KOLABORASI CORPORATE SICIAL RESPONSIBILITY PERBANKAN SYARIAH,INDUSTRI,PEMERINTAH DAN MASYARAKAT DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN MELALUI PROGRAM MICROFINANCING, MICROSAVING DAN MICROTAKAFUL: SUATU MODEL YANG TERINTEGRASI DI INDONESIA Ahmad Hudaifah (
[email protected]) Master Student in Economics Kulliyah of Economics and Management Sciences International Islamic University Malaysia Shochrul Rohmatul Ajija (
[email protected]) Master Student in Economics Kulliyah of Economics and Management Sciences International Islamic University Malaysia ABSTRAK Perbankan syariah di Indonesia telah tumbuh begitu cepat semenjak pertamakali diperkenalkan kepada masyarakat. Sebagai suatu bagian dalam ekonomi islam perbankan syariah diharapkan membawa visi keadilan sosial dan distribusi pendapatan, tidak hanya mengejar keuntungan saja. Sebagai entitas institusi modern, peranan perbankan syariah juga dievaluasi dari dua sisi yaitu corporate social responsibility dan nilai-nilai syariah dalam hal ini maqasid al shariah dan maslahah. Sebenarnya CSR, maqasid al shariah dan maslahah merupakan hal yang tidaklah asing dan menjadi bagian yang terpadu dalam Islam. Kinerja perbankan syariah di Indonesia haruslah juga memenuhi aspek maqasid al shariah dan maslahah. Artinya adanya perbankan syariah juga harus menjadi bagian dari solusi permasalahan ummat, yaitu kaum muslim di Indonesia yang sebagian besar hidup dibawah garis kemiskinan. Dalam paper ini, akan berusaha dibahas hubungan antara CSR perbankan syariah, maqasid al shariah dan maslahah terhadap pemberantasan kemiskinan di Indonesia serta bagaimana formulasi dan bentuk kerjasama antar lembaga terkait. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan menekankan pada study literature dari berbagai sumber seperti textbooks, journals, articles dan berbagai catatan studi kasus tentang CSR dan pemberantasan kemiskinan di seluruh dunia. Dengan menggunakan metode ini, suatu konsep baru bisa diajukan setelah menganalisa dari berbagai sumber yang ada untuk memformulasikan suatu gagasan baru pemberantasan kemiskinan di Indonesia. CSR ternyata merupakan suatu potensi yang luar biasa duigunakan sebagai instrumen untuk memberantas kemiskinan. Perangkat ini akan sangat efektif bila diaplikasikan oleh perbankan syariah di Indonesia bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat seperti universitas, LSM, Omas, pemerintah dan seluruh komponen masyarakat Indonesia dan kaum muslimin. Dengan memahami akar permasalahan kaum dhuafa’ untuk memulai suatu usaha mikro dan kecil, yaitu keterpurukan secara ekonomi dan ketidak stabilan bisnis, maka pendekatan microfinance, microsaving dan mikrotakaful sangat sesuai untuk diterapkan dalam kolaborasi ini
1
dibawah CSR framework. Akad yang dipergunakan yang paling pas dalam mendasari operasi bisnis ini adalah qardh al hasan yang telah ditekankan oleh Allah didalam Al Quran. Kata kunci: CSR, maqasid al shariah, maslahah, qardh al hasan
2
KOLABORASI CORPORATE SICIAL RESPONSIBILITY PERBANKAN SYARIAH,INDUSTRI,PEMERINTAH DAN MASYARAKAT DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN MELALUI PROGRAM MICROFINANCING, MICROSAVING DAN MICROTAKAFUL: SUATU MODEL YANG TERINTEGRASI DI INDONESIA 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Ekonomi islam lahir sebagai suatu sistem yang menyeluruh dan kaffah dikembangkan berdasarkan Islamic worldview (Qur’an dan Hadits) dan memiliki visi yang mulia sebagai panduan hidup manusia (Muslim) dalam beribadah. Dalam pandangan Islam, ekonomi sangatlah dekat kaitanya dengan agama, sehingga perlu adanya keseimbangan antara konteks ekonomi dalam urusan dunia dan amal yang ditujukan untuk akhirat. Ide dasar ini sangatlah bertentangan dengan konsep ekonomi barat (secular/conventional) yang sampai saat ini berkembang dan digunakan sebagai panduan ekonomi di seluruh dunia yang memisahkan agama dari kehidupan bermasyarakat khususnya ekonomi dan kebijakan publik menjadi private matters. Ketika pakar ekonomi islam berbicara dan menganalisa ekonomi islam dan membandingkan dengan ekonomi barat, beberapa konsep dasarnya sangatlah berbeda dan apa yang berlaku pada ekonomi islam akanlah sangat berlawanan dengan ekonomi barat begitupula sebaliknya (Haneef, 1997). Dalam ekonomi islam, ada upaya menyeimbangkan antara rasionalitas manusia sebagai insan ekonomi dengan muslim yang patuh terhadap nilai-nilai ibadah yang bersumber dari agama, sebaliknya dalam ekonomi konvensional atau barat manusia ekonomi bebas untuk berusaha secara rasional dengan segala daya
3
upaya untuk mencapai tujuan yang diinginkan tanpa ada pembatas secara khusus sebagaimana dalam ekonomi islam. Semangat dan perjuangan ekonomi islam ini berkembang dan bangkit di seluruh dunia pada akhir beberapa dekade terakir ini setelah mengalami tidur yang lama semenjak mundurnya peradaban dunia islam dan masuknya bangsabangsa barat menjajah dunia muslim selama berabad-abad lamanya. Apabila mambandingkan antara ekonomi islam dan ekonomi barat, ekonomi islam masih pada taraf pertumbuhan dan pengembangan sedangkan ekonomi barat sudah berkembang sangat pesat dam prakteknya maupun disiplin ilmu yang dikembangkan (Chapra, 2009). Sebagai langkah awal yang dikembangkan dalam praktek ekonomi adalah membentuk bank syariah atau bank yang bebas dari pengaruh unsur riba sebagai upaya untuk mengatasi ketimpangan distribusi sumberdaya dan kesejahteraan dan institusi ini mulai berkembang secara luas dinegara-negara yang sebagian besar penduduknya muslim seperti Pakistan, Kuwait, Malaysia, Bangladesh dan khususnya Indonesia sebagai objek dalam artikel ini. Sistem ekonomi islam mengajukan suatu mekanisme yang berkeadilan dan mempu meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat melaui profit and loss sharing (bagi hasil). Dalam konteks agama dan ekonomi, sistem yang berlandaskan riba memiliki dampak negatif terhadap tatanan suatu masyarakat seperti merusak masyarakat, merampas hak dan properti orang lain, pertumbuhan yang negatif dalam kontek kesejahteraan dan pemerataan dan menghancurkan
personalitas
seseorang
(Siddiqi,
2004).
Bagi
hasil
memungkinkan setiap pihak yang bekerja mendapatkan distribusi hasil dari apa yang telah diusahakan secara maksimal sebaliknya riba justru menguntungkan bagi para pemilik dana tanpa mau menanggung resiko dan usaha dalam ekonomi. Di Indonesia, sebagai suatu negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia, ekonomi islam dan konsepnya juga berkembang begitu pesat dan cepat dengan berdirinya beberapa institusi perbankan syariah pada awal tahun 1990. Lembaga keuangan memang memililiki fungsi yang strategis didalam suatu perekonomian modern saat ini. Di dalam teori ekonomi islam
4
sebagaimana konvensional, peranan perbankan adalah menyerap dana dari masyarakat yang kelebihan dana dengan berbagai produk dan akad (deposit account) kemudian bank akan menyalurkanya kepada pihak yang memerlukan dalam kegiatan yang produktif dengan akad dan sistem yang diperbolehkan dalam islam (investment account) (AlGoud dan Lewis, 2001). Sehingga, posisinya adalah sebaga suatu badan yang mengintermediasi berbagai macam aktivitas ekonomi dari masyarakat dan mampu menstimulasi perekonomian. Kehadiran bank islam atau lebih terkenal bank syariah dengan prinsip yang berbeda, secara cepat mampu diterima oleh masyarakat indonesia pada umumnya. Jumlah bank syariah, kegiatan usaha dan berbagai macam produknya mengalami kenaikan yang signifikan dari tahun ketahun semenjak pertamakali didirikan Di Indonesia. Bahkan, pada perjalanan sejarahnya banyak bank konvensional yang membuka unit usaha syariah untuk mengakomodasi semangant masyarakat dalam berekonomi islam di indonesia. Data perkembangan indikator perbankan syariah Indonesia ditampilkan dalam tabel 1.1 dibawah ini, dimana dibagi kedalam dua jenis, yaitu Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah dari bank konvensional. Pada kenyataanya, kinerja perbankan syariah yang selelu naik mengindikasikan pertumbuhan dan sikap masyarakat Indonesia yang mulai menerima adanya semangat dan ekonomi syariah.
5
Tabel 1.1 Indikator Kinerja Perbankan Syariah Di Indonesia 2005-2010 Indikator Kinerja 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Bank Umum Syariah 3 3 3 5 6 10 Jumlah Bank 301 346 398 576 711 1113 Jumlah Kantor 15.041 18.509 23.96 30.546 43.858 56.44 Sumber Dana 16.132 19.839 25.663 33.026 46.386 62.132 Penyaluran Dana 17.111 21.151 27.286 34.036 48.014 64.122 Total Asset Unit Usaha Syariah 19 20 26 27 25 23.00 Jumlah Bank 133 163 170 214 287 251 Jumlah Kantor 2.258 3.828 7.061 10.044 13.903 9.697 Sumber Dana 4.090 6.087 10.099 15.238 17.969 14.019 Penyaluran Dana 3.77 5.57 9.25 15.52 18.08 14.02 Total Asset Sumber: Bank Indonesia, 2010. Keterangan: Tahun 2005-2009: data pada bulan Desember, Tahun 2010: data pada bulan Juli Perkembangan perbankan syariah yang perlahan tapi pasti ini ternyata juga diikuti oleh element masyarakat lain seperti sektor pendidikan terutama perguruan tinggi, kelompok masyarakat seperti Masyarakat Ekonomi Syariah, maupun individu yang concern terhadap semangat ekonomi islam. Perbankan adalah sektor yang paling strategis sebagai penggerak dan stabilitator ekonomi sebagai leading sector bersama sektor lain berkolaborasi membangun ekonomi yang rahmatan lil alamin ini. Fenomena ini, memang adalah bagian dari ibadah yang menyeluruh dalam islam, dalam konteks cita-cita dan implementasi dunia perbankan yang bekerja bersama dalam membangun ekonomi islam melalui bank syariah memiliki titik point yang sangat berbeda dengan perbankan konvensional. Perbankan syariah selain harus memiliki kinerja yang bagus dan profitabilitas yang tinggi, akan tetapi juga dituntut untuk selalu lurus sesuai Qur’a dan Hadits tetapi juga harus mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam islam terutama maqasid al shariah (tujuan shariah) dan maslahah selain prinsip-prinsip islam didalam bermuamalah. Maqasid al shariah artinya tujuan-tujuan yang ingin dicari untuk direalisasikan oleh penerapan suatu shariah ketika memutuskan suatu peraturan yang ditujukan untuk melindungi kepentingan manusia dan tujuan tersebut adalah aspek yang utama dan paling penting dalam kehidupan manusia
6
Keterangan Unit Unit Milliar Rp Milliar RP Milliar Rp Unit Unit Milliar Rp Milliar Rp Milliar Rp
(dharuriyyah al khams) yaitu agama, kehidupan, intelektual, keturunan dan kesejahteraan (Al Zarqa, 1998). Sedangkan, maslahah artinya memutuskan suatu aturan didasarkan prinsip-prinsip kepentingan umum dalam berbagai hal yang belum diatur secara jelas oleh Qur’an ataupun Hadits (Al zarqa,1968). Sebagai suatu lembaga yang yang assasnya diderivasi nilai-nilai islam, maka perbankan syariah sebagai suatu institusi bisnis sudah sepatutnya menjadi salah satu element maupun dinamisator bagi permasalahn umat muslim di Indonesia dan bukan hanya mengejar profit dan kinerja yang baik saja. Permasalahan ummat islam pada saat ini terutama dalam bidang ekonomi sangatlah terpuruk bila dibandingkan dengan negara-negara yang sekuler atau barat. Islamic Development Bank 2007 mempublikasikan data bahwa jumlah muslim di dunia yang lebih dari 1,2 miliar, hampir kesemuanya berada pada keadaan yang miskin atau berpendapatan rendah dibawah 2 US Dollar sehari, dan kurang lebihnya 129 jutanya hidup di Indonesia sebagai negara muslim terbesar didunia. Sehingga, kehadiran perbankan syariah diharapkan mempu menjembatani proses penyelesaian inequality of wealth dan benar-benar berbeda dari perbankan konvensional. Sudah selayaknya, dengan adanya perbankan syariah maka permasalahan ummat muslim dalam bidang ekonomi ini bisa diupayakan untuk secara bertahap terselesaikan. Karene jelas sekali visi sistem ekonomi islam bila dibandingkan dengan ekonomi konvensional sangatlah berbeda, yaitu suatu kumpulan dari institusi yang diatur oleh masyarakat untuk berjuang dalam bidang alokasi sumberdaya, produksi dan pertukaran barang dan jasa dan distribusi yang menghasilkan keadilan dan kesejahteraan yang adil (Mirakhor, 1999). Sehingga, menyelesaikan permasalahn ekonomi umat muslim di Indonesia akan memiliki dampak bagi seluruh ummat muslim di dunia dan mampu memperkuat dan memperkokoh pengamalan ibadah kepada Allah dengan didukung kondisi ekonomi yang kuat.
7
Tabel 1.2 Level Kemiskinan dan Akses Pembiayaan Di Indonesia Ranking Index Kemiskinan di Dunia
Persentase Pendapatan Dibawah 1 US $ (1 hari)
Persentase Pendapatan Dibawah 2 US $ (1 hari)
Garis Kemiskinan Nasional
Jumlah Penduduk (juta)
Jumlah Penduduk Miskin (juta)
Persentase Akses Pembiayaan
41
7.5
52.4
17.8
245.45
128.6
40
Sumber: Islamic Microfinance Development: Challenges and Initiatives, 2008, IRTI, IDB. Salah satu cara yang mungkin untuk dilakukan dalam membangun ekonomi ummat muslim di Indonesia berdasarkan permasalahan yang ada adalah memberantas kemiskinan dengan menggunakan strategi entrepreneurship atau wirausaha. Strategi ini memungkinkan sesorang yang miskin untuk menjadi mandiri dan bahkan mampu menjadi berdaya bagi masyarakat yang ada disekitarnya. Untuk merealisakian gagasan ini, ada akar permasalahan utama yang menjebak dan memperangkap masyarakat muslim di Indonesia kedalam kemiskinan
yaitu
akses
dana
untuk
memulai
suatu
small-micro
business/enterprises atau untuk mempertahankan bahkan memperluas suatu usahanya. Berbagai studi tentang kemiskinan mengindikasikan bahwa alasan rumah tangga yang miskin tidak dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan ekonomi atau memperbesar dan mempertahankan usahanya adalah disebabkan karena keterasingan dari sistem keuangan atau dengan kata lain mereka berada dalam lingkaran luar akses keuangan dan perbankan (Obaidullah, 2008). Terisolirnya masyarakat muslim yang miskin dalam perekonomian ini disebabkan oleh sistem riba (interest), dimana bank konvensional tidak bisa memberikan pembiayaan tanpa adanya return, collateral dan business prospect yang jelas. Dengan eksistensinya perbankan syariah dan sistem ekonomi islam, maka sudah selayaknya memiliki peran untuk memberantas kemiskinan yang sudah sangat akut di Indonesia. Infrastruktur dan prasyarat utama bagi pengembangan small-micro enterprnuership adalah adanya dukungan program yang memadai dan tepat dari lembaga-lembaga dan masyarakat yang memiliki tanggung jawab ini. Dalam mengatasi permasalahan kemiskinan melalui penguatan wirausahawan dari masyarakat muslim maka perlu diukung oleh ketersedian dana (microfinancing).
