TlNJAUAN PUSTAKA
7
Klasifikasi Kucing Kucing termasuk hewan pemakan daging (Carnivora). Ordo Carnivora ini dibagi atas dua Sub Ordo yaitu Sub Ordo Feloidea (Aeloroidea) dan Conoidea I
(Arctoidea). Sub Ordo Feloidea terbagi atas lima Famili yaitu Famili conidae, ursidae, procydae, ailuridae dan mustelidae. Sub Ordo Canoidea terbagi atas tiga Famili yaitu Famili
virridae, hyaeridae dan felidae.
Kucing piaraan (lokal)
termasuk Famili Felidae dan Sub Famili felinae. Klasifikasi Ordo Carnivora dapat dilihat pada Lampiran I (Fowler 1993). Angela (1977) membagi Carnivora ini menjadi dua Genus/Sub Famili yaitu Sub Famili panthera termasuk disini adalah lion, leopard dan panther; acrinonyc seperti cheetah dan felis yang digolongkan menjadi jenis besar seperti
puma, lyn dan jenis kecil seperti Felis Mica, Felis catus dan Felis domestica Ordo Carnivora yang terdapat di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia terbagi menjadi lima Famili, yaitu Famili canidae, ursidae, ailuridae, mustelidae dan felidae. Yang termasuk dalam Famili Felidae adalah Panthera figris Tiger,
Leopard Felis temmznchi, Felis hengolensis, Felis viverrina, Felis planiceps, Felis rzcbiginosa, Felis chatus dan Felis domestica (Fowler 1993) Harimau termasuk dalam Famili Felidae dan Sub Famili panthera (Angela 1977 dan Fowler 1993). Di Indonesia ada tiga Sub Spesies harimau (Panthera
tigris) yaitu Panthera tign's Balica di Bali, Panthera tigris Sondaica di Jawa dan Panthera tlgris Sumatera di Sumatera. Harimau di Bali dan Jawa sekarang sudah tidak dapat diketemukan lagi (punah), hanya di Sumatera yang masih dapat hidup (PHPA
1994). Pada umumnya harimau mempunyai potensi reproduksi dan
ketahanan hidup yang tinggi (Charles dan Sukohadi
1985). Charles dan
Suprahman (1985) menyatakan bahwa harimau mempunyai banyak kesamaanya dengan kucing yaitu ovulasinya tidak spontan; ovulasi terjadi jika ada kopulasi atau rangsangan lainnya. Kopulasi ini terjadi beberapa hari, yaitu sekitar 106 kali dalam empat hari dan estrus berlangsung selama Iima hari, lama kebuntingan 98 sampai 109 hari, rata-rata 103 hari. Kondisi Kesehatan
Kondisi kesehatan kucing prabedah sangat menentukan keberhasilan pembedahan dan persembuhan luka pasca bedah (Signs et al. 1993). Beberapa ha1 yang perlu diperhatikan dalam kondisi prabedah adalah hewan hams dalam keadaan sehat. Ulrike (1994) menyatakan bahwa pada kucing yang sehat akan terlihat mata dan anus bersih; respirasi tenang dan teratur; bulu halus bercahaya dan bersih; kulit kering dan lembut;
kelenjar getah bening tidak ada
pembengkakan dan simetris; hidung sedikit basah dan bersih; telinga tidak ada kotoran; pulsus teratur; gigi putih tanpa flak dan gusi bemama merah muda dan cerah. Menurut Smith dan Soesanto (1987), suhu tubuh (rektal) 37,2"C-39,9"C; frekuensi pernafasan 20-30 per menit; detak jantung 110-240 per menit. Bright (1986) menyatakan bahwa untuk pembedahan ringan paling sedikit gambaran darah (eritrosit, leukosit, hematokrit, hemoglobin dan diferensiasi leukosit) harus dalam keadaan tidak menyimpang. Penyimpangan dari gambaran darah ini dapat disebabkan karena banyak darah yang keluar atau infeksi kuman baik bersifat akut atau kronis. Coles (1986) memberikan gambaran darah kucing normal adalah erirosit: (5.0- 10,O) x
lo6 per ul
darah, nilai hematokrit: (24-45)%, hemoglobin: (8-15)gr
%
per dl, Mean Corp~~sci~lnr Volume (MCV). (39-55)fl, Hemoglobin (MCH): (13-1 7)pg,
Mcan
Corpuscular
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration
(MCHC): (3 1-34)gr per dl, leukosit: (5.5-9.0)
x 10'
per ul darah, band neutrofil:
(0 sampai 4)%, segmen neutrofil: (35-75)%, limfosit: (20- 55)%, monosit:
(1
sarnpai 4)%, eosinofil: (2 sampai lo)% dan basofil jarang. Metode Laparotomi dan Garnbaran Persembuhan Pasca Bedah Reproduksi Metode Bedab Reproduksi Koleksi oosit pada hewan betina dapat dilakukan dengan metode laparoskopi dan laparotomi (Terri et ad. 1994; Wolf dan. Wiltd 1996). Metode laparoskopi dilakukan tanpa pernbedahan sedang metode laparotomi dilakukan dengan pernbedahan (tindakan cyrorgis). Laparotomi, berasal dari kata laparo dan tomi.
