DINAMIKA LEMBAGA DAN PRANATA HUKUM Randhy, S.H, M.H ABSTRAK Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan, keyakinan ini antara lain tampak dalam seruan law and order atau hukum dan ketertiban. hukum tidak dapat berjalan sendiri ia membutuhkan komponen lain yang erat hubungannya dengan bahan atau apa yang diproses. Lembaga-lembaga dan pranata hukum dengan sendirinya bekerja dengan cara menumbuhkan kepercayaan masyarakat melalui pelaksanaan peraturan perundang undangan. Keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat tercapai oleh karena prosesproses di dalamnya, yaitu yang terdiri dari hubungan-hubungan serta kontak-kontak antara para anggota masyarakat dilaksanakan menurut suatu pola tertentu. Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan. Oleh karena ia bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu ia berupa norma. Lalu apakah sesungguhnya arti hukum positif itu bagi suatu masyarakat tertentu?. Atas pertanyaan ini telah diberikan jawaban yang sangat berbedabeda. Di satu pihak terdapat misalnya pemikiran, bahwa hukum itu seolah-olah membentuk kerangka masyarakat dan ketertiban sosial, tergantung dari pemeliharaan aturan hukum. Keyakinan ini antara lain tampak dalam seruan law and order atau hukum dan ketertiban. Dalam kerangka ini C.J.M. Schuyt mengemukakan, bahwa dalam bentuknya yang paling sederhana hukum dan ketertiban itu berdasarkan pada suatu keyakinan atas kekuasaan hukum. Kata Kunci: Dinamika Lembaga, Pranata Hukum
1
A. Pendahuluan Ketertiban ditempatkan sebagai perpanjangan dari hukum. Hubungan manusia dipengaruhi secara langsung dan hampir secara otomatis oleh aturan hukum. Mempertahankan hukum berarti mempertahankan ketertiban.1 Lebih lanjut menurut N.E. Algra mengenai arti hukum positif bagi suatu masyarakat itu terdapat pandangan yang dibentuk oleh pendapat, bahwa hukum itu adalah suatu lambang yang bertujuan untuk memberikan kepada manusia suatu khayalan, bahwa persamaan dan keadilan itu ada.2
Dalam konteks ini ketertiban hanya ada bila ada kehendak untuk
mempertahankan pola-pola interaksi yang diyakini harus demikian adanya. Masyarakat mematuhi hukum karena adanya harapan dengan kepatuhan tersebut tercapai keadilan. Dalam mencapai cita keadilan kita menyaksikan bahwa hukum senantiasa dalam proses dan hendaknya ia jangan dilihat sebagai suatu fenomena yang jatuh dari langit, melainkan bagian dari proses sosial yang berjalan dalam mayarakat. 3 Ia terkait dengan proses pembentukan, pelaksanaan,
penegakan hukum maupun pelenyapan hukum.
Sebagai suatu proses, hukum tidak dapat berjalan sendiri ia membutuhkan komponen lain yang erat hubungannya dengan bahan atau apa
yang diproses, siapa yang
berwenang memproses dan pada akhirnya menyangkut juga mengenai subyek yang melakukan penegakan hukum. Inilah yang disebut sebagai lembaga yang berkenaan dengan soal pembentukan, pelaksanaan, penegakan dan bahkan pelenyapan hukum. Bagi bangsa Indonesia
ke empat proses tersebut berkaitan erat dengan tugas
dan kedudukan lembaga-lembaga negara yaitu lembaga legislatif, lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif yang eksistensinya dianggap sebagai lembaga hukum. Apabila pembahasan dikaitkan dengan konteks sosial hukum, khususnya penegakan hukum oleh lembaga hukum di dalam masyarakat maka tidak dapat dilepaskan dari tujuan menegakan hukum secara konsisten yang diwujudkan dalam gagasan negara hukum (rechtsstaat) atau the rule of law dan prinsip supremasi hukum. Supremasi hukum harus benar-benar diwujudkan, oleh karena itu hukum harus berperan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Yang dimaksud dengan
1
N.E. Algra, et all, Mula Hukum beberapa bab mengenai hukum dan ilmu hukum untuk pendidikan hukum dalam pengantar ilmu hukum, Binacipta, Bandung, 1983, hlm. 378-379. 2 N.E. Algra, Ibid. 3 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 42.
2
hukum di sini adalah pranata yaitu seluruh peraturan perundang-undangan maupun sebagai lembaga yaitu organisasi penegak dan bekerjanya organisasi penegak hukum. Dalam sejarah panjang Bangsa Indonesia, struktur kelembagaan hukum secara terus menerus berusaha mencari bentuknya yang paling tepat. Sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, struktur kelembagaan hukum menempati posisi yang penting walaupun tidak diatur secara rinci. Berdasarkan ketentuan pasal 24 dan pasal 25 Undang-Undang dasar 1945, kekuasaan kehakiman dalam konstitusi
dilepaskan dari pengaruh kekuasaan lain dalam penyelenggaraan
fungsinya dan berdiri sejajar dengan lembaga-lembaga tinggi lainnya. Namun kita juga menyaksikan bahwa dalam rentang waktu panjang kesejarahaan Bangsa Indonesia, negara dan hukum yang dicita-citakan oleh para pendiri negara seringkali harus berhadapan dengan perubahan dan arus kepentingan tertentu. Hukum dalam hal ini misalnya pada waktu tertentu berpihak pada konstitusi dan berusaha bekerja sebagai suatu lembaga dalam proses perwujudan tujuan hukum. Pada bagian lain dalam perkembangannya, ia bermetamorfosis menjadi lembaga legitimasi semata dibanding menjadi lembaga independen yang melaksanakan misi hukum itu sendiri yaitu keadilan. Selama masa Demokrasi Liberal struktur kelembagaan hukum dapat dikatakan relatif mandiri. Ketika sistem politik yang liberal digantikan
oleh sistem politik
Demokrasi Terpimpin, kemandirian kekuasaan kehakiman memperoleh ancaman karena dibenarkannya campur tangan eksekutif terhadap soal-soal pengadilan. Pada saat sistem politik berganti dari Demokrasi Terpimpin dengan Orde Baru, lembaga hukum dicoba untuk ditegakkan kembali. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang maksimal. Hanya beberapa tahun saja sejak berkuasaanya Orde Baru, posisi struktur kelembagaan hukum kembali ditempatkan di bawah kekuasaan kepresidenan. Walaupun secara konseptual
kekuasaan kehakiman dipisahkan dari campur tangan eksekutif
melalui pembentukan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, namun dalam kenyataannya proses penyelenggaraan kekuasaan kehakiman berada dalam posisi rentan terhadap intervensi kekuasaan lain, yaitu kekuasaan lembaga kepresidenan dan birokrasi, yaitu masih terdapat permasalahan kebebasan hakim yang berpangkal kepada status hakim dalam birokrasi. Bagi sebagian kalangan menetapkan pembinaan hakim secara substantif di
3