8
Microfinance adalah suatu perangkat yang sangat efektif dalam memberantas kemiskinan, karena didalam pelayanan jasa-jasa keuangan yang diberikan kepada masyarakat yang miskin dan berpendapatan rendah dengan keterbatasan asset dan collateral maka skema ini memberikan fleksibilitas dan kemudahan bagi mereka untuk mendapatkan dana dengan cepat untuk mendukung dan memuali suatu usaha (IDB, 2008). Fasilitas ini, pada faktanya sangat mampu diberikan oleh lembaga keuangan khususnya perbankan syariah, sebagai suatu sistem dan lemabaga yang diderivasi dari nilai-nilai islam maka perbankan syariah harus mampu dan bersedia sebagai leader yang menjadi penggerak pusat pemberantasan kemiskinan bagi kaum dhuafa. Sebagai upaya untuk mencapai hasil yang maksimal, dimana perbankan syariah atau sektor keuangan sebagai pusat dan penggeraknya, tetap perlu didukung oleh seluruh elemen masyarakat muslim didalam mensukseskan program pemberantasan kemiskinan ini. Karena hal ini bagian dari sistem ekonomi islam secara menyeluruh, maka untuk mengimplementasikannya semua pihak dan institusi pendukung didalam sistem ekonomi islam dan masyarakat muslim baik secara sosial maupun politik harus bekerja bersama menuju cita-cita dan tujuan yang sama (Kahf, 2005). Tujuan pemberantasan kemiskinan di Indonesia harus dimasukkan dalam agenda pembangunan ekonomi syariah secara nasional, diantara agenda besar utama itu adalah ZISWAF (zakat, infaq dan shodaqoh), perbankan dan keuangan syariah yang memperhatikan pada pemberantasan kemiskinan, serta politik ekonomi syariah (Beik, 2009). Peran perbankan syariah harus ditingkatkan tidak hanya sebagai agent of profit tetapi juga memiliki fungsi sosial yang lebih besar, dimana seluruh element harus ikut membantu sesuai dengan kapasita dan kemampunya sehingga menghasilkan suatu kolaborasi dan kerjasama yang sinergis dan taktis. Dalam kaitanya dengan kerjasama semua element ummat untuk memberantas kemiskinan, maka diperlukan suatu agenda besar yang mampu diterima oleh seluruh masyarakat tidak hanya secara syariah tetapi juga secara performance mampu dibahasakan didalam dunia bisnis dan umum. Agenda tersebut ialah corporate social responsibility, dimana perbankan syariah sebagai
9
ujung tombak untuk mendinamisasi berjalanya program pengentasana kemiskinan secara terintegrasi. Dalam islam, corporate social responsibility sangat berbeda terhadap teori humanistic dari barat, CSR dalam pandangan islam mengambil suatu pendekatan yang cukup holistic (menyeluruh) dengan cara menawarkan pandangan spiritual yang integralistic didasarkan Qur’an dan Sunnah (Dusuki dan Abdullah, 2010). Pendekatan tersebut memberikan suatu alternativ kerangka kerja philosophy yang lebih baik bagi suatu interaksi sesorang dengan alam dan manusia yang lainya (Ahmad, 2002). Pada kenyataanya prinsip moral dan etika yang diderivasi dari penggalian wahyu Qur’an dan Sunnah adalah lebih menguatkan, abadi dan absolut, sehingga hal tersebut dapat menjadi panduan yang lebih baik bagi perusahaan, terutama bank-bank syariah, didalam menjalankan bisnisnya dan tanggung jawab sosialnya secara simultan (Dusuki dan Abdullah, 2010). Kerja sama semua komponen masyarakat ekonomi syariah didalam CSR ini memerlukan suatu srategi baru yang berkelanjutan (sustainable) dan berbeda dari berbagai pendekatan yang telah dilakukan, termasuk skema dan program yang digunakan bagi masyarakat dhuafa. Mengingat, masyarakat yang berada dalam level pendapatan dhuafa adalah secara ekonomi kurang beruntung dan bahkan secara pendidikan juga rendah, maka kerjasama semua masyarakat ekonomi syariah dalam naungan CSR ini harus memandang kaum dhuafa sebagai mitra yang perlu dibantu dan berjalan secara terus menerus dan penuh dengan kesabaran. Sebagaimana, berbagai pendekatan yang telah dilakukan di berbagai negara baik muslim atau bukan, seperti Grameen Bank di Bangladesh, PRODEM, BancoSol’s predecessor di Bolivia, ACCION International di USA-Amerika Latin ataupun berbagai BMT di Indonesia, maka program ini harus mencakup tiga aspek penting didalam pembinaan masyarakat dhuafa untuk mandiri. Ketiga aspek tersebut adalah penyaluran pembiayaan (microfinancing), pembinaan investasi dan budaya saving (microsaving) dan keikutsertaan dalam menanggung resiko usaha dan pelindungan (microtakaful). Untuk merealisasikan ide besar ini, maka pihak perbankan syariah tidak bisa mengimplementasikanya sendiri, sehingga memerlukan partner dan dukungan dari lingkungan baik masyarakat (LSM yang
10
berkontribusi untuk pembangunan usaha bisnis masyarakat dhuafa), semua industri baik berbasis syariah atau bukan dan tidak kalah pentingnya adalah dukungan kebijakan penuh dari pemerintah. Berdasarkan latar belakang diatas, artikel ini berusaha membahas dan memformulasikan suatu bentuk corporate social responsibility perbankan syariah berkerjasama dengan seluruh elemen untuk memberantas kemiskinan khususnya bagi kaum dhuafa di Indonesia. Mengingat, perbankan syariah dan seluruh komponen masyarakat muslim memiliki kewajiban untuk menjadi solusi ummat dalam hal distribusi pendapatan dan kekayaan dan tidak hanya mencari profit dan kekayaan semata. Dalam paper ini, akan berusaha dibahas bagaimana peran yang bisa dilakukan oleh masing-masing pihak didalam program ini. Setiap komponen masyarakat muslim akan memiliki tanggung jawab sosial terhadap ketimpangan pendapatan pada masyarakat muslim. Secara lebih lanjut, paper ini akan membahas bagaimana grand design, akad dan strategi yang dipergunakan untuk memberantas kemiskinan di indonesia melalui peran dan fungsi perbankan syariah. 1.2 Identifikasi Masalah Berangkat dari latar belakang permasalahan, ada beberapa permasalahan yang ingin diidentifikasikan dan dibahas didalam paper ini: 1.2.1. Perbankan syariah sebagai suatu lembaga yang memiliki asas dan nilai-nilai syariah, dimana selain mencari profit juga diwajibkan untuk berkontribusi terhadap berbagai permasalahan umat terutama kemiskinan. Sehingga, melalui pembahasan paper ini apakah fungsi dan tugas tersebut sudah dijalankan oleh perbankan syariah sebagaimana yang diamanhkan dan diperintahkan di dalam islam. Sebagaimana, prinsip solidaritas dan kerjasama saling menguntungkan dalam suatu norma dan etika islam: ”.....Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pemusuh-musuhan dan bertakwalah kepada Allah...” (QS: Al Maidah: 2). Kemudian Hadits Nabi Muhammad (SAW) memperkuat tugas saling tolong menolong sesama muslim: ”Muslim yang
11
satu terhadap muslim yang lain adalah seperti bagian dari suatu bangunan yang saling mempererat dan menguatkan satu dengan yang lainya” ( Al Bukhari dan Muslim). 1.2.2. Corporate Social Responsibility, dalam islam memiliki motiv dan landasan yang berbeda dengan yang berlaku di barat/sekuler. Dalam konteks performance perusahaan CSR digunakan sebagai pelengkap untuk tujuan profit/duniawi dimana ketika perusahaan sudah memberikan donasi atau philantrophy maka rating suatu perusahaan akan naik dan mempengaruhi berbagai keputusan baik internal dan eksternal untuk mendongkrak nilai suatu perusahaan. Sebaliknya, dalam islam selain adanya mekanisme zakat, infaq dan shodaqoh, nilai suatu perushaan atau institusi bisnis tersebut akan bergantung pada kemanfaatanya bagi ummat dalam hal ini kemampuan perbankan syariah untuk mengintermediasi kaum
dhuafa
dalam
ekonomi,
sehingga
tidak
hanya
mampu
mengintermediasi masyarakat yang memiliki collateral dan kemampuan akses keuangan. Sebagai penjabatran lanjutan dari latar belakang yang telah tersebut, didalam paper ini akan berusaha membahas bagaimana CSR dalam pandangan Islam terutama perspektiv Siyasah Shar’iyah (Shariah Governanve), Maqasid Shariah (The Objectives of Shariah) dan Maslahah (Public Good). 1.2.3. Hal yang tidak kalah pentingnya yang menjadi identifikasi masalah dan konsep baru dalam paper ini adalah bagaimana Corporate Social Responsibility perbankan syariah dibangun dan diintegrasikan dengan lembaga dan elemen masyarakat muslim di Indonesia yang lainya. Kemudian, real technical procedure antar lembaga seperti apa yang akan dibentuk dan program apa yang akan dikembangkan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan bagi kaum dhuafa di Indonesia, sehingga akan membentuk suatu pola kolaborasi yang terintegrasi dan sinergis dalam ekonomi islam untuk poverty alleviation program. 1.3 Tujuan penelitian
12
Objective tunggal dalam penelitian ini adalah untuk mengembangkan suatu konsep program pengentasan kemiskinan bagi kaum dhuafa di Indonesia. Dimana ketika berbicara muslim di Indonesia akan berbicara masalah kuantitas yang besar dan kualitas yang masih belum berkembang. Dengan berbagai gagasan serupa dan konsep baru yang dikembangkan oleh para Islamic Scholars dan Economist ataupun para ekonom dari barat, terutama tentang konsep pengentasan kemiskinan, Corporate Social Responsibility dan berbagai kebijakan yang dilakukan secara menyeluruh baik dalam konsep islam maupun barat yang tidak bertentangan dengan islamic point of view. Paper ini bertujuan memformulasikan menjadi suatu bentuk integral yang familiar dan cocok diterapkan untuk masyarakat muslim di Indonesia.
2. Literature Review / Landasan Teori 2.1 Theoritical Framework Dalam membentuk theoritical framework, didalam paper ini ada beberapa pendekatan yang digunakan, pertama yaitu menggali dari sumber-sumber hukum islam dan hasil karya para intelektual muslim dalam bidang terkait, kedua yaitu mengambil teori barat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai islam atau kerangka berfikir islam. Kedua langkah ini dilakukan, meskipun memiliki worldview yang berbeda, karena masyarakat muslim hidup pada era dimana ekonomi konvensional berkembang secara pesat baik secara teori maupun praktek sehingga menyebabkan sulitnya membentuk suatu kerangka berfikir ekonomi islam secara teknis independent dan linear terhadap legal sources. Dalam pandangan islam tidak ada pemisahan antara ilmu dengan agama, dimana ilmu dan agama adalah satu kesatuan yang saling berpadu dan mendukung. Hal yang paling utama dan penting, perlu ditekankan dalam Islam, ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang mungkin dan bisa dicapai oleh manusia, sebagaimana Allah menciptakan dunia dan seluruh isinya, begitupulalah ilmu pengetahuan diciptakan oleh Allah (Hanef, 1997). Allah menciptakan semua manusia dan mengajarinya dengan berbagai macam hal, diantaranya adalah ilmu pengetahuan, dimana
13
prosesnya melalui dua hal, pertama dengan cara revelation (pengungkapan secara langsung) melalui Nabi Muhammad (SAW) melaui Kitab Suci Al Quran yang menjelaskan tentang ilmu pengetahuan, kedua dengan cara memberkahi manusia dengan rasa (sense) dan akal (intellect), sehingga pengetahuan bisa digali, dalam kontek rasa (sense) satu peroses melihat ”pengetahuan dianugrahkan secara langsung kedalam diri manusia” dan satu proses lagi manusia yang berusaha mencari dan menggali ilmu pengetahuan (Al-Attas, 1991). Secara teknis, landasan teori yang dijabarkan dalam penelitian ini ada 2 kategori, dimana ini bukanlah dikotomi pemisahan akan tetapi hanya sebagai upaya untuk mengklasifikasikan dan memudahkan alur berfikir. Pertama yaitu bagaimana mekanisme kerja kebijakan moneter ditransformasikan, hubungan antara financial development dengan poverty alleviation dan peranan corporate social responsibility dalam masyarakat. Kedua, akan menjelaskan pada ranah kontekstualitas dan penggalian ekonomi islam didalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan ekonomi masyarat muslim, tentunya juga akan menjelaskan bagaimana CSR diimplementasikan. Tentunya, dalam penulisanya nanti akan lebih detail dan melebihi dua cakupan yang telah disebutkan diatas.
2.1.1. Rancang Bangun Sistem Ekonomi Islam Sistem Ekonomi islam adalah suatu sistem yang menyeluruh dan diderivasi dari nilai ekonomomi di dalam Islam. Dalam hal ini sebagai suatu konsep atau sistem hidup yang bersifat integratif dan komrehensif (sempurna), dimana mengintegrasikan semua aspek kehidupan manusia di dunia, baik dalam kehidupan pribadi maupun interaksi kolektif, juga meliputi semua sisi detil kehidupan
(komprehensif),
sehingga
mencerminkan
kelengkapan
dan
kesempurnaan Islam sebagai sebuah system atau konsep hidup (Sakti, 2009). Dalam konsep keilmuan Islam, letak ekonomi islam berada didalam pembahasan ilmu syariah yang diklasifikasikan kedalam muamalah. Dalam pembahasanya tersebut, fiqih muamalah hanya membahas tentang beberapa kaidah dan prinsip dasar muamalah yang diatur dalam Islam. Berkaitan dengan tujuan diterapkanya shariah, Imam Ghazali menyebutkan bahwa syariah harus memiliki tujuan untuk
14
meningkatkan kesejahteraan (welfare) seluruh manusia, melakukan perlindungan terhadap agaman (dien), diri manusia (nafs), akal (aql), keturunan (nasl) dan harta (maal). Sehingga, dengan demikian sangatlah jelas bahwasanya tidak akan terjadi pemisahan antara kehidupan duniawi (aktivitas ekonomi) dengan spririt penerapan nilai-nilai islam. Gambar 2.1 Sistem Ekonomi Islam NILAI EKONOMI ISLAM
ISLAM
PRINSIP EKONOMI ISLAM
AQIDAH
AKHLAK
INSTRUMEN EKONOMI ISLAM
SYARIAH
SISTEM EKONOMI ISLAM
MUAMALAH
Sumber: Sakti (2009) Azad
Zaman
(2008)
secara
detail
menjelaskan
tentang
tujuan
diimplementasikanya tujuan shariah (Islamic law), (maqasis al shariah / the objectives of shariah), dimana prinsip ini berlaku secara utuh didalam semua aspek kehidupan mulai dari kesehatan, pengaturan organisasi kemasyarakatan, transaksi bisnis yang halal maupun haram, aturan-aturan ibadah, dan seterusnya. Dalam kaitanya dengan ekonomi, perkembangan ekonomi modern yang begitu cepat pada kenyataanya menyebabkan banyak berbagai permasalahan yang muncul dan pemecahanya belum tersebutkan didalam sumber hukum islam yang utama (Qur’an dan Hadits). Sehingga, suatu Ijtihad untuk membuka dan membahas kekompleksitasan kehidupan ekonomi modern menjadi suatu isu sentral didalam ekonomi islam. Dengan uapaya mendayagunakan tujuan shariah berkatian dengan pengaturan yang lebih tepat dan specific dari syariah maka
15
seseorang mampu menurunkan berbagai prinsip dalam ekonomi islam. Metodology ini pada kenyataanya dipertahankan dan dikembangkan oleh banyak ekonom muslim seperti Chapra dan Siddiqi. 2.1.2. Redistribusi Pendapatan Dalam Islam Pertama yang menjadi pembahasan adalah Islamic distributive schemes (skema distribusi dalam Islam), menurut Muhammad Anas Zarqa, cara yang dikembangkan adalah berdasarkan redistribusi pendapatan dan kekayaan pada zaman Nabi Muhammad dan al Khulafa’ al-Rashidun, dimana mentransfer kekayaan dan pendapatan dengan berbagai cara bagi pihak atau orang yang memerlukan. 1. Menghibahkan kelebihan manfaat daripada suatu asset (usufruct) untuk kaum muslimin yang membutuhkan. Berdasarkan hasil kajian para pakar tentang aturan syariah, ternyata prinsip-prinsip didalam memberikan manfaat ini tidak terbatas pada sumberdaya yang bisa diperbarui (renewable natural resources), tapi lebih jauh dari itu didorong berupa barang-barang produktif sehingga memiliki efek yang berkelanjutan dan jangka panjang bagi masyarakat. 2. Mewariskan (Faraidh/Inheritance) kepada pihak yang berhak dan biasanya masih memiliki hubungan keluarga. Dampak waris dalam distribusi pendapatan ini berbeda-beda terhapad masyarakat yang menggunakan sistem bagi warisan, akan tetapi kalau merujuk pada Islam maka dsar yang digunakan adalah jelas berdasarkan Qur’an dan Sunnah. 3. Zakah Mall dan Zakah al Fitr, zakah adalah pilar ketiga dalam Islam dan memiliki efek jangka panjag dalam redistribusi pendapatan bagi kaum dhuafa. Dalam islam zakah memang merupakan kewajiban agama, tetapi juga memiliki fungsi sosial yang mapu menurunkan gap dan kesenjangan kesejahteraan didalam masyarakat. 4. Wakaf (al-Awqaf/Charitable Trust) adalah instrument yang artinya mentransfer kekayaan dari kepemilikan pribadi menjadi kepemilikan umum untuk tujuan kemaslahatan bersama. Aturan shariah tidak membuat waqaf menjadi suatu kewajiban, akan tetapi setiap muslim yang mampu
16
didorong untuk menunaikan ini, terutama yang berhubungan dengan kepentingan ummum, seperti pendidikan, tempat ibadah dan jalan umum. 5. Al-Maniah adalah juga merupakan bagian khusus dari hibah/gift sebagaimana usufruct, akan tetapi perbedaan utamanya terletak pada penggunaan manfaatnya saja. Dalam Al-Maniah, pemilik barang hanya memberikan manfaat barangnya saja, dan kepemilikan barang tetap berada pada tangan pemilik. 6. Al-Fai’ adalah suatu mekanisme distribusi pendapatan yang pernah eksis dalam masa Islam, yaitu kekayaan atau harta yang didapat dari musuh tanpa adanya peperangan. Dalam konteks kekinian, keindonesiaan dan hubunganya dengan CSR, maka yang paling tepat untuk dijadikan acuan redistribusi pendapatan adalah (1). Hibah usufruct, (4). Wakaf dan (5). Al-Maniah. Didalam Islam, redistribusi pendapatan ini memiliki beberapa makna dan penafsiran. Menurut Munawar Iqbal (2005) distribusi secara umum dilihat kedalam dua aspek: (1) distribusi fungsional (functional distribution), (2) distribusi pendapatan secara personal (personal distribution of income), menjadi fokus utama dalam berbagai diskusi dan wacana. Pada dasarnya, Islam memiliki panduan yang lengkap tentang kedua aspek tersebut. Tujuan Islam dalam distribusi secara umum adalah untuk terwujudnya suatu keadilan dalam bidang distribusi pendapatan. Keadilan distribusi bisa diartikan secara berbeda-beda oleh orang yang berbeda, dimana ada dua perbedaan yang mendasar. Bagi sebagian kalangan, penafsiranya bisa menjadi setiap orang seharusnya mendapatkan suatu pembagian yang sama didalam alokasi distribusi pendapatan. Akan tetapi satu pendapat yang bertentangan menolak hal tersebut, tentunya ada suatu perbedaan secara alamiah yang berhubungan dengan kemampuan setiap manusia, etos kerja dan kontribusi (usaha) terhadap suatu proses, maka setiap orang harus mendapatkan haknya berdasarkan apa yang telah diusahakan. Munawar, kemudian menyimpulkan perbedan-perbedaan tersebut, dan menteorikan tentang pandangan Islam tentang keadilan dalam distribusi pendapatan mencakup 3 poin penting:
17
1. Adaanya garansi terhadap pemenuhan kebutuhan dasar semua manusia. 2. Keadilan bukanlah berarti persamaan didalam pendapatan. 3. Mengeliminasi kesenjangan yang tinggi didalam pendapatan dan kesejahteraan secara personal.
