GERAKAN KONSERVASI PEREMPUAN NYUNGCUNG: HASIL INTERAKSI ANTARA KEMISKINAN, BUDAYA PATRIARKI, DAN PENGARUH ORNOP (Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence)
ULFA HIDAYATI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
“Kekuatan kami adalah kekuatan alam. Kekuatan kami untuk melawan Gujral1 berasal dari sumber di dalamnya dan diperkuat oleh usaha mereka untuk menindas dan mengubur kami dengan kekuatan palsu mereka, yaitu uang” (Itwari Devi, perempuan dari Desa Nahi-Kala, dalam Shiva dan Mies 1993)
“Perempuan mah tidak pernah berhenti bekerja, walaupun badan lagi enggak enak, tetap saja bekerja. Kalau sudah mati, baru perempuan berhenti bekerja....” (On dari Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Bogor, 2002)
“Untuk mengetahui sesuatu, seseorang harus mengubahnya” (Mies 1991)
1
Pemilik perusahaan pertambangan batu kapur yang beroperasi di Desa Nahi-Kala, India
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Gerakan Konservasi Perempuan Nyungcung: Hasil Interaksi antara Kemiskinan, Budaya Patriarkhi, dan Pengaruh ORNOP (Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari para subjek penelitian, saya sendiri, dan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini Bogor, Januari 2007
Ulfa Hidayati NIM A152040061
ABSTRACT ULFA HIDAYATI. Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence. Under the supervision of SOERYO ADIWIBOWO, and DARMIYANTI MUCHTAR Over the decades, people’s ability to fulfill the basic needs has been eroding with the decline in land and other natural resources, due both to degradation and to shifts in tenurial rights away from community hands to state and business parties hands. The formation of community-based natural resources management (CBNRM) groups in recent years represents various resistances to processes of privatization. While there are many ‘success’ stories related to such groups, numerous CBNRM groups’ initiatives have failed for a variety of reasons. In particular, a number of ground experiences shows that those initiatives often lead to the exacerbation of inequalities within the group involved. This condition applies with special force to the issue of gender equity. To contribute to the understanding of the causes of success or failure for the CBNRM groups’ initiatives and movement from feminist perspective, this research focused on the local women peasants’ initiative in re-nurturing bare lands in Nyungcung Hamlet, Malasari Village, Bogor District. This raises some critical questions, such as: who are the women peasant and how they carried out their initiative? What are the factors determine their initiative? What are the results of their initiative? This research demonstrates that the growing initiative on the part of women -who are mainly from social groups of landless and tenant - as they respond to ecological distress and livelihood security, caused by PERUM PERHUTANI Unit III, and to Decree of Forestry Minister No. 175/Kpts-II/2003 that expands the area of Gunung Halimun National Park (from 40,000 ha to 113,357 ha, covering the Halimun and Salak mountain ranges). Together with men peasants, they worked collectively to re-nurture the PERUM PERHUTANI’s bare lands through a series of planting and mapping activities, currently known in local term as Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo or, in public advocacy terms, as the Kampung dengan Tujuan Konservasi (KDTK) movement. However, in order to gain public support, assert elements of basic rights, and secure Nyungcung People’s genuine benefits from the presence of the Gunung Halimun – Salak National Park and PT. Aneka Tambang, those women peasants have not actively participated as much as before. In these further activities, men peasants take a lead. This current performance of local conservation movement is becoming a masculine pattern. I argue that the interaction between poverty, some forms of patriarchy like gender segregation of public space, female behavioral norms and gender division of labor, and the absence of women empowerment activity (through ‘sekolah perempuan’) facilited by local NGO, RMI, as well as the existence of ‘unworkable’ contextual factors in ecological and political aspects take them out from their further participation in the Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo movement. Those women peasants are becoming increasingly distanced from their gendered knowledge; gendered rights to land and forest resources, both in quality and quantity; as well as gendered environmental politics and grassroots conservation that had been articulated in their distinctive agenda and demonstrated by the leadership from some of them during their participation in the Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo movement.
GERAKAN KONSERVASI PEREMPUAN NYUNGCUNG: HASIL INTERAKSI ANTARA KEMISKINAN, BUDAYA PATRIARKI, DAN PENGARUH ORNOP (Women Conservation Movement in Nyungcung: A Result of An Interaction between Poverty, Patriarchy and NGO’s Influence)
ULFA HIDAYATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Departemen Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis Nama NIM
: Gerakan Konservasi Perempuan Nyungcung: Hasil Interaksi antara Kemiskinan, Budaya Patriarkhi, dan Pengaruh ORNOP : Ulfa Hidayati : A152040061
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Ketua
Dra. Darmiyanti Muchtar M.Phil Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
PRAKATA Berbicara pengelolaan kekayaan alam berarti berbicara setidaknya tentang dua kepentingan: ekonomi dan konservasi yang dalam pengejawantahannya sangat sering tidak selaras. Mengapa demikian? Dalam proses pembangunan, kehilangan kekayaan alam dan kerusakan lingkungan hidup yang terus melaju dinilai sebagai suatu konsekuensi. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2000 menggambarkan bahwa ekspansi puluhan ribu industri ke desa-desa telah menyebabkan belasan ribu desa mengalami ganggungan lingkungan dan menyingkirkan rakyatnya dari sumberdaya dan hasil produksi lokal mereka. Tanpa ada pilihan lain, mereka terpaksa harus menjemput resiko sosial, menjadi kaum pengungsi, di kota-kota besar. Kehidupan di kota-kota besar tersebut ternyata hanya mempertajam proses dehumanisasi yang mereka alami. Apakah ada upaya pemecahan? Bagaimana dengan konservasi? Suatu fakta yang belum terbantahkan bahwa konservasi masih merupakan upaya eksklusif dan setengah hati untuk ‘melindungi dan melestarikan’ sebagian komponen dari ekosistem: flora, fauna beserta habitatnya. Komponen manusia masih dinilai sebagai ancaman bahkan di beberapa kawasan konservasi dianggap sebagai perusak ekosistem. Dihadapkan dengan kepentingan ekonomi, konservasi tidak berdaya untuk bernegosiasi. Diantara ekonomi dan konservasi itu, rakyat yang bermukim di sekitar dan atau di dalam kawasan yang sarat dengan kekayaan alamnya, terutama perempuan dan kelompok marjinal lainnya, merasakan wilayah hidup mereka semakin sempit. Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya karena saya mendapatkan kesempatan untuk mencoba mempelajari dan memahami situasi di atas melalui penelitian karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini, yang pelaksanaannya mulai sejak Mei sampai Agustus kemudian dilanjutkan kembali pada Nopember 2006, adalah gerakan konservasi lokal berbasis perempuan. Karya ilmiah ini dapat dihadirkan karena interaksi saya dengan berbagai pihak penting di bawah ini. Untuk itu, saya sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada mereka: • Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS, dan Ibu Dra. Darmiyanti Muchtar, M.Phil selaku komisi pembimbing. Dengan kesabaran dan arahan dari Beliau berdua saya berusaha untuk menyampaikan dan menganalisa temuan dari penelitian ini mendekati suatu hasil yang lengkap; • Ibu Ir. Melani A. Sunito, MSc selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritikan dan asupan yang konstruktif terhadap penajaman bahasan tesis ini; • Para subjek utama penelitian, petani dan atau buruh tani perempuan yang tergabung dalam Kelompok Cepak Nangka dan Andam yang telah bersedia berbagi pendapat, harapan, dan kesulitan dalam memahami dan mengungkapkan kembali inisiatif mereka untuk memperjuangkan konservasi berbasis rakyat; • Para subjek penelitian lainnya dari Kelompok Rimba Lestari dan pengurus KSM Nyungcung; • Kawan-kawan lain, perempuan dan laki-laki, dari komunitas di Kampung Nyungcung, Malasari, dan Cisangku yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu;
• Aparat Pemerintah Desa Periode 1998 – 2006, terutama Bapak Sarmat, Bapak Kandar, dan Bapak Engkus yang telah mengizinkan saya untuk melakukan penelitian dan mengakses data dari Monografi Desa 2005 dan beberapa dokumen lainnya; • Pengurus Harian dan semua staf RMI – the Indonesian Institute for Forest and Environment yang telah menyediakan fasilitas, bersedia berdiskusi, dan membantu selama proses pengkajian dokumen pertemuan dan fasilitasi di Malasari; • Dewan Eksekutif dan semua staf KAPAL (Lingkar Pendidikan Alternatif) Perempuan yang telah menyediakan fasilitas, memberikan kontribusi pemikiran, dan dengan keunikan masing-masing memberikan semangat ketika saya merasa lelah berpikir selama masa perbaikan tesis. • Ibunda Aslamiyah Arsyad tercinta. Diantara sakit dan kesendiriannya, Beliau selalu memberikan aliran doa, kasih sayang, semangat, kontribusi pemikiran, dan mengingatkan saya untuk menjaga kesehatan, yang kesemuanya itu merupakan sumber semangat dan kekuatan saya melakukan penelitian dan penulisan tesis ini; • Almarhum Ayahanda Andjera tercinta yang juga merupakan sumber kekuatan saya untuk selalu memberikan perhatian penting pada setiap pengetahuan dan pengalaman, terutama dari pihak-pihak yang terzolimi; • Adinda Ahmad Taufik dan Dian Angraini, yang walaupun jauh, tetap memberikan doa dan semangat kepada saya; • Bibi (Tante Aina dan Bik Cik), Paman (Jujuk Ilman dan Om Kir), dan Saudarasaudara saya yang lain, yang juga memberikan doa dan mengingatkan saya untuk menjaga kesehatan selama penelitian, penulisan dan perbaikan tesis ini; • Para dosen dan staf TU di Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) yang selama perkuliahan dan pengurusan administrasi penelitian, seminar, ujian, dan perbaikan tesis membantu saya melalui semua proses dengan baik. • Lembaga WWF USA yang telah mempercayakan sebagian dananya untuk saya akses dalam rangka melanjutkan pendidikan formal di Program Studi Sosiologi Pedesaan, Pascasarjana IPB. • Kawan-kawan kos di KPP IPB C-22, terutama Diana dan Eka, yang selalu memberikan semangat kepada saya selama penulisan dan perbaikan tesis. • Kawan-kawan di SPD, terutama Kak Roosganda, Sindu, Anton, dan Rais. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kawan-kawan petani dan atau buruh tani yang tergabung dalam KSM Nyungcung, terutama anggota perempuannya dari Kelompok Cepak Nangka, Andam, dan Anggek, Pemerintah Desa Malasari yang baru terpilih, RMI selaku ORNOP yang masih memfasilitasi proses penyelesaian konflik di Malasari, saya sendiri, dan pihak-pihak lain yang berminat untuk bersama-sama kita semua mampu melakukan penguatan terhadap apa yang kita perjuangkan.
Bogor, Januari 2007
Ulfa Hidayati NIM A152040061
RIWAYAT HIDUP Saya dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1970 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari Ayahanda Andjera (almarhum) dan Ibunda Aslamiyah Arsyad. Kedua orang tua saya berasal dari keluarga petani kebun – sawah di Sumatera Selatan. Pendidikan sarjana S1 ditempuh di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB sejak tahun 1990, dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun 2004, dengan dukungan beasiswa dari WWF USA saya melanjutkan pendidikan strata S2 di Program Studi Sosiologi Pedesaan, Pascasarjana IPB. Selain menjalani pendidikan S2, sejak September 2004 saya merupakan salah satu anggota Badan Pengurus RMI – the Indonesian Institute for Forest and Environment. Sebelumnya, sejak Desember 1996 – Agustus 2004, saya merupakan bagian dari Badan Pelaksana (Pengurus Harian) RMI.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………..…...….
x
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………..……....
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ........... ……………………………………..….......… Perumusan Masalah .............................................................................. Tujuan Penelitian .................................................................................. Manfaat Penelitian ................................................................................ Batasan Terma yang Digunakan ........................................................... Sistematika Penulisan Tesis ................................................................. Catatan Kaki ..........................................................................................
1 11 11 12 12 18 22
KERANGKA PEMIKIRAN Pembangunanisme dan Feminisasi Kemiskinan .................................. Budaya Patriarkhi dan Partisipasi Politis Perempuan .......................... Intervensi Gerakan Lingkungan dan Tumbuhnya Gerakan Konservasi Lokal Berbasis Perempuan .............. Catatan Kaki ..........................................................................................
41 50
METODOLOGI PENELITIAN Metodologi Feminis ............................................................................. Pendekatan dan Metode Penelitian ....................................................... Keterbatasan Penelitian ........................................................................ Catatan Kaki ..........................................................................................
51 55 60 61
GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN Letak dan Posisi Desa Malasari ............................................................ Sejarah Desa Malasari .......................................................................... Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Malasari .................................... Kondisi dan Situasi Perempuan Malasari – Nyungcung ....................... Profil Subjek Penelitian ........................................................................ Catatan Kaki ..........................................................................................
62 65 68 73 86 97
TUMBUHNYA GERAKAN KONSERVASI LOKAL BERBASIS PEREMPUAN DI KAMPUNG NYUNGCUNG Politik Perlawanan Rakyat Malasari: Sebuah Konteks ......................... Feminisasi Kemiskinan dalam Konteks Perlawanan Rakyat ............... Budaya Patriarki: Faktor Penentu Tingkat Militansi Perempuan .......... Intervensi ORNOP dengan Komunitas Malasari-Nyungcung dalam Konflik Tenurial ....................................................................... Menjadi Perintis Konservasi: Menggerakkan yang Lain ..................... Catatan Kaki ..........................................................................................
24 32
99 104 110 113 126 135
ix
AGENDA, STRATEGI, DAN KEPEMIMPINAN GERAKAN KONSERVASI LOKAL BERBASIS PEREMPUAN DI KAMPUNG NYUNGCUNG Agenda Gerakan Konservasi Lokal berbasis Perempuan ...................... Strategi Gerakan Konservasi Lokal berbasis Perempuan ..................... Kepemimpinan Perempuan dalam Gerakan Konservasi Lokal berbasis Perempuan .............................................................................. Intervensi ORNOP: Belum Tuntas, Belum Memandirikan Kelompok Petani Perempuan ................................................................................. Pembelajaran ke Depan bagi ORNOP .................................................. Catatan Kaki ..........................................................................................
159 163 167
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ............................................................................................ Saran ......................................................................................................
168 170
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
174
139 142 147
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Populasi Penduduk Desa Malasari Tahun 2005 ...................................
68
2.
Tata Guna Lahan di Desa Malasari Sebelum SK MenHut No. 175/Kpts-II/2003 ........................................
69
3.
Tingkat Pendidikan Penduduk Malasari Tahun 2005 ..........................
69
4.
Jenis Matapencaharian Penduduk Malasari Tahun 2005 .....................
70
5.
Tata Guna Lahan di Kampung Nyungcung ..........................................
71
6.
Struktur Warga Kampung Nyungcung Berdasarkan Penguasaan Lahan ...........................................................
72
Jenis-jenis Pekerjaan Domestik yang Dilakukan oleh Perempuan dan Laki-laki ..................................
77
8.
Tahapan Pekerjaan Tani antara Perempuan dan Laki-laki ...................
77
9.
Pekerjaan dengan Imbalan (Padi, Ternak, atau Uang) yang Biasa Dilakukan oleh Perempuan dan Laki-laki .........................
78
Sebaran Posisi Subjek Penelitian dalam Kelompok Petani Perempuan ....................................................
86
Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Posisi dalam Kelompok ...........................................................
87
Hubungan antara Status Perkawinan dengan Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian dalam Kelompok .....................................................
89
Hubungan antara Jumlah Anak dengan Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian dalam Kelompok .....................................................
89
14.
Jenis – Jenis Pekerjaan Sembilan Subjek Penelitian ............................
90
15.
Hubungan antara Arena Partisipasi Politik Domestik dan Publik dengan Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian .....................................
92
16.
Kategori Kepemilikan Tanah Subjek Penelitian .................................
93
17.
Profil Singkat Enam Kelompok Petani (Perempuan dan Laki-laki), Anggota KSM Nyungcung ...................................................................
132
7.
10. 11. 12. 13.
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Panduan Pertanyaan Wawancara ...........................................................
183
2.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 175/Kpts-II/2003 ...................
184
3.
Profil Organisasi RMI – the Indonesian Institute for Forest and Environment .................................................................................
186
Profil Subjek Penelitian: Pengurus dan Anggota Kelompok Cepak Nangka dan Andam ...................................................................
189
5.
Letak Kampung Nyungcung .................................................................
192
6.
Peta Tata Ruang Wilayah Nyungcung, Desa Malasari Kecamatan Nanggung ...........................................................................
193
4.
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
1.1. Latar Belakang Umum Meskipun telah 60 tahun merdeka, sebagian besar rakyat Indonesia, terutama yang berada di pedesaan masih berada dalam kemiskinan yang sepertinya
tidak
memungkinkan
mereka
untuk
bangkit
kembali1.
Kondisi kemiskinan ini dapat mengakibatkan tiga jenis krisis, yaitu krisis keadilan, krisis alam, dan krisis produktifitas (lihat Sangkoyo 2000, dan Zakaria 2001, yang dikutip Fauzi 2003). Krisis keadilan mempersoalkan tentang ketidakadilan penguasaan berbagai kelompok sosial di masyarakat – berdasarkan klas, gender dan etnis – terhadap teknologi, informasi, tanah, kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan sumberdaya pendukung lainnya.
Krisis keadilan
pulalah yang membawa pada kemiskinan dan kesenjangan sosial yang semakin signifikan dan kompleks yang dialami oleh mayoritas rakyat.
Krisis alam
menyoroti tentang hancurnya lingkungan ekosistem yang ditandai dengan berbagai bencana alam dan kelangkaan kekayaan alam sebagai akibat dari pelaksanaan proyek-proyek pembangunan selama ini. Pada krisis produktivitas, sebagian besar rakyat mengalami proses marjinalisasi lanjutan sehingga tidak memampukan mereka untuk secara kreatif memenuhi berbagai kebutuhan hidup mereka. Ketiga krisis di atas pada tingkat tertentu telah menimbulkan perlawanan rakyat miskin yang terindikasi dari berbagai perlawanan yang dikaji secara ilmiah (lihat Scott 1976, 1985, Popkin 1978, Peluso dan Watts 2001, Santoso 2004). Kajian-kajian ini menganalisis perlawanan rakyat miskin dalam komunitas tanpa mempertimbangkan jenis kelamin para pelaku yang berada di dalamnya, dilihat sebagai suatu yang dapat diwakilkan dalam entitas tunggal yang dapat digeneralisir. Padahal, menurut Simatauw (2001), sebagaimana yang dia temukan dalam perjuangan komunitas Amungme Komoro (salah satu masyarakat adat di Papua Barat), terdapat perbedaan kepentingan antara kelompok laki-laki dan
2
perempuan dalam gerakan perlawanan.
Simatauw menyampaikan bahwa
LEMASA atau Lembaga Musyarawah Adat Suku Amungme gagal memahami persoalan alkoholisme yang menurut perempuan Amungme Komoro juga harus diperangi karena merupakan sumber kekerasan. LEMASA hanya memfokuskan pada tujuan perlawanan rakyat untuk mendapatkan dana kompensasi dari PT. Freeport sebesar satu persen.
Karena tidak diperhatikan, pada akhirnya
perempuan Amungme Komoro terpaksa berjuang sendiri pada tiga arena sekaligus, yaitu mengatasi kekerasan dalam rumahtangga akibat alkoholisme, memerangi alkoholisme dalam komunitas, dan melawan eksploitasi dan pencemaran oleh PT. Freeport terhadap wilayah hidup mereka, Ninggok2. Demikian juga yang terjadi dengan perempuan Arso.
Mereka mengingatkan
suami-suami mereka untuk tidak tergoda dengan barang-barang modern dan melepaskan tanah mereka demi sejumlah uang yang ditawarkan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Penegasian suara perempuan seperti yang ditunjukkan oleh kasus Amungme Komoro di atas memperlihatkan secara nyata masih kurangnya telaah relasi gender dan perbedaan seks dalam menganalis perlawanan rakyat miskin. Sesungguhnya pola relasi kekuasaan, peran, posisi, dan pengetahuan serta tingkat kesadaran antara perempuan dan laki-laki akan mempengaruhi perspektif, isu, dan strategi gerakan (lihat Matsui 1996, Jackson dan Pearson 1998, dan Muchtar 1999). Menjadi jelas bagi kita bahwa pola tumbuhnya inisiatif serta dinamika gerakan rakyat sangat dipengaruhi oleh relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Selain relasi gender, gerakan rakyat juga dipengaruhi oleh budaya lokal sebagaimana yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan rakyat di Filipina, Amerika Latin, India, dan lain-lain (lihat Rocheleau et al 1996, Agarwal 2001, dan Fauzi 2005).
Budaya lokal ini pada tingkat tertentu mempengaruhi keterbukaan,
militansi, dan jangkauan gerakan rakyat tersebut. Disamping itu -- faktor-faktor internal seperti heterogenitas kelompok (dalam hal ini gender), dan budaya lokal - bentuk dan dinamika gerakan dipengaruhi juga oleh faktor eksternal. Salah satu faktor eksternal yang cukup signifikan dalam konteks gerakan rakyat miskin adalah intervensi yang dilakukan oleh organisasi non pemerintah/ORNOP (lihat
3
Dietz 1996, Katoppo dalam Manning dan van Diermen 2000, dan Aditjondro 2003).
1.2. Latar Belakang Khusus: Gerakan Perlawanan Rakyat dalam Konteks Pengelolaan Kekayaan Hutan Di Kawasan Halimun a. Kebijakan Negara dalam Pengelolaan Kekayaan Hutan di Halimun Diketahui bahwa landasan kebijakan untuk pengelolaan kekayaan alam di Indonesia adalah UUD 1945, pasal 33, yang menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Penjabaran dari isi pasal ini lebih ditekankan pada eksploitasi sumberdaya alam untuk kesejahteraan rakyat, namun sampai saat ini ternyata belum mampu mensejahterakan rakyat. Justru, yang paling menonjol adalah penerjemahan ‘hak menguasai oleh negara’ (HMN) atas sumberdaya alam tersebut. Pada tataran peraturan perundang-undangan, jiwa HMN dapat dilihat jelas dalam kebijakan sektoral seperti UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 jo UU No. 41 Tahun 1999, terutama Pasal 4, Ayat 2, menyatakan bahwa negara berwenang untuk: • Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; • Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; • Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Peraturan perundang-undangan semacam itu dijadikan sebagai instrumen utama bagi pemerintah dalam pengambil-alihan sumber-sumber penghidupan rakyat untuk ‘kepentingan pembangunan’.
Kawasan hutan dibagi-bagi untuk
proyek perkebunan skala besar, HPH (Hak Pengusahaan Hutan), HTI (Hutan Tanaman Industri), konsesi hutan PERUM PERHUTANI3 yang ditujukan khusus untuk Pulau Jawa, ‘konservasi’4, konsesi pertambangan dan eksploitasi hasil kayu yang saat ini tetap berlangsung dengan cara lain, illegal logging.
4
Pasca Orde Baru, untuk mengatasi krisis ekonomi melalui pinjaman luar negeri, pemerintah melakukan perubahan kebijakan yang disyaratkan oleh International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan Consultative Group on Indonesia (CGI).
Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) menyampaikan bahwa
dalam Letter of Intent (LoI), IMF menuntut agar pemerintah, selain untuk merealisasikan sepuluh paket kebijakan5, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (good governance), yang didalamnya mengharuskan pencabutan kebijakan Dana Reboisasi untuk kepentingan non kehutanan. Sejalan dengan IMF, Bank Dunia juga mengajukan persyaratan pembaruan kebijakan dan institusi kehutanan seperti pengembangan pendekatan kerjasama, deregulasi harga hasil hutan, pengembangan konsesi hutan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, penerapan perlindungan hutan oleh masyarakat, reformasi institusi dan desentralisasi, serta pengelolaan proses reformasi institusi. Seymour dan
Kartodihardjo (2000), dikutip oleh
Kartodihardjo dan
Jhamtani (ibid), menilai bahwa kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh IMF dan Bank Dunia ini hanya berhasil menghentikan monopoli pemasaran hasil hutan, tetapi tidak dapat mendorong penyelesaian masalah mendasar.
Selain, rasa
kepemilikan yang lemah di kalangan pemerintah Indonesia atas proyek kebijakan reformasi itu, kebijakan-kebijakan yang disyaratkan oleh IMF dan Bank Dunia tersebut juga tidak konsisten, tidak lengkap, tidak layak untuk dioperasionalkan, dan tidak efektif. Penilaian tidak konsisten dapat kita ketahui dari pengharusan liberalisasi pengusahaan perkebunan kelapa sawit, yang tentunya berlawanan dengan pengharusan yang lain, yaitu moratorium konversi hutan alam. Ketidaklengkapan dinilai dari paradigma kehutanan lama yang masih dipakai, yaitu berdasarkan usaha kehutanan skala besar serta tidak menyentuh masalah penguasaan (tenure) dan hak-hak milik (property rights) atas kekayaan hutan. Ketidak-layakan dinilai dari ketiadaan prasyarat efisiensi seperti ketersediaan informasi akurat dan kelemahan kelembagaan pembangunan kehutanan. Ketidakefektifan dinilai dari pengabaian keadaan defisit kayu bulat sehingga efisiensi yang diberlakukan hanya menambah insentif untuk pihak-pihak yang melakukan penebangan liar (illegal logging).
5
Menjawab persyaratan dari CGI tentang pentingnya reformasi kebijakan kehutanan, pemerintah melalui Keppres No. 80/2000 menetapkan Komite InterDepartemen tentang Kehutanan (Inter Departement Committee on Forest/IDCF) yang merumuskan 12 program aksi kehutanan6. Dalam perjalanannya, tiga tahun dari perumusan program tersebut, pemerintah hanya menjalankan 5 program aksi saja, yaitu pengendalian penebangan liar, percepatan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, desentralisasi, pengendalian kebakaran hutan, dan restrukturisasi sektor kehutanan. Lima program aksi ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 7501/Kpts-II/2002 tentang Lima Kebijakan Prioritas Bidang Kehutanan dalam Program Pembangunan Nasional. Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (ibid), kebijakan seperti ini tidak berorientasi jangka panjang, bersifat teknis, dan tidak mendasar untuk memecahkan masalah institusional seperti progam aksi penyelesaian masalah kepemilikan/penguasaan lahan (tenure) dan penguatan institusi pengelolaan hutan yang sesungguhnya merupakan prasyarat untuk menjalankan kebijakan lain. Penerapan kebijakan tersebut di lapang dapat ditemukan tidak jauh dari pusat kekuasaan negara, Jakarta, yaitu kawasan ekosistem Halimun, membentang antara Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Lebak. Kawasan ini -- yang pada masa Kerajaan Padjajaran merupakan daerah pedalaman kerajaan, dan pada masa Kolonial Belanda dianggap bagian dari kawasan jungle wood bagian Barat -adalah satu-satunya kawasan di Pulau Jawa bagian Barat yang masih memiliki kekayaan ekosistem hutan hujan tropis yang berperan sebagai salah satu penyanggah/pendukung penting sistem kehidupan di daerah-daerah padat di sekitar Halimun, termasuk Jakarta dan Tangerang mengingat fungsinya sebagai kawasan resapan air (water-catchment area) (Simbolon dan Edi 1997). Kekayaan ekosistem ini dilengkapi dengan kekayaan nilai sosial-budayaekonomi yang masih tergambarkan dalam keseharian kehidupan masyarakat tradisi di Halimun, Masyarakat Kanekes dan Kasepuhan. Bagi mereka, kawasan ekosistem Halimun dipahami sebagai kawasan Tutugan/Leuweung Sanggabuana yang artinya gunung penyangga bumi. Gunung Halimun merupakan salah satu gunung tertinggi dalam kawasan Tutugan Sanggabuana.
Menurut keyakinan
Masyarakat Kasepuhan Sirnaresmi dan Citorek, kawasan ini harus selalu dijaga
6
dari segala kegiatan yang merusak seperti menggarap dan menebang pohon, sesuai dengan kewajiban “jeulma salapan anu boga Gunung Halimun dititipkeun ka jeulma tilu dititah ngareksa Sanggabuana” [“ada sembilan manusia (komunitas) yang memiliki Gunung Halimun, dititipkan pada tiga orang (komunitas) yang diperintahkan menjaga Sanggabuana”].
Kegiatan yang
diperbolehkan di kawasan ini hanya pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti rotan, madu, jamur dan tumbuhan obat (Hanavi et al 2004). Dalam proses pembangunan, selain konservasi yang diberlakukan pada sebagian kawasan ekosistem Halimun, kegiatan ekonomi eksploitatif yang dimulai sejak zaman VOC terus dikembangkan. Bukan suatu hal yang aneh jika dalam satu hamparan ekosistem, masyarakat (adat dan lokal) di Halimun hidup secara ‘berdampingan’ dengan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), Badan Usaha Milik
Negara
(BUMN)
dan
perusahaan
swasta
perkebunan,
PERUM
PERHUTANI Unit III, dan PT. Aneka Tambang. Sementara itu, pertambahan populasi mereka tidak dapat diserap oleh berbagai sektor ekonomi dan konservasi tersebut.
b. Perlawanan rakyat di Halimun terhadap Kebijakan Negara tentang Pengelolaan Kekayaan Hutan yang Meminggirkan dan Memiskinkan Rakyat Bersamaan dengan pemberlakuan agenda pembangunan berdasarkan serangkaian kebijakan seperti di atas, pada aras bawah, sebagian dari rakyat mempertanyakan dan atau menolak agenda pembangunan tersebut, bahkan tidak jarang sebagian massa rakyat menantang secara terbuka dengan aksi kolektif yang relatif terus menerus.
Reaksi penolakan ini dapat kita lihat dari munculnya
beragam konflik dan sengketa.
Sejak rezim Orde Baru sampai tahun 2001,
Konsorsium Pembaruan Agraria, yang dikutip oleh Kartodihardjo dan Jhamtani (ibid), mencatat setidaknya terdapat 1,753 kasus sengketa tanah dan hutan yang bersifat struktural. Sengketa-sengketa tersebut tersebar di 2,834 desa/kelurahan dari 1,355 kecamatan di 286 Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota).
Luas tanah yang
dipersengketakan mencakup ± 10,892,203 ha yang melibatkan 1,189,482 Kepala Keluarga. Sementara itu, dalam konteks konflik, tercatat kurang lebih 1,830
7
kasus. Khusus untuk bidang kehutanan, penelitian Wulan et al (2004) atas 359 kasus konflik kehutanan pada tahun 1997 – 2003 menunjukkan 36% dari konflik berhubungan dengan perbedaan persepsi mengenai batas-batas dan akses pada hutan serta hasil hutan, termasuk yang berhubungan dengan kawasan konservasi seperti taman nasional. Kemudian, 26% dari konflik berkaitan dengan pembukaan hutan, dan 23% dengan pencurian kayu. Penelitian ini juga menyampaikan bahwa komunitas-komunitas yang terlibat dalam konflik-konflik tersebut umumnya kecewa terhadap upaya penyelesaian konflik yang mengabaikan keberlanjutan sumber penghidupan mereka dalam jangka panjang. Dijelaskan
oleh
Sztompka
(1993)
bahwa
reaksi
kolektif
untuk
mempertanyakan, menolak, menyatakan ketidakpuasan/kekecewaan atas suatu intervensi dari pihak yang dominan dan berupaya untuk melakukan perubahan dapat dimaknai sebagai suatu gerakan sosial.
Gerakan yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok dari arus bawah/akar rumput, menurut Rucht (1988) dalam Sztompka (ibid), berkaitan erat dengan perubahan struktural mendasar dari hasil modernisasi dalam semua segi kehidupan. Perubahan yang ingin diwujudkan ini menurut Sunardi (2002) memuat narasi tandingan yang di dalamnya terdapat pelaku-pelaku, ruang dan waktu, alur, imajinasi, suara, harapan, dan lain-lain. Semua unsur ini ditujukan untuk memeriksa asal usul yang membuat kita berada dalam posisi saat ini, dan digunakan untuk merancang masa depan yang lebih baik, suatu perubahan sosial, melalui gerakan perlawanan. Dalam konteks kehidupan rakyat di kawasan ekosistem Halimun, pada awalnya, persoalan kemiskinan dalam bentuk ketersisihan, pengambil-alihan objek dan jenis hak ke beberapa subjek hak lainnya (selain rakyat), dan ketiadaan pelayanan sosial dari pemerintah dalam hal kesehatan dan pendidikan, secara umum direspon oleh masyarakat dengan cara yang tidak konfrontatif.
Bagi
generasi tuanya, perjuangan memastikan ketersediaan pangan dilakukan melalui serangkaian kerja di sawah, huma, kebun dan bahkan hutan, yaitu mengakses (baca: menggarap) lahan secara ‘illegal’ di sebagian kawasan produksi PERUM PERHUTANI dengan segala resikonya, ngepak, maro dan menjadi buruh tani. Bagi sebagian besar generasi mudanya, bekerja mengambil resiko sebagai gurandil (atau dengan sebutan yang disosialisasikan oleh pemerintah dan PT.
8
Aneka Tambang adalah “penambang emas tanpa izin/PETI”), buruh penebang dan pembawa kayu illegal dari hutan-hutan di sekitar kampung mereka, atau bekerja ke luar, ke JABOTABEK, sebagai buruh pabrik, pekerja rumah tangga (PRT), pelaku ekonomi sektor ril (sektor ekonomi informal), atau bahkan menjadi buruh migran, merupakan hal yang menjanjikan untuk membantu ekonomi keluarga mereka. Dalam respon adaptasi ini, jika kita perhatikan dengan seksama, akan nampak upaya-upaya/aksi-aksi mengajukan klaim sendiri/kelompok atau menolak klaim pihak lain dengan cara tidak terorganisir dan tidak konfrontatif. Pasca rezim Orde Baru, respon adaptif tersebut mulai berubah menjadi suatu perlawanan konstruktif. Salah satunya ditunjukkan dari upaya konsolidasi yang diinisiasi oleh tiga orang penggiat laki-laki dari perwakilan masyarakat yang berasal dari Halimun Utara (Desa Kiarasari, Kecamatan Sukajaya – Kabupaten Bogor), Halimun Barat (Desa Ciparay, Kecamatan Cibeber – Kabupaten Lebak), dan Halimun Selatan (Desa Mekarsari, Kecamatan Cibeber – Kabupaten Lebak). untuk menyatukan langkah di Halimun dalam rangka merespon Surat Keputusan Penunjukan dari Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 tentang perluasan7 TNGH dari ± 40,000 ha menjadi 113,357 ha yang dinilai mereka berpotensi mengancam keberlangsungan hidup masyarakat. Bersama perwakilan dari lima desa lainnya di Halimun, mereka mengadakan pertemuan-pertemuan konsolidasi untuk memperkuat posisi tawar mereka dalam memperjuangkan lahan garapan dan kampung yang saat ini terletak di dalam kawasan TNGH yang baru. Puncak dari rangkaian pertemuan konsolidasi ini adalah Rembuk Rakyat Halimun pada tanggal 16 – 18 Oktober 2003 yang dihadiri oleh perwakilan (Kepala Desa, BPD, tokoh masyarakat, dan tokoh Kasepuhan) dari 31 desa8.
Rembuk rakyat ini
menghasilkan beberapa hal sebagai berikut: Sebuah pernyataan sikap atas SK Menteri Kehutanan tersebut; Kesepakatan untuk membentuk sebuah forum komunikasi bersama yaitu Forum Komunikasi Masyarakat Halimun Jawa Barat Banten (FKMHJBB); dan Agenda kerja forum jangka pendek. Mandat forum untuk memperjuangkan ruang hidup dan ruang kelola masyarakat di Halimun mulai dijalankan oleh pengurus dengan melakukan dialog dengan Departemen Kehutanan yang diwakili oleh Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) (walaupun pada saat itu belum bersedia
9
berdialog dengan FKMHJBB), Pemerintah Kabupaten Lebak, dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Penggalangan dukungan juga dilakukan kepada desa-desa lain, termasuk ke beberapa Kasepuhan, hingga keanggotaan forum bertambah menjadi 62 desa. Lebih lanjut, perlawanan tersebut mulai juga dilakukan oleh kaum perempuannya yaitu melalui upaya penghijauan (lihat Hidayati 2005). Salah satunya akan disampaikan pengantarnya pada sub bab di bawah ini.
c. Gerakan Perempuan di Kampung Nyungcung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor
Desa
Malasari,
Sebagaimana disampaikan di atas bahwa miniatur Halimun dapat ditemukan di Desa Malasari. Pengaturan pengelolaan wilayah dan semua kekayaan alam di dalamnya
dengan
kebijakan
pembangunanisme
(developmentalism)
dan
konservasi yang masih mengikuti aliran konservasionis/ecofasis menyebabkan pembatasan dan bahkan pengambil-alihan hak-hak dasar hidup sebagian besar komunitas Malasari atas kekayaan alam di sekitar mereka. Pada keadaan seperti ini, dapat dikatakan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut telah memberikan kekerasan kepada rakyat, terutama perempuan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, pembiaran oleh negara terhadap perilaku-perilaku destruktif dalam ‘pengelolaan’ kekayaan alam berdasarkan kebijakan pembangunanisme yang dilakukan oleh PERUM PERHUTANI (pilihan komoditi pinus yang dapat merusak ekosistem melalui allelopathy yang dikeluarkan dari akar pinus, tanpa terasering di lokasi yang berlereng, dan cara panen tebang habis), PT. Nirmala Agung (tanpa terasering pada lokasi yang berlereng), dan PT. Aneka Tambang. Kedua, ketiadaan kebijakan yang mengharuskan adanya distribusi manfaat dari eksploitasi kekayaan alam oleh perusahaan-perusahaan tersebut yang dapat diakses oleh keluarga-keluarga miskin, terutama oleh perempuannya. ‘Distribusi manfaat’ selama ini dari perusahan-perusahaan itu justru menimbulkan kecemburuan sosial dan konflik horizontal di antara warga yang menerima dengan yang tidak menerima. Ketiga, kebijakan konservasi yang konservasionis atau ecofasis membatasi atau bahkan menutup akses rakyat terhadap tanah dan
10
kekayaan hutan yang selama ini mereka nikmati untuk pemenuhan kebutuhan subsisten mereka. Hidup dalam keadaan di atas direspon secara berbeda oleh sebagian anggota komunitas, selain bertahan hidup sehari-hari, ketika ada tekanan eksternal dan atau internal. Suatu bentuk tekanan eksternal yang meresahkan sebagian besar komunitas di Malasari, termasuk perempuan dan anak-anak, adalah pengeluaran Surat Keputusan dari Menteri Kehutanan tentang perluasan kawasan TNGH. Mereka semua sangat khawatir tentang kemungkinan pemindahan pemukiman dan pengambil-alihan sawah dan kebun oleh pihak TNGH (baca: re-alokasi dan rehabilitasi).
Beberapa pertanyaan mendasar yang menggambarkan keresahan
tersebut, yaitu: “Mengapa taman nasional diperluas?”; “Apakah kami akan diusir dari kampung kami?”; “Bagaimana dengan sawah dan kebun kami?”; “Anakanak kami menanyakan di mana lagi kami semua bisa tidur?”. Di dalam keresahan itu, beberapa petani dan buruh tani perempuan di Kampung Nyungcung mulai mengatasinya dengan cara membangun inisiatif untuk menghijaukan tanah-tanah tandus ex-kawasan PERUM PERHUTANI yang kini merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Kemunculan inisiatif ini, selain disebabkan oleh SK Menteri Kehutanan tersebut, juga disebabkan oleh beberapa hal yaitu: • Pemanenan pohon pinus secara tebang habis oleh PERUM PERHUTANI di sebagian besar kawasan produksinya yang dinilai berpotensi membahayakan individu, rumahtangga, dan masyarakat melalui kekeringan dan tanah longsor; • Partisipasi mereka dalam kegiatan penguatan talun dengan RMI dan ICRAF yang telah menyatukan mereka dalam kelompok, serta meningkatkan pengetahuan dan keahlian mereka tentang pembibitan dan pengelolaan kebun yang baik; • Mengingat peran mereka selaku penyedia makanan keluarga, kedua kondisi di atas dan pengeluaran SK Menteri Kehutanan tersebut telah membuka peluang bagi mereka untuk meningkatkan ketersediaan akses ke tanah – tanah tandus, bekas kebun pinus PERUM PERHUTANI, sekaligus melakukan konservasi sebagian kawasan melalui penghijauan dengan pohon buah dan kayu yang
11
juga merupakan upaya untuk mencegah ancaman kekeringan dan tanah longsor. Dalam perjalanannya, inisiatif ini dikenal sebagai perjuangan untuk menjadikan Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo, atau Kampung dengan Tujuan Konservasi (KDTK).
Perkembangan seperti ini dapat dinilai sebagai suatu
gerakan konservasi, karena diikuti oleh para petani dan buruh tani perempuan dan laki-laki yang lain, baik yang berasal dari kampung Nyungcung maupun dari kampung – desa lainnya, yang menghasilkan suatu kolektifitas untuk mempertahankan hak dan objek hak tenurial melalui penghijauan masif secara swadaya dan kerjasama dengan pihak lain. Tetapi, memasuki proses politik untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan atas perjuangan konservasi lokal, para petani perempuan tidak terlibat aktif seperti proses-proses sebelumnya.
1.3. Perumusan Masalah Berdasarkan semua pemaparan di atas, maka menarik untuk dipelajari lebih lanjut tentang dinamika partisipasi petani perempuan dalam gerakan konservasi tersebut dengan mengajukan beberapa pertanyaan berikut: faktor-faktor apakah saja yang mendorong dilakukannya aksi konservasi oleh kaum perempuan Nyungcung? Siapa pemimpin dan anggota kelompok petani perempuan yang terlibat dalam aksi konservasi?
Lebih jauh lagi ingin diketahui, bagaimana
dinamika perkembangan organisasi kelompok-kelompok petani perempuan tersebut? Dan apa saja yang dihasilkan dari aksi konservasi tersebut?
1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk : • Menggali faktor-faktor yang mendasari petani perempuan Kampung Nyungcung melakukan inisiasi gerakan konservasi; • Menelaah sejauh mana, bagaimana, dan manfaat aksi konservasi yang dilakukan oleh kaum petani Kampung Nyungcung; dan • Menelaah dinamika gerakan konservasi, reaksi dan peran pihak lain sehubungan dengan aksi konservasi tersebut
12
1.5. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini, ini harapkan memberikan beberapa manfaat sebagai berikut: • Sebagai salah satu bahan informasi dan kontemplasi dari perspektif feminisme bagi pihak-pihak berkepentingan (rakyat, perempuan dan laki-laki, dan pihak lain -- terutama ORNOP -- yang berperan sebagai mediator atau fasilitator) dalam gerakan lingkungan terorganisir (organized environmentalists), gerakan lingkungan rakyat (public environmentalists), dan gerakan perempuan untuk bersama-sama melakukan integrasi gerakan. • Sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan – pusat dan daerah bahwa faktor-faktor sosial
yang mempengaruhi cara rakyat
berinteraksi dengan alam lingkungan, sistem tenurial lokal atas kekayaan alam, dan relasi gender dalam suatu komunitas merupakan hal-hal yang penting seharusnya diperhatikan dalam perumusan, pelaksanaan, dan evalusi suatu proyek konservasi, serta dalam upaya penanganan konflik tenurial.
1.6. Batasan Terma yang Digunakan Seperti yang telah disampaikan pada sub bab Latar Belakang, krisis ekonomi, sosial, dan lingkungan pada kondisi tertentu dapat memunculkan beragam respon/perlawanan dari rakyat, perempuan dan laki-laki.
Dalam
penelitian ini, respon rakyat dari Kampung Nyungcung, Desa Malasari, merupakan hasil interaksi beberapa faktor, menggambarkan salah satu contoh aksi kolektif yang bergulir menjadi suatu bentuk gerakan konservasi lokal. Dalam perjalanannya, gerakan ini mengalami dinamika di mana pada suatu keadaan, partisipasi petani perempuan tidak ada lagi. Sebagai acuan dalam penelitian ini, berikut beberapa terma yang digunakan untuk menerangkan realita di lapang dan yang diinginkan (yang bersifat ideal/seharusnya):
13
• Konflik Tenurial Menurut Walker dan Daniels (1997) yang dikutip oleh Wulan et al (2004), konflik merupakan suatu wacana yang dikonstruksikan secara sosial dan bisa dipandang dari berbagai sudut. Dalam persoalan tenurial di kawasan Halimun, konflik yang terjadi adalah bersifat struktural di mana posisi pemerintah sangat sering sebagai lawan sengketa dan konflik dari rakyat, yaitu langsung bersengketa/berkonflik dengan rakyat setempat (penetapan kawasan taman nasional), atau sebagai pihak yang memberi izin atau hak kepada pihak ketiga (pelaku bisnis, BUMN dan Swasta) sehingga secara tidak langsung juga menjadi pihak yang bersengketa/berkonflik dengan rakyat. Fauzi (1999) mengelompokkan jenis konflik seperti ini kedalam konflik pengambilalihan/penggusuran tanah. • Gerakan Konservasi Lokal Berdasarkan pendapat beberapa ahli sosiologi lingkungan Amerika Serikat yang dikutip oleh Aditjondro (2003), bahwa hampir setiap negara memiliki gerakan lingkungan yang saling berinteraksi antara tiga komponen berikut: − Public
environmentalists:
para
warga
masyarakat
yang
berusaha
memperbaiki langsung kondisi lingkungan sekitar melalui tindakan dan sikap mereka masing-masing. − Organized environmentalists atau voluntary environmentalists:
pihak-
pihak yang bergerak melalui oraganisasi-organisasi yang khusus didirikan untuk berusaha memperbaiki lingkungan hidup mereka, yang kadang sampai melintasi batas negara.
Umumnya organisasi yang didirikan
tersebut berupa ORNOP dan jaringan kerjanya. − Institutional environmental movement organization:
pihak-pihak yang
bergerak melalui birokrasi-birokrasi resmi yang mengklaim diri memiliki kewenangan terhadap masalah-masalah lingkungan. Mengacu pada makna ini, gerakan konservasi lokal yang akan dibahas adalah termasuk ke dalam gerakan lingkungan publik/rakyat. Dikaitkan dengan inisiatif perempuan dalam gerakan lingkungan publik/rakyat, ditemukan adanya fenomena feminisasi konservasi pada tahap awal dimana kerja-kerja penghijauan diinisiasi oleh petani dan buruh tani perempuan. Selanjutnya,
14
pada tahap penggalangan dukungan dan negosiasi atas tanah-tanah yang telah dihijaukan tersebut terjadi perubahan fenomena, yaitu maskulinisasi konservasi karena didominasi oleh petani dan buruh tani laki-laki. Untuk menghilangkan fenomena ini, saya menggunakan pemikiran hook (2000) untuk memaknai gerakan lingkungan sebagai salah satu bentuk gerakan feminis yang bertujuan menghapuskan seksisme terhadap alam dan sesama manusia, tanpa harus dibatasi oleh sekat/aliran masing-masing (lihat juga temuan dari Petras 1997, Petras dan Veltmeyer 2000, serta Moyo dan Yeros 2005 yang dikutip oleh Fauzi 2005, tentang ideologi gerakan sosial kontemporer dari beberapa negara Dunia Ketiga). Menjadi penting untuk memaknai secara kritis-kontemplatif tentang solidaritas di antara perempuan, kekuasaan, bekerja dan sifatnya, bekerja bersama laki-laki, membangun gerakan yang berbasis massa, dan melakukan serangkaian pendidikan kritis bagi perempuan. • Intervensi Pihak Luar Berdasarkan pada beberapa gerakan rakyat (gerakan petani) dari beberapa negara Dunia Ketiga, ditemukan bahwa unsur kerjasama dengan pihak luar yang sama ideologinya merupakan hal yang menentukan keberhasilan gerakan rakyat tersebut (lihat Petras 1997, Petras dan Veltmeyer 2000, serta Moyo dan Yeros 2005, yang dikutip oleh Fauzi 2005). Dalam konteks keberhasilan ini, intervensi dimaknai sebagai suatu hubungan kerjasama dalam beragam kegiatan yang disepakati antara ORNOP dan jaringan kerjanya dengan organisasi-organisasi
atau
kelompok-kelompok
rakyat
yang
bersifat
menguatkan. • Relasi Gender (Relasi Kekuasaan antara Perempuan dan Laki-laki) Menurut Davis (1991) yang dikutip oleh Hidayat (2004), terdapat dua jalur utama untuk memahami relasi antara gender dan kekuasaan. Pertama, dengan menempatkan gender sebagai konsep sentral dan menggunakannya sebagai analisis atas relasi kuasa. Cara pertama mengasumsikan bahwa kehidupan sosial, termasuk relasi kekuasaan, senantiasa melibatkan relasi antar jenis kelamin sehingga gender adalah kategori yang paling memadai untuk memahaminya. Kedua, kekuasaan ditempatkan sebagai konsep utama dan
15
dijadikan sebagai titik tolak kritik atas konsep-konsep dalam teori sosial tradisional dengan memahami relasi antar jenis kelamin.
Cara kedua
mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai kerangka analisis yang memadai untuk menjelaskan relasi sosial termasuk relasi antar jenis kelamin. Penelitian ini akan menggunakan jalur pertama mengingat isu kekuasaan secara langsung berkaitan dengan isu kesetaraan. Pada sebagian besar realita sosial, relasi kekuasaan antar jenis kelamin dalam perspektif feminisme berlangsung dalam ketidaksetaraan. Komter (1991) yang dikutip oleh Hidayat (2004) menjelaskan tujuh bentuk ketidaksetaraan dalam relasi antar jenis kelamin, yaitu: −
Ketidaksetaraan dalam sumberdaya-sumberdaya sosial, posisi sosial, politik, dan penerimaan budaya;
−
Ketidaksetaraan
dalam
kesempatan
memanfaatkan
sumberdaya-
sumberdaya yang tersedia; −
Ketidaksetaraan dalam pembagian hak dan kewajiban;
−
Ketidaksetaraan, baik eksplisit maupun implisit,
dalam pengambilan
keputusan yang menentukan perbedaan pelaksanaan (dalam hukum, pasar kerja, praktek pendidikan, dan lain-lain); −
Ketidaksetaraan dalam representasi budaya seperti pendevaluasian sebagai kelompok bawah, stereotipe, pelekatan dengan kodrat, anggapan lemah, dan keterikatan biologis;
−
Ketidaksetaraan dalam implikasi psikologis seperti inferioritas dan superioritas;
−
Tendensi
sosio-kultural
untuk
meminimalisasikan
atau
menolak
ketidaksetaraan kekuasaan dalam hal bahwa konflik dianggap sebagai konsensus dan ketimpangan kekuasaan dianggap normal. Relasi kekuasaan yang terjadi dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial adalah faktor yang sangat menentukan dalam menciptakan subordinasi perempuan pada semua tingkat kehidupan. Menurut Komter, bentuk-bentuk ketidaksetaraan tersebut tidak hanya berlaku bagi relasi antar jenis kelamin, tetapi juga dalam relasi kelas, ras, dan etnis. • Budaya Lokal
16
Meskipun terdapat konsensus tentang peranan budaya untuk menentukan bagaimana ‘seharusnya’ perempuan dan laki-laki (lihat Deaux dan Kite 1987 yang dikutip oleh Susilastuti dalam Ridjal et al 1993) yang sebagian besar menunjukkan
bahwa
perempuan
selalu
berada
dalam
posisi
yang
tersubordinasi (lihat Moore 1988 yang dikutip oleh Susilastuti dalam Ridjal et al 1993, dan Bemmelen dalam Ihromi 1995), tetapi subordinasi itu memiliki keunikan dan kondisi yang berbeda yang dialami oleh perempuan dari masingmasing komunitas dengan budaya lokalnya. Selain budaya partriarkhi (yang bersifat universal), sistem kasta, matrilinial, budaya egaliter, dan karakter fisik ekosistem sebagai ruang hidup yang berkontribusi membentuk pengetahuan dan perilaku para anggota suatu komunitas juga mempengaruhi bagaimana komunitas merespon bentuk-bentuk ketidak-adilan secara kolektif (dalam bentuk gerakan perlawanan).
Budaya lokal ini pada akhirnya turun
mempengaruhi kualitas keterbukaan, militansi, dan jangkauan gerakan rakyat. • Perspektif Feminisme Menurut Tong (1998), dalam tulisannya, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, feminisme merupakan suatu ideologi yang tidak bersifat monolitik. Feminisme terdiri dari beragam aliran pemikiran, yaitu: liberal, radikal (libertarian atau kultural), marxis-sosialis, psikoanalisis, eksistensialis, posmodern, multikutural dan global, serta ekologis. Masingmasing aliran tersebut memberikan kontribusi yang kaya dan bertahan lama terhadap feminisme secara keseluruhan. Kekayaan pemikiran ini menyiratkan suatu sejarah lengkap tentang serangkaian pemikiran feminisme yang dapat membantu kita belajar dari pengalaman perempuan masa lalu untuk berada dalam kekinian dan dapat merancang masa depan yang berkeadilan bagi semua. Perspektif feminisme memberikan kita alat pengajaran yang berguna untuk melihat dan memahami bagaimana proses dan bentuk opresi terjadi, terutama terhadap perempuan, menentukan pemecahan untuk menghapus opresi-opresi tersebut.
Tong meyakini bahwa selalu terdapat ruang untuk
pertumbuhan, perbaikan, pertimbangan ulang, dan peluasan pemikiran feminisme dalam semua proses menuju keadilan dan pembebasan.
17
Terkait dengan pendapat Tong (1998) tersebut,
mempelajari persoalan
kekinian yang dihadapi oleh perempuan (dan juga laki-laki),
melalui
tulisannya, Feminist Theory: From Margin to Center, hooks (2000) menekankan pentingnya perspektif feminis yang memiliki tujuan sama, yaitu menghapuskan seksisme, tanpa harus dibatasi oleh sekat/aliran masingmasing. Menurut hooks (ibid), seksisme, selain merupakan dasar dari semua penindasan yang lain, terwujud dalam praktek keseharian kita -- sebagai perempuan dan laki-laki, kulit putih dan kulit berwarna, tua – muda, kaya miskin -- yang sarat dengan karakter dominasi. Praktek ini, secara sadar atau tidak (karena melalui proses sosialisasi yang panjang dalam keluarga, masyarakat, dan negara), dijalankan oleh kita dalam peran apapun yang melekat dan atau dilekatkan pada diri kita, yaitu apakah sebagai pihak yang melakukan diskriminasi atau yang melawan diskriminasi, sebagai pihak yang melakukan eksploitasi atau yang diekploitasi, sebagai penindas atau yang ditindas. Dimulai dari tingkat keluarga, masyarakat, dan negara, seksisme menampilkan dualisme atas hirarki dan kontrol yang otoriter dan memuat kekerasan, yang kesemuanya berlangsung dalam proses siklus.
Dalam
keluarga, terutama di negara-negara maju misalnya, seksisme dinilai telah menyesatkan dan menyimpangkan fungsi positif keluarga.
Keluarga
dipandang sebagai suatu media sosialisasi yang baik karena dapat mengkondisikan kita untuk menerima dan mendukung bentuk penindasan dari seksisme (Hodge 1975, dikutip oleh hooks 2000). Pada tingkat keluarga dan masyarakat di negara-negara berkembang, terutama Asia Tenggara (termasuk Indonesia), Atkinson dan Errington (1990) mempelajari bahwa dibalik sistem sosial masyarakat
-- yang dalam pandangan para scholar dari Barat
merupakan sistem yang ‘sulit’ ditemukan bentuk-bentuk penindasan seksisme -- seperti kekerabatan keluarga yang bersifat bilateral (bilateral or cognatic kinship), saling melengkapi antara perempuan dan laki-laki (complementarity of the sexes), dan kesetaraan ekonomi ternyata terdapat juga hirarki dan kontrol yang otoriter serta memuat kekerasan yang terselubung. Pada tingkat gerakan feminis, hooks juga melihat praktek seksisme, salah satunya adalah
18
sikap dan perilaku yang tidak memberikan perhatian terhadap minat perempuan-perempuan lain yang belum bergabung dalam gerakan feminis. Pandangan dan analisis kritis tentang perspektif feminisme dari Tong dan hooks di atas akan dipakai untuk menjelaskan gerakan konservasi lokal yang diinisiasi oleh sebagian petani dan buruh tani perempuan di Kampung Nyungcung dan gerakan lingkungan secara umum.
1.7. Sistematika Penulisan Tesis Tesis ini ditulis dalam tujuh bab. Bab pertama adalah Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Secara garis besar, bab pertama ini memberikan kita pengantar tentang persoalan pengelolaan kekayaan alam, termasuk konservasi, di Indonesia, yang telah menimbulkan banyak sengketa dan konflik di berbagai komunitas, adat dan lokal. Dalam upaya penyelesaian sengketa dan konflik tersebut, tidak jarang komunitas melakukan kerjasama dengan pihak-pihak lain, terutama ORNOP. Ketika berada pada situasi seperti ini, pertemuan antara komunitas dengan pihak-pihak lain yang peduli atas persoalan lingkungan menunjukkan kepada kita tentang munculnya suatu gerakan sosial, yaitu tepatnya gerakan lingkungan. Pengelolaan kekayaan alam di kawasan ekosistem Halimun, yang kemudian difokuskan pada satu kampung dan bagaimana sebagian rakyat meresponnya melalui gerakan konservasi lokal akan disampaikan sebagai pengantar lebih lanjut tentang kondisi pengelolaan kekayaan alam di tingkat mikro. Pada bab dua (Kerangka Pemikiran), diskusi tentang respon komunitas terhadap pengelolaan kekayaan alam oleh negara akan dibuka dengan mengajukan tiga pokok bahasan yang saya pandang sebagai faktor penyebab dan sekaligus mempengaruhi keberlangsungan respon komunitas untuk membangun dan memelihara suatu gerakan perlawanan, terutama kaum perempuannya.
