DINAMIKA INTERAKSI PROTEIN HORMON GLP-1 DAN ANALOGNYA (Exenatide dan Liraglutide) TERHADAP PROTEIN MEMBRAN GLP-1R
ALFI AFIFAH
PROGRAM STUDI BIOFISIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
DINAMIKA INTERAKSI PROTEIN HORMON GLP-1 DAN ANALOGNYA (Exenatide dan Liraglutide) TERHADAP PROTEIN MEMBRAN GLP-1R
ALFI AFIFAH
Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biofisika
PROGRAM STUDI BIOFISIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa thesis berjudul Dinamika Interaksi Protein Hormon GLP-1 dan Analognya (Exenatide dan Liraglutide) Terhadap Protein Membran GLP-1R adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2015 Alfi Afifah NIM 751130191
RINGKASAN ALFI AFIFAH. Dinamika Protein Hormon GLP-1 dan Analognya (Exenatide dan Liraglutide) Terhadap Protein Membran GLP-1R. Dibimbing oleh TONY SUMARYADA dan LAKSMI AMBARSARI.
Penelitian pengobatan penyakit diabetes melitus tipe II ditujukan untuk mengembangkan analog dari hormon GLP-1 yang berfungsi untuk mengatur sekresi insulin. Exenatide dan liraglutide adalah analog GLP-1 yang sudah teruji secara klinis dan diproduksi secara komersil. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi asam amino yang berperan dalam interaksi antara GLP-1, exenatide, dan liraglutide dengan protein membran GLP-1R, serta menganalisa kestabilan interaksi masing-masing pasangan. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan analog GLP-1 yang lebih baik. Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, molekul GLP1, exenatide dan liraglutide ditambatkankan dengan N-terminal domain dari GLP1R. Setiap proses penambatan menghasilkan 10 formasi penambatan dalam bentuk file .pdb. Kesepuluh hasil penambatan ini kemudian dianalisa untuk mengidentifikasi binding site dan asam amino yang aktif berinteraksi. Analisa ini digunakan untuk memilih satu formasi penambatan yang memiliki pasangan asam amino aktif terbanyak. Formasi penambatan yang terpilih kemudian diproses dalam simulasi dinamika molekul selama 20 ns pada suhu fisiologis 310 K. Setelah simulasi dinamika molekul selama 20 ns, diidentifikasi bahwa binding site GLP1R berada pada struktur beta-sheet yang terlatak pada asam amino F80 sampai asam amino E125. Formasi penambatan GLP-1 dengan GLP-1R relatif stabil, sementara pasangan penambatan GLP-1R dan exenatide serta GLP-1R dan liraglutide terbelah selama trajectory. Analisa terhadap energi interaksi non ikatan dari masing-masing pasangan menunjukkan bahwa interaksi antara exenatide dan GLP-1R adalah yang terkuat dibandingkan pasangan lainnya. Evaluasi lebih lanjut terhadap energi interaksi non-ikatan dari pasangan asam amino menunjukkan bahwa interaksi polar antara S39 and K113 menjadi penguat interaksi protein hormon dan reseptornya. Kata kunci: DM tipe II, GLP-1, GLP-1R , interaksi non-ikatan, penambatan protein
SUMMARY ALFI AFIFAH. Interaction Dynamics of Protein GLP-1 and Its Analogs (Exenatide and Liraglutide) to Membrane Protein GLP-1R. Supervised by TONY SUMARYADA and LAKSMI AMBARSARI. The type II diabetes mellitus drug design is aimed to develop the analog of hormone GLP-1 which function to regulate insulin secretion. Exenatide and liraglutide are GLP-1 analogs which have been clinically tested and approved. The objectives of this research are to identify the amino acids which play significant role in the interaction between GLP-1, exenatide, and liraglutide to GLP-1R; and to analyze their interaction stability. The result of this research can be used further to develop a better GLP-1 analog. The experiment was conducted in two stages. In the first stage, the molecular structures of GLP-1, exenatide and liraglutide were docked to N-terminal domain of GLP-1R. Each docking process produced 10 docking formations in the form of the pdb file. The 10 docking formations of each pair were then analyzed using VMD to identify binding site and active amino acids. The result of this analysis then is used to choose one docking formation with most active amino acids. The docking formation chosen from each pair is processed further in molecular dynamic simulation for 20 ns. After 20 ns molecular dynamic simulation at 310K, the binding site of GLP-1R is identified on beta-sheet structure located at F80-E125. The docking formation of GLP-1 and GLP-1R is relatively stable, whilst the docking formation of exenatide-GLP-1R and liraglutide-GLP-1R split off during the trajectory. Analysis on non-bond interaction energy discovered that the interaction between exenatide and GLP-1R is the strongest among others. Exenatide-GLP1R interaction is bound by strong polar interaction between S39 and K113. Keywords: GLP-1, GLP-1R, non-bonded interaction, protein docking, type II DM
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DINAMIKA INTERAKSI PROTEIN HORMON GLP-1 DAN ANALOGNYA (Exenatide dan Liraglutide) TERHADAP PROTEIN MEMBRAN GLP-1R
ALFI AFIFAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biofisika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Mersi Kurniati, M.Si
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini adalah mengenai kestabilan interaksi protein hormon untuk pengobatan diabetes, dengan judul Dinamika Interaksi Protein Hormon GLP-1 dan Analognya (Exenatide dan Liraglutide) terhadap Protein Membran GLP-1R. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. R. Tony Ibnu S. Wijaya Puspita S.Si, M.Si dari Program Studi Biofisika dan Ibu Dr. Dra Laksmi Ambarsari MS dari Program Studi Biokimia atas bimbingannya selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan hasil penelitian ini. Terima kasih atas masukan dan arahan yang diberikan sehingga penelitian ini lebih terarah dan lebih mendalam. Semoga hasil penelitian ini dapat dilaksanakan sepenuhnya dan memberikan hasil yang bermanfaat.
Bogor, Desember 2015 Alfi Afifah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 4 4 5
2 TINJAUAN PUSTAKA GLP-1 dan Analog GLP-1 GLP-1 Receptor
6 6 10
3 METODE Bahan Alat Metode Prosedur Analisis Data
12 12 12 12 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Hasil Docking Analisis Simulasi Dinamika Molekul Analisis Energi Interaksi Non-ikatan
15 15 24 34
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
44 44 45
DAFTAR PUSTAKA
46
DAFTAR TABEL 2.1 4.1 4.2 4.3 4.4
Perbandingan fungsi biologis protein GLP-1, exenatide dan liraglutide Analisa hasil penambatan protein hormon GLP-1 dengan GLP-1R Analisa hasil penambatan protein hormon exenatide dengan GLP-1R Analisa hasil penambatan protein hormon liraglutide dengan GLP-1R Ringkasan statistik jarak antara residu aktif pada interaksi molekul protein GLP-1 dengan molekul GLP-1R selama 20 ns 4.5 Ringkasan statistik jarak antara residu aktif pada interaksi molekul protein exenatide dengan molekul GLP-1R selama 10 ns 4.6 Ringkasan statistik jarak antara residu aktif pada interaksi molekul protein liraglutide dengan molekul GLP-1R selama 15 ns 4.7 Ringkasan statitistik energi interaksi elekstrostatik dan Van der Waals antara pasangan residu aktif pada formasi penambatan GLP-1 dengan GLP-1R 4.8 Ringkasan statitistik energi interaksi elekstrostatik dan Van der Waals antara pasangan residu aktif pada formasi penambatan exenatide dengan GLP-1R 4.9 Ringkasan statitistik energi interaksi elekstrostatik dan Van der Waals antara pasangan residu aktif pada formasi penambatan liraglutide dengan GLP-1R 4.10 Perbandingan interaksi WR1 (GLP-1 dan GLP-1R), ER1 (exenatide dan GLP-1R), serta LR1 (liraglutide dan GLP-1R)
8 16 17 20 27 30 33
34
37
40 43
DAFTAR GAMBAR 2.1 2.2 2.3 2.4 4.1 4.2
Hasil visualisasi VMD 1.9.1 dari struktur protein GLP-1 Hasil visualisasi VMD 1.9.1 dari struktur protein exendin-4 Hasil visualisasi VMD 1.9.1 dari struktur protein liraglutide Perbandingan struktur protein GLP-1, exenatide dan liraglutide Formasi hasil penambatan protein GLP-1 (merah) dengan GLP-1R (biru) Interaksi antar asam amino pada hasil penambatan protein GLP-1dan GLP-1R formasi WR1 4.3 Formasi hasil penambatan exenatide (merah) dengan GLP-1R (biru) 4.4 Interaksi antar asam amino pada hasil penambatan protein exenatide dan GLP-1R formasi ER1 4.5 Formasi hasil penambatan liraglutide (merah) dengan GLP-1R (biru) 4.6 Interaksi antar asam amino pada hasil penambatan protein liraglutide dan GLP-1R formasi LR1 4.7 Binding site GLP-1R dan asam amino yang aktif berinteraksi 4.8 Binding site protein a) GLP-1, b) exenatide dan c) liraglutide dengan GLP-1R 4.9 Kemiripan morfologi antara residu yang berperan penting dalam proses penambatan 4.10 Dinamika RMSD ketiga formasi penambatan selama trajectory 20 ns
6 7 8 9 16 17 17 19 19 21 21 22 23 24
4.11 Dinamika interaksi molekul protein GLP-1 dengan GLP-1R pada suhu 310K 4.12 Dinamika radius pasangan residu aktif antara GLP-1 dengan GLP-1R selama trajectory 20 ns 4.13 Dinamika interaksi molekul protein exenatide dengan GLP1R pada suhu 310K 4.14 Dinamika radius pasangan residu aktif antara exenatide dengan GLP-1R selama trajectory 20 ns 4.15 Dinamika interaksi molekul protein liraglutide dengan GLP1R pada suhu 310K 4.16 Dinamika radius pasangan residu aktif antara liraglutide dengan GLP-1R selama trajectory 20 ns 4.17 Energi interaksi non-ikatan antara pasangan residu aktif pada formasi penambatan GLP-1 dengan GLP-1R selama trajectory 20 ns 4.18 Energi interaksi non-ikatan antara residu aktif pada formasi penambatan exenatide dengan GLP-1R selama trajectory 20 ns 4.19 Energi interaksi non-ikatan total antara residu S39-K113 pada formasi penambatan exenatide dengan GLP-1R selama trajectory 20 ns 4.20 Energi interaksi jembatan garam antara residu E15-R121 pada formasi penambatan exenatide dengan GLP-1R selama trajectory 20 ns 4.21 Energi interaksi non-ikatan total pada formasi docking liraglutide dengan GLP-1R selama trajectory 20 ns
25 26 28 29 31 32 35 38 39 39 41
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Kesehatan menjadi salah satu isu penting di abad 21 ini, terbukti berbagai profesi di bidang medis masih menjadi profesi paling favorit dan menjanjikan pendapatan yang cukup tinggi sampai tahun 2025 menurut US Weekly. Salah satu kelompok penyakit yang dapat berakhir pada kematian adalah diabetes mellitus. Menurut data WHO terjadi peningkatan prevalensi penderita diabetes dari tahun ke tahun. WHO memprediksi jumlah penderita diabetes akan bertambah dari 171 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 366 juta jiwa pada tahun 2030 atau meningkat 114% dalam 3 dasawarsa terakhir. Di Indonesia sendiri terdapat 8,4 juta jiwa penderita diabetes pada tahun 2000 dan diperkirakan akan mencapai 21 juta jiwa pada tahun 2030, atau meningkat kurang lebih 150%. Hal ini menempatkan Indonesia pada posisi ke-4, negara dengan prevalensi diabetes tertinggi (www.who.int/ diabetes/facts/world-figures/en/ index.html). Diabetes Mellitus (DM) adalah kelompok penyakit yang diakibatkan karena gangguan metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia atau tingginya kadar gula dalam darah. Gangguan metabolik ini dapat disebabkan karena sekresi insulin yang tidak normal, kelainan kerja insulin atau keduanya (ADA, 2013). Insulin adalah hormon yang berperan mengatur kadar gula dalam darah. Apabila kadar gula dalam darah tinggi, maka pankreas akan memproduksi insulin. Insulin bekerja dengan mendorong glukosa dalam darah untuk masuk ke dalam sel, sehingga sel-sel dapat menjalankan fungsinya. Ketiadaan insulin atau kurangnya jumlah insulin menyebabkan kadar glukosa dalam darah tinggi dan sel tidak mendapatkan pasokan energi, akibatnya berbagai gangguan kesehatan muncul (WHO, 1999). Sejak tahun 1999, WHO merevisi pengelompokan penyakit diabetes mellitus menjadi: DM tipe I, DM tipe II, Gestational Diabetes Mellitus (GDM) dan DM tipe lainnya (WHO, 1999). DM tipe I mengalami ketergantungan terhadap insulin karena tubuh penderita DM tipe I tidak mampu memproduksi insulin sendiri. Penderita DM tipe ini memiliki ketidaknormalan sistem kekebalan tubuh, dimana tubuh memproduksi antibodi terhadap sel β pankreas sehingga sel-sel ini mengalami kerusakan, akibatnya sekresi insulin terhambat (ADA, 2013). Jumlah penderita DM tipe I meliputi 5-10% dari keseluruhan populasi penderita DM. Penderita DM tipe II yang meliputi 90-95% populasi. Penderita DM tipe II masih mampu memproduksi insulin sendiri namun dalam jumlah yang kurang, mengalami pengurangan fungsi insulin atau biasa disebut insulin resistance dan meningkatnya jumlah EGO (endogenous glucose output) (Weyer et al, 1999). GDM adalah gangguan metabolik hiperglikemia yang terjadi pada masa kehamilan dan biasanya akan hilang dengan sendirinya setelah melahirkan. DM tipe yang lain meliputi gangguan metabolik hiperglikemia yang disebabkan antara lain: konsumsi obat tertentu yang mempengaruhi fungsi pankreas, infeksi atau trauma pada pankreas, mutasi pada insulin reseptor, dan beberapa sindrom genetik yang berhubungan dengan ketidaknormalan fungsi pankreas (ADA, 2013). Penyakit DM tipe I tidak dapat disembuhkan karena disebabkan gangguan metabolik yang bersifat genetik. Bagi penderita diabetes tipe ini disamping harus
2 mempertahankan kadar gula darah pada level normal dengan menjaga makanan dan menyesuaikan gaya hidup, juga harus mendapat suntikan insulin. Penderita diabetes mellitus tipe II (DM tipe II) disamping menjalani terapi diet, dapat mengkonsumsi beberapa jenis obat yang mampu mengatasi hiperglikemia. Penggunaan obat-obatan tersebut dapat mengakibatkan beragam efek samping; antara lain hipoglikemia, gangguan ginjal bahkan sampai gagal jantung. Para peneliti berupaya mencari pengobatan DM tipe II yang efektif namun aman untuk organ-organ vital yang lain. Salah satu penelitian menunjukkan adanya hubungan antara menurunnya fungsi insulin dengan sekresi insulin, menurunnya fungsi insulin biasanya diikuti dengan meningkatnya sekresi insulin (Ahren dan Pacini, 2004). Dari penelitian yang lain menunjukkan bahwa hal ini tidak terjadi pada penderita DM tipe II dimana penuruan fungsi insulin tidak dibarengi dengan peningkatan sekresi insulin, akibatnya terjadi ketidakseimbangan. Untuk itu pengobatan DM tipe II ditujukan untuk menstabilkan sekresi insulin agar dapat mengimbangi turunnya fungsi insulin (Weyer et al, 1999). Sekresi insulin dipicu oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah hormon GLP-1 (Glucagon-like peptide 1) dengan mekanisme berikut. Pada saat pencernaan mekanik berlangsung di dalam mulut, sel L di dalam usus halus terstimulasi untuk mensekresi hormon GLP-1 (Muoio dan Newgard, 2008). Respon sel L dalam usus halus pada penderita DM tipe II terhadap rangsangan pencernaan mekanik di mulut lemah, sehingga hormon GLP-1 yang dihasilkan sedikit. GLP-1 kemudian berikatan dengan reseptornya yaitu protein membran GLP-1R yang terletak pada sel β dalam pankreas dan selanjutnya memicu aktivasi kerja adenylate cyclase dan produksi cAMP (Baggio dan Drucker, 2008). Selanjutnya pada kondisi berikatan dengan GLP-1R, GLP-1 mengatur aktivitas tiga ion channel dalam sel β pankreas yaitu: KATP channel, Ca2+ channel dan K+ channel. Melalui fungsi ketiga channel inilah, rangsangan sekresi insulin berlangsung. Pengobatan DM tipe II dengan GLP-1 menjadi alternatif yang menarik karena di samping memicu sekresi insulin, GLP-1 juga mampu berfungsi meregenerasi sel β (Muoio dan Newgard, 2008). Yang menjadi perhatian adalah setelah disekresi, hormon GLP-1 hanya mampu bertahan selama kurang dari 2 menit sebelum akhirnya terurai dari GLP-1 (7-36) dan GLP-1 (7-36)NH2 menjadi GLP-1 (9-37) atau GLP-1 (9-36)NH2 yang bersifat tidak aktif (Baggio dan Drucker, 2008). Interaksi antara hormon GLP-1 dengan enzim DPP IV (dipeptidil peptidase IV) menyebabkan GLP-1 terdegradasi dan hanya 50% yang tersisa untuk menjalankan fungsinya (Vilsbøll et.al, 2007). Sampai saat ini penelitian mengenai pengobatan penyakit DM terutama tipe II difokuskan pada dua hal yaitu meningkatkan aktivitas GLP-1R dengan mengembangkan analog protein hormon GLP-1 dan mengembangkan DPP-IV inhibitor untuk mempertahankan jumlah GLP-1 dalam tubuh. Di antara analog GLP-1 berdasarkan hasil penelitian mampu berfungsi seperti halnya GLP-1 adalah exendin-4 (Briones dan Bajaj, 2006), liraglutide (Vilsbøll et al, 2007), albiglutide dan taspoglutide (Ahrén, 2011). Exenatide, bentuk sintetik dari exendin-4, telah lolos uji klinis dan telah digunakan untuk pengobatan diabetes mulai tahun 2005, sedangkan liraglutide dapat digunakan secara klinis mulai tahun 2009. Sementara albiglutide dan taspoglutide sampai saat ini masih dalam tahapan uji klinis untuk mendapatkan persetujuan agar dapat digunakan secara klinis.
