2
DINAMIKA MODEL PENYEMBUHAN SEL DARAH PUTIH KARENA ADANYA VIRUS HIV DENGAN TERAPI PROTEASE INHIBITOR
DWI LARA NOLAVIA YUNITA
DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
2
ABSTRACT DWI LARA NOLAVIA YUNITA. Model’s Dynamics for Lymphocytes Recovery on the HIV presence with Protease Inhibitor Therapy. Supervised by ALI KUSNANTO and JAHARUDDIN. HIV is a member of retrovirus that especially attacks lymphocytes or white blood cells, known as CD4+ T cells. New T cells created from sources within the body such as the thymus and by proliferation of existing T cells. In this paper, influence of protease inhibitor therapy in HIV dynamics will be analyzed. The influence can be categoried in three models, which are model HIV without drug therapy, model HIV with protease inhibitor and model T cell recovery. In the models, three parameters which are uninfected cells population, infected cells population and virus population are studied. From HIV without drug therapy model it is obtained two types fixed point which are uninfected fixed point and infected fixed point. The stability of fixed point depends on basic reproduction number which is influenceed by the total number of virus produced by a cell during its lifetime. From HIV with protease inhibitor therapy model it is obtained two type fixed points. The stability of fixed point depends on basic reproduction number. Other than influenceed by the total number of virus produced by a cell during its lifetime, basic reproduction number of this model also affected by the effectiveness of a protease inhibitor. Basic reproduction number of this model is smaller than that of model HIV without drug therapy. In the model T cell recovery, new T cells created only from sources within the body, and T cells can be invulnerable to HIV infection after the therapy. From the model it is obtained only one fixed point that is uninfected fixed point. The stability of fixed point depends on basic reproduction number. The total number of virus produced by a cell during its lifetime and the effectiveness of a protease inhibitor determine the basic reproduction number. Basic reproduction number of this model is smallest than that of other models.
2
ABSTRAK DWI LARA NOLAVIA YUNITA. Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih karena Adanya Virus HIV dengan Terapi Protease Inhibitor. Dibimbing oleh ALI KUSNANTO dan JAHARUDDIN. HIV termasuk salah satu retrovirus yang secara khusus menyerang sel darah putih, yang dikenal sebagai sel T CD4+. Selain dihasilkan dari sumber di dalam tubuh, sel T baru juga dihasilkan melalui proliferasi sel T yang ada. Pada tulisan ini, dibahas pengaruh terapi protease inhibitor terhadap infeksi HIV. Dalam model yang akan dikonstruksi terdapat tiga variabel, yaitu sel T tidak terinfeksi, sel T terinfeksi dan virus. Pengaruh terapi tersebut akan dijelaskan pada tiga model, yaitu model HIV tanpa terapi obat, model HIV dengan terapi protease inhibitor dan model penyembuhan sel darah putih. Pada model HIV tanpa terapi obat diperoleh dua titik tetap, yaitu titik tetap tidak terinfeksi dan titik tetap terinfeksi. Kestabilan titik tetap tersebut bergantung pada bilangan reproduksi dasar. Bilangan reproduksi dasar ini dipengaruhi oleh banyaknya virus yang dihasilkan oleh sel T terinfeksi. Pada model HIV dengan terapi protease inhibitor juga diperoleh dua titik tetap. Kestabilan titik tetap tersebut bergantung pada bilangan reproduksi dasar. Selain dipengaruhi oleh banyaknya virus yang dihasilkan oleh sel T terinfeksi, bilangan reproduksi dasar model ini juga dipengaruhi oleh besarnya efektifitas protease inhibitor. Bilangan reproduksi dasar model HIV dengan terapi protease inhibitor lebih kecil dibandingkan dengan model HIV tanpa terapi obat. Pada model penyembuhan sel darah putih, sel ini hanya dihasilkan oleh sumber di dalam tubuh dan setelah terapi dimulai, sel T menjadi kebal terhadap infeksi HIV. Dari model ini hanya diperoleh satu titik tetap tidak terinfeksi yang kestabilannya juga dipengaruhi oleh bilangan reproduksi dasar. Bilangan reproduksi dasar ini dipengaruhi oleh banyaknya virus yang dihasilkan oleh sel T terinfeksi dan besarnya efektifitas protease inhibitor. Bilangan reproduksi dasar model penyembuhan sel darah putih paling kecil dibandingkan model lainnya.
2
DINAMIKA MODEL PENYEMBUHAN SEL DARAH PUTIH KARENA ADANYA VIRUS HIV DENGAN TERAPI PROTEASE INHIBITOR
DWI LARA NOLAVIA YUNITA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Matematika
DEPARTEMEN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
2
Judul Skripsi : Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih karena Adanya Virus HIV dengan Terapi Protease Inhibitor Nama : Dwi Lara Nolavia Yunita NIM : G54053462
Disetujui Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Ali Kusnanto, M.Si. NIP. 19650820 199003 1 001
Dr. Jaharuddin, MS. NIP. 19651102 199302 1 001
Diketahui
Dr. Drh. Hasim, DEA. NIP. 19610328 198601 1 002 Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Tanggal Lulus:
2
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaian karya ilmiah yang berjudul “Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih karena Adanya Virus HIV dengan Protease Inhibitor “. Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW, sahabat dan keluarga, serta para pengikutnya sampai akhir zaman. Keterbatasan dan ketidaksempurnaan membuat penulis membutuhkan bantuan, dukungan dan semangat dari orang-orang, baik secara langsung ataupun tidak langsung yang berkontribusi besar dalam pembuatan karya ilmiah ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Drs. Ali Kusnanto, M.Si. selaku pembimbing pertama dan Dr. Jaharuddin, MS. selaku pembimbing kedua, terima kasih atas kesabaran dan bimbingannya selama ini. 2. Dr. Siswandi, M.Si. selaku penguji dan moderator seminar. 3. Ayah, Ibu dan keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan serta doa restunya selama penulis menempuh pendidikan. Kakakku Farah, adikku Gilang teruslah berjuang untuk mencapai cita-cita. 4. Sukarya yang selalu setia menemani dan memberikan dukungannya. 5. Sahabat-sahabat yang selalu memberikan dukungannya dan semangatnya serta nasehat-nasehat yang berharga bagi penulis. 6. Teman-teman kosan. Raihana Crew: Mba Mimil, Mba Adis, Mba Diah, Mba Mega, Mba Ipik, Mba way, Mba Rika, Giga, Rya, Kokom, Zizah, Yuli, Tatik, Yeni, Kasih, Rani, Hilda dan Danah. Terima Kasih atas kebersamaannya. 7. Teman-teman angkatan 42 : Hesti, Yusep, Ridwan, Lela, Titi, Siti, Tia, Qnun, Boy, Ricken, Ocoy, Ayu, Dian, Ilyas, Vera, Niken, Vino, Mega, Hikmah, Vita, Jane, dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 8. Warno, Nyoman dan Agnes, terima kasih telah bersedia menjadi pembahas. 9. Teman-teman angkatan 41, 43, 44 dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 10. Seluruh Dosen Departemen Matematika IPB yang telah bersusah payah memberikan ilmunya kepada kami. Staf Departemen Matematika IPB (Ibu Susi, Ibu Ade, Mas Bono, Mas Yono, Mas Denny, Mas Hery dll.) terima kasih atas bantuannya selama ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bemanfaat bagi semua pihak.
Bogor, September 2009
Dwi Lara Nolavia Yunita
2
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Juni 1987 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Daryo dan Tarwiyah. Adapun riwayat pendidikan, penulis mengikuti sekolah dasar di SD Negeri 11 Jakarta dari tahun 1993 sampai 1999, sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 31 Jakarta dari tahun 1999 sampai 2002, sekolah menengah umum di SMU Negeri 108 Jakarta dari tahun 2002 sampai 2005. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan ke perguruan tinggi melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Departemen Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.
2
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................................
viii
I
PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1.2 Tujuan ...................................................................................................................
1 1 1
II
LANDASAN TEORI .....................................................................................................
2
III
PEMBAHASAN ............................................................................................................. 3.1 Model HIV tanpa terapi obat ................................................................................. 3.1.1 Titik Tetap ................................................................................................ 3.1.2 Analisis Kestabilan Titik Tetap ................................................................. 3.1.3 Dinamika Model HIV tanpa Terapi Obat ................................................. 3.2 Model HIV dengan Protease Inhibitor .................................................................. 3.2.1 Titik Tetap ................................................................................................ 3.2.2 Analisis Kestabilan Titik Tetap ................................................................. 3.2.3 Dinamika Model HIV dengan Terapi Protease Inhibitor .......................... 3.3 Model Penyembuhan Sel Darah Putih .................................................................... 3.3.1 Titik Tetap ................................................................................................ 3.3.2 Kestabilan Titik Tetap .............................................................................. 3.3.3 Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih .....................................
5 6 6 7 8 12 12 14 17 20 22 23 24
IV SIMPULAN .....................................................................................................................
28
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................
29
LAMPIRAN ............................................................................................................................
31
2
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6
Diagram infeksi virus HIV ................................................................................................ Bifurkasi transcritical untuk model HIV tanpa terapi obat ............................................... Dinamika populasi T , T * dan V ketika N = 50 ............................................................... Dinamika populasi T , T * dan V ketika N = 70 ............................................................... Dinamika populasi T , T * dan V ketika N = 80 ............................................................... Orbit kestabilan di sekitar (T , T *, V ) ketika N = 150 ........................................................
7 Orbit kestabilan di sekitar (T , T *, V ) ketika N = 180 ........................................................
5 8 9 9 9 9 10
8 Orbit kestabilan di sekitar (T , T *, V ) ketika N = 240 .......................................................
10
9 Dinamika populasi T , T * dan V ketika N = 150 dan R0 = 1.5 .......................................
11
10 Dinamika populasi T , T * dan V ketika N = 180 dan R0 = 1.8 .......................................
11
Dinamika populasi T , T * dan V ketika N = 240 dan R0 = 2.4 ...................................... Peran protease inhibitor terhadap virus HIV ..................................................................... Bifurkasi Transcritical untuk model HIV Tanpa Terapi Obat .......................................... Orbit kestabilan di sekitar (T , T *, V ) ketika ηPI = 0.6 dan R0 = 0.96 ..............................
13 13 16 16
11 12 13 14
15 Orbit kestabilan di sekitar (T , T *, V ) ketika ηPI = 0.7 dan R0 = 0.72 ..............................
16
16 Orbit kestabilan di sekitar (T , T *, V ) ketika ηPI = 0.8 dan R0 = 0.48 ...............................
16
17 Dinamika populasi T , T * dan V ketika ηPI = 0.6 dan R0 = 0.96 ..................................
17
18 Dinamika populasi T , T * dan V ketika ηPI = 0.7 dan R0 = 0.72 .................................. 19 Dinamika populasi T , T * dan V ketika ηPI = 0.8 dan R0 = 0.48 ...................................
20 Orbit kestabilan di sekitar (T , T *, V ) ketika ηPI = 0.2 dan R0 = 1.92 .............................. 21 Orbit kestabilan di sekitar (T , T *, V ) ketika ηPI = 0.3 dan R0 = 1.68 ...............................
18 18 19 19
22 Orbit kestabilan di sekitar (T , T *, V ) ketika ηPI = 0.4 dan R0 = 1.44 ..............................
20
23 Dinamika populasi T , T * dan V ketika ηPI = 0.2 dan R0 = 1.92 ...................................
20
24
21
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Dinamika populasi T , T * dan V ketika ηPI = 0.3 dan R0 = 1.68 .................................... Dinamika populasi T , T * dan V ketika ηPI = 0.4 dan R0 = 1.44 ................................... Orbit kestabilan di sekitar (T , T *, V ) ketika ηPI = 0.6 dan R0 = 0.8 ................................ Orbit kestabilan di sekitar (T , T *, V ) ketika ηPI = 0.7 dan R0 = 0.6 ................................ Orbit kestabilan di sekitar (T , T *, V ) ketika ηPI = 0.8 dan R0 = 0.4 ................................. Dinamika populasi T , T * dan V ketika ηPI = 0.6 dan R0 = 0.8 ................................... Dinamika populasi T , T * dan V ketika ηPI = 0.7 dan R0 = 0.6 ................................... Dinamika populasi T , T * dan V ketika ηPI = 0.8 dan R0 = 0.4 .................................... Dinamika populasi T , T * dan V ketika ηPI = 0.2 dan R0 = 1.6 ................................... Dinamika populasi T , T * dan V ketika ηPI = 0.3 dan R0 = 1.4 .................................... Dinamika populasi T , T * dan V ketika ηPI = 0.4 dan R0 = 1.2 ...................................