Tiga
pokok bahasan itu adalah pertama, keterkaitan pembangunanisme dengan feminisasi kemiskinan; kedua, tentang keberadaan budaya partriarkhi yang sangat mempengaruhi tingkat partisipasi politis perempuan dalam berbagai arena; ketiga, tentang keterwujudan respon komunitas dalam konteks gerakan dari perspektif feminisme akibat dari interaksi dengan pihak luar.
19
Pemaparan tentang bagaimana tiga pokok bahasan tersebut diajukan akan dielaborasi pada bab tiga, Metodologi Penelitian. Penelitian ini dilakukan sebagai suatu upaya refleksi saya selama belajar dan bekerja secara tidak intensif dalam kegiatan fasilitasi menyelesaikan konflik tenurial di Desa Malasari.
Dalam
refleksi ini, saya memfokuskan diri pada analisa pengalaman beberapa petani perempuan yang menginisiasi gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di Kampung Nyungcung dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang dilengkapi beberapa metode. Meskipun demikian, dalam pilihan ini, terdapat keterbatasan saya untuk merefleksikan semuanya, yaitu pertama, saya tidak live in di antara para subjek penelitian. Kedua, didasarkan pada kekhawatiran saya, dalam menyampaikan kembali suara dan pengalaman subjek penelitian, saya menerapkan suatu etika penelitian yang dikenal sebagai
suatu bentuk
perlindungan anonimitas. Melalui bab empat (Gambaran Umum Lokasi Penelitian dan Subjek Penelitian), saya akan mempertajam penjelasan yang telah diantarkan pada bab pertama, Pendahuluan.
Mengenai lokasi penelitian, akan disampaikan aspek
geografis, sejarah perkembangan desa, keadaan sosial ekonomi masyarakat secara umum, kemudian dipertajam dalam deskripsi kehidupan kaum perempuannya, termasuk subjek penelitian saya yang berjumlah sembilan orang. Dalam konteks perubahan sosial, saya akan menjelaskan dari aspek sejarah desa-kampung dari kehadiran pihak-pihak lain dalam wilayah hidup rakyat melalui pembangunan yang memunculkan respon rakyat terhadap setiap perubahan yang diciptakan dari pihak-pihak tersebut. Mengenai profil subjek penelitian, akan dibahas secara umum (tidak satu per satu) berdasarkan beberapa aspek seperti: posisi dalam kelompok petani, pendidikan formal, status perkawinan, jumlah anak, pekerjaan, buta huruf, tingkat partisipasi politis perempuan di arena domestik dan publik, keadaan penguasaan tanah, serta kekerasan dalam rumahtangga. Mengelaborasi penjelasan bab dua dan empat, bab lima (Tumbuhnya Gerakan Konservasi Lokal Berbasis Perempuan di Kampung Nyungcung) akan membahas bagaimana kemiskinan di Malasari, termasuk Kampung Nyungcung, dan interaksi dengan pihak luar, menyebabkan sebagian anggota komunitas, terutama perempuan, mengembangkan perilaku kolektif yang bersifat konstruktif
20
dan memotivasi warga lain untuk bersama-sama menghijaukan tanah-tanah tandus dan memperjuangkan inisiatif mereka itu sebagai suatu model konservasi lokal. Dalam proses tumbuhnya inisiatif ini, terdapat dua faktor penting lainnya, yaitu budaya patriarkhi dan intervensi ORNOP (termasuk sejarahnya), yang mempengaruhi proses pertumbuhan gerakan konservasi lokal berbasis perempuan tersebut. Melanjutkan penjelasan bab lima dalam suatu potret dinamika gerakan, bab enam, yang merupakan inti pembahasan tesis ini, akan mempertegas bahwa pertemuan tiga faktor dalam bab dua, yaitu feminisasi kemiskinan, budaya patriarkhi, dan intervensi ORNOP, yang menumbuhkan perjuangan perempuan dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan merupakan faktor-faktor yang ternyata juga menyebabkan terminasi perjuangan perempuan dalam gerakan tersebut.
Berdasarkan keadaan terminasi ini, disampaikan beberapa aspek
pembelajaran untuk dipertimbangkan oleh ORNOP ke depan selaku salah satu pelaku dalam gerakan lingkungan, yaitu tentang paradigma pengorganisasian perempuan, narasi lokal dari perspektif perempuan, dan pelibatan organisasi lokal serta pihak-pihak pendukung. Pada bab akhir, bab tujuh, berdasarkan tesis tentang tumbuh dan berlangsungnya gerakan konservasi perempuan Nyungcung ditentukan dari hasil interaksi antara faktor feminisasi kemiskinan, dominasi budaya patriarkhi, dan intervensi ORNOP, ditarik tiga kesimpulan utama, yaitu: pertama adalah tumbuhnya gerakan tersebut tidak terlepas dari pemiskinan melalui pembatasan akses dan peniadaan kontrol rakyat Malasari (termasuk Nyungcung), terhadap tanah dan kekayaan alam di desa mereka serta diikuti dengan degradasi wilayah hidup yang dalam budaya patriarkhi mengkondisikan sebagian besar perempuan menanggungnya secara sistematis. Pada titik tertentu dalam kemiskinan seperti ini, perempuan dapat memiliki militansi untuk berjuang keluar dari kemiskinan itu.
Kedua, rumusan agenda dan strategi, serta keadaan kepemimpinan
perempuan dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan tersebut sangat ditentukan dari interaksi antara oleh faktor internal berupa feminisasi perempuan dan budaya patriarkhi, serta faktor eksternal berupa intervensi atau pengaruh dari pihak luar, seperti ORNOP. Mempertajam faktor eksternal tentang keterlibatan
21
ORNOP, kesimpulan ketiga menegaskan bahwa perspektif gerakan lingkungan yang dibawa ORNOP ke basis, dalam hal ini dapat diketahui dari cara pandang, pemahaman dan analisis persoalan di basis, sangat menentukan bagaimana kepentingan dan atau kebutuhan khusus dari kelompok-kelompok marginal, terutama perempuan, juga diperjuangkan oleh gerakan. Untuk itu, dalam konteks demokratisasi pengelolaan kekayaan alam yang dapat diakses dan dikontrol oleh kelompok-kelompok marjinal dari komunitas lokal dan adat di pedesaan, yang salah satunya adalah perempuan, penelitian ini mengajukan beberapa usulan, diantaranya tentang pemberdayaan perempuan yang sebenarnya, dan pemberlakuan sistem tenurial yang bersifat komunal. Aspek konsep, organisasi, dan norma yang berperspektif feminisme menjadi penting untuk dirumuskan, dilaksanakan dan dipelihara.
22
Catatan Kaki 1
Kondisi seperti ini, salah satunya, dapat ditunjukkan oleh hasil Sensus Pertanian 2003. Dibandingkan dengan Sensus Pertanian 1993, hasil Sensus Pertanian 2003 kemarin memperlihatkan bahwa presentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan meningkat 3.80% atau setara dengan jumlah ± 2.86 juta rumah tangga petani. Dari jumlah rumah tangga petani gurem secara nasional tersebut, sebesar 67.23% rumah tangga petani gurem (± 1.92 juta) terkonsentrasi di Pulau Jawa. 2
Bagi orang Amungme, wilayah hidup mereka dipandang sebagai Ninggok, seorang Ibu. Puncak Grastberg dan Erstberg pegunungan Jayawijaya yang merupakan lokasi pertambangan PT. Freeport adalah kepala sang Ibu. Turun ke bawah adalah leher, dada dan perut sang Ibu. Dataran dan pantai adalah kaki sang Ibu. Melalui PP No. 15 Tahun 1972 jo PP No. 36 Tahun 1986 jo PP No. 53 Tahun 1999, pemerintah memberikan kewenangan kepada PERUM PERHUTANI untuk mengelola kawasan ekosistem hutan di Jawa seluas ± 3 juta ha dengan maksud dan tujuan sebagai berikut: ▪ Mengelola hutan sebagai ekosistem sesuai dengan karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal bagi Perusahaan dan masyarakat sejalan dengan tujuan pembangunan nasional; ▪ Melestarikan dan meningkatkan mutu sumber daya hutan dan mutu lingkungan hidup; ▪ Menyelenggarakan usaha di bidang kehutanan yang menghasilkan barang dan jasa yang bermutu tinggi dan memadai guna memenuhi hajat hidup orang banyak dan memupuk keuntungan. Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, PERUM PERHUTANI menjalankan tiga kegiatan utama di bawah ini: ▪ Pengusahaan hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan, dan pemasaran; ▪ Perlindungan dan pengamanan hutan; Usaha-usaha lainnya yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan Perusahaan, yaitu kerjasama usaha atau patungan (joint venture) dengan badan usaha lain, membentuk anak perusahaan dan penyertaaan modal dalam badan usaha lain.
3
4 Menggunakan pemikiran Dietz (1996), pada awalnya, konservasi dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menurut saya, mengikuti paham/aliran eco-fascism. Pemerintah ‛berjuang’ melindungi kawasan-kawasan hutan, perairan tawar, pesisir dan laut untuk kepentingan ekosistem, flora dan faunanya semata. Demi kelestarian lingkungan dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pembatasan sangat ketat dan bahkan penggusuran rakyat tempatan dari suatu kawasan konservasi merupakan tindakan yang dianggap sah -- meskipun berdasarkan sejarah, rakyat tempatan tersebut telah berpuluh tahun bahkan berabad hidup dalam kawasan tersebut, jauh lebih dahulu dibandingkan dengan kebijakan konservasi. Sejak krisis pada medio 1997 sampai sekarang, walaupun tidak dinyatakan secara tersurat, ditemukan juga satu paham lain yang menggantikan paham awal (baca: eco-fascism), yaitu eco-developmentalism. Lingkungan dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya perlu dilindungi karena hanya melalui perlindungan tersebut jaminan terhadap keajegan pasokan bahan baku industri dapat dipastikan terjadi. Semboyan seperti “pembangunan berkelanjutan” (“sustainable development”) diperkenalkan untuk melegitimasi pembangunan ekonomi kapitalis. Dengan demikian, sebenarnya yang dilindungi adalah pembangunan ekonomi kapatalis itu sendiri. Alasan lingkungan hanyalah salah satu pirantinya, dan karena itu, bersifat instrumental terhadap pembangunan ekonomi kapitalis yang menjadi tujuan utama dan paradigma pokoknya. Pendapat seperti ini dapat dibuktikan dari perilaku politik pemerintah, salah satunya adalah penetapan legitimasi/kekuatan hukum lebih jauh Peraturan Pengganti Undang-Undang tentang Pertambangan di Kawasan Konservasi menjadi Undang-Undang No. 19 Tahun 2004. 5
▪ ▪ ▪
Sepuluh paket kebijakan IMF tersebut terdiri dari: Meningkatkan pajak lahan dan bangunan sampai 40% dari yang diterapkan sebelumnya; Dana reboisasi harus dimasukkan dalam APBN; Penerapan pajak sewa sumberdaya;
23
▪ ▪ ▪ ▪ ▪ ▪ ▪
Pengurangan pajak ekspor log sampai 10% ad valorem; Pengurangan pajak kayu gergajian dan rotan sampai 10% ad valorem; Penghapusan kuota ekspor sampai paling lama tiga tahun; Realisasi kebebasan investasi asing Penghapusan semua bentuk pengaturan pemasaran kayu lapis Penghapusan retribusi Perumusan undang-undang baru tentang lingkungan hidup, peningkatan nilai iuran hasil hutan, lelang dalam pemberian HPH, perpanjangan masa konsesi hutan, ijin pengalihan HPH, penerapan dana jaminan kenerja, serta pengurangan konservasi hutan alam.
Berdasarkan IDCF (2000) yang dikutip oleh Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), 12 program aksi kehutanan tersebut terdiri dari: 1) Mengambil langkah terhadap penebangan liar; 2) Menyelesaikan penilaian sumberdaya hutan; 3) Mengevaluasi kebijakan mengenai konversi hutan dan memberlakukan moratorium atas semua konversi hutan alam sampai Program Kehutanan Nasional disetujui; 4) Menciutkan dan merestrukturisasi industri perkayuan serta meningkatkan daya saing; 5) Menutup industri kayu yang mempunyai banyak hutang dan mengkaitkan usulan penghapusan hutang dengan penurunan kapasitas; 6) Menghubungkan program penghutanan kembali dengan industri kehutanan yang sudah ada dan yang sedang dibangun; 7) Menghitung ulang nilai riel kayu; 8) Menggunakan desentralisasi untuk meningkatkan pengembangan kehutanan berkelanjutan; 9) Mengatasi masalah kepemilikan/penguasaan lahan (tenure); 10) Memperkuat institusi pengelolaan hutan; 11) Memecahkan masalah kebakaran hutan; dan 12) Menyelesaikan Program Kehutanan Nasional. 6
7
Dasar pertimbangan tentang perluasan kawasan taman nasional tersebut adalah keanekaragaman hayati yang tinggi dan sumber mata air penting untuk dilindungi dan dilestarikan demi ‘kepentingan masyarakat sekitarnya’ (lihat Lampiran 2). Tetapi, konon, berdasarkan usulan dari Jaringan Kerja Konservasi Kawasan Gunung Salak, perluasan tersebut didasarkan pada “kepedulian” terhadap daerah jelajah satwa langka. 8
Terdiri dari Desa Citorek, Diesa Ciparay, Desa Ciusul, Desa Cihambali, Desa Cikadu, Desa Mekarsari, Desa Kijangjaya, Desa Girimukti, Desa Cisungsang, Desa Kujangsari, Desa Sirnagalih, Desa Heagrmanah, Desa Sukamulya – Kecamatan Cibeber – Lebak – Banten, Desa Ciladaeun, Desa Lebak Sangka, Desa Lebak Gedong, Desa Banjarsari, Desa Banjar Irigasi, Desa Lhur Jaya – Kecamatan Cipanas – Lebak – Banten, Desa Majasari, Desa Cirompang, Desa Sukamaju, Desa Citujah – Kecamatan Muncang – Lebak – Banten, Desa Sirnaresmi,Desa Sirnarasa, Desa Cicadas – Kecamatan Cisolok – Sukabumi – Jawa Barat, Desa Kiarasari, Desa Cisarua – Kecamatan Sukajaya – Bogor – Jawa Barat, Desa Malasari – Kecamatan Nanggung – Bogor – Jawa Barat.
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN Proses tumbuh dan dinamika gerakan konservasi yang diinisiasi oleh kelompok petani dan buruh tani perempuan di Kawasan Ekosistem Halimun, Jawa Barat, akan dianalisis dengan menggunakan sebuah kerangka pemikiran yang mengkombinasikan antara faktor feminisasi kemiskinan, budaya patriarkhi, dan intervensi pihak luar, dalam hal ini ORNOP.
Interaksi ketiga faktor ini
mempengaruhi proses tumbuh dan dinamika gerakan konservasi lokal di Kawasan Ekosistem Halimun, Jawa Barat, yang merupakan salah satu contoh gerakan konservasi yang diinisiasi oleh kelompok perempuan akar rumput.
Inisiatif
kelompok perempuan akar rumput ini, khususnya dalam memperkuat gerakan konservasi di Kawasan Ekosistem Halimun, Jawa Barat, hanya dapat dipahami jika kita menghubungkan ketertindasan mereka karena kemiskinan, karena keperempuanannya, dan adanya upaya pengorganisasian diri mereka oleh ORNOP.
1.
Pembangunanisme dan Feminisasi Kemiskinan Secara sangat umum, sebagian besar orang/pihak mengetahui istilah
pembangunan sebagai suatu perubahan yang direncanakan yang dilaksanakan oleh suatu negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, atau sebagai proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrastruktur masyarakat, dan sebagainya. Pengertian semacam ini sulit untuk dianalisa karena tidak menjawab beberapa hal mendasar seperti: “Perubahan dalam bentuk apa?”, “Dengan modal apa kita membangun?”, “Berdasarkan kemauan siapa, dilaksanakan oleh siapa, dan untuk kepentingan siapa?”.
Masyarakat dilihat
sebagai suatu kesatuan homogen yang mempunyai kepentingan yang sama, dan perencana serta pelaksana pembangunan (dalam hal ini pemerintah) juga dilihat sebagai kesatuan yang mewakili dan membawa kepentingan masyarakat secara homogen pula. Mengkritisi makna ‛kenetralan’ dari pembangunan ini, di antara mayoritas pihak tersebut, terdapat juga kelompok minoritas yang memiliki pandangan lain terhadap kata pembangunan itu. Kelompok minoritas menilai
25
pembangunan sebagai sebuah discourse, sebuah pendirian atau suatu paham, bahkan tidak jarang dimaknai sebagai suatu ideologi dan teori tertentu yang melatarbelakangi upaya-upaya perubahan sosial yang direncanakan untuk suatu masyarakat/negara (lihat Braidotti et al 1994, Saptari dan Holzner 1997, dan Fakih 2001). Dalam konteks Indonesia, pembangunanisme diperkenalkan pertama kali oleh rezim Soeharto yang ingin mengintegrasikan ekonomi Indonesia ke dalam ekonomi kapitalis global. Upaya ini dilegitimasi oleh warisan krisis dari Orde Lama yang pertumbuhan sektor ekonominya sangat rendah akibat krisis pangan dan tingginya hutang luar negeri mencapai lebih dari 2 milyar dollar AS (lihat Baswir et al. 1999). Rezim Orde Baru memiliki ‘legitimasi’ untuk membangun Indonesia dengan cara yang efesien melalui sistem pertumbuhan ekonomi tinggi yang
disertai
dengan
pembangunanisme
stabilitas
nasional.
(developmentalism)
dan
Berkiblat memanfaatkan
pada
ideologi
konsepsi
Hak
Menguasai Negara (HMN), berbagai kebijakan dikeluarkan untuk menciptakan iklim pembangunan yang kondusif. Contohnya adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Melalui kedua undang-undang ini, Fauzi (2003) berpendapat bahwa secara jelas konsep alam sebagai harga diri dan kekayaan yang harus dipelihara untuk keberlangsungan dan kemakmuran hidup rakyat, seperti yang selama ini diyakini dan dijalankan oleh berbagai kelompok masyarakat agraris tradisional, digantikan oleh konsep kapitalis yang menempatkan alam sebagai sumberdaya (natural resources) yang harus dieksploitasi dan diubah menjadi modal yang bisa beranak-pinak (reproduced capital). Melalui kedua undang-undang itu juga, lembaga-lembaga kerjasama internasional, seperti IMF, Bank Dunia dan IGGI (Internasional Group for Government of Indonesia) melihat secara jelas bahwa Indonesia mengaitkan dirinya dengan sistem kapitalis internasional untuk membangun agar dapat keluar dari kemiskinan.
Peluang besar terbuka bagi lembaga-lembaga keuangan
internasional tersebut untuk mengarahkan pembangunan di Indonesia melalui
26
berbagai penawaran paket kebijakan kerjasama ‘bantuan’ dan pinjaman luar negeri. Menurut beberapa pengamat pembangunan, secara internasional, pilihan paradigma pembangunan di Indonesia tidak terlepas dengan konteks konflik perang dingin tingkat dunia, antara blok Kapitalis yang dimotori oleh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat versus blok Sosialis-Komunis yang dimotori oleh Uni Soviet dan Cina. Sesudah Perang Dunia II, sebagai tandingan (counter) terhadap paradigma sosialisme dari blok Sosialis-Komunis, blok Kapitalis
sangat
gencar
mempromosikan
paradigma
pembangunanisme.
Gencarnya promosi ini dapat dilihat dari banyaknya teori-teori yang dihasilkan, seperti
Teori Tahapan Pertumbuhan Ekonomi – Rostow, Teori Motivasi
Berprestasi – McClelland, dan Teori Manusia Modern – Inkeles.
Dengan
memberikan contoh Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat yang kapitalis, negara-negara yang baru merdeka di Asia dan Afrika didorong untuk melakukan industrilisasi sebagai jalan untuk membangun bangsa keluar dari kemiskinan, mencapai titik dimana pertumbuhan ekonomi yang ditopangnya akan tinggal landas (take off).
Pada waktu yang bersamaan, pembangunan juga
ditekankan pada penyediaan fasilitas dan pranata infrastruktur untuk membantu transisi menuju masyarakat yang modern. Diasumsikan bahwa dengan proses modernisasi, keuntungan yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang secara bertahap akan menetes ke bawah (trickle down effect). Jika analisa sejarah seperti ini dapat kita pahami, maka untuk konteks Indonesia, modernisasi sesungguhnya merupakan westernisasi. Dengan demikian, pilihan pada pembangunanisme bukanlah semata-mata perumusan dari kelompok teknokrat rezim Orde Baru, melainkan adopsi dari strategi blok Kapitalis (Fakih 2001). Dalam prakteknya, pembangunanisme justru menciptakan ketidakadilan dan melanggengkan ketergantungan, serta menciptakan struktur ekonomi yang tidak adil, dan dis-organisasi sosial di tingkat basis. Salah satu akibat tersignifikannya adalah pelanggengan dominasi laki-laki yang terwujud dalam berbagai institusi dan kebijakan terhadap perempuan yang mengakibatkan perempuan semakin miskin dari masa ke masa. Penelitian Boserup (1970) di negara-negara Dunia Ketiga yang dikutip oleh Mosse (1993) dan Bemmelen dalam Ihromi (1995)
27
membuktikan hal ini, dimana perempuan tidak tersentuh oleh keuntungan program pembangunan, tetapi malahan dirugikan oleh program-program tersebut. Terinspirasi oleh hasil penelitian Boserup ini, pendekatan Women in Development (WID) lahir sebagai kritik atas pendekatan pembangunan yang berparadigma anti kemiskinan. Pendekatan WID bertujuan untuk meringankan beban kerja reproduktif perempuan dengan cara meningkatkan produktif kerja perempuan sehingga dapat berpartisipasi dalam pembangunan.
Akan tetapi,
pandangan kritis mulai muncul terhadap WID ketika kondisi perempuan tidak berubah dalam proses pembangunan sebagaimana dibuktikan oleh berbagai studi kasus yang memungkinkan para peneliti feminis, khususnya mereka yang berperspektif feminisme sosialis dan radikal, untuk melakukan perbandingan. Menurut Bandarage (1984) yang dikutip oleh Saptari dan Holzner (1997), pendekatan WID melihat marjinalitas perempuan disebabkan karena perempuan tidak terintegrasi ke dalam sistem pendidikan dan sistem ekonomi politik yang ada. Pendekatan WID ini tidak melihat bahwa marjinalitas perempuan memiliki akar yang berasal dari sistem itu sendiri. Inilah yang merupakan kelemahan WID yang mengakibatkan program-program yang menggunakan pendekatan WID tidak mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi, politik, dan sosial perempuan. Selama satu dasawarsa pendekatan WID dilakukan, mulai dirasakan bahwa pengakomodiran perempuan atas hak-hak dan kesempatan yang sama dengan lakilaki ternyata tetap tidak dapat mengimbangi kemajuan dan kemapanan yang dinikmati oleh laki-laki dalam pembangunan. Grown dan Sen (1987), dikutip oleh Saptari dan Holzner (ibid), melaporkan bahwa strategi pertumbuhan ekonomi dan yang bertumpu pada akumulasi modal dan promosi ekspor, apabila diberlakukan dalam kesenjangan sosial tidak akan berhasil membangun produksi domestik dan bahkan dapat menyebabkan kesenjangan yang semakin lebar. Sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh berbagai studi di sebagian besar negara Dunia Ketiga, bahwa akses ke sumberdaya ekonomi, penghasilan, dan mata pencarian bagi perempuan semakin terbatas. Beban kerja semakin berat karena upah yang diperoleh sering kali sangat minim, dan jam kerja yang panjang, sementara pekerjaan domestik tetap menjadi beban mereka. Kenyataan seperti ini dipertajam oleh Eviota (1992) dengan konsepnya tentang SDL (Sexual Division of
28
Labor) yang menunjukkan bahwa pembagian kerja di antara perempuan dan lakilaki mengakibatkan ketidakadilan kepada perempuan dengan gambaran sebagai berikut:
Dengan ditentukannya batasan pekerjaan yang dibayar dan tidak dibayar, pekerjaan perempuan digolongkan kedalam pekerjaan reproduktif yang tidak perlu dibayar;
• Kalaupun harus dibayar, perempuan menerima upah yang lebih rendah dibanding laki-laki karena pekerjaan produktif perempuan dinilai sebagai pekerjaan klas dua, bukan pekerjaan utama; • Bentuk partisipasi perempuan juga dinilai sebagai sesuatu yang tidak tetap dalam sistem-sistem produksi di masyarakat; • Konsentrasi pada jabatan/sektor dan tingkat pekerjaan pada jabatan/sektor tersebut yang disediakan bagi perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki; • Berdasarkan empat posisi perempuan diatas, secara sadar dalam sistem kapitalis modern, perempuan diposisikan untuk menjadi tergantung dan melayani dalam struktur klas kapitalis. Sementara itu, dari aspek lainnya seperti kesehatan, nutrisi, dan pendidikan, situasi dan kondisi perempuanpun tidak menggembirakan, bahkan cenderung tingkat kesejahteraan mereka dalam aspek-aspek ini semakin menurun. Proses pemiskinan perempuan di atas tidak hanya disebabkan oleh nilainilai budaya patriakhi, tetapi juga diakibatkan oleh proses pembangunan itu sendiri. Kecenderungan ini tercermin dalam luasnya dampak pembangunan yang dirasakan oleh perempuan akibat eksploitasi kekayaan alam di beberapa daerah di Indonesia (seperti Kalimantan dan Papua Barat).1 Pengambil-alihan dan pengrusakan kekayaan alam ini berdampak pada kehidupan perempuan di arena domestik dalam beberapa aspek seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan beban kerja sebagaimana digambarkan dalam Diagram 1.
29
Diagram 1.
Akibat Pembangunan di Pedesaan terhadap Kehidupan Perempuan
Kehilangan Jenis Hak
Arena Publik
atas Tanah dan Kekayaan Alam↗ Kesehatan↘ Ekonomi↘ Pendidikan
Kerusakan
Arena Domestik
Lingkungan↗
↘
Kekerasan↗ Beban
Kerja↗
Kerentanan Sosial↗
Proses pemiskinan perempuan di atas disebut feminisasi kemiskinan. Istilah feminisasi kemiskinan ini sendiri digunakan pertama kalinya pada tahun 1978 untuk menggambarkan kecenderungan makin bertambahnya beban kemiskinan yang ditanggung oleh kaum perempuan (Pearce 1993 yang dikutip oleh Krisnawaty et al 1998). Istilah ini juga menggambarkan subordinasi posisi ekonomi perempuan pada umumnya yang mengganjal di sepanjang siklus kehidupan, seperti pengangguran remaja, pekerjaan rumah tangga non upahan, pengasuhan anak yang tidak dibayar, kurangnya keuntungan bagi pekerjaan paruh waktu, hilangnya dukungan ekonomi jika bercerai atau menjanda, serta kemiskinan di kalangan perempuan tua yang mempunyai sejarah penghasilan sekali-sekali atau berupah rendah (Ollenburger dan Moore 1996). Feminisasi kemiskinan bukan gejala peningkatan jumlah perempuan miskin secara tiba-tiba, tetapi merupakan sebuah proses sistematis. Krisis ekonomi di berbagai negara dimana kehancuran ekonomi nasional, yang kemudian diikuti oleh kehancuran ekonomi lokal melalui privatisasi global, memberikan tumpukan tambahan beban kerja reproduktif dan produktif kepada jutaan kaum perempuan di pedesaan.
Cermin kemiskinan memperlihatkan wajah perempuan. Ini
merupakan kesimpulan dalam banyak kajian dampak pembangunan yang memaparkan bagaimana perempuan tidak terwakili secara proporsional di antara
30
kelompok yang terpinggirkan, sebagai akibat langsung dari model pembangunan yang dijalankan selama ini.
Ruang lingkup internasional dari feminisasi
kemiskinan ini jelas terlihat dari angka statistik, bahwa perempuan merupakan 50% dari populasi dunia, merupakan 70% dari tenaga kerja (yang dibayar dan tidak dibayar), menghasilkan 10% upah, dan memiliki kurang dari 1% kekayaan (Ollenburger dan More, ibid). Shvedova (1998) dalam International IDEA (2002) menyampaikan bahwa 70% dari 1.3 milyar penduduk dunia yang hidup dalam kemiskinan adalah perempuan. Dalam konteks konservasi, feminisasi kemiskinan terjadi karena penetapan kawasan konservasi, seperti taman nasional2, melalui dua hal mendasar, yaitu: • Ketiadaan pengakuan terhadap hak-hak komunitas setempat atas tanah dan kekayaan alam yang selama ini telah dikelola oleh mereka secara turun temurun. Jika merujuk pada makna hak atas kekayaan alam yang disampaikan oleh the Netherlands Development Assistance/NEDA (1997) di bawah ini, maka dapat diketahui hak-hak komunitas, perempuan dan laki-laki, di bawah ini yang tidak semuanya dimiliki: − Hak untuk mendapatkan dan menjaga kekayaan alam: merupakan dasar pemberian ijin untuk menggunakan dan mengambil kekayaan alam, yang diperoleh karena keturunan, pernikahan, penanaman, pembelian, dan atau pembangunan. − Hak untuk memanfaatkan kekayaan alam: mengacu pada jenis pemanfaatan dan sejauh mana pemanfaatan tersebut, contoh: mengelola pendapatan, menentukan tanaman yang akan ditanam, serta memiliki akses ke tanah dan jenis-jenis kekayaan alam lainnya sepanjang waktu atau hanya selama periode tertentu. − Hak untuk mengelola kekayaan alam: berhubungan dengan perawatan dan peningkatan sumberdaya, contoh: terlibat dalam kegiatan pembangunan dan perawatan aset serta produk dari kegiatan tersebut. − Hak untuk membuat keputusan-keputusan berkaitan dengan transaksitransaksi pengelolaan kekayaan alam, contoh: memutuskan untuk memberikan
atau
menjual
sebagian
sumberdaya
mendaftarkan sumberdaya/aset atas nama diri sendiri
ke
pihak
lain,
31
− Hak untuk mengatur kekayaan alam: mencakup hak untuk mengkonsep dan mengubah
aturan-aturan
tentang
pengelolaan
kekayaan
alam
dan
sumberdaya lainnya, contoh: berperan dalam pembahasan penjualan suatu jenis kekayaan alam/sumberdaya, berwenang untuk mengubah sistem distribusi hasil pengelolaan kekayaan alam/sumberdaya. − Hak untuk memberikan sangsi, berkaitan dengan terlibat dalam penegakan hukum terhadap suatu pelanggaran pengelolaan kekayaan alam. − Hak untuk berperan dalam kegiatan ritual dan sosial-politik yang dapat berhubungan dengan satu jenis kekayaan alam. • Pengelolaan taman nasional lebih menekankan pada kepentingan ekologi, dan mengabaikan kepentingan komunitas setempat. Pengelolaan seperti ini dapat dilihat dalam sistem zonasi (zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan)3 yang di dalamnya tidak memperbolehkan kegiatankegiatan manusia untuk memanfaatkan kekayaan alam dalam kawasan ini guna mewujudkan keseimbangan ekologi. Kegiatan yang diperbolehkan bagi penduduk setempat untuk memanfaatkan kawasan konservasi hanya terbatas pada wisata alam dan pariwisata. Dengan demikian, sistem ini menutup akses penduduk terhadap tanah dan kekayaan hutan lainnya untuk memenuhi kepentingan ekonomi, subsistensi, dan budaya mereka (lihat Galudra et al 2006). Situasi ini, sebagai konsekuensinya, mengkondisikan sebagian besar laki-laki beralih pada sektor non-pertanian yang menyebabkan perempuan memiliki beban semakin berat untuk tetap meneruskan kerja-kerja tani di wilayah hidup4 mereka yang dinegasikan oleh konservasi negara (lihat Galudra et al 2005, dan Hidayati 2005). Untuk kasus di negara lain, penelitian yang dilakukan oleh Tiani et al dalam Colfer (2005) di dua desa (Bifa dan Ebianemeyong) di dekat Taman Nasional Campo-Ma'an, Kamerun, merupakan salah satu sumber informasi yang baik untuk menggambarkan pemiskinan oleh keberadaan taman nasional. Di Desa Bifa, para penjaga lingkungan dari Taman Nasional Campo-Ma'an mengusik dan menyita daging satwa liar yang dijual oleh kaum perempuan di sana. Bahkan mereka mengejarnya sampai ke dapur untuk melihat apakah yang sedang dimasak
32
oleh para perempuan. Tidak seorangpun dari para penjaga itu yang menjelaskan peraturan baru kepada kaum wanita tentang batas-batas taman nasional itu. Para penjaga lingkungan tidak melakukan pelarangan untuk berburu, namun sekarang orang luar secara diam-diam masuk ke dalam hutan dan membeli daging satwa liar langsung dari para pemburu. Akibatnya, kaum wanita pedagang kehilangan pekerjaannya.
Di Ebianemeyong, pemerintah setempat melarang masyarakat
untuk menggunakan jalan raya yang menuju ke kota karena jalan tersebut melewati taman nasional. Dengan cara itu pemerintah bermaksud untuk melarang para pemburu liar. Sebenarnya para pemburu liar jarang menggunakan jalan raya tersebut karena dengan begitu mereka akan mudah tertangkap. Yang sesungguhnya mengalami kerugian adalah para petani wanita yang tidak lagi dapat mengirimkan hasil pertaniannya ke pasar atau membawa anaknya yang sakit ke dokter. Berdasarkan ketegangan hubungan antara pihak-pihak di atas, pada wilayahwilayah tertentu feminisasi kemiskinan karena konservasi dan atau kegiatan eksploitasi massif oleh pelaku bisnis merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap militansi perempuan miskin untuk membangun gerakan di komunitas mereka (lihat Shiva 1988; Rocheleau et al 1996;
Matsui 1996;
Jackson dan Pearson 1998; Simatauw et al 2001; dan Indriatmoko et al 2007).
2.
Budaya Patriarkhi dan Partisipasi Politis Perempuan Dalam pengertian sempit, menurut Mosse (1993), partriarki menerangkan
sistem sosial yang secara historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi, dimana kepala rumahtangga, laki-laki, memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas anggota keluarga, termasuk juga para budak, laki-laki dan perempuan yang menjadi tanggungannya. Kemudian, saat ini patriarki mulai digunakan di seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak di dalam keluarga dan berlanjut pada semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Patriarki merasuk ke semua aspek masyarakat dan sistem sosial sehingga berpengaruh penting ketika kita membicarakan mengapa peran gender tradisional (yang timpang) sukar berubah. Penjelasan seperti ini dapat kita temukan juga
33
pada pemikiran Millett (1970) yang dikutip oleh Saptari dan Holzner (1997) dalam bukunya tentang Sexual Politics, bahwa hubungan dominasi laki-laki tidak hanya terjadi di arena kekerabatan saja, tetapi juga pada semua arena kehidupan seperti ekonomi, politik, keagamaan, dan seksualitas, yang kesemuanya ini mengakibatkan sebagian besar perempuan menginternalisasikan rasa inferioritas diri terhadap laki-laki. Dalam pembagian kerja, budaya patriarki memilah dunia menjadi dua ‘wilayah’, yaitu wilayah domestik untuk perempuan, dan wilayah publik untuk laki-laki (lihat Eviota 1992; Mosse 1993; Ollenburger dan Moore 1996; Saptari dan Holzner 1997; Peterson dan Runyan 1999). Berdasarkan pemilahan ini, posisi struktural perempuan menjadi lebih buruk karena akses perempuan lebih terbatas terhadap sumberdaya ekonomi, sosial, politik dan tidak memiliki peluang banyak untuk memilih dan mengambil keputusan. Pandangan ini pada gilirannya mensubordinasikan perempuan. Saptari dan Holzner (1997) menjelaskan bahwa subordinasi pada perempuan ditemukan lebih lanjut dalam bentuk-bentuk antara lain: partisipasi semu, eksploitasi, marginalisasi, feminisasi dan pengiburumahtanggaan (housewifization). Inti dari bentuk subordinasi perempuan, seperti partisipasi (semu) di atas, adalah kewajiban yang diterima begitu saja oleh perempuan sebagai kodrat. Di arena domestik, perempuan dikodratkan sebagai ibu rumahtangga (housewife) yang berperan sebagai istri dan ibu yang harus selalu siap melayani dan mengurus keluarganya. Hasil penelitian Putranti dalam Faturochman et al (2004) memperjelas definisi ibu rumahtangga ini, yaitu istri yang bertugas untuk mengasuh anak, mengatur ekonomi rumah tangga, mencari nafkah tambahan, dan menjadi pengikut agama yang taat dan saleh. Sementara, di arena publik, kodrat perempuan, terutama pada masa rezim Orde Baru, adalah pendukung dan penjaga nilai-nilai yang didoktrin oleh penguasa, sebagaimana tercermin dalam Panca Darma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Internalisasi bahwa perempuan sebagai istri dan ibu rumahtangga semata telah menghasilkan kesadaran magis, dan pada tingkat tertentu dapat menjadi kesadaran naif atau kesadaran terbelah. Menurut Freire5 (1978) yang dikutip oleh Smith (1987) dan Misiyah (2006), kesadaran magis (magical consciousness)
34
menunjukkan tentang cara individu/masyarakat beradaptasi secara fatalistik dengan sistem yang ada. Dengan kata lain, kesadaran magis bercirikan adanya ketidakmampuan masyarakat untuk menemukan kaitan antara kemiskinan, ketidakadilan dengan struktur sosial-ekonomi-politik.
Kesadaran ini bersifat
fatalistik karena menempatkan faktor di luar manusia sebagai penyebab ketidakmampuan, ketidakadilan dan ketidakberdayaan diterima sebagai takdir dari Tuhan, sehingga tidak perlu mengupayakan perjuangan/perlawanan untuk mengubah kondisi-kondisi tersebut. Perubahan itu hanya bisa terjadi jika Tuhan berkehendak untuk mengubahnya. Kemudian, pada tingkat tertentu, kesadaran magis ini dapat berubah menjadi kesadaran naif (naival consciousness) ketika individu/masyarakat berusaha mereformasi individu-individu yang tidak adil dengan asumsi bahwa sistem yang mewadahinya dapat bekerja secara tepat. Sebagai contoh, kemiskinan dapat diatasi hanya dengan memacu kecerdasan dan kemajuan seseorang agar mampu memenangkan persaingan. Tatanan masyarakat adalah pasar bebas, siapa yang memiliki kemampuan lebih maka dialah yang akan mendapatkan kesejahteraan. Sikap dan perilaku dari kesadaran seperti ini menurut Freire merupakan sikap dan perilaku yang terlalu menyederhanakan dan meromantisasikan realitas yang sebenarnya banyak terjadi penindasan. Secara khusus pada perempuan, Smith (1979 dan 1987) dikutip oleh Ritzer dan Goodman (2003) menekankan pentingnya kita, para perempuan, mengetahui suatu kondisi pertempuran dalam diri, yang disebut sebagai kesadaran yang terbelah. Dalam kehidupan sehari-hari, umumnya ketika perempuan berada dalam proses pengambilan keputusan tentang sesuatu untuk dirinya, kondisi ini diperumit oleh suatu ‘kesadaran’ untuk menghubungkan keputusan tersebut dalam kehidupan banyak orang, banyak subkultur, baik subkultur pihak yang kuat maupun berbagai subkultur pihak yang lemah. Pada kondisi tersebut, terdapat beberapa kemungkinan yang bisa terjadi pada diri perempuan, yaitu: • Memilih hidup menjauhi tindakan yang mencerminkan pembenaran; memilih memperkokoh kepribadian diri untuk dapat memahami pengalaman diri sendiri;
35
• Memilih berupaya hidup berkomunitas dengan orang lain yang sama-sama mengalami realitas kehidupan yang terbelah ini; atau • Menyangkal validitas pengalamannya. Mentransformasikan kesadaran naif atau kesadaran terbelah perempuan menjadi kesadaran kritis bukanlah upaya mudah. Menurut Ritzer dan Goodman (ibid), sebagian besar perempuan hidup dalam situasi dimana terjadi pertemuan antara faktor internal (seperti nilai-nilai dan aturan-aturan dalam komunitas dihubungkan dengan klas, ras, suku bangsa, umur, dan atau agama), faktor eksternal (keberadaan pihak luar), dan faktor budaya lokal. Sayangnya ketiga faktor ini sebagian besar bersifat menindas
dengan derajat intensitas yang
berbeda-beda. Keterwujudan patriarki melalui faktor-faktor tersebut menyebabkan perempuan sulit untuk melepaskan dirinya dari penindasan. Lebih lanjut lagi, Alison Jaggar dalam Pearsall (1986) yang dikutip oleh Tong (1998), dan Arivia (2003), melihat kesulitan perempuan untuk keluar dari ketertindasan ini karena alienasi yang saling mengunci (interlocking). Jaggar menjelaskan alienasi ini dapat ditelusuri dari bagaimana perempuan disosialisasikan untuk memaknai seksualitas, pengibuan (motherhood), dan intelektualitasnya. Menguatkan pendapat Jaggar tersebut, Forman (1997), dikutip oleh Arivia (ibid), mengatakan bahwa secara psikologis, dibandingkan dengan laki-laki, alienasi yang terjadi pada perempuan lebih mengkhawatirkan karena pengalaman hidup perempuan lebih dirasakan sebagai kelengkapan bagi orang lain. Dalam konteks psikologis seperti ini, Giligan (1993), dikutip oleh Arivia (ibid), menjelaskannya dari aspek perkembangan mental perempuan, terutama tentang konsep diri dan moralitas, yang paling tidak terdapat tiga tahap. Pada tahap pertama, Giligan menyebutkan bahwa keputusan moral perempuan berada pada fokus diri yang orientasinya cenderung untuk mempertahankan diri (survival). Pada tahap kedua, keputusan moral yang dibuat oleh perempuan difokuskan pada kebaikan sebagai pengorbanan. moralitas yang tanpa kekerasan.
Pada tahap ketiga, perempuan masuk pada Menurut Giligan, pada tahap ini terjadi
perkembangan yang menarik, yaitu ketika perempuan memiliki anak, dia memiliki tingkat kepedulian yang semakin terasah. semacam kewajiban universal bagi perempuan.
Kepedulian kemudian menjadi
36
Dari uraian di atas sangat jelas patriarkhi dapat dimaknai sebagai sebagai suatu ideologi, yang menurut Millet (1970) dikutip oleh Arivia (2003), sangat kuat dan sulit untuk dilawan, apalagi dibongkar. Hal ini menurut Komter (1991) yang dikutip oleh Hidayat (2004) yang menggunakan pandangan Gramsci, dikarenakan adanya hegemoni ideologi, yang penjelasannya sebagai berikut: • Ideologi selalu berlaku karena menjadi bagian dari pemikiran sehari-hari; • Ideologi selalu mengorganisasikan melalui promosi kohesi sosial dimana kontradiksi dipresentasikan sebagai kesatuan, paksaan ditampilkan sebagai kebebasan; • Ideologi kepentingan tertentu dalam kelompok dominan dijalankan sebagai kepentingan pada umumnya sehingga dapat diterima secara baik oleh kelompok subordinat. Kesadaran magis, kesadaran naif atau kesadaran terbelah perempuan inilah yang mempermudah proses pewarisan dan penerimaan ideologi patriarkhi dalam masyarakat. Dalam proses pewarisan dan penerimaan ini, pola-pola yang tidak pantas dan hasrat-hasrat yang membahayakan kehormatan kultur ditekan, yang kemudian menjadi bagian dari isi ketidaksadaran.
Melalui cara ini,
ketidaksadaran dimengerti sebagai resiprositas dari semua hal yang dijauhkan oleh budaya, untuk dilarang atau disensor. Kesadaran magis, kesadaran naif atau kesadaran terbelah perempuan menurut kaum feminis sangat mempengaruhi tingkat partisipasi perempuan. Longwe yang dikutip oleh Handayani dan Sugiarti (2002) memaknai partisipasi sebagai suatu kondisi di mana terdapat kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam proses pembuatan keputusan, termasuk proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi berbagai kegiatan di rana domestik dan publik yang mereka geluti sehari-hari serta program yang ditawarkan oleh pihak luar (termasuk pemerintah). Selain ini, Arnstein yang dikutip oleh Gaventa et al (2001) secara khusus merinci kembali tingkatan partisipasi untuk melihat sejauh mana pihak-pihak yang terlibat termasuk kelompok perempuan dalam memahami konsep partisipasi dalam kegiatannya. Rincian partisipasi ini dapat dilihat pada Gambar 1.
37
Gambar 1.
Tangga Partisipasi Arnstein
Pengawasan oleh rakyat
Partisipasi yang sesungguhnya
Pendelegasian kekuasaan
Kekuasaan rakyat
Kemitraan yang setara
Konsultasi
Menginformasikan
Tokenisme (upaya superfisial, simbolik)
Penentraman
Manipulasi
Tidak ada partisipasi
Penjelasan tentang tangga partisipasi tersebut -- dari yang terendah sampai tertinggi -- sebagai berikut: • Manipulasi, pemerintah, pihak lain atau pemimpin kelompok memberikan informasi, dalam banyak hal berupa informasi dan kepercayaan yang keliru (false assumsion), kepada warga atau anggota kelompok. Dalam beberapa hal pemerintah melakukan mobilisasi warga yang mendukung/dibuat mendukung keputusannya untuk menunjukkan bahwa kebijakannya populer (memperoleh dukungan). • Penentraman, pemerintah, pihak lain atau pemimpin kelompok memberikan informasi dengan tujuan agar warga atau anggota kelompok tidak memberikan perlawanan atas keputusan yang telah ditetapkan. Pemberian informasi seringkali didukung oleh pengerahan kekuatan (baik hukum maupun psikologis).
38
• Sosialisasi, pemerintah, pihak lain atau pemimpin kelompok memberikan informasi mengenai keputusan yang telah dibuat dan mengajak warga atau anggota kelompok untuk melaksanakan keputusan tersebut. • Konsultasi, pemerintah, pihak lain atau pemimpin kelompok meminta saran dan kritik dari masyarakat atau anggota kelompok sebelum suatu keputusan ditetapkan. • Kemitraan, masyarakat atau anggota kelompok dilibatkan untuk merancang dan mengambil keputusan bersama dengan pemerintah. • Pendelegasian kekuasaan, pemerintah, pihak lain atau pemimpin kelompok mendelegasikan keputusan untuk ditetapkan oleh warga atau anggota kelompok. • Pengawasan oleh rakyat, warga atau anggota kelompok memiliki kekuasaan mengawasi secara langsung keputusan yang telah diambil dan menolak pelaksanaan keputusan yang bertentangan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Menggunakan kedua konsep partisipasi di atas, maka dapat dikatakan bahwa partisipasi politis kaum perempuan umumnya menghadapi banyak kendala. Kebenaran pendapat ini dapat dilihat pada Mosse (1993), Kaufman dalam Kaufman dan Alfonso (1997), dan Perelli dalam Jaquette (1989). Sebuah studi di Kosta Rika yang disampaikan kembali oleh Mosse (1993) memperlihatkan tiga kendala utama bagi perempuan untuk berpartisipasi secara politis, yaitu pola kultural seksis, perspektif negatif perempuan terhadap dirinya sendiri, dan pekerjaan rumah tangga. Pola kultural seksis di Kosta Rika dikenal sebagai machismo, yang merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang melampaui seluruh struktur masyarakat. Paham ini mempengaruhi kehidupan seksual, prokreatif, kerja dan kehidupan emosional perempuan serta menentukan hubungan mereka dengan suami, keluarga, dan orang lain. Hidup dalam paham seperti ini menyebabkan sebagian besar perempuan di Kosta Rika memiliki perspektif negatif terhadap dirinya sendiri.
Kecemasan perempuan untuk
memenuhi perannya sebagai ibu dan pengasuh, serta kepeduliannya terhadap kesejahteraan anak-anaknya, menembus setiap aspek kehidupannya.
Dalam
konteks krisis ekonomi, ketika perempuan harus menghasilkan pendapatan untuk
39
menghidupi keluarga, mereka mungkin memperpanjang jam kerjanya sampai 17 jam, atau lebih. Oleh karena itu, waktu yang sedikit tersisa tidak dapat dipakai untuk melakukan hal lain, seperti terlibat dalam gerakan perlawanan, selain tidur. Kesimpulan terpenting dari studi ini adalah memahami partisipasi perempuan dalam organisasi atau kegiatan publik akan mungkin jika kendala terhadap partisipasi itu diakui dan diatasi bersama. Hasil studi di atas dapat dipelajari lebih lanjut dengan menggunakan pemikiran Kaufman dalam Kaufman dan Alfonso (1997). Menurut Kaufman, sifat dan bentuk partisipasi ditentukan oleh institusi, proses, dan faktor budaya serta ideologi, yang disebutnya sebagai ‘partisipasi yang berbeda’ (differential participation). ‘Partisipasi yang berbeda’ ini dihasilkan dari dua aspek penting, yaitu struktur ketidaksetaraan dan hegemoni kekuasaan dalam masyarakat yang patriarkhis. Kesemuanya ini menyebabkan perempuan dan laki-laki memiliki kekuasaan dan keistimewaan yang berbeda untuk berpartisipasi. Penelitian di Republik Dominika menunjukkan bahwa penilaian sosial tentang kemampuan laki-laki sebagai pemimpin lebih besar dibandingkan perempuan mempengaruhi (baca: mengurangi) partisipasi laki-laki dalam kegiatan atau organisasi dimana perempuan berperan penting. Dalam kegiatan dan atau organisasi yang fokus pada aspek kesehatan, pangan, pelayanan masyarakat, dan pendidikan, partisipasi laki-laki sangat kecil, karena dinilai tidak bergengsi dan sebagai tanggung jawab perempuan yang dimandatkan oleh laki-laki. Penelitian di Uruguay oleh Perelli dalam Jaquette (1989) menunjukkan juga kebenaran tentang pendapat di atas (‘partisipasi yang berbeda’). Meskipun hidup dalam otoriterianisme birokratis, Perelli menilai bahwa partisipasi dan perlawanan perempuan dalam gerakan sosial di sana secara fundamental masih bersifat konservatif, terikat pada sebuah citra ideal masa lampau, tidak radikal, dan kurang feminis, yaitu menggunakan peran paling tradisional dan melakukannya dengan cara paling tradisional juga, yaitu sebagai ibu rumahtangga yang teladan dan istri yang setia. Kesadaran magis, kesadaran naif atau kesadaran terbelah perempuan juga mempengaruhi tingkat ketahanan perempuan untuk berkomitmen dalam membangun gerakan, karena kesadaran tersebut selalu berada dalam dua proses
40
yang saling berkaitan erat, yaitu dinamika internal dan eksternal gerakan sosial (lihat Sztompka 1993). Pada sisi dinamika internal gerakan, Fox (1990) dikutip oleh Fauzi (2005) mengidentifikasi beberapa faktor internal dapat menghentikan perempuan dalam gerakan, yaitu kesulitan mengadakan pertemuan massa, komunitas-komunitas yang relatif tersebar, keragaman kegiatan ekonomi, konteks ekologis dan kepentingan keberlanjutan kehidupan sehari-hari, dan semua hal lain yang memberatkan atau beresiko yang harus mereka tanggung jika mereka memutuskan untuk terus berpartisipasi dalam gerakan. Hasil penelitian di Kosta Rika yang disampaikan oleh Mosse (1993) merupakan salah satu contoh yang sangat baik untuk menjelaskan bagaimana faktor internal mempengaruhi partisipasi perempuan dan keberlangsungannya dalam gerakan sosial. Sementara itu, pada sisi eksternal, beberapa faktor eksternal gerakan di wilayah pedesaan yang dapat menghambat, diantaranya adalah kekuatan yang digunakan pemerintah maupun pelaku bisnis untuk intervensi dalam gerakan rakyat lebih sering, dan didukung juga dengan keterbatasan jangkauan media massa dan lembaga-lembaga demokrasi formal terhadap kegiatan-kegiatan politik pedesaan (ibid). Pada konteks ini, penelitian Chuchryk di Cile (dalam Jaquette 1989) menjelaskan bahwa dalam merespon perlawanan rakyat, penguasa (baca: pemerintah) tidak tinggal diam. Banyak cara dilakukannya, yaitu mengkooptasi perlawanan kaum perempuan melalui pengorganisasian kelompok/organisasi ibuibu rukun warga, membangun perumahan bagi rakyat yang berpenghasilan kecil, dan memberikan perawatan bersalin dan kesehatan bagi anak. Ketika perlawanan perempuan telah masuk dalam ‘wilayah’ yang telah dirancang kooptasinya secara politis oleh penguasa/pihak lawan, maka upaya-upaya perlawanan perempuan tidak menandakan suatu peningkatan sikap dan komitmen untuk terus berjuang. Untuk Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Muchtar (1999) menunjukkan hal yang lebih dari upaya kooptasi oleh penguasa. Dalam rangka melanggengkan kekuasaannya, pemerintah Orde Baru menerapkan politik gender (yang didasarkan pada kombinasi antara ideologi ibuisme, kampanye anti GERWANI, dan dominasi militer) untuk mengatur sebagian besar perempuan Indonesia sebagai suatu kelompok homogen yang a-politis dan mendukung semua kebijakan pemerintah pada waktu itu. Salah satu upaya untuk memperkuat politik
41
gender seperti itu, dapat dilihat dari ‛revitalisasi’ dan pengelompokkan organisasiorganisasi perempuan yang berafiliasi dengan departemen pemerintah pada tahun 1974.
Pengelompokkan pertama, para istri pegawai negeri dimediasi dalam
organisasi Dharma Wanita. Pada pengelompokkan kedua, para istri dari aparat yang bekerja di militer dan kepolisian dimediasi dalam organisasi Dharma Pertiwi. Pengelompokkan terakhir, untuk para perempuan yang tidak termasuk kedalam kelompok pertama dan kedua di atas, terutama di pedesaan, dimediasi dalam organisasi PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Hal ini dilakukan agar para istri dapat mendukung perjuangan dan mensukseskan suami mereka, yang berperan sebagai aparatus negara dan abdi masyarakat dalam mengemban tugasnya
untuk
menyelenggarakan
pemerintahan
dan
melaksanakan
pembangunan. Oleh karena itu, sebagai contoh, Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi akan dibimbing dan difasilitasi oleh institusi masing-masing. Jika dilihat dari perspektif gerakan, Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi dinilai sebagai tanda kemunduran gerakan perempuan karena pertama, berkurangnya kemandirian perempuan dengan cara mendapatkan bimbingan dari atasan (yang umumnya lakilaki) sehingga tidak dimungkinkan sebagai salah satu forum yang membicarakan kepentingan-kepentingan khusus perempuan.
Kedua, dinilai dari pengaturan
keanggotaan pengurusnya, harus disesuaikan dengan jabatan suami. Dalam PKK, para perempuan ‘dididik’ untuk menjalankan Panca Dharma Wanita seperti menjadi pendamping setia suami, berguna bagi bangsa, pendidik anak, pengelola rumah tangga, dan anggota masyarakat yang berguna.
3.