bawah Mahkamah Agung dan pengurusan administrasi yang meliputi kepangkatan, gaji dan penempatan di bawah Departemen kehakiman, dilihat sebagai mencampuri kebebasan hakim.4 Salah satu yang berpengaruh terhadap perkembangan hukum dan seluruh pranata pendukungnya termasuk lembaga hukum adalah struktur politik dan kekuasaan. Bahwa hukum tanpa kekuasaan akan tinggal sebagai keinginan-keinginan atau ide-ide belaka. Hukum membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu untuk mendominasi hukum. Situasi konflik antara keduanya terjadi oleh karena kekuasaan seringkali tidak bisa menerima pembatasan-pembatasan. Sebaliknya, hukum itu bekerja dengan cara memberikan pembatasan-pembatasan. Perkembangan lembaga-lembaga hukum beserta pranata pendukungnya yang menterjemahkan aturan-aturan hukum hukum ke dalam praktek dibangun dalam rangka menegakkan supremasi hukum. Lembaga-lembaga dan pranata hukum dengan sendirinya bekerja dengan cara menumbuhkan kepercayaan masyarakat
melalui
pelaksanaan peraturan perundang undangan. Realitasnya kita menyaksikan lembaga hukum seringkali dikesampingkan demi kepentingan penguasa.
B. Perumusan Masalah Hukum beserta pranata pendukungya bukanlah suatu institusi yang statis, ia mengalami perkembangan. Kita lihat, bahwa hukum itu berubah dari waktu ke waktu. Konsep lembaga dan pranata hukum di Indonesia juga mempunyai perkembangannya tersendiri, yaitu ada hubungan erat antara hukum dengan kekuasaan dan politik sebagaimana yang terjadi pada lembaga hukum peradilan. Bagaimanakah dinamika atau pasang surut dari keberadaan lembaga hukum sepanjang sejarah Indonesia merdeka hingga era reformasi, akan dicoba digambarkan melalui tulisan ini.
C. Penegakan hukum Penegakan hukum adalah suatu sistem, yaitu terkaitnya beberapa sub sistem hukum dan antara sub sistem hukum tersebut saling mempengaruhi, namun demikian merupakan satu kesatuan dalam mencapai tujuannya. Sistem itu sendiri terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Ia merupakan 4
Arbi Sanit, Swadaya Politik Masyarakat telaah tentang keterkaitan organisasi masyarakat, partisipasi politik, pertumbuhan hukum dan hak asasi, Rajawali, Jakarta, hlm. 114.
4
suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti pengertian hukum dan peraturan-peraturan hukum. Masing-masing bagian harus dilihat dalam kaitannya dengan bagian-bagian lain secara keseluruhannya. Di dalam kesatuan itu tidak dikehendaki adanya konflik pertentangan atau kontradiksi antara bagian-bagian. Bila sampai terjadi konflik maka akan diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu dan jawabannya terdapat dalam sistem itu sendiri.5 Hukum sebagai suatu sistem tidak hanya dalam pengertian substance, structure dan legal culture.6 Hukum dalam berkorelasi dengan lingkungan untuk dapat mencapai tujuan sebagaimana yang telah ditentukan, ada hubungannya dengan faktor-faktor di luar hukum yaitu sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Hal ini menunjukan bahwa hukum di dalam implementasinya tidaklah independent tetapi bersifat dependent, dan dapat menyebabkan hukum di dalam pelaksanaannya menjadi berbeda dengan normanorma yang berlaku secara umum. Dengan kata lain terdapat kesenjangan antara law in book dengan law in action. Dalam kerangka ini berarti pemahaman terhadap penegakan hukum tidak cukup dengan pendekatan yuridis dogmatis sebagai konskuensi dari faham positive legalistik tetapi juga pemahaman terhadap penegakan hukum haruslah bersifat yuridis historis sosiologis dan merupakan suatu pendekatan fungsional. Berdasarkan hal demikian maka hukum tidak lagi sebagai suatu sistem formal yang tertutup tetapi bersifat open system. Penegakan hukum dapat juga dikatakan sebagai usaha anggota masyarakat untuk mempertahankan kesepakatan yang telah diberikan oleh anggota masyarakat dalam rangka mewujudkan keadilan dan menjaga ketertiban, kesatuan atau integrasi masyarakat yang ada di dalamnya. Dalam pengertian penegakan hukum tersebut, termasuk di dalamnya kesepakatan agar prosedur penegakan hukum menjamin hak-hak dan kewajiban yang telah diberikan oleh hukum ke pada masyarakatnya. Konkritnya dalam proses penegakan hukum hak dan kewajiban yang telah disepakati diberikan kepada individu-individu ataupun kepada masyarakat, tidak boleh dilanggar secara 5
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm.115. Lawrence M. Friedman & Stewart Macauly, Law and Behavioral Science, Second Edition, Bobs Merill Company Inc, New York, P. 1004. 6
5
sewenang-wenang. Pelanggaran atas kesepakatan tersebut dapat menimbulkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap undang-undang, sehingga menimbulkan perpecahan atau desintegarasi di kalangan masyarakat pendukung hukum tersebut karena hukum dianggap tidak berfungsi. Di dalam konteks ini hukum berfungsi sebagai pengintegrasian masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa hukum itu merupakan bagian dari perangkat kerja sistem sosial. Fungsi sistem sosial ini adalah untuk mengintegrasikan kepentingan-kepentingan anggota masyarakat, sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib dan masyarakat dengan sistem sosial yang tertentu akan memberikan pedoman-pedoman kepada para anggotanya tentang bagaimana hendaknya hubungan-hubungan antar mereka itu dilaksanakan.7 Apabila hukum tidak lagi berfungsi sebagaimana tersebut di atas, maka solidaritas masyarakatnya akan terganggu. Masyarakat tidak lagi memperhatikan perangkat kerja sistem sosial tersebut, sehingga masyarakat meragukan hukum dan sekaligus merugukan lembaga hukum maupun penegak hukum, maka akibatnya masyarakat tersebut akan mengambil tindakan sendiri dalam menyelesaikan masalah hukum. Pembahasan mengenai konteks sosial hukum, khususnya penegakan hukum di dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan dari tujuan menegakkan hukum secara konsisten berdasarkan supremasi hukum. Supremasi hukum harus benar-benar diwujudkan, oleh karena itu hukum harus berperan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Yang dimaksud dengan hukum disini adalah sebagai pranata yaitu seluruh peraturan perundang-undangan, maupun sebagai lembaga yaitu organisasi penegak dan bekerjanya organisasi penegak hukum. Sehubungan itu diperlukan adanya perumusan
hukum
yang
benar-benar
dapat
mengatur
birokrasi
serta
pertanggungjawabannya. Jika aparat birokrasi terbukti melanggar tugas dan kewajibannya maka organisasi penegak hukum secara konsekuen harus menindaknya tanpa pandang bulu. Penyimpangan penegakan hukum dapat terjadi karena substansi hukum mengandung keterbatasan atau aparat penegak hukum yang memiliki keterbatasan dan 7
Satjipto Rahardjo, op cit, hlm. 154.
