DINAMIKA KAWASAN WONOKROMO TAHUN 1942-1948 Dony Anggono1) Edy Budi Santoso2) Abstrak Kawasan Wonokromo sebelum masa pendudukan Balatentara Jepang merupakan kawasan pertahanan Pemerintah Hindia-Belanda bagian selatan, tidak hanya itu Wonokromo juga daerah sentral dari perbatasan Sidoarjo dengan Wonokromo yang berangsur-angsur berubah menjadi kota metropolitan Surabaya. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah masyarakat kawasan Wonokromo dari tahun 1942-1948 dalam memasuki pendudukan Tentara Jepang hingga perjuangan penyatuan menyongsong kemerdekaan. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode historis diantaranya, heuristic, kritik sumber dan historiografi. Hasil dari penelitian ini diantaranya warga kampung ikut meredam kerusakan sebab mereka tidak ingin perkampungan mereka terkena dampak. Kawasan Wonokromo dari masa ke masa dijadikan sebagai basis penggerak isu-isu politik mulai dari jaman Pemerintah Hindia Belanda. Di Jawa Timur, kawasan Wonokromo merupakan banteng pertahanan pertama, Sidoarjo waktu itu merupakan benteng pertahanan kedua; kemudian Porong dijadikan banteng ketiga oleh pemerintah Belanda. Diantara tiga tempat yang menjadi benteng pertahanan ini, pertahanan di Porong adalah yang paling kuat. Wonokromo telah memiliki sejarah-psikologi sosial dan makna budaya perkotaan yang monumental karakter. Kata Kunci: Dinamika, Kawasan, Wonokromo Abstract Before the era of Japanese army occupation, Wonokromo region was the area of the Dutch East Indies Government's defense of the south. Wonokromo was also the central region of Sidoarjoberder with Wonokromo which gradually turned into Surabaya metropolitan city. Problems studied in this research is the populace in Wonokromo region from 1942-1948. Within this period Indonesian people suffered the Japanese army occupation up to the era of Indonesian independence day. The research method applied in this writing is historical method, heuristic, source criticism and historiography. The result of this research shows that the villages participated in protecting their villages from damages. They did not want their villages ruined. From time to time Wonokromo region serves a base activator political issues since the Dutch Indies Government. In East Java, Wonokromo region was considered to be the main defense. At that time Sidoarjo was the second defense, and Porong was the third defense for the Dutch Government. Among the three defenses, Porong was the most unpenetrable. Wonokromo has had social psychology history and cultural urban monumental character. Keywords: Dynamics, Metro, Wonokromo 1) Mahasiswa Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga,
[email protected]
2) Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.
54
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No.1, Desember 2013
Pendahuluan Daerah-daerah pinggiran kota seperti kawasan Wonokromo merupakan suatu wilayah yang terdiri dari tiga sub sistem lingkungan yang saling mendukung dan saling mempengaruhi, yakni, lingkungan alam (natural environment), lingkungan ekonomi (economic environment), dan lingkungan k u l t ur a l ( c ul t ura l e nv i ro nm en t ). Lingkungan alam memberikan dukungan terhadap sistem kehidupan berupa penyediaan sumber-sumber potensial baik secara ekonomi maupun kultural. Lingkungan ekonomi terdiri dari berbagai aktivitas melalui mana sumber daya manusia digunakan termasuk didalamnya struktur ekonomi, sarana prasarana ekonomi dan lainya. Lingkungan kultural terdiri dari nilai sikap, kepercayaan, persepsi yang memberikan pedoman dan motivasi terhadap interaksi sosial manusia (Moh. Insaf, 2004: 21). Wonokromo terletak di selatan kota dapat memberikan jalan utama bagi roda kegiatan perdagangan dan daerah industri