DILEMA PENINGKATAN KAPASITAS ORNOP Antara Idealisme dan Pragmatisme
DILEMA PENINGKATAN KAPASITAS ORNOP Antara Idealisme dan Pragmatisme
DILEMA PENINGKATAN KAPASITAS ORNOP: Antara Idealisme dan Pragmatisme ©2013
Penyunting: A.B. Widyanta Penyelaras Akhir: Timotius Apriyanto Rancang Sampul dan Tata Letak : Halik Sandera Diterbitkan oleh: Yayasan Society for Health Education Environment and Peace (SHEEP) Indonesia
iv
Daftar Isi HALAMAN JUDUL......................................................................................................... i DAFTAR ISI...................................................................................................................... v KATA PENGANTAR .................................................................................................. vii Bab I Pendahuluan Rekam Jejak Program Pengembangan Kapasitas Organisasi Non Pemerintah (Ornop) ............................................................................................................................... 1 A. Arti penting Buku ini.................................................................................................... 1 B. Sekilas tentang ICCO/KIA......................................................................................... 3 C. Program Kemitraan dengan ICCO/KIA.................................................................. 7 D. Pengembangan Kapasitas Ornop............................................................................... 9 E. Sistematika Buku......................................................................................................... 11 Bab II Menuju Ornop Strategis dan Berkelanjutan: Realita vs Utopia? .............................. 17 A. Pengembangan Kapasitas.......................................................................................... 17 B. Ornop Ideal: Gugatan Realitas-Aktual..................................................................... 24 C. Ornop dan Gerakan Sosial.........................................................................................26 D. Kemitraan Setara dan Ornop yang Berkelanjutan................................................. 29 E. Pelayanan Berbasis Ideologi dan Profesionalisme................................................. 34 Bab III Pengembangn Kapasitas sebagai Proses Belajar ........................................................ 39 A. Transformasi Sosial Ornop di Jawa......................................................................... 39 B. Peran Strategis Ornop dalam Penguatan Masyarakat Sipil................................... 42 C. Filosofi, Strategi dan Metodologi Penguatan Masyarakat Sipil............................ 52 D. Konsolidasi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam Proses Demokratisasi.60 E. Epilog: Membangun Sinergi untuk Penguatan Masyarakat Sipil Indonesia....... 77 Bab IV Capaian Kapasitas Ornop: Paradoks Perubahan ....................................................... 83 A. Tata Kelola Ornop: Sistem Manajemen Keuangan dan Perencanaan, v
Implementasi, Monitoring dan Evaluasi (PIME).................................................. 83 B. Perubahan Pola Kemitraan Ornop........................................................................... 93 C. menata Ulang Strategi Keberlanjutan Ornop......................................................... 99 D. Epilog: Ujung Tanduk Dilema................................................................................ 107 LAMPIRAN................................................................................................................... 111 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 119
vi
Kata Pengantar Manusia tiap kali berharap, tiap kali pula kandas... ...Pengalaman sehari-hari itu acap kali tenggelam. Yang memberi harapan ialah bahwa yang tenggelam tak pernah hilang total. Ia akan selalu kembali. Empunya nukilan di atas adalah Gunawan Mohammad(GM) pada Catatan Pinggir edisi Senin 12 Januari 2009, bertitelkan Sishipus. Nukilan itu terhadirkan boleh jadi karena sentilannya yang pas dengan kisah sekaligus kiprah yang terpapar di buku ini. Tak banyak Ornop yang berani ambil jarak dan memilih berjerih payah memikirkan kemandirian lembaga semacam itu. Kiprah para Ornop untuk menginisiasi kemandirian terkategorikan dalam Ornop yang tak banyak di Indonesia. Kesadaran diri untuk tetap bertahan dan memperjuangkan misi adiluhung Ornop untuk berkontribusi membangun pranata sosial masyarakat sipil yang beradab tentu menjadi pilihan sulit jika diperadakan pada terbatasnya sumber daya dari luar negeri. Tatakala realitas memapar bahwa keberlanjutan kelembagaan donor pun menciut, kisut(shrinking), oleh hempasan gebalau finansial dunia semacam itu, lantas apa bedanya antara lembaga donor internasional dan Ornop di Indonesia? Tidakkah dalam konteks ini, jejaring Ornop di Indonesia justru mendapati momentum untuk mencari cara dan strategi sendiri untuk menginisiasi keberlanjutan idealisme, spirit, dan praksisnya ke depan untuk ke-Indonesia-an? Tentu saja jawaban pun tak mudah, bahkan rumpil. Hanya saja kita dapat kembali menilik nukilan GM di atas bahwa: “Yang memberi harapan ialah bahwa yang tenggelam tak pernah hilang total.Ia akan selalu kembali.” Kalimat itu adalah undangan untuk berfikir lateral. Dengannya, makna dan pembelajaran yang kita dapat akan berbeda.Terselip denyut masgul itu pasti, namun menarik pembelajaran berharga dari “segenap proses apa(pun) jadinya” dengan“segenap optimalitas kekiprahannya” adalah kemungkinan lain yang pasti juga dapat dipilih. Indikator keberhargaan tak melulu kuantitas. Penggalan yang berkualitas pun dapat berharga dan bernilai. Bagaimanapun juga nilai keberhargaan senantiasa mengada dalam kapasitas refleksi “peristaltik”, bukan yang statis. Daya meremas dan menyerap dari alat pencerna refleksi itulah yang dibutuhkan untuk mendapati kebermaknaan sebuah nilai. Setidaknya dalam program pengembangan kapasitas Ornop mitra KIA/ICCO di Jawa-Tengah dan Yogyakarta yang telah berproses dalam kepenuhannya. Totalitas waktu, tenaga, pikiran, biaya, dan kerelaan mereka telah membuahkan berbagai pendalaman diskursus yang teramat berharga, sebagaimana terpapar disekujur bab buku ini. Buku ini mencoba merekam dan mendokumentasikan dinamika sebagai hasil dari totalitas kekiprahan dan kebersamaan— sehingga dapat vii
membei inspirasi untuk mulai beruji coba memperkuat pilar-pilar utama organisasi yang strategis dan berkelanjutan. Dari pengalaman tersebut dapat dilakukan pengkajian secara utuh dan menyeluruh pilar-pilar pada organisasi yang hidup saat ini, mulai dari aspek posisi, pemikiran dan pembelajaran, tindakan, keberadaan, hubungan,hingga aspek keseimbangannya. Maka untuk selanjutnya terminologi yang dipakai untuk menyebut mitra KIA/ICCO cukup terwakili dengan pilihan kata mitra atau Ornop. Pembelajaran yang patut disadari adalah bahwa kita adalah makhluk yang dapat meleset memperkirakan, sehingga kita bukan peran yang pasif. Hukum dialektika sosial senantiasa akan hidup, dari sudut hukum dialektis ataupun sosiologis-reflektif itu dapat ditegaskan bahwa dalam setiap cilaka ada hikmah, dalam setiap bencana ada momentum perubahan, dalam setiap hegemoni ada spirit kreatif-liberatif, dan tanpa terkecuali dalam ambiguitas proses pembelajaran Ornop pun, suatu ketika nanti tetap saja akan muncul gerakan Ornop yang progresif mewujudkan kemandirian dan keberlanjutan lembaganya maupun epistemic community yang mereka citacitakan kebangunannya. Ucapan terima kasih sangat layak disampaikan buat teman-teman sekerja di YAPHI, YPL, YKP, AWI, LKTS, SPeKHAM, Ekasita, PPLM dan Palma serta untuk semua teman yang pernah bekerja pada ICCO/KIA Netherland. Dukungan dan semangat teman-teman selama proses membangun kapasitas bersama telah memberikan dorongan kuat agar dinamika dan pergumulan bersama tersebut dapat terbukukan. Selamat membaca dan berpraksis merebut momentum perubahan menuju keberlanjutan idealisme, spirit, dan praksis Ornop yang kontekstual.
viii
Bab I Pendahuluan Rekam Jejak Program Pengembangan Kapasitas Organisasi Non Pemerintah (Ornop)
A. Arti Penting Buku ini Buku ini adalah buah dari proses enam tahun yang nyaris tak pernah terpikirkan kehadirannya. Terlahir dari proses hilir program pengembangan kapasitas mitra-mitra KIA/ICCO sejak tahun 2005 sampai dengan 2011, yang difasilitasi oleh SHEEP Indonesia. Buku ini dapat disebut sebagai lesson learned yang diupayakan seoptimal mungkin untuk direfleksikan, diinterpretasikan, ditulis, dan dikemas secara sekuensial- sistematis ke seluruh halaman buku. Tanpa hendak berapologi, selain karena panjangnya durasi program, dan sering tersandera oleh pernak-pernik rutinitas (mekanis) dari aneka aktivitas dan kerja-kerja program selama lebih dari separuh dekade itu. Maka baru tersadari bahwa dalam proses panjang pikiran dan tindakan terfokus pada hasil capaian target akhir program yang lebih konkrit, yaitu berkembangnya kapasitas man power (untuk tak menyebut Sumber Daya Manusia—SDM—yang lebih beraroma komodifikasi) pada para Ornop. Rupanya perjalanan waktu mengubah pikiran dan kesadaran, dari sesuatu yang semula tak menjadi prioritas akhirnya mengemuka menjadi sesuatu yang perlu diposisikan sebagai keutamaan. Dari yang tak terpikirkan menjadi yang tergagaskan. Dari yang terabaikan menjadi yang terpedulikan. Di antara ketakterdugaan dan keterdugaan itu, muncul momentum yang mematangkan gagasan. Dalam konteks ini, hal tersebut dapat dibilang sebagai momentum berharga untuk pembelajaran bersama dalam mensistematisasi pengalaman apapun dalam setiap karya di masa-masa yang akan datang. Kemudian, mulai bergegas untuk mengemas serakan arsip berupa catatan proses pertemuan, workshop, semiloka, catatan konsultasi, progres report, evaluation report, dan annual report, selama enam tahun itu di kerumunan folder dan file yang tersimpan di memori PC. Tersadari, bukanlah perkara sepele untuk dapat mendisiplinkan diri bergelut dengan “tumpukan virtual” arsip elektronik (seperti berkas MSwords, Powerpoint, PDF, Excel) yang tidak jarang di antaranya berbau “sangat teknis dan pragmatis”, meskipun tak sedikit pula yang memuat materi dengan kandungan nilai dan pengetahuan yang cukup kaya dan bernas. Selain ketekunan, rupanya dibutuhkan juga kerajinan maupun keahlian 1
sederhana untuk mengkoding dan mengklasifikasikan berbagai jenis dokumen seturut nomenklatur waktu, lembaga mitra, aktivitas, kegiatan, berikut label tematiknya. Identifikasi, klasifikasi, dan interpretasi atas arsip-arsip program pengembangan kapasitas (capacity building) menjadi mekanisme dan proses kunci dalam penyuntingan buku ini. Menyunting arsip program yang telah berjalan enam tahun dalam hitungan minggu adalah batasan yang super ekstra dari buku ini. Dapat dikatakan keterbatasan waktu adalah kendala utama yang mengecilkan peluang untuk dapat meramu naskah menjadi buku yang bernas, utuh dan komprehensif. Batasan waktu jugalah yang menciutkan pilihan bebas kami untuk mengelaborasi isi sehingga menjangkau tema Ornop yang lebih luas. Kendati demikian, optimalisasi penyuntingan dan penyajian materi inti pengembangan kapasitas diharapkan dapat meredusir segenap keterbatasan itu. Karenanya, paparan setiap bab yang ada di buku ini akan dijabarkan berdasarkan urutan dan sistematisasi program pengembangan kapasitas itu sendiri. Mengemas dokumentasi mentah dan menyajikannya ke dalam hidangan berbentuk buku yang memiliki kandungan “nutrisi” pengetahuan memanglah bukan tugas ringan. Tidak jarang, dokumen atau arsip lembaga lebih merujuk pada “otentisitas” seluruh hasil rekaman kegiatan yang dilakukan pada saat suatu program dijalankan. Raw material dokumentasi program tidak jarang nampak seperti tumpukan “barang rombengan” yang mesti disortir untuk mendapati kemanfaatan unsur materi penting yang dibutuhkan. Perlu satu atau dua langkah proses untuk menjadikannya sebagai corpus pengetahuan yang sistematis sehingga mudah untuk dicerna. Tahapan dan proses penyuntingan arsip/ dokumen menjadi buku akan banyak merujuk pada aktivitas re-interpretasi atas dokumen sehingga bukan hanya segelintir orang atau kelompok terlibat saja yang memahami, melainkan para pembaca yang tidak tahu menahu seputar program pun dapat mengerti akan apa yang tengah didiskursuskan. Pada awalnya, ada tiga keraguan besar ketika dokumen program ini hendak dibukukan. Pertama, sejauh manakah program pengembangan kapasitas itu dapat diposisikan sebagai kasus kajian yang berjangkauan dan bercakupan luas seputar Ornop. Kedua, menurut hemat kami program yang sangat khusus semacam itu acap kali kurang memadai untuk membahas kompleksitas persoalan Ornop. Misalnya saja, isu tentang program pengembangan kapasitas tentu akan terasa cupet untuk dapat merangkum atau mengkerangkai seluruh persoalan besar Ornop. Bagaimanpun juga soal pengembangan kapasitas adalah subyek terbatas dalam lingkup permasalahan Ornop. Ketiga, kekawathiran sederhana seputar penyematan judul buku. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar, terlebih ketika di era gempita penerbitan buku paska reformasi, terlalu sering merasa gemas ketika mendapati judul buku yang tak berkesesuaian antara bobot judul dan isinya. Judul yang elegan dan nampak berkemendalaman tak urung berakhir pada sensasi kecohan yang banal. Rupanya jaman juga tengah tergoda untuk menyuguhkan 2
komodifikasi judul buku sebagai mode of production bisnis penerbitan. Bersandar pada kesadaran itu, maka perlu ditegaskan disini bahwa paparan di halaman-halaman berformat buku ini secara prinsipil belum layak untuk disebut sebagai buku dalam makna yang sejatinya. Boleh jadi akan lebih tepat untuk menyebutnya sebagai embrio buku yang masih perlu diikthiari lebih lanjut agar kelak di kemudian hari terlahir menjadi buku yang layak untuk dijadikan referensi memadai/adekuat. Boleh jadi tepat juga untuk menyebutnya sebagai draf buku, yakni suatu format transisi antara dokumen program dan buku referensi. Maka dengan tanpa ragu, dapat ditegaskan bahwa isu kajian yang diangkat dalam buku ini bukanlah isu yang baru. Boleh jadi unsur-unsur kebaruan akan terlekat dalam sebaran refleksi pengalaman dalam menjalankan progam bersama di masing-masing Ornop yang terlibat secara langsung. Beberapa isu kajian yang akan ditonjolkan adalah isu-isu seputar pengembangan kapasitas bagi para pegiat Ornop dalam menata dan mengelola berbagai tantangan manajemen kelembagaan agar tetap berkelanjutan sebagai sebuah organisasi. Di sini, berbagai problem dan tantangan umum yang dihadapi Ornop Mitra KIA/ ICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta didaulat sebagai samplingnya. Problemproblem apa yang sebenarnya dihadapi oleh para pegiat Ornop itulah yang dirasa penting untuk diwacanakan dalam buku ini. Keprihatinan dan kepedulian pada tiga isu besar Ornop yaitu masalah ideologi/spirit (mind set), kapasitas manusia dalam lembaga (man power), pengelolaan kelembagaan (management), perubahan konteks ekonomi-politik merupakan latar belakang sekaligus ruang lingkup kemunculan buku ini. Menyoal ideologi itu memang utama dan penting, namun karena yang diintervensi adalah perkara pengembangan kapasitas, maka itu berarti fokus kajiannya tidak tertumpu pada ideologinya secara an sich melainkan pada spesifikasi kebutuhan pengembangan kapasitas para pegiat Ornop dengan mentautkan kapasitas individu dalam lembaga itu dengan rujukan bingkai ideologi lembaga masingmasing, yang tentunya antara satu lembaga dan lembaga lainnya berbeda-beda, karenanya sangat beragam. B. Sekilas tentang ICCO/KIA1 Dalam profil ringkas, ICCO adalah sebuah organisasi antar gereja yang bergerak di bidang kerjasama pembangunan di empat puluh satu (41) negara di Afrika, Asia, Amerika Latin dan Eropa Timur. Dalam kerja-kerjanya, ICCO memberikan pelayanan berupa dukungan finansial secara mondial dan pendampingan pada organisasi-organisasi dan jejaring sosial di tingkat lokal yang bergiat untuk akses yang lebih baik pada fasilitas-fasilitas dasar, inisiasi 1
Uraian ini disunting dari http://www.icco.nl/en/about-icco
3
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Selain itu, ICCO juga memfasilitasi berbagai kegiatan yang mendorong terwujudnya perdamaian dan demokrasi maupun menghimpun orang-orang yang memiliki jiwa kepeloporan baik di Belanda maupun di negara-negara sedang berkembang. Di Belanda misalnya saja, ICCO merancang kampanye bersama tentang berbagai isu yang relevan dengan visinya. Selain bekerja dengan organisasi masyarakat sipil seperti Max Havelaar, Fairfood, dan CNV, ICCO juga menjalin kerjasama dengan berbagai macam perusahaan seperti Eneco dan Ahold. Secara aktif mendorong para kaum muda untuk terlibat dalam kerjasama pembangunan juga menjadi tugas ICCO. Berbagai sekumpulan pribadi individu yang memiliki jiwa kepemimpinan dihimpun dalam Impulsis, sebuah divisi pelopor untuk kerjasama pembangunan, untuk pendampingan dan dukungan finansial. Lebih jauh, ICCO bersama-sama bekerja dengan berbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pembangunan, organisasi yang peduli terhadap isu-isu pendidikan, maupun organisasi bisnis. Kesemuanya itu ditempuh untuk memperbaiki kondisi hidup masyarakat, baik di Amerika Latin, Asia, Afrika, dan Eropa Timur. Utamanya ICCO membantu masyarakat di berbagai belahan dunia itu agar mampu berdikari secara ekonomi. Berpijak pada seluruh paparan di atas, maka visi besar yang senantiasa dihidupi oleh ICCO adalah terwujudnya sebuah dunia tanpa kemiskinan dan ketidakadilan. Dan berdasar pada ideologi itu, ICCO mendorong proyekproyek yang berkontribusi pada salah satu dari tiga program utama mereka. Disesuaikan dengan kondisi politik dan ekonomi lokal di setiap negara yang tentu saja memiliki penekanan kebijakan yang berbeda-beda, ICCO menetapkan tiga program utama itu berikut ini:2 1. Pelayanan Sosial Dasar Dalam program ini, ICCO berupaya mendorong kelayakan akses terutama untuk layanan pendidikan, kesehatan, air bersih, dan pangan untuk semua. 2. Pembangunan Ekonomi Terkait dengan program pembangunan ekonomi ini, ICCO bekerja untuk memperbaiki pendapatan para wirausahawan berskala kecil berikut kesejahteraan keluarganya di negara-negara sedang berkembang. 3. Penguatan Demokrasi dan Perdamaian Dalam program penguatan demokrasi dan perdamaian, ICCO mendorong munculnya berbagai inisiatif untuk penguatan stabilitas politik yang lebih baik dan emansipasi kelompok masyarakat yang tidak mampu.
2
4
Paparan disadur dari http://www.icco.nl/en/what-we-do
Untuk mewujudkan terlaksananya ketiga program utama tersebut, ICCO menyediakan berbagai bantuan dalam beberapa tingkatan berikut: pendanaan, bantuan tanggap darurat (dalam kasus bencana), dan lobi. Dalam pendanaan, ICCO memberikan dukungan dana kepada organisasi-organisasi di negara sedang berkembang, baik untuk bisnis, dan untuk individu yang memiliki jiwa kepemimpinan yang tergabung dalam Impulsis. Urusan The Impulsis ini ditangani secara kolegial oleh ICCO, Edukans dan Kerk in Actie. Terkait dengan bantuan tanggap darurat dilakukan pada saat bencana menerpa suatu wilayah tertentu. Dalam hal ini, ICCO and Kerk in Actie bekerjasama menyediakan layanan untuk wilayah-wilayah yang tedampak bencana tersebut, yang mana baik ICCO maupun Kerk in Actie merupakan anggota dari ACT Alliance (Action by Churches Together). Sedangkan untuk program lobi, ICCO mendorong peningkatan kesadaran di jajaran politisi dan para perumus kebijakan untuk menangani berbagai persoalan negara sedang berkembang. Selain itu, ICCO juga berupaya untuk mengembangkan peluang masyarakat untuk peningkatan ekonomi mereka. Tersadari, ICCO secara sendirian tidak akan sanggup merealisasi misinya untuk memerangi kemiskinan. Karenanya, hubungan kerjasama dengan berbagai mitra sangatlah dibutuhkan. Agar kekuatan yang lebih besar kian tergalang, pada tahun 2006, ICCO membentuk sebuah Aliansi ICCO yang terdiri dari beberapa lembaga seperti Edukans, Kerk in Actie, Oikocredit, Prisma, Share People. Selain itu, ICCO juga berkolaborasi dengan sejumlah organisasi mitra baik di Belanda, Eropa, dan berbagai belahan dunia lainnya. Aliansi itu memerlukan setidaknya maksimum sekitar 106 juta Euros per tahun untuk periode 2011-2015.3 Terhitung sejak 2007, Aliansi ICCO: Edukans, Kerk in Actie, Oikocredit, Prisma, Share People dan ICCO secara bersama-sama berupaya menggalang kekuatan. Dalam beberapa tahun kemudian, organisasi ini akan berupaya keras untuk memperdalam kemitraan mereka dan menciptakan sinergi. Pada 1 Desember 2009, Aliansi ICCO mengajukan permohonan subsidi kepada Menteri Kerjasama Pembangunan Belanda yang dengan serta merta menggandeng dua anggota barunya yaitu: The Zeister Zendingsgenootschap dan Yente. Keduanya memperkuat Aliansi ICCO yang terdiri dari Edukans, Kerk in Actie, Oikocredit, Prisma, SharePeople and ICCO. Keenam organisasi yang tergabung dalam Aliansi ICCO tersebut, bersepakat menggunakan identitas yang sama dan berkomitmen tinggi pada konstituennya di Belanda. Mereka bersama melalui tahun-tahun pengalaman 3
Paparan disadur dari http://www.icco.nl/en/about-icco/icco-alliance
5
dan keberagaman relasi dan mitranya di berbagai negara sedang berkembang. Hal itu memungkinkan Aliansi ICCO dapat bekerja lebih efektif dan efisien dan menjalankan program yang komprehensif di negara-negara sedang berkembang, dan juga menjalankan lobi, advokasi dan berbagai aktivitas pendanaan. Misi Aliansi ICCO adalah memperjuangkan suatu dunia yang manusianya dapat hidup bermartabat dan sejahtera. Aliansi ini berfokus pada tiga tema utama yang berlaku dalam kekaryaan di 50 negara di seluruh dunia. Tiga fokus tersebut adalah: 1. Pembangunan Ekonomi yang Adil dan Berkelanjutan 2. Demokratisasi & Peace-building 3. Akses terhadap Pelayanan Sosial Dasar Terkait dengan tiga fokus utama tersebut, implementasi program di Indonesia diselenggarakan oleh salah satu anggota Aliansi yaitu Kerk In Actie (KIA).4 Kerk in Actie (Church in Action) membantu kerja-kerja ratusan Gereja Kristen dan berbagai organisasi lainnya di Belanda maupun di seluruh dunia. Berbagai fasilitasi program itu berupaya seoptimal mungkin membantu masyarakat untuk menyadari potensi mereka dan memberikan kepada mereka perspektif baru tentang masa depan. Berbagai kerjasama itu didasarkan pada prinsip kesetaraan.
Dalam menjalankan karyanya, Kerk in Actie berada dibawah payung konsorsium jemaat Gereja-Gereja Kristen Protestan Belanda. Di tingkat nasional, Kerk in Actie merupakan bagian dari Pusat Pelayanan Gereja Kristen Protestan Belanda yang berada di Utrecht. Beberapa bagian dari kerja-kerjanya 4
6
Paparan disadur dari http://www.icco.nl/en/about-icco/icco-alliance/kerk-in-actie
dilakukan atas nama sepuluh dewan gereja. Seluruh program Kerk in Actie di seluruh dunia diimplementasikan bersama-sama dengan ICCO. C. Program Kemitraan dengan ICCO/KIA Program pengembangan kapasitas selama enam tahun itu seluruhnya berada dalam bingkai kemitraan yang awalnya hanya dengan KerkinActie (KIA). Setidaknya ada tiga alasan mengapa program itu diimplementasikan. Pertama, sejumlah organisasi mitra berharap mendapatkan dampingan konsultan untuk memperbaiki kapasitas mereka dalam implementasi program-programnya. Kedua, beberapa organisasi mitra di Jawa yang relatif kecil dan baru berkeinginan untuk meningkatkan kapasitasnya sebagai organisasi pelaksana proyek. Mereka akan sangat teruntungkan jika dapat meningkatkan kapasitas organisasi perencanaan, monitoring, evaluasi, manejemen dan administrasi yang semua itu akan berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Ketiga, terkait dengan keterbatasan waktu yang dimiliki kantor KIA yang berakibat para organisasi mitra hanya sedikit mendapatkan perhatian. Proposalproposal hanya menumpuk dalam waktu yang lama. Dukungan keuangan dari KIA walau relatif masih kecil, namun tetap penting untuk mendukung kerjakerja organisasi mitra. Masih ada kebijakan dari KIA untuk tetap melanjutkan dukung bagi para mitra, namun dirasakan masih banyak kendala dalam proses kemitraan selama ini. Dengan kata lain, berbingkai kemitraan dengan KIA itulah program pengembangan kapasitas dipilih sebagai gantlement agreement berdasarkan mutual trust yang memberikan manfaat baik bagi organisasi mitra maupun donor itu sendiri. Pada tingkat permulaan, program dapat dikatakan bertolak dari persoalan-persoalan yang sangat pragmatis di antara sejumlah organisasi mitra dan donor (KIA). Dari pihak donor merasa ada problem pragmatis tentang kapasitas tertentu yang harus ditingkatkan, semisal: kemampuan komunikasi dengan bahasa Inggris, menyusun proposal, menulis laporan, merancang program, dan berbagai kemampuan administratif lainnya. Program kemudian tertumpu pada pendalaman tema yang mengarah pada persoalan transisi, yakni transisi pendanaan atau transisi dukungan dana. Pada tahapan ini, organisasi mitra bersama-sema mendiskursuskan dan berlatih bagaimana mempersiapkan diri bila terjadi perubahan kebijakan di lembaga donor. Kendati fokus penekanannya telah berubah, namun tersadari bahwa aktivitas pengembangan kapasitas itu masih saja melibati hal ihwal seputar penguatan kemampuan teknis-administratif dan managerial kelembagaan. Organisasi mitra masih harus berlatih bagaimana mereka mesti berlatih untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas komunikasi, penggalangan dana (fund rising), PME, dan lain sebagainya. 7
Pada tingkatan paling lanjut, program pengembangan kapasitas menggeser penekanan pada proses pendalaman (deepening). Dalam hal ini, program mendapati tantangan terberatnya. Pasalnya program harus mampu menyasar pada segenap hal yang terkait dengan capaian kelembagaan jangka panjang, yaitu bagaimana mewujudkan Ornop yang berkelanjutan. Dalam substansi keberlanjutan (sustainability) itu, penekanan program difokuskan pada potensi sumber-sumber daya yang dimiliki/dapat digali oleh setiap organisasi mitra. Dalam hal ini perlu dieksplorasi lebih jauh mengenai sumber daya apa saja yang dimiliki/dapat digali dan dioptimalisasi dari masing-masing organisasi mitra tersebut. Itulah muatan pengembangan kapasitas pada level antara (intermediary). Jika secara historis program pengembangan kapasitas itu dirunut kembali, mediasi awal dimulai sejak adanya pembicaraan dengan Klaas Aikes (program officer KIA di Indonesia) yang merasa mengalami kesulitan assessment terhadap kemitraan-kemitraan baru. Akhirnya Klaas Aikis secara khusus menghubungi dan meminta Andreas Subiyono (direktur SHEEP Indonesia) untuk membantu dan menjembatani antara KIA dengan sejumlah Ornop lokal tersebut. Proses pembicaraan itu sendiri memakan waktu yang relatif panjang, yaitu berlangsung pada tahun 2004-2006. Tersadari pada tataran strategis dan pragmatis, banyak Ornop lokal yang mengalami berbagai persoalan seperti persoalan teknis bahasa Inggrisnya, sampai persoalan konseptual, penulisan proposal yang seringkali tidak disertai kerangka konseptual yang kuat. Bertolak pada pertimbangan pragmatis itu maka muncullah sebuah gagasan sederhana tentang bagaimana menjembatani masalah komunikasi. Pada awalnya Ornop lokal yang meminta referensi cukup banyak, seperti diantaranya adalah YAPHI, YPL, YKP, SpekHAM, Anak Wayang Indonesia, YPL, LKTS, Ekasita, PPLM Kalibrantas, Yayasan Palma di Jakarta. Lembaga-lembaga itu kemudian dihimpun dalam proses fasilitasi. Daripada tidak terkoordinasi dan terkomunikasikan dengan baik, Andreas Subiyono mengusulkan diadakannya pertemuan bersama. Harapan ketika itu, jangan sampai organisasi mitra itu nanti hanya sekadar menjadi “pelansir proyek”. Artinya Ornop Indonesia harus punya kerangka konseptual yang jelas dalam kerja dan praksisnya. Komunikasi bersama pun mulai diselenggarakan. Pada akhirnya muncul kesepakatan bersama perihal kebutuhan untuk diselenggarakan program peningkatan kapasitas, agar mereka juga memiliki kemampuan-kemampuan jangka panjang dan menjadi organisasi yang baik dan berkelanjutan. Setelah melalui proses komunikasi yang mendalam dan adanya kepercayaan dari dua belah pihak, maka SHEEP bekerja sama dengan KIA dalam program pendampingan untuk peningkatan kapasitas. Implementasi programpun berlangsung dengan mengemban dua tujua yaitu Pengembangan Kapasitas (Capacity Building) dan Komunikasi di antara Organisasi Mitra KIA. Dengan program itu, KIA memiliki harapan bahwa di kemudian hari akan terbuka peluang mempunyai mitra yang kuat dan tambahan mitra yang baru di Indonesia, 8
sehingga pelayanan terhadap masyarakat dapat semakin luas. Kendati demikian, hingga saat ini belum pernah ada mitra baru, bahkan dua organisasi mitra dihentikan kemitraannya lantaran persoalan-persoalan internal kelembagaan yang memang tak memungkinkan untuk diakomodir. Tersadari tidaklah mudah untuk menginisiasi program pengembangan kapasitas di antara Ornop lokal. Selain banyak tersibukkan dan terkuras energi untuk memediasi berbagai pernak-pernik konflik internal kelembagaan mitra, pengembangan kapasitas ternyata tidak terlepas dari spektrum kepentingan multipihak di dalam organisasi mitra itu sendiri. Dalam konteks itu, maka menjadi terlampau panjang untuk mendapatkan dampak perubahan transformatif-berkelanjutan melalui pengembangan kapasitas jika di dalam internal kelembagaan sendiri pun belum selesai mengelola konflik internalnya. D. Pengembangan Kapasitas Ornop Tekait program kemitraan pengembangan kapasitas tersebut, SHEEP terlebih dulu melakukan observasi selama satu tahun, yakni dari tahun 20052006. Melalui observasi itulah kebutuhan pengembangan kapasitas terposisikan sebagai kebutuhan aktual, relevan dan mendesak untuk dilakukan. Pilihan program itu untuk menyasar/menjawab berbagai persoalan riil yang dihadapi oleh organisasi mitra. Strategi pendekatan yang ditempuh pun bukan sekadar pendekatan konvensional namun juga menggunakan strategi alternatif dan harus berfokus pada orientasi dampak. Sebagaimana telah berulangkali diulas sebelumnya bahwa Ornop yang berkelanjutan mensyaratkan berbagai perangkat nilai, spirit, dan ideologi dengan menejemen yang baik dan sehat. Tentu saja itu tidak kalah pentingnya dengan kebutuhan meluaskan daya pikir dan pembelajaran atas dunia praksis dalam Ornop. Sejak awal teridentifikasi kebutuhan bahwa komunikasi intensif dalam kemitraan merupakan satu elemen kunci untuk memperbaiki kualitas kemitraan itu sendiri. Berdasarkan hasil penilaian diperoleh profil singkat mitra yang terlibat dalam program pengembangan kapasitas adalah sebagai berikut: 1. Anak Wayang Indonesia Anak Wayang Indonesia (AWI) adalah Ornop yang didirikan di Yogyakarta dan berfokus pada kerja-kerja pengembangan kultural dan penegakan harkat-martabat atau hak-hak anak-anak di sejumlah kampung miskin di wilayah kota Yogyakarta. Para aktivis yang bergabung di sana adalah pegiat yang sangat kreatif dan sangat tahu bagaimana menangani anak-anak. Berdasarkan hasil assessment awal, organisasi ini membutuhkan penguatan terutama yang terkait dengan isu menejemen, administrasi, dan sistem PME, kendati para stafnya tahu pentingnya hal itu tetapi kemampuannya masih sangat terbatas.
9
2. Ekasita Ekasita adalah Ornop yang berkantor di Surakarta. Organisasi ini berdiri saat terjadi krisis ekonomi tahun 1997-1998. Program Ekasita berfokus pada kerja-kerja pelayanan untuk peningkatan pendapatan keluarga di wilayah pelosok pedesaan di wilayah Solo dan Sukoharjo. Secara khusus, Ekasita mengembangkan misi dan komitmen yang kuat untuk pemberdayaan anak-anak dan perempuan dari keluarga miskin. Berdasarkan hasil assessment awal, organisasi ini membutuhkan penguatan utamanya dalam hal PME, pengembangan program dan kapasitas staf. 3. Palma PALMA adalah Ornop yang didirikan di Jakarta. Organisasi ini berfokus pada isu pelayanan kepada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di wilayah Jakarta. Berdasarkan hasil assessment awal, organisasi ini membutuhkan asistensi teknis berupa pendampingan mediasi konflik internal kelembagaan, proses pengorganisasian kembali dan perlu dibantu untuk menyusun perencanaan strategis. 4. Pusat Pengembangan Lansia dan Masyarakat (PPLM) PPLM adalah forum Ornop yang peduli pada orang lanjut usia di Jawa Tengah yang mempunyai fokus pada pelayanan kesehatan, terutama mendorong pelayanan Posyandu Lansia. Dalam program-programnya PPLM menjalin kerjasama dengan 4 lembaga kesehatan di Semarang, Parakan dan Klampok-Banjarnegara. Asistensi teknis yang dibutuhkan oleh organisasi ini adalah pengembangan kerjasama dengan 4 institusi kesehatan dalam menjalankan program-programnya. 5. Yayasan Pamerdi Luhur (YPL) YPL adalah Ornop yang telah lama berdiri di wilayah Jepara. Organisasi ini berfokus pada program pengembangan ekonomi rakyat terutama untuk kaum perempuan melalui usaha ekonomi rumah tangga, program pelatihan untuk kaum muda yang putus sekolah, dan program pendampingan organisasi buruh khususnya di perusahan mebel. Dari hasil assessment awal, kebutuhan mendasar organisasi ini adalah pengembangan sistem PME, pelaporan program, pengembangan kapasitas bagi staf. 6. Yayasan Pengabdian Hukum Indonesia (YAPHI) YAPHI adalah organisasi bantuan hukum dan advokasi yang berkembang dengan baik. Organisasi yang berkantor di Solo ini memiliki program dan sumber pendanaan yang memadai. Selain manajemen 10
pengembangan program dapat berkembang pesat, organisasi ini juga telah memiliki program pengembangan staf, system penggajian, kapasitas manajemen yang sentral maupun terdesentralisasi, dll. Dari hasil assessment awal, kebutuhan asistensi teknis dari organisasi ini adalah mengembangkan sistem PME, dan pelaporan program. 7. Solidaritas Perempuan untuk Kesetaraan & HAM (SPeKHAM) SPEKHAM adalah ORNOP yang berdomisili di Solo, dengan berfokus pada partisipasi kaum perempuan, melalui metode pengorganisasian, pelatihan dan advokasi. Meskipun terhitung organisasi yang belum lama berdiri, organisasi ini memiliki gagasan yang baik dan komitmen yang kuat. Terkait dengan program pengembangan kapasitas ini, organisasi ini membutuhkan asistensi teknis berupa penguatan kebijakan manajemen strategis lembaga. 8. Lembaga Kajian dan Transformasi Sosial (LKTS) LKTS adalah organisasi yang dibentuk para aktivis muda NU di Boyolali, yang relatif masih baru. Organisasi memiliki area pendampingan di Boyolali, Semarang, Klaten dan Sukoharjo dengan fokus pada penguatan posisi ekonomi kaum perempuan miskin. Organisasi ini memiliki komitmen yang kuat. Terkait dengan kebutuhan pengembangan kapasitas, organisasi ini perlu mendapat asistensi teknis berupa penguatan spirit pembedayaan perempuan. Selain itu juga perlu pendampingan dalam pengembangan sistem PME dan pengembangan program serta pelaporan program 9. Yayasan Krida Paramita (YKP) YKP adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1989 oleh GKJ Nusukan. Solo. Area dampingan organisasi ini meliputi wilayah kota Solo dan sekitarnya. Program kerjanya berfokus pada pembedayaan ekonomi perempuan dan kesehatan perempuan. Terkait dengan program pengembangan kapasitas ini, asistensi teknis yang dibutuhkan adalah pengembangan system monitoring dan evaluasi. Hal itu penting dilakukan agar YKP dapat mendapatkan melakukan refleksi kritis atas perjalanannya sebagai Ornop dan capaian dampak programnya. E. Sistematika Buku Sumber utama buku ini adalah kompilasi dokumen pengembangan kapasitas selama proyek berlangsung, maka buku ini mau tak mau akan banyak merujuk pada seluruh dokumen program yang mayoritas masih mentah. Jika dirinci lebih lanjut, dokumen program itu terdiri dari: pertama, referensi 11
konseptual dan wacana tentang pengembangan kapasitas (capacity building); kedua, notulensi diskusi tematis, pertemuan mitra, dan konsultasi bilateral. Alur dan tahapan mulai dari refrensi, workshop, pertemuan mitra, hingga konsultasi bilateral merupakan satu kesatuan tema dalam benang merah peningkatan kapasitas menuju Ornop yang berkelanjutan. Ketiga, referensi-referensi yang diinput dalam setiap tema tersebut (seperti materi presentasi berupa power point dan makalah); dan keempat, laporan-laporan perkembangan (progress report) dari program Pengembangan Kapasitas. Laporan tersebut meliputi beberapa macam laporan seperti laporan untuk lembaga donor, laporan evaluasi internal, dan laporan konsultasi bilateral. Sesungguhnya kerangka besar buku ini sudah dapat dicermati sejak awal paparan, yaitu diskursus seputar pengembangan kapasitas. Selain akan menguraikan materi-materi pokok tentang pentingnya pengembangan kapasitas Ornop di Indonesia, pada bab berikutnya dipaparkan sejumlah lesson learned yang muncul dalam proses berdiskursus di antara Ornop. Berbagai pelajaran berharga tersebut akan tercantum di dalam box khusus. Hal itu perlu ditempuh untuk memperoleh best practice dari implementasi program. Dengan demikian, buku ini merupakan narasi pengalaman bersama beberapa Ornop untuk menghidupi tradisi knowledge management dan epistemic community di lingkup dunia aktivis Ornop di Indonesia. Tersadari bahwa saat ini muncul trend baru seputar knowledge management. Sayangnya banyak kalangan—terutama private sector—terjatuh pada perangkap manajerial saja, yang lebih cenderung bias pada aspek tangible asset belaka. Untuk tak terjatuh pada perangkap serupa, buku ini berupaya mengangkat knowlegde management yang tidak semata mencakup tangible asset melainkan juga mengupas berbagai aspek intangible asset. Dalam konteks dan terminologi kalangan Ornop, intangible asset itu berkaitan erat dengan aspek-aspek paradigma, ruh/spirit, nilainilai profetis, dan lain sebagainya. Secara garis besar pengembangan kapasitas itu mengusung empat prioritas yaitu : pertama, prioritas pada aspek pemikiran dan pembelajaran; kedua, perioritas pada aspek tindakan; ketiga, priotas pada aspek keberadaan; dan keempat, prioritas keberlanjutan. Bila keempat prioritas itu disederhanakan maka beberapa aspek pengembangan kapasitas itu menyangkut soal ideology, mind set, know-how, hingga how to. Dengan berpijak pada seluruh proses tahapan program pengembangan kapasitas itu, maka bab-bab yang ada di buku ini akan tersistematisasi sebagai berikut: pada Bab I Pendahuluan buku ini berusaha memberikan latar belakang para pemangku kepentingan, dinamika dan tahapan program pengembangan kapasitas mulai dari prakarsa/inisiasi, agenda, dan proses umum yang terjadi. Sehingga pembaca dapat dihantar pada kontek dan relevansi peningkatan kapasitas Ornop di Indonesia. Bab II—yang bertitel Menuju Ornop Strategis dan Berkelanjutan: Realita vs Utopia?—akan lebih banyak memaparkan tentang apa strategi dan metodologi yang dipakai dalam program pengembangan 12
kapasitas, mengapa itu dipakai, dan sampai seberapa jauh harapan atas perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada para mitra Ornop. Rincian bagian pada Bab II meliputi Bagian Pertama akan banyak mengupas tentang seluk beluk Program Pengembangan Kapasitas yang memaparkan berbagai aktivitas, metode asistensi, pelilaian organisasi/organisational scan, skema program. Bagian Kedua menguraikan berbagai tantangan dan kendala Ornop untuk memilih jalan idealismenya. Bagian Ketiga, secara lebih rinci memaparkan problematika Ornop sebagai gerakan sosial. Bagian Keempat, akan memerinci lagi salah satu prasyarat pokok bagi terformulasikan Ornop yang berkelanjutan, yaitu bangunan kemitraan yang setara. Bagian Kelima, akan menutup seluruh paparan Bab II dengan mengajukan gambar ideal Ornop menurut versi Ornop lokal yang berupaya memadukan dua hal mendasar yaitu antara pelayanan berbasis ideologi/spirit dengan tuntutan profesionalitas. Pada Bab III, yang berjudul Pengembangan Kapasitas Ornop: Learning Process, merupakan paparan berbagai materi pengembangan kapasitas yang telah diklasifikasikan sesuai dengan apa yang telah ditempuh dalam program pengembangan kapasitas tersebut. Misalnya saja tentang perubahan mindset, dimana itu menjelaskan tentang proses pengembangan kapasitas SDM yang berimplikasi pada perubahan orientasi organisasi. Pada bab ini juga banyak dibahas masalah prioritas pengembangan kapasitas organisasi, terutama aspek pemikiran dan pembelajaran organisasi yang mencakup dua pokok bahasan yaitu: internalisasi dan transformasi visi-misi organisasi kepada seluruh para pemangku kepentingan internal yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan kajian ulang atau penyusunan perencanaan strategis organisasi. Secara lebih rinci Bab III akan dipilah ke dalam tiga bagian. Bagian pertama (Transformasi Sosial Ornop di Jawa) akan menjelaskan peran strategis Ornop dalam penguatan masyarakat sipil berikut rincian tentang berbagai aspek filosofi, strategi dan metodologinya. Bagian kedua tentang Konsolidasi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Proses Demokratisasi merupakan upaya untuk memaparkan berbagai peluang dan tantangan internal-eksternal di kalangan Ornop dalam menghadapi dinamika demokratisasi di Indonesia. Bagian ketiga tentang: Membangun Sinergi untuk Penguatan Masyarakat Sipil Indonesia merupakan diskripsi yang berusaha memerinci langkah-langkah nyata dengan mensinergikan berbagai kekuatan dan elemen jejaring masyarakat sipil. Bagian keempat, akan memaparkan epilog berikut catatan kritisnya. Tiga dari empat bagian yang tercakup dalam Bab IV, tetap berlanjut dengan materi-materi pengembangan kapasitas pada tingkatan praksis yang belum diulas di bab-bab terdahulu. Pada bagian pertama mengupas materi tata kelola Ornop khususnya yang terkait dengan Pengembangan Kapasitas Sistem Tata Kelola Keuangan dan Sistem Perencanaan, Implementasi, Monitoring dan Evaluasi (PIME), untuk bagian kedua akan diparkan materi diskusi seputar Perubahan Pola Kerjasama Organisasi non Pemerintah di Indonesia yang dihubungkan dengan 13
paparan bagian tiga yang membahas tema Strategi Keberlanjutan Organisasi sebagai diskursus solusi dan inisiatif. Pada bagian empat secara blak-blakan dan tanpa tedeng aling-aling akan didiskripsikan kisah capaian keseluruhan proses pengembangan kapasitas. Di bagian ini, para mitra hendak menyampaikan pesan bahwa mereka tidak dapat menampik hadirnya kritik – otokritik sepanjang proses panjang program tersebut merupakan bagian sejarah kehidupan lembaga yang menyimpan kenangan indah atau pahit saat dibaca ulang. Dalam konteks jaman yang meleset, munculnya berbagai paradoks adalah keniscayaan yang tak terelakkan. Paradoks, ironi, dan ambiguitas terdalam pada keseluruhan proses berjalannya program akan diulas dan dituntaskan pada bab penghujung ini. Seluruh program pengembangan kapasitas ini ditempuh dalam dua proses yang dilakukan secara serta merta dan saling melengkapi. Di satu sisi, proses pengembangan kapasitas diinisiasi dengan mengedepankan penggalian kebutuhan di setiap mitra, dan di sisi yang lain, kegiatan dilakukan dengan mengelaborasi berbagai gagasan yang telah berkembang seputar isu-isu pengembangan kapasitas di dunia Ornop. Dalam cakupan yang lebih luas, kedua proses itu tentu saja merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam siklus ilmu pengetahuan: tesis, antitesis, dan sintesis. Berangkat dari praksis itulah teori baru terlahir untuk menggenapi ataupun menggantikan teori sebelumnya. Begitu seterusnya. Dalam konteks siklus epistimologi Ornop tersebut, telah diupayakan agar dapat mengelaborasi gagasan dan pengalaman yang terpapar dengan referensi yang berpotensi menjadi bahan pembanding. Referensi itu diperoleh dari tulisan Alan Fowler, dengan bukunya “Striking Balance: A Guide to Enhancing the Effectiveness of Non-Governmental Organisation in International Development “(1997); Panduan PME yang diterbitkan oleh ICCO bersama beberapa donor Eropa, “Bridging PME”: Guidelines for Good Practice in the Planning, Monitoring and Evaluation of Community-Based Development Projects Implemented by Southern Ornop with Support from European Ecumenical Agencies (2000); dan beberapa literature tentang Strategic Management for Non Profit Organization; serta beberapa buku tulisan David C. Korten. Kiranya, pantaslah untuk menempatkan beberapa referensi tersebut sebagai oponen diskursus tentang Ornop yang dapat dipakai acuan pembanding namun selalu dengan kesadaran kritis. Berbagai sajian yang diekstrakf dari konteks dan dinamika Ornop lokal pada buku ini dengan harapan dapat menginspirasi munculnya berbagai pengetahuan berbasis pada pengalaman dan konteks lokal. Semua itu ditempuh agar ada pembelajaran untuk tak gampang terjebak pada segenap generalisasi ilmu yang justru berkecederungan memandulkan—bahkan tidak jarang mematikan—keanekaragaman kecerdasan lokal yang ada di masyarakat. Dengan tanpa menggantungkan diri pada ilmu pengetahuan yang bersifat generalis (bias konteks Barat), maka perlu dengan kreatif melengkapi dengan perangkatperangkat sistem pengetahuan yang tidak mencerabut dari sistem sosio-ekologi 14
para Ornop berada. Dengan demikian arah dan orientasinya dapat lebih sensitif terhadap persoalan sosial yang kontekstual sehingga orientasi dan arah rancangan program berakar pada kebutuhan masyarakat lokal yang dilayani. Pada akhirnya seluruh praksis yang telah dilakukan berandil dan berfaedah pada segenap upaya berbagai pihak untuk menguatkan posisi strategis masyarakat sipil di Indonesia.
