PEMBELAJARAN KRITIS DI PESANTREN
l a t
i g SARWENDAi D / e n i l On a c a
B
Penerbit YPM 2014
l a Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT) t i g i Judul buku D Pembelajaran Kritis di Pesantren / e n Penulis i l Sarwenda On ISBN 978-602-7775-28-2 a c xiv + 127 hlm.; a B © Hak Cipta Sarwenda, 2014 Hak penerbitan dimiliki Young Progressive Muslim. Dilarang mengkopi sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit. Young Progressive Muslim Jl. Talas II Pondok Cabe Ilir Pamulang Rt.05 Rw.01 Tangerang Selatan 15418 email:
[email protected] http://www.ypm-publishing.com
Buku ini penulis persembahkan untuk Ayahanda Surmaja dan Bunda Junaini “Ayah, Ibu, aku ingin tidak hanya menjadi seonggok daging dengan sebuah nama”.
l a t
i g i
D / e
n i l
On a c a
B
“Kalaulah ilmu dapat dicapai dengan cara berkhayal, maka tidak ada manusia bodoh dimuka bumi ini” (Pepatah Arab).
l a t
i g i
D / e
n i l
On B
a c a
PENGANTAR PENERBIT
Banyak orang yang terjaga, namun hatinya terlelap. Ungkapan tersebut menjadi alasan yang mendasar perbedaan antara awarness dan counsciousness. Sebuah realita kehidupan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat kita bahwa, betapa banyak orang melihat beragam persoalan tapi tidak menyadari sepenuhnya penyebab persoalan tersebut. Ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa suatu tatanan masyarakat bisa hancur, bisa rusak dan berada dalam situasi tertindas, tetapi mereka yang tertindas tidak ingin merubah situasi tersebut. Terjaga namun terlelap, melihat tapi tidak menyadari, menyadari tapi tidak ingin merubah. Suatu keadaan masyarakat yang oleh Paulo Freire disebut sebagai kesadaran magis dan naif, dan obatnya tentu kesadaran kritis (consciousness). Institusi pendidikan tidak bisa lepas dari kondisi politik suatu negara. Oleh karena itu, peserta didik harus menyadari situasi demikian. Ketika mereka telah menyadari bahwa, betapa banyak hal yang mempengaruhi kualitas hidup mereka termasuk politik, diharapkan mampu menghadapinya setelah mereka lulus dari bangku akademis. Salah satu cara untuk membekali peserta didik untuk mampu menghadapi segala realita kehidupan sosial adalah kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Tidak hanya mampu berpikir dengan baik, tetapi juga memiliki kesadaran untuk merubah kondisi yang tidak menguntungkan bagi hidupnya, dengan mengutip pemikiran Pualo Freire biasa disebut sebagai suatu kesadaran kritis. Untuk memulai budaya kesadaran kritis berciri khas kultur nusantara pada masyarakat tentu bukan hal yang mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Lembaga pendidikan merupakan tempat yang paling krusial untuk memulai budaya ini, dari level terendah (sekolah dasar) sampai perguruan tinggi. Diluar lingkungan pendidikan, keluarga dan masyarakat juga berperan penting dalam hal ini. Untuk membentuk suatu tatanan masyarakat yang memiliki budaya berpikir yang baik diperlukan dukungan dari segala pihak. Buku yang berada ditangan anda ini berdasarkan tesis penulis di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lewat buku ini, penulis ingin menunjukkan bahwa, lembaga pendidikan Islam Pesantren sekarang telah bertransformasi dan semakin modern dengan memperbanyak pengetahuan umum seperti di sekolah negeri, oleh sebagaian peneliti disebut sebagai program keterampilan. Lebih dari itu, bahkan sudah banyak Pesantren yang memodifikasi sistem pembelajarannya untuk membuat Pesantren kompatible dengan lembaga pendidikan umum. Salah satu contohnya yaitu Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Pesantren ini telah berusaha untuk memodifikasi sistem pendidikannya yang berbeda dari kebanyakan lembaga pendidikan lainnya, demi melahirkan lulusan yang tidak hanya tafaqquh fid-din tapi juga siap bersaing dikancah nasional dan
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
v
internasional. Berbagai upaya dilakukan termasuk menggabungkan 3 kurikulum yang diterapkan oleh kemenag, kemendiknas dan kurikulum Pesantren sendiri. Buku ini juga mengeaskan bahwa, Pesantren pertanian Darul Fallah, telah berusaha untuk membenahi semua aspek itu demi tercapainya tujuan pembelajaran yang maksimal dan output yang siap menghadapi segala permasalahan setelah lulus sekolah. Dengan membekali pengetahuan agama juga keterampilan di bidang pertanian, dan koperasi, Pesantren ini memiliki corak yang berbeda dari kebanyakan model Pesantren yang banyak berkembang di Nusantara ini. Florian Pohl dalam bukunya yang berjudul “Islamic Education and the Public Sphere: Today’s Pesantren in Indonesia”, menyatakan bahwa, Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor sebagai Pesantren yang mendekati ide pemikiran pendidikan Paulo Freire dan Ivan Illich. Para pengamat dan pelaku pendidikan sangat paham bahwa, tujuan pembelajaran terkait pada banyak hal dalam proses pembelajaran, baik kondisi di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Dalam buku ini juga disampaikan bahwa, untuk melahirkan generasi yang ideal tidak hanya cukup dengan membenahi materi pelajaran saja, tetapi juga tujuan pembelajaran, metodologi pembelajaran, tenaga pengajar, dan kebijakan sekolah yang dibuat. mereka biasa menamai itu sebagai sistem pendidikan. Akhirnya, sebagai penerbit buku-buku hasil karya ilmiah dan riset, YPM memberikan apresiasi yang tinggi dan ucapan terima kasih kepada penulis yang telah memberikan kepercayaan untuk menerbitkan buku dengan fokus kajian seputar perkembangan Pesantren terbaru abad ini. Apresiasi yang tinggi juga ucapan terima kasih kepada pembaca yang telah menyempatkan diri untuk membaca hasil penelitian terbaru tentang warna lain Pesantren ini. Semoga buku yang sarat teori dan kaya literatur serta original karya penulis ini, mampu menggugah pandangan masyarakat luas terhadap kualitas lulusan Pesantren yang tidak bisa dianggap hanya pandai mengaji semata, tetapi juga pandai mengkaji dan memproduksi.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
Jakarta, Desember 2013 Tim Redaksi
vi
Ucapan Terima Kasih “Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhan-mu yang menciptakan” (QS: Al-‘alaq:1) “The greatest humanistic and historical task of the oppressed: to liberate themselves...” (Paulo Freire).
Penulis sangat menyadari bahwa buku ini tidak akan rampung tanpa dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis inging mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas berat ini. Kepada para pendidik di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Azyumardi Azra, Prof. Suwito yang selalu memberikan semangat optimisme. Dr. Fuad Jabali, Dr. Yusuf Rahman, Prof. Syukron Kamil, Prof. Malik Fajar, Dr. Suparto yang telah dengan kritis mengoreksi dan menjelaskan penggunaan teori-teori dengan tepat, sehingga membuat tulisan ini lebih layak dibaca. Kepada para pengajar dan penguji lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, tapi tidak mengurangi rasa terima kasih penulis kepada mereka semua. Ucapan terima kasih yang tak pernah habis kepada supervisor Dr. Muhammad Zuhdi, yang selalu memberikan dukungan, ide-ide dan saran, yang tidak pernah lelah mendengarkan dan menghargai ide-ide penulis, mengkritik dan mengajarkan penulis banyak hal, yang selalu menginspirasi untuk tidak putus asa, penulis sangat berhutang budi kepada beliau. Kepada seluruh civitas akademik Pascasarjana UIN Jakarta yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, Semoga Allah Swt kelak yang akan membalas tugas mulia mereka dengan segala kebaikan dunia dan akhirat. Kepada pimpinan, pengurus dan pengajar serta santri-santri Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu tapi tidak sedikitpun mengurangi rasa terima kasih dan penghargaan yang besar terhadap mereka. Tanpa partisipasi dan kontribusi yang besar dari mereka, buku ini tidak mungkin selesai. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan seperjuangan di Sekolah Pascasarjana Inda Kartika, Putri Nurina, Yulia Rahman, Eva Nurazizah, Husna, Mala Yasin, Mba Any, Bunda Maya, Wina, Marlin Selo, Abu Bakr, Uswah Hasanah, Datul Istadha, Yuyun dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namun, tidak mengurangi rasa terima kasih penulis terhadap kalian semua. Tanpa kalian tentu, buku ini tidak akan mudah diselesaikan. Akhirnya, Rasa syukur dan bangga yang tidak pernah berakhir karena telah terlahir sebagai anak dari kedua orangtua yang luar biasa H. Surmaja dan Hj.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
vii
Junaini, entah dengan kalimat apa yang harus penulis tulis untuk menggambarkan rasa syukur atas pengorbanan, cinta kasih, pengertian dan motivasi serta doa dan dukungan yang tak terhingga yang selalu penulis terima dengan berlimpah ruah. Tanpa itu semua rasanya sulit sekali bagi penulis untuk dapat menyelesaikan studi di Pascasarjana ini. Begitu juga dengan keluarga besar di Bangka Belitung, kepada PT. Timah Bangka dan berbagai pihak yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengakomodasi penulis pada seminar internasional pendidikan di Kuala Lumpur- Malaysia 2013 untuk mempresentasikan karya yang sederhana ini. Buku ini penulis persembahkan untuk kalian. Semoga Yang Kuasa selalu membalas kebaikan kalian semua dengan kebaikan yang berlimpah ruah. Buku ini 90% orisinil karya penulis yang telah dicek bebas plagiasi pada situs plagiarisma.net, kecuali kutipan-kutipan yang telah dicantumkan dalam footnote dan refrenshi. Penulis sangat menyadari bahwa, terdapat banyak sekali kekurangan dalam buku ini, maka jika berkenan penulis sangat berterima kasih kepada segala pihak untuk mengoreksi dan mengkritisi kekurangan dari buku ini, sebagai warisan yang berharga untuk generasi selanjutnya.
l a t
i g i
“kebahagiaan yang sempurna tidak akan ada tanpa jalan yang terjal”. (Alberthein Endah, Athirah).
D / e
n i l
On
Ciputat, November 2013 Sarwenda
a c a
B
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: A. Konsonan b
=
ب
z
=
ز
f
=
ف
t
=
ت
s
=
س
q
=
ق
th
=
ث
sh
=
ش
k
=
ك
j
=
ج
s{
=
ص
=
ل
h{
=
ح
d{
=
ض
ll a t m
=
kh
=
خ
t{
=
D / e ط
م
n
=
ن
d
=
د
z{
l= n O
ظ
h
=
ه
dh
=
ذ
=
ع
w
=
و
r
=
ر
=
غ
y
=
ي
Short: a = ´ ; i = ◌ِ ;
a‘ c a
B
gh
i g i
in
u = ◌ُ
Long: a< = ; اi> = ; يū = و Diphthong: ay = ; ا يaw = ا و
ix
l a t
i g i
D / e
n i l
On a c a
B
x
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENERBIT
v
PENGANTAR PENULIS
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
ix
DAFTAR ISI
xi
DAFTAR SINGKATAN
xiii
BAB I: PROBLEMATIKA PESANTREN A. Pesantren dan Tantangan Globalisasi B. Fokus Kajian C. Kajian Literatur D. Ruang Lingkup Kajian
l a t
i g i
BAB II: PARADIGMA PEMIKIRAN DAN PEMBELAJARAN KRITIS A. Dari Teori Berpikir Kritis ke Pedagogik Kritis B. Konsep Pendidikan Kritis dan Kreatif dalam Islam C. Potret Perkembangan Pesantren dalam Lintas Sejarah
D / e
in
l n O
a c a
BAB III: DINAMIKA PESANTREN PERTANIAN DARUL FALLAH BOGOR A. Profil dan Historiography Pesantren B. Sikap Pesantren Darul Fallah Terhadap Perubahan C. Respon Pesantren Terhadap Urgensi Tujuan dalam Pembelajaran, Kurikulum, Materi dan Metodologi
B
BAB IV: PEMBELAJARAN KRITIS DI PESANTREN PERTANIAN DARUL FALLAH BOGOR A. Pendidikan Partisipatif: Upaya Membangun Kritisisme santri B. Kontekstualisasi Text dalam Proses Pembelajaran C. Budaya Berpikir Kritis Santri dalam Proses Pendidikan
xi
1 12 17 20
21 38 50
55 63 72
85 91 98
BAB V: KESIMPULAN SARAN
107 108
DAFTAR PUSTAKA
109
GLOSARI
121
INDEKS
123
BIODATA PENULIS
125
l a t
i g i
D / e
n i l
On a c a
B
xii
DAFTAR SINGKATAN
BUMN Cape (UK) CBSA Cet. CTL Depag Diknas FGD HISDAF HMI IDAC IMTAQ IPTEK IPB IQ KBK Kemenag KKM LkiS LP3ES LSM NACCCE NGO P3M PAKEM PGA PII PPR SDA SDM SMD STPN TI TPK TPN UNESCO WTC YES YIU
: Badan Usaha Milik Negara. : Creative Partnerships (United Kingdom). : Cara Belajar Siswa Aktif. : Cetakan. : Contextual Teaching and Learning. : Departemen Agama. : Pendidikan Nasional. : Focus Group Discussion. : Himpunan Santri Darul Fallah. : Himpunan Mahasiswa Islam. : Institute d’ Action Culture. : Ilmu Pengetahuan dan Taqwa. : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. : Institut Pertanian Bogor. : Intelectual Quotion. : Kurikulum Berbasis Kompetensi. : Kementerian Agama. : Kriteria Ketuntasan Minimal. : Lembaga Kajian Islam dan Sosial. : Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. : Lembaga Swadaya Masyarakat. :National Advisory Committee on Creative and Cultural Education. : Non- Govermental Organization. : Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan : Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan. : Pendidikan Guru Agama. : Pelajar Islam Indonesia. : Pesantren Pertanian Rakyat. : Sumber Daya Alam. : Sumber Daya Manusia. : Serial Media Dakwah. : Southern Thailand Peace Network. : Tujuan Institusional. : Target Pencapaian Kompetensi. : Tujuan Pendidikan Nasional. :United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. : World Trade Centre. : Youth Exchange and Study. : Yala Islamic University.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
xiii
l a t
i g i
D / e
n i l
On a c a
B
xiv
BAB I PROBLEMATIKA PESANTREN
A.
Pesantren dan Tantangan Globalisasi Pendidikan Islam di Indonesia telah diakui sebagai subsistem pendidikan nasional. Keberadaannya diakui dalam tiga hal, antara lain; pendidikan Islam sebagai lembaga, pendidikan Islam sebagai mata pelajaran, dan pendidikan Islam sebagai nilai (value).1 Hal demikian selaras dengan tujuan pendidikan Islam2 itu sendiri yang syarat nilai-nilai kemanusiaan, mendidik emosi, etika, pendidikan intelektual dan sangat memerangi kebodohan.3 Akan tetapi, memasuki abad XX dunia pendidikan Islam tengah mengalami sorotan tajam dari masyarakat global, terlebih setelah tragedi 9/11 WTC. Umat muslim dunia dituding bertanggung jawab atas perbuatan segelintir orang yang tidak bertanggung jawab tersebut. Terutama pada madrasah dan lembaga pendidikan Islam Pesantren di seluruh dunia, yang dianggap telah mengajarkan radikalisme dan sarang terorisme. 4 Padahal lembaga pendidikan Islam di Thailand Selatan berhasil menciptakan perdamaian atas konflik yang mematikan di Asia decade ini. Lembaga tersebut adalah Universitas Islam Yala (YIU) yang bekerja di sebuah kurikulum integratif, yang menggabungkan perdamaian Barat dan Islam serta manejemen konflik. Selain itu, YIU juga menjadi anggota aktif di STPN5 (Southern Thailand Peace Network), hal itu untuk membuktikan bahwa Islam bisa kompatibel dengan modernitas tanpa kehilangan moralitas.6
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
1
B
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 1-4. 2 Muḥammad ‘Aṭiyyah al-Ibrāshī, menjelaskan tujuan pendidikan islam yaitu: membentuk akhlak yang mulia, persiapan mencari rizki, persiapan menghadapi kehidupan dunia-akhirat, menumbuhkan intelektualitas, dan menyiapkan diri sebagai insan kamil. Lihat Muḥammad ‘Aṭiyyah al-Ibrāshī, Al-Tarbiyah al-Islāmiyyah wa Falāsifatuhā (Kairo: ‘Isā al-Bābī al-Ḥalbī wa Shirkāh, 1975), 22-25. 3 , Muḥammad ‘Aṭiyyah al-Ibrāshī, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, terj: Syamsuddin Asyrofi, dkk. judul asli “Rūḥ al-Islām” (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), 51. 4 Jeanne Moulton, dkk. “Madrasah Education: What Creative Associates has learned,” dalam paper Creative Associates International, INC (Creative), February (2008), http://www.creativeassociatesinternational.com (diakses pada tanggal 14 April, 2011). 5 STPN (Southern Thailand Peace Network) adalah: jaringan perdamaian yang didirikan oleh lima universitas di tiga provinsi di thailand selatan, yang bertujuan untuk menyuntikkan pandangan perdamaian melalui kerjasama antar-universitas dalam pengembangan kurikulum, perdamaian, advokasi perdamaian pembangunan kapasitas melalui pendidikan. s6 Prashanth Parameswaran, “Islamic Education as a Peacemaking Tool A Case Study of Southern Thailand,” Global Politics Magazine, 16 Oktober, 2007, http://www.global-politics.co.uk (diakses pada tanggal 1 Mei 2011).
1
Kontroversi tentang seputar dunia pendidikan Islam, memang telah berlangsung sejak lama. Akan tetapi, di era globalisasi sekarang ini kontroversinya semakin memanas. Salah satunya yaitu, isu tentang sistem pembelajaran pendidikan Islam yang dianggap fiodal, ekslusif, radikal yang melatarbelakangi serangkaian tragedi dunia terutama isu terorisme. Rosnani Hashim dalam tulisannya mengatakan bahwa, kegagalan sistem pendidikan Islam dalam menjalankan empat aspek pengajarannya. Ke-empat aspek tersebut berupa yaitu; tujuan, kurikulum, metode pengajaran, dan lingkungan sekolah, telah membuat lembaga pendidikan Islam tidak mampu menghasilkan siswa yang dapat berpikir kritis, dan kreatif. Oleh sebab itu, lulusannya mudah terpengaruh dengan budaya barat, tidak produktif, hanya mampu menghasilkan lulusan yang premature. Selain itu, tidak terlalu menguasai suatu bidang keilmuan secara keseluruhan, dan tidak mampu mempertahankan apa yang telah di pelajarinya di sekolah. 7 Di lain artikel, Roshnani pun berujar dan mempertanyakan bahwa, meski perguruan tinggi Islam telah menjamur dan berkembang pesat di berbagai Negara. Akan tetapi, mengapa lulusan universitas Islam baik di Malaysia ataupun di Indonesia, tidak memiliki ahli-ahli di bidang keilmuan Islam yang orisinil atau memiliki pemikiran dan produk yang baru. Menurutnya para lulusan universitas Islam tersebut hanya bisa menjadi penceramah, guru, dan hanya cenderung focus terhadap permasalahan ibadah dan akhirat. Jarang sekali yang terjun langsung berkecimpung di bidang sosial dan lain sebagainya. Lebih lanjut lagi, ia mempertanyakan kepraktisan dan efisiensi dalam bertindak dan mengelola organisasi administrasi seperti pengadilan dan departemen agama, tidak kreatif juga inovatif, dan menurutnya sistem pendidikan Islam di perguruan tinggi Islam pun telah gagal.8 Kritik yang hampir sama juga di sampaikan oleh Masdar F. Mas’udi. Ia mengkritisi metode pembelajaran dan pengajaran di Pesantren tradisional, yang menurutnya cenderung menerapkan metode hapalan ketimbang penalaran. Metode yang tidak proporsional inilah yang menurutnya menghambat daya kritis pelajar di Pesantren tradisional. 9 Argumen ini mendapat respon dari para sarjana muslim dan barat yang memang memperhatikan perkembangan dunia pendidikan Islam, diantaranya,
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
7
Rosnani Hashim, “Rethinking Islamic Education in Facing the Challenges of the Twenty-first Century,” dalam The American Journal of Islamic Social Sciences, 22:4, 11 september (2001). http://www.amss.org (diakses pada tanggal 6 April 2011). 8 Rosnani Hashim, “Intellectualism in Higher Islamic Traditional Studies: Implications for the Curriculum,” dalam The American Journal of Islamic Social Sciences, 24:3 (2001). http://www.amss.org (diakses pada tanggal 2 April 2011). 9 Masdar F. Mas’udi,” Problem Keilmuan Dunia Pesantren,” dalam Dinamika Pesantren: Telaah Kritis Keberadaan Pesantren Saat Ini, ed. Saifullah Ma’shum (Depok: Yayasan Islam alHamidiyah, 1998), 54-58.
2 BAB I Problematika Pesantren
Florian Pohl dalam bukunya Islamic Education and the Public Sphere: Today’s Pesantren in Indonesia, mengingatkan kembali kepada masyarakat global bahwa Pesantren hari ini berbeda dengan Pesantren pada awal kemunculannya. Fakta itu bisa dilihat dari berbagai usaha para pemerhati atau lulusan Pesantren yang telah berhasil dan memiliki perhatian yang besar terhadap perkembangan Pesantren di Indonesia. Salah satu lembaga Non-Govermental Organization (NGO) yang berhasil didirikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan serta pergerakan Pesantren ke arah yang lebih baik dan bisa bersaing dikancah international adalah P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) dan LkiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial). LP3ES (Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) salah satu NGO yang turut andil dalam membantu memberikan perhatian terhadap Pesantren, lewat koperasi Pesantren dan lain sebagainya.10 Gamal Abdul Nasir Zakaria dalam Pondok Pesantren: Changes and Its Future, menurutnya Pondok Pesantren di Indonesia dan dunia Melayu telah berhasil membuktikan peranannya sebagai satu institusi pendidikan Islam yang mapan, bermutu dan mandiri, selain sebagai wadah untuk menimba ilmu agama, memelihara tradisi ke-Islaman, melahirkan ulama, bahkan pemimpin Negara dengan kemampuan life skills mereka. Menurutnya pendapat yang mengatakan bahwa lembaga pendidikan Islam ini hanya mampu melahirkan seorang guru, khotib, dan penceramah saja adalah anggapan yang salah. Sekarang institusi ini telah mampu mengejar pendidikan yang lebih tinggi dan bidang yang bervariasi seperti ilmu kedokteran, mesin, ekonomi dan lain sebagainya. Hal ini karena lembaga pendidikan Islam sekarang ini dalam hal menejemen dan sistem, telah responsif untuk membuat inovasi dan perubahan tanpa meninggalkan tradisionalisme-nya.11 Selanjutnya menurut Greg Barton, Hasym Asyari telah membuat inovasi dalam sistem pembelajaran. Termasuk juga di dalamnya penyusunan kurikulum, sistem kelas, dan metode pengajaran dengan mengembangkan aspek kritisisme di dalam kelas secara sistematis. Sejak sebelum tahun 1920-an dan mulai sekitar tahun 1920-an dimasukan materi pelajaran modern. Termasuk penggunaan bahasa asing di lingkungan Pesantren, yang akhirnya dijadikan role model oleh banyak Pesantren sejak saat itu hingga sekarang. 12
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
10 Florian Pohl, Islamic Education and the Public Sphere: Today’s Pesantren in Indonesia (German: Waxmann, 2009), 75. 11 Gamal Abdul Nasir Zakaria, “Pondok Pesantren: Changes and Its Future,” dalam Journal of Islamic and Arabic Education 2(2), (2010), 45-52, http://www.ukm.my (diakses pada tanggal 2 April 2011). 12 Greg Barton, Abdurrahman Wahid: Muslim Democrat, Indonesian President (Sydney: A UNSW Press Book, 2002), 39.
BAB I Problematika Pesantren
3
Selain itu Gusdur alias Abdurrahman Wahid pada tulisannya Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, juga mengatakan bahwa system pengajaran Pesantren sangat kompleks, yang merupakan hasil dari perkembangan system pendidikannya yang kolektif terbentuk dari unit-unit yang berdiri sendiri dan elitis, sehingga menghasilkan watak yang mandiri dan lulusan yang bermutu tinggi, hal demikian diakuinya sebagai hasil dari system pendidikan yang berwatak mandiri (sorogan dan weton) dan berkembang menjadi system yang kompleks. Gusdur juga membantah dengan keras kalangan yang menyebutkan bahwa Pesantren khususnya yang masih tradisional sarang kejumudan dan konservatisme. Lebih jauh lagi Ia mengatakan bahwa lembaga tersebut memiliki banyak keunikan dan merupakan lingkungan pendidikan yang integral.13 Menurutnya pula Pesantren merupakan sebuah subkultural.14 Dikatakan demikian, karena Ia beranggapan bahwa Pesantren memiliki elemen-elemen yang bentuknya demikian. Dengan adanya pola kepemimpinan Pesantren yang independen, kitab-kitab rujukan umum yang digunakan dari berbagai abad, dan sistem nilai yang digunakan adalah berdasarkan kebutuhan masyarakat.15 Salah satu bukti kemajuan Pesantren dalam mengintegrasikan keilmuan Islam dan umum dikarenakan adanya lembaga P3M. Dikatakan oleh Budhy Munawar Rachman dkk, bahwa dasar didirikannya P3M adalah pertama, “Pesantren sebagai lembaga pendidikan, dakwah dan sosial yang dianggap berpengaruh bagi perubahan masyarakat kearah yang lebih maju, baik pendidikan maupun kesejahteraan masyarakat. Kedua, banyak Pesantren yang telah terbukti dapat melaksanakan program kreativitas santri dan masyarakat, seperti pengembangan ekonomi mandiri, agribisnis, dan sebagainya. Ketiga, program Pesantren yang telah berjalan perlu ditingkatkan lagi, agar berpengaruh lebih besar bagi masyarakat”. Menurut Budhy Munawar, P3M telah berhasil merubah stigma eksklusif Pesantren menjadi lembaga pendidikan yang lebih modern. Pengembangan wacana keagamaan yang kritis dan emansipatoris untuk tujuan praksis pembebasan telah dilakukan secara gencar. Melalui kritik terhadap paham-paham kontraversial, sosial, konvensional keagamaan yang lebih melanggengkan status quo, dan tidak berpihak kepada kemaslahatan masyarakat.16
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
13
Abdurrahman Wahid, “Pondok Pesantren Masa Depan,” dalam Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, ed. Marzuki Wahid, dkk. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 13. 14 Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultural,” dalam Pesantren dan Pembaharuan, cet. ke-3, ed. Dawam Rahardjo (Jakarta: LP3ES, 1985), 39. 15 Abdurrahman Wahid, “Pondok Pesantren Masa Depan,” dalam Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, ed. Marzuki Wahid, dkk., 14. 16 Budhy Munawar Rachman, Moh. Shofan, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme , 68.
4 BAB I Problematika Pesantren
Tajamnya soroton dunia terhadap lembaga pendidikan Islam terlebih setelah tragedi bom bali 12 oktober 200217 dan runtuhnya WTC 9/11,18 di tambah derasnya laju globalisasi dan modernisasi di seluruh dunia saat ini, 19 membuat dunia pendidikan Islam bekerja keras untuk membenahi dan mengevaluasi sistem pendidikannya terhadap isu-isu negatif tersebut. Berbagai upaya pun terus dilakukan salah satunya melalui berbagai konfrensi internasional yang bertemakan pendidikan Islam. 20 Salah satu wacana yang muncul dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Islam, yaitu untuk menciptakan kualitas lulusannya yang dapat berpikir kritis, kreatif dan produktif.21 Berpikir merupakan salah satu sifat manusia yang membedakannya dengan binatang. Binatang memiliki kesadaran akan tetapi terbatas hanya pada tataran insting, sedangkan manusia memiliki dan mempunyai kesadaran untuk berpikir dan memiliki intelegensi yang bervariatif bahkan ada yang diatas rata-rata (genius). Menurut Tilaar berpikir kritis (critical thinking) dibedakan antara berpikir kritis sebagai gejala psikologis22 dan berpikir kritis sebagai prinsip filosofis.23 Elaine Johnson dalam bukunya menyebutkan definisinya secara umum, berpikir kritis adalah berpikir dengan baik dan merenungkan tentang proses berpikir merupakan bagian dari berpikir dengan baik. Secara khusus berpikir kritis juga bisa didefinisikan dengan kemampuan dalam mengevaluasi secara sistematis. Selain itu,
l a t
i g i
D / e
n i l
17
Florian Pohl, Islamic Education and the Public Sphere: Today’s Pesantren in Indonesia, 59. 18 Jeanne Moulton, dkk. “Madrasah Education: What Creative Associates has learned,” dalam paper Creative Associates International, INC (Creative), February (2008), http://www. creativeassociatesinternational.com (diakses pada tanggal 14 April, 2011). 19 Reza Arjmand, “Reforms of the Curricula and Appropriation of Religion in the Muslim Middle East,” pada "Konfrensi Internasional Universitas Cambridge,” dengan tema Reforms in Islamic Education 9-10 April (2011), http://www.cis.cam.ac.uk (diakses pada tanggal 15 Mei 2011). 20 Lihat Konfrensi Internasional yang diadakan pada Agustus 2008 di Pattani Thailand, dengan tema International Conference on Educational System in Majority and Minority Muslim Societies: Strategies and Perspectives, http://i-epistemology.net (diakses pada tanggal 25 April 2011). Lihat juga konfrensi internasional yang diadakan di universitas cambridge dengan tema Reforms in Islamic Education, pada tanggal 9-10 April (2011), http://www.cis.cam.ac.uk (diakses pada tanggal 2 Mei 2011). 21 Minhaji, “Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia dan Tradisi Berpikir Kritis,” dalam Paradigma Baru Pendidikan Islam: Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, ed. Kusmana, JM. Muslimin (Jakarta: IISEP, Dirjen. Pendidikan Islam DEPAG RI, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2008), 113-114. 22 Berpikir kritis sebagai gejala psikologis sifatnya deskriptif, sedangkan berpikir kritis pada tataran filosofis memiliki nilai kritikal, yang memenuhi standar akseptabilitas yaitu sesuatu yang dianggap baik. Lihat H.A.R. Tilaar, “Pedagogik Kritis: Perkembangan, Substansi, dan Perkembangannya di Indonesia,” dalam Pedagogik Kritis: Perkembangan, Substansi, dan Perkembangannya di Indonesia, ed. H.A.R. Tilaar, Jimmy Ph. Paat- Lody Paat (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), 15. 23 H.A.R. Tilaar, “Pedagogik Kritis: Perkembangan, Substansi, dan Perkembangannya di Indonesia,” dalam Pedagogik Kritis: Perkembangan, Substansi, dan Perkembangannya di Indonesia, ed. H.A.R. Tilaar, Jimmy Ph. Paat- Lody Paat (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), 15.
On
a c a
B
BAB I Problematika Pesantren
5
sebuah proses terarah dan jelas dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, menganalisis asumsi, melakukan penelitian ilmiah dan lain sebagainya.24 Menurut Scriven dan Paulus, berpikir kritis tidak berbeda dengan berpikir analisis, yaitu: sebagai “proses disiplin intelektual secara aktif dan terampil secara terkonsep, menerapkan, menganalisis, mensintesis atau mengevaluasi informasi yang dikumpulkan dari pengalaman, pengamatan, penalaran refleksi, dan komunikasi sebagai panduan untuk keyakinan atau tindakan”.25 Berpikir kritis atau analisis oleh para ahli selalu dikaitakan dengan berpikir kreatif, karena masalah tidak akan terpecahkan dengan baik tanpa kemampuan berpikir kreatif untuk menemukan solusinya. Jika berpikir kritis telah sedemikian sistematisnya di definisikan, maka berpikir kreatif disebut oleh Johnson sebagai kegiatan mental yang memupuk ide-ide asli dan pemahaman-pemahaman baru. Oleh karena itu, kemampuan dalam berpikir kritis dan kreatif bisa memungkinkan siswa dalam memecahkan masalah secara sistematis dan terorganisir dengan solusi yang orisinil dan inovatif.26 Kesadaran akan kelebihan manusia dalam berpikir itulah yang melahirkan pedagogik kritis. Meski terlebih dahulu dilatar belakangi oleh berbagai permasalahan dunia dan pemberontakkan oleh orang-orang yang mencari kebebasan dari rezim atau keadaan manusia yang tertindas.27 Dibandingkan dengan teori pendidikan yang lain, pedagogik kritis masih seumur jagung, dipelopori oleh Immanuel kant yang terkenal dalam bukunya The Critique of Pure Reason.28 Namun pemikiran-pemikiran pedagogik kritis baru mendapat tanggapan luas dari masyarakat ketika buku Paulo Freire terbit pada tahun 1970-an yang berjudul The Pedagogy of the Oppressed.29
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
24 Elaine B. Jonhson, Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna, terj. Ibnu Setiawan, judul asli “Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why It’s Here to Stay (Bandung: Mizan Learning Centre (MLC), 2007), 183, 187. 25 Lihat Michael Scriven dan Paulus, dalam “Critical Thinking,” http://unilearning. uow.edu.au (diakses pada tanggal 20 juni 2010). 26 . Elaine B. Jonhson, Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna, terj. Ibnu Setiawan, judul asli “Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why It’s Here to Stay”, 183. 27 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Tim Redaksi Asosiasi Pemandu Latihan: Utomo Dananjaya, dkk. judul asli “Pedagogy of the Oppressed” (Jakarta: PT. Temprint, 1985), 1-10. 28 Heinrich Kanz, “Immanuel Kant (1724-1804),” dalam PROSPECTS: the quarterly review of comparative education (Paris, UNESCO: International Bureau of Education), vol. XXIII, no. 3/4, 1993, p. 789–806. ©UNESCO: International Bureau of Education, 1999, http://www.ibe.unesco.org (diakses pada tanggal 3 maret 2011). 29 H.A.R. Tilaar, “Pedagogik Kritis: Perkembangan, Substansi, dan Perkembangannya di Indonesia,” dalam Pedagogik Kritis: Perkembangan, Substansi, dan Perkembangannya di Indonesia, ed. H.A.R. Tilaar, Jimmy Ph. Paat- Lody Paat, 25.
6 BAB I Problematika Pesantren
Oleh karena pedagogy kritis terlahir dari perubahan social budaya manusia, maka di abad ke-21 ini dengan proses globalisasi dan derasnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, sangatlah dibutuhkan untuk menekan dehumanisasi yang diakibatkan oleh asimilasi budaya global tanpa batas, isu politik, ekonomi dan lain sebagainya. Pendidikan kritis yang transformatif dianggap dapat meredam masalah-masalah social, demokrasi, emansipasi, hegemoni, ideologi dan masalah-masalah global lainnya yang sering memicu ketidak-harmonisan masyarakat dunia.30 Pendidikan kritis atau yang sering disebut juga sebagai pendidikan pembebasan, mengelaborasikan antara konsep consientizacao (kesadarannya) Freire dan konsep pendidikan Islam. Konsep demikian, bisa menjadi alternatif bagi sistem pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam saat ini terutama Pesantren. Dalam konsep pedagogi pembebasan atau transformatif, pembelajaran dianggap tidak hanya dibatasi pada kegiatan interaksi antara guru dan murid dalam proses belajar-mengajar semata. Melainkan menurut Ahmad Fuad Fanani pembelajaran dimaksudkan, untuk membongkar segala bentuk kesadaran budaya terselubung sebagai upaya untuk membangkitkan kesadaran budaya yang baru. Pendidikan seharusnya melahirkan generasi-generasi cerdas, memiliki kemampuan berpikir secara mendalam (analisis atau kritis), kreatif, egaliter, memiliki akhlak yang mulia, dan demokratis sehingga bisa menjadi human agency atau persona creativia, sebagaimana yang diungkapkan oleh Fanani.31 Kebutuhan untuk mempersiapkan generasi yang berkualitas itulah, yang membuat para sarjanawan muslim berusaha keras untuk menonjolkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif pada siswa di institusi pendidikannya. Lembaga pendidikan Islam yang oleh masyarakat Indonesia disebut pondok Pesantren32 ini memiliki banyak tipologi, setelah mengalami perubahan-perubahan dan transformasi dewasa ini. Oleh karena Pesantren masih sering dikaitkan dengan lembaga pendidikan tradisional, maka sering dianggap masih menggunakan sistem pendidikan yang belum termodifikasi atau tradisional. Oleh karena sistem pendidikan demikian, dituduh sebagai penyebab matinya daya kritis dan kreatif santri. Ungkapan semacam itu bisa dilihat dalam buku karangan Abd A’la, yang mengatakan bahwa
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
30
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Tim Redaksi Asosiasi Pemandu Latihan: Utomo Dananjaya, dkk. judul asli “Pedagogy of the Oppressed,” 124- 150. 31 Ahmad Fuad Fanani, “Pendidikan yang Membebaskan,” dalam Jurnal Madrasah, Dari Madrasah Nizamiyah sampai Sekolah Islam Global, vol. 7, no. 1, 2006, 26-29. 32 Pondok Pesantren menurut Mahmud merupakan, lembaga pendidikan dan pengajaran Islam yang memiliki struktur organisasi yang unik, dimana kiyai sebagai pimpinannya, santri sebutan untuk pelajarnya, dengan mengadopsi sistem pembelajaran madrasah pada abad klasik, kitab-kitab rujukannya, memiliki asrama yang dinamakan pondok. Lihat Mahmud MM, Model-model Pembelajaran di Pesantren, 1. BAB I Problematika Pesantren
7
Pesantren masih belum mampu mengintegrasikan keilmuan agama dan umum. Pada bidang manejemen juga masih banyak yang berpola individual dan karismatik. Pesantren masih dianggap kurang mampu mengapresiasi secara kritis dan kreatif khazanah keilmuannya sendiri. Dan diperparah dengan pola metodologi pendidikan yang monolog. Mengakibatkan masih terpisah-pisahnya kemampuan kognitif, afektif dan konatif.33 Mujamil Qomar juga mempertegas kritiknya terhadap sistem pendidikan Islam khususnya di Pesantren. Ia mengatakan “di Pesantren hampir tidak ada tradisi kritik, komentar, atau koreksi terhadap keterangan-keterangan yang disampaikan oleh kiyainya”. Selanjutnya Mujamil juga menambahkan, di Pesantren juga tidak adanya metode perbandingan antara beberapa mazhab. Para santri di Pesantren menjadi pasif akibat sifat tawadhu’ yang berlebihan, hal demikian karena imbas dari tradisi menghafal.34 Lebih lanjut Mujamil menambah komentar dari beberapa kalangan yang mengatakan, jika tradisi menghafal ini terus dipertahankan dan tidak mengurangi kapasitasnya, maka siswa hanya belajar hidup dari kenyataan semu dan sesungguhnya hal demikianlah yang telah menghambat pencerdasan anak bangsa. Kemudian Mujamil Qomar juga memaparkan tradisi dengan cara menghapal tidak hanya terjadi pada lembaga pendidikan Islam tradisional seperti Pesantren. Akan tetapi, dialami juga oleh lembaga pendidikan Islam formal dan non-formal, baik dalam skala nasional Indonesia maupun internasional. Tradisi hapalan inilah yang menghawatirkan banyak kalangan.35 Menurut Mahmud, secara umum pondok Pesantren dapat di klasifikasikan ke dalam tiga tipe, yaitu: pertama, Pesantren salaf atau tradisional, di sebut demikian karena kegiatan pembelajarannya hanya berdasarkan pola-pola pembelajaran klasik, dengan kata lain hanya mempelajari materi tentang pendalaman agama islam melalui kitab-kitab salafi atau kitab kuning dan dengan metode yang tradisional pula seperti bandongan, wetonan dan lain sebagainya. Mahmud menjelaskan ciri-ciri Pesantren jenis ini sebagai berikut: “Menetap di Pesantren, Kurikulum tidak tertulis secara eksplisit tetapi berupa hidden kurikulum. Pola pembelajaran menggunakan metode pembelajaran asli milik Pesantren, seperti sorogan, bandongan, wetonan, dan lain sebagainya. Tidak menyelenggarakan pendidikan dengan sistem madrasah”. Kedua, Pesantren khalaf atau modern, pada tipe ini Pesantren telah menambah materi pelajarannya, memasukkan unsur-unsur modern, seperti memasukkan sistem klasikal dan ilmu-ilmu umum dalam kurikulumnya. Meskipun
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
33
Abd a’la, Pembaruan Pesantren, 35-40. Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, 229-230. 35 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, 230. 34
8 BAB I Problematika Pesantren
masih mengutamakan materi pembelajaran agama Islam. Adapun ciri-ciri dari Pesantren jenis ini menurut Mahmud yaitu, “santri tinggal dalam pondok/ asrama. Pemaduan antara pola pembelajaran asli Pesantren dengan sistem Madrasah/ sekolah. Menggunakan kurikulum yang jelas. Memiliki tempat khusus yang berfungsi sebagai sekolah/ Madrasah.” Ketiga, Pesantren kombinasi, yaitu dengan menggabungkan sistem salaf dan khalaf, dengan kata lain mengkombinasikan antara pembelajaran klasik dengan pembelajaran umum pada pola pendidikannya. Jadi Pesantren modern dan kombinasi adalah hasil dari Pesantren yang diperbaharui dan dimodernisasi pada segi-segi tertentu, dengan tetap mempertahankan sisi keasliannya yaitu pembelajaran kitab-kitab salafi atau kitab kuning. Mahmud mencatat ciri-ciri Pesantren jenis ini berupa; “Pesantren hanya berfungsi sebagai tempat tinggal (asrama) bagi santri. Santri belajar di Madrasah atau sekolah yang letaknya di luar dan bukan milik Pesantren. Waktu belajar di Pesantren biasanya malam atau siang hari pada saat santri tidak belajar di sekolah/ Madrasah. Umumnya pembelajaran tidak terprogram dalam kurikulum yang jelas dan baku”. 36 Pada hakikatnya metode-metode tradisional yang diterapkan di Pesantren ini tidak sepenuhnya buruk atau tidak bisa digunakan sama sekali.37 Ismail SM mengatakan bahwa metode sorogan secara didaktik-metodik memiliki tingkat efektivitas dan signifikansi yang tinggi dalam mencapai hasil belajar, karena metode ini dianggap memberi peluang bagi guru untuk mengawasi, menilai dan membimbing siswa dengan maksimal. Begitu juga dengan metode bandongan atau wetonan, yang berimbas pada keakraban antara siswa dan guru dalam pencapaian kuantitas dan percepatan kajian materi. 38 Akan tetapi, kedua metode ini jarang digunakan oleh siswa dengan maksimal, akibatnya daya kritis dan sikap berpikir kreatif lamban laun sirna dikalangan santri. Sebab kreativitas selama proses pembelajaran didominasi oleh guru. Oleh karenanya perlu ditinjau lebih jauh tentang metode pembelajaran di Pesantren agar bisa disempurnakan, dalam arti kata menelaah kembali efektivitas, efisiensi dan relevansi metode-metode yang digunakan. Metode menepati posisi yang krusial dalam system pengajaran. Penyampaian materi tidak berarti tanpa peran metode, sehingga ia menempati urutan penting setelah materi dalam
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
36 Mahmud MM, Model-model Pembelajaran di Pesantren (Tangerang: Media Nusantara, 2006), 15-18. 37 Mujamil Qomar, Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, 145. 38 Ismail SM, Pengembangan Pesantren Tradisional: Sebuah Hipotesis Mengantisipasi Perubahan Sosial (Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan Pustaka Pelajar, 2002), 54.