6
mungkin masyarakat pencari keadilan yang memiliki keterbatasan. Di samping itu terdapat faktor-faktor lain seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Penyimpangan dalam penegakan hukum yang tidak berdasar sama sekali akan terlihat sebagai penegakan hukum yang bersifat represif. Sedangkan penyimpangan penegakan hukum yang memiliki dasar atau alasan tertentu merupakan sesuatu yang mungkin tidak dapat dihindari dalam melakukan usaha mengisi kekosongan hukum.
Hukum dan negara
merupakan dua hal yang tidak terpisah. Hukum tidak memiliki kemampuann untuk bertindak dan memaksakan ditaatinya kaedah-kaedah tertentu bila tidak dalam kerangka bernegara. Negara tanpa hukum diyakini akan cenderung untuk sewenang-wenang dan totaliter. Hukum dan negara dianggap sebagai dua lembaga penjelmaan kesepakatan antara rakyat dan penguasa dalam masyarakat. Hukum merupakan produk politik, sedangkan negara adalah perwujudan dari organisasi politik itu sendiri yang kekuasaannya dapat dibatasi oleh hukum. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), demikian diyatakan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 ketika menguraikan sendi-sendi
Sistem pemerintahan negara. Penjelasan Undang-
Undang Dasar 1945 tidak merinci apa unsur-unsur rechtsstaat Indonesia. Dalam kepustakaan hukum tata negara Eropa dapat diketahui, bahwa wawasan rechsstaat memang berkembang dari waktu ke waktu. Menurut Zippelius, prinsipprinsip wawasan negara berdasar atas hukum merupakan alat untuk membatasi perluasan dan penggunaan kekuasaan negara secara totaliter dan secara tidak terkontrol. Prinsip-prinsip itu ialah jaminan terhadap ditegakkannya hak-hak asasi asas, adanya pembagian kekuasaan dalam negara, penyelenggaraan pemeirntahan yang didasarkan pada undang-undang, dan adanya pengawasan yustisial terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara tersebut.8 Gagasan negara berdasarkan atas hukum (rechtstaats), sebagaimana yang tertuang dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum adanya perubahan, muncul dari pendiri negara dengan dilandasi oleh oleh prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial. Dalam kerangka ini artinya hukum dan segala wujud nilai-nilai yang
8
A. Hamid S. Attamimi, Peranan keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan pemerintahan Negara, suatu studi analisis mengenai keputusan presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu PELITA I-PELITA IV, Naskah Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 86.
7
kemudian direfleksikan ke dalam peraturan perundang-undangan tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial. Hukum dalam gagasan para pendiri negara tersebut justru seyogyanya menjadi dasar pertama dan utama bagi nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial. Dalam rentang waktu panjang kesejarahan bangsa Indonesia, negara dan hukum yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini seringkali berhadapan dengan arus perubahan dan kepentingan tertentu
D. Pengertian Pranata Hukum Adanya hubungan serta kontak-kontak antara sesama anggota masyarakat tidak berlangsung secara acak-acakan melainkan mengikuti suatu keteraturan tertentu dan mengenal suatu tingkat stabilitas tertentu. Dalam kerangka hukum, masyarakat menjadi relevan karena anggota masyarakat sebagai individu maupun sebagai kelompokkelompok menjalankan peranannya dengan tindakan. Bagi Parsons, stabilitas itu bertumpu pada konsesus (yang disadari maupun yang tidak disadari) dari para anggota masyarakat.9 Selanjutnya konsesus itu melembagakan diri sebagai pranata, dan hukum adalah salah satu dari pranata-pranata sosial itu. Harsojo menggunakan istilah pranata sebagai padan kata bagi institution, yang dapat
dibedakan
dengan
istilah
lembaga
yang
merupakan
padan
kata
dari institute. Pranata dapat dijelaskan sebagai tatanan yang menjadi permanen karena kebiasaan, terselenggara sebagai sistem yang didukung oleh kewibawaan masyarakat, dan karena itu mengenal sanksi bagi pelanggaran terhadapnya. Tidak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa pranata itu dalam konteks ini adalah hukum merupakan suatu substansi yang membuat masyarakat itu menjadi masyarakat.10 Karekteristik hukum dikatakan spesifik bila dibanding dengan pranata sosial lain, karena hukum itu merupakan suatu sistem yang integral dengan sasaran yang jelas (yang dalam kerangka filsafat hukum sebagai ketertiban dan keadilan). Di samping itu, faktor kepastian hukum membuat hukum mendapatkan hakikatnya yang relatif pemanen dan tidak berubah. Diantara
berbagai pranata sosial, hukum adalah yang paling
ekstensif bertumpu pada tradisi tertulis maupun lisan. 9
Budiono K. Hamidjojo, Ketertiban yang Adil Problematik Filsafat Hukum, Grasindo, Jakarta, 1999, hlm. 172. 10 Ibid, hlm.173.
