Difference Berbeda 7 Pengajaran untuk Pria Berdasarkan Studi Kitab Efesus Tony Payne
Dalam masyarakat kita sepertinya ada kesadaran umum bahwa pria-pria di jaman modern ini punya masalah serius. Mereka tertekan, kebingungan dan stres. Sementara itu di dalam masyarakat mulai ada perubahan cara pandang tentang peran pria dan wanita. Malangnya, pria moderen terjebak di tengah-tengahnya, dan tenggelam dalam perasaan gagal. Sebenarnya siapakah pria dan apa perannya? Apa yang membuat pria berarti? Apa tujuan hidupnya? Bagaimana seharusnya ia menggunakan waktunya, uang, dan tenaganya? Bagaimana seharusnya ia berelasi dengan istrinya? Dengan anak-anaknya? Dengan orang lain? Pelajaran kali ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan berpedoman kepada surat rasul Paulus kepada jemaat di Efesus. Saat menggali dan mempelajari surat yang luar biasa ini, kita akan menemukan tuntunan Allah tentang bagaimana seharusnya pria-pria Kristen bersikap terhadap berbagai jenis hubungan dalam hidup mereka. Di sini juga tersedia versi untuk pemimpin.
PENGANTAR Pendekatan yang digunakan Dalam masyarakat kita sepertinya ada kesadaran umum bahwa pria-pria di jaman modern ini berada dalam masalah serius. Di tengah dunia yang membingungkan, penuh stres, cepat berubah ini nilai-nilai tentang pria yang dipegang dari berabad silam nampaknya mulai ditinggalkan. Dunia kerja berubah, budaya berubah, peran pria dan wanita juga berubah. Malangnya, pria moderen terjebak di tengah-tengahnya, dan tenggelam dalam perasaan gagal. Sebenarnya siapakah pria dan apa perannya? Apa yang membuat pria berarti? Apa tujuan hidupnya? Bagaimana seharusnya ia menggunakan waktu, uang, dan tenaganya? Bagaimana seharusnya ia berelasi dengan istrinya? Dengan anak-anaknya? Dengan orang lain? Ketika kita berpaling kepada Alkitab untuk mencari jawabannya, kita menemukan hal-hal yang mencengangkan (paling tidak untuk angkatan kita). Ternyata Alkitab tidak banyak berbicara soal pria secara khusus. Memang di Alkitab ada banyak bertebaran kisah-kisah tokoh pria tertentu, serta peraturan-peraturan yang berlaku untuk kaum pria. Tetapi tidak ada bagian yang secara khusus membahas keistimewaan pria terhadap wanita. Apa sebenarnya esensi alamiah kepriaan? Nampaknya penulis-penulis Alkitab tidak tertarik menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Di bagian awal Alkitab hanya ditunjukkan posisi-posisi pria dalam berbagai relasi—sebagai suami, ayah, saudara, anak, tetangga, warga negara, budak, dan seterusnya. Hal ini menyingkapkan maksud Allah menciptakan kita, yaitu bukan untuk menjadi mahluk individualis. Kita lahir dan hidup dalam jaringan relasi yang kompleks, dan jaringan sosial inilah yang menjadi esensi diri kita. Dunia moderen mendorong agar kita ‘mengandalkan kekuatan sendiri dan menemukan siapa diri kita sebenarnya’, hanya untuk kepentingan diri sendiri. Alkitab menyatakan bahwa menemukan identitas diri dengan kekuatan sendiri adalah hal yang tidak mungkin, karena identitas manusia terletak di dalam hubungan dengan sesama. Anda adalah suaminya A, anaknya B, saudaranya C, dan atasannya D. Itulah siapa diri kita dan bagaimana kita mengenal diri kita sendiri. Dan mungkin inilah tujuan menjadi manusia: menghadirkan fungsi yang berbeda di dalam berbagai jenis relasi—sebagai ayah, anak, suami/ istri, saudara, dan sebagainya. Kita akan memulainya dari relasi paling dasar dalam hidup ini: relasi dengan Allah Sang Pencipta. Ada satu alasan lagi yang menjelaskan mengapa saya memilih penggalian dari kitab Efesus. Mengapa tidak menggunakan kombinasi ayat yang ada di seluruh Alkitab untuk menjelaskan relasi-relasi dalam hidup pria? Hal itu tentu membutuhkan penelitian yang lebih panjang. Lagipula, atas seijin Tuhan, saya akan melakukan hal itu—menggali beberapa bagian Alkitab—di masa mendatang. Dan meskipun fokus pelajaran ini adalah kitab Efesus, namun saya tetap memasukkan beberapa ayat lain sebagai referensi untuk penggalian yang lebih dalam. Prinsip yang utama dalam studi Alkitab adalah mengijinkan Allah berbicara dan mendikte isu-isu penting yang perlu kita bahas. Kita harus membiarkan Dia yang menetapkan agendanya, dan bukan membuat agenda sendiri berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dan isu pribadi. Itu sebabnya saya membuat judul ‘7
Pengajaran untuk Pria Berdasarkan Studi Kitab Efesus’, dan bukan ‘ 7 Pengajaran Alkitab untuk Pria.’ Maksudnya adalah untuk meninjau kitab Efesus, kemudian dari kitab tersebut barulah kita menyusun agenda pelajaran sambil mencari cara menerapkannya dalam berbagai relasi di dunia pria. Tentu saja studi ini tidak bisa menjawab semua pertanyaan Anda, atau isu-isu yang mengombang-ambingkan pria moderen belakangan ini. Sangat naif jika berharap bahwa ke tujuh pelajaran singkat ini bisa menjawab itu semua. Namun saya berdoa supaya lewat pelajaran ini, khususnya bagian yang relevan dengan dunia pria, Anda akan tertantang dan terpacu untuk hidup bagi Kristus, dan menghadirkan perbedaan-perbedaan untuk kemuliaan-Nya dalam setiap aspek kehidupan Anda. Format Pelajaran Salah satu tujuan studi ini bukan untuk mendorong dan meneguhkan para pria Kristen melalui pembacaan Alkitab semata, melainkan juga untuk menerapkan apa yang dipelajari dengan cara yang sederhana. Dengan kata lain, studi ini tidak dimaksudkan untuk menambah tekanan baru kepada para pria melalui pelajaran yang panjang lebar dan rumit, yang persiapannya menguras energi. Karena itu pelajaran ini dirancang sebagai berikut:
Agar bisa diselesaikan dalam waktu 50 menit (jika Anda ingin menggali lebih dalam, ada ayat dan pertanyaan tambahan pada setiap pelajaran) Untuk setiap pelajaran tidak perlu mempersiapkan diri atau mengerjakan PR Bagi yang ingin menggali lebih dalam secara mandiri bisa memanfaatkan halaman tambahan. Di situ juga ada tiga artikel pendek yang bisa dibaca dan menjadi bahan diskusi berkaitan dengan pelajaran 3, 5 dan 6. Selain itu, berhubung pokok bahasannya adalah kitab Efesus, maka akan sangat berguna jika mulai membaca dan merenungkan kitab ini sebagai tambahan persiapan. Karena pelajaran ini dirancang untuk kelompok kecil, maka isinya sangatlah cocok untuk pelajaran pribadi. Pakailah ini sebagai pelengkap pembacaan dan perenungan Alkitab yang sudah berjalan. Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih saya ditujukan untuk orang-orang telah menguji bahan ini dalam kelompok-kelompok mereka, dan memberi masukan berharga untuk menyempurnakannya. Ucapan terima kasih juga untuk Phil Wheeler, Deryck Howell, Russell Powell dan Phillip Jensen untuk masukan dan komentarnya yang berharga. Tony Payne November 2000
Persoalan Para Pria Pelajaran 1 1. Pembukaan a. Jika anggota kelompokmu belum saling mengenal, mulailah saling memperkenalkan diri.
b. Bacalah bersama-sama mulai dari ‘Kata Pengantar’ sampai materi pelajaran.
c. Berdoalah untuk penyertaan Tuhan sepanjang percakapan; berdoa agar Dia mengampuni dosa dan kegagalan Anda, dan menyingkapkan pewahyuan melalui firman-Nya.
2. Apa masalahnya? Bagian pertama ini adalah tentang identifikasi. Jika benar banyak orang yang setuju bahwa pria-pria belakangan ini bermasalah—tertekan, bingung dan stress-, lalu apa akar masalahnya?
a. Beri pendapatmu tentang kutipan berikut ini. Apakah Anda setuju dengan ketajaman kata-katanya? Semangat seorang anak laki-laki seringkali sudah mulai layu di usianya yang masih muda, sampai akhirnya benar-benar hilang kekuatannya. Saat ia dewasa, ia ibarat harimau yang dibesarkan dalam kebun binatang—penuh kebingungan dan kekakuan, serta penuh energi yang belum terpakai. Ia sadar bahwa ada sesuatu yang lebih besar dalam hidup ini, namun tidak tahu apa itu. Jadi ia hidup dengan berpura-pura bahagia di hadapan teman, keluarga dan bahkan diri sendiri. Terus terang saja, pria itu mahluk yang kacau. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana hal ini berpengaruh besar dalam pernikahan, dalam menjalankan peran sebagai ayah, dalam kesehatan, serta dalam hal kepemimpinan. Pernikahan berujung pada kegagalan, anak-anak membenci ayahnya, sang ayah perlahan sekarat karena stres, dan akhirnya menghancurkan hidupnya. (Steve Biddulph, ‘Manhood’)
b. Menurut Anda apa tantangan dan masalah utama dalam hidupmu sebagai pria?
