTANA KE PUBLIK 1881-1895
Disusun oleh: PUTUT BAYU PRIBADI
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal .......
Jabatan Tangan
Nama
Tanda
Ketua Penguji
Dra. Sawitri Pri Pabawati, M.Pd NIP. 1958601198612001
( ................... )
Sekretaris Penguji
Insiwi Febriary S, SS. MA NIP. 198002272005012001
( ................... )
Penguji I
Prof. Dr. Samsi Haryanto, M.Pd NIP. 194404041976031001
( ................... )
Penguji II
Drs. Soedarmono, SU NIP. 194908131980031001
( ................... )
Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Drs. Sudarno, M.A NIP. 195303141985061001 commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN Nama NIM
: PUTUT BAYU PRIBADI : C0506044
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Dinamika Wayang Orang Mangkunegaran dari Istana ke Publik (1881-1895) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, Maret 2011 Yang membuat pernyataan
PUTUT BAYU PRIBADI C0506044
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO Sederhana dalam sikap kaya dalam karya (penulis) Terus berjuang dan jaga nama baik keluarga (penulis) Create something to praise (odzynation)
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Skripsi ini aku persembahkan untuk: Ayah dan Ibuku tercinta Adik-adikku tersayang Dita dan Hari.
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Segala puji syukur kepada Allah SWT berkat limpahan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat selesaikan skripsi. Skripsi ini disusun guna meraih gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. Di dalam penyusunan skripsi tersebut, tidak mungkin segala kesulitan yang ada bisa dilalui tanpa bantuan dari berbagai pihak. Sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Drs. Sudarno, M.A, Selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Dalam kesibukannya, beliau murah senyum serta ramah menerima penulis sekedar berdiskusi. 2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah atas bantuan dan arahannya dalam menyelesaikan skripsi. 3. Prof. Dr. Samsi Haryanto, M.Pd, selaku pembimbing utama dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini teramat sabar dalam meneliti serta memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis. 4. Insiwi Febriary S, SS. MA, selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan arahannya selama penulisan. 5. Dosen-dosen dan tenaga pengajar Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bekal ilmu sehingga nantinya penulis dapat bermanfaat di masyarakat. 6. Segenap Pegawai Tata Usaha Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang telah membantu kelancaran penulis dalam mencaari informasi untuk penelitian. 7. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan data-data dan sumber yang kami butuhkan dalam penulisan, tanpa kalian tulisan ini tak dapat terwujud. 8. Semua teman Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2006 tanpa terkecuali, terimakasih atas kerjasamanya selama kuliah dan dukungannya selama penulisan. commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9. Ayah dan Ibu, yang doanya tiada henti untuk penulis, keluarga dan teman-teman, terima kasih atas perhatian dan perjuangan kalian.
Penulis menyadari bahwa isi skripsi ini tidak lepas dari berbagai kekurangan dan kelemahan, oleh, karena itu, penulis menerima kritik dan saran. Semoga skripsi ini bermanfat bagi semua pembaca.
Surakarta, Maret 2011
Penulis
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. iii HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................. iv HALAMAN MOTTO .............................................................................. ................ v HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................... ....................... vi KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix DAFTAR ISTILAH ............................................................................................. .... xii ABSTRAK ............................................................................................................ ... xiii ABSTRACT ............................................................................................................. xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 B. Perumusan Masalah .................................................. ...................... 4 C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5 D. Manfaat Penelitian …………………………….…..……………... 5 E. Kajian Pustaka …………………………………………………… 5 F. Metode Penelitian ………………………………................. .……. 7 1. Metode Historis ………….……….….…….…..……….……. 8 a. Studi Dokumen …………………………………………... 8 b. Studi Pustaka ……………………………………….……. 9 2. Teknik Analisis Data ………………………..………………... 10 G. Sistematika Penulisan ……………………….…………………… 11 BAB II LATAR BELAKANG KEHIDUPAN MANGKUNEGARA V SEBAGAI SEORANG BUDAYAWAN A. Sejarah Terbentuknya Pura Mangkunegaran ………….................. 13 B. Latar Belakang kehidupan Mangkunegra V ………….................. 22
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Hasil Karya Budaya Mangkunegara V .......................................... 24 BAB III CIRI WAYANG ORANG PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA V A. Awal Mula Munculnya Wayang Orang ........................................... 29 B. Wayang Orang di Pura Mangkunegaran ......................................... 30 1. Wayang Orang Pada Masa Mangkunegara I ........................... 31 2. Wayang Orang Pada Masa Mangkunegara II ........................... 32 3. Wayang Orang Pada Masa Mangkunegara III .......................... 32 4. Wayang Orang Pada Masa Mangkunegara IV .......................... 33 5. Wayang Orang Pada Masa Mangkunegara V ........................... 33 C. Perkembangan Wayang Orang Pada Masa Mangkunegara V ........ 34 1. Perkembangan busana wayang orang ............................. ......... 35 2. Perkembangan penari wayang orang ........................................ 40 3. Perkembangan lakon ................................................................. 42 BAB IV
PERUBAHAN FUNGSI KESENIAN WAYANG ORANG SAMPAI AWAL ABAD XX A. Fungsi Pementasan........................................................................... 49 1. Wayang orang di luar Istana Mangkunegaran ............................. 50 2. Wayang orang di luar Istana Mangkunegaran .............................. 52 a. Faktor ekonomi .......................................................................... 52 b. Faktor politik ............................................................................. 54 C. Tempat Pementasan ……………………………………………….. 55 D. Wayang Orang Panggung …………………………………………. 56 commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V
digilib.uns.ac.id
KESIMPULAN ..................................................................................... 59 DAFTAR
PUSTAKA ...................................................................... 62
LAMPIRAN ........................................................................................ 64
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kadipaten Mangkunegaran berdiri pada tahun 1757 atas dasar perjanjian Salatiga. Perjanjian itu melahirkan sebuah wilayah baru yaitu Kadipaten Mangkunegaran, yang masih merupakan bawahan dari Keraton Kasunanan Surakarta. Perjanjian Salatiga diprakarsai antara Raden Mas Said dengan Pakubuwono III, Hamengkubuwono I dan Belanda.1 Mangkunegara V (1881-1896) lahir di Mangkunegaran pada hari Senin Legi tanggal 16 April 1855. Putra kedua dari Mangkunegara IV (1853-1881). Mangkunegara V muda dikenal dengan nama Raden Mas Sunito, Pada bulan Juli 1869 Raden Mas Sunito diangkat menjadi Pangeran Anom dengan gelar KGPA Prabu Prangwadono, menggantikan kedudukan KGPA Prabu Sudibya (kakaknya) yang meninggal satu tahun sebelumnya. Raden Mas Sunito diangkat menjadi Mangkunegara V pada hari senin Legi tanggal 5 Juli 1881.2 Istana Mangkunegaran sebagai pecahan keraton Surakarta membuat drama tari wayang orang. Lahirnya wayang orang di Istana Mangkunegaran berhubungan dengan masa Renaissance Kasusastraan Jawa (abad ke 18-19) yang ditandai dengan penulisan kembali Kakawin dalam bahasa Kasusastraan Jawa baru. Wayang orang di istana Mangkunegaran pertama kali muncul pada masa pemerintahan Mangkunegara 1
M. Husodo Pringgokusumo. Isi“Perjanjian Salatiga” G.P Rouffaer, “Vorstenlanden” dalam Adatrecht-bundels Jilid XXXIV. (s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1905), hlm; 5. 2 Purwadi, Sejarah Raja-Raja Jawa,. (Yogyakarta: Media Abadi, 2007), Hlm; 562.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
I (1757-1796), Wayang orang di istana Mangkunegaran pertama diciptakan oleh Mangkunegara I. Wayang orang Mangkunegaran mengalami kemunduran pada masa pemerintahan Mangkunegara II dan Mangkunegara III. Baru pada masa pemerintahan Mangkunegara IV (1853-1881), wayang orang Mangkunegaran muncul kembali bersamaan dengan munculnya Langendriyan dan digunakan sebagai sajian yang sakral di dalam istana. Wayang orang Mangkunegaran mengalami perkembangan dan berada pada masa kejayaanya pada masa Mangkunegara V (1881-1896).3 Pertama kali wayang orang Mangkunegaran dipentaskan pada tahun 1760. Pada waktu itu wayang orang hanya dinikmati oleh kerabat Mangkunegaran dan para punggawa saja. Pakaian yang dikenakan para penari wayang orang pada waktu itu masih sangat sederhana, yakni tidak jauh berbeda dengan pakaian adat Mangkunegaran yang digunakan sehari-hari.4 Pada awal kemunculanya pemain wayang orang hanya terbatas pada abdi dalem Mangkunegaran. Pada mulanya semua penari wayang orang Mangkunegaran adalah laki-laki yang terdiri atas putra-putra bangsawan dan abdi dalem. Wayang orang Mangkunegaran biasanya hanya disajikan pada acara atau upacara khusus istana. Seperti ulang tahun dan penobatan Mangkunegara, serta perhelatan untuk keluarga Mangkunegaran. Misalnya untuk acara khitanan putara Mangkunegara IV yang bernama Kanjeng Sudibyo dan Kajeng Suyitno pada 16 April 1868. Pada acara itu diadakan pertunjukan wayang orang dengan lakon Wahyu Mahkutharama.
3
Hersapandi, Wayang Wong Sriwedari “Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersil”, (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 1999), hlm; 17-27. 4 Suwaji Bastomi, Karya Budaya Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya I-VIII, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1996), hlm; 25.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
Sehubungan dengan itu maka penontonnya terbatas pada orang-orang yang diundang untuk menghadiri upacara atau hajat Mangkunegaran, seperti para pejabat pemerintahan Belanda dan Mangkunegaran, para sanak saudara Mangkunegara, dan para abdi dalem yang bertugas.5 Seni pertunjukan wayang orang pada masing-masing daerah memiliki karakter tersendiri, baik di Surakarta maupun di Yogyakarta. Wayang orang di Surakarta berasal dari tradisi pertunjukkan seni Istana Mangkunegaraan. Kehadiran seni istana wayang orang di Surakarta tidak lepas dari motif politik dari raja sebagai penguasa tunggal kerajaan. Wayang orang Mangkunegaran diciptakan oleh Mangkunegara I pada abad XVIII yang tujuannya untuk memberikan dorongan semangat hidup bagi rakyatnya untuk melawan pemerintahan kolonial Belanda.6 Mangkunegara V adalah seorang seniman yang membuat kesenian istana hidup, dan kehidupan istana menjadi lebih semarak. Untuk itu sudah barang tentu memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Untuk melestarikan seni wayang orang di keraton ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi ketika terjadi krisis ekonomi yang disebabkan oleh gagalnya panen kopi karena serangan hama dan bangkrutnya pabrik gula karena beredar luasnya gula bit eropa di pasaran mengakibatkan krisis ekonomi di istana Mangkunegaran, krisis tersebut menjadi faktor merosotnya kegiatan kesenian di istana. Ketika Mangkunegara VI mengantikan tahta Mangkunegara V pada tahun 1896, keadaan keuangan istana Mangkunegaran pada posisi nol. Wayang orang sudah tidak muncul lagi di istana selama pemerintahan 5
Rustopo, Menjadi Jawa “Orang-Orang Tionghoa Dan Kebudayaan Jawa”, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm; 110. 6 Hersapandi, Op.cit, hlm; 3
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
Mangkunegara VI (1896-1916), selain karena krisis keuangan, juga kegiatan seni wayang orang menjadi kegiatan yang memboroskan. Akibatnya sebagian besar abdi dalem kesenian (langenpraja), termasuk abdidalem wayang orang diberhentikan dan menganggur. Mereka yang diberhentikan itu kemudian membuat kelompokkelompok kecil dan mengadakan kaegiatan mbarang di luar tembok keraton, dari satu tempat ke tempat lain untuk sekedar memperoleh nafkah.7 Wayang orang mula-mula merupakan bagian dari tradisi pertunjukkan di keraton Mangkunegara yang bersifat eksklusif dan sakaral serta hanya dimainkan di keraton. Karena terjadi krisis ekonomi, seni wayang orang di Mangkunegaran mengalami kemerosotan dan berubah fungsi dari sakral menjadi fungsi hiburan. Dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis dalam mengkaji mengenai perkembangan wayang orang di Mangkunegaran menggunakan judul “ Dinamika Wayang Orang Mangkunegaran dari Istana ke Publik (18811895) ” B. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka pokok permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang kehidupan Mangkunegara V sebagai seorang budayawan? 2. Bagaimana ciri wayang orang pada masa pemerintahan Mangkunegara V? 3. Bagaimana perubahan fungsi kesenian wayang orang sampai awal abad XX?
7
R. M. Sayid, Ringkasan Sejarah Wayang (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981), hlm; 58.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui latar belakang kehidupan Mangkunegara V sebagai seorang budayawan. 2. Untuk mengetahui ciri wayang orang pada masa pemerintahan Mangkunegara V. 3. Untuk mengetahui perubahan fungsi kesenian wayang orang sampai awal abad XX. D. Manfaat Penelitian Dari kajian tentang perkembangan wayang orang pada masa Mangkunegara V, maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang perkembangan wayang orang di Mangkunegaran. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat khususnya masyarakat Surakarta. Mengenai perkembangan kebudayaan dan lebih khususnya wayang orang Mangkunegaran.