Intervensi Gerakan Lingkungan dan Tumbuhnya Gerakan Konservasi Lokal Berbasis Perempuan Secara umum, sumberdaya dan fasilitas yang digunakan untuk gerakan tidak
pernah merupakan ciptaan murni internal dari pelaku-pelaku gerakan di tingkat basis. Salah satu faktor pendorong tumbuh dan berkembangnya sebuah gerakan sosial adalah struktur interaktif (organisasi) antara pelaku-pelaku gerakan (McAdams et al 1988, dikutip Sztompka 1993). Struktur interaktif ini dapat menciptakan hambatan atau kemudahan bagi gerakan. Jaringan komunikasi yang berdasarkan pada kesamaan ideologi untuk perubahan sosial yang diinginkan yang
42
sudah terbentuk di kalangan pelaku-pelaku gerakan, sebelum gerakan dimulai, memainkan peran penting dalam proses tumbuh dan berkembangnya gerakan. Meluasnya kemiskinan dan kerusakan lingkungan
-- sebagai akibat
industrialisasi kapitalis yang membatasi dan bahkan menghilangkan akses dan kontrol rakyat atas tanah dan kekayaan alam -- mengantarkan sebagian pihak dalam masyarakat meresponnya dengan beragam cara dan fokus, salah satunya adalah ORNOP. Menurut Antlöv et al dalam Jordan dan Tuijl (2006), ORNOP mulai dikenal di Indonesia sejak awal 1970-an sejalan dengan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Soeharto. Walaupun pada saat itu pemerintah dapat memelihara pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, 8% per tahun, kemiskinan
yang
meluas
dan
ketiadaan
partisipasi
masyarakat
dalam
pembangunan menciptakan ruang bagi ORNOP untuk berperan di masyarakat, terutama dalam kegiatan sosial dan ekonomi sebagai penyedia komplementer atau agen pelaksana program pemerintah yang tidak dapat menjangkau strata masyarakat yang paling bawah. Selanjutnya, pada tahun 1980-an, jumlah ORNOP di Indonesia semakin meningkat. Peningkatan ini dipengaruhi oleh politik nasional dan internasional. Pada tataran nasional, pemerintah Soeharto mengakui bahwa pemerintah tidak dapat melaksanakan semua pembangunan tanpa ‘partisipasi’ dari masyarakat. Hal ini menjadi suatu legitimasi bagi ORNOP untuk menjadi salah satu pelaku dalam pembangunan. Tetapi pemberlakuan partisipasi kepada ORNOP oleh pemerintah tidak dalam bahasa ‘pembangunan demokrasi’ seperti yang digunakan oleh lembaga dana untuk mendukung kerja-kerja ORNOP, melainkan dalam upaya menekan tumbuhnya kekritisan bersikap dari beberapa ORNOP. Pada tataran internasional, dengan berakhirnya perang dingin, agenda demokratisasi menjadi semakin penting. Negara-negara dari Eropa, Amerika Serikat, dan Uni Soviet bergabung untuk mendukung demokratisasi. Hal ini dapat ditunjukkan
dari
penghentian
dukungan
kepada
negara-negara
yang
pemerintahannya masih dijalankan oleh rezim yang otoriter, penggunaan indikator hak-hak azazi manusia pada skema pendanaan mereka kepada negara-negara Dunia Ketiga, dan memberikan sangsi keras kepada negara-negara Dunia Ketiga penerima bantuan mereka yang melakukan pelanggaran hak azasi manusia (lihat
43
Uhlin 1995 yang dikutip oleh Muchtar 1999). Respon kritis lainnya terhadap perubahan di tingkat internasional ini dapat dilihat dari pertumbuhan masyarakat sipil, dan oleh karena itu dukungan terhadap ORNOP menjadi penting, karena tidak hanya pada hal-hal yang bersifat programatis, tetapi juga pada pertimbangan bahwa ORNOP dipandang sebagai salah satu pelaku yang dapat memperkuat masyarakat sipil. Pada waktu ini, semakin banyak lembaga dana yang menyadari bahwa untuk merealisasikan tujuan sosial mereka, mereka perlu bekerja sama lebih lekat lagi dengan berbagai ORNOP.
Tekanan internasional ini pada
gilirannya juga mempengaruhi sikap dan perilaku pemerintah Indonesia memperlakukan pihak-pihak oposisi, salah satunya adalah ORNOP, seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun dalam perjalanannya, kerja-kerja ORNOP tidak sepenuhnya berkontribusi terhadap pertumbuhan masyarakat sipil yang kritis dalam skala massif. Keadaan ini pada konteks Indonesia, mengacu pada pertemuan refleksi pengalaman beberapa ORNOP lingkungan dan jaringan kerjanya pada tahun yang didokumentasikan oleh RMI pada Oktober 2002 (lihat RMI 2002), salah satunya disebabkan oleh beragamnya peran yang dipilih, yaitu: • Pendengar dan mitra diskusi dalam proses perencanaan kegiatan secara partisipatif dan penyelesaian konflik (terutama yang berhubungan dengan pengelolaan kekayaan alam); • Pendamping, fasilitator, atau mediator dalam proses negosiasi dengan pihak luar (pelaku bisnis dan pemerintah) dan kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan praktis; • Pengamat dalam upaya memperluas dan memfasilitasi inisiatif-inisiatif melalui penelitian dan kampanye media; • Pelayan (Pendukung Logistik) dalam proses memfasilitasi kebutuhan anggota; • Penyuara (amplifier) agenda para anggota melalui advokasi dan kampanye media. Beragam peran di atas merupakan implikasi langsung dari ideologi dan posisi yang dipilih oleh ORNOP.
Dalam konteks gerakan lingkungan yang
dimotori oleh ORNOP, Aditjondro (2003) menjelaskan fenomena pergeseran dan keragaman posisi serta ideologi. Sebagaimana yang telah disinggung oleh Antlöv
44
et al dalam Jordan dan Tuijl (2006) di atas, pada era rezim Soeharto, ketika gerakan lingkungan ikut difasilitasi oleh pemerintah -- dalam hal ini oleh Menteri Lingkungan Hidup yang pertama, Emil Salim -- maka sesungguhnya gerakan tersebut dimaksudkan sebagai alat legitimasi rezim Soeharto.
Aditjondro
membacanya, bahwa, peran fasilitasi pemerintah itu, paling tidak, dimaksudkan untuk menggemboskan keradikalan gerakan mahasiswa yang telah menyatakan mosi tidak percaya kepada Soeharto melalui Pernyataan Dewan-Dewan Mahasiswa yang berkumpul di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1978. Sepuluh tahun kemudian,
gerakan lingkungan berkembang menjadi
selubung dari gerakan anti Soeharto, dimana isu lingkungan, terutama Kedungombo, berfungsi sebagai alat delegitimasi politik rezim Soeharto. Kemudian, pada pasca rezim Soeharto, dipengaruhi oleh gerakan lingkungan dari Barat, para aktivis lingkungan di Indonesia mulai mempersoalkan dampak proyek-proyek raksasa, seperti bendungan, pembangkit listrik – pembangkit listrik, Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pertambangan, dan industri-industri raksasa, dalam semangat untuk lebih ‘memanusiawikan’ proyek-proyek tersebut. Sebagai salah satu akibatnya adalah menjauhkan sebagian aktivis lingkungan dari persoalan yang dihadapi para korban proyek-proyek itu melalui penciptaan media kerja sebagai konsultan AMDAL dengan tingkat kompensasi (baca: gaji) yang menggiurkan. Sementara itu, pelaku gerakan lain, yaitu pro-demokrasi, yang juga aktif di berbagai ORNOP lingkungan di Indonesia sibuk berbicara pada tingkat retorika makro, misalnya, menyatakan oposisinya terhadap neo-liberalisme yang dipropagandakan oleh lembaga-lembaga kerjasama internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan WTO. Sikap dan perilaku oposisi aktivis ‛Kiri’ ini ternyata tidak ditularkan pada rakyat korban di tingkat basis. Diantara kedua golongan aktivis/pelaku gerakan di atas, ‛Kanan’ dan ‛Kiri’ tersebut, terdapat golongan ke-3, yang dinamakan Aditjondro sebagai aktivis ‛Kiri Hijau’. Berkiblat pada ideologi ecopopulism, para aktivis dari golongan terakhir ini aktif mendokumentasikan dan membangun jaringan di antara berbagai ORNOP lokal yang mendampingi komunitas adat yang masih
45
bertahan menerapkan sistem pengelolaan kekayaan alam sesuai dengan ekosistem masing-masing. Mempelajari lebih jauh gerakan lingkungan di atas dengan pertanyaan tentang salah satu pelaku lain, yaitu “Di mana dan bagaimana perempuan dalam gerakan lingkungan?”, maka kita akan menemukan bahwa aspek gender dalam penguasaan kekayaan alam tersebut sangat sering diabaikan dalam kerja-kerja fasilitasi ORNOP lingkungan. Hal ini
menyebabkan keberadaan perempuan
dengan segala pengetahuan, persoalan, kebutuhan, dan harapan mereka belum banyak diperjuangkan dalam gerakan.
Padahal, diketahui bahwa dalam
penguasaan dan pengelolaan kekayaan alam dan lingkungan, para pelaku, perempuan dan laki-laki, memiliki pola relasi kekuasaan, pembedaan peran dan posisi yang setara dan jelas, saling melengkapi. Peran dan kontribusi dari masingmasing pelaku tersebut sangat diperlukan untuk keberlangsungan kehidupan keluarga mereka. Melalui keragaman peran dan posisi serta pergeseran ideologi, Aditjondro berpendapat bahwa gerakan lingkungan di Indonesia ternyata masih belum banyak berkontribusi terhadap proses demokratisasi dan penegakan HAM, serta bersifat elitis (lihat Antlöv et al dalam Jordan dan Tuijl 2006). Sebagian besar dari beragam pengetahuan dan isu yang diadvokasikan serta kegiatan yang difasilitasi oleh ORNOP dalam konteks gerakan lingkungan justru berkontribusi memapankan kekuasaan negara, kekuasaan perguruan tinggi, dan kekuasaan para pakar yang berasal dari pemerintah dan perguruan tinggi serta keberadaan ORNOP itu sendiri. Sementara itu, pada gerakan konservasi/lingkungan di basis yang diinisiasi oleh perempuan, Rocheleau et al (1996) menemukan lima penyebab yang menerangkan mengapa perempuan terlibat dalam gerakan konservasi/lingkungan yang belum banyak dipahami keterkaitannya satu sama lain secara holistik oleh sebagian ORNOP lingkungan: • Keterpurukan ekonomi dan kerusakan lingkungan alam. Peningkatan keterlibatan perempuan dalam perjuangan lingkungan dan dalam gerakan sosial dan politik berasal dari berbagai kesulitan para perempuan untuk mempertahankan hidup keluarga mereka dalam krisis lingkungan dan ekonomi.
46
• Dampak kebijakan penyesuaian struktural dari IMF. Kebijakan pemberian pinjaman ini hanya ditujukan kepada negara Dunia Ketiga yang bersedia mengurangi pengeluaran negara untuk segala subsidi (pertanian, pangan, kesehatan, pendidikan, dan BBM). Menurut Saptari dan Holzner (1997), pemotongan subsidi-subsidi ini mempengaruhi produksi (tanaman komoditas cenderung dipilih atau diwajibkan kepada petani karena membawa untung lebih tinggi), yang kemudian mengakibatkan harga tanaman pangan naik atau kurangnya persediaan tanaman pangan. Kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat, terutama keluarga-keluarga miskin melalui ketidakcukupan makanan, peningkatan biaya hidup, berkurangnya akses atas pelayananpelayanan publik dari pemerintah, penurunan ekonomi dan kerusakan lingkungan. Berdasarkan dampak-dampak ini, sebagian besar perempuan di belahan Dunia Ketiga mulai melakukan perlawanan secara kolektif. • Peningkatan kesadaran dan kesadaran politis. Peningkatan orang-orang yang bergabung dalam perlawanan menghadapi dampak dari krisis ekonomi dan lingkungan menunjukkan suatu pengakuan tentang kebutuhan untuk perubahan struktural politis struktural. Organisasi yang awalnya dibangun untuk tujuan khusus telah memperluas fokus mereka ke sistem politik dan sosial yang lebih besar. • Peminggiran perempuan dari arena politik Untuk sebagian besar perempuan, kondisi ekonomi dan lingkungan berpotensi menimbulkan bencana karena seing mereka dihadapkan pada keterbatasan pilihan sumber penghidupan. Kondisi ini menyebabkan mereka berpartisipasi kecil atau tidak sama sekali dalam politik yang diorganisir di tingkatan nasional. Aktivitas politik mereka biasanya dimulai di tingkat lokal yang berhubungan dengan berbagai hal yang kritis dalam kehidupan mereka seharihari.
Dalam dekade terakhir, permasalahan yang dihadapi oleh para
perempuan semakin meningkat.
Sistem yang ada tidak dapat menjawab
kebutuhan mereka, oleh karena itu mereka melakukan aksi kolektif untuk
47
mengamankan syarat-syarat yang diperlukan untuk menjamin subsistensi, melindungi kesehatan keluarga dan ekosistem sekitar mereka. Selanjutnya, dari lima penyebab di atas, berdasarkan tema, gerakan dan organisasi perempuan yang memperjuangkan isu lingkungan umumnya termasuk ke dalam salah satu dari tiga tema dibawah ini: • Kebijakan dan isu pengelolaan lingkungan. Pada tema ini, gerakan dan atau organisasi hanya memusatkan kerja mereka pada suatu kebijakan, permasalahan, atau resiko spesifik yang dinilai dapat membahayakan individu, rumahtangga, dan masyarakat. Dimulai dari pendokumentasian tentang persoalan lingkungan yang spesifik tersebut kemudian dijadikan agenda penting untuk mempengaruhi kebijakan dan penggalangan dukungan publik. • Akses ke dan distribusi sumberdaya pada kondisi-kondisi di mana terjadi kelangkaan sumberdaya dan penurunan kualitas lingkungan. Dapat dikatakan bahwa hampir di seluruh pelosok dunia, kelompok-kelompok komunitas mengorganisir diri mereka untuk bersama-sama terlibat dalam pengelolaan sumberdaya dan meningkatkan ketersediaannya bagi mereka. Kolektifitas perjuangan-perjuangan di tingkat lokal memungkinkan orangorang merespon secara lebih efektif terhadap perubahan luar di lingkungan mereka.
Mereka dapat membantu mengurangi resiko dan menciptakan
peluang baru. • Perubahan politik dan keberlanjutan lingkungan. Diketahui bahwa proses pemiskinan ekonomi dan lingkungan sangat berkaitan erat dengan struktur politik yang ada. Merespon keadaan yang demikian, organisasi memulai perjuangannya dengan tujuan keberlangsungan ekonomi, dan kemudian mengerucut pada tekanan politik untuk menjadi lebih baik, tidak hanya bertahan. Dalam rangka memperjuangkan tiga tema diatas, terutama yang dimiliki oleh perempuan dan kelompok marjinal lainnya yang selama ini menjadi korban eksploitasi kekayaan alam dan pengrusakan lingkungan, dari perspektif feminis melihat gerakan konservasi/lingkungan ke depan, sebagaimana yang telah disampaikan dalam bab pertama, hooks (2000) menyerukan pentingnya beragam
48
inisiatif dalam berbagai gerakan sosial -- seperti gerakan lingkungan terorganisir, gerakan perempuan, gerakan petani, dan gerakan masyarakat adat -- memiliki tujuan yang sama, yaitu menghapuskan seksisme terhadap alam (disebut juga oleh Warren 1987, dikutip oleh Tong 1998, sebagai naturisme) dan sesama manusia, tanpa harus dibatasi oleh sekat/aliran masing-masing. Hal ini dapat kita wujudkan melalui pemaknaan ulang secara kritis-kontemplatif tentang beberapa hal penting, yaitu: • Solidaritas di antara perempuan (sisterhood). Untuk merasakan suatu solidaritas, kita harus mempunyai persamaan perhatian/minat/kepentingan,
keyakinan,
tujuan
dan
komitmen
untuk
membangun persaudaraan di antara kita semua, para perempuan (sisterhood). Solidaritas juga memerlukan komitmen kita semua secara terus menerus. Untuk tumbuh bersama gerakan feminis, dibutuhkan keragaman. Kita menjadi bersaudara dan tumbuh dalam gerakan feminis karena kita dipersatukan dengan keyakinan dan perhatian/minat/kepentingan yang sama; dipersatukan dalam
sikap
kita
pendapat/pertentangan
menghargai
keragaman
(disagreement),
dan
(diversity), perbedaan
perselisihan (difference);
dipersatukan dalam perjuangan untuk mengakhiri opresi seksisme;
dan
dipersatukan dalam solidaritas politis. • Power. Nancy Hartsock dalam tulisannya, Political Change: Two Perspectives on Power, yang dikutip oleh hooks (2000), menekankan bahwa power dipahami sebagai
suatu
kreativitas
dan
penguatan
kehidupan
(life-affirming),
didefinisikan sebagai kemampuan untuk bertindak, kekuatan, atau tindakan yang memuat semangat berjuang sampai tuntas. • Bekerja dan sifatnya (work and its’ nature). Mempelajari makna bekerja, terutama melakukan pekerjaan rumahtangga, anak-anak dan orang dewasa sesungguhnya menerima tanggungjawab untuk menata sendiri material mereka, menghargai dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Melalui bekerja, mereka juga dapat mengekspresikan diri, menggali kreativitas dan belajar berdisiplin.
49
• Bekerja bersama laki-laki (men as comrades in struggle to end the sexist oppression). Laki-laki yang dapat dijadikan sebagai kawan berjuang untuk mengakhiri opresi seksisme adalah laki-laki yang berani mengakui dan bersedia melawan seksisme dan bentuk-bentuk opresinya dalam kegiatan/pekerjaan apapun. • Membangun gerakan yang berbasis massa (tidak lagi bersifat elitis). • Melakukan serangkaian pendidikan kritis bagi perempuan mengingat perempuan merupakan pihak yang paling banyak mengalami penindasan dari seksisme. Sejalan dengan pemikiran hooks, Grown dan Sen (1987) yang dikutip oleh Saptari dan
Holzner (1997) berpendapat bahwa gerakan lingkungan yang
diperjuangkan oleh kelompok-kelompok perempuan di basis yang masih bersifat pelayanan dapat menjadi gerakan feminis jika kelompok-kelompok tersebut tidak lagi bersifat hierarkis, partisipatif, anggota-anggotanya mempunyai kemampuan dan kemauan membagi daya (power) di antara mereka (melalui penggiliran fungsi-fungsi kepemimpinan) dan memiliki tujuan menghapuskan subordinasi perempuan menuju otonomi diri dan komunitas.
50
Catatan Kaki 1
Lihat Simatauw et al 2001.
Dalam PP No. 68 Tahun 1998, Pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa penunjukan suatu kawasan sebagai taman nasional apabila terdapat kriteria-kriteria: ▪ Memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami; ▪ Memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik, baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh; ▪ Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; ▪ Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; ▪ Dapat dibagi dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. 2
3
Disampaikan oleh Sangaji et al (2004) bahwa sistem zonasi kawasan taman nasional cenderung menyisihkan kepentingan komunitas setempat berdasarkan PP No. 68 Tahun 1998, Pasal 31 ayat 2, 3 dan 4 berikut ini. Pasal 31 ayat 2 menyebutkan bahwa penetapan bagian kawasan taman nasional sebagai zona inti jika memenuhi kriteria-kriteria: ▪ Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; ▪ Mewakili formasi bioma tertentu dan atau unit-unit penyusunnya; ▪ Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu oleh manusia; ▪ Memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami; ▪ Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; ▪ Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; ▪ Mempunyai ciri komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau keberadaannya terancam punah. Pasal 31 ayat 3 menyebutkan bahwa penetapan sebagai zona pemanfaatan, jika memenuhi kriteriakriteria: ▪ Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik; ▪ Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; ▪ Mempunyai kondisi lingkungan di sekitarnya yang mendukung upaya pengembangan pariwisata alam. Pasal 31 ayat 4 menyebutkan bahwa penetapan sebagian kawasan dalam taman nasional sebagai zona rimba, apabila memenuhi kriteria-kriteria: ▪ Mendukung upaya perkembangbiakan jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi; ▪ Memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan; ▪ Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu. 4 Wilayah hidup dimaknai sebagai sistem integrasi antara kekayaan alam dengan nilai-nilai dan sistem sosial di suatu komunitas yang bermukim pada teritori tertentu (lihat Kartodiharjo dan Jhamtani 2006) 5
Dalam wawancara yang dilakukan oleh bell hooks, Freire mengakui bahwa konsep consciousness-nya masih terdapat tendensi pemaknaan pembebasan rakyat (people’s liberation) dari sudut pandangnya sebagai laki-laki (lihat hooks 2000, 41 - 42).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab tiga ini akan membahas secara lebih mendalam tentang metodologi penelitian yang digunakan oleh penulis. Bab tiga ini terdiri dari tiga pembahasan. Pembahasan pertama akan menggambarkan metodologi feminis yang menjadi dasar bagi proses, prinsip, dan prosedur untuk mendekati problem dan mencari jawaban mengenai sejarah dan dinamika gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di kawasan ekosistem Halimun, Jawa Barat.
Pembahasan kedua
secara khusus akan mendiskusikan metode-metode yang dipilih yang sesuai dengan konteks budaya di kawasan ekosistem Halimun dan situasi nyata dari perempuan di Kampung Nyungcung yang mengalami kesulitan mengekspresikan dirinya kepada orang luar. Pembahasan terakhir yaitu pembahasan ketiga adalah uraian tentang keterbatasan penelitian ini.
1. Metodologi Feminis Secara Umum, metodologi didefinisikan sebagai proses, prinsip, dan prosedur untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Dengan demikian, tak terelakkan lagi metodologi dipengaruhi oleh perspektif teoritis atau kerangka penjelasan/interpretasi
yang
digunakan
oleh
seorang
peneliti
yang
memungkinkannya untuk memahami data dan menghubungkannya dengan peristiwa dan situasi lain.1 Untuk penelitian ini, saya menggunakan perspektif feminisme sebagai landasan teoritis metodologinya, atau biasa disebut sebagai metodologi feminis. Menurut Newman (1999) yang dikutip oleh Misiyah (2006), pendekatan penelitian feminis merupakan pendekatan ke-empat dari metodologi ilmu-ilmu sosial. Pendekatan ini merupakan hasil kajian-kajian kritis terhadap ketiga pendekatan sebelumnya yaitu pendekatan ilmu-ilmu sosial positivis, interpretatif dan ilmu-ilmu sosial kritis.
Menurut Ramazanoğlu dan Hollan (2002),
metodologi feminis dibedakan pada tingkat di mana teori-teori feminisme, etika, politik,
dan
pengalaman-pengalaman
dari
beragam
perempuan
yang
52
membentuknya. Namun demikian, dalam metodologi tersebut, para feminis selalu mempertimbangkan politik dan epistemologi yang tidak dapat dipisahkan. Secara prosedur, Cook dan Fonow (1991) yang dikutip oleh Hidayat (2004) menemukan empat prosedur pokok yang dalam bentuk berbeda-beda dinyatakan secara berulang-ulang dalam metodologi feminis, yaitu: refleksitas, orientasi pada aksi, pertimbangan pada unsur afeksi, dan pemanfaatan situasi yang sedang berlangsung.
Sejalan dengan empat prosedur tersebut, dalam prakteknya,
Reinharz (1992) mengatakan bahwa peneliti feminis sering memulai tulisan mereka dengan ‘hubungan pribadi’ yang mereka miliki untuk topik penelitian. Dalam konteks penelitian saya ini, ‘hubungan pribadi’ sebagaimana yang dijelaskan oleh Reinharz menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penelitian ini. Pengalaman saya berhubungan selama tiga tahun (2001 – 2004) dengan subjek penelitian ketika saya bekerja di RMI (ORNOP lokal yang bergerak pada isu lingkungan, tempat saya belajar dan bekerja selama ± 8 tahun, mulai dari akhir 1996 – pertengahan 2004) telah membangun sebuah pengalaman-pengalaman personal yang mendorong saya untuk mempelajari, memahami, dan menganalisis berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat militansi perjuangan kaum perempuan Nyungcung untuk mempertahankan kehidupan mereka yang semakin terpinggirkan karena keberadaan PERUM PERHUTANI Unit III, Taman Nasional Gunung Halimun, PT. Nirmala Agung, dan PT. Aneka Tambang di desa mereka, Malasari. Lebih khusus lagi, saya tertarik untuk mengungkapkan hal-hal yang tidak nampak dan tersembunyi dalam proses suatu kegiatan yang dimungkinkan karena adanya kesediaan kerjasama untuk berbagi pengalaman dengan saya dari sejumlah subjek penelitian yang selama ini tidak ‘terlihat’. Selama saya berinteraksi dengan masyarakat dan perempuan di Desa Malasari tersebut, khususnya Kampung Nyungcung, saya dihadapkan pada mozaik ketidak-berdayaan petani di sana.
Hal ini dapat diketahui dari, salah
satunya, suara-suara perempuan Nyungcung yang merupakan ungkapan-ungkapan kemarahan dan keletihan sekaligus kekuatan mereka untuk memperjuangkan akses dan kontrol atas sumber kehidupan yang sejak rezim Orde Baru telah berpindah tangan ke tangan pengusaha dan negara sebagai berikut:
53
“Semakin hari, hidup terasa sulit! Ingin bersawah atau berkebun…, tapi kami tidak punya tanah. Ada pihak-pihak lain di desa ini, ternyata tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat kecil seperti kami. Bagaimana ini??? Apakah rakyat kecil itu memang harus dimatikan???” (Pernyataan Nenek Ml dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2002) “Suatu hari ketika saya sedang bekerja di ladang, orang dari Kahutanan (sebutan lain dari masyarakat untuk PERUM PERHUTANI) mendatangi saya, dia memerintahkan saya untuk tidak lagi menanam di lahan ini karena ini lahan Kahutanan. Tapi saya tidak peduli, saya hanya menjawab…“terus saya musti menanam di mana lagi”..saya tidak punya lahan lain, kalau nggak ada lahan gimana saya bisa nanam untuk makan. Saat itu saya agak takut, tapi saya tidak berhenti menanam disini, sampai sekarang dia nggak pernah datang lagi..” (Pernyataan Ibu Ay dari Kampung Malasari. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2002 ) “Selama ini, kami diharuskan untuk menyelesaikan sendiri semua persoalan. Ketika kami tidak mampu, ya sudah…. kami berusaha berlapang dada berada dalam persoalan tersebut” (Pernyataan Ibu El, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal…., bulan…, 2004) Kegelisahan kaum perempuan Nyungcung yang tergambarkan dari ungkapan-ungkapan di atas dikonfirmasi oleh hasil evalusi kegiatan penguatan kebun talun yang difasilitasi oleh RMI. Proses dan hasil evaluasi menunjukkan kaum perempuan atau para istri petani yang tergabung dalam program penguatan kebun talun
tidak ada satupun yang mengetahui tentang kegiatan penguatan
kebun talun yang diikuti oleh suami mereka. Kenyataan ini mengarahkan saya pada sebuah kesimpulan bahwa suara kaum perempuan yang pada dasarnya aktif berpartisipasi dalam perjuangan kelompok petani tidak didengar.
Padahal
pandangan dan pendapat kaum perempuan ini sangatlah signifikan dalam mempertahankan sumber-sumber kehidupan mereka di kawasan konservasi sebagaimana tersiratkan dalam pandangan-pandangan mereka di bawah ini: “Semua yang kami tanam, baik di sawah maupun di kebun garapan, tidak untuk dijual. Semuanya untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga saya. Terus terang, walaupun demikian, hasilnya tidak mencukupi kebutuhan makan kami (lima orang) selama setahun. Oleh karena itulah, saya sering ikut ngepak di sawah saudara atau tetangga sekitar di kampung ini” (Pernyataan Ibu An dari Kampung Malasari. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2002)
54
“Kami tidak punya lahan, tapi saya ngelola lahan Kahutanan, di lahan itu saya tanam padi, talas, pisang, cabe, terong dan leuncak…hasil panen kemarin ada 50 gedeng…anak saya ada 5 orang jadi beras segitu tidak cukup untuk makan semusim panen, jadi saya harus ngepak dan jadi kuli ngoyos sehari bisa dapat Rp 5000,-, bapak juga jadi kuli nyangkul sehari dibayar 15.000,- tanpa makan siang, …mesti usaha keras…kalau nggak ..ya nggak bisa makan….” (Pernyataan Ibu Un dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal...., bulan...., 2002) Proses interaksi yang cukup mendalam yang mempertemukan saya dengan kekuatan kaum perempuan Malasari untuk bertahan hidup ditengah-tengah ketertindasan telah membuahkan empati dan simpati saya untuk meneliti kehidupan dan perjuangan mereka. Empati dan simpati saya ini sebenarnya juga bermuara pada posisi saya sendiri sebagai seorang perempuan dengan latar belakang keluarga petani.
Saya adalah cucu, keponakan dan saudara dari
beberapa petani (peasant) perempuan dan laki-laki di Sumatera Selatan yang secara nyata menyaksikan betapa saudara-saudara saya ini semakin hari semakin tidak berdaya, terjauhkan dari akses pengetahuan, ketrampilan, sumber-sumber tenurial lokal, dan pelayanan publik yang seharusnya disediakan oleh pemerintah. Mereka hanya mampu menjadi petani-petani yang hanya bisa mempertahankan kehidupan minimalnya.2 Interaksi antara posisi saya sebagai anggota keluarga petani di Sumatera Selatan dan posisi saya sebagai bagian orang yang pernah dekat dengan sebagian dari perempuan Nyungcung melalui beberapa kegiatan fasilitasi oleh RMI menjadikan diri saya pada tingkat tertentu dapat dikatakan sebagai ‘orang dalam’. Mengacu pada pengalaman penelitian feminis (lihat Muchtar 1999; Wieringa 1999; Misiyah 2006), menjadi ‘orang dalam’ pada penelitian akan menjawab pandangan kecurigaan tentang kemungkinan adanya dominasi, keabsahan representasi peneliti dari subjek penelitian dan interpretasi data penelitian yang sering membayangi penelitian feminis kontemporer3 mengenai “Siapa yang berbicara tentang apa/siapa?” dalam arti, apakah seseorang berhak menulis mengenai suatu komunitas yang bukan merupakan bagian dari dirinya.4 Pemikiran Mies (1983) dalam Shiva dan Mies (1993), serta Saptari dan Holzner (1997) di bawah ini menjadi dasar argumentasi saya untuk menjelaskan posisi saya seperti di atas dalam melakukan penelitian:
55
• Bahwa penelitian itu bebas nilai, netralitas, dan sejajar terhadap objek penelitian, harus digantikan dengan keberpihakan yang sadar yang dilakukan melalui identifikasi pemihakan pada subjek penelitian. Keberpihakan yang sadar berbeda dengan subjektifisme belaka atau empati sederhana, dan tidak hanya memahami bahwa subjek penelitian merupakan bagian dari dunia sosial yang lebih besar, tetapi juga peneliti itu sendiri. Dengan dasar identifikasi pemihakan tersebut, saya berupaya untuk menciptakan jarak yang kritis dan dialektis dengan subjek penelitian saya sehingga memungkinkan saya memunculkan suatu refleksi untuk memperluas kesadaran bersama, paling tidak untuk saya dan RMI, organisasi tempat saya belajar dan bekerja selama ini. • Bahwa hubungan vertikal/hierarkhis antara peneliti dengan subjek penelitian yang membawa sudut pandang dari atas, harus diganti dengan sudut pandang dari bawah. Sudut pandang dari bawah merupakan konsekuensi penting dari keberpihakan saya yang memerlukan pemahaman realitas dengan perspektif perempuan, para subjek penelitian. Terkait dengan sudut pandang dari bawah ini, analisis berdasarkan pengalaman perempuan tersebut memungkinkan para subjek penelitian mengklaim hak-haknya untuk memahami keadaan dan posisi diri mereka dari sudut pandang mereka sendiri, serta dapat dijadikan sebagai salah satu petunjuk signifikan bagi berkembang-tidaknya perjuangan mereka. Analisis seperti ini memiliki posisi titik tolak (stand point)5 yang sejalan dengan konsep posisi peneliti sebagai ‘orang dalam’ pada penelitiannya (lihat Kelley dan Mann 1997 yang dikutip oleh Hidayat 2004, bahwa “satu-satunya cara memahami dunia yang terkonstruksi secara sosial adalah dengan mengetahuinya dari dalam”).
2. Pendekatan dan Metode Penelitian 2.1. Pendekatan Penelitian Untuk mendapatkan pemahaman tentang pertemuan-pertemuan beragam emosi dan sikap yang bersifat sinergis dan terkadang kontradiktif pada diri para subjek penelitian, saya dan RMI, saya menggunakan pendekatan kualitatif.
56
Beberapa pertimbangan yang menyebabkan saya memilih pendekatan kualitatif didasarkan pada Saptari dan Holzner (1997), yaitu pertama, pendekatan ini memungkinkan adanya kedekatan emosional karena kepribadian saya selaku peneliti tidak dituntut netral untuk mencapai kebenaran “objektif”6, tetapi sebaliknya, kepribadian saya (faktor subjektif) dijadikan sebagai cara untuk memperoleh informasi tentang suatu realita sosial yang ingin saya teliti. Kedua, pendekatan kualitatif ini menyediakan ruang bagi saya untuk mempelajari, membuka, dan memahami apa yang terjadi di balik suatu realita sosial secara lebih dalam yang baru sedikit diketahui (Strauss dan Corbin 1990, yang dikutip oleh Saptari dan Holzner 1997), dalam hal ini adalah gerakan konservasi yang dilakukan oleh komunitas lokal (bukan komunitas adat). Terkait dengan pengalaman perempuan dalam kejadian, peristiwa atau fenomena itu, pendekatan seperti ini sangat penting dalam studi feminis karena perasaan dan pikiran perempuan dalam kehidupan sejak lama diabaikan oleh ilmu-ilmu sosial, atau pengalaman mereka dianggap sama seperti pengalaman laki-laki. Ketiga, data dan informasi yang telah diperoleh tersebut dalam pendekatan kualitatif masih dimungkinkan untuk didiskusikan, diragukan, atau dikonsepkan kembali secara bersama dengan para subjek penelitian, terutama tentang hal-hal yang selama ini tersembunyi dibalik realita yang ditampilkan ke publik.
2.2. Metode Penelitian Data dan informasi penelitian ini diambil dan dikumpulkan menggunakan metode-metode penelitian yaitu: pertama, Studi Literatur. Pada studi literatur ini, pengumpulan dan analisa informasi dilakukan selama 5 bulan melalui studi pustaka tentang konflik tenurial, gerakan lingkungan, gerakan feminis, catatan proses kegiatan pengorganisasian RMI dan serangkaian pertemuan rapat beberapa kelompok tani anggota KSM Nyungcung selama 2004 – Agustus 2006. Kedua adalah metode Wawancara Mendalam. Subjek penelitian yang saya wawancarai terdiri dari: • Sembilan orang petani dan buruh tani perempuan yang berasal dari 2 kelompok petani perempuan (5 orang dari Kel. Cepak Nangka, dan 4 orang dari Kel. Andam). Para petani dan buruh tani perempuan ini merupakan
57
subjek utama dalam penelitian saya.
Pemilihan subjek penelitian ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan saya, yaitu: hubungan kedekatan7 saya dengan mereka yang telah terbangun sejak tahun 2001, keterwakilan posisi mereka di dalam kelompok petani (sebagai ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota), peran kerja mereka di arena domestik dan publik (sebagai istri, ibu rumahtangga, petani, penggarap, buruh tani, dan pekerja rumahtangga di kota), kepemilikan tanah yang luasnya < dari 0.5 ha, tingkat pendidikan mereka (tidak bersekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD), dan pengalaman mengalami kekerasan dalam rumahtangga. • Dua orang dinamisator laki-laki dari Kel. Rimba Lestari. Selain aktif dalam kegiatan kelompok petani Rimba Lestari, kedua dinamisator ini merupakan anggota BPD Desa Malasari. • Dua orang laki-laki aparat pemerintah desa (Sekretaris Desa dan Kaur Pembangunan yang sekaligus merangkap sebagai guru SD di Kampung Malasari), • Dua orang perempuan (fasilitator lapang untuk bidang penguatan ekonomi lokal dan staf untuk kegiatan pendidikan hukum kritis bagi rakyat) dan empat orang laki-laki (ketua, wakil ketua, fasilitator lapang untuk bidang organisasi kelompok tani, dan fasilitator lapang untuk bidang pengelolaan kekayaan alam) dari Pengurus Harian RMI yang memfokuskan kerja pada fasilitasi penyelesaian konflik tenurial di Kawasan Ekosistem Halimun. Khusus pada saat wawancara dengan 9 orang perempuan subjek penelitian di atas, saya berupaya menerapkan seperti metode wawancara feminis yang dibahas oleh Reinharz (1992) dengan pertanyaan-pertanyaan terbuka, tidak terstruktur, serta membuka diri untuk menceritakan pengalaman sendiri -sebagai penguat pernyataan dari atau bagian pertanyaan yang diajukan ke para narasumber -- dan sekaligus untuk ditanyakan/dikritik oleh narasumber. Wawancara saya mulai dengan menyampaikan maksud penelitian -- yang saya bahasakan sebagai tugas akhir sekolah yang ingin saya kerjakan melalui cara menuliskan pengalaman, suka-duka, keberhasilan dan kegagalan, serta harapan
sebagian
kawan-kawan,
anggota
KSM
perempuan,
dalam
memperjuangkan konservasi lokal -- dan meminta izin kesediaan kawan-
58
kawan itu sebagai narasumber/subjek dalam penelitian saya. Ketika bersedia, saya melanjutkan wawancara/diskusi itu dengan pertanyaan sebagai berikut: “Mengingat kembali pengalaman Ibu/Teteh dalam kegiatan penghijauan kemarin di tanah-tanah tandus bekas kebun pinus, apa yang membuat Ibu/Teteh merasa bahagia dan sedih?” dan secara bertahap menuju pada pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan, seperti pertanyaan tentang penyebab dari rasa bahagia dan sedih itu, serta harapan Ibu/Teteh untuk perjuangan konservasi lokal yang kini diteruskan oleh kawan-kawan petani dan buruh tani laki-laki. Selama wawancara berlangsung, mempertimbangkan tentang kevakuman interaksi sebelumnya, saya putuskan untuk tidak menggunakan alat rekaman karena ingin menciptakan suasana akrab dan terbuka. Wawancara saya lakukan dalam dua cara yaitu diskusi bersama-sama (tiga orang atau lebih) dan wawancara terbatas (antara saya dan satu orang narasumber saja).
Cara kedua ini ditujukan untuk mengakomodir
kemungkinan tentang adanya perbincangan tentang hal-hal yang masih dinilai sensitif tanpa menimbulkan rasa terancam bagi narasumber tersebut. Ketiga adalah metode Pengamatan Partisipatoris. Tidak seperti observasi partisipatif yang dimaksudkan oleh Schwartz dan Jacobs (1979) dikutip oleh Saptari dan Holzner (1997)8, observasi saya dalam beberapa pertemuan KSM Nyungcung (baik internal maupun dengan pihak lain) lebih ditujukan untuk mengetahui sejauh mana para peserta pertemuan (yang sebagian besar merupakan laki-laki) mengatakan apa yang mereka maksud dan melakukan juga merupakan suara-suara dan aksi/tindakan/kontribusi dari perempuan (anggota KSM, istri, dan atau warga kampung yang mereka kenal dengan baik). Dari empat pertemuan yang saya hadiri, tidak satupun dari peserta yang secara lugas menyampaikan kembali ‘titipan’ suara dan harapan, persoalan, aksi menjawab persoalan itu, dan atau kontribusi perempuan. Pernyataan-pernyataan dan pendapat-pendapat yang dilontarkan selama pertemuan cenderung bersumber pada diri sendiri (laki-laki). Ketika saya berpartisipasi sebagai salah satu peserta yang dibolehkan untuk bertanya atau berpendapat, saya sampaikan kembali beberapa keinginan anggota KSM perempuan untuk dilibatkan kembali dalam rapat-rapat/pertemuanpertemuan KSM, dan juga mempertanyakan tentang bagaimana suara, harapan,
59
dan persoalan perempuan dalam pokok bahasan rapat/pertemuan. Selanjutnya, dalam wawancara dengan dua anggota KSM laki-laki, secara terpisah, saya fokuskan pertanyaan yang berkaitan dengan pandangan keduanya tentang anggota perempuan yang aktif dalam segala kegiatan KSM. Keempat adalah metode Studi Kasus. Berdasarkan definisi sosiologis tentang studi kasus dari Theordorson dan Theordorson (1969) yang dikutip oleh Reinharz (1992), yaitu: Suatu metode penelitian fenomena sosial melalui analisis menyeluruh tentang satu kasus individual. Kasus tersebut mungkin berupa seorang pribadi, kelompok, satu episode, suatu proses, satu komunitas, satu masyarakat, atau unit kehidupan sosiallainnya. Semua data yang relevan untuk kasus itu dikumpulkan, dan semua data yang tersedia disusun berdasarkan kasus itu. Metode studi kasus memberi sifat kesatuan pada data yang diteliti dengan saling menghubungkan bermacam fakta ke kasus tunggal. Itu juga menyajikan kesempatan untuk analisis mendalam terhadap banyak rincian spesifik yang sering terlewatkan dengan metode lain. Pendekatan ini berpijak pada asumsi bahwa kasus yang diteliti bersifat khas untuk kasus-kasus sejenis tertentu sehingga melalui analisis mendalam dapat dibuat generalisasi yang akan mungkin diterapkan pada kasus-kasus lain dari jenis yang sama. Menurut Reinharz (ibid), melalui kutipan di atas tentang studi kasus, teori feminis akan termiskinkan tanpa studi kasus, karena terdapat tiga tujuan utama mengapa feminis memerlukan metode tersebut, yaitu: menganalisis perubahan dalam fenomena sepanjang waktu, menganalisis signifikasi suatu fenomena bagi peristiwa-peristiwa di masa depan, dan menganalisis hubungan antar bagian dari satu fenomena. Dalam penelitian ini, pilihan metode studi kasus tentang gerakan konservasi lokal yang dilakukan oleh komunitas bukan adat, dimana penggiat perempuannya pada proses perkembangan gerakan itu tidak berpartisipasi lagi didasarkan pada pertimbangan saya untuk mencoba menganalisis bersama-sama dengan para subjek penelitian tentang inisiatif yang telah dilakukan mereka bagi peristiwaperistiwa di masa depan yang diharapkan (dalam lingkup diri pribadi, rumahtangga, dan komunitas kampung - Desa Malasari, dan lain-lain), yaitu:
60
“Kami ingin kampung kami hijau kembali seperti dulu sebelum PERUM PERHUTANI masuk” (Pernyataan Ibu Um dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2004) “Kami ingin memanen buah, mendapat kayu bakar dan mata air yang subur seperti dulu” (Pernyataan para ibu, anonim, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2004) “Kami tidak ingin ada bencana longsor di kampung kami” (Pernyataan Ibu Ln, dari Kampung Nyungcung, Desa Malasari. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2004)
3. Keterbatasan Penelitian Beberapa keterbatasan penelitian perlu saya ungkapkan di sini agar data dan analisis penelitian ini dapat dipelajari dan dipahami sesuai konteksnya. Keterbatasan pertama adalah tidak digunakannya metode live in (hidup bersama) yang sebetulnya dapat mengeksplorasi lebih jauh tentang pengalaman sehari-hari kaum perempuan dalam situasi gerakan di mana saat ini mereka yang mengalami terminasi (keadaan tidak aktif lagi).
Kedua, adanya tuntutan untuk tidak
mengungkapkan secara lengkap identitas subjek penelitian karena kekhawatiran “masa depan” mereka di mana masih terdapat kemungkinan untuk membangun kembali gerakan perlawanan berbasis perempuan dengan agenda, strategi dan kepemimpinan yang lebih baik lagi. Hal ini dikarenakan perjuangan konservasi lokal masih berada pada tahap negosiasi yang memungkinkan munculnya free rider untuk memancing ikan di air keruh. Kekhawatiran semacam ini dalam dunia penelitian mainstream diakomodir dalam suatu etika yang dikenal sebagai suatu bentuk perlindungan anonimitas (Ollenburger dan Moore 1997). Sementara itu, dalam perspektif feminis, etika seperti ini dikritik karena memiliki kecenderungan untuk menjadikan subjek penelitian sebagai individu yang impersonal/tidak dikenal sehingga dapat menutup kemungkinan bagi para subjek penelitian tersebut untuk berbicara sendiri mengenai identitas mereka, dan juga dapat menutup peluang interaksi langsung mereka dengan pihak-pihak lain yang ingin mengetahui lebih rinci tentang pengalaman para subjek penelitian tersebut dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan. Catatan Kaki
61
1
Lihat Silverman 1993 dalam Mulyana 2001 yang dikutip oleh Misiyah 2006.
2
Menurut Scott (1976) yang dikutip oleh Fauzi (2005), kehidupan petani seperti itu dinilai sebagai ekonomi moral petani. Keberlangsungan hidup petani seperti ini ditentukan selama bangunanbangunan komunitas tradisional menetapkan bentuk penyedotan surplus dapat diterima secara budaya. Apabila penetrasi pasar atau Negara mengubah bentuk penyedotan dalam arti yang dalam ukuran tahunan meluluh-lantakkan jaminan kolektif terhadap ketersediaan pangan, maka dengan sendirinya melanggar etika subsisten dan kemudian menyebabkan terjadinya pemberontakan petani (peasant). Lihat Ramazanoğlu dan Hollan (2002), terutama tentang diskusi kebebasan, fragmentasi, dan resistensi dalam metodologi feminis yang dihadapkan pada pemikiran posmodern, politik perbedaan, dan persoalan validitas representasi dan interpretasi tentang pengetahuan dan pengalaman perempuan sebagai ‘yang lain’. 3
Dikutip dari tesis Muchtar D (1999), dan Misiyah (2006) yang menjelaskan tentang pendapat Sen (1998) dalam Indonesian Women at Work: Re-framing the Subject, bahwa persoalan identitas peneliti sebagai seorang India yang menulis tentang perempuan Indonesia sebagai persoalan feminis dan dosen global bayangan (imagined global and academic readership). 4
5
Suatu area perdebatan tentang bagaimana menghasilkan pemahaman terbaik mengenai hubungan antara pengetahuan feminis dengan pengalaman para perempuan dan realita gender. Pengetahuan, secara potensial, dapat dihasilkan dari suatu sudut pandang/titik tolak feminis tentang apapun yang dialami oleh perempuan dalam kehidupannya di mana masih terdapat relasi gender yang tidak setara, yang kemudian dapat mengembangkan kesadaran politis feminis. Ini meliputi beragam cara mengekplorasi kekhususan bagaimana perempuan-perempuan mengalami hidupnya secara berbeda dari laki-laki, atau interseksual, atau orang yang lain, di mana mereka hidup dalam hubungan sosial spesifik terhadap kekuasaan laki-laki (Ramazanoğlu dan Hollan 2002) 6
Dalam metodologi feminis yang memposisikan perempuan sebagai titik tolak, menurut Harding (1987) yang dikutip oleh Hidayat (2004), objektivitas penelitian diperoleh dengan cara merefleksikan subjektivitas subjek (perempuan) yang mengetahui. Dalam penelitian antropologi, hubungan seperti itu dikenal sebagai rapport, suatu perasaan keterhubungan (connectedness). Menjalin rapport sangat penting untuk menembus keadaan hierarkhi sosial antara peneliti dengan subjek penelitiannya sehingga interaksi yang terjadi selama penelitian merupakan interaksi yang dialektis, setara, mengandung kesadaran, spontanitas, dan ada kemauan kedua belah pihak untuk selalu mengalami kedekatan dan keakraban. Habermas (1979) yang dikutip oleh Saptari dan Holzner (1997) menyebutkan interaksi seperti ini sebagai ‘komunikasi yang bebas kekuasaan’. 7
8
Sebagai salah satu metode penelitian kualitatif yang berarti berada di tengah orang lain secara terus menerus dan memiliki suatu status nominal sebagai seseorang yang merupakan bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Seseorang yang melakukan observasi partisipatif dapat memilih identitas sosial dengan cara: ▪ Mempelajari atau menjalankan seperangkat ketrampilan sosial dalam berhubungan dengan orang lain dan bertindak dengan tepat pada berbagai situasi kebudayaan; ▪ Memperoleh dan melaksanakan peranan sosial yang sah, seperti pekerjaan atau keanggotaan kelompok; ▪ Meleburkan diri dalam jaringan hubungan sosial; ▪ Secara psikologis mengidentifikasikan diri dengan tipe-tipe orang, bayangan-bayangan diri, nilai-nilai moral, dan berbagai gaya hidup.
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN Bab IV ini menggambarkan konteks dimana penelitian ini dilakukan. Ada empat hal yang akan secara khusus dipaparkan dalam bab ini. Bagian pertama akan menggambarkan letak dan posisi desa Malasari secara geografis. Bagian dua adalah tentang sejarah desa berdasarkan waktu-waktu kehadiran pihak luar ke Malasari yang mengambil-alih kekayaan alam dari tangan petani. Pengambilalihan ini tidak dapat dipungkiri telah mempengaruhi keadaan sosial ekonomi masyarakat yang akan digambarkan dalam bagian tiga.
Bagian keempat,
mendeskripsikan situasi dan kondisi perempuan di Malasari. Bagian terakhir, yaitu bagian kelima, merupakan gambaran profil subjek/informan penelitian.
1.
Letak dan Posisi Desa Malasari Secara geografis, Desa Malasari terletak pada ketinggian antara 600 m -
1800 m dari permukaan laut (dpl) dengan bentang alam berupa hamparan perbukitan, lembah, dan pegunungan di bagian Barat kawasan ekosistem Halimun. Curah hujan rata-rata 3000 mm per tahun dan suhu rata-rata berkisar antara 22 – 30°C. Menuju Malasari, tidak sedikit orang dikejutkan bahwa dibalik bukit dan pegunungan yang saling berbaris memagari wilayah bagian barat Kabupaten Bogor terdapat kehidupan komunitas-komunitas petani dan buruh tani
di
Malasari. Kepenatan selama perjalanan menuju Malasari -- yang agak lama, 2.5-3 jam dari Bogor atau ± 4 jam dari Jakarta -- akan segera hilang ketika mata disajikan dengan pemandangan ‘permadani hijau’ menentramkan hati dari tumpukan sawah dan kumpulan pohon-pohon yang disertai dengan kesejukan udara.
Ketika berada di tempat yang cukup tinggi, di dekat puncak Bukit
Manapak atau blok Keramat Banteng, dari kejauhan terlihat sekumpulan rumahrumah penduduk -- sepotong kecil dari suatu kampung -- yang dikelilingi oleh hamparan sawah yang luas, berundak-undak atau dikenal dalam bahasa Sunda sebagai sawah ‘ngais gunung’; potongan kecil talun yang terserak apik di lembah
63
dan punggung bukit-pegunungan; serta di bagian puncak bukit-pegunungan berjajar ‘pagar hijau tua’ yang rapat, tinggi, tidak beraturan: hutan. Berdasarkan pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh sebagian anggota kelompok Mandalasari (laki-laki) pada tahun 1998, Malasari memiliki luas wilayah administrasi ± 4,756 ha dengan batas-batas alam sebagai berikut: • Di Sebelah Timur dan Selatan, dibatasi oleh Sungai Cikaniki memanjang dari sebelah Timur Laut sampai sebelah Selatan (hulu Sungai Cikaniki) di Gunung Botol. • Di Sebelah Utara, dibatasi oleh sungai Cipara ke arah Timur sampai ke helipet menuju pondok batu pinggir sungai Cikaniki dan Sungai Cibitung ke arah Barat sampai ke Pasir Peninjauan. • Di Sebelah Barat, dibatasi oleh Sungai Cisangku memanjang dari sebelah ‘Barat Atas’ (Barat Laut) sampai ke lereng Gunung Botol (hulu Sungai Cibitung). Secara
administrasi, Malasari termasuk salah satu desa IDT di Kecamatan
Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat, yang dibagi menjadi 3 dusun dan enam RW. Dusun I merupakan pusat pemerintahan Desa Malasari. Dusun II merupakan dusun yang terluas di Desa Malasari. Sebagian besar kampung di Dusun II ini, terutama Kampung Nyungcung1, berada di atas lahan yang secara ‛hukum’ adalah kawasan produksi PERUM PERHUTANI. Warga kampung senantiasa merasa khawatir bila suatu saat nanti PERUM PERHUTANI meminta kembali lahan mereka untuk perluasan kebun pinus. Dusun III merupakan perluasan dari Dusun I dan berada di ujung Desa Malasari. Di dalam Dusun III, ada 4 kampung yang wilayahnya berada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), yaitu Kampung Citalahab, Legok Jeruk, Hanjawar, dan Garung.
Menurut penuturan beberapa sesepuh yang masih bermukim di
Hanjawar, bahwa berdasarkan sejarah, orang tua mereka telah mendiami kampung ini sejak tahun 1940-an, jauh sebelum pemerintah menetapkan menjadi kawasan konservasi (cagar alam dan kemudian taman nasional). Untuk mencapai pusat pemerintahan Desa Malasari dan beberapa kampung disekitarnya relatif mudah, karena jalannya sudah diaspal sehingga dapat dilalui kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat. Tetapi untuk beberapa
64
kampung yang lokasinya jauh dari pusat desa kondisi jalannya masih berbatu dan berlumpur jika turun hujan, sehingga untuk mencapainya harus berjalan kaki. Desa Malasari berjarak
±
65 km dari arah barat daya Cibinong (ibukota
Kabupaten Bogor), dan ± 15 km dari pusat Kecamatan Nanggung. Desa ini berbatasan dengan desa-desa lain, yaitu • Di Sebelah Timur :
Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor
• Di Sebelah Utara :
Desa Cisarua dan Curug Bitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor
• Di Sebelah Selatan:
Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, dan Desa Situmulya, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak
• Di Sebelah Barat :
Desa Kiarasari dan Desa Cisarua, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor
Gambar 2.
Peta Lokasi Desa Malasari yang Terletak di dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Desa Malasari
Sumber: Peta Taman Nasional Gunung Halimun-Salak 2003
65
2.
Sejarah Desa Malasari Secara historis, Desa Malasari merupakan bagian dari wilayah perluasan
perkebunan (kopi, kayu indigo, dan kapas) yang mencakup Kabupaten Sukabumi dan Bogor, untuk kepentingan tanam paksa (Preangerstelsel), tepatnya sesudah tahun 1864. Pada masa Preangerstelsel ini, rakyat berkewajiban memenuhi quota produksi komoditi perkebunan tersebut, yang pengaturannya oleh pemerintah kolonial Belanda diserahkan kepada Bupati atau kepala penduduk pribumi (Hanavi et al 2004). White (1983), dikutip oleh Li (1999), mengatakan bahwa jumlah tenaga kerja yang dikerahkan untuk perkebunan kopi pada masa puncak tanam paksa mencapai dua sampai tiga kali lipat dari yang dikerahkan untuk penanaman tebu di dataran rendah.
Antlöv (2002) mempertegas bahwa
pelaksanaan unit produksi dalam sistem tanam paksa memang memerlukan semua tenaga kerja, termasuk perempuan dan anak-anak, dari tingkat rumah tanggarumah tangga petani, terutama yang berkelas manumpang2. Keberlangsungan sistem tanam paksa itu kemudian diperkuat oleh para pelaku bisnis Belanda dan beberapa negara asing lainnya dengan cara mengembangkan perkebunan besar teh, kina, dan karet.
Kemunculan
perkebunan-perkebunan besar swasta asing ini diduga dari pemberlakuan politik pintu terbuka oleh pemerintah kolonial Belanda yang tercermin dalam UndangUndang Agraria 1870 (Agrarische Wet). Melalui politik pintu terbuka ini, sampai awal abad ke 20, di Kabupaten Sukabumi tercatat ada 474 perkebunan swasta. (Hanavi et al 2004). Untuk Kabupaten Bogor, terutama yang berdekatan dengan Sukabumi, termasuk Desa Malasari dan desa-desa sekitarnya, sejak tahun 1920-an telah dimulai pengembangan perkebunan teh oleh perusahaan-perusahaan Belanda. Sejarah seperti ini dibenarkan juga oleh beberapa sesepuh kampung di Malasari, salah satunya adalah Nenek Tt. Beliau bersama suami datang ke dan bermukim di kampung Nyungcung untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan teh milik perusahaan Belanda. Saat itu, menurut Nenek Tt, perkebunan teh dibangun dalam luasan-luasan kecil (tidak dalam satu bentangan yang luas) dan tersebar di antara wilayah hutan di Malasari.
Ketika masa pendudukan Jepang, perkebunan-
66
perkebunan teh itu ‘diserahkan’ oleh pengusaha Belanda kepada penduduk di Malasari, termasuk Kampung Nyungcung. Selain informasi tentang ‘penyerahan’ perkebunan-perkebunan teh itu, disampaikan juga bahwa sebagian besar penduduk (perempuan dan laki-laki) mulai membuka lahan-lahan sekitar kampung-desa mereka dalam untuk dijadikan huma, sawah, dan kebun. Fenomena membuka lahan seperti ini semakin meluas dikaitkan kewajiban serah padi yang diberlakukan oleh penguasa Jepang. Hasil penelitian Kurasawa (1993) memperkuat penjelasan ini. Walaupun sebentar, pendudukan Jepang di Indonesia menyebabkan beberapa perubahan yang cukup signifikan. Dalam penelitiannya, Kurasawa (ibid) membahas secara rinci tentang bagaimana seluruh kebijakan Pemerintahan Jepang mengontrol ketat kehidupan rakyat pedesaan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Dalam sektor pertanian, orientasi budidaya diubah, dari tanaman keras perkebunan menjadi tanaman pangan, terutama padi.
Selain kontrol atas jenis tanaman pertanian ini,
pemerintah Jepang juga menerapkan kebijakan pengumpulan hasil produksi tersebut.
Melalui pemberlakuan sistem penyerahan secara paksa dan sistem
penjatahan, petani diperintahkan untuk menyerahkan sebagian panen mereka kepada pemerintah.
Sistem seperti ini memperburuk kehidupan petani dan
meningkatkan kemiskinan di wilayah-wilayah pedesaan. “Jaman Jepang mah jaman emak kesusahan, anak-anak gak bisa makan. Semuanya kelaparan...... Kalaupun emak dapet makanan, eh.... di jalan diambil sama tentara Jepang....” (Pernyataan Ibu Un, dari Kampung Nyungcung, dikutip oleh Galudra et al. 2005) Selain itu, tenaga manusia juga kerahkan untuk bekerja bagi kepentingan militer ‘negara’ yang disebut sebagai rômusha, dan pemasok tenaga ini terbesar diambil dari masyarakat pedesaan. Rômusha ini membawa akibat sangat serius dimana kegiatan pertanian di pedesaan menjadi sekarat karena kekurangan tenaga kerja. Penjelasan Kurasawa ini dapat kita pakai untuk menjelaskan mengapa perkebunan-perkebunan teh di Malasari dan sekitarnya tidak dipertahankan, diubah menjadi huma, sawah, dan kebun, kecuali yang terdapat di Nirmala3, salah satu kampung di Malasari.
