Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Heri Alfian
ISSN: 0216-9290 Dinamika dan Prospek Kebangkitan Militer Jepang
Dinamika dan Prospek Kebangkitan Militer Jepang HERI ALFIAN Jurusan Hubungan Internasional, FISIP Universitas Jember, Jl. Kalimantan No.37 Jember Jawa Timur 68121, Telepon: 0331-339029, Faks: 0331-339029, Email:
[email protected] Diterima tanggal 15 Januari 2010/Disetujui tanggal 20 Februari 2010 The dynamics of Japan military after World War II (WWI) are very interesting topic to be discussed because there are always two opposite argument about it. First, some people think that Japan is “not normal” state because since 1945 he has no military forces like other state. On the contrary, some people believed that Japan had been developing his military forces since 1951. Actually, those arguments are true, for the facts that in some point Japan military is not like ordinary one because it just for defense and mostly for non combatant and humanitarian tasks when it send abroad, but it is also very true that Japan military is military as in common term for the facts that they equipped with sophisticated weapons. This article will show us the Japan military facts and his strategy in developing it, which is doing in a very smart way that make some people still think that he is not normal. Keywords: Defense strategy, International politics, International relations Pendahuluan Dinamika perkembangan militer Jepang menjadi kajian menarik karena secara historis terutama sebelum tahun 1945, Jepang adalah negara dengan militer yang sangat kuat, namun sejak berakhirnya PD II Jepang tidak memiliki kekuatan militer. Sejak saat itu, secara faktual pertahanan Jepang sepenuhnya tergantung pada Amerika Serikat. Ketergantungan tersebut menyebabkan dunia internasional mengkritik Jepang karena di satu sisi Jepang tidak memberikan cukup kontribusi terhadap penjagaan stabilitas dan keamanan internasional, namun di sisi lain Jepang menikmati dan mendapatkan berbagai keuntungan yaitu terjaminnya keamanan jalurjalur perdagangannya di berbagai belahan dunia. Pada tahap tertentu dunia internasional bahkan menekan Jepang untuk membangun kembali kekuatan militernya. Sumbangan Jepang secara finansial dirasa tidak cukup dan tidak fair dalam upaya negara-negara
untuk menjaga keamanan internasional. Jepang dituntut berpartisipasi sepenuhnya baik secara finansial maupun militer. Keadaan ini menyebabkan Jepang mengalami dilema antara membangun kekuatan militernya kembali atau tidak. Jika pilihan yang pertama dilakukan maka akan muncul tentangan domestik karena hal itu bertentangan dengan Konstitusi Jepang tahun 1947 yang melarang Jepang untuk membangun kekuatan militernya. Selain itu secara eksternal negara-negara tetangga Jepang juga menentang pembangunan kembali militer Jepang, karena adanya kekhawatiran akan bangkitnya militerisme Jepang yang ekspansif di mana mereka pernah menjadi korbannya. Sebaliknya jika pilihan kedua yang dilakukan maka Jepang akan mendapatkan tekanan yang semakin besar dari banyak negara yang menganggap Jepang adalah free rider dari keamanan internasional yang diupayakan dan dijaga oleh dunia internasional.
66
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Heri Alfian
ISSN: 0216-9290 Dinamika dan Prospek Kebangkitan Militer Jepang
Tulisan ini akan menjelaskan tentang dinamika perkembangan militer Jepang setelah Perang Dunia (PD) II dan mengenalisa faktafakta yang memungkinkan Jepang memiliki militer mandiri, yaitu tidak tergantung lagi kepada Amerika Serikat (AS). Tulisan ini akan berupaya menjelaskan perkembangan militer Jepang di tengah kondisi faktual dimana Jepang pada dasarnya telah membangun kekuatan militernya dengan cara yang sangat hati-hati dalam arti mampu mengelola kondisi-kondisi yang dialaminya menjadi alasan pokok dan isu penguatan pertahanan sehingga hal itu dilihat sebagai sesuatu yang wajar dan bahkan harus dilakukan tanpa menimbulkan penentangan dan konflik. Pendekatan dan Metode Studi ini dilakukan dengan pendekatan politik internasional. Fokusnya pada kebijakan militer Jepang dalam konteks internal maupun eksternal. Metode yang digunakan untuk pencarian data dengan menggunakan metode studi pustaka serta kajian dokumen. Dokumen yang menjadi sumber data adalah dokumen cetak maupun dokumen elektronik. Analisis dilakukan dengan metode analisis sejarah perkembangan kebijakan dalam negeri dan luar negeri. Dinamika Militer Jepang Setelah PD II Secara teoritis, negara merdeka bebas menentukan seluruh kebijakan yang menyangkut kepentingan nasional