3. Apa kata Tuhan Efesus 2:1-3 menjelaskan situasi yang dihadapi setiap hari oleh semua pria di seluruh dunia. Bacalah dengan bersuara dan diskusikan pertanyaan berikut ini. a. Sebutkan ciri-ciri dari ‘jalan’ atau ‘gaya hidup’ dalam ayat ini.
b. Apa pandanganmu tentang masalah ini, khususnya yang Anda lihat di dalam hidup para pria? Juga dalam hidup Anda sendiri?
c. Jika kita hidup dengan gaya hidup seperti ini, siapakah yang sebenarnya menjadi pemimpin, penuntun dan yang mempengaruhi hidup kita?
d. Apa akibat dari gaya hidup ini untuk masa kini dan masa depan?
e. Dalam ayat ini Paulus sedang mendiagnosa kondisi jemaat Efesus ketika ayat ini di tulis. Menurut Anda, apakah orang-orang Efesus langsung terbebas dari persoalan ini seketika mereka menjadi percaya (bandingkan dengan Efesus 4:17-20)?
f.
Dalam hal apa diagnosa Paulus berbeda dengan diagnosa orang pada umumnya terhadap persoalan-persoalan ini? Mengapa bisa demikian?
4. Tambahan Jika Anda punya kesempatan, coba pelajari ayat-ayat berikut dan temukan pencerahan-pencerahan lain seputar persoalan-persoalan dasar pria. Roma 1:18-32 Roma 3:9-20 a. Apa kata ayat ini tentang persoalan dasar pria di seluruh dunia?
b. Apakah saya menemukan ciri-ciri ini dalam tindakan saya sehari-hari dan dalam kehidupan moderen sekitar saya? 5. Berdoa Tutup pertemuan dengan berdoa bersama
Pribadi yang Mengubahkan
Pelajaran 2 1. Pembukaan a. Berdoalah untuk penyertaan Tuhan sepanjang percakapan; berdoa agar Dia mengampuni dosa dan kegagalan Anda, dan menyingkapkan pewahyuan melalui firman-Nya.
b. Sampaikan ikhtisar/ ringkasan singkat
2. Obat dari Tuhan Setelah kita melihat diagnosa Allah atas berbagai persoalan dasar pria, seperti yang tergambar dalam Efesus 2:1-3, kita akan menemukan obat mujarab-Nya di Efesus 2:4-7. Bacalah bersama-sama dengan bersuara dan diskusikan pertanyaan-pertanyaan berikut. a. Siapakah yang merencanakan sekaligus melaksanakan solusi terhadap persoalan pria ini? Bagaimana ayat ini menjelaskannya?
b. Bagaimana Dia melakukannya?
c. Apa janji Tuhan untuk mereka yang hidup di dalam Kristus?
d. Apa status baru yang disandang orang-orang yang hidup dalam Kristus?
e. Menurut Anda, apa arti kata ‘di dalam Kristus’? (jika Anda punya banyak waktu, bacalah Efesus 1:3-14 untuk menambah wawasan)
3. Apa peran kita? Sampai di sini kita melihat bahwa Tuhan lah yang berinisiatif menyediakan ‘jalan keluar’. Sekarang diskusikan ayat 8-10 dari Efesus 2, tentang peranan kita. Bacalah dengan teliti. a. Apa peran kita dalam karya penyelamatan ini?
b. Apa respon kita?
c. Bagaimana peran ini bisa pas dengan seluruh rancangan penyelamatan Allah?
4. Apa arti semua pelajaran ini bagi kepria-an? Sejauh ini kita belum belajar apa-apa tentang hal-hal yang berkaitan langsung dengan pria. Semua yang dipelajari sampai saat ini mencakup hal yang berlaku umum, untuk semua jenis kelamin, suku, maupun usia. Namun semua ini perlu, karena jika kita tidak memahami situasi ini maka kita pasti gagal mengerti apa yang seharusnya diketahui pria. Jika kita bisa memahami apa yang telah Allah lakukan bagi kita semua, dan mengerti apa arti ‘tinggal di dalam Kristus’, maka pikiran, tingkah laku, dan seluruh aspek kehidupan kita akan berubah. a. Apa yang menjadi prioritas dan kesukaan dalam hidup Anda? Apa yang Anda impikan dan yang paling Anda idam-idamkan?
b. Berdasarkan apa yang telah kita pelajari di Efesus 2, bagaimana ‘Pribadi’ itu mengubah prioritas hidup Anda? Mengapa ‘tinggal di dalam Kristus’ bisa mengubah prioritas tersebut? Jadi, kemana seharusnya impian dan tujuan hidup ini diarahkan?
5. Berdoa Tutup pertemuan dengan berdoa bersama
Sahabat dan Saudara
Pelajaran 3 1. Saya dan teman-teman Jika mengikuti stereotype yang berlaku umum, maka pria Australi pasti bergaul hanya dengan pasangannya; pria Inggris pergi hanya dengan rekan kerjanya; dan pria Amerika pergi main bowling dengan teman-temannya. Tetapi apakah seorang pria benar-benar punya sahabat? a. Apakah pria-pria yang Anda kenal memiliki sahabat tempat berbagi suka dan duka?
b. Bagaimana dengan Anda sendiri, berapa orang yang bisa disebut ‘sahabat’ dalam hidup Anda?
c. Menurut Anda hal apa saja yang menghalangi pria memiliki sahabat?
2. Bagian dari Keluarga Di pelajaran sebelumnya kita sama-sama akan belajar tentang bagaimana Allah telah mengerjakan semuanya di dalam Kristus, yaitu bagaimana Ia telah menyelamatkan dan mempersiapkan tempat untuk kita di Surga. Sekarang kita akan belajar tentang implikasi dari karya Allah tersebut. Bacalah Efesus 2:11-22 a. Apa dampak pengorbanan Kristus bagi hubungan orang Yahudi dengan non-Yahudi?
b. Bacalah khususnya ayat 17-20, apa persamaan yang dimiliki semua orang Kristen?
Bacalah Efesus 4:1-6 c. Menurut Anda, ‘panggilan’ di ayat 1 dan 4 ini merujuk kepada apa?
d. Jika memang kita dipanggil untuk menjadi anak dari satu Bapa, maka hubungan apa yang kita miliki dengan sesama Kristen yang lain?
e. Apa arti dari kata ‘hidup berpadanan dengan panggilan’? sebutkan beberapa contoh praktisnya.
f.
Apa lawan dari setiap karakter ini? (contoh: hidup sia-sia)
3. Kasih persaudaraan Yang rasul Paulus lakukan dalam Efesus 4:1-3 adalah mendorong arah pertumbuhan jemaat Efesus dengan lebih detail—bahwa orang percaya harus saling mengasihi satu sama lain, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Ini adalah pengajaran umum Perjanjian Baru. Pilihlah (paling sedikit) satu ayat berikut ini, dan tulislah apa yang dikatakan ayat tersebut tentang bagaimana seharusnya kita hidup bersama di dalam Kristus. Efesus 4:29-5:2
1 Tesalonika 4:9-12
Kolose 3:12-17
Ibrani 10:24-25
Kisah Para Rasul 2:43-47
4. Melakukan perubahan a. Sejauh mana Anda sudah menjadi saudara yang baik bagi sesama Kristen (khususnya dalam jemaat)? Perubahan apa saja yang sudah Anda perbuat bagi sesama pria melalui kasih dan dukungan Anda? b. Apa yang menjadi penghalang sehingga Anda tidak bisa melayani lebih baik lagi? c. Langkah apa yang akan Anda ambil agar bisa melakukannya lebih baik lagi?
5. Bacaan tambahan Untuk mengisi minggu yang akan datang bacalah artikel “Memberdayakan Gereja”. 6. Berdoa Tutup pertemuan dengan berdoa tentang relasi Anda dengan sesama. Berdoa agar Allah memenuhi hatimu dengan kasih-Nya untuk sesama saudara.
Suami yang Egois
Pelajaran 4 a. Apakah benar pria itu egois? Sudah sering terdengar keluhan (khususnya dari kaum wanita) bahwa pria adalah mahluk yang egois dalam hal seks. Inilah tipe pria yang asyik dengan diri sendiri, tidak dewasa, dan hanya memikirkan diri sendiri. Ada lelucon tentang alasan mengapa pria mengalami puber kedua, adalah karena pria tidak pernah mencapai kedewasaan. a. Apakah menurut Anda pria memang egois? Jika benar, apakah mereka suka memamerkannya? (bagaimana cara Anda menunjukkannya?)
b. Menurut Anda, apa peran terberat pria sebagai suami? (silahkan memberikan pendapatmu, walaupun masih lajang)
2. Memperhatikan tubuh Efesus 5:21-33 adalah surat terpanjang dalam Perjanjian Baru, yang berbicara soal hubungan suami-istri. Sebelum membedahnya lebih dalam, mari melihat konteksnya lebih dulu. Pembahasan soal pernikahan ini adalah paruh ke dua dari surat Paulus yang berbicara soal perubahan ‘gaya hidup’ setelah menjadi orang Kristen. Kita sekarang sudah hidup ‘dalam Kristus’ (lihat pelajaran 2) dan menerima panggilan ilahi (lihat pelajaran 3), maka cara berpikir dan berperilaku sehari-hari kita akan berbeda, termasuk dalam hidup pernikahan. a. Bacalah Efesus 5:15-21. Menurut Anda apa hubungan ayat 22-33, yang berbicara tentang pernikahan, dengan ayat sebelumnya?
b. Bacalah Efesus 5:22-33 dan cobalah menemukan paralel antara Kristus dengan gereja, serta suami dengan istri. Pertama-tama Kristus dengan gereja: Gereja adalah________________nya Kristus Kristus adalah_________________nya gereja. Jadi, bagaimana seharusnya gereja bersikap terhadap Kristus? Apa yang Kristus kerjakan bagi gereja-Nya sampai saat ini?
c. Sekarang hubungan suami dengan istri: Istri adalah _________________ nya suami Suami adalah _______________nya istri Jadi, bagaimana seharusnya istri bersikap terhadap suami?