21 24 24 24 25 25 26 27 27 28
2
DAFTAR TABEL Halaman 1 Nilai parameter ................................................................................................................... 2 Kondisi kestabilan titik tetap dari model HIV tanpa terapi obat ........................................ 3 Kondisi kestabilan titik tetap dari model HIV dengan protease inhibitor .........................
6 8 15
2
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5 6
Pembuktian Teorema 2 ...................................................................................................... Penentuan Titik Tetap Tak Terinfeksi Model HIV tanpa terapi obat ................................ Penentuan Titik Tetap Terinfeksi Model HIV tanpa terapi obat ....................................... Penentuan Nilai Eigen Titik Tetap Tak Terinfeksi E1 dengan Mathematica ..................... Penentuan Nilai Eigen Titik Tetap Terinfeksi dengan Mathematica ................................. Dinamika HIV tanpa terapi obat untuk R0 < 1 ...................................................................
31 31 32 32 33 34
7 Orbit Kestabilan Sistem Model HIV tanpa terapi obat untuk R0 > 1 .................................
36
Dinamika Model HIV tanpa terapi obat untuk R0 > 1 ....................................................... Penentuan Titik Tetap Tak Terinfeksi untuk Model HIV dengan Protease Inhibitor ....... Penentuan Titik Tetap Terinfeksi untuk Model HIV dengan Protease Inhibitor .............. Penentuan Nilai Eigen Titik Tetap Tak Terinfeksi dengan F1 = (Tss1 , 0, 0, 0 ) dengan Mathematica ..........................................................................................................
38 40 41
8 9 10 11
(
)
41
12 Penentuan Nilai Eigen Titik Tetap Terinfeksi F3 = Tss 2 , T *,VI ,VNI dengan Mathematica ...................................................................................................................... 13 Orbit Kestabilan Sistem Model HIV dengan Protease Inhibitor untuk R0 < 1 ..................
42 43
14 Orbit Kestabilan Sistem Model HIV dengan Protease Inhibitor untuk R0 > 1 ..................
45
15 Dinamika Viral dengan Protease Inhibitor untuk R0 < 1 ..................................................
46
16 Dinamika Viral dengan Protease Inhibitor untuk R0 > 1 .................................................. 17 Penentuan Titik Tetap Model Penyembuhan Sel Darah Putih ........................................... 18 Penentuan nilai eigen titik tetap F = (Tss 3 , 0, 0, 0 ) dengan Mathematica .........................
49 51 52
19 Orbit Kestabilan Sistem Model Penyembuhan Sel Darah Putih untuk R0 < 1 ...................
52
20 Dinamika Model Akibat dari Penyembuhan Sel Darah Putih untuk R0 > 1 ......................
53
21 Dinamika Model Akibat dari Penyembuhan Sel Darah Putih untuk R0 > 1 ......................
55
2
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah sindrom (kumpulan gejala) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat terinfeksi HIV. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan sejenis retrovirus (virus yang dapat menggandakan dirinya sendiri pada sel yang ditumpanginya) yang merusak sistem kekebalan tubuh terutama sel darah putih. Sel darah putih ini berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit, kuman, bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh. HIV hidup di semua cairan tubuh tetapi hanya bisa menular melalui cairan tubuh tertentu yaitu darah, sperma, cairan vagina dan ASI. Penularan dapat terjadi melalui hubungan seksual, transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, kelahiran dan masa menyusui. Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 merupakan sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia, HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk ke dalam tubuh. Sementara HIV-2 sulit dimasukkan dan kebanyakan berada di Afrika Barat (Reeves dan Doms, 2002). Target utama dari infeksi HIV adalah suatu kelas limposit, (sel darah putih), yang dikenal sebagai sel T CD4+. Jumlah sel T CD4+ normal adalah sekitar 1000 mm-3, jika jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 mm-3, maka pada kondisi ini individu diklasifikasikan terkena AIDS. Sel T CD4+ merupakan bagian penting dari sistem kekebalan tubuh, dan jika jumlahnya menyusut, maka sistem tersebut menjadi terlalu lemah untuk melawan infeksi. Infeksi HIV menyebabkan deplesi imunitas sel terutama sel T CD4+ dan juga menyebabkan menurunnya fungsi sel tersebut. Seseorang yang positif mengidap HIV, belum tentu mengidap AIDS. Banyak kasus di mana seseorang positif mengidap HIV, tetapi tidak menjadi sakit dalam waktu yang lama. Namun, HIV yang ada pada tubuh seseorang akan terus merusak sistem kekebalan tubuh. Akibatnya, virus dan bakteri yang biasanya tidak berbahaya menjadi sangat berbahaya karena rusaknya sistem kekebalan tubuh. Sampai saat ini HIV/AIDS belum dapat disembuhkan secara total, namun berbagai
usaha dilakukan untuk mengembangkan obatobatan yang dapat mengatasinya. Pengobatan yang berkembang saat ini, targetnya adalah enzim-enzim yang dihasilkan oleh HIV dan diperlukan oleh virus tersebut untuk berkembang. Enzim-enzim ini dihambat dengan menggunakan inhibitor yang akan menghambat kerja enzim-enzim tersebut dan pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan virus HIV. Salah satu inhibitor yang digunakan pada pengobatan HIV yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah protease inhibitor. Beberapa model telah dikembangkan untuk mendeskripsikan sistem kekebalan tubuh, interaksi sistem kekebalan tubuh dengan HIV dan penurunan jumlah sel T CD4+. Baik model stokastik maupun model deterministik telah dikembangkan. Model stokastik, seperti model yang dikembangkan oleh Merrill (1989) bertujuan untuk memperkirakan awal peristiwa suatu penyakit ketika jumlah sel terinfeksi dan virus sedikit. Sementara model deterministik, seperti yang dikembangkan oleh Dolezal dan Hraba (1989), Hraba et al (1990), Anderson dan May (1989), dan Perelson (1989) diterapkan pada analisis dengan populasi berukuran sedang maupun besar. Pada model deterministik dijelaskan dinamika sel T CD4+ dan populasi virus baik tanpa terapi maupun dengan terapi obat-obatan. Pada tulisan ini akan dibahas tiga model deterministik dari Alan S. Perelson dan Patrick W. Nelson (1998). Pada ketiga model dijelaskan perubahan populasi sel T tidak terinfeksi maupun terinfeksi HIV dan perubahan populasi virus. Model I, yaitu model HIV tanpa terapi obat, model II, yaitu model HIV dengan terapi protease inhibitor dan model III, yaitu model penyembuhan sel darah putih. 1.2 Tujuan Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah 1. menganalisis kestabilan dan perilaku serta menampilkan grafik solusi numerik dari model I, II dan III; 2. menganalisis pengaruh penggunaan protease inhibitor dengan efektifitas yang berbeda pada model II dan III.
2
II LANDASAN TEORI Pemodelan matematika dapat digunakan untuk mengamati pertumbuhan suatu virus, termasuk untuk mengamati pertumbuhan virus HIV di dalam tubuh. Model HIV dari Alan S. perelson dan Patrick W. Nelson adalah sistem persamaan diferensial taklinear. Teori sistem persamaan diferensial, pelinearan, serta kestabilannya akan dirangkum dari buku (Farlow 1994), (Verhulst 1990), (Tu 1994), (Anton 1995) dan (Fisher 1990). Pertama akan dibahas konsep dari sistem persamaan diferensial linear (SPDL). Misalkan suatu persamaan diferensial orde-1 dinyatakan sebagai berikut x + a (t ) x = g (t )
(2.1)
dengan a ( t ) dan g ( t ) adalah fungsi dari waktu
(t ) .
Bila a ( t ) adalah suatu matriks
berukuran n × n dengan koefisien konstan dan g ( t ) dinyatakan sebagai vektor konstan b maka diperoleh bentuk SPDL sebagai berikut dx = x = Ax + b . dt
(2.2)
Selanjutnya akan dibahas konsep dari sistem persamaan linear mandiri. Misalkan diberikan suatu sistem persamaan diferensial orde-1 sebagai berikut dx = x = f ( x, y ) dt dy = y = g ( x, y ) dt
x * dikatakan titik tetap stabil, jika untuk sembarang ε > 0 terdapat r > 0 sedemikian sehingga jika posisi awal x0 memenuhi
x 0 -x* < r , maka solusi x (t ) − x * < ε ,
untuk
x ( t ) memenuhi
setiap
t >0.
Sebaliknya, titik x * dikatakan titik tetap tidak stabil, jika untuk sembarang ε > 0 dan yang r > 0 , terdapat posisi awal memenuhi x 0 -x* < r , sehingga berakibat solusi x ( t ) memenuhi x ( t ) − x * ≥ ε , untuk sedikitnya satu t > 0 . Untuk menganalisis kestabilan titik tetap dari suatu SPD taklinear, dapat dilakukan dengan pelinearan pada sistem persamaan diferensialnya. Untuk suatu SPD taklinear, analisis kestabilannya dilakukan melalui pelinearan. Misalkan diberikan SPD taklinear sebagai berikut x = f ( x ) :x ∈ R n .
(2.5)
Dengan menggunakan ekspansi Taylor untuk suatu titik tetap x * , maka persamaan (2.5) dapat ditulis sebagai berikut x = Ax + ϕ ( x ) ,
(2.6)
dengan (2.3)
dengan f dan g fungsi kontinu bernilai real yang dinyatakan dalam x dan y , serta fungsi-fungsi tersebut tidak berubah terhadap waktu, maka sistem (2.3) disebut sistem persamaan diferensial mandiri. Selanjutnya akan dibahas titik tetap suatu sistem persamaan diferensial dan kestabilannya. Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial (SPD) sebagai berikut dx = x = f ( x ) ,x ∈ R n . dt
nilai awal x ( 0 ) = x0 dengan x0 ≠ x * . Titik
(2.4)
Titik x * disebut titik tetap atau titik keseimbangan, jika memenuhi f ( x* ) = 0 . Misalkan titik x * adalah titik tetap SPD (2.4) dan x ( t ) adalah solusi SPD mandiri dengan
A = Df ( x * ) = Df ( x )x=x*
∂f1 ∂x1
∂f1 ∂xn
=
. ∂f n ∂x1
∂f n ∂xn
Persamaan (2.6) merupakan SPD taklinear, dengan A adalah matriks Jacobi dan ϕ ( x )
suku berorde tinggi dengan limϕ ( x ) = 0 . x →0
Selanjutnya Ax pada persamaan (2.6) disebut pelinearan dari sistem taklinear persamaan (2.5) sehingga didapat persamaan berikut x = Ax .
(2.7)
Misalkan A adalah matriks n × n , maka suatu vektor taknol x di dalam R n disebut vektor eigen dari A , jika untuk suatu skalar λ , yang disebut nilai eigen dari A , berlaku
3
Ax = λ x ,
(2.8)
a. Simpul stabil
vektor x disebut vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen λ . Untuk mencari nilai eigen dari matriks A yang berukuran n × n , maka persamaan (2.8) dapat dituliskan sebagai berikut
( A − λI) x = 0 ,
(2.9)
dengan I matriks identitas. Persamaan (2.9) mempunyai solusi taknol jika dan hanya jika det ( A − λ I ) = 0 .