15
Bab II Menuju Ornop Strategis dan Berkelanjutan: Realita vs Utopia? A. Pengembangan Kapasitas Program pengembangan kapasitas Ornop mitra berjalan dengan pilihan kegiatan sebagai berikut: pertama, Pertemuan Reguler Triwulanan Mitra diselenggarakan sebanyak 20 kali; kedua, Workhsop/Semiloka/ Lokakarya Thematis dilaksanakan sebanyak 9 kali; ketiga, Konsultasi Bilateral Mitra dilakukan sebanyak 4 sampai 6 kali setiap mitra (rata-rata 5 kali pertemuan tiap tahun. Komunikasi umum untuk semua mitra dilakukan juga melalui Email, Telepon dan Skype sebagai media distribusi dan up date informasi. Komunikasi kusus bersifat bilateral dilakukan untuk media konsultasi jarak jauh terkait dengan masalah kerja sama dan komunikasi dengan lembaga donor. Pertemuan Mitra secara reguler diselenggarakan setiap tiga bulan sekali (empat kali dalam setahun) yang tempatnya ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama. Agenda pertemuan didasarkan pada masalah dan kebutuhan mendasar yang dihadapi oleh para mitra. Kategori pertama adalah kebutuhan umum yakni usulan kebutuhan pengembangan kapasitas dapat dilakukaan secara bersamasama seluruh mitra. Sedangkan kategori kedua, adalah kebutuhan khusus yakni kebutuhan pengembangan kapasitas yang sangat partikular dan spesifik dari salah satu atau beberapa organisasi mitra. Lantaran karakteristiknya yang partikular, maka pelaksanaan program dilakukan secara terpisah, yaitu pada saat kunjungan konsultasi (konsultasi bilateral) untuk masing-masing mitra oleh tim SHEEP yang telah ditetapkan dan disepakati sejak awal. Dalam proses konsultasi difasilitasi oleh tim fasilitator yang kapasitasnya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing organisasi mitra. Penegasan maupun pengguliran isu partikular menuju isu general sangatlah dimungkinkan pada setiap sesi sharing di pertemuan triwulanan. Bagaimanapun juga, pertemuan triwulanan itu dapat dimaknai sebagai ajang di antara organisasi mitra untuk saling bertukar pengalaman, wawasan, dan pengetahuan. Pada lain kesempatan, pagelaran workshop, semiloka, atau lokakarya—yang biasanya mengundang narasumber, pakar, yang kompeten pada bidang tertentu— diposisikan sebagai pembingkaian (framing), pengayaan bersama, atau dapat juga menjadi pengisian kembali (recharging) pengetahuan dan spirit bagi para aktivis organisasi mitra. 17
Aktivitas konsultasi bilateral yang secara khusus diasistensi oleh fasilitator tetap tiap mitra sebagai kontak dan pendamping dalam proses pendalaman dari pengembangan kapasitas (depening capacity building) bagi setiap organisasi mitra. Beragamannya visi dan misi organisasi mitra membuat kebutuhan pengembangan kapasitas juga beragam. Dalam hal ini, asistensi harus menyesuaikan kebutuhan khusus sesuai dengan problematika yang dihadapi masing-masing organisasi mitra. 1. Metode Asistensi Dalam program pengembangan kapasitas mitra, SHEEP sebagai pendamping menggunakan beragam metode dalam pelaksanaan program, terutama terkait dengan alat-alat/perangkat seperti matrik perencanaan, ilustrasi siklus proyek dan efektifitas proyek berikut elemen-elemen dan substansi dari keseluruhan Proses Perencanaan Strategis organisasi, formulasi contoh pengelolaan proyek, dll. Pengenalan berbagai alat/perangkat tersebut dapat memberikan pengetahuan praktis dan mendorong organisasi mitra dapat menganalisis dan mengelola dengan cepat sesuai butuhkan. Jika dirinci lebih jauh, metode asistensi tersebut terrepresentasikan dalam lima (5) bentuk yaitu: a. Konsultasi bilateral (antara Tim fasilitator dan organisasi mitra) melalui kunjungan langsung ke setiap lembaga. Aktivitas yang senantiasa dilakukan meliputi diskusi dengan semua pemangku kepentingan internal tentang menejemen/pengelolaan proyek, mengkaji ulang visi dan misi, pengembangan program, system PME (Planning, Monitoring and Evaluation), mengkaji ulang struktur dan fungsi, perencanaan strategis organisasi, komunikasi dangan para pemangku kepentingan utama, dan berdiskursus seputar pemutakhiran isu-isu aktual. Sekadar catatan saja, terkait dengan metode asistensi teknis melalui kunjungan ini, SHEEP menggunakan metode pendampingan dengan terlebih dulu mengkonfirmasi ada tidaknya pengembangan metode lain yang digunakan organisasi pendamping lain (selain SHEEP), sehingga semua aspek dapat disinergikan dan disinkronkan dengan metode yang ditawarkan/dikembangkan. b. Metode Pertemuan antar organisasi mitra diselenggarakan secara regular untuk dijadikan media saling berbagi persoalan dan peluang solusinya. Pertemuan juga dipergunakan untuk saling membangun solidaritas dan penguatan serta konsolidasi di antara mereka. Organisasi mitra juga mengalami penguatan dalam menjalin komunikasi dengan para pemangku kepentingan eksternal. Dalam pertemuan mitra tersebut, proses monitoring dan evaluasi dengan serta merta dapat dilakukan juga. c. Fasilitasi workhsop tematik. Fasilitasi berupa penyelenggaraan workshop tematik ini sangat penting terutama untuk memberikan iklim diskursus yang berpotensi untuk memberikan dampak pada strategi organisasi 18
mitra secara efektif. Sekadar menyebut beberapa contoh workhsop tematik yang pernah digelar itu diantaranya: Spirit Sosial Keberlanjutan Ornop; Kemitraan strategis antar Ornop dan Donor; Penyusunan Modul Pengembangan Kapasitas oleh Komisi Konsultasi dan Kemitraan; Pengorganisasian Masyarakat; Strategi Keberlanjutan Organisasi dan Tata Kelola Keuangan Berdasarkan PSAK-45; Konsolidasi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Proses Demokratisasi: Peluang dan Tantangan Internal-Eksternal; Pengembangan Kapasitas Ornop; Membangun Sinergi untuk Penguatan Masyarakat Sipil Indonesia; Peningkatan Kapasitas Organisasi Mitra dalam Sistem Planning, Monitoring dan Evaluation (PME). d. Disamping tiga metode asistensi tersebut di atas, metode yang tak kalah penting adalah metode komunikasi melalui telepon, email dan skype. Metode komunikasi via telepon dan email dapat melayani/menjawab kebutuhan organisasi mitra yang tidak/belum terakomodasi dalam berbagai pertemuan reguler, konsultasi mitra ataupun workhsop tematik di atas. Misalnya saja organisasi-organisasi mitra mendapatkan asistensi komunikasi dengan lembaga donor, penyusunan laporan, catatan proses pertemuan, dan tukar informasi maupun materi terkait program pengembangan kapasitas tersebut. e. Saling berbagi bahan-bahan bacaan dan berbagai perangkat pendukung bagi pengembangan kapasitas organisasi mitra. Kegiatan ini biasanya dilakukan bersaman dengan konsultasi mitra oleh tim pendamping. Selama program berlangsung, penggunaan kelima metode itu dioptimalkan dalam setiap tahapan proses. Metode itu tidak linier namun dijumbuhkan dengan konteks kebutuhan dari seluruh ataupun sebagian organisasi mitra. Semaksimal mungkin metode itu sinergis dan fungsional demi lancarnya seluruh kegiatan dalam proses asistensi organisasi mitra 2. Penilaian Organisasi Mengawali proses, tim pendamping/fasilitator melakukan penilaian (assessment) awal pada semua mitra. Matrik kunci yang digunakan pada penilaian awal itu diantaranya meliputi beberapa hal yaitu: pertama, bagaimana perencanaan, monitoring, evaluasi dan strategi dari organisasi mitra sudah diketahui oleh seluruh pemangku kepentingan; kedua, apakah organisasi mitra sudah memiliki kebijakan tertulis tentang perencanaan, perencanaan, monitorin, evaluasi tersebut; dan ketiga, jenis-jenis perencanaan monitoring, evaluasi apa saja yang dimiliki dan dijalankan oleh organisasi mitra. Berdasarkan hasil penilaian (assessment) awal tersebut, tim pendamping menetapakan tiga tingkat kapasitas PME yang ada di seluruh organisasi mitra, yaitu: level pertama adalah level terendah yaitu level organisasi yang 19
sebagian pemangku kepentingan internal baru memiliki pengetahuan tentang pentingnya sistem PME; level kedua adalah level yang semua pemangku kepentingan internal memiliki kesadaran untuk menyusun sistem PME dan beberapa aktivitasnya telah terintegrasi dalam sebuah siklus PME namun belum memiliki/didukung dengan kebijakan-kebijakan tertulis organisasi; dan level ketiga atau level tertinggi adalah level dimana dalam organisasi sudah ditandai dengan berjalannya sistem PME dan telah didukung dengan kebijakan dan aturan organisasi secara jelas. Dalam cakupan yang lebih luas, telah teridentifikasi setidaknya ada empat persoalan mendasar yang sering dihadapi banyak Ornop di Indonesia, tak terkecuali sejumlah kasus organisasi mitra. Pertama, krisis ideologi. Krisis ini adalah fenomena yang khas di Indonesia, dimana banyak Ornop lokal yang kerangka konseptualnya jelas tidak mendukung keberadaan mereka. Sebagai akibatnya, mereka tidak memiliki alasan yang jelas tentang spirit dan ideologi yang harus mereka perjuangkan. Sebagian besar mereka masih menggunakan gagasan filantropis. Hal itu tercermin dalam aktivitas yang mereka lakukan masih cenderung berkarakter karitatif ketimbang pemberdayaan. Kedua, krisis identitas. Sebagai dampak dari persoalan krisis ideologi di atas, banyak Ornop yang kemudian jatuh dalam persoalan krisis identitas ini. Mereka kesulitan untuk mengambil posisi di timbunan persoalan sosial yang muncul di sekitarnya. Maka menjadi tidak mengherankan jika strategi kerja di kalangan Ornop pun menjadi pragmatis. Ketiga, oligarki. Kebanyakan Ornop di Indonesia identik dengan figur personal. Ketergantungan Ornop pada figur persoanal itu tentu saja sangat mempengaruhi dua persoalan di atas. Pada tingkat praksis, sosok pimpinan akan berpengaruh dominan pada perspektif Ornop dalam implementasi program-program dan kehidupan organisasi. Maka sangat mudah terjebak juga pada pola kerja yang oligarki tanpa ada proses distribusi kekuasaan yang demokratis. Sirkulai kekuasaan dari kalangan pertemanan yang eksklusif dalam relasi figure personal. Keempat, tidak memiliki basis yang kuat. Ada begitu banyak Ornop yang tidak memiliki basis komunitas. Mereka bekerja hanya berbasis proyek dan bukannya didasarkan pada basis masyarakat. Padahal secara umum, mereka memiliki orientasi pelembagaan organisasi rakyat tetapi sering tidak mempunyai basis yang jelas. Terkait dengan berbagai perangkap persoalan Ornop di atas, dalam kerangka kepentingan menyiapkan program pengembangan kapasitas organisasi mitra, dilakukan assesment awal yang komprehensif dengan menggunakan sejumlah variabel, sub variabel, indikator, parameter, instrumen (berupa skala data) yang terjabar dalam perangkat kuisener. Secara khusus, kuesiener yang digunakan oleh tim pendamping berfokus pada aspek pengembangan kapasitas organisasi mitra dalam bentuk organisation scan yang mencakup dua dimensi pokok. Pertama, berubahnya capaian program yang 20
telah didapatkan; dan kedua, kebutuhan dan strategi untuk pengembangan organisasi mitra ke depan. Beberapa komponen yang tercakup dalam organisation scan di antaranya adalah sebagai berikut:5 a. Position: kredibilitas, nilai dan citra b. Thinking and Learning: pengembangan konsep, visi/misi, nilai dasar, strategi c. Action (Doing): relevansi, keefektifan, keefektifan biaya, kualitas pelayanan, koherensi d. Existance (Being): legal status, tata kelola, manajemen dan kepemimpinan, staf, kultur, struktur, sistem dan prosedur (termasuk monitoring dan evaluasi) dan manajemen keuangan. e. Relation: aliansi strategis dan donor f. Balance: visi-misi-capaian-strategi-program-struktur-sistem-sumber daya manusia, kultur, dan hardware – software (visi, misi, personil, kultur) Berbagai komponen organisation scan tersebut dapat dicermati selengkapnya dalam bagan berikut.6
Dikutip dari SHEEP Indonesia, 2009, Comprehensive Evaluation Report Capacity Buildong for ICCO & Kerkinactie Partners in Java, hlm. 16 6 Dibagankan ulang dari kutip dari SHEEP Indonesia, Penilaian Organisasi Secara Komprehensif. Acuan penilaian itu bisa dilihat dalam lampiran 2 buku ini. 5
21
Setelah melalui proses organisation scan di atas, sekilas dapat dilihat berbagai tahapan dari proses pelaksanaan program pengembangan kapasitas organisasi mitra tersebut. Selama program berlangsung, tahapan intervensi dapat dikelompokkan berdasarkan capaian tahapan (output dan outcome program) dalam suatu kerangka kerja program. 3. Alur Kerja Program Pada tahun pertama (Agustus 2005 – Agustus 2006), inisiasi program mulai dilakukan secara tematik. Pada periode ini merupakan tahapan formasi program. Mitra menginisiasi program dengan menggelar workshop untuk mengkaji tema: “Spirit Sosial Keberlanjutan Ornop” dengan menghadirkan dua nara sumber yaitu: Dr. Susetiawan dan Bonar Saragih. Hasil kajian ditindak lanjuti dengan pertemuan yang mensepakati tiga agenda yaitu: 1). Menyusun rumusan strategi bersama untuk peningkatan kapasitas mitra; 2). Menyusun konsep kemitraan strategis menurut versi mitra.; dan 3). Bersamasama memetakan positioning organisasi mitra. Pada tahun kedua (Nopember 2006- Agustus 2007): 1). Menggelar penilaian (assessment) organisasi mitra; 2). Kajian dan masukan (Review & Feed Back) dari Penilaian Organisasi; 3). Pendetailan program peningkatan kapasitas selama 1 tahun dan revisi organizational scan; 4). Pemetaan kendalakendala mitra dan perumusan strategi peningkatan kapasitas. Pada tahun ketiga (Nopember 2007 - Oktober 2008): 1). Menjaring masukan dari mitra dan perumusan prioritas pengembangan kapasitas untuk lembaga; 2). Perumusan langkah-langkah tindak lanjut lokakarya transformasi sosial dan memonitor pengembangan kapasitas mitra; 3). Review capaian pengembangan kapasitas dan perumusan pokok-pokok pikiran strategi peningkatan kapasitas; 4). Perumusan bentuk operasional strategi keberlanjutan organisasi dan perumusan perluasan cakupan pengembangan kapasitas bagi seluruh pemangku kepentingan organisasi Pada tahun keempat (Desember 2008 – April 2010): 1). Perumusan masalah dan kebutuhan untuk pengembangan tata kelola yang berkelanjutan. Dilanjutkan dengan perumusan garis besar isu untuk lokakarya thematis dengan melibatkan para pengambil dan pelaksana kebijakan.; 2). Kesiapsiagaan organisasi mitra menghadapi dampak kebijakan lembaga donor dan perumusan strategi alternatif konsolidasi internal antar organisasi mitra.; 3). Sharing informasi dan up date kebijakan lembaga donor; Monitoring capaian program pengembangan kapasitas organisasi mitra; Penyesuaian rumusan strategi dan rekomendasi pengembangan kapasitas dan pola kerjasama antar mitra; 4). Sharing informasi dan up date kebijakan pemangku kepentingan utama eksternal; Dan perumusan rekomendasi aksi untuk pengembangan kapasitas dan pola kerjasama antar organisasi mitra ke depan. Pada tahun kelima (Juli 2010 – Desember 2010): 1). Pemaparan hasil 22
Assessment PME; 2). Perumusan indikator keberhasilan pengembangan kapasitas sistem PME; dan kesepakatan agenda aksi pengembangan kapasitas dalam pengembangan sistem PME secara kolektif.; 3). Pembahasan masalah dan kebutuhan internalisasi sistem PME; dan pengembangan sinergi organisasi mitra dalam merespon dampak bencana Kawasan Merapi; 4).Internalisasi problematika dalam penerapan sistem PME di tingkat organisasi mitra; dan Penyikapan atas realita kapasitas organisasi dalam sistem PME untuk mewujudkan tata kelola yang baik. Pada tahun keenam (Mei 2011 - 2011): 1). Identifikasi masalah implementasi tindak lanjut masing-masing lembaga terkait dengan kebijakan lembaga donor; 2). Perumusan strategi bersama terkait kemitraan kedepan dan Model desain evaluasi mitra agar dapat melihat tingkat capaian secara mendalam. Proses evaluasi akhir program. Jika program enam tahun tersebut dibagankan berdasarkan capaian hasil program (outputs/outcomes) sampai pada capaian dampaknya (impact), maka dapat dilihat pada bagan sebagai berikut.7
Dibagankan ulang dari SHEEP Indonesia, 2009, Comprehensive Evaluation Report Capacity Buildong for ICCO & Kerkinactie Partners in Java, hlm. 13. Untuk mencermati lebih lanjut mengenai rincian program pengembangan kapasitas selama enam tahun di atas, lihat lampiran 1 buku ini. 7
23
B. Ornop Ideal: Gugatan Realitas-Aktual8 Di dalam dunia gerakan sosial, Ornop (Organisasi non Pemerintah) sebagai organisasi yang merepresentasikan kiprah masyarakat sipil dalam dinamika pembangunan, bila diklasifikasikan—secara simplistis—memiliki dua watak dominan, yaitu watak ekonomi dan watak sosial. Seiring perkembangan jaman dan kompleksitas perubahan masyarakat, kedua watak Ornop itu akhirnya sulit diidentifikasi secara jelas dan terpilah. Bila ditinjau secara sejarah, Ornop pada masa Orde Lama tidaklah populer. Ornop mulai populer semenjak partai-partai politik (parpol) difusikan. Sejak terjadinya difusi partai politik itu, banyak kalangan merasa tidak ada lagi wadah gerakan. Maka sejak itu muncul gagasan untuk melakukan dekonstruksi sosial. Dekonstruksi itu ditandai dengan dihidupinya ruh pembebasan yang diaktualisasikan dalam kerja-kerja Ornop tersebut. Dalam perkembangannya nanti, kerja-kerja dekonstruksi dari kalangan masyarakat sipil itu hadir sebagai kritik riil di tataran praksis terhadap gagalnya negara dan sektor swasta dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam ruh/spirit itu, Ornop berupaya membebaskan masyarakat yang terpinggirkan dan bahkan tergilas oleh proses pembangunan. Dalam hal ini, Ornop mengambil peran sebagai kekuatan oposisi untuk memperjuangkan keadilan dengan cara melawan pemerintah yang lalim dan otoriter. Perjuangan itu tentu saja dilakukan secara underground, tetapi dibalik gerakan sosial bawah tanah terkandung unsur politik. Karenanya, Ornop yang didirikan pada masa Orde Baru sebagian besar memiliki watak politik. Hal itu tentu relevan dengan konteks jaman, dimana pada saat itu pemerintah Orde Baru melarang didirikannya organisasi-organisasi politik. Karenanya, banyak Ornop yang muncul pada saat itu cenderung memiliki karakter politik yang relatif kental ketimbang masa-masa sesudahnya. Watak politik dalam Ornop waktu itu lebih didasarkan karena organisasi politik yang ada dibungkam dan ditelikung. Sehingga, Ornop-Ornop yang terlahir pun berwatak liberatif, setidaknya memiliki cita-cita untuk melakukan pembebasan dari ketertindasan. Gerakan sosial semacam itu dilakukan untuk mencapai sebuah kesadaran: perlawanan terhadap segala praktik penindasan oleh penguasa. Dari ulasan singkat di atas, ada beberapa gugatan yang perlu direfleksikan oleh Ornop dalam menjalankan karya-karya pelayanannya. Pertama, apakah Ornop beserta para pegiat yang bergabung didalamnya benar-benar memahami organisasinya, semisal bukan hanya soal pilihan jabatan strukturalnya, melainkan juga prinsip-prinsip, nilai-nilai, ataupun spirit yang dihidupinya? Terkait dengan Paparan ini disunting dari notulensi workshop di Sheep Indonesia yang bertemakan “Spirit Sosial Keberlanjutan Ornop”. Dua pembicara utama dalam workshop tersebut adalah Susetiawan, Ornop: Kini Berjalan Tanpa Ruh dan Bonar Saragih, Kemitraan yang Setara untuk Kelangsungan Ornop sebagai Gerakan Sosial. 8
24
itu, terjumpai kasus di sebuah Ornop. Ornop tersebut telah berhasil melakukan proses penyadaran pada masyarakat. Masyarakat yang didampingi pun tercerdaskan dan menguasai banyak isu. Kemudian masyarakat yang didampingi itu menanyakan bagaimana caranya agar dapat mengakses langsung donor internasional. Kasus semacam itu tentu merepotkan Ornop pendamping. Pastilah ketidakrelaan lantaran khawatir tersaingi akan menjangkiti Ornop pendamping. Tak akan ada proyek lagi bagi Ornop itu jika masyarakat dapat mengakses dana langsung dari donor internasional. Makna yang dapat ditangkap dari kasus itu adalah bahwa pada dasarnya Ornop nampak tidak berbeda dengan pemerintah. Mereka berusaha menjadikan masyarakat sebagai obyek dalam struktur mediasi donor. Rupanya masyarakat pun tertarik pada jasa mediasi dalam mengakses dana dari donor yang selama ini menjadi lahan kerja para pegiat Ornop. Kasus semacam ini dapat dimaknai bahwa spirit pembebasan yang semula dimiliki kini telah mengalami pergeseran, dari yang semula berwatak sosial menjadi berwatak ekonomi. Maka selanjutnya, gugatan kedua yang juga pantas untuk direfleksikan adalah apakah gambaran organisasi sosial yang pada masa lalu memiliki cita-cita penyadaran dan pembebasan semacam itu, pada saat sekarang ini masih dapat kita temukan? Tak bermaksud menjawab langsung gugatan itu, setidaknya ada tiga catatan yang sering mengemuka terkait dengan persoalan itu, yaitu bahwa:1). Ornop terkesan bermain retorika. Modusnya dapat dikenali dalam tanda-tanda yang gamblang. Misalnya, mereka bermain retorika dengan menjajakan berbagai gagasan dan isu yang memungkinkan untuk dijual. Artinya aktivitas yang dilakukan hanya berdasarkan pada proyek belaka; 2). Ornop yang semula menjalankan sebuah konsep penyadaran/gerakan sosial pada akhirnya hanya “jualan” konsep belaka, dan celakanya lagi mereka sendiri tidak siap atau bahkan gagap dengan konsep penyadaran/ gerakan sosial yang sebenarnya; 3). Dalam situasi semacam itu maka dapat dikatakan bahwa Ornop hanya bertindak sebatas sebagai “operator”, atau broker proyek belaka. Gugatan ketiga, apakah Ornop mampu berkembang tanpa adanya tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap donornya? Dalam perkara satu ini muncul sebuah kekhawatiran yang menyundut secara eksistensial atas Ornop itu sendiri. Meminjam perspektif skeptisisme, jangan-jangan Ornop ini merupakan aparatus modern kapitalism. Jika premis itu benar, tidaklah mengherankan apabila perguliran dana dari donor internasional selain telah berandil pada menjamurnya Ornop, juga telah berujung pada tergerusnya watak gerakan hingga berubah menjadi semacam penampungan tenaga kerja belaka. Karena pegiat Ornop yang makin masif bak penampungan tenaga kerja itu memunculkan keresahan ikutannya yaitu keberadaan sejumlah Ornop yang selama ini disinyalir tidak menggarap gerakan sosial namun terindikasi kuat hanya meng-komodifikasi keributan (kendati itu dapat dibalut dengan motif politik tertentu). Gugatan keempat, bagaimana caranya membiayai dan menangani berbagai aktivitas organisasi, tetapi dengan tetap menjalankan gagasan dan spirit yang ada sebagai basis gerakan? Dalam 25
konteks ini, dapat digagas misalnya dengan cara melakukan proses bargaining position dengan donor internasional, agar program yang dijalankan tidak harus tunduk pada platform mereka secara kaku. Jika demikian mekanismenya, apakah donor internasional itu masih bersedia untuk mendanai program? Poin penting itulah yang mesti direfleksikan dan pikirkan untuk menemukan jawabannya. C. Ornop dan Gerakan Sosial9 Beberapa gugatan di atas pada dasarnya merupakan realitas faktual yang mesti dihadapi Ornop di era kapitalisme mutakhir saat ini. Kesemuanya merupakan kritik atas pergeseran peran Ornop sebagai “motor” gerakan sosial. Di sini, peran Ornop dipertanyakan kembali, utamanya yang terkait dengan ideologi, spirit, dan karakter gerakan strategisnya untuk mengawal perubahan sosial di masyarakat. Pada tataran ini, perlu ada kejujuran terhadap diri sendiri dan terbuka dalam merespon berbagai kritik tersebut. Ornop lahir dari suatu idelisme gerakan yang ingin mencapai tujuan tertentu. Idealisme itu biasanya tertuang di dalam visi dan misi organisasi yang menjadi dasar atau landasan nilai dan gerak dari organisasi tersebut. Seiring perkembangan Ornop, baik dalam hal kapasitas, program, dan kepercayaan donor, tidak jarang membuat Ornop yang bersangkutan justru bergeser dari visi dan misinya semula. Salah satu sebabnya karena tuntutan platform donor yang acap kali sangat kaku (rigid). Banyak kasus menunjukkan betapa konsekuensi perkembangan Ornop itu justru berandil besar dalam memicu konflik internal organisasi. Alih-alih menjadi pembebas bagi masyarakat yang terpinggirkan ataupun menyadarkan si kaya untuk memiliki jiwa sosial, mereka sendiri justru menjadi bagian dari masalah/hambatan dalam gerakan sosial itu sendiri. Dalam situasi semacam itu, Ornop tak cukup berdaya untuk menjadi agen perubahan (agent of change) yang dapat membebaskan masyarakat yang miskin dan terpinggirkan dari perangkap ketertindasannya. Jika sudah sedemikian jauh kemelencengan dari visi dan misi itu terjadi, lantas bagaimana mesti disikapi hal itu? Apakah Ornop masih dapat berjalan pada rel semula, kembali ke kithah-nya sebagai agen perubahan sosial? Di sinilah letak persoalan mendasar dari Ornop: kemandirian. Patut disadari bahwa kata kemandirian bukanlah konsepsi solid yang nirprasyarat. Kemandirian merupakan ramuan dari beragam anasir yang tak mudah untuk dipahami,terlebih direalisasikan. Kemandirian adalah “kesendirian” yang bukan berarti tidak butuh orang lain. “Kesendirian yang dimaksud merujuk pada kondisi otonom-otoritatif untuk menginisiasi dalam memposisikan diri, mengatur diri, dan mengaktualisasikan diri (self-initiating, self-adjusting, selfPaparan ini dikembangkan dari berbagai tanggapan audiens—organisasi mitra KIA—atas presentasi seminar Susetiawan,Ornop: Kini Berjalan Tanpa Ruh, dan diperkaya dengan mengelaborasi presentasi Bonar Saragih, Kemitraan yang Setara untuk Kelangsungan Ornop sebagai Gerakan Sosial. 9
26
actualization) dengan mendasarkan diri pada nilai yang dipercayai. Singkatnya, kemandirian adalah sebuah kondisi/situasi dimana seseorang atau kelompok orang secara otonom berani bertindak dan mengambil risiko dalam menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan nilai, prinsip, atau idealisme yang diyakininya. Terkait dengan upaya mengakses dana layanan kemanusiaan ke lembaga donor, Ornop harus memiliki posisi tawar (bargaining position) secara setara. Di tengah upaya mengembang spirit profetik pembebasan untuk kaum miskin, kelaparan dan terpinggirkan, Ornop juga memiliki peluang untuk menginisiasi kegiatan ekonomi produktifnya sendiri. Ornop tetap memerlukan sayap ekonomi produktif tersebut. Bagaimanapun juga spirit profetik dan spirit ekonomi tidak dapat dipertentangkan secara biner. Agar watak profetik Ornop tidak bergeser ketika secara kelembagaannya berkembang, maka perlu upaya penyiapan manusia dengan merancang sistem internalisasi nilai-nilai dan spirit secara berimbang (ideologi dan praksis) di dalam Ornop masing-masing. Seoptimal mungkin nilai-nilai itu terposisikan sebagai way of life dari para pegiat atau staf yang tergabung di dalamnya. Hal yang juga tak kalah penting adalah perlunya membangun dan memperbaiki struktur dan sistem sosial-ekonomi. Jika keduanya diimplementasikan secara berimbang maka Ornop yang strategis dan berkelanjutan dapat terealisir. Dengan demikian, spirit gerakan sosial berpeluang besar untuk tetap terjaga pula. Kendati demikian, patut dicatat di sini bahwa keberlanjutan (sustainability) itu tidak selalu berkorelasi dengan kepemilikan resources yang besar ataupun didukung oleh donor yang kuat. Banyak kasus menunjukkan bahwa dukungan donor yang kuat ataupun resources yang besar pada akhirnya justru berujung keruntuhan (collapse) lantaran salah urus (mismanagement). Dalam hal ini, nampaknya perlu menggunakan metode “berfikir di luar tempurung” (think out of the box) bahwa bukanlah perkara besarnya sumberdaya (terutama material) ataupun kuatnya donor yang dihitung untuk merancang keberlanjutan sebuah Ornop. Melampaui itu semua, ada hal yang lebih penting dan krusial untuk dipertimbangkan terkait dengan aspek keberlanjutan tersebut. Hal yang dimaksud adalah tentang bagaimana caranya dapat diletakkan bangungan keberlanjutan itu dalam pondasi nilai-nilai gerakan sosial yang lazim menjadi penciri keberadaan Ornop itu sendiri. Untuk dapat membangun nilai-nilai gerakan sosial, Ornop dituntut memiliki kapasitas dan ketrampilan untuk berjejaring dan meluaskan kemitraan di antara sesama Ornop. Adalah keutamaan jika ada Ornop yang besar menyediakan peluang yang besar pula bagi terwujudnya jejaring sosial diantara Ornop-Ornop yang kecil lainnya. Demikian pula sebaliknya, Ornop yang kecil perlu lebih aktif dan bertekun mendinamisir diri dalam jejaring yang ada. Dengan demikian akan terjadi sinergi di antara Ornop yang ada, sehingga terbentuk sebuah komunitas epistemik (epistemic community) dengan menjangkarkan keseluruhan prosesnya pada kehendak untuk saling berbagi dan saling menguatkan baik dalam 27
kepedulian, spirit gerakan, nilai-nilai solidaritas di antara anggota jejaring itu dalam bingkai kemitraan yang setara dan sinergis. Bagaimanapun juga, upaya untuk membentuk komunitas epistemik semacam itu dibutuhkan peran besar para intelektual organik yang berakar pada konteks sosio-sejarah dan kultural masyarakat dimana mereka hidup. Dalam komunitas epistemik semacam itulah sosok-sosok local genius akan terlahir dan besar bersama gagasan organiknya yang merepresentasikan berbagai suara dan kebutuhan masyarakat terhadap perubahan sosial yang berkarakter pembebasan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disarikan beberapa poin penting yang terkait dengan Ornop sebagai “motor” gerakan sosial. Adalah sebuah keniscayaan bahwa Ornop, seperti halnya organisme manusia, tidak terlepas dari kebutuhan spiritual, sosial, dan fisik. Upaya untuk menyeimbangkan ketiganya tentu saja membutuhkan waktu dan proses yang tak berkesudahaan. Bagimanapun juga Ornop harus senantiasa berdialog dengan konteks perubahan yang mensejarah itu. Tak pelak lagi, Ornop pun harus senantiasa siaga menghadapi berbagai macam tantangan yang tidak ringan untuk ditaklukkan. Tantangan terbesar Ornop yang banyak menuai sorotan adalah kian tergerusnya benteng pertahanan Ornop untuk mengemban spirit gerakan sosial. Padahal itulah khitah Ornop sesungguhnya. Dalam tataran praksis spirit itu dapat diejawantahkan dalam berbagai penegasan sikap dan tindakan yang senantiasa mengacu pada orientasi pembebasan. Dalam konteks Indonesia, Ornop dapat menjumbuhkan opsi praksisnya sesuai konteks semasa. Misalnya, Ornop dapat mengejawantahkan praksis pembebasan itu dengan melakukan advokasi dan penyadaran publik (dengan metode pemikiran kritis dan dekonstruksi) demi tergalangnya kekuatan perang melawan birokrasi yang korup, perang melawan kemiskinan dan kelaparan, penolakan atas segala bentuk tindak kekerasan, penguatan demokrasi dan perdamaian, dan lain sebagainya. Inti dari seluruh uraian di atas adalah perihal daya upaya civitas Ornop untuk memperjuangkan sebuah nilai keutamaan yang menjadi elan vital dari corpus Ornop itu sendiri yaitu spirit gerakan sosial.Terlalu mahal bagi Ornop untuk menggadaikan spirit gerakan sosial itu sekadar untuk mengais “keuntungan palsu”(fake profit) atau “keuntungan sekali pakai” (disposable profit) dalam struktur mediasi donor. Bagaimanapun spirit dan moral gerakan sosial akan menegaskan bahwa Ornop bukanlah saudagar, pialang,broker, makelar, ataupun blantik, yang mengkomodifikasikan proyek-proyek pembangunan sekadar menuruti mental loba haus laba. Ornop juga bukanlah operator, kurir, pelansir proyek yang gemar mengkomodifikasikan berbagai layanan kemanusiaan. Maka dalam spirit gerakan sosial ini, seluruh cita-cita itu tentu berpulang sepenuhnya kepada itikad dan tekad Ornop untuk menjalaninya. Tak akan ada azab apapun untuk watak konsisten. Peluang keberlanjutan Ornop akan senantiasa terbuka, kendatipun ia mengambil opsi tegas untuk tetap konsisten menghidupi spirit gerakan sosial tersebut, bahkan mungkin dalam dinamika perubahan peradaban yang 28
menghimpit sekalipun. D. Kemitraan Setara dan Ornop yang Berkelanjutan10 Jika uraian sebelumnya lebih banyak berfokus pada persoalan ideologi dan spirit gerakan, pada uraian berikut akan mendiskusikan persoalan Ornop pada tataran yang relatif praktis: yakni soal sumber daya. Selain harus mengakarkan diri pada pondasi spiritnya, Ornop juga perlu menggagas adanya dukungan sumber daya yang memadai. Kendati bukan satu-satunya cara, namun hal yang lazim ditempuh Ornop untuk mendapatkan sumber daya adalah menjalin kerja sama dengan lembaga donor. Namun bukan berarti itu tanpa kendala. Kasus menunjukkan banyak Ornop sering menghadapi berbagai kendala dalam menjalin kerja kemitraan dengan donor. Dalam usaha membina hubungan dengan donor, Ornop sering menjumpai beberapa hambatan seperti: 1) Adanya prosedur dan administrasi yang rumit; 2) Keterbatasan kapasitas internal organisasi; 3) Sumber daya manusia terbatas apalagi yang mempunyai kompetensi komunikasi dengan lembaga donor. Tiga hambatan itu nampaknya lazim dirasakan oleh banyak Ornop di Indonesia. Dalam situasi semacam itu, maka tidak mengherankan jika Ornop gagap berjejaring dan pada akhirnya gagal menundukkan inferioritasnya sendiri. Alih-alih berposisi setara dalam kerja kemitraan dengan donor, cara mengakses donor pun banyak Ornop tak memiliki kapasitas dan ketrampilan yang memadai untuk itu. Bermula dari sindrom inferioritas itu, banyak pegiat Ornop yang bias anggapan bahwa donor dalam menjalin relasi dengan Ornop di Indonesia hanya mengandalkan pada kredibilitas personal seseorang yang dikenalnya saja (contact person). Menurut mereka, situasi itu tentu saja akan menyulitkan kalangan Ornop yang kecil untuk memperoleh akses ke donor, lantaran tiadanya contact person yang dikenal donor. Lantas bagaimanakah upaya yang mesti ditempuh Ornop lokal agar dapat menjalin relasi dengan donor jika kapasitas untuk itu pun tak dipunyai? Itulah pertanyaan yang teramat sering mengemuka dalam berbagai dialog antar aktivis Ornop di Indonesia. Kendati tendensius dan personal, keluhan lain yang cukup menarik untuk disimak adalah pengalaman buruk sebuah Ornop saat harus menghadapi broker-broker saat melakukan transaksi dana program dengan donor. Setiap kali transaksi program itu terjadi, si broker biasanya menuntut komisi. Celakalah bila komisi tak diberikan, kerjasama yang telah berlangsung menjadi memburuk lantaran broker-broker tersebut melakukan black campaign ke lembaga donor tentang lembaga yang tak memberikan komisi. Kendati itu persoalan yang kasuistik, namun setidaknya dapat dipahami bahwa dalam dunia Ornop pun tak terbebas dari belitan free rider semacam itu. Paparan ini dikembangkan dari presentasi Bonar Saragih, Kemitraan yang Setara untuk Kelangsungan Ornop sebagai Gerakan Sosial. 10
29
Ada banyak pandangan terkait dengan donor. Tentu saja itu terkait juga dengan pengalaman masing-masing Ornop pada saat bermitra dengan berbagai donor yang ada. Lagi pula donor hanyalah identitas general yang tak merepresentasikan karakter donor-donor yang sejatinya juga teramat beragam karakternya. Tak sedikit dari donor itu yang berkarakter developmentalis dan pragmatis. Teramat sering dijumpai juga donor yang ternyata justru memposisikan Ornop lokal tak lebih dari sekadar broker, pialang, makelar, atau blantik program layanan kemanusiaan ataupun pembangunan. Dalam konteks ini, menjadi tak berlebihan jika muncul tudingan bahwa Ornop merupakan aparatus modern kapitalism. Indikasi-indikasi yang begitu kuat itu kian menegaskan bahwa proses komodifikasi yang berlangsung dalam relasi Donor-Ornop itu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari mode of production kapitalisme global saat ini. Relasi asimetris oportunistik semacam ini tentu menjadi godaan yang sulit disingkiri apalagi ditolak oleh Ornop lokal. Selain karena butuh pendanaan, kalangan Ornop sendiri juga tidak sedikit yang secara ideologis lemah. Lemahnya benteng ideologis, menjadikan mereka lebih mudah takluk (menaklukkan diri) menjadi oportunis ketimbang idealis. Tentu saja, kelemahan ideologi itu disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor internal kelembagaan adalah yang paling menentukan. Andil faktor eksternal yang juga tak kalah menentukan adalah tiadanya platform atau code of conduct yang boleh jadi dapat berskala nasional/regional/lokal sebagai bagian melekat dari gerakan sosial Ornop itu sendiri. Sebagai entitas, kompleksitas persoalan itu tentu tidak kondusif untuk berfikir dan bertindak kritis atas donor yang destruktif semacam itu. Terlepas dari seluruh pengalaman di atas, sebagai institusi yang senantiasa dituntut bekerja secara profesional, donor ataupun Ornop bagaimanapun juga tetap memiliki standar dalam hal pendanaan. Setidaknya ada dua dasar penilaian donor atas Ornop pada saat mereka hendak menjalin relasi kerjasama. Dua aspek kunci tersebut: pertama, memiliki reputasi (credibility) dan kedua, memiliki kesamaan tujuan/cita-cita. Sebuah Ornop memiliki reputasi dapat ditilik dari bertemunya antara visi dan misi, yang lazimnya dapat terbaca (setidaknya implisit) dalam program-programnya. Keterpautannya ada dalam aspek-aspek program yang bermuatan nilai-nilai, ideologi, dan spirit lembaga. Selain itu, rujukan baku yang tak kalah pentingnya adalah perihal kemanfaatan program bagi subyek penerima manfaatnya di dalam suatu komunitas. Hal itu dapat terkait dengan karakter program yang tepat sasaran, tepat guna/manfaat, efisien, dan transparan dalam berbagai tahapan implementasinya. Sebagian besar donor yang besar dan mapan biasanya mampu mengidentifikasi dengan cepat tentang baik atau tidaknya sebuah program Ornop itu dirancang/diimplentasikan. Mereka pun piawai menentukan mana Ornop yang akuntabel atau tidak. Itulah beberapa indikator penentu reputasi Ornop. Semisal tilikan aspek akuntabilitas (accountability), donor akan mengkaji bukan 30
hanya perkara dana saja, tetapi juga segenap aspek dan proses yang menopang terrealisirnya kondisi yang akuntabel itu, termasuk di dalamnya perihal visi dan misi Ornop tersebut. Perkara reputasi ini memang seringkali terpaut dengan contact person yang dikenal donor. Kendati demikian, contact person itu sendiri bukanlah faktor kunci. Ia hanyalah faktor pendukung bagi Ornop untuk meraih kepercayaan donor pada tahap awal saja. Lagi pula contact person itu sendiri toh tidak akan dapat menjadi penjamin sepenuhnya bahwa program dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Bagaimanapun juga uji kerberlanjutan sebuah program sangat terpaut dengan kapasitas dan konsistensi kelembagaan yang akan diuji oleh waktu dan proses yang panjang, dan bukan jaminan instan dalam sosok contact person tersebut. Bahkan kalau ditimbang lebih jauh, keberadaan contact person itu dapat-dapat justru menjadi perangkap Ornop itu sendiri. Berisiko bagi kelembagaan Ornop ketika harus selalu mengandalkan/bergantung kepada satu orang contact person saja sebagai pihak yang dipercaya donor. Akan jauh lebih baik untuk memposisikan kapasitas kelembagaan sebagai jaminan kepada donor, ketimbang seorang contact person saja. Adalah suatu pertaruhan-rapuh jika sebuah Ornop hanya mengandalkan satu orang contact person. Itu memang penting dan diperlukan, namun tanpa mengesampingkan konsistensi kelembagaan dalam membangun relasi yang kuat dan baik dengan donor terkait. Selain faktor kredibilitas atau reputasi di atas, ada faktor lain yang perlu diperhatikan oleh Ornop terkait dengan akses donor. Sebuah Ornop yang memiliki kesamaan tujuan/cita-cita dengan donor biasanya memiliki peluang terbuka untuk didanai oleh donor tersebut. Dalam hal ini, visi dan misi yang sama itu memudahkan donor dapat secara efektif dan efisien menjalankan programnya. Dalam kesamaan itu, Ornop dituntut jeli menentukan pilihan isu-isu terkait dalam programnya secara komprehensif. Agar aksesibilitas pendanaan dari donor tercapai, maka Ornop perlu melacak dan mengenali donor-donor mana saja yang memiliki kesamaan/kedekatan dengan misi dan visi lembaganya. Melek informasi tentang donor itu sendiri menjadi prasyarat kunci yang tidak dapat diremehkan begitu saja. Lebih jauh, melek informasi itu sendiri akan kian tertopang jika terbangun jejaring Ornop yang kuat pula. Lagilagi, jejaring gerakan sosial berandil besar pada perkara pendanaan ini. Berbagai hal di atas dapat diposisikan sebagai cara pendekatan untuk mengakses dana dari donor. Maka setelah menerima proposal, donor akan menilai reputasi Ornop (kesesuaian visi, misi, program), mengkaji kesamaan/ kesesuaiandengan tujuannya. Tersadari ada hal yang tak jarang membuat gamang (acrophobia) Ornop yaitu perkara akuntabilitas. Akuntabilitas sering diidentikkan dengan keribetan administratif. Mereka dituntut memenuhi kriteria dan standar akuntabilitas yang ditentukan oleh donor. Tak jarang, Ornop kecil merasa kehabisan energi mengurusi keribetan administrasi ini. Berbagai dokumen pelaporan dan korespondensi acap menyandera tenaga dan pikiran para aktivisnya. Konsekuensinya, capaian-capaian program tidak optimal, 31
