DINAMIKA PENGELOLAAN HAK GUNA USAHA DALAM MEWUJUDKAN SEBESAR-BESAR KEMAKMURAN RAKYAT Oleh : Mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
*)
Abstrak Gaung Reforma Agraria yang digagas oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI), ternyata belum mencapai realita yang diharapkan. Dimulai dari keluarnya 11 (sebelas) kebijakan nasional di bidang pertanahan dan perombakan struktur organisasi BPN-RI yang belum terinci jelas job descriptionnya. Hal tersebut bertambah rumit dan memusingkan ketika disahkannya Undang-Undang Penaman Modal tanggal 29 Maret 2007. Kenapa memusingkan? Bukan saja Undang-undang ini juga mengatur tentang Hak Atas Tanah (HAT) khususnya HGU yang jelas-jelas bertentangan dengan Undangundang Pokok Agraria, tetapi memperlihatkan besarnya keberpihakan kepada investor. Akankah negeri kita akan menjadi imperialisme baru, dimana keadilan sosial yang tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 dan tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat seperti yang digebar-gemborkan dalam setiap pembuatan keijakan?
Pendahuluan Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 ternyata telah menggoreskan sejarah pahit getirnya mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan *)
Kerjasama Bidang Pendidikan, Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan (DIKLITBANG) Badan Eksekutif Mahasiswa dengan Kelompok Studi Mahasiswa “Kebijakan Pertanahan” Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
1
Republik Indonesia. Beralihnya pemerintahan, asset dan sistim hukum ternyata belum membuat rakyat Indonesia makmur. Tidak sekedar dilihat dari belum adanya standar kemakmuran, tetapi pemberdayaan masyarakat yang belum menyentuh masyarakat kecil yang mengakibatkan pemiskinan di kandang sendiri. Hal tersebut bisa dilihat dengan meningkatnya “pahlawan visa” di luar negeri dan bertambahnya “orang lain” menikmati kekayaan negeri sendiri melalui fasilitas yang disebut iklim investasi. Dilatarbelakangi
disahkannya
Undang-Undang
Penanaman
Modal
(UUPM) oleh DPR tanggal 29 Maret 2007 ditengah kontroversialisme pasalpasalnya. Undang-undang yang terdiri dari 18 Bab dan 40 pasal ini akan menjadikan rakyat Indonesia hanya sebagai penonton dan korban dari kebijakankebijakan lembaga tinggi negara. Banyak pihak yang telah menyadari bahwa adanya tekanan dari lembaga kreditor asing seperti Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) ditengah pengesahan Undang-undang ini (Jawa pos 20 Maret 2007 dan siaran pers Walhi 8 Maret 2007). Penjelasan mengenai substansi UUPM oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu seusai sidang berupa adanya fasilitas fiskal, kemudahan pelayanan hak atas tanah, kemudahan pelayanan keimigrasian, dan kemudahan pelayanan perizinan impor dan adanya rambu-rambu dan pagar untuk menjaga kepentingan nasional (Kompas 30 Maret 2007), menurut penulis hanyalah hal-hal prinsip yang memang perlu difasilitasi. Tetapi substansi yang mengatur tentang pertanahan
2
dalam hal ini pemberian jangka waktu yang berlawanan dengan peraturan yang lebih khusus tentu akan menimbulkan permasalah baru yang lebih kompleks.