primernya, termasuk dalam hal ini kebijakan yang menyangkut pertahanan keamanan, tanpa campur tangan negara lain. Namun yang terjadi dengan Jepang adalah sesuatu yang di luar kebiasaan umum, karena sejak 1950-an yaitu ketika pendudukan sekutu terhadap Jepang telah berakhir, Jepang tetap berada di bawah pengaruh Amerika Serikat, terutama dalam penentuan kebijakan pertahanan keamanan. Selain negara merdeka, dewasa ini Jepang juga merupakan salah satu negara yang memiliki perekenomian termaju di dunia. Namun, kemajuan ekonomi tersebut tidak diikuti oleh pembangunan militer sebagaimana dilakukan oleh negara-negara maju lainnya. Prosentase dari Gross National Product (GNP) untuk anggaran pertahanannya adalah
67
paling kecil dibandingkan negara-negara maju lainnya seperti Jerman, Inggris, Prancis bahkan dari negara-negara Asia seperti Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan. Anggaran pertahanannya tidak pernah lebih dari 1% dari GNP sampai tahun 19841. Keadaan Jepang yang tidak memiliki militer mandiri, berawal dari kekalahan Jepang dalam PD II yang ditandai dengan penandatanganan perjanjian penyerahahan diri Jepang pada Sekutu, yang tertuang dalam potsdam declaration (26 Juli 1945) tanggal 26 Agustus 1945. Akibatnya Jepang harus menerima kenyataan bahwa kekuatan militer yang pernah dibanggakan harus dilucuti pasukan Sekutu yang sebagian besar terdiri dari tentara-tentara Amerika Serikat2. Amerika Serikat mengambil alih sistem pemerintahan Jepang yang harus tunduk di bawah sistemnya, dan Jepang juga harus mengakui Jenderal Angkatan Laut Amerika Serikat, Douglas MacArthur sebagai komandan tertinggi kekuatan sekutu Pasifik3, selaku officer pendudukan di Jepang. Demi keamanan dunia, Sekutu juga melakukan perubahan terhadap konstitusi Jepang, yang mengisyaratkan agar Jepang tidak lagi mengembangkan kekuatan militer di kemudian hari. Konstitusi baru tersebut menetapkan tiga prinsip dasar yang salah satunya menegaskan tentang sikap negara Jepang yang cinta damai. Untuk melaksanakan prinsip yang ketiga tersebut, pada artikel 9 konstitusi 1947, secara tegas disebutkan tentang pelarangan penggunaan militer ke luar negeri berdasarkan keputusan sendiri.4 Untuk menjaga keamanan wilayahnya, khususnya terhadap serangan dari luar, Jepang Lihat Edy Prasetyono, “Kebijaksanaan Luar Negeri Jepang: Tantangan dan Inisiatif dalam Masalah Internasional”, Jurnal Analisis CSIS, (1991), hal. 248. 2 Amerika Serikat bertugas bergerak dari arah Timur dan Uni Soviet dari Barat, maka Amerika Serikat mendapatkan Jepang dan Korea Selatan sementara Uni Soviet mendapatkan Korea Utara 3 Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional 1: Persepsi Nasional, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 105. 4 Lihat Ichiro Ogawa, Blue Print Jepang Masa Depan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995), hal. 92. 1
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Heri Alfian
ISSN: 0216-9290 Dinamika dan Prospek Kebangkitan Militer Jepang
dipaksa mengadakan aliansi keamanan dengan Amerika Serikat. Aliansi keamanan tersebut dituangkan dalam The US-Japan Treaty Mutual Cooperation and Security yang ditandatangani tahun 1951 dan berlaku mulai bulan April 1952. Selain alasan keamanan Jepang, aliansi tersebut juga dilatarbelakangi keinginan Sekutu untuk mempertahankan keberadaannya dikawasan Asia, khususnya di Asia Timur, karena pendudukan sekutu akan berakhir pada tahun 1952. Amerika Serikat berkepentingan untuk menjaga agar pengaruh komunis tidak meluas ke negaranegara Asia Pasifik khususnya di kawasan Asia Timur. Perjanjian tersebut mewajibkan Jepang untuk mengorbankan semua wilayah yang didudukinya sejak 1895, serta memasukkan Jepang ke dalam sistem keamanan Amerika Serikat. Amerika Serikat menandatangani perjanjian berikutnya dengan Jepang pada tahun 1954 yang isinya adalah menyediakan perlengkapan-perlengkapan, alat-alat, dan lainnya bagi Jepang. Sebaliknya Jepang menyediakan basis-basis militer dan alat-alat yang diperlukan oleh Amerika Serikat5. Perjanjian tersebut adalah awal dimulainya babak baru negara Jepang yang tidak mempunyai militer, pertahanan dan keamanan sendiri. Sejak tidak memiliki kekuatan militer yang berarti, Jepang berkonsentrasi di bidang ekonomi yang disebut kebijakan seikei bunri, yaitu pemusatan pada masalah-masalah ekonomi dan menghindarkan diri dari keterlibatan dalam masalah politik dan keamanan6. Sebagai hasilnya pada tahun 1969 hingga 1981 rata-rata pertumbuhan tahunan Gross National Product (GNP) per kapita Jepang 3,3 kali lebih besar ketimbang rata-rata gabungan Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, dan Jerman Barat. (Pertumbuhan ini menurun ke tingkat yang sama dengan negara-negara tersebut akibat resesi tahun 1981-1983). Dalam GNP (dibandingkan dengan GNP per kapita), produktifitas Jepang meningkat 12 kali lipat antara tahun 1950 hingga 1976, sementara GNP Amerika Serikat hanya meningkat 2,3 kali lipat, dan nega-