bahkan visi dan misi lembaga pun keluar dari relnya. Tentu saja, rumit tidaknya tuntutan akuntabilitas dari donor itu sangatlah relatif. Hal itu sangat ditentukan oleh kapasitas SDM dan manajerial masing-masing Ornop. Kalau pun toh rumit, bukan berarti itu harus dihindari ataupun dikeluhkan. Itu adalah konsekuensi yang tak terhindarkan dari jejaring sosial yang tak hampa dari tuntutan peran pihak-pihak terkait. Bukan saja Ornop penerima dana tetapi lembaga-lembaga donor pun dituntut untuk memenuhi prasyarat akuntabilitas tersebut. Lembagalembaga donor dari negara-negara Utara juga harus mempertanggungjawabkan dana yang disumbangkan oleh masyarakat mereka. Donor sendiri dituntut memberikan laporan yang akuntable kepada sumber dana mereka. Semakin transparan dan akuntabel lembaga donor, maka semakin besar tingkat kepercayaan publik atas mereka. Dalam hal ini, masyarakat akan lebih memilih membantu Ornop yang memiliki fokus pelayanan yang jelas. Jika dipilah, pendanaan donor di negara-negara Utara biasanya berasal dari empat sumber berikut: 1) Publik/ masyarakat; 2) Perusahaan/ korporasi; 3) Negara; dan 4) Kegiatan usaha sendiri. Sementara itu, untuk konteks Indonesia ataupun negara-negara Selatan lainnya, sumber pertama itu belum begitu populer sebagaimana di negara utara. Dengan kata lain, sumber pertama digantikan oleh donor-donor dari negara-negara Utara di atas. Perangkat sistem akuntabilitas menjadi konsekuensi sekaligus prosedur melekat pada alur donasi yang berjenjang semacam itu. Tuntutan akuntabilitas dari donor adalah pilihan terbaik yang memungkinkan semua pihak dapat saling berbagi peran dan kepercayaan dengan ringan tanpa beban prasangka. Dengan sistem itu, donasi dapat menjadi alat/sarana bagi terwujudnya visi dan misi layanan yang dicita-citakan banyak pihak. Pada tataran ini, akuntabilitas adalah persoalan ethics sekaligus ethos dalam ber-Ornop. Berbasis pada pemahaman itu, maka penting bagi Ornop untuk merubah sudut pandang atas “momok keribetan administratif ” yang melekat dalam kata akuntabilitas itu. Seribet apapun, pernak-pernik aktivitas administratif bagi terpenuhinya akuntabilitas dapat saling dikomunikasikan dan didialogkan bersama. Di ranah ethics sekaligus ethos, akuntabilitas itu tentu perlu dijumbuhkan dengan konteks dunia sosial yang beragam. Artinya, pada level praktis, berbagai aktivitas program yang diimplementasikan harus menimbang juga konteks masyarakat, tanpa harus abai terhadap nilai-nilai yang menjadi wewaler (batas aturan) dari akuntabilitas itu sendiri. Negosiasi dapat menjadi ruang untuk menumbuhkan tingkat kepercayaan di antara donor dan Ornop. Dalam negosiasi itu, segala sesuatunya berpeluang untuk didialogkan. Tepat pada ruang itulah fungsi dan peran kemitraan yang setara dan jujur menemukan tempatnya. Kesaling percayaan antara donor dan Ornop dapat menjadi pondasi yang kuat bagi keberlangsungan program maupun kemitraan yang setara. Dengan demikian program yang dijalankan semakin strategis, karena berpeluang lebih besar untuk fokus pada visi- misi lembaga yang menjadi asas dan prinsip dasarnya. Kesemuanya itu dapat terwujud dengan 32
adanya kemitraan yang setara dengan donor. Kemitraan setara akan semakin mengakar jika ditopang oleh sinergisitas dengan cakupan komunitas yang lebih besar sabagai elemen penguatnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, sebuah komunitas epistemik (epistemic community) dapat dibangun di kalangan Ornop lokal. Di tataran praktis, Ornop dapat membangun konsorsium bersama untuk menyatukan gerak dan langkahnya. Melalui wadah konsorsium itu, seluruh Ornop yang tergabung dapat saling menularkan spirit, gagasan, ketrampilan tertentu demi kemajuan dan perkembangan mereka, baik secara sendiri-sendiri maupun komunitas. Topang menopang dalam sisi kelemahan antar Ornop yang ada dapat berbalik menjadi potensi besar yang memungkinkan bagi mereka memiliki bargaining position dengan lembaga donor. Sehingga kemitraan pun dapat setara dan berkelanjutan. Selain kemitraan yang setara itu, ada beberapa aspek lain yang perlu dipertimbangan dalam kaitannya dengan upaya Ornop mempertahankan keberlanjutan program maupun lembaganya. Beberapa aspek itu di antaranya adalah sebagai berikut: a. Nilai-nilai/spirit yang ditempatkan pada kerangka kelembagaan yang sesuai dan proses yang transformatif bagi generasi berikutnya. b. Basis paradigma dan konseptual lembaga. Kedua hal ini merupakan unsur penentu karakter kelembagaan Ornop. Dengan basis paradigma dan konseptual tersebut, sebuah Ornop berkecenderungan memiliki kekaryaan yang terfokus. Menjadi tantangan tersendiri bagi Ornop untuk konsisten menginternalisasi basis paradigma dan konseptual ke dalam sistem dan mekanisme kelembagaannya. c. Pola kepemimpinan. Kepemimpinan sangat menentukan aspek keberlanjutan Ornop. Dalam banyak kasus Ornop di Indonesia, pola kepemimpinannya lebih berkarakter kepemimpinan kharismatik. Meskipun pola ini memiliki kelebihan namun tidak sedikit juga kelemahannya. d. Kemapanan sebuah sistem manajemen yang mencakup sistem manajemen SDM, keuangan, program dan jaringan kerja . Ditinjau dari aspek kelembagaan, sistem kelembagaan yang telah mapan ini memiliki berbagai sumber daya yang potensial (SDM, pendanaan, dll) untuk maju. Namun tidak tertutup kemungkinan, institusi yang mapan dan tambun semacam itu biasanya cenderung mengambil posisi aman, lamban, dan kurang luwes dalam gerakan sosial. Terkait dengan keberlanjutan itu, muncul trend global yang mempengaruhi gerakan-gerakan Ornop di dunia saat ini yaitu, kecenderungan donor untuk membangun konsorsium yang sangat besar. Perubahan peta kecenderungan di tingkat global itu bagaimanapun juga tak terhindarkan. Konsorsium ini mengarah pada unifikasi. Salah satu tujuan praktisnya adalah untuk efisiensi overhead. Trend itu timbul sebagai akibat bersatunya kekuatan negara utara dan 33
selatan. Hal itu tentu sangat berbeda dengan trend sebelumnya yang cenderung berbasis pada “personal relation”. Trend global semacam itu tentu saja berdampak pada kebijakan lembaga internasional yang membawa berbagai konsekuensi yang mesti dipertimbangkan oleh kalangan Ornop, terutama hal yang terkait dengan berbagai aktivitas pelayanannya yang mereka lakukan. Konstalasi global membuat kalangan Ornop harus lebih jeli dan kritis, baik dalam tataran paradigma, konseptual, strategi, metode pendekatan, dan implementasi program yang dirancangnya. Misalnya terkait dengan sistem rekruitmen, semakin banyak Ornop melakukan rekruitmen SDM berbasis pada profesi. Sistem rekruitmen berbasis profesi ini tentu saja akan mempengaruhi terjadinya perubahan pola manajemen kelembagaan. Dalam hal ini, kalangan Ornop perlu menumbuhkan kehendak dan kesadaran kritis dari dalam dirinya sendiri untuk membangun sistem kelembagaannya sendiri agar tidak terpinggirkan oleh perubahan jaman. Hal yang menjadi aspek kunci dalam hal ini adalah tumbuhnya kesadaran untuk melakukan pengembangan kapasitas diri. Dalam konteks itu, perubahan jaman nampaknya semakin menuntut Ornop untuk melakukan pelayanan berbasis ideologi dan pelayanan berbasis profesionalisme. Suka tidak suka, Ornop kini berhadapan dengan tantangan yang semakin tidak ringan dan kompleks. Jika Ornop mampu memenuhi prasyarat itu, maka besar peluang bagi Ornop tersebut untuk dapat membangun relasi yang setara dan berkelanjutan dalam jejaring gerakan sosial yang lebih besar. E. Pelayanan Berbasis Ideologi dan Profesionalisme11 Sebagaimana telah disebut di atas bahwa telah terjadi perubahan di tingkat global perihal unifikasi lembaga-lembaga internasional dalam wadah konsorsium. Perubahan itu mestinya membuat kalangan Ornop tergerak untuk segera menyusun berbagai langkah strategis sebagai antisipasi atas perubahan yang muncul tesebut. Seperti telah disebut pula, bahwa gambaran Ornop yang ideal di masa depan adalah Ornop dalam segenap karya pelayannya kepada masyarakat berbasiskan ideologi yang kuat serta profesionalisme yang memadai. Namun disadari bahwa tidak banyak kalangan Ornop di Indonesia yang benar-benar telah merespon perubahan di tingkat global tersebut. Alihalih menyusun langkah antisipasi, bahkan informasi seputar perubahan trend global itu saja banyak kalangan Ornop di Indonesia sudah sangat terlambat membaca/mengetahuinya. Maka tidak mengherankan jika di antara mereka tergagap merespon situasi mutakhir gerakan sosial di tingkat global itu. Sebagai konsekuensinya, perubahan internal di tingkat Ornop nasional dan lokal di Indonesia dapat dikatakan sangat terlambat. Paparan ini dikembangkan dari tanggapan atas presentasi Bonar Saragih, Kemitraan yang Setara untuk Kelangsungan Ornop sebagai Gerakan Sosial. 11
34
Dalam kesadaran yang serba terlambat dan tergagap itu, lantas bagaimana caranya kalangan Ornop di Indonesia harus bersikap dan bertindak? Itulah pertanyaan mendasar yang perlu dicari jawabnya dalam proses ke depan. Jawaban itu tentu tidak dapat definitif dan ter-fiksasi secara gambalang. Namun itu hanya dapat didekati dengan memapar berbagai peluang yang mungkin untuk ditempuh, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama sebagai bagian dari gerakan sosial yang ada. Dalam tataran praktis, misalnya saja, kalangan Ornop di Indonesia dapat berbagi pengalaman dalam menyikapi perkembangan isu-isu di tingkat global tersebut. Mereka dapat menyepakati untuk membuat program bersama guna menjaga agar spirit tetap berada di dalam relnya. Perlu diperjelas di ini, program bersama yang dimaksud bukanlah membuat proyek yang dikoordinasi oleh sebuah Ornop saja, melainkan program yang dilakukan bersama-sama dalam bentuk sharing (baku-tukar dan belajar) pengalaman di antara mereka guna membangun dan meningkatkan semangat berorganisasi dan ber-gerakan sosial. Dengan demikian, kelembagaan Ornop maupun gerakan sosial dapat berkelanjutan. Memang aspek keberlanjutan itu sendiri adalah tanggungjawab semua Ornop, baik secara sendiri-sendiri maupun gerakan. Ornop mesti terbuka terhadap berbagai perubahan jaman yang semakin pesat dan kompleks. Kehendak (will) diri untuk bertumbuh sebagai organisme sosial harus senantiasa menjadi motif penggerak(leitmotif) bagi Ornop untuk melakukan pengembangan kapasitas (Capacity Building) dalam berbagai aspek dan tatarannya. Terkait dengan motif penggerak untuk melakukan pengembangan kapasitas di kalangan Ornop di Indonesia, dapat dipilah kedalam tiga kategori berikut. Pertama, motif penggerak untuk melakukan pengembangan kapasitas muncul dari internal kelembagaan Ornop itu sendiri. Dalam kategori ini, Ornop yang bersangkutan telah memposisikan pengembangan kapasitas itu sebagai kebutuhan inheren dalam organisasinya. Karena telah menjadi kebutuhan organisasi, Ornop yang bersangkutan sangat paham tentang arti penting dan tujuan dari pengembangan kapasitas tersebut. Kedua, motif penggerak pengembangan kapasitas muncul dari faktor/pihak eksternal. Dalam kategori ini, Ornop yang bersangkutan tidak/belum menempatkan pengembangan kapasitas sebagai kebutuhan organisasi.Kalau pun itu dilakukan lebih karena Ornop tersebut berorientasi pragmatis saja, tanpa memiliki gambaran kemanfaatan yang jelas, baik yang terkait dengan output, outcome, maupun impact dari pengembangan kapasitas tersebut. Ketiga, motif penggerak pengembangan kapasitas disebabkan dua faktor: faktor eksternal maupun faktor internal namun keduanya nampak mengambang (floating). Dalam kategori ini, hal yang dominan adalah karakter ambivalensi dari dua faktor tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa Ornop tersebut sudah mengetahui tentang arti penting pengembangan kapasitas kelembagaan, namun belum memposisikannya sebagai program pokok dalam organisasinya. Sering muncul kesan, Ornop jenis ini nampak angin-anginan dan 35
sebatas mengikuti berbagai peluang yang menguntungkan dirinya saja. Secara ideal, dorongan dan motif melakukan pengembangan kapasitas dan transformasi itu mestinya berasal dari internal Ornop itu sendiri, dan bukan external drive. Jika dorongan itu muncul dari internal kelembagaan, hampir dapat dipastikan bahwa Ornop tersebut telah memiliki perencana strategis dalam organisasinya. Ornop yang telah memiliki sistem semacam ini memiliki banyak peluang untuk menjalankan program pelayanan dengan baik. Inilah yang dimaksudkan sabagai Ornop yang berbasis pada ideologi yang jelas, namun tanpa mengabaikan tuntutan profesionalisme dalam program-program pelayanannya kepada masyarakat. Ornop yang strategis dan berkelanjutan sebagai proponen kunci bagi gerakan sosial yang dinamis. Jika dirinci lebih jauh, berikut ini adalah gambaran tentang Ornop ideal menurut sejumlah Ornop lokal di Indonesia:12 a. Bekerja untuk Rakyat b. Kreatif dalam mengembangkan program c. Memiliki sistem, mekanisme, aturan, dan komunikasi yang jelas d. Memiliki legitimasi yang kuat dan jelas dari pemangku kepentingan e. Ingin selalu belajar dan mengembangkan kapasitas f. Mandiri secara politis dan ekonomi g. Berkesinambungan h. Mampu mengelola sumberdaya yang dimiliki Sayangnya, banyak kalangan Ornop di Indonesia melakukan program pengembangan kapasitas itu bukan dari dalam dirinya sendiri, tetapi lebih digerakkan oleh keinginan pihak eksternal. Tidak jarang, kehendak untuk melakukan pengembangan kapasitas itu datang dari kalangan donor. Ituah ironi yang terjadi padabanyak Ornop di Indonesia. Implikasi dampak dari kondisi semacam itu tentu dapat gampang ditebak. Kondisi itu tentu akan berpengaruh pada kualitas dan kemanfaatan pengembangan kapasitas yang dilakukannya. Jarang tercapai kapasitas yang memadai atau bahkan handal jika motif untuk melakukan perubahan itu datang dari pihak luar. Tak akan berakar pula jika pengembangan kapasitas itu ditetapkan oleh organisasi yang orientasi, mekanisme, dan sistem kelembagaannya masih simpang siur. Organisasi yang limbung dan sekadar mengekor semacam itu juga tak akan mampu menginternalisasikan pengetahuan, nilai, dan ketrampilan yang didapat dari pengembangan kapasitas tersebut. Hampir dapat dipastikan, kapasitas itu hanya di tataran permukaan saja tanpa berdampak apapun bagi perbaikan dan penyempurnaan organisasi. Kriteria NGOs ideal ini merupakan hasil rumusan dari NGOs mitra KIA di Wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dikutip dari Rumusan Hasil Diskusi Pertemuan Mitra KIA ke-5 di Anak Wayang 16 Februari 2007 12
36
Tersadari bahwa hingga kini, Ornop masih menghadapi banyak kendala untuk menempatkan pengembangan kapasitas ini sebagai kebutuhan internal kelembagaan. Kendati pun kesadaran tentang pentingnya atas pengembangan kapasitas itu sudah mereka miliki, namun beberapa keterbatasan tetap menjadi kendala untuk mewujudkan hal itu. Berbagai keterbatasan itu di antaranya adalah ketidakjelasan ideologi organisasi, terbatasnya sumber pendanaan, tiadanya orientasi dan perencanaan strategis, terbatasnya jejaring, dan lain sebagainya. Agar tidak berkutat dalam jebakan kendala tersebut, kalangan Ornop tentu dapat menginisiasi terobosan program pengembangan kapasitas dalam forum kebersamaan para mitra. Berangkat dari semangat kebersaman tersebut diharapkan dapat menghadirkan ruang pendalaman (deepening) ideologi dan spirit Ornop menuju organisasi gerakan sosial yang strategis dan berkelanjutan. Wadah itu dapat dimaknai pula sebagai jejaring Ornop untuk bersama-sama mengembangkan diri dan mensikapi berbagai tantangan perubahan baik di tingkat nasional maupun global. Kendati forum tersebut kemungkinan beranggotakan Ornop yang sangat beragam (baik dalam cakupan isu dan besarannya), namun dapat disepakati adanya kesamaan spirit dan idealisme untuk mewarnai gerakan sosial yang mereka lakukan dalam berbagai isu dan segementasinya. Melalui kebersamaaan, mereka mengeksplorasi gagasan/konsep dengan memapar secara bersamasama berbagai masalah aktual dan kontekstual. Kesemuanya mereka kemas dalam isu-isu bersama yang ditetapkan bersama juga. Dengan cara itu, mereka dapat saling menguatkan dan membantu di antara Ornop yang tergabung dalam kebersamaan tersebut. Orientasi utamanya adalah mendekatkan diri pada masyarakat yang mereka layani. Pendek kata, kebersamaan itu sebagai wahana sekaligus metode pembelajaran bersama antar Ornop. Berbagai isu dan muatan dalam pengembangan kapasitas yang diselenggarakan secara bersama oleh para mitra tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam Bab III. Bagaimanapun juga, pengembangan program pengembangan kapasitas mitra ICCO/KIA adalah bagian yang tak terpisahkan dari upaya merespon berbagai tantangan perubahan jaman. Utamanya hal yang terkait dengan daya upaya kalangan Ornop untuk mempertahankan epistemic community-nya, sekaligus mengkonsolidasikan isuisu gerakan sosial yang telah digarap selama ini. Proses akhir dari itu semua dijadikan titik pijak untuk menyusun langkah-langkah strategis dan mengambil posisi strategis untuk menginisiasi berbagai praksis gerakan sosial di masa depan.
37
BAB III Pengembangan Kapasitas sebagai Proses Belajar
Dalam momentum terkandung dua kemungkinan dalam kesertamertaan. Di satu sisi ada peluang ketidakmenentuan (uncertainty) dan di lain sisi ada peluang kemenentuan (certainty). Keterlekatan (embededness) keduanya adalah bagian yang tak terpisahkan dari apa yang sering diistilahkan sebagai momentum itu. Momentum adalah peristiwa yang menghampar segala kemungkinan di antara kemenentuan dan ketidakmenentuan itu. Maka terkait dengan upaya merebut momentum, ibarat organisme hidup, rasa gerah kalangan Ornop itu penting untuk mendinamisir tubuh yang tambun. Badan pun tak lumpuh atau terbunuh oleh kegemukan. Tidak jarang pula rasa gelisah diperlukan agar neuron otak giat bekerja. Malfungsi saraf dapat terhindarkan olehnya. Pun rasa cemas dapat menjadi penanda baik bagi tumbuhnya nalar kritis yang senantiasa mengguncang setiap wujud kemapanan. Dalam hal ini, aspek kesenantiasaan dalam momentum adalah kehendak bertaruh menerobos berbagai ketidakmenentuan (uncertainty) menjadi situasi yang “menentu” (certainty). Kendati sesaat “yang menentu” tercapai, ia telah serta merta pula mengandung “orok ketidakmenentuan” berikutnya. Itulah gambar karikatur dialektika peristiwa yang tak berkesudahan. Meminjam istilah filsuf Alfred North Whitehead (tokoh Filsafat Proses) itulah yang biasa disebut sebagai proses asimptotis (asymptotic).13 A. Transformasi Sosial Ornop di Jawa Seperti tersebut di atas, prioritas pertama program pengembangan kapasitas ini adalah prioritas pada aspek pemikiran dan pembelajaran. Pada prioritas pertama ada dua hal utama yang hendak disasar yaitu: pertama, integrasi visi dan misi lembaga kepada pemangku kepentingan internal Ornop dan kedua mengkaji kembali perlunya perencanaan strategis pada masing-masing lembaga. Karenanya, tema transformasi sosial merupakan bagian dari upaya kalangan Ornop untuk memutakhirkan daya refleksifitas atas proses kerja di masyarakat. 13
Menurut Collin English Dictionary, istilah asimptotis merujuk pada pengertian tentang suatu fungsi, rangkaian, atau formula untuk melakukan pendekatan terhadap suatu nilai atau kondisi yang ada, sebagai suatu variabel atau lambang yang memuat pendekatan variabel pada “suatu batasan”, yang sejatinya tak terbatas.
39
Alih-alih menjadi kebiasaan (habit) yang terlembagakan, pemutakhiran refleksi kerja-kerja di tingkat praksis semacam itu lebih tepat dikategorikan sebagai kelangkaan dalam kalangan Ornop. Kebiasaan hanya terjadi di sebagian kecil Ornop saja. Banyak kalangan Ornop di Indonesia lebih tersibukkan oleh berbagai aktivitas harian, mingguan dan bulanan berikut capaian pragmatis yang mesti mereka penuhi. Banyak pegiat Ornop tersandera oleh kegiatan proyek dan program di lembaganya. Berbagai aktivitas itu menyita waktu dan tenaga mereka. Praktis, kecil peluang mereka untuk memposisikan kegiatan penyegaran wacana dan refleksi aksi sebagai prioritas dalam organisasi. Dalam situasi semacam itu, tidaklah mengherankan jika para pegiat atau pegiat Ornop kurang dapat berfikir secara jernih apakah yang telah mereka lakukan itu on the right track atau tidak. Muncul kesan bahwa para pegiat pun tak ubahnya seperti buruh Ornop. Jika seperti itu tatarannya, maka hampir dapat dipastikan bahwa sebuah Ornop tidak akan dapat mengidentifikasi apakah kerja-kerja mereka sudah sejalan atau belum dengan spirit yang terkandung dalam visi dan misinya. Secara prinsipil, refleksi yang senantiasa dimutahirkan adalah hal yang krusial bagi Ornop agar mampu berposisi di tengah pusaran arus perubahan masyarakat dalam lintasan jaman. Proses refleksi ini dapat berfungsi sebagai milestones (batu-batu penanda) dalam lintasan gerak-perjalanan ber-Ornop. Dengannya dapat dilacak jejak perjalanan di masa lalu, memastikan posisi dan capaian lembaga saat ini, dan sekaligus dapat merencanakan gerak-langkah dan kerja praksis di masa mendatang. Proses tahapan itulah prasarat dasar sebuah Ornop dapat melakukan perencanaan strategisnya. Tanpa itu, mustahil bagi Ornop dapat menyusun perencanaan strategis secara memadai. Layaknya sistem respirasi, proses refleksi dapat dianalogikan sebagai proses jeda mengontrol pernafasan (take a breath) untuk mencapai derajad kesadaran tertentu. Itu adalah bagian dari pengambilan jarak antara kesadaran dengan pusaran arus realitas sosial yang tak jarang memusingkan. Berefleksi berarti meletakkan berbagai aspek dari realitas sosial sekitar itu di bawah derajad kendali nalar kesadaran. Dengan refleksi, lapis-lapis kesadaran akan secara perlahan memproses dan mengonstruksi sistem pemosisian diri (self positioning system) dalam ranah sosial dimana kita terlibat. Peristensi daya refleksifitas itu senantiasa dibutuhkan guna menopang survivalitas kita menghadapi ketidakmenentuan arus perubahan sosial kontemporer. Maka dalam konteks tersebut, Ornop dapat memaknai refleksi sebagai proses pengambilan jarak (distancing) terhadap praksis yang telah dilakukan di (dalam dan/atau bersama) masyarakat. Dengan begitu, para pegiat dapat mendapatkan jarak pandang yang memungkinkan mereka menilai/mengkaji ulang, memaknai dan mentautkannya dengan basis nilai, spirit, ideologi sebagaimana termaktub dalam visi dan misi lembaga. Angin perubahan acap membawa sejumlah terminologi dan konsep baru sebagai penanda pergeseran paradigma atas teks sekaligus konteks yang 40
melatarinya. Maka dibalik pergeseran itu sendiri, kalangan Ornop sebagai bagian dari entitas jejaring masyarakat sipil (baik lokal dan mondial) mau tidak mau harus memutakhirkan (update) kapasitas membaca, memahami, maupun menganalisis berbagai perubahan tersebut. Para pegiat senantiasa dituntut untuk mempertajam kepekaan (sensitivity), daya serap (absorpsion), daya analisis (analitical capacity) atas gerak perubahan sosial tersebut. Boleh jadi kalangan Ornop sudah sejak lama mengenal Community Organizing (pengorganisasian masyarakat) ataupun Community Organizer (pengorganisir masyarakat). Namun hal apa yang sebenarnya mendasari para pegiat itu melakukan CO (Community Orgizing)? Apa pula yang menjadi tujuan dari CO itu? Perubahan semacam apa yang mereka inginkan? Lantas apa yang mesti mereka ubah di masyarakat agar perubahan yang mereka maksudkan itu tercapai. Seluruh pertanyaan itu tentu saja jadi gugatan mendasar yang pantas untuk dipertimbangkan oleh kalangan Ornop ketika menghadapi masyarakat dan jaman yang senantiasa berubah ini. Rupanya, gempita perubahan teknologi juga telah membawa banjir informasi yang tidak jarang membuat banyak kalangan Ornop kelimpungan. Beragam istilah seperti advokasi, pemberdayaan, animasi, dan lain sebagainya membanjiri kita. Dalam hal ini, pantaslah jika kita menanyakan lagi bagaimana istilah-istilah itu dipahami oleh para pegiat Ornop di Indonesia. Seluruh pertanyaan itu penting untuk dijawab oleh kalangan Ornop. Besar kemungkinan bahwa pemahaman atas istilah-istilah itu berbeda-beda. Namun ada satu hal yang penting ketika penelusuran itu dilakukan dalam bingkai jejaring. Dari proses itu, Ornop akan mendapatkan hal yang mungkin tidak diduga kebermaknaan dan kebernilaiannya. Intinya, pengalaman masingmasing Ornop itu merupakan kekayaan dan dapat menjadi pembelajaran yang berharga. Paling tidak dapat membantu jejaring Ornop itu untuk menemukan sesuatu yang prinsipil. Salah satunya adalah ditemukannya jati diri, posisi, dan peran dari Ornop yang bersangkutan dalam konteks kehidupan masyarakat. Dari pengalaman “mencari dan menemukan” itu Ornop memiliki peluang yang lebih besar untuk memperoleh suatu rumusan yang familiar dalam proses pengorganisasian di masyarakat berdasarkan mandat (visi dan misi) masingmasing lembaga.14 Dari upaya penemuan kembali (reinventing)di tataran akar rumput itulah yang memungkinkan tercapainya apa yang biasa dikenal sebagai transformasi sosial. Ada begitu banyak teori dan konsep seputar transformasi sosial ini, namun dalam pengertian umum gagasan transformasi sosial ini merujuk pada proses munculnya bentuk konstruksi baru masyarakat yang lebih kompleks (more complex), lintasan-dependen (path-dependen), dan berujung terbuka (open Uraian dikembangkan dari pengantar diskusi oleh Andreas Subiyono dalam Workshop Transformasi Sosial Mitra KIA di Jawa, Wisma Kagama, 14-15 Februari 2008. 14
41
ended), namun juga menegaskan adanya pengalaman historis spesifik dalam suatu wilayah tertentu.15 Jika transformasi sosial dikontekstualisasikan dalam kelembagaan Ornop, maka itu berarti bahwa muncul bentuk konstruksi baru dari Ornop itu yang lebih kompleks. Bentuk baru itu muncul dari relasi sosial dengan masyarakat sekitar, dan selalu berakhir terbuka terhadap berbagai perubahan di sekitarnya. Namun kendati bentuk itu telah berubah, Ornop tersebut tetap memposisikan nilai pengalaman historisnya sebagai ruh/spirit penanda identitas keberadaan Ornop itu. Dalam ilustrasi sederhana, transformasi sosial dapat digambarkan bahwa bahan dasar dan isi (content, acuan nilai/spirit) sama, namun bungkus (casing) saja yang berbeda atau berubah.16 Pengertian itu juga dekat dengan proses metamorfosa dalam siklus hidup ulat – kupu-kupu. B. Peran Strategis Ornop dalam Penguatan Masyarakat Sipil Berikut ini akan dibahas lebih lanjut perihal peran strategis Ornop dalam penguatan masyarakat sipil di Indonesia ini. Mengawali uraian, penting ditimbang kembali tiga pertanyaan kritis berikut: pertama, siapakah sebenarnya Ornop (terlebih ketika tahu bahwa pemerintah, parpol, korporasi juga marak mendirikan “Ornop”)?; kedua, apakah Ornop memang masih strategis?; ketiga, kalau memang Ornop masih strategis, apa alasan dan buktinya? Terkait dengan ketiga pertanyaan itu, ada pertanyaan mendasar lainnya yang perlu diajukan juga di sini. Selama Ornop mengorganisir masyarakat, pernahkah ditanyakan kepada masyarakat tentang siapa sesungguhnya yang disebut sebagai pemerintah itu dan siapa pula Ornop? Penting diketahui sejauh mana pemahaman masyarakat tentang dua istilah tersebut (pemerintah dan non pemerintah). Di Indonesia, dua konsep itu kadang kabur/kurang begitu jelas. Karenanya sangat penting untuk menjelaskan beda dari keduanya. Selain kepada masyarakat, para pegiat Ornop juga perlu menegaskan diri jika sewaktu-waktu berbaku sapa dengan orang-orang dari sektor negara atau pemerintah yang mungkin tengah hadir di lingkungan mereka. Dalam hal ini, para pegiat Ornop perlu menegaskan siapa mereka dan apa peran mereka sebenarnya. Ada banyak aktivitas Ornop yang selama ini dilakukan sebenarnya tidak jelas. Misalnya, seberapa jauhkah peran pegiat Ornop dapat masuk ke sektor negara. Batasan ini bagaimanapun juga sangatlah penting terutama untuk membantu para pegiat itu sendiri untuk menentukan sampai seberapa jauh kontribusi substansial yang mungkin/dapat mereka lakukan. Dengan kata lain, batasan itu Bryan S. Turner, The Cambridge Dictionary of Sociology, London: Cambridge University Press, 2006, hlm. 456. 16 Penjelasan sederhana dari transformasi sosial ini dilihat visualisasinya dalam film Transformer. Bahan dasarnya sama-sama besi, namun ia bisa berubah bentuk menjadi apapun dan kapanpun. Di sana ada sifat lentur, beradaptasi sesuai kebutuhan sekitar, namun secara hakiki ia tetap berakar pada pengalaman historisitasnya. 15
42
berkonsekuensi pula pada derajat tertentu atas kontribusi substansial mereka. Tolok ukur atas kontribusi substansial tentu saja membutuhkan perumusan di kalangan pegiat Ornop itu sendiri. Dengan demikian, jejaring Ornop dapat merancang panduan audit organisasi untuk kepentingan pengembangan para mitra atau anggota jejaring yang ada. Dalam beberapa waktu terakhir ini, banyak pegiat Ornop yang terlibat (sebagai calon dan/atau partisan untuk penggalang dukungan) dalam Pemilu Kepala Daerah (Pilkada). Ornop perlu memperjelas dan mempertegas pilihan sikap dan posisi mengenai isu-isu kontemporer semacam itu. Boleh jadi mereka perlu merumuskan semacam kode etik (code of conduct) mengenai itu. Hal itu tentu saja untuk menghindari berbagai tudingan klise yang sumir bahwa Ornop tak ubahnya seperti stasiun (untuk menggambarkan ruang transit sementara) tempat berlalu-lalangnya para pencari kerja, demi mengejar kemapanan yang kesemuanya akan berujung pula pada kemenentuan (certainty) di atas. Pada tingkatan sederhana saja, para pegiat tidak jarang dibuat bungkam oleh masyarakat yang menanyakan tempat kerja mereka dimana. Kebungkaman itu boleh jadi menjadi penanda yang paling sederhana bahwa Ornop itu memang organisasi “abu-abu” sehingga tidak mudah untuk dijelaskan. Di tengah proses pencarian jati diri, Ornop nampak gagap—boleh jadi juga gagal— menunjukkan aspek eksistensial atas kediriannnya. Dalam penanda sesederhana itu, teronggok persoalan Ornop yang rupanya tak sederhana. Menimbang pada “diri” yang simpang siur itu, Ornop perlu segera menggelar “aksi tanggap darurat” untuk menemukan jati dirinya dan peran strategisnya di masyarakat saat diperhadapkan dengan peran negara. Hal paling krusial adalah perlunya pemahaman yang jelas tentang siapa Ornop dan bagaimanaperan Ornop itu, baik untuk diri mereka sendiri maupun masyarakat. Disadari atau tidak, batasan, kategori, dan penciri atas Ornop saat ini mengalami pergeseran. Pergeseran itulah yang menyebabkan berbagai kalangan sulit untuk memahami penciri identitas Ornop. Munculnya konsep governance (tata kelola multi pihak: pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil) ataupun engangement (sinergi antara masyarakat sipil dan pemerintah), semakin menguatkan kekaburan itu. Kemunculan berbagai Komisi Nasional (Komnas) di Indonesia paska reformasi adalah salah satu contoh riil. Mungkin lebih mudah menjelaskan tentang kelembagaan seperti DPR, Presiden, Menteri, Pejabat Publik, Militer, MA dan Pengadilan, hingga Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)—satuan tugas yang utamanya bertugas mendisiplinkan Pegawai Negeri Sipil namun dalam praktiknya justru dominan dengan urusan penggusuran PKL dan penertiban PSK—merupakan person/ lembaga/badan terkategorikan dalam sektor pemerintah. Sedkit sulit bila dilanjutkan dengan munculnya Komnas-Komnas. Boleh jadi tidak sedikit kalangan masyarakat yang merasa kebingungan ketika mengkategorisasikan semisal Komnas HAM (lembaga yang dibentuk dengan dasar undang-undang 43
yang jelas dengan komisioner mayoritas pegiat Ornop), Komnas Perempuan (yang 100% adalah Ornop), Komnas Anak, KPK, dan lain sebagainya. Sebaliknya, di tingkat akar rumput menemu-kenali organisasi seperti PKK, Karang Taruna, P2KP, Kelompok Tani, dan lain-lain yang berada diluar struktur pemerintahan dan dikenal juga sebagai organisasi non pemerintah, padahal mereka adalah organisasi-organisasi masyarakat sipil “bentukan pemerintah”. Lembaga lain yang dikategorikan sebagai organisasi non pemerintah diantaranya adalah, Ormas (organisasi massa berbasis keanggotaan), Organisasi Sosial (organisasi non politik, tidak punya keanggotaan, dan melakukan berbagai kegiatan sosial semisal Panti Asuhan), Organisasi Keagamaan, dan lain sebagainya. Kelompok-kelompok lain yang mungkin perlu untuk disebut juga adalah berbagai macam yayasan, serikat buruh, serikat tani, organisasi profesi (sopir, pedagang, dokter, advokat, dsb) dan Ornop juga biasanya dimasukan dalam kategori organisasi masayarakat sipil (OMS) Jika ditilik berdasarkan tinjauan historis, pada tahun 1943 Mohammad Hatta sendiri pernah mengusulkan sebuah julukan “pengurus negara” bagi pemerintah. Namun julukan/istilah itu tidak pernah dipakai sama sekali hingga saat ini. Secara etimologi, istilah pengurus (berasal dari kata baku urus) atau pengelola (berasal dari kata baku kelola) sesungguhnya lebih memiliki konotasi yang lebih memuat sifat dan karakter demokrasi ketimbang istilah pemerintah (berasal dari kata baku perintah yang cenderung jatuh pada konotasi relasi patron-klien). Dalam bahasa Inggris, konsepsi itu mungkin lebih jelas, dimana government berasal dari kata baku to govern yang berarti mengelola. Dari paparan di atas, tersadari bahwa identitas organisasi non pemerintah dalam perjalanan waktu menunjukkan pola pergeseran yang semakin kompleks. Sebagai sebuah entitas, organisasi masyarakat sipil tidak lagi berciri konvergen melainkan entitas yang semakin divergen. Dalam beberapa tahun terakhir muncul kecenderungan di kalangan Ornop mendirikan koperasi. Namun patut dicatat bahwa kecenderungan itu lebih tepat disebut sebagai kelatahan ketimbang sebagai sebuah program yang visioner dan ideologis. Tidak sedikit koperasi yang dibentuk Ornop itu lebih didorong oleh kekuatan modal ketimbang manusia. Hal yang memprihatinkan, kalangan Ornop berlomba untuk pamer memiliki koperasi padahal itu dibentuk secara instan. Koperasi itu memang memiliki banyak anggota, namun modal yang dikelola berasal dari donor bukan dari anggota yang bergabung tersebut. Padahal secara gamblang ditegaskan oleh Mohammad Hatta bahwa koperasi merupakan kumpulan orang dan bukannnya kumpulan modal. Dalam pengertian itu berarti, cikal bakal koperasi yang benar adalah kumpulan orang-orang yang menghimpun modal bersama untuk kepentingan bersama di antara anggotanya. Proses pembentukan koperasi itu berawal dari adanya perkumpulan orang–orang dan dari perkumpulan tersebut melahirkan/memunculkan modal/aset bersama. Dari spirit dan landasan nilai itu juga lembaga semacam Gramen Bank dapat berkembang dengan baik di Negara 44
Banglades. Dengan proses fasilitasi yang baik, Mohammad Yunus bersama dengan 4 perempuan buta huruf dapat mendirikan koperasi hingga berkembang menjadi Gramen Bank tersebut. Jika ditilik dari kesuksesan Grameen Bank itu, dapat ditegaskan bahwa Koperasi dapat menjadi cara atau wadah karena fungsi terpenting dari koperasi adalah pendidikan dan pengorganisasi masyarakat. Proses membentuk koperasi harus ditempuh melalui pengorganisasian yang butuh waktu maupun kapabilitas. Sejauh pengorganisasin itu baik, maka orang-orang yang terlibat dalam pengorganisasian itu akan dapat membangun kelompok maupun mengumpulkan modal bersama untuk memenuhi berbagai kebutuhan para anggotanya. Selain Gramen Bank di Banglades, ada contoh lainnya yaitu Koperasi di Gurun Sinai Israel yang berhasil menjadi pengekspor jeruk terbesar di dunia. Di Italia, kendati tidak ada pabrik kulit namun produksi dari home industry kulit yang dikelola oleh koperasi nasional mampu menghasilkan devisa terbesar bagi Italia. Selain didukung oleh pengorganisasian yang baik, industri rumahan itu ditopang oleh kebijakan proteksi yang jelas dari negara. Tak jauh beda dengan itu, di Jepang, tidak akan pernah terjadi impor tomat oleh pemerintah tanpa adanya persetujuan dari asosiasi ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam koperasi. Keberadaan koperasi di Indonesia sudah diatur dalam suatu undang-undang. Jika dilacak akar historis dan filosofinya, koperasi itu memang telah terbukti sangat kuat. Dari beberapa pengalaman berorganisasi, koperasi juga merupakan organisasi riil dan potensial untuk diinisiasi dan dikembangkan. Kendati demikian, proses pengembangan itu harus merujuk pada terminologi koperasi yang sebenarnya. Sekadar catatan saja bahwa masyarakat desa sudah trauma dengan nama koperasi sehingga perlu metodologi lain tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar pengorganisiran. Bagimanapun juga, inti pengorganisasian adalah mampu mengumpulkan orang atau warga masyarakat (terorganisir). Setelah masyarakat terkumpul atau terorganisir, proses penguatan merupakan langkah lanjutnya. Menyimak berbagai best practice di atas, lantas peran strategis apa yang mesti dilakukan oleh kalangan Ornop di Indonesia dalam menguatkan masyarakat sipil? Tahap pertama untuk dapat menguatkan masyarakat sipil tentu dengan pengorganisasian masyarakat. Ada beberapa prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan ketika hendak melakukan pengorganisasian. Pertama, dimanapun tak akan ada masyarakat yang kuat jika tidak diorganisir. Kedua, salah satu basis penguatan masyarakat sipil adalah “produksi/reproduksi pengetahuan masyarakat lokal itu sendiri”. Dalam hal ini jejaring Ornop harus menyadari tentang pentingnya produksi/reproduksi pengetahuan lokal ini. Ketiga, pengorganisasian berarti mengorganisir kembali tatanan atau pranata yang ada di masyarakat (reorganizing local institution). Dengan kata lain, penguatkan masyarakat sipil berarti memfungsikan/membangun kembali pranata masyarakat. Dalam hal ini, Ornop dapat merujuk pada pepatah-petitih filsafat China Kuno berikut: “Datanglah ke tengah rakyat. Mulailah dari apa yang mereka punya, apa yang 45
mereka tahu, apa yang mereka butuhkan. Bila mereka tidak punya apa-apa, maka mulailah dari tidak punya apa-apa itu.” Bidal China Kuno tersebut nampaknya sederhana, namun bila ditelisik lebih jauh didalamnya terkandung basis metodologi pengorganisasian masyarakat. Pernyataan: “mulailah dari apa yang mereka punya...” menyiratkan makna bahwa dalam pengorganisiran langkah pertama yang dijadikan pijakan adalah potensi/ kekuatan masyarakat lokal. Dalam bahasa sederhana, pengorganisir harus mengafirmasi konsepsi kekuatan masyarakat sipil setidaknya dalam 3 dimensi yaitu: dimensi swadaya masyarakat (biaya sendiri), dimensi swakarsa masyarakat (kemauan sendiri), dan dimensi swasembada masyarakat (kebutuhan dipenuhi sendiri). Ketiga dimensi (swadaya, swakarsa, dan swasembada) merupakan basis dan tujuan utama dari pengorganisasian masyarakat yang sejatinya. Itulah acuan yang sesungguhnya bagi para pegiat pengorganisasian masyarakat (community organizer). Tentu saja menemukan ketiga tolok ukur itu bukanlah perkara mudah. Tentu saja ada prasyarat untuk itu. Para pegiat perlu mengkaji dan melacak akar sejarah lokal maupun politik lokal dalam lingkup masyarakat terkait. Dengan begitu, akan ditemukan titik tolak (salah satunya pranata sosial di tingkat lokal) dan jalan keluar yang tepat (appropriate) untuk memulai gerak pengorganisasian bagi masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini, pengamatan terlibat (partisipant observation) dan live in di komunitas adalah pilihan metode yang paling tepat untuk menggali sumber-sumber data historis tersebut. Para pengorganisir perlu menjaga intensitas kehadiran di masyarakat, dan seoptimal mungkin berupaya “tidak menjaga jarak” dengan warga, guna memperoleh kedalaman penggalian data-data historis yang relevan. Memang, berbagai prakondisi pengorganisasian itu tidaklah mudah dipenuhi. Maka penting bagi pengorganisir masyarakat untuk secara jujur mempertanyakan kembali alasan yang mendasari mereka melakukan proses pengorganisasian di masyarakat itu. Apakah pengorganisasian yang dilakukan hanya sebagai alat untuk mengimplentasikan program sehingga memudahkan kerja-kerja mereka di masyarakat? Atukah pengorganisasian itu dilakukan karena spirit/idealisme yang mengidam-idamkan terjadinya transformasi sosial di masyarakat? Jika jawaban “Ya” jatuh pada pertanyaan pertama, maka itu berarti bahwa pengorganisasian hanya diposisikan sebagai skenario untuk melegitimasi/membenarkan apa yang diinginkan Ornop, bukan apa yang dibutuhkan masyarakat.17 Namun apabila jawaban “Ya” teralamatkan pada pertanyaan kedua, maka sebuah pertanyaan pun menghadang lagi: Apakah para pegiat Ornop sudah mempersenjatai diri dengan kelengkapan konsep alternatif yang konstruktif berikut referensi memadai untuk memfasilitasi proses transformasi sosial itu? Bagaimanapun juga seorang pengorganisir tetap membutuhkan nutrisi maupun stok pengetahuan (stock of knowledge) sehingga nalar kritis tetap terasah, terlebih dalam arus perubahan jaman yang cepat ini. 17
46
Pengembangan dari tanggapan Andreas Subiyono terhadap presentasi Roem Topatimasang.