8
Menurut Sumner, sifat-sifat dari hukum sebagai pranata sosial yang normatif dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Timbulnya tidak disadari atau direncanakan. 2. Kedudukannya adalah mendasar bagi pengaturan hubungan antar anggota masyarakat, sehingga tidak dapat dikesampingkan dari masyarakat. Artinya, hubungan antar anggota masyarakat itu adalah tidak mungkin tanpa hukum. 3. Daya lakunya bersifat umum. 4. peranannya regulatif.
E. Tertib Hukum Nasional Suatu sistem hukum terdiri dari berbagai proses formal, yang melahirkan lembaga-lembaga
formal,
bersama-sama
dengan
proses-proses
informal
di
sekelilingnya. Sistem hukum nasional tidak terdapat di Indonesia sampai pada saat kekuasaan kolonial Belanda mendirikan negara yang mencakup segenap pulau di Nusantara. Sebelum itu berbagai tertib hukum yang berlain-lainan masing-masing mandiri dalam sistem sosial dan politik yang sangat beragam. Tertib hukum yang beragam itu terdiri dari negara-negara Jawa yang bercorak Hindu. Pada beberapa kasus, seperti di kalangan suku Batak yang patrilineal dan suku Minangkabau yang matrilineal di Sumatera Barat, bentuk hukum dan peradilan berkembang dari sistem keluarga yang ada. Pekerjaan hukum yang utama dalam masyarakat tersebut adalah mempertahankan keutuhan kelompok-kelompok kekerabatan.11 Kekuasaan kolonial Belanda pada waktu itu menciptakan kekuasaan pemerintah pusat, yang membentuk fungsi administratif dan fungsi hukum yang baru. Tanah jajahan
ini pada akhirnya mencakup seluruh wilayah Indonesia dan menciptakan
kerangka negara. Tertib hukum kolonial, seperti halnya tertib sosial, adalah tertib yang majemuk, yang secara diam-diam didasarkan atas anggapan ketidaksamaan rasial. Sifat demikian, dengan sejumlah perbedaan-perbedaanya, melekat di semua tanah jajahan di zaman penjajahan. Sifat sistem hukum Hindia Belanda yang mencolok ialah keterkaitannya yang kuat dengan logika internal masyarakat kolonial dan tujuantujuannya. Tiap golongan besar penduduk tunduk kepada hukum yang berbeda-beda, yang diterapkan dengan perangkat peradilan yang berlainan pula. 11
Daniel S Lev, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan perubahan, Lembaga Penelitian dan Penerangan Ekonomi dan Soaial, Jakarta, 1990, hlm. 119.
9
Pada masa pendudukan Jepang, sistem hukum kolonial Belanda mulai mengalami perubahan. Terjadi perubahan semanggat hukum takkala hukum diterapkan oleh pemerintahan militer, dan langkah pertama yang sangat berarti ke arah penyatuan terjadi saat itu, antara tahun 1942 dan 1945. Struktur rangkap peradilan pemerintah digantikan oleh pengadilan tunggal yang terdiri dari tiga jenjang dan menggunakan kitab hukum acara yang semula hanya untuk orang Indonesia yang sampai sekarang masih tetap berlaku. Tetap dipertahankannya bentuk-bentuk hukum yang lama, memungkinkan tetap adanya kesinambungan prosedur sampai sesuatu yang baru dan pasti dapat selesai dibuat.
F. Dinamika Lembaga Hukum dan Pranata Hukum Dinamika atau perkembangan atau pertumbuhan hukum di tengah masyarakat yang menimbulkan perubahan diyakini banyak dipengaruhi oleh politik. Perkembangan hukum dalam konteks ini menurut Arbit Sanit dapat dibedakan atas aspek strukturnya, yaitu wujud fisik, ruang lingkup keberlakuannya, badan-badan-badan pelaksanannya, personalia dan jabatan hukum; dan aspek fungsinya berupa kewenangan pejabat hukum dan substansi hukum.12 Lebih lanjut menurutnya ada sedikitnya ada tiga titik temu antara politik dengan hukum di dalam kehidupan sehari-hari. Pertama ialah pada waktu penentuan pejabat hukum. Walaupun tidak semua proses penetapan pejabat hukum melibatkan politik, akan tetapi proses itu terbuka bagi keterlibatan politik. Kedua ialah proses pembuatan hukum itu sendiri. Setiap proses pembuatan kebijaksanaan formal yang hasilnya tertuang dalam bentuk hukum pada dasarnya adalah produk proses politik. Dan ketiga yaitu proses pelaksanaan hukum di mana fihak-fihak yang berkepentingan berusaha mempengaruhi hukum tersebut, sejalan dengan kepentingan dan kekuatannya.13 Sedangkan pembahasan mengenai
perkembangan hukum dari aspek
kelembagaan beserta pranata pendukunnya, dapat diamati melalui pembidangan dan tingkatan peradilan, jumlah dan tingkat kemampuan personal hukum, dan fungsionaris atau penegak hukum. Apabila dinamika atau pertumbuhan hukum tersebut dilihat dalam kerangka waktu, maka diperoleh gambaran tentang 12 13
gerak perkembangan mengenai lembaga
Arbit Sanit, op cit, hlm. 84. Ibid.
10
hukum di Indonesia itu yang dapat dibagi ke dalam periode-periode tertentu. Periodeperiode tersebut meliputi periode tertib hukum kolonial, masa perkembangan UUD 1945, masa Demokrasi Liberal, Masa Demokrasi Terpimpin, masa berlakunya kembali UUD 1945/Orde Baru, masa Reformasi/UUD 1945 setelah perubahan (sekarang).