E. Kajian Pustaka Dalam penelitian ini, menggunakan beberapa literatur dan referensi yang relevan dan menunjang tema yang dikaji. Literatur tersebut akan jadikan bahan acuan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
untuk mengkaji, menelusuri dan mengungkap pokok permasalahan. Literatur dan referensi yang gunakan antara lain: Buku yang berjudul Wayang Wong Sriwedari “Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersil”. ditulis oleh Hersapandi. Buku ini berisi data historis perjalanan Wayang Wong Sriwedari Solo yang pada mulanya merupakan seni elit milik istana Mangkunegaran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya lebih menempatkan diri dan berkembang menjadi seni wayang orang panggung yang komersil. Dalam buku ini juga berisi tentang sejarah munculnya wayang orang di istana Mangkunegaran. Buku
yang berjudul
Menjadi Jawa “Orang-Orang Tionghoa Dan
Kebudayaan Jawa”. ditulis oleh Rustopo. Buku ini bercerita tentang interaksi sosial dan kultural antara orang-orang Tionghoa dan Jawa. Interaksi sosial berkenaan dengan hubungan orang-orang Tionghoa dan masyarakat etnis Jawa di Surakarta dalam kehidupan yang kompleks dan dinamis. Interaksi kultural berkenaan dengan hubungan orang-orang Tionghoa dengan nilai-nilai dan unsur-unsur kebudayaan Jawa. Buku ini juga bercerita tentang seorang pengusaha batik Tionghoa Surakarta yang bernama Gan Kam yang tertarik untuk membawa keluar seni wayang orang keluar dari tembok istana Mangkunegaran dan selanjutnya untuk dipertontonkan secara umum. Tulisan ini membantu penulis untuk mengetahui sejarah perkembangan wayang orang di Istana Mangkunegaran, yang mengalami pergeseran dari seni istana menjadi seni komersil akibat dari Interaksi sosial dan kultural antara orang-orang Tionghoa dan Jawa. Karya tulis yang berjudul Mangkunegara V 1891-1896, Seniman Besar Penampil Peran Penari Wanita Dalam Teater Tradisional Wayang Orang. Ditulis commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
oleh Bandung Gunadi. Karya tulis ini membahas mengenai latar belakang kehidupan Mangkunegoro V, situasi kontak sosio cultural dimasa Mangkunegara V. selain itu dalam karya ilmiah ini juga menerangkan perkembangan kesenian wayang orang di istana Mangkunegaran pada masa Mangkunegara V dan mulai tampil dan berkembang baik peran wanita dalam wayang orang pada masa itu. Tulisan ini membantu penulis untuk mengetahui hal-hal apa saja yang melatar belakangi berkembangnya wayang orang pada masa pemerintahan Mangkunegara V. Buku yang berjudul Wayang Wong “Drama Tari Ritual Kenegaraan Di Keraton Yogyakarta”. merupakan terjemahan dari buku karya penulis yang berjudul Wayang Wong : The State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta, 1984 ditulis oleh R. M. Soedarsono. Buku ini berisi mengenai latar belakang pergelaran wayang orang di keraton Yogyakarta. Buku ini juga bercerita tentang sejarah wayang orang pada zaman Mataram kuna di Jawa Tengah (Abad ke-8 sampai ke-10). Wayang orang dan Raket di kerajaan-kerajaan kuna di Jawa Timur (abad ke-10 sampai ke-16). Wayang Topeng pada zaman Mataram Jawa Tengah (Abad ke-16 sampai ke-18). Wayang orang di Keraton Yogyakarta (1755-1939). Tulisan ini membantu penulis untuk mengetahui awal mula wayang orang dan bagaimana latar belakang pergelaran wayang orang di istana. F. Metode Penelitian 1. Metode Historis Suatu penelitian ilmiah perlu didukung dengan metode, karena peran suatu metode dalam suatu penelitian ilmiah sangat penting, karena berhasil atau tidaknya tujuan yang dicapai, tergantung dari metode yang digunakan. Suatu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
metode dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan obyek yang diteliti. Metode (dalam bahasa Yunani methodos) yang bermakna cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Sesuai dengan permasalahan yang dibahas, maka metode yang digunakan adalah metode Historis. Metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dari pengalaman masa lampau.8 Metode historis ini terdiri dari 4 tahap yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. a. Heuristik yaitu suatu proses pengumpulan bahan atau sumber-sumber sejarah. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa studi Dokumen dan studi Pustaka. 1). Studi Dokumen Karena fokus penelitian adalah peristiwa yang sudah lampau, maka salah satu sumber yang digunakan adalah sumber dokumen. Dokumen dibedakan menjadi dua macam yaitu dokumen dalam arti sempit dan dokumen dalam arti luas. Menurut Sartono Kartodirjo, dokumen dalam arti sempit adalah kumpulan verbal dalam bentuk tulisan seperti surat kabar, catatan harian, laporan dan lain-lain.9 Di satu sisi dokumen dalam arti luas meliputi artefak, foto-foto, dan sebagainya.
8
Louis Gottshalk, Mengerti Sejarah, edisi terjemahan Nugroho Notosusanto, (Jakarta : UI Press, 1986), hlm; 32 9 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metode Sejarah, (Jakarta : PT. Gramedia, 1992), hlm; 98
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
Penggunaan dokumen dalam arti metodologis yang sangat penting, sebab selain bahan dokumen menyimpan sejumlah besar fakta dan sejarah, bahan ini juga dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan. Apa, kapan dan mengapa.10 Studi tentang dokumen bertujuan untuk menguji dan memberi gambaran tentang teori sehingga memberi fakta dalam mendapat pengertian historis tentang fenomena yang unik.11 Penelitian ini menggunakan arsip Reksopustoko Mangkunegaran antara lain Babad Sala, no. B.291 tentang Kesenian dan Awal mula adanya seni pertunjukan wayang orang. Serat Pemutan Lelampahan KGPAA Mangkunegara V, no. B.74 tentang latar belakang dan karya seni Mangkunegara V. Pratelan Busananing Ringgit Tiyang, no. D.171. tentang busana wayang orang Mangkunegaran. 2). Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan sebagai bahan pelengkap dalam sebuah penelitian. Dalam penelitian ini sumber pustaka yang digunakan hanya yang berkaitan dengan tema penelitian. Tujuan dari studi pustaka adalah untuk menambah pemahaman teori dari konsep yang diperlukan dalam penelitian. Sumber pustaka yang digunakan antara lain: buku, majalah, surat kabar, artikel dan sumber lain yang memberikan informasi tentang tema yang diteliti.
10
Sartono Kartodirjo, Pemikiran dan Perkembangan Historografi Indonesia, Suatu Alternatif, (Jakarta : PT. Gramedia, 1982), hlm; 97-122 11 ________________, Metode Penggunaan Bahan Dokumen ‘‘Koentjaraningrat Metode – Metode Penelitaian Masyarakat’’, (Jakarta : PT. Gramedia, 1983), hlm; 47
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
b. Kritik sumber yang bertujuan untuk mencari keaslian sumber yang diperoleh melalui kritik intern dan ekstern. Kritik intern bertujuan untuk mencari keaslian isi sumber atau data, sedang kritik ekstern bertujuan untuk mencari keaslian sumber. 12 c. Interpretasi, yaitu penafsiran terhadap data-data yang dimunculkan dari data yang sudah terseleksi yang disebut dengan fakta. Tujuan dari interpretasi adalah menyatukan sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber atau data sejarah dan bersama teori disusunlah fakta tersebut ke dalam interpretasi yang menyeluruh. d. Historiografi, yaitu menyajikan hasil penelitian berupa penyususnan faktafakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus disusun menurut teknik penulisan sejarah. 13 2. Teknik Analisa Data Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi. Deskripsi artinya menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya yang terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Setelah itu dari sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan, tahap selanjutnya adalah diadakan analisis, diinterpretasikan, dan ditafsirkan isinya. Data-data yang telah diseleksi dan diuji kebenaranya itu adalah fakta-fakta yang akan diuraikan dan dihubungkan sehingga menjadi kesatuan yang harmonis, berupa kisah sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaranya. 12
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1999),
hlm; 58 13
Ibid, hlm; 64
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
Selain itu teknik yang digunakan untuk menganalisa data penelitian ini adalah analisa historis. Analisa untuk mencari hubungan sebab akibat dari suatu fenomena historis pada ruang dan waktu tertentu. Tujuan dari teknik ini adalah agar penelitian ini tidak hanya menjawab apa, kapan, dan di mana peristiwa ini terjadi namun juga menjelaskan gejala sejarah sebagai kausalitas. Analisa ini kemudian disajikan dalam bentuk penulisan diskriptif. 14
G. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran terperinci, skripsi ini disusun bab demi bab. Penyusunan ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat menyajikan gambaran yang menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang beruntun. Bab I, dalam bab pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II, dalam bab ini menguraikan latar belakang kehidupan Mangkunegara V sebagai
seorang
budayawan,
yang
meliputi
sejarah
terbentuknya
Pura
Mangkunegaran, latar belakang kehidupan Mangkunegara V, hasil karya budaya Mangkunegara V. Bab III, dalam bab ini menguraikan ciri wayang orang pada masa pemerintahan Mangkunegara V awal mula munculnya wayang orang, wayang orang di Pura Mangkunegaran, perkembangan wayang orang pada masa pemerintahan
14
Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, (Jakarta : Yayasan Indayu), hlm; 36
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
Mangkunegara V yang meliputi: perkembangan busana, perkembangan Penari wayang orang, dan perkembangan lakon. Bab IV, dalam bab ini menguraikan perubahan fungsi kesenian wayang orang sampai awal abad XX. karakter wayang orang pada masa pemerintahan Mangkunegara V, yang meliputi perwatakan tari dan Fungsi Pementasan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LATAR BELAKANG KEHIDUPAN MANGKUNEGARA V SEBAGAI SEORANG BUDAYAWAN
A. Sejarah Terbentuknya Pura Mangkunegaran Kadipaten Mangkunegaran berdiri pada tahun 1757 atas dasar perjanjian Salatiga. Perjanjian itu melahirkan sebuah wilayah baru yaitu Kadipaten Mangkunegaran, yang masih merupakan bawahan dari Keraton Kasunanan Surakarta. Perjanjian Salatiga diprakarsai antara Raden Mas Said dengan Pakubuwono III, Hamengkubuwono I dan Belanda.1 Berdirinya istana Mangkunegaran adalah buah hasil dari perjuangan Raden Mas Said selama 16 tahun yaitu antara tahun 1741-1757, Raden Mas Said melakukan pemberontakan karena merasa kecewa diperlakukan tidak adil dan tidak puas terhadap pemerintahan Pakubuwono II atas campur tangan Kumpeni.
Perjuangan
ditunjukkan
dengan
melakukan
pemberontakan
dan
pertempuran di Laroh, Sukowati dan tempat lain. Raden Mas Said adalah putra pangeran Mangkunegara dari Kartasura. Maka Raden Mas Said mempunyai hak untuk menggantikan kedudukan ayahnyasebagai raja. Namun dalam kenyataanya, beliau hanya mendapatkan kedudukan sebagai Menteri Anom dengan sebutan Raden Mas Suryokoesoemo. Hal ini tidak berbeda jauh dengan apa yang dialami oleh ayahnya. Semasa Sunan Amangkurat Jawi masih berkuasa, beliau berpesan bahwa sepeninggalnya nanti yang berhak menduduki tahta
1
M. Husodo Pringgokusumo, Isi “Perjanjian Salatiga” G.P Rouffaer, “Vorstenlanden” dalam Adatrecht-bundels Jilid XXXIV, (s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1905), hlm; 5.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
adalah putranya yang tertua yakni Raden Mas Said. Akan tetapi ketika Sunan Amangkurat Jawi meninggal, tahta kerajaan Kartasura diserahkan kepada Pangeran Adipati Anom Mangkunegara (putra Sunan yang ke sepuluh) dengan gelar Sinuwun Paku Buwono II. Dengan demikian Raden Mas Said gagal menggantikan kedudukan ayahnya.2 Pemberontakan Raden Mas Said merupakan dampak dari perang-perang perebutan tahta yang terjadi sebelumnya. Konflik ini diawali dengan peristiwa yang disebut dengan Geger Pecinan, yaitu peristiwa pemberontakan orang-orang Cina di Batavia pada tahun 1740. Peristiwa ini kemudian menjalar ke sepanjang pantai utara Jawa hingga melibatkan para bangsawan Mataram termasuk di dalamnya Raden Mas Said. Pemberontakan orang-orang Cina di bawah pimpinan Kapten Sepanjang (Tai Wan Sui), merupakan ungkapan atas tekanan yang terjadi di Batavia semasa Valkenier menjabat sebagai Gubernur Jendral. Adanya tekanan ini menyebabkan orang-orang Cina melakukan perlawanan dengan harapan dapat terlepas dari pengawasan Pemerintah Kolonial Belanda. Pemberontakan ini mendapat dukungan dari para Bupati pesisir pantai utara Jawa dan secara diam-diam Sri Susuhunan Paku Buwono II juga mendukung tindakan tersebut. Namun pada akhirnya Sri Susuhunan Paku Buwono II mengingkari keputusannya sendiri dan sebaliknya memihak kembali kepada pemerintah Kolonial Belanda, karena para pemberontak Cina dianggap gagal merebut kota Semarang.
2
Mulat Sariro, Suatu Uraian Singkat, (Surakarta: Rekso Pustoko,1978), hlm; 4.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
Akibat dari pemberontakan Cina ini, keraton Kartasura semakin kacau, Sri Susuhunan beserta para pengikutnya diungsikan ke Ponorogo. Situasi tersebut di manfaatkan oleh Raden Mas Said untuk menggabungkan diri dengan Sunan Kuning (Raden Mas Garendi) yang pada saat itu diangkat sebagai Sunan Mangkurat V di Kartasura oleh pemberontak Cina. Setelah bergabung, Raden Mas Said diangkat oleh Raden Mas Garendi sebagai Panglima perang dengan gelar Pangeran Prangwadana.3 Pemerintahan Sunan Mangkurat V atau Raden Mas Garendi tidak berlangsung lama, karena keraton Kartasura dapat direbut kembali oleh Paku Buwono II dengan bantuan Kumpeni. Berhasilnya Paku Buwono II merebut kembali keraton Kartasura meyebabkan dipindahnya istana ke Surakarta. Sementara itu intervensi pemerintah Kolonial atas kerajaan ini semakin dalam, Paku Buwono II semakin tidak bebas dalam menentukan keputusan-keputusan politik dan pemerintahannya. Paku Buwono II banyak berhutang budi pada Kumpeni yang berhasil mengusir para pemberontak. Sejak peristiwa berpindahnya istana Kartasura ke Surakarta, kekuasaan Sunan semakin merosot. Pemerintah Belanda menuntut upah sebagai ganti rugi atas jasa penumpasan pemberontak berupa wilayah kekuasaan di daerah pantai bagian barat dan seluruh pantai utara Jawa. Pemberian ganti rugi tersebut menyebabkan wilayah kekuasaan kerajaan semakin sempit, selain itu wilayah pangeran Mangkubumi juga ikut
dikurangi.
