Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
ISSN: 1693-8275
JURNAL
DINAMIKA EKONOMI & BISNIS SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI NAHDLATUL ULAMA
101-112 Word-of-Mouth Marketing sebagai Bauran Komunikasi Pemasaran Hasan 113-120 Struktur Ekonomi dan Sektor Unggulan Kabupaten Jepara M. Zainuri 121-136 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia Dul Muid 137-144 Pengaruh Iklan Media Televisi dan Atribut Produk terhadap Keputusan Konsumen untuk melakukan Pembelian Nurul Komaryatin 145-158 Analisis SWOT sebagai Dasar Penetapan Strategi Bersaing Anna Widiastuti, Siti Mabruroh 159-170 Analisis Pengaruh Inflasi dan Bunga SBI terhadap IHSG di BEI Ahmad Zulfa, Juhono Tan 171-186 Analisis Pengaruh Kepemimpinan, Kapabilitas, Komitmen, terhadap Kinerja Anggota Satuan KODIM 0719 Jepara Noor Arifin, Komaruddin 187-200 Analisis Efisiensi Pemberian Kredit Berdasar Segmen terhadap Pendapatan pada PD BPR BKK Jepara Cabang Kedung Yusuf Dwiko Prasetyo, Setyo Utomo
WORD-OF-MOUTH MARKETING SEBAGAI BAURAN KOMUNIKASI PEMASARAN Hasan Fak. Ekonomi Univ. Wakhid Hasyim Semarang, Jl. Menoreh Tengah X/22 Semarang Email:
[email protected] Abstract Word-of-Mouth Marketing (WOMM) becomes more important in todays marketing communication activities. Rapid development of information and communication technology and decrease credibility of conventional promotion make it more effective tool for marketing communication. This article attempts to explore WOMM as a communication marketing mix from some literatures. This article divide in four section. The first, it shows the relevance and importance of WOMM. Second, it discuss the relationship of WOMM with marketing communication. Third, describe recent research in WOMM area. Finally, conclusions. Keywords: word-of-mouth marketing, marketing communication Abstrak Word-of-Mouth Marketing (WOMM) menjadi semakin penting dalam aktivitas komunikasi pemasaran sekarang ini. Perkembangan informasi dan teknologi informasi yang pesat dan menurunnya kredibilitas promosi konvensional membuat WOMM menjadi alat yang lebih efektif dalam komunikasi pemasaran. Artikel ini akan mengeksplorasi WOMM sebagai bauran komunikasi pemasaran, dengan pembahasan dibagi dalam empat bagian. Pertama, mengenai relevansi dan pentingnya WOMM. Kedua, pembahasan mengenai hubungan WOMM dengan komunikasi pemasaran. Ketiga, mengenai penelitian mutakhir tentang WOMM, terakhir kesimpulan. Kata kunci: pemasaran mulut ke mulut, komunikasi pemasaran Pendahuluan Salah satu saluran komunikasi yang penting dan perlu dikelola dengan baik dalam pemasaran adalah komunikasi dari mulut ke mulut (word-of-mouth communication). Saluran ini dapat menjadi saluran komunikasi yang murah, menggunakan konsumen sebagai promoter bagi produk perusahaan dan alat pemasaran bagi organisasi. Organisasi bahkan sering tidak perlu “membayar” untuk aktivitas ini. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa word-of-mouth (WOM) merupakan salah satu dari saluran komunikasi yang paling berpengaruh di pasar. Alasan bagi kekuatan WOM adalah bukti bahwa WOM terlihat lebih dipercaya daripada komunikasi yang dilakukan oleh pemasar karena WOM dipersepsikan telah melewati
Word-of-Mouth Marketing sebagai Bauran Komunikasi Pemasaran
Hasan
101
saringan yang tak-bias “orang sepertiku”. Dengan kata lain, terdapat kepercayaan yang tinggi pada WOM karena disampaikan oleh orang yang dipersepsikan “bebas kepentingan”. Perkembangan teknologi menuntut organisasi semakin sadar dengan distribusi informasi yang intens melalui berbagai media. Adanya berbagai layanan jejaring sosial melalui internet, seperti Friendster, Facebook, dan Blog, membuat masyarakat penggunanya dapat menyebarkan informasi secara langsung, mudah dan cepat. WOM dengan bauran promosi yang lain dapat menjadi sarana efektif bagi penciptaan citra, baik individu, produk, maupun organisasi. Pemberitaan media, akan menjadi pembentuk “positioning” tertentu di mata masyarakat. Kemudian, WOM akan dapat menjadi efek pengganda bagi penyebaran lebih lanjut positioning ini. Pada lingkup pemasaran publik, fenomena positioning negatif Kepolisian dan Jaksa, dan positioning positif KPK sebagai organisasi dapat menjadi contoh. Pemberitaan media secara simultan dengan penyebaran informasi melalui jejaring sosial menjadikan positioning ini ampuh menjadi people-power dalam menekan kebijakan pemerintah agar menghentikan proses hukum Bibit-Chandra. Dari kasus dan fenomena ini, bisa dilihat bagaimana positioning organisasi dan personal dapat terbentuk dari WOM yang didukung publisitas media massa dan melalui jejaring sosial. Pada konteks produk komersial, fenomena kesuksesan film 2012 dapat dijadikan contoh pula. Berdasarkan pengamatan, film ini justru terpasarkan karena komunikasi diantara masyarakat yang penasaran dengan fenomena kiamat yang diangkat. Belum lagi dengan pemberitaan media terhadap pelarangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di beberapa daerah tentang peredaran film ini. Penelitian yang dilakukan oleh Onbee Marketing Research-Octovate Consulting Group dan majalah SWA (Hidayat, 2009) memperlihatkan bahwa konsumen di Indonesia umumnya menyampaikan hal-hal positif (positive word-of-mouth) kepada 7 orang lain jika ia merasa puas. Sedangkan konsumen yang tidak puas cenderung akan menyampaikannya hal-hal negatif tentang produk tersebut (negative word-of-mouth) kepada 11 orang. Hal ini menandakan bahwa konsumen akan cenderung menyebarkan negative word-of-mouth lebih banyak daripada positive word-of-mouth. Pentingnya WOM sebagai salah satu bauran komunikasi pemasaran semakin disadari. Meskipun sulit ditemukan dalam berbagai textbook pemasaran, namun mulai tampak adanya perhatian lebih pada berbagai literatur pemasaran (Mason, 2008). Penelitian-penelitian mengenai WOM sebagai saluran pemasaran sudah mulai banyak dikaji. Bahkan WOM sudah dimasukkan sebagai salah satu dari delapan bauran komunikasi pemasaran dalam textbook Manajemen Pemasaran Kotler dan Keller edisi 13 (2009). WOM dikategorikan sebagai bagian dari komunikasi personal. Padahal dalam edisi sebelumnya (edisi 12) WOM belum dimasukkan sebagai bauran komunikasi pemasaran, dan hanya ada enam bauran komunikasi pemasaran (Kotler dan Keller, 2006).
102
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No.2 Oktober 2009
Tulisan ini mengeksplorasi komunikasi pemasaran WOMM sebagai komunikasi pemasaran. Tulisan dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama berisi pendahuluan sebagai latar belakang daya tarik dan relevansi WOM. Bagian kedua berisi pemaparan umum konsep komunikasi pemasaran dan WOMM sebagai salah satu bauran promosi. Bagian Ketiga telaah hasil penelitian terdahulu. Bagian akhir simpulan, termasuk implikasi manajerial dan wacana penelitian. Tinjauan Pustaka Komunikasi Pemasaran dan WOM Komunikasi pemasaran didefinisikan sebagai sesuatu yang digunakan perusahaan dalam usahanya untuk menginformasikan, membujuk, dan mengingatkan para konsumen -secara langsung maupun tidak langsung- tentang produk dan merek yang mereka jual (Kotler dan Keller, 2009). Perubahan lingkungan komunikasi pemasaran berkembang sangat pesat telah menurunkan keefektifan media-massa. Rating siaran pada jam utama (prime-time rating) dan sirkulasi telah mengalami penurunan sejak 1970-an (di Amerika). Bahkan Mc. Kinsey memperkirakan bahwa pada 2010, periklanan tradisional di televisi akan menjadi sepertiga saja keefektifannya dibandingkan pada masa 1990. Bauran kommunikasi pemasaran terdiri atas delapan bentuk utama: periklanan (advertising), promosi penjualan (sales promotion), acara dan pengalaman (events and experiences), hubungan masyarakat dan publisitas (public relations and publicity), pemasaran langsung (direct marketing), pemasaran interaktif (interactive marketing), pemasaran dari mulut ke mulut (word-of-mouth marketing), dan penjualan personal (personal selling) (Kotler dan Keller, 2009). WOMM didefinisikan sebagai komunikasi orang-ke-orang melalui ucapan, tulisan, atau komunikasi elektronik yang terkait dengan manfaat atau pengalaman pembelian atau penggunaan produk atau jasa (Kotler dan Keller, 2009). WOM berdasarkan tipenya dapat dipertimbangkan sebagai suatu komunikasi ucapan, walaupun dilakukan dalam dialog web, seperti blog, papan pesan (message boards) dan e-mail juga masuk dalam definisi ini (Arora, 2007). Heckman (1992) dalam Mason (2008), mendefinisikan WOM sebagai sarana ketika orang menyampaikan antusiasme yang asli tentang produk dan jasa kepada yang lain. Aktivitas komunikasi pemasaran berkontribusi pada ekuitas merek dan memicu penjualan dalam beberapa cara: dengan menciptakan kesadaran merek (brand awareness); menghubungkan memori konsumen dengan asosiasi yang benar pada bayangan merk (brand image), memunculkan penilaian atau perasaan positif merek; dan/atau menfasilitasi hubungan yang kuat antara konsumen dan merek. Aktivitas komunikasi pemasaran harus diintegrasikan untuk mencapai pesan yang konsisten dan mencapai pemosisian yang strategis (Kotler dan Keller, 2009). Pemasar perlu mengukur pengalaman dan kesan mana yang paling mempengaruhi tiap proses pembelian. Pemahaman ini akan membantu para pemasar
Word-of-Mouth Marketing sebagai Bauran Komunikasi Pemasaran
Hasan
103
mengalokasikan dana komunikasi dengan lebih efisien, serta mendesain dan mengimplementasikan program-program komunikasi yang tepat. Pemasar dapat menilai komunikasi pemasaran berdasarkan kemampuannya untuk mempengaruhi pengalaman dan impresi, membangun ekuitas merek, dan mengarahkan penjualan merek. Dari perspektif membangun ekuitas merek, pemasar harus menjadi “media netral” dan mengevaluasi semua pilihan komunikasi yang mungkin, berdasarkan kriteria keefektifan dan pertimbangan efisiensi yang baik pula (Kotler dan Keller, 2009). Pengembangan bauran komunikasi perlu dilakukan dengan tujuh langkah komunikasi pemasaran efektif (Kotler dan Keller, 2009): 1. Identifikasi target audiens. Proses awal dilakukan dengan mengenal target audiens: sebagai pembeli potensial, pengguna saat ini, pengambil keputusan, atau pemberi pengaruh; audiens sebagai individu, kelompok, bagian masyarakat, atau keseluruhan masyarakat. Identifikasi target audiens menjadi penting untuk keputusan komunikasi mengenai apa yang disampaikan, bagaimana, kapan, dimana, dan pada siapa. Dengan identifikasi target audiens secara jelas, rancangan mengenai keputusan komunikasi diatas diharapkan akan dapat dicapai lebih efisien. 2. Menentukan sasaran komunikasi. Empat kemungkinan sasaran yang perlu diidentifikasi menurut Rositer dan Percy adalah: kategori kebutuhan, kesadaran, sikap dan intensitas pemberlian terhadap merek. 3. Mendesain komunikasi. Hal ini membutuhkan tiga pemecahan masalah: a. apa yang disampaikan (strategi pesan). Manajemen mencari hal-hal yang menarik, tema, dan ide-ide yang akan disematkan dalam pemosisian merek dan membantu mengadakan point-of-parity dan point-of-difference merek. b. bagaimana menyampaikannya (strategi kreatif). Pemasar menterjemahkan pesan menjadi komunikasi spesifik yang sifatnya dapat dibagi menjadi dua: bersifat informasif, atau transformatif. c. siapa yang harus menyampaikannya (sumber pesan). Sumber yang menyampaikan pesan harus memiliki kredibilitas. Tiga faktor yang sering digunakan sebagai identifikasi sumber kredibilitas adalah kepakaran (expertise), tingkat dapat dipercaya (trustworthiness), dan kecenderungan disukai (likeability). Meskipun WOM sulit dikendalikan, namun pemasar dapat mengarahkan dan mempengaruhi penyebaran WOM dengan tiga desain. Penyebarannya juga perlu diawasi dan dikendalikan agar pesan yang menyebar tetap positif dalam mendukung tujuan pemasaran. Identifikasi siapa yang akan menyampaikan WOM merupakan hal krusial dalam WOM. Karena itu, syarat-syarat penyampai pesan yang kredibel harus sangat diperhatikan dalam perannya sebagai pemberi pengaruh kepada pihak lain. 4. Memilih saluran komunikasi. Memilih saluran pemasaran dapat bersifat personal dan nonpersonal. Saluran komunikasi personal memperoleh 104
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No.2 Oktober 2009
keefektifannya melalui presentasi individual dan umpan-balik. Pembedaan saluran komunikasi nonpersonal ini melalui saluran pembela (advocate channels), saluran ahli (expert channels), dan saluran sosial (social channels). Meskipun saluran komunikasi personal seringkali lebih efektif daripada saluran komunikasi nonpersonal, media massa dapat menjadi sarana utama merangsang komunikasi personal. Proses ini disebut dengan proses dualangkah, dari yang non-personal kemudian diteruskan oleh saluran personal. Saluran komunikasi nonpersonal merupakan saluran komunikasi yang diarahkan kepada lebih dari satu orang dan menggunakan media, promosi penjualan, acara dan pengalaman, dan hubungan masyarakat. 5. Mengadakan anggaran komunikasi pemasaran secara keseluruhan. Ada empat metode yang biasa digunakan untuk menentukan anggaran total ini: menurut kemampuan (the affordable method), persentase penjualan (percentage-of-sales method), ukuran persaingan (competitive-parity method), dan sasaran-tugas (objective-and-task method). WOMM dipercaya cukup efektif, dan relatif tidak membutuhkan banyak biaya. Meskipun demikian, tetap diperlukan fasilitasi anggaran untuk memicu WOM dan memfasilitasi WOM. 6. Menetapkan bauran komunikasi pemasaran. Bauran komunikasi ditetapkan dari delapan bauran yang dapat digunakan dengan dirancang oleh perusahaan sedemikian rupa, untuk memperoleh efisiensi dan kefektifan komunikasi. Saluran WOM, dapat berupa on-line maupun off-line, mempunyai tiga karakteristik: kredibel, personal, dan tepat waktu (Kotler dan Keller, 2009). WOM akan lebih dipercaya karena penyampai pesannya seringkali merupakan orang yang dikenal oleh konsumen dan dianggap bebas kepentingan. Karakteristik personal juga makin disadari lebih efektif, karena tiap orang memiliki karakter yang berbeda sehingga jika didekati dengan program komunikasi massal yang cenderung menyamakan satu orang dengan yang lain, akan menjadi kurang efektif. 7. Mengukur hasil komunikasi. Perusahaan hendaknya dapat mengumpulkan perilaku respon sasaran, seperti bagaimana orang-orang membeli produk, menyukainya, dan membicarakannya kepada pihak lain. Selain sebagai bauran yang dikelola, WOM seringkali menjadi ukuran keberhasilan hasil komunikasi. Hal inilah yang bisa jadi pada masa lalu, WOM lebih menjadi ukuran keberhasilan promosi, yang cenderung menjadi akibat promosi daripada promosi itu sendiri. Sehingga WOM (pada masa lalu) tidak dimasukkan menjadi bauran promosi karena sulit dikendalikan oleh pemasar. Namun saat ini telah disadari bahwa WOMM menjadi bagian dari bauran promosi yang dapat dikendalikan, serta perlu dikelola dan difasilitasi oleh perusahaan.
Word-of-Mouth Marketing sebagai Bauran Komunikasi Pemasaran
Hasan
105
Mengelola WOM Dengan berkembangnya jejaring sosial melalui internet, seperti Facebook, Friendster, dan Myspace, peran WOM menjadi semakin penting untuk dikelola. Dalam beberapa kasus, memang perkembangan positive WOM secara organis hanya dengan sedikit periklanan, namun dalam beberapa kasus, positive WOM dikelola dan difasilitasi perusahaan. Kotler dan Keller (2009) menyampaikan beberapa konsep dan hal terkait bagaimana WOM dibentuk dan berpindah, yaitu Buzz, Viral Marketing, pemimpin opini (opinion leaders), dan Blog. Buzz marketing mengembangkan kejutan, membuat publisitas, dan mengadakan informasi baru terkait dengan merek melalui sesuatu yang tidak diharapkan bahkan yang kasar sekalipun. Viral marketing adalah bentuk lain dari WOM, atau dapat disebut “word-of-mouse”, yang mendorong para konsumen meneruskan produk dan jasa yang dikembangkan perusahaan, audio, video, atau informasi tertulis kepada pihak lain secara online. Pemimpin opini merupakan orang yang mempengaruhi para “pengikutnya” mengenai apa yang “dipatuhi”. Jika dapat mempengaruhi pemimpin opini, maka akan lebih mudah untuk menyebarkan WOM secara lebih cepat dan dipercaya. Perlu pula diwaspadai pemimpin opini berpotensi pula menyebarkan WOM yang negatif. Berdasarkan sifatnya, WOM dapat dibagi dikategorikan positif dan negatif. Sebisa mungkin perusahaan dapat mendorong penyebaran WOM yang positif dan menekan atau bahkan menghilangkan WOM negatif yang berdampak buruk atau kontra produktif bagi tercapainya sasaran pemasaran. Beberapa tindakan yang dapat diadopsi untuk meningkatkan WOM adalah (Peters; Morris; Heckman; Dye dalam Mason, 2008): 1. Buat agar produk berada dalam tangan konsumen yang serba tahu atau penyebar berita. 2. Gunakan pemimpin opini atau selebritis sebagai penyampai pesan. 3. Berikan produk secara luas dan gratis, atau dengan harga murah pada ahli industri, tokoh masyarakat, dan pemimpin opini. 4. Pelihara pengguna awal dan berikan insentif penjualan pada mereka. 5. Berikan contoh produk dan perlihatkan pada berbagai pertemuan, sekolah, dan pusat-pusat komunitas. 6. Tawarkan wisata di pabrik perusahaan pada anak-anak sekolah, klub, konsumen potensial, dan sebagainya. 7. Sediakan cerita-cerita tentang bagaimana produk melampaui harapan atau bagaimana perusahaan keluar dari jalur (untuk menunjukkan keseriusannya) dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi konsumen. 8. Pasangkan konsumen yang puas dengan prospek-konsumen dalam satu kegiatan. 9. Gunakan atau buat daftar -contoh, seperti mempublikasikan “daftar terbaik” atau “10 terbaik”-. 106
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No.2 Oktober 2009
10. Kirimkan surat kabar kepada bukan-pengguna (non-users). 11. Secara sadar, dapatkan dan distribusikan kesaksian yang digunakan dalam surat kabar. Penelitian Tentang WOM Penelitian yang disampaikan diharapkan dapat memberikan gambaran wacana pengembangan penelitian lanjutan yang dapat dilakukan. Penelitian ini akan dimulai dari penjelasan ringkasan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti terbaru dalam pemasaran mengenai WOM dan diakhiri dengan penelitian WOM di Indonesia. Salah satu ukuran yang dapat digunakan dalam menghitung WOM adalah Net Promoter Concept yang diperkenalkan dalam artikel Harvard Business Review pada tahun 2003. Net Promoter Score (NPS) ini diyakini memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan pendapatan perusahaan, sehingga NPS menjadi salah satu indikator kehandalan kemampuan perusahaan untuk tumbuh. NPS diperoleh dari survey tanggapan pada kesediaan pada jawaban pertanyaan untuk merekomendasi dalam suatu skala nilai 11. Proporsi responden yang memperingkat perusahaan mulai 6 ke bawah dipisahkan dari bagian responden yang memperingkat perusahan dengan nilai 9 atau 10 (yang disebut promoter). Pembedaan ini mencerminkan NPS perusahaan. Rasionalisasi penggunaan ukuran ini adalah bahwa orang yang merekomendasikan perusahaan merupakan orang yang loyal pada perusahaan. Dalam konsep awal, ukuran ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengukur loyalitas seorang konsumen dan penentu dalam pertumbuhan pendapatan dan perusahaan sebagai konsekuensi dari loyalitas. Hal ini sebagai reaksi atas status quo bagi pengukuran loyalitas (Keiningham dkk., 2008). Berdasarkan penelitian Keiningham dkk (2008), yang melakukan pengujian NPS, yaitu NPS merupakan indikator paling handal (reliable) pada kemampuan perusahaan untuk tumbuh. Kedua, NPS adalah unggul pada kepuasan konsumen sedangkan yang lain tidak memiliki hubungan dengan pertumbuhan. Hasil penelitian Keiningham dkk ini berbeda dalam tiga hal: pertama, bahwa hasil dari penelitian memperlihatkan ketidaksiapan replikasi penelitian untuk digunakan berdasarkan metode yang digunakan sebagaimana disampaikan dalam publikasinya. Kedua, hasil dari pengukuran yang disampaikan dalam publikasi aslinya tidak mampu digeneralisasi dalam populasi yang lebih luas. Ketiga, bangunan ukurannya sendiri tidak dapat memuaskan klaimnya bahwa ukuran ini patut diperhitungkan. Dari hasil penelitiannya, Keiningham dkk (2008) tidak menganggap bahwa pengukuran intensitas rekomendasi tidak diperlukan. Namun lebih pada perlunya pengembangan kembali pengukuran yang telah dilakukan tidak hanya dengan menggunakan satu ukuran sebagai indikator NPS. Mason (2008) mencoba meneliti efek WOMM pada pasar yang sangat tidak stabil yang dibandingkan dengan pasar yang stabil di Afrika Selatan. Penelitian ini didasari atas pandangan teori kekacauan (chaos theory), yaitu karakteristik lingkungan yang sensitif pada perubahan awal yang terjadi (sensitive dependence on initial conditions – SDIC), yang bekerja pada WOM. Penelitian menggunakan pendekatan studi kasus
Word-of-Mouth Marketing sebagai Bauran Komunikasi Pemasaran
Hasan
107
bertahap (multiple case study approach). Perusahaan dibagi dalam dua golongan, pertama, perusahaan yang tergolong dalam lingkungan turbulent market, yaitu perusahaan teknologi informasi (TI). Kedua, perusahaan di pasar yang tergolong stabil, yaitu perusahaan pengemasan (packaging). Hasilnya, perusahaan yang lebih sukses cenderung menggunakan WOM secara aktif, sehingga hal ini membuktikan bahwa WOM merupakan alat pemasaran yang efektif digunakan untuk lingkungan pemasaran yang tidak stabil seperti di lingkungan pasar perusahaan TI. Trusov dkk (2009) meneliti pengaruh WOM marketing pada pertumbuhan anggota situs jaringan sosial internet dan membandingkannya dengan sarana pemasaran tradisional. Undangan keanggotaan dari anggota yang sudah ada dapat dilacak berdasarkan rekaman yang tercatat dari situs. Bersama dengan pemasaran tradisional, WOM kemudian dihubungkan dengan jumlah anggota baru yang kemudian bergabung dengan situs tersebut. Karena endogenitas diantara WOM, pendaftar yang baru, dan aktivitas pemasaran tradisional, digunakan pendekatan model vector autoregressive (VAR). Berdasarkan hasil perkiraan model VAR yang digunakan, memperlihatkan bahwa referensi WOM memiliki efek pembawaan yang lebih lama (21 hari dari WOM, dan 3-7 hari untuk pemasaran tradisional) dibandingkan pemasaran tradisional dan menghasilkan elastisitas tanggapan yang lebih besar. Berdasarkan pendapatan dari pengaruh periklanan pada anggota baru, nilai moneter dari referensi WOM dapat dihitung dan menghasilkan perkiraan batas-atas dari insentif finansial yang dapat ditawarkan perusahaan untuk mendorong WOM. Penelitian-penelitian mengenai WOM dan pengaruhnya pada perolehan konsumen dan perbandingannya dengan pemasaran tradisional telah banyak dilakukan. Beberapa studi empiris yang diantaranya menjadi referensi (Trusov dkk, 2009) dapat dilihat pada tabel 1. Hasilnya secara umum memperlihatkan peran yang lebih efektif penggunaan WOM dibandingkan pemasaran tradisional. Tabel 1 Perbandingan Studi Empiris Pada Keefektifan WOM Penelitian terdahulu Awal (Katz & Lazarsfeld, 1955)
Nilai seumur hidup Pelanggan (Villanueva, dkk, 2008)
108
Pembentuk WOM (WOM Inference) Laporan sendiri (self-report) dari survey
Pengaruh WOM Perbandingan dg thd Akuisisi pemasaran Konsumen tradisional Ditentukan dari WOM 2x lebih efektif self-report pada daripada iklan radio, pengaruh relatif 4x dari penjualan personal, 7x dari iklan cetak dibentuk dari Tidak dianalisa Konsumen yang self-report didapat melalui pelanggan baru WOM menghasilkan dua kali nilai waktu hubungan daripada melalui pemasaran
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Pengaruh tak langsung WOM Tidak dianalisa
Konsumen menyebarkan WOM lebih banyak dan membawa dua lipat pelanggan
Vol. 6 No.2 Oktober 2009
Penularan Dibentuk dari masyarakat adopsi (Coleman dkk, 1966; Bulte and Lilien, 2001)
Sulit untuk menghubungkan penularan yang diamati antara WOM dan pemasaran tradisional Penentu Langsung: Kecepatan penerusan keputusan tanggapan yang WOM seseorang diharapkan untuk penerima WOM (Stephen dan memicu Lehman, 2008) meneruskan WOM pada keputusan untuk rancangan menyam-paikan eksperimental WOM Valensi WOM Dibentuk dari Jumlah yang online kiriman weblebih tinggi pada (Chevalier dan site dan tinjauan Mayzlin 2006; tinjauan mengarah pada Liu, 2006) (review) penjualan yang relatif lebih tinggi Akibat ikatan Langsung : Pengaruh ikatan sosial pada melalui kiriman sosial bergantung efek WOM e-mail pada tahapan (De Bruyn and pengambilan Lilien, 2008) keputusan Artikel sumber Langsung: Menghitung (Trusov dkk, melalui langsung dan tak 2009) referensi yang langsung dikirim pengaruh WOM dan pemasaran tradisional
tradisional baru Efek penularan Tidak dianalisis menyebar ketika pemasaran tradisional dimasukkan dalam model
Tidak ada
Tidak dianalisis
Tidak ada
Tidak dianalisis
Tidak ada
Tidak dianalisis
Membandingkan efek kesegeraan dan penyampaian WOM dan pemasaran tradisional
Memperlihatkan efek tidak langsung dan penghitungan nilai moneter aktivitas WOM
Sumber : Trusov dkk(2009) Kazi (2009), mengajukan model keluaran merek perusahaan (corporate brandoutcome model), mendeskripsikan hubungan struktural antara merek perusahaan yang dipersepsikan (perceived corporate brand), kemampuan untuk dipercaya yang dipersepsikan (perceived trustworthiness), sikap terhadap perusahaan (attitude toward the firm), komitmen afektif (affective commitment) dan intensitas WOM (word-ofmouth intentions) yang modelnya didasarkan pada tinjauan berbagai penelitian yang ada di lingkup merek perusahaan. Pada studi literatur yang dilakukannya, ditemukan adanya berbagai hubungan antar variabel yang menghipotesiskan semua variabel yang
Word-of-Mouth Marketing sebagai Bauran Komunikasi Pemasaran
Hasan
109
ada berpengaruh langsung dan tak langsung pada intensitas WOM. Meskipun model ini belum diuji secara empiris, namun dapat dijadikan tawaran model untuk memperlihatkan hubungan variabel merek perusahaan yang dipersepsikan, kemampuan untuk dipercaya yang dipersepsikan, sikap terhadap perusahaan, dan komitmen afektif pada intensitas WOM. Gambar model yang diajukan oleh Kazi (2009) dapat dilihat dalam gambar 1. Gambar 1 Model Keluaran Merek Perusahaan Yang Diajukan Oleh Kazi (2009)
Sumber: Kazi (1999) Penelitian WOM di Indonesia Penelitian yang dipublikasikan secara luas mengenai WOM di Indonesia dapat dijumpai dalam majalah Swa No. 08/ XXV/16-19 April 2009. Penelitian yang dilakukan oleh majalah Swa dan Onbee Marketing Research-Octovate Consulting Group mengklaim merupakan penelitian survei tingkat-WOM yang pertama di Indonesia, dan dilakukan dengan menggunakan data dari 1850 orang responden yang dilakukan dengan survei di lima kota besar di Indonesia, Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Medan dan Makasar. Survei dilakukan terhadap 105 kategori produk, dengan mengukur empat variabel utama, yaitu talking (tingkat merek tersebut dibicarakan oleh konsumen), promoting (tingkat merek tesebut dipromosikan oleh konsumen), selling (tingkat merek tersebut dijual/direkomendasikan oleh konsumen), dan social network (jaringan sosial yang dimiliki konsumen). Penelitian ini dilakukan dengan melakukan indeksasi dari WOM berdasarkan data empat variabel tersebut (Hidayat, 2009). Beberapa temuan menarik yang didapat diantaranya, pertama, rata-rata orang Indonesia menceritakan hal yang negatif mengenai produk kepada orang lain lebih
110
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No.2 Oktober 2009
banyak (kepada 11 orang lain) daripada menceritakan hal-hal positif kepada orang lain (7 orang). Kedua, ketika seseorang menerima WOM negatif, maka untuk menetralkannya, dia butuh mendengar enam WOM positif baru (tentang suatu obyek yang sama). Ketiga, sumber informasi yang kredibel bagi konsumen di Indonesia adalah teman dan keluarga. Sedangkan sumber yang paling kurang dipercaya adalah salesman dan iklan. Keempat, tatap muka tetap menjadi medium utama bagi konsumen untuk membicarakan sebuah merek, baru diikuti dengan percakapan telpon dan SMS. Kelima, 67,78 persen responden akhirnya memutuskan membeli produk yang direkomendasikan melalui WOM (Hidayat, 2009). Hasil ini juga sesuai dengan penelitian di Amerika Serikat (AS) yang dilakukan oleh Harris Interactive pada 2006. Dalam penelitian ini konsumen AS yang menjadi responden penelitian ditanya mengenai sumber informasi yang dicari ketika memutuskan produk mana yang akan dibeli dalam empat kategori yang umum. WOM dan rekomendasi dari teman/ keluarga/ rekan kerja/ sekolah adalah yang teridentifikasi sebagai sumber utama yang paling berpengaruh untuk fast-food, obat umum, dan sereal makan pagi. Sedangkan komputer pribadi (personal computer-PC), yang merupakan kategori produk teknis yang tinggi, terlihat keterkaitan kuat pada saran ahli dalam pembentukan tinjauan produk dan website, diikuti dengan WOM sebagai pengaruh selanjutnya yang digunakan (Allsop dkk, 2007). Penelitian WOM di Indonesia, tampaknya masih sulit ditemui dan perlu dikembangkan dalam berbagai penelitian pemasaran di Indonesia. Apalagi WOM sangat tepat digunakan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang umumnya mempunyai anggaran terbatas pada promosi (atau bahkan tak punya anggaran promosi sama sekali). Apalagi jumlah jenis usaha ini mencapai lebih dari 98 persen jumlah usaha di Indonesia. Dengan pemahaman dan penggunaan saluran komunikasi WOMM yang baik, akan dapat memberi kontribusi yang besar, baik secara langsung maupun tak langsung bagi kemajuan pemasaran. Simpulan Simpulan penelitian disajikan sebagai berikut: 1. WOMM merupakan bauran komunikasi pemasaran yang semakin disadari kepentingan dan keberadaanya dalam aktivitas pemasaran. Berbagai penelitian pemasaran mengenai WOMM semakin mendapat perhatian. 2. Penggunaan WOM sebagai bagian dari aktivitas pemasaran perlu difasilitasi dan dikelola dengan baik oleh pemasar dalam mendukung aktivitas komunikasi pemasaran. Hal ini hendaknya dilakukan secara integratif dan sinergis dengan bauran komunikasi pemasaran yang lain, dengan menggunakan konsep Integrated Marketing Communication. 3. Keefektifan WOMM semakin penting dengan meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, yang mempercepat penyebaran WOM. Hal ini dapat menuntut pemasar semakin sadar dengan penggunaan TIK
Word-of-Mouth Marketing sebagai Bauran Komunikasi Pemasaran
Hasan
111
4. Pengembangan WOMM bagi UMKM, khususnya di Indonesia sangat relevan untuk dikembangkan, karena karakteritiknya yang mendukung, keefektifannya yang tinggi, dan biaya yang relatif efisien. Untuk itu pengembangan penelitian ke depan perlu semakin dilakukan. Daftar Pustaka Allsop, Dee T, Bryce R. Bassett, James A. Hoskins, 2007, “Word-of-Mouth Research: Principles and Applications”, Journal of Advertising Research, Desember 2007, pp. 398-411. Arora, Harsh, 2007, “Word of Mouth in the World of Marketing”, The Journal of Marketing Management, Vol. VI, No. 4, pp. 51-65. Hidayat, Taufiq, 2009, “Parade Merek Rekomendasi Konsumen”, Majalah SWAsembada, No. 08/ XXV/16-19 April 2009, hal 30-41. Kazi, Roshan J. M., 2009, “Perceived Corporate Brand and its Consequences: A Literature Review for Model Development”, Journal of Marketing & Communication, Vol. 5 Issue 1, May - August 2009, pp 40-51. Keiningham, Timothy L., Lerzan Aksoy, Bruce Cooil, Tor Wallin Andreassen, Luke Williams, Luke Williams, 2008,” A holistic Examination of Net Promoter”, Journal of Database Marketing & Customer Strategy Management, Vol. 15, No 2, pp. 79–90. Kotler, P.and K.L. Keller, 2006, Marketing Management, 12th ed. New Jersey: Pearson Education. ___________________, 2009, Marketing Management, 13th ed. New Jersey: Pearson Education. Mason, Roger B., 2008, “Word of Mouth as a Promotional Tool for Turbulent Markets”, Journal of Marketing Communications, Vol. 14, No. 3, pp. 207–224. Trusov, Michael, Randolph E. Bucklin, and Koen Pauwels, 2009, “Effects of WOM Versus Traditional Marketing: Findings from an Internet Social Networking Site”, Journal of Marketing, Vol. 73, September 2009, pp. 90–102. Zhang, Jie dan Terry Daugherty, 2009, “Third-Person Effect and Social Networking : Implications for Online Marketing and Word-of-Mouth Communication”, American Journal of Business, Vol.24 No.2, pp. 53-63.
