Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika
Tim Pengajar Zainuddin Djafar (
[email protected] 0815 110 24364) Artanti Wardhani -- Koordinator (
[email protected] 0816 1650 501) Asisten Mata Kuliah Agung Nurwijoyo (
[email protected] 085715300855)
Rabu, 2 September 2009 - ATW & Pengajar Tamu
Struktur Politik Apa Itu Struktur Politik? ○ Politik biasanya berhubungan dengan alokasi nilai kewenangan yang dipengaruhi oleh distribusi dan penggunaan kekuasaan. ○ Kekuasaan itu sendiri berarti kapasitas dalam menggunakan wewenang, hak, dan kekuatan fisik. ○ Maka membicarakan "struktur politik" berlingkup sekitar mesin politik sebagai lembaga yang dipakai untuk mencapai tujuan.
Mesin politik: Formal: eksekutif, legislatif, yudikatif. Informal: kel. Agama, kel. Cendekiawan, buruh, dan kel. Kepentingan atau kel. Penekan lain. Definisi Timur Tengah (The Middle East atau Asy-Syarq al-Ausath) ○ Negara-negara Arab non-Afrika + Iran dan Israel. ○ Seluruh negara Liga Arab + Iran, Israel, dan Turki. ○ Seluruh negara anggota Liga Arab + Iran, Israel, Turki, Afghanistan, Pakistan, dan republik-republik Muslim ex-Soviet. ○ Wilayah Timur Tengah mencakup Mauritania, Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Mesir, Sudan, Djibouti, Somalia, Arab Saudi, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Bahrein, Qatar, Kuwait, Irak, Lebanon, Suriah, Palestina, Yordania, Iran, Turki, dan Israel.
… (Laptor battery didn't remain)
Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika Page 1
Wednesday, September 16, 2009 2:24 PM
Selasa, 8 September 2009 - ZD
Aktor-aktor Politik Regional Timur Tengah Polugri Negara-negara di Kawasan Kepentingan Negara Besar Empat hal yang menentukan sejauh mana negara-negara Timur Tengah dapat disebut sebagai aktor: Turki Israel Negara-negara Arab Sunni Negara-negara Arab Syiah: Aktor paling penting Iran (Referensi polugri: James Rosenau, The Making of Foreign Policy; P.A. Reynold, ???)
Negara-negara yang memiliki sumber alam yang langka dan strategis: Saudi Arabia, Kuwait, Irak Negara-negara dengan pariwisata maju: Mesir Negara dengan sumber daya air: Irak, Mesir, sebagian Suriah, Turki (raja air Timur Tengah yang mencuri air Suriah) Negara dengan pertanian maju: Jordania, Lebanon, Mesir Kapabilitas militer: … (Laptor battery didn't remain)
Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika Page 2
Wednesday, September 16, 2009 2:23 PM
Rabu, 16 September 2009 - ZD Dinamika kawasan Timur Tengah: 1. War and peace Foreign Policy Capacity in the Middle East, Robert J. Pranger dalam The Middle East in Global Perspective (ed. Judith Kipper & Harold H. Saunders, Westview Press, USA, 1991)
… (Laptop battery didn't remain)
Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika Page 3
Tugas Monday, September 21, 2009 12:57 PM
Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika Page 4
Roger Owen, Power and Politics in the Making of Modern Middle East Monday, September 21, 2009 12:58 PM
Font color Red, Accent 2 menandakan poin dan gagasan utama. Bab 2 The growth of state power in the Arab world: The single-party regimes (h. 23-38) Pada bab ini, Owen membahas tentang proses ekspansi dan kontrol administratif yang memengaruhi lima negara Arab yang memiliki populasi besar: Aljazair, Mesir, Irak, Suriah, dan Tunisia; negara-negara yang berada di bawah kontrol rezim unipartai yang berdedikasi menuju pembangunan terpimpin di bawah bendera sosialisme Arab. Seluruhnya memiliki kesamaan dalam peningkatan power negara dan tipe khusus politik yang dihasilkannya. Owen mengawali pembahasannya dengan Irak, yang secara kronologis merupakan negara pertama yang mengalami proses ekspansi birokratik dalam skala besar. Ekspansi di Irak terjadi setelah kudeta militer 1952 yang memindahkan kekuasaan kepada Kolonel Gamal Abdel Nasser dan para perwira lainnya. Ia lanngsung meningkatkan kekuatan kepolisian dan keamanan publik, memperbesar angkatan bersenjata dan melengkapinya dengan senjata yang lebih modern, serta menginstitusionalisasi pembangunan ekonomi melalui reformasi tanah 1952, pembangunan Bendungan Tinggi Aswan, inaugurasi Helwan Iron and Steel Complex pada 1954, dan nasionalisasi milik asing. Hal ini meningkatkan ukuran dan peran aparat negara: birokrasi dan perusahaan publik; jumlah kementerian pemerintah; jumlah tentara, pelaut, dan pilot angkatan bersenjata; serta proporsi pengeluaran pemerintah terhadap PDB Mesir. Owen kemudian melanjutkan ke Suriah, yang pada 1960-an mengalami periode ekspansi yang dihasilkan oleh: 1) ekspor sistem manajemen ekonomi dan politik Mesir serta 2) kebijakan statist Partai Ba‟th. Proses yang sama terjadi di Irak pascarevolusi 1958, di Tunisia, serta di Aljazair pascakemerdekaan 1962. Perbedaan signifikan hanya pada pengeluaran pertahanan, di mana rezim Tunisia membatasi ukuran tentara untuk mencegah kudeta, sementara Aljazair meningkatkannya