G. Masa Berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 Suatu konstitusi sesungguhnya adalah suatu hasil dari satu himpunan kekuatankekuatan politik, ekonomi dan sosial, yang terjadi pada waktu konstitusi itu dibuat. Constitutions, menurut Prof. Dawson, whether they are in written or unwritten, form, rigid or flexible, are continually changing and becoming adapted to new ideas, new problems, new national and international forces. Demikian pula perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa Undang-Undang dasar 1945 itu telah mengalami berbagai perkembangan dan perubahan.14 Pada tanggal 16 Oktober 1945, Wakil Presiden atas usul Komite nasional Pusat telah mengumumkan Maklumat No. X yang menetapkan bahwa Komite nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara. Hal ini berarti bahwa segala penetapan undang-undang harus disetujui baik oleh Komite nasional Pusat maupun oleh Presiden. Maklumat juga menentukan bahwa Komite Nasional Pusat, berhubung dengan gentingnya keadaan mendelegasikan kekuasaannya kepada sebuah Badan Pekerja yang dipilih diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.15 Penyimpangan dari ketentuan-ketentuan Undang_undang Dasar ini dijelaskan oleh konsideran Maklumat Wakil Presiden No. X, bahwa di dalam keadaan yang genting ini perlu ada badan yang ikut bertanggung jawab tentang nasib bangsa Indonesia disebelah Pemerintah. Di dalam dictumnya ditegaskan
bahwa kekuasaan
Komite Nasional Pusat itu hanya sementara sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat.16 Konsekuensinya
sejak Maklumat X dikeluarkan kekuasaan Presiden
berdasarkan pasal IV Aturan peralihan dari Undang-Undang Dasar, yaitu mengenai 14
Ismail Suny, Pergeseran kekuasaan Eksekutif, Aksara baru, Jakarta ,1986, hlm. 28. Ibid, hlm. 29 16 Ibid. 15
11
penetapan garis-garis besar dari pada haluan negara (dari Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan mengenai pembentukann undang-undang (dari Dewan Perwakilan Rakyat) menjadi wewenang Komite nasional Pusat atau Badan Pekerjanya. Walaupun menurut Maklumat No. X, Komite Nasional Pusat atau Badan Pekerja telah mempunyai kekuasaan legislatif, tetapi sesuai dengan ketentuan pasal 17 UndangUndang Dasar kedudukan para menteri
masih tetap sebagai pembantu presiden dan
sekalipun para menteri itu sehari-hari bekerja sama dengan Komite Nasional Pusat atau Badan Pekerja dalam pembuatan undang-undang. Adalah menjadi kebiasaan untuk membagi tugas-tugas pemerintah ke dalam trichotomy yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Menurut Montesquieu bahwa kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif berdasarkan suatu sistem trias politica, ketiga jenis kekuasaan itu mesti terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas maupun alat perlengkapannya yang melakukannya. Undang-undang dasar 1945 membagi dalam pasal-pasal tersendiri mengenai tiap-tiap alat perlengkapan negara tersebut, dengan tidak menekankan kepada pemisahannya. Hal ini tercermin dalam pembagian bab-bab dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan Bab III tentang kekuasaan pemerintah negara, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat dan Bab IX tentang kekuasaan kehakiman.17 Perkembangan yang berkenaan dengan lembaga penegak hukum di Indonesia, yaitu hakim, jaksa, polisi dan pembela, meliputi pula perkembangan
dalam hal
kewenangan dan pembagian kerja. Berdasarkan prinsip negara (rule of law), hukum mempunyai
kewenangan penuh dalam berkenaan dengan jabatan tersebut di awal
kemerdekaan. Namun
dalam sejarah panjang masyarakat Indonesia, struktur kelembagaan
hukum secara terus menerus berusaha berusaha mencari formatnya yang paling tepat. Sejak Republik Indonesia diproklamirkan dan segera setelah itu diikuti dengan diletakankan dasar negara RI, struktur kelembagaan hukum mendapatkan posisi yang aman. Walaupun tidak diatur secara rinsi dan jelas, kekuasaan kehakiman dalam konstitusi dilepaskan dari pengaruh kekuasaan lain dalam penyelenggaraan fungsinya dan berdiri sejajar dengan lembaga-lembaga tinggi lainnya dalam struktur ketatanegaraan. Selama masa Demokrasi Liberal yaitu pada era 1950-an supremasi 17
Ismail Suny, op cit, hlm. 16
12
hukum dapat diwujudkan sebab penegakan ketertiban diserahkan kepada penegak hukum dan bukan kepada aparat keamanan.
H. Masa Demokrasi Terpimpin Keberpihakan konstitusional kepada struktur kelembagaan hukum teryata terus mendapat tantangan dari sistem politik yang berkembang kemudian. Sekitar tahun 1962, ketika sistem politik yang liberal digantikan oleh sistem politik demokrasi terpimpin, kemandirian kekuasaan kehakiman memperoleh pengaruh dan membenarkan campur tangan eksekutif di bidang peradilan. Suatu simbol hukum revolusi muncul di masa Demokrasi Terpimpin, pada saat Presiden soekarno menentang simbol-simbol lain yang oleh para ahli hukum diyakini sebagai sesuatu yang harus ada. Melemahnya hukum formal terjadi, menyusul meluasnya kegiatan politik. Norma-norma politik didahulukan dimana
para pemimpin politik mendapat kebebasan bergerak dan
mengembangkan dasar-dasar kekuasaan mereka melalui cara yang bersifat tradisional dan bukan dalam kerangka hukum rasional. Hukum Revolusi Soekarno merupakan simbol kebebasan dari segala rintangan yang disertai gaung yang menjanjikan masa depan yang bahagia dalam masyarakat. Pada masa ini negara hukum menjadi tidak menarik dan dianggap penuh dengan pembatasan.18 Hukum dan seluruh pranata pendukungnya termasuk aparat penegak hukum dipaksa berpihak pada kemauan lembaga kepresidenan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 19 Undang-Undang No. 19 tahun 1964 bahwa: Demi kepentingan kehormatan revolusi, negara, dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur tanggan dalam soal-soal pengadilan. Perumusan yang kurang lebih sama termuat undang-undang No. 13 tahun 1965 yang membenarkan campur tangan presiden dan menteri terhadap soal-soal pengadilan. Sistem politik pada masa ini mencerminkan ketidakberpihakan pada kemerdekaan kekuasaan kehakiman sehingga prinsip kebebasan hakim dikesampingkan. Dengan demikian Demokrasi Terpimpin yang dengan alasan mengikuti irama revolusi dan menganggap hukum serta ahli hukum tidak dapat menyertai revolusi, membenarkan campur tangan eksekutif di bidang peradilan.
