Titik Widarningsih (Koo Kwe Lian)
“Jerit Keprihatinan Anak Wayang Orang”
Foto: Titik di belakang panggung. BY REDAKSI MALANG PAGI ON 06 MARCH 2016 - 7:28 AM 630 VIEWSSENIMAN http://www.malangpagi.com/titik-widarningsih-koo-kwe-lian-jerit-keprihatinan-anak-wayang-orang.html
Wayang Wwang atau Wayang Wong (Wayang Orang) adalah seni pertunjukan Wayang yang dimainkan oleh manusia dengan memerankan tokohnya masing-masing sesuai dengan cerita yang dimainkan. Wayang Wwang pernah dimainkan tahun 930, hal ini tercatat dalam serat Wimalasrama di Jawa Timur. Selain itu juga ditulis dalam prasasti Balitung (tahun 907) pada jaman Mataram Kuno. Pada masa ini Wayang Wwang memainkan lakon Mahabaratha dan Ramayana, dimana untuk lakon Ramayana semua pemainnya memakai Topeng, namun tidak untuk lakon Mahabaratha. (Rustopo, “Menjadi Jawa”, Ombak, Jogja, 2007: hal 108). Wayang Orang (W.O.) sebagai produk Budaya Bangsa Indonesia telah diakui dunia akan keindahannya dan memiliki kandungan filsosofi tinggi. Dalam sejarahnya, Setelah Mataram pecah (Perjanjian Giyanti), Kraton Yogyakarta menciptakan dramatari yang kemudian disebut Wayang Wong yang membawakan wiracarita Mahabarata. (Rustopo:2007, hal 109). Abad 18 – 19 dengan pecahnya Mataram yang ditandai dengan Perjanjian Giyanti, maka Surakarta akhirnya juga menggubah Wayang Wong dalam Istana Mangkunagaran dibawah ayoman Pangeran Adipati Mangkunegara I (1757-1796) dan melakukan penulisan kembali teks Kakawin (Jawa lama) kedalam kesusastraan Jawa Baru.
1
Pada akhir abad 19 – 20 pintu Kraton Surakarta “terbuka”, maksudnya mulai melakukan interaksi sosial budaya dengan rakyatnya. Tercatat nama G.P.H Prabuwinata yang mulai gerakan egaliternya dengan cara menyediakan diri untuk melatih karawitan dan tari gaya Keraton kepada publik. Tawaran ini disikapi oleh Go Tik Swan, seorang peranakan Tionghoa, pencipta Batik Kembang Bangah, dengan mendaftar sebagai murid untuk belajar langsung seni Tari dan Karawitan dari sang Prabu. Dengan ketekunan dan kecintaannya pada kebudayaan Jawa, sampailah Go Tik Swan berhasil juga menciptakan “Gending PMS Pembuka Lancaran, Laras Pelog Barang”. Atas jasanya ini yang dianggap turut melestarikan Kebudayaan Jawa, maka Pakubuwana XII memberinya hadiah dengan mengangkat saudara Go menjadi seorang Bupati Anom dengan gelar Raden Tumenggung Hardjonagoro. (Rustopo, 2007: hal 38 & 66). Menurut Guru Besar bidang Seni dan Sejarah Budaya, Prof. DR. RM. Soedarsono, konon ada seorang peranakan Tionghoa bernama Gan Kam, pedagang kaya yang kebetulan menjadi sahabat Mangkunegara V. Berkat kedekatannya Gan Kam memberanikan diri merayu Gusti Prabu untuk memboyong Wayang Wong Mangkunegaran keluar dari tembok Istana untuk dipasarkan dan dinikmati oleh masyarakatnya. Sejak itulah Wayang Orang menjadi kesenian rakyat yang dimainkan oleh rakyat dan untuk rakyat.(Solo 1895). Sejarah kota Malang mencatat tahun 1923 telah lahir organisasi etnis Tionghoa yang diberi nama Ang Hien Hoo, sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang diketuai Tjioe A Hang. Dalam perjalanannya Organisasi ini mewadahi gagasan masyarakatnya dan mendirikan Perkumpulan Wayang Orang yang dinamai “Wayang Orang Ang Hien Hoo”. Dalam buku Kumpulan Kolom Budaya berjudul “Dari Ang Hien Hoo, Ratna Indraswari Ibrahim Hingga Hikajat Kebonagung”, Abdul Malik penulis tinggal di Malang, menuliskan bahwa W. O. Ang Hien Hoo adalah sebuah penanda bahwa 100 tahun lalu di Malang, sejumlah warga Indonesia keturunan Tionghoa telah bersetia melakukan uri-uri seni budaya. (Abdul Malik, 2016: hal 8). Artinya dimasa itu sudah terjadi inkulturalisasi budaya secara harmonis dalam masyarakat Malang.
