DINAMIKA LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) (Skripsi)
Oleh
Ratna Sari
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
ABSTRACT DYNAMICS OF THE INSTITUTIONS FOR REGIONAL CHIEF ELECTION DISPUTE SETTLEMENT By RATNA SARI The regional chief election was potential to bring a dispute on its every execution. The existence of an institution for resolving the regional chief election dispute is indispensable to settle the dispute. The institution was established since the citizenry have to directly elect the regional chief, it was on 2004. On this context the purpose of this writings are to know the dynamics of the institutions for regional chief election dispute settlement in Indonesia and to evaluate judicial institution for regional chief election dispute ever, so it can be a basic consideration for establishment of a special election court in the future. This study uses a juridical normative approach (doctrinal) the study will be carried out by inventorying and reviewing some legal documents and other papers. The result of this study shows that there is a change in the dynamics of the institution for regional chief election dispute settlement, the change is on the authority of regional chief election dispute that have been occurred in the Supreme Court is turning to the Constitutional Court. Such provisions have been amended several times, while this time the authority has been restored to the Constitutional Court until the special election court established as mandated by the law.
Keywords: Dynamics, Justice Institute, Election Dispute
ABSTRAK DINAMIKA LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) Oleh RATNA SARI Penyelenggaraan
pemilihan
kepala
daerah
(pilkada)
berpotensi
memunculkan adanya sengketa pada setiap pelaksanaannya. Keberadaan lembaga penyelesaian sengketa pilkada sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa pilkada tersebut. Lembaga penyelesaian sengketa pilkada dibentuk sejak pelaksanaan pilkada secara langsung oleh rakyat yaitu pada tahun 2004. Dalam konsteks ini tujuan penulisan adalah untuk mengetahui dinamika lembaga penyelesaian sengketa pilkada yang ada di Indonesia dan mengevaluasi lembaga peradilan pilkada yang pernah ada sehingga dapat menjadi dasar pertimbangan pembentukan peradilan khusus pilkada dimasa yang akan datang. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yang bersifat yuridis normatif (doctrinal) yaitu penelitian akan dilakukan dengan menginventaris dan mengkaji dokumendokumen hukum dan karya tulis lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa telah terjadi dinamika perubahan lembaga penyelesaian sengketa pilkada, perubahan kewenangan penyelesaian sengketa pilkada telah terjadi di Mahkamah Agung yang beralih kepada Mahkamah Konstitusi. Ketentuan perubahan tersebut telah beberapa kali mengalami perubahan, sementara untuk saat ini kewenangan tersebut telah dikembalikan kepada Mahkamah Konstitusi sampai terbentuknya peradilan khusus pilkada sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang.
Kata Kunci: Dinamika, Lembaga Peradilan, Sengketa Pilkada.
DINAMIKA LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA)
Oleh
Ratna Sari
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM Pada Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung
BAGIAN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG 2016
RIWAYAT HIDUP Penulis berasal dari desa Bandar Agung di Kecamatan Bandar Sribhawono Kabupaten Lampung Timur. Terlahir dari sepasang suami istri yang bernama Bapak Sholeh dan Ibu Suparni. Penulis dilahirkan pada tanggal 22 Juli tahun 1994 dan merupakan anak dari satu bersaudara. Dibesarkan dilingkungan keluarga jawa yang sederhana, menjadikan penulis dituntut untuk tumbuh menjadi sosok yang tidak boleh manja. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di SD Negeri 1 Bandar Agung pada tahun 2006, kemudian melanjutkan pendidikan menegah pertama di SMP Negeri 1 Bandar Sribhawono dan lulus pada tahun 2009. Di Sekolah menegah pertama inilah penulis memulai aktifitas ektrakulikuler pramuka yang telah mengajarinya untuk bisa lebih mandiri dan semangat dalam meraih prestasi akademik. Setelah menyelesaiakan pendidikan menengah pertama, pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan menengah atasnya di SMA Negeri 1 Way Jepara Lampung Timur dan mengambil program kehususan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), di tingkat Sekolah Menangah Atas (SMA) inilah penulis telah meraih beberapa prestasi antara lain Juara 1 Olimpiade Kebumian Tingkat Kabupaten yang telah diraihnya pada tahun 2010 dan pada tahun 2011, selain itu penulis juga telah beberapa kali mengikuti lomba antara lain lomba Matematika Geofisika di IPB pada tahun 2011, lomba LCT TAP MPR pada tahun 2010, lomba KIR, dan Lomba LCT Unila. Selain itu, penulis juga aktif dalam bidang
organisasi dengan Menjadi Ketua Olimpiade Kebumian dan Ketua LCT TAP MPR. Penulis telah menyelesaikan pendidikan menengah atasnya pada tahun 2012. Pada tahun 2012 tersebut, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) tertulis dengan mengemban beasiswa Bidikmisi. Selama berstatus sebagai mahasiswa penulis aktif diberbagai unit kegiatan mahasiswa dibeberapa organisasi internal maupun eksternal kampus. Pada tahun 2012, penulis terdaftar sebagai Anggota Muda MAHKAMAH (Mahasiswa Pengkaji Masalah Hukum). Ditahun selanjutnya, penulis mendaftar UKMF FOSSI (Forum Silaturrahmi dan Studi Islam) FH Unila periode 2013-2014 dan mendapatkan amanah menjadi Sekretaris bidang Humas dan Olah Raga UKMF FOSSI (Forum Silaturrahmi dan Studi Islam) FH Unila periode 2013-2014. Tahun 2014, penulis kembali dititipkan amanah sebagai Sekretaris Divisi Humas dan Olah Raga UKMF FOSSI periode 2014-2015 dan menjadi anggota muda Himpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara (Hima HTN) FH Unila, dan pada tahun 2014 tersebut penulis juga diamanatkan sebagai Kepala divisi Debat MAHKAMAH (Mahasiswa Pengkaji Masalah Hukum) Periode 2014/2015. Pada tahun 2015 penulis telah tergabung menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Hukum Unila, dan pada tahun 2015 penulis juga telah tergabung menjadi anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Unila Periode 2015/2016 dan diamanatkan sebagai Ketua Komisi A yaitu Komisi Perundang-undangan. Selama menjadi mahasiswa penulis banyak mengikuti kegiatan diantaranya mengadakan acara baik itu kajian maupun acara debat pada
tingkat Fakultas Hukum Unila serta peserta juga telah mengikuti Debat Mahkamah Konstitusi Regional Barat pada tahun 2015 di Universitas Jambi.
MOTTO “Keadilan Hakim Merupakan Penentu Bagi Lahirnya Pemimpin Harapan Bangsa” -Ratna Sari-
“Kebahagiaan Dalam Hidup Adalah Ketika Kita Mampu Bersykur Pada Apa Yang Diberikan Tuhan Kepada Kita, Serta Dapat Memberi Manfaat Bagi Orang Lain” -Ratna Sari-
“Man Jadda Wa Jadda” Barang Siapa Yang Bersungguh-Sungguh Maka Dia Akan Berhasil
PERSEMBAHAN Kupersembahkan karya ini untuk: “Ibu dan Ayahku Tersayang” Terimakasih atas semua kasih sayang, doa, pengorbanan, bimbingan agama, serta kerja keras yang telah dilakukan demi anakmu sehingga anakmu bisa menjadi seperti saat ini. Terimakasih untuk semua proses hidup yang telah ibu dan ayah berikan kepadaku. Semoga Allah SWT selalu memberikan nikmat kesehatan, iman dan kebahagian untuk keluarga kecil kita & Terimakasih untuk semua saudara, sahabat serta teman-teman atas bantuan dan. motivasi untuk terus berjuang. Saya akan melakukan yang terbaik.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Dinamika Lembaga Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan dari banyak pihak baik berupa bimbingan, dukungan, motivasi, kritik serta saran yang berarti. Sehingga pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: 1.
Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.H., selaku pembimbing utama yang telah memberikan masukan, kritikan, motivasi serta batuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2.
Bapak Ahmad Saleh, S.H., M.H., selaku pembimbing kedua yang telah memberikan semangat, bantuan, serta kritik dan saran kepada penulis dalam menyelesaiakan skripsi ini.
3.
Ibu Dr. Yusnani Hasyim Zum, S.H., M.Hum. selaku pembahas utama yang telah menjadi inspirasi dan telah meberikan masukan kritik dan saran kepada penulis guna hasil yang lebih baik.
4.
Bapak Rudy, S.H., LL.M., LL.D selaku pembahas kedua dan sebagai Ketua Bagian Hukum Tata Negara terimakasih atas motivasi serta masukan
sehingga memberikan banyak pelajaran hidup kepada penulis untuk bisa menjadi lebih baik. 5.
Bapak M. Iwan Satriawan, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik atas bantuan, motivasi serta masukan kepada penulis sehingga penulis dapat terus berproses untuk menjadi lebih baik.
6.
Bapak dan Ibu Dosen Hukum Tata Negara, Ibu Martha Riananda, S.H., M.H., Ibu Siti Khoiriah, S.Hi.,M.H., Ibu Yulia Netta, S.H.,M.H., Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum. Bapak Ade Arief F, S.H., M.H., Bapak Muhatadi, S.H., M.H., Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan, pemikiran serta ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani proses studi.
7.