112
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No.2 Oktober 2009
STRUKTUR EKONOMI DAN SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN JEPARA M. Zainuri Universitas Muria Kudus, Gondangmanis Bae, Po Box 53, Kudus 59352 Email:
[email protected] Abstract The economic structure of Jepara regency shown by the contribution of each economic sector on Gross Regional Domestic Product (GDP). Three sectors are the dominant contribution in the year 2005 up to 2008 is the Industry sector with a range of 27%; Agriculture sector in the range of 23% and the trade sector with a range of 21%. The number of workers absorbed in the three sectors amounted to 78.67% of the workforce in the district of Jepara. Based on the calculation of LQ method, it is known that in the period 2005 to 2008 there were 4 sectors which consistently has a value of LQ > 1, namely Agriculture, Commerce, Transportation and Finance. Keywords: GDP, GDP, LQ method, superior sector Abstrak Struktur ekonomi Kabupaten Jepara ditunjukkan oleh kontribusi masing-masing sektor ekonomi dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tiga sektor yang kontribusinya dominan pada tahun 2005 sampai dengan 2008 adalah sektor Industri dengan kisaran 27%; sektor Pertanian pada kisaran 23% dan sektor Perdagangan dengan kisaran 21 %. Jumlah tenaga kerja yang terserap di tiga sektor tersebut sebesar 78,67% dari angkatan kerja yang ada di Kabupaten Jepara. Berdasarkan perhitungan metode LQ, diketahui bahwa dalam kurun waktu 2005 sampai dengan 2008 terdapat 4 sektor yang konsisten memiliki nilai LQ > 1 yaitu Pertanian; Perdagangan; Pengangkutan dan Keuangan. Kata kunci: GDP, PDRB, metode LQ, sektor unggulan Pendahuluan Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat tercermin dari Gross Domestic Product (GDP), yaitu penghitungan yang digunakan untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu. GDP dapat ukur dengan dua pendekatan yaitu pendekatan alur produk dan alur penghasilan atau pendekatan biaya (Samuelson & Nordhaus, 2004). GDP Pendekatan alur produk/ produksi, diukur dengan menghitung seluruh volume produksi dari suatu wilayah (negara) secara geografis. Dengan kata lain GDP mengukur nilai pasar dari barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang
Struktur Ekonomi dan Sektor Unggulan Kabupaten Jepara
M. Zainuri
113
berada dalam suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. GDP hanya mencakup barang dan jasa akhir, yaitu barang dan jasa yang dijual kepada pengguna yang terakhir. Untuk barang dan jasa yang dibeli untuk diproses lagi dan dijual lagi (Barang dan jasa intermediate) tidak dimasukkan dalam GDP untuk menghindari masalah double counting atau penghitungan ganda, yaitu menghitung suatu produk lebih dari satu kali. GDP pendekatan penghasilan atau pendekatan biaya merupakan total penghasilan faktor (upah, bunga, uang sewa dan laba) yang merupakan biaya dalam menghasilkan produk-produk jadi di masyarakat. Pada pendekatan penghasilan atau pendekatan biaya ini menghitung semua biaya dalam menjalankan bisnis yaitu biaya upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja, uang sewa yang dibayarkan kepada tanah, keuntungan yang dibayarkan kepada kapital dan seterusnya. GDP juga dapat digunakan untuk mempelajari perekonomian dari waktu ke waktu. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan jika tingkat kegiatan ekonominya meningkat atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan baru terjadi jika jumlah barang dan jasa secara fisik yang dihasilkan dari perekonomian tersebut bertambah besar pada tahun-tahun berikutnya. Ada dua tipe GDP, yaitu: 1) GDP dengan harga berlaku atau GDP nominal, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada tahun tersebut. 2) GDP dengan harga tetap atau GDP riil, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu. Angka-angka GDP merupakan hasil perkalian jumlah produksi (Q) dan harga (P), kalau harga-harga naik dari tahun ke tahun karena inflasi, maka besarnya GDP akan naik pula, tetapi belum tentu kenaikan tersebut menunjukkan jumlah produksi (GDP riil). Mungkin kenaikan GDP hanya disebabkan oleh kenaikan harga saja, sedangkan volume produksi tetap atau merosot. Laju pertumbuhan ekonomi pada suatu tahun tertentu dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini :
Gt =
Yrt − Yrt −1 x100% Yrt −1
Dimana, G t adalah tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah yang dinyatakan dalam persen, Yr t adalah pendapatan daerah riil pada tahun t, dan Yr t-1 adalah pendapatan daerah riil pada tahun t-1. Pertumbuhan Ekonomi Regional Pendapatan regional didefinisikan sebagai nilai produksi barang-barang dan jasajasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam suatu wilayah tertentu selama satu tahun (Sukirno, 1985). Tingkat pendapatan regional dapat diukur dari total pendapatan wilayah ataupun pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut.
114
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Pendapatan rata-rata masyarakat menunjukkan kondisi ekonomi masyarakat pada wilayah tersebut. Indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu wilayah/kabupaten dalam periode waktu tertentu ditunjukkan oleh data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang ditimbulkan oleh berbagai sektor / lapangan usaha, yang melakukan usahanya di suatu daerah tanpa memperhatikan pemilikan atas faktor produksi. Atau dengan kata lain sebagai jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah (PDRB Kabupaten Jepara, 2008). PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai dasar. PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan PDRB harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi wilayah dari tahun ke tahun. Tolok ukur untuk menilai keberhasilan perekonomian secara makro ditingkat daerah adalah pendapatan regional. Besarnya PDRB dan perkembangannya di Kabupaten Jepara dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 PDRB atas Dasar Harga Berlaku di Kabupaten Jepara 2000-2008 Tahun Besar (juta rupiah) Perkembangan (%) 2000 2.811.831,44 100,00 2001 3.250.361,67 115,60 2002 3.655.056,45 129,99 2003 4.010.481,69 142,63 2004 4.383.716,47 155,90 2005 5.018.164,13 178,47 2006 5.677.316,96 201,91 2007 6.468.910,34 230,06 2008 7.455.878,02 265,16 Sumber: BPS Kabupaten Jepara (2009) Dari tabel 1, terlihat bahwa PDRB Kabupaten Jepara pada tahun 2008 atas dasar harga berlaku sebesar Rp 7.455,88 milyar. Selama kurun waktu sembilan tahun (2000 sampai dengan 2008) PDRB Kabupaten Jepara mengalami kenaikan 2,65 kali (tahun 2000 = Rp 2.811,83 milyar) dan secara konstan berkembang 1,38 kali. Pendapatan secara sektoral dari beberapa lapangan usaha di Kabupaten Jepara yang dihitung atas dasar harga berlaku tahun 2005 sampai dengan 2008, disajikan dalam Tabel 2:
Struktur Ekonomi dan Sektor Unggulan Kabupaten Jepara
M. Zainuri
115
Tabel 2 PDRB Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Berlaku Kab. Jepara No Sektor 2005 2006 2007 2008 1 Pertanian 1.167.223,12 1.280.540,33 1.474.230,52 1.630.669,22 2 Pertambangan 30.023,79 34.488,16 39.492,87 45.396,69 3 Industri 1.324.324,87 1.511.057,44 1.730.643,07 2.013.099,44 4 Listrik 63.453,56 67.106,36 73.665,88 80.841,17 5 Bangunan 256.357,25 316.933,56 364.826,07 431.894,44 6 Perdagangan, 1.057.925,67 1.195.615,12 1.363.086,08 1.561.192,67 7 Pengangkutan 320.410,83 347.087,76 372.758,75 434.975,97 8 Keuangan, 336.151,97 393.143,59 438.919,65 512.349,60 9 Jasa-jasa 462.293,07 531.344,64 611.287,45 745.458,81 PDRB 5.018.164,13 5.677.316,96 6.468.910,34 7.455.878,02 Sumber: BPS Kabupaten Jepara (2009) Tiga sektor terpenting penyangga ekonomi Kabupaten Jepara adalah sektor industri pengolahan, pertanian dan perdagangan. Fluktuasi di tiga sektor ini, mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat Jepara (PDRB Jepara, 2009). Sektor penyangga utama roda ekonomi Jepara tahun 2008 masih pada sektor industri dengan andil sebesar 27,87 persen. Jenis industri utama di Kabupaten Jepara adalah mebel dan ukiran dari kayu. Sedangkan industri yang lainnya adalah tenun ikat Troso, konveksi, makanan, rokok, genteng, batu bata. Pada tahun 2008 sektor industri masih mampu tumbuh sebesar 4,87 persen, setelah tahun sebelumnya tumbuh sebesar 5,79 persen. Sektor pertanian senantiasa mengalami dinamika. Pada tahun 2008 hanya mampu tumbuh sebesar 1,40 persen, sedikit lebih rendah dibanding tahun 2007 yang sebesar 1,50 persen. Sub sektor tanaman bahan makanan yang pada tahun 2007 hanya tumbuh sebesar 0,71 persen, sedangkan tahun 2008 tumbuh sebesar 1,75 persen. Komoditas yang berkembang pesat adalah sayuran, sedangkan padi dan palawija mengalami penurunan. Sub sektor tanaman perkebunan pada tahun 2008 tumbuh sebesar 2,30 persen; dan kehutanan naik sebesar 6,74 persen. Sub sektor pertanian yang mengalami penurunan adalah Peternakan (-2,81 persen) dan perikanan (-5,00 persen) (PDRB Jepara, 2009). Dinamika sektor pertanian, seperti yang diuraikan di atas ternyata masih mampu menyumbang PDRB Kabupaten Jepara sebesar 22,49 persen yang berarti masih sangat penting artinya dalam memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat Jepara. Sektor perdagangan merupakan sektor ketiga yang memberikan sumbangannya pada PDRB Kabupaten Jepara. Pada tahun 2008 kontribusinya sebesar 21,51 persen, namun jika dilihat dari trend perkembangannya menunjukkan semakin melemah. Sektor-sektor unggulan Kabupaten Jepara yang menunjukkan peran dan kontribusi berarti dalam PDRB tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 dapat dilihat
116
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
pada tabel 3. Tabel 3 Kontribusi PDRB Sektoral Kab. Jepara Atas Dasar Harga Konstan No Sektor 2005 (%) 2006 (%) 2007 (%) 2008 (%) 1 Pertanian 24,77 23,92 23,18 22,49 2 Pertambangan 0,52 0,54 0,55 0,57 3 Industri 27,30 27,49 27,77 27,87 4 Listrik 0,68 0,69 0,70 0,71 5 Bangunan 4,63 4,93 5,10 5,29 6 Perdagangan, 21,95 21,71 21,69 21,51 Pengangkutan 5,46 5,48 5,45 5,46 7 Keuangan, 5,84 6,15 6,22 6,34 8 Jasa-jasa 8,84 9,08 9,34 9,75 9 PDRB 100 100 100 100 Sumber: BPS Kabupaten Jepara (2009) Penelitian oleh Bank Indonesia Jawa Tengah tahun 2009, menemukan bahwa Komoditas/Produk/Jenis usaha (KPJu) unggulan dan KPJu Potensial di Kabupaten Jepara yang mendukung perekonomian daerah serta mampu menciptakan dan menyerap tenaga kerja berdasarkan kondisinya saat ini dan prospeknya, serta memiliki daya saing yang tinggi dan menjadi unggulan urutan pertama sampai dengan urutan kelima adalah; industri mebel, industri tenun ikat troso, perdagangan mebel, tanaman pangan kacang tanah, tanaman pangan padi sawah (Bank Indonesia 2009). Data BPS Kabupaten Jepara (2009) Secara sektoral juga menunjukkan bahwa sektor pertanian, sektor industri dan sektor perdagangan memiliki sumbangan terbesar terhadap PDRB serta dominan menyerap jumlah tenaga kerja, data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4 berikut: Tabel 4 Sektor Unggulan Jepara 2008 Sektor Kontribusi Serapan Lapangan kerja No Unggulan pada PDRB Pertanian 22,49 133.330 orang (18,49 %) 1 2 Industri 27,49 323.988 orang (44,93 %) Perdagangan 21,51 109.965 orang (15,25 %) 3 Sumber: BPS Kabupaten Jepara (2009), diolah Mendasarkan pada Tabel 4, dari jumlah penduduk Kabupaten Jepara tahun 2008 sebanyak 1.090.839 orang (BPS Kabupaten Jepara 2009) dan yang masuk dalam usia angkatan kerja sebanyak 721.092 orang. Ketiga sektor unggulan dapat menyerap sebanyak 567.283 orang atau 78,67 persen. Jika dilihat dari data tahun-tahun sebelumnya, diketahui bahwa ada peningkatan
Struktur Ekonomi dan Sektor Unggulan Kabupaten Jepara
M. Zainuri
117
peran sektor nonpertanian, sehingga kontribusi sektor pertanian dalam PDRB terus menurun. Pada tahun 2008, kontribusi sektor pertanian sekitar 22,49 persen, sedangkan pada tahun sebelumnya (2007) kontribusinya adalah sekitar 23,14 persen. Namun di sisi lain, sektor pertanian masih menjadi salah satu andalan penyerapan tenaga kerja, yaitu 18,49 persen. Metode Location Quotient (LQ) Metode LQ banyak digunakan untuk membahas kondisi perekonomian yang mengarah pada identifikasi spesialisasi kegiatan perekonomian atau mengukur konsentrasi relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran dalam penerapan sektor unggulan sebagai leading sector suatu kegiatan ekonomi. Secara matematik, Location Quotient (LQ) diformulasikan sebagai perbandingan relatif antara kemampuan suatu sektor di daerah yang diamati dengan kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas. Rumus LQ: LQ = ( ntbi / pdrb ) / ( NTBBi / PDRB ) keterangan: LQ = Location Quotient ntbi = Nilai tambah bruto sektor i di suatu daerah yang lebih kecil pdrbi = PDRB daerah yang lebih kecil NTBi = Nilai tambah bruto sektor i di suatu daerah yang lebih luas PDRBi = PDRB daerah yang lebih luas Setiap metode analisis memiliki kelebihan dan keterbatasan. Kelebihan metode LQ dalam mengidentifikasi sektor basis antara lain penerapannya sederhana, mudah dan tidak memerlukan program pengolahan data yang rumit. Sedangkan kelemahannya adalah analisis LQ tidak bisa menjawab apa yang menyebabkan sebuah sektor menjadi sektor unggulan. Selain itu, dalam analisis LQ juga diperlukan data pembanding antara dua wilayah pada periode yang sama. Hasil perhitungan analisis LQ menghasilkan 3 kriteria, yaitu: 1) LQ > 1, artinya sektor tersebut menjadi basis atau memiliki keunggulan komparatif. Komoditas di sektor tersebut tidak saja dapat memenuhi kebutuhan di wilayahnya sendiri tapi juga dapat diekspor ke luar wilayah. 2) LQ = 1, artinya sektor tersebut tergolong non basis, tidak memiliki keungulan komparatif. Komoditas sektor tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan di wilayahnya sendiri. 3) LQ < 1, artinya sektor tersebut tergolong non basis. Komoditas di sektor tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan atau impor dari luar wilayah. Metode LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. Nilai LQ di Kabupaten Jepara, dapat diketahui pada tabel 5. 118
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Tabel 5 Nilai LQ Kab. Jepara Menurut Harga Konstan 2005-2008 No
2005
2006
2007
2008*
1,21 0,51 0,85 0,83 0,83 1,04 1,12
1,10 0.62 1,05 1,08 0.98 1.07 1,02
1,11 0,59 1,04 1,04 0,97 1,05 1,13
1,17 0,61 0,84 0,99 0,99 1,06 1.16
1,65 2,05 9. Jasa-jasa 0,88 0,92 Sumber: PDRB Kabupaten Jepara 2005-2008, Diolah
1.95 0,93
1,93 0,93
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan Industri Listrik Bangunan Perdagangan Pengangkutan Keuangan
Berdasar nilai LQ pada tabel 5 dapat diketahui bahwa sektor basis yang berpotensi untuk mendapatkan prioritas dan dapat dikembangkan di Kabupaten Jepara tahun 2008, meliputi: sektor Pertanian, sektor Perdagangan, Hotel & Restoran dan sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan karena nilai LQ lebih dari satu. Hasil dari penghitungan LQ menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan walaupun memberikan sumbangan terbesar pada PDRB Kabupaten Jepara, tetapi mempunyai nilai LQ pada tahun 2008 kurang dari satu. Berdasarkan nilai LQ tersebut, maka untuk tingkat Jawa Tengah sektor ini kurang mampu bersaing dengan daerah lain. Sektor industri pengolahan walaupun dengan pendekatan nilai LQ tidak masuk dalam kategori sektor unggulan, namun sangat potensial mengingat bahwa 44,93 persen angkatan kerja atau 323.988 orang bekerja dan menggantungkan penghasilannya dari sektor ini. Disamping itu sektor Perdagangan, Hotel & Restoran yang memiliki nilai LQ lebih dari 1, dalam pencapaiannya terkait dengan perdagangan mebel / ekspor mebel. Dari 763 eksportir pada tahun 2003, 71,7 persennya (547) merupakan eksportir mebel. Pada perkembangannya jumlah eksportir ini makin menurun. Tahun 2008 jumlah keseluruhan eksportir tinggal 315 eksportir dan eksportir mebel sebanyak 272. Jika dibandingkan dengan jumlah eksportir tahun 2003, ada sekitar 49,7 persen yang masih bertahan (BPS Kabupaten Jepara, 2009). Dilihat dari nilai ekspor (value) US Dolar jumlah nilai ekspor mebel pada tahun 2003 sebesar U$114.748.360,65, sedangkan tahun 2008 nilai ekspor turun sebesar U$ 101.857.463,8. Jika dihitung persentase nilai ekspor produk mebel tahun 2008, hanya 88,76 persen dari nilai ekspor tahun 2003 (BPS kabupaten Jepara, 2009)
Struktur Ekonomi dan Sektor Unggulan Kabupaten Jepara
M. Zainuri
119
Kesimpulan Struktur ekonomi Kabupaten Jepara hampir sama dengan struktur ekonomi Nasional maupun Jawa tengah, dimana tiga sektor utama yang memberikan kontribusi terhadap PDB maupun PDRB adalah sektor industri Pengolahan, sektor Pertanian dan sektor Perdagangan. Sektor unggulan yang menjadi basis ekonomi di Kabupaten Jepara berdasarkan nilai LQ > 1 dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 adalah sektor Pertanian, sektor Perdagangan, sektor Pengangkutan/transportasi, sektor Keuangan dan sektor Jasa. Sektor Industri Pengolahan pada tahun 2007 dan 2008 memiliki nilai LQ > 1, namun tahun 2009 mengalami penurunan sehingga nilai LQ < 1. Penyebab menurunnya nilai LQ sektor industri pada tahun 2009 diantaranya adalah menurunnya kinerja industri mebel di Jepara akibat krisis ekonomi Global awal 2009.
Daftar Pustaka Bank Indonesia, 2009, Pertumbuhan GDP Indonesia, Jakarta. Biro Pusat Statistik, 2008, Statistik Indonesia 1995-2008, Jakarta. _______________, 2007, Jepara dalam Angka, Jepara. _______________, 2006, Jepara dalam Angka, Jepara. _______________, 2005, Jepara dalam Angka, Jepara _______________, 2004, Jepara dalam Angka, Jepara. Samuelson, Paul, A. dan Nordhaus, Illian D., 2004, Makro Ekonomi (Terjemahan). Edisi keempat Belas, Penerbit Erlangga, Jakarta. Todaro, Michael P, 2003, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Kedelapan, Terjemahan Haris Munandar, Penerbit Erlangga, Jakarta.