karena adanya sengketa perbatasan dengan Moroko, juga Irak karena adanya konfrontasi dengan milisi Kurdish. Komponen penting dalam ekspansi negara adalah peningkatan belanja pendidikan dan kesejahteraan, yang keduanya sangat padat karya. Dalam kasus pendidikan, peningkatan didorong peningkatan populasi sekolah, sehingga jumlah pemuda terpelajar meningkat di Mesir, Suriah, dan Irak. Kemajuan di Afrika Utara lebih lambat, namun meningkat dramatis belakangan. Dalam kebijakan agrikultur dan industri juga terjadi proses perluasan kontrol administratif. Seluruh rezim di lima negara Arab tersebut mengambil alih tanah milik untuk diredistribusi kepada pemilik kecil dan petani tanpa tanah. Walaupun hanya di Mesir bagian terbesar tanah tersebut sampai langsung ke tangan petani, sisanya tetap berada di bawah kontrol negara dan menjadi alat pemerintah pusat untuk memperpanjang kekuasaannya hingga ke wilayah pedesaan. Program nasionalisasi dan industrialisasi skala besar juga memberi negara peluang ekspansi dan kontrol lebih lanjut. Proses pengembangan keterlibatan negara dalam ekonomi terjustifikasi oleh kebutuhan akan pembangunan yang cepat dan distribusi yang lebih adil akan pendapatan nasional yang meningkat, sehingga para pemimpin dapat menekankan perencanaan sosialis yang menjadi unsur ideologi publik rezim. Manajemen aparat yang sangat besar dengan komitmen luas memberikan para individu pada puncak rezim kekuasaan yang sangat besar, yang menghasilkan suatu sistem otoriter. Berbeda dari sistem totaliter, sistem otoriter tidak memiliki institusi yang diperlukan untuk mengendalikan atau mengubah masyarakat hanya dengan metode birokratik, sehingga rakyat dimobilisasi dengan bermacam metode: dari teror dan kekejaman ( stick) hingga induksi ekonomi ( carrot), atau dari afiliasi pribadi, etnik, atau kelompok. Owen mendeskripsikan beberapa strategi utama yang digunakan di kelima negara Arab tersebut: 1. Terkait kelompok-kelompok yang terorganisasi dalam masyarakat, strategi ideal bagi rezim adalah menghancurkan kelompok yang tak dapat dikendalikannya serta menata ulang kelompok yang dapat dikendalikan. Kebijakan ini pertama digunakan di Mesir dan Tunisia, di mana masyarakat relatif homogen dan struktur birokrasi telah berkembang. Struktur dibentuk untuk memastikan kolaborasi terkendali atas kelompok-kelompok tersebut serta menjadi cara menghadirkan tuntutan serta berepresentasi politik pada level nasional. Di luar kota-kota besar, kendali negara diwakilkan oleh orang yang diangkat oleh pusat atau institusi baru di tingkat lokal. 2. Strategi kedua adalah memperpanjang supervisi kendali negara hingga sistem pendidikan dan sistem hukum serta agama. Dalam kasus pendidikan, hal ini dilakukan dengan menetapkan kurikulum nasional dan menyetir kegiatan politik pelajar. Dalam kasus hukum, pengadilan dikendalikan dengan mengoersi dan menggantikan hakim serta dengan membatasi jangkauan hukum dan mendelegasikannya kepada otoritas ekstrahukum. Dalam kasus agama, seluruh rezim menegaskan prioritas politik di atas agama, mengendalikan agama dengan membayar ulama, serta menggunakan strand modernis dominan dalam Islam Sunni untuk memperoleh legitimasi resmi atas kebijakan negara. Owen melanjutkan kepada pembahasan tentang politik dalam negara otoriter, yang sulit untuk dianalisis secara politik terutama karena rezim yang mengendalikan negara -negara otoriter selalu berusaha memberikan kesan koherensi dan power yang terkonsentrasi serta menyelubungi diri dalam kerahasiaan. Cara menganalisis politik dalam sistem otoriter tersebut secara umum ada dua: 1) berfokus pada kegiatan faksi-faksi rival di antara para elit politik serta 2) berkonsentrasi pada cara perjuangan akan akses terhadap sumber -sumber negara terstruktur dalam kelompok-kelompok berdasarkan pertalian wilayah atau sekte daripada pertalian kelas. Kedua pendekatan ini berdasarkan empat karakteristik utama sistem otoriter Timur Tengah: 1) tidak dapat menoleransi kelompok-kelompok terorganisasi dalam struktur mereka, 2) cenderung berurusan dengan orang tidak sebagai individu tetapi sebagai anggota kelompok regional, etnik, atau religius, 3) secara sistematis menghalangi perkembangan suatu kesadaran kelas yang aktif, serta 4) menempatkan kebijakan -kebijakan ekonomi di bawah tindakan-tindakan kendali politik. Namun, Owen segera mengkritik kedua pendekatan ini dari
Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika Page 5