Laparo
artinya
ruang
abdominal/peritoneal
penyayatadpembukaadpembedahan,
jadi
laparotomi
dan adalah
tomi
artinya
pembukaan/
penyayatadpembedahan di ruang peritoneaYabdomina1 (Charles et al. 1981). Tujuan laparotomi adalah untuk pernbedahan saluran uroginetal, pencemaan, hati dan pankreas (Karl et al. 1981). Ditinjau dari lokasi sayatan bedah, secara garis besar laparotorni dibedakan menjadi tiga, yaitu laparotomi medianus (sayatan tepat di daerah linea alba yaitu pada aponeurose muskulus obliqus abdorninis externus dan internus), paramedianus (sayatan beberapa cm di sebelah kanan dan kiri linea alba yaitu pada muskulus obliqus abdominis externus dan internus) dan laparotomi flank (sayatan tepat di daerah legok lapar) (Karl ef al. 1981). Penjahitan dilakukan dengan jahitan
sederhana menggunakan benang
catgut plain (Lyofil
Germany, 3/0) untuk jahitan peritoneum dan atau otot
sedangkan NC silk (B. Braun, Melsungen, 2/0) untuk kulit. Menurut Manakhly dan Sayed
(1995) benang catgut chromic diabsorbsi paling cepat, kemudian
diikuti oleh vicryl
(polygalactin)
dan dexon (polyglicolic acid). Efek reaksi
jaringan oleh sel leukosit akibat adanya benang bertumt-turut dari yang paling ringan adalah polydioxanon (F'DS), prolene (polypropylene), vicryI (polygalactin) dan dexon (polyglicolic acid). Menurut Karen el al. (1989); Howard et al. (1992) dan Roth et al (1994) pembedahan untuk koleksi oosit dilakukan setelah hewan teranestesi. Anestesi dilakukan dengan kombinasi ketamine hidrokloride (ketalar) dengan dosis 18.0 sampai 20.0 mg per kg berat badan dan acepromazine dengan dosis 0.2 mg per kg berat badan. Koleksi sel garnet jantan (spermatozoa) dilakukan dari kauda epididimis melalui sayatan dan dari vas deferens meialui pencucian Wushing) setelah kucing dikastrasi
Anestesi
dilakukan dengan menggunakan kombinasi seperti pada
koleksi oosit (Lengwinat et ad. 1992).
Keberhasilan Pembedahan Keberhasilan pembedahan ditentukan oleh kondisi hewan prabedah, macam bedah dan lama persembuhan pasca bedah. Banyaknya darah yang keluar (hemoragi), perubahan neuroendokrin dan tersedianya glukosa sebagai sumber energi sangat mempengaruhi persembuhan pasca bedah (Rossin dalam Bojrab 1981). Untuk mengetahui persembuhan pasca bedah dapat dilakukan melalui evaluasi hasil pemeriksaan klinis, gambaran darah, konsentrasi glukosa darah dan gambaran histopatologi bekas luka sayatan.
Pemeriksam~~ Klinis
Salah satu cara untuk mengetahui kesehatan hewan pasca pembedahan diperlukan pemeriksaan klinis yang meliputi
frekuensi nafas, frekuensi nadi,
suhu tubuh dan luka bekas jahitan. Suhr tubuh
Di dalam tubuh terjadi pembentukan dan pengeluaran panas secara berkesinambungan. Pusat pengatur suhu tubuh terletak di hipotalamus (preoptik hipotalamus) pada susunan syaraf pusat. Hipotdamus mernpunyai suhu kritis (suhu set point), dimana di atas atau di bawah suhu tersebut mekanisme
pengeluaran dan pembentukan panas akan bekerja (Anderson 1997). Mekanisme pembentukan dan pengeluaran panas tersebut melalui termoreseptor perifer yang meliputi reseptor panas dan dingin yang kemudian dihantarkan oleh simpul syaraf ke hipotalamus.
Syaraf di hipotalamus akan berintegrasi untuk menghasilkan
signal eferen akhir yaitu pembentukan atau pengeluaran panas (Cardielhacc I991 dan Ganong 1983). Beal et al. (2000) menyatakan bahwa selama pernbedahan akan tejadi penurunan suhu tubuh. Penurunan suhu tubuh ini (hipothermia) disebabkan oleh pengaruh pemberian anestesi. Lamanya pemberian anestesi dan lamanya waktu pembedahaa merupakan faktor penentu resiko tejadinya infeksi walaupun pembedahan dilakukan secara aseptis. Braund dalam Bojrab (1981) rnenyatakan bahwa hypothermia lokal terjadi mulai awal pembedahan sarnpai lebih kurang empat jam pasca pernbedahan. Kondisi seperti ini merangsang pembentukan norepineprin pada jaringan yang rusak akibat
luka pernbedahan. Unsur
ini akan mengaktifkan syaraf di
hipotaiamus, yang kemudian mengadakan integrasi untuk menghasilkan signal eferen yaitu pembentukan panas. Infiltrasi leukosit
(neutrofil) d i dalam jaringan yang
meningkatkan total leukosit secara keselumhan, yang kemudian
rusak,
akan
akan diikuti
dengan peningkatan suhu tubuh secara umum. Hal ini mulai terjadi 24 jam pasca pembedahan (Bojrab 1981). Respirasi @ernafasan) Fungsi utama respirasi adalah untuk menyediakan oksigen (02) di dalam darah dan mengambil karbondioksida (COz) dari dalarn darah dan menjaga suhu tubuh tetap dalam keadaan normal. Ada dua macam mekanisme respirasi yaitu inspirasi dan ekspirasi. lnspirasi adalah gerakan udara masuk ke dalam paru-paru, sedang ekspirasi adalah gerakan udara keluar dari paru-paru. Pada saat inspirasi oksigen di bawa oleh darah dan berdihsi ke jaringan untuk proses oksidasi seluler (respirasi internal). Karbon dioksida hasil oksidasi kembali berdifusi ke dalam darah kemudian dikeluarkan dari dalam tubuh meIalui proses ekspirasi (respirasi eksternal) (Franson 1996). Menurut Guyton (1996) tujuan akhir respirasi adalah untuk mempertahankan konsentrasi oksigen, karbondioksida dan ion hidrogen tetap konstan di dalam cairan tubuh sehingga fbngsi jaringan terus berlangsung. Sebagai akibat dari penurunan jumlah sel darah merah (erihosit) oIeh perdarahan (hemoragi) maka terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin. Adanya hemoglobin ini berkaitan dengan kemampuan darah membawa oksigen. Sehingga tubuh akan berusaha untuk memperoleh oksigen yang lebih banyak dengan meningkatkan fiekuensi pernafasan (Robinson dan Huxtabel 1988).