HGU Kedepannya Jangka waktu pemberian hak guna usaha dan perpanjangannya yang selama ini menjadi polemik, sebenarnya telah mendapat payung hukum yang cukup memadai dalam sistim hukum tanah nasional, yaitu dengan diaturnya ketentuan tersebut dalam suatu undang-undang. Hak Guna Usaha (HGU) bisa diberikan selama 35 (tiga puluh lima) tahun dan bisa diperpanjang selama 25 tahun, demikian menurut pasal 29 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 telah menjelaskan bahwa pemegang HGU dapat mengajukan permohonan perpanjangan ataupun pembaharuan kembali HGU yang dimilikinya jika terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut. 2. syarat-syarat pemberiuan hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan 3. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak. Pemberian hak atas tanah bagi perusahaan perkebunan dalam bentuk HGU merupakan salah satu penyebab terjadinya konsentrasi penguasaan tanah di Indonesia. Dalam kenyataannya, dari hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BPN RI tahun 2005 menunjukkan bahwa pemberian
3
HGU dalam skala besar cenderung banyak menimkbulkan masalah tanah terlantar, yang dapat berakibat munculnya berbagai konflik dalam masyarakat, baik konflik dalam aspek social ataupun ekonomi. Menurut Sensus Perkebunan Besar tahun 1990 sampai 1993 saja sudah ada sekitar 3,8 juta hektar tanh perkebunan yang dikuasau 1.206 perusahaan dan 21 koperasi. Jika diambil ratarata maka tiap perusahaan menguasai tanah seluas ± 3.096,985 hektar (Suara Pembaruan Agraria No. 4 tahun 1998). Permasalahan lain yang saat ini juga muncul dan sedang banyak mendapat perhatian dari berbagai pihak adalah ketika UUPA tidak dijadikan dalam rujukan pengesahan UUPM (Undang-undang Penanaman Modal), sehingga memunculkan pemberian HGU selama 95 (sembilan puluh) tahun, dimana bisa diperpanjang dimuka selama 60 (enam puluh) tahun dan bisa diperbaharui selama 30 (tiga puluh) tahun (pasal 22). Hal ini menimbulkan keresahan yang akan membawa rakyat sebagai pemilik tanah bangsa ini sendiri harus mengulang sejarah kelam yang telah terjadi lebih dari empat generasi. Perlu kiranya kita melihat dan mempelajari sejarah bangsa lain berkaitan dengan tanah yang dimilikinya. Misalnya tanah di Hongkong yang disewa oleh Inggris, itupun hanya 100 tahun. Namun, membawa kemakmuran terhadap masyarakatnya. Akankah Indonesia seperti itu? Sedangkan, pengalaman menunjukkan bahwa Hak Erfhact yang merupakan kebijakan dari pemerintah Hindia Belanda selama 75 tahun dan HGU yang sudah banyak berakhir jangka waktunya, tidak menambah kesejahteraan bangsa Indonesia, tetapi sebaliknya justru mempertinggi kesenjangan sosial di masyarakat bangsa Indonesia.
4
Keberpihakan ini telah dicatat oleh sejarah bahwa besarnya kebutuhan investor akan tanah pada tahun 1870 di Hindia Belanda telah mendorong Kerajaan Belanda mengundangkan Agrarisch Wet dalam S 1870-55 sebagai tambahan ayatayat baru pada pasal 62 Regerings Reglement (RR), sehingga pasal RR menjadi 8 (delapan). Salah satu pasal itu menyebutkan bahwa tanah bisa diberikan dengan Hak Erfhact (dengan lahirnya UUPA, hak ini kemudian dikonversi dengan nama Hak Guna Usaha) tidak lebih dari 75 (tujuh puluh lima) tahun. Lalu kemakmuran seperti apa yang bisa diberikan oleh pemerintah kepada rakyat dengan diundangkannya UUPM? Pemerintah jajahan saja sebagai penguasa hanya memberikan Hak Erfhact dengan batasan maksimal 75 tahun. Ironis jika era kemerdekaan dinikmati oleh segelintir orang yang bernama investor selama 155 tahun yang akan datang. Apakah ini salah satu langkah Indonesia menjadi 5 (lima) Negara ekonomi terbaik tahun 2030? Menurut Boediono, diundangkannya UUPM akan