Kekayaan pengetahuan adalah modal bagi para pengorganisir untuk menggagas melalui alat-alat yang biasa dikenal sebagai paradigma, konsep, metodologi, hingga metode pengorganisasian masyarakat.18 Dalam tataran teknis, stok pengetahuan dan hasrat berpengetahuan itu sangat berpotensi sebagai stimulan bagi para pegiat Ornop untuk mensistematisasikan seluruh proses pengorganisasian menjadi sebuah paket pengetahuan yang baru. Lahirnya pengetahuan dari akar rumput (bottom up) itu bagaimanapun juga adalah siklus pengetahuan yang perlu senantiasa digenapi dan disempurnakan. Tergenapinya siklus produksi-reproduksi pengetahuan secara induktif itu praktis akan mematangkan proses para pegiat Ornop dan masyarakat menjadi insan-insan pembelajar yang sesungguhnya. Bahkan tak berlebihan jika mereka dijuluki homo academicus. Seluruh paparan di atas ingin menegaskan bahwa proses produksireproduksi pengetahuan dialektis (tesis-antitesis-sintesis atau teori-praksis-teori baru) yang selama ini berada dalam klaim mandat civitas akademik universitas— justru lebih berpotensi terjadi di tingkat akar rumput. Dengan berpijak di akar rumput itulah Ornop akan menemukan kandungan elemen-elemen pengetahuan yang paling potensial dan berharga bagi sebuah gerakan menuju terwujudnya transformasi sosial demokratis (dari, oleh, dan untuk masyarakat itu sendiri). Kembali menyoal pengorganisasian masyarakat untuk transformasi sosial, kalangan pegiat Ornop memiliki perbedaan cara pandang atas cakupan/ jangkauan capaiannya. Sebagian pegiat Ornop meyakini bahwa aksi perubahan lebih esensial ketimbang bentuk lembaga (semisal koperasi, dll). Butuh waktu yang panjang untuk memfokuskan diri pada perubahan pranata sosial di masyarakat. Ada banyak keterbatasan untuk menggarap kerja-kerja ekstra itu. Tingginya tingkat ketergantungan pada donor maupun terbatasnya kapabilitas tak memungkinkan Ornop untuk melakukan pengorganisasian fundamental semacam itu. Menurut pandangan ini pula, bentuk lembaga relatif tidak begitu penting ketimbang substansi gerakannya sendiri. Singkatnya, esensi dari pengorganisasian adalah menggerakkan, dan bukannya merubah.19 Dalam hal tertentu nama memang tidak terlalu bermasalah. Namun dalam hal bentuk lembaga sangatlah penting, terutama yang terkait kepada siapa Ornop mesti bertanggungajawab. Bentuk itu berkonsekuensi pula pada isi berikut spirit kerjanya. Sebagai contoh bentuk Yayasan saat ini banyak diwarnai karakter perseroan salah satunya adalah persoalan pajak. Berbagai pasal UU Yayasan jelas semakin menambah urusan Ornop, sampai-sampai urusan masyarakat terkesampingkan, untuk tidak mengatakan terabaikan. Berbeda dengan Yayasan, bentuk koperasi merupakan bentuk lembaga yang paling tepat bagi masyarakat 18
Ibid Tanggapan dari Lilik (YPL), Heri (YAPHI), Jojon (LKTS), Aniek (Ekasita ) atas paparan Reom Topatimasang. 19
47
sipil. Koperasi merupakan lembaga independen yang tidak ada pihak lain— termasuk diantaranya pemerintah— yang dapat membubarkan kecuali para anggotanya.20 Bila dicermati lebih jauh, pandangan di atas terkesan pesimistik. Muncul kegamangan ketika mereka membincang “perubahan”. Ia memilih “jalan aman” dengan menyatakan bahwa pengorganisasian adalah upaya menggerakkan tanpa perlu menakar aspek perubahannya. Dalam takaran mikro, bukankah ketika warga masyarakat bergerak mengimplikasikan bahwa ada yang berubah dalam entitas warga masyarakat itu sendiri? Pertanyaan retoris ini tentu merepresentasikan gugatan atas karakter pesimistik yang melepaskan satu persatu kemelekatan antara sisi gerakan dan sisi perubahan itu. Sebagian pegiat Ornop lain berpandangan bahwa tidak jarang pengorganisasian yang mereka lakukan selama ini tidak/belum berhasil menjawab persoalan-persoalan di masyarakat. Menurutnya capain perubahan pengorganisasian masih relatif terbatas. Sebagai fasilitator, mereka turut ambil bagian dalam proses pemecahan persoalan aktual yang ada di masyarakat. Hal elementer yang jadi titik capaiannya adalah terjadinya perubahan pola pikir masyarakat dalam menyikapi persoalan yang mereka hadapi. Bersama-sama masyarakat mereka memetakan persoalan dan selanjutnya mengajak masyarakat untuk berfikir bersama. Dengan perubahan pola pikir itu, masyarakat dapat menentukan perubahan yang mereka tuju.21 Berbeda dengan pendapat sebelumnya, pandangan ini nampak lebih optimistik. Tertegaskan dalam pandangan ini bahwa perubahan terpenting adalah perubahan pola pikir masyarakat. Pintu masuk ke perubahan besar itu ada dalam ranah penyadaran (conscientisation)warga masyarakat.Setidaknya, perubahan pola pikir masyarakat dapat melebarkan peluang (opportunity) bagi bertumbuhnya swakarsa, swadaya, hingga swasembada warga untuk melakukan perubahan bagi komunitas mereka sendiri. Sekilas dua pandangan diametral (saling bertentangan). Namun sebenarnya, kedua pandangan secara implisit bersepaham bahwa Ornop memiliki keterbatasan untuk melakukan pengorganisasian dalam “totalitas”. Namun tepat dalam definisi “totalitas” itulah sudut pandang terbelah. Mustahil untuk menentukan totalitas dalam tolok ukur pasti. Terlebih lagi jika itu dikalkulasi dari dimensi keterbatasan yang saling berbeda di antara Ornop sendiri. Secara general, jangkar “totalitas” terletak pada basis dimensi input (spirit dan pengetahuan), dimensi proses (metode praksis), dimensi output (capaian perubahan). Itu pun tak lebih dari rumusan matematis yang jelas mengabaikan kalkulasi konteks entitas sosial yang senantiasa bergerak dinamis. Berbeda dari dua pandangan sebelumnya, pandangan berikut nampak lebih menggambarkan gambaran aktual dan kontekstual proses pengorganisasian 20 21
48
Tanggapan balik Roem Topatimasang Tanggapan dari Aniek dan Bagus terhadap paparan Roem Topatimasang.
masyarakat oleh kalangan Ornop. Pandangan ini menyadari bahwa acapkali Ornop harus fokus pada isu-isu terbatas sesuai dengan limitasi mandat organisasinya masing-masing. Limitasi mandat pada isu tertentu itu praktis berdampak pada terabaikannya isu-isu lain di masyarakat yang boleh jadi jauh lebih urgen dan krusial untuk ditangani.22 Memang, pengorganisasian itu seringkali bersifat parsial. Bahkan tidak jarang prosesnya lebih mengacu pada strategi problem solving yang cenderung “hit and run”. Ketika masalah masalah terselesaikan, pengorganisasian terkadang juga selesai. Karenanya banyak para pegiat Ornop tidak tahu menahu lagi apakah masyarakat mampu menghadapi ketika muncul masalah baru.23 Jika demikian halnya, maka menjadi sulit untuk ditepiskan adanya anggapan bahwa spirit/idealisme pengorganisasian masyarakat Ornop tetap saja berkelit dengan simptom-simptom pragmatisme guna melegitimasi eksistensi kelembagaan di mata pemangku kepentingan utamanya. Terlepas dari beragam pandangan di atas, ada satu hal mendasar yang penting untuk diajukan terkait dengan peran pengorganisasian Ornop di masyarakat dalam konteks bernegara. Konteks itu tentu sangat berpengaruh pada konsep pengorganisasian di masyarakat oleh kalangan Ornop. Maka muncul pertanyaan penting untuk dipertimbangkan yaitu: “sejauh manakah batasan peran dan posisi Ornop dalam proses penyelesaian persoalan di masyarakat?”. Bukankah itu merupakan peran yang mustinya diemban oleh negara/pemerintah?24 Tak terbantahkan ada begitu banyak fakta bahwa negara/ pemerintah sangat produktif melahirkan kebijakan yang mengkhianati hak-hak dasar warga negara. Tak ayal, berbagai nilai kearifan lokal terpinggirkan, keahlian lokal masyarakat terkebiri, tidak sedikit pula yang terberangus. Dalam situasi semacama itu, Ornop harus mengambil posisi untuk turut menumbuhkan lagi kearifan lokal yang sudah kian hilang agar muncul kearifan baru yang mampu membawa masyarakat menuju transformasi sosial. Bagaimanapun Ornop juga harus ambil bagian dalam mendorong pemulihan kembali berbagai pranata sosial yang pernah ada di masyarakat. Selain itu, peran mereka juga dibutuhkan terutama untuk mengoptimalkan berbagai sumber daya lokal di komunitas akar rumput. Dalam kondisi seperti itu, Ornop idealnya memang harus mampu menghidupi dirinya sendiri. Setidaknya, ia harus dapat mencukupi kebutuhan biaya operasional rutin lembaganya. Bagaimanapun ia mesti merealisasikan “pemberdayaan & kemandirian” yang sering mereka gembar gemborkan di masyarakat. Patut diakui, ketergantungan pada lembaga donor adalah perangkap yang di satu sisi “tak diingini” (menurut kesadaran idealis) tapi “dirindukan” Tanggapan Indri terhadap paparan Roem Topatimasang Tanggapan Koirul Anam terhadap paparan Roem Topatimasang 24 Tanggapan Adi Nugroho 22 23
49
(menurut kebutuhan pragmatis) Ornop. Meminjam analisis psiokoanalisis Sigmund Freud inilah potret pertarungan antara Id, Ego dan Superego. Persis dalam perkara inilah Ornop menghadapi dilema. Di satu sisi Ornop menuntut masyarakat untuk mandiri, di sisi yang lain ia diperhadapkan pada godaan ketergantungan yang seringkali sulit dihindari. Sementara secara moral Ornop dituntut untuk lebih dulu mencontohkan praktik kemandirian itu. Kendati pun sulit dihindari, namun godaan ketergantungan dapat perlahan dikendalikan. Setidaknya agar ia tidak menjadi tindakan yang terpola hingga bermetamorfosa menjadi habit (kebiasaan sikap). Jika pola pikir, sikap dan tindakan itu sudah terinternalisasi atau bahkan terinstitusionalisasi maka dapat dikatakan bahwa Ornop tersebut telah mendaulat ketergantungan sebagai ideologi baru. Untuk menghadang pola ketergantungan sebagai ideologi baru itu, Ornop mesti menyemai pemikiran kritis yang dapat melimitasi pola fikir/sikap kompromis oportunistik kepada para pegiatnya. Misalnya saja, penting untuk menyuntikkan kesadaran bahwa donor sebenarnya hanya sebagai pelengkap (supplementary) dalam kerja-kerja Ornop. Donor dibutuhkan hanya jika masyarakat tidak lagi dapat memenuhi kebutuhannya. Sebagai metode di tingkatan teknis, Ornop dapat mengambil opsi untuk mengoptimalkan dan memobilisasi sumber daya lokal yang ada di masyarakat, meskipun tidak mesti harus 100%. Beberapa contoh riilnya, dapat dikaji kembali gerakan masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah paska gempa bumi 27 Mei 2006 atau gerakan warga paska erupsi merapi 26 Oktober 2010 silam yang mampu membantu para penyintas dan korban bencana dengan segenap kemampuan yang mereka punya. Peristiwa itu mestinya dapat membuka kesadaran berbagai kalangan (termasuk kalangan Ornop sendiri) bahwa daya kekenyalan/ kelenturan masyarakat untuk menghadapi situasi-situasi sulit (community resilience) itu merupakan senjata potensial yang keberadaannya terlekat (embeded) dalam institusi lokal masyarakat itu sendiri. Kendati penanganan paska bencana terkesan“management by accident”, namun fakta riil tetap saja tak dapat dinafikan, yaitu bahwa potensi keberdayaan (selfreliance) itu benar-benar ada bahkan berlipat ganda hingga membentuk jejaring sosial yang mampu memobilisir sumber-sumber daya lokal untuk optimalisasi aksi tanggap darurat. Maka terkait dengan upaya memberdayakan pranata lokal sebagaimana di sebutkan di atas, bagaimanapun juga kita tetap butuh waktu dan proses yang panjang. Penelusuran akar sejarah kelembagaan lokal di masingmasing komunitas perlu penekanan tersendiri dalam proses revitalisasi itu. Dalam dinamika wacana tersebut Ornop lagi-lagi perlu mempertanyakan secara kritis pada diri sendiri untuk apa dan untuk siapa semua itu dilakukan. Tidak dikenal jalan pintas (karbitan) dalam kamus pengorganisasian masyarakat. Boleh jadi Ornop dapat menggunakan metode radikal—yang dalam artian sesungguhnya radic berarti akar—dan bukannya revolusi, karena revolusi hanya akan memakan anaknya sendiri. Kalau pun revolusi itu terjadi di Indonesia toh itu tetap tak akan berarti ketika struktur sosialnya juga tidak berubah. Sekadar 50
catatan saja, di Indonesia, revolusi sosial hanya terjadi di Sumatera Timur yang dimotori oleh buruh perkebunan pada tahun 1943.25 Segenap daya upaya apapun yang manusia lakukan sejatinya akan berujung pada apa yang sering dikonsepsikan sebagai kemakmuran (wealth) atau kesejahteraan (well being). Namun pernahkah ditanyakan pada diri sendiri apa kemakmuran dan kesejahteraan itu. Selain itu, bagaimana pula cara kemakmuran atau kesejahteraan itu dapat dicapai?; seperti apa batasan kemakmuran atau kesejahteraan itu?; jika kesejahteraan atau kemakmuran sudah tercapai, benarkah manusia akan tetap mengejar tingkatan kesejahteraan/kemakmuran yang lebih tinggi? Tidaklah mudah untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut. Namun setidaknya dapat ditegaskan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan dalam kamus manusia bermental rakus, tamak, loba (greedy) hampir tidak berlimitasi kecuali ajal. Memang limitasi kesejahteraan dan kemakmuran itu sendiri cenderung “tidak pasti.” Jika diilustrasikan ia berada dalam lapisan gradatif fuzzy set theory.26 Dalam dunia sosial, tolok ukur atas kemakmuran/kesejahteraan itu dapat jadi berada dalam rentangan yang beragam juga. Selain rasionalitas ekonomi, tolok ukur kesejahteraan dan kemakmuran itu melekat dalam lapis-lapis dunia sosial itu sendiri. Salah satu diantaranya “etika (ethic) dan disiplin diri”. Menyimak pada perubahan sosial kontemporer, “disiplin diri dan etika” telah menjadi komponen kehidupan yang pesonanya kian pudar, untuk tak menyebut hilang, di kalangan masyarakat. Rasionalitas instrumental ekonomi cenderung lebih mendominasi konsepsi masyarakat tentang kemakmuran/ kesejahteraan hingga menyisihkan spirit/jiwa sosial masyarakat (aspek etis). Dalam konteks ini, maka bagaimanapun juga upaya menumbuhkan etikjiwa sosial juga menjadi bagian dari tugas Ornop dalam proses penguatan/ pengorganisasian masyarakat. Itu dapat dimulai dari hal yang sangat sederhana. Misalnya seperti Mahatma Gandhi yang menyerukan: “Jahit bajumu sendiri dan buat garam dapurmu sendiri!”, lantaran pakaian dan garam di India ketika itu adalah produk imperialisme Inggris.
Paparan Roem Topatimasang. Fuzzy set theory atau fuzzy logicdiperkenalkan kali pertama oleh Dr. Lotfi Zadeh dari Universitas California, Berkeley pada 1965. Logika ini membantah logika klasik yang menyatakan bahwa segala sesuatu bisa diekspresikan dalam oposisi biner (binary)—hitam atau putih, ya dan tidak, makmur dan tidak makmur, sejahtera dan tidak sejahtera, dll. Logika fuzzymempremiskan adanya tingkat “kebenaran” tertentu yang gradatif. Lihat lebih jauh dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, London: Routledge, 1998, hlm. 1653 dan 2997. 25 26
51
C. Filosofi, Strategi dan Metodologi Penguatan Masyarakat Sipil
Bidal China Kuno di atas akan dijadikan titik pijak diskusi tentang filosofi, strategi, dan metodologi pengorganisasian masyarakat. Maka dapat diinterpretasikan bahwa filosofi dasar pengorganisasia harus diletakkan pada pemaknaan dari pernyataan pertama yaitu : “apa yang masyarakat punya”. Biasanya Ornop datang tanpa mengetahui apa yang masyarakat punyai, entah pada saat ini ataupun yang pernah mereka punyai. Untuk mengenali apa yang masyarakat punyai Ornop tidak asing menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA). Berbagai aspek seperti sejarah desa, transek, kalender musim, sosiografi (venn), sketsa/peta desa dapat ditelusuri dengan metode PRA tersebut. Misalnya dengan sosiografi dapat dilacak apakah di dalam masyarakat masih ada pranata atau tidak; kalau masih ada apakah pranata itu sudah berubah atau belum; jika pranata itu sudah berubah apa saja yang berubah, sejak kapan berubah dan mengapa pranata itu berubah. Pernyataan kedua, yaitu “apa yang masyarakat tahu”. Ornop mesti melacak pengetahuan apa saja yang hidup di masyarakat. Hal itu perlu ditempuh guna mengetahui produksi pengetahuan masyarakat yang bersangkutan. Dari sana Ornop dapat mendapatkan data yang kemudian dapat dipilah, mana produksi pengetahuan internal masyarakat, dan mana produksi pengetahuan eksternal (datang dari pengaruh orang lain). Dari mengetahui itu, masyarakat akan menjadi sadar. Bagaimanapun juga, tak akan ada kesadaran tanpa pengetahuan. Indikator paling mudah untuk mengenali “kadar pengetahuan masyarakat” adalah penggunaan kosa kata di masyarakat. Berbagai kosa kata yang muncul itu perlu dicurigai secara kritis dan peka sebagai penjajagan awal, sehingga pengorganisasian masyarakat dapat tepat. Pernyataan ketiga, yaitu: “apa yang masyarakat butuhkan”. Ornop perlu kehatihatian untuk perkara satu ini. Terkait dengan hal sebelumnya, pengetahuan dan kesadaran pada hakekatnya merupakan realitas sosial yang tidak pernah steril/ vakum. Perubahan yang tengah berlangsung di masyarakat akan berimplikasi pada berubahnya pengetahuan mereka pula. Karenanya agar tak sesat pikir (misleading), pemahaman yang lebih baik terhadap realitas sosial masyarakat tidak ada cara lain selain datang dan terlibat langsung bersama mereka. Dari merekalah Ornop dapat menggali data primer. Patut pula dicatat di sini bahwa apa yang sebenarnya dibutuhkan warga adalah apa yang diketahui dan dipunyai 52
oleh warga masyarakat itu sendiri. Berdasarkan paparan pengalaman, banyak pegiat Ornop yang memperbincangkan tentang pintu masuk bagi pengorganisasian masyarakat. Kendati pintu masuk itu penting, namun hal utama yang jauh lebih penting, adalah bahwa proses pengorganisasian itu sendiri benar-benar terjadi. Berbagai kasus menunjukkan bahwa tidak sedikit di kalangan pegiat Ornop justru berhenti di pintu masuk itu saja, sementara pengorganisasiannya tidak digarap secara sungguh-sungguh. Selama ini pemberdayaan ekonomi biasanya menjadi pintu masuk yang paling populer untuk pengorganisasian masyarakat. Sayangnya mayoritas pemberdayaan ekonomi itu kandas di tengah jalan. Pertanyaan mendasarnya, mengapa itu gagal? Terbersit sebuah kekhawatiran bahwa janganjangan Ornop luput dalam melihat persoalan masyarakat. Kebanyakan program ekonomi yang dijalankan Ornop biasanya berorientasi pada tiga hal yaitu: pertama, produk (produk massal atau sering disebut sebagai komoditi); kedua, proses pemasaran; ketiga, intervensi teknologi. Sebagai pembanding dapat dikaji kasus masyarakat di Sumba, Nusa Tenggara Timur berikut. Sebelum masuknya Ornop, masyarakat terbiasa hidup bertani. Di sela-sela aktivitas bertani, ibu-ibu terbiasa menyisihkan waktu untuk menenun kain tenunan Sumba di rumahnya masing-masing. Sejak munculnya intervensi Ornop di sana, dalam hitungan tak lebih dari tiga minggu saja, terjadi perubahan. Di setiap hari Rabu, Jumat, dan Sabtu, ibu-ibu itu harus berkumpul di satu rumah untuk membuat tenun Sumba secara berkelompok. Boleh jadi bagi Ornop tersebut, perubahan aktivitas menenun sendiri-sendiri diubah menjadi menenun secara bersama-sama adalah indikator keberhasilan program pemberdayaan ekonomi masyarakat di sana. Namun apa yang terjadi setelah proses itu berlangsung selama bertahun-tahun? Ternyata dampaknya cukup fatal. Sejak itu, mayoritas ibu-ibu tidak lagi menanam bahan-bahan pangan di pekarangan sekitar rumah mereka. Lebih memprihatinkan lagi, mereka juga tak tahu lagi bagaimana mesti mengolah lahan. Pola pemenuhan kebutuhan pangan mereka beli semua dari pasar/warung. Hal yang paling tragis, kini wilayah itu menjadi langganan kelaparan. Kasus itu ingin menegaskan bahwa pergeseran pola pemenuhan kebutuhan pangan dengan mengandalkan daya beli benar-benar telah menggerogoti sendisendi dan daya tahan hidup masyarakat. Pola belanja untuk mencukupi kebutuhan pangan semacam itu menunjukkan angka yang semakin meningkat, yaitu sekitar 60-80%. Jika saja Ornop tahu bahwa tingkat pembelanjaan untuk bahan pangan setinggi itu, maka intervensi program ekonomi yang lebih tepat adalah program yang mempertimbangkan bagaimana masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangannya sendiri (semacam program swasembada pangan). Bukan perkara gampang untuk menakar dampak progam semacam itu. Untuk itu Ornop harus membekali diri dengan wawasan/pengetahuan yang memadai. Era komodifikasi mesti disikapi secara kritis. Di tengah gelombang 53
komodifikasi seperti saat ini, bersama-sama masyarakat kita tetap harus mengkalkulasi strategi perlawanan terhadap ketidakadilan global yang multi faset. Berhenti membeli bahan makanan impor ataupun berdikari menanam bahan pangan kita sendiri adalah sebagian opsi yang dapat kita pilih dalam pengorganisasian. Terkait dengan ketidakadilan global itu, dapat ditilik lagi dari sekitar 90 program WTO, ada satu program yang belum tertuntaskan hingga saat ini, yaitu persoalan “pangan”. Melalui WTO, negara-negara maju telah mempecundangi negara-negara sedang berkembang. Di saat negara-negara sedang berkembang dipaksa untuk mencabut subsidi pertaniannya, negara-negara maju justru ingkar terhadap aturan itu. Dengan arogansinya, negara-negara maju terang-terangan menolak memberlakukan pencabutan subsidi untuk pertanian domestiknya. Selain itu, negara-negara maju dapat dengan bebas mengekspor produk-produk pertanian ke negara-negara sedang berkembang, tanpa boleh ada barrier berupa pajak import sama sekali. Hal itulah yang menyebabkan petani di Negara berkembang selalu mengeluhkan rendahnya harga panenan mereka. Alih-alih teruntungkan, petani justru semakin terpuruk lantaran defisit. Melihat peta ketidakadilan global itu, mesti dirancang program pemberdayaan ekonomi yang tepat bagi masyarakat. Program ekonomi itu seoptimal mungkin dirancang agar komunitas atau masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pangan dan energi untuk diri mereka sendiri. Dengan demikian, masyarakat diharapkan dapat “menabung” (saving), sehingga pada akhirnya nanti akan tercapai akumulasi aset atau modal di masyarakat itu sendiri. Konsepsi “menabung” itu merujuk pada pengertian bahwa uang mereka tidak terkuras keluar dari wilayah mereka, semisal untuk mengonsumsi produkproduk dari pihak eksternal: coca-cola, aqua, nestle, dll). Dalam tataran praktis, dengan merunut dari teori ekonomi makro, keberhasilan program pemberdayaan ekonomi itu sangat ditentukan oleh bagaimana kita mampu menahan “surplus outflow” agar tetap tersimpan/tertahan (saving) di masyarakat setempat. Secara khusus, kita dapat mengembangkan pendekatan ekonomi tersebut dengan mengidentifikasi beberapa hal berikut: pertama, pemasukan (inflow) berasal dari mana saja dan pengeluaran (outflow) untuk apa saja; kedua, pranata apa yang hilang dan perlu dibangun; ketiga, kapasitas apa yang dimiliki masyarakat; keempat, apa yang dulu ada dan yang sekarang hilang dari masyarakat. Kekuatan kapitalisme (baca: pasar) terletak pada “produksi massal”. Maka untuk membendung kapitalisme, Ornop dan masyarakat jangan mengekor dengan melakukan produksi massal (padat modal). Tetapi justru harus melakukan produksi secara komunal (padat manusia). Karena permasalahan utama sesungguhnya terkait pada perkara bahwa pasar komunitas sendiri telah terserobot oleh kekuatan kapitalisme. Opsi pada produksi komunal pada intinya untuk merebut kembali pasar komunitas yang terserobot. Produk-produk 54
komunal itu nantinya dapat dipasarkan melalui pasar komunitas. Memang perlu disadari bahwa apa yang terjadi saat ini, mayoritas masyarakat adalah konsumen massal dari produksi massal yang senyatanya hanya dijalankan/dimiliki oleh segelintir orang saja. Jika memungkinkan pasar dapat dirancang seperti pasar lokal (barter) yaitu dengan pertukaran barang bukan pertukaran uang. Semisal di Thailand selatan, sejumlah kalangan masyaraka di sana saat ini tengah berupaya menggerakkan pemberlakuan “local curency market” dengan cara barter. Hal terpenting yang senantiasa perlu dikedepankan adalah bagaimana kita mengembalikan pranata itu lantaran masih banyak warga yang tetap berpegang teguh pada pranata sosial mereka. Itulah pokok dari pengorganisasin masyarakat. Contoh sukses tentang itu terjadi di Desa Tenganan Bali Timur (sebagai Negara kesejahteraan). Desa Tenganan merupakan contoh desa yang mempunyai asuransi sosial yang menjadi jaminan hidup semua warganya. Masing-masing KK mendapat Rp. 50.000,- dan 50 kg beras setiap bulan. Sadar atas keeksotisannya, para warga pun lantas membuat awig-awig (seperangkat aturan yang mangatur warga di tingkat desa adat dan banjar adat di Bali) yang menegaskan bahwa quota untuk turis per hari hanya 50 orang. Tantangan tersulit untuk pengorganisasian saat ini memang terkait erat dengan massif dan derasnya jangkauan dampak negatif dari teknologi informasi dan telekomunikasi yang mengubah pola pikir masyarakat. Tanpa menafikan kemanfaatannya, perkembangan teknologi itu ternyata juga telah menggerus benteng-benteng nilai kearifan lokal warga. Karenanya teramat sulit untuk meluruskan pola pikir masyarakat yang telah terperangkap dalam arus komodifikasi itu.27 Perihal ketahanan atau kedaulatan pangan misalnya,masyarakat lebih membeli produk-produk pangan instan pabrikan ketimbang harus menanami pekarangannya dengan beragam tanaman pangan. Beban ekonomi keluarga (pengeluaran) semakin bertambah besar, ketika komodifikasi itu juga telah merasuk ke segenap pranata sosial di masyarakat. Beraneka macam pagelaran upacara adat cukup menguras budget masyarakat.28 Menyoal upacara adat di masyarakat, tentu tak dapat gegabah menilai. Itu merupakan salah satu kekayaan yang tetap perlu dipertahankan. Yang jadi persoalan adalah jika seluruh kebutuhan upacara itu dibeli atau tidak dapat mereka sediakan sendiri. Bila masyarakat dapat menyediakan sendiri semua, pastilah itu akan berpengaruh pada bentuk pranata ekonomi maupun sosialnya juga. Tak terpungkiri tantangan perkembangan pesat teknologi informasi memang tidak ringan. Namun tak menyelesaikan persoalan pula ketika Ornop hanya membincang untung ruginya. Kendati demikian, Ornop dan masyarakat masih memiliki ruang untuk mempertahankan segala hal yang dianggap berharga. 27 28
Tanggapan Adi Nugroho (Sheep Indonesia) Tanggapan Yusuf (Staf YAPHI)
55
Masih ada banyak daerah, komunitas yang dapat dirintis dan semai. Demikian pula, masih ada hal-hal fundamental yang dapat dilakukan sembari tetap melakukan berbagai advokasi kebijakan publik. Sebenarnya masih ada banyak komunitas yang masih bergantung dan melestarikan sumber-sumber pangan lokal mereka. Dan secara riil mereka pun mampu menunjukkan taraf hidup yang lebih baik ketimbang daerah lain. Perihal pangan lokal, menurut sejarah peradaban manusia, tidak ada tanaman monokultur yang dapat mensejahterakan petani. Boleh jadi itu akan menguntungkan dalam 1-2 tahun saja, namun setelahnya hampir dapat dipastikan tinggal menunggu nasib apes. Diperhadapkan pada beragam tantangan itu, mau tidak mau Ornop perlu menakar dan memutakhirkan metodologi dalam kerja-kerjanya. Secara konseptual, metodologi merujuk pada pengertian pengetahuan tentang cara mencapai tujuan. Kendati demikan, metodologi juga harus menjadi bagian dari tujuan itu sendiri. Saat ini, ada kecenderungan metodologi hanya diposisikan sebatas cara teknis tanpa dilandasi oleh basis filosofis, spirit maupun nilai gerakan. Itulah fenomena yang banyak dijumpai di kalangan Ornop saat ini. Selain dasar filosofi dan metodologi, hal yang tak kalah penting adalah strategi yang digunakan Ornop dalam menjalankan misinya. Semisal, tema apa saja yang menurutnya strategis. apakah cross cutting theme atau general theme seperti pangan, energi, air bersih, hutan, dll. Selain tema, Ornop juga penting untuk menentukan mitra kerjanya. Kalangan masyarakat mana yang menurutnya strategis untuk dijadikan mitra. Banyak kalangan Ornop memilih kalangan perempuan sebagai mitra strategis dalam menjalankan misi-misinya. Menurut testimoni seorang pegiat Ornop, pengalaman selama 30 tahun bekerja di dunia pengorganisasian masyarakat, kaum perempuan merupakan kalangan masyarakat yang paling strategis sebagai mitra dalam penguatan masyarakat sipil. Menurutnya, kaum perempuan juga mempunyai daya tahan tinggi, konsistensi, eksistensi, kedisiplinan, cermat & telaten (meticulous). Mobilitasnya yang rendah memungkinkan mereka memiliki peluang yang lebih besar sebagai penanggung jawab komunitas, sumber informasi yang cepat, dan pengelola keuangan yang baik. Lebih jauh, menurutnya, kaum perempuan juga paling strategis untuk membangun kembali pranata di masyarakat.29 Kendati testimoni itu boleh jadi subyektif, namun pantaslah jika hali itu ditempatkan sebagai best practice yang pantas untuk diuji di lintas konteks masyarakat. Testimoni itu mungkin mengingatkan pada program-program pemberdayaan ekonomi ala Gramen Bank yang diinisiasi oleh mayoritas kaum perempuan. Hal serupa rupanya juga berlangsung dalam gerakaan masyarakat hutan di India maupun gerakan masyarakat Indian. Berdasarkan komparasi kasus dari berbagai negara itu nampak ada nilai yang sama yaitu bahwa kaum perempuan sangat potensial menjadi mitra strategis. Merekalah yang biasanya 29
56
Testimoni Roem Topatimasang.
