PENGAWASAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN ZAKAT GUNA MEWUJUDKAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN DANA PUBLIK
Sayuti Una
ABSTRAK Pluralistic society of Indonesia caused hard to imply zakah policy. But, as moslem responsible forms, they must control the governmental revenue using that has been given. Social control of public revenue management released accountability that as formal and legal to the public responsible. Meaning, it's demanded a full consciousness from every Indonesian citizen not only paid the due but also have to responsible for the successful of its revenue management. Thus, there is linear peer between social consciousness and social control.
Kata-kata Kunci: Pengelolaan Zakat, Pengawasan, Akuntabilitas.
Pendahuluan Zakat merupakan sumber dana kemasyarakatan, yang berasal dan diperuntukkan bagi masyarakat. Perintah zakat merupakan suatu kewajiban agama Islam, meskipun dalam system kenegaraan perintah tersebut belum tentu merupakan suatu kewajiban. Tetapi belakangan ini, adanya keinginan kuat dari pihak pemerintah untuk menempatkan masalah pengelolaan zakat sebagai sebuah kebijakan negara. Nisab zakat dihitung dari total hasil bersih, setelah dipotong biaya yang wajib dikeluarkan untuk memperoleh hasil tersebut. Setiap muslim,
Penulis adalah dosen Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
1
yang telah memiliki harta kekayaan sampai ukuran tertentu (nisab), wajib mengeluarkan zakat. Dan bahkan zakat jiwa (fithrah) dipungut dari setiap muslim tanpa mengenal perbedaan ras, suku dan status pada setiap sekali dalam setahun. Dana zakat yang telah dipungut, dikumpulkan dalam suatu badan pengelola yang dikenal dengan Badan Amil Zakat, atau sekarang lebih populer dengan sebutan Badan Amil Zakat, Infaq dan Sadaqoh (BAZIS). Dana zakat yang telah dikumpulkan tersebut harus dikelola dengan baik sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Oleh karena zakat merupakan dana
kemasyarakatan
(dana
publik),
maka
dana
tersebut
harus
dipertanggungjawabkan pula terhadap masyarakat. Dan pola pertanggung jawaban inilah yang lebih dikenal dengan istilah akuntabilitas publik. Memang proses pertanggungjawaban ini masih memiliki problema. Oleh
karena
faktanya
bahwa masyarakat Indonesia sadar dan
mengetahui akan kewajibannya sebagai warga negara sekaligus umat beragama. Namun tingkat kepercayaan terhadap pemerintah maupun lembaga pengelola non-pemerintah masih rendah. Ummat Islam selama ini masih punya kecenderungan untuk memberikan langsung zakatnya, ketimbang melalui amil zakat seperti BAZIS. Problema tersebut muncul karena di satu sisi adanya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pihak atau badan yang mengelola dana publik tersebut. Dan di sisi lain kurangberhasilnya usaha pihak atau badan pengelola untuk mengumpulkan dan memanfaatkan dana masyarakat yang berasal dari sektor zakat sebagaimana mestinya. Suatu lingkaran yang tidak mudah untuk diputuskan. Munculnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pihak atau badan yang mengelola dana zakat merupakan konsekuensi dari kegagalan atau kekurangberhasilan pihak atau badan tersebut dalam mengelola atau memanfaatkan dana zakat yang telah terkumpul. Begitu juga sebaliknya, pihak atau badan pengelola zakat tidak bisa berbuat banyak karena
2
belum mampu mengumpulkan dana zakat sebagaimana mestinya. Kondisi ini tidak menguntungkan untuk didiamkan. Indonesia yang mayoritas muslim berpotensi untuk mengumpulkan dana publik dalam jumlah besar melalui kewajiban zakat. Dan sebagai dana publik, dana zakat dapat menjadi modal untuk membangun dan menyelesaikan berbagai kepentingan publik yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, solusi yang tepat adalah meningkatkan peran serta masyarakat melalui pengawasan terhadap pengelolaan zakat. Dalam posisi ini masyarakat tidak hanya menyalurkan kewajiban zakatnya kepada pihak atau badan yang ada, tetapi juga ambil bagian dalam mengawasi kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh pihak atau badan yang bersangkutan. Namun lagi-lagi persoalannya adalah tingkat kesadaran masyarakat. Tidak semua masyarakat memahami akan pentingnya pengawasan terhadap dana publik. Jika hal itu yang ditemukan, maka peran berikutnya diserahkan kepada pihak pemerintah. Dengan kata lain harus ada kebijakan pengelolaan yang memungkinkan dan menjamin peran aktif masyarakat dalam mengawasi pengelolaan dana zakat yang sudah dikumpulkan. Membuka pintu pengawasan dari masyarakat berarti juga pengelola membutuhkan pengawasan dari eksternal lembaga. Tentunya tidak seperti selama ini di mana pengawasan hanya bersifat internal saja. Dibukanya pengawasan eksternal juga bagian integral dari akuntabilitas pengelolaan dana publik seperti zakat. Oleh karena itu tulisan ini akan melihat bagaimana upaya meningkatkan pengawasan masyarakat dalam pengelolaan zakat. Pengawasan masyarakat di sini adalah bentuk pengawasan eksternal yang dilakukan adalah sebagai kekuatan penyeimbang bagi pengawasan internal.