3 Exenatide dan liraglutide memiliki ketahanan yang cukup baik terhadap enzim DPP IV sehingga dapat bertahan lebih lama di dalam tubuh. Exenatide memiliki waktu paruh 1,5 - 2 jam sedangkan liraglutide memiliki waktu paruh 11 – 15 jam. Kedua analog GLP-1 ini juga dapat berikatan dengan GLP-1 reseptor (GLP-1R) yang terdapat pada jaringan pankreas dan jaringan lain dalam tubuh. GLP-1 reseptor adalah protein trans-membran yang berfungsi mengikat GLP-1 atau analognya dan memberikan tempat untuk bekerja merangsang pengeluaran insulin oleh pankreas (Baggio dan Drucker, 2008). Docking atau penambatan protein hormon GLP-1, exenatide dan liraglutide pada GLP-1R dapat terbentuk dalam berbagai formasi dan titik docking yang berbeda. Dengan menggunakan simulasi komputer, keseluruhan kemungkinan formasi dan titik penambatan dapat diketahui. Afinitas protein trans-membran terhadap protein hormon GLP-1, exenatide dan liraglutide juga dapat diprediksi melalui simulasi komputer dengan menggunakan aplikasi simulasi dinamika molekul. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dikatakan bahwa pengobatan DM tipe II melalui pengembangan analog hormon GLP-1 sampai saat ini masih menjadi perhatian. Penelitian in vivo menunjukkan bahwa exenatide dan liraglutide memiliki ketahanan terhadap DPP IV lebih baik daripada GLP-1 dalam tubuh mamalia di laboratorium maupun dalam tubuh manusia ((Vilsbøll et al, 2007 dan Mann, et.al, 2010) dan juga memiliki fungsi yang sama dengan GLP-1. Yang menjadi permasalahan sampai saat ini obat-obatan tersebut harus dikonsumsi secara terus menerus dengan frekuensi satu kali sehari untuk liraglutide dan dua kali sehari untuk exenatide. Hal ini menjadikan pengobatan DM tipe II membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan salah satu penelitian menunjukkan bahwa biaya pengobatan ini lebih besar daripada pengobatan DM tipe I yang harus mendapat suntikan insulin (Edwards et al, 2006). Untuk itu perlu dikembangkan analog hormon GLP-1 yang di samping dapat berfungsi seperti halnya GLP-1, tahan terhadap enzim DPP IV dan juga tersedia dengan harga terjangkau. Pada saat ini, penelitian terhadap pengobatan DM tipe II difokuskan pada dua hal yaitu mengembangkan analog hormon GLP-1 dan mengembangkan senyawa inhibitor DPP IV. Fokus penelitian ini adalah untuk mendukung pengembangan analog hormon GLP-1. Pengembangan analog hormon GLP-1 menarik untuk diteliti lebih lanjut, mengingat salah satu analog GLP-1, exendin-4, diperoleh dari kelenjar ludah kadal Heloderma suspectum yang memiliki habitat di benua Amerika. Tidak menutup kemungkinan analog hormon GLP-1 dapat dikembangkan dari bagian tubuh atau hasil sekresi satwa lain, atau bahkan satwa asli Indonesia. Pengembangan analog hormon GLP-1 dapat dilakukan apabila telah diidentifikasi asam amino yang paling berperan dalam mempertahankan kestabilan struktur molekulnya dan mempertahankan kestabilan affinitas ikatannya dengan GLP-1 receptor, karena efektifitas hormon analog GLP-1 juga bergantung pada affinitas GLP-1R dengan hormon tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka perumusan masalah yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
4 1. Bagaimana interaksi antara protein hormon GLP-1, dan analognya (exenatide dan liraglutide) dengan protein trans-membran GLP-1R terjadi? Asam amino apa saja yang bertanggung jawab terhadap interaksi protein hormon dengan reseptornya? 2. Bagaimana kestabilan protein hormon GLP-1, dan analognya (exenatide dan liraglutide) setelah berikatan dengan protein trans-membran GLP1R? 3. Bagaimana kestabilan interaksi antara antara pasangan asam amino aktif dari protein hormon GLP-1 dan analognya dengan protein trans-membran GLP-1R? Asam amino apa saja yang memiliki kestabilan interaksi paling tinggi?
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian terhadap protein hormon GLP-1, exenatide dan liraglutide adalah untuk: 1. Mengidentifikasi asam amino dari protein hormon GLP-1, exenatide dan liraglutide yang paling berperan dalam menjalin interaksi dengan protein reseptor GLP-1R. 2. Membandingkan kestabilan interaksi protein hormon GLP-1, exenatide dan liraglutide setelah berikatan dengan protein trans-membran GLP1-R. 3. Mengidentifikasi pasangan asam amino yang memiliki ikatan paling stabil dari setiap interaksi protein hormon GLP-1, exenatide dan liraglutide dengan protein reseptor GLP-1R. Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah mengembangkan analog protein GLP 1 yang memiliki ketahanan lebih baik terhadap enzim DPP IV dan memiliki afinitas yang lebih baik dengan protein membran GLP1-R, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan diabetes mellitus tipe II.
Manfaat Penelitian Dengan mengetahui perbandingan kestabilan protein hormon GLP-1, exenatide dan liraglutide serta asam amino yang paling berperan dalam menstabilkan protein serta kestabilan protein-protein tersebut setelah berikatan dengan protein trans-membran GLP-1R, dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai: 1. Modifikasi protein-protein tersebut sehingga didapatkan protein hormon yang memiliki kestabilan lebih baik 2. Rancangan pengobatan diabetes mellitus yang lebih efektif dan efisien, mengingat exenatide harus diberikan dua kali dalam sehari dan liraglutide satu kali dalam sehari, maka perlu dirancang hormon yang memiliki efek lebih panjang.
5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah membandingkan kestabilan protein hormon GLP-1 (PDB ID: 1D0R), exenatide (PDB ID: 1JRJ) dan liraglutide (PDB ID: 4APD) setelah berikatan dengan protein trans-membran GLP-1R (PDB ID: 3C59) dalam larutan air pada suhu fisiologis tubuh 310 K tanpa adanya aktivitas enzim DPP IV (dipeptidil peptidase).
6
2 TINJAUAN PUSTAKA GLP-1 dan Analog GLP-1 GLP-1 (glucagon-like peptide-1) adalah protein yang diproduksi oleh sel L dalam epitel usus halus sebagai respon terhadap stimulus pencernaan nutrisi (termasuk glukosa) dan memiliki kemampuan mendorong produksi insulin. Produksi GLP-1 berlangsung Struktur protein yang dihasilkan memiliki 50% kemiripan dengan glucagon, sehingga diberi nama glucagon-like peptide. Ada dua jenis GLP yang dihasilkan oleh tubuh, yaitu GLP-1 dan GLP-2, namun hanya GLP1 yang memiliki kemampuan mendorong sekresi insulin (Baggio dan Drucker, 2007). Sel L pada usus halus langsung memproduksi GLP-1 begitu terjadi proses pencernaan di dalam mulut. Drucker (2001) menyebutkan bahwa fungsi dari GLP1 dalam tubuh antara lain: meningkatkan sekresi insulin, menurunkan sekresi glucagon, menurunkan laju pengosongan perut, meningkatkan differensiasi sel islet, meningkatkan skresi somatostatin, menurunkan sekresi asam lambung, menurunkan asupan makanan, meningkatkan respon tekanan CNS, dan menyeimbangkan fungsi hypothalamic pituitary. Protein GLP-1 tersusun dari 30 asam amino dengan susunan sebagai berikut: Histidina (His/H1) - Alanina (Ala/A2) - Asam Glutamat (Glu/E3) - Glisina (Gly/G4) - Treonina (Thr/T5) - Fenilalanina (Phe/F6) - Treonina (Thr/T7) – Serina (Ser/S8)- Asam Aspartat (Asp/D9 ) - Valina (Val/V10) - Serina (Ser/S11) - Serina (Ser/S12) – Tirosina (Tyr/Y13) – Leusina (Leu/L14) - Asam Glutamat (Glu/E15) Glisina (Gly/G16) – Glutamina (Gln/Q17) - Alanina (Ala/A18) - Alanina (Ala/A19) – Lisina (Lys/K20) - Glutamina (Gln/Q21) - Fenilalanina (Phe/F22) - Isoleusina (Ile/I23) - Alanina (Ala/A24)- Triptofan (Trp/W25) – Leusina (Leu/L26) – Valina (Val/V27) - Lisina (Lys/K28) - Glisina (Gly/G29) – Arginina (Arg/R30). Struktur protein GLP-1 seperti terlihat pada Gambar 2.1 tediri dari α-heliks yang terbentuk oleh residu S8 sampai residu K28, turn serta coil. Struktur sekunder α-heliks ini sebenarnya tersusun dari dua segmen α-heliks yang terhubung oleh jembatan garam antara K20 dan E21. Pada mamalia, berbagai formasi GLP-1 terbentuk antar lain: GLP-1 (1-37), GLP-1(1-36)NH2, GLP-1 (7-37) dan GLP-1 (7-36)NH2. Dua formasi yang pertama bersifat tidak aktif, sedangkan dua formasi berikutnya bersifat aktif. Dalam tubuh manusia, sebagai besar GLP-1 yang dihasilkan memiliki formasi GLP-1 (7-36)NH2 (Baggio dan Drucker, 2007).
Gambar 2.1. Hasil visualisasi VMD 1.9.1 terhadap struktur protein GLP-1 Waktu paruh GLP-1 yang aktif di dalam tubuh kurang dari 2 menit, karena di dalam usus terdapat enzim penernaan DPP IV (dipeptidil peptidase) yang memiliki spesialisasi membelah protein yang mengandung alanina dan prolina di posisi 2. GLP-1 yang memiliki residu alanina pada rantai kedua menjadi objek DPP IV yang menyebabkan 2 rantai pertama terpotong sehingga terurai menjadi GLP-1 (9-37)
7 atau GLP-1 (9-36)NH2 yang bersifat tidak aktif. Hal ini menyebabkan kurang lebih 50% dari GLP-1 yang yang tersirkulasi menjadi tidak aktif (Baggio dan Drucker, 2007). Salah satu analog GLP-1, Exendin-4, lebih tahan terhadap aktivitas enzim DPP IV sehingga memiliki waktu paruh yang lebih lama di dalam plasma yaitu 1,5 – 2 jam (Ahren, 2011). Hal ini dikarenakan rantai ke-2 dari Exendin-4 bukan alanina melainkan glisina sehingga tidak menjadi target aktivitas enzim DPP IV (Drucker, 2001). Lebih lanjut Drucker menyebutkan bahwa Exendin-4 terbukti lebih potensial daripada GLP-1 untuk pengobatan DM tipe II pada percobaan in vivo dengan tikus sebagai objeknya. Penggunaan Exendin-4 pada pasien penderita DM tipe II selama 30 minggu terbukti mampu menurunkan kadar HbA1c sebesar 0,8–0,9% dari sebelumnya 8,2-8,6% (Ahren, 2011). Dengan waktu paruh yang lebih panjang, Exendin-4 dapat bertahan di dalam tubuh pasien selama 6-8 jam, untuk itu pasien perlu mendapatkan injeksi Exendin-4 dua kali dalam sehari. Saat ini peneliti sedang mengembangkan Ex-4 dalam kemasan biodegradable polymer untuk memperpanjang masa pelepasan Ex-4 sehingga pemberian injeksi dapat dilakukan satu kali dalam satu minggu. Ex-4 dapat berikatan dengan GLP-1R dan mengaktivasi fungsi GLP-1R dengan baik, bahkan dengan afinitas yang lebih besar dari GLP-1 (Maturana et al, 2003)). Hormon Ex-4 diperoleh dari kelenjar ludah kadal Heloderma suspectum, kadal ini mensekresikan Ex-4 beberapa saat setelah menggigit mangsanya. Rantai Ex-4 lebih panjang daripada GLP-1, yaitu terdiri dari 39 asam amino dan 50% dari rantai asam amino Ex-4 beririsan dengan rantai GLP-1. Struktur molekul hampir menyerupai GLP-1 dengan tambahan 9 residu pada rantai C-terminus (Neidigh et al, 2001) dengan susunan sebagai berikut: Histidina (His/H1) - Glisina (Gly/G2) Asam Glutamat (Glu/E3) - Glisina (Gly/G4) - Treonina (Thr/T5) - Fenilalanina (Phe/F6) - Treonina (Thr/T7) – Serina (Ser/S8)- Asam Aspartat (Asp/D9 ) - Leusina (Leu/L10) - Serina (Ser/S11) - Lisina (Lys/K12) – Glutamina (Gln/Q13) – Metionina (Met/M14) - Asam Glutamat (Glu/E15) - Asam Glutamat (Glu/E16) – Asam Glutamat (Glu/E17) - Alanina (Ala/A18) - Valina (Val/V19) – Arginina (Arg/R20) - Leusina (Leu/L21) - Fenilalanina (Phe/F22) - Isoleusina (Ile/I23) Alanina (Ala/A24)- Triptofan (Trp/W25) – Leusina (Leu/26L) – Lisina (Lys/K27) – Asparagina (Asn/N28) - Glisina (Gly/G29) - Glisina (Gly/G30) – Prolina (Pro/P31) - Serina (Ser/S32) - Serina (Ser/S33) - Glisina (Gly/G34) - Alanina (Ala/A35) - Prolina (Pro/P36) - Prolin (Pro/P37) - Prolin (Pro/P38) - Serin (Ser/S39). Struktur molekul Ex-4 dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut.
Gambar 2.2. Hasil visualisasi VMD 1.9.1 terhadap struktur protein Exendin-4
8 Rantai asam amino liraglutide, analog yang lain dari GLP-1, 95% sama dengan GLP1 dengan penggantian asam amino L28 menjadi Arginina, penambahan asam amino Glysin pada C-terminus Arginina dan penambahan asam lemak C-16 pada residu ke-26 (Russel-Jones, 2008). Keberadaan asam lemak ini cukup signifikan karena mengakibatkan liraglutide dapat membentuk ikatan kovalen dengan albumin. Hal ini menyebabkan liraglutide tidak mudah terdegradasi oleh enzim DPP IV dapat bertahan lebih lama dalam sistem pencernaan (Ahren, 2011). Liraglutide dapat bertahan selama 11-15 jam di dalam sistem pencernaan, lebih lanjut Knudsen et al (2000) memvariasikan posisi ikatan asam lemak ini sehingga waktu paruhnya dapat mencapai 20 jam. Madsen et al (2007) memvariasikan panjang asam lemak dari C10 – C18 dan menemukan bahwa penambahan asam lemak C18 dapat memperpanjang waktu paruh menjadi 21 jam, namun mengurangi ikatannya dengan GLP-1 reseptor. Susunan asam amino liraglutide adalah sebagai berikut: Histidina (His/H7) - Alanina (Ala/A8) - Asam Glutamat (Glu/E9) - Glisina (Gly/G10) - Treonina (Thr/T11) - Fenilalanina (Phe/F12) - Treonina (Thr/T13) – Serina (Ser/S14)- Asam Aspartat (Asp/D15) - Valina (Val/V16) - Serina (Ser/S17) - Serina (Ser/S18) – Tirosina (Tyr/Y19) – Leusina (Leu/L20) - Asam Glutamat (Glu/E21) - Glisina (Gly/G22) – Glutamina (Gln/Q23) - Alanina (Ala/A24) Alanina (Ala/A25) – Lisina (Lys/K26) - Glutamina (Gln/Q27) - Fenilalanina (Phe/F28) - Isoleusina (Ile/I29) - Alanina (Ala/A30)- Triptofan (Trp/W31) – Leusina (Leu/L32) – Valina (Val/V33) - Arginina (Arg/R34) - Glisina (Gly/G35) – Arginina (Arg/R36) - Glisina (Gly/G37). Struktur molekul liraglutide dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3. Hasil visualisasi VMD 1.9.1 terhadap struktur protein liraglutide Hasil uji klinis pada pasien penderita DM tipe II yang mendapatkan pengobatan liraglutide selama 6 bulan menunjukkan penurunan kadar HbA1c antara 1,1 – 1,5% dari 8,2 -8,5% (Russel-Jones, 2009). Pengujian in vivo pada tikus menunjukkan bahwa penggunaan liraglutide dalam jangka panjang dapat memicu resiko munculnya tumor sel tiroid, namun kasus ini tidak muncul dalam pengujian pada manusia. Namun untuk sebagai antisipasi, obat ini tidak disarankan digunakan oleh pasien DM tipe II yang memiliki riwayat keluarga penderita kanker atau tumor kelenjar tiroid. Perbandingan struktur molekul GLP-19(7-36)amida, exenatide (bentuk sintetik dari Ex-4) serta liraglutide dapat dilihat pada Gambar 4. Pada gambar di bawah ini dapat dilihat bahwa 17 residu dari 39 residu pada exenatide beririsan dengan residu pada GLP-1. Sedangkan pada liraglutide, 29 residu dari 30 residu pada protein ini beririsan dengan GLP-1. Kemiripan ini menyebabkan exenatide dan juga liraglutide dapat berikatan dengan GLP-1 reseptor sama baiknya dengan protein hormon GLP-1.
