Saat Aktivis Islam Memimpin Negerinya : Dinamika Menuju Dominasi Parlemen Mesir dan Proyeksi Pilpres 2012 Taryudi
Dimensi Politik Krisis Eurozone Gunaryadi Implementasi Smart Power dalam Sistem Keamanan Nasional Arya Sandhiyudha
Frontier
Kajian Strategis Hubungan Luar Negeri
Indonesian views on South China Sea Conflict Marsudi Budi Utomo Masalah Keamanan Regional Asia Pasifik Soeripto
Penerbit: Bidang Hubungan Luar Negeri Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera
1 Frontier Volume 4, April 2012 Volume 4, April 2012 |ISSN 2088‐0413
Volume 4, April 2012 ISSN 2088‐0413
Frontier Kajian Strategis Hubungan Luar Negeri Volume 1, April 2011 ISSN 2088‐0413 DEWAN REDAKSI Ketua: Budiyanto, M.Eng. Staf Editor : Dr. Nuryadi Ngadirin Dr. Saiful Bahri Dr. Iko Pramudiono Dr. M. C. Halid Arya Sandiyudha, M.Si. Redaktur Ahli: Dr. Taufik Ramlan Wijaya Dipl.‐Ing. R. Agoeng Hardianto Wibowo, MSc.ME Dr. Marsudi Budi Utomo Dr. Agus Setiawan Dipl.‐Ing. Haikal Djauhari, MSc. Izzuddin Abdul Manaf, Lc., MA. Redaktur Pelaksana : Rahmad Setiawan Dilarang keras mengutip, menjiplak atau memfotokopi sebagian atau seluruh buku ini serta memperjualbelikannya tanpa izin tertulis dari Penerbit. Penerbit: Bidang Hubungan Luar Negeri Dewan Pimpinan Pusat ‐ Partai Keadilan Sejahtera Jalan T.B. Simatupang No. 82, Pasar Minggu, Jakarta 12520, INDONESIA Telp : +62‐21 78842116 Fax : +62‐21 78846456 Website : www.pks.or.id Email :
[email protected]
2 Frontier Volume 4, April 2012
Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan petunjuk‐Nya, sehingga FRONTIER, Kajian Strategis Hubungan Luar Negeri (ISSN 2088‐0413) Volume 4 ‐ April 2012 dapat terbit sesuai dengan harapan kita bersama. FRONTIER adalah salah satu media yang menginformasikan hasil kajian, tulisan dan pidato politik baik dari para pakar, politikus, pengamat, jurnalis maupun ilmuwan yang berkaitan dengan luar negeri baik bidang politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada kesempatan yang baik ini disampaikan terima kasih kepada para penulis, para reviewer dan semua pihak yang telah menyusun beberapa artikel dari beragam kesempatan menjadi satu kerangka yang koheren. Dalam edisi perdana ini akan ditampilkan makalah‐makalah sebagai berikut: 1. Makalah pertama disajikan oleh Taryudi yang membahas kondisi terkini revolusi Mesir paska Arab Spring, khususnya dinamika pemilu parlemen dan proyeksi pemilu presiden Mesir. Memotret fenomena Mesir setelah perguliran revolusi memang menarik. Rakyat Mesir secara berlahan mulai memulihkan konstruksi negara yang carut‐ marut akibat revolusi 25 Januari 2011. Meski tidak drastis, aroma peralihan kondisi itu berarak pasti. Mesir sedang menuju tatanan baru negara yang dibangun berlandaskan alwa’yu assiyâsi (kesadaran politik) yang bergulir indah dari rahim revolusi. 2. Makalah kedua memuat isu global dan regional yang menjadi sorotan utama saat ini, yaitu krisis Eurozone. Makalah ini ditulis oleh Gunaryadi, peneliti Indonesian Centre for Actual Information and Studies on Europe (INDOCASE), Den Haag, Nederland. Penulis memaparkan detail krisis Eropa dari sisi dimensi politik, implikasi krisis tersebut terhadap arah integrasi Eropa, implikasi geopolitik dan peluang‐peluang yang bisa diberikan Indonesia. 3. Makalah ketiga ditulis oleh Arya Sandhiyudha yang membahas implementasi smart power dalam sistem keamanan nasional. Makalah ini memberikan rekomendasi terkait kebijakan regulasi UU Kamnas, yang intinya terbagi dua, yaitu: (i) Integrasi konsep dan implementasi, yang mencakup integrasi konsep pertahanan‐keamanan, rekonstruksi aktor keamanan, peningkatan kemampuan intelijen untuk peringatan dini dan mekanisme pelibatan aktor non‐militer. (ii) Integrasi 3 Frontier Volume 4, April 2012
Operasional meliputi: integrasi legal dan institusional, harmonisasi dengan regulasi lainnya, mekanisme koordinasi, aturan main dalam keadaan darurat, serta format Dewan Keamanan Nasional. 4. Makalah keempat ditulis oleh Marsudi Budi Utomo yang menguraikan bagaimana Indonesia memandang Konflik Laut Cina Selatan (South China Sea). Tidak bisa dipungkiri, sebagaian daerah di laut Cina Selatan masih menyisakan masalah kepemilikan dan belum ada solusinya. Cina dan Taiwan termasuk negara‐negara yang mempunyai kepentingan di sana. Perhatian Indonesia dalam ikut andil dalam penyelesaian harus ditingkatkan dan terus proaktif, karena bisa jadi jika masalah ini terus berlarut‐larut dapat masuk ke wilayah Natuna yang kaya akan gas alam dan dapat membahayakan kedaulatan Indonesia. 5. Makalah kelima yang ditulis oleh Soeripto mengupas masalah keamanan regional Asia Pasifik. Paska perang dingin dan era memasuki era globalisasi, dunia mengalami pergeseran kekuatan (Power Shift) yaitu dari Barat ke Timur. Dengan kemajuan yang pesat di sektor ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan pertahanan, terutama di India, Korea Selatan, China, dan Taiwan, maka kawasan Asia Pasifik saat ini menjadi perhatian dunia, khususnya Laut China Selatan. Kawasan ini pun rawan terhadap gangguan keamanan seperti perampokan, penyelundupan, illegal logging, serta klaim kepemilikan Kepulauan Spartly yang dilakukan oleh beberapa Negara, sehingga kawasan ini mengandung potensi konflik. Melalui perjanjian bilateral dan multilateral, diharapkan konflik bersenjata dapat dicegah dan melalui keseimbangan kekuatan militer di Kawasan Asia Pasifik dan dapat mencegah kemungkinan terjadinya perang terbuka berskala regional. Kiranya Frontier Kajian Strategis Hubungan Luar Negeri ini dapat bermanfaat bagi semua pihak‐pihak yang membutuhkan dan dimohon saran untuk penyempurnaan edisi berikutnya. Pimpinan Redaksi Budiyanto, M.Eng.
4 Frontier Volume 4, April 2012
FRONTIER Kajian Strategis Hubungan Luar Negeri Vol. 4, April 2012
Daftar Isi No 1
Hal
Saat Aktivis Islam Memimpin Negerinya : Dinamika Menuju Dominasi Parlemen Mesir dan Proyeksi Pilpres 2012
Taryudi 2 Dimensi Politik Krisis Eurozone
35
Gunaryadi
3 Implementasi Smart Power dalam Sistem Keamanan Nasional
45
Arya Sandhiyudha 4 Indonesian views on South China Sea Conflict
55
Marsudi Budi Utomo 5 Masalah Keamanan Regional Asia Pasifik
66
Soeripto
5 Frontier Volume 4, April 2012
6
Saat Aktivis Islam Memimpin Negerinya : Dinamika Menuju Dominasi Parlemen Mesir dan Proyeksi Pilpres 2012
Taryudi Staff Anggota DPR RI FPKS, Direktur LSM Studi Informasi Alam Islami (SINAI) Mesir 2011
Memotret fenomena Mesir setelah perguliran revolusi memang menarik. Rakyat Mesir berlahan mulai memulihkan konstruksi negara yang carut‐marut akibat revolusi 25 Januari. Meski tidak drastis, aroma peralihan kondisi itu berarak pasti. Mesir sedang menuju tatanan baru negara yang dibangun berlandaskan kesadaran politik (wa’yu siyasi) yang bergulir indah dari rahim revolusi. Rakyat mulai menyadari tanggungjawabnya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang menentukan akan kemanakah negara ini harusnya mengarah? Peralihan ke arah positif itu terekam melalui keikutsertaan rakyat Mesir mengikuti agenda referendum amandemen konstitusi, 19 Maret 2011. Referendum yang dikemudian hari menjadi prolog yang menentukan ritme politik nasional Mesir. Partisipan jajak‐pendapat meningkat tajam ketimbang ajang demokrasi serupa yang dilaksanakan di era Presiden Mubarak berkuasa. Panitia referendum menyebutkan sebanyak 18,5 juta dari 45 juta warga −41,9%− yang memiliki hak pilih mengikuti jajak pendapat. Kenaikan partisipan itu oleh Harian Al‐Hayat London (20/2) diklaim sebagai prosentase keikutsertaan terbesar referendum di sepanjang sejarah Mesir modern. Suara sah 18.366.000 6 Frontier Volume 4, April 2012
dan 171.190 suara dinyatakan batal. Referendum yang meminta dukungan rakyat terhadap perubahan 9 pasal konstitusi ini mendapat dukungan 14.192.000 warga (77,2%). Sementara, 4.174.000 (22,8%) menolak. Pelaksanaan jajak‐pendapat perubahan konstitusi merupakan proses lanjutan setelah SCAF – Majlis Tinggi Militer− pada 16 Februari 2011 membentuk Komite Perubahan Konstitusi yang diketuai Tariq Al‐Bisyri beranggotakan 3 Hakim Mahkamah Konstitusi Tinggi dan 3 Guru Besar Ilmu Hukum dan Tata Negara Mesir. Referendum jadi keniscayaan. Begitu SCAF ditunjuk menjadi penguasa transisi Mesir 13 Februari 2011, sejak peralihan itu konstitusi negara tahun 1971 tidak berlaku lagi. Maka oleh pertimbangan ini, sepekan setelah peralihan kekuasaan, SCAF membentuk Komite Perubahan Konstitusi. Polemik mengemuka sebelum pelaksanaan jajak‐pendapat. Perdebatan apakah komite yang dibentuk dibebani pengubahan konstitusi secara menyeluruh atau hanya mengamandemen pasal‐ pasal yang dilihat perlu segera diubah melihat kebutuhan negara. Komite berpandangan pengubahan seluruh konstitusi tak cukup mengandalkan panitia kecil. Referendum 19 Maret hanya
mengubah 9 pasal yakni, 75, 76, 77, 88, 93, 193, 198, 179, dan 189. Substansi 9 pasal itu memuat pengubahan mekanisme peralihan konstitusi dari militer ke sipil, pelaksanaan pemilu parlemen – majlis rakyat dan syura– dan pemilu presiden. Diubah secara khusus ketentuan presiden menjabat 4 tahun untuk satu periode dan hanya boleh menjabat dua periode. Pasal sebelumnya Presiden Mesir menjabat 6 tahun untuk satu periode dan tidak dibatasi berapa kali periode presiden akan menjabat. Referendum memunculkan dua kubu politik. Pihak pertama, SCAF dan kelompok Ikhwanul Muslimin menganjurkan rakyat menyetujui pengubahan sebagian konstitusi. Menurut Ikhwan, amandemen tersebut merupakan “piagam konstitusi” yang berdiri sendiri dan bukan bagian dari konstitusi lama yang dimakzulkan. Ditujukan sebagai langkah peralihan kekuasaan. Situasi saat itu, tidak memungkinkan Mesir membuat konstitusi baru. Letak masalah bukan soal pembuatan undang‐ undang, tapi masih sulitnya tercapai konsolidasi nasional. Misalnya, berintegrasi menyoal penerapan materi kedua konstitusi yang berisi syariat Islam adalah landasan konstitusi, serta kuota parlemen 50% persen dari buruh
7 Frontier Volume 4, April 2012
dan petani. Ikhwan memandang, perumusan konstitusi baru perlu dibuat oleh komite yang dipilih lewat pemilu, bukan panitia yang dibentuk SCAF. Sementara, I’tilaf Syabab Tsaurah 25 Yanayir (Front Pemuda Revolusi 25 Januari), Harakah Sittah Abril (Gerakan 6 April), LSM Reformasi yang diketuai Muhammed Baradei, dan sejumlah partai politik –Tajammu’, Nasaret, dan Wafd− merepresentasi kubu politik yang berpendapat amandemen konstitusi saat itu bukan solusi konstruktif mengentaskan Mesir dari situasi politik yang mengungkung. Kekhawatiran membingkai keputusan mereka yang mengkritisi ide amandemen, jika presiden baru Mesir terpilih sebelum konstitusi baru tuntas
dibentuk, ditakutkan presiden akan melakukan manufer pengubahan undang‐undang melalui intervensi pemilihan anggota komite yang akan dibentuk. Termasuk asumsi bahwa pemilu parlemen yang didahulukan akan memfasilitasi kemenangan kelompok pro‐rezim Mubarak dan kelompok Ikhwan di pemilu parlemen. Di lain pihak, kelompok‐kelompok revolusi dipastikan tidak mendapat ruang menelurkan ide perubahan negara. Faktor instabilitas nasional, kepolisian yang menghilang, dan konspirasi loyalis rezim lama yang ingin menggagalkan perjalanan revolusi merupakan alasan yang membuat kelompok anti amandemen memproyeksi pelaksanaan referendum tidak berjalan mulus.
Diagram 1. Mesir : Setahun dalam Drama Perubahan National Demokratic Party menang mutlak pada Pemilihan Majelis Rakyat
Presiden Husni Mubarak lengser. SCAF memegang mandat pemerintahan sementara. Parlemen dibubarkan. Konstitusi diamandemen.
Partai-partai baru mulai registrasi untuk berpatisipasi dalam pemilihan parlemen
Israel membunuh 5 warga Mesir di perbatasan
November 2010
Februari 2011
Mei/Juni 2011
Agustus 2011
25 Jan 2011 Gelombang unjukrasa meletus di kota-kota besar. Bentrokan berlangsung selama 18 hari antara revolusioner dan polisi.
Maret 2011 Referendum digelar. 72% suara mendukung amandemen konstitusi. SCAF mendukung proses amandemen dan perombakan posisi
Juli 2011 SCAF mengumumkan undang-undang pemilu dan menunda pemilihan parlemen hingga November 2011
Sumber: CRS graphics
8 Frontier Volume 4, April 2012
Pemilihan majelis rakyat mulai dilaksanakan putaran pertama di 9 propinsi . Nov 2011
Sept 2012
Kedubes Israel di Cairo diserbu massa.
Sebenarnya yang persoalkan, menurut Fahmi Huwaidi, Kolumnis Senior Mesir, terkait kebijakan SCAF yang memilih Prof. Dr. Tariq Al‐Bisyri mengetuai Komite Amandemen Konstitusi. Tariq walaupun tidak berafiliasi kepada Ikhwanul Muslimin, tetapi ia menjadi konsultan hukum dan bidang tata negara di jamaah itu. SCAF berdalih, Tariq dipilih karena hanya dia yang paling pakar dan senior menyangkut hukum ketatanegaraan Mesir. Itu pula pengakuan mayoritas pakar dan akademisi di Mesir. Kubu sekular yang direpresentasi Muhamed Baradei dan kelompok revolusi berhaluan kiri merasa kecolongan. Terpilihnya Tariq Al‐Bisyri yang islamis itu akan menyumbat kran sekularisasi Mesir pasca meletusnya revolusi. Ikhwan dengan visi keislamannya dipastikan merengguk maslahat. Fahmi Huwaidi melihat konfrontasi pasca revolusi akan bermuara pada pertarungan dominasi antara kekuatan sekular dan kekuatan Islamis. Bisa dikatakan, referendum jadi sesi uji coba pertama pesta demokrasi yang digelar setelah revolusi. Sejumlah kekhawatiran bahwa helat demokrasi ini akan menimbulkan huru‐hara termentahkan. Jajak pendapat terbukti sukses tanpa diwarnai
insiden. Masyarakat Mesir berbekal kesadaran politik telah membuktikan dan menjamin revolusi harus diselesaikan secara tuntas. Sesuai tahapan‐tahapan yang jelas. Tentu SCAF dan Gerakan Ikhwan sebagai promotor amandemen menjadi pihak yang diuntungkan oleh keberpihakan rakyat ini pada perhelatan pesta demokrasi yang lebih besar lagi. Berjalan di Bawah Bayang bayang Konspirasi Suksesnya pelaksanaan referendum 19 Maret tentu menjadi credit point bagi rakyat Mesir untuk semakin memastikan bahwa tahapan pemilu parlemen dan pilpres mendatang akan bisa berjalan lancar. Optimisme itu tidak begitu saja memupus realitas bahwa loyalis Mubarak tidak akan membiarkan revolusi berlangsung sukses. Menyadari situasi konfrontasi yang terus menyelubungi langit Cairo, kekuatan politik pendukung revolusi mulai mengkampanyekan istilah “kontra revolusi”. Aksi terselubung yang dilancarkan untuk mengacaukan usaha merealisasikan target besar revolusi. Indikasi yang menyeruak nyata seperti peningkatan angka kriminalitas di Mesir pasca
9 Frontier Volume 4, April 2012
revolusi. Keterpurukan ekonomi negara sering dijadikan justifikasi meningkatnya aksi‐aksi kejahatan terorganisir yang tidak pernah terjadi pada masa Mubarak memimpin. Pelaku kriminal pun terbilang sudah berkelas karena menggunakan senjata organik yang biasa dipakai oleh aparat keamanan Mesir. Padahal penyelundupan senjata api dari luar Mesir hampir merupakan sesuatu yang mustahil. Data militer menyebutkan, ½ jumlah militer Mesir dipusatkan di wilayah Mesir bagian timur (kawasan gurun Sinai Utara dan Sinai Selatan) yang langsung berbatasan dengan Israel dan Saudi Arabia. Adapun di tapal batas laut sepanjang pantai Mediteranian dari arah Matrouh hingga Saloum Libya menjadi pangkalan pusat marinir Mesir. Begitu juga batas antara Mesir dengan Sudan di wilayah Aswan. Atau, Mesir dengan negara Chad di bagian barat yang dipisah oleh hamparan gurun yang sangat luas. Dengan merangkum data‐data itu dan mengkaitkannya dengan sejumlah aksi‐aksi terorganisir yang lebih tepat disebut “operasi intelijen” menuai benang merah keterlibatan “syurtah” (kepolisian) atau bahkan militer. Apalagi nyaris, separuh anggota polisi Mesir telah menanggalkan seragamnya pasca revolusi. Seiring lenyapnya aparat
kepolisian, seiring itu pula muncul kelompok‐kelompok “baltajiyah” (preman) yang dulu pada masa Mubarak dipelihara oleh instansi kepolisian Mesir. Operasi yang dilancarkan pun sangat beragam. Dari kasus perampokan, pembobolan bank, pembunuhan, perkosaan, bom yang diledakkan di basis massa Kristen Koptik untuk memunculkan kesan propaganda antar rasis, atau yang baru‐baru ini terjadi yaitu insiden kerusuhan antara supporter bola Klub Ahli dan Klub Nadi Misri di kota Port Said, yang sarat bermuatan konspirasi. Di tengah bayang‐bayang proganda itu, rakyat Mesir harus menyelesaikan tahap demi tahap agenda pemulihan negara pasca revolusi. Pada evaluasi 100 hari revolusi, banyak pihak di Mesir yang dijangkiti rasa skeptis. Betapa revolusi memang telah merenggut banyak hal, bahkan merenggut harapan tentang masa depan Mesir sendiri. Kelompok revolusioner, seperti Ikhwan, selalu menekankan perbandingan revolusi Mesir dengan revolusi Perancis 1779. Paris baru stabil di tahun 1789. 10 tahun pasca revolusi. Sementara Cairo baru seratus hari menggelar revolusi. Bias revolusi yang kompleks pasti akan menguntit. Di saat‐saat seperti itu, rakyat butuh kejelasan mengenai akan
10 Frontier Volume 4, April 2012
kemanakah arah negeri ini dikemudikan. Krisis yang dihadapi dapat diprediksi sampai kapan akan berakhir. Tahapan pemilu sebagai sesuatu yang pasti −sekurang‐kurangnya dapat diukur hasilnya− menjadi tempat rakyat menggantungkan deskripsi masa depan mereka di tengah bayang‐ bayang konspirasi yang terus menghantui. Epidemi Undangundang Darurat yang Belum Tuntas Faktor stabilitas keamanan nasional Mesir akan selalu berkaitan dengan penerapan qanun thawari’ (undang‐undang darurat) yang tidak segera dicabut pasca revolusi bergulir. Pencabutan undang‐undang darurat ini menjadi salah satu isi tuntutan revolusi, bersamaan dengan tuntutan agar SCAF segera menyerahkan kekuasaan militer kepada sipil pasca revolusi bergulir. Rakyat dari dulu menjadi obyek yang selalu dirugikan oleh penerapan undang‐ undang yang menodai hak‐hak dasar kemanusiaan. Mesir menerapkan qanûn thawari’ sejak tahun 1976. Undang‐ undang No. 162 ini sebenarnya telah ditetapkan tahun 1958, namun baru diterapkan 16 tahun sesudahnya. Undang‐undang ini dirumuskan menjawab pergolakan
politik regional antara Mesir dan Israel yang terus terlibat pertikaian fisik secara runut dari tahun 1948, 1956, 1967, dan 1973. Melalui penetapan status darurat dan didukung penerapan qanun thawari’, negara memiliki supremasi hukum untuk memutuskan berbagai kebijakan perang demi menjaga kedaulatan rakyat dan negara dari rongrongan asing. Fungsi undang‐undang ini menjadi sangat krusial ketika Mesir memilih opsi damai dengan Israel pada deklarasi Camp David di AS tahun 1978. Sebab, kebijakan Anwar Saddat menimbulkan gejolak massa yang nyaris tak terbendung jika tidak dilegitimasi aturan khusus. Di awal tahun 1980‐an, selama 18 bulan qanun thawari’ dicabut. Kondisi negara terbilang stabil dan tidak ada lagi ancaman perang regional pasca perjanjian damai Camp David. Undang‐undang itu diterapkan lagi setelah Husni Mubarak menjabat Presiden Mesir tahun 1981 mengganti Anwar Saddat. Tujuan penerapan kembali undang‐undang ini mulai direduksi. Sebab, qanun thawari’ memang memberi legitimasi penuh kepada kepolisian untuk menjalankan peran riqâbah (pengawasan tanpa batas) terhadap aktivitas politik rakyat yang tidak resmi dan merongrong kekuasaan presiden.