120
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN PERBANKAN DI BURSA EFEK INDONESIA Dul Muid Fak. Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, Jl. Erlangga Tengah No.17 Semarang Email:
[email protected]
Abstract The study aims to test the effect of institutional ownership structure and corporate governance on earnings management. Institutional ownership is measured by using the percentage of stock ownership by financial institutional investors and corporate governance is measured using the four proxies (proportion of independent commissioners, board size, the existence of an audit committee, company size). The method of analysis used is multiple regression. The study used data from the Indonesia Stock Exchange with a sample of 20 banking companies for the period 2004-2006. Results showed that all variables are institutional ownership, the proportion of independent commissioners, board size, the existence of an audit committee, company size has no effect on earnings management. Large influence of institutional ownership, the proportion of independent commissioners, board size, the existence of an audit committee, firm size on earnings management in manufacturing companies in Indonesia Stock Exchange was 14.3 percent while the rest 85.7 percent are influenced other variables outside research or outside the model equations regression Keywords: earnings management, institutional ownership, corporate governance Abstrak Penelitian bertujuan untuk menguji pengaruh struktur kepemilikan institusional dan corporate governance terhadap manajemen laba. Kepemilikan institusional diukur dengan menggunakan persentase kepemilikan saham perusahaan oleh investor institusi keuangan dan corporate governance diukur menggunakan empat proksi (Proporsi dewan komisaris independen, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, ukuran perusahaan). Metode analisis yang digunakan adalah regresi berganda. Penelitian menggunakan data dari Bursa Efek Indonesia dengan sampel sebanyak 20 perusahaan perbankan untuk periode tahun 2004-2006. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua variabel yaitu kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independen, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Besar pengaruh kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independen, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, ukuran perusahaan terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia adalah 14,3 persen sedang sisanya
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia
Dul Muid
121
85,7 persen dipengaruhi variabel lain diluar model persamaan regresi Kata kunci: manajemen laba, kepemilikan institusional, corporate governance Pendahuluan Laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi yang digunakan untuk menilai posisi keuangan dan kinerja perusahaan. Laporan keuangan terdiri dari neraca, laporan rugi laba, dan laporan perubahan ekuitas yang disusun berdasarkan akrual serta laporan arus kas yang berdasarkan dasar kas. Oleh karena itu, dasar akrual dalam laporan keuangan memberikan kesempatan kepada manajer memodifikasi laporan keuangan untuk menghasilkan jumlah laba (earnings) yang diinginkan. Generally Accepted Accounting Principle (GAAP) atau Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum (PABU) juga memberikan keleluasaan bagi manajer untuk memilih metode akuntansi yang akan digunakan dalam menyusun laporan keuangan (Fanani, 2006). Pilihan manajerial tersebut dapat memicu manajer untuk melakukan perilaku manajemen laba informatif (informative earning management) atau manajemen laba oportunistik (opportunistic earning management). Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada pihak-pihak di luar korporasi. Dalam penyusunan laporan keuangan, dasar akrual dipilih karena lebih rasional dan adil dalam mencerminkan kondisi keuangan perusahaan secara riil, namun di sisi lain penggunaan dasar akrual dapat memberikan keleluasaan kepada pihak manajemen dalam memilih metode akuntansi selama tidak menyimpang dari aturan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku. Pilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan sebutan manajemen laba atau earnings management. Scott (2000) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan political costs (opportunistic Earnings Management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient Earnings Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu. Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000). 122
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Manajemen laba merupakan area yang kontroversial dan penting dalam akuntansi keuangan. Beberapa pihak yang berpendapat bahwa manajemen laba merupakan perilaku yang tidak dapat diterima, mempunyai alasan bahwa manajemen laba berarti suatu pengurangan dalam keandalan informasi laporan keuangan. Investor mungkin tidak menerima informasi yang cukup akurat mengenai laba untuk mengevaluasi return dan risiko portofolionya (Ashari dkk, 1994) dalam Assih (2004). Keberadaan asimetri informasi dianggap sebagai penyebab manajemen laba. Richardson (1998) berpendapat bahwa terdapat hubungan yang sistematis antara magnitude asimetri informasi dan tingkat manajemen laba. Fleksibilitas manajemen untuk memanajemen laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar. Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba. Akhir-akhir ini laporan keuangan dijadikan sebagai sumber penyalahgunaan informasi yang merugikan pihak-pihak yang berkepentingan. Tahun 2001 tercatat skandal keuangan di perusahaan publik yang melibatkan manipulasi laporan keuangan oleh PT Lippo Tbk dan PT Kimia Farma Tbk (Boediono, 2005). Hal tersebut membuktikan bahwa praktik manipulasi laporan keuangan tetap dilakukan oleh pihak korporat meskipun sudah menjauhi periode krisis tahun 1997-1998. Salah satu penyebab praktik manipulasi laporan keuangan adalah kurangnya penerapan corporate governance. Adanya manipulasi laporan keuangan oleh pihak korporat menunjukkan lemahnya praktik corporate governance di Indonesia (Alijoyo dkk, 2004). Selain di Indonesia bukti yang menunjukkan lemahnya praktik corporate governance juga terjadi pada perusahaan-perusahaan terkemuka seperti kasus Enron, Xerox, Tyco, Global Crossing dan WorldCom. Pada kasus-kasus tersebut melibatkan banyak pihak dan berdampak luas. Seperti pada kasus Enron melibatkan CEO (Chief Executive Officer), komisaris, komite audit, internal auditor sampai eksternal auditor (Mayangsari, 2003). Corporate governance merupakan konsep yang diajukan demi peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja manajemen dan menjamin akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan pada kerangka peraturan. Konsep corporate governance diajukan demi tercapainya pengelolaan perusahaan yang lebih transparan bagi semua pengguna laporan keuangan. Bila konsep ini diterapkan dengan baik maka diharapkan pertumbuhan ekonomi akan terus menanjak seiring dengan transparansi pengelolaan perusahaan yang makin baik dan nantinya menguntungkan banyak pihak. Sistem corporate governance memberikan perlindungan efektif bagi pemegang saham dan kreditor sehingga mereka yakin akan memperoleh return atas investasinya dengan benar. Corporate governance juga membantu menciptakan lingkungan kondusif demi terciptanya pertumbuhan yang efisien dan sustainable di sektor korporat. Corporate governance dapat didefinisikan sebagai susunan aturan yang menentukan hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditor, pemerintah, karyawan, dan stakeholder internal dan eksternal yang lain sesuai dengan hak dan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia
Dul Muid
123
tanggung jawabnya (FCGI, 2003). Penelitian mengenai efektifitas corporate governance dalam melindungi investor di Indonesia telah banyak dilakukan, antara lain: Midiastuty dan Machfoedz (2003), Veronica dan Bachtiar (2004), Wedari (2004), dan Wilopo (2004), Boediono (2005), Veronica dan Utama (2005), Sugiarta (2004). Penelitian ini mencakup perusahaan yang listing di BEJ kecuali perusahaan perbankan. Oleh karena itu, perlu suatu penelitian tentang efektifitas corporate governance di industri perbankan karena karakteristik industri perbankan yang berbeda dengan industri lainnya. Industri perbankan mempunyai regulasi yang lebih ketat dibandingkan dengan industri lain, misalnya suatu bank harus memenuhi kriteria CAAR minimum. Bank Indonesia menggunakan laporan keuangan sebagai dasar dalam penentuan status suatu bank (apakah bank tersebut merupakan bank yang sehat atau tidak). Oleh karena itu, manajer mempunyai insentif untuk melakukan manajemen laba supaya perusahaan mereka dapat memenuhi kriteria yang disyaratkan oleh BI (Setiawati dan Na’im, 2001, dan Rahmawati dan Baridwan, 2006). Setiawati dan Na’im (2001), Rahmawati (2006), dan Rahmawati dan Baridwan (2006) menunjukkan bahwa perbankan di Indonesia melakukan manajemen laba untuk memenuhi kriteria BI tersebut. Setiawati dan Na’im (2001) berargumen bahwa laporan keuangan yang telah direkayasa oleh manajemen dapat mengakibatkan distorsi dalam alokasi dana. Selain itu, industri perbankan merupakan industri “kepercayaan”. Jika investor berkurang kepercayaannya karena laporan keuangan yang bias karena tindakan manajemen laba, maka mereka akan melakukan penarikan dana secara bersama-sama yang dapat mengakibatkan rush. Oleh karena itu, perlu suatu mekanisme untuk meminimalkan manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan perbankan. Salah satu mekanisme yang dapat digunakan adalah praktik corporate governance. Oleh karena itu penelitian ini menguji pengaruh struktur kepemilikan institusional dan corporate governance terhadap manajemen laba di Indonesia. Tinjauan Pustaka Dan Pengembangan Hipotesis Kepemilikan Institusi dan Manajemen Laba Melalui mekanisme kepemilikan institusional, efektivitas pengelolaan sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba. Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga mengurangi tindakan manajemen melakukan manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Gideon, 2005 dalam Ujiyantho dan Pramuka, 2007). Kehadiran kepemilikan institusional yang tinggi membatasi manajer untuk melakukan manajemen laba. Investor institusional mampu mengurangi insentif bagi 124
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
perilaku oportunisitik manajer dengan memberikan derajat monitoring yang lebih tinggi terhadap perilaku manajerial dibandingkan dengan investor perorangan (Bushee, 1998 dalam Suranta dan Midiastuty, 2006). Midiastuty dan Mahfoedz (2003) serta Boediono (2005) juga menemukan bahwa kehadiran kepemilikan institusional yang tinggi mampu membatasi manajer untuk melakukan manajemen laba. Tetapi yang perlu menjadi perhatian adalah manajemen laba dapat bersifat efisien, tidak selalu oportunistik. Jika manajemen laba tersebut efisien maka kepemilikan institusional yang tinggi justru akan meningkatkan keinformatifan laba dalam mengkomunikasikan informasi privat, tetapi jika manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan bersifat oportunis maka kepemilikan institusional yang tinggi akan membatasi manajemen laba. H1: Struktur kepemilikan institusional berpengaruh terhadap manajemen laba Proporsi Dewan Komisaris dan Manajemen Laba Secara umum dewan komisaris ditugaskan dan diberi tanggung jawab atas pengawasan kualitas informasi yang terkandung dalam laporan keuangan. Hal ini penting mengingat adanya kepentingan dari manajemen untuk melakukan manajemen laba yang berdampak pada berkurangnya kepercayaan investor. Untuk mengatasinya dewan komisaris diperbolehkan untuk memiliki akses pada informasi perusahaan. Dewan komisaris tidak memiliki otoritas dalam perusahaan, maka dewan direksi bertanggung jawab untuk menyampaikan informasi terkait dengan perusahaan kepada dewan komisaris (NCCG, 2001). Selain mensupervisi dan memberi nasihat pada dewan direksi sesuai dengan UU No. 1 tahun 1995, fungsi dewan komisaris yang lain sesuai dengan yang dinyatakan dalam National Code for Good Corporate Governance 2001 adalah memastikan bahwa perusahaan telah melakukan tanggung jawab sosial dan mempertimbangkan kepentingan berbagai stakeholder perusahaan sebaik memonitor efektifitas pelaksanaan good corporate governance. Penelitian mengenai keberadaan dewan komisaris telah dilakukan diantaranya Peasnell dkk (1998) meneliti efektifitas dewan komisaris dan komisaris independen terhadap manajemen laba yang terjadi di Inggris. Dengan menggunakan sampel penelitian yang terdiri dari 1178 perusahaan tahun selama periode 1993-1996, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan komisaris independen membatasi pihak manajemen untuk melakukan manajemen laba. Xie, Davidson, dan Dadalt (2003) meneliti peran dewan komisaris dengan latar belakang bidang keuangan dalam mencegah manajemen laba. Dari penelitian ini diketahui makin sering dewan komisaris bertemu maka akrual kelolaan perusahaan makin kecil. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien negatif yang signifikan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa persentase dewan komisaris dari luar perusahaan yang independen berpengaruh negatif secara signifikan terhadap akrual kelolaan. H2: Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap manajemen laba
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia
Dul Muid
125
Ukuran Dewan Komisaris dan Manajemen Laba Dapat dijelaskan dengan adanya agency problems (masalah keagenan), yaitu dengan makin banyaknya anggota dewan komisaris maka badan ini akan mengalami kesulitan dalam menjalankan perannya, diantaranya kesulitan dalam berkomunikasi dan mengkoordinir kerja dari masing-masing anggota dewan itu sendiri, kesulitan dalam mengawasi dan mengendalikan tindakan dari manajemen, serta kesulitan dalam mengambil keputusan yang berguna bagi perusahaan (Yermack 1996, Jensen 1993). Adanya kesulitan dalam perusahaan dengan anggota dewan komisaris yang banyak ini membuat sulitnya menjalankan tugas pengawasan terhadap manajemen perusahaan yang nantinya berdampak pula pada kinerja perusahaan yang semakin menurun (Yermack 1996; Eisenberg dkk, 1998). Terkait manajemen laba, ukuran dewan komisaris dapat memberi efek yang berkebalikan dengan efek terhadap kinerja. Hal ini bisa dimengerti karena sesuai dengan pernyataan Scott (2000) bahwa melakukan manajemen laba dapat dilaksanakan dengan berbagi cara salah satunya menurunkan laba (income decreasing earnings management). Untuk itu hubungan yang terjadi antara ukuran dewan komisaris dan manajemen laba harusnya positif, makin banyak anggota dewan komisaris maka makin banyak manajemen laba yang terjadi. Kondisi ini tidak diikuti oleh beberapa penelitian. Yu (2006) menemukan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh negatif secara signifikan terhadap manajemen laba yang diukur dengan menggunakan model Modified Jones untuk memperoleh nilai akrual kelolaannya. Hal ini menandakan bahwa makin sedikit dewan komisaris maka tindak manajemen laba makin banyak karena sedikitnya dewan komisaris memungkinkan bagi organisasi tersebut untuk didominasi oleh pihak manajemen dalam menjalankan perannya. Chtourou dkk, (2001) juga menyatakan hal yang sama dengan Yu (2006), namun dalam penelitian mereka hal ini hanya terjadi pada kasus dimana manajemen laba dilakukan dengan penurunan laba (income decreasing), sedang untuk kasus sebaliknya (income increasing earnings management) hasilnya tidak signifikan. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Zhou dan Chen (2004) menunjukkan bahwa ukuran dewan komisaris di bank komersial tidak berpengaruh terhadap earnings management yang diukur dengan menggunakan loan loss provisions. Zhou dan Chen (2004) juga membagi kriteria manajemen laba tinggi dan rendah dan mengujinya secara terpisah. Pengujian tersebut menyimpulkan bahwa ukuran dewan komisaris secara signifikan berpengaruh dalam menghalangi tindak manajemen laba untuk perusahaan yang melakukan manajemen laba tinggi. Xie, Davidson, dan Dadalt (2003) juga menyatakan hal yang sama yaitu makin banyak dewan komisaris maka pembatasan atas tindak manajemen laba dapat dilakukan lebih efektif. Hasil yang sejalan dengan Yermack (1996), Eisenberg dkk, (1998), dan Jensen (1993) diantaranya Beasley (1996) yang melaporkan bahwa pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap kecurangan dalam pelaporan keuangan adalah positif secara signifikan. Untuk itu penelitian ini mendukung bahwa dewan komisaris yang lebih 126
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
banyak kurang efektif dalam melakukan pengendalian terhadap manajemen. H3: Ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap manajemen laba Komite Audit dan Manajemen Laba Sesuai dengan Kep. 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan perusahaan. Komite audit merupakan komponen baru dalam sistem pengendalian perusahaan. Selain itu komite audit dianggap sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian. Berdasarkan Surat Edaran BEJ, SE-008/BEJ/12-2001, keanggotaan komite audit terdiri dari sekurangkurangnya tiga orang termasuk ketua komite audit. Anggota komite ini yang berasal dari komisaris hanya sebanyak satu orang, anggota komite yang berasal dari komisaris tersebut merupakan komisaris independen perusahaan tercatat sekaligus menjadi ketua komite audit. Anggota lain yang bukan merupakan komisaris independen harus berasal dari pihak eksternal yang independen. Seperti diatur dalam Kep-29/PM/2004 yang merupakan peraturan yang mewajibkan perusahaan membentuk komite audit, tugas komite audit antara lain: 1. Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan perusahaan, seperti laporan keuangan, proyeksi dan informasi keuangan lainnya, 2. Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundangundangan di bidang pasar modal dan peraturan perundangan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan, 3. Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal, 4. Melaporkan kepada komisaris berbagai risiko yang dihadapi perusahaan dan pelaksanaan manajemen risiko oleh direksi, 5. Melakukan penelaahan dan melaporkan kepada dewan komisaris atas pengaduan yang berkaitan dengan emiten. 6. Menjaga kerahasiaan dokumen, data, dan rahasia perusahaan. Penelitian mengenai komite audit diantaranya penelitian oleh Davidson dkk, (2004) yang menganalisis reaksi pasar terhadap pengumuman penunjukan anggota komite audit secara sukarela. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan pasar bereaksi positif terhadap pengumuman penunjukan anggota komite audit terutama yang ahli di bidang keuangan. Xie dkk, (2003) menguji efektifitas komite audit dalam mengurangi manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini berupa kesimpulan bahwa komite audit yang berasal dari luar mampu melindungi kepentingan pemegang saham dari tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen. Pengaruh terhadap akrual kelolaan ditunjukkan oleh makin seringnya komite audit bertemu dan pengaruh tersebut ditunjukkan dengan koefisien negatif yang signifikan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia
Dul Muid
127
Carcello dkk, (2006) menyelidiki hubungan antara keahlian komite audit di bidang keuangan dan manajemen laba. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keahlian komite audit independen di bidang keuangan terbukti efektif mengurangi manajemen laba. Suaryana (2005) meneliti hubungan antara keberadaan komite audit yang memenuhi syarat dan pengaruhnya terhadap earnings response coefficient. Temuan yang didapat dari penelitian ini adalah earnings response coefficient perusahaan yang telah memiliki komite audit yang memenuhi syarat lebih tinggi bila dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki komite audit yang memenuhi syarat. Ini berarti keberadaan komite audit yang memenuhi syarat dalam perusahaan direspon lebih baik oleh pasar. Utama dan Leonardo (2006) memberikan bukti empiris tentang dampak komposisi komite audit dan kendali dari pengelola perusahaan pada efektivitas komite audit berdasarkan survey atas komite audit perusahaan yang listing di BEJ. Mereka menemukan bukti bahwa komposisi komite audit memiliki dampak positif yang signifikan dalam efektivitas komite audit. Selain itu penelitian ini juga menunjukkan beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas komite audit secara signifikan selain komposisinya, diantaranya kekuatan mengendalikan perusahaan oleh pemegang saham, makin banyaknya perwakilan komisaris independen dalam dewan komisaris, pengendalian oleh dewan komisaris, dan lamanya komite audit menjabat. Penelitian Veronica dan Utama (2005) menguji pengaruh keberadaan komite audit dalam perusahaan terhadap manajemen laba. Penelitian tersebut melaporkan bahwa variabel keberadaan komite audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba perusahaan. Artinya keberadaan komite audit tidak mampu mengurangi manajemen laba yang terjadi di perusahaan. Penelitian oleh Veronica dan Bachtiar (2004) menemukan bahwa komite audit memiliki hubungan yang signifikan dengan akrual kelolaan perusahaan manufaktur di Indonesia khususnya untuk periode 2001- 2002, artinya kehadiran komite audit secara efektif menghalangi peningkatan manajemen laba di perusahaan tersebut. Veronica dan Bachtiar (2004) juga meneliti pengaruh interaksi dari persentase komite audit dengan akrual diskresioner, dan hasil dari penelitian tersebut menunjukkan adanya koefisien positif yang signifikan dalam hubungan antara reaksi pasar dan interaksi antara komite audit dan akrual diskresioner. Hal ini membuktikan bahwa pasar menilai positif akrual kelolaan perusahaan yang memiliki komite audit yang diindikasikan dengan tingginya return perusahaan Wedari (2004) menguji pengaruh interaksi antara dewan komisaris dan komite audit terhadap praktik manajemen laba. Dengan menggunakan sampel perusahaan non finansial yang listing di BEJ untuk tahun 1994 hingga 2002, Wedari (2004) menunjukkan interaksi dewan komisaris dengan komite audit justru berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Hasil tersebut bertolak belakang dengan hasil penelitian lain yang serupa, artinya dengan adanya dewan komisaris dan komite audit belum berhasil mengurangi manajemen laba karena keberadaan mereka manajer dapat melakukan 128
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
manajemen laba dengan lebih leluasa. Setiawan (2006) menunjukkan bahwa komite audit berpengaruh signifikan secara positif terhadap kualitas laba (earnings response coefficient), artinya dengan adanya komite audit maka perusahaan dapat meningkatkan kualitas laba yang dilaporkan. Wilopo (2004) menganalis hubungan dewan komisaris independen, komite audit, kinerja perusahaan dan akrual diskresioner. Dari penelitian tersebut dilaporkan bahwa kehadiran komite audit dan dewan komisaris independen mampu mempengaruhi secara negatif praktik manajemen laba di perusahaan. Hal ini menandakan bahwa mekanisme corporate governance diatas penting untuk menjamin terlaksananya praktik perusahaan yang adil (fair) dan transparan. H4: Komite audit berpengaruh terhadap manajemen laba Ukuran Perusahaan dan Manajemen Laba Selain penelitian diatas, maka perlu dilakukan pengujian juga terhadap ukuran perusahaan dan pengaruhnya terhadap manajemen laba. Perusahaan yang besar lebih diperhatikan oleh masyarakat sehingga mereka akan lebih berhati-hati dalam melakukan pelaporan keuangan, sehingga berdampak perusahaan tersebut melaporkan kondisinya lebih akurat. Peasnell dkk, (1998) menunjukkan adanya hubungan negatif antara ukuran perusahaan dan manajemen laba di Inggris. Dengan ini disimpulkan bahwa manajer yang memimpin perusahaan yang lebih besar memiliki kesempatan yang lebih kecil dalam memanipulasi laba dibandingkan dengan manajer di perusahaan kecil. Penelitian Chtourou dkk, (2001) menemukan bahwa ukuran perusahaan di Amerika Serikat berpengaruh negatif terhadap manajemen laba pada semua kelompok pengujian. Perusahaan yang lebih besar berkesempatan lebih kecil dalam melakukan manajemen laba dibandingkan perusahaan kecil. Dari pengujian Veronica dan Utama (2005) dilaporkan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap besaran manajemen laba adalah ukuran perusahaan. Makin besar ukuran perusahaan, makin kecil tindak manajemen labanya. Rahmawati dan Baridwan (2006) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan yang diukur dengan menggunakan kapitalisasi pasar berpengaruh signifikan positif terhadap manajemen laba perusahaan. Ini menunjukkan bahwa manajer perusahaan besar mendapat insentif yang lebih ketika dia melakukan manajemen laba demi mengurangi kos politisnya (Rahmawati dan Baridwan, 2006). H5: Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba Metode Penelitian Populasi dan sampel Populasi penelitian adalah perusahaan-perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI pada periode tahun 2004-2006. Sampel perusahaan dipilih dari keseluruhan populasi perusahaan perbankan di BEI dan berdasarkan ketersediaan data untuk menghitung variabel-variabel yang dijelaskan sebelumnya.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia
Dul Muid
129
Variabel dan Pengukurannya 1. Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan oleh institusi keuangan seperti perusahaan asuransi, bank, dana pensiun dan investment banking. Variabel ini diukur dengan membagi persentase jumlah kepemilikan institusional dari jumlah saham yang beredar. 2. Praktik corporate governance Tiga proksi dari praktik corporate governance yang digunakan, yaitu: a. Proporsi Dewan Komisaris Independen Dalam rangka menyelenggarakan pengelolaan corporate governance, perusahaan tercatat wajib memiliki komisaris independen yang jumlahnya proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah seluruh anggota dewan komisaris. Komposisi dewan komisaris terdiri dari orang dalam perusahaan seluruhnya atau orang luar perusahaan seluruhnya atau kombinasi orang dalam dan luar perusahaan. Proporsi dewan komisaris independen dihitung dengan membagi jumlah dewan komisaris independen dengan total anggota dewan komisaris. b. Ukuran dewan komisaris Ukuran dewan komisaris merupakan jumlah anggota dewan komisaris perusahaan (Beiner dkk, 2003). Dewan komisaris bertanggung jawab dan berwenang mengawasi tindakan manajemen, dan memberikan nasehat kepada manajemen jika dipandang perlu oleh dewan komisaris (KNKG, 2004). Ukuran dewan komisaris diukur dengan menggunakan indikator jumlah anggota dewan komisaris suatu perusahaan. c. Komite audit Untuk menentukan apakah perusahaan mempunyai komite audit atau tidak akan dicek di laporan tahunan masing-masing perusahaan dan pengumuman yang dikeluarkan BEI. Variabel ini merupakan variabel dummy. Diberikan skala 1 jika perusahaan mempunyai komite audit dan 0 jika perusahaan tidak mempunyai komite audit. 3. Ukuran perusahaan Selain penelitian diatas, maka perlu dilakukan pengujian juga terhadap ukuran perusahaan dan pengaruhnya terhadap manajemen laba. Perusahaan yang besar lebih diperhatikan oleh masyarakat sehingga mereka akan lebih berhati-hati dalam melakukan pelaporan keuangan, sehingga berdampak perusahaan tersebut melaporkan kondisinya lebih akurat. Untuk menghitung ukuran perusahaan menggunakan logaritma natural dari total asset. 4. Manajemen Laba Manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa 130
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
keuntungan pribadi (Schipper, 1989). Penggunaan discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba dihitung dengan menggunakan Modified Jones Model (Dechow dkk, 1995). (1) TA it = N it – CFO it Nilai total accrual (TA) yang diestimasi dengan persamaan regresi OLS: TA it /A it-1 =β1(1 / A it-1 )+β2(ΔRev t / A it-1 )+β3(PPE t / A it-1 )+e (2) Dengan menggunakan koefisien regresi diatas nilai non discretionary accruals (NDA) dapat dihitung dengan rumus : (3) NDA it =β1(1 / A it-1 )+β2(ΔRev t / A it-1 - ΔRect/ A it-1 )+β3(PPE t / A it-1 ) Selanjutnya discretionary accrual (DA) dapat dihitung sebagai berikut: DA it = TA it / A it-1 – NDA it
(4)
Keterangan : DA it = Discretionary Accruals perusahaan i pada periode ke t NDA it = Non Discretionary Accruals perusahaan i pada periode ke t = Total akrual perusahaan i pada periode ke t TA it = Laba bersih perusahaan i pada periode ke-t N it CFO it = Aliran kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada periode ke t = Total aktiva perusahaan i pada periode ke t-1 A it-1 ΔRev t = Perubahan pendapatan perusahaan i pada periode ke t PPE t = Aktiva tetap perusahaan pada periode ke t Δrec t = Perubahan piutang perusahaan i pada periode ke t e = error Teknik Analisis Pengujian Asumsi Klasik Data penelitian diuji terlebih dahulu untuk mengetahui terpenuhi tidaknya asumsi klasik: 1). menguji normalitas data dengan one sampel kolmogorov smirnov, 2). menguji heteroskedastisitas menggunakan uji glejser, 3). menguji multikolinearites dengan melihat tolerance value dan variance inflation factor (VIF), 4. menguji autokorelasi dengan uji Durbin-Watson. Analisis Regresi Sebelum dilakukan pengujian kekuatan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, maka terlebih dahulu dilakukan pengujian untuk membuktikan bahwa tahun yang diamati telah terindikasi adanya tindakan manajemen laba, kemudian dilakukan pengujian hipotesis dengan menerapkan model regresi berganda:
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia
Dul Muid
131
DA it = α + ß 1 INST + ß 2 PDK + ß 3 UDK + ß 4 KKA + ß 5 UKP + ε it Keterangan: α : Konstanta ß : Koefisien Regresi : discretionary accruals DA it INST : kepemilikan institusional PDK : proporsi dewan komisaris UDK : ukuran dewan komisaris KKA : keberadaan komite audit UKP : ukuran perusahaan ε : error Hasil Analisis dan Pembahasan Uji Asumsi Klasik Berdasar uji asumsi klasik yang dilakukan, terlihat bahwa model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas. Maka perlu dilakukan perbaikan terhadap model regresi yaitu dengan menggunakan model logaritma natural. Sehingga model yang baru menjadi: lnDA it = α + ß 1 lnINST + ß 2 PDK + ß 3 lnUDK + ß 4 KKA + ß 5 UKP + ε it Variabel PDK tidak diperlakukan logaritma natural karena berbentuk presentase. Untuk KKA tidak diberi perlakuan logaritma natural karena merupakan variabel dummy. Sedangkan untuk UKP tidak diberi perlakuan logaritma natural karena sudah mendapat perlakuan logaritma natural. Berdasarkan hasil analisis data setelah perbaikan model, probabilitas signifikansi dari uji Kolmogorov Smirnov sebesar 0,381 yang mana nilai signifikansi tersebut lebih besar dari nilai signifikansi yang telah ditentukan yaitu 0,05. Sehingga berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov dapat dijelaskan bahwa data terdistribusi secara normal. Pengujian Hipotesis Dari hasil uji statistik t, variabel kepemilikan institusi memiliki probabilitas signifikansi sebesar 0,939, variabel proporsi dewan komisaris memiliki probabilitas sebesar 0,251, variabel ukuran dewan komisaris memiliki probabilitas signifikansi sebesar 0,828, variabel keberadaan komite audit memiliki probabilitas signifikansi sebesar 0,388, variabel ukuran perusahaan memiliki probabilitas signifikansi sebesar 0,767. Berdasarkan analisis diatas, maka dapat disimpulkan bahwa variabel kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independent, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, dan ukuran perusahaan atau semua variabel tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba karena memiliki probabilitas diatas 0,05. Pembahasan 132
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari semua variable terhadap manajemen laba. Variabel kepemilikan institusional tidak mempunyai hubungan yang signifikan terhadap manajemen laba ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ujiyantho dan Bambang (2007). Hasil penelitian ini sejalan dengan pandangan atau konsep yang mengatakan bahwa institusional adalah pemilik yang lebih memfokuskan pada current earnings (Porter,1992 dalam Pranata dan Mas’ud 2003). Akibatnya manajer terpaksa melakukan tindakan yang dapat meningkatkan laba jangka pendek, misalnya dengan manipulasi laba. Proporsi komisaris independen yang tinggi dan keberadaan komite audit tidak terbukti dapat membatasi manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Hasil ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Veronica dan Utama (2005) dan Ulfi (2006). Ada beberapa alasan yang mendasari kesimpulan ini. Pertama, pengangkatan komisaris independen dan komite audit oleh perusahaan mungkin hanya dilakukan untuk pemenuhan regulasi saja tapi tidak dimaksudkan untuk menegakkan Good Corporate Governance di dalam perusahaan. Kedua, ketentuan minimum dewan komisaris independen sebesar 30% mungkin belum cukup tinggi untuk menyebabkan para komisaris independen tersebut dapat mendominasi kebijakan yang diambil oleh dewan komisaris. Jika komisaris independen merupakan pihak mayoritas (> 50%) maka mungkin dapat lebih efektif dalam menjalakan peran monitoring dalam perusahaan. Tetapi jika pengangkatannya belum dilandasi kebutuhan perusahaan tapi hanya sebatas pemenuhan regulasi, maka proporsi dewan komisaris mungkin tidak perlu diperbanyak, tetap sesuai peraturan yang ada (minimal 30%), dan dilihat keefektifan dewan dan juga komite audit dalam jangka waktu yang lebih panjang. Agar pengangkatan komisaris independen dan komite audit di perusahaan tidak hanya sebatas pemenuhan regulasi saja, pihak regulator perlu memikirkan cara untuk lebih menyebarluaskan perlunya penegakan GCG. Misalkan, survey seperti yang dilakukan oleh IICG dan memberikan penghargaan kepada perusahaan dengan GCG yang paling baik (Veronica dan Utama, 2005). Pihak regulator juga dapat mempublikasikan tulisan-tulisan yang menunjukkan bukti bahwa perusahaanperusahaan yang menerapkan GCG memperoleh reaksi positif dari pasar, sehingga dapat menumbuhkan kebutuhan di dalam perusahaan untuk menerapkan GCG (Veronica dan Utama, 2005). Selain itu, untuk perusahaan-perusahaan yang belum mengangkat komisaris independen dan komite audit sesuai peraturan, juga dapat dikenai sanksi yang tegas. Variabel ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ujiantho dan Bambang (2007). Hal ini dapat dijelaskan bahwa besar kecilnya dewan kmisaris bukanlah menjadi faktor penentu utama dari efektifitas pengawasan terhadap manajemen perusahaan. Variabel ukuran perusahan tidak berhubungan dengan manajemen laba hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Marihot dan Setiawan (2007) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara ukuran perusahaan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia
Dul Muid
133
dengan manajemen laba. Penutup Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian serta hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hasil uji hipotesis secara parsial menunjukkan bahwa : a. Kepemilikan institusional (INST) tidak berpengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia. b. Proporsi Dewan Komisaris Independen (PDK) tidak berpengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia. c. Ukuran Dewan Komisaris (UDK) tidak berpengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia. d. Keberadaan Komite Audit (KKA) tidak berpengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia. e. Ukuran Perusahaan (UKP) tidak berpengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia. 2. Secara simultan kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independent, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, ukuran perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia. 3. Besar pengaruh kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independent, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, ukuran perusahaan terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia adalah 14,3 persen sedang sisanya 85,7 persen dipengaruhi variabel lain diluar penelitian atau diluar model persamaan regresi. 4. Model persamaan regresi setelah dilakukam perbaikan data memenuhi kriteria normalitas data dan tidak terjadi penyimpangan asumsi klasik (multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi). Sehingga model mempunyai ketepatan yang tinggi untuk melakukan peramalan atau prediksi. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dari penelitian ini adalah 1. Penelitian ini hanya dilakukan pada sektor perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia, sehingga hasil penelitian ini kurang dapat digeneralisasi pada semua sektor industri pada Bursa Efek Indonesia. 2. Sampel pada periode penelitian dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 sehingga sampel yang diambil masih relatif kecil. 3. Variabel yang digunakan pada penelitian ini masih jauh dari cukup, sehingga masih adanya penambahan variabel pada penelitian mendatang. 134
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Implikasi 1. Obyek penelitian dapat diperluas pada semua sektor yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia. 2. Periode penelitian yang digunakan sebaiknya lebih dari 3 tahun agar hasil diperoleh lebih menggambarkan kondisi yang sebenar-benarnya serta koefisien determinasinya menjadi lebih meningkat lagi. 2. Menambah variabel lain berkenaan dengan rasio fundamental ataupun rasio pasar, seperti memasukkan rasio aktivitas serta rasio yang relevan lainnya. Dengan demikian hasil penelitian yang diperoleh mampu menggambarkan kondisi perusahaan secara lebih lengkap dan komprehensif. Daftar Pustaka Belkaoui, AR, 1993, Teori Akuntansi, Terjemahan: Herman Wibowo dan Marianus Siaga, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Boediono, 2005, “Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Dampak Manajemen Laba Dengan Menggunakan Analisis Jalur”, Simposium Nasional Akuntansi VIII, Vol.1, P.172-194, Solo Ghozali, I., 2005, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Edisi 3, Badan Penerbit Undip, Semarang. Gujarati, Damodar, 1999, Ekonometrika Dasar, Alih Bahasa Sumarno Zain, Penerbit Erlangga, Jakarta. Kusuma, Hadri dan Wigiya Ayu Udiana Sari, 2003, “Manajemen Laba Oleh Perusahaan Pengakuisisi Sebelum Dan Akuisisi Di Indonesia”, Jurnal Akuntansi Dan Auditing Indonesia, Vol.7 No.1 Mayangsari, S. 2003. “Analisis Pengaruh Independensi, Kualitas Audit, serta Mekanisme Corporate Governance terhadap Inegritas Laporan Keuangan”. Makalah SNA VI, hlm. 1255-1273. Midiastuty, Pratana Puspa dan Mas’ud Mahfoedz, 2003. “Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba”, Simposium Nasional Akuntansi VI, IAI, 2003 Nasution, Marihot dan Doddy Setyawan, 2007, “Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba Di Industri Perbankan Indonesia”, Simposium Nasional Akuntansi X, Makassar, Vol.1, AKPM-05 Rahmawati, Yacob Suparno, Nurul Qomariyah, 2006. “Pengaruh Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap Praktik Manajemen Laba Pada Perusahaan Perbankan Publik Yang Terdaftar Di bursa Efek Jakarta”, Simposium Nasional Akuntansi IX, Padang, Vol.1, P.1-28.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia
Dul Muid
135
Sandra, D. dan I.W. Kusuma, 2004, “Reaksi Pasar Terhadap Tindakan Perataan Laba Dengan Kualitas Auditor dan Kepemilikan Manajerial Sebagai Variabel Pemoderasi”, Makalah Simposiom Nasional Akuntansi VII. Setyawati, Lilis dan Ainun Na’im, 2000, “Manajemen Laba”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol.15, No. 4, 424-441 Suranta, Eddy dan Prapana Puspa Midiastuty, 2005, “Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Praktik Manajemen Laba ”, Konferensi Nasional Akuntansi: Peran Akuntan Dalam Membangun Good Corporate Governances. Susiana dan Arleen Herawaty, 2007, “Analisis Pengaruh Independensi, Mekanisme Corporate Governance, dan Kualitas Audit Terhadap Integritas Laporan Keuangan”, Simposium Nasional Akuntansi VIII, Makassar, http://www. Elearnaccounting .com. Suwito, Edy dan Arleen Herawaty, 2005, “Analisis Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Tindakan Perataan Laba Yang Dilakukan Oleh Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Jakarta”, Simposium Nasional Akuntansi VIII, P.136-146, Solo Sugiyono, 2002, Statistika Untuk Penelitian, CV. Alfa Beta, Bandung. Ujiyantho, M. Arief dan Bambang Agus Pramuka, 2007, “ Mekanisne Corporate Governance, Manajemen laba dan Kinerja Keuangan”, Simposium Nasional Akuntansi X, P.1-26, Makassar Utami, Wiwik, 2005, “Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Biaya Modal Ekuitas (Studi Pada Perusahaan Publik Sektor Manufaktur)”, Simposium Nasional Akuntansi VIII, Solo. Veronica, Silvya dan Siddharta Utama, 2005, “Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan Dan Praktik Corporate Governance Terhadap Pengelolaan Laba”, Simposium Nasional Akuntansi VIII, Solo. Wedari, Linda Kusumaning, 2004, “ Analisis Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris dan Keberadaan Komite Audit Terhadap Aktivitas Manajemen Laba“, Simposium Nasional Akuntansi VII. Xie, Biao., Wellace N Davidson and Peter J. Dadalt, 2003, “Earnings Management Corporate Governance: The Roles Of The Board and The Audit Committee”, Jurnal of Corporate Finance, Vol,9. hal.295-316.