Bapak Marjiyono, Bapak Sujarwo, Bapak Supendi, Bapak Hadi dan Mas Nur yang telah banyak direpotkan oleh penulis dan telah membantu banyak hal terhadap penulis yang tidak akan mampu untuk
disampaikan
seluruhnya, hanya Allah SWT yang mampu membalas semuanya. 8.
Ibuku
tersayang Suparni,
terimakasih
karena
telah
menjaga
dan
menyayangiku dengan sepenuh hati, tanpa doa dan kasih sayang tulusmu aku bukankan apa-apa. Banyak hal yang telah ibu ajarkan kepadaku sehingga aku bisa menjadi sosok seperti saat ini. Aku percaya bahwa semua pengorbanan yang telah ibu lakukan adalah untuk kebaikanku, ibu adalah motivasi terbesarku untuk selalu menjadi insan yang lebih baik, semoga Allah SWT senantiasa meberikan kebahagiaan kepada ibu.
9.
Bapakku tersayang Sholeh, terimakasih karena telah menjagaku selama ini, karena telah mendidikku hingga menjadi seperti saat ini, bapak adalah bapak yang terbaik untukku. Semoga Allah SWT senantiasa meberikan kebahagiaan kepada bapak.
10.
Kepada keluarga kecilku, Abang Hardiansyah, S.H., Abang Dani Amran Hakim, S.H., M.H., Abang Rindi Purnama, S.H., Kak Herra Destriana, S.H., Julia Silviana, S.H., terimakasih karena kalian bukan hanya mengajariku arti persahabatan tapi lebih dari itu yaitu hubungan persaudaraan.
11.
Untuk sahabatku tersayang, Nazyra Yossea Putri, Novita Denty, Nova Zolica Putri, yang telah menemaniku baik dalam susah maupun senang selama menjalani proses studi. Semoga kita bisa selalu menjaga tali silaturahmi.
12.
Saudara, kakak dan adik-adikku seperjuangan di HIMA HTN (Himpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara) FH Unila 2011: Kak Maryanto, Kak Elsa, Kak Virgi, Bang Ridho, Bang Agung, Bang Very, Bang Daniel, Bang David, 2012: Dwi Zaen Prastyo, Shabrina Duliyan Firda, M. Husen Rifa’I, Utiya Meylina, Pipin Lestari, Dewi Nurhalimah, James Reinaldo, Deka Nanda Prakoso, Anastasia Resti, Sumaindra Jarwadi. 2013: Hendi Gustarianda, Ridwan Saleh, Edius Pratama, Tia Nurhawa, Afrintina, Sarinah, Havez Annamir, Royzal Annurrahman, Suhendri, Rudi Wijaya. Terimakasih atas semua dukungan Saudara, kakak dan adik-adikku dan mohon maaf atas kehilafan
yang telah dilakakukan. Tetaplah berjuang
untuk membangun HIMA HTN FH Unila.
13.
Sahabatku tersayang yang selalu mendukungku, Yuyun Dani Salvestri, Indah Prihartini, serta teman-teman kos yang telah membantu dan menemaniku Fenny Diah, Maulida Purnama, Dwi Risma, Ani Widiawati, Ukhti Wasis, Sartika Panji, Aulina, Intan, Nadia, Pani, Ayu, Brenda, mba Tuti.
14.
Teman-teman dan adik-adikku seperjuangan di UKMF Mahkamah (Mahasiswa Pengkaji Masalah Hukum) FH Unila Ketum Indra, Kujang, Silvi, Danny, Bang Mamat, Bang Kodri, Ridwan, Wanda, Hendi, Lay, Dede, Prima, Astrid, Gyka, Alief, Evi, Iren, Niken, Dhea, Rara, Uyup, Nuril, Risa, Fuad, Melky, Ibnu, Hadi, Julpa, Ika, Sila, Popy, Juan dan masih banyak hingga tidak mampu untuk diucapkan satu persatu. Terimakasih atas semua dukungan Saudara dan adik-adikku dan mohon maaf atas khilafan
yang telah dilakakukan. Penulis akan merindukan masa-masa
kekeluargaan kita 15.
Teman-teman seperjuangan Rahmi Yuniarti, Ni Made Ayu Sumerti, Oktavia Veronika, Ratu Dibyandini, Yose Trimiarti, Gito, Fikri, Mira, Tia, Vera, Senang, Vivi, Putri, Riky, Prasetya, RB Pratama, Ragiel, Vicky, Ratna Juwita, serta adikku tersayang Anggun Ariena Rahman, Desi, dan seluruh teman Fakultas Hukum Unila 2012 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
16.
Keluarga Bapak Subari yang telah memberikan tempat tinggal kepada penulis pada saat menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan sudah menganggap penulis seperti anak sendiri serta kepada teman-teman KKN Desa Sumber Agung Kecamatan Rawa Pitu Rico R Nanda, Aziz Prija
Juniansyah, Martini, Andini AF
yang telah memberiakn banyak
pembelajaran hidup kepada penulis. 17.
Kanda, Yunda, teman-teman, dan Adinda di HMI Komisariat Hukum Unila.
18.
Almamater tercintaku, semangatku untuk terus dapat menjaga dan membawa nama baik Unila seperti aku menjaga harga diriku. Untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis
mengucapkan terimakasih atas doa dan dukungannya selama penulis menempuh perkuliahan sampai penulis menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan atas semua bantuan, dukungan yang diberikan kepada penulis. Dalam hal ini penulis berharap skripsi ini dapat memeberi manfaat bagi setiap yang membaca, Amin.
Bandar Lampung, 13 April 2016 Penulis
Ratna Sari
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ABSTRAK HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN RIWAYAT HIDUP MOTO PERSEMBAHAN SANWACANA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL I.
PENDAHULUAN A. B. C. D.
II.
Latar Belakang......................................................................................1 Rumusan Masalah ................................................................................6 Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................6 Tujuan Dan Kegunaan Penelitian .........................................................7 a. Tujuan Penulisan..............................................................................7 b. Kegunaan Penelitian ........................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA A. B. C. D.
Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah ...........................................9 Pemilihan Kepala Daerah .....................................................................12 Sengketa Pemilihan Kepala Daerah .....................................................21 Lembaga Peradilan Pilkada Di Indonesia.............................................24 a. Mahkamah Agung ..........................................................................27 b. Mahkamah Konstitusi.....................................................................32
III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian .......................................................................................36 B. Pendekatan Masalah................................................................................36 C. Sumber Data............................................................................................36 D. Metode Pengumpulan Data.....................................................................38 E. Metode Pengelolaan Data........................................................................39 F. Analisis Data ...........................................................................................39
IV.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Lembaga Penyelesaian Sengketa Piemilihan Kepala Daerah di Indonesia...............................................................................................40 a. Pemilihan Kepala Daerah Pasca Orde Baru ....................................40 b. Peraturan Lembaga Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepla Daerah Di Indonesia ........................................................................45 a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah................................................................45 b) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah...............................49 c) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 ........55 d) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota ...............................................60 e) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota ................................................................63 f) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang ...................................80 c. Dinamika Lembaga Penyelesaian Sengketa Pilkada .......................86
V.
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .............................................................................................92 B. Saran ......................................................................................................93
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Tabel
Halaman Tabel.1. Bentuk Sengketa Pilkada dan Mekanisme Penyelesaiannya Berdasarkan Ketentuan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 ...........................75 Tabel 2. Dimamika Lembaga Penyelesaian Sengketa Pilkada Berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 sampai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 ..............................................................................84
Daftar Gambar
Halaman Gambar.1 Dimamika Lembaga Penyelesaian Sengketa Pilkada ..........................91
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Negara demokrasi
telah menjadi
arus utama bagi
negara-negara
modern.1Demokrasi berdiri berdasarkan prinsip persamaan, yaitu bahwa setiap warga negara memiliki kesamaan hak dan kedudukan di dalam pemerintahan, dalam hal ini rakyat diberi kekuasaan untuk turut serta menentukan pemerintahan yakni kewenangan yang dimiliki oleh penguasa berasal dari legitimasi rakyat.2Salah satu sarana untuk menyalurkan demokrasi adalah melalui pemilihan umum.Secara umum pemilu merupakan media dan alat perwujudan kedaulatan rakyat baik secara langsung (direct democracy) atau tidak langsung (indirect democracy) untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perkembangan ketatanegaraan telah membawa beberapa fase dalam perkembangan pemilihan umum yang ada di Indonesia, hal tersebut kemudian diwujudkan bukan hanya untuk memilihan presiden dan wakil presiden tetapi juga untuk memilih kepala daerah baik secara langsung maupun tidak langsung. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung sebagaimana tercantumdalam ketentuan Pasal 18 Angka (1) huruf a yaitu pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan kepala daerah oleh DPRD dalam praktiknya ternyata telah menjauh dari tujuan dari 1
Janedri M Gaffar, Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2013,
hlm. 1 2
Ibid, hlm. 14.