memberikan iklim invetasi yang kondusif dalam penanaman modal di Indonesia. Mengenai peraturan pelaksananya dia menambahkan bahwa, "PP (Peraturan Pemerintah) dan Perpres (Peraturan Presiden) dan apapun yang nanti (sebagai aturan pelaksanaan) segera disiapkan tahun ini dan tentang pasal HGU (hak guna usaha) yang banyak ditentang, Boediono menjawab tidak ada lagi persoalan. Karena sudah disahkan oleh paripurna Dewan Perwakilan Rakyat” (Tempo interaktif 30 Maret 2007). Sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah mungkin aturan Perpres yang dibuat untuk memuluskan pelaksanaan UUPM yang jelas-jelas bukan UU yang mengatur khusus tentang tanah bisa disinkronkan dengan UUPA? Oleh sebab itu
5
pemberian kepastian hak atas tanah tentu menimbulkan masalah, dalam hal ini HGU atau Hak Pakai (HP). Karena UUPM bukanlah Undang-undang yang khusus mengatur pertanahan. Dalam penyusunan RUUPM, menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dalam keterangannya kepada wartawan menyampaikan bahwa seluruh materi RUU disusun tim antardepartemen yang dibentuk pemerintah sendiri dan tidak ada hubungannya dengan Bank Dunia, IMF, atau lembaga asing yang lain (Riau Pos Online, 3 April 2007). Jika telah disusun antar departemen apakah BPN RI terlibat dalam penyusunan UUPM ini? Dan jika memang benar terlibat secara aktif, mengapa kemudian tetap lahir pasal-pasal yang jelas-jelas bertentangan dengan UUPA dan semangat reforma agraria ? Pemerintah mengatakan bahwa ada 17 pasal yang merupakan ramburambu. Rambu-rambu yang dimaksud adalah kriteria bidang usaha yang tertutup, terbuka dengan syarat, dan terbuka. Kriteria tersebut disusun berdasarkan definisi kepentingan nasional, yaitu ketahanan dan keamanan nasional, kesehatan, moral, pengembangan usaha mikro dan kecil, partisipasi modal dalam negeri, peningkatan kapasitas teknologi, serta perlindungan sumber daya alam. Selanjutnya, pemerintah berharap dalam waktu dekat akan menyelesaikan beberapa peraturan pelaksanaan yang secara paralel sudah disiapkan bersamaan pengajuan RUU Penanaman Modal. Misalnya, Peraturan Presiden tentang Kriteria dan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan serta Peraturan Presiden tentang Tata Cara dan Pelaksanaan Terpadu. Juga Peraturan Presiden tentang Tata Cara Penanaman Modal, dan Peraturan Presiden
6
tentang Tata Cara Pelayanan Terpadu . Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 mengenai kewenangan pemerintah pusat dan daerah juga dimasukkan sebagai salah satu aturan pelaksana UU Penanaman Modal. (Kompas 30 Maret 2007). Kompleksnya permasalahan tentang HGU kedepannya tidak hanya dari segi peraturan, tetapi bagaimana bentuk pengawasan dilapangan nantinya. Pengalaman menunjukkan bahwa hanya beberapa perusahaan yang konsisten mengembangkan lahan HGU yang dikuasainya sesuai izin lokasi yang diberikan. Setelah keluarnya izin lokasi dan sertipikat HGU, para investor ramai-ramai menjadikannya sebagai dasar pengajuan kredit (mengagunkan) ke Bank, lalu membawa dana terbang ke luar negeri (capital flight).
HGU dan Rakyat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan berbagai organisasi mahasiswa menyatakan bahwa sebuah malapetaka bagi Indonesia dengan disahkannya UUPM. Walhi misalnya, telah memberikan penolakan terhadap substansi RUUPM sebelum disahkannya menjadi UUPM melalui siaran pers tanggal 8 Maret 2007. LSM ini berkesimpulan bahwa: 1. RUU ini tidak mengedepankan kepentingan nasional justru melayani internasionalisasi modal dan RUU ini bertentangan konstitusi RI dengan memfasilitasi modal asing menguasai produksi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak (semesta rakyat/warga negara Indonesia).