di Surabaya. Kawasan ini memiliki kegiatan ekonomi yang besar dari stasiun, pasar, kebun binatang dan pabrik senjata. Posisi Wonokromo yang strategis memberikan nilai ekonomis bagi para sopir angkutan umum, pedagang kaki lima, preman dan khususnya gelandangan. Sebagai daerah pintu gerbang masuk kota Surabaya, kawasan ini memiliki fasilitas yang mendukung dalam denyut nadi perekonomian Surabaya. Pentingnya fasilitas transportasi dalam hubungannya dengan perkembangan kota, terletak pada kemampuannya untuk membuat harga angkutan yang lebih murah dan waktu perjalanan yang lebih singkat. Banyak teori menerangkan bahwa asal-usul kota berawal dari desa. Artinya, tidak ada satupun kota yang lahir dengan tiba-tiba. Perspektif evolusionis selalu menganggap bahwa kota lahir secara berangsur-angsur dari wilayah pedesaan menjadi wilayah kota. Lewis Mumford salah satu pendukung perspektif
evolusionis merumuskan paling tidak ada enam tahap perkembangan kota mulai dari eopolis (kota yang baru berdiri) sampai ke nekropolis (kota yang telah menjadi bangkai alias telah runtuh). Dengan demikian maka kota terbentuk berbarengan dengan proses perubahan ekologi, dari ekologi pedesaan ke ekologi perkotaan. Pembangunan fasilitas transportasi baru di perkotaan dapat mengurangi pemborosan, faktor tersebut dalam hubungannya dengan daerah pedesaan (pinggiran kota) akan berakibat meningkatnya permintaan penduduk untuk tinggal dalam lokasi tersebut (Purnawan Basundoro, 2001). Kampung-Kampung di Surabaya Menjelang akhir abad kesembilan belas Surabaya merupakan kota terbesar di Hindia Belanda, dengan gaya dan nilai kultural yang penuh semangat, sekalipun kusut tak terencana. Sebagaimana halnya suatu garis depan, tradisi lokal saling berdesakan dalam berhadapan dengan kekuasaan teknologi modern serta kesibukan perdagangan internasional (Pramoedya Ananta Toer, 2005). Surabaya berkembang secara fisik, populasi kota dan makna ekonominya semakin hari semakin tumbuh, pernik-pernik urbanisasi Barat berkembang pesat: pelabuhan modern, sistem pemurnian air bersih, jaringan transportasi, jalur tram listrik sert a jalan-jalan beraspal, tidak ketinggalan konstruksi gedung-gedung perkantoran untuk usaha perdagangan, bank, toko barang-barang pertanian, dan bangunan pemerintahan kolonial itu sendiri. Menjelang 1930-an, kota ini mengular ke selatan sepanjang Kali Mas, sebuah cabang Sungai Brantas, sampai ke jembatan Wonokromo, yang dipuncaki oleh kawasan ekslusif orang Eropa di Darmo, yang terkenal dengan jalanjalannya yang lebar, perumahan mewah, lapangan terbang, dan kebun binatang. Pada zaman kolonial, Surabaya mulanya dibangun di atas tanah perkampungan yang sebagian besar diperoleh secara tidak
55
Dinamika Kawasan Wonokromo Tahun 1942-1948
sah (G.H. von Faber, 1931: 26-28). Perubahan di dalam dunia kampung pada tahun 1930-an bersifat kompleks dan Belanda pun tidak mempunyai cengkeraman yang bermakna atas sifat kampung yang sebenarnya. Para elit di Indonesia, sekalipun pada puncak kepentingan mereka atas rakyat, jarang menyingkirkan perasaan mereka sendiri bahwa kehidupan kampung kurang berbudi, sehingga cara seperti ini mencegah mereka untuk bisa memahami kekuatan-kekuatan penting yang bekerja di pemukiman Indonesia. Pandangan kampung tersebar menjelang pertengahan tahun 1930-an, telah mencerminkan meningkatnya makna dari apa yang disebut sebagai kelas menengah kampung. Sementara itu penghuni kampung tidak memisahkan individu-individu dari komunitasnya, mereka terbiasa memandang kalangan dengan latar belakang pengalaman dan kedudukan keuangan yang kuat, maka bisa memiliki status khusus di dalam kampung. Kadangkala dipakai istilah kaum lumayan atau kaum cakupan. Tetapi istilah yang biasa dipakai di kampung Surabaya ialah kaum