Sistem kardiuvccsku[er
Sistem kardiovaskuler meliputi jantung, sistern pembuluh darah dan pembuluh limfa. Jantung mamalia terdiri atas empat ruangan yaitu dua atrium dan dua ventrikel yang merupakan sistem pompa. Sistem pembuluh darah terdiri atas arteri dan vena. Arteri adalah sistem pembuluh yang mengedarkan darah dari jantung ke seluruh bagian tubuh termasuk jaringan, sedang vena adalah membawa darah menuju ke jantung. Pembuluh limfa membawa cairan jaringan atau cairan limfa menuju vena-vena besar (Franson 1996). Satu denyut lengkap dalam siklus jantung mencakup dua periode yaitu diastole dan sistole. Diastole adalah relaksasi suatu bilik jantung tepat sebelum dan selama pengisian bilik tersebut. maupun kiri.
Hal ini dapat tejadi pada bilik kanan
Sistole adalah kontraksi suatu bilik jantung dalam proses
pengosongan parsial bilik tersebut. Pada saat darah masuk ke ddam atrium kanan dari sirkulasi sistemik tubuh dan atrium kiri dari paru-paru, volume dan tekanan di dalam atrium meningkat
(terjadi selama diastole).
Ketika tekanan arterial
melampaui tekanan ventrikular, katup atrium ventrikel terbuka, memungkinkan darah mengalir ke dalam ventrikel yang sedang rileks sehingga ventrikel terisi darah (* 70%) dan tejadi sebelum kontraksi atrial. Atrial kemudian mengalami depolarisasi dan kontraksi yang kemudian menekan sisa darah arterial menuju ke ventrikel sehingga meningkatkan tekanan dan volume ventrikular. Tekanan ventrikular yang besar mamaksa katup atrium ventrikel tertutup (suara jantung pertarna).
Meningkatnya tekanan ventrikular yang melampaui tekanan arterial,
menyebabkan katup semilunare pulmoner dan aorta terbuka. Darah dipancarkan dari ventrikel kin menuju aorta dan dari ventrikel kanan ke dalam arteri pulmoner.
Kamudian tibalah fase protodiastol dimana tekanan ventrikuker menurun yang diikuti dengan kenaikan tekanan arterial sehingga menyebabkan arus balik darah sebagai akibat elastisitas dinding arteri yang menutup katup-katup
semilunar
pulmoner dan aorta (suara jantung kedua) (Franson 1996). Sebagai reaksi adanya perlukaan dan penurunan volume darah oleh pembedahan (hemoragi akut) akan merangsang sekresi angiotensin, katekolamin, Atlti
Diuretic Hormone
(ADH) dan aldosteron.
Sekresi angiotensin
dan
katekolamin akan meningkatkan tekanan darah dan cardiac output. Sekresi ADH oleh hipotalamus dan aldosteron sebagai akibat adanya angiotensin I1 akan meningkatkan reabsorbsi natrium (Na) pada tubuli ginjal sehingga meningkatkan volume plasma. Untuk mengatasi ha1 tersebut jantung h a s bekerja lebih kuat lagi.
Adapun gejala klinis yang terlihat adalah adanya paningkatan frekuensi
denyut jantung (tachicardia). Mekanisme sekresi angiotensin, katekolamin, Anti Diuretic Normon dan aldosteron dapat dilihat pada lampiran 2 (Bojrab 1981).
Darah Di dalam darah terdapat kumpulan elemen dalam bentuk suspensi atau kumpulan sel yang terendam dalam plasma darah (William 1987). Adapun fingsi darah dalam sirkulasi adalah I . membawa gas oksigen
(02)
dari pa=-paru ke dalam jaringan dan membawa
karbon dioksida ( C O z ) dari jaringan ke dalam paru-paru, 2. membawa sari-sari makanan dari saiuran pencernaan, 3 . membawa sisa-sisa metabolisme dari jaringan perifer ke ternpat eksresi 4. mengantar enzim dan hormon ke dalam jaringan spesifik 5 . mengatur dan mempertahankan keseimbangan asam dan basa dalam tubuh
6
lllulawiri~ lolisi~~ dan
trlellccr.lla b a h i ~ i antigen ~ darlgan
lneinbawa sel darah
putih untuk bermiyrasi ke dalam jarinyan perifer (Phillis 1976; Martini cf rrl. 1992).
