DINAMIKA POPULASI DAN KERAGAMAN BAKTERI ASAM LAKTAT (BAL) DAN KHAMIR SELAMA PRODUKSI TEMPE
EFRIWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Dinamika Populasi Bakteri Asam Laktat (BAL) dan Khamir Selama Produksi Tempe adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2013
Efriwati NIM:G361080041
RINGKASAN EFRIWATI. Dinamika Populasi dan Keragaman Bakteri Asam Laktat (BAL) dan Khamir Selama Produksi Tempe. Dibimbing oleh ANTONIUS SUWANTO, GAYUH RAHAYU dan LILIS NURAIDA Tempe adalah makanan fermentasi tradisional Indonesia. Sebagian besar tempe dibuat dari kedelai melalui fermentasi kapang (Rhizopus oligosporus). Di Indonesia tempe diproduksi dalam skala kecil oleh pengrajin tempe. Beberapa inovasi telah mengubah cara membuat tempe. Metode produksi tempe, berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya dan antara pengrajin satu dengan pengrajin lainnya. Bakteri asam laktat (BAL) dan khamir pada tempe telah lama dilaporkan menjadi bagian mikro-flora tempe selain R. oligosporus. Namun informasi tentang BAL dan khamir yang berasosiasi dengan proses produksi tempe kedelai masih sedikit. Dinamika populasi BAL dan khamir yang berasosiasi selama proses produksi tempe di pengrajin Indonesia belum pernah dilaporkan. Keragaman BAL dan khamir yang berasosiasi selama proses produksi tempe terbatas pada beberapa BAL dan khamir yang pernah ditemukan pada tempe. Hingga saat ini keragaman BAL dan khamir dianalisis belum berdasarkan pendekatan molekular, terutama pendekatan molekular metagenom komunitas mikrob langsung dari sampel. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dinamika populasi BAL dan khamir selama proses produksi tempe di pengrajin Indonesia dan keragamannya. Penelitian ini juga ditujukan untuk menganalisis pengaruh perbedaan metode produksi tempe yang diterapkan antara pengrajin terhadap kehadiran mikrob ini. Pada penelitian ini, analisis dinamika populasi dan keragaman BAL dan khamir dilakukan terhadap sampel yang diambil dari lima tahap proses produksi tempe pada produksi tempe metode A dan B di pengrajin Indonesia. Analisis dilakukan dengan metode perhitungan koloni pada media selektif yang dilanjutkan dengan analisis Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (T-RFLP) terhadap total koloni. Analisis T-RFLP metagenom (langsung dari sampel) juga dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) BAL dan khamir merupakan bagian komunitas mikrob yang umum selama produksi tempe dan tetap ada pada produk tempe segar, baik pada produksi tempe metode A maupun B. (2) Populasi BAL dan khamir selama produksi tempe berubah dari satu tahap ke tahap lainnya selama produksi tempe dan berbeda pada kedua metode. Metode produksi tempe mempengaruhi kehadiran BAL dan khamir dalam jumlah koloni pada cawan. (3) Populasi maksimun BAL dan khamir ditemukan pada tempe segar, yaitu berturut turut 7.91 log cfu/g dan 9.70 log cfu/g pada produksi tempe metode A serta 6.54 log cfu/g dan 6.58 log cfu/g pada metode B. (4) Amplikon kompleks ITS khamir dapat mengambarkan keragaman khamir selama produksi tempe, namun filotipe hasil analisis T-RFLPnya menggambarkan keragaman yang lebih baik. (5) Jumlah filotipe BAL dan khamir berubah dari satu tahap ke tahap lainnya dan berbeda pada kedua metode produksi tempe. Metode produksi tempe mempengaruhi keragaman BAL dan khamir yang tumbuh pada cawan dalam hal jumlah filotipe setiap tahap, jumlah filotipe selama produksi tempe, jumlah filotipe tertinggi dan jumlah filotipe spesifik metode. (6) Selama produksi tempe 82 filotipe BAL dan
88 filotipe khamir terdeteksi setelah pencawanan. Jumlah filotipe BAL tertinggi terjadi pada tahap T3 produksi tempe metode A yaitu 54 BAL dan 55 filotipe khamir pada tahap T2 metode B. (7) Jumlah filotipe BAL dan khamir berubah dari satu tahap ke tahap lainnya dan berbeda pada kedua metode produksi tempe juga terdeteksi pada analisis metagenom sampel. Metode produksi tempe selain mempengaruhi keragaman BAL dan khamir dalam hal jumlah filotipe setiap tahap, jumlah filotipe selama produksi tempe, jumlah filotipe tertinggi dan jumlah filotipe spesifik metode, juga mempengaruhi filotipe spesifik tahapan, filotipe unik metode dan kelimpahan masing-masing filotipe. (8) Tiga filotipe BAL unik metode A (64, 121 dan 264 bp) hadir dominan dengan kelimpahan > 50% pada tahap T1, dan > 80% pada tahap T2 hingga T5 produksi tempe metode A. Dua filotipe unik metode B (50 dan 178 bp) hadir dengan kelimpahan > 40% pada tahap T1 hingga T4 dan kelimpahan rendah di tahap T5 produksi tempe metode B. Filotipe-filotipe unik dan dominan ini kemungkinan memiliki karakter khusus untuk tempe yang dihasilkan. (9) Filotipe khamir umum tahapan dan metode (114 bp) hadir dominan dengan kelimpahan relatif pada tahap T1, T3 dan T5 metode A berturut turut 47%, 41% dan 83% dan tahap T1, T2, T3 dan T4 metode B berturut-turut 71%, 70% , 51% dan 1%. Filotipe khamir umum tahapan dan metode yang lain yaitu filotipe 161 bp, hanya dominan dengan kelimpahan relatif 41% dan 42% di tahap T3 dan T4 metode B dan < 25% di 4 tahap lainnya. Kedua filotipe ini adalah khamir umum di komunitas tempe dan mungkin adalah filotipe khamir utama yang memiliki fungsi fisiologis tertentu pada proses produksi tempe. (10) Penerapan kedua analisis T-RFLP (setelah pencawanan dan langsung dari sampel) saling melengkapi dan meningkatkan profil BAL dan khamir yang hadir selama produksi tempe dan mendeteksi 100 filotipe BAL dan 104 filotipe khamir yang terdiri dari 82 filotipe culturable BAL dan 18 filotipe unculturable BAL serta 88 filotipe culturable khamir dan 16 filotipe unculturable khamir. (11) Identifikasi filotipe menemukan selama produksi tempe terdapat beberapa spesies dan galur BAL yang termasuk dalam genera Aerococcus, Enterococcus, Lactobacillus, Leuconostoc Streptococcus, dan Weissella. Informasi mengenai struktur, komposisi dan keragaman BAL dan khamir selama produksi tempe ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian lainnya. Sebagian besar filotipe belum teridentifikasi dan filotipe-filotipe yang diperoleh perlu diidentifikasi serta dieksplorasi lebih lanjut. Kata Kunci: Tempe, Bakteri Asam Laktat (BAL), Khamir, Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (T-RFLP), Filotipe.
SUMMARY EFRIWATI. Population Dynamics and Diversity of Lactic Acid Bacteria (LAB) and Yeast during Tempe Production. Supervised by ANTONIUS SUWANTO, GAYUH RAHAYU and LILIS NURAIDA Tempeh is an Indonesian traditional fermented food. Mostly, tempeh is made from soybeans and fermented by mold (Rhizopus oligosporus). In Indonesia, tempeh produced by traditional home industry. Several innovations have applied to tempeh making. Method of tempeh making varies amongst regions and home industries. Lactic acid bacteria (LAB) and yeasts as the part of micro-flora in tempeh beside R.oligosporus have long been reported. However, information of LAB and yeasts associated during production process of soybean tempeh is still limited to those made at laboratory. Population dynamics of LAB and yeast associated during tempeh production process at home industry in Indonesia has not been reported. The diversity of LAB and yeasts associated during tempeh production process is limited to a few LAB and yeasts found in tempeh. Until now the diversity of LAB and yeasts have not analyzed based on molecular approaches, particularly metagenome approach from microbial community directly from samples. Therefore, this research was aimed to obtain the information of LAB and yeast population dynamics and diversity during tempeh production process at home industries in Indonesia. This research was also aimed to evaluate the effect of different methods applied in tempeh production at home industries on the presence of these microbes. Observations were carried out by employing colony counting on selective media followed by Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (TRFLP) on five stages of two tempeh production methods (A and B). Analysis of T-RFLP metagenome (directly from the sample) was also performed. The research found that (1) LAB and yeasts were common microbial community during tempeh production as well as at fresh tempeh of production methods A and B. (2) The population of LAB and yeast during tempeh production changes from one to other stages and different between the methods. Tempeh production methods affected the presence of LAB and yeasts in colonies number grew on plates. (3) The maximum population of LAB and yeasts were found in fresh tempeh, i.e. respectively 7.91 log cfu/g and 9.70 log cfu/g in tempeh production methods A and 6.54 log cfu/g and 6.58 log cfu/g in method B. (4) Amplicon of complex yeast ITS was able to detect the diversity of yeast during tempeh production, but phylotype analysis by T-RFLP were better for diversity analysis (5) The LAB and yeasts phylotype number changes from one stage to other stages and different on both methods. Tempeh production methods affect the diversity of LAB and yeasts grew on plates in terms of phylotype number at each stage, phylotype number during tempeh production, the highest number and phylotypes specific methods (6) The 82 BAL phylotypes and 88 yeasts phylotypes during tempeh production, were detected after plating. The highest of BAL phylotype number occurred in T3 stage of tempeh production method A that is 54 BAL and 55 yeast phylotype at T2 stage of tempeh production method B. (7) The number of LAB and yeasts phylotype change from one stage to other and differ in two tempeh production methods was also detected in metagenome analysis.
Tempeh production methods also affected the specific phylotype stages, unique phylotype methods and the abundance of each phylotype, besides affecting on the diversity of LAB and yeasts in term of the number of phylotype at each stage, the number of phylotype during tempeh production, and the highest number of phylotypes, number of specific phylotype methods. (8) Three unique LAB phylotypes in method A (64, 121 and 264 bp) predominantly present with an abundance > 50% in stage T1, and > 80% at stage T2 to T5 tempeh production method A. Two unique LAB phylotype in method B (50 and 178 bp) present with an abundance > 40% in stage T1 to T4 and low abundance at T5 stage in tempeh production method B. The unique and dominant phylotypes is possible as special character to tempeh. (9) The common yeast phylotype at all stages and both methods (114 bp) is present predominantly in the relative abundance respectively at T1, T3 and T5 stages in method A are 47%, 41% and 83% and at T1, T2, T3 and T4 stages method B are 71%, 70%, 51% and 1%. The other common yeast phylotype at all stages and both methods was 161 bp with a relative abundance only 41% and 42% in stage T3 and T4 methods B and < 25% in 4 other stages. The common yeast phylotype in tempeh community is probably the main yeast phylotype and has certain physiological functions in tempeh production process. (10) Application T-RFLP analysis both directly from metagenome and after plating process complemented each and other and improved LAB and yeast profiling and were able to detect 100 LAB and 104 yeast phylotypes that consists of 82 BAL phylotype culturable and 18 BAL phylotype unculturable and 88 yeast phylotype culturable and 16 yeast phylotype unculturable. (11) Identification of phylotype found during tempeh production revealed that there were several species and strains of LAB included in the genera Aerococcus, Enterococcus, Lactobacillus, Streptococcus Leuconostoc, and Weissella. Structure, composition and diversity information of LAB and yeast during tempeh production can be use as baseline data for future research. Some phylotypes were unable to be identified and needed to identify and explore on the further. Keywords: Tempeh, Lactic Acid Bacteria (LAB), Yeasts, Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (T-RFLP), Phylotype.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
i
DINAMIKA POPULASI DAN KERAGAMAN BAKTERI ASAM LAKTAT (BAL) DAN KHAMIR SELAMA PRODUKSI TEMPE
EFRIWATI
Disertasi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Mikrobiologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Nisa Rachmania Mubarik, MSi : Prof Dr Ir Betty Sri Laksmi Jenie, MS
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof Dr Ir Made Astawan, MS Prof Dr Suyanto Pawiroharsono, DEA
iii
Judul Tesis Nama NIM
: Dinamika Populasi dan Keragaman Bakteri Asam Laktat (BAL) dan Khamir Selama Produksi Tempe : Efriwati : G361080041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Antonius Suwanto, MSc Ketua
Dr Ir Gayuh Rahayu Anggota
Prof Dr Ir Lilis Nuraida, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Mikrobiologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Anja Meryandini, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian: 24 Juli 2013
Tanggal Lulus:
iv
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2010 ini adalah Bakteri Asam Laktat dan Khamir pada Tempe dengan judul Dinamika Populasi dan Keragaman Bakteri Asam Laktat (BAL) dan Khamir Selama Produksi Tempe. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Antonius Suwanto, MSc, Dr Ir Gayuh Rahayu dan Prof Dr Ir Lilis Nuraida, MSc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran, arahan dan bimbingan hingga penelitian, penulisan ilmiah dan disertasi ini dapat selesai dengan baik. Ucapan terima kasih penulis ucapkan pada Dr Nisa Rachmania Mubarik, MSi dan Prof Dr Ir Betty Sri Laksmi Jenie, MS selaku selaku penguji penguji luar komisi saat sidang tertutup yang telah banyak memberi masukan dan saran untuk penulisan disertasi lebih baik dan kepada Prof Dr Ir Made Astawan MS dan Prof Dr Suyanto Pawiroharsono DEA selaku penguji luar komisi saat sidang terbuka yang telah banyak memberi maksukan dan saran agar penulisan disertasi ini lebih baik. Ucapan terima kasih penulis ucapkan pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia, melalui tim Program Akselerasi Doktor Indonesia yang telah memberi kesempatan penulis untuk mendapat beasiswa dan bimbingan selama perkuliahan. Ucapan terima kasih kepada suami tercinta, Ir Sabron dan putra-putri kami tersayang, Muhammad Obdal Amfa, Derefita Fitri dan Caila Karennina atas doa, pengorbanan, pengertian, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada pernah putus. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga besar Mustafa Jalil dan Amir Jamin atas segala doa, dorongan semangat dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Amin.
Bogor, Juni 2013
Efriwati
v
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
vi vii viii
PENDAHULUAN __________________________________________ 1 Latar Belakang _____________________________________________ 1 Perumusan Masalah _________________________________________ 3 Tujuan Penelitian ___________________________________________ 3 Hipotesis _________________________________________________ 4 Manfaat Penelitian __________________________________________ 4 Ruang Lingkup Penelitian ____________________________________ 5 TINJAUAN PUSTAKA _________________________________________ 7 Tempe ___________________________________________________ 7 Proses Pembuatan Tempe ____________________________________ 7 Mikrob pada Tempe _________________________________________ 8 Mempelajari Keragaman BAL _______________________________ 10 Mempelajari Keragaman Khamir. ____________________________ 13 METODE __________________________________________________ 15 Bahan ___________________________________________________ 15 Alat ____________________________________________________ 15 Prosedur Analisis __________________________________________ 15 HASIL DAN PEMBAHASAN ___________________________________ 20 Hasil ____________________________________________________ 20 Pembahasan ______________________________________________ 36 SIMPULAN DAN SARAN _____________________________________ 48 Simpulan ________________________________________________ 48 Saran ___________________________________________________ 49 DAFTAR PUSTAKA _________________________________________ 49 LAMPIRAN ________________________________________________ 55
vi
DAFTAR TABEL Dinamika jumlah filotipe BAL setelah pencawanan selama produksi tempe metode A dan metode B
23
Dinamika jumlah filotipe khamir setelah pencawanan selama produksi tempe metode A dan metode B
23
Dinamika jumlah filotipe BAL pada metagenom sampel selama produksi tempe metode A dan metode B
27
Dinamika jumlah filotipe khamir pada metagenom sampel selama produksi tempe metode A dan metode B
27
Dua puluh filotipe BAL yang spesifik pada satu tahap dan metode produksi tempe tertentu.
28
Enam belas filotipe khamir yang spesifik pada satu tahap dan metode produksi tempe tertentu.
30
Identifikasi filotipe BAL di setiap tahap produksi tempe metode A
35
vii
DAFTAR GAMBAR Alur penelitian dinamika populasi bakteri asam laktat (BAL) dan khamir selama produksi tempe 6 Tahap pembuatan tempe yang dilakukan oleh pengrajin tempe EMP dan pengrajin tempe WJB. 8 Proses analisis T-RFLP 12 Organisasi genomik 18S rRNA, ITS1, 5.8S rDNA,ITS2, dan 26S rDNA. 14 Alur proses produksi tempe (metode A dan metode B) di dua pengrajin, sub kultur laru komersial tempe EMP dan saat pengambilan sampel 17 Dinamika jumlah koloni BAL dan khamir pada 5 tahap produksi tempe metode A dan metode B 21 Hasil amplifikasi PCR daerah V1-V3 16S rRNA BAL dan hasil amplifikasi PCR daerah ITS1-5.8S rRNA-ITS2 khamir setelah pencawanan selama produksi tempe metode A dan metode B 21 Dinamika jumlah filotipe BAL dan khamir setelah pencawanan selama produksi tempe metode A dan metode B 22 Perbandingan jumlah filotipe BAL dan khamir pada produksi tempe metode A dan metode B, jumlah filotipe BAL dan khamir spesifik metode tertentu dan filotipe umum di kedua metode. 24 Hasil amplifikasi PCR daerah V1-V3 16S rRNA BAL pada metagenom sampel selama produksi tempe 24 Hasil amplifikasi PCR daerah ITS1-5.8S rRNA-ITS2 khamir pada metagenom sampel selama produksi tempe pada metode A dan metode B 25 Dinamika jumlah filotipe BAL dan khamir pada metagenom sampel selama produksi tempe metode A dan metode B 26 Perbandingan jumlah filotipe BAL dan khamir pada tempe metode A dan metode B, jumlah filotipe BAL dan khamir spesifik metode tertentu dan filotipe umum pada kedua metode. 28 Sembilan belas filotipe BAL yang tersebar di dua atau lebih tahap produksi tempe, disalah satu metode dan/atau dikedua metode produksi tempe 29 Dua puluh tujuh filotipe khamir yang tersebar di dua atau lebih tahap produksi tempe, disalah satu metode atau dikedua metode produksi tempe. 29 Analisis cluster komunitas BAL pada berbagai tahap dan metode produksi tempe 30 Analisis cluster komunitas khamir pada berbagai tahap dan metode produksi 31 Kelimpahan relatif masing-masing filotipe BAL yang terdapat di setiap tahap dan di kedua metode produksi tempe 32 Kelimpahan relatif masing-masing filotipe khamir yang terdapat di setiap tahap dan di kedua metode produksi tempe 33 Perbandingan jumlah filotipe BAL culturable dan unculturable selama produksi tempe 34 Perbandingan jumlah filotipe khamir culturable dan unculturable selama produksi tempePerbandingan jumlah filotipe khamir culturable dan unculturable selama produksi tempe 34
viii
DAFTAR LAMPIRAN Dendrogram TRF pada analisis pemilihan enzim restriksi pada BAL
56
Dendrogram TRF pada analisis pemilihan enzim restriksi pada khamir
56
Data TPC dan log cfu/g populasi BAL selama produksi tempe
56
Data TPC dan log cfu/g populasi khamir selama produksi tempe
57
Jumlah filotipe BAL selama produksi tempe metode A
57
Jumlah filotipe BAL selama produksi tempe metode B
57
Jumlah filotipe khamir selama produksi tempe metode A
57
Jumlah filotipe khamir selama produksi tempe metode B
58
Keragaman filotipe BAL dengan analisis T-RFLP metagenom
58
Total keragaman filotipe BAL dengan analisis T-RFLP metagenom dan T-RFLP setelah pencawanan 59 Keragaman filotipe khamir dengan analisis T-RFLP metagenom
61
Total keragaman filotipe khamir dengan analisis T-RFLP metagenom dan TRFLP setelah pencawanan
62
Riwayat Hidup
64
PENDAHULUAN Latar Belakang Tempe atau dalam bahasa asing sering ditulis sebagai tempeh untuk membedakannya dengan kota Tempe di Arizona, adalah makanan fermentasi tradisional utama Indonesia. Sebagian besar tempe dibuat dari kedelai melalui fermentasi kapang (terutama Rhizopus oligosporus). Menurut sejarah, tempe kedelai dibuat pertama kali oleh masyarakat Jawa Tengah sekitar tahun 1700-an. Sekarang, tempe dibuat dan dikonsumsi oleh multi-etnis masyarakat Indonesia (Shurtleff and Aoyagi 2011). Tempe juga dikenal kaya nutrisi. Pada tempe terdapat protein, lemak, karbohidrat yang mudah dicerna tubuh. Tempe juga kaya vitamin, mineral dan komponen aktif, dan populer sebagai makanan sehat dan menyehatkan. Tempe dapat menyembuhkan diare kronik pada balita. Isoflavon pada tempe lebih aktif dan lebih mudah diabsorpsi tubuh sehingga sangat efektif untuk mengatasi sindrom osteoporosis setelah monopause (Astuti et al. 2000; Nout and Kiers 2005; Nakajima et al. 2005; Shurtleff and Aoyagi 2011). Di Indonesia tempe diproduksi dalam skala kecil oleh pengrajin tempe. Beberapa inovasi telah mengubah cara membuat tempe. Metode produksi tempe, berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya dan antara pengrajin satu dengan pengrajin lainnya. Kualitas tempe juga bervariasi dalam hal tekstur, rasa dan aroma (Astuti et al. 2000). Berdasarkan penelitian.sebelumnya terdapat dua pengrajin tempe yang menerapkan metode produksi tempe berbeda di Bogor, yaitu pengrajin tempe EMP dan WJB. Intensitas rasa pahit tempe serta jumlah dan jenis bakteri yang terlibat dalam proses produksi tempe yang dihasilkan pengrajin EMP lebih tinggi dibandingkan yang dihasilkan pengrajin WJB (Barus et al. 2008). Rhizopus oligosporus merupakan mikrob utama dalam fermentasi tempe, tetapi mikrob yang terlibat dalam fermentasi sangat kompleks dan berkembang mulai perendaman kedelai (Nout and Rombouts 1990; Nout dan Klers 2005). Kehadiran bakteri asam laktat (BAL) telah dilaporkan pada tempe oleh Nout et al. (1985) dan khamir oleh Samson et al. (1987). Setelah itu, BAL dan khamir pada tempe dipelajari dan dilaporkan oleh beberapa peneliti lainnya. Umumnya, BAL dan khamir dipelajari pada tahap tertentu dan dalam proses produksi tempe di laboratorium. Kehadiran mikrob ini pada sampel tempe komersial sudah dilaporkan, tetapi hanya berdasarkan keberadaannya pada produk akhir (tempe pasar) dan tidak melaporkan secara komprehensif selama proses produksi tempe. Penelitian mengenai BAL dan khamir pada tempe ini, umumnya berdasarkan pendekatan konvensional yang membutuhkan waktu dan usaha yang besar serta memiliki keterbatasan untuk analisis mikrob yang belum dapat dikultur (Aslam et al. 2010). Hingga saat ini studi populasi BAL selama produksi tempe, terbatas pada nilai colony forming unit (cfu). Populasi BAL selama produksi tempe telah diteliti selama proses produksi tempe di pengrajin tempe Malaysia (Moreno et al. 2002) dan selama produksi tempe di laboratorium Indonesia (Nuraida et al. 2008). Baik Moreno et al. (2002) maupun Nuraida et al. (2008) tidak mempelajari populasi khamir secara spesifik, populasi khamir ini termasuk dalam nilai cfu
2 kapang. Studi mengenai keragaman populasi BAL dan khamir selama produksi tempe belum pernah ada, kecuali daftar beberapa jenis BAL dan khamir yang pernah ditemukan pada tempe (Samson et al. 1987; Mulyowidarso et al. 1990; Ashenafi 1991; Ashenafi and Busse 1991). Pendekatan molekular berbasis PCR telah dikembangkan dan digunakan untuk mempelajari komunitas bakteri pada tempe (Barus et al. 2008, Stefania 2009, Sari 2009, Hanjaya 2011 dan Seumahu et al. 2012), dan keragaman kapang pada sejumlah sampel tempe (Seumahu et al. 2012). Pada penelitian-penelitian ini, populasi BAL dan khamir selama produksi tempe belum pernah diteliti, kecuali Lactobacillus dan Streptococcus diduga terdapat pada perendaman kedelai dan Lactobacillus sp. merupakan salah satu bakteri dominan pada salah satu produk tempe (Barus 2008; Seumahu 2012). Analisis Terminal restriction fragment length polymorphism (T-RFLP) (Liu et al. 1997) merupakan salah satu pendekatan molekular berbasis PCR. Analisis ini dapat digunakan untuk memantau perubahan struktur dan komposisi komunitas mikrob. Analisis T-RFLP sangat populer, banyak digunakan dan lebih komprehensif. Pendekatan molekular T-RFLP ini menawarkan kompromi antara informasi yang diperoleh dan intensitas tenaga kerja (Rappe and Giovannoni 2003; Schutte et al. 2008). Analisis T-RFLP ini relatif sederhana dan telah diterapkan pada analisis peran komunitas bakteri pada pembentukan rasa pahit tempe (Barus et al. 2008). Seperti pendekatan molekular berbasis PCR lainnya, analisis T-RFLP juga memiliki keterbatasan. Beberapa bukti memperlihatkan bahwa analisis T-RFLP tidak efektif untuk menentukan kekayaan filotipe pada komunitas yang sangat kompleks. Analisis T-RFLP, lebih baik diterapkan pada komunitas sederhana (Dunbar et al. 2001). Menurut Schutte et al. (2008), keterbatasan analisis T-RFLP dapat diatasi dengan pemilihan primer spesifik untuk kelompok taksonomi target. Primer spesifik ini dapat digunakan untuk studi keragaman kelompok bakteri spesifik yang terdapat dalam jumlah rendah pada suatu ekosistem (Heilig et al. 2002). Selain itu, pemilihan enzim restriksi, perbedaan antara sinyal yang sebenarnya dengan sinyal palsu, dan penyelarasan profil T-RFLP pada analisis TRFLP sangat perlu dilakukan. Tahapan tersebut diperlukan untuk dapat mengidentifikasi dan memantau perubahan mikrob dalam komunitas (Schutte et al. 2008). Primer spesifik reverse SG-Lab-0677 telah dirancang dan dikembangkan untuk mengamplifikasi secara selektif gen 16S ribosomal DNA (rDNA) anggota Lactobacillus dan bakteri asam laktat lainnya. Primer ini telah digunakan oleh Randazzo et al. (2002), Heilig et al. (2002), Jernberg et al. (2005) dan Dicksved et al. (2007). Sementara itu, sepasang primer forward ITS1 dan primer reverse ITS4 khamir, secara luas telah digunakan untuk mengamplifikasi daerah gen ITS1 5.8S rRNA - ITS2. Primer ini telah digunakan oleh Zarzoso et al. (1999), Carvalho et al. (2005), Vazquez et al. (2003), Hamby et al. (2012). Pada kasus enzim, Engebretson and Moyer (2003) telah mengevaluasi 18 enzim restriksi untuk bakteri dan menemukan bahwa MspI adalah salah satu dari empat enzim restriksi yang paling sering dapat membedakan suatu populasi dalam komunitas model mereka. Sementara untuk gen ITS1 - 5.8S rRNA - ITS2 khamir, enzim restriksi HaeIII dan HinfI lebih populer digunakan (Zarzoso et al. 1999; Carvalho et al. 2005; Hamby et al. 2012).