136
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
PENGARUH IKLAN MEDIA TELEVISI DAN ATRIBUT PRODUK TERHADAP KEPUTUSAN KONSUMEN UNTUK MELAKUKAN PEMBELIAN Nurul Komaryatin STIE Nahdlatul Ulama Jepara, Jl. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara Email:
[email protected] Abstract Television is one of effective means and potential to provide information to the public. The ads aired on television becomes attractive alternative for a wide reach and there is an element of entertainment. This supports the emergence of consumer willingness to try the product, which can lead to the consumer in making a purchase decision. Product are examined close up toothpaste. The results showed that there is positive and significant correlation between television advertising and product attributes on purchase decisions toothpaste close up. Keywords: advertising, attributes and purchasing decisions Abstrak Televisi merupakan salah satu sarana yang efektif dan potensial untuk memberi informasi pada masyarakat luas. Iklan yang ditayangkan melalui media televisi menjadi alternatif pilihan menarik karena jangkauan yang luas dan adanya unsur hiburan. Hal ini mendukung timbulnya keinginan mencoba produk dari konsumen, sehingga dapat mengarah pada keputusan konsumen dalam melakukan pembelian. Produk yang diteliti adalah pasta gigi close up. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara iklan media televisi dan atribut produk terhadap keputusan pembelian pasta gigi close up. Kata kunci: iklan, atribut dan keputusan pembelian Pendahuluan Iklan yang ditayangkan melalui media televisi menjadi alternatif pilihan yang menarik karena jangkauan televisi yang luas. Adanya unsur hiburan mendukung timbulnya keinginan untuk mencoba dari konsumen terhadap suatu produk. Pada akhirnya dapat mengarah pada keputusan konsumen dalam melakukan pembelian. Selain iklan produk, atribut produk ikut berperan dalam keputusan pembelian suatu produk. Atribut produk adalah unsur-unsur produk yang dipandang penting oleh konsumen dan dijadikan dasar pengambilan keputusan dalam melakukan pembelian (Tjiptono, 2000). Atribut produk bisa meliputi kualitas ukuran harga, merek, kemasan dan ketahanan produk.
Pengaruh Iklan Media Televisi dan Atribut Produk terhadap Keputusan Konsumen untuk Melakukan Pembelian
Nurul Komaryatin
137
Adanya berbagai macam merek produk pasta gigi mengakibatkan persaingan semakin ketat dalam menarik konsumen atau konsumen potensial. Unilever sebagai produsen dari pasta gigi close up, gencar melakukan promosi produk melalui iklan di berbagai media khususnya televisi dengan berbagai versi. Selain melakukan promosi yang gencar, unilever juga memberikan perubahan perhatian khusus terhadap atribut produk pasta gigi close up, seperti membuat kemasan yang menarik, jenis produk yang variatif, memberi product feature atau product benefit yang bersifat unik dan tidak dimiliki oleh pesaing. Strategi promosi periklanan dalam berbagai versi merupakan cara yang dilakukan oleh Unilever untuk dapat meningkatkan citra produk serta menjadi pertimbangan bagi konsumen dan konsumen potensial dalam melakukan keputusan pembelian pasta gigi close up. Pertanyaan penelitian adalah “apakah iklan media televisi dan atribut produk berpengaruh terhadap keputusan konsumen dalam melakukan pembelian Pasta gigi close up? Tinjauan Pustaka Periklanan Pengertian periklanan menurut William (dalam Dharmmesta, 2000) adalah komunikasi non personal dengan sejumlah biaya melalui berbagai media yang dilakukan oleh perusahaan atau lembaga-lembaga dan individu-individu. Fungsi periklanan menurut Dharmmesta (2000) dibagi menjadi lima: 1) Memberikan Informasi, 2) Membujuk, 3) Menciptakan Kesan dan Image, 4) Memuaskan Keinginan, 5) Sebagai alat komunikasi. Tujuan periklanan yang utama adalah meningkatkan penjualan barang, jasa atau ide. Pemasang iklan akan sangat memperhatikan daya jangkau dari media yang dipakai. Semakin banyak konsumen yang dapat dijangkau oleh sebuah media massa, maka akan semakin tinggi pula minat pemasang iklan pada media tersebut. Hal itu juga berlaku dalam industri televisi. Beberapa kelebihan dari iklan di televisi, yaitu : 1. Efisiensi biaya: televisi mampu menjangkau masyarakat yang sangat luas. Kelebihan ini menimbulkan efisiensi biaya untuk menjangkau setiap orang. Banyak pengiklan memandang televisi sebagai media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komersialnya. 2. Dampak yang kuat: Iklan di televisi sampai ke pemirsa dalam bentuk audio visual. Kreativitas pengiklan lebih dapat dieksploitasi dan dioptimalkan dengan mengkombinasikan gerak, keindahan, kecantikan, suara, warna, musik, drama, humor maupun ketegangan. 3. Pengaruh yang kuat: pemirsa televisi lebih cenderung memilih produk yang diiklankan di televisi daripada produk yang tidak mereka kenal. Disamping memiliki keunggulan yang telah disebutkan diatas, iklan pada media televisi juga mempunyai kelemahan. Beberapa kelemahannya seperti biaya tinggi dan masyarakat yang tidak selektif. 138
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Atribut produk Atribut produk adalah berbagai karakteristik atau unsur-unsur produk yang dipandang dan dapat memenuhi kebutuhan terutama konsumen. Atribut produk seperti kualitas, ukuran, harga, merek, kemasan dan ketahanan akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan para pembeli (Kotler, 1999) Produk memiliki nilai-nilai yang dapat dilihat dan dirasakan oleh konsumen. Peter dan Olson (1993) menyimpulkan bahwa konsumen dalam menilai suatu produk akan melihat pada dua faktor, yaitu : 1. Intrinsic Attribute: Karakteristik fisik dari suatu produk, merupakan gambaran kualitas dan kemampuan yang dapat dilihat dari suatu produk. 2. Extrinsic Attribute: Karakteristik non-fisik dari suatu produk, merupakan hal yang dapat dirasakan dari suatu produk. Keputusan Pembelian Dharmmesta dan Handoko (1997) menyatakan bahwa suatu kegiatan pembelian yang nyata hanyalah merupakan salah satu tahap dari keseluruhan proses mental dan kegiatan-kegiatan fisik lainnya yang terjadi dalam proses pembelian pada suatu periode waktu tertentu serta pemenuhan kebutuhan tertentu. Proses keputusan pembelian meliputi: tahap pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif, tahap keputusan pembelian, dan perilaku setelah pembelian. Iklan Media Televisi, Atribut Produk dan Keputusan Pembelian Iklan sebagai suatu pesan persuasif, mampu mempengaruhi orang untuk membeli suatu produk karena dalam persuasi tersebut terdapat unsur memanipulasi motif-motif yang menyebabkan iklan mampu mempengaruhi motivasi orang untuk membeli produk yang diiklankan. Strategi pemasaran melalui promosi periklanan di media televisi secara gencar dalam berbagai versi serta pembuatan atribut produk yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan konsumen merupakan senjata yang ampuh bagi perusahaan dalam memenangkan persaingan dengan para pesaingnya. Peranan dari penayangan iklan di media televisi sangat penting artinya untuk dapat meningkatkan citra produk tersebut dibenak konsumen, sehingga akan tercipta loyalitas konsumen terhadap suatu merek atau produk. Loyalitas akan membuat konsumen tidak keberatan untuk membayar lebih mahal untuk mendapatkan produk dengan merek tersebut, yang secara otomatis membantu keberhasilan perusahaan untuk mencapai tujuannya dan mempertahankan market power (kekuasaan di pasar). Atribut produk juga berperan mempengaruhi konsumen dalam keputusan untuk melakukan pembelian produk. Jadi bisa disimpulkan bahwa kedua strategi itu walaupun berbeda fungsinya tapi memiliki tujuan yang sama yaitu mempengaruhi keputusan konsumen dalam melakukan pembelian. Hubungan iklan televisi, atribut produk dan
Pengaruh Iklan Media Televisi dan Atribut Produk terhadap Keputusan Konsumen untuk Melakukan Pembelian
Nurul Komaryatin
139
keputusan pembelian disajikan pada gambar 1. Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Iklan Televisi Keputusan Pembelian
Atribut Produk
Hipotesis Penelitian: H 1 : Terdapat pengaruh positif antara iklan televisi terhadap keputusan pembelian H 2 : Terdapat pengaruh positif antara atribut produk terhadap keputusan pembelian Metode Penelitian Variabel Penelitian dan Sampling Variabel independen adalah sebagai berikut : 1. Iklan televisi (X 1 ): Suatu presentasi non personal atas produk dan jasa atau ideide yang ditayangkan pada media televisi. Indikatornya: a. daya tarik iklan b. frekuensi penayangan iklan c. kejelasan bahasa/pesan yang disampaikan 2. Atribut produk (X 2 ): Atribut produk adalah kesan menyeluruh dari apa yang konsumen pikirkan atau ketahui tentang suatu produk. Indikatornya: a. kemasan b. merek c. kualitas Variabel dependen adalah keputusan pembelian (Y): merupakan suatu tahap dimana konsumen dihadapkan pada suatu pilihan untuk melakukan pembelian atau tidak. Indikatornya: a. Pertimbangan-pertimbangan saat memutuskan membeli suatu barang b. Keyakinan yang dimiliki saat mengambil keputusan membeli suatu barang c. Kecepatan mengambil keputusan membeli barang pada saat kebutuhan muncul. Populasi dalam tulisan ini adalah konsumen pengguna pasta gigi closeup yang merupakan keseluruhan masyarakat desa Pengkol Jepara sebanyak 9.252 orang. Penentuan jumlah sampel dengan rumus (Rao, 1996): N n=
140
1+N(moe)
2
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
=
9.252 1+9.252 (10%)2
= 100
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Keterangan: n = jumlah sampel N = populasi moe = tingkat kesalahan yang ditorelansi, ditentukan sebesar 10%. Berdasarkan perhitungan jumlah sampel penelitian ini sebanyak 100 orang. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah regresi berganda. Untuk menjamin kelayakan uji hipotesis regresi berganda, data yang diperoleh dilakukan uji validitas, reliabilitas dan pengujian asumsi klasik. 1. Uji validitas dan reliabilitas a. Uji validitas untuk menilai valid tidaknya instrumen, dilakukan dengan membandingkan nilai r hitung dengan r tabel . Jika diperoleh nilai r hitung lebih besar dengan r tabel , berarti instrumen tersebut valid. b. Uji reliabilitas untuk mengukur tingkat kepercayaan terhadap alat tes (instrumen). Instrumen dapat memiliki tingkat kepercayaan yang konsisten. Variabel disebut reliabel jika nilai alpha > 0,6. 2. Analisis Regresi Linier Berganda Analisis regresi linier berganda merupakan analisis untuk mengukur pengaruh variabel independen (variabel iklan media televisi dan atribut produk) terhadap variabel keputusan pembelian. Bentuk persamaan dari regresi linier berganda sebagai berikut : Y = a+b1X1+b2X2+…………..+c
Keterangan: Y = keputusan pembelian X 1 = iklan media televisi X 2 = atribut produk. a = Angka konstanta b = Koefisien regresi c
= residual
Pengujian hipotesis dengan uji t dan uji F. 1) Uji t Uji t untuk menguji pengaruh variabel independen yaitu iklan media televisi (X1), atribut produk (X2), secara individual terhadap Variabel dependen (Y) yaitu keputusan pembelian produk. Hipotesis statistik dalam penelitian: a) Ho: bi ≤ 0, artinya variabel independen ke -i tidak berpengaruh terhadap variabel dependen. b) Ha: bi ≥ 0, artinya variabel independen ke -i berpengaruh terhadap variabel dependen. Kriteria pengambilan keputusan a. t hitung < t tabel dan signifikansi > 0,05 maka Ho diterima
Pengaruh Iklan Media Televisi dan Atribut Produk terhadap Keputusan Konsumen untuk Melakukan Pembelian
Nurul Komaryatin
141
b. t hitung > t tabel dan signifikansi < 0,05 maka Ho ditolak Nilai t tabel dengan df = 97, α = 5%, dan pengujian satu arah adalah 1,66. 2) Uji F Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan. Caranya yaitu dengan membandingkan antara F hitung dengan nilai F tabel . Nilai F tabel dengan α = 5%, df1 = 2 dan df2 = 97 adalah 3,09. Hasil dan Pembahasan Uji Validitas dan Reliabilitas Pada tabel 1 disajikan hasil uji validitas variabel Iklan Media Televisi. Tabel 1 Hasil Perhitungan Uji Validitas Variabel Iklan Media Televisi Variabel r hitung r tabel Keterangan X1 (1) 0,1841 0,1638 Valid X1 (2) 0,495 0,1638 Valid X1 (3) 0,672 0,1638 Valid Sumber: data primer diolah dengan spss Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa nilai r hitung iklan media televisi lebih besar dari r tabel , maka item pertanyaan iklan media televisi bersifat valid. Pada tabel 2 disajikan hasil uji validitas variabel Atribut Produk. Tabel 2 Hasil Perhitungan Uji Validitas Variabel Atribut Produk Variabel r hitung r tabel Keterangan X2 (1) 0,5969 0,1638 Valid X2 (2) 0,7361 0,1638 Valid X2 (3) 0,5781 0,1638 Valid Sumber: data primer diolah dengan spss Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa nilai r hitung atribut produk lebih besar dari r tabel , maka item pertanyaan atribut produk bersifat valid. Pada tabel 3 disajikan hasil uji validitas variabel Keputusan Pembelian pada. Tabel 3 Hasil Perhitungan Uji Validitas Variabel Keputusan Pembelian Variabel r hitung r tabel keterangan Y (1) 0,5166 0,1638 Valid Y (2) 0,5904 0,1638 Valid Y (3) 0,4791 0,1638 Valid Sumber: data primer diolah dengan spss
142
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa nilai r hitung keputusan pembelian lebih besar dari r tabel , maka item pertanyaannya bersifat valid. Hasil pengujian reliabilitas disajikan pada tabel 4. Tabel 4 Hasil Perhitungan Uji Reliabilitas Variabel Cronbach Alpha Keterangan Iklan media televisi 0,5543 Reliabel Atribut produk 0,7898 Reliabel Keputusan Pembelian 0,7096 Reliabel Sumber: data primer yang diolah dengan spss Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa variabel atribut produk dan keputusan pembelian reliabel karena memiliki Cronbach alpha lebih besar dari 0,6. Sedangkan variabel iklan media televisi memiliki Cronbach alpha 0,5543 yang mendekati 0,6. sehingga meskipun kurang dari 0,6 analisis tetap dilanjutkan. Analisis Regresi Linier Berganda Persamaan regresi berganda pengaruh iklan media televisi (X1) dan atribut produk (X2) terhadap variabel keputusan pembelian (Y) adalah Y = 2,359 + 0,491(X1) + 0,413(X2) Koefisien regresi variabel iklan media televisi (X1) sebesar 0,491 artinya semakin sering konsumen melihat iklan di media televisi, maka semakin besar kemungkinan keputusan pembeliannya. Koefisien regresi atribut produk (X2) sebesar 0,413 artinya semakin bagus persepsi konsumen mengenai atribut produk maka semakin besar kemungkinan keputusan pembeliannya. Nilai koefisien determinasi sebesar 0,607 berarti kemampuan variabel iklan media televisi dan atribut produk menjelaskan variasi perubahan keputusan pembelian sebesar 60,7%, sedangkan sisanya sebesar 39,3 % dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Pengujian Hipotesis Nilai t hitung variabel iklan media televisi sebesar 5,349. karena t hitung (5,349) > t tabel (1,66) maka hipotesis satu terdukung. Kesimpulannya adalah iklan media televisi berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian. Nilai t hitung variabel atribut produk sebesar 6,808. karena t hitung (6,808) > t tabel (1,66) maka hipotesis dua terdukung, yaitu: atribut produk berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian. Nilai F hitung sebesar 74,962. karena nilai F hitung (74,962) lebih besar dari F tabel (3,09) maka hipotesis tiga terdukung. Artinya secara bersama-sama iklan media televisi
Pengaruh Iklan Media Televisi dan Atribut Produk terhadap Keputusan Konsumen untuk Melakukan Pembelian
Nurul Komaryatin
143
dan atribut produk berpengaruh terhadap keputusan pembelian. Penutup Kesimpulan Berdasarkan analisis data yang telah, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Ada pengaruh positif antara iklan media televisi terhadap keputusan pembelian Pasta gigi closeup 2. Ada pengaruh positif antara atribut produk terhadap keputusan pembelian Pasta gigi closeup 3. Ada pengaruh yang positif antara iklan media televisi dan atribut produk terhadap keputusan pembelian Pasta gigi closeup secara bersama-sama. Saran Perusahaan harus memperhatikan atribut produk yang melekat pada produk sehingga konsumen akan lebih tertarik untuk membeli produk yang ditawarkan baik dilihat dari, kemasan, merek dan kualitas produk. Daftar Pustaka Dayan, A., 1999, Pengantar Metode Statistik Jilid II, LP3ES, Jakarta. Dharmmesta, B.S. dan Irawan, 2000, Manajemen Pemasaran Modern, Liberty Yogyakarta. Dharmmesta, B.S., 1997, Azas-azas Marketing, Liberty, Yogyakarta. Djarwanto, P.S. dan Subagyo, P., 1997, Statistik Induktif, BPFE, Yogyakarta. Indrianto, Nur dan Supomo, Bambang, 1997, Metodologi Penelitian Bisnis, BPFE UGM, Yogyakarta Kasali, Rhenald, 1999, Manajemen Periklanan Konsep dan Aplikasinya di Indonesia Jilid I dan II, Penerbit Erlangga, Jakarta. Kotler, Philip, 1999, Manajemen Pemasaran, Analisa Perencanaan dan Pengendalian Jilid I dan II, Terjemahan Hendra Teguh, Roni A. Rusli, Penerbit Erlangga, Jakarta. Sigit, Suhardi, 1997, Marketing Praktis, Universitas Gadjah Mada Pers, Yogyakarta. Singarimbun, Masri, 1999, Metodologi Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta. Sumarni, Murti dan Soeprihanto, J., 1998, Pengantar Bisnis (Dasar-dasar Ekonomi Perusahaan) Edisi Kelima, Liberty, Yogyakarta.
144
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
ANALISIS SWOT SEBAGAI DASAR PENETAPAN STRATEGI BERSAING (Penelitian pada Po Shantika Jepara)
Anna Widiastuti1) Siti Mabruroh STIE Nahdlatul Ulama Jepara, Jl. Taman Siswa Pekeng Tahunan Jepara Email: 1)
[email protected] Abstract Companies need a strategy in the development of business continuity and face the competition. Aim of this study to evaluate the development and selection of competitive strategy on the Po. Shantika in Ngabul Jepara. The method of analysis is the SWOT (Strengths Weakness Opportunities and Threats), SAP (Strategic Advantage Profile) and ETOP (Environmental Threatand Opportunity Profile). Internal variables consist of product quality, employee skills, facilities, location, price, service, promotion and corporate image. External variables consist of income per capita, market coverage, technological developments, government policy, the existence of competition and collaboration capabilities. The results showed that the Po. Shantika based SWOT matrix in position of investment, namely the position of a company that has a growth strategies. This is based of the SAP value of 3,4 are in strong position, while the value of ETOP in EOE at 3,9 and 3,5 ETE are on speculative business. Keyword: SWOT, SAP and ETOP Abstrak Perusahaan memerlukan strategi dalam pengembangan kelangsungan usaha dan menghadapi persaingan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengembangan dan pemilihan strategi bersaing pada Po. Shantika di Desa Ngabul Kabupaten Jepara. Metode analisisnya adalah SWOT (Strengths Weakness Opportunities and Threats), SAP (Strategic Advantage Profile) dan ETOP (Environmental Threat and Opportunity Profile). Variabel internal terdiri dari kualitas produk, ketrampilan karyawan, fasilitas, tempat, harga, pelayanan, promosi dan citra perusahaan. Variabel eksternalnya terdiri dari pendapatan per kapita, penguasaan pasar, perkembangan teknologi, kebijakan pemerintah, keberadaan pesaing dan kemampuan menjalin kerjasama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Po. Shantika dalam matrik SWOT berada dalam posisi investasi, yaitu posisi perusahaan yang mempunyai alternatif strategi atau strategi pertumbuhan. Hal ini didasarkan dari nilai SAP sebesar 3,4 berada di posisi kuat, sedangkan nilai ETOP pada EOE sebesar 3,9 dan ETE 3,5 berada pada usaha spekulatif. Kata kunci: SWOT, SAP dan ETOP.