Komponen darah adalah sel-sel darah dan plasma yang merupakan medium cairan darah. Ada tiga rnacam sel darah yaitu sel darah merah (eritrosit),
sel darah putih (leukosit) dan trombosit (platelet) (Phillis 1976; Martini el aZ. 1992). Eritropoiesis adalah proses pembentukan sel darah merah (eritrosit) pada mamalia yang tejadi dari stem cell di dalam sumsum tulang belakang, sedang leukopoiesis adalah poses pembentukan sel darah putih (leukosit) (Martini, et a/. 1992). Stem cell rnempakan sel progenitor yang dapat membentuk Colony
Forming Unit (CPU) dan mampu rnemproduksi sel-sel darah. Colony Forming Unit-Erythrocyte ( C P U - E ) merupakan unit pembentuk eritrosit, Colony Forming iJn~t-GranulocyteMonocyte (CFU-GM) merupakan unit pembentuk monosit dan neutrofil, Colony Forming Unit-Eosinophl (CFU-Eos)
sebagai unit pembentuk
eosinofil & Colony Forming Unit BasophiZ (CFU-Bas)
merupakan unit
pembentuk basofil. Sel progenetor bagi sel lirnfosit texdapat di dalam thymus yaitu prekursor sel-T yang bertanggung jawab pada pembentukan limfosit T dan di bursa Fabricius yaitu prekursor sel-B yang bertanggung jawab pada pembentukan sel limfosit B (Meyer et al. 1992; Jain 1993). Meyer e f al. (1992); Tortora dan Anagnostakos (1990) rnenyatakan bahwa jaringan mieloid akan memproduksi sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan platelet. Stem cell akan berdiferensiasi menjadi prekursor sel-sel
darah yaitu megakarrioblast yang akan menjadi platelet, rubriblast yang akan menjadi eritrosit matang, monoblast yang akan menjadi monosit-makrofag, rnieloblast y ang akan menjadi sel leukosit granulosit matang y aitu neutrofil, eosinofil, basofil dan limfoblast yang akan menjadi sel limfosit T dan sel limfosit B. Rangkaian proses pembentukan sel-sel darah dapat dilihat pada lampiran 3 (Jain 1993). Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja EryfhrocyifeBurst Forming Unit (BFU-E), Granulocyte Macrophage Colony Forming Unit (CFU-GM) &n Megaka7yocyte Colony Forming Unit (CFU-Meg)
untuk memproduksi sel
eritrosit, platelet dan sel leukosit granulosit adalah interleukin-3, interleukin-l dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF). Produksi sel-sel ini akan mengalami peningkatan pada kasus anemia, infeksi bakteri, adanya antigen dan endotoksemia (Jain
1993; Meyer et al. 1992). Penyebab
anemia adalah terjadinya pendarahan (hemoragi). kerusakan eritrosit (hemolisis) dan penurunan produksi eritrosit. Pada umumnya eritrositosis diikuti dengan kenaikan Packet Cell Volume /PCV/ hemakrit yang diiringi dengan kenaikan kosentrasi hemoglobin (Meyer e f al. 1992). Adanya hemoglobin dalam darah berkaitan dengan kemampuan darah
membawa oksigen (Svandson
1974). Eritrositosis merupakan proses yang
kontinyu yang setara dengan tingkat kerusakan darah. Hal ini diatur oleh sistem umpan balik yang di hambat oleh suatu peningkatan jumlah eritrosit dan dirangsang oleh anemia (Swenson
1984; Swandson 1974). Untuk mengetahui
macam anemia yang terjadi pada hemoragi akut akibat pembedahan perlu diketehui indeks eritrositnya. Indeks eritrosit menentukan besar eritrosit dan isi
hemoglobin tiap eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan hematokrit. Indeks eritrosit ada tiga macam, yaitu (1) Mean Corpr~scrdar VoZz4me ( M C V ) , menyatakan volume rata-rata tiap eritrosit; (2) Mean (Turptrsczrlar Hemoglobin Cunsenir~rtio~i (MCHC), menyatakan konsentrasi hemoglobin dalam eritrosit atau perbandingan berat hemoglobin dengan volume sel darahnya dan (3) Mean Corpuscular
Hemoglobin ( M C H ) , menyatakan jumlah hemoglobin dalam satuan berat di dalam eritrosit. Pada keadaan anemia akibat hemoragi akut atau subakut, nilai MCV dan MCHC adalah normal (normocytic normochromic). Jika sumsum tulang memberi
reaksi baik nilai MCV dan MCHC meningkat (macrocytic). Nilai normal MCH dan MCHC pada kucing berturu-turut (39-55)fl dengan rata-rata 45fl dan (3036)% dengan rata-rata 33% (Jain 1986).
Coles (1980) menyatakan bahwa hemoragi akut biasanya diikuti dengan pembentukan retikulosit yang merupakan tahap akhir pembentukan eritrosit. Kenaikan jumlah retikulosit tejadi pada empat sampai tujuh hari setelah hemoragi dan kembali ke tingkat normal dalam tiga sampai lima minggu setelah hemoragi. Menurut Robinson dan Huxtable (1988) penurunan sel darah merah perifer akibat adanya hemoragi atau disebabkan karena penurunan daya hidup sel darah merah tersebut. Gejala klinis yang terlihat adalah adanya anemia. Secara umum dalam keadaan anemia kadar hemoglobin dan hematokrit menurun, frekuensi respirasi rneningkat dan jantung mengalami tachycardia Darah sebagai media transformasi leukosit akan membawa sel-sel ini menuju lokasi invasi mikroorganisme atau perlukaan di dalam jaringan. Adanya peningkatan permiabilitas dinding pembuluh darah akan menyebabkan sel-sel leukosit berrnigrasi ke dalam jaringan yang mengalami perlukaan (Martini et al. 1992).