menengah, yang pengertiannya setara dengan istilah dalam bahasa Belanda midden-strand dan istilah dalam bahasa Inggris middle class (William H. Frederick, 1989: 31). Pada tahun 1921 pemerintah kota praja semakin menyadari bahwa orang Indonesia harus digusur dari wilayah di dekat perkantoran dan sebaliknya perumahan orang Barat jumlahnya semakin bertambah banyak. Dengan menyadari bahwa tenaga kerja yang murah bisa berkurang atau malah menghilang, maka para anggota dewan kota praja mengeluarkan peraturan bahwa di masa mendatang tidak akan ada rencana pemanfaatan tanah di kota yang diizinkan kecuali jika sebagian disediakan bagi pemukiman orang-orang Indonesia. Akibatnya, kampung menjadi semakin terkungkung oleh bangunan Eropa, dan bahkan dihuni lebih padat daripada
56
sebelumnya (William H. Frederick, 1989: 155). Menjelang tahun 1930-an perbedaan yang mencolok antara lingkungan kampung dan kota praja mencapai puncaknya. Secara fisik, kampung dibatasi oleh dinding-dinding belakang bangunan yang menghadap ke jalanan beraspal orang-orang Eropa dan terasing dari lalu lintas serta kehidupan kesehariannya; jika perlu antar kampung dihubungkan dengan emperan kayu atau anyaman bambu. Terdapat sejumlah pintu gerbang tempat lalu lalang sepeda dan pejalan kaki dari dan ke tempat tinggal para penghuni kampung di sepanjang gang sempit yang kotor. Rumah-rumah, sederhana banyak menggunakan bahanbahan bekas, tegak berhimpitan di sepanjang gang. Dengan pengecualian kadang-kadang ada pohon buah-buahan, tidak ada lagi hal-hal yang menyejukkan pemandangan luar yang gersang dari deretan hunian ini. Kesan orang luar adalah kerapatan dan kesesakannya, dari sebuah dunia yang dibentuk dengan standar yang sama sekali berbeda dengan standar gemeente Eropa: susunan anyaman bambu dan tembok yang sangat bertentangan dengan suasana kota yang beraspal, berbatu, dan berbeton di sekitarnya (William H. Frederick, 1989: 11). Simbol-simbol yang paling jelas dari independensi kampung ialah adanya gardu-gardu keamanan yang dibangun di gerbang masuk jalan raya. Gardu-gardu ini dijaga oleh para relawan sejak senja sampai subuh. Suatu sistem perlindungan dan pengawasan lalu lintas orang secara lokal. Hubungan informal antara dunia usaha kampung dengan pasar kota yang umum terjadi pada peralihan abad ini dan menjelang tahun 1930-an sama sekali telah hilang (Abidin Kusno, 2007: 1-8). Dalam suasana pemerintah kolonial, Surabaya selain menjadi kota industri dan kota dagang juga menjadi pangkalan utama Angkatan Laut Belanda, penduduk Surabaya bersifat majemuk terkecuali orang asing dan penguasa
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No.1, Desember 2013
kolonial, masyarakatnya terdiri dari bermacam-macam suku dari berbagai wilayah di nusantara ini. Dilihat dari segi pekerjaannya, penduduk Surabaya terdiri dari beberapa kelompok sosial antara lain, kelompok buruh, kelompok petani, kelompok pedagang, kelompok pelaut dan nelayan, kelompok tukang dan elit pribumi. Sebagai kota industri dan perdagangan, kelompok buruh merupakan kelompok yang paling dominan di Surabaya, sebagian mereka hidup di kampung-kampung dekat pusat-pusat industri (Tim Redaksi Balai Pustaka, 1998: 2-3). Wilayah orang-orang Ambon dan Manado, sebagaimana halnya penduduk di daerah itu yang menghuni tangsi di kawasan Darmo, di cap sebagai Londo, atau Belanda, dan dianggap agak di luar batas. Kampung Madura, dan orang yang tinggal di kawasan Pengampon, dianggap perlu dipisahkan dari orang-orang Jawa Surabaya, tetapi sekaligus pantas dihormati kelompok-kelompok Indonesia lainnya menghadapi persoalan yang lebih samar karena mereka jarang memberikan ciri khas terhadap kampung tertentu. Kebanyakan orang Sumatra misalnya tinggal di wilayah pelabuhan Tanjung