3 Pendekatan paling sederhana untuk membedakan antara sinyal yang sebenarnya dan sinyal palsu, dapat dilakukan berdasarkan nilai terminal fragmen restriksi (TRF) dan unit fluoresen (FU) terkecil (Dunbar et al. 2001; Blackwood et al. 2003). Cara ini secara luas telah digunakan untuk normalisasi produk TRFLP. Selanjutnya semua data T-RFLP dapat diselaraskan dengan mudah dan cepat dengan menggunakan program T- align (Smith et al. 2005; Schutte et al. 2008 ). Hingga saat ini, studi mengenai populasi BAL dan khamir selama proses produksi tempe di pengrajin tempe Indonesia belum pernah diteliti. Dinamika populasi BAL dan khamir dari satu tahap ke tahap lainnya selama produksi tempe belum pernah dilaporkan, baik sebagai nilai kelimpahan koloni (nilai cfu) maupun keragaman koloni yang tumbuh setelah proses pencawanan, termasuk pengaruh metode produksi antara pengrajin terhadap komunitas mikrob ini. Analisis keragaman populasi BAL dan khamir pada tempe masih dianalisis dengan metode tergantung kultur. Metode ini hanya dapat menggambarkan keragaman mikrob yang terkultur (culturable) dan belum dapat menggambarkan keragaman seluruh BAL dan khamir pada tempe. Keragaman dan dinamika seluruh populasi BAL dan khamir dari satu tahap ke tahap lainnya selama produksi tempe (baik culturable maupun yang belum dapat terkultur/ unculturable) juga belum pernah dilaporkan. Perubahan struktur dan komposisi masing-masing anggota BAL dan khamir, baik sebagai jumlah kehadiran filotipe maupun kelimpahan masingmasing filotipe dari satu tahap ke tahap lainnya selama produksi tempe belum pernah diteliti, termasuk pengaruh metode produksi tempe antara pengrajin terhadap perubahan struktur dan komposisi mikrob ini. Sebab itu analisis T-RFLP dengan menggunakan primer spesifik dan enzim restriksi yang telah banyak digunakan oleh peneliti selama ini digunakan dalam penelitian ini, termasuk cara normalisasi produk T-RFLP dan penyelarasan data yang diperoleh.
Perumusan Masalah Pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: 1) Apakah BAL dan khamir merupakan bagian dari komunitas mikrob yang terdapat selama produksi tempe pada metode produksi berbeda di pengrajin tempe Indonesia. 2) Bagaimana perubahan struktur dan komposisi masing-masing anggota BAL dan khamir selama produksi tempe, baik sebagai jumlah total koloni dan keragaman koloni yang tumbuh dicawan maupun kehadiran filotipe dan kelimpahan masingmasing filotipe dari satu tahap ke tahap lainnya selama produksi tempe, termasuk ditemukannya filotipe spesifik, filotipe umum, filotipe unik dan filotipe dominan yang mungkin berbeda akibat perbedaan metode produksi di pengrajin tempe Indonesia.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi dinamika populasi dan keragaman BAL dan khamir selama proses produksi tempe di pengrajin Indonesia
4 dan menganalisis pengaruh perbedaan metode produksi tempe yang diterapkan antara pengrajin terhadap kehadiran mikrob ini. Tujuan Khusus 1. Analisis populasi BAL dan khamir selama proses produksi tempe di dua pengrajin Indonesia yang menerapkan metode produksi yang berbeda, termasuk pengaruh perbedaan metode produksinya terhadap kehadiran populasi mikrob ini dari satu tahap ke tahap lainnya selama produksi tempe melalui teknik perhitungan koloni. 2. Analisis keragaman BAL dan khamir culturable dengan metode analisis TRFLP setelah pencawanan. 3. Analisis keragaman BAL dan khamir total baik culturable dan unculturable dengan metode analisis T-RFLP metagenom. 4. Mengungkap filotipe spesifik dan filotipe umum pada tahap dan metode produksi tempe, termasuk filotipe unik dan filotipe dominan selama produksi tempe. 5. Identifikasi filotipe yang ditemukan dengan database.
Hipotesis. 1.
2. 3. 4.
5.
BAL dan khamir merupakan bagian dari komunitas mikrob yang terdapat selama produksi tempe di pengrajin tempe Indonesia dengan populasi dan keragaman dinamis selama produksi tempe. Metode produksi tempe mempengaruhi kehadiran BAL dan khamir selama produksi tempe. BAL dan khamir bersifat culturable dan unculturable merupakan bagian dari komunitas mikrob selama produksi. Penggunaan kombinasi metode tergantung kultur dan tidak tergantung kultur dapat memberikan informasi populasi BAL dan khamir yang lebih baik dan saling melengkapi. Beberapa BAL dan khamir umum terdapat selama tahap produksi dan metode produksi tempe, tetapi beberapa BAL dan khamir lainnya spesifik pada tahap dan metode tertentu.
Manfaat Penelitian Tersedianya informasi mengenai dinamika populasi BAL dan khamir selama proses produksi tempe dan pengaruh perbedaan metode produksi tempe terhadap kehadiran mikrob ini, baik kelimpahan maupun keragaman dapat menjadi dasar penelitian yang lebih spesifik dan mendalam untuk pengembangan metode standar yang lebih baik dalam memproduksi tempe, serta pengembangan kultur starter tempe yang unggul di masa datang. Informasi mengenai keragaman populasi BAL dan khamir selama proses produksi tempe dapat menjadikan tempe sebagai sumber plasma nutfah keragaman hayati mikrob ini untuk keperluan yang lebih luas.
5 Ruang Lingkup Penelitian Metode produksi tempe yang diterapkan pengrajin tempe di Indonesia berbeda antara pengrajin atau daerah satu dan lainnya. Penelitian ini dibatasi hanya pada dua metode produksi tempe yang berbeda yaitu metode atau alur proses produksi yang dilakukan oleh dua pengrajin tempe di Bogor dan telah diteliti sebelumnya oleh Barus et al. (2008), yaitu pengrajin tempe EMP dan WJB. Alur proses produksi yang dilakukan pengrajin EMP selanjutnya disebut produksi tempe metode A dan yang dilakukan pengrajin WJB disebut produksi tempe metode B (Gambar 5).
6
Dua Pengrajin Tempe yang Menerapkan Metode Produksi Berbeda dan Telah Dipelajari Sebelumnya oleh Barus et al. (2008)
(Tempe EMP) Produksi Tempe Metode B
Produksi Tempe Metode A
Production Sampel Berupa @ 5 tahap Produksi Tempe Methods B Metode Tergantung Kultur
Metode Tidak Tergantung Kultur Simpan di -20oC(hingga isolasi)
Proses Pencawanan
( TPC
Sumber DNA
Sumber DNA
VValuealue Nilai CFU
VVal ueal ue
Analisis T-RFLP
Analisis T-RFLP
Keragaman Filotipe di Setiap Tahap
Enrichment process Frozen hods
Keragaman BAL dan Khamir Culturable
Keragaman BAL dan Khamir Culturable dan Unculturable
Keragaman Filotipe Selama Produksi Tempe
Enrichment process Frozen hods
Total Keragaman BAL dan Khamir Culturable
Total Keragaman BAL dan Khamir Unculturable
Total Keragaman BAL dan Khamir Identifikasi BAL dan Khamir
Gambar 1 Alur penelitian dinamika populasi dan keragaman bakteri asam laktat (BAL) dan khamir selama produksi tempe
7
TINJAUAN PUSTAKA
Tempe Tempe dalam ejaan Indonesia atau dalam bahasa asing dikenal sebagai ”tempeh” adalah suatu nama kolektif untuk suatu massa kacang-kacangan yang dimasak dan difermentasi oleh kapang (umumnya Rhizopus sp.) hingga membentuk suatu massa yang kompak dan dapat diiris. Selain berbahan baku kacang-kacangan atau biji-bijian, tempe juga dibuat dari hasil samping pengolahan makanan, seperti ampas tahu dan ampas lainnya. Kedelai kuning adalah bahan baku paling umum dan lebih disukai untuk membuat tempe (Nout and Kiers 2005). Tempe merupakan bahan pangan penting di Indonesia. Sebagai makanan tradisional tempe telah lama dikonsumsi dan konsumsi tempe meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan konsumsi tempe ini antara lain disebabkan faktor rasanya yang enak, memiliki gizi yang tinggi, harga yang murah dan mudah dibuat (Pawiroharsono 1995). Tempe juga merupakan makanan fungsional yang menyehatkan, mengandung Vitamin B12 dan senyawa aktif (Keuth and Bisping 1994; Astuti et al. 2000; Nout and Kiers 2005; Nakajima et al. 2005; Shurtleff and Aoyagi 2011). Kepopuleran tempe sebagai makanan sehat dan menyehatkan mengakibatkan tempe tidak saja dikonsumsi oleh rakyat Indonesia, melainkan telah banyak dikonsumsi di banyak negara seperti Belanda, Jepang dan Amerika (Karyadi 1996; Shurtleff and Aoyagi 2011).
Proses Pembuatan Tempe Teknologi untuk membuat tempe sangat sederhana. Seperti teknologi fermentasi tradisional lainnya, teknologi untuk membuat tempe berkembang secara turun menurun dan sangat beragam di antara pengrajin. Cara pengolahan tempe di antara pengrajin, berbeda antara satu daerah dengan daerah lain dan antara satu pengrajin dengan pengrajin lainnya (Astuti et al. 2000; Shurtleff and Aoyagi 2011). Selain perbedaan, beberapa persamaan proses produksi tempe juga terdapat di antara pengrajin, antara lain pemasakan kedelai, pengelupasan kulit dan pengasaman biji kedelai, pencucian, pencampuran dengan laru/inokulum, pengemasan dan inkubasi (Hermana dan Karmini 1996). Berdasarkan hasil penelitian Barus et al. (2008), diketahui bahwa di Bogor terdapat dua cara pembuatan tempe berbeda. Cara yang sangat berbeda tersebut (Gambar 2) diterapkan oleh dua pengrajin tempe berbeda. Pengrajin tersebut yaitu pengrajin tempe EMP yang melakukan pemasakan satu kali dan pengrajin tempe WJB yang melakukan pemasakan dua kali (pemasakan kedua) selama proses produksi tempe. Menurut Barus et al. (2008), intensitas rasa pahit yang sangat
8 signifikan berbeda ditemukan pada tempe yang dihasilkan pengrajin tersebut. Intensitas rasa pahit tertinggi, dengan skor 2.3 terdapat pada tempe yang dihasilkan oleh pengrajin EMP, sedangkan tempe yang dihasilkan oleh pengrajin WJB memiliki intensitas rasa pahit rendah dengan skor 1.3.
Gambar 2 Tahap pembuatan tempe yang dilakukan oleh pengrajin tempe EMP(A) dan pengrajin tempe WJB (B) (Barus et al. 2008) Mikrob pada Tempe Mikrob yang berperan selama proses pembuatan tempe sangat kompleks dan berkembang mulai selama perendaman kedelai mentah (Nout and Rombouts 1990; Nout dan Klers 2005). Komposisi mikrob pada tempe tradisional ditentukan oleh faktor ekologi, seperti pengasaman oleh bakteri asam laktat selama perendaman, efek letal proses pemasakan, pencemaran selama penanganan dan pendinginan, komposisi dan vitalitas inokulum, panas dan perpindahan massa, pembatasan-pembatasan selama fermentasi kapang, kondisi inkubasi dan selama penyimpan (Nout dan Klers 2005). Kelompok kapang yang paling berperan dalam pembuatan tempe adalah tempe Rhizopus. dari genus ini Gambar 2 Tahapan pembuatan yang Beberapa dilakukan spesies oleh pengrajin tempe Beberapa spesies yang memiliki kemampuan mendegradasi substrat yang berbeda. EMP(A) dan pengrajin tempe WJB (B) (Barus et al. 2008). penting untuk pembuatan tempe, antara lain R. oligosporus, R. arrhizus, R. stolonifer dan R. oryzae (Pawiroharsono 1994). Genus Rhizopus ini diberikan dalam bentuk yang telah diformulasikan dan disebut dengan laru/ragi/usar/inokulum atau starter. Laru atau inokulum tempe paling banyak dipergunakan pengrajin tempe di Indonesia ialah laru LIPI dan dapat ditemukan di pasaran dengan merek RAPRIMA yang diproduksi oleh PT. Aneka Farmasi, Bandung. Bakteri terlibat pada proses pembuatan tempe, seperti dilaporkan oleh beberapa peneliti. Populasi bakteri viabel sebesar 103-109 cfu/g yang tumbuh bersama-sama R. oligosporus, ditemukan selama fermentasi kedelai menjadi tempe (Mulyowidarso et al. 1990). Klebsiella pneumominae terlibat selama fermentasi dalam menghasilkan vitamin B12 (Steinkraus Keuth & Gambar 4.tempe Gambar 2 Tahapan pembuatan tempe yang dilakukan 1987; oleh pengrajin Bisping 1994).tempe Bakteri asam laktat (BAL) terlibat dalam proses pengasaman EMP(A) dan pengrajin tempe WJB (B) (Barus et al. 2008). selama perendaman dan menjamin keamanan konsumsi tempe (Ashenafi and Busse 1989; Pawiroharsono 1994; Feng et al. 2005) dan bakteri berperan pada pembentukan rasa pahit tempe (Barus et al. 2008).
9 Populasi BAL ditemukan dalam jumlah cukup tinggi pada biji kedelai mentah, air dan kedelai yang direndam, kedelai yang direbus kurang dari 4 jam, dan tempe segar, pada proses produksi tempe pada pengrajin tempe di Malaysia. Pada bahan baku kedelai, air dan kedelai yang direndam, kedelai yang direbus kurang dari 4 jam, dan tempe segar ditemukan populasi BAL berturut-turut sebesar < 2, 7.9-9.3 dan 7.8-9.2, 3.2 - 4 dan 6.8-9.9 cfu/g(ml) (Moreno et al. 2002). Populasi BAL juga ditemukan pada tempe yang diproduksi pada laboratorium di Indonesia (Nuraida et al. 2008). Jumlah populasi BAL tertinggi ditemukan pada kedelai direndam pada hari pertama yaitu 4.3 x 109 cfu/ml dan turun apabila perendaman dilanjutkan ke hari kedua yaitu 2.6 x 106 cfu/ml. Populasi BAL selama inkubasi tempe relatif stabil yaitu berturut – turut dari 2.4 x 106 , 2.6 x 106 , 2.6 x 106 cfu/g pada hari ke 0, ke 1 sampai ke 3 inkubasi tempe (Nuraida et al. 2008). Produksi tempe yang dilakukan oleh Nuraida et al. (2008) ini menerapkan dua kali pemasakan. Beberapa spesies BAL telah ditemukan dan dimanfaatkan dalam proses produksi tempe. Lactobacillus plantarum dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen selama perendaman kedelai (Ashenafi and Busse, 1989). Kehadiran spesies BAL dipengaruhi oleh suhu. Kedelai yang direndam pada suhu 20o C didominasi oleh L. casei dan Staphylococcus epidermidis, sedangkan pada suhu 30o C didominasi oleh L. casei, Streptococcus faecium, S. dysgalactiae dan S. epidermidis (Mulyowidarso et al. 1989). BAL juga dapat ditemukan saat inkubasi tempe. Lactobacillus casei ditemukan hingga + 6 log dan Streptococcus jaecium + 7 log pada jam ke 1, 6, 12, 36 dan 48 inkubasi tempe. Populasi tertinggi ditemukan pada jam 36 inkubasi tempe (Mulyowidarso et al. 1990). Empat spesies BAL yaitu L. plantarum, L. fermentum, L. reuteri dan Lactococcus lactis sudah diinokulasikan pada tempe barley dan ditemukan mikrob ini dapat tumbuh dari + 4.8 hingga 7.4 log cfu/g dan tidak mengganggu pertumbuhan R. olygosporus (Feng et al. 2005). Khamir hadir dalam air rendaman kedelai dan tempe segar dilaporkan oleh Samson et al. (1987) dan Mulyowidarso et al. (1989). Khamir hampir selalu ada pada 110 sampel tempe komersial Netherlands yang diperiksa. Kamir dalam jumlah lebih dari 107 adalah normal. Khamir dalam jumlah lebih tinggi ditemukan pada air rendaman kedelai yang tidak diasamkan yaitu sekitar 109 cfu/g dibanding air rendaman kedelai yang diasamkan yaitu 106 cfu/g (Ashenafi and Busse 1991). Kebanyakan penelitian tidak meneliti khamir secara spesifik, khamir merupakan bagian dari penelitian kapang, seperti Moreno et al. (2002) menghitung kehadiran koloni khamir dengan melakukan proses pencawanan khamir dan kapang dengan menggunakan media dichloran rose bengal chloramphenicol agar (DRBC). Nuraida et al. (2008) juga menghitung kehadiran khamir dan kapang secara bersamaan pada sampel selama produksi tempe. Menurut Samson et al. (1987) khamir tumbuh secara spontan pada tempe. Beberapa spesies khamir yaitu Trichosporon beigelii, Clavispora (Candida) lusitaniae, C. maltosa, C. intermedia, Yarrowia lipolytica, Lodderomyces elongisporus, Rhodotorula mucilaginosa, C. sake, Hansenula fabiani, C. tropicalis, C. parapsilosis, Pichia membranaefaciens, Rhodotorula rubra, C. rugosa, C. curvata, Hansenula anomola ditemukan pada tempe komersial di Belanda. di antara spesies khamir tersebut, T. beigelii adalah yang paling banyak terdeteksi. Menurut Han et al. (2000), khamir ini ditemukan secara luas pada air
10 dan tanah, namun berpotensi menimbulkan mikosis pada manusia dan hewan (Gonzalez et al. 2001). Dilain hal Feng et al. (2007) telah menginokulasikan tiga galur Saccharomyces cerevisiae dan masing-masing satu galur S. boulardii, Pichia anomala dan Kluyveromyces lactis bersama-sama dengkan R. oligosporus dan khamir ini dapat tumbuh bersama-sama dengkan R. oligosporus selama fermentasi tempe barley. Spesies khamir yang memenuhi status GRAS ini tidak tumbuh pada tempe disimpan pada suhu rendah (Feng et al. 2007). Mempelajari Keragaman BAL Secara umum BAL adalah bakteri Gram positif, tidak berspora, tidak berespirasi oksidatif, bentuk sel bulat atau batang dengan asam laktat sebagai produk akhir utama pada fermentasi karbohidrat (Salminem and Wrigght 1998). Menurut Holzapfel et al. (2001), BAL terdiri atas genus: Bifidobacterium, Lactobacillus, Lactococcus, Carnobacterium, Enterococcus, Lactosphaera, Leuconostoc, Melissococcus, Microbacterium, Oenococcus, Pediococcus, Propionibacterium, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus dan Weissella. Karakter penting untuk membedakan genus BAL yaitu fermentasi glukosa dibawah kondisi standar dan terbebas oksigen. Berdasarkan kondisi ini BAL dapat dibagi menjadi dua group yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri asam laktat homofermentatif mengubah hampir semua glukosa menjadi asam laktat, sedangkan BAL heterofermentatif memfermentasi glukosa menjadi asam laktat, etanol/asam asetat dan CO2. Leuconostoc, Oenococcus, Weissella dan sub group Lactobacilli termasuk dalam BAL heterofermentatif, sedangkan yang lain termasuk dalam BAL homofermentatif (Salminem and Wrigght. 1998). Selain itu beberapa uji konvensional lain juga banyak dilakukan, seperti pewarnaan Gram setelah di inkubasi 24 jam pada MRS agar, analisis aktivitas katalase, produksi gas dari fermentasi glukosa maupun berdasarkan karakteristik morfologi, metabolik dan fisiologi lainnya (Salminem and Wrigght 1998). Populasi beberapa BAL sering ditemukan dalam proses industri seperti pada pabrik susu, pembuatan roti, pembuatan bir atau kilang anggur. Pemeriksaan yang tepat terhadap populasi BAL yang hadir pada suatu reaktor diperlukan agar kondisi agen fermentasi terkontrol. Metode konvensional seperti perhitungan total koloni pada cawan (total plate counts), jumlah yang paling mungkin (most probable number/MPN) atau jumlah sel merupakan cara yang biasa digunakan untuk tujuan ini (Pintado et al. 2003). Media yang sering digunakan sebagai media pertumbuhan BAL ialah De Man-Rogosa-Sharp (MRS), baik dalam bentuk kaldu maupun agar. Penambahan natrium azida 0,2% pada MRS agar banyak dilakukan untuk menghambat pertumbuhan khamir, bakteri aerobik dan jamur pada media. Media MRS agar modifikasi ini dapat digunakan untuk memperkiraan jumlah populasi BAL pada makanan fermentasi. Perhitungan koloni pada agar cawan (plate count agar) pada sampel dengan pengenceran dalam larutan NaCl 0.85% dan selanjutnya disebar pada media MRS agar modifikasi, telah dilakukan untuk analisis populasi BAL pada sauerkraut. Inkubasi BAL dilakukan dalam kondisi aerobik (Plengvidhya et al. 2007). Metode yang cukup sederhana untuk membedakan BAL telah dikembangkan oleh bioMe´rieux, Tokyo, Japan. Metode ini merupakan cara
11 identifikasi genus atau spesies spesifik berdasarkan asimilasi dan fermentasi 49 campuran karbohidrat berbeda dan satu kontrol. Metode ini telah tersedia dalam bentuk komersil yang disebut dengan API 50 CH strips (bioMe´rieux, Tokyo, Japan). Pada metode ini sampel diinkubasi pada suhu 30°C selama 3 sampai 6 hari dan diidentifikasi dengan menggunakan APIBAL Plus software versi 3.3.3 dari BioMe´rieux dan database untuk perbandingan asimilasi atau pola fermentasinya. Sistem identifikasi API 50 CH ini juga telah dievaluasi untuk mengidentifikasi 97 galur komersil Lactobacili (Boyd et al. 2005). Metode isolasi berdasarkan pada pengkulturan yang padat karya ini belum memperoleh hasil apapun hingga inkubasi selesai. Selain itu, beberapa media selektif perlu dikembangkan untuk masing-masing galur. Secara umum beberapa media tertentu hanya dapat digunakan untuk populasi tertentu. Lebih lanjut, pada beberapa kasus, metode perhitungan tergantung kultur ini dapat menghasilkan penyimpangan perhitungan suatu populasi (Ampe et al. 1999), membutuhkan waktu dan usaha yang besar serta memiliki keterbatasan untuk mikrob yang belum dapat dikultur (Aslam et al. 2010). Teknik biologi molekular untuk memperoleh gambaran komunitas mikrob dengan tidak melalui metode kultur, telah berkembang. Teknik ini telah digunakan untuk mempelajari dinamika populasi mikrob pada ekosistem makanan fermentasi (Randazzo et al. 2002). Kombinasi teknik konvensional dan molekular telah dilakukan untuk mempelajari keragaman BAL pada fermentasi sauerkraut. Kombinasi teknik ini medeteksi kehadiran jenis BAL yang lebih beragam dibandingkan yang telah dilaporkan sebelumnya. Penelitian ini juga mampu mengidentifikasi spesies Leuconostoc fallax. Penelitian ini juga menghasilkan suatu pemahaman yang lebih baik tentang pengembangan fermentasi rendah garam untuk mengubah mikroflora dan karakteristik sensoris sauerkraut komersial (Randazzo et al. 2002). Salah satu teknik biologi molekular itu ialah Terminal Restriction Fragment Length Polimorphism (TRFLP atau T-RFLP). Teknik ini mampu membuat profil komunitas mikrob berdasarkan pada posisi pemotongan terdekat di ujung berilabel dari gen yang diamplifikasi. Metode ini berdasarkan pada campuran variasi fragmen gen tunggal hasil PCR, dipotong dengan satu atau dua enzim restriksi, kemudian hasil ukuran masing-masing fragmen terminal dideteksi dengan menggunakan DNA sequenser. Metode ini pertama kali digambarkan oleh Liu et al. (1997) terhadap gen target 16S rDNA. Beberapa DNA bakteri telah diisolasi sama baiknya dengan sampel dari lingkungan. Hasil T-RFLP ini merupakan suatu gambaran grafik, di mana Sumbu X mewakili ukuran fragmen dan Sumbu Y mewakili intensitas fluoresennya (Gambar 3). Analisis T-RFLP (Liu et al. 1997) merupakan salah satu pendekatan molekular berbasis PCR yang dapat digunakan untuk memantau perubahan struktur dan komposisi komunitas mikrob. Analisis T-RFLP sangat populer, banyak digunakan dan lebih komprehensif dari analisis dengan metode tergantung kultur. Pendekatan molekular T-RFLP ini menawarkan kompromi antara informasi yang diperoleh dan intensitas tenaga kerja. (Rappe and Giovannoni 2003; Schutte et al. 2008). Analisis T-RFLP ini relatif sederhana dan telah diterapkan pada analisis dua sampel tempe yang diproduksi oleh dua pengrajin tempe di Bogor. Analisis T-RFLP ini telah digunakan pada sampel tempe yang dihasilkan oleh pengrajin EMP dan WJB yang terbukti menghasilkan tempe
12 dengan intensitas berbeda (Barus et al. 2008). Penelitian ini menemukan bahwa kelimpahan bakteri pada air rendaman dan tempe segar pada tempe yang dihasilkan pengrajin tempe EMP lebih tinggi dibanding yang dihasilkan pengrajin WJB. Penelitian ini juga menemukan bahwa pada tempe terdapat bakteri yang bersifat culturable dan unculturable. Bakteri unculturable lebih dominan dari bakteri culturable (Barus et al. 2007). Namun penelitian ini tidak meneliti BAL secara spesifik, walau spesies yang diduga sebagai Lactobacillus dan Streptococcus ditemukan pada rendaman kedelai.