(2.10)
b. Simpul tidak stabil
Persamaan (2.10) disebut persamaan karakteristik dari A . Selanjutnya akan dibahas kestabilan suatu titik tetap. Misalkan diberikan SPD mandiri dx = x = f ( x ) ,x ∈ R n . dt
(2.11)
Kemudian ditentukan titik tetap x * yang memenuhi f ( x* ) = 0 . Selanjutnya, dilakukan pelinearan di sekitar titik tetapnya sesuai dengan persamaan (2.6), sehingga diperoleh persamaan (2.7). Analisis kestabilan SPD (2.11), dilakukan melalui analisis kestabilan SPD (2.7). Penentuan kestabilan titik tetap didapat dengan melihat nilai-nilai eigennya, yaitu: λi , i = 1, 2,..., n yang diperoleh dari persamaan karakteristik dari A , yaitu det ( A − λ I ) = 0 . Secara umum kestabilan suatu titik tetap mempunyai 3 perilaku sebagai berikut: 1. Stabil, jika a. setiap nilai eigen real adalah negatif ( λi < 0 untuk setiap i ), b. setiap komponen nilai eigen kompleks bagian realnya lebih kecil atau sama dengan nol, ( Re ( λi ) ≤ 0 untuk setiap i ). 2. Tidak stabil, jika a. setiap nilai eigen real adalah positif ( λi > 0 untuk setiap i ), b. setiap komponen nilai eigen kompleks bagian realnya lebih besar dari nol, ( Re ( λi ) > 0 untuk setiap i ). 3. Sadel, jika Perkalian dua buah nilai eigen real adalah negatif ( λi λ j < 0 untuk setiap i dan j sembarang).
Adapun bentuk umum kestabilan di sekitar titik tetap adalah sebagai berikut:
c. Sadel
d. Spiral stabil
e. Spiral tidak stabil
4
f. Center
Selanjutnya akan dibahas mengenai bilangan reproduksi dasar, R0 . Bilangan reproduksi dasar adalah rata-rata jumlah infeksi sekunder yang disebabkan oleh datangnya individu terinfeksi tunggal ke dalam populasi yang rentan terserang penyakit, atau bisa juga dikatakan R0 merupakan reproduksi dasar virus. Berikut adalah analisis untuk nilai R0 :
Selain itu, penentuan kestabilan titik tetap juga didapat berdasarkan kriteria RouthHurwitz berikut ini Teorema 1: (Routh-Hurwitz Criterion) Misalkan a1 , a2 ,..., ak merupakan bilangan real. Semua nilai eigen dari persamaan karakteristik p ( λ ) = λ + a1λ k
k −1
+ ... + a k − 2 λ + ak −1λ + a k = 0 2
mempunyai bagian real yang negatif jika dan hanya jika determinan dari matriks Mi×i untuk setiap i = 1, 2,..., k
adalah positif dengan a j = 0 jika j > k . Berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz, untuk suatu nilai k , dengan k = 2,3, 4 . Titik tetap x * stabil jika dan hanya jika untuk
k = 2; a1 > 0, a2 > 0 k = 3; a1 > 0, a3 > 0, a1a2 > a3 k = 4; a1 > 0, a3 > 0, a4 > 0, a1 a2 a3 > a32 + a12 a4
untuk kasus k = 3 kriteria Routh-Hurwitz disajikan pada Teorema 2. Teorema 2 Misalkan A, B , C bilangan-bilangan real. Bagian real dari setiap nilai eigen persamaan karakteristik p ( λ ) = λ 3 + Aλ 2 + B λ + C = 0
adalah negatif jika dan hanya jika A, C positif dan AB > C . Bukti (lihat Lampiran 2).
1. R0 < 1 : virus tidak dapat bertahan hidup di dalam populasi. 2. R0 > 1 : virus dapat bertahan hidup di dalam populasi. Dalam karya ilmiah ini juga dibahas mengenai bifurkasi. Misalkan suatu sistem dinamik dx = f ( x,ψ ) dt
(2.12)
dengan parameter ψ adalah suatu konstanta. Dengan nilai ψ yang bervariasi dan mempunyai suatu nilai kritis ψ 0 . Sistem dinamik tersebut akan stabil jika ψ 0 < ψ dan
tidak stabil jika ψ 0 > ψ , maka pada titik ψ 0 terdapat perubahan kestabilan sistem yang disebut bifurkasi. Nilai ψ 0 adalah titik bifurkasi. Salah satu tipe bifurkasi yang dibahas adalah bifurkasi transcritical. Misalkan suatu sistem dinamik dx = f ( x, µ ) = µ x − x 2 . dt
(2.13)
Titik x* = (0, µ ) merupakan titik tetap yang memenuhi f ( x, µ ) = 0 . Ketika µ < 0 , titik tetap x1* = 0 adalah stabil dan titik tetap
x2 * = µ tidak stabil. Sedangkan untuk µ > 0 , titik tetap x1* = 0 tidak stabil dan titik tetap x2 * = µ stabil. Sehingga pada µ = 0 terdapat
perubahan kestabilan sistem yang disebut bifurkasi transcritical dengan µ = 0 adalah titik bifurkasi. Persamaan (2.13) merupakan bentuk normal dari bifurkasi transcritical.
5
III PEMBAHASAN 3.1 Model HIV Tanpa Terapi Obat Model yang akan disajikan berikut ini dideskripsikan oleh Alan S. Parelson dan Patrick W. Nelson (1999). Pada model dibahas populasi sel target (sel T CD4+ atau sel darah putih) tidak terinfeksi diberi notasi,
populasi sel T terinfeksi diberi notasi dan virus bebas, diberi notasi . Selanjutnya, diagram infeksi virus HIV dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Laju infeksi Total virion
Sel darah putih terinfeksi
Sel darah putih sehat
Virus
mati
mati
#$
"
!
mati
Gambar 1 Diagram infeksi virus HIV. Dari Gambar 1 ditunjukkan bahwa sel T baru dihasilkan dari sumber di dalam tubuh, seperti timus diberi notasi s , yaitu laju sel T baru yang dihasilkan dari sumber di dalam tubuh. Sel T juga dihasilkan melalui proliferasi (perkembangbiakan) sel T yang ada. Pada tulisan ini, proliferasi dinyatakan dengan sebuah fungsi logistik, dengan p adalah laju proliferasi maksimum yang mengacu pada keberadaan batasan maksimum dari populasi. Bagaimanapun, jumlah total sel T dibatasi oleh kepadatan populasi sel T pada proliferasi yaitu Tmax . Sel T tidak terinfeksi mempunyai laju kematian alami sebesar dT sehingga tingkat kematian sel tidak terinfeksi pada suatu waktu adalah dT T . Pada kehadiran HIV, sel T menjadi terinfeksi. Virus ini yaitu V menginfeksi sel T dengan laju k menyebabkan jumlah sel T tidak terinfeksi, T , di dalam tubuh berkurang sebesar kVT . Jumlah populasi sel T terinfeksi pada waktu t dipengaruhi oleh tingkat infeksi virus dan kematian alami sel tersebut. Tingkat infeksi virus adalah kVT , dengan laju kematian sel T terinfeksi, T * adalah δ , maka tingkat kematian sel T terinfeksi pada suatu waktu adalah δ T * .
Selanjutnya, penambahan jumlah virus di dalam tubuh ditandai dengan jumlah total virus yang diproduksi oleh sebuah sel T terinfeksi , T * , selama waktu hidupnya, yaitu sebanyak N . Jadi, tingkat produksi virus baru adalah N δ T * . Virus mempunyai laju kematian alami sebesar c , menyebabkan jumlah virus pada waktu t berkurang sebesar cV . Konstruksi model matematika untuk model HIV tanpa terapi obat menggunakan asumsi sebagai berikut: 1. Infeksi terjadi karena virus HIV. 2. Sel T terinfeksi menghasilkan N virus selama waktu hidupnya. 3. Semua parameter dan variabel yang digunakan taknegatif. Dengan demikian, uraian di atas dapat diekspresikan secara matematika sebagai suatu sistem persamaan diferensial sebagai berikut
dT T = s + pT 1 − − dT T − kVT dt Tmax dT * = kVT − δ T * dt dV = N δ T * −cV , dt
(3.1)
6
dengan : banyaknya populasi sel T tidak T terinfeksi, T * : banyaknya populasi sel T terinfeksi, : banyaknya populasi virus, V : laju sel T baru dihasilkan dari sumber s di dalam tubuh, seperti timus, : laju proliferasi maksimum, p
Tmax
: populasi maksimum sel T pada proliferasi, : laju kematian sel T tidak terinfeksi, : laju infeksi, : laju kematian sel T terinfeksi, : total virus yang diproduksi oleh sel T terinfeksi selama waktu hidupnya, : laju kematian virus.
dT k
δ
N c
Nilai parameter yang digunakan dalam simulasi diperoleh dari Perelson, Kirschner dan De Boer (1993), dengan rincian diberikan pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1
Nilai parameter Notasi
Nilai 10 mm-3 hari-1 0.03 hari-1 1500 mm-3
s p
Tmax dT
0.02 hari-1 0.000024 mm-3 hari-1 0.24 hari-1 bervariasi 2.4 hari-1
k
δ
N c
Selanjutnya akan ditentukan titik tetap untuk sistem persamaan (3.1) yang kemudian akan menganalisis kestabilan di sekitar titik tetap tersebut, orbit serta dinamika populasinya. 3.1.1 Titik Tetap Titik tetap dari sistem persamaan (3.1) akan diperoleh dari persamaan dT = 0, dt dT * dt
= 0 dan
dV dt
= 0 , yaitu
E1 =
Tmax p − dT + 2p
( p − dT )
E2 =
Tmax p − dT − 2p
( p − dT ) +
dan E3 = (T , T *, V ) , dengan
2
2
+
4sp , 0, 0 , Tmax 4sp , 0,0 , Tmax
c Nk cV T* = δN T=
V =
(
)
T p 1 − Tmax − dT s . + kT k
Asumsikan bahwa tidak terdapat virus di dalam sel tubuh ( V = 0 ), maka T * = 0 sehingga diperoleh
T=
Tmx p − dT ± 2p
( p − dT )
2
+
4sp Tmax
.
Dengan demikian, terdapat dua titik tetap tidak terinfeksi yaitu E1 =
Tmax p − dT + 2p
( p − dT )
Tmax p − dT − 2p
( p − dT )
2
+
4sp ,0,0 , Tmax
+
4sp ,0,0 . Tmax
dan E2 =
2
Untuk titik tetap E2 tidak akan dianalisis karena jumlah populasi sel T tidak terinfeksi pada titik tetap E2 bernilai negatif, sehingga titik tetap yang dianalisis adalah E1 = (Tss1 , 0, 0 ) dengan
Tss1 =
Tmx p − dT + 2p
( p − dT )
2
+
4 sp . Tmax
Titik tetap terinfeksi diperoleh dengan menyelesaikan sistem persamaan (3.1) yaitu E3 = (T , T *, V ) , dengan c T= Nk cV T* = δN
(
)
T p 1 − Tmax − dT s . + kT k Titik tetap terinfeksi ada hanya jika V > 0 yang berarti 0 < T < Tss1 .
V =
3.1.2 Analisis Kestabilan Titik Tetap Untuk melihat perilaku solusi di sekitar titik tetap, maka akan dilakukan pelinearan pada model yang merupakan persamaan diferensial taklinear. Misalkan sistem persamaan (3.1) dituliskan sebagai berikut
7
ii. λ2 < 0
dT = P (T , T *, V ) dt dT * = Q (T , T *, V ) dt dV = R (T , T *, V ) dt
(3.2)
∂P ∂T * ∂Q ∂T * ∂R ∂T *
∂P ∂V ∂Q ∂V ∂R ∂V
2 pT + p − dT − kV Tmax
J=
−δ Nδ
kT . −c
Pelinearan sistem persamaan diferensial pada titik tetap % akan menghasilkan matriks Jacobi sebagai berikut
2Tss1 − dT Tmax
J1 =
0 0
c . kTss1
0
−kTss1
NkTss1 < 1. c
−δ Nδ
kTss1 −c
Pelinearan sistem persamaan diferensial pada titik E3 = (T , T *, V ) , dengan c T= Nk cV T* = δN
.
2Tss1 − dT Tmax
c +δ 1 ± 2 2
(c + δ )
2
− 4cδ + 4δ NkTss1 .
Karena semua parameter taknegatif, maka λ3 < 0 sehingga kestabilan titik tetap &
tergantung pada nilai eigen λ1 dan λ2 . Agar titik tetap bersifat stabil, maka
i.