11 Frontier Volume 4, April 2012
Dibuatlah aturan‐aturan tambahan misalnya, mekanisme demonstrasi, aktivitas organisasi masyarakat dan politik, atau peringatan keras pendirian lembaga pengumpul dana yang tidak terdaftar di wizarah ad dakhiliyyah (Kemendagri) Mesir. Semenjak diterapkan lagi di tahun 1981, undang‐undang ini telah memaksa 17.000 orang meringkuk dalam sel tahanan. Bahkan, khusus untuk tahanan politik (tapol) jumlahnya mencapai 30.000 orang. (Husein Abdul Wahid, Tsaurah Misra, 18 Yauman Hazzat Al‘Alam, 2011). Melalui qanun thawari’, negara diberi kewenangan menangkap warganya secara bebas sampai waktu yang tidak ditentukan. Tanpa melihat alasan apakah penangkapan itu berlandaskan surat penahanan dari mahkamah, atau tanpa alasan sekalipun, negara memiliki wewenang mutlak melakukan berbagai tindakan demi memelihara keamanan negara. Pemberlakuan qanun thawari’ meniscayakan orang yang ditangkap tidak punya hak membela diri. Penguasa Mesir boleh menjebloskan orang ke dalam penjara tanpa didahului putusan pengadilan. Undang‐ undang darurat itu selalu menempatkan Presiden Mesir pada zona aman. Justifikasi pemerintah
yang tetap mempertahankan penerapan qanun thawari’ dapat teridentifikasi secara mudah. Pemerintah Mesir khawatir kekuatan oposisi yang direpresentasikan Al‐Ikhwanu Al‐ Muslimun akan menggulingkan kekuasaannya. Qanun thawari’ cukup efektif sebagai langkah preventif membendung gerakan oposisi. Menurut Husein Abdel Wahid, tanpa qanun thawari’, rezim Mubarak mustahil punya perangkat menasionalisasi aset‐aset Ikhwan dan oposan lainnya, serta menangkap sejumlah petinggi gerakan anti pemerintah. Penerapan qanun thawari’ menodai asas‐asas demokrasi yang berlandaskan kedaulatan rakyat. Ia serupa epidemi akut yang menggerogoti nilai‐nilai kemanusiaan. Wajar pula, salah satu tuntutan revolusi agar undang‐undang tanpa pri‐ kemanusiaan ini segera dicabut. Rakyat bosan selama 30 tahun dicekoki praktik feodalisme. Generasi terdidik Mesir muak disuguhi polisi bergaya koboy ala Jeremy Irons di film Appaloosa. Posisi Nyaman yang Diinginkan SCAF Desakan pencabutan undang‐ undang thawari’ oleh rakyat
12 Frontier Volume 4, April 2012
dianggap skala prioritas yang tidak bisa ditawar‐tawar. Masyarakat trauma penerapan aturan itu mengembalikan superioritas militer yang merampas hak kebebasan rakyat. Asumsi keberpihakan militer terhadap rezim Husni Mubarak masih melingkupi persepsi publik. Kekhawatiran yang cukup beralasan. Setidaknya, aturan yang belum dicabut itu akan menimbulkan tekanan psikis bagi rakyat yang tengah menyelesaikan tahapan‐tahapan revolusi. Derasnya desakan publik mencabut undang‐undang darurat disambut serius pemerintahan transisi pimpinan Isham Syarf, pada Agustus 2011 melalui Jubir Kementerian Mesir, Muhammed Higazi, yang menegaskan pemerintah transisi sedang berkoordinasi dengan SCAF untuk mengkaji kemungkinan qanun thawari’ ini dicabut. 10 September 2011, Mantan Menteri Penerangan Mesir, Osamah Haekal, mengumumkan keputusan SCAF yang tetap melanjutkan penerapan qanun thawari’. Kebijakan penguasa sementara itu melukai kepercayaan rakyat. SCAF berdalih, stabilitas keamanan nasional masih membutuhkan payung hukum undang‐undang darurat. Kerusuhan di Kedutaan Besar Israel, bentrok antara massa
dengan aparat keamanan yang terus terjadi perlu ditengahi melalui penerapan undang‐undang ini. SCAF baru mencabut status darurat pada 24 Januari 2012. Itu pun masih tersisa satu pasal pengecualian terkait aktivitas baltajiyyah (premanisme) yang akan langsung dieksekusi oleh militer tanpa didahului putusan mahkamah. Ulur‐mengulur pelepasan kewenangan itu bersumber pada kegamangan SCAF sebagai institusi yang statusnya belum ditetapkan setelah konstitusi tahun 1971 makzul. Itu bermula paska pembubaran amin daulah (state security) yang menjadi eksekutor qanun thawari’. Sebagai ganti, dibentuklah amin wathani (dinas negara) yang hanya membidani dinas imigrasi. SCAF mengusulkan dirinya ditempatkan sebagai muassasah fauqa alqanun (lembaga kebal hukum). Sebagai piranti khusus negara di luar trias politika −legislatif, eksekutif, dan yudikatif− yang punya wewenang khusus menentukan kebijakan keamanan nasional secara independen, tanpa intervensi dari tiga lembaga pilar demokrasi itu. Ikhwan secara tegas menolak usulan SCAF sebagai lembaga kebal hukum. Menurut Ikhwan, tidak ada lembaga di luar tiga lembaga trias politika yang kini ada. Kedudukan
13 Frontier Volume 4, April 2012
SCAF akan dirumuskan oleh lembaga legislatif (majlis rakyat dan majlis syura). Posisi khusus justru akan menimbulkan bumerang tersendiri yang mencederai tujuan besar revolusi. Tuntutan SCAF yang menginginkan hak khusus menjadi batu pengganjal suksesi pelaksanaan tahapan pemilu baik parlemen ataupun pilpres. Pemilu seakan dihantui ketidaknetralan SCAF yang seolah ingin melanggengkan posisi aman di tengah arus perubahan. Agenda Besar Pemilu Parlemen Penyerahan kekuasaan pasca revolusi bergulir dari militer kepada sipil terkesan lamban. Padahal, jika mengacu perubahan konstitusi yang mengatur mekanisme pengalihan kekuasaan, SCAF diberi waktu 6 (enam) bulan mengawal masa transisi serta bertugas menggelar pemilu parlemen dan pilpres sesegera mungkin. Kubu revolusioner menilai kian runyamnya stabilitas nasional Mesir disebabkan SCAF yang lamban menyerahkan mandat kekuasaan. Kelambanan itu menciptakan bumerang yang ditandai dengan meningkatnya efek domino krisis yang meluas khususnya di sektor ekonomi.
Demonstrasi ratusan ribu buruh, karyawan, akademisi, dan petani di seantero Mesir memuncak pada September 2011 akibat kepanikan krisis yang belum menemukan formula penyelesaian komprehensif. Disempurnakan oleh peristiwa Oktober Berdarah di Cairo yang melibatkan massa Koptik dan militer Mesir. Setelah revolusi, etnis minoritas ini sering jadi bulan‐bulanan isu SARA. Meskipun tidak merepresentasi gambaran menyeluruh dari iklim politik nasional yang berkembang di Mesir, gejolak sosial itu laksana air bah tak terbendung. Untuk alasan inilah, SCAF yang semula menjadwalkan pemilu parlemen akan digelar 21 November, ditunda sepekan kemudian menjadi 28 November akibat kemelut sosial yang sulit ditebak riaknya. Pemilu parlemen jadi lanjutan agenda yang bergulir semenjak jajak pendapat 19 Maret. Target besar pemilu parlemen untuk membentuk jam’iyyah ta’sisiyyah (komite pembentuk undang‐undang) yang terdiri 100 anggota terpilih yang bertugas menyusun konstitusi baru Mesir. Kebijakan yang melerai perdebatan panjang mengenai mekanisme pembuatan konstitusi baru tahun 2012. I’lan dusturi (pengumuman konstitusi) diurai penjelasannya
14 Frontier Volume 4, April 2012
pada pasal 60, yang memberi kewenangan majlis rakyat dan majlis syura –parlemen– terpilih menggelar persidangan perdana. Sesuai amanat SCAF agar parlemen paling lambat dalam waktu 6 (enam) bulan telah membentuk komite perumus konstitusi beranggotakan 100 orang. Komite terpilih bertugas selama 6 (enam) bulan merumuskan konstitusi baru Mesir terhitung sejak pelantikan. Sosialisasi konstitusi baru berlangsung selama 15 hari. Konstitusi mulai diberlakukan pada pengumuman hasil referendum yang disetujui mayoritas rakyat.
Sah suara dalam referendum mengacu nomor urut penduduk. Angkanya mencapai 49.000.970 pemilih yang memiliki hak suara. Ini untuk kedua kalinya pemilihan umum di Mesir mengacu nomor urut penduduk. Kali perdana telah dilaksanakan pada referendum konstitusi bulan Maret 2011. Poinpoin Krusial Perubahan Aturan Pemilu Parlemen Upaya menyumbat potensi kecurangan pemilu parlemen di Mesir pasca revolusi patut diapresiasi.
Diagram 2. Pemilihan Majelis Rakyat dan Syura 2011‐2012 www.alamiya.org Mesir: Pemilihan Majelis Rakyat dan Syura 2011-2012 Tujuan penting pemilihan ini karena majelis rakyat dan syura terpilih akan membentuk komite beranggotakan 100 orang yang bertugas menyusun undang-undang baru negara Mesir Majelis Rakyat Diikuti 9 propinsi pada tiap putaran dari 27 propinsi dalam tiga putaran pemilihan Putaran Pertama Kedua Ketiga
Prov. Penting Cairo, Alex Timur, Gizza Barat, Elmenya
Pertama 28-29 Nov 14-15 Des 3-4 Jan
Ulangan 5-6 Des 21-22 Des 10-11 Jan
Ketentuan pemilihan diulang jika pada daerah pemilihan tidak terdapat satupun calon anggota parlemen yang memperoleh 50% suara dari total jumlah suara yang sah 508 kursi parlemen 332 kursi jalur partai 122 kursi utusan melalui sistem tertutup independen 10 kursi ditentukan presiden/SCAF
Pemilih memilih surat suara tertutup dan dua calon independen. Tersedia 83 dapil untuk independen dan 46 dapil untuk jalur partai
498 kursi Jumlah 498 kursi, 50% wajib diisi buruh (yang memulai kerja tidak dengan ijazah sarjana) dan petani (tani sebagai pekerjaan pokok dan tidak memiliki tanah lebih dari 42.000 meter persegi
Majelis Syura Pemilu dilaksanakan dua putaran yang meliputi 14 propinsi pada putaran pertama, dan 13 propinsi pada putara kedua di 27 propinsi Putaran Pertama Ulangan Pertama 29-30 Jan 7-Feb Kedua 14-15 Febr 22-Feb 270 kursi parlemen 130 kursi jalur partai melalui sistem tertutup Pemilu digelar di 30 dapil, setiap dapil diwakili 4 anggota parlemen utusan partai
60 kursi utusan independen Pemilu digelar di 30 dapil, setiap dapil diwakili 2 anggota parlemen jalur independen
80 kursi ditentukan presiden/SCAF
Diolah dari sumber: bbc, al-ahram, ib, mbc
15 Frontier Volume 4, April 2012
Sumber: www.alamiya.org
Terjadi peralihan kewenangan penyelenggaraan pemilu. Dari Kemendagri dialihkan kewenangannya kepada Mahkamah Tinggi Mesir. Pemilu di masa Mubarak, memang kerap diduga terjadi manipulasi suara. Gugatan pihak oposisi terhadap berbagai kecurangan pemilu bagai menabrak tembok. Pola berkuasa dengan tangan besi membuat semua keputusan negara bersifat instruksi, tidak bisa dikoreksi. Ironisnya, pengadilan hanya dijadikan ajang melepaskan beban yudikasi, karena putusan yang dibuat, selalu memihak kepentingan penguasa. Perubahan signifikan juga tampak pada mekanisme pencalonan anggota parlemen. Hasil kesepakatan SCAF dan partai‐ partai politik Mesir, Juni 2011, menetapkan mekanisme pemilihan anggota parlemen melalui sistem gabungan dua jalur, yakni jalur partai (tertutup) dan perseorangan. Dengan ketentuan 1/3 kuota parlemen dijatah untuk jalur partai dan 2/3 diberikan untuk jalur independen. Harus terpenuhinya kuota 50% anggota parlemen dari kalangan buruh dan petani. Dan, wanita tidak mendapatkan kuota di parlemen Mesir. Jelas ini bentuk reformasi penyelenggaraan pemilu, karena sejak pemilu di era Mubarak,
(1987, 1990, 1995, 2000, 2005, dan 2010) hanya menetapkan calon anggota parlemen dari jalur perseorangan. Ternyata, kuota dari jalur partai yang lebih sedikit ketimbang calon dari jalur independen memantik reaksi keras seluruh kekuatan politik Mesir. Partai politik, menurut kekuatan politik nasional, merupakan lokomotif demokrasi dan pelaksana amanat besar revolusi yang tidak terkontaminasi loyalis mantan partai berkuasa. Dibukanya kuota yang lebih besar dari jalur independen akan memberi peluang pentolan politik orde lama terlibat lagi dalam sususan majlis rakyat dan majlis syura revolusi. Desakan kekuatan politik nasional, akhirnya, disambut SCAF dengan pengubahan mekanisme pemilu, 25 September 2011, sebagai berikut: 1. Jumlah anggota majlis rakyat adalah 498 anggota. Dikurangi dari jumlah sebelumnya 504 anggota. Kuota parlemen 2/3 dari jalur partai (tertutup) dan 1/3 dari jalur independen. 2. 1/3 anggota parlemen dari jalur partai bukan merupakan kader atau berafiliasi dengan partai politik mana pun. Apabila di kemudian hari kandidat pemenang dari jalur independen terbukti berafiliasi ke salah satu partai peserta pemilu, maka
16 Frontier Volume 4, April 2012
statusnya sebagai anggota parlemen dinyatakan gugur. Meskipun, tuntutan kuota dari jalur partai lebih besar dari kuota independen berhasil disetujui, tetapi kebijakan SCAF untuk tidak mengabulkan menyetujui dua tuntutan kekuatan nasional menuai kecaman. Pertama, soal tuntutan aliansi partai politik tarhadap SCAF agar mengeluarkan resolusi yang melarang mantan pejabat orde lama, atau yang pernah berafiliasi ke partai penguasa, National Democratic Party (NDP), untuk tidak ikut dalam pemilu parlemen. Hingga pemilu parlemen digelar, tuntuan kekuatan nasional itu tidak disetujui oleh Dewan Tinggi Militer. Kedua, agar SCAF mencabut larangan utusan independen, setelah terpilih sebagai anggota parlemen, bergabung ke partai politik di parlemen. Independensi 1/3 keanggotaan tanpa lokomotif partai tidak bisa diterima saat Mesir sedang dalam upaya membangun negara yang kokoh. SCAF semula tetap bersikeras mengenai aturan perseorangan. Sikap itu menuai sikap partai‐ partai politik yang mengancam akan memboikot pemilu parlemen. Aliansi nasional bahkan, menggelar deklarasi rakyat, 26 September yang mengeluarkan keputusan akan melakukan tindakan yang sesuai untuk memaksa SCAF
menyetujui tuntutan kekuatan nasional. Kuatnya desakan publik membuat SCAF untuk yang kesekian kalinya mengubah sistem pemilu. Aturan nomor 5, resolusi SCAF tentang pemilu, setelah diubah membolehkan calon independen, yang memenangi putaran pemilu parlemen, bergabung ke partai politik atau aliansi politik di parlemen. Gambaran Umum Pelaksanaan Pemilu Parlemen Pemilu yang pertama kali diselenggarakan langsung di bawah kewenangan Lembaga Yudikatif Mesir (Hai’ah Qudhaiyyah) digelar menjadi tiga putaran di 27 propinsi Mesir. Dengan ketersediaan 50 ribu lebih TPS yang tersebar untuk sekitar 50 juta penduduk yang memiliki hak suara. Karena, menimbang teknis pengawasan, jumlah Qadhi (hakim) yang terbatas, maka perlu digelar pemilu dalam 3 putaran. Tiap putaran digelar di 9 propinsi. Secara berlanjut sepekan usai pengumuman pemenang pada satu putaran, dilaksanakan putaran pemilu selanjutnya. Carter Center, NGO asing pengawas pemilu parlemen Mesir, melihat pemilu kali ini sangat menguras energi.