Apa yang harus suami lakukan terhadap istri?
d. Bagaimana caranya menggabungkan antara ‘mencintai diri sendiri’ dengan ‘mengasihi istri’ dalam perikop ini?
e. Apa kata ayat 28-31 tentang esensi pernikahan? Apa kesamaan atau perbedaannya dengan cara pandang masyarakat umumnya terhadap pernikahan?
3. Menjalani pernikahan setiap hari a. Dalam praktek, menurut Anda bagaimana seharusnya pria memenuhi kebutuhan istrinya dalam hal: Jasmani
Seksual
Emosi
Rohani b. Bila Anda sudah menikah, bidang yang mana dalam pernikahan Anda yang membutuhkan perhatian khusus?
c. Berdasarkan apa yang telah kita pelajari, bagaimanakah seharusnya kepemimpinan suami ditunjukkan?
5. Berdoa Tutup pertemuan dengan mendoakan bersama-sama setiap pria yang sudah menikah dalam kelompok Anda, serta hal-hal topik-topik yang dibicarakan dalam pelajaran ini.
Si Tegas yang Rendah Hati
Pelajaran 5 1. Ayah yang berubah Posisi bapak/ayah dalam keluarga modern sedang terancam. Tergerus oleh gerakan feminisme selama 30 tahun, tidak ada lagi yang tersisa untuknya. Mulai muncul pertanyaan, bisakah kita hidup tanpa ayah? Apa perbedaan mendasar (selain biologis) antara ayah dan ibu? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang menghantui rasa percaya diri para ayah kita (dan ayah-ayah mereka) , dan yang sekarang ayah di abad 21 harus menghadapinya. a. Menurut Anda, apa perbedaan utama antara makna kebapaan di jaman ayah Anda dibandingkan dengan kebapaan di jaman sekarang?
b. Menurut Anda, apa aspek terberat menjadi seorang ayah? 2. Melawan kemarahan Kita sudah belajar bahwa menjadi percaya kepada Kristus akan merubah cara kita berhubungan dengan orang lain. Demikian juga dalam hal kebapaan. Efesus 6:4 mengajarkan para ayah, bagaimana seharusnya mereka mendidik anak-anak mereka. Bunyi terjemahan bebasnya sebagai berikut: Dan kamu para ayah, janganlah memperlakukan anak-anakmu sedemikian rupa sehingga mereka menjadi marah. Sebaliknya, besarkanlah mereka dengan disiplin dan pengajaran Tuhan Mari kita bedah ayat ini bagian demi bagian A. Marah Perhatikan kata-kata Paulus tentang marah di Efesus 4:25-27, 31. Mengapa membuat anak-anak marah itu salah?
B. Yang seharusnya dilakukan Kata ‘sebaliknya’ menunjukkan bahwa ayah yang benar seharusnya memelihara dan membesarkan anak-anaknya dengan disiplin dan firman Tuhan. Seorang ayah harus melakukan hal yang positif bagi anak-anaknya, dan bukan hal yang membangkitkan kejengkelan dan panas hati. Mari melihat beberapa kata kuncinya. i.
Kata ‘disiplin’ mengandung makna hukuman dan pengajaran/ arahan. Bagaimanakah kedua kata ini saling mendukung dalam membesarkan anak-anak?
ii.
Fakta bahwa anak-anak harus selalu di peringatkan dan dibimbing menunjukkan sifat alamiah mereka yang cenderung berbuat salah setiap waktu. Bacalah Amsal 22:1 dan 29:15, bandingkan cara pandang Tuhan dengan cara pandang dunia moderen terhadap anak-anak serta bagaimana seharusnya anak-anak diperlakukan.
iii.
Pendisiplinan dan bimbingan ayah kepada anak-anaknya ada tujuannya, yaitu mengajarkan disiplin dan peringatan dari Tuhan. Mari meninjau kembali pelajaran sebelumnya dari kitab Efesus; menurut Anda apa maksud semuanya itu?
3. Pemimpin yang rendah hati Di Efesus 6:4 kita menemukan bahwa ayah yang memiliki otoritas adalah ayah yang mengajar, mendisiplin dan memelihara anak-anaknya. Sekarang kita membahas bagian yang menguraikan panjang dan lebar tentang ‘otoritas dan penundukan’ dalam beberapa jenis hubungan (mulai dari pasal 5:22). Dalam setiap hubungan tersebut, otoritas tidak dimaknai seperti perintah raja yang mutlak, namun dalam tujuan untuk kebaikan dan kesejahteraan yang dipimpin. a. Apa kata Yesus tentang kepemimpinan dalam Lukas 22;24-27? Apa hubungannya dengan Efesus 6:4 dan fungsi kebapaan?
b. Bagaimana seorang ayah bisa melayani keluarganya dalam kerendahan hati? Jika Anda seorang ayah, perubahan apa saja yang perlu Anda lakukan untuk bisa melayani dalam kerendahan hati?
c. Bagaimana seorang ayah bisa mengajar, mendisiplin dan sekaligus menegur anaknya dalam suasana formal maupun non formal? Berbagilah dalam kelompok dan susunlah langkah-langkah praktis untuk mewujudkannya.
4. Bacaan tambahan Untuk menggali pelajaran ini lebih dalam bacalah apendiks B, “Hilangnya Seni menjadi Ayah” sepanjang minggu depan. 5. Berdoa Tutup pertemuan dengan mendoakan bersama-sama setiap pria yang sudah menikah dalam kelompok Anda, serta hal-hal topik-topik yang dibicarakan dalam pelajaran ini.
Pekerja keras yang setia Pelajaran 6 1. Dibebani kewajiban a. Coba Anda mengingat-ingat kembali masa-masa dimana Anda ‘dibebani’ kewajiban atau tanggung jawab atau tugas (misalnya pekerjaan). Momen mana yang bagi Anda paling sulit dipenuhi? Pernahkah Anda ingin lari dari kewajiban tersebut?
b. Pelajari dan diskusikan daftar potensi masalah dalam dunia kerja/ usaha berikut ini: bagaimana pengalaman Anda? Menurut Anda yang mana yang paling berat? Berkerjasama dengan atasan Bekerjasama dengan orang yang saya pimpin Menolak godaan untuk berbohong atau curang Menolak godaan untuk malas Menunjukkan identitas kekristenan saya kepada orang lain, dan bersaksi tentang Kristus Bermain-main dalam pekerjaan dan komitmen (misalnya komitmen dalam pernikahan dan gereja) Merasa bosan atau tidak punya tujuan hidup
2. Siapa yang memimpin? Di dua pelajaran sebelumnya kita sudah belajar bahwa hidup di dalam Kristus akan berdampak terhadap polapenundukan serta penghargaan kepada otoritas dalam hubungan suami-istri dan orang tua – anak. Di Efesus 6:5-9 Paulus memperluas tema perubahan pola pikir ini ke hubungan tuan dan pekerja. Sebelum menggali lebih dalam, ada beberapa hal penting yang perlu kita ketahui:
Pertama, pola hubungan tuan dengan pekerja di jaman Paulus sangat berbeda dengan jaman sekarang (di jaman Paulus disebut ‘tuan dan budak/ hamba’). Seorang pekerja/ budak adalah hamba yang terikat, biasanya karena pernah bangkrut dan harus membayar hutangnya dengan menjadi hamba. Tingkat loyalitas dan kepatuhannya jauh melampaui kontrak kerja karyawan di abad 21 ini. Kedua, perlu dipahami bahwa di jaman purba praktek perbudakan tidak sama dengan praktek perbudakan yang mengerikan seperti yang terjadi di abad 18 dan 19. Di abad mula-mula umumnya orang yang memberi diri menjadi budak dengan sukarela, sebagai cara membayar hutang. Dengan dua pemahaman ini mari kita gali perintah Paulus ini.
Bacalah Efesus 6:5-9 a. Saat kapan biasanya seorang budak tidak tunduk/ patuh?
b. Bagaimanakah pemahaman bahwa ‘Kristus adalah tuan yang maha hadir’ bisa mengubah kebiasaan ini?
c. Apa yang memotivasi seorang hamba yang Kristen?
d. Dengan alasan yang sama, kira-kira apa yang bisa memotivasi seorang tuan supaya ia tidak memerintah hambanya dengan ancaman dan penindasan?
e. Dalam keseharian kita selalu ada tugas dan kewajiban yang ingin kita hindari. Dalam hal ini, bagaimana Efesus 6:5-9 bisa mengubah pandangan tersebut?
3. Pelajaran tambahan: di tempat kerja Pelajari ayat-ayat berikut ini dan gali tema ini:
Tujuan bekerja Bagaimana pekerjaan kita menjadi bagian dari ekspresi iman Kristen kita.