Perak, sebagaimana para pendatang dari Luar Jawa, dianggap “orang kampung yang sebenarnya” dan bisa berbaur dengan baik di dalam masyarakat kampung. Pemukiman di pusat kota dan di pinggirannya cenderung menunjukkan ragam etnik yang terbesar, dan kampungkampung di antara keduanya sering dicirikan sebagai kampung Surabaya yang lebih murni. Kepercayaan dan praktek agama juga penting dalam menentukan ciri sebuah kampung. Misalnya kampung Budhis orang-orang Jawa (ada beberapa kampung semacam ini di Surabaya) di wilayah Kembang Jepun dan kampung muslim Jawa di wilayah Wonokromo khususnya daerah Karangrejo, tetapi penjenjangan yang kurang jelas dari pemukiman muslim, yang beragam mulai
dari yang sangat taat sampai yang secara relatif terbuka, fleksibel, dan hanya secara nominal sebagai penganut Islam. Masingmasing kampung mempertahankan panutan keagamaan mereka, sekalipun ketika pemukiman di sekeliling mereka sangat berbeda. Tipe kampung yang beridentitas seperti ini masih ditambah oleh aneka ragam kebiasaan yang dipraktekkan secara ekslusif oleh para penghuninya, dan beberapa di antaranya malah mempunyai kuburan yang hanya diperuntukkan bagi penghuni setempat (William H. Frederick, 1989: 19). Awalnya, kampung tanpa ada dinamisme, populasi kampung selalu mencakup sejumlah penduduk yang hanya tinggal untuk sementara waktu, dan dalam pemukiman yang paling mapan pun tetap ada rumah-rumah yang dijual atau disewakan ketika para pendatang baru mulai muncul. Seringnya para pendatang baru yang sampai di Surabaya berharap bisa mengadu nasib dengan memasuki jalur kerja baru. Para pelaut kapal niaga, misalnya, tak jarang berhenti dari pekerjaan mereka untuk berusaha mencari pekerjaan yang berbeda dari sebelumnya yaitu dengan menetap di darat, seperti menjadi tukang montir dan sebagainya. Mereka dan orang-orang lainnya memasuki kehidupan kampung, kadangkala secara tetap dan kadang kala tidak (William H. Frederick, 1989: 18). Kampung Wonokromo Memasuki Pendudukan Jepang Dimana-mana pada saat itu gedung pemerintah kota yang putih bersih disamarkan dengan coreng moreng hitam dan abu-abu. Dalam banyak hal, penguasa kolonial berpegang teguh pada peraturan yang ada, dengan keyakinan bahwa penekanan yang seperti biasanya sudah bisa cukup menjamin keamanannya ( William H. Frederick, 1989: 104) . Ketenangan dan keteraturan (rust en orde) serta cara-cara lain tetap bisa dipergunakan, namun ini agak lebih keras. Pertengahan tahun 1938, PID (Politieke
57
Dinamika Kawasan Wonokromo Tahun 1942-1948
Inlichtingen Dienst) memperketat pengawasan mereka terhadap pergerakan rakyat dan memperlakukan hukum yang ada seperti menyatakan pendapat dan berkumpul dengan lebih keras. Muncul usul-usul yang secara serius dibicarakan di Surabaya tentang pendirian kantor penerangan perang yang berbahasa Indonesia serta penempatan radio umum di setiap kampung. Menjelang tahun 1941, Surabaya mulai berada di ambang keruntuhan. Pengungsian secara besarbesaran dan terus menerus ke wilayah pedalaman segera diikuti gerak yang sebaliknya. Penduduk kota melonjak dan perumahan semakin sulit. Polisi melaporkan bahwa hukum dan keteraturan semakin sulit dipertahankan terutama di kalangan orang Eropa, juga di kalangan masyarakat lainnya. Perpindahan yang berkaitan dengan persiapan-persiapan militer merupakan akar utama dari ketidakstabilan ini, demikian juga demoralisasi secara umum merupakan penyebab keadaan ini ( William H. Frederick, 1989: 107). Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun merupakan salah satu periode yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia. Terutama di Jawa, dan sampai tingkatan yang lebih kecil di Sumatera, mereka mengindoktrinasi, melatih, dan mempersenjatai banyak generasi muda serta memberikan kesempatan kepada para pemimpin yang lebih tua untuk menjalin hubungan dengan rakyat. Pada umumnya, Jawa dianggap sebagai daerah yang secara politik paling maju namun secara ekonomi kurang penting; sumber dayanya yang utama adalah manusia (M. C. Ricklefs, 2005: 405-406). Benteng Pertahanan Belanda di Jawa Timur Sebelum Balatentara Dai Nippon mendarat di pulau Jawa, pemerintah Belanda di seluruh pulau telah membuat beberapa benteng untuk mempertahankan diri. Di Jawa Timur, kawasan Wonokromo