ra-negara Eropa Barat meningkat tiga kali lipat. Selain itu, kemantapan neraca pembayaran dan perdagangan berkat kebangkitan yang luar biasa selepas PD II memungkinkan yen Jepang bersaing dengan mark Jerman sebagai mata uang yang paling bernilai dan disukai di dunia dalam segala bidang, kecuali kekuatan militer, Jepang sudah menjadi kekuatan utama selama satu setengah dekade7. Selama ini keterlibatan Jepang dalam penataan keamanan internasional diwakili oleh Amerika Serikat. Sedangkan keterlibatan Jepang hanya secara tidak langsung yaitu melalui kebijakan-kebijakan yang menekankan pendekatan-pendekatan dan kepentingan ekonomi. Jepang menggunakan kemampuan ekonominya sebagai alat untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain yaitu melalui pemberian bantuan ekonomi. Bantuan ekonomi Jepang sering dikaitkan dengan masalah stabilitas dan keamanan. Dari sinilah lahir istilah bantuan strategis (strategic aid), konsep ini merujuk pada kebijaksanaan luar negeri Jepang melalui saluran hubungan ekonomi sebagai hasil koordinasi dengan Amerika Serikat dalam persaingan global dengan Uni Soviet. Dimensi keamanan dan straegis dari strategic aid direalisir dalam bentuk bantuan kepada countries bordering conflict dan areas which are important to maintenance of the peace and stability of the world. Karena itu aktifitas ekonomi Jepang tidak semata-mata bersifat ekonomis8, melainkan juga sebagai salah satu cara untuk menyumbang stabilitas dan keamanan internasional. Perkembangan terakhir di mana pemerintah Jepang mengusulkan agar Official Develovment Assistance (ODA) diberikan dengan mempertimbangkan tingkat belanja militer pada negara sasaran, menunjukkan dimensi politik dan keamanan kebijaksanaan ekonomi Jepang terhadap negara-negara penerima.9 Strategi Jepang Membangun Kembali Kekuatan Militer Di tengah kondisi dilematis yang dihadipnya Jepang pada keyataannya telah melakukan 7
5
Lihat Walter S. Jones, op.cit., hal. 107. 6 Edy Prasetyono, op.cit., hal. 244.
Walter S. Jones, op.cit., hal. 108-109. Edy Prasetyono, loc.cit. 9 Ibid. 8
68
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Heri Alfian
ISSN: 0216-9290 Dinamika dan Prospek Kebangkitan Militer Jepang
upaya-upaya membangun kembali militernya. Strategi yang dilakukan Jepang adalah memanfaatkan kondisi-kondisi di mana pembangunan militer yang dilakukannya seolaholah adalah suatu keharusan yang dipaksakan oleh pihak luar terutama oleh AS. Dengan memanfaatkan hubungannya dengan AS yang pada titik tertentu semakin terbebani dengan kewajibannya melindungi keamanan Jepang, Jepang berhasil mendapatkan simpati publik domestik dan menekan ketakutan negara-negara tetangganya terhadap kebangkitan kemabali militerismenya. Kemampuan Jepang memanfaatkan situasi tersebut digambarkan oleh E.H. Norman sebagai strategi “ju-jitsu” yaitu the art of converting a weakness into a strength, or fall into a fresh attack.10 Strategi tersebut sangat cerdas di mana setiap kali Jepang meningkatkan kemampuan militernya seolah mendapatkan ruang pembenarannya di tengah-tengah hambatan internal dan eksternal yang begitu kuat. Kecanggihan strategi tu dapat dilihat pada berbagai bentuk kebijakan pembangunan militer yang selam ini dilakukan oleh Jepang. Strategi pembangunan militer Jepang dapat ditelusuri sejak tahun 1951. Tahun tersebut adalah waktu terjadinya Perang di mana keamanan Jepang dirasakan sangat terancam yang disebabkan karena pemindahan pasukan AS yang berada di Jepang ke Arena perang Korea. Keadaan itu telah mendorong AS menekan Jepang agar membangun kembali militernya. Namun karena masyarakat Jepang saat itu masih mengalami traumatik yang kuat akibat PD II, maka Jepang tidak langsung menerima tawaran AS. Untuk menyiasati kondisi tersebut pemerintah Jepang mengambil jalan tengah yaitu menjalin aliansi dengan AS yang didasarkan pada Perjanjian Keamanan Jepang AS pada tahun 1951. Dengan aliansi itu Jepang mendapatkan Jaminan keamanan dari AS dan dalam waktu yang bersamaan Jepang membangun kembali kekuatan militernya yang waktu itu masih berupa polisi cadangan dan hanya berjumlah 75.000 personil.
10
Lihat Malcolm Macintosh, Japan Rearmed, (New York: 1986).