tindakan-tindakan kendali politik. Namun, Owen segera mengkritik kedua pendekatan ini dari sifatnya yang terbatas dan premis dasarnya. Owen pun mengusulkan untuk mengawali dari fokus terhadap dua pertanyaan umum: 1) apakah politik itu? 2) Di mana proses kegiatan politik berlangsung? Memulai dengan melihat aparat negara, Owen mengungkapkan bahwa dari konsentrasi power dalam negara otoriter unipartai, aktor politik paling penting adalah sang presiden. Walaupun demikian, presiden tidak dapat melakukan persis seperti apa yang mereka inginkan, dan power mereka menerima pembatas signifikan. Presiden memimpin suatu aparat negara yang terdiri dari institusi-intitusi komponen utamanya: militer, partai, dinas keamanan, birokrasi, perusahaan ekonomi; seluruhnya berusaha memperluas pengaruhnya. Negara sendiri menjadi arena utama kegiatan politik dengan seluruh aktor institusional utama yang terlibat dalam isu-isu nasional dan distribusi sumber-sumber nasional. Politisi rezim utama yang bertahan lama pasti menjadi petron dari berbagai jaringan klien yang sangat besar, di mana para patron penting akan berusaha menjamin klien mereka memperoleh jabatan -jabatan tinggi sebagai ganti kerjasama mereka dalam membantu kebijakan atau skema mereka. Kemudian, Owen membahas peran politik kelas dan kelompok-kelompok sosial lainnya dalam masyarakat-masyarakat yang majemuk terbagi, yang juga sulit untuk dianalisis dalam sistem otoriter, karena sulit untuk menemukan dan mendefinisikan setiap kelas, serta karena negara otoriter sering berperan aktif membentuk atau meniadakan ekspresi kepentingan kelas sehingga motor utama pengembangan kesadaran kelas dimatikan. Walaupun demikian, ekspresi kepentingan kelas tidak dapat dihilangkan sama sekali. Pada sektor swasta, di mana terjadi konflik implisit antara kapital dan buruh, kedua pihak mungkin mengorganisasi diri untuk memperoleh intervensi negara di pihak mereka. Di Mesir, kelompok-kelompok pekerja seringkali mampu memperoleh kemerdekaan dari kendali negara yang cukup untuk melakukan berbagai hal seperti mengorganisasi pemogokan; menggunakan perwakilan buruh pada berbagai konferensi ekonomi negeri untuk mempertahankan kepentingan jaminan pekerjaan mereka; serta memiliki posisi strategis dalam ekonomi dan peran vital dalam program -program pembangunan pemerintah. Identifikasi atas peran politik kelas menengah sangat rumit dan membutuhkan penentuan hubungan antara eksistensi berkelanjutan properti privat dan praktik politik pegawai negeri senior, birokrat level tinggi, dan lainnya yang menginginkan kehidupan borjuis dalam rezim. Umumnya para penulis memperlihatkan adanya hubungan fundamental antara pejabat-pejabat negara dan properti privat berdasarkan hasrat sejumlah besar pejabat tersebut untuk memperbanyak sumber penghasilan mereka dan keluarga mereka sebagai jaminan terhadap kemungkinan kehilangan pekerjaan yang memberi mereka akses reguler kepada sumber-sumber negara. Aspek lainnya dari kebijakan negara tersebut adalah bagaimana rezim menghalangi perkembangan solidaritas kelas dengan menstruktur sistem akses mereka terhadap kekuasaan politik dan mendistribusikan sumber -sumber sedemikian rupa sehingga rakyat mendapat manfaat „bukan berdasarkan afiliasi kelas melainkan sebagai individu, keluarga, komunitas khusus, desa, atau wilayah‟, sebagaimana tampak di Suriah, Irak, dan Aljazair yang memiliki masyarakat majemuk namun rezim yang didukung oleh wilayah atau sekte tertentu. Fakta bahwa perkembangan kelas -kelas berbeda telah berjalan lebih jauh di Mesir dan Tunisia sebelum sistem otoriter tercipta di sana juga signifikan. Sebagai penutup, Owen mendebat anggapan beberapa penulis bahwa ukuran birokrasi yang besar di kebanyakan negara Timur Tengah dan Dunia Ketiga adalah tanda negara yang sangat kuat. hal ini pada gilirannya membuat para penulis tersebut bertanya -tanya, bagaimana negara kuat tersebut hanya mencapai sedikit keberhasilan dalam mendorong program -program pembangunan ekonomi dan transformasi sosial. Menurut Owen, argumen tersebut bersandar pada dua asumsi sesat: 1) bahwa negara adalah entitas koheren dengan maksud tunggal serta 2) entitas negara pasti berusaha menembus dan mentransformasi entitas kedua yang disebut “masyarakat”. Padahal, koherensi negara hanyalah pada penampakannya, bukan pada kenyataannya; begitulah kebanyakan rezim menampakkan dirinya. Proses pembuatan dan eksekusi kebijakan adalah suatu spektrum tujuan yang seringkali kontradiktif dan kepentingan yang berkonflik yang berpotongan dengan masyarakat yang lebih luas dalam suatu cara yang mengaburkan batas. Owen memberikan contoh program reformasi tanah Mesir, yang biasanya ditampakkan sebagai instrumen utama transformasi sosial pedesaan namun pada kenyataannya lebih bervariasi dan kompleks, seperti sebagai suatu serangan terbatas terhadap kekuasaan para pemilik tanah. Bukan koherensi negara sebagai aktor tunggal dengan program transformasi sosial yang sistematik yang kita peroleh, melainkan Leviathan Hobbes versi Mesir. Owen beranggapan bahwa pertanyaan yang tepat adalah bagaimana menginterpretasikan makna hal yang tampak pada momen ketika selubung kekuasaan yang diciptakan rezim otoriter gagal menyembunyikan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing dan seringkali kontradiktif di belakangnya.