2
Keberadaan W.O. Ang Hien Hoo mendapat sambutan baik dan menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Malang sendiri. Lebih jauh lagi Wayang Orang ini nyatanya mendapat popularitas di tingkat nasional bahkan internasional. W. O. Ang Hien Hoo ini hampir seluruh pemainnya didominasi keturunan Tionghoa, dikabarkan mereka sudah 12 kali diundang main di Istana Negara, Jakarta, oleh Bung Karno. Bahkan dalam satu peristiwa, Presiden yang flamboyant itu sempat dibuat terkagum-kagum dengan permainannya yang apik; Juga oleh kecantikan seorang anak wayang yang bernama Nelly (21 tahun). Karena kekaguman itu Presiden kemudian menghadiahi sang primadona (Nelly) dengan sebuah nama panggilan baru yakni Ratna Djuwita. Tentu pemberian ini dapat diartikan sebagai bentuk kehormatan yang pantas dikenang. “Jaman iku owah gingsir” (Jaman itu serba berubah), demikian dituliskan dalam pepatah Jawa. Demikian juga dalam perjalanan kejayaan W. O. Ang Hien Hoo yang terus berubah. Kali ini perubahanan itu menurun perlahan-lahan meski akhirnya merosot juga karena berbagai halnya. Keadaan demikian ini dipertegas sejak terjadi pergantian nama menjadi “Wayang Orang Panca Budhi” sebagai akibat tekanan politik (1965). Sekarang kita hanya dapat menjumpai tetes terakhir generasi W. O. Panca Budhi (baca: W.O. Ang Hien Hoo). “Kami rasanya menjadi generasi terakhir Wayang Orang Panca Budhi. Setahun paling kami main Wayang Orang sekali atau maximum duakali. Tahun ini dimulai pada gelaran yang kemarin, saya bersama Mas Toni Subroto dan pak Roy Wijaya pentas di acara Cap Go Meh di hall Klenteng Eng An Kiong, Malang.” Ucap Titik Widarningsih alias Koo Kwe Lian yang kala itu berperan sebagai Dewi Sembodro, istri Raden Arjuna. Menyoal pengkaderan pemain Wayang Orang, Titik menerangkan secara terbuka, “Jaman sekarang sulit sekali mencari kader pemain Wayang Orang. Alasan umumnya mereka tidak diijini orang tua, dengan alasan menjadi pemain Wayang Orang tidak menjamin masa depannya. Saya tentu bisa mengerti dan memahami, sebab saya melakoni sebagai penari sejak usia Taman Kanak Kanak (TK) hingga sekarang.”