69
Sejak momentum pembangunan kembali kekuatan militer tersebut strategi Jepang terus berjalan dengan memanfaatkan momentum-momentum politik keamanan internasional yang melibatkan AS. Pada awal mulainya Perang Dingin (tahun 1953), Jepang membangun 152.000 personil militer dari 172.000 yang diminta oleh AS. Pada tahun 1955 Jepang kembali membangun militernya menjadi 156.834 dari total 179.737 yang diminta oleh AS. Pada momentum perang Vietnam tahun 1960 jumlah tersebut meningkat menjadi 206.001 atas dasar permintaan AS dari total 300.000 personil. Pada tahun 1973 yaitu ketika AS kalah dalam Perang Vietnam dan kemudian AS mundur dan mengurangi kekuatan militernya di kawasan Far East, Jepang kembali membangun sebanyak 286.200 dari total 350.000 personil yang diminta oleh AS.11 Pada masa-masa berikutnya Jepang terus melakukan hal yang sama yaitu memanfaatkan situasi-situasi yang di satu sisi terlihat sulit tetapi malah memberikannya kesempatan untuk membangun kekuatan militernya. Pada tanggal 10 Desember 2004, Jepang meluncurkan sebuah Program Rencana Pertahanan baru yang merupakan sebuah loncatan dari sistem pertahanan yang sekedar membela diri hingga siap membela diri dengan rudal. Pada dasarnya perubahan kebijakan pertahanan Jepang tersebut bukanlah berita yang mengejutkan karena sejak Desember tahun 2000 Jepang telah mengadopsi MTDP (the Mid-Term Defense Programme) untuk tahun fiskal 2001-2005 yang secara substansial telah merubah secara U-turn posture pertahanan dan keamanan Jepang. MTDP merupakan bentuk kesepakatan Jepang-AS untuk menentukan besarnya anggaran militer Jepang untuk tahun 2001-2005. Beberapa item penting yang dapat dicatat sebagai bentuk perubahan kebijakan pasifis menjadi lebih bersifat ofensif adalah adanya 11
Lihat J.A.A. Stockwin, Dynamic and Immobilist Politics in Japan, (London: MacMillan Press, 1998); John K. Emmerson, Arms, Yen, and Power: The Japan Dillemma, (Tokyo: Charles E. Tuttle Company, 1971); International Institute for Strategic Studies, The Military Balance 1999-2000, (London: Oxford University Press, 2000).
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Heri Alfian
ISSN: 0216-9290 Dinamika dan Prospek Kebangkitan Militer Jepang
ketentuan bahwa kekuatan SDF (the Selfdefense Force) Jepang dikurangi hingga sebanyak 166.000 personil. Padahal realisasi kekuatan SDF pada tahun 2000 baru sebesar 286.000 personil militer. Direncanakan sampai tahun 2000 semestinya sebesar 350.000 personil.12 Momentum deklinasi kekuatan militer Jepang itu baru terjadi untuk pertama kalinya semenjak The Treaty Of Mutual Cooperation an Security between Japan and The United States of America pada tahun 1951. Sejak perjanjian tersebut sampai Nixon-Tanaka Communique pada tahun 1973 kekuatan militer Jepang selalu mengalami inklinasi dari 75.000 pada tahun 1951, meningkat 117.177 pada tahun 1953, meningkat lagi menjadi 156.000 pada tahun 1955, 206.001 tahun 1960, dan menjadi 286.000 pada tahun 2000.13 Fakta yang menarik adalah, di balik deklinasi kekuatan personil militer tersebut berdasarkan MTDP 2001-2005 itu, Jepang memusatkan peningkatan kapabilitas militernya pada, pertama pengembangan kemampuan untuk counter cyber-attack dan mengamankan information technology serta jaringan komunikasi internasional. Kedua, mengembangkan counter attack by irregular forces, possibly armed with nuclear, biological or chemical devices. Dana yang diterima kabinet Jepang untuk pelaksanaan MTDP sejak 5 desember 2000 sampai 2005 adalah 25 triliun Yen (kira-kira US$203 milyar).14 Jadi secara personil militer terjadi penurunan atau deklinasi pada posture kekuatan pertahanan Jepang, namun dari segi persenjataan dan peralatan pertahanan dan keamanan Jepang mengalami modernisasi yang sangat signifikan. Modernisasi tersebut mencakup lima area Ground, Maritime, Air Defense, IT network, Research and Development. Di dalam program tersebut disebutkan tentang kerjasa12
Lihat www.iiss.org/milbal-regions.php?PHPSESSID=9288a3e2a27a9e5be259db50a14e92b, diakses 17 agustus 2008. 13 Lihat John K Emmerson, loc.cit. 14 Lihat, Twelfth US-Japan Technology Forum, May 8 & 9, 2001, Centre for US Japan Studies and Cooperation, Vanderbilt Institute for Public Policy Studies 1207,18th avenue South Nashville, Tennesse, 37212, tersedia di www.Vanderbilt..doc, diunduh pada tanggal 10 Nopember 2008.