λ1 < 0 yang berarti Tss1 >
( p − dT ) Tmax 2p
(
)
T p 1 − Tmax − dT s + kT k akan menghasilkan matriks Jacobi sebagai berikut
V =
Untuk memperoleh nilai eigen digunakan persamaan karakteristik det ( J1 − λ I ) = 0 sehingga nilai eigen untuk matriks J1 adalah
λ2,3 = −
c kTss1
atau ditulis dalam bentuk
p 1−
λ1 = p 1 −
atau
NkTss1 merupakan bilangan c reproduksi dasar virus dalam populasi, diberi notasi R0 . Ketika R0 < 1 yang merupakan kondisi stabil, maka virus tidak dapat bertahan di dalam populasi. Sebaliknya, ketika R0 > 1 , maka populasi tidak stabil, karena virus akan bertahan dalam populasi.
−kT
0
kV 0
p 1−
c > NkTss1
Besaran
maka −
berarti
Kondisi stabil dipenuhi, ketika N <
Dengan melakukan pelinearan pada sistem persamaan (3.2), diperoleh matriks Jacobi ∂P ∂T ∂Q J= ∂T ∂R ∂T
N<
yang
2T − dT − kV Tmax
J1 =
kV 0
0
−kT
−δ Nδ
kT . −c
Kestabilan titik tetap &' bergantung pada nilai eigen pada matriks J2 yang diperoleh dari persamaan karakteristik det ( J 2 − λ I ) = 0 atau
λ 3 + Aλ 2 + Bλ + C = 0
dengan
A=δ +c+
2 pT − ( p − dT ) + kV Tmax
B = (δ + c )
2 pT − ( p − dT ) + kV Tmax
C = cδ kV .
8
Berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz, titik tetap terinfeksi stabil, jika syarat A > 0 , C > 0 , dan AB − C > 0 terpenuhi. Karena semua parameter taknegatif, maka diperoleh C > 0 . Pada titik tetap berlaku pT 2 s + ( p − dT ) T − = kVT . Tmax Selama s > 0 , pT 2 < kVT ( p − dT ) T − Tmax atau
pT + kV . Tmax Ini memperlihatkan bahwa A > 0 . Bentuk A dan masing-masing dapat ditulis B A = (δ + c + B1 ) dan B = (δ + c ) B1 , dengan
( p − dT ) <
B1 memuat kV sehingga dapat ditunjukkan bahwa AB = B1 (δ + c ) + B12 (δ + c ) > δ ckV = C 2
yang berarti AB − C > 0 terpenuhi.
Tabel 2 Kondisi kestabilan titik tetap dari model tanpa terapi obat Kondisi
Tss1 >
Tss1 >
( p − dT ) Tmax 2p
E1
c N< kTss1
2p
N>
c kTss1
Sadel
Sadel
Spiral Stabil
atau R0 > 1
Dari Tabel 2 terlihat bahwa terjadi perubahan kestabilan titik tetap. Hal ini menunjukkan adanya bifurkasi trancritical c dengan N = merupakan titik bifurkasi. kTss1 Berikut ini akan diperlihatkan bifurkasi transcritical untuk model HIV tanpa terapi obat, titik tetap stabil ditandai dengan garis tebal, sedangkan titik tetap tidak stabil ditandai dengan garis putus-putus pada. c Nk
T = Tss1
Gambar 2
Simpul Stabil
atau R0 < 1
( p − dT ) Tmax
T=
E3
Bifurkasi transcritical untuk model HIV tanpa terapi obat.
3.1.3 Dinamika Model HIV tanpa Terapi Obat Berikut ini akan diperlihatkan grafik perubahan dinamika dari populasi sel T tidak terinfeksi, populasi sel T terinfeksi dan populasi virus terhadap waktu ( t ) ketika
R0 < 1 . Parameter yang digunakan dipilih dari
Tabel 1 dengan nilai awal T ( 0 ) = 1000 , T * ( 0 ) = 0 dan V ( 0 ) = 0.001 .
9
Gambar 3 Dinamika populasi T , T * dan V ketika N = 50 .
Gambar 4 Dinamika populasi T , T * dan V ketika N = 70 .
Gambar 5 Dinamika populasi T , T * dan V ketika N = 80 . Dari Gambar 3, 4 dan 5 terlihat bahwa jumlah populasi sel T tidak terinfeksi tetap, yaitu 1000. Populasi sel T terinfeksi pada awalnya meningkat tajam kemudian mengalami penurunan mencapai kestabilan pada angka 0. Hal ini dikarenakan populasi virus menurun mencapai kestabilan pada angka 0. Penurunan ini terjadi karena pada kondisi ini virus tidak dapat bertahan di dalam populasi dan akhirnya virus akan punah. Selain itu, terlihat bahwa ketika N = 80 populasi sel T terinfeksi meningkat lebih besar dibandingkan ketika N = 50 .
(i). Ketika R0 = 1.5
R0 = 1.5 Kondisi dipenuhi ketika N = 150 sehingga diperoleh titik tetap E1 = (1000,0, 0 ) dan E3 = (666.667,32.4074, 486.111) . Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 6 berikut.
Sebelum melihat dinamika populasi, berikut ini akan digambarkan bidang fase yang menunjukkan orbit kestabilan untuk R0 > 1 dengan memilih parameter pada Tabel 1 dengan nilai awal T ( 0 ) = 1000 , T * ( 0 ) = 0
dan V ( 0 ) = 0.001 .
Gambar 6 Orbit kestabilan di sekitar T , T *, V ketika N = 150 . ( )
10
Dari Gambar 6 terlihat bahwa orbit membentuk spiral menuju titik tetap E3 ,
(iii). Ketika R0 = 2.4
sehingga E3 stabil. Selain itu, titik tetap E1
N = 240
jauh dari bidang fase sehingga E1 tidak stabil. (ii). Ketika R0 = 1.8
R0 = 1.8 Kondisi dipenuhi ketika N = 180 sehingga diperoleh titik tetap E1 = (1000, 0,0 ) dan E3 = (555.556,39.0947,
R0 = 2.4 dipenuhi ketika sehingga diperoleh titik tetap E1 = (1000,0, 0 ) dan E3 = (416.667,44.5602 Kondisi
1069.44) . Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 8 berikut.
703.704) . Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 7 berikut.
Gambar 8 Orbit kestabilan di sekitar (T , T *,V ) ketika N = 240 . Dari Gambar 8 terlihat bahwa orbit membentuk spiral menuju titik tetap E3 ,
Gambar 7 Orbit kestabilan di sekitar (T , T *,V ) ketika N = 180 .
sehingga E3 stabil. Selain itu, titik tetap E1
Dari Gambar 7 terlihat bahwa orbit membentuk spiral menuju titik tetap E3 , sehingga E3 stabil. Selain itu, titik tetap E1
Grafik perubahan dinamika dari populasi sel T tidak terinfeksi, populasi sel T terinfeksi dan populasi virus terhadap waktu ( t ) untuk
jauh dari bidang fase sehingga E1 tidak stabil.
R0 > 1 diberikan pada Gambar 9, 10 dan 11.
jauh dari bidang fase sehingga E1 tidak stabil.
11
Gambar 9 Dinamika populasi T , T * dan V ketika N = 150 dan R0 = 1.5 .
Gambar 10 Dinamika populasi T , T * dan V ketika N = 180 dan R0 = 1.8 .
12
Gambar 11 Dinamika populasi T , T * dan V ketika N = 240 dan R0 = 2.4 . Berdasarkan Gambar 9, 10 dan 11, setelah virus menginfeksi sel T. Populasi sel T tidak terinfeksi, populasi sel terinfeksi dan populasi virus berfluktuasi menuju nilai stabil. Saat populasi sel T tidak terinfeksi mengalami penurunan, maka populasi sel T terinfeksi mengalami peningkatan. Peningkatan sel terinfeksi seiring dengan peningkatan populasi virus. Besarnya penurunan populasi sel T tidak terinfeksi dipengaruhi oleh besarnya jumlah total virus yang dihasilkan oleh sebuah sel terinfeksi, N . Ketika N = 240 dan R0 = 2.4 , penurunan populasi sel T tidak terinfeksi semakin besar dan semikin cepat dibandingkan ketika N = 150 dan R0 = 1.5 seiring dengan peningkatan populasi virus yang juga semakin besar dan semakin cepat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin besar N , maka penurunan populasi sel T tidak terinfeksi di dalam tubuh semakin besar dan semakin cepat, sama halnya jika R0 jauh lebih besar dari satu.
3.2 Model HIV dengan Terapi Protease Inhibitor Pada model ini, terapi protease inhibitor diharapkan mampu menekan jumlah virus HIV dalam sel darah putih. Karena setelah terinfeksi virus, jumlah sel darah putih atau sel T tidak terinfeksi akan menurun secara drastis dan akan menjadi stabil namun pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan jumlah sel darah putih pada individu yang tidak terinfeksi HIV. Hal ini telah diperlihatkan pada model I (model HIV tanpa terapi obat). Penurunan jumlah sel T dapat digunakan sebagai kriteria untuk mendiagnosa perkembangan HIV di dalam tubuh. Protease inhibitor berperan sebagai penghambat pembentukkan protein-protein aktif yang akan menjadi virus baru. Gambar 12 berikut ini menjelaskan peran protease inhibitor.
13
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Virus masuk ke dalam sel darah putih sehat Reverse Transcriptase pada genom RNA virus membuat salinan DNA DNA virus bergabung dengan DNA inang, membentuk RNA virus dalam jumlah banyak RNA virus membentuk protein virus Protease Inhibitor menghalangi protein virus membentuk protease virus Virus mati
Gambar 12 Peran protease inhibitor terhadap virus HIV. Setelah pemberian protease inhibitor terdapat dua tipe virus yaitu VI yang menunjukkan populasi virus yang belum dipengaruhi oleh protease inhibitor sehingga poliprotein mereka membelah dan tipe VNI menunjukkan populasi virus dengan poliprotein yang tidak membelah dengan adalah konsentrasi total virus. Penambahan jumlah virus yang dipengaruhi oleh protease inhibitor ditandai dengan jumlah total virus yang diproduksi oleh sel T terinfeksi dengan efektifitas protease inhibitor sebesar ηPI . Konstruksi model matematika untuk model HIV dengan terapi protease inhibitor ini menggunakan asumsi yang sama dengan model sebelumnya. Sehingga diperoleh model matematika sebagai berikut
dT T = s + pT 1 − − dT T − kVI T dt Tmax dT * = kVI T − δ T * dt (3.3) dVI = (1 − η PI ) N δ T * −cVI dt dVNI = η PI N δ T * −cVNI , dt dengan : banyaknya populasi sel T tidak T terinfeksi, T * : banyaknya populasi sel T terinfeksi, V : banyaknya populasi virus,
V = VI + VNI VI VNI
: banyaknya populasi virus dengan poliprotein yang membelah, : banyaknya populasi virus dengan poliprotein yang tidak membelah,
: laju sel T baru dihasilkan dari sumber di dalam tubuh, seperti timus, : laju proliferasi maksimum,
s
p
Tmax
: populasi maksimum sel T pada proliferasi, : laju kematian sel T tidak terinfeksi, : laju infeksi, : laju kematian sel T terinfeksi, : total virus yang diproduksi oleh sel T terinfeksi selama waktu hidupnya, : laju kematian virus. : efektifitas dari protease inhibitor.