2.1.3. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia, dalam kerangka mengimplementasikan CSR perbankan syariah dan seluruh elemen umat muslim untuk memberantas kemiskinan melalui peranan utamanya, juga perlu melihat kerangka teori ekonomi konvensional didalam mentranfer kebijakan moneter. Program yang dijalankan melalui perbankan syariah natinya juga memiliki suatu kerangka kerja yang sama dimana yang menjadi titik pembeda adalah motivasi dan tujuan dasarnyaya. Menurut Mishkin (2004) ada beberapa chanel didalam monetary transmission dari suatu kebijakan moneter atau perbankan dan yang sesuai dengan peranan CSR perbankan syariah dalam mengentaskan kemiskinan dan permissible dalam konteks islam adalah Bank Lending Chanel. Dalam mekanisme transmisi ini, perbankan memainkan suatu peranan khusus didalam sistem keuangan karena institusi ini dibentuk secara khusus dan terintegrasi untuk memcahkan permasalahan informasi yang assimetris didalam penyediaan kredit bagi masyarakat. Beberapa peminjam dana tertentu khususnya masyarakat yang miskin tidak memiliki akses untuk meminjam dana jika tidak dari perbankan. Didalam alur skema transmisi ini Mishkin (2004) menggambarkanya menjadi suatu alur sebagai berikut:
M
Bank Deposit
Bank Loans
I
Y
…………….................................................................................. (2.1) / (Mishkin, 2004: 621) Sepanjang tidak ada substitusi sempurna pembiayaan dari bentuk-bentuk yang lain, maka kebijakan moneter yang ekspansiv akan meningkatkan bank reserves dan bank deposits yang kemudian akan meningkatkan bank loans (jumlah pembiayaan). Karena banyaknya peminjam yang bergantung pada dana
18
perbankan
untuk
mendanai
berbagai
macam
aktivitas
bisnisnya
maka
menyebabkan secara nasional pengeluaran investasi juga ikut naik. Implikasi yang paling penting dari Bank Lending Chanel ini adalah kebijakan moneter memiliki dampak yang lebih besar kepada perusahaan dengan sekala kecil dan mikro yang menggantungkan dananya dari dukungan perbankan daripada perusahaan dengan sekala besar dimana mereka mampu untuk mengakses dana dari pasar keuangan seperti saham dan obligasi. Mekanisme tranmisi Bank Lending Chanel ini, sebenarnya juga merupakan bagian dari pengembangan sektor keuangan, dimana melalui sektor dijadikan garda depan dalam proses pembangunan dan kenyataanya hal ini bisa berdampak pada pemberantasan kemiskinan. Iwan Jaya Aziz (2009) menteorikan bahwa pembangunan sektor keuangan dalam membantu mereduksi kemiskinan dengan cara menstimulasi pertumbuhan, secara langsung memfasilitasi transaksitransaksi dan mengizinkan masyarakat miskin untuk menikmati keuntungan dari berbagai produk keuangan, yang dapat membantu meningkatkan pendapatan mereka dan menguatkan kemampuan mereka untuk mengerjakan berbagai investasi yang menguntungkan. Aziz secara lebih jauh kemudian memodelkan teorinya menjadi persamaan dibawah ini:
............................................................ (2.2) / (Aziz, 2009: Lecturer Notes: Cornell University) PV = Poverty Indicator (Indikator Kemiskinan) Y = GDP per capita FD = Level of Financial Development (Tingkat Pembangunan Sektor Keuangan) Fi = Financial Instability (Ketidakstabilan Sektor Keuangan) INF = Inflation µ = An Unobserved Country-Specific Effect (Efek Negara lain yang Tidak Terduga) ε = Error Term Persamaan tersebut (2.2) dapat dikembangkan menjadi bagan suatu hubungan satu dengan yang lainya sebagaimana Grafik (2.1) dibawah ini.
19
Grafik 2.1 Hubungan Financial Development dan Poverty Reduction
Sumber: Lecturer Notes, Prof. Iwan Jaya Aziz, 2009, Cornell University: USA. Pengembangan sektor keuangan memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan dari sinilah maka akan memiliki dampak positif terhadap pengentasan kemiskinan melalui pembukaan berbagai jenis lapangan pekerjaan oleh para pengusaha dengan sekala mikro kecil. Akan tetapi, kalau tidak berhatihati dalam merumuskan kebijakan, maka pengembangan sektor keuangan justru akan menyebabkan ketidakstabilan sektor keuangan, yang justru menyebabkan menurunya pertumbuhan ekonomi dan memperparah angka kemiskinan.
2.1.4. Corporate Social Responsibility Ide dasar CSR pada dasarnya mulai muncul ketika ada kesenjangan yang lebar antara dunia bisnis dan masyarakat, dimana perusahaan mampu meraih tingkat profitabilitas yang begitu tinggi, tetapi kondisi masyarakat disekitarnya masih memperihatinkan dan terbelakang baik secara ekonomi, sosial dan pendidikan. Crane dan Matten (2007) mengilustrasikan bahwa terminologi CSR kemungkinan pertama kali muncul di USA, yang kemudian diadopsi baik secara konsep maupun prakteknya diseluruh dunia, meskipun secara definisi belum ada titik temu yang pasti. Mereka kemudian membuat definisi secara sederhana tentang CSR ini tentunya dalam perspektiv barat dan berdasarkan review yang telah dilakukan oleh Carroll A.B (1999).
20
Tabel 2.1 Sumber
Definisi CSR
Bowen (1953)
Tanggung jawab pengusaha melihat pada kewajiban bisnis tersebut untuk membuat kebijakan, keputusan dan berbagai tindakan yang diperlukan dalam kaitanya dengan tujuan dan
Friedman
nilai masyarakat.
(1970)
Tanggung jawab sosial perurahaan adalan untuk meningkatkan profitabilitasnya.
Davis (1973)
CSR mengacu pada pertimbangan perusahaan dan responya terhadap berbagai isu yang melebihi ekonomi secara sempit, pertimbangan tekhnis dan persyaratan legal dari suatu
Carroll (1979)
perusahaan. Tanggung jawab sosial bisnis meliputi ekonomi, hukum, etika dan berbagai harapan kebebasan yang masyarakat harus
Jones (1980)
dapatkan dari organisasi bisnis pada suatu waktu tertentu. CSR adalah gagasan bahwa perusahaan memiliki suatu tanggung jawab terhadap kelompok masyarakat yang ada disekitarnya selain unsur pemegang saham dan hal ini berada
Epstein (1987)
diluar yang tertulis dalam hukum dan peraturan. CSR berhubungan pada intinya terhadap pencapaian hasil dari keputusan organisasi yang berkaitan dengan isu yang khusus atau berbagai permasalahan (yang menggunakan standar normativ) lebih banyak memiliki fek yang menguntungkan daripada merugikan berkaitan dengan stakeholder perusahaan.
Wood (1991)
Kebenaran normativ berbagai produk tindakan perusahan telah menjadi fokus utama CSR. Ide dasar CSR adalah bahwa dunia bisnis dan masyarakat saling terikat, dan bukan sebaliknya menjadi entitas yang
Brown
dan berbeda, sehingga masyarakat memiliki harapan khusus
Dacin (1997)
terhadap kebiasaan dan hasil dari dunis bisnis yang tepat dan bermanfaat.
21
Matten
and CSR didefinisikan sebagai suatu kehormatan perusahaan dan
Moon (2004)
berbagai
aktivitas
dengan
tanggung
jawab
kebermasyarakatanya paling tidak tanggung jawab terhadap stakeholder. CSR adalah suatu konsep terintegrasi yang melengkapi berbagai konsep etika bisnis, corporate philanthropy, corporate citizenship, keberlanjutan dan tanggung jawab lingkungan. Hal ini adalah konsep yang dinamis dan bisa berubah yang tercantumkan dalam setiap kontek sosial, ekonomi, politik dan kelembagaan.
Carroll A.B. (1991) mengembangkan suatu teori tentang CSR yang disebut sebagai The Pyramid of Corporate Social Responsibility, yang berisikan 4 jenis CSR yang harus dipenuhi oleh organisasi bisnis di dalam menjalankan usahanya, dan keempatnya disebut sebagai total CSR. Grafik 2.2 Piramida Corporate Social Responsibility PHILANTHROPIC Responsibilities Be good corporate citizen. Contribute resource to community; improve quality of life. ETHICAL Responsibilities Be ethical. Obligation to do what is right, just, and fair. Avoid harm. LEGAL Responsibilities Obey the law. Law is society’s codification of right and wrong. Ply by the rule of the game ECONOMIC Responsibilities Be profitable. The foundation upon which all other rest
Sumber: Carroll A.B. (1991), didalam kompilasi Corporate Social Responsibility: Theories and Concepts of CSR Volume 1, edited by Crane and Matten (2007:34)
22
Pada intinya, total CSR menerlukan pemenuhan secara simultan terhadap tanggung
jawab
perusahaan
didalam
ekonomi,
hukum,
etika
dan
philanthropy/sosial. Hal tersebut harus dipenuhi secara bertahap, suatu perusahaan, pertama kali harus berusaha untuk memperoleh keuntungan terlebih dahulu, kemudian mematuhi hukum yang berlaku, berusaha menjadi perusahaan yang beretika, sehingga ketika ketiganya sudah terpenuhi maka perusahaan/bisnis harus memiliki tanggung jawab secara sosial terhadap masyarakat disekitarnya. Bagi perusahaan, CSR yang dilakukan memiliki keuntungan (benefit) tersendiri dalam mendongkran kinerja perusahaan (organizational performance). Thorne and Farrell (2008: 25) menegaskan bahwa pentingnya CSR menginisiativ didalam menguatkan hubungan stakeholder dengan perusahaan, mengembangkan kinerja dan menciptakan berbagai keuntungan dalam berbagai aspek. Thorne and Farrell, selanjutnya memodelkan bahwa CSR paling tidak memiliki 4 keuntungan bagi perusahaan (customer and employee trust, customer satisfaction, employee commitment dan investor loyalty), dimana keempat hal tersebut kemudian berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Gambar 2.3 The Role of Social Responsibility in Performance Customer and Employee Trust Social Responsibility
Customer Satisfaction Organizational Performance Employee Commitment
Investor Loyalty Sumber: Thorne and Farrell, Business and Society: A Strategic Approach to Social Responsibility, 2008, page 25 Throne dan Farrell, selanjutnya menjelaskan CSR kedalam suatu process dan model. Hal tersebut bermula dari CSR yang memasukkan 4 tahapan social responsibility yang telah dijelaskan oleh Carroll, A.B. (1991), melibatkan berbagai tipe stakeholder dan hasil akhir yang ingin dicapai dalam analisa keuntungan jangka pendek dan jangka panjang. Proces ini juga harus didukung
23
secara penuh oleh top management baik dalam ucapan maupun tindakan. Tidak ketinggalan juga dukungan penuh dari semua pihak yang terlibat didalamnya, agar apa yang ditargetkan dalam CSR mampu diraih secara maksimal dan tepat saaran. Interaksi antar element dalam satu proses oleh Throne dan Farrell dikembangkan dari Model Charles J. Fombrun (1997), melalui diagram dibawah ini:
Gambar 2.4 Social Responsibility Model Stake Holder Employees Investors Customers Business Partners Community Government Environment Strategic Philanthropy Social Responsibility
Outcomes Financial Performance Commitment Trust Reputation Four Types of Responsibility Economic Legal Ethical Philanthropic
Sumber: Adapted from Charles J. Fombrun, “Three Pillars of Corporate Citizenship”, in Corporate Global Citizenship, ed. Noel M. Tichy, Andrew R. McGill, and Lynda St. Clair (San Francisco: New Lexington Press), 1997, pp. 2742 by Throne and Farrell (2008:31) 2.1.5. Grand Design Model Hubungan Corporate Social Responsibility dan Microfinance Di Indonesia Mohammad Obaidullah (2008) didalam penelitianya, mengembangkan 3 jenis
intervensi
microfinancing
untuk
mengembangkan
microenterprises
(pengusaha dengan skala kecil menengah) di Indonesia. Intervensi tersebut
24
membentuk keterikatan (linkage) dimana didalamnya ada unsur pendampingan (assistance), (1) linkage berbentuk pendampingan keuangan dengan tujuan mencari keuntungan, (2) linkage berbentuk pendampingan teknis, (3) linkage berbentuk pendampingan keuangan tanpa mencari untung. Ketiga linkage tersebut bermuara sama yaitu mendukung pengusaha dengan skala kecil mikro untuk maju dan berkembang. Pada faktanya, harmony dari ketiga linkage ini diharapkan benar-benar berjalan optimal untuk menggerakkan perekonomian dengan sekala mikro dan kecil. Obaidullah, menggambarkan chaneling ketiga linkage sebagaimana gambar 2.5 berikut. Dalam model tersebut, CSR merupakan salah satu sumber dana dalam mendukung pengembangan microenterprises di Indonesia.
Gambar 2.5 Microfinance Linkage Model of Indonesia For Profit Financial Assistance
Non Profit Financial Assistance
Technical Assistance
Government
Bank Indonesia
Islamic Commercial Banks Universities
FIN/ CHNL
Funding TA
ZISW
CSR
Islamic Commercial Banks
HRD BDSP/ Consultants
BPRS
BMT
ST/TT/MT
BNF/SCF
Microenterprises
Keterangan: FIN/CHNL: Financing directly or jointly with BPRS and/or BMT or Channeling Government Microfinance Schemes
25
HRD: Human Resource Development TA: Technical Assistance BDPS: Business Development Services Providers ST/TT/MT: Spiritual and/or Technical and/or Managerial Treatment ZISW: Institutions dealing with Zakah, Infaq, Shodaqoh and Awqaf CSR: Corporate Social Responsibility BNF/SCF: Basic Needs Fulfillment and/or Start-Up Capital Funding Sumber: Obaidullah, Muhammad, 2008, Role of Microfinance in Poverty Alleviation: Lessons from Selected IDB Member Countries, page 51 2.2 Previous Research Dalam penelitian ini previous research dikategorikan kedalam 2 bentuk, pertama yaitu berbagai penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan microfinancing dan poverty alleviation, sedangkan yang kedua adalah berhubungan dengan corporate social responsibility baik perbankan syariah maupun berbagai research terkait. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencari benang merah dan juga mengidentifikasikan antara apa yang telah diteliti oleh para peneliti terdahulu dan apa temuan baru yang bisa dikemukanan nanti pada bab 4 yaitu analisa. 2.2.1 Berbagai Penelitian dalam Bidang Microfinance dan Poverty Alleviation Banyak penelitian yang telah dilakukan berhubungan dengan peranan microfinance dalam memberantas kesmiskinan di deluruh dunia. Beberapa penelitian yang ditampilkan dan telah dipilih dalam chapter ini adalah sebagian kecil dari berbagai penelitian tersebut, tentunya fokus utamanya adalah peranan islamic microfinance yang telah berhasil dalam mengurangi dan mereduksi kemiskinan di negara-negara muslim seperti Bangladesh, Nigeria, Malaysia dan Indonesia. Penelitian tersebut disusun berdasarkan tahun penelitianya dengan mengambil rentang waktu 10 tahun terakhir. Tabel 2.1 Berbagai Penelitian tentang Microfinance dan Poverty Alleviation Author/Penulis
Deskripsi Penelitian
Widiyanto dan Suatu cara yang diterapkan Ghafar (2010) untuk meningkatkan keefektifan pembiayaan skala micro oleh perbankan islam di Indonesia dalam mereduksi kemiskinan.
Hasil Utama Penerapan Islamic Microfinance yang didalamnya ada proses seleksi kapabilitas pengusaha kecil-mikro (microenterprises) dan dalam prosesnya didampingi oleh pengontrolan bisnis, sistem insentif dan pembentukan hubungan yang baik,
26
ternyata mampu secara efektif didalam mengembangkan microenterprises dan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Saefullah (2010)
Pada kasus Indonesia, penelitian ini berusaha untuk membahas pengaruh budaya lokal terhadap Islamic Microfinance.
Pada faktanya, lembaga keuangan mikro Islam, cenderung mengabaikan faktor budaya lokal yang berkembang dan lebih mempertimbangakan rasionalitas usaha dan bisnis.
Mhammed dan Perbandingan penerapan Hasan (2008) Islamic Microfinance dan Conventional Microfinance di Nigeria dan beberapa negara.
Islamic Microfinance di Nigeria lebih diterima oleh masyarakat, karene melalui sistem bagi hasil menyebabkan masyarakat secara adil menerima usaha yang telah dilakukan, sedangkan Conventional Microfinance membebani mereka dengan bunga yang sangat tinggi dan memberatkan.
Dusuki (2008)
Microfinance mensyaratkan pendekatan yang inovativ melebihi peranan intermediasi keuangan yang biasa dilakukan secara tradisional. Perlunya membangun kapasitas mahusia melalui perantara masyarakat dan program pembiayaan berbasis group pada faktanya sangat tepat dalam memberantas kemiskinan.
Relevansi produk microfinance bagi perbankan syariah yang scera khusu diperuntukkan bagi kaum dhuafa. Inisiativ ini adalah bagian dari nilai-nilai shariah yang harus dijalankan oleh perbankan Islam untuk memberantas kemiskinan, mewujudkan keadilan sosial dan pemerataan distribusi pendapatan.
Palli Karma Follow up pengawasan dan Di Bangladesh, melalui sistem MES Sahayak pengevaluasian analisis sistem kemiskinan absolut bisa turun 9 % dan Foundation MES di Bangladesh kemiskinan moderat turun 5 % (2005) Chowdhury dan Dampak yang lebih luas dari Bhuiya (2004) program pengentasan kemiskinan Bangladesh Rural Advancement Committe
Microcredit lebih sukses diterapkan dan justru mampu menjangkau masyarakat miskin, akan tetapi kurang efektif didalam membantu masyarakat yang memang benar-benar miskin di Bangladesh
Khandker (2003)
Microfinance menolong didalam mereduksi jumlah masyarakat yang benarbenar miskin dan lebih berhasil daripada dialokasikan untuk masyarakat yang
Dampak microcredit pada para peminjam di Gramen Bank, Bangladesh Rural Advancement program (BRAC) dan
27
Banglaesh Rural Development dikategorikan moderate poverty (tidak Board (BRDB) terlalu miskin). Dampak kesejahteraan adalah positif bagi seluruh rumah tangga yang memanfaatkan kredit Latif (2001)
Dampak microcredit pada Rasio pendapatan dengan tabungan bagi tabungan rumahtangga para para perserta program microcredit adalah peminjamnya di Bangladesh lebih besar daripada yang bukan menjadi peserta
Zaman (2001)
Dampak microcredit pada kemiskinan dan kerapuhan ekonomi bagi para anggota binaan BRAC
Hal ini memiliki dampak positif pada pendapatan, kemampuan mengambil keputusan dan mereduksi kesenjangan gender
Bangladesh Institute of Development Studies (2001)
Studi pengaruh pada peminjam microcredit dibawah naungan organisasi mitra PKSF di Bangladesh
Dampak dari microcredit adalah positiv bagi pendapatan peserta program ketika dibandingkan dengan yang bukan menjadi pesrta
Ahmed et al. Dampak program pembangunan Pada faktanya hanya terjadi mobilitas (2000) desa yang terintegrasi oleh gender yang kecil terhadap sesama BARC terhadap gender equity anggota dan perserta program, bila dibandingkan dengan yang bukan menjadi peserta Khandker (2000)
Dampak microcredit pada Microcredit meningkatkan jumlah tabungan dan peminjaman tabungan secara sukarela dan hal ini lebih secara informal populer bagi para wanita daripada lakilaki. Daampaknya juga berpengaruh pada peminjaman secara informal juga menurun
Hakim (2000)
Dampak program microfinance
Zohir (2000)
Penelitian Bangladesh Institute of Development Studies (BIDS) pada sistem evaluasi dan monitoring PKDF
penerapan Terjadi suatu interaksi sosial yang lebih tinggi dan adanya mobilitas diantara clients wanita serta hal ini menyebabkan dampak positif pada kepemilikan asset Lembaga microfinance telah berkontribusi secara signifikan dan positin terhadap pendapatan, ketersediaan makanan dan perancanaan keluarga.