2
pemilu itu sendiri, banyak terjadi pelanggaran seperti politik uang dalam menggalang dukungan internal DPRD sehingga kepala daerah yang terpilih tidak kapabel menjadi seorang pemimpin, pencalonan maupun proses pemilihan sepenuhnya menjadi otoritas partai politik yang mempunyai wakilnya di DPRD sehingga dapat dipastikan bahwa partai politik yang berkuasa di DPRD secara politik mempunyai legitimasi dan kekuatan untuk mencalonkan kadernya.3 Perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD RI Tahun 1945) Pasal 18 ayat (4) telah mengatur bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, ketentuan tersebut telah mendorong adanya semangat berdemokrasi pada level daerah4 (Provinsi, Kabupaten, Kota) agar kepala daerah dapat dipilih secara langsung oleh rakyat atau tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tetapi tetap kedaulatan ada di tangan rakyat. Ketentuan tentang pemilihan kepala daerah (yang selanjutnya disebut pilkada) tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah dirubah dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lebih lanjut peraturan terbaru yang ditetapkan untuk mengatur tentang pilkada adalah Undang-Undang Nomor 23
3
Sri Hastuti Puspita Sari, Mahkamah Konstitusi Dan Penegakan Demokrasi Konstitusional dalam Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 3, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011, hlm. 378 4 Hamdan Zoelva, Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi dalam Jurnal Konstitusi Volume 10 Nomor 3, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2013, hlm. 378.
3
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Penyelenggaraan pilkada dalam perjalanannya tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan, disetiap penyelenggaraannya selalu muncul adanya sengketa atau perselisihan pemilu. Data yang tercatat bahwa sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) kepala daerah yang muncul pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2013 adalah sebanyak 524 kasus, yakni pada tahun 2008 sebanyak 27 perkara, tahun 2009 sebanyak 3 perkara ditambah 12 perkara yang belum terselesaikan pada tahun sebelumnya, tahun 2010 sebanyak 230 perkara, tahun 2011 sebanyak 132 perkara, tahun 2012 sebanyak 105 perkara ditambah 7 perkara yang belum terselesaikan pada tahun sebelumnya, tahun 2013 sebanyak 27 perkara di tambah 8 perkara yang belum terselesaikan pada tahun sebelumnya. 5 Perubahan sistem pemilu pasca amandemen UUD RI Tahun 1945 adalah pemberian kewenangan lembaga pelaksana Kekuasaan Kehakiman6 untuk menyelesaiakan perselisihan hasil pemilu, baik pemilu legislatif maupun eksekutif. Kewenangan penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, sedangkan kewenangan penyelesaian sengketa pemilihan umum kepala daerah diberikan kepada 5
Mahkamah Konstitusi Repubik Indonesia “Rekapitulasi Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah” di download dari website http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPHPUD diakses pada 2 Desember 2015 pukul 14:07 WIB 6 Kekuasaan kehakiman yang merupakan kekuasan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan untuk lebih jelasnya lihat ketentuan 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
4
Mahkamah Agung dan kewenangan pengadilan tinggi untuk pemilihan Bupati/Walikota.7 Perjalanan panjang sejarah ketatanegaraan Indonesia telah membuat terjadinya dualisme kewenangan dalam hal penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur bahwa kewenangan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah merupakan kewenangan Mahkamah Agung dan kewenangan pengadilan tinggi untuk pemilihan bupati/walikota hal tersebut yang putusannya bersifat final dan mengikat
sebagaimana
tercantum
dalam
ketentuan
pasal
106.
Setelah
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan penyelesaian sengketa hasil pilkada dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi sejak tanggal 1 November 2008 berdasarkan berita acara pengalihan wewenang mengadili dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi pada 29 Oktober 2008. Ketentuan pengalihan tersebut diatur dalam pasal 236C yang menyebutkan bahwa ”Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan”. Pengalihan kewenangan penyelesaian sengketa pilkada dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi tersebut telah menimbulkan problematika tersendiri sejalan setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU/XI/2013 yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah bukan
7
Op. Cit, hlm. 379
5
merupakan bagian dari rezim pemilu. Berdasarkan pertimbangan yang ada ketentuan putusan ini menyatakan bahwa pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 Pasal 1 ayat (1), 22E (2) dan Pasal 24C ayat (1).8 Perpindahan kewenangan penyelesaian sengketa pilkada antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi ini terjadi karena masih dibutuhkannya pembahasan lebih lanjut mengenai lembaga peradilan manakah yang paling tepat untuk menyelesaikan sengketa pilkada mengingat bahwa permasalahan mengenai sengketa pilkada ini beragam sebagaimana tercantum pada Bab XX UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undangyakni mulai dari pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilihan,
pelanggaran
administrasi
pemilihan,
sengketa
antarpeserta pemilihan dan sengketa antara peserta dengan penyelenggara pemilihan, tindak pidana pemilihan, sengketa tata usaha negara, perselisihan hasil pemilihan. Pengembalian kewenangan penyelesaian sengketa pilkada kepada Mahkamah Konstitusi saat ini masih menjadi solusi sementara yang dapat dilakukan sampai benar-benar dibentuknya lembaga peradilan yang berhak untuk menangani permasalahan sengketa pemilihan kepala daerah. Undang-undang terbaru yang dilahirkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang
8
Untuk lebih jelas baca uraian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU/XI/2013
6
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang hanya mengamanatkan adanya pembentukan sebuah peradilan khusus untuk menangani perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pilkada tetapi sampai dengan batas waktu yang belum ditentukan dalam undang-undang. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya maka permasalahan utama yang akan menjadi fokus penelitian adalah dinamika lembaga penyelesaian sengketa pilkada dalam kekuasaan Kehakiman di Indonesia, dan oleh karena masih minimnya penelitian tentang dinamika lembaga penyelesaian sengketa pilkada maka hal ini menarik minat penulis untuk meneliti dan menuangkannya dalam bentuk tulisan skripsi dengan judul ”Dinamika Lembaga Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, masalah yang akan dikaji pada penelitian ini adalah bagaimanakah dinamika lembaga penyelesaian sengketa pilkada di Indonesia?
C. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian Hukum Tata Negara pada umumnya yang membahas tentang dinamika lembaga penyelesaian sengketa pilkada yang ada di Indonesia sejak pemilihan kepala daerah tahun 1999 sampai dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan
7
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentangPemilihan Gubernur, Bupati , dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian a. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun penelitian ini dilakukan dengan tujuan yaitu untuk mengetahui dinamika lembaga penyelesaian sengketa pilkada yang ada di Indonesia mulai dari tahun tahun 1999 sampai dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
b. Keguanaan penelitian a) Keguanaan Teoretis Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ilmu Hukum Tata Negara yang berkaitan dengan dinamika lembaga penyelesaian sengketa pilkada dalam Kekuasaan Kehakiman di Indonesia serta dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian sejenis pada masa yang akan datang.
8
b) Kegunaan Praktis a. Bagi pembaca dan masyarakat pada umumnya, diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang dinamika lembaga penyelesaian sengketa pilkada yang ada di Indonesia. b. Bagi pembentuk undang-undang, dapat menjadi bahan evaluasi dalam pembentukan regulasi peradilan khusus pilkada di masa yang akan datang.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA A.
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kepala daerah adalah bagian dari pemerintah daerah yang merupakan unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi9 dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945.10 Menurut ketentuan pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa setiap daerah harus dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan daerah yang disebut sebagai kepala daerah. Kepala daerah dibagi menjadi kepala daerah provinsi yang disebut sebagai gubernur, untuk daerah kabupaten disebut bupati dan untuk daerah kota disebut dengan walikota. Kepala dearah dalam menjalankan tugasnya juga dibantu oleh seorang wakil kepala daerah, untuk daerah provinsi disebut wakil gubernur, untuk daerah 9
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “otonomi” diartika sebagai “pemerintahan sendiri” dalam Pusat Bahasa Dan Departemen Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, hlm. 1025. 10 Prinsip otonomi seluas-luasnya merupakan penjabaran dari otonomi daerah yaitu hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Lebih lanjut M.A. Muthalib dan Mohn Akbar Ali Khan dalam Theory of Local Government menjelaskan bahwa otonomi daerah pada dasarnya dapat diartikan sebagai demokrasi tingkat local. Dalam hal ini, kepentingan dan kebutuhan masyarakat di daerah dikelola oleh suatu institusi pemerintahan yang dibentuk oleh masyarakat setempat melalaui proses pemilihan umum. Dalam Rudy, Hukum Pemerintahn Daerah, Bandar Lampung: Pusat Kajian dan Peraturan Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Lampung. 2013, hlm. 8-9.
10
kabupaten disebut wakil bupati, dan untuk daerah kota disebut wakil wali kota. Masa jabatan untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 kepala daerah mempunyai tugas:
a. memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; b. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat; c. menyusun dan mengajukan rancangan perda tentang RPJPD dan rancangan perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD; d. menyusun dan mengajukan rancangan perda tentang APBD, rancangan perda tentang perubahan APBD, dan rancangan perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama; e. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; f. mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah; dan g. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada kepala daerah berwenang: a. b. c. d.
mengajukan rancangan perda; menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; menetapkan perkada dan keputusan kepala daerah; mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh daerah dan/atau masyarakat; e. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
11
Berdasarkan ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 wakil kepala daerah mempunyai tugas membantu kepala daerah dalam:
a. memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah; b. mengoordinasikan kegiatan perangkat daerah dan menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan; c. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh perangkat daerah provinsi bagi wakil gubernur; dan d. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh perangkat daerah kabupaten/kota, kelurahan, dan/atau desa bagi wakil bupati/wali kota; e. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam pelaksanaan pemerintahan daerah; f. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara; dan g. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 selain tugas dan wewenang, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban yang meliputi:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan; c. mengembangkan kehidupan demokrasi; d. menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah; e. menerapkan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik; f. melaksanakan program strategis nasional; dan g. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah.