Analisis SWOT sebagai Dasar Penetapan Strategi Bersaing (Penelitian pada Po Shantika Jepara)
Anna Widiastuti Siti Mabruroh
145
Pendahuluan Unit bisnis harus menyusun kategori faktor-faktor lingkungan internal serta lingkungan eksternal, dan menyusun sistem intelegensi pemasaran untuk memperkirakan kecenderungan dan perkembangan. Para pemasar di perusahaan harus mengidentifikasi peluang dan hambatan. Salah satu tujuan pokok analisis lingkungan adalah untuk mengenali adanya peluang-peluang baru. Setiap perusahaan tentunya memiliki faktor internal dan eksternal yang berbeda. Oleh karena itu strategi yang dipergunakan tentunya akan berbeda-beda pula. Strategi yang dipergunakan oleh suatu perusahaan belum tentu dapat dipergunakan oleh perusahaan lain. Oleh karena itu sangatlah perlu untuk mempelajari strategi bisnis dasar agar kita dapat mengetahui penerapan strategi yang tepat bagi suatu perusahaan. Evaluasi kekuatan dan kelemahan suatu perusahaan akan mendorong kearah perbaikan dan peningkatan kekuatan perusahaan. Sedangkan evaluasi peluang dan ancaman mendorong perusahaan untuk mengetahui peluang apa yang dapat dipergunakan perusahaan dalam meningkatkan labanya, serta dapat mengurangi ancaman dari luar perusahaan yang akan mengganggu kinerja perusahaan. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi bersaing yang dilakukan oleh PO. Shantika di Desa Ngabul Kabupaten Jepara? Tinjauan Pustaka SWOT SWOT banyak digunakan sebagai salah satu analisis dalam perencanaan strategis. Menurut Freddy Rangkuti (1997) analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal (strength and weaknesses) serta lingkungan eksternal (opportunities and threats) yang dihadapi dunia bisnis. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal yaitu peluang (opportunities) dan ancaman (threats), dengan faktor internal yaitu kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses). Strength (kekuatan) dan weaknesses (kelemahan) adalah faktor manajemen yang sepenuhnya dalam kendali manajemen, dimana kekuatan adalah faktor-faktor yang selama ini berhasil dikendalikan sehingga memberikan dampak positif bagi organisasi. Sedangkan kelemahan adalah faktor yang sepenuhnya ada dalam kendali manajemen, tetapi tidak berhasil dikelola sehingga memberikan dampak yang negatif bagi perusahaan. Opportunity (peluang) adalah faktor yang ada diluar kendali manajemen, tetapi kemunculannya akan memberikan suatu peluang sukses bagi perusahaan. Jika perusahaan mempunyai kkeuatan yang cukup untuk beradaptasi. Threats (ancaman)
146
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
adalah faktor-faktor yang berada diluar manajemen, tetapi bila muncul akan mengancam hidup perusahaan. Pada gambar 1 disajikan diagram analisis SWOT Gambar 1 Analisis SWOT Peluang Kuadran IV Kuadran I Strategi agresif Kelemahan Kekuatan Strategi turnaround Internal Internal Kuadran III Kuadran II Strategi defensive Strategi diversifikasi Ancaman Sumber : Freddy Rangkuti 1997 Keterangan : 1. Kuadran 1 : Ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Perusahaan tersebut memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (growth oriented strategy). 2. Kuadran 2 : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, perusahaan ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi (produk atau jasa). 3. Kuadran 3 : Perusahaan menghadap peluang pasar yang sangat besar, tetapi dilain pihak, ia menghadapi beberapa kendala atau kelemahan internal. Kondisi bisnis ini mirip dengan Question Mark pada BCG matrik. Fokus strategi perusahaan ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal perusahaan sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik. 4. Kuadran 4 : Ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, perusahaan tersebut menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal. SAP SAP merupakan suatu proses diagnosis untuk mengembangkan keunggulan bersaing dan untuk memperkecil kelemahan, atau mempertimbangkan kemungkinan, membatasi strategi atau mana saja hal yang dapat diperbaiki. Faktor-faktor internal (pemasaran dan distribusi), yaitu struktur persaingan dan pangsa pasar, sistem riset pasar, bauran produk dan jasa, lini produk dan jasa, produk baru, sistem riset pasar, bauran produk dan jasa, lini produk dan jasa, produk baru, hak paten, pandangan positif dan pelayanan, pengepakan produk, harga dan jasa, tenaga penjual, periklanan, promosi, jasa jual dan jalur distribusi. Faktor-faktor internal (penelitian, pengembangan dan rekayasa), yaitu kemampuan penelitian dasar, kemampuan pengembangan produk, desain produk,
Analisis SWOT sebagai Dasar Penetapan Strategi Bersaing (Penelitian pada Po Shantika Jepara)
Anna Widiastuti Siti Mabruroh
147
desain pengolahan dan perbaikan, pengembangan pengepakan, penggunaan material lama dan baru, kemampuan desain dan memenuhi keinginan konsumen, laboratorium dan fasilitas, teknisi, lingkungan kerja, para manajer dan kemampuan unit teknologi yang efektif. Faktor-faktor internal (manajemen produksi dan operasi), yaitu biaya operasi, kapasitas permintaan pasar, fasilitas, bahan baku dan biaya, ketersediaan bahan baku dan biaya, peralatan dan mesin, kantor, lokasi fasilitas dan kantor yang strategis, pengendalian persediaan, prosedur, kebijakan pemeliharaan, integrasi vertical dan keluwesan operasi. Faktor-faktor internal (sumber daya dan karyawan perusahaan), yaitu citra dan prestise perusahaan, struktur organisasi dan suasana efektif, ukuran perusahaan, sistem dukungan staff, karyawan berkualitas tinggi, pengalaman dan prestasi manajemn, hubungan dengan karyawan, kebijakan hubungan kerja, biaya karyawan dan informasi manajemen. ETOP Beberapa pendekatan yang ada disajikan dalam referensi, yaitu ETOP (environmental threat and opportunity profile) profil ancaman dan peluang lingkungan. Sektor lingkungan seperti sosial ekonomi, teknologi, pemerintah, konsumen, pemasok, pesaing dan internasional. ETOP dapat disusun sedemikian hingga manajemen puncak dapat mengidentifikasikan sektor lingkungan yang paling kritis dan secara intensif, memusatkan pada kemungkinan dampaknya terhadap strategi perusahaan secara menyeluruh dan aspek-aspek penting operasinya. Manajemen puncak dapat memusatkan perhatian pada beberapa bidang dan mendelegasikan yang lainnya, ETOP yang lebih terinci harus dikembangkan untuk memusatkan diagnosis secara lebih tepat. Analisis itu harus memberikan data dan estimasi untuk implikasikan pendapatan dan biaya dari faktor-faktor ini termasuk estimasi kemungkinan bahwa kejadian-kejadian tertentu akan terjadi dan saat terjadinya. Oleh karena itu, kuncinya adalah mengidentifikasikan kecenderungan yang diperkirakan dan menilai kemungkinan dampaknya. Posisi Perusahaan, SAP dan ETOP Posisi perusahaan dalam analisis SAP dapat dikelompokkan menjadi 6, yaitu : 1. dominan (dominant), yaitu perusahaan mengontrol perilaku pesaing lain dan mempunyai pilihan yang luas atau pilihan-pilihan strategis. 2. kuat (strong), yaitu perusahaan ini dapat mengambil tindakan independent tanpa membahayakan posisi jangka panjangnya dan dapat mempertahankan posisi jangka panjangnya tanpa memperhatikan tindakan-tindakan pesaing. 3. unggul (favorable), yaitu perusahaan mempunyai kekuatan yang dapat dimanfaatkan dan peluang yang diatas rata-rata untuk memperbaiki posisinya. 148
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
4. dapat dipertahankan (tenable) yaitu perusahaan berkinerja pada satu level kepuasan yang memadai untuk menjamin kesinambungan bisnis, tetapi keberadaan perusahaan itu dibiarkan saja oleh perusahaan yang dominan dan dia memiliki peluang dibawah rata-rata untuk memperbaiki posisinya. 5. Lemah (weak), yaitu perusahaan memiliki kinerja yang tidak memuaskan, tteapi ada peluang perbaikan. Perusahaan harus berubah atau keluar. 6. Tidak dapat dipertahankan (nontenable), yaitu perusahaan tidak memiliki kinerja yang memuaskan dan tidak ada peluang untuk perbaikan. Posisi perusahaan dalam analisis ETOP dapat dikategorikan menjadi 4: 1. Usaha Ideal (ideal business) adalah suatu bisnis yang memiliki peluang utama yang besar dan ancaman utamanya kecil. Bisnis ini memiliki peluang sukses yang tinggi, posisi ini sangat menguntungkan perusahaan. 2. Usaha spekulatif (spekulatif business) adalah suatu bisnis yang mempunyai peluang dan ancaman utama yang besar. Jika bisnis ini berhasil akan mendapatkan keuntungan yang sangat tinggi, sebaliknya jika gagal akan berakibat fatal. 3. Usaha dewasa (mature business) adalah suatu bisnis yang peluang maupun ancaman utamanya kecil. Artinya, jika perusahaan gagal dalam menjalankan bisnisnya tidak berakibat fatal dan tidak mencerita kerugian yang berarti. 4. Usaha Gawat (trouble business) adalah suatu bisnis yang berpeluang kecil dan memiliki ancaman yang besar. Posisi merupakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi perusahaan untuk menjalankan usaha. Menurut Jush dan Glueck (1998) ada 4 macam strategi, yaitu: 1. Strategi Stabilitas, yaitu perusahaan tetap melayani masyarakat dalam sektor produk dan jasa, sektor pasar dan sektor fungsi yang serupa, sebagai yang ditetapkan dalam batasan bisnisnya, atau dalam sektor yang dangat serupa. Keputusan strategis utamanya difokuskan pada penambahan perbaikan pelaksanaan fungsinya. 2. Strategi Ekspansi, yaitu perusahaan melayani masyarakat dalam sketor produk dan jasa tambahan atau penambahan pasar atau fungsi pada batasan bisnis mereka. Perusahaan memfokuskan keputusan strateginya pada peningkatan ukurannya dalam langkah kegiatan dalam batasan bisnisnya yang sekarang. 3. Strategi Penciutan, yaitu perusahaan merasakan perlunya untuk mengutangi lini produk dan jasa, pasar dan fungsi mereka. Perusahaan memusatkan keputusan strateginya pada peningkatan fungsional melalui pengurangan kegiatan dalam unitunit yang mempunyai arus kas yang negatif. 4. Strategi Kombinasi, yaitu keputusan strategi pokoknya difokuskan pada berbagai strategi besar secara sadar (stabilitas, perluasan dan penciutan) pada waktu yang sama (secara simultan) dalam berbagai SBU perusahaan. Perusahaan merencanakan menggunakan beberapa strategi besar yang berbeda pada masa mendatang (secara berharap).
Analisis SWOT sebagai Dasar Penetapan Strategi Bersaing (Penelitian pada Po Shantika Jepara)
Anna Widiastuti Siti Mabruroh
149
Alur Pemikiran Penelitian ini akan mengarah pada permasalahan tentang bagaimana strategi yang baik harus dilakukan oleh perusahaan guna menghadapi persaingan yang semakin kompetitif dengan pendekatan analisis SWOT. Alur pemikiran penelitian disajikan pada gambar 2. Berdasarkan gambar 2 dapat dijelaskan bahwa posisi perusahaan diidentifikasi dengan faktor internal dan faktor eksternal, keduanya untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan serta memanfaatkan peluang dan menghindari tantangan perusahan untuk dapat strategi bersaing yang tepat. Analisis SAP meliputi kualitas produk, ketrampilan karyawan, fasilitas, tempat, harga, pelayanan, promosi dan citra perusahaan. Sedangkan analisis ETOP meliputi pendapatan penduduk, penguasaan pasar, perkembangan teknologi, kebijakan pemerintah, keberadaan pesaing dan kemampuan menjalin kerjasama. Berdasarkan SAP dan ETOP dapat ditentukan posisi perusahaan sehingga perusahaan dapat memilih strategi terbaik. Gambar 2 Alur Pemikiran Perusahaan
Analisis SWOT
Strategi bersaing
Analisis faktor internal
Analisis SAP
Analisis faktor eksternal
Analisis ETOP
Posisi perusahaan
Metode Penelitian Sampel Objek penelitian adalah Po Shantika, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang transportasi, khususnya Bis Malam. Populasi dalam penelitian ini lebih dari 100 orang penumpang, jumlah rata-rata 34 penumpang dengan 8 armada tiap berangkat pulang atau pergi Jepara-Jakarta maupun Jakarta-Jepara berjumlah 272 penumpang. Maka jumlah subjeknya diambil 25% (Arikunto, 2002) dari 272 penumpang, dengan demikian dalam penelitian ini sampel yang digunakan sebanyak 68 penumpang. Adapun pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode Non Random sampling. Metode Analisis Metode analisis dalam penelitian ini yang digunakan adalah analisis SWOT, yang menggabungkan keadaan internal dan eksternal perusahaan. Analisis SWOT dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: 1. Analisis SAP merupakan profil kekuatan dan kelemahan dari perusahaan. 150
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
2. Analisis ETOP merupakan profil peluang dan ancaman perusahaan. Langkah-langkah dalam melakukan analisis SAP atau analisis faktor internal adalah sebagai berikut : 1. Identifikasi elemen-elemen yang merupakan kekuatan dan kelemahan perusahaan. 2. Pembobotan masing-masing elemen dengan skala: sangat baik (1), kurang baik (2), cukup (3), baik (4), dan sangat baik (5). Penghitungan bobot menggunakan rumus pembagian antara jumlah bobot variabel tertentu dengan jumlah total bobot variabel tertentu. 3. Menghitung rating untuk masing-masing elemen tersebut dengan memberikan skala: sangat kurang baik (1), kurang baik (2), cukup (3), baik (4), dan sangat baik (5). Perhitungan rating dengan menggunakan mean, yang dihitung dengan menggunakan rumus pembagian antara jumlah rating variabel tertentu dengan jumlah responden. Terakhir ditentukan posisi perusahaan melalui analisis SAP. Penentuan kelas interval dari enam (6) posisi persaingan didasari atas faktor bobot dan nilai faktor kunci sukses adalah mulai dari 1 sampai 4. Penentuan kelas interval ditentukan pada tabel 1. Tabel 1 Posisi SAP Posisi Kelas Interval Dominan 3,50 - 4,00 Kuat 3,00 – 3,50 Aman 2,50 – 3,00 Bertahan 2,00 – 2,50 Lemah 1,50 – 2,00 Hilang harapan 1,00 – 1,50 Sumber : Suwarsono, 2000 Dalam melakukan analisis ETOP dapat dibagi menjadi 2 variabel, yaitu: 1. Environment Opportunity Element (EOE) Perusahaan dikatakan berhasil bila mereka mampu mengembangkan diri dalam industri dengan peluang yang menarik dan kemudian dibuat suatu daftar EOE untuk dimensi waktu tertentu. Elemen-elemennya adalah kebijakan Pemerintah, penguasaan pasar, pendapatan penduduk dan kemampuan menjalin kerjasama. 2. Environment Threat Element (ETE) Perusahaan dikatakan berhasil bila ancaman lingkungan yang dihadapi adalah sedemikian rupa sehingga masih dapat diantisipasi dan adaptasi dengan kekuatan internal yang dimiliki, maka perlu dibuat suatu daftar ETE yang ada saat ini berpeluang mengganggu pertumbuhan penduduk yang ada. Elemen-elemennya adalah keberadaan pesaing, perkembangan teknologi, kebijakan pemerintah dan keadaan perekonomian.
Analisis SWOT sebagai Dasar Penetapan Strategi Bersaing (Penelitian pada Po Shantika Jepara)
Anna Widiastuti Siti Mabruroh
151
Langkah-langkah dalam melakukan analisis ETOP adalah sebagai berikut : 1. Mencari rumusan EOE atau ETE (identifikasi elemen-elemen yang merupakan peluang dan ancaman perusahaan). 2. Pembobotan variabel EOE dan ETE. Skala peluang (EOE) dan ancaman (ETE) adalah: tidak penting (1), kurang penting (2), cukup penting (3), penting (4) dan sangat penting (5). Sedangkan penghitungan bobot menggunakan rumus pembagian antara jumlah bobot variabel tertentu dengan jumlah total bobot tertentu. 3. Menghitung rating untuk masing-masing factor dengan memberikan skala sebagai berikut: tidak menarik (1), kurang menarik (2), cukup menarik (3), menarik (4), dan sangat menarik (5). Sedangkan rating untuk ETE adalah : tidak gawat (1), kurang gawat (2), cukup gawat (3), gawat (4), dan sangat gawat (5). Sedangkan perhitungan rating dengan menggunakan mean, yang dihitung dengan rumus pembagian antara jumlah rating variabel tertentu dengan jumlah responden. Kemudian dilanjutkan dengan menghitung skor (bobot dikalikan dengan rating) dan penjumlahan skor. Setelah EOE dan ETE didapat, kemudian keduanya digabungkan dan diaplikasikan kedalam matrik ETOP, seperti pada gambar 3.
tinggi 5,0
Gambar 3 Matrik ETOP Usaha ideal
Usaha spekulatif
EOE rendah 1,0
Usaha dewasa Usaha gawat 1,0 5,0 rendah tinggi ETE Sumber: Rangkuti, 2002
Keterangan: 1. Usaha ideal (ideal business), adalah suatu bisnis yang memiliki peluang utama yang besar dan ancaman utamanya kecil. Bisnis ini memiliki peluang sukses yang tinggi, posisi ini sangat menguntungkan perusahaan. 2. Usaha spekulatif (spekulatif business), adalah suatu bisnis yang mempunyai peluang dan ancaman utama yang besar. Jika bisnis ini berhasil akan mendapatkan keuntungan yang sangat tinggi, sebaliknya jika gagal akan berakibat fatal. 3. Usaha dewasa (mature business), adalah suatu bisnis yang peluang maupun ancaman utamanya kecil. Artinya, jika perusahaan gagal dalam menjalankan bisnisnya tidak berakibat fatal dan tidak menderita kerugian yang berarti. 4. Usaha gawat (trouble business), adalah suatu bisnis yang berpeluang kecil dan memiliki ancaman yang besar. Posisi merupakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi perusahaan untuk menjalankan usaha.
152
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Matrik SWOT Analisis matrik swot merupakan penggabungan posisi SAP dan posisi ETOP kedalam matrik SWOT, adapun posisi perusahaan secara lebih rinci pada matrik SWOT dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 2 Matrik Posisi SWOT ETOP Usaha Usaha Usaha Usaha SAP ideal dewasa spekulatif gawat I I I Dominan I I I I I Kuat I I I Aman D I I Bertahan D D I Lemah D D D I Hilang harapan D D D Sumber : Freddy Rangkuti, 2002 Posisi dengan tanda I (invest) adalah strategi yang telah dipakai dapat diterapkan namun ada perbaikan pada strateginya atau pada fungsi manajemennya. Sedangkan posisi dengan tanda D (divest) adalah strategi yang ada sebaiknya diubah. Hasil dan Pembahasan Analisis SAP Berdasarkan perhitungan faktor internal dapat dijelaskan bahwa posisi persaingan Po. Shantika bernilai 3,4 berada di posisi kuat yaitu pada posisi ini perusahaan dapat bertindak cukup bebas tanpa membahayakan posisi jangka panjang, dapat memelihara posisi jangka panjang dengan cukup aman sekalipun pesaing bertindak cukup aktif. Perhitungan disajikan pada tabel 3. Tabel 3 Hasil Rekap Perhitungan Faktor Internal Po. Shantika Indikator internal Bobot Skala Nilai Tertimbang Kualitas produk 0,20 3,39 0,688 Ketrampilan karyawan 0,10 3,39 0,34 Fasilitas 0,20 3,22 0,654 Tempat 0,10 3,37 0,341 Harga 0,10 2,94 0,296 Pelayanan 0,10 3,5 0,359 Promosi 0,10 3,56 0,355 Citra perusahaan 0,10 3,66 0,368 Jumlah 1,00 3,4 Sumber : Data Primer yang diolah
Analisis SWOT sebagai Dasar Penetapan Strategi Bersaing (Penelitian pada Po Shantika Jepara)
Anna Widiastuti Siti Mabruroh
153
Analisis ETOP Hasil perhitungan faktor eksternalnya dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 Hasil rekap Perhitungan Faktor Eksternal Po. Shantika Indikator variabel eksternal Bobot Skala Nilai Tertimbang Pendapatan penduduk 0,10 3,25 0,325 Penguasaan pasar 0,20 4 0,8 Perkembangan teknologi 0,20 4 0,8 Kebijakan pemerintah 0,10 2,5 0,25 Keberadaan pesaing 0,20 3,25 0,65 Kemampuan kerjasama 0,20 3,5 0,7 Jumlah 1,00 3,5 Sumber : Data Primer yang diolah Dari perhitungan tabel 3, kemudian dijabarkan untuk mengukur factor EOE (peluang lingkungan) dan ETE (ancaman lingkungan) pada tabel 5 dan tabel 6, dengan hasil yang diperoleh bahwa nilai EOE sebesar 3,9 dan nilai ETE sebesar 3,5. Tabel 5 Rekap Perhitungan Elemen Peluang Lingkungan Po. Shantika Elemen peluang Bobot Skala Nilai Tertimbang lingkungan Penguasaan pasar 0,10 3, 5 0,35 0,20 3,75 0,75 Perkembangan teknologi 0,20 4,25 0,85 0,20 4 0,8 Kemampuan menjalin 0,20 3,75 0,75 kerjasama 0,10 3,75 0,375 Jumlah 1,00 3,9 Sumber : Data Primer yang diolah Tabel 6 Rekap Perhitungan Elemen Ancaman Lingkungan Po. Shantika Elemen ancaman Bobot Skala Nilai Tertimbang lingkungan Pendapatan Penduduk 0,20 3,75 0,75 0,20 3,5 0,7 Kebijakan Pemerintah 0,20 3,75 0,75 0,20 3,25 0,65 Keberadaan Pesaing 0,10 3,75 0,375 0,10 3,25 0,325 Jumlah 1,00 3,5 Sumber : Data Primer yang diolah
154
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Berdasarkan hasil analisis ETE dan EOE, maka ETOP Po. Shantika dapat digambarkan pada gambar 4, dimana dapat dijelaskan bahwa ETOP dari Po. Shantika pada posisi usaha spekulatif. Unit usaha spekulatif ini merupakan unit bisnis yang memiliki peluang sukses besar, tetapi resiko gagalnya sangat tinggi. Jika bisnis ini berhasil akan mendapatkan keuntungan yang sangat tinggi, sebaliknya jika gagal akan berakibat fatal.
tinggi 5,0 3,9 EOE rendah 1,0
Gambar 4 Matrik ETOP Usaha ideal Usaha spekulatif
Usaha dewasa 1,0 rendah
3,5 ETE
Usaha gawat 5,0 Tinggi
Sumber : Data Primer yang diolah Analisis SWOT Analisis matrik SWOT merupakan penggabungan posisi ETOP kedalam matrik SWOT, posisi dan tanda 1 (investasi) adalah posisi yang mempunyai alternatif strategi yang lebih banyak dibandingkan dengan posisi D (divestasi). Sedangkan daerah yang kosong, merupakan daerah untuk memikirkan atau divestasi. Adapun posisi usaha Po. Shantika secara jika dilihat dari matrik SWOT dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7 Matrik Posisi SWOT Po. Shantika di Ngabul Kabupaten Jepara ETOP Usaha Usaha Usaha Usaha SAP ideal dewasa spekulatif gawat Dominan I I I I I I I Kuat I Aman I I D Bertahan I D D Lemah I D D D Hilang harapan I D D D Sumber: Data Primer yang diolah Dalam matrik SWOT diatas, analisis SAP dan ETOP Po. Shantika berada pada posisi internal yang kuat dan posisi eksternal pada usaha spekulatif. Maka perusahaan Po. Shantika berada pada posisi investasi yaitu posisi perusahaan yang mempunyai alternatif strategi atau strategi pertumbuhan.
Analisis SWOT sebagai Dasar Penetapan Strategi Bersaing (Penelitian pada Po Shantika Jepara)
Anna Widiastuti Siti Mabruroh
155
Penutup Posisi pemasaran jasa transportasi darat Po. Shantika di Ngabul Kabupaten Jepara berdasarkan SWOT dapat dijelaskan bahwa dilihat dari analisis SAP (strategic profile analysis) dengan jumlah nilai tertimbang sebesar 3,4 menunjukkan adanya kekuatan. ETOP (environment threat opportunity profile) yang merupakan faktor peluang lingkungan eksternal diperoleh hasil 3,9 yang menunjukkan adanya peluang. Sedangkan faktor ancaman lingkungan eksternal ETE (environmet threat element) diperoleh hasil ETE sebesar 3,5 yang menunjukkan ancaman yang tidak cukup berarti, hal ini menunjukkan posisi ETOP berdasarkan matrik berada pada posisi usaha spekulatif. Dengan demikian berarti posisi perusahaan berada pada strategi investasi yang merupakan situasi masih cukup menguntungkan bagi perusahaan, karena Po. Shantika di Ngabul kabupaten Jepara masih mmeiliki kekuatan dari segi internal untuk menghadapi ancaman yang ada, sehingga strategi yang harus diterapkan dalam kondisi adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang dengan strategi diversifikasi (produk atau pasar). SWOT terletak pada posisi investasi yang merupakan interaksi dari posisi ETOP usaha spekulatif dan posisi SAP kuat. Strategi Pemasaran Jasa Transportasi Darat Po. Shantika di Ngabul kabupaten Jepara berdasarkan SWOT dapat dijelaskan bahwa strategi yang dapat dijalankan oleh Po. Shantika di Ngabul kabupaten Jepara pada posisi tersebut adalah strategi agresif dan pertumbuhan. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi revisi V, PT Rineka Cipta, Jakarta. Dharmmesta, B.S. dan Irawan, 2005, Manajemen Pemasaran Modern, Liberty, Yogyakarta. Fida, Eka Noor, 2007, Analisis Strategi Pemasaran pada Perusahaan Rokok PT. Padajayanya Jepara, Skripsi UMK Kudus. Hasanudin, 2008, “SWOT Analysis”, http://www.pdk.go.id/analisis_swot_gatot.htm. Indriantoro, Nur dan Supomo, B., 2002, Metode Penelitian Bisnis, BPFE, Yogyakarta. Irawan dan Faried Wijaya, 1996, Pemasaran Prinsip dan Kasus, BPFE, Yogyakarta. Iskandar, Putong, 2009, “Tehnik Pemanfaatan Analisis Swot Tanpa Skala Industri”. http://ejournal.gunadarma.ac.id/index. Jauch, Lawrence R. dan Glueck, William F, 1998, Manajemen Strategis Kebijakan Perusahaan, Erlangga, Jakarta. Kotler, P, 2002, Manajemen Pemasaran, Edisi millennium pertama, PT. Prenhallindo, Jakarta.
156
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro, 2009. “Swot Analysis UNDIP” http://www.lemlit.undip.ac.id/index. Porter, Michael, 1980, Strategi Bersaing, Tehnik Menganalisis Industri dan Pesaing, Penerbit Erlangga, Jakarta. Putri, Rinella, 2007, “Tehnik Analisis SWOT”, http://www.vibiznews.com Rangkuti, F., 1997, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, PT. Sun, Jakarta. Siagian, Sondang, 1995, Manajemen Strategik, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Suadi, Arif, 2007, Sistem Pengendalian Manajemen, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta. Supriyono, 1998, Manajemen Strategi dan Kebijaksanaan Bisnis, Edisi Kedua, BPFE, Yogyakarta. Suwarsono, Muhammad, 2002, Manajemen Strategik, Konsep dan Kasus, Edisi Ketiga, UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Yuswandi, A, 2007, Analisis Strategi Pemasaran pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Kudus, Skripsi UMK Kudus.