67
Sesudah Indonesia merdeka, terjadi perpindahan penguasaan lahan dan asset-asset di atasnya. Untuk perkebunan teh di Nirmala, setelah mengalami beberapa kali pengalihan hak pengusahaan, sejak tahun 1992 perkebunan tersebut dengan luas ± 971 ha diusahakan oleh PT. Nirmala Agung, (anak perusahaan PT. Sari Wangi). Selanjutnya, pada tahun 1978, sebagian kawasan hutan di Malasari -- yang selama periode 1924 – 1934 di masa Kolonial Belanda merupakan bagian dari kawasan hutan lindung (protection forest) -PERHUTANI Unit III
4
diberikan kepada PERUM
melalui unit pengelolaan RPH Cisangku, BKPH
Leuwiliang, KPH Bogor. Sebagian sawah, huma, dan talun masyarakat yang digarap sejak tahun 1930-1940an berada dalam kawasan produksi PERUM PERHUTANI. Mempertimbangkan potensi mineral emas di Halimun, pada tahun 1992, sebagian wilayah Malasari di bagian Utara, tepatnya Ciguha, berdasarkan Kontrak Karya KP Eksploitasi DU 893/Jabar untuk waktu 30 tahun dengan luas total wilayah konsesi ± 4,058 ha, diberikan kepada PT. Aneka Tambang sebagai salah satu vein utama mereka. Keberadaan PT. Aneka Tambang ini menyebabkan sebagian besar masyarakat Malasari, selain bertani, menjadi gurandil5 pada waktu-waktu tertentu (pada saat menjelang lebaran, untuk membayar uang sekolah anak, untuk berobat ke dokter di Nanggung, atau ikut menambang pada saat ‘musim’ emas yaitu ketika diketahui ada gurandil yang beruntung mendapatkan emas banyak di suatu lokasi tertentu sehingga mengundang gurandil lain untuk mencari emas di lokasi itu juga). Dari aspek konservasi, kawasan hutan yang tersisa dijadikan sebagai bagian dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun pada tahun 1979 dengan SK Menteri Pertanian No. 40/Kpts/Um-I/1979. Pada tahun 1992, dengan SK Menteri Kehutanan No. 282 Tahun 1992, cagar alam tersebut diubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Pada pertengahan tahun 2003, melalui SK MenHut No. 175/Kpts-II/2003, walaupun masih bersifat penunjukan, seluruh wilayah administratif Desa Malasari -- salah satu desa dari 118 desa -- saat ini berada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun – Salak (TNGHS).
68
3.
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Malasari Berdasarkan Monografi Tahun 2005, dengan populasi penduduk yang
disajikan dalam Tabel 1
-- yang diantara total populasi, terdapat 760 jiwa
perempuan dan 735 jiwa laki-laki bermukim di Kampung Nyungcung -- harus mampu bertahan hidup dalam satu wilayah administrasi dengan beberapa pihak lain yang telah dijelaskan sebelumnya. Kemampuan penduduk untuk bertahan hidup atau meningkatkan kesejahteraan keluarga mereka sangat ditentukan dari penguasaan sumber penghidupan (berupa tanah) yang terkait erat dengan mata pencaharian dan tingkat pendidikan. Tabel 1. Populasi Penduduk Desa Malasari Tahun 2005 Jumlah Jumlah Total Kelompok Perempuan Laki-laki Umur (tahun) 0– 9 973 862 1,835 10 – 19 585 646 1,231 20 – 29 702 698 1,400 30 – 39 537 612 1,149 40 – 49 304 363 667 50 – 59 300 395 695 60 – 69 221 272 493 ≥ 70 65 66 131 Total 3,687 3,914 7,601 Sumber: Monografi Desa Malasari Tahun 2005, diolah kembali
Jika dilihat dari struktur penguasaan tanah antara rakyat Malasari dengan para pihak tersebut (Tabel 2) dan dikaitkan dengan tingkat pendidikan (Tabel 3) dan mata pencaharian (Tabel 4), maka tidaklah mengherankan jika muncul konflik-konflik tenurial yang bersifat laten dan atau mewujud atas tanah dan kekayaan alam lainnya antara masyarakat versus Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), PERUM PERHUTANI Unit III, PT. Nirmala Agung, dan PT. Aneka Tambang.
69
Tabel 2. No.
Tata Guna Lahan di Desa Malasari Sebelum SK MenHut No. 175/Kpts-II/2003 Jenis Tata Guna Lahan Pihak yang Menguasai
1.
Lahan garapan & milik Masyarakat (termasuk pemukiman dan sarana umum) 2. Kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) 3. Hutan produksi RPH Cisangku, BKPH Leuwiliang, PERUM PERHUTANI Unit III 4. Perkebunan teh PT. Nirmala Agung 5. Tambang emas PT. Aneka Tambang Luas total wilayah administrasi Desa Malasari Sumber:
Luas (ha) ± 283 ± 1,040 ± 1,500 ± 971 ± 962 ± 4,756
Hanavi, et al. (2004)
Dari aspek kehidupan penduduknya, perubahan fungsi dan status penguasaan kekayaan alam ini berakibat jauh berupa berubahnya struktur akses, pemanfaatan dan kontrol rakyat atas kekayaan alam tersebut, yang kemudian berdampak lanjut pada taraf kehidupan mereka.
Sebagai contoh, potret
pendidikan yang disajikan dalam Tabel 3 cukup memprihatinkan. Tabel 3.
Tingkat Pendidikan Penduduk Malasari Tahun 2005 No. Tingkat Pendidikan Formal Jumlah Orang 1. Buta Huruf 130 2. Belum Bersekolah 1,006 3. Tidak Tamat SD 430 4. Tamat SD/Sederajat 4,403 5. Tamat SMP/Sederajat 420 6. Tamat SMU/Sederajat 66 7. Tamat D2 5
Sumber:
Monografi Desa Malasari Tahun 2005
Digabungkan dengan ketersediaan guru tetap (yang berstatus PNS, lihat Tabel 4), memaksa satu orang guru harus mengajar banyak kelas, terkadang semua kelas (kelas 1 – kelas 6). Tentu saja hal ini sangat mempengaruhi proses dan hasil dari pengajaran. Selain itu, ketersediaan bangunan sekolah (SD) yang saat ini berjumlah enam gedung dan jaraknya menjadi masalah, menyebabkan banyak anak-anak Malasari putus sekolah karena faktor biaya dan jarak. Untuk
70
melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya, SMP, sejauh ini hanya difasilitasi dengan SMP terbuka yang berada di Kampung Malasari dan Nyungcung yang juga memiliki keterbatasan dalam daya tampung, guru dan sarana pendukung lainnya. Selebihnya, jika ingin meneruskan ke SMP, anak-anak Desa Malasari harus menempuh jarak yang lebih jauh lagi, yaitu harus ke pusat kecamatan, sementara itu tidak semua warga memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk itu. Disampaikan oleh Ibu Km bahwa keadaan putus sekolah atau hanya sampai tamat SD lebih banyak dialami oleh anak perempuan karena pandangan dari para orang tua bahwa pada akhirnya anak perempuan akan kembali ke dapur yang tentunya tidak memerlukan pendidikan tinggi.
Dan biasanya, terutama di
Kampung Nyungcung, untuk membantu orang tua, para anak perempuan tersebut memberanikan diri bekerja di kota sebagai pekerja rumah tangga. Tabel 4. Jenis Matapencaharian Penduduk Malasari Tahun 2005 No. Jenis Matapencaharian* Jumlah Orang 1. Petani yang memiliki tanah 520 2. Petani penggarap di ex-lahan PERUM 782 PERHUTANI dan atau di kawasan TNGHS 3. Buruh tani 3,448 4. Wirausahawan (pengusaha kecil, pengrajin, dan 248 pedagang) 5. Buruh industri (termasuk mereka yang bekerja di 800 industri perkotaan) 6. Buruh bangunan 40 7. Buruh pertambangan 30 8. Buruh perkebunan teh 900 9. Pengemudi (termasuk tukang ojek) 10 10. Pegawai Negeri Sipil (guru) 3 Sumber: Keterangan*:
Monografi Desa Malasari Tahun 2005 Umumnya, setiap rumahtangga atau warga di Malasari sangat jarang hanya memiliki satu jenis matapencaharian saja
Gambaran suram pendidikan di Malasari hanyalah satu potong kecil dari gambaran besar tentang pendidikan formal di Indonesia saat ini yang sedang diprivatisasikan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh suatu jaringan kerja
ORNOP dan individu, E-net Justice, yang disampaikan kembali oleh Sasmita6 menunjukkan bahwa untuk Kabupaten Bogor pada tahun 2004, biaya penyelenggaraan pendidikan ke publik hanya sebesar 12.80% dari anggaran
71
pendidikan yang telah dialokasikan dalam APBD 2004 sebesar 27.03%. Sisanya (87.2%) ternyata dihabiskan untuk belanja pegawai. Realisasi dana pendidikan seperti ini sangat tidak mencukupi biaya pendidikan anak. Dana sebesar Rp 33,858,122 (12.80% dari 27.03% APBD 2004) dibagi dengan jumlah anak usia sekolah 7 – 15 tahun yang saat itu mencapai 834,079 anak, maka setiap anak hanya mendapat Rp 4,059 setiap tahunnya. Jumlah ini sangat kecil dan tentu saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan belajar anak. Menjadi wajar hal ini kemudian berdampak pada penurunan angka partisipasi sekolah. Dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan (padi), dari Tabel 2 kita dapat mengetahui bahwa sumber pangan penduduk di Malasari (berdasarkan Monografi Desa Tahun 2005: tercatat 1,766 KK) berasal dari tanah yang dapat ‛dikontrol’ seluas ± 283 ha (termasuk pemukiman) atau 6.24% dari total wilayah administrasi Desa Malasari.
Dalam potret keterbatasan seperti itu, untuk Kampung
Nyungcung yang pada tahun 2005 didiami oleh 307 KK, berdasarkan pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh sebagian anggota KSM Nyungcung (perempuan dan laki-laki) pada tahun 2005, diketahui bahwa sumber pangan mereka berasal dari tanah “milik”7 yang luasnya 14.73% dari luas total Kampung Nyungcung, dan tanah-tanah garapan di ex-kawasan hutan produksi PERUM PERHUTANI (Tabel 5). Tabel 5. Tata Guna Lahan di Kampung Nyungcung No. Jenis Tata Guna Lahan Pihak yang Menguasai 1. Lahan milik (termasuk beberapa Masyarakat pemukiman) 2. Lahan Desa (semacam tanah Pemerintah Desa titisara) 3. Ex-kawasan hutan poduksi Taman Nasional PERUM PERHUTANI Gunung Halimun-Salak Luas Total Kampung Nyungcung Sumber:
Luas (ha) ± 55.16 ±
6.71
± 312.61 ± 374.48
Peta Dasar Kampung yang dibuat oleh sebagian anggota (perempuan dan lakilaki) KSM Nyungcung
Jika luasan tersebut dibagi rata dengan jumlah KK yang ada, maka secara umum setiap KK dapat mengontrol tanah hanya seluas ± 0.16 ha, atau untuk Kampung Nyungcung ± 0.18 ha. Kenyataannya, tidak semua KK di Malasari, termasuk Kampung Nyungcung, memiliki lahan. Tercatat ± 50% dari mereka
72
merupakan buruh tani dan atau petani penggarap, untuk Kampung Nyungcung, silahkan lihat Tabel 6. Tabel 6.
Struktur Warga Kampung Nyungcung Berdasarkan Penguasaan Lahan No. Keterangan Rumahtangga yang Penjelasan Lain Dikepalai oleh PeremLakipuan laki Nama yang tertulis 1. Memiliki lahan (dalam dalam SPPT bentuk sawah dan atau tersebut sebagian kebun), tetapi tidak besar atas nama menggarap di kawasan kepala keluarga produksi PERUM laki-laki atau orang PERHUTANI: < 1,000 m2; 26 tua laki-laki. 9 41 1,001 – 5,000 m2; 1 4 5,001 – 10,000 m2; 7 > 10,000 m2. 2. Memiliki lahan dan menggarap sebagian kawasan produksi PERUM PERHUTANI: 23 < 1,000 m2; 1 2 34 1,001 – 5,000 m ; 3 1 5,001 – 10,000 m2; 2 > 10,000 m2. 7 108 3. Menggarap sebagian Kawasan Produksi PERUM PERHUTANI 4. Tidak memiliki dan tidak 5 34 Hidup sebagai menggarap tanah buruh tani Total rumahtangga 24 281 Sumber:
Data KSM Nyungcung yang dikumpulkan oleh 10 orang perempuan, anggota dari Kelompok Cepak Nangka dan Andam pada pertengahan 2005
Kehadiran pihak-pihak luar tersebut
-- selain menimbulkan gangguan
lingkungan dalam skala kecil (tidak menyeluruh) seperti kekeringan-tanah tandus (secara tidak langsung menyebabkan proses erosi genetika padi lokal), tanah longsor, ledakan hama tikus, dan serangan hama baru: babi hutan dan monyet -di sebagian besar kampung-kampung di Desa Malasari, seperti Nyungcung, Pabangbon, Pabuaran, Malasari, Cisangku, telah memutuskan satu mata rantai
73
dari kegiatan pengelolaan kekayaan ekosistem hutan, berhuma. Kini semua upaya untuk memenuhi pangan beras berpusat pada kegiatan bersawah. “Kalau mendekati musim panen pisang, saya dan suami harus bergantian menjaga kebun pisang kami dari hama monyet” (Pernyataan Ibu Sh dari Kampung Nyungcung, Didokumentasikan pada tanggal…, bulan…, 2003). “Dulu, waktu saya masih kecil, saya sangat senang membantu orang tua bekerja di huma. Tetapi sejak PERUM PERHUTANI masuk ke kampung ini, kegiatan berhuma tidak lagi kami lakukan” (Pernyataan Nenek Um, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2004) Berdasarkan hasil penelitian RMI pada tahun 2002, rata-rata hasil panen yang diperoleh di Kampung Malasari dari petakan sawah milik, tanah garapan di PERUM PERHUTANI, dan hasil ngepak, yaitu hasilnya sangat kecil, sebesar 30 pocong (setara dengan ± 150 kg gabah padi; 1 pocong ≈ 5 kg gabah padi). Sedangkan hasil yang diperoleh di Kampung Nyungcung rata-rata 10 kait (setara dengan ± 75 kg gabah padi; 1 kait ≈ 7.5 kg gabah padi). Hasil ini jika dikonsumsi oleh satu keluarga petani dengan perhitungan bahwa kebutuhan padi dalam satu hari rata-rata 1 liter untuk 4 orang (ayah, ibu, dan 2 anak), maka untuk 150 kg gabah padi cukup untuk tiga bulan, dan 75 kg gabah padi untuk pemenuhan 50 hari saja. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat memprihatikan.
Dari tahun ke tahun mereka mengalami
pemiskinan dalam segala bidang yang semakin akut, khususnya feminisasi kemiskinan, yang pemaparannya dapat dibaca pada bagian selanjutnya.
4.
Kondisi dan Situasi Perempuan Malasari – Nyungcung
4.1. Beban Ganda Perempuan Seperti pada umumnya kehidupan perempuan di pedesaan, perempuan Nyungcung juga mengalami beban ganda. Mereka, di satu sisi, harus mengurus rumah tangga, suami, dan anak, di sisi lain, juga harus mencari penghasilan bagi keluarganya. Ditambah lagi, mereka harus memerankan peran-peran sosial dalam komunitas yang tidak sedikit menyita waktu dan energi mereka seperti
74
menyiapkan konsumsi untuk pertemuan dan acara-acara sosial di kampung dan desa.
Beban ganda inilah yang menyebabkan perempuan Desa Malasari
terkungkung dalam kehidupan domestiknya. Mengamati keseharian kehidupan perempuan di Kampung Malasari dan Nyungcung, saya mendapatkan suatu gambaran yang memprihatinkan betapa waktu perempuan hanya dihabiskan untuk mengurus orang lain dan diluar dirinya. Perempuan Malasari – Nyungcung tidak pernah menikmati istirahat, mereka bekerja minimal 14 jam dalam satu hari. Situasi ini membuat sebagian besar perempuan di Malasari tidak dapat memikirkan kondisi kesehatan mereka sendiri. Semua yang dilakukan untuk menghidupi dan melayani keluarga mereka sebagaimana diungkapkan oleh subjek penelitian di bawah ini: “Perempuan mah..tidak pernah berhenti bekerja, walaupun badan lagi enggak enak tetap saja bekerja, kalau sudah mati baru perempuan berhenti bekerja…” (Pernyataan Ibu On, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2002). “Kemarin, waktu ‘musim’ sakit mata, saya juga kena. Waktu ngepak .......... rasanya mata saya mau copot, karena sakit sekali. Rasanya saya ingin sekali istirahat, gak ikut ngepak...... tapi saya mikir tentang persediaan beras di rumah yang tinggal sedikit lagi, yang mengharuskan saya ngepak” (Pernyataan Ibu On, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2002). “Pekerjaan perempuan ya dikerjakan perempuan, mana pernah laki-laki ngebantuan kerja perempuan, malah perempuan yang membantu kerja lakilaki…” (Pernyataan Ibu Tt, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2002). Gambaran kerja mereka yang rata-rata 14 jam sehari tersebut akan saya deskripsikan lebih rinci pada bab-bab selanjutnya sebagai dasar untuk memahami lebih jauh tentang sejarah dan dinamika gerakan konservasi berbasis perempuan di Kampung Nyungcung. Rutinitas pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci dan membersihkan rumah dimulai oleh sebagian besar perempuan sekitar pukul 04.00 WIB pagi, di saat para anggota keluarga lain masih terlelap. Pukul 06.00 WIB pagi, setelah minum kopi atau teh panas dan (kalau sempat dan ada bagian lebih
75
yang dapat dimakan) sarapan pagi, para petani perempuan dan beberapa orang petani laki-laki beriringan pergi ke sawah. Rata-rata jarak antara sawah dan kebun dengan rumah-rumah mereka cukup jauh. Umumnya sawah-sawah mereka yang berundak-undak terletak di lembah-lembah atau punggung bukit yang cukup terjal. Jarak antara satu undakan satu petak sawah dengan yang lain yang berada di bawah dan di atasnya dapat mencapai 2 – 2.5 meter dengan pematang sawah yang sempit sehingga untuk menitinya memerlukan keseimbangan tubuh. Satu orang kawan petani perempuan dari Kampung Malasari pernah menceritakan kepada saya tentang pengalamannya terpeleset di pematang sawah: “…. ketika hamil delapan bulan, saya pernah jatuh di sini” kata Ibu An sambil menunjukan jalan tanah setapak yang cukup curam menuju sawahnya di lembah Kampung Babakan Sirna, berjarak ± 1 km dari rumahnya di Kampung Malasari. Sesudah tengah hari, yaitu sekitar pukul 14.00 WIB, para petani perempuan pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, mereka biasanya mengambil pucuk daun ubi kayu atau sayuran lain yang ditanam di pinggiran sawah, rumput untuk makan ternak dan ranting-ranting pohon untuk tambahan persediaan kayu bakar. Kembali ke rumah, kembali dihadapkan dengan sisa pekerjaan yang belum sempat dikerjakan di pagi hari dan tambahan pekerjaan rutinitas lainnya. Setelah mandi dan sholat zuhur, sambil mengasuh anak, dengan cekatan dan tanpa rasa lelah, mereka segera membereskan pekerjaan-pekerjaan tersebut seperti mencuci tumpukan piring-gelas kotor dari sarapan pagi dan makan siang anggota keluarga dan onggokan pakaian kotor yang baru ditumpuk di pojokan kamar mandi serta membersihkan kembali rumah.
Selesai menuntaskan pekerjaan-pekerjaan
tersebut, para ibu itu kemudian bergegas masak kembali untuk menyiapkan makan malam. Menjelang matahari terbenam, setelah memasak untuk makan malam keluarga kemudian mandi dan sholat ashar, sore hari merupakan waktu yang menyenangkan -- walaupun sambil mengasuh anak -- untuk “bersantai”, melepaskan sedikit kepenatan setelah bekerja seharian di sawah dan di rumah. Bersantai dapat berarti menonton TV atau bersosialisasi/berkumpul dengan para tetangga di depan rumah atau tempat sebagian anggota masyarakat biasa berkumpul (warung, pos ronda, pinggir jalan desa, dll).
Ketika mereka
76
berkumpul, banyak informasi/cerita yang diobrolkan yaitu mulai dari persoalan domestik (yang bersifat umum, tidak yang dianggap tabu seperti kekerasan dalam rumah tangga) sampai persoalan publik, termasuk informasi penawaran maro, nguli nyangkul, ngepak, ngoyos dan manen.
4.2. Tingkat Buta Huruf Perempuan Sekitar 19.20% (pada tahun 2003) penduduk perempuan di pedesaan yang belum melek hurup, jumlah ini lebih besar dua kali dibandingkan dengan laki-laki (9.63%). Untuk Desa Malasari, disayangkan bahwa data yang diperoleh dari Monografi Desa tahun 2005 (lihat Tabel 3) tidak tersegregasi secara gender, sehingga tidak diketahui berapa persen dari 130 warga yang buta huruf tersebut adalah perempuan. Fakta tersebut menjelaskan kepada kita bahwa sistem pendidikan formal yang dijalankan belum banyak mengakomodir kebutuhan para orang dewasa yang belum melek huruf atas pendidikan formal tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa Program Kejar Paket A, B, dan C belum banyak direalisasikan di desa-desa pelosok. Sebagai contoh, konon, di Desa Malasari akan diadakan Program Kejar Paket B, bukan Kejar Paket A, dengan alasan banyaknya calon peserta belajar laki-laki yang mendaftar. Dikatakan oleh salah seorang aparat pemerintah desa Malasari (Bapak Eg), keinginan calon peserta laki-laki untuk mengikuti program pendidikan Kejar Paket B ini dikarenakan ingin memiliki ijazah sehingga ketika salah satu dari mereka ingin mencalonkan diri sebagai kepala desa, mereka dapat memenuhi kriteria yang menurut mereka paling signifikan, yaitu berpendidikan minimal SMP atau sederajat. Keinginan beberapa warga perempuan yang pernah disampaikan kepada saya untuk bisa membaca (melalui Program Kejar Paket A) tampaknya belum menjadi salah satu agenda mendesak bagi pemerintah desa.
4.3. Pekerjaan Perempuan Sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub-bab 4.1. di atas bahwa perempuan Malasari setidaknya bekerja 14 jam sehari. Berdasarkan penelitian RMI (2005) terhadap 79 rumah tangga petani di Kampung Nyungcung, diketahui
77
bahwa secara umum, 8 jenis pekerjaan utama rumahtangga dilakukan oleh perempuan, dan 1 oleh laki-laki (Tabel 7). Sementara itu, untuk kerja tani, ketika para suami belum/tidak beralih ke pekerjaan non pertanian, maka perempuan lebih terspesialisasi pada nebar, nandur, dan ngoyos-ngarambet, sedangkan lakilakinya pada pengolahan tanah, dan penyemprotan (Tabel 8). Tabel 7. Jenis-jenis Pekerjaan Domestik yang Dilakukan oleh Perempuan dan Laki-laki No. Jenis-jenis Pekerjaan Pelakunya Domestik Perempuan Laki-laki 9 1. Membersihkan rumah (menyapu dan mengepel) 9 2. Memasak 9 3. Mencuci piring 9 4. Mencuci pakaian 9 5. Menyeterikan pakaian 9 6. Mengambil air 9 7. Mengambil kayu bakar 9 8. Membersihkan halaman 9 9. Mengasuh anak
Tabel 8. Tahapan Pekerjaan Tani antara Perempuan dan Laki-laki No. Jenis-jenis Pekerjaan Tani Pelakunya Perempuan Laki-laki 9 1. Pengolahan tanah 9 2. Nebar (pembuatan bibit) 9 3. Nandur (penanam bibit padi) 9 9 4. Pemupukan 9 5. Ngoyos (menghancurkan bongkahan2 tanah di sawah) dan Ngarambas (penyiangan gulma) 9 6. Penyemprotan 9 9 7. Panen 9 9 8. Penjemuran padi 9 9 9. Pengikatan padi (untuk padi lokal) 9 9 10. Ampe pare (penyimpanan padi) Secara garis besar, selain bersawah dan atau berkebun di tanah milik dan atau garapan, jenis pekerjaan lain yang biasa dilakukan oleh petani dan buruh tani perempuan dan laki-laki agar tetap mendapatkan dan mempertahankan hak untuk
78
makan serta mendapatkan uang (cash) bagi keluarga mereka, dijelaskan dalam Tabel 9. “Suami saya ngojek untuk mencukupi kebutuhan kami, tapi hasilnya nggak tentu, kadang kalau rezeki lagi bagus, ya dapat agak lebih..tapi kalau lagi nggak ada penumpang, sering juga seharian nggak dapat duit...” (Pernyataan Ibu Ma, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal...., bulan...., 2002) “Saya sering jadi kuli ngoyos, mulai dari pagi sampai siang, biasanya dapat lima ribu, bapak sering juga nguli nyangkul atau kalau ada pas ada panggulan kayu, nguli juga, mulai dari pagi sampai sore dapat limabelas ribu tapi nggak dapat makan, kalo dapat makan, upahnya sepuluh ribu...” (Pernyataan Ibu Un, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal...., bulan...., 2002) Tabel 9. No . 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Pekerjaan dengan Imbalan (Padi, Ternak, atau Uang) yang Biasa Dilakukan oleh Perempuan dan Laki-laki Jenis Pekerjaan Perempuan LakiHasil yang laki didapat 9 Ngepak (untuk nandur dan panen) Padi^ 9 9 Maro sawah Padi^ 9 9 Maro ternak kambing Ternak 9 Kuli nandur Uang 9 Kuli ngoyos Uang 9 Kuli nyangkul Uang 9 Kuli ngarambas Uang 9 Kuli panen Padi^ atau Uang 9 Kuli tebang dan atau pikul kayu Uang 9 Uang Ngojek 9 Pembantu Rumahtangga Uang 9 9 Buruh murah di kota Uang 9 Nambang emas (menjadi gurandil) 9* Uang 9 9 Jual hasil ternak Uang 9 9 Jual hasil kebun Uang
Sumber: Keterangan
Hidayati 2005, dengan beberapa perbaikan. ^: Umumnya diterima dalam bentuk ikatan (pocong) *: Ditemukan di Kampung Nyungcung, Desa Malasari. Beberapa perempuan mengambil kumpulan batu dan tanah yang mengandung emas yang sebelumnya telah dikumpulkan dalam karungkarung oleh para gurandil laki-laki, suami atau saudara mereka.
Dikaitkan dengan pertambahan anggota keluarga dan kebutuhan hidup, yang tentu saja tidak dapat lagi dicukupi dari petakan-petakan sempit sawah mereka, maka sebagaimana yang dilakukan oleh generasi muda, sebagian besar petani
79
laki-laki mulai beralih pada pekerjaan di bidang non pertanian, terutama mencari emas di gunung (menjadi gurandil).
Kondisi ini tidak jarang mengharuskan
petani perempuan, terutama dari kalangan rumahtangga miskin, mengambil alih sisa pekerjaan bersawah yang awalnya merupakan pekerjaan laki-laki, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibu Tt pada halaman 74. Bagi petani perempuan Malasari, sumberdaya lahan dalam bentuk sawah dan kebun tidak hanya menjadi satu faktor produksi yang sangat penting, tetapi juga membantu memberi keamanan secara sosial. “….. kami ingin menggarap sawah dan atau kebun di lahan Kahutanan dengan rasa aman. …. kalau semua anggota keluarga cukup makan, kami dapat tidur nyenyak! …..” (Pernyataan Ibu Ar, dari Kampung Malasari. Didokumentasikan pada tanggal…., bulan…, 2002) Makna sangat penting tersebut dapat terlihat dari berbagai upaya yang selalu dilakukan untuk mengamankan kebutuhan beras bagi keluarga mereka, yaitu: • Ngepak Ngepak adalah salah bentuk kelembagaan lokal bagi hasil di bidang pertanian padi sawah yang menghubungkan antara pemilik sawah dengan para pengepak (‘pekerja’ perempuan)
yang membantu pada saat menanam (tandur) dan
panen -- tidak ada laki-laki yang terlibat sebagai pengepak, baik pada saat tandur atau panen. Bagi hasil dari ngepak di Malasari adalah 5 : 1, jika hasil panen 5 gedeng maka pemilik sawah mendapatkan 4 gedeng dan pengepak mendapatkan 1 gedeng. Untuk mencukupi kebutuhan beras keluarga, terutama bagi perempuan dari rumahtangga yang tidak memiliki atau menggarap lahan, ngepak merupakan cara yang tepat. Dengan bermodalkan tenaga, keahlian (menanam dan memanen padi dengan cepat), dan waktu, para pengepak mengusahakan pemenuhan kebutuhan beras dari banyak tempat/sawah orang lain.
Pada satu musim tanam seorang pengepak dapat mengepak di 10 - 15
tempat dengan hasil maksimal 50 - 65 gedeng padi (1 gedeng padi setara dengan 7.5 kg gabah padi). • Nguli Pekerjaan nguli yang dipilih oleh perempuan adalah ngoyos (melembutkan lumpur dan atau menghancurkan gumpalan/bongkahan tanah di sawah dan
80
sekaligus menyiangi rumput yang tumbuh di sela-sela padi). Upah yang diterima adalah sebesar Rp 10,000 dengan waktu kerja dari jam 07.00 – 15.00. • Maro Pada sistem maro, petani penggarap memikul semua biaya kegiatan bercocok tanam di sawah yaitu mulai dari pengolahan tanah, penanaman (tandur), pemeliharaan tanaman (penyiangan rumput/ngarambet, menggemburkan tanah/ngoyos, pemupukan, penyemprotan dan pengairan) dan pemanenan. Sementara itu, pihak pemilik sawah hanya menyediakan tanah sawahnya saja. Ketika panen, hasil tersebut dibagi dua, ½ bagian untuk pemilik dan ½ bagian untuk penggarap. Dalam sistem maro ini, hubungan antara penggarap dan pemilik sawah bukan merupakan hubungan abdi-majikan seperti yang terjadi di daerah Jawa atau tempat lainnya. Bagi mereka yang masih memiliki BALITA, beban ganda ini disiasati melalui pembentukan ‘institusi’ pengasuhan BALITA. Dijelaskan oleh para ibu yang menjalankan ‘institusi’ ini, bahwa disamping rasa tenang karena menitipkan anaknya dalam kondisi aman, juga memperoleh informasi tentang kesempatan bekerja di sawah orang lain (melakukan ngepak dan atau menjadi kuli ngoyos) yang dapat diakses secara bergilir. Kemudian, terkait dengan hari gelap, (waktu larangan melakukan kegiatan di sawah pada hari Jum’at dan Senin, atau Minggu), dipatuhi dengan cara bekerja di kebun, menghadiri pengajian, dan atau arisan beras (di Kampung Malasari). Dalam kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan di kampung atau di desa, seperti maulid nabi, isro’ mi’raj, pertemuan kampung atau desa dengan pihak luar, dan kendurian pernikahan, para ibu bekerja untuk menyediakan konsumsi. Sedangkan para bapak dan pemudanya terlibat dalam pemasangan tenda dan penyediaan kayu bakar untuk memasak. Dalam hal penyediaan konsumsi untuk pertemuan dengan pihak luar yang dana konsumsinya berasal dari kontribusi pihak luar tersebut, pernah terjadi ‘tuduhan’ dari beberapa warga kepada para ibu yang bersedia memasak. Para ibu itu dicurigai mengambil sisa uang belanja atau bahan-bahan makanan. Merasa tidak dihargai, satu seorang ibu yang memasak menyampaikan keberatannya atas tuduhan tersebut pada tokoh kampung yang memintanya menyediakan konsumsi. Contoh seperti ini merupakan gambaran
81
bagaimana masyarakat ‘menilai’ pekerjaan perempuan sebagai pekerjaan yang biasa saja atau tidak dihargai. Selain penjelasan pekerjaan domestik, bertani, dan kegiatan sosial tersebut, diceritakan oleh Ibu Km (anggota kelompok Cepak Nangka), bahwa sebagian besar ibu-ibu di Kampung Nyungcung pada saat mereka belum menikah, mereka bekerja sebagai pekerja rumah tangga di JABOTABEK. Seperti yang telah sedikit disinggung sebelumnya
(halaman 70), keadaan ini disebabkan karena
keterbatasan ekonomi keluarga.
Dengan bekal pendidikan, pengetahuan dan
pengalaman yang minim (hanya didapat dari SD dan lingkup membantu pekerjaan Ibu di rumah), para perempuan muda (termasuk anak-anak yang menjelang remaja) melalui ‘jaringan’ dengan para perintis migran, yang dalam hal ini didasari oleh suatu ikatan kekerabatan atau perkawanan -- mengacu pada istilah Marzali (2003) dikenal sebagai ikatan karunya’ batur --
berusaha untuk
mendapatkan pekerjaan di kota. ‘Tradisi’ migrasi ke kota untuk bekerja, menurut Astuti dalam Poerwandari dan Hidayat (2000), dapat dikatakan sebagai ‘gerakan tandingan’ dari perempuan muda kelas bawah untuk memerangi kemiskinan yang mereka alami selama ini. Terkait dengan budaya patriarkhi yang telah dijelaskan dalam Bab II, bahwa dalam kerangka kognitif ibu rumahtangga, peran dan kedudukan perempuan selama ini, ketika belum menikah, selalu digambarkan sebagai sosok yang selalu patuh pada orang tua dan bekerja dengan baik di rumah, mulai mendapat reaksi dari perempuan generasi muda.
Mereka mulai berani keluar desanya demi
memperoleh penghasilan untuk membantu orang tua. Abdullah (1997), dikutip oleh Astuti dalam Poerwandari dan Hidayat (2000), menilai keberanian ini sebenarnya merupakan salah satu bukti bahwa perempuan mulai merekonstruksi sejarah hidupnya dan menggugat ideologi familialisme. Migrasi yang dilakukan para perempuan muda tentu saja membawa beberapa implikasi tertentu, di antaranya adalah peralihan kultur desa ke kultur kota setidaknya menimbulkan konsekuensi sosial, ekonomi, psikologis dan politis bagi diri mereka; terjadi perubahan dan pergeseran status dan posisi, dari sebelumnya ikut orang tua dengan segala macam aturan yang harus dipatuhi, dalam posisi yang tergantung
82
pada orang tua, kemudian berubah menjadi perempuan yang belajar menghadapi dan menyelesaikan persoalan, serta belajar menjadi mandiri dalam segala hal.
4.4. Tingkat Partisipasi Politik Domestik dan Publik Perempuan Beragam peran, posisi, dan pekerjaan perempuan seperti di atas ditentukan oleh ‘norma’ di keluarga dan masyarakat yang tidak menyediakan ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi yang sesungguhnya sebagaimana partisipasi yang dimaksudkan oleh Longwe yang dikutip oleh Handayani dan Sugiarti (2002) dan Arnstein yang dikutip oleh Gaventa (2001).
Kontribusi perempuan yang
signifikan menentukan keberlangsungan kehidupan keluarganya tidak selalu menjamin perempuan memiliki kontrol yang setara dengan laki-laki terhadap keputusan dan asset dalam rumahtangganya.
Hal ini dapat tercermin dari
beberapa ungkapan perempuan berikut ini: “Saya mendapatkan warisan sawah ini dari ayah saya, surat-surat dan sertifikat sawah disimpan oleh suami saya, suami saya yang menentukan tanah mau dijual atau tidak….” (Pernyataan Ibu An, dari Kampung Malasari. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2002). “Kalaupun istri punya uang dari hasil nguli, tapi waktu mau menggunakan uang itu harus ijin dulu sama suami” (Anonim, sebagian Ibu-Ibu dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2002). Untuk berkegiatan di arena publik, seorang istri harus mendapat izin dari para suami terlebih dahulu, sedangkan suami, jika ingin pergi keluar, cukup memberitahukan ke tempat mana yang akan dia tuju tanpa harus ada persetujuan dari istri. Keadaan ini terungkap juga dalam pertemuan kelompok Cepak Nangka dan Andam bahwa salah satu masalah untuk tetap aktif di kelompok adalah kesulitan mendapatkan izin suami. “Kalau mau pergi ke pengajian, ikut kumpulan, atau pergi ke kota, istri harus ijin dulu ke suami. .......kalau suami mau pergi, biasanya hanya memberitahu saja ke istrinya …” (Anonim, sebagian Ibu-Ibu dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2002).
83
Kegiatan umum di
arena publik yang diikuti oleh perempuan adalah
pengajian8. Sementara itu, kegiatan PKK tidak pernah dilakukan ditingkat kampung. Sejak berakhirnya rezim Soeharto, menurut penuturan beberapa ibuibu dari Kampung Malasari (sebagai pusat pemerintahan Desa Malasari) kegiatankegiatan PKK sangat jarang dilakukan. Kalaupun ada kegiatan PKK, biasanya di tingkat Kecamatan dan hanya dihadiri oleh istri Kepala Desa. Kegiatan publik lainnya, terutama yang menyangkut tentang pengaturan warga, dari tingkat kampung (RT dan RW) dan desa, serta berkegiatan atau bekerjasama dengan pihak luar sejauh ini bukan merupakan wilayah perempuan untuk berpartisipasi, semuanya berada dibawah kepemimpinan laki-laki. Sebagaimana yang telah diungkapkan pada bab tiga, suatu contoh tentang kegiatan publik dengan pihak luar, dalam hal ini RMI, saya menemukan sendiri bahwa perempuan tidak diinformasikan lebih lanjut dalam interaksi di rumahtangga petani. Situasi perempuan seperti ini saya ketahui ketika melakukan evalusi kegiatan RMI dengan kelompok petani Mandalasari tentang penguatan kebun talun, akhir tahun 1998.
Saat itu, evalusi kegiatan bertepatan dengan
agenda kelompok petani Mandalasari untuk bertemu dengan pihak PT. Nirmala Agung, sehingga tidak satupun petani laki-laki yang merupakan partisipan kegiatan penguatan kebun talun dapat kami temui. Evaluasi kemudian diganti dengan bertemu dan berbincang-bincang dengan beberapa orang Ibu, istri dari para partisipan kegiatan, yang bersedia meluangkan waktu mereka.
Selama
berbincang-bincang dengan para ibu tersebut, tidak ada satupun dari mereka yang mengetahui tentang kegiatan penguatan kebun talun yang diikuti oleh suamisuami mereka. Kalaupun kegiatan tersebut dilakukan dekat rumah mereka, jika mereka tidak diundang secara tersurat bahwa perempuan, yang juga merupakan petani dan buruh tani, penting untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan, maka dikatakan oleh Ibu Em, Ibu An, dan Ibu Iy, mereka malu untuk berpartisipasi. “Kalo tidak diundang, kami malu untuk datang ke pertemuan di Balai Desa” (Pernyataan Ibu Em, dari Kampung Malasari. Didokumentasikan pada bulan Januari 2007)
84
Dalam konteks pemerintahan, meskipun pada periode 1998 – 2006 dan sekarang (2007 – 2013), Malasari memulai sejarah barunya tentang partisipasi politik perempuan, yaitu ada satu orang anggota BPD perempuan wakil dari Kampung Malasari, Ibu Km, persoalan dan kebutuhan khas perempuan Malasari belum dijadikan sebagai salah satu pokok bahasan penting di BPD dan pemerintah desa. Mengacu pada pemikiran Kaufman dalam Kaufman dan Alfonso (1997), partisipasi perempuan di atas, baik di arena domestik maupun publik, adalah ‘partisipasi yang berbeda’ (differential participation) yang umumnya dilekatkan pada fungsi reproduksi dan pelabelan sebagai ‘perempuan’ dalam budaya patriakhi di Malasari - Nyungcung.
4.5. Tingkat Kekerasan terhadap Perempuan Pemaparan umum dan khusus tentang kondisi sosial, ekonomi, dan politik perempuan Malasari di atas sesungguhnya menunjukkan bentuk-bentuk ‘kekerasan’ yang diciptakan oleh budaya patriakhi di masyarakat dan Negara. Mengacu pada pendapat Noerhadi, dan A Saraswati dalam Subono (2000), kekerasan pada perempuan dapat ditemukan dalam kondisi kehidupan perempuan seperti di bawah ini: • Tingginya beban kerja karena menjawab keterbatasan ekonomi dengan cara mencari nafkah untuk menambah atau bahkan menjadi penghasil utama disamping tetap mengerjakan tugas-tugas rumahtangga. • Turunnya daya tahan tubuh dan kurangnya gizi yang dikonsumsi sebagai akibat dari kerusakan lingkungan dan keterbatasan ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan untuk mengalokasikan dana kesehatan. • Kurangnya atau bahkan tidak adanya waktu untuk berkumpul, berdiskusi, mendapatkan dan mempertukarkan informasi. Hampir seluruh waktu tersita untuk pekerjaan-pekerjaan praktis bertahan hidup. Selain itu, anak perempuan umumnya tidak mendapatkan prioritas untuk mengenyam pendidikan sebagai akibat dari tekanan ekonomi keluarga.
85
• Rentan menerima kekerasan fisik di arena domestik/rumahtangga, dari suami yang frustasi/tertekan dalam himpitan ekonomi, dan juga di arena publik/komunitas. • Masih terbatasnya atau bahkan tertutupnya akses perempuan pada proses pengambilan keputusan di tingkat RT, RW, pemerintah desa, dan BPD. Aspek kedua di atas, yaitu tentang persoalan kesehatan perempuan, terutama kesehatan reproduksinya, sampai saat ini belum menjadi bagian dari substansi Monografi Desa, sehingga sulit untuk diketahui secara statistik untuk lingkup desa.
Padahal, salah satu bentuk kekerasan negara yang cukup signifikan
terhadap perempuan adalah penggunaan tubuh perempuan untuk tujuan ekonomi politik melalui program KB. ‘Program’ ini ditujukan untuk mengendalikan angka pertumbuhan penduduk melalui penggunaan alat kontrasepsi yang kesemuanya diarahkan hanya kepada perempuan. Meskipun dinilai berhasil, data hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002 – 2003 menunjukkan bahwa persoalan kesehatan ibu dan anak ternyata belum dapat diatasi secara baik melalui ‘Program’ KB. Walaupun secara nasional mengalami penurunan, angka kematian ibu melahirkan (AKI) tetap lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, yaitu 307 per 100,000 kelahiran hidup, dan angka kematian bayi (AKB) mencapai 35 per 1,000 kelahiran hidup antara 1998 – 2002 (UNDP 2004). Dari aspek kesehatan organ reproduksi perempuan, pengalaman Ibu Li dari Kampung Nyungcung, bahwa sejak dia mengikuti KB dengan menggunakan suntikan hormon tiga bulan sekali, menstruasinya tidak teratur, 4 – 6 enam bulan sekali, merupakan contoh yang baik untuk memahami salah satu bentuk kekerasan negara terhadap perempuan. Pada aspek kekerasan fisik terhadap perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pemerkosaan, pelecehan seksual, dan lain-lain, sangat mungkin dikarenakan masih berlakunya anggapan tabu untuk membicarakannya karena
merupakan
aib
keluarga
dan
diri
mereka
sendiri,
apalagi
menyelesaikannya, belum terungkap, kecuali kekerasan rumah tangga yang dialami oleh Ibu El, salah satu subjek penelitian ini.
86
5.
Profil Subjek Penelitian Profil sembilan perempuan Nyungcung yang menjadi subjek utama dalam
penelitian saya, yaitu Ibu Mr, Ln, Ww, On, Tt, Km, El, Un, dan An, akan digambarkan berdasarkan informasi dasar identitas mereka, yaitu posisi di kelompok di dalam kelompok tani, pendidikan, status pernikahan, jumlah anak, penguasaan tanah, dan pekerjaan, yang kesemuanya memperlihatkan citra perempuan marjinal (secara ringkas disampaikan pada Lampiran 4).
Informasi
identitas mereka ini diharapkan dapat memperjelas pemahaman atas analisis yang akan saya lakukan pada bab-bab berikutnya.
5.1. Posisi dalam Kelompok Seperti yang telah sedikit disinggung pada Bab III, sembilan orang subjek penelitian saya adalah orang-orang yang saya kenal cukup baik selama proses pengorganisasian perempuan di Kampung Nyungcung sejak tahun 2002. Dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan, mereka menduduki beberapa posisi dalam Kelompok Cepak Nangka dan Andam.
Penjelasan tentang Kelompok
Cepak Nangka dan Andam dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan akan dibahas pada bab lima dan enam. Tabel 10.
Sebaran Posisi Subjek Penelitian dalam Kelompok Petani Perempuan Posisi dalam Kelompok Frekuensi Persentase Ketua Kelompok 2 orang 22% Wakil Ketua Kelompok 1 orang 11% Sekretaris 1 orang 11% Anggota 5 orang 56% Jumlah 9 orang 100%
Sumber: RMI 2004, diolah kembali
Berdasarkan Tabel 10, subjek penelitian yang menduduki posisi ketua pada Kelompok Cepak Nangka adalah Ibu Mr (33 tahun), pada Kelompok Andam, posisi ketua dipercayakan kepada Ibu Ln (24 tahun).
Posisi lain dalam
kepengurusan kelompok, dalam hal ini diwakilkan oleh Kelompok Andam, yaitu wakil ketua dan sekretaris, masing-masing dipercayakan kepada Ibu Un (58 tahun) dan Ibu Ww (37 tahun). Selebihnya, Ibu On (56 tahun), Ibu Tt (37 tahun),
87
Ibu Km (29 tahun), dan Ibu El (26 tahun) adalah anggota Kelompok Cepak Nangka, serta Ibu An (40 tahun), anggota Kelompok Andam. Keterwakilan posisi di atas pada saat mendiskusikan tentang terminasi kelompok mereka dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan, baik ketua, wakil ketua, sekretaris, maupun anggota, tidak memberikan pendapat yang berkaitan dengan posisi mereka masing-masing dalam kelompok.
Walaupun
disampaikan dalam bahasa yang berbeda, pada prinsipnya, mereka semua menyampaikan tiga hal tentang terminasi kelompok petani perempuan, yaitu: kualitas lingkungan yang belum mendukung kegiatan penghijauan, kesibukan pekerjaan rumahtangga dan bertani, serta kehilangan sumber penyemangat (Ibu El).
5.2. Pendidikan Tingkat pendidikan dari sembilan subjek penelitian disajikan dalam Tabel 11 di bawah, di mana terdapat seorang pengurus dan seorang anggota dari Kelompok Andam, Ibu Un dan Ibu An, tidak bersekolah sehingga mereka sampai saat ini buta huruf.
Selanjutnya, dua orang anggota dari Kelompok Cepak
Nangka, Ibu On dan Ibu Km tidak dapat menamatkan SD karena persoalan ekonomi orang tua mereka. Ibu On hanya bersekolah sampai kelas 3, dan Ibu Km sampai kelas 4.
Lima orang lainnya, pengurus dan anggota dua kelompok
tersebut, menamatkan SD. Tabel 11.
Hubungan antara Tingkat Pendidikan Dengan Posisi dalam Kelompok Posisi dalam Pengurus Anggota Kelompok Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah 1 orang 1 orang Tidak Tamat SD 2 orang Tamat SD 3 orang 2 orang Jumlah 4 orang 5 orang
88
Tabel di atas menunjukkan bahwa secara umum tingkat pendidikan menentukan posisi seseorang dalam kelompok. Selain itu, terdapat kriteria lain, seperti umur atau posisi sosial di masyarakat. Ini dapat dilihat dari terpilihnya Ibu Un, walaupun tidak bersekolah, menjadi Wakil Ketua Kelompok Andam, karena umur yang dinilai lebih banyak pengalaman dan sabar, serta merupakan anak tertua dari salah satu tetua kampung. Dalam interaksi di antara mereka, perbedaan tingkat pendidikan tersebut tidak membuat mereka yang tidak bersekolah atau tidak tamat SD menjadi rendah diri dalam menjalankan agenda kerja. Semuanya aktif, saling mengingatkan dan mendukung.
5.3. Status perkawinan Umumnya, perempuan-perempuan di Malasari, termasuk Kampung Nyungcung, menikah pada usia relatif muda, sepulang dari bekerja di kota. Disampaikan oleh Ibu El, dia menikah pada saat umur 14 tahun, setelah menamatkan SD dan bekerja di kota selama 2 tahun sebagai pengasuh anak di Jakarta. “Saya menikah saat saya masih remaja, belum tahu banyak tentang kewajiban seorang istri. Dulu, walaupun saya sudah jadi istri orang, saya masih suka bermain, bahkan sampai magrib, sering lupa masak untuk suami” (Pernyataan Ibu El, didokumentasikan pada bulan Agustus 2006) Selain Ibu El yang kini telah bercerai dari suaminya, kedelapan subjek penelitian yang lain berstatus menikah (Tabel 12). Tingkat pendidikan yang mereka miliki tidak cukup kuat berpengaruh terhadap keputusan pada saat kapan mereka akan menikah atau tidak, dan bagaimana ketika mereka diceraikan. Sebagian dari mereka menikah karena dijodohkan oleh orang tua melalui cara pernikahan sirih, karena hanya dilakukan oleh penghulu di kampung, bukan dari KUA. Oleh karenanya, pernikahan mereka belum didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil.
Melalui cara seperti ini, selain implikasi tentang peluang poligami
dimudahkan, pada kasus perceraian, perempuan sulit untuk menyelesaikan pembagian harta gono-gini dan menuntut hak nafkah bagi anaknya. Saat terjadi perceraian, berdasarkan penuturan Ibu El pada tahun 2004, umumnya laki-laki yang berniat cerai atau wakil keluarganya hanya melaporkan pada Ketua RT.
89
Perempuan yang diceraikan itu akan diantarkan kembali oleh mantan suaminya ke rumah orang tuanya. Pada kasus perceraian Ibu El, implikasi kedua terjadi, yaitu disepakati bahwa semua harta gono-gini diperuntukan untuk ketiga anaknya yang ‘diatur’ oleh mantan suaminya. Untuk berupaya menafkahi anak-anaknya, Ibu El memutuskan mundur dari kegiatan kelompok Cepak Nangka. Tabel 12. Hubungan antara Status Perkawinan dengan Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian dalam Kelompok Tingkat Tidak Tidak Pendidikan Sekolah Tamat Tamat SD Status Perkawinan SD Belum Menikah Tidak Menikah Menikah 2 orang 2 orang 4 orang Janda (cerai) 1 orang
5.4. Jumlah Anak Jumlah anak dari masing-masing subjek penelitian cukup bervariasi. Ibu Ln memiliki satu orang anak laki-laki, dan saat ini sedang mengandung anak keduanya. Ibu Mr, An, dan El, masing-masing memiliki tiga orang anak. Ibu Un dan Ww memiliki empat orang anak. Ibu Tt memiliki 5 orang anak, dan Ibu On, memiliki anak yang paling banyak, di antara yang lain, yaitu 8 orang. Tabel 13. Hubungan antara Jumlah Anak dengan Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian dalam Kelompok Tidak Tidak Tingkat Sekolah Tamat SD Tamat SD Pendidikan Jumlah Anak ≤ 2 orang 1 orang 1 orang 3 - 4 orang 2 orang 3 orang ≥ 5 orang 1 orang 1 orang
Dari tabel tersebut terlihat bahwa tingkat pendidikan tidak begitu berpengaruh pada jumlah anak yang dimiliki. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan bagaimana kontrol perempuan atas kesehatan reproduksinya
90
belum dapat dijelaskan dalam keadaan pendidikan seperti yang dimiliki oleh para subjek penelitian ini. Dihubungkan dengan ‘tradisi’ perempuan/anak perempuan Nyungcung bekerja di sektor informal perkotaan selepas SD atau sebelum menikah, semua anak perempuan Ibu On (lima orang) telah dan sedang melakukan ‘tradisi’ itu untuk membantu ekonomi keluarga. Fenomena seperti ini bukan tidak mungkin akan dilakukan juga oleh anak-anak perempuan dari delapan subjek penelitian lainnya, ketika dirasakan mereka telah siap untuk merantau bekerja dalam usia yang seharusnya masih bersekolah.
5.5. Pekerjaan Diketahui bahwa sembilan subjek penelitian ini, dari sejarah hidup masingmasing, tidak ada yang hanya memiliki satu pekerjaan saja.
Berikut rincian
pekerjaan mereka (Tabel 14). Tabel 14.
Jenis – Jenis Pekerjaan Sembilan Subjek Penelitian. Jenis – Jenis Pekerjaan Frekuensi Persentase Pekerjaan Rumah tangga,dan Pelayanan Publik 1 orang 11% Pekerjaan Rumah tangga, Pelayanan Publik, 1 orang 11% dan Usaha (Sektor Informal) Pekerjaan Rumah tangga, Pelayanan Publik, 4 orang 45% dan Bertani (termasuk Ngepak) 3 orang 33% Pekerjaan Rumah tangga, Pelayanan Publik, Bertani (termasuk Ngepak), dan Usaha (Sektor Informal) Jumlah 9 orang 100%
Tabel 14 menunjukkan bahwa pada pekerjaan tani, di antara sembilan subjek penelitian tersebut, terdapat dua orang yang tidak lagi melakukannya, yaitu Ibu Ln dan Ibu Km. Sawah mereka dikelola dengan cara mengupah buruh tani. Untuk enam orang lainnya, yaitu Ibu Mr, On, Tt, Ww, Un dan An, selain bertani, ketika ketersediaan beras tidak dapat dicukupi dari sawah milik dan garapan, mereka juga ikut dalam kegiatan ngepak di sawah orang lain. Untuk satu orang lagi, Ibu El, dikarenakan perceraiannya, selain ikut membantu orang tuanya di sawah pada kegiatan nandur dan panen, pada beberapa kesempatan, Ibu El pergi
91
ke kota atau tempat lain untuk mencari pekerjaan. Dari beberapa kali kesempatan tersebut, diceritakan oleh Ibu El bahwa dia mendapatkan tawaran untuk beberapa pekerjaan yang tidak dia bayangkan sebelumnya, yaitu: • ‘Koordinator’ lapang bagi beberapa orang gurandil (laki-laki) yang bersedia bekerja dalam kelompok yang dia koordinasikan tersebut. • Pekerja pabrik di luar negeri (menjadi buruh migran perempuan) • Penjaga keamanan (satpam) di suatu pabrik tekstil di Sukabumi yang pekerjanya semua perempuan. Ketiga pekerjaan di atas memerlukan modal awal untuk keperluan ‘administrasi’ yang jumlahnya cukup banyak. Sampai saat ini Ibu El belum mampu untuk memenuhi sejumlah uang yang disyaratkan tersebut. Pada pekerjaan pelayanan publik, semua subjek penelitian selalu terlibat dalam hal penyiapan konsumsi untuk kegiatan-kegiatan keagamaan seperti isro’ mi’raj, maulud nabi, pesta pernikahan yang terdapat di lingkungan sekitar tempat mereka tinggal (semisal lingkup RT). Pada jenis pekerjaan sektor informal, tujuh orang subjek penelitian dari semua tingkat pendidikan seperti di atas, selain Ibu An dan Ww, memiliki pengalaman bekerja sebagai pekerja rumahtangga (PRT) di JABOTABEK, pengasuh anak, atau pelayan toko pada umur belasan tahun. Saat ini, terdapat empat orang bekerja di sektor informal sebagai pedagang. Untuk Ibu Ln, dia merintis usaha menjual paket kebutuhan sembako secara kredit.
Tiga orang
lainnya, yaitu Ibu On, Ibu Ww, dan Ibu Mr, selain tetap mengerjakan pekerjaan rumahtangga dan bertani di sawah milik dan garapan, mereka bertiga berjualan makanan. Ibu On berjualan lauk-pauk untuk makan siang para gurandil di lokasi penambangan rakyat di blok Cikoret. Ibu Ww berjualan bakso di rumahnya. Ibu Mr berjualan keripik pisang. Kelancaran berjualan makanan sangat tergantung dari ketersediaan modal setiap harinya. Menurut Ibu On, menjadi sulit ketika banyak orang yang hutang. Keadaan seperti ini menyebabkan mereka tidak setiap saat siap untuk berjualan. Khusus untuk Ibu Mr, usaha keripik pisang yang dijalankannya adalah usaha kelompok Cepak Nangka, bukan usaha pribadinya. Persoalan yang dihadapi oleh Ibu Mr adalah keterbatasan atau bahkan ketiadaan waktu diantara anggota lain yang menyebabkan sulit berkumpul untuk bersama-
92
sama membuat keripik pisang, sehingga berjualan keripik pisang juga tidak kontinyu.