Kepala
daerah
mempunyai
kewajiban
untuk
memberikan
laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan
12
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
kepada
masyarakat.
Laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah disampaikan kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk bupati/walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Laporan tersebut digunakan pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sementara wakil kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepaada kepala daerah.11
B.
Pemilihan Kepala Derah Pergeseran bentuk pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi di ikuti
dengan
diaplikasikannya
nilai-nilai
demokrasi
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia untuk tataran nasional dilaksanakan bersamaan dengan yang berada pada tatanan lokal (daerah), hal ini merupakan konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi politik. Salah satu manifestasi dari proses tersebut adalah dilaksanakannya pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk memilih gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota sebagai amanat dari undang-undang pemerintahan daerah.12 Sepanjang sejarah kemerdekaan, ketentuan mengenai pemerintah daerah (termasuk di dalamnya mekanisme pemilihan kepala daerah) diatur dalam sejumlah undang-undang,13 yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-
11
Op.Cit. Rudy, Hukum pemerintahan Daerah…, hlm. 50-51. Gamawan Fauzi, Sengketa Pemilukada, Putusan MK, dan Pelaksanaan Putusan MK, dalam Demokrasi Lokal, Evaluasi Pemilukada di Indonesia, Op.Cit, hlm.31 13 Pemilukada, Regulasi, Dinamika Dan Konsep Mendatang, Jakarta: PT RajaGarafindo, 2011, hlm. 15. 12
13
Undang 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-undang Nomor 18 Tahun 1986, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, Undang-Undang 15 Tahun 2011, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Perppu Nomor 1 Tahun 2014, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014, Undng-Undang Nomor 1 Tahun 2015, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, pemilihan kepala daerah dilakukan Dewan. Sementara menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 kepala derah dipilih oleh pemerintah pusat dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD, dalam hal ini DPRD berhak mengusulkan pemberhentian seorang kepala daerah kepada pemerintah pusat. Setelah pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 hingga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Ketentuan pilkada belum mengalami perubahan yang signifikan, antara lain sebagai berikut:14 1. Kepala daerah dipilih oleh DPRD; 2. Kepala Derah Tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; 3. Kepala Daerah Tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah, dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD yang bersangkutan. Setelah era reformasi, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pemilihan kepala daerah dilakukan dengan menggunakan sistem
14
Ibid. hlm. 16.
14
demokrasi tidak langsung dimana Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan penegasan asas desentralisasi yang kuat, 15 sementara pemerintah hanya menetapkan dan melantik kepala daerah berdasarkan hasil pemilu yang dilakukan oleh DPRD. Pelaksanaan kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau demokrasi biasa juga disebut sebagai sistem demokrasi perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Pelaksanaan demokrasi perwakilan ini yang menjalankan kedaulatan rakyat adalah para wakilwakil rakyat yang duduk di dalam lembaga perwakilan rakyat atau biasa juga disebut parlemen. Para wakil-wakil rakyat tersebut bertindak atas nama rakyat dan merekalah yang kemudian menentukan corak dan jalannya pemerintahan suatu negara, serta tujuan apa yang hendak dicapai baik dalam jangka waktu yang pendek maupun dalam waktu yang panjang. Hal seperti yang dikatakan Rousseau sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui kehendak hukum (volunte generale).16 Hasil perubahan UUD RI Tahun 1945 telah membawa pengaruh besar pada sistem ketatanegaraan17 Indonesia. Perubahan tersebut memberikan jaminan
15
Secara etimologi istilah desentralisasi berasal dari Bahasa Latin, yaitu “de”= lepas dan “centrum”= pusat jadi menurut perkataannya desentralisasi adalah melepaskan dari pusat. Lebih lanjut Piliang dalam Peni Chalid mengatakan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah merupakan bentuk sistem penyerahan urusan pemerintahan dan pelimpahan wewenang kepada daerah yang berada dibawahnya. Pada dasarnya desentarlisasi merupakan perwujudan dari otonomi daerah dalam Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, “Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah. Bandung; PT. Alumni.2004, hlm.115. 16 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Jakarta: Visimedia,2009, hlm. 46. 17 Sistem ketatanegaraan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang bekenaan dengan organisasi negara baik itu susunan, bentuk, kedudukan, wewenang maupun hubungan antar organ Negara.
15
konstitusional yang kuat bagi penyelenggaraan pemilu di Indonesia, yaitu bahwa:18 a. Pemilu harus diselenggarakan secara berkala (periodik) setiap lima tahun sekali berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahsia, jujur, dan adil [Pasal 22E ayat (1) UUD RI 1945]; b. Semua lembaga perwakilan, yaitu MPR, DPR, DPD dan DPRD keanggotaannya harus direkrut melalui pemilu [Pasal 2 ayat (1); Pasal 19 ayat (1) jo Pasal 22E ayat (2); Pasal 22C ayat (1) jo Pasal 22E ayat (2); Pasal 18 ayat (3) jo Pasal 22E ayat (2) UUD RI Tahun 1945]; c. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu [pasal 6A ayat (1) jo Pasal 22E ayat (2) UUD RI Tahun 1945]; d. Gubernur, bupati, dan walikota sebagai kepala daerah pemerintahan daerah provinsi, kabuten dan kota dipilih secara demokratis [ Pasal 18 ayat (4) UUD RI Tahun 1945 yang implementasinya dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat atau dilakukan secara tidak langsung oleh DPRD; e. Peserta pemilu anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, peserta pemilihihan umum anggota DPD adalah perseorangan, peserta pemilu presiden dan wakil presiden adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan peserta pemilu/ pemilihan kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik;
18
A. Mukhtie Fadjar, Pemilu “ Perselisihan Hasil Pemilu, dan Demokrasi”, Malang: Setara Press,2013, hlm. 10-11.
16
f. Pemilu diselenggarakan oleh satu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri; g. Disediakan mekanisme penyelesaian perselisihan hasil pemilu di forumMahkamah Konstitusi.
Berdasarkan jaminan kosntitusonal tersebut di atas, maka sesudah perubahan UUD Tahun 1945 dikenal ada tiga macam pemilu, yaitu: a. Pemilu legislatif, yaitu pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD; b. Pemilu presiden, yaitu pemilihan untuk memilih presiden dan wakil presiden; c. Pemilihan kepala daerah, yaitu pemilihan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Terhadap beberapa perubahan yang dicantumkan dalam UUD RI Tahun 1945, Pengisian jabatan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD RI 1945 menyatakan bahwa”Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis” adalah salah satu bentuk perubahan yang paling nyata yang dapat dirasakan karena masyarakat mendapat kesempatan untuk turut serta mmelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota secara langsung dan demokratis.19
19
Lihat pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentangPenetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentangPemilihan Gubernur, Bupati, Da Walikota Menjadi Undang-Undang
17
Terhadap pasal di atas Jimly Asshiddiqie20 menyatakan bahwa: “Di setiap unit pemerintahan daerah itu, ada pejabat yang disebut gubernur, bupati, dan walikota sebagai kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Ada dua hal yang penting disini yaitu Pertama, pasal 18 ayat (4) ini hanya menyebutkan adanya gubernur, bupati, dan walikota, tidak menyebutkan adanya wakil gubernur, wakil bupati,dan wakil walikota, diadakannya tindakan jabatan wakil ini diserahkan kepada pertimbangan kebutuhan yang penting harus diatur dalam undang-undang. Kedua, ketentuan pemilihan secara demokratis dalam ayat (4) ini dapat dilaksanakan, baik melalui cara langsung oleh rakyat atau dengan cara tidak langsung melalui DPRD. Dewasa ini, ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang, yaitu bahwa dalam pemilihan itu dilakukan memalui pemilihan umum kepala daerah atau disingkat pilkada”.
Frasa “dipilih secara demokratis” bersifat luwes, sehingga mencakup pengertian pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat ataupun oleh DPRD seperti pada umumnya pernah dipraktikkan di daerah-daerah berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.21 Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa perubahan yang besar dalam pelaksanaan pemilu di Indoneia yaitu adanya perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung.22 Pilkada dapat dikatakan demokratis jika memenuhi beberapa syarat, diantaranya syarat sebagaimana juga diberlakukan untuk pemilu legislatif secara umum yaitu:23 a. Adanya pengakuan hak pilih universal. Semua warga yang berhak memilih tidak boleh didiskriminasi atas dasar ideologi dan politik; b. Adanya wadah bagi pluralitas aspirasi masyarakat pemilih sehingga masyarakat memiliki alternative pilihan saluran aspirasi politiknya; c. Tersedia mekanisme rekruitmen politik yang demokratis; d. Adanya kebebasan pemilih untuk menentukan pilihannya; 20
Jimly Asshidiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 58-59. 21 Jimly Asshiddiqie, konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Setelah perubahan Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, 2002, hlm.22. 22 Suharizal, Op. Cit, hlm. 36. 23 Op. Cit. Sri Hastuti Puspita Sari,.., hlm.383.
18
e. f. g. h.
Adanya panitia pemilih yang independent; Adanya keleluasaan kontestan untuk berkompetisi secara sehat; Penghitungan suara yang jujur; Netralitas birokrasi.