BAB I Problematika Pesantren
9
pengajaran.39 Seorang pengajar atau pendidik dituntut tidak hanya sekedar menguasai ilmu pengetahuan atau suatu bidang ilmu semata untuk mencapai suatu tujuan pembelajarn,40 melainkan ia juga harus menguasai metodologi pengajaran didaktik dan metodik secara baik. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran tidak hanya terpaku pada interaksi guru-murid yang menjadikan guru sebagai salah satu sumber belajar, melainkan kemungkinan berinteraksi dengan keseluruhan sumber belajar yang dipakai dalam mencapai tujuan yang diinginkan.41 Dengan demikian, menurut Uno Hamzah mengutip I Nyoman Sudana Degeng42, Pembelajaran memusatkan perhatian pada “bagaimana membelajarkan siswa”, dan bukan pada “apa yang dipelajari siswa”.43 E. Mulyana mengatakan bahwa seorang pengajar bisa dikatakan memiliki daya professional accountability jika ia mampu mengembangkan persiapan mengajar yang baik, menarik, logis dan sistematis, tidak asal-asalan yang bisa menyebabkan kebosanan peserta didik sehingga tidak tertarik untuk memperhatikan pelajaran, disamping untuk kepentingan pelaksanaan pembelajaran persiapan mengajar merupakan bentuk profesionalitas seorang pengajar.44 Jika metode diartikan oleh Mahmud sebagai “jalan atau cara yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan,” dan pembelajaran dideskripsikan sebagai “kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung secara interaktif antara guru dan murid,” maka metode pembelajaran dapat diartikan sebagai berbagai cara atau metode yang harus digunakan dalam proses belajar-mengajar antara guru dan siswa untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran dan pendidikan. 45
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
39
B
Mujamil Qomar, Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,
141-147. 40
Menurut Trianto, “Pembelajaran merupakan produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup, dalam makna yang lebih kompleks, pembelajaran hakikatnya usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan”. Lihat Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif: Konsep Landasan, dan Implementasi pada KTSP, 17. Adapun tujuan pembelajaran menurut Hamzah B. Uno, adalah pernyataan tentang hasil pembelajaran apa yang diharapkan. Dengan kata lain tujuan pembelajaran sejalan dengan tujuan belajar itu sendiri hanya saja pembelajaran lebih terencana dan sistematis. Lihat Hamzah B. Uno, Perencanaan Pembalajaran, cet. ke-6 (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), 19. 41 Hamzah B. Uno, Teori Belajar dan Pembelajaran (suatu Pengantar) (STKIP Gorontalo: Nurul Jannah, 1998), 2. 42 I Nyoman Sudana Degeng, Buku Pegangan Teknologi Pendidikan (Jakarta: Depdikbud RI, Dirjen Dikti, 1993), 2. 43 Hamzah B. Uno, Perencanaan Pembalajaran, 3. 44 E. Mulyana, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), 186. 45 Mahmud MM, Model-model Pembelajaran di Pesantren, 50.
10 BAB I Problematika Pesantren
Pentingnya suatu konsep dalam pembelajaran haruslah diketahui oleh para guru dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.46 Sebab di dalam pelaksanan pembelajaran, tidak semua murid antusias dengan pelajaran yang disajikan. Daya serap, konsentrasi, serta intelegensia dari tiap siswa pun berbeda-beda. Hal inilah yang menuntut guru untuk kreatif dalam mengemas pelajaran semenarik mungkin dalam bentuk metode itu, sehingga menumbuhkan rasa ingin tahu siswa terhadap materi tersebut dan tertarik untuk mempelajarinya. Tidak berhenti hanya membuat siswa tertarik dan ingin mempelajarinya saja, seorang guru juga harus bisa membangkitkan daya kreativitas berfikir siswa dan bertindak. 47 Selain itu mengaplikasikannya dalam kehidupan dan bukan sebatas mempelajari teori semata, melainkan berdampak pada kehidupan sehari-harinya. Sehingga para peserta didik tersebut dapat mengatasi segala permasalahan yang dihadapinya dalam kehidupan, dengan teori dan proses pembelajaran yang diterimanya di sekolah. Seperti yang disampaikan Trianto, bahwa pentingnya pemahaman materi/ konsep/ informasi dalam proses pembelajaran, sangat mempengaruhi sikap, keputusan, dan cara-cara memecahkan masalah. Tidak hanya seperti menuangkan air kedalam gelas,48 tetapi yang terpenting adalah bermakna.49 Dalam proses pembelajaran, guru dituntut untuk menciptakan Suasana yang membuat siswa aktif merespon pelajarannya, sehingga menciptakan kondisi yang komunikatif antara siswa dan guru, dimana siswa aktif bertanya, mempertanyakan dan mengemukakan ide-ide yang baru. Suasana pembelajaran seperti ini oleh Sofan Amri disebut dengan istilah PAKEM yang berarti Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, akan mampu menumbuhkan daya kritis dan kreatif siswa. Dalam kondisi ini siswa dan guru berada pada posisi subyektivitas. Pada dasarnya anak-anak telah memiliki rasa ingin tahu dan suka berimajinasi. Hal ini menurut Sofan merupakan modal yang special untuk mengembangkan sikap kritis dan daya kreatif anak. 50 Pada Pesantren, penerapan hasil pembelajaran selama proses belajar bisa dilihat dari kehidupan santri yang memang tinggal atau mukim di pondok. Contoh sederhana dari proses ini seperti, ketika di kelas sedang mempelajari materi tentang solat berjama’ah, dari definisi sampai tatacara, hingga alasan-alasan mengapa mereka harus melakukannya, bisa diajarkan, dijelaskan dan langsung diterapkan.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
46
Roestiyah N.K., Masalah-masalah Ilmu Keguruan, cet. ke-3 (Jakarta: Bina Aksara, 1989), 1. Syaiful Bahri Djamarah, Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, cet. ke-3 (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), 73-77. 48 Metode ini yang dinamakan Paulo Freire dengan metode gaya bank, lihat Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Terj. Tim Redaksi LP3ES (Jakarta: LP3ES, 1985), 50-52. 49 Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasi pada KTSP, 6. 50 Sofan Amri, dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran: Pengaruhnya Terhadap Mekanisme dan Praktik Kurikulum, 134. 47
BAB I Problematika Pesantren
11
Dalam kasus Pesantren Pertanian Darul Fallah misalnya, ketika di kelas mereka mempelajari tentang bercocok tanam, maka guru yang bersangkutan bisa langsung mengajarkan mereka bagaimana cara bercocok tanam di lapangan. Kemudian di Pesantren Darul Fallah, para santri terbiasa dengan aktivitas diskusi yang memang telah ada sejak lama dan termanifestasi dalam program HISDAF. Lalu mereka juga telah dibina sejak kelas 2 aliyah untuk mengajukan proposal magang. Program tersebut mereka tempuh selama sebulan pada masyarakat yang memiliki usaha di bidang pertanian, peternakan, perikanan dan lain sebagainya. Nilai plus dari lembaga pendidikan Islam ini adalah para siswa yang belajar pada institusi tersebut diwajibkan bermukim di pondok (asrama). Oleh karena itu, sangat memungkinkan mereka untuk mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari selama proses pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari mereka.51 Demikianlah proses pembelajaran di Pesantren yang secara langsung, apa yang mereka dapatkan di kelas hampir semuanya mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari, yang tidak memiliki batasan waktu selama mereka mondok, begitupula dengan proses berpikir mereka.52 Dengan melihat penjabaran di atas, maka tema pembelajaran kritis di Pesantren bisa diteliti berdasarkan aktivitas interaktif, dan responsif siswa terhadap materi yang disajikan oleh gurunya. Kemudian mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari mereka di Pesantren. Buku ini hadir untuk membuat penelitian-penelitian terdahulu lebih berwarna, sekaligus memperlihatkan corak lain dari Pesantren yang mungkin belum banyak diketahui oleh khalayak ramai. Mengingat pentingnya untuk menyempurnakan dan mengevaluasi kembali terhadap metode yang dipakai pada lembaga tersebut, sehingga dapat memberikan kontribusi yang maksimal dalam pendidikan, pengembangan, dan pemberdayaan masyarakat.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B B.
Fokus Kajian Melihat dari berbagai argumen yang telah dikemukakan diatas dapat diketahui bahwa Pesantren berpotensi sebagai alternatif dari lembaga pendidikan yang bisa mencetak generasi yang berkualitas. Akan tetapi, isu yang menerpa dunia pendidikan Islam khususnya di Indonesia tidak bisa dianggap sebelah mata. Kebutuhan untuk membenah sistem pendidikan kearah yang lebih baik lagi jelas perlu dilakukan segera. Dalam kasus Pesantren selaku lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang paling sering disorot adalah masalah konsep pembelajarannya dalam konteks praktek pendidikan. Bagaimana Pesantren
51
Mujamil Qomar, Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,
146. 52
H.M. H.M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. Ke-2, 2010), 28.
12 BAB I Problematika Pesantren
merancang pembelajaran Mulai dari tujuan pembelajaran, kurikulum, materi dan metodologi. Mengapa Pesantren masih mempertahankan rancangan pembelajaran model klasikal, bukankah rancangan pembelajaran tersebut tidak bisa disepelekan mengingat sangat berpengaruh terhadap output peserta didik. Bagaimana respon Pesantren terhadap perkembangan desain pembelajaran terbaru dalam hal ini metodologi pengajaran dan pembelajaran, yang sangat penting digunakan dalam proses pembelajaran. Bagaimana cara Pesantren membangun daya nalar dan kreatif santri sangatlah membuat penasaran. Oleh karena sering tidak terlihatnya metode pembelajaran aktif, yang sering digunakan diberbagai sekolah yang telah membudayakan berpikir kritis dan kreatif dikalangan siswa. Disisi lain persoalan tentang bagaimana Pesantren merespon tantangan, sering dianggap kaku dan tidak peka terhadap perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Oleh karenanya seringkali Pesantren terlihat hanya mementingkan kehidupan akhirat dan meninggalkan kepentingan kehidupan dunia. Sehingga lulusannya dicurigai tidak akan sanggup bersaing dikancah nasional maupun internasional, mengingat mereka meninggalkan materi pelajaran sekuler (ilmu eksak). Selanjutnya persoalan tentang bagaimana peran atau kontribusi lulusan lembaga pendidikan Islam ini terhadap masyarakat sekitarnya. Seringkali lulusan Pesantren dianggap hanya bisa sekedar mengajar ngaji, menjadi penceramah (kḥātib) dan permasalahan ibadah lainnya. Jarang sekali lulusan Pesantren dianggap bisa bekerja di lembaga pemerintahan dan praktisi lainnya. Mengapa dalam segala hal (pendidikan) Pesantren dianggap lamban untuk menyadari kekurangannya, bahkan sampai dianggap stagnan. Oleh karena tidak terlihat lulusanya yang menonjol diberbagai bidang keilmuan. Melihat cukup banyak permasalahan yang teridentifikasi diatas maka, penulis membatasi permasalahan hanya pada penelitian metode pembelajaran kritis di Pesantren (studi kasus pembelajaran kritis yang digunakan di Pesantren Pertanian Darul Fallah desa Benteng, kecamatan Ciampea, kabupaten Bogor Jawa Barat), selama proses belajar-mengajar berlangsung. Proses ini diteliti dari aspek tujuan pembelajaran, kurikulum, materi, penerapan metodologinya, dan kegiatan ekstrakurikuler. Lalu kemudian meneliti model metode pembelajran kritis dan kreatif seperti apa yang cenderung digunakan di lembaga pendidikan Islam tersebut. Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor dipilih sebagai obyek penelitian dalam studi kasus ini karena, lembaga pendidikan Islam ini telah menerapkan sistem pendidikan kemandirian sumber daya manusia (SDM). Dengan memadukan pendidikan agama dengan teknologi/keterampilan terutama dibidang agribisnis. Telah berupaya membudayakan pendidikan intelektual (teori) dengan praktek penerapan kewirausahaan. Memiliki tujuan pendidikan yang menghasilkan individu
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
BAB I Problematika Pesantren
13
yang berkualitas dengan semangat melayani masyarakat golongan menengah kebawah. Pesantren Pertanian Darul Fallah telah dianggap berhasil membentuk individu-individu yang berwawasan zikir (dhikr) dan pikir (fikr). Darul Fallah juga telah berhasil membantu memberdayakan masyarakat sekitarnya dan masyarakat luas lewat program pertaniannya. Dengan demikian, akan terlihat model pembelajaran kritis seperti apa yang telah digunakan di Pesantren Darul Fallah, serta bagaimana proses penerapannya. Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memperkenalkan bahwa, sudah ada Pesantren yang telah menerapkan pembelajaran kritis dan melahirkan lulusan yang kreatif. Pesantren di Indonesia tidak mengalami stagnansi tetapi, terus bergerak secara dinamis dan fleksibel mengikuti perkembangan dan kebutuhan zaman. Disamping itu, kehadiran buku ini juga bertujuan untuk memperlihatkan metode dan instrumen pembelajaran yang telah diterapkan di Pesantren ini. Kemudian, memperlihatkan hasil karya yang telah mereka produksi selama proses pembelajaran di Pesantren. Dengan demikian, pada akhirnya dapat menunjukkan bahwa, Pesantren memiliki ramuan khusus untuk tetap terus bisa bertahan dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam, salah satunya dengan evaluasi kurikulum, kualitas tenaga pengajar, metodologi pembelajaran, dan iklim lingkungan sekolah. Selanjutnya, dengan hadirnya buku ini, dapat memperlihatkan kepada masyarakat luas bahwa, Pesantren juga bisa dijadikan alternatif lembaga pendidikan untuk mencetak generasi yang cerdas, kreatif, religius, dan kritis, sehingga bisa bersaing dikancah nasional dan internasional. Buku ini juga memiliki signifikansi sebagai alat untuk memperkaya khazanah keilmuan Islam di Indonesia sebagai upaya untuk turut andil dalam memberdayakan dan mengembangkan sumber daya masyarakat Indonesia. Penulis menggunakan jenis penelitian lapangan (field research). Oleh karena data-data yang digunakan bertumpu pada data yang sepenuhnya ditemukan di lapangan. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus. buku ini merupakan studi kasus terhadap lembaga pendidikan Islam Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, yang berkaitan dengan metode pembelajaran kritis di institusi tersebut. Dalam buku ini, data diambil dari survei terstruktur dan tidak terstruktur terhadap pengajar dan santri Darul Fallah Bogor. Kemudian wawancara tidak terstruktur dan mendalam kepada sejumlah orang kunci seperti pimpinan Pesantren, kepala sekolah, staf pembuat kurikulum, tenaga pengajar dan siswa Pesantren Pertanian Darul Fallah. Selanjutnya, observasi untuk melihat kondisi sekolah, asrama, sarana dan pra-sarana sekolah, juga proses pembelajaran di kelas dan luar kelas Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Berdasarkan jenis penelitian diatas, maka teknik pengumpulan data dan informasi yang dilakukan adalah dengan menggunakan wawancara secara
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
14 BAB I Problematika Pesantren
mendalam. Kemudian observasi, pengumpulan dokumen yang lebih intensif,53 juga focus group discussion (FGD). Menurut Pranee Liamputtong, metodologi focus group digunakan untuk mengeksplorasi dan menguji apa yang orang pikirkan. Bagaimana mereka berpikir dan mengapa mereka berpikir demikian tentang sesuatu yang sangat penting bagi mereka. Dengan tanpa menekan mereka untuk membuat keputusan atau mencapai konsensus.54 Dalam buku ini, teknik wawancara digunakan untuk memperoleh data dari informan dan berbagai narasumber lain. Penulis melakukan wawancara mendalam terhadap nara sumber untuk mendapatkan data yang lengkap dan detail. 55 Adapun instrumen yang dipakai oleh penulis adalah alat perekam untuk merekam selama wawancara berlangsung. Dan juga buku catatan (slip) yang ditulis untuk mencatat informasi yang penting. Wawancara diarahkan kepada sumber data (informan) yang memiliki keterkaitan langsung dengan dengan objek penelitian, yaitu Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Tentunya dengan pertimbangan bahwa sumber data (informan), mengetahui dengan baik terhadap masalah yang sedang diteliti. Memiliki keterlibatan langsung dengan objek penelitian, serta mudah ditemui oleh penulis. Diantara narasumber yang dipilih yaitu Pengasuh Pesantren, kepala sekolah, perancang kurikulum, guru-guru dan juga para santri Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Sementara observasi dilakukan untuk mengamati segala aktivitas yang dilakukan oleh siswa ataupun guru di kelas maupun di luar kelas. Sekaligus juga keadaan lingkungan di sekitar Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Menurut Sugiyono,56 teknik pengumpulan data observasi terbagi menjadi dua, observasi berperan serta (participant observation). Pada teknik ini, penulis ikut terlibat dalam kegiatan sehari-hari di Darul Fallah. Mengamati dan ikut merasakan suka duka yang dialami oleh santri Darul Fallah, sehingga data yang didapat akan lebih lengkap dan tajam. Kemudian observasi tidak berperan serta (non-participant observation). Dalam teknik ini, peneliti tidak terlibat secara langsung pada aktivitas yang dilakukan oleh santri dan guru di Pesantren Darul Fallah, sehingga penulis hanya berperan sebagai pengamat independen. Pada buku ini, penulis menggunakan kedua teknik observasi tersebut, dengan menggunakan instrumen yang tidak terstruktur. Kemudian data dokumentasi yang dimaksud berupa, seluruh data-data Pesantren Darul Fallah. Baik berupa profil, kurikulum, arsip-arsip tentang kegiatan
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
53
Nana Sayodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet. Ke- VI, 2010), 114. 54 Pranee Liamputtong, Focus Group Methodology: Principles and Practice (London: Sage Publications, 2011), 5. 55 Masri Singarubian dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei (Jakarta: LP3ES, 1989), 10. 56 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitaif Kualitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, cet. Ke-8, 2009), 145. BAB I Problematika Pesantren
15
dan prestasi santri, buku ataupun jurnal yang telah diterbitkan oleh Pesantren ataupun kalangan luar yang berkaitan dengan Darul Fallah. Penelaahan dokumen dilakukan untuk mendukung dan meneliti kebenaran dari tehnik wawancara dan observasi. Adapun focus group discussion (FGD) yang dilakukan terhadap santri kelas VIII, X dan XI Aliyah Pesantren Darul Fallah, untuk mendapatkan data dari pengalaman dan pengetahuan yang mereka rasakan dan ketahui selama belajar di Darul Fallah. FGD dilakukan sebanyak 3 kali pada tanggal 10 April dan 11-12 Mei 2013 di asrama putri Darul Fallah. Kemudian tehnik FDG juga dilakukan untuk mengukur atau menilai tingkat kritisisme mereka terhadap berbagai persoalan. Dalam hal ini penulis menyiapkan beberapa pertanyaan yang mengarahkan kepada tingkat berpikir kritis. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, Menurut Lexy J. Moleong, Karakteristik penelitian kualitatif adalah; pertama, latar ilmiah atau konteks dari suatu keutuhan (entity). Penulis melibatkan sebagian waktunya untuk meneliti di tempat atau lokasi yang digunakan sebagai objek penelitian. Kedua, manusia sebagai alat (instrumen), maka dalam penelitian ini, peneliti dan orang yang di teliti merupakan alat pengumpul data utama (participant-observation). Ketiga, adanya pengamatan, wawancara, dan penelaahan dokumen. Keempat, Analisis data secara induktif. Kelima, teori dari dasar (grounded theory). Keenam, deskriptif, dan ketujuh, lebih mementingakan proses dari pada hasil. 57 Dan berdasarkan pelaksanaanya, buku ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu upaya penulis untuk mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, baik secara geografis maupun sosial. 58 Berdasarkan teori tersebut, penulis menghabiskan waktu sekitar lima bulan dalam penelitian ini. Dimulai dengan penyerahan berkas permohonan izin penelitian kepada pihak Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, pada 10 Februari 2013 di kantor Darul Fallah dan berakhir pada Mei 2013. Untuk kemudian, melihat kondisi sekitar area Pesantren Darul Fallah, menanyakan dan menentukan siapa yang dapat diwawancara dan dimintakan keterangan tentang Pesantren Darul Fallah. Penulis juga berinteraksi langsung dan terlibat dalam beberapa kegiatan santri di Darul Fallah, mengikuti dan mengamati proses belajar-mengajar ketika berlangsung di Darul Fallah. Kemudian, menelaah dokumen dan wawancara tidak terstruktur dengan beberapa narasumber yang di butuhkan. Setelah itu, melakukan pengolahan dan menganalisis data yang telah didapatkan dari lapangan, narasumber (staf dan santri Darul Fallah, juga masyarakat), dan dokumen. Ketika data krusial tidak ditemukan di lapangan, maka penulis akan mengganti dengan penemuan
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
57
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitaif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 8-
11. 58
Trianto, Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan Profesi Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (Jakarta: Kencana, 2010), 197.
16 BAB I Problematika Pesantren
penting lainnya dari Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Hal itu untuk menegaskan jika memang penelitian ini berdasarkan teori penelitian kualitatif Moleong, bahwa lebih mementingkan proses dari pada hasil. Sedangkan analisis data yang juga digunakan dalam buku ini adalah cara triangulasi. Yang dimaksudkan untuk menguji keabsahan data yang diperoleh dari berbagai sumber.59 Dengan melakukan proses validasi temuan data dari berbagai sumber seperti, dokumen, jurnal, wawancara, karya ilmiah dan observasi penulis terhadap Pesantren Pertanian Darul Fallah. Adapun sumber data yang digunakan dalam buku ini yaitu, berupa sumber Primer dan Sekunder. Dalam hal ini sumber primernya berupa buku-buku yang menulis atau meneliti tentang Pesantren Pertanian Darul Fallah, dokumentasi, arsip dan pedoman Pesantren. Hasil wawancara dengan pimpinan, staf, guru dan santri arul Fallah, juga masyarakat sekitar Pesantren. Sedangkan sumber sekundernya berupa, literatur-literatur, karya ilmiah, artikel, majalah, dan buku-buku yang berhubungan dengan metodologi pembelajaran kritis dan Pesantren.
l a t
C.
Kajian Literatur Pembahasan dan penelitian terkait metode pembelajaran kritis di Pesantren secara khusus belum banyak dilakukan. Akan tetapi, terdapat beberapa penelitian dan karya ilmiah terkait dengan metodologi pembelajaran, kurikulum, struktur organisasi atau kepemimpinan, dan materi pelajaran di Pesantren, antara lain adalah: Abdul Malik M. Thaha Tuanaya dalam penelitiannya “Modernitas Pesantren Ditinjau dari Aspek Kurikulum: Studi Kurikulum Berbasis Pertanian di Ponpes Daarul Falah Bogor,”60 dalam penelitian yang dibukukan ini, ia mengemukakan kurikulum yang diterapkan di Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, terkait dengan respon modernisasi oleh Pesantren. A. Malik Thaha menemukan adanya kesamaan antara konsep social rasional-nilai yang didefinisikan oleh Weber dan menghasilkan “Etika Protestan” (Calvinisme), dengan konsep pemikiran para pendiri Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor yang diimplementasikannya dalam tujuan yang harus dicapai Pesantren terhadap lulusannya, yang terdiri dari
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
59
Trianto, Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan Profesi Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, 294. 60 A. Malik M. Thaha Tuanaya, “Modernitas Pesantren Ditinjau dari Aspek Kurikulum: Studi Kurikulum Berbasis Pertanian di Ponpes Daarul Falah Bogor,” dalam Modernisasi Pesantren, ed. A. Malik M. Thaha Tuanaya (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2007). Terjadi kesalahan penulisan pada nama Pesantren dalam judul buku ini, seharusnya menjadi Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor dan bukan Daarul Falah. Hal demikian telah dikonfirmasi secara langsung oleh salah satu staf pengajar dan pengurus Pesantren Darul Fallah ini. Wawancara penulis dengan Ismail Shaleh (wakil kepala Madrasah bidang kurikulum), dikantor Pesantren Pertanian Darul Fallah, pada 13 Mei 2013, pukul 12.00 WIB. BAB I Problematika Pesantren
17
sedikitnya ada 10 butir amalan yang harus dikembangkan setelah lulus dari Pesantren. Florian Pohl dalam bukunya yang berjudul Islamic Education and the Public Sphere: Today’s Pesantren in Indonesia,61 yang menjelaskan bahwa, Pesantren di Indonesia saat ini telah memainkan perannya dengan signifikan terhadap pemberdayaan masyarakat (civil society). Kajian-kajian kritis terhadap persoalan yang dianggap melanggengkan status quo, mengkaji sumber-sumber Islam secara kritis, dan lain sebagainya telah banyak dilakukan oleh pihak Pesantren sekarang. Pengintegrasian sistem di Pesantren dengan menggunakan skill dan perhatian terhadap pembangunan ekonomi masyarakat menjadi model pendidikan baru di Pesantren. Pada permulaan tahun 1970an, banyak Pesantren yang terus mengembangkan konsep ini, untuk bekal santri ketika lulus nanti dari Pesantren, seperti dibidang pertanian, pengembangan ekonomi di desa-desa, pelatihan kesehatan dan lain sebagainya. Hal serupa, menurutnya sangat mirip dengan pemikiran Paulo Freire dan Ivan Illich tentang pendidikan kritis dengan mempromosikan Pesantren sebagai model institusi untuk mengembangkan komunitas yang bergerak luas di desa-desa. Pada tahun 2011, Search for Common Ground bekerjasama dengan organisasi non-governmental Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), mengadakan program untuk melihat intoleransi religius dan kekerasan di Indonesia. Dengan bertemakan “2011 Promoting International Freedom and Understanding in Indonesian Pesantren,”62 program ini berhasil membuktikan bahwa, Pesantren memiliki kesadaran lebih banyak dan memiliki kemampuan berpikir secara kritis yang lebih baik terhadap isu-isu yang berkaitan dengan kebebasan dalam beragama, pluralisme, pemahaman sepanjang kompetisi debat berlangsung. Program ini dilakukan pada 9 pesantren dan 1 sekolah umum yang tersebar di seluruh Indonesia. H. M. Taufik dalam sebuah jurnalnya yang berjudul “Pembelajaran KritisKreatif dan Transformatif di Pondok Pesantren,”63 menjabarkan hakikat pembelajaran kritis-kreatif dan transformatif. Ia juga menyetujui jika pembelajaran tersebut menjadi alternatif pembelajaran di Pesantren. Oleh sebab itu, potensi yang di miliki oleh santri dapat tersentuh secara menyeluruh.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
61 Florian Pohl, Islamic Education and the Public Sphere: Today’s Pesantren in Indonesia (Münster: Waxmann, 2009). 62 Search for Common Ground, “2011 Promoting International Freedom and Understanding in Indonesian Pesantren.” Lihat www.sfcg.org/sfcg/evaluations/indonesia.html 63 H. M. Taufik, “Pembelajaran Kritis-Kreatif dan Transformatif di Pondok Pesantren,” dalam Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, vol. VII, nomor 2, April-Juni 2009. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/720953349_1693-6418.pdf (Diakses pada tanggal 2 juli 2012).
18 BAB I Problematika Pesantren
Abdurrahman Wahid dalam bukunya yang berjudul Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren,64 Ia mengemukakan bahwa pada kenyataanya, institusi tradisional tersebut dapat bertahan selama berabad-abad karena keunikan dan ketahanannya dalam mempertahankan tradisi dan pola kehidupannya yang mandiri itu, yang sering kali disebutnya sebagai subkultural. Disamping itu, Pesantren atau lembaga tradisional memiliki kurikulum dan sistem pendidikan tersendiri yang bersifat aplikatif, dalam artian harus diterapkan pada kehidupan sehari-hari para santri. Oleh karenanya lembaga pendidikan tradisional dalam hal ini Pesantren memiliki struktur pengajaran yang khas dan unik, serta memiliki daya aplikasi yang tinggi dari materi pelajaran yang mereka terima, yang hampir mencakup semua unsur kehidupan mulai dari tata cara bersuci sampai pada ketentuan prosedural tata niaga. Kemudian Mukhyidin dalam tesisnya “Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren: Studi Perbandingan pada Empat Pesantren Salafiyah dan Khalifiyah di Sumatera Selatan”,65 pada tesis ini ia membahas tentang dua corak lembaga tradisional di Indonesia yang berbeda, yaitu masing-masing dari salafiyah dan khalafiyah, kemudian ia membandingkan antara keduanya baik dari sistem kurikulum, metode yang dipakai sampai pada pola kepemimpinan dan manajemen pendidikannya. Hal itu dilakukan untuk menemukan sifat demokratis pada kedua bentuk lembaga tradisional yang berbeda tersebut. Ia mengemukakan bahwa institusi tradisional “salafiyah” meski memiliki sistem dan cara pengajaran yang klasik dan masih perlu perombakan yang signifikan dan membuat inovasi baru terhadap pranata-pranata pendidikannya, namun lembaga tersebut memiliki sifat demokratis yang lebih besar terhadap kehidupan (implementasi nilai-nilai demokrasi keseharian) di Pesantrennya, dengan tanpa prosedural yang ketat dan peraturan yang mengekang, sedangkan Pesantren khalafiyah lebih demokratis dalam pola kepemimpinan dan manajemen yang kolektif dibandingkan salafiyah yang sentralistik. Lalu Daniel Rabitha dari penelitiannya Pembelajaran Tuntas pada Pondok Pesantren: Studi Keunggulan dan Kelemahan Metode Sorogan dan Bandongan,66 pada penelitiannya ia menjabarkan tentang tipologi Pesantren di Indonesia lengkap dengan sejarah dan metodologinya. Dengan mengambil kasus di Pesantren AlIttifaqiah Indralaya-Sumatera Selatan, ia mencoba untuk mengemukakan keunggulan dan kelemahan dari metode klasik yang dipakai di Pesantren tradisional
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
64 Abdurrahaman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, ed. Hairus Salim, cet. III (Yogyakarta: LkiS, 2010). 65 Mukhyidin, “Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren Studi Perbandingan pada Empat Pesantren Salafiyah dan Khalifiyah di Sumatera Selatan,” (Tesis di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008). 66 Daniel Rabitha, Pembelajaran Tuntas pada Pondok Pesantren: Studi Keunggulan dan Kelemahan Metode Sorogan dan Bandongan, (Jakarta: DEPAG Badan Litbang dan Diklat, 2008).
BAB I Problematika Pesantren
19
yaitu wetonan dan bandongan. Kemudian ia mencoba untuk membandingkan antara metode pembelajaran (mastery learning) tuntas yang di kenalkan oleh Benyamin Bloom yang menurutnya memiliki persamaan, yaitu sebagai metode dasar yang bisa digunakan dalam proses pembelajaran. Tulisan-tulisan tersebut secara umum membahas pola pendidikan Pesantren, dari mulai manajemen, kurikulum, metode, hingga tradisi-tradisi yang dijalankan di Pesantren, dalam hubungannya dengan metode pembelajaran kritis ditempat tersebut. Adapun perbedaannya dengan buku ini adalah pelaksanaan metode pembelajaran kritis dan kreatif di institusi pendidikan Islam Pesantren, baik dari aspek perencanaan, model pembelajaran hingga penerapannya dalam proses belajarmengajar tersebut belum dilakukan. Meskipun demikian tulisan-tulisan terdahulu tersebut, bisa menjadi sumber dan bahan rujukan penulis dalam penulisan buku ini. D.
Ruang Lingkup Kajian Buku ini secara keseluruhan memuat lima bagian. Bab pertama, memuat tentang latar belakang masalah dan alasan mengapa buku ini ditulis. Kemudian penjabaran tentang tehnik pengumpulan dan pengolahan data, serta pemilihan kasus dan kajian literatur terdahulu. Bab kedua, menilik secara deskriptif landasan dari teori kritis ke pedagogik kritis, sekaligus meretas kolaborasi dan keterkaitan berpikir kritis dan kreativitas berikut beberapa proponennya langsung. Selanjutnya, napak tilas sejarah berpikir kritis dalam dunia pendidikan Islam dan lembaganya. Bab ketiga, difungsikan sebagai eksplorasi dari hasil penelitian tentang historiography Pesantren Darul fallah, penggunaan strategi pembelajaran berikut sistem yang telah diterapkan secara terintegrasi, mulai dari sturktur organisasi, manejemen Pesantren, strategi Darul Fallah merespon tantangan zaman lewat optimalisasi urgensitas tujuan dalam pembelajaran, kurikulum, materi dan metodologi pembelajaran. Dari penjabaran pada bab ini, akan diketahui formula yang digunakan oleh Pesantren Darul Fallah dalam mencetak generasi yang memiliki keterampilan berpikir kritis dan kreativitas. Bab keempat, merupakan hasil dari penelitian buku ini, yang mendeskripsikan model pembelajarn kritis yang telah digunakan di Pesantren Darul Fallah setelah pembenahan system pembelajarannya. Selanjutnya, memaparkan metodologi yang digunakan oleh Pesantren untuk mengkaitkan pembelajaran diruang kelas ke dalam kehidupan nyata peserta didik. Kemudian, menjabarkan bagaimana aktivitas yang telah dilakukan dalam proses pembelajaran di kelas menjadi habitual dalam kehidupan sehari-hari peserta didik diluar kelas. Bab kelima, merupakan penutup yang berisi kesimpulan penelitian, dan rekomendasi serta saran-saran.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
20 BAB I Problematika Pesantren
BAB II PARADIGMA PEMIKIRAN DAN PEMBELAJARAN KRITIS
Tidak ada yang menyangkal bahwa manusia disebut sebagai makhluk berpikir atau ḥayawānu al-nāṭiq dan juga makhluk rasional, sehingga akal memiliki peran yang sangat penting untuk membantu manusia dalam memahami dan menentukan arah kehidupannya yang berkualitas. Manusia dituntut untuk bisa menggunakan potensi otaknya dengan sebaik mungkin, agar bisa mencapai kemampuan berpikir dengan baik atau kompleks seperti dalam hal berpikir secara kritis dan kreatif. Dan untuk mencapai tujuan tersebut ternyata memiliki metode dan proses yang telah dikembangkan dalam proses pembelajaran. Bab ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang konsep dasar berpikir kritis dan kreatif, dan perspektif sejarah perkembangannya, sehingga menjadi pedagogik kritis, melahirkan pembelajaran kritis, dan juga menggambarkan bagaimana Islam memandang konsep pendidikan kritis dan kreatif ini.
l a t
i g i
D / e
A.
Dari Teori Berpikir Kritis ke Pedagogik Kritis Pengakuan tentang manusia sebagai ḥayawānu al-nāṭiq,1 sudah menjadi kesadaran dan pengetahuan bersama juga tidak ada bantahan terhadap persepsi itu. Seperti yang dituturkan oleh Tilaar bahwa yang membedakan antara manusia dan binatang adalah manusia memiliki kesadaran untuk berpikir, meski binatang juga mempunyai sifat kesadaran tetapi hanya saja sebatas instingtif. Kemampuan berpikir kritis dimiliki oleh setiap manusia, meski memiliki tataran level yang berbeda atau bervariatif.2 Akan tetapi, meskipun setiap manusia bisa berpikir, tidak semua manusia bisa berpikir dengan baik (good thinking) dalam istilah atau konteks akademis. Tentu saja hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti pengetahuan, lingkungan, dan lain sebagainya.
n i l
On
a c a
B
a) Definisi Berpikir Kritis Berpikir disebut baik ketika memenuhi kriteria yang baik dan benar. Dalam hal ini Barry K. Beyer menawarkan standar berpikir dengan baik (standards of good 1
Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: PT Remaja RosdaKarya, 2008), 158. 2 H.A.R. Tilaar, Pedagogik Kritis: Perkembangan, Substansi, dan Perkembangannya di Indonesia, ed. H.A.R. Tilaar, Jimmy Ph. Paat, Lody Paat (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), 15. Menurut Tilaar, berpikir biasa dibedakan dengan berpikir kritis sebagai gejala psikologis yang bersifat deskriptif dan berpikir kritis sebagai prinsip filosofis yang memiliki sifat atau nilai kritikal, yang memenuhi syarat atau kriteria berpikir secara sistematis, terorganisasi, dan akseptable.
21
thinking) dari perspektif filsafat, yang bisa digunakan untuk mengembangkan cara berpikir siswa, antara lain3: Pertama, Alasan (Reasoning); alasan digunakan untuk mendapatkan atau menyimpulkan informasi yang didapat secara sistematis berdasarkan asas-asas logika, sebagai demonstrasi atau untuk mengetahui validitas klaim atau tuntutan. Biasanya alasan dipresentasikan dalam bentuk argumen atau rentetan statmen. Argumentasi memiliki beberapa tingkatan dari sederhana menuju kompleksitas, yaitu; argumen pengakuan (argument recognition), analisis argumen (argument analysis), evaluasi argumen (argument evaluation), membuat argumen (argument making). Kedua, Keputusan yang kritis (critical judgment); seperti yang disampaikan B.K. Beyer, “berpikir filosofis adalah berpikir secara kritis”, yang melibatkan struktur dan keterampilan berpikir kritis dan memiliki kecendrungan untuk mengevaluasi secara objektif daripada menerima secara buta. Ketiga, Kriteria (Criteria); kriteria dibutuhkan untuk menghasilkan kualitas berpikir dalam menemukan kebenaran. Seperti menetukan akurasi argumen dan alasan yang disajikan berdasarkan kriteria yang logis. Keempat, Sudut pandang (point of view); tidak hanya melihat dari satu sisi atau elemen saja, tapi juga melihat kemungkinankemungkinan lain yang bisa dipertimbangkan untuk mengambil keputusan. Kelima, Dialog (dialogue); cara lain untuk menghadirkan sudut pandang yang berbeda adalah dengan dialog. Bisa diterapkan dengan beberapa orang atau komunitas, juga bisa direfleksikan sendiri dengan mempertanyakan dan menjawab permasalahan. Keenam, Watak (dispositions); beberapa filosof menegaskan bahwa berpikir kritis tidak hanya berbicara atau melibatkan tehnik, keterampilan dan prosedur semata, tapi juga melibatkan perangkat mental (emosi dan perasaan) sebagai pembedaan atau keluar dari kebiasaan cara-cara orang lain bertindak. Bukan sesuatu yang mudah untuk memahami dan menentukan konsep berpikir kritis4 dan menentukan satu definisi kriteria yang bisa dijadikan acuan bersama,5 karena kekayaan konsep tentang berpikir kritis itu sendiri. 6 Seperti
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
3 Barry K. Beyer, “What Philosophy Offers to the Teaching of Thinking”, dalam journal Association for Supervision and Curriculum Development ( ASCD), februari 1990, 56-59. http:// www.understandingbydesign.net/ASCD/pdf/journals/ed_lead/el_199002_beyer.pdf (diakses pada juni 2012). 4 Kritis dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai 1. Bersifat tidak lekas percaya, 2. Bersifat selalu berusaha menemukan kekeliruan atau kesalahan/ tajam dalam penganalisaan. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Komputer: Universitas Indonesia, 2008. http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/kbbi.php?keyword=kritis&varbidang=all&vardialek=all&varragam=all& varkelas=all&submit=kamus (diakses pada oktober 2011). 5 Jennifer Moon, Critical Thinking: An Exploration of Theory and Practice (USA and Canada: Routledge, 2008), 19. http://dl.lux.bookfi.org/genesis/435000/5cdd5598f36aa1a48df837e36003e6c8/_ as/%5BJennifer_Moon%5D_ Critical_ Thinking_ An_ Exploration_ %28 BookFi .org %29. pdf (diakses pada tanggal 15 juni 2012). 6 The Critical Thinking Community, “Defining Critical Thinking”, http://www.critical thinking.org/pages/defining-critical-thinking/766 (diakses pada tanggal 19 juni 2012).
22 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
pernyataan yang ditulis oleh Jennifer Moon bahwa “berpikir kritis adalah konsep yang sukar dipahami” atau “berpikir kritis-sumber kekacauan”, karena perbedaan penaksiran yang sangat luas disetiap level komunitas, baik itu dari pandangan masyarakat pada umumnya, para pakar pemikir kritis, bahkan antara guru dengan guru, dan murid dengan murid.7 Perbedaan-perbedaan itu dapat dilihat dari penekanan mereka (para ahli pemikir kritis) pada definisi ke dalam beberapa aspek. Moon menggambarkan dengan jelas perbedaan penekanan tersebut, dengan memberi contoh seperti Stella Cottrell yang menekankan berpikir kritis pada aspek keterampilan/kecakapan (skill), Cottrell dalam bukunya critical thinking skills menyatakan bahwa hampir setiap hari kita butuh untuk menggunakan keterampilan berpikir kritis dasar agar tidak salah bertindak atau mempercayai sesuatu yang salah.8 Ada juga yang menekankan definisi berpikir kritis pada kualitas memberi alasan (the quality of reasoning), pada aspek ini diwakilkan oleh Alec Fisher, yaitu dengan mengartikan berpikir kritis sebagai evaluasi berpikir dengan menggabungkan kritikalitas dan berpikir kreatif yang mengutamakan kualitas dari memberi alasan atau argumen untuk menyokong kepercayaan dan tindakan. 9 Senada dengan ini, Michael Scriven dan Richard Paul mengetengahkan bahwa berpikir kritis itu merupakan proses intelektual yang disiplin untuk mendesain konsep dalam mengevaluasi informasi sebagai pedoman untuk bertindak.10 Sementara itu, Stella Cottrell menggambarkan bahwa berpikir itu merupakan perpaduan antara aktifitas kognisi dengan mental untuk menghasilkan sebuah keputusan.11 Demikian juga dengan Robert H. Ennis memiliki pandangan yang sama, yakni berpikir kritis itu proses yang diterima akal dan menumbuhkan kepercayaan.12
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B 7
Jennifer Moon, Critical Thinking: An Exploration of Theory and Practice (USA and Canada: Routledge, 2008), 19, 35. http://dl.lux.bookfi.org/genesis/435000/5cdd5598f36aa1a48df837e36003e6c8/_as/%5BJennife r_Moon%5D_Critical_Thinking_An_Exploration_%28BookFi.org%29.pdf (diakses pada tanggal 15 juni 2012). 8 Stella Cottrell, Critical Thinking: Developing Effective Analysis and Argument (New York: Palgrave Macmillan, 2005), viii. 9 Jennifer Moon, Critical Thinking: An Exploration of Theory and Practice (USA and Canada: Routledge, 2008), 35-36. 10 Michael Scriven, Richard Paul, “Defining Critical Thinking”, dalam the National Council for Excellence in Critical Thinking Instruction, http://www.criticalthinking.org /pages/defining-critical-thinking/410 (diakses pada tanggal 8 agustus 2012). 11 Stella Cottrell, Critical Thinking: Developing Effective Analysis and Argument (New York: Palgrave Macmillan, 2005), 1. 12 Robert H. Ennis, “The Nature of Critical Thinking: An Outline of Critical Thinking Dispositions and Abilities”, 1. BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
23
b). Bagaimana Cara Mengukur Daya Berpikir kritis? Stephen Brookfield berargumen bahwa setiap keputusan yang kita ambil dalam kehidupan ini adalah berdasarkan asumsi-asumsi. 13 Setidaknya ada tiga tahap yang saling berkaitan untuk sampai pada tingkatan berpikir kritis versi Brookfield; pertama, menemukan asumsi dari perspektif sendiri yang membantu untuk membuat keputusan. Kedua, memeriksa akurasi dari asumsi-asumsi yang ada dengan melihat secara terbuka kemungkinan yang lain, memeriksa dari sudut pandang yang berbeda, berkonsultasi pada ahlinya, mencari informasi-informasi terkait, dan sebagainya. Ketiga, mengambil keputusan berdasarkan dua tahap pertama yang telah diteliti. Dengan demikian seseorang yang mengambil keputusan berdasarkan langkah-langkah tersebut, merasa percaya diri dan merasa puas dengan mengambil keputusan berdasarkan sudut pandangnya sendiri.14 Sedangkan Goodwin Watson dan Edward Glaser mengungkapkan bahwa beberapa tes yang dilakukan untuk mengukur daya berpikir kritis bertujuan untuk, “menaksir kemampuan seseorang dalam menganlisis secara logis asumsi-asumsi, berbagai argumen, deduksi-deduksi atau pengambilan kesimpulan, kesimpulankesimpulan, dan menginterpretasikan informasi”.15 Adapun langkah-langkah untuk mengetahui seberapa baiknya kemampuan berpikir krtis seseorang di dalam memberikan alasan secara analisis dan logis menurut Watson dan Glaser ada lima tahap:
l a t
i g i
D / e
n i l
1). Asumsi (assumptions): pada sesi ini, stetmen pertanyaan diberikan untuk menentukan jika asumsi telah dibuat dalam pernyataan stetmen.