Akuntabilitas Dana Publik. Satu parameter yang bisa digunakan dalam mengukur tingkat keberhasilan sebuah kebijaksanaan adalah dengan mengukur tingkat
3
akuntabilitasnya. Akuntabilitas diambil dari kosakata Bahasa Inggris accountability yang merupakan bagian dari responsibility. Seperti yang dijelaskan oleh Michael M. Harmon dalam bukunya Responsibility as Paradox: a Critique of Rational Discourse on Government, kata accountability merupakan salah satu bagian dari responsibility, yang berkaitan dengan masalah yang bersifat hubungan autoritatif—berhubungan dengan masalah kewenangan—seseorang secara formal bebas untuk meminta jawaban atas sesuatu yang telah dilakukan. Hal itu berkaitan dengan pemberian laporan, balas jasa atau hukuman yang akan didapat bergantung pada tindakan-tindakan tersebut, mentaati peraturan sesuai dengan keinginan pembuat peraturan. Untuk menyatakan seseorang bertanggungjawab, dengan kata lain, mengatakan bahwa ia bertanggung jawab atas sanksi menurut aturan kewenangan,
kebijaksanaan, atau
kriteria yang ditetapkan oleh orang lain.1 Sedangkan akuntabilitas secara tradisional dimaknai sebagai pertanggungjawaban atas tindakan atau perbuatan seseorang atau
secara umum dalam sebuah lingkungan
organisasi dan pejabat pu blik yang legal berkaitan dengan pertanggung jawaban atas tindakan-tindakan yang mereka lakukan.2 Adapun ukuran yang digunakan secara formal atau tradisional belum memenuhi aspek-aspek yang justru dianggap substansial oleh masyarakat, seperti: Pertama, akuntabilitas administratif atau organisasional, yaitu adanya mekanisme hirarkhis dalam organisasi public. Seorang pejabat publik tidak dapat melepaskan dirinya dan tanggungjawabnya sebagai atasan maupun bawahan dari orang lain. Kedua, akuntubilitas legal, yakni mekanisme pertanggungjawaban eksternal melalui proses-proses resmi seperti
Michael M. Harmon, Responsibility as Paradox: a Critique of Rational Discourse on Government, (New Delhi: International Educational and Professional Publisher, Thousand Oaks London, 1995), hlm. 27. 2 Joseph G. Jabbra and O. P. Dwivedi, Public service Accountability: A Comparative Persepective, (Colarado USA: Kumarin Press,1988), hlm. 5) 1
4
legislatif dan peradilan. Ketiga, akuntabilitas politik. Masalah inti di sini adalah legitimasi atas sebuah program publik, kemampuan seorang administrator
untuk
mengelola
antara
akuntabilitas
politik
dan
administratif sangat diperlukan untuk tercapainya kepuasan yang maksimal baik masyarakat maupun politikus. Keempat, akuntabilitas professional. Landasan yang digunakan dalam mengukur tanggungjawab profesinya adalah kepentingan p ub lik , yang sejalan dengan kode etik profesi. Kelima, akuntabilitas moral, yang saat ini diterima secara luas adalah bahwa pemerintah haruslah dan semestinya secara legal maupun moral bertanggungjawab atas tindakan-tindakan yang mereka lakukan.3 Berdasarkan review literatur yang dikemukakan di atas, ditemukan ada beberapa aspek penting yang berkenaan dengan peran masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dana publik. Jadi, dalam konteks kehidupan bernegara dan beragama, maupun negara yang mendasarkan dirinyaatas agama, masyarakat memiliki fungsi sentral sebagai pengawas dalam proses pembuatan kebijakan (decission making). Fungsi pengawasan tersebut tidak lain adalah sebagai implementasi dari keinginan untuk menciptakan bentuk akuntabilitas dalam kehidupan publik. Oleh karena itu, dalam menerapkan prinsip akuntabilitas pada dana publik, maka terlebih dahulu dirumuskan langkah-langkah yang mesti diterapkan oleh suatu pihak atau badan public. Adpun langkahlangkah tersebut, antara lain sebagai berikut:
1. Menetapkan prioritas anggaran berdasarkan kebutuhan penduduknya. 2. Mengatur keuangan baik pada tingkat penerimaan dan pengeluaran sesuai dengan kebutuhan publik.
3. Menyediakan pelayanan dan service bagi pembayar/penyetor seperti keinginan publik dan sesuai dengan kebutuhan. 3
Ibid, hlm. 6-8.
5
4. Mempertimbangkan dengan seksama keuntungan sosial dari setiap program dan rencana pembangunan.
5. Menggunakan daya dan kekuatan independen dalam mewujudkan dan menstimulasi konsep pembangunan.
6. Memfokuskan agenda dan penetapan program ekonomi dalam anggaran yang mendukung kestabilan pertumbuhan dan penyediaan lapangan kerja.
7. Menentukan batas kenormalan pengeluaran sesuai dengan kebutuhan. 8. Mencari
dan
menciptakan
sumber-sumber
pendapatan
untuk
mengurangi ketergantungan dari luar.4 Berdasarkan langkah-langkah di atas, menjadi tanggungjawab bagi pihak atau badan publik untuk meyakinkan publik terhadap setiap jenis pengeluaran pihak atau badan publik atas perolehan dana. Pihak atau badan publik dituntut cermat dan hemat dalam setiap jenis pengeluarannya. Keuntungan sosial menjadi prioritas yang tidak dapat diabaikan. Dan wujud akhirnya adalah sebuah akuntabilitas dana publik seperti yang diharapkan. Dengan demikian akuntabilitas dana publik sebenarnya merupakan bentuk pertanggungjawaban pihak atau badan yang diserahi tugas untuk mengelola dana publik berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pertanggungjawaban tersebut bukan hanya laporan tertulis diakhir masa jabatan atau pada masa penyampaian laporan pertanggungjawaban, tetapi juga menyediakan sistem keterbukaan bagi publik untuk mengakses dan mengkritisi langkah-langkah yang dilakukan dalam pengelolaan dana publik.