Gambar 3 Proses analisis T-RFLP, yaitu: Hasil ekstraksi DNA dari suatu komunitas yang diminati (1). Hasil amplifikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) dari gen yang diminati dengan primer telah terlabel dengan suatu zat berpendar (2). Campuran amplikon yang sama atau hampir sama ukurannya dengan label yang berpendar pada satu ujung 5‟. Setelah purifikasi, campuran amplikon ini dipotong dengan enzim restriksi, dan menyebabkan perbedaan ukuran fragmen (A - F) (3). Selanjutnya hasil ini dipisahkan melewati gel atau electrophoresis kapiler (4). Pembacaan sinar yang terdeteksi dari fragmen terlabel dan menghasikan berbedaan profil berdasarkan pada panjang fragmen (5) (Grüntzig et al. 2002) Seperti pendekatan molekular berbasis PCR lainnya, analisis T-RFLP juga memiliki keterbatasan. Beberapa bukti memperlihatkan bahwa analisis T-RFLP tidak efektif menentukan kekayaan filotipe di komunitas yang sangat kompleks. Analisis T-RFLP, lebih baik diterapkan pada komunitas sederhana (Dunbar et al. 2000). Menurut Schutte et al. (2008), keterbatasan analisis T-RFLP dapat diatasi dengan pemilihan primer spesifik untuk kelompok taksonomi target. Primer spesifik memungkinkan kelompok bakteri spesifik penting yang terdapat dalam jumlah rendah di suatu ekosistem dapat dipelajarinya (Heilig et al. 2002). Sebuah primer spesifik kelompok Lactobacillus, yaitu SG-Lab-0677-aA-17 (Lab-0677r) telah dikembangkan untuk mengamplifikasi secara selektif 16S ribosomal DNA (rDNA) Lactobacilli dan BAL dari genera Leuconostoc, Pediococcus, dan Weissella. Sebuah primer komersial, disebut primer bakteri SDBact-0011-AS-17 (Bact-0011f) telah dipasangkan dengan reverse primer SG-Lab-
13 0677 untuk suatu penelitian. Penelitian tersebut menyimpulkan, amplifikasi PCR daerah spesifik 16S rRNA dengan primer spesifik, mampu mendeteksi keragaman kelompok bakteri spesifik yang penting yang terdapat dalam jumlah rendah dalam suatu ekosistem. Pengguaan enzim spesifik tersebut telah menemukan adanya Lactobacilli dalam saluran pencernaan manusia. (Heilig et al. 2002). Primer spesifik revers SG-Lab-0677 untuk group Lactobacillusini ini, apabila dikombinasikan dengan primer 7f dapat digunakan untuk mengamplifikasi daerah V1 dan V3 dari 16S rRNA. Kombinasi enzim ini telah digunakan untuk mempelajari perbedaan, dinamika dan aktifitas komunitas bakteri selama produksi keju Artisanal Sicilian Itali (Randazzo et al.2002). Primer ini juga telah digunakan untuk memantau mikroflora usus manusia selama pengobatan antibiotik dan selama konsumsi produk probiotik (Jernberg et al. 2005) dan untuk menilai dampak dari dua gaya hidup yang ekstrim, terhadap komposisi mikrob dalam usus (Dicksved et al. 2007). Keterbatasan analisis T-RFLP juga dapat dilakukan dengan pilihan enzim restriksi yang tepat (Schutte et al. 2008). Engebretson and Moyer (2003) telah mengevaluasi 18 enzim restriksi untuk bakteri dan menemukan bahwa MspI adalah salah satu dari empat enzim restriksi yang paling sering dapat membedakan populasi individual dalam komunitas model mereka. Selain itu pendekatan paling sederhana untuk membedakan antara sinyal yang sebenarnya dengan sinyal palsu, dapat dilakukan berdasarkan nilai yang dipilih (misalnya 50 atau 100, umumnya 50 unit fluoresensi / FU) oleh Dunbar et al. (2001) dan ukurannya TRF yang lebih dari 50 bp (Blackwood et al. 2003). Cara ini secara luas telah digunakan untuk normalisasi produk T-RFLP. Selanjutnya semua data T-RFLP dapat diselaraskan dengan mudah dan cepat dengan menggunakan Program T- align (Smith et al. 2005; Schutte et al. 2008.). Mempelajari Keragaman Khamir. Sama halnya dengan BAL, dalam pendekatan konvensional spesies-spesies khamir dibedakan berdasarkan ciri-ciri morfologi dan sifat fisiologi nya (Barnett, et al. 2000; Cardinali et al. 2000). Ciri fisiologi diperoleh melalui serangkaian uji fermentasi dan asimilasi C dan N. Ciri-ciri ini menjadi dasar identifikasi. Identifikasi dengan cara-cara ini memerlukan waktu yang lama. Media yang sering digunakan sebagai media pertumbuhan khamir ialah glukosa-peptone-yeast extract agar atau YMA. Kontaminasi bakteri presisten dapat dieliminasi dengan menjadikan media pertumbuhan menjadi asam atau dengan penambahan antibiotik. Perhitungan pada agar cawan dilakukan melalui cara pengenceran sampel dengan larutan NaCl 0.85%. Suspensi sampel kemudian disebar pada YMA yang mengandung 250 mg / liter chlortetracycline dan 250 mg/liter chloramphenicol. Metode ini telah digunakan untuk menghitung populasi khamir selama fermentasi sauerkraut (Plengvidhya et al. 2007). Metode identifikasi cepat dengan kit untuk mengatasi dan melengkapi metode konvensional juga sudah dikembangkan. Salah satu kit ini ialah API 20C AUX system (Bio Mèrieux, Lyon, France). Metode ini secara luas telah digunakan untuk identifikasi khamir pada fermentasi spontan zaitun hijau di Aljazair (Mourad and Karam 2006). Kit ini terdiri atas 19 uji asimilasi gula dan hasil uji ini relatif cepat, namun kit identifikasi khamir ini didesain untuk diagnosis klinik
14 penyakit yang disebabkan khamir, sehingga dan aplikasinya secara umum terbatas pada spesies khamir tertentu. Metode molekular berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR) terutama Restriction Fragment Length Polimorphism (RFLP) dari DNA ribosomal khamir dapat menggambarkan hubungan inter dan intra spesifik di antara khamir berbeda. Hasil-hasil penelitian sebelumnya pada kompleks internal transcribed spacer/ITS dan gen 5.8S rRNA (Gambar 4) terdapat analog gen, sehingga dapat memperlihatkan perbedaan interspesifik yang lebih baik dibanding gen 18S dan 25S rRNA (Cai et al. 1996). Pola RFLP daerah ITS dan 5.8S rRNA ini telah sukses digunakan untuk identifikasi khamir dari kultur koleksi di Spanyol (Zarzaso et al. 1999), identifikasi dan klasifikasi khamir yang terdapat pada fermentasi spontan buah dan jus jeruk (Vazquez et al. 2003), identifikasi khamir yang terdapat pada madu (Carvalho et al. 2005) serta struktur dan dinamika komunitas khamir yang terdapat pada fermentasi anggur yang sehat dan yang terinfeksi Botrytis (Nisiotou et al. 2007).
Gambar 4 Organisasi genomik 18S rRNA, ITS1, 5.8S rDNA, ITS2, dan 26S rDNA (Zarzoso et al.1999) Metode T-RFLP lebih mudah dari RFLP, karena fragmen yang terdeteksi terbatasi pada fragmen terlabel saja. Pada analisis ini, hasil pemotongan terlabel dengan mudah dideteksi dengan menggunakan DNA sequenser. Kontras dengan RFLP yang mendeteksi seluruh hasil potongan DNA. Teknologi molekular TRFLP dari amplifikasi daerah ITS1-5.8S rRNA-ITS2 ini, telah digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan kelimpahan relatif spesies khamir yang hadir dalam sampel jus buah, baik yang diinfeksikan dengan Drosophila suzukii atau tidak. Hamby et al. (2012) menemukan populasi khamir pada sampel yang kontaminasi dengan D. suzukii lebih tinggi dibanding sampel yang tidak kontaminasi. Enzim yang sering digunakan untuk pemotongan hasil PCR pada analisis RFLP daerah ITS yaitu HaeIII, HinfI CfoI. Namun dari beberapa penelitian diketahui bahwa hasil pemotongan denngan HaeIII lebih bervariasi di ujung 5`nya dibandingkan 2 enzim lainnya (Zarzoso et al. 1999) dan enzim ini juga telah digunakan pada analisis T-RFLP asosiasi D. suzukii dengan jus buah ( Hamby et al. 2012).
15
METODE Bahan Bahan utama penelitian ialah sampel kedelai atau tempe sesuai tahap produksi tempe. Sampel kedelai atau tempe diambil di lima tahapan produksi tempe pada proses produksi tempe dari dua pengrajin tempe yang menerapkan metode produksi berbeda di Bogor yaitu produksi tempe metode A (pengrajin tempe EMP) dan metode B (pengrajin tempe EMP). Alat Alat utama dalam penelitian ini ialah seperangkat elektroforesis mini gel (Bio-Rad), Gel Doc ™ EZ Sistem (Bio Rad), Mikrosentrifugasi (Hettich Germany), mesin PCR (Applied Biosystems VerityTM. 96 well), mesin ABI 3130 Genetic Analyzer (Applied Biosystems). Program GeneScan® (Perkin Elmar). Prosedur Analisis Pengambilan Sampel Sebelum pengambilan sampel di pengrajin tempe observasi dilakukan terlebih dahulu. Pengamatan dilakukan untuk memastikan adanya perbedaan metode produksi tempe di antara kedua pengrajin dan menetapkan tahapan produksi untuk pengambilan sampel. Berdasarkan hasil pengamatan ini ditemukan ada 4 hal utama yang berbeda dilakukan oleh kedua pengrajin tempe yaitu: 1) Kondisi kedelai saat perendaman kedelai dan saat diinkubasi. Pada pengrajin tempe EMP kedelai direndam dalam kondisi terlindung dengan kulit kedelai dan diinkubasi setelah pengemasan, sementara pada pengrajin tempe WJB kedelai direndam dalam kondisi sudah bersih dari kulit kedelai dan diinkubasi sebelum pengemasan. 2) Ada dan tidaknya perebusan kedua setelah akhir perendaman kedelai. Pada pengrajin tempe EMP tidak ada, sementara pada pengrajin tempe WJB ada. 3) Ada dan tidaknya subkultur laru komersial. Pada pengrajin tempe EMP, laru komersial disubkultur sebelum digunakan, sementara pada pengrajin tempe WJB laru komersial langsung digunakan (tidak disubkultur). 4). Urutan proses setiap tahapan berbeda. Pada pengrajin tempe EMP urutan proses produksi tempe adalah: perebusan - perendaman - pengelupasan kulit – pencucian penambahan laru - pengemasan dan inkubasi, sementara pada pengrajin tempe EMP urutan proses produksi tempe adalah: perebusan - pengelupasan kulit pencucian - perendaman - perebusan kedua - penambahan laru – inkubasi (Gambar 5). Berdasarkan perbedan ini sampel diambil di lima tahapan produksi tempe (T1,T2,T3,T4 dan T5)(Gambar 5). Tahap untuk pengambilan sampel tersebut yaitu: awal atau setelah 2 jam perendaman kedelai (T1), akhir perendaman atau setelah jam ke 18 perendaman kedelai (T2), awal pemberian inokulum (T3), pertengahan atau setelah 18 jam inkubasi tempe (T4) dan akhir inkubasi atau setelah 36 jam inkubasi/saat dihasilkannya tempe segar (T5). Sampel diambil sebanyak 400 gram (1%) secara acak dan aseptik dari setiap tahapan produksi tempe. Sampel dimasukkan ke dalam plastik polyetilen steril.
16 Sampel dibawa ke laboratorium dalam wadah iceboox. Di laboratorium semua sampel dihomogenkan dengan cara diaduk rata untuk tahap T1 hingga T4 dan dipotong dadu 0.5 x 0.5 cm2 untuk tahap T5. Semua sampel ditimbang dan diproses sesegera mungkin dan dijaga agar tetap aseptik. Sampel untuk perhitungan dan analisis mikrobiologi dikerjakan segera mungkin (< 30 menit) dan sampel untuk analisis metagenom disimpan pada suhu -20oC hingga saat isolasi DNA. Sampel diambil 2 kali ulangan untuk masing-masing tahapan metode produksi tempe. Interval waktu pengambilan antara sampel ialah satu hari dan pada alur produksi berbeda. Perhitungan dan Analisis Mikrobiologi Sampel disiapkan dan dihitung seperti prosedur oleh Plengvidhya et al. (2007). Sepuluh gram masing-masing sampel dihancurkan dan dihomogenkan dalam 40 ml larutan fisiologis steril (NaCl 0.85%). Semua sampel diencerkan secara serial. Masing-masing 100 l suspensi aliquot disebar pada media MRS agar yang mengandung natrium azida 0.2% untuk BAL dan YMA agar yang mengandung 250 mg/liter chlortetracycline dan 250 mg/liter chloramphenicol untuk khamir. Proses ini dilakukan dalam dua kali ulangan. Semua cawan diinkubasi pada suhu 300C selama 7 hari untuk BAL dan pada suhu kamar (25 – 270C) selama 2 hari untuk khamir (Plengvidhya et al. 2007). Dari setiap cawan dengan kriteria > 30 dan < 300 koloni, dihitung secara manual. Selanjutnya jumlah koloni BAL dan khamir dinyatakan sebagai log unit jumlah koloni (cfu) per gram sampel. Perwakilan cawan dengan kehadiran semua koloni BAL dan khamir di setiap tahap dan metode produksi tempe, digunakan sebagai sumber DNA untuk analisis keragaman BAL dan khamir yang tumbuh di cawan. Analisis keragaman populasi dilakukan menggunakan pendekatan molekular, yaitu analisis T-RFLP setelah pencawanan. Isolasi dan Ekstraksi DNA Total Koloni BAL dan Khamir dari Cawan Seluruh koloni BAL dan khamir pada perwakilan cawan setelah proses pencawanan, dipanen secara terpisah disetiap tahap dan metode. Semua koloni dipanen menggunakan usapan cotton bud dan kemudian dibilas dengan larutan garam fisiologis steril (NaCl 0.85%). Suspensi mikrob yang diperoleh, disentrifugasi 12.000 g selama 10 menit suhu 4o C untuk mendapatkan pelet sel mikrob. Selanjutnya pelet sel mikrob dihancurkan dengan pellet pestle dalam nitrogen cair. DNA total koloni diekstraksi dengan metode cetyl trimethyl ammonium bromide (CTAB) (Sambrook and Russell 2000). Isolasi dan Ekstraksi DNA Metagenom Dua gram kedelai atau tempe (sesuai tahap produksi tempe) diambil dari masing-masing sampel untuk isolasi DNA. Sebelum isolasi DNA, semua bahan telah diperlakukan awal (preekstraksi) untuk menghilangkan komponen makanan dan bahan lain. Preekstraksi dilakukan sesuai dengan prosedur Randazzo et al. (2002) dengan sedikit modifikasi. Pada tahap persiapan, kedelai atau tempe dicampur di dalam mesin blender selama 3 detik 3 x dalam kondisi dingin dan aseptik. Pelet hasil preekstraksi, digerus dengan pelet pastle dalam nitrogen cair.