Kalaimothi dan Rajendran (1994) menyatakan bahwa leukosit akan bermigrasi darr rnenfagositosis di daerah yang terdapat antigen tertentu. Leukosit granulosit dan sel monosit merupakan sel yang mengandung enzim Iisosim yang mampu menghancurkan material asing di dalam tubuh seperti mikroorganisme atau jaringan yang rusak (Berne dan Levy 1990). Peningkatan leukosit merupakan respons fisiologis untuk melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme sebagai respons terhadap adanya infeksi (Baldy 1984). Pada infeksi akut oleh bakteri, leukosit khususnya sel neutrofil akan meningkat untuk memenuhi kebutuhan jaringan tubuh yang rusak (Jain
1993).
Penurunan jumlah leukosit di dalam sirkulasi, pada umumnya disebabkan oleh penurunan neutrofil atau limfosit dan pada umumnya akibat gangguan yang bersifat patologis seperti hypoplasia sumsum tulang, penyakit viral dan infeksi yang berat (Doxey 1971; Jain 1993). Menurut Jain (1993) peningkatan jumlah leukosit (leukositosis) terjadi baik secara fisiologis atau patologis. Secara fisiologis tejadi akibat adanya peningkatan jumlah sel neutrofil dan atau sel limfosit di dalam sirkulasi dan menyebabkan peningkatan jumlah leukosit total dan atau nilai absolut kedua sel tersebut. Peningkatan sekresi epineprin dan kortikosteroid yang terjadi pada kondisi stress baik secara fisik atau emosional dapat menyebabkan peningkatan jumlah leukosit, sedang secara patologis, peningkatan leukosit dalam sirkulasi darah disebabkan karena leukosit alctif melawan mikroorganisme (Doxey 1971). Menurut Coles (1986), seI granulosit akan dipindahkan dari Margrzal Granulocyte Pool (MGP) ke datam Circulating Gramlucyte Pool (CGP) sebagai akibat dari aktifitas fisiologi seperti exercise atau pelepasan epineprin yang tiba-
tiba sehinyga menyebabkan leukositosis atau pseudo leukositosis. Fenomena yang sama terjadi saat kecepatan aliran darah meningkat. Jain (1993), menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk pelepasan granulosit ke dalam sirkulasi darah sekitar enam sampai 14jam. Sebagai garis pertahanan pertama di dalam proses peradangan akut dan perlukaan, sel neutrofil berperan penting dalam meIakukan fagositosis (Jain 1993; Tizard 1982). Neutrofil akan merekat di sepanjang dinding endotelial pembuluh darah dan berimigrasi ke dalam jaringan. Kemampuan kemotoktiknya di pengaruhi oleh subtansi yang dilepaskan oleh jaringan yang rusak akibat perlukaan dan produk mikroorganisme. Faktor-faktor ini akan menyebabkan peningkatan akumulasi neutrofil ke dalam lokasi perlukaan (Swenson 1984). Jain (1993), menyatakan bahwa waktu yang diperlukan oleh sumsum tulang (bone marrow) untuk mencukupi jumlah neutrofil pada proses persembuhan akibat kerusakan jaringan adalah dua sampai tiga hari atau mungkin lebih lama lagi untuk beberapa hewan. Meyer et al. (1992) menyatakan bahwa akibat stress dan peradangan akut akan meningkatkan migrasi neutrofil ke dalam jaringan, sehingga menurunkan jumlah neutrofil di dalam sirkulasi. Hal ini &an merangsang sumsum tulang untuk meningkatkan produksi neutrofil kembali. Mekanisme sistemik stress dan peradangan terhadap peningkatan jumlah neutrofil dapat dilihat pada lampiran 4. Perubahan jumlah sirkulasi neutrofil dapat terjadi dari tiga mekanisme yaitu : (1) Akibat perpindahan antara Circulating Granulocyte Pool (CGP) ke Marginal Granulocyte Pool (MGP); ( 2 ) Perubahan pergerakan sel dari storage ke dalam blood pool dan (3) Perubahan kecepatan perge~dcansel keluar dari blood pool (Coles 1986).
Pcnur~~nan jurnlah neutrolil disebabkan oloh penurunarl daya hidup, penurunan produksi oleh sumsum tulang belakang dan efek penyembuhan suatu infeksi (Baldy 1984; Meyer et aZ. 1992). Sebagai garis pertahanan kedua adalah sel limfosit, sel limfosit T bertindak sebagai pertahanan seluler sedang sel limfosit B sebagai pertahanan humoral (Tiard,
1982;
Martini
et al. 1992).