ma research and development dengan AS dalam hal pengembangan theater missile defense, Fixed wing maritime patrol/ ASW P-3C dan C-1 transport replacements; pembangunan defense information infrasructure (triservice computer integration program, dan Common operating environment.15 Modernisasi ini akan menyebabkan Jepang memiliki kekuatan misil yang canggih serta akan sangat unggul dalam peningkatan kinerja persenjataan dan peralatan militer. Modernisasi kekuatan pertahanan dan keamanan tersebut akan memberikan dua keuntungan bagi Jepang yaitu pertama, keuntungan jangka pendek yaitu terjadinya peningkatan efektifitas militer. Dalam jangka waktu lima tahun senjata-senjata dan peralatan militer tercanggih sudah dapat dimiliki Jepang. Hal itu tentu lebih efektif jika dibandingkan dengan kekuatan yang akan dimilikinya dengan merekrut puluhan atau ratusan ribu personil tentara, mengingat saat ini kekuatan militer lebih berorientasi pada kecanggihan persenjataan dan peralatan. Efektifitas itu juga terkait dengan sikap penolakan masyarakat Jepang terhadap keberadaan SDF. Bahkan sampai saat ini anggota SDF dianggap sebagai orang buangan “outcasts of society”. Maka jika Jepang terus memperbesar jumlah personil militernya akan terjadi pergolakan politik di dalam negeri yaitu penentangan dari para pendukung partai kiri seperti JCP (Japan Communist Party) dan JSP (Japan Socialist Party). Selain itu, jika dikalkulasi berdasarkan perimbangan kekuatan personil militer dengan negara-negara di kawasan Asia Timur, personil militer Jepang sangat kecil, namun Jepang tetap secure enough, sebab terdapat pasukan AS yang memiliki pangkalan militer di wilayah-wilayah Jepang ditambah dengan pasukan AS di Korea Selatan dan di Pasifik Barat (Seventh Fleet), yang selalu siap melindungi keamanan nasional Jepang. Keuntungan kedua yaitu keuntungan jangka panjang di mana modernisasi itu merupakan sebuah langkah besar Jepang untuk mencapai suatu independensi keamanan regionalnya. Seperti diketahui bahwa selama ini keamanan regional Jepang masih sangat tergantung 15
Ibid.
70
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Heri Alfian
ISSN: 0216-9290 Dinamika dan Prospek Kebangkitan Militer Jepang
kepada AS, selain karena alasan terikat pada aliansi keamanan, juga karena alasan persenjataan dan peralatan militer yang tidak mencukupi untuk melakukan pengawasan atau patroli jarak jauh. Dengan modernisasi tersebut maka Jepang akan mampu mengamankan kawasannya sejauh mungkin tanpa tergantung lagi pada AS. Misalnya dengan New mid-refuelling tankers jarak jangkau fighter aircraft Jepang akan bertambah hingga mencapai seluruh Asia Timur. Kemampuan untuk counter cyber attack dengan pengembangan defense information infrastructure akan memberikan kemampuan bagi Jepang untuk mengacaukan sistem komunikasi lawan. Potensi Jepang Memiliki Militer Mandiri Keberhasilan Jepang memanfaatkan situasisituasi yang dihadapinya juga diikuti oleh pengembangan industri-industri yang secara cepat dapat dkonversikan mejadi industri militer. Potensi-potensi tersebut sepertinya memang dipersiapkan oleh Jepang untuk menyongsong kebangkitan militernya yang tidak lagi tergantung pada AS. Jepang mulai mengembangkan teknologi tinggi yang berkaitan dengan kemampuan persenjataan untuk berperang pada tahun 1960-an.16 Beberapa di antaranya yang paling strategis terletak pada bidang optoelektrik yang tumbuh pesat dan tersembunyi. Jepang juga dapat menghasilkan berbagai sistem sensor elektronik dan pemandu yang menghasilkan foto 35 mm berkualitas tinggi dan dapat memandu peluru kendali supersonik tanpa menyimpang dari sasarannya. Selain itu ada juga bom pintar yang dilengkapi dengan kamera mini Sony dan sejumlah besar peralatan elektronik pemandu yang menghancurkan jembatan Sungai Merah di Hanoi ketika Perang Vietnam. Padahal sebe16
Sebelum tahun itu Jepang tidak boleh membangun dan mengembangkan industri militer sesuai dengan perjanjian “Mutual Defense Agreement Japan-US” tahun 1954. Pada masamasa itu Jepang masih menempatkan produksi pertahanannya lebih rendah dibandingkan dengan tujuan-tujuan lainnya seperti tujuan ekonomi. (Lihat Kent E. Kalder, Asia’s Deadly Triangle: How Arms, Energy, and Growth, Threaten to Destabilize Asia Pacific, (London: Nicholas Brealy Publishing Limited, 1996), hal. 111).