58
merupakan banteng pertahanan pertama, Sidoarjo waktu itu merupakan benteng pertahanan kedua; kemudian Porong dijadikan banteng ketiga oleh pemerintah Belanda. Diantara tiga tempat yang menjadi benteng pertahanan ini, pertahanan di Porong adalah yang paling kuat. Jika Balatentara Dai Nippon berhasil mendarat di Surabaya dan terus mendesak ke kawasan Wonokromo yang merupakan banteng pertama, kemudian mendesak terus ke Sidoarjo yang menjadi benteng pertahanan kedua, maka Porong inilah yang menjadi banteng penghabisan dimana pemerintah Belanda dengan serdadu-serdadunya bertahan dengan mati-matian (PUTERA, 2014). Surabaya Jatuh ke Dai Nippon Pada tanggal 7 Maret 1942, kirakira hampir waktu maghrib Balatentara Dai Nippon mendarat di Porong dan sebelumnya telah dibentuk suatu komite yang mempunyai maksud guna mengadakan penjagaan di beberapa kota karena pada waktu itu beberapa kota telah ditinggalkan oleh serdadu-serdadu Belanda dan orang-orang yang memegang jabatan dalam pemerintahan. Selanjutnya komite ini menyerukan kepada segenap penduduk di tiap daerah Jawa Timur supaya memberikan bantuannya kepada Balatentara Dai Nippon. Setelah Balatentara Dai Nippon sampai di Porong mereka melanjutkan invasinya ke Surabaya dengan mengalahkan serdaduserdadu Belanda yang ada disana. Sebelum datang di Surabaya Balatentara Dai Nippon melakukan pertempuran hebat di Wonokromo. Akan tetapi, disini mereka t i d a k l a m a be r t a h a n m e l a ku ka n pertempuran karena pada tanggal 8 Maret 1942 pagi Surabaya telah jatuh. Jepang memberi sumbangan langsung pada perkembangan-perkembangan tersebut. Terutama di Jawa dan sampai ikut melatih serta mempersenjatai para generasi muda dan memberi kesempatan kepada para pemimpin yang lebih tua untuk mempolitisasi bangsa Indonesia sampai
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No.1, Desember 2013
pada tingkat desa dengan sengaja menghadapkan Indonesia pada rezim kolonial yang bersifat menindas dan merusak realita sejarah bagi Bangsa Indonesia (M. C. Ricklefs, 2005: 405). Setelah masuknya Balatentara Jepang di Hindia Belanda, Tentara Dai Nippon dengan ideologi militernya mempropaganda orang-orang pribumi dengan peristiwa hari ulang tahun kerajaan Tentyo Setu yang diperingati pada tanggal 29 April 1943 oleh balatentara Dai Nippon dan selalu diadakan latihan peperangan dalam kota serta latihan baris-berbaris (dengan mengumandangkan mars lagu). Untuk pertama kalinya penduduk pribumi merayakan ulang tahun Kaisar. Sudah tentu peristiwa ini tidak hilang dalam kenangan begitu saja, akan tetapi mereka menyambut dengan peringatan, sesuai dengan si fat da n ker esm i annya. Sebagaimana halnya dengan perayaan sebelumnya, perayaan itu juga menjadi perhatian Barisan Propaganda Balatentara yang akan memberikan satu kejutan sesuai dengan keinginan para pembesar politisi Indonesia. Tidak hanya itu, Barisan Propaganda Balatentara mempertunjukkan gambar-gambar lukisan potret yang kesemuanya mewujudkan dan menjanjikan kemerdekaan dari penjajahan Barat dengan semboyannya “Kelahiran dan Pembaharuan Asia Raya”. Suatu propaganda yang “lain daripada yang lain” d i l a k uk a n u n t uk k ep e t i ng a nn ya , Balatentara Dai Nippon mengatur sedemikian rupa agar memudahkan perhatian pada khalayak umum sehingga setiap orang datang baik dari dalam kota maupun hingga pelosok desa (Pewarta Perniagaan, 1942). Situasi Kawasan Wonokromo Pada 10 November 1943 barisan propaganda berkeliling memberi keterangan kepada penduduk tentang jalan peperangan masa ini, terutama