Kedua sel limfosit ini mampu untuk
resirkulasi di dalam sirkulasi darah sehingga jumlahnya relatif konstan dan sekitar 70 % yang berimigrasi ke dalam jaringan akan kembali ke dalam sirkulasi darah
melalui pembuluh limfe (Meyer et al. 1992 dan Jain 1993). Sel limfosit T yang bermigrasi ke dalam jaringan akan menyerang antigen dan jaringan yang rusak. Sedangkan sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang akan melepaskan antibodi untuk menyerang antigen atau protein asing tersebut (Tizard 1982; Martini et al. 1992). Peningkatan jumlah sel limfosit ini umumnya didahului dengan kejadian peningkatan jumlah sel neutrofil, biasanya ditemukan pada keadaan stress d m infeksi kronis, sedangkan penurunan jumlah sel limfosit berkaitan dengan infeksi virus, septikemi, toksemia dan pemberian obat yang bersifat immunosupresan (Meyer et aZ. 1992). Sesaat setelah diproduksi oleh sumsum tulang belakang sel monosit akan bersirkulasi dalam waktu kurang lebih enam jam dan kemudian akan berimigrasi ke dalam jaringan dan menjadi sel makrofag (Meyer et al. 1992). Sel monosit dan makrofag mampu menghancurkan bahan-bahan patogen yang tidak dapat dilakukan oleh neutrofil (Tizard 1982). Adanya perlukaan jaringan, merangsang sel makrofag untuk mengeluarkan
zat-zat kirnia yang akan merangsang sel monosit dan sel fagosit lainnya untuk bermigrasi ke dalam jaringan yang rusak tersebut, selain itu akan menarik sel fibroblas untuk bermigrasi ke dalam jaringan yang rusak sehingga membentuk jaringan parut untuk menutupi luka tersebut (Martini et al. 1992). Disamping sel tersebut diatas adanya partikel asing dan jaringan yang rusak akan menyebabkan peningkatan aktifitas fagositosis dari sel eosinofil maupun sel basofil dan sel Mast.
Sel basofil dan sel Mast &an melepaskan
histamin. Unsur ini dapat rneningkatkan aktifitas kemotaktik eosinofil sehingga mampu rnelakukan fagositosis terhadap sel mati, sel bakteri atau kompleks antigen-antibodi (Schalm et al. 1975). Menurut Meyer et al. (1992) penurunan jumlah eosinofil di dalam sirlculasi akibat infeksi akut. Tersedianya glukosa yang cukup sebagai sumber energi di dalam tubuh sangat mempengaruhi persembuhan pasca bedah.
Kenaikan glukosa di dalam
tubuh disebabkan oleh sekresi cortisol, hormon pertumbuhan dan epinefrin. Sekresi ketiga unsur ini dirangsang oleh adanya perlukaan.
Cortisol dapat
merangsang katabolisme protein di dalarn otot dan gIuconeogenesis di dalam hati. Sekresi epinefiin di dalam rnedula adrenal akan meningkatkan glycogenolisis di dalam hati. Produksi glukosa dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis ini merupakan ha1 yang utama untuk mencukupi kebutuhan energi otak dan perbailcan jaringan dalam lingkungan anaerob, sedang sel tubuh dapat menggunakan kenaikan asam lemak bebas yang dihasilkan akibat sekresi hormon pertumbuhan, cortisol dan epineprin sebagai sumber energi sel. Mekanisme sekresi cortisol, horrnon pertumbuhan
dan epinefrin terhadap
dilihat pada lampiran 5 (Rossin 1981)
21 I
Gambaran Histopatologi Kulit dalam keadaan normal terdiri atas tiga lapis, yaitu lapis epidermis, dermis dan jaringan subcutaneus. Epidermis adalah lapisan terluar atas kulit yang terdiri dari empat tipe sel yaitu keratinosit, melanosit, sel Langerhans dan sel Markel. Keratinosit merupakan tipe sel yang terbanyak dan menghasilkan keratin, melanosit adalah sel penghasil pigmen, sel Langerhans merupakan sel fagosit yang berfingsi
sebagai pemakan antigen dan sel Markel merupakan sel
neuroendokrin yang fungsinya belum diketahui dengan jelas.
Sel keratinosit
menempati lapisan epidermis yang terdiri atas Lapisan dasar (lapisan yang paling dalam), lapisan basale, lapisan spinosum, lapisan granulosum dan lapisan korneum. Sel Melanosit dan Markel befingsi untuk menguatkan lapisan basale sedang sel Langerhans ada di dalam semua lapisan. Epidermis dipisahkan dengan dermis oleh lapisan dasar. Di lapisan dermis ditemukan sedikit jaringan konektif, buluh darah dan folikel rambut, dermis terdiri dari dua lapisan yaitu papillari dan retikulari yang bersinggungan dengan jaringan subcutaneus.