7
2. RUU ini tidak melindungi hak atas pekerjaan rakyat Indonesia khususnya kaum buruh yang dengan mudah terkena PHK akibat perusahaanya tutup karena pindah lokasi usahanya. 3. RUU ini akan memperarah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan aktor negara dan aktor non negara khususnya korporasi. 4. Berpindahnya industri manufaktur keluar negeri seperti investasi pada pabrik garmen, sepatu, mainan anak, tekstil dan industi lain yang notabene bersifat padat karya dengan jumlah buruh perempuan hingga 90% akan menyebabkan hilangnya hak atas pendapatan dan kesempatan mengembangkan potensi secara profesional perempuan di sektor tersebut. 5. Masuknya investasi dalam sektor pelayanan publik juga akan semakin mendiskriminasi akses perempuan terhadap pelayanan tersebut. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menimbulkan ketakutan yang akan menginjak hak mereka. Investor dengan modal besar bisa membeli hukum di Indonesia. Lemahnya politik luar negeri Indonesia yang dinilai beberapa kalangan sangat jauh dari harapan. Ditambah dengan adanya waktu yang begitu panjang selama 155 tahun yang diberikan oleh pemerintah terhadap pemodal untuk menikmati tanah Indonesia menambah catatan panjangnya ketidakadilan terhadap kaum lemah di bumi pertiwi.
8
Banyak hal yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam pengawasan dilapangan nanti. Selain dari mempersiapkan peraturan pendukung juga harus diiringi dengan ketatnya prosedur yang harus dilalui agar pemberian hak atas tanah menjadi legal dan bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Masalah yang bersifat teknis saja berupa pendudukan lahan HGU oleh masyarakat dan perebutan lahan masyarakat oleh pemodal selayaknyalah menjadi perhatian lebih dari pemerintah. Keberpihakan pemerintah terhadap kaum ekonomi lemah haruslah diperlihatkan agar social trust dari masyarakat dapat membantu pemerintah dalam pengawasan pelaksanaan peraturan di lapangan. Sebagai salah satu contoh lemahnya posisi masyarakat misalnya Putusan Pengadilan soal Gugatan Petani Kakao di Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Donggala, Propinsi Sulteng yang dirasa tidak adil oleh masyarakat. Hal ini terkait gugatan atas ganti rugi tanaman kakao milik petani yang ditebang oleh perusahaan perkebunan sawit di Desa Plantojaya, Kabupaten Donggala, Selasa (7/11) lalu. Sidang itu dinilai tidak fair karena belum sampai menyentuh pada pokok perkara, tapi hanya menyoroti soal gugatan yang belum sempurna hingga meminta agar gugatan disempurnakan bukan soal ganti rugi terkait penebangan tanaman kakao petani yang telah merusak mata pencaharian mereka seluas 11 ribu hektar itu (Voice of Human Rights News Centre, 5 April 2007).
9
BPN RI Sebagai Pemberi HGU Banyaknya permasalahan HGU tentu tidak lepas dari BPN RI sebagai lembaga teknis yang bertugas melakukan pedaftaran tanah dan pemberi bukti haknya berupa sertipikat. Polemik yang beredar ditengah masyarakat seharusnya menyadarkan kita betapa pentingnya institusi BPN RI dalam memberikan kontribusi nyata terhadap masyarakat. Belum tuntasnya agenda reforma agraria, polemik revisi UUPA, dan job description yang belum jelas untuk aparat di daerah yang masih bingung. Pembagian tanah pertanian seluas 8,15 juta hektar yang telah disuarakan oleh pemerintah juga masih dalam taraf pengamatan oleh masyarakat. Akankah hal itu berhasil? Mengingat sejarah masa lalu dimana satu juta hektar saja gagal. Kita semua berharap bahwa BPN RI dapat menjalankan semua tugas dan kewajibannya dengan baik dan tuntas. Perlu segera dilakukannya berbagai sinergi, baik internal kelembagaan BPN RI maupun elsternal antar departemen dan instansi terkait. Tugas berat tersebut harus sama-sama mendapat dukungan dari berbagai pihak, sehingga dapat merealisasikan cita-cita bersama untuk meningkatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui pengembangan agrarian reform. Terkait dengan HGU, dari penjabaran diatas dapat ditarik garis beberapa permasalahan dibidang HGU, yaitu: 1.
Tidak adanya sinkronisasi antara UUPM tahun 2007 dengan UUPA, dimana UUPA juga tidak dimasukkan dalam point konsideran mengingat dalam UUPM sehingga menimbulkan pasal-pasal yang bertentangan.
10
2.