mengantongi sekaligus mengungkapkan data dan seluk beluk rinci komunitas/ masyarakatnya. Dalam konteks masyarakat desa di Indonesia misalnya, arus informasi berlangsung terbuka di berbagai tempat khusus yang biasa mereka jadikan tempat berkumpul, semisal warung, pancuran, berbagai tempat sumber mata air. Serta merta menentukan mitra strategis itu, Ornop perlu pula merancang titik tolak, pintu masuk, entry point, atau apapun namanya. Istilah itu sendiri bukanlah sesuatu yang terpenting, tapi hal yang jauh lebih penting adalah wujudnya. Dalam proses menentukan titik masuk itu, tidak sedikit kalangan Ornop merasa tersergap oleh isu-isu atau kerja-kerja teknis di masyarakat, sehingga isu utama justru terbengkelai atau bahkan terabaikan. Misalnya sebuah Ornop menetapkan isu kesehatan sebagai titik masuk sembari melakukan need assessment di masyarakat. Dalam perjalannya mereka dihadapkan pada munculnya rencana kerja yang diinisiasi dan dirumuskan bersama oleh masyarakat. Kondisi semacam itu terkadang muncul secara tak terduga. Lantas bagaimana Ornop perlu menyikapi kondisi tersebut?30 Agar isu utama tidak terabaikan, Ornop tentu saja harus bersikap taktis dan perlu mengusulkan adanya perencanaan strategis bersama masyarakat. Dalam penentuan titik masuk ini, Ornop terkadang gampang tergoda pada kepentingan pragmatis dengan terburu-buru mempercayai tokoh lokal yang boleh jadi belum mendalam dikenal. Tak jarang pilihan atas tokoh lokal itu pun seringkali “luput atau salah alamat”. Selama ini Ornop cenderung memilih tokoh agama, tokoh pemerintahan desa, tokoh pendidikan, ketimbang tokoh ekonomi. Pilihan itu tentu saja bukan berarti salah, namun ketika yang dipilih adalah tokoh ekonomi lokal, Ornop sebenarnya tengah memegang aktor lokal yang akan banyak mengubah segenap faktor yang ada di masyarakat. Tak dipungkiri ketokohan (leadership) itu memang penting dan strategis dalam proses pendekatan di masyarakat.31 Kendati demikian, Ornop tetap perlu meminimalisir dominasi kekuasan yang melekat dalam sosok tokoh tersebut. Dalam hal ini perlu ada dorongan kepada masyarakat basis untuk memunculkan perannya agar terjadi perimbangan.32 Masyarakat sipil yang kuat adalah komunitas atau masyarakat yang memiliki pemimpin, tetapi yang terlahir dari sistem. Pemimpin yang mempunyai kekuasaan berlebihan akan cenderung korup. Pemimpin yang baik dan berhasil adalah pemimpin yang mampu membuat yang dipimpin menjadi berkembang dan hebat seperti pemimpinnya. Pemimpin sebenarnya bukan jabatan tetapi fungsi, dan untuk menjalankan fungsi tersebut yang harus diciptakan adalah budaya organisasi. Pengaruh ketokohan memang suatu realitas umum di masyarakat. Tetapi Tanggapan Asnawi (LSKaR) Tanggapan Jojon (LKTS) 32 Tanggapan Heri (.YAPHI.) 30 31
57
Ornop harus tetap jeli mengamati pola-pola hubungan antara tokoh dan masyarakat itu semacam apa. Bagaimana pula latar belakang munculnya seorang pemimpin kharismatik atau berpengaruh tersebut. Beberapa kasus di lapangan memapar bahwa ada tokoh-tokoh di masyarakat yang justru sengaja menjaga jarak dengan warganya karena alasan tertentu (semisal gengsi, politis, dll). Ketika tokoh itu turun tidak jarang justru menimbulkan persoalan baru. Besarnya pengaruh tokoh-tokoh lokal di masyarakat biasanya mendorong Ornop untuk menggolongkannya sebagai key person. Key person ini sering diposisikan sebagai nara sumber kunci dalam penggalian data di masyarakat. Namun patut dicatat bahwa key person itu merupakan konsep sosiologis yang seringkali disalah mengertikan. Karena itu Ornop sering salah kaprah atau latah menginterpretasikan konsepsi key person ini. Maka Ornop perlu menimbang tentang dampak dari pandangan tokoh lokal tersebut yang boleh jadi bias kelas. Cara pandang elit lokal tentu saja akan berbeda dengan cara pandang mayoritas masyarakat kelas bawah. Selain perlu mewaspadai laten pandangan yang bias kelas itu, Ornop nampaknya juga perlu mengubah cara pandang bahwa hal yang mau diubah bukanlah key person itu melainkan pranata - pranata yang ada di masyarakat. Maka subyek yang mestinya dilihat adalah bukan melulu berbagai tokoh masyarakat lokal melainkan juga harus menyentuh mayoritas warga masyarakat yang nantinya akan terlibat dalam proses pengorganisasian. Ketika datang ke masyarakat Ornop juga harus mengetahui pranatapranata atau sistem-sistem di masyarakat, hal terpenting yang akan menjadi sasaran perubahan. Perubahan itu harus dilakukan perlahan-lahan dan dikawal dengan cara menanamkan pranata melalui konvensi/persepakatan (dari, oleh, dan untuk) masyarakat. Sekadar catatan saja, akar pembentukan masyarakat Indonesia adalah by convention, bukannya by law. Konvensi-konvensi itu tetap harus dihidupkan agar perlahan-lahan dapat berdiaspora hingga menelurkan berbagai konvensi lainnya. Dari proses itu diharapkan akan tersusun kesepakatan yang dilengkapi dengan sangsi, sehingga akan ada pranata yang mampu memproteksi potensi/ kekuatan/sumber daya lokal masyarakat. Kalau pun toh mekanisme itu tidak dapat direplikasi di kalangan masyarakat yang lebih luas, paling tidak konvensi itu dapat hidup di wilayah tersebut. Boleh saja Ornop bermimpi untuk mengubah negara, tapi dapat dimulai dari wilayah-wilayah atau daerah-daerah yang kecil. Dinamika pengorganisasian juga bersentuhan dengan pelembagaan. Maka pelembagaan itu seoptimal mungkin mendayagunakan berbagai potensi dan sumberdaya komunitas/masyarakat setempat. Hal yang paling sederhana, penamaan lembaga misalnya harus merujuk pada akar historis masyarakat tersebut. Penamaan itu harus mengadopsi istilah-istilah yang merujuk bahasa lokal, menggunakan identitas lokal yang mereka miliki. Menggali dan menemukan kembali “dunia yang hilang” di masyarakat dapat ditempuh melalui metode sederhana yaitu mulai dengan menamai dunia untuk diri mereka sendiri 58
(begin to name the world for themselves). Dari naming the world itulah masyarakat akan dapat menemukan pelembagaan sesuai dengan pandangan dunia (world view) mereka sendiri. Secara panjang lebar, telah mendiskusikan filosofi, metodologi, dan strategi penguatan masyarakat sipil berikut sejumlah best practices yang mungkin dapat menginspirasi kerja-kerja bersama masyarakat. Tantangan yang semakin kompleks tentu akan membayangi perjalanan Ornop ke depan. Dalam hal ini, Ornop perlu merubah paradigma bahwa yang dicari bukanlah masalah tetapi potensi. Dengan membalik paradigma itu melalui contoh sukses di satu wilayah desa untuk ditularkan ke wilayah desa yang padat masalah. Ide itu tentu saja bukannya tanpa dasar. Muncul sinyalemen kuat bahwa selama ini berbagai kalangan Ornop memulai pengorganisasian di wilayah/daerah yang hiruk pikuk dengan masalah, hingga mereka lupa bahwa pengorganisasian masyarakat tetaplah butuh kemenangan kecil dalam rupa penyelesaian kasus secara sukses di suatu wilayah tertentu. Bermula dari kisah sukses pengorganisasian masyarakat di sebuah komunitas akar rumput, Ornop dapat menggunakan modus “efek domino” untuk menularkan “virus best practice” itu ke komunitas-komunitas kecil lain. Tentu saja Ornop membutuhkan jejaring (gerakan) sosial yang handal untuk penyebarannya. Tepat di sinilah uji konsolidasi jejaring masyarakat sipil lintas komunitas/daerah turut menentukan peluang perubahan dari tingkat mikro ke cakupan makro dalam sebuah negara bangsa (nation state). Tawaran perubahan strategi bagi Ornop ini tentunya semakin relevan ketika diperhadapkan berbagai tantangan baru di era desentralisasi (otonomi daerah) yang telah berlangsung lebih dari satu dekade. Harus di akui waktu-waktu belakangan Ornop tengah demam. Bergolaknya pergantian musim jadi penyebab. Simptom-simptom fisiologis maupun mental ditengarai telah mengarah pada darurat humanisme. Dari lapis atas globalisasi neoliberalisme menggebuk, di lapisan tengah negara tersandera, sementara di lapis bawah masyarakat sipil bergolak. Terasa haluan vertikal maupun horisontal sama-sama berhulu di bottle neck. Di tengah himpitan rejim fundamentalisme pasar yang hegemonik, beragam persoalan politik lokal pun meruyak. Misalnya kekisruhan dan pertikaian elit-elit politik lokal semakin menegaskan bahwa masyarakat sipil kian terjauhkan dari sentuhan pelayanan publik yang lebih baik. Gelimang kasus sandera korupsi dan baku jegal para elit lokal pun menandai kesejahteraan yang kian jauh dari jangkauan rakyat bawah. Lantas dimanakah demokrasi yang substantif-esensial mesti diperagakan ketika kehidupan Republik ini justru sesak oleh sepak terjang elit-elit lokal yang membangkrutkan demokrasi? Sampai kapan Republik ini dapat terbebas dari kolonialisme internal elit-elit lokal yang gandrung dengan credo: a happy few and a servil crowd? Sub bab berikut lebih jauh akan mengkaji tentang bagaimana proses 59
konsolidasi organisasi masyarakat sipil berlangsung di era reformasi, sebuah era dimana demokrasi tengah dalam proses menjadi (state of becoming). Pokok uraian yang akan ditegaskan adalah bahwa daftar kendala berdemokrasi di negeri ini masihlah teramat panjang. Namun patut disadari juga bahwa hukum dialektika sosial tetap tidak dapat dinafikan. Dalam hukum dialektis itulah dinamika negara versus masyarakat sipil berkontestasi mengayun pendulum demokrasi. Sosiologi reflektif meminjami cara pandang bahwa di masa-masa sulit tetap terselip momentum perubahan, dalam kolonialisme-internal-hegemonik selalu hidup spirit kreatif-liberatif, demikian pula di negara lemah (soft state)—untuk tak terjerumus menyebut negara gagal (failed state)—pun terpendam gerakan masyarakat sipil progresif yang siaga (belajar) “menari” dengan demokrasi. D. Konsolidasi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam Proses Demokratisasi 33 Sebelum mengulas tantangan internal-ekstenal konsolidasi organisasi masyarakat sipil, paparan berikut terlebih dulu akan mengulas proses demokratisasi di negeri ini, yang sudah berlangsung selama lebih dari satu dekade. Uraian mengenai proses demokratisasi ini merupakan ringkasan dari paper Soetoro Eko berjudul: “Masyarakat Sipil, Negara, dan Demokratisasi di Indonesia”.34 Arus demokratisasi di Indonesia, demikian menurut paparan Soetoro Eko, dapat dijelaskan setidaknya dalam lima catatan pokok berikut. Pertama, proses demokratisasi baik di aras nasional maupun aras lokal, menampilkan dua wajah ganda. Ada berita baik, tetapi juga ada berita buruk. Berita baik yang paling menonjol adalah liberalisasi politik. Liberalisasi ditunjukkan dengan pemilihan umum dan pilkada yang kompetitif dan terbuka, kebebasan pers, organisasi masyarakat sipil yang bebas berorganisasi, longgarnya kontrol politik tentara dan birokrasi sipil. Di aras lokal, pilkada yang demokratis juga menghasilkan pemimpin-pemimpin baru yang mengakar dan responsif terhadap rakyat.35 Kedua, berita buruknya, desentralisasi ternyata tidak selalu linier dengan demokratisasi lokal. Desentralisasi justru memicu menguatnya lokalisme. Lokalisme itu mempunyai basis yang kuat pada identitas: agama, etnik, kekerabatan, nativisme, atau perasaan kedaerahan yang kuat. Ia mempunyai akar sejarah dan budaya lokal yang panjang, sekaligus akibat dari proyek nation-state Sub bab ini disunting dari diskursus para aktivis organisasi Mitra KIA yang difasilitasi oleh Soetoro Eko dalam Semilokal Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 5-6 Maret 2009 dengan tema “Konsolidasi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Proses Demokratisasi: Peluang & Tantangan Internal –Eksternal. 34 ini dipresentasikan dalam Semilokal Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 5-6 Maret 2009. 35 Soetoro Eko, Masyarakat Sipil, Negara, dan Demokratisasi di Indonesia, paper Semilokal Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 5-6 Maret 2009, hlm.1 33
60
building Indonesia yang gagal. Praktis, desentralisasi dan demokrasi lokal bekerja dalam konteks aturan baru dan struktur lama. Karenanya terjadi dualisme: benih demokrasi lokal tengah tumbuh, tetapi oligarki elite semakin menguat.36 Ketiga, desentralisasi dan demokratisasi sebenarnya telah dan tengah membiakkan organisasi masyarakat sipil. Namun bersamaan dengan itu pula masyarakat sipil di Indonesia menghadapi kelebihan beban yang luar biasa dalam agenda konsolidasi demokrasi. Masyarakat sipil dapat dikatakan sebagai aktor tunggal dalam demokratisasi. Negara sibuk mengelola administrasi, membuat regulasi, memupuk kapasitas ekstraksi, mempertahankan ketahanan nasional, dan seterusnya. Kapasitas negara justru menjadi lemah (soft state) karena digerogoti oleh korupsi yang dilakukan oleh para pejabatnya. Sementara masyarakat politik hanya sibuk melakukan konsolidasi untuk merebut kekuasaan.37 Keempat, dalam situasi seperti itu masyarakat sipil menghadapi begitu banyak musuh, sementara energi dan kapasitas mereka sangat terbatas. Masyarakat sipil sangat terfragmentasi dan sulit dikonsolidasikan. Organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan demokrasi tidak hanya menghadapi negara yang “keras kepala”, tetapi juga berhadapan dengan elemen-elemen sipil yang menggunakan cara-cara yang tidak demokratis dan tidak beradab. Ketika kesempatan politik terbuka, atau ketika menghadapi musuh bersama, kekuatan masyarakat sipil gampang terkonsolidasi melakukan protes sosial atau pembangkangan sipil melawan penguasa yang otoriter dan bermasalah. Kekuatan besar ini sangat efektif dan mampu menjatuhkan penguasa otoriter, tetapi setelah penguasa otoriter jatuh mereka terfragmentasi kembali, tidak mempunyai nilai yang menjadi perekat bersama serta tidak efektif untuk mendukung konsolidasi demokrasi.38 Kelima, relasi antara masyarakat sipil dan masyarakat politik sangat beragam bentuknya, tetapi yang jelas, relasi kedua aktor itu tidak secara signifikan mendorong konsolidasi demokrasi. Tidak ada koalisasi yang kuat antara masyarakat sipil dan masyarakat politik sebagai kekuatan oposisi yang mengontrol negara. Relasi yang paling menyolok kedua aktor itu terjadi dalam konteks pengorganisasian kekuasaan partai politik. Partai politik menggunakan organisasi masyarakat sipil sebagai underbouw atau sebagai mesin politik untuk mengumpulkan dukungan massa. Di sisi lain, banyak organisasi masyarakat sipil yang tetap independen dan non-partisan, tidak mau menjalin hubungan dengan partai politik. Bahkan tidak sedikit organisasi masyarakat sipil yang justru tidak percaya pada organisasi politik, seraya menganggapnya sebagai “musuh” dalam agenda konsolidasi demokrasi.39 Soetoro Eko, Op.Cit. hlm.2 Soetoro Eko, Op.Cit. hlm.3 38 Ibid 39 Soetoro Eko, Op.Cit. hlm.4 36 37
61
Dalam wajah ganda demokratisasi itu, lantas bagaimana organisasi masyarakat sipil di Indonesia ini mesti mengkonsolidasikan diri untuk proses demokratisasi ke depan? Itulah pertanyaan krusial yang mesti kita cari jawabannya. Memang, konsolidasi demokrasi bukan saja urusan masyarakat di Indonesia, tapi juga urusan masyarakat mondial. Sebagai bagian dari organisasi masyarakat sipil, Ornop mau tidak mau mesti mendorong penguatan proses konsolidasi demokrasi itu pula, baik di lingkup internal dan eksternal sekalipun. Selain dituntut untuk menjadi bagian organisasi penegak pilar demokrasi di ruang publik, Ornop pun mesti mendemokratiasi internal kelembagaannya sebagai suatu keutamaan. Sejumlah persoalan yang sering menjadi kendala konsolidasi demokrasi di tingkat internal organisasi masyarakat sipil dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Konsolidasi Internal Organisasi Ornop perlu dan harus selalu memutakhirkan daya refleksifitas atas kerja-kerjanya bersama masyarakat di tingkat akar rumput. Sejumlah materi pemikiran dan pembelajaran (filosofi, metodologi, dan strategi pengorganisasian masyarakat) telah terulas. Namun sebenarnya ada satu pekerjaan rumah yang mesti dituntaskan oleh kalangan Ornop, utamanya di lingkup internal kelembagaannya: konsolidasi di antara para personilnya. Pemikiran dan pembelajaran deduktif pegiat Ornop di tingkatan staf boleh jadi selesai, tapi bagaimana dengan “manajemen dapur” Ornop itu sendiri belum cukup terkupas. Bagaimanapun juga Ornop bukanlah entitas soliter yang kebal konflik. Ia tetaplah organisasi sosial yang dibentuk dan dihuni sekian manusia yang syarat dengan aneka latar belakang hasrat, kepentingan, cara pandang, dan habitusnya masing-masing. Singkatnya, Ornop tetap saja organisasi yang juga syarat dengan konflik kepentingan (conflict of interest) di antara para punggawanya (proponents). Adalah sebuah kemudharatan jika bergiat mengonsolidasi masyarakat sipil di dunia eksternal, namun api konflik di tungku dapur sendiri tak diurus sementara di sekitarnya berserak “jerami kering”. Tinggal menunggu angin bertiup saja, jilatan api pasti akan sigap melalap seluruh yang berharga. Kiasan itulah wajah rentan Ornop di Indonesia. Jika demikian keadaannya, alih-alih mampu membangun jejaring gerakan sosial yang handal, kalangan Ornop sendiri justru tertatih urusi diri. Tentu saja kiasan itu adalah oto-kritik fundamental bagi homo socius di internal Ornop. Luangkanlah memperolok diri (self mockery) agar segera bergegas untuk berbenah. Dari kiasan di atas sepertinya Ornop dapat menarik sebuah pemaknaan bahwa “secara diam-diam” internal kelembagaan ternyata laten konflik, miskoordinasi, pragmatisme, perpecahan, free rider atau boleh jadi juga pengkhianat idealisme (betrayer). Tak sepenuhnya benar ataukah tak benar sepenuhnya pemaknaan itu, tentu masing-masing yang dapat mengetahui secara pasti. Di mata publik Ornop boleh jadi sering diidentikan dengan 62
dunianya orang-orang idealis. Boleh jadi, sorotan mata publik cenderung biner dengan cara menyanjung para pegiat Ornop dan mencibir pegiat partai politik. Terlepas dari sorotan publik itu, tetap perlu menjawab pertanyaan retoris berikut. Terkait dengan persoalan konsolidasi masyarakat sipil di era demokratisasi saat ini, Apakah Ornop itu bagian dari persoalan atau solusikah? Bermula dari pertanyaan retoris itulah sub bab ini akan memperdalam paparan. Sebagai bagian dari organisasi masyarakat sipil, relasi internal Ornop dapat dikatakan belum terkonsolidasi secara optimal. Kondisi itu tidak memungkinkan Ornop mampu berperan optimal dalam pengorganisasian masyarakat. Hingga saat ini belum ditemukan cara untuk mengoptimalkan hal itu. Padahal tidak akan pernah ada organisasi kuat tanpa optimalisasi segenap komponennya. Salah satu contoh yang jamak terjadi adalah kasus seperti akan terpapar berikut:40 “Sangatlah ironis ketika berbagai kalangan (termasuk kita) tengah getol-getolnya mendorong transparansi, namun organisasi kita sendiri belum memiliki check and balancing system yang jelas. Boleh jadi kita fasih bicara tentang demokratisasi. Namun rupanya kita lupa bahwa proses pengambilan keputusan dalam organisasi pun seharusnya mencerminkan spirit atau didasarkan pada prinsip demokratisasi itu”. Selain kasus jamak itu, persoalan internal Ornop yang juga sering dijumpai adalah peran dewan (board) yang jauh lebih intensif ketimbang peran pengurus. Porsi kekuasaan dewan mendominasi sampai-sampai mengabaikan peran para pengurus organisasi. Terkesan dewanlah pemilik lembaga, sementara eksekutif sekadar sebagai pegawainya.41 Persoalan lain adalah hal yang berkebalikan dengan itu. Peran dewan kurang optimal, sehingga organisasi dijalankan sepenuhnya oleh pelaksana/pengurus(executive) nyaris tanpa pengawasan/kontrol yang berarti dari dewan (board). Menilik tiga kasus di atas, kita mungkin jadi bertanya lantas mengapa itu dapat terjadi? Benarkah relasi didasarkan lebih pada niat baik belaka? Tidakkah peran dan tanggung jawab setiap personal telah dipahami dan jadi komitmen demi tercapainya visi misi organisasi? Ketika Ornop kencang mendorong pengembangan kapasitas organisasi, maka mestinya relasi internal diprioritaskan untuk dituntaskan. Percuma saja pengembangan sistem organisasi terus menerus dilakukan tanpa diikuti pemahaman dan komitmen yang sama pada peran dan tanggungjawab masing masing personel (mulai dari volunteer, staf, eksekutif, hingga dewan). Pemahaman dan komitmen yang tak sama tentu berkonsekuensi pada ketidakseimbangan organisasi. Hal itu dapat diinisiasi dari perkaraPengembangan prolog Andreas Subiyono dalam Semilokal Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 5-6 Maret 2009. 41 Tanggapan Pdt. Djoko (Dewan Pembina YPL) 40
63
perkara kecil dan sederhana hingga ke persoalan-persoalan yang kompleks. Harapannya, konsolidasi relasi internal organisasi bukanlah perkara retorikasloganistik melainkan praksis sinergisitas dalam artian sejatinya.42 Tentu saja sinergisitas bukanlah produk instan, melainkan hasil dari proses panjang yang diprakarsai sedari dini secara kolegial. Ia adalah produk ikutan (by product) dari purwa-mufakat organisasi yang termanifestasi bulatnya tekad dan komitmen dalam segenap aktivitas personil organisasi. Keanekaragaman peran adalah keniscayaan organisasi yang perlu senantiasa dipadu sekaligus dipandu sehingga semua mengacu pada kontrak sosial (social contract) itu. Misalnya menyoal kasus disparitas komitmen antara dewan dan pengurus di atas, hal sederhana namun penting untuk ditegaskan sejak awal di dalam organisasi adalah kemauan belajar berdasarkan inisiatif untuk berubah.43 Hasrat menjadi manusia-manusia pembelajar (eager to learn) semacam itu mestinya menjadi nilai dasar yang harus dilembagakan sehingga menjadi budaya organisasi. Bukan saja eksekutif sebagai ujung tombak penjaga visi-misi organisasi, dewan pembina, pengawas, staf, hingga volunteer pun berkewajiban untuk itu, sesuai kesepakatan yang telah disepakati sejak awal. Secara reguler dan periodik, dewan pengawas dan pembina misalnya senantiasa perlu memantau kinerja pelaksana. Mereka harus menjalankan fungsi sesuai dengan konstitusi organisasi seperti proporsi anggaran, pelaporan secara periodik, manajeman/tata kelola yang transparan dan akuntabel, kesejahteraan, profesionalisme yang kesemuanya mengacu demi keberlanjutan organisasi.44 Meski sepele, multiplisitas peran para dewan tidak jarang jadi kendala teknis. Sedikit banyak mereka harus mengesampingkan profesi utamanya saat menjalankan peran sebagai dewan di sebuah organisasi.45 Selain perlu manajemen waktu yang baik, peran dan fungsi itu tidak akan berjalan tanpa adanya komitmen yang kuat dari masingmasing dewan. Kesungguhan komitmen itulah kunci para dewan dapat menjalankan tugas kolegial sesuai peran dan kapasitas masing-masing.46 Dalam beberapa kasus tertentu, tidak jarang dewan juga berperan dalam hal yang spesik.47 Karenanya menjadi penting bagi para dewan untuk memutakhirkan pengetahuan dan keahlian khusus terkait tugas spesifik yang diembannya. Bukan saja staf tetapi dewan pun berhak mendapatkan fasilitasi
Pengembangan tanggapan Andreas Subiyono dalam Semilokal Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 5-6 Maret 2009. 43 Pendapat Andreas Subiyono (Sheep Indonesia) 44 Pendapat KHA. Muhaimin (Dewan Pengawas Sheep Indonesia) 45 Pendapat Br. Heri (Dewan Pengurus YAPHI) 46 Pendapat Endang (Dewan Pembina Sheep). KHA. Muhaimin menambahkan ada 3 lapis kemampuan seorang pemimpin dalam perspektif Jawa yaitu wasis, lantip, dan waskita. 47 Pertanyaan konfirmatif dari Christy (Dewan Pembina Ekasita) 42
64
sarana prasarana untuk proses pembelajaran.48 Dalam hal ini hasrat menjadi pembelajar (eiger to learn) mesti terinternalisasi di kalangan para dewan itu sendiri. Tak terhindarkan para dewan juga harus mempelajari dan memahami beragam isu yang digeluti oleh organisasinya semisal governance, HIV/AIDs, gender mainstreaming, pengorganisiran masyarakat, relasi dengan donor, dan lain sebagainya. Sangat mungkin para dewan itu sendiri sama sekalit tidak/belum memahami isu-isu tersebut.49 Karenanya proses pembelajaran itu perlu difasilitasi secara memadai oleh organisasi, semisal dengan menyediakan berbagai referensi yang terkait dengan isu-isu yang relevan dengan visi dan misi organisasi. Dari proses itu, para dewan dapat berperan optimal sesuai dengan spesifikasi perannya masing-masing. Praktis, keterlibatan dewan dalam organisasi tidak sekadar bertugas menerima dan membaca dokumen laporan pertanggungjawaban (beberapa hari menjelang rapat pertanggungjawaban eksekutif) saja, namun sedapat mungkin juga harus turut terlibat dalam pengawasan implementasi program eksektutif di tingkat basis, dengan cara turun ke lapangan.50 Tersadari memilih dewan juga bukan persoalan mudah. Tidak sedikit organisasi yang merasa kebingungan untuk merancang sistem pemilihan/ rekruitmen ini.51 Organisasi perlu menerapkan sistem, tata aturan, standar rekruitmen untuk itu. Hanya saja setiap organisasi perlu merumuskan sendiri kriteria para calon dewan yang dibutuhkan oleh organisasinya. Kriteria itu misalnya bagaimana orang yang akan bergabung harus memahami gender, model kerja, mekanisme, dan spirit OMS, serta mempunyai kapasitas tertentu lainnya untuk mendorong pengembangan lembaga. Terkait dengan hal itu, seringkali pengumuman rekruitmen melalui pengumuman terbuka tidak membuahkan hasil. Pemanfaatan informasi dari jejaring justru memiliki tingkat keberhasilan yang lebih besar.52 Dalam hal ini, organisasi perlu menyepakati dan mendalami bagaimana kriteria dan model pendekatan untuk mengetahui karakter spesifik calon dewan, eksekutif, ataupun staf yang akan dipilih.53 Organisasi dapat menentukan beberapa kriteria seperti riwayat pengalaman kerja, kapabilitas, kompetensi, integritas, kepribadian, kesanggupan, komitmen, dan lain sebagainya. Jika kriteria sudah disepakati bersama dalam organisasi hal yang penting lainnya adalah perlunya membangun jejaring seluas-luasnya untuk menjaring informasi. Dengan jejaring dan relasi yang luas maka akan memudahkan organisasi untuk Tanggapan Br. Heri (YAPHI) Testimoni Endang (Sheep Indonesai) 50 Testimoni KHA. Muhaimin (Sheep Indonesia) 51 Tanggapan Lilik (YPL) 52 Tanggapan Ismail (LKTS) 53 Tukar pengalaman Tumiri (YKP) 48 49
65
melobi calon dewan (calon staf) yang diinginkan. Kendati demikian tetaplah penting untuk tetap menjaga historisitas organisasi.54 Dari jejaring organisasi dapat mencapai proses pendewasaan dengan cara menimba pengalamanpengalaman yang sudah ada.55 Sistem rekruitmen organisasi semacam itu juga sangat diperlukan dalam penyeleksian personil calon pimpinan maupun staf di tingkatan eksekutif suatu organisasi. Konsolidasi spirit (staf) di internal organisasi dapat diidentifikasi sejak rekruitmen itu. Di sanalah rekam jejak proses konsolidasi berada. Proses orientasi dan penilaian spirit/nilai segenap personil organisasi dapat teridentifikasi dengan sistem rekruitmen itu.56 Bagi calon staf misalnya, sistem seleksi dapat dimulai juga dari sistem magang (volunteer) yang sifatnya terbuka terhadap keterlibatan orang-orang dari beragam latar belakang profesi. Selain dapat menjadi proses awal pengenalan awal atas nilai-nilai dan spirit dasar organisasi, sistem magang itu penting untuk menjadi dasar penilaian awal sebelum bergabung penuh dalam organisasi terkait. Komunikasi antar relawan (para dewan) ini perlu dibangun dan difasilitasi sehingga menjadi media untuk menjaga hubungan dan komunikasi. Proses interaksi di antara mereka akan menstimulasi proses pembelajaran. Kendati pun boleh jadi terasa keras namun tetap jika dikemas dalam semangat belajar. Hal yang paling utama adalah perlunya saling membantu memberikan perspektif dan kesadaran sehingga dapat memperkaya cara berpikir dan proses pembelajaran bersama tersebut. Bagaimanapun juga, tidak ada kata instan dalam proses pembelajaran dan penguatan spirit dan komitmen bagi seluruh personil organisasi. Proses itu juga sangat erat kaitannya dengan manajemen waktu dalam organisasi. Konsolidasi internal organisasi bagaimanapun juga harus mencakup lembaga maupun program.57 2. Konsolidasi Ekternal Jejaring Masyarakat Sipil Kasus-kasus di atas hanyalah segelintir contoh tantangan dinamika internal organisasi masyarakat sipil. Selain tantangan internal tersebut, proses demokratisasi pun menghadirkan tantangan eksternal yang tidak ringan bagi organisasi masyarakat sipil. Jika kita menimbang pada dinamika eksternalinternal, masih ada banyak hal yang belum terkomunikasikan di berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Beragam latar belakang organisasi pun turut memicu kebingungan. Di kalangan pegiat sendiri meyakini bahwa tingkat kepercayaan antar OMS dapat dikatakan masih relatif lemah, Tukar Pengalaman Hariris (Dewan Pengurus YAPHI) Tanggapan Pdt. Djoko (YPL) 56 Tanggapan Frans (Dewan Pembina Sheep Indonesia) 57 Tanggapan Hariris (YAPHI) 54 55
66
keterlibatan lebih banyak terkait dengan panggilan sebatas idealisme saja. Situasi itu tentu bukan hanya menyangkut persoalan teknis melainkan juga perkara pola pikir dan sikap.58 Maka tidaklah berlebihan jika muncul pesimisme yang terepresentasikan dalam pertanyaan berikut: “Adakah konsolidasi Organsiasi Masyarakat Sipil itu? Bukankah dalam realitasnya mereka lebih terfokus pada upaya mencari makan sendiri-sendiri?59 Tidaklah berlebihan jika Ornop mau merenungkan pandangan pesimistik itu. Namun bijak pula bila mau melihatnya dari sudut lain yang lebih proporsional. Pelacakan dapat dimulai dari suatu fakta bahwa setiap organisasi tentu ada motivasi/dorongan moral/komitmen yang mengikat seluruh civitas dalam organisasi. Maka pertanyaan yang relevan untuk dikedepankan di sini adalah: “Apakah kendaraan dan orientasi yang dipilih oleh organisasi-organisasi itu sama?” Seringkali, OMS khususnya Ornop terbiasa menggunakan dasar pelayanan sebagai alasan utama organisasi. Karenanya harus diketahui seperti apa kendaraan dan arah organisasi yang hendak dituju dengan mempertimbangkan konsekuensi logis dan pilihan moralnya. Alur perjalanan proses secara organisatoris pun penting dipetakan.60 Pertanyaan yang tak kalah penting untuk diajukan terkait proses konsolidasi internal-eksternal organisasi masyarakat sipil ini adalah: Apakah yang membuat (organisasi) bertahan hidup dan berjuang? Apa yang sebenarnya akan dikonsolidasikan? Apakah proses konsolidasi itu hanya sebatas pada relasi ataukah sampai pada tingkatan aksi? Terlepas dari berbagai pertanyaan itu, patut untuk dicatat di sini bahwa konsolidasi bukanlah sebuah proses penyeragaman. Konsolidasi adalah proses mensinergikan berbagai potensi yang dimiliki oleh setiap organisasi masyarakat sipil demi tercapainya cita-cita bersama.61 Menyoal jejaring, Ornop mesti menimbang ulang apakah itu merupakan pilihan strategis ataukah sekadar mengekor/ikut-ikutan saja lantaran tuntutan realitas sosial yang sedang trend (yang ditandai dengan maraknya koalisi, forum, konsorsium, dll). Alih-alih didasari oleh kebutuhan dasar ataupun pilihan strategis, banyak organisasi masyarakat sipil memilih berjejaring lebih karena dorongan motif sempit, misalnya berpamrih mendapat kucuran dana dari donor. Bagaimanapun juga, berjejaring mesti didasari oleh kebutuhan dasar atau pilihan strategis organisasi. Dengan demikian opsi berjejaring itu seoptimal mungkin merujuk pada basis spiritual internal organisasi. Selain itu, pilihan berjejaring itu pun sangat ditentukan oleh kapasitas sumberdaya Pernyataan Br. Heri (YAPHI) Pernyataan Tumiri (YKP) 60 Paparan Andreas Subiyono (Sheep Indonesia) 61 Ibid 58 59
67
manusia dengan kualitas tertentu. Pemilihan sumber daya manusia yang berkualitas tentu saja tidak selalu ditentukan jumlah dana yang ada di organisasi. Proses itu dapat dimulai dari ketersediaan sumberdaya yang ada dan lebih pada investasi sumberdaya manusianya. Selain itu, organisasi perlu mengantisipasi beberapa hal berikut: (1). Hindari agar organisasi tidak terbiasa mengandalkan/tergantung pada kemampuan berjejaring di pundak satu orang saja; (2). Hindari membuat kebijakan yang berorientasi akumulasi aset (kekayaan) lembaga; (3). Hindari sistem regulasi yang bias kebijakan pimpinan dan tidak demokratis; (4). Hindari basis sumberdaya yang sebatas menekankan pada proyek dan tidak menyentuh aspek-aspek dasar kelembagaan; (5). Hindarkan klaim dan sikap eksklusif, misalnya membangun kebenaran otoritas pengetahuan/wilayah/ strategi, dan lain sebagainya. Kelima poin itu penting menjadi panduan organisasi dalam merancang jejaring masyarakat sipil yang kuat dan handal. Jika kembali menilik trend di era 1970-an hingga awal 2000, organisasiorganisasi masyarakat sipil mengalami euforia bantuan luar negeri, meskipun sebetulnya itu seringkali jadi gugatan fundamental atas wujud independensi organisasi masyarakat sipil itu sendiri. Hal itu tentu berbeda dengan kondisi lima tahun terakhir yang jelas-jelas telah sangat berubah situasinya. Menimbang pada situasi akhir-akhir ini, lantas bagaimanakah Ornop mesti menyikapinya? Akankah Ornop sekadar menjadi penonton proses pembangunan yang dijalankan pemerintah saja? Ataukah Ornop perlu melihat relasi kerja sama di satu sisi saja, dengan mendorong diri untuk menginisiasi konsolidasi program dan konsolidasi masyarakat sipil secara luas?62 Menyadari hal tersebut, setidaknya Ornop dapat mempertimbangkan beberapa hal berikut: pertama, perlunya kajian tentang ada atau tidaknya pengalaman berjejaring sebagai strategi konsolidasi baik secara manajerial maupun pengalaman teknis tertentu. Misalnya saja terkait penyediaan layanan (services provider) atau distribusi pelayanan(services distribution), seberapa besar prioritas/proporsi untuk jaringan, pelayanan, atau gerakan tersebut? Kedua, perlunya kajian tentang sejauh mana peran strategis yang dapat diemban dalam jejaring kemitraan global. Apakah hanya sekadar menjalankan pelayanan saja ataukah sampai harus mempertanggungjawabkan sumberdaya yang dipergunakan dalam proses pelayanan itu? Ketiga, perlu penilaian kritis atas relasi organisasi yang terbangun terkait jejaring kemitraan global? Dan keempat, perlunya pembelajaran dari adanya proses berbagi pengalaman antar organisasi-organisasi masyarakat sipil yang ada. Hal itu penting untuk mengetahui berbagai macam perbedaan persepsi/cara pandang mereka
62 68
Ibid
terhadap donor.63 Relasi dengan donor misalnya, pandangan umum selama ini beranggapan bahwa donor hanya menjalin relasi/komunikasi personal dengan orang-orang tertentu (contact person) saja dalam suatu organisasi. Pandangan itu tentu harus mulai diubah. Relasi donor pada dasarnya adalah relasi kelembagaan, bukan perorangan. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk berkomunikasi dengan donor. Misalnya yang terkait dengan persoalan program, donor dapat berkomunikasi dengan Manajer Program, bukan hanya dengan Direktur Eksekutif saja. Melalui komunikasi yang hangat, siapapun dapat memiliki kesempatan yang sama dengan donor. Cara-cara komunikasi semacam itu pun dapat dipelajari. Melalui komunikasi yang hangat dan terbuka dengan donor, Ornop dapat menuturkan berbagai kendala yang muncul. Tidak menutup kemungkinan aneka perubahan internal organisasi pun dapat dengan ringan dan mudah disampaikan kepada donor. Hanya saja tetap perlu bersikap taktis ketika hendak menuturkan perkaraperkara internal yang krusial. Berbasis pada nilai kejujuran donor pun boleh jadi akan dapat menerima dan memahami dengan baik, sekurang-kurangnya dapat proporsional.64 Berbagai pilihan kebijakan sebagai bentuk adaptasi di sisi internalekternal organisasi terhadap tuntutan konsolidasi demokratis itu tentu saja harus melibatkan partisipasi seluruh personil kelembagaan yang ada. Dalam hal ini, dewan pengawas atau dewan pembina pun perlu mempertimbangkan dan memberikan masukan bagi pilihan aksi yang akan diambil dan ditetapkan oleh eksekutif dan seluruh stafnya. Selain itu, organisasi juga harus memberikan pemahaman tentang kebijakan/mekanisme internal-eksternal kelembagaan itu kepada segenap personil organisasi. Dengan demikian, diharapkan akan terjadi keseimbangan antara perkembangan yang ada di tingkatan internal maupun eksternal organisasi. Jika dikaji lebih jauh, ada beberapa kendala bagi organisasi masyarakat sipil dalam berjejaring. Beberapa kendala yang sering dijumpai di antaranya: (1). Alokasi dana yang besar untuk berjejaring; (2). Terjadinya kesenjangan antara lembaga besar dan lembaga kecil (lembaga besar cenderung egois, sementara lembaga kecil cenderung ingin mendapatkan akses sumber daya semata); (3). Jejaring hanya inisiatif segelintir orang saja atau tekanan-tekanan tertentu yang ujung-ujungnya sekadar menjawab persoalan pragmatis; (4). Senjangnya kapasitas antara organisasi dalam jejaring tersebut; (5). Jejaring sering mengatasnamakan lembaga, namun realitasnya justru didominasi personal; sehingga jejaring sering tak berfungsi dan sulit dicari titik temunya lantaran dominasi individu yang jauh dari basis nilai jejaring;65 (6). Kurangnya Ibid Tanggapan Pdt. Djoko (YPL) 65 Ibid 63 64
69
keterbukaan untuk membincang persoalan keuangan secara transparan dan ujung-ujungnya memicu saling curiga di antara anggota jejaring;66 (7). Dalam jejaring seringkali tidak ada tindak lanjut program, kalau pun berjalan biasanya hanya menjelang proyek berakhir.67 Terlepas dari kendala-kendala tersebut di atas, interdependensi di antara anggota jejaring organisasi masyarakat sipil tetaplah mutlak diperlukan. Bagaimanapun juga jejaring tetap harus diperjuangkan kendati membutuhkan waktu dan proses yang panjang untuk mensinergikan segala sesuatunya.68 Dengan berjejaring, keberadaan organisasi-organisasi kecil— yang mungkin memiliki kemauan yang besar dan kuat untuk berkembang tapi energinya terbatas—pun dapat terakomodir.69 Sebagai wujud kebersamaan, jejaring tentu saja menuntut keterbukaan. Spesifikasi masing-masing lembaga merupakan kekayaan yang butuh disikapi dan dikelola dengan kedewasaan.70 Secara prinsipil, berjejaring adalah upaya penggalangan kekuatan berbagai macam organisasi (dengan cara menggali kesamaan spirit, nilai, kepentingan, dan tujuan) untuk menjawab persoalan sehingga terwujud cita-cita bersama. Kendati beragam karakter, namun satunya spirit, nilai, dan tujuan mensyaratkan bahwa setiap anggota jejaring harus saling menghargai dan menerima.71 Sekecil apapun jejaring biasanya punya apa yang sering disebut sebagai kode etik (code of conduct) dalam berjejaring.72 Dengan berjejaring, setiap organisasi berpeluang mendapatkan tambahan pengetahuan, pengalaman, penyadaran, dan pendalaman spirit. Jejaring juga dapat menstimulasi munculnya inisiatif bagi pengembangan kapasitas internal organisasi.73 Selain itu, jejaring dapat menjadi media yang dapat mencairkan hubungan dan menumbuhkan kesadaran tentang capaian atau cita-cita bersama.74 Jejaring juga berfungsi untuk mobilisasi sumber daya, penguatan kapasitas dan peluang, memperbesar daya dorong dalam advokasi kebijakan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, Ornop tidak perlu resah berlebihan ketika sebuah jejaring tidak berlanjut. Dalam takaran tertentu, jejaring sangat ditentukan oleh isu yang digeluti. Maka tidak menutup kemungkin jika ada jejaring yang mengandalkan pada model seleksi alam.75 Lebih jauh, berjejaring juga dapat menjadi media untuk berbagi Tanggapan Anik (Ekasita) Tanggapan Lilik (YPL) 68 Tanggapan Tumiri (YKP) 69 Pernyataan Vera (SPekHAM) 70 Tanggapan Pdt. Djoko (YPL) 71 Tanggapan Christy (Ekasita) 72 Tanggapan Lilik (YPL) 73 Tanggapan lilik (YPL) 74 Tanggapan KH. A. Muhaimin (Sheep) 75 Indri (SPeKHAM) 66 67
70
(sharing) pengalaman dan cara pandang atas berbagai hal seperti: (1). Berbagai tantangan konsolidasi di tingkat eksternal dan internal sesuai dengan mandat masing-masing organisasi; (2). Respon atas legal entity yang dipilih (dibicarakan bersama atau karena intervensi donor); (3). Sikap terhadap kebijakan donor; (4). Kebijakan internal organisasi dan implementasi program di masyarakat; (5). Menjaga nilai dan spirit organisasi (proses internalisasi spirit pada generasi selanjutnya); (6). Berbagai tantangan keberlanjutan organisasi sesuai dengan kemampuan dana atau sumber daya yang dimiliki.76 Kunci berjejaring sebetulnya lebih didasarkan pada seberapa besar keprihatinan bersama terhadap suatu isu strategis yang menjadi tali pengikatnya, sejauhmana pengorganisasian dilakukan bersama-sama secara sinergis, dan seberapa solid sumber-sumber dana dikumpulkan sesuai dengan idealisme dan komitmen yang telah disepakati bersama. Misalnya yang terkait dengan isu, jejaring harus mampu merumuskan dan mengelola berbagai macam isu strategis yang boleh jadi belum terkelola secara memadai (seperti legal drafting, analisis anggaran, pengarusutamaan gender, dll). Selain perlu saling berbagi peran, jejaring tetap saja butuh diperkuat dengan membangun relasi antar personal melalui dialog secara egaliter dengan mengedepankan spirit pembelajar yang senantiasa haus menimba pengalaman dan pengetahuan orang lain. Karenanya demi munculnya ajang refleksi, Ornop perlu bersama memikirkan pilihan-pilihan strategis sesuai konteks-konteks tertentu. Kemudian, tema konsolidasi untuk OMS dipilih sesuai konteks perubahan bagi pengembangan konsolidasi jejaring.77 Setelah proses konsolidasi jejaring berjalan baik, setiap organisasi pun harus dapat mencermati secara jeli takaran kebermaknaan, dampak, dan kemanfaatan dari jejaring tersebut. Tak ada formulasi umum untuk mengukurnya. Selain perkaranya kasuistik, setiap organisasi tentu memiliki tolok ukur masing-masing. Namun secara prinsipil, peran jaringan biasanya akan bermanfaat dan berdampak, ketika jejaring itu dirasa memiliki peran strategis bagi organisasi-organisasi yang menjadi anggotanya. Kendati jejaring itu mungkin dibentuk berdasarkan pada relasi personal tertentu (profesi), namun tak semestinya itu mengabaikan bingkai kelembagaan/ organisasinya masing-masing. Biasanya, jejaring juga dapat jauh lebih efektif bila diletakkan dalam basis kelembagaan/organisasi.78 Kesadaran akan proses berjejaring tentu juga sebagai marka penanda yang tak kalah pentingnya dari hasil capaian (output) dalam berjejaring itu sendiri. Di sini yang diperlukan adalah kesetiaan, pasalnya tak seorang pun yang mampu menjamin apa yang terjadi selanjutnya nanti. Karenanya proses konsolidasi dan Indri (SPeKHAM) Ismail (LKTS) 78 Indri (SPeKHAM) 76 77
71
berjejaring sangat membutuhkan nilai kesetiaan sebagai garda penjaganya.79 3. Reformulasi Relasi Ornop & Pemerintah Selain konsolidasi internal-eksternal jejaring organisasi masyarakat sipil, hal yang tak kalah krusial untuk senantiasa dimutakhirkan adalah kebutuhan menggagas dan menetapkan posisi (positioning) organisasi masyarakat sipil saat berhadapan dengan negara. Dalam hal ini perlu menghadirkan kutipan pernyataan Soetoro Eko di muka bahwa organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan demokrasi tidak hanya menghadapi negara yang “keras kepala”, tetapi juga berhadapan dengan elemen-elemen sipil yang menggunakan cara-cara yang tidak demokratis dan tidak beradab.80 Sejumlah kalangan masyarakat sipil pun meyakini bahwa sistem pemerintah memang tidak memungkinkan masyarakat sipil untuk kuat apalagi berdaya. Karenanya proses engagement pastilah menyita energi Ornop yang cukup besar.81 Selama ini organisasi masyarakat sipil telah melakukan berbagai macam model pendidikan kritis kepada masyarakat sehingga mereka pun dapat mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah yang tidak melayani atau membela hak-hak dasar mereka. Sekuat apapun perubahan yang dilakukan Ornop akan sia-sia saja jika pemerintah sendiri tetap tidak berubah. Situasi itu tentu saja menyulitkan Ornop untuk memilih antara berkawan atau melawan ketika berhadapan dengan pemerintah.82 Skeptisisme itu boleh jadi benar. Namun dapat benar pula bahwa skeptisisme itu sendiri justru dilatarbelakangi oleh langgengnya tabiat organisasi non pemerintah yang gandrung chauvinisme, semacam sikap patriotik yang berlebih takaran (overdose). Mereka gandrung mengklaim diri sendiri selalu benar sedangkan pemerintah tak lebih dari sekadar pecundang (loser). Ornop seringkali tak sadar posisi di saat jaman dan situasinya sudah berubah. Ornop atau OMS harus lebih bijak menyikapisituasi dan konteks yang telah berubah. Mereka perlu melakukan reposisi dan reformulasi peran pada saat menjalin relasi dengan pemerintah. Perlulah mereka mulai mempreteli—atau jika perlu menanggalkan—sikap patriotik berlebihan bahwa hanya kerja-kerja merekalah yang benar dan sempurna, sementara kerja-kerja pemerintah senantiasa penuh borok. Alih-alih membuahkan capaian progresif, pola pikir dan sikap itu justru lebih banyak berkontribusi pada capaian yang defisit. Untuk tak berlanjut involutif, kesabaran mengawal proses (bersama masyarakat maupun pemerintah) merupakan pilihan terbijak
Br. Heri (YAPHI) Soetoro Eko, Masyarakat Sipil, Negara, dan Demokratisasi di Indonesia, paper Semilokal Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 5-6 Maret 2009, hlm.4. 81 Vera (SPeKHAM) 82 Putri (YAPHI) 79 80
72
bagi OMS.83 Rasa saling percaya (trust) harus mulai dibangun dengan cara merancang suatu pola relasi yang mengedepankan sikap saling menghargai, berbagi tugas/peran di antara masyarakat sipil dan pemerintah. Pola relasi itu tentu saja berkorelasi dengan pilihan mekanismenya. Misalnya saja, donor menawarkan aneka program kepada Ornop berupa bantuan sosial bersifat hibah, tender (beeding), penanaman modal (investment), dan lain sebagainya. Tak dipungkiri, model investasi itu terkadang mengandung muatan intervensi donor dalam bidang ekonomi maupun politik. Kendati demikian, Ornop dapat secara optimal memanfaatkan momentum yang muncul dari tawaran donor tersebut. Diharapkan momentum itu dapat memberi perubahan dan perbaikan kualitas internal Ornop itu sendiri, masyarakat, maupun pemerintah. Oleh karenanya, pelibatan Ornop tidak dapat hanya sekadar sekedar komplemen saja. Melainkan pelibatan itu harus berhasil membuka ruang bagi Ornop agar berkembang lebih baik, sehingga terbuka peluang yang lebih besar bagi tercipatanya engagement Ornop dengan pemerintah pula.84 Saat memilih engagement dengan pemerintah pun, Ornop sendiri perlu senantiasa melakukan uji konsistensi, transparansi, dan akuntabilitas untuk tak terperangkap pada slogan belaka. Beban tugas organisasi masyarakat sipil memang terasa berjibun. Civitas organisasi masyarakat sipil dikepung tuntutan kapasitas di berbagai lini: intelektualitas, managemen, dan praksis. Mungkinkah dalam segenap keterbatasan sumberdaya, organisasi masyarakat sipil mampu merespon tuntutan pengembangan kapasitas di tiga lini itu secara berimbang?85 Itulah pekerjaan rumah bagi Ornop yang senantiasa dicari jawabannya seturut konteks masa. Jika ketiga lini kapasitas itu ditelusuri lebih jauh, maka kita akan mendapati lima rincian kapasitas yang mesti dimiliki Ornop seperti tersaji dalam tabel berikut:86
Pengembangan fasilitasi diskusi oleh Soetoro Eko Ibid. 85 Pernyataan Indri (SPeKHAM) 86 Soetoro Eko, Masyarakat Sipil, Negara, dan Demokratisasi di Indonesia, paper Semilokal Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 5-6 Maret 2009, hlm.13. 83 84
73
Komponen Kapasitas Ornop No
Komponen Kapasitas OMS
Deskripsi/Indikator
1
Kapasitas internal, baik individu maupun organisasi
• Kapasitas institusional (organisasional) mencakup ketersediaan rencana strategis organisasi, SOP dalam manajemen SDM dan keuangan • Kapasitas individual mencakup kemampuan staf dalam hal penelitian, fasilitasi, menulis, mengorganisir, analisis kebijakan, dll.