Di lapisan papilari diternukan
glandula sebaseus yang fungsinya mengeluarkan keringat (Damjanov dan Peter 1996). Povletic dalam Murtaugh dan Kaplan (1992) rnenyatakan bahwa ada tiga fase proses persembuhan luka yaitu fase peradangan, fase proliverasi dan fase persembuhan. Jones et al. (1996) membagi proses persembuhan luka menjadi tiga yaitu fase peradangan, fase fibroplastik, fase pematangan dan perampingan jaringan. Peradangan adalah reaksi seluIer dan vaskuler pada luka akibat adanya
Makrofag akan rnelepaskan faktor yang mendukung fibroplasia dan angiogenesis. Asam laktat dilepaskan oleh makrofag kemudian merangsang proliferasi fibroblas. Terbentuknya jaringan fibroblas ini dimulai pada hari ketiga sampai kelima setelah perlukaan dimana fase peradangan sudah mulai menurun. Fibrin dan fibronektin mernbentuk filamen untuk fibroblas. Jaringan fibrin dan fibronektin ini hilang selama dua sampai empat minggu setelah perlukaan begitu kolagen terbentuk. Beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah perlukaan, kolagen mengalami remodeling secara kontinyu. Kolagen yang lebih tua diserap kembali dan kolagen yang baru
&simpan dan dikumpulkan ke dalam pola
untuk meningkatkan ketegangan. Jaringan kolagen bergabung secara sejajar dengan garis sayatan pada luka (Spector dan Spector 1980). Dalam waktu lebih kurang satu minggu pembuluh darah baru (neokapiler) tumbuh di daerah luka yaitu sel-sel endotel. Seiring dengan munculnya neokapiler, fibroblas yang berasal fibroblas lokal tumbuh dalam jurnlah yang besar. Fibroblas ini membuat kolagen. Fibroblas mempunyai sifat kontraktilitas sebagai fungsi dari myofibroblas. Myofibroblas bertanggung jawab untuk berkontraksi dan mengurangi ukuran luka (Spon clan Robert 1986). Sel-sel endotil ini akan membentuk untaian dan memperoleh selubung selsel otot polos sehingga berdiferensiasi menjadi arteriola dan venula. Arteriola ini memperoleh suplai syaraf vasomotorik dalam waktu dua minggu setelah teqadi luka (Spector dan Spector 1980). Faktor yang sangat penting dalam proses persembuhan luka adalah regenerasi dari masing-masing jaringan yang terlibat, adanya vaskularisasi dan ada tidaknya infeksi. Suplai darah dan glukosa yang cukup merupakan ha1 yang
sangat penting untuk tejadinya reaksi peradangan dan proses perbaikan (Spector dan Spector 1980; Rossin dalam Bojrab 1981).
Produksi Embrio Secara In Ktro Anatomi dan Fisiologi Reproduksi Seperti juga organ lain, organ reproduksi kucing betina mencakup organ reproduksi primer yaitu ovarium dan organ reproduksi sekunder meliputi tuba Fallopii (oviduct), uterus (cornua, corpus d m cervix), vagina dan vulva (Anggela 1977; Hafez 1987). Ovarium kucing dewasa berbentuk oval dengan panjang sekitar 7 mm dan tebal sekitar 4 mm, terletak di dalam ruang abdominal tepat di belakang organ ginjal (Anggela 1977; Ulrike 1994). Berat rata-rata ovarium pada fase folikuker adalah 1 . 6 gram dengan panjang rata-rata 9.0 mm dan lebadtebal 5.0 mm sedang berat rata-rata pada fase luteal adalah 2.0 gram dengan panjang
rata-rata 9.8 mm dan lebarltebal 5.5 mm (Gunanti 1999). Cole dan Cupps (1977) membagi hngsi ovarium menjadi tiga yaitu mernbentuk
folikel
(folikulogenesis), rnelepaskan
sel
telur
(oosit)
dan
mengaktifkan tenunan luteal. Berdasarkan proses folikulogenesis pada ovarium fase siklus berahi pada kucing dibedakan atas dua fase yaitu fase folikuker atau estrogenik yang meliputi proestrus dan estrus serta fie luteal atau progrestational yang meliputi metestrus, &estrus dan anestrus (Pineda 1989). Fase folikuler berlangsung selama enam sarnpai 13 hari, yaitu proestms sekitar satu sampai tiga hari dan estrus sekitar lima sampai 10 hari. Fase luteal berlangsung agak lama yaitu 53-63 hari jika bunting, jika tidak bunting tejadi regresi sampai hari ke 3 6 setelah ovulasi. Ovulasi terjadi jika ada kopulasi
(rangsangan koitus atau benda lain). Jika ha1 ini tidak terjadi dan berlangsung selama musim kawin, folikel mengalami atresi dalam waktu 10- 12 hari dan fase berahi akan kembaIi Ice proestrus tetapi jika terjadi pada akhir musim kawin akan dilanjutkan ke fase anestrus. Apabila pada saat estrus terjadi kopulasi dan terjadi fertilisasi maka masa kebuntingan terjadi selama 58-63 hari dan apabila tidak terjadi fertilisasi, proses ini
dilanjutkan ke fase diestrus (bunting semu) yang
berlangsung selama 30-50 hari, kemudian ke fase anestrus, menunggu sampai musim kawin berikutnya. Setelah itu menuju ke fase proestrus dan apabila pada fase diestrus terjadi selama musim kawin maka fase dilanjutkan ke fase proestrus. Periode siklus berahi pada kucing dapat dilihat pa& Lampiran 6 (Pineda 1989). Tuba Falopii kucing relatif panjang dan berkelok-kelok, tanduk uterus jumlahnya sepasang, lurus dengan panjang sekitar 8-12 cm, sedang badan uterus pendek. Fertilisasi terjadi di daerah tuba Falopii. Oosit hasil fertilisasi turun ke tanduk uterus untuk menempel dan mendapatkan rnakanan dan perlindungan fetus sampai lahir (Angela 1977). Uterus kucing berbentuk bicornis dengan kornua yang sangat panjang tetapi corpus yang sangat pendek. Kondisi seperti ini disesuaikan dengan keberhasilan produksi anak dalam jumlah banyak (Hafez 1987; Ulrike 1994). Vagina adalah organ kelamin betina dengan struktur selubung muskuler yang terletak di dalam rongga pelvis, disebelah dorsal vesica urinaria. Befingsi sebagai alat kopulatoris dan sebagai saluran bagi fetus sewaktu partus. Dinding vagina terdiri atas mucosa, muskularis dan serosa.