17 Metode A
Metode B
Gambar 5 Alur proses produksi tempe (metode A dan metode B) di dua pengrajin, sub kultur laru komersial tempe EMP dan saat pengambilan sampel
18 Metagenom DNA diekstraksi dengan metode cetyl trimethyl ammonium bromide (CTAB) (Sambrook and Russell 2000). Kadar dan kemurnian hasil isolasi DNA, baik DNA total koloni maupun DNA metagenom, diukur dengan spektrofotometer dan divisualisasikan dengan elektroforesis. Untuk analisis selanjutnya, hanya DNA dengan kriteria konsentrasi tinggi (250 - 350 ng/l) dan bebas dari protein dan RNA yang akan digunakan sebagai sumber DNA. Amplifikasi Daerah V1-V3 16S rRNA BAL Sebuah primer spesifik (reverse SG-Lab-0677) (Jernberg et al. 2005 dan Dicksved et al. 2007), digunakan untuk mengamplifikasi daerah 16S rRNA BAL. Amplifikasi dilakukan baik pada DNA total koloni setelah pencawanan maupun DNA metagenom. Setiap 50 l campuran reaksi terdiri atas @ 0.74primer forward 7f dilabel dengan FAM (5'-6-FAM-AGAGTTTGATC/TA/CTGGCTCA G-3') dan primer reverse SG-Lab-0.677 (5'-CACCGCTACACATGGAG-3') yang tidak berlabel, 2.5mM @ d-NTP Mix, 3mM MgCl2, 1.5 unit taq DNA polimerase, 1 × bufer PCR dan 0.5 l (100-200 ng) DNA templete. Sampel diamplifikasi dengan mesin PCR (Applied Biosystems VerityTM. 96 well) dengan program terdiri atas tahapan denaturasi awal suhu 95°C selama 5 menit dan kemudian diikuti 30 siklus yaitu denaturasi suhu 95°C selama 40 detik, annealing suhu 55° C selama 40 detik, dan ekstensi suhu 72°C selama 1 menit, diikuti oleh ekstensi akhir 7 menit suhu 72°C. Amplifikasi Daerah ITS dan 5.8S rRNA Khamir Amplifikasi dua daerah ITS (ITS1 dan ITS2) dan 5.8S rRNA khamir dilakukan berdasarkan metode Carvaho et al. (2005). Amplifikasi dilakukan baik pada DNA total koloni setelah pencawanan maupun DNA metagenom. Setiap 50 l campuran reaksi terdiri atas @ 0.46 M primer forward ITS1 berlabel FAM (5'-6-FAM-TCCGTAGGTGAACCTGCGG-3') dan primer reverse ITS4 tidak berlabel (5'-TCCTCCGCTTATTGATAGC-3'), @ 2.16 mM dNTP Mix, 2 mM MgCl2, 1.6 unit DNA taq polimerase (Fermentas, USA), 1 × bufer PCR, dan 0.5 l (100-200 ng) DNA template. Sampel diamplifikasi dengan mesin PCR (Applied Biosystems VerityTM. 96 well) dengan program terdiri atas denaturasi awal suhu 94°C selama 3 menit dan kemudian diikuti 35 siklus yaitu denaturasi suhu 94°C selama 30 detik, annealing suhu 52°C selama 30 detik dan ekstensi suhu 72 ° C selama 2 menit, diikuti dengan ekstensi akhir suhu 72°C selama 10 menit. Masing-masing produk PCR (5 - 10 l), dianalisis dengan elektroforesis pada gel agarosa 0.8 - 1%. Ukuran produk PCR diperkirakan dengan Gel Doc ™ EZ Sistem (Bio Rad) dan O'range Ruler TM 50 pb Ladder DNA sebagai penanda. Produk PCR dimurnikan dengan Gene JetTM PCR Purification Kit (Fermentas, USA), sesuai prosedur perusahaan. Restriksi Produk PCR Produk PCR yang telah dimurnikan, dipotong menggunakan enzim restriksi HaeIII (Fermentas, USA) untuk khamir dan enzim restriksi MspI (Fermentas, USA) untuk BAL. Enzim restriksi tersebut digunakan karena pada penelitian pendahuluan enzim tersebut menghasilkan dendrogram TRF yang lebih beragam
19 dan terpisah sempurna (lampiran 1 dan 2). Setiap reaksi terdiri atas 15 unit enzim restriksi, 1x bufer restriksi dan 10 l (100-200ng) DNA dalam total reaksi 20l. Sampel diinkubasi dan dinonaktifkan sesuai dengan instruksi dari pabrik. Produk restriksi dipresipitasi dan dikeringkan berdasarkan prosedur standar (Sambrook and Russell 2000). Hasil fragmen terminal terlabel (TRF) diperoleh dengan cara mengirim sampel yang telah direstriksi ke Laboratorium PT Wilmar Benih Indonesia yang terletak di JABABEKA Bekasi Jawa Barat, Indonesia untuk di analisis T-RFLP. Pengolahan Data Dinamika populasi BAL atau khamir selama produksi tempe dinyatakan sebagai perubahan nilai log cfu/gram sampel dan perubahan kehadiran filotipe BAL dan khamir di setiap tahap produksi (tahap T1,T2,T3,T4 dan T5) pada kedua metode produksi tempe (Metode A dan B). Keragaman khamir atau BAL adalah keragaman filotipe berupa TRF dengan panjang fragmen yang berbeda. Sebelumnya TRF hasil analisis T-RFLP ini sudah dinormalisasi seperti prosedur Dunbar et al. (2001) dan Blackwood et al. (2003), yaitu hanya TRF yang berukuran lebih atau sama dengan 50 bp dan tinggi lebih dari 50 fluerant unit (FU) yang dianggap sebagai fragmen yang memenuhi syarat, kurang dari itu dianggap TRF palsu. Keragaman TRF diperoleh dari Filotipe BAL/khamir richness (S) yaitu total puncak TRF berbeda yang ditemukan setiap sampel. Data TRF dari semua sampel di setiap tahap produksi dan kedua metode disejajarkan dengan menggunakan progran T-align di http://inismor.ucd.ie/~talign/ (Smith et al. 2005) dan menggunakan interval kepercayaan 0.5. Hasil yang diperoleh dalam bentuk pecahan desimal, dibulatkan pada angka TRF terdekat. Satu TRF BAL dianggap sebagai satu filotipe BAL dan satu TRF khamir dianggap sebagai filotipe khamir. Panjang TRF yang sama dianggap sebagai filotipe yang sama untuk masingmasing BAL dan khamir. Semua filotipe BAL yang diperoleh dikelompokkan menggunakan program UPGMA. Selanjutnya dilakukan perhitungan dan penentuan filotipe BAL dan khamir culturable dan unculturable, filotipe umum metode, filotipe umum tahapan dan metode, filotipe spesifik dan metode, filotipe spesifik metode, filotipe unik metode, dan filotipe dominan dimana: Filotipe BAL dan khamir culturable adalah filotipe yang terdeteksi dengan TRFLP setelah pencawanan dan filotipe yang terdeteksi baik dengan analisis TRFLP metagenom maupun dengan T-RFLP setelah pencawanan. Filotipe BAL dan khamir unculturable adalah filotipe yang terdeteksi dengan analisis T-RFLP metagenom, tetapi tidak pernah terdeteksi dengan T-RFLP setelah pencawanan. Filotipe umum tahapan adalah filotipe yang terdapat pada beberapa tahap produksi tempe. Filotipe umum metode adalah filotipe yang terdapat pada kedua metode produksi tempe (metode A dan B). Filotipe spesifik tahapan dan metode adalah filotipe yang hanya terdapat pada tahap tertentu pada salah satu metode produksi tempe Filotipe spesifik metode adalah filotipe yang terdapat pada salah satu dari dua metode produksi tempe, namun tidak pernah ditemukan pada metode lainnya
20 Filotipe unik metode tertentu adalah filotipe yang terdapat pada salah satu dari kedua metode produksi tempe, namun ditemukan selama produksi tempe (dari tahap T1 hingga T5). Filotipe umum tahapan dan metode adalah filotipe yang terdapat pada beberapa tahap produksi tempe pada kedua metode produksi tempe. Filotipe dominan adalah filotipe yang terdapat di beberapa tahap produksi tempe dengan kelimpahan tinggi Semua filotipe diidentifikasi dengan menggunakan program T-RFLP analysis (PAT+) dari MICA III di http://mica.ibest.uidaho.edu/pat.php dan mengunakan RDP (R 10, U 27) 1.519.356 16S Bacterial rRNA, beberapa filotipe yang tidak teridentifikasi dengan MICA III di blast dengan data dari Phylum: Firmicutes Class: Bacilli Order: Lactobacillales Family: Lactobacillaceae dan kemudian diidentifikasi dengan imsilico di http://insilico.ehu.es/restriction/process_blastout/.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Pencawanan Selama Produksi Tempe Dinamika populasi selama produksi tempe Jumlah koloni BAL dan khamir berubah dari satu ke tahap selanjutnya selama produksi tempe dan berbeda tergantung pada metode produksi tempe (Lampiran 3 dan 4, Gambar 6). Pada tahap T1, jumlah koloni BAL dan khamir pada metode A kurang dari jumlah koloni pada metode B. Dari T1 ke T2, populasi kedua mikrob ini meningkat dengan jumlah relatif sama pada kedua metode. Populasi BAL meningkat sekitar 2 log cfu/g sampel dan populasi khamir meningkat sekitar 1 log cfu/g sampel. Dari T2 ke T3, jumlah koloni BAL dan khamir mengalami penurunan pada metode B. Sebaliknya jumlah koloni pada metode A tidak mengalami penurunan populasi. Pada metode A, jumlah koloni khamir meningkat sedangkan jumlah koloni BAL relatif konstan. Jumlah populasi BAL dan khamir mulai berbeda antara kedua metode di tahap T3. Jumlah populasi BAL berbeda hampir 2 log cfu/g sampel dan pada populasi khamir lebih dari 2 log cfu/g sampel. Namun, dari T3 ke T5 populasi BAL dan khamir meningkat relatif sama pada kedua metode, sehingga pada tahap inkubasi tempe (T3, T4 dan T5) populasi BAL dan khamir pada metode A lebih tinggi dibandingkan metode B.
21 9.00
11.00
b. 10.00
TPC Khamir (log cfu/gram sampel)
TPC BAL (log cfu/gram sampel)
a. 8.00
.
7.00 6.00 5.00
metode A
4.00 Metode B
3.00 2.00 1.00 0.00 T1
T2
T3
T4
T5
9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
Metode A Metode B
T1
T2
T3
T4
T5
Tahap Produksi Tempe
Tahap Produksi Tempe
T1: Awal perendaman kedelai, T2: Akhir perendaman kedelai, T3: Setelah pemberian inokulum/ awal inkubasi tempe, T4: Pertengahan inkubasi tempe dan T5: Akhir inkubasi tempe/ tempe segar.
Gambar 6 Dinamika jumlah koloni BAL (a) dan khamir (b) pada 5 tahap produksi tempe metode A dan metode B
Dinamika keragaman selama produksi tempe Selama proses produksi tempe, terdapat hanya satu ukuran hasil amplifikasi DNA (amplikon) daerah V1 dan V3 16S rRNA BAL, yaitu fragmen dengan ukuran sekitar 740 bp (Gambar 7.a). Amplikon kompleks ITS dan daerah 5.8S rRNA khamir berbeda dengan daerah V1 dan V3 16S rRNA BAL. Satu sampai dua fragmen (Gambar 7.b) dapat ditemukan pada tahap tertentu produksi tempe, tapi secara keseluruhan sekitar lima fragmen dengan ukuran mulai dari 385 bp hingga 717 bp telah terdeteksi dari semua tahap dan kedua metode produksi tempe. Ukuran fragmen dapat sama atau bervariasi di antara tahap satu dan lainnya dan di antara metode produksi tempe.
a. II
b.
T1-T5: tahap produksi tempe; M: standar molekular (O‟RangeRulerTM 50 bp DNA Ladder dari Fermentas, USA).
Gambar 7 Hasil amplifikasi PCR daerah V1-V3 16S rRNA BAL (a) dan hasil amplifikasi PCR daerah ITS1-5.8S rRNA-ITS2 khamir (b) setelah pencawanan selama produksi tempe metode A (A) dan metode B (B) Hasil Keragaman amplifikasi DNA V1-V3T-RFLP 16S rRNA BAL selama produksi tempehasil dari fragmen TRF daerah hasil analisis lebih bervariasi amplikon DNA. Selanjutnya keragaman TRF ini disebut sebagai filotipe, baik untuk BAL maupun khamir. Pada analisis keragaman berdasarkan pencawanan ditemukan jumlah filotipe BAL dan khamir selama produksi tempe dinamis dari satu tahap ke tahap lainnya dan berbeda pada kedua metode produksi tempe (Lampiran 5 dan 6, Gambar 8). Pada metode A, jumlah filotipe BAL disetiap
22 tahap produksi tempe berkisar antara 6 hingga 54, sedangkan pada metode B antara 10 hingga 12 filotipe BAL. Jumlah filotipe BAL tertinggi, ditemukan pada tahap T3 metode A yaitu 54 filotipe BAL. Jumlah filotipe khamir tidak seperti jumlah filotipe BAL, jumlah filotipe khamir tertinggi ditemukan pada tahap T2 metode B yaitu 55 filotipe khamir. Jumlah filotipe khamir pada metode B berkisar antara 9 hingga 55, sedangkan pada metode A berkisar dari 8 sampai 11 filotipe khamir. Jumlah filotipe yang hadir disetiap tahap produksi tempe, adalah hasil dari jumlah filotipe pada tahap sebelumnya dikurangi jumlah filotipe yang menghilang dibandingkan satu tahap sebelumnya, ditambah jumlah filotipe baru ditemukan (belum pernah terdeteksi pada tahap sebelumnya) ditambah jumlah filotipe ditemukan kembali (yaitu filotipe yang sudah pernah terdeteksi sebelumnya). Pada T2 metode A, 8 filotipe khamir ditemukan di tahap T1. Dari T1 ke T2 dua filotipe menghilang dan 5 filotipe baru (belum pernah terdeteksi pada tahap sebelumnya) terdeteksi. Pada periode ini, filotipe ditemukan kembali tidak ada (0). Akibatnya pada T2 filotipe khamir ditemukan ialah 11, yaitu hasil dari 8 – 2 + 5 0 (Gambar 8B dan Tabel 2). Jumlah filotipe ditemukan kembali hanya pada tahap T3, T4 dan T5, dan tidak ditemukan (0) pada tahap T1 dan T2 (Tabel 1 dan 2). Fenomena dinamika filotipe ditemukan dan menghilang dari satu tahap ke tahap yang lainnya dalam jumlah tertentu, terjadi pada khamir dan BAL, baik pada metode A maupun metode B (Tabel 1 dan 2). Adanya fenomena dinamika filotipe akibat sejumlah filotipe ditemukan dan pada saat yang sama sejumlah filotipe menghilang dari satu tahap ke tahap lainnya, mengungkapkan bahwa BAL dan khamir juga dinamis dalam hal kehadiran filotipenya.
a
b
60
50
40
Metode A Metode B
30
20
Jumlah Filotipe Khamir
50
Jumlah Filotipe BAL
60
40 30 Metode A 20
Metode B
10
10
0
0 T1
T2
T3
Tahap Produksi Tempe
T4
T5
T1
T2
T3
T4
T5
Tahap Produksi TTempe
T1: Awal perendaman kedelai, T2: Akhir perendaman kedelai, T3: Setelah pemberian inokulum/ awal inkubasi tempe, T4: Pertengahan inkubasi tempe dan T5: Akhir inkubasi tempe/ tempe segar.
Gambar 8 Dinamika jumlah filotipe BAL (a) dan khamir (b) setelah pencawanan selama produksi tempe metode A dan metode B
23 Tabel 1 Dinamika jumlah filotipe BAL setelah pencawanan selama produksi tempe metode A dan metode B Jumlah filotipe BAL terdeteksi Pada masing-masing tahap Pada satu tahap sebelumnya Menghilang dibanding satu tahap sebelumnya Baru ditemukan (Belum pernah terdeteksi pada tahap sebelumnya) Ditemukan kembali (Sudah pernah terdeteksi pada tahap sebelumnya)
Metode A Tahap produksi tempe T1 T2 T3 T4 16 13 54 6 0 16 13 54 0 6 4 51
T5 9 6 4
Metode B Tahap produksi tempe T1 T2 T3 T4 11 10 11 11 0 11 10 11 0 4 8 5
T5 12 11 4
16
3
43
3
4
11
3
9
0
2
0
2
0
3
0
0
0
0
5
3
T1: Awal perendaman kedelai, T2: Akhir perendaman kedelai, T3: Setelah pemberian inokulum/ awal inkubasi tempe, T4: Pertengahan inkubasi tempe dan T5: Akhir inkubasi tempe/ tempe segar.
Perbandingan jumlah filotipe dan filotipe spesifik metode serta filotipe umum selama produksi tempe metode A dan metode B Filotipe BAL dan khamir tertentu merupakan filotipe umum pada kedua metode produksi tempe sementara yang lain merupakan filotipe spesifik untuk metode tertentu. Jumlah filotipe BAL pada semua tahap produksi tempe metode A ialah 69, sedangkan pada metode B ialah 25. Pada kedua metode produksi tempe ditemukan 12 filotipe umum. Oleh karena itu, ada 57 filotipe BAL spesifik untuk produksi tempe metode A dan 13 filotipe BAL spesifik untuk metode B (Gambar 9). Pola serupa juga ditemukan pada filotipe khamir. Sekitar 11 dari 26 filotipe khamir pada produksi tempe metode A, merupakan filotipe spesifik untuk metode A dan 62 dari 77 filotipe khamir metode B, merupakan filotipe spesifik untuk metode B. Sekitar 15 filotipe khamir merupakan filotipe umum yang ditemukan di kedua metode produksi tempe (Gambar 9 ). Tabel 2 Dinamika jumlah filotipe khamir setelah pencawanan selama produksi tempe metode A dan metode B Jumlah filotipe khamir terdeteksi Pada masing-masing tahap Pada satu tahap sebelumnya Menghilang dibanding satu tahap sebelumnya Baru ditemukan (Belum pernah terdeteksi pada tahap sebelumnya) Ditemukan kembali (Sudah pernah terdeteksi pada tahap sebelumnya)
Metode A Tahap produksi tempe T1 T2 T3 T4 8 11 10 9 0 8 11 10 0 2 9 6
T5 8 9 2
Metode B Tahap produksi tempe T1 T2 T3 T4 16 55 10 11 0 16 55 10 0 7 50 9
T5 9 11 6
8
5
8
5
0
16
46
5
8
2
0
0
0
0
1
0
0
2
2
0
T1: Awal perendaman kedelai, T2: Akhir perendaman kedelai, T3: Setelah pemberian inokulum/ awal inkubasi tempe, T4: Pertengahan inkubasi tempe dan T5: Akhir inkubasi tempe/ tempe segar.
24
Jumlah filotipe BAL = 82 A=69
B= 25
Jumlah filotipe khamir = 88 A=26
B=77
Gambar 9 Perbandingan jumlah filotipe BAL dan khamir pada produksi tempe metode A (....A) dan metode B ( B), jumlah filotipe BAL dan khamir spesifik metode tertentu (.... atau ) dan filotipe umum kedua metode (..... dan ) Analisis Metagenom Selama Produksi Tempe Dinamika keragaman BAL dan khamir selama produksi tempe Sama halnya dengan analisis setelah pencawanan, keragaman fragmen amplikon daerah V1 dan V3 16S rRNA BAL metagenom, juga hanya ada satu ukuran fragmen. Selama produksi tempe hanya ada satu fragmen, yaitu fragmen dengan ukuran sekitar 740 bp (Gambar 10). Amplikon kompleks ITS dan daerah 5.8S rRNA khamir lebih bervariasi pada panjang fragmen. Ukuran fragmen amplikon ITS khamir analisis metagenom sedikit berbeda dengan ukuran fragmen analisis pencawanan. Satu sampai tiga fragmen (Gambar 11) dapat ditemukan pada tahap tertentu produksi tempe. Secara keseluruhan sekitar tujuh fragmen dengan ukuran mulai dari 326 bp hingga 720 bp telah terdeteksi dari semua tahap dan kedua metode produksi tempe. Ukuran fragmen ini juga dapat sama atau bervariasi di antara tahap satu dan lainnya dan di antara metode produksi tempe.
T1-T5: tahap produksi tempe; M: standar molekular (O‟RangeRulerTM 50 bp DNA Ladder dari Fermentas, USA).
Gambar 10 Hasil amplifikasi PCR daerah V1-V3 16S rRNA BAL pada metagenom sampel selama produksi tempe
25
T1-T5: tahap produksi tempe; M: standar molekuler (O‟RangeRulerTM 50 bp DNA Ladder dari Fermentas, USA).
Gambar 11 Hasil amplifikasi PCR daerah ITS1-5.8S rRNA-ITS2 khamir pada metagenom sampel selama produksi tempe pada metode A (A) dan metode B (B) Sama halnya dengan analisis pencawanan jumlah filotipe lebih dapat menggambarkan keragaman dan lebih bervariasi dari fragmen amplikon DNA. Pada analisis metagenom, jumlah filotipe BAL di setiap tahap produksi tempe metode A berkisar 6 hingga 17 dan setiap tahap produksi tempe metode B berkisar 8 hingga 19 filotipe BAL (Gambar 12a dan Tabel 3). Jumlah filotipe BAL sangat berbeda di awal perendaman kedelai (T1) pada kedua metode produksi tempe. Jumlah filotipe BAL tertinggi pada metode B terjadi pada tahap T1, sementara pada tahap yang sama pada metode A merupakan jumlah filotipe BAL terkecil. Selanjutnya jumlah filotipe ini berfluktuasi dari satu tahap ke tahap lainnya. Pada tahap T5, baik pada produksi tempe metode A maupun B terdapat jumlah filotipe yang sama (7 filotipe), namun terdiri atas filotipe yang berbeda (Lampiran 9). Dinamika filotipe karena adanya beberapa filotipe baru atau beberapa filotipe menghilang juga terjadi dari satu tahap ke tahap lainnya dan disajikan pada Tabel 3. Jumlah filotipe khamir selama produksi tempe metode A berkisar 5 hingga 17 dan relatif sama dengan jumlah keragaman filotipe selama produksi tempe metode B yaitu 6 hingga 17 filotipe khamir (Gambar 12b dan Tabel 4). Jumlah filotipe khamir pada kedua metode produksi tempe sama di awal perendaman kedelai (T1) dan kemudian berfluktuasi pada tahap selanjutnya (Gambar 12b). Jumlah filotipe khamir tertinggi terdapat pada tahap yang berbeda pada kedua metode produksi tempe. Pada metode A, jumlah filotipe tertinggi dengan jumlah 17 filotipe khamir terjadi pada tahap T3, tetapi pada metode B jumlah filotipe khamir tertinggi terjadi pada tahap T5. Perbedaan utama antara populasi khamir pada kedua metode produksi tempe terjadi pada T5 ini. Pada T5 metode A merupakan jumlah filotipe terendah sementara pada metode B, Tahap T5 merupakan jumlah filotipe yang tertinggi. Keragaman filotipe pada analisis metagenom juga dinamis dalam kehadiran filotipe dari satu tahap ke tahap lainnya. Beberapa filotipe baru ditemukan dan pada saat yang sama beberapa filotipe menghilang dibanding tahap sebelumnya. Dinamika jumlah filotipe ini ditampilkan pada Tabel 3 untuk BAL dan pada Tabel 4 untuk khamir.
26 Perbandingan jumlah filotipe dan filotipe spesifik metode serta filotipe umum selama produksi tempe metode A dan metode B Filotipe BAL tertentu umum ditemukan di kedua metode produksi tempe, sementara filotipe lainnya spesifik untuk metode tertentu (metode A saja atau B saja). Di antara 39 dari keseluruhan jumlah filotipe BAL pada semua tahap dan kedua metode produksi tempe, hanya ada 4 filotipe BAL yang umum pada kedua metode produksi tempe. Pada produksi tempe metode A ada 11 filotipe BAL spesifik yang hanya ditemukan selama produksi tempe metode A, sedangkan pada produksi tempe metode B ada 24 filotipe BAL spesifik yang hanya ditemukan pada produksi tempe metode B (Gambar 13) Filotipe khamir tertentu juga umum ditemukan pada kedua metode produksi tempe, sementara filotipe lainnya spesifik untuk metode tertentu (metode A saja atau B saja). Secara keseluruhan jumlah filotipe khamir pada semua tahap dan kedua metode produksi tempe ialah 43 filotipe. Pada metode A ada 21 filotipe khamir, sedangkan pada metode B ada 30 filotipe khamir. Sembilan dari 43 filotipe khamir merupakan filotipe umum pada kedua metode. Oleh karena itu, hanya ada 13 filotipe khamir yang spesifik untuk produksi tempe metode A dan 21 lainnya spesifik untuk metode B (Gambar 13). 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
b
18 16 14
Metode A Metode B T1
T2
T3
T4
T5
Jumlah filotipe khamir
Jumlah Filotipe BAL
a
12 10 8 6 4
Metode A
2
Metode B
0 T1
T2
T3
T4
T5
Tahap produksi Tempe Tahap Produksi Tempe T1: Awal perendaman kedelai, T2: Akhir perendaman kedelai, T3: Setelah pemberian inokulum/ awal inkubasi tempe, T4: Pertengahan inkubasi tempe dan T5: Akhir inkubasi tempe/ tempe segar)
Gambar 12 Dinamika jumlah filotipe BAL (a) dan khamir (b) pada metagenom sampel selama produksi tempe metode A dan metode B
Filotipe BAL dan khamir spesifik, unik dan umum tahapan dan metode tertentu Di antara 39 jumlah filotipe BAL yang ditemukan selama produksi tempe metode A dan B (Lampiran 9), beberapa filotipe benar-benar spesifik hanya pada satu tahap dan metode tertentu saja (filotipe BAL spesifik tahapan), tetapi beberapa filotipe lainnya tersebar di dua atau lebih tahap produksi tempe, pada satu metode produksi tempe dan/atau pada kedua metode produksi tempe. Di antara 39 filotipe BAL pada penelitian ini, 20 filotipe adalah filotipe spesifik tahapan. Filotipe-filotipe ini ditemukan spesifik hanya pada satu tahap dan pada satu metode produksi tempe (Tabel 5). Sementara 19 filotipe BAL lainnya
27 ditemukan tersebar pada dua atau lebih tahap produksi tempe, pada satu atau kedua metode produksi tempe (Gambar 13). Tabel 3 Dinamika jumlah filotipe BAL pada metagenom sampel selama produksi tempe metode A dan metode B Jumlah filotipe BAL terdeteksi Pada masing-masing tahap pada satu tahap sebelumnya Menghilang dibanding satu tahap sebelumnya Baru ditemukan (Belum pernah trdeteksi pada tahap sebelumnya) Ditemukan kembali (Sudah pernah terdeteksi pada tahap sebelumnya)
Metode A Tahap produksi tempe T1 T2 T3 T4 6 6 9 11 0 6 6 9 0 2 1 3
T5 7 11 4
Metode B Tahap produksi tempe T1 T2 T3 T4 19 9 8 9 0 19 9 8 0 14 2 0
T5 7 9 7
6
2
4
3
0
19
4
0
1
4
0
0
0
2
0
0
0
1
0
1
T1: Awal perendaman kedelai, T2: Akhir perendaman kedelai, T3: Setelah pemberian inokulum/ awal inkubasi tempe, T4: Pertengahan inkubasi tempe dan T5: Akhir inkubasi tempe/ tempe segar).
Tabel 4 Dinamika jumlah filotipe khamir pada metagenom sampel selama produksi tempe metode A dan metode B Jumlah filotipe khamir Terdeteksi Pada masing-masing tahap pada satu tahap sebelumnya Menghilang dibanding satu tahap sebelumnya Baru ditemukan (Belum pernah trdeteksi pada tahap sebelumnya) Ditemukan kembali (Sudah pernah terdeteksi pada tahap sebelumnya)
Metode A Tahap produksi tempe T1 T2 T3 T4 12 12 17 14 0 12 12 17 0 6 2 7
T5 5 14 13
Metode B Tahap produksi tempe T1 T2 T3 T4 12 10 6 10 0 12 10 6 0 2 7 3
T5 17 10 3
12
6
2
2
0
12
2
2
6
10
0
0
5
2
4
0
0
1
1
0
T1: Awal perendaman kedelai, T2: Akhir perendaman kedelai, T3: Setelah pemberian inokulum/ awal inkubasi tempe, T4: Pertengahan inkubasi tempe dan T5: Akhir inkubasi tempe/ tempe segar.