17 Frontier Volume 4, April 2012
Diagram 3. Pembagian Kursi Parlemen Mesir di Tiap Propinsi
Propinsi
Partai
Independen Kursi
Dapil
Kursi
Alexandria
2
16
4
8
24
Aswan
1
4
1
2
6
Asyut
2
16
4
8
24
el-Bukhairah
2
20
5
10
30
Bani Suweif
2
12
3
6
18
Cairo
4
36
9
18
54
Daqhaliyyah
3
24
6
12
36
Dimyat
1
8
2
4
12
el-Fayyoum
2
12
3
6
18
el-Ghabiyyah
2
20
5
10
30
Gizza
1
20
5
10
30
Ismaeliyya
1
4
1
2
6
Kafru el-syeikh
2
12
3
6
18
el-Aqsar
1
4
1
2
6
Matrouh
1
4
1
2
6
el-Meniyya
2
16
4
8
24
el-Manoufiyyah
2
16
4
8
24
Wadi el-Gadied
1
4
1
2
6
Syamal Sinai
1
4
1
2
6
Port Said
1
4
1
2
6
Qalyubiyyah
2
12
3
6
18
Qina
2
12
3
6
18
el-Bahru el-Ahmar
1
4
1
2
6
el-Syarqeyya
2
20
5
10
30
Souhag
2
20
5
10
30
Ganoub Sinai
1
4
1
2
6
Suez
1
4
1
2
6
JUMLAH
46
332
83
166
498
Cukup menguras energi, karena pemilu digelar secara bertahap dan berkelanjutan. Berdasarkan resolusi SCAF nomor 199, 27 September 2011, tentang pembagian tiga putaran pemilu.
Tiap putaran diadakan di 9 propinsi dengan ketentuan sebagi berikut: putaran pertama 28 November 2011 dan pemilu ulangan putaran pertama 5 Desember 2012 adalah Cairo,
18 Frontier Volume 4, April 2012
Jumlah
Dapil
Alexandrea, Port Said, Dimyat, Kafru El‐Syeikh, El‐Fayyum, Asyut, Aqshar, dan El‐Bahru El‐Ahmar. Putaran kedua 14 Desember 2011 dan pemilu ulangan putaran kedua 21 Desember 2011 adalah: Ismailiyya, Suez, El‐Syarqiya, El‐ Manufeyah, El‐Bukhaira, Gizza, dan Bani Suwef. Putaran ketiga 3 Januari 2012 dan pemilu ulangan putaran ketiga 10 Januari 2012 adalah: El‐Qalyubiyyah, El‐ Daqahliyyah, El‐Gharbiyyah, El‐ Meneiya, Qina, Matrouh, El‐Wadi El‐Neil, Syamal Sinai, dan Ganoub Sinai. Perubahan mekanisme yang cepat ini memang terkendala dalam teknis. Meski demikian, upaya memelihara pemilu demokratis, jujur, dan profesional tetap terlihat telah diupayakan maksimal. Misalnya, SCAF dengan telah mengumumkan jadwal dan Dapil yang akan digelar pemilu parlemen, nyatanya mengabulkan gugatan adanya indikasi kecurangan tiga hari sebelum pemilu dimulai, yaitu 25 November. SCAF memutuskan menambah waktu pemilihan menjadi dua hari. Dan, membatalkan pelaksanaan pemilu di 18 daerah pemilihan (Dapil) yang terindikasi bakal dimanipulasi. Pelaksanaan putaran pertama pemilu menjadi pengalaman berarti bagi panitia penyelenggara. Seiring perjalanan waktu, terlihat, kekurangan‐kekurangan teknis yang terjadi di putaran pertama, mengalami penyusutan pada putaran berikutnya. Di putaran
ketiga, penyelenggaraan pemilu mampu beradaptasi lebih baik. Selain faktor pengalaman kerja, pada putaran‐putaran berikutnya zona daerah pemilihan yang tidak padat penduduk turut membantu kesuksesan pemilu. Bagi partai politik dan calon perseorangan, pemilu parlemen kali cukup kondusif. Qanun Thawari’ (undang‐undang darurat) yang walaupun masih diterapkan, tetapi tidak menghalangi berbagai politisi dari berbagai aliran pemikiran dan gerakan politik ikut berkompetisi. Iklim demokrasi yang nyaman itu mengubah peta kompetisi dari persaingan konfrontatif, seperti yang selama beberapa dekade pemilu menghiasi tiap putaran pemilu di Mesir, menjadi kompetisi elegan dengan semangat kontributif negara. Warna Aliansi Politik Partai Peserta Pemilu Jauh sebelum pemilu parlemen digelar, kekuatan politik Mesir, berebut membuat manuver politik untuk memenangi pertarungan menuju dominasi politik di parlemen. Muncul berbagai aliansi dengan latarbelakang pandangan politik. Tetapi, lebih kepada representasi dikotomi dua kubu besar yang mencoba menemukan strategi elegan dalam menyikapi iklim politik nasional yang demikian terbuka. Dua kubu, sekuler dan Islamis. Sama‐sama memerankan sikap politisnya. Sebab, memang, pasca revolusi usai, atmosfir kecenderungan
19 Frontier Volume 4, April 2012
rakyat tentang akan kemana arah negara ini dibawa belum mutlak terprediksi. Pemilu yang akan digelar memang ajang pertaruhan dua kekuatan ini. Untuk menguji tesis itu, kelompok Ikhwan belum sepenuhnya berani bertaruh. Sebagaimana yang dilakukan kelompok Salafi yang mandiri mendirikan aliansi politik yang mengatasnamakan aliansi Islam dengan visi keislaman. Ikhwan terlihat lebih berhati‐hati. Dengan menampilkan sikap politik moderat yang mencoba merangkul semua kekuatan politik nasional yang saat itu bermunculan. Langkah Ikhwan dinilai cukup kooperatif. Diprediksi menjadi pemenang pemilu, tentu Ikhwan merasa punya beban psikis dan amanah sejarah yang harus diemban dan diselesaikan searif mungkin. Beban yang jelas tidak seberat yang dipikul oleh kelompok Islamis Salafi yang memang tidak memiliki jejak rekam pengalaman politik dan perseteruan horizontal dengan kekautan politik nasional. Kondisi itu yang justru nantinya, membuat langkah politik Salafi berjalan ringan tanpa beban. Meskipun terlihat banyak bermunculan aliansi politik, namun sebenarnya partai‐partai nasional aliansi yang lahir itu dapat disederhanakan menjadi 4 (empat) kekuatan politik dominan, yaitu: 1. Aliansi Demokrasi Mesir (Democratic Alliance for Egypt). FJP menjadi inisiator pembentukan alinasi ini. Bahkan,
FJP mampu merekrut partai berhaluan kiri (sekular, liberal, sosialis) bergabung dalam aliansi nasional yang memerankan sikap politik islamis nasionalis. Aliansi yang mampu mengumpulkan 24 partai politik dalam satu payung. Sikap politik semacam ini, tidak tecerna sempurna oleh partai‐ partai Islam yang berhaluan Salafi yang menganggap sikap politik FJP menganulir warna dan identitas keislaman. Sikap yang kemudian memunculkan polemik internal di kubu aliansi Demokrasi, karena bisa jadi dipicu oleh pengalaman sejarah yang berbeda, dan akhiri dengan keputusan Partai Alnour (Alnour Party) dan Partai Ashalah (Authority Party) keluar dari koalisi gabungan. Untuk merepresentasikan pandangan politiknya, partai‐partai dari kelompok Salafi ini membentuk aliansi baru dengan identitas Islam yang menurut mereka lebih transparan. 2. Aliansi Nasional (The Egyptians Bloc) Berangkat dari hipotesa belum terprediksinya kecenderungan politik rakyat Mesir akankah meminati kubu Islamis atau kubu sekular menginisiasi Pimpinan Gerakan Reformasi Mesir, Muhammed Baradei, membentuk The Egyptians Bloc. Di lapangan dan ideologis, nantinya aliansi ini menjadi rivalis aliansi Islam yang dibentuk kelompok Salafi Mesir. Dengan pilar visi sekularisme yang sama, Baradei bisa menarik 14
20 Frontier Volume 4, April 2012
partai politik nasional bergabung dalam barisan aliansi yang diperjuangkannya. Termasuk tokoh sekular semacam Usamah Ghazali Harb, yang juga pemimpin partai Front Demokrat (Front Democratic Party). Barangkali, oleh prediksi kemenangan yang diyakini oleh Baradei dalam pemilu parlemen, hingga partai politik At‐Tahrir, yang dibentuk oleh kelompok Sufi Mesir, memutuskan bergabung dalam aliansi Nasional. Ini juga sebagai bukti bahwa kemunculan 48 partai politik yang akan berkompetisi dalam pemilu nanti merupakan bentuk euforia politik rakyat. Meskipun, katakanlah, semacam kelompok Sufi yang tidak memiliki platform politik yang jelas, ikut menggaduhkan suasana politik tanpa membawa visi perubahan yang berarti bagi masa depan Mesir. 3. Aliansi Pemuda Revolusi (I’tilaf Syababu Tsaurah) Merasa memiliki jasa dan konstribusi menggulingkan rezim otoriter Presiden Husni Mubarak, mengilhami gerakan‐gerakan pemuda Mesir untuk membentuk front sendiri sebagai representasi perjuangan kaum muda. Obsesi besarnya adalah bahwa kelompok pemuda ini, dengan perbedaan kultur dibanding kelompok kaum tua, akan memangkas generasi dan menjadi pilar perubahan bagi negara. Jadi sebetulnya, tidak dapat disebut sebagai aliansi, karena, hanya diisi oleh satu partai politik yang juga dibentuk pemuda
revolusi. Persatuan kaum muda ini yakin arah kecenderungan 50 juta rakyat Mesir yang memiliki hak suara akan memberikan kepercayaan pengelolaan negara kepada kawula muda. Seiring nota sejarah buruk yang ditorehkan generasi sebelumnya. Ide‐ide radikal pun digelontorkan. Aliansi muda ini mengumumkan akan mengutus 200 calon independen dalam pemilu parlemen mendatang. Markaz Al‐Araby lil Abhats wa Dirasat (Arab Center for Research and Policy Studies), Doha, dalam analisa: “tantangan pemilu parlemen Mesir”, menyebut titik lemah gerakan pemuda terletak pada idealisme yang diusung, yang mereka sendiri tidak mampu mendeskripsikannya secara teknis dan meyakinkan konstituen pemilu. Sebab, kebetulan, pemuda‐ pemuda ini berada pada kemunculan momentum sejarah, jika harus mendominasi tentu perlu cukup waktu dan pengalaman sejarah. 4. Aliansi Islam Salafi (Islamic Alliance) Front baru ini adalah klimaks ketidaksamaan mekanisme dan strategi politik antara kelompok Salafi dan Al‐Ikhwanu Al‐ Muslimun. Salafi lebih cenderung bermain di wilayah kontras. Sebab, dari berbagai kekuatan politik nasional yang muncul setelah revolusi, belum ada, menurut pandangan Salafi, satu kekuatan transparan yang berani menyamakan visi keislaman
21 Frontier Volume 4, April 2012
dengan atribut politiknya. Bahwa, dalam ketidakpastian kondisi di Mesir, kelompok Islam harus tanpa malu‐malu mengusung islamisasi politik dengan warna yang jelas. Tidak bermain di wilayah abu‐abu. Di lain sisi, kesadaran politik kelompok Salafi, dibidani oleh revolusi yang memang memaksa seluruh entitas organisasi mana pun di Mesir untuk bangkit memberikan sumbangsih perubahan. Di era Mubarak, menurut Emimah Abdel Latif, dalam tesis: “AsSalafiyyun fi Misra wa AsSiyasah”, (Salafi Mesir dan Politik), 2011, Salafi juga menjadi korban kekejaman pemerintah tirani. Jadi, pemicu kebangkitan kelompok yang sering disebut fundamentalis oleh kekakuan pemahaman tekstualnya terhadap nash‐nash Islam adalah keterpanggilan sejarah. Kehadiran kelompok Salafi dalam kancah politik nasional, seolah memberi ruang alternatif baru bagi rakyat yang hidup dalam kultur Islamis. Apalagi, visi prioritas dibentuknya aliansi Islamis ini, untuk menjadi rivalis gerakan sekular yang sebelumnya telah membentuk aliansi. Seakan ada kecemburuan imani, bahwa, jika kelompok sekular seenaknya mewacanakan negara sekular Mesir, maka kelompok Salafi ini juga dengan enak dan tanpa beban apa pun mewacanakan negara Islam Mesir sebagai antitesa visi sekularisme. Ini yang kemudian membenarkan proyeksi Fahmi Huwaidi, bahwa
muara perseteruan akan berpusat pada interaksi politik antara kekuatan sekular dan kekuatan Islam. Momentum Kemenangan Aktivis Islam Spekulasi siapa yang mendulang suara terbanyak akhirnya terjawab pada putaran pertama pemilu parlemen. Aktivis Islam mendominasi perolehan suara. Dua partai yang memiliki basis massa solid, yakni FJP dan Alnour, menyelesaikan putaran pertama ini dengan mengungguli partai-partai lain berhaluan sekular. FJP mendapat 36% suara, Alnour 24.4% suara, Kotla Misria (Egypt Front) 13.4% suara, dan Wadf 7.1% suara. Mengenai kemenangan FJP, sebenarnya dari jauh hari telah diprediksi. Dari 48 partai yang berkompetisi pada pemilu, hanya FJP yang memiliki akar-rumput kuat, dibanding kekuatan politik nasional lainnya. Survei bulan Oktober 2011, (APSS) dari 2400 responden, menyebutkan FJP diprediksi mencapai 39.0%, Wafd sekular mendapat 20.0%, dan Alnour harus cukup pada capaian 6.8%. Hasil sementara survei, sejak awal menunjukkan peluang kekuatan Islam meraih kemenangan. Dengan memadukan dua partai berideologi Islam (FJP dan Alnour), dipastikan pada pemilu ini aktivis Islam akan memuncaki perolehan suara.
22 Frontier Volume 4, April 2012
Diagram 4: Aliansi Politik di Mesir Pasca Revolusi
Nama Aliansi Islamic Alliance
Democratic Alliance for Egypt
The Egyptian Bloc
The Revolution Contineus Alliance
Coalition of Socialist Forces
Islamic Alliance
Democratic Alliance for Egypt
The Egyptian Bloc
The Revolution Contineus Alliance
Coalition of Socialist Forces
Orientasi Politik
Orientasi Religius
Legal Status
Didirikan
Kanan
Islamis (salafi)
Terdaftar
Okt 2011
Al-Nour Party, Building and Development Party, Authenticity Party
Anggota Aliansi
Nasionalis Islamis
Islamis
Terdaftar
Juni 2011
Freedom and Justice Party, Dignity Party, Socialist Labour Party, Ghad El-Thawra Party, Liberal Party, Democratic Generation Party, Egyptian Arab Sosialist Party
Sosialis liberalis
Liberal
Terdaftar
Agust 2011
Free Egyptians Party, Egyptian Sosial Democratic Party, National Progressive Unionist Party
Okt 2011
Freedom Egypt Party, Egyptian Current Party, Socialist Populer Alliance Party, Egyptian Sosialist Party, Coalition of the Youth of the Revolution, Egyptian Alliance Party, Equality Development Party
Tengah, kiri
Sekular
Terdaftar
Kiri
Sekular
Tidak Terdaftar
Mei 2011
Egyption Communist Party, Popular Democratic Alliance Party, Revolutionary Sosialist, Sosialist Party of Egypt, Workers Demokratic Party
Kanan
Islamis (salafi)
Terdaftar
Okt 2011
Al-Nour Party, Building and Development Party, Authenticity Party
Nasionalis Islamis
Islamis
Terdaftar
Juni 2011
Freedom and Justice Party, Dignity Party, Socialist Labour Party, Ghad El-Thawra Party, Liberal Party, Democratic Generation Party, Egyptian Arab Sosialist Party
Sosialis liberalis
Liberal
Terdaftar
Ags 2011
Free Egyptians Party, Egyptian Sosial Democratic Party, National Progressive Unionist Party
Tengah, kiri
Sekular
Terdaftar
Okt 2011
Kiri
Sekular
Tidak Terdaftar
Mei 2011
Freedom Egypt Party, Egyptian Current Party, Socialist Populer Alliance Party, Egyptian Sosialist Party, Coalition of the Youth of the Revolution, Egyptian Alliance Party, Equality Development Party Egyption Communist Party, Popular Democratic Alliance Party, Revolutionary Sosialist, Sosialist Party of Egypt, Workers Demokratic Party
23 Frontier Volume 4, April 2012
Faktor dominan yang menopang kemenangan aktivis Islam di Mesir adalah kultur islami yang masih mengakar kokoh dalam kehidupan masyarakat. Islam menjadi sesuatu yang membanggakan yang tidak bisa dilerai. Era represif Mubarak tidak sepenuhnya mengatup aktivitas keislaman yang dilakukan masyarakat. Al‐Azhar sebagai poros keilmuan Islam dunia tetap diberikan keleluasaan membangun otoritasnya. Lembaga‐lembaga keislaman diberikan saluran aktualisasi, dengan syarat aktivitas keislaman yang dibentuk tidak diarahkan sebagai langkah penggulingan kekuasaan. Ini yang menyulitkan, pintu kebebasan berislam dibuka luas, tetapi pengelolaan negara tidak membenarkan prinsip keislaman mencampuri kebijakan strategis negara. Apalagi, mencampuri iklim politik nasional. Islam diharapkan menjadi tradisi masyarakat yang bersifat beku dan tidak melahirkan aksi. Maka, sikap pemerintah Mubarak, lambat laun membelenggu keinginan mayoritas muslim di negeri itu. Sebagian besar umat Islam di Mesir menyadari bahwa keterpurukan yang terjadi, berkaitan erat dengan dikotomi antara Islam dengan politik. Momen revolusi tentu merupakan kesempatan emas bagi mayoritas rakyat Mesir yang ingin lepas dari keterkungkungan sistem politik sekular yang terbukti gagal mengelola negara dan menjamin
kemakmuran rakyat. Kegagalan yang memberi ruang bagi kekuatan islamis yang datang dari kultur masyarakat yang islamis pula tampil menyuguhkan penyegaran politik. Bagi kubu sekular, meskipun ada indikasi menangnya faksi Islam dalam pemilu, tetapi menempatkan indikasi‐indikasi itu sebagai halunisasi yang bisa ditepis, adalah pilihan yang mungkin dilakukan di ajang spekulasi politik pasca revolusi. Kubu sekuler tampaknya meyakini bahwa revolusi mutlak meletus, disebabkan oleh faktor kegagalan ekonomi pemerintahan Mubarak. Wacana rivalitas sekuler‐islamis diyakini tidak mempengaruhi iklim politik dalam pemilu parlemen. Survei pada Oktober 2011 menunjukkan prediksi suara partai Wafd akan menembus angka 20.0%. FJP menang, karena, partai ini adalah representasi dari perjuangan panjang kelompok aktivis Islam Ikhwanul Muslimin (IM) dari tahun 1928. Catatan perjalanan IM meretas komitmen penegakan nilai dan prinsip keislaman telah teruji mulai dari tataran sosial di masyarakat hingga usaha menanamkan nilai‐nilai itu dalam konsep negara. Saat FJP dideklarasikan, rakyat Mesir sudah meyakininya sebagai partai Islam representatif. IM menang sebelum bertarung. Itu mengapa, FJP tampak tidak mati‐matian kampanye islamisasi, tetapi lebih mengedepankan persatuan nasional. Sebab, tanpa kampanye
24 Frontier Volume 4, April 2012
pun, FJP telah dipersepsikan sebagai partai Islam yang konsisten dengan visi keislamannya. Kondisi itu tidak sama dengan kelompok Salafi yang mendirikan partai‐partai politik secara mandiri. Ada tiga partai yang muncul dengan latarbelakang Salafi, yakni partai Ashalah, Partai Fadhilah, dan Partai Alnour. Sebab, arus yang melingkupi kelompok Salafi di Mesir berbeda antara satu sama lain. Ada yang mengusung Salafi pergerakan dan Salafi yang lebih memilih tidak ikut dalam putaran arus gerakan. Maka, kenapa partai Alnour yang didukung kelompok Salafi tiba‐tiba menjadi “kuda hitam” yang menang di luar prediksi kekuatan politik nasional. Survei yang digelar Internasional Freedom Institute, pada Juni 2011, partai Alnour hanya mendapat 3%. Survei yang sama, digelar oleh APSSC, pada Oktober 2011, menempatkan Alnour pada 6.8%, tidak lebih. Ternyata pada putaran pertama pemilu, perolehan suara Alnour melesat hingga 24.4%. jauh meninggalkan rivalnya dari partai Wafd sekuler yang hanya mendapat 7.1%. Jadi, keputusan politik Salafi diuntungkan oleh arus kehendak rakyat Mesir yang hidup dalam kultur islamis. Yang secara umum, menjadi peran indikator kebangkitan aktivis Islam. Kemenangan di putaran pertama, langsung mementahkan asumsi superioritas kelompok sekuler di Mesir yang mengusung isu kebebasan. Kenyataan itu yang membuat kubu sekuler cepat
berkemas mengevaluasi pola pendekatan pada masyarakat. Tak pelak sikap pragmatis menjadi pilihan. Jadilah, partai sekuler berbusana islami. Implementasi di lapangan pun menciptakan kontradiksi pada pemilu putaran kedua dan ketiga. Warna agama pun dibawa‐bawa demi mendulang suara. Strategi itu, justru mengebiri konsistensi visi sekularisme yang diusung partai‐partai berhaluan kiri. Inkonsistensi yang melahirkan gelombang dukungan yang lebih besar terhadap aktivis Islam yang bertarung pada dua sisa putaran pemilu parlemen. Aktivis Islam menutup angka kemenangan dengan perolehan kursi dominan di majlis rakyat. FJP meraih 222 kursi (43,7%) dan Partai Alnour meraih 112 kursi (22,04%). Partai Wafd Sekuler memperoleh hanya 19 kursi (7.67%). Dengan dikuasainya parlemen oleh kekuatan Islam di Mesir, agenda kontruksi negara pasca revolusi menjadi lebih terarah. Aktivis Islam yang tidak pernah diberikan kesempatan mengelola negara mendapat kehormatan besar menata kembali bangunan negara yang runtuh. Tepat di saat kekuatan tirani jatuh, dan rakyat menaruh harapan penuh bahwa Mesir dapat mengulang lagi sejarah kejayaan di masa lalu. Jelas, ini adalah anugerah, tapi di sisi lain merupakan tantangan yang harus dibuktikan oleh pengusung Islam.