3
Sambung perempuan itu dengan suara sedih. “Memang kalau diukur dari sisi penghasilan, profesi sebagai penari Wayang Orang, terlebih di daerah , boleh dibilang kecil sekali dan tidak bisa dijadikan tumpuan hidup keluarga. Karena itu saya dan suami menjalani profesi sampingan sebagai perias Temanten Jawa dan menerima pesanan ‘Ronce Melati’ untuk berbagai keperluan.” diakui perempuan paruh baya ini di samping suaminya, Toni Subroto yang penari merangkap Pranatacara Temanten Jawa. Titik Widarningsih terlahir dengan nama Koo Kwe Lian, lahir di Malang, 12 Nopember 1968. Kwe Lian lahir dari pasangan Koo Sie King alias Sudarmadji lelaki tampan yang berprofesi seorang buruh kebun apel di kota Batu, dengan Nyo Sie Ing alias Warsiin. Menurut Titik, Ibundanya seorang Peranakan Tionghoa yang sabar dan ibu rumah tangga biasa yang telah membaur dengan para tetangga di kampung Bunul. “Sehari-hari mama mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anaknya. Beliau akrab dan menyatu dengan warga di kampung tanpa membedakan etnis dan agama, sebaliknya wargapun bisa menerimanya dengan akrab melebihi saudara.” Ujar Titik penuh kenangan. “Kami satu kelurga 6 orang. Papa dan mama ditambah 4 orang anaknya. Yang sulung kakak laki-laki bernama Koo Ko Sin alias Eko Sukoyo, lalu Koo Kwak Ming alias Budi Santoso, yang ketiga Koo Kok Lieng atau Kusdjatmiko dan si bungsu saya sendiri, Koo Kwee Lian alias Titik Widarningsih. “Saya berupaya menjadi “Jawa” dalam arti yang sesungguhnya. Saya lahir, besar dan kelak ‘seda’ juga di tanah Jawa. Saya meresapi adat dan budayanya, memahami filosofi Jawa yang sangat saya agungkan. Kesungguhan itu saya buktikan dengan memilih mas Toni, yang beretnis Jawa sebagai suami tercinta. Hebatnya lagi, papa-mama dan keluarga bisa merestui cinta kasih kami yang mewujud dalam sebuah Penikahan.”Tambah Titik dengan suara gembira. Menurut Titik darah seni yang mengalir dalam dirinya, entah menurun dari siapa. Seingatnya dalam keluarga besarnya tidak ada yang berkecimpung dalam dunia seni. “Saya tidak melihat kerabat keluarga di bidang seni. Saya tiba-tiba senang menari dan hal itu dimulai sejak dari kecil. Kecintaan saya pada dunia tari dari usia TK karena seringnya melihat tayangan acara tari di stasiun TVRI. Padahal jaman itu, TV di rumah berukuran kecil dan hitam putih. Sambil menonton tari yang ditayangkan saya meniru gerakannya. Hal itu ternyata jadi perhatian mama, sehingga orang tua sepakat mencarikan saya guru tari klasik Jawa. Pilihannya jatuh kepada pak Guru Hermanu, seorang guru tari di kampung. Sejak itu saya tambah rajin berlatih menari, seminggu saya mesti les minimum sekali dengan bayaran uang les sebesar Rp 5,- per bulan. Ketika di usia SD saya tambah bersemangat, sebab mulai diikutkan pentas menari di acara 17 Agustus-an di Lapangan Pasar Bunul, Malang. Di Pentas meriah itu saya menari ‘Tari Merak’, sungguh senang rasanya.” Kenang Titik akan masa lalunya yang manis. “Semasa
4
SMP, saya pindah berguru tari kepada pak Mulyono selama 5 tahun. Di masa-masa ini saya sudah bisa memberi kursus tari kepada anak-anak. Saya mengajar anak di jalan Tawang Mangu, Malang.” Kecintaan Titik pada dunia tari tak dapat dibendung lagi, tekadnya sebagai seniman tari terus bergelora. Sampai suatu hari, perempuan muda nan cantik ini memberanikan diri untuk ikut group Wayang Orang, “Saya mulai di bon main oleh Mbah Suprapto Salyo Pati, seorang pelatih Wayang Orang yang terkenal. Mbah Prapto selain pakar juga melatih W. O. Ang Hien Hoo sampai kelak di era W.O.Panca Budhi. Dalam pentas Wayang Orang, beliau seringkali memberi saya peran Dewi Sembodro, yang jadi idola perempuan Jawa. Dewi Sembrodro cantik jelita, anggun, lembut, tenang dan setia kepada sang suami, Raden Arjuna. Mungkin dulu Mbah Prapto melihat saya begitu, ya?” komentar Titik seraya tertawa bangga, “Tapi kalau sekarang, pasti akan berbeda lagi. Postur tubuh saya yang gemuk dan kecantikannya tinggal sisa, jauh dari citra Sembodro, hehehe.” Tambahnya merendah. Jagad Wayang Orang digeluti Titik alias Kwe Lian sudah cukup lama. Secara kronologi, ia tidak “njamani” masa kejayaan Wayang Orang Ang Hien Hoo (tahun 1957 sampai 1965). Kesertaan Titik ke W. O. “Panca Budhi” dimulai tahun 1986, karena itulah kisah-kisah kejayaan group W. O. Ang Hien Hoo ini, hanya ia dengarkan lewat tuturan para seniornya. Ketika penulis mewawancarai Titik di rumahnya, di Perum Cassava Regency, Jalan Ubi Kav. 23 Bumi Ayu, Malang, memang terkesan banyak hal belum ia ketahui. Hal ini tentu bisa dimaklumi, sebab selama ini belum ada catatan sejarah W. O. “Ang Hien Hoo” yang cukup signifikan. Kalau toh ada data, boleh dibilang itu selintas, hanya cuplikan kecil dari sebuah gunung sejarahnya yang besar dan hebat. “Soal sejarah Ang Hien Hoo, memang perlu segera dipikirkan bersama. Kalau tidak segera mencatatnya, tentu nara sumber yang tersisa ini bakal lewat juga. Mumpung ada kesempatan, mari kita tulis sejarahnya bersama-sama tanpa ada rasa ketakutan masa silam.” Demikian ajakan Abdul Malik, penulis, budayawan Malang, kala bersilahturahmi ke rumah penulis (1 Maret 2016).