1 Tesalonika 4:9-12 2 Tesalonika 3:6-13 1 Petrus 2:11-12, 18-21; Titus 2:9-10
Untuk menggali ayat-ayat lain dengan tema yang sama, bacalah Apendiks C sepanjang minggu mendatang. 4. Praktek dalam pekerjaan a. Anton adalah seorang Kristen yang ekstrovert (orang berkepribadian terbuka), dikenal karena stiker ‘ikan’ (lambang Kristus) yang ditempelnya di kursi kantornya, dan terkenal senang ngobrol tentang hal-hal berbau kekristenan (di jam kerja). Masalahnya adalah, ia juga dikenal sebagai karyawan yang lamban dan prestasinya buruk di mata manajemen. Sebaliknya, Budi adalah seorang karyawan (dikantor yang sama) yang kekristenannya tidak menonjol. Ia pekerja keras dan dipuji oleh manajemen karena kontribusi dan integritasnya. Dan di kantor itu hanya Anton yang tahu bahwa Budi orang Kristen. Menurut Anda, jika Anton dan Budi dijadikan ukuran, dimanakah posisi Anda? Di manakah Anda seharusnya berdiri?
b. Lihat kembali daftar 1b. Apakah ada dari hal-hal tersebut yang harus Anda miliki dan benahi? Apa yang akan Anda lakukan?
c. Adakah cara tertentu yang bisa menolong Anda untuk terus menerus menyadari bahwa Kristus berkuasa atas hidupmu, termasuk dalam pekerjaanmu? Apakah di tempat kerja Anda ada sesama Kristen yang bisa diajak berdoa bersama? Dapatkah Anda menyelipkan jadwal doa dalam kegiatan rutin Anda di kantor?
5. Berdoa Tutup pertemuan dengan mendoakan tempat kerja/ usaha Anda. Doakan rekan kerja yang non-kristen. Berdoa untuk tingkah laku Anda di tempat kerja agar berpadanan dengan panggilan yang Anda terima (Efesus 4:1).
Tentara Allah Pelajaran 7 1. Mau kemana? Karena ini adalah pelajaran terakhir, maka kita perlu meluangkan waktu sejenak dan meninjau kembali semua yang sudah dipelajari. Kita sudah belajar tentang apa arti menjadi Kristen dan bagaimana kita menghidupinya dari hari ke hari dalam berhubungan dengan orang lain. Kita sudah membahas berbagai aspek kehidupan kita sebagai pria, dan tantangan-tantangan yang menghadang. Tetapi, setelah itu apa lagi? Apa yang menunggu kita di masa depan? a. Dalam sepuluh tahun dari sekarang, Anda ingin mencapai apa dalam hal: Dunia pekerjaan
Kehidupan keluarga
Kehidupan bergereja
b. Menurut Anda, apa ancaman terbesar yang bisa menghalangi pertumbuhan dan keberhasilan dalam bidang-bidang ini?
2. Tentara Allah Di bagian penutup surat Paulus kepada jemaat Efesus, ia memaparkan tantangan-tantangan yang bakal di hadapi jemaat di masa depan. Perjalanan orang percaya tidak akan mulus, atau aman-aman saja. Melainkan sebuah medan pertempuran. Bacalah Efesus 6:10-20 a. Kuasa mana yang menyerang kita?
a. Sekilas perikop ini hanya berbicara tentang peperangan pribadi melawan dosa dan ketidak kudusan dalam diri kita. Carilah dalam perikop ini ayat yang mengindikasikan bahwa sebenarnya peperangan ini melawan kuasa yang lebih luas.
b. Setelah kita diperlengkapi dengan persenjataan dan kuasa dari Allah yang maha tinggi, hasil seperti apa yang seharusnya kita capai?
c. Paulus memerintahkan kepada jemaat Efesus untuk mengenakan segenap perlengkapan senjata Allah supaya mereka bisa melawan dan bertahan dalam pertempuran rohani yang mereka hadapi. Pelajari masing-masing perlengkapan rohani tersebut, dan jelaskan apa fungsi dari masing-masing alat tersebut ketika menghadapi serangan si Jahat dalam pertempuran. Jika kita yang mengenakan perlengkapan ini, siapa yang akan kita lawan? Apa yang diperebutkan dalam peperangan ini? Isilah tabel berikut ini dan diskusikan setiap bagian. Ayat
Nama Perlengkapan
14
Kebenaran
14
Keadilan
15
Rela memberitakan Injil
16
iman
17
Ketopong keselamatan
17
Pedang Roh
Dipakai untuk melawan apa?
Praktek sehari-hari
d. Mengapa doa punya peran penting dalam peperangan? Apa hal yang utama dalam berdoa, yang disebutkan dalam ayat 18?
3. Bertarung a. Istilah yang dipakai dalam Efesus 6 sangatlah keras—tipu daya Iblis, hari yang jahat, panah api—tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita tidak mengalami suasana dramatis ini. Menurut Anda mengapa bisa terjadi perbedaan seperti ini?
b. Efesus 6 memerintahkan agar kita berdiri tegap dan kuat. Menurut Anda, di area mana Anda sering jatuh? Di mana titik lemah Anda? Apa yang dapat Anda perbuat untuk memperkuat posisi Anda?
c. Coba melihat peperangan ini tidak hanya terbatas pada hidupmu sebagai orang Kristen, dan pikirkan peran apa yang akan Anda ambil dalam gereja dan dalam dunia luas untuk kemuliaan Tuhan? Dalam hal apa Anda ambil bagian dalam peperangan bagi Injil?
4. Berdoa Tutup pertemuan dengan saling mendoakan, serta topik-topik yang dibicarakan dalam pelajaran ini, harga yang harus dibayar untuk memberitakan Injil, serta keteguhan Anda di dalam Kristus.
Memberdayakan Gereja Apendiks A
Kebiasaan kita ke gereja seminggu sekali dapat dengan mudah berubah menjadi kewajiban yang menyesakkan. Setiap Minggu kita harus berjuang mengulang kebiasaan-kebiasaan mingguan, berusaha beramah tamah dan berbasa-basi, lalu kembali ke rumah yang aman tentram. Namun sesungguhnya kita sadar bahwa praktek bergereja yang benar bukan seperti ini... Perjanjian Baru memberi kita alasan mengapa kita pergi ke gereja. Bisa dikatakan bahwa kita ke gereja karena sebuah misi, seperti yang dinyatakan di Ibrani 10:24-25: Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuanpertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat Atau di 1 Korintus 14:26 Jadi bagaimana sekarang, saudara-saudara? Bilamana kamu berkumpul, hendaklah tiap-tiap orang mempersembahkan sesuatu: yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau penyataan Allah, atau karunia bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh, tetapi semuanya itu harus dipergunakan untuk membangun Tujuan kita ke gereja adalah untuk saling membangun, saling menguatkan dan menyemangati, dan untuk melayani demi kebaikan sesama. Inilah misi yang harus kita emban. Jadi kita ke gereja bukan untuk mendapatkan sesuatu, melainkan untuk berbagi sesuatu. Tentu saja di gereja kita akan menerima dukungan, pengajaran serta didorong untuk melakukan semua perbuatan baik. Dan kita memang membutuhkannya untuk bisa terus melanjutkan kehidupan sebagai orang Kristen. Namun semuanya itu bukanlah tujuan utama kita, melainkan hanya bonus saja. Tujuan kita adalah untuk fokus tentang bagaimana kita bisa melayani Tuhan Yesus dan sesama.
Melayani sesama dapat mengambil banyak bentuk. Berikut ini lima di antaranya. 1. Mendukung sesama Coba bayangkan, ketika hari Minggu anak-anak kita rewel, tubuh kita sedang letih lesu, cuaca sedang bagus-bagusnya untuk bersantai di rumah, dan tema kotbah minggu itu adalah soal korban bakaran di kitab Imamat (yang sangat membosankan)...kira-kira orang masih ada orang yang masih mau berangkat ke gereja—selain si fanatik yang keras kepala? Jawabannya: tujuan kita ke gereja bukanlah untuk kesenangan diri sendiri, melain untuk sesama anggota tubuh Kristus. Jika motivasi utama kita hadir dalam pertemuan akbar dengan sesama saudara dalam Kristus adalah untuk menunjukkan kasih dan dukungan kepada mereka, maka kita akan rela datang walau harus menempuh perjalanan jauh. Anda tidak bisa menunjukkan kasih, perhatian dan dukungan jika Anda tidak hadir di sana. Jika Anda tidak mendukung, berarti Anda sedang menjatuhkan.
2. Duduk bersama sesama Dengan berfokus kepada Allah dan kepentingan orang lain maka sikap kita akan berbeda saat pergi ke gereja, termasuk dalam hal-hal kecil dan sepele. Contohnya, saat memilih posisi duduk di gereja; kita tidak lagi mengambil posisi kursi ‘favorit’, yaitu disamping si Joko dan Tuti dan di belakang Ani, melainkan mencari posisi yang membuka peluang melayani orang lain: di samping orang asing (mungkin orang baru), atau disebelah Wibowo yang jarang-jarang ke gereja, atau Andi—yang saya tahu sedang bergumul tentang anaknya...sehingga kita punya kesempatan ngobrol dengan orang-orang ini dan mendoakan mereka. 3. Menyambut orang baru Ini berhubungan dengan poin ke lima: jika kita peduli kepada sesama, pasti kita peka dengan kehadiran orang baru dalam ibadah. Dan karenanya kita akan melakukan apa saja supaya ia merasa nyaman di tengah lingkungan yang mungkin asing baginya. Kita akan duduk disampingnya dan menjelaskan apa yang sedang berlangsung saat ia mulai bingung, berbagi Alkitab (jika ia tidak membawanya), dan memperkenalkannya pada sesama jemaat lainnya. Dan mungkin kita bisa mengajaknya makan siang bersama. Ini adalah hal-hal kecil yang bisa kita lakukan terhadap orang baru, yaitu bersikap ramah terhadap mereka. 4. Mendengarkan Menyimak khotbah juga merupakan bagian dari bagian dari pelayanan kita kepada sesama. Jemaat yang menunjukkan ketertarikannya dengan aktif dan antusias mendengarkan, merenungkan, atau bahkan menulis catatan, akan menyemangati siapapun yang sedang berkotbah. Bukan saja ini akan memacu semangat si pengkotbah, tetapi juga orang yang duduk di dekat kita. Dampak yang sebaliknya juga akan terjadi jika kita bersikap pasif, dingin, cuek terhadap khotbah dan orang sekitar kita. Pelajari lebih lanjut praktek percakapan berikut.