Satu hal yang sangat menarik dan unik adalah 5 di antara 19 filotipe BAL yang tersebar pada dua atau lebih tahapan produksi tempe ini ialah filotipe 50, 64, 121, 164 dan 176 bp (Gambar 14). Filotipe BAL 64, 121 dan 164 bp adalah filotipe spesifik pada produksi tempe metode A dan ditemukan mulai dari tahap T1 hingga T5, sementara dua filotipe lainnya yaitu 50 dan 178 bp spesifik pada metode B dan ditemukan selama produksi tempe metode B, mulai dari tahap T1 hingga T5. Filotipe-filotipe ini unik untuk metode tertentu karena hanya terdapat pada salah satu dari dua metode produksi tempe dan ditemukan selama produksi tempe. Filotipe 64, 121 dan 164 bp adalah filotipe BAL unik metode A dan filotipe 50 dan 178 bp adalah filotipe BAL unik metode B.
28 Jumlah Filotipe BAL = 39 A=15
Jumlah Filotipe Khamir = 43
B=28
A=22
B=30
Gambar 13 Perbandingan jumlah filotipe BAL dan khamir pada tempe metode A (....A) dan metode B ( B), jumlah filotipe BAL dan khamir spesifik metode tertentu ( .... atau ) dan filotipe umum kedua metode ( .....dan )
Tabel 5 Dua puluh filotipe BAL yang spesifik pada satu tahap dan metode produksi tempe tertentu No
Spesifik pada tahap
Jumlah
Keragaman
dan metode produksi
filotipe
filotipe BAL (bp)
tempe tertentu 1
Tahap T3 Metode A
3
534, 566, 578
2
Tahap T4 Metode A
2
51, 577
3
Tahap T1 Metode B
9
62, 68, 71, 74, 83, 84, 509, 539, 555
4
Tahap T2 Metode B
1
584
5
Tahap T4 Metode B
1
583
6
Tahap T5 Metode B
4
135, 263, 522, 538
T1: Awal perendaman kedelai, T2: Akhir perendaman kedelai, T3: Setelah pemberian inokulum/ awal inkubasi tempe, T4: Pertengahan inkubasi tempe dan T5: Akhir inkubasi tempe/ tempe segar).
Selama produksi tempe metode A dan B ditemukan 43 filotipe khamir (Lampiran 11). Enam belas filotipe khamir di antaranya benar-benar spesifik hanya pada tahap dan metode tertentu (filotipe spesifik tahapan) dan ditampilkan pada Tabel 6. Filotipe lainnya (27 filotipe), tersebar pada dua atau lebih tahap produksi tempe, pada satu metode produksi tempe atau pada kedua metode produksi tempe (Gambar 15). Berbeda dengan filotipe BAL, filotipe khamir unik metode tidak ada. Filotipe khamir yang terdapat mulai tahap T1 hingga T5 dan hanya pada salah satu dari dua metode produksi tempe tidak ada. Pada kedua metode produksi tempe, ditemukan dua filotipe khamir yang benar-benar umum. Filotipe-filotipe ini benar-benar umum karena ditemukan di 3 tahap metode A dan 4 tahap di metode B. Filotipe khamir benar-benar umum tersebut yaitu filotipe 114 dan 161 bp (Gambar 15).
29
-T5: 12
Keragaman Filotipe
10 Jumlah filotipe BAL
8 6 4 2 0 T1
T2
T3
T4
T5
Tahap produksi tempe metode A
T1
T2
T3
T4
T5
Tahap produksi tempe metode B
588 570 557 523 177 164 73 65 60 50
580 559 536 178 167 121 70 64 59
Warna yang sama menerangkan filotpe yang sama dan warna yang berbeda menerangkan flotipe yang berbeda. T1: Awal perendaman kedelai, T2: Akhir perendaman kedelai, T3: Setelah pemberian inokulum/ awal inkubasi tempe, T4: Pertengahan inkubasi tempe dan T5: Akhir inkubasi tempe/ tempe segar).
Gambar14 Sembilan belas filotipe BAL yang tersebar pada dua atau lebih tahap produksi tempe, disalah satu metode dan/atau pada kedua metode produksi tempe.
-T5:
Keragaman Filotipe
18
Jumlah Filotipe Khamir
16 14 12 10 8 6 4 2 0 T1
T2
T3
T4
T5
Tahap Produksi Tempe Metode A
T1
T2
T3
T4
T5
Tahap Produksi Tempe Metode B
483 475 440 391 373 365 308 194 161 134 115 112 103 63
478 442 403 390 371 349 197 162 148 116 114 106 100
Warna yang sama menerangkan filotpe yang sama dan warna yang berbeda menerangkan flotipe yang berbeda. T1: Awal perendaman kedelai, T2: Akhir perendaman kedelai, T3: Setelah pemberian inokulum/ awal inkubasi tempe, T4: Pertengahan inkubasi tempe dan T5: Akhir inkubasi tempe/ tempe segar).
Gambar 15 Dua puluh tujuh filotipe khamir yang tersebar pada dua atau lebih tahap produksi tempe, disalah satu metode atau dikedua metode produksi tempe
30 Tabel 6 Enam belas filotipe khamir yang spesifik pada satu tahap dan metode produksi tempe tertentu No
Spesifif pada tahap
Jumlah
Keragaman
dan metode produksi
filotipe
filotipe khamir (bp)
tertentu 1
Tahap T1 Metode A
1
107
2
Tahap T4 Metode A
2
298, 411
3
Tahap T1 Metode B
1
441
4
Tahap T4 Metode B
2
378, 451
5
Tahap T5 Metode B
10
109, 368, 369, 370, 372, 377, 419, 420, 432, 450
T1: Awal perendaman kedelai, T2: Akhir perendaman kedelai, T3: Setelah pemberian inokulum/ awal inkubasi tempe, T4: Pertengahan inkubasi tempe dan T5: Akhir inkubasi tempe/ tempe segar)
Pengelompokan semua filotipe BAL dan khamir selama produksi tempe berdasarkan indek kesamaan dan ketidaksamaan Seluruh filotipe BAL dan khamir yang terdapat disetiap tahap produksi tempe dan pada kedua metode produksi tempe (metode A dan B) dapat dikelompokkan berdasarkan indek kesamaan dan indek ketidaksamaan filotipe. Filotipe-filotipe BAL pada produksi tempe metode A memiliki kesamaan yang tinggi antara satu tahap dan tahap lainnya. Indek kesamaan tertinggi terdapat antara filotipe BAL pada T1 dengan T5. Filotipe-filotipe metode A ini membentuk komunitas yang mengelompok dan berbeda dengan komunitas BAL pada metode B. Filotipe-filotipe BAL pada tahap T1 metode B membentuk sebuah komunitas yang terpisah jauh dari 4 komunitas metode B lainnya (T2, T3, T4 dan T5) dan semua komunitas di metode A, namun indek ketidak samaan mereka masih dibawah 50% (Gambar 16).
A dan B = metode produksi tempe, T-T5 = tahap pada produksi tempe
Gambar 16 Analisis cluster komunitas BAL pada berbagai tahap dan metode produksi tempe ).
31
A dan B = metode produksi tempe, T-T5 = tahap pada produksi tempe
Gambar 17 Analisis cluster komunitas khamir pada berbagai tahap dan metode produksi tempe Berdasarkan indeks kesamaan, filotipe khamir pada produksi tempe metode A dapat dibagi menjadi dua kelompok komunitas. Komunitas pertama terdiri atas filotipe di tahap T1, T2, T3 dan T4. Komunitas kedua terdiri atas filotipe pada T5. Komunitas khamir pada tahap T5 metode A ini lebih dekat ke komunitas khamir T3 produksi tempe metode B. Sementara komunitas khamir pada produksi tempe metode B dibentuk oleh tiga kelompok komunitas. Mereka adalah filotipe pada T4 dan T5 membentuk sebuah komunitas yang hampir eksklusif (> 75%) berbeda dari komunitasi tahap lainnya pada metode B atau metode A. Namun, komunitas khamir T1 dan T2 produksi tempe metode B hampir sama (Gambar 17 ). Analisis kelimpahan relatif filotipe Analisis T-RFLP metagenom selain dapat mendeteksi hadir atau tidak nya suatu filotipe (kualitatif) juga dapat mendeteksi kekayaan suatu filotipe sebagai kelimpahan relatif (kuantitatif). Analisis kuantitatif digunakan untuk mendeteksi perubahan kelimpahan relatif satu filotipe tertentu selama produksi tempe dan kelimpahan satu filotipe antara filotipe lainnya pada tahap produksi tempe yang sama. Kelimpahan relatif setiap filotipe BAL disetiap tahap dan pada kedua metode produksi tempe (Lampiran 9 dan Gambar 18) dan untuk filotipe khamir Lampiran 11 dan Gambar 19). Kelimpahan relatif satu filotipe tidak selalu sama pada dua atau lebih tahap produksi tempe, tetapi dinamis dari satu tahap ke tahap berikutnya. Sebagai contoh filotipe BAL 64 bp. Filotipe BAL 64 bp ini hadir dari tahap T1 hingga T5 pada produksi tempe metode A. Kelimpahan relatif filotipe ini pada tahap T1 ialah 41% dan kemudian meningkat menjadi 60% pada tahap T2. Pada tahap T3, kelimpahan relatif filotipe ini turun menjadi 48% dan kembali meningkat pada tahap T4 menjadi 66%. Pada tempe segar atau tahap T5, kelimpahan relatif filotipe ini masih cukup tinggi yaitu 31%. Kelimpahan relatif suatu filotipe yang dinamis atau berfluktuasi dari satu tahap ke tahap lain ini, juga terjadi pada filotipe lainnya, baik pada filotipe BAL maupun filotipe khamir (Gambar 18 dan Gambar 19).
32
% Kelimlpahan Relatif @ Filotipe
120.0 100.0
1 16
80.0 60.0
11 25
7
8
19
31
25
11 2
10
14
7 10
28
25
29 54
39 7
40.0 60 20.0
41
9
30
67 48 31
41
37
31
T3
T4
18 0.0 T1
T2
T3
T4
T5
Tahap Produksi Tempe Metode A
T1
T2
Keragaman Filotipe (bp) 588 583 25 577 2 559 539 178 70 164 121 65 64 0.3 T5 50
Tahap Produksi tempe Metode B
Warna yang sama menerangkan filotpe yang sama dan warna yang berbeda menerangkan flotipe yang berbeda. T1: Awal perendaman kedelai, T2: Akhir perendaman kedelai, T3: Setelah pemberian inokulum/ awal inkubasi tempe, T4: Pertengahan inkubasi tempe dan T5: Akhir inkubasi tempe/ tempe segar).
Gambar 18 Kelimpahan relatif masing-masing filotipe BAL yang terdapat pada setiap tahap dan kedua metode produksi tempe
Berdasarkan Gambar 18 dan Gambar 19 dapat dilihat bahwa pada setiap tahap produksi tempe hanya ada 2 hingga 4 filotipe saja yang hadir dengan kelimpahan relatif lebih dari 10%, sedangkan filotipe lain hadir dalam kelimpahan kecil. Berdasarkan Gambar 12a diketahui pada tahap T1 produksi tempe metode B terdapat 19 filotipe BAL, tapi hanya 3 filotipe yaitu filotipe 588, 539 dan 50 bp yang hadir dengan kelimpahan relatif lebih dari 10% berturut-turut 31%, 11% dan 41% (Gambar 18). Sebanyak 16 filotipe lainnya hadir dengan kelimpahan relatif kecil dengan rata-rata + 1% (16 filotipe BAL dengan kelimpahan relatif 17%). Gambar 18 menunjukkan bahwa filotipe BAL dengan kelimpahan relatif lebih dari 10% pada setiap tahap metode produksi tempe A adalah 3 filotipe BAL unik metode A, kecuali filotipe 65 pb di tahap T1. Ketiga filotipe unik metode A ini hadir disemua tahap produksi tempe metode A, dimulai dari tahap T1 hingga T5. (Gambar 14). Tiga filotipe unik metode A ini yaitu filotipe 64, 121 dan 264 bp. Ketiga filotipe ini hadir disemua tahap produksi dengan kelimpahan yang cukup tinggi dan berkontribusi lebih dari 50% pada tahap T1 dan lebih dari 80% pada tahap T2 hingga T5 pada produksi tempe metode A. Filotipe-filotipe ini dominan di setiap tahap metode A dan selama produksi tempe metode A. Filotipe BAL unik metode B yaitu filotipe 50 dan 178 bp yang juga hadir dari tahap T1 hingga T5 produksi tempe metode B, tidak terlalu dominan disetiap tahap metode B dan hanya berkontribusi lebih 40% pada tahap T1-T4 dan dengan kelimpahan yang sangat rendah pada tahap T5. Dua filotipe khamir (yaitu filotipe 442 dan 475 bp) dari 13 filotipe spesifik metode A dan dua filotipe (391 dan 403) dari 21 filotipe spesifik metode B, hadir
33 dengan kelimpahan relatif cukup tinggi (Gambar 19). Filotipe spesifik metode A hadir pada 4 dari 5 tahap produksi tempe metode A dan berkontibusi lebih dari 35 % di 3 tahap produksi tempe metode A, sementara filotipe spesifik metode B hanya hadir di tahap T4 dan T5 namun berkontribusi 49 dan 57% pada tahap T4 dan T5 metode B tersebut.
% Kelimpahan Relatif @ Filotipe
100% 90% 80% 70%
24.
24
18
28 14
23
25 15
50% 40% 20%
47
10%
71
31
26
29
403
83 51.
41
12
14
4
2
T2
442
70
T3
T4
Tahap Produksi Tempe metode A
Stage of Method A
391
42 23
T5
T1
T2
T3
T4
371 161
1
0% T1
475
41
11
60%
30%
Keragaman Filotipe (bp)
1
T5
Tahap Produksi Tempe metode B
114
Stage of Method B
Warna yang sama menerangkan filotpe yang sama dan warna yang berbeda menerangkan flotipe yang berbeda. T1: Awal perendaman kedelai, T2: Akhir perendaman kedelai, T3: Setelah pemberian inokulum/ awal inkubasi tempe, T4: Pertengahan inkubasi tempe dan T5: Akhir inkubasi tempe/ tempe segar).
Gambar 19 Kelimpahan relatif masing-masing filotipe khamir yang terdapat pada setiap tahap dan kedua metode produksi tempe
Pada umumnya filotipe khamir yang hadir dengan kelimpahan sangat tinggi adalah filotipe benar-benar umum pada kedua metode (metode A dan B). Dua filotipe khamir tersebut yaitu filotipe dengan panjang fragmen 114 bp dan 161 bp. Filotipe ini hadir pada tiga tahap pada metode A dan empat tahap pada metode B. Filotipe ini domin dengan kelimpahan relatif dapat mencapai 83% tergantung tahap produksi tempe (Gambar 19) Perbandingan Filotipe Culturable dan Filotipe Unculturable dan Jumlah Total Filotipe Selama Produksi Tempe Analisis T-RFLP metagenom mampu mendeteksi baik mikrob culturable dan unculturable. Penerapan analisis T-RFLP metagenom dan analisis T-RFLP setelah pencawanan mampu mendeteksi 100 filotipe BAL selama produksi tempe pada kedua metode produksi tempe (Lampiran 13). Di antara 100 filotipe BAL, 18 filotipe BAL adalah filotipe unculturable, 21 filotipe BAL lainnya adalah filotipe culturable yang dapat dideteksi baik dengan analisis T-RFLP setelah pencawanan maupun T-RFLP metagenom (Gambar 20). Sementara penerapan analisis T-RFLP metagenom dan analisis T-RFLP setelah penawanan mampu mendeteksi 104 filotipe khamir (Lampiran 15), yang terdiri atas 88 filotipe khamir culturable dan 27 filotipe di antaranya adalah filotipe yang dapat dideteksi baik dengan analisis
34 T-RFLP setelah penawanan maupun R-RFLP metagenom. Penelitian ini hanya mampu mendeteksi 16 filotipe khamir unculturable (Gambar 21).
Jumlah total filotipe BAL = 100 Jumlah filotipe culturable BAL = 82 Jumlah filotipe unculturable BAL = 18 Jumlah filotipe culturable BAL yang terdeteksi dengan dua analisis T-RFLP ( metagenom dan setelah pencawanan =21
Gambar 20 Jumlah total filotipe BAL, perbandingan jumlah filotipe BAL culturable dan unculturable selama produksi tempe
Jumlah total filotipe khamir = 104 Jumlah filotipe culturable khamir = 88 Jumlah filotipe unculturable khamir = 16 Jumlah filotipe culturable khamir yang terdeteksi dengan dua analisis T-RFLP ( metagenom dan setelah pengayaan) =27
Gambar 21 Perbandingan jumlah filotipe khamir culturable selama produksi tempe
dan unculturable
Identifikasi Filotipe Selama Produksi Tempe Sebagian besar Filotipe BAL tidak dapat diidentifikasi mengacu pada database yang ada. Di antara tiga filotipe unik produksi tempe metode A dan dua filotipe unik produksi tempe metode B hanya filotipe 178 bp yang mampu diidentifikasi yaitu sebagai Lactobacillus delbrueckii subsp delbrueckii. Filotipe ini hanya diperoleh dengan analisis T-RFLP metagenom, tanpa proses pencawanan. Beberapa filotipe lain yang termasuk dalam genera Aerococcus , Enterococcus, Lactobacillus, Leuconostoc Streptococcus dan Weissella juga dapat diidentifikasi baik selama produksi tempe metode A maupun metode B, baik filotipe yang diperoleh dengan analisis T-RFLP setelah pencawanan maupun T-
35 RFLP metagenom (Tabel 7). Filotipe khamir tidak dapat diidentifikasi menggunakan program MICA 3, karena MICA 3 lebih diperuntukkan untuk mengidentifikasi database prokaryot. Penggunaan program lain dibatasi oleh ketidak mampuan dalam menguasai program-program bioinformatika lainnya. Tabel 7 . Identifikasi filotipe BAL selama produksi tempe dengan metode A dan B No
Filotipe (bp)
1 2
65 81
3
4 5
6 7
8
9 10
11
12
13 14 15 16 17
18 19
Hasil Identifikasi
Metode A Tahap produksi tempe
Lactobacillus faeni Streptococcus dysgalactiae subsp. 147 Staphylococcus carnosus subsp. carnosus 148 Aerococcus urinae 178 Lactobacillus delbrueckii subsp. delbruekii 555 Leuconostoc lactis/ Aerococcus viridans 557 Leuconostoc gasicomitatum/ L. kimchii 559 Leuconostoc mesenteroides / L. citrum. 566 Enterococcus faecalis 570 Lactobacillus salivarius/ L. murinus. 571 Lactobacillus farciminis/ L.alimentarius 572 Lactobacillus plantarum/ L. brevis. 577 Lactobacillus sharpeae 578 Lactobacillus sakei/ L. amylophilus 580 Lactobacillus hilgardii 584 Weissella halotolerans. 706 Lactobacillus delbrueckii subsp bulgaricus 709 Lactobacillus casei 712 Lactobacillus casei Jumlah filotipe yang teridentifikasi Jumlah filotipe yang tidak teridentifikasi Jumlah total filotipe pada tahap
Catatan : + = hadir
T1 T2 +(39) -
Metode B Tahap produksi tempe
T3 +
T4 -
T5 + -
T1 (0.1) -
T2 + -
T3 +(3) -
-
-
+
-
-
-
-
-
+ -
-
-
+(2)
-
-
-
-
-
+(4.2)
-
-
-
-
-
-
-
+(7)
-
-
-
-
-
-
-
-
+(0.7) -
-
-
+ (1)
+
+
+
-
-
-
-
-
+
-
-
+ -
+ -
+(0.3) + -
+ -
+ -
-
-
+(0.5) -
-
T4 +(5) -
-
+(30)
(28)
T5 + -
-
(25)
-
-
(2)
-
-
+ (5)
+ (4)
-
+(10)
+(6)
+(3)
-
+ (7)
+ (4)
+ (5)
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ -
-
-
-
-
+
-
+ +
+(0.4) + -
+(0.7) +(0.5) -
-
+ -
+ -
-
+
+
+
-
-
-
4
3
7
2
4
9
8
5
7
4
16
14
53
13
11
18
9
10
9
14
20
17
60
15
15
27
17
15
16
18
- = tidak hadir
(....) = kelimpahan relatif dan terdeteksi dengan analisis metagenom
36 Pembahasan Analisis Pencawanan Selama Produksi Tempe Dinamika populasi selama produksi tempe Pada tempe tradisional ditemukan beragam mikrob, baik efek yang meningkatkan atau menurunkan kualitas tempe. BAL dan khamir merupakan bagian dari komunitas mikrob di tempe. Keberadaan mikrob ini telah dilaporan oleh beberapa peneliti. Sejak Nout et al. (1985) dan Samson et al. (1987) menemukan mikrob ini pada tempe, penelitian tentang mikrob ini masih sedikit dilakukan, terutama untuk produksi tempe oleh pengrajin Indonesia. Pada penelitian ini BAL dan khamir merupakan bagian komunitas mikrob yang umum selama produksi tempe dan tetap ada pada produk tempe segar. Mikrob ini ditemukan pada awal dan akhir perendaman kedelai, di awal, tengah dan akhir inkubasi tempe. Mikrob ini ditemukan selama produksi tempe dengan atau tanpa proses pemasakan kedua, yang diproduksi di pengrajin tempe Indonesia (produksi tempe metode A dan B). Populasi BAL dan khamir selama produksi tempe berubah dan dinamis dari satu tahap ke tahap lainnya selama produksi tempe. Populasi BAL dan khamir selama produksi tempe pada kedua metode produksi tempe juga berbeda, jadi metode produksi tempe mempengaruhi kehadiran BAL dan khamir, dalam jumlah koloni pada cawan (Gambar 6). Secara keseluruhan selama produksi tempe (dari T1 hingga T5), populasi BAL dan khamir sebagai nilai cfu pada metode A (tanpa pemasakan kedua) sangat berbeda dibandingkan dengan populasi mikrob tersebut selama tahap produksi metode B. Selama produksi tempe dengan metode A, populasi BAL meningkat dari T1 ke T2, kemudian relatif konstan dari T2 ke T3 dan meningkat lagi dari T3 ke T5, sementara populasi khamir mengalami peningkatan mulai dari awal perendaman kedelai hingga dihasilkan tempe segar (dari T1 hingga T5). Pada produksi tempe metode B (dengan pemasakan kedua), populasi BAL dan khamir meningkat dari T1 ke T2, selanjutnya menurun dari T2 ke T3 dan kembali mengalami peningkat populasi dari T3 ke T5. Perbedaan jumlah populasi di antara kedua metode produksi tempe ditunjukkan oleh penurunan populasi dari T2 (tahap akhir dari merendam kedelai) ke T3 (tahap awal inkubasi tempe) pada metode B. Pada metode A, proses produksi yang tidak menerapkan proses pemasakan kedua, penurunan populasi BAL dan khamir tidak terjadi. Proses pemasakan setelah akhir perendaman kedelai mempengaruhi populasi BAL dan khamir, khususnya mengurangi populasi di tahap T3. Moreno et al. (2002) menyatakan bahwa proses pemasakan kedelai mengurangi populasi mikrob dalam jumlah besar dan lebih lanjut Nout and Kiers (2005) menyatakan bahwa proses memasak memiliki efek mematikan. Proses pemasakan kedua ini akan mempengaruhi populasi mikrob pada tahap berikutnya. Pada tahap T3 hingga tahap T5 (awal inkubasi hingga akhir inkubasi tempe), populasi BAL pada metode A hampir 2 log cfu/g sampel lebih tinggi dibandingkan dengan metode B. Sementara untuk populasi khamir pada metode A hampir 3 log cfu/g sampel lebih tinggi dibandingkan dengan metode B. Populasi maksimum BAL ditemukan di produk akhir (tempe segar setelah 36 jam inkubasi). Populasi BAL pada tempe yang diproduksi dengan metode A lebih tinggi dari pada tempe yang diproduksi dengan metode B Pada T5 metode A