Bab 3 The growth of state power in the Arab world under family rule and the Libyan alternative (h. 39-55) Pada bab ini, Owen membahas tentang berbagai macam kekuasaan keluarga dalam sistem monarki di Moroko, Jordan, dan seluruh semenanjung Arab. Dalam sistem monarki, aparat pemerintah pusat juga bertumbuh pesat, didorong oleh pendapatan minyak dan berbagai subsidi eksternal. Ekspansi birokratik ini memberikan baik kekuasaan besar maupun tekanan besar bagi tiap -tiap keluarga yang berkuasa. Sebagai tambahan, Owen membahas tentang Libya sebagai suatu negara yang melampaui tipe monarki hingga mencapai suatu sistem di mana terdapat usaha sengaja untuk menciptakan suatu spesies struktur politik dan administratif baru. Owen mengawali pembahasannya dengan mengungkapkan beberapa pengamatan umum tentang politik kekuasaan keluarga. Pada masa kini, terdapat 14 kepala negara-negara Arab yang berasal dari suatu keluarga tertentu yang bertahan sejak akhir periode kolonial, yang didukung kemampuan mereka mengonsentrasikan kekuasaan di tangan mereka, menahan persaingan internal mereka, serta melawan tuntutan untuk membagi proses pembuatan keputusan. Sistem monarki berhasil keluar dari dilema raja Samuel Huntington bahwa “sentralisasi kekuasaan yang penting untuk memajukan reformasi sosial, budaya, dan ekonomi akan menyulitkan atau memustahilkan monarki tradisional untuk memperluas basisnya dan mengasimilasi kelompok-kelompok baru yang dihasilkan modernisasi” dengan dua hal: 1)
Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika Page 6
basisnya dan mengasimilasi kelompok-kelompok baru yang dihasilkan modernisasi” dengan dua hal: 1) pembagian kekuasaan jarang diusahakan karena dapat mengajukan terlalu banyak kemungkinan tantangan terhadap otoritas keluarga serta 2) raja mengambil peran sebagai kepala modernisasi sendiri dan memperlambat proses tersebut untuk meminimalisasi dislokasi dan tuntutan atas partisipasi. Poin pertama yang ditekankan Owen adalah bahwa dalam konteks Timur Tengah, monarki memiliki gagasan legitimasi yang berbeda dengan gagasan Eropa tentang hak ketuhanan raja. Bagi beberapa Muslim Sunni dan kebanyakan Syiah, perbendaharaan kata-kata keagungan dan kekuasaan tertinggi adalah hanya milik Allah swt. Di Timur Tengah, hak memerintah bukan terletak pada institusi raja, melainkan pada kombinasi kebaikan individu dan keluarga, termasuk garis keturunan ningrat, perbuatan terhormat, kualitas kepemimpinan, dan (di Jordania dan Moroko) keturunan Nabi Muhammad saw. Jenis fleksibilitas lain berakar dari saling pengaruh antara keluarga secara keseluruhan dan individu sang penguasa, hubungan yang menghasilkan agregasi kebaikan tradisional dan kualitas modern yang dibutuhkan untuk berhasil seperti yang lain. Namun, pemeliharaan kekuasaan keluarga juga memiliki masalah. Masalah paling jelas dan paling sulit adalah pentingnya menjaga keluarga tersebut bersatu, terkait cara berurusan dengan pertanyaan suksesi dan sumber-sumber potensi persaingan lain seperti akses terhadap kekuasaan, posisi, kesejahteraan, dan (di negara-negara di mana sang pendiri negara memiliki banyak anak dari banyak istri berbeda) siapa yang dianggap keluarga kerajaan dan siapa dari antaranya yang dianggap kandidat pejabat tertinggi. Suksesi dapat dilakukan berdasarkan hak anak sulung maupun beberapa versi formula famili pria sang pemimpin yang tertua dan “kapabel”. Metode hak anak sulung mudah untuk diaplikasikan serta memusatkan kekuasaan dan pembuatan keputusan pada satu garis keluarga tunggal, namun dapat menghasilkan raja yang belum dewasa atau dianggap tak cakap untuk memimpin serta secara otomatis memotong seluruh garis keluarga lain (hal yang sapat meningkatkan ketegangan, khususnya di keluarga besar). Metode famili tertua yang kapabel dapat menghasilkan pemimpin yang cukup dewasa untuk memiliki pengalaman administratif serta mendorong solidaritas keluarga dengan membuka kesempatan partisipasi bagi garis keturunan lain, namun dapat membawa kepada masa pemerintahan yang singkat, daftar panjang kandidat, serta pertanyaan tentang penilaian kompetensi sang pemimpin potensial. Dalam praktik actual, keluarga kerajaan yang berbeda menerapkan peraturan berbeda dan, pada beberapa kesempatan, berganti dari satu metode ke metode lainnya. Hak anak sulung dilembagakan di Moroko, Bahrain, Qatar, Abu Dhabi, dan Dubai; berbagai versi famili tertua yang kapabel di negara-negara lain. Apabila perselisihan dalam keluarga dapat diminimalisasi, sang penguasa