dT k
δ
N c
ηPI
Selanjutnya akan ditentukan titik tetap untuk persamaan (3.3) yang kemudian akan menganalisis kestabilan disekitar titik tetap tersebut, orbit serta dinamika populasinya. 3.2.1 Titik Tetap Titik tetap dari sistem persamaan (3.3) = 0, akan diperoleh dari persamaan dT dt dT * dt
=0 ,
dVI dt
= 0 dan
dV NI dt
= 0 , yaitu
F1 =
Tmax p − dT + 2p
( p − dT )
2
+
4sp , 0,0, 0 Tmax
F2 =
Tmax p − dT − 2p
( p − dT )
2
+
4sp ,0,0,0 , Tmax
dan
(
)
F3 = Tss 2 , T *,VI ,VNI , dengan Tss 2 =
c Nk (1 − η PI )
14
T* =
cVI δ N (1 −ηPI )
(
T
3.2.4 Analisis Kestabilan Titik Tetap Untuk melihat perilaku solusi di sekitar titik tetap, maka akan dilakukan pelinearan pada model yang merupakan persamaan diferensial taklinear. Misalkan sistem persamaan (3.3) dituliskan sebagai berikut
)
ss 2 p 1 − Tmax − dT s VI = + kTs 2 k
V NI =
η PI VI . 1 − η PI
dT = P ( T , T *, VI , VNI ) dt dT * = Q (T , T *, VI , VNI ) dt dVI = R (T , T *, VI , VNI ) dt dVNI = S (T , T *, VI , VNI ) . dt
Asumsikan bahwa tidak terdapat virus di dalam sel tubuh ( V = 0 ), maka T * = 0 sehingga diperoleh
T=
Tmax p − dT ± 2p
( p − dT )
2
+
4sp . Tmax
Dengan demikian terdapat dua titik tetap tidak terinfeksi, yaitu Tmax p − dT + 2p
( p − dT )
T F2 = max p − dT − 2p
( p − dT )
F1 =
2
+
4sp ,0, 0,0 , Tmax
Dengan melakukan pelinearan pada sistem persamaan (3.4), maka diperoleh matriks Jacobi
dan 2
4sp + , 0,0,0 . Tmax
Untuk titik tetap F2 tidak akan dianalisis karena jumlah populasi sel T tidak terinfeksi pada titik tetap F2 bernilai negatif, sehingga titik tetap yang dianalisis selanjutnya adalah F1 = (Tss1 , 0, 0, 0 ) ,
J=
( p − dT )
2
+
4sp . Tmax
Titik tetap terinfeksi diperoleh dengan menyelesaikan sistem persamaan (3.3) yaitu
(
)
F3 = Tss 2 , T *,VI ,VNI , dengan c Nk (1 − η PI )
∂P ∂VNI
∂Q ∂T
∂Q ∂T *
∂Q ∂VI
∂Q ∂VNI
∂R ∂T
∂R ∂T *
∂R ∂VI
∂R ∂VNI
∂S ∂T
∂S ∂T *
∂S ∂VI
∂S ∂VNI
(
2T − dT − kVI Tmax
J=
kVI 0
T
)
η PI VI . 1 − η PI
Titik tetap terinfeksi ada hanya jika VI > 0 yang berarti 0 < Tss 2 < Tss1 .
0
−kT
0
−δ
kT −c
0 0
ηPI Nδ
0
−c
(1−ηPI ) Nδ
0
Pelinearan sistem persamaan diferensial pada titik tetap ( akan menghasilkan matriks Jacobi sebagai berikut 2Tss1 − dT Tmax
J3 =
ss 2 p 1 − Tmax − dT s + kTs 2 k
V NI =
∂P ∂VI
p 1−
cVI T* = δ N (1 −ηPI ) VI =
∂P ∂T *
p 1−
Tmax p − dT + 2p
Tss 2 =
∂P ∂T
atau
dengan
Tss1 =
(3.4)
0 0 0
0
− kTss1
−δ
kTss1
0
η PI N δ
−c 0
0 −c
(1 − η PI ) Nδ
0
sehingga diperoleh nilai eigen
λ1 = p 1 − λ2,3 = −
2Tss1 − dT Tmax
c +δ 1 ± 2 2
λ4 = −c.
( c +δ )
2
− 4cδ + 4δ NkTss1 (1−ηPI )
15
Karena semua parameter taknegatif, maka λ3 < 0 dan λ4 < 0 , sehingga kestabilan di titik ini tergantung pada nilai eigen λ1 dan
p 1− J4 =
kVI
)* λ1 < 0 yang berarti Tss1 >
dengan
2p
ii. λ2 < 0 yang berarti c > NkTss1 (1 − η PI )
c atau η PI > 1 − . NkTss1 Kondisi stabil dipenuhi, ketika c η PI > 1 − atau ditulis dalam bentuk NkTss1 NkTss1 (1 − η PI )
< 1. c NkTss1 (1 − η PI )
merupakan bilangan c reproduksi dasar virus dalam populasi + untuk model HIV dengan terapi protease inhibitor. Ketika R0 < 1 yang merupakan kondisi stabil maka virus tidak dapat bertahan di dalam populasi. Sebaliknya, ketika R0 > 1 , maka populasi tidak stabil, karena virus akan bertahan dalam populasi. Besaran
Subtitusi diperoleh
VI =
Tss 2
sN (1 −ηPI ) c
kedalam
p 1− +
VI
sehingga
c − dT NkTmax (1 −ηPI ) k
>0
Pelinearan sistem persamaan diferensial pada titik tetap F3 akan menghasilkan matriks Jacobi sebagai berikut
0
−kT
−δ
kT
0
ηPI Nδ
−c 0
0 −c
(1 −ηPI ) Nδ
0 0
λ2 . Agar titik tetap bersifat stabil, maka
( p − dT ) Tmax
2T − dT − kVI Tmax
T = Tss 2 ,
diperoleh
nilai
0
eigen
λ4 = −c . Nilai eigen lainnya diperoleh dari solusi λ 3 + Aλ 2 + Bλ + C = 0 dengan
A=δ +c+
2 pT − ( p − dT ) + kVI Tmax
B = (δ + c )
2 pT − ( p − dT ) + kVI Tmax
C = cδ kVI . Berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz, titik tetap terinfeksi stabil, jika syarat A > 0 , C > 0 , dan AB − C > 0 terpenuhi. Karena semua parameter taknegatif, maka diperoleh C > 0 . Pada titik tetap berlaku pT 2 s + ( p − dT ) T − = kVI T . Tmax Selama s > 0 , pT 2 < kVI T ( p − dT ) T − Tmax atau pT + kVI . ( p − dT ) < Tmax Ini memperlihatkan bahwa A > 0 . Bentuk A dan B masing-masing dapat ditulis A = (δ + c + B1 ) dan B = (δ + c ) B1 , dengan
B1 memuat kV sehingga dapat ditunjukkan bahwa AB = B1 (δ + c ) + B12 (δ + c ) > δ ckVI = C 2
yang berarti AB − C > 0 terpenuhi. Tabel 3
Kondisi kestabilan titik tetap dari model HIV dengan terapi protease inhibitor Kondisi
Tss1 >
Tss1 >
( p − dT ) Tmax 2p
( p − dT ) Tmax 2p
c N< kT ss1 (1 −ηPI )
F1
F3
Simpul Stabil
Sadel
Sadel
Spiral Stabil
atau R0 < 1
N>
c
kT
(1 −ηPI ) ss1
atau R0 > 1
16
Dari Tabel 3 terlihat bahwa terjadi perubahan kestabilan titik tetap. Hal ini menunjukkan adanya bifurkasi trancritical c dengan N = merupakan titik kT ss1 (1 −ηPI ) bifurkasi. Berikut ini akan diperlihatkan bifurkasi transcritical untuk model HIV dengan terapi protease inhibitor, titik tetap stabil ditandai dengan garis tebal, sedangkan titik tetap tidak stabil dengan garis putus-putus. Tss 2 =
c Nk (1 − η PI )
Orbit kestabilan di sekitar (T , T *,VI ) ketika ηPI = 0.6 dan
R0 = 0.96 . Dari Gambar 14 terlihat bahwa orbit menuju titik tetap F1 sehingga F1 stabil dengan jenis kestabilan simpul.
T = Tss1
Gambar 13
Gambar 14
Bifurkasi Transcritical untuk model HIV dengan protease inhibitor.
3.2.3 Dinamika Model HIV dengan Terapi Protease Inhibitor Berikut ini akan digambarkan bidang fase yang menunjukkan orbit kestabilan untuk R0 < 1 . Parameter yang digunakan dipilih dari
(ii). Ketika R0 = 0.72
R0 = 0.72 dipenuhi ketika N = 240 dan ηPI = 0.7 sehingga diperoleh Kondisi
titik tetap Orbit F1 = (1000, 0, 0, 0 ) . kestabilannya diberikan pada Gambar 14 berikut.
Tabel 1 dengan nilai awal T ( 0 ) = 416.667 , T * ( 0 ) = 44.5602 ,
VNI ( 0 ) = 0 .
VI ( 0 ) = 1069.44
dan
(i). Ketika R0 = 0.96
R0 = 0.96 dipenuhi ketika N = 240 dan ηPI = 0.6 sehingga diperoleh Kondisi
titik tetap F1 = (1000, 0, 0, 0 ) . Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 14 berikut.
Gambar 15
Orbit kestabilan di sekitar (T , T *,VI ) ketika ηPI = 0.7 dan
R0 = 0.72 . Dari Gambar 15 terlihat bahwa orbit menuju titik tetap F1 , sehingga F1 stabil dengan jenis kestabilan simpul.
16
(iii). Ketika R0 = 0.48
R0 = 0.48 dipenuhi ketika dan ηPI = 0.8 sehingga diperoleh
Kondisi
titik tetap F1 = (1000, 0, 0, 0 ) . Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 14 berikut.
Gambar 16
Orbit kestabilan di sekitar (T , T *,VI ) ketika ηPI = 0.8 dan
Dari Gambar 16 terlihat bahwa orbit menuju titik tetap F1 , sehingga F1 stabil dengan jenis kestabilan simpul. Untuk mengamati pengaruh penggunaan protease inhibitor dengan efektifitas yang berbeda pada dinamika HIV maka diperlukan grafik perubahan dinamika dari populasi sel T tidak terinfeksi, populasi sel T terinfeksi, populasi virus dengan poliprotein yang membelah dan populasi virus dengan poliprotein yang tidak membelah terhadap waktu ( t ) . Berikut ini akan diperlihatkan grafik perubahan dinamika populasi. Parameter yang digunakan dipilih dari Tabel 1 dengan nilai awal T ( 0 ) = 416.667 , T * ( 0 ) = 44.5602 , VI ( 0 ) = 1069.44 dan VNI ( 0 ) = 0 .
R0 = 0.48 .
Gambar 17 Dinamika populasi T , T * , VI dan VNI ketika ηPI = 0.6 dan R0 = 0.96 .
18
Gambar 18 Dinamika populasi T , T * , VI dan VNI ketika ηPI = 0.7 dan R0 = 0.72 .
Gambar 19 Dinamika populasi T , T * , VI dan VNI ketika ηPI = 0.8 dan R0 = 0.48 .
19
Dari Gambar 17, 18 dan 19, setelah terapi protease inhibitor dimulai terlihat bahwa populasi virus dengan poliprotein yang membelah, VI , menurun tajam menuju kestabilan pada angka nol. Penurunan ini terjadi karena pada kondisi ini virus tidak dapat bertahan dalam populasi. Sedangkan populasi virus dengan poliprotein yang tidak membelah, VNI , pada awalnya meningkat tajam kemudian mengalami penurunan menuju kestabilan pada angka 0. Penurunan populasi virus dengan poliprotein yang membelah menyebabkan populasi sel T tidak terinfeksi, , meningkat dan kemudian stabil pada angka 1000 dan populasi sel T terinfeksi, T * , menurun menuju kestabilan pada angka 0. Kurva dari Gambar 19, yaitu ketika ηPI = 0.8 dan R0 = 0.48 lebih curam jika dibandingkan dengan kurva pada saat ηPI = 0.6 dan ηPI = 0.7 . Hal ini menunjukkan bahwa pada saat ηPI = 0.8 , kecepatan menuju kestabilan lebih besar sehingga populasi akan semakin cepat menuju kestabilan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin besar nilai ηPI dan nilai R0 jauh lebih kecil dari 1 maka populasi virus semakin cepat menurun dan akhirnya virus akan punah. Berikut ini akan digambarkan bidang fase yang menunjukkan orbit kestabilan untuk R0 > 1 dengan memilih parameter pada Tabel 1
dengan
nilai
awal
T * ( 0 ) = 44.5602 ,
Orbit kestabilan di sekitar (T , T *,VI ) ketika ηPI = 0.2 dan
R0 = 1.95 . Dari Gambar 20 terlihat bahwa orbit menuju titik tetap F3 sehingga F3 stabil dengan bentuk kestabilan spiral. Selain itu, titik tetap F1 jauh dari bidang fase sehingga
F1 tidak stabil. (ii). Ketika R0 = 1.68
R0 = 1.68 dipenuhi ketika N = 240 dan ηPI = 0.3 sehingga diperoleh Kondisi
titik
F1 = (1000, 0, 0, 0 )
tetap
dan
F3 = ( 595.238,36.9426, 620.635, 265.986 ) . Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 21 berikut
T ( 0 ) = 416.667 ,
VI ( 0 ) = 1069.44
VNI ( 0 ) = 0 .