Pengelolaan Zakat. Dilihat dari satu sisi, bila seseorang mengeluarkan zakat, berarti hartanya berkurang. Tetapi bila dilihat dari sudut padang Islam, Notrida Mandica, Desentralisasi Anggaran Daerah dan Akuntabilitas Publik, Dalam Harian Kompas, Tanggal 12 Juni 2001, hlm. 5. 4
6
pahalanya bertambah, dan harta yang masih ada juga membawa berkah. Di samping pahala bertambah, juga harta itu berkembang karena mendapat ridha dari Allah dan berkat panjatan doa dari fakir miskin, anak-anak yatim dan para mustahiq lainnya yang merasa terbantu dari hasil zakat. Zakat ibarat benteng yag melindungi harta dari penyakit dengki dan iri hati, dan zakat ibarat pupuk yang dapat menyuburkan harta untuk berkembang dan tumbuh. Hubungan dengan Allah telah terjalin dengan ibadah shalat dan hubungan dengan sesama manusia telah terikat dengan pembayaran zakat. Hubungan vertikal dan horizontal perlu dijaga dengan baik. Hubungan vertikal dipelihara sebagai tanda bersyukur dan berterima kasih kepada Allah SWT, dan hubungan dengan sesama dijaga sebagai tanda kepedulian sosial, rasa tanggungjawab terhadap kepentingan publik, serta berbagi rahmat dan nikmat. Dalam Al Quran Surat At-Taubah ayat 103 dijelaskan bahwa zakat itu membersihkan dan mensucikan diri dan harta. Demikian pula dalam Al Qura Surat Ar-Rum ayat 39 dijelaskan bahwa zakat yang dikeluarkan karena Allah, maka Allah akan melipatgandakan pahalanya. Selanjutnya Al Quran Surat Al-Bayyinah ayat 5 menekankan lagi, bahwa seseorang baru benar-benar beragama apabila mengabdi kepada-Nya dengan iklas, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.5 Secara umum ayat-ayat Al Quran tersebut mengindikasikan betapa urgennya zakat dalam kehidupan beragama dan bernegara. Urgensinya tidak hanya menyentuh kehidupan pribadi dalam konteks hablumminallah, tetapi juga bagi kehidupan publik dalam konteks hablumminannas. Dalam dimensi publik,
zakat
berpotensi
menjadi
modal
dalam
melaksanakan
pembangunan baik fisik-material maupun mental-spiritual. Oleh karena
5
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 297, 647 dan 1048.
7
itu Al Quran mensinyalir agar zakat harus dikelola dengan baik, sebagaimana disinggung dalam Surat At-Taubah ayat 103. Jika lebih luas diinterpretasikan ayat 103 Surat At-Taubah tersebut, maka zakat bukan hanya bentuk penyerahan secara sukarela dari pihak yang wajib mengeluarkannya langsung kepada mustahiq, namun zakat harus dikelola dengan baik oleh pihak atau badan yang diserahi tugas untuk itu, dan bahkan pihak atau badan tersebut dapat lebih proaktif lagi yakni dengan mendata dan menghimbau (kalau belum bisa menjemput) para pihak yang telah mencapai batas kewajiban zakat. Jika hal ini dapat dilakukan, maka zakat bukan lagi sebatas kewajiban, tetapi bisa berubah menjadi income bagi keuangan negara. Zakat memang tidak serta merta disamakan dengan pajak. Tetapi secara prinsipil ada hal yang dapat disesuaikan antara keduanya, yakni sebagai dana publik yang diserahkan kepada pihak atau badan khusus untuk kepentingan umum dan pembangunan. Dengan demikian, pihak atau badan yang mengelola zakat tersebut, seharusnya dibentuk oleh pemerintah sebagaimana halnya pajak, sehingga akuntabilitas dalam pengelolaanya akan terjamin dengan baik. Yusuf Qardhawi menyinggung beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan zakat, antara lain: 1.
Ada unsur paksaan dalam pembayaran zakat. Bila seorang muslim terlambat membayar zakat karena keengganannya, maka negara melalui pihak atau badan pengelola dapat memaksanya dan bahkah memerangi mereka yang enggan membayar zakat.
2.
Pada dasarnya zakat itu harus diserahkan kepada negara melalui amil zakat.
3.
Zakat pada zaman modern i n i mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi, politik dan sebagainya, di samping ada nilai tambahnya
8
untuk kehidupan pribadi dan masyarakat.6 Jadi, di satu sisi zakat dapat dikelola dengan baik lewat amilnya yang legitimasi serta cara kerjanya yang tegas dan bertanggungjawab. Tetapi di sisi lain, pengelolaan zakat secara baik dilihat dari arah atau tujuan kemana dana zakat tersebut akan disalurkan. Dana zakat harus disalurkan kepada pos-pos penerimanya yang sudah permanen. Pos-pos penerima zakat (mustahiq) menurut Al Quran Surat At-Taubah ayal 60, ada 8 kelompok (asnaf), yaitu fakir, miskin, pihak atau badan pengelola zakat, orang yang baru masuk Islam, hamba sahaya, orang atau badan hukum yang berhutang untuk kepentingan agama, orang yang berjuang di jalan Allah, dan musafir dengan tujuan kebaikan.7 Dalam konteks kekinian, mustahiq zakat tidak dapat hanya diartikan secara letterlik. Seperti halnya al gharimien, secara umum dapat diartikan sebagai orang (person) atau lembaga (rechtperson) yang sedang menggunakan dana pihak lain guna memenuhi kepentingan pribadi atas dasar agama atau membangun sarana-sanana bagi kepentingan agama Islam (publik). 8Begitu juga dengan fie sabilillah, pengertiannya mencakup semua kemashlahatan syariyyah secara umum, baik urusan agama maupun negara.9 Oleh karena itu, dana zakat dapat disalurkan untuk kepentingan pembangunan bidang pendidikan, ekonomi, bahkan politik dalam bentuk pertahanan dan keamanan negara, dan bukan hanya pendistribusian dana kepada orang perorang seperti pemahaman selama ini.