5
Soal sekolah Titik menjelaskan begini: “Saya sekolah di SMA Taman Harapan Malang. Waktu itu saya sudah jadi anggota di Perkumpulan W. O. Panca Budhi. Karena ada undangan menari ke Jepang mewakili pabrik ‘sumpit’ di Pasuruan, maka sekolah dan kegiatan menari di Panca Budhi harus saya tinggalkan selama setahun. Di negeri Sakura, saya. Sandy Prajudawati (dari Panca Budhi), Emmi, Retno (Bandung), Eva dan Wiwin dari Jakarta. Kami ber 6 menari klasik Jawa. Di kota Okayama, saya menari Gambyong, Adaninggarkelasworo, Minakjinggo Dayun, Gambiranom dan banyak lagi. Kesan saya masyarakat Jepang sangat menghargai seni-budaya klasik kita. Bahkan bisa dibilang antusias, mereka melihat seni tradisi kita sebagai suguhan istimewa yang indah dan pantas dikagumi. Hal demikian ini beda dengan disini, Di sini, seni-budaya kita yang adiluhung ini malah dianggap biasa-biasa saja, bahkan ada kecenderungan ditinggalkan diganti dengan seni budaya milik orang luar. Bukankah ini sangat menyedihkan? Saya berharap pada Masyarakat, Pemerintah, Seniman, Budayawan dan Pers dapat menyadari kembali arti pentingnya seni-budaya bagi kejayaan Bangsa Besar ini. Selain juga untuk diwariskan kepada generasi kedepan.” pesan Titik atau Kwe Lian kepada bangsa Indonesia yang sangat dicintainya. Dikatakan Rustopo dalam bukunya berjudul “Menjadi Jawa”: Orang-orang Tionghoa yang menjadi Jawa, yaitu mereka yang mengadopsi, menggunakan dan memproduksi simbol-simbol kebudayaan Jawa (Rustopo, 2007: hal 11). Terhadap udaran Rustopo ini, mungkin saja Titik Widarningsih belum membaca atau malah tidak tahu. Sekalipun demikian, Titik Widarningsih alias Kwee Lian nyatanya sudah menjalani apa yang diisyaratkan oleh Rustopo di hampir separuh hidupnya. “Saya meski terlahir sebagai keturunan Tionghoa, tapi jiwa dan hati saya sudah ‘Jawa’. Saya sekeluarga sejak kecil tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Saya dan suami dan anak-anak sungguh merasa menjadi “orang Jawa” seutuhnya.” Demikian dinyatakan Peranakan Tionghoa ini dengan kesungguhan hati.