5. Bercakap dengan orang lain Pernahkah Anda mendengar (atau terlibat dalam) percakapan seperti ini di gereja... “Bagaimana kabarmu?” “Baik. Bagaimana denganmu?” “Ya, tidak ada persoalan serius.” “Baguslah.” “Ok” “Gimana dengan pekerjaan?” “Tidak jelek, biasa saja. Kamu ngerti kan” “Ya, saya juga sama” “Kamu nonton pertandingan bola kemarin?” “Tidak, saya pas sedang keluar. Saya dengan kita kalah ya?” “Ya sih, tapi itu pertandingan yang bagus kok. Klub lawan konsentrasi di pertahanan, itu artinya...” Rasanya tidak layak jika selepas memuliakan Tuhan dan firman Nya lalu kita tidak lagi memperbincangkannya. Mengapa ini bisa terjadi? Seringkali hal ini terjadi karena kita enggan memulai percakapan yang berbau rohani. Mungkin kita khawatir pandangan orang tentang diri kita, atau kita enggan membicarakan kebenaran. Demi menolong sesama, kita harus berani melawan pola pikir ini dan memulai percakapan yang saling membangun. Berikut ini beberapa tips yang bisa menolong: Belajar mendengar. Setiap orang hendaknya cepat mendengar dan lambat dalam berkata-kata, demikian nasehat rasul Yakobus. Inilah kunci memulai percakapan yang membangun. Awalnya kita harus meluangkan waktu untuk mendengarkan orang lain. Perhatikan lawan bicara yang sedang Anda dengarkan. Arahkan badan Anda kepadanya, dan mulai menyimak apa yang ia sampaikan. Jangan melipat tangan di dada atau posisi badan setengah menghadap arah lain, atau menarik badan ke belakang, atau mengangkat satu alis ke atas. Ini semua adalah contoh saja, yang menunjukkan betapa kita sering melakukan hal-hal kecil seperti ini. Tunjukkan ketertarikan. Bukan hanya bahasa tubuh dan sikap tubuh kita yang bisa memancing percakapan, tetapi juga ketertarikan yang tulus. Ajukan pertanyaan sebanyak mungkin, seperti tentang keluarganya, pasangannya, anak-anaknya, rumah, pekerjaan, kisah hidupnya, perjalanan kekristenannya, tema buku yang sering dibaca, hiburan yang disukai...ajukan pertanyaan tentang apa saja dan segala hal tentang dia. Tunjukkan bahwa Anda ingin mengenal dia lebih dalam supaya bisa mengasihi dan mendukungnya. Kuasai dirimu supaya tidak buru-buru mengikuti dorongan untuk bercerita tentang diri sendiri. Terbukalah tentang dirimu saat percakapan kalian sudah semakin akrab.
Jangan menghakimi. Memang nyaris tidak mungkin untuk tidak menilai orang lain. Karena itu bukalah hatimu. Ajukan pertanyaan-pertanyaan, dengarkan dia dengan seksama. Seringkali seseorang tidak sama dengan penampilannya, atau dengan apa yang kita bayangkan. Sabarlah. Membangun percakapan yang berkualitas umumnya butuh waktu. Terkadang hubungan yang baik terbangun setelah empat sampai lima kali pertemuan. Mendukung tidak sama dengan aksi penyerbuan. Kita harus sabar dan tidak mudah menyerah terhadap lawan bicara kita. Seringkali dengan kita mendengarkan akan memberi waktu lawan bicara menemukan kata yang tepat tentang hal yang ingin ia sampaikan. Ganti topik pembicaraan Dengan mendengarkan orang lain berbicara saja sudah merupakan bentuk dukungan. Kebanyakan orang akan merasa bersemangat ketika berbicara dengan seseorang yang antusias dan penuh simpati. Dengan proses yang sama, jika kita benar-benar ingin mendorong saudara-saudari untuk bertumbuh maka pada satu titik kita harus berbicara tentang hal rohani yang penting. Bagaimana caranya? Berikut beberapa ide praktis. Beranjak dari perbincangan ringan kepada pendapat. Langkah awal bawalah percakapan seputar peristiwa terkini atau acara yang bisa memancing komentar. “Eh, kamu sudah baca berita di koran kemarin tentang kembar siam, yang ibunya tidak mau anaknya dipisah dengan operasi tetapi dokternya maksa? Apa pendapatmu?” Setelah mengajukan pertanyaan arahkan percakapan ringan ini ke arah yang lebih dalam dan serius. Dari topik bayi kembar siam bisa merembet kepada pertanyaan tentang kekudusan hidup, etika, dan hak orang tua. Di sini sudah terbangun percakapan yang menarik dan membangun dimana pertanyaan seputar tujuan hidup, kematian, dan gambaran tentang Allah mulai mengemuka. Berbicara soal Alkitab. Anda bisa mengajukan pertanyaan langsung seperti, “Minggu ini membaca kitab apa?” sebagai pembuka percakapan. Setelah itu Anda bisa mengajukan pertanyaan tentang hal-hal menarik perhatian mereka atau menegur mereka dari bacaan tersebut; bisa juga Anda membagikan apa yang didapat dari bacaan tersebut. Bahkan jika lawan bicara Anda mengatakan, “Hmmm...sebenarnya saya jarang sekali membuka Alkitab.” Anda tetap bisa memulai percakapan dengan menunjukkan rasa simpati dan berbagi pengalaman ketika Anda sendiri bergumul untuk setia membaca Alkitab. Kemudian ajak dia berdoa untuk meneguhkan. Kedua cara ini sama-sama bisa menolong.
Berbincang tentang kotbah. Kita harus menyimak setiap kotbah demi pertumbuhan rohani kita sendiri. Namun saat yang sama, ini bisa menjadi bahan perbincangan dengan orang lain. Saat mendengar khotbah buatlah catatan tentang hal-hal yang bisa dihadirkan dalam percakapan. Jangan ajukan pertanyaan tertutup, seperti, “Apa pendapatmu tentang kotbah tadi?” yang biasanya hanya memancing jawaban pendek yang sulit berkembang menjadi diskusi. Tetapi pancinglah dengan pertanyaan yang spesifik, seperti, “Topik penghakiman terakhir tadi bagus sekali. Itu menjawab kebingungan saya selama ini. Bagaimana dengamu? Apa yang kamu dapatkan?” atau “Kamu paham penjelasan pendeta tentang ayat 20 tadi? Mungkin saya tadi tidak konsentrasi, karena saya sekarang saya benar-benar tidak paham.” Siap sedia menjelaskan Injil. Saat mulai percakapan, khususnya dengan orang yang baru, mungkin saja dia tidak memahami isi Injil. Untuk itu kita harus diperlengkapi dengan siap sedia memanfaatkan peluang ini. Paling tidak kita bisa mengatakan, “Nampaknya Anda masih baru dengan ini semua. Kebetulan gereja kami menyelenggarakan kursus pemahaman dasar kekristenan. Apakah Anda bersedia bergabung?” Atau jika kondisi memungkinkan, kita bisa menanyakan, “Pernahkah seseorang menjelaskan kepada Anda tentang isi Injil yang sebenarnya? Saya sendiri buta selama bertahun-tahun, sampai akhirnya ada orang yang mau meluangkan waktu menjelaskannya kepada saya.” Dan jika Anda mendapat ‘lampu hijau’, Anda sendiri bisa menjelaskannya langsung.
Kesimpulan Saat kita hadir dalam sekumpulan orang yang disebut ‘gereja’, kita tidak bisa mengambil posisi sebagai pengamat. Kita adalah pemainnya. Jangan berkata, “Ya sebenarnya saya ingin terlibat, tetapi semua posisi sudah terisi.” Ini sama seperti pemain sepak bola yang mengeluh tidak punya peran gara-gara posisi-posisi penjaga garis, wasit, satpam, penjual tiket dan pedagang asongan sudah terisi semua. Semua jabatan tersebut hanya penunjang saja, agar permainan bisa berlangsung sukses. Sedangkan pemain tetap harus bermain di lapangan.
Appendiks ini diadaptasi dari tulisan Tony Payne, diterbitkan pertama kali di Fellow Workers, sebuah newsletter milik Matthias Media.