On
2). Menganalisis Argumen (analysing arguments): argumen yang diberikan seseorang dinyatakan kuat jika langsung berkaitan dengan pertanyaan atau pernyataan yang diberikan dan dikatakan lemah jika sebaliknya.
a c a
B
3). Deduksi/ pengambilan kesimpulan: menilai kemampuan untuk melakukan evaluasi terhadap berbagai kesimpulan yang didapat. 4). Kesimpulan. Pada tahap ini akan dilihat kemampuan dalam menarik kesimpulan yang didapat dari informasi.
http://faculty.education.illinois.edu/rhennis/documents/TheNatureofCriticalThinking_51711_0 00.pdf (diakses pada tanggal 17 september 2012). Lihat juga Alec Fisher, Critical Thinking: An Introduction, terj. Benyamin Hadinata, 4. 13 Stephen Brookfield, “Developing Critical Thinkers”, 20-21 april 2012, http://www.stephenbrookfield.com/Dr._Stephen_D._Brookfield/Workshop_Materials_files/Developin g_Critical_Thinkers.pdf (diakses pada tanggal 21 juni 2012). 14 Stephen Brookfield, “Developing Critical Thinkers”, 20-21 april 2012, 14. http://www.stephenbrookfield.com/Dr._Stephen_D._Brookfield/Workshop_Materials_files/Developin g_Critical_Thinkers.pdf (diakses pada tanggal 21 juni 2012). 15 Watson Glaser Critical Thinking Appraisal, http://www.assessmentday.co.uk/watson-glasercritical-thinking.htm
24 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
5). Interpretasi informasi. Melihat kemapuan seseorang dalam menginterpretasi kan informasi, apakah interpretasi kesimpulan berdasarkan kesimpulan yang didapat.16 Untuk menjadi seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis, ia harus bisa mengembangkan keterampilan-keterampilan yang menjadi landasan pemikiran kritis. Ada banyak keterampilan berpikir kritis yang bisa dan biasa ditampilkan atau dikembangkan oleh para pakar yang dapat kita pilih berdasarkan kebutuhan. Dikarenakan berpikir kritis tidak hanya merupakan aktifitas berpikir semata, melainkan juga melibatkan berbagai faktor nature dan nurture,17 ditambah dengan ada banyak penaksiran dan penekanan definisi tentang berpikir kritis, sehingga menimbulkan beragam kriteria dalam keterampilannya. Stella Cottrell menyebutkan bahwa berpikir kritis merupakan proses yang kompleks dalam pertimbangan yang melibatkan keterampilan (skill) dan sikap (attitudes) yang sangat luas, 18 berikut ini beberapa kriteria keterampilan berpikir kritis versi Alec Fisher. Kemudian Ennis mendaftarkan 3 kriteria ideal disposisi (watak) pemikir kritis, yaitu:
l a t
i g i
D / e
n i l
On a c a
B
16
Watson Glaser Critical Thinking Appraisal, http://www.assessmentday.co.uk/watson-glasercritical-thinking.htm 17 Faktor nature itu termasuk emotional intelligence dan kapasitas otak, sedangkan faktor nurture adalah lingkungan yang ikut serta mempengaruhi dan memfasilitasi perkembangan juga interpretasi dan refleksi dari pemikiran, termasuk kemampuan mempertahankan diri dan keterbukaan menerima gagasan atau argumen dari luar. Lihat H. M. Taufik, “Pembelajaran Kritis-Kreatif dan Transformatif di Pondok Pesantren”, dalam Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan, vol. VII no. 2 April-Juni 2009. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/720953349_1693-6418.pdf (diakses pada tanggal 2 juli 2012). 18 Stella Cottrell, Critical Thinking: Developing Effective Analysis and Argument (New York: Palgrave Macmillan, 2005), 2. BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
25
-
-
-
Tabel 2.1. Critical Thinking Skill & Critical Thinkers Dispositions Keterampilan (skills) berpikir Watak (dispositions) pemikir kritis20 kritis19 Mengidentifikasi; alasan-alasan, - Peduli bahwa keyakinan mereka benar dan asumsi-asumsi dan kesimpulankeputusan mereka dibenarkan, yaitu peduli untuk kesimpulan. mendapat kebenaran sebesar mungkin. Yaitu: a). secara terbuka mencari hipotesis alternatif, penjelasan-penjelasan, kesimpulan-kesimpulan, perencanaan, bukti-bukti dan lain-lain. b). Secara serius mempertimbangkan sudut pandang orang lain ketimbang diri sendiri. c). Berusaha untuk berpengetahuan luas. d). Menggunakan kemampuan berpikir kritis mereka, dan lain-lain. Mengevaluasi dan menganalisis; - Peduli untuk memahami dan menampilkan posisi asumsi-asumsi, argumen-argumen, secara jujur dan jelas posisi mereka sebagaimana penjelasan-penjelasan dan orang lain. Yang meliputi: a). Mengetahui dan keputusan-keputusan. mendengar sudut pandang dan alasan orang lain. b). Mengetahui secara jelas makna apa yang dikatakan, tulis, atau yang dikomunikasikan, dan lain-lain. Mengklarifikasi dan - Peduli terhadap sesama, berpikir kritis akan sangat menginterpretasi; pernyataanberbahaya tanpa sikap ini, yaitu: a). Menghindari pernyataan dan gagasan-gagasan. intimidasi atau membuat orang lain terganggu dengan pemikiran kritis mereka, memahami perasaan orang lain dan tingkat pemahaman mereka. b). Khawatir terhadap kesejahteraan orang lain. Menilai; akseptabilitas bukti-bukti dan klaim-klaim.
l a t
i g i
D / e
-
n i l
On
19
a c a
B
Alec Fisher, Critical Thinking: An Introduction, terj. Benyamin Hadinata, judul asli Berpikir Kritis: Sebuah Pengantar (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), 8. Meskipun hampir setiap pakar pemikir kritis memiliki kriteria keterampilan masing-masing, akan tetapi pada intinya mereka sepekat dengan kriteria yang dipaparkan oleh Fisher. Telaah Learning Centre Workshop The University of Sydney, “Orientation Lecture Series Learning to Learn: Developing Critical Thinking Skills”, kamis 1 maret 2012, pukul 11am-12pm di auditorium eastern avenue complex, camperdown campus, http://sydney.edu.au/stuserv/documents/learning_centre/critical.pdf (diakses pada tanggal 12 agustus 2012), lihat statment yang disampaikan oleh Michael Scriven dan Richard Paul pada konfrensi international ke 8, 1987, dalam The Critical Thinking Community, “Defining Critical Thinking”, http://www.criticalthinking.org/pages/defining-critical-thinking/766 (diakses pada agustus 2012), lihat juga pada Cecep Wahyudi Hoerudin, “Pengembangan Membaca Kritis Melalui Penerapan Model Pembelajaran Peningkatan Kapasitas Berpikir Kritis”, dalam Jurnal Bahasa dan Sastra, vol. 10, no. 2 oktober 2012, 118. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/10212111131_1412-0712.pdf (diakses pada agustus 2012). 20 Robert H. Ennis, “The Nature of Critical Thinking: An Outline of Critical Thinking Dispositions and Abilities”, 1-2. http://faculty.education.illinois.edu/rhennis/documents/TheNatureofCriticalThinking_51711_0 00.pdf (diakses pada tanggal 17 september 2012). Lihat juga Robert H. Ennis, “An Outline of Goals for a Critical Thinking Curriculum and Its Assessment 1”, (University of Illinois, UC (Revised 6/20/02), http://faculty.education.illinois.edu/rhennis/outlinegoalsctcurassess3.html (diakses pada tanggal 17 september 2012).
26 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
Keterampilan (skills) berpikir kritis19 - Menarik inferensi-inferensi. - Menghasilkan; argumen-argumen, penjelasan-penjelasan dan keputusan-keputusan.
Watak (dispositions) pemikir kritis20
Elaine Johnson mengungkapkan bahwa berpikir secara kritis dan kreatif ibarat dua sisi mata uang saling berkaitan dan sama-sama penting serta tidak dapat dipisahkan.21 Joe Y.F. Lau berargumen bahwa jika berpikir kritis bisa dikatakan sebagai berpikir secara jelas dan logis, tepat dan sistematis yang melibatkan alasanalasan ilmiah berikut keterampilan-keterampilannya, maka berpikir kreatif adalah “tentang menghadirkan sesuatu atau ide-ide orisinal yang bermanfaat dan menghasilkan kemungkinan-kemungkinan alternatif”. 22 c). Hubungan Antara Critical Thinking dan Creatif Thinking CAPE (UK)23 menyebutkan bahwa kreativitas adalah proses mental dan sosial yang melibatkan berbagai ide-ide atau konsep baru yang disatukan oleh pemikiran yang kreatif, sederhananya kreativitas adalah perbuatan atau tindakan untuk membuat atau menciptakan sesuatu yang baru.24 Dalam penelitiannya, Anna Craft25 menguraikan beberapa definisi kreatif dalam perkembangannya dan berbagai pendekatannya. Menurut Anna paling terakhir dan banyak digunakan sekarang yang telah dikelompokkan kedalam dua bagian, yaitu kreativitas tingkat tinggi (high creativity) dan kreativitas tingkat biasa (ordinary or democratic creativity). Pertama, (high creativity) Anna mengutip definisi kreativitas dari Rhyammer dan
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B 21
Elaine B. Johnson, CTL Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna, terj. Ibnu Setiawan, judul asli Contextual Teaching and Learning: What it is and Why it’s Here to Say (Bandung: Kaifa Learning, cet. Ke-8, 2009), 222. 22 Joe Y.F. Lau, An Introduction to Critical Thinking and Creativity: Think More, Think Better (New Jersey: John Wiley & Sons, 2011), 1. 23 CAPE (UK) adalah organisasi yang meneliti dan memperhatikan perkembangan tentang kreativitas dan kaitannya dengan berbagai disiplin ilmu, dalam hal ini organisasi ini juga telah diakui dan ikut berperan penting juga dalam program pemerintahan (UK), mereka juga melibatkan orangorang yang berkompeten dibidang ini dan aktif mengadakan penelitian, seminar, sosialisasi ke sekolahsekolah dan perguruan tinggi, dan lain sebagainya. Lihat http://www.capeuk.org/about-us (diakses pada september 2012). 24 CAPE (UK), “Creativity”, http://www.capeuk.org/index/creativity (diakses pada september 2012). 25 Anna Craft adalah profesor pendidikan dan staf pengajar di Exeter University (UK), dan aktif menulis berbagai penelitian tentang kreativitas dan kritis dalam pendidikan. Lihat http://education.exeter.ac.uk/staff_details.php?user=arc210 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
27
Brolin yaitu; “Manusia dengan kapasitas yang luar biasa dalam pemikiran dan kreasi”.26 Kedua, (ordinary, or “democratic” creativity). Menurut Anna definisi kelompok ini lebih relevan dengan pendidikan, berpedoman pada asumsi yang menyatakan bahwa “kreativitas adalah sesutau yang bisa dilakukan oleh semua siswa”. Dalam hal ini, Anna mengutip definisi dari NACCCE (National Advisory Committee on Creative and Cultural Education) yaitu; “aktivitas yang imajinatif dalam berkreasi bahkan dengan sesuatu yang sudah kuno sekalipun, bisa dihasilkan sebagai sesuatu yang bernilai dan orisinal”.27 Selanjutnya definisi dari CAPE (UK), dengan melihat tiga kategori kreatif yang saling berkaitan; “Bebas berekspresi; improvisasi, ekspresi, dan mengeksplorasi sesuatu yang belum diketahui hasilnya. Imaginatif; fleksible, pemecahan masalah, pendekatan secara holistik. Berpikir kritis; eklektisisme (menggunakan pemilihan dari berbagai sumber yang paling baik), membuat tujuan dengan konseptual dan mewujudkannya”.28
l a t
i g i
D / e
Banyak orang yang tidak mengetahui keterkaitan antara berpikir kritis dan kreatif, hal ini menurut Richard Paul dan Linda Elder disebabkan oleh banyak faktor. diantaranya adalah budaya dan media masa yang sering merepresentasikan orang kreatif dan kritis29 secara tidak tepat dan menurut Elaine Johnson karena masyarakat luas masih mempercayai mitos.30 Padahal menurut Paul dan Elder,
n i l
On
a c Anna Craft, An analysis of Research and Literature on Creativity in Education: a Curriculum, Prepared for the Qualifications 2011, 13-14. Band 26
Report
http://www.euvonal.hu/images/creativity_report.pdf Anna Craft, An analysis of Research and Literature on Creativity in Education: Report Prepared for the Qualifications and Curriculum, 2011, 13-14. http://www.euvonal.hu/images /creativity_report.pdf 28 CAPE (UK), “Creativity”, http://www.capeuk.org/index/creativity (diakses pada september 2012). 29 Menurut R. Paul & L. Elder, media masa seringkali merepresentasikan orang yang kreatif dengan seseorang memiliki imajinasi yang tinggi, spontanitas, emosional, dan hanya terjadi pada orang-orang tertentu, yang seringkali berbeda atau keluar dari realitas setiap hari. Sedangkan orang kritis sering direpresentasikan dengan orang yang bawel yang skeptis, negatif, suka cari gara-gara atau cerewet, keras dan sebagainya. Lihat dalam Ricahrd Paul, Linda Elder, The Thinker’s Guide to: The Nature and Functions of Critical and Creative Thinking, “foundation for critical press”, 2008, 3. http://www.criticalthinking.org/files/CCThink_6.12.08.pdf (diakses september 2012). 30 Elaine B. Johnson, CTL Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna, terj. Ibnu Setiawan, judul asli Contextual Teaching and Learning: What it is and Why it’s Here to Say, 211-212. Johnson lebih lanjut menjelaskan bahwa masyarakat luas selama ini percaya, jika kreativitas itu hanya bisa terjadi atau dilakukan oleh orangorang yang memiliki kemampuan khusus dan bakat luar biasa dari lahir, dan tidak bisa dipelajari oleh orang biasa karena itu anugerah dari Tuhan. 27
28 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
ketika seseorang bisa menggunakan secara optimal dan mencapai level berpikir secara kompleks, yaitu dengan menggunakan kemampuan dan keterampilan berpikir kritis dan kreatif, maka ia akan menjadi seseorang yang jenius. Tentu saja hal ini harus didukung oleh banyak faktor lain, seperti motivasi, lingkungan yang mendukung, dan berbagai dukungan eksternal dan internal lainnya.31 Oleh karenanya, pemikiran kritis dan kreatif saling berjalinan, berketergantungan dan merupakan komponen dari esensi keduanya. Dikatakannya pula, jika kreativitas sebagai master atau nahkodanya proses membuat (making) atau memproduksi (producing). Maka kritis adalah proses penaksiran (assessing) atau pemutusan (judging). “Kreativitas tanpa kritisisme hanyalah sesuatu yang baru semata, begitu juga kritis tanpa kreativitas hanya dapat menghasilkan sesuatu yang negatif”.32 d). Basis Teori Pendidikan Kritis Meskipun Kincheloe secara eksplisit mencatat bahwa sumber pendidikan kritis hanya teori kritis mazhab Frankfurt yang didukung oleh para ahli pendidikan kritis (critical pedagogues).33 Akan tetapi, dia tidak menyangkal keterlibatan teori lain yang dia sebut postdiscourses,34 yang mempengaruhi perkembangan analisis dalam teori kritis mazhab Frankfurt. Begitu pula Henry Giroux yang menyatakan bahwa teori kritis mazhab Frankfurt yang ikut menyumbang dalam perkembangan pendidikan kritis.35 Disisi Lain Agus Nuryatno dengan mengikuti Patti Luther mengemukakan setidaknya ada tiga sumber yang menjadi basis teori dan
l a t
i g i
D / e
n i l
On
31
a c a
B
Berbagai faktor eksternal yang mendukung terhadap perkembangan kreatifitas seseorang telah dibuktikan oleh banyak tokoh jenius dunia, seperti; Aristotle, Ludwig Van Beethoven, Leonardo Da Vinci, Michelangelo, Albert Einstein dan masih banyak lainnya. Periksa dalam Ricahrd Paul, Linda Elder, The Thinker’s Guide to: The Nature and Functions of Critical and Creative Thinking, “foundation for critical press”, 2008, 13-19. http://www.criticalthinking.org/files/CCThink_6.12.08.pdf (diakses september 2012). 32 Ricahrd Paul, Linda Elder, “The Thinker’s Guide to: The Nature and Functions of Critical and Creative Thinking”, foundation for critical press, 2008, 3-4, 13-19. http://www.criticalthinking.org/files/CCThink_6.12.08.pdf (diakses september 2012). 33 Telusuri Stephen D. Brookfield, The Power of Critical Theory for Adult Learning and Teaching (New York: Open University Press, 2005), 12. Lihat pula Henry A. Giroux, Pedagogy and the Politics of Hope: Theory, Culture, and Schooling: A Critical Reader (U.S.A.: Westview Press, 1997), 61-65, juga lihat Mary Breuing, “Problematizing Critical Pedagogy,” dalam International Journal of Critical Pedagogy, Vol 3 (3) (2011) pp 2-23, 4. http://libjournal.uncg.edu/ojs /index.php/ijcp/article/viewFile/246/113 (Diakses pada tanggal 11 maret 2013, pukul 13.57 WIB). 34 Termasuk kedalam postdiscourse, yaitu: postmodernisme, critical feminism, poststructuralism lihat Joe L. Kincheloe, Critical Pedagogy: Primer, 48-49. 35 Henry A. Giroux, “Critical Theory and Educational Practice,” dalam The Critical Pedagogy Reader, ed. Antonia Darder, Marta Baltodano, Rodolfo D. Torres (New York dan London: RoutledgeFalmer, 2003), 27. BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
29
metodologi pendidikan kritis, antara lain: teori kritis sekolah Frankfurt, Antonio Gramsci, dan Paulo Freire.36 Sementara Tilaar hampir sepakat dengan Kincheloe yang mengemukakan sumber utama atau basis teori pendidikan kritis adalah teori sosial kritis sekolah Frankfurt yang menekankan urgensitas pemikiran-pemikiran Jurgen Habermas, yang banyak berperan aktif dalam perkembangan teori sosial kritis aliran ini hingga sekarang dengan tanpa melupakan peran penting para pendahulunya, kemudian ia menyoroti keterlibatan beberapa postdiscourses dan krisis identitas manusia modern, hingga ia menekankan peranan penting Paulo Freire yang dia sebut sebagai perintis pedagogik kritis.37 Oleh karena mata rantai tentang teori kritis dan pendidikan kritis melibatkan banyak disiplin ilmu lainya, sebagaimana yang dilontarkan oleh Agus Nuryatno bahwa sekarang bukanlah zaman di mana inklusifitas ilmu ditegakkan. Akan tetapi, sekarang adalah masa di mana suatu disiplin ilmu juga mempengaruhi disiplin ilmu lainnya (eksklusifitas ilmu).38 Untuk kepentingan penelitian dalam bab ini dan juga untuk menghindari pelebaran wilayah yang tidak merelevansi secara mendalam pada penelitian ini, maka hanya akan diambil basis utama yaitu Paulo Freire, yang disepakati oleh hampir semua critical pedagogues, tanpa mendiskreditkan proponen dan eksponen penting lainya.
l a t
i g i
D / e
n i l
Paulo Reglus Neves Freire (Paulo Freire/ 1921-1997) “Educators can be with Freire or againts Freire, but not without Freire.” 39 (Moacir Gaddoti & Carlos A. Torres).
On
a c a
“There is no agreement about who originated critical pedagogy, but Paulo Freire is considered the most likely candidate”.40( Duncan-Andrade).
B
Pengalaman hidup yang tidak mudah dijalani Paulo Freire dari kecil, telah mendidiknya menjadi sosok yang revolusioner.41 Dalam rentang tahun 1947-1969 telah membuat Freire menyadari adanya penindasan yang tak terbatas hanya dalam kalangan dunia ketiga atas kondisi ekonomi dan politik. Ia merubah dan 36
M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, 11. 37 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, 209-226. 38 M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, 11. 39 Moacir Gadotti, Carlos Alberto Torres, dikutip dari M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, 35. 40 Jeffrey Michael Reyes Duncan (Duncan-Andrade), Ernest Morrell, The Art of Critical Pedagogy: Possibilities for Moving from Theory to Practice in Urban Schools (New York: Peter Lang Publishing, 2008), 24. 41 Joe L. Kincheloe, Critical Pedagogy: Primer, 69-70.
30 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
memperluas definisi dunia ketiga dari masalah geografis ke politis. Diungkapkan oleh Pramono bahwa dari sini Freire melihat bahwa pendidikan merupakan alternatif jalan pembebasan satu-satunya. Lebih jauh Ia memetakannya kedalam dua tahap; pertama penyadaran dari kondisi ketertindasan, dan merubah dari keadaan ketertindasan tersebut melalui praxis. Kemudian, tahap kedua merupakan aksi dan pembudayaan proses pembebasan secara permanen. 42 Metode yang diterapkan oleh Paulo Freire seolah memberikan angin segar bagi para petani ketika itu. Tidak hanya memberikan harapan baru dengan metode yang dikembangkannya. Akan tetapi, juga memiliki sisi lain bak pisau bermata dua. Freire memang berhasil membantu pemerintah Brasil dalam mengentaskan buta huruf dikalangan buruh. Sekaligus memberikan nafas radikal yang meresahkan bagi pemerintah dan kaum elite yang berkuasa, yang selalu ingin melanggengkan status quo. Metode yang tidak biasa diterapkan di masanya, digunakan Freire dengan sangat apik menohok sisi terdalam kemanusiaan yaitu kesadaran (conscientizacao). Pemikiran pendidikan freire bercorak humanisme rekonstruksionis. Pendidikan yang ditujukan pada usaha membantu masyarakat, terutama kaum tertindas. Disamping itu, pendidikan yang memberdayakan dan bertolak dari kepentingan masyarakat, bukan pendidikan yang didasarkan atas kemauan penguasa. Gagasan dan corak pemikiran freire ini bertolak belakang dari permasalahan pendidikan yang dihadapi masyarakat Brasil pada waktu itu. Pendidkan yang hanya berpihak pada kaum yang mampu, pendidikan yang diarahkan pada kepentingan penguasa. Sebagaimana terlihat dalam pendidikan gaya bank (banking system) dan adanya proses dehumanisasi yang tidak hanya mewarnai mereka yang kemanusiaannya dirampas tetapi mereka yang merampasnya. Posisi pendidik dan peserta didik oleh freire dikategorikan sebagai subjek “yang sadar”. Kedua posisi tersebut sama-sama berfungsi sebagai subjek dalam proses pembelajaran. Peran guru tidak lain hanya menjadi seorang teman (partnership) yang baik bagi peserta didiknya. Sedangkan, posisi realitas dunia ialah menjadi objek “yang disadari” (cognizable). Di sinilah manusia itu belajar dari hidupnya. Dengan begitu manusia dalam konsep pendidikan freire mendapati posisi sebagai subjek aktif. Manusia kemudian belajar dari realitas dengan menggunakan segenap potensi yang ia miliki. Konsep Freire tersebut memberi implikasi logis bagi pola komunikasi yang terjadi dalam proses pendidikan. Peran manusia sebagai subjek pendidikan tidak dibatasi oleh dikotomi status antara pendidik dan peserta didik.43 Eksistensi manusia sebagai makhluk pelaku atau subjek dan bukan objek atau yang tertindas, sebagaimana yang dikatakan oleh Umiarso dan Zamroni, merupakan
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
42 Made Pramono, “Menyelami Spirit Epistemologi Paulo Freire,” dalam Epistemologi Kiri, ed. Listiyono Santoso, Abd. Qodir Shaleh, 129. 43 William A. Smith, The Meaning of Conscientizacao: The Goal of Paulo Freire’s Pedagogi, terj. Agung Prihantoro, Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire, 55.
BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
31
Landasan pendidikannya Paulo Freire. Mengembalikan manusia kepada fitrah sejatinya yaitu, makhluk yang merdeka merupakan landasan utama pendidikan bagi Freire. 44 Menurut Agus Nuryatno, Freire memandang bahwa manusia merupakan makhluk yang belum sempurna dan sedang menjalani proses menuju kesempurnaan itu (incomplete and unfinished beings). Oleh karena itu, manusia harus berusaha menjadi lebih manusiawi dan menjadi subjek bagi kehidupannya.45 Menurut Umiarso, mengembalikan peran sentral manusia merupakan salah satu tujuan pendidikan Freire. Sebagai pencipta sejarah dalam kehidupannya di dunia adalah peran yang harus dilakoni oleh seorang manusia. Oleh karena manusia memiliki kemampuan untuk merefleksi kesadaran yang dimilikinya. Kemampuan untuk menyempurnakan sejarah dunia dengan menggunakan akalnya untuk berkreasi menciptakan sejarah, hal demikianlah yang membedakan manusia dengan hewan. Kemudian “menyadarkan manusia terhadap diri-sendiri dan realitas di sekitarnya (kritis-transformatif),” merupakan tujuan pendidikan Freire selanjutnya. Pada tahap ini, manusia diharapkan mampu menyadari secara kritis situasi yang terjadi pada dirinya. Proses inilah yang terkenal dalam filsafat pendidikan Freire yaitu consientizacao (kesadaran kritis). Menurut Umiarso, kesadaran kritis yang dimaksud Freire yaitu, kemampuan untuk melihat dunia secara komprehensif, mendalam, dan detail dengan menggunakan daya nalar yang kuat. Lebih lanjut ia mengatakan, “tanpa adanya sebuah refleksi kritis manusia, keberadaan dunia hanya akan menjadi bisu, hampa, dan tak berarti karena keberadaan dunia dan realitas yang terjadi di dalamnya merupakan sarana objektifikasi refleksi yang memungkinkan ia bisa disadari hakikat diciptakannya”.46 Ketika manusia menjalani proses menjadi lebih manusiawi tersebut, dibutuhkanlah apa yang dinamakan oleh Freire dengan kesadaran kritis. Menurut Freire, kesadaran tanpa melibatkan kritis tidak akan menghasilkan perubahan, sebab ia hanya menyadari terhadap suatu kondisi tanpa ada keinginan untuk merubahnya.47 Untuk itu Freire membagi kriteria kesadaran kedalam tiga fase, yaitu magis, naif, dan kritis.48 Jika di atas telas dijelaskan pentingnya tahap kesadaran kritis menurut Freire dalam proses pendidikan, yang menjadi salah satu ciri dari proses pendidikan
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
44
Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur, 147. M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan (Yogyakarta: Resist Book, 2011), 38. 46 Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur, 151153. 47 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, judul asli Pedagogy of the Oppressed, terj. Tim Redaksi LP3ES, cet. Ke-7 (Jakarta: LP3ES, 2011), 24. 48 William A. Smith, The Meaning of Conscientizacao: The Goal of Paulo Freire’s Pedagogi, terj. Agung Prihantoro, Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. Ke-2, 2008), 55. 45
32 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
menurut Freire yang wajib ada. Maka Umiarso dan Zamroni mencatat tiga karakteristik pendidikan Paulo Freire. 1. Aksi Budaya dan Pemberantasan Buta Huruf Dikatakannya bahwa, manusia memiliki potensi untuk menciptakan (creator) dan memiliki kemampuan berinteraksi dengan realitas dunia. Umiarso dan Zamroni mengatakan bahwa, “saat subjektivitas (manusia) dan objektivitas (alam/ dunia) disatukan melalui tindakan transformatif manusia telah menjadi pencipta dan pengarang sejarah”. Lebih lanjut menurut Umiarso, Freire menganalogikan orang yang buta huruf sama dengan orang yang kekurangan gizi. Melek huruf yang dimaksudkan Freire adalah “manusia yang mampu menggunakan (mengatakan, menulis, dan menerbitkan) kata-katanya sendiri. Untuk bangkit dari keadaan termarginalkan dan berinteraksi dengan realitas dunia serta menamainya”. Demikian yang dilansir oleh Umiarso dari Collins.49
2.
Kritik Konsep Pendidikan Gaya Bank Menurut Paulo Freire, pendidikan yang ada kebanyakan mengalami apa yang dinamakannya dengan “menderita penyakit cerita”. Proses pembelajaran dengan gaya menyampaikan materi kepada siswa melalui metode cerita, hanya akan melahirkan manusia-manusia bejana baru. Mereka hanya akan mampu menghapal apa yang diceritakan oleh gurunya. Kekuatan metode ini berada pada narasi yang merdu dan bukan pada kekuatan kata-katanya untuk menggugah perubahan. Metode inilah yang dinamakan oleh Freire dengan pendidikan gaya bank. Murid dianggap bak gelas kosong dan harus diisi sepenuh-penuhnya. Kegiatan seperti inilah yang membuat siswa tidak memiliki daya cipta karena mereka tidak dibiasakan dan dilatih menggunakan otaknya untuk membuat sesuatu yang baru.50 Freire mengurutkan proses pendidikan gaya bank sebagai berikut: a. Guru mengajar, murid diajar. b. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa. c. Guru berpikir, murid dipikirkan. d. Guru bercerita, murid mendengarkan cerita. e. Guru menentukan peraturan, murid diatur. f. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
g.
Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
49
Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur, 154. Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, judul asli Pedagogy of the Oppressed, terj. Tim Redaksi LP3ES, cet. Ke-7, 51-54. 50
BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
33
h. i. j.
Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu. Guru mencampur-adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang dia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.
Gaya pendidikan semacam ini yang akan mematikan kesadaran dan berpikir kritis siswa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Umiarso, pendidikan model ini tidak akan mampu buat siswa memiliki daya cipta dan kreativitas. Mereka diprediksikan hanya mampu merubah penafsiran semata, tapi tidak akan mampu merubah realitas dirinya sendiri jika dihadapkan dengan masalah. 51 Freire berpendapat bahwa guru yang menggunakan pendidikan gaya bank sebagai caranya dalam membelajarkan peserta didik, secara sadar ataupun tidak telah membuat proses dehumanisasi terhadap peserta didiknya. Untuk mengubah gaya mendidik semacam ini adalah dengan memulai komunikasi yang menganggap bahwa siswa juga manusia. Kemudian dengan merubah paradigma yang dikatakan Freire “dikotomi antara manusia dengan dunia: dengan menganggap bahwa manusia semata-mata ada di dalam dunia, bukan bersama dunia atau orang lain, manusia adalah penonton dan bukan pencipta”.52 Dari kasus pendidikan gaya bank inilah yang membuat Freire menemukan formulasi baru dalam filsafat pendidikannya, yang ia sebut dengan “pendidikan kaum tertindas”. Kemudian lahirlah tujuan baru pendidikannya yaitu pendidikan sebagai praktek pembebasan.53 Dengan menjadikan dialog sebagai sebuah kekuatan dalam kata merupakan salah satu cara untuk mencapai pendidikan pembebasan. Kekuatan kata yang berwujud dua dimensi yang disebut oleh Freire dengan praksis buah dari refleksi dan tindakan.54 Berikut skema praksis Paulo Freire;
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
Skema 2.1. Skema Praksis Paulo Freire55
Tindakan (action)
3.
= kata = karya = praksis Pikiran (reflection) Pendidikan Hadap Masalah (problem posing education) 51
Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur, 159. Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, judul asli Pedagogy of the Oppressed, terj. Tim Redaksi LP3ES, cet. Ke-7, 55-58. 53 Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur, 160. 54 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, judul asli Pedagogy of the Oppressed, terj. Tim Redaksi LP3ES, cet. Ke-7, 75. 55 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, judul asli Pedagogy of the Oppressed, terj. Tim Redaksi LP3ES, cet. Ke-7, 75. 52
34 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
Untuk bisa menerapkan metode pendidikan hadap masalah ini, menurut Freire harus dimulai dari membuang paradigma kontradiksi guru-murid. Dengan menghidupkan budaya dialogis pada hubungan guru-murid, disinyalir mampu membuat peserta didik menamai dunia dengan perspektif mereka sendiri. Proses pendidikan yang dilandaskan pada hubungan guru-murid yang bersifat demokratis seperti ini, akan mampu melahirkan manusia-manusia yang memiliki daya peneliti, kreativitas dan kekritisan. Dalam hal itu akhirnya akan menghasilkan kesadaran kritis pada diri mereka.56 Pendidikan hadap masalah yang diramu oleh Freire, ditujukan untuk merubah metode pendidikan gaya bank. Pada tahap ini, guru dan murid dianggap sebagai subjek pendidikan dan realitas dunia merupakan objeknya. Tidak adalagi dikotomi antara guru-murid yang anti dialogis, yang ada hanyalah guru dan murid sama-sama belajar terhadap objek pendidikannya yaitu dunia. Dengan menekankan pada apa yang disebut oleh Umiarso yang dikutip dari Munawar Sholeh, “kesadaran pendidik dan peserta didik mengenai kemampuan dan keberanian menghadapi serta mengubah realitas dunia secara kritis dan kreatif.”57 Berikut skema dialogis hubungan antara guru-murid:
l a t
i g i
Skema 2.2. Skema Dialogis Hubungan Antara Guru-Murid Oleh Paulo Freire58
D / TEORI DIALOGIS e n i l Subjek Subjek n (pemimpin pembaharu, misalnya:O (anggota masyarakat baru, misalnya guru) peserta didik) a c a B Interaksi Objek (realitas yang harus diperbarui dan diubah sebagai objek bersama)
Humanisasi (Sebagai proses tanpa henti sebagai tujuan)
56
Made Pramono, “Menyelami Spirit Epistemologi Paulo Freire,” dalam Epistemologi Kiri, ed. Listiyono Santoso, dkk., (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, cet. Ke-7, 2009), 142. 57 Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur, 162. 58 Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur, 163. BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
35
Dari penggambaran singkat tentang kronologi pendidikan Paulo Freire, dapat dipetakan tahapan metode pembelajarannya untuk membangkitkan kritisisme peserta didik sebagai berikut: Gambar 2.1. Tiga Tahap Model Pendidikan Paulo Freire
Praksis
Kesadaran Kritis (Consientization
Problem Posing Education
s)
l a t
i g i
e). Critical Pedagogy Pendidikan kritis memiliki definisi yang sangat beragam, oleh karena aliran pemikiran pendidikan ini tidak menetapkan satu gagasan tunggal untuk merepresentasikan pedagogik kritis,59 sebagaimana yang diungkapkan oleh Paula Allman bahwa setiap orang memiliki definisi yang berbeda tentang pendidikan kritis, 60 akibatnya sangat tidak mudah untuk menyatukan ide-ide para penggangas pendidikan kritis ke dalam satu definisi. Kincheloe menyebut pedagogik kritis sebagai pedagogik kompleks kritis (critical complex pedagogy), dikarenakan menurut mazhab ini pendidikan tidak hanya diartikan sebatas ruang lingkup sekolah, materi pelajaran, kurikulum, dan kondisi internal sekolah semata.61 Sedangkan Henry Giroux menyebutnya dengan pedagogik radikal (radical pedagogy) yang telah disepakati di U.S. adalah teori pendidikan radikal (radical
D / e
n i l
On
a c a
B
59 M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, 1. 60 Paula Allman, Critical Education Againts Global Capitalism: Karl Marx and Revolutionary Critical Education (Netherlands: Sense Publishers, 2001), 2. https://www.sensepublishers.com/media /207-critical-education-against-global-apitalism.pdf (diakses pada tanggal 5 maret 2013, pukul 10.00 WIB). 61 Joe L. Kincheloe, Critical Pedagogy: Primer (New York: Peter Lang Publishing, 2005), 2, 36. Menurut Joe Kincheloe kesulitan dalam mendeskripsikan istilah critical pedagogy secara gamblang, dikarenakan pedagogik kritis melibatkan berbagai elemen pendidikan, tidak hanya sebatas pada tehnik pedagogik, dan pengetahuan wajib dalam pembelajaran, kurikulum, metodologi, atau buku teks, dan sekolah semata, akan tetapi lebih luas lagi melibatkan kondisi politik dalam sekolah, budaya, struktur sosial masyarakat, ekonomi, yang mengakibatkan marjinalisasi, penindasan, bias gender, rasisme, kastaisme, dan lain sebagainya. Lihat Joe L. Kincheloe, Knowledge and Critical Pedagogy: An Introduction (Canada: McGill University, 2008), 8. http://www.springer.com/series /7472 (diakses pada tanggal 2 april 2012, pukul 12.31 WIB).
36 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
theory of education) dalam konteks akademik didefinisikan sebagai cabang dari “the new sociology of education” atau “a critical theory of education,” menurut Giroux pedagogik kritis mencoba mengembangkan wacana untuk menguji sekolah dalam konteks historisnya sebagai sekolah, juga sebagai bagian dari relasi sosial dan politik yang memberi ciri pada masyarakat yang berkuasa. Giroux-pun mengatakan bahwa pendidikan kritis berusaha untuk mentransformasi sosial masyarakat dari ketidakadilan, kesejahteraan, dan memberdayakan yang tertindas.62 Lain halnya dengan Paula Allman dalam bukunya, pendidikan kritis didefinisikannya sebagai pendidikan kritis revolusioner (revolutionary critical education) dikarenakan baginya pendidikan bertujuan untuk menyiapkan individuindividu terlibat dalam revolusi tansformasi sosial (revolutionary social transformation).63 Agus Nuryatno secara eksplisit mengatakan bahwa pendidikan kritis adalah “mazhab pendidikan yang meyakini adanya muatan politik dalam semua aktifitas pendidikan,”64 Hal senada juga telah dinyatakan oleh Kincheloe yang mengatakan bahwa “para proponent pendidikan kritis sangat paham bahwa disetiap dimensi sekolah dan setiap praktek pendidikan merupakan ajang kontes politik.”65 Sedangkan Paulo Freire menyebutnya dengan pendidikan sebagai proses penyadaran (conscientization) kesadaran untuk mendapatkan kebebasan dari segala bentuk penindasan.66 Meskipun pedagogik kritis disatukan pada tujuan dan wacana yang sama sebagaimana telah dijelaskan diatas, yaitu memberdayakan kaum yang tidak berdaya (baca: tertindas) dan untuk mentransformasi sosial dari ketidak-setaraan dan ketidakadilan melalui pendidikan. 67 Dalam bahasa pedagogik kritisnya meminjam istilah Nicholas Burbules dan Rupert Berk yang dikutipnya dari Thesis Marx (Marx 1845/1977,158) menjelaskan bahwa “seorang yang berpikir kritis adalah yang berkuasa untuk mencari keadilan dan emansipasi, tidak hanya sebatas mengakui terjadinya ketidak-adilan, akan tetapi dalam dunia pedagogik kritis
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
62 Henry A. Giroux, “Radical Pedagogy as Cultural Politics Beyond the Discourse of Critique and anti-utopianism,” dalam Peter McLaren, Critical Pedagogy and Predatory Culture: Oppositional Politics in Postmodern Era (London & New York: Routledge, 1995), 29-30. 63 Paula Allman, Critical Education Againts Global Capitalism: Karl Marx and Revolutionary Critical Education, 2. https://www.sensepublishers.com/media/207-critical-education-against-global-capitalism.pdf (diakses pada tanggal 5 maret 2013, pukul 10.00 WIB). 64 M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, 1. 65 Joe L. Kincheloe, Critical Pedagogy: Primer, 2. 66 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, judul asli Pedagogy of the Oppressed, terj. Tim Redaksi LP3ES, cet. Ke-7 (Jakarta: LP3ES, 2011), 1-50. 67 Henry A. Giroux, “Radical Pedagogy as Cultural Politics Beyond the Discourse of Critique and anti-utopianism,” dalam Peter McLaren, Critical Pedagogy and Predatory Culture: Oppositional Politics in Postmodern Era, 29.
BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
37
seseorang yang berpikir kritis juga berpartisipasi langsung untuk membuat perubahan.”68 Oleh karena sebagaimana yang telah diungkapkan diatas, pada prinsipnya pedagogik kritis sangat meyakini bahwa ranah pendidikan tidaklah independen, bebas, dan lepas dari realitas sosial yang hanya melibatkan ruang lingkup sekolah, praktek pengajaran dan pembelajaran, dan ilmu pengetahuan wajib yang biasa diajarkan di sekolah-sekolah. Akan tetapi, pedagogik kritis melihat bahwa institusi pendidikan memiliki relasi yang lebih luas diluar praktek pendidikan itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Paulo freire yang dikutip dari Kincheloe bahwa “education is always political and teachers are unavoidably political operatives,”69 lembaga pendidikan memiliki keterkaitan yang erat dengan ranah politik, budaya, ekonomi, kondisi sosial masyarakat, idiologi, kekuatan dominan, dan lain sebagainya yang tidak bisa dipisahkan, di mana ranah pendidikan menjadi ajang kompetisi perbagai kepentingan.70 Agus Nuryatno menegaskan bahwa pendidikan harus dipahami dan dilihat dalam konteks yang lebih luas, dalam kerangka keterkaitan-keterkaitannya antara pengetahuan, idiologi dan kekuasaan.71 Tilaar mengungkapkan bahwa aliran pendidikan ini lahir karena kegagalan berbagai aliran pemikiran terdahulu seperti positivisme, komunisme, dan kapitalisme dalam praktek kehidupan masyarakat setelah perang, yang memicu lahirnya alternatif pemikiranpemikiran kritis tentang hakikat kehidupan sosial manusia berikut permasalahanpermasalahannya.72
l a t
i g i
D / e
n i l
On
B.