25 Frontier Volume 4, April 2012
Diagram 5. Hasil perolehan suara pemilu putaran pertama Partai
Ideologi
Suara
%
Islamis
3.565.092
36.6%
Islamis Salafi
2.371.713
24.4%
Kotla Misria
Liberal
1.299.819
13.4%
Wafd
Liberal
690.077
7.1%
Wasat
Islam Modern
415.590
4.3%
Kiri
335.947
3.5%
Liberal
185.138
1.9%
Watani Al-Misri
NDP
153.429
1.6%
Hurriyah
NDP
136.784.
1.4%
Moderat
76.769
0.8%
-
515.924
5.3%
FJP Alnour
Tsaurah Mustamirrah Ishlah wa Taghyir
Adalah Lain-lain
Diagram 6. Hasil perolehan suara pemilu putaran kedua Partai
Ideologi
Suara
%
Islamis
4.058.498
36.3%
Islamis Salafi
3.216.430
28.8%
New Wafd
Liberal
1.077.244
9.6%
Kotla Misria
Liberal
785.084
7.0%
Islam Modern
368.375
3.3%
Ishlah wa Taghyir
Liberal
231.713
2.1%
Watani Dimokrati
NDP
169.662
1.5%
Tsaurah Mustamirrah
Kiri
335.947
3.5%
Ishlah wa Taghyir
Liberal
185.138
1.9%
Watani Dimokrati
NDP
169.662
1.5%
Tsaurah Mustamirrah
Kiri
161.594
1.4%
FJP Alnour
Wasat
26 Frontier Volume 4, April 2012
Konservatif Salam Demokrasi
NDP
139.100
1.2%
Liberal
121.694
1.1%
Diagram 7. Hasil perolehan kursi pemilu putaran ketiga Partai
Ideologi
Kursi
Islamis
37
Islamis Salafi
29
New Wafd
Liberal
13
Kotla Misria
Liberal
6
Ishlah wa Taghyir
Liberal
4
Tsaurah Mustamirrah
Kiri
3
Hurriyah wa ‘adalah
Islamis
3
New Wafd
Liberal
2
Wasat
Liberal
1
Nasari
NDP
1
FJP Alnour
Partai
Jalur Partai
Independen
Freedom and Justice Party
115
El-Nour Party
Ditunjuk
Jumlah
%
107
222
43,7%
90
22
112
22.04%
Wafd Party Egyption Social Democration
37
2
39
7,67%
15
1
16
3.15%
Liberal Party Building and Development Party
14
1
15
2.95%
3
10
13
2.56%
Center Party Reform and Development Party
10
10
1.97%
9
1.77%
Dignity Party Freedom Party Egypt Nation Party
6
6
1.18%
8
1
4
1
5
0.98%
4
1
5
0.98%
27 Frontier Volume 4, April 2012
Al-Muwatin Al-Misri Party
3
Asholah Party
4
0.79%
3
3
0.59%
Unionist Party Al-Etihad Party El-Hadhara Party Ghad ElThawra Party
3
3
0.59%
3
3
0.59%
2
0.39%
2
2
0.39%
Labour Party
1
1
0.19%
Reform Party Egyptian Arab Sosialist Party Merciful Democratic Party
1
1
0.19%
1
1
Justice Party Egypt Freedom Party Egypt Unionist Arabic Party Egypt Front Arabic Party
1
1
1
0.19% 1
1 0.19% 1
0.19%
1
1 0.19% 1
1 16 332
166
Memastikan Kemenangan pada Pemilu Majlis Syura Sedianya pemilu majlis syura akan dilaksanakan dalam tiga putaran. Mekanisme penyelenggaraan yang sama seperti pemilu majlis rakyat. Di bulan Desember 2011, oleh desakan nasional yang menginginkan agar pemilu majlis syura hanya diadakan dalam dua putaran. SCAF memenuhi percepatan itu. Pengubahan jadwal pemilu disahkan oleh SCAF, Marsekal Husein Tantawi, pada 1 Januari 2012. Majlis Rakyat terpilih akan
0.19%
7
23
4.52%
10
508
100.00%
mengadakan sidang perdana pada 28 Februari 2012. Karena, dipersingkat menjadi dua putaran. Putaran pertama, digelar di 13 propinsi yakni: Cairo, Alexandria, El‐Gharbiyya, Daqahliya, El‐Manufeya, Dimyat, Syamal Sinai, Ganub Sinai, El‐ Fayyum, Asyut, Qina, El‐Bahrul El‐ Ahram, dan El‐Wadi El‐Gadied. Putaran kedua di 14 propinsi, yaitu: Gizza, Qolyubiyya, El‐ Syarqiyya, El‐Bukhairah, Kafrus Syeikh, Ismailiyya, Port Said, Suez, Matrouh, Bani Suweif, El‐Meniya, Souhag, Al‐Aqshar, dan Aswan. Bagi rakyat Mesir yang baru usai melaksanakan pemilihan
28 Frontier Volume 4, April 2012
0.19%
1 1
Independent JUMLAH
1
majlis rakyat, maka diprediksi hasil pemilu memilih anggota majlis syura tidak akan jauh berbeda dengan hasil pemilihan majlis rakyat. Dan, proyeksi itu benar. FJP tetap unggul sebagai partai pemenang pemilu. Kursi yang diperoleh pada pemilu ini cukup banyak, 105 kursi dari 180 kursi yang diperebutkan. Kondisi tersebut menguatkan elektabilitas FJP, sayap politik Ikhwanul Muslimin. Diagram 8. Hasil Perolehan Kursi Majlis Syura Partai Freedom Party
Perolehan Kursi and
Justice
105
El-Nour Party
45
Wafd Party
14
Egypt Front
8
Freedom Party Merciful Democratic Party
3
Independen
4
JUMLAH
180
1
Gambaran Sementara Kandidat Presiden Mesir Begitu Husni Mubarak lengser, Februari 2011, isu siapakah yang bakal menjadi presiden Mesir santer didiskusikan. Dari beberapa tokoh yang sering disebut publik, ada yang masih mengamati kondisi dan ada yang transparan memastikan diri maju menjadi kandidat presiden Mesir pada Pilpres Mei 2012 nanti. Beberapa nama yang mencuat ke permukaan, antara lain:
1. Amr Moussa Popularitas Amr Moussa tidak diragukan lagi. Sosok yang lahir di Cairo 1936 ini yang telah membaktikan 43 tahun usianya di dunia diplomasi. Dengan reputasi yang bagus. Karier Amr Moussa dirintis dari tahun 1958 di Kemenlu Mesir. Prestasinya cukup gemilang. Ini terlihat dari jejak rekam jabatan diplomasi yang pernah ia duduki selama di Kemenlu. Misalnya: Mantan Duta Besar Mesir untuk India, Duta Tetap Mesir di PBB New York, Menteri Luar Negeri (1991‐2001). Pensiun di Kemenlu Mesir, Amr Moussa didaulat menjadi Sekjen Liga Arab (2001‐2011). Dari dulu, tokoh peraih nobel Dua Nil ini, kerap diisukan menjadi kandidat Presiden Mesir. Harian Al Masry AlYoum, Desember 2009, −kala rezim Mubarak masih berkuasa− pernah menanyakan isu pencalonan dirinya sebagai presiden Mesir. Amr menjawab: “Kalau ditanya mungkinkah? Saya jawab, pintunya terkunci”. Begitu revolusi bergulir Januari 2011, berhembus isu ia sempat berpikir mencalonkan diri sebagai kandidat presiden. Belum final, melihat perkembangan situasi. Jika memungkinkan, Amr mengaku siap menjadi presiden Mesir. Hanya mengandalkan popularitas untuk maju dalam bursa pilpres, tentu belum cukup bagi Amr Moussa. Ia perlu mendapat dukungan kekuatan politik partai‐partai nasional. Di
29 Frontier Volume 4, April 2012
saat bersamaan, Amr Moussa masih dianggap kolega rezim Husni Mubarak, yang tentu jadi batu sandungan meraih dukungan parpol nasional. Di banding kandidat yang lain, Amr Moussa terbilang sudah gaek. Usianya menginjak 76 tahun. Sebagian kelompok mempersepsikan Amr Moussa sebagai representasi kepentingan asing di Mesir. Jalan mendaki bagi Amr jika beriktikad ikut berkompetisi pada bursa presiden Mesir Mei ini. 2. dr. Abdel Moneim Aboul Fotouh Sosoknya mulai mencuat ke publik pasca revolusi Januari 2012. Moneim yang lebih banyak aktif di dunia kemanusiaan ini mendeklarasikan diri sebagai kandidat presiden Mesir. Keputusan Moneim maju pada bursa pilpres mendapat sambutan hangat kekuatan politik nasional. Tapi, ia justru dikecam di internal jamaahnya. Moneim, Anggota Maktab Irsyad Jamaah Ikhwanul Muslimun (1987‐2009), mendahului keputusan jamaah yang belum menentukan sikap apakah mengusung kandidat tokoh internalnya atau mendukung kandidat dari luar jamaah. Karier sosialnya sebagai Sekjen Persatuan Dokter Arab cukup efektif mendulang dukungan massa di Mesir. Apalagi Moneim, adalah mantan aktivis kampus era 70‐an yang berulangkali masuk penjara, karena sikap konfrontirnya terhadap rezim yang berkuasa. Di
masa Mubarak, Moneim sempat 5 tahun mendekam di penjara sebagai tahanan politik. Untuk memenangkan bursa pilpres Mei mendatang, Moneim setidaknya telah kehilangan basis dukungan dari kelompok pemegang hegemoni di parlemen yaitu Ikhwan. Itu realitas yang membuatnya perlu bekerja lebih keras. 3. Hazem Salah Abu Ismail Latarbelakang Hazem adalah advokat. Tergabung di Asosiasi Pengacara Mesir, bidang hukum bentukan Ikhwanul Muslimin (IM). Namanya dikenal publik, sebab, dalam dua putaran pemilu parlemen tahun 1995 dan 2005. Di era otoriter itu, IM mendaulat Hazem maju sebagai calon anggota majlis rakyat di Dapil Dokki, Propinsi Gizza, menyaingi calon yang diusung partai penguasa, NDP. Hasil pemilu di Dapil Dokki, Hazem menang, mengalahkan Amal Ostman, mantan menteri wanita rezim Husni Mubarak. Tapi, hasil perhitungan suara ditelikung. Panitia Pemilu Pusat justru mengumumkan nama Amal Ostman sebagai pemenang pemilu dari Dapil Dokki. IM mengajukan gugatan atas putusan itu. Kasus tuduhan kecurangan diserahkan ke Pengadilan dan Hazem tetap dinyatakan kalah. Usai revolusi, berbekal pengalamannya di bidang advokasi, Hazem maju dalam bursa Pilpres Mesir. Sebagaimana Abdel Moneim,
30 Frontier Volume 4, April 2012
advokat yang berulangkali masuk bui ini mendeklarasikan diri sebagai calon Presiden Mesir, 24 Mei 2011. Aktif di asosiasi milik IM, bukan berarti putusan Hazem maju menjadi kandidat mendapat dukungan gerakan Islam terbesar itu. 4. Nabil Arabi Nabil Arabi adalah tokoh yang menggantikan Amr Moussa, sejak 15 Mei 2011, sebagai Sekjen Liga Arab. Di masa transisi, Nabil ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri Mesir, di kabinet Ahmad Syafik. Tentang sikap politiknya, media Israel justru yang transparan menyebut bahwa Nabil Arabi figur yang tidak bisa bekerjasama dengan Israel. Mengenai isu pencalonan dirinya sebagai kandidat presiden pada bursa Pilpres Mei mendatang, Nabil mengatakan akan melihat situasi. Sempat tersebar rumor, IM dan beberapa partai nasional, menyokong inisiatif pencalonan Nabil sebagai presiden Mesir. Rumor itu ditanggapi dingin IM. Anggota Maktab Irsyad, Mahmoud Ghazlan, dan Jubir resmi IM menampik. “Isu pencalonan Arabi sekadar mencari sensasi, dan kami tidak akan mendukung calon sekaler”, tegas Ghazlan. Statemen IM memutus dukungan politik partai peraih dominasi di parlemen. Paling tidak, Nabil yang merintis karier di dunia diplomasi, mungkin meraih dukungan partai‐ partai nasional berhaluan kiri, jika dirinya memang berminat
mencalonkan diri menjadi presiden Mesir. 5. Hamden Shabahi Tokoh Mesir ini satu dari beberapa kandidat presiden yang langsung diusung partai. Hamden −Ketua Umum Dignity Partai (Hizbu AlKaramah)− tampak punya peluang besar menjadi Presiden Mesir. Partainya, di pemilu parlemen lalu meraih 6 kursi (1.18%). Suhu politik juga tampaknya memihak pada Hamden. Partainya tergabung dalam Koalisi Demokrasi, aliansi yang dipromotori FJP, yang memenangi pemilu parlemen di majlis rendah dan tinggi. Peta dukungan sudah terlihat, apalagi arus revolusi yang direpresentasi partai‐partai politik, tetap menginginkan Presiden Mesir muncul dari tokoh‐tokoh politik yang memiliki keterwakilan di parlemen. Iklim politik bisa saja berubah. Hamden, anggota Dewan Pers Mesir, dikenal rivalis kuat rezim Mubarak. Sikap konfrontirnya itu acap membuat Hamden harus berulangkali meringkuk dalam bui. Meskipun komitmen penentangannya terhadap otoritarianisme Mubarak jelas, justru tampak istimewa, manakala Hamden bisa dalam dua periode terpilih sebagai anggota parlemen. (pemilu tahun 1995 dan 2000). Anggota parlemen ini dipenjara tahun 2003, saat memimpin demonstrasi besar di Tahrir,
31 Frontier Volume 4, April 2012
menentang dukungan Mesir terhadap AS di Irak. Hamden juga disebut‐sebut membidani meletusnya revolusi Mesir. Sebagai pendiri Gerakan Kifayah tahun 2004. Gerakan nasional yang banyak berkonstribusi membangkitkan jiwa nasionalisme rakyat Mesir untuk berani mengkritisi kebijakan‐kebijakan rezim Mubarak. Tahun 2009, Hamden turut menggelar boikot massal seluruh buruh di Mesir. Boikot terbesar dalam sejarah Mesir yang kemudian dikenal peristiwa 6 April yang di masa revolusi berubah menjadi salah satu maestro gerakan pemuda 6 April. Gerakan Kifayah dan Gerakan 6 April disebut‐sebut sebagai pemantik api revolusi 25 Januari 2011. Pilpres 2012 dan Peluang Kemenangan Aktivis Islam Wacana pemilu presiden memang menjadi isu puncak yang menggelinding bebas mengiringi perjalanan revolusi. Beragam proyeksi turut mewarnainya, bahkan lebih cenderung memanaskan situasi yang berkembang. Masyarakat berlomba menyuarakan aspirasi tentang model pemimpin ideal yang mampu mengentaskan Mesir dari krisis setelah perguliran revolusi memorakporandakan stabilitas politik dan ekonomi di negeri Kinanah itu. Pemilihan presiden baru, memicu optimisme bahwa Mesir dapat menjadi contoh dari proses
peralihan kekuasaan yang melerai krisis dan menciptakan kemajuan. Ada harapan yang menyirat, karena sudah tiga kali pesta demokrasi digelar pasca pemilu, di setiap pemilu itu aspirasi masyarakat menemukan tempat berlabuh yang tepat. Anggota parlemen yang terpilih merupakan cerminan nyata bahwa proses demokratisasi di Mesir masih mungkin menuai harapan bagi terciptanya perbaikan. Banyak kalangan yang mencoba menempatkan peta konstelasi politik dan hasil pemilu parlemen lalu sebagai alat ukur untuk memproyeksi kemana arah kekuatan politik dominan berhembus dan siapa tokoh yang memungkinkan memperoleh kans paling besar sebagai pemenang. Sebab, kandidat presiden yang akan bertarung dalam pilpres harus melalui dukungan partai politik. Syarat yang ditetapkan, bahwa kandidat yang maju pada pilpres harus mendapat dukungan 30 anggota parlemen atau mendapat dukungan 30 ribu orang yang memiliki hak suara dari 15 propinsi yang berbeda‐beda. Kekuatan partai politik yang menguasai parlemen memerankan konstribusi signifikan. Selama, FJP atau Alnour mengajukan kandidat presiden yang memenuhi keinginan publik dan tidak menyandang aib di masa lalu, dipastikan kandidat yang diusung memenangi pilpres cukup satu putaran. Masalahnya adalah FJP, kekuatan politik terbesar, belum mengirimkan sinyal terhadap
32 Frontier Volume 4, April 2012
perkembangan politik yang muncul. Kesannya masih mencermati kondisi. Apalagi rentang pendaftaran kandidat presiden Mesir dibuka dari tanggal 8 Maret hingga 8 April 2012. FJP tampaknya ingin memanfaatkan durasi waktu satu bulan ini untuk menyimpulkan sikap politiknya. Sejak revolusi bergulir Januari 2011, kebanyakan nama yang mendeklarasikan diri sebagai kandidat presiden tidak berbasis partai. Gelombang revolusi memang mendorong pihak‐pihak yang selama ini terkekang hak politiknya menemukan tempat pelampiasan. Minimal, kehendak yang selama ini tersumbat, dapat dikemukakan tanpa intimidasi. Padahal, sistem pemilu yang lahir setelah amandemen, meniscayakan kandidat berasal atau mendapat dukungan politik partai‐partai di parlemen. Deklarasi beberapa tokoh Mesir yang berminat menjadi presiden bisa dilihat sebagai upaya menarik simpati partai politik. Atau, sebagai upaya menggalang massa dari dini. Meraih dukungan 30 ribu orang bukan pekerjaan ringan bagi setiap kandidat yang mengajukan diri dari jalur independen. Dengan perolehan dukungan partai politik, pekerjaan itu menjadi ringan. Mendapatkan momentum sebagai kekuatan politik dominan, aktivis Islam Mesir memastikan diri juga sebagai penentu kemenangan bagi kandidat pilpres yang diusung jika dua kekuatan islamis di parlemen mampu menyamakan suara dan merangkul
aliansi nasional lain. Subhi Ali, pengamat politik Mesir, mendeskripsikan peta kekuatan dengan membandingkan basis massa masing‐masing kelompok. Pertama, Ikhwanul Muslimin, yang meraih 45% atau lebih dari total peserta pemilu. Angka itu menggabungkan kader, dan simpatisan. Kader militan IM, jika diambil 60% atau 70% dari raihan 45% suara pada pemilu, maka dapat dipastikan jumlah menembus angka 30% atau lebih. Kedua, Salafi. Dengan basis massa pasti, menurut Subhi, ambang akhir capaian suara yang bisa didapat oleh kelompok ini adalah 25%. Apabila kekuatan aktivis Islam disatukan, prosentase capaian akan berkisar antara 55% atau 60% suara dari total suara pemilih. Dalam pemilu parlemen front islamis memperoleh angka 70% suara. Ketiga, Sekular, yang memiliki basis masa berkisar antara 15%. Partai Wafd jadi representasi kekuatan sekuler yang bisa mencalonkan kandidat presiden sendiri dari partainya. Keempat, merupakan kekuatan independen dengan capaian suara sekitar 10%. Mencermati proyeksi dukungan itu, beberapa tokoh sangat memungkinkan mendapat dukungan politik. Semisal tokoh‐ tokoh nasionalis‐sekuler: Amr Moussa, mantan Sekjen Liga Arab, Ahmad Syafik, mantan Perdana Menteri setelah Mubarak lengser, Muhammed Baradei, mantan Ketua IAEA, dan Nabil Arabi, Sekjen Liga Arab. Demikian pula tokoh yang merepresentasikan diri berhaluan
33 Frontier Volume 4, April 2012
islamis, seperti Hazem Abu Ismail, dan Salim El‐Awa, memiliki peluang yang sama. Fajar Kegemilangan Islam akan Terbit Hanya yang patut dicermati bahwa FJP tampaknya masih berkomitmen memerankan sikap politik moderat yang berusaha mengikutsertakan seluruh komponen politik nasional untuk menyelesaikan krisis negara secara kolektif. Meminimalisir potensi perpecahan yang akan mengganggu jalannya roda pemerintahan. Perlu tokoh pemersatu. Di saat yang sama, pembicaraan intens menyamakan konsensus antara FJP dan Alnour telah mulai menunjukkan titik terang. Perbedaan pengalaman sejarah antara kedua partai ini seringkali membuka perbedaan dalam menentukan kebijakan taktis saat merespon perguliran politik makro Mesir yang bergulir sangat
cepat. Visi keislaman IM dan Salafi, tampaknya seiring waktu akan bisa mengeratkan kesefahaman kedua belah pihak yang saat ini tengah memegang kendali dominasi politik nasional. Soliditas kedua kelompok Islam ini menjadi kebutuhan mendesak, agar dominasi yang ada tidak berubah menjadi bumerang sejarah. Kesatuan basis kekuatan Islam, dibarengi kepiwaian kelompok ini merangkul elemen nasional lintas ideologi diprediksi akan memangkas pilpres hanya satu kali putaran. Atau, kalaupun oleh karena pergulatan kepentingan yang tidak bisa terelakkan antara basis kekuatan islamis dan sekuler, proyeksi pilpres satu putaran masih bisa dimenangkan secara devakto oleh aktivis Islam. Di kala itu, revolusi benar‐benar menjadi indikasi yang nyata menuju fajar kegemilangan Islam. Saat para aktivis Islam ditakdirkan oleh sejarah harus memimpin negerinya.