Peristiwa
ini
menyebabkan
perselisihan
antara
Pangeran
Mangkubumi, Sunan dan Pemerintah Belanda. Setelah peristiwa tersebut, para pangeran banyak yang meninggalkan keraton termasuk Pangeran Mangkubumi.
3
R.I.W. Dwidjasunanana, R. Ng Sastradihardja, RMF Swidjasaputra, Sejarah Perjuangan Radean Mas Said, (Sala: KS, 1972), hlm; 10
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
Pada tahun 1743, pemberontakan Cina bisa dipadamkan, namun Raden Mas Said tidak mau menyerah. Ia dengan Raden Mas Garendi tetap berani tinggal di ibu kota Surakarta, meskipun dalam ancaman Paku Buwono II. Persekutuan mereka semakin kuat setelah bergabungnya Pangeran Buminata yaitu paman Raden Mas Said yang juga mendapat perlakuan tidak adil dari Sunan dan Kumpeni, yang sebelumnya telah melakukan pemberontakan di desa Sembuyan Matesih. Pada akhirnya ketiga tokoh ini mengambil keputusan untuk berpencar, di mana Raden Mas Garendi menuju ke timur, sedangkan Raden Mas Said bersama Pangeran Buminata menuju Sukowati. Di tempat tersebut mereka mendapat bantuan dari Pangeran Singosari yang sudah lama mengadakan pemberontakan. Untuk menumpas pemberontakan Raden Mas Said dan kawan-kawan, Paku Buwono II menjanjikan hadiah tanah lungguh sebesar 3000 cacah di daerah sukowati (Sragen). Mangkubumi yang sebelumnya juga berkonflik dengan Susuhunan menerima tawaran tersebut. Pada tahun 1746 Mangkubumi berhasil mengalahkan Raden Mas Said dan menuntut hadiah dari Paku Buwono II. Akan tetapi, para penasehat Susuhunan Paku Buwono II mendesak agar beliau tidak memenuhi janjinya. Mangkubumi yang merasa kecewa, akhirnya meninggalkan keraton dan justru bergabung dengan pasukan Raden Mas Said untuk melakukan pemberontakan. Pemberontakan dua orang pangeran ini dipusatkan di Sukowati. Sementara itu keadaan Sunan di keraton semakin buruk karena menderita suatu penyakit. Sebelum Sunan meninggal keraton Surakarta sudah diserahkan kepada Kumpeni, karena hasutan dari Pemerintah Belanda. Tindakan pemerintah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
belanda ini menyebabkan rasa tidak senang para pangeran sehingga banyak yang keluar dari keraton untuk bergabung dengan pangeran Mangkubumi. Pada tahun 1752, terjadi perselisihan antara Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi. Pada waktu itu Raden Mas Said harus berjuang sendiri menghadapi Sunan dan Kumpeni disatu pihak juga dengan Pangeran Mangkubumi. Situasi seperti itu dimanfaatkan oleh komandan Belanda Van Hodondorf untuk mengadakan perundingan antara Raden Mas Said dengan pihak Kumpeni. Namun usaha itu tidak ada hasilnya, karena pasukan Raden Mas Said tidak juga menghentikan perangnya. Dengan mengamati situasi yang semakin runcing itu, Van Hodondorf menyarankan kepada Dewan Hindia agar Raden Mas Said diberi jabatan sebagai putra mahkota (karena pangeran Buminata yang seharusnya menduduki jabatan sebagi putera mahkota sudah tidak mau lagi). Dalam perundingan tanggal 30 Februari 1753 Raden Mas Said menuntut dinobatkan sebagai raja, bukan putera mahkota. Sikap Raden Mas Said ini bertentangan dengan Pangeran Mangkubumi yang justru mau mengadakan perundingan dengan pihak Kumpeni melalui Gubernur wilayah Pesisir Timur Laut, Nicholas Hartingh pada tahun 1754. Dari hasil perundingan tersebut, Pangeran Mangkubumi menerima setengah dari tanah kerajaan, mengakui kekuasaan Kumpeni atas wilayah pesisir dan bersekutu dengan Kumpeni untuk melawan Raden Mas Said. Hasil perundingan antara Pangeran Mangkubumi dan Kumpeni membuat Raden Mas Said kecewa. Raden Mas Said mengirim surat kepada Pangeran Mangkubumi dan Kumpaeni, tujuannya untuk memperbaiki hubungan mereka yang sempat terputus, dan membagi pulau Jawa menjadi dua. Tetapi permintaan Raden Mas Said ditolak oleh Pangeran Mangkubumi. Akhirnya dari pihak Belanda commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
memutuskan untuk berunding dengan Pangeran Mangkubumi dan Sunan Paku Buwono III. Perundingan dilaksanakan pada tanggal 13 Februari 1755 di desa Giyanti, yang selanjutnya lebih dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Dalam perjanjian tersebut Sunan Paku Buwono III menyerahkan setengah kerajaannya yaitu Mataram kepada Pangeran Mangkubumi dan Hartingh selaku wakil dari pemerintah Belanda meresmikan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan bergelar Hamengkubuwono I.4 Perjanjian Giyanti tersebut nampaknya tidak mampu meredakan konflik dinasti yang berkepanjangan di Surakarta, meskipun telah ada persekutuan antara Kumpeni Belanda, Susuhunan Surakarta, dan Sultan Yogyakarta, namun Raden Mas Said tidak juga mau menghentikan perlawananya. Pada bulan Oktober 1755 ia masih berhasil mengalahkan pasukan Kumpeni dan pada bulan Februari 1756 hampir berhasil membakar istana baru di Yogyakarta. Lama-kelamaan pasukan Raden Mas Said semakin berkurang, dan situasi semacam ini dimanfaatkan oleh Sunan untuk mengajaknya berunding. Dari pihak pemerintah Belanda yang diwakili oleh Hartingh juga mendesak agar segera diadakan perundingan. Akhirnya perundingan dapat dilaksanakan di Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 yang juga dihadiri oleh wakil dari Sunan Yogyakarta, yakni Patih Danureja. Dari perundingan tersebut dicapai beberapa kesepakatan yang isinya antara lain bahwa Raden Mas Said diangkat oleh Susuhunan menjadi Pangeran Miji (seorang Pangeran langsung dibawah raja) dan berhak menggunakan gelar ayahnya, yakni Pangeran Mangkunegara. Raden Mas Said juga mendapatkan tanah apanage yang luasnya 4000 karya, yang meliputi daerah
4
647
R. Ng. Yosodipuro, Babad Giyanti XVII, (Surakarta: Rekso Pustoko, 1938), hlm; 76-78. B.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
Kedawung, Laroh, Matesih, dan Gunung Kidul. Bersamaan dengan itu Sunan Paku Buwono III juga menobatkan Raden Mas Said menjadi Sri Mangkunegara dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I. Hak istimewa yang didapat Raden Mas Said antara lain, boleh duduk sejajar dengan Sunan dan diperkenakan berpakaian seperti Sunan, juga berhak mengambil alih rumah kepatihan Sindurejo termasuk kampung dan bangunan sekitarnya menjadi tempat tinggalnya.5 Selain memberikan hak istimewa, Sunan juga menetapkan larangan-larangan yang harus dipatuhi oleh Raden Mas Said. Larangan tersebut antara lain, Raden Mas Said tidak boleh duduk di Dampar atau Singgasana, tidak boleh membuat Bale Witana, tidak boleh menjatuhkan hukuman mati, tidak boleh membuat alun-alun dan menanam pohon beringin (waringin kuning sakembar). Selain itu Raden Mas Said juga mempunyai kewajiban, yakni pada hari pisowanan (Senin, Kamis dan Sabtu) harus hadir dan menerima perintah dari Sunan. Akan tetapi dalam kenyataanya Raden Mas Said tidak pernah melaksanakan kewajiban tersebut dan selanjutnya Raden Mas Said justru ditetapkan sebagai raja Mangkunegaran. Hasil dari Perjanjian Salatiga dijadikan dasar bagi Raden Mas Said untuk meneguhkan kekuatan dan membangun dinasti baru, yaitu dinasti Mangkunegaran. Untuk menegakkan pemerintahan maka Raden Mas Said membangun istananya yang kemudian dikenal dengan nama Pura Mangkunegaran. Pendiri Mangkunegaran adalah Raden Mas Said yang juga dikenal dengan sebutan pangeran Sambernyawa, Raden Mas Ngabehi Surya Kusuma, juga Sultan
5
Pakempalan Ngarang, Serat Ing Mangkunegaran, Babad Panambang, (Surakarta: Rekso Pustoko), hlm; 139. B 370
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
Adi Prakoso Senopati Ingalaga, terakhir bertahta sebagai kangjeng Gusti pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I.6 Mangkunegara I adalah seorang Adipati yang mengepalai wilayah Kadipaten atau daerah Swapraja atau Praja, maka dari itu wilayah Mangkunegaran disebut Praja Mangkunegaran, adapun tempat kediaman Adipati atau kepala Praja Mangkunegaran disebut Pura (Puro) Mangkunegaran atau Istana Mangkunegaran. Mangkunegara II berasal dari keluarga Prabuwijaya yang lahir dari Ratu Alit. Dalam diri Mangkunegara II mengalir darah Paku Buwono III dan Mangkunegara I. Tampil sebagai raja Mangkunegaran menggantikan kakeknya yang wafat tahun 1795. Tampilnya Mangkunegara II menggantikan Mangkunegara I merupakan catatan yang menarik berhubung suksesi di Istana Pangeran Sambernyawa berbeda dengan dua Kerajaan lainnya. Perbedaan ini segera tampak dalam sistem pergantian dan masa pemerintahannya. Mangkunegara II berasal dari Dinasti pejuang yang kental sekali dengan warna kemiliteran sehingga dalam hal suksesi pergantian pimpinan Istana, selain telah dipersiapkan seorang calon juga mewarisi tradisi cita cita dari pendahulunya untuk diwujudkan dalam masa masa pemerintahan penerusnya. Tradisi dan adat Jawa yang tidak membedakan laki laki dan wanita dalam mengurus negara terbukti dengan keberadaan pasukan tempur wanita sejak perjuangan pendahulunya Pangeran Sambernyawa. Dalam masa pemerintahannya pula calon penerus sudah tampak dipersiapkan dan jalur wanita bukan persoalan yang menghambat.