Gambar 20
dan
(i). Ketika R0 = 1.92
R0 = 1.92 dipenuhi ketika N = 240 dan ηPI = 0.2 sehingga diperoleh Kondisi
titik
tetap
F1 = (1000, 0, 0, 0 )
dan
F3 = ( 520.833, 40.7624, 782.639,195.66 ) . Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 20 berikut.
Gambar 21
Orbit kestabilan di sekitar Orbit kestabilan di sekitar (T , T *, VI ) ketika ηPI = 0.3 dan R0 = 1.68 .
Dari Gambar 21 terlihat bahwa orbit menuju titik tetap F3 sehingga F3 stabil dengan bentuk kestabilan spiral. Selain itu, titik tetap F1 jauh dari bidang fase sehingga
F1 tidak stabil.
20
(iii). Ketika R0 = 1.44
R0 = 1.44 dipenuhi ketika N = 240 dan ηPI = 0.4 sehingga diperoleh Kondisi
titik
tetap
F1 = (1000, 0, 0, 0 )
dan
F3 = ( 694.444,30.4141, 437.963, 291.975 ) . Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 22 berikut.
Dari Gambar 22 terlihat bahwa orbit menuju titik tetap F3 sehingga F3 stabil dengan bentuk kestabilan spiral. Selain itu, titik tetap F1 jauh dari bidang fase sehingga
F1 tidak stabil. Untuk nilai R0 > 1 ini akan dianalisis tiga kondisi, yaitu ketika R0 = 1.92 , R0 = 1.68 dan R0 = 1.44 . Berikut ini akan diperlihatkan grafik perubahan dinamika populasi. Parameter yang digunakan dipilih dari Tabel 1 dengan nilai awal T ( 0 ) = 416.667 , T * ( 0 ) = 44.5602 ,
VNI ( 0 ) = 0 .
Gambar 22
VI ( 0 ) = 1069.44
Orbit kestabilan di sekitar (T , T *,VI ) ketika ηPI = 0.4 dan
R0 = 1.44 .
Gambar 23 Dinamika populasi T , T * , VI dan VNI ketika ηPI = 0.2 dan R0 = 1.92 .
dan
21
Gambar 24 Dinamika populasi T , T * , VI dan VNI ketika ηPI = 0.3 dan R0 = 1.68 .
Gambar 25 Dinamika populasi T , T * , VI dan VNI ketika ηPI = 0.4 dan R0 = 1.44 .
22
Berdasarkan Gambar 23, 24 dan 25, setelah terapi protease inhibitor dimulai, populasi virus dengan poliprotein yang tidak membelah, , - , meningkat tajam kemudian berfluktuasi menuju nilai stabil. Seiring dengan meningkatnya populasi virus dengan poliprotein yang tidak membelah, populasi virus dengan poliprotein yang membelah, VI , menurun dan berfluktuasi menuju nilai stabil yang lebih rendah dibandingkan sebelum terapi dimulai. Hal ini menyebabkan populasi sel T terinfeksi, T * , menurun menuju nilai stabil yang lebih rendah dan populasi sel T tidak terinfeksi, , meningkat dan berfluktuasi menuju nilai stabil yang lebih tinggi dibandingkan sebelum terapi dimulai. Selain itu, dari gambar terlihat bahwa populasi virus dengan poliprotein yang membelah stabil pada angka 782.639 ketika ηPI = 0.2 , 620.635 ketika ηPI = 0.3 dan
dengan : banyaknya populasi sel T tidak T terinfeksi, T * : banyaknya populasi sel T terinfeksi, : banyaknya populasi virus, V
disimpulkan semakin besar nilai ηPI dan nilai
Selanjutnya akan ditentukan titik tetap untuk persamaan (3.5) yang kemudian akan menganalisis kestabilan disekitar titik tetap tersebut, orbit serta dinamika populasinya.
.'/*01' ketika ηPI = 0.4 . Sehingga dapat
R0 semakin jauh lebih dar1 1, maka populasi virus dengan poliprotein yang membelah semakin kecil dan populasi sel T tidak terinfeksi semakin besar. 3.3 Model Penyembuhan Sel Darah Putih Penyembuhan sel darah putih diamati setelah terapi dimulai, diasumsikan bahwa sel darah putih baru hanya dihasilkan dari sumber di dalam tubuh, seperti timus, diberi notasi s . Sehingga fungsi logistik yang menyatakan
T pada model Tmax sebelumnya menjadi ditiadakan. Akibat lainnya adalah populasi virus dengan poliprotein yang membelah, VI , akan turun dengan cepat (untuk protease inhibitor sempurna atau ηPI = 1 , VI ( t ) = V0 e − ct ) menuju angka nol. Hal ini mengakibatkan − kVT menjadi ditiadakan. Sehingga diperoleh model matematika penyembuhan sel darah putih sebagai berikut
proliferasi, yaitu pT 1 −
dT = s − dT T dt dT * = kVI T − δ T * dt dVI = (1 − η PI ) N δ T * −cVI dt dVNI = η PI N δ T * −cVNI , dt
(3.5)
V = VI + VNI VI VNI s
dT k
δ
N c
ηPI
: banyaknya populasi virus dengan poliprotein yang membelah, : banyaknya populasi virus dengan poliprotein yang tidak membelah, : laju sel T baru dihasilkan dari sumber di dalam tubuh, seperti timus, : laju kematian sel T tidak terinfeksi, : laju infeksi, : laju kematian sel T terinfeksi, : total virus yang diproduksi oleh sel T terinfeksi selama waktu hidupnya, : laju kematian virus. : efektifitas dari protease inhibitor.
3.3.1 Titik Tetap Titik tetap dari sistem persamaan (3.5) diperoleh dari persamaan dT = 0 , dTdt* = 0 , dt dVI dt
= 0 dan
dVNI dt
= 0 , yaitu F = (Tss 3 , 0, 0, 0 )
s . dT Untuk melihat perilaku solusi disekitar titik tetap, maka akan dilakukan pelinearan pada model yang merupakan persamaan diferensial taklinear. Misalkan sistem persamaan (3.5) dituliskan sebagai berikut dengan Tss 3 =
dT = P (T , T *, VI , VNI ) dt dT * = Q (T , T *, VI , VNI ) dt dVI = R (T , T *, VI , VNI ) dt dVNI = S (T , T *, VI , VNI ) . dt
(3.6)
Dengan melakukan pelinearan pada sistem persamaan (3.6), maka diperoleh matriks Jacobi
23
J=
∂P ∂T
∂P ∂T *
∂P ∂VI
∂P ∂VNI
∂Q ∂T
∂Q ∂T *
∂Q ∂VI
∂Q ∂VNI
∂R ∂T
∂R ∂T *
∂R ∂VI
∂R ∂VNI
∂S ∂T
∂S ∂T *
∂S ∂VI
∂S ∂VNI
NkTss 3 (1 − η PI ) c Besaran
0 −δ
(1 − η PI ) N δ η PI N δ
0 kT −c 0
0 0 . 0 −c
3.3.2 Kestabilan Titik Tetap Pelinearan sistem persamaan diferensial pada titik tetap F = ( Tss 3 , 0, 0, 0 ) dengan
s akan menghasilkan matriks Jacobi dT sebagai berikut Tss 3 =
− dT 0 J= 0 0
0 −δ
(1 − ηPI ) Nδ η PI N δ
0 kTss 3 −c 0
( c +δ )
2
Tabel 1 dengan nilai awal T ( 0 ) = 416.667 , T * ( 0 ) = 44.5602 ,
VNI ( 0 ) = 0 .
VI ( 0 ) = 1069.44
dan
R0 = 0.8 dipenuhi ketika N = 400 dan ηPI = 0.6 sehingga diperoleh Kondisi
titik tetap Orbit F = ( 500, 0, 0, 0 ) . kestabilannya diberikan pada Gambar 26 berikut.
λ1 = −dT c +δ 1 ± 2 2
3.3.3 Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih Berikut ini akan digambarkan bidang fase yang menunjukkan orbit kestabilan untuk R0 < 1 . Parameter yang digunakan dipilih dari
(i). Ketika R0 = 0.8
0 0 0 −c
sehingga diperoleh
λ2,3 = −
NkTss 3 (1 − η PI )
merupakan bilangan c reproduksi dasar virus dalam populasi R0 untuk model penyembuhan sel darah putih. Ketika R0 < 1 yang merupakan kondisi stabil, maka virus tidak dapat bertahan di dalam populasi. Sebaliknya, ketika R0 > 1 , maka populasi tidak stabil karena virus akan bertahan dalam populasi.
atau
− dT kVI J= 0 0
<1.
− 4cδ + 4δ NkTss3 (1−ηPI )
λ4 = −c.
Karena semua parameter taknegatif, maka λ1 < 0, λ3 < 0 dan λ4 < 0 , sehingga kestabilan di titik ini tergantung pada nilai eigen λ2 . Jika λ2 < 0 yang mana kondisi ini
akan dipenuhi ketika c > NkTss 3 (1 − η PI ) atau
η PI > 1 −
c , maka titik tetap akan stabil. NkTss 3
jika λ2 > 0 dipenuhi
η PI < 1 −
ketika
c < NkTss 3 (1 − η PI )
atau
c , maka titik tetap akan sadel. NkTss 3
Kondisi
η PI
yang mana kondisi ini akan
stabil dipenuhi, ketika c > 1− atau ditulis dalam bentuk NkTss 3
Gambar 26
Orbit kestabilan di sekitar (T , T *,VI ) ketika ηPI = 0.6 dan
R0 = 0.8 . Dari Gambar 26 terlihat bahwa titik tetap F dituju oleh bidang fase. Ini menunjukkan bahwa titik tetap F stabil dengan jenis kestabilan simpul.
24
(ii). Ketika R0 = 0.6
R0 = 0.6 dipenuhi ketika η = 0.7 N = 400 dan PI sehingga diperoleh Kondisi
titik tetap F = ( 500, 0, 0, 0 ) . Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 28 berikut.
titik tetap F = ( 500, 0, 0, 0 ) . Orbit kestabilannya diberikan pada Gambar 27 berikut.
Gambar 28
Orbit kestabilan di sekitar (T , T *,VI ) ketika ηPI = 0.8 dan
R0 = 0.4 . Gambar 27
Orbit kestabilan di sekitar (T , T *,VI ) ketika ηPI = 0.7 dan
R0 = 0.6 . Dari Gambar 27 terlihat bahwa titik tetap F dituju oleh bidang fase. Ini menunjukkan bahwa titik tetap F stabil dengan jenis kestabilan simpul. (iii). Ketika R0 = 0.4
R0 = 0.4 dipenuhi ketika N = 400 dan ηPI = 0.8 sehingga diperoleh Kondisi
Dari Gambar 28 terlihat bahwa titik tetap F dituju oleh bidang fase. Ini menunjukkan bahwa titik tetap F stabil dengan jenis kestabilan simpul. Berikut ini akan diperlihatkan grafik perubahan dinamika populasinya. Parameter yang digunakan dipilih dari Tabel 1 dengan nilai awal T ( 0 ) = 416.667 , T * ( 0 ) = 44.5602 , VI ( 0 ) = 1069.44 dan VNI ( 0 ) = 0 .
25
Gambar 29 Dinamika populasi T , T * , VI dan VNI ketika ηPI = 0.6 dan R0 = 0.4 .
Gambar 30 Dinamika populasi T , T * , VI dan VNI ketika ηPI = 0.7 dan R0 = 0.45 .