34 Frontier Volume 4, April 2012
Dimensi Politik Krisis Eurozone
Gunaryadi Salah satu isu global dan regional yang menjadi sorotan utama saat ini adalah krisis Eurozone. Sebagai Indonesian bagian dari Uni‐Eropa (EU), kesepakatan dan institusi Centre for Eurozone tersebut melibatkan 17 dari 27 negara anggota Actual EU. Sebagai perluasan dan manifestasi integrasi yang lebih dalam dari “pasar tunggal” dan “pabean bersama” EU, Information and Studies on Eurozone menggunakan mata uang Euro (€) dengan regulasi moneter dibawah Bank Sentral Eropa (ECB). Europe Secara agregat, kekuatan ekonomi Eurozone tidak dapat (INDOCASE), diabaikan. Secara demografis penduduk Eurozone Den Haag, merupakan 66,29% dari 502,50 juta populasi EU, dan menguasai 79,93% (US$ 12.982 milyar) dari Pendapatan Nederland Domestik Bruto (nominal) EU (total US$ 16.242 milyar). 1 Disamping itu, jika dianggap sebagai entitas tunggal, EU merupakan kekuatan ekonomi terbesar dunia (Tabel 1).2 Tabel 1. Sepuluh ekonomi terbesar dunia berdasarkan PDB (US$ Milyar)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
EU AS Cina Jepang Brazil India Kanada Rusia Australia Mexico
16,242 14,526 5,878 5,458 2,090 1,631 1,577 1,479 1,237 1,034
Besarnya agregat ekonomi EU sebagian besar berasal dari kontribusi Eurozone. Dengan demikian, jika krisis 1
Estimasi 2010 dan 2011. Estimasi IMF, September 2011. 35 Frontier Volume 4, April 2012
2
terjadi pada Eurozone maka ia akan berpengaruh terhadap ekonomi EU dan—dalam tata dunia global yang saling‐terkoneksi— dapat berdampak pula terhadap kawasan lain dunia. Dalam sektor finansial global, jika sebuah negara gagal memenuhi kewajiban hutangnya atau mengalami resesi, maka sistem dan institusi perbankan dari negara‐negara kreditor berpotensi mengalami kerugian. Krisis Eurozone terutama dipengaruhi oleh kekuatiran para investor akibat tingkat hutang negara‐negara di berbagai belahan dunia meningkat drastis dan penurunan tingkat hutang beberapa negara anggota EU. Kekuatiran itu mengalami eskalasi awal 2010, terutama dari anggota Eurozone yang lain seperti Jerman, dll. sehingga menyulitkan, bahkan mustahil bagi anggota Eurozone yang lain seperti Irlandia, Portugal dan Yunani membayar hutang mereka. Sebagai sebuah “current issue” yang strategis bagi Indonesia apakah berpotensi sebagai ancaman, tantangan dan bahkan peluang, maka tim Indonesian Centre for Actual Information and Studies on Europe (INDOCASE) melakukan analisis terhadap krisis Eurozone dari dua
dimensi: politik dan strategis, dan ekonomi. Tidak dipungkiri bahwa terdapat variabel lain yang berpengaruh dalam krisis ini, namun kedua dimensi di atas dianggap yang paling dominan. Bahkan dari perspektif International Political Economy (IPE) menegaskan bahwa kerangka politik diperlukan sebagai fondasi berlangsungnya aktivitas ekonomi, dan terdapat logika politik dan logika ekonomi yang saling mempengaruhi, tetapi keduanya tidak saling sepenuhnya mengontrol dalam hubungan yang kompleks.3 Analisis terhadap kedua dimensi di atas ditulis terpisah. Tulisan ini adalah analisis terhadap dimensi pertama, yaitu ranah politik. Dimensi Politik Tinjauan terhadap dimensi politik dari krisis Eurozone ini dapat dilakukan dari perspektif kausalitas, dengan makna bahwa ada faktor penyebab dan akibat. Ada beberapa faktor penyebab yang dapat diidentifikasi dari sudut politik mengapa krisis terjadi. 3
Jackson, R. dan Sørensen G. (2003) Introduction to International Relations. Theories and Approaches, 2nd Ed. Oxford: Oxford University Press, hal. 203. 36 Frontier Volume 4, April 2012
Dalam tulisan ini terdapat paling tidak 4 penyebab utama. Pertama adalah fakta bahwa integrasi ekonomi Eropa tidak sepadan dengan integrasi politik. Meskipun secara kolektif EU sebagai kekuatan raksasa ekonomi, namun secara politik leverage internasional Brussel masih kurang signifikan. Berbagai upaya meningkatkan daya tawar politik global itu telah ditempuh, diantaranya mentransfromasi High Representative of the Common Foreign and Security Policy menjadi High Representative of the Union for Foreign Affairs and Security Policy, yang dalam Konstitusi Eropa dijuluki sebagai Union Minister for Foreign Affairs.4 Ketika upaya memperbesar pengaruh politik tadi masih belum sepenuhnya tercapai, maka krisis Eurozone mengguncang sektor ekonomi sebagai sendi leverage global EU selama ini. Faktor guncangan itu diduga ikut menyumbang— disamping faktor‐faktor lain tentunya—terhadap kegamangan para pemimpin Eurozone dan EU mengambil tindakan cepat dan konfiden untuk keluar dari krisis. Integrasi yang tidak sepadan tersebut di atas menimbulkan beberapa akibat. Pertama 4
ketimpangan domain kebijakan dan otoritas yang dalam hal ini antara sektor moneter Eurozone yang berada di bawah ECB dan sektor fiskal yang masih dipegang oleh masing‐masing negara anggota. Ketimpangan itu berpengaruh pada efektivitas berbagai mekanisme regulasi, pengawasan, dan penyangga termasuk exit strategy ketika terjadi krisis seperti Fasilitas Stabilitas Finansial Eropa (EFSF) dan Mekanisme Stabilitas Finansial Eropa (EFSM). Akibat kedua adalah rendahnya kohesivitas politik antara anggota anggota EU yang termasuk dalam Eurozone dan non‐ Eurozone dalam menghadapi krisis saat ini. Menteri Keuangan Inggris, George Osborne, misalnya menolak bergabung bersama ke‐26 anggota EU lainnya berkontribusi melalui IMF dalam rangka menyelamatkan Eurozone. Mereka hanya akan ikut jika G20 dilibatkan. PM David Cameron bahkan mengancam Brussel akan memveto setiap amandemen atau traktat baru jika kepentingan nasional Inggris terancam. Kedua, besarnya skala ekonomi EU termasuk penyebab yang mempersulit para politisi menempuh opsi talangan. Jika Portugal, Irlandia dan Yunani mewakili kurang dari 3% ekonomi Eurozone, maka dana EFSF dinilai masih mampu memberikan
Dalam realita, transformasi tersebut lebih merupakan perubahan nomenklatur. 37 Frontier Volume 4, April 2012
talangan. Namun jika Spanyol dan Italia, misalnya, yang mengalami default, maka modal talangan EFSF saat ini (US$ 1 trilyun) tidak akan mencukupi untuk membiayai pengeluaran publik di kedua negara tersebut selama 3 tahun yang dapat menelan US$ 2,1 trilyun, bahkan jika IMF menanggung sepertiganya—rasio yang biasa dikenakan IMF ketika membantu negara‐negara kecil— maka jumlah itu hampir 200% dari pagu talangan IMF. Mengingat besarnya talangan yang diperlukan dan terbatasnya sumber daya finansial talangan menimbulkan wacana yang antara lain meminta suntikan dana dari negara‐negara BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan). Derivasi dari akibat di atas adalah penurunan citra psikologis EU secara global. Penurunan persepsi internasional terhadap EU dan Eurozone dapat diuraikan sebagai berikut. Biasanya krisis moneter yang berkembang menjadi resesi ekonomi seperti yang dialami Eurozone ini menimpa negara‐ negara kecil dan umumnya punya potensi pasar dan daya alam yang melimpah. Kemudian IMF datang menawarkan (baik secara halus maupun paksa) bantuan, kemudian mendikte dalam kebijakan restrukturisasi ekonomi, moneter
dan finansial, dll. yang menguntungkan kapitalis multinasional, bahkan dalam kasus Indonesia, dijadikan momentum penggantian rezim. Masih segar dalam ingatan khususnya generasi Era Reformasi di Indonesia 1998, bagaimana Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Michel Camdessus dengan sikap non‐ verbal mengangkang sambil menyilangkan kedua tangannya di dada, berdiri di samping Presiden Suharto di Cendana yang menandantangi LOI yang isinya didikte oleh IMF, 15 Januari 1998, untuk mendapat dana talangan US$ 43 milyar dari salah satu pilar kapitalisme global tersebut. Hari ini kita menyaksikan entitas‐tunggal penguasa 32.07% suara dalam voting pengambilan keputusan dalam IMF (lebih besar daripada suara AS yang menguasai 16.77%), sedang gamang dan panik menghadapi krisis di Eurozone. Barangkali fakta tersebut yang mendorong Menteri Ekonomi Turki, Zafer Caglayan, belum lama ini berkomentar, “Mereka yang dulu menyebut kami sebagai ‘orang sakit’ kini mereka sendiri yang sedang ‘sakit’”.5 5
Seabad lalu, Eropa menjuluki Turki sebagai “the sick man of Europe”, dari ‘For Turkey, Lure of Tie to Europe Is Fading’, The New York Times, 4 Desember 2011. 38 Frontier Volume 4, April 2012
Saat ini kita menyaksikan kondisi dunia yang ironis. Dalam perspesi global, kredibilitas dan daya tawar para figur politik Uni‐ Eropa menurun dan melemah dalam kancah internasional: krisis seperti ini sebelumnya dialami oleh negara‐negara berkembang atau lemah. Oleh karena itu, ketika Brussel berwacana meminta bantuan talangan kepada Cina dan Brazil, menguatkan persepsi bahwa salah satu titik lemah dari Brussel adalah betapa sulitnya EU mengambil kebijakan penting yang melibatkan kepentingan strategis negara‐negara anggotanya. Faktor penyebab ketiga adalah dilemma demokrasi. Secara politik, dukungan terhadap Eurozone cukup kompleks dan rapuh. Setiap keputusan yang diambil untuk menyelesaikan krisis akan mendapat perhatian dan kritik dari para pemilih (electorates) di negara masing‐ masing karena para politisi nasional yang bermain untuk krisis supranasional (Eurozone) harus diselesaikan oleh mereka yang dipilih oleh warga negara masing‐ masing. Dilemma demokrasi nasional ini yang menyandera penyelesaian yang cepat dan efektif terhadap krisis Eurozone. Para pemimpin negara anggota EU lebih memperhatikan aspirasi politik
publik di negara masing‐masing dibandingkan kebijakan Brussel. Akibat dari sentimen di atas adalah munculnya egoisme nation state. Anggota Eurozone bagian utara seperti Jerman, Belanda dan Finlandia yang relatif kuat menghadapi ancaman krisis dibanding negara anggota di bagian selatan Eropa seperti Portugal, Spanyol, Prancis, dan Italia (Latin Europeans). Negara bagian utara yang merasa memiliki etos kerja lebih tinggi namun tertimpa beban ikut menalangi negara Eurozone lainnya yang kebanyakan di bagian selatan Eropa yang dinilai bergaya hidup burgundis (lebih santai, menikmati kehidupan). Salah satu indikatornya adalah komparasi usia pensiun, di mana di Jerman dan Belanda misalnya, ambangnya lebih tinggi daripada yang di Yunani dan Italia, serta persentase yang masih bekerja pada usia 55‐ 59 tahun dan usia 60‐64 tahun lebih besar (Tabel 2).6 Artinya, masa kerja seseorang di Jerman dan Belanda harus lebih lama sebelum menikmati masa pensiun dibandingkan di kedua negara di selatan Eropa yang disebutkan terakhir.7 Ketimpangan 6
Dimodifikasi dari Pensions at a Glance 2011: Retirement-Income Systems in OECD and G20 Countries. 7 Namun, kesan bahwa orang Yunani adalah ‘pemalas’, menurut kaum Marxist, hanyalah persepsi keliru yang disebar-luaskan oleh 39 Frontier Volume 4, April 2012
ini menjadi salah satu penyebab utama sentimen dukungan publik di Jerman dan Belanda terhadap kebijakan penalangan di atas, meskipun bantuan tersebut tidak diberikan secara gratis.8 Tabel 2. Perbandingan usia pension di Eurozone
Negara
Jerman Belanda Yunani Italia
Usia pensiun dini
Usia pensiun normal
63 tahun 65 tahun 55 tahun 58 tahun
67 tahun 65 tahun 65 tahun 60 tahun
Masih bekerja, usia 55‐ 59 tahun
Masih berkerja, usia 60‐ 64 tahun
64%
23%
53%
22%
31%
18%
26%
12%
Salah satu syarat yang diajukan IMF dan otoritas Eurozone EU dalam penalangan kepada Yunani adalah kebijakan mengurangi jumlah pegawai negeri di negeri tersebut yang dianggap kurang efisien dan memberatkan anggaran. Persyaratan itu dan kebijakan yang lebih ketat lainnya sering menimbulkan protes publik dan demonstrasi di Yunani. Bahkan politis kawakan Yunani, George
Papandreou terpaksa mengundur‐ kan diri sebagai perdana menteri 10 November 2011 di tengah kisruh tarik‐ulur tadi. Selain itu, dampak lainnya adalah isu elektoral. Diambang resesi, di Belanda misalnya, pemerintah mengambil berbagai kebijakan memperketat dan penghapusan berbagai subsidi yang cukup berat dampaknya terhadap masyarakat menengah ke bawah ketimbang kelas atas karena pemerintah agak liberal. Akibatnya, jika krisis berlarut menemukan solusi, sementara dukungan pemerintah terlalu besar untuk menalangi Eurozone sementara dalam negeri terjadi pengencangan ikat pinggang, maka kondisi tersebut dapat berdampak negatif terhadap elektibilitas partai politik yang berkuasa saat ini dalam pemilu legislatif tahun 2015. Faktor penyebab terakhir adalah dominasi FrancoJerman. Sejak awal integrasi Eropa poros kedua negara ini dinamakan ‘European power house’. Perspesi tersebut tidak sepenuhnya keliru mengingat penduduk keduanya merupakan 44,32% dari populasi Eurozone, dan menguasai 49,58% dari PNB zona ini. Karena dominasi di atas, muncul figur pemimpin yang cenderung ideosycratic atau kebijakan yang diambil dipengaruhi karakter atau gaya
media burjois. Misalnya, lihat analisis pada: The myth of the “lazy Greek workers”. 8 Tidak ada bantuan ekonomi dalam skala internasional kontemporer diberikan secara cuma-cuma, sebagaimana istilah yang dipopulerkan oleh ekonomi Milton Friedman (1912-2006): “There's no such thing as a free lunch”. 40 Frontier Volume 4, April 2012
personal para decision makers. Dari sudut realisme, baik yang klasik maupun neorealisme, fenomena tersebut biasa terjadi karena lingkungan internasional akan menentukan tindakan sebuah negara, yang dipersonifikasi oleh figur pengambil keputusan karena menurut Kegley dan Wittkop (2001:66), “states sebagai unitary actors”.9 Persoalannya, Prancis dan Jerman pada tataran EU menghadapi krisis Eurozone kurang tepat diposisikan demikian. Ada 25 pemimpin politik puncak lainnya dalam EU dan 15 diantaranya dalam Eurozone. Akibatnya, muncul sentimen bahwa apakah EU atau bahkan Eurozone hanya kedua negara itu? Di mana peran struktur supranasional Brussel dan semangat kolegialitas? Sentimen ideosinkratik itu pula diperkirakan melahirkan istilah “Merkozy” dalam berbagai media dan diskusi yang merujuk pada Angela Merkel (PM Jerman) dan Nicolas Sarkozy (Presiden Prancis), dan yang membuat David Cameron (PM Inggris) emosional, serta gagalnya dicapai keputusan yang menentukan (decisive) untuk
mempercepat solusi krisis Eurosoze dalam pertemuan puncak EU di Brussel, 9 Desember 2011 lalu. Keempat penyebab beserta akibat langsungnya telah diuraikan di atas. Namun, secara kolektif dampak dari keempat faktor tadi mengerucut pada kondisi politik saat ini baik di Brussel maupun Eurozone yaitu belum terlihatnya sebuah keputusan dan kesepakatan yang memiliki daadkracht atau ketegasan. Meskipun sebenarnya terdapat beragam pilihan yang rasional (rational choices) yang dapat diambil, namun yang terjadi adalah justru yaitu “bounded rationality”10 di mana tidak dapat diambil keputusan yang tegas akibat banyaknya halangan baik sumber daya, infrastruktur maupun kompleksitas organisasional dan proses pengambilan keputusan EU dan Eurozone yang birokratis. Akibatnya, yang terjadi selanjutnya hanyalah “muddling through”11, yaitu membuat perubahan kebijakan terbatas atau membuat kondisi jalan di tempat. 10
Simon, H.A. (1982) Models of Bounded Rationality. Cambridge, Massachusetts: MIT Press. 9 11 Kegley, C.W., Jr. dan Wittkopf, R.W. Lindblom, C.E. (1979) “Still Muddling, Not (2001) World Politics. Trend and Yet Through,” Public Administration Transformation, 8th Ed. Boston: Review 39 (November/Desember): 517‐ Bedford/St. Martin’s. 526. 41 Frontier Volume 4, April 2012
Setelah mengkaji konteks kausalitas dari aspek hubungan langsung antara penyebab dengan akibatnya, kita perlu mendalami dampak jangka panjang dan implikasi yang lebih luas dapat dikaji dari 2 sisi: internal dan eksternal. Secara internal difokuskan pada implikasi terhadap arah integrasi Eropa; dan secara eksternal adalah mengkaji implikasi geopolitik dalam tata dunia kontemporer. Implikasi terhadap Arah Integrasi Eropa Krisis utang saat ini yang melanda Eurozone termasuk sangat menentukan masa depan integrasi Eropa. Sebagai sebuah integrasi regional yang eksprerimental (sui generis) krisis Eurozone akan bergerak pada trend osilasi, yaitu antara integrasi Uni‐Eropa yang semakin erat yang dapat mengarah pada United States of Europe, status quo, atau kembali pada Nation States of Europe (bubarnya Uni‐Eropa). Dari ketiga trend atau kemungkinan di atas, maka sikap Brussel yang paling realistis saat ini adalah mengambil pilihan kedua, yaitu mempertahankan status quo dengan kebijakan adaptif yang lebih ketat dan lebih tegas, seperti memisahkan negara anggota Eurozone yang mengalami resesi