dapat memiliki kelompok personil setia sebagai penasihat serta dapat mengendalikan lembaga -lembaga tinggi negara. Masalah kedua yang dihadapi raja atau penguasa keluarga Arab adalah bagaimana memperoleh sumber-sumber yang cukup untuk menghindari ketergantungan berlebih terhadap kelompok -kelompok sosial yang penting dan membangun dukungan bagi dirinya sendiri dengan distribusi hadiah. Masalah ketiga adalah hubungan penguasa keluarga dengan tentara, di mana terdapat empat raja Arab yang kehilangan takhta pada 1950-an dan 1960-an karena kudeta militer. Dalam menghadapi masalah ini, terdapat dua pilihan: 1) memiliki tentara yang sangat kecil dengan proporsi yang tinggi akan tentara bayaran asing dan ditempatkan di bawah supervisi langsung famili setia (negara -negara Semenanjung Arab) serta 2) memberu raja peran aktif sebagai panglima tertinggi, seringkali mengenakan seragam militer dan secara konstan menghadiri parade dan manuver militer (Moroko dan Jordania). Masalah terakhir, khusus pada keluarga penguasa yang memperoleh sebagian legitimasi dari identifikasi mereka dengan agama, adalah bagaimana mendapat manfaat dari koneksi ini tanpa menerima batasan darinya. Hal ini dilakukan dengan kendali pemerintah atas pengangkatan dan dana religius, penjagaan ketat terhadap shalat Jumat, serta “manajemen tradisi” dengan mengintroduksi praktik -praktik tertentu yang membawa aura masa lalu. Keberadaan keluarga penguasa dan pengadilannya menghasilkan hubungan antara para anggota keluarga yang mencampurkan pertanyaan-pertanyaan kepribadian, ambisi, kebijakan negara, dan kendali atas institusi-institusi negara serta fakta bahwa, dalam banyak kasus, para pangeran senior atau amir memimpin berbagai kementerian pemerintah yang paling penting, sehingga mereka dapat mengeksploitasinya sebagai basis kekuatan mereka. Walaupun begitu, keluarga penguasa juga dapat merahasiakan perselisihan serius, yang juga bukan berarti kelemahan melainkan suatu sumber kekuatan dalam batas masuk akal. Selain itu, terdapat pengadilan kerajaan, di mana nasihat ditawarkan kepada anggota istana untuk mengetahui keinginan penguasa dan menyarankan cara pelaksanaannya. Namun, kehidupan pengadilan bukan hanya suatu drama politik; ia memiliki pola yang terstruktur oleh sistem di mana penguasa membutuhkan pelayan politik untuk memberikan mereka nasihat dan melaksanakan perintah mereka. Pengadilan atau dewan terbuka juga menyediakan panggung pertunjukan berkelanjutan suatu teater legitimasi, di mana tiap event menjadi kesempatan ritual yang dirancang untuk mengingatkan rakyat akan kekuasaan dan keadilan sang penguasa serta garis keturunan mulia, kemurahan hati, dan ketaatan mereka terhadap agama. Owen melanjutkan pembahasannya dengan memberikan ilustrasi atas berbagai fitur persekutuan alami antara keluarga penguasa dan unsur-unsur konservatif dalam masyarakat. Ia membahas politik kekuasaan keluarga kerajaan di Jordania dan Moroko. Sejarah politik kedua negara ini sejak kemerdekaan memiliki banyak kesamaan: mengalami periode singkat kekuasaan raja konstitusional, mengalami momen-momen kerusuhan militer yang serius, serta memiliki raja yang menjadikan dirinya pemimpin gerakan nasional masing-masing dan pengelola modernisasi negara. Walaupun begitu, konteks perkembangan tersebut sangat berbeda, karena Moroko adalah negara dengan diversifikasi ekonomi yang lebih besar daripada Jordania yang miskin sumber daya. Titik balik sentralisasi Raja Hussein di Jordania terjadi pada April 1957 dengan pembubaran kabinet yang didominasi oposisi, penegakan otoritas raja atas tentara setelah mencegah kudeta militer, serta bantuan Amerika dan subsidi finansial berbagai negara Arab. Partai politik dilarang, parlemen rendah jarang bersidang, memberi raja suatu sistem sempurna di mana ia dapat membuat seluruh keputusan utama yang memengaruhi urusan luar negeri dan keamanan eksternal. Seperti diatur dalam konstitusi, Raja Jordania adalah kepala negara dan paglima tertinggi angkatan bersenjata serta menunjuk perdana menteri dan kabinet (yang dirotasi secara cepat). Anggota elit politik yang menyusun kedua kabinet berasal dari kelompok kecil ratusan keluarga. Rakyat Jordania di luar elit kecil ini tidak memiliki peluang memengaruhi kebijakan pada level nasional. Pada 1970-an sistem desentralisasi terbatas diperkenalkan, namun pemilihan kota praja dimonitar secara ketat dan kebanyakan kandidat adalah pegawai sipil atau purnawirawan yang emmiliki hubungan dekat dengan pemerintah.
Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika Page 7
Di Moroko, oposisi terhadap pemerintahan raja lebih konsisten dan sulit untuk ditahan. Walaupun begitu, Raja Muhammad V dan putranya, Raja Hassan II, mampu mengembangkan sistem pemerintahan yang mengonsentrasikan kekuasaan besar pada orang-orang mereka dan bertindak sebagai arbiter di antara kekuatan-kekuatan politik lainnya di negeri. Dalam skema Zartman, sejarah proses ini dibagi dalam tiga periode: 1) sejak kemerdekaan 1956 hingga 1965, kedua raja berusaha menciptakan monarki konstitusional terpusat yang kuat, 2) raja membubarkan parlemen dan memerintah melalui kabinet teknokrat hingga usaha kudeta militer 1971 dan 1972 meyakinkannya bahwa menegakkan pemerintahan berdasarkan hubungan patron-klien dan perwira tentara senior yang terlalu sempit adalah berbahaya, serta 3) sejak 1974, Hassan II berhasil menciptakan sistem demokrasi terkendali baru di mana sejumlah partai dibujuk untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum yang teratur dan berpartisipasi dalam pemerintahan dengan syarat-syarat dari raja. Raja dikelilingi elit kecil politisi, tokohtokoh terkemuka, serta pemimpin berbagai serikat buruh dan kelompok -kelompok kepentingan ekonomi lainnya. Hassan II secara personal mengenal mereka semua dan mahir memainkan mereka semua. Kemudian, Owen membahas praktik kekuasaan keluarga di Arab Saudi dan negara -negara Teluk. Praktik kekuasaan keluarga di Arab Saudi mirip dengan praktik di Jordania dan Moroko, kecuali bahwa keluarga kerajaan Saudi jauh lebih besar dan mampu mendominasi seluruh pos senior sipil dan militer sendiri. Sistem tersebut menyebabkan hanya ada kelompok kecil aktor politik utama dengan keanggotaan yang tergantung keluarga asal, senioritas, prestise, dan hasrat aktif untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik. Signifikansi keanggotaan tersebut naik dan turun menurut keperluan politik, namun keluarga Saudi cukup besar untuk menjaga anggota elit terdidik baru di luar pembuatan kebijakan dan tidak perlu berusaha menciptakan institusi representatif. Sejarah politik dan administratif Saudi mencatat, pada saat wafatnya Abd al-Aziz Ibn Saud pada 1953 negara tersebut masih dipimpin dengan birokrasi minimal, namun sang raja membuat dua persiapan penting untuk masa depan: 1) meregulasi suksesi dan menetapkan kepemimpinan masa depan dengan memastikan putra tertuanya, Saud, menjadi raja dengan kerjasama dengan putra kedua, Faisal, yang memiliki keahlian diplomatik dan administratif yang tidak dimiliki Saud serta 2) menciptakan dewan menteri untuk mengarahkan kerja ekspansi birokrasi. Saud dan Faisal saling berkompetisi hingga periode antara 1958 dan 1964, ketika Saud salah menangani rentetan krisis diplomatik dan finansial sehingga mengancam seluruh basis kekuasaan keluarga. Transfer kekuasaan pun terjadi dari Saud kepada Faisal, didorong peran tiga pangeran yang diperkenalkan Faisal kepada dewan menteri: 1) Khalid, deputi perdana menteri sejak 1962, 2) Fahd, menteri pendidikan sejak 1953, serta 3) Abdullah, komandan garda nasional sejak 1963. Pada proses konsolidasi setelah Faisal menjadi raja, Khalid menjadi putra mahkota dengan Fahd pada giliran berikutnya, setelah negosiasi intern keluarga yang kompleks terkait putra Abd al -Aziz, Pangeran Muhammad. Dengan kekuasaan dan dukungan penuh keluarga, Faisal menyediakan suatu instrumen kekuasaan baru: pendirian komite tinggi pangeran senior yang memberi nasihat tentang seluruh keputusan utama, pendirian kementerian keadilan baru yang membawa pengaruh yurisprudensi Islam dalam bingkai kendali kabinet, serta perkenalan para pangeran generasi ketiga dengan pendidikan barat ke dalam pos pos pemerintahan. Hal ini mencegah kebergantungan keluarga terhadap nasihat dan keahlian teknokrat Saudi, namun mempercepat perkembangan “lingkungan kekuasaan” di antara para pangeran senior, yang beberapa tetap memegang kendali kementerian atau institusi yang sama untuk waktu yang lama. Hal ini membatasi kekuasaan raja karena keputusan bersama menjadi sulit dicapai serta kemungkinan campur-aduk kepentingan institusional dan persaingan dalam keluarga meningkat. Terbunuhnya Faisal membawa kepada periode kekuasaan keluarga yang lebih kolektif di bawah Raja Khalid dan berikutnya Raja Fahd, sekali lagi