71
lumnya para pilot F-4 Phantom dengan menggunakan keahlian manusia murni selalu gagal selama lima tahun melakukan tugas tersebut. Komponen optoelektronik Jepang juga merupakan inti peluru kendali Tomhawk Amerika yang menghujani Baghdad selama Perang Teluk.17 Fokus kebijakan pemerintah Jepang pada pembangunan ekonomi18 setelah PD II menjadi faktor penentu perkembangan Military Industrial Complex (MIC) Jepang. Kebijakan itu memicu munculnya berbagai perusahaan industri besar dalam bidang elektronik dan otomotif seperti Sony, Fujitsu, Mitsubishi, Kawasaki, Toshiba, NEC dan lain-lain. Produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut memiliki kandungan teknologi yang canggih dan sangat terkait dengan teknologi senjata dan alat militer. Data-data itu kebanyakan dipahami melalui perspektif ekonomi yaitu Jepang mengembangkan persenjataan hanya untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Padahal secara faktual Jepang menempati urutan ketiga di Asia/ Pasifik sebagai negara pengekspor senjata pada tahun 1989 yaitu senilai US$110 juta. Pengekspor terbesar adalah Cina dengan total nilai US$2 miliar dan posisi kedua adalah Korea Utara sebesar US$400 juta.19 Lebih spesifik Jepang merupakan negara pengekspor aras and amunition nomor 8 di dunia dengan nilai sebesar US $ 119.215.000 pada tahun 2001. Jepang berada di bawah AS, Inggris, Italy, Prancis, Jerman, Afrika Selatan, Kanada.20 Jika data-data itu dilihat berdasar-
17
Lihat US-Japan Military Technology Exchange--Japan to Scale America’s last Export Bastion tersedia di www.globalsecurity.org/world/japan, diunduh pada tanggal 10 Nopember 2008. 18 Sejak tidak memiliki kekuatan militer yang berarti, Jepang berkonsentrasi di bidang ekonomi yang disebut kebijakan seikei bunri, yaitu pemusatan pada masalah-masalah ekonomi dan menghindarkan diri dari keterlibatan dalam masalah politik dan keamanan. Lihat Edy Prasetyono, op.cit., hal. 244. 19 Aurelia George, “Japan’s America Problem: The Japanese Response to U.S. Pressure”, The Washington Quarterly, (Summer, 1991), hal. 89. 20 International Trade Statistics, Imports 19972001, Product Group 891: Arms and Amunition,
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Heri Alfian
ISSN: 0216-9290 Dinamika dan Prospek Kebangkitan Militer Jepang
kan asumsi bahwa militer Jepang sedang berkembang dan terus mengalami peningkatan dalam hal personil, anggaran dan persenjataan maka dengan kemampuan teknologi yang dimilikinya, Jepang dalam waktu singkat dapat berubah menjadi negara yang memiliki kekuatan militer yang sangat kuat dan canggih.21 Pandangan ini di dasarkan pada fakta bahwa negara-negara yang kuat militernya pasti memiliki industri militer yang kuat juga seperti AS, Inggris, Prancis, Cina, India, Korea Utara, Israel. Perkembangan MIC Jepang dimulai pada pertengahan tahun 1950 ketika Mitsubishi Heavy Industries melakukan lobi terhadap pemerintah Jepang dan pemerintah AS untuk mendapatkan hak perakitan pesawat tempur F-86.22 Setelah itu perusahaan-perusahaan lain bermunculan dan bersaing dalam industri militer ini. Dalam data Defense Production Committee (DPC) yang merupakan organisasi perusahaan industri militer, tercatat 800 perusahaan menjadi anggotanya dan terdapat pula 100 institusi finansial yang berfungsi untuk menunjang pembiayaan perusahaan tersebut.23 Beberapa contoh produk industri militer Jepang yang tergolong proyek sangat besar adalah The Patriot surface-to-air-missile system, The F-15 Eagle, The FSX fighter. Proyek Patriot dan F-15 merupakan produksi kerja sama antara Jepang dengan AS di mana Jepang sebagai coproducer-nya. Sedangkan FSX merupakan produk yang mulai menggunakan teknologi Jepang sendiri (indigenous systems). The Patriot adalah air-defense missile system pertama yang dimiliki oleh AS. Bagi Jepang The Patriot merupakan jawaban atas kelemahan pertahanan udaranya dan kebutuhannya akan teknologi. F-15 adalah bentuk kerja sama AS-Jepang yang semakin besar karena kandungan teknologinya yang semakin canggih. 24
tersedia di www.intracen.org/menus/products, diunduh pada tanggal 10 Nopember 2008. 21 Kalder, op.cit., hal. 110. 22 Michael W. Chinworth, Inside Japan’s Defense Technology, Economics & Strategy, Brassey’s, (New York: 1992), hal. 23. 23 Ibid., hal. 24. 24 Ibid., hal. 67.
Jepang mulai memproduksi The Patriot pada tahun 1985 dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan udaranya dan menggantikan Nike-J surface to-air missiles. Patriot memiliki teknologi yang lebih canggih dibandingkan dengan semua sistem pertahanan udara yang dimiliki oleh SDF saat itu dan dirancang sebagai alat untuk bertahan dari serangan udara yang menggunakan persenjataan canggih. Produksi The Patriot melibatkan dua perusahaan besar, satu adalah perusahaan AS yaitu Raytheon co. dan lainnya adalah perusahaan Jepang yaitu Mitsubishi Heavy Industries. Proyek Patriot ini memberikan dua macam keuntungan bagi Jepang yaitu keuntungan dalam hal penguasaan teknologi dan keuntungan dari segi militer. keuntungan teknologi misalnya Jepang menguasai squeeze-casting methods yang baru yang digunakan dalam memproduksi material yang lebih kuat untuk komponen-komponen Patriot. Metode ini menggantikan metode sebelumnya yang berbiaya mahal. Selain itu Jepang juga mendapatkan sistem produksi otomatis dalam pelapisan lempeng-lempeng baja. Keuntungan teknologi yang paling penting bagi Jepang adalah teknologi systems integration,di mana ketidakmampuan Jepang dalam teknologi integrasi ini telah menyebabkan industri aerospace-nya tidak berkembang selama tiga dekade. Dari segi militer, keuntungan yang diperoleh adalah pertahanan udara Jepang menjadi semakin kuat dan tentunya keamanan Jepang menjadi lebih aman. Dengan teknologi yang dimiliki Patriot yang tergolong “mature” dan dirancang untuk membawa kepala nuklir, Patriot dapat menangkal serangan bom yang menggunakan teknologi high-altitude (serangan dari jarak yang tinggi). Selain itu kelemahan pertahanan udara Jepang selama ini yang mudah disusupi oleh pesawat musuh-seperti peristiwa masuknya pesawat tempur Uni Soviet dan penempatan pesawat pengebom di wilayah pantainya-akan teratasi. Dengan teknologi Patriot yang memiliki sistem interceptor canggih, dan kemampuan untuk melacak (tracking) yang tinggi serta menembak cepat (satu misil dalam dua detik) maka penyusup-penyusup dapat dicegah dan diusir dengan cepat.25 25
Ibid., hal. 92-93.