37 (7.91 log cfu/g) dan pada metode B (6.54 log cfu/g). Populasi BAL yang ditemukan pada tempe segar metode B ini setara dengan populasi BAL pada tempe setelah 1 dan 2 hari inkubasi yang disiapkan di laboratorium oleh Nuraida et al. (2008) juga dengan Mulyowidarso et al. (1990) populasi Lactobacillus casei dan Streptoccocs fuecium pada tempe setelah 36 jam inkubasi. Baik Mulyowidarso et al. (1990) maupun Nuraida et al. (2008) melakukan proses pemasakan kedua setelah akhir perendaman kedelai, prosedur yang sama dengan produksi tempe metode B pada penelitian ini. Populasi maksimum khamir, juga ditemukan pada tempe segar. Pada tahap T5 ini, populasi khamir ditemukan 9.70 log cfu/g pada produksi tempe metode A dan 6.85 log cfu/g pada produksi tempe metode B. Menurut Mulyowidarso et al. (1989), populasi khamir pada tempe hingga 107 cfu/g adalah normal. Pada penelitian ini, populasi khamir juga ditemukan selama proses produksi tempe. Selama perendaman kedelai, populasi khamir ditemukan pada awal dan akhir merendam kedelai ialah 3.45 dan 4.41 log cfu/g pada metode A dan 3.70 dan 4.51 log cfu/g pada metode B. Nilai jauh lebih kecil dibandingkan jumlah yang diperoleh pada air perendaman kedelai setelah 24 jam perendaman kedelai yang diasamkan yaitu 106 dan tanpa diasamkan yaitu 108 cfu/ml (Ashenafi and Busse 1991). Dibanding dengan nilai cfu yang diperoleh Ashenafi and Busse (1991) jauh kurang dari. Hal ini mungkin karena perbedaan lamanya perendaman, pada penelitian ini hanya 18 jam, sementara Ashenafi and Busse (1991) setelah 24 jam. Sejauh ini belum ada informasi mengenai jumlah populasi khamir selama awal dan pertengahan inkubasi tempe, namun pada penelitian ini populasi khamir ditemukan secara berurutan pada produksi tempe metode A dan B yaitu berturutturut 5.70 dan 3.11 log cfu/g pada awal inkubasi tempe, dan 8.49 dan 6.55 log cfu/g pada pertengahan inkubasi tempe. Dinamika keragaman selama produksi tempe Hasil amplifikasi PCR (amplikon) bagian dari operon ribosom (rDNA) sering berfungsi sebagai penanda (barcode) untuk prokariotik dan studi keragaman jamur (termasuk khamir). Bagian dari operon ini memiliki kemampuan yang berbeda dalam mendeteksi keragaman (Amend et al. 2010; Conrad et al. 2012). Keragaman BAL selama produksi tempe belum dapat dilihat dari amplikon daerah V1 dan V3 16S rRNAnya. Amplifikasi daerah 16S dari ekstraksi DNA total koloni pada cawan menghasilkan satu ukuran amplikon, yaitu fragmen dengan panjang sekitar 740 bp (Gambar 8a). Fragmen ini terdapat disetiap tahap dan pada kedua metode produksi tempe. Amplikon daerah V1 dan V3 16S rRNA BAL baru dapat menggambarkan keragaman BAL setelah dilakukan pemotongan dengan enzim restriksi atau setelah analisis T-RFLP. Berbeda dengan BAL, keragaman khamir selama produksi tempe sudah dapat dilihat dari hasil amplikon kompleks ITS khamir (ITS1 dan ITS2 termasuk 5.8S rRNA) (Gambar 8b). Satu sampai dua fragmen dapat ditemukan pada tahap tertentu produksi tempe. Hal ini mengindikasikan adanya keragaman khamir di tahap tertentu produksi tempe. Keragaman khamir ini berbeda di antara kedua metode produksi tempe. Pada metode A ditemukan 4 macam fragmen yaitu fragmen 385, 600, 650 dan 717 bp, sementara pada metode B ditemukan 2 macam fragmen dengan ukuran 485 dan 717 bp. Secara keseluruhan 5 macam fragmen dapat terdeteksi selama produksi tempe, mulai dari 385 bp hingga 717 bp. Zarzoso
38 et al. (1999) menemukan ukuran fragmen daerah ITS (ITS1 dan ITS2 termasuk 5.8S rRNA) khamir sangat bervariasi pada panjang fragmen yang diamplifikasi, yaitu mulai dari 380 bp untuk Yarrowia lipolytica (CECT 1240) dan Pichia pastoris (CECT 11.078) hingga 1050 bp untuk Schizosaccharomyces pombe var. pombe. Meskipun ukuran amplikon fragmen daerah ITS (ITS1 dan ITS2 termasuk 5.8S rRNA) khamir cukup bervariasi, namun pada beberapa tahap produksi tempe hanya ada satu fragmen dan fragmen di satu tahap sama dengan tahap lainnya selama produksi tempe. Fragmen amplikon daerah ITS tidak cukup untuk membedakan keragaman khamir disetiap tahap produksi tempe. Amplikon ITS ini lebih beragam setelah dilakukan pemotongan dengan enzim restriksi atau di TRFLP. Zarzoso et al. (1999) menyatakan bahwa dalam kebanyakan kasus, produk PCR daerah ITS (amplikon ITS) dari galur yang berbeda dalam spesies yang sama atau dari spesies berbeda dalam genus yang sama dapat memiliki ukuran amplikon ITS yang sama. Mereka juga menyatakan bahwa pola pemotongan enzim analisis RFLP amplikon ITS (ITS-PCR RFLP/profil RFPL) dari 132 spesies khamir seringkali unik untuk spesies tentu, sebaliknya Pham et al. (2011) menyatakan analisis profil RFLP pada profil produksi bir normal dan bir yang dikontaminasi oleh khamir liar, menemukan profil RFLP tertentu hanya spesifik untuk genus tertentu dan profil lain tidak spesifik untuk spesies maupun genus apapun. Oleh karena itu analisis T-RFLP daerah ITS lebih unggul dari analisis amplikon ITS (ITS-PCR) ataupun ITS-PCR RFLP (profil RFLP). Selain itu proses analisis TRFLP menggunakan peralatan deteksi otomatis dan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi untuk mendeteksi perubahan kecil dalam profil komunitas antara sampel. Selanjutnya analisis keragaman khamir maupun BAL lebih difokuskan pada analisis T-RFLP daerah ITS, baik analisis T-RFLP setelah pencawana maupun T-RFLP metagenom. Keragaman sekuen asam nukleat dari lingkungan sering kali digambarkan sebagai filotipe (Conrad et al. 2012). Keragaman BAL dan khamir berdasarkan filotipe dari isolat-isolat hasil pencawanan, menunjukkan perubahan jumlah filotipe yang hadir disetiap tahap produksi tempe (Gambar 7 dan Tabel 1 dan 2). Jumlah filotipe BAL dan khamir berubah dari satu tahap ke tahap lainnya dan berbeda pada kedua metode produksi tempe. Jumlah filotipe pada produksi tempe metode A berkisar dari 6 sampai 54 filotipe BAL dan 8 sampai 11 filotipe khamir. Pada metode B, jumlah filotipe berkisar antara 10 hingga 12 filotipe BAL dan 9 hingga 55 filotipe khamir. Jumlah filotipe BAL tertinggi ditemukan pada tahap T3 metode A yaitu 54 filotipe, sementara jumlah filotipe khamir tertinggi ditemukan pada tahap T2 metode B yaitu 55 filotipe. Jumlah filotipe BAL dan khamir ini sangat tinggi apabila dibandingkan dengan keragaman BAL dan khamir yang pernah terdeteksi dengan metode tergantung kultur selama ini. Keragaman BAL pada tempe yang pernah dilaporkan hanya 1 hingga 4 spesies BAL (Ashenafi and Busse, 1989; Mulyowidarso et al. 1989 dan 1990, Moreno et al. 2002; Feng et al. 2005), dan 16 spesies khamir yang ditemukan dari 110 sampel tempe di Netherlands (Samson et al. 1987) dan 6 galur khamir yang diinokulasikan pada tempe barley (Feng et al. 2007) Jumlah filotipe BAL dan khamir berubah dari satu tahap ke tahap lainnya selama produksi tempe dan berbeda pada kedua metode produksi tempe (Gambar 7 dan Tabel 1 dan 2). Apabila perubahan keragaman ini dihubungkan dengan alur
39 produksi tempe di kedua pengrajin (Gambar 5). Perbedaan keragaman filotipe disetiap tahap produksi tempe tersebut disebabkan perbedaan perlakuan. Perlakuan selama produksi tempe berbeda di antara masing-masing tahap produksi tempe dan antara tahap yang sama pada metode yang berbeda. Seperti contoh tahap T1 atau perendaman kedelai pada kedua metode produksi tempe. Pada metode A perendaman kedelai dilakukan segera setelah kedelai dimasak (tanpa proses pengelupasan kulit dan pencucian), namun pada tahap yang sama pada metode B, kedelai direndam setelah dimasak, dilanjutkan dengan pengelupasan kulit dan pencucian. Kondisi kedelai di antara kedua sampel juga berbeda, pada metode A masih terlindung kulit kedelai, sementara pada metode B bebas dari kulit dan bersih. Kontak antara pekerja, peralatan dan lingkungan sekitar dengan sistem produksi tempe juga berbeda, pada metode A rendah sementara metode B tinggi. Perbedaan perlakuan, waktu dan kondisi sampel antara kedua metode A dan B memiliki dampak pada keragaman BAL dan khamir disetiap tahap antara dua metode produksi tempe. Kasus ini mirip dengan gaya hidup yang berbeda dan selama pengobatan antibiotik yang berdampak pada perbedaan mikroflora saluran pencernaan dan analisis T-RFLP mampu memantau perubahan ini (Jernberg et al. 2005; Dicksved el al. 2007). Selain itu perbedaan dalam pengolahan selama produksi tempe menpengaruhi kondisi lingkungan sekitar BAL dan khamir dalam ekosistem produksi tempe. Komposisi mikrob (termasuk filotipe BAL dan khamir) dalam tempe tradisional ditentukan oleh faktor-faktor ekologi (Nout and Kiers 2005). Efek mematikan dan penekanan populasi mikrob karena proses pemasakan (Moreno et al. 2002; Nout and Kiers 2005) juga terdeteksi dari hasil keragaman BAL dan khamir setelah proses pencawanan (Gambar 7, Tabel 1 dan 2). Jumlah filotipe khamir pada tahap T3 produksi tempe metode B menurun drastis dari 55 filotipe di tahap T2 menjadi hanya 10 filotipe di tahap T3. Proses pemasakan setelah tahap T2 menyebabkan sebagian besar dari 55 filotipe khamir tidak terdeteksi lagi di tahap T3 (Tabel 2). Kemungkinan filotipe yang tidak terdeteksi pada T3 ini adalah filotipe yang tidak toleran (untolerant) terhadap panas dari proses pemasakan. Sementara itu, filotipe BAL walau sedikit mengalami peningkatan dalam jumlah yaitu dari 10 di tahap T2 menjadi 11 filotipe di tahap T3 (Gambar 7) pada produksi tempe metode B. Akan tetapi 11 filotipe BAL yang ditemukan di tahap T3 tersebut merupakan hasil berkurangnya 8 filotipe BAL dari tahap T2 ke tahap T3 dan dalam waktu bersamaan 9 filotipe baru ditemukan (Tabel 2). Proses pemasakan setelah T2 juga menyebabkan sebagian besar filotipe BAL (8 dari 10 filotipe BAL) tidak terdeteksi lagi pada tahap T3. Pada metode A (tanpa pemasakan kedua), terjadi peningkatan jumlah filotipe BAL dari 13 di T2 menjadi 54 filotipe di tahap T3. Keberadaan bakteri selama inkubasi tempe dikaitkan dengan adanya bakteri dalam perendaman kedelai dan kemampuan mikrob tersebut bertahan hidup pada akhir proses pemasakan setelah perendaman kedelai (Mulyowidarso et al. 1990). Pada tahap T3 metode A (tanpa pemasakan kedua), terjadi peningkatan jumlah filotipe BAL dari 13 di tahap T2 menjadi 54 filotipe. Terjadinya peningkatan jumlah filotipe yang sangat tinggi ini mungkin bukan hanya disebabkan karena tidak adanya pemasakan kedua, namun juga karena adanya subkurtur laru komersial yang hanya dilakukan pada proses produksi metode A (Gambar 5). Sebelum pengambilan sampel pada tahap T3, subkultur laru
40 komersial ditambakan ke dalam sistem produksi tempe. Subkultur laru dilakukan dengan menggunakan substrat onggok (ampas dalam produksi sagu) yang masih kaya karbohidrat dan merupakan substrat yang baik untuk BAL (Salminen and Wrigght, 1998). Selain faktor lingkungan selama proses dihasilkannya onggok dari pengeringan ampas sagu, faktor lingkungan selama subkulur laru, kontak antara peralatan, pekerja yang dilakukan tidak secara aseptik, memungkinkan terakumulasinya BAL dari lingkungan ke subkultur laru komersial, yang ketika ditambahkan ke dalam proses produksi tempe akan terdeteksi sebagai jumlah filotipe yang sangat beragam. Hingga saat ini belum ada informasi mengenai keragaman BAL pada subkultur laru komersial dengan substrat onggok dan penelitian ini juga tidak melakukan analisis keragaman pada bahan baku (kedelai dan laru). Kebanyakan filotipe BAL yang terdeteksi pada tahap T3 metode A tidak mampu bertahan pada tahap selanjutnya (tahap T4). Sebanyak 51 filotipe BAL pada tahap T3 tidak ditemukan/tidak terdeteksi pada tahap T4. Filotipe-filotipe mngkin tidak mampu berkompetisi dengan BAL lain maupun mikrob lainya yang sanagat kompleks pada produksi tempe. Menurut Pawiroharsono (1995), pada tempe yang diproduksi secara tradisional terdapat bermacam mikrob yang membentuk suatu asosiasi ekologi, dimana satu terhadap lainnya dapat bersifat simbiotik, parasitik, amensal, komensal maupun neutralisma. Populasi BAL dan khamir ditemukan dalam jumlah yang masih cukup tinggi di tahap T3 produksi tempe metode B, yaitu berturu-turut 4.36 dan 3.11 log cfu/g sampel dengan jumlah 11 filotipe BAL dan 10 filotipe khamir dengan analisis T-RFLP setelah pencawanan (Gambar 6 dan 7 serta Tabel 1 dan 2). Berdasarkan alur produksi tempe (Gambar 5), tahap T3 pada metode B ini adalah setelah proses pemasakan kedua (yang dimasak + 2 jam hingga mendidih). Moreno et al. (2002) menyatakan bahwa BAL, khamir dan kapang masih dapat ditemukan pada kedelai yang direbus kurang dari 4 jam. Namun sulit untuk memastikan bahwa semua populasi BAL dan khamir yang ditemukan pada tahap T3 tersebut merupakan populasi mikrob yang resisten terhadap panas dari proses pemasakan kedua. Sebelum pengambilan sampel pada tahap T3, laru atau sumber inokulum kapang ditambahkan dengan sengaja ke sistem produksi tempe. Oleh karena itu, ada kemungkinan beberapa populasi BAL dan khamir di tahap T3 berasal dari laru/inokulum. Hingga saat ini belum ada informasi mengenai populasi BAL dan khamir pada laru (sumber inokulum kapang). Penelitian ini juga tidak melakukan analisis BAL dan khamir pada laru/inokulum. Adanya rentang waktu antara saat setelah pemasakan dan penambahan laru/inokulum, interaksi pekerja, peralatan, dan lingkungan ketika laru/inokulum jamur ditambahkan dan diaduk, dan ketika kedelai didinginkan setelah pemasakan kedua berkontribusi pada re-asosiasi mikrob dari lingkungan ke sistem produksi tempe, termasuk BAL dan khamir di tahap T3 metode B. Mikrob yang ditemukan pada tempe tradisional disebabkan oleh faktor ekologi (Nout and Kiers 2005) dan kontaminasi tambahan setelah kedelai didihkan (Mulyowidarso et al. 1990). Jumlah populasi BAL dan khamir (Gambar 6) tidak berarti jumlah filotipe yang tinggi (Gambar 7). Pada tempe yang dihasilkan dengan metode A dan metode B, jumlah koloni BAL dan khamir yang tertinggi ditemukan pada tahap T5 dimana pertumbuhan Rhizopus oligosporus optimal, namun jumlah filotipe BAL dan khamir tertinggi, tidak pada tahap T5 ini. Pada tahap T5 ini filotipe BAL
41 dan khamir didominasi oleh beberapa filotipe saja. Filotipe-filotipe ditemukan di tahap T5 merupakan filotipe yang dapat bertahan dari berbagai perlakuan sebelumnya, termasuk kemampuan mereka untuk tumbuh bersama dengan Rhizopus oligosporus, kemampuan mikrob untuk menggunakan komponen kedelai, produk katabolik atau produk metabolisme kapang, termasuk produksi anti-mikrob (Mulyowidarso et al.1990; Feng et al. 2005, Feng et al. 2007). Perbandingan jumlah filotipe dan filotipe spesifik metode dan filotipe umum selama produksi tempe metode A dan metode B Beberapa filotipe BAL dan khamir hasil T-RFLP koloni-koloni ditemukan umum untuk kedua metode produksi tempe. Sebaliknya beberapa filotipe BAL dan khamir tertentu spesifik untuk metode produksi tempe tertentu. Filotipe spesifik ini juga berbeda di antara kedua metode produksi tempe, baik jenis filotipe maupun jumlahnya. Sebanyak 57 filotipe BAL ditemukan spesifik pada metode A dan 13 filotipe BAL lain ditemukan spesifik pada metode B. Sebelas filotipe khamir ditemukan spesifik pada metode A, sedangkan 62 filotipe khamir lainnya ditemukan spesifik pada metode B. (Gambar 8). Secara keseluruhan, jumlah filotipe BAL ditemukan selama produksi tempe metode A ialah 69 filotipe dan lebih tinggi dibandingkan dengan metode B yang 25 filotipe. Sedangkan jumlah filotipe khamir selama produksi tempe dengan metode B ialah 77 filotipe dan lebih tinggi dibandingkan dengan metode A yaitu 26 filotipe dengan anlisis TRFLP setelah pencawanan. Kehadiran filotipe spesifik ini kemungkinan juga dipengaruhi oleh perbedaan perlakuan disetiap tahap produksi tempe di antara kedua metode produksi tempe, termasuk urutan perlakuan di setiap proses (Jernberg et al. 2005; Dicksved el al. 2007). Filotipe umum mungkin berhubungan dengan kelompok BAL dan khamir utama pada proses produksi tempe. Dicksved el al. (2007) mengemukakan beberapa bakteri hampir selalu hadir disetiap individu dengan gaya hidup yang ekstrem berbeda Analisis Metagenom Selama Produksi Tempe Dinamika keragaman BAL dan khamir selama produksi tempe Amplikon daerah V1 dan V3 16S rRNA BAL metagenom, juga tidak menggambarkan keragaman BAL, dan hanya menghasilkan satu filotipe. Panjang fragmen amplikon kompleks ITS dan daerah 5.8S rRNA khamir, lebih bervariasi. Amplikon ITS khamir metagenom sedikit berbeda dengan ukuran amplikon pencawanan. Satu sampai tiga fragmen (Gambar 11) dapat ditemukan pada tahap tertentu produksi tempe. Secara keseluruhan sekitar tujuh fragmen dengan ukuran mulai dari 326 bp hingga 720 bp telah terdeteksi dari semua tahap dan kedua metode produksi tempe. Pada penelitian ini fragmen ukuran yang terpendek dari amplikon khamir yaitu 326 bp, lebih pendek dari panjang fragmen ditemukan oleh Zarzoso et al. (1999) yaitu 380bp hingga 1050 bp . Hasil ini menunjukkan bahwa fragmen terpendek tersebut, mungkin milik spesies yang berbeda atau spesies baru yang belum pernah dilaporkan sebelumnya. Jumlah filotipe BAL dan khamir dengan analisis T-RFLP metagenom juga berubah dari satu tahap ke tahap lainnya dan berbeda pada kedua metode produksi tempe. Jumlah filotipe BAL dan khamir juga dinamis selama produksi tempe. (Gambar 12, Tabel 3 dan4). Jumlah filotipe BAL tertinggi pada metode B terjadi
42 pada tahap T1, sementara pada saat yang sama pada metode A merupakan jumlah filotipe BAL terkecil. Pada metode A, jumlah filotipe tertinggi dengan jumlah 17 filotipe khamir terjadi pada tahap T3, tetapi pada metode B jumlah filotipe khamir tertinggi terjadi pada tahap T5. Perbedaan utama antara populasi khamir pada kedua metode produksi tempe terjadi pada T5 ini. Pada T5 metode A adalah jumlah filotipe terendah sementara pada metode B, Tahap T5 merupakan jumlah filotipe yang tertinggi. Perlakuan selama produksi tempe berbeda di antara masing-masing tahap produksi tempe dan antara tahap yang sama pada metode yang berbeda, dan itu semua berdampak pada keragaman BAL dan khamir di setiap tahap antara dua metode produksi tempe. Jumlah filotipe BAL dan khamir juga berbeda akibat perbedaan perlakuan sebelum saat pengambilan sampel (Jernberg et al. 2005; Dicksved el al. 2007). Efek mematikan dan penekanan populasi mikrob karena proses pemasakan (Moreno et al. 2002; Nout and Kiers 2005) lebih jelas terdeteksi dengan analisis T-RFLP metagenom. Jumlah filotipe BAL maupun khamir mengalami penurunan dari tahap T2 ke tahap T3 pada produksi tempe metode B, sementara pada produksi tempe metode A yang tidak mengalami proses pemasakan kedua, terjadi peningkatan dari 6 menjadi 9 filotipe BAL dan dari 12 menjadi 17 filotipe khamir (Gambar 12, Tabel 3 dan 4). Perbandingan jumlah filotipe dan filotipe spesifik metode dan filotipe umum selama produksi tempe metode A dan metode B Filotipe BAL dan khamir umum di kedua metode produksi tempe dan filotipe spesifik untuk metode tertentu (metode A saja atau B saja) juga dapat ditemukan dengan analisis T-RFLP metagenom. Di antara 39 dan 43 dari keseluruhan filotipe BAL dan khamir yang terdapat di setiap tahap dan kedua metode produksi tempe, 4 filotipe BAL dan 9 filotipe khamir merupakan filotipe umum di kedua metode produksi tempe. Sedangkan 11 filotipe BAL dan 21 filotipe khamir adalah filotipe spesifik metode A dan 24 filotipe BAL dan 30 filotipe khamir adalah filotipe spesifik metode B (Gambar 13). Sama halnya dengan filotipe umum dan filotipe spesifik metode analisis keragaman setelah pencawanan, kemungkinan perbedaan ini juga dipengaruhi oleh perbedaan perlakuan disetiap tahap produksi tempe di antara kedua metode produksi tempe, termasuk urutan perlakuan di setiap proses (Jernberg et al. 2005; Dicksved el al. 2007). Analisis T-RFLP (Liu et al. 1997) merupakan salah satu teknik sidik jari yang digunakan untuk memantau perubahan struktur dan komposisi komunitas mikroba, tetapi memilih primer khusus untuk kelompok taksonomi yang ditargetkan perlu dilakukan (Schutte et al. 2008). Barus et al. (2008) telah menggunakan analisis T-RFLP dalam sampel yang berasal dari pengrajin tempe yang sama, namun Barus et al. (2008) menemukan hanya dua bakteri yang diduga BAL (Lactobacillus dan Streptococcus) pada perendaman kedelai. Jumlah ini sangat jauh berbeda dengan penelitian ini, hal ini terjadi karena Barus et al. (2008) menggunakan primer universal untuk bakteri sehingga tidak hanya mendeteksi bakteri asam laktat, tetapi semua bakteri pada tempe. Kasus yang sama, namun dengan pendekatan molekuler berbasis PCR lainnya, Seumahu (2012) menemukan BAL (beberapa Lactobacillus sp) sebagai salah satu kelompok bakteri dominan (30%) di salah satu produk tempe dengan primer universal.