5.6. Tingkat partisipasi politik domestik dan publik Penjelasan tentang pekerjaan di atas menunjukkan bahwa peran dan kontribusi sembilan subjek penelitian ini sangat penting bagi keberlangsungan hidup keluarga-keluarga mereka dan lingkungan sekitar. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa pada arena domestik dan publik, secara umum mereka belum mempunyai otonomi dalam menentukan kebijakan rumahtangga dan komunitasnya (Tabel 15). Peran dan kontribusi mereka masih dianggap sebagai suatu tanggungjawab yang sudah seharusnya dilakukan tanpa diiringi dengan pemenuhan dan perlindungan hak-hak mereka.
Dua dari tiga orang yang beberapa kali
berpartisipasi dalam beberapa rapat KSM Nyungcung aktif, yaitu Ibu Mr dan Ln, dikarenakan posisi mereka sebagai pengurus dalam kelompok mendukung mereka untuk diizinkan suami menghadiri beberapa rapat itu. Sedangkan Ibu El (sebelum mengalami kekerasan dalam rumahtangga), walaupun sebagai anggota, dapat hadir dalam pertemuan-pertemuan KSM mengingat perannya selama ini sebagai penggerak/motivator awal bagi pengurus dan anggota yang lain. Tabel 15.
Hubungan antara Arena Partisipasi Politik Domestik dan Publik dengan Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian Gerakan Rapat Pengambilan Kegiatan Tingkat Konservasi Lokal Keputusan di PKK di Arena Berbasis RT, Tingkat Tingkat Partisipasi Perempuan: Rumahtangga Kampung RW, dan Sosialisasi dan Desa dan Desa Tingkat Penggalangan Pendidikan Dukungan Publik Subjek Penelitian Tidak Sekolah Tidak Tamat
-
-
-
-
Tamat SD
-
-
-
9 (3 orang saja)
93
Dalam
konteks
pemberdayaan
perempuan
Nyungcung,
sebenarnya
pengalaman bekerja di kota dengan implikasinya, kemampuan baca tulis (karena setidaknya telah mengenyam pendidikan SD, walaupun sebagian tidak menamatkannya), dan ditambah juga dengan pengalaman baru dalam menginisiasi gerakan konservasi lokal yang dinilai oleh mereka sebagai suatu hal yang positif dapat dijadikan sebagai salah satu titik tolak (stand point) untuk mengorganisir diri, saling menguatkan, dan bersama-sama menghadapi berbagai persoalan hidup, terutama yang dialami oleh kelompok-kelompok marjinal di kampung-desa mereka.
Dalam hal ini, keberadaan kelompok pendukung seperti suami dan
anggota keluarga lainnya berperan penting untuk mendukung perempuan, terutama sembilan subjek penelitian ini dan anggota-anggota yang lain untuk keluar dari arena ‘berpartisipasi secara berbeda’.
5.7. Penguasaan Tanah Berdasarkan pendataan tentang penguasaan tanah yang dilakukan oleh sepuluh orang perempuan dari Kelompok Cepak Nangka dan Andam, delapan subjek penelitian (kecuali Ibu El) memiliki tanah kurang dari 5,000 m2. Kepemilikan tanah seperti pada Tabel 16 menggambarkan keterbatasan sumber penghidupan yang utama (tanah) untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sepanjang tahun. Strategi yang mereka lakukan adalah menggarap tanah di kawasan produksi PERUM PERHUTANI, yang saat ini merupakan termasuk ke dalam kawasan konservasi TNGHS, dan beberapa cara lainnya seperti yang telah dijelaskan pada Sub-bab Pekerjaan Perempuan. Tabel 16.
Kategori Kepemilikan Tanah Subjek Penelitian Kategori Kepemilikan Frekuensi Persentase Tanah Tidak Bertanah 1 orang 11% Bertanah, < 1 gedeng 1 orang 11% Bertanah, 1 – 2 gedeng 5 orang 56% Bertanah, > 2 gedeng 2 orang 22% Jumlah 9 orang 100%
Keterangan: 1 gedeng ≈ 1,250 m2
94
Pentingnya tanah bagi perempuan dapat diketahui dari ungkapan Ibu Tt dan petani-petani perempuan lainnya, yang bergabung dalam kelompok Cepak Nangka dan Andam bahwa: “Saya sebenarnya ingin jika punya sertifikat tanah atas nama saya sendiri, jadi kalau ada apa-apa dengan perkawinan saya nanti, saya masih punya simpenan buat kehidupan saya nanti..” (Pernyataan Ibu Tt, dari Kampung Nyungcung, Didokumentasikan pada tanggal…., bulan…, 2002) “Jika tidak ada lahan, maka tidak ada makanan. Jika lahan tersebut milik kami, maka kami dapat menanam apa yang kami mau........ karena biasanya PERUM PERHUTANI memberitahukan kami apa yang boleh kami tanam di atas lahannya” (Anomin, sebagian besar petani perempuan yang tergabung dalam Kelompok Cepak Nangka dan Andam, Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2002).
5.8. Tingkat Kekerasan terhadap Perempuan Sejauh yang terungkap, disampaikan langsung oleh yang mengalaminya, diketahui bahwa Ibu El (anggota kelompok Cepak Nangka) adalah satu-satunya diantara petani dan buruh tani perempuan yang terlibat dalam kelompokkelompok petani di KSM Nyungcung yang mengalami kekerasan fisik (pemukulan) oleh suaminya. Berbeda dengan anggota perempuan lain di tiga kelompok petani perempuan, Ibu El adalah perempuan pertama yang selalu bersedia belajar dan bekerja bersama RMI sejak tahun 2001 melalui kegiatan sekolah perempuan dan kegiatan-kegiatan pengorganisasian yang lain.
Sangat sering, rumah Ibu El
dijadikan sebagai tempat bermukim bagi fasilitator lapang RMI dan tempat untuk pertemuan-pertemuan atau diskusi informal terkait dengan kegiatan-kegiatan pengorganisasian RMI di Kampung Nyungcung. Tidak jarang, ketika ada di rumah (tidak ke gunung mencari emas atau ke sawah) suami Ibu El dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan atau diskusi-diskusi informal tentang kegiatan pengorganisasian RMI tersebut. Melalui proses interaksi seperti itu, perilaku ketertarikan untuk beraktivitas bersama RMI lebih ditunjukkan oleh Ibu El dibandingkan suaminya. Ketika menjadi salah satu peserta seri riung mungpulung (istilah Sunda untuk lokakarya)
95
petani untuk kegiatan penguatan talun dari aspek pengetahuan teknis silvikultur dan informasi pasar, Ibu El dengan jiwa kepemimpinannya berhasil mengajak petani dan buruh tani perempuan lain untuk bergabung dalam kelompok. Dalam kegiatan berkelompok, yang kemudian berjalan sebagai inisiatif untuk merespon kebijakan Menteri Kehutanan memperluas kawasan TNGH, Ibu El semakin terlibat, tidak hanya kegiatan kelompok di lapang, tetapi juga dalam serangkaian pertemuan rapat internal KSM dan kegiatan sosialisasi ke luar. Dihubungkan dengan kekerasan yang dialami Ibu El, berdasarkan penuturan beberapa orang yang bersedia memberikan pendapatnya tentang mengapa hal itu terjadi, saya mencoba merangkaikan potongan-potongan informasi tersebut dalam suatu keadaan yang saling menguatkan, yaitu: • Waktu kegiatan tertentu dalam agenda KSM Nyungcung (berupa serangkaian pertemuan rapat internal) tidak tepat bagi perempuan, yaitu sering dilakukan malam hari; • Kondisi salah satu anggota keluarga, yaitu anak, sedang tidak sehat; • Keadaan ekonomi keluarga yang sedang menurun, suami belum berhasil mendapatkan
uang
dari
usahanya,
secara
psikologi
sangat
sering
mempengaruhi (baca: menyulut) emosi suami ketika berada di rumah; • Perubahan komunikasi antara suami – istri, dari awalnya satu arah (didominasi oleh suami) menjadi dua arah (istri memiliki keberanian berpendapat atas persoalan yang dilontarkan kepadanya), yang pada keadaan tertentu membuat suami merasa tidak didengar dan dihargai lagi tanpa mendengar apa esensi apa yang disampaikan oleh istri. Sebagai akibat dari pertemuan keadaan-keadaan di atas pada saat suami – istri berkomunikasi, walaupun membicarakan tentang sesuatu yang biasa, tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa suami sering tersulut kemarahannya. Poerwandari dalam Poerwandari dan Hidayat (2000) menjelaskan bahwa kemarahan tersebut berasal dari kesulitan pelaku, yang tidak jarang adalah lakilaki, untuk memahami perasaannya sendiri, terutama perasaan yang dikategorikan ‘feminin’ seperti takut, sedih, malu, dan tidak berharga. Perasaan seperti ini kemudian dipahami sebagai suatu ketidakadilan yang diberikan oleh pihak lain, seperti istri, kepadanya sehingga menimbulkan kemarahan. Kesemua ini tentu
96
tidak terlepas dari konsep peran gender dan pesan yang diterima tentang peran laki-laki dan perempuan. Dalam patriarkhi, laki-laki diberi peran sebagai kepala keluarga, pemimpin, pihak yang menentukan, pihak yang dijadikan panutan, dan lain-lain. Oleh karena itu, sangat sering laki-laki menjadi enggan mengungkapkan sisi (yang dipandang) ‘lemah’ dari dirinya, dan menyebabkan dia menjadi sangat self-centered, penuntut, dan pada akhirnya merasa berhak melakukan apapun yang ingin dilakukannya.
Dan jika pelaku adalah orang yang tidak dapat
mengekspresikan diri dengan baik secara verbal, menjadi lebih mungkin lagi jika kemarahan tersebut ditampilkan melalui kekerasan fisik. Sekali terjadi kekerasan, bagi beberapa perempuan yang menjadi korban, menjadi sulit untuk kembali seperti semula, sebelum terjadi kekerasan. Keadaan ini yang terjadi pada Ibu El, memilih untuk bercerai dibandingkan kembali kepada suaminya. “Saya sekarang sudah dewasa, tidak seperti dulu lagi yang ketika dimarahin cuma bisa diam dan menangis. Manfaat dari berkelompok selama ini membuat saya tidak takut untuk bertemu dan berbicara dengan orang lain. Saya banyak kawan. Saya bisa bangkit kembali......” (Pernyataan Ibu El. Didokumentasikan Bulan Agustus 2006).
97
Catatan Kaki 1
Berdasarkan diskusi tentang sejarah kampung yang dilakukan pada pertengahan tahun 2005 oleh beberapa anggota KSM Nyungcung, diketahui bahwa Kampung Nyungcung terbentuk pada tahun 1932 oleh seorang keturunan Cirebon/Kuningan, mbah Salimun (lihat RMI 2005). 2
Rumah tangga yang tidak memiliki tanah di masa kolonial dan hidup sebagai pekerja pada rumah tangga pemilik tanah (bumi). 3
Berdasarkan hasil studi arsip oleh Galudra et al (2005), kebun teh di Nirmala yang dikenal sebagai the Nirmala Java Plantations and Lands Company, seluas 4,200 ha, telah ada setidaknya sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Raffles. Sejak Pebruari 1978 PERUM PERHUTANI Unit III melalui KPH Bogor, KPH Sukabumi dan KPH Lebak mengelola kawasan hutan seluas 26,063.35 ha, dengan komoditi ‘pohon rimba’ (Hanafi, dkk, 2004). 4
5
Sebutan lokal untuk orang yang menambang emas. Dalam ‘terminologi’ pemerintah, gurandil disebut sebagai PETI (Penambang Emas Tanpa Izin).
6
Jurnal Perempuan No. 44, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2006, halaman 11.
Makna MEMILIKI LAHAN di kalangan komunitas di Malasari, termasuk Nyungcung, ditunjukkan dari SPPT yang mereka dimiliki. Padahal SPPT itu adalah tanda pembayaran pajak, bukan bukti kepemilikan tanah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 10, ayat 1 UU PBB, SPPT merupakan surat ketetapan yang konstitutif, yang menimbulkan hak dan kewajiban, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan data yang didapat dalam SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak). 7
8
Berdasarkan pengakuan dari Ibu Km dan juga beberapa kali pengalaman saya mengikuti pengajian di Kampung Nyungcung dan Malasari, bahwa pengajian dilakukan secara terpisah antara perempuan dan laki-laki dengan penyampaian yang umumnya bersifat satu arah saja, terutama pada pengajian ibu-ibu. Pokok bahasan lebih banyak kepada hubungan vertikal, antara manusia dengan Tuhannya. Persoalan sosial dan politik di kampung-desa selama ini sangat jarang atau bahkan tidak pernah disinggung sebagai salah satu bahasan dalam pengajian.
BAB VI AGENDA, STRATEGI, DAN KEPEMIMPINAN GERAKAN KONSERVASI LOKAL BERBASIS PEREMPUAN DI KAMPUNG NYUNGCUNG Bab ini, akan membahas agenda, strategi, dan kepemimpinan dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan sebagai pengejawantahan perjuangan perempuan dalam merebut hak-hak mereka atas tanah dan kekayaan alam lainnya di Kampung Nyungcung. Kelompok petani perempuan yang akan dibahas dalam bab ini adalah Kelompok Cepak Nangka di Nyungcung Kidul dan Kelompok Andam di Nyungcung Tengah. Bab ini terdiri dari lima bagian. Bagian pertama akan membahas tentang agenda gerakan konservasi lokal berbasis perempuan yang terdiri dari agenda umum dan khusus yaitu reklaim atas pemukiman serta sawah dan kebun yang dimiliki dan atau digarap mereka selama ini, dan peningkatan ekonomi keluarga serta kapasitas perempuan terutama di bidang pendidikan keaksaraan. Bagian kedua akan membahas tentang strategi yang dijalankan, yaitu semi kooperatif. Kelompok Cepak Nangka dan Andam mengokupasi tanah-tanah tandus bekas kebun pinus PERUM PERHUTANI, dan kemudian memetakannya bersama dengan kelompok-kelompok petani laki-laki dan juga beberapa pihak luar. Kegiatan-kegiatan dari agenda yang dijalankan melalui strategi yang demikian berakhir pada kegagalan yang kemudian mematikan militansi perempuan untuk terus berjuang dalam gerakan konservasi lokal. Pada bagian ketiga, akan dibahas tentang kepemimpinan perempuan membangun gerakan tersebut yang sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan gerakan ini.
Dalam perjalanannya,
kepemimpinan perempuan ternyata masih sangat dipengaruhi dengan budaya patriarkhi, yang menyebabkan mereka kembali pada keseharian hidup seperti sebelum terlibat dalam gerakan.
Bagian keempat akan menjelaskan tentang
keberlangsungan intervensi ORNOP, dalam hal ini RMI, belum menjadikan kelompok-kelompok petani perempuan anggota KSM sebagai kelompok yang otonom dan kritis. Berdasarkan empat bahasan ini, pada bahasan akhir, akan disampaikan beberapa pembelajaran, yaitu: pertama, pengorganisasian petani perempuan harus keluar dari pendekatan WID (Women in Development);
139
penekanan pentingnya pengkajian lebih dalam tentang narasi konservasi lokal, terutama dari perempuan dan kelompok-kelompok marjinal lain untuk sosialisasi dan mendapatkan dukungan dari warga kampung-desa yang tidak terlibat langsung dalam perjuangan Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo atau dikenal juga dengan Kampung dengan Tujuan Konservasi;
pelibatan organisasi-organisasi
lokal sebagai media untuk berbagi informasi, mensosialisasikan inisiatif, dan menggalang dukungan warga kampung yang lain atas perjuangan konservasi lokal; dan pelibatan pihak-pihak pendukung sebagai mitra belajar langsung bagi kelompok-kelompok petani perempuan.
1. Agenda Gerakan Konservasi Lokal berbasis Perempuan Agenda gerakan konservasi lokal berbasis perempuan adalah hasil dari pertemuan antara kebutuhan perempuan dan kebutuhan gerakan lingkungan untuk memperkuat demokratisasi hak-hak atas pengelolaan kekayaan alam di masyarakat lokal. Interaksi ini pada tingkat tertentu telah mensolidkan munculnya agenda reklaim yang menjadi platform dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan. Tetapi, di sisi lain, platform ini karena pengaruh budaya patriarkhi tidak mampu mengakomodir agenda-agenda khusus perempuan yang memperkuat kepemimpinan perempuan seperti peningkatan life skill (ketrampilan hidup) dalam keaksaraan dan peningkatan ekonomi keluarga. Lebih jauh lagi, bentuk-bentuk diskriminasi dan domestikasi perempuan menjadi tidak pernah terbahas yang sebenarnya sangat mempengaruhi partisipasi politik publik perempuan. Secara umum, agenda gerakan didefinisikan sebagai suatu kondisi atau keadaan yang adil yang diharapkan terwujud dalam masyarakat saat ini yang diwarnai oleh ketimpangan sosial dan kekuasaan yang mengakibatkan kemiskinan, konflik, dan kekerasan di masyarakat (lihat Sztompka 1993, Saptari dan Holzner 1997).
Artinya, agenda dari sebuah gerakan sosial sangat
dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari elemen gerakan sosial tersebut. Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dinegosiasikan untuk mendapatkan suatu platform agenda yang mengikat seluruh elemen gerakan sosial. Dengan demikian, proses partisipatif merupakan prasyarat utama karena di situlah seluruh kebutuhan dan kepentingan dikomunikasikan dan dinegosiasikan hingga
140
mendapat kesepakatan bersama. Agenda yang menggunakan proses semacam inilah yang akan memperkuat keberlanjutan gerakan di masa depan. Dalam konteks Kelompok Cepak Nangka dan Andam, proses partisipatif seperti itu tidak berjalan sepenuhnya. Tarik menarik antara kebutuhan untuk secara cepat mereklaim tanah-tanah tandus bekas kebun pinus di Kampung Nyungcung dan situasi nyata dimana perempuan belum terbiasa untuk berbicara dan mengungkapkan kepentingan dan agenda mereka, menyebabkan agendaagenda kelompok perempuan ini lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran dari kelompok laki-laki dan pihak luar, dalam hal ini RMI, yang membawa ide tentang reklaim. Agenda-agenda mereka adalah reklaim tanah-tanah tandus yang sudah mereka tanami dengan ribuan bibit pohon buah dan kayu, yang merupakan hasil pertemuan antara kebutuhan mereka atas keamanan dan keberlangsungan sumbersumber penghidupan mereka dengan kebutuhan gerakan lingkungan untuk merespon kebijakan pemerintah tentang perluasan taman nasional. Akan tetapi, dalam perjalanannya agenda reklaim tersebut tidak mampu mengakomodir kebutuhan perempuan untuk meningkatkan kapasitas dan penghidupan mereka. Misalnya Kelompok Cepak Nangka, dalam agenda reklaim melalui penanaman tanah-tanah tandus, mereka kemudian memperluas agenda untuk juga dapat meningkatkan kapasitas dan penghidupan mereka melalui upaya pengaktifan sekolah perempuan yang diinisiasi oleh RMI, pengembangan usaha keripik pisang, dan usaha simpan pinjam. Agenda tersebut muncul akibat dari panjangnya waktu yang mereka butuhkan untuk menikmati hasil reklaim.
Dalam waktu panjang menunggu
pemanenan hasil dari penghijauan tanah-tanah tandus tersebut menyebabkan mereka mempunyai waktu untuk melakukan usaha lain seperti beberapa upaya untuk meningkatkan kemampuan kelompok dalam hal pengadaan modal untuk memastikan kegiatan-kegiatan kelompok tetap berjalan dan ekonomi rumah tangga mereka. Tetapi, agenda baru ini tidak berjalan sebagaimana diharapkan.
Usaha
pembibitan tanaman keras (untuk buah dan kayu) tidak berjalan karena sebagian besar persediaan bibit yang dialokasikan untuk dijual, digunakan untuk menyulam (menggantikan) bibit-bibit yang mati sesudah beberapa waktu di tanam di tanah-
141
tanah bekas kebun pinus. Usaha simpan pinjam juga tidak berjalan, meskipun telah difasilitasi oleh RMI tentang aturan dan pengurusnya serta telah terkumpul modal awal sebesar ± Rp 50,000. Menurut Nn, Pengurus Harian RMI, beberapa persoalan internal kelompok yang meskipun telah difasilitasi penyelesaiannya, tetap menyebabkan kegiatan simpan pinjam ini tidak berjalan, yaitu: -
Persoalan bantuan dana dari pihak luar (salah satu staf RMI dan relawan dari organisasi luar) yang diberikan kepada Ibu El dan Ml (anggota Kelompok Rimba Lestari) yang kemudian menyebabkan pertanyaan dan kegelisahan di antara anggota dan pengurus kelompok-kelompok petani tersebut;
-
Persoalan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh Ibu El.
Pada pengembangan usaha keripik singkong atau pisang, walaupun berumur pendek, usaha terakhir ini adalah satu-satunya usaha yang pernah dilakukan yang menghasilkan produk.
Ketidakberlangsungan usaha ini disebabkan oleh
kesibukan rumahtangga masing-masing dan adanya perbedaan pendapat untuk memasarkan produk (keripik pisang). “Sekarang susah Teh, semua sibuk dengan urusan masing-masing, teu’ kaur untuk aktif lagi di kelompok” (Pernyataan Ibu Mr, Ketua Kelompok Cepak Nangka. Didokumentasikan pada bulan Agustus 2006) Pada kelompok Andam, diawali juga dengan agenda reklaim melalui penanaman tanah-tanah tandus, mereka ingin mengembangkan agenda untuk meningkatkan kapasitas dan penghidupan mereka melalui kegiatan keaksaraan dan usaha budidaya tanaman obat. Disampaikan oleh Ibu An, bahwa semua anggota kelompok Andam kecewa karena bibit (rimpang) tanaman obat yang mereka beli sebanyak 30 kg untuk dibudidayakan kembali tidak ada satupun yang berumur panjang di tanah-tanah tandus tersebut yang bertepatan dengan kemarau panjang. “Beberapa waktu lalu, bibit jahe yang kami tanam sebanyak 30 kg gak tumbuh, semuanya mati..... padahal kami beli dengan uang iuran yang besarnya cukup berarti bagi kami, orang-orang yang kekurangan ini” (Pernyataan Ibu An, anggota Kelompok Andam. Didokumentasikan pada bulan Agustus 2006)
142
Dalam aspek pendidikan keaksaraan, mengingat sebagian anggota kelompok masih buta aksara, maka kegiatan keaksaraan (baca-tulis) yang dulu pernah difaslitasi oleh RMI, menjadi agenda penting lainnya yang seharusnya dilakukan kembali. Dituturkan oleh Ibu Un bahwa dalam beberapa kali menghadiri pertemuan, Ibu Un merasa sangat sedih, karena selain mendengar, Ibu Un juga sangat ingin mempertajam apa yang didengarnya tersebut melalui dokumendokumen atau bahan bacaan yang tersedia. “Setiap dipersilahkan untuk membaca buku atau bahan bacaan lain di suatu pertemuan atau di RMI, saya sangat sedih karena saya tidak bisa membaca. Oleh karena itu, kepada anak-anak saya, saya sangat keras ketika mereka malas ke sekolah” (Pernyataan Ibu Un, Wakil Ketua Kelompok Andam. Didokumentasikan Bulan Agustus 2006) Semua upaya kelompok Cepak Nangka dan Andam untuk merealisasikan agenda khusus mereka tidak diakomodir lebih jauh seperti agenda utama gerakan konservasi lokal berbasis perempuan, yaitu reklaim (lihat sub-bab Menjadi Perintis Konservasi: Menggerakkan yang Lain, bab lima). Hal ini berkaitan erat beberapa strategi yang dipilih dan kepemimpinan dalam kelompok-kelompok petani perempuan tersebut yang akan dijelaskan di bawah ini.
2. Strategi Gerakan Konservasi Lokal berbasis Perempuan Agenda reklaim dan agenda khusus perempuan tersebut pada dasarnya merupakan upaya untuk mempertahankan sumber-sumber dan wilayah hidup mereka selama ini serta mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari pemerintah atas inisiatif konservasi lokal di sebagian bekas kawasan produksi PERUM PERHUTANI sehingga mereka sebagai salah satu komunitasi yang bermukim di ‘dalam’ kawasan Taman Nasional Gunung Halimun – Salak dapat merasa hidup secara aman (tanpa ada kekhawatiran tentang adanya realokasi). Menjalankan kedua agenda di atas, Kelompok Cepak Nangka dan Andam memilih strategi1 yang bersifat semi kooperatif.2
Dalam hal okupasi, kedua
kelompok ini (demikian juga halnya dengan kelompok-kelompok petani laki-laki dan warga lain di Nyungcung) dapat dikatakan menentang/tidak kooperatif terhadap kebijakan perluasan taman nasional. Selain bertujuan memperjuangkan
143
keberlangsungan akses ke tanah untuk pemenuhan pangan sehari-hari, okupasi ini juga dilakukan dalam rangka mengubah kebijakan konservasi pemerintah yang selama ini hanya menekankan aspek pelestarian dan perlindungan. Menurut Kelompok Cepak Nangka dan Andam, serta kelompok petani lain dan warga Malasari pada umumnya, narasi konservasi seharusnya berkaitan erat dengan aspek pemanfaatan yang berkelanjutan bagi kehidupan sehari-hari komunitas yang lebih dahulu bermukim di dalam kawasan yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan taman nasional. Keberlanjutan aspek pemanfaatan inilah yang diperjuangkan melalui okupasi untuk kemudian melahirkan suatu model konservasi lokal yang diperjuangkan sebagai salah satu model konservasi yang diakui dan dilindungi di dalam kawasan Taman Nasional Gunung HalimunSalak. Selanjutnya, dalam hal memobilisir beberapa sumberdaya dan menggalang dukungan terhadap okupasi mereka, kedua kelompok ini melakukan kerjasama dengan beberapa pihak luar. Strategi seperti ini dapat dipelajari dalam konteks pengalaman-pengalaman beberapa gerakan petani dari beberapa negara Dunia Ketiga yang berhasil. Fauzi (2005) menyampaikan kembali temuan-temuan dari Petras (1997), Petras dan Veltmeyer (2000), serta Moyo dan Yeros (2005) tentang posisi strategi yang dipilih oleh gerakan-gerakan petani yang berhasil.
Terlepas dari seberapa jauh
semi kooperatif itu dijalankan, menurut mereka (ibid), strategi gerakan sebaiknya otonom dari partai politik dan negara, tetapi memiliki kombinasi hubungan yang khas dengan ragam kekuatan dari gerakan-gerakan sosial di sektor lain, masyarakat sipil, dan masyarakat politik.
Dan taktik-taktik utamanya sangat
beragam karena merespon banyak arena pertarungan, yaitu mulai aksi-aksi langsung, kampanye, litigasi, dan advokasi perubahan kebijakan nasional-global. Menurut Holloway (1999) yang dikutip oleh Muchtar (2006), strategi akan berjalan dengan baik jika merefleksikan kesesuaian antara masalah, konteks eksternal, serta kelebihan dan kekurangan kelompok/organisasi/gerakan tersebut. Strategi untuk merealisasikan kegiatan-kegiatan dalam agenda reklaim yang telah dilakukan oleh Kelompok Cepak Nangka dan Andam adalah: pertama, melalui okupasi tanah-tanah tandus bekas kebun pinus PERUM PERHUTANI. Okupasi ini dilakukan secara bersama-sama (kooperatif) dan bertahap.
Cara
144
bersama-sama, secara internal, dilakukan dalam bentuk liliuran, atau gotong royong di dalam kelompok, antar kelompok petani perempuan, dan antara kelompok petani perempuan dan kelompok petani laki-laki. Cara ini merupakan salah satu langkah yang signifikan untuk mulai membangun solidaritas sesungguhnya antara perempuan dan laki-laki sebagai komunitas Nyungcung. Secara eksternal, okupasi juga dilakukan secara kooperatif dengan beberapa pihak luar (lihat sub-bab Menjadi Perintis Konservasi: Menggerakkan yang Lain, bab lima). Pada cara bertahap, dilakukan terasering untuk mengolah tanah-tanah tandus bekas kebun pinus mengingat kawasan tersebut berlereng (yang selama diusahakan oleh PERUM PERHUTANI, tanah-tanah yang terletak pada lokasi yang berlereng tidak diterasering) sehingga ketika terpaparkan pada musim hujan akan menimbulkan erosi permukaan yang cukup signifikan. Cara bertahap ini juga dilakukan karena disesuaikan dengan kemampuan kelompok menyediakan bibit yang siap tanam ke tanah-tanah tandus yang cukup luas tersebut. Terkait dengan pengadaan bibit, seperti yang dipaparkan dalam sub-bab Menjadi Perintis Konservasi: Menggerakkan yang Lain, para petani perempuan tersebut melakukannya secara swadaya, yaitu melalui pengumpulan biji-biji dari buah yang mereka konsumsi. Pengadaan seperti ini juga diperkuat dengan salah satu aturan pada kelompok Andam. Selain itu, mengetahui luasan tanah-tanah tandus yang harus dihijaukan, semua kelompok petani menghimbau agar setiap KK di Nyungcung bersedia menyumbangkan lima bibit pohon, dan juga bekerjasama dengan beberapa pihak luar (perusahaan dan pemerintah).. Kedua, menindak-lanjuti hasil pendataan tentang penguasaan tanah di Kampung Nyungcung, Kelompok Cepak Nangka dan Andam bekerjasama dengan kelompok petani laki-laki untuk melakukan pemetaan kampung dan lokasi-lokasi yang telah ditanami, dan untuk mendapatkan dukungan reklaim, baik dari internal maupun
eksternal.
Pada
kerjasama
pemetaan
ini,
terutama
ketika
mengembangkan informasi peta dasar menjadi beberapa peta tematik dan kemudian mengesahkan hasil-hasilnya, serta melakukan kegiatan penggalangan dukungan publik, tidak semua anggota kelompok Cepak Nangka dan Andam terlibat.
Hanya beberapa orang saja, yaitu pengurus dan anggota yang telah
terbiasa berbicara di forum-forum pertemuan.
145
Pada waktu itu, walaupun hanya beberapa orang yang berpartisipasi dalam menggalang dukungan warga lain di Nyungcung, para penggiat perempuan tersebut berhasil mendorong petani dan buruh tani perempuan lain untuk bergabung dalam gerakan. Hal ini telah dibuktikan dengan bertambah kembali satu kelompok petani perempuan baru, yaitu Kelompok Anggrek.
Saat ini,
keadaan penggiat perempuan tersebut tidak memungkinkan mereka untuk berpartisipasi secara politis karena masih kuatnya budaya patriarkhi yang masih mengkondisikan mereka berpartisipasi secara berbeda (differential participation), itupun jika diperlukan. Mempelajari strategi semi kooperatif di atas, sesungguhnya dapat dikatakan masih menggambarkan posisi ketergantungan atau dominasi antara satu pihak terhadap pihak lainnya. Kemampuan kekuatan dari kelompok-kelompok petani perempuan itu belum dapat mendorong secara maksimal atas realisasi pelaksanaan dan dukungan terhadap agenda khusus serta partisipasi politis mereka sebagai perempuan.
Pengejawantahan agenda melalui strategi tersebut berakhir pada
kegagalan yang kemudian mematikan militansi perempuan untuk terus berjuang dalam gerakan konservasi lokal. Diketahui dari penjelasan bab lima bahwa penghijauan adalah langkah awal kelompok petani untuk mengokupasi tanah-tanah tandus bekas kebun pinus PERUM PERHUTANI. Oleh karena itu, sangat mempengaruhi semua petani, baik perempuan maupun laki-laki, untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan selanjutnya yang telah disepakati di dalam kelompok. Selain untuk memulihkan ekosistem di kampung mereka yang mulai terdegradasi, bagi mereka penghijauan ini merupakan sumber pendapatan keluarga, kelompok, dan komunitas di masa depan. Dari aspek pengalaman, penghijauan di tanah tandus bekas kebun pinus merupakan pengalaman pertama bagi semua petani di Nyungcung. Sebelumnya, dari para orang tua, mereka hanya mendapatkan pengetahuan dan pengalaman membuka hutan (yang mana kualitas tanahnya masih subur) untuk dijadikan pemukiman, huma, sawah, dan kebun. Tanpa pengetahuan yang lengkap tentang kualitas tanah dan jenis pohon/tanaman lain yang dapat tumbuh setelah diusahakan selama ± 25 tahun dengan pohon pinus, Kelompok Cepak Nangka dan
146
Kelompok Rimba Lestari serta diikuti dengan kelompok-kelompok petani dan warga lainnya di Nyungcung secara bertahap dan bersama-sama melakukan penghijauan di tanah-tanah tersebut dengan beberapa jenis bibit pohon buah dan kayu. Selanjutnya, penghijauan tersebut yang diikuti dengan kegiatan lainnya dinilai oleh para warga dan sebagian besar dari anggora kelompok petani perempuan sendiri sebagai suatu upaya yang gagal. Untuk penghijauan, sekitar 90% bibit pohon (buah dan kayu) yang ditanam di beberapa lokasi tanah tandus tersebut tidak mampu bertahan dengan kondisi tanah bekas pinus dan diperparah dengan musim kemarau. Merespon kegagalan penghijauan, sebagian penggiat perempuan melakukan penyulaman ulang dengan anakan-anakan dari jenis pohon pioner (kayu afrika) yang tumbuh liar di antara bibit-bibit pohon yang ditanam. Kegagalan tersebut menutup mata mereka tentang adanya temuan pengetahuan baru. Sebagian besar dari para penggiat perempuan tersebut kini mengetahui tentang pentingnya perlakuan masa bera di tanah-tanah yang dinilai ‘panas’ (baca: tidak subur lagi) karena ditanami pinus.
Selama proses
menghijaukan dengan cara ‘eksplorasi’ (tanam - gagal – tanam), mereka juga mengetahui beberapa jenis tumbuhan-tanaman yang dapat beradaptasi dengan kondisi tanah seperti itu, diantaranya adalah kucai, kayu afrika, sengon, dan manggu (manggis).
Dan pada saat ini, setelah dua tahun lebih dari awal
penghijauan yang dinilai gagal, disampaikan oleh Ibu El dan Km bahwa sebenarnya mereka mulai melihat hasil nyata, yaitu tersedianya sumber tambahan untuk kayu bakar dan makanan ternak dari kayu afrika yang tumbuh mendominasi di bekas hutan pinus tersebut. ‘Pengabaian’ pengetahuan baru tersebut berimplikasi pada ‘penutupan’ keberadaan beberapa hak dan objek hak mereka atas kekayaan alam dan lingkungan yang sebenarnya sedang diperjuangkan dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan.
Oleh karena itu, perasaan gagal tersebut dapat
dikatakan mematikan militansi para perempuan yang tergabung dalam tiga kelompok petani untuk terus aktif berjuang mempertahankan hak dan objek hak yang ada serta mendapatkan kembali hak dan objek hak yang selama ini dialihkan ke pihak luar.
147
“Kami menjadi tidak bersemangat, karena sebagian besar bibit pohon yang kami tanam mati” (pernyataan Ibu Ww, An, dan Tt. Didokumentasikan pada bulan Agustus 2006) Perasaan gagal dan ‘kematian’ militansi tersebut menunjukkan bahwa sampai saat ini fenomena inersia3 masih ditemukan dalam masyarakat miskin di Indonesia (lihat Kartodirdjo 1979 yang dikutip oleh Poerwanto 2000), atau menurut Valentine (1968) terdapat ciri patogen dari masyarakat miskin, sehingga sulit bagi mereka untuk kembali berjuang bersama dalam gerakan konservasi lokal. Selain faktor psiko-sosial seperti ini, merujuk pada temuan Fox (1990) dikutip oleh Fauzi (2005), konteks ekologis kampung yang terdegradasi di Nyungcung juga memberatkan mereka untuk kembali dalam gerakan tersebut. Dalam kemiskinan tersebut, mereka akhirnya memprioritaskan berjuang untuk keberlangsungan hidup sehari-hari hanya melalui kerja tani (termasuk kerja bagi hasil dan buruh tani).
3. Kepemimpinan Perempuan dalam Gerakan Konservasi Lokal berbasis Perempuan Memunculkan dan memelihara kepercayaan diri, kemampuan bernegosiasi di dalam rumahtangga untuk dapat berpartisipasi secara politis, bekerjasama secara setara, dan memiliki kontrol atas keputusan dalam kegiatan-kegiatan di arena publik, dalam hal ini adalah gerakan konservasi lokal, sangat dipengaruhi oleh tingkat kepemimpinan baik dari pengurus maupun dari anggotanya masingmasing. Aspek kepemimpinan perempuan didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengajak dan berbagi pengetahuan, keahlian dan menyediakan kesempatan kepada perempuan-perempuan lain untuk mengembangkan potensi-potensi diri sebagai kekuatan bersama dalam rangka menghapuskan ketidakadilan sosial dan gender (lihat Armstrong 2003). Pengertian kepemimpinan seperti ini akan digunakan untuk menjelaskan mengapa agenda perempuan belum dapat dijalankan secara baik dan strategi semi kooperatif yang dipilih belum mengoptimalkan partisipasi politik perempuan.
148
Meskipun agenda reklaim merupakan salah satu agenda penting untuk mempertahankan sumber-sumber dan wilayah hidup, tetapi ketika diperjuangkan oleh perempuan, agenda ini harus dimulai dari tingkat rumahtangga dan komunitas untuk memperbaiki relasi kekuasaan dengan cara mereklaim beberapa hak perempuan yang selama ini diabaikan, diantaranya adalah: hak memberikan keputusan-keputusan, hak untuk mengkonsep dan mengubah aturan-aturan, dan hak untuk memberikan sangsi terhadap pelanggaran dalam suatu kesepakatan (lihat Netherlands Development Assistance/NEDA 1997).
Agenda seperti ini
memerlukan kepemimpinan feminis sebagaimana yang dimaksudkan oleh Armstrong (2003). Berdasarkan agenda peningkatan kemampuan dan strategi semi kooperatif Kelompok Cepak Nangka dan Andam, terlihat jelas bahwa kepemimpinan feminis itu belum muncul pada diri para pengurus dan anggota.
Sebagaimana yang
disampaikan pada sub-bab Tingkat Partisipasi Politik Domestik dan Publik Perempuan, bab empat, pengembangan kepemimpinan perempuan di Nyungcung masih mengalami hambatan baik di arena domestik dan publik. Menjadi wajar bahwa kelompok dengan agenda dan aturan yang telah dirumuskan belum dimaknai sebagai sebagai suatu media bagi perempuan-perempuan Nyungcung untuk mengaktualisasikan diri, berbagi pengetahuan, keahlian, dan pengalaman, mempertanyakan dan menyelesaikan konflik internal (kelompok atau individu dari kelompok tersebut), serta membangun solidaritas di antara mereka. Hal ini terlihat jelas dalam pertemuan dua kelompok tersebut yang difasilitasi oleh RMI pada bulan Maret 2005, bahwa terdapat persoalan internal yang menunjukkan lemahnya aspek kepemimpinan yaitu: •
Aturan main belum jelas, terutama tentang pengelolaan keuangan kelompok;
•
Belum terjadi berbagi informasi, pengetahuan, keahlian, dan pengalaman dari pengurus atau anggota yang hadir dalam kegiatan/pertemuan yang diselenggarakan oleh pihak luar;
•
Program kerja yang telah dirumuskan secara umum belum diperjelas secara rinci sehingga menyebabkan sebagian besar anggota belum cukup paham;
•
Dominasi beberapa orang dalam pengambilan keputusan di kelompok.
149
Pengurus dari masing-masing kelompok belum mampu mengarahkan dan bersama-sama anggota merealisasikan agenda kerja kelompok, serta menciptakan dan menjaga hubungan dinamis demokratis di antara anggota kelompok. Lemahnya kepemimpinan dalam kedua kelompok tersebut juga terlihat dalam strategi semi kooperatif.
Sampai saat ini, walaupun semi kooperatif,
mereka belum banyak berpartisipasi secara politis dalam agenda bersama dengan kelompok-kelompok petani laki-laki untuk juga merealisasikan agenda khusus berdasarkan cara pandang dan kebutuhan mereka sebagai perempuan. Terlebih lagi pada saat ini, sejak semua kelompok petani yang ada di Nyungcung bersepakat untuk bergabung menjadi Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Nyungcung, kepemimpinan gerakan konservasi lokal itu dijalankan oleh laki-laki. Budaya patriarkhi melalui pemisahan ruang, norma tingkah laku, kontrol terhadap kerja dan peran (lihat bab lima), serta kebijakan negara yang kesemuanya merupakan faktor penting berikutnya yang menyebabkan agenda, strategi, dan kepemimpinan perempuan mengalami terminasi dalam gerakan. Semua penggiat petani dan buruh perempuan kembali pada rutinitas kehidupan masing-masing, sama seperti sebelum mereka menginisiasi gerakan itu. Agenda kerja KSM Nyungcung seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab Menjadi Perintis Konservasi: Menggerakkan yang Lain, bab lima, mengharuskan para anggota KSM aktif, baik di dalam kelompok, maupun di luar kelompok. Di antara para petani dan buruh perempuan yang tergabung dalam Kelompok Cepak Nangka, Andam, dan Anggrek, Ibu El dan Ln dapat dikatakan paling aktif terlibat dalam pertemuan-pertemuan KSM untuk mensosialisasikan di dalam dan keluar kampung tentang perjuangan mewujudkan Leuweung Hejo, Masyarakat Ngejo (Kampung dengan Tujuan Konservasi/KDTK). Namun, dibalik keberhasilan dari ‘efek bola salju’ inisiasi gerakan konservasi dan dan perluasan partisipasi beberapa petani dan buruh tani perempuan, diakui oleh Ibu El dan Ln bahwa tidak jarang mereka dinilai ‘lain’ oleh para warga yang tidak mengetahui dan atau terlibat dalam perjuangan KDTK. Selama ini, perilaku partisipasi di arena publik yang biasa diterima oleh para suami dan komunitas di Nyungcung adalah menyiapkan konsumsi untuk pertemuan-pertemuan kampung, dan aktif dalam pengajian (sebagai pendengar,
150
dan jarang ada suasana yang diciptakan untuk bertanya tentang satu persoalan dan atau mengemukakan pendapat tentang suatu topik yang disampaikan dalam pengajian). Perempuan yang aktif menghadiri berbagai pertemuan (selain pengajian) di lingkup kampung, desa, dan keluar desa untuk mengkampanyekan Leuweung Hejo, Masyarakat Ngejo, dan terlibat aktif dalam rapat persiapan untuk kegiatan besar KSM, yang ditunjukkan dengan sikap berani dan percaya diri untuk berbicara di hadapan orang-orang, merupakan sosok yang tidak lazim di Kampung Nyungcung. “Aduh Teh.... setiap saya pergi meninggalkan rumah untuk menghadiri berbagai pertemuan kelompok, padahal itu hanya dilakukan di sini, dari Nyungcung Tengah ke Nyungcung Kidul, orang-orang sekitar melihat saya dengan pandangan yang berbeda. Saya hanya mampu menahan perasaan tidak enak. Apalagi seperti Teh El yang sering pergi ke luar” (Pernyataan Ibu Ln, Ketua Kelompok Andam. Didokumentasikan pada bulan Agustus 2006). “.... bagi sebagian orang yang melihat kami aktif kemarin dengan cara yang tidak biasanya mungkin karena ada anggapan bahwa kami menerima uang sebagai imbalan dari yang sudah kami kerjakan” (Ibu Ww, Sekretaris kelompok Andam. Didokumentasikan bulan Januari 2007). “..... saya merasakan memang benar ada ‘penilaian’ yang berbeda dari masyarakat terhadap perempuan muda dan tua waktu berbicara di depan umum. Kalau ibu-ibu yang tua berbicara banyak di pertemuan-pertemuan kampung-desa, orang-orang menerimanya saja, tapi kalau seperti kami, yang masih relatif muda ini, ada saja yang menanyakan mengapa berani bicara seperti itu..... Mengapa ya? .....mungkin kami dinilai belum banyak pengalaman .........” (Pernyataan Ibu Mr, Ketua kelompok Cepak Nangka. Didokumentasikan bulan Januari 2007) Disampaikan oleh Ibu El, bahwa untuk menghadiri pertemuan-pertemuan kelompok dan KSM, tidak jarang dia berani untuk menunda sebagian pekerjaan rumahtangga, dan menitipkan anak ke orang tuanya ketika suami juga tidak di rumah untuk mengasuh. Bahkan pada saat KSM akan melakukan kegiatan besar, yaitu penanaman massal II (Mei 2005) yang bekerjasama dengan beberapa pihak lain (KLH, Dinas Perkebunan, dan PT. Aneka Tambang), diceritakan oleh salah satu anggota laki-laki (Bapak Ag) dari kelompok Rimba Lestari kepada wakil ketua Pengurus Harian RMI, bahwa Ibu El selalu mengikuti serangkaian rapat
151
persiapan sampai selesai. Rapat-rapat ini sering diadakan pada malam hari dan berlangsung lama, sehingga menyebabkan para anggota KSM yang hadir, termasuk Ibu El, pulang ke rumah larut malam. Partisipasi politis yang ditunjukkan oleh kedua penggiat perempuan di arena publik dengan sikap dan perilaku yang tidak biasa seperti di atas pada akhirnya ditolak tingkat rumah tangga dan komunitas.
Penolakan ini didasarkan pada
norma tingkah laku yang disosialisasikan dan diberlakukan kepada perempuan sebagai perempuan yang baik. Penolakan ‘ketidak-laziman’ sikap dan perilaku Ibu El dan Ln ini pada tingkat rumahtangga ditunjukkan oleh suami mereka dalam bentuk kekerasan (yang dialami Ibu El) dan peneguran (yang dialami Ibu Ln) dan komunitas. Kekerasan dalam rumahtangga (KDRT) yang dialami Ibu El ini kemudian berujung pada perceraian.
Sedangkan untuk Ibu Ln, dia memutuskan untuk
mengundurkan diri dari gerakan. “Apa yang dialami oleh Teh El dijadikan peringatan oleh suami saya tentang bagaimana menjadi istri yang baik. Oleh karena itu, saya putuskan untuk mundur dari kegiatan bersama RMI. Saya hanya bersedia jika diminta membantu untuk kegiatan di kampung, tidak di luar kampung” (Pernyataan Ibu Ln, Ketua Kelompok Andam. Didokumentasikan pada bulan Juni 2005) Penolakan pada tingkat komunitas secara umum dapat dilihat dari reaksi para penggiat, anggota kelompok perempuan dan warga Nyungcung lainnya yang menyarankan Ibu El untuk rujuk dan memperhatikan keluarga lebih baik lagi. Penolakan secara khusus ditunjukkan oleh sebagian anggota Kelompok Cepak Nangka yang mengundurkan diri dengan alasan mempertimbangkan suasana hati mantan suami Ibu El. Sementara itu, RMI, dengan segala kehati-hatian, cukup lama memberikan tanggapan dan usulan pemulihan psikologis Ibu El, yaitu setelah empat bulan dari kejadian KDRT. Berdasarkan hasil diskusi dengan Wakil Ketua Harian Pengurus RMI (laki-laki) untuk program fasilitasi di kawasan Halimun dan beberapa kawan fasilitator lapang (perempuan dan laki-laki) pada akhir tahun 2005, disampaikan beberapa alasan tentang mengapa terlambat karena bersikap ‘berhati-hati’ itu:
152
• Menjaga amanat korban bahwa persoalan yang dialaminya tidak perlu diketahui orang banyak, karena korban merasa malu; • Masih mempertimbangkan bahwa persoalan kekerasan rumah tangga adalah persoalan pribadi yang tidak layak kita turun tangan untuk urun rembuk dan memperlakukan diskriminasi positif kepada korban agar bangkit kembali; • Kalaupun berniat untuk urun rembuk, harus melakukan ‘observasi yang menyeluruh’ terlebih dahulu, termasuk ‘mendengarkan juga pendapat pelaku kekerasan’ sehingga didapatkan ‘informasi yang utuh dan seimbang’. Menyimak penjelasan di atas, tergambarkan bahwa budaya patriarkhi masih ditemukan juga di RMI dalam konteks memandang persoalan KDRT merupakan suatu hal yang berjarak dan tabu untuk difasilitasi karena alasan menghargai norma sosial, adat istiadat, dan ketiadaan mandat.
Sesungguhnya upaya
memfasilitasi inisiatif/perjuangan rakyat tidak akan pernah berhasil jika kita tidak jujur dan konsisten untuk selalu mempersatukan antara apa yang kita ketahui dan yakini sebagai kebenaran, dengan apa yang kita praktekkan tentang kebenaran itu di rana kehidupan domestik dan publik. Seharusnya tidak ada sekat antara sikap dan
perilaku
pribadi
dengan
sikap
dan
perilaku
dalam
memfasilitasi/mengorganisir kelompok petani perempuan tersebut, karena memang senyatanya bahwa setiap pribadi adalah politik. Menjadi sangat mungkin juga bahwa beragam reaksi ini merupakan salah satu ‘penyebab’ Ibu El merasa sendiri dalam ‘ketidaklaziman’nya, yang kemudian menarik diri dari perjuangan KDTK, dan memilih membantu ibunya berjualan di lokasi penambangan emas rakyat, di Cikoret dan Cisuren atau membantu saudaranya sekaligus bekerja di luar desa. Bagi sebagian besar dari para anggota Kelompok Cepak Nangka, Andam, dan Anggrek, selain kegagalan penghijauan massal, mundurnya Ibu El (ingin bekerja untuk menghidupi ketiga anaknya) dan Ibu Ln (karena mendapatkan peringatan dari suami bahwa jangan sampai seperti Ibu El) dijadikan sebagai pertimbangan mereka selanjutnya untuk kembali menjadi sosok perempuan yang biasa/lazim di Nyungcung, tidak aktif dalam kegiatan-kegiatan lanjutan kelompok masing-masing dan KSM Nyungcung. Sedangkan sisanya, yang masih ingin
153
untuk terlibat dalam perjuangan tersebut, kemunduran ini memudarkan semangat mereka untuk tetap aktif bersama para penggiat laki-laki. “Tidak ada lagi yang memberikan semangat kepada kami” (Pernyataan Ibu On, Ml, dan Tt, anggota kelompok Cepak Nangka. Didokumentasikan pada bulan Agustus 2006) Kemunduran para anggota perempuan ini ternyata belum disikapi secara politis oleh KSM Nyungcung.
Upaya yang dilakukan masih pada tahap
mengundang/meminta para penggiat perempuan tersebut -- walaupun tidak kepada semuanya --
untuk tetap terlibat dalam pertemuan-pertemuan yang
berhubungan dengan gerakan konservasi lokal. “Sebenarnya saya masih ingin mengetahui perkembangan yang dilakukan oleh kawan-kawan anggota KSM yang lain, tetapi karena tidak diundang, saya malu untuk hadir. Kalau diundang, saya usahakan datang” (Pernyataan Ibu An, anggota kelompok Andam. Didokumentasikan pada pertengahan Agustus 2006) Terminasi militansi dan partisipasi politis perempuan dalam gerakan konservasi lokal tersebut karena harus mengikuti norma tingkah laku yang diberlakukan pada perempuan menunjukkan bahwa pada tingkat individu, perempuan hidup dalam kerangka kognitif diri sebagai ibu rumahtangga, sehingga dia teralienasi dari tubuh dan intelektualnya (lihat Jaggar 1983 yang dikutip oleh Tong 1998 dan Arivia 2003).
Kerangka kognitif ini disosialisasikan kepada
perempuan sebagai konsep ideal yang menggambarkan citra dan identitas seorang istri yang patuh pada suami dan ibu yang selalu siap melayani dan bertanggung jawab terhadap keberadaan keluarganya. Menurut Foreman (1997), dikutip oleh Arivia (2003), secara psikologis, perempuan menjadi ‘dirinya sendiri’ melalui pengaturan dari orang tua dan kemudian suaminya.
154
“Sejak kecil, saya diajarkan bahwa menjadi perempuan harus bisa urusan dapur. Rumah harus dipentingkan dibandingkan dengan urusan luar. Menurut saya, ‛ajaran’ seperti ini ditemukan juga di tempat-tempat lain. Tetapi, sejak saya berkawan dengan RMI, wawasan saya jadi terbuka, banyak pengetahuan yang saya dapat, yang menyebabkan saya mulai mengerti bahwa urusan lain juga penting bagi perempuan, tidak hanya urusan dapur” (Pernyataan Ibu El. Didokumentasikan pada bulan Nopember 2006) “Menurut saya, perempuan itu ketika belum berkeluarga harus tunduk kepada Allah dan patuh kepada orang tuanya. Pada saat berkeluarga, dia harus patuh kepada suaminya” (Pernyataan Bpk Ml, ketua KSM Nyungcung. Didokumentasikan pada bulan Nopember 2006) Suganda (2004) mengamati bahwa pada sebagian besar para orang tua dari keluarga masyarakat Sunda di pedesaan masih selalu menekankan kepada anak perempuannya yang sudah berkeluarga tentang sikap dan perilaku awewe mah kudu dulang tinande, yang artinya bahwa perempuan harus tunduk kepada suaminya.
Atau dalam masyarakat Kasepuhan Sirnaresmi dan Ciptagelar,
terdapat ‘nasehat pengabdian’ yang selalu diingatkan kembali oleh para orang tua laki-laki ketika anak perempuan mereka akan menikah bahwa ti luhur sa’usap rambut, ti handap sa’dampal, geutih na sa tetes, buukna salamba (mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, mulai dari setetes darah dan sehelai rambut perempuan/istri adalah milik suami) (Hidayati 2005). Dijelaskan dalam Mosse (1993), kerangka kognitif diri tersebut merupakan upaya domestification of women. Bentuk lain dari norma tingkah laku pada perempuan adalah malu (isin). Pada umumnya, perempuan di Malasari, termasuk di Nyungcung, merasa malu untuk menyapa orang yang tidak mereka kenal atau yang memiliki posisi sosial lebih tinggi.
Bagi mereka, lebih baik tidak menampakkan diri daripada
menunjukkan keinginan-keinginan pribadi. Apabila tidak terhindarkan lagi untuk bertemu dengan orang tersebut, maka biasanya pertemuan tersebut berlangsung formal dan singkat. Kondisi seperti ini, menurut Berninghauser dan Kerstan (1992) dari pengamatan mereka di beberapa komunitas di Jawa (termasuk Sunda), dikutip oleh Antlöv
(2002), ditentukan dari
internalisasi tentang sikap dan
perilaku yang berbeda oleh orang tua kepada anak perempuan dan laki-laki
155
mereka.
Anak laki-laki didorong untuk bersikap berani, sementara anak
perempuan didorong untuk merasa takut pada pengalaman dan orang-orang baru, serta mengurus urusan rumahtangga. Pengamatan Berninghauser dan Kerstan di atas menjelaskan kepada kita bahwa sejatinya pengetahuan-pengetahuan -- tercermin dari sikap dan perilaku -yang disosialisasikan kepada perempuan dan laki-laki sejak kecil disituasikan dan dikonstruksikan secara sosial.
Kondisi ini memiliki konsekuensi yang tidak
sederhana bagi perempuan dan laki-laki sebagai subjek pengetahuan.
Dalam
kehidupan aktual kita, perempuan lebih banyak berkutat di dunia domestik dan kehidupan sehari-hari, sementara itu laki-laki memiliki kesempatan yang amat luas untuk memasuki arena publik, di luar rumah. Yang kemudian menimbulkan masalah signifikan bagi perempuan adalah bahwa beragam pengetahuan, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya berjalan di arena publik, yang menjadi ranah laki-laki.
Terpusatnya beragam pengetahuan tersebut di arena publik
menyebabkan usaha-usaha untuk mendekati dan memahami kehidupan sosial dibangun dari kerangka publik saja. Sementara itu, ukuran-ukuran dan referensi di dunia publik tidak sama bahkan bertentangan dengan dunia domestik dalam kehidupan sehari-hari.
Akibatnya, menurut Smit (1987), yang dikutip oleh
Hidayat (2004), pihak-pihak yang memiliki dan mengetahui banyak tentang beragam pengetahuan dari dunia publik memaksakan pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan teknologi mereka sebagai rujukan bagi perempuan untuk memikirkan dunia sosialnya. Hal-hal di atas menutup keinginan-keinginan perempuan untuk berpikir, bersikap dan berperilaku berbeda.
Pengawalan, pengawasan dan peneguran
tentang dijalankan atau tidak sikap dan perilaku yang dikonstruksikan tersebut dilakukan dalam beragam cara dan media. Tidak jarang, kekerasan, salah satunya ditunjukkan melalui KDRT, dimaklumi sebagai salah satu cara untuk menjalankan pengawalan, pengawasan dan peneguran itu.
Pada gilirannya, keinginan-
keinginan tersebut menjadi bagian dari ketidaksadaran perempuan. Berada dalam ketidaksadaran atau teralienasi dari diri sendiri seperti ini dapat juga dijelaskan dengan menggunakan pemikiran Giligan (1993) yang dikutip oleh Arivia (2003) tentang konsep diri dan moralitas perempuan (lihat sub-bab 2 pada bab dua).