tentang kemenangan Angkatan Perang Dai Nippon yang gilang-gemilang beruntun-runtun dalam waktu yang singkat. Pada waktu mereka mengunjungi: Pasar Kembang, Pasar Keputran, Pasar Wonokromo, Pasar Sepanjang dan Pasar Keling, tempattempat tersebut mendapat perhatian besar. Orang-orang mendengarkan, tampang mukanya tampak nyata gelora semangatnya. Dapat diterka bahwa mereka menaruh kepercayaan sungguhsungguh akan apa yang dijelaskan oleh Barisan Propaganda, bahwa Sekutu tak lama lagi akan runtuh. Dari suasana propaganda kilat dapat ditarik kesimpulan, bahwa penduduk rata-rata tetap tinggal tenang, tidak gentar terhadap kemungkinan datangnya gangguan pihak musuh. Hal ini terutama disebabkan kepercayaan mereka kepada kekuatan Balatentara Dai Nippon. Pada siang harinya mulai jam 14.30 Barisan Propaganda meneruskan perjalanannya mengunjungi: Pasar Turi, Kembang Jepun, Pegirian, Pabean dan Kapasan. Usaha Propaganda sedemikian besarnya, terutama bagi lapisan penduduk dari siaran-siaran surat kabar dan radio. Dengan langsung mereka mendekati, agar dapat menghindarkan rakyat dari kabar-kabar bohong yang disembur-semburkan oleh mata-mata musuh. Pada tanggal 10 November 1943 pukul 11.00 pagi B ala -Ten tar a mengumunkan tentang pengeboman di Surabaya pukul 00.30, 5 buah pesawat terbang musuh melayang diatas kota Surabaya dan menjatuhkan kurang dari 30 buah bom yang membakar didalam dan diluar kota. Bom itu diantaranya jatuh di Wonokromo: beberapa buah jatuh disatu tempat, yang letaknya 5 Km dari Klakah dan selebihnya jatuh di tempat lain. Kerusakan bangunanbangunan Bala-Tentara Jepang hanya sedikit, selebihnya rumah-rumah penduduk yang runtuh kira-kira 20 buah orang-orang yang meninggal kira-kira 100 orang (Soeara Asia, 1943).
59
Dinamika Kawasan Wonokromo Tahun 1942-1948
Kesimpulan Kampung adalah ciri kehidupan penduduk yang bermukim dekat dengan suatu wilayah dan dianggap sebagai tatanan permukiman tradisional sebelum masuknya perencanaan permukiman modern khususnya di Indonesia. Tipologi permukiman semacam ini merupakan akar dari pertumbuhan kotakota yang ada di Indonesia karena kampung pada dasarnya merupakan embrio dari pertumbuhannya, sehingga penataan suatu kawasan kota perlu memperhatikan eksistensi kampung ini sebagai titik tolak penataannya. Sebelum Balatentara Dai Nippon mendarat di pulau Jawa, pemerintah Belanda di seluruh pulau telah membuat beberapa benteng untuk mempertahankan diri. Di Jawa Timur, kawasan Wonokromo merupakan banteng pertahanan pertama, Sidoarjo waktu itu merupakan benteng pertahanan kedua; kemudian Porong dijadikan banteng ketiga oleh pemerintah Belanda. Diantara tiga tempat yang menjadi benteng pertahanan ini, pertahanan di Porong adalah yang paling kuat. Jika Balatentara Dai Nippon berhasil mendarat di Surabaya dan terus mendesak ke kawasan Wonokromo yang merupakan banteng pertama, kemudian mendesak terus ke Sidoarjo yang menjadi benteng pertahanan kedua, maka Porong inilah yang menjadi banteng penghabisan dimana pemerintah Belanda dengan serdadu-serdadunya bertahan dengan mati-matian. Pertempuran di Wonokromo diawali dengan kedatangan beberapa perwira Inggris yang dikawal oleh pasukan Gurkha ke halaman pabrik minyak di Wonokromo pada tanggal 29 Oktober 1945 pagi. Ketika hendak memasuki halaman pabrik, mereka dihalang-halangi oleh pemuda. Karena permintaan Inggris ditolak, akhirnya terjadi kontak senjata. Masyarakat kampung dahulu bukanlah masyarakat yang terstratifikasi seperti sekarang ini.