6
Fakta sejarah Nusantara memang telah membukti pernyataan di atas. Peranan etnis Tionghoa dalam membangun bangsa Indonesia sudah dimulai sejak jaman Sriwijaya, Singhasari, Majapahit, Mataram Islam, jaman Kemerdekaan hingga hari ini. Jadi sesungguhnya persoalan diskriminasi dan sejenisnya yang seringkali masih dimunculkan sebagai alat politik kekuasaan sebaiknya dihentikan. Kita bersatu, berpegang teguh pada Panca Sila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai “Pusaka Bangsa”. Dalam mempertajam rasa “ke-Jawa-an”nya, Titik sejak kelas 4 SD sudah diikutkan menjadi asisten ibu Retno, seorang penari dan perias Temanten Jawa. “Dari ibu Retno saya belajar rias Temanten Jawa dan berbahasa Jawa dengan benar. Disitu saya mengerti budaya Jawa banyak menyimpan unggah-ungguh yang wajib dilakoni (dilakukan). Misalnya tatanan wicara yang mengenal tingkatan, dari berbahasa ‘Ngoko’ di arus pergaulan ke bahasa ‘Krama’ di tingkat yang lebih atas dan ‘Krama Hinggil’ halus untuk yang dihormati.” Demikian diterangkan ibu tiga anak ini dengan serius, “Yang saya rasakan, dengan belajar kebudayaan Jawa, kita sebenarnya diarahkan untuk belajar mengoreksi diri sendiri. kata si mbah, ‘Urip kuwi kudu sumeleh’ (hidup itu harus lurus pikir, rendah hati, menerima dan tidak ‘jumawa’ atau sombong).” sambungnya berfilsafat. “Setelah cukup lama saya ‘nyantrik’ (ikut serta) kepada Ibu Retno, akhirnya saya terbiasa berbahasa Jawa dengan benar dan lancar. Hal ini menjadi bekal saya memasuki dunia Jawa selain sebagai persyaratan utama bermain Wayang Orang. Dalam pentas Wayang Orang, seorang pemain dituntut untuk bisa ‘Antawancana’ (berbicara) secara benar dalam tata bahasa juga aksennya. Selain itu diwajibkan bisa nembang atau palaran (bernyanyi) selain menari atau gandrungan (menari). Ketiga persyaratan ini dibarengi tuntutan 3 hal berikutnya yakni Wiraga, yakni yang terkait fiksik misalnya menari. Lalu Wirama yang menyangkut kebisaan mendengar, bernyanyi, bergerak seiring musik. Terakhir sekali adalah Wirasa yang butuh latihan serius dan panjang. Hal ini yang paling sulit, sebab
7
dituntut agar bisa merasakan apa yang tengah kita lakukan. Ini menyangkut ruh dan penjiwaan seseorang dalam melakonkan karakter seorang tokoh dalam Wayang Orang.” Jelas ibu tiga anak ini dengan mantab. Diterangkan lebih lanjut bahwa hal yang paling sulit dalam pentas Wayang Orang adalah ketika memasuki babak Perang. Dalam babak ini, kita sambil bergerak dituntut untuk berbicara bahkan bernyanyi. “Hal demikian ini tentu cukup sulit bagi pemula, sebab butuh konsentrasi ganda. Menghafal percakapan dan menghafal gerak. Selain masih harus mensinkronkan gerak tersebut dengan isi ucapan, atau alur nyanyian agar selaras cerita.” Komentar Titik. Persoalan praktiknya tidak berhenti disitu tapi berlanjut masih harus menyatukan dengan jenis irama gamelan, terutama dengan kendang. “Dalam Wayang Orang ada istilah ‘dol tinuku’ maksudnya di satu sisi anak wayang terus bergerak mengikuti alur cerita, dipihak lain ‘panjak’ atau penabuh gamelan yang dimotori oleh ‘Pengendang’, wajib meresponnya dengan benar secara waktu dan jenis pukulan kendang.” Begitu diterangkan Pak Toni Subroto yang beberapa malam sebelumnya pentas dengan memerankan tokoh Rahwana, “Untuk iringan menari, saya dan istri paling cocok kalau di- kendang-i pak Miskun yang kini sudah almarhum. Beliau ahli kendang dan bisa meresapi gerak kami berdua manakala menari tarian tunggal semisal Cucuk Lampah, Gambyong, Gatot Kaca Sekar dan Karonsih. Namun tentu juga ketika kami main dalam pentas Lakon Wayang Orang”. Ada peristiwa tragis terkait pentas tari yang dialami oleh pasangan Titik Widarningsih dan Toni Subroto ini. “Kisahnya terjadi tahun 1997, kala itu walikotanya pak Soesamto, yang perhatian sekali pada Budaya Jawa. Karena itu order menari datang begitu padat; boleh dikata kami berdua yang pasangan penari ini selalu dibanjiri order. Suatu hari kami diundang menari di jamuan pernikahan Jawa. Seperti biasa saya menari dengan suami tarian ‘Gatot Kaca Sekar’. Saat itu