28
2.2.2 Berbagai Penelitian Tentang Corporate Social Responsibility, Maqasid Al Shariah dan Kontribusi Perbankan Syariah Bagi Masyarakat Penelitian tentang CSR dan bentuk pengembanganya telah banyak dilakukan oleh berbagai ekonom dan peneliti diseluh dunia, akan tetapi wacana CSR dalam kontek ekonomi syariah baru muncul dan berkembang beberapa tahun ini saja. Akan tetapi ada keterkaitan teori diantara keduanyanya, meskipun fakta dan berbagai disiplin serta pembahsan oleh beberapa pakar dalam perspektif Islam maupun barat akan tampak sangat jauh perbedaanya. Dalam penelitian ini, literatur review tentang CSR yang khususnya dilakukan oleh perbankan syariah dan bagaimana konsepnya dirangkum sebagaimana sub chapter sebelumnya untuk menjadi landasan dan referensi didalam pembahasan penelitian ini. Tabel 2.1 Berbagai Penelitian Tentang CSR Perbankan Syariah Maqasid Al Shariah dan Kontribusi Perbankan Syariah Bagi Masyarakat Author/Penulis
Deskripsi Penelitian
Hasil Utama
Hasan dan Salma Corporate social responsibility (2009) yang dilakukan oleh sektor bisnis dan keuangan islam melalui pengoptimalan nilainilai sosial dan bagaimana praktek CSR yang telah dilakukan.
Pendekatan secara kolektif yang dilakukan oleh sektor bisnis, keuangan dan lembaga zakat,infaq shodaqoh, mampu meningkatkan aliran dana dan kepedulian melalui CRS didalam sektor sosial.
Siwar dan Hosain Suatu analisis tentang konsep (2009) CSR dalam perspektif islam dihubungkan dengan berbagai macam pendapat manajer tentang hal tersebut di Malaysia
Para menejer eksekutif berpendapat bahwa dalam Islamic framework justru mendorong bagi mereka untuk memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat, ekonomi dan lingkungan.
Dusuki (2008)
Untuk menegakkan adanya Maqasid Al Shariah, perbankan dan keuangan Islam harus memastikan bahwa semua transaksi yang dijalankanya sesuai dengan pedoman shariah, tidak hanya secara bentuk tetapi juga berbagai prinsip didalamnya. Perbankan islam seharusnya menjauhi berbagai produk dan akad yang dianggap kontroversia, yang dapat
Suatu penilaian kritis yang dilakukan untuk mengevalusi berbagai tantangan penerapan Maqasid Al Shariah didalam Perbankan dan Keuangan Islam
29
menghalangi pertumbuhan dan perkembangan dunia perbankan dan keuangan islam. Dusuki dan Pemahaman corporate social Abdullah (2008) responsibility dalam perspektif Islam. Secara lebih jauh, pengimplikasian Maqasid Al Shariah dan pengaplikasian Maslahah dalam CSR program, serta bagaimana konsep Islam yang dinamis dan holistic di dalam mengaplikasikan CSR di lapangan yang selalu mengalami perubahan.
Pemahaman CSR dalam Islamic point of view adalah sudah jelas dan bukan merupakan hal yang asing, perusahaan yang menerapkan prinsip shariah secara menyeluruh juga secara otomatis akan menerapkan CSR. Maqasid Al Shariah dan Maslahah selalu diterpkan ketika menghadapi pilihan yang menyebabkan trade off, dengan pertimbangan kedua hal teresut pengusaha atau manajer mampu membuat keputusan terbaik yang memiliki dampak bagi masyarakat. Perbankan islam yang sejalan dengan prinsip shariah, tidak boleh sematamata hanya berorientasi untuk mencari profit saja, tetapi juga harus mengedepankan membangun karakteristik kesejahteraan sosial bagi masyarakat muslim.
Dusuki (2008)
Menguji dan menganalisa konsep CSR yang diterapkan di barat/seluruh dunia saat ini melalui perspektif Islam
Konsep CSR di barat bukanlah hal yang baru dalam perspektif islam. Didalam konsep khalifah (vicegrency), perusahaan dituntut tidak hanya mencari profit tetapi juga memberikan manfaat kepada masyarakat untuk mendapatkan ridha Allah. Setiap perusahaan yang mengklaim berdasarkan shariah dan bergerak berdasarkan prinsip shariah harus memperaktekkan CSR karena hal itu mengabadikan dan menjalankan semangat yang nyata dalam islam.
Dusuki (2008)
Memahami berbagai macam perspektif kelompok stakeholder terhadap philosophy dan tujuan perbankan islam dalam kasus dual banking system seperti Malaysia
Respondents dangat menganggap bahwa perbankan Islam sebagai suatu institusi yang seharusnya menegakkan tujuan-tujuan sosial dan memperomosikan nilai-nilai islam terhadap staffs, clients dan seluruh masyarakat umum.
30
Dusuki Humayon (2007)
Dusuki (2006)
dan Menganalisa berbagai macam Dar persepsi stakeholder perbankan Islam di Malaysia dalam memandang tanggung jawab sosialnya (CSR)
Dari 7 stakeholders yang diteliti, mereka memandang positiv terhadap CSR yang dilakukan perbankan Islam di Malaysia, dan mereka mensarankan bahwa perbankan Islam seharusnya menjadi pusat / trend center yang memperaktekkan CSR secara baik di Malaysia.
Secara empiris dan berdasarkan survey, paper ini menguji perspektif stakeholder perbankan islam di Malaysia terhadap CSR
Ketujuh stakeholder memandang bahwa peranan CSR sangat signifikan didalam mendorong keberlanjutan perusahaan terutama perbankan Islam di Malaysia. CSR dan profit maximization bukanlah konflik yang sulit dicapai oleh pebankan islam
3. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian sebenarnya adalah suatu design dari cara untuk menganalisa suatu permasalahan, memformulasikan ide atau bahkan mengkritik suatu teori yang sudah terbangun. Pilihan dan bentuk metodologi dalam dunia akademik sangatlah beragam dan banyak, seorang peneliti bisa memilihnya berdasarkan apa yang ingin dianalisa, disajikan dan formulasi apa yang ingin dibentuk. Metodologi adalah juga sebagai suatu cara untuk menentukan apa yang sebenarnya terjadi dalam permasalahan dan rumusan penelitian dan hal tersebut menyediakan berbagai macam argumen yang mendukung berbagai macam pilihan yang dikembangkan dan disahkan oleh komunitas ilmiah untuk aturan tertentu dalam kerangka prosedur intelektual (Montague, 1952). Dalam penelitian ini metodologi yang dipilih dan digunakan untuk menganalisa permasalahan dan memformulasikan ide baru adalah kualitatif dengan berbasis literature review. Penelitian secara kualitatif tercermin dari tujuanya yang menghubungkan pemahaman beberapa aspek dalam kontek sosial dan metodenya secara umum memproses kumpulan kata dan kalimat yang berbentuk ilmiah sebagai data utama untuk proses analisa. Metode ini sangat bergantung secara mutlak terhadap berbagai macam teori yang mendasari baik
31
berasal dari textbooks ataupun journals maupun perkembangan berbagai issue terkini dalam bentuk sumber sumber ilmiah. Proses analisa teori tersebut, dalam metode ini akan dikaitkan dan dianalisis dengan kondisi empirisnya. Soderquist (2004) menjelaskan dalam catatan seminarnya tentang keterkaitan antara theoritical work dengan empirical work sebagaimana bagan dibawah 3.1 dibawah ini. Gambar 3.1 Hubungan antara Theoritical Work dengan Empirical Work INDUCTION
DEDUCTION Application of theory
Construction of theory Theory
Theoretical work Empirical work
Empirical Generalizations
Theoretical work Test
Hypotheses
Empirical work
Observations
INDUCTION
Theory Development
DEDUCTION
Theory Extension
Sumber: PhD Seminar Series, Qualitative Research Methodology, K.E. Soderquist, 2004 Setelah metode penelitian, maka langkah selanjutnya adalah menentukan design penelitian kualitatif ini. Berbagai sumber literature tentang Islamic corporate social responsibility, microfinance, dan berbagai data ekonomi pendukung dikumpulkan untuk diaanalisa dan ditelaah, sehingga menghasilkan suatu gambaran yang detail melalui design penelitian. Dalam penelitian ini, design penelitian kualitatif yang dilakukan mengambil framework dari a model for qualitative research design milik Maxwell (1996). Dimana design penelitian dibagi kedalam 5 komponen, yaitu tujuan (purpose), kontek konseptual (conceptual context), pertanyaan penelitian (research question), metode (method) dan validitas (validity). Kelima komponen tersebut saling berkaitan satu sama lain
32
sehingga membentuk jejaring, sebagaimana tergambar dalam gambar 3.2 dibawah ini. Gambar 3.2 A Model for Qualitative Research Design Kontek Konseptual
Tujuan Pertanyaan Penelitian
Metode
Validitas
Sumber: Maxwell, Joseph A., Qualitative Research Design, 1996: page 5
4. Analisa dan Pembahasan 4.1 Gambaran Umum Perbankan Shariah dan Telaah Kritis Keberadaan perbankan syariah didalam perekonomian masyarakat Indonesia sudah memasuki umur sekitar dua dasawarsa semenjak bank syariah pertama kali didirikan, sistem baru ini mendapat tempat dihati masyarakat Indonesia tidak hanya muslim tetapi juag non-muslim. Sebagai suatu sistem keuangan yang memiliki falsafah dan background Islam, masyarakat sangat mengekspektasikan bahwa perbankan Islam harus berbeda dari perbankan konvensional, terutama dalam mempromosikan keadilan dan keseimbangan distribusi pendapatan untuk mencapai kebahagian umat muslim di Indonesia (fallah). Berdasarkan berbagai literatur, perbankan syariah sangat berbeda dengan perbankan konvensional tidak hanya dalam berbagai cara memperaktekkan bisnis akan tetapi juga nilai-nilai yang digunakan oleh perbankan syariah sebagai panduan didalam menjalankan bisnisnya( Dusuki dan Abozaid, 2007). Perbankan syariah dalam menjalankan operasi dan tujuan bisnisnya tidak boleh semata-mata hanya mencari keuntungan saja (profit maximization orientation), tetapi juga harus mempertimbangkan penegakan maqasid al shariah dan maslahah. Sehingga, sinergi kedua hal tersebut harus dipandang sebagai suatu yang holistic didalam perspektif Islam. Ketika pandangan yang holistic tentang Islam diaplikasikan dalam praktek perbankan syariah, maka perbankan syariah
33
tidak akan terjebak pada ranah pembuatan trick bagi berbagai kontrak dan produk keuangan yang dianggap menguntungkan dan memenuhi standar shariah compliance, tetapi akan melihat implikasinya yang lebih dalam bagi masyarakat muslim di Indonesia. Ketika perbankan syariah di Indonesia terjebak dalam hal tersebut, maka keberadaan dan fungsinya tidak akan berbeda dengan bank dan sistem konvensional, Dusuku dan Abozaid (2007) membahasakan kondisi tersebut sebagai old skelton in a modern dress (kerangka lama dalam suatu baju yang baru). Artinya adalah, perbankan syariah di Indonesia masih menggunakan sistem dan paradigma konvensional, hanya saja dengan penggunaan istilah, nama atau formalitas shariah saja. Analisis tentang kondisi tersebut bisa diketahu dari statistik performance perbankan shariah di Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Sebagai sustu lembaga keuangan yang berfungsi untuk mengintermediasi dalam suatu perekonomian, penilaian kinerja bank syariah, apakah sudah memenuhi maqasid al shariah dan maslahah bisa diukur dari dua chanel utama, yaitu dana pihak ketiga yang diterima dan berbagai pembiayaan yang dilakukan. Pada faktanya di seluruh dunia termasuk Indonesia, praktek perbankan syariah ditemukan sangat berbeda dalam aspek yang mendasar dari doktrin intelektual yang mendasari perananya didalam perekonomian, dimana hampir semua perbankan syariah menetapkan teknik bagi hasil yang tetap (fixed-return) atau debt based-instrument (Dusuki dan Abozaid, 2008). Hal tersebut menyebabkan mudharabah dan musharakah dalam dunia perbankan shariah bukanlah komponen pembiayaan utama, dan jumlahnya tidak dominan (Iqbal dan Molyneux, 2005). Dalam hal ini, perbankan syariah ingin bermain aman dengan tidak menanggung resiko usaha yang terlalu besar dalam proses karena bila menggunakan skema pembiaayaan mudharabah dan musyarakah maka perbankan syariah juga harus menanggung resiko didalam suatu bisnis.
34
Tabel 4.1 Komposisi Pembiayaan Perbankan Syariah Berdasarkan Akad (Contract) di Indonesia (BUS-UUS)/ Milliar Rupiah 2010 Akad/Contract 2005 % 2006 % 2007 % 2008 % 2009 % (Juli) Mudharabah 3124 20.51 4062 19.87 5578 19.96 6205 16.25 6597 14.07 7856 Musyarakah 1898 12.46 2335 11.42 4406 15.77 7411 19.40 10412 22.21 12645 Murabahah 9487 62.28 12624 61.75 16553 59.24 22486 58.87 26321 56.14 32027 Salam 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0 Istishna 282 1.85 337 1.65 351 1.26 369 0.97 423 0.90 383 Ijarah 316 2.07 836 4.09 516 1.85 765 2.00 1305 2.78 2047 Qardh 125 0.82 250 1.22 540 1.93 959 2.51 1829 3.90 2675 Lainya 0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Total 15232 100 20445 100 27944 100 38195 100 46886 100 57633 Grafik 4.1
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, BI 2010
Berdasarkan data statistik Bank Indonesia 2010, sebagian besar pembiayaan perbankan syariah disalurkan dengan kontrak murabahah yang selama kurun waktu 5 tahun terakhir selalu dipertahankan diatas 50 sampai 60 %. Murabahah dalam fiqih Islam sebenarnya berarti jual beli tertentu ketika penjual manyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya
35
% 13.63 21.94 55.57 0.00 0.66 3.55 4.64 0.00 100
perolehan yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut dan tingkat keuntungan (margin) yang diinginkan (Ascarya, 2007:81). Tingkat keuntungan yang dimaksud bisa berupa lumpsum atau persentase tertentu dari biaya perolehan dengan model pembayaran tunai atau diwaktu yang akan datang berdasarkan kesepakatan bersama. Akad jula beli memang terbilang menguntungkan dan memiliki resiko yang kecil. Jual beli (buyu’ jamaknya dari ba’i) atau perdagangan secara pengertian fikih adalah suatu kegiatan tukar menukar barang (exchange) dalam bentuk apapun yang halal atas dasar ridha (rela), dengan kata lain memindahkan kepemilikan dengan adanya reward terhadap barang-barang yang halal (Santoso, 2003 dalam Ascarya, 2007). Dasar syariah yang dipergunakan oleh perbankan syariah untuk beroprasi dengan akad ini berdasarkan Al Quran, Sunnah dan Ijma’ para Ulama (consensus). Qur’an 2:275 menyatakan bahwa ”Allah menghalakan perniagaan (al-ba’i) dan mengharamkan riba”, Qur’an 4:29 ”hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu”. Jenis akad bentuk kedua yang menjadi dasar pembiayaan perbankan syariah adalah mudharabah dan musyarakah atau pola profit and loss sharing. Selama 5 tahun dari 2005 sampai 2010, pembiayaan perbankan syariah dengan akad mudharabah berkisar pada persentase 13 % samapai 20 % dari total pembiayaan, akan tetapi selama kurun waktu tersebut terjadi tren yang menurun setiap tahun. Pada dasarnya mudharabah meruapakan akad bagi hasil, hal ini berlaku ketika pemilik dana/shahibul mall menyediakan dananya kepada pengelola/pengusaha/mudharib untuk didayagunakan dalam aktifitas bisnis dengan syarat keuntunganya akan dibagi berdasarkan kesepakatan, ketika ada kerugian karena proses yang normal dalam usaha kerugian ditanggung pemilik modal dan pengelola kehilangan usahanya (Ascarya: 2007). Sedangkan musyarakah memiliki persentase yang hampir sama dengan mudharabah, tetapi trend pembiayaan ini semakin naik selama 5 tahun terakhir, berkisar dari 12 % sampai dengan 21 %. Perbedaan skim pembiayaanya dengan mudharabah, musyarakah merupakan akad bagi hasil diantara pemilik dana dan mitra usahanya
36
didalam membiayai sebuah investasi , pemilik modal memiliki kebebasan untuk ikut dalam mengelola ataupun tidak, dan mereka membagi pekerjaan berdasarkan kesepakatan, disini pengelola memiliki kebebasan juga untuk meminta gaji ataupun tidak (Ascarya, 2007). Bentuk akad pembiayaan ketiga yang dipergunakan secara minoritas atau bahkan tidak dipergunakan sama sekali adalah istishna, ijarah, qardh dan salam. Berbagai akad tersebut jumlahnya hanya berkisar 1 % sampai dengan 5 % dari total pembiayaan. Berdasarkan data, perbankan syariah di Indonesia dalam berbagai akad yang minoritas tersebut mulai beralih dari pola jual beli seperti (istishna-salam) dan pola sewa (ijarah) menjadi bentuk pinjaman atau qardh. Pada mulanya pembiayaan qardh adalah paling kecil dengan persentase dibawah satu persen pada tahun 2005, kemudian ada perubaha pada tahun 2006 sampai 2010, dimana persentase pinjaman dengan akad qardh hampir mencapai 5 % dari total pembiayaan. Qardh sebenarnya merupakan pinjaman kebajikan/lunak, peminjam tidak akan meminta imbala tertentu atau bagi hasil dari proses jual beli, investasi dan berbagai jenisnya. Dalam aplikasinya di perbankan syariah, qard biasa digunakan untuk menyediakan dana talangan kepada nasabah prima dan untuk menyumbang sektor usaha kecil.mikro atau membantu sektor sosial (Ascarya: 2007). Pada prakteknya kad qardh digunakan disebut al-qardu alhasan (benevolent loan) yaitu suatu pinjaman yang diberikan atas dasar kewajiban sosial semata, dalam hal ini si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apa pun kecuali pinjaman (Perwataatmadja dan Antonio, 1999). Sifat dari al-qard al-hasan ini ialah tidak memberi keuntungan finansial (Antonio, 2001). Perbankan syariah berdasarkan data pembiayaan yang dilakukan memang terlihat berhati hati dan tidak mau mengambil resiko, hal ini terbukti dengan dominanya akad murabahah didalam keseluruhan pembiayaan yang dilakukan, dan sebaliknya menempatkan posri sistem profit and loss sharing (mudharabah dan musyarakah) pada posisi yang kedua. Hal tersebut sangat wajar dilakukan karena perbankan syariah di Indonesia tidak bisa sembarangan dalam menyalurkan dananya, melihat kondisi real masyrarakat dan siklus bisnis. Sehingga, ketika didominasi oleh model akad jual beli seperti murabahah maka
37
perbankan syariah seperti layaknya institusi keuangan lainya yang bertindak untuk melalukan jual beli barang. Keberhati-hatian ini ternyata juga berdampak pada pembiayaan dengan akad lainya seperti qardh dan akad jual beli (istishna) dan sewa (ijarah), padahal akad ini sangat memiliki dampak yang signifikan bagi masyarakat, terutama untuk membangun usaha kecil dan menengah yang masih baru berdiri. Pada sisi yang lain, perbankan syariah di Indonesia memiliki kewajiban untuk memiliki kinerja yang baik, dengan cara menjamin dana yang dipercayakan oleh investor didalam bank syariah. Sebagai institusi keuangan baru, dalam berupaya untuk bersaing dengan perbankan konvensional, perbankan syariah tidak bisa mengandalkan hanya pada kekuatan ideologis semata untuk menarik minat masyarakat agar berkenan menggunakan institusi keuangan berbasis syariah, tetapi juga harus logis dan rasional. Dalam hal menarik minat nasabah untuk mau mempercayakan dananya di perbankan syariah maka perlu juga dipromosikan return yang mencerminkan keadilan sebagaiman prinsip bagi hasil. Berbagai studi ekonomi islam diseluruh dunia telah menganalisa bahwa sistem bagi hasil dipandang lebih rasional dan berkeadilan dibandingkan sistem bunga. Salah satunya yang paling mutakhir adalah studi yang dilakukan Sugema, Baktiar dan Effedi (2010) dengan malukan analisa melalui simulasi antara profit and loss sharing dengan interest didalam suatu kontrak kredit menggunakan framework fungsi produksi. Tolak ukur yang digunakan sebagai ukuran analisisnya adalah efisiensi dan implikasinya terhadap kesejahteraan. Pada keadaan yang stabil, penuh dengan kepastian dan kompetitif, kedua sistem mampu memberikan mekanisme yang adil dan efisien didalam kontrak tersebut. Sebaliknya, pada kondisi yang tidak stabil dan penuh ketidakpastian karena adanya shock fungsi produksi tenyata hanya profit dan loss sharing yang mampu memberikan kondisi yang berkeadilan, hal ini disebabkan semual resiko didistribusikan secara normal kepada peminjam dan pemilik dana. Kondisi yang kedua tersebut mendekati dengan kondisi nyata dimana berbagai shock sering terjadi secara tiba-tiba, sehingga profit and loss sharing mampu memerikan rasa keadilan bagi masyarakat dan perbankan syariah.