72
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Heri Alfian
ISSN: 0216-9290 Dinamika dan Prospek Kebangkitan Militer Jepang
Proyek F-15 merupakan proyek lanjutan dari proyek Patriot, di mana Patriot adalah sistem untuk mengamankan wilayah udara Jepang sedangkan F-15 adalah pesawat tempur untuk memperkuat kekuatan ASDF. F-15 merupakan generasi pesawat tempur canggih yang menggantikan F-86s dan F-104s yang diproduksi pada tahun 1955 oleh Mitsubishi Heavy Industries. Dengan memproduksi dan memiliki F-15 maka level kekuatan pasukan Udara Jepang meningkat signifikan, karena F-15 merupakan generasi pesawat tempur yang merupakan campuran dari tinggi-rendah (“high-low mix”) yaitu kombinasi dari pesawat tempur yang kuat, lebih kecil ukurannya, dan memiliki kemampuan manuver yang tinggi menyerupai kemampuan F-16. Dengan pesawat ini maka Jepang dapat mencegah masuknya pesawat Uni Soviet seperti sering kali terjadi yaitu masuk dan mendaratnya pesawat MiG-25 di daratan Jepang, uji coba air-defense systems, dan terbang tanpa ijin di wilayah udara Jepang sampai 600 kali dalam setahun.26 Tabel 1 The FSX and DOD Critical Technologies List FSX-Related DOD Critical TechTechnology nology Systems integration Weapon systems environment Data fusion Software producibility High-speed trans- Computational fluid portation dynamics Simulation modeling Stealth technolo- Signature control gies Active phasedHigh sensitivity array radar radar Signal processing Aircraft electron- Passive sensors ics/avionics Signal processing Computers Semiconductor materials and microelectronic circuits New materials Air breathing New engines engines
26
Ibid., hal. 100.
73
Sumber: Keichi Nogi, (Oktober, 1990), hal. 28-47. FSX adalah suatu proyek industri militer yang untuk pertama kalinya menggunakan teknologi dan sistem produksi asli Jepang. Pada dasarnya proyek ini merupakan bentuk perlawanan Jepang terhadap dominasi AS yang seringkali membatasi perusahaan-perusahaan Jepang untuk menggunakan teknologi tertentu. FSX ini adalah bentuk penyempurnaan dari berbagai kelemahan teknologi yang dimiliki oleh pesawat-pesawat tempur AS. Dalam Tabel 1 dapat dilihat bahwa Jepang mampu menciptakan sendiri teknologi canggih yang diaplikasikan pada FSX. Pengembangan FSX ini merupakan bentuk baru pengembangan industri militer Jepang. Melalui proyek ini Jepang mulai menunjukkan sikap inndependen atau lebih tepat sikap untuk lepas dari tekanan AS dalam mengembangkan peralatan-peralatan militer. proyek ini kemudian mengakibatkan terjadinya ketegangan antara Jepang dengan AS. AS merasa tersaingi tehnologinya bahkan merasa terancam dan cemburu atas kemampuan tehnolgi Jepang khususnya yang terkandung di dalam FSX.27 Kecemburuan itu terutama terkait dengan kemampuan Jepang menciptakan teknologi black-box dan design information serta teknologi know-how yang diaplikasikan di dalam proyek FSX. Jepang menolak teknologi buatan AS yang sebelumnya diterapkan dalam pembuatan F-16. Menurut AS, proyek ini merupakan indikasi bahwa industri militer Jepang ingin berjalan sendiri dan tidak mau bekerja sama dengan AS. Penutup Keberhasilan Jepang membangun kembali kapabilitas pertahanannya merupakan resultansi dari strategi yang sangat terukur. Di tengah berbagai kesulitan yang berasal dari faktor internal seperti penentangan dari masyarakat dan hambatan Konstitusi dan faktor eksternal yaitu keterikatan dan ketergantungan terhadap AS serta reaksi negatif dari dunia internasional, perlahan namun pasti militer Jepang telah tumbuh menjadi kekuatan yang menyamai militer negara-negara kuat seperti Inggris dan Prancis. Bahkan anggaran 27
Ibid., hal. 154.