Kebijakan Pengelolaan Zakat. Dalam tulisan ini, yang dimaksud kebijakan pengelolaan zakat adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan program pemerintah untuk mengelola dan memanfaatkan dana zakat untuk kepentingan umum yang
Yusuf Qardhawi, Fiqhuz Zakah, (Bairut: Darul Irsyad, tt), hlm.30-31. Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, hlm.282. 8 Abdul Khaliq Nawawi, An-Nitamul Mali fie al-Islam, (Mesir: Al-Mathla’atul Fanniyyah Al-Haditsah, 1971), hlm. 109. 9 Muhd.Rasyid Ridha, Tafsir Quranil Karim, (Mesir: Al-Manar, 1353), hlm. 587. 6 7
9
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip islami, secara efektif dan efisien. Disadari bahwa perintah Al-Quran jelas mengenai kewajiban mengeluarkan zakat, tetapi Al Quran tidak secara rinci mengenai persentase bagian antara 8 asnaf, Al Quran juga tidak menetapkan bahwa zakat harus didistribusikan segera setelah dikumpulkan, atau Al Quran tidak menetapkan bahwa yang diserahterimakan itu berupa in cash (uang tunai) atau in kind (natura).10 Dengan demikian terbuka kemungkinan untuk membuat aturan terapan atas syariah yang lebih komprehensif dengan pertimbangan ruang dan waktu pelaksanaan, sehingga pengelolaan zakat dilandasi oleh kebijakan yang matang. Dalam teori kebijakan, jika sesuatu yang belum jelas atau tidak ada sama sekali ketentuannya, maka kebijakan sangat diperlukan. Pemerintah berhak untuk melahirkan kebijakan tersebut. Demikian pula dengan pola pengelolaan zakat, di mana pemerintah boleh membuat kebijakan secara lebih baik dan bertanggungjawab. Seperti halnya yang diputuskan oleh BAZIS DKI Jakarta, bahwa pembagian zakat harus bersifat edukatif, produktif dan ekonomis, sehingga pada akhirnya penerima zakat tidak memerlukan zakat lagi, dan bahwa hasil pengumpulan zakal selama belum dibagikan kepada mustahiq dapat merupakan dana yang dimanfaatkan sebagai dana pembangunan, dengan disimpan dalam bank.11 Berkenaan dengan kebijakan pengelolaan zakat, tidak sedikit pendapat ulama yang mengemukakan pendapatnya. Misalnya Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Ikrimah, Umar bin Abdul-Aziz, Daud Az-Zuhri, Sofyan As-Sauri, Abu Ubaid, Abu Huzaifah dan Ibnu Abbas, berpendapat bahwa zakat boleh dibagikan kepada satu golongan saja dari 8 asnaf itu. Bahkan menurut Abu Hanifah, zakat boleh diberikan kepada satu orang saja dari salah satu asnaf,
10 11
Rekomendasi dan Pedoman Pelaksanaan Zakat, BAZ1S DKI Jakarta, 1981, hlm. 30. Ibid, hlm. 33.
10
yai tu diberikan kepada mereka yang paling membutuhkan.12 Dalam buku Ar-Raudhatun An-Naddiyah dijelaskan tentang pembagian zakat pada satu golongan saja tidaklah bertentangan dengan firman Allah. Oleh karena diakui bahwa Al Quran telah menetapkan kalau zakat itu hanya khusus bagi 8 asnaf saja dan tidak boleh bagi lainnya. Tetapi apakah terhadap semuanya atau boleh tidak semua asnaf, tergantung situasinya dan kondisinya. Demikian pula apakah pembagian sama rata atau tidak antara 8 asnaf tersebut, tidak dijelaskan secara konkret.13 Al-Qur'an juga memberikan keleluasaan untuk format serah terimanya, tetapi tidak pada pos-pos pengeluarannya. Dengan demikian sebetulnya masih dimungkinkan untuk mencari format terbaik dalam pengelolaan dana publik tersebut dan mampu menempatkan masyarakat secara tepat sebagai pengontrol atas pos-pos pengeluaran zakat maupun arah kebijakan pemerintah atas pengelolaan dana zakat tersebut. Catatan-catatan di atas menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan dana zakat mesti ditinjau kembali. Zakat yang bermotif ibadah sosial adalah bermaksud membantu dan menggiring orang yang berada dalam kesulitan menjadi lapang atau bertambah produktif. Bukan malah menciptakan orang tetap berada dalam lingkaran kemiskinan, atau bahkan bertambah miskin. Kebijakan pengelolaan lebih legitimasi dan menyeluruh. Oleh karena selama ini, pola pengelolaan dana zakat di berbagai daerah bermacam-macam. Ada yang mengurusi zakat fitrah saja yang muncul secara insidental menjelang lebaran. Ada yang sekaligus mengurus zakat fitrah, zakat mal, infak dan sedekah. Ada pula yang mengurus semua aset umat I s lam termasuk wakaf yang kemudian berfungsi sebagai Baitul Mal. Pola pengelolaan tersebut tidak salah, tetapi kurang berhasil dan Muhayyidin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Naw awi, Al-Majmu Syarhul Muhazzab, (Mesir: Al-Imam, tt), hlm. 192. 13 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Alih Bahasa Masyuddin Syaf), (Bansung: Al-Maarif, 1986), hlm. 104-106. 12
11
berdaya guna. Seharusnya ada pola pengelolaan yang menjadi zakat sebagai kekuatan ekonomi baru. Seandainya ada 100 juta jiwa masyarakat Indonesia yang beragama Islam melakukan pengumpulan zakat fitrah lalu dikalikan denga Rp. 15.000,00 perorang, maka akan mencapai dana 1,5 triliun rupiah. Dan jika kemudian dana tersebut dapat digunakan sebagai modal usaha dan bukan hanya sebagai konsumsi sesaat masyarakat (zakat secara tradisional), hasilnya tentu akan luar biasa. Di Indonesia pengelolaan zakat telah berlangsung sejak Islam masuk ke nagara tersebut. Sepanjang sejarah Islam di Indonesia, pengelolaan zakat berlangsung dalam beberapa model dan tahap. Pertama, dilakukan oleh perorangan, seperti kiai atau ustadz. Pengelolaan zakat secara perorangan ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh pengertian masyarakat yang masih terbatas tentang tujuan dan potensi zakat. Kedua, dilakukan oleh amil zakat dalam bentuk panitia atau pengurus yang berfungsi dalam waktu tertentu. Biasanya merupakan seksi dan kepengurusan masjid, lembaga dakwah atau organisasi Islam. Ketiga, pengelolaan zakat oleh sebuah lembaga semacam BAZIS. Lembaga ini baru muncul pada awal Orde Baru. Dalam