43 Jumlah filotipe dengan analisis T-RFLP metagenom sedikit dibanding jumlah filotipe dengan analisis T-RFLP setelah pencawanan, yaitu 39 filotipe BAL dan 43 filotipe khamir dengan analisis T-RFLP metagenom dan 82 Filotipe BAL dan 88 filotipe khamir dengan T-RFLP setelah pencawanan. Secara teoritis, keragaman dengan analisis T-RFLP setelah pencawanan akan menemukan filotipe sedikit dibanding analisis T-RFLP metagenom. Analisis T-RFLP metagenom mampu mendeteksi semua filotipe BAL dan khamir, baik mikrob culturable dan unculturable (Dicksved et al. 2007). Selain itu, hanya beberapa mikrob yang dapat kulturkan in vitro (Vartoukian et al. 2010). Diduga jumlah filotipe T-RFLP metagenom sedikit karena sebagian besar filotipe BAL dan khamir yang terdapat pada sampel berada dalam kelimpahan rendah atau di bawah sensitivitas mesin TRFLP (nilai filotipe dibawah kualifikasi nilai FU). Isolasi akan memperkaya populasi BAL dan khamir menjadi lebih besar dari nilai FU. Lebih lanjut beberapa peneliti menegaskan bahwa pendekatan berbasis PCR langsung dari sampel hanya mendeteksi populasi dominan (Dicksved et al. 2007). BAL dan khamir bukan mikrob dominan pada tempe. Jumlah keragaman filotipe BAL dan khamir terdapat pada sampel sangat tinggi. Akibatnya hanya beberapa filotipe yang terdapat dalam jumlah sel yang tinggi saja yang dapat terdeteksi. Dari uji efektivitas analisis T-RFLP oleh Bakulich et al. (2012), diketahui kehadiran Pediococcus damnosus pada fermentasi anggur yang dominan (107 sel/ml) difermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae, ditemukan bahwa Pediococcus damnosus baru terfeteksi sebagai TRF sebenarnya dengan analisis LAB-TRFLP (T-RFLP dengan primer spesifik untuk BAL), apabila jumlah sel sama dengan 102 sel/ml. Nilai dibawah 102 sel/ml terdeteksi sebagai TRF palsu (Bakulich et al. 2012). Pada tempe dan selama produksi tempe, terdapat komunitas mikrob yang sangat kompleks. yang terdiri atas berbagai macam jenis kapang, khamir, bakteri asam laktat, bakteri Gram positif dan negatif (Nout et al. 1985; Samson et al. 1987; Mulyowidarso et al. 1989 dan 1990; Ashenafi and Busse 1991; Moreno et al. 2002; Nout and Kiers 2005; Barus et al. 2008; Nuraida et al. 2008; Stefania 2009; sari 2009; Hanjaya 2011; Seumahu et al. 2012). Jumlah filotipe dengan analisis T-RFLP metagenom sedikit dibanding jumlah filotipe dengan analisis TRFLP setelah pencawanan mungkin terjadi karena komunitas mikrob yang sangat kompleks. Analisis T-RFLP tidak efektif pada komunitas yang sangat kompleks. Penerapannya lebih baik pada komunitas sederhana (Dunbar et al. 2000). Setelah proses pencawanan pada media selektif, mikrob yang tidak diingikan akan tereliminasi, sehingga komunitas mikrob di cawan tidak terlalu kompleks untuk dideteksi denagn T-RFLP. Oleh karena itu, analisis T-RFLP setelah pencawanan akan cocok untuk menentukan keragaman spesies tetapi tidak cocok untuk menunjukkan kelimpahan spesies. Filotipe BAL dan khamir spesifik, unik dan umum tahapan dan metode tertentu Di antara 39 dan 43 dari keseluruhan filotipe BAL dan khamir yang terdapat di setiap tahap dan kedua metode produksi tempe, 20 filotipe BAL dan 16 filotipe khamir dalah filotipe spesifik tahapan. Filotipe-filotipe ini ditemukan spesifik hanya pada satu tahap dan pada satu metode produksi tempe. Filotipe-filotipe spesifik tahapan ini mungkin memiliki fungsi tertentu pada tahap tersebut atau
44 hanya karena kontaminasi sesaat dan tidak dapat berkembang biak serta bertahan pada ekosistem tempe yang kompleks. Filotipe-filotipe ini juga berbeda di antara kedua metode produksi tempe, metode produksi tempe juga mempengaruhi kehadiran filotipe spesifik tahapan. Filotipe unik metode tertentu hanya terdapat pada filotipe BAL, yaitu filotipe 64, 121 dan 164 bp adalah filotipe unik untuk produksi tempe metode A dan filotipe 50 dan 178 bp filotipe unik untuk produksi metode B. Filotipe ini unik karena spesifik pada metode tertentu namun ditemukan selama produksi tempe, mulai dari tahap T1 hingga T5. Ketiga filotipe unik metode A (64, 121 dan 264 bp.) hadir dengan kelimpahan yang tinggi di semua tahap produksi metode A. Ketiga filotipe unik ini hadir dengan kelimpahan lebih dari 50% pada tahap T1 dan lebih dari 80% pada tahap T2 hingga T5 pada produksi tempe metode A. Sementara filotipe unik metode B (50 dan 178 bp) hadir dengan kelimpahan lebih dari 40% pada tahap T1-T4 metode B dan sangat kecil pada tahap T5. Filotipe unik ini juga dominan selama produksi tempe metode tertentu. Filotipe filotipe unik dan dominan ini kemungkinan memiliki karakter khusus untuk tempe yang dihasilkan. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa intensitas kepahitan tempe yang dihasilkan kedua metode ini berbeda satu sama lain (Barus et al. 2008). Ada kemungkin salah satu filotipe BAL yang ditemukan pada penelitian ini adalah filotipe BAL yang berperan dalam mengurangi kepahitan pada tempe, tetapi filotipe lain berperan dalam meningkatkan rasa pahit tempe. Karakteristik masingmasing filotipe BAL hadir selama produksi tempe merupakan area yang penting dieksplorasi lebih lanjut, karena setiap spesies BAL memiliki kemampuan dan peran fisiologis yang berbeda (Salmimen and Wrigght 1998). Spesies BAL tertentu mampu menghasilkan enzim N amino peptidase untuk menghidrolisis peptida N pada ujung amino pendek dan peptida leusin yang pahit (Tam et al. 1993), sedangkan BAL lain memiliki kemampuan untuk mengubah glutamin yang tinggi menjadi glutamat yang gurih (Vermeulen et al. 2007). Pada filotipe khamir tidak terdapat filotipe unik, namun pada filotipe khamir terdapat filotipe umum tahapan dan metode yaitu filotipe khamir 114 dan 161 bp. Kedua filotipe ini hadir pada 3 tahap pada metode A dan 4 tahap pada metode B. Filotipe khamir 114 bp sangat dominan dengan kelimpahan relatif tinggi (> 50% ) pada beberapa tahap produksi tempe. Pada tahap T5 pada metode A, filotipe ini hadir dengan kelimpahan relatif hingga 83% dan tahap T1 = 47% dan T3 = 41% . Pada tahap T1, T2 dan T3 produksi tempe metode B, filotipe 114 bp ini secara berturut-turut hadir dengan kelimpahan relatif 71%, 70% dan 51%. Filotipe khamir umum tahapan dan metode lainnya yaitu filotipe 161 hanya dominan dengan kelimpahan relatif 41 dan 42% di tahap T3 dan T4 metode B, pada tahap lain hadir dengan kelimpahan kurang dari 25%. Kedua filotipe khamir 114 dan 161 bp ini adalah mikrob yang umum di komunitas tempe dan mungkin merupakan filotipe khamir utama dan memiliki fungsi fisiologis penting pada proses produksi tempe. Dicksved el al. (2007) menyatakan beberapa bakteri spesifik pada individu tertentu sementara beberapa bakteri utama lainnya umum ditemukan dan hampir selalu hadir disetiap individu yang diteliti dan tidak tergantung pada perlakuan, beberapa di antaranya hadir dalam kelimpahan yang tinggi.
45 Penglompokan semua filotipe BAL dan khamir selama produksi tempe berdasarkan indek kesamaan dan ketidaksamaan Berdasarkan Indek kesamaan seluruh filotipe BAL produksi tempe metode A memiliki kesamaan yang tinggi satu dan lainnya. Seluruh filotipe di seluruh tahapan produksi tempe membentuk komunitas yang mengelompok dengan indek kesamaan lebih dari 80%. Filotipe-filotipe BAL pada tahap T1 metode B membentuk sebuah komunitas yang terpisah jauh dari 4 komunitas metode B lainnya (T2, T3, T4 dan T5) dan semua komunitas di metode A, dengan indek ketidak samaan masih dibawah 50%. Perlakuan disetiap tahapan produksi metode B lebih mempengaruhi keragaman filotipe BAL dibanding metode A, namun indeks kesamaan ini hanya berdasarkan kehadiran filotipe, dan tidak mempertimbangkan kelimpahan relative masing-masing filotipe. Oleh sebab itu sulit untuk menentukan apakah perlakuan disetiap tahap atau metode mempengaruhi suatu filotipe dengan analisis cluster ini. Hal yang sama tejadi pada filotipe khamir. Analisis kelimpahan relatif filotipe Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa analisis T-RFLP setelah pencawanan akan cocok untuk menentukan keragaman spesies tetapi tidak cocok untuk menunjukkan kelimpahan spesies. Kelimpahan spesies akan lebih cocok ditentukan dengan analisis T-RFLP metagenom, selain itu analisis T-RFLP metagenom dapat mendeteksi struktur dan komposisi komunitas mikrob dalam kondisi yang sebenarnya sebagai kelimpahan relatif yang dapat dibandingkan antara sampel (Dicksved et al. 2007). Kelimpahan relatif satu filotipe tidak selalu sama di dua atau lebih tahap produksi tempe, tetapi dinamis dari satu tahap ke tahap berikutnya. Filotipefilotipe tertentu terdapat dengan kelimpahan tinggi di satu tahap produksi tempe, namun dengan kelimpahan rendah ditahap selanjutnya atau sebaliknya. Sebagai contoh filotipe BAL 50 bp, filotipe ini hadir 41% pada tahap T1 produksi tempe metode B, tetapi hanya 18% pada tahap T2, sementara filotipe 178 hanya 2 % pada tahap T1 namun meningkat menjadi 30% di tahap T2. Rhee et al. (2011) menyatakan beberapa BAL seperti Leuconostoc mesenteroides dapat menjadi pemula di suatu bahan dan relatif cepat tumbuh dibanding BAL lainnya dalam berbagai kisaran suhu dan konsentrasi garam. Selama pertumbuhannya, L. mesenteroides menghasilkan karbon dioksida dan asam, yang mengarah ke modifikasi lingkungan serta kondisi yang mendukung pertumbuhan BAL lainnya yang termasuk genera Lactobacillus dan Pediococcus. Analisis T-RFLP dapat digunakan untuk memperkirakan suatu perlakuan terhadap keberadaan dan kelimpahan suatu mikrob. Pada tahap T1 metode B ditemukan 19 filotipe BAL. Di antara 19 filotipe BAL ini, 3 filotipe yaitu filotipe 60, 65 dan 73 bp juga ditemukan pada tahap T1 pada metode A (Gambar 14 dan 18), tetapi kelimpahan relatif dari masing-masing filotipe, khususnya filotipe 65 bp sangat berbeda antara kedua metode produksi tempe. Kelimpahan relatif filotipe 65 bp sangat tinggi pada metode A, yaitu 39%, tapi sangat rendah dan hanya 0,1% ( < 1%) pada produksi tempe metode B (Gambar 18). Filotipe ini mungkin berasal dari kedelai, karena ditemukan pada awal perendaman kedelai (T1) kedua metode produksi tempe, tetapi filotipe 65 bp mungkin terakumulasi pada permukaan kulit kedelai. Akibatnya, pada kedelai utuh (kedelai dengan kulit
46 pada tahap T1 metode metode A), filotipe 65 bp ini ditemukan dengan kelimpahan tinggi, sedangkan pada kedelai tanpa kulit (pada tahap T1 pada metode B), filotipe ini ditemukan dengan kelimpahan rendah. Hal ini dapat terdeteksi dengan analisis T-RFLP. Informasi keragaman filotipe BAL pada bahan baku belum pernah diteliti. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami filotipe BAL dalam bahan baku. Teknik fingerprinting seperti T-RFLP mampu menghasilkan pandangan kasar pada komposisi mikrob dalam komunitas dan memberikan data yang relevan untuk analisis selanjutnya (Juste et al. 2005).
Jumlah Total Filotipe, Perbandingan Filotipe Culturable dan Filotipe Unculturable Selama Produksi Tempe Analisis T-RFLP metagenom mampu mendeteksi baik mikrob culturable dan unculturable. Penerapan analisis T-RFLP metagenom dan analisis T-RFLP setelah pencawanan mampu mendeteksi 100 filotipe BAL, yang terdiri atas 82 filotipe BAL culturable dan 21 filotipe di antaranya adalah filotipe yang dapat dideteksi baik dengan analisis T-RFLP setelah pencawanan maupun T-RFLP metagenom. Sebanyak 18 unculturable BAL terdeteksi pada penelitian ini. Sementara penerapan analisis T-RFLP metagenom dan analisis T-RFLP setelah penawanan mampu mendeteksi 104 filotipe khamir yang terdiri atas 88 filotipe khamir culturable dan 27 filotipe di antaranya adalah filotipe yang dapat dideteksi baik dengan analisis T-RFLP setelah pencawanan maupun T-RFLP metagenom. Penelitian ini hanya mampu mendeteksi 16 filotipe khamir unculturable Jumlah filotipe unculturable kurang dari filotipe culturable dan kurang sesuai dengan Aslam et al. (2010) dan Vartoukian et al. (2010). Hal ini karena sebagian besar filotipe BAL dan khamir yang terdapat pada sampel diduga berada dalam kelimpahan rendah atau di bawah sensitivitas mesin T-RFLP untuk mendeteksi (nilai filotipe dibawah kualifikasi nilai FU), atau karena kompleksifitas mikrob yang terdapat pada sampel atau karena keterbatasan pendekatan berbasis PCR yang hanya mendeteksi populasi dominan (Dicksved et al. 2007), seperti yang telah dibahas sebelumnya. Identifikasi Filotipe Selama Produksi Tempe Galur Lactobacillus delbrueckii subsp delbrueckii dan spesies Lactobacillus casei dan Lactobacillus plantharum teridentifikasi sabagai BAL yang terdapat pada proses produksi tempe. Pada penelitian Choi et al. (2002), Lactobacillus delbrueckii subsp delbrueckii KCTC 1047 merupakan galur yang mampu menghidrolisis sempurna 50 mg ml-1 glikosida isoflavon (genistin dan daidzin) menjadi masing-masing aglikon (genistein dan daidzein) dalam waktu 30 menit di media MRS atau susu kedelai. Kemungkinan BAL ini berfungsi dalam menghidrolisis glikosida isoflavon kedelai selama produksi tempe. Nakajima et al. (2005) mengatakan Isoflavon pada tempe (genistein dan daidzein) lebih aktif dan sangat mudah diserap tubuh dibandingkan isoflavon pada kedelai (genistein dan daidzein) untuk dapat mengurangi gejala osteoporosis setelah menopause dan tempe sering digunakan sebagai makanan fungsional (Astuti et al. 2000; Nout dan Kiers, 2005; Nakajima et al. 2005). Sementara Lactobacillus casei dan
47 Lactobacillus plantarum juga mungkin memiliki peran dalam memproduksi senyawa bioaktif seperti yang telah diteliti pada susu kedelai (Rekha dan Vijayalakshmi, 2010). Akan tetapi perlu dieksplorasi lebih lanjut. Selain itu selama produksi tempe juga terdapat beberapa spesies dan galur BAL yang dan termasuk dalam dalam genera Aerococcus, Enterococcus, Lactobacillus, Leuconostoc Streptococcus dan Weissella. Pembahasan Umum BAL dan khamir merupakan bagian komunitas mikrob yang umum selama produksi yang berkembang mulai dari awal perendaman kedelai. BAL dan khamir tidak diinokulasikan dengan sengaja sebagai starter, namun terdapat dalam sistem produksi dengan bermacam cara. Beberapa perlakuan dalam produksi tempe mungkin mengakibatkan terintegrasinya BAL dan khamir ini, tetapi sebaliknya beberapa perlakuan mengakibatkan tereliminasinya BAL dan khamir dari sistem produksi tempe. Populasi BAL dan khamir yang berturut-turut mencapai 6.54 hingga 7.91 log cfu/g dan 6.58 hingga 9.70 log cfu/g mengindikasikan mikrob ini berfungsi dalam produksi tempe. Pada proses produksi tempe metode A dan metode B, terdapat 4 perbedaan perlakuan yang sangat berbeda, yaitu 1) Kondisi kedelai saat perendaman kedelai dan saat diinkubasi. 2) Ada dan tidaknya perebusan kedua setelah perendaman kedelai. 3) Ada dan tidaknya subkultur laru komersial. dan 4). Urutan proses setiap tahapan berbeda. Pada penelitian ini perlakuan 1, 3 dan 4 tidak begitu nyata mempengaruhi nilai cfu/gram sampel di kedua metode, namun pelakuan ke 2 (ada dan tidaknya perebusan kedua setelah perendaman) sagat mempengaruhi nilai cfu/gram sampel. Ke empat perlakuan ini lebih terlihat mempengaruhi keragaman, baik jumlah maupun jenis keragamannya. Jumlah filotipe yang terintegrasi pada sistem produksi tempe sangat tinggi selama produksi tempe, baik filotipe culturable maupun filotipe unculturable, baik filotipe BAL maupun filotipe khamir, baik filotipe dengan kelimpahan relatif berfluktuasi selama produksi tempe atau filotipe spesifik pada tahap dan metode tertentu. Karakteristik masing-masing filotipe yang hadir selama produksi tempe merupakan area yang penting untuk dieksplorasi lebih lanjut. Analisis dengan teknik finger-printing seperti T-RFLP, mampu menghasilkan pandangan kasar pada struktur dan komposisi mikrob dalam komunitas, dan memberikan data yang relevan untuk analisis berikutnya (Juste et al. 2005). Populasi BAL dan khamir yang dinamis dari waktu ke waktu selama produksi tempe dan berbeda antara kedua metode produksi tempe dapat diamati pada studi ini sebagai perubahan struktur, komposisi dan keragaman mikrob di komunitas tempe (Jernberg et al. 2005; Juste et al. 2005; Dicksved et al. 2007). Namun, penting untuk dipahami penelitian ini hanya mampu membandingkan dan tidak mungkin untuk menentukan faktor tunggal yang bertanggung jawab terhadap kehadiran populasi BAL dan khamir. Struktur, komposisi dan keragaman BAL dan khamir selama produksi tempe di pengrajin tempe Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor yang sangat kompleks dan memerlukan penyelidikan lebih mendalam untuk dapat meningkatkan pemahaman peran dan fungsi masing-masing anggota mikrob ini dalam keadaan yang lebih dapat terkontrol, seperti deteksi satu faktor pada satu spesies BAL atau khamir dalam
48 proses produksi tempe di laboratorium. Meskipun analisis T-RFLP setelah pencawanan lebih cocok untuk menentukan keragaman filotipe dan mampu mendeteksi 82 filotipe BAL dan 88 filotipe khamir, namun analisis ini hanya terbatas pada filotipe culturable (Aslam et al. 2010). Penerapan kedua analisis T-RFLP (setelah pencawanan dan metagenom) dapat saling melengkapi dan meningkatkan profil BAL dan khamir hadir selama produksi tempe. Penerapan kedua analisis T-RFLP (setelah pencawanan dan metagenom) ini mampu mendeteksi 100 filotipe BALdan 104 filotipe khamir dan mendeteksi 18 filotipe BAL unculturable dan 16 khamir unculturable. Filotipe unculturable ini benar-benar hanya terdeteksi dengan analisis T-RFLP metagenom. Beberapa filotipe yang terdeteksi dengan analisis TRFLP metagenom juga terdeteksi dengan analisis setelah pencawanan dianggap BAL dan khamir culturable (Gambar 19 dan 20). Sebagian besar dari Filotipe BAL dan semua filotipe khamir tidak dapat diidentifikasi mengacu pada database yang ada. Khusus filotipe khamir tidak dapat diidentifikasi dengan program analisis T-RFLP (PAT +) dari MICA3 di http://mica.ibest.uidaho.edu / pat. dan program insilico. Beberapa program lain lebih rumit dan membutuhkan keahlian bioinformatika. Beberapa filotipe unik dan menarik untuk diidentifikasi, probabilitas untuk mendapatkan spesies BAL dan khamir baru juga tinggi. Penggunaan metode molekuler lain untuk mengidentifikasi hasil T-RFLP sangat disarankan. Filotipe unculturable dapat dilanjutkan dengan teknologi perpustakaan DNA clone sebagai cara alternatif untuk mendapatkan informasi urutan TRF pada analisis lebih lanjut (Juste et al. 2008).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. BAL dan khamir merupakan bagian komunitas mikrob yang umum selama produksi tempe dan pada tempe segar, baik yang diproduksi dengan metode A (tidak dengan pemasakan kedua) maupun yang diproduksi dengan metode B (dengan pemasakan kedua) di pengrajin tempe Indonesia. 2. Pada tahap Rhizopus oligosporus tumbuh optimal dan dihasilkan tempe segar, populasi BAL dan khamir mencapai nilai tertinggi dengan keragaman rendah. 3. Populasi dan keragaman BAL dan khamir selama produksi tempe berubah dan dinamis dari satu tahap ke tahap lainnya selama produksi tempe dan berbeda pada kedua metode. 4. Metode produksi tempe mempengaruhi kehadiran BAL dan khamir dalam jumlah populasi dan keragaman koloni pada cawan, jumlah dan keragaman filotipe culturable dan unculturable, kelimpahan filotipe di setiap tahap maupun selama produksi tempe, termasuk mempengaruhi
49 filotipe spesifik tahapan, filotipe spesifik metode, filotipe unik dan filotipe dominan. 5. Penerapan dua analisis T-RFLP (setelah pencawanan dan metagenom) saling melengkapi dan meningkatkan profil BAL dan khamir yang hadir selama produksi tempe dan mendeteksi 100 filotipe BAL dan 104 filotipe khamir yang terdiri atas 82 filotipe culturable BAL dan 18 filotipe unculturable BAL serta 88 filotipe culturable khamir dan 16 filotipe unculturable khamir. Saran 1. Pada penelitian ini ditemukan 100 filotipe BAL dan 104 filotipe khamir yang sebagian besar belum dapat diidentifikasi, keterbatasan kemampuan dalam menggunakan program bioinformatika dan keterbatasan database yang tersedia memerlukan penerapan analisis molekular lain, seperti identifikasi fragmen dengan analisis urutan DNA (sequensing DNA) baik pada individual koloni yang tumbuh pada cawan maupun individu yang tidak terkultur melalui cloning DNA. Teridentifikasinya filotipe BAL dan khamir yang terdapat selama produksi tempe dapat meningkatkan pemahaman fungsi masing-masing mikrob ini pada proses produksi tempe, selain itu peluang ditemukannya spesies atau galur BAL dan khamir baru pada penelitian ini cukup tinggi. 2. Karakteristik masing-masing filotipe yang hadir selama produksi tempe, termasuk filotipe spesifik, filotipe umum, filotipe unik dan filotipe dominan pada tahap dan metode tertentu merupakan area yang penting untuk dieksplorasi lebih lanjut. Penelitian ini baru mampu memberikan informasi dasar mengenai struktur, komposisi dan keragaman BAL dan khamir selama produksi tempe. 3. Untuk keperluan penerapan metode produksi yang lebih baik ataupun pengembangan metode standar dalam memproduksi tempe, serta pengembangan kultur starter tempe yang unggul masih memerlukan rangkaian penelitian yang panjang dan mungkin harus melibatkan bermacam disiplin ilmu.