2
Manajemen Pengetahuan
Kapasitas penelitian, koleksi literatur, tradisi diskusi, kepemilikan atau jaringan ahli, database informasi, sharing pengetahuan, materi pembelajaran, publikasi yang dilakukan
3
Pengembangan kapasitas terhadap mitra
Kemampuan fasilitasi, pelatihan, materi pembelajaran.
4
Pengorganisasian
Kemampuan mendampingi komunitas, menggalang jaringan sosial, kemitraan, aliansi strategis, menumbuhkan modal sosial komunitas, dan sebagainya
5
Advokasi kebijakan
Kemampuan analisis kebijakan, menulis naskah kebijakan dan legal drafting, membangun opini publik, lobby terhadap pengambil kebijakan, dll.
Memang, prasyarat menjadi OMS yang kuat bukan soal keberanian (atau idealisme) belaka melainkan kemampuan dan kompetensi yang memadai pula. Argumen itu paralel dengan teori klasik gerakan sosial yang harus mengandung noise (keramaian massa) dan knowledge (pengetahuan). Hal itu separalel juga dengan petuah yang mengatakan bahwa teori tanpa aksi itu berarti onani, sementara aksi tanpa teori itu berarti impotent (lumpuh). OMS karenanya harus mewujudkan keseimbangan itu jika ingin kuat.87 Tak lagi memadai ketika Ornop hanya sekadar berperan melayani layaknya peran ataupun tugas yang mestinya dilakukan oleh pemerintah. Maka agar tak mengambil peran dan tugas-tugas pemerintah semacam itu, Ornop secara profesional harus mengembangkan diri seturut lima komponen kapasitas organisasi masyarakat sipil di atas. Dalam hal ini Ornop juga butuh strategi baru dalam engagement (berkawan dengan negara). Ornop dapat mengoptimalkan strategi baru dengan cara mengorganisir masyarakat untuk mendapatkan akses pelayanan pemerintah. Sedangkan melalui engagement, Ornop harus seoptimal mungkin dapat duduk bersama dengan pemerintah tanpa mengurangi independensi diri. Pilihan itu mengimplikasikan bahwa kita tidak dapat selamanya melayani masyarakat. Tak selamanya pula masyarakat dapat tergantung kepada Ornop. Masyarakat juga perlu menyadari adanya perubahan peran dan strategi Ornop itu. Maka kerja-kerja dengan masyarakat juga harus diformulasikan ulang sesuai dengan reposisi peran dan strategi tersebut: dari yang semula berposisi sebagai opisisi dan/atau merebut berubah menjadi berkawan dengan pemerintah (lihat gambar reposisi peran dan strategi Ornop berikut).88
87 88
74
Soetoro Eko, Op.Cit., hlm.12. Paparan Soetoro Eko dalam diskusi dengan aktivis-aktivis organisasi Mitra KIA.
Reposisi Peran & Strategi Ornop
Masyarakat
A
B
Ornop
Pemerintah B 1. Oposisi 2. Merebut 3. Berkawan
A 1. Melayani 2. Mendidik 3. Mengorganisir
Pada hakekatnya, posisi dan strategi Ornop dalam menghadapi negara dan mendorong demokratisasi bersifat situasional, tergantung pada konteks politik yang terjadi. Secara teoretis strategi kontestasi Ornop dalam tata pemerintahan atau menghadapi negara dapat dibagi menjadi 3 tipe: pertama, konfrontasi (melawan negara); kedua, reklaim (merebut negara); dan ketiga, engagement (berkawan dengan negara), seperti tersaji dalam tabel berikut. Perbandingan di antara ketiganya diidentifikasi menurut enam kategori berikut: aliran; konsep utama; asumsi dasar tentang negara; pemahaman atas konteks atau kondisi empirik; tujuan dan agenda; serta metode yang dijalankannya.89 Peta Strategi Besar Kontestasi Ornop dalam Menghadapi Negara dan Demokratisasi No
Item
Konfrontasi (melawan negara)
Rekalim (merebut negara)
Engagement (berkawan dengan negara
1
Aliran
Kiri
Kiri baru
Konvergensi kanan-kiri (kiri tengah atau liberal yang kiri)
2
Konsep utama
Gerakan sosial
Strong democracy (participatory democracy)
Good governance atau democratic goverment, demokrasi deliberatif, governance, publik dan citizenship
3
Asumsi negara
tentang
(1) Negara adalah sumber dari segala sumber masalah; (2) rakyat tidak dapat berbuat salah
Negara telah berubah karena demokratisasi, tetapi ia masih dikuasai oligarki elite
Negara sangat penting dan dibutuhkan, tetapi kapasitas dan responsivitasnya sangat lemah
4
Pemahaman atas konteks/ Kondisi empirik
Negara dikuasi oleh penguasa otoriter, korup dan berpihakpada modal.
Demokrasi dibajak oleh kaum elite. Terjadi krisis dan involusi demokrasi perwakilan
Oligarkis, komitmen politik lemah, Pelayanan publik buruk, partisipasi warga sangat lemah.
5
Tujuan dan agenda
Melawan negara, meruntuhkan penguasa otoritarian, melawan kebijakan yang tidak pro rakyat
Memperdalam demokrasi dan merebut jabatan publik untuk mengontrol negara
Membuat negara lebih akuntabel dan responsif, serta memperkuat Partisipasi warga.
6
Metode yang dijalankan
Aksi kolektif. Anti kompromi, tidak mengenal konsep “duduk bersama”
Memperkuat CSOs, gerakan politik dan representasi
Kemitraan, duduk bersama, konsultasi, komunikasi, negosiasi yang dialogis antara CSOs dan negara
dasar
Tabel di atas menunjukkan bahwa strategi Ornop ternyata semakin kompleks. Menurut hasil riset Soetoro Eko di Aceh (2009) misalnya, OMS ternyata tidak saja bekerja di level akar rumput yang kental dengan pendekatan 89
Soetoro Eko, Op.Cit., hlm.7-8.
75
gerakan sosial, namun juga telah merambah ke pendekatan teknokratik dan politik. Terkait proses advokasi, riset Soetoro Eko menemukan bahwa OMS setidaknya menempuh kerja dalam empat kategori berikut: (1) Kerjakerja basis untuk memperoleh suara (voice), pengetahuan, dan membangun legitimasi; (2) Kerja-kerja teknokratis atau manajemen pengetahuan dengan pendekatan penelitian dan penyusunan naskah kebijakan(research based policy making); (3) Kerja-kerja pengorganisasian gerakan dengan membangun simpul-simpul jaringan, kampanye media, koalisi dan aksi kolektif; dan (4) Kerja-kerja politik dengan cara menggelar dialog dan lobby kepada para pembuat kebijakan agar usulan kebijakan dapat masuk. Kerja-kerja advokasi dengan pendekatan basis, teknokratis, dan politis itu terjelaskan dalam bagan berikut.90 Alur & Logika Kerja Advokasi OMS
Menimbang pada kompleksitas alur dan logika kerja advokasi oleh OMS di atas, maka dapat ditegaskan lebih jauh bahwa OMS mempunyai posisi, bentuk, dan cirikhas yang beragam. Keragaman itu tentu saja sangat bergantung pada pengalaman dan kemampuan masing-masing OMS. Lebih jauh Soetoro Eko memaparkan bahwa setidaknya ada tiga bentuk OMS yang kategori pembanding dan pembedanya (gerakan, jaringan, dan penyedia layanan) mencakup beberapa aspek berikut: level posisi dan tindakan; posisi berdiri; kekuatan utama yang dimiliki; dan agenda utama.91
90 91
76
Soetoro Eko, Op.Cit., hlm.11 Soetoro Eko, Op.Cit., hlm.12
Posisi, Bentuk, dan Cirikhas OMS Gerakan
Jaringan
Penyedia layanan (service provider)
Level posisi dan tindakan
Mulai dari bawah(grass roots) lalu melakukan scaling up
Berada di levelmeso/ menengah,yang melakukan linkup terhadap berbagai OMS
Berada di atas, yangbelajar dari bawahdan dari tengah.
Posisi berdiri
Berada “di belakang”organisasi rakyat.
Berada “di tengah”yang menjadi simpuljaringan Ornop
Berada “di depan”yang menyediakan ruang-ruang parapihak, dan menjalinhubungan dekatdengan pemerintah.
Kekuatan utama yang dimiliki
Lebih populis, pengorganisasian dan pendidikan rakyat
Simpul visi, informasi dan jaringan
Manajemen pengetahuan atau keahlian teknokratis
Agenda utama
Mendidik dan mengorganisir rakyat untuk mengubah sistem/kebijakan pemerintah
Pertukaran informasi dan pembentukansimpul koalisi untuk advokasi kebijakan
Mengumpulkan dan menebar pengetahuan, menjadi konsultan kebijakan pemerintah
Dari seluruh paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan jaman (berikut konteks sosial politik) telah menuntut perubahan posisi dan strategi OMS dalam menghadapi negara dan mendorong demokratisasi. Tak terhindarkan lagi bahwa para pegiat Ornop tak lagi cukup berada di luar teriakkan demokratisasi. Lebih dari itu, mereka harus masuk ke dalam pagar atau ke dalam sistem, dengan cara merebut kekuasaan. Dengan kata lain, para pegiat harus melakukan perubahan dari gerakan sosial (social movement) ke gerakan politik (political movement), atau dari pengorganisasian masyarakat (community organizing) bergerak menuju pengorganisasian politik (political organizing).92 E. Epilog: Membangun Sinergi untuk Penguatan Masyarakat Sipil Indonesia Pada paparan di atas dapat ditarik beberapa pemahaman penting yaitu: pertama, di tengah semakin kuatnya tuntutan konsolidasi demokrasi masyarakat sipil dalam satu dekade terakhir, inisiatif pengembangan kapasitas organisasi merupakan ketidakterhindaran yang mesti dipikirkan sedari dini dan secara sungguh-sungguh. Membangun atau mengembangkan kapasitas mestinya tidak dapat dipandang sekedar wacana untuk menjustifikasi program-program yang sedang atau telah dikerjakan. Namun patutlah disayangkan ketika inisiatif pengembangan kapasitas Ornop justru berasal dari pihak di luar organisasi (utamanya jejaring atau bahkan donor) ketimbang didasarkan pada kebutuhan dan keputusan internal organisasi itu sendiri.93 Kedua, Ornop rupanya menghadapi berbagai tantangan serius untuk 92 93
Soetoro Eko, Op.Cit., hlm.5. Andreas Subiyono 77
memperkuat dirinya sebagai kekuatan transformatif di masa depan. Alih-alih membangun sinergi dengan multi pemangku kepentingan di jejaring masyarakat sipil yang lebih luas, Ornop seringkali telah tersandera lebih dulu oleh konflik internal kelembagaannya. Dalam kondisi seperti itu, energi lebih terkuras untuk mengkonsolidasikan diri dalam “cangkang organisasi” ketimbang menyinergikan berbagai kekuatan jejaring masyarakat sipil. Ketiga, tersadari selama 3 dekade (1970 – 2000) Ornop atau organisasi masyarakat sipil di Indonesia dimanjakan oleh berlimpahnya donasi donor internasional. Selain melahirkan persoalan ketergantungan Ornop, era fund booming telah berkontribusi pada infantilitas mental Ornop di era paceklik donasi donor internasional, yang termanifestasi setidaknya dalam kurun lima tahun terakhir.94 Era paceklik donasi ini jelas telah mencelekkan mata bahwa Ornop di Indonesia gagal lantaran terlambat menyiapkan peta jalan menuju kemandirian sejak dini. Alih-alih merumuskan strategi menuju kemandirian dan melakukan pengembangan kapasitas pegiat sejak dini, Ornop justru terlena oleh fund booming. Tak pelak lagi, Ornop nampak tergagap, tergopoh, dan limbung menyongsong paceklik donasi. Akumulasi risiko dan ancaman yang beradu kerentanan dalam pola ketergantungan selama tiga dekade benar-benar telah pecah menjadi “bencana” berikut situasi darurat bagi Ornop di Indonesia saat ini. Keempat, perubahan strategi penyaluran donasi dari donor internasional ini sontak memicu pergeseran ideologi, isu, metode pendekatan di kalangan Ornop. Efek domino dari perubahan kebijakan donor internasional pun bunkanlah problem enteng atau sepele. Beberapa waktu terakhir muncul kecenderungan kuat bahwa fragmentasi antar Ornop berikut jejaringnya berlangsung secara intensif sekaligus ekskalatif. Melalui cara-cara yang tak sehat terjadi rivalitas, kontestasi, bahkan konflik (baku curiga, baku tuding, baku tuduh) melalui kampanye dan propaganda negatif (black campaign, black propaganda) antar mereka. Gesekan dan fragmentasi itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari perbedaan respon dan strategi mendapatkan sumber-sumber pendanaan yang kian terbatas. Naga-naganya, watak kompromistis-pragmatis nyaris tak terbendung. Kelima, di tengah keserba-semrawutan (chaos) itu, Ornop masih diperhadapkan pada realitas bahwa peran-peran strategisnya selama ini—terkait Pada akhir tahun 2004, multidonor Decentralization Support Facility bersama Bank Dunia melakukan riset tentang efektivitas pendanaan kepada NGOs untuk tujuan reformasi politik di Indonesia. Riset berkesimpulan bahwa pendanaan kepada NGOs sangat strategis untuk menumbuhkan masyarakat sipil di Indonesia, tetapi tidak efektif untuk mendorong reformasi pemerintahan (governance reform). Akhirnya multidonor pun merekomendasikan untuk menggeser strategi penyaluran donasi, dari civil society first yang menonjol pada tahun 1998-2004 menjadi state first sejak 2005 sampai saat ini. Lihat Soetoro Eko, Masyarakat Sipil, Negara, dan Demokratisasi di Indonesia, paper Semilokal Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 5-6 Maret 2009, hlm.4-5. 94
78
praksis penyadaran dan pemberdayaan masyarakat sipil—telah “diambil alih” oleh korporasi (dalam wujud Corporate Social Responsibility), partai politik, institusi pendidikan, bahkan pemerintah sendiri. Kemerosotan drastis pasokan amunisi jelas tak memungkinkan Ornop dapat bergerak selincah dulu. Ranah dan ruang gerak praksis kian terkapling dan termutilasi. Lebarnya disparitas sumber daya semakin membuat Ornop serasa ciut dan kerdil dihadapan pemerintah maupun korporasi. Ciutnya nyali Ornop bak gigil pelanduk diantara kepungan jejulur mulut singa dan rahang buaya yang tengah menganga. Keenam, tak hanya berhenti di situ saja, tantangan terberat yang mesti dihadapi Ornop saat ini adalah otoritarianisme-hegemonik dari rejim fundamentalisme pasar yang multi-rupa. Watak otoritarian secara gambalng termanifestasikan dalam berbagai sepak terjang korporasi berbalutkan legitimasi kebijakan negara. Secara telanjang praktik-praktik rejim fundamentalisme pasar semakin sempurna ketika mereka dapat dengan mudahnya menyusup, menyisir, dan menguras lapis demi lapis sumber ekonomi produktif milik masyarakat. Kapitalisasi dan komodifikasi telah mengantarkan masyarakat negeri ini ke pintu gerbang kebangkrutan dan keterpurukan. Menimbang keruwetan itu, lantas bagaimana Ornop mesti bersikap dan merumuskan rencana tindak lanjut terkait agenda membangun sinergi penguatan masyarakat sipil di Indonesia (baik di tingkat lokal dan nasional)? Tidak ada tips sederhana ataupun resep instan yang mujarab untuk itu. Hal yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar soal tips ataupun resep teknis menejerial yang teramat banal sebagai titik pijak. Kegagalan telah mengajarkan kepada kita bahwa berbagai fungsi dan mandat selama ini justru terabaikan lantaran Ornop terjebak dengan indikator-indikator menurut standar manajerial95 yang sebenarnya tak lebih dari sekadar treadmill. Dengan perubahan mind set itu maka dapat disisipkan beberapa catatan berikut sebagai bahan untuk merumuskan rencana tindak lanjut ke depan. Pertama, hal utama yang mesti ditekankan di sini adalah bahwa Ornop harus memulai untuk mengarusutamakan indikator-indikator menurut ukuran masyarakat dan bukan tolok ukur manajerial sendiri yang cenderung rabun (myopic). Oleh karena itu, peningkatan kapasitas maupun pilihan pendekatan harus disesuaikan dengan konteks terbaru atau terkini maupun dinamika persoalan yang dihadapinya. Pendek kata, jika ingin membangun masyarakat sipil yang kuat Ornop harus merubah kerangka berpikir dan tidak bergantung pada standar dan indikator lembaga yang dipaksakan oleh donor.96 Kedua, para pegiat Ornop harus mafhum bahwa perubahan yang sesungguhnya dimaksudkan bukanlah sekadar perubahan pragmatis dan fungsional belaka, namun harus sampai pada perubahan struktur sosial 95 96
Andreas Subiyono Roem Topatimasang
79
masyarakat. Perubahan itu jelas membutuhkan waktu. Karenanya harus ada konsistensi strategi kelembagaan sebagai bentuk perjuangan dalam melakukan perubahan di masyarakat. Ornop perlu berkaca secara kritis tentang siapa sesungguhnya yang memberi legitimasi atau “cap” atas keberadaannya sebagai pilar utama OMS.97 Dengan cara itu, kalangan Ornop dapat menguliti problem kejumudan (kemandegan) sinergisitas antara dirinya dengan organisasi rakyat di tingkat akar rumput. Prakarsa melacak kembali (reinventing) jati diri Ornop adalah keniscayaan yang tak terhindarkan di tengah-tengah pusaran perubahan yang fundamental. Ornop perlu memperluas forum atau jejaring yang ada selama ini guna mentautkan perannya dengan berbagai elemen/unsur masyarakat lainnya. Reinventing itu seoptimal mungkin harus menjawab seputar problem identitas, fragmentasi, positioning, kapasitas, legitimasi.98 Ketiga, gagasan dan inisiasi konsolidasi masyarakat sipil itu secara mendasar harus mampu menjawab fragmentasi kepentingan, isu, dan elemen sektoral. Ranah konsolidasi itu sendiri mesti dipertimbangkan limitasinya semisal pada satuan wilayah tertentu yang memang dianggap layak dan mungkin dilakukan, sebutlah di tingkat kabupaten.99 Selain agar lebih mengakar dan tak ahistoris, limitasi ranah konsolidasi ini penting untuk menghindari langgam dan gaya Ornop yang suka hit and run setiap menghadapi kendala/kebuntuan pengorganisasian maupun pemberdayaan masyarakat. Keempat, pembatasan ranah konsolidasi itu sebenarnya hendak menegaskan bahwa Ornop juga perlu mengambil opsi realistis dan proporsional seturut takaran kapasitas dan kemampuan lembaganya. Misalnya kemampuan apa saja yang dimiliki Ornop untuk mengubah kebijakan di tingkat nasional maupun lokal. Sumber daya apa saja yang dimiliki Ornop agar dapat menegosiasikan apa diinginkannya, apa yang diinginkan donor, dan apa yang diinginkan masyarakat.100 Kejujuran menakar diri adalah pilihan bijak dan adil bagi Ornop sendiri maupun jejaring masyarakat sipil yang hendak dikonsolidasi. Dengan semangat kejujuran, jejaring dapat berbagi ruang dan peran sesuai kemampuannya masing-masing. Tanpa perlu saling menipu diri (hipokrit), jejaring masyarakat sipil dapat mengkompromikan berbagai macam kesepakatan demi tergapainya kemenangan bersama. Kelima, selain jujur menakar diri, Ornop juga harus mempelajari dan memahami secara rinci konteks masyarakat lokal sebagai basis rujukan bagi proses penguatan masyarakat sipil. Mengetahui seberapa besar sumber daya lokal dan sumber daya gerakan (social capital dan political capital) yang dimiliki masyarakat merupakan stok pengetahuan yang sangat berharga bagi Ornop 97
Andreas Subiyono
98 99 100 80
Roem Topatimasang Roem Topatimasang Roem Topatimasang
untuk merumuskan rencana strategis ke depan. Berbasis stok pengetahuan itu, Ornop dapat merencanakan jangkauan perubahan dan perluasan proses konsolidasi masyarakat sipil (maupun beragam elemen pro-demokrasi) secara terukur. Konteks komunitas itulah yang harus diidentifikasi dan dianalisis sebagai bahan untuk mengawal perubahan. Dengan itu pula, masyarakat juga dapat menegaskan perubahan yang diharapkan dan dicita-citakannya. Keenam, konsistensi Ornop untuk memegang nilai-nilai populis perlahan namun pasti akan melahirkan, meminjam Antonio Gramsci, sosok intelektual organik yang siap menjadi pagar betis bagi rakyat yang terpinggirkan baik oleh kebrutalan kebijakan negara ataupun hegemoni pasar. Berakarnya spirit de populo ad populum semacam itu harus senantiasa dipupuk dan direplikasi hingga terlembagakan menjadi institusi-institusi sosial transformatif. Meluasnya persistensi praksis penyadaran, pengorganisasian, dan pemberdayaan masyarakat di tingkat basis niscaya mampu membendung tirani pasar, yang daya rusaknya tak kalah dahsyat dari tirani negara. Terbangunnya sinergi di antara jejaring masyarakat sipil itu pun akan berhasil mematahkan mata rantai reproduksi hegemon-hegemon rejim fundamentalisme pasar di negeri ini. Itulah tantangan serius Ornop untuk mengawal proses konsolidasi demokrasi di tengah himpitan paceklik amunisi akibat perubahan haluan donor internasional.
81
BAB IV Capaian Kapasitas Ornop: Paradoks Perubahan
Melanjutkan pemaparan beberapa materi pengembangan kapasitas yang belum terulas pada Bab sebelumnya, maka pada bab ini perlu untuk menuntaskannya sebelum catatan kritis terbubuhkan di penghujung tulisan. Sebagai bab penghujung, paparan selanjutnya akan mencoba mengambil sari pati pelajaran berharga dari proses panjang implementasi program pengembangan kapasitas mitra Ornop. Tanpa terkecuali, akan menilik kembali kritik – otokritik atas proses yang dijalankan dalam setiap tahapan proses. Dalam konteks era/epoh yang berubah, munculnya berbagai paradoks dan keniscayaan yang tak terhindarkan. Paradoks dan ironi itulah yang akan menjadi pengalaman dan pengingat yang menarik untuk diulas. A. Tata kelola Ornop: Sistem Manajemen Keuangan dan Perencanaan, Implementasi, Monitoring, dan Evaluasi (PIME) Secara harafiah, tata kelola (governance) berarti mengendalikan (to steer). Maka tata kelola organisasi (organization governance)dapat didefinisikan secara umum sebagai rangkaian proses perumusan dan pelaksanaan budaya, kebijakan, dan aturan dalam sebuah sistem yang didukung oleh institusi kuat untuk mempengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengendalian sebuah organisasi. Jabaran makna itu dapat terjelaskan dalam bagan berikut.101
101
Komisi Konsultasi dan Kemitraan SHEEP Indonesia, Pengantar Tata Kelola Organisasi, hlm.20
83
Dengan demikian, makna tata kelola merujuk pada dua makna: pertama, proses menata berjalannya organisasi berdasarkan nilai dan filosofi dasar organisasi yang didukung oleh institusi kuat untuk menuju pencapaian visi bersama. Kedua, proses mengelola program sebagai ekspresi dari nilai-nilai dasar dengan menggunakan sumber daya organisasi (SDM, keuangan dan non keuangan) secara efisien dan efektif. Dengan kata lain, proses mengembangkan tata kelola organisasi yang baik berjalan secara simultan pada keseluruhan aspek tata kelola dengan tingkat capaian yang berbeda-beda.102
Gambar di atas ingin menegaskan bahwa tata kelola organisasi yang baik harus mencakup setidaknya empat hal: pertama, integritas dan komitmen pada nilai-nilai; kedua, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan; ketiga, sistem manajemen terpadu yang efektif (Perencanaan Implementasi dan Monitoring, dan Evaluasi); dan keempat, kinerja yang berorientasi pada dampak. Bertolak dari bingkai besar tata kelola Ornop diatas, maka pada sub bab berikut secara khusus akan memaparkan dua materi yang dianggap penting dalam proses pengembangan kapasitas ornop. Dua materi semiloka dan lokalatih itu adalah Sistem Manajemen Keuangan: PSAK-45 dan Sistem PIME (Planing, Implementation, Monitoring, and Evaluation).
Komisi Konsultasi dan Kemitraan SHEEP Indonesia, Tata Kelola Organisasi dan Sistem PIME, hlm.13 102
84
1. Sistem Manajemen Keuangan: Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK Nomor: 45) Dalam program pengambangan kapasitas ornop, salah satu kebutuhan yang disepakati bersama adalah Pengembangan Sistem Tata Kelola Keuangan Berdasarkan PSAK -45 (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan)untuk Organisasi no Profit. Sangat disadari oleh para mitra bahwa perihal pengembangan tata kelola keuangan sesuai PSAK-45 ini sesungguhnya terasa problematis bagi kalangan Ornop. Namun menimbang berbagai argumen dan desakan dari seluruh mitra sendiri maka program pengembangan kapasitas tentang itu tetap dilakukan. Terlalu panjang jika seluruh materi PSAK-45 itu diurai di sini. Selain persoalan materinya spesifik dan teknis, tak cukup ruang di buku ini untuk menyajikan resep kepiawaian teknis PSAK-45. Oleh karena itu, muatan materi terkait PSAK-45 yang akan diuraikan di sini hanya sejauh yang terkait dengan diskursus kritis di kalangan Ornop perihal konsekuensi kelembagaan oleh munculnya kebijakan pemerintah melalui standard akuntansi yang terepresentasikan dalam PSAK-45 tersebut. Jika Ornop dimintai laporan keuangan oleh donor, maka laporan keuangan yang ditujukan atau diorientasikan untuk kebutuhan pertanggungjawaban kepada donor itu biasanya format dan isinya sesuai dengan ketentuan dari donor saja. Lagi pula antara donor yang satu dengan yang lainnya pun memiliki standar/format dan isi yang berbeda-beda. Laporan keuangan donor sangatlah bervariasi. Terkesan, berbagai alasan itu sangatlah simplistis. Namun jika hendak diitilik dari alasan substansialnya pun, kalangan Ornop mengantongi sejumlah dasar keyakinan bahwa: Pertama, laporan keuangan bukan satu satunya hal yang mencerminkan kemampuan kelembagaan. Secara prinsipil, kemampuan Ornop terletak pada komitmen dan kemampuan SDM bukan hanya pada laporan keuangan. Kedua, jika logika itu dibalik, “kehendak baik”(good will) yang tercermin dalam rupa jejaring sosial dan SDM bagaimanapun juga tidak dapat dikuantifisir dalam sebentuk laporan keuangan. Demikian pula “kehendak baik” dalam wujud informasi formal dan informal pun tak akan dapat terlaporkan dalam format laporan keuangan semacam itu. Ketiga, transparansi Ornop tidak harus berupa laporan keuangan yang sesuai dengan PSAK yang sangat kuantitatif. Transparansi dapat termaktub dalam laporan naratif. Bagaimanapun juga berbagai hasil kerja Ornop berikut dampak-dampaknya hanya dirasakan oleh kalangan masyarakat tertentu yang terkait program, atau justru aparat pemerintah yang boleh jadi bertentangan dengan kalangan masyarakat yang terkait program tersebut. Kekhawatiran itu semakin menjadi ketika membayangkan adanya 85
kemungkinan UU ini akan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang bertentangan/berseberangan dengan misi dan visi Yayasan (entah itu pemerintah ataupun investor). Beberapa ketentuan yang mencemaskan itu tercermin dalam ketentuan berikut: Yayasan yang belum mengumumkan laporan keuangan, dianggap melanggar UU; Yayasan yang belum diaudit. Indonesia (IAI) mengambil kerangka konseptual bahwa transparansi keuangan lembaga menuntut suatu standar pencatatan dan pelaporan yang konsisten dan dapat dibandingkan. Organisasi maupun para pemangku kepentingan(stakeholders) dapat mengetahui secara jelas sumber serta cara penggunaan sumber daya yang ada pada lembaga tersebut. Dengan penerapan PSAK, diharapkan lembaga dapat mengelola informasi keuangan secara lebih profesional dan informasi yang dihasilkan menjadi lebih berkualitas. Dalam hal ini, infrastruktur administrasi dan pelaporan yang memadai adalah prasyarat utama bagi organisasi guna mendorong transparansi dan akuntabilitas lembaga. Pada prinsipnya PSAK 45 diterapkan pada keuangan lembaga (khususnya lembaga yang berbentuk Yayasan), dan bukan pada keuangan proyek dari Yayasan. Sebelum mendalami sistem baku PSAK 45 itu, lembaga perlu menilai kesehatan keuangannya terlebih dulu, dengan cara mengisi Questionnaire of Financial Management Health. Kesehatan keuangan itu dapat ditilik dari aliran kas (cash flow). Dari penilaian itu, lembaga dapat mengetahui apa saja yang perlu ditingkatkan dalam sistem keuangannya. Dengan tahapan itu, barulah sistem baku PSAK 45 dikenalkan.103 Tujuan utama dari pembuatan laporan keuangan berdasarkan PSAK 45 itu adalah menyediakan informasi-informasi yang relevan untuk memenuhi kepentingan para penyumbang, anggota lembaga, kreditur, dan pihak lain yang menyediakan sumber daya bagi lembaga nirlaba (untuk ragam informasi penting yang terdapat dalam PSAK-45, lihat box).
Dalam takaran praktis, implementasi PSAK-45 memiliki sejumlah manfaat yang cukup penting. Beberapa kemanfaatan itu antara lain: pertama, dengan PSAK-45, sistem keuangan organisasi dapat tertata dengan baik, Wisnu Widjajanto dalam Notulensi Pengembangan Sistem Tata Kelola Keuangan berdasarkan PSAK-45, hlm. 2 103
86
sehingga organisasi dapat memenuhi kewajiban perpajakannya secara lebih baik pula. Kedua, dengan PSAK-45, organisasi mampu menyediakan data/ informasi keuangan yang memadai sekaligus bermanfaat bagi para pemangku kepentingan (para penerima manfaat, organisasi itu sendiri, pemerintah, donor, dan lain sebagainya). Ketiga, dengan PSAK-45, organisasi dapat mengoptimalisasi kapasitasnya untuk menjadi lembaga yang semakin terbuka. Keempat, jika PSAK-45 dipraktikkan secara konsisten, maka organisasi akan dapat menjamin keberlangsungan pelaporan secara tepat waktu, kualitas informasi (lihat box), dan umpan balik yang sangat bermanfaat bagi internal kelembagaan.104
Jika ditilik dari sudut pandang pengguna, beberapa pihak yang akan sangat terbantu dengan hadirnya kebijakan PSAK 45 ini di antaranya adalah dewan pengawas/pembina Ornop dan para donor/calon donor potensial. Dewan pengawas tentu sangat membutuhkan informasi yang tepat waktu agar dapat menjalankan fungsi pengawasan operasional lembaga lewat informasi keuangan. Dengan indikator yang sudah ditetapkan di muka, dapat diperoleh gambaran mengenai kondisi lembaga saat ini. Sementara itu para donor/ calon donor dari suatu lembaga yang secara terbuka mempublikasikan kondisi keuangannya akan mendapatkan impresi atau kesan yang baik tentang lembaga. Dengan keterbukaan, lembaga dianggap sudah dijalankan dengan profesional. Kendati penerapan PSAK-45 bagi kalangan Ornop mengundang banyak catatan sebagaimana tertera di atas, namun para mitra tetap saja merasa butuh untuk mendalaminya. Selain karena terdorong semangat memutakhirkan pengetahuan dan kapasitas. Mitra menyadari pentingnya menajamkan kapabilitas adaptif-nya atas tuntutan jaman perihal transparansi dan akuntabilitas organisasi. Pada tahapan dan masa tertentu, pemahaman Presentasi Wisnu Widjajanto, Pengembangan Sistem Tata Kelola Keuangan berdasarkan PSAK45, hlm.9-11. 104
87
dan keahlian mengelola laporan sesuai PSAK 45 itu dibutuhkan ketika Ornop harus menjalani evaluasi oleh external auditor (yang biasanya atas dasar permintaan donor) ataupun government auditor (jika Ornop bersangkutan mengimplementasikan program yang dananya terkait dengan penggunaan dana APBN/APBD). Berdasarkan penilaian atas proses pengembangan kapasitas Organisasi mitra tentang PSAK 45, sebagian besar peserta mengemukakan bahwa mereka mendapatkan tambahan wawasan. Namun lantaran materi PSAK 45 sangat teknis akuntansi, mayoritas peserta mengemukakan bahwa pada dasarnya apa yang dikerjakan terkait dengan PSAK 45 itu adalah pembuatan alur keuangan dan merumuskan pedoman/mekanisme keuangan. Menurut mereka, sistem akuntansi sebenarnya sama dimana pun. Maka penerapan PSAK 45 itu hanya perlu penyesuaian dan adaptasi dengan kondisi lembaga yang bersangkutan. Sistem manajemen keuangan yang mengacu pada PSAK 45 jelas langkah penting untuk menata Ornop lebih transparan dan akuntabel maka dibutuhkan good will dan konsistensi dari pimpinan. 2. Sistem PIME(Planning, Implementation, Monitoring, and Evaluation) Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa mitra menyepakati untuk lokakarya tematis yang fokusnya membahas dan mendesain sistem PIME untuk mewujudkan tata kelola lembaga yang baik. Lokakarya thematis yang melibatkan board (organ selain eksekutif) itu secara spesifik bertujuan untuk memperdalam pemahaman bersama perihal bagaimana upaya Ornop dalam mengembangkan kapasitasnya dengan cara mendesain sistem PIME dan ruang lingkupnya. Metode yang digunakan pada lokakarya tentang PIME adalah metode induktif. Seluruh peserta diminta untuk menilai implementasi PIME di lembaganya masing-masing. Selanjutnya mereka memaparkan hasil penilaian itu dalam proses sharing. Beberapa indikator penilaian atas implementasi PIME itu tertuang dalam rumusan pertanyaan dasar berikut: “Apa saja kendala dan kesenjangan (gap) implementasi PIME yang perlu dibenahi di lembaga mitra? Beragam pengalaman lembaga kemudian dikupas bersama dalam diskusi reflektif untuk saling memperkaya proses pembelajaran. Berbagai kendala atau kesenjangan (gap) itu pada akhirnya dihubungkan dengan model tata kelola kelembagaan yang ideal dari sisi konseptual. Keterlibatan para peserta dengan latar belakang peran yang berbeda-beda di masing-masing lembaga memungkinkan terbentuknya media konsolidasi bagi pengambil kebijakan di tingkat lembaga (pelaksana, dewan pengawas, dewan pembina, dll).105 TimotiusApriyanto, Notulensi Lokakarya Tematis Peningkatan Kapasitas Organisasi Mitra KIA/ ICCO dalam Sistem PME, Hotel Agas, Surakarta 14-15 Desember 2010, hlm. 1-2. 105
88
Bila dipaparkan berdasarkan kategori, garis besar kendala/kesenjangan terkait PIME ini dapat terpilah menurut kendala di masing-masing tahapan, yaitu: Sistem Perencanaan, Implementasi, Monitoring dan Evaluasi itu sendiri. Kendala di tahapan perencanaan misalnya: terjadi kendala saat memotret atau mengidentifikasi lembaga sendiri, sehingga kebutuhan internal lembaga dan kebutuhan masyarakat menjadi terabaikan dan kemana orientasi lembaga pun tidak jelas. Dijumpai pula kasus perencanaan hanya dibuat oleh segelintir orang saja (dapat karena kebiasaan, disharmoni antar staf, terbatasnya SDM) tanpa melibatkan segenap civitas Ornop, sehingga tidaklah mengherankan jika antara perencanaan yang dibuat dengan implementasi sering tidak nyambung atau realistis. Dengan latar belakang persoalan itu, adalah keniscayaan jika perencanaan akhirnya hanya sekadar sebuah dokumen yang tak terjamah oleh implementasi sebagai satu kesatuan tahapan sekuensial. Jika ditilik dari aspek SDM di kalangan Ornop, terdapat kecenderungan yang sangat khas bahwa personil Ornop sangat terbiasa menonjolkan aspek komitmen namun abai pada perkara manajerial semacam itu. Mekanisme insentif dan disinsentif (semacam sangsi) atas pengabaian perencanaan pun jarang dikenal di kalangan Ornop. Masih terkait dengan proses perencanaan, jika pun ada upaya pembenahan yang biasanya membutuhkan proses adaptasi yang panjang. Proses perubahan manajerial tidak jarang berakibat pada pergeseran personil dalam lembaga. Beragam dalih mengemuka sebagai bentuk resistensi atas proses perubahan kebijakan. Beragamnya latar belakang dan pengalaman staf tentu saja kian memperpanjang proses adaptasi. Dalam situasi semacam ini, tak jarang mitra merasa begitu dekat dengan fatalisme: betapa langkanya mendapati SDM yang militan dan sesuai kebutuhan organisasi. Berlanjut pada proses Implementasi PIME, banyak Ornop terhadang oleh beberapa kendala: Pertama, di tingkatan kelembagaan kurang adanya konsistensi antara kebijakan dengan implementasinya, termasuk diantaranya sistem PIME ini. Implikasi dampak atas ketidakkonsistenan ini tentu saja berdampak luas bagi organisasi yang bersangkutan. Kedua, board sering tidak terlibat dalam implementasi PIME. Atau kalau pun toh terlibat board tidak melakukan monitoring dan evaluasi hingga di tingkat lapangan. Salah satu alasannya karena mereka tidak paham mengenai sistem PIME dan akhirnya hanya diserahkan sepenuhnya kepada eksekutif. Dalam sejumlah kasus board tidak mengawal proses implementasi sehingga mereka hanya menyampaikan secara lisan. Level terburuknya adalah ketika board justru didikte untuk mengatakan hal yang tak diketahuinya saat ada evaluasi eksternal. 89
Ketiga, eksekutif mengimplementasikan PIME baru di tingkatan proyek dan belum sampai tataran organisasi secara keseluruhan. Terhitung masih jarang eksekutif yang memiliki keahlian di bidang PIME. Selain kurang mumpuni, eksekutif juga enggan untuk mendokumentasikan, kalau pun ada sekadar catatan harian saja yang tidak tersistematisasi dengan baik. Banyak kasus juga eksekutif melakukan monitoring dan evaluasi tidak sampai di lapangan, tetapi hanya dari balik meja saja. Keempat, ketika dilakukan evaluasi organisasi oleh eksternal evaluator, orang yang biasanya ditugaskan untuk mengawal hanyalah staf lapangan saja. Justifikasinya bahwa staf lapangan yang lebih tahu medan dan hal ihwal komunitas dampingan. Beberapa kasus muncul, paska evaluasi eksternal baru terbongkarlah berbagai kekurangan dan borok-borok lembaga.106 Selinier dengan perkara di dua tahapan sebelumnya, kendala monitoring dan evaluasi hanyalah konsekuensi logis dari kendala tahapan sebelumnya. Tak jelasnya perencanaan organisasi dan implementasi akan berujung pula pada ketidak jelasan landasan/panduan monitoring dan evaluasi. Referensi dan indikator acuan monitoring dan evaluasi tak akan berarti apapun tanpa adanya pertautan nyata antara apa yang direncanakan dan diimplementasikan. Kendati terdapat perencanaan dan implementasi yang baik, kendala utama dalam proses monitoring dan evaluasi yang lazim terjadi di kalangan Ornop adalah ketidakkonsistenan proses itu secara periodik. Inkonsistensi periode monitoring dan evaluasi tentu saja sangat berdampak pada penilaian yang tak sesuai lagi, baik dalam ketepatan waktu, guna, sasaran, hingga pada perumusan rekomendasi dan kebijakan paska monitoring dan evaluasi tersebut. Catatan penilaian dan rekomendasi yang tak tepat akan berbuah rumusan kebijakan yang sewaktu-waktu akan jadi bumerang bagi organisasi. Sekadar mempertajam pemahaman tentang proses monitoring dan evaluasi, berikut dapat disimak komparasi antara monitoring dan evaluasi yang konvensional dan partisipatif.