9
Gambar 2.4. Perbandingan struktur protein GLP1, exenatide dan liraglutide (Drucker and Nauck, 2006) Di samping membandingkan struktur molekul protein GLP1, exenatide dan liraglutide seperti terlihat di atas, Drucker dan Nauck juga melakukan inventarisasi fungsi-fungsi biologis dari protein protein GLP1, exendin-4 dan liraglutide seperti disajikan pada tabel 1. Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa baik GLP1, exenatide dan liraglutide berdasarkan hasil uji invivo mampu menjalankan fungsi dengan sama baiknya. Beberapa hal yan menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat yang akan digunakan antara lain, metode deliveri obat, dosis penggunaan, efek samping dari masing-masing obat dan tentu saja harga. Tabel 2.1. Perbandingan fungsi biologis protein GLP1, exenatide dan liraglutide Fungsi Biologis pada penderita DM tipe II
GLP-1 (wild type)
Exenatide
Liraglutide
Merangsang sekresi insulin Peningkatan sekresi insulin setelah makan Meningkatkan aktivitas incretin Menekan sekresi glucagon Meningkatkan sekresi glucagon pada saat kadar glucosa dalam plasma rendah Meningkatan pembentukan proinsulin Meningkatkan massa sel β pada pankreas Menghambat apoptosis sel β Memperlambat pengosongan lambung Menekan nafsu makan Menurunkan berat badan
√ √
√ √
√ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√
√
√
√
√
√
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
Sumber : Drucker and Nauck, 2006
10
GLP-1 Receptor GLP-1R adalah protein transmembran yang termasuk dalam protein kelas B, di mana protein-protein lain dalam kelas ini juga berfungsi sebagai reseptor bagi glukagon, GLP-2 dan GIP (gastric inhibitory polypeptide). Pada manusia dan binatang pengerat, GLP-1R ditemukan pada beragam jaringan antara lain: pankreas, paru-paru, jantung, ginjal, lambung, usus, kulit dan beberapa area di hipotalamus dan batang otak (Baggio dan Drucker, 2008). Aktivasi GLP-1R oleh GLP-1 memicu aktivasi kerja adenylate cyclase dan produksi cAMP. Selanjutnya cAMP mengaktifkan protein kinase A serta Epac 1 dan 2 yang berujung pada stimulus sekresi insulin. Struktur molekul GLP-1R terdiri dari 463 asam amino, namun yang paling berperan dalam proses ikatan dengan ligannya adalah area N-terminal domain (NTD) yang terletak pada bagian ekstraselular dan tersusun dari 100 – 150 asam amino (Mann et al, 2010). Afinitas antara protein ligand dengan GLP-1R akan lebih baik apabila berikatan dengan molekul GLP-1R utuh, namun justru di area NTD inilah terdapat perbedaan interaksi antara GLP-1R dengan GLP-1 dan glucagon (Runge et al, 2008). Perbedaan ini menjadi penting karena interaksi dengan kedua protein ini menghasilkan efek yang berbeda, interaksi GLP-1R dengna GLP-1 akan merangsang sekresi insulin sementara interaksi GLP-1R dengan glucagon justru akan merangsang sekresi glukosa. Struktur molekul NTD dari GLP-1R dapat dilihat pada gambar 5. NTD dari GLP-1R berinteraksi dengan C-terminal dari protein ligand dalam hal ini GLP-1 menghasilkan ikatan dengan afinitas yang rendah (Coopman et al, 2011). Sedangkan interaksi NTD dari GLP1R dengan C-terminal dari protein ligand exendin-4 menghasilkan ikatan dengan afinitas yang lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena struktur sekunder αheliks pada exendin-4 lebih stabil dibandingkan dengan struktur sekunder α- heliks GLP-1 yang merupakan gabungan dari 2 segmen α- heliks.
Gambar 2.5. Struktur molekul N-terminal domain dari protein trans-membran GLP-1R
11 Bagian protein ligan GLP-1 yang paling berperan dalam proses penambatan pada GLP-1R adalah area C-terminal (Drucker, 2001). Hal ini dibuktikan dengan percobaan penghilangan area ini menyebabkan GLP-1 tidak dapat mengenali GLP1R, sehingga tidak terjadi sekresi insulin. Di samping itu residu alanina sangat berperan dalam menstabilkan ikatan yang dibuktikan dengan penggantian residu alanina menyebabkan reseptor kehilangan afinitasnya. Sementara itu penelitian terhadap afinitas ikatan antara GLP-1 dengan NTD dari GLP-1R dan exendin-4 dengan NTD dari GLP-1R menunjukkan bahwa keduanya dapat melakukan ikatan dengan afinitas yang sama, namun afinitas ikatan exendin-4 dengan GLP-1R dapat ditingkatkan dengam mengganti residu 32 dengan serina dan residu 68 pada GLP1R dengan asam aspartat (Nasr, 2010). Hal ini dikarenakan adanya ikatan hidrogen antara S32 dengan D68 pada GLP-1R (Mann et al, 2010).
12
3 METODE
Bahan Keseluruhan prosedur pada penelitian ini akan menggunakan protein hormon GLP-1 dengan PDB ID: 1D0R (Chang et al, 2001), exenatide dengan PDB ID: 1JRJ (Neidigh et al, 2001) dan liraglutide dengan PDB ID: 4APD (Steensgaard et al, 2003), serta protein trans-membran GLP-1R diambil dari struktur protein dengan PDB ID: 3C59 (Runge et al, 2008). Data-data mengenai protein diperoleh dari Protein Data Bank (www.rscb.com) dalam bentuk file .pdb yang berisi data-data meliputi: nama molekul, nama residu, identitas residu, hirarki struktur protein, koordinat molekul, temperature dan identitas segmen.
Alat Penelitian ini menggunakan perangkat keras berupa alat tulis kantor, notebook dengan spesifikasi prosesor icore-7, memori RAM 4 GB, sistem operasi Windows 8.1 dari Hewlett Packard. Sedangkan perangkat lunak yang digunakan adalah program NAMD (Not just Another Molecular Dynamics) versi 2.9 yang dikembangkan oleh Theoritical Biophysics Group, University of Illinois dan Beckman Institute untuk melakukan simulasi dinamika molekul (Phillips et al, 2005). Program VMD (Visual Molecular Dynamics) versi 1.9.1, yang juga dikembangkan oleh Theoritical Biophysics Group, University of Illinois dan Beckman Institute untuk melihat visualisasi dinamika molekul (Humphrey et al, 1996). Analisis hasil simulasi NAMD juga dilakukan dengan VMD 1.9.1. Prosedur penambatan protein hormon pada protein trans-membran dilakukan dengan menggunakan server ZDOCK 3.0.2 yang dijalankan oleh University of Massachussetts. Program algorithma penambatan ZDOCK terbukti menunjukkan performa yang kompetitif dalam memprediksi formasi penambatan dengan menghasilkan rata-rata 52 hit atau 52 hasil yang mendekati struktur asli untuk setiap percobaan penambatan dibandingkan program algoritma penambatan yang lain (Chen dan Weng, 2002).
Metode Tahap pertama, persiapan molekul protein dilakukan dengan mengunduh data protein hormon dan protein trans-membran dari Protein Data Bank dalam format .pdb. File protein hormone dalam format .pdb yang sudah diunduh kemudian diatur dengan menggunakan program VMD. Pengaturan yang dilakukan antara lain adalah: menentukan satu frame, menghilangkan atom hydrogen dari dalam system, dan kemudian menggeser pusat koordinat ke titik pusat (0, 0, 0). Selanjutnya membuat protein structure file dalam format .psf. Proses ini menggunakan automatic psf builder atau psfgen. Hasil dari proses ini adalah file -psf.psf dan psf.pdb yang berisi informasi mengenai atom, ikatan, sudut, dan dihedral. Datadata mengenai koordinat, kecepatan dan force field parameter tidak tersedia dalam
13 file .psf ini. Prosedur preparasi dilanjutkan dengan menempatkan protein dalam kotak air dengan dimensi sesuai dimensi protein yaitu berukuran 12Å lebih besar ukuran molekul. Air berperan sebagai media pelarut dan jumlah selalu tetap. Hasil yang dihasilkan dari proses ini adalah file dalam format –solvent.psf dan solvent.pdb. Terakhir sebelum dilakukan simulasi, molekul harus distabilkan dan dinetralkan terlebih dahulu. Penetralan perlu dilakukan karena molekul yang dilarutkan masih mengandung ion-ion dari residu polar. Proses ini menghasilkan file dengan format –ion.pdb atau -ion.psf. Tahapan berikutnya adalah melakukan prosedur penambatan protein hormon pada protein trans-membran dengan menggunakan prosedur dalam server ZDOCK (Kirkpatrik et al, 2012). Dari hasil penambatan didapatkan masing-masing 10 formasi yang berbeda dalam bentuk file .pdb. Hasil setiap formasi kemudian dianalisis dengan VMD untuk melihat binding site serta residu-residu baik dari protein hormon sebagai ligand maupun protein trans-membran sebagai reseptor yang berperan dalam menjalin interaksi. Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi pasangan residu yang berada pada jarak 2,5 Å. Hasil dari analisa dari kesepuluh formasi docking tersebut kemudian dibandingkan untuk diidentifikasi residu-residu yang paling aktif dengan melihat residu-residu dari ligand dan reseptor yang paling sering menjalin interaksi. Tahapan berikutnya adalah memilih satu formasi yang memiliki residu aktif paling banyak dibandingkan formasi lainnya. File .pdb dari formasi yang dianggap paling favorable kemudian dipersiapkan untuk prosedur simulasi dinamika molekul dengan menjalani prosedur preparasi seperti di atas namun pemanasan dilakukan sampai 310K, yaitu suhu fisiologis tubuh manusia. Selanjutnya dilakukan prosedur anealing atau pemanasan dengan simulasi dinamika molekul pada formasi hasil penambatan selama masing-masing 20ns (Kirkpatrik et al, 2012).
Analisis Data Hasil docking dalam format file.pdb akan dianalisis dengan menggunakan program VMD. Kesepuluh hasil docking dari masing-masing pasangan akan diidentifikasi residu yang berjarak kurang dari 2,5Å. Sebagai pembanding jarak ikatan jembatan garam 3,2Å, pertimbangan diambil jarak 2,5Å adalah untuk mendapatkan pasangan interaksi yang memiliki interaksi lebih kuat dari interaksi jembatan garam untuk mengidentifikasi titik penambatan atau binding site. Pasangan residu dalam jarak kurang dari 2,5Å dari setiap hasil penambatan di analisis dan dipilih residu yang paling aktif atau paling banyak melakukan interaksi pada 10 hasil penambatan. Interaksi ini selanjutnya diidentifikasi sebagai interaksi polar, hidrofobik atau merupakan jembatan garam. Residu yang paling banyak melakukan interaksi pada kesepuluh hasil penambatan dianggap sebagai residu aktif. Selanjutnya dipilih formasi penambatan yang memiliki jumlah pasangan residu aktif paling banyak. Hasil simulasi dalam format md.dcd akan dianalisis dengan menggunakan program VMD. Untuk melihat kestabilan interaksi melalui analisis beberapa parameter. Parameter yang pertama adalah jarak antara residu dalam setiap pasangan selama trajectory. Interaksi elektrostatik adalah interaksi antara dua atom bermuatan q1 dan q2 yang berada pada jarak rij. Atom yang bermuatan sama akan
14 saling menolak dan atom yang berlawanan muatannya akan saling tarik menarik. Interaksi elektrostatik dapat digambarkan secara sederhana dengan hukum Coulomb sebagai berikut: 𝑞1 𝑞2 Vc = 𝜀𝑟𝑖𝑗 (3.1) dimana ε adalah konstanta dielektrik dari medium. Dalam simulasi dinamika molekul, gaya elektrostatik diperhitungkan dengan metode Particle Mesh Ewald (Phillips et al, 2005). Gaya van der Waals adalah jumlah gaya tarik menarik atau tolak menolak antar molekul atau antar bagian dalam molekul yang sama. Dalam simulasi dinamika molekul, interaksi van der Waals diperhitungkan dengan menggunakan persamaan Lennard-Jones 6-12 sebagai berikut: 𝜎𝑖𝑗 𝜎𝑖𝑗 VLJ = 4εij [ ( 𝑟𝑖𝑗 )12 - ( 𝑟𝑖𝑗 )6 ] (3.2) Potensial Lennard-Jones hanya terdiri dari dua parameter, diameter tumbukan σij (jarak dimana energi sama dengan nol) dan kedalaman εij. Bagian tarik menarik diberikan proporsi r-6 dan bagian yang tolak menolak diberikan proporsi r-12 (Kar, 2010). Selain parameter-parameter di atas, parameter lain yang menjadi indikasi kestabilan molekul adalah RMSD (Root Mean Square Deviation), jembatan garam, perubahan native contact dan perubahan struktur sekunder. RMSD dari struktur suatu protein adalah akar dari rata-rata kuadrat jarak atom tertentu (𝑥 ⃗⃗⃗𝑖 ) terhadap satu atom koordinat yang menjadi acuan ( ⃗⃗⃗⃗ 𝑥𝑖0 ). Biasanya yang diukur bukan keseluruhan atom tapi hanya atom backbone atau atom C-α saja. RMSD dapat diukur dengan persamaan berikut: 1 RMSD = √𝑁 ∑𝑁 ⃗⃗⃗𝑖 − ⃗⃗⃗⃗ 𝑥𝑖0 )2 𝑖=1( 𝑥
(3.3)
Struktur x memiliki jarak tertentu terhadap atom acuan x0, setelah prosedur simulasi selama t, xt mengalami pergeseran atau deviasi. RMSD sebesar 2 – 3 Å disebabkan oleh perubahan suhu, apabila RMSD bernilai lebih besar dari 3 Å, maka dapat disimpulkan telah terjadi perubahan konformasi struktur molekul (Stumpe, 2007). Pada penelitian ini RMSD sebesar lebih dari 2,5 Å dianggap sudah terjadi perubahan struktur, hal ini mengacu pada pedoman algoritma docking dimana struktur docking dianggap sebagai hit (memiliki kemiripan dengan struktur asli) apabila nilai RMSD kurang dari 2,5 Å (Cheng dan Weng, 2002). Jembatan garam adalah interaksi antara residu-residu yang bermuatan positif dan negatif dengan jarak kurang dari 3,2 Å pada protein dalam hal ini protein reseptor dan protein ligand. Residu-residu pada protein dikatakan memiliki native contact apabila jarak pasangan atom terdekat tidak lebih dari 0,4 nm (Stumpe, 2007). Perubahan struktur sekunder menjadi parameter kestabilan protein karena menggambarkan fluktuasi struktur sekunder selama prosedur simulasi. Dalam hal ini struktur sekunder yang menjadi acuan telah terjadinya perubahan konformasi protein adalah heliks, β-sheet dan turn (Stumpe, 2007). Perubahan pada random coil dan bend belum dianggap sebagai perubahan konformasi protein.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian dilakukan dalam dua tahap; tahapan pertama adalah penambatan antara protein hormon GLP-1 (PDB ID: 1D0R) dan analognya yaitu exenatide (PDB ID: 1JRJ) dan liraglutide (PDB ID: 4APD) dengan protein trans-membran GLP-1R (PDB ID: 3C59). Hasil penambatan GLP-1 dengan GLP-1R, exenatide dengan GLP-1R dan liraglutide dengan GLP-1R dianalisis dan dipilih satu formasi penambatan dari masing-masing pasangan untuk dilakukan tahapan berikutnya. Tahapan kedua, simulasi dinamika molekul dengan masing-masing hasil penambatan yang terpilih pada suhu 310K. Proses penambatan protein dengan server ZDOCK 3.0.2 dari masing-masing pasangan protein menghasilkan 10 formasi penambatan, sehingga secara keseluruhan didapatkan 30 hasil formasi penambatan. Simulasi dinamika molekul dengan NAMD 2.9 dilakukan hanya pada formasi penambatan yang terpilih dari masing-masing pasangan, sehingga diperoleh 3 hasil simulasi dinamika molekul untuk dianalisis. Analisis hasil penambatan Setelah dilakukan proses penambatan protein hormon GLP-1, exenatide dan liraglutide terhadap protein trans-membran GLP-1R, diperoleh 10 formasi penambatan untuk masing-masing pasangan protein hormon dan protein transmembran. Selanjutnya dilakukan identifikasi asam amino yang menjalin interaksi dari masing-masing formasi penambatan dengan menggunakan analisis dan visualisasi VMD. Hasil identifikasi ini kemudian digunakan untuk memilih satu formasi yang memiliki pasangan asam amino aktif paling banyak untuk selanjutnya dilakukan pengujian terhadap kestabilan interaksi dengan NAMD. Protein hormon GLP-1 adalah protein yang dihasilkan oleh tubuh manusia dalam sel epitel usus halus. GLP-1 berperan sebagai regulator dalam sekresi insulin oleh pankreas. Protein GLP-1 berikatan dengan protein GLP-1R pada membran pankreas untuk selanjutnya bekerja merangsang pembentukan insulin. Mengingat protein hormon GLP-1 adalah hormon alami yang dihasilkan oleh tubuh, maka protein ini dianggap sebagai protein wild type. Formasi hasil penambatan antara protein hormon GLP-1 dengan protein trans-membran GLP-1R diberi label WR1 (wild type – reseptor), WR2 dan seterusnya sampai WR10. Perbedaan antara kesepuluh formasi penambatan yang diamati terdapat pada perbedaan binding site atau lokasi penambatan pada protein reseptor GLP-1R dan juga perbedaan residu pada protein hormon GLP-1 yang berinteraksi atau menempel pada reseptor. Perbedaan lokasi penambatan dan juga residu protein hormon GLP-1 yang menambat menghasilkan formasi penambatan yang berbeda-beda (Gambar 4.1). Analisis lebih lanjut terhadap setiap formasi penambatan diperoleh beberapa pasangan residu dari protein GLP-1 dan protein GLP-1R yang melakukan interaksi (tabel 4.1). Analisis ke-10 hasil penambatan antara GLP-1 dan GLP-1R menunjukkan bahwa rata-rata terdapat 7,3 pasangan interaksi dengan rata-rata jarak terdekat setiap pasangan 2,0067 Å. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa asam amino pada protein hormon yang aktif melakukan interaksi adalah L14, Q17, A18 dan F22
16 dengan muncul pada 6 formasi penambatan, sedangkan E21 dan W25 muncul pada 5 formasi penambatan. Residu E15 dan R30 dapat dikatakan memiliki keaktifan menengah karena dapat ditemukan di 4 formasi penambatan. Asam amino pada protein trans-membran GLP-1R yang paling aktif melakukan interaksi adalah W120 dengan muncul pada 6 formasi penambatan, F80 muncul pada 5 formasi penambatan dan Y101 muncul pada 4 formasi penambatan. Selanjutnya F103 dan L111 muncul pada 3 formasi penambatan. Berdasarkan hasil ini, dapat dilihat bahwa formasi penambatan WR1 memiliki paling banyak pasangan asam amino aktif dibandingkan dengan formasi yang lain. WR1
WR2
WR3
WR4
WR5
WR6
WR7
WR8
WR9
WR10
Gambar 4.1 Formasi hasil penambatan GLP-1 (merah) dengan GLP-1R (biru) Tabel 4.1 Analisis hasil penambatan protein hormon GLP-1 dengan GLP-1R WR1 L14-Y101 Q17-F80 Q17-W120 A18-F103 A18-F80 E21-L111 F22-F103 R30-L111
WR2 WR3 L14-V81 E15-R48* L14-N82 E15-R44* Q17-P73 A18-Q45 A18-H99 I23-D53 F22-P96 W25-C71 G29-W87 W25-Y42 R30-W87 L26-P73 L26-C71 G29-S84
WR4 WR5 WR6 WR7 WR8 WR9 WR10 L14-W120 Y13-F80 F6-V81 L14-F80 E21-Q68 S11-W120 L14-N82 Q17-Y101 L14-F103 F6-Y101 E15-K113* W25-P90 E15-R121 E15-F80 A18-E125 Q17-F80 D9-F80 Q17-W120 G29-Q89 W25-T35 Q17-E125 E21-Q125 Q17-W120 V10-F80 Q17-D122 R30-Y69 K28-L32 Q17-Y101 E21-E125 E21-R121* Y13-F103 A18-W120 G29-L32 A18-F80 F22-S124 F22-Q112 Y13-L111 F22-S117 E21-W120 F24-S124 F22-S116 L14-G78 L26-N115 E21-D122 W25-K130 W25-L118 F22-L111 R30-S94 F22-W120 Rata-rata jumlah pasangan interaksi = 7,3 Rata-rata jarak terdekat setiap pasangan = 2,0067 Å Catatan: asam amino di sebelah kiri dari masing-masing pasangan berasal dari protein GLP-1 dan asam amino sebelah kanan dari protein GLP-1R, interaksi hidrofobik (tanpa label), interaksi polar (garis bawah), jembatan garam (asteriks)
Pada formasi WR1, dari 8 pasangan interaksi yang berinteraksi, 7 diantaranya melibatkan asam amino aktif. Residu L14, Q17, A18, E21 dan F22 pada protein hormon GLP-1 adalah merupakan asam amino yang aktif berinteraksi. Demikian juga dengan residu aktif pada GLP-1R yaitu F80, Y101 dan W120, ketiganya dapat ditemukan pada formasi penambatan WR1. Residu L14 berinteraksi dengan Y101, Q17 berinteraksi dengan F80 dan W120, A18 berinteraksi dengan F80 dan F103, E21 berinteraksi dengan L111, F22 berinteraksi dengan F103, dan R30 berinteraksi dengan L111. Binding site atau lokasi penambatan antara protein protein GLP-1 dengan GLP-1R adalah pada residu ke80 sampai residu ke-120 yang merupakan daerah beta-sheet, coil dan turn. Sedangkan residu protein GLP-1 yang aktif berinteraksi adalah residu ke-14 sampai ke-25 yang berada pada rantai alpha-helix. Protein hormon GLP-1 menambat dengan sempurna pada protein reseptor GLP-1R (Gambar 4.2) dimana hampir sepanjang molekul GLP-1 berimpitan dengan sepenuhnya dengan protein GLP-1R.