156
Mengacu pada kasus KDRT, keputusan untuk tidak aktif lagi dalam gerakan konservasi lokal dilihat dari perkembangan tahap perempuan membangun dan mengenali konsep dirinya dapat dikatakan berada pada fokus diri yang orientasinya cenderung untuk mempertahankan diri (survival). Pada tahap ini, perempuan cenderung mencampuradukkan antara apa yang diharuskan oleh suami, keluarga, dan komunitas, dengan apa yang diinginkannya (mendapatkan pengetahuan, pengalaman, dan kawan baru). Keputusan seperti ini dihasilkan jika ada konflik, dan biasanya dipengaruhi oleh orang lain, semisal suami (ini yang dinyatakan oleh Ibu Ln sebelumnya). Jelas terlihat bahwa pada tahap ini terdapat ketakutan terhadap potensi kekerasan seperti yang dialami oleh Ibu El akan terjadi pada diri mereka juga, sehingga sebagian besar anggota KSM perempuan bersikap lebih hati-hati. Sebagai hasilnya, belum muncul kesadaran kritis diantara para penggiat perempuan sebagai individu, anggota keluarga, dan komunitas.
Mempelajari
keanggotaan KSM Nyungcung dengan menggunakan pendapat Sydie (1987), ditemukan hanya sepasang suami-istri yang keduanya merupakan anggota KSM Nyungcung, selebihnya, hanya salah satu dari pasangan saja, istri atau suami, yang menjadi anggota. Secara umum, keterlibatan salah satu anggota keluarga rumahtangga petani (suami atau istri) tersebut dalam gerakan konservasi lokal belum dipahami oleh anggota lain dalam keluarganya.
Menjadi wajar jika
kemunculan ‘kesadaran naif’ pada beberapa individu belum mengarah pada kesadaran kritis kolektif yang dibangun mulai dari tingkat rumahtangga masingmasing. Keadaan yang demikian itu juga menyebabkan perempuan teralienasi dari intelektual dan pengalaman kehidupan sehari-harinya, yang sebenarnya juga merupakan sumber pengetahuan.
Hal ini dapat dilihat dari bagaimana para
penggiat perempuan memaknai/menilai pengalaman baru dan hasil-hasil dari serangkaian kerja inisiasi penghijauan mereka sebagai sesuatu yang ‘biasa’ saja, menyangkal validitasnya, atau bahkan menilai sebagai sesuatu kegagalan, sehingga dapat disimpan kembali dalam bagian ketidaksadaran (meminjam istilah Mitchell 1974), atau kesadaran magis (meminjam istilah Freire 1978), atau ‘ditekan ke bawah permukaan’ (meminjam istilah Aditjondro 2003). Pemaknaan
157
ini dapat terjadi mengingat ‘ketiadaan’ hak untuk berkumpul/berorganisasi tanpa beban ganda, dan memperlakukan norma kepada diri mereka sebagai perempuan biasa yang menjadi bagian dari keluarga dan komunitas. Alienasi berikutnya adalah perempuan teralienasi dari produk kerjanya, yaitu ketika perempuan memilih berkegiatan atau bekerja di luar rumah, jenisjenis kegiatan/pekerjaan yang ditawarkan sebagian besar berasal dari dunia domestik atau lekat dengan peran reproduksi mereka. Dalam konteks hak dan tanggung jawab yang digenderkan (lihat Rocheleau et al 1996), alienasi perempuan dari produk kerjanya ini mengkondisikan perempuan memiliki tumpukan tanggung jawab tanpa diimbangi dengan kumpulan hak. Kalaupun memiliki hak, umumnya ditekankan pada hak mengelola dan berperan dalam kegiatan ritual dan atau sosial politik sebagai ‘pelayan di balik layar’. Dalam konteks ini, kerja-kerja awal para penggiat perempuan dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan merupakan kerja reproduktif mereka karena adanya kedekatan mereka dengan alam. Pada aspek interaksi sosial, dikarenakan sibuk masing-masing untuk bertahan hidup dengan strategi occupational multiplicity, perempuan juga teralienasi dari saudara, tetangga, dan warga lain untuk membangun dan memperkuat kohesi sosial secara intra dan antar jenis kelamin dan klas sosial sebagai suatu komunitas Nyungcung dan Desa Malasari melalui suatu organisasi lokal.
Keberadaan organisasi lokal seperti pengajian, ngepak, pengasuhan
BALITA selama ini dijalankan secara terpisah, sesuai dengan tujuan praktis masing-masing, belum merupakan suatu kesatuan, saling terhubungkan dalam satu tujuan strategis. Berkelompok yang diinstitusikan seperti pemaparan pada bab lima merupakan pengalaman baru bagi petani perempuan. Menjadi wajar jika sehingga sebagian besar anggota kelompok-kelompok petani perempuan tersebut belum mempunyai kemampuan dan kemauan membagi daya (power) di antara mereka (melalui
penggiliran
fungsi-fungsi
kepemimpinan)
membangun otonomi diri dan komunitas mereka.
dan
memiliki
tujuan
Ketika dua orang yang
berpotensi memiliki kepemimpinan yang baik, Ibu El dan Ln, mundur, maka sebagian besar anggota yang lain tidak bersemangat dan ikut mundur. Hasil kerja
158
yang berupa lahan-lahan tandus bekas hutan pinus mulai menghijau, peta kampung, dan data penguasaan lahan, serta beragam pengalaman baru seperti merasa bungah (bahagia), menjadi percaya diri, mulai mengenal potensi diri sebagai penggerak dan sumber inspirasi bagi anggota lain dalam kelompok (dinyatakan oleh Ibu El, Ln, dan Tt), mendapat pengetahuan, dan bertambah kawan yang mendukung selama berpartisipasi dalam gerakan konservasi lokal ternyata belum dapat digunakan untuk mengikatkan mereka semua dalam kohesi perjuangan selanjutnya. Keadaan di atas merupakan ‘pertimbangan’ berikutnya bagi semua pengurus dan anggota petani perempuan untuk kembali ke rumah, kembali pada rutinitas menjalankan tumpukan peran domestik. Diantara mereka, ada yang membantu suami untuk mendapatkan uang dan beras, yaitu melalui kerja ngepak, maro, buruh harian di sawah-sawah sekitar kampung, dan atau berjualan. “Walaupun saya tahu tentang kemampuan saya untuk menggerakkan ibu-ibu yang lain, tapi untuk saat ini saya belum bisa aktif lagi karena sibuk dengan pekerjaan sehari-hari” (Pernyataan Ibu Tt, anggota Kelompok Cepak Nangka. Didokumentasikan pada bulan Agustus 2006) Pada aras kebijakan, wujud patriarkhi dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengelolaan kekayaan alam selama itu bersifat eksploitatif dan destruktif melalui agro-industri, ekploitasi hutan, pertambangan, dan konservasi digariskan dan diseragamkan dari pusat yang saat ini semakin diintervensi perumusannya oleh lembaga-lembaga kerjasama internasional. Akibatnya, sebagaimana yang telah disampaikan pada bab pertama, keempat, dan kelima, perempuan dan anak-anak lebih banyak mengalami kekerasan dari negara, dalam bentuk pembatasan bahkan pengambil-alihan hak-hak dasar hidup mereka atas kekayaan alam di sekitar mereka, dan kemudian disertai dengan ketiadaan pelayanan sosial dari pemerintah dalam hal kesehatan dan pendidikan. Pada kasus ini, penjelasan tentang kekerasan negara kepada rakyat, terutama perempuan, selain pembiaran perilaku pengelolaan kekayaan alam yang bersifat destruktif, ketiadaan distribusi manfaat yang dapat diakses oleh kelompok marjinal terutama perempuan, dan pembatasan bahkan penutupan akses rakyat terhadap tanah dan kekayaan hutan (lihat sub-bab 1.2, bagian c, bab pertama,
159
halaman ), dapat ditunjukkan juga dari penegasian peran dan kepentingan rakyat dalam konservasi, yaitu dalam bentuk: pertama, belum terealisasikannya dukungan politis dari pemerintah desa dan kabupaten, berupa pengakuan dan perlindungan tentang inisiatif konservasi lokal berbasis perempuan. Pada tingkat desa, meskipun telah diperbaiki beberapa kali oleh KSM Nyungcung dan beberapa kelompok petani dari kampung lain di Malasari, rancangan Peraturan Desa tentang Desa dengan Tujuan Konservasi sampai saat ini belum dibahas secara resmi antara Pemerintah Desa dengan BPD Malasari. Kedua, sebagai salah satu realisasi dari SK MenHut No. 175/Kpts-II/2003, pihak TNGHS merumuskan pengelolaan jangka panjang (2007 – 2028) yang kesemuanya tidak secara tegas mengarah pada perbaikan hubungan antara pihak TNGHS dan rakyat yang bermukim di dalam dan atau sekitar kawasan TNGHS4, terutama dengan kelompok marjinal dan perempuan, mengingat awetnya konflik tenurial diantara kedua pihak tersebut.
4. Intervensi ORNOP: Belum Tuntas, Belum Memandirikan Kelompok Petani Perempuan Terminasi militansi dan partisipasi politis petani dan buruh perempuan dalam gerakan konservasi lokal ini dilanggengkan lebih lanjut dalam konteks gerakan lingkungan dan petani di Indonesia. Selama ini, sangat sering inisiasi gerakan yang telah dilakukan oleh para perempuan di tingkat basis tersebut dijadikan satu bagian kecil dari hal-hal yang diperjuangkan oleh ORNOP dan jaringan kerjanya, serta petani lain. Dalam gerakan-gerakan tersebut, hampir semuanya aspek kepemimpinan dipercayakan kepada dan dijalankan oleh penggiat laki-laki. Sehingga sangat sering suara, harapan, kepentingan, dan atau kebutuhan khusus perempuan tidak terakomodir dalam upaya penyelesaian konflik yang diperjuangkan dalam gerakan-gerakan.
Kondisi seperti ini juga
disampaikan oleh Aditjondro (2003), bahwa dalam konteks gerakan lingkungan saat ini, pengetahuan dengan sensitifitas gender tentang berbagai bentuk dampak dari kerusakan lingkungan yang dialami dan respon yang dibangun oleh masingmasing subjek, terutama perempuan, belum menjadi bagian penting dalam gerakan (baca: belum disebarluaskan dan diperjuangkan secara khusus), baik yang
160
dilakukan oleh rakyat, ORNOP, ataupun pemerintah. Selanjutnya, Aditjondro melihat bahwa masih terdapat elitisme gerakan lingkungan yang menyebabkan dia teralienasi dari gerakan-gerakan sosial lainnya seperti gerakan perempuan, gerakan buruh, dan gerakan perdamaian. Dihubungkan dengan gerakan perempuan di Indonesia saat ini (pasca rezim Orde Baru), menggunakan analisa dari Muchtar (1999) bahwa walaupun telah ada sedikit perubahan bagi kebangkitan gerakan perempuan Indonesia, dalam hal pengakomodiran beragam persoalan dan inisiatif perempuan di pedesaan -- salah satunya tentang bagaimana mereka mempertahankan sumberdaya tenurial di antara keterhimpitan industrialisasi kapitalis dan konservasi -- masih merupakan tantangan besar bagi gerakan perempuan. Walaupun perjuangan pemecahan persoalan perempuan dari kelas miskin dan buruh/pekerja telah banyak dilakukan oleh para perempuan terpelajar, berpendidikan tinggi, dari klas menengah di daerah-daerah perkotaan dan pedesaan melalui beragam organisasi perempuan, tetapi menurut Muchtar (1999), terdapat dua jenis organisasi, yaitu Organisasi Wanita dan Organisasi Perempuan dengan sikap politis terhadap negara (stance towards the State) yang berbeda. Pada Organisasi Wanita, mereka menerapkan sikap kerjasama (collaborative). Pada organisasi yang wataknya berada antara Organisasi Wanita dan Organisasi Perempuan, mereka menerapkan sikap kerjasama kritis pasif (passive critical collaborative). Terakhir, pada Organisasi Perempuan, sikap yang dipilih adalah kerjasama kritis (critical collaborative), dan kritis (critical). Keberagaman sikap politis ini disebabkan oleh beberapa hal penting, yaitu: • Warisan represi negara yang dilakukan oleh rezim OrBa masih belum dapat dilepaskan sepenuhnya oleh beberapa organisasi yang dijalankan oleh perempuan, terutama Organisasi Wanita; • Ambiguitas memaknai negara sebagai agen kapitalis dan atau pelayan rakyat; • Derajat
ketergantungan
atau
tidak
terhadap
lembaga
dana
sangat
mempengaruhi bagaimana pemilihan dan pesistensi sikap politis itu diterapkan;
161
• Bentuk/jenis badan hukum organisasi yang terdiri dari yayasan atau perkumpulan/serikat yang mempengaruhi bentuk keterhubungan politis dengan para perempuan di basis. Jika tidak diketahui dengan baik oleh para penggiat perempuan di tingkat basis tentang keberagaman peran seperti yang telah disampaikan pada sub-bab 3, bab dua, sikap politis dengan empat hal di atas ketika memilih untuk bekerjasama atau bergabung kepada salah satu organisasi ORNOP (apakah itu yang aktif dalam gerakan lingkungan ataupun gerakan perempuan), maka dapat terjadi dua kemungkinan, yaitu terakomodirkannya agenda perempuan di basis secara tepat, atau tidak. Dikaitkan dengan RMI, sebagai salah satu ORNOP lingkungan, RMI juga berada pada tiga keadaan terakhir di atas, yaitu: • Memandang pemerintah sebagai salah satu pelaku yang meminggirkan rakyat, terutama
perempuan,
bertanggungjawab
dan
untuk
oleh
karena
menyelesaikan
itu
pemerintah
konflik-sengketa
juga hasil
harus dari
peminggiran tersebut. • Untuk beberapa program, RMI masih melakukan kerjasama dengan beberapa lembaga dana yang memiliki kesamaan pandangan dengan RMI tentang persoalan-persoalan pengelolaan kekayaan alam antara rakyat dengan pihak lain yang perlu difasilitasi penyelesaiannya. • Sampai saat ini badan hukum organisasi RMI adalah yayasan. Dengan demikian, intensitas dan pengembangan proses fasilitasi di basis, selain sesuai dengan kesepakatan prioritas kepentingan dan kebutuhan komunitas/kelompok yang bersedia bekerja dan belajar bersama, juga ditentukan dengan keadaan sumberdaya dan kapasitas yang dimiliki oleh RMI. Dalam fasilitasi gerakan konservasi lokal berbasis perempuan, RMI, diwakili oleh seorang fasilitator lapang laki-laki (Rj) yang telah berkeluarga dan tidak berasal dari Kampung Nyungcung atau kampung lain Desa Malasari, mengalami kesulitan untuk terlibat intensif dalam upaya menghidupkan kembali kelompok-kelompok petani perempuan. Menurut Rj, dia mengalami hambatan untuk berinteraksi secara intensif dengan para pengurus dan anggota kelompok petani perempuan karena ada batasan norma berinteraksi antara laki-laki dan
162
perempuan.
Sementara itu, disampaikan juga oleh Ibu El dan An, bahwa mereka
malu karena mereka belum kenal dengan fasilitator lapang RMI yang sering bergantian datang. “Pergantian staf lapang RMI mempengaruhi juga semangat kelompok. Ketika kami sudah percaya, merasa dekat, kita menjadi bersemangat untuk melakukan kerja-kerja kelompok. Tetapi ketika diganti dengan orang baru, kami merasa malu karena belum kenal dekat” [Pernyataan Ibu El (anggota kelompok Cepak Nangka) dan An (anggota kelompok Andam). Didokumentasikan pada bualan Agustus 2006] Fasilitator lapang perempuan hanya berinteraksi dengan kelompok petani perempuan ketika memfasilitasi pada tahap awal salah satu kegiatan Kelompok Cepak Nangka, penguatan ekonomi lokal5, melalui pengembangan usaha keripik pisang. Fasilitasi kegiatan ini ternyata belum dapat dijadikan sebagai media baru bagi keberlanjutan inisiatif dan perluasan ‘partisipasi’ sebagian besar penggiat petani perempuan dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan. Saat ini, usaha keripik pisang mengalami kevakuman, karena, menurut salah satu anggota kelompok Cepak Nangka, Ibu Yt, terdapat beberapa hal yang menyebab kevakuman itu: keinginan yang berbeda di antara pengurus tentang pilihan daerah pemasaran keripik; keadaan salah satu anggota mereka sedang hamil; dan anggota yang lain memiliki kesibukan rumahtangga masing-masing, sehingga teu kaur (tidak sempat untuk selalu konsisten menjalankan kegiatan kelompok karena tersitanya waktu masing-masing untuk pekerjaan rumah tangga dan bertani). Kevakuman ini juga dikarenakan tidak adanya keberlanjutan fasilitasi/penguatan usaha keripik pisang secara berkala dari RMI. “Kami ingin Teh Ll (fasilitator lapang perempuan RMI dengan spesialisasi kerja pada penguatan ekonomi lokal) sering menengok kami menjalankan usaha keripik pisang sehingga kami bersemangat” (Pernyataan Ibu Mr, anggota kelompok Cepak Nangka. Didokumentasikan pada bulan Agustus 2006) Kevakuman tersebut dipahami oleh RMI sebagai suatu kejenuhan karena gagal penghijauan dan kasus KDRT Ibu El yang mendorong semuanya menjadi tidak aktif. Oleh karena itu, berdasarkan keterbatasan sumberdaya seperti yang
163
telah
disampaikan
pada
Bab
VI,
RMI
melakukan
perubahan
cara
pengorganisasian, yaitu melalui fasilitator lapang (tidak lagi CO) dengan spesialisasi isu masing-masing, memprioritaskan pengorganisasian hanya kepada kelompok-kelompok petani yang aktif, yang secara jelas menyampaikan permintaan tentang hal-hal yang penting untuk difasilitasi oleh RMI. Perubahan cara pengorganisasian tersebut telah menyebabkan kesenjangan interaksi antara RMI dengan semua anggota KSM, terutama perempuan, dan warga lain di Nyungcung. Tanpa ada kesediaan dan kreatifitas dari para fasilitator lapang menggunakan waktu mereka untuk juga berinteraksi semaksimal mungkin dengan para pengurus dan anggota kelompok petani, terutama kelompok petani perempuan, maka RMI akan terjebak dengan pengorganisasian yang patriarkhis karena terfokuskan pada elite peasant di kampung-desa yang kesemuanya itu didominasi oleh laki-laki. Cara baru pengorganisasian tersebut, disadari atau tidak, dapat berimplikasi pada kecenderungan pengkotak-kotakan isu, sikap dan perilaku pada diri fasilitator lapang dalam proses memfasilitasi kegiatan-kegiatan di komunitas. Dikarenakan hanya memfasilitasi respon aktif dari suatu kelompok petani (yang ternyata sebagian besar dimunculkan oleh kelompok petani laki-laki), cara pengorganisasian ini tidak dapat memfasilitasi proses pengkolektifan pengalamanpengalaman krisis, penghapusannya, dan kebutuhan khusus perempuan dalam strategi gerakan bersama. Selain itu, atas nama mengakses dukungan sumberdaya dari pihak luar, kesenjangan interaksi ini dapat dimanfaatkan oleh individu atau pihak yang merasa telah diabaikan atau tidak dilibatkan (free rider) untuk ‘turut berperan’ dalam proses pengorganisasian RMI, yaitu dengan cara membingungkan beberapa kelompok petani di Malasari dalam menjalankan kesepakatan agenda belajar dan bekerja bersama, atau bahkan mungkin dapat memecah-belah kelompokkelompok tersebut dengan RMI.
5. Pembelajaran ke Depan bagi ORNOP Berdasarkan pemaparan tiga faktor sebelumnya yang menyebabkan terminasi gerakan konservasi lokal berbasis perempuan, berikut akan disampaikan
164
beberapa pembelajaran (lesson learned) bagi ORNOP, khususnya RMI, ke depan untuk membangun ulang agenda, peran, dan strategi pengorganisasian sesuai dengan keadaan internal dan ekternal kekinian yang mempengaruhi kelompokkelompok marjinal, termasuk perempuan. Pertama, isu perempuan dalam pengelolaan kekayaan alam harus mendapatkan diskriminasi positif dari ORNOP. Hal ini dapat ditunjukkan dari keberadaan program pengorganisasian perempuan dan sumberdaya yang mendukungnya, terlepas dari ada-tidaknya dukungan dari pihak lain, semisal lembaga
dana.
Penciptaan
rasa
memiliki
dan
kemandirian
terhadap
keberlangsungan program, baik di pihak ORNOP maupun di kalangan petani – buruh tani perempuan yang diorganisir, harus selalu dilakukan dengan beragam cara yang kreatif. Oleh
karena
itu,
menjadi
penting
untuk
memikirkan
program
pengorganisasian yang tidak lagi berada dalam kerangka WID (Women in Development) semisal yang telah dilakukan melalui fasilitasi pengembangan usaha keripik pisang.
Kerangka pemikiran tentang Gender and Development
(GAD) merupakan pendekatan yang tepat untuk mulai memberdayakan (genuinely empowerment) perempuan sampai pada tingkat kontrol. Pendekatan ini memahami tujuan fasilitasi program pemberdayaan bagi perempuan dalam pengertian kemandirian dan kekuatan internal yang dapat diwujudkan melalui peningkatan kesadaran dan pendidikan perempuan dalam beragam kegiatan (lihat Mosse 1993).
Terkait dengan pemberdayaan perempuan ini, penting untuk
diaktifkan kembali kegiatan pendidikan kritis (seperti sekolah perempuan yang pernah difasilitasi oleh RMI) di Malasari yang dapat mengarahkan mereka memenuhi kebutuhan strategis perempuan dan komunitas Malasari. Oleh karena itu, dalam tingkat praksisnya, Kerangka Pemberdayaan Perempuan dari Longwe yang dikutip oleh Handayani dan Sugiarti (2002) berikut ini dapat digunakan untuk melihat seberapa jauh pengorganisasian melalui sekolah perempuan atau penguatan kelompok-kelompok petani perempuan dalam bentuk lain yang kesemuanya merupakan pemberdayaan perempuan yang sesungguhnya: • Kesejahteraan: di mana terdapat kesetaraan tingkat kesejahteraan perempuan, secara relatif sama terhadap laki-laki, dalam aspek suplai makanan (food
165
security),
perawatan kesehatan, pendapatan yang diperoleh dari aktivitas
ekonomi, waktu istirahat dan rasa aman. • Akses: di mana terdapat kesetaraan akses antara perempuan dan laki-laki terhadap faktor-faktor produksi (lahan, bibit, peralatan, modal), informasi, pelatihan, pemasaran, dan aktivitas ekonomi lainnya. • Keyakinan/Kesadaran Kritis: di mana terdapat pemahaman bahwa posisi sosial ekonomi seperti pembagian peran dan kerja antara perempuan dan laki-laki dalam aktivitas di rana publik dan domestik adalah setara dan kesepakatankesepakatan seharusnya didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak. • Partisipasi: di mana terdapat kesetaraan partisipasi perempuan dan laki-laki dalam
proses
pembuatan
keputusan,
termasuk
proses
perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi berbagai kegiatan di rana privat dan publik yang mereka geluti sehari-hari. • Kontrol: di mana terdapat kesetaraan kontrol antara perempuan dan laki-laki terhadap faktor-faktor produksi dan dalam proses pembagian keuntungan serta pelaksanaan berbagai kebijakan di lingkungan mereka. Perempuan memiliki control, sama seperti laki-laki, untuk mengubah kondisi posisi, masa depan diri dan komunitas mereka. Kedua, penggalian dan penguatan narasi lokal tentang konservasi, terutama dari perempuan dan kelompok-kelompok marjinal lain sehingga memudahkan untuk sosialisasi dan mendapatkan dukungan dari warga kampung-desa yang tidak terlibat langsung dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan. Mengakses atau tidak mengakses emas di sekitar Gunung Pongkor, menjadi gurandil atau tidak, sebaiknya dibahas dalam narasi konservasi lokal mereka. Hasil wawancara dengan Ibu El dan Bapak Rh (anggota kelompok petani dari Kampung Cisangku, Desa Malasari) menekankan bahwa mengakses emas adalah hak yang bersifat terbatas, dimana terdapat aturan yang jelas untuk menentukan waktu dan kebutuhan yang dapat dipenuhi melalui penggunaan hak tersebut, siapa yang menggunakannya, kewajiban apa yang harus diberikan oleh pengguna hak tersebut, siapa atau organisasi apa yang dimandatkan untuk memberlakukan kesepakatan penggunaan hak dan kewajiban sebagai gurandil. Jika pendapat seperti ini dielaborasikan lebih jauh dalam narasi konservasi lokal, maka sangat
166
mungkin persoalan gurandil bukan merupakan sesuatu yang bersifat kontradiksi atau dapat dijadikan sebagai salah satu kelemahan untuk tidak mengakui konservasi lokal yang sedang diperjuangkan oleh kelompok-kelompok petani. Ketiga, pelibatan -- yang sekaligus merupakan salah satu bentuk proses revitalisasi -- organisasi lokal seperti pengajian perempuan dan laki-laki, gotong royong/liliuran, sistem bagi hasil seperti ngepak, sebagai media untuk berbagi informasi, mensosialisasikan inisiatif, menggalang dukungan, dan mengajak warga lain di kampung-desa untuk konsisten memberlakukan konservasi lokal dalam keseharian hidup mereka.
Strategi ini dapat mengurangi kesenjangan
interaksi antara ORNOP dengan warga lain, yang tidak terlibat langsung dalam keseharian menjalankan agenda belajar dan bekerja bersama. Keempat, pelibatan pihak-pihak pendukung yang dapat difasilitasi oleh ORNOP atau pihak lain sebagai mitra belajar langsung bagi kelompok-kelompok petani, terutama perempuannya. Melalui upaya ini, diharapkan mulai terbangun proses menjalin solidaritas di antara perempuan, bekerjasama dengan pihak lain (termasuk yang dilakukan oleh penggiat laki-laki) dalam rangka menuju gerakan yang berbasis massa (tidak lagi bersifat elitis) untuk bersama-sama melawan seksisme dan naturisme dalam segala bentuk opresinya. Dalam kasus Malasari, bentuk dukungan nyata yang pernah dilakukan oleh salah seorang anggota lakilaki dari KSM Nyungcung (Bapak Ah) -- yaitu bertemu, memberikan penjelasan tentang Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo (atau KDTK), dan meminta izin kepada suami Ibu Ln agar Ibu Ln diperkenankan menghadiri pertemuan di luar -dan pengakuan dari Ketua KSM Nyungcung (Bapak Ml), bahwa perjuangan Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo tidak dapat dilakukan hanya oleh laki-laki, serta keberadaan jaringan kerja yang telah dirintis oleh KSM Nyungcung, menjadi justifikasi penting untuk membangun kelompok pendukung bagi petani dan buru tani perempuan dan laki-laki di Nyungcung yang tetap ingin berpartisipasi politis dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan tersebut.
167
Catatan Kaki 1 Menurut Holloway (1999) yang dikutip oleh Muchtar (2006), strategi adalah serangkaian pertimbangan yang digunakan untuk mengatur pemakaian sumberdaya kelompok/organisasi/gerakan dalam mengejar misi kelompok/organisasi/gerakan tersebut. 2 Lihat Mahardika 2000, tentang strategi sebagai upaya memahami medan pergulatan. Menurut Mahardika, secara umum strategi gerakan dapat bersifat non kooperatif, kooperatif, atau semi kooperatif (merupakan kombinasi antara strategi non dan kooperatif). Hasil terbaik dari salah satu strategi tersebut yang dipilih, sangat ditentukan oleh: pertama, seberapa besar kekuatan yang dimiliki untuk menghimpun sampai dimana kemampuan kekuatan gerakan dapat mendorong perubahan yang diinginkan; kedua, seberapa kualitas kekuatan yang dimiliki untuk mempertahankan posisi dan kondisi gerakan sampai tujuan terealisasi. 3
Membelenggu petani dalam bentuk sikap fatalisme, passivisme, rasa saling ketergantungan yang tinggi, terutama kepada para patron, kehidupan serba mistik, dan lain-lain. 4
Dimaksudkan untuk mengukuhkan TNGHS sebagai pusat keanekaragaman hayati yang berfungsi optimal sebagai sistem penyangga kehidupan dan penopang sistem sosial-ekonomi-budaya pada tingkat komunitas dan wilayah secara lestari. Untuk mencapai maksud tersebut, dirumuskan delapan tujuan, yaitu: 1) Mewujudkan kemantapan kawasan TNGHS; 2) Membangun sistem data base dan informasi yang handal; 3) Meningkatkan daya jual TNGHS; 4) Membangun kelembagaan penelitian untuk pendidikan publik dan pengembangan IPTEK konservasi; 5) Membangun mekanisme swadana; 6) Menjaga keanekaragaman hayati; 7) Mewujudkan mitigasi bencana di TNGHS; dan 8) Mewujudkan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. 5
Jika dilihat dari kegiatan fasilitasi kelompok perempuan di Desa Mekarsari, Lebak, terlepas dari persoalan keterbatasan jumlah fasilitator lapang perempuan, RMI saat ini lebih memilih pendekatan penguatan ekonomi rumahtangga yang sarat dengan pengetahuan teknis, tidak melanjutkan sekolah perempuan yang telah dirintis pada tahun 2001, atau tidak mengkombinasikan pengetahuan teknis dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang diperlukan oleh perempuan agar memiliki kesadaran kritis.
BAB V TUMBUHNYA GERAKAN KONSERVASI LOKAL BERBASIS PEREMPUAN DI KAMPUNG NYUNGCUNG Bab lima ini bertujuan menggambarkan tumbuhnya gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di Kawasan Ekosistem Halimun sebagai bagian dari gerakan perlawanan rakyat terhadap pihak-pihak luar yang membatasi akses dan kontrol mereka atas kekayaan alam. Seperti yang telah dibahas dalam Kerangka Pemikiran (bab dua), gerakan konservasi lokal berbasis perempuan merupakan hasil interaksi antara pemiskinan perempuan, budaya patriarkhi, dan intervensi pihak luar, dalam hal ini ORNOP.
Dikaitkan dengan tumbuhnya gerakan
tersebut, dalam bab ini akan dibahas tentang proses dan hasil interaksi antara faktor pemiskinan perempuan, budaya patriarkhi, dan intervensi ORNOP dalam konteks Kampung Nyungcung. Bab lima ini terdiri dari lima bahasan.
Bahasan pertama adalah
mengkontekskan gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di Kampung Nyungcung pada politik perlawanan rakyat.
Bahasan kedua menyampaikan
tentang proses pemiskinan perempuan di Kampung Nyungcung akibat pembatasan akses dan kontrol mereka atas tanah dan kekayaan alam. Bahasan ketiga memaparkan pengaruh budaya patriarkhi terhadap tingkat militansi penggiat perempuan. Bahasan keempat akan menjelaskan tentang peran ORNOP dengan ide-ide yang dibawanya dalam proses interaksi dengan komunitas di Malasari, yang pada tingkatan tertentu berkontribusi terhadap proses aktualisasi pendobrakan kemiskinan oleh beberapa petani dan buruh tani perempuan melalui inisiasi gerakan konservasi lokal di Kampung Nyungcung. Pada bahasan terakhir, akan disampaikan pengalaman beberapa petani dan buruh tani perempuan tersebut melakukan inisiasi yang signifikan dalam proses perkembangan gerakan konservasi lokal secara umum.
1. Politik Perlawanan Rakyat Malasari: Sebuah Konteks Gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di Kampung Nyuncung dipelopori oleh perempuan biasa dari sosial ekonomi politik yang rendah
99
sebagaimana telah diuraikan pada bagian profil subyek penelitian dalam bab empat. Hal ini sangat menarik karena berbeda dengan kecenderungan yang terjadi di masyarakat desa umumnya dimana gerakan diinisiasi oleh kelompok-kelompok berpengaruh maupun elit (lihat Fauzi 2005 yang menuliskan kembali tentang perjuangan masyarakat adat melalui AMAN; Peterson dan Runyan 1999 yang mengulas tentang Greenbelt Movement di Kenya, Calcutta Social Project di India).
Berperannya kelompok perempuan dari klas bawah ini tak dapat
dipungkiri sangat berkaitan erat dengan dinamika politik perlawanan rakyat Malasari itu sendiri, yang tumbuh dan berkembang karena proses pemiskinan akut yang mendorong petani-petani miskin untuk berjuang merebut kembali hak-hak mereka atas tanah dan kekayaan alam lainnya. Masyarakat Desa Malasari adalah salah satu masyarakat lokal di Kawasan Ekosistem Halimun yang menjalankan kehidupan mereka tidak lagi secara keseluruhan menyandarkan pada adat tradisi seperti komunitas Kanekes/Baduy dan Kasepuhan. Berdasarkan penelitian RMI pada tahun 1998, hanya sebagian kecil warga yang tersebar di beberapa kampung (Malasari, Nyungcung, Kopo, Pabangbon, dan Pabuaran) di mana terdapat wakil dari beberapa Kasepuhan, masih mempercayai hari gelap (larangan untuk bekerja di sawah)1 dan melakukan ritual semacam Doa Amit2, dan Sedekah Bumi3. Selebihnya, dapat dikatakan bahwa tidak ada lagi institusi lokal, selain dari pemerintah, yang digunakan untuk mengatur kehidupan desa4, terutama bagaimana menyikapi konflik, baik itu yang bersifat horizontal atau vertikal. Menurut pengamatan saya, sejak tahun 1998 pemerintah desa Malasari tidak banyak terlibat dalam proses rekonsiliasi konflik yang inisiatifnya digulirkan oleh petani sendiri dari beberapa kampung, seperti Kampung Malasari, Nyungcung, dan Cisangku. Hal ini dapat dilihat pertama dari sikap Kepala Desa yang tidak mendukung
perjuangan kelompok petani Mandalasari
untuk menghentikan
perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Nirmala Agung.5
Kedua, dari
Peraturan Desa – Peraturan Desa yang dipakai kesemuanya masih menitikberatkan pada pemerintahan (governance) dan keuangan desa yang tidak berbasis pada kebutuhan masyarakat. Peraturan-peraturan itu adalah:
100
• Peraturan Desa No. 1/2001 tentang Pedoman Pembuatan Peraturan Desa, Keputusan Desa, Rekomendasi dan Instruksi; • Peraturan Desa No. 2/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa; • Peraturan Desa No. 3/2001 tentang
Pedoman Pengangkatan dan
Pemberhentian Perangkat Desa; • Peraturan Desa No. 4/2001 tentang Pedoman Pembentukan Organisasi dan Lembaga Kemasyarakat di Desa; • Peraturan Desa No. 5/2001 tentang Pemilihan Kepala Desa; • Peraturan Desa No. 6/2001 tentang
Sumber dan Pedoman Pemungutan
Pendapatan Desa; • Peraturan Desa No. 7/2001 tentang
Pedoman Penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa; • Peraturan Desa No. 8/2001 tentang Keuangan Pemerintahan Desa; • Peraturan Desa No. 9/2001 tentang Anggaran Keuangan BPD; • Peraturan Desa No. 10/2001 tentang Pedoman Pengelolaan Bantuan Pihak Ketiga dan Pinjaman Desa; Ketiga, belum adanya acuan kebijakan ditingkat peraturan daerah6 dan masih rendahnya kapasitas aparat untuk secara politis merealisasikan lahirnya peraturan desa yang dapat mengakomodir tuntutan konservasi yang berbasiskan lintas desa. Mensikapi respon dari pemerintah desa yang terkesan lamban dan hati-hati, kelompok-kelompok petani berinisiatif berhadapan langsung dengan pihak luar yang mereka nilai sebagai sumber konflik, menyusun sendiri rancangan peraturan yang mendukung mereka, dan menggalang dukungan dan
kerjasama dengan
kelompok-kelompok petani dari desa lain serta pemerintah di tingkat kecamatan dan kabupaten. Keterpurukan hidup sebagai hasil dari rangkaian kapitalisme kolonial dan pembangunanisme menyebabkan petani mulai berani melakukan perlawananperlawanan semacam ini. Menurut pengakuan beberapa petani laki-laki yang aktif dalam diskusi pertama tentang sejarah desa
pada tahun 1999, perlawanan
semacam ini telah dilakukan oleh sebagian besar penduduk Malasari, baik kaum perempuan dan laki-lakinya, yang secara individual dan spontan melakukan
101
demonstrasi atau bahkan mengorganisir perlawanan terhadap pihak luar yang datang untuk mengeksploitasi sumberdaya mereka. Terdapat tujuh perlawanan rakyat Malasari yang cukup menonjol yang ditemukan dalam penelitian ini. Perlawanan pertama adalah perlawanan rakyat Malasari terhadap PT. Ciangsana (pemegang HGU perkebunan teh sebelum PT. Nirmala Agung) pada tahun 1973. Dibantu oleh militer, PT.. Ciangsana mengambil alih tanah-tanah garapan warga Malasari di sekitar perkebunan teh di Nirmala yang luasnya sekitar 163.7 ha (Galudra et al 2005). Para petani yang tergusur tersebut bersama aparat pemerintah desa pada saat itu dan Kapten Rojak (dari kepolisian) menuntut pembatalan HGU yang diberikan kepada PT.. Ciangsana tersebut ke Gubernur Jawa Barat. Hasilnya, Gubernur Jawa Barat pada waktu itu mengeluarkan surat dengan No. 650/175/2/73 yang meminta Menteri Pertanian meninjau ulang tentang surat keputusan pemberian HGU No. 16/HGU/a/73 itu. Kedua, adalah perlawanan rakyat terhadap PERUM PERHUTANI karena telah mengambil-alih tanah mereka yang digarap sejak tahun 1930 – 1940an. Kemarahan petani atas perlakuan sewenang-wenang itu telah mendorong mereka untuk berjuang sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu El di bawah ini: “Sebelum PERUM PERHUTANI masuk, dulu daerah ini (blok Cepak Nangka) merupakan sawah-sawah garapan dari sebagian besar para orang tua kami. Pengambil-alihan daerah ini menjadi bagian dari kawasan produksi PERUM PERHUTANI dilakukan secara paksa. Tanaman padi dirusak, dibabat habis!” (Pernyataan Ibu El, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2004) Perlawanan ini telah membuahkan hasilnya, walaupun belum terlalu memuaskan petani, yaitu beberapa lokasi yang berlereng di beberapa kampung, sawah-sawah yang telah dibangun dan digarap sejak tahun 1930an - 1940an oleh para orang tua mereka tidak dikonversi menjadi kebun pinus. Sementara itu di beberapa lokasi, PERUM PERHUTANI mengizinkan warga untuk menggarap dan bermukim di atas kawasan produksinya dengan syarat mereka harus membayar sebesar 10% – 25% dari hasil panen7, serta bersedia menanam pohon pinus dan rasamala di lahan garapan dan kampung mereka (Galudra et al 2006).
102
“Baheula te... kami geus kudu nanem pinus di halaman imah, trus hasilna diala ku Kahutanan – Dulu... kami harus menanam pinus di halaman rumah, dan hasilnya akan diambil oleh pihak PERUM PERHUTANI” (Pernyataan Ibu Ln, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2004; dikutip dari Galudra et al 2005) Ketiga, berdasarkan wawancara dengan salah satu anggota Kelompok Tani Megamendung (Ad) yang dulu pernah bergabung dalam Serikat Tani Indonesia (STI), menceritakan bahwa pada awal tahun 1990-an sekelompok petani, generasi dari petani-petani Malasari yang melakukan perlawanan pada tahun 1973 terhadap PT. Ciangsana, memperjuangkan kembali hak garap pada tanah seluas 163.7 ha di Nirmala karena pada saat itu PT. Ciangsana akan menjual HGUnya kepada PT. Nirmala Agung (sebagai salah satu anak perusahaan dari Grup Sinar Mas). Menurut Ad, perjuangan reklaim tanah garapan oleh kelompok petani Malasari tersebut bersamaan dengan perjuangan kelompok petani Cimacan yang sangat mungkin mempengaruhi militansi kelompok petani Malasari tersebut.
Dalam
suatu pertemuan tahun 1991/1992 yang menghasilkan Deklarasi Cimacan, kelompok petani Malasari ini menyatakan keinginan mereka untuk bekerjasama dengan STI dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang pada saat pertemuan itu STI dan LBH dibentuk secara resmi. Walaupun belum berhasil karena pada tahun 1992 tersebut PT. Nirmala Agung membeli HGU PT. Ciangsana seluas 971 ha yang terdiri dari empat afdeling, kelompok petani Malasari ini terus melakukan kerjasama dengan STI dan LBH AMPERA untuk mempersiapkan reklaim berikutnya pada saat HGU akan berakhir di tahun 1997. Keempat adalah perlawanan yang dilakukan pada tahun 1997 yang merupakan kelanjutan dari perlawanan pertama dan ketiga di atas yang belum berhasil mengambil kembali tanah garapan mereka. Tahun 1997 adalah tahun berakhirnya HGU PT. Nirmala Agung, yaitu tepatnya pada tanggal 31 Desember 1997. Hal ini merupakan kesempatan bagi rakyat Malasari untuk mereklaim ketiga kalinya tanah garapan mereka. Melalui Kelompok Petani Mandalasari, ratusan petani dan penggarap (laki-laki) bergabung untuk meneruskan perjuangan orang tua mereka menuntut kembali hak garap atas tanah-tanah mereka. Pada
103
tahun 1998, ketika proses negosiasi masih berlangsung, aksi okupasi di tanah garapan mereka yang dikuasai oleh PT. Nirmala Agung dilakukan sebagian besar oleh para istri mereka. Mereka mulai menamami lahan-lahan tersebut dengan tanaman palawija dan beberapa jenis tanaman hortikultura. Perjuangan ini tetap terus dilakukan oleh petani Mandalasari sampai sekarang, yaitu dengan cara tetap mengusahakan tanah-tanah tersebut sebagai kebun-kebun mereka, walaupun Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah mengeluarkan izin perpanjangan HGU kepada PT. Nirmala Agung dengan SK No. 54/HGU/BPN/99 untuk afdeling No. 1, 3, dan 4.
Menurut petani Malasari SK tersebut tidak adil dan menindas
kepentingan petani sehingga perlu terus diperjuangkan upaya menuntut kembali hak-hak mereka. Perlawanan kelima, yang juga terjadi pada tahun 1997, adalah perlawanan rakyat Malasari terhadap gurandil yang datang dari luar dan PERUM PERHUTANI yang menyebabkan krisis air di beberapa kampung di Desa Malasari. Kelompok masyarakat yang diwakili oleh beberapa warga kampung dan tokohnya beserta ketua RT dan RW Kampung Nyungcung meminta PT. Aneka Tambang untuk berupaya memecahkan masalah kelangkaan air yang terjadi di Malasari yang menurut analisis petani disebabkan oleh aktivitas gurandil dari luar8 dan keberadaan kebun pinus PERUM PERHUTANI. Perlawanan keenam, adalah perlawanan rakyat Malasari pada tahun 2001 terhadap PERUM PERHUTANI yang memanen habis pohon pinusnya (clear cutting) dengan cara mengokupasi tanah bekas tebang habis tersebut. PERUM PERHUTANI menebang habis kebun pinus di tanah seluas ± 16 ha di Kampung Malasari. Petani menganggap tanah tersebut dapat digarap oleh mereka walaupun tidak mendapatkan izin dari PERUM PERHUTANI. Inilah yang menjadi sebab konflik antara rakyat penggarap tanah PERUM PERHUTANI dan PERUM PERHUTANI sendiri. Petani penggarap selalu siap siaga jika pihak PERUM PERHUTANI akan mengambil-alih secara paksa tanah yang mereka sudah olah menjadi huma dan kebun.
Selain sebagai bentuk perlawanan lanjutan, pada
tingkat tertentu tindakan okupasi ini dapat dinilai sebagai bentuk negosiasi petani Malasari terhadap ‘program’ Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) PERUM PERHUTANI yang saat itu gencar disosialisasikan kepada para petani
104
penggarap di kawasan produksi PERUM PERHUTANI. Dari hal yang direklaim, yaitu hak garap dalam jaluran meranti dengan tanaman keras (pohon buah dan kayu), sesungguhnya dapat dipandang sebagai model PHBM alternatif yang diajukan oleh para petani tersebut. Perlawanan ketujuh, perlawanan yang secara khusus dikaji dalam tesis ini, adalah perlawanan rakyat Malasari terhadap kebijakan pemerintah memperluas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Rakyat Malasari menuntut Taman Nasional Gunung Halimun – Salak untuk tidak memasukkan kampung, sawah dan kebun mereka sebagai kawasan konservasi. Dalam perlawanan kali ini, sejak akhir tahun 2004, rakyat sudah mampu mengorganisir diri mereka dalam kelompok-kelompok yang sudah terstruktur. Keadaan ini merupakan hasil dari intervensi ORNOP, secara langsung ataupun tidak, dalam mengorganisir perlawanan rakyat untuk mendapatkan keadilan. Petani-petani ini sudah mampu melakukan program konservasi lokal dengan nama Leuweung Hejo, Masyarakat Ngejo (Hutan Hijau, Masyarakat Sejahtera) atau dalam bahasa lainnya mereka sebut sebagai Kampung dengan Tujuan Konservasi (KDTK) dalam naungan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Nyungcung. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa tumbuh dan berkembangnya gerakan konservasi lokal yang berbasis perempuan ini sangat dipengaruhi oleh politik perlawanan rakyat yang dipelopori dan diaktifkan oleh petani-petani miskin terutama petani laki-laki yang termarginalkan karena adanya pihak-pihak luar yang mengeksploitasi kekayaan alam mereka.
2. Feminisasi Kemiskinan dalam Konteks Perlawanan Rakyat Sebagaimana diuraikan dalam sub bab di atas yang menggambarkan politik perlawanan rakyat Malasari, gerakan perjuangan mendapatkan hak-hak atas tanah di Kampung Nyungcung termasuk gerakan yang diinisiasi oleh kelompok perempuannya dipelopori oleh kelompok-kelompok petani miskin. Kemiskinan melahirkan militansi untuk berjuang dan menanggung resiko. Untuk konteks Kampung Nyungcung sebagaimana telah dijelaskan dalam bab empat tentang situasi kemiskinan perempuan Kampung Nyungcung, sebagian besar mereka yang miskin ini adalah perempuan. Kemiskinan secara ekonomi itu diperparah oleh
105
budaya patriarkhi yang meletakkan perempuan Kampung Nyungcung dalam posisi subordinat (lihat bab empat) yang pada gilirannya menjauhkan perempuan ini dari partisipasi politik baik di arena domestik maupun publik. Tarik menarik antara militansi tersebut dengan ketidakberdayaannya dalam arena domestik dan publik menjadi sebuah energi perjuangan yang dapat diwujudkan dalam bentuk gerakan konservasi karena adanya intervensi pihak luar yang memperkenalkan ide-ide demokratisasi dan hak asasi manusia atas tanah dan kekayaan alam lainnya. Kemiskinan yang semakin sistemik menyebabkan sebagian besar warga Malasari mulai menjalankan strategi yang disebut oleh Amri Marzali (2003) sebagai occupational multiplicity (yang di dalamnya terdapat perilaku pembangkangan/mengakses secara ‘illegal’), sebagaimana diungkapkan oleh petani dan buruh tani perempuan di bawah ini: “Saya berumur sekitar 90 tahun dan telah tinggal di sini sepanjang hidup saya. Saya generasi kelima sesepuh desa. Kami adalah kaum perempuan. Apa yang menjadi masalah desa ini? Kurangnya pangan, kurangnya lahan (Pernyataan Ibu Un, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal...., bulan..., 2002; Dikutip dari RMI, KPA, dan ILC 2002) “Saya punya satu petak sawah seukuran 5.5 kg benih padi yang hasilnya hanya mencukupi kebutuhan makan kami sekeluarga (empat orang) untuk waktu kurang dari dua bulan. Untuk bertahan hidup, saya menggarap lahan PERHUTANI (maksudnya: tanpa seizin PERUM PERHUTANI) di Keramat Banteng, sedangkan suami saya menjadi buruh tani upah harian untuk musim tanam” (Pernyataan Ibu Is, dari Kampung Malasari. Didokumentasikan pada tanggal…., bulan…, 2002) “Saya tidak punya lahan, tapi ikut mengolah lahan orang tua saya. Saya juga ngepak, biasaya satu musim saya bisa dapat 10-15 gedeng…anak saya satu…setiap hari keluarga kami menghabiskan beras 1-1.5 liter. Beras ngepak bisa habis setelah 1.5 bulan.… Suami saya pergi ke gunung (maksudnya: nambang emas, menjadi gurandil) untuk nambah-nambah kebutuhan….” (Pernyataan Ibu An, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal...., bulan...., 2002) “Untuk mencukupi kebutuhan kami, suami saya pergi ke gunung selama seminggu, kemudian pulang ke rumah selama seminggu untuk istirahat dan mengolah batu dari gunung. Minggu depannya lagi, kembali ke gunung. Sedangkan saya tetap menggarap sawah di tanah Kahutanan dan nguli di beberapa sawah saudara-saudara saya atau orang lain. Begitulah kehidupan
106
kami setiap harinya” (Pernyataan Ibu Ln, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal…, bulan…, 2004) Sementara itu, generasi mudanya dan juga sebagian besar para orang tua mereka, petani dan buruh tani laki-laki, lebih memilih sumber pendapatan dari pekerjaan non-pertanian (untuk pemuda: menjadi tukang ojek, buruh kasar di kota, dll; sedangkan untuk pemudinya: menjadi pembantu rumahtangga, pelayan toko, atau buruh pabrik di kota). Situasi ini menyebabkan beban petani dan buruh tani perempuan di sektor pertanian menjadi semakin berat (lihat penjelasan pada bab empat). “Sekarang mah kami nyangkul sendiri, gak perlu bantuan laki-laki......” (Anonim dari perempuan petani anggota kelompok Cepak Nangka, didokumentasikan pada tahun 2004; dikutip dari Galudra et al 2005) Dalam konteks adaptasi membangkang, ketika tidak cukup sumberdaya untuk bermigrasi musiman ke kota atau migrasi tersebut tidak mampu menjawab harapan untuk hidup lebih baik, mereka, terutama oleh kaum laki-laki, kemudian terlibat dalam beberapa kegiatan ‘illegal’ yang cukup rentan secara lingkungan dan keselamatan diri, seperti menjadi gurandil, penebang dan pemikul kayu dalam kegiatan pembalakan liar (illegal logging).
Bentuk pembangkangan lain
dilakukan (oleh perempuan dan atau laki-laki) adalah dengan cara membuka lahan garapan di kawasan produksi PERUM PERHUTANI atau PT. Nirmala Agung, dan atau menolak membayar ‘pajak inkonvensional’ yang diberlakukan oleh aparat lapang PERUM PERHUTANI. Tindakan yang terkesan ‘negatif’ di atas sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan rakyat yang bersifat terus menerus, gerilya, dan dilakukan oleh banyak orang. Tindakan-tindakan tersebut tidak saja sudah dilakukan selama berpuluh-puluh tahun oleh para pendahulu mereka, juga dilakukan dalam rangka merespon perubahan-perubahan dari pembangunanisme yang menimpa segenap nilai dan struktur kehidupan mereka yang dulunya sangat kental dengan sistem berladang. Situasi seperti ini sesungguhnya menggambarkan militansi. Hal-hal yang dikategorikan sebagai suatu tindakan ‘illegal/kriminal’ kehutanan sebelumnya dalam pandangan masyarakat merupakan hal-hal yang
107
dianggap biasa, wajar dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka pahami. Tindakan yang diberi label ‘illegal/kriminal’ kehutanan oleh pihak luar tersebut untuk sebagian rakyat adalah kegiatan-kegiatan menggarap tanah untuk bersawah, berkebun, mencari kayu, mencari uang (cash) untuk kebutuhan mendesak (berobat atau membayar uang sekolah) yang merupakan fakta lugas yang tidak dapat dipungkiri. Apa yang kemudian dilabelkan sebagai tindakan ‘illegal/kriminal’ adalah sesuatu yang datang dari luar, hasil kodifikasi kalangan suprastruktur. Kondisi seperti ini juga menunjukkan kesamaan dengan apa yang terjadi di Sedaka -- sebuah kampung penelitian Scott (1985) di Malaysia -- pada kondisi beberapa tahun setelah program revolusi hijau, pemerintah setempat menyentuh kampung tersebut. Cara produksi baru yang menitikberatkan pada mekanisasi dan ekonomi uang itu, ternyata membawa konsekuensi pada terjadinya penyempitan peluang dan hilangnya ‘kemewahan-kemewahan kecil’ yang semula bisa didapat oleh para petani miskin, sehingga mengkondisikan mereka untuk berbuat ‘kriminal’. Aksi-aksi yang oleh Scott (ibid) disebut sebagai ‘senjatanya orang-orang kalah’ sampai hari ini juga terus berlangsung di Malasari. Dari aspek hegemoni, keberlangsungan tindakan ‘illegal/kriminal’ itu menunjukkan adanya kompromi politik antara klas sosial dan di dalam struktur pemerintahan desa. Diantara keberlangsungan hegemoni tentang tentang nilainilai kelestarian hutan, kesadaran lingkungan yang sebagian diterima oleh kalangan dari klas sosial menengah - atas dan pemerintah desa, faktanya cenderung dilanggar di tingkat praksis.
Tidak seorangpun di Malasari yang
menolak pendapat bahwa penambangan secara tradisional dan pencurian kayu akan mengakibatkan kerusakan hutan dan mengancam kelestarian lingkungan. Tetapi, hampir sebagian besar dari mereka -- baik secara sendiri-sendiri atau berkelompok, secara diam-diam ataupun terbuka pada saat reformasi, dan secara konsisten -- terus melakukan tindakan-tindakan ‘illegal/kriminal’ kehutanan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Sementara itu sebagian
besar kalangan masyarakat dari klas sosial menengah keatas dan juga aparat pemerintah desa membiarkan tindakan-tindakan itu, bahkan diantara mereka kemudian menjadi pemodal atau penerima lanjutan atas hasil tindakan-tindakan tersebut.
108
Berdasarkan pemaparan pada bab empat dan strategi bertahan hidup seperti di atas, dapat dikatakan bahwa masyarakat Malasari berada dalam kemiskinan yang keadaannya, secara struktural dan kultural saling menguatkan, dijelaskan sebagai berikut: • Keadaan Ekonomi Politik: Dalam setiap konteks bangunan ekonomi politik -apakah itu pada masa kapitalisme kolonial dan kapitalisme modern -- nasib masyarakat peasant ditentukan oleh kebijakan dan praktek-praktek ‘program’ agraria yang diberlakukan.
Lebih lanjut, dalam cara berproduksi, mereka
selalu berhubungan dengan golongan lain, yang memposisikan mereka untuk menggantungkan nasib kepada golongan lain dalam masyarakat. Dalam bangunan kapitalisme kolonial, nasib para pendahulu/tetua mereka yang sebagian besar sebagai buruh perkebunan-perkebunan teh selalu bergantung pada ‘kemurahan hati’ dari para pengusaha Belanda Pada Orde Lama, nasib mereka ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi-politik yang dimainkan oleh partai-partai politik pada saat itu. Pada rezim Orde Baru dan transisi seperti saat ini, nasib mereka ditentukan oleh modal (sebagian besar berasal dari asing) dan kekuasaan Negara melalui agroindustri, revolusi hijau, ekploitasi hutan, pertambangan, dan konservasi. • Keadaan Ekosistem: Penguasaan Negara seperti di atas dikarenakan kekayaan alamnya. Diketahui bahwa ekosistem Halimun merupakan salah satu ekosistem hutan tropis dengan keanekaragaman hayati yang relatif ‘tidak banyak terganggu’ dibandingkan dengan kawasan-kawasan hutan lainnya di Jawa. Oleh karena itu, sebagaimana yang telah disinggung pada aspek ekonomi politik, karena kekayaan alamnya, selain konservasi, saat ini di kawasan Halimun diberlakukan juga usaha ekonomi eksploitatif skala masif seperti perkebunan besar swasta dengan komoditi teh PT Nirmala Agung, konsesi hutan PERUM PERHUTANI, dan pertambangan emas PT. Aneka Tambang.
Penguasaan ini telah membatasi akses dan kontrol masyarakat
petani (peasant) atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Disamping itu, praktek eksploitatif kekayaan alam oleh para perusahaan tersebut telah menyebabkan degradasi ekosistem.
109
• Keadaan Tata Nilai dan Aturan: Penguasaan kekayaan alam yang diwakilkan oleh perusahaan-perusahaan dapat berjalan dengan aman dan lancar di tingkat basis dikarenakan adanya nilai, norma dan hukum modern yang diberlakukan. Salah satunya adalah UU Pemerintahan Desa No. 5 Tahun 1979. Undangundang ini menimbulkan dis-organisasi pada kehidupan masyarakat yang dapat dilihat dari pemaparan tentang sejarah desa yang belum banyak mengungkapkan perlawanan dari kelompok marjinal, terutama perempuan sejak satu per satu pihak luar masuk dan menguasai tanah dan kekayaan hutan di desa mereka.