Konsep Pendidikan Kritis dan Kreatif dalam Islam Untuk melihat seperti apa konsep pendidikan Islam yang kritis dan kreatif sangat dibutuhkan pemahaman tentang bagaimana konsep pendidikan Islam menurut para pakarnya. Muhammad ‘Athiyah al-Ibrasiy menyatakan bahwa pendidikan Islam telah termasuk pendidikan yang ideal, ia mengatakan bahwa dalam pendidikan Islam telah tertanam unsur-unsur kebebasan dan demokrasi dalam
a c a
B
68 Nicholas C. Burbules, Rupert Berk, “Critical Thinking and Critical Pedagogy: Relations, Differences, and Limits, dalam Critical Theories in Education, ed. Thomas S. Popkewitz, Lynn Fendler (New York: Routledge, 1999), http://faculty.education.illinois.edu/burbules/papers/critical. html (diakses pada tanggal 5 maret 2013, pukul 10.55 WIB). 69 Joe L. Kincheloe, Critical Pedagogy: Primer, 70. 70 Michael W. Apple, “Paulo Freire, Critical Pedagogy And The Tasks Of The Critical Scholar/Activist,” dalam Revista e-curriculum, São Paulo, v.7 n.3 DEZEMBRO 2011, 4-5, http:// revistas.pucsp.br/index.php/curriculum (diakses pada tanggal 11 maret 2013, pukul 02.43 WIB). 71 M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, 2. 72 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), 208-210.
38 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
proses pendidikannya.73 Hal yang sama juga dikemukankan oleh Al-Maghribi bin as-Said yang beranggapan bahwa manhaj Islam dalam pendidikan sudah sempurna dan komprehensif yang menyeimbangkan potensi jasmani (badan), akal, dan ruh tidak seperti pendidikan barat yang hanya bertumpu pada akal dan jasmani (badan) semata. Kesempurnaan manhaj pendidikan Islam menurut al-Maghribi karena berlandaskan pada manhaj Ilahi.74 Menurut Mary Gallagher, siswa ketika pertama kali datang kesekolah diibaratkan seperti gunung es yang berada ditengah samudera. Dimana yang tampak hanya sebagian kecil puncaknya, akan tetapi sebagian besarnya terpendam didasar lautan. Begitulah ibaratnya potensi bakat yang dimiliki oleh anak-anak didik dan tugas gurulah untuk memunculkan potensi besar yang terpendam tersebut.75 Potensi yang
l a t
terlihat
i g i
D / e
n i l
76
Gambar 2.1
On
Gambar 2.277
Potensi yang tersembunyi
a c a
B
73 Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasiy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Gani, judul asli At-Tarbiyatu Al-Islamiyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 19. 74 Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Kaifa Turabbi Waladan Shaalihan, terj. Zainal Abidin, Begini Seharusnya Mendidik Anak: Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan Hingga Dewasa (Jakarta: Darul Haq, cet. Ke-5, 2007), 7-8. 75 Mary Gallagher, “Teaching Methodology,” pada International Workshop on Teaching Methodology and Capacity Building for Teachers of Islamic Subject in High School in Six Provinces, di PPIM Jakarta. 9 desember 2012, pukul 08.00 – 16.00 wib. 76 Ilustrasi gambar dari laman www.google.com 77 Ilustrasi gambar dari laman www.google.com
BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
39
Perhatian Islam terhadap pendidikan sangat jelas terpampang dalam AlQuran. Terbukti bahwa ayat pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad adalah perintah untuk membaca (“Iqro’”).78 Hal demikian yang membuat al-Ibrasyi menegaskan bahwa Islam adalah “agama ilmu pengetahuan dan cahaya, dan tidak sempurna agama seseorang yang hidup dalam kebodohan dan kegelapan”.79 Al-Ibrasy memberi contoh konkrit kehandalan konsep pendidikan Islam pada masa kejayaan dinasti Islam dahulu, menurutnya waktu itu pendidikan diperuntukkan untuk semua kalangan tanpa dibebani biaya sepeserpun. Komersialisasi dalam pendidikan Islam pada waktu itu tidak pernah dijumpai karena pendidikan telah menjadi tanggung jawab bersama tidak hanya dibebankan kepada negara, tetapi juga kaum bangsawan dan mereka yang memiliki harta berlomba-lomba menyumbangkan harta untuk kepentingan pendidikan semampu mereka. Al-ghozali, Al-Syafi’i dan Ibn Rusyd merupakan ulama-ulama yang terlahir dalam kondisi pendidikan yang demikian.80 Lebih lanjut al-Ibrasyi pun menggambarkan betapa kebebasan dalam berpikir telah diajarkan oleh Nabi Muhammad jauh sebelum Paulo Freire lahir. Dalam sebuah hadist-Nya81 Ia mengatakan untuk tidak menjadi manusia yang fanatik terhadap pendapat atau perkataan orang lain, sehingga tidak memiliki pendirian dalam bersikap. Menurutnya pula Nabi Muhammad selalu memerintahkan kepada manusia memberi kebebasan untuk bertindak menggunakan akal dan pikirannya tidak mengikuti orang lain dengan membabi buta tanpa menelaah dan meneliti secara rinci apakah hal tersebut baik atau buruk menurut akal dan pemikiran kita sendiri.82 Imam Suprayogo mencatat sedikitnya tiga fase gelombang besar keilmuan Islam. Pertama, masa kejayaan Islam kisaran abad ke- 9 sampai abad ke- 12, pada abad ini Islam mampu menjadi kiblatnya dunia dalam perkembangan keilmuannya. Pada fase ini pula filusuf-filusuf besar Islam terlahir dan dikenal seantero dunia
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
78
Q.S. 96: 1-5. Muhammad Athiyah al-Ibrasyi, Ruh al-Islam, terj. Syamsuddin Asyrofi, dkk., Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, 33. 80 Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasiy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Gani, judul asli At-Tarbiyatu Al-Islamiyah, 19-20. 81 Yang artinya “janganlah diantara kamu sekalian menjadi orang fanatik yang selalu mengatakan, saya mengikuti manusia yang lain, jika mereka menganggap baik maka saya menganggap baik juga, jika mereka menganggap jelek maka saya menganggap jelek, tetapi bersikaplah kamu sekalian dengan tegas, jika mereka menganggap baik hendaknya kamu menganggap baik, dan jika mereka menganggap jelek janganlah kamu menganggap jelek bersama mereka”. (alhadist). Lihat Muhammad Athiyah al-Ibrasyi, Ruh al-Islam, terj. Syamsuddin Asyrofi, dkk., Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, 55. 82 Muhammad Athiyah al-Ibrasyi, Ruh al-Islam, terj. Syamsuddin Asyrofi, dkk., Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, 55-56. 79
40 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
karena karya-karya dan pemikiran mereka hingga saat ini.83 kedua, fase kemunduran umat Islam dalam keilmuan abad ke- 13 hingga ke- 17. Suprayogo menjelaskan bahwa hal ini karena umat Islam pada waktu itu masih terbuai pada kejayaan Islam pada fase pertama dan lebih cenderung mendalami ilmu olah rasa atau tasawuf. Ketiga, fase kebangkitan kembali umat Islam abad ke-19 dan 20. Menurut Suprayogo fase ini telah terlihat kembali geliat keilmuan dikalangan cendekiawan muslim. 84 Pendapat Al-Ibrasiy di atas bukanlah isapan jempol belaka, dunia telah menjadi saksi akan kemajuan peradaban Islam pada masa klasik disegala bidang keilmuan. Kejayaan Islam pada masa klasik bukan semata-mata hadiah dari langit tanpa perjuangan dan perbuatan yang nyata, melainkan buah dari etos keilmuan para intelektual pada masa itu. Seperti yang diungkapkan oleh Nurcholish Madjid bahwa hal demikian terjadi lantaran para intelektual abad klasik telah menerapkan metode ilmiah modern dalam kajian keilmuan. Mereka telah memulai metode ilmiah modern dengan “mengumpulkan, memperhatikan, mempelajari data-data yang relevan seluas dan selengkap mungkin, lalu menyusunnya secara sistematis dengan mencari hubungan logis dan organik unsur-unsur data tersebut, untuk kemudian membuat kesimpulan atau generalisasi,” demikian pernyataan Nurcholish yang dikutip dari Yasmadi. 85 Meski ada golongan pesimistis yang menganggap bahwa tidak ada istilah pendidikan Islam, sebab Islam dianggap agama wahyu yang mengandung kebenaran mutlak dan tidak ada sangkut pautnya dengan pendidikan, seperti yang dijabarkan Jalaluddin. Akan tetapi, argumen di atas dibantah pula oleh Jalaluddin dengan menjelaskan bahwa jika ingin menelusuri ajaran Islam secara runut maka akan terlihat dengan jelas bahwa Islam sangat berkaitan erat dengan pendidikan. Untuk menggambarkan dengan jelas konsep pendidikan Islam, Jalaluddin membaginya kedalam dua sudut pandang, yaitu konsep pendidikan Islam secara umum dan konsep pendidikan secara khusus. Konsep pendidikan secara umum, menurutnya akan dilihat dari asal kata yang membentuk kata pendidikan itu sendiri
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
83 Imam Suprayogo mencatat Al-Kindi (801-866), Al-Farabi (870-950), Ibn Sina (980-1037), Ibnu Rusyd (1126-1198), Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Buchori, Imam Muslim, Al-Ghozali (1029-1111), Al-Razi (864-932), dan lainnya, adalah filusuf-filusuf besar yang lahir pada fase ini. Lihat Imam Suprayogo, “Rekonstruksi Kajian KeIslaman: Sebuah Tawaran Ontologis dan Epistemologis,” dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global, ed. M. Zainuddin, Muhammad In’am Esha (Yogyakarta: Aditya Media dan UIN Press, 2004), 17. 84 Imam Suprayogo, “Rekonstruksi Kajian KeIslaman: Sebuah Tawaran Ontologis dan Epistemologis,” dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global, ed. M. Zainuddin, Muhammad In’am Esha, 17. 85 Yasmadi, Modernisasi Pesantren: Kritikan Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 145.
BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
41
yang mengundang banyak persepsi yang berbeda dikalangan para pakarnya. 86 Meskipun perbedaan mereka tidak terlalu jauh yaitu sebatas perbedaan antara altarbiyah dan al-ta’lim, atau antara pendidikan dan pengajaran, hal itu diungkapkan oleh Muhaimin. 87 Ada tiga istilah yang sering dimunculkan dalam pemaknaan pendidikan Islam, yaitu al-tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib. Tarbiyah menurut Jalaluddin dengan mengutip Ahmad Tafsir diartikan sebagai “memelihara, membesarkan dan mendidik juga termasuk makna mengajar atau allama,” dengan merujuk definisi tersebut tarbiyah dapat ditafsirkan sebagai proses pengembangan dan pelatihan terhadap potensi manusia (jasmani, ruh, dan akal) secara maksimal untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi kehidupan dimasa depan seperti yang dikutip oleh Jalaluddin dari Ummi. Sedangkan makna ta’dib yang diusung oleh Naguib al-Attas mengarah pada makna adab. Pendidikan menurut alAttas yang dikutip dari Wan Mohd Nor Wan Daud, merupakan “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang ini disebut dengan ta’dib.”88 Jalaluddin menambahkan Menurut al-Attas pendidikan dalam konsep ta’dib didefinisikan sebagai penempatan manusia pada proporsinya atau posisinya sesuai dengan adat istiadat masyarakat yang merupakan refleksi dari keilmuan yang dikuasainya.89 Adapun konsep pendidikan Islam secara khusus lebih untuk mempersempit dan merumuskan makna hakikat pendidikan Islam lebih terperinci dari konsep pendidikan secara umum. Jalaluddin dengan merujuk pada definisi yang diletakkan oleh Muhammad al-Toumy al-Syaibany menafsirkan pendidikan sebagai “proses merubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya dengan cara pengajaran sebagai aktivitas asasi dan profesi diantara berbagai profesi asasi dalam masyarakat”.90 Menurut Yusuf Qardhawi yang dikutip dari Azyumardi Azra, pendidikan Islam merupakan “pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis, dan pahitnya.”91 Kemudian pada kongres pendidikan Islam sedunia II tahun 1980 oleh para ahli pendidikan Islam yang menghasilkan rumusan tentang tujuan pendidikan Islam,
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
86
Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet. Ke-2, 2002), 72. Muhaimin, dkk., Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, ed. Siti Lailan Azizah (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet. Ke- 3, 2004), 36-37. 88 Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas, terj. Hamid Fahmy, dkk., Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib AlAttas (Bandung: Mizan, 2003), 174. 89 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, 72-73. 90 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, 72. 91 Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektualisme Muslim dan Pendidikan Islam (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), 5. 87
42 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
yaitu “untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, dan pancaindera”.92 Dengan merujuk definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk mengembangkan potensi dari segala aspek (jasmani, akal, dan ruh) yang dimiliki oleh manusia kearah yang lebih baik (baca: peserta didik) untuk tujuan hidup yang sempurna. Adapun tujuan pendidikan Islam menurut Al-Syaibany yaitu: a). “Tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu, pelajaran (learning) dan dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu-individu tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang diingini pada pribadi mereka, dan pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan akhirat. b). ‘Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat umumnya, dan dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini tentang perubahan yang diingini, dan pertumbuhan, memperkaya pengalaman, dan kemajuan yang diinginkan.”
l a t
c).
i g i pendidikan dan pengajaran “Tujuan-tujuan profesional yang berkaitan dengan D sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai / profesi, dan sebagai suatu aktivitas e diantara aktivitas-aktivitas masyarakat.” n i Kemudian al-Syaibani pun l menyebutkan beberapa tujuan pendidikan n menurut al-Ibrasyi secara umum O (‘am), antara lain; a). “Untuk membantu pembentukkan akhlak yang mulia.” a b). “Persiapan untuk ckehidupan dunia dan kehidupan akhirat”. Dengan berlandaskan kepada Ba hadist Nabi Muhammad. 93
94
c). “Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan”. d). “Menumbuhkan roh ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan memusakan keinginan atau untuk mengetahui (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu”. e). “Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi tertentu, teknis tertentu, dan perusahaan
92
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, 76. Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 399. 94 Arti dari hadist tersebut yakni “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok.” 93
BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
43
tertentu, supaya ia dapat mencari rezeki dalam hidup dan hidup dengan mulia di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan”.95 Dari penjabaran diatas sangat jelas bahwa pendidikan Islam tidak menghambat atau menjadi penghalang bagi seseorang untuk menjadi sukses dalam dunia kerja profesional, sebagaimana yang banyak dituduhkan belakangan bahwa pendidikan Islam hanya untuk mencapai kehidupan akhirat semata. Meskipun demikian sebagaimana yang diungkapkan oleh Azra bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah tidak lepas dari tujuan hidup seorang muslim yaitu beribadah kepada Allah SWT.96 Akan tetapi, tidak mengabaikan kebutuhan untuk kehidupan didunia ini. Oleh karena pendidikan Islam juga telah memiliki konsep pendidikan yang bisa dibilang mapan, meskipun harus tetap mengadakan revisi di sana sini karena perkembangan zaman, tentunya pendidikan Islam juga telah memiliki metodologi pembelajaran yang bisa diandalkan. Athiyah al-Ibrasyi menyatakan bahwa pendidikan Islam sangat berjasa dalam menemukan metodologi pembelajaran yang kemudian diikuti dan dikembangkan oleh bangsa Eropa. Al-Ibrasyi menyebutkan metode ceramah dan dialog (muhadhoroh) telah diterapkan sejak masa klasik oleh para cendekiawan muslim, hal itu merupakan bukti dari penemuan metodologi tersebut. Lebih lanjut ia pun memaparkan beberapa metode pembelajaran yang telah diterapkan sejak lama oleh para filusuf muslim, antara lain; a). Penguasaan materi. Guru hendaknya menguasai materi pelajaran dengan sempurna sebelum proses pembelajaran berlangsung, kemudian menjelaskannya kepada pelajar dengan berbagai sudut pandang yang berbeda, selanjutnya memperlihatkan pendapat atau pandangannya, untuk seterusnya memberikan kesempatan kepada peserta didiknya untuk menyampaikan pendapat mereka masing-masing, metode ini dirumuskan oleh Ibn Khaldun sebagai salah satu metode pembelajaran yang efektif dan digemari pada masa itu di dunia Arab97. b). Dialogis atau metode dialog adalah pencapaian penting dari pendidikan Islam masa klasik yang telah diterapkan diberbagai institusi pendidikan Islam, yang menurut al-Ibrasyi metode tersebut terus dilestarikan hingga sekarang diberbagai lembaga-lembaga pendidikan Islam di timur dan barat. c). Kemudian penerapan pada pemberian materi pelajaran dari pengetahuan yang termudah dan bersifat konkrit, dan selanjutnya disesuaikan dengan umur peserta didik. Metode inipun oleh al-Ibrasy dianggap sebagai warisan dari dunia pendidikan
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
95 Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, 416-417. 96 Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektualisme Muslim dan Pendidikan Islam, 7. 97 Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun: Perpesktif Pendidikan Modern (Banda Aceh dan Yogyakarta: Taufiqiyah Sa’adah dan Suluh Press, cet. Ke-2, 2005), 93.
44 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
Islam berabad-abad lalu.98 Dalam hal ini Ibnu Khaldun membagi tahapan penyajian pengajaran kedalam tiga tahap, yaitu; Pertama, penyajian global (sabil al-ijmal). Pada tahap ini guru dianjurkan untuk menjelaskan atau mengajarkan hal-hal yang dasar, menyajikan permasalahanpermasalahan yang pokok dan prinsipil dari suatu disiplin keilmuan atau keterampilan. Penjelasan yang disampaikan secara global dengan tidak mengenyampingkan kesiapan dan potensi intelektual peserta didik untuk menyerap pelajaran. Pada tahap ini akan membentuk pengetahuan dasar siswa meskipun hanya secara global, akan tetapi sangat berguna untuk bekalnya memahami tahapan pelajaran selanjutnya. Kedua, pengembangan (al-syarh wa al-bayan). Dengan mereview pelajaran sebelumnya pada tahap pertama, kemudian melanjutkannya dengan pemberian materi atau keterampilan yang lebih tinggi dan spesifik pokok pembahasannya. Pada tahap ini pengajar menyajikan berbagai sudut pandang terkait tema pembahasan yang tengah berlangsung, dari teori hingga kontradiksi yang menyelubungi tema tersebut. Dengan demikian tahapan ini dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan lanjutan pelajar dari tahapan pertama dengan sedikit lebih luas dan detail. Ketiga, penuntasan atau penyimpulan (takhallus). Pada tahap akhir ini diharapkan semua pembahasan yang telah disajikan pada tahap pertama dan kedua dituntaskan pada tahap ini. segala kontradiksi, pandangan-pandangan yang belum menemukan penjelasan yang jelas diselesaikan pada level ini secara rinci, analisis yang tajam, dan menyeluruh. Sehingga pengetahuan yang didapat dari tiga tahapan model pembelajaran tersebut bisa dituntaskan secara detail, mantap, dan melekat pada peserta didik.99 Di dalam ajaran Islam (Al-Quran) telah sangat jelas perintah untuk menggunakan segala potensi yang telah diberikan kepada manusia yang meliputi segala aspek yang disebut oleh Abuddin Nata kemapuan kognitif, apektif, psikomotorik, dan fitrah. Menurutnya Al-quran telah memerintahkan manusia untuk menggunakan seluruh potensi tersebut yang terefleksi jelas dalam surah-surahnya antara lain “perintah berpikir (la’allakum tatafakkarun), perintah untuk menggunakan akal sebagai nalar (afalaa ta’qilun), perintah untuk meng-observasi (afalaa yandzuruun), perintah untuk memahami secara detail (liyatafaqqahu), perintah untuk merenungkan rahasia alam atau sesuatu (afalaa yatadabbaruun), perintah untuk mengerjakan sesuatu (i’maluu ‘ala makaanatikuum), perintah untuk
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
98 Muhammad Athiyah al-Ibrasyi, Ruh al-Islam, terj. Syamsuddin Asyrofi, dkk., Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, 52-54. 99 Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun: Perpesktif Pendidikan Modern, 101-102.
BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
45
membaca (iqra’), perintah untuk menulis (‘allama bilqalam),”100 dan lain sebagainya yang tertuang jelas dalamAl-quran. Dari penjabaran diatas dapat dilihat bahwa agama Islam telah meletakkan konsep pendidikan yang sempurna dengan melibatkan seluruh aspek potensi yang terdapat pada manusia, lewat Al-Quran, hadist, model pengajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad secara langsung, dan efektivitasnya pun terlihat jelas lewat pencapaian peradaban tertinggi Islam pada masa klasik. Dengan demikian telah nyata bahwa pendidikan Islam memiliki konsep dan landasan pendidikan yang integral dan komprehensif, yang bisa mengembangkan potensi yang ada pada manusia (baca: peserta didik) yang dalam konteks ini membangun budaya kritis, kreatif, dan demokratis (kebebasan dalam berpikir dan berpendapat), yang kesemua tujuan itu telah tercantum dalam Al-Quran, Hadist, dan sejarah peradaban Islam pada zaman klasik. a). Metode Pembelajaran dalam Pendidikan Islam Tujuan pendidikan tidak akan tercapai jika segala aspek dari praktek pendidikan tidak terkonsep dengan baik. Salah satu komponen penting yang telah menjadi penentu tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan adalah aspek pembelajaran. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Peter Jarvis dan kawankawannya yaitu dari segala aktivitas dasar yang dilakoni manusia, pembelajaran menempati posisi yang sama krusialnya dengan bernafas. Pembelajaran adalah proses yang harus kita lewati untuk menjadi manusia, suatu proses di mana kita meng-internalisasikan dunia luar dan proses di mana kita mengkonstruksi pengalaman terhadap dunia itu.101 Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa segala aspek yang berkaitan dengan pendidikan, baik itu praktek maupun teorinya bukanlah suatu aktivitas sosial yang sederhana, seperti yang diungkapkan oleh Gill Nicholls sama halnya dengan pengajaran, pembelajaran juga merupakan aktivitas yang rumit dan kompleks, karena melibatkan berbagai disiplin ilmu sosial lainnya, dan menurut Nicholls faktor psikologis memiliki peran yang sangat besar atau signifikan dalam perkembangan pembelajaran, strategi pembelajaran, dan gaya (styles) pembelajaran.102 Oleh karena setiap dari tujuan pendidikan yang ada diseluruh dunia tidaklah homogen. Hampir atau bahkan disetiap Negara memiliki tujuan pendidikannya masing-masing, bahkan dengan adanya otonomi pendidikan telah membuat tujuan
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
100
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2009),
105. 101 Peter Jarvis, John Holford, Colin Griffin, The Theory and Practice of Learning (Oxon: RoutledgeFalmer, 2004,2005), viii. 102 Gill Nicholls, Developing Teaching and Learning in Higher Education (New York: Routledge, 2002), 23.
46 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
pendidikan diantara sekolah dalam satu Negara-pun ikut berbeda, hal demikian dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain faktor idiologi pendidikan yang dianut atau yang mempengaruhi negara dan sekolah tersebut, tokoh atau figur pendidikan yang dicontoh, sosio-kultural, lingkungan masyarakat, bahkan konsep sekolah dan lain sebagainya. Hal ini telah membuat tidak adanya pengkultusan terhadap metodologi pembelajaran, atau sistem pembelajaran tertentu yang dianggap paling baik untuk semua tujuan pendidikan disetiap Negara atau sekolah. Anggapan ini menunjukkan bahwa makna dari hakikat pendidikan itu dipengaruhi pada kacamata ideologi103 dan paradigma pendidikan di mana hakikat pendidikan itu dilihat, hal demikian yang diungkapkan oleh Mansour fakih.104 Permasalahn lain yang terjadi dalam pendidikan adalah pada pelaksanaan praktek pendidikan dilapangan, bagaimanapun pengajar atau guru sangatlah berperan penting dalam proses pelaksanaannya. Praktek pengajaran yang baik sangat bergantung pada pemahaman pengajar tentang apa hakikat pengajaran dan pembelajaran itu sendiri, oleh karena berdasarkan pemahaman tersebut yang akan menggiring pengajar untuk memutuskan penggunaan seperangkat strategi pembelajaran yang terbaik.105 Setiap orang bisa saja memiliki definisi sendiri tentang hakikat sesuatu benda ataupun aktivitas, begitu juga dalam menggambarkan hakikat pembelajaran. Akan tetapi sebagaimana yang dikatakan Matt Jarvis, bahwa ketika kita berusaha untuk mendefinisikan apa itu pembelajaran, kita akan tersadar bahwa alangkah rumit dan merupakan konsep yang sangat kompleks. Menurutnya pembelajaran dengan tanpa mengaitkannya dengan pendidikan dan hanya merujuk pada definisi psikologi klasik yang dikutip Matt Jarvis dari J. R. Anderson, yaitu “mechanisme dimana organisme beradaptasi dengan lingkungan mereka dan proses dimana perubahan yang relatif permanen terjadi potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman.”
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
103 O’neil membagikan secara garis besar kedalam dua ideologi pendidikan (ideologi pendidikan konservatif dan ideologi liberal) yang masing-masing memiliki tiga tradisi pokok, yang pertama ideologi pendidikan konservatif, yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu; fundamentalisme pendidikan, intelektualisme pendidikan, dan konservatisme pendidikan. sedangkan ideologi liberal, yaitu; liberalisme pendidikan, liberasionisme pendidikan, dan anarkisme pendidikan. Lihat Willam F. O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, 104-110. Disudut lain, Mansour Fakih dengan merujuk pada Henry Giroux dan Aronowitz memperlihatkan sudut pandang yang berbeda dalam pemetaan paradigma pendidikan yang lebih sederhana, Giroux dan Aronowitz hanya membagi kedalam tiga ideologi pendidikan, yaitu; paradigma konservatif, paradigma liberal, dan paradigma kritis. Telaah pula Mansour Fakih, “Ideologi dalam Pendidikan,” dalam sebuah pengantar buku William F. O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, xiii. 104 Mansour Fakih, “Ideologi dalam Pendidikan,” dalam sebuah pengantar buku William F. O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, judul asli Educational Ideologies: Contemporary Expressions of Educational Philosophies (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet- ke 2, 2008), xii. 105 L. Walklin, Teaching and Learning in Further and Adult Education (United Kingdom: Stanley Thornes, 2000), 5.
BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
47
Dari definisi sederhana ini bisa disimpulkan bahwa pembelajaran melibatkan perubahan pada individu melalui pengalaman.106 Selanjutnya Anisah Basleman dan Syamsu Mappa memisahkan definisi antara belajar dan pembelajaran, untuk mempermudah memahami makna belajar yang memiliki definisi yang sangat beragam yang diwariskan oleh para teoritisi terdahulu. Antara lain dengan mengutip W. App yang membagikan kedalam lima cara mendefinisikan belajar, yaitu: a). Dilihat dari sudut pandang mental klasik yang mendefinisikan belajar sebagai “pelatihan dan pengumpulan pengetahuan. Belajar merupakan suatu proses pengembangan batin yang berpusat pada daya seperti imajinasi, ingatan, kehendak, dan nalar.” b). Dari sudut pandang teori pengembangan, “belajar adalah suatu proses pengembangan individu.” c). Pendukung teori persepsi belajar mendefinisikan belajar sebagai “suatu proses yang dinamis untuk membentuk waktu kumpulan pengetahuan yang tidak pernah utuh dan tidak berubah.” d). Behaviourisme menjelaskan belajar sebagai “suatu perubahan perilaku.” e). Dan terakhir dari sudut pandang pendukung teori Gestalt, “belajar sebagai pengembangan wawasan yang dihasilkan dari interaksi orang dengan lingkungannya.”107
l a t
i g R.M. Smith mengidentifikasi tujuan pembelajaran kedalam tiga hal; a). i D “pemerolehan dan penguasaan tentang apa yang telah diketahui mengenai sesuatu,” / e b). “penyuluhan dan penjelasan mengenainarti pengalaman seseorang,” c). “ suatu i yang relevan dengan masalah”. Dapat proses pengujian gagasan yang terorganisasi l disimpulkan dari paparan diatas bahwa pembelajaran ditujukan untuk menunjukkan n O suatu hasil, proses, atau fungsi. Simpelnya, pembelajaran bisa diartikan sebagai a emosi, intelektual, dan spiritual seseorang upaya untuk memengaruhi kondisi c supaya mau belajar atas akemauannya sendiri, sebagaimana hal demikian yang B diungkapkan oleh Abuddin Nata. 108
109
Dalam pendidikan Islam, para filusuf terdahulu juga telah memikirkan dan berusaha untuk menciptakan atau merumuskan berbagai metode pembelajaran yang efektif untuk pelajar. Ibnu Khaldun adalah satu dari sekian banyak filusuf muslim yang berusaha untuk merumuskan metode pengajaran dan pembelajaran yang efektif, melalui teori belajarnya (malakah dan tadrij) ia menciptakan metode pengajaran tiga tahap seperti yang telah dipaparkan diatas. Cendekiawan muslim yang bernama asli Abdurrahman ini menganggap pengajaran merupakan suatu 106
Matt Jarvis, The Psychology of Effective Learning and Teaching (United Kingdom: Nelson Thornes, 2005), 4. 107 Anisah Basleman, Syamsu Mappa, Teori Belajar Orang Dewasa (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 11-12. 108 Anisah Basleman, Syamsu Mappa, Teori Belajar Orang Dewasa, 12-13. 109 Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta: Kencana, 2009), 85.
48 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
keterampilan atau skill (sina’ah). Berdasarkan pandangannya tersebut Ibnu Khaldun mereformasi metode pengajaran yang dipakai ketika itu (drill dan tahfiz) yang menimbulkan budaya membeo dan verbalistik sebagaimana yang dipaparkan oleh Warul Walidin. Dia pun sangat menentang metode hapalan dan verbalisme dalam pendidikan karena akan membebani siswa dan mematikan daya kritisnya. Walidin Ibnu Khaldun memiliki pandangan bahwa peserta didik ditempatkan sebagai subyek daripada obyek, yang dengan demikian orientasi belajarnya adalah child-centered (berpusat pada murid).110 Beberapa pendekatan cara belajar modern yang telah diterapkan pula dalam pendidikan Islam sebagaimana dipaparkan oleh Abuddin Nata, diantaranya: a). Cara belajar siswa aktif (CBSA). Telah menjadi pengetahuan bersama bahwa pendekatan dengan metode pembelajaran aktif bisa merangsang dan mendorong serta memotivasi siswa untuk berkreasi atau daya kreativitas pelajar, juga menumbuhkan rasa kepercayaan diri, dan keterbukaannya dalam menerima atau menolak sesuatu berdasarkan pendapatnya. Dalam Al-Quran Abuddin Nata memberi contoh pada Surah Al-Baqarah ayat 67. Yang mengisahkan tentang cara Nabi Musa mengajari kaumnya untuk menyembelih sapi sebagai tanda bersyukur, akan tetapi para kaumnya malah menuduh Musa akan merugikan mereka. Karena ketidak-percayaan mereka itu kepada Musa akhirnya mereka tidak mendapatkan pelajaran dibalik perintah tersebut karena kebodohan mereka.111
l a t
i g i
D / e
n i l
On
Kemudian Al-Syaibani memaparkan beberapa metode pengajaran yang telah diterapkan oleh para cendekiawan muslim abad klasik yang bisa ditemui dalam karya-karya mereka yaitu; a). Metode mengajar yang berdasar pada alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan padanya, seperti metode kitab, metode perpustakaan, metode laboratorium, dan metode proyek.
a c a
B
b). Metode-metode yang bedasarkan pada cara yang diikutinya dalam mengemukakan fakta. Seperti metode pertuturan (mengungkapkan argumen), metode lukisan, metode contoh, metode partisipasi, dan lain sebagainya. c). Metode yang berdasarkan pada penyusunan mata pelajaran. Seperti penyiapan materi sebelum belajar, persiapan mental (psikologis), metode penyusunan logika, metode study kasus dalam kehidupan, dan lain sebagainya.
110
Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun: Perpesktif Pendidikan Modern, 100, 207-208. 111 Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, 227. BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
49
d). Metode berdasar pada tujuan yang dituju oleh guru. Seperti metode nasehat, petunjuk, latihan, dan lain-lain. Ada banyak metode pengajaran yang telah diterapkan oleh para cendekiawan muslim dalam pendidikan Islam dari zaman dahulu yang sama dengan metode pengajaran modern menurut al-Syaibani, hanya saja kita tidak bisa merunutnya secara jelas dan rinci karena mereka (para sarjanawan muslim) tidak menuliskannya secara rinci metode-metode yang mereka gunakan dalam pembelajaran, semua itu dapat dilihat dan ditelusuri melalui karya-karya mereka.112 Pembenahan sistem pendidikan yang lebih menampilkan dimensi reflekif dari sebuah institusi pendidikan sangatlah dibutuhkan saat ini. meskipun sudah ada perbagai strategi dan metode yang terbukti dapat diaplikasikan pada sistem pendidikan Indonesia dan khususnya Pesantren. Akan tetapi, setiap lembaga pendidikan terutama guru sebagai ujung tombak proses pendidikan tetap di tuntut untuk membuat inovasi dan terobosan yang kreatif untuk membuat peserta didik menemukan makna dalam proses pendidikannya, sehingga melahirkan lulusan yang handal di perbagai bidang.
l a t
i g i
D / e
C.
Potret Perkembangan Pesantren dalam Lintas Sejarah Berbagai variasi tentang definisi Pesantren telah banyak dilontarkan oleh berbagai kalangan, diantaranya menurut Ridlwan Nasir yaitu; “Pesantren merupakan lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam”.113 Selain itu, disebabkan oleh karena banyak definisi tentang Pesantren seiring perkembangannya, maka Haidar mengemukakan dua ciri umum Pesantren. a). Pendidikan ilmu-ilmu agama Islam, b). Mewujudkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.114 Pesantren berdasarkan historisnya telah berada sejak lama, bahkan dikatakan sebagai lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia. Oleh karena itu, Pesantren memiliki varian sebutan. Di Sumatera Barat disebut Surau, sedangkan di Aceh disebut dayah atau meunasah. Sedangkan sebutan Pesantren atau pondok Pesantren berlaku di Jawa. Dan di berbagai negara Asia Tenggara lainnya disebut pondok. 115 Kata pondok menurut Ridlwan Nasir berasal dari bahasa arab funduk yang berarti rumah penginapan atau hotel. Sedangkan istilah Pesantren berasal dari pe-
n i l
On
a c a
B
112
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, 558-560. 113 H.M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di tengah Arus Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. Ke-2, 2010), 80. 114 Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 19. 115 Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20: Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, 75
50 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
santri-an yang berarti tempat santri. Meski Pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan berbagai keilmuan Islam, tetapi pada prakteknya juga mempelajari hubungan manusia dengan manusia. Pesantren juga ikut serta dalam banyak kegiatan pemberdayaan masyarakat. Dan memiliki peran strategis dalam membina manusia yang berkualitas. Hal demikian menurut Ridlwan, dapat dilihat dari banyaknya keluaran Pesantren yang menjadi ilmuwan, politikus, dan cendekiawan yang telah berkancah di berbagai bidang baik taraf nasional maupun internasional, dan bahkan presiden. 116 Dalam perkembangannya, Pesantren telah mengalami banyak perubahan atau transformasi. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab awal. Perubahan tersebut disebabkan oleh banyak alasan, salah satunya adalah modernisasi dan globalisasi serta perkembangan teknologi yang begitu pesat. Dan oleh karena Pesantren harus tetap bertahan dan bisa bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya, juga harus bisa menghadapi tantangan zaman117 Ketahanan Pesantren dalam mempertahankan dan menjaga tradisi keilmuan dan budayanya dianggap sangat fenomenal. Banyak peneliti dari luar Indonesia yang kemudian tertarik untuk meneliti sistem yang digunakan di Pesantren, sehingga menjadi primadona sebagian besar masyarakat Indonesia hingga saat ini. Hal serupa juga diungkapkan oleh Azyumardi Azra yang mengaku cukup penasaran dengan kemampuan Pesantren bisa survive sampai sekarang.118 Meski dalam perjalanan sejarahnya Pesantren telah memberikan banyak manfaat dan sumbangan untuk pembangunan bangsa ini terutama sumber daya manusianya (SDM),119 dan pembangunan serta pemberdayaan masyarakat menengah kebawah (masyarakat pedesaan).120 Akan tetapi, Pesantren tidak bisa untuk terus bertahan pada bentuk semula ia berdiri (tradisional).121 Karena fenomena globalisasi yang terus menuntut setiap aspek kehidupan manusia untuk berubah atau bertransformasi, termasuk lembaga pendidikan selaku tempat manusia belajar. Supaya bisa ikut bertarung dalam globalisasi dan menjawab tantangan zaman, jika tidak ingin tertelan oleh sejarah. Pesantren harus mampu mengeluarkan
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
116 H.M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di tengah Arus Perubahan, 82-84. 117 Abd A’la, Pembaruan Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), 6-8. 118 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III (Jakarta: Kencana, UIN Jakarta Press, 2012), 117. 119 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (Jakarta: Democracy Project, edisi digital, 2012), 482-486. 120 Asrori S. Karni, Etos Studi Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, Anggota IKAPI, 2009), 151-152. 121 Pondok Pesantren pada awal berdirinya bertujuan untuk mempelajari dan menyebarkan agama Islam, pernyataan tersebut dilontarkan oleh Suyoto dan Dawam Rahardjo yang dikutip dari H.M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di tengah Arus Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetk. Ke-2, 2010), 2.
BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
51
lulusan yang tidak hanya mahir dalam ilmu agama, tetapi juga yang bersifat keduniawian atau yang biasa disebut keseimbangan antara IPTEK dan IMTAQ. 122 Hal demikian selaras dengan hadist yang menganjurkan manusia untuk bekerja keras menyiapkan bekal bagi kehidupan di dunia dan akhiratnya. Oleh karena itu, Pesantren di Indonesia khususnya terus mencari format pendidikan yang ideal, agar bisa terus bertahan dan mampu menghadapi global age saat ini. Pembenahan pada Pesantren dapat dilihat dari corak Pesantren yang bervariasi dalam menjawab tantangan zaman tersebut. Menurut Ridlwan hal itu akhirnya melahirkan beberapa klasifikasi bentuk Pesantren sekarang ini, yaitu; 1). Pondok Pesantren Salaf/ Klasik. Merupakan Pesantren yang masih memiliki sistem pendidikan salaf yaitu weton dan sorogan, dan sistem klasikal (madrasah). 2). Pesantren Semi Berkembang. Pesantren yang masih memiliki sistem pendidikan seperti tipe pertama (salaf dan klasik) dengan kurikulum 90% agama dan 10% umum.
l a t
3). Pesantren Berkembang. Pada tipe ini sama dengan jenis Pesantren semi berkembang, hanya saja lebih bervariasi dalam bidang kurikulumnya dengan 70% agama dan 30% umum. Di tambah dengan madrasah SKB tiga menteri dengan penambahan diniyah.
i g i
D / e
n i l
4). Pesantren Khalaf/ Modern. Seperti bentuk Pesantren berkembang, tetapi memiliki lembaga pendidikan yang sudah lebih lengkap di dalamnya. Diantaranya penambahan sekolah umum dengan penambahan diniyah, perguruan tinggi, bentuk koperasi dan dilengkapi dengan taḥassus (bahasa arab dan inggris).
On
a c a
5). Pesantren Ideal. Seperti Pesantren modern hanya saja lebih lengkap lembaga pendidikan yang ada di dalamnya. Terutama bidang keterampilan yang meliputi pertanian, teknik, perikanan, perbankan, dan benar-benar memperhatikan kualitasnya. Dengan catatan tidak menggeser ciri khusus Pesantren yang masih relevan dengan kebutuhan masyarakat/ perkembangan zaman. Dengan demikian lulusan Pesantren ini benar-benar bisa menjadi manusia sempurna sebagaimana tujuan pendidikan Islam sejatinya.123
B
Sampai saat ini pihak Pesantren masih terus membenahi kekurangankekurangan yang mereka miliki, terutama dalam menghadapi modernisasi. Ketahanan Pesantren untuk bisa terus survive sampai saat ini, merupakan bukti 122 H.M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di tengah Arus Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetk. Ke-2, 2010), 1-2. 123 H.M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di tengah Arus Perubahan, 87-88.
52 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
nyata dari upaya Pesantren untuk mencari format lembaga pendidikan Islam yang ideal. Meskipun demikian Pesantren tidak asal dalam merubah format sistem pendidikannya dari bentuk semula hingga menjadi Pesantren yang modern sepenuhnya.124 Menurut Ridlwan Nasir, yang perlu diperhatikan dalam pembenahan sistem Pesantren adalah mental manusia yang membangun. Untuk itu Ridlwan memberikan ciri-ciri mental yang membangun, berikut: “Sikap terbuka, kritis, suka menyelidiki, bukan mentalitas mudah menerima tradisi, takhayul, atau otoritas modern sekalipun, selain itu juga mau dikritik. Melihat ke depan. Lebih sabar, teliti, dan lebih tahan bekerja. Mempunyai inisiatif dalam mempergunakan metode baru. Bersedia bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang lebih modern, misalnya koperasi, perbankan, dan lainnya.”125 Dengan memperhatikan berbagai aspek yang telah dikaji oleh banyak kalangan, diharapkan Pesantren jeli dalam melakukan perubahan dan perbaikan dalam berbagai sistem pendidikannya. Dengan demikian Pesantren akan mampu menjadi lembaga pendidikan alternatif bagi masyarakatnya, di samping juga bisa terus bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya. Pada akhirnya melahirkan lulusan yang bisa menjalani fitrahnya sebagai manusia dengan berbagai potensi kemampuan di berbagai bidang, baik dalam urusan akhirat maupuan duniawi.
l a t
i g i
D / e
n i l
On a c a
B
124 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III (Jakarta: Kencana, 2012), 123. 125 H.M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di tengah Arus Perubahan, 88.
BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
53
l a t
i g i
D / e
n i l
On a c a
B
54 BAB II Paradigma Pemikiran dan Pembelajaran Kritis
BAB III DINAMIKA PESANTREN PERTANIAN DARUL-FALLAH BOGOR
Pada bab ini, akan dibahas tentang profil dan strategi pembelajaran di Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Kemudian menyoroti bagaimana respon beberapa Pesantren di Indonesia dalam menanggapi globalisasi, termasuk respon Darul Fallah terhadap urgensitas sistem pendidikannya, sebagai jawaban untuk menghadapi tantangan dan perubahan zaman diantaranya globalisasi dan modernitas. A.