Hilangnya Sentuhan Ayah Apendiks B “Hidup saya terkoyak-koyak antara berusaha ‘memberikan yang terbaik’ dalam pekerjaan, menghadiri rapat tengah malam, ikut acara kantor akhir pekan, dan keinginan untuk menghabiskan waktu dengan istri dan anak-anak saya.” Itulah kesaksian Daniel Petre—mantan direktur Microsoft Australia yang melepaskan diri dari Microsoft yang tuntutan kerjanya tinggi dan penuh obsesi, hanya supaya bisa memetik buah di PAUD anaknya, dan ngobrol dengan anak-anaknya ketika mereka pulang dari sekolah. Ada orang-orang yang menuding bahwa hal semacam ini mudah dilakukan jika pelaku adalah orang yang kaya raya di usia 31, seperti Petre (hasil dari bekerja 70 jam seminggu selama 10 tahun). Senada dengan itu, Petre menulis dalam bukunya, Father Time: making time for your children, bahwa bekerja 60 jam seminggu tidak dapat menjadikan seorang pria ayah yang baik. Seorang pakar pendidikan anak, Steve Biddulph, menyatakan hal yang mirip. Dalam sebuah seminarnya berjudul “Membesarkan anak” kata-katanya membuat para ayah harus menelan ludah: tidak mungkin bisa meluangkan waktu bersama anak-anak jika Anda bekerja lebih dari 55 jam seminggu. Sekarang ajaran ini menjadi acuan setiap kali para pria berdiskusi tentang tantangan menjadi ayah di dunia moderen ini. Jika Anda ingin membangkitkan rasa bersalah para ayah merasa bersalah dan sangat berdosa, kutip saja adegan “Cats in the Cradle” (film tentang suami yang menyesal setelah kehilangan istrinya, dan berusaha memperbaiki hubungannya dengan anak lelakinya), yaitu saat si ayah tidak punya waktu untuk bermain bola dengan anaknya dan anaknya bertanya, “Kapan kau akan pulang ayah?” Atau adegan saat anak tertuanya tidak punya waktu atau berusaha meluangkan waktu untuk duduk ngobrol bersama ayahnya yang sudah tua. Bagian ini dibacakan dalam konvensi pria Kristen, dimana 3000 pria langsung terdiam. Para ayah di jaman modern ini sedang dikepung, bukan saja oleh kurangnya waktu, tetapi juga oleh ketidak pahaman akan fungsi ayah dan apa yang seharusnya mereka kerjakan sebagai ayah. Tandanya adalah berlimpahnya buku-buku yang mengajarkan tentang bagaimana seorang ayah mengisi waktu bersama anak-anaknya selepas jam kerja. Gambaran ayah yang berperan ini sebenarnya mirip dengan gambaran ibu yang berperan di masa pra-modern: mengantar ke sekolah setiap hari, mengganti popok, menolong mengerjakan PR. Pokoknya ia ada untuk anak-anaknya. Saya tidak bermaksud meremehkan semua peran ini (saya sendiri juga mengganti popok anak saya), namun saya tidak bisa berdiam diri melihat bagaimana peran dan posisi khusus ayah mulai lenyap di tengah gegap gempita gerakan feminisme. Saat ini seakan ‘haram’ jika mengatakan bahwa ayah adalah kepala rumah tangga. Jika mengatakan tugas ayah adalah membawa pulang makanan, itu juga sebuah ‘serangan terbuka’ terhadap peranan wanita. Ketika pria dan
wanita dipandang hanya sebagai pribadi yang setara tanpa perbedaan fungsi dan peran—seperti yang diperjuangkan kaum feminis selama 40 tahun belakangan— maka dampaknya adalah fungsi yang ayah dan ibu yang dapat saling bertukar. Pertanyaannya, ada berapa ayah dan ibu dalam keluarga modern? Jadi, apa makna menjadi seorang ayah? Apa yang seharusnya dilakukan seorang ayah? Pertanyaan-pertanyaan ini membingungkan para pria belakangan ini. Jika kita kembali kepada Alkitab, kita akan menemukan jawaban yang jelas dan mencerahkan. Alkitab menegaskan bahwa seorang ayah punya makna lebih dari sekedar ‘papa’ yang baik hati, pria yang selalu siap untuk menyetrika, dan selalu hadir untuk menyaksikan gol kemenangan anaknya. Alkitab punya beberapa pandangan berkenaan dengan kebapaan, dan kita akan melihat tiga di antaranya, yang paling penting. Konsep Dasar Salah satu pandangan dasar Alkitab tentang ayah adalah, ayah merupakan penghasil, penyedia dan menjaga keberlanjutan kehidupan keluarga. Pandangan ini memang terasa asing bagi kita yang hidup dalam budaya modern. Umumnya kita menganggap bahwa ibulah yang menyediakan dan menghasilkan kehidupan, dan ayah hanyalah rekanan yang punya peran kecil (dan peran itu pun sekarang bisa dengan mudah digantikan oleh berbagai peralatan). Sedangkan pandangan Alkitab sangat berlawanan dengan itu. Dengan tidak merendahkan fungsi ibu, Alkitab menegaskan bahwa ayah lah yang menghasilkan kehidupan baru. Dari ayah dimulai kehidupan lain yang segambar dan serupa, seperti Adam saat menurunkan Seth (Kejadian 5:3). Demikian juga gambaran Allah sebagai Bapa seluruh umat manusia. Seperti perkataan Musa, “...Bukankah Ia Bapamu yang mencipta engkau, yang menjadikan dan menegakkan engkau?” (Ulangan 32:6) dan Maleakhi, “Bukankah kita sekalian mempunyai satu bapa? Bukankah satu Allah menciptakan kita?” (Maleakhi 2:10). Ayah adalah sumber kehidupan dari generasi ke generasi. Sama seperti Yubal yang adalah ‘bapa kaum pengembara yang hidup dalam kemah dan beternak’. Atau seperti tokoh yang populer, Abraham, yang adalah bapa beriman dari bangsa-bangsa. Konsep dasar kedua masih berhubungan dengan konsep pertama. Dalam Alkitab, ayah digambarkan bertanggung jawab atas kehidupan yang sudah ia hasilkan, sampai keturunannya menjadi manusia seutuhnya. Kedua orang tua, khususnya ayah, memegang tanggung jawab utama untuk berperan dalam pertumbuhan anak-anak, mengusahakan kesejahteraan seisi rumah. Ini semua adalah gambaran dari kesetiaan Sang Bapa dan pencipta kita, yang menyediakan, menjaga dan melestarikan ciptaan-Nya, membuka diri-Nya untuk semua, memberikan hujan bagi orang benar dan orang jahat. Sama seperti Bapa di Surga bertanggung jawab atas seluruh ciptaan-Nya, demkianlah seorang ayah bertanggung jawab atas keluarganya. Konsep dasar ke tiga, sangat berhubungan dengan konsep ke dua. Otoritas yang disandang seorang ayah tidak berdasarkan/ berasal dari kekuatan maupun kelebihan fisiknya. Juga bukan dari kesewenang-wenangan maupun ketetapan Allah (seakan-akan Dia menetapkannya dengan melempar koin). Sang ayah punya otoritas karena dia bertanggung jawab. Tanggung jawab dan panggilan bermuara di dia. Ia memimpin keluarga bukan untuk memenuhi kepentingannya, melainkan untuk memenuhi tanggung jawabnya. Bukan sebuah kebetulan jika Efesus 5 berbicara tentang pria yang melakukan peran sebagai ‘kepala’ bagi istrinya dengan jalan menyerahkan hidupnya untuk istrinya. Inilah esensi otoritas seorang ayah. Otoritas adalah sisi lain dari tanggung jawab, diberikan agar ia mencapai kemaksimalannya, demi kebaikan seluruh keluarga.
Jadi seorang ayah berhak menerima semua penghormatan dan ketaatan dari anggota keluarga, karena dialah sumber kehidupan dan yang memegang tanggung jawab atas ketersediaan makanan, pemeliharaan, peneguhan, pengajaran, serta bimbingan bagi keluarganya. Sama seperti Allah Bapa layak menerima penghormatan dan ucapan syukur oleh karena Ia telah menciptakan semuanya, dan dalam kemurahan-Nya, mengambil tanggung jawab atas kelestarian ciptaanNya, demkian juga seorang ayah layak menerima penghormatan dari keluarganya. Memang sulit dibayangkan oleh masyarakat modern, kenggerian hukuman yang tertulis dalam Alkitab bagi anak-anak yang tidak menghormati atau menghina orang tuanya. Sebab mereka tidak menghargai tanggung jawab yang besar, sekaligus otoritas tertinggi yang disandang ayah dan ibu. “Mata yang mengolok-olok ayah, dan enggan mendengarkan ibu akan dipatuk gagak lembah dan dimakan anak rajawali.” (Amsal 30:17) Citra Bapa Ke tiga konsep dasar yang saling berhubungan—generasi, tanggung jawab, dan otoritas—telah menjadi ide dasar gambaran maupun teladan kebapaan dalam Alkitab, dengan penekanan berbeda-beda pada beberapa bagian. Ketika Ayub mengatakan bahwa ia adalah ‘bapa bagi orang miskin’, ia sedang menekankan belas kasihannya kepada kaum miskin, tanggung jawabnya, serta pemeliharaannya terhadap mereka (Ayub 29:16). Demikian pula ketika Yusuf mengatakan bahwa Allah telah menjadikannya “bapa bagi Firaun”, maksudnya adalah bahwa posisi dan statusnya dalam kerajaan Mesir telah melampaui siapapun, bahkan Firaun sekalipun. Dia telah menjadi orang yang selalu dicari semua orang yang ingin selamat, termasuk Firaun. Sehingga layak jika ia mendapat gelar “sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir.” (Kejadian 45:8). Hal yang sama juga terjadi, di Yesaya 22, saat Elyakim diangkat menjadi bupati Yerusalem, dan bukan Sebna. Perhatikan bagaimana penggambarannya: Aku akan mengenakan jubahmu (Sebna) kepadanya (Elyakim) dan ikat pinggangmu akan Kuikatkan kepadanya, dan kekuasaanmu akan Kuberikan ke tangannya; maka ia akan menjadi bapa bagi penduduk Yerusalem dan bagi kaum Yehuda. Ia menjadi ‘bapa’ dalam arti menerima kuasa yang dianugerahkan, dan kuasa ini untuk kebaikan orang yang dipimpinnya, untuk menegakkan keadilan dan mengatur urusan-urusan kota tersebut untuk kepentingan warganya. Sama dengan itu ada di Yesaya 9, Sang Putra yang pada pundaknya terletak lambang pemerintahan, yang akan memerintah kerajaan Israel sampai selamanya, menghadirkan kedamaian dan keadilan serta kebenaran, yang namanya disebut orang ‘Bapa yang kekal’. Ketika kita menyelidiki kata ‘ayah/ bapa’ dalam Alkitab, maka yang muncul adalah gambaran yang begitu kaya dan mengagumkan. Gambaran ayah alkitabiah bukanlah ayah yang jahat, otoriter, sulit dijangkau, keras, yang hanya mementingkan kekuasaannya dan tidak peduli pada sesama. Ia sesungguhnya adalah pria yang penuh belas kasihan dan berbudi luhur, tangannya selalu terbuka dan mengayomi, dan kekuasaanya ditunjukkan melalui kebaikan dan keramahannya terhadap mereka yang menjadi tanggung jawabnya. Ia menyediakan pemberian terbaik untuk anak-anaknya, ia menegur dan menghajar anaknya karena ia mengasihinya, ia mengajari dan melatih anaknya berjalan di dalam kebenaran, ia mendorong dan menyemangati anak-anaknya. Dia benar-benar memegang kendali, namun ia menerapkan kepemimpinannya dengan tindakan yang benar dan bijak untuk kebaikan orang lain. Dan bukan dengan menunjukkan kekuasaannya atas kaki-tangannya demi keuntungan pribadi. Kita menaati dan menghormatinya dengan sukarela karena dia memang layak menerimanya.