Menurut Sartono,24 ada 4 (empat) tujuan pilkada, antara lain yakni: a. Pilkada sebagaimana pemilu merupakan institusi pelembagaan publik. Dengan pilkada masyarakat lokal mengintegrasikan kepentingannya dalam prosedur yang etis dan damai. Pilkada didesain untuk meredam konflikkonflik apalagi yang berbau kekerasan, guna mencapai tujuan demokrasi dan pengisian jabatan politik daerah. b. Pilkada sebagai sarana pencerdasan dan penyadaran politik warga. Sikap partisipatif lambat laut akan mendorong masyarakat untuk dapat berfikir politik secara bijaksana. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpin karena omong kosong janji yang bertebaran dimana-mana, memberikan bahan-bahan pemikiran bagi masyarakat untuk bersikap atau tidak bersikap sesuatu politik. c. Mencari sosok pemimpin yang kompeten dan komunikatif. Idealnya, mereka yang terpilih adalah orang yang profesional, berjiwa kepemimpinan yang membela nasib rakyat. d. Menyususn kontrak sosial baru, artinya tidak hanya untuk mendapatkan pemimpin yang baru, melainkan sirkulasi komunikasi yang membuat perjanjian-perjanjian calon pemimpin sebelum menjadi pemenang dituntut untuk merealisasikannya secara nyata.
Semangat dilaksanakannya pilkada langsung adalah koreksi terhadap sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya yakni pemilihan kepala daerah oleh DPRD menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat, oleh karena itu keputusan politik untuk menyelenggarakan pilkada secara langsung adalah langkah strategis dalam rangka memperluas, memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi. Ketentuan ini juga sejalan dengan semangat otonomi yaitu pengakuan terhadap aspirasi dan inisiatif masyarakat untuk menetukan nasib daerahnya sendiri.
24
Sartono Sahlan dan Awaludin Marwan, Barbar.Yogyakarta: Thafa Media, hlm. 78-83.
Nasib Demokrasi Lokal di Negeri
19
Menurut Sarundajang, perubahan-perubahan ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah in merupakan konsekuensi dari tuntutan demokratisasi yang tentunya akan berpengaruh pada kegiatan pemerintah di tingkat lokal (local goverment). Diakui bahwa sejak lama rakyat telah menghendaki pilkada dilakukan secara langsung.25 Dengan perubahan itu, pada dasarnya pilkada langsung merupakan kelanjutan dari institutional arrangement menuju demokrasi, khususnya bagi
peningkatan demokrasi
di
daerah.
Bagaimanapun, pemimpin yang terpilih melalui proses pemilihan langsung akan mendapat mandate dan dukungan yang lebih riil dari rakyat sebgai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan tokoh yang dipilih, oleh karennya kemauan orangorang yang memilih (volunte generale) akan menjadi pegangan bagi pemimpin dalam melaksanakan kekuasaanya.26 Lebih lanjut AA GN Ari Dwipayana menyebutkan bahwa setidaknya ada beberapa kondisi yang mendorong pilkada dilakukan secara langsung yaitu: 27 a. Pengaturan pilkada langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal. Demokrasi langsung melalui pilkada akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam prosoes demokasi dan menentukan kepemimpinann politik ditingkat lokal dibandingkan sistemdemokrasi perwakilan yang lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukanrekruitmen di tangan segelintir orang di DPRD. b. Dari sisi kompetisi politik, pilkada langsung memungkinkan munculnya secara lebih besar preferensi kandidat-kandidat yang bersaing serta memungkinkan masing-masing kandidat berkompetisi dalam ruang yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan yang sering terjadi dalam demokrasi perwakilan. Pilkada langsung bias memberikan sejumlah harapan pada upaya pembalikan syndrome dalam demokrasi perwakilan
25
Sarundajang, Pilkada Langsung, Problem dan Prospek, Katahasta Pustaka, 2005 dalan Op.Cit. Suharizal, Pemilukada, Regulasi,…,hlm. 6. 26 Saldi Isra, Hubungan Eksekutif-Legislatif Pasca Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Pidato Ilmiah disampaikan pada Dies Natalis ke-49 Universitas Andalas, 13 September 2005. 27 Suharizal, Op. Cit, hlm. 38.
20
yang ditandai dengan model kompetisi yang tidak fair, seperti politik uang (money politic). c. Sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi warga untuk mengaktualisasikan hak-hak politiknya seperti yang kasat mata muncul dalam demokrasi perwakilan, setidaknya melalui demokrasi langsung, warga ditingkatan lokal akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh semacam pendidikan politik dan sekaligus mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalampengambilan keputusan. d. Pilkada langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figure pemimpin yang aspiratif, kompeten, dan legitimate. Melalui pilkada langsung, kepala daerah yang tepilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada segelintir elit di DPR. Dengan demikian pilkada langsung dapat lebih bermanfaat karena dapat meningkatkan kualitas tanggung jawab pemerintah daerah pada warganya yang akhirnya mendekatkan kepala daerah dengan masyarakat. e. Kepala daerah yang terpilih melalui pilkada langsung akan memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan (check and ballace) di daerah antara kepala daerah dengn DPRD.
Ketentuan tentang pemilihan kepala daerah secara langsung tersebut kemudian telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian dirubah kedalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, seiring perkembangan ketatanegaraan Undang-Undang Pemerintah Daerah telah diubah kembali kedalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perkembangan ketatanegaraan telah memunculkan adanya tarik ulur kepentingan dalam pemilihan kepala daerah, pembentukan Undang-Unadang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota yang mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD telah mewarnai proses pemilihan Kepala Daerah sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perrpu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati , dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang dikeluarkan oleh
21
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono28 yang sekaligus membatalkan UndangUndang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota dan mengembalikan mekanisme pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Lebih lanjut kemudian pada tanggal 2 Februari tahun 2015 Presiden Joko Widodo telah mengesahkan pembentukan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Sementara pengaturan terbaru tentang pemilihan Kepala Daerah saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
C.
Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Sepanjang sejarah pelaksanaan pemilu khususnya pemilihan kepala daerah
memang tidak selalu seperti yang diharapkan Banyak permasalahan yang muncul mulai dari permasalahan administratif sebelum penyelenggaraan pemilu sampai permasalah sengketa pemilihan kepala daerah setelah pemilihan itu berlangsung. Sengketa atau perselisihan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (1) sengketa dalam proses pemilu (khususnya yang terjadi antar-peserta pemilu atau antar peserta pemilu); dan (2) sengketa antara peserta pemilihan danpenyelenggara pemilihan
28
Presiden ke-6 Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjabat pada periode 20042009 dan 2009-2014.
22
sebagai
akibat
dikeluarkannya
keputusan
KPU
provinsi
dan
KPU
kabupaten/kota.29 Adapun jenis pelanggaran dalam pilkada yang seringkali dijadikan argumentasi pemohon dalam sengketa perselisihan hasil pilkada antara lain: praktik politik uang (money politic), mobilisasi PNS dan aparat desa, penyalahgunaan wewenang, pencoblosan lebih satu kali, diwakilinya hak pilih oleh orang lain, kampanye terselubung, pengangkatan pegawai tidak tetap untuk pemenangan pemilukada, pemberhentian kepala sekolah karena tidak mendukung calon incumbent, dan sebagainya.30 Menurut Dr. Azkari bahwa permasalahan sengketa pemilihan kepala daerah disebabkan oleh beberapa hal antara lain:31 a. Regulasi: bahwa dari aspek regulasi belum memberikan suatu solusi hukum secara komprehensif, sebab hanya mengatur aspek yuridis semata, tanpa memperhatikan aspek-aspek soaial yang ada dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan. b. Institusi penyelenggara pilkada: bahwa terdapat kecenderungan dalam setiap penyelenggaraan pilkada, KPUD dan Panwas melakukan keberpihakan kepada calon-calon tertentu (peserta pilkada), sehingga dalam melaksanakan tugasnya tidak jarang berlaku subjektif (bahkan institusi tersebut kerapkali menjadi tempat jual beli suara); c. Parpol: sebagai pengusung calon juga belum berfungsi secara baik dan benar dalam memberikan pendidikan politik terhadap rakyat, bahkan cenderung hanya memikirkan kepentingannya secara sepihak, misalnya dengan menentukan sejumlah tarif tertentu kepada calon-calon yang hendak “mengendarai” partainya; d. Peserta pilkada (para calon): bahwa pada umumnya peserta pemilukada tidak berangkat dari niat yang benar, memang dalam penyampaian visi misinya seakan-akan mereka tampil untuk dan atas nama kepentingan 29
Lihat pasal 142 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentangPenetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentangPemilihan Gubernur, Bupati , dan Walikota Menjadi UndangUndang. 30 Iwan Satriawan, Helmi Kasim, Siswantana Putri Rachmatika, Alia Harumdani Widjaja, Studi Efektifitas Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi, Jakrta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2012, hlm. 6. 31 Ibid, hlm.6-7. Untuk lebih jelasnya lihat Hasil penelitian Septi Nur Wijayanti, Efektifitas …, 2010, hlm. 44-45
23
rakyat, padahal ujung-ujungnya yang lebih dominan dalam hitunghitungannya adalah penumpukan kekuasaan;32 e. Masyarakat: psikologi masyarakat juga masih menunjukkan belum dimilikinya kematangan emosional dalam mengikuti suatu penyelenggaraan pemilukada, oleh karena itu diperlukan sosialisasi khusus untuk hal ini. Menurut perspektif Huefner33 penyebab timbulnya permasalahan hasil pemilu dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, fraud yaitu kecurangan hasil suara dapat disebabkan dari para kandidat yang curang, dimana mereka memilikikeinginan dan kesempatan untuk melakukan kecurangan tersebut. Hal ini juga dapat dilakukan oleh penghitung suaran dan petugas-petugas pemilu lainnya yang memiliki kesempatan yang memudahkan mereka melakukannya. Kedua,Mistake yaitukekhilafan yang dilakukan oleh petugas pemilu. kesalahan dari petugas tersebut tidak akan menjadi permasalahan besar apabila dapat dibenahi sebelum pemilu atau melalui proses perhitungan sementara atau melalui sebuah proses perhitungan ulang. Ketiga, Non-Fraundulent misconduct yaituperbuatan ini merupakan kecurangan dalam pemilu, melainkan tindakan yang dapat menimbulkan turunnya kepercayaan publik kepada hasil pemilu. Keempat, Extrinsic event or acts of God yaitu penyebab lain timbulnya permasalahan dalam hasil pemilu adalah terdapatnya peristiwa alamiah (act of God) di luar kemampuan manuasiawi petugas administrasi pemilu. Adapun bentuk sengketa pemilihan kepala daerah dapat di bagi menjadi beberapa jenis anata lain: a. Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan, yaitu pelanggaran terhadap etika penyelenggara Pemilihan yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilihan. b. Pelanggaran administrasi pemilu adalah meliputi pelanggaran terhadap tata cara yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilihan dalam setiap tahapan pemilihan. c. Sengketa antar peserta pemilihan dan sengketa antara peserta dengan penyelenggara pemilihan a. Tindak pidana pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan pemilihan sebagaimana diatur dalam undang-undang pemilu. Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah, penyelesaian tindak pidana pemilukada harus diselesaikan secara cepat
32
Hasil penelitian Septi Nur Wijayanti, Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Oleh Mahkamah Konstitusi (Ditinjau Aspek Yuridis Dan Politis), 2010, hlm. 44-457 33 Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal MK RI, 2010, hlm.218.