Profil dan Historiography Pesantren Pertanian Darul fallah Bogor Salah satu Pesantren yang masih tetap eksis hingga saat ini adalah Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Bermula dari keinginan para pejuang yang bergerilya melawan Belanda untuk membangun sebuah lembaga pendidikan Islam Pesantren. 1 Dengan tujuan untuk menghasilkan lulusan yang beriman, berilmu, dan berakhlak Islam yang mandiri dan memberdayakan masyarakat yang memiliki keterampilan dibidang pertanian dan wiraswasta.2 Oleh karena keprihatinan mereka terhadap kaum ḍu’afā yang semakin tertinggal dan tidak berdaya untuk kembali bangkit berjuang untuk kesejahteraan mereka sendiri. Pada tanggal 9 April 1960, didirikanlah Yayasan Pesantren Darul Fallah oleh KH. Sholeh Iskandar sebagai ketua, bersama rekan-rekannya KH. Abdul Gaffar Ismail (wakil ketua), H. Tabrani (Sekretaris), H. Janamar Adjam (Bendahara), RHO Djunaedi (Anggota). Dan pada Juni 1960 dibangunlah perkampungan Pesantren Pertanian Darul Fallah, yang dibantu oleh masyarakat sekitar, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Pelajar Islam Indonesia (PII) yang merespon baik atas pembangunan perkampungan Pesantren Pertanian tersebut.3
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
1
Taufiq Ismail, dkk., Membangun Kemandirian Umat di Pesantren: Ikhtiar dan Peran Pesantren Pertanian Darul Fallah 1960-2000 (Bogor: Pesantren Pertanian Darul Fallah, 2000), 154. 2 Dokumen Profil Madrasah Aliyah dan Madrasah Tsanawiyah Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. 3 Taufiq Ismail, dkk., Membangun Kemandirian Umat di Pesantren: Ikhtiar dan Peran Pesantren Pertanian Darul Fallah 1960-2000 (Bogor: Pesantren Pertanian Darul Fallah, 2000), 154.
55
Diagram 3.14 Ketua
KH. Sholeh Iskandar Wakil Ketua
KH. Abdul Gaffar Ismail
H. Tabrani
H. Janamar Adjam
Sekretaris
Bendahara
RHO Djunaedi
l a t
Anggota
i g i
Dari awal berdirinya Pesantren Darul Fallah ini, oleh pengagasnya sudah dirumuskan konsep pendidikan yang mumpuni dibidang agama dan pertanian. Saleh Widodo5 mengatakan bahwa lulusan pondok pesantren tidak hanya harus siap dalam menyebarkan Islam, tapi juga bisa memberdayakan masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu, santri yang belajar di Pesantren harus memiliki keterampilan. Karena kemiskinan sebagaimana dinyatakan dalam hadist mendekatkan kepada kekufuran, maka seorang santri setelah lulus dari Pesantren harus mampu berkarya. Sehingga ia tidak akan merisaukan urusan perutnya. Menurut widodo dalam berdakwah sudah seharusnya para da’i yang menyambangi masyarakat, bukan hanya menyuruh mereka berkumpul dimasjid. Akan tetapi, sudah selayaknya pendakwah ini mendatangi tempat mereka yang dianggap rawan masalah. Dengan membantu mereka memecahkan masalahnya, kemudian meningkatkan kesadaran dikalangan mereka akan kemandirian, membantu membekali mereka berbagai pengetahuan dan keterampilan, dan lain sebagainya.6 Dengan motto “dari desa kembali ke desa,” sebagaimana yang diungkapkan oleh pimpinan Pesantren KH. Abdul Hanan
D / e
n i l
On
a c a
B
4
Diagram pendiri Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Salah seorang perintis Darul Fallah juga pengurus Pesantren Darul Fallah bersama dengan KH. Sholeh Iskandar 1963-1991. Lihat Taufiq Ismail, dkk., Membangun Kemandirian Umat di Pesantren: Ikhtiar dan Peran Pesantren Pertanian Darul Fallah 1960-2000, 140. 6 Dikutip dari wawancara Ir. Saleh Widodo dengan Serial Media Dakwah (SMD), Ir. Saleh Widodo, “Pesantren Memerlukan Kurikulum yang lebih Memadai,” dalam Taufiq Ismail, dkk., Membangun Kemandirian Umat di Pesantren: Ikhtiar dan Peran Pesantren Pertanian Darul Fallah 1960-2000, 85-86. 5
56 BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
Abbas.7 Oleh karena itu, dikatakan oleh Ismail Shaleh bahwa Pesantren Darul Fallah diharapkan dapat mengeluarkan lulusan yang bisa membangun daerah asalnya atau pedesaan lainnya (baca: Indonesia).8 Secara lebih rinci lagi, Sholeh Iskandar dalam pidatonya pada kelulusan santri Darul Fallah 1979/1980,9 menjelaskan latar belakang dasar dan tujuan pendidikan Pesantren Darul Fallah antara lain; a). Nama Darul Fallah dipilih untuk memperlihatkan peranan, karakteristik Pesantren, sebagai sistem pendidikan kewiraswastaan terpadu, dan sekaligus institusi pendidikan Islam yang ikut berperan menyiarkan agama Islam secara konsisten dan persisten. b). Fallah yang berarti pertanian ditujukan untuk mendeskripsikan kondisi masyarakat Indonesia yang agraris dan statis yang mayoritasnya berada di pedesaan (ḍu’afā, fuqorō, masākin). Mereka inilah yang seharusnya mendapatkan perhatian dan tanggung jawab untuk diberdayakan, lewat penanaman berbagai keterampilan pertanian karena mayoritas mereka adalah muslim. c). Double “L” pada kata Fallah diartikan sebagai tempat pendidikan, peningkatan, dan pengembangan kaderisasi masyarakat tani (desa) untuk mencapai tujuan ḥayyā ‘alá al- falāḥ sebagaimana dimaksud dalam QS. 2:201,” yang artinya “dan diantara mereka ada yang berdoa, ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka”. d). Tetap mempertahankan predikat santri baik sudah keluar dari Pesantren ataupun belum. Karena julukan santri sebagai pembeda antara orang biasa dan santri yang memiliki ahklak dan kepribadian untuk menjadi hamba yang taat kepada Tuhannya. Sebagaimana digambarkan dalam QS. 18:28, yang artinya; “dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaanNya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia, dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.”
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
7 Hasil wawancara penulis dengan KH. Abdul Hanan Abbas, dikantor Pesantren Pertanian Darul Fallah, pada 13 Mei 2013, pukul 10.00 WIB. 8 Hasil wawancara penulis dengan Ismail Shaleh (wakil kepala Madrasah bidang kurikulum), dikantor Pesantren Pertanian Darul Fallah, pada 13 Mei 2013, pukul 12.00 WIB. 9 Sholeh Iskandar, “Peranan Santri Pondok Pesantren Darul Fallah Ditengah-tengah Masyarakat,” dalam Taufiq Ismail, dkk., Membangun Kemandirian Umat di Pesantren: Ikhtiar dan Peran Pesantren Pertanian Darul Fallah 1960-2000, 93-94.
BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
57
Adapun tujuan pendidikannya sebagaimana dipaparkan oleh Sholeh Iskandar, dapat dirumuskan kedalam “Iman, Ilmu, dan Amal, yang melahirkan hamba Allah yang beriman, berilmu amaliah, dan beramal ilmiah”. Dengan berlandaskan pada Al-Quran yaitu menyerukan kepada umat Islam untuk tafaqquh fī al-ddīn dan iqōmatu al-ddīn. Sebagaimana yang dimaksudkan dalam QS. 2:122, yang artinya; “wahai Bani Israil ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu dan Aku telah melebihkan kamu dari semua umat yang lain di alam ini (pada masa itu). Kemudian mengarahkan tujuan pendidikan pada makna dan maksud QS. 24:37-38, yang artinya; “Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari kiamat).” QS. 24:37. Dan “(mereka melakukan itu) agar Allah memberi balasan kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Dia menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki tanpa batas”. QS. 24:38. Dengan demikian bisa diartikan bahwa Pesantren Darul Fallah ingin melahirkan lulusan yang taat kepada sang pencipta Allah swt. Dengan mengembangkan potensi yang dimiliki santrinya keterampilan dibidang pertanian, perdagangan, dan perusahaan dengan tidak melalaikan ibadah kepada Allah swt. Sekaligus bisa memberdayakan masyarakat di lingkungannya dalam skala kecil dan kesejahteraan Indonesia sebagai capaian maksimalnya.10 Pada awal berdirinya Pesantren Darul Fallah tidaklah berjalan mulus. Pendidikan Pesantren Darul Fallah dimulai pada tahun 1963 dan hanya bertahan selama 9 bulan. Hal demikian disebabkan karena ketua yayasan dan tokoh-tokoh lainnya dipenjara oleh penguasa orde lama. Perkampungan Pesantren pun sempat diambil alih oleh pihak Komando Operasi Tinggi (KOTI), untuk pelatihan sukarelawan bantuan tempur Irian Barat untuk mengganyang Malaysia. Oleh karena ditahannya para tokoh Pesantren, otomatis Pendidikan di Pesantren tidak berjalan. Pendidikan baru dimulai kembali pada tahun 1967, setelah dibubarkannya Banpur Irja. Perkampungan Pesantren diserahkan kembali kepada pengurus yayasan. Secara bersamaan KH. Sholeh Iskandar selaku ketua yayasan pada waktu itu dibebaskan. Dengan kondisi Perakampungan rusak parah, ketua yayasan kembali menata dan merehabilitasi bangunan yang tersisa. Di samping itu, merancang pembangunan sarana dan prasarana.11
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
10 Sholeh Iskandar, “Peranan Santri Pondok Pesantren Darul Fallah Ditengah-tengah Masyarakat,” dalam Taufiq Ismail, dkk., Membangun Kemandirian Umat di Pesantren: Ikhtiar dan Peran Pesantren Pertanian Darul Fallah 1960-2000, 94-95. 11 Dokumen Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor.
58 BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
Meski ketua yayasan telah dibebaskan dan pendidikan di perkampungan Pesantren telah dimulai, tidak membuat Darul fallah dengan serta merta langsung diterima masyarakat. Hal itu disebabkan karena, rezim orde baru yang membangun rezim otoritarian. Pemerintah Orde Baru masih mencurigai kalangan Pesantren Darul fallah berbahaya, oleh karena pernah terlibat dengan Masyumi. Banyak sekali kegiatan yang dirancang untuk memberdayakan masyarakat sekitar dan membantu pemulihan ekonomi, justru dicurigai sebagai penghalang bagi pemerintah. Akan tetapi, pihak Pesantren tidak gentar oleh karena mereka memang tidak melakukan kegiatan yang radikal. Hal demikian terus terjadi hingga pada penghujung tahun 1980-an. Perubahan sikap pemerintah dirasakan telah berubah dan hubungan dengan birokrasi terus berjalan dengan baik. Akhirnya pada tahun 1994, Darul fallah memasuki babak baru sejarahnya. Berdasarkan berbagai pertimbangan, maka akte pendirian yayasan mengalami revisi dan pengurus yayasan disempurnakan.12 a) Lokasi dan Areal Pesantren Pesantren yang berlokasi di kampung Lemah Duhur, Desa Benteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor ini, memiliki luas area 26,5 Ha. Merupakan wakaf dari RHO Djunaedi. Areal Pesantren yang terletak di sisi jalan raya provinsi, persisnya di jalan raya Bogor-Jasinga pada kilometer 12 ke arah barat, dan sekitar 2 km dari kamous IPB Darmaga, Bogor. Lahan Pesantren ini dibagi kedalam dua zona. Zona pendidikan seluas 10 Ha terletak pada bagian depan (pintu masuk) dan zona lahan usaha produktif dan tempat praktek para santri seluas 16,5 Ha. Pada lahan zona pendidikan telah dibangun mesjid, ruang kelas, laboratorium, aula, bengkel, dan kantor. Disamping itu, zona ini juga dibangun asrama, santri putra dan santri putri, asrama peserta pelatihan dan perumahan guru, dan karyawan. Jaringan jalan sekitar 3 km sudah dibangun dan sebagian sudah diaspal. Fasilitas lain seperti, saluran air bersih, listrik, dan telepon sudah pula tersedia. Air bersih diperoleh dengan membangun dua sumber mata air dan sumur pompa. Sedangkan listrik dari PLN.13
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
b)
Corak Sistem Pendidikan Darul fallah Sejak awal berdirinya Pesantren Darul Fallah telah memiliki desain kurikulum yang mandiri, yang memadukan model salafy dan klasikal (pendidikan Pesantren), juga menambahkan pendidikan pertanian. Sehingga bisa dikatakan bahwa dari awal berdirinya Pesantren Darul Fallah telah didesain sebagai lembaga pendidikan modern. Meskipun pada mulanya tahun 1963 pendidikan di Darul Fallah disebut sebagai Pesantren Pertanian Rakyat (PPR), dengan santrinya yang bukanlah anak-anak tetapi para tamatan Pendidikan Guru Agama (PGA) atau sederajat.
12 13
Dokumen Pesantren Pertanian Darul fallah Bogor. Dokumen Pesantren Pertanian Darul fallah Bogor. BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
59
Tetapi kondisi ini hanya berlangsung sembilan bulan. Meski demikian sistem pendidikannya telah memadukan pendidikan Pesantren dan pendidikan pertanian. 14 Dalam perkembangannya sistem pendidikan Pesantren terus mengalami transformasi untuk bisa terus survive dan menjawab tantangan zaman. Selain sistem pendidikan yang diadopsi dari salafiyah ke klasikal dan belakangan menambahkan program unggulan, seperti keterampilan diberbagai bidang. Pola kepemimpinan Pesantren pun yang oleh Azra dikatakan turut mengalami diversifikasi. Hal ini menurut Azra dikarenakan pola kepemimpinan tunggal (satu kiyai) tidak lagi memadai, sehingga banyak Pesantren yang mengadopsi pola kepemimpinan kolektif yaitu kelembagaan yayasan.15 Hal demikian juga terjadi pada Pesantren Darul Fallah. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, meski sejak awal telah memiliki pendidikan keterampilan dipadukan dengan pendidikan kepesantrenan. Akan tetapi, baru pada tahun 1994 Darul Fallah terdaftar secara resmi sebagai lembaga pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama, dan menggunakan kurikulum Depag dan Diknas, Sehingga memiliki sistem pendidikan terpadu hingga saat ini. 16 Berikut adalah sistem pendidikan terpadu17 Pesantren Pertanian Darul Fallah dan desain kurikulum terpadu18:
l a t
i g i
No. 1.
D / e
Tabel 3.1. Sistem Pendidikan Dan Kurikulum Terpadu PPDF Sistem Pendidikan Terpadu Desain Kurikulum Terpadu PPDF PPDF Pendidikan agama dengan Madrasah Tsanawiyah : teknologi/keterampilan terutama - Mata pelajaran Depag: Quran Hadits. Aqidah agribisnis Akhlaq, Fiqih, Bahasa Arab & Sejarah Kebudayaan Islam. - Mata pelajaran Diknas: PPKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA (Fisika, Kimia & Biologi), IPS (Sejarah, Ekonomi & Georafi), Penjaskes, Seni Budaya & Tekn. Inf & Komputer. - Mata pelajaran kepesantrenan: Tauhid, Akhlaq Lil Banin, Hafalan Do’a, Hadits & Qur’an, Mahfudzot, Mutholaah, Imla/Khot, Kuliah Umum, Bimbingan Tadarrus AlQur’an & Bimbingan Konseling. - Mata pelajaran keterampilan: Tata
n i l
On
a c a
B
14
Taufiq Ismail, dkk., Membangun Kemandirian Umat di Pesantren: Ikhtiar dan Peran Pesantren Pertanian Darul Fallah 1960-2000, 154, 159-160. 15 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di tengah Tantangan Milenium III, 126-127. 16 Hasil wawancara dengan Ismail Saleh dikantor Pesantren Darul Fallah. 17 Taufiq Ismail, dkk., Membangun Kemandirian Umat di Pesantren: Ikhtiar dan Peran Pesantren Pertanian Darul Fallah 1960-2000,159-160. Bisa dilihat juga di www.darulfallah.org 18 Dokumentasi Pesantren Pertanian Darul Fallah, bisa diakses juga di www.darulfallah.org
60 BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
Sistem Pendidikan Terpadu PPDF
No.
2.
Desain Kurikulum Terpadu PPDF
Pendidikan formal sekolah dengan non-formal Pesantren serta informal komunias Pesantren
Busana/Tata Boga, Budi Daya Tanaman, Proyek Pertanian, dan Bimbingan dan Penyuluhan (BP). Madrasah Aliyah Terpadu (MAT): - Mata pelajaran Depag: Quran Hadits. Aqidah Akhlaq, Fiqih, Bahasa Arab & Sejarah Kebudayaan Islam. - Mata pelajaran Diknas: PPKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA (Fisika, Kimia & Biologi), IPS (Sejarah, Ekonomi, Akuntansi, Geografi & Sosiologi), Penjaskes & Tekn & Informasi Komputer. - Mata pelajaran kepesantrenan: Tauhid, Ilmu Tafsir, Ulumul Hadits/Mustholahul Hadits, Hadits Ahkam, Ushul Fiqih, Pengantar Ilmu Ekonomi Syariah, Perbandingan Mazhab, Bimbingan Tahfizd Al Qur'an (Halaqah), Bimbingan Tahfizd Al Qur'an (Halaqah), Ceramah Umum Kajian Islam, Bimbingan Do'a Al Ma'surat, Bimbingan Konseling & Imla. - Mata pelajaran keterampilan/ life skill: Kewirausahaan & Magang, Teknologi Tepat Guna, Budi Daya Tanaman, Budi Daya Perikanan, Budi Daya Peternakan, Pengolahan Hasil Pertanian (PHP), Tata Busana, dan Bimbingan dan Penyuluhan (BP).
l a t
i g i
D / e
n i l
On 3.
a c a
Pendidikan intelektual (teori) dengan praktek penerapan usaha dan kewirausahaan Pendidikan pencapaian prestasi individual dengan semangat pelayanan pada masyarakat ḍu’afā dan masākin
B
4.
Adapun program dan aktifitas19 yang telah diselenggarakan oleh Pesantren, sekaligus layanan dan pelatihan untuk masyarakat antara lain20; Tabel 3.2. Program dan Aktifitas PPDF dalam Melayani Masyarakat No. 1.
Program
Aktifitas
Kegiatan Pendidikan Formal
- TK/RA - Madrasah diniyah
19
Dokumen Pesantren Pertanian Darul Fallah. Bisa dilihat juga di www.darulfallah.org Tidak semua program dan aktifitas Pesantren Darul Fallah ditampilkan disini, karena data yang tumpang tindih dan beberapa program yang masih dalam pengembangan. 20
BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
61
No.
2.
3.
4.
Program
Aktifitas
Kegiatan pendidikan non-formal dan pengembangan masyarakat (Diklat), pengembangan masyarakat jarak jauh bekerjasama dengan mitra kerja seperti DDII, YDB, P3M-FNS dsb. Agribisnis/santri karya 21
- Madrasah Tsanawiyah 3 tahun - Madrasah Aliyah 3 tahun - Pendidikan program kesetaraan (program paket A dan paket B sejak 2007) - Konsultan - Pelayanan kegiatan pelatihan
- PT. Dafa tekno agro mandiri (perbanyakan bibit tanaman/kultur jaringan) - Peternakan terpadu - Koperasi pondok pesantren - Pengolahan hasil peternakan (yoghurt) - Pertukangan dan perbengkelan, dll. Pada kelas 2 aliyah, santri diwajibkan untuk mengikuti praktek lapangan selama sebulan. Santri juga dianjurkan untuk menyusun proposal (membuat usulan tempat magang, maksud dan tujuannya, melaksanakannya sesuai usulan), menyusun laporan hasil magang dan mempresentasikannya dihadapan dewan guru/penguji. Diberikan kepercayaan oleh lembaga Bina Antar Budaya, pada tingkat Aliyah dapat mengikuti AFS/YES dalam pertukaran pelajar Amerika dan Jepang. “Santri dikelompokkan sesuai dengan minat dan kemampuannya dalam kegiatan pertanian secara menyeluruh. Tujuannya untuk menanamkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola proyek pertanian dalam skala kecil. Kegiatan ini meliputi perencanaan, budidaya, pemanenan dan pemasaran dalam bidang holtikultura, palawija, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan serta
l a t
Magang/ praktek lapangan
i g i
D / e
n i l
On 5.
a c a
Pertukaran pelajar (2003 hingga saat ini)
B
6.
Kegiatan pertanian santri
21 Program santri karya yaitu santri diikut sertakan untuk mengikuti kegiatan unit usaha produksi yang telah dikembangkan dilingkungan Pesantren, selain untuk mempraktekkan teori yang dipelajari dikelas, juga untuk menumbuhkan minat santri berwirausaha dengan pemahaman yang lengkap (teori dan praktek). Dokumentasi Pesantren Pertanian Darul Fallah, dapat diakses juga di www.darulfallah.org
62 BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
No.
Program
Aktifitas pengolahan hasil pertanian. Santri harus mampu memperkirakan biaya, waktu, luas areal, sarana dan prasarana yang dibutuhkan, teknik budidaya yang akan diterapkan, pengolahan pasca panen, perkiraan hasil dan harga jual serta tingkat keuntungannya”.22
Dari penjabaran diatas dapat dilihat bahwa Pesantren Pertanian Darul Fallah telah mengadopsi sistem pendidikan terpadu, yang memadukan antara kurikulum Diknas, Depag, Kepesantrenan, dan keterampilan (life skill). Meskipun telah tergolong Pesantren yang modern, namun Darul Fallah tidak meninggalkan kekhasannya sebagai lembaga pendidikan Islam, yang bertujuan untuk mengajarkan dan menyebarkan Islam. Kebijakan mengintegrasikan kurikulum pelajaran agama, umum, dan keterampilan merupakan salah satu cara untuk memberikan kepada santri memilih bidang yang diminatinya. Hal demikian dilakukakan oleh Pesantren Darul Fallah sebagai wujud cerminan bahwa para pemangku kebijakan kurikulum Pesantren tidak ingin mengekang santrinya dengan materi pelajaran yang terbatas. Tidak komunikatif dengan lingkungan merupakan salah satu ciri lembaga pendidikan yang tidak memperhatikan pendidikan sebagai pembebasan.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
B.
Sikap Pesantren Darul Fallah Terhadap Perubahan Keberadaan Pesantren di Indonesia sudah berumur sangat tua. Menurut TB. Hasan Basri23 lembaga pendidikan Islam tradisional Pesantren ini merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.24 Meskipun ada beberapa perbedaan pendapat tentang awal kemunculannya, akan tetapi para sarjanawan dan sejarawan sepakat bahwa memang Pesantren di Indonesia telah berdiri sejak lama. Menurut Pigeaud dan De Graaf yang dilansir oleh Marwati dan Nugroho bahwa Pesantren telah ada sejak abad ke-16. Berbeda dengan Van Brueinessen yang mengatakan bahwa Pesantren baru berdiri pada abad ke-18.25
a c a
B
22
Dokumentasi PP Darul Fallah, bisa dilihat juga di www.darulfallah.org Ketua Majelis Pimpinan Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), lihat TB. Hasan Basri, “Kehadiran dan Kepribadian Pondok Pesantren,” ed. Taufiq Ismail, dkk., Membangun Kemandirian Umat di Pesantren: Ikhtiar dan Peran Pesantren Pertanian Darul Fallah 1960-2000 (Bogor: Pesantren Pertanian Darul Fallah, 2000), 61. 24 TB. Hasan Basri, “Kehadiran dan Kepribadian Pondok Pesantren,” ed. Taufiq Ismail, dkk., Membangun Kemandirian Umat di Pesantren: Ikhtiar dan Peran Pesantren Pertanian Darul Fallah 1960-2000, 61. 25 Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 302. 23
BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
63
Senada dengan TB. Hasan Basri, Amin Haedari juga mengatakan bahwa Pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan tertua di Indonesia dan sekaligus merupakan pioner dari institusi pendidikan yang terstruktur dan paling bergengsi pada saat itu. Peran Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam, sejak awal kemunculannya sangat besar terhadap bangsa ini. Oleh karena keberadaannya yang sangat dekat dan pro-rakyat inilah Pesantren bisa dikatakan sebagai praktek pendidikan yang berbasis masyarakat (community based education).26 Selain sebagai lembaga pendidikan keagamaan, kurikulum Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ibadah kepada Allah swt semata, namun juga menjaga hubungan sosial antar sesama dan lingkungan.27 Modernisasi Pesantren telah berlangsung cukup lama, meskipun hingga sekarang masih tetap berlangsung. Dengan tanpa meninggalkan ciri khasnya sebagai lembaga pendidikan Islam yang berfungsi untuk menyebarkan dan mengajarkan Islam (tafaqquh fī al-ddīn) sebagaimana yang telah dipaparkan diatas. Dikatakan oleh Azra hal itu terjadi sekitar paruh abad ke-19, ketika masyarakat Indonesia (pribumi) berkesempatan untuk mengenyam pendidikan (volkschoolen, sekolah rakyat), yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda.28 Dan puncaknya menurut Azra gagasan modernisme sistem pendidikan Islam adalah ketika memasuki adab 20, dengan merubah bentuk-bentuk lembaga pendidikan menjadi lebih modern. 29 Sebagaimana telah menjadi pengetahuan bersama bahwa Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia.30 Ada banyak hal yang melatar-belakangi alasan mengapa Pesantren harus bertransfomasi dan mengadopsi sistem kelembagaan modern. Pada abad ke-19 sebagaimana yang telah dikemukan oleh Azra bahwa modernisasi Pesantren atau Madrasah justru tidak datang dari umat Islam sendiri, melainkan dari pemerintah kolonial Belanda. Persaingan ketat terjadi diantara para pengelola institusi pendidikan pada saat itu, untuk menarik minat masyarakat sekaligus untuk mencari alternatif lain dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern. Lebih lanjut Azra mencontohkan antusiasme masyarakat terhadap modernisasi lembaga pendidikan ala Belanda ini datang dari Minangkabau. Transformasi Surau di Minangkabau
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
26
Amin Haedari, Transformasi Pesantren: Pengembangan aspek Pendidikan, Keagamaan, dan Sosial (Jakarta: LeKDiS dan Media Nusantara, 2006), 23-24,30. 27 Irwan Abdullah, “Peran dan Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan Islam,” dalam Agama, Pendidikan Islam dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren, ed. Irwan Abdullah, dkk., (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM, 2008), 1. 28 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di tengah Tantangan Milenium III, 119. 29 Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektualisme Muslim dan Pendidikan Islam (Ciputat: Logos, 1999), 90. 30 Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20: Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas (Jakarta: Kencana, 2012), 75.
64 BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
yang saat itu merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam, menjadi sekolah nagari ala Belanda merupakan respon positif para pelaku pendidikan di Minangkabau terhadap sistem pendidikan modern. Meskipun tidak secara keseluruhan dari sistem pendidikan (kurikulum, metode pengajaran) modern tersebut yang mereka adopsi.31 “Menolak dan mencontoh” sebagaimana yang dituturkan oleh Arief Subhan demikianlah sikap lembaga pendidikan Islam di Indonesia, sejak saat itu hingga sekarang dalam merespon tantangan zaman. Dalam pada itu Subhan memaparkan alasan selanjutnya mengapa Pesantren perlu bertransformasi adalah untuk keberlangsungannya (kontinuitas) dan kemanfaatan bagi santri.32 Hal demikian adalah wajar menurut Azra bagi lembaga pendidikan manapun dan dimanapun mengalami perubahan dan transformasi, dalam menghadapi tantangan untuk bertahan (survive). Pesantren di Indonesia adalah contoh yang paling baik dalam merespon tantangan hingga menjadi fenomena yang disebutnya sebagai “proses pengarusutamaan” (mainstreaming).33 Ketika memasuki abad 20 isu globalisasi dan modenisasi semakin berhembus kencang yang berimbas pada karir lulusan Pesantren yang bersifat mandiri dan kebutuhan akan ijazah yang diakui Depag untuk mendaftarkan keperguruan tinggi dan lapangan kerja. Oleh karenanya pada tahun 2003 lewat UU Nomor 20 pasal 26 ayat 6,34 terbukalah harapan bagi Pesantren yang mengharapkan lulusannya bisa melanjutkan kuliah atau menjadi pegawai pemerintahan lewat mu’āḍalah (disamakan).35 Belakangan memasuki abad 20, alasan mengapa lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah dan Pesantren harus mengadakan perubahan, pada sistemnya adalah ketika mata dunia tertuju pada kebangkitan Taliban di Afghanistan pada 1996 dan tragedi 9/11 2001 (WTC), kemudian untuk konteks Indonesia ketika peristiwa bom bali 2002, sebagaimana digambarkan oleh Arief Subhan36 dan Azra.37 Serangkaian peristiwa tersebut telah membuat sorotan tajam dunia internasional terhadap madrasah dan Pesantren diseluruh dunia tidak terkecuali
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
31 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di tengah Tantangan Milenium III, 120. 32 Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20: Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, 184. 33 Azyumardi Azra, “Wajah Baru Pendidikan Islam: Pengarusutamaan,” sebagai prolog dalam Asrori S. Karni, Etos Studi Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam, xvi, xv. 34 UU No. 20 pasal 26 ayat (6) tahun 2003 yang berbunyi “hasil pendidikan non-formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.” 35 Asrori S. Karni, Etos Studi Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam, 189. 36 Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20: Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, 1-2. 37 Azyumardi Azra, “Wajah Baru Pendidikan Islam: Pengarusutamaan,” sebagai prolog dalam Asrori S. Karni, Etos Studi Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam, xii.
BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
65
Indonesia. Madrasah dan Pesantren dituduh sebagai sarang terorisme atau tempat pembibitan radikalisme. Hal ini lantas membuat umat Islam terhenyak dan tersadarkan untuk membenahi sistem pendidikan dan pembelajarannya, yang sering dituding sebagai salah satu alasan orang barat atau golongan anti Islam menyebut sistem pendidikan Islam yang feodal, anti modern, dan sebagainya.38 Respon yang ditunjukkan oleh berbagai lembaga pendidikan Islam didunia dalam mereformasi pendidikan Islam sangatlah bervariasi. Dan hampir disetiap Negara memiliki ciri khas masing-masing. Hal demikian karena institusi pendidikan Islam dianggap berhasil menarik aspirasi masyarakat sekitar, dan dengan kreatif bernegosiasi dengan politik lokal dan nasional yang menerpa.39 Lembaga pendidikan Islam di Indonesia sendiri khususnya Pesantren terhadap berbagai tantangan, telah menoreh sejarah yang panjang bagi perkembangan dan kontinuitasnya (Pesantren). Buku-buku dan penelitian tentang modernisasi lembaga pendidikan Islam di Indonesia cukup banyak diterbitkan, hal ini bisa direpresentasikan sebagai suatu fenomena sejarah terhadap kontinuitas dan survival lembaga pendidikan Islam tersebut. Azra misalnya dalam bukunya menjelaskan dengan sangat rinci bagaimana respon Pesantren dalam menghadapi berbagai tantangan. Meskipun ada Pesantren yang terkesan lamban atau hati-hati dalam mengadopsi sistem pendidikan modern, tapi sangat terlihat gerak perubahan tersebut. Ia menggambarkan bagaimana Pesantren Mambaul ulum di Surakarta (1906), sebagai salah satu pelopor yang mengadopsi pendidikan modern dan pendidikan Belanda, dengan memasukan beberapa mata pelajaran umum (membaca tulisan latin, aljabar dan berhitung) kedalam kurikulumnya. Kemudian diikuti oleh beberapa Pesantren lain seperti Pesantren Tebuireng pada 1916, yang mengadopsi sistem pendidikan modern dan beberapa pelajaran umum (seperti berhitung, bahasa melayu, ilmu bumi, dan menulis dengan huruf latin) kedalam kurikulumnya. Respon yang unik datang dari Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo pada 1926, yang cenderung berbeda dari kebanyakan Pesantren lainnya. Gontor menjalankan program ekstrakurikuler, menekankan pentingnya mempelajari dan menggunakan bahasa arab dan inggris, dalam pada itu menambahkan sejumlah pelajaran umum kedalam kurikulumnya.40 Arief Subhan mencatat dua elemen yang diterima oleh Pesantren dalam mengadopsi sistem pendidikan modern. Pertama, “sistem kelembagaan madrasah, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjenjang dan klasikal, penerapan kurikulum
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
38
Florian Pohl, Islamic Education and the Public Sphere: Today’s Pesantren in Indonesia, 19-
20. 39
Paul Anderson, Charlene Tan, Yasir Suleiman, “Reforms in Islamic Education,” Report of A Conference Held at the Prince Alwaleed Bin Talal Centre of Islamic Studies University of Cambridge, April 9–10, 2011, 9-11. http://www.cis.cam.ac.uk 40 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di tengah Tantangan Milenium III, 122-123.
66 BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
dan jadwal pelajaran yang ketat, penyelenggaraan ujian terstruktur, kelulusan dan ijazah terkadang yang dilegalisasi negara sebagai tanda lulus.” Kedua, “masuknya materi-materi pengetahuan umum dan sekuler sebagai bagian dari bidang kajian santri.”41 Oleh karena Pesantren sejak awal berdirinya merupakan lembaga pendidikan yang mandiri, bahkan mampu untuk berdikari dengan memanfaatkan sumber daya alam (SDA) dengan bertani dan lain sebagainya. Hingga dikatakan oleh Azra bahwa pada masa orde baru pun mengharapkan Pesantren tidak hanya mampu menjalankan tujuan tradisionalnya, juga mampu melakukan perubahan (agent of change) dan pembangunan masyarakat. Oleh karenanya, Azra menyimpulkan empat elemen respon Pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam dan perubahan sosial ekonomi, yaitu; pertama, “pembaruan substansi dengan memasukkan subjek-subjek umum dan vocational. Kedua, pembaruan metodologi. Ketiga, pembaruan kelembagaan. Keempat, pembaruan fungsi, dari fungsi kependidikan juga fungsi yang mencangkup sosial-ekonomi.”42 Akan tetapi perlu dicatat tiga hal menurut Arief Subhan, tentang sikap Pesantren dalam mengadopsi sistem pendidikan modern. Pertama, respon akomodatif Pesantren terhadap modernisasi pendidikan tidaklah merata, meskipun makin meningkat seiring perkembangan zaman. Kedua, Pesantren masih mempertahankan beberapa ciri khasnya, diantaranya tradisi pembelajaran model halaqoh, bandongan atau wetonan, juga tradisi mengaji dan mengkaji kitab kuningnya. Ketiga, sikap akomodasi Pesantren terhadap sistem pendidikan modern ini, menimbulkan munculnya jenis-jenis baru Pesantren di Indonesia seperti salafiyah, khalafiyah dan lain sebagainya. Menurut Subhan sebagai suatu bentuk transformasi Pesantren yaitu, pada dekade 1950-an dan awal 1960-an, dengan diprakarsai oleh Departemen Agama untuk memasukkan pendidikan keterampilan (life skill) kedalam kurikulum madrasah, Pesantren pun ikut tertarik menjalankan program ini. 43 M. Basyuni mencatat empat langkah yang harus dilakukan Pesantren agar mampu terus bersaing dan menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam, yaitu; “pertama, membuat kurikulum terpadu, gradual, sistematik, egaliter, dan bersifat buttom up (tidak top down), artinya kurikulum dikonsepkan dilandaskan planned by student dan tidak lagi planned for student. Kedua, sarana pembelajaran yang lengkap, seperti perpustakaan buku-buku klasik dan
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
41
Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20: Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, 184. 42 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di tengah Tantangan Milenium III, 127-128. 43 Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20: Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, 184-187. BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
67
kontemporer, majalah, sarana berorganisasi, sarana olahraga, internet (jika memungkinkan), dan lain sebagainya. Ketiga, tidak mengekang santri terhadap keinginannya dalam mengembangkan talenta yang mereka miliki masing-masing, baik itu dibidang pemikiran, ilmu pengetahuan, teknologi, atau pun kewirausahaan. Keempat, menyediakan wahana aktualisasi diri ditengah-tengah masyarakat.”44 Adapun respon Pesantren Pertanian Darul Fallah, dalam menanggapi tantangan-tantangan tersebut hampir sama dengan kebanyakan Pesantren modern lainnya, meskipun menurut pimpinan Pesantren KH. Abdul Hanan Abbas mereka berbeda dari Pesantren modern yang ada.45 Pesantren Darul Fallah sebagaimana telah sering dipaparkan di atas, sejak awal didirikannya menurut M. Saleh Widodo memang sudah merumuskan sistem pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang bertaqwa dan mandiri untuk melakukan pembangunan di daerah pedesaan. Juga sejak dimulainya proses belajar-mengajar di Pesantren Darul Fallah, telah menerapkan kurikulum yang memadukan sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan modern.46 Hal itu dapat dilihat dari kurikulum yang telah mereka susun dan terapkan. Berikut ikhtiṣār kurikulum Pesantren Pertanian Darul Fallah tahun ajaran 1983/1984.Tabel 3.3. Kurikulum 1983/1984 (Kelompok Dasar) 47
l a t
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
i g i Jumlah Jam/ Minggu
Mata Pelajaran Aqidah Tafsir Quran Al-Quran Hadist Mustolah Hadist Akhlak Tarikh Islam Bahasa Arab Fiqih Usul Fiqih Usul Da’wah Jumlah Jam/ Semester
B
a c a
D 8 jam / e 14 jam
On
n i l
8 jam 10 jam 4 jam 4 jam 4 jam 14 jam 12 jam 4 jam 2 jam 84 jam
44 Muhammad M. Basyuni, Revitalisasi Spirit Pesantren: Gagasan, Kiprah, dan Refleksi (Jakarta: Dir. Pendidikan Diniyah dan Pesantren, Dirjen Pendis, Depag RI, 2006), 89. 45 Wawancara dengan KH. Abdul Hanan Abbas dikantor Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, pada 13 Mei 2013, pukul 10.00 WIB. 46 Dokumen Pesantren Pertanian Darul Fallah dalam rangka memperingati milad yang ke 25. M. Saleh Widodo, Rusli Lutan, Keberanian Hidup Mandiri yang Dijiwai Nilai-nilai Keislaman: Sebuah Potret Keberhasilan Produk Pesantren Pertanian Darul Fallah (Bogor: Yayasan Pesantren Pertanian Darul Fallah, 1985), vi. 47 Dokumen Pesantren Pertanian Darul Fallah dalam rangka memperingati milad yang ke 25. M. Saleh Widodo, Rusli Lutan, Keberanian Hidup Mandiri yang Dijiwai Nilai-nilai Keislaman: Sebuah Potret Keberhasilan Produk Pesantren Pertanian Darul Fallah, 88.
68 BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
Tabel 3.4 Kurikulum (Kelompok Penunjang)48 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Mata Pelajaran Matematika Kimia Dasar Ilmu Botani Pendidikan Jasmani Bahasa Indonesia Fisika Teknik Menggambar Tata Buku Koperasi Sosiologi Pedesaan Dasar-dasar Manajemen IKK Tata Niaga Ilmu Pendidikan Penyuluhan Kewiraswastaan Organisasi dan Kepemimpinan Statistik Pengantar Hukum Agraria Jumlah Jam/ Semester
Jumlah Jam/ Minggu 2 jam 2 jam 4 jam 2 jam 6 jam 2 jam 4 jam 4 jam 4 jam 4 jam 4 jam 2 jam 4 jam 4 jam 4 jam 4 jam 2 jam 2 jam 2 jam 62 jam
l a t
i g i
n i l
D / e
On
Tabel 3.5. Kurikulum (Kelompok Keterampilan) 49 No. 1. 2. 3. 4. 5.
a c Bercocok Tanaman Setahun a Bercocok Tanaman B Umum
Mata Pelajaran
Bercocok Tanaman Palawija Pemberantasan Hama Pengolahan Dan Kesuburan Tanah
Jumlah Jam/ Minggu 2 jam 4 jam 2 jam 4 jam 2 jam
48 Dokumen Pesantren Pertanian Darul Fallah dalam rangka memperingati milad yang ke 25. M. Saleh Widodo, Rusli Lutan, Keberanian Hidup Mandiri yang Dijiwai Nilai-nilai Keislaman: Sebuah Potret Keberhasilan Produk Pesantren Pertanian Darul Fallah, 88. 49 Dokumen Pesantren Pertanian Darul Fallah dalam rangka memperingati milad yang ke 25. M. Saleh Widodo, Rusli Lutan, Keberanian Hidup Mandiri yang Dijiwai Nilai-nilai Keislaman: Sebuah Potret Keberhasilan Produk Pesantren Pertanian Darul Fallah (Bogor: Yayasan Pesantren Pertanian Darul Fallah, 1985), 89. *) Mata Pelajaran pilihan pada semester VII maksimal 2 mata pelajaran pilihan/ tiap santri. Catatan: kegiatan proyek (agronomi, peternakan dan sebagainya) diadakan setiap pagi selama 60 menit, sebagai kegiatan kurikuler. Dokumen Pesantren Pertanian Darul Fallah dalam rangka memperingati milad yang ke 25. M. Saleh Widodo, Rusli Lutan, Keberanian Hidup Mandiri yang Dijiwai Nilai-nilai Keislaman: Sebuah Potret Keberhasilan Produk Pesantren Pertanian Darul Fallah (Bogor: Yayasan Pesantren Pertanian Darul Fallah, 1985), 89.
BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
69
No. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Mata Pelajaran
Jumlah Jam/ Minggu
Hortikultura Home Industri* Peternakan* Perikanan* Pertukangan Kayu Bercocok Tanam Industri Usaha Tani Mekanisasi Pertanian Perbengkelan Mixed Farming Usaha Dagang Jumlah/ Jam/ Semester
4 jam 4 jam 10 jam 10 jam 4 jam 2 jam 2 jam 4 jam 10 jam 4 jam 6 jam 62 jam
Dapat dilihat dengan jelas dari paparan kurikulum awal bagaimana Pesantren Darul Fallah berusaha untuk menyiapkan lulusannya bisa menjadi manusia yang bertaqwa, berilmu, dan beramal. Lewat kegiatan pertanian tersebut, Pesantren berharap agar lulusannya nanti bisa hidup mandiri lewat usaha yang mereka didirikan sendiri. Sekaligus bisa memberdayakan masyarakat sekitar lewat pengembangan usaha mereka tersebut. Oleh karena salah satu tujuan dari pendidikan yang kritis yaitu mampu menjadi agen perubahan sosial dalam masyarakatnya. Hal ini tercermin lewat motto mereka yang telah dipaparkan diatas “dari desa kembali kedesa.”50 Motto tersebut sangatlah sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Al-Shaybanī sebagai tujuan sosial umum pendidikan Islam, yaitu sebagai manusia yang berguna bagi kaumnya. Dalam Islam kita sering mendengarkan istilah “sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manuisa yang lain.” Salah satu hadist yang dikutip oleh Al-Shaybanī tentang anjuran untuk menggunakan keterampilan vocational51 adalah;
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ .َﺧ َﺬ ِﻣ ْﻦ َﻫ ِﺬ ِﻩ َوَﻫ ِﺬ ِﻩ َ َوﻟَﻜ ْﻦ َﺧْﻴـُﺮُﻛ ْﻢ َﻣ ْﻦ أ،ُ َوَﻻ اَﺧَﺮﺗَﻪُ ﻟ ُﺪﻧْـَﻴﺎﻩ،ﺲ َﺧْﻴـُﺮُﻛ ْﻢ َﻣ ْﻦ ﺗَـَﺮَك ُدﻧْـَﻴﺎﻩُ ﻻَﺧَﺮﺗﻪ َ ﻟَْﻴ
Artinya: “Bukanlah yang terbaik orang yang meninggalkan dunianya sebab akhiratnya, dan bukan juga yang meninggalkan akhirat karena dunianya, tetapi sebaik-baik kamu adalah orang yang mengambil dari ini dan ini.” Anjuran tersebut dipertegas lagi oleh firman Allah SWT, dalam surat Al-Qaṣaṣ: 77 yang artinya:
50 Hasil wawancara penulis dengan Ismail Shaleh (wakil kepala Madrasah bidang kurikulum), dikantor Pesantren Pertanian Darul Fallah, pada 13 Mei 2013, pukul 12.00 WIB. 51 ‘Umar Muhammad al-Thaumy al-Syaibani, Falsafah al-Tarbiyah al-Islāmiyah, terj. Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, 459-460.