Siapa yang saya maksud di sini? Bapa di surga atau bapa/ ayah di dunia? Jawabannya: kedua-duanya. Gambaran ini berlaku untuk Allah Bapa maupun ayah di dunia di dalam Alkitab. Sebab, seperti Efesus 3:14 katakan, bahwa dari Allah Bapa lah semua mahluk menerima namanya. Kepada-Nya lah kita sujud memohon agar Ia menganugerahkan kekuatan, dan dari Dia lah kita menerima Kristus masuk ke dalam hati kita. Inilah gambaran indah kebapaan, yaitu ayah yang kuat, bijaksana, dan yang kepadanya anak-anak bisa memohonkan apa yang mereka butuhkan. Dan ia akan menganugerahkannya dengan gembira dan dengan melimpah sebagai bukti kasihnya kepada mereka.
Apa yang harus dilakukan? Yang perlu dilakukan adalah, para ayah modern ini harus menangkap gambaran dan visi alkitabiah tentang kebapaan. Di tengah kekacauan politik jender dunia moderen serta pemaknaan kembali arti keluarga, kita harus memegang dengan teguh gambaran Alkitab tentang ayah sebagai sumber kehidupan, bertanggung jawab, dan berkuasa. Praktisnya, kitalah (para pria) yang menjalankan kepemimpinan dan memegang kendali dengan jalan mengambil tanggung jawab atas kesejahteraan keluarga. Atau dengan kata lain, kita menunjukkan tanggung jawab terhadap keluarga dengan cara membuat keputusan-keputusan dan bertindak. Hal ini bukan berarti kita harus pulang kerja lebih awal supaya bisa membacakan cerita pengantar tidur untuk anak-anak kita. Itu hanya salah satu bagian kecil saja dari peran seorang ayah. Sebagai ayah kitalah yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan seluruh anggota keluarga, yang mencakup kebutuhan fisik, emosi, dan rohani. Inilah wilayah tanggung jawab kita. Inilah tuntutan yang harus kita kerjakan. Memang kita mengerjakannya bersama istri, namun tanggung jawab utama ada pada kita, para ayah. Jika anak-anak kita kelaparan dan tidak punya pakaian yang layak, maka tugas kitalah untuk berjuang melakukan segala upaya yang diperlukan untuk memenuhinya. Selanjutnya kita pun harus membuat perencanaan masa depan dan prioritas untuk memastikan kebutuhan semacam ini bisa terpenuhi. Jangan sampai kita banyak membuang waktu nongkrong sambil nonton acara olah raga, dan satu saat baru terpikir untuk mencari pekerjaan gara-gara mengetahui bahwa anak kita menderita kekurangan gizi. Salah satu aspek kebapaan yang sering diabaikan dan dikerjakan secara serampangan adalah, meluangkan waktu untuk membangun hubungan yang kuat dan saling percaya dengan istri dan anak-anak. Kita jarang mengambil inisiatif untuk mengajar, mengarahkan dan berbincang dengan istri dan anak-anak kita mengenai Tuhan Yesus, atau berdoa bersama mereka atau untuk mereka. Ingatlah, tidak ada orang lain yang bisa menggantikan peran ini untuk kita. Kitalah yang harus mengerjakannya, dengan bijaksana dan tegas. Sekarang ambillah waktu merenung: apa yang akan Anda lakukan supaya bisa berperan sebagai ayah bagi keluarga Anda? Appendiks ini diadaptasi dari tulisan Tony Payne, diterbitkan pertama kali di Fellow Workers, sebuah newsletter milik Matthias Media.
5 Alasan Bangun Pagi di hari Senin Apendiks C Apa yang Anda rasakan saat dibangunkan jam weker di Senin pagi? Apakah Anda langsung melompat dengan semangat untuk menyambut minggu yang baru? Tentu tidak. Umumnya kita menghabiskan 40 sampai 60 jam seminggu di tempat kerja, entah kita karyawan dan usaha sendiri, bekerja di kantor ataupun di rumah. Ini belum termasuk waktu yang dihabiskan dalam perjalanan. Bekerja terkadang menyenangkan dan bisa memberi kepuasan. Namun terkadang bisa sangat membosankan, berat, membuat frustasi dan sangat menekan (dan tentu membahayakan kesehatan kita). Di lain waktu pekerjaan kita terasa menjemukan dan tidak istimewa. Dahulu, selepas jam sekolah, saya bekerja sebagai pesuruh di proyek bangunan. Tugas saya adalah mengetes adukan beton. Setiap selesai dituang, saya harus mengambil sampel 1 tabung silinder. Saya harus mengisinya dengan 3 lapisan, lalu harus menusuk-nusuknya sebanyak 25 kali dengan sebatang besi. Ini pekerjaan yang sangat membosankan dan menjemukan. Saya hampir gila melakukannya. Untunglah hal ini hanya berlangsung dua bulan. Pernahkah terpikir oleh Anda mengapa Anda bekerja? Bagaimana Anda memandang pekerjaan yang Anda lakukan sehari-hari? Apakah bekerja itu hanyalah sebuah keharusan yang menyusahkan? Kita bekerja supaya ada jaminan tersedianya makanan, punya tempat tinggal untuk bernaung, dan punya uang untuk membayar tagihan. Ini adalah sesuatu yang harus kita kerjakan untuk menjamin kelestarian hidup. “Karena saya berhutang maka saya harus bekerja.” Walau saya tidak suka, tetapi saya harus bekerja. Apakah bekerja adalah bagian dari kutukan Allah sebagai akibat dari pemberontakan manusia? Dan menjadi orang percaya tidak membuat kita terhindar dari masalah ini. Malah tekanannya jadi lebih berat. Ini bisa terjadi karena adanya ‘krisis Minggu – Senin’. Di hari Minggu pikiran kita disuguhi kisah tentang karya Tuhan; bagaimana Dia melakukan hal-hal yang bersifat kekal; bagaimana Allah mewartakan kabar gembira tentang Yesus, dan membawa manusia yang memberontak kembali ke dalam kerajaan-Nya; Ia menguduskan para pendosa. Setelah itu, di hari Senin pikiran kita kembali dijejali oleh krisis yang maha besar; kita kembali terlibat dengan adukan beton; terjebak dengan kertas kerja yang tidak ada habisnya; dengan segala hal yang sebenarnya sangat sepele, sangat fana, sangat biasa jika dibandingkan dengan karya Allah. Kita dapati bahwa, semakin kita terlibat dalam kegiatan gereja, semakin kita frustasi terhadap kerjaan kita sehari-hari. Di pekerjaan Allah kita menyaksikan bagaimana orang berdosa dipindahkan dari Neraka ke Surga. Jika hal itu dibandingkan dengan pekerjaan mengaduk semen, memang jadi terlihat tidak berarti apa-apa. Lalu kita mulai merasa menjadi nomor 2 dalam kerajaan-Nya. Seakan-akan yang mendapat posisi nomor 1 adalah mereka yang berkotbah di mimbar karena mereka terlibat penuh dalam pekerjaan Allah. Pekerjaan duniawi menempati posisi ke dua dalam kerajaan-Nya. Benarkah semua pekerjaan di luar gereja adalah pekerjaan ‘kelas 2’ di mata Allah? Kita akan membahas lebih jauh tentang ini sebentar lagi.