6
Suwaji Bastomi, Karya Budaya Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya I-VIII, (Semarang: IKIP Press, 1996), hlm; 21-28
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
Mangkunegara II merupakan seorang penguasa di wilayah Kadipaten Mangkunegaran yang selama masa pemerintahannya disibukan oleh perang dan perluasan wilayah sehingga dibandingkan dengan Mangkunegara yang lainnya penguasa kedua Mangkunegaran ini bisa dikatakan tidak menghasilkan karya seni. Ketika masih muda KGPAA Mangkunegara III bernama Raden Mas Sarengat, lahir pada tanggal 16 Januari 1803. RM Sarengat sejak kecil dipungut menjadi putra KGPAA Mangkunegara II dengan panggilan Raden Mas Galemboh. Raden Mas Sarengat putra Bandara Raden Ayu Natakusuma putri sulung KGPAA Mangkunegara II. Dengan demikian Raden Mas Sarengat adalah cucu KGPAA Mangkunegara II. Sejak kecil Raden Mas Galemboh memang berminat pada bidang keprajuritan. Suatu kesempatan yang baik, pada waktu usia muda Raden Mas Galemboh mendapat pendidikan kadet. Ketika terjadi pemberontakan Diponegoro (1825) KGPAA Prangwadana bersama-sama dengan KGPAA Mangkunegara II memimpin prajurit Mangkunegaran menghadapi prajurit Pangeran Diponegoro. Menjelang berakhirnya perang Diponegoro KGPAA Prangwadana bekerja sama dengan Jendral Van Geen berhasil menumpas pemberontakan di Jatinom dan Kapuran. Sehabis perang Diponegoro para prajurit Mangkunegaran mendapat penghargaan dari pemerintah Belanda, sedangkan pangeran Harya Prangwadana mendapat hadiah bintang militer berpangkat empat (1832).7 Mangkunegara IV adalah putra ke-7 dari GRAy Pangeran Arya Hadiwijaya I di Surakarta. Ayahnya adalah putra dari RMT Kusumadiningrat, menatu PB III. Dengan demikian, Mangkunegara IV adalah cucu dari Mangkunegara II dan buyut 7
Suwaji Bastomi, Ibid, hlm; 47-52
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
dari PB III, juga buyut dari KPA Hadiwijaya. Jadi Mangkunegara IV adalah saudara sepupu dari Mangkunegara III. Setelah lahir beliau langsung diminta oleh kakeknya, kemudian diasuh oleh selirnya, Mbok Ajeng Dayaningsih yang sangat mengasihinya. Mangkunegra IV semasa kecil bernama RM Sudira. Beliau sejak kecil tidak memperoleh pendidikan formal. Hal itu dikarenakan pada masa itu belum ada pendidikan formal di Surakarta. Pendidikan RM Sudira diberikan secara privat oleh guru-guru yang datang kerumah. Guru yang didatangkan antara lain guru agama, pendidikan umum, guru membaca, bahasa dan tulisan Jawa. Dengan kata lain, tujuan akhir pendidikan saat itu tidak mutlak pendidikan Jawa tetapi untuk memasukkan berbagai ilmu pengetahuan, tetapi memberikan jalan kearah pengembangan pribadi.8 Dari latar belakang Mangkunegara IV yang sejak kecilnya sudah dididik dengan berbagai pengetahuan umum maupun pengetahuan kejawen, serta bakat yang luar biasa di dalam bidang sastra dan seni, menjadikan beliau sebagai seorang sastrawan dan seniman yang terkenal bahkan sampai sekarang. Hal inilah yang menjadi dasar Mangkunegara IV menjadi sastrawan yang amat menonjol.9 B. Latar belakang kehidupan Mangkunegara V Mangkunegara V lahir di Mangkunegaran pada tanggal 16 April 1855. Putra ke dua dari Mangkunegara IV. Pada masa mudanya Mangkunegara V dikenal dengan nama Raden Mas Sunito, Pada bulan Juli 1869 Raden Mas Sunito diangkat menjadi Pangeran Anom dengan gelar KGPA Prabu Prangwadono, menggantikan kedudukan 8
W. E. Soetomo. Siswokartono, Sri Mangkunegara IV sebagai Penguasa dan pujangga, (Semarang: Aneka Ilmu,2006), hlm; 77-78. 9 Sarwanta Wiryasaputra, Mengenal Seoarang Warga Keluarga Mangkunegara III yang menjadi Tenar Sebagai Tokoh di Dunia Kesustraan Jawa, (Surakarta: Rekso Pustoko, 1981), hlm; 3-4.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
KGPA Prabu Sudibya (kakaknya). Bersamaan dengan itu, ia menerima pangkat Letnan Ajudan I dari pemerintah Belanda.10 Pada tahun 1874 KGPA Prabu Prangwadono dinaikan pangkat menjadi Mayor Ajudan. Tahun 1877 ia dinikahkan dengan RA Kusumardinah. Putri PA Hadiwijaya III di Surakarta. Sehubungan dengan wafatnya Mangkunegara IV (ayahnya) pada tahun 1881, pada hari Senin Legi tanggal 5 Juli 1881 KGPA Prabu Prangwadono diangkat menjadi raja Mangkunegaran menggantikan ayahnya dan bergelar
KGPAA Mangkunegara V. Bersamaan dengan pengangkatannya,
Pemerintah Belanda melalui Residen Surakarta C.A.L.J. Jekel, ia dinaikan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel Legiun Mangkunegaran. 11 Dengan adanya kesepakatan antara Pemerintah Belanda dan Sunan IX (18631893), pada tahun 1894 KGPAA Mangkunegara V dinaikan pangkatnya menjadi Kolonel Komandan. Gelar ini hanya dikenakan selama dua tahun, tahun 1896 ia wafat, kemudian kedudukannya sebagai raja Mangkunegaran digantikan adiknya yang bergelar KGPAA Mangkunegara VI. Mangkunegara V wafat pada usia 42 tahun, meninggalkan 17 istri dan 28 putra, enam orang diantaranya meninggal dunia.12 Keluarga Mangkunegaran disebut keluarga Panji Laras. Mangkunegara V hidup sangat sederhana dan banyak berbuat baik untuk kepentingan keluarga antara lain dengan mengkitankan, menikahkan dan memenuhi keperluan hidup keluarga
10
R.M.N. Jayasukanda, Serat Pemutan Lelampahan Dalem KGPAA Mangkunegara V , (Surakarta: Rekso Pustoko), hlm; 1-3. B. 74 11 Purwadi, Sejarah Raja-Raja Jawa, (Yogyakarta: Media Abadi, 2007), hlm; 562 12 R.M.N. Jayasukanda, Op.cit, hlm; 3
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
Mangkunegaran. Mangkunegara V menikahkan adiknya Pangeran Harya Dayaningrat dan Kanjeng Ratu Paku Buwana. Adik Mangkunegara V yang diangkat menjadi Pangeran ialah R.M Subiyakta dengan sebutan Kanjeng Pangeran Harya Dayasaputra, dan R.M. Suprapta dengan sebutan Kanjeng Pangeran Harya Dayakiswara. Sistem ketataprajaan pada masa pemerintahan Mangkunegara V masih mengikuti sistem yang lama yang dilakukan oleh Mangkunegara IV. Tiap hari Senin dan Kamis masih diadakan pasowanan, yaitu para nara praja menghadap Mangkunegara V. Dalam acara ini para Rangga dan pejabat yang lebih tinggi mengenakan kuluk dan baju sikepan pendek. Selain hari pasowanan para Nara Praja mengenakan baju beskap dengan ikat kepala “undheng-udhengan”. Jika dinas kantor, Mangkunegara V mengenakan jas. Pada upacara peringatan hari kelahiran Mangkunegara V, para Demang mengenakan kain kampuh dan baju sikepan. Penghasilan Praja Mangkunegaran pada awal pemerintahan Mangkunegara V masih cukup baik. Akan tetapi penghasilan yang baik itu kurang dimanfaatkan secara sungguh-sungguh, karena terbawa usia Mangkunegara V yang masih muda. Mangkunegara V banyak menuruti kehendak pribadinya, antara lain bermain judi dan berburu binatang. 13 C. Hasil Karya Budaya Mangkunegara V Selama memegang pemerintahan di istana Mangkunegaran, Mangkunegara V mempunyai peran besar dalam pengembangan kebudayaan, khususnya bidang kesenian. Kemajuan pemerintahan Mangkunegara V itu tidak lepas dari dua faktor, yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern di sini ialah unsur genetik yang meliputi 13
Suwaji Bastomi, Op.Cit, hlm; 69-70
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
konsep, wawasan, sikap. Sedangkan faktor ekstern berupa sosio-kutural yang melingkupinya. Konsep, wawasan, sikap dan tindakan Mangkunegara V sangat dipengaruhi oleh visi mendiang ayahnya, Mangkunegara IV. Mangkunegara IV sangat dikenal sebagai ahli di bidang ekonomi, bidang sastra, dan bidang seni. Sejak kecil, Mangkunegara V telah menampakan bakatnya di bidang kesenian. Ia belajar seni tari di dalam istana yang dibimbing langsung oleh para guru tari istana Mangkunegaran yang cukup ternama di masa itu, seperti: Nyi Bei Mintoraras dan RMA Tondhokusumo.14 Berdasarkan garis keluarga dan lingkungan yang mendukung, tidak aneh bila Mangkunegara V akhirnya menjadi seorang budayawan yang sangat dikagumi para penguasa lain pada periode itu. Pada masa pemerintahan Mangkunegara V banyak waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk seni pertunjukan serta membuat koleksi benda-benda kuna Jawa, seperti: ukir-ukiran, alat musik, topeng, dan benda-benda kesenian. Mangkunegara V melakukan pembaharuan dalam pementasan wayang orang. Pembaharuan baru itu tampak pada busana yang dikenakan para pemain, pemain wayang orang dan lakonlakon yang dimainkan, Tidak kurang 15 lakon carangan wayang orang berkembang di istana Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara V. 15 Jenis-jenis seni pertunjukan yang berkembang di waktu itu ialah seni tari meliputi tari bedaya, tari srimpi, tari tayub, tari wiring, sendratari langendriyan, serta drama tradisi jawa meliputi wayang purwa, wayang klithik, wayang gedog, wayang 14
Hersapandi, Wayang Wong Sriwedari “Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersil”, (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia,1999), hlm; 26-27 15 Suwaji Bastomi, Op.cit, hlm; 69-70
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
golek, dan wayang orang. Semua latihan dan pagelaran kesenian dipusatkan di pendapa Agung Mangkunegaran yang bersebelahan dengan perangkat gamelan. Guru kesenian istana Mangkunegaran waktu itu ialah RMA Tondhokusumo dan Nyai Mintoraras. Mereka mempunyai andil besar dalam perkembangan seni tari di istana Mangkunegaran. 16 Pada periode pemerintahan Mangkunegara V seni-seni pertunjukan di istana Mangkunegaran yang semula dianggap sebagai tradisi yang sakral dapat disaksikan oleh masyarakat umum. Hal ini berbeda dengan di istana-istana lainya, seperti keraton Yogyakarta, di Keraton Yogyakarta seni merupakan monopoli istana.17 Seniseni pertunjukan di keraton Yogyakarta cenderung berkembang kearah klasik (mengikuti patokan standar), sedangkan di istana Mangkunegaran lebih mengarah ke romantis (terbuka). Akibat dari konteks sosio-kultural di Mangkunegaran itu mempunyai pengaruh yang jauh pada perkembangan seni-seni pertunjukan selanjutnya, yakni pada periode selanjutnya seni pertunjukan keluar tembok istana.18 Karena karya-karya besarnya dalam bidang budaya dan seni Mangkunegara V diakui sebagai seorang budayawan yang hebat, oleh banyak penguasa Jawa pada masa itu. Pada masa pemerintahan Mangkunegara V kebudayaan istana Mangkunegaran mengalami perkembangan dan puncak kejayaannya, hal itu terbukti dengan karya-karya besarnya yang diakui dan digunakan hingga saat ini. Mangkunegara V wajar apabila menjadi seorang budayawan karena mewarisi sifat
16
Buku Beksan Mangkunegaran: Isi Beksan 41 Warni Anggitanipun Para Seniman ing Jamanipun Kangjeng Gusti Mangkunegara V , (Surakarta: Rekso Pustoko), no; 917 17 Sayid, Babad Sala, (Surakarta: Rekso Pustoko), hlm; 116-119. B. 291 18 Hersapandi, Op.cit, hlm; 30
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
dan karakter dari ayahnya Mangkunegara IV yang dikenal sebagai seorang budayawan
Jawa
yang
hebat
pada
zamannya.
Pada
masa
pemerintahan
Mangkunegara V perkembangan budaya semakin meningkat terutama wayang orang. Mangkunegara V yang dikenal sebagai penggemar seni keraton, membuat kesenian istana menjadi lebih hidup dan kehidupan istana menjadi lebih semarak. Mangkunegara V sebagai seorang budayawan juga dapat dilihat dari hobinya dalam bidang kesenian, yakni Mangkunegara V suka sekali mengadakan seni pertunjukan wayang orang. Mangkunegara V sangat suka pada wayang, baik wayang orang, wayang kulit purwa, wayang gedhog maupun wayang klithik. 19 Mangkunegara V membangkitkan kembali nilai budaya jiwa ksatria dan adat sopan santun yang halus dalam wayang. Kehadiran wayang orang dalam sistem budaya keraton mempunyai sistem nilai dalam pranata ksatria Jawa yang telah kena pengaruh Hindu dan Islam. Menurut Stutterheim, bahwa wayang merupakan suatu khazanah budaya yang penuh dengan nilai-nilai kesopanan dan bentuk hidup.20 Sebagai ekspresi budaya Jawa, wayang memiliki cita rasa hidup tentang watak dan sikap hidup yang memberi ilham kepada kehidupan pribadi dan ini patut diteladani. Di sini mengandung cita-cita yang indah dan halus dari ksatria yang tak gentar serta tanpa cela, cita-cita kesetiaan kepada raja, kesederhanaan dan ketabahan hati, serta mampu menahan diri yang sempurna. Oleh karena itu konsep paham ksatria dalam kebudayaan Jawa bukan sebuah unsur kebudayaan yang berdiri sendiri.
19
Suwaji Bastomi, Op.cit, hlm; 71 D. H Burger, Sejarah Ekonomis Indonesia dari segi Sosiologis Sampai Akhir Abad XIX, Terjemahan Parjudi Atmosudirdjo, (Jakarta: Pradnya Paramita. 1983), hlm; 44 20
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III CIRI WAYANG ORANG PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA V
Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang senantiasa bergerak (dinamis), mengalami perkembangan yang terus menerus. Begitu pula dengan wayang orang yang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1938 Pigeaud berpendapat dan membuktikan, bahwa yang terkenal sebagai kebudayaan Jawa (yang disebut kebudayaan wayang) adalah hasil pertumbuhan selama beberapa abad. Menurutnya, adalah suatu kekeliruan jika orang menganggap bentuk dari isi pergaulan hidup Jawa adalah warisan belaka dari zaman dahulu dan tidak menunjukan pertumbuhan didalamnya.1 Kata wayang dalam bahasa Jawa Kuno berarti bayangan atau pertunjukan bayangan. Seni pewayangan adalah seni pakeliran yang tokoh utamanya adalah dalang. Seni ini merupakan gabungan antara seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh wayang, seni musik atau gendhing yang mengiringinya, wawancara atau dialog (antawacana). Dalam pertunjukan disajikan lakon yang biasanya berisi ajaran atau pitutur hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau berisi filsafat hidup orang Jawa. Dunia wayang dihuni oleh Dewa-dewa, Rajaraja, Pangeran-pangeran, Putri-putri, Raksasa, Para Guru, dan para Punokawan.