membuat konsensus sulit dicapai, terutama ketika menghadapi krisis akut. Walaupun begitu, genggaman keluarga Saud dan para sekutunya atas seluruh sentra kekuasaan utama tak pernah terancam secara serius. Akumulasi kesejahteraan dan ekspansi struktur negara yang berkelanjutan memfasilitasi resolusi ketegangan struktural dalam keluarga Saud serta antara keluarga tersebut dan masyarakat Saudi lainnya. Dengan seluruh institusi pemerintah berada di tangan satu keluarga, partai politik dan serikat buruh dilarang, serta oposisi dibatasi hingga kelompok -kelompok bawah tanah kecil, praktik politik pada level nasional tetap menjadi monopoli eksklusif kerajaan. Walaupun begitu, keluarga kerajaan Saudi tidak dapat membuat kebijakan dalam vakum dan terpaksa mendasarkan bagian-bagian penting kebijakannya atas negosiasi terperinci dengan kelompok -kelompok kepentingan kuat seperti tokoh-tokoh agama serta pedagang dan pengusaha hartawan.
Keluarga kerajaan di Kuwait, Bahrain, Qatar, Oman, dan tujuh negara konstituen Uni Emirat Arab (UEA) juga dapat menjaga kekuasaan di tangan mereka selama era minyak dengan proses yang serupa akan konsolidasi serta penyortiran masalah suksesi dan akses terhadap jabatan tinggi pemerintah, sehingga mungkin bagi para anggota keluarga mendominasi pos -pos paling penting di berbagai dewan kementerian. Para keluarga tersebut dapat mencapai dominasi ini karena dua faktor: 1) proteksi dari keberadaan Inggris di Teluk sebelum penarikan dirinya pada 1971 serta dari Arab Saudi dan Amerika Serikat melalui sistem dukungan bersama dalam Gulf Cooperation Council (GCC) yang didirikan pada 1981, serta 2) akses terhadap keuntungan dari minyak, yang membebaskan mereka dari ketergantungan finansial atas pendapatan pajak dari penduduk lokal atau pinjaman dari pedagang lokal serta memungkinkan mereka mendistribusikan banyak hadiah, mulai dari perpanjangan keluarga mereka sendiri hingga penduduk mereka yang lain. Ekspansi birokrasi dan ekonomi memberikan peluang lebih jauh untuk memperoleh dukungan rakyat dengan menyediakan lapangan pekerjaan, pinjaman, dan kemungkinan partisipasi dalam berbagai perusahaan menguntungkan, dengan fitur kunci dalam pendirian suatu monopoli khusus yang hanya tersedia bagi orang -orang yang didefinisikan oleh hukum kebangsaan yang sangat restriktif sebagai warga lokal. Dengan seluruh hal ini, keluarga -keluarga kerajaan di Teluk bebas mengembangkan hubungan dengan seluruh bagian masyarakat mereka, namun selalu ada ketegangan selama periode kemunduran ekonomi, ketika royalti minyak menurun. Hubungan antara para penguasa Teluk, pemerintah, dan rakyat dilakukan melalui hubungan personal informal, dengan referensi minimal terhadap institusi. Sebagai tambahan, Owen membahas tentang sistem Libya, yang telah berganti dari monarki menjadi suatu tipe negara baru yang disebut jamahiriyyah. Sejarah politik Libya mirip Jordania dan Moroko: raja mengambil seluruh kekuasaan ke dalam genggamannya, memimpin dengan berbagai politisi setia, menjaga parlemen di bawah kendali, bertikai sejak awal dengan partai politik nasionalis utama; kabinet kerajaan terdiri dari para bangsawan kesukuan dan keluarga -keluarga utama di kota, raja mengendalikan jabatan menteri keuangan, pertahanan, dan dalam negeri dalam kabinet kementerian; sistem federal menjadi pos-pos bagi pendukung setia sebelum diganti dengan sistem pemerintahan
Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika Page 8
sistem federal menjadi pos-pos bagi pendukung setia sebelum diganti dengan sistem pemerintahan terpusat pada 1963; serta penemuan minyak pada akhir 1950-an menyediakan sumber finansial yang sangat besar bagi monarki. Terdapat pula perbedaan, yang cukup signifikan sehingga monarki dapat digulingkan kudeta militer 1969 yang dipimpin Kapten Muammar Ghadhafi: 1) ukuran dan kohesi keluarga penguasa: setelah konfrontasi antara keluarga yang tidak saling sepakat pada 1954, Raja Idris al-Sanusi membatasi suksesi hanya kepada saudaranya dan anggota garis keturunannya, mencabut gelar raja dan hak mengelola jabatan publik dari yang lain, menghilangkan kelompok besar anggota keluarga yang berbakat dan setia, diperburuk dengan fakta bahwa ia tidak memiliki putra sehingga suksesi dianugerahkan kepada saudaranya yang tidak masyhur; 2) tidak ada usaha