38
Tabel 4.2 Komposisi Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah Di Indonesia (BUS-UUS)/Miliar Rupiah Jenis DPK 2005 2006 2048 3416 Giro iB Akad Wadi’ah 4367 6430 Tabungan iB (iB saving deposit) a. Akad Wadi’ah 183 332 b. Akad Mudharabah 4184 6098 9169 10826 Deposito iB Akad Mudharabah a. 1 Bulan (1 Month) 3835 5234 b. 3 Bulan (3 Month) 2228 1973 c. 6 Bulan (6 Month) 1480 1231 d. 12 Bulan (12 Month) 1625 2143 e. > 12 Bulan (> 12 Month) 1 245 Total 15584 20672 Sumber: Statistik Bank Indonesia, BI 2010
2007 3750 9454 645 8809 14807 9309 1406 1296 2787 9 28012
2008 4238 12471 958 11513 20143 14325 1919 1827 2066 6 36852
2009 2010 (Juli) 6202 10338 16475 18449 1538 2418 14937 16031 29595 31675 19794 21365 4544 5140 1758 2118 3497 3052 1 1 52271 60462
Produk perbankan syariah di Indonesia didalam menyerap dana dari nasabah atau disebut sebagai dana pihak ketiga terbagi menjadi 3 produk dan 3 jenis akad, pertama yaitu Giro dengan akad wadiah, tabungan dengan akad wadi’ah dan mudharabah dan terakhir deposito dengan akad mudharabah. Trend dalam kurun waktu 5 tahun dapat terakhir antara 2005 sampai dengan 2010 dapat dilihat pada tabel dan grafik 4.2, dimana dana pihak ketiga perbankan syariah didominasi oleh deposito dengan akad mudharabah yang berada pada kisaran diatas 50 %. Pada kondisi ini, perbankan syariah rupanya ingin menarik minat nasabah
untuk
mempercayakan
dananya di
perbankan
syariah
dengan
pertimbangan rasional adalah adanya return bagi hasil. Selain itu, perbankan syariah juga memberikan kebebasan untuk nasabah dalam menarik dananya berdasarkan akad deposito berjangkan 1 bulanan (lihat grafik 4.3), untuk mengimbangi daya saing perbankan konvensional. Sebagai konsekuensinya, perbankan syariah harus berupaya menyeimbangkan antara sektor pembiayaan dan titipan dana, hal ini menyebabkan perbankan syariah sangat berhati-hati dan selektif dalam menyelurkan pembiayaan dan memilih akad yang aman.
39
Grafik 4.2 Persentase Komposisi Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah Di Indonesia (BUS-UUS)/Miliar Rupiah
Grafik 4.3 Jenis Deposito Akad Mudharabah Perbankan Syariah Di Indonesia
Sumber: Statistik Bank Indonesia, BI 2010 Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, deposito akad mudharabah perbankan syariah adalah sebagian besar berjangkan satu bulanan, lebih
lengkap
lihat
grafik
4.3.
Perbankan
syariah
harus
benar-benar
mempertanggung jawabkan dana nasabah yang juga merupakan amanah untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya dan bisa memberikan return bagi hasil setiap
40
bulan. Sebagai perbankan dengan sistem baru, bila dibandingkan dengan perbankan konvensional, upaya yang dilakukan perbankan syariah untuk menarik minat nasabah adalah dengan memberikan ekuivalen tingkat imbalan/bagi hasil/fee/ bonus secara bulanan, tiga bulanan, enam bulanan dan seterusnya, yang sudah ditetapkan nilainya berdasarkan persentase bagi hasil mudharabah. Produk investasi/pendanaan perbankan syariah dalam bentuk ini sebenarnya dibagi menjadi dua jenis, pertama adalah mudharabah al muthlaqah yang memiliki karakteristik tidak terikat dan bank (mudharib) memiliki kebebasan didalam mengelola
investasinya,
kedua
adalah
mudharabah
muqayyadah
yang
berkarakteristik terikat dan bank menginvestasikan dananya pada proyek tertentu berdasarkan preferensi nasabah. Sebagai suatu bagian dari suatu sistem keuangan yang berbasis Islam rasionalitas perbankan syariah didalam menetapkan produk investasi dan akadnya berdasarkan kebutuhan kondisi ekonomi dan pertimbangan untuk menarik nasabah yang lebih banyak selayaknya bisa dipahami. Akan tetapi perbankan syariah di Indonesia jangan sampai terjebak pada tujuan untuk mencari profit semata dan menyalahgunakan berbagai macam kontrak dengan cara melakukan legal trick (hilah) untuk mengelabuhi sistem riba. Hal ini akan menyebabkan perbankan syariah kehilangan orientasi dan tujuan yang hakiki sebaga suatu bagian dari ekonomi Islam yang diderivasi dari nilai-nilai Islam. Sebagaimana firman Allah dalam QS 2:275 ”Allah telah menghalalkan perniagaan (Al Bai’) dan mengharamkan riba”. Didalam praktek perbankan syariah, pada kenyataanya suatu produk perbankan bisa mempergunakan berbagai akad dalam bermuamalah, sebaliknya suatu akad juga bisa dipergunakan untuk berbagai produk perbankan. Salah satu contohnya adalah, akad mudharabah bisa dipergunakan sebagai kontrak dalam pola penitipan dana ataupun dalam pola pembiaayaan. Kefleksibelan inilah, yang dikhawatarkin oleh berbagai kalangan bahwa perbankan syariah terjerembab dalam permainan trick untuk lepas dari stigma riba, tetapi sesungguhnya juga masuk kedalam bagian dari riba. Kinerja perbankan syariah di Indonesia selalu mengalami peningkatan pada 5 tahun terakhir mulai dari 2005 sampai 2010, melalui alat ukur rasio
41
keuangan seperti ROA (return on asset), NPF (non performing finance) dan FDR (financing to deposit ratio). Berdasarkan trend 5 tahun FDR perbankan syariah di Indonesia berada pada kisaran 89.7 sampai dengan 103.65, artinya bahwa semua dana pihak ketiga nya disalurkan kepada sektor real, kecuali untuk beberapa persen yang menjadi persyaratan perbankan. Angka NPF nya selalu berada pada level dibawah 5%, yang interpretasinya paling besar 5% dari total pembiayaan yang disalurkan bermasalah. Sedangkan profitabilitasnya terhadap asset sebesar 1.3% sampai 2.07%. Performance yang baik tersebut masih berdiri pada jenis akad yang dikelasifikasikan dalam tijarah (mencari untung), dan sedikit sekali beroprasi pada produk perbankan yang masuk dalam akad tabarru’ (tidak mencari untung. Pilihan ini sangat wajar diambil perbankan syariah di Indonesia sebagai institusi keuangan yang bergerak didalam mencari profit. Akan tetapi perlu diingat bahwa pembeda utama dengan perbankan konvensiaonal selain daripada produk dan akad maka motivasinya juga harus tidak hanya mencari untung tapi juga bermanfaat secara sosial bagi masyarakat sebagai suatu lembaga yang profesional. Grafik 4.4
Sumber: Statistik Bank Indonesia, BI 2010
42
4.2 Relevansi Al Siayasah al Shariah, Maqasid Shariah dan Maslahah dengan Corporate Social Responsibility Corporate social responsibility dalam konteks barat atau lebih dikenal dengan kapitalis menekankan pada penguatan fungsi perusahaan secara ekonomi, hukum dan etika terlebih dahulu, sebelum melakukan tindakan yang bersifat sosial/philanthrophy sebagaimana thesis Carroll A.B. (1991). Pada kenyataanya pandangan tersebut memang demikian, berbagai perusahaan dalam perspektif barat akan melakukan kegiatan CSR ketika sudah memenuhi ketiga elemen pendukung utamanya. Pola pikir seperti tersebut memang rasional, menekankan pada pertumbuhan dan penguatan perusahaan sebelum memikirkan dampak sosial bagi komunitas dan masyarakat disekitarnya. Permasalahan kemuadian timbul, ketika mengukur profitabilitas ekonomi, kepatuhan hukum dan pemenuhan etika bagi suatu perusahaa. Setiap perusahaan akan memiliki alat ukur tersendiri, sehingga pada kondisi seperti apa CSR akan dilakukan oleh perusahaan sangat sulit ditentukan. Motif dan tujuan dalam perspektif baratpun sangat bernuansa duniawi saja, diantanya adalah untuk mendongkrak popularitas perusahaan dimata publik dan memenuhi aturan pemerintah. Pandangan Islam tentang CSR sangat berbeda, karena dalam Islam CSR bukanlah hal yang asing dan sudah diterapkan oleh masyarakat, perusahaan ataupun individu yang menjalankan panduan nilai-nilai islam secara tidak langsung dalam hal kepedulian kepada sesama, meskipun secara terminologi bukan disebut sebagai CSR sebagaimana perspektif barat. CSR didalam Islam memiliki pandangan yang menyeluruh berdasarkan Qur’an dan Hadist, salah satu bagian dari nilai-nilai tersebut adalah mekanisme zakat, infaq, waqaf dan shodaqoh baik bari individu, lembaga maupun perusahaan. Sebagaimana perintah Allah dalam QS 9:103 ” Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan harta mereka, dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”. QS 30:39 ”...Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya”. Tentu saja,
43
dampak instrument tersebeut khususnya zakat mampu membantu masyarakat yang kurang beruntung untuk bisa mandiri dan keluar dari permaslahan ekonomi. Untuk menerjemahkan definisi dan aplikasi CSR dalam kontek barat kedalam Islam maka perlu untuk melihat rujukan shariah sebagai patokan utamanya. Sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan Aqidah Islamiyah dan Shariah maka CSR bisa dibentuk menjadi perspektif Islam. Hal ini sebagaimana dunia barat pernah menjadikan refrensi hasil karya ilmuan islam dimasa lalu untuk dijadikan kerangka pembuatan berbagai teori pengembangan di barat, sebagai contoh adalah hasil pemikiranya Al Ghazali (1058-1111) yang dikembangkan oleh Adam Smith (1723-1790) menjadi teori invisible hand. Shariah didifinisikan sebagai suatu sistem dari berbagai etika dan nilai yang mencakup semua aspek kehidupan (seperti personal, sosial, politik dan ekonomi) dengan memuat prinsip dasar yang tidak akan berubah tapi cara penerapanya menyesuaikan berbagai macam perubahan, dimana dalam penerapanya tidak bisa dipisahkan dan diisolasi dari tujuan, nilai-nilai dan kepercayaan dasar dalam Islam (Sardar, 2003). Hal tersebut merefleksikan pandangan Islam yang menyeluruh, dalam suatu aturan yang terintegrasi dan lengkap sebagai panduan hidup di dalam semua aspek kehidupan secara individu atau sosial baik dunia maupun akhirat (Dusuki, 2007). Di dalam Islam terdiri dari bagian yang dianggap permanen dan bagian yang ini disebut sebagai wilayah fundamental yang berubah-ubah berdasarkan kondisi zaman dan kebutuhan. Bagian yang sudah permanen tetap terdiri dari aaqidah (creed), ibadah (worship) dan akhlaq (morality), dimana hal ini tidak akan pernah berubah, sedangkan bagian turunanya atau penerapanya seperti ekonomi, bisnis, politik dan berbagai kegiatan keduniaan bisa berubah berdasarkan waktu dan tempat (Kamali 1989). Pengaturan syariah dalam masyarakat memerlukan peranan pemerintah untuk mengimplementasikanya yang disebut Al Syiasyah al Shariah. Dalam sejarah peradaban Islam ada konsep negara negara Islam, tetapi saat ini dimana bentuk negara sudah berubah bertransformasi menjadi negara bangsa dan modern, maka
yang
paling
penting
adalah
pemerintah
disuatu
negara
yang
memperjuangkan kepentingan masyarakat muslim dalam bernegara. Al Syiyasah
44
al Shariah mengacu pada wilayah hukum Islam yang menjelaskan berbagai pengaturan berkaitan dengan berbagai macam kebijakan dan pendekatan yang diambil di dalam mengelola dan mengorganisir berbagai kebijakan nasional yang menyangkut penerapan Syariah, dimana hal tersebut mencakup permasalahan ekonomi, pengadilan, perdamaian dan hubungan internasional (Al Husairy, 1990). Konsep penerapan Syiyasah al Shariah memerlukan pertimbangan yang komprehensif dan mendalam terhadap fungsinya mencapai mashlahah (protection of public interest), kedua hubungan ini muncul dari fakta bahwa pengelolaan pemerintahan oleh muslim harus berdasarkan asas manfaat (Dusuki dan Abozaid, 2008). Didalam memahami syariah seseorang perlu memahami tujuan utamanya yang memungkinkan untuk terjadinya fleksibilitas, dinamisitas dan kreativitas dalam kebijakan sosial (Hallaq, 2004). Sehingga syariah tidak bisa ditafsirkan dan dipahami secara parsial tanpa tujuan yang sebenarnya. Menurut Imam al-Ghazali, tujuan shariah (Maqasid Al Shariah) adalah untuk mengangkat kesejahteraan semua umat manusia yang bertujuan melindungi agama (dien), kehidupan (nafs), intelektual (aql), keturunan (nasl) dan kesejahteraan (mal), apapun tindakan yang dilakukan dalam menjamin keberlangsungan kelima hal tersebut benar-benar bermaslahah untuk ummat (Chapra, 2007). Maslahah adalah suatu alat hukum yang dipergunakan didalam teori hukum Islam untuk mengangkat kebaikan bersama dan mencegah berbagai macam kerusakan dan kenistaan di dalam masyarakat (Dusuki, 2007). Maslahah secara essensi adalah suatu pengekspresian terhadap penerimaan keuantungan atau penolakan kerugian akan tetapi hal tersebut bukanlah yang dimaksud secara eksplisit,
karena
pengambilan
keuntungan
dan
penolakan
kerugian
merepresentasikan tujuan manusia, yaitu kesejahteraan manusia melalui pencapaian tujuan tersebut, yang dimaksud dalam kontek ini adalah maslahah yaitu pemeliharaan dan tujuan-tujuan syariah (Al Raisuni, 1992). Al-Shatibi, kemudian mengembangkan sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh Al Ghazali dengan mendifiniskan maslahah dalam Al-Muwafaqat, adalah sebagai suatu prinsip yang menyangkut kelangsungan hidup manusia, perangkat
45
kehidupan seseorang dan pengakuan kualitas intelektual dan emosional mensyaratkan keterlibatan manusia didalam suatu rasa perasaan yang mutlak (Hallaq, 2004). Pada kenyataanya, Al Shatibi mendefinisikan maslahah secara lebih specific yaitu mengembangkan tujuan syariah secara cukup lebar untuk memasukkan semua tindakan yang mempertimbangkan keuntungan bagi masyarakat, termasuk penegakan hukum dan ibadah, dan dia mengklasifikasikan maslahah kedalam 3 kategori yaitu daruriyat (pokok), hajiyat (pelengkap), dan tahsiniyat (penghiasan) (Hallaq, 2004). Dusuki (2007) mengelaborasi masing-masing definisi sebagai berikut: Daruriyat adalah kepentingan individu yang diperlukan setiap orang, seperti keimanan, kehidupan, intelektual, keturunan dan kekayaan. Sedangkan Hajiyat adalah kepentingan tambahan yang mendukung kebutuhan daruriyat jika hal ini diabaikan akan menyebabkan kesulitan tapi tidak menghancurkan segala sendi kehidupan diaman hal ini diperlukan untuk menghilangkan berbagai kesulitan sehingga kehidupan menjadi mudah, sebagai contoh adalah syariah mengijinkan adanya forward buying (salam) dan lease/hire (ijarah). Yang terakhir adalah Tahsiniyat atau disebut kebutuhan penghias yaitu kepentingan yang apabila direalisasikan akan menciptakan kesempunaan didalam norma dan tingkah laku manusia didalam semua level pencapaian, contonya adalah syariah mendorong dilakukanya berbagai kegiatan sosial melebihi zakat bagi mereka yang membutuhkan sebagai upaya mempererat tali dan rasa persaudaraan antar sesama manusia. 4.2.1 Implikasi Maqasid Al Shariah dalam CSR CSR dalam kontek Islam diartikan secara lebih luas dan menyeluruh, para pekerja, menejer, customer, perusahaan dan masyarakat berkewajiban untuk selalu bertakwa kepada Allah sebagai khalifah di muka bumi dan mendayagunakan semua sumber daya yang dianugrahkan oleh Allah. Semua aktivitas yang dilakukan harus bertanggung jawab terhadap Allah dan kondisi yang ada disekitarnya, sehingga keseimbangan ini menjadi suatu upaya yang wajib dilakukan oleh semua muslim baik sebagai individu maupun kelompok. Tanggung
46
jawab tersebut sebenarnya adalah suatu fungsi kualitas yang instrinsik dari setiap kehidupan muslim sebagai suatu kepercayaan dari Allah (Al Attas, 1995). Sebagai seorang muslim, memperhatikan serta memperdulikan nasib orang lain dan lingkungan sekitar merupakan penegakan pilar Islam. Pada kenyataanya, manusia dilahirkan menjadi makhluk sosial untuk selalu berhubungan dan bergantung
pada
berdampingan
sesamanya
dan
dan
memerlukan
lingkunganya. batuan
orang
Manusia lain
dan
harus
hidup
alam
untuk
mempertahankan kelangsungan peradabanya. Bankah, dalam kontek Islam seorang muslim harus memberikan manfaat bagi sesama manusia. Secara lebih khusus dalam beribadah Islam juga mengajarkan adanya tanggung jawab terhadap muslim yang lainya. Diriwayatkan oleh Abu Hurayrah: ”seorang sahabat nabi melewati suatu jurang dimana menjadi sumber tempat air, dia menyukai tempat tersebut dan mengatakan”saya lebih suka mengisolasi diri saya untuk beribadah kepada Allah, saya tidak akan melakukan hal tersebut sebelum mendapatkan izin dari Rasulullah (SAW), kemudian laki-laki tersebut bertanya kepada Rasulullah (SAW) tentang keinginanya tersebut, dan Beliau menjawab ”jangan lakukan hal tersebut”, usaha yang kamu lakukan dijalan Allah adalah lebih baik dari sholat didalam rumahmu selama 70 tahun” (diriwayatkan oleh Tirmidhi dan al Hakim). Sehingga, CSR adalah suatu inisiatif moral dan keagamaan yang didasarkan pada kepercayaan dimana suatu perusahaan atau individu didalam menjalankan usahanya seharusnya menjadi bermanfaat bagi orang lain, meskipun pilihan tersebut menyebabkan hilangnya kesempatan untuk memperoleh profit sebesar-besarnya. Hal tersebut tidak melarang untuk mencari dan membatasi profit sebesar dan semaksimal mungkin, akan tetapi harus ada upaya untuk menyeimbangkan
antara
keduanya.