24
oleh aparat hukum terkait sebelum masa penghitungan suara berlangsung atau paling lambat sebelum ditetapkannya pemenang pemilukada; b. Sengketa tata usaha negara pemilu adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilihan antara calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota dengan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/kota. c. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), adalah perselisihan antara KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota dan peserta pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilihan.Sengketa ini harus diselesaikan secara efektif dan cepat, sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap stabilitas pemerintahan daerah.
D.
Lembaga Peradilan Sengketa Pilkada Berdasarkan prinsip “negara hukum demokratis” dan “negara demokratis
berdasarkan atas hukum” menjadi satu alasan perlunya suatu lembaga negara yang berfungsi menangani suatu perkara tertentu dibidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi negara dilaksanakan sesuai dengan kehendak rakyat. 34 Pasal 1 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Kepastian hukum adalah bagian dari ciri negara hukum, negara hukum seperti yang kita ketahui adalah negara yang setiap kebijaksanaan baik yang sementara berjalan atau yang akan dilaksanakan oleh pemerintah harus berdasarkan hukum.35 Upaya yang dilakukan untuk menindaklanjuti hal tersebut adalah dengan membentuk lembaga peradilan. Lembaga peradilan (pengadilan) ini bertugas untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran hukum, termasuk memberikan dan memulihkan hak-hak dari pihak yang dirugikan guna mewujudkan rasa keadilan bagi setiap orang (equality before the law). Ketentuan tersebut sesuai 34
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Sinar Garafika, 2011, hlm. 7. 35 Satjipto Raharjdjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Bandung Aksara, 1980, hlm. 81.
25
dengan teori kompetensi pengadilan bahwa sebuah kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan atau memutus sesuatu, maka dalam hal ini kompetensi dari pengadilan adalah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undanagn yang berlaku.36 Adapun cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui konpetensi pengadilan dalam hal memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yaitu, pertama, melihat dari pokok sengketanya (geschilpunt, fundamnetum petedi),37 kedua, dengan melakukan pembedaan atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechtsmacht) dan delegasi (relative competentie atai distributie van rechmacht).38Atribusi merupakan wewenang yang diberikan oleh pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan dan delegasi merupakan suatu hal yang berkaitan dengan pembagian kewenangannya, yang bersifat terinci (relatif) diantara badan-badan sejenis yang mengenai wilayah hukum yaitu pelimpaham wewenang pemerintah dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.39 Ketiga, dengan melakukan perbedaan atas Kompetensi absolut dan kompetesi relatif yaitu kompetensi absolut berkenaan dengan kewenangan badan peradilan apa yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara, sedangkan kompetensi relatif adalah
36
Sadjijono, Bab-Bab pokok Hukum Administrasi, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2008, hlm. 132. 37 E. Utrrecht, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Surabaya: Tinta Emas, hlm, 252. 38 Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010,hlm, 28. 39 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2002, hlm. 102
26
kewenangan dari pengadilan sejenis mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang bersangkutan.40 Prinsip negara hukum menghendaki adanya bentuk penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas dari pengaruh pihak manapu. Pasal 24 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 menegaskan bahwa “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum. Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan. Adapun asas yang digunakan dalam penyelenggaran kekuasaan kehakiman tersebut anatara lain adalah :41 a. Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa; b. Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila; c. Semua peradilan di seluruh wilayah neraga Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang; dan d. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat , dan biaya ringan. Salah satu fungsi dari lembaga kekuasaan kehakiman adalah untuk mengawal pelaksanaan demokrasi, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah lembaga kekuasaan kehakiman yang berwenang untuk menangani perkara
40
Muhammad Alim, Asas-Asas Negara Hukum Modern Dalam Islam, Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang, 2010, hlm. 321. 41 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
27
sengketa pilkada yang merupakan bentuk dari pelaksanaan demokrasi pada level lokal. Adapun uraian tentang lembaga peradilan tersebut adalah sebagai berikut.
a. Mahkamah Agung Berdasarkan ketentuan pasal 24A ayat (1) Undang-UUD RI Tahun 1945 menyebutkan “Mahkamah Agung, berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undangundang. Lebih lanjut pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa ”Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan ole sebuah Mahkamah Konstitusi”. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Mahkamah Agung memiliki kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang yaitu kewenangan untuk menangani perkara sengketa pilkada. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 106 ayat (1) UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa “keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Keberatan
tersebut
berkenaan
dengan
hasil
penghitungan
suara
yang
mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala
28
daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota. Mahkamah
Agung
memutus
sengketa
hasil
penghitungan
suara
sebagaimana paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh pengadilan negeri/pengadilan tinggi/Mahkamah Agung yang bersifat final dan mengikat, dalam hal ini Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya dapat mendelegasikan kepada pengadilan tinggi untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten dan kota dengan ketentuan putusan bersifat final. Kewenangan penyelesaian sengketa pilkada diberikan kepada
Mahkamah Agung, karena
pilkada oleh pembentuk undang-undang dikategorikan sebagai rezim hukum pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD RI 1945 dan bukan sebagai rezim hukum pemilihan umum yang diatur dalam pasal 22E UUD RI 1945, sebagaimana pemilu presiden dan pemilu legislatif.42 Salah satu bentuk sengketa pilkada adalah sengketa administratif, dimana sengketa administratif ini muncul pada saat pelaksanan pilkada berlangsung. Sengketa administrasi pilkada dapat terjadi karena penyelenggaraan pilkada dilakasanakan oleh KPUD sebagai penyelenggara pemilu ditingkat daerah, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 22E ayat (5) UUD RI Tahun 1945 dan Pasal 1 angka 7 dan angka 8 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu yang menjelaskan bahwa “Komisi Pemilihan Umum provinsi dan Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota, selanjutnya disebut KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, adalah penyelenggara pemilu di provinsi dan 42
Maria Farida, Sengketa Pemilukada,Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press, 2013, hlm. 51-52.
29
kabupaten/kota. Berdasarkan ketentuan tersebut maka keberadaan KPU sebagai penyelenggara pemilu secara konstitusional dalam UUD RI Tahun 1945, dan kedudukannya dianggap sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain yang dibentuk dengan undang-undang.43 KPUD mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 diantaranya adalah mengeluarkan keputusan administrasi, keputusan mengenai penetapan jadwal pilkada, keputusan penetapan calon, penetapan hasil rekapitulasi hasil perhitungan, serta keputusan yang berkaitan dengan pilkada, sehingga keputusan tersebut telah memenuhi unsur sebagai Keputusan Administrasi Negara atau Keputusan Tata Usaha Negara. Pasal 1 angaka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Paradilan Tata Usaha Negara menjelaskan bahwa “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Sengketa pilkada yang muncul karena adanya keputusan yang dikeluarkan oleh KPUD juga merupakan bagian dari keputusan administrasi negara dan keputusan tersebut adalah keputusan tata usaha negara. Oleh karenanya keputusan yang dikeluarkan oleh KPUD memungkinkan terjadinya, pertama, pertentangan dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku. Kedua, KPUD pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain atau 43
Jimly Assiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 234.