26
Gambar 31 Dinamika populasi T , T * , VI dan VNI ketika ηPI = 0.8 dan R0 = 0.4 . Dari Gambar 29, 30 dan 31 terlihat bahwa populasi sel T tidak terinfeksi, T , mengalami peningkatan dan kemudian stabil pada angka 500. Populasi sel T terinfeksi, T * , pada awalnya meningkat tajam kemudian menurun dan mencapai kestabilan pada angka 0. Sedangkan, populasi virus dengan poliprotein yang membelah, VI , menurun tajam dan mencapai kestabilan pada angka 0. Populasi virus dengan poliprotein yang tidak membelah, VNI , pada awalnya meningkat tajam kemudian menurun menuju kestabilan pada angka 0. Penurunan ini terjadi karena pada kondisi ini virus tidak dapat bertahan dalam populasi. Kurva dari Gambar 31, yaitu ketika ηPI = 0.8 dan R0 = 0.4 lebih curam jika
dibandingkan dengan kurva pada saat ηPI = 0.6 dan ηPI = 0.7 . Hal ini menunjukkan bahwa pada saat ηPI = 0.8 , kecepatan menuju kestabilan lebih besar sehingga populasi akan semakin cepat menuju kestabilan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semikin besar nilai ηPI dan nilai R0 semakin jauh lebih kecil dari 1, maka populasi virus semakin cepat menurun dan akhirnya virus akan punah. Berikut ini akan diperlihatkan grafik perubahan dinamika populasi. Parameter yang digunakan dipilih dari Tabel 1 dengan nilai awal T ( 0 ) = 416.667 , T * ( 0 ) = 44.5602 , VI ( 0 ) = 1069.44 dan VNI ( 0 ) = 0 .
27
Gambar 32 Dinamika populasi T , T * , VI dan VNI ketika ηPI = 0.2 dan R0 = 1.6 .
Gambar 33 Dinamika populasi T , T * , VI dan VNI ketika ηPI = 0.3 dan R0 = 1.4 .
28
Gambar 34 Dinamika populasi T , T * , VI dan VNI ketika ηPI = 0.4 dan R0 = 1.2 . Dari Gambar 32, 33 dan 34, setelah terapi protease inhibitor dimulai, terlihat bahwa populasi sel T tidak terinfeksi, T , meningkat dan stabil pada angka 500. Peningkatan ini menandakan bahwa populasi sel T mengalami penyembuhan. Akan tetapi populasi sel T terinfeksi, T * , populasi virus dengan poliprotein yang membelah, VI dan populasi virus dengan poliprotein yang tidak membelah, VNI , terus meningkat dari awal pengamatan. Peningkatan ini terjadi karena
pada kondisi ini virus dapat bertahan dalam populasi dengan kata lain virus berkembang tanpa batas. Ketika ηPI = 0.4 dan R0 = 1.2 populasi sel T terinfeksi, populasi virus dengan poliprotein yang membelah dan populasi virus dengan poliprotein yang tidak membelah meningkat lebih lambat dibandingkan ketika ηPI = 0.2 dan ηPI = 0.3 .
IV SIMPULAN Dari hasil analisis model I (model HIV tanpa terapi obat) dan model II (model HIV dengan terapi protease inhibitor), masingmasing diperoleh dua titik tetap, yaitu titik tetap tidak terinfeksi dan titik tetap terinfeksi. Kedua titik tetap tersebut tidak pernah stabil secara bersamaan. Sedangkan model III (model penyembuhan sel darah putih) hanya diperoleh titik tetap tak terinfeksi. Kestabilan titik tetap ketiga model bergantung pada bilangan reproduksi dasar virus. Titik tetap tidak terinfeksi berada dalam kestabilan ketika bilangan reproduksi dasar
kurang dari satu dan titik tetap terinfeksi dalam kestabilan ketika bilangan reproduksi dasar lebih dari satu. Selama 0 < ηPI < 1 , dengan ηPI adalah besarnya efektifitas protease inhibitor, maka bilangan reproduksi dasar virus pada model III lebih kecil dari bilangan reproduksi dasar virus pada model II dan bilangan reproduksi dasar virus pada model II lebih kecil dari bilangan reproduksi dasar pada model I. Ini berarti kondisi tak terinfeksi atau bebas penyakit pada model III lebih cepat tercapai daripada model II dan model II lebih cepat
29
tercapai daripada model I. Begitu juga sebaliknya, kondisi terinfeksi HIV akan lebih cepat tercapai pada model I jika dibandingkan dengan model II. Besarnya nilai parameter N , yaitu jumlah virus yang dihasilkan oleh suatu sel T terinfeksi mempengaruhi penurunan populasi sel T tidak terinfeksi. Semakin besar jumlah virus yang dihasilkan oleh suatu sel T terinfeksi maka semakin besar penurunan populasi sel T tidak terinfeksi. Setelah terapi protease inhibitor dimulai, populasi virus dan populasi sel T terinfeksi mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya populasi sel T yang tidak
terinfeksi jika dibandingkan sebelum terapi protease inhibitor dimulai. Selain itu, juga dapat disimpulkan bahwa semakin besar efektifitas protease inhibitor maka populasi virus dengan poliprotein yang membelah semakin cepat menurun. Pada ketiga model menunjukkan adanya bifurkasi. Untuk model 1 dan model 2, bifurkasi yang terjadi adalah bifurkasi transcritical. Titik bifurkasi model I lebih besar dari titik bifurkasi model II dan titik bifurkasi model II lebih besar dari titik bifurkasi model III selama 0 < ηPI < 1 .
DAFTAR PUSTAKA Anderson RM, May RM. 1989. Complex dynamical behavior in the interaction between HIV and the immune system, in Cell to Cell Signalling: From Experiment to Theoretical Models: 335-349. Anton H. 1995. Aljabar Linear Elementer. Edisi ke-5. Silabandan P, Susila IN, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Farlow SJ. 1994. An Introduction to Differential Equation and Their Application. New York: Mc Graw-Hill. Feng Z, Rong L. 2006. .The Influence of antiviral Drug Therapy on The Evolution of HIV-1 Pathogens, in Desease Evolution: Models, Concepts, and Data Analysis.
dynamics in HIV infected individuals. Immunobiology 181: 108-118. Merrill S. 1989. Modelling the interaction of HIV with cells of the immune respon, in Mathematical and Statistical Approaches to AIDS Epidemiology. Biomath 83: 371385. Perelson AS. Modeling the interaction of the immune system with HIV. Biomath 83: 350-370. Perelson AS, Kirschner DE, De Boer R. 1993. Dynamics of HIV infection of CD4+ T cells. Mathematical Biosciences 114:81125.
Fisher SD. 1990. Complex Variables second Edition. California: Pacific Grove.
Perelson AS, Nelson PW. 1999. Mathematical Analysis of HIV-1 Dynamics in Vivo. Siam Review 41:3-44.
Giesecko J. 1994. Mathematical Models for Epidemics. Modern Infectious Disease Epidemiology: 109-123.
Reeves JD, Doms RW. 2002. Human Immunodeficiency Virus Type 2. Virol 83:1253-1265.
Ho DD et al. 1995. Rapid Turnover of Plasma Virions and CD4 Lymphocytes in HIV-1 Infection. Nature 373:123-126.
Tu PNV. 1994. Dynamical System, An Introduction with Application in Economics and Biologi. Germany: Springer-Verlag.
Hraba T, Dolezal J. Mathematical model of CD4+ lymphocyte depletion in HIV infection. Folio Biol 35: 156-163. Hraba T, Dolezal J, Celikovsky S. 1990. Model-based analysis of CD4+ lymphocyte
Verhlust F. 1990. Nonlinear Differential Equation and Dynamical System. Germany: Springer-Verlag.
30
LAMPIRAN
31
Lampiran 1 Pembuktian Teorema 2
Teorema 2. Misalkan 23 43 5 bilangan-bilangan real. Bagian real dari setiap nilai eigen persamaan karakteristik "678 7 9 27 9 47 9 5 adalah negatif jika dan hanya jika 2 5 positif dan 24 : 5
Bukti: Dari persamaan "678 7 9 27 9 47 9 5 maka 2 4 5 dan jika ; selainnya. Berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz, maka bagian real dari setiap akar polinomial "678 7 9 27 9 47 9 5 adalah negatif jika dan hanya jika <= <* <= <* <= < positif, dimana: <= < < <* <2< 2 : 2 5 <= < > > > > 24 ? 5 : 4 2 5 <= < @ @ @ @ 245 ? 5 : 4 2 5 Dari (1) maka diperoleh 2 : Dari (2) maka diperoleh 24 ? 5 : Dari (3) maka diperoleh 245 ? 5 : yang dapat diubah dalam bentuk 5624 ? 58 : sehingga dari (2) diperoleh nilai 5 : Dengan demikian diperoleh bahwa bagian real dari setiap akar polinomial "678 7 9 27 9 47 9 5 adalah negatif jika dan hanya jika 2 : 5 : dan 24 : 5 Terbukti A Lampiran 2 Penentuan Titik Tetap Tak Terinfeksi Model HIV tanpa Terapi Obat
Subtitusi
!9" B ? CDE
G"
CDE
F ? #$
ke persamaan (4), (5) dan (6) sehingga diperoleh
H" ? # $ I J6" ? # $ 8 9
.!"
CDE
K
sehinggga diperoleh titik tetap tak terinfeksi %
%
L
L
CDE
G"
CDE
G"
H" ? # $ 9 J6" ? # $ 8 9
.!"
H" ? #$ ? J6" ? # $ 8 9
CDE
.!"
CDE
K3 3 M
K3 3 M
Untuk titik tetap % bernilai negatif, sehingga titik tetap yang akan dianalisis selanjutnya
adalah %
6
NN
3 3 8 dengan
NN
$O PQ R
S" ? # $ 9 T6" ? # $ 8 9 $
NR
O PQ
U
Dengan menggunakan software Mathematica 6 (Pada Mathematica notasi # $ - dan , - masing-masing ditulis menjadi # V
W
32
diperoleh hasil sebagai berikut untuk titik tetap tak terinfeksi
Lampiran 3 Penentuan Titik Tetap Terinfeksi Model HIV tanpa Terapi Obat
Maka diperoleh titik tetap terinfeksi adalah 6 3 3 8 % dengan
9 $
N
RX
Y Z [Y YO PQ
Lampiran 4 Penentuan Nilai Eigen Titik Tetap Tak Terinfeksi E1 dengan Mathematica
Sehingga diperoleh nilai eigen G NN F ? #$ 7 "B ? 7
3
?
\]^
CDE
I _6 9 8 ? .
9.
NN
Sistem akan stabil pada titik tetap % jika ketiga nilai eigen negatif, yakni 7 ` 7 ` dan 7 ` Oleh karena itu perlu diperiksa syarat-syarat yang harus dipenuhi agar sistem di E1 stabil. Karena semua parameter tak negatif, maka7 ` Agar 7 `
Agar 7 `
maka diperlukan " X ? maka diperlukan 9
$aab
$O PQ
Z ? #$ `
: _6 9 8G ? .
atau
9.
NN
:
!!
6R [Y8$O PQ R
atau :
NN
33
Lampiran 5 Penentuan Nilai Eigen Titik Tetap Terinfeksi dengan Mathematica
Diketahui matriks Jacobi adalah R$ d$ d $ de ?$ 9 " ? #$ O PQ V cf$ f$ fe g H +$ + $ +e Pelinearan pada titik tetap terinfeksi %
V
N
$
H
9
RX
"X ?
Y Z [Y YO PQ
$
$O PQ
?
?
6 3
diperoleh matriks J2
Z ? #$ ?
?
?
K
? 3 8 dengan
\
\e
,
^,
dan
K
? Kemudian dicari nilai eigen menggunakan persamaan karakteristik hij6V ? 7k8 G F ? #$ ? ?7 ? "B ? CDE l l ? ?7 ? ?7 m B" B ? ?# $ ?
m B" B ?
m B" B ?
m
G
CDE
G
CDE
B" B ?
9 B" B ?
? 7F 6? ? 786? ? 78 9 6?
F ? #$ ?
? 7F n
?7
CDE
G
F ? #$ ?
? 7F n6 9 786 9 78 ?
F ? #$ ?
G
F ? #$ ?
CDE
G
CDE
F ? #$ ?
m 7 9 6 9 87 ? B" B ? ?