17
Gambar 4.2 Interaksi antar asam amino pada hasil penambatan protein GLP-1 dan GLP-1R formasi WR1 Hasil analisis VMD tidak menemukan adanya ikatan hidrogen dan jembatan garam antara protein GLP-1 dengan GLP1-R. Interaksi yang terbentuk adalah interaksi non-ikatan antara residu polar (Q17, Y101, Y120), residu bermuatan positif (R30), residu bermuatan negatif (E21) dan sebagian besar adalah residu nonpolar. Interaksi yang terbentuk antara residu non polar dengan residu polar atau bermuatan adalah interaksi Van der Waals. Interaksi ini terjadi karena keberadaan residu polar atau bermuatan menginduksi residu non-polar di sekelilingnya sehingga bersifat polar untuk sementara. Interaksi Van der Waals tidak sekuat ikatan hidrogen atau jembatan garam, namun banyaknya gaya Van der Waals yang bekerja dapat menghasilkan interaksi yang cukup kuat. Proses penambatan selanjutnya dilakukan antara protein yang merupakan analog protein hormon GLP-1 yaitu exenatide dengan protein trans-membran GLP1R. Sepuluh formasi hasil penambatan exenatide dengan GLP-1R diberi label ER1 (exenatide – reseptor), ER2, dan seterusnya sampai ER10 (Gambar 4.3), analisis hasil penambatan menunjukkan perbedaan residu yang berinteraksi (Tabel 4.2). ER1
ER2
ER6
ER7
ER3
ER8
ER4
ER5
ER9
ER10
Gambar 4.3 Formasi hasil penambatan exenatide (merah) dengan GLP-1R (biru)
18 Tabel 4.2 Analisis hasil penambatan protein hormon exenatide dengan GLP-1R ER1 V19-D122 F22-F80 F22-W120 W25-F80 P37-L111 P37-F103 S39-K113 S39-W120 E15-R121*
ER2 F22-V36 P31-L89 P37-Y69 S39-E68
ER3 E15-R40* F22-V36 P31-L89 S32-E127 P36-D67 P37-E68 S39-R43 S39-W39 S39-E68
ER4 ER5 E15-G78 P31-F80 F22-F80 S39-K113 F22-L111 W25-W120 W25-D122 L26-W120 S39-F80
ER6 E15-L111 E16-K113* F22-W120 F22-L111 S39-F103
ER7 V19-G78 F22-L111 F22-F80 W25-W120 P37-D122 P38-F80 S39-Y101
ER8 V19-D122 F22-F80 L26-Y101 P38-F80 S39-F103
ER9 E15-R40* V19-W39 F22-E68 P31-R121 P31-L118 S39-E68
ER10 E15-A106 F22-F80 P31-E125 P31-D122 S39-F80 S39-G78
Rata-rata jumlah pasangan interaksi = 5,9 Rata-rata jarak terdekat setiap pasangan = 1,8297 Å Catatan: asam amino di sebelah kiri dari masing-masing pasangan berasal dari protein exenatide dan asam amino sebelah kanan dari protein GLP-1R, interaksi hidrofobik (tanpa label), interaksi polar (garis bawah), jembatan garam (asteriks)
Hasil analisis masing-masing formasi penambatan menunjukkan bahwa ada dua residu protein exenatide yang sangat aktif melakukan interaksi dengan GLP1R, yaitu S39 yang muncul di kesepuluh formasi penambatan dan F22 yang muncul di 9 formasi penambatan. Residu lain yang dapat dikategorikan aktif berinteraksi adalah E15 yang teridentifikasi di 6 formasi penambatan, dan P31 yang muncul di 5 formasi penambatan. Sedangkan V19 dan P37 masing-masing muncul dalam 4 formasi penambatan. Aktivitas yang tinggi ditunjukkan oleh residu S39 yang muncul di semua formasi penambatan, hal ini menunjukkan pentingnya residu S39 dalam interaksi antara protein exenatide dengan GLP-1R. Demikian juga dengan residu F22, memiliki peranan besar dalam interaksi ligand-reseptor. Pada protein GLP-1R, hasil yang tidak jauh berbeda dengan hasil penambatan antara GLP-1 dengan GLP-1R didapat, yaitu residu F80 termasuk paling aktif dengan muncul pada 7 formasi penambatan, D122 muncul pada 5 formasi penambatan. Sedangkan E68, L111 dan W120 masing-masing muncul dalam 4 pasangan penambatan. Formasi ER1 diidentifikasi memiliki pasangan residu aktif paling banyak dibandingkan dengan formasi penambatan yang lain. Pada formasi penambatan ER1, teridentifikasi 9 pasangan interaksi dan 7 diantaranya melibatkan asam amino aktif baik dari molekul protein exenatide maupun dari molekul protein GLP-1R. Pasangan interaksi dari residu yang kurang aktif adalah P37-F103 dan pasangan S39-K113. Residu yang paling aktif berinteraksi, S39 terlihat berinteraksi dengan K113 dan W120 (Gambar 4.4). F22 berinteraksi dengan F80 dan W120, sedangkan P37 berinteraksi dengan L111 dan F103. Keseluruhan pasangan residu ini melibatkan residu non polar hydrophobic, kecuali S39 yang bersifat polar berinteraksi dengan W120 yang juga bersifat polar. Diduga interaksi Van der Waals S39 dengan W120 lebih kuat dari pada pasangan yang lain, namun masih perlu dibuktikan lebih lanjut melalui simulasi dinamika molekul. Hasil analisis VMD tidak menemukan ikatan hidrogen antara protein exenatide dengan protein GLP-1R dan ditemukan satu jembatan garam antara residu E15 pada exenatide dengan R121 pada GLP-1R. Residu E15 merupakan salah satu residu yang aktif berinteraksi karena juga muncul pada formasi penambatan yang lain, namun interaksi yang berupa jembatan garam hanya dapat diidentifikasi pada formasi penambatan ER3 dan ER9 dimana di kedua formasi ini E15 berinteraksi dengan R40. Sedangkan interaksi dengan R121 hanya diidentifikasi pada formasi penambatan ER1. Peranan jembatan garam dalam menstabilkan interaksi ligand-reseptor dapat dilihat pada analisis hasil simulasi dinamika molekul.
19
Gambar 4.4 Interaksi antar asam amino pada hasil penambatan protein exenatide dan GLP-1R formasi ER1 Berbeda dengan GLP-1 dan exenatide, struktur protein liraglutide dimulai dari H7 sampai G37 serta terdiri dari dua alpha-helix yang dihubungkan oleh koil yang tersusun dari residu G22, Q23 dan A24. Hasil penambatan antara liraglutide dan protein trans-membran GLP-1R diberi label LR1 (liraglutide – reseptor), LR2 dan seterusnya. Seperti halnya dua protein sebelumnya yaitu GLP-1 dan exenatide, protein liraglutide menambat pada protein reseptor GLP-1R pada lokasi penambatan yang berbeda-beda, residu liraglutide yang berinteraksi juga berbeda sehingga dihasilkan sepuluh formasi penambatan yang berbeda (Gambar 4.5). Analisis terhadap ke-sepuluh formasi penambatan liraglutide pada GLP-1R menunjukkan adanya variasi yang cukup besar antara masing-masing hasil penambatan (Tabel 4.3). Formasi penambatan LR1 dan LR7 hanya memiliki 6 pasangan interaksi, sedangkan formasi penambatan LR6 dan LR10 memiliki 14 pasangan interaksi. Interaksi yang terbentuk antara protein liraglutide dengan protein GLP-1R didominasi oleh interaksi polar, antara residu yang bersifat polar atau yang terpolarisasi. LR1
LR2
LR3
LR4
LR5
LR6
LR7
LR8
LR9
LR10
Gambar 4.5 Formasi hasil penambatan liraglutide (merah) dengan GLP-1R (biru)
20
Tabel 4.3 Analisis hasil penambatan protein hormon liraglutide dengan GLP-1R LR1 F12-T105 D15-F103 Y19-F80 A25-Y101 K26-Y101 F28-H99
LR2 F12-A106 Y19-L111 Q23-F80 A25-Y101 K26-Y101 F28-Y101 F28-E125 W31-Q97
LR3 LR4 G10-W120 H7-Q97 F12-W120 F12-F80 F12-P119 F12-Y101 D15-R121 D15-F80 Y19-L118 Y19-G78 A24-E68 Y19-F103 A24-W39 F28-K113 A25-E68 F28-W39 W31-V36 R34-L32
LR5 E9-K130* E10-K130* T11-R131 F12-E127 F12-S129 Y19-Q97 Y19-E125 A24-D122 A25-D122 A25-Q125 F28-F80
LR6 LR7 LR8 LR9 LR10 E9-T29 V30-R36 F12-F80 F12-S94 Y19-W120 G10-T29 W31-Y88 D15-F80 Y19-H99 Y19-Q112 T11-P90 W31-P90 V16-Y101 Y19-Q97 L20-L118 F12-T35 L32-L32 Y19-F80 A24-D122 G22-R121 F12-E34 L32-T35 Y19-N82 A25-Y101 A24-E127 D15-W87 R36-E34* Y19-Y101 K26-F80 A25-Y69 Y19-W87 F28-F80 K26-R121 Q23-W87 F28-F103 F28-E68 E27-S84 F28-Y88 E27-V83 W31-W39 F28-D53 W31-V36 W31-P73 R34-L32 R36-P55 R36-R40 R36-P56 R36-V36 Rata-rata jumlah pasangan interaksi = 9,1 Rata-rata jarak terdekat setiap pasangan = 1,94739 Å Catatan: asam amino di sebelah kiri dari masing-masing pasangan berasal dari protein liraglutide dan asam amino sebelah kanan dari protein GLP-1R, interaksi hidrofobik (tanpa label), interaksi polar (garis bawah), jembatan garam (asteriks)
Proses penambatan antara protein liraglutide dengan GLP-1R tidak menunjukkan kecenderungan adanya binding site yang tetap. Binding site pada GLP-1R dari 10 formasi penambatan yang diamati menyebar di beberapa tempat, namun ada dua residu yang diidentifikasi cukup aktif menjalin interaksi, yaitu residu F80 dan Y101. Kedua residu ini berperan dalam menjalin interaksi pada 5 formasi penambatan. Di luar kedua residu tersebut, tidak ditemukan residu yang cukup menonjol dalam berinteraksi dengan protein ligand dalam hal ini liraglutide. Sebaliknya pada protein liraglutide, ditemukan beberapa residu yang cukup aktif dalam menjalin interaksi dengan reseptor; Y19 ditemukan di 9 formasi penambatan, F12 dan F28 muncul di 8 formasi penambatan, A25 muncul dalam 6 formasi penambatan, sedangkan D15 dan W31 ditemukan di 5 formasi penambatan. Ketiadaan binding site yang tetap menyebabkan sulitnya memilih satu formasi penambatan yang paling disukai untuk dilakukan tahapan penelitian berikutnya. Formasi penambatan LR1 dipilih karena meskipun jumlah pasangan residu yang berinteraksi tidak banyak namun jumlah pasangan residu aktifnya relatif lebih banyak dibandingkan formasi penambatan yang lain . Pada formasi penambatan LR1 ditemukan 6 pasangan interaksi dan ke-enam pasangan interaksi tersebut seluruhnya melibatkan residu aktif baik dari protein liraglutide maupun protein GLP-1R. Lima residu liraglutide yang sangat aktif melakukan interaksi yaitu F12, D15, Y19, A25, dan F28 dapat ditemukan pada formasi penambatan ini, demikian juga dua residu aktif dari protein GLP-1R yaitu F80 dan Y101 juga ditemukan pada formasi penambatan ini. Karena hanya enam residu liraglutide yang teridentifikasi berinterikasi dengan GLP-1R pada formasi LR1, maka tidak keseluruhan molekul protein liraglutide menambat atau berimpitan pada protein GLP-1R. Area interaksi terlihat hanya pada sebagian kecil molekul liraglutide (Gambar 4.6). Hal ini berbeda dengan formasi penambatan GLP-1 dan GLP-1R, dimana hampir sepanjang molekul GLP-1 berimpitan dengan GLP-1R. Belum ada penelitian yang mengaitkan jumlah pasangan interaksi dengan kekuatan interaksi, untuk itu akan dilakukan analisis lebih lanjut terhadap afinitas liraglutide terhadap GLP-1R dari hasil simulasi dinamika molekul terutama terhadap energi interaksi non-ikatan antara kedua molekul ini.