Belum ditetapkannya peraturan lain dibwah UU yang menjabarkan mengenai pelaksanakaan dan bentuk hubungan/sinergi antara UUPM dan UUPA serta UU yang lainnya. Perlunya segera ditetapkan suatu Peraturan Pemerintah dan Perpres untuk menjelaskan pelaksanaan UUPM dan bentuk hubungan/sinergi antara UUPM dan UUPA.
3.
Untuk yang kesekian kalinya, bahwa BPN RI telah kecolongan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan mengenai pertanahan. Pertama adalah adanya otonomi pertanahan di dalam UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti dengan UU nomor 32 tahun 2004. Kemudian lahirnya UU Jabatan Notaris yang disahkan tanggal 14 September 2004 dimana salah satu pasalnya memberikan wewenang kepada Notaris membuat semua/segala jenis akte yang berkaitan dengan pertanahan.
Kesimpulan BPN RI merupakan institusi yang berwenang dalam mengelola pertanahan sesuai dengan Keppres nomor 26 tahun 1988. Dengan timbulnya peraturan baru yang bertentangan, tentu dapat mengganggu tercapainya tanah utnuk sebesarbesar kemakmuran rakyat sesuai dengan tujuan agrarian reform. Mengacu pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang bertujuan pada “sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”, maka kita perlu melihat TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
11
Dalam TAP MPR Nomor IX/2001, Pasal 2 menyebutkan bahwa “Pembaharuan Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sedangkan pada Pasal 3 disebutkan “ Pengelolaan Sumber Daya Alam yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil berkelanjutan dan ramah lingkungan”. Dengan demikian, demi kelancaran berbagai agenda pemerintahan berkaitan dengan penataan pertanahan yang megacu kepada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, suatu sikap yang arif, jika Presiden dan DPR RI meninjau ulang substansi UUPM dan menjalankan tugas sesuai dengan pasal 6 TAP MPR nomor IX/2001 yang menugaskan DPR RI dan Presiden segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sember daya alam serta mencabut dan/ atau mengubah peraturan yang tidak sejalan dengan TAP ini. Pemerintah harus segera menetapkan suatu peraturan pemerintah dan/ atau peraturan presiden sebagai pedoman pelaksanaan UUPM tersebut. Dalam peraturan tersebut harus jelas kedudukan dan beentuk sinergi antara UUPM dan UUPA terkait dengan pengelolaan hak-hak atas tanah (HGU & HGB). Jika dirasa perlu, maka UUPM dapat dilakukan revisi sebagaimana UU mengenai pemerintahan daerah, untuk menghindari kekacauan, polemik dan kerancuan dalam penataan kehidupan berbangsa khususnya terkait dengan penataan bidang pertanahan.
12
Daftar Pustaka
Harsono, Boedi, 2002, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Penerbit Djambatan, Jakarta. Harsono, Boedi, 2003, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Penerbit Djambatan, Jakarta. Keppres nomor 26 tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta. Nugroho Acid, 13 Maret 2007, Tolak Pengesahan RUU PM Mahasiswa Gelar Aksi di Jalan Pantura, Penerbit Suara Merdeka Cyber News. _________, 8 Maret 2007, Pengesahan RUU Penanaman Modal Melahirkan Petaka, Siaran Pers Walhi. _________,11 Maret 2007, Kertas Posisi Koalisi Masyarakat Sipil Terhadap RUU Penanaman Modal _________, 30 Maret 2007, UU Investasi Disahkan, Investor Asing Diuntungkan, Penerbit Riau Pos Online. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Suara Pembaruan Agraria No. 4 tahun 1998 Subarkah, 05 April 2007, Putusan Pengadilan soal Gugatan Kakao Tak Adil, Penerbit Voice of Human Rights, Jakarta. Supriyanto, Agus, 30 Maret 2007, UU Investasi Aturan Pelaksanaan Segera Diselesaikan, Penerbit Kompas, Jakarta.
13
TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Sumber Daya Alam. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Wirawan, Agus, 20 Maret 2007, Liberalisasi di Tengah Nasionalisme, Penerbit Jawa Pos.
14