Komisi Konsultasi dan Kemitraan SHEEP Indonesia, Hasil Diskusi Pertemuan Mitra KIA/ICCO ke 17, hlm. 3-7. 106
90
Beberapa Perbedaan Monitoring dan Evaluasi Konvensional
Monitoring dan Evaluasi Partisipatif
Siapa yang enginisiasi?
Donor
Donor dan Para Pemangku Kepentingan Proyek
Tujuan
Akuntabilitas Donor
Pengembangan Kapasitas, peningkatan atas akuntabilitas para pemangku kepentingan dan hasil capaian
Siapa yang Mengevaluasi?
Evaluator Eksternal
Para pemangku kepentingan proyek yang dibantu oleh Fasilitator Perencanaan, Monitoring & Evaluasi
ToR
Dirancang oleh Donor dengan masukan terbatsa dari proyek
Dirancang oleh para pemangku kepentingan proyek
Metode
Survei, Kuisener, wawancara semi- Mencakup metode seperti Participatory Learning and terstruktur, Kelompok Diskusi Action, dan Riset Apresiatif, Testimoni. Terarah
Hasil Capaian
Laporan akhir beredar di kalangan sendiri
Akan lebih baik memahami berbagai realitas lokal, para pemangku kepentingan terlibat dalam pembuatan keputusan seputar analisis dan apa yang mesti dilakukan dengan informasi untuk menyesuaikan strategi proyek dan aktivitas bagi tercapainya tujuan secara lebih baik.
Itulah sejumlah pengalaman yang mengemuka dalam sharing tentang sistem PIME di kalangan mitra. Bertolak dari berbagai kendala di atas, maka rumusan konseptual-ideal sistem PIME yang berhasil diformulasikan para mitra tertuang dalam beberapa poin sebagai berikut: pertama, adanya kesamaan persepsi bahwa PIME bukan hanya sebuah dokumen melainkan sebuah system dan siklus organisasi yang terpadu; kedua, adanya dokumen perencanaan strategis yang menjadi dasar pengembangan program lembaga; dan ketiga, adanya draft kebijakan PIME pada tingkat lembaga, dan proyek. Saripati tiga formula tingkatan kapasitas dalam sistem PIME menurut mitra terjabarkan dalam bagan berikut.107
Komisi Konsultasi dan Kemitraan SHEEP Indonesia, Tata Kelola Organisasi dan Sistem PME, hlm.18 107
91
Hampir dapat dipastikan berbagai kendala itu sering dihadapi oleh banyak Ornop di Indonesia. Untuk mengadopsi tiga tingkatan kapasitas dalam sistem PIME yang ideal itu, Ornop perlu merefleksikan kembali langkah-langkah internalisasi yang telah dijalankan selama ini. Perlu dicatat di sini bahwa proses internalisasi sistem PIME semacam itu perlu menggunakan metode leveling internalisasi yang dilakukan dengan staf tentu saja akan berbeda dengan board, atau tim manajemen, staf lapangan, atau volunteer. Tanpa metode leveling, perencanaan yang dilakukan sama artinya abai terhadap keberagaman peran didalam organisasi. Tentu saja bukanlah definisi PIME yang diinternalisasi, melainkan filosofinya dan pengertian dasar, manfaat, serta alurnya. Beragam perencanaan seperti perencanaan bulanan, perencanaan semester, perencanaan tahunan tentu saja harus memiliki landasan dasarnya. Demikian pula implementasi, Ornop harus memahami bagaimana cara melaksanakan, standar pelaksanaan kegiatan, proses pelaksanaan, hingga bagaimana melakukan analisis penerima manfaatnya. Sementara menyoal monitoring, Ornop harus mendesain berbagai aspek dalam monitoring tersebut, seperti meteri, penerima manfaat, waktu pelaksanaan, dll. Hal-hal apa saja yang ditemukan dalam kegiatan dan apa rekomendasi untuk hasil temuan tersebut. Seluruh proses itu harus disusun dalam bentuk laporan tertulis dan seoptimal mungkin sistematis. Dan akhirnya pada proses evaluasi, Ornop perlu melihat kontribusi dari suatu kegiatan terhadap kontribusi pada tujuan proyek, program, dan tujuan lembaga; sehingga terlihat apa yang kita rubah. Dengan kata lain, sistem PIME sebagai wahana untuk mewujudkan tata kelola yang baik secara ideal akan mencakup sinergisitas dan keterpautan yang utuh antara sistem PIME Ornop, sistem PIME proyek Ornop, hingga sampai sistem PIME organisasi masyarakat sebagai mitra kerjanya.Keutuhan sistem PIME terjabarkan dalam bagan berikut.108
Komisi Konsultasi dan Kemitraan SHEEP Indonesia, Tata Kelola Organisasi dan Sistem PME, hlm.17. 108
92
Dari seluruh paparan di atas, sharing pengalaman berharga yang perlu dicatat di sini adalah bahwa Ornop hendaknya tidak gampang terjebak pada berjibunnya teori PIME. Akan lebih baik jika Ornop lebih terfokus pada apa yang telah dikerjakan selama ini di lembaga. Selanjutnya, mereka perlu merumuskan definisi umum, dengan melihat batasan yang terkait dengan level hirarkinya. Relevan untuk dinyatakan pula di sini bahwa legal entity konstitusi harus dianalisis dan dibedah secara kritis, bukan justru sekadar sebagai dokumen persyaratan belaka. PIME tidak hanya sekedar acuan kebijakan dan syarat legal, namun sebagai sebuah mekanisme organisasi yang harus dijalankan. Alih-alih PIME, aturan lembaga pun seringkali hanya dipahami sebagai alat penyelesaian masalah saat terjadi konflik, perbedaan pendapat, atau pelanggaran konstitusi lembaga, dan bukan sebagai acuan untuk dijalankan oleh organisasi. Selain itu, ukuran demokrasi dalam suatu lembaga diukur dalam cara bagaimana aturan/ kesepakatan dirumuskan secara jelas dan dijalankan bersama. Isi dokumen AD(Anggaran Dasar) misalnya saja, mestinya dapat jadi dasar penjabaran kebijakan siklus dari PIME tersebut. Untuk lebih memahami dari paradigma project base ke institusional based, maka lanjutan langkah yang dilakukan adalah pemahaman pada PIME. Dalam membangun organisasi, Ornop harus mendasarkan pada konstitusi kelembagaan bukan pada persoalan pribadi. Dengan demikian menjadi jelas jika membangun organisasi atau konstitusi, Ornop harus membangun dengan dasar spirit lembaga secara kritis. Lebih jauh, hal mendasar yang paling penting untuk direnungkan juga di sini adalah perubahan paradigma yang terjadi dalam organisasi berikut dampak terjauh yang dapat digapai. Sayang jika Ornop hanya terjebak dalam kemapanan institusi dengan persoalan posisi dan struktur serta menciptakan hirarki karir, bukan pada mendiskusikan peran serta kontribusi terhadap tujuan lembaga.109 B. Perubahan Pola Kemitraan Ornop Tujuan awal program peningkatan kapasitas mitra tidak ada lain kecuali untuk memperbaiki intensitas komunikasi antara organisasi mitra dengan lembaga donor dan meningkatkan kinerja manajemen. Selama proses program berjalan memang dirasakan ada beberapa persoalan umum yang menjadi kendala: pertama, problem komunikasi antar mitra dengan lembaga donor terkesan “kering”. Hubungan terasa tak setara, dan masih sering terperangkap pada masalah teknis (surat, kontrak, bank, proposal dsb), serta belum ada mekanisme monitoring dan evaluasi yang jelas disepakati sejak awal. Kedua, perkembangan kapasitas mitra sendiri sangat beragam: tingkat kelembagaan kecil, menengah dan besar; jenis programnya mulai dari yang karitatif hingga advokasi masih Andreas Subiyono dalam Notulensi Lokakarya Tematis: Peningkatan Kapasitas Organisasi Mitra KIA/ICCO Dalam Sistem PME Tempat di Hotel Agas, Surakarta 14-15 Desember 2010, hlm.8 109
93
juga dihadapkan pada dinamika internal yang cepat berubah.110 Tersadari sungguh bagi SHEEP bahwa pengalaman selama mendampingi terasa berat bila dihadapkan pada masalah yang dilematis jika harus masuk di wilayah internal organisasi. Semisal jadi mediator beberapa pihak yang mempunyai cara pandang yang berbeda (mediasi internal tersebut seharusnya bukan wilayah intervensi) dan bukan pada pembenahan manajerial organisasi. Jika dievaluasi, program pendampingan yang seperti ini dinilai gagal, karena waktu untuk pembenahan manajerial banyak tersita untuk memediasi konflik internal. Belum lagi kalau mediasi gagal dan lembaga tersebut terancam bubar atau mandeg. Ditengah hiruk pikuk implementasi program pengambangan kapasitas mitra, ternyata mengemuka tiga permasalahan yang mempengaruhi kebijakan lembaga donor: pertama, kebijakan politik Eropa membawa dampak-dampak yang signifikan bagi donor-donor untuk merger atau berpikir tentang keberlanjutan. Beberapa alasan lembaga donor di antaranya sebagai berikut: a). Mengingat dana-dana operasi yang dikeluarkan sebelumnya besar, maka dengan cara merger mereka dapat memperkecil biaya; b). Lembaga donor yang mengajukan appeal proposal ke pemerintah harus berkontribusi sebanyak 25%; c). Orang tidak lagi mudah mengeksploitasi trust, namun harus mulai mengacu standar pertanggungjawaban secara umum; d). Prasyarat Ornop yang dibantu adalah lembaga formal (yang dapat dikonfirmasi oleh pemerintah asal negara donor); e). Akuntabel menurut sudut pandang negara-negara yang teregister; f). Lembaga donor dan lembaga yang dibantu harus memiliki standar baku. Kedua, kapasitas internal lembaga mitra yang mempengaruhi, sehingga perlu berpikir tentang keberlanjutan dalam membuat kebijakan untuk melanjutkan atau tidak kerja sama berikutnya. Hal yang menjadi pertimbangan adalah: a). Proses-proses pemecahan masalah hanya sampai pada level proyek, belum berdampak secara luas bagi lembaga; b). Ornop tidak dapat hidup tanpa proyek, maka sangat tergantung pada proyek; c). Tata kelolanya yang digunakan belum memenuhi standar, walaupun sudah mempunyai visi dan misi; d). Terjadi pergeseran atau marginalisasi pegiat gerakan sosial yang kurang mampu beradaptasi dengan perubahan karakter lembaga. Berdasarkan evaluasi informal ternyata ditemukan empat variabel yang menghambat proses keberlanjutan Ornop. yaitu: a). Kepemimpinan yang dominan (ketergantungan pada pimpinan), sehingga fungsi internal kontrol kurang berfungsi optimal; b). Board tidak berfungsi; c). Diversifikasi donor sangat terbatas; d). Program pengembangan konseptual tidak berjalan/tidak mengalami pengayaan (yang berubah hanya wilayah program kerja sama) serta Andreas Subiyono dalam Dalam notulensi Lokakarya Evaluasi “Pengembangan Kapasitas Organisasi Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan DIY” Rumah Palagan, Yogyakarta, 25-26 Juni 2009, hlm. 1-2. 110
94
program-program yang dijalankan atau direncanakan tidak didasari dengan perencanaan dan analisis strategik; hanya sebatas mengakomodasi kegiatankegiatan yang akhirnya membuat program menjadi stagnan. Ornop sampai mengalami kegamangan yang terkadang akut. Salah satu faktor lainnya adalah bahwa isu-isu pemberdayaan yang selama ini mereka lakukan kini mulai digarap oleh pemerintah dan korporasi. Karenanya, Ornop perlu berfikir ulang dan merenungkan kembali perihal perubahan menuju peningkatan kesejahteraan sosial yang mereka cita-citakan. Semisal metode dan strategi macam apa yang akan mereka pakai kemudian. Menjadi tak memadai lagi jika Ornop masih berkutat diseputar pendekatan kebutuhan dasar (basic need) dan hak-hak dasar (basic right) saja. Mereka perlu menjangkau pula sejumlah pendakatan terhadap ide-ide keadilan sosial, perdamaian dan lingkungan hidup (tepatnya keadilan ekologis). Kesemua isu itu perlu didekati guna memastikan adanya komprehensifitas aspek-aspek yang membuka lebar-lebar peluang bagi upaya pengembangan dan pencapaian standar kehidupan manusia yang bermartabat.111 Peran strategis Ornop dalam mewujudkan kesejahteraan sering menjadi pertanyaan yang sangat sulit dijawab oleh pengambil kebijakan di tingkat lembaga. Misalnya terkait gerakan sosial, tidak sedikit Ornop yang kesulitan untuk menjawab beberapa pertanyaan seputar posisi strategis apa yang dapat diambil/ dirumuskan dalam kebijakan organisasi, dan kesejahteraan sosial semacam apa yang akan digapai, serta kriteria apa saja yang ditetapkan. Disadari atau tidak, selama ini tolok ukur kesejahteraan yang diacu atau bahkan dirumuskan oleh Ornop merupakan replikasi dari teori-teori kesejahteraan yang telah usang. Bahkan yang lebih memelas lagi, Ornop malahan menggunakan ukuran pemerintah atau lembaga dunia yang lebih banyak keterbatasan ketimbang kelebihannya. Selain itu, masyarakat yang didampingi/dikawal atau difasilitasi tidak jelas hendak diarahkan kemana. Berdasarkan catatan lapangan, biasanya arah yang seringkali dituju adalah pada proses modernisasi yang tentu saja cenderung bias pada visi pertumbuhan (growth) ketimbang kelestarian ekologis (ecological sustainability). Dengan kata lain, kesejahteraan dilihat menurut kacamata dan kriteria masyarakat modern. Belum juga ada upaya untuk menggali dan memunculkan ciri budaya masyarakat lokal untuk dikembangkan sebagai suatu potensi dan kapasitas menuju model kesejahteraan ala lokal. Satu contoh riil, paradigma tentang desa di kalangan Ornop pun belum berubah hingga kini. Tolok ukur kemajuan suatu desa senantiasa berkorelasi kuat bahwa desa tersebut harus mengarah pada masyarakat industri. Dalam konteks itu, Ornop seharusnya sadar terhadap realita bahwa kesejahteraan merupakan suatu hasil atau proses penemuan yang Pak Andreas Notulensi pembukaan Lokakarya Tematis Peningkatan Kapasitas Organisasi Mitra KIA/ICCO Dalam Sistem PiME 14-15 Desember 2010 111
95
dilakukan bersama-sama masyarakat—yang secara elementer melibatkan proses penyadaran—dengan ukuran yang sangat kontekstual. Lebih jauh, sistem manajemen yang dianut sebagian besar Ornop dalam melihat perubahan intervensi masih dari aspek keluaran. Tentu saja tidak ada yang salah dengan melihat aspek tersebut. Hanya saja belum banyak kalangan Ornop yang mencoba menganalisis dengan menggunakan indikator-indikator dari aspek hasil dan dampak. Ada sebentuk kemalasan di kalangan Ornop untuk mendetilkan berbagai aspek capaian itu sendiri. Jika pun ada, orientasi kebanyakan ornop tetap sebatas terfokus pada capaian hasil dengan indikatorindikator yang sepihak belaka tanpa berkehendak menggali indikator-indikator menurut kacamata warga masyarakat. Diperlukan pendalaman tolok ukur yang mesti dibantu dengan memunculkan indikator-indikator riil untuk menganalisis sebuah keberhasilan. Karena selama ini ukuran yang dipergunakan masih terfokus pada tolok ukur general kuantitas, maka analisis/penilaian yang dilakukan untuk melihat keberhasilan atau kegagalan menjadi sangat tidak memadai. Ornop pun jarang melakukan sesuatu yang terfokus pada kualitas dengan melihat isi/materi agar dapat terlihat suatu perubahan yang signifikan. Misalnya terkait dengan proses pendampingan masyarakat. Selama ini, kalangan Ornop masih bias pada tolok ukur intentitas visitasi/kunjungan ke desa ketimbang kualifikasi isi dan muatan pendampingan di masyarakat itu sendiri. Paparan kajian ulang atas pendampingan masyarakat tidak jarang masih terjatuh pada berapa kali mereka melakukan kunjungan dan bukan apa dan bagaimana isi kunjungan terhadap beneficiaries (penerima manfaat program) dengan menimbang kompleksitas persoalan dan dinamika sosial masyarakat di tingkat lokal itu sendiri. Jika berbagai hal tersebut di atas belum juga jelas dipahami, lantas bagaimana sistem Planning, Implementation, Monitoring, and Evaluation (PIME) itu dapat diterapkan dalam Ornop yang bersangkutan? Lantas selama ini didasarkan pada apakah perencanaan yang dilakukan oleh Ornop? Berdasarkan hasil pengamatan selama ini, kegiatan Ornop nampaknya mengimplementasikan ideologi kesejahteraan yang serupa dengan lembaga-lembaga lainnnya yang masih berakar kuat pada paham pembangunanisme (developementalism). Kalangan Ornop terlalu sering tidak menggunakan metode pendekatan atau konsep yang jelas untuk menstimulasi perubahan. Karenanya hal yang perlu dikritisi di sini adalah apa yang ada di balik sistem manajemen yang diterapkan di masingmasing Ornop. Kalangan Ornop perlu berpikir ulang agar mereka tidak hanya menerapkan saja atau mengadopsi sistem manajemen yang telah ada atau ditawarkan tanpa mencoba membedah secara kritis sesuai dengan spirit dan nilai yang ada di setiap organisasi. Selain metode pendekatan, dari segi laporan, kalangan Ornop selama ini sulit menangkap atau memahami laporan yang dapat memperlihatkan perubahan masyarakat sebelum didampingi, selama proses pendampingan, dan setelah didampingi. Yang sering terlihat di dalam laporan adalah sekadar kesadaran semu belaka. Pasalnya sering dijumpai di masyarakat 96
bahwa input yang diberikan tidak memberikan dampak yang signifikan bagi proses perubahan.Apa penyebabnya dan mengapa semua hal di atas dapat terjadi? Itulah pertanyaan besar yang perlu dijawab oleh kalangan Ornop kita saat ini. Menyoal tentang itu, berbagai kalangan penggiat berpendapat bahwa realitas itu secara faktual terjadi dan dialami oleh banyak Ornop di Indonesia. Salah satu aspek yang turut memicu persoalan itu adalah ketidakmampuan Ornop menolak tawaran intervensi program dari donor yang berlebihan, sampaisampai Ornop yang bersangkutan sulit untuk memadukan program tersebut kedalam strategic plan organisasi yang sudah berjalan secara reguler.112 Tawaran program dari donor semacam itu dapat dibaca sebagai pilihan dilematis bagi kalangan Ornop,113 antara pilihan pragmatis (yang seringkali terpaut kalkulasi strategis dan materiil berjangka pendek) dan pilihan ideologis sebagaimana yang diamanatkan dalam visi dan misi organisasi. Dengan kata lain, implementasi program di kalangan Ornop sering tidak berdasar pada perencanaan strategis kelembagaan. Dalam konteks ini, perlu disadari kalangan Ornop perlu membedah ulang keterkaitan banyak aspek yang melingkupinya, terutama aspek spirit dan nilai lembaga. Saat penyusunan program misalnya, Ornop perlu menyiapkan tools assessment yang memuat aspek spirit dan nilai organisasi. Sistem Planning, Implementation, Monitoring, and Evaluation (PIME) semestinya mengacu pada sistem nilai tersebut. Demikian pula halnya, ketika Ornop bersangkutan menyusun proposal program. Seoptimal mungkin Ornop perlu mengacu sistem nilai dengan menyertakan perangkat analisis yang didasarkan pada basis pengalaman kekaryaan lembaga. Singkatnya, spirit dan nilai harus menjadi pondasi lembaga dan merupakan faktor penting yang harus diaplikasikan dalam tools assesment, sejak tahapan rancangan, implementasi, capaian akhir, hingga dampak program yang hendak dituju.114 Berbagai kasus menunjukkan kalangan Ornop seringkali hanya membuat program tanpa menganalisis nilai dan spirit sehingga banyak hal yang tidak nyambung. Hal itu sering dijumpai Ornop mengalami kesulitan dalam membahasakan arah program-program yang telah berjalan (terutama program reguler dan program non-reguler/proyek).115 Pencantuman nilai dan spirit organisasi itu sendiri membutuhkan konsistensi dan ketegasan sikap secara kelembagaan. Dengan demikian, orientasi tidak tersandera oleh berbagai kepentingan pragmatis jangka pendek, entah dari donor ataupun berbagai aktor lain yang terkait. Dibutuhkan sinergi antara Vera (Spekham), dalam diskusi Perubahan Pola Kerjasama Organisasi non Pemerintah di Indonesia. 113 Agus (LKTS) 114 Putri (YAPHI) 115 Emma (AWI) 112
97
kepercayaan diri berbasis spirit lembaga dengan donor yang mengintrodusir program tertentu. Kendala yang seringkali dihadapi adalah siapa yang berperan manjaga spirit itu. Motif personal individu-kah, personil-personil yang duduk di manajemen/eksekutif-kah, ataukah seluruh individu dalam organisasi? Secara ideal, nilai dan spirit itu harus dijaga seluruh individu dalam organisasi tersebut. Akan jauh lebih sempurna jika itu ditopang oleh sistem dan mekanisme yang memungkinkan berkembangnya karakter kolektif yang mengacu pada nilai dan spirit organsiasi. Dengan demikian semua pemangku kepentingan berpeluang untuk menginternalisasi sekaligus mengeksternalisasi nilai dan spirit yang menjadi pondasi kediriannya maupun kelembagaannya tersebut. Pada akhirnya, konsistensi dan sinergisitas nilai dan spirit di level kolektif kelembagaan dapat terrealisir.116 Terkait dengan itu, Ornop perlu juga menilik kembali spirit individual sebelum bergabung dalam organisasinya. Kesamaan spirit individual memungkinkan formulasi nilai dan spirit kolektif terbangun secara relatif lebih mudah.117 Rupanya perkembangan jaman menuntut Ornop untuk mereposisi dirinya—terlebih ketika diperhadapkan dengan posisi pemerintah—dalam kancah perjuangan mewujudkan kesejahteraan masyarakat itu. Jika sekilas ditilik, terjadi pergeseran yang signifikan: dari gerakan-gerakan sosial berspirit charity untuk pemenuhan basic need bergeser menjadi gerakan sosial berspirit penyadaran kritis dan pemberdayaan (empowerment) untuk mewujudkan basic right (kesadaran bahwa kebutuhan dasar adalah hak). Berbagai model pendekatan itu telah dimodifikasikan dan diadopsi oleh banyak kalangan termasuk diantaranya adalah kalangan pemerintah sendiri. Kendati telah diambil alih oleh berbagai kalangan dan organisasi, bukan berarti bahwa Ornop harus kehilangan posisi, arah, apalagi garis idealismenya. Hal yang terpenting adalah kepastian dari karakter dan arah mandat dari Ornop itu sendiri. Penting kiranya bagi Ornop untuk menakar dan berkaca diri seputar mandat, karakter, potensi, yang dimilikinya. Ornop juga perlu menimbang posisi dan porsi peran apa yang paling utama untuk dipilih dan dikedepankan. Konsistensi dan pemahaman akan pilihan tersebut harus dilandasi pada pondasi nilai dan spirit yang dihidupinya. Jika sudah menyentuh tingkat implementasi, para pengambil kebijakan harus memahami sungguh-sungguh pentingnya mekanisme demokrasi yang berorientasi pada pengambilan keputusan bersama tanpa mengesampingkan akar mandat kelembagaan yang diembannya.118 Nampak jelas dari seluruh paparan di atas, dunia tak terstruktur laiknya dongeng. Ornop diperhadapkan pada sederet panjang keniscayaan: kendala dan tantangan jaman. Patut disadari bahwa itulah senjang antara idealisme dan Indri (Spekham) Emma (AWI) 118 Agus (LKTS) 116 117
98
realitas yang meskipun berjarak namun tetap berpeluang untuk dioptimalisasi titik temunya. Harus tetap diakui bahwa realitas menghampar bahwa Ornop terkendala pada persoalan SDM yang tak ideal sekaligus dana yang cupet. Suka tidak suka, mau tidak mau, itulah tantangan faktual Ornop kita saat ini. Prakarsa ideal kelembagaan akan menemukan sinergi ketika jejaring Ornop juga menopang berbagai daya upaya itu. Spesialisasi bidang di jejaring Ornop dapat disinergikan dan dikomunikasikan bersama agar tercipta perubahan yang dicitacitakan, utamanya yang menyasar pada kesejahteraan masyarakat warga (civil society) yang jauh lebih luas dan hakiki.119 Keutuhan proses reposisi Ornop bagaimanapun tertumpu juga pada epistemic community dan jejaring Ornop yang mampu menopang nilai spirit dan idealisme yang diperjuangkan di seluruh medan pelayanan. Dalam hal ini, epistemic community seperti para mitra tentu saja sangat berpeluang sebagai wahana yang dapat berkontribusi pada penguatan nilai dan spirit organisasi masing-masing mitra. C. Menata Ulangang Strategi Keberlanjutan Ornop Menimbang pada titik persimpangan di atas, kalangan Ornop perlu merumuskan kembali strategi keberlanjutan sebagai basis eksistensialnya. Berdasarkan paparan tersebut, kita dapat menarik beberapa hal penting yang dapat diagendakan untuk itu. Setidaknya ada empat langkah berikut untuk menyiapkan strategi keberlanjutan organisasi: Pertama, Ornop harus mulai melihat secara konseptual berbagai aspek kemandirian dari organisasinya. Dari kerangka itulah, civitas Ornop yang bersangkutan dapat mengecek sejauh mana pemahaman atas berbagai aspek, entitas, dan eksistensi organisasi mereka sendiri. Kedua, ketika basis dan posisi eksistensial organisasi sudah dipahami, perlu memikirkan dan merancang tataran eksternal ke depan seperti apa. Akan lebih baik jika yang dicermati dan dipertimbangkan adalah hal-hal yang paling riil. Daftar prioritas kepentingan itu perlu mulai diurai dan dicari jawabnya dengan menimbang berbagai kebijakan agensi terkait, lembaga donor (lokal dan internasional), utamanya pelaksanaan program secara langsung. Ketiga, hal yang tak kalah penting untuk dipikirkan adalah seputar langkahlangkah yang harus diambil terkait dengan keberlangsungan (sustainability) organisasi jika hanya ditilik dari ketersediaan dana. Tentu saja konsep keberlanjutan harus diletakkan dalam kerangka nilai spirit dan eksistensi organisasi sebagaimana telah ditetapkan sebelumnya, sehingga bukan hanya sekadar persoalan ketersediaan dana semata. Kembali perlu dipertegas di sini, hal yang perlu disadari adalah landasan dasar kelahiran dari organisasi. Ornop
119
Joko (YPL)
99
perlu mengingat 3 pilar organisasi yang berkelanjutan sebagai berikut:120
Boleh jadi sangat sulit untuk melihat keterkaitan antara strategi keberlanjutan dengan PSAK 45 pada bagan tersebut. Namun, PSAK 45 itu sebagai alat bantu untuk menakar diri (internal control) atas apa yang telah, tengah, dan akan terjadi dengan melihat kinerja yang tercermin dalam alat bantu itu. Secara simplistis, dapat ditarik pemahaman bahwa PSAK 45 itu adalah salah satu alat bantu yang dijadikan indikator atau tolok ukur untuk melihat keberlanjutan organisasi dari aspek kinerja keuangan lembaga. Menyoal tautan antara keberlanjutan organisasi dan ketersediaan dana, banyak kalangan sering salah kaprah atau berpikir simplistis. Banyak kalangan Ornop beranggapan bahwa persoalan keberlanjutan berbanding lurus dengan soal ketersediaan dana semata. Bagaimanapun juga harus ditegaskan di sini bahwa keberlanjutan tidak hanya sekedar ketersediaan dana. Prioritas utama dari keberlanjutan lembaga adalah kinerja organisasi itu sendiri, bukannya ketersediaan dana. Beberapa Ornop di Indonesia telah berpraktik dalam kerangka pikir yang terakhir ini. Mereka meyakini bahwa dengan membangun citra organisasi, maka mereka akan mendapat dukungan (support) dari pihak lain. Menurut mereka, kinerja organisasi inilah prioritas utama yang perlu dikembangkan. Aspek penting yang kadang tak terpikirkan bertaut dengan keberlanjutan adalah perihal suksesi (pergantian kepemimpinan) dalam organisasi. Bagaimanapun juga perlu disadari bahwa suksesi kepemimpinan dalam organisasi merupakan sesuatu yang tak terelakkan, realistis, dan harus dirancang secara jelas, transparan, dan demokratis. Semuanya demi tercapainya target suksesi yang baik/mulus. Untuk konteks Indonesia, hanya beberapa Ornop saja yang berani melakukan hal semacam itu. Pembukaan Andreas Subiyono dalam Pelatihan dan Lokakaryadan Pengembangan Sistem Tata Kelola Keuangan berdasarkan PSAK-45 untuk Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, Hotel Galuh Prambanan, Klaten 120
100
Persoalan suksesi memang bukanlah perkara mudah. Berdasarkan pengalaman selama ini, suksesi terkendala oleh karena Ornop tidak punya “keberanian” untuk itu atau karena kesulitan mendapatkan orang yang memiliki kualifikasi seturut ketentuan organisasi.121 Ada ciri pembeda yang cukup menyolok dalam dua kendala tersebut: antaran tidak ada good will dan adanya good will dari organisasi bersangkutan untuk melakukan suksesi. Kendala pertama lebih banyak disebabkan oleh tiadanya niat, sementara kendala kedua lebih dikarenakan kelangkaan SDM yang lolos proses kualifikasi (semacam fit and proper test). Misalnya saja sangat sulit mendapatkan orang yang paham dan berpihak pada mandat (visi dan missi) organisasi. Tidak kalah sulitnya untuk mendapatkan seorang calon pemimpin/pengurus yang memiliki kapasitas yang mumpuni (dapat menguasai berbagai lini). Sekadar catatan saja, ada begitu banyak Ornop yang juga belum memiliki model acuan untuk proses transisi semacam itu. Padahal aspek suksesi kepemimpinan (leadership) dan kepengurusan adalah aspek lain yang juga turut menentukan keberlanjutan organisasi. Memang tidak mudah untuk mencari staf atau dewan (board) yang sesuai dengan harapan (nilai, visi/misi organisasi). Kebanyakan mereka yang masuk atau bergabung mempunyai nilai berbeda/lain dari harapan organisasi. Tidak jarang dari mereka hanya sekadar mencari kerja saja, karenanya sangat sulit untuk diajak membangun nilai. Hal serupa tidaklah mudah melakukan suksesi pemimpin/pengurus yang benar-benar berkomitmen kuat pada visi dan missi organisasi, terlebih yang bernuansa ideologis. Transfer pengetahuan bagaimanapun juga relatif lebih mudah ketimbang transfer nilai.122 Tingginya disparitas komitmen nilai antar personil dalam suatu organisasi tentu saja akan berpengaruh pada kinerja maupun keberlanjutan organisasi yang bersangkutan. Implikasi dampaknya dapat berupa kerentanan dalam beragam wajah: friksi, ketidaksinkronan, kelabilan dalam berbagai aspek personalia dan sistem kelembagaannya. Bongkar pasang personil adalah problem yang paling jamak di dunia Ornop. Yang tak kalah jamaknya adalah tidak berfungsinya peran pengurus ataupun peran dewan (board), dan masih banyak lagi kasus lainnya. Bagaimanapun juga harus ada perimbangan peran antara eksekutif/ pengurus dan dewan. Dewan semestinya memberikan kontrol yang memadai atas kinerja pengurus. Berdasarkan pengalaman banyak Ornop, dewan hanya sekadar sebagai alat legitimasi ketimbang badan pengawasan. Demi keberlanjutan organisasi, maka sudah semestinya praktik semacam itu harus diakhiri. Agar suatu organisasi dapat sehat, maka didalamnya harus dibangun kinerja yang baik, dengan cara membangun sistem dan mekanisme kelembagaan yang konsisten. Terlalu besar risikonya bagi organisasi jika mengabaikan itu. Soal 121 122
Putri (YAPHI) Suparna (LKTS) 101
akuntabilitas misalnya saja, tidak hanya sekedar persoalan remeh seputar neraca perimbangan antara pemasukan dan pengeluaran dana saja. Bagaimanapun juga itu harus sampai pada mekanisme perencanaan, kontrol dan pertanggungjawaban dana secara transparan. Dalam konteks itu, maka baik jajaran pengurus/ eksekutif maupun para dewan (board) harus menjalankan peran masing-masing secara konsisten sesuai mandat organisasi.123 Secara ideal, transparansi itu sendiri merupakan bagian melekat dalam sistem kelembagaan. Transparansi tidak akan didiskusikan hanya pada saat collapse, namun secara jelas harus dipraktekkan sejak awal sesuai mekanisme yang sudah disepakati. Hal terpenting adalah bagaimana kesiapan membuat pertanggungjawaban atas apa yang dikelola. Namun hal inipun harus diatur dalam sebuah mekanisme yang dikelola secara jelas. Bagaimana mengekspresikan kebebasan sebagai suatu sistem adalah dengan membangun kebiasaan dan mengkerangkakan itu semua dalam sebuah sistem. Berbagai kasus menunjukkan bahwa ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan dalam suatu organisasi disebabkan lebih karena tidak adanya pihak yang mengontrol aturan main di dalam organisasi tersebut. Secara prinsipil, aturan main toh dapat diatur dengan mudah, misalnya dengan adanya AD/ART. Kendati demikian, mekanisme aturan ini harus dipahami dengan jelas dan jangan hanya menjadi alat penyelesaian pada saat terjadinya kasus atau persoalan saja. Menyoal rekruitmen pengurus/dewan dalam suatu Ornop memang merupakan proses yang penting untuk dipikirkan. Secara konseptual, dinamika organisasi yang terjadi paska rekruitmen akan cukup mempengaruhi orangorang yang bergabung dengan Ornop. Belajar dari pengalaman sebuah Ornop, kualitas orang sangat sulit didefinisikan sebelumnya. Kendati demikian, ada beberapa metode atau pilihan alternatif untuk itu. Alternatif pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan rekruitmen terhadap orang-orang yang memiliki latar belakang profesional. Orang-orang yang telah direkrut itu pada akhirnya pun berproses dan memiliki komitmen sesuai dengan visi/misi lembaga. Alternatif kedua adalah melakukan rekruitmen orang-orang yang mempunyai keinginan tinggi untuk bekerja di organisasi sosial. Alternaif ketiga adalah melakukan rekruitmen dari kalangan birokrat yang dapat memahami dan punya spirit yang sejalan dengan organisasi. Alternatif keempat adalah melakukan rekruitmen melalui pemasangan iklan di media. Rekruitmen jenis ini biasanya akan mendapat banyak respon dari peminat. Belajar dari beberapa pengalaman, terjumpai sebuah pelajaran berharga tentang proses rekruitmen tersebut. Ternyata menerima orang-orang dengan latar belakang aktivis tidak jarang justru menimbulkan masalah ketimbang solusi. Walaupun terlihat inovatif, orang-orang yang memiliki latar belakang aktivis terkadang lekat dengan karakter yang tidak sistemik. Hal itu seringkali 123
102
Lilik (YPL)
berimplikasi pada sifat dekonstruktif bahkan distruktif ketimbang konstruktif. Untuk mengatasinya, organisasi harus mampu memberikan alternatif-alternatif yang rasional agar ada ruang untuk staf membangun kekritisan, termasuk misalnya di kalangan dewan. Catatan terpenting dalam konteks ini adalah bahwa bagaimanapun juga proses paska rekruitmen itu sendiri sangatlah menentukan. Terlalu naif untuk berpikir bahwa awal rekruitmen akan memperoleh orang yang sudah “jadi” atau bahkan “mumpuni” sebagaimana yang diharapkan.124 Setelah persoalan rekruitmen personalia organisasi dibahas, aspek lain yang tak kalah menentukan pada keberlanjutan organisasi adalah keberadaan indegenous program yaitu semacam kekhasan program sesuai dengan tuntutan kebutuhan/konteks lokal warga penerima manfaat. Dengan kata lain, salah satu keberlanjutan juga ditentukan oleh bagaimana cara pemilihan program yang dijalankan Ornop itu sendiri. Kekhasan/original program dan menarik itu dapat ditemukan dengan cara melacak kembali lesson learned dari berbagai pendekatan dan praksis pemberdayaan komunitas yang telah mereka lakukan.125 Keberakaran program di tingkat lokal bagaimanapun perlu mendapat prioritas. Ornop perlu memberi peluang bagi munculnya gagasan original yang kontekstual (meski kadang berbeda dari isu-isu pesanan donor internasional sekalipun). Dengan indegenous program yang khas dan kontekstual itu, Ornop dapat menunjukkan kinerja yang baik. Kekhasan program dapat berkonsekuensi pada kekhasan organisasi, dan tidak menutup kemungkinan turut menentukan keberlanjutan organisasi juga. Dari uraian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa untuk menginisiasi langkah keberlanjutan organisasi, Ornop perlu memformulasikan perimbangan proses antara prioritas internal tanpa abai terhadap prioritas ekternal pula. Hanya dengan menimbang pada balancing process antara prioritas internal dan prioritas eksternal itulah organisasi berpeluang untuk berkelanjutan.126 Dengan kata lain, keberlanjutan organisasi harus menimbang berbagai unsur seperti: efisiensi, efektivitas, kepemimpinan (leadership), dan relevansi antara visi/ misi dengan dinamika masyarakat. Berbagai kepercayaan dari para pemangku kepentingan perlu senantiasa dikedepankan. Bagaimana Ornop mengelola berbagai kepercayaan dan mandat itulah yang perlu didiskusikan dan dikaji secara lebih dalam.127 Menyoal kinerja, Ornop kadang menghadapi persoalan riil seperti berikut. Pada saat ingin membangun kinerja yang tinggi, Ornop membutuhkan kualitas SDM yang memadai. Kualifikasi SDM semacam itu seringkali berkonsekuensi pada standar gaji yang tinggi. Namun biasanya, gaji yang tinggi itu akan ditentang Andreas Subiyono Putri (YAPHI) 126 Timotius Apriyanto 127 Bonar Saragih 124 125
103
oleh sejumlah pihak. Untuk kasus semacam itu, perlu dirujuk kembali pada akar semangat dan spirit organisasi. Organisasi memiliki aturan standar atau sistem penggajian (reward) yang dapat dijadikan dasar atau tidak. Andai pun sudah ada, perlu ditilik pula standar kepantasan tertentu dengan melihat proporsi gaji pimpinan misalnya. Kurang tepat jika secara simplistis menentukan besaran gaji itu sekadar untuk menyesuaikan pada standar UMR. Mungkin jauh lebih baik jika Ornop berkomitmen pada sistem yang dipakai dalam organisasi. Dan itu harus dijelaskan secara transparan dalam internal organisasi dengan menghitung rasionalitas dari kinerja keuangan yang dipunyai organisasi. Dalam hal ini, staf paling tidak mengetahui dan memahami kapasitas lembaga. Transparansi semacam itu dimaksudkan agar tidak timbul tanda tanya di kalangan staf. Perlu juga dibangun kesadaran pada seluruh civitas Ornop tentang berbagai peluang (opportunities) yang didapatkan oleh staf di luar gaji. Berbagai peluang yang akan didapat di Ornop itu seperti aktualisasi diri, pengembangan kapasitas, kondisi kerja, relasi kerja, dan lain sebagainya. Ornop mesti juga tegaskan bahwa di dunianya tidak akan ditemukan jenjang karier seperti di perusahaan atau lembaga pemerintah. Penting juga untuk dicatat di sini bahwa orientasi dari kebanyakan lembaga yang berbentuk Yayasan seringkali bias pada akumulasi aktiva yang dipunyainya. Orientasi kelembagaan semacam itu sesungguhnya memiliki banyak kelemahan ketimbang kelebihan. Tindakan itu sama artinya menanam bom waktu saja. Banyak Ornop yang berbentuk Yayasan pada akhirnya justru menuai sengketa, perseteruan, pertikaian, dan bahkan hingga sampai pada perpecahan untuk memperebutkan asset/aktiva yang terakumulasi tersebut. Hal yang sebenarnya jauh lebih strategis untuk dilakukan Ornop adalah merancang keberlanjutan dari segi SDM yang berkualitas (misalnya pengembangan kapasitas melalui berbagai program pelatihan atau pendidikan formal bagi para stafnya), dan bukan akumulasi/ penumpukan asset. Peningkatan kapasitas staf itu tentu harus tertuang dan ternyatakan dalam suatu regulasi tertulis yang jelas dan terdokumentasi. Namun patutlah disadari bahwa kendati seluruh proses rekruitmen/seleksi dan sistem reward (standar gaji dan berbagai opportunity) telah jelas-jelas tertuang dalam aturan tertulis, Ornop tetap saja akan menghadapi persoalan “bongkar pasang” personil (turn over) lantaran berbagai faktor yang boleh jadi kasuistik dan di luar jangkauan kapasitas lembaga.128 Dari uraian di atas dapat ditarik pemaknaan yang jauh lebih dalam, bahwa terkait pengelolaan SDM tersebut, Ornop seharusnya tidak hanya membicarakan tentang regulasi, namun juga harus melihat apa lagi yang dikehendaki agar dapat menunjang peningkatan kapasitas SDM dengan memunculkan indikatorindikator yang tidak sekedar capaian numerik. Dalam regulasipun, standar gaji harus jelas. Tidak selayaknya seorang pimpinan memotong atau mengubah gaji 128
104
Andreas Subiyono