21
Gambar 4.6 Interaksi antar asam amino pada hasil penambatan protein liraglutide dan GLP-1R formasi penambatan LR1 Setelah membandingkan formasi penambatan dari tiga pasangan liganreseptor yaitu: GLP-1 dengan GLP-1R, exenatide dengan GLP-1R dan liraglutide dengan GLP-1R, ditemukan bahwa binding site terletak pada daerah residu F80 sampai residu E125 dengan pemeran utama F80, Y101, D122 dan W120 yang aktif melakukan interaksi (Gambar 4.7). Pada beberapa formasi, daerah penambatan dapat diperluas dari E68 sampai E128. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa binding site GLP-1R berada pada daerah E68-E128 (Runge et al, 2008). Residu F103, L111, D122 dan E125 memiliki keaktifan interaksi yang mendukung terbentuknya binding site di area ini.
Gambar 4.7 Binding site GLP-1R dan asam amino yang aktif berinteraksi
22 Visualisasi VMD dengan metode penggambaran surface menunjukkan bahwa residu F80, Y101 dan W120 membentuk semacam celah yang menjadikannya sebagai lokasi yang tepat untuk berikatan. Residu-residu ini terletak pada struktur betha-sheet sehingga memberikan permukaan yang luas bagi protein lain yang akan berikatan. Dengan struktur ini memungkinkan protein ligand untuk berikatan dengan residu lain selain ketiga residu di atas. Ditinjau dari sifatnya, Fenilalanina dan Leusina adalah asam amino yang bersifat non-polar hydrophobic, Triptofan adalah asam amino non-polar namun memiliki kecenderungan polar, Tirosina adalah asam amino polar sedangkan asam aspartat dan asam glutamat memiliki muatan negatif. Dengan melihat sifat residu aktif ini, interaksi yang dapat terbentuk adalah interaksi Van der Waals, interaksi hidrofobik, jembatan garam dan ikatan hidrogen. Hasil analisis VMD tidak menemukan adanya ikatan hidrogen antara ligand dengan reseptor dan hanya ditemukan satu jembatan garam antara protein exenatide dengan GLP-1R yaitu antara E15 dengan R121. R121 bukan residu yang aktif berinteraksi meskipun berada pada daerah binding site, untuk itu analisis lebih lanjut difokuskan pada interaksi Van der Waals dan interaksi hidrofobik dalam simulasi dinamika molekul. Pada protein ligand GLP-1, binding site berada pada residu L12 sampai residu F22, dengan pemeran utama L14, Q17, A18 dan F22. GLP-1 memiliki 30 asam amino, residu L14 sampai F22 terletak pada struktur alpha-helix pada bagian tengah asam amino. Hasil visualisasi memperlihatkan bahwa residu L14 dan F22 lebih menonjol dibandingkan permukaan yang lain, hal ini menyebabkan kedua residu ini mampu memasuki celah pada molekul protein GLP-1R dan menjalin interaksi (Gambar 4.8). Morfologi residu fenilalanina yang memanjang membentuk tonjolan pada permukaan molekul sehingga memudahkan residu tersebut untuk memasuki celah atau kantong pada molekul reseptor, seperti terlihat pada F22 dari exenatide, F12 dan F28 dari liraglutide (Gambar 4.8).
a)
b)
c)
Gambar 4.8 Residu aktif protein a) GLP-1, b) exenatide dan c) liraglutide dengan GLP-1R
23
Protein exenatide memiliki 39 asam amino dari H1 sampai S39. Binding site berada pada residu P22 sampai S39 dengan pemeran utama P22 dan S39, residu lain yang juga berperan aktif adalah P31 dan P37. Yang menarik dari exenatide adalah residu kunci yang paling aktif berinteraksi, S39, dan residu P31 dan P37 terletak pada rantai tambahan atau rantai terakhir. Sedangkan asam amino pada rantai awal exenatide tidak terlalu berperan dalam menjalin interaksi dengan protein GLP-1R. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan rantai pada exenatide berperan penting dalam afinitas protein ini dengan reseptornya. Pada Gambar 4.8.b terlihat bahwa residu P22, P37 dan S39 membentuk tonjolan untuk berinteraksi dengan molekul lain. Protein liraglutide memiliki 31 asam amino dari H7 sampai G37. Binding site berada pada residu F12 sampai F28 dengan pemeran utama F12, Y19 dan F28. Apabila penomoran disamakan dengan penomoran residu GLP-1 dan exenatide, maka pemeran utama interaksi ligand-reseptor adalah F6, Y13 dan F22. Residu F6 dan Y13 berada pada rantai awal protein liraglutide. Yang menarik adalah liraglutide memiliki kemiripan 95% dengan GLP-1, namun memiliki karakteristik penambatan yang berbeda dengan GLP-1. Penggantian residu K28 dengan arginina, penambahan residu glisina pada akhir rantai serta asam lemak C-16 pada residu K16 berpengaruh besar terhadap proses penambatan dan interaksinya dengan protein GLP-1R. Perbandingan posisi binding site pada ketiga protein tersebut menunjukkan hasil yang menarik. Binding site protein GLP-1 berada di tengah rantai, analog GLP-1 yang mendapatkan rantai tambahan yaitu exenatide memiliki binding site di ujung rantai, sedangkan analog GLP-1 yang menggandeng asam lemak C-16 yaitu liraglutide memiliki binding site di awal rantai. Temuan lain yang menarik adalah residu F22 berperan penting dalam binding site di ketiga protein tersebut. Hal ini penting karena salah satu residu yang juga berperan penting dalam binding site GLP-1R adalah fenilalanina, selain itu triptofan dan tirosina. Gambar 4.9 berikut menunjukkan kemiripan morfologi antara ketiga residu ini. Ketiganya memiliki struktur yang memanjang sehingga memudahkan molekul protein ini terinduksi dari non-polar menjadi polar dibandingkan dengan protein yang berbentuk bola atau persegi. Sifat ini sangat diperlukan dalam membangun interaksi Van der Waals dengan molekul lain. Residu lain yang menjadi pemeran utama penambatan pada molekul exenatide, S39, bersifat polar sehingga struktur morfologi tidak berpengaruh terhadap kemampuannya berinteraksi dengan molekul lain. a) b) c)
Gambar 4.9 Kemiripan morfologi antara residu yang berperan penting dalam proses penambatan, a) fenilalanina, b) tirosina, dan c) triptofan
24 Analisis simulasi dinamika molekul Formasi penambatan yang telah terpilih dari masing-masing pasangan kemudian disimulasikan pada suhu tubuh yaitu 310K selama 20 ns untuk melihat kestabilan interaksi antara kedua molekul protein. Analisis simulasi dinamika molekul yang pertama dilakukan adalah melihat dinamika RMSD selama trajectory 20 ns. Apabila ditemukan perubahan RMSD lebih dari 3Å maka diasumsikan telah terjadi perubahan konformasi molekul, dalam hal ini terjadi perubahan konformasi penambatan. Dinamika RMSD ketiga pasangan interaksi selama trajectory menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan (Gambar 4.10). RMSD formasi penambatan molekul GLP-1 dan GLP-1R ditunjukkan oleh grafik WR1. Selama trajectory 20 ns, terjadi fluktuasi RMSD yang tidak terlalu signifikan dan tidak lebih dari 3Å, sehingga disimpulkan tidak terjadi perubahan formasi penambatan pada interaksi GLP-1 dengan GLP-1R. RMSD formasi penambatan exenatide dengan GLP-1R ditunjukkan oleh grafik ER1. Pada grafik tersebut, terlihat adanya peningkatan yang cukup signifikan pada RMSD sebesar lebih dari 10Å pada frame ke 5000 atau setelah 10 ns, kemudian turun lagi dan terjadi lagi peningkatan RMSD sehingga mencapai lebih dari 20Å setelah 11 ns. Peningkatan RMSD yang cukup siginifikan juga terlihat pada pasangan interaksi liraglutide dengan GLP-1R yang ditunjukkan oleh grafik LR1. Setelah kurang lebih 15 ns, RMSD mengalami peningkatan sehingga mencapai nilai lebih besar dari 15Å dan terus mengalami fluktuasi sampai menjelas 18 ns. Berdasarkan analisis terhadap dinamika RMSD ini dapat disimpulkan telah terjadi perubahan formasi penambatan pada pasangan exenatide dan GLP-1R serta pasangan liraglutide dan GLP-1R. 25 WR1 20
ER1
RMSD (Å)
LR1 15 10 5 0 0
2000
4000
6000
8000
10000
waktu ( x 1/500 ns)
Gambar 4.10
Dinamika RMSD ketiga formasi penambatan selama trajectory 20 ns
Untuk memperkuat kesimpulan di atas, maka dilihat visualisasi masingmasing formasi penambatan dengan menggunakan VMD. Formasi penambatan WR1 antara GLP-1 dengan GLP-1R dapat dilihat pada Gambar 4.2. Dinamika
25 interaksi antara ligan dalam hal ini GLP1 dan reseptornya (GLP-1R) selama trajectory cukup stabil (Gambar 4.11). Terlihat ikatan antara molekul protein GLP1 dan protein GLP-1R stabil. Tidak ada pergerakan residu yang cukup signifikan dan merubah formasi penambatan. Pergerakan kecil terlihat dilakukan oleh residu Q17 dan E21, setelah 8 ns kedua residu tersebut menjauh dari pasangannya yaitu F80 dan L111. Pada 12 ns, kedua residu tersebut kembali ke posisi awal. Secara umum dapat dikatakan interaksi antara GLP-1 dan GLP-1R stabil dalam kurun waktu 20ns pada suhu 310K. Analisis terhadap radius antar residu pada masingmasing pasangan interaksi selama trajectory mendukung kesimpulan ini (Gambar 4.12).
2 ns
12 ns
4 ns
14 ns
6 ns
16 ns
8 ns
18 ns
10 ns
20 ns
Gambar 4.11 Dinamika interaksi molekul protein GLP-1 dengan GLP-1R pada suhu 310K
26 a) L14-Y101
14
Q17-F80 12
Q17-W120 A18-F80
jarak (Å)
10 8 6 4 2
0 0
2000
4000
6000
8000
10000
8000
10000
waktu ( x 1/500 ns)
b) A18-F103
14
E21-L111
12
F22-F103
jarak (Å)
10
R30-L111
8 6 4 2 0 0
2000
4000
6000
waktu ( x 1/500 ns)
Gambar 4.12 Dinamika radius pasangan residu aktif antara GLP-1 dengan GLP-1R selama trajectory 20 ns Dari grafik pada Gambar 4.12 di atas terlihat bahwa pada pasangan residu Q17-W120 terjadi fluktuasi jarak antar residu yang cukup signifikan. Fluktuasi nyata juga terlihat pada pasangan residu R30-L111, E21-L111 dan pada A18-F103. Radius pasangan R30-L111 dan E21-L111 meningkat cukup signifikan namun masih dalam jarak interaksi dan kembali ke radius semula. Cut off jarak interaksi atau contact distance antara asam amino yang memungkinkan terjadinya interaksi elektrostatik dan Van der Waals adalah 12 Å (Humphrey et al, 1996) Sedangkan radius pasangan A18-F103 mengalami peningkatan yang cukup besar di akhir trajectory. Radius pasangan A18-F80 juga berfluktuasi namun selalu kembali ke nilai semula sehingga secara akumulatif tidak terdapat perubahan yang cukup signifikan. Untuk memudahkan analisis radius antara pasangan residu aktif pada interaksi GLP-1 dengan GLP-1R, disusun ringkasan statistik jarak antara residu dari ke-8 pasangan yang meliputi radius terpendek, terjauh dan rata-rata serta standar deviasi ( Tabel 4.4).
27 Tabel 4.4 Ringkasan statistik jarak antara residu aktif pada interaksi molekul protein GLP-1 dengan molekul GLP-1R selama 20 ns Pasangan residu L14 - Y101 Q17 - F80 Q17 - W120 A18 - F80 A18 - F103 E21 - L111 F22 - F103 R30 - L111
Radius minimal (Å) 1.7767 1.8005 2.9886 1.8869 1.8192 2.4575 3.1285 1.8380
Radius maksimal (Å) 7.8102 6.1097 15.3785 6.4201 9.8336 13.1021 9.4082 13.2126
Rata-rata radius (Å) 3.3281 2.9568 8.9118 3.4880 3.9014 7.0478 5.4419 6.9532
Standar Deviasi 0.8144 0.7783 2.2043 0.8366 1.3607 1.4484 0.8861 1.9069
Berdasarkan hasil ringkasan statistik di atas, dapat dikatakan pasangan residu L14-Y101, Q17-F80, A18-F80, dan F22-F103 relatif lebih stabil dibandingkan keempat pasangan lainnya. Nilai standar deviasi dari fluktuasi radius antar residu dari keempat pasangan ini selama trajectory kurang dari 1 Å. Standar deviasi terendah pada pasangan residu Q17-F80 menunjukkan bahwa pasangan residu ini relatif lebih stabil dibandingkan yang lain selama trajectory. Residu F80 dari protein GLP-1R adalah residu yang paling aktif dan berperan utama dalam interaksi antar protein GLP-1R dengan ligand-nya baik GLP-1 maupun exenatide dan liraglutide. Meskipun demikian belum dapat dikatakan bahwa interaksi antara Q17-F80 adalah yang paling kuat di antara pasangan yang lain. Residu Q17 bersifat polar berpasangan dengan F80 yang bersifat non-polar hydrophobic. Interaksi Van der Waals antara dua residu ini dapat dilihat pada pembahasan berikutnya. Keempat pasangan residu yang lain: Q17-W120, A18-F103, Q21-L111, dan R30-L111 memiliki nilai standar deviasi lebih besar dari 1 Å, dimana fluktuasi radius antara residu lebih dari 1 Å. Meskipun demikian fluktuasi radius antar residu dari keempat pasangan ini tidak dapat dikatakan telah merubah formasi penambatan karena masing dibawah 2,5 Å. Sehingga secara keseluruhan interaksi antara molekul protein GLP-1 dengan molekul protein GLP-1R memiliki kestabilan yang cukup tinggi. Analisis lebih lanjut terhadap interaksi Van der Waals dan interaksi elektrostatik akan memberikan gambaran lebih jelas mengenai kesabilan interaksi dua protein ini. Formasi penambatan antara molekul exenatide dengan GLP-1R memiliki rata-rata pasangan 5,9 adalah yang paling sedikit dibandingkan GLP-1 yaitu 7,3 pasangan dan liraglutide 9,1 pasangan. Sampai saat ini belum ditemukan penelitian yang menghubungkan jumlah pasangan interaksi dengan kestabilan interaksi, demikian juga hubungan antara jarak residu dengan kestabilan interaksi belum terdefinisikan. Pengamatan pada jarak antar residu ditujukan untuk melihat dinamika interaksi antara molekul satu dengan molekul yang lain, bukan menggambarkan kestabilan interaksi. Namun berdasarkan analisis RMSD telah terjadi perubahan formasi penambatan, maka perlu dilakukan analisis visual terhadap masing-masing pasangan. Analisis visual mendukung kesimpulan terjadinya perubahan formasi dimana pada beberapa frame, terlihat molekul exenatide terlepas dari GLP-1R (Gambar 4.13).
28 2 ns
12 ns
4 ns
14 ns
6 ns
16 ns
8 ns
18 ns
10 ns
20 ns
Gambar 4.13 Dinamika interaksi molekul protein exenatide dengan GLP1R pada suhu 310K Interaksi antara exenatide dengan GLP-1R terlihat cukup stabil sampai 8 ns pertama, kemudian pada 10 ns molekul exenatide mulai melepaskan diri dari molekul GLP-1R dan pada 12 ns kedua molekul ini benar-benar terpisah satu sama lain. Pada 14 ns formasi penambatan kembali seperti titik awal dan terus terjaga kestabilannya sampai pada 18 ns. Formasi pada 20 ns kurang lebih sama dengan formasi pada 8 ns. Dari tampilan pada Gambar 4.13 tidak dapat diidentifikasi pasangan residu mana yang pertama kali memisahkan diri. Analisis jarak terhadap setiap pasangan residu selama trajectory menunjukkan hasil yang sama, namun dapat diidentifikasi pasangan yang pertama kali melepaskan diri (Gambar 4.14).