Secara umum, hal ini menunjukkan bahwa melemahnya
organisasi dan jaringan sosial di antara mereka sehingga terjadi alienasi berupa impersonalitas dan sebagian besar hubungan sosial yang bersifat instrumen. Sementara itu, aturan-aturan yang diberlakukan tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ketidak-adilan yang dialami oleh sebagian besar rakyat. • Keadaan Fasilitas Pelayanan dan Kesempatan Usaha: Terdapat keterbatasan atau
bahkan
ketiadaan
informasi,
pembinaan,
fasilitas
permodalan,
perlindungan dan penyediaan kesempatan usaha mengharuskan sebagian anggota keluarga peasant bermigrasi dan atau terlibat dalam kegiatan ekonomi destruktif. Pertemuan empat keadaan di atas telah dan sedang menyebabkan proletarisasi peasant (proses pemisahan peasant dari
alat produksinya, yaitu
tanah, menuju menjadi buruh tani) terjadi pada skala yang semakin masif, terutama pada perempuan. Hal ini dapat dilihat dari situasi kehidupan sosial dan ekonomi perempuan di Malasari, termasuk di Nyungcung (lihat sub-bab 4 dan 5 pada bab empat.) Pada titik tertentu, kemiskinan secara perlahan dapat menyebabkan perempuan yang belum berumahtangga menjadi berani untuk bermigrasi ke kota mencari pekerjaan di sektor ekonomi informal dengan segala resikonya. Sementara itu, bagi perempuan yang menikah, sebagian dari mereka mulai berani keluar dari belenggu peran ibu rumahtangga di arena domestik dengan cara terlibat aktif dalam kegiatan politis publik yang bertujuan untuk memerangi kemiskinan tersebut, baik secara pembangkangan maupun konfrontatif konstruktif. Keberanian sikap dan perilaku ini, jika dipelihara secara konsisten
110
akan menggambarkan suatu deprivasi relatif atas belenggu patriarki yang selama ini membatasi perempuan melalui pencitraan diri untuk bersikap dan berperilaku, serta dikotomi pembagian peran (produktif dan reproduktif) dan arena kerja (domestik dan publik). Militansi dapat dimunculkan dari perubahan sikap dan perilaku ini jika diperkuat menjadi sikap dan perilaku dari kesadaran kritis masing-masing individu perempuan pelaku gerakan.
3. Budaya Patriarki: Faktor Penentu Tingkat Militansi Perempuan Militansi dalam sikap dan perilaku pembangkangan dan konfrontatif konstruktif di kalangan perempuan miskin tidak bisa diwujudkan begitu saja dalam bentuk gerakan perlawanan karena dipengaruhi oleh budaya patriarkhi. Budaya inilah mempengaruhi dinamika gerakan apakah nantinya akan berhasil mewujudkan yang dicita-citakan atau mengalami terminasi. Telah disampaikan pada bab dua bahwa budaya patriarkhi telah menciptakan dikotomi dan hierarkhi kehidupan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari, pertama, memisahkan ruang publik berdasarkan gender. Secara umum, ruang-ruang publik di desa/kampung di mana laki-laki berkumpul adalah ruang yang sebaiknya dihindari oleh perempuan-perempuan yang ‘baik’. ‘Pemahaman’ seperti ini kemudian sangat sering diberlakukan ke pertemuanpertemuan formal di kampung dan desa. Kekhawatiran atas kehilangan nama baik, peringatan dari keluarga, atau persepsi diri perempuan karena nilai-nilai budaya patriarkhi telah terinternalisasi dengan baik, membuat
mobilitas dan
interaksi perempuan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat komunitas mereka menjadi terbatas. Hal ini dapat dilihat pada sub-bab tentang partisipasi politik perempuan di arena domestik dan publik, bab empat.
Kalaupun
berkegiatan di arena publik, berdasarkan pengakuan beberapa anggota dari Kelompok Cepak Nangka (Ibu Km, Sk, dan Oc) dan beberapa orang suami, bahwa ‘kelancaran’ perempuan aktif memperjuangkan gerakan konservasi lokal dan ada dukungan dari suami dan tetangga sekitar sangat tergantung pada kecakapan perempuan menyelesaikan semua pekerjaan rumahtangga terlebih dahulu.
111
“Saya izinkan istri saya berkegiatan di luar asalkan tidak mengganggu semua pekerja rumahtangga yang juga harus dikerjakannya” (Pernyataan Bapak Sr, suami dari Ibu Km, anggota kelompok Cepak Nangka. Didokumentasikan pada bulan Agustus 2006) Pengakuan ini juga menjelaskan kepada kita bahwa memperjuangkan Leuweung Hejo, Masyarakat Ngejo bagi sebagian besar suami dari para penggiat petani perempuan merupakan prioritas perempuan selanjutnya setelah prioritas utama mereka, rumahtangga, diselesaikan dahulu. Kedua, dapat dilihat dari norma tingkah laku yang disosialisasikan dan diberlakukan pada perempuan (bagaimana menjadi perempuan yang ‘baik’). Batasan-batasan sosial terhadap penampilan, mobilitas, dan perilaku perempuan, baik melalui internalisasi, pelabelan, peringatan/ancaman, atau bahkan kekerasan, mengganggu
otonomi dan kemampuan perempuan secara langsung untuk
berpartisipasi dalam kelompok/organisasi sosial yang didominasi oleh laki-laki (Stewart 1996 dikutip oleh Agarwal 2001). Norma-Norma pingitan perempuan sangat membatasi, karena menciptakan hierarkhi sosial yang mempengaruhi suara perempuan di arena
domestik dan publik.
Sebagai contoh, dalam
pertemuan-pertemuan KSM atau pertemuan lain di balai desa atau di tempat lain, norma-norma seperti itu sering menyebabkan perempuan duduk di bagian belakang, atau berada di luar ruangan diskusi, sebatas mendengarkan. Posisi ini membuat perempuan tidak efektif untuk menyampaikan pandangannya. Lebih dari itu, kehadiran tokoh-tokoh masyarakat atau orang-orang yang lebih senior, lakilaki, sangat sering menyebabkan perempuan ragu-ragu atau malu menghadiri pertemuan tersebut. Ketiga, budaya patriarkhi sebagai kontrol terhadap kerja dan peran perempuan dapat dilihat dari dua hal berikut: • Kerja perempuan adalah kerja reproduksi dan tidak mendapatkan upah. Kalaupun mendapatkan upah, besar upah yang diterima lebih kecil dibandingkan dengan upah laki-laki. • Peran-peran perempuan memiliki asosiasi simbolik dengan alam (nature), sedangkan peran-peran laki-laki diasosiasikan secara simbolik dengan budaya (culture).
112
Menurut Agarwal (2001), pengkategorian pekerjaan dan peran perempuan seperti di atas menggambarkan keadaan ketidaksetaraan dalam hal, semisal jam kerja, upah, penghargaan, dan pemenuhan hak antara laki-laki dan perempuan, dan juga perbedaan kepentingan dan ketergantungan atas sumberdaya-sumberdaya (common pool resources). Semakin kaku pembagian kerja dan peran tersebut, maka semakin besar konflik kepentingan yang dapat terjadi. Dalam kehidupan masyarakat Malasari, telah diketahui bahwa jam kerja perempuan lebih panjang dibanding laki-laki. Disinilah terdapat pembagian tanggung jawab melakukan tugas-tugas secara kaku. Sebagai contoh, dari Tabel 7 (bab empat) diketahui bahwa perempuan di Kampung Nyungcung rata-rata melakukan delapan pekerjaan rumahtangga utama, sedangkan laki-lakinya hanya satu pekerjaan. Dalam hubungan dengan pengelolaan kekayaan alam yang tidak terdistribusi secara adil, perempuan lebih memperjuangkan akses tanah untuk pemenuhan pangan keluarga, sementara itu, laki-laki lebih pada akses pekerjaan yang menghasilkan uang (cash) seperti menjadi gurandil. Pekerjaan rumahtangga dan makanan, bagaimanapun, dilakukan dan diperlukan sehari-hari, oleh karenanya menciptakan suatu tekanan terus menerus kepada perempuan untuk selalu dapat memenuhi semuanya. Dengan demikian, adalah benar tentang apa yang disampaikan oleh Fox (1990) dikutip oleh Fauzi (2005) bahwa kepentingan keberlanjutan kehidupan sehari-hari melalui kerja dan peran perempuan yang dikontrol oleh budaya partriarkhi merupakan salah satu faktor internal yang dapat menghambat perempuan miskin terlibat aktif dalam gerakan. Tarik menarik seperti di atas membuat perempuan Nyungcung tidak mudah untuk bergerak secara terus menerus walaupun potensinya tinggi karena mulai munculnya militansi. Intervensi pihak luar dalam hal ini RMI yang melakukan pengorganisasian menyampaikan ide-ide demokratisasi dan hak-hak azasi manusia atas pengelolaan kekayaan alam telah membuat sebagian perempuan Nyungcung berani untuk membangun gerakan konservasi berbasis perempuan.
113
4. Interaksi ORNOP dengan Komunitas Malasari-Nyungcung dalam Konflik Tenurial 4.1. Sejarah Intervensi ORNOP dalam Konflik Tenurial di MalasariNyungcung Sebelum menjelaskan tentang proses tumbuh dan dinamika gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di Kampung Nyungcung, menjadi penting untuk memahami bagaimana RMI, salah satu ORNOP lokal, berkontribusi di dalam gerakan tersebut melalui pemaparan sejarah pengorganisasian berikut ini (penjelasan lengkap tentang RMI dapat dilihat pada Lampiran 3). Bagian ini akan membahasnya berdasarkan pembabakan waktu dimana program-program kerja RMI
yang awalnya menawarkan penawaran ide penguatan sistem wanatani
tradisional Jawa Barat, talun kepada sebagian komunitas petani di Malasari. Bertolak dari ide talun ini, dalam proses pengorganisasian selanjutnya, RMI kemudian memfokuskan diri pada proses fasilitasi penyelesaian konflik tenurial yang didasarkan pada inisiatif-inisiatif petani untuk mengatasi konflik tersebut melalui fasilitasi pembuatan alat-alat negosiasi seperti peta dan aturan lokal.
a. Tahun 1998 - 1999: Dari Penguatan Talun Secara Teknis Menuju Reklaim Tanah Garapan ke PT. Nirmala Agung RMI mengenal Malasari melalui studi lapang awal (tahun 1997) untuk melihat kemungkinan untuk menguatkan sistem wanatani tradisional Jawa Barat yang dikenal sebagai talun. RMI mengambil wilayah Malasari ini untuk disurvei awal karena lokasi ini berdekatan dengan Taman Nasional Gunung Halimun mengingat pengalaman komunitas di kawasan taman nasional lain umumnya mengalami konflik. Inilah yang menarik perhatian RMI untuk melakukan studi lapang awal itu. Hasilnya adalah sistem wanatani tradisional masih dilakukan oleh sebagian masyarakat di Malasari. Hasil ini kemudian ditindaklanjuti dengan mulai mendekati masyarakat Malasari dan menawarkan kegiatan untuk memperkuat talun di Malasari pada tahun 1998.
Pada prinsipnya masyarakat yang diwakili oleh Kelompok
Mandalasari menerima tawaran RMI asalkan RMI bersedia bersama LBH AMPERA9 membantu mereka untuk menyelesaikan konflik tenurial melalui
114
reklaim tanah garapan orang tua mereka di afdeling No. 2 PT. Nirmala Agung. Bagi RMI, tawaran ini merupakan hal yang memang seharusnya mendapatkan prioritas dalam proses penguatan talun -- yang awalnya konsep kegiatan RMI lebih ditekankan pada substansi teknis dengan asumsi tidak ada konflik tenurial atas keberlangsungan talun tersebut. Dalam suatu pertemuan berikutnya, pada tahap membangun kesepakatan tentang berkegiatan bersama itu, beberapa perwakilan petani dari kampung Nyungcung yang berniat bergabung, menyampaikan keinginan mereka kepada Kelompok Mandalasari dan RMI untuk juga memperjuangkan reklaim tanah garapan mereka ke PERUM PERHUTANI. Beberapa orang pengurus Kelompok Mandalasari (termasuk mantan kepala desa yang pada tahun 1973 telah memperjuangkan reklaim atas tanah afdeling No. 2 tersebut) tidak menyetujui permintaan tersebut dengan alasan fokus perjuangan kelompok Mandasalari saat itu hanya pada reklaim tanah afdeling No. 2. Menanggapi respon yang demikian, maka perwakilan petani Kampung Nyungcung memutuskan untuk tidak bergabung dalam kelompok Mandalasari karena perbedaan fokus perjuangan reklaim. Mendiskusikan tawaran kegiatan dengan kelompok petani yang memiliki sejarah perlawanan beberapa kali merupakan pengalaman pertama RMI. Proses seperti ini tidak mudah, mengingat tim program RMI pada saat itu (terdiri dari dua orang perempuan, termasuk saya, dan satu orang laki-laki) belum memiliki pengalaman mengorganisir petani di daerah konflik.
Dalam proses ini, RMI
belajar bagaimana menerapkan prinsip kesetaraan dan partisipatif untuk mensinergiskan (menambahkan, mengurangi atau merubah) kegiatan yang dibawa RMI (penguatan talun secara teknis) dengan kebutuhan ril dari kelompok petani tersebut.
Selain itu, untuk menanggapi sikap pragmatis yang memandang
kegiatan RMI sebagai suatu kegiatan yang bersifat bantuan/charity, sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan ke desa mereka, tidak jarang kami bertiga (tim program) sering berdebat secara terbuka dengan beberapa tokoh masyarakat atau pemimpin kelompok yang belum secara baik memahami kegiatan bersama ini sebagai hal yang berbeda dengan kegiatan/proyek lain dari perusahaan atau instansi pemerintah.
115
Secara semi intensif, dua orang staf RMI (satu orang perempuan dan satu orang laki-laki) mengemban peran sebagai community organizer (CO) memfasilitasi agenda kegiatan Kelompok Mandalasari -- beranggotakan ratusan kepala keluarga (laki-laki) dari beberapa kampung di Malasari -- yang telah disepakati bersama, yaitu: pemetaan partisipatif; serangkaian pertemuan mediasi untuk negosiasi dengan BPN, PemKab Bogor, PT. Nirmala Agung, dan DPRD Kabupaten Bogor; training tentang pengoptimalan talun dan konservasinya; studi banding ke kelompok petani lain yang menerapkan pertanian organik; dan pembuatan kebun contoh bersama di tanah desa. Mengingat proses pengorganisasian dilakukan secara semi intensif, maka salah satu upaya untuk memperlancar komunikasi antara RMI dengan anggotaanggota kelompok petani dan warga lain di kampung-desa Malasari, serta mempercepat proses tumbuh atau berkembangnya suatu organisasi lokal yang kuat, adalah melibatkan beberapa anggota kelompok petani yang bersedia sebagai CO lokal.
Berdasarkan interaksi sehari-hari dalam proses pengorganisasian
tersebut, tim kegiatan RMI menjalin proses belajar dan bekerja yang lebih intensif dengan 10 orang yang dapat disebut sebagai CO lokal, berasal dari lima kampung dan kesemuanya adalah laki-laki. Hasil yang didapat selama hampir dua tahun RMI memfasilitasi Kelompok Mandalasari mereklaim tanah afdeling No.2 adalah sama seperti perjuangan dua reklaim sebelumnya, yaitu Kelompok Mandalasari belum memenangkan reklaim afdeling No.2, walaupun RMI telah memperkuat kapasitas kelompok melalui pemetaan partisipatif desa (menghasilkan peta wilayah administratif desa dan tematik), serta konsep pengelolaan tanah afdeling No. 2 secara zonasi (relatif sama seperti konsep zonasi TNGH).
Proses panjang yang telah dilalui sejak
tahun 1970-an sampai sekarang dengan hasil yang sama menyebabkan ketua Kelompok Mandalasari mencari kemungkinan jalan lain yang dinilainya memudahkan proses reklaim, yaitu memberikan ‘insentif uang’ kepada beberapa orang di BPN. Menyikapi kemungkinan realisasi jalan lain ini, RMI, melalui saya dan satu CO perempuan RMI (Nn), menyatakan tidak akan melanjutkan peran RMI memfasilitasi proses reklaim lahan.
Kepada kelompok Mandalasari
dipersilahkan untuk memproses sendiri atau mencari organisasi fasilitator lain.
116
Pengalaman awal mengorganisir seperti ini memberikan satu pelajaran penting bagi RMI bahwa dalam satu perlawanan lokal, dominasi/hiearkhi dapat saja timbul, terlepas dari upaya semua pelakunya untuk berbicara dalam satu suara perjuangan.
Hal lain yang juga penting adalah, sebagaimana yang saya
ungkapkan pada bab tiga, suara perempuan belum didengarkan dan diakomodir dalam negosiasi tersebut. Selama proses berkegiatan bersama, terutama dalam proses reklaim, sebagian besar ibu, para istri dari anggota-anggota kelompok Mandalasari, berkontribusi cukup signifikan dalam penyediaan konsumsi pada berbagai pertemuan rapat kelompok; membuka, membersihkan dan menanami sebagian lahan ex-afdeling No. 2 yang diokupasi dengan tanaman palawija, hortikultura, dan pohon-pohon; tetapi pendapat, keinginan dan cita-cita mereka dalam proses reklaim belum didengar dan diakomodir.
b. Tahun 2000: Mempertajam Program Pengorganisasian di Basis Berdasarkan pengalaman pertama mengorganisir kelompok petani di atas dan juga memperhatikan sebagian dari anggota tetap memperjuangkan reclaim dengan caranya masing-masing, terlepas dari kelompok, maka pada tahun 2000 RMI mempertajam visi dan misi organisasi, yang salah satu pengejawantahannya dituangkan dalam program pengorganisasian melalui 4 kegiatan utama, yaitu: • Penguatan sistem pengelolaan kekayaan hutan, disesuaikan dengan prioritas kampung masing-masing. • Penguatan organisasi lokal, dilakukan pada berbagai kelompok di komunitas • Pendidikan kritis, dilatarbelakangi oleh beberapa hal penting yaitu: keadaan kekayaan hutan di beberapa tempat yang mulai terdegradasi; keterbatasan akses lahan; dan konflik tenurial atas kekayaan hutan dengan beberapa pihak yang berlangsung cukup lama. Untuk itu, beberapa kegiatan yang penting harus dilakukan yaitu: pengembangan pendidikan lingkungan untuk anak-anak secara mandiri, seri pelatihan hukum kritis, dan sekolah perempuan. Pemahaman terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara akan dibangun melalui Pendidikan Hukum Kritis dan Sekolah Perempuan, dengan harapan agar masyarakat, terutama dari kelompok marjinal, perempuan dan laki-laki,
117
dapat memainkan perannya dalam kehidupan politik di desanya terutama dalam pemecahan konflik tenurial atas kekayaan hutan. • Penguatan ekonomi rakyat, dilakukan melalui pemanfaatan kekayaan alam lokal, terutama potensi produk hutan non kayu. Sebagai langkah awal, akan dilakukan pengidentifikasian partisipatif mengenai sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki di beberapa kampung di beberapa lokasi kerja RMI. Hal ini harus juga didukung dengan penguatan kemampuan manajemen usaha. Sementara itu, proses pengorganisasian selanjutnya dilakukan pada sebagian anggota Kelompok Mandalasari yang bermukim di Kampung Malasari tidak dalam naungan Kelompok Mandalasari lagi dan para CO lokal dari beberapa kampung lainnya untuk menguatkan kesadaran politis mereka tentang upaya demokratisasi pengelolaan kekayaan alam, salah satunya melalui penyelesaian konflik tenurial secara kolektif.
c. Tahun 2001 - 2002: Reklaim Hak Garap ke PERUM PERHUTANI Unit III, Penyelesaian Persoalan Kesulitan Air, dan Rintisan Pengorganisasian Kelompok Perempuan Pada tahun 2001, PERUM PERHUTANI Unit III mulai melakukan pemanenan pohon pinusnya secara tebang habis (clear cutting) di blok Keramat Banteng seluas ± 16 ha di Kampung Malasari untuk digantikan dengan komoditi Meranti. Melihat lokasi yang gundul tersebut, sebagian besar petani di Kampung Malasari yang dulunya sebagai anggota Kelompok Mandalasari segera melakukan okupasi. Dalam konteks penguatan sistem pengelolaan kekayaan hutan oleh masyarakat, pada reklaim kali ini, RMI memfasilitasi 54 KK petani Kampung Malasari untuk memperjuangkan hak garap mereka ke PERUM PEHUTANI Unit III di tanah jaluran dengan luas yang mereka ajukan adalah luas di antara setiap jarak tanam meranti 2 x 2 meter. Fasilitasi reklaim hak akses ini dilakukan melalui perumusan konsep pengembangan kebun di tanah jaluran, penguatan kelompok petani penggarap Keramat Banteng berdasarkan beberapa prinsip keorganisasian (aturan main, pembagian peran, dan lain-lain), dan pelatihan hukum kritis. Meskipun PERUM PERHUTANI tidak mengabulkan permintaan hak garap, petani-petani tersebut tetap meneruskan okupasi mereka dengan
118
menanam palawija, sayuran, pohon-pohon buah dan kayu di antara bibit meranti yang ditanam oleh PERUM PERHUTANI.
Sampai akhir tahun 2006, blok
Keramat Banteng tersebut terlihat hijau, mulai menyerupai hutan sekunder. Reklaim hak garap ini dapat dikatakan sebagai salah satu upaya pengajuan alternatif model pengelolaan kekayaan hutan oleh masyarakat atas program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang terus ditawarkan dan dikembangkan oleh PERUM PERHUTANI. Sementara itu, untuk persoalan kesulitan air di Kampung Nyungcung (sebagai salah satu dampak yang semakin sering dialami oleh sebagian besar warga Nyungcung akibat keberadaan kebun-kebun pinus PERUM PERHUTANI) RMI memfasilitasi serangkaian kegiatan yang terdiri dari: identifikasi kondisi mata air (sirah cai), dilanjutkan dengan pembentukan kelompok pengatur dan pemelihara mata air. Selain itu, untuk memastikan keberlangsungan akses atas air bersih, sebagian warga melakukan gotong royong untuk membuat saluran air untuk mengalirkan sebagian air dari Sungai Cisarua ke kampung mereka ketika musim kemarau. Pada tahun yang sama, RMI juga mulai merintis pengorganisasian petani perempuan melalui kegiatan belajar membaca, yang awalnya dilakukan secara pribadi oleh salah satu staf perempuan RMI (Dh) di Kampung Nyungcung. Kegiatan ini kemudian dijadikan sebagai salah satu kegiatan pengorganisasian petani perempuan dalam bentuk sekolah perempuan. Melalui interaksi personal, dari rumah ke rumah, dapur ke dapur, sawah ke sawah, kebun ke kebun dan dari pertemuan ke pertemuan kampung berikutnya, beberapa staf perempuan RMI dan saya mencoba memahami mengenai pergulatan perempuan dalam keseharian di arena domestik dan publik, bagaimana perempuan dapat bertahan di antara konflik-konflik tenurial yang terus berlangsung di kehidupan mereka. Ditemukan bahwa selain keinginan untuk dapat membaca dan menulis, juga keinginan mendapatkan informasi lain seperti poligami, kesehatan reproduksi, hukum dan kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, konservasi dan konflik yang ditimbulkannya, pengetahuan teknis tentang budidaya tanaman, persoalan hama, serta pengolahan pascapanen untuk usaha industri makanan.
119
Melalui sekolah perempuan ini, RMI berkenalan dengan Ibu El, yang kemudian karena minat, kesediaan, dan keaktifannya, Ibu El dapat juga dikatakan sebagai CO lokal perempuan di Malasari. Bersama Ibu El, Dh (dan terkadang relawan perempuan RMI terlibat), memotivasi petani dan buruh tani perempuan yang lain untuk aktif di sekolah perempuan.
Dalam perjalanannya,
keberlangsungan sekolah perempuan tersendat-sendat karena kesibukan pekerjaan rumahtangga dan bertani dari para partisipan sekolah perempuan. Sangat sering, Dh bertemu hanya dengan satu atau dua orang petani perempuan saja pada ‘waktu sekolah’ yang telah disepakati bersama. Keadaan seperti ini kemudian diperparah dengan pengunduran diri Dh karena akan menikah dan pindah kota, mengikuti suaminya.
d. Tahun 2003 - 2004: Dari Peningkatan Kapasitas Teknis Menuju Gerakan Konservasi Lokal Berbasis Perempuan Secara umum, berdasarkan keadaan di lapang, semua kegiatan yang dilakukan selama tiga tahun terakhir (2000 – 2002) dapat dikatakan sarat dengan muatan politis, untuk memperjuangkan hak mengakses tanah dan kekayaan hutan secara aman melalui serangkaian kegiatan pendidikan dan pembangunan jaringan kerja antara masyarakat Malasari dengan pihak-pihak yang bersedia mendukung. Sementara itu, substansis teknis, seperti yang telah dilakukan pada kegiatan penguatan talun pada tahun 1998 – 1999 dan yang mengarah pada peningkatan ekonomi keluarga melalui usaha industri rumahtangga, tidak difasilitasi secara khusus dalam kegiatan tertentu. Oleh karena itu, pada tahun 2003 - 2004, RMI bekerjasama dengan ICRAF (yang saat ini dikenal sebagai World Agroforestry Center) – Southeast Asia, RMI, secara khusus memfasilitasi kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan teknis tentang budidaya tanaman keras, pohon buah dan kayu melalui serangkaian training tentang silvikultur kepada kelompok-kelompok petani di 10 desa di Kecamatan Nanggung.
Kegiatan ini dikenal sebagai “Inovasi dalam
Agroforestry dan Peningkatan Mata Pencaharian”, terdiri dari: serangkaian lokakarya dan pelatihan untuk petani; penyediaan bantuan teknis intensif bagi kelompok petani sesuai dengan permintaan kelompok-kelompok petani; dan studi
120
pasar, baik yang ada maupun potensial untuk produk kebun skala kecil serta mengarahkan upaya kepada peningkatan akses pasar bagi petani kecil. Dalam pelaksanaannya, RMI bertanggung jawab memfasilitasi tumbuh kembang kelompok-kelompok petani. Proses pengorganisasian diawali dengan menginisiasi terbentuknya kelompok petani dan kemudian melakukan penguatan kelompok (perumusan aturan dan agenda kerja) sesuai dengan tingkat respon keaktifan masing-masing kelompok petani tersebut.
Berdasarkan respon ini,
proses pengorganisasian lanjutan dilakukan secara intensif, semi intensif, atau ekstensif kepada kelompok-kelompok petani tersebut. Pengorganisasian secara intensif dilakukan pada kelompok kelompok petani yang aktif melaksanakan kegiatan kebun. Pengorganisasian secara ekstensif dilakukan pada kelompok yang terbentuk tetapi tidak begitu aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan berkebun. Pada pengorganisasian secara responsif, tim program melakukannya berdasarkan permintaan petani-petani yang tidak dapat membentuk kelompok di kampung atau desanya tetapi masih aktif dalam seri kegiatan Riung Mungpulung Petani tentang persoalan yang berkaitan dengan kebun mereka. Di antara kelompok-kelompok petani di sepuluh desa di Kecamatan Nanggung, dua kelompok petani, yaitu kelompok petani perempuan, Cepak Nangka, dan kelompok petani laki-laki, Rimba Lestari, dari Kampung Nyungcung, Desa Malasari merupakan yang cukup aktif untuk difasilitasi secara intensif. Keberadaan beberapa dua orang CO lokal laki-laki (Bapak Rk [Alm.] dan Ah), dan satu orang CO lokal perempuan (Ibu El) di Kampung Nyungcung cukup signifikan membantu RMI dalam proses memfasilitasi tumbuh kembang Kelompok Cepak Nangka dan Rimba Lestari tersebut. Tercatat terdapat 23 petani dan buruh tani perempuan (dengan rata-rata kepemilikan tanah seluas 911 m2) bergabung dalam Kelompok Cepak Nangka, dan 16 petani laki-laki (dengan ratarata kepemilikan tanah seluas 969 m2) bergabung dalam Kelompok Rimba Lestari. Keaktifan kelompok petani diketahui berhubungan dengan ada tidaknya konflik tenurial di kampung atau desa masing-masing peserta (kelompok petani) kegiatan. Motivasi petani yang tergabung dalam Kelompok Cepak Nangka dan Rimba Lestari, untuk berpartisipasi dalam kegiatan “Inovasi dalam Agroforestry dan Peningkatan Mata Pencaharian” adalah, selain memperoleh ilmu silvikultur,
121
pasar, dan bibit, juga untuk mengakses lahan yang secara de facto tidak dikelola dengan kaidah-kaidah konservasi, seperti yang ditunjukkan oleh perilaku produksi PERUM PERHUTANI.
Motivasi terakhir inilah yang mendorong Kelompok
Cepak Nangka dan Rimba Lestari bersama dengan kelompok-kelompok petani lain yang muncul berikutnya di Kampung Nyungcung untuk bergerak bersama dalam gerakan konservasi lokal.
Penjelasan tentang tumbuh dan perjalanan
selanjutnya dari gerakan konservasi lokal yang dilihat dari agenda, strategi, dan kepemimpinan perempuan akan dibahas pada bab enam. 4.2. Intervensi ORNOP dalam Konflik Tenurial antara Rakyat Nyungcung dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Telah disampaikan pada bab pertama bahwa konflik tenurial yang berhubungan dengan perbedaan persepsi mengenai batas-batas dan akses pada hutan serta hasil hutan, termasuk yang berhubungan dengan kawasan konservasi seperti taman nasional, merupakan konflik terbanyak di sektor kehutanan. Hal ini, salah satunya, menggambarkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia banyak mengalami masalah. Salah satu faktor penting penyebab konflik di kawasan konservasi adalah landasan pemikiran tentang konsep konservasi itu sendiri. Menurut Kartodiharjo dan Jhamtani (2006), kebijakan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia masih mengikuti pemikiran para ilmuwan dari masa penjajahan yang secara umum berkiblat pada perkembangan konservasi di Amerika dan Eropa, yaitu pemikiran dari aliran konservasionis. Pemikiran ini berpendapat bahwa perlindungan kawasan konservasi harus dilakukan secara hukum dan tidak diganggu oleh kegiatan manusia guna mewujudkan keseimbangan ekosistem. Keberadaan penduduk setempat merupakan ancaman bagi upaya konservasi kekayaan alam dan ekosistem di kawasan tersebut. Pemikiran konservasionis ini pada prinsipnya sama dengan pemikiran ecofascism. Pemerintah ‘berjuang’ melindungi kawasan-kawasan hutan, perairan tawar, pesisir dan laut untuk kepentingan ekosistem, flora dan faunanya semata. Demi kelestarian lingkungan dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pembatasan sangat ketat dan bahkan penggusuran rakyat tempatan dari suatu kawasan konservasi merupakan tindakan yang dianggap sah -- meskipun
122
berdasarkan sejarah, rakyat tempatan tersebut telah berpuluh tahun bahkan berabad hidup dalam kawasan tersebut, jauh lebih dahulu dibandingkan dengan kebijakan konservasi dan penetapan kawasan konservasi tersebut (lihat Dietz 1996 dalam Catatan Kaki bab pertama; dan sub-bab Pembangunanisme dan Feminisasi Kemiskinan, bab dua). Berdasarkan pengelolaan konservasi seperti itu, diketahui juga bahwa pemerintah sering tidak mampu mencari pemecahannya yang tepat terhadap konflik-konflik yang muncul. Sebagai contoh, berdasarkan ‘temuan’ dari suatu jaringan kerja yang ‘peduli’ tentang ‘konservasi’ di kawasan pegunungan Halimun dan sekitarnya, terutama tentang keberadaan jenis satwa langka yang semakin memprihatinkan, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan (No. 175/Kpts-II/2003) tentang penunjukkan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, dari 40,000 ha menjadi 113,357 ha.
Secara administratif,
perluasan kawasan taman nasional ini mengenai 376 kampung yang tersebar di ratusan
desa
di
Kabupaten
Bogor,
Sukabumi,
dan
Lebak
(lihat Galudra et al 2006). Menjadi wajar, jika SK ini kemudian memunculkan protes dan penolakan dari kelompok-kelompok rakyat di Halimun. Salah satunya adalah penolakan dari kelompok-kelompok petani Nyungcung. Dalam konteks inilah, RMI meneruskan pengorganisasiannya di Desa Malasari, terutama di Kampung Nyungcung untuk memfasilitasi gerakan konservasi lokal berbasis perempuan. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub bab di atas, gerakan konservasi lokal berbasis perempuan ini dimulai ketika sekelompok petani perempuan dan laki-laki di Kampung Nyungcung berpartisipasi dalam kegiatan penguatan talun dari aspek silvikultur dan pengenalan pemasaran hasil talun melalui serangkaian training dan pengorganisasian kelompok petani yang difasilitasi oleh RMI dan ICRAF – SE Asia pada tahun 2003 - 2004. Pada tahap akhir dari kegiatan ini, yaitu pengembangan kebun sebagai strategi meningkatkan pendapatan petani, dikarenakan para anggotanya tidak memiliki lahan yang cukup, Kelompok Cepak Nangka dan Rimba Lestari yang telah terbentuk dan aktif berpartisipasi dalam kegiatan tersebut bersepakat membuat kebun kelompok mereka di lahan PERUM
123
PERHUTANI yang mulai tandus karena mulai dipanen pohon pinusnya dengan cara tebang habis blok per blok. Untuk menjamin ‘kepastian’ keberlangsungan kebun kelompok tersebut, dan dikaitkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang perluasan kawasan TNGH yang ternyata mencakup juga sebagian besar kawasan produksi PERUM PERHUTANI Unit III, termasuk di Malasari, RMI dan ICRAF – SE Asia mengusulkan agar kebun kelompok tersebut dikembangkan secara terencana dengan baik sebagai salah satu ‘modal’ untuk mulai menegosiasikan keberadaan model konservasi lokal dengan pihak TNGH.
Dalam rangka menggalang
dukungan dari pihak luar tentang perjuangan konservasi lokal tersebut, diusulkan tentang narasi Kampung dengan Tujuan Konservasi (KDTK). Usulan narasi ini diilhami dari keberhasilan pengalaman ICRAF – SE Asia memfasilitasi upaya penyelesaian konflik pengelolaan sumberdaya alam di daerah Sumber Jaya, Lampung, dengan menggunakan pendekatan Sistem Pendukung Negosiasi. Sistem ini merupakan suatu proses negosiasi yang mendorong pengelolaan konflik pengelolaan kekayaan alam suatu lansekap di dalam batas ekosistem tertentu, khususnya yang berkaitan dengan daerah aliran sungai (DAS); melalui rangkaian kegiatan dialog multi pihak yang didukung oleh ilmu pengetahuan (subsisten dan/atau modern) yang didapat dari hasil penelitian dan pengembangan secara partisipatif pada aspek-aspek bio-fisik, sosial-ekonomi dan kebijakan; guna memitigasi konflik destruktif antar-pihak dan secara bersamaan mempromosikan pengelolaan kekayaan alam yang berkelanjutan
Walaupun tidak dilihat situasi
dan keterlibatan perempuan, Pasya et al (2004) mencatat beberapa beberapa keberhasilan penerapan sistem ini secara multi tataran di Lampung , yaitu: (1) kegiatan negosiasi yang dipromosikan mampu menciptakan ruang politik untuk berdialog menyelesaikan konflik kepentingan dalam pengelolaan kekayaan alam yang melibatkan para pihak di berbagai tataran, (2) kegiatan peningkatan kapasitas (capacity building) kelembagaan dan teknis kepada pihak masyarakat yang lemah (powerless) mampu meningkatkan posisi tawar (bargaining power) mereka dalam bernegosiasi, dan (3) negosiasi kondusif yang dilandaskan kepada kepentingan bersama (common interest) dan bukan berdasarkan kepada pendekatan kekuasaan (yang kuat versus yang lemah) dapat menghasilkan
124
perubahan dan perbaikan kebijakan pengelolaan kekayaan alam setempat bagi kepentingan semua pihak yang bersengketa. Sementara itu, RMI memandang bahwa narasi ini merupakan upaya untuk melindungi keberlangsungan sumbersumber penghidupan dan wilayah hidup masyarakat di dalam kawasan TNGH melalui pengaturan ulang wilayah hidup mereka di kampung-desa berdasarkan kesepakatan bersama di tingkat komunitas. Usulan narasi KDTK itu diterima baik oleh Kelompok Cepak Nangka dan Rimba Lestari. Untuk sosialisasi dan membangun konsolidasi di antara warga kampung Nyungcung khususnya, dan Desa Malasari umumnya, para penggiat perempuan dan laki-laki dari Kelompok Cepak Nangka dan Rimba Lestari menggunakan narasi lokal, yaitu Leuweung Hejo, Masyarakat Ngejo. Narasi lokal ini digali dari narasi pengelolaan kekayaan hutan berdasarkan zonasi kawasan hutan yang masih diberlakukan oleh beberapa kelompok masyarakat Kasepuhan.10 Memperkuat strategi reklaim kelompok-kelompok petani Nyungcung melalui gerakan konservasi lokal mereka, RMI melakukan pengorganisasian melalui training Pendidikan Hukum Kritis, Pemetaan Partisipatif kampung, Training Rural Rapid Appraisal (RRA) untuk menajamkan konsep dan kampanye media tentang KDTK, penguatan keorganisasian kelompok petani dan KSM Nyungcung, penguatan ekonomi lokal, serta fasilitasi perumusan rancangan Peraturan Desa dengan Tujuan Konservasi.
Selain itu, RMI juga memediasi
KSM Nyungcung untuk mengembangkan kerjasama dengan pihak lain seperti dengan ORNOP HuMa (terkait dengan perbaikan lebih lanjut rancangan Peraturan Desa dengan Tujuan Konservasi), dan Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB (terkait dengan perbaikan lebih lanjut tentang penataan ulang ruang di kampung dan desa berdasarkan kaidah konservasi).
Dari semua kegiatan
pengorganisasian di atas, kelompok petani perempuan difasilitasi secara berkala (berdasarkan kesepakatan waktu pertemuan kegiatan) hanya pada awal beberapa kegiatan yaitu pemetaan partisipatif kampung, training RRA dan penyusunan data yang dihasilkan, penguatan organisasi kelompok, dan penguatan ekonomi lokal. Pada tahap selanjutnya, dikarenakan keterbatasan sumberdaya yang ada dan juga melihat tingkat keaktifan KSM Nyungcung yang dinilai RMI mulai menurun,
125
terutama pada semua kelompok petani perempuannya, kegiatan pengorganisasian dilakukan secara responsif saja. Berkaitan dengan pengorganisasian di atas, selama 2003 – 2004 di tingkat internal
RMI
terjadi
perubahan
komposisi
dan
posisi
staf.
Menjaga
keberlangsungan pengorganisasian seperti sebelum terjadi perubahan tersebut, ternyata tidak mudah, apalagi pada saat RMI mengalami krisis sumberdaya manusia, terutama staf perempuan. Selama tahun 2003 – 2004, mendekati masa pergantian Pengurus Harian, tercatat lima orang perempuan dan dua orang lakilaki mengundurkan diri dengan alasan menikah, sekolah, keluarga, dan selesai masa kontrak kerja. Sejak tahun 2005, dalam kepengurusan Badan Pelaksana (Pengurus Harian) RMI untuk Program Halimun yang baru dengan keterbatasan sumberdaya manusia, cara pengorganisasian untuk program pemberdayaan masyarakat di kawasan Halimun diubah, dari yang bersifat semi intensif dan atau intensif (tidak tergantung dari keaktifan kelompok petani) yang dilakukan oleh satu atau dua orang CO (Community Organizer) dalam satu lokasi pengorganisasian, menjadi bersifat responsif, didasarkan pada keaktifan kelompok petani yang akan direspon bersama oleh para fasilitator lapang dengan kekhususan substansi fasilitasi yang berbeda-beda. Perubahan strategi pengorganisasian seperti di atas untuk lokasi belajar dan bekerja di desa-desa di Kabupaten Bogor, termasuk Malasari, secara langsung mempengaruhi frekuensi dan kualitas interaksi serta semangat kelompok petani. Sebagian besar anggota kelompok petani perempuan di Kampung Nyungcung merasa malu untuk berinteraksi dengan RMI, karena belum begitu mengenal secara baik semua fasilitator lapang dari RMI saat ini (dua orang perempuan: Ls dan Lt; dan dua orang laki-laki: Rj dan Bg). Budaya malu berinteraksi tersebut dilanggengkan dengan budaya kerja yang dipilih oleh semua fasilitator lapang tersebut. Diakui oleh Rj dan Bg (fasilitator lapang laki-laki) bahwa ‘sosialisasi’ prinsip/nilai keadilan gender berdasarkan pemahaman mereka diupayakan melalui interaksi mereka dengan para petani lakilaki dalam berbagai kegiatan, karena dirasakan lebih leluasa, tidak kaku, dan dapat disampaikan dalam bahasa bergurau. Sementara itu, Ls dan Lt (fasilitator
126
lapang perempuan) mengakui keterbatasan mereka untuk mengelaborasikan lebih jauh tentang isu-isu yang mereka fasilitasi masing-masing (ekonomi lokal untuk Ls, dan hukum untuk Lt) menjadi isu-isu kritis dari perspektif feminisme yang seharusnya dibahas ketika memfasilitasi kegiatan kelompok petani perempuan. Berdasarkan respon keaktifan petani dan buruh tani perempuan, saat ini pengorganisasian perempuan hanya diprioritaskan di Desa Mekarsari, Kabupaten Lebak, melalui kegiatan penguatan ekonomi lokal dari pengolahan hasil kebun. ‘Pengorganisasian’ untuk kelompok petani perempuan di Kampung Nyungcung, Desa Malasari, dan kelompok petani perempuan di Kampung Teluk Waru, Desa Curug Bitung,
diserahkan sepenuhnya kepada fasilitator lapang laki-laki, Rj
dalam konteks penguatan organisasi kelompok petani. Keadaan ‘pemberlakuan’ prinsip kesetaraan gender seperti ini menurut Ketua dan Wakil Ketua Pengurus Harian
RMI
pengoptimalan’
untuk 11
Program
Halimun
merupakan
suatu
‘konsekuensi
dari keterbatasan jumlah dan kapasitas sumberdaya manusia di
tingkat Pengurus Harian RMI saat ini.
5.
Menjadi Perintis Konservasi: Menggerakkan yang Lain Dikaitkan dengan SK MenHut No. 175/Kpts-II/2003, selain bergulat dalam
keseharian occupational multiplicity, diantara keresahan masif seperti yang disinggung pada sub-bab 1, bab pertama, beberapa petani, sekaligus penggarap dan buruh tani perempuan di Kampung Nyungcung mulai memaknainya sebagai suatu tantangan untuk memperjuangkan hak hidup atas sumberdaya tenurial, yang semakin dibatasi dalam narasi konservasi menurut pemerintah. Dimulai melalui sekolah perempuan, dan kemudian dilanjutkan melalui kelompok petani yang difasilitasi oleh RMI dan ICRAF SE Asia untuk mengoptimalkan kebun, serta didasarkan juga pada semakin sulitnya pemenuhan kebutuhan pangan, dan kekhawatiran bencana alam dari keberadaan hamparan lahan tandus bekas kebun pinus PERUM PERHUTANI, 5 orang dari kelompok petani perempuan Cepak Nangka (terdiri dari 24 orang), yaitu Ibu On, Sh, Mr, Yt, dan El,
mulai
menginisiasi serangkaian aksi kolektif untuk menghijaukan lahan tandus bekas tersebut berikut ini
127
Pertama, menyadari bahwa jumlah bibit pohon yang dimiliki kelompok (untuk mengoptimalkan kebun masing-masing) tidak cukup dialokasikan untuk menghijaukan kawasan ex-produksi PERUM PERHUTANI yang tandus, Ibu On, Sh, Mr, Yt, dan El berinisiatif membuat pembibitan tambahan. Tanpa rasa malu, mereka mengumpulkan biji buah-buahan dari tempat sampah-tempah sampah beberapa tetangga mereka, yang menghasilkan 100 bibit pohon buah. Selain ‛bergerilya’ seperti itu, mereka juga menghimbau kepada para anggota lain dalam kelompok tersebut untuk mengumpulkan biji-bijian dan membuat pembibitan dari buah yang mereka makan.
Semangat dan aksi dari beberapa petani perempuan
ini menular ke beberapa anak mereka, dari yang berusia BALITA sampai sekolah dasar.
Anak-anak tersebut mulai mengetahui kegiatan ibu mereka untuk
menghijau kawasan yang tandus. Setiap habis makan buah yang memiliki biji, mereka langsung menyisihkan dan memberikan biji buah tersebut ke ibu mereka untuk dibibitkan. Sebuah proses pendidikan lingkungan, terutama kepada anakanak (yang mungkin tidak disadari oleh para petani perempuan tersebut) telah dimulai. Tidak hanya dicermati dan direspon baik oleh beberapa anak, tetapi juga semangat dan aksi beberapa petani perempuan ini mampu menggerakkan beberapa petani perempuan lain untuk membentuk kelompok baru (Kelompok Andam: 16 orang) dengan tujuan yang sama, yaitu berpartisipasi menghijaukan kampung Nyungcung. Berkelompok seperti ini merupakan suatu upaya mencari pengalaman baru (baca: menambah pengetahuan dan kawan melalui partisipasi menghijaukan kampung), selain rutinitas dalam rumahtangga dan kegiatan pengajian. “Saya ingin seperti Teh El, punya kegiatan, pengalaman dan kawan-kawan baru, selain di rumah” (Pernyataan Ibu Ln, dari Kampung Nyungcung. Didokumentasikan pada tanggal …, bulan …, 2004) Kedua, mengupayakan kebutuhan dana untuk pembibitan tahap selanjutnya (cadangan sulaman bagi bibit yang mati di lapang), Kelompok Cepak Nangka melakukan kegiatan liliuran (menjadi kuli bersama) untuk membersihkan sawah orang.
Kegiatan liliuran
untuk membersihkan lahan, membuat terasering,
menanam dan memelihara bibit pohon di kawasan bekas kebun pinus PERUM
128
PERHUTANI, maupun untuk mencari dana, diakui oleh sebagian besar petani perempuan (dari Kelompok Cepak Nangka dan Andam) sebagai media untuk menjadi bungah (bahagia), tertawa lepas, berbagi cerita tentang beragam hal, dan melepaskan kejenuhan dari rutinitas pekerjaan rumahtangga masing-masing. Ketiga, terdorong untuk melihat sejauh mana tumpang tindih antara pemukiman, lahan garapan dan milik warga dengan kawasan baru Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, 17 petani perempuan (dari Kelompok Cepak Nangka dan Andam) bersama-sama dengan 11 petani dan 2 remaja laki-laki, terlibat aktif dalam kegiatan mengambil titik untuk menentukan batas-batas Kampung Nyungcung dan identifikasi lokasi yang masih berhutan selama 2 hari pertama dari 9 hari pengambilan dan koreksi titik.
Lima hari selanjutnya
diteruskan hanya oleh 4 petani perempuan yang dibantu oleh 3 remaja putri. Pada dua hari terakhir, 2 dari 4 petani perempuan bersama 4 petani laki-laki melakukan koreksi terhadap beberapa posisi titik yang dinilai membingungkan. Hasil akhir pemetaan, salah satunya, dapat dilihat pada Lampiran 6. Keempat, dalam rangka menggalang dukungan dari pihak luar terhadap Program KDTK mereka, para penggiat (perempuan dan laki-laki) berbagi tugas. Pada saat 2 orang penggiat perempuan dan 4 orang laki-laki memperjelas dan melengkapi data peta kampung, 10 orang penggiat perempuan lainnya mendata tentang kondisi penguasaan lahan dari 307 KK dalam waktu 2 minggu. Berdasarkan hasil pendataan tersebut, diketahui bahwa ± 50% dari warga Kampung Nyungcung berada dalam klas sosial yang tidak memiliki lahan (lihat Tabel 4). Mereka melakukan occupational multiplicity sebagai petani penggarap di lahan PERUM PERHUTANI, buruh tani, dan pada waktu-waktu tertentu terlibat dalam kegiatan gurandil. Dalam setiap peristiwa, menurut saya, terdapat suatu catatan sejarah tentang bagaimana pelakunya membuat suatu keputusan dan atau mengalami kejadian yang kesemuanya itu berkontribusi memastikan peristiwa itu terjadi. Kontribusi itu, terutama dari kelompok marjinal, termasuk perempuan didalamnya, sangat sering tidak disampaikan kepada atau tidak diketahui kita dalam mempelajari sejarah suatu peristiwa karena dinilai sebagai sesuatu yang biasa saja atau tidak bernilai. Demikian juga dalam proses pemetaan awal dan pendataan penguasaan lahan diatas. Selama proses pemetaan, dituturkan Ibu El -- satu-satunya penggiat
129
yang terlibat mulai dari pengambilan titik sampai penggambaran peta dasar kampung Nyungcung selesai -- bahwa selama proses pemetaan di lapang, sangat sering Ibu El membersihkan rumah dan mencuci pakaian pada malam hari. Penuturan lain yang disampaikan oleh Ibu Un, bahwa beliau pernah merasa sangat lapar diantara waktu 7 hari pengambilan titik di lapang. Kemudian, selama proses pendataan penguasaan lahan, pada 1 minggu pertama, saat mewawancari, 10 penggiat perempuan yang bersedia melakukan pendataan tersebut dikagetkan dengan pertanyaan-pertanyaan mengolok dari KK dan atau anggota keluarga KK yang sedang diwawancarai tentang tujuan dan besar upah wawancara yang didapat. Pada minggu kedua, mereka kemudian mulai terbiasa dengan olokanolokan
tersebut
dan
menyikapinya
sebagai
tantangan
untuk
lebih
mensosialisasikan program KDTK. Disamping olokan, diceritakan juga bahwa salah satu dari mereka harus menghadapi kemarahan suami karena tidak sempat untuk menyediakan makan siang bagi keluarga mengingat waktu pendataan tersebut dilakukan sepanjang hari, dari pagi sampai magrib, dari rumah ke rumah. Melihat serangkaian rintisan aksi dari para penggiat perempuan di atas, beberapa penggiat laki-laki terpacu untuk mengaktifkan kembali kelompok mereka, Rimba Lestari. Melihat semakin luasnya kebun pinus yang ditebang, selain melakukan pembibitan di tingkat kelompok, ketiga kelompok petani ini (Cepak Nangka, Andam, dan Rimba Lestari) menghimbau agar setiap KK di Nyungcung dapat berkontribusi 5 bibit pohon. Melalui cara seperti ini, pada tanggal 11 Oktober 2004, ketiga kelompok petani ini dan sebagian besar warga Kampung Nyungcung melakukan aksi tanam massal di sebagian tanah tandus bekas kebun pinus. Aksi ini juga melibatkan beberapa pihak seperti ICRAF, KLH, dan Dinas Perkebunan, yang kesemuanya memberikan sumbangan ribuan pohon buah dan kayu.
Aksi ini ternyata memotivasi petani dan buruh tani
perempuan dan laki-laki yang lain di Kampung Nyungcung untuk juga membentuk kelompok tani dan terlibat menghijaukan tanah-tanah tandus di sekitar mereka, yaitu kelompok Anggrek (kelompok petani perempuan), Sinar Harapan dan Cinta Hutan (kelompok petani laki-laki). Keaktifan pembibitan dari semua kelompok petani ini dan mendapatkan dukungan sumbangan bibit dan sejumlah uang dari pihak lain (KLH, Dinas Perkebunan, dan PT. Aneka
130
Tambang) mengantarkan mereka pada aksi tanam massal kedua untuk tanah-tanah tandus yang belum ditanami, tepatnya pada tanggal 16 – 17 Mei 2005. Tercatat melalui dua aksi tanam massal tersebut, dengan jumlah bibit keseluruhan dari semua kelompok petani dan sumbangan warga (KK) di Nyungcung (± 5,712 bibit pohon) serta sumbangan dari pihak-pihak di atas (± 6,550 bibit pohon), enam kelompok petani dibantu oleh warga lain telah menanami ± 15 ha tanah tandus bekas kebun pinus di Nyungcung dengan beragam pohon buah dan kayu. Keaktifan sebagian besar kelompok ini ternyata menggerakkan petani (sebagian besar laki-laki) dari kampung-kampung lain untuk melakukan hal yang sama.
Tercatat tiga kampung lain di Desa Malasari (Kampung Malasari,
Cisangku, dan Hanjawar), Kampung Parigi dari Desa Cisarua, Kampung Cibeber Kulon dan Taluk Waru dari Desa Curug Bitung, serta Kampung Cerewet dari Desa Kiarasari mulai melakukan serangkaian kegiatan untuk menghijaukan kampung mereka dengan tahapan yang berbeda. Meskipun telah memiliki ‘efek bola salju’ kepada petani - petani lain, mempelajari dinamika masing - masing kelompok tersebut, dan dalam rangka mendapat pengakuan dan perlindungan pemerintah desa dalam bentuk Peraturan Desa serta dukungan para pihak, pada bulan Nopember 2005, RMI memfasilitasi suatu pertemuan untuk mendapatkan tanggapan/saran dari kelompok petani lain. Mengacu pada dukungan dari dan jaringan dengan beberapa pihak luar yang telah terbangun, kelompok petani Sekar Sari dari Kampung Parigi, Desa Cisarua -- salah satu kelompok petani yang terbentuk dari ‘efek bola salju’ itu -menyarankan tentang: • Memperkuat organisasi yang sudah ada dan terus membangun kekompakan warga untuk bergerak bersama-sama dalam KDTK; • Mempererat hubungan dengan para tokoh yang belum terlibat dalam kegiatan; • Berperilaku sabar dan selalu melakukan musyawarah untuk memecahkan persoalan; • Aktif dan selalu mencari jalan keluar untuk setiap persoalan; • Mengadakan aksi-aksi nyata yang lain;
131
• Membangun semangat kemandirian dalam kelompok, tidak tergantung dengan bantuan pihak lain. Mempertimbangkan saran dari kelompok Sekar Sari tersebut dan menyadari mulai tumbuhnya suatu ‘modal sosial’ di antara mereka, keenam kelompok petani ini melebur menjadi KSM Nyungcung. Dalam organisasi yang lebih besar ini, keenam kelompok bersama-sama merumuskan program kerja KSM mereka, yaitu: • Membangun organisasi yang solid melalui perumusan aturan organisasi yang disepakati bersama; pembagian peran yang jelas di antara pengurus dan anggota;
dan menjadikan musyawarah sebagai alat untuk menyelesaikan
masalah dan sebagai keputusan tertinggi dalam organisasi. • Mengembangkan kegiatan konservasi melalui sosialisasi tentang Leuweung Hejo, Masyarakat Ngejo; pembibitan pohon buah dan kayu; pemanfaataan lahan pekarangan dengan beragam tanaman;
penggunaan pupuk dan
insektisida alami; pemeliharaan pohon-pohon di Leuweung Larangan; dan pengamanan hutan. Leuweung
Hejo, Masyarakat Ngejo diterjemahkan oleh KSM Nyungcung
sebagai tata ruang yang terdiri dari Leuweung Larangan, Leuweung Dudukuhan dan Lembur.
Leuweung Larangan merupakan zona/wilayah
berhutan, sumber mata air, yang harus dilindungi berdasarkan kearifan lokal dan aturan yang disepakati bersama. Zona ini hanya dapat diakses oleh warga untuk kepentingan pendidikan lingkungan dan penelitian. Leuweung Dudukuhan adalah zona penyangga Leuweung Larangan. Zona ini dapat diakses oleh warga dalam bentuk talun.
Lembur merupakan zona untuk
pemukiman, persawahan, peternakan dan perkebunan rakyat.
Pengaturan
ruang seperti ini akan diikuti dengan pilihan vegetasi, fasilitas dan aktivitas yang sesuai dengan karakter dan fungsi zona masing-masing. Sejauh ini, aktivitas yang telah dilakukan oleh anggota KSM dan warga adalah penghijauan di zona yang dinilai sebagai Leuweung Larangan, dan pengoptimalan talun masing-masing dengan beragam pohon buah dan kayu.
132
• Berpartisipasi dalam kegiatan sosial melalui kegiatan pengajian rutin, olahraga dan kepemudaan; gotong royong untuk perbaikan rumah beberapa MANULA dan jalan; serta penggalangan bantuan untuk MANULA dan anak yatim piatu. Sementara itu, masing-masing anggota KSM Nyungcung, yaitu tiga kelompok
petani
perempuan
dan
tiga
kelompok
petani
laki-laki,
mempertajam/memperbaiki kembali tujuan, kegiatan, kepengurusan, dan aturan kelompok mereka, yang disampaikan pada Tabel 17 berikut ini. Tabel 17.
Profil Singkat Enam Kelompok Petani (Perempuan dan Laki-laki), Anggota KSM Nyungcung
Nama Kelompok Cepak Nangka (24 orang perempuan)
Tujuan Pembentukan Meningkatkan kondisi lingkungan dan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat
• • • • • • •
Andam (16 orang perempuan)
• •
•
Menambah ilmu; Berpartisipasi dalam upaya pelestarian hutan; Meningkatkan ekonomi keluarga.
• • • • •
Kegiatan Membuat pagar hidup di setiap rumah anggota; Merintis usaha keripik pisang; Liliuran; Mengadakan pertemuan rutin kelompok; Mengadakan kegiatan ‛sekolah’ perempuan; Usaha simpan pinjam; Pengajian. Mengadakan pertemuan rutin kelompok; Pembibitan; Penanaman; Pemeliharaan kebun bersama; Liliuran.
•
• • • •
• •
•
Rimba Lestari (30 orang lakilaki)
Menciptakan pengelolaan sumberdaya hutan yang berbasis masyarakat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
• • • • • • •
Pembibitan dan okulasi; Penanaman serempak; Liliuran; Studi banding; Merintis usaha keripik; Pemetaan; Patroli Hutan;
• •
Aturan Kelompok Setiap anggota wajib berbagi pengalaman/ pengetahuan dari setiap kegiatan luar yang diikuti; Wajib menabung; Adanya simpanan wajib; Uang kelompok hanya dapat digunakan oleh anggota kelompok; Setiap peminjam dikenakan bunga sebesar 10 %.