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Heri Alfian
ISSN: 0216-9290 Dinamika dan Prospek Kebangkitan Militer Jepang
militernya menempati urutan atas sebagai negara yang memiliki anggaran militer tertinggi di dunia. Keterbatasan Jepang untuk membangun militer yang mandiri dan terlibat secara langsung dalam penataan keamanan internasional seperti dijelaskan di atas akan terus terjadi selama perjanjian keamanan dengan Amerika Serikat tidak dicabut. Namun hal itu merupakan suatu pilihan yang sangat sulit bagi Jepang, sehingga harus ditempuh jalan lain. Kebijakan- kebijakan luar negeri seperti yang ditempuh selama ini merupakan pilihan tepat, karena dengan mempertahankan kebijakan yang berorientasi ekonomi Jepang telah mencapai dua hal sekaligus yaitu: pertama Jepang berhasil menampik tuduhan masyarakat internasional yang mengatakan bahwa selama ini Jepang telah banyak menikmati keuntungan dari kestabilan keamanan internasional tanpa memberikan kontribusi terhadap upaya menjaga dan menciptakan kondisi tersebut.
Kondisi-kondisi internal juga mendukung Jepang untuk mencapai keinginan tersebut, yaitu terjadinya perdebatan dalam masyarakat Jepang mengenai peran internasional Jepang di Asia Pasifik, khususnya di Asia Timur. Perdebatan tersebut berkisar antara dua paradigma, yaitu visi yang menekankan pada kawasan Asia Pasifik di mana Jepang dapat memainkan peran kepemimpinan yang lebih besar (visi regionalistik), dan visi yang lebih mengutamakan peran dalam kerangka kemitraan global dengan Amerika Serikat (visi bilateralis). Namun, apapun bentuk perdebatan tersebut, faktanya masyarakat Jepang saat ini lebih banyak yang mendukung Jepang lebih independen dalam kebijakan militernya. Hal itu diperkuat juga dengan semakin kerasnya tuntutan masyarakat Jepang agar keberadaan militer AS di Jepang segera diakhiri.
Kedua Jepang berhasil membangun kekuatan militernya tanpa mendapat hambatan yang berarti dari kalangan masyarakat internasional yang khawatir terhadap kemungkinan bangkitnya militerisme Jepang seperti di masa lalu. Bahkan Jepang juga berhasil memancing opini dunia yang menuntut peran Jepang agar berperan lansung dalam penataan keamanan internasional. Misalnya saja tuntutan dari Amerika Serikat sendiri, lalu dari negara-negara Asia-Pasifik. Keberhasilan Jepang tersebut telah membuka peluang bagi Jepang untuk memiliki militer sendiri, dan ini juga didukung oleh kondisi-kondisi eksternal Jepang seperti perubahan-perubahan kondisi keamanan yang terjadi di kawasan Asia Timur pasca Perang Dingin. Di kawasan Asia Timur, Jepang memandang bahwa konflik regional masih tetap membayang, meskipun kawasan ini mengalami kemajuan ekonomi yang mengesankan. Setidaknya ada empat jenis ancaman yang dikhawatirkan Jepang di kawasan ini: (1) kemunculan negara petualang yang mencari posisi dominan di kawasan; (2) sengketa teritorial, konflik etnik dan instabilitas politik; (3) terorisme internasional; (4) masalah-masalah global seperti ledakan penduduk, kekurangan makanan, pencemaran lingkungan.
Chinworth, Michael W.. 1992. Inside Japan’s Defense Technology, Economics & Strategy, Brassey’s. New York. Emmerson, John K.. 1971. Arms, Yen, and Power: The Japan Dillemma. Tokyo: Charles E. Tuttle Company. George, Aurelia. 1991. Japan’s America Problem: The Japanese Response to U.S. Pressure. The Washington Quarterly. (Summer). International Institute for Strategic Studies. 2000. The Military Balance 1999-2000. London: Oxford University Press. International Trade Statistics, Imports 1997-2001, Product Group 891: Arms and Amunition, tersedia di www.intracen.org/menus/products, diunduh pada tanggal 10 Nopember 2008. Jones, Walter S.. 1992. Logika Hubungan Internasional 1: Persepsi Nasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kalder, Kent E.. 1996. Asia’s Deadly Triangle: How Arms, Energy, and Growth, Threaten to Destabilize Asia Pacific. London: Nicholas Brealy Publishing Limited. Macintosh, Malcolm. 1986. Japan Rearmed. New York. Ogawa, Ichiro. 1995. Blue Print Jepang Masa Depan. Yogyakarta: Tiara Wacana. Prasetyono, Edy. 1991. Kebijaksanaan Luar Negeri Jepang: Tantangan dan Inisiatif dalam Masalah Internasional. Jurnal Analisis CSIS. Stockwin, J.A.A.. 1998. Dynamic and Immobilist Politics in Japan. London: MacMillan Press. Twelfth US-Japan Technology Forum, May 8 & 9, 2001, Centre for US Japan Studies and Cooperation, Vanderbilt Institute for Public Policy
Daftar Pustaka
74
Jurnal POLITEIA|Vol.2|No.2|Juli 2010 Heri Alfian
ISSN: 0216-9290 Dinamika dan Prospek Kebangkitan Militer Jepang
Studies 1207,18th avenue South Nashville, Tennesse, 37212, tersedia di www.Vanderbilt..doc, diunduh pada tanggal 10 Nopember 2008. US-Japan Military Technology Exchange--Japan to Scale America’s last Export Bastion tersedia di
75
www.globalsecurity.org/world/japan, diunduh pada tanggal 10 Nopember 2008. www.iiss.org/milbal-regions.php?PHPSESSID=9288a3e2a27a9e5be259db50a14e92b, diakses 17 agustus 2008.