Pandangan
tersebut
kemudian
akan
mempengaruhi motiv seorang pengusaha ataupun perusahaan, untuk tidak hanya mengejar profit maximization akan tetapi juga social maximization, untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki didunia dan di akhirat. Dengan kata lain ketika mengkombinasikan kedua hal tersebut, baik individu ataupun perusahaan telah mengakui adanya tanggung jawab sosial dan moralnya bagi lingkungan dan
47
masyarakat disekitarnya seperti komunitas lokal, pekerja, konsumen dan shareholder. Dalam panduan Islam, prinsip keadilan yang terkandung didalamnya menguatkan akan pengakuan hak individu dan tugas-tugasnya beserta tanggung jawab terhadap sesama manusia, antara kepentingan individu dengan kelompok. Islam mengakui adanya kepentingan individu sebagai kealamihan dalam kehidupan manusia, akan tetapi hal tersebut juga harus disesuaikan dengan konsep keadilan dan kebaikan secara menyeluruhan (Naqvi, 2003). Berangkat dari hal tersebut, maka individu dan kelompok berkewajiban untuk menyeimbangkan antara dua kepentingan tersebut. Pandangan terhadap reward/profit/imbalan dan sejenisnya menjadi diperluas, tidak hanya berupa materi akan tetapi juga pahala bagi muslim diakhirat. Tentunya hal ini menyediakan suatu motivasi yang kuat dan sebagai pendorong individu untuk membiasakan diri menjadi baik dan adil tanpa harus mengabaikan kealamiahan akan kepentingan individu (Ahmed, 2003). Dusuki (2007) menyimpulkan bahwa sikap seimbang dan peduli terhadap kebutuhan orang lain bersama dengan hak miliknya menjadi suatu bagian yang integral didalam CSR berdasarkan perpektif Islam. CSR bukan hanya tugas pemerintah, individu, perusahaan atau satu bagian dari masyarakat, akan tetapi CSR adalah tugas semua masyarakat muslim, baik yang berada di pemerintahan, bekerja diperusahaan, sebagai anggota masyarakat biasa atau apapun punya kewajiban untuk melakukan dan berkontribusi dalam CSR. Individu dan masyarakat juga didorong untuk melakukan CSR sedapat dan semampunya berdasarkan ketentuan Islam, logika ataupun pertimbangan teknis, sebagai upaya untuk berkorban terhadap sesamanya dengan mengharap ridha Allah. Dusuki (2007) menambahkan sebagai thesisnya bahwa tugas, tanggung jawab dan semangat
berkorban
yang
dianjurkan
dalam
Islam
menolong
didalam
menghapuskan sikap egoisme dan iri hati dan mampu mengangkat perasaan kasih sanyang, peduli, kerjasama dan keharmonisan antar sesama manusia. Kesemuanya ini tidaklah sama dengan konsep CSR yang dikembangkan oleh barat atau sekuler yang menekankan pada satu pihak saja seperti pemerintah, perusahaan atau masyarakat sekitarnya.
48
4.2.2 Aplikasi Maslahah pada CSR Dalam mengaplikasikan maslahah pada CSR, Islam menekankan pentingnya bagaimana mempertimbangkan kepentingan umum, daripada hanya semata-mata kepentingan individu saja. Hal ini memungkinkan adanya suatu kerangka kerja untuk pembuatan keputusan dan suatu mekanisme didalam mengadaptasi adanya perubahan, secara khusus bagi perusahaan
yang
berkeinginan untuk melakukan CSR (Dusuki, 2007). Kerangka kerja ini dikembangkan dari teori Al Shatibi yang berasal dari Ghazali’s taxonomy, yaitu daruriyat, hajiyat dan tahsiniyat. Bagi perusahaan, prinsip ini bisa menjadi panduan bagi manejer ataupun stakeholder untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul ketika ingin melakukan suatu CSR. Grafik 4.1 Piramida Maslahah
Sumber: Dusuki, 2007: 35 Konsep ini dikembangkan oleh Dusuki (2007) dalam kontek modern, secara spesifik bagi perusahaan, piramida ini berfugnsi sebagai suatu framework dan suatu panduan umum untuk suatu mekanisme filter yang bekaitan dengan etika, mampu menyediakan 3 level analisa pengambilan keputusan untuk menyelesaikan berbagai konflik etika yang muncul tanpa bisa dielakkan ketika
49
mengaplikasikan berbagai inisiativ dan program CSR. Setiap level mencerminkan tingkatan yang berbeda setiap kepentingan yang dilakukan perusahaan untuk memenuhi tanggungjawabnya pada dalam CSR. Level terbawah, daruriyat, adalah hal yang paling fundamental untuk dipenuhi terlebih dahulu sebelum hajiyat dan tahsiniyat. Secara ringkas, piramida sebanrnya ini merelevansikan kebutuhan perusahaan untuk terikat dan mengelola aktivitas bisnis dan CSR berdasarkan prioritas yang telah diderivasi dari pemahaman maqasid shariah / tujuan shariah yang mendalam, sehingga pemeliharaan maslahah dilakukan dalam suatu cara yang diserasikan dengan berbagai level kepentingan dan kerumitan konsekuensi yang dihadapi (Dusuki, 2007). 4.3. Ruang Perbankan Shariah Sebagai Bank for the Poor Setelah memahami dan mengidentifikasi Maqasid al shariah, Maslahah dan Syiayasah Shariah perbankan Islam di Indonesia, maka institusi ini harus mampu menempatkan posisinya untuk menjadi solusi dari permasalahan kemiskinan. Meskipun berbagai lembaga, pemerintah, masyarakat dan bahkan perbankan konvensional juga berkontribusi dan berupaya untuk memerangi kemiskinan, akan tetapi hasil akhirnya masih belum tampak signifikan dan diperlukan upaya yang terus menerus dan berkelanjutan. Permasalahan kemiskinan sudah menjadi very acute problems diseluruh negara muslim di dunia, dan khususnya di Indonesia yang didominasi oleh muslim terbesar di dunia. Joseph Stieglitz, pemenang nobel, berpendapat bahwa permasalahan kemiskinan berangkat dari informasi yang tidak seimbang, dari sini menyebabkan kegagalan didalam suatu sitem, secara khusus adalah bagi orang yang memerlukan bantuan kredit dan pembiayaan kesulitan untuk mengakses dana disebabkan oleh minimnya informasi dan kelemahan negara dan berbagai institusi keuangan untuk mengakomidasi mereka kedalam lingkaran ekonomi. Perbankan syariah yang fokus pada pengembangan microfinance untuk mendukung pengentasan kemiskinan adalah sejalan dengan misi syariah. Sebagai entitas dari suatu bisnis dengan kerangka dan fundamental syariah (Islamic Law), perbankan syariah diharapkan beroprasi berdasarkan acuan maqasid al shariah bila dibandingkan dengan institusi yang lainya, untuk memastikan bahwa semua
50
kekayaan terdistribusi kepada para pihak yang memerlukan sebanyak dan semerata mungkin tanpa adanya halangan dan rintangan bagi pihak yang berusaha untuk menggapai hal tersebut secara benar (Ibnu Ashur, 2006). Langkah perbankan syariah ini bisa dimualai dengan kerangka CSR sebagai platform kerja sekaligus menjadi produk kebijakan bagi perbankan syariah untuk menunjukkan kepedulian kepada pengentasan kemiskinan. Dusuki (2008) mengembangkan suatu konsep peranan perbankan syariah bagi pengentasan kemiskinan dengan menekankan pada adanya suatu ruang dan kebijakan khusus untuk memfasilitasi terwujudnya suatu bentuk produk yang benar-benar sesuai untuk pengembangangan microenterprise berdasarkan prinsip syariah. Apa yang digagas oleh Dusuki ini sebenarnya berdasarkan kerangka kerja dan penelitian panjang berbagai ekonom muslim seperti El Gamal (2006), Al Haran (1990, 1996, 1999), Akhtar (1996, 1998),
Dhumale dan Sapcanin
(1998) dan Ahmed (2000) yang memformulasikan suatu gagasan Islamic microfinancing. Gagasan Dusuki ini lebih dari sekedar menghilangkan bunga sebagaimana microfinancing yang diaplikasikan pada perbankan konvensional, juga berusaha merumuskan secara detail tentang mekanisme yang ada didalamnya dan bentuk pembiayaan yang tepat bagi pengusaha dengan skala mikro dan kecil. Gagasan ini terbagi menjadi dua bentuk yaitu memobilisasi dana dan pembiayaan berorientasi pada permintaan yang menerapkan bentuk pembiayaan khusus (special purpose vehicle). 1. Mobilisasi dana, sumber didalam memobilisasi dana dalam sistem ekonomi Islam memungkinkan suatu bank untuk mengoptimalkan berbagai alokasi yang ada, tidak seperti pada ekonomi konvensional yang hanya mengandalkan dana nasabah yang harus diberikan imbal jasa melalui bunga. Pada dasarnya, sumberdana dalam perbankan Islam terbagi menjadi dua sumber yaitu internal dan eksternal. a. Sumber internal, adalah berbagai alokasi dana yang diperoleh dari aktivitas perbankan tersebut, yaitu terkakegorikan menjadi dua bentuk juga yaitu deposit dan equity.
51
i. Deposit, diantara berbagai jenis dana yang masuk dalam kategori ini adalah
wadiah, qardh al hasan dan
mudharabah, diamana kategori tersebut merupakan kontrak yang berada dibawah produk pengumpulan dana. Dibawah mekanisme wadiah dana yang dititipkan di bank shariah merupakan suatu amanah kepada nasabah, ketika dana ini hanya dititipkan saja disebut sebagai wadi’ah yad amanah, sedangkan ketika dana ini dikelola untuk kegiatan investasi dengan persetujuan sebelumnya atas imbal hasil yang diberikan maka disebut wadiah yad dhamamah. Bentuk kontrak lain adalah qardh al hasan, yaitu ketika pihak penitip menyerahkan dananya untuk dititipkan saja tanpa ada imbal jasa/bagi hasil untuk disalurkan pada kelompok atau sektor tertentu. Sedangkan mudharabah adalah bentuk akad bagi hasil yang bermotif tijarah (mencari untung). ii. Equity, microfinancing dalam perspektif Islam juga bisa menarik dana dalam bentuk akad musharakah dan mudharabah. Ada suatu potensi yang besar untuk memobilisasi dana umat muslim kaya yang cenderung untuk melakukan kegiatan sosial melalui partisipasi aktiv didalam resiko dan pembagian keuntunga. Publik atau setiap masyarakat bisa membeli saham dan obligasi yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan melalui dua kad tersebut, setiap keuntungan dan kerugian akan diberikan dan dibebankan secara proporsional kepada pemegang saham dan pelaku usaha. b. Sumber eksternal, dengan mekanisme ini perbankan shariah di Indonesia bisa menerima dana dalam bentuk zakah, infaq, shodaqoh dan charity fund untuk dialokasikan bagi pengembangan usaha masyarakat miskin. Islam menawarkan mekanisme untuk terwujudnya distribusi pendapatan dan kekayaan serta penguatan
52
keterbukaan sosial, sehingga setiap muslim memiliki kewajiban untuk dilindungi oleh standard hidup yang adil (Metwally, 1997). Hal ini sangat berbeda dengan perbankan konvensional yang hanya akan menerima dana dengan pertimbangan ekonomi, sebaliknya perbankan shariah juga memiliki fungsi untuk menerima dana seperti tersebutkan diatas untuk mendukung program pengantasan kemiskinan dengan dukungan microfinancing. 2. Pembiayaan Berbasis Permintaan, berbagai studi dampak terhadap inisiativ microfinance telah menunjukkan bahwa efektifitas schema yang digunakan untuk memberantas kemiskinan bergantung pada seberapa sensitif lembaga keuangan didalam merespon permintaan atau kebutuhan klien. Berbagai pelayanan dan produk keuangan yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin juga harus mengkover tidak hanya untuk kebutuhan produktif tetapi juga kebutuhan konsumtif seperti kesehatan, pendidikan dan tanggung jawab sosial. Sebagai suatu konsekuensi, produk pembiayaan yang lebih baik akan mampu menggerakkan keuntungan ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat miskin, dan ada kemungkinan dampak yang lebih besar bagi masyarakat khususnya bagi yang miskin (Seibel dan Parhusip, 1998; Zeller dan Meyer, 2002). Sebenarnya perbankan shariah bisa menawarkan berbagai macam produk dengan fleksibilitas kontrak yang sangat bervariasi untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan skala mikro dan kecil bagi masyarakat miskin. Berbagai instrumen (kontrak dan produk) yang sesuai dengan kebutuhan bagi masyarakat miskin tersebut adalah sebagai berikut: (1) bentuk/model bagi hasil seperti mudharabah dan musharakah, (2) model pertukaran seperti murabahah, salam, istishna dan ijarah, (3) akad kepedulian sosial atau tanpa biaya (tabarru’) seperti ar rahn dan qardh al hasan, (4) model kombinasi seperti musharakah mutanaqisah dan ijarah thumma al bay’). Ascarya (2007) kemudian mengembangkan pengklasifikasian berbagai akad dan produk menjadi dua bagian yaitu Tabarru’ dan Tijarah bagan sebagai berikut.
53
Grafik 4.2 Jenis Akad/Transaksi Perbankan Shariah Di Indonesia JENIS AKAD DAN TRANSAKSI TABARRU’ (Tidak mencari untung) PENDANAAN JASA PERBANKAN SOSIAL
Pola Titipan Wadiah Pola Pinjaman Qardh Qardh Al Hasan Pola Lainya Wakalah, Kafalah, Hiwalah, Rahn Lain-lain Hibah, Waqaf, Shadaqoh, Hadiah
TIJARAH (Mencari untung) PENDANAAN PEMBIAYAAN JASA PERBANKAN
DENGAN KEPASTIAN NON BAGI HASIL JASA PERBANKAN
DENGAN KETIDAKPASTIAN BAGI HASIL
Pola Jual Beli Murabahah, Salam, Istishna
Pola Bagi Hasil Mudharabah, Musharakah
Pola Sewa Ijarah, Ijarah wa Iqtina, Ujr
Lain-lain Muzara’ah, Musaqah, Mukhabarah
Pola Lainya Sharf
Sumber: Ascarya (2007: 38) Munculnya permasalahan utama bagi perbankan didalam membiayai berbagai aktivitas usaha bagi masyarakat miskin dan usaha baru yang dimulai adalah adanya resiko yang besar akan kegagalan dan kebangkrutan. Hal ini wajar, sebagai institusi yang beroprasi dalam bisnis harus mengedepankan pendekatan rasionalitas dan logika, karena institusi perbankan dituntut untuk selalu efisient dan efektif didalam menyalurkan dana untuk mencapai keberlanjutan dan ketahanan kinerja. Kekhawatiran ini bisa diatasi dan dijembatani dengan adanya special purpose vehicle (SPV). Perangkat ini didalam perbankan memang diciptakan secara khusus sebagai suatu bagian yang legal yang diciptakan oleh perusahaan untuk menjalankan beberapa tujuan khusus atau aktivitas yang terbatas yang menggantikan perusahaan penseponsor (Gorton and Souleles, 2005).