70 BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
“Dan carilah pada apa yang diberikan oleh Allah itu negeri akhirat, tetapi jangan engkau melupakan bagaimana-mu didunia.” Dari sana kita dapat melihat bahwa sungguh Islam tidak menyepelekan kepentingan duniawi bagi manusia. Maka sudah sepantas-nyalah lembaga pendidikan Islam, yang berfungsi sebagai tempat generasi-generasi muslim ditempa untuk bisa menjalankan perannya sebagai khālifah fi al-arḍ, menyediakan fasilitasfasilitas yang dapat mendukung peserta didiknya mengembangkan potensi vocational mereka. Lantas di mana peran berpikir kritis santri dalam hal pertanian? Seperti yang telah juga dijelaskan pada bab sebelumnya, bagaimana relasi antara berpikir kritis dan kreatif yang dianggap ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. 52 Juga sebagaimana yang dilansir oleh Romanowski dan Ramzi Nasser dengan mengutip Lau dan Chan yang mengatakan bahwa, “critical thinking promotes creativity.” Berpikir kritis memerankan peran kunci dalam meningkatkan dan mengevaluasi ide-ide baru.53 Kreativitas santri Pesantren Darul Fallah termanifestasi dalam produk-produk mereka, baik itu produk pertanian, wirausaha, koperasi, dan produk wiraswasta lainnya. Sedangkan bentuk kritisisme mereka adalah dalam hal memilah dan memilih usaha yang akan digeluti, melihat bagaimana perkembangan pasar, persaingan, memikirkan outcome dan income, mencari cara agar usahanya tidak bangkrut, mempersiapkan segala resiko yang akan dihadapi, dan menyiapkan solusinya. Jelas langkah tersebut memerlukan proses berpikir yang sangat sistematis dalam hal ini berpikir kritis. Jika tidak kreativitas yang mereka miliki tidak akan bermanfaat sama sekali tanpa penggunaan dan perencanaan yang matang. Sebagaimana penuturan Maman Suparman, akan ada perbedaan produk yang dijual atau dihasilkan oleh para santri khusus santri Darul Fallah, contoh kecilnya yaitu, sekarang beredar banyak produk-produk pangan dan makanan yang dibuat dari bahan-bahan yang tidak layak konsumsi atau pakai. Hal demikian karena ketidakpahaman mereka terhadap kode etik perdagangan yang sehat, juga tidak memikirkan dampak negatif sebagai efek samping dari perbuatan tidak bertanggung jawab itu. Lain halnya jika produsen suatu produk makanan itu lulusan Pesantren atau santri, yang paling utama mereka akan memikirkan produk tersebut dari segi agama halal atau tidak dan layak atau tidak untuk dikonsumsi masyarakat. Kedua, karena mereka telah ditanamkan karakter untuk memberikan kemanfaatan bagi
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
52 Elaine B. Johnson, CTL Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna, terj. Ibnu Setiawan, judul asli Contextual Teaching and Learning: What it is and Why it’s Here to Say, 222. 53 Michael H. Romanowski, Ramzi Nasser, “How Critical Thinking is Taught in Qatari Independent School’s Social Studies Classroom: Teacher’s Perspectives,” International Journal of Education, vol. 4, no. 1, 2012, 71. www.macrothink.org/ije
BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
71
orang lain dan bukan yang merugikan. Hal demikian berhubungan dengan etika perdagangan yang selayaknya dimiliki oleh semua produsen makanan atau produk lainnya. Disitulah peran kritikalitas yang harus dimiliki oleh para santri untuk kemudian melahirkan produk yang berkualitas tinggi dan bermanfaat tentunya yang membutuhkan penyelesaian jalan kreatif.54 Langkah-langkah tersebut disadari atau tidak telah dijalani oleh Pesantren Darul Fallah dalam proses pembelajarannya, untuk menghasilkan santri yang memiliki keterampilan berpikir kritis, kreatif, dan life skill. Adalah program magang/ praktek lapangan pada kelas 2 Aliyah yang mereka miliki yang bisa mewakili contoh demikian.55 C.
Respon Pesantren Terhadap Urgensi Tujuan Dalam Pembelajaran, Kurikulum, Materi, Dan Metodologi Imbas yang harus dibayar dari transformasi lembaga pendidikan Islam dalam hal ini Pesantren tidaklah sedikit. Mereka harus memikir ulang atau memadukan sistem pendidikan Pesantren yang mandiri dari format awal keberadaannya dengan sistem pendidikan nasional. Hal itu dilakukan agar lulusan Pesantren tidak hanya siap untuk memiliki bekal akhirat, melainkan juga memiliki bekal hidup di dunia. Untuk mencapai cita-cita yang demikian dibutuhkan sistem pendidikan yang komprehensif.56 Tidak hanya memadukan materi pelajaran agama dan umum, tapi juga mencakup perencanaan perancangan tujuan dalam pembelajaran, kurikulum, dan metodologi, sebagai perantara untuk mendidik santri agar bisa hidup di dunia yang sama dengan mereka yang di luar Pesantren. Tidak terpisah dengan realitas dunia.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
1.
Urgensi Tujuan Dalam Pembelajaran Pesantren Pertanian Darul Fallah menjalankan sistem pendidikan yang berlandaskan pada visi sebagai “lembaga pendidikan, dakwah, dan pengembangan masyarakat dengan memiliki keunggulan tersendiri. Selain juga menghasilkan lulusan (SDM) yang memiliki ruhul jihad, kreatif, inovatif, dan mandiri. Dengan perancangan misi pada tiga aspek besar yaitu; pertama, Pendidikan. Menyelenggarakan dan mengembangkan sistem pendidikan yang unggul dengan kurikulum yang memadukan materi ajaran Islam dan IPTEK dalam jenjang pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan bangsa. Kedua, Dakwah. Menyelengarakan dakwah bi al-hāl dengan mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari dan mendifusikan IPTEK dalam usaha-usaha produktif. 54
Wawancara dengan Maman Suparman di Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Dokumen Pesantren Pertanian Darul Fallah, dapat diakses juga di www.darulfallah.org 56 H.M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, 1-2. 55
72 BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
Ketiga, Pengembangan Masyarakat.57 Mengembangkan proyek-proyek percontohan qaryah ṭaīyibah di daerah pedesaan dengan pendekatan menjalin kerja sama dengan instansi atau lembaga terkait.”58 Yang bertujuan untuk membina peserta didik dalam mewujudkan individu-individu yang beriman, berilmu, dan berakhlak Islam. Selain itu, memiliki kemandirian dalam menjalankan kehidupan, menyebarkan dakwah Islam, dan dakwah bi al-hāl (berwiraswasta). Hal itu dilakukan, dalam rangka memberdayakan dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya khususnya dan Indonesia umumnya.59 Di samping tentunya untuk menyatakan bahwa lulusan Pesantren Darul Fallah nantinya akan menjadi aktor-aktor untuk memainkan perandalam kehidupannya. Dalam praktek pendidikannya urgensitas rancangan tujuan pembelajaran di Pesantren Darul Fallah sangat diperhatikan. Hal demikian dapat dilihat dari sikap Kepala Pesantren dan Direktur Madrasah, yang selalu menekankan kepada para pengajarnya untuk membuat desain pembelajaran secara jelas, agar tercapai tujuan pembelajaran dan pendidikannya.60 Penekanan akan pentingnya rumusan tujuan pembelajaran Pesantren ini, juga bisa dilihat dari adanya program kriteria ketuntasan minimal (KKM) dalam desain kurikulumnya yang dibagi kedalam evaluasi dan tindak lanjut perbaikan dan pengayaan. Kriteria ideal dari ketuntasan belajar adalah 75% dari kisaran kompetensi dasar 0 s/d 100%. Madrasah Aliyah Darul Fallah menargetkan kriteria ketuntasan minimal sebagai target pencapaian kompetensi (TPK), tentu saja dengan mempertimbangkan kemampuan rata-rata peserta didik. Bagi santri yang belum mencapai KKM ideal, akan diberikan kesempatan remedial. Dan bagi santri yang telah mencapai KKM ideal bisa mengikuti program pengayaan (enrichment), atau program percepatan (accelerated), untuk lebih mendalami materi dan esensi tiaptiap Kompetensi Dasar masing-masing mata pelajaran.61 KKM diadakan untuk mengukur sejauhmana penguasaan santri terhadap materi yang telah disampaikan di kelas dalam kurun waktu tertentu.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
57 Dokumen Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, dapat diakses juga di www.darulfallah.org 58 Dokumen Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, dapat diakses juga di www.darulfallah.org 59 Dokumen Pesantren Pertanian Darul Fallah, Taufiq Ismail, dkk., Membangun Kemandirian Umat di Pesantren: Ikhtiar dan Peran Pesantren Pertanian Darul Fallah 1960-2000, 159. 60 Hasil wawancara penulis dengan Ismail Shaleh (wakil kepala Madrasah bidang kurikulum, juga staf pengajar MTs dan MA), dikantor Pesantren Pertanian Darul Fallah, pada 13 Mei 2013, pukul 12.00 WIB. 61 Dokumen Pesantren Pertanian Darul Fallah.
BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
73
Tabel 3.6. Kriteria Ketuntasan Minimal Tahun Pelajaran 2012/2013 KKM Komponen XI XI XII X IPA IPS IPA A. Mata Pelajaraan: 1. Pendidikan Agama: a. Al-Qur’an Hadis 70 70 70 70 b. Aqidah Akhlak 70 70 70 70 c. Fiqih 70 70 70 70 d. Sejarah Kebudayaan Islam 70 2. Pendidikan Kewarganegaraan 70 70 70 70 3. Bahasa Indonesia 70 70 70 70 4. Bahasa Arab 70 70 70 70 5. Bahasa Inggris 70 70 70 70 6. Matematika 70 70 70 70 7. Fisika 70 70 70 8. Biologi 70 70 70 9. Kimia 70 70 70 10. Sejarah 70 70 70 70 11. Geografi 70 70 12. Ekonomi 70 70 13. Sosiologi 70 70 14. Seni Budaya 15. Penjaskes 70 70 70 70 16. Teknologi Informasi dan 70 70 70 70 Komunikasi 17. Ketrampilan / Bahasa Asing B. Muatan Lokal : 1. Budidaya Pertanian 70 2. Budidaya Perikanan 70 3. Budidaya Peternakan 70 70 4. Kewirausahaan 70 70 5. Koperasi 70 6. Teknologi Tepat Guna 70 70 7. Pengolahan Hasil Pertanian 70 70 8. Tata Busana 70 70 9. Nahwu Sorof 70 70 70 70 10. Siroh Nabawiyah 70 70 70 11. Ilmu Tafsir 70 12. Fiquh Dakwah 70
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
74 BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
XII IPS
70 70 70 70 70 70 70 70 70 70 70 70 70 70 70
70 70 70
Komponen
XI IPA
X
13. Ushul Fiqh
-
-
KKM XI IPS -
XII IPA 70
XII IPS 70
Adapun evaluasi diadakan untuk pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihakpihak yang berkepentingan. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat kemampuan peserta didik. Menurut Ismail Shaleh, evaluasi ini perlu dilakukan sebagai bentuk kritikan atas pencapaian pengajaran para guru selama proses pembelajaran.62 Sebagaimana yang telah menjadi pengetahuan bersama, bahwa tujuan pembelajaran di kelas dinyatakan berhasil, ketika para siswa memahami dan mampu merefleksi pelajaran ke dalam kehidupan nyatanya. Mengukur pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, mendiagnostis kesulitan belajar peserta didik, mengetahui hasil pengajaran, mengetahui hasil belajar, mengetahui pencapaian kurikulum, dan mendorong guru untuk memperbaiki metode mengajar yang telah dilaksanakan. 63 Secara umum dapat dilihat tujuan pendidikan di Pesantren Pertanian Darul Fallah telah memenuhi tujuan dan standar kompetensi pendidikan nasional.
l a t
i g i
D / e
2.
Urgensi Kurikulum Pesantren Pertanian Darul Fallah merupakan salah satu Pesantren yang telah menerapkan kurikulum keterampilan (life skill) kedalam sistem pendidikannya sejak awal didirikannya tahun 1960. Bisa dikatakan bahwa Darul Fallah merupakan pioner Pesantren yang berbasis Pertanian (agricultur) di Indonesia. Demi menjawab kebutuhan masyarakat akan lulusan yang tidak hanya ahli dibidang spiritual, tetapi juga bisa membawa perubahan sosial kearah yang lebih baik dilingkungan mereka tinggal. Seperti yang dikemukakan oleh Saleh Widodo pada kesempatan wawancaranya dengan Serial Media Dakwah (SMD), tentang bagaimana santri yang ideal, yaitu; “yang berilmu, bisa menjadi teladan bagi masyarakatnya, dengan indikasi bertanggung jawab, peka terhadap lingkungan, berkembang dapat memberikan perhatian yang seimbang untuk pribadi dan masyarakat, pewaris perjuangan, motivator dan katalisator bagi masyarakat, dengan landasan nilai keislaman dan taqwa yang universal.”64
n i l
On
a c a
B
62
Wawancara dengan Ismail Shaleh, perancang kurikulum dan staf pengajar Pesantren Darul
Fallah. 63
Dokumen Pesantren Pertanian Darul Fallah. Ir. Saleh Widodo adalah Sekretaris Jenderal Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, lihat Saleh Widodo, “Pesantren Memerlukan Kurikulum yang lebih Memadai,” dalam Taufiq Ismail, dkk., Membangun Kemandirian Umat di Pesantren, 85. 64
BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
75
Oleh karenanya menurut Widodo untuk mencetak generasi yang demikian, maka salah satu caranya Pesantren tidak bisa menutup diri. Kurikulum dan metodenya haruslah komunikatif dengan lingkungannya agar bisa menjawab kebutuhan masyarakat. Dan perubahan itu harus dilakukan oleh pihak Pesantren terlebih dahulu. 65 Kembali merujuk Al-Syaibani yang dikutip dari Mujamil Qomar, jika kurikulum pendidikan Islam memiliki beberapa prinsip sebagai berikut; “pertama, pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk berbagai ajaran dan nilainya. Keuda, prinsip menyeluruh (universal) pada setiap tujuan dan kandungan kurikulum. Ketiga, keseimbangan yang realtif antara berbagai tujuan dan kandungan kurikulum. Keempat, ada pertautan antara bakat, minat, kemampuan, dan kebutuhan pelajar. Seperti juga dengan alam sekitar, fisik, dan sosial dimana pelajar tersebut hidup dan berinteraksi untuk memperoleh pengetahuan, kemahiran, pengalaman, dan pembentukan sikapnya. Kelima, pemeliharaan perbedaan individual diantara pelajar dalam bakat, minat, kemampuan, kebutuhan, dan masalahnya serta memelihara perbedaan diantara alam sekitar dan masyarakat. Keenam, prinsip perkembangan dan perubahan. Ketujuh, prinsip pertautan antara mata pelajaran, pengalaman, dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum.”66 Dalam implementasinya dapat dilihat bahwa Pesantren Darul Fallah memang telah membuat inovasi dalam desain kurikulumnya secara komunikatif dengan lingkungannya. Dengan memadukan kurikulum Diknas, Depag, dan Pesantren.67 Berikut ikhtisar kurikulum untk Madrasah Aliyah yang diterapkan di Pesantren Darul Fallah tahun ajaran 2012/2013:
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
65
Saleh Widodo, “Pesantren Memerlukan Kurikulum yang lebih Memadai,” dalam Taufiq Ismail, dkk., Membangun Kemandirian Umat di Pesantren, 89. 66 Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, 152. 67 Dokumen Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, dapat diakses juga pada www.darulfallah.org
76 BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
Tabel 3.7. Struktur kurikulum Madrasah Aliyah Terpadu Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor tahun ajaran 2012/2013.68
I
II
ALOKASI WAKTU KELAS & SEMESTER XII XI IPA XI IPS IPA I II I II I II
2 2 2
2 2 2
2 2 2
2
2
4
4
MATA PELAJARAN
NO
X
Mata Pelajaran Agama 1 Qur'an Hadits 2 Akidah Akhlak 3 Fiqih SKI/Sirah 4 Nabawiyah Bahasa 5 Arab/Nahwu Sharaf Mata Pelajaran Umum 6 PKn 7 Bahasa Indonesia 8 Bahasa Inggris 9 Matematika Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam 10 Fisika 11 Biologi 12 Kimia Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial 13 Sejarah Nasional 14 Geografi 15 Ekonomi/Akuntansi
4
2 2 2
4
2 2 2
4
2 2 2
XII IPS I II
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
4
4
4
4
4
2 4 4 4
2 4 4 4
2 4 4 4
2 4 4 4
2 4 4 4
4 4 4
4 4 4
1
1
2 3 4
2 3 4
l a t
2 4 4 4
2 4 4 4
i l n
ne
/D
i g i 2 2 4 4 4
4 4 4
2 4 4 4
O
a c a
B
2 2 2
2 2 2
4 4 4
4 4 4
1 1 2
1 1 2
1
1
2 3 4
2 3 4
68
Dokumen Pesantren Pertanian Darul Fallah. - Catatan: 1. Jam pelajaran dimulai pukul 08.00 wib. 2. Jam pelajaran aktif dikelas maksimal perminggu 50 jam. 3. Alokasi waktu diatas adalah jam pelajaran aktif dikelas. 4. Proyek pertanian dilaksanaka pada pagi hari. BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
77
MATA PELAJARAN
NO
X
Sosiologi Pend. Jasmani Olahraga & 17 Kesehatan Teknologi 18 Informasi Mata Pelajaran Mulok / Kepesantrenan 18 Budidaya Pertanian Budidaya 19 Perikanan Budidaya 20 Peternakan 21 Koperasi 22 Akuntansi Kewirausahaan & 23 Magang 24 PHP 25 TTB/Kapita Selekta Ilmu Tafsir / 26 Ulumul Qur'an 27 Ulumul Hadits 28 Ushul Fiqh 29 Fiqhu Da'wah 30 Adiyan 31 Ilmu Tajwid Jumlah
I 2
16
II 2
ALOKASI WAKTU KELAS & SEMESTER XII XI IPA XI IPS IPA I II I II I II 3 3
1 2
2
2
2
2
2
1 2
2
2
i g i
l a t 2
2
2
2 2
2 2 2
2 2
2 2 2
2
2
2
2 2
2
2 2
2
D / e 2
n i l
On
a c a
B
2
2 48
1
XII IPS I II 4 4
2 49
47
2
50
2
46
2
2
2
2
2
49
2
2 2
2
2 2
45
45
45
45
Dari tabel kurikulum Madrasah Aliyah terpadu Pesantren Pertanian Darul Fallah diatas, dapat kita saksikan jika usaha Pesantren untuk merealisasikan mendidik lulusan yang ahli dibidang IPTEK dan IMTAQ sudah sangat mantap dan konsisten. Kebijakan untuk membuat desain kurikulum yang komunikatif dengan lingkungan tempat santri hidup merupakan upaya kritis yang telah dilaksanakan di Pesantren Darul Fallah. Tampak terlihat dari tabel di atas, bahwa Darul Fallah telah berusaha untuk tidak menitik beratkan desain kurikulum kepada salah satu kurikulum semata. 78 BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
Hal demikian sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Maman Suparman, bahwa Pesantren Darul Fallah berusaha mendidik para santri menyadari berbagai potensi yang mereka miliki, tidak hanya sebatas pada keilmuan agama semata. Akan tetapi, mereka juga memberikan kesempatan bagi para santrinya yang memiliki bakat di bidang lain pun bisa mengembangkannya. Agar ketika mereka kembali kemasyarakatnya mereka bisa menjadi agen perubahan bagi komunitasnya. Dengan memiliki bekal berbagai kemampuan di berbagai bidang atau keahlian khusus.69 Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memberikan apresiasi bagi keberlanjutan dan peningkatan kualitas yang tentu saja masih terdapat kekurangan disana-sini. Akan tetapi, usaha untuk menghidupkan kembali generasi yang pernah dihasilkan pada masa klasik, dengan tidak memarjinalisasikan ilmu-ilmu umum atau eksak sudah mulai terlihat. Kebijakan yang dibuat oleh para penyelenggara pendidikan di Darul Fallah dalam upaya menjadikan para santrinya memiliki kemampuan diberbagai bidang, terlihat melalui desain kurikulum yang tidak menitik beratkan pada aspek ilmu keagamaan semata. Dengan membuat desain kurikulum terpadu seperti ini, diharapkan agar siswa bisa lebih mengembangkan bakat mereka yang tidak homogen. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Azra dalam sebuah pengantarnya terhadap karya Stanton, bahwa kebutuhan Indonesia terhadap lulusan yang ahli dibidang sains dan teknologi mencapai 263.795 orang, sedangkan Indonesia hanya mampu menghasilkan lulusan dari bidang ini sekitar 5.583 pada tahun 1994, 70 lantas bagaimana kebutuhan itu pada masa sekarang yang tentunya akan terus meningkat. Tentunya kita sebagai bangsa Indonesia yang menginginkan negaranya bisa bersaing dikancah internasional dengan kemampuan penguasaan pada bidang sains dan teknologi yang beradab (akhlak mulia), akan sangat menyambut dengan antusias kalangan-kalangan atau institusi-institusi yang berjuang dijalur tersebut, terlebih ini dilakukan oleh kalangan lembaga pendidikan Islam.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
3.
Urgensi Materi Sama halnya dengan rancangan tujuan pembelajaran dan kurikulum, pada aspek materi pelajaran yang diajarkan di Pesantren pada abad Milenium inipun mengalami pergeseran kearah materi yang lebih luas dan beragam lagi cakupannya. Jika pada masa pendidikan Islam masih berlangsung di langgar (surau), menurut Mujamil Qomar materi yang diajarkan hanya berkisar antara rukun iman, rukun 69
Sambutan dari Maman Suparman ketika menyambut tamu dari peserta studi banding dan pelatihan kepala sekolah se-Belitung di kantor Darul Fallah Bogor. 70 Azyumardi Azra, “Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains: Sebuah Pengantar,” dalam Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam: Sejarah dan Peranannya dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: PT Logos, 1994), xiv-xv. BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
79
islam, akhlak, dan tasawuf. Hal demikian karena dianggap pada waktu itu yang belajar kebanyakan baru mu’allaf. Lalu ketika beralih ke Pesantren, perubahan materi pelajaran pun sangat signifikan, dari semula yang bersifat doktrinal menjadi interpretatif. Mujamil Qomar kemudian mengutip Mahmud Yunus yang mencatat materi pelajaran di Pesantren yang awalnya adalah ilmu sorf, nahw, dan bertambah lagi ilmu fiqh, tafsir, tauhid, tasawuf, dan seterusnya hingga seperti sekarang yang meliputi lebih banyak lagi kearah perinciannya. Seperti; “al-Quran dengan tajwid dan tafsirnya, aqaid dan ilmu kalam (tauhid), fiqh dengan ushul fiqh, qowaid alfiqh, hadist dengan musthalah hadist, dan bahasa arab dengan ilmu alatnya (nahwu, sorf, bayan, ma’ani, ‘arudh, tarikh, mantiq, tasawuf, akhlak dan falaq).” Kemudian tentunya dengan refrensi kitab kuningnya pada abad klasik. Lalu di abad modern ini perambahan materi pelajaran umum dan keterampilan semakin marak sebagai konsekuensi pembaharuan dan transformasi Pesantren. Contohnya pada Pesantren-Pesantren modern yang telah mengadopsi materi pelajaran umum dan ilmu eksak, seperti Pesantren Pabelan yang telah memasukkan materi teknik pertanian, perkebunan, perunggasan, perikanan kolam, di samping tentunya materi pelajaran umum seperti matematika, fisika, kimia, bahasa asing (arab dan inggris). Begitu juga dengan Pesantren Pertanian Darul Fallah, seperti yang dituturkan oleh Mujamil Qomar yang telah mengintegrasikan kelompok pengetahuan dan pengalaman ajaran Islam, praktikum dan latihan keterampilan bertani, beternak, dan pertukangan. 71 Pada Pesantren Darul Fallah, sebagaimana yang disampaikan oleh Mujamil Qomar telah mengintegrasikan materi pelajaran keterampilan dan agrikultural. Di samping itu, Darul Fallah juga tidak menitik beratkan kepada salah satu bidang materi pelajaran semata. Ada tardisi unik yang telah diterapkan di Darul Fallah pada program Pertanian. Pada program ini, santri dianjurkan mengambil bidang keahlian sesuai dengan yang diminatinya. Sebagaimana yang dipaparkan oleh salah seorang santri putra kelas I Aliyah, sebut saja namanya Irwan. Ia menjelaskan bahwa pada kegiatan pertanian kami dianjurkan untuk memilih salah satu keahlian, kemudian di kelompokkan sesuai dengan minat dan kemampuannya. misalnya; pada bidang holtikultura, perbengkelan, perikanan, atau pengkultur jaringan. Menurutnya, mereka sangat menyukai kegiatan ini, disamping bisa menyalurkan minat pada bidang yang telah mereka pilih, mereka juga belajar langsung untuk begaimana menjadi wirausahwan.72 Tampaknya pluralisme dan perbedaan budaya dikalangan santri Darul Fallah memang sangat kental. Hal itu dapat dilihat dari tidak adanya aturan harus
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
71
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi, 111-134. Modernisasi materi PP Darul Fallah dapat dilihat pada tabel 3.1 dan 3.2 pada bab ini. 72 Wawancara dengan Irwan santri kelas I aliyah Pesantren Darul Fallah.
80 BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
menggunakan satu mazhab yang sama dalam menjalankan ibadah sehari-hari. Ketika ditanya tentang hal itu, beberapa santri menyatakan bahwa “kami ahli sunnah waljamaah, tidak membedakan antara satu mazhab dengan mazhab yang lain”.73 4.
Urgensi Metodologi Mujamil Qomar menuturkan dalam sistem pendidikan seringkali para pelaksana pendidikan lebih mementingkan kurikulum atau materi pelajaran diatas segalanya, sebagai penentu keberhasilan tujuan pendidikan. Padahal menurutnya mereka lupa untuk meningkatkan kesadaran diberbagai aspek peserta didik, antara lain “lemahnya kesadaran untuk berprestasi, kesadaran untuk sukses, kesadaran untuk meningkatkan SDM, kesadaran untuk menghilangkan kebodohan, maupun kesadaran untuk berbuat yang terbaik.” Pernyataan Mujamil Qomar diatas bukan dimaksudkan bahwa kurikulum tidak berperan penting dalam mencapai tujuan pembelajaran, akan tetapi para pelaksana pendidikan dan pemerintah seringkali lupa bahwa permasalahan terbesar pendidikan Indonesia bukan terletak pada kurikulum, akan tetapi pada lemahnya kesadaran itu.74 Kesadaran tersebut bisa dibangkitkan lewat strategi proses pembelajaran yang termasuk didalamnya adalah aspek metodologi. Ada ungkapan populer dikalangan para pedagog seperti yang diungkapkan oleh Brookfield bahwa, “we teach to change the world,”75 dan ungkapan yang sering sekali didengar dikalangan santri atau asātiz yaitu al-ṭarīqatu ahammu minal mađah, maka sudah seharusnya kita mengajarkan mereka bagaimana menghadapi dunia dimasa depan mereka dan mengajarkan mereka bagaimana mencari solusi dari setiap permasalahan yang mereka hadapi. Dalam istilah baru pembelajaran yaitu belajar bagaimana cara belajar (learning how to learn). Oleh karenanya, mengajar sudah pasti bukan hanya aktivitas transfer ilmu semata, sebagaimana yang diistilahkan oleh Paulo Freire dengan system banking.76 Metode merupakan bagian penting dari strategi pembelajaran yang menentukan tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran. Wina Sanjaya memaparkan definisi metode sebagai; “cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata, agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal.” Dapat dilihat dari definisi tersebut, bahwa metode
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
73
Wawancara dengan beberapa santri putri aliyah kelas 1-2, dengan menggunakan FGD. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, 149. 75 Stephen Brookfield, “The Getting of Wisdom: What Critically Reflective Teaching is and Why it’s Important,” becoming a Critically Reflective Teacher (San Francisco: Jossey Bass, 1995), 1. www.nl.edu 76 Paulo Freire, pendidikan kaum tertindas, terj. Utomo Dananjaya, dkk., 52. 74
BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
81
menempati peranan yang krusial dalam strategi pembelajaran. Selanjutnya efektivitas suatu metode akan bergantung pada guru yang menggunakannya dengan tepat, sesuai dengan pendekatan pembelajaran yang digunakan, materi yang sedang berlangsung dan kondisi siswa tentunya, yang akan berdampak pada pencapaian hasil dari tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.77 Brookfield dalam kesempatan seminarnya memaparkan bahwa asumsi dari keterampilan mengajar adalah mengajar yang baik berarti segala yang membantu siswa belajar.78 Selain metode menurut Anisah Basleman dan Syamsu Mappa, teknik juga memainkan peran penting dalam penyusunan strategi dan pelaksanaan pembelajaran. Jika metode diartikan sebagai cara yang akan digunakan dalam pengolahan kegiatan belajar mengajar, maka teknik merupakan “prosedur atau langkah pembelajaran sesuai dengan pengorganisasian peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah dicanangkan.”79 Lantas pertanyaan selanjutnya adalah metode pembelajaran seperti apa yang terbaik untuk digunakan? Dalam perkembangannya dunia pendidikan tidak terlepas dari ideologiideologi tertentu yang digunakan sebagai pondasi praktek pendidikan diberbagai belahan dunia dan daerah.80 Begitu juga halnya terjadi diranah strategi pembelajaran, yang melibatkan banyak teori didalamnya, dan pada prakteknya disetiap lembaga pendidikan yang ada diseluruh dunia pun memiliki perbedaan penerapan strategi pembelajaran yang dipakai, tergantung pada kebutuhan sekolah dan tujuan pembelajaran yang disesuaikan dengan pengambilan sudut pandang strategi tertentu yang dianggap tepat pada suatu materi pelajaran tertentu. Karena tidak semua strategi pembelajaran yang termasuk di dalamnya penggunaan metodologi bisa diterapkan di setiap materi pelajaran sebagaimana dikatakan oleh Roy Killen, yang dikutip dari Wina Sanjaya.81 Pesantren Darul Fallah menurut A. Malik Thaha Tuanaya berdasakan penelitiannya, telah menerapkan pendekatan pendidikan andragogi yang bersifat partisipatif. Beberapa metode yang telah diterapkan dalam hal ini seperti diskusi kelompok, simulasi, dan tanya jawab.82 Para pemangku kebijakan pelaksana pendidikan di Pesantren Darul Fallah, menyadari betul akan pentingnya penggunaan metodologi yang benar dan tepat
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
77
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, 147. Stephen Brookfield, “Becoming a Critically Reflective Teacher,” BCRT Workshop, 2, 1997. www.stephenbrookfield.com 79 Anisah Basleman dan Syamsu Mappa, Teori Belajar Orang Dewasa, 158. 80 William F. O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, 26-28. 81 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, 131. 82 A. Malik Thaha Tuanaya, “Modernitas Pesantren di Tinjau dari Aspek Kurikulum: Studi Kurikulum Berbasi Pertanian di Ponpes Darul Fallah Bogor,” dalam Modernisasi Pesantren, ed. A. Malik Thaha Tuanaya, 99. 78
82 BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
dalam proses pembelajaran. Dikatakan oleh Maman Suparman,83 mereka sangat memegang teguh maqalah yang mengatakan al-ṭariqatu ahammu minal mađah.84 Yang merupakan salah satu landasan untuk memperhatikan urgensi metodologi dalam proses pembelajaran. Keseriusan itu dapat dilihat dari berbagai upaya yang terus dikembangkan dan dipelajari serta ditingkatkan dikalangan pengajar Darul Fallah. Menurut penuturan Ismail Shaleh85 selaku designer kurikulum Pesantren tersebut, salah satu upaya mereka untuk meningkatkan kualitas mengajar para staf pengajar adalah dengan mengirim mereka untuk mengikuti berbagai seminar dan workshop yang berkaitan dengan metode pengajaran dan belajar. Selain itu, mereka juga selalu mengingatkan kepada para staf pengajar dalam setiap rapat bulanan untuk terus mengembangkan cara-cara mengajar yang kreatif dan inovatif, yang bertujuan untuk membuat siswa tidak jenuh selama proses pembelajaran berlangsung di dalam kelas, juga agar para siswa dapat memahami materi yang diajarkan dan tujuan pembelajaran dapat tercapai.86 Lebih lanjut lagi pimpinan Pesantren KH. Abdul Hanan mengatakan bahwa mereka selalu memberikan evaluasi penilaian terhadap kinerja para pengajar,87 salah satunya caranya adalah dengan menyebarkan angket evaluasi mengajar kepada para santri di Pesantren, juga melalui observasi dan penilaian oleh para pimpinan dan para staf yang bertugas mengevaluasi hasil mengajar para guru di Pesantren Darul Fallah, hal demikian diakui pula oleh Ismail Shaleh dan Maman Suparman serta beberapa staf pengajar lainnya.88 Evaluasi secara berkala seperti demikian memang sangat perlu untuk diadakan. Pesantren Darul Fallah telah berupaya menggunakan berbagai metode pembelajaran yang bervariatif untuk membuat peserta didik dapat memahami materi yang disampaikan. Di samping itu menanamkan kepada mereka sifat kemandirian, agar mereka mampu berdiri sendiri dan menjadi lakon dalam kehidupannya ketika kembali kemasyarakat.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
83
Maman Suparman adalah kepala Madrasah Aliyah PP Darul Fallah Wawancara dengan Maman Suparman dikantor PP Darul Fallah Bogor, pada 13 Mei 2013, pukul 11.00 wib. 85 Wawancara dengan Ismail Shaleh dikantor Pesantren Pertanian Darul Fallah, pada 13 Mei 2013, pukul 12.00 WIB. 86 Wawancara dengan Maman Suparman selaku kepala Madrasah Aliyah Pesantren Pertanian Darul Fallah, juga sebagai staf pengajar dikelas Tsanawiyah dan Aliyah. Wawancara dengan Sri Qonaah sebagai staf pengajar Tsanawiyah dan pembimbing asrama putri Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. 87 Wawancara dengan KH. Abdul Hanan di Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. 88 Wawancara dengan Maman Suparman, Ismail Shaleh, Sri Qonaah, Ety, Latif sebagai para pengajar di Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. 84
BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
83
l a t
i g i
D / e
n i l
On a c a
B
84 BAB III Dinamika Pesantren Pertanian Darul-Fallah Bogor
BAB IV PEMBELAJARAN KRITIS DI PESANTREN DARUL FALLAH BOGOR
“I cannot teach anybody anything, i can only make them think”.1 (Socrates) “Sekolah artinya belajar menggunakan pikiran dengan baik, berpikir kreatif menghadapi persoalan-persoalan penting, serta menanamkan kebiasaan untuk berpikir.”2 (T.R. Sizer) “Critical thinking promotes creativity.” (Lau & Chan) Secara visi dan misi dari didirikannya setiap sekolah yang ada, pasti berkaitan dengan peningkatan atau kualitas cara berpikir peserta didik dan menciptakan atau menemukan sesuatu yang baru secara positif. Akan tetapi, tidak jarang justru sekolah telah mematikan potensi terpendam yang dimiliki oleh peserta didik sebelum datang kesekolah. Dan akhirnya, mati tanpa mengetahui potensi-potensi istimewa yang mereka miliki. Hal demikian terjadi karena ketidakpahaman pengajar untuk mengajarkan mereka dengan semestinya. Untuk bisa membangkitkan dan mengeluarkan bakat-bakat yang dimiliki oleh siswa. Penyebabnya adalah karena para pengajar tidak menyadari, jika mereka kurang menguasai tehnik-tehnik atau metodologi pembelajaran secara tepat dan kreatif. Oleh karena itu, pada bagian ini akan diurai bagaimana metodologi yang tepat bisa melahirkan output yang baik, sekaligus pembuktian bahwa lembaga pendidikan Islam tradisional yaitu Pesantren, telah bertransformasi dan berinovasi dalam setiap sistem pendidikannya.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
A.
Pendidikan Partisipatif: Upaya Membangun Kritisisme santri Pesantren Pertanian Darul Fallah sejak awal berdiri telah memiliki design sistem pendidikan yang menjanjikan masa depan yang cerah. Dengan tujuan mencetak generasi yang beriman, berilmu, berahlak Islam dan beramal.3 Sebagai refleksi dari tujuan tersebut digunakanlah sistem pendidikan dengan pendekatan andragogi, 4 yaitu suatu pendekatan belajar orang dewasa. Dengan menempatkan 1
http://www.aceonlineschools.com/35-thought-provoking-education-quotes/ Elaine B. Johnson, Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna, Terj. Ibnu Setiawan, Judul asli Contextual Teaching & Learning: What it is and Why it’s here to stay. (Bandung: Kaifa, 2010), 181. 3 Dokumentasi Pesantren Pertanian Darul Fallah, Sholeh Iskandar, “Peranan Santri Pondok Pesantren Darul Fallah Ditengah-tengah Masyarakat,” dalam Membangun Kemandirian Umat di Pedesaan, ed. Taufiq Ismail, dkk., (Bogor: Pesantren Pertanian Darul Fallah, 2000), 95. 4 Wawancara dengan Maman Suparman dikantor PP Darul Fallah. 2
85
peserta didik sebagai subjek sehingga lebih aktif selama proses pembelajaran berlangsung.5 Beberapa cara yang dilakukan oleh Pesantren ini untuk membangkitkan kesadaran kritis pada diri santri yaitu, lewat kajian-kajian kritik kitab-kitab klasik. Seperti bahstul masāil, dengan mengkontekstualkan materi pembahasan kitab dengan keadaan sosial masyarakat. Selain itu, kajian-kajian tematis terhadap berbagai persoalan dimasyarakat pun sering dilakukan oleh pihak Pesantren ini. Selain itu kegiatan tanya jawab dalam pengajian kitab yang diselenggarakan setiap setelah subuh juga rutin dilaksanakan. 6 Kebebasan dalam mengemukakan pendapat juga merupakan salah satu cara untuk menumbuhkan kesadaran kritis santri akan kondisi yang sedang dialaminya. Santri diberi kebebasan dalam mengeritik pola pengajaran para guru yang mereka anggap tidak sesuai dengan tipe belajar mereka. Dalam hal ini, santri setiap bulannya akan dibagikan kertas atau angket evaluasi mengajar guru. Di sana mereka bebas mengkritik atau mengomentari apa yang mereka rasakan terhadap guru tersebut selama proses belajar-mengajar berlangsung. Para guru yang mendapat kritikan akan menerima kritikan tersebut, sebagai teladan bagi mereka dalam menerima kritik orang lain. Di samping itu, supaya para guru berusaha mengevaluasi kekurangan-kekurangannya dalam proses belajar-mengajar.7 Tidak jarang ketika proses belajar berlangsung, ada santri yang protes tidak nyaman dengan kondisi belajar tertentu dan meminta untuk mengganti cara pengajaran atau pindah lokasi belajar. Kegiatan belajar mengajar seperti ini, akan mampu membangkitkan kesadaran kritis pada santri dan membiasakan mereka untuk keluar dari situasi yang mereka anggap menindas mereka.8
l a t
i g i
D / e
n i l
On
Suasana santri putri DaFa tengah belajar diluar kelas
a c a
B
Untuk melihat daya kesadaran kritis santri Darul fallah, penulis menyiapkan berbagai pertanyaan berdasarkan teori mengukur daya berpikir kritis santri. 5 A. Malik M. Thaha Tuanaya, “Modernitas Pesantren Ditinjau dari Aspek Kurikulum: Studi Kurikulum Berbasis Pertanian di PP Darul Fallah Bogor,” dalam Modernisasi Pesantren, ed. A. Malik M. Thaha Tuanaya, dkk., 115. 6 Wawancara dengan KH. Abdul Hanan Abbas di kantor Darul Fallah. 7 Wawancara dengan Agus Setiawan dan Ismail Shaleh di kantor Darul fallah. 8 Wawancara dengan santri putri kelas 2 Aliyah Darul fallah.