karyawannya jika pimpinan tersebut tidak puas dengan kinerja karyawannya. Bagaimanapun juga harus ada ketentuan-ketentuan yang mendasarinya. Kepuasan akan capaian kerja seseorang sangat sulit diukur secara numerik, sehingga jika memang SDM tersebut menunjukkan kinerja yang baik dan memuaskan, maka reward yang diberikan tidak hanya sekedar numerik namun lebih pada apa yang dibutuhkan staf, misalnya pengembangan kapasitas seperti apa yang akan diberikan. Kepuasan bukan melulu persoalan di tingkat staf saja, tetapi juga persoalan di tingkat pimpinan atau bahkan dewan (board) sekalipun.129 Bergabungnya staf baru ke dalam organisasi juga bukan proses mudah dan singkat. Agar staf dapat memahami apa yang diharapkan lembaga, maka kita perlu mengawal proses penyesuaian mereka dengan mekanisme dan sistem kelembagaan yang telah terbangun dalam organisasi. Perlu ditanamkan watak atau karakter yang tidak eklusif, misalnya bertumpu pada pertemanan dekat (semacam klik). Itu dapat menjadi metode dan strategi mengelola dan menjembatani kesenjangan (gap) antara staf lama dengan yang baru. Bagaimanapun juga staf baru harus mau belajar dan memperdalam dunia Ornop. Harapannya ia dapat segera berkontribusi sesuai dengan profesi/perannya. Hal yang tak kalah pentingnya adalah mendorong tumbuhnya semangat solidaritas antar personil di dalam organisasi.130 Ornop juga harus menjelaskan batasan tanggung jawab dan peran kepada seluruh personil yang ada. Proses pemahaman atas semua itu harus senantiasa didiskusikan dan disinegikan melalui mekanisme komunikasi yang bersifat reguler, semisal pertemuan bulanan, triwulan, semesteran, atau paling tidak rapat reguler tahunan.131 Bila dikonseptualisasikan dalam pemahaman yang sederhana dan ringkas, keberlanjutan organisasi merujuk pada tersedianya sumber daya dan sumber dana secara berkelanjutan agar visi, misi dan tujuan organisasi dapat dicapai. Tujuan membangun dan mengembangkan keberlanjutan bagi Ornop sangat spesifik karena terikat dengan visi sosial dan tujuan organisasi. Karenanya, pengembangan keberlanjutan pendanaan Ornop harus dikaitkan dengan konteks, visi, prinsip, nilai-nilai dasar dan tujuan organisasi untuk mengupayakan perubahan.132
Bonar Saragih Andreas Subiyono 131 Bonar Saragih 132 Bonar Saragih dalam Notulensi Pelatihan dan Lokakarya, Strategi Keberlanjutan Organisasi, 3 September 2008 hlm. 19 129 130
105
Guna mendukung itu salah satu keutamaan yang perlu senantiasa diinternalisasi dalam organisasi adalah tentang bagaimana kemudian organisasi itu membangun dan mengelola kepercayaan (trust). Membangun dan mengembangkan sumber pendanaan bukan hanya sebatas kemampuan mendapatkan dana untuk kas organisasi, tetapi bagaimana Ornop dapat mulai dari merencanakan, mengelola, mengembangkan kebijakan dan mengendalikan, mengatur serta mempertanggung jawabkannya bagi kepentingan visi, misi dan tujuan pemberdayaan masyarakat. Membangun dan mengembangkan sumber pendanaan berarti juga menyiapkan sistem dan tata kelola yang dapat menjamin keberlanjutannya.133
Bonar Saragih dalam Notulensi Pelatihan dan Lokakarya, Strategi Keberlanjutan Organisasi, 3 September 2008 hlm. 19. 133
106
Berangkat dari seluruh paparan di atas, berikut ini adalah rumusan bagan beserta item-item konseptualnya yang memuat berbagai indikator untuk mengarah pada keberlanjutan organisasi. Dengan mengacu pada bagan 3 pilar organisasi yang berkelanjutan di atas, dengan mengecek kembali daftar rincianya (lihat bagan di bawah), dapat dimulai menginisiasi, mengukur, memerinci dan memformulasikan lebih lanjut berbagai tahapan yang mungkin ditempuh demi terealisasinya organisasi yang berkelanjutan.134
Dari daftar di atas, dapat dimulai dengan mengindentifikasi dan melengkapi berbagai faktor eksternal dan internal yang berpotensi menjadi hambatan bagi lembaga dalam melakukan analisis dan menjalankan strategi keberlanjutan. Pada akhirnya, keberlanjutan organisasi ini berujung pada kriteria tentang sejauh mana semua hal di atas menjadi suatu sikap dan kesadaran bersama dan menjadi suatu strategi organisasi yang dituangkan dalam kebijakan organisasi. Pemahaman tentang keberlanjutan organisasi akan sangat bertumpu pada kematangan proses internalisasi dalam organisasi masing-masing Ornop. Bukan teori yang bertumpuk yang akan membantu, namun proses sharing pengalaman dan membulatkan tekad bersama untuk berkarya yang akan menentukan keberhasilan proses mencapai organisasi yang berkelanjutan. D. Epilog: Ujung Tanduk Dilema Dinamika perjalanan penguatan kapasitas mitra telah membawa pada beberapa substansi pembelajaran yang dapat dipetik. Setidaknya ada lima catatan penting dari keseluruhan proses pengembangan kapasitas tersebut. Pertama, ambiguitas kesadaran. Kelahiran Ornop merupakan bagian dari kegelisahan masyarakat sipil atas berbagai permasalahan kehidupannya yang 134
Bonar Saragih, Op.Cit., hlm. 107
bertaut dengan dorongan moral untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Keberadaan Ornop dengan beragam karakter dan kinerjanya diharapkan mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat sipil atas relasinya dengan struktur Negara maupun Korporasi (Pasar). Dalam menghadapi struktur Negara dan Korporasi yang sangat kuat tersebut, Ornop secara alamiah membutuhkan kapasitas baik dalam pengelolaan sumberdaya, pengelolaan spirit, maupun pengelolaan strategi praksis secara baik. Sementara kesinambungan Ornop masih sangat ditentukan dari relasi kemitraan yang secara ideal dicitrakan sebagai sebuah relasi setara dan dibangun berdasarkan kepentingan dan nilai-nilai bersama. Namun dalam prakteknya hubungan ini masih sebatas transaksional dalam basis kerjasama proyek. Dalam situasi seperti itu, Ornop secara sadar maupun tidak sadar lebih memposisikan dirinya sebagai pekerja-pekerja untuk isu-isu kerjasama pembangunan (development workers) daripada sebagai pihak yang memiliki kemampuan dan kedaulatan dalam menjalankan misinya secara berkelanjutan. Permasalahan yang muncul dari pengelolaan organisasi secara berkelanjutan sering dilihat hanya dalam perspektif administratif semata. Pengembangan kapasitas menjadi sebuah jawaban klise atas berbagai kelemahan yang muncul dari dalam organisasi. Munculnya kesadaran akan kebutuhan pengembangan kapasitas seringkali terjadi saat organisasi mengalami permasalahan kronis yang harus dihadapi dalam proses negosiasi kemitraan. Maka program pengembangan kapasitas belum berjalan secara alamiah sesuai dengan konteks yang ada. Kebutuhan pengembangan kapasitas sering hanya merupakan sebuah retorika untuk melakukan “justifikasi” atas kelemahankelemahan yang ada. Munculnya kesadaran akan kebutuhan pengembangan kapasitas sering datang dari stimulasi dan atau inisiatif pihak luar yang memiliki kepentingan atas keberlangsungan sebuah organisasi. Saat ini masih sangat sulit untuk menumbuhkan kesadaran pengembangan kapasitas sebagai bagian dari agenda strategis organisasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari meningkatkan daya tawar dalam relasi dengan negara dan pasar. Kondisi seperti ini menghasilkan sebuah pertanyaan retoris, “Apakah pengembangan kapasitas tersebut merupakan kebutuhan pihak luar yang masih mengharapkan berjalannya mandat ornop secara lebih efektif ? Atau sebagai kesadaran kritis atas menjaga eksistensi dan keberlanjutan lembaganya?”. Terkait dengan pertanyaan retoris itu, nampaknya perlu kembali menegaskan makna pengembangan kapasitas sebagai berikut: “Capacity building” is a term beset by conflict and confusion (Lewis 2001.p.11). It is open to a number of different interpretations. At one level it is concerned with building the organizational capacities of NGOs to survive and fulfill their mission. At another it is concerned with building the capacity of civil society in its broadest sense, and strengthening the capacity of key stakeholders (including communities, families and individuals) to participate in the political and social arena (Eade 1997. p.35). Kedua, pengelolaan ilmu pengetahuan dan kritik atas kebudayaan berpikir. 108
Dalam budaya Ornop, ilmu pengetahuan sering tidak dikelola sebagai suatu proses terus menerus yang melibatkan para pemangku kepentingan. Informasi sebagai basis dari Ilmu Pengetahuan masih dikelola sebatas proses menyimpan dan mendokumentasikannya atau maksimal sebatas sharing dokumen serta menceritakan kembali sebuah informasi yang didapatkan. Pengelolaan informasi belum mampu untuk memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam upaya memperluas dimensi pemikiran dan pembelajaran pada tingkat individu maupun organisasi. Informasi yang masuk hanya diterima dan diolah secara linier tanpa upayaupaya untuk membongkarnya dalam ruang-ruang persepsi yang sejalan menjadi sebuah thesis individu atau kelompok. Minim upaya untuk melakukan kajian kritis dalam dialektika mencari titik temu suatu pemahaman baru bersama apabila Informasi serta pengetahuan yang diterima individu atau organisasi tidak sesuai dengan informasi serta pengetahuan yang sudah ada. Kondisi demikian akan memperkuat budaya instant dalam Ornop. Sementara itu kebudayaan berpikir menjadi semakin terdegradasi dalam pola-pola konsumsi pengetahuan yang instant dan partial. Dimensi pemikiran dan pembelajaran merupakan sebuah dimensi yang secara fundamental akan mempengaruhi kehidupan sebuah organisasi. Hal itu dimungkinkan karena dimensi pemikiran dan pembelajaran akan mempengaruhi perumusan-perumusan visi, misi dan strategi organisasi. Hasil rumusannya akan menjadi dasar kebijakan strategis dan mempengaruhi perilaku serta budaya organisasi. Sehingga, menurunnya kualitas budaya berpikir organisasi pasti akan berkontribusi dalam menurunnya kualitas eksekusi dan dampaknya. Ketiga, membangun peta jalan pengembangan kapasitas. Kesadaran bahwa pengembangan kapasitas merupakan bagian integral dari proses menjalankan mandat Ornop secara berkelanjutan masih lemah. Hal itu mengakibatkan kesulitan dalam menentukan rencana jangka panjang pengembangan kapasitas Ornop. Perencanaan jangka panjang pengembangan kapasitas ornop seharusnya menjadi satu bagian dari upaya transformasi sosial menuju masyarakat sipil yang kuat. Keempat, kesiapan Ornop menghadapi lingkungan eksternal. Realita sosial atas kondisi ketidak adilan yang dialami masyarakat sipil merupakan alasan kuat untuk menjaga keberadaan (“Raison d’être”) Ornop. Namun demikian, ironisnya seringkali faktor kuat yang cukup mempengaruhinya justru bukan dari interaksi sosial organisasi dalam menjalankan mandatnya dengan masyarakat yang membutuhkan. Faktor yang cukup mempengaruhi secara tidak sadar adalah justru relasi dukungan kemitraan pendanaan Ornop. Sementara itu, organisasi tidak mempersiapkan suatu bentuk adaptasi lingkungan internal untuk menjaga keberlanjutan lembaga. Kondisi ini menciptakan satu kerentanan yang cukup tinggi terhadap keberlanjutan sebuah organisasi. Disisi lain, Ornop sering tidak memiliki kebebasan dalam mengekspresikan nilai-nilai baik melalui 109
program-program maupun kebijakan-kebijakannya. Perubahan kebijakan yang mempengaruhi proyek-proyek kerjasama akan langsung berdampak pada keberadaan Ornop. Kelima, Komitmen Kemitraan Ornop Selatan dan Utara. Bangunan Visi bersama dalam kerangka sebuah kemitraan merupakan sebuah utopia. Hubungan kemitraan antara Ornop negara miskin dan sedang berkembang dengan Ornop negara maju masih sangat dijiwai dengan semangat filantropi dalam seting agenda-agenda kepentingan negara maju. Kerangka kerjasama antar masyarakat sipil-pun tidak pernah terbebas dari tekanan-tekanan dan dinamika politik, serta sosial ekonomi. Hal berharga yang dapat dipetik dari seluruh perjalanan tersebut adalah bahwa dalam setiap kontradiksi dan paradoks senantiasa tetap tersedia ruang sekecil apapun bagi idealisme. Idealisme gerakan masa-lalu mungkin jatuh di karakter yang sama-sama terlalu naif: entah konfrontatif ataupun kooperatif. Boleh jadi idealisme ekstrim konfrontatif tidaklah mendapat tempat. Pula idealisme ekstrim kooperatif abai atas “ruang diri” yang boleh jadi memadai. Kedua ekstrimitas rupanya tak mendapat tempat karena Ornop belum sadar penuh atas ragam potensi sumberdaya yang sesungguhnya dapat mendukung idealisme secara utuh. Namun segala sesuatu tidak akan ada peluang untuk berubah jika Ornop menolak memasukinya dan tidak berupaya untuk mengubahnya. Ornop butuh kesadaran berikut kesediaan menerima realitas yang tidak ideal tetapi tetap ada niatan untuk tetap menyemai idealisme itu sendiri. Dengan kata lain, dalam realitas yang separadoksal apapun, idealisme tetap memiliki ruang dalam kesertamertaan hadirnya peluang risiko-risiko pula. Di sanalah uji keberlanjutan Ornop di negeri ini perlu senantiasa diikhtiari dan diinisiasi, dengan segenap topangan daulat kedirian yang kokoh tanpa perlu berniat menisbikan jalinan kemitraan yang boleh jadi telah, sedang, dan akan hadir kedepan.
110
Lampiran 1 No
PERTEMUAN
POKOK BAHASAN & TUJUAN
1
Pertemuan Mitra 1 di Yayasan Sheep Yog- Spirit Sosial yakarta Kerberlanjutan ORNOP 20 Agustus 2005
2
SpekHAM SOLO 31 Agustus 2007
Perumusan strategi bersama utk peningkatan kapasitas mitra KIA
3
Pertemuan Mitra 2 di YKP Solo 8 April 2006
KonsepKemitraanStrategis Versi ORNOP Mitra
4
Pertemuan Mitra 3 di LKTS Boyolali 26 Agustus 2006
Positioning OrganisasiMitra
5
Pertemuan Mitra 4 di YPL Jepara 18 November 2006
MulaiAsesmenOrganisasiMitra
6
Pertemuan Mitra 5 di AWI Yogyakarta 16 Februari 2007
Review & Feed Back AsesmenOrganisasi
7
Pertemuan Mitra KIA ke-6 Di YAPHI Solo Jawa Tengah 11 Mei 2007
Pendetailan kegiatan capacity building selama 1 tahun dan revisi organizational scan
8
Pertemuan Mitra KIA ke-7 di Spekham Solo 31 Agustus 2007
Pemetaan kendala-kendala mitra dan perumusan strategi peningkatan kapasitas
9
Pertemuan Mitra KIA ke-8 di Ekasita Solo 9 Nopember 2007
Menjaring masukan dari mitra dan perumusan prioritas pengembangan kapasitas untuk lembaga
10
Pertemuan Mitra KIA ke-9 dI SHEEP Jogjakarta 28 Maret 2008
Perumusan langkah-langkah tindak lanjut lokakarya transformasi sosial dan memonitor pengembangan kapasitas mitra.
11
Pertemuan Mitra KIA ke-10 dI YKP Solo 4 Juli 2008
Review capaian pengembangan kapasitas dan perumusan pokokpokok pikiran strategi peningkatan kapasitas
12
Pertemuan Mitra KIA ke-11 Di LKTS Boyolali 30 Oktober 2008
Perumusan bentuk operasional strategi keberlanjutan organisasi dan perumusan perluasan cakupan pengembangan kapasitas bagi seluruh pemangku kepentingan organisasi
13
Pertemuan Mitra KIA ke-12 Di SPEKHAM Surakarta 12 Desember 2008
Perumusan masalah dan kebutuhan pengembangan tata kelola yang berkelanjutan dan perumusan garis besar lokakarya thematis dengan melibatkan para pengambil dan pelaksana kebijakan.
14
Pertemuan Mitra KIA ke-13 Di Yayasan AWI Yogyakarta 29 April 2009
Pengecekan kesiapan organisasi mitra menghadapi dampak implementasi PROCODE dan perumusan strategi alternatif konsolidasi internal dan antar organisasi mitra.
15
Pertemuan Mitra KIA ke-14 Di Yayasan Pamerdi Luhur Jepara 19 Agustus 2009
Sharing informasi dan up date kebijakan KIA/ICCO; kritisi capaian program pengembangan kapasitas organisasi mitra; perumusan strategi dan rekomendasi pengembangan kapasitas dan pola kerjasama antar mitra
16
Pertemuan Mitra KIA Ke-15 Di Yayasan SHEEP Yogyakarta 6 April 2010
Sharing informasi dan up date kebijakan KIA/ICCO; Menyepakati kerangka konseptual pengembangan kapasitas organisasi mitra terkait dengan strategi untuk menghadapi dinamika masyarakat sekitar; perumusan rekomendasi aksi untuk pengembangan kapasitas dan pola kerjasama antar organisasi mitra ke depan.
17
Pertemuan Mitra KIA Ke-16 Di LKTS, Boyolali 8 Juli 2010
Pemaparan hasil Assessment PME; perumusan target, indikator keberhasilan secara kolektif dan agenda aksi pengembangan kapasitas mitra untuk PME
111
No
POKOK BAHASAN & TUJUAN
Pertemuan Mitra KIA Ke-17 Di AWI Yogyakarta 29September 2010
Perumusan indikatorkeberhasilanpengembangankapasitassistem PME; Kesepakatan agenda aksidanprioritaspengembangankapasitas terutama sistem PME secarakolektif.
19
Pertemuan Mitra KIA Ke-18 Di YAPHI Solo 24 November 2010
Pembahasan masalah dan kebutuhan internalisasi sistem PME; dan pengembangan sinergi organisasi mitra KIA/ICCO dalam merespon dan rehabilitasi kawasan dampak bencana Merapi
20
Pertemuan Mitra KIA Ke-19 Di Hotel Agas, Surakarta 14 Desember 2010
Internalisasi problematika dalam penerapan sistem PME di tingkat organisasi mitra; Penyikapan atas realita kapasitas organisasi dalam sistem PME untuk mewujudkan tata kelola yang baik.
21
Pertemuan Mitra KIA Ke-20 di Ekasita, Solo 10 Mei 2011
Identifikasi masalah implementasi tindak lanjut masing-masing lembaga terkait dengan kebijakan ICCO/KIA; Perumusan strategi bersama terkait kemitraan kedepan dan Model desain evaluasi mitra ICCO/KIA agar bisa melihat tingkat capaian secara mendalam.
No
112
PERTEMUAN
18
WORKSHOP &SEMILOKA
POKOK BAHASAN & TUJUAN
1
Yayasan SHEEP Yogyakarta, 20 Agustus 2005
Capacity Building untuk Mitra KIA
2
Kantor LKTS, Boyolali 26 Agustus 2006
Diskusi Setengah Hari Mitra KIA – SHEEP
3
Yayasan SHEEP 7 Maret 2007
Workshop Penyusunan Modul Komisi Konsultasi dan Kemitraan
4
Yayasan Sheep Yogyakarta 10-11 Januari 2008
Workshop Pengorganisasian Masyarakat Mitra KIA di Jawa
5
Wisma Kagama Yogyakarta 14-15 Februari 2008
Workshop Strategi Keberlanjutan Organisasi dan Tata Kelola Keuangan berdasarkan PSAK-45 Mitra KIA/ICCO di Jawa
6
Wisma Mawar Asri, Kaliurang, Yogyakarta 5-6 Maret 2009
SEMILOKA: Konsolidasi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Proses Demokratisasi : Peluang & Tantangan Internal – Eksternal Untuk mitra KIA/ ICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta
7
Rumah Palagan Guest House, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta 25-26 Juni 2009
LOKAKARYA Evaluasi: Pengembangan Kapasitas Organisasi Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan DIY
8
Puri Artha Hotel, Jl. Cendrawasih, Yogyakarta 28-29 September 2009
SEMILOKA: Membangun Sinergi untukPenguatan Masyarakat Sipil Indonesia untuk mitra KIA/ICCO di Jawa
9
Hotel Agas, Solo 14-15 Desember 2010
WORKSHOP: Peningkatan Kapasitas Organisasi Mitra KIA/ ICCO Dalam Sistem PME
Lampiran 2 Nama Organisasi
Bentuk Organisasi
Tgl. Pengisian Form
Nama Manfaat
1
Posisi (Position) Karakteristik
Item
(1=kurang berkembang dan 6 = berkembang dengan baik)
Kredibilitas &Legitimasi
Kredibilitas dan legitimasi organisasi dinilai dari kinerjanya.
Nilai Lebih
Organisasi memiliki keunggulan kompetitif.
Citra
Citra organisasi di mata stakeholdernya
Lemah 1
2
3
Kuat 4
5
6
Evaluasi/Catatan: ...
2
PEMIKIRAN DAN PEMBELAJARAN (Thinking and Learning) Item
A. Nilai-nilai dasar organisasi B. Visi
Karakteristik (1=kurang berkembang dan 6 = berkembang dengan baik) 1.
Organisasi memiliki nilai-nilai dasar sebagairuh pelayanan
3.
Visi merupakan tujuan dan manifestasi dari nilai-nilai dasar yang dipahami oleh seluruh stakeholder Visi memberikan inspirasi kepada staf berupa arah kebijakan organisasi jangka panjang
4. 4.
C. Misi
5. 6. 7.
D. Strategi 8. 9.
E. Konsep Transformasi Sosial
Lemah 1
2
3
Kuat 4
5
6
Misi dirumuskan berdasarkan mandat dan nilai-nilai dasar dalam usaha mewujudkan visi yang melibatkan seluruh stakeholder melalui sebuah proses kajian internal dan eksternal Misi memberikan gambaran kepada staf tentang tugas dan fungsi lembaga yang harus dijalankan dalam mencapai tujuan organisasi Organisasi menyusun perencanaan strategis dalam kurun waktu yang disepakati bersama sebagai proses kajian komprehensif berdasarkan dinamika lingkungan internal dan eksternal. Perencanaan strategis oganisasi menjadi bagian dari strategi lembaga yang terekspresikan dalam struktur dan program kerja jangka panjang. Perencanaan strategis organisasi dipahami oleh seluruh stakeholder. Organisasi merumuskan strategi keberlanjutan dengan optimalisasi sumber daya yang bisa dikerahkan/dimobilisasi.
10. Organisasi mempunyai kerangka konsep mengenai transformasi sosial yang berbasis pada realitas masyarakat yang dilayani. 11. Kerangka konsep ini menjadi acuan dalam mengembangkan pelayanan organisasi melalui program kerja dan rencana aksi. 12. Tujuan transformasi sosial tidak terlepas dari rumusan mandat organisasi.
Evaluasi/Catatan: ...
113
3
TINDAKAN (Doing) Item
Karakteristik
Lemah
(1=kurang berkembang dan 6 = berkembang dengan baik)
F. Relevansi
13. Program organisasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
G. Kualitas Pelaksanaan
14. Implementasi program memiliki kemampuan adaptasi terhadap dinamika sosial yang berkembang dengan tetap mengacu pada tujuan yang ditetapkan.
H. Koheren
15. Aktifitas di lapangan mencerminkan konsep organisasi dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan tanpa meninggalkan orientasi visi, misi dan strategi organisasi 16. Berbagai elemen strategi program memiliki sinergisitas yang mendukung pencapaian tujuan program
I. Efektifitas
17. Program organisasi mampu mencapai tujuannya yang dilakukan melalui proses evaluasi secara menyeluruh
J. Efektifitas Pembiayaan
18. Biaya dari seluruh aktivitas program sesuai dengan perencanaan yang sudah ditetapkan.
1
2
3
Kuat 4
5
6
Evaluasi/Catatan: ...
4
KEBERADAAN (Being) Item
114
Karakteristik (1=kurang berkembang dan 6 = berkembang dengan baik)
K. Legal Status & Tata Kelola
19. Organisasimemiliki status legal yang jelasdansesuaidenganbentukorganisasi 20. Perandantanggungjawabstrukturtatakerjateruraikansecarajelasdandisetujuiolehsemuapihak yang terlibatsertasebagaibagiandarikriteriakeanggotaan (lihatbagiankonstitusi) 21. Kriteriainididasarkanpadatugas-tugasdalam organ danmenunjukansebuahkeseimbangandalamsetiapketerwakilan, jeniskelamin, danpengalamankerja. 22. Para staff intidanpemimpinnyadihormatidandipercayabaikdikalangan internal maupuneksternalorganisasidalammenjalankanperan-peranmereka. 23. 23. Pemimpinmendukungmanajemendalamperandantugasnyatanpamerendahkanmasing-masingposisimanajemen. 24. Terdapat Sub-struktur khusus termasuk personalia yang ada didalamnya untuk mendukung thema-thema khusus dengan keahlian pada bidang-bidang spesifik dari pelayanan-pelayanan yang ada.
L. Struktur
25. Organisasimemilikistrukturtatakelola yang efektifdanmemilikiwewenanguntukmengambilkeputusanstrategis yang dapatdipertanggungjawabkan 26. Perandantanggungjawabstrukturtatakelolaorganisasiterumuskandenganbaikdantelahdisetujuibersama (misalnyarumusananggarandasardananggaranrumahtanggaorganisasi). 27. Personaliadalamstrukturorganisasidisusundenganmempertimbangkankompetensi, pengalamanprofesionaldankeseimbanganjender 28. Personalia yang dudukdalamstrukturorganisasisertapemimpinmendapatlegitimasidankepercayaandalammenjalankanperannya. 29. Pemimpinmemberikandukungankepadamanajemendalammenjalankanperandantugasnyatanpamengecilkanposisimereka 30. Organisasimempunyai sub-strukturkhusus, dan orang-orang dengankeahliandalambidangtertentuuntukmendukungberbagaitemapelayanan.
Lemah 1
2
3
Kuat 4
5
6
M. Sistem dan Prosedur termasuk monitoring dan evaluasi
31. Organisasi didukung oleh staf pendukung manajemen dan sistem/prosedur administrasi/keuangan/monitoring dan evaluasi 32. Data tersedia dan ter-update secara reguler mengenai output, dampak dan effektifitas biaya dari semua program. 33. Indikator kualitatif dan kuantitatif dampak untuk berbagai bidang intervensi telah dirumuskan secara jelas. 34. Sistem monitoring didesain dengan melibatkan kelompok sasaran, staf dan tenaga ahli
N. Manajemen & Kepemimpinan
35. Kepemimpinan yang kompeten: a. visioner b. tidakmenyalahgunakanwewenang c. mampumengenalidanmengelolakonflik internal d. bisamengambilkeputusantepatwaktu e. berorientasi pada hasil dan berpihak pada rakyat f. memberi bimbingan dimanapun dan kapanpun dibutuhkan g. mampu mendelegasikan secara tepat h. akuntabel 36. Para pemimpin dihargai dan dipercaya dalam menjalankan perannya di luar dan di dalam organisasi. 37. Para pemimpin mendorong staf untuk selalu berrefleksi dan mengembangkan gagasan baru dalam pekerjaan mereka, berdasar masukan yang mereka peroleh dari masyarakat, tenaga ahli, dan orang/kelompok lainnya yang relevan. 38. Para pemimpin tidak mempunyai peran dan tanggungjawab yang tumpang tindih (baik di dalam maupun di luar organisasi)
O. Staf
39. Stafmampumenunjukkankeseimbanganantarakeahlian, pengalamandalambidangnya, sertakomitmenpadamisidannilai-nilaiorganisasi. 40. Stafbersediauntukterusbelajardaripengalaman orang lainmaupundirisendiri. 41. Staff memilikikinerjabaikdalambidangnya, memilikiintegritasdankredibilitas 42. Staf memahami dan menerima tugas, tanggungjawab dan wewenang, serta mampu menginternalisasikan tujuan organisasi. 43. Mekanisme perekrutan telah mempertimbangkan profesionalisme dan kompetensi staf di bidangnya serta pemahaman mengenai masyarakat. 44. Staf mengkomunikasikan dinamika peristiwa yang terkait dengan pekerjaannya secara aktif 45. Staf mendapat dukungan kebijakan pengembangan SDM (termasuk pedoman perekrutan, pelatihan, penghargaan) yang jelas sehingga memotivasi staf untuk lebih berkualitas.
P. Manajemen Keuangan
46. Strategi keuangan jelas dan telah disetujui baik dalam konteks manajemen organisasi maupun proyek. 47. Peran dan tugas bagian keuangan dan akuntansi dapat dirumuskan secara jelas. 48. Semua prosedur keuangan jelas dan transparan, serta mengikuti kaidah standar akuntansi profesional. 49. Pengelolaan keuangan mencerminkan keseimbangan antara fungsi keuangan sebagai dukungan terhadap manajemen organisasi dan proyek, dengan standar akuntansi profesional 50. Manajemen akuntansi sinergi dengan manajemen keuangan dan kebutuhan informasi dari masing-masing unit atau individu dari organisasi (departemen dan program/ proyek).
Q. Kultur
51. Iklimorganisasimenawarkankondisi yang nyamanuntukberfikirdanbelajar, danuntukmelaksanakandanmemonitoraktifitassecar optimal.
Evaluasi/Catatan: ...
115
5
HUBUNGAN (Relations) Item
HUBUNGAN (Relations) (1=kurang berkembang dan 6 = berkembang dengan baik)
R. Aliasi Strategis
52. Peran organisasi, pemerintah dan pelaku lainnya telah dideskripsikan dengan jelas 53. Cakupan geografis telah dikoordinasikan dengan baik dan telah dihindari tumpang tindih pekerjaan. 54. Kolaborasi dan pertukaran dengan “aktor” lokal, regional, dan nasional (misalnya pemerintah, pihak swasta, dan ORNOP) berjalan dengan effektif dan terstruktur dengan baik. 55. Aliansi strategis dengan “aktor” –lainnya dapat dipelihara keberlangsungannya 56. Organisasi menjadi anggota aktif sebuah jaringan kerja, dimana tujuan dari para partisipan jaringan terdefinisikan secara jelas
S. Stakeholder
57. Organisasimampumemelihararelasiantarpemegangperanbaik internal maupuneksternal (masyarakat). 58. Organisasimemilikiakuntabilitasdalampelayananmerekasertatransparankepadapemegangperan (misalnyamasyarakat, danlembaga donor)
T. Organisasi Mitra Penyumbang Dana
59. Organisasimemilikitingkatkepercayaandanrelasisepertidalamhubunganbisnisterhadap donor 60. Tingkat kepercayaanberdasarkanpadakualitaskinerja yang ditunjukkan. Hubunganantaraorganisasidan donor tertuangdalamsuatukontrak yang mencantumkan input, output danpertanggungjawabansecarajelas 61. Hubungan dengan mitra donor bukan hanya semata-mata kebutuhan proyek tetapi merupakan bentuk kemitraan strategis.
Lemah 1
2
3
Kuat 4
5
6
Evaluasi/Catatan: ...
6
KESEIMBANGAN (Balance) Item
Karakteristik (1=kurang berkembang dan 6 = berkembang dengan baik)
U. Keseimbangan
Evaluasi/Catatan: ...
116
62. Konsistensiantaravisi, misi, tujuanjangkapanjang, strategi, program, struktur, sistem, alokasisumberdaya, dankulturmanajemen. 63. Kesesuaian antara perangkat keras (struktur, sistem) dan perangkat lunak (visi, personalia, kultur).
Lemah 1
2
3
Kuat 4
5
6
Lampiran 3 PERNYATAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN (PSAK) NO. 45 PELAPORAN KEUANGAN ORGANISASI NIRLABA Laporan Keuangan Organisasi Nirlaba Laporan keuangan organisasi nir laba meliputi laporan posisi keuangan pada akhir periode Pelaporan, laporan aktivitas serta laporan arus kas untuk suatu Periode pelaporan, dan catatan atas laporan keuangan. Laporan Posisi Keuangan Klasifikasi Aktiva dan Kewajiban Informasi likuiditas diberikan dengan cara sebagai berikut: a) Menyajikan aktiva berdasarkan urutan likuiditas, dan kewajiban berdasarkan tanggal jatuh tempo. b) Mengelompokkan aktiva kedalam lancer dan tidak lancar, dan kewajiban kedalamj angka pendek dan jangka panjang. c) Mengungkapkan informasi mengenai likuiditas aktiva atau saat jatuh temponya kewajiban termasuk penggunaan aktiva, pada catatan atas laporan keuangan. Klasifikasi Aktiva Bersih Terikat atau Tidak Terikat Laporan posisi keuangan menyajikan jumlah masing-masing kelompok aktiva bersih berdasarkan ada atau tidaknya pembatasan oleh penyumbang yaitu :terikat secara permanen, terikat secara temporer dan tidak terikat. Informasi mengenai sifat dan jumlah dari pembatasan permanen atau temporer diungkapkan dengan cara menyajikan jumlah tersebut dalam laporan keuangan atau dalam catatan atasl aporan keuangan. Laporan Aktivitas Tujuan dan Fokus Laporan Aktivitas Laporan aktivitas difokuskan pada organisas isecara keseluruhan dan menyajikan perubahan jumlah aktiva bersih selama suatu periode. Perubahan aktiva bersih dalam laporan aktivitas tercermin pada aktiva bersih atau ekuitan dalam laporan posisi keuangan. Perubahan Kelompok Aktiva Bersih Laporan aktivitas menyajikan jumlah perubahan aktiva bersih terikat permanen, terikat temporer, dan tidak terikat dalam suatu Periode. Klasifikasi Pendapatan, Beban, Keuntungandan Kerugian Laporan aktivitas menyajikan pendapatan sebagai penambahan aktiva bersih tidak terikat, kecuali jika penggunaannya dibatasi oleh penyumbang dan menyajikan beban sebagai pengurang aktiva bersih tidak terikat. 117
Sumbangan disajikan sebagai penambah aktiva bersih tidak terikat, terikat permanen, terikat temporer, tergantung pada ada tidaknya pembatasan. Dalam hal sumbangan terikat yang pembatasannya tidak berlaku lagi dalam periode yang sama, dapat disajikan sebagai sumbangan tidak terikat sepanjang disajikan secara konsisten dan diungkapkan sebagai kebijakan akuntansi. Laporan aktivitas menyajikan keuntungan dan kerugian yang diakui dar iinvestasi dan aktiva lain ( atau kewajiban ) sebagai penambah atau pengurang aktiva bersih tidak terikat, kecuali jika penggunaannya dibatasi Informasi Pendapatan dan Beban Laporan aktivitas menyajikan jumlah pendapatan secara bruto. Namun demikian pendapatan investasi, dapat disajikan secara neto dengan syarat beban-beban terkait, seperti beban penitipan dan beban penasehat investasi, diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. Informasi Pemberian Jasa Laporan aktivitas atau catatan atas laporan keuangan harus menyajikan informasi mengenai beban menurut klasifikasi fungsional, seperti menurut kelompok program jasa utama dan aktivitas pendukung. LAPORAN ARUS KAS Tujuan Laporan Arus Kas Tujuan utama laporan arus kas adalah menyajikan informasi mengenai penerimaan dan pengeluaran kas dalam suatu Periode. Klasifikasi Penerimaan dan Pengeluaran Kas Laporan arus kas disajikan sesuai PSAK 2 tentang laporan arus kas dengan tambahan berikut ini: a) Aktivitas pendanaan : 1) Penerimaan kas dari penyumbang yang penggunaannya dibatasi untuk jangka panjang. 2) Penerimaan kas dari sumbangan dan penghasilan yang penggunaannya dibatasi untuk pemerolehan, pembangunan, dan pemeliharaan aktiva tetap, atau peningkatan dana abadi ( endowment ) b) Pengungkapan informasi mengenai aktivitas investasi dan pendanaan non kas: sumbangan berupa bangunan atau aktiva investasi. Tanggal Berlaku Efektif Pernyataan ini efektif berlaku untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan yang mencakup Periode laporan yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari. Penerapan lebih dini sangat dianjurkan.
118
Daftar Pustaka
Buku dan Makalah Apriyanto, Timotius. 2010. Paparan Pendahulan Lokakarya Tematis Peningkatan Kapasitas Organisasi Mitra KIA/ICCO dalam Sistem PME, Hotel Agas, Surakarta 14-15 Desember 2010. Craig, Edward. 1998. Routledge Encyclopedia of Philosophy, London: Routledge. Eade, Deborah.1997. Capacity-building: An Approach to People-centred Development, London: Oxfam GB. Eko, Soetoro.2009. Masyarakat Sipil, Negara, dan Demokratisasi di Indonesia dalam Kumpulan Paper Semilokal Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 5-6 Maret 2009. Fowler, Alan. 1997. Striking a Balance, A Guide to Enhancing the Effectiveness of Non-Governmental Organisations in International Development, London: Earthscan Publications. IFRC, 2001, Capacity Building Framework, IFRC Secretariat, Geneva James, R, 1998, Demystifying Organisation Development: Practical Capacity Building Experiences From African NGOs, INTRAC, Oxford Lewis, D, 2001, Management of Non-Governmental Development Organisations: An Introduction, London: Routledge. Saragih, Bonar. 2007. Kemitraan yang Setara untuk Kelangsungan Ornop sebagai Gerakan Sosial (Paper Workhsop Sheep Indonesia). Saragih, Bonar. 2008. Paparan Pelatihan dan Lokakarya, Strategi Keberlanjutan Organisasi, 3 September 2008. Sheep Indonesia 2008. Catatan Proses Workshop Transformasi Sosial Mitra KIA di Jawa, Wisma Kagama, 14-15 Februari 2008 (difasilitasi oleh Roem Topatimasang). Sheep Indonesia, 2009. Catatan Proses Semiloka di Puri Artha, 28-29 September 2009 (difasilitasi oleh Roem Topatimasang). Sheep Indonesia. 2007. “Spirit Sosial Keberlanjutan Ornop” (Kumpulan Paper Workshop). Sheep Indonesia. 2007. Rumusan Hasil Diskusi Pertemuan Mitra KIA ke-5 di Anak Wayang 16 Februari 2007
119
Sheep Indonesia. 2009. Catatan Proses Semiloka di Wisma Mawar Asri Kaliurang 5-6 Maret 2009 (difasilitasi oleh Soetoro Eko dan Roem Topatimasang). Sheep Indonesia. 2009. Catatan Proses Semilokal Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 5-6 Maret 2009 dengan tema “Konsolidasi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Proses Demokratisasi: Peluang & Tantangan Internal –Eksternal (difasilitasi oleh Soetoro Eko). Sheep Indonesia. 2009.Comprehensive Evaluation Report Capacity Buildong for ICCO & Kerkinactie Partners in Java. Sheep Indonesia.2009. Penilaian Organisasi Secara Komprehensif. Subiyono, Andreas. 2006. Problematika Keuangan – Resume Workshop Papua-ICCO 20 Agustus 2006. Subiyono, Andreas. 2008. Paparan Pengantar Diskusi Workshop Transformasi Sosial Mitra KIA di Jawa, Wisma Kagama, 14-15 Februari 2008. Subiyono, Andreas. 2009. Paparan Lokakarya Evaluasi “Pengembangan Kapasitas Organisasi Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan DIY” Rumah Palagan, Yogyakarta, 25-26 Juni 2009. Subiyono,Andreas. 2009. Paparan Pengantar Semilokal Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, 5-6 Maret 2009. Subiyono, Andreas. 2010. Paparan Lokakarya Tematis: Peningkatan Kapasitas Organisasi Mitra KIA/ICCO Dalam Sistem PME Tempat di Hotel Agas, Surakarta 14-15 Desember 2010. Subiyono, Andreas. Pembukaan Pelatihan dan Lokakaryadan Pengembangan Sistem Tata Kelola Keuangan berdasarkan PSAK-45 untuk Mitra KIA/ICCO di Jawa Tengah dan Yogyakarta, Hotel Galuh Prambanan, Klaten Susetiawan, 2007. Ornop: Kini Berjalan Tanpa Ruh (Paper Workshop Sheep Indonesia). Turner, Bryan S. 2006. The Cambridge Dictionary of Sociology, London: Cambridge University Press. Widjajanto, Wisnu. 2008.Pengembangan Sistem Tata Kelola Keuangan berdasarkan PSAK45 (Paper Workshop Sheep Indonesia). Website Http://www.icco.nl/en/about-icco Http://www.icco.nl/en/what-we-do Http://www.icco.nl/en/about-icco/icco-alliance Http://www.icco.nl/en/about-icco/icco-alliance/kerk-in-actie
120
Anjuran Penelusuran Beberapa Referensi Terkait Berikut ini adalah beberapa referensi yang relevan dengan kajian seputarPengembangan Kapasitas Ornop (NGO Capacity Building). Adam, C. S. & Gunning, J: “Redesigning the Aid Contract: Donors’ Use of Performance Indicators in Uganda”, in: World Development, Vol.30, No. 12, 2002, p.2045-2056 Binnendijk, A: “Results Based Management in the Development Co-operation Agencies: A Review of Experience”, executive summary of draft report, DAC Working Party on Aid Evaluation, February 2000 Community Development Resource Association, Measuring Development – Holding Infinity, Annual Report, CDRA, Cape Town, 2001 Cracknell, B. Evaluating Development Aid – Issues, Problems and Solutions, Sage Publications 2002 European Centre for Development Policy & Management, 2003, Evaluating Capacity Development, ECDPM Newsletter, Maastricht Engelhardt, A & Lynch, R., “Moving Upstream – New Challenges for Monitoring & Evaluation, in: SPARCS, Newsletter from the PARC, Performance Assessment Resource Centre, Spring 2003 Hyndman, N & Anderson, R., Performance Information Accountability and Executive Agencies, in: Public Money and Management, April-June 1998 James, R, 2002, People and Change, INTRAC, Oxford IDRC, 2003, New Horizons in Organisational Self-Assessment, Ottawa Letts, C, Ryan, W, Grossman, A. High Performance Non-profit Organizations – Managing Upstream for Greater Impact, John Wiley and Sons, NY 1999 Lewis, D, 2001, Management of Non-Governmental Development Organisations: An Introduction, Routledge, London Neely, A. Business Performance Measurement – Theory and Practice, Cambridge University Press 2002 Oakley, P (Ed.), Evaluating Empowerment – Reviewing the Concept and Practice, INTRAC NGO Management and Policy Series, No.13, 2001 Oakley, P, Pratt, B & Clayton, A. Outcomes and Impact: Evaluating Change in Social Development, INTRAC NGO Management and Policy Series, No.6, 1998 O’Neill, O, 2002, Reith Lectures: Trust & Society, BBC, London Paton, R, 2003, Managing and Measuring Social Enterprises, Sage, London Roche, C, 1999, Impact Assessment for Development Agencies: Learning to Value Change, Oxfam, Oxford Sahley, C, 1995, Strengthening the Capacity of NGOs: Cases of Small Enterprise Development Agencies in Africa, INTRAC, Oxford Smillie, I, & Hailey, J, 2001, Managing for Change: Leadership, Strategy & Management in
121
South Asian NGOs, Earthscan, London Taylor, J, 2003, Using Measurement Developmentally, CDRA, Cape Town USAID, 2000, Measuring Institutional Capacity: Recent Practices in Monitoring and Evaluation, TIPS, No 15, Washington Wallace, T & Kaplan, A, The Taking of the Horizon: Lessons from ActionAid Uganda’s Experience of Change in Development Practice, ActionAid Working Paper 4, August 2003
122