54
Perangkat ini pada perakteknya bisa berupa bentuk yang mandiri ataupun terikat oleh perusahaan penseponsor dengan tujuan dan target khusus yang direncanakan. Bentuk legal suatu SPV dapat berupa kerjasama terbatas, perusahaan dengan tanggungjawab terbatas, suatu perjanjian kepercayaan ataupun suatu institusi tertentu (Gorton and Souleles, 2005). Suatu keunggulan utama SPV yang membuat perangkat ini memjanjikan untuk menawarkan pembiayaan pada sektor mikro dan kecil adalah kemampuanya mengontrol kebangkrutanya secara alamiah sebagai institusi yang terpisah (Dusuki, 2008). SPV dirancang secara secara fleksibel berdasarkan kebutuhan dan kegunaan untuk mendukung program dengan target tertentu, dalam hal ini SPV dirancang untuk mendukung microfinance dengan menginstalnya kedalam sistem perbankan syariah di Indonesia. Grafik 4.3 Special Purpose Vehicle
Sumber: Dusuki, 2008: 62
55
4.4 Memahami Permasalahan Masyarakat Miskin dan Small and Medium Business 4.4.1 Prinsip Utama didalam Mengembangkan Microfinance Sebelum mendayagunakan dana yang telah dikumpulkan dari berbagai sumber dalam Islam, maka hal yang krusial untuk diperhatikan adalah tentang karakteristik pembiayaan mikro. Pada dasarnya, karakteristik pembiayaan mikro di dunia dari negara satu ke negara lain hampir sama baik negara yang didominasi oleh penduduk yang muslim ataupun non muslim. The Consultative Group to Assist the Poor (CGAP) 2006 mengajukan 11 prinsip dasar bagi pengembangan pembiayaan mikro berdasarkan hasil penelitian diberbagai negara di dunia. 1. Masyarakat miskin memerlukan suatu variasi pelayanan keuangan, tidak hanya pinjaman modal saja, lebih dari itu mereka memerlukan tabungan, asuransi dan jasa pelayanan keuangan. 2. Pembiayaan mikro adalah suatu alat yang powerful untuk memerangi kemiskinan, para rumah tangga miskin menggunakan berbagai jasa layanan keuangan untuk meningkatkan pendapatan, membangun asset mereka dan melindungi diri mereka dari berbagai dampak yang tidak bisa diperidiksi dari luar. 3. Pembiayaan mikro artinya membangun sistem keuangan yang melayani masayarakat miskin. Hal ini akan mencapai semua potensinya yang maksimal hanya jika diintegrasikan kedalam sistem keuangan yang bertendensi kepada negara. 4. Pembiayaan mikro mampu untuk mandiri dan pasti akan bisa melakukan hal tersebut jika mencapai jumlah pengguna masyarakat miskin yang sangat besar, jika tidak para penyedia pembiayaan mikro membebankan cukup besar untuk menutupi biaya dan beban operasi mereka, mereka akan selalu dibatasi oleh ketidakpastian dan kelangkaan dukungan subsidi dari pemerintah dan lembaga donor. 5. Pembiayaan mikro adalah tentang membangun institusi keuangan lokal yang bersifat permanen yang dapat menraik deposit/dana domestik,
56
kemudian memutarnya menjadi pinjaman dan juga menyediaksan jasa keuangan yang lainya. 6. Pembiayaan mikro tidaklah selalu jawaban bagi masyarakat miskin, jenis lainya untuk mendukung pembiayaan mikro perlu diterapkan agar bekerja lebih baik khususnya bagi orang yang sangat miskin yang tanpa pendapatan dan kekuatan untuk membayar kembali. 7. Penetapan suku bungan mempersulit orang miskin dengan membuat mereka kesulitan dalam membayar kredit, karena lembaga penyedia memerlukan biaya untuk menutupi kegaiatn oprasional. Berdasarkan perhitungan ekonomi, menciptakan banyak pembiayaan mikro berbiaya lebih besar dari pembiyaan makro yang jumlahnya sedikit. Pemberian suku bunga yang tinggi mencegah Lembaga keuangan skala mikro untuk bisa menutupi biaya operasioanl, sehingga hal ini menghambat suply pembiayaan pada masyarakat miskin. 8. Tugas pemerintah adalah untuk memfasilitasi dan mengawasi jasa-jasa keuangan tersebut bukanlah menyediakan secara langsung, pemerintah bisa saja tidak pernah melakukan tugas tersebut tetapi pemerintah harus mengatur a lingkungan kebijakan yang mendukung. 9. Dana yang berasal dari Lembaga donor seharusnya melengkapi dana sari swasta bukan justru berkompetisi, subsidi dana lembaga donor tersebut seharusnya mendukung didalam memulai usaha secara sementara yang didesain untuk membuka suatu institusi yang langsung bisa menawarkan sumber pembiayaan personal seperti deposit. 10. Kunci penghambat utama dalam mengembangkan pembiayaan mikro adalah kekurangan institusi yang kuat dan pengelola yang kompeten, sehingga lembaga donor juga harus fokus untuk membangun kapasitas ini. 11. Pembiayaan mikro akan bekerja pada puncak aktivitasnya ketika mengukur dan membuka kinejanya kepada publik, dimana pelaporan yang dilakukan tidak hanya membantu para pemangku kepentingan mengetahui keuantungan dan biaya tetapi juga meningkatkan kualitas kinerja. Pembiayaan mikro perlu membuat laporan yang teliti dan komprehensif
57
terhadap berbagai aktifitas kinerja keuangan, seperti utang yang telah dibayar dan biaya perbaikan, serta sosial seperti jumlah dan tingkat kemiskinan klien yang telah diakomodasi. 4.4.2
Memahami Kabutuhan dan Karakteristik Orang Miskin dalam Memulai Bisnis Kebutuhan masyarakat miskin di negara muslim sejatinya juga sama
dengan masyarakat miskin yang lainya, yang membedakan paling mendasar adalah keimanan dan worldview yang sangat mempengaruhi cara pandang hidup (IDB, 2008). Meraka memerlukan berbagai pelayanan jasa keuangan karena dihadapkan oleh berbagai hal yang tak terduga dan memerlukan uang melebihi dari yang dimiliki bahkan seluruh harta kekayaan yang dimiliki. IDB (2008) membagi kebutuhan masyarakat, termasuk juga yang dikategorikan miskin menjadi 3 kategori: (1) life cycle events (peristiwa siklus hidup yang terjadi sekali seumur hidup) seperti kelahiran, kematian, pernikahan membangun rumah dan jaminan dihari tua atau bisa juga recurrent incidents (pengeluaran yang berhubugan dengan pendidikan, masa panen dan pameran), (2) emergency needs (kebutuhan yang bersifat mendadak) seperti sakit, kehilangan pekerjaan dan kecurian, (3) investment opportunities (kesempatan berinvestasi) seperti modal usaha, tanah dan aset keluarga. Untuk membantu masyarakat miskin, maka program dan bentuk jasa keuangan harus bisa menutupi dan mengamankan ketiga jenis kebutuhan tersebut. Hal ini sangat wajar, karena masyarakat yang miskin memerlukan lebih dari modal memualai usaha untuk benar-benar keluar dari jurang kemiskinan. Paling tidak ada tiga tipe jenis program untuk memberdayakan masyarakat miskin sebagai suatu strategi dalam memberantas kemiskinan yang efektif. 1. Microfinance/credit, yang berdasarkan prinsip shariah, program ini didayagunakan
bagi
masyarakat
miskin
untuk
membuat
dan
menguatkan suatu usaha bisnis. Dalam prinsip ekonomi Islam ada berbagai akad dan produk yang sesuai diterapkan untuk melandasi berlakunya program ini, seperti qardh al hasan, mudharabah dan musharakan.
58
2. Microsaving/tabungan, masyarakat miskin harus didorong untuk menabung dan menyimpan uangnya di perbankan atau lembaga keuangan. Hal ini sebagai upaya bagi masyarakat miskin untuk tetap berjaga-jaga dan siaga terhadap berbagai kebutuhan mendadak ataupun investasi. Masyarakat miskin harus dibiasakan untuk menyimpan sebagian dari hasil usahanya secara rutin dan dengan jumlah yang fleksibel, kalau perlu harus dimulai dari yang paling kecil. Dengan saving mereka juga akan mendapatkan imbal hasil atau bagi hasil yang bisa menambah aset ataupun pendapatan tambahan. 3. Microinsurance/takaful, usaha yang dijalankan masyarakat miskin juga penuh dengan resiko dan halangan seperti kerusakan, kehilangan atapun berbagai resiko yang sulit diprediksi seperti bencana alam, pihak lembaga keuangan juga harus ikiut menanggung berbagai kerugian yang muncul, hal ini dilakukan sebagai upaya melindungi usaha yang dibangun oleh masyarakat miskin sampai benar bisa mandiri. 4.4.3
Peranan Zakat Zakat adalah kewajiban bagi seorang muslim untuk berbagi kepada
muslim sesamanya yang telah diatur dengan tegas oleh Allah, dan bahkan penerimanya pun sudah ditetapkan kreterianya. QS 9: 103 ” Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui. Penerima zakat juga sudah ditetapkan oleh Qur’an kedalam 8 asnaf/golongan saja, yaitu fakir, miskin, mu’allaf, amilin, gharim (orang yang berhutang), fisabilillah, riqab dan ibnu sabil. Dalam ekonomi modern seperti sekarang, zakat mampu dijelaskan sebagai instrumen yang menggerakkan perekonomian. Ascarya (2007) menjelaskan model yang telah dibuat oleh Chapra (1996) dan Sakti (2006) bahwa pengaruh zakat pada perekonomian bisa dijelaskan melalui pendekatan moneter (MV=PT) dalam ekonomi konvensional. Pada mekanisme ini zakat akan sangat berdampak pada
59
peningkatan jumlah uang yang beredar dengan asumsi yang lain tetap. Kenaikan jumlah uang ini juga harus diimbangi dengan kenaikan volume produksi dan kenaikan jumlah tenaga kerja di sektor riil, sehingga terjadi keseimbangan diantara keduanya. Zakat akan berdampak pada sektor riil paling tidak kedalam 3 hal, (1) adanya distribusi pendapatan, (2) zakat mampu mendorong tingkat permintaan dalam ekonomi, (3) zakat membantu masyarakat yang tidak memiliki daya beli untuk masuk ke pasar. Dalam kerangka pengembangan microfinance, zakat sangat berperan didalam membantu masyarakat miskin untuk memenuhi kebutuhan dasarnya terlebih dahulu sebelum menjalankan suatu usaha/ memulai bisnis. Masyarakat yang benar-benar miskin tidak memiliki harta / aset apapun perlu didorong didalam memenuhi kebutuhan dasarnya terlebih dahulu, karena ketika kebutuhan tersebut belum dipenuhi, maka dana microfinance pasti akan habis dipergunakan untuk memenuhu kebutuhan yang bersifat rutin dan mendasar. Obaidullah (2008) memodelkan suatu siklus didalam microfinance yang memempatkan peranan dana zakat sebagai titik awal bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat muslim, gambar dibawah (grafik 4.4) ini menjelaskan siklus tersebut.
60
Grafik 4.4 Model Siklus Program Pengembangan Wirausahawan Mikro Time
7 Years BANK 5 Years Microbanking BPRS 2 Years
Individuals (Social Funds)
Microfinance BMT
KUM 3
Qardh Al Hasan Program Type Potential Passive
Competency
Potential Active
Feasible
Capacity
Eligible
Bankable
Lack of Collateral Assets
Sumber: Obaidullah, 2008: 55 Pada fase awal, masyarakat miskin diberi dana zakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya, dimana pada saat ini individu-individu tersebut masuk dalam kategori yang memang benar-benar miskin. Ketika, berbagai masyarakat miskin ini mulai terpenuhi kebutuhan dasarnya, maka karakter mereka mulai dibentuk agar memiliki competency dalam berwirausaha untuk menuju kapasitas sebagai pengusaha mikro, dimana fase ini termasuk dalam yang kedua. Fase ketiga adalah ketika usahawan mikro tersebut sudah mulai mandiri dan mampu menjalankan usahanya, maka para pengusaha baru ini diberi akses untuk memanfaatkan pinjaman kebaikan atau qardh al hasan sebagai modal perluasan usaha, tahap ini adalah suatu langkah awal usahawan mikro tersebut akan dididik untuk menjadi pengusaha dengan skala kecil dan memasuki babak baru dimana mereka dikategorikan sebagai individu yang sedikit diatas garis kemiskinan. Berdasarkan penelitian dan pengalaman dilapangan diperlukan waktu dua tahun untuk membentuk wirausahawan mikro yang memiliki kapasitas.
61
4.4.4
Qardh Al Hasan sebagai Fondasi Akad bagi Usaha yang Memihak pada Masyarakat Miskin Dalam sistem keuangan dan ekonomi Islam, instrumen seperti qardh al
hasan, shadaqah dan zakat memainkan peranan yang penting didalam berbagai program
pengentasan
kemiskinan.
Melalui
instrument
tersebut
yang
dikombinasikan kedalam perangkat investasi khusus seperti SPV semua tujuan penting didalam kesejahteraan ekonomi dan pemerataan pendapatan dapat diupayakan untuk diselesaikan. Secara khusus instrument qardh al hasan, yang menjadi instrumen vital didalam mengangkat dan memberdayakan kaum dhuafa melalui penciptaan wirausahawan mikro dan kecil. Qard Al Hasan adalah suatu pinjaman sukarela tanpa adanya harapan dari pemberi pinjaman terhadap pengembalian yang ditambah bagi hasil, atau hanya menerima jumlah pokoknya saja (Askari, Iqbal, Mirakhor, 2009). Jenis pinjaman qardh al hasan paling tidak 6 kali disebut didalam Quran, sebagai suatu pinjaman yang dibuat dengan mengharapkan ridha Allah semata untuk membantu pihak yang membutuhkan dan dalam kesulitan. QS 2: 245 ” barang siapa meminjami(menginfaqkan hartanya dijalan Allah) Allah dengan pinjaman yang baik (qardh al hasan), maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak....”. QS 5:12 ” ....dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan (menginfaqkan harta untuk menunaikan kewajiban dengan hati yang ikhlas) kepada Allah pinjaman yang baik (qardh al hasan), pasti akan aku hapus kesalahan-kesalahan mu, dan pasti akan aku masukkan kedalam surga yang mengalir dibawahnya sungai.....”. QS 57: 11 ”Barang siapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik (qardh al hasan) maka Allah akan mengembalikanya berlipat ganda untuknya dan baginya pahala yang mulia”. QS 57:18 ” sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik (qardh al hasan), akan dilipatgandakan balasan bagi mereka dan akan mendapat pahala yang mulia”. QS 64: 17 ” Jika kamu meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik (qardh al hasan) niscaya Allah melipatgandakan balasan untukmu dan mengampuni kamu, dan Allah maha mensyukuri dan penyantun”.
62
QS 73: 20 ” .........maka bacalah apa yang mudah bagi kamu dari Al Quran dan laksanakan sholat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (qardh al hasan)......”. Perbedaan antara qardh al hasan dengan shadaqah (charity), salah satu instrument dalam Islam yang digunakan untuk membantu orang yang dalam kesusahan, adalah qardh al hasan harus dibayar, meskipun peminjam memberikan spesifikasi waktu didalam permbayaran, sedangkan shadaqah memang benar-benar murni diberikan. Bahwasanya balasan dari Allah untuk shadaqah adalah 10 kali sedangkan qardh al hasan adalah 18 kali, sehingga ada upaya untuk menekankan pentingnya qardh al hasan, dengan memberikan ganjaran yang lebih besar. Didalam Al Quran, Allah SWT menempatkan penekanan yang besar terhadap qardh al hasan dapat dirangkum dari berbagai ayat yang mengindikasikan bahwa (Askari, Iqbal dan Mirakhor, 2009): 1. Ketika seseorang memberikan suatu pinjaman qardh al hasan kepada seseorang yang menbutuhkan tanpa mengharapkan imbalan diatas jumlah pokoknya yang peminjam diwajibkan untuk membayarnya, Allah menjanjikan suatu imbalan yang berlipat dari jumlah tersebut. Allah menambahkan bahwa orang yang memberi pinjaman akan menerima ”Ajr-un Kareem” suatu kompensasi yang sangat baik melebihi apa yang dibayangkan. 2. QS 57: 18 mengindikasikan bahwa qardh al hasal adalah berbeda dari shadaqah (charity) dan QS 5: 12 dan 73: 20 mengindikasikan bahwa qardh al hasan juga berbeda dari zakat. Ayat-ayat tersebut juga menggali pentingnya Allah menempatkan qardh al hasan pada level yang sama dengan shalat dan zakah. 3. Tidak ada indikasi dari ayat-ayat tersebut diatas bahwa imbalan/reward yang diberikan oleh Allah hanya sebatas pada hari akhir saja. 4. Tidak ada suku bunga yang harus diterapkan. 5. Al Quran menciptakan suatu struktur inisiatif yang kuat untuk pendanaan melalui qardh al hasan.
63
Qardh al hasan memiliki karakteristik yang berbeda bila dibandingkan dengan instrumen pembiayaan yang lainya. Askari, Iqbal dan Mirakhor (2009) mengembangkan suatu thesis tentang penerapan qardh al hasan yang begitu sukses di Iran sampai degan saat ini, dari sinilah mereka memberikan beberapa karakteristik pembiayaan qardh al hasan sebagai berikut: 1. Sangat fleksibel terhadap adanya jaminan (collateral), biasanya tidak mensyaratkan jaminan berupa bentuk fisik seperti tanah dan gedung. 2. Prosedur pengurusan dokumen sangatlah sederhana. 3. Pinjaman biasanya dalam jumlah yang sedikit, proses persetujuan sangat cepat dan pencairan dana juga cepat. 4. Tidak boleh menerapkan suku bungan, bila ada biaya administrasi jumlahnya sangat kecil untuk menutupi biaya operasional saja. 5. Dana mudah diakses bagi para peminjam karena lokasinya dekat. 6. Pengelola dana sangat accountable. Sebagai upaya mengembangkan qardh al hasan, akad ini sangat cocok untuk dimasukkan dalam SPV yang ada pada perbankan shariah yang menjadi gagasan pada makalah ini. Karena untuk membangun dan mengembangkan qardh al hasan setidaknya diperlukan beberapa langkah sebagai berikut: 1. Membangun institusi: sebagai suatu sistem yang didasarkan pada aturan, maka ekonomi islam dalam hal ini penerapan qardh al hasan memerlukan campur tangan institusi pengelola yang kuat dan amanah. 2. Melakukan gerakan yang massive untuk mengembangkan qardh al hasan secara terintegrasi dan terencana disemua lembaga keuangan islam dan perbankan islam. 3. Saluran distribusi, untuk menyampaikan pinjaman qardh al hasan diperlukan lembaga keuangan Isam yang memiliki jaringan distribusi yang kuat. 4. Qardh al hasan harus diarahkan pada pemberdayaan masyarakat untuk pembiayaan mikro dengan tepat, bukan untuk konsumsi.