utang yang parah dan akut dari zone untuk meminimalisir dampak negatifnya terhadap kestabilan politik dan kondisi ekonomi negara anggota Eurozone lainnya yang relatif lebih kuat. Implikasi Geopolitik Yang tidak kalah penting adalah implikasi geopolitik dari krisis Eurozone. Apapun langkah politik dalam kebijakan luar negeri yang diambil Brussel, mereka berada dalam limitasi lingkungan internasional yang sedang berubah. Geliat tersebut adalah perpindahan epicentrum hegemoni ke Asia, yang oleh Kishore Mahbubani secara optimis disebut sebagai sebuah “irresistable shift of global power to the east”.12 Meskipun sulit mereka lahirnya sebuah hegemoni yang adidaya hingga pertengahan abad ke‐21 ini, namun trend kebangkitan Asia yang dimotori oleh Cina dan India itu semakin sulit ditolak secara obyektif. Dalam diktum realisme, sebuah paradigma worldview para pemimpin Eropa khususnya dengan nasionalisme yang cukup tinggi, kekuasaan dunia ibarat kuantitas air dalam 2 gelas, jika ada penurunan permukaan air pada satu gelas maka akan menaikkan 12
Mahbubani, K. (2008) The New Asian Hemisphere. The Irresistible Shift of Global Power to the East. New York: Public Affairs. 42 Frontier Volume 4, April 2012
permukaan air di gelas yang lainnya. Dalam jalur logika seperti ini, jika ada kekuatan baru yang muncul maka dipastikan ada kekuasaan pihak lain yang sedang menyusut. Pertanyaannya, posisi pihak mana yang sedang menurun tersebut. Kesibukan EU mengatasi krisis Eurozone secara tidak langsung menurun leverage psikologisnya pada arena internasional. Keberanian Turki yang bersikap tegas terhadap Prancis karena parlemen negeri tersebut menyetujui regulasi yang mempidanakan pihak yang menafikan “genosida terhadap bangsa Armenia” yang dituduhkan dilakukan pada masa transisi menuju berdirinya Republik Turki. Selain mengancam untuk melarang pesawat tempur dan kapal angkatan Prancis mendarat dan berlabuh di Turki, PM Erdogan juga meminta Prancis berkaca pada fakta historis bahwa “tangan” negara itu juga “berlumuran darah” bangsa Aljazair. Sikap dan pernyataan tersebut muncul karena posisi dan pengaruh strategis Turki semakin kuat berbarengan dengan pertumbuhan ekonomi yang fantastis serta berhasil memandu reformasi dan demokratisasi di negara‐negara Arab dan Afrika Utara, dan
menurunnya leverage internasional dan regional Prancis. Ketika Cina diminta bantuan oleh para pemimpin utama Eurozone untuk ikut membantu melalui IMF, Cina tidak begitu antusias karena permintaan mereka dan negara BRICS untuk mendapat suara lebih besar dalam kebijakan IMF tidak diterima. Namun Cina cukup cerdik dan memiliki naluri dagang yang baik. Mereka tidak ingin terikat dengan birokrasi dan aturan serta mekanisme lembaga internasional seperti IMF, namun saat ini justru sedang berburu dan memilih dengan leluasa untuk membeli dan mengambil‐alih aset‐aset Eropa yang sedang jatuh nilainya dan akan priftable ke dapan. Dari tahun 2009 saja, investasi langsung Cina di Eropa meningkat 69% dari tahun sebelum, meskipun omzet terbesar kapital Cina itu masih tetap ditanam di Asia. Masih dalam konteks implikasi geopolitik ini, maka isu politik fobia terhadap Islam sudah semakin jarang atau tidak begitu laku dijadikan komoditas politik saat ini di Eropa, karena problemnya adalah sektor ekonomi. Yang dijadikan sasaran frustasi sebagian politisi di Belanda, misalnya, adalah kekesalan kepada Yunani, pendatang dari Romania, Bulgaria dan Polandia yang kehilangan
43 Frontier Volume 4, April 2012
pekerjaan namun hidup dari tunjangan pemerintah dan menolak pulang ke negara mereka karena negara mereka adalah anggota EU. Sasaran frustasi lainnya bagi publik Eropa adalah kekuatiran terhadap “Cinanisasi” yang massif terhadap aset‐aset Eropa khususnya dalam sektor perbankan, properti dan infrastruktur, pariwisata dan energi. Namun perlu diingat bahwa Eropa adalah pemain profesional dalam menguasai dan mengelola sumber‐sumber daya dan kapital dunia. Di Asia, hampir tidak ada negara yang pernah didominasi bangsa Eropa. Mereka punya peta lengkap terhadap karakteristik antropologis, sosiologis, ekonomis dan historis bangsa‐bangsa di dunia termasuk Asia yang dapat mereka gunakan menangguk keuntungan melalui penguasaan sumber‐sumber daya yang baru di manapun di dunia, baik secara kasar sebagaimana di Irak, Afghanistan, dan Libya maupun secara halus misalnya dalam pengaturan kontrak eksplorasi sumber daya alam dan tambang, dll. yang tidak adil dengan berbagai intriknya dan atas nama berbagai perusahaan multinasional. Cengkeraman gurita multinasional tadi sangat kuat karena omzetnya bahkan melebihi BNP banyak negara di dunia serta
bermutualisma dengan negara‐ negara kuat di Eropa dan AS. Peluang Strategis bagi Indonesia Peluang yang cukup menjanjikan dan strategis bagi investor Indonesia ditanamkan di Eropa saat ini adalah di sektor pendidikan tinggi dan riset dengan mitra perguruan tinggi dan lembaga riset di Eropa. Secara umum fasilitas dan kepakaran bidang sains, teknologi dan industri strategis di Eropa masih utuh, cuma agak kekurangan kapital saja. Kerjasama sama tersebut akan membuka peluang pengiriman mahasiswa dan peneliti Indonesia dengan beasiswa dan dana riset pemerintah Indonesia bekerjasama dengan pemerintah Eropa. Di sekitar sentra pendidikan dan riset tadi Indonesia baik pemerintah maupun LSM dapat membangun asrama atau akomodasi yang milieu‐nya yang secara rabbaniy terpelihara sehingga mereka dapat tersibghah dengan nilai‐nilai insan kamil dan berkapasitas serta kompeten ketika pulang mengembangkan ilmu dan pengalamannya di Indonesia.
44 Frontier Volume 4, April 2012
Implementasi Smart Power dalam Sistem Keamanan Nasional Arya Sandhiyudha Staf Departemen Dirosah wa Takhthith, BHLN DPP PKS
Sekilas tentang Smart Power 1: Berawal dari Keterbatasan Hard Power dan kemunculan Soft Power Keterbatasan hard power yang terlalu dominan terlihat jelas dengan kebencian masyarakat sipil terhadap berbagai agresivitas negara menggunakan tekanan senjata untuk meraih kepentingan nasionalnya yang kerap justru berbalik menghancurkan citra dan pengaruh negara terhadap rakyatnya dan dunia internasional. Policy Paper ini memunculkan sebuah rekomendasi yang terinspirasi dari makalah yang berjudul A Smarter, More Secure America dari lembaga think tank terkemuka AS, CSIS (Center for Strategic and International Studies). Inti dari laporan tersebut adalah rekomendasi bahwa negara harus menggeser pendekatan keamanannya dari mengandalkan hard power (kekuatan militer dan kedigdayaan ekonomi) menuju smart power, 'kekuatan yang cerdas'. Artinya negara akan menggunakan “pendekatan yang lebih menggunakan otak daripada kekuatan represif”. Konsep smart power sendiri berkembang dari konsep soft power yang diperkenalkan oleh cendekiawan terpandang Joseph S Nye Jr: menggunakan kombinasi dari hard power dan soft power dalam takaran yang pas. Rekomendasi kebijakan regulasi UU Kamnas dalam tulisan ini terbagi dua, yaitu: (i) Integrasi konsep dan implementasi, yang mencakup: integrasi konsep pertahanan‐keamanan, rekonstruksi aktor keamanan, peningkatan kemampuan intelijen untuk peringatan dini, mekanisme pelibatan aktor non‐militer. Rekomendasi berikutnya (ii) Integrasi Operasional, meliputi: integrasi legal dan institusional, harmonisasi dengan regulasi lainnya, mekanisme koordinasi, aturan main dalam keadaan darurat, serta format Dewan Keamanan Nasional. 45 Frontier Volume 4, April 2012
Tabel 1 Ragam Pendekatan Kekuatan Negara Smart Power adalah Kombinasi Ketiganya
Behaviors
Military Power
Coercion Deterrence Protection Inducement Coercion
Economic Power
Soft Power
Attraction Agenda Setting
I. Integrasi Konsep dan Implementasi I.1. Diskusi Konseptual: Pertahanan dan Keamanan Masalah utama yang dihadapi Indonesia untuk memulai reformasi di sektor keamanan berawal dari proses pemisahan konsep pertahanan dan keamanan. Walaupun kebijakan untuk memisahkan dua konsep ini adalah kebijakan yang tepat, namun masalah muncul karena berkembangnya suatu interpretasi dominan yang mengatakan bahwa POLRI (aktor keamanan) tidak lagi menjadi bagian dari TNI (aktor pertahanan) dan harus bertransformasi menjadi aktor keamanan yang mandiri. POLRI juga diberi wewenang penuh untuk mengendalikan kondisi keamanan dalam negeri, sementara TNI hanya berkonsentrasi pada penanggu‐
Primary Currencies Threats Force Payments Sanctions Values Culture Policies Institutions
langan ancaman eksternal. Pemisahan ini menandakan bahwa pemerintah menganggap konsep pertahanan memiliki kedudukan yang sejajar dengan konsep keamanan. Jika interpretasi ini berusaha dikaji secara akademis maka akan timbul kesulitan metodologis yang rumit. Kesulitan ini timbul karena kajian‐kajian ilmiah cenderung menempatkan keamanan (security) sebagai konsep induk dan meletakkan pertahanan (defense) sebagai salah satu dimensi dari konsep keamanan. Barry Buzan, misalnya, menyatakan bahwa keamanan berkaitan dengan lima sektor utama: militer, politik, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup.2 Untuk dimensi militer, Buzan menyatakan bahwa dimensi militer dari keamanan berurusan dengan kapabilitas pertahanan suatu negara.
46 Frontier Volume 4, April 2012
Government Policies Coercive Diplomacy War Alliance Aid Bribes Sanctions Public Diplomacy Bilateral and Multilateral Diplomacy
Jika telaah akademis Buzan (yang menjadi tonggak utama kajian strategi keamanan pasca Perang Dingin) digunakan untuk mengkaji pemisahan TNI dan POLRI maka kemungkinan interpretasi yang muncul adalah : Pertama, POLRI diletakkan sebagai aktor keamanan utama dan dengan demikian dapat dikatakan secara vulgar bahwa POLRI telah berhasil “mengeluarkan” TNI dari ruang lingkup aktor keamanan dan meletakkannya “hanya” sebagai aktor pertahanan. Interpretasi ini bukan merupakan interpretasi yang lazim diterima di kalangan akademisi. Interpretasi kedua yang lebih dapat diterima bahwa TNI dan POLRI sama‐sama merupakan bagian dari aktor keamanan. Namun, TNI diarahkan untuk mengurusi dimensi militer (pertahanan) sementara POLRI lebih diarahkan untuk menangani dimensi ketertiban masyarakat dan penegakan hukum. Teka‐teki yang muncul dari interpretasi (kedua) ini adalah jika TNI dan POLRI berada dalam dimensi‐dimensi spesifik dari konsep keamanan maka “Siapa yang akan berperan sebagai aktor keamanan utama?”
I.2. Rekonstruksi Aktor Keamanan: Kombinasi Hard Power and Soft Power Teka‐teki tersebut dapat dijawab dengan terlebih dahulu melakukan rekonstruksi aktor keamanan. Secara tradisional, kajian keamanan menempatkan negara sebagai aktor utamanya. Penempatan negara sebagai aktor utama didasari pada argumentasi kaum Hobbesian (Realis) yang mengasumsikan bahwa masyarakat membutuhkan negara yang akan berperan seperti monster (leviathan) untuk mengurangi kemungkinan terjadinya pertikaian antar manusia yang mengarah kepada pembentukan sistem yang anarki. Machiavelli kemudian menunjukkan bahwa pertikaian antar manusia ini cenderung untuk menggunakan power, karena itu negara harus diberi hak untuk memonopoli akumulasi power (militer). Bagi Clausewitz, hak monopoli tersebut diberikan secara politis oleh negara kepada aktor militer sehingga ia secara legal tumbuh menjadi suatu kekuatan profesional yang dapat membuat komponen‐komponen masyarakat tunduk kepada aturan‐aturan ketertiban yang dibuat oleh negara. Ada dua hal utama yang dapat ditarik dari kajian tradisional diatas. Pertama, negara
47 Frontier Volume 4, April 2012
memberikan hak kepada aktor militer untuk tumbuh menjadi satusatunya aktor legal yang melakukan akumulasi kekuatan bersenjata. Konsekuensi logis dari akumulasi ini adalah hanya aktor militer yang dapat menangkal aksi‐ aksi kekerasan bersenjata yang mengancam suatu negara. Kedua, saat aktor militer mengaktifkan fungsi keamanannya, ia memang diarahkan untuk menjelma menjadi leviathan yang profesional. Saat leviathan beraksi maka tidak bisa diharapkan bahwa sang aktor akan mengindahkan kaidahkaidah moral yang berlaku. Namun, aksi penyelamatan negara ini menjadi suatu keharusan dan karena itu aktor militer dilatih untuk dapat menggunakan segala cara yang dipandang perlu. Namun, kajian tradisional tersebut tidak menjawab masalah yang berkaitan dengan jenis aktor keamanan yang harus berperan jika ancaman terhadap negara sama sekali tidak melibatkan aksi kekerasan bersenjata. Masalah ini bisa dipecahkan dengan dua cara. Cara pertama, dilakukan oleh rezim Orde Baru dengan meletakkan aktor militer (ABRI saat itu juga termasuk POLRI) sebagai satu‐satunya aktor keamanan yang harus dapat menerapkan beragam strategi
untuk menangkal semua bentuk ancaman. Namun, karena ABRI memang pakar dalam melakukan aksi kekerasan bersenjata maka entitas ini cenderung untuk menggunakan strategi represif. Cara kedua, dilakukan dengan menugaskan aktor keamanan utama (negara) untuk mengembangkan derivasi aktor keamanan untuk mengatasi karakter multi‐dimensional konsep keamanan (baik tradisional maupun non‐tradisional). Perluasan konsep dan aktor keamanan ini sebenarnya merupakan gagasan dari kaum constructivist. Kaum ini mengembangkan critical security studies yang memandang konsep keamanan sebagai suatu konsep fleksibel yang tergantung dari proses securitization yang dilakukan aktor keamanan terhadap obyek keamanan. Simon Dalby, misalnya, melihat adanya proses politisasi wacana keamanan yang menyebabkan timbulnya kecenderungan dominasi aktor politik dan militer dalam kerangka kerja keamanan negara.3 Keith Krause juga berusaha mengembangkan tinjauan kritis dengan melakukan proses humanisasi konsep keamanan. Proses ini dilakukan dengan menempatkan pertimbangan individu, warga negara dan
48 Frontier Volume 4, April 2012
kemanusiaan sebagai acuan utama bagi perkembangan strategi 4 keamanan negara. Kontribusi penting kaum constrtuctivist diberikan oleh Barry Buzan, Ole Waever dan Jaap de Wilde5 Ketiga pakar strategi ini memperingatkan para pembuat kebijakan untuk tidak terburu‐buru mengekskalasi suatu isu menjadi isu keamanan. Suatu isu hanya dapat dikategorikan sebagai isu keamanan jika isu tersebut menghadirkan ancaman nyata (existential threats) terhadap kedaulatan dan keutuhan teritorial negara. Isu keamanan juga hanya akan ditangani oleh aktor militer (hard power) jika ancaman yang muncul disertai dengan aksi kekerasan bersenjata dan telah ada kepastian bahwa negara telah mengeksplorasi semua kemungkinan penerapan strategi nonkekerasan (soft power). I.3. Sistem Peringatan Dini: Meningkatkan Kemampuan Intelijen Kepastian tersebut dapat diperoleh jika suatu negara meningkatkan kemampuan badan intelijen untuk mengoperasional‐ kan indikator sistem peringatan dini (early warning system) indikator tersebut harus terkait
dengan variasi sumber konflik. Sistem peringatan dini diharapkan dapat menyediakan ruang manuver yang cukup luas bagi beragam aktor resolusi konflik dan memperkecil peluang terlibatnya aktor militer dalam upaya penyelesaian konflik. Rancangan sistem peringatan dini tersebut diilustrasikan dalam Tabel 2 berikut ini: Tabel 2 Rancangan Sistem Peringatan Dini Sumber Konflik Disintegrasi Sosial Kesenjangan Ekonomi Diskriminasi Politik Kekerasan Budaya
I.4. Ekskalasi Resolusi Konflik: Mekanisme Pelibatan Aktor Non‐Militer Policy Paper ini secara prinsip menerapkan beberapa pandangan, berdasarkan studi kritis mazhab (school of tought) di atas. Pertama, struktur normatif‐ formal dalam regulasi/kebijakan yang menjamin bahwa aktor militer
49 Frontier Volume 4, April 2012
Indikator Sistem Peringatan Dini Tingkat kohesivitas antar kelompok masyarakat Distribusi kesejahteraan antar kelompok/wilayah Peluang partisipasi politik dan Peluang untuk jabatan publik Komposisi demografi berdasarkan etnis‐agama‐ golongan dan Eksistensi budaya dominan vis a vis minoritas
dan teknik kekerasan bersenjata akan dijadikan sebagai alternatif terakhir yang terpaksa harus dipilih. Kedua, regulasi/kebijakan untuk menyediakan prosedur transparan yang akan menyediakan informasi ke publik tentang terjadinya proses keamananisasi/sekuritisasi suatu isu. Terakhir, regulasi/kebijakan mencakup mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan sebanyak mungkin aktoraktor nonmiliter di berbagai tingkat ekskalasi konflik sebagai bagian dari pengembangan strategi keamanan negara. Rancangan pelibatan aktor keamanan dalam mekanisme resolusi konflik tersebut tertera dalam Tabel 3. Usulan pekerjaan rumah di atas diharapkan dapat menjadi suatu preskripsi tentatif yang dapat memperbaiki kinerja aktor keamanan Indonesia. Inti dari preskripsi tersebut adalah Indonesia perlu segera melakukan rekonstruksi konsep dan aktor keamanan. Rekonstruksi ini
diharapkan dapat mencairkan dominasi pemikiran realis (state centric) dengan memadukannya dengan pengembangan beragam aktor resolusi konflik. II. Integrasi Operasional II.1. Institusi dan Instrumen Secara legal UU tentang Keamanan Nasional lebih berfokus pada institusi dan instrumen keamanan serta kewenangan mereka masing‐masing. Terutama sekali : a. Pembedaan tegas antara otoritas politik yang telah menjadi hak sipil dan kewajiban operasional dari aktor keamanan. b. Pengaturan mengenai hubungan koordinasi antar institusi dan instrumen aktor keamanan, beserta aktor derivatif lainnya. c. Penetapan gradasi/ekskalatif situasi keamanan dari yang paling lunak hingga yang memberi legitimasi politik untuk menggunakan pendekatan koersif‐represif.