29 a) 60
V19-D122 F22-F80
50
F22-W120
jarak (Å)
40
W25-F80
30 20 10 0 0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
10000
waktu ( x 1/500 ns)
b) 60 S39-W120
S39-K113
50
P37-L111
jarak (Å)
40
P37-F103
30 20 10 0 0
2000
4000
6000
8000
10000
waktu ( x 1/500 ns)
Gambar 4.14 Dinamika radius pasangan residu aktif antara exenatide dengan GLP-1R selama trajectory 20 ns Dari grafik di atas terlihat molekul exenatide beberapa kali melepaskan diri dari molekul GLP-1R dan yang terlama terjadi pada sekitar frame 5400 – frame 6100 atau antara 10 ns sampai 12 ns. Pada rentang waktu tersebut molekul exenatide melepaskan diri dalam waktu yang relatif lama. Sebelum 10 ns dan sesudah 12 ns juga terlihat molekul melepaskan diri namun kembali ke formasi semula dengan cepat. Di luar posisi terlepas dari molekul GLP-1R, yaitu pada saat masih terjadi interaksi antara molekul exenatide dan GLP-1R terlihat bahwa pada saat melepaskan diri, terlihat bahwa pasangan S39-K113 dan juga pasangan S39W120 mengalami fluktuasi yang cukup nyata, demikian juga dengan pasangan P37F103 terlihat mengalami peningkatan radius yang cukup nyata. Sementara pasangan F22-W120 dan V19-D122 terlihat cukup stabil dan tidak mengalami fluktuasi yang berarti. Untuk menganalisis dinamika interaksi antara 8 pasangan residu aktif ini dapat dilakukan dengan melihat ringkasan statistik jarak antara
30 residu aktif selama trajectory 10 ns. Data yang akan digunakan adalah data sebelum kedua molekul terpisah, karena pada saat keduanya terpisah tidak ada interaksi antar pasangan residu. Ringkasan statistik jarak antar residu sebelum kedua molekul melepaskan diri menunjukkan dinamika jarak antara residu selama trajectory (Tabel 4.5). Hasil ringkasan statisik mengkonfirmasi hasil pengamatan grafik dinamika interaksi pasangan residu aktif pada penambatan antara exenatide dengan GLP-1R. Pasangan F22-W120 dan pasangan V19-D122 terlihat cukup stabil dalam grafik dan ternyata memiliki standar deviasi yang cukup rendah dibanding pasangan lainnya. Pasangan F22-F80, P37-L111 dan pasangan W25F80 meskipun tidak sestabil dua pasangan pertama, namun memiliki kestabilan interaksi lebih tinggi daripada empat pasangan yang lain. Seperti dugaan sebelumnya interaksi residu S39-K113 paling dinamis dibandingkan pasangan yang lain dan memiliki simpangan baku 2,693043 Å, mengingat jarak terjauh antara dua residu ini adalah 14,16344 Å berada di luar jangkauan contact distance sehingga perlu analisis energi interaksi lebih lanjut untuk melihat interaksi antara keduanya. Penyebab dinamika yang begitu tinggi pada pasangan ini akan dianalisis pada pembahasan berikutnya. Kedua pasangan yang lain: F37-F103 dan S39-W120, juga dapat dikategorikan dinamis. Radius terjauh residu S39 dengan W120 sebesar 18.94429 Å sudah melampau jangkauan contact distance sehingga tidak terjadi interaksi pada jarak ini. Kekurang-stabilan pasangan S39 dan W120 diduga menjadi penyebab lepasnya molekul exenatide dari GLP-1R. Dari grafik pada Gambar 4.14, pasangan residu P37-P103 dan P37-L111 menunjukkan peningkatan jarak antar residu menjelas lepasnya molekul exenatide, namun keduanya masih berada pada jangkauan contact distance sehingga masih ada interaksi antara keduanya meskipun sangat kecil. Tabel 4.5 Ringkasan statistik jarak antara residu aktif pada interaksi molekul protein exenatide dengan molekul GLP-1R selama 10 ns Pasangan residu Radius Radius Rata-rata Standar minimal (Å) maksimal (Å) radius (Å) Deviasi V19 – D122 2.207721 7.947393 4.416323 0.930514 F22 – F80 2.008857 10.34302 5.542927 1.421246 F22 – W120 2.628783 6.230569 3.841621 0.495797 W25 – F80 2.044419 11.55677 6.586622 1.677495 P37 – F103 2.966115 14.54732 7.913531 2.157015 P37 – L111 1.965412 10.41887 4.942605 1.525911 S39 – K113 1.440553 14.16344 5.530912 2.693043 S39 – W120 3.514582 18.94429 12.48815 2.114794 Formasi penambatan antara liraglutide dan GLP-1R memiliki rata-rata jumlah pasangan aktif yang paling banyak dibandingkan GLP-1 dan exenatide, yaitu 9,1 jumlah pasangan aktif, namun formasi penambatan LR1 yang terpilih memiliki 6 pasangan residu yang berinteraksi. Seperti halnya pasangan exenatide dan GLP1R, RMSD pasangan liraglutide dan GLP-1R mengalami fluktuasi yang cukup signifikan sehingga diduga terjadi perubahan konformasi penambatan. Visualisasi dengan VMD yang dilakukan selama trajectory mendukung hasil analisa RMSD, dimana terlihat adanya perubahan konformasi yaitu terpisahnya molekul liraglutide dari GLP-1R(Gambar 4.15)
31 2 ns
12 ns
4 ns
14 ns
6 ns
16 ns
8 ns
18 ns
10 ns
20 ns
Gambar 4.15 Dinamika interaksi molekul protein liraglutide dengan GLP-1R pada suhu 310K Hasil simulasi dinamika molekul interaksi anatra liraglutide dengan GLP-1R menunjukkan hasil yang menarik. Kedua molekul terlihat stabil sampai 14 ns dimana mulai terlihat adanya perubahan formasi. Setelah 16 ns, molekul liraglutide melepaskan diri dari molekul GLP-1R namun kembali lagi ke formasi awal pada 18 ns. Namun formasi ini tidak bertahan lama karena pada 20 ns, molekul liraglutide kembali melepaskan diri dari molekul GLP-1R. Analisis lebih lanjut terhadap dinamika jarak masing-masing pasangan interaksi dapat secara jelas menggambarkan dinamika interaksi antara pasangan residu aktif pada hasil penambatan liraglutide dengan GLP-1R dan juga mengidentifikasi pasangan residu yang paling bertanggung jawab atas terlepasnya molekul liraglutide dari molekul GLP-1R (Gambar 4.16).
32 a) 70 F12-T105 60
D15-F103
jarak (Å)
50
Y19-F80
40 30 20 10 0 0
2000
4000
6000
8000
10000
8000
10000
waktu ( x 1/500 ns)
b)
jarak (Å)
70 60
A25-Y101
50
K26-Y101 F28-H99
40 30 20 10 0 0
2000
4000
6000
waktu ( x 1/500 ns)
Gambar 4.16 Dinamika radius pasangan residu aktif antara liraglutide dengan GLP-1R selama trajectory 20 ns Grafik dinamika radius pasangan residu aktif antara liraglutide dan GLP-1R menunjukkan hal yang menarik. Setelah kurang lebih 15 ns, molekul liraglutide terlihat terlepas dari molekul GLP-1R berkali-kali sampai kemudian kembali ke formasi semula dalam kondisi stabil sampai pada 19 ns molekul liraglutide kembali terlepas berkali-kali pada jarak yang lebih jauh lagi sampai akhir simulasi 20 ns. Dari grafik di atas terlihat pasangan residu F12-T105 paling dinamis dan jarak antara kedua residu yang berinteraksi ini mengalami fluktuasi yang nyata. Demikian juga dengan pasangan K26-Y101 dan pasangan D15-F103, meskipun fluktuasinya tidak sebesar pasangan pertama. Sedangkan pasangan yang lain menunjukkan kestabilan interaksi antar residu sampai kemudian molekul liraglutide terlepas pada kurang lebih 15 ns. Pasangan Y19-F80 menunjukkan
33 kestabilan yang paling tinggi di antara yang lain. Ringkasan statistik jarak antar residu dapat menggambarkan stabilitas interaksi masing-masing pasangan (Tabel 4.6). Hasil ringkasan statistik mendukung hasil analisis grafik dinamika interaksi bahwa pasangan residu Y19-F80 merupakan pasangan yang paling stabil dibandingkan yang lain jika dilihat dari dinamika jarak antara pasangan residu. Pasangan residu D15-F103, A25-Y101, K26-Y101, dan F28-H99 masih dapat dikategorikan sebagai interaksi yang stabil mengingat standar deviasi tidak lebih dari 2,5 Å. Pasangan residu yang dinamis dan diduga paling tidak stabil adalah F12-T105 dengan standar deviasi 4,883015, dapat dikatakan interaksinya sangat lemah. Bahkan pada radius tertentu tidak ada interaksi sama sekali. Pada jarak maksimal 22.13205 Å tidak ada interaksi antara residu F12 dan T105. Analisis interaksi Van der Waals akan memperjelas status kestabilan interaksi dua residu ini. Dari hasil ini, dimungkinkan pasangan residu F12-T105 yang bertanggungjawab atas lepasnya molekul liraglutide dari protein GLP-1R. Tabel 4.6 Ringkasan statistik jarak antara residu aktif pada interaksi molekul protein liraglutide dengan molekul GLP-1R selama 15 ns Pasangan residu Radius Radius Rata-rata Standar minimal (Å) maksimal (Å) radius (Å) Deviasi F12 – T105 1.912823 22.13205 11.63442 4.883015 D15 – F103 1.827204 11.53595 6.099025 1.868483 Y19 – F80 1.773925 7.760937 3.649981 0.982203 A25 – Y101 1.861600 11.62363 6.550578 1.909820 K26 – Y101 2.097609 18.12833 12.24291 1.817543 F28 – H99 2.100389 14.04323 7.816903 1.422948 Perbandingan ketiga hasil simulasi dinamika molekul antara GLP-1, exenatide dan liraglutide menunjukkan bahwa pasangan GLP-1 dan GLP-1R menunjukkan kestabilan interaksi yang relatif tinggi dibandingkan 2 pasangan lainnya apabila dilihat dari simulasi dinamika molekul. Namun hal ini belum mencerminkan kekuatan interaksi GLP1 dengan GLP-1R. Seluruh pasangan residu aktif pada formasi penambatan GLP-1 dengan GLP-1R dapat dikategorikan memiliki kestabilan interaksi yang cukup tinggi. Pada suhu 310K, formasi penambatan exenatide dan GLP-1R menunjukkan kekurangstabilan dan melepaskan diri pada 10 ns. Formasi penambatan exenatide dengan GLP-1R memiliki satu pasangan residu yang kurang stabil yaitu S39-W120, di samping itu pasangan P37-F103 dan pasangan P37-L111 perlu dianalisis lebih lanjut karena juga diduga bertanggungjawab atas lepasnya kedua molekul. Sedangkan formasi penambatan liraglutide dan GLP-1R cukup stabil dan mengalami perubahan formasi pada 16 ns. Formasi penambatan liraglutide dengan GLP-1R memiliki satu pasangan residu yang dinamis, yaitu F12-T105 yang diduga bertanggungjawab atas lepasnya molekul liraglutide dari GLP-1R. Namun untuk memastikan kestabilan interaksi perlu dilakukan analisis lebih lanjut terhadap energi interaksi non-ikatan dalam hal ini energi interaksi Van der Waals dan energi interaksi elektrostatik dari masing-masing pasangan interaksi.
34 Analisis energi interaksi non-ikatan Analisis energi interaksi diperlukan untuk melihat kestabilan interaksi dari masing-masing pasangan residu. Mengingat interaksi yang akan dilihat antara dua molekul yang berbeda, maka dilakukan analisis terhadap energi interaksi non-bond (bukan ikatan) yaitu interaksi elektrostatik dan interaksi Van der Waals. Energi elektrostatik adalah interaksi antara dua partikel bermuatan baik yang bersifat permanen seperti ion-ion, polar atau yang terpolarisasi karena induksi. Sedangkan interaksi Van der Waals adalah interaksi antar elektron yang pada awan elektron. Interaksi antara partikel bermuatan sama akan bernilai positif, artinya terdapat gaya tolak menolak antara kedua partikel, semakin kecil jarak antar partikel semakin besar gaya tolaknya, sehingga semakin tidak stabil interaksi antar dua partikel ini. Interaksi antara partikel berbeda muatan akan bernilai negatif, artinya terdapat gaya tarik menarik antara dua partikel. Nilai negatif juga dapat diartikan bahwa energi dilepaskan dari sistem karena terbentuknya ikatan. Semakin besar nilai negatifnya, akan semakin stabil interaksi antar dua partikel. Berdasarkan pembahasan sebelumnya diketahui bahwa interaksi keseluruhan pasangan residu aktif pada formasi penambatan GLP-1 dengan GLP-1R bersifat stabil, namun ditemukan satu pasangan residu yang relatif kurang stabil dibandingkan yang lainnya yaitu pasangan residu Q17-W120. Ringkasan statisik energi interaksi elektrostatik dan Van der Waals antara kedelapan pasangan residu pada formasi penambatan GLP-1 dengan GLP-1R dapat dilihat pada Tabel 4.7, sedangkan energi interaksi non-ikatan total dapat dilihat pada Gambar 4.16. Tabel 4.7 Ringkasan statistik energi interaksi elekstrostatik dan Van der Waals antara pasangan residu aktif pada formasi penambatan GLP-1 dengan GLP-1R Pasangan Interaksi Elektrostatik residu min max rataan L14 – Y101 -0.842 1.101 0.067 Q17 – F80 -2.740 2.145 0.526 Q17 – W120 -0.910 1.867 0.089 A18 – F80 -0.361 1.022 0.281 A18 – F103 -0.507 0.572 0.092 E21 – L111 -5.470 -0.069 -1.707 F22 – F103 -0.166 0.425 0.141 R30 – L111 -1.433 5.726 1.132 Catatan: energi dalam kcal/mol
Interaksi Van der Waals min max rataan
Interaksi non-ikatan total min Max rataan
-2.766 -3.166 -1.355 -1.906 -1.624 -1.616 -0.763 -2.877
-3.099 -5.753 -1.435 -1.962 -2.086 -6.702 -0.574 -2.692
4.317 2.084 0.000 2.457 1.570 -0.004 -0.007 1.833
-1.291 -1.171 -0.065 -1.125 -0.869 -0.196 -0.145 -0.329
4.497 3.139 0.560 2.410 1.772 -0.074 0.263 5.904
-1.225 -0.645 0.024 -0.844 -0.776 -1.903 -0.004 0.803
Hasil analisis energi interaksi non-ikatan untuk pasangan residu L14 dengan Y101 pada formasi penambatan molekul GLP-1 dengan GLP-1R seperti terlihat pada tabel di atas menunjukkan bahwa energi interaksi Van der Waals antara L14Y101sebagian besar bernilai negatif selama trajectory 20 ns, meskipun energi interaksi elektrostatik bernilai positif namun nilainya sangat kecil sehingga energi interaksi keseluruhan bernilai negatif (Gambar 4.17a). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat gaya tarik menarik antara kedua residu. Hasil ini mendukung pembahasan sebelumnya bahwa interaksi pasangan residu L14-Y101 bersifat stabil. Hal serupa juga dapat ditemukan pada pasangan residu aktif Q17-F80, A18-F80, A18-F103, E21-L111dan F22-F103. Secara keseluruhan energi interaksi non-ikatan antara residu A18 dengan F80 bernilai negatif dengan nilai rata-rata -0,84 kcal/mol. Energi interaksi non-ikatan ini mampu menstabilkan interaksi antara kedua residu
35 selama trajectory 20 ns pada suhu 310K. Pasangan residu berikutnya antara A18 dengan F103 memiliki dinamika interaksi yang kurang lebih sama dengan pasangan residu A18 dengan F80, karena keduanya merupakan pasangan residu alanine dan phenilalanine. Energi interaksi Van der Waals antara A18 dengan F103 berada pada kisaran -0,15 kcal/mol sampai -1,25 kcal/mol. Energi interaksi elektrostatik antara kedua residu ini berfluktuasi pada daerah negatif dan positif dengan nilai teringgi 0,29 kcal/mol. Secara kesuruhan total energi interaksi non-ikatan antara residu A18 dengan F103 berada di daerah negatif, yang artinya ada gaya tarik menarik antara dua residu tersebut dengan nilai rata-rata -0,78 kcal/mol. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan rata-rata energi interaksi non-ikatan antara A18 dengan F80 yaitu sebesar -0,84 kcal/mol. Secara umum kedua pasangan residu ini dikategorikan memiliki interaksi yang stabil. a)
energi interaksi total (kcal/mol)
0.5 0 0
2000
4000
6000
8000
10000
-0.5 -1 -1.5 L14-Y101 -2
Q17-F80 Q17-W120
-2.5
A18-F80
waktu (x 1/500 ns)
-3
b) energi interaksi total (kcal/mol)
4 3 2 1 0 -1 0
2000
4000
6000
8000
10000
-2 -3 -4
A18-F103
-5
E21-L111
-6
F22-F103
waktu ( x 1/500 ns)
R30-L111
Gambar 4.17 Energi interaksi non-ikatan antara pasangan residu aktif pada formasi penambatan GLP-1 dengan GLP-1R selama trajectory 20 ns
36 Temuan menarik terlihat pada interaksi antara F22-F103, kurva energi interaksi non-ikatan total hampir berimpit dengan sumbu y=0 (Gambar 4.17b), yang artinya interaksi antara F22 dengan F103 sangat lemah dengan nilai rata-rata mendekati 0 yaitu -0,004 kcal/mol. Gaya tolak menolak elektrostatik yang bekerja pada pasangan ini memiliki kekuatan yang sama dengan gaya tarik-menarik Van der Waals. Energi interaksi non-ikatan antara residu F22 dengan F103 berupa gaya tarik-menarik yang sangat lemah, sehingga dengan sedikit energi, kestabilan interkasi F22 dengan F103 akan terganggu. Dengan demikian dapat dikatakan kestabilan pasangan F22-F103 relatif rendah dibandingkan yang lain. Ditemukannya energi interaksi elektrostatik bernilai positif dan energi interaksi Van der Waals pada satu pasangan interaksi dimungkinkan terjadi. Interaksi ini terjadi antara residu yang sama yaitu fenilalanin. Residu fenilalanin adalah residu non polar yang apabila terpolarisasi akan bermuatan sama, sehingga terjadi gaya elektrostatik tolak menolak, namun karena awan elektron selalu bergerak dengan cepat maka dimungkinkan terjadi perubahan muatan dengan cepat yang menyebakan terjadinya gaya tarik menarik, sehingga terdapat energi interaksi Van der Waals yang bernilai negatif. Pasangan yang memiliki kestabilan interaksi rendah berdasarkan pada grafik di atas adalah pasangan Q17-W120. Energi interaksi non-ikatan total berada pada daerah positif yang artinya terdapat gaya tolak-menolak yang mengurangi kestabilan interaksi kedua residu ini. Pasangan residu yang juga memiliki kestabilan rendah adalah R30-L111. Kurva energi interaksi non-ikatan pasangan residu ini juga berada di daerah positif. Yang menarik, kurva energi interaksi nonikatan R30-L111 merupakan simetri cermin dari kurva E21-L111. Ketika ketidakstabilan interaksi R30-L111 meningkat yang ditandai dengan meningkatnya energi interaksi, kestabilan interaksi E21-L111 juga meningkat yang ditandai dengan menurunnya tingkat energi interaksi. E21 adalah asam amino yang bermuatan negatif, sehingga ketika berinteraksi dengan L111 yang terpolarisasi bermuatan positif timbul gaya tarik-menarik elektrostatik yang kuat, sebaliknya ketika L111 yang terpolarisasi bermuatan positif berinteraksi dengan R30 yang merupakan asam amino bermuatan positif, terjadi gaya tolak-menolak elektrostatik yang cukup besar yang menyebabkan pasangan R30-L111 tidak stabil. Sebaliknya pasangan E21-L111 menjadi pasangan yang paling stabil. Pada pembahasan sebelumnya formasi penambatan molekul exenatide dengan GLP-1R mengalami dinamika yang sangat menarik, molekul exenatide terlepas dari molekul GLP-1R. Pasangan residu yang bertanggungjawab atas lepasnya interaksi dua molekul ini dapat diketahui dari hasil analisis energi interaksi non-ikatan berikut. Pasangan residu yang paling tidak stabil dapat terlepas dari pasangannya dan selanjutnya memicu lepasnya semua pasangan residu aktif. Ringkasan statistik energi-energi interaksi non-ikatan yang bekerja pada pasanganpasangan residu aktif pada formasi penambatan exenatide dan GLP-1R menunjukkan dinamika interaksi antar pasangan residu (Tabel 4.8). Secara kesuruhan rata-rata energi interaksi total bernilai negatif yang artinya secara keseluruhan terjadi gaya tarik menarik antara residu pada dua molekul yang berbeda. Energi interaksi S39-K113 terlihat memiliki nilai yang relatif jauh lebih besar dibandingkan pasangan yang lain dengan nilai rata-rata -64,137 kcal/mol. Hal ini menunjukkan interaksi S39-K113 jauh lebih kuat dibandingkan pasangan interaksi yang lain.