perjalanannya,
pengelolaan
zakat
banyak
menemui
hambatan, baik politis maupun managerial. Di antara hambatanhambatan tersebut adalah: Pertama, konsepsi fiqih zakat. Pemahaman za kat yang ada dan berkembang di Indonesia hampir seluruhnya adalah r umus a n pemikiran ulama beberapa abad silam. Rumusan tersebut banyak yang memerlukan telaah ulang, untuk lebih disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekarang. Kedua, benturan kepentingan. Tidak sedikit organisasi Islam dan lembaga sosial keagamaan yang melakukan usaha-usaha untuk menghidupi organisasinya dengan mengumpulkan ZIS secara terorganisir, khawatir akan kehilangan sumber-sumber dana itu. Ketiga, sikap kurang percaya. Masyarakat Islam Indonesia sebenarnya tidak sedikit yang sadar zakat, terutama yang
12
dilaksanakan secara terkoordinir. Namun, harapan mereka seringkali pudar tatkala kemudian terbukti bahwa usaha koordinasi tersebut tidak berhasil mengumpulkan dan memanfaatkan zakat sebagaimana mestinya. Keempat, sikap tradisional, yaitu penyerahan zakat kepada kiyai atau pemimpin agama setempat yang tidak berperan sebagai amil, tetapi sebagai mustahiq.14 Oleh karena itu, lahirnya UU RI No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, perlu disambut dengan baik. Sebagai landasan yuridis dari sebuah kebijakan pemerintah, undang-undang tersebut telah memuat harapan-harapan yang selama ini belum terwujud. Hanya saja di samping sosialisasi undang-undang tersebut belum begitu berhasil, juga masih ada kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki. Misalnya belum ada ketegasan bagaimana pola pemungutan zakat, atau bagaimana bentuk pengawasan masyarakat terhadap pengelolaan dana zakat tersebut. Ke depan, kebijakan pengelolaan
zakat
di
Indonesia
mesti
diperbaiki,
sehingga
pola
pengelolaannya semakin hari akan semakin baik.
Upaya Meningkatkan Pengawasan Masyarakat. Meskipun di dalam Islam sendiri terdapat jenis-jenis penarikan yang digunakan sebagai pengganti atas zakat yang dikenakan kepada kaum non-muslim. Namun tidak serta merta zakat dapat dipersamakan dengan pajak. Memang ada hal-hal yang dipertautkan antara keduanya. Mislanya pajak dan zakat merupakan dana yang berasal dari masyarakat (public revenue), pajak dan zakat memiliki fungsi-fungsi ekonomi dan social, pajak dan zakat memiliki kekuatan hukum yang mengikat, potensi yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia untuk dikenakan pajak adalah besar dan khusus masyarakat muslim Indonesia yang memiliki potensi yang besar juga dalam penarikan zakat sebagai kewajiban agamanya, dan sebagainya. 14
Ibid, hlm. 298.
13
Di antara hal-hal yang juga penting menyangkut keduanya adalah dalam segi pengawasan. Di mana adanya keterlibatan masyarakat dalam mengawasi pengelolaan dana publik. Sehubungan dengan pengawasan dana zakat, dalam Pasal 18 UU RI No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dikatakan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan tugas badan amil zakat oleh unsur pengawas. Pimpinan unsure pengawas dipilih langsung oleh anggota unsure pengawas yang berkedudukan di semua tingkatan badan amil zakat. Dan dalam melakukan pemeriksaan keuangan, unsure pengawas dapat meminta bantuan akuntan publik. Bentuk pengawasan tersebut berupa pengawasan internal, sehingga masyarakat yang berada di luar unsur pengawas yang sudah dibentuk hampir tidak memiliki peluang untuk mengawasi pengelolaan zakat. Begitu pengawasan dalam bentuk pemeriksaan keuangan juga tidak kuat, karena pemeriksaan akuntan public bukan merukapan suatu keharusan, tetapi hanya kebolehan yang dimiliki oleh pengawas. Oleh karena itu, ke depan bentuk pengawasan dari masyarakat tidak dapat dikesampingkan lagi. Sebagai dana publik, pengelolaan zakat mesti dapat dipertanggungjawabkan kepada publik pula. Tetapi bagaimana upaya untuk meningkatkan pengawasan masyarakat yang dimaksud. Untuk itu ada beberapa upaya yang dapat dilakukan, agar pengawasan masyarakat terhadap pengelolaan zakat dapat berjalan efeklif. Pertama, adanya arah kebijaksanaan pengelolaan yang jelas; Kedua, adanya cara perhitungan zakat yang mudah dimengerti; Ketiga, adanya tingkat pemahaman masyarakat yang baik mengenai zakat; Keempat, adanya landasan hukum yang tegas mengenai pengawasan masyarakat; dan Kelima, ada tanggungjawab pribadi untuk mengawasi pengelolaan zakat.
1.
Adanya arah kebijaksanaan pengelolaan yang jelas. Arah dan kebijakan yang dimaksud adalah mengarahkan publik
14
untuk mampu kritis terhadap setiap jenis kebijakan yang dikeluarkan sesuai dengan
pembiayaan
yang
dikeluarkan
oleh
publik.