30
penyelahgunaan wewenang. Ketiga, keputusan KPUD mengandung perbuatan atau tindakan sewenang-wenang (willekuer).44 Semua sengketa pilkada berpotensi menjadi obyek sengketa dalam Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali keputusan KPUD yang terkait dengan hasil pilkada. Ketentuan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 2 huruf g yang menyebutkan bahwa Tidak termasuk dalam Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) menurut undangundang ini adalah “Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum”. Artinya selain perhitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Hal ini dikarenakan semua tahapan pemilu memiliki tahaan hukum seperti Surat Keputusan (SK) KPU, dan SK KPU itulah yang berpotensi untuk dijadikan obyek perkara dalam PTUN. Kompetensi PTUN dalam penanganan perkara pilkada juga didasarkan pada paragraph 2 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Mengenai Pilkada bahwa pelaksanaan penyelenggaraan pilkada di lapangan, sebelum meningkat pada tahap pemungutan suara dan perhitungan suara, telah dilakukan berbagai tahapan, misalnya tahap pendaftaran, tahap pencalonan peserta, tahap masa kampanye, dan lain sebaginya. Setiap tahap-tahap tersebut di atas, sudah ada keputusannya yang diterbitkan oleh Pejabat Tata Usah Negara (beschikking, yaitu pada keputusan Komisi Pemilihan Umum Pusat dan Dareah). 44
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Gaja Mada University Press, 1993, hlm. 319-320.
31
Berdasarkan ketentuan paragraph 4-5 SEMA Nomor 7 Tahun 2010 menyebutkan bahwa pada paragraph 4 berbunyi “keputusan-keputusan tersebut yang belum ada atau tidak merupakan hasil pemilihan umum dapat digilongkan sebagai keputusan dibidang urusan pemerintahan, dan oleh sebab itu, maka apabila keputusan tersebut memenuhi unsur dan criteria pasal 1 butir 3 UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, maka menjadi kewenangan PTUN dalam hal mengadilinya. Hal ini terjadi karena keputusan tersebut berada di luar jangkauan pengecualian pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyatakan “keputusan-keputusan yang berisi mengenai hasil pemilihan umum adalah pengecualian yang dimaksud oleh Pasal 2 huruf g sehingga tidak menjadi kewenangan PTUN. Berdasarkan ketentuan SEMA Nomor 7 Tahun 2010 tersebut maka kepastian Kompetensi PTUN sebagai salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung merupakan bentuk kewenangan yang bersifat absolut dalam hal memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara seorang calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang merasa haknya dirugikan atau badan hukum perdata yang dalam hal ini adalah partai politik dengan pejabat tata usaha negara, dimana pejabat tata usaha negara disini yang dimaksud adalah KPUD baik provinsi atau kabupaten/kota.45
45
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sengketa tata usaha negara terdiri dari beberapa unsur anata lain yaitu: a. sengkete yang timbul dalam bidang tata usaha negara; b. sengketa tersebut antara orang ataau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usah negara; c. sengketa yang dimaksud sebgai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Dalam R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Jakarta: 2009, hlm. 6.
32
Dalam konsteks ini PTUN merupakan salah satu lembaga peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, yang
berarti bahwa apabila PTUN
menangani perkara pilkada hal tersebut juga merupakan bagian dari kewenangan Mahkamah Agung. Oleh karena itu, hal tesebut menunjukkan bahwa Mahkamah Agung merupakan lembaga yang telah memiliki kewenangan absolut untuk menangani sengketa administif pilkada yakni melalui Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Mahkamah Konstitusi Pemilu yang demokratis tercermin dalam pemilihan hukum (electoral laws) dan proses pemilihannya (electoral process) dan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi mempunyai peranan penting untuk menentukan apakah suatu ketentuan mengenai electoral laws demokratis atau tidak melalui uji konstitusional undangundang pemilu terhadap UUD RI Tahun 1945, sedangkan mengenai electoral process Mahkamah Konstitusi berperan melalui peradilan perselisihan hasil pemilu yang akan menilai benar tidaknya hasil perhitungann suara yang dilakukan oleh KPU.46 Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi selain sebagai pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, juga sebagai pengawal demokrasi konstitusi (the guardian and the sole interpreter of the constitution,as well as the guardian of the process of democratization).47
46
A.Mukthie Fadjar, Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas; Penyelesaian Hukum Penyelesaian Pemiludan PHPU, Jurnal Konstitusi Vol 6 Nomor 1, April 2009, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,2009, hlm. 23. 47 Jimly Asshidiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negaara, Jakarta : Konstitusi Press,2009, hlm. 95
33
Ketentuan pasal 24 ayat (2) perubahan ketiga UUD RI Tahun 1945 telah mempertegas keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga peradilan yang ada di Indonesia. Rumusan pasal tersebut juga menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman menganut sistem bifurkasi (bifurcation system), dimana kekuasaan kehakiman terbagi dalam 2 (dua) cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan constitutional review atas produk perundang-undangan yang dijalankan oleh Mahkamah Konstititusi.48 Sebagai pelaku kekuasan kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki oleh Mahkamah Kontitusi adalah fungsi peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Fungsi Mahkamah Konstitusi dapat ditelusuri dari latar belakang pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi konstiusi, oleh karenanya ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan Mahkamah Konstitusi adalah konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekedar sebagai kumpulan norma dasar, melainkan juga dari prinsip dan moral konstitusi, antara lain prinsip Negara hukum dan demokrasi, prinsip perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak konstitusional warga negara.49 Setelah Perubahan Ketiga UUD RI Tahun 1945, kewenangan Mahkamah Konstitusi yang dirumuskan dalam pasal 24C adalah sebagai berikut: 1) Mahkamah Konstitusi, berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
48
Abdul Hakim G Nusantara da.lam Fakhturohman, Dian Aminudin, Sirajuddin, Memahami keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti Bakti, 2004, hlm. 4. 49 Op. Cit., Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara…, hlm. 10.
34
2)
3)
4) 5)
6)
dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamahh Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi mempunyai Sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh presiden, yang diajukan masingmasing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh presiden. Ketua dan Wakil Ketuan Mahakamh konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,adil, negaarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara. Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Oleh karena itu, dengan diberlakukannya ketentuan dalam UUD RI Tahun 1945 tersebut, maka Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa kewenangan sebagai berikut:50 1. Menguji undang-undng terhadap Undang-Undang Dasar; 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; 3. Memutus pembubaran partai politik; dan 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; 5. Memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; 6. Memutus pendapaat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Berkenaan dengan kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu, maka dalam hal ini berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang
50
Jimly Asshiddqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Poluler kelompok Gramedia, 2009, hlm. 306.
35
Nomor 8 Tahun 2011 (LN RI Nomor 70 Tahun 2011, TLN RI Nomor 5226) tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, dan dalam undang-undang lain yang terkait seperti Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan dalam hal menangani sengketa pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, presiden dan wakil presiden, serta pemilihan kepala daerah dan wakil kepal daerah. Bahwa pengaturan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa pemilihan kepala daerah saat ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Peubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang Pasal 157 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus”. Berkenaan dengan mekanisme penangannaya telah ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 07 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2015 tentang tahapan, Kegiatan, dan Jadual Penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, serta Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Satu Pasangan Calon, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 tentang pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
36
III. METODE PENELITIAN A.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian hukum normatif, atau
sering dikenal dengan istilah pendekatan yuridis normatif.51 Penelitian hukum yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji dan meneliti bahan-bahan pustaka berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
B.
Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan terhadap permasalahan yang ada dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan metode studi kepustakaan, dengan metode pendekatan yang bersifat normatif (doctrinal) ini, penelitian akan dilakukan dengan menginventaris dan mengkaji dokumen-dokumen hukum dan karya tulis lainnya. Pencatatan terhadap bahan-bahan temuan dalam studi kepustakaan ini dilakukan secara teliti dan jelas, serta menyeluruh terhadap bahan-bahan yang ada relevansinya dengan penelitian.52
C.
Sumber Data
Data yang digunakan adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagi berikut:
51
Lebih lanjut, pengertian hukum normatif dapat dibaca di Suratman dan H. Philips Dillah dalam Metode Penelitian Hukum , Bandung: Alfabeta, 2013, hlm. 54. 52 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cetakan ke -12, 2012, hlm. 98.
37
1. Bahan hukum primer (primary law material) , yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan hukum mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang berkepentingan yang bersumber dari dokumen hukum, dan putusan hakim53 yang digunakan antara lain: a. Undang-Undang
Dasar
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
Tahun1945; b. Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Mahkamah Konstitusi; e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung; f. Undang-Undang
Nomor
48
Tahun
2009
tentang
Kekuasaan
Kehakiman; g. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum; h. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota; i. Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; j. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati , dan Walikota Menjadi Undang-Undang 53
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004,hlm. 2.
38
k. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati , dan Walikota Menjadi Undang-Undang; l. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang; m. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Bahan hukum sekunder (secunder law material) yang digunakan antara lain: a. Doktrin atau pendapat ahli hukum ketatanegaraan yang terdapat pada buku, jurnal, hasil riset; dan b. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia.
D.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan studi
kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mempelajari, menafsirkan dan menganalisis peraturan perundang-undangan, studi dokumen baik dokumen hukum yang dipublikasikan melalui media cetak maupun media elektronik serta
39
studi catatan hukum berupa buku-buku literatur hukum atau bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
E.
Metode Pengolahan Data 1.