37 Tabel 4.8 Ringkasan statitistik energi interaksi elekstrostatik dan Van der Waals antara pasangan residu aktif pada formasi penambatan exenatide dengan GLP-1R Pasangan Interaksi Elektrostatik residu Min max rataan V19-D122 -6.635 2.379 -2.575 F22-F80 -1.096 3.302 1.557 F22-W120 -0.759 0.458 -0.018 W25-F80 -0.313 0.384 -0.015 P37-L111 -0.597 0.959 0.270 P37-F103 -0.380 0.578 0.069 S39-K113 -126.96 1.736 -64.800 S39-W120 -5.191 0.242 -0.735 Catatan: energi dalam kcal/mol
Interaksi Van der Waals min max rataan -2.201 -6.026 -2.121 -1.534 -1.777 -1.974 -2.941 -0.566
4.174 0.304 4.977 2.280 3.245 1.379 9.855 0
Interaksi non-ikatan total min max rataan
-1.274 -8.413 -2.924 -5.123 -0.779 -2.609 -0.166 -1.689 -0.399 -2.073 -0.282 -2.252 0.6625 -118.81 -0.011 -5.499
2.376 -3.849 2.675 -1.367 4.641 -0.798 2.405 -0.181 3.784 -0.129 1.494 -0.213 1.662 -64.137 0.182 -0.746
Setelah frame 5000 atau 10 ns, energi interaksi non-ikatan keseluruhan pasangan bernilai 0 yang menunjukkan tidak adanya interaksi antar residu di masing-masing pasangan. Hal ini terjadi pada saat molekul exenatide terlepas dari molekul GLP-1R, dimana jarak antara residu sudah melebihi contact distance sehingga tidak terjadi interaksi baik tarik menarik maupun tolak menolak. Pada pembahasan sebelum diungkapkan tentang pasangan residu S39-W120 yang selama simulasi dinamika molekul, jarak kedua residu ini melampaui contact distance-nya sehingga tidak ada interaksi sama sekali atau energi interaksi nonikatannya sama dengan 0 kcal/mol. Pada kurva S39-W120 terlihat bahwa pada sekitar frame 2500 atau 5 ns, energi interaksi non-ikatan pasangan ini mendekati bahkan bernilai 0 sehingga dapat dikatakan bahwa pada 5 ns residu S39 terlepas dari pasangannya (Gambar 4.18b). Ketidakstabilan pasangan S39-W120 diduga menjadi penyebab lepasnya molekul exenatide dengan GLP-1R. Pasangan residu P37-F103 dan P37-L11 memiliki persamaan yaitu sebagian grafik berada pada wilayah positif terutama setelah molekul exenatide terlepas, yang artinya terdapat gaya tolak menolak antara residu di molekul exenatide dengan residu pasangannya di molekul GLP-1R yang menyebabkan residu bersifat tidak stabil. Dugaan lain penyebab lepasnya molekul exenatide adalah tidak stabilnya pasangan residu proline. Pasangan P37-F103 memiliki energi interaksi rata-rata paling kecil dibandingkan yang lain yaitu sebesar 0,129 kcal/mol. Hasil ini memperkuat dugaan lemahnya interaksi antara residu prolin dengan molekul reseptor. Disamping pasangan S39-K113 yang memilik kekuatan interaksi sangat tinggi, pasangan residu V19-D122 lebih stabil dibandingkan dengan yang lain. Grafik dinamika energi interaksi pasangan V19-D22 konsisten bernilai negatif yang menunjukkan adanya gaya tarik menarik (Gambar 4.18a). Analisis energi non ikatan interaksi S39-K113 disajikan secara terpisah karena ada perbedaan karakteristik dengan pasangan residu yang lain (Gambar 4.19). Energi interaksi Van der Waals pada pasangan residu S39-K113 berfluktuasi di sepanjang sumbu y=0 yang menunjukkan terdapat energi Van der Waals dalam bentuk gaya tarik menarik dan tolak menolak yang sangat lemah. Sedangkan energi interaksi elektrostatik berfluktuasi pada daerah negatif dengan nilai yang cukup besar hingga mencapai lebih dari -100 kcal/mol dengan rata-rata -64 kcal/mol, nilai energi nonikatan yang cukup besar dibandingkan dengan energi ikatan kovalen yang hanya 40 kcal/mol. Serina adalah asam amino polar dengan masa yang relatif besar sehingga apabila terpolarisasi dapat berperan seperti halnya asam amino yang bermuatan.
38 Lisina adalah asam amino yang bermuatan positif. Apabila asam amino polar dan bermuatan berinteraksi maka yang terbentuk adalah interaksi non-ikatan yang memiliki kekuatan menyerupai ikatan ionik. Interaksi S39-K113 menjadi penentu kestabilan interaksi formasi penambatan exenatide dengan GLP-1R. Pada pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa pada formasi penambatan exenatide dan GLP-1R yang terpilih yaitu ER1 juga ditemukan jembatan garam antara E15 dan R121. Jembatan garam ini terbentuk antara asam glutamat (E15) yang bermuatan negatif dengan arginina (R121) yang bermuatan positif. Dinamika energi interaksi antara E15 dan R121 juga menunjukkan nilai negatif yang relatif besar seperti halnya pasangan S39-K113 (Gambar 4.20). Hal ini menunjukkan adanya gaya tarik menarik yang cukup besar antara E15 dan R121. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa keberadaan interaksi S39-K113 dan E15-R121 memperkuat interaksi exenatide dengan GLP-1R a) waktu ( x 1/500 ns) 0
energi interaksi total (kcal/mol)
0
2000
4000
6000
8000
10000
8000
10000
-1
-2 -3 -4 -5
V19-D122 F22-W120
-6
F22-F80 -7
b) waktu ( x 1/500 ns)
energi interaksi total (kcal/mol)
0.5 0 0
2000
4000
6000
-0.5 -1
-1.5 W25-F80 -2 -2.5
P37-F103 P37-L111 S39-W120
-3 -3.5
Gambar 4.18 Energi interaksi non-ikatan antara residu aktif pada formasi penambatan exenatide dengan GLP-1R selama trajectory 20ns
39 20
waktu ( x 1/500 ns) energi interaksi (kcal/mol)
0 0
2000
4000
6000
8000
10000
-20 -40 -60 -80 -100
Elec VdW
-120
Total
Gambar 4.19 Energi interaksi non-ikatan total antara residu S39-K113 pada formasi penambatan exenatide dengan GLP-1R selama trajectory 20 ns
waktu (x 1/500 ns) 0
energi interaksi (kcal/mol)
-10
0
2000
4000
6000
8000
10000
-20 -30 -40 -50 -60 -70
Elec VdW
-80 -90
Gambar 4.20 Energi interaksi jembatan garam antara residu E15-R121 pada formasi penambatan exenatide dengan GLP-1R selama trajectory 20 ns Pada Grafik 4.20 di atas terlihat bahwa energi interaksi yang dimiliki oleh pasangan jembatan garam E15 dengan R121, terutama energi elektrostatik memiliki nilai negatif yang cukup besar bahkan pada 2 ns mencapai lebih dari -80 kcal/mol. Hal ini menunjukkan adanya interaksi tarik menarik yang cukup kuat antara residu E15 dengan residu R121. Meskipun energi interaksi pasangan jembatan garam ini mengalami fluktuasi, namun cukup stabil pada kisaran -20 kcal/mol sampai -30
40 kcal/mol. Kekuatan interaksi jembatan garam E15-R121 masih di bawah kekuatan interaksi S39-K113 namun mendukung afinitas molekul exenatide terhadap GLP1R. Formasi penambatan antara molekul liraglutide dan GLP-1R yang terpilih yaitu LR1, memiliki lebih sedikit pasangan residu aktif dibandingkan formasi penambatan GLP1 dan exenatide dengan GLP-1R. Analisis hasil simulasi dinamika molekul dengan memperhitungkan jarak antar residu selama trajectory menunjukkan bahwa pasangan residu F12-T105 serta K26-Y101 relatif kurang stabil dibandingkan dengan pasangan residu lainnya. Hasil ini perlu diuji dengan analisis energi interaksi non-ikatan. Dinamika energi interaksi non-ikatan antara pasangan-pasangan residu aktif pada formasi penambatan liraglutide dan GLP-1R mendukung dugaan tersebut. Energi interaksi rata-rata pasangan K26-Y101 bernilai positif yaitu 0,158 kcal/mol yang menunjukkan adanya gaya tolak menolak antara kedua residu (Tabel 4.9). Pasangan lain memiliki nilai rata-rata energi interaksi negatif. Hasil analisis jarak antar residu sepanjang trajectory menunjukkan bahwa jarak pasangan residu F12-T105 berfluktuasi dan beberapa kali mencapai jarak melampau contact distance-nya sehingga tidak ada interaksi apapun antara kedua residu ini (Gambar 4.21a). Hasil analisi energi interaksi Van der Waals menunjukkan bahwa setelah sekitar frame 2000 atau 4 ns, energi interaksi melemah bahkan mencapai 0 kcal/mol yang berarti tidak ada interaksi sama sekali. Energi interaksi non-ikatan beberapa kali mencapai angka 0 kcal/mol. Hal ini menunjukkan bahwa F12 sudah terlepas dari T105. Setelah lepasnya pasangan F12-T105, energi interaksi non-ikatan pasangan lain juga menurun dengan dengan drastis yang ditandai dengan meningkatnya energi interaksi nonikatan hingga mendekati nol. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa ketidakstabilan F12-T105 menjadi penyebab lepasnya molekul liraglutide. Tabel 4.9 Ringkasan statitistik energi interaksi elekstrostatik dan Van der Waals antara pasangan residu aktif pada formasi penambatan liraglutide dengan GLP-1R Pasangan Interaksi Elektrostatik residu min max rataan F12-T105 -2.048 0.430 -0.191 D15-F103 -4.027 0.105 -0.837 Y19-F80 -1.525 0.541 -0.081 A25-Y101 -8.552 2.027 0.2709 K26-Y101 -12.804 4.014 0.242 F28-H99 -2.287 2.093 0.129 Catatan: energi dalam kcal/mol
Interaksi Van der Waals min max rataan -2.137 -1.657 -2.152 -2.810 -1.901 -3.911
0.791 1.643 2.949 4.002 0.000 0.963
Interaksi non-ikatan total min max rataan
-0.106 -4.051 -0.178 -5.156 -0.614 -3.348 -0.457 -8.692 -0.084 -14.685 -0.342 -5.355
0.356 0.093 2.629 2.97 3.164 0.845
-0.297 -1.015 -0.696 -0.186 0.158 -0.213
Hasil analisis energi interaksi mengkonfirmasi pembahasan sebelumnya bahwa interaksi pasangan residu F12-T105 dan K26-Y101 bersifat kurang stabil. Pasangan residu K26-Y101 memiliki energi interaksi non-ikatan positif, meskipun nilainya sangat kecil namun adanya gaya tolak menolak antara dua residu ini menyebabkan interaksinya tidak stabil. Sedangkan pasangan yang memiliki kestabilan paling tinggi dari pasangan yang lain adalah D15-F103, meskipun kalau dilihat dari grafik kestabilannya menurun seiring dengan waktu yang ditunjukkan dengan kurva energi interaksi yang semakin meningkat (Gambar 4.21a). Hasil analisis energi interaksi pasangan K26-Y101 menunjukkan bahwa energi interaksi Van der Waals antara dua residu ini berada pada daerah negatif dengan nilai yang
41 mendekati nol. Hal ini menunjukkan adanya gaya tarik menarik yang lemah antara keduanya. Sedangkan energi interaksi elektrostatik berada pada daerah positif dengan nilai yang lebih besar daripada gaya interaksi Van der Waals. Sehingga bisa disimpulkan gaya tolak menolak elektrostatik lebih besar dari gaya tarik menarik Van der Waals, hal ini menyebabkan ketidakstabilan interaksi K26-Y101. Lysin adalah asam amino bermuatan positif, sedangkan tyrosin adalah asam amino polar, dengan kecenderungan tyrosin untuk bermuatan postif maka interaksi dua residu ini akan bersifat tolak menolak. a) 0.5
waktu ( x 1/500ns)
energi interaksi total(kcal/mol)
0 0
2000
4000
6000
8000
10000
-0.5 -1 -1.5 F12-T105
-2
D15-F103 Y19-F80
-2.5 -3 -3.5
b) 2
waktu ( x 1/500 ns)
eneri interaksi total (kcal/mol)
1 0 0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
10000
-1
-2 -3 -4
A25-Y101 K26-Y101 F22-H99
-5 -6 -7
Gambar 4.21 Energi interaksi non-ikatan total pada formasi penambatan liraglutide dengan GLP-1R selama trajectory 20 ns
42 Perbedaan lepasnya molekul liraglutide dari molekul GLP-1R dengan lepasnya molekul exenatide dari GLP-1R adalah molekul liraglutide terlepas dan kembali ke formasi semula dengan sangat cepat sehingga energi interaksi nonikatan total antara kedua residu ini tidak berada pada sumbu y=0, namun berfluktuasi di sepanjang sumbu y=0. Sehingga dapat dikatakan masih ada interaksi antara dua molekul ini meskipun sangat lemah. Berdasarkan pembahasan di atas, maka formasi penambatan yang memiliki afinitas paling tinggi adalah antara exenatide dengan GLP-1R. Penambahan residu 31 sampai 39 berperan besar dalam interaksi kedua molekul ini. Interaksi antara S39-K113 menjadi penentu kestabilan interaksi karena keduanya membentuk interaksi elektrostatik yang bersifat ionik. Tinginya afinitas exenatide dan GLP-1R didukung keberadaan jembatan garam E15-R121. Sedangkan interaksi yang kurang stabil dan diduga menjadi penyebab lepasnya molekul exenatide adalah pasangan S39-W120 dan pasangan residu prolina. Formasi penambatan GLP-1 dengan GLP-1R memiliki kesabilan lebih tinggi dari formasi penambatan liraglutide dengan GLP-1R meskipun tidak setinggi kestabilan exenatide-GLP-1R. Interaksi pasangan E21 dengan L111 menjadi penentu kestabilan interaksi dua molekul ini, Leusina yang terpolarisasi bermuatan positif berinteraksi dengan E21 yang bermuatan positif sehingga terbentuk interaksi yang kuat. Sebaliknya interaksi L111 dengan R30 bersifat tidak stabil karena keduanya bermuatan positif sehingga saling tolak menolak. Kestabilan interaksi liraglutide dengan GLP-1R paling rendah dibandingkan yang lain. Interaksi pasangan D15-F103 menjaga kestabilan interaksi, sedangkan interaksi pasangan F12-T105 melemahkan kestabilan interaksi liraglutide dan GLP-1R. Terlepasnya molekul exenatide dan liraglutide dari molekul GLP-1R perlu diteliti lebih lanjut. Pada pembahasan di atas telah diidentifikasi pasangan residu yang diduga bertanggungjawab atas berubahnya formasi penambatan. Pengujian lebih lanjut dengan melakukan mutasi pada residu yang memiliki interaksi terlemah perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi dugaan di atas. Untuk melengkapi pembahasan mengenai penyebab lepasnya penambatan exenatide dan liraglutide pada GLP-1R, berikut hasil perbandingan pasangan interaksi kedua formasi penambatan di atas dengan pasangan interaksi penambatan GLP-1 yang merupakan hormon alami dalam tubuh dengan GLP-1R. Pada pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa lokasi penambatan atau binding site GLP-1R berada pada residu F80 sampai W120, ketiga pasangan interaksi menunjukkan bahwa keseluruhan residu GLP-1R yang berinteraksi berada pada daerah tersebut. Namun yang menjadi pembeda adalah pada interaksi GLP-1 dengan GLP-1R salah satu permukaan molekul GLP-1 berimpitan dengan permukaan GLP-1R sepanjang molekul seperti terlihat Gambar 4.2. Sehingga bisa dikatakan interaksi antara GLP-1 dengan GLP-1R tidak terbatas pada pasangan yang tercantum pada tabel 4.10, yaitu terdapat 8 pasangan interaksi. Daerah GLP1 yang menambat pada GLP-1R adalah bagian tengah, sehingga rantai awal dan rantai akhir molekul GLP-1 juga berimpitan dengan molekul GLP-1R. Sedangkan pada interaksi exenatide dan liraglutide dengan molekul GLP-1R hanya sebagian molekul yang berinteraksi dengan molekul GLP-1R seperti terlihat pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.6. Pada exenatide, bagian yang menambat pada GLP-1R adalah dari residu ke-15 yaitu E15 sampai S39 (Tabel 4.10), sehingga disimpulkan tidak ada interaksi sama sekali antara rantai awal exenatide dengan GLP-1R. Hal
43 sebaliknya ditemukan pada formasi penambatan liraglutide dengan GLP-1R. Residu terakhir yang menambat pada GLP-1R adalah residu ke-22 yaitu F28, seperti halnya exenatide rantai ujung liraglutide tidak berinteraksi dengan GLP-1R. Tabel 4.10 Perbandingan pasangan interaksi WR1 (GLP-1 dan GLP-1R), ER1 (Exenatide dan GLP-1R) dan LR1 (Liraglutide dan GLP-1R) WR1 ER1 LR1 L14-Y101 V19-D122 F12-T105 Q17-F80 F22-F80 D15-F103 Q17-W120 F22-W120 Y19-F80 A18-F103 W25-F80 A25-Y101 A18-F80 P37-L111 K26-Y101 E21-L111 P37-F103 F28-H99 F22-F103 S39-K113 R30-L111 S39-W120 E15-R121* Catatan: asam amino di sebelah kiri dari masing-masing pasangan berasal dari protein ligand dan asam amino sebelah kanan dari protein GLP-1R, interaksi hidrofobik (tanpa label), interaksi polar (garis bawah), jembatan garam (asteriks)
Di antara asam amino dari molekul GLP-1R yang aktif berinteraksi yaitu F80, Y101 dan W120 ketiganya berinteraksi dengan asam amino dari GLP-1. F80 berinteraksi dengan Q17 dan A18, Y101 berinteraksi dengan L14, sedangkan W120 berinteraksi dengan Q17. Pada formasi penambatan ER1 antara exenatide dengan GLP-1R, hanya dua asam amino aktif dari molekul GLP-1R yang berinteraksi dengan exenatide yaitu F80 dan W120. F80 dari GLP-1R berinteraksi dengan F22 dan W25 dari exenatide, sedangkan W12 berinteraksi dengan W22 dan S39 dari exenatide. Demikian halnya pada formasi penambatan LR1 antara liraglutide dengan GLP-1R, hanya ada dua asam amino aktif dari GLP-1R yang berinteraksi dengan liraglutide yaitu F80 dan Y101. F80 dari GLP-1R berinteraksi dengan Y19 dari liraglutide sedangkan Y101 berinteraksi dengan A25 dan K26 dari liraglutide. Dengan tiga asam amino aktif dari GLP-1R yang berinteraksi dengan GLP-1, interaksi GLP-1 lebih stabil sepanjang trajectory dibandingkan dengan exenatide dan liraglutide yang berinteraksi dengan 2 asam amino aktif dari GLP-1R.