Pengagregasian
kepentingan setiap individu mampu dipenuhi oleh negara atau justru sebaliknya banyak terjadi kebocoran dana karena kemanfaatan yang dirasakan oleh publik kecil atau bahkan tidak ada sama sekali. Karena salah satu aspek penting bagi terpenuhinya kesejahteraan social adalah terpenuhinya kebutuhan setiap individu. Melalui kejelasan arah kebijakan pula, pu b l i k dapat langsung memonitor penggunaan dana yang mereka setorkan. Ketidakjelasan arah kebijakan dapat menyebabkan penvimpanganpenyimpangan dalam pelaksanaan. Ketidakjelasan yang dimaksud bukan hanya terbatas pada sebuah konsep makro tentang kebijakan akan tetapi juga sebagai terapan atas kebijakan yang seharusnya juga dapat dimengerti oleh masvarakat secara umum. Perubahan mendasar pada cara berfikir umat islam untuk menerapkan ajaran agamanya dan berlomba berbuat kebaikan di atas muka bumi akan mendorong kesadaran masyarakat melakukan pengawasan atas arah dan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah harus mampu menghasilkan keputusan-keputusan rasional, termasuk di dalamnya mengenai pemberlakuan unsur-unsur fiqh terdahulu dengan kondisi faktual. Seperti
dimaklumi,
tantangan
terbesar
umat
muslim
yaitu
munculnya kepentingan kelompok-kelompok dalam Islam telah berakibat pada hancurnya tatanan masyarakat. Di samping itu, aktivitas politik yang seringkali menjadi hambatan terbesar dalam penentuan arah dan kebijakan, sehingga dapat mempengaruhi pola fikir setiap policy makers untuk menghasilkan kebijakan publik. Seringkali kebijakan didasarkan pada kepentingan mayoritas dengan mengabaikan kepentingan minoritas lainnya, padahal kepentingan mayoritas tersebut semu karena kenyataannya juga terlahir dari kepentingan individu tertentu. Oleh karena itu, penting sekali untuk membangun paradigma cara berfikir publik dan policy makers untuk
15
membuat keputusan-keputusan rasional dan bertanggungjawab. Dengan demikian, kebijakan mengenai pengelolaan zakat harus diarahkan pada aspek keberpihakan terhadap golongan lemah maupun penerapan kebijakan yang jelas pemanfaatannya. Oleh karena masyarakat yang telah ikut mengalami perkembangan dan dinamisasi tidak dapat mengikuti suatu kebijakan yang kelihatannya memiliki cakupan terbatas tetapi masih membuka peluang bagi tumbuhnya pendefinisian lain. Tanpa ada kejelasan mengenai kebijakan pengelolaan zakat, maka tentu fungsi pengawasan masyarakat tidak akat tercapai. Masyarakat tidak akan ambil perduli, karena tidak tahu bagaimana dan kemana dana zakat dikelola.
2.
Adanya cara perhitungan zakat yang mudah dimengerti. Tujuan sesungguhnya atas perhitungan zakat adalah adanya sistematika
perhitungan, seperti halnya yang digunakan oleh Rasulullah SAW. Apabila diperhatikan lebih dalam, perhitungan Beliau menunjukkan sebuah kepedulian sosial sekaligus memperhatikan aspek perkembangan pasar. Zakat yang memiliki persentase kecil dan jumlah tertentu yang merupakan hasil produksi dan perdagangan masyarakat menunjukkan pembebanan yang kecil terhadap publik. Sedangkan sistematika perhitungan zakat seperti yang dijelaskan Rasulullah SAW merupakan pemahaman atas perkembangan masyarakat yang cenderung menuju spesialisasi kerja dan industrialisasi yang menuntut
efesiensi.
Di samping juga secara matematis angka
pertumbuhan ekonomi dan simpanan uang setiap individu berkisar antara 2,5 % - 5 % per tahunnva. Unsur kemudahan dalam cara penghitungan zakat selalu d i j a d i k a n tawaran menarik buat publik. Di balik penghitungan zakat i tu pula diberikan sebuah kepastian akan kewajiban yang ada d a la m zakat, dan bukan sekedar ibadah ritualitas belaka. Namun ada perhitungan matematis yang menyeluruh beserta implikasi sosial yang dibawanya.
16
Penghitungan zakat seharusnya memiliki kemajuan dalam jenis pendapatan yang terkena wajib zakat. Oleh karena pada dasarnya tidak dapat membedakan pembebanan atas masyarakat yang tidak memiliki kemampuan menanggung beban dengan yang memiliki kemampuan untuk menanggung beban. Kemudahan yang diberikan pada cara perhitungan zakat i n i pula yang kemudian ik ut menguatkan pandangan publik tentang keseriusan pemerintah untuk mengelola dana yang mereka berikan. Kelompok-kelompok sosial yang selama ini ikut melakukan pengelolaan dana-dana yang berasal dari masyarakat yang tidak digarap oleh pemeritah seperti zakat, akan cenderung melakukan strategi defensif terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerinlah. Pelibatan kelompok-kelompok sosial tersebut akan menguatkan kepercayaan publik terhadap kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah. Peran-peran strategis yang dimiliki oleh kelompok-kelompok sosial hendaknya dimanfaatkan oleh pemerintah. Tidak hanya sebatas pelibatan dalam proses mobilisasi dana, akan tetapi juga pelibatan dalam penentuan kebijakan pemerintah, terutama berkaitan dengan masalah teknik perhitungan dan jumlah yang pantas dikenakan atau dibebankan kepada publik. Sebelum adanya titik temu antar ulama dalam figh tentang keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan dana zakat, maka kelompok-kelompok sosial tersebut akan terus melakukan kegiatan pengumpulan dana masyarakat yang berasal dari zakat. Jadi, kemudahan dalam cara menghitung wajib zakat akan menunjang peran serta masyarakat dalam mengawasi pengelolaan zakat. Dan tidak hanya sampai di situ, kemudahan dalam cara menghitung wajib zakat juga akan menggerakkan kesadaran masyarakat untuk memenuhi kewajiban zakat karena mengetahui ukuran nisab hartanya, sekaligus dapat memperkecil ruang gerak kelompok-kelompok sosial di luar pemerintah yang seringkali melakukan kegiatan pengumpulan dana masyarakat, seperti melalui zakat, infaq, sedaqah, hibah dan sebagainya.
17
3.