8
kami bawa putra kami, Agung Bayu Aji yang masih kecil. Ditengah kami tengah menari, lelaki kecil kami itu duduk diam diantara tamu-tamu undangan yang tengah berpesta pora. Mungkin dalam pikiran anak saya, ‘kok enak orang-orang ini makan dan minum sambil ketawa-ketawa, sementara ayah-ibu saya harus mandi keringat menari untuk menghibur mereka. Ini tidak adil protesnya! Mungkin begitu, sehingga diam-diam air mata lelaki kecilku itu meleleh di pipinya. Hati kami terenyuh menyaksikan hal demikian ini yang sontak telah menyadarkan kami sebagai orang tua. Usai menari bergegas kami hampiri putra kami dan merangkulnya erat sambil mengucap maaf. Sejak peristiwa itu kami selalu mengatur waktu untuk menari dan menyadarkan resiko profesi kami kepada anak-anak.” Demikian dituturkan Titik dan Toni dalam kenangan mereka yang abadi. “Saya lulus dari STIBA (Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa) tahun 1992 di jurusan Inggris dan Jepang. Setelah lulus langsung berprofesi sebagai penari dan menari diberbagai kota mulai Malang, Surabaya, Tulung Agung, Kediri, Surakarta, Jogjakarta, Jakarta dan banyak lagi.” Terang Titik akan perjalanan keseniannya. “Pernah rombongan kami, Wayang Orang Panca Budhi, diminta main di TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta. Kami semua diangkut dengan pesawat Herkules dari Lanud Abdurachman Saleh, Malang. Disana kami main dengan lakon ‘Sumantri Ngenger’. Kebetulan saya ditunjuk sutradara untuk berperan sebagai Dewi Citrawati.” ingat Titik lebih detil. “Kalau ditanya kenapa saya mau menari kemana saja padahal imbalan materinya kecil? Dasarnya adalah kecintaan pada seni tradisi ini, seni Wayang Orang. Namun sekarang saya tidak lagi menari lepas karena faktor phisik, yakni bentuk tubuh dan usia saya.” akunya singkat, “Dalam tarian lepas dibutuhkan remaja yang parasnya cantik dan bentuk tubuhnya ideal (langsing). Ditambah lagi stamina yang prima, gesit dalam bergerak untuk mencapai keindahan. Dalam gerak tari seringkali gerak menyiratkan sesuatu, misalnya pada tangan dan jemari, seperti ‘nyempurit’, ‘ngruji’, ‘kepelan’ yang masing-masing punya maksud tersendiri.”
Toni Subroto, sang suami.
9
Titik Widarningsih bersama sang suami, Toni Subroto ibarat Rama dan Shinta, Sembodro dan Arjuna yang harmonis. “Awalnya kami ketemunya di tempat latihan. Karena seringkali latihannya malam hari, maka mas Toni sering menjemput dan mengantar pulang ketika latihan di Panca Budhi, jalan Laksamana Martadinata, Malang. Ada pepatah mengatakan “witing tresna jalaran saka kulina” (artinya: benih cinta bisa tumbuh dari terbiasanya perjumpaan), mungkin pepatah ini yang terjadi pada kami. Karena seringnya mas Toni antar jemput saya, maka diam-diam muncul benih cinta di hati kami. Terbukti tahun 1988 kami mulai berpacaran hingga 8 tahun dan kami akhiri dengan akad nikah di tahun 1996. Dari buah cinta pernikahan kami, lahir 3 orang anak yang kami sayangi. Yang pertama laki-laki, kami beri nama Agung Bayu Aji, masih kuliah di Politeknik. Adiknya seorang perempuan cantik bernama Ratih Nurmalita Hapsari, duduk di bangku SMA. Ratih inilah yang sebenarnya mewarisi bakat menari orang tuanya. Terakhir si bungsu perempuan juga bernama Nurmalia Praba Gupito masih di SMP. Malang, 3 Maret 2016 Ditulis oleh: Bambang AW.
10