1. DAFTAR PUSTAKA Ampe F, Benomar N, Moizan C, Wacher C, Guyot JP. 1999. Polyphasic study of the spatial distribution of microorganisms in Mexican pozol, a fermented maize dough, demonstrates the need for cultivation-independent methods to investigate traditional fermentations. Appl Environ Microbiol. 65:5464-5473. Amend AS, Seifert KT, Bruns TD. 2010. Quantifying microbial communities with 454 pyrosequencing: does read abundance count. Molecul Ecol doi: 10.1111/j.1365-294X.2010.04898.x.
50 Ashenafi M, Busse M. 1989. Inhibitory effect of Lactobacilius plantarum on Salmonella infantis, Enterobacter aerogenes and Escherichia coli during tempeh fermentation. J Food Protect. 52:169-172. Ashenafi, M. 1991. Growth of Listeria monocytogenes in fermenting tempeh made of various beans and its inhibition by Lactobacillus plantarum. Food Microbiol. 8:303–310 Ashenafi M, Busse M. 1991. The microflora of soak water during tempeh production from various beans. J Appl Bacteriol. 70:334-338. Aslam Z, Yasir M, Khaliq A, Matsui K, Chung YR. 2010. Mini review too much bacteria still unculturable. Crop Environ. 1(1):59-60. Astuti M, Andreanyta M, Fabien SD, Mark LW. 2000. Tempe, a nutrition and healthy food from Indonesia. Asia Pacific J Clin Nutr. 9(4):322-325. Bokulich NA, Mills DA. 2012. Differentiation of mixed lactic acid bacteria communities in beverage fermentations using targeted terminal restriction fragment length polymorphism. Food Microbiol. 31: 126-132. Barnett JA, Payne RW, Yarrow D. 2001. Yeasts: Characteristics and Identification, 3ed. Cambridge: Cambridge University Press. Barus T, Suwanto A, Wahyudi AT, Wijaya H. 2008. Role of bacteria in tempe bitter taste formation and molecular biological analysis base on 16S rRNA gene. J Microbiol Indon. 2(1):17-21. Barus T. 2008. Peran Komunitas Bakteri dalam pembentukan rasa pahit pada tempe: analisis mikrobiologi dan Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (T-RFLP) [disertasi] Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Blackwood CB, Terry M, Sang-Hoon Kim, Eldor AP. 2003. Terminal restriction fragment length polymorphism data analysis for quantitative comparison of microbial communities. Appl Eviron Microbiol. 69(2):926-932. Boyd MA, May AD, Antonio, Hillier SL. 2005. Comparison of API 50 CH Strips to whole-chromosomal DNA probes for identification of Lactobacillus spesies. J Clin Microbiol. 43(10):5309-5311. Cai J, Roberts lN, Collins MD. 1996. Phylogenetic relationships among members of the ascomycetous yeast genera Brettanomyces, Debaryomyces, Dekkera and Kluyveromyces deduced by small-subunit rRNA gene sequences. Int J Syst Bacteriol. 46: 542-549. Cardinali G, Liti G, Martini A. 2000. Non-radioactive dot-blot DNA reassociation for unequivocal yeast identification. Int J Syst Evol. Microbiol. 50:931-936.
51 Carvalho CM, Rocha A, Estenvinho MLI, Choupina A. 2005. Identification of honey yeast species based on RFLP analysis of the ITS region. Ciens Tecnol Aliment. 1(5):11-17. Choi YB, Kim KS, Rhee JS. 2002. Hydrolysis of soybean isoflavone glucosides by lactic acid bacteria. Biotechnol Lett. 24:2113-2116. Conrad L, Schocha CL, Seifertb KA, Huhndorfc S, Robertd V, Spougea JL, Levesqueb CA, Chenb W. 2012. Nuclear ribosomal internal transcribed spacer (ITS) region as a universal DNA barcode marker for fungi. PNAS. 109(16):624-6246. Dicksved J, Floistrup H, Bergstrom A, Rosenquist M, Pershagen G, Scheynius A, Roos S, Johan S, Engstrand L, Fahrla¨nder CB, Mutius EV, Jansson JK. 2007. Molecular fingerprinting of the fecal microbiota of children raised according to different lifestyles. Appl Environ Microbiol. 73(7):2284-2289. Dunbar J, Ticknor LO, Kuske CR. 2001. Phylogenetic specificity and reproducibility and new method for analysis of terminal restriction fragment profiles of 16S rRNA genes from bacterial communities. Appl Environ Microbiol. 67:190-197. Engebretson JJ, Moyer CL. 2003. Fidelity of select restriction endonucleases in determining microbial diversity by terminal restriction fragment length olymorphism. Appl Environ Microbiol 69: 4823-4829. Feng XM, Anders RBE, Johan S. 2005. Growth of lactic acid bacteria and Rhizopus oligosporus during barley tempe fermentation. Int J Food Microbiol. 104:249-256. Feng XM, Volkmar P, Charlotte EJ, Marie LA, Johan S. 2007. Rhizopus oligosporus and yeast co-cultivation during barley tempe fermentationNutritional impact and real-time PCR quantification of fungal growth dynamics. Food Microbiol. 24:393-402. Gonzalez RN, Wilson DJ, Sickles SA, Zurakowski MJ, Weybrecht PM, Walsh AK. 2001. Outbreaks of clinical mastitis caused by Trichosporon beigelii in dairy herds. J. Am. Vet. Med. Assoc. 218(2): 238-345. Grüntzig V, Stres B, Ayala DRHL, Tiedje JM. 2002. Overview of T-RFLP method for community and ecology. Lansing: Michigan State University East. Hamby KA, Hernández A, Boundy-Millsk. 2012. Associations of yeasts with spotted wing Drosophila (Drosophila suzukii; Diptera: Drosophilidae) in cherries and raspberries. Appl Environ Microbiol. 78(14):4869-4873. Han MH, Choi JH, Sung KJ, Moon KC, Koh JK. 2000. Onychomycosis and Trichosporon beigelii in Korea. Int. J. Dermatol. 39(4): 266-269.
52 Hanjaya. 2011. Isolasi dan analisis keragaman Klebsiella sp. dari tempe dengan teknik Enterobakterial Repetitif Intergenik Consensus Polymerase Chain Reaction (ERIC-PCR) [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Heilig HGHJ, Zoetendal EG, Vaughan EE, Marteau P, Akkermans ADL, Willem MDV. 2002. Molecular diversity of Lactobacillus spp. and other lactic acid bacteria in the human Intestine as determined by specific amplification of 16S ribosomal DNA. American Society Microbiol. 68(1):114-123. Hermana, Karmini M. 1996. Pengembangan teknologi pembuatan tempe di dalam Bunga Ramapai Tempe Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Tempe Indonesia. Holzapfel WH, Haberer P, Geisen R, Bjorkroth J, Schillinger U. 2001. Taxonomy and important features of probiotic microorganisms in food and nutrition. Am J Clin Microbiol. 73:365S–73. Jernberg C, Sullivan A, Edlund C, Jansson JK. 2005. Monitoring of antibioticinduced alterations in the human intestinal microflora and detection of probiotic galurs by use of Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism. Appl Environ Microbiol. 70(1):501-506. Juste´A, Thomma BPHJ, Lievens B. 2008. Recent advances in molecular techniques to study microbial communities in food-associated matrices and processes. Food Microbiol. 25:745-761. Karyadi D 1996. Perkembangan tempe di lima Benua di dalam Bunga rampai tempe Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Tempe Indonesia. Keuth, Bisping B. 1994. Vitamin B12 production by Citrobacter freundii or Klebsiella pneumoniae during tempeh fermentation and proof of enterotoxin absence by PCR. Appl Environ Microbiol. 60(5):1495-1499. Liu WT, Marsh TL, Cheng H, Forney LJ. 1997. Characterization of microbial iversity by determining terminal restriction fragment length polymorphisms of genes encoding 16S rRNA. App Environ Microbiol. 63:4516-4522. Moreno MF, Leisner JJ, Tee LK, Ley C, Radu S, Rusul G, Vancanneyt M, De Vuyst L. 2002. Microbial analysis of Malaysian tempe, and characterization of two bacteriocins produced by isolates of Enterococcus faecium. J Appl Microbiol. 92:147157. Mourad K, Karen NE. 2006. Microbiological study of naturally fermented Algerian green olives: isolation and identification of lactic acid bacteria and yeasts along with the effects of brine solutions obtained at the end of olive fermentation on Lactobacillus plantarum growth. Gras aceit. 57(3):292-300 Mulyowidarso RK, Fleet GH, Buckle KA. 1989. The microbial ecology of soybean soaking for tempe production. Int J Food Microbiol. 8:35-46.
53 Mulyowidarso RK, Fleet GH, Buckle KA. 1990. Association of bacteria with the fungal fermentation of soybean tempe. J Appl Microbiol. 68: 43-47. Nakajima N, Nozaki N, Ishihara K, Ishikawa A, Tsuji H. 2005. Analysis of isoflavone content in tempeh, a fermented soybean, and preparation of a new isoflavone-enriched tempeh. J Biosci Bioengin. 100(6):685-687. Nisiotou AA, Spiropoulos AE, Nychas GJE. 2007. Yeast community structures and dynamics in healthy and botrytis-affected grape must fermentations. Appl Environ Microbiol. 73(21):6705-6713. Nout MJR, Rambout FM.1990. Recent developments in tempe research (review) . J Appl Bacteriol. 69:609-633 Nout MJR, Kiers JL. 2005. Tempe fermentation, innovation and functionality: update into the third millenium. J Appl Microbiol. 98(4):789-805. Nuraida L, Suliantari, Andarwulan N, Adawiyah DR, Novier R, Agustin D. 2008. Evaluation of soybean varieties on production and quality of tempe. Di dalam Prosiding Perkembangan Terkini Tentang Tempe: Teknologi, Standarisasi dan Potensinya dalam Perbaikan Gizi Serta Kesehatan. hlm 115. Pawiroharsono S. 1994. Penggunaan isolat untuk peningkatan kualitas makanan fermentasi tempe. Makalah pada persentasi ilmiah peneliti BPPT. 13 April 1994. Jakarta. Pawiroharsono S. 1995. Potensi tempe dan pengembangan industri tempe generasi III. 1995. Di dalam proseding Pengembangan Industri Makanan dari Kedelai. hlm 86-99 Pham T, Wimalasena T, Box WG, Koivuranta K, Storgards E, Smart KA, Gibson BR. 2011. Evaluation of ITS PCR and RFLP for differentiation and identification of brewing yeast and brewery „wild‟ yeast conta-minants. J Ins Brew. 117(4):556-568. Pintado J, Guyot JP, Ampe F. 2003. Multiple competitive PCR–DGGE as a tool for quantifying and profiling defined mixed cultures of lactic acid bacteria during production of probiotics from complex polysaccharides. J Appl Microbiol. 95:921-933. Plengvidhya V, Breidt FJr, Zhongjing LU, Fleming HP. 2007. DNA fingerprinting of lactic acid bacteria in sauerkraut fermentations. Appl Environ Microbiol. 73(23):7697-7702. Pratomo YA. 2008. Inprovisasi Proses Yang Tidak Dikehendaki dan Kerugian Yang Tidak Disadari Konsumen Tempe. Di dalam Prosiding Perkembangan Terkini Tentang Tempe: Teknologi, Standarisasi dan Potensinya Dalam Perbaikan Gizi Serta Kesehatan. hlm 21-27.
54 Salminem S, Wrigght AV. 1998. Lactic Acid bacteria: Microbiology and Functional Aspects. Second dition, Revised and Expanded. New Yor. Marcell Dekker Inc. Sambrook, Russell. 2000. Molecular Cloning: A Laboratory Manual, 3ed. Cold spring Harbor, NY: Cold Spring Harbor Laboratory. Samson RA, Kooij VJA, De Boer E. 1987. Microbiological quality of commercial tempeh in the Netherlands. J Food Protect. 50:92-94. Sari MA. 2009. Analisis keragamam dan dinamika populasi bakteri pada sampel tempe pahit: Amplified Ribosomal Restriction Analysis (ARDRA) [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Schütte UME, Abdo Z , Bent JS, Shyu C, Williams CJ, Pierson JD, Forney LJ. 2008. Advances in the use of terminal restriction fragment length polymorphism (T-RFLP) analysis of 16S rRNA genes to characterize microbial communities. Appl Microbiol Technol. 80:365-380. Seumahu CA, Suwanto A, Rusmana I, Solihin DD. 2012 Comparison of DNA extraction methods for microbial community analysis in Indonesian tempeh employing amplified ribosomal intergenic spacer analysis. Hayati J Biosci 19(2):93-99. Seumahu CA. 2012. Analisis Metagenom Untuk pencirian Bakteri dan Fungi pada tempe [disertasi] Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Shurtleff W, Aoyagi A. 2011. History of tempeh and tempeh products (1915 – 2011). Extensively annotated bibliography and sourcebook. California: Sayinto Center Lafayette. Smith CJ, Bret SD, Adrian KC, Fintan JC, Bryan W, Win GM. 2005. T-Align, a web-based tool for comparison of multiple terminal restriction fragment length polymorphism profiles. FEMS Microbiol Ecol. 54:375-380. Spiegelman D, Whissell G, Greer CW. 2005. A survey of the methods for the characterization of microbial consortia and communities (Review). J Microbiol. 51:355-386. Stefania. 2009. Dinamika keragaman komunitas bakteri tempe tidak pahit Amplified Ribosomal Restriction Analysis (ARDRA) [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Tam PS, Van Kessel TAJM, Veernk FLM, Zuuredonk PF, Bruins AP, Koning WN. 1993. Degradation and debittering of a tryptic gigest from b-casein by aminopeptidase N. from Lactobacillus lactis subps.cremoris WG2. Appl Environ Microbiol. 59:1430-1436. Randazzo CL, Torriani S, Antoon DL, Akkermans, Willem M de Vos, Vaughan EE. 2002. Diversity, dynamics, and activity of bacterial communities during
55 production of an artisanal sicilian cheese as evaluated by 16S rRNA analysis. Appl Environ Microbiol. 68(4):1882-1892. Rappe MS, Giovannoni SJ (2003) The uncultured microbial majority. Annu Rev Microbiol. 57:369-394. Rekha CR, Vijayalakshmi G. 2010. Bioconversion of isoflavone glycosides to aglycones, mineral bioavailability and vitamin B complex in fermented soymilk by probiotic bacteria and yeast J Appl Microbiol. 109:1198-1208. Rhee SJ, Lee JU, Lee CH. 2011. Importance of lactic acid bacteria in Asian fermented foods. Microbiol Cell Factor. 10:1-13. Vartoukian SR, Palmer RM, Wade WG. 2010. Strategies for culture of unculturable bacteria. FEMS Microbiol Lett. 309:1-7. Vazquez FJLH, Cazorla LM, Jimenez JMC, Vico FR. 2003. Identification of yeast species from orange fruit and juice by RFLP and sequence analysis of the 5.8S rRNA gene and the two internal transcribed spacers. FEMS Yeast Research. 3:3-9 Vermeulen N. Ga¨ nzle MG, Vogel RF. 2007. Glutamine deamidation by cerealassociated lactic acid bacteria. J Appl Microbiol. 103:1197-1205. Zarzoso BE, Belloch C, Uruburul F, QueroI A. 1999. Identification of yeasts by RFLP analysis of the 5.85 rRNA gene and the two ribosomal internal transcribed spacers Int J Syst Bacteriol. 49:329-337.
56
LAMPIRAN Lampiran 1 Dendrogram TRF pada analisis pemilihan enzim restriksi pada BAL
LAMPIRAN HaeIII
MspI
Lampiran
2 Dendrogram TRF pada analisis pemilihan enzim restriksi pada khamir
HinfI
HaeIII
Lampiran 3 Data TPC dan log cfu/g sampel populasi BAL selama produksi tempe Tahap produksi tempe Sampel Metode A
T1 Rerata TPC Log cfu/g
Metode B
Rerata TPC Log cfu/g
T2
T3
T4
T5
10308.3
1245833.3
877916.7
37175000.0
82025000.0
4.0
6.1
5.9
7.6
7.9
17512.5
2058750
22762.5
700791.67
3503750
4.2
6.3
4.4
5.8
6.5
57 Lampiran 4 Data TPC dan log cfu/g sampel populasi khamir selama produksi tempe Tahap produksi tempe Sampel Metode A
T1 Rerata TPC Log cfu/g
Metode B
Rerata TPC Log cfu/g
T2
2833.3
T3
25987.5
T4
500000.0
T5
312500000.0
4975000000.0
3.5
4.4
5.7
8.5
9.7
5008.3
32000.0
1300.0
3587500.0
7154166.7
3.7
4.5
3.1
6.6
6.9
Lampiran 5 Jumlah filotipe BAL selama produksi tempe metode A Tahap produksi tempe Jumlah filotipe
T1
T2
T3
T4
T5
Dengan metode culturable
16
13
54
6
9
Dengan metode unculturable Total keduanya
6
6
9
11
7
19
17
60
15
15
Lampiran 6 Jumlah filotipe BAL selama produksi tempe metode B Tahap produksi tempe Jumlah filotipe
T1
T2
T3
T4
T5
Dengan metode culturable
11
10
11
11
12
Dengan metode unculturable Total keduanya
19
9
8
9
7
27
17
15
16
18
Lampiran 7 Jumlah filotipe khamir selama produksi tempe metode A Tahap produksi tempe Jumlah filotipe
T1
T2
T3
T4
T5
Dengan metode culturable
8
11
10
9
8
Dengan metode unculturable Total keduanya
12
12
17
14
5
20
17
22
15
13
58 Lampiran 8 Jumlah filotipe khamir selama produksi tempe metode B Tahap produksi tempe Jumlah filotipe
T1
T2
T3
T4
T5
Dengan metode culturable
16
55
10
11
9
Dengan metode unculturable Total keduanya
12
10
6
10
17
25
54
13
15
20
Lampiran 9 Keragaman filotipe BAL dengan analisis T-RFLP metagenom Panjang Fragmen TRF(bp) 50 51 59 60 62 64 65 68 70 71 73 74 83 84 121 135 164 167 177 178 263 509 522 523 534 536 538 539 555 557 559 566 570 577 578 580 583 584 588
Keragaman filotipe BAL Tahap produksi tempe metode A Tahap produksi tempe metode B T1 T2 T3 T4 T5 T1 T2 T3 T4 0 0 0 0 0 41 18 37 31 0 0 0 0.1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4 9 0.3 0 0 0.4 0.3 3 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 41 60 48 66 30 0 0 0 0 39 0 0 0 0 0.1 0 3 5 0 0 0 0 0 0.2 0 0 0 0 0.3 0 0.3 0 0.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0.2 0 0 0 2 3 2 3 4 0.3 0 0 0 0 0 0 0 0 0.4 0 0 0 0 0 0 0 0 0.3 0 0 0 0 0 0 0 0 0.2 0 0 0 16 25 7 19 54 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 11 29 7 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 3 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 30 28 25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 1 2 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 5 4 0 0 0 0 0 0 10 6 3 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 7 4 5 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0.3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.4 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 31 25 14 7
T5 0.3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 70 0 2 1 0 2 0 0 0 25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
59 Lampiran 10 Total keragaman filotipe BAL dengan analisis T-RFLP metagenom dan T-RFLP setelah pencawanan N0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64
Panjang Fragmen TRF(bp) 50 51 55 59 60 62 64 65 66 68 69 70 71 73 74 78 79 80 81 83 84 87 93 95 98 103 104 111 115 118 121 123 124 126 127 128 135 137 142 143 146 147 148 150 159 160 161 164 167 168 170 177 178 186 192 195 197 200 202 215 217 224 236 263
Keragaman filotipe BAL Tahap produksi tempe metode A Tahap produksi tempe metode B T1 T2 T3 T4 T5 T1 T2 T3 T4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
T5 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
60 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
267 268 269 280 281 282 358 509 522 523 534 535 536 538 539 555 556 557 559 566 570 571 572 577 578 580 583 584 588 651 700 703 706 709 712 714
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 0
1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 1 1
0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0
61 Lampiran 11 Keragaman filotipe khamir dengan analisis T-RFLP metagenom N0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Panjang Fragmen TRF(bp) 63 100 103 106 107 109 112 114 115 116 134 148 161 162 194 197 298 308 349 365 368 369 370 371 372 373 377 378 390 391 403 411 419 420 432 440 441 442 450 451 475 478 483
Keragaman filotipe khamir Tahap produksi tempe metode A Tahap produksi tempe metode B T1 T2 T3 T4 T5 T1 T2 T3 T4 0 3 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0.4 0 0 0 0 0 16 17 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 3 2 0 0.4 0.3 0 0 47 0 41 0 83 71 70 51 1 2 0 2 0 4 4 4 0 0 0.5 0 0.3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.4 0.4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0 4 15 2 0 0.3 0 41 42 0 0 1 0 0 0 0 2 2 0 0 0 0 0 1 1 0 0 2 0 1 0 2 2 3 2 0 0 0 0 0.4 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 12 6 14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2 0 9 5 4 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 5 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 25 0 0 1 0 0 0 0 0 24 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 5 4 6 0 0.4 1 0 0 0 0 0 0 0 0,3 0 0 0 14 26 18 31 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 24 23 1 11 0 0 0 0 0 0 7 2 8 0 0 0 0 0 2 13 3 15 2 0 0 2 0
T5 0 0.3 0.5 0 0 0.2 0 0 0 0 0 5 23 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 2 0 0 29 28 0 1 1 0.4 0 0 0 6 0 0 0 0
62 Lampiran 12 Total keragaman filotipe khamir dengan analisis T-RFLP metagenom dan T-RFLP setelah pencawanan N0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65
Panjang Fragmen TRF(bp) 52 62 63 72 78 79 87 91 92 93 100 102 103 105 106 107 109 112 113 114 115 116 120 134 135 142 148 159 161 162 176 182 183 184 186 188 191 192 194 197 198 199 224 236 244 251 253 261 267 274 276 282 283 285 287 291 298 300 301 302 306 307 308 318 323
Keragaman filotipe khamir Tahap produksi tempe metode A Tahap produksi tempe metode B T1 T2 T3 T4 T5 T1 T2 T3 T4 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 1 0 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
T5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
63 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104
326 329 337 339 342 343 348 349 355 365 368 369 370 371 372 373 377 378 390 391 397 402 403 411 419 420 426 432 439 440 441 442 450 451 475 478 483 514 543
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 1
0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 1 1 1 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 1 1 1 0 0
0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 1 1 1 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0
1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
0 1 0 0 1 1 1 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 1
64
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di desa Silungkang Sawahlunto Sijunjung pada tanggal 17 Februari 1967 dari ibu Hj. Siti Ajir dan bapak Mustafa Jalil, sebagai anak bungsu dari sembilan bersaudara. Pada tahun 1998, penulis menikah dengan Ir. Sabron dan dikaruniai seorang putra Muhammad Obdal Amfa dan dua orang putri Derefita Fitri dan Caila Karennina. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas Padang dan lulus tahun 1991. Pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan S2 di Bioteknologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan lulus tahun 2000. Pada tahun 2008 kembali mendapat kesempatan melanjutkan ke program doktor di Program Studi Mikrobiologi, Departemen Biologi F.MIPA, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Biaya pendidikan penulis disponsori oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, dimana penulis telah mengabdikan diri sebagai staf peneliti semenjak tahun 1994 dan kemudian menjadi peneliti semenjak tahun 2001 hingga sekarang. Salah satu hasil penelitian penulis telah terpilih untuk di patenkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan semenjak tahun 2010 sudah terdaftar dan masih dalam proses paten dengan nomor pendaftaran paten P 00201000436. Tiga artikel bagian dari disertasi ini telah peneliti tulis, satu di antaranya sudah diterbitkan oleh HAYATI Journal of Biosciences volume 20 No 2 edisi Juni 2013 dengan judul “Population Dynamics of Yeasts and Lactic Acid Bacteria (LAB) During Tempeh Production”. Satu artikel lagi telah dikirim dan sedang dalam proses editing pada Jurnal Internasional Current Research in Environmental & Applied Mycology dengan judul artikel “Yeast Community of Indonesian Tempeh Based on ITS-PCR/T-RFLP Analysis”. Sementara satu artikel lainnya dengan judul “Diversity of Lactic Acid Bacteria (LAB): Structure and Composition Metagenom During Tempe Production” segera akan dikirim ke jurnal HAYATI Journal of Biosciences.