Tabel 3 Resolusi Konflik dan Aktor Keamanan Isu Konflik Kedaulatan Negara
Kekerasan Bersenjata
Sumber Konflik Lokal Pemberontakan Bersenjata Gerakan Separatis Self Determination Self Governing Kekerasan Militer
Kontra Insurgensi
Derivasi Aktor Keamanan TNI
Referendum Good Governance Peace Making Humanitarian Assitance Peace Keeping
MPR DPR POLRI LSM POLRI
Resolusi Konflik
50 Frontier Volume 4, April 2012
Good Governance (Supremasi Sipil) Penegakan Hukum Demokratisasi
Politik
Diskriminasi Politik
Ekonomi
Kesenjangan Ekonomi
Rekonstruksi Ekonomi Distribusi Kesejahteraan
Sosial
Disintegrasi Sosial
Budaya
Kekerasan Budaya
Ekologi
Eksploitasi Lingkungan
Rehabilitasi Rekonsiliasi Rehabilitasi Rekonsiliasi Distribusi Kesejahteraan Good Governance
d. Akuntabilitas anggaran keuang‐ an serta pertanggungjawaban‐ nya. Oleh karena itu perlu ditegaskan kembali bahwa UU tersebut bukan untuk menggabungkan kembali TNI dan POLRI, serta tidak bertabrakan dengan UU yang telah ada, prinsip demokrasi, HAM, serta sistem peradilan pidana (criminal justice system). II.2. Harmonisasi Regulasi Jika ada perubahan kewenangan terhadap institusi tertentu dalam rangka mencapai harmonisasi regulasi, perlu dilakukan terlebih dahulu : a. Pembuatan regulasi intelijen, b. Amandemen UU : POLRI, Pertahanan Negara, TNI, dan UU
Pranata Adat Pemerintah Masyarakat Lokal Pranata Adat
Keadaan Darurat. Misalnya untuk mempertegas supremasi otoritas politik sipil dalam hal eksekusi kebijakan, penetapan anggaran, serta pengawasan parlementer. II.3. Mekanisme Koordinasi Ditetapkan mekanisme koordinasi aktor keamanan. Sebagaimana secara umum disajikan dalam Tabel 4. Mekanisme tersebut di atas setidaknya meliputi : 1. Konsep rencana operasional keamanan. 2. Konsep kerjasama dan strategi koordinasi inter‐agensi. 3. Rumusan batasan hubungan antar‐agensi dan pihak yang terlibat. 4. Memastikan adanya prosedur kerja baku (Standard Operating
51 Frontier Volume 4, April 2012
Pemerintah Daerah DPRD Lembaga Peradilan DPR/MPR Pemerintah Partai Politik Masyarakat Lokal Pemerintah Lembaga Ekonomi Negara Lembaga Ekonomi Swasta Masyarakat Lokal
Procedure/ SOP) dalam situasi tertentu. Terutama kepastian dalam hal: Kewenangan, Aturan Pelibatan, dan Akuntabilitas Anggaran.
sama lain. Berbagai ancaman keamanan yang muncul tidak jarang menuntut adanya kerjasama antar aktor agar dapat ditangani seefisien dan seefektif mungkin. Pembentukan aturam main tersebut juga memperjelas mekanisme pertanggung‐jawaban dari masing‐masing aktor. Semua hal tersebut tergambar dalam Tabel 5.
Dalam hal poin ke‐4, SOP dibutuhkan agar tercipta suatu koordinasi yang baik perlu dirumuskan suatu mekanisme yang mengatur bagaimana masing‐ masing aktor bertindak dalam menjalankan tugasnya terkait satu
Tabel 4 Mekanisme Koordinasi Berdasarkan Jenis Ancaman
Normal
Sifat Koordinasi Perumusan Kebijakan
Pola Koordinasi Tingkat Pelaksanaan Koordinasi
Non Normal Ancaman Luar Biasa (ExtraOrdinary)
Rutin dan Informal
Moduler (Task Forces, Badan Otoritas) Eksekusi Eksekusi terdesentralisasi oleh terdesentralisasi oleh Reguler, unit‐unit Komite Eksekutif operasional Saling tergantung Koordinasi kolaboratif (mutual dependent) Koordinasi Koordinasi kolaboratif terprogram pada pada tataran tataran operasional operasional dan taktikal yang bersifat tetap
Ancaman Berekskalasi (Escalatory) Ad hoc (Interdepartemental) Eksekusi terdesentralisasi oleh Penguasa Darurat Koordinasi integratif Koordinasi integratif pada tataran strategis, operasional dan taktikal yang bersifat sementara
Tabel 5 Aturan Operasi dalam Situasi Tertentu
Involving
Leading
Permanent Permanent Leading Actor (1) Kewenangan : operasional
Permanent Actor (2)
Involving
Others
Kewenangan: menjalankan tugas Pelibatan: bentuk dan sifat PJ koordinasi operasi Pelibatan: aturan rinci dan jelas, Anggaran: disediakan instrumen militer dalam kondisi 52 Frontier Volume 4, April 2012
pemerintah pusat
luar biasa
Akuntabilitas: tunduk hukum
Anggaran: dikeluarkan institusi yang melibatkan
*Alat operasional dari politik pemerintah untuk Tugas Akuntabillitas: permberdayaan wilayah melibatkan
institusi
yang
*Anggota aktif di Intitusi lain AdHoc
AdHoc Leading Actor (3)
AdHoc Involving Other Actor (4)
Kewenangan: darurat
Kewenangan: pemberi mandat
Pelibatan: sementara
Pelibatan: sementara
Anggaran: politik
APBN
keputusan Anggaran: APBN dikeluarkan PJ
Akuntabilitas: operasional Akuntabilitas: politik di wilayah berdasar aturan pelibatan operasi darurat militer *ukuran, standard, kapan dimulai *pembagian karakter ancaman, dan diakhiri, prosedur, MoU antar fase tahapan operasi, wilayah pimpinan selevel 3 hal: Definisi tugas, Tata cara pemberian tugas dan Pembiayaan tugas.
II.4. Keadaan Darurat Dalam kesadaran akan situasi keamanan yang fluktuatif dari keadaan normal hingga darurat, maka perlu diatur penetapan situasi keadaan darurat menyangkut tentang pendekatan penanganannya. Diantaranya: a. Ketentuan pengelolaan jalannya pemerintahan. b.
Pengerahan Sumber Daya Nasional. c. Pengerahan Instrumen Koersif. II.5. Dewan Keamanan Nasional Keberadaan Dewan Keamanan Nasional adalah perangkat kepresidenan yang bertugas:
a.
Membantu Presiden dalam waktu tertentu menentukan permasalahan yang dianggap sebagai masalah keamanan nasional. b. Merekomendasikan kebijakan atau langkah untuk menangani masalah tersebut. c. Menganalisa dan mengevaluasi dampak dari langkah atau tindakan penanganan yang diambil. Idealnya, berdasarkan rekonstruksi aktor keamanan yang telah dipaparkan, maka komposisi Dewan Keamanan Nasional adalah sebagai berikut: Ketua : Presiden ; Anggota : Wakil Presiden, Menteri
53 Frontier Volume 4, April 2012
Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Ketua Komisi Kepolisian Nasional, Kepala Lembaga Koordinasi Intelijen Negara, serta Kementerian lain yang secara tentatif dibutuhkan menyikapi kondisi spesifik tertentu. Dengan segala kerendahan hati, demikianlah rekomendasi kebijakan dari kami, semoga bermanfaat bagi kebijakan keamanan nasional yang terintegrasi, kokoh, dan lebih bersahabat! Wallahu A’lam bishShowab. Daftar Pustaka
4. Keith Krause dan Michael C. Williams. “From Strategy to Security: Foundation of Critical Security Studies” dalam Ibid. 5. Barry Buzan (et.al.), Op.Cit.
1. Penjelasan sub‐tema Smart Power diambil dari Sandhiyudha, Arya. Renovation of Indonesian Policy.(Jakarta: MC, 2011) 2. Barry Buzan (et.al.). Security: A New Framework for Analysis (London: Lynne Rienner, 1998) 3. Simon Dalby, “Contesting an Essential Concept: Reading the Dilemma in Contemporary Security Discourse”, dalam Krause, Keith dan Williams, M.C (eds.), Critical Security Studies: Concept and Cases (London: UCL Press, 1997)
Indonesian views on South China Sea Conflict 54 Frontier Volume 4, April 2012
Position concerning the statement of US Secretary of State Hillary Clinton, Indonesia must count on the support for the realization of a favourable international scale diplomatic process and objectivity in a preview of the peaceful and prevent violence through the reduction of the concentration of warships in the South China Sea area. Marsudi Budi Utomo Ketua Departemen Diplomasi, BHLN DPP PKS
Background The 10 ASEAN member countries, Brunei, Malaysia, Vietnam, and the Philippines have competing claims over the Spratly Islands. The Spratlys consist of some 100‐230 scattered islands, isles, shoals, banks, atolls, cays, and reefs with elevations ranging from two to six meters. Including shallow territorial waters, the Spratly archipelago covers an area of approximately 180,000 square kilometers or 69,500 square miles (Ref. Figure 1, 1‐a, 1‐b). Except for Taiwan, all the other claimants are bound by the ASEAN‐China declaration to “undertake to resolve their territorial and jurisdictional disputes by peaceful means” without “resorting to the threat or use of force” (Ref. Table 1 of TERRITORIAL CLAIMS IN THE SOUTH CHINA SEA). Over the past two decades, such claims have resulted in military skirmishes, as well as drilling and exploration disputes, among claimants, often with China. Considered the most serious was China’s invasion and capture of Paracel Islands from Vietnam in 1974, and later in 1988, when the Chinese and Vietnamese naval forces clashed at Johnson Reef in the Spratly Islands, which caused the sinking of several Vietnamese boats and deaths of over 70 sailors. Figure 1 : Countries Claim Boundaries
55 Frontier Volume 4, April 2012
In the case of the Philippines, the most significant clash with China happened in 1995 with the latter’s occupation of Mischief (Panganiban) Reef, which is well within the country’s 200‐mile exclusive economic zone as defined by UNCLOS. This was followed by its takeover of Scarborough Shoal in 2001 (Ref. Table 2 of MILITARY CLASHES). Though too small and barren for permanent human habitation, the Spratlys have attracted attention from the various states in the South China Sea because of their strategic, economic, and
political significance. As pointed out by Dr. Christopher Joyner, director of the Institute for International Law and Politics at Georgetown University, the Spratly islands can serve as legal base points for states to project claims of exclusive jurisdiction over waters and resources in the South China Sea. Besides this, Joyner said the Spratlys area holds strategic importance for all states in the region as it straddles the sea lanes through which commercial vessels must sail en route to and from South Asian ports.
56 Frontier Volume 4, April 2012
Based on estimates by the U.S. Geological Survey, the most abundant hydrocarbon resource in the South China Sea could be natural gas, and not oil. The USGS said natural gas comprises 60 to 70 percent of the region’s hydrocarbon resources, as evidenced by the hydrocarbon fields explored in the South China Sea side of Brunei, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, and the Philippines (Ref. Table 3 of Oil and Gas Reserve in the South China Sea). The Problems 1. 1994 : The problems is in keeping with the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) which entered into force on November 16, 1994 granting new rights to states having territorial sovereignty over an island or group of islands. States holding valid legal titles to sovereignty over an island or group of islands are allowed to establish a twelve‐ mile territorial sea and a 200‐ mile exclusive economic zone (EEZ) around those islands. Those whose sovereign independence is recognized as archipelagic states have the right to draw a straight baseline between the outermost islands,
the area and the resources enclosed by which are exclusively for them to explore and exploit. 2. 2002 : Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea between the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) and China in 2002 which says “conducive to maintenance of peace and stability in the South China Sea and the region at large.” 3. 2010 : Recent Chinese naval activity in the South Chine Sea as regarding to Chinese navy’s strategy (The People's Liberation Army Navy, PLAN or PLA Navy) as reported by Japan Maritime Self Defence Force. The operations were a testament to the modernisation of the PLA Navy over the past decade. They would not have been possible if it were not for the continued focus on long‐range projection exercises that has dominated its training for the past decade. The Chinese decision in December 2008 to join the international anti‐piracy operation in the Gulf of Aden has led to Chinese naval ships using some of the world’s main maritime routes more often. (Ref. Figure 2 South‐ China‐Sea Naval Activity)
57 Frontier Volume 4, April 2012
For some Southeast Asian countries, the recent operations represent an attempt by China to set a precedent for the establishment of a long‐term naval presence in the region. The navy’s strategy of continued expansion, including an aircraft carrier – refurbishment of the former Ukrainian carrier Varyag is under way – and new submarines, has also been a concern for China’s neighbours. In 2009, Vietnam responded by ordering six Russian Kilo‐class attack submarines. Heat up Issues US views to Internationalize the problems ‐ US Secretary of State Hillary Clinton’s declaration on July 23, 2010, at the ASEAN Regional Forum (ARF) in Hanoi that ‘The United States supports a collaborative diplomatic process by all claimants for resolving the various territorial disputes without coercion,’ and announcement that the United States ‘oppose[s] the use or threat of force by any claimant,’ that sent China into a rage, with officials accusing the Americans of attempting to ‘internationalize’ the South China Sea disputes. Mrs. Clinton urged the creation of a binding code of conduct for the six states claiming disputed islands in the South China Sea, including China, as well as an institutional
process for resolving those claims. Mrs. Clinton noted that "The United States has a national interest in freedom of navigation, open access to Asia's maritime commons and respect for international law in the South China Sea". China views to keep the problems as bilateral issue Chinese Foreign Minister Yang Jiechi rebutted remarks by U.S. Secretary of State Hillary Clinton at a recent forum on the competing claims for territory in the South China Sea, saying the U.S. shouldn't internationalize the disputes, according to a statement posted Sunday on the website of China's Ministry of Foreign Affairs. The South China Sea issue should be solved through bilateral negotiations between China and its neighboring countries, rather than between China and the Association of Southeast Asian Nations, Mr. Yang said in a speech at a forum of the 10 members of Asean, the U.S. and more than a dozen other countries. Mr. Yang said in his speech that Mrs. Clinton's "seemingly fair remarks were actually aimed to attack China by creating an illusion that the situation of the South China Sea is alarming.” "Turning the bilateral issue into an international, or multilateral one would only worsen the situation
58 Frontier Volume 4, April 2012
and add difficulties to solving the issue.”. Mr. Yang also noted that during China's bilateral talks with Asean countries, "nobody believes there's anything that is threatening the region's peace and stability." China has become the largest trading partner of many countries in the region. Some countries were unable to increase exports to China because they have set barriers on exports of high‐tech products, rather than because of restricted navigation rights. Related to the heat up issues, Robert D. Kaplan, senior fellow at the Center for a New American Security, has predicted that the South China Sea is the Future of Conflict and the 21st century's defining battleground is going to be on water. However, Rukmani Gupta, an Associate Fellow at the Institute for Defence Studies and Analyses in New Delhi, noted that a declaration by the United States that it has a ‘national interest’ in the region, meanwhile, was seen as a commitment to take an active part, much to Chinese chagrin; and statements by Chinese officials reasserting China’s ‘indisputable sovereignty’ over the South China Sea, and warnings for India against investing in the region, are seen as signs of Chinese aggressiveness that could precipitate conflict.
Indonesian views (PKS views) on the Conflict in South China Sea As noted by U.S. Energy Information Administration, Indonesia is not a claimant to any of the Spratly Islands. However, Chinese and Taiwanese claims in the South China Sea may extend into Indonesia’s EEZ and continental shelf, including Indonesia’s Natuna gas field. In case if the problem of South China Sea is solved through the bilateral negosiation, China and Taiwan will not make a deal with Indonesia due to Indonesia does not have a clear basis in terms of territorial. As a result, Indonesia has great potential to lose the EEZ because some of the zone enter the zone which claimed by China. Position concerning the current conflict of South East China Sea, Indonesia must count on the support for the realization of a favourable international scale diplomatic process and objectivity in a preview of the peaceful and prevent violence through the reduction of the concentration of warships in the South China Sea area. The hope is China and the United States manage the coming handoff successfully, Asia, and the
59 Frontier Volume 4, April 2012
world, will be a more secure, prosperous place.
Valencia, Mark J., Van Dyke, Jon M. & Ludwig, Noel A. Sharing the Resources of the South China Sea, Hawaii : University of Hawaii Press, 1999. Other Tables and Figures is adopted from web source of U.S. Energy Information Administration.
References : This article is adopted from several news, papers and analys concerning on the conflict in South China Sea. Interactive map of Spartly Island is adopted from
Figure 1a Interactive Map of the Spratly Islands, South China Sea
Image from: Valencia, Mark J., Van Dyke, Jon M. & Ludwig, Noel A. Sharing the Resources of the South China Sea.. Hawaii : University of Hawaii Press, c1999. Plate 1 Figure 1b Gas Reserved 60 Frontier Volume 4, April 2012
Figure 2 SouthChinaSea Naval Activity
TABLE 1 : TERRITORIAL CLAIMS 61 Frontier Volume 4, April 2012
TERRITORIAL CLAIMS IN THE SOUTH CHINA SEA COUNTRY
CLAIM
Brunei
Does not occupy any of the islands, but claims part of the South China Seas nearest to it as part of its continental shelf and Exclusive Economic Zone (EEZ). The boundary lines are drawn perpendicularly from two outermost points on the Brunei coastline. In 1984, Brunei declared an EEZ that includes Louisa Reef.