18
Daniel S Lev, Op cit, hlm. 136.
13
Tradisi otoriter yang telah ada sebelum masa penjajahan, dengan datangnya kolonialisme serta diperkuat oleh pemerintahan kolonial dan dialihkan kepada paternalisme pada masa awal kemerdekaan, membuat rakyat menjadi terbiasa untuk diperintah, tetapi juga sedapat mungkin berusaha untuk menghindarkan diri. Itu semua menyebabkan, bahwa kontrol oleh masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah menjadi lemah. 19 Masalah besar yang dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah, bagaimana menciptakan suatu tatanan politik yang mantap, setelah menjadi negara yang merdeka. Pada waktu suatu negara baru mendapatkan kemerdekaannya, maka terlebih dahulu ia dituntut untuk menyusun tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan politiknya secara mantap. Tentu suatu negara akan berbeda dari negara lain dalam hal peringkat kemajuannya di bidang-bidang tersebut, tergantung dari sejarahnya. Dalam keadaan yang demikian itu perhatian dan usaha dicurahkan untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan elementer agar suatu masyarakat dapat berdiri seperti sandang, pangan, keamanan dan ketertiban. Persoalan-persoalan, seperti prosedur-prosedur formal yang terperinci dan sebagainya belum begitu dirasakan benar keperluannya. Inilah barangkali yang menyebabkan bahwa negara-negara berkembang termasuk Indonesia sering dinilai kurang mantap dalam kehidupan hukumnya.
I. Masa Orde Baru Percobaan kudeta yang gagal pada tahun 1965 yang berakhir dengan jatuhnya Soekarno dan tampilnya militer ke tampuk kekuasaan hukum formal, adalah gambaran munculnya Orde Baru. Pemerintahan yang didukung penuh oleh angkatan darat itu dalam beberapa hal adalah pemerintah yang paling kompak sejak kemerdekaan. Aras politiknya didukung oleh meluasnya organisasi angkatan darat di Indonesia, suatu kondisi yang tidak hanya menunjukan besar dan kuatnya angkatan darat tetapi juga lemahnya partai-partai politik serta rapuhnya perangkat pemerintahan, sehingga terus menerus disusupi oleh personil militer. Setelah berkuasa, para pemimpin angkatan darat kini menaruh perhatian pada pemantapan kekuasaan, yang untuk sebagian dilakukan melalui pelembagaan.
19
Daniel S. Lev, op cit, hlm. …
14
Simbol negara hukum yang jarang disebut pada masa Demokrasi Terpimpin mulai ditampilkan. Negara hukum diberi makna yang lebih kongkret dari pada di masa Demokrasi Terpimpin. Bersamaan dengan itu jajaran hakim memperbaharui tuntutan mereka untuk mencabut Undang-Undang
No. 19 tahun 1964 tantang kekuasaan
Kehakiman, yang mengabsahkan campur tangan Presiden dalam proses peradilan, dan otonomi penuh di bawah Mahkamah Agung bebas dari pengawasan Menteri Kehakiman.20 Di sisi Lain, suatu masalah pengembangan hukum yang tidak pernah disepakati yaitu kekuasaan untuk menilai
konsistensi pelaksanaan konstitusi
di bawah
konstituante oleh pihak kehakiman (power of judicial review). Pengujian undangundang oleh pihak kehakiman ini diyakini akan menyebabkan kongkritnya kekuasaan hukum dan akan menjadi simbol kekuasaan pengadilan. Tetapi pada bulan Juli 1959 Konstituante teryata dibubarkan dan terjadi pergantian sistem politik dari demokrasi Liberal ke demokrasi Terpimpin. Di dorong oleh semanggat demokrasi, khususnya keinginan untuk membatasi kewenangan eksekutif yang berlebihan, seperti pada Demokrasi Terpimpin, di awal Orde Baru tumbuh kembali usaha untuk mengawasi pelaksanaan UUD 1945. Namun konsepsi judicial review ditolak pemerintah dengan selesainya undang-undang No. 14 tahun 1970. Alasan penolakan tersebut adalah bahwa tidaklah mungkin meletakkan posisi Mahkamah Agung di atas DPR dan eksekutif karena judicial review diartikan sebagai kewenangan mahkamah untuk menilai parlemen dan kabinet dalam melaksanakan UUD.21 Sedangkan gambaran
ketidakmandirian
lembaga hukum tersebut berusaha
dihilangkan oleh Rezim Orde Baru pada masa runtuhnya Rezim Orde lama pada pertenggahan tahun 1960-an. Perubahan situasi yang dibawa oleh Orde Baru memungkinkan pemulihan hak dan kebebasan hakim melalui Undang-Undang No. 14 tahun 1970. Walaupun keberadaan undang-undang No. 14 tahun 1970 telah meniadakan campur tangan eksekutif terhadap kewenangan hakim dalam menyelesaikan perkara, namun masih terdapat permasalahan
mengenai kebebasan hakim yang berpangkal
kepada status hakim dalam birokrasi negara.