1
D H Burger, Sejarah Ekonomis Indonesia dari segi Sosiologis Sampai Akhir Abad XIX, Terjemahan Parjudi Atmosudirdjo, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm; 86-87
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
Semua anggota dari keluarga Jawa yang akrab, yang diikat oleh ikatan-ikatan keakraban yang kuat.2 A. Awal mula munculnya wayang orang Wayang orang telah lama dikenal oleh bangsa Indonesia sebagai peninggalan budaya dari nenek moyang terdahulu yang secara turun temurun telah diwariskan dari generasi kegenerasi. Sejarah wayang orang : Istilah wayang orang dijumpai dalam prasasti Wimalasmara (tahun 930) dan dalam prasasti Balitung (tahun 907) yang menunjukan bahwa pada zaman mataram kuna sudah ada pertunjukan wayang orang yang membawakan wiracarita Mahabarata dan Ramayana. 3 Kata wayang berarti ”bayangan”, sedangkan orang adalah yang memerankan tokoh dalam permainan wayang tesebut. Wayang orang secara luas berarti sebuah pertunjukan drama tari yang dipertunjukkan oleh manusia. Wayang orang menggambarkan tentang kehidupan Mahabarata dan Ramayana yang diwujudkan dan diperankan langsung oleh manusia dalam penokohan. Dapat disimpulkan bahwa wayang orang adalah seseorang yang dillengkapi dengan pakaian sesuai dengan perlengkapan wayang kulit dengan mengambil tema cerita Ramayana dan Mahabarata. Wayang orang lebih tepat disebut drama, sandiwara atau teater tradisional Jawa yang bercirikan: adanya pembawa acara atau dalang, tema cerita atau lakon, pemain, penonton, musik, dialog berbahasa Jawa, dan disertai gerak tari. 4
2
Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Terjemahan Soedarsono, (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2000) hlm; 155-156 3 R. M. Soedarsono, Wayang Wong “Drama Tari Ritual Kenegaraan Di Keraton Yogyakarta”, (Yogyakarta: UGM Press, 1997), hlm; 1-92 4 Hersapandi, Wayang Wong Sriwedari “Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersil”, (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 1999), hlm; 15-16
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
Dari berbagai bentuk seni terdapat hubungan yang sangat erat dalam perkembangan sejarahnya. Hal itu juga terdapat pada wayang (wayang kulit dan wayang orang). Bahkan boleh dikatakan, wayang kulit dan wayang orang di Jawa berkembangan berdampingan, yang satu mempengaruhi yang lain, atau bahkan bisa dikatakan bahwa wayang orang adalah persamaan dari wayang kulit. Bila pada pertunjukan wayang aktor-aktrisnya adalah boneka-boneka dari kulit, sedangkan wayang orang adalah wayang yang aktor-aktrisnya adalah manusia. Di Jawa dalam perkembangannya terjadi hubungan erat dan saling mempengaruhi antara wayang kulit, wayang orang, dan seni rupa pada masa lampau. misalnya, gaya tari pada zaman Mataram Kuna di Jawa Tengah (abad ke-8 sampai abad ke-10), sama dengan gaya tari yang terpahat pada relief-relief candi Borobudur dan candi Prambanan.5 Wayang orang merupakan bentuk baru dari wayang sebelumnya yaitu wayang topeng. Menurut Kusumodilogo dalam tulisannya berjudul Sastramiruda dinyatakan, wayang orang tersebut dipertunjukkan untuk pertama kalinya pada pertengahan abad ke-18 (1760-an) dengan lakon Wijanarka.6
B. Wayang orang di Pura Mangkunegaran Istana Mangkunegaran sebagai pecahan keraton Surakarta membuat drama tari wayang orang. Lahirnya wayang orang di Istana Mangkunegaran berhubungan dengan masa Renaissance Kasusastraan Jawa (abad ke 18-19) yang ditandai dengan penulisan kembali Kakawin dalam bahasa Kasusastraan Jawa baru. Wayang orang di
5 6
Hersapandi. Op.cit. hlm; 15-16 Ibid. hlm;21
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
istana Mangkunegaran pertama kali muncul pada masa pemerintahan Mangkunegara I (1757-1796), Wayang orang di istana Mangkunegaran pertama diciptakan oleh Mangkunegara I. Wayang orang Mangkunegaran mengalami kemunduran pada masa pemerintahan Mangkunegara II dan Mangkunegara III. Baru pada masa pemerintahan Mangkunegara IV (1853-1881), wayang orang Mangkunegaran muncul kembali bersamaan dengan munculnya Langendriyan dan digunakan sebagai sajian yang sakral di dalam istana. Wayang orang Mangkunegaran mengalami perkembangan dan berada pada masa kejayaanya pada masa Mangkunegara V (1881-1896).7 Perkembangan wayang orang Mangkunegaran dari masa ke masa, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Wayang orang pada masa Mangkunegara I Wayang orang Mangkunegaran pertama kali dipentaskan pada tahun 1760. Pada waktu itu pemain wayang orang terbatas pada abdi dalem istana. Pada waktu itu wayang orang hanya dinikmati oleh kerabat Mangkunegaran dan para punggawa saja. Pakaian yang dikenakan para penari wayang orang pada waktu itu masih sangat sederhana, yakni tidak jauh berbeda dengan pakaian adat Mangkunegaran yang digunakan sehari-hari. Latihan dan pertunjukan wayang orang pada waktu itu diselenggarakan di Pura Mangkunegaran. Selain untuk hiburan dan apresiasi wayang orang pada waktu itu juga digunakan untuk menyampaikan ajaran-ajaran. Lakon pertama yang diciptakan Mangkunegara I adalah Wijanarka. Sejak kemunculannya wayang orang penuh dengan muatan tentang ajaran hidup dan keagamaan. Munculnya wayang orang pertama kali di istana Mangkunegaran pada waktu itu 7
Ibid. hlm; 17-27
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
mendapat tanggapan baik dari kalangan bawah maupun kalangan bangsawan setempat. 8 2. Wayang orang pada masa Mangkunegara II Pada masa Mangkunegara II wayang orang di istana Mangkunegaran mengalami kemunduran, hal ini disebabkan kurangnya perhatian Mangkunegara II terhadap seni pertunjukan istana khususnya wayang orang karena Mangkunegara II lebih senang dalam hal keprajuritan dan militer. Wayang orang dan seni pertunjukan jarang sekali dipentaskan bahkan tidak pernah dilakukan dan ditinggalkan, adapun seni pertunjukan yang digelar pada waktu itu hanya untuk kesenangan para putra dan kerabat saja. Keterlibatan Mangkunegara II terhadap kesenian khususnya seni pertunjukan tidaklah banyak. Kegiatan seni pertunjukan hanya dilakukan oleh yang berminat saja, kesenian di Pura Mangkunegaran pada waktu itu memang mendapat perhatian, akan tetapi tidak seperti pada masa Mangkunegara I dan hanya sebatas penyaluran bakat bagi yang berminat agar warisan budaya tidak hilang begitu saja.9 3. Wayang orang pada masa Mangkunegara III Tidak banyak berubah dengan apa yang terjadi pada masa Mangkunegara II, Karena perhatian Mangkunegara III terhadap kesenian kurang, maka kegiatankegiatan yang berhubungan dengan seni pertunjukan istana khususnya wayang orang sangatlah minim dan dibatasi. Hal tersebut disebabkan karena Mangkunegara III sendiri tidak memiliki keahlian dan kegemaran dalam bidang seni. Perhatian
8 9
Suwaji Bastomi, Karya Budaya Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya I-VIII. hlm; 24-25 Ibid. hlm; 41-42
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
Mangkunegara III terhadap seni pertunjukan khususnya wayang orang hanya sebatas untuk mempertahankan tradisi dan warisan seni budaya Mangkunegaran saja.10 4. Wayang orang pada masa Mangkunegara IV Setelah dua periode sebelumnya wayang orang tidak mucul barulah pada masa Mangkunegara IV wayang orang di istana Mangkunegaran dimunculkan kembali, wayang orang muncul kembali bersamaan dengan munculnya langendriyan dan digunakan sebagai sajian yang sakral di dalam istana. Pada masa ini wayang orang mejadi seni klangenan adiluhung. Hal ini tidak terlepas karena Mangkunegara IV sendiri mempunyai kegemaran dalam bidang kesenian. Latihan dan pertunjukan wayang orang diselenggarakan di Pura Mangkunegaran. Selain untuk hiburan dan apresiasi wayang orang pada waktu itu juga digunakan untuk menyampaikan ajaranajaran. Mangkunegara IV menggunakan tema cerita dalam pementasan wayang orang di istana Mangkunegaran sebagai media pendidikan, seperti yang ada di dalam Serat Tripama dan Serat Candrarini, Serat Tripama pada intinya adalah mengungkap tiga pahlawan yang diharapkan dapat menjadi panutan masyarakat Jawa, yaitu Kumbakarna, Patih Suwanda dan Prabu Karna. Sedangkan dalam Serat Candrarini mengungkapkan wanita-wanita ideal Jawa, yang disimbolkan istri-istri Arjuna.11 5. Wayang orang pada masa Mangkunegara V Mangkunegara V tidak saja meneruskan bentuk kesenian yang diwarisinya, tetapi mencoba lebih memantapkan atau menyempurnakannya. Pada masa ini wayang orang Mangkunegara mengalami puncak perkembangannya dan berada pada masa
10 11
Ibid. hlm; 48-49 Ibid. hlm; 58-59
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
kejayaanya, yang ditandai adanya pembakuan tata busana wayang orang. Mangkunegara V melakukan pembaharuan dalam hal penari, pada masa Mangkunegara V mulai tampil penari wanita yang memerankan tokoh-tokoh wanita selain itu Mangkunegara V juga mengembangkan lakon-lakon carangan.12
C. Perkembangan wayang orang pada masa Mangkunegara V Perkembangan wayang orang, menurut Clifford Geertz munculnya wayang orang pada abad pertengahan abad ke-18 merupakan bagian dari kebangkitan seni klasik Jawa setelah mendapat pukulan karena masuknya agama Islam. Pernyataan Greetz itu kiranya cukup beralasan mengingat bahwa pada masa Kerajaan Demak, kemudian Kerajaan Pajang dan diteruskan Kerajaan Mataram Islam sampai Kerajaan mataram Kartasura tidak ditemukan data-data tentang pertunjukan wayang orang. Baru sesudah perjanjian Giyanti yang ditandai pecahnya Kerajaan Mataram di bagi menjadi dua yaitu Kerajaan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, kemudian Kerajaan Kasultanan dibagi lagi menjadi Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran pada perjanjian Salatiga tahun 1757, secara bersamaan Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Sri Mangkunegara I menciptakan wayang orang sebagai suatu atribut kebesaran pemerintahannya.13 Krisis ekonomi di istana berpengaruh besar pada perkembangan wayang orang. Penghapusan pemanggungan wayang orang sebagai agenda rutin di istana Mangkunegaran, tidak membuat keberadaan wayang orang hilang. 12
Hal ini
Rustopo, Menjadi Jawa “Orang-Orang Tionghoa Dan Kebudayaan Jawa”, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm; 110-111 13 Hersapandi. Op.cit. hlm; 17-19
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
dikarenakan, para aktor wayang orang, entah lebih disebabkan oleh alasan ekonomi ataukah karena memang adanya motivasi estetis, justru mengembangkan kemampuan mereka di wilayah publik. Sejak itu, wayang orang berkembang sebagai seni panggung rakyat, tentu saja dengan beberapa sentuhan
perubahan dari format
awalnya sebagai seni elit. Wayang orang di istana Mangkunegaran mengalami masa kejayaannya pada masa Mangkunegara V, karena dalam pementasannya wayang orang Mangkunegaran, Mangkunegara V sangat mementingkan kekuatan dramatis tanpa kehilangan sifat Jawa-nya. Berdasarkan pemikiran dan penekanan kekuatan dramatis itu, maka sudah sewajarnya bila dalam pementasan wayang orang dikembangkan kembali dengan melakukan pembaharuan. Pembaharuan baru itu tampak pada busana yang dikenakan para pemain, pemain wayang orang dan lakon-lakon yang dimainkan. a) Perkembangan busana Guna meperkuat nilai dramatik pementasan wayang orang, Mangkunegara V mengadakan pembaharuan dalam bidang busana. Pada awal kemunculanya pada masa Mangkunegara I hingga masa Mangkunegara IV busana yang dikenakan para penari wayang orang Mangkunegaran masih sangat sederhana, yakni tidak jauh berbeda dengan pakaian adat Mangkunegaran yang digunakan sehari-hari. Pada awalnya busana wayang orang selalu kembar mirip busana tari Wireng, Baru pada masa Mangkunegara V, diciptakan busana khusus yang digunakan para penari wayang orang Mangkunegaran. Adapun busana itu adalah busana baru yang mengikuti perwujudan busana wayang kulit purwa. Penggubahan busana baru itu di ilhami oleh patung Bima dan relief-relief pada candi sukuh. Dari sumber-sumber itu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
kemudian diciptakan perabot busana wayang orang, Busana-busana baru itu antara lain: makutha, kelat bahu, sumping, praba, dan uncal badhong. Dengan perubahan busana ini akan memberi kemudahan bagi penonton, untuk membedakan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainya.14 Penggolongan perwatakan tari dalam wayang orang diselaraskan dengan perwatakan tata rias dan busana, sehingga perpaduan unsur-unsur itu memberi makna dan simbol tertentu bagi tokoh wayang yang bersangkutan. Sebagaimana dalam wayang kulit atribut-atribut tertentu menunjuk pada tokoh-tokoh tertentu baik menunjuk pada karakteristik maupun status sosial. Wayang orang Mangkunegaran mengalami transformasi tata busana dan perkembangan pada masa pemerintahan Mangkunegara V.