Analisis SWOT sebagai Dasar Penetapan Strategi Bersaing (Penelitian pada Po Shantika Jepara)
Anna Widiastuti Siti Mabruroh
157
ANALISIS PENGARUH INFLASI DAN BUNGA SBI TERHADAP IHSG DI BEI Ahmad Zulfa Juhono Tan STIE Nahdlatul Ulama Jepara, Jl. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara Email:
[email protected] Abstract The study aims to test the effect of inflation and BI rate toward composite stock price index. Inflation obtained from the BPS, interest rate Bank Indonesia certificates (BI rate) obtained from Bank Indonesia and the composite stock price index is obtained from the Indonesian Stock Exchange. Required data collected with the documentation. Periode of the study during 2003 to 2008. Analysis using multiple regression analysis. The results show that inflation has positive and significant impact on stock index and BI rate have negative and significant effect. Key words: inflation, BI rate, IHSG Abstrak Penelitian bertujuan untuk menguji pengaruh tingkat inflasi dan tingkat bunga sertifikat Bank Indonesia terhadap indeks harga saham gabungan. Variabel inflasi diperoleh dari BPS, tingkat bunga sertifikat Bank Indonesia diperoleh dari Bank Indonesia dan indeks harga saham gabungan diperoleh dari Bursa efek Indonesia. Data yang diperlukan dikumpulkan dengan dokumentasi. Periode penelitian selama 2003 hingga 2008. Teknik analisis menggunakan analisis regresi berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG dan tingkat bunga SBI berpengaruh negatif dan signifikan. Kata kunci: inflasi, bunga SBI, IHSG Pendahuluan Perekonomian Indonesia pada awal tahun 1990-an menunjukkan perkembangan yang luar biasa yaitu sebesar 7 persen per tahun, sehingga Indonesia termasuk salah satu “Macan Asia”. Namun demikian, pada awal tahun 1997 krisis ekonomi mulai menghantam Indonesia, laju inflasi sangat tinggi. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi investor untuk melakukan investasi di pasar modal. Selain itu krisis ekonomi juga menyebabkan variabel-variabel ekonomi, seperti bunga, inflasi, nilai tukar maupun pertumbuhan ekonomi mengalami perubahan yang cukup tajam. Dari sisi tingkat inflasi seperti kita ketahui bersama semenjak krisis moneter yang melanda Indonesia dimana harga barang dan jasa secara keseluruhan naik, sehingga mengakibatkan nilai uang turun. Hal ini menunjukkan tingkat inflasi yang
Analisis Pengaruh Inflasi dan Bunga SBI Terhadap IHSG di BEI
ahmad Zulfa Juhono Tan
159
semakin meningkat dari tahun ke tahun dimana tingkat inflasi pada akhir Desember 2004 adalah sebesar 6,40% dan pada akhir Desember 2005 meningkat drastis menjadi sebesar 17,11%. Adanya peningkatan ini dipicu kondisi politik yang masih belum stabil di tanah air, selain itu dipengaruhi pula oleh terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS, dimana nilai tukar rupiah kembali menyentuh di level Rp. 10.320,- di akhir Desember 2006. Sedangkan tingkat bunga SBI dalam 3 tahun terakhir terlihat mengalami kenaikan, hal ini dapat dilihat dari data yang diperoleh dari Bank Indonesia dari www.bi.go.id, dimana tingkat bunga SBI pada Desember 2004 adalah sebesar 7,86%, yang naik drastis menjadi sebesar 12,69% di tahun 2005, dan kembali naik menjadi sebesar 16,93% pada tahun berikutnya. Semakin naiknya tingkat bunga SBI ini ada indikasi dipicu oleh rendahnya aktivitas perdagangan valuta asing dalam hal ini dollar Amerika, sehingga ada kecenderungan banyak investor yang lebih memilih menyimpan dananya di bank. Nilai fluktuasi perdagangan valuta asing dalam hal ini rupiah dan dollar AS dalam tiga tahun terakhir terbukti menunjukkan fluktuasi dimana pada bulan Januari 2004 nilai kurs rupiah terhadap Dollar AS adalah Rp. 9.290,- dan ditutup pada akhir Desember 2004 adalah sebesar Rp. 8.441,-. Pada bulan Januari 2005 nilai kurs Rupiah adalah sebesar Rp. 8.465,- dan ditutup pada akhir Desember 2005 adalah sebesar Rp. 8.876,- dan pada tahun 2006 nilai kurs rupiah terhadap Dollar pada bulan Januari 2006 adalah sebesar Rp. 8.940,- dan ditutup pada Desember 2006 sebesar Rp. 10.320,-. Pada gambar 1 disajikan perkembangan inflasi, SBI dan IHSG selama periode Januari 2003 hingga Oktober 2008. Gambar 1 Perkembangan Inflasi, SBI dan IHSG selama periode 2003-2008 30 inflasi
25
SBI IHSG
persentase
20 15 10
Okt-08
Apr…
Jul-08
Jan-08
Okt-07
Apr…
Jul-07
Jan-07
Okt-06
Apr…
Jul-06
Jan-06
Okt-05
Apr…
Jul-05
Jan-05
Okt-04
Apr…
Jul-04
Jan-04
Okt-03
Apr…
Jan-03
0
Jul-03
5
Sumber: Bank Indonesia, BPS dan BEI
160
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Pertanyaan penelitian ini adalah apakah Tingkat Inflasi dan Tingkat Bunga SBI berpengaruh terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI)? Tinjauan Pustaka Inflasi Menurut A.P. Lehner inflasi adalah keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan (Gunawan, 1991). Ackley mendefinisikan inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai inflasi (Iswardono, 1990). Menurut Boediono (1995) inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari barang-barang lain. Inflasi diakibatkan oleh: 1. Demand-Pull Inflation Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand), sedangkan produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja penuh. Apabila kesempatan kerja penuh (full-employment) telah tercapai, penambahan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja (sering disebut dengan inflasi murni). 2. Cost-Push Inflation Cost push inflation ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi inflasi yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya penurunan dalam penawaran total (aggregate supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi. Kenaikan produksi akan menaikkan harga dan turunnya produksi. Ada berbagai cara untuk menggolongkan macam inflasi, dan penggolongan mana yang kita pilih tergantung pada tujuan kita. Berdasarkan “parah” tidaknya inflasi tersebut: 1. Inflasi ringan (dibawah 10% setahun) 2. Inflasi sedang (antara 10-30% setahun) 3. Inflasi berat (antara 30-100% setahun) 4. Hiperinflasi (di atas 100% setahun) Berdasarkan sebab-musabab awal dari inflasi : 1. Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat. Inflasi semacam ini disebut demand inflation. 2. Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Ini disebut cost inflation. Berdasarkan asal dari inflasi : 1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (Domestic Inflation). Timbul misalnya
Analisis Pengaruh Inflasi dan Bunga SBI Terhadap IHSG di BEI
ahmad Zulfa Juhono Tan
161
karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, panenan gagal dan sebagainya. 2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (Imported Inflation). Timbul karena kenaikan harga-harga (yaitu inflasi) di luar negeri atau di negara-negara langganan berdagang kita. Kenaikan laju inflasi yang tidak diantisipasi (unanticipated inflation) akan meningkatkan harga barang dan jasa, sehingga konsumsi akan menurun. Selain itu kenaikan harga faktor produksi juga akan meningkatkan biaya modal perusahaan. Sehingga pengaruh dari kenaikan laju inflasi yang tidak diantisipasi tersebut akan menurunkan harga saham. Tingkat Bunga SBI Sunariyah (2004) berpendapat bahwa: “Tingkat bunga dinyatakan sebagai persentase uang pokok per unit waktu. Bunga merupakan suatu ukuran harga sumber daya yang penting digunakan oleh debitur yang dibayarkan kepada kreditur”. Sedangkan fungsi tingkat bunga pada suatu perekonomian adalah : 1. Sebagai daya tarik bagi para penabung baik individu, institusi, atau lembaga yang mempunyai dana 2. Sebagai alat kontrol bagi pemerintah terhadap dana langsung (investasi) pada sektor-sektor ekonomi 3. Sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan yang beredar dalam suatu perekonomian 4. Sebagai alat kontrol tingkat inflasi. Di dalam dunia perbankan terdapat dua macam bunga, yaitu: 1. Bunga pinjaman Besarnya bunga pinjaman berbeda-beda sesuai dengan penggunaan pinjaman. Misalnya : a. Pinjaman dagang yaitu meminjam uang kepada Bank dengan maksud untuk digunakan dalam aktivitas di bidang perdagangan b. Pinjaman investasi yaitu meminjam uang kepada Bank dengan maksud untuk melakukan investasi yang berupa barang modal guna melaksanakan kegiatan produksi yang lebih menguntungkan (Nopirin, 1993). 2. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga atas unjuk dalam rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto. Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia berkewajiban memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam paradigma yang dianut, jumlah uang primer (uang kartal + uang giral di Bank Indonesia) yang berlebihan dapat mengurangi kestabilan rupiah dan SBI diterbitkan dan dijual oleh Bank Indonesia untuk mengurangi kelebihan uang primer tersebut. Dasar hukum penerbitan SBI adalah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia. No. 31/67/KEP/DIR tanggal 23 Juli 1998 tentang Penerbitan 162
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
dan Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia serta Intervensi Rupiah. Sejalan dengan ide dasar penerbitan SBI sebagai salah satu piranti Operasi Pasar Terbuka (OPT). Penjualan SBI diprioritaskan kepada lembaga perbankan. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan masyarakat baik perseorangan maupun perusahaan dapat memiliki SBI. Inflasi, Bunga SBI dan Indeks Harga Saham Gabungan Hubungan antara inflasi terhadap indeks harga saham mempunyai pengaruh yang negatif. Kenaikan laju inflasi yang tidak diantisipasi (unanticipated inflation) akan meningkatkan harga barang dan jasa, sehingga konsumsi akan menurun. Selain itu kenaikan harga faktor produksi juga akan meningkatkan biaya modal perusahaan. Sehingga pengaruh dari kenaikan laju inflasi yang tidak diantisipasi tersebut akan menurunkan harga saham. Namun dari beberapa penelitian disebutkan bahwa inflasi berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan apabila pada kondisi jangka pendek dan pada keadaan perekonomian yang normal. Sedangkan pada jangka panjang, inflasi berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di BEI. Sedangkan pengaruh bunga SBI terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bersifat negatif pula, ini terbukti jika bunga naik masyarakat akan cenderung untuk menginvestasikan pendapatannya dalam bentuk tabungan. Jika bunga turun, masyarakat cenderung lebih banyak melakukan investasi. Pada saat perekonomian kita tidak stabil yang mengakibatkan bank Indonesia menaikkan bunga maka otomatis masyarakat yang mempunyai kelebihan dana akan cenderung menabung daripada melakukan investasi, selain bunganya tinggi juga akan lebih aman. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu menyediakan dasar untuk membantu eksplorasi lebih lanjut. Peneliti menggunakan penelitian sebelumnya untuk dikembangkan dan dibuat sebagai acuan dan menambah konsep atau relasi baru. Maka dari itu peneliti menggunakan penelitian dari Rohman (2008) dengan judul “Analisis Pengaruh Nilai Kurs Dollar (As) dan Tingkat Bunga Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa Efek Indonesia”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kurs (US$) dan tingkat bunga berpengaruh terhadap IHSG. Dari kedua variabel tersebut, tingkat bunga SBI memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan kurs (US$). Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama menggunakan variabel terikat Indeks harga saham gabungan. Perbedaannya terletak pada variabel bebas dimana penulis tidak menggunakan kurs dollar AS melainkan tingkat Inflasi. Kerangka Penelitian Kerangka pikir penelitian mengenai pengaruh inflasi dan tingkat bunga disajikan
Analisis Pengaruh Inflasi dan Bunga SBI Terhadap IHSG di BEI
ahmad Zulfa Juhono Tan
163
pada gambar 2. Gambar 2 Kerangka Penelitian
Hipotesis Berdasarkan uraian bab sebelumnya, peneliti mengemukakan hipotesis sebagai berikut: H1: Inflasi berpengaruh terhadap IHSG H2: Bunga SBI berpengaruh terhadap IHSG Metode Penelitian Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel independen pada penelitian adalah inflasi dan tingkat bunga SBI sedangkan variabel dependen adalah IHSG. 1. Inflasi (X1) Inflasi merupakan kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain. Kenaikan harga-harga karena, misalnya musiman, menjelang hari-hari besar, atau yang terjadi sekali saja (dan tidak mempunyai pengaruh lanjutan) tidak disebut inflasi. Masalah inflasi dalam arti yang lebih luas bukan sematamata masalah ekonomi, tetapi masalah sosio-ekonomi-politis. Ilmu ekonomi membantu kita untuk mengidentifikasikan sebab-sebab “obyektif” dari inflasi, misalnya saja karena pemerintah mencetak terlalu banyak. Misalnya karena pemerintah membutuhkan uang untuk operasi keamanan, atau karena adanya pertarungan politik diantara golongan-golongan politik di dalam negeri, atau karena pemerintah tak berdaya menghadapi tuntutan politik golongan-golongan masyarakat tertentu. 2. Tingkat bunga SBI(X2) Tingkat Bunga SBI merupakan tingkat bunga yang ditetapkan oleh BI dan dijadikan sebagai tingkat bunga standar bagi bank pemerintah maupun bank swasta lainnya. Dalam penelitian ini satuan ukur yang digunakan adalah besarnya tingkat bunga SBI rata-rata setiap bulannya dalam satuan % selama tahun 2003 sampai Desember 2008. 3. IHSG (Y) Indeks Harga Saham merupakan indikator utama yang menggambarkan 164
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
pergerakan harga saham (Sjahrir, 1995). Indeks Harga Saham Gabungan adalah angka indeks harga saham gabungan yang telah disusun dan diperhitungkan serta merupakan catatan terhadap perubahan-perubahan maupun pergerakan harga saham sejak mulai pertama kali beredar sampai pada suatu saat tertentu di Bursa Efek Indonesia (BEI). Besarnya Indeks Harga Saham Gabungan yang diamati yaitu Indeks harga saham gabungan rata-rata setiap bulannya selama tahun 2003 s/d Desember 2008. Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan adalah data sekunder. Data inflasi diperoleh dari BPS, bunga SBI dari Bank Indonesia dan IHSG diperoleh dati BEI. Metode pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi, yaitu dengan cara men-download data yang diperlukan dari website masing-masing lembaga tersebut. Metode Analisis Data Uji Asumsi Klasik Menurut pendapat Algifari (2000) mengatakan: “Model regresi yang diperoleh dari metode kuadrat terkecil biasa (ordinary least square/OLS) merupakan model regresi yang menghasilkan estimator linear yang tidak bias yang terbaik (Best Linear Unbias Estimator/BLUE)” Kondisi ini akan terjadi jika dipenuhi beberapa asumsi yang disebut dengan asumsi klasik. Adapun uji asumsi klasik yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Uji Normalitas Untuk melihat apakah data yang dianalisis memiliki nilai residual berada disekitar nol (data normal). Menurut Budi (2003) dengan menggunakan aplikasi SPSS 12. Pengujian normalitas data menggunakan hasil uji ShapiroWilks atau Multification Kolomogrov-Smirnov (K-S). Jika nilai two tailed p > α berarti data adalah normal. Jika nilai two tailed p < α berarti data tidak normal. 2. Uji Multikolineritas Multikolinieritas berarti adanya hubungan linier yang kuat antar variabel bebas yang satu dengan yang lain dalam model regresi. Model regresi yang baik adalah yang tidak terdapat korelasi linier/hubungan yang kuat antara variabel bebasnya. Jika dalam model regresi terdapat gejala multikolinieritas, maka model regresi tersebut tidak dapat menaksir secara tepat sehingga diperoleh kesimpulan yang salah tentang variabel yang diteliti. Pengujian gejala multikolinieritas dengan cara mengkorelasikan variabel bebas yang satu dengan variabel bebas yang lain dengan menggunakan bantuan program SPSS for Windows 12.0. Pengukuran multikolinieritas dapat dilihat dari nilai tolerance atau VIF (Variance Inflation Factor) dari masingmasing variabel dari masing-masing variabel. Jika nilai Toleransi < 0,10 atau VIF > 10 maka terdapat multikolinieritas, sehingga variabel tersebut harus
Analisis Pengaruh Inflasi dan Bunga SBI Terhadap IHSG di BEI
ahmad Zulfa Juhono Tan
165
3.
dibuang (atau sebaliknya). Uji Heterokedastisitas Heterokedastisitas berarti adanya variasi residual yang tidak sama untuk semua pengamatan, atau terdapatnya variasi residual yang semakin besar pada jumlah pengamatan. Pengujian gejala heterokedastisitas dengan bantuan program SPSS for Windows, dengan mengkorelasikan nilai residual dengan variabel bebas dilihat dari nilai signifikan korelasi Rank Spearman. Jika probabilitas signifikan > α (0,05) berarti tidak terdapat heteroskedastisitas. Jika probabilitas signifikan < α (0,05) berarti terdapat heterokedastisitas.
Analisis Regresi Berganda Berdasarkan permasalahan dan hipotesis yang telah disajikan, maka teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Y = a + b1X1 + b2X2 + e Dimana : a = Konstanta b1, b2 = Koefisien regresi X1 = Nilai Tingkat Inflasi X2 = Nilai Tingkat Bunga SBI Y = Indeks Harga Saham Pengujian hipotesis 1. Uji t Notasi hipotesis uji t adalah: H0: bi = 0 artinya variabel independen ke-i tidak berpengaruh terhadap variabel dependen Ha: bi≠ 0 artinya variabel independen ke-i berpengaruh terhadap variabel dependen Pengujian dilakukan dengan membandingkan t hitung dengan t tabel pada α = 0,05. Kriteria pengambilan keputusan: a. t hitung > t tabel maka Ha diterima artinya variabel independen berpengaruh signifikan terdapat variabel dependen, b. t hitung < t tabel maka Ha ditolak artinya variabel independen tidak berpengaruh signifikan terdapat variabel dependen, 2. Uji F Uji F untuk menguji pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Notasi hipotesis sebagai berikut: H0: b1 = b2 = 0 artinya variabel independen tak ada satu pun yang berpengaruh terhadap variabel dependen. Ha: b1 ≠ b2 ≠ 0 artinya variabel independen ada yang berpengaruh terhadap variabel dependen. Pengujian dilakukan dengan membandingkan F hitung dan F tabel pada α = 0,05. Kriteria pengambilan keputusannya: 166
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
a. b.
F hitung > F tabel , maka Ha diterima artinya variabel independen berpengaruh signifikan terdapat variabel dependen. F hitung < F tabel , maka Ha ditolak artinya tak ada satu pun variabel independen yang berpengaruh signifikan terdapat variabel dependen.
Analisis Data Uji Asumsi Klasik Pengujian asumsi klasik pada penelitian ini meliputi uji normalitas, uji multikolinieritas dan uji heteroskedastisitas. 1. Uji Normalitas Data Hasil pengujian normalitas data dengan menggunakan normal P-P plot Standardized Residual, disajikan pada gambar 3. Gambar 3 Hasil Uji Normalitas
Sumber: Data sekunder yang diolah.
2.
Berdasarkan gambar 2 terlihat bahwa data standardized residual menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa model regresi memenuhi asumsi normalitas. Uji Multikolinieritas Hasil pengujian multikolinieritas menunjukkan bahwa pada kedua variabel independen memiliki nilai VIF sebesar 2,366 dan tolerance 0,423. Berdasarkan nilai tersebut VIF lebih kecil dari 10 dan tolerance lebih dari 0,1 sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi bebas dari problem multikolinieritas. Atau dengan kata lain, tidak terjadi hubungan antar variabel independen.
Analisis Pengaruh Inflasi dan Bunga SBI Terhadap IHSG di BEI
ahmad Zulfa Juhono Tan
167
3.
Heteroskedastisitas Pengujian gejala heteroskedastisitas menggunakan metode Rank Spearman Correlation antara unstandardized residual dengan masing-masing variabel bebas pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Jika semua variabel bebas berkorelasi secara signifikan dengan residual maka dalam model regresi terdapat gejala heteroskedastisitas. Hasil pengujian korelasi Rank Spearman disajikan di tabel 1. Tabel 1 Korelasi Rank Spearman, Standardized Residual Dengan Variabel Independen Variabel Standardized residual Pearson Correlation ,760** Inflasi Sig. (2-tailed) ,000 Pearson Correlation ,760** Bunga SBI Sig. (2-tailed) ,000 Sumber: Data sekunder yang diolah. Hasil korelasi rank Spearman menunjukkan nilai signifikan koefisien korelasi masing-masing variabel bebas dengan unstandarized residualnya adalah untuk variabel X1 sebesar 0,000, dan X2 sebesar 0,000. Jadi kedua variabel mempunyai nilai signifikan korelasi lebih kecil dari 0,05, berarti menunjukkan adanya heteroskedastisitas yang menandakan adanya variasi residual yang tidak sama untuk semua pengamatan, atau terdapatnya variasi residual yang semakin besar pada jumlah pengamatan yang semakin besar.
Analisis Regresi Linier Berganda Rekapitulasi hasil analisis regresi linier berganda disajikan pada tabel 2. Tabel 2 Analisis Regresi Linier Berganda Variabel Koefisien Koefisien unstandar standar Konstanta 2219.616 X1 (Tingkat Inflasi) 68.155 0.412 X2 (Bunga SBI) -156,404 - 0.412 F 2.826 R 0.275 R2 0.076 R Adjust 0.049 Sumber: Data sekunder yang diolah
t hitung
Prob.
4.806 2.110 - 2.316
0.000 0.038 0.024
Berdasarkan tabel 2, didapatkan persamaan Regresinya sebagai berikut: Y = 2219,616 + 68,155 X1 – 156,404 X2 Hasil analisis regresi linier menunjukkan bahwa: a. Konstanta sebesar 2219, 616 menunjukkan bahwa terdapat variabel lain 168
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
diluar model yang memberikan kontribusi pada IHSG sebesar 2219,616. b. Jika tingkat inflasi meningkat 1 satuan maka akan menyebabkan perubahan kenaikan pada IHSG sebesar 68,155 kali, dengan anggapan besarnya nilai bunga SBI adalah tetap (konstan). c. Jika bunga SBI meningkat 1 satuan akan menyebabkan penurunan IHSG sebesar 156,404 dan sebaliknya jika bunga SBI turun 1 satuan akan menyebabkan kenaikan IHSG sebesar 156,404 dengan anggapan tingkat inflasi adalah tetap. Pengujian Hipotesis 1. Variabel Tingkat Inflasi (X1) Berdasarkan hasil analisis regresi diperoleh nilai t hitung sebesar 2,110 sedangkan nilai t tabel sebesar 1,669 sehingga t hitung > t tabel . Jadi Ha1 diterima artinya tingkat inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap IHSG.
2. Variabel Bunga SBI (X2) Berdasarkan analisis regresi diperoleh nilai t hitung = -2.316 sedangkan nilai t tabel = 1,669 sehingga│t hitung │> │ t tabel │. jadi Ha2 diterima artinya variabel bunga SBI berpengaruh negatif signifikan terhadap perubahan IHSG. Hasil analisis regresi diperoleh nilai F hitung (2,826) > F tabel (2,76). Sehingga dapat disimpulkan tingkat inflasi dan tingkat bunga SBI, secara simultan berpengaruh signifikan terhadap perubahan IHSG. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda ternyata variabel tingkat inflasi berpengaruh signifikan dan positif terhadap indeks harga saham gabungan sedangkan bunga SBI berpengaruh signifikan dan bersifat negatif terhadap naik turunnya indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia. Hal tersebut berarti sesuai dengan teori bahwa pada saat tingkat inflasi naik orang akan cenderung berspekulasi di pasar valuta dan pada saat bunga naik orang pun akan cenderung menabungkan uangnya di Bank karena selain bunganya tinggi resiko yang didapat juga kecil daripada di pasar modal. Berdasarkan analisis determinasi besarnya pengaruh nilai tingkat inflasi dan nilai tingkat bunga SBI, memberikan kontribusi terhadap perubahan IHSG sebesar 49% sedangkan sisanya sebesar 51% disebabkan oleh perubahan variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka peneliti memberikan saran-saran agar para investor sebelum melakukan investasi di pasar modal harus lebih memperhatikan fluktuasi tingkat bunga SBI, karena setelah dilakukan penelitian ternyata tingkat bunga SBI yang paling dominan berpengaruh terhadap naik turunnya indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia.
Analisis Pengaruh Inflasi dan Bunga SBI Terhadap IHSG di BEI
ahmad Zulfa Juhono Tan
169
Daftar Pustaka Anoraga, panji, 1995, Pasar Modal Keberadaan dan Manfaatnya Bagi Pembangunan Cetakan Kedua, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Boediono, 1996, Ekonomi Moneter, Edisi Ketiga, BPFE UGM, Yogyakarta. Budi S, Purbayu, 2003, Statistik Teori dan Aplikasi dengan Program Ms. Excel dan SPSS Versi 11.0, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Chastina, Yolana, 2005, “Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Fenomena Underpricing Pada Penawaran Saham Perdana di BEI”, Simposium Nasional Akuntansi VIII. Choi, 2005, Akuntansi Internasional Edisi Kelima, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Hikmah, 2004, “Mengenal Instrumen Investasi Seri 1”, Pikiran Rakyat Cyber Media. Hikmah, 2004, “Mengenal Pasar Modal”, Pikiran Rakyat Cyber Media. Jogiyanto HM, 2003, Teori Portofolio dan Analisis Investasi, Penerbit BPFE UGM, Yogyakarta. Murtilestari, 2005, “Pengaruh Variabel Makro Terhadap Return Saham di Bursa Efek Indonesia”, Simposium Nasional Akuntansi IX. Siamat, Dahlan, 2005, Manajemen Lembaga Keuangan Edisi Kelima, Cetakan Pertama, Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta. Sjahrir, 1995, Analisis Bursa Efek, Cetakan Pertama, Penerbit Melton Putra, Jakarta. Husnan, Suad, 2003, Dasar-Dasar Teori Portofolio dan Analisis Investasi Edisi Ketiga Cetakan Kedua, Penerbit UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Sunariyah, 2004, Pengantar Pengetahuan Pasar Modal Edisi Keempat, PenerbitUPP APM YKPN. Yogyakarta. Suwardjono, 2005, Teori Akuntansi, Cetakan Pertama Edisi Ketiga, Penerbit BPFE UGM, Yogyakarta. Wibowo, Y. Santoso, 1998, “Dampak Kegiatan Bank Terhadap Efektivitas Kebijakan Moneter” Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol.1 Juli 1998. Widoatmodjo, Sawidji, 1996, Cara Sehat Investasi di Pasar Modal, Penerbit Jurnalindo Aksara Grafika, Jakarta.
170
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
ANALISIS PENGARUH KEPEMIMPINAN, KAPABILITAS, KOMITMEN TERHADAP KINERJA ANGGOTA SATUAN KOMANDO DISTRIK MILITER 0719 JEPARA Noor Arifin1) Komaruddin2) 1)
STIENU Jepara, Jl. Tamansiswa (Pekeng) Tahunan Jepara 2) KODIM 0719 Jepara Email: 1)
[email protected]
Abstract The purpose of research seeking the causes of the problems associated with less optimal performance of unit members KODIM 0719 Jepara. On the other side of leadership, capability and commitment of members of the unit KODIM 0719 Jepara always be improved. The research question is how the influence of leadership, commitment and capability of their impact on performance? Sampling technique using proportional random sampling of 150 members of the unit KODIM 0719 Jepara. Method of analysis used PLS with SmartPLS software. Results showed no effect on performance leadership, capabilities affect the performance, leadership influence on the commitment, capability affect the commitment, the commitment effect on performance, and commitment is an intervening variable between the capabilities of influence on performance. Keywords: Leadership, Capabilities, Commitment, and Performance Abstrak Tujuan penelitian mencari penyebab masalah yang berkaitan dengan kurang optimalnya kinerja anggota satuan KODIM 0719 Jepara. Di sisi lain kepemimpinan, kapabilitas dan komitmen dari anggota satuan KODIM 0719 Jepara selalu ditingkatkan. Pertanyaan penelitian adalah bagaimanakah pengaruh kepemimpinan, kapabilitas terhadap komitmen dan dampaknya terhadap kinerja? Teknik pengambilan sampel menggunakan metode Proporsional Random Sampling sebanyak 150 anggota satuan KODIM 0719 Jepara. Metode analisis yang digunakan adalah PLS (partial least square) dengan software SmartPLS. hasil penelitian menunjukkan kepemimpinan tidak berpengaruh terhadap kinerja, kapabilitas berpengaruh terhadap kinerja, kepemimpinan berpengaruh terhadap komitmen, kapabilitas berpengaruh terhadap komitmen, komitmen berpengaruh terhadap kinerja, dan komitmen merupakan variabel intervening dari pengaruh antara kapabilitas terhadap kinerja. Kata Kunci : Kepemimpinan, Kapabilitas, Komitmen, dan Kinerja
Analisis Pengaruh Kepemimpinan, Kapabilitas, Komitmen terhadap Kinerja Anggota Satuan Komando Distrik Militer 0719 Jepara
Noor Arifin Komaruddin
171
Pendahuluan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dituntut untuk mengembangkan kepemimpinan yang handal, kredibel dan responsif terhadap tantangan tugas yang semakin berat. Kepemimpinan TNI yang dibutuhkan adalah kemimpinan yang mampu menghadapi tantangan tugas di era globalisasi dimana ancaman terhadap bangsa dan negara semakin komplek meliputi ancaman militer maupun non militer. Institusi KODIM 0719 Jepara memiliki komitmen untuk meningkatkan kinerja para anggota satuan KODIM 0719 Jepara, dengan mengembangkan kemampuan anggota supaya dapat eksis dalam mengemban tugas beratnya, menegakkan kedaulatan negara dalam mempertahankan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Salah satu upayanya melalui pembelajaran secara terus-menerus, karena arti pembelajaran adalah pengembangan untuk mendapatkan pengetahuan baru atau kemampuan untuk menghasilkan perilaku (Slater dan Nerver, 1995). Orientasi pembelajaran yang kuat akan mendorong seseorang terus berusaha meningkatkan kemampuan yang dimilikinya untuk menunjang pekerjaannya dan memberikan hasil terbaik bagi pekerjaannya. Proses pembelajaran akan menambah kemampuan dan kapasitas pengetahuan sehingga kapabilitas akan bertambah. Jika anggota satuan KODIM kapabilitasnya meningkat, akan mudah untuk diarahkan oleh pemimpinnya (komandan). Dengan demikian komitmen menjadi anggota KODIM 0719 Jepara bisa lebih tinggi, yang bisa meningkatkan kinerjanya melayani masyarakat dan negara dengan baik. Kinerja KODIM Jepara dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Nilai Rata-rata Kinerja Satuan KODIM Jepara Rata-rata Kinerja No Nama Jabatan 2007 2008 2009 1 DANDIM (Komandan Komando Distrik Militer) B B B 2 KASDIM (Kepala Staf Komando Distrik Militer) C C C 3 PASIINTEL (Perwira Seksi Intelijen) C C C 4 PASIOPS (Perwira Seksi Operasional) C C C 5 PASIMIN (Perwira Seksi Administrasi) C C C 6 PASITER (Perwira Seksi Teritorial) C C C 7 KAPOKTUUD (Kepala Kelompok Tata Usaha dan C C C Urusan Dalam) 8 DANUNITINTELDIM (Komandan Unit Intelijen C C C Kodim) 9 DANRAMIL (Komandan Komando Rayon Militer) C C C 10 ANGGOTA SATUAN KODIM C C C Sumber: Informasi PASIMIN Kodim 2010 Keterangan nilai kinerja:
172
A B C
: > 80 % : 70 s/d 80 % : 50 s/d 60 %
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Berdasarkan tabel 1, dapat dijelaskan bahwa nilai kinerja rata-rata personalia Kodim Jepara kurang optimal (terbukti banyak terdapat nilai C). Hal ini bisa dijelaskan karena adanya beberapa faktor: 1. Sumberdaya manusia rata-rata belum memiliki tingkat kualifikasi seperti yang diharapkan sebagaimana dalam job deskripsi. 2. Dukungan fasilitas dan peralatan yang belum memadai dalam pelaksanaan tugas, misalnya: belum tersedia kendaraan tugas lapangan untuk BABINSA yang harus mengawasi pada setiap desa, juga fasilitas perumahan bagi pejabat Kodim Jepara, serta gaji yang layak bagi anggota Kodim Jepara. 3. Kurangnya jumlah personil lapangan yang melaksanakan tugas. Jumlah ideal personil Kodim Jepara seharusnya 344 orang, namun sekarang tersedia 226 orang. Sehingga ada tugas lapangan yang dirangkap oleh satu personil, sementara tugas lapangan tersebut sangat berat. Berdasarkan uraian yang dipaparkan, penelitian menguji model pengembangan kinerja anggota melalui pola kepemimpinan, kapabilitas anggota yang dimediasi oleh variabel komitmen pada satuan Komando Distrik Militer 0719 Jepara. Kajian Pustaka Kepemimpinan Pemimpin adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dan wewenang untuk mengarahkan perilaku orang lain agar bekerja sesuai dengan apa yang menjadi tujuan organisasi. Definisi kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi tertentu agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Cara pemimpin mempengaruhi bawahan dapat bermacam-macam, antara lain dengan memberikan gambaran masa depan yang lebih baik, memberikan perintah, memberi imbalan, melimpahkan wewenang, mempercayai bawahan, memberikan penghargaan, memberikan kedudukan, memberikan tugas, memberikan tanggung jawab, memberikan kesempatan mewakili, mengajak, membujuk, meminta saran, meminta pendapat, meminta pertimbangan, memberi kesempatan berperan, memenuhi keinginannya, memberi kepemimpinan, membela, mendidik, membimbing, memberikan petunjuk, menegakkan disiplin, memberikan teladan, mengemukakan gagasan yang baru, memberikan arahan, memberikan keyakinan, mendorong keyakinan, mendorong kemajuan, menciptakan perubahan, memberikan ancaman, memberikan hukuman (Sutarto,1995). Gaya kepemimpinan merupakan gaya dalam cara bekerja dan bertingkah laku pemimpin dalam membimbing pengikutnya untuk membuat sesuatu yang diharapkan bisa membantu keberhasilan pemimpin dalam melakukan tugas-tugasnya. Menurut Siagian (1994) terdapat lima gaya kepemimpinan: 1. Gaya Otokratik: pemimpin yang sangat egois. Disiplin kerja diinterpretasi sebagai perwujudan ketaatan bawahan, padahal sebenarnya dilandasi dengan ketakutan bukan kesetiaan.