raja untuk secara konstan memperkuat legitimasi dan mengingatkan warganya tentang otoritasnya melalui pertunjukan publik; serta 3) kegagalan raja memelihara kendali personal atas tentara reguler atau menentukan standar perilaku yang dapat diterima atas keluarga dekat atau para penasihat utamanya tentang nepotisme dan korupsi. Pemimpin yang berkuasa sejak September 1969 dengan cepat membentuk Dewan Komando Revolusioner dengan gaya Mesir di bawah kepemimpinan Ghadhafi, yang segera menjadi kolonel dan perwira tertinggi tentara; memusatkan kekuasaan di tangan mereka, menciptakan struktur administratif baru untuk membatasi pengaruh elit pedesaan dan rapat umum massa Uni Sosialis Arab untuk memobilisasi dukungan rakyat. Namun, pada April 1973 mereka mulai mencari formula organisasional baru pada gagasan komite rakyat yang dipilih di seluruh desa, sekolah, organisasi rakyat, dan perusahaan asing yang memiliki peran signifikan hanya pada pemerintah lokal dan provinsi dalam fungsi administratif dan legislatif. Pada September 1975 mereka diberi kesempatan ekspresi politik pada level nasional dengan pendirian Kongres Rakyat Umum (GPC) dengan Ghadhafi sebagai sekretaris jenderal. Struktur ini membentuk basis mutasi final sistem Libya yang dipicu publikasi volume pertama “Buku Hijau” Ghadhafi, The Solution of the Problem of Democracy (1976) dan pengumuman pada Maret 1977 bahwa negara tersebut akan menjadi suatu jamahiriyyah, “negara rakyat”. Hal ini adalah subjek banyak eksperimen, di mana di sepanjang seluruh perubahan, kekuasaan tetap dengan kuat berada di tangan Ghadhafi dan beberapa ajudan dekat. Akibatnya, pada awal 1980-an, struktur negara Libya sangat berbeda dari negara lainnya di Timur Tengah; walaupun aparat birokrasi menjadi sangat besar disokong tentara yang semakin besar serta angkatan bersenjata yang terkait keamanan domestik juga menjadi sangat besar, organisasi ini diawasi oleh kombinasi sekretariat permanen GPC, berbagai komite revolusioner, dan sisa hierarki administratif masa lampau. Politik Libya yang mendorong partisipasi rakyat yang disediakan komite menghasilkan banyak tipe baru praktik politik. Pengamat John Davis mengungkapkan bahwa Ghadhafi, penulis “Buku Hijau”, adalah orang yang merasa tertipu dan frustasi atas pengalaman akan pemerintahan dari hari ke hari. Hal ini menghasilkan kebebasan, atau paksaan, untuk bereksperimen, hal yang tetap menjadi fitur esensial praktik politik dan organisasional Libya sekarang.
Bab 5 State and politics in Israel, Iran and Turkey from the Second World War (h. A-a) A
Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika Page 9
Wednesday, September 30, 2009 4:53 PM
Suggestion tema esai kritis: 1. Bantuan Garda Revolusioner Iran terhadap Hizbullah dalam Perang Hizbullah-Israel 2006 2. Hubungan Israel dan Turki dalam energy security di mana Turki menyuplai minyak Kaspia kepada Israel 3. Peningkatan kerjasama Tunisia dengan negara-negara Eropa (Prancis) 4. Manuver Iran dalam menghadapi penolakan asing terhadap program nuklir Iran 5. Politik luar negeri belligerent antara Iran-Israel periode I M. Ahmadinejad
Tema terpilih: Politik luar negeri belligerent antara Iran-Israel periode I M. Ahmadinejad
Struktur esai Pertanyaan permasalahan: Bagaimana sejarah bilateral, leadership, opini publik, dan kebijakan luar negeri Iran dan Israel periode M. Ahmadinejad memengaruhi politik dan hubungan antara kedua negara tersebut serta kawasan Timur Tengah?
1. Sejarah (fokuskan pada hubungan bilateral Iran-Israel) Dita 2. Kerangka teori (cari teori tentang leadership serta hubungan opini publik dengan kebijakan luar negeri) Rain + Tangguh 3. Narasi periode kepemimpinan M. Ahmadinejad serta profil leadership + Analisis Narasi-Dita Analisis-Tangguh 4. Narasi kepemimpinan Ariel Sharon dan Benjamin Netanyahu dalam periode Ahmadinejad serta profil leadership + Analisis Narasi-Dita Analisis-Tangguh 5. Narasi kebijakan luar negeri masing-masing (fokuskan pada kebijakan terhadap negara lain) + Analisis Iran-Tangguh Israel-Rain 6. Pandangan publik kedua negara (fokuskan pada pandangan terhadap negara lain) serta pengaruhnya terhadap kebijakan luar negeri masing-masing negara + Analisis Iran-Tangguh Israel-Rain 7. Kesimpulan Three Stooges
Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika Page 10