86 BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
Beberapa pertanyaan yang menyangkut kesadaran kritis yang penulis lontarkan, seperti; mengapa kalian memakai jilbab? Kemudian dengan bergiliran mereka menjawab pertanyaan penulis. Salah seorang santri menuturkan dalil untuk mulai jawabannya, yang berartikan, “menutup aurat itu wajib hukumnya”. Kemudian ia menjelaskan berdasarkan dalil tersebut. Ia menjelaskan alasan mengapa ia memakai jilbab, “dikarenakan kita sebagai seorang muslim diwajibkan untuk mengimani alQuran dan sunah nabi serta menjalankan perintahnya, maka kita wajib menjalankan perintah tersebut dan dengan memakai jilbab saya dapat menghindari dampak negatif yang terjadi akibat tidak menutupi aurat yang sekarang ini sangatlah banyak, maka berdasarkan hal itu saya memutuskan untuk memakai jilbab.”9 Ada juga yang mengutarakan penjelasannya langsung kepada dampak negatif dari tidak menggunakan jilbab. Beberapa santri menuturkan, “salah satu akibat banyaknya terjadi pemerkosaan saat ini adalah karena tidak menutup auratnya dengan baik.”10 Selanjutnya ketika ditanyakan mengapa mereka mau mengikuti program pertanian yang lebih banyak bersentuhan dengan sesuatu yang kotor, sementara mereka adalah orang kota? Beberapa santri dengan antusias menjawab, salah satu dari keunggulan Pesantren kami adalah program pertanian. Ia kemudian menjelaskan dengan mengaitkan pertanian merupakan profesi sebagian besar masyarakat pinggiran dan Indonesia memang negara agraris. Oleh karena itu, “kami ingin setelah lulus dari Pesantren tidak hanya bisa mengaji tapi juga bisa menjadi wirausaha. Sekarang ini zaman telah canggih, produk-produk pertanian sudah bisa dikembangkan dengan alat-alat canggih, seperti contohnya Jepang dan IPB. Demikian penjelasan beberapa santri ketika ditanyakan pertanyaan demikian.” 11 Dapat dilihat dari pertanyaan di atas, betapa mereka telah melakukan dan memilih aktifitas berdasarkan hasil telaah pemikiran mereka. ketika seorang anak bisa merubah sebuah pohon menjadi berbagai bentuk kegunaan, ia telah melakukan tahap-tahap berpikir kritis.12
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
9
Wawancara FGD dengan santri kelas 2 aliyah Darul fallah. Wawancara dengan santri kelas 2 aliyah Darul Fallah. 11 Wawancara dengan santri Aliyah kelas 2 Darul fallah Bogor. 12 Elaine B. Johnson, CTL Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna, terj. Ibnu Setiawan, judul asli Contextual Teaching and Learning: What it is and Why it’s Here to Say. 10
BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
87
Suasana santri putra DaFa tengah berdiskusi13
Pembelajaran aktif menurut Agus Suprijono bertujuan untuk “mengarahkan perhatian peserta didik terhadap materi yang dipelajarinya.”14 Berdasarkan hasil penelitian A. Malik di Pesantren Pertanian Darul Fallah juga, ada dua metode secara garis besar yang digunakan dalam proses pembelajaran di Pesantren ini, yaitu; 1). Secara teoritis yang dilaksanakan di dalam kelas. 2). Secara praktikum yang dilakukan di luar kelas. Kedua metode tersebut dilaksanakan berdasarkan kurikulum yang telah ditentukan. Pada praktek penyajian materi berlangsung rata-rata pengajar menggunakan metode partisipatif, yaitu dalam bentuk diskusi kelompok, tanya jawab, simulasi, ceramah, dan cerita.15 Upaya-upaya modifikasi metode pembelajaran di Pesantren Pertanian Darul Fallah tersebut, hampir mendekati konsep metode pendidikan kritis Freire dan Habermassian. Muhammad Karim menjabarkan delapan prinsip pembentukkan pengetahuan Habermassian, yaitu; “Perlunya kegiatan yang bersifat kooperatif dan kolaboratif. Kebutuhan akan kegiatan yang berdasarkan diskusi. Perlunya belajar mandiri melalui pengalaman dan fleksibel. Perlunya belajar melalui diskusi. Perlunya proses belajar terkait dengan komunitas agar anak didik dapat memahami dan menyelidiki perbagai lingkungan. Perlunya aktivitas pemecahan masalah. Perlunya memperbesar hak anak didik untuk berbicara. Perlunya guru untuk bertindak sebagai intelektual transformatif.”16
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
13
Dokumentasi Pesantren Darul Fallah Bogor. Agus Suprijono, Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 8, 2012), 111. 15 A. Malik M. Thaha Tuanaya, “Modernitas Pesantren Ditinjau dari Aspek Kurikulum: Studi Kurikulum Berbasis Pertanian di PP Darul Fallah Bogor,” dalam Modernisasi Pesantren, ed. A. Malik M. Thaha Tuanaya, dkk. ((Jakarta: Balai Penulisan dan Pengembangan Agama Jakarta, 2007) 99. Juga hasil Observasi non-partisipan penulis pada januari-april 2013. 16 Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Transformatif (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), 170. 14
88 BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
Jika abad 20 lalu tepatnya pada tahun 1970-an, seorang pedagog sejati asal Brasil Paulo Freire, telah menggegerkan Eropa dan Amerika. Lewat trobosan revolusionernya dalam bentuk buku dan aksi nyata pada metode pendidikan. Usahanya menghidupkan kembali kesadaran pada setiap masyarakat Brasil saat itu dari tidur panjangnya, untuk menyadari posisi mereka yang disebutnya sebagai kaum tertindas telah berhasil dengan sukses.17 Di Indonesia-pun, pada tahun 1960an telah berdiri lembaga pendidikan Islam tradisional dengan master plan yang cukup mapan kala itu. Para pendiri dan pendukung lembaga pendidikan Islam Pesantren Pertanian Darul Fallah, telah memikirkan dengan matang format institusi tersebut untuk menghadapi gempuran zaman, yaitu Pesantren yang berbasis pertanian dengan berbagai alasan dan pertimbangan untuk memilih corak design lembaga yang demikian.18 Meski pada mulanya Pesantren Darul Fallah dikategorikan kedalam Pesantren tradisional seperti kebanyakan Pesantren lainnya di Indonesia. Akan tetapi, mengingat sejak awal didirikannya Pesantren ini telah memikirkan untuk fokus juga pada dakwah bil-hal yaitu di bidang pertanian. Oleh karena itu, mereka terus membenah diri dari kekurangan-kekurangan pada sistem yang mereka jalankan, sehingga berubah menjadi Pesantren modern. Sejak awal para pendiri Pesantren Darul fallah telah menjaga hubungan baik dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam dan luar negeri. Mereka adalah lembaga yang consern terhadap pengembangan masyarakat (community development), antara lain OXFAM Inggris, World Neighbor Amerika Serikat, Community Aid Abroad Australia, Japan Youth Volunteer Association Jepang, NOVIB Belanda, dan lain sebagainya.19 Hal demikian dilakukan demi menjaga performa, stabilitas kualitas, dan output yang ingin dicapai oleh Pesantren. Sekaligus agar tidak ketinggalan terhadap perkembangan dunia global. Memasuki abad 21 Pesantren ini semakin giat membenah diri seperti yang telah dijabarkan pada pembahasan bab sebelumnya lewat kurikulum, materi, metodologi dan staf pengajar.20 Kesadaran para stakeholder institusi ini agar tidak tergerus oleh zaman dan tidak kehilangan peminatnya. Telah membuat mereka menuai banyak prestasi dan penghargaan di berbagai bidang keilmuan,
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
17
Made Pramono, “Menyelami Spirit Epistemologi Paulo Freire,” dalam Epistemologi Kiri, ed. Listiyono Santoso, Abd. Qodir Shaleh, 129. 18 A. Malik M. Thaha Tuanaya, “Modernitas Pesantren Ditinjau dari Aspek Kurikulum: Studi Kurikulum Berbasis Pertanian di PP Darul Fallah Bogor,” dalam Modernisasi Pesantren, ed. A. Malik M. Thaha Tuanaya, dkk., 105. Lihat juga dokumentasi PP Darul Fallah, Membangun Kemandirian Umat di Pedesaan, ed. Taufiq Ismail, dkk., 154-161. 19 Dokumentasi PP Darul Fallah, Membangun Kemandirian Umat di Pedesaan, ed. Taufiq Ismail, dkk., 156. 20 Lihat bab 3, 24-60. BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
89
keterampilan dan ekstrakurikuler.21 Salah satu faktor yang membuat Pesantren ini melahirkan generasi-generasi yang terampil di berbagai bidang dan memiliki semangat kompetitif yang tinggi adalah dari penggunaan metodologi pembelajaran yang tepat. Sehingga para santri di Pesantren memiliki semangat yang tinggi, juga motivasi yang tidak pernah padam untuk terus berprestasi dan belajar, serta berkarya. Dalam disertasinya yang telah dibukukan, Florian Pohl juga menyebut Pesantren Darul Fallah sebagai salah satu Pesantren yang telah memiliki metode komprehensif, dengan berfokus kepada keterampilan pertanian sebagai tambahan dari pelatihan religius dan sebagai model institusi yang menggerakkan komunitas pedesaan (community development). Hal demikian menurut Pohl, mengingatkan pada gambaran gagasan pendidikan kritis yang digagas oleh Paulo Freire dan Ivan Illich. Akan tetapi, yang lebih penting dari semua potensi yang harus dimiliki oleh siswa adalah kesadaran kritis. Pesantren Darul fallah memiliki sejarah yang cukup kelam untuk diingat, yaitu pernah dituding akan melakukan tindakan radikal atau pembangkangan terhadap pemerintah pada masa orde lama dan berlanjut hingga masa orde baru. Padahal, mereka hanya memiliki keinginan membantu pemerintah untuk memberdayakan masyarakat setempat. Pada waktu itu, masyarakat sekitar perkampungan pertanian Darul Fallah Bogor adalah masyarakat miskin yang lemah, tidak berpendidikan dan tidak memiliki kemampuan untuk sekedar memanfaatkan potensi alam sekitarnya.22 Dari pengalaman historis yang menyakitkan itu, para pengajar Darul Fallah selalu menanamkan dan berusaha untuk membangkitkan kesadaran pada kalangan santrinya. Kesadaran bahwa manusia tidak boleh menyerah pada nasib buruk. Manusia adalah makhluk merdeka yang hanya tunduk kepada Allah swt. Untuk itu para pengajar Pesantren, ingin membekali mereka dengan berbagai ilmu dan keterampilan, agar mereka menjadi tuan bagi diri mereka sendiri. Atau bahkan menjadi pioner ditempat ia mengabdi pada masyarakat kelak. Sebagimana yang telah dipaparkan pada bab terdahulu bahwa salah satu misi Pesantren Darul fallah yaitu, menjadi agen perubahan sosial bagi kalangan du’afa, masākīn, dan fakīr.23
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
21
Dokumentasi Pesantren Pertanian Darul Fallah dan hasil observasi penulis. Dokumen Pesantren Pertanian Darul fallah. liahat juga A. Malik M. Thaha Tuanaya, “Modernitas Pesantren Ditinjau dari Aspek Kurikulum: studi Kurikulum Berbasis Pertanian di Ponpes Darul Fallah Bogor,” dalam Modernisasi Pesantren, ed. A. Malik M. Thaha Tuanaya, dkk., 84-86. 23 Wawancara dengan Maman Suparman dan KH. Abdul Hanan Abbas di Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. 22
90 BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
B.
Kontekstualisasi Text dalam Proses Pembelajaran Salah satu tujuan didirikannya Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor adalah untuk memberdayakan sumber daya manusia (SDM) dengan memanfaatkan sumber daya alam (SDA) yang di miliki oleh Nusantara ini. Dengan misi memberdayakan masyarakat pedesaan dari awal berdirinya, oleh karena masyarakat Indonesia mayoritas adalah petani, maka dipilihlah corak Pesantren yang unggul dibidang pertanian. 24 Berdasarkan hasil penulisan A. Malik Thaha, Pesantren Darul Fallah tidak berprestasi mencetak kiyai, Pesantren hanya membekalinya dengan keilmuan agama yang pokok dan mendasar, dan berharap agar mereka bisa mengembangkannya sendiri dimasyarakat.25 Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang tidak mematikan potensi yang dimiliki oleh santri, Pesantren Darul Fallah telah berupaya untuk menghindari dikotomi antara guru dan murid yang sering disebut dengan konsep pendidikan gaya bank. Melalui metodologi pembelajaran dialogis, Pesantren Darul Fallah telah berupaya mewujudkan pembelajaran yang menganggap peserta didik sebagai subjek pembelajar. Beberapa metodologi pembelajaran kritis terkait yang dianggap meruntuhkan dikotomi antara guru murid, yang telah diterapkan di Darul Fallah berdasarkan teori pendidikan pendidikan kritis Paulo Freire, yaitu: Diskusi, menurut penuturan beberapa santri Darul Fallah, diskusi merupakan metode pembelajaran yang paling mereka sukai. Oleh karena mereka diberi kesempatan untuk mengemukakan ide-ide mereka dan kegiatan mencari refrensi untuk bahan diskusi ini membuat kami terpacu untuk berlomba-lomba mendapatkan materi yang terbaik. Salah satu contoh penerapan metode diskusi dalam proses pembelajaran di Pesantren Darul Fallah, yaitu misalnya ketika pelajaran fiqh. Para santri diwajibkan mencari beberapa refrensi dari berbagai sumber buku, kitab, jurnal, dan internet, tentang hukum memakai jilbab. Kemudian menyusunnya dalam sebuah paper. Setelah itu mereka akan mempresentasikan hasil temuan-temuan mereka dari berbagai sumber tersebut. Untuk kemudian mengkaji pendapatpendapat yang mereka temui, membahas tentang berbagai perbedaan pendapatnya. Sementara guru menjadi pembimbing ketika mereka diskusi. 26 Menurut Utomo Dananjaya “proses pembelajaran, dimana pelajar aktif berbicara atau menulis, secara interaktif mengomunikasikan buah pikiran kepada pelajaran lain. ia akan mengklarifikasi, mempertahankan, mengembangkan, dan menjelaskan pikirannya.” Model diskusi juga memiliki ragam yang bervarisi menurut Utomo, diantaranya seperti: morning talks, diskusi berpasangan, diskusi
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
24
Dokumentasi Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. A. Malik M. Thaha Tuanaya, “Modernitas Pesantren Ditinjau dari Aspek Kurikulum: studi Kurikulum Berbasis Pertanian di Ponpes Darul Fallah Bogor,” dalam Modernisasi Pesantren, ed. A. Malik M. Thaha Tuanaya, dkk., 111. 26 Wawancara FGD dengan santri kelas 1-2 Aliyah Pesantren Darul fallah. 25
BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
91
pemahaman teks, studi kasus, peta pikiran (mind map), peta gagasan (brainstorming), dan debat.27 Seperti yang telah dipaparkan diatas, para guru di Pesantren Darul Fallah menerapkan metode diskusi dalam berbagai model pula, salah satunya lewat materi yang tengah diajarkan dikelas. Ibnu khaldun memasukkan dua cara yang paling efektif untuk mencapai malakah dalam proses pendidikan, yaitu diskusi dan debat ilmiah, selain memang kedua metode itu paling digemari pada masanya. Menurut Ibnu Khaldun, pelajar yang ikut aktif dalam setiap kegiatan diskusi dan debat akan mencapai malakah28 yang sempurna, dikarenakan mereka akan berusaha mengungkapkan pikiran-pikiran mereka secara jelas pada forum ini. Malakah yang sempurna dalam proses pembelajaran, menurutnya yang dikutip dari Warul Walidin merupakan suatu tingkat pencapaian (achievement), yang meliputi keterampilan pada aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif.29 Suasana santri DaFa tengah Belajar di Perpustakaan DaFa
l a t
i g i
D / e
n i l
On a c a
Dialog (sharing). Metode pembelajaran ini juga banyak disukai oleh santri Pesantren Darul Fallah. Menurut pengakuan beberapa santri yang ditemui di asrama putri, mereka menyukai metode ini karena mereka bisa menyampaikan segala permasalahan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga, ketika usai menceritakan keluhan-keluhan yang mereka rasakan, mereka berharap sang guru atau teman-temannya, memberikan beberapa opsi untuk dipertimbangkan
B
27
Utomo Dananjaya, Media Pembelajaran Aktif, 41-98. Malakah secara bahasa berarti “menjadikan sesuatu untuk dimiliki atau dikuasai, suatu sifat yang mengakar pada jiwa,” sedangkan Ibnu Khaldun menafsirkan definisi malakah sebagai “sifat yang berurat berakar, sebagai hasil belajar atau mengerjakan sesuatu berulang kali, sehingga hasilnya dan bentuk pekerjaan itu dengan kokoh tertanam dalam jiwa”. Lihat Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun: Perspektif Pendidikan Modern, 90. 29 Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun: Perspektif Pendidikan Modern, 90-93. 28
92 BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
sebagai jalan keluar terhadap permasalahannya tanpa menginterpensi. 30 Metode dialog (sharing), sering digunakan oleh para guru dan santri Darul Fallah ketika mereka hampir sampai diujung jam kelas. Menurut pengakuan beberapa santri Darul Fallah, mereka sering dilontarkan oleh gurunya pertanyaan-pertanyaan seputar keseharian mereka di Pesantren. Ketika sampai pada kesempatan ini, para santri tidak menyia-nyiakannya, mereka akan berebut untuk mengutarakan apa yang tengah berkecamuk dalam pemikirannya. Menurut pengakuan salah seorang santri sebut saja namanya Nia, Ia menceritakan kegelisahan-kegelisahannya ketika berhadapan dengan dalil-dalil Quran yang menurutnya belum bisa dia pahami secara utuh. Sering ia disebut nyeleneh karena sering berdebat dengan temantemannya tentang berbagai permasalahan kontroversial. Kemudian Nia menceritakan pengalamannya ini kepada gurunya karena ia khawatir jika memang pemikiran-pemikirannya itu memang akan berdampak buruk baginya. Setelah ia menceritakan pengalamannya tersebut, sang guru dengan bijak memberikan berbagai solusi untuk ia renungkan, dengan tanpa menjustifikasi situasi yang sedang dia hadapi. 31 Mendengarkan keluhan-keluhan dan permasalahan yang para santri ceritakan membuat para pengajar menyadari bahwa, mereka memiliki ragam permasalahan masing-masing. Hal demikian sangat dirasakan dampak emosional yang semakin erat untuk memahami murid-murid di Pesantren, demikian pengakuan Sari Astuti selaku pembimbing asrama Aliyah Darul Fallah. 32 Pada dasarnya metode dialog hampir sama manfaatnya dengan metode diskusi, hanya saja dialog biasanya digunakan tidak hanya pada tema formal seperti diskusi tapi, juga bisa dengan tema non-formal atau secara pribadi. Menurut Mary Gallagher sebagaimana dipaparkan diatas, metode dialog atau sharing bisa menumbuhkan kepercayaan diri pada siswa, sehingga ia tidak takut untuk mengemukakan pendapat dan isi hatinya, dan membuat ia lebih terbuka.33 Rasa percaya diri itulah yang harus ditumbuhkan pada setiap peserta didik menurut Stephen Brookfield, karena dengan kepercayaan diri yang kuat, peserta didik akan mampu memecahkan berbagai masalah dengan menggunakan keterampilan berpikir yang matang. 34 Debat. Metode ini debat juga merupakan salah satu tehnik mengajar yang bisa membangkitkan interaktif siswa di kelas. Metode inipun telah diterapkan di
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
30
Wawancara dengan santri aliyah kelas 2 diasrama putri Pesantren Pertanian Darul Fallah
Bogor. 31
Wawancara dengan Nia (nama samaran), santri kelas 2 Aliyah Darul Fallah Bogor. Wawancara dengan Sari Astuti pembimbing asrama Aliyah Darul Fallah. 33 Mary Gallagher, “Teaching Methodology,” pada International Workshop on Teaching Methodology and Capacity Building for Teachers of Islamic Subject in High School in Six Provinces, di PPIM Jakarta. 9 desember 2012, pukul 08.00 – 16.00 wib. 34 Stephen Brookfield, “Developing Critical Thinkers,” 20-21 april 2012, 14. www.stephenbrookfield.com 32
BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
93
Pesantren Darul Fallah. Pengakuan dari beberapa santri yang ditemui penulis, mereka mengatakan bahwa, para pengajar di Darul Fallah sering menggunakan metode ini di dalam kelas. Seperti ketika mereka diberikan contoh kasus dalam pelajaran akidah akhlaq, sering guru mengaitkan tema pelajaran ke dalam kasus yang sedang hangat terjadi seperti tawuran. Sang guru akan menyulutkan pertanyaan seperti kenapa mereka tawuran? Mengapa yang banyak tawuran anakanak yang sekolah di luar Pesantren? Dan sebagainya. Ketika dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, para santri akan sangat antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengemukakan berbagai pendapat yang mereka ketahui. Tidak jarang setelah keluar kelaspun mereka masih melanjutkan debat tersebut karena tidak puas dengan jawaban-jawaban yang dilontarkan oleh teman-temanya yang lain.35 Selain dalam proses belajar-mengajar di kelas, debat juga merupakan agenda rutin mingguan pada program english debate yang telah dirancang oleh organisasi santri Darul Fallah (HISDAF). Hal itu dikatakan oleh beberapa santri yang ditemui di asrama putri Darul Fallah. Dari penuturan mereka dapat diketahui kalau mereka sangat menyukai program ini, ditambah lagi debat dilakukan menggunakan bahasa inggris. Selain mereka belajar melatih mental untuk tampil beradu argumen dimuka umum, juga melatih penguasaan bahasa inggris yang mereka kuasai. Biasanya para organisator kegiatan english debate ini, akan mengangkat tema-tema yang sedang hangat diberitakan atau permasalahan-permasalahan keseharian mereka yang berkaitan dengan fiqh. Ketika ditanya tentang bagaimana cara mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam debat? Mereka pun menjawab hampir serempak dengan mengemukakan pendapat berdasarkan dalil-dalil yang kami ketahui atau pendapat-pendapat para pakar di bidang tersebut.36 Kemampuan mereka dalam beradu argumen memang tidak bisa diragukan lagi, hal demikian terbukti dari banyaknya penghargaan pemenang pada lomba debat yang dilaksanakan oleh berbagai institusi di Bogor ataupun luar Bogor. Utomo Dananjaya memaparkan, di zaman yang serba kompetitif sekarang ini dalam dunia politik maupun kehidupan sehari-hari, sangat dibutuhkan sikap saling menghargai pendapat. Latihan memahami orang lain salah satunya adalah lewat perdebatan. Jika kita berharap bisa dipahami oleh orang lain secara objektif, maka dalam perdebatan kita harus bisa menyajikan argumen-argumen yang tidak terbantahkan.37
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
35 36
Wawancara dengan santri Aliyah kelas 1-2 Darul Fallah. Wawancara dengan santri tsanawiyah kelas 1-2 dan pengurus HISDAF Pesantren Darul
Fallah. 37
Utomo Danajaya, Media Pembelajaran Aktif, 85.
94 BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
Piala penghargaan berbagai lomba santri Darul Fallah
Kelompok belajar (kooperatif dan kolaboratif). Kelompok belajar ini juga telah diterapkan oleh pengajar Pesantren Darul Fallah. Hal ini berdasarkan ungkapan dari staf pengajar laboratorium Dafa. Sebut saja Ety, yang mengatakan bahwa ia sering membuat kelompok belajar ketika jam praktek di laboratorium pengkulturan jaringan. Salah satu alasannya karena siswa lebih cepat memahami ketika mereka diberikan tugas berkelompok, juga selain waktu yang dimiliki tidak banyak oleh karena harus bergantian dengan kelas lain. Ety sering memberikan mereka tugas kelompok untuk membahas berbagai tanaman yang bisa digunakan dengan media-media tertentu. Menyuruh mereka menganalisa alasan bisa atau tidaknya suatu media dilakukan atau ditanamkan dengan cara-cara atau media tertentu.38 Begitu juga menurut pengakuan salah seorang santri putra, ia mengatakan bahwa, para guru di Darul Fallah sering memberikan tugas kelompok untuk memecahkan berbagai teori atau rumus. Menurutnya, pernah suatu ketika dalam pelajaran matematika, mereka disuruh berpasangan untuk mempelajari dan mencari pemecahan rumus matematika. Dengan menggunakan cara seperti ini, mereka merasa belajar lebih mudah dan lebih mengerti karena mencari sendiri jawabannya secara bekerjasama dengan teman. 39 Utomo Dananjaya menjelaskan, salah satu manfaat dari metode pembelajaran ini adalah mengajarkan cara bekerjasama, oleh karena mereka belajar bersamasama, memecahkan masalah bersama-sama, dan merumuskan temuan secara bersama-sama.40 Dalam proses pembelajarannya, Pesantren ini telah berupaya untuk membuat santrinya memiliki prestasi baik di bidang agama, bahasa, pelajaran, kewirausahaan, maupun pertanian. Sebagai refleksi dari pembelajaran di kelas
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
38
Wawancara dengan Ety dilaboratorium Dafa Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Wawancara dengan Dani (nama samaran) santri putra kelas 2 Aliyah Darul fallah. 40 Utomo Danajaya, Media Pembelajaran Aktif, 139. 39
BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
95
adalah santri mampu membuat produk makanan yang diproduksi sendiri oleh Pesantren. Salah satu produk yang bisa dibuat oleh santri dari usaha peternakan adalah susu pasturisasi (kambing dan sapi) dan yoghurt dari susu sapi.41 Selain itu berdasarkan penulisan A. Malik Thaha, santri dilatih untuk merencanakan kegiatan proyek, mencari data iklim, analisa usaha tani, juga ikut dalam usaha koperasi Pesantren, sebagai upaya untuk menumbuhkan kemampuan kewirausahaan dikalangan santri.42 Usaha melatih dan menanamkan berbagai kemampuan yang dirancang oleh Pesantren Pertanian Darul fallah dalam bentuk kurikulum seperti berwirausaha, pertanian, peternakan, perbengkelan dan juga dibidang dakwah, merupakan salah satu upaya pembelajaran aktif. Dengan langsung mengajarkan mereka proses kegiatan tersebut, membuat mereka berpengalaman mengatasi masalah-masalah yang dihadapi pada setiap proyek yang dijalankan, akan mampu menciptakan daya kreatif yang tinggi di kalangan siswa, juga memiliki kemampuan diberbagai bidang secara komprehensif. Hal demikian sejalan dengan model pembelajaran kontekstual, dimana siswa belajar langsung menerapkan materi yang telah dipelajari sebagai bentuk pengalamannya dalam proses pembelajaran. Pengalaman demikianlah yang menurut Johnson membuat siswa menjadi seseorang yang handal ketika ia bekerja nanti, yang mampu menampilkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif, berkolaborasi, dan mau menerima saran dan kritikan. Dengan penerapan langsung dilapangan, mereka akan mudah menyerap materi yang diajarkan karena pelajaran tidak terpisah dengan dunia nyatanya (praktek).43
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
41 Dokumentasi Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Dapat dilihat juga di www.darulfallah.org 42 A. Malik M. Thaha Tuanaya, “Modernitas Pesantren Ditinjau dari Aspek Kurikulum: studi Kurikulum Berbasis Pertanian di Ponpes Darul Fallah Bogor,” dalam Modernisasi Pesantren, ed. A. Malik M. Thaha Tuanaya, dkk., 97-98. 43 Elaine B. Johnson, Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna, 126.
96 BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
Santri DaFa tengah Praktik Lab44
Berbagai fasilitas dan unit usaha yang dimiliki oleh Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor digunakan sebagai sarana praktikum santri. Beberapa program tersebut dapat menunjang santri untuk berkreasi dengan maksimal. Program tersebut adalah Santri Karya, hampir sejalan dengan apa yang telah dipaparkan diatas, bahwa kegiatan santri karya ini bertujuan menumbuhkan jiwa wirausaha kepada santri untuk mencapai kemandirian. Pada program ini memiliki beberapa unit yang meliputi45; PT. DaFa Teknoagro Mandiri, sebagai produsen bibit unggul terdepan, yang telah memproduksi berbagai bibit tanaman holtikultura, kehutanan dan perkebunan. Unit usaha peternakan, aset usaha peternakan antara lain kandang (sapi perah, sapi penggemukan, domba, dan kambing perah), unit pengolahan hasil susu, pembuatan pupuk bokasi dan instalasi biogas serta kolam ikan. Koperasi Pesantren, digunakan untuk sarana pembelajaran simpan pinjam syariah, warung serba ada koperasi, dan lembaga pemberdayaan usaha kecil menengah dibawah kementerian koperasi. Unit usaha pengolahan hasil pertanian, sebagaimana yang dipaparkan diatas. Pertukangan dan perbengkelan Unit usaha pusat pelatihan, pendidikan dan pelatihan dilaksanakan atas kerjasama antara yayasan Pesantren Pertanian Darul Fallah, Pesantren lain, Instansi pemerintah, BUMN, dan perguruan tinggi serta organisasi sosial lainnya.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
44
Dokumentasi Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Dokumentasi Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor
45
BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
97
Ladang pertanian DAFA46
Lab DaFa
Dengan fasilitas-fasilitas yang telah dimiliki oleh Pesantren, maka Pesantren ini diharapakan mampu menghasilkan lulusan yang bener-bener terampil dibidang pertanian, wirausaha dan tentunya agama. Berdasarkan penjelasn di atas, dengan berbagai metode yang dapat merangsang daya kritis santri Darul Fallah tersebut telah digunakan. Maka, Pesantren ini telah menerapkan metode pembelajaran dialogis yang oleh Freire dianggap sebagai jawaban dari metode pendidikan gaya bank. Dengan menganggap peserta didik sebagai subjek pendidikan dan menganggap guru sebagai subjek yang juga belajar bersama muridnya, hal ini meruntuhkan dikotomi antara guru-murid. 47
l a t
i g i
D / e
Proses Pembuatan Yoghurt DaFa
n i lProduk Susu Yoghurt DaFa
On
a c a
B
C.
Budaya Berpikir Kritis Santri dalam Proses Pendidikan Berbagai metode pembelajaran yang bisa menghubungkan siswa dengan dunia nyata dimana ia tinggal, yang telah teridentifikasi digunakan di Darul fallah adalah Pemecahan masalah (problem solving). Pada abad 21 ini, seiring dengan
46 47
Dokumentasi Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, 53-59.
98 BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
bergesernya paradigma pengajaran ke-paradigma pembelajaran,48 memunculkan tujuan baru pendidikan sebagaimana yang dilontarkan oleh Colin Rose dan Malcol J. Nicholl yang dikutip dari H.M. Taufik, yaitu “belajar bagaimana belajar” (learn how to learn) dan “belajar bagaimana berpikir” (learn how to think).49 Menurut Paulo Freire, metode belajar hadap masalah (problem posing), lebih dibutuhkan ketimbang tujuan pendidikan sebagai usaha tabungan (konsep gaya bank). Dengan mengajarkan peserta didik bagaimana caranya menghadapi masalah-masalah manusia oleh hubungannya dengan dunia, akan menciptakan hakikat kesadaran. Pada kasus Darul Fallah upaya untuk mengaitkan siswa melihat realitas dunianya yaitu, dengan menyajikan tema-tema yang sedang menjadi trending topik dikalangan masyarakat ke dalam konteks pelajaran. Metode problem solving di Pesanten Darul Fallah terlihat pada beberapa mata pelajaran. Seperti pada pelajaran aqidah akhlak, ketika terjadi kasus korupsi sang guru akan mengaitkan kasus dengan dalil-dalil yang terdapat pada Al-Quran dan Hadist. Kemudian para santri diberikan tugas untuk mencari penyebab terjadinya korupsi, faktor-faktor yang mengakibatkan korupsi, hukum bagi koruptor, dan bagaimana solusinya agar para koruptor tidak lagi korupsi. Untuk kemudian dikaitkan dengan materi pelajaran tersebut dan memberikan kepada mereka contoh secara nyata berdasarkan temuan mereka. Sementara guru akan menjadi partner mereka dalam memecahkan masalah dan mencari solusinya.50 Dengan demikian, guru dan murid bertindak sebagai rekan, saling memberikan informasi yang didapat, dan memecahkan masalah bersama-sama. Dalam proses inilah terjadi dialog antara guru dan murid. Oleh karena metode yang digunakan adalah dengan dialog atau sharing, membuat peserta didik secara aktif mengutarakan pemikiran-pemikirannya, yang akan menumbuhkan daya kritis dan kreatif. Hal demikian tidak akan terjadi pada konsep gaya bank, karena hanya akan mendapatkan peserta didik yang pasif, dan berdampak pada matinya daya kritis dan kreatif siswa.51 Model pembelajaran yang mengajarkan siswa untuk melihat realitas dunia, seperti pembelajaran kontekstual dan hadap masalah menurut Johnson, akan mampu mengaitkan pengalaman yang bermakna dengan sel otak. Yang sudah ada akan menciptakan hubungan saraf baru, sehingga mampu mencapai tingkat intelektual yang tinggi. Dengan mengajarkan mereka untuk menerapkan materi akademik kedalam kehidupan nyata, maka akan berpeluang tinggi menciptakan kebiasaan berpikir dengan baik dan kreatif.52
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
48
Utomo Dananjaya, Media Pembelajaran Aktif, 29. H.M. Taufik, Kreatifitas Jalan Baru Pendidikan Islam, 130. 50 Wawancara dengan santri Aliyah kelas 1-2 Darul Fallah. 51 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, 63-66. 52 Elaine B. Johnson, Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna, 181. 49
BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
99
Tabel 4.1. Pergeseran paradigma dari pengajaran bergeser menjadi pembelajaran53 No.
Pengajaran
Pembelajaran
1.
Berpusat pada guru
Berpusat pada pembelajar/ siswa
2.
Guru dominan dalam aktor kelas.
Guru sebagai fasilitator (penulis skenario).
3.
Suasana “tertib”, tenang, kaku, dan membosankan.
Suasana “hidup”, menyenangkan, dan interaktif.
4.
Siswa terlibat dalam kompetisi dengan siswa lain, dengan motivasi mengalahkan teman.
Siswa didorong bekerjasama mencapai tujuan, tolong menolong dalam memecahkan masalah dan bertukar pikiran.
5.
Siswa adalah tempat guru mencurahkan pengetahuan (banking system). Prestasinya adalah sejumlah hapalan/ reproduksi pengetahuan.
Siswa adalah pelaku proses pengalaman mengambil keputusan, memecahkan masalah, menganalisis dan mengevaluasi. Kegiatan intelektual memproduksi pengetahuan.
6.
Evaluasi guru bersifat menyeleksi dan meranking kuantitas hapalan.
Evaluasi oleh siswa bersifat refleksi dan berperan memperbaiki proses untuk meningkatkan prestasi.
7.
Sumber belajar buku teks dan guru.
8.
Tempat belajar sebatas ruangan kelas.
l a t
i g i belajar adalah pengalaman Sumber D eksplorasi mandiri dan pengalaman e/
l n O
keberhasilan temannya memecahkan n i masalah. Tempat belajar tidak terbatas ruang kelas tetapi seluas jagat raya.
a c Selanjutnya pembelajaran kontekstual (contextual learning). Telah a B dipaparkan diatas, contoh pembelajaran kontekstual yang telah diterapkan oleh para pengajar Pesantren Pertanian Darul Fallah. Para santri di Darul Fallah beruntung memiliki kurikulum yang telah terintegrasi, sehingga memiliki ruang yang luas dalam mempelajari materi yang beragam jenis keilmuannya. Salah satunya kegiatan pertanian yang mereka jalankan. Oleh karena Pesantren darul fallah juga memiliki Hutan Rakyat, yang digunakan untuk mendukung program lain seperti wisata rohani, outbond, percontohan, dan pendidikan kehutanan. Pada areal ini juga menjadi area praktikum para santri, yang dikombinasikan dengan penanaman jati untuk investasi jangka panjang. 54 Biasanya pada kegiatan praktikum seperti ini, santri diberikan teori langsung dilapangan dengan memberikan contoh langsung pada objek penulisan 53
H.M. Taufik, Kreatifitas Jalan Baru Pendidikan Islam, 29-30. Dokumentasi Pesantren Pertanian Darul fallah Bogor. Dapat diakses pula pada www.darulfallah.org 54
100 BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
atau praktikum. Kemudian mengaitkan hubungan praktikum mereka dengan konteks kehidupan nyata. Disitu guru akan mengajarkan santri mengaitkan hubungan alam dengan keseimbangan dunia, seperti memberi contoh ketika penebangan hutan secara liar apa dampak yang akan terjadi pada daerah tersebut dan manusia disekitarnya. Memberikan kesempatan pada siswa menemukan makna dalam mengontekstualkan objek penulisannya dengan kehidupan nyatanya.55 Suherli Kusmana menjelaskan salah satu keunggulan dari pembelajaran kontekstual adalah “memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap siswa, melalui penghubungan makna atau maksud dari ilmu pengetahuan yang dipelajari siswa dengan pengalaman langsung kedalam kehidupan yang nyata”.56 Untuk lebih jelas melihat hubungan antara metode dan tehnik pembelajaran kontekstual, berikut tabelnya: Tabel 4.2. Tabel hubungan prinsip, metode, dan teknik pembelajaran kontekstual57 No. 1.
Prinsip-prinsip CTL Keterkaitan, relevansi (relating).
Metode Pembelajaran Ceramah, observasi, diskusi.
t manfaat materi pelajaran: i g - Mengamati jaringan topik
i D /
2.
Pengalaman langsung (experiencing).
3.
Aplikasi (applying).
4.
Kerjasama (cooperating).
5.
Alih pengetahuan (transferring).
e n i
Inquiri, ekspositori, konstruktivisme, induktif, experimen.
l n O
a Observasi, karyawisata, c a eksperimen.
B
Teknik Pembelajaran l aPemberitahuan tujuan dan
Eksperimen, diskusi, bermain peran, simulasi, problem solving.
Inquiri, proyek, problem solving.
materi pembelajaran. - Tanya jawab. Mengamati, mengelompokkan, membandingkan, menyimpulkan. Mengamati, mencoba, magang. Eksperimen, diskusi, bermain peran, simulasi, problem solving, tanya jawab, komunikasi interaktif, menyusun laporan. Mengamati, mencoba, menggolongkan, menerapkan, menyimpulkan, mengkomunikasikan.
55
Wawancara dengan Latif staf pengajar di Pesantren Darul fallah Bogor. Suherli Kusmana, Model Pembelajaran Aktif (Jakarta: PT. Penerbit Sketsa Aksara Lalitya, 2010), 73. 57 Ilustrasi tabel Suherli Kusmana, Model Pembelajaran Aktif, 83. 56
BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
101
Harun Yahya mengatakan bahwa: “tidak ada suatu apapun yang terjadi didunia ini dengan secara kebetulan, semuanya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa, Allah swt.”58 Pembelajaran kontekstual menurut Johnson “mengajarkan siswa mampu menghubungkan isi dari subjek-subjek akademik dengan konteks kehidupan keseharian mereka untuk menemukan makna”. Lebih lanjut Johnson mencantumkan delapan komponen sistem CTL (contextual teaching & learning), yaitu; membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, menggunakan penilaian autentik. Pembelajaran kontekstual berusaha untuk membantu siswa mengaitkan makna dengan konteks akademik yang mereka pelajari.59
l a Proses aklimasi tanaman di lab. Kultur jaringantDafa oleh Santri i g i D / e n i l n O a c Ba
Pembelajaran mandiri. Salah satu tujuan pendidikan Pesantren Pertanian Darul Fallah adalah mendidik santri untuk mandiri. Dengan arti luas, mandiri dalam segala hal. Bisa mengatur kehidupannya sendiri, memecahkan persoalannya sendiri, bahkan mungkin menjadi salah satu pioner ditempat ia berasal nanti dengan kemampuan yang ia miliki dan hasil yang ia peroleh dari Pesantren. 60 Pada kasus santri Darul fallah, pembelajaran ini terlihat pada perilaku keseharian mereka.
58
Harun Yahya, “Mengenal Tuhan Lewat Akal,” www.harunyahya.com Elaine B. Johnson, Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna, 64-65. 60 Dokumentasi Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, juga bisa dilihat pada www.darulfallah.org. 59
102 BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
Bagaimana cara mereka menghadapi masalah-masalah yang mereka hadapi di Pesantren. Beberapa santri mengaku ada yang bermasalah dengan teman. Ketika ditanyakan apa permasalahannya dan bagaimana cara menyelesaikannya. Mereka berujar, kami akan mendiskusikaannya dengan teman yang lain dan meminta pendapatnya bagaimana sebaiknya dia lakukan. Kemudian mencari solusi terbaik terhadap permasalahan yang tengah dihadapinya. Atau tidak jarang ada yang meminta pendapat kepada guru yang mengajar mereka. Dalam proses ini, siswa dituntut untuk bisa menyelesaikan permasalahan pribadinya dengan mencari solusi pemecahan terbaik. Tidak jarang juga ketika diharapkan kepada permasalahan sulit memahami pelajaran, santri di Pesantren ini akan mencari cara untuk bisa memahaminya sendiri dengan menanyakannya kepada teman yang dianggap lebih menguasai pelajaran tersebut. Kegiatan ini biasa disebut dengan tutor sebaya. 61 Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Elaine Johnson bahwa, pembelajaran mandiri sangatlah dibutuhkan, yang mana pembelajaran ini lebih mementingkan suatu proses daripada hasilnya. Suatu konsep pembelajaran yang sangat bertentangan dengan zaman saat ini. Yang ingin serba cepat dan pada akhirnya hanya akan melahirkan manusia-manusia robot, yang diciptakan oleh pabrik-pabrik sekolah yang tidak mengenal makna atau kesadaran. Menurut Johnson, pembelajaran mandiri adalah “suatu proses belajar yang mengajak siswa melakukan tindakan mandiri, yang melibatkan terkadang satu orang atau biasanya satu kelompok. Tindakan mandiri ini dirancang untuk menghubungkan pengetahuan akademik dengan kehidupan siswa sehari-hari secara sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang bermakna. Tujuan ini mungkin menghasilkan hasil yang nyata maupun yang tidak nyata”.62 Kegiatan dan pelajaran di Pesantren Darul Fallah hampir selalu yang berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari santri. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bagaimana materi pelajaran pertanian, wirausaha diterapkan langsung di lapangan, dan menjadi kegiatan rutin mereka yang telah terjadwal. Dengan perbandingan waktu pelajaran 48 jam/ hari, diharapkan segala aktifitas tersebut mampu membentuk karakter santri sesuai dengan tujuan Pesantren.63 Sudah menjadi pengetahuan bersama jika Pesantren manapun di seluruh Indonesia menerapkan pembelajaran mandiri. Dengan kata lain belajar hidup sendiri dengan latar belakang teman yang berbeda-beda, belajar bersosialisasi dan menjalin komunikasi diantara mereka tanpa campur tangan orang tua. Tidak jarang adanya permasalahan-permasalahan yang mereka alami selama belajar, seperti kesalah-
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
61
Wawancara dengan santri Darul Fallah kelas 1-2 tsanawiyah dan kelas 1-2 aliyah. Elaine B. Johnson, Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna, 150-153. 63 Dokumentasi Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. 62
BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
103
pahaman antar teman dan sebagainya.64 Disinilah peran keterampilan berpikir mereka dibutuhkan untuk segera menyelesaikan masalah. Ketika mereka dihadapkan dengan isu antar teman yang menimbulkan terjadinya kesalah-pahaman sehingga mungkin tercipta hubungan yang tidak harmonis, maka disaat demikian mereka dituntut untuk menyelesaikan masalahnya dengan bijak, yang tentunya melibatkan keterampilan berpikir yang baik. Hal demikian sejalan seperti yang diungkapkan oleh Johnson, bahwa ketika seseorang mendengar isu atau berita yang belum jelas kebenarannya, pada saat itu dia dituntut untuk menerapkan keterampilan berpikir kritis, agar tidak terjebak pada informasi dan kebenaran yang salah.65 Pengalaman (experiencing). Metode experiencing juga telah diterapkan oleh para pengajar di Pesantren ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ismail Shaleh, bahwa setiap pagi sebelum pelajaran dikelas dimulai, selama satu jam para santri putra dan putri dari kelas 1 sampai kelas XII diwajibkan untuk mengikuti praktek lapangan pada ladang pertanian yang mereka miliki (lahan pertanian Pesantren). 66 Experiencing sebagaimana yang telah sering dipaparkan diatas termasuk kedalam metode pembelajaran kontekstual. Belajar dianggap sebagai kegiatan “mengalami”, dengan mempraktekkan apa yang telah diajarkan didalam kelas lewat teori, akan membuat peserta didik mampu menemukan hal-hal baru dan eksploratif, sehingga akan membangkitkan daya cipta dan ide-ide yang bahkan tidak mereka pikirkan sebelumnya.67 Termasuk kedalam metode ini adalah program Magang. Menurut Johnson “program magang memberikan pelatihan keterampilan kerja dengan cara menggabungkan pembelajaran dikelas dengan pelatihan ditempat kerja atau praktek”. Jika kebanyakan sekolah terpadu atau kejuruan menempatkan siswanya pada perusahaan, lain halnya dengan Pesantren Pertanian Darul Fallah ini.68 Para juri atau guru yang telah dibentuk dalam sebuah tim yang bertanggung jawab dalam kegiatan ini, memilih usaha-usaha rumahan sebagai tempat pelatihan magang. Kemudian mengadakan kerjasama dengan pihak pengusaha/ peternak/ petani tersebut, untuk bersedia mengajarkan dan membimbing santri ini selama satu bulan dan tinggal dirumahnya. Diantara usaha yang sudah sering dipilih oleh santri Darul Fallah yaitu, peternakan sapi, ayam, perikanan, budi daya tanaman, koperasi dan lain sebagainya.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
64
Wawancara dengan santri aliyah Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Elaine B. Johnson, Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna, 183. 66 Wawancara dengan Ismail Shaleh dikantor Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Bisa diakses juga di www.darulfallah.org 67 Agus Suprijono, Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM, 84. 68 Elaine B. Johnson, Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna, 125. 65
104 BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
Program ini diadakan setiap tahun pada santri kelas 2 aliyah. Santri diwajibkan untuk menyusun proposal magang, memilih salah satu usaha dari beberapa opsi yang telah ditentukan. Kemudian merancang strategi yang akan digunakan, alasan memilih usaha tersebut, memprediksi laba dan memperhitungkan kemungkinan rugi, mengamati sang pemilik usaha dalam menjalankan usahanya, sebagaimana layaknya proposal proyek, selama satu bulan penuh, dan atas seizin orang tua santri. Setelah program magang selesai selama sebulan penuh, maka akan diadakan ujian oleh tim penguji termasuk dihadirkan pengusaha asli tempat ia belajar selama ini. Jika pekerjaannya selama magang dianggap berhasil dan memenuhi semua yang telah disusun pada proposal perancanaan magang, maka ia akan lulus sebagai santri yang memiliki keahlian dibidang usaha tersebut. Dan jika ia dianggap gagal, maka ia diwajibkan untuk mengulang pada semester berikutnya pada program magang sampai dianggap berhasil.69 Pada kegiatan pertanian, santri dikelompokkan berdasarkan minat dan kemampuan yang mereka miliki dalam kegiatan pertanian secara menyeluruh. Hal tersebut bertujuan untuk menanamkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola proyek pertanian dalam skala kecil. Pada kegiatan ini, mereka dituntut untuk membuat perencanaan, budidaya, pemanenan, dan pemasaran dalam bidang holtikultura, palawija, peternakan, perikanan, perkebunan, dan kehutanan serta pengolahan hasil pertanian. Pada program ini santri dituntut untuk mampu memperkirakan biaya, waktu, luas areal, sarana, dan prasarana yang dibutuhkan, teknik budidaya yang akan diterapkan, pengolahan pasca panen, perkiraan hasil, dan harga jual serta tingkat keuntungannya.70 Beberapa contoh model dan metode pembelajaran yang telah dipaparkan diatas mengidentifikasikan bahwa, Darul Fallah telah berupaya menerapkan metode pembelajaran terintegrasi yang mengasah kemampuan beripikir kritis dan kreatifitas santri selama proses pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, bisa menghasilkan lulusan yang mandiri, memiliki berbagai potensi termasuk keterampilan berpikir kritis dan kreatif, juga keterampilan dibidang pertanian dan wirausaha, dan tentunya ahli dibidang agama. Prinsip-prinsip yang diterapkan pada kegiatan tersebut telah membuat para santri terbiasa menggunakan kemampuan berpikir analisis di kehidupan sehariharinya. Menurut pengakuan santri yang ditemui disana, seringkali mereka berdebat bahkan diluar kegiatan tersebut karena telah terbiasa untuk beradu argumen.71 Kegiatan lain yang mendorong siswa untuk terus menerapkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif mereka yaitu, adanya tugas untuk membuat makalah dan
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
69
Wawancara dengan Ismail Shaleh dan dokumentasi Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Bisa dilihat juga pada www.darulfallah.org 70 Dokumentasi Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. 71 Wawancara dengan santri tsanawiyah Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
105
presentasi yang mengharuskan mereka mencari berbagai refrensi arab maupun umum. Tugas ini selalu diberikan setiap bulan sekali untuk melatih kemampuan pembuatan karya ilmiah mereka.72 Keterampilan Berpikir kritis dan kreatif bisa diterapkan dan dilatih melalui pembelajaran apa saja, tidak hanya terdapat pada mata kuliah filsafat dan retorika. Sebagaimana yang dikatakan Johnson bahwa, berpikir kritis bukanlah sesuatu yang sulit dan esoteris yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang dengan IQ yang tinggi, melainkan berpikir kritis merupakan sesuatu yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Dengan mengutip Ruggiero dia menyatakan; “saat anak-anak menanyakan pertanyaan penting “mengapa”? yang mengisyaratkan keengganan mereka untuk menerima penjelasan sederhana, mereka adalah pemikir kritis. saat siswa menolak kebijakan sekolah, mempertanyakan asal mula kebijaksanaan tersebut dan memberi alasan mengapa kebijakan tersebut harus dibatalkan, mereka adalah pemikir kritis. Berpikir kritis membantu kita memahami bagaimana kita memandang diri sendiri, bagaimana kita memandang dunia, dan bagaimana kita berhubungan dengan orang lain. berpikir kritis merupakan sebuah keterampilan hidup dan bukan hobi dibidang akademik.”73
l a t
i g i
Dengan melihat uraian hasil penulisan ini, Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor telah menerapkan Pembelajaran Kritis dalam proses pembelajarannya. Adapun model pembelajaran kritis yang diterapkan di Pesantren ini hampir sama dengan konsep pendidikan kritis Freire dan Habermessian yang telah dijabarkan pada awal bab ini, yaitu model pendidikan kritis dialogis-transformatif.