Pemeriksaan data, yaitu mengoreksi apakah data-data yang diperlukan telah terkumpul dan cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan dengan masalah.54
2.
Klasifikasi data, yaitu menempatkan data berdasarkan penggolongan bidang
atau
pokok
bahasan
agar
mempermudah
dalam
menganalisisnya. 3.
Sistematika data, yaitu menempatkan data-data menurut kerangka sistematik bahasan urutan masalah agar lebih mudah dipahami.
F.
Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif.
Analisis secara kualitatif dilakukan dengan cara pengolahan data dengan mempelajari hasil yang diperoleh pada saat penelitian kemudian membuat rangkuman yang berhubungan dengan penelitian ini yang tidak dapat diwujudkan dengan angka-angka atau tidak dapat dihitung dengan menguraikan data secara sistematis, sehingga diperoleh arti dan kesimpulan. Dalam hal pengambilan kesimpulan dan hasil analisis tersebut berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, lalu diambil secara umum.
54
Op. Cit, Abdul Kadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian…, hlm. 126.
93
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Bahwa penyelenggaraan pilkada dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia mulai dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah
memunculkan
adanya
dinamika.
Hal
ini
terjadi
karena
dalam
pelaksanaannya telah terjadi sengketa pilkada, dinamika penyelenggaraan pilkada ini ditandai dengan terus terjadinya perubahan terhadap lembaga penyelesaian sengketa pilkada, berawal dari Mahkamah Agung kemudian kewenangan peradilan pilkada dialihkan kepada Makamah Konstitusi dan setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi dan pengaturan baru kewenangan tersebut dikembalikan kepada Mahkamah Agung. Bahwa setelah keluar pengaturan pilkada terbaru tentang penyelenggaraan pilkada, kewenangan penyelesaian sengketa pilkada saat ini telah dikembalikan lagi kepada Mahkamah Konstitusi sampai terbentuknya lembaga peradilan khusus sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Berdasarkan kajian yang dilakukan dari aspek sejarah proses terbentuknya lembaga penyelesaian sengketa pilkada yang syarat dengan kepentingan pada pembentukan regulasi yang mengatur ketentuan tersebut, maka
93
kemungkinan-kemungkinan dimasa yang akan datang dinamika lembaga penyelesaian sengketa pilkada akan terus terjadi.
B. Saran Bahwa pembentukan lembaga peradilan khusus pilkada harus segera dilaksanakan dengan tetap memperhatikan dan menyerap perkembangan hukum yang terjadi di masyarakat, serta tetap pada upaya memberikan sebuah kepastian hukum dan keadilan yang tidak memihak. Hasil evaluasi lembaga penyelesaiaan sengketa pilkada dapat menjadi rujukan bagi pembuat undang-undang untuk melakukan pembentukan lembaga peradilan khusus pilkada, misalnya saja bentuk peradilan yang dimunculkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 merupakan salah satu bentuk peradilan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pembentukan peradilan khusus pilkada. Rekruitmen pengisian jabatan pada lembaga peradilan khusus pilkada harus memperhatikan syarat-syarat pemenuhan individu yang mempunyai keahlian dibidangnya, khususnya tentang pemilu.
DAFTAR PUSTAKA
a. Sumber Literatur Buku: Alim, Muhammad. 2010. Asas-Asas Negara Hukum Modern Dalam Islam, Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang. Asshiddqie, Jimly. 2009. Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Poluler kelompok Gramedia. _____________. 2009. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negaara, Jakarta : Konstitusi Press. _____________. Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sinar Grafika. _____________. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press. _____________. 2002. Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Setelah perubahan Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI. Budiardjo, Miriam. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Fadjan, A. Mukhtie. 2013. Pemilu, Perselisihan Hasil Pemilu, dan Demokrasi, Malang: Setara Press. Fahmi, Khairul. 2011. Pemilihan Umum dan RajaGrafindo Persada.
Kedaulatan Rakyat, Jakarta:
Fakhturoh Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Fakhturohman, Dian Aminudin, Sirajuddin, 2004. Memahami keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti Bakti. Farida, Maria. 2013. Sengketa Pemilukada, Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press. Fauzi, Gamawan, 2013. Sengketa Pemilukada, Putusan MK, dan Pelaksanaan Putusan MK, dalam Demokrasi Lokal, Evaluasi Pemilukada di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
H. Philips Dillah dan Suratman. 2013. Metode Penelitian Hukum , Bandung: Alfabeta. Hadjon, Philipus M. 1993. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Gaja Mada University Press. Harahap, Zairin. 2010. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hertanto. 2006. Teori-Teori Politik dan Pemikiran Politik di Indonesia, Bandarlampung: Universitas Lampung. Huda, Ni’matul. 2011. Ilmu Negara, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Irmansyah ,Rizky Ariestandi. Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Yogyakarta: Graha Ilmu. Isra, Saldi. 2005. Hubungan Eksekutif-Legislatif Pasca Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Pidato Ilmiah disampaikan pada Dies Natalis ke-49 Universitas Andalas. Juanda. 2004. Hukum Pemerintahan Daerah, “Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah. Bandung; PT. Alumni. M Gaffar, Janedri. 2013. Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press. M. Rusli, 2004. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. Mahkamah Konstitusi, 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal MK RI. Manan, Bagir (Editor), 1996. Kedaulatan rakyat, Hak Asasi Manusia, dan Negara Hukum, Jakarta: Gaya Media Pratama. Muhammad , Abdul Kadir. 2004. Hukum Dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Muntoha. 2009. Demokrasi dan Negara Hukum, Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta No. 3 Vol. 16 Juli. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194, Latar Belakang, Proses dan Hasil Pemahasan 19992002,Buku V,Pemilihan Umum, Jakarta :Sekjen dan Kepaniteraan MKRI. 2008. Nurtjahjo, Hendra. 2006. Filsafat Demokrasi. Jakarta. Sinar Grafika.
Pusat Bahasa Dan Departemen Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta: Pusat Bahasa. R. Wiyono, 2009. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Jakarta: 2009. Raharjdjo, Satjipto.1980. Hukum dan Masyarakat, Bandung: Bandung Aksara. Ridwan HR, 2002. Hukum Administrasi Negara, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada. Riyanto, Astin. 2009. Teori Konstitusi Cetakan Keempat, Bandung: Lembaga Penerbit yayasan Pembangunan Indonesia (Yapendo), Rousseau, Jean Jacques. 2009 Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Jakarta: Visimedia. Rudy. 2013. Hukum Pemerintahn Daerah, Bandar Lampung: Pusat Kajian dan Peraturan Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Lampung. Sadjijono, 2008. Bab-Bab pokok Hukum Administrasi, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. Samidjo,1986. Ilmu Negara, Bandung: CV Armico Sarundajang, 2005. Pilkada Langsung, Problem dan Prospek, Katahasta Pustaka. Siahaan, Maruarar. 2011. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Sinar Garafika. Sratman dkk, 2013. Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta. Sri Mamudji dan Soerjono Soekamto. 2012. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Suharizal, 2011. Pemilukada, Regulasi, Dinamika Dan Konsep Mendatang, Jakarta: PT RajaGarafindo. Sunggono, Bambang. 2012. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cetakan ke -12. Suratman dan H. Philips Dillah, 2013. Metode Penelitian Hukum , Bandung: Alfabeta
b. Sumber Lain (jurnal, artikel, makalah, dll)
Ali, M. Mahrus Irfan, Nur Rachman, Winda Wijayanti, Rio Tri Juli Putranto, Titis Anindyajati, Putria Gusti Asih, 2012. Tafsir Konstitusional Pelanggaran Pemilukada Yang Bersifat Sistematis, Terstruktur Dan Masif dalam Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 1 bulan Maret, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Alia Harumdani Widjaja, Iwan Satriawan, Helmi Kasim, Siswantana Putri Rachmatika, Alia Harumdani Widjaja, 2012. Studi Efektifitas Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi, Jakrta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Fadjar, A.Mukthie. 2009. Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas; Penyelesaian Hukum Penyelesaian Pemiludan PHPU, Jurnal Konstitusi Vol 6 Nomor 1, April 2009, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194, Latar Belakang, Proses dan Hasil Pemahasan 19992002,Buku V,Pemilihan Umum, Jakarta :Sekjen dan Kepaniteraan MKRI. 2008 Sari, Sri Hastuti Puspita. 2011. Mahkamah Konstitusi Dan Penegakan Demokrasi Konstitusional dalam Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 3, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.Wijayanti, Septi Nur. 2010, Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Oleh Mahkamah Konstitusi (Ditinjau Aspek Yuridis Dan Politis. Zoelva, Hamdan. 2013. Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi dalam Jurnal Konstitusi Volume 10 Nomor 3, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU/XI/2013. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara Nomor: 072- 073 /PUU-II/2004
c. Peraturan Perundang-Undangan : Undang- Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun1945; Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah Undang-Undang nomor 8 Tahun 2011 Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor Umum.
22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati , dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati , dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati , dan Walikota Menjadi UndangUndang. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah d. Website: http://news.detik.com/berita/396837/alzier-minta-segera-dilantik-jadi-gubernurlampung diakses pada 29 Januari 2016pukul 14:00 WIB. http://pn-ypgyakarta.go.id/pnyk/info-peradila/pengertian -peradilan.html (diakses pada tanggal 3 september pukul 22.05 WIB.