7 9 B" B ? \
,
G
CDE
G
7 9 B" B ?
CDE
F?
F 7 ? 7 ? B" B ?
G
m 7 9 6 9 87 ? B" B ?
G
G
CDE
G
o?
o?
"B ?
F ? #$ ?
CDE
F
G
F7 9
7 ? B" B ?
CDE
F ? #$ ?
F7 9
7 ? 6 9 8 B" B ?
CDE
F ? #$ ?
F 7 ? B" B ?
G G
CDE
F
F
F ? #$ ?
9
9
?
?
CDE
G
G
CDE
G
CDE
Fq 7 ? 6 9 8 B" B ?
G
CDE
F
G
F 6 9 87
F ? #$ ? F
F
F7
F 6 9 87 9
F ? #$ ?
CDE
7?
F ? #$ ?
CDE
F ? #$ ?
F ? #$ ?
CDE
9
F ? #$ ?
B" B ?
B" B ?
G
F 6 9 87 ? 6 9 87
F ? #$ ?
F ? #$ ?
CDE
F ? #$ ?
m 7 9 p 9 ? B" B ?
7 9 B" B ?
F ? #$ ?
m 7 9 6 9 87 ? B" B ? ?
9 6 9 87 9 7 ?
8?
F79
Persamaan di atas merupakan persamaan karakteristik yang dapat dituliskan sebagai berikut 7 9 27 9 47 9 5 dengan 2
4
5
9 ? B" B ?
G
CDE
F ? #$ ?
F
9 9 X$ Z ? 6" ? # $ 8 9 O PQ G" 6 9 8B ? 6" ? # $ 8 9 F R$
CDE
34
Berdasarkan pada kriteria Routh-Hurwitz, titik tetap terinfeksi bersifat stabil jika syarat 2 :
5:
dan 24 ? 5 :
Pada titik tetap
! 9 6"?# $ 8 ? $
Selama ! :
6"?# $ 8 ? 6"?# $ 8 `
"
R$ r
O PQ
CDE R$
$O PQ
9
`
Ini berarti memperlihatkan bahwa 2 : Karena 3 3 3 : maka diperoleh 5 : 2 dan 4 masing-masing dapat ditulis menjadi 2 6 9 9 4 8 dan 4 6 9 84 dengan memanfaatkan bentuk dan catatan bahwa 4 memuat , sehingga dapat ditunjukkan bahwa 24 4 6 9 8 9 4 6 9 8 : 5 yang berarti 24 ? 5 : terpenuhi Lampiran 6
Dinamika Model HIV tanpa Terapi Obat untuk st `
35
36
Lampiran 7
Orbit Kestabilan Sistem Model HIV tanpa Terapi Obat untuk st :
a. Ketika st
u* v
37
b. Ketika st
u* w
c. Ketika st
x* y
38
Lampiran 8
Dinamika Model HIV tanpa Terapi Obat untuk st :
39
40
Lampiran 9 Penentuan Titik Tetap Tak Terinfeksi untuk Model HIV dengan Protease Inhibitor
diperoleh hasil sebagai berikut untuk titik tetap tak terinfeksi
dapat ditulis menjadi (
(
(
L
L
CDE
G"
CDE
G"
H" ? # $ 9 J6" ? # $ 8 9
H" ? # $ ? J6" ? # $ 8 9
.!"
CDE
.!"
CDE
K3 3 3 M
K3 3 3 M
Untuk titik tetap ( bernilai negatif, sehingga titik tetap yang akan dianalisis selanjutnya adalah 6
NN
3 3 3 8 dengan
NN
$O PQ R
S" ? # $ 9 T6" ? # $ 8 9 $
NR
O PQ
U.
41
Lampiran 10 Penentuan Titik Tetap Terinfeksi untuk Model HIV dengan Protease Inhibitor
diperoleh hasil sebagai berikut untuk titik tetap tak terinfeksi
Lampiran 11
Penentuan Nilai Eigen Titik Tetap Tak Terinfeksi zu
6{||u 3 t3 t3 t8 dengan Mathematica
sehingga diperoleh nilai eigen G NN F ? #$ 7 "B ? CDE
9 7 3 ? I _6 9 8 ? . 9 . NN 6 ? }~- 8 G G 7 ? . Sistem akan stabil pada titik tetap ( jika ketiga nilai eigen negatif, yakni 7 ` , 7 ` , 7 ` dan 7 ` . Oleh karena itu perlu diperiksa syarat-syarat yang harus dipenuhi agar sistem di ( stabil. a. Karena semua parameter tak negatif, maka 7 ` dan 7 ` .
b. Agar 7 `
c. Agar 7 ` NN
maka diperlukan " X ? $
$aab
O PQ
maka diperlukan
• ? }dk€ atau }~- : ?
\
!!
.
9
Z ? #$ `
atau
: T6 9 8G ? .
NN
:
9.
6R [Y 8$O PQ !!
R
.
• ? }dk€
atau
:
42
Lampiran 12
Penentuan Nilai Eigen Titik Tetap Terinfeksi z•
Diketahui matriks Jacobi adalah d$ f$ +$ ˆ$
V
d$ f$ +$ ˆ$
de† fe† +e† ˆe†
de‡ † fe‡ † +e‡ † ˆe‡ †
"B ?
Pelinearan pada titik tetap terinfeksi ( RX
‰
Yaar Z [Y YO PQ
NN
‚† \e
Š‹† 8
^, 6
diperoleh matriks V
"X ?
V
,‰ $‰
$O PQ
dan ‰, -
Z ? # $ ? ‰‰-
? 6 ? }~- 8 }~-
G
CDE
6
F ? #$ ?
‚† Š‹† e
?
-
? 6 ? }~- 8 }~3 ‰ 3 ‰- 3 ‰, - 8 dengan NN
-
NN
Š‹†
‚ 3ƒ ‚„3 ƒ ‚ … „ 8 dengan Mathematica 6{||x 3 {
.
?
, 6
\
? , ‰8
Š‹†
? ‰ ‰ ?
?
Kemudian dicari nilai eigen menggunakan persamaan karakteristik #Υ6V ? 7k8 l l
G‰
"Ž ?
CDE
m Ž" Ž ?
• ? # $ ? ‰‰-
G‰
m Ž" Ž ?
m
?
l l
CDE
CDE
• ? # $ ? ‰- ? 7• n6 9 786 9 78 ? ‰
G‰
G‰
CDE
Ž" Ž ?
9 Ž" Ž ?
9 ‰
‰ ?
? 6 ? }~- 8 }~-
• ? # $ ? ‰- ? 7• 6? ? 786? ? 786? ? 78 9 6? ‰ ‰- 6 ? }~- 8
?6 ? }~- 8
m Ž" Ž ?
? ‰
‰" Ž ?
G‰
CDE
• ? # $ ? ‰- ? 7
• ? # $ ? ‰- ? 7• n
G‰
CDE
G‰
• ? # $ ? ‰- • ?
9 6 9 87 9 7 ? ‰
7 9 Ž" Ž ?
• ? # $ ? ‰- • 7 ? 7 ? Ž" Ž ?
CDE
G‰
CDE
6 ? }~- 87 ? ‰- ‰ 6 ? }~- 8 G‰ m 7 9 6 9 87 ? Ž" Ž ? • ? # $ ? ‰- • 7 9 ? ‰ ?
CDE
6 ? }~- 87 9 Ž" Ž ?
Ž" Ž ?
‰
G‰
CDE
, 6
7 9 Ž" Ž ?
\
Š‹† 8
G‰
CDE
G‰
m 7 9 p 9 ? Ž" Ž ?
G‰
G‰
‰ 6 ? }~- 8
7 ? Ž" Ž ?
CDE
• ? # $ ? ‰- • 7 ? Ž" Ž ?
CDE
G‰
CDE
• ? # $ ? ‰- • 6 9 87
maka diperoleh
?
6 ? }~- 8
6 ? }~- 8
6 ? }~- 8 9 ‰- ‰
CDE
G‰
6 ? }~- 8o ? ‰- ‰
• ? # $ ? ‰- • ‰
• ? # $ ? ‰- • 7 9 9 ‰-
6 ? }~- 8
• ? # $ ? ‰- • 6 9 87 ? 6 9 87
CDE
• ? # $ ? ‰- • ‰
• ? # $ ? ‰- •
m 7 9 6 9 87 ? Ž" Ž ? 9 ‰-
CDE
• ? # $ ? ‰- •
m 7 9 6 9 87 ? Ž" Ž ? ?
G‰
6 ? }~- 8o ? ‰ ‰
8
7 ? 6 9 8 Ž" Ž ? Ž" Ž ?
G‰
G‰
6 ? }~- 8
G‰
• ? #$ ? • 7
CDE
• ? # $ ? ‰- •
CDE
• ? # $ ? ‰- • 6 9 87 9 ‰-
CDE
• ? # $ ? ‰- •q 7 ? 6 9 8 Ž" Ž ? ‰-
G‰
CDE
• ? # $ ? ‰- • 7
N
$aar
9
43
Persamaan di atas merupakan persamaan karakteristik yang dapat dituliskan sebagai berikut 7 9 27 9 47 9 5 , dengan , dimana yaitu diperoleh 7 9 27 9 47 9 5 G" ‰ 2 9 9Ž • ? 6" ? # $ 8 9 ‰-
4
6 9 8Ž
CDE
G" ‰
CDE
? 6" ? # $ 8 9 ‰- •
‰Berdasarkan pada kriteria Routh-Hurwitz, titik tetap terinfeksi bersifat stabil jika syarat 2 : , 5 : , dan 24 ? 5 : terpenuhi. a. Pada titik tetap, R$‰ r ‰- ‰ . ! 9 6" ? # $ 8 ‰ ? 5
$O PQ
Selama ! : , R$‰ r 6" ? # $ 8 ‰ ? ` $ atau
6" ? # $ 8 `
O PQ
‰ R$
$O PQ
‰- ‰
9 ‰- .
Ini memperlihatkan bahwa 2 : . b. Karena semua parameter tak negatif maka diperoleh 5 : . c. 2 dan 4 masing-masing dapat ditulis menjadi 2 6 9 9 4 8 dan 4 6 9 84 , dengan memanfaatkan bentuk dan catatan bahwa 4 memuat ‰- , sehingga dapat ditunjukkan bahwa ‰- 5 yang berarti 24 ? 5 : 24 4 6 9 8 9 4 6 9 8 : terpenuhi. Lampiran 13
Orbit Kestabilan Sistem Model HIV dengan Protease Inhibitor untuk st `
a. Ketika st
t* •‘
44
b. Ketika st
t* ’x
c. Ketika st
t* yw
45
Lampiran 14
Orbit Kestabilan Sistem Model HIV dengan Protease Inhibitor untuk st :
a. Ketika st
u* •x
b. Ketika st
u* ‘w
c. Ketika st
u* yy
46
Lampiran 15
Dinamika Model HIV dengan Protease Inhibitor untuk st `
47
48
49
Lampiran 16
Dinamika Model HIV dengan Protease Inhibitor untuk st :
50
51
Lampiran 17 Penentuan Titik Tetap Model Penyembuhan Sel Darah Putih
Maka diperoleh titik tetap, yaitu ( 6 NN 3 3 3 8 N dengan NN . [ Y
52
Lampiran 18
Penentuan nilai eigen titik tetap z
6{||• 3 t3 t3 t8 dengan Mathematica
Sehingga diperoleh nilai eigen: 7 ?# $ 9 7 3 ? I _6 9 8 ? . 9 . NN 6 ? }~- 8 G G 7 ? Karena semua parameter tak negatif, maka 7 ` , 7 ` dan 7 ` , sehingga kestabilan di titik ini tergantung pada nilai eigen 7 . Agar titik tetap bersifat stabil maka 7 ` yang mana \ kondisi ini akan dipenuhi ketika : ? . NN 6 ? }~- 8 atau }~- : , $aa“
Lampiran 19
Orbit Kestabilan Sistem Model Penyembuhan Sel Darah Putih untuk st `
a. Ketika st
t* w
b. Ketika st
t* ‘
53
c. Ketika st
Lampiran 20
t* y
Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih untuk st `
54
55
Lampiran 21
Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih untuk st :
56
57