20 21
Ibid, hlm. 149. Arbit Sanit, op cit, hlm. 115
15
Ketentuan undang-undang No. 14 tahun 1970 menetapkan pembinaan hakim secara substantif di bawah Mahkamah Agung dan pengurusan administrasi kepangkatan, gaji dan penempatan di bawah Departemen Kehakiman. Bagi Asikin Kusumaatmadja, dualisme tersebut dianggap sebagai mencampuri kebebasan hakim yang seharusnya tidak perlu. Di sisi lain pihak eksekutif berpandangan bahwa dualisme itu tidak perlu mengurangi kemandirian hakim tetapi diperlukan untuk meningkatkan mutu keputusan hakim. Perdebatan ini berlangsung sampai tahun 1985 tanpa penyelesaian yang disepakati.22 Kewenangan Mahkamah Agung untuk menilai ketentuan hukum di bawah undang-undang sebagimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 itu pun tidak cukup kuat. Sebabnya terletak pada Undang-Undang Mahkamah Agung No. 1 tahun 1950 yang masih berlaku. Undang-undang tersebut menetapkan kepasifan Mahkamah Agung karena lembaga itu hanya menangani perkara atau masalah yang disampaikan lewat pengadilan yang lebih rendah. Dinamikan lembaga dan pranata hukum juga tergambar melalui pertumbuhan substansi hukum yang dapat diamati melalui watak legalitas hukum yang dibedakan atas aspek formal dan materil; dasar penggunaanya yang terdiri dari kekuatan (force) dan legitimasi; dan dari manfaatnya bagi masyarakat yaitu berupa ketertiban dan keadilan.23 Seperti diketahui, proses pembuatan suatu produk hukum seringkali berjalan dalam waktu lama. Di sepanjang Indonesia merdeka, tertangkap gejala pengutamaan aspek formal dibanding aspek materilnya. Perdebatan tentang UUPA di tahun limapuluhan dan enampuluhan serta jalan pikiran yang dimenangkan, seperti juga halnya dalam perdebatan tentang undang-undang perkawanan dan undang-undang keormasan tahun tujuhpuluhan dan tahun 1985, menunjukan hal itu. Pandangan yang menekankan keberlakuan dan penerimaan masyarakat terhadapnya kurang mendapat perhatian dibanding pandangan yang menekankan pembentukan undang-undang itu sendiri melalui prosedur resmi yang berlaku.24 Dalam hal penggunaan hukum, memperlihatkan bahwa di masa Demokrasi Terpimpin, kekerasan dan kekuatan sepenuhnya menjadi cara penggunaan hukum. 22
Arbi Sanit, ibid, hlm. 114. Ibid. 24 Ibid, hlm. 117. 23
16
Sistem yang berlaku tidak begitu percaya kepada proses hukum, kecuali revolusi. Dalam kurun waktu ini hukum seringkali diabaikan demi revolusi yang ditandai dengan adanya campur tangan pemerintah terhadap proses pengadilan. Pertumbuhan substansi hukum berupa ketertiban dan keadilan sebagai manfaat hukum bagi masyarakat dapat diamati melalui periode sistem politik Indonesia. Masyarakat menikmati hukum sebagai mekanisme, mendapatkan ketertiban dengan hukum sebagai cara untuk memperoleh keadilan di masa Demokrasi Liberal. Hal ini terlihat dari perimbangan di antara penggunaan hukum oleh pemerintah untuk melindungi dalam upayanya menegakkan ketertiban dengan penggunaan hukum oleh masyarakat sebagai sarana untuk melindungi kepentingannya. Di dalam dua periode berikutnya, masyarakat kehilangan kesempatan dan kemampuan untuk menikmati manfaat hukum. Sementara itu penguasa mempunyai kekuatan yang semakin besar untuk menghadapi permasalahan sosial yang dapat bermuara kepada konflik dan kekacauan berkat hukum. Hanya saja, jika sistem politik Demokrasi Terpimpin meraih kekuatan itu dengan mengeyampingkan parlemen melalui berbagai keputusan Presiden dan Pemerintah, maka di masa Orde Baru produk DPR merupakan sumber utama kekuatan formal pemerintah. Sekalipun begitu pemerintah masih mempunyai kesempatan luas untuk menafsirkan
undang-undang melalui peraturan pelaksanaan
yang menjadi kewenangannya dalam merealisasi hukum. Dinamika lembaga hukum sepanjang sejarah Indonesia seperti terjadi loncatan karena diantara periode Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan Orde baru terdapat perubahan yang cukup besar. Secara umum terjadi kemerosotan hukum dan kemampuannya di dalam Demokrasi Terpimpin yang di masa Orde Baru diupayakan perbaikan melalui pembangunan nasional. Perkembangan hukum berupa unifikasi dan kodifikasi, lembaga hukum, kewenangan penegak hukum dan substansi hukum yang menurut Arbit Sanit dapat digambarkan seperti berikut ini.25 Dalam hal unifikasi dan kodifikasi hukum tampak peningkatan yang terus menerus di sepanjang kemerdekaan dengan pengorbanan pluralisme hukum semenjak Demokrasi Terpimpin. Apabila lembaga-lembaga hukum nasional mulai dirintis dalam masa Demokrasi Liberal, maka perkembangannya
mengalami
tantangan di masa
Demokrasi Terpimpin untuk mengalami loncatan yang cukup berarti pada masa awal 25
Arbi sanit, hlm. 121.
17
Orde Baru sehingga terlihat perkembangannya jauh melebihi periode awal kemerdekaan. Sementara itu kewenangan para fungsionaris hukum, kemerosotan yang terjadi pada periode Demokrasi Terpimpin, hampir tidak dapat dipulihkan ke situasi di masa Demokrasi Liberal. Kewenangan hakim dan pembela mengalami perkembangan yang tidak setara dengan peningkatan kewenangan jaksa dan polisi selaku penyidik. Keseimbangan relatif antar aspek legalitas hukum formal dan materil seperti halnya dengan lansadan penggunaan hukum dan manfaat hukum yang diupayakan di awal kemerdekaan, tampak mengarah kepada penekanan aspek formal, penggunaan kekerasan atau kekuatan dan mengutamakan ketertiban sebagai manfaat hukum di dalam periode Demokrasi Terpimpin. Aspek materil dari hukum teryata tetap kurang berkembang seperti halnya legitimasi sebagai mekanisme pelaksanaan hukum, sehingga hukum kurang dirasakan sebagai jalur untuk mendapatkan keadilan dalam periode berikutnya. Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, bahwa pranata-pranata hukum pada masa Orde baru dibangun untuk tujuan: 1. Sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintahan; 2.
Sebagai sarana memfasilitasi pertumbuhan ekonomi;
3. Sebagai sarana memfasilitasi proses rekayasa sosial. Karena itu dapat dipahami bahwa lembaga peradilan selama Orde Baru cenderung tidak konsisten dengan prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman. Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu pula. Konfigurasi praktik yang
demokratis akan melahirkan produk hukum yang
berkarakter responsif atau otonom sedangkan konfigurasi politik otoriter akan melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif. Realita kepolitikan Orde Baru bukanlah realita yang demokratis. Selama rezim Orde Baru dinamika lembaga dan pranata hukum memperlihatkan prinsip dan konsepsi dari negara hukum menjadi negara undang-undang, yaitu berubahnya negara hukum menjadi negara undang-undang yang meletakkan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah sebagai ukuran kebenaran. Di dalam negara undang-undang seperti itu setiap tindakan pemerintah yang tidak adil diberi pembenaran dengan perbuatan undang-undang melalui penggunaan atribusi
18
kewenangan sehingga hukum ditempatkan sebagai alat justifikasi dengan watak positivist-instrumentalistik.26
J. Masa Reformasi Bahwa reformasi di bidang hukum antara lain adalah untuk mendukung penanggulangan
krisis di bidang hukum dengan salah satu agendanya berupa
pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif. Semanggat ini ditangkap
oleh
Ketetapan
MPR
No.