64
4.5 Suatu Konsep Baru Pengintegrasian Kolaborasi CSR Dalam membentuk suatu kolaborasi, setiap lembaga atau institusi menjalankan perananya sendiri berdasarkan fungsi dan tugasnya masing-masing. Perbankan shariah sebagai bagian dari sistem keuangan didorong menjadi lembaga yang memotori program CSR dengan membuka produk dan penyaluran dana dengan dengan akad qardh al hasan kepada masyarakat miskin yang sudah dibina dan dipenuhi berbagai kebutuhan dasarnya melalui dana zakat, infaq dan shadaqoh. Program yang dikembangkan untuk mengintermediasi micro and small entrepreneur / pengusaha kecil dan mikro baik yang baru memulai usaha atau sudah menjalankan usaha adalah berbasis 3 pendekatan yaitu microfinance, microsaving dan microtakaful. Ketiga program tersebut adalah sangat fleksibel dan relevan bila didukung oleh dana CSR yang dikelola oleh perbankan syariah dengan membuka produk wadiah CSR, untuk menarik partisipasi aktif masyarakat, industri dan berbagai pihak yang peduli dan menyalurkan dana hibah/grant nya. Sehingga, perbankan shariah disini yang terdiri dari BUS dan UUS tidak perlu mengeluarkan dananya yang besar untuk program CSR, akan tetapi menjalankan fungsi CSR-nya sebagai lembaga yang mengintermediasi masyarakat miskin di Indonesia. Ada lembaga keuangan lainya dengan skala mikro dan kecil seperti BPRS/BMT yang memiliki peranan didalam membantu pendistribusian peranan BUS dan UUS, terutama didaerah yang sulit dijangkau jaringan perbankan shariah yang besar. Fungsi lembaga ini juga sama, yaitu menyalirkan pembiayaan dengan pendekatan microfinance, microsaving dan microtakaful, hanya saja letaknya disesuaikan dengan jangkauan BUS dan UUS. Diharapkan dengan keterlibatan lembaga keuangan shariah yang lebih kecil ini, program CSR bisa berjalan tidak hanya sebatas pada daerah perkotaan saja, melainkan juga masuk kedaerah pedesaan dan pedalam. Peranan lembaga lain yang tidak kalah pentingnya adalah LSM (lembaga swadaya masyarakat) / NGO (Non Government Organization) dan universitas atau perguruan tinggi. LSM terutama yang berafiliasi islam dan keumatan seperti Muhammadiyah, NU, Persis dsb memiliki peranan untuk mengawasi secara
65
independen pola kerja dan aliran dana CSR kepada masyarakat yang membutuhkan. Sehingga LSM yang kredibel dan akuntable perlu dipilih untuk menjalankan fungsi CSR nya mengawasi dana umat yang dimobilisasi untuk program pengentasan kemiskinan di Indonesia. Fungsi ini sangat penting dilakukan karena berbagai pendekatan yang dilakukan untuk memberantas kemiskinan di Indonesia selalu mengalami pengalaman buruk dalam kebocoran dana dan penyalahgunaan wewenang. LSM atau ORMAS, harus menjalankan tugas ini setidaknya dengan 2 pertimbangan, pertama yaitu pengentasan kemiskinan dan pengawasan umat sudah merupakan visi besar dan alasan mengapa LSM dan ORMAS tersebut hadir ditengah-tengah masyarakat, kedua lembaga tersebut memiliki jaringan luas dan fleksibilatas sosial diluar ranah kekuasaan dan pengelola dana. Sedangkan fungsi perguruan tingga sangat sederhana akan tetapi begitu krusial didalam pengentasan kemiskinan melalui program ini, yaitu menjadi pendamping bagi pengusaha mikro dan kecil khususnya yang mulai mendirikan usahanya. Universitas adalah pusat pengembangan berbagai disiplin ilmu, keterlibaatanya dalam program ini akan memberikan efek bagi transformasi profesionalitas dan pengelolaan yang baik bagi pengusaha yang dibina. Fungsi yang paling central dan strategis yang memfasilitasi kesinergisan program ini adalah dari pemerintah, keterlibatanya harus ditekankan sebagai mediator dan lembaga yang memiliki kewenagan hukum di Indonesia. Pemerintah harus memonotor keberlangsungan program ini agar berjalan pada rel nya dan tepat pada sasaranya. Keterlibatan pemerintah harus mencakup semua lini mulai dari dana CSR yang masuk keperbankan shariah, kinerja perbankan shariah, daya dukung lembaga terkait seperti LSM/ORMAS, BRPS/BMT dan Universitas sampai kinerja masyarakat miskin dalam usaha dan memanfaatkan program ini, grafik 4.5 memberikan alur yang jelas kolaborasi CSR semua elemen.
66
Grafik 4.5 Kolaborasi CSR Perbankan Shariah dan Masyarakat dalam Pengentasan Kemiskinan melalui Microfinance, Microsaving dan Microtakaful Pemerintah
Industri Masyarakat
Perbankan Shariah (BUS dan UUS)
BPRS/BMT
Qardh Al Hasan
Membantu Peran Perbankan Shariah
Wadiah CSR
Microfinance
LSM/ ORMAS
Fungsi Pengawasan
Universitas
Fungsi Pendampingan dan Pengarahan
Microsaving Hibah/Grant
Microtakaful
Kelompok yang telah dipenuhi kebutuhan dasarnya lewat zakah, infaq dan shadaqah BAZ, LAZ, UPZ atau badan pengelola zakah, infaq and shadaqoh
Entitas Masyarakat Miskin 5. Kesimpulan dan Rekomendasi Bagian terakhir didalam paper ini adalah kesimpulan dan rekomendasi, yang disarikan sebagai bagian tersendiri. Ada tiga kesimpulan yang bisa diambil berdasarkan identifikasi masalah dan pembahasan yang dilakukan. 1. Di Indonesia, perbankan syariah sebagai suatu bagian sistem ekonomi islam yang selalu mempromosikan keadilan sosial dan kesejahteraan berdasarkan Islam, masih terlihat berhati hati untuk mengangkat visi ini. Hal ini terlihat dari dominanya skema pembiayaan murabahah dalam intermediasi keuangan dan menomorduakan mudharabah dan musyarakah serta berbagai bentuk akad dan produk yang pro terhadap masyarakat miskin. Peranan perbankan syariah juga terlihat belum
67
optimal didalam mengusung visi ekonomi islam, dimana sistem dan lembaga keuangan ini secara dominan masih bergelut dan beroprasi pada orientasi keuntungan. Perbankan syariah juga masih sebatas berusaha untuk mengeluarkan produk dan sistem yang bebas dari riba dan beroprasi pada bisnis yang halal. Kreatifitas dan terobosan untuk membuat suatu sistem dan produk yang pro terhadap masyarakat miskin seperti qardh al hasan masih belum begitu dominan didalam perbankan syariah di Indonesia. 2. Corporate sosial responsibility dalam Islam sebenarnya bukanlah suatu istilah, konsep dan praktik kepedulian terhadap masyarakat yang asing. Kerangka ini justru sejalan dengan maqasid al shariah dan maslahah, dimana menekankan peranan perbankan syariah untuk tidak saja menekankan pada pencarian keuantungan yang sebesar besarnya saja, tetapi juga bermanfaat terhadap masyarakat muslim khususnya yang mayoritas masih berada di bawah garis kemiskinan. Dengan fungsinya yang strategis dalam perekonomian modern, keterlibatan perbankan syariah melalui CSR yang mana bertindak sebagai motor diantara berbagai institusi islam, pemerintah, masyarakat dan berbagai elemen, maka akan mampu menghasilkan sinergisitas dan harmony dalam program pengentasan kemiskinan di Indonesia. 3. Kolaborasi program pengentasan kemiskinan melalu CSR perbankan syariah dan berbagai lembaga terkait ini menekankan pada pengoptimalan fungsi dan peranan masing-masing lembaga dan entitas yang sudah ada. Hanya saja, peranan ini harus lebih dipertegas dan dikoordinasikan secara teliti dan matang. Dimana kalau dilihat dengan platform CSR, setiap institusi memiliki kelebihan masing-masing untuk dioptimalkan. CSR juaga membuka ruang yang lebar dan general bagi pengentasan kemiskinan karena mampu dibahasakan dan diterima oleh semua kalangan. Kolaborasi ini juga hasrus menekankan pada aspek kemitraan, dimana para pengusahaa mikro dan kecil yang baru berdiri ataupun yang sudah berdiri harus ditanggung semua resiko
68
dan dibina untuk selalu berinvestasi dengan mengkombinasikan pendekatan microfinance, microsaving dan microtakaful. Rekomendasi kebijakan yang diberikan hanya satu, yaitu pengoptimalan dan sinergisitas semua lembaga, masyarakat, perbankan syariah dan pemerintah untuk mengoptimalkan peranan dan fungsi masing-masing. Dengan platform CSR maka lebih banyak lagi elemen bangsa yang bisa dilibatkan untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia melalui fungsi intermediasi keuangan Islam.
Daftar Pustaka Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, 1991, the Concept of Education in Islam, International Institute of Islamic Thouhgt and Civilization, Kuala Lumpur: Malaysia Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, “The Worldview of Islam: An Outline,” in Islam and The Challenge of Modernity (Kuala Lumpur: The International Institute of Islamic Thought and Civilization [ISTAC], 1996 AlGoud M. Latifa and Lewis K. Mervyn, 2000, Islamic Banking, Edwarg Elgar: United Kingdom Ahmad al-Raisuni, Nazariah al-Maqasid `inda al-Imam al-Shatibi (Riyadh: Dar al-Alamiyah Kitab al-Islami, 1992), 41-45 Ahmad, Khaliq, “Islamic ethics in a Changing Environment for Managers”, in Ethics in Business and Management: Islamic and mainstream Approaches, London: Asean Academic Press, pp. 97-109 Ahmad, S.M., Adams, A.M., Chowdhury, M., and Bhuiya, A., Gender Socioeconomic Development and Health-Seeking Behavior in Bangladesh, 2000, Social Science and Medicine, 51, 36-371 Ascarya, 2007, Akad dan Produk Bank Syariah, Raja Grafindo Persada, Jakarta: Indonesia Askari, H., Zamir, I. dan Mirakhor A., 2008, New Issues in Islamic Finance and Economics: Progress and Challenges, John Willey and Sons: USA Aziz, Iwan Jaya, 2009, Effects of FSL and Financial Crisis on Social Variables (e.g. Poverty, Unemployment, Income Distribution, Lecturer Notes, Unpublished, Cornell University: USA Bangladesh Institute of Development Studies (BIDS), Final Report on BIDS Study on PKSF’s Monitoring and Evaluation System (MES), 2001, October, Dhaka: Bangladesh Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia, 2010, www.bi.go.id Beik, Irfan Syauqi, Refleksi Ekonomi Syariah 2009 dan Outlook 2010, Catatan Diskusi Rutin, ISEFID (Islamic Economic Forum for Indonesia Development) 2009, Tidak Dipublikasikan, Kuala Lumpur: Malaysia
69
Chapra, M. Umer, Islamic Economics: What It Is and How It Developed, Islamic Research and Training Institute, Makalah diakses pada http://eh.net/encyclopedia/article/chapra/islamic 21/07/2009 Chapra, M.U., The Future of Economics: An Islamic Perspective (Leicester: The Islamic Foundation, 2000), 118 Chowdhury, A.M.R. and Bhuiya, A., the Wider Impact of BRAC Poverty Alleviation Program in Bangladesh, Journal of International Development 16(3), 369-386 Crane, A. and Matten, D, 2007, Corporate Social Responsibility: Theories and Concepts of CSR, SAGE Publications, Los Angeles: USA Dusuki and Abdullah, Maqasid Al Shari’ah, Maslahah and Corporate Social Responsibility, the American Journal of Islamic Social Science, Vol 2010 no. 1 Dusuki, A.W., Banking for the Poor: the Role of Islamic Banking in Microfinance Initiatives, Humanomics Vol. 24 No. 1, 2008 pp. 49-66 # Emerald Group Publishing Limited 0828-8666 DOI 10.1108/08288660810851469 Dusuki, A.W., What Does Islam Say About Corporate Social Responsibility (CSR)?, Review of Islamic Economics, Volume 12, Number 1, May 2008 Dusuki, A.W., Understanding the Objectives of Islamic Banking: A Survey of Stakeholders' Perspectives, International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, Volume 1, Issue 2, 2008 Dusuki, A.W., dan Humayon Dar, Stakeholders’ Perceptions of Corporate Social Responsibility of Islamic Banks: Evidence from Malaysian Economy, 2007, Dusuki, A.W., 2006, Stakeholders’ Expectation toward Corporate Social Responsibility of Islamic Banks, Paper presented in International Accounting Conference III (INTAC 3),IIUM Kuala Lumpur, 26th -28th June 2000 Dusuki, A.W. dan Abozaid, A, A Critical Appraisal on the Challenges of Realizing Maqasid Al Shariah in Islamic Banking and Finance, IIUM Journal of Economics and Management 15, no. 2 (2007): 143-165, 2007 by the International Islamic University Malaysia Hakim, M.A. Impact of Microfinance Program: Some Reflection on the Impact of Microfinance in Bangladesh, 2000, Microfinance Newsletter, Issue No. 8 Haneef, Muhamed Aslam M, Islam, the Islamic Worldview and Islamic Economics, IIUM Journal of Economic and Management 5, no. 1 (1997):39-65, IIUM Press, Kuala Lumpur: Malaysia Hasan, A. and Salma, A.L, Corporate social responsibility of Islamic financial institutions and businesses: optimizing charity value, Humanomics Vol. 25 No. 3, 2009 pp. 177-188 # Emerald Group Publishing Limited 0828-8666 DOI 10.1108/08288660910986900 Ibn, A. (2006), Treatise on Maqasid al-Shari’ah, (translated by El-Mesawi, M.E.T.), The International Institute of Islamic Thought, London Imam Al Ghazali, 1990, Ihya Ulumuddin: Jilid 2, Asy Syifa, Jakarta: Indonesia
70
Iqbal, Munawar, Distrubutive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy, Islamic Economic Series 13, International Institute of Islamic Economics-IIU Islamabad and The Islamic Foundation, Leicester: UK Iqbal, M. dan Molyneux, P., Thirty Years of Islamic Banking: History, Performance and Prospects, 2005, New York: Palgrave Macmillan Islamic Research and Training Institute, IDB, 2008, Islamic Microfinance Development: Challenges and Initiatives, Dialogue Paper No. 2: Jeddah: Kingdom of Saudi Arabia Kafh, Monzer, 2005, Islamic Economics System: A Review, Reading in the Concept and Methodology of Islamic Economics, edited by Syed Omar Syed Agil and Aidit Ghazali, Cert Publication Khandker, S.R., Microfinance and Poverty: Evidence Using Panel data from Bangladesh (World Bank policy Research Working Paper No-2945), 2003, Washington D.C.: World Bank Khandker, S.R., Saving, Informal Borrowings and Microfinance, 2000, the Quarterly Journal of the Bangladesh Institute of Development Studies, 26 (2&3), 49-78 Latif, M.A. Microcredit and Savings of Rural Household in Bangladesh, the Quarterly Journal of the Bangladesh Institute of development Studies, 2001, 27 (1), 51-71 Lecture Notes of Shariah-Oriented Public Policy, 2009, Kulliyah of Economic and Management Sciencies IIUM, tidak terpublikasikan dan untuk penggunaan internal, Kuala Lumpur: Malaysia Lecturer Notes of Foundation of Islamic Economics, Islamic Distribution Scheme: Authored by Muhammad Anas Zarqa, 2010, International Islamic University Malaysia: Kuala Lumpur Metwally, M.M. (1997), ‘‘Economic consequences of applying Islamic principles in Muslim societies’’, International Journal of Social Economics, Vol. 24 Nos. 7-9, pp. 941-57 Mishkin, Frederic S., 2004, the Economics of Money, Banking and Financial Markets, Seventh Edition, Pearson Addison Wesley: New York: USA Muhammed, A.D. dan Hasan, Zubair, Microfinance in Nigeria and the prospects of introducing its Islamic version there in the light of selected Muslim countries’ experience, Online at http://mpra.ub.uni-muenchen.de/8127/ MPRA Paper No. 8127, posted 16. April 2008 / 06:52 Muhammad Hashim Kamali, “Sources, Nature and Objectives of Shari`ah,”The Islamic Quarterly (1989): 215-35. Muhammad Syafi’i Antonio. (2001). Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press. Mustafa Ahmad al-Zarqa’, Al-Madkhal al-Fiqhi al-Am, Dar al-Qalam, Damascus, 1998, vol.1, p.102 Mustafa Ahmad Al-Zarqa’, Al-Madkhal al-Fiqhi al-Am, Dar al-Fikr, Beirut, 1968, vol.1, p.68 Montague, W.P. (1952), The Ways of Knowing or the Methods of Philosophy, George Allen &Unwin, London
71
Montague, W.P. (1952), The Ways of Knowing or the Methods of Philosophy, George Allen &Unwin, London Obaidullah, Mihammed, 2008, Role of Microfinance in Poverty Alleviation: Lessons from Experiences in Selected IDB Member Countries, Islamic Research and Training Institute, Islamic Development Bank, Jeddah: Kingdom of Saudi Arabia Perwataatmadja dan M. Syafi’i Antonio. (1999). Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. PKSF, 2005, Follow up Monitoring and Evaluation System (MES) Study, HB Consultant Limited Saefullah, Kurniawan, Cultural Aspects on the Islamic Microfinance: An early Observation on the Case of Islamic Microfinance Institution in Bandung Indonesia, Submitted to the committee of the second workshop on Islamic Finance: What Islamic Finances does (not) change, 17 March 2010 at the EM Strasbourg Business School, France organized by EM Strasbourg Business School and European Research Group Saiyad Fareed Ahmad, “Does Morality Require God?” Intellectual Discourse 11, no. 1 (2003): 51-76. Sakti, Ali, Sistem Ekonomi Islam: Filosofi dan Bangunanya, Belum Terpublikasikan Seibel, H.D. and Parhusip, U. (1998), ‘‘Rural bank Shinta Daya: attaining outreach with sustainability – a case study of a private microfinance institution in Indonesia’’, IDS Bulletin, Vol. 29, October. Siddiqi, Muhammad Nejatullah, Riba, Bank Interest and the Rationale of Its Prohibition, Visiting Scholars’ Research Series No. 2/2004, IDB-IRTI, Jeddah: Kingdom of Saudi Arabia Siwar, C. and Hosain, T.M., An analysis of Islamic CSR concept and the opinions of Malaysian managers, Management of Environmental Quality: An International Journal Vol. 20 No. 3, 2009 pp. 290-298 q Emerald Group Publishing Limited 1477-7835 DOI 10.1108/14777830910950685 Soderquist, K.E., Defining and Conducting Case-Based Research: Analyzing Case Study Data, PhD Seminar Series Qualitative Research Methodology, 2004, Brunel University Sugema, I., Bakhtiar, T. dan Effendi, J., Interest versus Profit-Loss Sharing Credit Contract: Efficiency and Welfare Implications, International Research Journal of Finance and Economics, ISSN 1450-2887 Issue 45 (2010), Euro Journals Publishing, Inc. 2010, http://www.eurojournals.com/finance.htm Syed Nawab Haider Naqvi, Perspective of Morality and Well-Being: A Contribution to Islamic Economics (Leicester: The Islamic Foundation, 2003), 99-110 Thorne, Ferrell O.C. and Ferrell L., 2008 Business and Society: A Strategic Approach to Social Responsibility, Houghton Mifflin Company, Boston: USA Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 2004).
72
Widiyanto dan Ghafar, Abdul, Improving the effectiveness of Islamic microfinancing Learning from BMT experience, Humanomics Vol. 26 No. 1, 2010 pp. 65-75 Emerald Group Publishing Limited 0828-8666 DOI 10.1108/08288661011025002 Wizarah al Auqaf wa al syu’un al Islamiyah (1990), Al Ma’su’ah al Fiqhiyah, Vol. 25, pp. 293-310, Ahmad Al Husairy, Al Siayasah Al Iqtisadiyah wa al Nuzum fi al fiqh al Islami, Cairo: maktabah Al-Kulliyat al Azhariyah p.12 Zaman, Asad, Islamic Economics: A Survey of the Literature, Online at http://mpra.ub.uni-muenchen.de/11024/ MPRA Paper No. 11024 posted 10. October 2008 / 14:39 Zaman, H., Assessing the Poverty and Vulnerability Impact of Microcredit in Bangladesh: A Case Study of BRAC (World Bank policy Research Working Paper No-2445), 2001, Washington D.C.: World Bank Zeller, M. and Meyer, R.L. (2002), ‘‘Improving the performance of microfinance: financial sustainability, outreach and impact’’, in Zeller, M. and Meyer, R.L. (Eds), The Triangle of Microfinance: Financial Sustainability, Outreach and Impact, The Johns Hopkins University Press, Baltimore, MD. Ziauddin Sardar, Islam, Postmodernism and Other Futures: A Ziauddin Sardar Reader (London: Pluto Press, 2003). Zohir S. Changes in Rural Household Economy during 1998-1999, Assessing the Impact of 1998 Flood, BDIS Study on PKSF’s Monitoring and Evaluation System, 2000, Dhaka: Bangladesh
73