Analisis Pengaruh Kepemimpinan, Kapabilitas, Komitmen terhadap Kinerja Anggota Satuan Komando Distrik Militer 0719 Jepara
Noor Arifin Komaruddin
173
2. Gaya Paternalistik, banyak terdapat pada masyarakat yang bersifat tradisional, umumnya dalam masyarakat agraris. Persepsi pimpinan yang paternalistik diwarnai oleh harapan para pengikutnya kepada pimpinan, yang umumnya berupa keinginan agar pemimpin mereka mampu berperan sebagai bapak yang bersifat melindungi, mengayomi, dan layak dijadikan sebagai tempat bertanya dan memperoleh petunjuk atau solusi. 3. Gaya Kharismatik, yaitu seorang pemimpin yang memiliki karakteristik yang khas, yaitu daya tarik yang sangat memikat, sehingga mampu memperoleh pengikut yang kagum dan banyak. 4. Gaya Laissez Faire, yakni pendelegasian wewenang terjadi secara ekstensif, pengambilan keputusan diserahkan pada bawahannya, kecuali pada hal-hal tertentu, pertumbuhan dan pengembangan kemampuan berfikir dan bertindak yang inovatif dan kreatif diserahkan kepada anggota, selama dan sepanjang anggota menunjukkan perilaku dan prestasi kerja mewadahi, intervensi pimpinan sangat minim. 5. Gaya Demokratik, gaya kepemimpinan dikembalikan pada impian yang “people centered” karena menempatkan unsur manusia dalam organisasi pada posisi yang paling sentral. Hal demikian dijabarkan dalam berbagai hal, seperti semua daya dan dana digunakan, bawahan dilibatkan secara aktif dalam menentukan nasib sendiri melalui peran serta dalam pengambilan keputusan. Pola kepemimpinan yang dikembangkan di satuan Kodim Jepara dikenal dengan 11 asas kepemimpinan yaitu: 1. Taqwa: bahwa pemimpin harus bertakwa kepada Tuhan YME 2. Ing Ngarso Sung Tulodo: bahwa menjadi pemimpin harus dapat menjadi contoh bagi anggota yang dipimpinnya. 3. Ing Madyo Mangun Karso: bahwa pemimpin harus bisa menumbuhkan motivasi dan kreasi bagi yang dipimpinnya. 4. Tutwuri Handayani: bahwa pemimpin harus memberi dorongan kepada anggota supaya dapat maju. 5. Waspodo Purbo Wasesa: bahwa pemimpin harus waspada terhadap semua yang menjadi tanggung jawabnya sesuai tugas pokoknya 6. Ambeg Parama Arta: bahwa pemimpin harus bisa menahan untuk memperkaya diri saat menjabat. 7. Prasojo: bahwa pemimpin harus berpola hidup sederhana. 8. Jujur: bahwa pemimpin harus berkata jujur dan transparan. 9. Gemini: bahwa pemimpin harus melindungi 10.Beloko: bahwa pemimpin harus berkata apa adanya. 11.Legowo : bahwa pemimpin harus berjiwa besar. Pola kepemimpinan yang telah dikembangkan di atas pada dasarnya adalah merupakan penjabaran dari penerapan gaya kepemimpinan yang dijiwai oleh pola kepemimipinan kharismatik, transformasional, transaksional, demokratik, paternalistik, 174
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
dan laissez faire, bahkan lebih memperkuat nilai moralitas saat memimpin. Kapabilitas Definisi kapabilitas menurut Day (1994) adalah gabungan komplek ketrampilan dan pembelajaran bersama, pelatihan melalui proses organisasi yang dapat memastikan berjalannya koordinasi aktivitas fungsional. Seorang pemimpin yang memiliki kapabilitas tinggi pada umumnya memiliki informasi memadai mengenai keinginan dan kebutuhan organisasi agar tetap survive. Selain itu, mereka juga dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan organisasi tersebut, terutama dalam mengarahkan para anak buahnya. Kondisi kapabilitas para anggota Kodim Jepara pada kenyataannya belum optimal karena kualifikasi dan kompetensinya belum sesuai job deskripsi, sehingga belum mampu dalam menerapkan prinsip the right man on the right job. Kapabilitas idealnya adalah segenap kemampuan dan kompetensi yang dimiliki masing-masing anggota Kodim Jepara dalam melaksanakan tugas sesuai kualifikasi yang dikehendaki job deskripsi, sehingga kualifikasi yang dimiliki dapat meningkatkan kinerja tugas denga baik. Kinerja Kinerja merupakan hasil yang telah dicapai dari yang telah dilakukan, dikerjakan seseorang dalam melaksanakan kerja atau tugas. Menurut Seymour (1991), kinerja merupakan tindakan-tindakan atau pelaksanaan-pelaksanaan tugas yang dapat diukur. Adapun menurut As’ad (1989) mengutip dua pendapat, pertama dari Maiyer yang memberi batasan bahwa kinerja sebagai kesuksesan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan. Kedua dari pendapat Lawer dan Porter, menyatakan bahwa kinerja adalah “Successful role achievement” yang diperoleh seseorang dari perbuatan-perbuatannya. Sedangkan Byars and Rue (1984) mendefinisikan kinerja merupakan derajat penyelesaian tugas yang menyertai pekerjaan seseorang. Kinerja adalah merefleksikan seberapa baik seseorang individu memenuhi permintaan pekerjaan. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, menunjukkan bahwa kinerja merupakan hasil yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Kinerja diukur dengan instrumen yang dikembangkan dalam studi yang tergabung dalam ukuran kinerja secara umum, kemudian diterjemahkan ke dalam penilaian perilaku secara mendasar, meliputi (1) kuantitas kerja, (2) kualitas kerja, (3) pengetahuan tentang pekerjaan, (4) pendapat atau pernyataan yang disampaikan, (5) perencanaan kerja. Menurut Steer (1985) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja sebagai berikut: 1. Kemampuan, kepribadian dan minat kerja. Kemampuan merupakan kecakapan seseorang, seperti kecerdasan dan ketrampilan. Kemampuan pekerja dapat mempengaruhi kinerja dalam berbagai cara. Misalnya dalam cara pengambilan keputusan, cara mengintepretasikan tugas dan cara penyelesaian tugas.
Analisis Pengaruh Kepemimpinan, Kapabilitas, Komitmen terhadap Kinerja Anggota Satuan Komando Distrik Militer 0719 Jepara
Noor Arifin Komaruddin
175
Kepribadian adalah serangkaian ciri yang relatif mantap yang dipengaruhi oleh keturunan dan faktor sosial, kebudayaan dan lingkungan. Sedangkan minat merupakan suatu valensi atau sikap. 2. Kejelasan dan penerimaan atas penjelasan peran seseorang pekerja, yang merupakan taraf pengertian dan penerimaan seseorang individu atas tugas yang dibebankan kepadanya. Makin jelas pengertian pekerja mengenai persyaratan dan sasaran pekerjaannya, maka makin banyak energi yang dapat dikerahkan untuk kegiatan kearah tujuan. 3. Tingkat Kepemimpinan pekerja. Kepemimpinan adalah daya energi yang mendorong, mengarahkan dan mempertahankan perilaku. Kinerja yang diharapkan pada anggota Kodim Jepara adalah bagaimana semua anggota dapat melaksanakan tugas dengan baik sesuai dengan visinya yaitu bertindak secara profesional, solid, tangguh, berwawasan kebangsaan, serta tindakan tugasnya dapat dicintai masyarakat. Komitmen Keberhasilan pengelolaan organisasi sangatlah ditentukan oleh keberhasilan dalam mengelola sumber daya manusia. Seberapa jauh komitmen karyawan terhadap organisasi tempat mereka bekerja, sangatlah menentukan organisasi itu dalam mencapai tujuannya. Dalam dunia kerja komitmen karyawan terhadap organisasi sangatlah penting sehingga sampai-sampai beberapa organisasi berani memasukkan unsur komitmen sebagai salah satu syarat untuk memegang jabatan/posisi yang ditawarkan dalam iklan lowongan pekerjaan. Sayangnya meskipun demikian tidak jarang pengusaha maupun anggota masih belum memahami arti komitmen secara sungguhsungguh. Padahal pemahaman tersebut sangat penting agar tercipta kondisi kerja yang kondusif sehingga organisasi dapat berjalan secara efisien dan efektif. Porter dalam (Mowday 1998) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari karyawan dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya ke dalam organisasi. Hal ini ditandai dengan tiga hal, yaitu : 1. Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. 2. Kesiapan dan kesediaan untuk bersungguh-sungguh atas nama organisasi. 3. Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan didalam organisasi (menjadi bagian dari organisasi). Gibson (1996) memberikan pengertian bahwa: “komitmen karyawan merupakan suatu bentuk identifikasi, loyalitas dan keterlibatan yang diekspresikan oleh karyawan terhadap organisasi atau unit”. Sedangkan Mathis & Jackson (2001) memberikan pengertian bahwa: “komitmen organisasional merupakan tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada didalam organisasi tersebut”. Komitmen yang ditonjolkan pada anggota Kodim Jepara adalah bagaimana dapat melaksanakan tugas dengan mengedepankan kepentingan rakyat dan negara demi 176
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
melaksanakan pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Serta membantu suksesnya tugas kesatuan lain demi menjaga keutuhan NKRI, baik dengan satuan TNI Polri maupun kesatuan TNI angkatan laut dan Udara. Sikap komitmen anggota yang bisa menumbuhkan rasa loyalitas terhadap organisasinya dapat mendorong semangat kerja untuk melaksanakan tugas dengan baik, sehingga kinerja yang ditunjukkan akan semakin meningkat. Penelitian Terdahulu Penelitian terhadap Komitmen, Kapabilitas dan Kepemimpinan terhadap Kinerja karyawan masih sangat langka. Ringkasan penelitian terdahulu disajikan pada tabel 2. Tabel 2 Penelitian Terdahulu No Peneliti Hasil 1 Chandra Hasan Kepuasan kerja berpengaruh terhadap komitmen (2004) organisasi Kepuasan kerja berpengaruh terhadap kinerja Komitmen organisasi berpengaruh terhadap kinerja 2 Kustiyono Kepemimpinan, Kepemimpinan kerja, dan komitmen (2005) karyawan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja secara parsial Kepemimpinan, Kepemimpinan kerja, dan komitmen karyawan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja secara serentak 3 Menon dkk • Integrasi antar fungsi, kualitas komunikasi dan (1999) komitmen SDM berpengaruh positif pada kreatifitas strategi • Kreatifitas Strategi berpengaruh positif terhadap kinerja pemasar. • Pembelajaran organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja 4 Carmeli, and • Kecerdasan/kemampuan dan kreativitas Tishler (2006) (kapabilitas) berpengaruh terhadap kinerja perusahaan Sumber: Penelitian terdahulu diringkas Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran teoritik dalam penelitian ini, nampak pada gambar 1.
Analisis Pengaruh Kepemimpinan, Kapabilitas, Komitmen terhadap Kinerja Anggota Satuan Komando Distrik Militer 0719 Jepara
Noor Arifin Komaruddin
177
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Kepemimpinan (X1)
H1 Komitmen (Y1)
H3
H5
H4 Kapabilitas (X2)
Kinerja Karyawan (Y2)
H2
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1 : Kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja H2 : Kapabilitas berpengaruh terhadap kinerja H3 : Kepemimpinan berpengaruh terhadap komitmen H4 : Kapabilitas berpengaruh terhadap komitmen H5 : Komitmen berpengaruh terhadap kinerja Metode Penelitian Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota KODIM Jepara yang berjumlah 241 orang. Jumlah sampel yang diambil didasarkan pada penentuan rumus berikut ini (Rao, 1996). n=
N 1 + N (moe) 2
Dimana: n N moe
= Jumlah sampel = Populasi = Margin of error / kesalahan yang ditoleransi berkenaan dengan parameter populasi ( biasanya moe ± 5 %) Berdasarkan rumus diatas maka perhitungan sampel sebagai berikut: 241 n= 1 + 241(0,05) 2
241 = 150 1,6025 Berdasarkan perhitungan tersebut maka jumlah sampel yang diambil sebesar 150 responden. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan populasi anggota satuan KODIM Jepara dengan menggunakan Proporsional Random Sampling. Metode ini menentukan strata atau sub-strata atau kelompok yang digunakan sebagai =
178
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
dasar, sebelum melakukan pemilihan secara acak. Penentuan survey ini berdasarkan antara lain: jenis kelamin, status, dan tingkatan dalam manajemen (Henry, 1990 dan Neuman, 2003 dalam Fuad Mas’ud, 2004). Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data Jenis data primer yang digunakan adalah tanggapan dari responden yang dikumpulkan dengan kuesioner. Sedangkan data sekunder yang diperoleh diperoleh dari pihak KODIM 0718 Jepara, dikumpulkan dengan dokumentasi. Variabel dan Indikator Adapun variabel dan indikator penelitian disajikan pada tabel 3. Tabel 3 Variabel dan Indikator Penelitian Variabel 1 Kepemim Pinan
No
2 Kapabilitas
3 Komitmen
4 Kinerja Karyawan
Definisi Operasional Variabel Kepemimpinan merupakan faktor-faktor pendorong dalam melakukan suatu aktivitas dan memiliki pengaruh yang sangat besar tehadap kinerja anggota organisasi. Menon (1999)
Kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki anggota organisasi untuk melaksanakan pekerjaan yang dapat memberikan nilai bagi organisasi. Menon (1999) Kekuatan yang bersifat relatif dalam mengidentifikasi keterlibatan dirinya ke dalam bagian organisasi. Mas’ud (2002) Derajat penyelesaian tugas yang menyertai pekerjaan seseorang (Byars & Rue dalam Menon, 1999)
Analisis Pengaruh Kepemimpinan, Kapabilitas, Komitmen terhadap Kinerja Anggota Satuan Komando Distrik Militer 0719 Jepara
Indikator Kemampuan menjadi suri tauladan Kemampuan pengambilan keputusan Kontribusi Kemampuan menyelesaikan tugas dengan baik Tanggung jawab pekerjaan Memegang standar profesioanal. Ketrampilan Pengetahuan Kemampuan menerima informasi Kemampuan menyampaikan inisaitif Kemampuan menerima sanksi. Sikap Kehendak bertingkah laku Rasa memiliki Ikatan emosional
Kemampuan dalam komunikasi Kemampuan pengambilan keputusan Kuantitas menyelesaikan tugas dengan baik Pekerjaan selesai tepat waktu Efektifitas dalam bekerja Memegang komitmen dalam bekerja
Noor Arifin Komaruddin
179
Teknik Analisis Teknik analisis data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model persamaan struktural Partial Least Square (PLS). PLS dapat dianggap sebagai model alternatif dari covariance based SEM, dimana PLS dimaksudkan untuk causalpredictive. Tehnik statistik tersebut memungkinkan dilakukan pengujian serangkaian hubungan yang relatif rumit dan simultan, serta mengkorfirmasi teori (Ghozali, 2006). Analisis Data dan Pembahasan Pengujian validitas dan reliabilitas Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan berdasarkan uji statistik loading factor, composite reliability, average variance extract. Hasilnya disajikan pada gambar 2, tabel 4 dan 5. Pengujian unidimensionalitas, seperti yang disajikan pada gambar 3, dari masingmasing konstruk dengan melihat convergent validity dari masing-masing indikator konstruk. Menurut Chin (1998) suatu indikator dikatakan mempunyai reliabilitas yang baik jika nilainya lebih besar dari 0,70 sedangkan loading factor 0,5-0,6 masih bisa dipertahankan untuk model yang masih dalam tahap pengembangan. Gambar 3 Hasil Calculate Model
Sumber: data primer diolah
180
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Tabel 4 Composite Reliability Variabel Composite Reliability Kepemimpinan 0.792 Kapabilitas 0.724 Komitmen 0.833 Kinerja 0.865 Sumber: data primer yang diolah Masing-masing konstruk sangat reliabel karena memiliki composite reliability yang tinggi di atas 0,7, artinya instrumen dari semua variabel dianggap handal untuk dijadikan sebagai instrumen penelitian. Tabel 5 AVE dan Akar AVE Average Variance Variabel Akar AVE Extracted (AVE) Kepem (X0) 0.407 0,638 Kapab (X1) 0.302 0,550 Komit (Y0) 0.576 0,759 Kinerja (Y1) 0.520 0,721 Sumber: data primer yang diolah Dari tabel di atas menunjukkan bahwa Discriminant validity dapat diuji dengan cara membandingkan nilai akar dari AVE setiap konstruk dengan korelasi antara konstruk dengan konstruk lainnya. Dengan melihat tabel di atas jelas bahwa nilai akar AVE lebih tinggi terhadap korelasi antar konstruk dengan konstruk lainnya. Hubungan antar Konstruk Dalam membaca hasil Inner Model atau hubungan antar Konstruk tabel 6.
Analisis Pengaruh Kepemimpinan, Kapabilitas, Komitmen terhadap Kinerja Anggota Satuan Komando Distrik Militer 0719 Jepara
Noor Arifin Komaruddin
181
Tabel 6 Coefficient Parameter, Nilai T-Statistik dan R-Square Original Standard Sample T-Statistic R-Square Deviation Estimate Kep -> Kin 0.129 0.138 0.209 Kapblts -> Kin 0.470 0.158 2.979 Kep -> Kom 0.451 0.195 2.307 Kapblts -> Kom 0.321 0.192 1.970 Kom -> Kin 0.470 0.101 4.649 Komitmen 0.305 Kinerja 0.206 Sumber: data primer yang diolah, 2010 Tabel 6 menjadi dasar bagi pengujian hipotesis penelitian, seperti yang diuraikan pada bagian berikutnya. Pengujian Hipotesis Tahap pengujian hipotesis ini adalah untuk menguji hipotesis penelitian yang diajukan. Pengujian hipotesis ini didasarkan atas pengolahan data penelitian dengan menggunakan SmartPLS dengan cara membandingkan t-statistik dengan t-tabel. Apabila t-statistik lebih besar dari t-tabel (Sig 0,05) maka hipotesis penelitian yang diajukan diterima dan sebaliknya. 1. Uji Hipotesis 1 (Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja) Hipotesis 1 pada penelitian ini adalah Kepemimpinan berpengaruh terhadap Kinerja anggota Satuan KODIM Jepara. Berdasarkan dari hasil pengolahan data dengan SmartPLS diketahui bahwa nilai t-statistik (0,209) lebih kecil dari t-tabel 1,96 (Sig 0,05) dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis 1 penelitian ini ditolak, artinya Kepemimpinan tidak berpengaruh terhadap Kinerja anggota Satuan KODIM Jepara. Byars & Rue dalam Menon, (1999) menyatakan bahwa Kepemimpinan berpengaruh pada Kinerja. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis bahwa Kepemimpinan tidak signifikan berpengaruh terhadap Kinerja anggota Satuan KODIM Jepara. Dengan demikian bahwa hasil penelitian yang dilakukan tidak mendukung hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Byars & Rue dalam Menon, (1999). 2. Uji Hipotesis 2 (Pengaruh Kapabilitas Terhadap Kinerja) Hipotesis 2 dalam penelitian ini adalah Kapabilitas berpengaruh terhadap Kinerja anggota Satuan KODIM Jepara. Berdasarkan dari hasil pengolahan data dengan SmartPLS diketahui bahwa nilai t-statistik (2,979) lebih besar dari t-tabel 1,96 (Sig 0,05). Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis 2 dalam penelitian 182
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
ini diterima, artinya Kapabilitas berpengaruh terhadap Kinerja anggota Satuan KODIM Jepara. Semakin tinggi kapabilitas anggota satuan KODIM Jepara meningkat, terutama faktor pengetahuannya (loading faktornya paling tinggi), maka akan dapat meningkatkan kinerja anggota satuan KODIM Jepara. Carmeli, A. and Tishler, (2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara Kapabilitas yang efektif dengan Kinerja. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis bahwa Kapabilitas berpengaruh terhadap Kinerja anggota Satuan KODIM Jepara. Dengan demikian membuktikan bahwa hasil penelitian yang dilakukan mendukung hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Carmeli, A. and Tishler, (2006). 3. Uji Hipotesis 3 (Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Komitmen) Hipotesis 3 pada penelitian ini adalah Kepemimpinan berpengaruh terhadap Komitmen anggota Satuan KODIM Jepara. Berdasarkan dari hasil pengolahan data dengan SmartPLS diketahui bahwa nilai t-statistik (2,307) lebih besar dari t-tabel 1,96 (Sig 0,05). Jadi dapat dikatakan bahwa hipotesis 3 dalam penelitian ini diterima, artinya Kepemimpinan berpengaruh terhadap Komitmen anggota Satuan KODIM Jepara. Semakin tinggi tingkat kepemimpinan komandan KODIM Jepara akan berdampak baik terhadap Komitmen anggota satuannya, tertutama pada sikap komit anggota (loading faktornya paling tinggi). William N. Cooke (2000) menyatakan bahwa Kepemimpinan yang kondusif mempunyai pengaruh positif terhadap Komitmen karyawan. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis bahwa Kepemimpinan berpengaruh terhadap Komitmen anggota Satuan KODIM Jepara. Dengan demikian membuktikan bahwa hasil penelitian yang dilakukan mendukung hasil penelitian terdahulu oleh William N. Cooke (2000). 4. Uji Hipotesis 4 (Pengaruh Kapabilitas Kerja Terhadap Komitmen) Hipotesis 4 pada penelitian ini adalah Kapabilitas Kerja berpengaruh terhadap Komitmen anggota Satuan KODIM Jepara. Berdasarkan dari hasil pengolahan data dengan SmartPLS diketahui bahwa nilai t-statistik (1,970) lebih besar dari t-tabel 1,96 (Sig 0,05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis 4 dalam penelitian ini diterima, artinya Kapabilitas Kerja berpengaruh terhadap Komitmen anggota Satuan KODIM Jepara. Semakin tinggi tingkat kapabilitas anggota satuan KODIM Jepara akan berdampak pada peningkatan rasa komitmennya terhadap lembaga Kodim Jepara terutama pada indikator sikap komit (loading faktornya paling tinggi). Adeyinka Tella, et.al (2007) menyatakan bahwa Kapabilitas kerja meningkatkan kinerja dan Komitmen karyawan. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis bahwa Kapabilitas kerja berpengaruh terhadap Komitmen anggota Satuan KODIM Jepara. Dengan demikian membuktikan bahwa hasil penelitian yang dilakukan mendukung hasil penelitian terdahulu oleh Adeyinka Tella, et.al (2007).
Analisis Pengaruh Kepemimpinan, Kapabilitas, Komitmen terhadap Kinerja Anggota Satuan Komando Distrik Militer 0719 Jepara
Noor Arifin Komaruddin
183
5. Uji Hipotesis 5 (Pengaruh Komitmen terhadap Kinerja) Hipotesis 5 dalam penelitian ini adalah Komitmen berpengaruh terhadap Kinerja anggota Satuan KODIM Jepara. Berdasarkan dari hasil pengolahan data dengan SmartPLS diketahui bahwa nilai t-statistik (4,649) lebih besar dari t-tabel 1,96 (Sig 0,05). Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis 5 dalam penelitian ini diterima, artinya Komitmen berpengaruh terhadap Kinerja anggota Satuan KODIM Jepara, semakin tinggi sikap komit (loading faktornya paling tinggi) akan berdampak meningkatkan kinerja anggota satuan KODIM Jepara. Adeyinka Tella, et.al (2007) menyatakan bahwa Komitmen meningkatkan kinerja karyawan. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis bahwa Komitmen kerja berpengaruh terhadap kinerja anggota Satuan KODIM Jepara. Dengan demikian membuktikan bahwa hasil penelitian yang dilakukan mendukung hasil penelitian terdahulu oleh Adeyinka Tella, et.al (2007). Pembuktian Variabel Intervening 1. Hubungan Antara Kepemimpinan dengan Kinerja Melalui Komitmen Untuk membuktikan apakah Komitmen Kerja merupakan variabel intervening bagi hubungan antara Kepemimpinan dengan Kinerja, maka perlu dilakukan uji perbandingan nilai kontribusi yang diberikan kepada hubungan langsung antara variabel Kepemimpinan dengan Kinerja dan variabel Kepemimpinan dengan Kinerja melalui Komitmen. Apabila nilai kontribusi yang diberikan hubungan langsung lebih besar dibandingkan dengan hubungan tidak langsung, maka Komitmen bukan merupakan variabel intervening. Berdasarkan hasil pengolahan data sebagaimana tabel 6 dapat diketahui bahwa nilai pengaruh langsung antara variabel Kepemimpinan terhadap Kinerja adalah sebesar 0,085 sedangkan nilai pengaruh tidak langsung antara variabel Kepemimpinan dengan Kinerja melalui Komitmen adalah sebesar 0,190 (0,444 x 0,427). Dengan membandingkan kedua nilai tersebut bisa dibuktikan bahwa pengaruh variabel Kepemimpinan terhadap Kinerja secara langsung lebih kecil daripada pengaruh variabel Kepemimpinan terhadap Kinerja melalui Komitmen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Komitmen merupakan variabel intervening bagi hubungan antara Kepemimpinan dengan Kinerja. 2. Hubungan Antara Kapabilitas dengan Kinerja Melalui Komitmen Berdasarkan hasil pengolahan data sebagaimana Gambar 4.1 dapat diketahui bahwa nilai pengaruh langsung antara variabel Kapabilitas terhadap Kinerja adalah sebesar 0,474 sedangkan nilai pengaruh tidak langsung antara variabel Kapabilitas dengan Kinerja melalui Komitmen adalah sebesar 0,154 (0,361 x 0,427). Dengan membandingkan kedua nilai tersebut bisa dibuktikan bahwa pengaruh variabel Kapabilitas terhadap Kinerja secara langsung lebih besar daripada pengaruh variabel Kapabilitas terhadap Kinerja melalui Komitmen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Komitmen bukan merupakan variabel intervening bagi 184
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
hubungan antara Kapabilitas dengan Kinerja. Penutup Kesimpulan Kesimpulan penelitian sebagai berikut: 1. Hipotesis 1 ditolak, artinya Kepemimpinan Komandan KODIM Jepara belum mampu mempengaruhi untuk meningkatkan Kinerja anggota Satuannya. Dengan demikian hal ini tidak membuktikan hasil penelitian yang dilakukan terdahulu oleh Carmeli A. and Tishler (2006) yang menyatakan bahwa kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja. 2. Hipotesis 2 diterima, yaitu Kapabilitas berpengaruh terhadap Kinerja anggota Satuan KODIM Jepara. Dengan demikian membuktikan bahwa hasil penelitian yang dilakukan mendukung hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Anil Menon, Sundar G. Bharadway, Phani Tej Adindam & Steven W. Edison (1999) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kapabilitas dengan kinerja. 3. Hipotesis 3 diterima, yaitu Kepemimpinan berpengaruh terhadap Komitmen anggota Satuan KODIM Jepara. Dengan demikian membuktikan bahwa hasil penelitian yang dilakukan mendukung hasil penelitian terdahulu oleh Mispan Indarjo (2002) yang menyatakan bahwa ada pengaruh signifikan antara kapabilitas terhadap komitmen anggota di BPM Semarang Jawa Tengah. 4. Hipotesis 4 diterima, yaitu Kapabilitas berpengaruh terhadap Kinerja anggota Satuan KODIM Jepara. Dengan demikian membuktikan bahwa hasil penelitian yang dilakukan mendukung dengan hasil penelitian terdahulu oleh Kustijono (2005) yang menyatakan bahwa ada pengaruh signifikan antara kapabilitas terhadap komitmen. 5. Hipotesis 5 diterima, yaitu Komitmen berpengaruh terhadap Kinerja anggota Satuan KODIM Jepara. Dengan demikian membuktikan bahwa hasil penelitian yang dilakukan mendukung hasil penelitian terdahulu oleh Chandra Hasan (2004) yang menyatakan bahwa ada pengaruh signifikan antara komitmen terhadap kinerja anggota di Pemkot Semarang. Keterbatasan Penelitian Model peningkatan kinerja dengan menggunakan variabel kepemimpinan, kapabilitas, dan komitmen ini hanya berlaku pada Satuan KODIM Jepara. Hal ini tidak dapat diaplikasikan pada lembaga lain atau pada tempat dan waktu yang berlainan. Daftar Pustaka Adipoetra, W., 2004, “Upaya Peningkatan Kinerja Pemasaran dengan konsep Marketing Strategy Making Process Melalui Kreativitas Strategi dan Pembelajaran Organisasional”, Jurnal Sains Pemasaran Indonesia, Vol. III No. 1 Mei 2004, h.89 –110.
Analisis Pengaruh Kepemimpinan, Kapabilitas, Komitmen terhadap Kinerja Anggota Satuan Komando Distrik Militer 0719 Jepara
Noor Arifin Komaruddin
185
Arikunto, Suharsimi, 2000, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi V), PT Rineka Cipta, Jakarta. Byars, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia, Andi Offset, Yogyakarta. Fuad Mas’ud, 2002, Survey diagnosa Manajemen Sumber Daya Manusia, Badan Penerbit UNDIP, Semarang. Ghozali, Imam, 2002, Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, BP Undip, Semarang. Gujarati, N Damodar, 2003, Basic Econometrics, Fourth Edition, International Edition Mc. Graw Hill, Singapore. Hani Handoko, 1994, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, BPFE, Yogyakarta. Hasibuan, H. Malayu S.P., 2003, Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. Umar, Husain, 2001, Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Mayer, J.P., Allen, N.J. Gellatly, I.R., 1994, “Affective and Continuance Commitment to Organization: Evaluation of Measures and Analysis of Concurent and TimeLagged Relations”, Journal of Applied Psychology, 75. Menon, A. Bharadjwaj,S.G, Adidam, PT, and Edison, S.W, 1999, “Antecedent and Consequences of Marketing Strategy Making: A Model and a Test”, Journal of Marketing, Vol. 63 April 1999. h.18-47. McCormick and Tiffin, 1994, “Trainee Attributes and Attitudes : Neglected Influences of Training Effectiveness”, Academy of Management Review, Vol. 11. Robbin, S.P., 2001, Organizational Behavior, Edisi Bahasa Indonesia, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Sekaran, U., 1992, Research Methods For Business: A Skill Building Approach, Second edition, John Wiley & Sons, Inc, New York. Singarimbun Masri dan Sofyan Effendi, 1990, Metode Penelitian Survey, LP3 ES, Jakarta. Steers, R.M & Porter, 1998, Motivation and Work Behavior, Mc-Graw-Hill, Boston. _____, R, 1998, Efektivitas Organisasi, Alih Bahasa Magdalena Yamin, Penerbit Erlangga, Jakarta.