X/MPR/1998,
yang
mengamanatkan
dipergunakannya prinsip pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi lembaga negara yang tiga itu, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Implementasi dari ketentuan ini adalah dengan mengadakan perubahan UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman melalui Undang-Undang No. 35 tahun 1999, yang mengarahkan upaya pemurnian kembali kekuasaan kehakiman yang utuh, bebas dan mandiri. Berdasarkan ketentuan pasal 11 A UU No. 35 tahun 1999, organisasi, administrasi dan finasial dan badan-badan peradilan yang selama ini berada di bawah Departemen Kehakiman, menjadi berada di bawah Mahkamah Agung. Sedang ketentuan pasal 22 menegaskan mengenai pengalihan
kewenangan dari Menteri
Pertahanan Keamanan dan Menteri Kehakiman kepada Ketua Mahkmah Agung dalam menentukan badan peradilan yang berwenang memeriksa perkara koneksitas. Dengan demikian lembaga hukum beserta pranata pendukungnya kembali menjadi kekuasaan kehakiman yang mandiri sebagaimana yang diamanatkan oleh awal mulanya diadakan konstitusi. Hal ini diperkukuh lagi dengan penegasan bahwa UndangUndang dasar 1945 setelah perubahan, menganut prinsip pemisahan kekuasaan dan mekanisme checks and balances, dimana kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsifungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi. Sedang perkembangan pranata hukum yang signifikan yaitu mengenai penegak hukum hakim agung, tertuang dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24A, yang berlaku sejak 9 november 2001 bahwa “calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan
dan
selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”. Setelah kekuasaan 26
Moh. Mahfud, MD, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar di UII, Yogyakarta, 2000, hlm. 32.
19
Presiden Soeharto runtuh, pengisian dan pemberhentian pejabat publik hakim agung harus memperoleh persetujuan dan pertimbangan DPR dan melewati uji kelayakan dan kepatutan guna diperoleh pejabat yang berintegritas professional dan berpengetahuan. Walaupun Komisi Yudisial tersebut belum terbentuk semanggat itu selayaknya ditangkap oleh DPR dalam proses pemilihan hakim agung yang diadakan belum lama ini, yaitu dengan membentuk Komisi yudisal ad hoc agar tidak menyimpang dari spirit perubahan Undang-Undang Dasar.
K. Kesimpulan Salah satu yang berpengaruh terhadap perkembangan atau dinamika lembaga dan pranata hukum adalah struktur politik dan kekuasaan. Hal ini terlihat pada periodeperiode tertentu dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Pada masa Demikrasi liberal, struktur kelembagaan hukum dan supremasi hukum dianggap dapat diwujudkan, karena penegakan hukum diserahkan kepada lembaga penegak hukum, bukan pada aparat keamanan. Pada era Demokrasi Terpimpin, hukum beserta pranata pendukungnya dipaksa berpihak kepada lembaga kepresidenan, yang ditandai dengan campur tangan eksekutif pada proses peradilan. Pada awal Orde Baru struktur kelembagaan hukum dicoba untuk dipulihkan kembali pada kekuasaan kehakiman yang mandiri dan bebas. Namun dalam kenyataannya posisi itu rentan terhadap intervensi eksekutif yang berpangkal dari status hakim sebagai pegawai negeri. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pertumbuhan dan perkembangan hukum ditandai dengan sejumlah unifikasi dan kodifikasi aturan hukum. Di sisi lain Pranata-pranata hukum dibangun dengan tujuan sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintah. Dinamika lembaga dan pranata hukum kembali menunjukan upaya pemurnian kembali melalui kekuasaan kehakiman pada lembaga Mahkamah Agung dimana sebelumnya berada pada Departemen Kehakiman. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, dengan dianutnya sistem pemisahan kekuasaan yang tegas antar fungsifungsi negara dimana kekuasaan yudikatif melaksanakan sepenuhnya fungsinya tanpa keterlibatan eksekutif maupun lembaga ekstra yudiciil lainnya dengan penegasan dianutnya prinsip pemisahan kekuasaan dalam UUD 1945. Walaupun struktur kelembagaan hukum dan pranata pendukungnya telah diusahakan kembali pada
20
formatnya yang bebas dan mandiri dan terpisah dari kekuasaan lain, tetap diperlukan kontrol publik guna menilai kinerja para penegak hukum, agar hukum sebagai suatu pranata dapat difungsikan secara optimal.
21
DAFTAR PUSTAKA
Algra, E., et al., Mula Hukum Beberapa Bab Mengenai Hukum dan Ilmu Hukum untuk Pendidikan Hukum dalam Pengantar Ilmu Hukum, Binacipta, Bandung, 1983. Attamimi, A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu PELITA IPELITA IV, Naskah Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990. Friedman, Lawrence M. & Stewart Macauly, Law and Behavioral Science, Second Edition, Bobs Merill Company Inc, New York. Hamidjojo, Budiono K., Ketertiban yang Adil Problematik Filsafat Hukum, Grasindo, Jakarta, 1999. Lev, Daniel S., Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan, Lembaga Penelitian dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta, 1990. Mahfud, Moh., MD., Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar di UII, Yogyakarta, 2000. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1995. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986. Sanit, Arbi, Swadaya Politik Masyarakat Telah tentang Keterkaitan Organisasi Masyarakat, Partisipasi Politik, Pertumbuhan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rajawali, Jakarta, 1985 Suny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara baru, Jakarta ,1986. Yunas, Didi Nazmi, Konsepsi Negara Hukum, Angkasa Raya, Padang, 1992.
22