D / e
n i l
On
a c a
B
72
Wawancara dengan Taufik di Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor. Elaine B. Johnson, Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan BelajarMengajar Mengasyikkan dan Bermakna, 188-189. 73
106 BAB IV Pembelajaran Kritis Di Pesantren Darul Fallah Bogor
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, peneliti menarik kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah bahwa, semakin tinggi kesadaran berpikir kritis dikalangan pelajar maka, semakin berpotensi untuk melahirkan output yang memiliki daya kreativitas dan produktivitas. Dapat dilihat dari penjabaran dalam buku ini jika, penerapan pembelajaran kritis telah dilakukan oleh Pesantren Pertanian Darul Fallah. Meskipun belum dapat dikategorikan sempurna, tetapi upaya yang telah dilakukan oleh Pesantren ini untuk menghasilkan output yang siap berproduksi setelah lulus sangat baik. Hal demikian, dapat dilihat dari pembenahan sistem pendidikannya dengan menerapkan kurikulum integratif dari kemendiknas, kemenag dan kurikulum Pesantren sendiri. Dapat dilihat jika, Pesantren Darul fallah ini memiliki strategi pendidikan yang berbeda dari kebanyakan Pesantren yang ada di Indonesia saat ini. Dengan melebur ketiga kurikulum tersebut, Pesantren Darul Fallah mencoba untuk mencari alternatif sendiri model pembelajaran dan sistem pendidikan yang terbaik bagi output Pesantren ini. Begitu juga dengan respon terhadap berbagai tantangan yang diapresiasi secara positif oleh para pimpinan Pesantren, dengan menseleksi tenaga pengajar yang kompeten dan menguasai keilmuan dibidangnya serta memahami metodologi pembelajaran dengan baik. Sesuai dengan prinsip the founding father Pesantren sendiri yaitu “At-thoriqotu ahammu minal maddah”. Disadari atau tidak, Pesantren ini memiliki model pembelajaran kritis yang mirip dengan konsep pendidikan kritis Freire dan Habermessian dialogistransformatif. Oleh karena itu, kreatifitas yang dihasilkan oleh santri di Pesantren tersebut akibat dari pembudayaan berpikir kritis mereka sebagai dampak dari penggunaan model pembelajaran aktif yang merangsang daya kritis dan kreatif santri. Merujuk pada data dan analisa yang telah dipaparkan pada empat bab terdahulu, dapat disimpulkan bahwa: Pesantren Pertanian Darul fallah Bogor telah menerapkan pembelajaran kritis, lewat model pembelajaran kritis dialogis-transformatif. Metode pembelajarannya dikembangkan dalam tiga tahap, yaitu: pertama, Kesadaran kritis. Dengan membangkitkan kesadaran bahwa mereka aktor dalam kehidupan mereka melalui metode pembelajaran, kajian-kajian kritis kitab klasik (bahsul masaail). Tanya jawab, dengan mengkontekstualkan realitas sosial dengan teks yang dikaji. Demokratis, kebebasan dalam mengemukakan pendapat atau kondisi yang tidak
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
107
balance. Kedua, Dialogis. Dengan menerapkan metode pembelajaran yang tidak mendikotomikan antara guru-murid. Metode yang digunakan yaitu, diskusi, dialog, debat, dan kelompok belajar (kooperatif dan kolaboratif). Ketiga, problem posing. Yaitu, dengan menggunakan metode pembelajaran problem solving, pembelajaran kontekstual, pembelajaran eksperimental, dan pembelajaran mandiri. Staf pengajar Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor telah berhasil mengintegrasikan pendidikan intelektual (teori) dan mempraktekkannya lewat program kewirausahaan dan pertanian. Kurikulum terpadu dengan metodologi pembelajaran partispatif (andragogi), bisa menjadi alternatif sistem Pesantren di Indonesia. B.
Saran Dari kesimpulan yang di dapat setelah melakukan penelitian di Pesantren Pertanian Darul Fallah ini, dapat diajukan beberapa saran: Hendaknya pihak Pesantren lebih menekankan dan memperdalam materi kitab Islam klasik dan kontemporer, agar keilmuan yang tafaquh fi al-din tidak terpinggirkan, yang dihawatirkan lama-kelamaan akan semakin berkurang. Perlu meningkatkan lagi pengayaan terhadap materi-materi dan penguasaan metode pembelajaran yang lebih maju, terutama yang berkaitan dengan kritikalitas dan kreativitas. Perlunya menjalin komunikasi yang lebih baik lagi dengan Pesantrenpesantren luar, atau masyarakat sekitar agar Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, dapat merangkul masyarakat lebih luas lagi. Serta melakukan promosi yang lebih baik lagi sehingga, dapat menyerap santri baru lebih banyak lagi. Disamping itu sebagai upaya untuk memberikan alternatif lain model pembelajaran yang menjanjikan ditengah carut-marut sistem pendidikan tanah air saat ini. Dengan menjadi the leading role of Pesantren maka, dapat diharapkan jika model pesantren seperti ini akan lebih banyak lagi di Indonesia.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
108 BAB V Penutup
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU Al-Quran. Abdullah, Irwan. “Peran dan Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan Islam.” Dalam Agama, Pendidikan Islam dan Tanggung Jawab Sosial Pesantren. Ed. Irwan Abdullah. Dkk. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM. 2008. Alwasilah, Chaedar. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja RosdaKarya, 2008. Amri, Sofan dan Iif Khoiru Ahmadi. Konstruksi Pengembangan Pembelajaran: Pengaruhnya Terhadap Mekanisme dan Praktik Kurikulum. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2010. Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektualisme Muslim dan Pendidikan Islam. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu. 1999.
l a t
i g i
-------- “Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains: Sebuah Pengantar.” Dalam Charles Michael Stanton. Pendidikan Tinggi dalam Islam: Sejarah dan Peranannya dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Logos. 1994.
D / e
n i l
-------- “Wajah Baru Pendidikan Islam: Pengarusutamaan.” Prolog dalam Asrori S. Karni. Etos Studi Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam.
On
-------- Esei-esei Intelektualisme Muslim dan Pendidikan Islam. Ciputat: Logos. 1999.
a c a
-------- Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana. UIN Jakarta Press. 2012.
B
Basleman, Anisah. Syamsu Mappa. Teori Belajar Orang Dewasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011. Barton, Greg. Abdurrahman Wahid: Muslim Democrat, Indonesian President. Sydney: A UNSW Press Book. 2002. Basri, TB. Hasan. “Kehadiran dan Kepribadian Pondok Pesantren.” Ed. Taufiq Ismail. Dkk. Membangun Kemandirian Umat di Pesantren: Ikhtiar dan Peran Pesantren Pertanian Darul Fallah 1960-2000. Bogor: Pesantren Pertanian Darul Fallah. 2000. Basyuni, M. Muhammad. Revitalisasi Spirit Pesantren: Gagasan, Kiprah, dan Refleksi. Jakarta: Depag RI, 2006. Bogdan, Robert C. dan Sari Knopp Biklen. Qualitative Research fir Education: An Introduction to Theories and Methods. cet ke-5. Boston: Pearson Education, Inc., 2007.
109
Brookfield, Stephen D. The Power of Critical Theory for Adult Learning and Teaching. New York: Open University Press. 2005. Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan 1995. Chirzin, M. Habib. “Pesantren Selalu Tumbuh dan Berkembang” dalam Praksis Pembelajaran Pesantren. ed. M. Dian Nafi’. Jakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2007. Cottrell, Stella. Critical Thinking: Developing Effective Analysis and Argument. New York: Palgrave Macmillan, 2005. Dananjaya, Utomo. Media Pembelajaran Aktif. Bandung: Penerbit Nuansa. 2010. Daulay, Putra Haidar. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006. Degeng, I Nyoman Sudana. Buku Pegangan Teknologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud RI, Dirjen Dikti, 1993. Dhofier, Zamakhsari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai cet. VI. Jakarta: LP3ES, 1994.
l a t
i g i
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006.
D / e
Duncan, Jeffrey Michael Reyes. Ernest Morrell. The Art of Critical Pedagogy: Possibilities for Moving from Theory to Practice in Urban Schools. New York: Peter Lang Publishing. 2008.
n i Faisal, Sanapiah. Metodologi Penelitian l Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, n 1982. O Fakih, Mansour. “Ideologi dalam Pendidikan” dalam sebuah pengantar buku a William F. O’neil. cIdeologi-ideologi Pendidikan. Terj. Omi Intan Naomi. a Judul asli Educational Ideologies: Contemporary Expressions of B Educational Philosophies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet- ke 2. 2008.
Fisher, Alec. Critical Thinking: An Introduction. Terj. Benyamin Hadinata, judul asli Berpikir Kritis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008. Fisher, Alec. Critical Thinking: An Introduction. Terj. Benyamin Hadinata. Judul asli Berpikir Kritis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2008. Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Tim Redaksi Asosiasi Pemandu Latihan: Utomo Dananjaya, dkk., judul asli “Pedagogy of the Oppressed”. Jakarta: PT. Temprint, 1985. Gadotti, Moacir. Reading Paulo Freire: His Life and Work Teacher Empowerment and School Reform. New York: State University Press. 1994. Giroux, Henry A. “Critical Theory and Educational Practice”. The Critical Pedagogy Reader. Ed. Antonia Darder. Dkk. New York dan London: RoutledgeFalmer. 2003.
110 Daftar Pustaka
-------- “Radical Pedagogy as Cultural Politics Beyond the Discourse of Critique and anti-utopianism”. Dalam Peter McLaren. Critical Pedagogy and Predatory Culture: Oppositional Politics in Postmodern Era. London & New York: Routledge. 1995. -------- Pedagogy and the Politics of Hope: Theory, Culture, and Schooling: A Critical Reader. U.S.A.: Westview Press. 1997. Guess, Raymond. The Idea of Critical Theory: Habermas and the Frankfurt School. New York: Cambridge University Press. 1981. Haedari, Amin. Transformasi Pesantren: Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan, dan Sosial. cet. ke-2. Jakarta: LekDis, Media Nusantra, 2007. Hergenhann, B. R. Matthew H. Olson. Theories of Learning: Edisi ketujuh. Terj. Tri Wibowo B. S. Jakarta: Kencana. Cet. Ke 3. 2010. Iskandar, Sholeh. “Peranan Santri Pondok Pesantren Darul Fallah Ditengah-tengah Masyarakat.” Dalam Taufiq Ismail. Dkk. Membangun Kemandirian Umat di Pesantren: Ikhtiar dan Peran Pesantren Pertanian Darul Fallah 19602000. Bogor: Pesantren Pertanian Darul Fallah. 2000.
l a Ismail, Taufiq. Dkk. Membangun Kemandirian Umattdi Pesantren: Ikhtiar dan Peran Pesantren Pertanian Darul Fallah i 1960-2000. Bogor: Pesantren g Pertanian Darul Fallah. 2000. i D Al-Ibrāshī, Muḥammad ‘Aṭiyyah. Dasar-dasar Pendidikan Islam. Terj. / Pokok Bustami A. Gani. Judul asli. Al-Tarbiyah al-Islāmiyyah. Jakarta: Bulan e n Bintang. 1970. i lFalāsifatuhā Kairo: ‘Isā al-Bābī al-Ḥalbī wa --------- Al-Tarbiyah al-Islāmiyyah wa n Shirkāh, 1975. O --------- Beberapa Pemikiran aPendidikan Islam, terj: Syamsuddin Asyrofi, dkk., c Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996. judul asli “Rūḥ al-Islām”. a B Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Cet. Ke-2. 2002. Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Jarvis, Matt. The Psychology of Effective Learning and Teaching. United Kingdom: Nelson Thornes. 2005.
Jarvis, Peter. John Holford. Colin Griffin. The Theory and Practice of Learning. Oxon: RoutledgeFalmer. 2004-2005. Jay, Martin. Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis. Terj. Nurhadi. Judul asli The Dialectical Imagination: A History of the Frankfurt School and the Institute of Social Research 19231950. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Cet. Ke-2. 2009. Johnson, Elaine B. CTL (Contextual Teaching & Learning): Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Terj. Ibnu Setiawan. Judul asli Contextual Teaching & Learning: What it is and Why it’s here to stay. Bandung: Kaifa. 2010. Kusmana, Suherli. “Model Pembelajaran Aktif. Jakarta: PT. Penerbit Sketsa Aksara Lalitya. 2010. Daftar Pustaka
111
K. Roestiyah N. Masalah-masalah Ilmu Keguruan. Jakarta: Bina Aksara. 1989. Kincheloe, Joe L. Critical Pedagogy: Primer. New York: Peter Lang Publishing. 2005. Latif, Yudi. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Jakarta: Democracy Project. Edisi digital. 2012. Al-Maghribi, Al-Maghribi bin as-Said. Kaifa Turabbi Waladan Shaalihan. Terj. Zainal Abidin. Begini Seharusnya Mendidik Anak: Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan Hingga Dewasa. Jakarta: Darul Haq. Cet. Ke-5. 2007. Mas’udi, Masdar F. Problem Keilmuan Dunia Pesantren. Depok: Yayasan Islam alHamidiyah, 1998. Majid, Abdul. Dian Andayani. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Cet. Ke-3. 2006. Mulyasa, E. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Cet. Ke-3. 2003. Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Peniddikan Pesantren. Seri INIS XX. Jakarta: INIS. 1994. Minhaji, Akh. “Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia dan Tradisi Berpikir Kritis” dalam Paradigma Baru Pendidikan Islam: Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia. Ed. Kusmana. JM. Muslimin. Jakarta: IISEP. Dirjen. Pendidikan Islam DEPAG RI. Direktorat Pendidikan Tinggi Islam. 2008.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitaif. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2007.
a c Muhaimin. Dkk. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan BaSekolah. Ed. Siti Lailan Azizah. Bandung: PT Remaja Agama Islam di
Rosdakarya. Cet. Ke- 3. 2004. Mukhyidin. “Demokrasi dalam Sistem Pendidikan Pesantren Studi Perbandingan pada Empat Pesantren Salafiyah dan Khalifiyah di Sumatera Selatan”. Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2008. Nasir, H.M. Ridlwan. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di tengah Arus Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. Ke-2. 2010. Narwanti, Sri. Creative Learning: Kiat Menjadi Guru Kreatif dan Favorit. Yogyakarta: Familia. Cet. Ke-2. 2011. Nasution, S. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara, 1982. Nata, Abuddin. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2012. -------- Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana. 2009. 112 Daftar Pustaka
Nicholls, Gill. Developing Teaching and Learning in Higher Education. New York: Routledge. 2002. Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. cet. ke- 8. Jakarta: LP3ES. 1996. Nuryatno, M. Agus. Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book. 2011. Peoples,Columba. “Theodor Adorno”. Dalam Teori-teori Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik International. Ed. Jenny Edkins. Nick Vaughan Williams. Terj. Teguh Wahyu Utomo. Judul asli Critical Theorists and International Relations. Yogyakarta: Baca. 2010. Poesponegoro, Marwati Djoened. Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka. 2008. Qomar, Mujamil. Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga. T.t.
l a t
Queljoe, D.H., A. Ghozali. Didaktik Umum. Bandung: Ganaco CV. 1962. Rabitha, Daniel. Pembelajaran Tuntas pada Pondok Pesantren: Studi Keunggulan dan Kelemahan Metode Sorogan dan Bandongan. Jakarta: DEPAG Badan Litbang dan Diklat. 2008.
i g i
D / e
Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Prenada Media. 2004.
n i l
On
Al-Syaibani, Omar Mohammad al-Toumy. Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah. Terj. Hasan Langgulung. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1979.
a c Ismail. Pengembangan Pesantren a MengantisipasiB Perubahan Sosial.
Tradisional: Sebuah Hipotesis Yogyakarta: Kerjasama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dengan Pustaka Pelajar. 2002. Smith, William A. The Meaning of Conscientizacao: The Goal of Paulo Freire’s Pedagogi. Terj. Agung Prihantoro. Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. Ke-2. 2008. SM,
Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES. 1994. Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Cet. Ke-3. 2007. Suprijono, Agus. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. 8. 2012. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitaif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Cet. 8. 2009.
Daftar Pustaka
113
Suprayogo, Imam. “Rekonstruksi Kajian KeIslaman: Sebuah Tawaran Ontologis dan Epistemologis” dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global. Ed. M. Zainuddin. Muhammad In’am Esha. Yogyakarta: Aditya Media dan UIN Press. 2004. Surakhmad,Winarno. Pengantar Interaksi Mengajar-Belajar, Dasar dan Teknik Metodologi Pengajaran. Bandung: Tarsito. 1990. Suryabrata, Sumardi. Metodologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press. 1989. S. Karni, Asrori. Etos Studi Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam. Bandung: Mizan. Anggota IKAPI. 2009. Sanjaya, Wina. Strageti Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. 2007. Subhan, Arief. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20: Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas. Jakarta: Kencana. 2012. Suwendi. “Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren: Beberapa Catatan.” Dalam Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Ed. Marzuki Wahid. Dkk. Bandung: Pustaka Hidayah. 1999. Tarr, Zoltản. Michael Landmann. The Frankfurt School: The Critical Theories of Max Horkheimer and Theodor W. Adorno. New York: Wiley. 1977. Tilaar, H.A.R. “Pedagogik Kritis: Perkembangan, Substansi, dan Perkembangannya di Indonesia”. Dalam Pedagogik Kritis: Perkembangan, Substansi, dan Perkembangannya di Indonesia. Ed. Lody Paat, Jimmy Paat, H.A.R. Tilaar. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2011.
l a t
i g i
D / e
n i l
On
-------- Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 2012.
a c a
-------- “Kata Pengantar.” Dalam Utomo Dananjaya. Media Belajar Aktif. x. Torres, Carlos Alberto. Paulo Freire. “Twenty years after Pedagogy of the Oppressed: Paulo Freire in conversation with Carlos Alberto Torres.” Dalam Politics of Liberation. Ed. Peter L. McLaren. Colin Lankshear. London & New York: Routledge. 1994.
B
Trianto. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasi pada KTSP. Jakarta: Kencana. 2010. UU No. 20 pasal 26 ayat (6) tahun 2003. Umiarso. Zamroni. Pendidikan Pembebasan: dalam Perspektif Barat dan Timur. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2011. Usman, M. Basyiruddin. Metodologi Pembelajaran Agama Islam. Jakarta: Ciputat Press. 2002. Walidin,Warul. Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun: Perpesktif Pendidikan Modern. Banda Aceh dan Yogyakarta: Taufiqiyah Sa’adah dan Suluh Press. Cet. Ke-2. 2005.
114 Daftar Pustaka
Walklin, L. Teaching and Learning in Further and Adult Education. United Kingdom: Stanley Thornes. 2000. Wan Daud,Wan Mohd Nor. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Terj. Hamid Fahmy. Dkk. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan. 2003. Wena, Made. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2009. Widodo, M. Saleh. Rusli Lutan. Keberanian Hidup Mandiri yang Dijiwai Nilainilai Keislaman: Sebuah Potret Keberhasilan Produk Pesantren Pertanian Darul Fallah. Bogor: Yayasan Pesantren Pertanian Darul Fallah. 1985. Widodo, Saleh. “Pesantren Memerlukan Kurikulum yang lebih Memadai”. Dalam Taufiq Ismail. Dkk. Membangun Kemandirian Umat di Pesantren: Ikhtiar dan Peran Pesantren Pertanian Darul Fallah 1960-2000. Bogor: Pesantren Pertanian Darul Fallah. 2000.
l a t
Wiles, Jhon dan Joseph Bondi. Curriculum Depelovment A Guide to Practice. Ohio USA: Merryl Publishing Company. Columbus. 1989.
i g i
Y.F. Lau, Joe. An Introduction to Critical Thinking and Creativity: Think More, Think Better. New Jersey: John Wiley & Sons. 2011.
D / Yasmadi. Modernisasi Pesantren: Kritikan Nurcholish Madjid Terhadap ne Ciputat Pendidikan Islam Tradisional.i Jakarta: Press. 2002. l dan Metode. Jakarta: PT RajaGrafindo Yin, Robert K. Studi Kasus: Desain n Persada. 2004. O Yamin, Martinis. Paradigma Pendidikan Konstruktivistik: Implementasi KTSP dan a UU No. 14 Tahun c 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Gaung Persada a Press. 2008. B Ziemek, Manfred. Pesantren dan Perubahan Sosial. Terj. Buthce B. Soendjojo. Jakarta: P3M. 1986. B. JURNAL Allman, Paula. Critical Education Againts Global Capitalism: Karl Marx and Revolutionary Critical Education. www.sensepublishers.com -------- Critical Education Againts Global Capitalism: Karl Marx and Revolutionary Critical Education. Netherlands: Sense Publishers. 2001. www.sensepublishers.com Arjmand, Reza. “Reforms of the Curricula and Appropriation of Religion in the Muslim Middle East.” pada "Konfrensi Internasional Universitas Cambridge.” dengan tema Reforms in Islamic Education 9-10 April (2011). www.cis.cam.ac.uk
Daftar Pustaka
115
Anderson, Paul. Charlene Tan. Yasir Suleiman. “Reforms in Islamic Education.” Report of A Conference Held at the Prince Alwaleed Bin Talal Centre of Islamic Studies University of Cambridge. April 9–10, 2011. http://www.cis.cam.ac.uk Breuing, Mary. “Problematizing Critical Pedagogy”. International Journal of Critical Pedagogy. Vol 3 (3) (2011). http://libjournal.uncg.edu Brookfield, Stephen. “Developing Critical Thinkers”. www.stephenbrookfield.com
20-21 april 2012.
-------- “Becoming a Critically Reflective Teacher.” BCRT Workshop. 2. 1997. www.stephenbrookfield.com -------- “The Getting of Wisdom: What Critically Reflective Teaching is and Why it’s Important.” Becoming a Critically Reflective Teacher. San Francisco: Jossey Bass. 1995. www.nl.edu Craft, Anna. An analysis of Research and Literature on Creativity in Education: Report Prepared for the Qualifications and Curriculum. 2011. www.euvonal.hu
l a Burbules, C. Nicholas. Berk, Rupert. “Critical Thinking Critical Pedagogy: t and Relations, Differences, and Limits. Dalam Critical Theories in Education. i g New York: Routledge. 1999. Ed. Thomas S. Popkewitz. Lynn Fendler. i faculty.education.illinois.edu D / CAPE (UK). “Creativity” www.capeuk.org e n pada International Workshop on Gallagher, Mary. “Teaching Methodology.” i lCapacity Building for Teachers of Islamic Teaching Methodology and n Subject in High School Oin Six Provinces. di PPIM Jakarta. 9 desember 2012, pukul 08.00 – 16.00 wib. a c Hashim, Rosnani. “Intellectualism in Higher Islamic Traditional Studies: a Implications forBthe Curriculum,” dalam The American Journal of Islamic Social Sciences, 24:3 (2001). www.amss.org -------- “Rethinking Islamic Education in Facing the Challenges of the Twenty-first Century.” dalam The American Journal of Islamic Social Sciences. 22:4. 11 september (2001). www.amss.org H. Ennis, Robert. “Incorporating Critical Thinking in the Curriculum: An Introduction to Some Basic Issues”. Dalam jurnal Inquiry: Critical Thinking Across the Discipline. Spring 1997. Vol. XVI, no. 3. 2. http://faculty.education.illinois.edu -------- “The Nature of Critical Thinking: An Outline of Critical Thinking Dispositions and Abilities”. http://faculty.education.illinois.edu -------- “An Outline of Goals for a Critical Thinking Curriculum and Its Assessment 1”. University of Illinois. UC Revised 6/20/02. http://faculty.education.illinois.edu
116 Daftar Pustaka
Horkheimer, Max. Critical theory: Selected Essays Max Horkheimer. Terj. Matthew J. O’Connell. New York: The continuum Publishing. 1972. http://townsendlab.berkeley.edu H. Romanowski, Michael. Ramzi Nasser. “How Critical Thinking is Taught in Qatari Independent School’s Social Studies Classroom: Teacher’s Perspectives.” International Journal of Education. Vol. 4. No. 1. 2012. www.macrothink.org K. Beyer, Barry. “What Philosophy Offers to the Teaching of Thinking”. Dalam journal Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD). februari 1990. www.understandingbydesign.net Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Universitas Indonesia. 2008. http://bahasa.cs.ui.ac.id Kanz, Heinrich. “Immanuel Kant (1724-1804).” Dalam PROSPECTS: the quarterly review of comparative education. Paris. UNESCO: International Bureau of Education. Vol. XXIII, no. 3/4, 1993, p. 789–806. ©UNESCO: International Bureau of Education, 1999. www.ibe.unesco.org
l a t
Kincheloe, Joe L. Knowledge and Critical Pedagogy: An Introduction. Canada: McGill University. 2008. www.springer.com
i g i
Learning Centre Workshop The University of Sydney. “Orientation Lecture Series Learning to Learn: Developing Critical Thinking Skills”. Kamis 1 maret 2012. Pukul 11am-12pm di auditorium eastern avenue complex. Camperdown campus. http://sydney.edu.au Madmarn, Hasan. “The Strategy of Islamic Education in Southern Thailand: The Kitab Jawi and Islamic Heritage.” Dalam The Journal of Shopia Asian Studies no. 27 (2009). http://repository.cc.sophia.ac.jp Moon, Jennifer. Critical Thinking: An Exploration of Theory and Practice. USA and Canada: Routledge. 2008. http://dl.lux.bookfi.org Moulton, Jeanne. dkk., “Madrasah Education: What Creative Associates has learned.” dalam paper Creative Associates International, INC (Creative). February (2008).
D / e
n i l
On
a c a
B
www.creativeassociatesinternational.com Paul, Ricahrd. Elder, Linda. The Thinker’s Guide to: The Nature and Functions of Critical and Creative Thinking. “Foundation for critical press”. 2008. www.criticalthinking.org Parameswaran, Prashanth. “Islamic Education as a Peacemaking Tool A Case Study of Southern Thailand.” Global Politics Magazine. 16 Oktober 2007. www.global-politics.co.uk Pohl, Florian. Islamic Education and the Public Sphere: Today’s Pesantren in Indonesia. www.proquest.org
Daftar Pustaka
117
Scriven, Michael. Paul, Richard. “Defining Critical Thinking”. Dalam the National Council for Excellence in Critical Thinking Instruction. www.criticalthinking.org Talib, Naiman. “The Pondok and the Madrasah in Patani.” review dari buku The Pondok and the Madrasah in Patani, oleh Hasan Madmarn. Kyoto Review Books of Note. Maret (2004). http://kyotoreview.cseas.kyoto-u.ac.jp Taufik, H. M. “Pembelajaran Kritis-Kreatif dan Transformatif di Pondok Pesantren”. Jurnal Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan. Vol. VII no. 2 April-Juni 2009. http://isjd.pdii.lipi.go.id The
Critical Thinking Community. www.criticalthinking.org
“Defining
Critical
Thinking”.
Torrance, E. Paul. “Teaching for Creativity”. The Journal of Creative Behavior. Vol. 6. 1987. http://cpsb.com W. Apple, Michael. “Paulo Freire, Critical Pedagogy And The Tasks Of The Critical Scholar/Activist”. Dalam Revista e-curriculum. São Paulo. V.7 n.3 DEZEMBRO 2011. http://revistas.pucsp.br
l a Zakaria, Gamal Abdul Nasir. “Pondok Pesantren: Changes t and Its Future.” Dalam Journal of Islamic and Arabic Education (2).i(2010). www.ukm.my g Ilustrasi gambar dari laman www.google.com i D / e DOKUMEN: n iMadrasah Tsanawiyah Pesantren Pertanian Dokumen Profil Madrasah Aliyah dan l Darul Fallah Bogor. On Dokumentasi Pesantren Pertanian Darul Fallah, bisa diakses juga di a www.darulfallah.org c Ba WAWANCARA: Wawancara dengan Ismail Shaleh dikantor Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, pada 11 pebruari 2013. Wawancara dengan Ismail Saleh dikantor Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, pada 12 pebruari 2013. Wawancara dengan KH. Abdul Hanan Abbas, dikantor Pesantren Pertanian Darul Fallah, pada 13 Mei 2013. Wawancara dengan Maman Suparman dikantor Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, pada 13 Mei 2013. Wawancara dengan Sri Qonaah sebagai staf pengajar Tsanawiyah dan pembimbing asrama putri Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, pada 26 april 2013. Wawancara dengan Ety selaku staf pengajar laboratorium Dafa di laboratorium Dafa, pada 29 april 2013.
118 Daftar Pustaka
Wawancara dengan Sari sebagai pembimbing asrama putri Aliyah, di asrama putri Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, pada 6-11 mei 2013. Wawancara dengan Latif sebagai staf pengajar di Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, pada februari-mei 2013. Wawancara dengan Agus Setiawan, alumni dan staf pengajar, juga santri yang telah berhasil mengikuti program pertukaran pelajar ke Amerika selama satu tahun, di kantor Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, 10 mei 2013. Wawancara dengan staf produksi susu dan yoghurt PT. Dafa di peternakan Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, pada 8 mei 2013. Wawancara dengan Maman Suparman dikantor PP Darul Fallah. Wawancara tidak struktur dengan santri tsanawiyah Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, diasrama putri tsanawiyah. Focus Group Discussion (FGD) dengan santri kelas 1-2 aliyah dan santri kelas 1-2 tsanawiyah diasrama santri putri Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, pada april- mei 2013.
l a t
Wawancara dengan Emir Salim sebagai staf pengajar dan admin Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, dari Pebruari-Mei 2013.
i g i
Pengarahan yang diberikan oleh Bunzamin Wibisono Direktur Kepesantrenan dan Maman Suparman selaku Kepala Madrasah Aliyah di aula Pesantren Pertanian Darul Fallah Bogor, pada 11 Mei 2013.
D / e
n i l
On a c a
B
Daftar Pustaka
119
l a t
i g i
D / e
n i l
On a c a
B
120 Daftar Pustaka
GLOSARI
Bandongan Criticalist Eksklusif FGD Hayawānu an-nāṭiq HISDAF IDAC Kapitalisme
Katalis
Komersialisme Kompatibel Komunisme
: : : : : : : :
Pengajaran dalam bentuk kelas. Para ahli pemikir kritis. Terpisah dr yg lain, khusus. Focus Group Discussion. Makhluk berpikir (manusia). Himpunan Santri Darul Fallah. Institute d’ Action Culture. Sistem dan paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya (penanaman modalnya, kegiatan industrinya) bersumber pd modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan dl pasaran bebas. : Seseorang atau sesuatu yang menyebabkan terjadinya perubahan dan menimbulkan kejadian baru atau mempercepat suatu peristiwa. : Perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan.
l a t
i g i
: Mampu bergerak dan bekerja dng keserasian, kesesuaian. : Paham atau ideologi (dalam bidang politik) yg menganut ajaran Karl Marx dan Fredrich Engels, yang hendak menghapuskan hak milik perseorangan dan menggantikannya dengan hak milik bersama yg dikontrol oleh negara.
D / e
n i l
On
Konflik Kreatif Kritis
LKiS LP3ES Modernitas NACCCE NGO P3M Pesantren Postdiscourses
a c a
: Percekcokan; perselisihan; pertentangan. : Memiliki daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan : Bersifat tidak lekas percaya, bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan, tajam dl penganalisisan. : Lembaga Kajian Islam dan Sosial. : Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. : Hal (keadaan) terbaru, mutakhir. : National Advisory Committee on Creative and Cultural Education. : Non-Govermental Organization. : Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. : Lembaga pendidikan Islam, asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar ilmu agama : Aliran-aliran pemikiran yang menentang modernisme (postmodernisme, critical feminism, poststructuralism).
B
121
Postivisme
: Aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti.
Premature Radikalisme
: Belum (waktunya) masak (matang), sebelum waktunya. : Paham atau aliran yg menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dng cara kekerasan atau drastis. : Southern Thailand Peace Network. : Penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dl usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik), praktik tindakan teror. : Perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb). : World Trade Centre : Yala Islamic University
STPN Terorisme
Transformasi WTC YIU
l a t
i g i
D / e
n i l
On a c a
B
122 Glossary
INDEKS
F FGD, 15, 16, 83, 89, 93 Florian Pohl, 3, 5, 18, 68, 92 Frankfurt, 31, 32
A Abdurrahman Wahid, 4, 19 Agus Nuryatno, 31, 32, 34, 38, 39, 40 Ahmad Fuad Fanani, 7 Alec Fisher, 25, 26, 27, 28 Al-ghozali, 42 al-Ibrasyi, 42, 45, 46, 47 Al-Ittifaqiah, 20 Al-Ittifaqiah Indralaya-Sumatera Selatan, 20 Allah, 42, 46, 60, 66, 73, 92, 104 Al-Maghribi bin as-Said, 41 Al-Syafi’i, 42 Anna Craft, 29, 30 Antonio Gramsci, 31 B bandongan, 8, 9, 20, 70 Barry K. Beyer, 24 Benyamin Bloom, 20 Brasil, 33, 91
G Gamal Abdul Nasir Zakaria, 3 H H. M. Taufik, 19, 27 Henry Giroux, 31, 39, 49 HISDAF, 12, 96 human agency, 7
l a t
I I Nyoman Sudana Degeng, 10 Ibn Rusyd, 42 Immanuel kant, 6 Indonesia, 1, 2, 3, 5, 7, 8, 13, 14, 18, 19, 20, 23, 24, 32, 40, 52, 53, 54, 57, 59, 60, 62, 63, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 75, 76, 78, 80, 81, 83, 89, 91, 93, 106, 109, 110 inklusifitas, 32 Ismail SM, 9
i g i
D / e
n i l
C CAPE (UK), 29, 30 consientizacao, 7, 34 critical pedagogues, 31, 32
On
a c a
B
D Daniel Rabitha, 20
J Jennifer Moon, 24, 25 Joe Y.F. Lau, 29 Jurgen Habermas, 32
E E. Mulyana, 10 eksklusifitas, 32 eksplisit, 8, 31, 39 eksponen, 32 Elaine Johnson, 5, 29, 30, 105 Elder, 30, 31 Ennis, 25, 26, 27, 28 Etika Protestan, 18
K khalaf, 9 Kincheloe, 31, 32, 38, 39, 40 konservatisme, 4, 49 kreativitas, 4, 9, 11, 20, 21, 29, 30, 31, 36, 37, 51, 74, 109, 110 kritisisme, 3, 16, 31, 38, 74 L Lexy J. Moleong, 16
123
21, 27, 43, 52, 53, 54, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 81, 82, 83, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 102, 103, 105, 106, 107, 108, 109, 110 Pesantren Pertanian Darul Fallah, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 66, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 78, 79, 81, 82, 85, 86, 87, 90, 91, 92, 93, 95, 97, 98, 99, 100, 102, 105, 106, 107, 108, 109, 110 Pondok, 3, 4, 7, 12, 19, 20, 27, 52, 53, 54, 55, 59, 60, 65, 66, 69, 75, 87 postdiscourses, 31, 32 Pranee Liamputtong, 15 proponen, 32
LkiS, 3, 19 LP3ES, 3, 4, 11, 15, 34, 35, 36, 39 M madrasah, 1, 7, 9, 54, 68, 69, 70 Madrasah, 1, 5, 7, 9, 18, 57, 59, 62, 63, 64, 67, 68, 73, 76, 79, 81, 85, 86 Mahmud, 7, 8, 9, 10, 11, 82 Malaysia, 2, 60 Malik M. Thaha Tuanaya dalam, 18 manhaj, 41 Masdar F. Mas’udi, 2 Mukhyidin, 19 N Nabi Muhammad, 42, 45, 48 NACCCE, 30 nature, 27 Nicholas Burbules, 39 nurture, 27
l a t
i g i
P P3M, 3, 4, 18, 64 PAKEM, 11 Patti Luther, 31 Paul, 25, 28, 30, 31, 68 Paula Allman, 38, 39 Paulo Freire, 6, 7, 11, 18, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 42, 84, 91, 92, 93, 100, 101 Paulus, 6 persona creativia, 7 Pesantren, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20,
On
n i l
a c a
B
124 Indeks
RD / e Rosnani Hashim, 2
Rupert Berk, 39, 40 S salaf, 8, 9, 54 Scriven, 6, 25, 28 Sofan Amri, 11 sorogan, 4, 9, 54 Stella Cottrell, 25, 27 Stephen Brookfield, 26, 84, 95, 96 subkultural, 4, 19 Sugiyono, 15 Sumatera Selatan, 19, 20
S
arwenda menyelesaikan studi Magister Agama bidang Pendidikan Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku yang hadir ditengah-tengah pembaca ini adalah buah penelitian tesis penulis yang diselesaikan pada tahun 2013. Penulis kelahiran Bangka Belitung 28 februari 1987 ini, menyelesaikan program S1 pada Fakultas Dirasat Islamiyah tahun 2009. Selain disibukkan oleh aktivitas sebagai mahasiswa, penulis juga aktif di organisasi PAMALAYU sebuah organisasi yang menaungi mahasiswa asal Bangka Belitung. Penulis juga sangat tertarik dan aktif mengikuti berbagai seminar dan workshop ilmiah baik nasional maupun internasional. Hasil penelitian ini juga telah mengantar penulis menjadi salah satu presenter diseminar internasional pendidikan “International Conference on Teacher Education in Muslim World (ICTEM)” di Kuala Lumpur-Malaysia pada november 2013 yang diselenggarakan oleh IIUM. Intisari dari buku ini yang berjudul “Critical Learning in Pesantren: A Case Study in Bogor’s Agriculture Pesantren Darul Fallah” juga telah dipresentasikan pada seminar internasional pendidikan untuk kedua kalinya di “International Conference on Education in Muslim Society (ICEMS) pada oktober 2014 yang diselenggarakan oleh Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan masuk Proceeding karya ilmiah bersama peneliti senior lainnya. Penulis juga kerap diminta untuk menjadi asisten penelitian Muhammad Zuhdi, Ph.D yang tidak lain adalah supervisor tesis penulis dan asisten penelitian lepas lainnya. Penulis mulai aktif mengajar di POLTEKKES Fatmawati Jakarta I dan STIKes IMC Bintaro pada 2014. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]
l a t
i g i
D / e
n i l
On
a c a
B
125
l a t
i g i
D / e
n i l
On B
a c a