44
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan GLP-1R berikatan dengan agonisnya, yaitu protein hormon GLP-1 dan dua analognya pada satu lokasi binding site, yaitu pada residu F80 sampai residu E125, dan pada beberapa formasi penambatan binding site dapat mencapai E68. Pemeran utama dalam proses penambatan adalah residu F80, Y101 dan W120. Ketiganya memiliki persamaan morfologi, yaitu bentuk struktur molekul yang memanjang sehingga mudah terpolarisasi. Residu yang lain di daerah ini yang juga aktif berinteraksi adalah residu F103, L111, D122 dan E125. Binding site GLP-1 terletak di tengah rantai asam amino protein ligand GLP-1, yaitu pada residu L12 sampai F22. Asam amino yang aktif berinteraksi adalah residu L14, Q17, A18 dan F22. Binding site exenatide berada pada ujung rantai asam amino protein ini, yaitu residu F22 sampai S39. Pemeran utama penambatan dari protein exenatide adalah F22 dan S39 dibantu oleh residu P31 dan P37. Sedangkan liraglutide memiliki binding site di bagian depan rantai asam amino protein ini yaitu pada residu F12 sampai residu F28 yang apabila mengikuti sistem penomoran GLP-1 dan exenatide menjadi residu ke-6 sampai ke-22. Residu yang aktif berinteraksi adalah F12, Y19 dan F28. Residu F28 pada ligand adalah pemain kunci pada interaksi dengan reseptornya yaitu GLP-1R. Simulasi dinamika molekul yang dilakukan pada tiga pasangan docking menunjukkan bahwa pasangan docking GLP-1 dengan GLP-1R cukup stabil yang dibuktikan dengan tidak adanya perubahan formasi selama trajectory 20 ns. Pada pasangan penambatan exenatide dengan GLP-1R, molekul exenatide terlepas setelah 10 ns dan kemudian kembali ke formasi semula pada 12 ns. Sedangkan pasangan penambatan liraglutide dan GLP-1R pada 15 ns pertama, dimana kemudian molekul liraglutide terlepas dan kembali ke formasi semula berkali-kali. Interaksi yang terjadi antara ligand dengan reseptornya adalah interaksi nonikatan antara dua molekul yang berbeda. Pasangan penambatan exenatide dengan GLP-1R memiliki kestabilan interaksi paling tinggi dibandingkan pasangan penambatan yang lain karena adanya interaksi polar non ikatan antara residu S39 yang bersifat polar dengan K113 yang bermuatan positif yang memiliki kekuatan seperti halnya ikatan ionik. Di samping itu adanya jembatan garam E15-R121 memperkuat interaksi exenatide dengan GLP-1R. Interaksi residu S39-W120 dan pasangan residu P37-L111, P37-F103 bersifat paling tidak stabil dan diduga menjadi penyebab lepasnya molekul exenatide. Pasangan penambatan liraglutide dengan GLP-1R memiliki kestabilan interaksi paling rendah, yang disebabkan adanya gaya elektrostatik tolak menolak antara residu K26 dengan Y101 dan lemahnya interaksi antara F12 dengan T105. Interaksi GLP-1 dengan GLP-1R cukup stabil meskipun energi interaksi non-ikatannya tidak sebesar pasangan exenatide dengan GLP-1R. Penentu kestabilan interaksi GLP-1 dengan GLP-1R adalah pasangan residu E21 yang bermuatan negatif dengan L111 yang terpolarisasi menjadi bermuatan positif. Sedangkan interaksi L111 dengan R30 menjadi penyebab berkurangnya kestabilan interaksi karena R30 bermuatan positif sehingga timbul gaya tolak menolak.
45 Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyebab lepasnya molekul exenatide dari molekul GLP-1R mengingat pasangan ini memiliki interaksi yang cukup stabil. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan menambatkan molekul exenatide dengan molekul GLP-1R secara utuh. Pengujian lebih lanjut juga perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi dugaan pasangan F12-T105 bertanggung jawab terhadap terlepasnya molekul liraglutide. Pengujian dapat dilakukan dengan melakukan mutasi terhadap asam amino F12 dan menggantinya dengan residu yang bermuatan polar.
46
DAFTAR PUSTAKA [ADA] American Diabetes Association. 2013. Diagnosis anf Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care.36:567-574. doi:10.2337/dc13-S067. Ahrén, B. 2011. GLP-1 for type 2 diabetes. Experimental Cell Research. vol.317(9):1239-1245. doi:10.1016/j.yexcr.2011.01.010. Ahrén B, Pacini G. 2004. Importance of quantifying insulin secretion in relation to insulin sensitivity to accurately address beta cell function in clinical studies. European Journal of Endrocrinology 150 97-104. ISSN: 0804-4643. Baggio LL, Drucker DJ. 2007. Biology of Incretins: GLP-1 and GIP. Gastroenterology. 132: 2131-2157. doi:10.1053/j.gastro.2007.03.054. Baggio LL, Huang Q, Brown TJ, Drucker DJ. 2004. A Recombinant Human Glucagon-Like Peptide (GLP)-1 – Albumin Protein (Albugon) Mimics Peptidergic Activation of GLP-1 Receptor-Dependent Pathways Coupled with Satiety, Gastrointestinal Motility, and Glucose Hoemostasis. Diabetes 53: 24922500. Briones M, Bajaj M. 2006. Exenatide: a GLP-1 receptor agonist a novel therapy for type 2 diabetes mellitus. Expert Opin.Pharmacother. 7(8):1055-1064. doi:10.1517/14656566.7.8.1055. Chang , Keller D, Bjorn S, Led JJ. 2001. Structure and Foldin gof Glucagon-likein Trifluoroethanol Studied by NMR. peptide-1-(7-36)-amide Magn.Reson.Chem. 39: 477-483. doi:10.2210/pdb1d0r/pdb. Chen Q, Pinon DI, Miller LJ, Dong M. 2009. Molecular Basis of Glucagon-like Peptide-1 Docking to Its Intact Receptor Studied with Carboxyl-terminal Photolabile Probes. J.Biol.Chem. 284:34135-34144. doi:10.1074/jbc.M109.038109. Chen R, Li L, Weng Z. 2003. Zdock: An Initial Stage Protein-Docking Algorithm. Proteins. 52:80-87. Coopman K, Wallis R, Robb G, Brown AJH, Wilkinson GF, Timms D, Willars GB. 2011. Residues within the Transmembrane Domain of the Glucagon-Like Peptide-1 Receptor Involved in Ligand Binding and Receptor Activation: Modelling the Ligand-Bound Receptor. Mol.Endocrinol. 25(10): 1804-1818. doi: 10.12/me.2011-1160. Del Prete GF, Betterle C, Padovan D, Erle G, Toffolo A, Bersahi G. 1977. Incidence and Significance of Islet-cell Autoantibodies in Different Types of Diabetes Mellitus. Institute of Semeiotica Medica. (10)1977: 909-915. Drucker, DJ. 2001. Development of Glucagon-Like Peptide-1-Based Pharmaceutical as Therapeutic Agents for Treatments of Diabetes. Current Pharmaceutical. Current Pharmaceutical Design.7:1399-1412. Drucker DL, Nauck MA. 2006. The incretin system: glucagon-like peptide-1 receptor agonists and dipeptidyl peptidase-4 inhibitors in type 2 diabetes. New Drug Class. 368:1696-1705. doi:10.1016/s0140-6736(06). Edwards K, Irons BK, Xu T. 2006. Cost-effectiveness of intermediate or longacting insulin versus Exenatide in type 2 diabetes mellitus patients not optimally controlled on dual oral diabetes medications. Pharmacy Practice. 4(3).129-133.
47 Hadjiyanni I, Baggio LL, Poussier P, Drucker DJ. 2008. Exendin-4 Modulates Diabetes Onset in Nonobese Diabetic Mice. Endocrinology. 149(3):1338-1249. doi:10.1210/en.2007-1137. Humphrey W, Dalke A, Schulten K. 1996. VMD - Visual Molecular Dynamics. J. Molec. Graphics.vol.14.pp. 33-38. Kar P. 2010. Protein in silico-modelling and sampling [dissertation]. Michigan (US): Michigan Technological University. Kirkpatrick A, Heo J, Abrol R, Goddard III WA. 2012. Predicted structure of agonist-bound glucagon-like peptide 1 receptor, a class B G protein-coupled receptor. PNAS.109(49):19988-19993. doi:10.1073/pnas.1218051109. Mann RJ, Nasr NE, Sinfield JK, Donelly D. 2010. The major determinant of exendin-4/glucagon-like peptide 1 differential affinity at the rat glucagon-like peptide 1 receptor N-terminal domain is a hydrogen bond from Ser-32 of exendin-4. British Journal of Pharmacology. 160:1973-1984. doi:10.1111/j.1476-5381.2010.00834.x. Matthews BW. 2001. Hydrophobic Interactions in Proteins. Encyclopedia of Life Sciences. Nature Publishing Group. Maturana RL, Willshaw A, Kuntzsch A, Rudolph R, Donelly D. 2003. The isolated N-terminal Domain of the Glucagon-Like Peptide-1 (GLP-1) Receptor Binds Exendin Peptides with Much Higher Affinity than GLP-1. J.Biol.Chem. 278:10195-10200. doi:10.1074/jbc.M212147200. Maturana RL, Donnely D. 2002. The glucagon-like peptide-1 receptor binding site for the N-terminus of GLP-1 requires polarity at Asp198 rather than negative charge. FEBS Letters. 530;244-248. pii:s0014-5793(02)03492-0. Muoio DM, Newgard CB. 2008. Molecular and metabollic mechanisms of insulin resistance and β cell failure in type 2 diabetes. Molecular Cell Biology 9:193205. doi:10.1038/nrm2327. Nasr, NEM. 2010. The binding and activation of the glucagon-like peptide-1 receptor by exendin-4 [dissertation]. Leeds (UK). The University of Leeds. [NDDG] National Diabetes Data Group. 1979. Classification and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Other Categories of Glucose Intolerance. Diabetes. 28: 1039 – 1057. Neidigh JW, Fesinmeyer RM, Pricket KS, Andersen NH. 2001. Exendin-4 and glucagon-like –peptide-1: NMR structural comparison in the solution and micelle-associated states. Biochemistry 40:13188-13200. doi: 10.2210/ pdb1jrj/pdb. Phillips JC, Braun R, Wang W, Gumbart J, Tajkhorshid E, Villa E, Chipot C, Skeel RD, Kale L, Schulten K. 2005. Scalable molecular dynamics with NAMD. Journal of Computational Chemistry, 26:1781-1802. Pierce BG, Wiehe K, Hwang H, Kim BH, Vreven T, Weng Z. 2014. ZDOCK Server: Interactive Docking Prediction of Protein-Protein Complexes and Symmetric Multimers.Bioinformatics 30(12): 1771-3. Pratley RE, Nauck M, Bailey T, Montanya E, Cuddihy R, Filetti S, Thomsen AB, Søndergaard RE, Davies M. 2010. Liraglutide versus sitagliptin for patients with type 2 diabetes who did not have adequate glycaemic control with metformin: a 26-week, randomised, parallel-group, open-label trial. Lancet 375: 1447-1456.
48 Roth CM, Neal BL, Lenhoff AM. 1996. Van der Waals Interaction Involving Proteins. Biophys J. 977-987. 0006-3495/96/02/977/11. Runge S, Thogersen H, Madsen K, Lau J, Rudolph R. 2008. Crystal structure of the ligand-bound glucagon-like-peptide-1 receptor extracellular domain. J.Biol.Chem. 283: 11340-11347. doi:10.1074/jbc.M708740200. Russel-Jones, D. 2009. Molecular, pharmacological and clinical aspects of liraglutide, a once-daily human GLP-1 analogue. Molecular and Cellular Endocrinology.297:137-140. doi:10.1016/j.mce.2008.11.018. Steensgaard DB, Thomsen JK, Strauss H, Normann M, Ludvigsen S. Liraglutide. doi: 10.2210/pdb4apd/pdb. Stumpe M. 2007. De natura de Naturantium – on the molecular basis of ureainduced protein denaturation [dissertation]. Gottingen (DE): University of Gottingen. Szilágyi A, Kardos J, Osváth S, Barna L, Závodszky P. 2007. Protein Folding. Heidelberg (DE): Springer – Verlag. Thorens B, Porret A, Bühler L, Deng SP, Morel P, Widmann C. 1993. Cloning and Functional Expression of the Human Islet GLP-1 Receptor. Diabetes 42:1678-1682. Vilsbøll T, Brock B, Perrild H, Levin K, Lervang HH, Kølendorf K, Krarup T, Schmitz O, Zdravkovic M, et al. 2008. Liraglutide, a once-daily GLP-1 analogue, improves pancreatic B-cell function and arginine-stimulated insulin secretion during hyperglycemia in patients with Type 2 diabetes mellitus. Diabetic Medicine. doi:10.1111/j.1464-5491.2007.02333.x. Weyer C, Bogardus C, Mott DM, Pratley RE. 1999. The natural history of insulin secretory dysfunction an dinsulin resistance in the pathogenesis of type 2 diabetes mellitus. J. Clin. Invest. 104:787-784. [WHO] World Health Organization. 1999. Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its Complication (Report of a WHO Consultation), Part 1: Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. WHO/NCD/NCS/99.2. [WHO] World Health Organization. 2015.Country and Regional data on diabetes [internet]. [diacu 2015 Februari 10]. Tersedia dari: http://www.who.int /facts/world-figures/en/ index.html.
49
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mojokerto, pada tanggal 11 September 1974 dan merupakan putri ketiga dari pasangan almarhum Bapak H.M.A. Sjoedja’ Chardiana dan Ibu Hj. Munawaroh. Penulis menamatkan pendidikan S1 dari Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1996. Mulai tahun 1996 sampai penelitian ini dilakukan, penulis aktif bekerja sebagai pendidik di Madania Secondary School. Mendalami ilmu pengetahuan murni dalam hal ini Biofisika, menjadi tantangan tersendiri bagi penulis dengan latar belakang pendidikan S1 dari Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian ini, namun kecintaannya pada ilmu pengetahuan mendorongnya untuk dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Biofisika dengan baik.