Adanya tingkat pemahaman masyarakat yang baik mengenai zakat. Peter Ducker dalam bukunya The Effective Executive, menyatakan
bahwa kebiasaan yang berakhir tanpa dipikirkan ( i n thinking habit) telah menjadi kondisi tak sadar (reflex condition), tetapi sebelumnya harus merupakan pengetahuan yang dipelaiari dan dibiasakan.15 Sedangkan K.J. Gladden dalam bukunya The Essensial of Public Administration, menganggap i l m u sama dengan keterampilan, hanya keterampilan diperoleh melalui latihan dan belajar.16 Selanjutnya definisi tentang masyarakat yang bisa d itemuk an di banvak literatur-literatur sosiologi maupun ungkapan para teoritisi dalam ilmu-ilmu
kemasyarakatan seperti Plato (429-347 SM) yang banvak
digunakan oieh ilmuan-ilmuan selanjutnya sebagai dasar pendefinisian atas masyarakat. Dalam pandangan Plato masyarakat sebenarnya merupakan relleksi dan manusia perorangan. 17 Dengan dasar pengetahuan yang dimiliki, masyarakat akan dapat menentukan kekuatan kontrol masyarakat. Kemandirian masyarakat akan lebih terbentuk, sehingga intervensi pemerintah atas bidang-bidang yang dapat dipenuhi oleh pasar tidak perlu dilakukan oleh pemerintah. Efesiensi dalam membangun fungsi-fungsi sosial melalui penggunaan dana yang berasal dari masyarakat menjadi semakin berkurang dan meningkatkan kualitas pelayanan sosial yang lain. Konsekuensi yang diterima atas keberadaan masyarakat yang berilmu ini adalah kontrol atas pemerintah berada pada masyarakat bukan pada masyarakat politik maupun sekelompok orang saja. Oleh sebab itu, pemahaman masyarakat yang menyeluruh tentang zakat tidak perlu diartikan sebagai penggantian totalitas atas pajak. Bila
Inu Kencana Syafi’i, Al Quran dan Ilmu Administrasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 27. 16 Ibid. 17 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 32. 15
18
masyarakat memiliki keberdayaaan seperti halnya masyarakat sipil pada zaman Plato atau bahkan gambaran masyarakat ideal di Madinah maka keikutsertaan
masyarakat
dalam
pengambilan
kebijakan
yang
menyangkut tentang hajat hidup orang banyak dan perilaku sosial bukan menjadi sesuatu hal yang mustahil. Pemahaman masyarakat juga tidak dapat dipaksakan dalam proses waktu yang singkat, akan tetapi ia dapat direncanakan dan diarahkan untuk melakukan percepatan atas pemahaman keadaan mereka saat ini me nuju ke keadaan yang jauh lebih baik.
4.
Ada landasan hukum yang tegas mengenai pengelolaan zakat. Indonesia adalah negara hukum. Sebuah prinsip konstitusional yang tak
terbantahkan. Dan ketika membicarakan tentang konsep sebuah negara yang adil maka keadilan tidak dapat melepaskan diri dari kekuatan hukum. Seperti halnya agama tidak akan berjalan efektif bila tak ada ketaatan bagi umatnya, bahkan tak ada kemajuan yang dapat dicapai karena segalanya didasarkan atas hukum rimba. Manusia juga diibaratkan srigala atas yang lain dan siap saling memangsa atau minimal berebut mangsa. Tidak heran bila kemudian dalam kehidupan yang menganut tatanan sosial terkecil ada peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa-penguasa kecil yaitu kepala keluarga. Dengan demikian tidak salah bila dalam sebuah tatanan masyarakat yang semakin kompl eks maka tat an an hukum yang ada pun mampu mengayomi dan melindungi segenap anggota keluarga besarnya. Pengakuan eksistensi kelompok dalam membangun hukum yang k u a t berkaitan langsung dengan proses politik yang mempengaruhi hampir
seluruh
aspek
kehidupan
manusia
yang
berkelompok.
Primodialisme sampai pada pembelaan atas kepentingan kelompok adalah bagian dan dinamika politik. Keikutsertaaan masyarakat dalam proses politik dianggap menggambarkan aspirasi masyarakat dan loyalitas terhadap
19
pemerintah. Oleh karena itu, pengelolaan dana zakat merupakan bagian dan proses menuju kemandirian. Hukum yang berakar kuat di masyarakat pada
dasarnya
dibuat
untuk
memaksimalkan
fungsi-fungsi
kemasyarakatan. Kekuatan pengawasan masyarakat hanya mungkin terjadi apabila hukum menjamin masyarakat untuk mampu berdiri sejajar antar anggota masyarakat, antar masyarakat maupun antara pemerintah dengan masyarakat.
5.
Adanya tanggungjawab pribadi untuk mengawasi pengelolaan zakat. Harus disadari bahwa sebenaranya masyarakatlah yang membangun
kerajaan sekaligus kuburan bagi dirinya sendiri. Akan tetapi di sinilah kemudian justru cerminan atas pengakuan pribadi sebagai aktor utama dalam penentuan kebijakan yang terjadi. Baik pimpinan maupun orang biasa, di mana setiap pribadi memegang kendalinya masing-masing dan menjadi policy makers atas dirinya sendiri. Pengendalian masyarakat yang terbentuk dari pengendalian setiap pribadi, membutuhkan sebuah kerangka pijakan yang sama untuk menentukan langkah-langkah dalam membangun tatanan sosial yang sama pula. Membangun fungsi-fungsi sosial melalui pilar-pilar pribadi hingga memiliki serangkaian idealisme yang tidak jauh berbeda. Telah
dicontohkan
oleh
sekelompok
umat
manusia
dalam
membangun kekuatan masyarakat melalui pembangunan kekuatan internal (pribadi) masyarakatnya. Masyarakat Madinah di zaman Rasulullah SAW dan masyarakat sipil pada zaman Plato melalui kesadaran setiap pribadi untuk menggunakan kekuatan rasio mereka dalam mencerna dan menggerakan energi pengendalian diri. Cerminan pada kekuatan zakat yang terlahir dari sebuah ajaran agama yang digunakan untuk kegiatan kemasyarakatan telah membuktikan
20
bahwa agama bukan penghalang bagi tumbuhnya peradaban manusia. Dan justru ia menjadi sumber pengawasan internal yang dapat membangun peradaban manusia itu sendiri. Manusia memang diajarkan untuk selalu belajar dari pengalaman dan ini pula yang membuat manusia dapat menentukan kebijakan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Kelompokkelompok yang terbentuk akan berjalan efektif bila pengawasan internal dalam setiap pribadi juga berjalan. Dalam Al Quran Surat Yunus ayat 31 Allah SWT telah menyampaikan sindiran-Nya: “Katakanlah: “Siapa yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapa yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapa yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapa yang mengatur segala urusan? Maka mereka menjawab: “Allah”. Maka katakalah: “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepadaNya)?" 18 Demikian pula Allah SWT berfirman dalam Al Quran Surat Al Israa’ ayat 36: “… Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabnya.” 19 Ketidakpedulian setiap pribadi terhadap berbagai peristiwa sosial, termasuk dalam hal pengelolaan zakat, akan merugikan dirinya sendiri, karena pada akhirnya tetap diminta peratnggungjawabannya oleh Allah SWT. Oleh karenanya, lebih baik dan memang seharusnya setiap pribadi melakukan pengawasan terhadap pengelolaan zakat sebagai bentuk bangunan moralitas untuk saling peduli dan berbagi dalam menanggung beban bersama. Dan memang moralitas dari zakat dan peranan pemerintah yang besar pada zakat telah mengkombinasikan keduanya untuk melakukan fungsi-fungsi kesejahteraan sosial dan kenegaraan secara bersama-sama. Dengan demikian, sebagai sebuah kekuatan dari dalam, melalui pribadi-pribadi yang tangguh,
18 19
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, hlm. 331. Ibid, hlm. 426.