60
Tetapi masyarakat baru yang terbentuk dari pembenahan moralitas dan disiplin Hindu-Jawa. Jika ditarik lebih jauh, maka masyarakat kampung adalah pembentuk jiwa, ideologi dan pengetahuan. Wonokromo akan menjadi legenda dalam peradaban kota Surabaya, Wonokromo memiliki sejarah-psikologi sosial dan makna budaya perkotaan yang monumental karakter. Sampai saat ini k a w a s a n Wo n o k r o m o m a s i h menyandang kawasan paling strategis di kota Surabaya.
Daftar Pustaka Buku Akbar, Allan. 2013. Memata-matai Kaum Pergerakan: Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 19161934. Tangerang Selatan; Marjin Kiri. Ananta Toer, Pramoedya. 2005. Bumi Manusia & Anak Semua Bangsa. Jakarta; Lentera Dipantera. Basundoro, Purnawan, dkk. 2007. Tempo Doeloe Selaloe Aktoeal. Jogjakarta; Ar-Ruzz Media. Broeshart, A. C., dkk. 1990. SOERABAJA; Beeld van een stad. Purmerend, Nederland; Asia Major/Atlas Maior. Colombijn, Freek dkk. 2005 (ed). Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota Di Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan, Yogyakarta; Ombak.
Dick, Howard W. 2003. Surabaya City Of Work; A Socioeconomic History 1900-2000. Singapore University Press. Frederick, William H. 1989. Pandangan dan Gejolak; Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia
VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No.1, Desember 2013
(Surabaya 1926-1946). Jakarta; Gramedia.
Tradisi ABRI. Jakarta; Balai Pustaka.
Hageman, J. Bijdragen tot de kennis van de Residentie Soerabaja. TVNI 22.
Von Faber, G. H. 1931. Oud Soerabaia: D e g e s c h i e d e n i s vanIndischeeerste koopstad van de oudste tijden tot de instelling van den gemeenteraad (1906). Soerabaia; De Gemeente Soerabaia.
Jasin, M. 2010. Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang; Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama.
Kusno, Abidin. 2007. PENJAGA MEMORI; GARDU DI PERKOTAAN JAWA. Yogyakarta; Ombak. Purwono, Nanang. 2011. Sourabaya; Kampung Belanda di Bantaran Jalur Perdagangan Kali Mas. Surabaya; Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya. Ricklefs, M. C. 2007. SEJARAH INDONESIA MODERN 1200 – 2004. Jakarta; Serambi. Silas, Johan. 1996. Kampung Surabaya Menuju Metropolitan. Surabaya; Surabaya Post. Tim Redaksi, 1998. Pusat Sejarah dan
_________________ 1936. Nieuw Soerabaia. Surabaya: van Ingen. Tesis Moh. Insaf. 2004. Fenomena Urbanisasi Kawasan Pinggiran Kota Jakarta. Semarang; Teknik Pembangunan Kota, Universitas Diponegoro. Surat Kabar Pewarta Perniagaan, 31 Desember 1942. Soeara M. I. A. I: Majalah Islam/Majlis Islam, 1 Agustus 1943. Soeara Asia, Bung Karno Datang, 17 Agustus 1943.
61