186
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
ANALISIS EFISIENSI PEMBERIAN KREDIT BERDASAR SEGMEN TERHADAP PENDAPATAN PADA PD BPR BKK JEPARA CABANG KEDUNG Yusuf Dwiko Prasetyo Setyo Utomo1) STIE Nahdlatul Ulama Jepara, Jl. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara Email: 1)
[email protected] Abstract The first objective of research is to analyze the contribution of credit and income based on market segment consisting of farmers, traders and employees. The second objective for knowing the relative efficiency of credit on income in each segment. The object of the research on PD BPR BKK Kedung Jepara Branch. The analysis was done using time series data over the period 2002 to 2007 with the ratio analysis technique. The data required are secondary data obtained from the BPR are collected by documentation. The study shows that the amount of loans and the proceeds have increased trend. The increase was driven by a segment of employees, while its farmers and traders tend to decrease. Analysis of efficiency in each segment indicates that the employees segment is efficient because the ratio is more than one, while the segment of farmers and traders are not efficient because the ratio is less than one. Keywords: efficiency, credit, income, market segment Abstrak Tujuan pertama penelitian adalah untuk menganalisis kontribusi pemberian kredit dan pendapatan berdasarkan segmen pasar yang terdiri dari segmen petani, pedagang dan pegawai. Tujuan kedua untuk mengetahui efisiensi relatif pemberian kredit terhadap pendapatan pada masing-masing segmen. Objek penelitian pada PD BPR BKK Jepara Cabang Kedung. Analisis dilakukan menggunakan data runtut waktu selama periode 2002 sampai 2007 dengan teknik analisis rasio. Data yang diperlukan adalah data sekunder yang diperoleh dari pihak BPR yang dikumpulkan dengan dokumentasi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kredit yang disalurkan dan pendapatan yang diperoleh memiliki trend yang meningkat. Peningkatan tersebut dipacu oleh segmen pegawai, sedangkan segmen petani dan pedagang cenderung menurun. Analisis efisiensi pada masing-masing segmen menunjukkan bahwa segmen yang efisien adalah segmen pegawai karena rasionya lebih dari satu, sedangkan segmen petani dan pedagang tidak efisien karena rasionya kurang dari satu. Kata kunci: efisiensi, kredit, pendapatan, segmen pasar
Analisis Efisien Pemberian Kredit Berdasar Segmen terhadap Pendapatan pada PD BPR BKK Jepara Cabang Kedung
Setyo Utomo
187
Pendahuluan Kemajuan dunia usaha dewasa ini diikuti dengan semakin meluasnya kegiatan perusahaan, Persaingan terjadi antara perusahaan dalam rangka memenangkan atau minimal mempertahankan diri agar tetap mampu melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perusahaan bergerak dalam bidang perkreditan juga diharapkan pada permasalahan tersebut. Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak (Kasmir, 2002). Bagi masyarakat harus mempunyai peran yang cukup memadai dalam kegiatan operasional untuk menunjang kegiatan usaha masyarakat dengan adanya pemberian kredit yang disalurkan. Kegiatan pemberian kredit bank kepada nasabah mempunyai kriteria kebijakan kredit yang berbeda tujuan dari kebijaksanaan tersebut untuk menjaring nasabah dengan tingkat kelancaran memadai demi keuntungan kedua belah pihak. Usaha meningkatkan volume kredit inilah yang merupakan tantangan bagi bank khususnya petugas atau pegawai yang berhubungan langsung dengan aktivitas perkreditan. Bank harus meningkatkan volume kredit untuk memperbesar laba, namun di lain pihak bank juga dituntut untuk dapat menekan resiko yang mungkin timbul sebagai akibat dari pemberian kredit tersebut agar kelancaran operasional bank tidak terganggu. Disisi lain, Lembaga kredit dan pengembangannya merupakan salah satu alat kebijakan yang strategis untuk menjangkau usaha ekonomi lemah. Keikutsertaan kelompok ini dalam perekonomian desa yang senantiasa berkembang merupakan salah satu prasyarat bagi peningkatan kehidupan (Mubyarto, 1996). Penelitian menguji kontribusi pemberian kredit terhadap pendapatan. Objek penelitian adalah BPR BKK Jepara Cabang Kedung, selama periode 2002-2007. Tinjauan Pustaka Bank Bank merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa pembayaran dan peredaran uang. Berdasarkan sistem Perbankan yang berlaku di Indonesia, Maka penggolongan dari jenis bank dapat di ketahui menurut beberapa kriteria berikut ini. Berdasarkan Fungsinya, Bank dibedakan menjadi: 1. Bank Sentral (Bank Indonesia) Bank ini mendapat hak monopoli untuk menciptakan alat pembayaran/uang. Bank sentral juga disebut dengan bank sirkulasi karena fungsinya dengan memberikan kredit kepada bank-bank umum. 2. Bank Umum. Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan memberikan jasa 188
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
3.
dalam lalu lintas pembayaran. Fungsi Pokok Bank Umum: a. Menyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang lebih efisien dalam kegiatan ekonomi. b. Menciptakan uang giral. c. Menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat. d. Menawarkan jasa-jasa perbankan. Usaha Bank Umum a. Menghimpun dana dari masyarakat. b. Memberikan kredit. c. Menerbitkan surat pengakuan utang. d. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri atau untuk kepentingan dan atas perintah nasabah (Wesel, SBI, Obligasi dan lainlain). e. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah. Bank Perkreditan Rakyat. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran artinya di sini kegiatan BPR jauh lebih sempit jika di bandingkan dengan kegiatan bank umum. (Kasmir, 2002) Bank Perkreditan rakyat adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Siamat, 2005). Keberadaan Bank Perkreditan Rakyat dari sisi kepentingan pemerintah adalah: a. Memberi pelayanan perbankan kepada masyarakat yang sulit atau tidak memiliki akses ke bank umum b. Membantu pemerintah mendidik masyarakat dalam memahami pola nasional agar akselerasi pembangunan di sektor pedesaan dapat lebih dipercepat. c. Menciptakan pemerataan kesempatan berusaha terutama bagi masyarakat pedesaan d. Mendidik dan mempercepat pemahaman masyarakat terhadap pemanfaatan lembaga keuangan formal sehingga terhindar dari jeratan rentenir. Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana halnya dengan Bank umum dapat melakukan usaha sebagai bank konvensional maupun bank berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan usaha yang diperkenankan bagi BPR secara umum adalah sebagai berikut:
Analisis Efisien Pemberian Kredit Berdasar Segmen terhadap Pendapatan pada PD BPR BKK Jepara Cabang Kedung
Setyo Utomo
189
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu b. Memberikan kredit c. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, Deposito berjangka, Sertifikat deposito dan atau tabungan pada bank lain. (Dahlan Siamat, 2005 : 404) Usaha-usaha yang dilarang bagi BPR Berdasarkan Undang-undang adalah: a. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran. b. Melaksanakan kegiatan usaha dalam bentuk Valuta asing c. Melakukan Penyertaan Modal d. Melakukan Usaha Perasuransian (Siamat, 2005) e. Menerima simpanan Giro f. Mengikuti Kliring g. Melakukan kegiatan Valuta Asing h. Melakukan Kegiatan Perasuransian (Kasmir, 2002). Sumber Dana Bank Modal mempunyai arti bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi ataupun jasa. Hal ini mengingat bahwa tanpa modal suatu perusahaan tidak bisa berbuat apa-apa, artinya tidak berfungsi sama sekali. demikian pula dengan bank, perkembangan dan pertumbuhan bank sangat bergantung pada pencarian dana dan pengumpulan dana dalam bentuk simpanan maupun deposito. Volume dana yang berhasil dihimpun atau disimpan akan menentukan volume dana yang dapat dikembangkan dalam penanaman dana yang menguntungkan bagi bank. sebelum pembahasan, lebih lanjut mengenai sumber-sumber dana bank, perlu sekali di bahas mengenai pengertian sumber dan dana bank. Sumber dana bank adalah Usaha bank dalam menghimpun dana untuk membiayai operasinya. (Kasmir, 2002) Kredit Salah satu fungsi bank adalah sebagai penyalur dana yang tentunya berkaitan erat dengan masalah perkreditan. Dominannya pemberian kredit oleh bank, sampai banyak ahli berpendapat bahwa tidak satupun bisnis di dunia yang bebas dari kredit. Pinjaman atau kredit adalah Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian 190
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
hasil keuntungan baik bersifat langsung maupun tidak langsung (Suhardjono, 2002). Kredit atau pinjaman adalah bentuk pinjaman berupa uang tunai kepada nasabah dari pihak perbankan. Kredit dapat berupa pemberian barang, jasa atau uang dari kreditor kepada debitor tanpa imbalan langsung, namun disertai kewajiban-kewajiban tertentu pada waktu yang akan datang sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. (Karyana, 2005). Terdapat beberapa fungsi kredit dalam kehidupan perekonomian, perdagangan dan keuangan. Fungsi-fungsi itu dalam garis besarnya adalah sebagai berikut: 1. Untuk meningkatkan produksi. 2. Untuk menghemat biaya. 3. Untuk meningkatkan daya beli masyarakat. 4. Untuk melibatkan penabung dalam proses produksi 5. Untuk memperlancar arus perdagangan. Proses pemberian kredit terdiri dari 3 tahap yaitu : 1. Tahap kegiatan prakarsa dan analisis kredit a. Tahap kegiatan Prakarsa Kegiatan pada tahap ini antara lain adalah penerimaan permohonan kredit oleh nasabah, atas permohonan tersebut bank akan melakukan penelitian apakah permohonan tersebut diterima atau di tolak, yang mencakup ketentuan sebagai berikut : 1) apakah usaha nasabah tersebut termasuk pasar sasaran (target market)yang telah ditetapkan 2) apakah nasabah tersebut termasuk dalam kelompok nasabah yang dapat dilayani 3) apakah nasabah tersebut termasuk dalam rencana kerja pemasaran . b. Analisis dan evaluasi kredit Analisis dan evaluasi kredit di tuangkan dalam format yang telah ditetapkan oleh bank dan disesuaikan dengan jenis kreditnya. Dalam analisis tersebut sekurang-kurangnya mencakup informasi sebagai berikut : 1) Identitas Pemohon antara lain nama pemohon, Domisili, bentuk usaha, jenis usaha, legalitas usaha dan sebagainya. Informasi mengenai ini dimaksudkan untuk melihat gambaran awal tentang penanggung jawab utama atas pengelolaan perusahaan, lokasi perusahaan serta keabsahan operasi perusahaan. 2) Tujuan permohonan kredit, mencakup jumlah kredit, obyek yang dibiayai, jangka waktu kredit, dan alasan kebutuhan kredit. Informasi mengenai tujuan kredit ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran bahwa kredit tersebut benar-benar di pergunakan untuk membiayai usaha, bukan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif atau spekulatif.
Analisis Efisien Pemberian Kredit Berdasar Segmen terhadap Pendapatan pada PD BPR BKK Jepara Cabang Kedung
Setyo Utomo
191
3) Riwayat hubungan bisnis dengan bank, mencakup saat mulai, bidang hubungan bisnis, nilai transaksi bisnis, kualitas hubungan bisnis dan jumlah total nilai hubungan bisnis. 4) Analisis kredit 5C dan 5P. 5C mencakup analisis watak (character), analisis kemampuan (capacity), analisis modal (capital), analisis kondisi/prospek usaha (condition), dan analisis agunan kredit (collateral). 5P mencakup People, Purpose, Payment, Protection dan Perpective. 2. Tahap pemberian Rekomendasi kredit. Rekomendasi kredit merupakan suatu kesimpulan dari analisis dan evaluasi atas proposal yang di sajikan oleh pejabat pemrakarsa kredit. Rekomendasi harus secara jelas menguraikan kekuatan dan kelemahan yang akan mempengaruhi kemapuan pemohon untuk memenuhi angsuran yang telah dijadwalkan, termasuk evaluasi proteksi kredit seperti asuransi kerugian, asuransi kredit, asuransi jiwa dan penanggungan. 3. Tahap pemberian putusan kredit. Apabila putusan kredit telah diberikan, selanjutnya paket kredit tersebut di serahkan kepada bagian administrasi kredit untuk dipersiapkan halhal sebagai berikut: a. Memberikan surat penawaran putusan kredit (Offering letter). b. Mempersiapkan dokumen perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok. Contoh (Surat perjanjian kredit, surat persetujuan pinjam uang, surat pengakuan utang, atau surat perjanjian kontra garansi) c. Mempersiapkan dokumen perjanjian accessoir, yaitu perjanjian ikatan dan keberadaannya dimaksudkan untuk mendukung atau menjamin perjanjian pokok d. Mempersiapkan dokumen-dokumen untuk pencairan. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Sujarmo, dengan judul Kontribusi Pemberian Kredit Terhadap Pendapatan Bank pada PD.BPR. BKK Mayong Jepara, dengan Metode Analisis Deskriptif Kualitatif, di peroleh hasil, Bahwa pendapatan bunga dalam pemberian kredit periode 1998-2002, terbesar pada tahun 2001 yaitu Rp 805.140.677, meningkat sebesar Rp587.489.019 atau 269.92 % dari tahun sebelumnya. Persamaan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti berapa besar kontribusi pemberian kredit terhadap pendapatan bank. Namun perbedaanya terletak pada periode, tempat serta perhitungannya dan metode analisis dengan analisis rasio untuk menghitung efisiensi. Dalam peneliti terdahulu untuk mengetahui tingkat pendapatan bank yaitu secara global dalam setiap periode, sedangkan peneliti sekarang, untuk mengetahui tingkat pendapatan bank dikelompokkan menurut segmentasi pasar, sehingga peneliti akan lebih jelas dan detail tentang tingkat pendapatan tertinggi 192
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
maupun terendah dari masing-masing segmen pasar. Kerangka Penelitian Kerangka penelitian disajikan pada gambar 1 berikut: Gambar 1 Kerangka Penelitian Kredit
Pendapatan
Segmen Petani
Pedagang
Pegawai
Efisiensi
Efisiensi
Efisiensi
Berdasarkan gambar 1, dijelaskan bahwa peneliti menjelaskan kontribusi kredit dan pendapatan pada masing-masing segmen (petani, pedagang dan pegawai). kemudian dari kontribusi kredit dan pendapatan dilakukan analisis rasio untuk mengetahui efisiensi pemberian kredit pada masing-masing segmen. Metode Penelitian Objek penelitian adalah PD BPR BKK Jepara Cabang Kedung selama periode 2002 sampai 2007. Data yang diperlukan adalah nilai kredit dan pendapatan yang disalurkan berdasarkan segmen petani, pedagang dan pegawai. Analisa data dilakukan dengan cara mengambil data dari bank yang berupa rincian pinjaman kredit dan pendapatan dari nasabah, kemudian data tersebut dikelompokkan menurut segmentasi pasar, setelah itu dihitung berdasarkan jumlah pinjaman yang berikan, selanjutnya hasil dari penjumlahan tersebut digunakan untuk menghitung persentase kontribusi pemberian kredit terhadap pendapatan. Data yang diperlukan diperoleh dari pihak BPR dikumpulkan dengan dokumentasi. Analisis data penelitian dilakukan dengan langkah sebagai berikut: 1. Perhitungan kontribusi kredit dan pendapatan berdasarkan masing-masing segment. 2. Perhitungan profitabilitas pada masing-masing segmen dan keseluruhan. 3. Analisis efisiensi kinerja pemberian kredit pada masing-masing segmen.
Analisis Efisien Pemberian Kredit Berdasar Segmen terhadap Pendapatan pada PD BPR BKK Jepara Cabang Kedung
Setyo Utomo
193
Analisis Data dan Pembahasan Kontribusi Kredit dan Pendapatan Berdasarkan Segmen Perkembangan kredit dan Pendapatan PD. BPR BKK Jepara Cabang Kedung selama tahun 2002 sampai 2007 berdasarkan segmen disajikan pada tabel 1. Tabel 1 Perkembangan Kredit dan Pendapatan PD BPR BKK Jepara Cab. Kedung Tahun Segmen Pendapatan kredit Petani 35.983.509 309.422.674 2002 Pedagang 138.440.978 987.929.862 Pegawai 90.940.623 652.380.762 total 265.365.110 1.949.733.298 Petani 35.803.629 270.402.255 Pedagang 128.270.145 1.101.794.260 2003 Pegawai 121.669.476 626.341.957 total 285.743.250 1.998.538.472 Petani 34.035.483 227.285.892 Pedagang 186.481.840 980.293.936 2004 Pegawai 187.093.256 988.419.132 total 407.610.579 2.195.998.960 Petani 34.245.060 206.863.753 Pedagang 164.526.082 902.576.871 2005 Pegawai 217.329.218 1.119.694.647 total 416.100.360 2.229.135.271 Petani 31.788.975 178.256.008 Pedagang 113.041.595 670.323.923 2006 Pegawai 279.022.429 1.410.685.060 total 423.852.999 2.259.264.991 Petani 19.002.071 140.860.416 Pedagang 88.976.270 718.310.300 2007 Pegawai 421.327.251 1.734.943.764 total 529.305.592 2.594.114.480 Sumber: PD BPR BKK Jepara Cab. Kedung, 2009 Data pada tabel satu supaya lebih dapat diinterpretasi disajikan pada gambar 2 dan gambar 3.
194
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Gambar 2 Perkembangan Pendapatan PD BPR BKK Jepara Cab. Kedung pendapatan (jutaan rupiah)
600 500 400
Petani Pedagang Pegawai total
300 200 100 0 2001
2002
2003tahun 2004
2005
2006
2007
Sumber: PD. BPR. BKK Jepara Cabang Kedung Berdasarkan Tabel 1 dan gambar 2, dapat dijelaskan bahwa perkembangan pendapatan dari tahun ke tahun menunjukkan fluktuasi. Pendapatan tertinggi dan terendah dari beberapa segmentasi pasar adalah sebagai berikut : 1. Pendapatan dari segmen Petani mengalami penurunan secara berkelanjutan, pendapatan tertinggi pada tahun 2002, yaitu sebesar Rp. 35.983.509, atau 13.56.%, dan terendah pada tahun 2007 yaitu Rp. 19.002.071 atau 3.59 % 2. Pendapatan dari segmen Pedagang mengalami fluktuasi, pendapatan tertinggi yaitu pada tahun 2002 yaitu sebesar Rp. 138.440.978 atau 52.17 %, mulai tahun 2004-2007 mengalami penurunan secara berkelanjutan dan di tahun 2007 ini merupakan pendapatan terendah yaitu Rp. 88.976.270 atau 16.81 % 3. Sedangkan pendapatan dari segmen Pegawai mengalami peningkatan secara berkelanjutan, pendapatan tertinggi pada tahun 2007 yaitu sebesar Rp. 421.327.251 atau 79.6 %, dan pendapatan terendah pada tahun 2002 yaitu Rp. 90.940.623 atau 34.27 %.
Analisis Efisien Pemberian Kredit Berdasar Segmen terhadap Pendapatan pada PD BPR BKK Jepara Cabang Kedung
Setyo Utomo
195
Gambar 3 Perkembangan Kredit PD BPR BKK Jepara Cab. Kedung 3000 kredit (jutaan rupiah)
2500 2000
Petani Pedagang Pegawai total
1500 1000 500 0 2001
2002
2003 tahun2004
2005
2006
2007
Sumber: PD. BPR. BKK Jepara Cabang Kedung Berdasarkan dari Tabel 1 dan gambar 3 dapat dijelaskan bahwa Perkembangan kredit yang terjadi selama lima tahun, adalah sebagai berikut : 1. Segmen Petani mengalami penurunan kredit secara berkelanjutan, perkembangan kredit tertingi pada tahun 2002 yaitu sebesar Rp309.422.674 atau 15.87 %, dan terendah pada tahun 2007 yaitu sebesar Rp140,860,416 atau 5,43 %. 2. Segmen Pedagang mengalami fluktuasi perkembangan kredit, perkembangan tertinggi pada tahun 2003 yaitu sebesar Rp. 1.101.794.260 atau 55.13%, mulai tahun 2004-2007 mengalami penurunan secara berkelanjutan, dan pada tahun 2007 merupakan perkembangan kredit terendah yaitu Rp. 718.310.300 atau 27.69% 3. Segmen Pegawai mulai tahun 2004-2007 mengalami perkembangan kredit secara berkelanjutan, dengan perkembangan kredit tertinggi pada tahun 2007 bila dibanding dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp. 1,734,943,764 atau 66.88 %, dan terendah pada tahun 2003 yaitu sebesar Rp. 626.341.957 atau 31.34 %. Analisis Profitabilitas Analisis profitabilitas masing-masing segmen disajikan pada tabel 2 dan secara grafis disajikan pada gambar 4. Rumus untuk menghitung profitabilitas adalah jumlah pendapatan dibagi dengan jumlah kredit pada masing-masing segmen pada periode tertentu.
196
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Tabel 2 Analisis Profitabilitas berdasar Segmen dan Keseluruhan Profitabilitas (%) Segmen Petani Pedagang Pegawai Total 2002 11,63 14,01 13,94 13,61 2003 13,24 11,64 19,43 14,30 2004 14,97 19,02 18,93 18,56 2005 16,55 18,23 19,41 18,67 2006 17,83 16,86 19,78 18,76 2007 13,49 12,39 24,28 20,40 Rata-rata 14,62 15,36 19,29 17,38 Sumber: data sekunder diolah Gambar 4 Analisis Profitabilitas berdasar Segmen dan Keseluruhan 30% 25% profitabilitas
20%
Petani Pedagang Pegawai total
15% 10% 5% 0% 2001
2002
2003 tahun2004
2005
2006
2007
Sumber: data sekunder diolah Berdasarkan tabel 2 dan gambar 4, bisa dilihat bahwa profitabilitas pada segmen pegawai mengalami kecenderungan naik. Rata-rata profitabilitas sebesar 19,29%. Pada segmen petani, profitabilitasnya relatif stabil dengan rata-rata sebesar 14,62%. Sedangkan pada segmen pedagang profitabilitasnya bersifat fluktuatif dengan rata-rata sebesar 15,36%. Secara keseluruhan profitabilitas BPR cenderung naik. Hal ini karena dipacu oleh kenaikan profitabilitas pada segmen pegawai. kontribusi pendapatan bunga PD BPR BKK Jepara Cabang Kedung periode 2002 s/d 2007 selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2002 kontribusi pendapatan tertinggi pada segmen pedagang sebesar 14 %, sedangkan terendah pada segmen petani yaitu 11.6%, pada tahun 2003 kontribusi pendapatan tertinggi pada segmen pegawai sebesar 19.4 %, sedangkan terendah pada segmen pedagang yaitu 11.6%.
Analisis Efisien Pemberian Kredit Berdasar Segmen terhadap Pendapatan pada PD BPR BKK Jepara Cabang Kedung
Setyo Utomo
197
Pada tahun 2004 kontribusi pendapatan tertinggi pada segmen pedagang sebesar 19 %, sedangkan terendah pada segmen petani yaitu 15%. Pada tahun 2005 kontribusi pendapatan tertinggi pada segmen pegawai sebesar 19.4 %, sedangkan terendah pada segmen petani yaitu 16%. Pada tahun 2006 kontribusi pendapatan tertinggi pada segmen pegawai sebesar 19.8 %, sedangkan terendah pada segmen pedagang yaitu 16.9%. Terakhir pada tahun 2007 kontribusi pendapatan tertinggi pada segmen pegawai sebesar 24.3 %, sedangkan terendah pada segmen pedagang yaitu 12.4%. Analisis Efisiensi Kinerja Analisis efisiensi kinerja pemberian kredit pada masing-masing segmen disajikan pada tabel 3 dan gambar 5. Efisiensi dihitung dari proporsi pendapatan dibagi proporsi kredit pada masing-masing segmen. Tabel 3 Analisis Efisiensi Kinerja Masing-masing Segmen Efisiensi (kali) Segmen Petani Pedagang Pegawai Total 2002 0,85 1,03 1,02 1,00 2003 0,93 0,81 1,36 1,00 2004 0,81 1,02 1,02 1,00 2005 0,89 0,98 1,04 1,00 2006 0,95 0,90 1,05 1,00 2007 0,66 0,61 1,19 1,00 rata-rata 0,85 0,89 1,11 1,00 Sumber: data sekunder diolah Berdasarkan tabel 3 dan gambar 5 dapat dijelaskan bahwa pada segmen petani semua rasio efisiensinya berada di bawah satu dengan rata-rata sebesar 0,85 artinya kredit yang disalurkan pada segmen petani tidak efisien. Pada segmen pedagang, tahun 2002 dan 2004 memiliki nilai rasio efisiensi diatas satu sedangkan tahun lainnya berada dibawah satu dengan rata-rata sebesar 0,89 artinya kredit yang disalurkan pada segmen pedagang kurang efisien. Pada segmen pegawai kinerja efisiensi penyaluran kreditnya sangat bagus karena memiliki rasio efisiensi yang berada di atas satu selama periode pengamatan. Kinerja efisiensi tercapai maksimal pada tahun 2003 kemudian tahun 2007.
198
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009
Gambar 5 Analisis Efisiensi Kinerja Masing-masing Segmen efisiensi (pendapatan/kredit)
1,4
Petani
1,3
Pedagang
1,2
Pegawai
1,1 1 0,9 0,8 0,7 0,6 2001
2002
2003tahun 2004
2005
2006
2007
Sumber: data sekunder diolah Penutup Kesimpulan Kesimpulan umum analisis kontribusi kredit dan pendapatan dan analisis efisiensi kinerja penyaluran kredit sebagai berikut. 1. Kredit yang disalurkan dan pendapatan yang diperoleh pada PD BPR BKK Jepara Cab. Kedung cenderung mengalami peningkatan karena dipacu oleh peningkatan pada segmen pegawai. 2. Profitabilitas perusahaan tertinggi diperoleh dari segmen pegawai dan terendah pada segmen petani. 3. Efisiensi kinerja pada segmen pegawai paling tinggi dibandingkan segmen pedagang dan segmen petani. Rekomendasi Rekomendasi yang dapat dikemukakan: 1. Menyempurnakan sistem analisis kredit bank, sehingga diharapkan akan diperoleh calon nasabah yang betul-betul memenuhi syarat untuk di berikan kredit, hal ini dilakukan untuk mengurangi faktor kemacetan kredit (resiko macet). 2. Melakukan pengawasan kredit kepada nasabah secara lebih ketat setelah nasabah menerima kredit dari bank, sehingga bank dapat mengetahui perkembangan dan tingkat kolektibilitas kredit yang disalurkan. 3. Menjalankan prinsip tata kelola perusahaan/perbankan yang baik (sehat), dalam hal ini bank diharapkan dapat memprediksi perkembangan pendapatan maupun kredit dimasa mendatang sehingga dalam memberikan kredit kepada nasabah Analisis Efisien Pemberian Kredit Berdasar Segmen terhadap Pendapatan pada PD BPR BKK Jepara Cabang Kedung
Setyo Utomo
199
bisa tepat sasaran dan tentunya dapat meningkatkan pendapatan bank. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, PT Rineka Cipta, Jakarta. Bastian, Indra dan Suhardjono, 2006, Akuntansi Perbankan Edisi 1, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Dendawijaya, Lukman, 2001, Manajemen Perbankan, PT Ghalia, Jakarta. Hamdan, Umar dan Wijaya Andi, “Analisis Komparatif Resiko Keuangan BPR Konvensional dan BPR Syariah” Jurnal Manajemen & Bisnis Sriwijaya, Vol. 4, No 7 Juni 2006. Happi Haristiana, 2005, Pengaruh Kredit Bagi Hasil Btm Surya Mentari Terhadap Peningkatan Pendapatan Pedagang Kecil Di Desa Karanganyar Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan, Skripsi Universitas Negeri Semarang. Harahap, Sofyan Syafri, 2007, Grasindo Persada, Jakarta,
Analisis Kritis atas Laporan Keuangan, PT Raja
Hasibuan, Malayu, 2004, Dasar-dasar Perbankan, CV Haji Masagung, Jakarta. Husein, Umar, 2003, Riset Akuntansi, Cetakan Keempat, PT Gramedia, Jakarta. Iman Syahputra Tunggal, dkk. Peraturan Perbankan di Indonesia tahun 1991-1997. Buku 2. Jakarta: Penerbit Harvarindo, 1998. Kasmir, 2002, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT Raja Grapindo Persada Jakarta. Kuswandi, Daniel S., 2000, Akuntansi Perbankan, Institut Bankir Indonesia, Jakarta. Muljono, Pudjo Teguh, 2001, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil, BPFE, Yogyakarta. Selamet, Riyadi, 2006, Banking Assets and Liability Management, Edisi 3, LPFEUI, Jakarta. Siamat, Dahlan, 2003, Manajemen Bank Umum, PT Intermedia, Jakarta. Sinungan, Muchdarsyah, 2000, Manajemen Dana Bank, PT Bumi Aksara, Jakarta.
200
JURNAL DINAMIKA EKONOMI & BISNIS
Vol. 6 No. 2 Oktober 2009