Tata busana wayang
orang mengambil bentuk-bentuk tata busana wayang kulit purwa, yaitu tata busana manusia pada zaman Budha, terutama bagi orang yang sudah masuk di lingkungan Negara (keraton) seperti raja, pandhita, pembesar-pembesar kerajaan, pangeran atau para sentana, dan prajurit. Sebagai gambaran, berikut ini adalah deskripsi tata busana wayang orang ciptaan Mangkunegara V, yaitu: Kelengkapan tata busana kebesaran raja Binathara pada wayang kulit: 1. (a) Makutha, ngukasri martu kuntha (b) Jamang madrakara (c) Kawaca garudawali (d) Karawistha hendra braja
14
R. M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, (Yogyakarta: UGM Press, 2002), hlm; 222-223
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
2. (a) Sumping ngambara (b) Sengkang boma 3. Cacandhang hendrakala 4. (a) Dawala tali praba (b) Calumpring bujang kara 5. (a) Kalung tri ujung (b) Tebah jaja sulardi (c) Praba kuntha bajra 6. Gelang bau warna (kelad bau mas sinangling) 7. Binggel waliyasa 8. (a) Karencong kara wali (b) Bidaka ganda wari 9. Celana15 Tata busana untuk Harya Prabu Anom dengan tata busana nata-binathara, bedanya hanya tanpa menggunakan mahkota dan praba. Untuk tata busana kebesaran patih dan wiradikara (senopati perang), bedanya dengan Harya Prabu Anom hanya pada pemakaian praba. Untuk tata busana pandhita atau brahmana menggunakan kopiah, baju dan kain sedangkan perlengkapannya sama seperti lainnya. Berikuti ini adalah kelengkapan tata busana wayang orang Mangkunegaran yang diilhami dari tata busana wayang kulit K.G.P.A.A Prabu Prangwadana V, yaitu:
15
K.G.P.A.A. Prabu Prangwadana V, Pratelan Busananing Ringgit Tiyang, (Surakarta: Rekso Pustoko), D 171
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
1. Mahkota kerajaan Binathara digubah menjadi tropong dari kain sutera atau beludru. Untuk raja bawahan memakai kethu dari sutera atau beludru yang di atasnya diletakkan nyamat (tombol kuluk) saduran. 2. Jejamang digubah kulit ditatah karawitan pinarada, disebut jamang. 3. Sanggening gelung pekesi garudha anglayang. 4. Gegombyoking makhutha tidak pakai. 5. Sesumping yang digubah dari kulit tatahan pinarada, disebut sumping dengan ronce pipontoning renda ginombyok. 6. Anting-anting tidak pakai. 7. Cacandhang yang digubah menjadi semacam sondher (sampur) dibuat dari sutera, diujung ada yang diberi lugasan atau binara. 8. Ulur-ulur yang digubah menjadi semacam kalung herloji dengan karset, emas atau saduran (tiruan). 9. Calumping tidak pakai. 10. Kalung yang digubah menjadi sangsangan wulan tumanggal. 11. Tebah jaja tidak pakai. 12. Praba yang digubah menjadi semacam kulit yang ditatah lung-lungan pinarada, disebut sraba. 13. Kelat bau yang digubah menjadi semacam tiruan rineka paksi. 14. Gegelang yang digubah tiruan binggel aben unjung atau seperti ular. 15. Keroncong yang digubah semacam kulit pinarada disebut rencong. 16. Tarumpah tidak pakai. 17. Badhong yang digubah menjadi kulit pinarada disebut badhong. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
18. Celana yang digubah menjadi lancingan panji-panji dengan timbangan slaka, memakai kain prajuritan yaitu jenis kain parang rusak atau praosan, peningset cinde dengan bara, tinimangan sela dengan janur wenda dan bludru, memakai wangkingan, jejeripun sinelut sela ginombtok ing puspita rumonce (diberi hiasan rangkain bunga).16 Seperti halnya pada tata busana wayang kulit untuk tata busana Haryo Prabu Anom dengan tata busana kebesaran raja Binathara, tetapi tidak memakai tropong dan praba. Demikian juga untuk tata busana patih dan senopati, perbedaan dengan tata busana Haryo Prabu Anom terletak pada pemakaian praba. Tata busana para ksatria dan para prajurit agak mirip dengan tata busana patih dan senopati, akan tetapi dengan memakai kain batik bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan. Disamping tata busana, dikreasi juga beberapa senjata wayang kulit dengan bentuk modifikasi sesuai dengan kebutuhan wayang orang seperti dhuwung (keris), jemparing jekrek atau gendhewa dan nyenyep, gada, sing dikreasi lameng.17 Tata busana tiap tokoh disesuaikan dengan perwatakan tarinya. Simbolisasi warna selaras dengan karakteristik seperti merah sebagai simbol sifat pemberani, suka marah, sombong, dan jahat digunakan untuk tokoh Rahwana atau Baladewa, warna hitam untuk tokoh rendah hati sebagai simbol kebijaksanan dan kematangan untuk tokoh Yudistira dan Arjuna serta Rama, warna putih untuk simbol kesucian untuk tokoh pendita atau brahmana, warna kuning sebagai simbol kemegahan. Pemakaian
16 17
Hersapandi. Op.cit. hlm; 52-54 Ibid. hlm; 54
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
tata warna didasarkan pada warna yang kuat atau dominan dengan kombinasi warnawarna lain yang selaras.18 b) Perkembangan Penari wayang orang Pada masa Mangkunegara V mulai tampil para penari wanita yang memerankan tokoh-tokoh wanita. Semula wayang orang hanya dimainkan oleh penari pria saja dan terbatas pada abdi dalem saja, penari wayang orang berkembang tidak hanya abdi dalem saja, para sentana atau keluarga bangsawan juga ikut memainkan wayang orang di istana Mangkunegaran, perkembangan tidak terbatas hanya itu saja para wanita yang semula dianggap sakral dan tidak pernah ada dalam pementasan wayang orang di istana pada masa Mangkunegara V mulai dimunculkan.19 Mangkunegara V dalam pementasan wayang orang sangat mementingkan kekuatan dramatis. Berdasarkan pemikiran dan kekuatan dramatis itu, maka sudah sewajar bila Mangkunegara V dalam pementasan wayang orang dikembangkan kembali dengan melakukan pembaharuan. Karena telah terjadi pergeseran fungsi pementasan dari sakral menjadi hiburan, maka Mangkunegara V memasukkan penari wanita dalam wayang orang di istana Mangkunegaran untuk menambah daya tarik penonton. Tampilnya penari wanita dalam wayang orang di istana Mangkunegaran merupakan bentuk pertunjukan yang baru, karena di daerah lain belum ditemukan. Mangkunegara V sangat menghargai kebangkitan wanita di Surakarta dari status kanca wingking (teman belakang) kearah emansipasi, persamaan hak dan derajat
18 19
Ibid. hlm; 5 Rustopo. Op.cit. hlm; 110
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
dengan kaum pria. Pandangan Mangkunegara V yang mendukung emansipasi wanita mengilhaminya, untuk melakukan penataan kembali seni-seni pertunjukan, terutama dalam menghadirkan peran penari wanita dalam wayang orang Mangkunegaran. Hadirnya peran wanita dalam wayang orang, dijadikan monumen Mangkunegara V dalam melukiskan kondisi sosial masyarakat Surakarta pada saat itu. 20 Selain
memasukkan
penari
wanita
kedalam
wayang
orang
istana
Mangkunegaran, Mangkunegara V juga orang pertama yang mencetuskan peran campuran dalam pertunjukan wayang orang. Peran campuran di sini adalah, wayang orang yang dipentaskan secara campuran antara para bangsawan, abdi dalem dan penari wanita. Pada sajian sebelumnya, wayang orang di istana Mangkunegaran hanya diperankan para abdi dalem saja, kemudian dalam perkembanganya Mangkunegara V membagi wayang orang Mangkunegaran menjadi 3 kelompok, yakni wayang orang sentana (keluarga istana), wayang orang abdi dalem, dan wayang orang putri. Yang membedakan dari ketiganya antara lain adalah pemain dan busana yang dikenakan.21 Wayang orang sentana ialah wayang orang yang diperankan oleh para sentana atau keluarga bangsawan istana, seperti: KPH Handoyokusumo, RM Subyakto, dan RM Suprapto. Busananya dibuat dari sutra, emas, intan, dan berlian. Cara berbusananya telah disiapkan dari rumah masing-masing, kemudian bila akan dimulai pentas baru berkumpul pada sebuah kamar khusus. Karena jenis wayang
20
Bandung Gunadi, Mangkunegara V 1891-1896, Seniman Besar Penampil Peran Penari Wanita Dalam Teater Tradisional Wayang Orang, (Surakarta, 1992), hlm; 72 21 Sayid, Babad Sala, (Surakarta: Rekso Pustoko), hlm; 11. B. 291
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
sentana ini, mulai dari pemain dan busananya mempunyai nilai tinggi; maka wayang orang ini hanya dapat disaksikan oleh kaum bangsawan saja.22 Wayang orang abdi dalem ialah wayang orang yang diperankan oleh para abdi dalem atau pegawai istana Mangkunegaran. Dalam hal berbusana, para pemain tidak diperbolehkan untuk mengenakan busana seperti wayang orang sentana, mereka hanya diperbolehkan untuk mengenakan busana imitasi wayang orang sentana. Wayang orang ini pementasanya dapat disaksikan oleh kaum bangsawan dan rakyat kebanyakan.23 Wayang orang wanita ialah wayang orang yang diperankan oleh para abdi dalem wanita Kinasih (pelayan wanita kesayangan) atau Kenya Puspita (gadis cantik) kaum bangsawan istana Mangkunegaran. Kelompok wayang orang ini dapat dipentaskan secara campuaran, sewaktu-waktu dapat bergabung dengan kelompok wayang orang sentana, dan sewaktu-waktu dapat bergabung dengan kelompok wayang orang abdi dalem. Untuk kelompok wayang orang abdi dalem dan kelompok wayang orang wanita, dalam mempersiapkan diri maupun berbusana berkumpul pada kamar yang dekat dengan pementasan.24 c) Perkembangan lakon Masa kejayaan wayang orang Mangkunegaran tidak terbatas pada perkembangan busana dan penari saja, tetapi juga pada penciptaan naskah lakon. Persoalan lain di sini, ialah suatu ide atau gagasan apa yang ada di balik pementasan wayang orang. Dalam sebuah pentasannya wayang orang di istana Mangkunegaran 22
Ibid. hlm; 11 Ibid. hlm; 11-12 24 Ibid. hlm; 12 23
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
mempunyai makna yang tersirat di dalam lakon yang dibawakannya. Perlu diketahui, bahwa Mangkunegara V seorang penguasa tertinggi di istananya, sekaligus seniman besar. Di dalam pertunjukan wayang orang Mangkunegara V dikenal sebagai seorang dalang, yang menjadi panutan dan mampu menuangkan gagasan-gagasan yang baik bagi masyarakat. Banyak ditemukan sumber mengenai naskah lakon carangan wayang orang di istana Mangkunegaran yang disusun berdasarkan ide dan gagasan Mangkunegara V. Pada waktu itu selain menampilkan lakon-lakon pokok dari epos Ramayana dan Mahabarata, Mangkunegara V juga mengadakan pembaharuan wayang orang dalam bidang lakon. Bila dibandingkan dengan wayang orang di keraton Yogyakarta, dalam periode yang sama, yakni pada masa Hamengku Buwono VII (1887-1921) wayang orang di istana Mangkunegaran di masa Mangkunegara V mengalami perkembangan yang lebih maju terutama dalam menampilkan lakon-lakon carangan. Persoalan lain sangat menarik dalam wayang orang di istana Mangkunegaran berkaitan dengan lakon carangan yang di tampilkannya, Mangkunegara V sangat berani menampilkan lakon-lakon carangan yang diilhami oleh nilai-nilai kewanitaan, yang belum banyak ditampilkan di keraton Yogyakarta. 25 Dari kesekian pembaharuan yang dilakukan Mangkunegara V, nampaknya tampilnya lakon-lakon carangan baru mempunyai nilai yang paling dalam. Hal ini dalam kaitannya dengan fungsi seorang dalang, dalam hal ini Mangkunegara V sebagai juru hibur, komunikator sosial, dan pelestari budaya.
25
R. M. Soedarsono. Op.cit. hlm; 29
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
Untuk mengantar uraian mengenai gagasan-gagasan Mangkunegara V yang tertuang dalam lakon-lakon carangan wayang orang yang disusunnya, lebih dahulu dapat diambilkan contoh lakon carangan yang dalam pementasannya mempunyai tujuan seperti itu. Dua lakon carangan yang terciptanya mengungkap gagasan penting dari si pencipta yaitu lakon Gandawardaya karya Hamengku Buwono I dan lakon Wijanarka karya Mangkunegara I. Lakon Gandawardaya merupakan lakon wayang orang pertama di keraton Yogyakarta. Lakon ini menceritakan pertarungan antara dua saudara tiri, Gandawardaya dan Gandakusuma, keduanya putra Arjuna. Terjadi peperangan diantara keduanya itu, karena mereka saling mengenal. Pada akhir cerita, Punakawan Semar dan Prabu Kresna menasehati mereka yang sedang bertengkar. Isi nasehatnya, bahwa mereka berdua adalah masih bersaudara, putra Arjuna. Dengan nasehat itu akhirnya keduanya salaing memaafkan dan hidup rukun.26 Menurut Soedarsono, lakon Gandawardaya merupakan simbol perang sipil antara Mangkubumi (Hamengku Buwono I) dengan Pakubuwono III (1749-1788) dan berakhir setelah ditengahi oleh orang Belanda melalui perundingan antara keduanya. Dalam hal ini bahwa orang Belanda sering dianggap oleh orang Jawa sebagai Punakawan Semar dan Prabu Kresna, yang nasehatnya bagi kedua saudara di sini mengandung kebijaksanaan paling tinggi. Lakon Wijanarka merupakan lakon wayang orang pertama di istana Mangkunegaran. Lakon ini merupakan lakon sempalan dari lakon pokok Babad Wanamarta, menceritakan tentang peranan Wijanarka (nama muda Arjuna) dalam 26
Bandung Gunadi. Op.cit. hlm; 85-86
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
turut membersihkan hutan Wanamarta, hingga menjadi kota besar dan ramai yaitu Negara Amarta. Wijanarka sendiri menerima sebagian wilayah Negara itu dari Prabu Puntadewa (kakaknya) dan kemudian di bangun menjadi Kesatrian madukara. Lakon ini diinterpretasikan, merupakan simbol perjuangan Mangkunegara I (RM Said) melawan Pakubuwono II, Pakububono III, Hamengku Buwono I, dan Belanda. Perjanjian Salatiga tahun 1757 mengakhiri perjuangan Mangkunegara I, kemudian ia menerima sebagian wilayah Pakubuwono III. Wilayah itu ialah Mangkunegaran, yang dilukiskan dalam cerita sebagi Kesatrian Madukara. Ulasan dua lakon carangan di muka, lakon Gandawardaya dan lakon wijanarka, pada hakekatnya merupakan monumen perjuangan Hamengku Buwono I dan Mangkunegara I. berdasarkan fenomena-fenomena ini, maka seorang dalang dalam menyusun lakon carangan tidak dapat dianggap mudah. Seorang dalang mempunyai pekerjaan yang sulit serta berkewajiban luhur, ia harus dapat menjadi panutan dan mampu menuangkan gagasan-gagasan yang baik dalam hasil karyanya di masyarakat. Kecuali bahasan dua lakon carangan itu, wayang dan lakon-lakon carangan merupakan media untuk menuangkan gagasan-gagasan seorang dalang. Seni pertunjukan wayang orang dan tema-tema ceritanya dijadikan monumen perjuangan serta media untuk penuangan gagasan seorang dalang, seperti seniman terdahulu Hamengku Buwono I, Mangkunegara I, dan Mangkunegara IV. Begitu juga dengan Mangkunegara V menggunakan wayang orang sebagai media komunikasi sosial. Lakon-lakon carangan yang berhasil disusun dan dapat berkembang di masanya, antara lain lakon yang bersumber dari Epos Mahabarata; seperti Kresna Saraya (1883), Pergiwa (1883), Abimanyu Yagnya (1884), Arjunawibawa (1884), commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
Irawan Maling (1885), Gilingwesi (1885), Irawan Yagnya (1885), dan Sembadra Larung. Lakon yang bersumber dari Cerita Panji; seperti Ngrenasmara (1885), Dewi Endrawati (1886), Angreni Leno, dan Madubranta. Serata lakon yang bersumber dari Babad Majapahit seperti Damarwulan Ngarit dan Menakjinggo Leno (1884), dan Sri Kenya Wibawa.27 Tidak kurang 15 lakon carangan wayang orang berkembang di istana Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara V.