21
maka pengawasan sosial yang kuat dapat dijalankan. Masyarakat menentukan pilihannya atas dasar pertimbangan rasional yang juga berasal dari kekuatan kontrol pribadinya. Oleh karena kemampuan zakat untuk menumbuhkan semangat dan kesadaran pengawasan pribadi atau menumbuhkan tanggungjawab pribadi telah membuktikan diri sebagai instrumen pelatihan yang baik atas kebijakan pemerintah. Sehingga setiap pribadi dapat menyadarai bahwa zakat yang berasal dari konsep agama, dan telah dibuktikan oleh sebagian komunitas manusia, ternyata mampu mengangkat harkat dan derajat manusia baik sebagai mahluk sosial, mahluk individu dan sekaligus mahluk Tuhan.
Penutup. Zakat oleh para ahl fiqh hanya dimaknai sebagai sebuah kebijakan pengumpulan dana masyarakat, untuk kemudian disalurkan kembali pada masyarakat sebagai bentuk pemerataan pendapatan -jalur redistribusi dari si kaya kepada si miskin. Sementara itu, kompleksitas kehidupan sosial dari waktu ke waktu semakin bertambah. Satu indikasi yang paling kelihatan untuk membedakan masyarakat muslim saat ini dengan masyarakat muslim terdahulu adalah kekuatan untuk menerapkan hukum Allah SWT sesuai dengan keadaan yang dihadapi oleh masyarakat tersebut. Dengan demikian, ditemui hambatan besar pada unsur hukum dan penerapannya, atau masih sedikitnya para pembuat kebijakan (decision makers) dalam masyarakat muslim yang menguasai ilmu-ilmu terapan sekaligus ilmu-ilmu pokok dalam khasanah keilmuan masyarakat muslim, di mana penguasaan atas Al Quran dan As Sunnah secara benar dan konsisten tanpa pernah takut untuk dibenarkan oleh orang maupun keadaan yang lain. Sementara zakat yang diartikan secara sosiologis bermakna sebagai sebuah kekuatan yang dimiliki
oleh
masyarakat
untuk
melakukan
partisipasi
sekaligus
pengawasan terhadap pemerintah. Dengan pemahaman ini maka semua
22
perilaku sosial bermakna ibadah dalam masyarakat muslim. Oleh karena itu, penting sekali untuk meningkatkan peran masyarakat dalam melakukan pengawasan atau koreksi terhadap pemerintah melalui
pengelolaan
zakat
sebagai
dana
publik.
Dan
untuk
meningkatkan peran tersebut, maka ada beberapa upaya yang mesti dilakukan. Pertama, adanya arah kebijaksanaan pengelolaan yang jelas; Kedua, adanya cara perhitungan zakat yang mudah dimengerti; Ketiga, adanya tingkat pemahaman masyarakat yang baik mengenai zakat; Keempat, adanya landasan hukum yang tegas mengenai pengawasan masyarakat; dan Kelima, ada tanggungjawab pribadi untuk mengawasi pengelolaan zakat. Dengan begitu, diharapkan akan tumbuh budaya pengawasan dalam masyarakat Indonesia (social control) melalui pengelolaan zakat sebagai dana publik. Apabila pengawasan dapat berjakan dengan efektif, maka upaya untuk mewujudkan akuntabilitas pengelolaan dana publik juga akan tercapai. Di sinilah pentingnya bagi masyarakat untuk mengetahui bahwa mereka adalah pusat dari perubahan itu dan bukan pada penguasa ataupun kelompokkelompok tertentu.
23
BAHAN BACAAN
An-Nawawi, Muhayyidin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf, Al-Majmu Syarhul Muhazzab, Mesir: Al-Imam, tt. Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1989. Harmon, Michael M,. Responsibility as Paradox: a Critique of Rational Discourse on Government, New Delhi: International Educational and Professional Publisher, Thousand Oaks London, 1995. Jabbra, Joseph G., and Dwivedi, O. P., Public service Accountability: A Comparative Persepective, Colarado USA: Kumarin Press,1988. Mandica, Notrida, Desentralisasi Anggaran Daerah dan Akuntabilitas Publik, Dalam Harian Kompas, Tanggal 12 Juni 2001. Nawawi, Abdul Khaliq, An-Nitamul Mali fie al-Islam, Mesir: Al-Mathla’atul Fanniyyah Al-Haditsah, 1971. Qardhawi, Yusuf, Fiqhuz Zakah, Bairut: Darul Irsyad, tt. Ridha, Muhd. Rasyid, Tafsir Quranil Karim, Mesir: Al-Manar, 1353H. Rekomendasi dan Pedoman Pelaksanaan Zakat, BAZ1S DKI Jakarta, 1981. Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, (Alih Bahasa Masyuddin Syaf), Bansung: Al-Maarif, 1986. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. Syafi’i, Inu Kencana, Al Quran dan Ilmu Administrasi, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
24