China
Refers to the Spratly Islands as the Nansha Islands, and claims all of the islands and most of the South China Sea for historical reasons. These claims are not marked by coordinates or otherwise clearly defined. China also claims the Paracel Islands (referred to as the Xisha Islands), and includes them as part of its Hainan Island province. Chinese claims are based on a number of historical events, including the naval expeditions to the Spratly Islands by the Han Dynasty in 110 AD and the Ming Dynasty from 1403‐1433 AD. Chinese fishermen and merchants have worked the region over time, and China is using archaeological evidence to bolster its claims of sovereignty. In the 19th and early 20th century, China asserted claims to the Spratly and Paracel islands. During World War II, the islands were claimed by the Japanese. In 1947, China produced a map with nine undefined dotted lines, and claimed all of the islands within those lines. A 1992 Chinese law restated its claims in the region. China has occupied eight of those islands to enforce its claims. In 1974, China seized the Paracel Islands from Vietnam.
Malaysia
Its Spratly claims are based upon the continental shelf principle, and have clearly defined coordinates. Malaysia has occupied three islands that it considers to be within its continental shelf. Malaysia has tried to build up one atoll by bringing soil from the mainland and has built a hotel.
Philippines Its Spratly claims have clearly defined coordinates, based both upon the proximity principle as well as on the explorations of a Philippine explorer in 1956. In 1971, the Philippines officially claimed eight islands that it refers to as Kalayaan, partly on the basis of this exploration, arguing that the islands: 1) were not part of the Spratly Islands; and 2) had not belonged to anyone and were open to being claimed. In 1972, they were designated as part of Palawan Province, and have been occupied. 62 Frontier Volume 4, April 2012
Taiwan
Taiwan’s claims are similar to those of China, and are based upon the same principles. As with China, Taiwan’s claims are also not clearly defined. Occupies Pratas Island in the Spratlys.
Vietnam
Vietnamese claims are based on history and the continental shelf principle. Vietnam claims the entire Spratly Islands (Truong Sa in Vietnamese) as an offshore district of the province of Khanh Hoa. Vietnamese claims also cover an extensive area of the South China Sea, although they are not clearly defined. In addition, Vietnam claims the Paracel Islands (the Hoang Sa in Vietnamese), although they were seized by the Chinese in 1974. The Vietnamese have followed the Chinese example of using archaeological evidence to bolster sovereignty claims. In the 1930’s, France claimed the Spratly and Paracel Islands on behalf of its then‐ colony Vietnam. Vietnam has since occupied 20 of the Spratly Islands to enforce its claims.
Note: Indonesia is not a claimant to any of the Spratly Islands. However, Chinese and Taiwanese claims in the South China Sea may extend into Indonesia’s EEZ and continental shelf, including Indonesia’s Natuna gas field. Source: U.S. Energy Information Administration TABLE 2 : MILITARY CLASHES MILITARY CLASHES BETWEEN THE PHILIPPINES AND OTHER CLAIMANTS OVER THE SPRATLYS YEAR
OPPOSING COUNTRY
MILITARY ACTION
1995
China
China occupied Philippine‐claimed Mischief Reef. Philippine military evicted the Chinese in March and destroyed Chinese markers.
1996
China
In January, Chinese vessels engaged in a 90‐minute gun battle with a Philippine navy gunboat near Capones Island.
1997
China
The Philippine navy ordered a Chinese speedboat and two fishing boats to leave Scarborough Shoal in April; the Philippine navy later removed Chinese markers and raised its flag. China sent three warships to survey Philippine‐occupied Panata and Kota Islands.
1998
Vietnam
In January, Vietnamese soldiers fired on a Philippine fishing 63 Frontier Volume 4, April 2012
boat near Tennent (Pigeon) Reef. 1999
China
In May, a Chinese fishing boat was sunk in a collision with Philippine warship. In July, another Chinese fishing boat was sunk in a collision with a Philippine warship.
1999
China
In May, Chinese warships were accused of harassing a Philippine navy vessel after it ran aground near the Spratly Islands.
1999
Vietnam
In October, Vietnamese troops fired upon a Philippine air force plane on reconnaissance in the Spratly Islands.
1999
Malaysia
In October, Philippine defense sources reported that two Malaysian fighter planes and two Philippine air force surveillance planes nearly engaged over a Malaysian‐occupied reef in the Spratly Islands. The Malaysian Defense Ministry stated that it was not a stand‐off.
2000
China
In May, Philippine troops opened fire on Chinese fishermen, killing one and arresting seven.
2001
China
During first three months, the Filipino navy boarded 14 Chinese flagged boats, confiscated their catches, and ejected vessels out of contested portions of the Spratlys.
2001
China
In March, the Philippines sent a gunboat to Scarborough Shoal to, “to ward off any attempt by China to erect structures on the rock.”
2002
Vietnam
In August, Vietnamese troops fired warning shots at Filipino military reconnaissance planes circling over the Spratlys.
Source: U.S. Energy Information Administration Table 3 : OIL AND GAS IN THE SOUTH CHINA SEA OIL AND GAS IN THE SOUTH CHINA SEA COUNTRY
PROVEN OIL RESERVES (billion barrels)
PROVEN GAS RESERVES (trillion cubic feet)
OIL PRODUCTION (thousand barrels/day)
GAS PRODUCTION (billion cubic feet/day)
Brunei
1.1
13.8
203.5
366
Cambodia
0
0
0
0
64 Frontier Volume 4, April 2012
China
16
80
3,684.4
1,960
Indonesia
4.37
93.9
892.5
2,613
Malaysia
4
83
750.8
2,218
Philippines
0.14
3.5
15.2
88
Singapore
0
0
0
0
Taiwan
<0.01
0.22
1
28
Thailand
0.5
11.7
186.9
858
Vietnam
0.6
6.8
344.6
162
TOTAL
26.7
279.1
6,078.9
8,293
Note: Proved oil and natural gas reserves are as of January 1, 2008. Oil production is a 2006 average. Oil supply includes crude oil, natural gas plant liquids, and other liquids. Natural gas production is a 2006 projection. Source: U.S. Energy Information Administration
65 Frontier Volume 4, April 2012
Gambar: Koran Jakarta
Masalah Keamanan Regional Asia Pasifik Soeripto Ketua Dewan Pakar PKS
1. Pada era paska Perang Dingin dan selanjutnya memasuki era globalisasi, dunia mengalami pergeseran kekuatan (Power Shift) yaitu dari Barat ke Timur. Dengan kemajuan yang pesat di sektor ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan pertahanan, terutama di India, Korea Selatan, China, dan Taiwan, maka kawasan Asia Pasifik saat ini menjadi perhatian dunia. Khususnya di sektor keamanan regional, kawasan Laut China Selatan menjadi pusat perhatian dunia. Kawasan ini dikelilingi sepuluh negara pantai (RRC, Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, dan Filiphina), dimana negara‐negara tersebut mempunyai kepentingan berupa Jalur Lintas Perdagangan Internasional. Lagi pula negara‐negara tersebut mengandung deposit sumber daya alam seperti; minyak bumi, gas, dan fosfor. Khusus di Kepulauan Spratly yang mengandung 25‐30 milyar meter kubik cadangan gas bumi, 105 milyar barel cadangan minyak bumi, dan 370 ribu ton fosfor. 66 Frontier Volume 4, April 2012
2. Dari aspek keamanan regional, kawasan ini pun rawan terhadap gangguan keamanan seperti perampokan, penyelundupan, illegal logging, serta klaim kepemilikan Kepulauan Spartly yang dilakukan oleh China, Taiwan, Vietnam, Brunei Darussalam, filiphina, dan Malaysia. Maka kawasan ini mengandung potensi konflik, apalagi kebangkitan kekuatan militer China dianggap sebagai ancaman bagi kehadiran kekuatan militer Amerika Serikat (AS) di kawasan Asia Pasifik yang selama ini merasa dirinya sebagai satu‐satunya kekuatan militer yang berfungsi sebagai penjaga keamanan. Ketegangan AS‐China semakin memanas ketika AS secara terang‐terangan menegaskan bahwa ingin ikut campur tangan dalam penuntasan sengketa di kawasan Laut China Selatan. Hal ini ditegaskan oleh Menteri Pertahanan AS Robert Gates maupun Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton yang berbicara di Forum Regional ASEAN di Vietnam pada tanggal 27 Juli 2010. Sementara itu Menteri Luar Negeri China, Yang Jiechi, memperingatkan AS untuk tidak
meng‐internasionalisasi masalah Laut China Selatan. 3. Kerawanan keamanan regional ini pun juga timbul karena adanya sengketa di luar kawasan Laut China Selatan, yaitu antara China dengan Taiwan yang didukung oleh AS, Jepang, dan Australia dalam hal sengketa Selat Taiwan. Sebenarnya bukan Selat Taiwan yang menjadi sumber sengketa, tetapi selat ini sangat berpotensi bagi RRC untuk menyerang Taiwan melalui perairan. Lantas potensi konflik yang berlatar belakang politis antara Korea Selatan versus Korea Utara yang didukung oleh Jepang, AS, dan Australia. Selanjutnya konflik yang berkepanjangan antara India dan Pakistan mengenai masalah Kashmir, sengketa Kepulauan Senkaku antara Jepang versus Rusia, pertikaian wilayah Arunacal Pradesh antara China versus India, dan klaim Ambalat antara Indonesia versus Malaysia. 4. Luberan (spill over) atas situasi keamanan di Afganistan pun nantinya paska tahun 2014 yaitu setelah ditinggalkan ISAF (International Security Assistance Force) yang terdiri
67 Frontier Volume 4, April 2012
dari USA, UK, France, Germany, Dutch, Turkey, Australia, Canada, New Zealand, Italy, Hungary, Spain, Poland, Portugal, Romania, Georgia, Denmark, Belgium, Czech Republic, Swedan, Slovenia, Republic of Korea, United Arab Emirates, Mongolia, Montenegro, Bosnia, Slovakia, El Savador, Findland, Bahrain, Malaysia, Estonia, Austria, Croatia, Singapore, Norway, Bulgaria, South Korea, akan berdampak terhadap kerawanan keamanan di kawasan regional Asia Pasifik. Sebagaimana diketahui konflik internal bakal sengit terjadi yaitu antara kelompok‐ kelompok bersenjata Mullah Omar (Pashtun) Taliban, Ismail Khan (Provinsi Herat), Karim Kalibi (Provinsi Bamiyan), Abdul Rashid Dostum (utara kota Mashar i Sharif), Gul Agha Sherzai (Provinsi Kandahar), Galbudin Hekmatyar (Hizb‐i‐ Islam). Perlu pula diperhatikan bahwa Afganistan sangat kaya dengan sumber alam sehingga di kemudian hari, paska tahun 2014 boleh jadi Afganistan akan menjadi ajang apa yang disebut “Resource Wars”, yang memperebutkan sumber daya alam (mohon dilihat peta
lampiran). Saat ini baru investor China yang berani masuk ke Afganistan, yaitu Metallurgical Corporation of China dan Jiangxi Copper. 5. Ancaman riil yang dapat mempengaruhi situasi keamanan di kawasan Asia Pasifik ialah perlombaan kekuatan militer di Laut China Selatan, sehubungan letak geografis maupun deposit sumber daya alam yang berada di Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Dalam perlombaan kekuatan militer ini, Amerika selalu menempatkan posisinya di belakang layar. Pola yang diterapkan AS senantiasa pola yang sama, yaitu dia mengajak beberapa puluh negara lain untuk “ngeroyok” musuhnya dan AS di belakang layar dalam arti memberikan bantuan militer serta fasilitas yang diperlukan untuk negara‐negara lainnya itu, atau setidak‐tidaknya terkesan “ngeroyok bersama‐sama” tidak sendirian. Hal ini dapat kita saksikan di Iraq dan Afganistan. Maka dalam menghadapi kompetitor dan musuhnya di kawasan Asia Pasifik, pola “ngeroyok” ini pun diterapkan, misalnya dalam sengketa Selat
68 Frontier Volume 4, April 2012
Taiwan dimana AS mengajak Jepang dan Australia, begitu juga dalam sengketa dengan Korea Utara, AS mengajak Jepang dan Australia. Jadi dalam menghadapi “musuhnya”, yaitu China di Laut China Selatan, AS melibatkan Negara‐negara ASEAN melalui military joint exercise dan Jepang yang berhadapan langsung dengan China. Sejarah telah membuktikan bahwa dalam Perang Dunia Kedua dan perang Korea, AS selalu mengambil posisi penentu terakhir dalam peperangan tersebut, tetapi ketika masih pada tahap awal, AS memainkan perannya sebagai provokator (negara lain dulu yang dihasut). Pada saat ini di antara Negara‐ negara ASEAN yang berhasil dihasut oleh AS sehingga langsung berkonfrontasi dengan China, yakni Vietnam dan Filiphina, karena kedua negara tersebut mengklaim kepemilikan Kepulauan Spratly. Dalam kaitannya memberikan fasilitas dan bantuan militer, AS baru‐baru ini memberikan hibah 2 jenis Frigate kelas Hamilton yang berfungsi sebagai kapal penjaga pantai (Coast Guard) kepada Angkatan Laut Filiphina melalui Perjanjian Kerja Sama
AS‐Filiphina. Setelah dihibahkan sekarang namanya menjadi BRP Gregorio del Pilar. Begitu juga AS memberikan fasilitas dan bantuan militer kepada Vietnam berupa latihan bersama “non combat”, seperti teknik navigasi dan SAR. Di samping itu juga Vietnam menyediakan dok perbaikan Kapal Perang Vietnam untuk Armada ke‐7 US Navy. Sementara itu pada saat ini, AS menghasut Negara‐negara ASEAN dan Jepang mengajak latihan perang bersama (Military Joint Exercise). Oleh karena itu hibah F‐16 dari AS untuk Indonesia tidak lepas dari upaya AS untuk menjadi bagian dari strategi “pengeroyokan” musuhnya, meskipun Indonesia mesti menelan beban biaya upgrade 2 squadron (24 unit) sebesar US $ 430 juta atau Rp 3, 87 trilyun dengan kurs Rp 9. 000/ USD. Dalam hubungan ini Komisi I DPR RI seyogianya kritis dalam mencermati peta situasi regional, tidak hanya sebatas dimensi Indonesia sentris, sebab harus melihat implikasi dan komplikasinya dengan kaca mata berdimensi regional.
69 Frontier Volume 4, April 2012
6. Bagaimana halnya dengan reaksi dan response China dalam melihat situasi dan kondisi kekuatan militer di Asia Pasifik, khususnya di Laut China Selatan?
terhadap berbagai sumber daya alam kelautan yang terdapat di Laut Kuning dan Laut China Selatan. Hal ini merupakan suatu bentuk pelibatan (engagement) aktif di Laut China Selatan.
Strategi pembangunan kekuatan Angkatan Laut China adalah membangun kekuatan untuk mengamankan serta mengawal jalur suplay energi dan mempertahankan negaranya dari serangan musuh jauh di luar wilayah daratan. Sebagaimana diketahui bahwa prioritas persepsi ancaman China adalah ancaman energi dan kedaulatan teritorial sebagai warisan konflik sejarah.
China telah melakukan suatu upaya yang besar untuk memperbaiki berbagai kekurangannnya dalam rangka untuk memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam mewujudkan strategi blue water. Upaya tersebut membawa Angkatan Laut TPR pada bentuk modernisasi dengan tujuan yang mendasar pada peningkatan kemampuan menyerang serta dalam melakukan maneuver dari Angkatan Laut TPR. Dalam proses modernisasi tersebut terjadi pergantian mendasar dalam jenis persenjataan, yang pada sebelumnya mengandalkan jenis senjata‐senjata besar, kemudian digantikan dengan peluru kendali anti‐kapal yang memiliki presisi tinggi serta dapat dikendalikan dari jarak jauh. Pergantian persenjataan tersebut meningkat menjadi sepertiga dari dua jenis kapal seperti kapal perusak (DDG) dan Frigate (FF). Persenjataan dan sistem pengendalian navigasi ditingkatkan kemampuannya melalui pemasangan berbagai
Maka dalam rangka strateginya itu Angkatan Laut menjadi tulang punggung keuatan militer, sehingga modernisasi armadanya harus dibangun agar mampu melakukan penjelajahan di samudera luas yang terdiri dari 18 Kapal Perusak serta sejumlah kecil Kapal Penyerang Nuklir dan Kapal Selam yang dilengkapi dengan peluru kendali. Dengan didukung oleh sejumlah model terakhir dari kapal Frigate, Angkatan Laut TPR saat ini mampu beroperasi lebih efektif untuk melakukan penjejakan (surveillance) serta memberikan perlindungan
70 Frontier Volume 4, April 2012
peralatan teknologi lokal, Barat dan Rusia. 7. Mencermati gambaran situasi keamanan regional Asia Pasifik, dapat dikatakan bahwa wilayah ini bermuatan potensi konflik bersenjata maupun perang terbatas. Maka upaya untuk mencegahnya ialah bagaimana menjaga keseimbangan kekuatan militer melalui kerja sama bilateral maupun multilateral. Posisi ASEAN idealnya menjadi penyeimbang di antara 2 kekuatan besar, yaitu AS dan China, tetapi realitanya, ASEAN saat ini lebih condong berpihak kepada AS. Tentu saja China tidak tinggal diam, jika Negara‐negara ASEAN tidak dapat didekati lagi, maka China akan membujuk negara‐ negara lainnya untuk menjadi penyeimbang. Boleh jadi China akan mengajak negara‐negara yang tergolong dalam Shanghai Cooperation Organization untuk menjadi penyeimbang kekuatan militer di kawasan Asia Pasifik. Sebagaimana diketahui bahwa negara‐negara yang tergabung dalam SCO (Shanghai Cooperation Organization) yang didirikan di Shanghai pada tanggal 15 Juni 2001, pendirinya
terdiri dari; Rusia, China, Iran, Kazhahtan, Kyrgystan, dan Tajikistan. Kemudian Uzbekistan menyusul bergabung. Negara‐ negara tersebut pernah mengadakan latihan perang bersama (Military Joint Exercise) dalam konteks menghadapi ancaman terorisme dan saling memperkokoh wilayah‐wilayah perbatasan di antara negara‐negara tersebut. Patut dicatat di sini bahwa negara‐negara yang tergabung dalam SCO mengusai bahan energi berupa minyak dan gas yang cukup besar. Kepulauan Spratly dan Paracel dapat menjadi “batu sandungan” konflik bersenjata di Laut China Selatan, sebab siapa pun yang dapat mengusai Kepulauan Paracel, akan dapat mengawasi navigasi di bagian utara Laut China Selatan. Sedangkan menguasai Kepulauan Spratly dapat mengontrol rute maritim yang menghubungkan Pasifik atau Asia Timur dengan Samudera Hindia. Apalagi kepulauan ini mengandung cadangan minyak dan gas off shore yang besar (105 milyar barel cadangan minyak dan 25‐ 30 milyar meter kubik cadangan gas bumi), sehingga berpotensi
71 Frontier Volume 4, April 2012
apa yang disebut “Resource Wars”.
Sumber : • Imint (Imagery Intelligence)‐ Satelit Intelijen
Diharapkan melalui perjanjian bilateral dan multilateral konflik bersenjata dapat dicegah dan melalui keseimbangan kekuatan militer di Kawasan Asia Pasifik, dapat mencegah kemungkinan terjadinya perang terbuka berskala regional.
Penjelasan :
Jakarta, 16 Februari 2012
• Tentang lokasi Pangkalan Militer serta jenis kapal China yang berfungsi sebagai Kapal Surveillance (penjejakan) dan lokasi militer China di Kepulauan Spratly‐Paracel.
72 Frontier Volume 4, April 2012
Bidang Hubungan Luar Negeri Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera
73 Frontier Volume 4, April 2012