Setiap Liliuran, anggota wajib hadir; Jika berhalangan tanpa ada penjelasan, maka dalam pertemuan kelompok wajib dibahas tentang ketidak-hadiran anggota tersebut; Bagi anggota yang tidak dapat ikut kegiatan, diwajibkan memberikan bibit Setiap anggota wajib menanam pohon, minimal 5 batang; Ketika hadir dalam pengajian, anggota diwajibkan untuk sosilisasi tentang KDTK kepada majelis pengajian;
133
Lanjutan Tabel 17. Nama Kelompok
Tujuan Pembentukan •
Kegiatan Pengajian.
• • •
Anggrek (13 orang perempuan)
Meningkatkan ekonomi keluarga
• • • •
Sinar Harapan (24 orang lakilaki)
Melestarikan hutan yang ada di Nyungcung
• • •
Penanaman pohon di lahan tandus Merintis ‛sekolah’ perempuan; Merintis usaha keripik; Merintis pengadaan keuangan kelompok melalui tabungan anggota.
•
Pembibitan pohon Bertani Pengajian
•
•
• •
Cinta Hutan (16 orang lakilaki)
Mempraktekkan konservasi di pertanian agar untuk mencapai kehidupan petani yang makmur dengan alam yang subur
• • • •
Okulasi Liliuran Penanaman Pengajian
• •
Aturan Kelompok Dilarang menebang pohon tanpa alasan yang jelas; Dilarang membuang sampah di sekitar mata air; Secara berkala atau pada kondisi tertentu, akan diadakan penggantian pengurus kelompok Setiap anggota wajib menanam pohon kayu dan buah; Setiap anggota wajib menabung di kelompok.
Wajib menjaga lingkungan; Mengontrol semua kegiatan; Dilarang menebang pohon. Menjaga lingkungan Melestarikan hutan
Sumber: Catatan Proses Pertemuan Kelompok-kelompok Petani Nyungcung, RMI 2005
Menjalankan kegiatan dengan aturan internal kelompok yang telah disepakati ternyata tidak berjalan dengan baik. Untuk kelompok petani perempuan, yaitu Cepak Nangka dan Andam, di antara pengurus dan anggotanya sering mengalami kesulitan mendapatkan izin dari suami untuk menjalankan kegiatan-kegiatan kelompok sesuai dengan waktu yang telah disepakati bersama. Selain itu, menurut anggota Kelompok Andam, mereka juga belum memahami secara baik tentang keorganisasian dan program utama KSM Nyungcung yaitu mewujudkan model konservasi lokal Leuweung Hejo, Masyarakat Ngejo. Hal ini
134
mungkin menjadi salah satu penyebab mengapa kemudian semangat mereka menurun dalam perjuangan KSM selanjutnya. Untuk Kelompok Anggrek, selain semangat menjadi menurun juga, mereka juga dihadapkan pada persoalan pekerjaan sehari-hari di rumahtangga masing-masing yang menyebabkan sebagian dari mereka tidak dapat melakukan kegiatan kelompok.
Sedangkan pada
kelompok petani laki-lakinya, Kelompok Cinta Hutan memiliki persoalan yang sama seperti Kelompok Andam, yaitu belum mengerti tujuan program utama KSM Nyungcung.
Persoalan yang lain adalah belum tersolidkannya antara
pengurus dan anggota Kelompok Cinta Hutan. Semua penjelasan dalam bab lima ini menggambarkan bahwa pada tingkat tertentu, feminisasi kemiskinan dapat merupakan salah satu faktor pendorong munculnya militansi perempuan dan laki-laki untuk saling menghubungkan diri dalam suatu gerakan keluar dari kemiskinan. Dalam perjalanannya, tingkat militansi perempuan dan laki-laki ini, menguat atau melemah, juga dipengaruhi oleh pihak luar yang bergabung dalam gerakan mereka tersebut, dalam hal ini RMI, untuk sejauh mana dapat menguatkan satu sama lain melalui penyelesaian persoalan-persoalan internal dalam gerakan tersebut.
134
Catatan Kaki Di Kampung Nyungcung, sebagian warga masih percaya waktu pantangan untuk tidak bekerja di sawah adalah hari Senin dan Jumat. Sedangkan di Kampung Kopo dan Pabangbon, waktu pantangannya jatuh pada hari Minggu.
1
2
Doa Amit adalah doa yang yang dilakukan sebelum kegiatan bersawah dengan membuat sesajen dan dipimpin oleh sesepuh kampung.
3 Sedekah Bumi adalah kegiatan ritual untuk menyampaikan ucapan rasa syukur para petani-buruh tani kepada Tuhan YME atas rizki yang telah diberikan, dengan cara mengubur ayam bakakak (ayam panggang), diutamakan ayam hitam pekat, dan membuat sesajen. Kegiatan ini dipimpin oleh sesepuh kampung. 4
Mekanisme bagaimana proses matinya institusi lokal dapat kita pelajari dari pemberlakuan Undang-Undang Pemerintahan Desa No. 5 Tahun 1979. Undang-undang ini membuat desa semakin kehilangan dinamika proses politik yang demokratis dan partisipatif. Format-format institusi partisipatif yang diatur ulang oleh undang-undang ini merupakan upaya kontrol birokrasi terhadap kekuatan rakyat. Menurut Antlöv (2002), tujuan resmi undang-undang tersebut adalah untuk menstandarisasi keragaman lokal pada pemerintahan desa. Tujuan lainnya adalah untuk mengontrol langsung urusan-urusan di dalam desa. Untuk menwujudkan hal itu, Undang-Undang ini memiliki tiga komponen utama, yaitu pertama, forum sesepuh digantikan dengan Lembaga Musyarawah Desa (LMD) yang digambarkan sebagai institusi representasi dari kekuatan legislatif rakyat. Dalam klausulnya, keanggotaan LMD harus dimusyarawahkan dengan Kepala Desa dan tokoh masyarakat yang kemudian harus disetujui oleh Pemerintah. Keputusan-keputusan yang diambil oleh LMD harus disetujui oleh Camat. Dalam pertemuan-pertemuan LMD, pejabat kecamatan sering hadir untuk memastikan keputusan-keputusan yang dibuat sejalan dengan kepentingankepentingan Pemerintah. Kedua, terdapat perubahan Lembaga Sosial Desa (LSD) menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Awalnya LSD merupakan wadah partisipasi langsung pemuka desa dalam pembangunan desa, kemudian diubah secara seragam menjadi LKMD yang penentuan keanggotaannya sama seperti dalam proses LMD, ditunjuk oleh Kepala Desa dengan persetujuan Camat. Ketiga, Kepala Desa dan stafnya dijadikan sebagai wakil langsung Pemerintah di tingkat desa. Demikian pula halnya dengan peran perempuan, dikoordinasikan melalui wadah Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Tjondronegoro (1999) berpendapat bahwa pengejawantahan formalisasi, birokrasi, dan kontrol menyeluruh dari UU tersebut telah menimbulkan gap antara pemerintah (dari tingkat kecamatan yang berfungsi mengkoordinir desa-desa dan kelurahan) dengan rakyat, yang kemudian berdampak pada penghilangan otonomi desa secara bertahap. Masyarakat desa semakin berlapis, lembaga-lembaga tradisional semakin mengecil, dan kekuatan norma berkurang. 5
Tahun 1999, Kepala Desa pada pemerintahan periode 1998 – 2006 menandatangani surat dari PT. Nirmala Agung yang pada intinya pemerintah desa tidak mendukung perjuangan rakyat (diwakili oleh kelompok petani Mandalasari) mereklaim tanah afdeling No. 2 di Blok Ciwalen. 6
Salah satunya dapat dilihat dari Peraturan Daerah Kabupaten Bogor yang terkait dengan aspek pengelolaan sumberdaya alam, sejauh ini baru terdapat empat Peraturan Daerah, yaitu: ▪ Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2001 tentang Retribusi Pengeboran dan Pengambilan Air Bawah Tanah. ▪ Tarif retribusi tersebut hanya diperuntukkan industri-industri yang memanfaatkan baik pengeboran dan atau pengambilan air bawah tanah. Penetapan tarif yang dilakukan dan dibedakan berdasarkan jenis sumur ini diharapkan mampu mendorong efisiensi pemakaian air bawah tanah. ▪ Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2001 tentang Ijin Pengolahan Limbah Cair, yang intinya mewajibkan setiap industri yang berkembang di kawasan yang terdapat sumber-sumber air bawah tanah mengolah limbahnya secara aman, tidak mencemari kawasan.
135
▪
▪
Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Usaha Pertambangan Umum, yang diarahkan pada usaha-usaha eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, pengangkutan dan atau penjualan untuk bahan galian tambang selain minyak bumi, gas alam dan radioaktif. Peraturan Daerah ini juga membahas mengenai perijinan Hak Guna Usaha dan luasan wilayah usaha. Ijin usaha pertambangan bahan galian untuk eksplorasi ditentukan bentuk dan jangka waktunya yaitu 3 tahun dan dapat diperpanjang lagi 2 tahun. Sedangkan untuk eksplorasi diberikan ijin selama 20 tahun dan diperpanjang paling lama 10 tahun yang disesuaikan dengan luas lokasi. Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Usaha Kehutanan dan Usaha Perkebunan
7 ‘Perjanjian’ tersebut didasarkan pada Surat Kepala Unit III PERUM PERHUTANI Jawa Barat No. 0552/1980 tanggal 25 Maret 1980 tentang Pelaksanaan Garapan Sepihak (lihat Galudra et al 2005).
Dengan cara menggali banyak lubang dan saluran yang bervariasi kedalamannya sehingga menyebabkan air tanah dan permukaan mengalir ke dan ‘tersimpan’ di dalam lubang-lubang dan saluran-saluran tersebut. 8
9
Berdasarkan diskusi dengan beberapa sesepuh kampung di Kampung Malasari, LBH AMPERA intensif berinteraksi dengan sebagian petani-buruh tani sekitar tahun 1996/1997. Dalam proses memfasilitasi persiapan reklaim tanah garapan di sebagian HGU PT. Nirmala Agung ketiga kalinya, Ibu Em mengenang kiprah LBH AMPERA sebagai guru sukarela selama satu tahun lebih di SD Kampung Malasari, yang dilakukan secara bergantian oleh beberapa staf LBH AMPERA. Sedangkan kenangan Ibu Yn adalah pada cara pendidikan politik rakyat LBH AMPERA melalui pemutaran film dokumenter (layar tancep) tentang perjuangan-perjuangan petani menyelesaikan konflik tenurial di halaman rumahnya. Kemudian pada tahun 1998, bersamaan dengan RMI memulai proses belajar dan bekerja di Malasari melalui kegiatan awal memfasilitasi proses penguatan wanatani tradisional (talun), LBH AMPERA terlibat dalam fasiltasi beberapa pertemuan dialog antara kelompok Mandalasari dengan pemerintah. Setelah itu, menjelang akhir tahun 1999, mengingat proses dialog dan negosiasi tersebut cukup lama dan belum membuahkan hasil seperti yang diinginkan, LBH AMPERA mengusulkan agar kelompok Mandalasari mendaftarkan perjuangan reklaim mereka ke PTUN. Ketika usulan ini didiskusikan bersama di RMI, berdasarkan pengetahuan tentang PTUN, saya dan kawan-kawan di RMI memberikan pendapat bahwa usulan tersebut tidak tepat, karena kasus-kasus tentang sengketa tanah yang di-PTUN-kan adalah kasus yang bersifat individu, dan biasanya tidak menghasilkan keputusan yang jelas. Mempertimbangkan hasil diskusi tersebut, kelompok Mandalasari memutuskan untuk menolak usulan LBH AMPERA dan menarik kembali mandat mereka kepada LBH AMPERA selaku ’gantar kakait’ mereka (dapat diartikan sebagai representatif/wakil dari kelompok Mandalasari) dalam hal bernegosiasi dengan pihak-pihak luar. Keputusan ini kemudian menyebabkan hubungan kerjasama antara LBH AMPERA dan RMI menjadi renggang, karena ada prasangka tentang keterlibatan RMI dalam keputusan tersebut. Upaya pertemuan untuk menjelaskan semua persoalan antara ketiga pihak (kelompok Mandalasari, LBH AMPERA, dan RMI) telah diusahakan, namun hal itu tidak terjadi. Pada tahun 2000, tidak ada lagi interaksi LBH AMPERA dengan kelompok Mandalasari dan RMI. 10
Dalam Hanavi, et al. (2004) dijelaskan bahwa pemaknaan hutan di kalangan Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul dapat kita ketahui dari pengetahuaan dan pengelolaan kawasan hutan secara zonasi adat, yaitu: ▪ Leuweung Kolot/Geledegan/Awisan adalah wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat diganggu untuk kepentingan apapun, karena awisan berarti warisan dari karuhun yang harus selalu dijaga. Oleh Karen itu, masih dipercayai bahwa leuweung ini dijaga oleh hal yang tidak tampak oleh mata, siapa yang melanggarnya pasti akan tertimpa kemalangan (kabendon). Sejalan dengan konservasi yang dilakukan pemerintah dengan konsep zonasi, maka istilah Leuweung Tutupan di kalangan Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul sangat mungkin ‘lahir’ sebagai respon adaptif terhadap konsep zonasi yang disosialisasikan oleh pihak TNGH kepada
136
▪
▪
mereka. Secara geografis, hampir semua kawasan Leuweung Kolot/Geledegan/Awisan berada di dalam kawasan TNGH. Leuweung Titipan adalah suatu kawasan hutan yang diamanatkan oleh leluhur Kasepuhan Banten Kidul kepada para incu putu (warga Kasepuhan) untuk menjaga/tidak mengganggu kawasan hutan ini. Masyarakat percaya apabila ada yang memasuki kawasan ini tanpa seizin sesepuh maka akan mengalami gangguan secara gaib atau kualat (kabendon) dari leluhur. Dan ditegaskan pula bahwa pemerintah harus ikut menjaga kelestarian kawasan hutan ini sampai tiba ‘waktu’nya untuk dibuka atas izin leluhur yang ikut melindungi. Leuweung Bukaan/Sampalan adalah suatu kawasan hutan yang sekarang telah terbuka dan dapat digarap oleh masyarakat dan masih dikelola untuk sawah, huma dan kebun. Berdasarkan sejarah, kawasan ini telah dibuka sejak tahun 1902 sampai tahun 1941 – 1942.
Pengoptimal tersebut tidak diikuti dengan realisasi salah satu program internal organisasi untuk mengasah pilihan berkarya dan meningkatkan kapasitas staf dan relawan RMI, yaitu melalui seri diskusi internal (yang disebut juga sebagai ‘sekolah’ RMI) secara teratur. Selama kurun waktu dua tahun terakhir ini, baru tiga kali direalisasikan “kelas” yang membahas isu keadilan gender. Kevakuman seri diskusi tersebut dikarenakan tidak ada staf yang khusus memastikan keberlangsungan kegiatan ‘sekolah’ RMI. 11
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Dalam tesis ini, saya berargumentasi bahwa tumbuh dan dinamika gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di kawasan ekosistem Halimun (yang juga saat ini merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak), merupakan hasil interaksi antara feminisasi kemiskinan akibat pembatasan akses dan peniadaan kontrol rakyat atas tanah dan kekayaan hutan lainnya, kuatnya budaya patriarkhi, dan intervensi pihak luar, dalam hal ini ORNOP. Hasil penelitian saya sebagaimana dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya menunjukkan memang ketiga faktor ini sangat mempengaruhi bagaimana gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di Nyungcung tumbuh dan mengembangkan agenda, strategi, serta kepemimpinannya. Secara khusus, ada tiga kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian saya. Kesimpulan pertama adalah tumbuhnya gerakan konservasi lokal berbasis perempuan tidak dapat dilepaskan dari menguatnya proses pemiskinan di kalangan perempuan atau yang biasa disebut sebagai feminisasi kemiskinan. Proses pemiskinan ini pada tingkat tertentu telah menimbulkan militansi di kalangan perempuan marjinal di Kampung Nyungcung. Militansi para perempuan ini pada gilirannya telah menciptakan solidaritas dan kekuatan untuk mengorganisir diri mereka dalam bentuk kelompok-kelompok yang menjadi unsur utama dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan. Temuan ini dengan sendirinya mempertanyakan kembali anggapan atau stereotipe bahwa gerakan di basis, khususnya perempuan marjinal, merupakan hasil rekayasa atau ‘titipan kepentingan’ dari pihak luar, bukan berbasis pada kepentingan atau kebutuhan mereka sendiri.
Hasil penelitian saya secara jelas menunjukkan kebutuhan
perempuan untuk keluar dari kemiskinan telah mendorong mereka mengorganisir diri mereka sendiri untuk memperjuangkan hak-hak mereka atas tanah dan kekayaan hutan lainnya. Kesimpulan kedua berkaitan dengan agenda, strategi, dan kepemimpinan perempuan dalam gerakan konservasi lokal berbasis perempuan. Dari penelitian
169
saya ditemukan bahwa agenda, strategi, dan kepemimpinan perempuan sangat ditentukan oleh faktor internal yang berkaitan dengan tingkat kemiskinan perempuan dan dominasi budaya patriarkhi, serta faktor eksternal berupa intervensi atau pengaruh dari pihak luar yang mendorong terbentuknya kelompokkelompok petani perempuan. Agenda dan strategi kelompok-kelompok petani perempuan ini yang pada awalnya hanya berfokus pada okupasi melalui penghijauan sebagai alat reklaim mereka kemudian bergeser pada agenda-agenda yang berhubungan langsung dengan kepentingan dan atau kebutuhan perempuan, baik sebagai pencari nafkah keluarga maupun sebagai individu. Agenda-agenda baru yang berkaitan dengan peningkatan ekonomi keluarga dan kapasitas perempuan seperti pengembangan usaha industri makanan tingkat rumah tangga atau kelompok, dan kemampuan baca tulis serta mengetahui beragam informasi dari luar, mulai mewarnai kelompok perempuan ini setelah satu tahun berjalan. Selain itu, proses penguatan kepemimpinan perempuan mulai meningkat, baik yang dilakukan sendiri oleh kelompok maupun yang difasilitasi oleh ORNOP, tetapi sekaligus mendapatkan benturan dengan nilai-nilai budaya lokal yang lebih mengutamakan kepemimpinan laki-laki. keinginan
perempuan
keluar
dari
Interaksi dan benturan di antara
kemiskinan,
nilai-nilai
budaya yang
membelenggunya, dan keberadaan pihak luar dengan tujuan memperkuat gerakan tersebut pada akhirnya mengkondisikan posisi pemimpin-pemimpin dalam kelompok perempuan tersebut pada situasi yang dilematis, yaitu mereka dihadapkan pada pilihan tetap menjadi perempuan sesuai dengan norma di Nyungcung atau menjadi perempuan dengan inisiatif dan kreasi yang seringkali tidak sesuai dengan norma tersebut. Hal inilah yang sebenarnya menyebabkan gerakan konservasi lokal berbasis perempuan di Kampung Nyungcung menjadi tidak berkembang, bahkan mengalami terminasi setelah berjalan dua tahun. Kesimpulan ketiga berkaitan dengan perspektif gerakan lingkungan yang turut mempengaruhi keberlangsungan gerakan konservasi lokal berbasis perempuan. Gerakan lingkungan yang bekerja di wilayah kawasan ekosistem Halimun yang umumnya dimotori oleh ORNOP (dapat disebutkan sebagai organized environmentalists atau voluntary environmentalists) berpengaruh pada cara pandang dan analisis yang dimiliki oleh gerakan konservasi lokal (dapat
170
disebutkan sebagai public environmentalists).
Sebagian besar unsur-unsur
gerakan lingkungan yang bekerja di wilayah konservasi tidak memiliki perspektif yang cukup kuat untuk memahami dan menganalisis relasi kekuasaan antara perempuan dan laki-laki (relasi gender) di tingkat basis, mulai dari rumah tangga petani, kelompok petani, kampung, dan desa.
Sebagai konsekuensinya,
keberadaan perempuan dengan segala pengetahuan, persoalan, kebutuhan, dan harapannya menjadi terpinggirkan dan tidak menjadi agenda gerakan. Implikasi dari situasi ini adalah para pemimpin perempuan dalam gerakan konservsi lokal berbasis perempuan akan selalu diposisikan sebagai perawat dan pemelihara keluarga dan komunitas, serta sebagai istri dan ibu. Berada dalam situasi ini, para pemimpin perempuan menjadi gamang dan takut untuk memperjuangkan agenda khusus mereka dan agenda bersama dalam gerakan konservasi lokal tersebut karena takut dianggap keluar dari ‘kodrat’nya.
Dengan demikian, perspektif
gerakan lingkungan menjadi sesuatu yang signifikan dalam mengembangkan dan memperkuat kepemimpinan perempuan marginal yang merupakan poros dari gerakan konservasi lokal di Kampung Nyungcung.
2. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas dan untuk menghubungkan dengan harapan-harapan perempuan (lihat bab tiga, halaman 60), saya mengajukan beberapa saran sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk membangun kembali gerakan konservasi lokal berbasis perempuan.
Pertama, merespon persoalan
terminasi militansi dan partisipasi politis kelompok-kelompok petani perempuan dalam gerakan tersebut, diperlukan penguatan posisi mereka dengan cara memperbesar akses dan kontrol mereka atas sumberdaya ekonomi, politik (pengambilan keputusan), budaya (perumusan nilai, simbol, ideologi, dan lainlain) melalui pengorganisasian yang berbentuk serangkaian kegiatan pendidikan dari berbagai isu (tidak hanya peningkatan ekonomi rumahtangga dan pengoptimalan kebun); mobilisasi sumberdaya lokal;
serta penguatan dan
pengembangan kelompok pendukung. Pada kegiatan mobilisasi sumberdaya lokal, tidak hanya aspek yang bersifat materi dan finansial, tetapi juga aspek pengetahuan dan pengalaman perempuan
171
selaku individu dan anggota komunitas, sejarah perempuan dan komunitasnya, intelektualitas, rasa saling percaya dan saling menghargai serta solidaritas juga harus dimobilisasi.
Pada kegiatan penguatan dan pengembangan kelompok
pendukung, sebagaimana yang disampaikan pada akhir bab enam, ORNOP sebagai salah satu unsur dari organized environmentalists atau voluntary environmentalists, harus lebih tanggap terhadap masalah-masalah dan kebutuhankebutuhan kontemporer yang khas perempuan, memfasilitasi, mengadvokasi, dan bekerja bersama dengan para petani – buruh tani perempuan di basis dan pihakpihak lain yang bersedia berjuang bersama dalam suatu gerakan sosial. Dengan demikian, perspektif gerakan lingkungan (baik organized environmentalists atau voluntary environmentalists maupun public environmentalists) penting untuk dikritisi kembali. Terkait dengan hal ini, maka perspektif feminis (lihat sub-bab 5, bab pertama, halaman 16 – 18) menjadi sangat penting untuk dimiliki dan selalu diasah oleh para pelaku gerakan tersebut sehingga memampukan mereka untuk juga memperjuangkan agenda khusus perempuan dan kelompok marginal lainnya dalam platform gerakan. Kedua, terkait dengan perlindungan hak kelola atas tanah-tanah yang diakses selama ini (dalam bentuk sawah dan kebun) serta sebagian kawasan exproduksi PERUM PERHUTANI yang telah dihijaukan, menjadi penting pula untuk diberlakukan sistem tenurial yang bersifat komunal. Kepada para pihak yang memfasilitasi proses ini, semisal ORNOP, beberapa aspek harus diperhatikan, yaitu: • Konsep, tentang bagaimana merumuskan sistem tenurial komunal kita dituntut untuk menghilangkan cara berpikir hirarkhis. Salah satunya dapat dilihat dari bahasa dan pengetahuan dalam perumusan konsep tentang pengelolaan kekayaan alam secara komunal.
Dari aspek bahasa, sesungguhnya
mencerminkan siapa yang berkuasa. Dalam feminisme, bahasa adalah sebuah artikulasi budaya yang paling rawan menghasilkan bias-bias yang merugikan dan diskriminatif terhadap perempuan. Dalam konsep sistem tenurial komunal (seperti nilai-nilai, kebijakan organisasi/role of conduct, agenda kegiatan, dan rumusan insentif), sejauh mana pemikiran, pengalaman, pengetahuan, bahasa,
172
dan hak-hak perempuan serta kelompok marginal lainnya diakomodir dalam agenda dan strategi gerakan? • Organisasi, tentang bagaimana kita memberlakukan sistem tersebut. Untuk mengoperasional Konsep dalam perilaku Organisasi, kita ditantang sejauh mana mampu melakukan kegiatan-kegiatan berdasarkan kepentingan dan kebutuhan perempuan serta kelompok marjinal lainnya, tidak berdasarkan kepada hal-hal yang hanya diinginkan oleh laki-laki atau kelompok elit dalam bahasa dan pengetahuan atas nama semua pihak. • Norma, tentang bagaimana kita mengevaluasinya. Dalam aspek Norma, kita dituntut untuk menghilangkan maskulinitas yang selama ini membutakan kita terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan gender (yang secara realita lebih banyak dialami oleh perempuan) dan penyebab-penyebabnya. Norma yang disepakati harus memampukan para anggota organisasi, terutama dari kelompok marginal,
dan non anggota untuk bersama-sama mengawasi gerak
organisasi/kelompok, terutama dalam organisasi/kelompok yang sebagian anggotanya dibentuk berdasarkan unsur primodial (kekerabatan/hubungan darah). Organisasi dan Norma seperti di atas menjadi penting bagi berkembangnya kepemimpinan perempuan terutama dari kalangan marginal. Terakhir, dalam konteks situasi yang dialami oleh rakyat Nyungcung merupakan friksi dari politik dan budaya yang menghubungkan kehidupan lokal, nasional, dan internasional dalam suatu kontinum (lihat Tsing 2005), serta dalam konteks hukum sebagai suatu kerangka negosiasi, terdapat beberapa peluang bagi kita untuk semakin mendesakkan realisasi komitmen Pemerintah atas beberapa ratifikasi konvenan dan kesepakatan internasional, seperti the International Covenant on Civil and Political Rights (Konvenan/Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Konvenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), the Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (Konvenan Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), the Peasant Charter (Piagam Petani) 1981, Agenda 21 (UNCED, 1992), dan Millenium Development Goals (MDGs).
173
Paradigma keberpihakan pada kelompok marjinal, terutama perempuan, dan lingkungan hidup yang dimandatkan oleh konvenan dan kesepakatan internasional tersebut merupakan salah satu justifikasi utama bagi kita untuk mendesakkan penggantian paradigma lama, HMN (Hak Menguasai Negara) yang sarat dengan ideologi patriarkhi, dalam sebagian besar tatanan hukum perundang-undangan Indonesia, terutama yang berkaitan dengan penguasaan dan pengelolaan tanah dan kekayaan alam. Lebih jauh, dalam perspektif pluralisme hukum, pandangan hukum sebagai suatu kerangka negosiasi itu adalah sangat mungkin, karena selain hukum internasional dan hukum negara, terdapat pula hukum rakyat yang dapat berupa kesepakatan-kesepakatan dari inisiatif bersama yang memuat pandangan perempuan dan kelompok marjinal lainnya, yang dipandang sebagai salah satu justifikasi. Selain itu, realita-realita di lapang -- yaitu adanya tekanan pertumbuhan penduduk, berkurangnya sumberdaya tenurial, baik secara kualitas dan kuantitas dalam skala yang semakin meluas, kondisi ekosistem yang berubah-ubah, dan kencangnya arus privatisasi atas tanah dan kekayaan alam ke basis yang kesemuanya menyebabkan persaingan untuk memperoleh objek dan jenis hak semakin menguat -- harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan penting lainnya dalam proses negosiasi tersebut.
Daftar Pustaka Aditjondro GJ. 2003. Pola-Pola Gerakan Lingkungan: Refleksi untuk Menyelamatkan Lingkungan dari Ekspansi Modal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Agarwal B. 2001. Gender Inequality, Cooperation and Environmental Sustainability. Makalah yang disampaikan pada Conference on “Inequality, Collective Action and Environmental Sustainability”, Santa Fe, New Mexico, 21-23 September 2001. Antlöv H. 2002. Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal. Semedi P, penerjemah. Yogyakarta: LAPPERA Pustaka Utama. Terjemahan dari: Exemplary Centre, Administrative Periphery Rural Leadership and the New Order in Java. ________ et al. 2006. NGO Governance and Accountability in Indonesia: Challenges in a Newly Democratizing Country. Dalam “NGO Accountability: Politics, Principles and Innovations”. Jordan L dan Tuijl P van, editor. London, UK – Streling VA, Canada: Earthscan. Arivia G. 2003. Perempuan.
Filsafat Berperspektif Feminis.
Jakarta: Yayasan Jurnal
Armstrong D. 2003. The Feminist Principle of Leadership. http://www.pacsw.com/pdf/leadership.pdf.
Website
A. Saraswati LA. 2000. Kekerasan Negara, Perempuan, dan Refleksi Negara Patriarkhi. Dalam “Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan”. Subono NI, editor. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan bekerjasama dengan the Asia Foundation Indonesia. Astuti TMP. 2000. Gerakan Tandingan Perempuan: Kasus Migrasi Perempuan Kelas Bawah di Grobogan, Jawa Tengah. Dalam “Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang tengah Berubah”. Poerwandari EK dan Hidayat RS, editor. Jakarta: Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Atkinson JM dan Errington S, editor. 1990. Power and Difference: Gender in Island Southeast Asia. Stanford, California, USA: Stanford University Press. Baswir R et al. 1999. Pembangunan Tanpa Perasaan: Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Cetakan Kedua (Edisi Revisi). Jakarta: ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat).
Bemmelen S van. 1995. Gender dan Pembangunan: Apakah yang Baru? Dalam “Kajian Wanita dalam Pembangunan”. Ihromi TO, editor. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Braidotti R et al. 1994. Women, the Environment and Sustainable Development: Towards a Theoretical Synthesis. London – New Jersey dan Santo Domingo: ZED Books Ltd in association with INSTRAW. Chuchryk PM. 1989. Politik Anti Kediktatoran Feminis: Peranan Organisasi Perempuan dalam Masa Transisi Demokrasi di Cile. Dalam “Gerakan Perempuan di Amerika Latin: Feminisme dan Transisi Menuju Demokrasi”. Jaquette JS, editor. Wilson, penerjemah. Jakarta: Kalyanamitra. Terjemahan dari: The Women’s Movement in Latin America: Feminism and the Transition to Democracy. Dietz T. 1996. Pengakuan Hak atas Sumberdaya Alam: Kontur Geografi Lingkungan Politik. Topatimasang R, penerjemah. Yogyakarta: INSIST Press. Terjemahan dari: Entitlements to Natural Resources: Countours of Political Environmental Geography. Dove MR, editor. 1985. Peranan Budaya Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ekadjati ES. 1995. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya Eviota EU. 1992. The Political Economy of Gender: Women and the Sexual Division of Labour in the Philippines. London: ZED Books Ltd. Fakih M. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. PUSTAKA PELAJAR.
Yogyakarta:
_______. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: INSIST Press dan PUSTAKA PELAJAR. FAO. 1978. Proposed Halimun Nature Reseve, Management Plant 1979 – 1982. Fauzi N. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia. Yogyakarta: INSIST, KPA bekerjasama dengan PUSTAKA PELAJAR. _______. 2003. Bersaksi untuk Pembaruan Agraria, dari Tuntutan Lokal hingga Kecenderungan Global. Yogyakarta: KARSA (Lingkar untuk Pembaharuan Desa dan Agraria), KPA, bekerjasama dengan INSIST Press. _______, editor. 2005. Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Yogyakarta: Resist Book.
175
_______. 2005. Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Yogyakarta: INSIST Press. Galudra G et al. 2005. Kondisi Ketahanan Pangan Masyarakat dalam Cengkeraman Kebijakan Tata Ruang dan Penetapan Kawasan Halimun. Dalam “Tanah masih di Langit: Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang tak Kunjung Tuntas di Era Reformasi”. Jakarta: Yayasan KEMALA dan Ford Foundation. _________ et al. 2006. Rapid Land Tenure Assessment (RaTA): Panduan Ringkas Bagi Praktisi. Edisi I. Bogor: World Agroforestry Center – Southeast Asia. Gaventa J et al. 2001. Mewujudkan Partisipasi – 21 Teknik Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21. Cetakan II. Jakarta: British Council. Hanafi I et al. 2004. Nyoreang Alam Ka Tukang, Nyawang Anu Bakal Datang: Penelusuran Pergulatan di Kawasan Halimun, Jawa Barat dan Banten. Bogor: RMI – the Indonesian Institute for Forest and Environment bekerjasama dengan Yayasan KEMALA. Handayani T dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UMM Press. Hidayat R. 2004. Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin. Yogyakarta: Jendela. Hidayati U. 2005. Ketiadaan dalam Keberadaan. Dalam “Tanah masih di Langit: Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang tak Kunjung Tuntas di Era Reformasi”. Jakarta: Yayasan KEMALA dan Ford Foundation. hooks b. 2000. Feminist Theory: From Margin to Center. Second Edition. Cambridge, MA, USA: South End Press Classics. Ihromi TO. 2000. Budaya dan Struktur Sosial yang Patriarkal: Reproduksi dan Resistensi? Tinjauan Terhadap Beberapa Hasil Penelitian Tentang Perempuan dalam Sejumlah Kebudayaan Etnik di Indonesia. Dalam “Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang tengah Berubah”. Poerwandari EK dan Hidayat RS, editor. Jakarta: Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Indriatmoko Y et al, editor. 2007. Dari Desa ke Desa: Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam. Bogor: CIFOR (Center for International Forestry Research).
176
Irianto S. 2003. Perempuan di antara Berbagai Pilihan Hukum, Studi Mengenai Strategi Perempuan Batak Toba untuk Mendapatkan Akses kepada Harta Waris Melalui Proses Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jackson C dan Pearson R. 1998. Feminist Visions of Development. New York, USA: Routledge. Kartodiharjo H dan Jhamtani H. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox. Katoppo A. 2000. The Role of Community Groups in the Environmental Movement. Dalam “Indonesia in Transition: Social Aspects of Reformation and Crisis”. Manning C dan Diermen P van, editor. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Kaufman M. 1997. Differential Participation: Men, Women and Popular Power. Dalam “Community Power and Grassroots Democracy: The Transformation of Social Life”. Kaufman M dan Alfonso HD, editor. London – New Jersey dan Ottawa: ZED Books dan International Development Research Centre. Krinawaty T et al. 1998. Feminisasi Buruh Migran dan Permasalahannya. Beberapa Catatan untuk Perlindungan Hak Buruh Migran Perempuan Indonesia. Dalam Jurnal Perempuan No. 5. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Kurasawa A. 1993. Mobilisasi dan Kontrol. Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942 – 1945. Seri Pengkajian Kebudayaan Jepang. Sulistyo H, penerjemah. Jakarta: PT. Grasindo. Terjemahan dari: Mobilization and Control. Li TM. 1999. Keterpinggiran, Kekuasaan dan Produksi: Analisis terhadap Transformasi Daerah Pedalaman dalam Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Transforming the Indonesian Uplands: Marjinality, Power and Production. Mahardika T. 2000. Gerakan Massa: Mengupayakan Demokrasi dan Keadilan Secara Damai. Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama. Malik I et al. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumberdaya Alam. Jakarta: Yayasan KEMALA. Marzali A. 2003. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
177
Matsui Y. 1996. Perempuan Asia: Dari Penderitaan menjadi Kekuatan. Buditjahja UG, penerjemah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Women in the New Asia, From Pain to Power. McMichael P. 2004. Development and Social Change: A Global Perspective. Third Edition. California: Pine Forge Press. Misiyah. 2006. Tinjauan Feminisme Poskolonial tentang Kesadaran Kritis dan Otonomi Perempuan Indonesia: Studi Kasus Pendidikan Feminis KAPAL Perempuan untuk Pemimpin Lokal di Manado, Sulawesi Utara [tesis]. Depok: Universitas Indonesia Monografi Desa Malasari 2005. Malasari: Pemerintah Desa Malasari. Mosse JC. 1996. Gender dan Pembangunan. Silawati H, penerjemah. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dan Pustaka Pelajar. Terjemahan dari: Half the World, Half A Chance. Muchtar D. 1999. The Rise of the Indonesian Women’s Movement in the New Order State [thesis]. Western Australia: Murdoch University. ________. 2000. Gerakan Perempuan Indonesia dan Politik Gender Orde Baru. Dalam Jurnal Perempuan No. 14. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. ________ dan Pulu L, editor. 2006. Modul Pendidikan Adil Gender untuk Perempuan Marginal. Seri Pendidikan Feminis. Jakarta: KAPAL Perempuan bekerjasama dengan ACCESS – AusAID. Netherlands Development Assistance (NEDA). 1997. Rights of Women to the Natural Resources Land and Water. Working Paper 2 of Women and Development Division Noerhadi TH. 2000. Kekerasan Negara terhadap Perempuan. Dalam “Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan”. Subono NI, editor. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan bekerjasama dengan the Asia Foundation Indonesia. Ollenburger JC dan Moore HA. 1996. Sosiologi Wanita. Sucahyono B dan Sumaryana Y, penerjemah. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Terjemahan dari: A Sociology of Women. Pasya G et al. 2004. Sistem Pendukung Negosiasi Multi Tataran dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam secara Terpadu: Dari Konsep hingga Praktek (Negotiation Support Systems for Sustainable Natural Resource Management: From Concept to Application). Artikel Jurnal AGRIVITA 26 (1): 8-19. Peluso NL dan Watts M, editor. 2001. Violent Environments. Ithaca, USA – London, UK: Cornell University Press.
178
Perelli C. 1989. Mengubah Konservatisme ke Arah yang Lebih Baik: Perempuan dan Penyimpangan Politik di Uruguay, dari Jatuh sampai Masa Transisi. Dalam “Gerakan Perempuan di Amerika Latin: Feminisme dan Transisi Menuju Demokrasi”. Jaquette JS, editor. Wilson, penerjemah. Jakarta: Kalyanamitra. Terjemahan dari: The Women’s Movement in Latin Amerika: Feminism and the Transition to Democracy. Peterson VS dan Runyan AS. 1999. Global Gender Issues, Dilemmas in World Politics. Second Edition. Colorado, USA – Oxford, UK: Westview Press. Poerwandari EK. 2000. Tersembunyi dan Menghancurkan: Kekerasan terhadap Perempuan dalam Hubungan Keluarga dan Relasi Personal. Telaah Psikologi Feministik. Dalam “Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang tengah Berubah”. Poerwandari EK dan Hidayat RS, editor. Jakarta: Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Popkin SL. 1978. Petani Rasional. Lembaga Penerbitan Yayasan Padamu Negeri. Terjemahan dari: Rational Peasant. Putranti BD. 2004. Budaya, Negara dan Status Sosial Ekonomi Perempuan: Sebuah Refleksi Konsep Ibu Rumahtangga. Dalam “Dinamika Kependudukan dan Kebijakan”. Faturochman et al, editor. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada. Rahayu RI. 1996. Politik Gender Orde Baru: Tinjauan Organisasi Perempuan Sejak 1980-an. Dalam Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru. Pilihan Artikel PRISMA. Hadiz L, editor. Jakarta: LP3ES. Ramazanoğlu C dan Hollan J. 2002. Feminist Methodology: Challenges and Choices. London – Thousand Oaks – New Delhi: SAGE Publications. Reinharz S. 1992. Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial. Rahman L dan Agung JB, penerjemah. Jakarta: Women Research Institute. Terjemahan dari: Feminist Method in Social Research. Ritzer G dan Goodman DJ. 2003. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Alimandan, penerjemah. Jakarta: Prenada Media. Terjemahan dari: Modern Sociological Theory. Sixth Edition. RMI – The Indonesian Institute for Forest and Environment, KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), dan ILC (International Land Coalition). 2002. SuaraSuara Perempuan Malasari. Program Akses Kaum Perempuan atas Sumberdaya. Edisi Bahasa Indonesia. Bogor: RMI – The Indonesian Institute for Forest and Environment bekerjasama dengan Forest Liaison Bureau.
179
RMI – The Indonesian Institute for Forest and Environment. 2002. Laporan Forum Kemitraan KEMALA Regio Jawa. Tidak dipublikasikan. Bogor: RMI – The Indonesian Institute for Forest and Environment. ____.
2003. Potret Perempuan dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Kawasan Ekosistem Halimun. Dokumen laporan, tidak dipublikasikan. Bogor: RMI – The Indonesian Institute for Forest and Environment.
____. 2003. Buku Tumbuh Desa Malasari. Dokumen, tidak dipublikasikan. Bogor: RMI – The Indonesian Institute for Forest and Environment. ____.
2004. Mendengar dan Belajar dari Suara Ibu: Akses dan Kontrol Perempuan atas Tanah dan Sumberdaya Alam. Studi Singkat di Desa Mekarsari, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Bogor, Provinsi Banten. Bogor: RMI – The Indonesian Institute for Forest and Environment bekerjasama dengan VSO – UK.
____.
2004. Laporan Pengorganisasian Kelompok Petani untuk Kegiatan Inovasi dalam Agroforestry dan Peningkatan Mata Pencaharian. Dokumen Divisi Pengorganisasian Masyarakat, tidak dipublikasikan. Bogor: RMI – The Indonesian Institute for Forest and Environment
____.
2005. Buku Tumbuh tentang Kampung Nyungcung, Desa Malasari. Dokumen, tidak dipublikasikan. Bogor: RMI – The Indonesian Institute for Forest and Environment.
Rocheleau D, Thomas-Slayter B, dan Wangari E, editor. 1996. Feminist Political Ecology: Global Issues and Local Experiences. London, UK dan New York, USA: Routledge. Sangaji A et al. 2004. Masyarakat dan Taman Nasional Lore Lindu. Jakarta Palu: Yayasan KEMALA dan Yayasan Tanah Merdeka. Santoso H. 2004. Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-Desa Sekitar Hutan Di Jawa. Yogyakarta: Damar. Saptari R dan Holzner B. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Yayasan Karyanamitra. Sasmita I. 2005. Pendidikan Alternatif Perempuan: Perlawanan terhadap Mainstream Pendidikan. Dalam Jurnal Perempuan No. 44. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Saul JM. 2003. Feminism: Issues and Arguments. New York, USA: Oxford University Press Inc.
180
Scott JC. 1976. Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Basari H, penerjemah. Jakarta: LP3ES. Terjemahan dari: The Moral Economy of the Peasant, Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. _______. 1985. Perlawanan Kaum Tani. Kusworo B, penerjemah. Jakarta Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Weapons of the Weak: Everyday Forms of Resistance. Shiva V. 1988. Bebas dari Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India. _______ dan Mies M. 1993. Ecofeminism: Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan. Ismunanto K dan Lilik, penerjemah. Yogyakarta: IRE Press. Terjemahan dari: Ecofeminism. Shvedova N. 1998. Kendala-Kendala Terhadap Partisipasi Perempuan dalam Parlemen. Dalam “Perempuan di Parlemen: Bukan Sekadar Jumlah”. Edisi Bahasa Indonesia, 2002. Syams A, penerjemah. Stockholm: International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance). Terjemahan dari: Women in Parliament: Beyond Number. Simatauw M et al. 2001. Gender & Pengelolaan Sumberdaya Alam: Sebuah Panduan Analisis. Kupang: PIKUL. Simbolon IJ. 1998. Peasant Women and Access to Land: Customary Law, State Law and Gender-based Ideology. The Case of the Toba Batak (Nort Sumatera) [thesist]. Wageningen, Netherland: Wageningen University. Simbolon H dan Edi M. 1997. Altitudinal Zonation of the Forest Vegetation in Gunung Halimun National Park, West Java. The Inventory of Natural Resources in Gunung Halimun National Park. Research and Conservation of Biodiversity in Indonesia. Volume II. Bogor: LIPI, JICA dan PHPA. Smith WA. 1987. Conscientizacao, Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Prihantoro A, penerjemah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Terjemahan dari: The Meaning of Conscientizacao, The Goal of Paulo Freire’s Pedagogi. Suganda H. 2004. Pergeseran Peran Perempuan Pedesaan dalam Keluarga Masyarakat Sunda. Artikel. Kompas, 29 Nopember 2004 Sunardi ST. 2002. Mencari Profil Pendidikan Kritis. Makalah dalam Training of Trainers “Pendidikan Feminisme, Otonomi dan Pluralisme”. Tidak dipublikasikan. Jakarta: KAPAL (Lingkar Pendidikan Alternatif) Perempuan.
181
Susilastuti DH. 1993. Gender Ditinjau dari Perspektif Sosiologi. Dalam “Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia”. Ridjal F et al, editor. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. Sztompka P. 1993. Sosiologi Perubahan Sosial. Alimandan, penerjemah. Jakarta: Prenada Media. Terjemahan dari: The Sociology of Social Change. Tiani AM et al. 2005. Women in Campo-Ma’an National Park: Uncertainties and Adaptations in Cameroon. Dalam The Equitable Forest: Diversity, Community, and Resource Management. Colfer CJP, editor. Washington DC: Resources for the Future dan CIFOR (Center for International Forestry Research). Tsing AL. 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection. New Jersey: Princeton University Press Tong RP. 1998. Feminist Thought: Pengantar paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Prabasmoro AP, penerjemah. Yogyakarta: Jalasutra. Terjemahan dari: Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. UNDP. 2004. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pertumbuhan Milenium Indonesia. Jakarta. Wieringa SE. 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya. Wulan YC et al. 2004. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003. Bogor, Indonesia: CIFOR (Center for International Forestry Research).
182
Lampiran 1 Panduan Pertanyaan Untuk Wawancara dengan Para Subjek Penelitian: • Bagaimana perempuan, petani dan atau buruh tani, menjalani kehidupannya dalam menghadapi beragam resiko? • Apa yang harus dia lakukan? • Apa yang harus dia tidak lakukan? • Apa hak dan kewajiban dirinya dan anggota keluarga yang lain? • Bagaimana pola hubungan dalam upaya pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dalam keluarganya? • Sejak kapan perempuan dan komunitasnya mulai mempertanyakan tentang ketidakadilan tenurial yang mereka alami? • Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mereka menyadari ketidakadilan tersebut? • Apa saja bentuk-bentuk inisiatif untuk mempertanyakan hal tersebut? Bagaimana mereka melakukannya, dan apa hasil dari inisiatif/perjuangan tersebut? Untuk Diri Peneliti: • Dalam penulisan hasil penelitian, bagaimana peneliti meyakinkan para pembaca bahwa tidak semuanya baik dan adil dalam komunitas petani berdasarkan pengalaman dan pendapat petani dan atau buruh tani perempuan? • Bagaimana peneliti menyampaikan persoalan-persoalan hidup petani dan atau buruh tani perempuan tentang identitas, kerja, adil-tidak adil, kebenaran, penindasan, dan lain-lain? Untuk Penentu Kebijakan: • Bagaimana kebijakan tenurial (adat, lokal, dan negara) memandang hak dan inisiatif perempuan? Apakah terdapat penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan tersebut? • Bagaimana negara (pemerintah lokal dan pusat) memandang persoalan ketidakadilan agraria hutan dan ketidakadilan gender serta inisiatif masyarakat, terutama perempuan, untuk berupaya menghapuskannya?
Lampiran 3 Profil Organisasi RMI – the Indonesian Institute for Forest and Environment 1. Organisasi Sejarah RMI – The Indonesian Institute for Forest and Environment adalah sebuah organisasi independen bersifat nirlaba yang bergerak di bidang lingkungan hidup, khususnya pengelolaan kekayaan alam. RMI didirikan pada 18 September 1992 dan disahkan oleh notaris Ny. Muljani Sjafei, S.H. di Bogor. Dalam perjalanannya, RMI memfokuskan pada pengelolaan kekayaan ekosistem hutan yang berbasis pada rakyat dan berkeadilan gender. Visi dan Misi Visi RMI adalah terwujudkannya kedaulatan rakyat, perempuan dan laki-laki atas tanah dan kekayaan alam serta pengelolaannya yang adil, setara dan lestari. Misi RMI adalah : 1. Memberdayakan rakyat, perempuan dan laki-laki untuk memperkuat posisi tawar mereka atas tanah dan kekayaan alam serta pengelolaannya yang adil, setara dan lestari. 2. Meningkatkan kesadaran dan kepedulian serta merubah pola pikir dan pola pengambil keputusan dan anggota masyarakat untuk menghormati dan menghargai hak-hak rakyat atas kekayaan alam. Struktur Dikarenakan berbadan hukum yayasan, RMI terdiri atas Badan Pendiri, Badan Pengurus, dan Pengurus Harian. Untuk periode 2005 – 2007, Pengurus Harian dibagi dua, yaitu Pengurus Harian yang memfokuskan diri pada kerja-kerja fasilitasi penyelesaian konflik tenurial di kawasan ekosistem Halimun, dan Pengurus Harian yang memfokuskan diri pada pengembangan kemandirian lembaga melalui pelayanan pendidikan lingkungan. Pada masing-masing Pengurus Harian tersebut terdiri atas Ketua Harian, Wakil Ketua Harian (untuk Pengurus Harian Program Halimun), Staf, Staf Paruh Waktu (Part Time Staff), dan Relawan (Volunteer) yang memiiki beragam latar belakang pendidikan, antara lain: kehutanan, pertanian, hukum, biologi, ekonomi, sosial, dan keguruan.
2. Program Kerja RMI menjabarkan visi dan misinya dalam bentuk program-program kerja sebagai berikut: Program Pengkajian Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam Sejak awal berdiri, RMI aktif mengikuti proses diskusi tentang kebijakan sumberdaya alam khususnya hutan. RMI mendukung upaya-upaya perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam kepada pengakuan hak masyarakat lokal dan adat atas kekayaan alam setempat. Studi yang telah dilakukan adalah Studi
187
tentang Penyebab Utama Deforestasi dan Degradasi Hutan; Studi tentang Perkebunan Besar Kelapa Sawit dan Kaitannya dengan Deforestasi di Indonesia, Pengkajian dan pembahasan rancangan undang-undang dan peraturan mengenai Pengelolaan Sumberdaya Alam. Program Pemberdayaan Masyarakat Program ini merupakan program yang bertujuan untuk mendampingi masyarakat dalam menggali dan memperkuat sistem kearifan tradisional masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam. Pendampingan masyarakat dan peran fasilitator dilakukan RMI dalam mewujudkan tujuan tersebut, yang selanjutnya dituangkan dalam kegiatan-kegiatan utama yaitu: • Penguatan sistem pengelolaan kekayaan hutan; • Penguatan organisasi lokal; • Pendidikan kritis; • Penguatan ekonomi rakyat. Perspektif gender menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan-kegiatan yang dikembangkan dalam mencapai tujuan di atas. Untuk merealisasikannya, RMI mencoba mengembangkan proses penyusunan panduan analisis gender dalam pendampingan/penguatan sistem pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat. Program Dukungan Publik dan Kemandirian Lembaga Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat akan pentingnya pengelolaan sumberdaya alam secara lestari, serta mendukung kegiatan-kegiatan ramah lingkungan yang dilakukan masyarakat. Di bawah program PEDATI (Pendidikan Konservasi Keanekaragaman Hayati) RMI telah dan atau sedang mengembangkan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan di atas, antara lain: 1. Program Pendidikan Lingkungan; a. Rute Pendidikan Lingkungan (REPLING): i. REPLING di Kebun Raya Bogor ii. REPLING di Kebun Raya Ekakarya Bali iii. REPLING di Kawasan Cagar Alam Yanlappa Bogor iv. REPLING di Kebun Raya Cibodas v. REPLING di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun vi. REPLING di Kota Bogor vii. REPLING di daerah transisi, Cimande Hilir. b. Siaran Khusus Lingkungan Sekitar (SIKLUS); c. Buletin Lingkungan Hidup (BULUH); d. Buletin Sangga Buana 2. Program Dokumentasi Hutan Kerakyatan; 3. Program Dokumentasi Sistem Pertanian Tradisional; 4. Program Pengelolaan dan Pengembangan Kedai Halimun;
188
3. Sumber Pendanaan • • •
Lembaga Dana (Funding Agency). Lembaga dana memberikan hibah yang bersifat tidak mengikat. Donatur. Donatur terdiri atas Donatur Perorangan dan Lembaga. Bentuk donasi yang diberikan berupa dana dan/ atau barang yang menunjang kegiatan RMI. Swadana. Swadana dilakukan melalui pengembangan Pusat Pendidikan Lingkungan (Kampung PENDING) dan Kedai Halimun yang menawarkan produk-produk ramah lingkungan, sekaligus sebagai sarana untuk mendukung pemasaran produk-produk masyarakat kelompok dampingan RMI dan penggalangan dukungan publik.
4. Kegiatan Berjaringan Dalam upaya meneruskan dan menjaga hubungan yang telah terjalin dengan organisasi lain, serta mendukung terjalinnya hubungan yang konstruktif antarstakeholder, RMI terlibat dan berperan aktif dalam beberapa jaringan kerja. Jaringan tersebut antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK); Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM); Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL); Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP); Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); Forest Watch Indonesia Simpul Jawa; Jaringan Perpustakaan Lingkungan Hidup (JPLH) Kelompok Kerja Land Tenure; Kelompok Kerja Biodiversity; Pada tingkat internasional: anggota dari International Land Coalition (ILC).
Lampiran 4. Profil Subjek Penelitian: Pengurus dan Anggota Kelompok Cepak Nangka dan Andam Nama Subjek Umur Posisi dalam Pendidikan Status Jumlah Penguasaan Tanah Penelitian Kelompok Perkawinan Anak Ibu Mr 33 tahun Ketua Tamat SD 3 orang • Memiliki 0.25 Menikah (2♂ & 1♀) gedeng sawah; Kelompok • Memiliki 100 m2 Cepak Nangka
Ibu On
Ibu Tt
56 tahun
37 tahun
Anggota Kelompok Cepak Nangka
Anggota Kelompok Cepak Nangka
Tidak tamat SD (sampai kelas 3)
Tamat SD
Menikah
Menikah
8 orang (2♂ & 6♀); 5 orang (2♂ & 3♀) masih ditanggung
•
5 orang (2♂ & 3♀)
•
•
•
Keterangan Lain •
Memiliki pengalaman kerja di kota; Menjalankan usaha kelompok, usaha keripik pisang Memiliki pengalaman kerja di kota;
kebun
•
Memiliki 1 gedeng sawah (warisan dari orang tua) Menggarap 1 gedeng sawah gade
•
Memiliki 1 gedeng sawah (warisan dari orang tua); Menggarap 2 gedeng kebun
Memiliki pengalaman kerja di kota;
•
Sering berjualan di lokasi penambangan emas rakyat di blok Cikoret
Lanjutan Lampiran 4. Nama Subjek Umur Penelitian Ibu Km
Ibu El
Ibu Ln
29 tahun
26 tahun
24 tahun
Posisi dalam Kelompok Anggota Kelompok Cepak Nangka
Anggota Kelompok Cepak Nangka
Ketua Kelompok Andam
Pendidikan Tidak tamat SD (sampai kelas 4)
Tamat SD
Tamat SD
Status Jumlah Perkawinan Anak 2 orang Menikah
(1♂ & 1♀)
Cerai
Menikah
3 orang (1♂ & 2♀)
1 orang (♂), saat ini sedang mengandung anak kedua
Penguasaan Tanah
Keterangan Lain
Memiliki 1 gedeng sawah
•
Memiliki pengalaman kerja di kota;
•
Sawah diusahakan dengan cara mengupah buruh tani
•
Memiliki pengalaman kerja di kota;
• •
Mengalami KDRT; Tinggal bersama orang tuanya, sementara ketiga anaknya diasuh secara bergilir, antara dia dan mantan suami.
•
Memiliki pengalaman kerja di kota;
•
Sawah diusahakan dengan cara mengupah buruh tani
Tidak memiliki tanah
• •
Memiliki 2 gedeng sawah; Menggarap 2,000 m2 ex-tanah PERHUTANI
Lanjutan Lampiran 4. Nama Subjek Umur Penelitian Ibu Un
Ibu Ww
Ibu An
58 tahun
37 tahun
40 thn
Sumber: RMI 2005
Posisi dalam Kelompok Anggota Kelompok Andam
Pendidikan
Sekretaris Kelompok Andam
Tamat SD
Anggota Kelompok Andam
Tidak sekolah
Tidak sekolah
Status Jumlah Perkawinan Anak 4 orang Menikah
Menikah
Menikah
(3♂ & 1♀); 2 orang (♂) masih ditanggung 4 orang (1♂ & 3♀)
3 orang (♀)
Penguasaan Tanah
Keterangan Lain
•
Memiliki pengalaman kerja di kota
•
Memiliki 1 gedeng sawah Memiliki 1000 m2 kebun
Memiliki 1 gedeng sawah
• •
Memiliki 2 gedeng sawah Memiliki 0.5 gedeng kebun
•
Tidak memiliki pengalaman kerja di kota;
•
Menjalankan usaha warung dan berjualan bakso
Tidak memiliki pengalaman kerja di kota
Lampiran 5. Letak Kampung Nyungcung
Sumber: Diadopsi dari JICA 2003
Lampiran 6. Peta Tata Ruang Wilayah Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung
Sumber: KSM Nyungcung 2004