27
Ibid. hlm; 88-89
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PERUBAHAN FUNGSI KESENIAN WAYANG ORANG SAMPAI AWAL ABAD XX
Seni pertunjukkan wayang orang pada masing-masing daerah memiliki karakter tersendiri, baik di istana Mangkunegaran maupun di Keraton Yogyakarta. Wayang orang Mangkunegaran berasal dari tradisi pertunjukkan seni Istana Mangkunegaraan. Kehadiran wayang orang Mangkunegaran tidak lepas dari motif politik dari raja sebagai penguasa tunggal kerajaan. Wayang orang di Surakarta diciptakan oleh Mangkunegara I pada abad XVIII yang tujuannya untuk memberikan dorongan semangat bagi rakyatnya dalam berjuangan melawan pemerintahan kolonial Belanda.1 Wayang orang adalah suatu drama tari berdialog prosa yang ceritanya mengambil dari epos Ramayana dan Mahabarata. Konsepsi dasar wayang orang adalah mengacu pada wayang kulit purwa, oleh karena itu wayang orang dapat dikatakan sebagai personifikasi dari wayang kulit purwa. Transformasi wayang kulit ke dalam wayang orang sebagai ekspresi artistik sebagai langkah kreatif dan inovatif dalam kesenian tentu melahirkan tata nilai baru perkembangan seni tari Jawa, yang dalam perkembangannya menjadi pedoman dasar seni tari klasik. Keselarasan estetis wayang orang sangat kuat dipengaruhi oleh struktur wayang kulit purwa. Peran-peran yang dilakukan oleh aktor dan aktris, ditarikan
1
Hersapandi, Wayang Wong Sriwedari “Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersil”, (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 1999), hlm; 3
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
seperlunya saja sesuai dengan perwatakan tari. Gaya dan nada berbicara disesuaikan dengan masing-masing peran baik prosa maupun yang dibumbui dengan tembang. Tata rias dan busana disesuaikan dengan masing-masing peran, mengikuti normanorma pada wayang kulit purwa. Dalang berfungsi memberikan uraian atau pengantar adegan-adegan dari waktu ke waktu. Struktur dramatik wayang orang tetap mengikuti struktur dramatik wayang kulit purwa dalam kesatuan sistem pathet. Demikian juga keluar dan masuknya penari, dari sisi kanan atau kiri disesuaikan dengan masing-masing peran. Wayang orang di istana Mangkunegaran mempunyai kesamaan dengan wayang orang di keraton Yogyakarta. Kesamaan itu dalam hal pemakaian cerita wayang purwa, penggunaan tari, dan dialognya diucapkan oleh penari, sementara bagian-bagian cerita diucapkan oleh dalang (untuk istana Mangkunegaran) atau pemaca kandha (untuk keraton Yogyakarta). Namun ada perbedaan antara wayang orang di istana Mangkunegaran dengan wayang orang di keraton Yogyakarta, yaitu; a. Wayang orang di istana Mangkunegaran dalam perkembanganya peranperan wanita ditarikan oleh wanita yang biasanya di sebut abdi dalem Tledek atau Kenya Puspita, sedangkan di keraton Yogyakarta semua peran tetap ditarikan oleh penari pria, Bila dibandingkan dengan keadaan yang ada di keraton Yogyakarta, istana Mangkunegaran terlalu berani dalam bertindak. Menurut pandangan Sultan, bahwa pertunjukan kesenian bukan sekedar untuk seni saja, melainkan mempunyai nilai yang tinggi bagi kehidupan masyarakat Jawa, bahkan di keraton Yogyakarta wayang orang dijadikan pusaka.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
b. Wayang orang di istana Mangkunegaran dialog dan alur ceritanya tidak ditulis serta wayang orang tidak pernah mendominasi budaya istana, sedangkan yang terjadi di keraton Yogyakarta sebaliknya. Sikap keberanian Mangkunegara V terhadap pementasan wayang orang ialah mengadakan perubahan fungsi pementasan. Pementasan wayang orang yang mulanya hanya difungsikan untuk hiburan para bangsawan istana, kemudian dapat disaksikan oleh masyarakat umum di luar istana, keadaan ini dapat membangkitkan minat orangorang yang ikut menyaksikan, untuk membentuk kelompok-kelompok wayang orang diluar tembok istana dengan meniru wayang orang di istana, yang dianggapnya merupakan seni pertunjukan yang sangat menarik. Pramila saben ing Pura Mangkunegaran wonten gebyagan ringgit tiyang ingkang sami ningali prasasat ngebeki pelataran. Nanging dangu-dangu saking kathahipun tiyang, lajeng wonten ingkang paben, dados kerengan. Malah wonten ingkang ketaton. Pramila tetingalan ringgit tiyang wau lajeng kabibaraken. Sabibaring ringgit tiyang ing Mangkunegaran, tetiyang alit ingkang sawaunipun ngabdi dados ringgit tiyang kangge barangan sarana kabayaraken dhateng tiyang-tiyang ingkang ningali.2 Yang artinya adalah: setiap di istana Mangkunegaran di pentaskan wayang orang, banyak orang yang melihat bagaikan memenuhi halaman muka “Pendapa Agung”. Namun lama-lama karena banyaknya orang, kemudian ada yang cekcok, hingga terjadi konflik fisik. Bahkan sampai ada yang terluka. Maka pementasan wayang orang tadi dibubarkan. Dengan bubarnya wayang orang di istana Mangkunegaran, orang kebanyakan yang tadinya menjadi pemain wayang orang, mencoba-coba membuat kelompok-kelompok wayang orang untuk barangan dengan jalan dikomersilkan pada orang-orang yang melihat.
A. Fungsi Pementasan Istana Mangkunegaran dapat diletakkan pada kerangka teratas dari pada istana-istana di vorstenlanden, hal tersebut dikarenakan sikap istana Mangkunegaran terhadap budaya asing. Sikap istana Mangkunegaran menghadapi budaya asing 2
Sayid, Babad Sala, (Surakarta: Rekso Pustoko, 1984), hlm; 110. B. 291
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
adalah menganggap budaya tersebut sebagai bentuk budaya baru. Hal-hal tersebut mempengaruhi pembaharuan-pembaharuan budaya di istana Mangkunegaran di kemudian hari termasuk didalamnya seni pertunjukan wayang orang. Istana Mangkunegaran mendapat banyak keistimewaan dari Pemerintah Belanda. Karena kedekatan dan hubungan yang baik istana Mangkunegaran dengan Pemerintah Belanda, memungkinkan terjadinya proses akulturasi budaya di antara keduanya. Proses akulturasi yang merupakan pertemuan antara budaya Jawa dengan budaya Barat terutama Belanda sebagai budaya baru, sangat mendukung terjadinya pembaharuan dan perubahan di istana Mangkunegaran. Apalagi di pertengahan abad ke-19 mulai diperkenalkannya era baru di wilayah Hindia Belanda oleh Pemerintah Belanda. Perubahan penting terjadi pada Istana Mangkunegaran yaitu perubahan sikap, yakni para bangsawan istana Mangkunegaran lebih terbuka terhadap dunia dan budaya luar, selanjutnya dapat mengarahkan pada tata kehidupan di Mangkunegaran di masa-masa berikutnya. Sikap terbuka terhadap kesenian yang dicetuskan oleh Mangkunegara I, dan semakin diperluas lagi oleh Mangkunegara V. Mangkunegara V berpandangan bahwa seni pertunjukan tidak hanya diperuntukkan bagi kalangan bangsawan saja tetapi juga untuk abdi dalem dan rakyatnya. Pandangan Mangkunegara V yang demikian sangat mempengaruhi perubahan fungsi seni-seni pertunjukan istana Mangkunegaran khusunya wayang orang. Fungsi seni-seni pertunjukan istana Mangkunegaran pada awalnya hanya dinikmati kerabat keraton saja, kemudian mengalami pergeseran kearah fungsi hiburan. Karena seni-seni pertunjukan di istana Mangkunegaran mengalami pergeseran fungsi yaitu dari fungsi sakral ke fungsi hiburan, maka istana Mangkunegaran tidak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
lagi mendominasi seni-seni pertunjukan. Kenyataan di istana Mangkunegaran ini bila dibandingkan dengan kondisi yang terjadi di keraton Yogyakarta merupak suatu yang kontroversial. Keraton Yogyakarata sengaja mengemas seni-seni pertunjukan sedemikian rupa, sehingga fungsi-fungsi sakralnya tetap lestari. Sehubungan dengan maksud melegitimasi kekuasaannya, keraton Yogyakarta dalam segala kegiatannya, termasuk di dalamnya usaha pengembangan seni-seni pertunjukan. Di keraton Yogyakarta seni-seni pertunjukan menjadi kiblat kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian, seni-seni pertunjukan terutama wayang orang benar-benar didominasi oleh keraton.3 Penyebab
bergesernya
fungsi
pementasan
wayang orang di
istana
Mangkunegaran adalah masuknya era pembaharuan yang disertai dengan keberadaan Mangkunegara V sebagai seorang seniman yang sangat memperhatikan unsur dramatis. Pergeseran fungsi sajian wayang orang Mangkunegaran dari fungsi sakral ke fungsi hiburan, secara tidak langsung dalam pementasan wayang oarng lebih menekankan pada daya tarik penonton. Untuk menambah daya tarik sajian wayang orang di istana Mangkunegaran, salah satu usahanya adalah Mangkunegara V menampilkan penari wanita dalam wayang orang. Dengan tampilnya penari wanita yang berwatak halus, luwes, lebih romantis, serta dapat mengekspresikan diri sesuai dengan tokoh yang diperankan, maka pentas wayang orang akan lebih hidup dan memikat para penonton sebagai bentuk seni hiburan. Penekanan pada unsur dramatis seperti telah disebutkan dimuka, 3
R. M. Soedarsono, Wayang Wong “Drama Tari Ritual Kenegaraan Di Keraton Yogyakarta”, (Yogyakarta: UGM Press, 1997), hlm; 40
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
menyebabkan tertutupnya nilai seni sebagai fungsi sakral. Karena wanita sering mengalami tidak suci (haid), untuk wayang orang karaton Yogyakarta merupakan pantangan. Sedangkan hal itu untuk istana Mangkunegaran telah diabaikan, dengan mengingat fungsi hiburan yang dipentingkan. Jadi dengan tampilnya penari wanita dalam wayang orang di istana Mangkunegaran, salah satu penyebabnya ialah bahwa pentas wayang orang di istana Mangkunegaran tidak lagi difungsikan untuk fungsi sakral tetapi untuk sajian hiburan. Di samping itu sajian wayang orang cenderung digunakan sebagai saluran komunikasi sosial antara Mangkunegara V dengan masyarakat, terutama di wilayah Surakarta.