Jadi, mengapa kita bekerja? Apa kata Tuhan untuk kegiatan yang menguras banyak waktu kita ini? Apa kata Alkitab mengenai pekerjaan kita sehari-hari? Saya menemukan ada lima alasan dalam Perjanjian Baru, menjelaskan mengapa orang Kristen bekerja. 1. Supaya tidak menjadi beban bagi orang lain Rasul Paulus bekerja keras di Tesalonika, baik sebagai pengajar maupun sebagai tukang tenda. Mengapa? Supaya ia tidak menjadi beban bagi jemaat Tesalonika, dan dirinya keberadaannya tidak menjadi penghalang saat ia mewartakan Injil (2 Tesalonika 3:7-8). Paulus meminta jemaat mengikuti teladan ini. “jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (ay. 10). Jadi setiap orang Kristen harus bekerja agar tidak menjadi beban bagi sesamanya. Namun perhatikan bahwa yang Paulus maksud maksudkan adalah mereka yang sebenarnya bisa bekerja tetapi tidak mau, bukan mereka yang ingin bekerja tetapi tidak kunjung dapat pekerjaan atau tidak bisa bekerja. Mereka yang benar-benar tidak bisa bekerja harus mendapat perhatian khusus dan ditolong, bukan di hakimi. Di 1 Tesalonika 4:11-12 Paulus memberi pernyataan yang mirip, “Dan anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus persoalanpersoalan sendiri dan bekerja dengan tangan, seperti yang telah kami pesankan kepadamu, sehingga kamu hidup sebagai orang-orang yang sopan di mata orang luar dan tidak bergantung pada mereka.” Jadi ada alasan yang lebih dalam lagi, yaitu untuk memdapatkan kesan yang baik dari orang non-Kristen. Karena kita tidak hidup terasing; orang luar memperhatikan bagaimana kita hidup. Jika kita malas dan suka meminta-minta, maka orang lain akan menarik kesimpulan negatif terhadap kekristenan. Sebaliknya, ketika kita bekerja keras dan memenuhi sendiri semua kebutuhan, kita telah menjadi kesaksian yang baik untuk nama Kristus. Jadi kita bekerja supaya bisa memenangkan rasa hormat orang sekitar kita. Sebelumnya sudah saya singgung tentang krisis Minggu-Senin, dimana kita sering merasa pekerjaan duniawi kita tidak sepenting pekerjaan pewartaan Injil. Ayat-ayat tadi telah membantah pandangan semacam itu. Kita semua terlibat dalam pekerjaan pemberitaan Injil. Namun cara kita hidup bisa menjadi penghalan atau penolong pemberitaan tersebut. Separuhnya adalah sikap kita di tempat kerja. Ketika kita malas dan menjadi beban bagi rekan kerja, maka kita telah menjadi penghalang bagi pemberitaan Injil. Sebaliknya, jika kita bekerja keras dan mandiri, maka kita telah membantu penyebaran Injil. Dan perhatikan konteks ayat ini: ayat 9 dan 10 berbicara tentang kasih kepada saudara seiman. Ayat 11 nampak seperti terpisah dalam paragraf baru, namun dalam versi aslinya ayat ini kelanjutan dari ayat 9 dan 10. Di sini Paulus masih berbicara tentang kasih, yaitu bekerja dengan kasih untuk sesama. Seperti pembahasan sebelumnya, kita mengasihi sesama dengan bekerja, sehingga kita tidak perlu menjadi beban mereka sehingga kita bisa memperoleh rasa hormat mereka bagi Kristus. Kita bekerja karena bekerja itu menyenangkan. Kasih adalah buah dari Injil. Dan bekerja adalah bagian dari kasih.
2. Untuk melayani masyarakat Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman (Galatia 6:9-10) Sebagai orang Kristen kita dipanggil untuk berbuat baik kepada semua orang. Kita harus serupa dengan Bapa surgawi kita yang memberikan hujan kepada orang baik dan orang jahat. Idealnya kita bisa melayani orang lain lewat pekerjaan kita. Bahkan pekerjaan mengaduk-aduk semen juga pekerjaan yang baik. Sebab saya adalah bagian dari tim pembangunan Pasar Flemington di kota Sydney. Cara saya menolong orang lain adalah masyarakat adalah dengan menyediakan tempat yang mudah terjangkau untuk belanja sayuran. Memang ini pekerjaan yang membosankan, namun juga menyenangkan. 3. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan handai taulan Rasul Paulus menulis kepada Timotius, “Hormatilah janda-janda yang benar-benar janda. Tetapi jikalau seorang janda mempunyai anak atau cucu, hendaknya mereka itu pertama-tama belajar berbakti kepada kaum keluarganya sendiri dan membalas budi orang tua dan nenek mereka, karena itulah yang berkenan kepada Allah.” (1 Timotius 5:3-4). Tuhan senang jika kita memperhatikan keluarga, orang tua dan kakek-nenek kita. Inilah alasan lain mengapa kita bekerja. Yaitu supaya kita bisa langsung menolong saudara-saudara kita dengan memelihara hidup mereka atau dengan memberikan uang kepada mereka. Ini pun bagian dari kasih. Disinilah dibutuhkan pelayanan sukarela. Umumnya pelayanan sukarela meliputi urusan mengurus anggota keluarga. Jadi jangan ada lagi kata-kata yang merendahkan pekerjaan ini, seperti “Saya hanyalah ibu rumah tangga.” Ini pernyataan yang konyol. Ini sama dengan ucapan pemimpin negara “Saya hanyalah presiden”, atau seorang pendeta berkata “Saya hanyalah pendeta.” Malahan sebenarnya pekerjaan mengurus anggota keluarga termasuk dalam sedikit pekerjaan yang diakui dalam Alkitab. Walau ini tidak dibayar, tetap saja ini pekerjaan yang berharga di mata Allah. 4. Supaya bisa berbagi dengan yang membutuhkan Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan (Efesus 4:28) Jadi mengapa kita bekerja? Karena kasih. Dan kasih adalah buah dari Injil dalam hidup kita. Seluruh isi kitab Efesus (mulai pasal 4:17 sampai 6:24) berbicara tentang meninggalkan hidup lama yang diluar Kristus dan menjalani hidup baru di dalam Kristus, yaitu hidup hidup dalam kasih. Ini mencakup bekerja, sehingga kita bisa memberi dan bukan mencuri.
5. Menopang para penginjil Dalam surat kepada jemaat Filipi rasul Paulus menyebut tentang bekerjasama dengan jemaat Filipi dalam pekerjaan Injil. Apa peran jemaat Filipi dalam kerjasama ini? Paulus menyebutnya sebagai berikut: Kamu sendiri tahu juga, hai orang-orang Filipi; pada waktu aku baru mulai mengabarkan Injil, ketika aku berangkat dari Makedonia, tidak ada satu jemaat pun yang mengadakan perhitungan hutang dan piutang dengan aku selain dari pada kamu. Karena di Tesalonika pun kamu telah satu dua kali mengirimkan bantuan kepadaku (Filipi 4:15-16) Perannya adalah dalam hal dukungan finansial. Sumbangan jemaat Filipi membantu Paulus melanjutkan pekerjaan pemberitaan Injil. Prinsip yang sama berlaku bagi kita di jaman ini. Pemberian kita dapat membebaskan para pekerja Injil dari kewajiban memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan berkonsentrasi mengabarkan Injil, baik secara full-time atau paruh waktu. Inilah yang dipraktekkan jemaat masa kini. Anggota jemaat banyak yang bekerja 40 sampai 50 jam untuk mendapatkan uang, dan memberikan sebagian bagi para pekerja Injil supaya bisa melanjutkan penyebaran Injil. Prinsip yang sama dilakukan untuk mendukung para penginjil di luar negeri. Hal ini juga menolong kita menghilangkan krisis Minggu-Senin serta perasaan minder terhadap pekerjaan penginjilan (seperti yang dibahas di bagian awal). Para penginjil dan pekerja sekuler adalah rekanan dalam pelayanan. Mereka sama-sama bekerja untuk kepentingan pekabaran Injil. Masing-masing orang punya peran berbeda, namun satu tujuan. Jadi bukan lagi soal siapa yang utama dan yang di posisi ke 2, mana yang sekuler dan mana yang surgawi—semua bekerja sama dalam pekerjaan yang mulia untuk menyebarkan Injil. Dengan demikian kita punya alasan yang kuat untuk bekerja: mendukung para penginjil dalam menyebarkan Injil Kristus. Dan ini bukanlah pekerjaan kelas 2. Sekarang kita punya lima alasan untuk bekerja: Supaya tidak menjadi beban bagi orang lain, dan mendapatkan hormat dari orang lain untuk kemuliaan Allah; supaya bisa melayani masyarakat dan memenuhi kebutuhan keluarga; supaya bisa membantu keluarga dan saudara yang membutuhkan, serta mendukung pekerjaan pekabaran Injil. Memang semua alasan ini tidak menafikan fakta bahwa bekerja itu sulit. Kesulitan ini adalah akibat dari pemberontakan manusia yang mendatangkan kutuk Allah. Namun bukan berarti bekerja adalah bagian dari kutuk, sebab sebelum dikutuk Adam sudah diberi tanggung jawab untuk bekerja mengelola Taman Eden. Pekerjaan kita menjadi sumber stress dan penderitaan karena kita hidup di dunia yang telah jatuh dalam dosa. Namun bekerja sendiri bukanlah kejahatan. Bekerja itu baik jika dilakukan dengan kasih. Menghabiskan waktu selama hari terang dengan mengerjakan sesuatu adalah hal yang baik. Bekerja adalah bagian dari respon kita atas anugerah Allah yang luar biasa atas kita. Ia adalah buah dari injil dalam hidup kita. Memang sangat menyenangkan kalau bisa berlayar seminggu penuh tanpa gangguan. Namun apakah itu hal yang benar? Saya tidak mau lagi memakai stiker mobil (berlaku di California) “Hutang, hutang, saya bekerja karena hutang,” melainkan “Senang, senang, saya bekerja karena saya senang bekerja.” Bagaimana menurut Anda? Appendiks ini diadaptasi dari tulisan James Davidson, diterbitkan pertama kali di The Briefing