B. Wayang orang di luar Istana Mangkunegaran Wayang orang di Surakarta mula-mula merupakan bagian dari tradisi pertunjukkan di keraton Mangkunegara yang bersifat eksklusif dan sakaral serta hanya dimainkan di keraton, karena beberapa faktor terjadi perubahan : 1. Faktor Ekonomi Krisis ekonomi yang terjadi di Istana Mangkunegaran sangat berpengaruh dengan kelangsungan kegiatan seni pertunjukan di istana terutama wayang orang. Krisis ekonomi Mangkunegaran disebabkan oleh Gagalnya panen kopi karena serangan hama dan bangkrutnya pabrik gula karena beredar luasnya gula bit eropa di pasaran. Untuk melestarikan seni wayang orang di keraton membutuhkan biaya yang tidak sedikit, karena krisis keuangan istana Mangkunegaran tidak mampu lagi membiayai kelangsungan wayang orang di istana. Sejak waktu itu wayang orang di tiadakan dan sebagian besar abdi dalem kesenian (langenpraja), termasuk abdidalem commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
wayang orang diberhentikan. Mereka yang diberhentikan itu kemudian membuat kelompok-kelompok kecil dan mengadakan kegiatan mbarang di luar tembok keraton.4 Penghapusan pemanggungan wayang orang sebagai agenda rutin di istana Mangkunegaran ini ternyata tidak membuat keberadaan wayang orang hilang. Hal ini dikarenakan, para aktor panggung wayang orang itu, entah lebih disebabkan oleh alasan
ekonomi ataukah karena memang adanya motivasi
estetis, justru
mengembangkan kemampuan mereka di wilayah publik. Sejak itu, wayang orang berkembang sebagai seni panggung rakyat, tentu saja dengan beberapa sentuhan perubahan dari format awalnya sebagai seni elit. Merosotnya seni wayang orang di Mangkunegaran sebagai akibat dari krisis ekonomi di keraton ini menarik minat seorang pengusaha batik Tionghoa Surakarta yang bernama Gan Kam. Gan Kam berhasil merayu Mangkunegara V untuk memboyong wayang orang Mangkunegaran keluar tembok istana agar dapat dinikmati oleh orang kebanyakan dan penduduk kota. Gan Kam melanjutkan seni tradisi wayang orang tersebut diluar keraton. Dan atas peranannya, seni wayang orang dari keraton itu bergeser menjadi bagian seni tradisi pertunjukkan masyarakat yang tidak sakral lagi (desakralisasi) atau menjadi pertunjukkan hiburan yang bersifat komersil dan populis dalam bentuk wayang panggung (komersil). Pada tahun 1895 Gan Kam membentuk rombongan wayang orang komersil yang sumbernya dari wayang orang istana Mangkunegaran. Sebagian besar pemainnya direkrut dari mantan abdi dalem penari wayang orang Mangkunegaran 4
R. M. Sayid, Ringkasan Sejarah Wayang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981), hlm; 58
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
yang diberhentikan. Apa yang dilakukan Gan Kam ini merupakan bagian integral dari kondisi perubahan sosial yang terjadi di Indonesia pada tahun 1870 sebagai akibat dari diberlakukannya peraturan bernuansa liberal oleh pemerintah Belanda, yang membebaskan siapa saja untuk melakukan usaha. Seni adalah produk sosial. Sehubungan dengan itu, terjadinya perubahan sosial di sebuah Negara akan menghadirkan gaya seni khas, sesuai dengan bentuk masyarakat yang ada pada saat itu. Gan Kam merupakan kreator yang mampu menjawab tantangan zaman di tengah perubahan sosial itu, yaitu menghadirkan gaya seni yang cocok untuk selera estetis masyarakat urban (kota Surakarta) sekaligus sebagai usaha komersil. 2. Faktor Politik Keluarnya wayang orang Mangkunegaran dari dalam istana, karena ada keterlibatan pihak Kasunanan Surakarta yang bekerja sama dengan Cina menyelenggarakan pentas panggung wayang orang. Ini dikarenakan pada awal mulanya pihak Kasunanan melakukan hal semacam itu lebih disebabkan kenaifan kenaifan politis pihak Kasunanan Surakarta, yang sengaja terlibat mengeluarkan wayang orang dari dalam istana keluar istana dengan maksud ingin menyindir merendahkan
Kadipaten
Mangkunegaran,
bahwa
identitas
seni
Kadipaten
Mangkunegaran adalah bukan seni yang elit, tetapi sejajar dengan tiyang mbarang. Meskipun demikian, dinyatakan bahwa wayang orang panggung pada akhir abad 19 dianggap ‘murahan’ dengan sebutan ‘tiyang barang’ karena tega menjual dan melanggar nilai-nilai keramat dari istana untuk tujuan komersial. Pandangan negatif tersebut mulai menipis setelah wayang orang istana ikut mulai terjun ke dunia bisnis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
sebagaimana dilakukan oleh pihak Keraton Kasunanan Surakarta, yang mendirikan grup wayang orang panggung profesional di Taman Sriwedari pada awal abad 20.5
C. Tempat Pementasan Pertunjukan wayang orang panggung kemasan Gan Kam diselenggarakan di sebuah bangunan besar yang mampu menampung sekitar 200 penonton. Bangunan itu diperkiranan bekas tempat pembatikan milik Gan Kam yang terletak di sebelah selatan pasar Singosaren. Pementasan dilakukan di ats panggung yang diberi layar.6 Panggung tersebut ditinggikan sekitar satu meter, agar penonton dapat dengan jelas melihat pementasn wayang orang sambil duduk. Panggung itu diberi bingkai prosenium, layar depan, dan skenari kanvas drop dan wing yang dilukis dengan gaya naturalistic untuk menggambarkan istana, hutan, candi, jalan, alun-alun dan lain-lain. Penonton duduk menghadap secara frontal ke arah panggung. Tempat duduk penonton dengan panggung terpisah oleh seperangkat gamelan. Konsekuensi
dari
penggunana panggung prosenium
sebagai
tempat
pertunjkan adalah terjadinya perubahan garap estetika tari yang mendasar dari wayang orang istana Mangkunegaran. Pertunjukan wayang orang istana biasanya dilakukan di pendapa, di hadapa para penonton yang mengelilingi tempat untuk menari (depan, belakang, kanan dan kiri). Para penari biasanya berorientasi ke empat arah. Setiap sekaran (satuan bentuk gerak) diulang sebanyak empat kali dengan arah hadap yang berbeda. Pada panggung proscenium, para penari menari dalam bingkai 5
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm: 132 R. M. Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspktif Politik, Sosial, dan Ekonomi, (Yogyakarta: UGM Press, 1997), hlm; 113 6
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
yang hanya berorientasi pada satu arah, yaitu kepada penonton yang hanya ada di depan panggung. Selain perubahan garap estetika panggung, wayang orang panggung juga menuntut unsur dramatologi atau skenario, dalam penggunaan skenario butuh penyutradaraan. D. Wayang Orang Panggung Dampak
kemrosotan
keuangan
Istana
Mangkunegaran
dan
langkah
kebijaksanan Mangkunegara VI membawa arti tersendiri bagi perkembangan wayang orang. Wayang orang tidak lagi menjadi monopoli di dalam istana, tetapi mengalami mobilitas budaya menjadi seni pertunjukan kota yang bersifat komersil. Fenomena penyebaran wayang orang keluar tembok istana terjadi sekitar tahun 1895, masa terakhir pemerintahan Mangkunegara V. Perkembangan wayang orang sampai tahun 1895 hampir tidak pernah dijumpai di luar tembok istana dan pada tahun itu juga sebuah grup wayang orang professional pertama didirikan oleh seorang pengusaha Cina yang kaya yaitu Gan Kam. Dengan demikian tahun 1985 merupakan titik awal perubahan dan penyebaran wayang orang keluar tembok istana. Dalam proses pembentukan wayang orang professional ini para seniman istana terutama bekas para abdi dalem wayang orang mempunyai peran besar dan strategis mengingat pada waktu itu profesi seniman relatif terbatas. Pemerintahan Mangkunegara VI yang sedang mengalami krisis keuangan dalam kebijaksanaan kesenian melakukan penyederhanaan pertunjukan dan memberhentikan sebagian besar abdi dalem wayang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
orang. Para bekas abdi dalem wayang orang di kampung-kampung mendirikan grup wayang orang atau menjadi anggota grup wayang orang barangan.7 Difasilitasi oleh Cina sebagai pengusaha dan Kasunanan Surakarta sebagai penguasa wayang orang berhasil menjelma menjadi seni komersil yang disambut secara antusias oleh masyarakat. Gan Kam memperhatikan selera estetis penonton, masyarakat urban memiliki selera estetis yang berbeda dengan selera estetis masyarakat istana di satu pihak dan masyarakat pedesaan di lain pihak. Mereka memerlukan santapan estetis yang cocok dengan selera meraka, yaitu seni pertunjukan yang dapat memberikan hiburan dalan durasi waktu penyajian yang tidak terlalu lama, dan dapat segera ditangkap isinya, serta dapat dinikmati kapan saja. Atas izin Mangkunegara V Gan Kam kemudian mengemas pertunjukan wayang orang dalam durasi waktu yang agak pendek, lebih mementingkan dialog daripada tarinya, dan dapat menghibur penonton. Untuk membuka usaha komersil seni pertunjukan wayang orang Gan Kam menggunakan kekayaannya untuk mengadakan sarana, prasarana, dan untuk menjalankan kegiatan. Pengadaan sarana dan prasarana baru antara lain; sebuah bangunan permanen atau semi permanen yang dilengkapidengan panggung, dekorasi, dan seperangkat gamelan, busana wayang orang dan tempat duduk penonton. Berapa jumlah uang yang dikeluarkan oleh Gan Kam untuk pengadaan sarana dan prasarana tidak diketahui. Untuk menjalankan kegiatan diperlukan pengurus dan penari serta gaji untuk mereka. Mungkin kegiatan yang berjalanitu sepenuhnya dapat dibiayai dari
7
R. M. Sayid, Op.Cit, hlm; 58
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
hasil penjualan karcis pertunjukan, ketika pertunkukan sudah berjalan dan menghasilkan uang. Ada perbedaan antara wayang orang Mangkunagara dengan wayang orang panggung (WOP). Atas izin Mangkunagara V, Wayang orang panggung kemasan Gan Kam telah memenuhi syarat estetika tari panggung dan tuntuan artistik tersebut, serta mengindahkan selera penonton urban, Gan Kam mengemas pertunjukkan wayang orang dalam durasi waktu yang agak pendek, lebih mementingkan dialog daripada tarinya, sehingga dapat menghibur penonton.8 Garapan tari yang terlalu halus, rumit dan lama yang dianggap dapat membosankan penonton dikurangi. Kalau peranan tokoh wayang orang di keraton Mangkunegaran semuanya dimainkan oleh laki-laki (termasuk tokoh wanitanya), maka pada wayang orang panggung, peranan tokoh laki-laki tertentu (alusan) seperti Arjuna, Abimanyu, Wibisana dan yang sejenisnya diperankan oleh penari perempuan. Dialog disesuaikan dengan karakter setiap tokoh yang dibawakan. Para penonton atau penggemar wayang orang panggung tidak hanya orang-orang pribumi saja, melainkan juga orang-orang Tionghoa, terutama kaum perempuan.
8
, Op.Cit, hlm;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN
Wayang orang di istana Mangkunegaran pertama kali muncul pada masa pemerintahan Mangkunegara I (1757-1796), Wayang orang di istana Mangkunegaran mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Wayang orang Mangkunegaran mengalami
kemunduran
pada
masa
pemerintahan
Mangkunegara
II
dan
Mangkunegara III. Wayang orang dimunculkan kembali pada masa pemerintahan Mangkunegara IV (1853-1881), wayang orang Mangkunegaran muncul kembali bersamaan dengan munculnya Langendriyan dan digunakan sebagai sajian sakral di dalam istana. Wayang orang Mangkunegaran mengalami perkembangan pada masa Mangkunegara V. Wayang orang Mangkunegaran mengalami perkembangan dalam hal busana yang dikenakan para pemain, pemain wayang orang dan lakon-lakon yang dimainkan. Perkembangan busana wayang orang pada masa Mangkunegara V adalah diciptakannya busana baru yang mengikuti perwujudan busana wayang kulit purwa. Penggubahan busana baru itu di ilhami oleh patung Bima dan relief-relief pada candi sukuh. Busana-busana baru itu antara lain: makutha, kelat bahu, sumping, praba, dan uncal badhong. Dengan perubahan busana ini akan memberi kemudahan bagi penonton, untuk membedakan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainya. Seni pertunjukkan wayang orang pada masing-masing daerah memiliki karakter tersendiri, baik di istana Mangkunegaran maupun di Keraton Yogyakarta. Wayang orang Mangkunegaran mempunyai karakter yang lebih halus bila commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
dibandingkan dengan wayang orang Yogya yang cenderung lebih kaku. Wayang orang Mangkunegaran berasal dari tradisi pertunjukkan seni Istana Mangkunegaraan. Kehadiran wayang orang Mangkunegaran tidak lepas dari motif politik dari raja sebagai penguasa tunggal kerajaan. Wayang orang di Surakarta diciptakan oleh Mangkunegara I pada abad XVIII yang tujuannya untuk memberikan dorongan semangat bagi rakyatnya dalam berjuangan melawan pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa pemerintahan Mangkunegara V terjadi berubah fungsi pementasan wayang orang yang semula mempunyai fungsi sakral berubah menjadi fungsi hiburan. Penyebab bergesernya fungsi pementasan wayang orang di istana Mangkunegaran adalah masuknya era pembaharuan yang disertai dengan keberadaan Mangkunegara V sebagai seorang seniman yang sangat memperhatikan unsur dramatis. Pergeseran fungsi sajian wayang orang Mangkunegaran dari fungsi sakral ke fungsi hiburan, secara tidak langsung dalam pementasan wayang orang lebih menekankan pada daya tarik penonton. Untuk memunculkan daya tarik wayang orang sebagai hiburan. Untuk menambah daya tarik pementasan wayang orang di istana Mangkunegaran, salah satu usahanya adalah Mangkunegara V menampilkan pemain wanita dalam wayang orang. Dengan tampilnya pemain wanita yang berwatak halus, luwes, lebih romantis, serta dapat mengekspresikan diri sesuai dengan tokoh yang diperankan, maka pentas wayang orang akan lebih hidup dan memikat para penonton sebagai bentuk seni hiburan. Fungsi lain dari pementasan wayang orang Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara V setelah wayang orang dapat dinikmati secara umum commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
oleh rakyatnya adalah wayang orang digunakan sebagai saluran komunikasi sosial antara Mangkunegara V dengan masyarakat, terutama di wilayah Surakarta. Dampak
kemrosotan
keuangan
Istana
Mangkunegaran
dan
langkah
kebijaksanan Mangkunegara VI membawa arti tersendiri bagi perkembangan wayang orang. Wayang orang tidak lagi menjadi monopoli di dalam istana, tetapi mengalami mobilitas budaya menjadi seni pertunjukan kota yang bersifat komersil. Fenomena penyebaran wayang orang keluar tembok istana terjadi sekitar tahun 1895, masa terakhir pemerintahan Mangkunegara V. perkembangan wayang orang sampai tahun 1895 hampir tidak pernah dijumpai di luar tembok istana dan pada tahun itu juga sebuah grup wayang orang professional pertama didirikan oleh seorang pengusaha Cina yang kaya yaitu Gan Kam. Dengan demikian tahun 1985 merupakan titik awal perubahan dan penyebarab wayang orang keluar tembok istana. Dalam proses pembentukan wayang orang professional ini para seniman istana terutama bekas para abdi dalem wayang orang mempunyai peran besar dan strategis mengingat pada waktu itu profesi seniman relatif terbatas. Pemerintahan Mangkunegara VI yang sedang mengalami krisis keuangan dalam kebijaksanaan kesenian melakukan penyederhanaan pertunjukan dan memberhentikan sebagian besar abdi dalem wayang orang.
commit to user