Selaput lendir terdiri atas
epitel tak berkelenjar, bersusun dan squamous (Hafez 1987; Angela 1977) Organ reproduksi kucing jantan terdiri atas tiga komponen yaitu organ
reproduksi primer berupa testes, sekelompok kelenjar kelamin pelengkap seperti kelenjar-kelenjar vesikularis, prostata dan Cowper, saluran epididirnis dan vas defferens serta alat kelamin luar seperti penis (Hafez 1987; Angela 1977). Testes merupakan glandula tubularis yang dibungkus oleh tunika albugenia. Terletak pada daerah prepubis, terbungkus dalam skrotum dan digantung oleh finiculus spematicus (Hafez 1987). Angela (1977) menyatakan bahwa testes kucing terdiri dari sepasang gonad yang berbentuk oval dan dibungkus skrotum. Berat testes meningkat dari 20-100 mg pada umur enam minggu dan tubuli seminiferi mulai aktif ketika berat testes mencapai 400-500 mg (pada umur sekitar lima bulan) (Goodrowe ef a/. 1989). Dinding tubulus seminiferi terdiri dari dua tipe sel yaitu sel yang menghasilkan spermatozoa dan sel pendukung (sel sertoli) yang menghasilkan cairan sebagai sumber makanan spermatozoa (Lane 1980). Angela (1977) menambahkan bahwa testosteron dihasilkan oleh sel intestitial Leydig yang terdapat diantara tubuli seminifeti. Epididimis adalah struktur memanjang yang bertaut rapat dengan testes. Organ ini meliputi tubuli yang bersambung dari testes melalui duktus efferens (Angela 1977). Dellman dan Brown (1976) menyatakan bahwa ada sekitar delapan sampai 25 duktus efferens yang terdapat di dalam epididimis. DuMus ini menghubungkan reta testes dengan duktus epididimis. Secara umum epididimis mempunyai empat fingsi utama yaitu transportasi spermatozoa, peningkatan konsentrasi spermatozoa, maturasi dan penyimpanan spermatozoa (Hafez 1987). Spermatozoa diangkut dari reta testes ke duktus efferens oleh perbedaan tekanan cairan di dalam testes. Suspensi spermatozoa yang encer diabsorbsi kembali oleh sel-sel epitel selama perjalanan melalui epididimis, terutama pada kaput. Dalam
epididimis spermatowa menjadi matang yang kemungkinan atas pengamh dari sel-sel epitel. Dalam kauda epididimis spermatozoa yang sudah matang disimpan. Di daerah ini secara optimal kehidupan spermatozoa dipertahankan dalam keadaan metabolisme yang sangat minim (Hafez 1987) Penis adalah organ kopulatoris pada hewan jantan. Organ ini mempunyai tugas ganda yaitu pengeluaran urine dan peletakan semen ke dalam saluran reproduksi hewan betina. Penis terdiri atas akar dan ujung bebas yang berakhir pada glans penis. Penis dilengkapi dengan muskulus retraktor penis, yaitu otot licin yang bertaut pada vertebrae coccygea pertama dan kedua, berpisah dan bertemu kembali di bawah anus. Ia berfUngsi menarik kembali penis ke dalam preputium sesudah ejakulasi dan mempertahankan posisi ini pada keadaan tidak ereksi sedang muskulus ischio cavernosus atau erector penis adalah sepasang otot pendek yang timbul dari tuber ichii dan ligamentum sacroishiadicum berfungsi untuk menyebabkan ereksi (Toelihere 1981). Ulrike (1994) menyatakan bahwa lapisan luar dari penis yang dikelilingi hampir seperti duri menyebabkan kesakitan pada kucing betina pada saa? kopulasi sehingga mengeluarkan suara nyaring. Dengan adanya kopulasi maka ovulasi akan tejadi. b l a s i adalah keluarnya oosit yang telah dikelilingi korona radiata menembus dinding folikel (stigma) akibat terhentinya aliran darah di daerah tersebut sehingga dinding folikel menipis. Hal ini memudahkan oosit untuk keluar menembus dinding folikel yang tipis (Tomaszewska et al. 1991). Menurut Geoffery (1 975); Angela (1977); Cole dan Cupps (1977) ovulasi pada kucing teqadi jika ada kopulasi (ovulasi tidak spontan). Pertama kali kucing mengalami ovulasi akibat kopulasi adalah jika sudah mencapai usia pematangan
dini yaitu sekitar umur 10 sampai 12 bulan atau diatas satu tahun. Hafez (1970) menyatakan bahwa ovulasi
secara alami tejadi
pada
saat
estrus yang
berlangsung beberapa kali (poliestrus) sekitar satu sampai empat hari dan kopulasi terjadi dua sampai tiga kali sehari. Cole dan Cupps (1977) menyatakan bahwa ovulasi terjadi sekitar 24-50 jam dengan rata-rata 4 5 jam setelah kopulasi. Swanson et al. (1994) rnenyatakan bahwa dari 52 ekor lcucing lokal, ovulasi tetjadi sekitar 48-68 jam setelah kopulasi dan dari 48 ekor yang ovulasi 87,5% embrio ditemukan di dalam oviduct atau tanduk uterus. Banyak oosit dikeluarkan dari folikel ovarium pada saat ovulasi tetapi hanya sekitar lima oosit yang dapat menempel (implantasi) ke dalam tanduk uterus setelah fertilisasi. Hafez (1970) menyatakan bahwa irnplantasi terjadi sekitar
14 hari setelah fertilisasi dan diikuti dengan terbentuk dan tumbuhnya
placenta hemochorion dengan cepat. William et al. (1994) melaporkan bahwa embrio masuk ke dalam uterus pada saat morulla kompak atau blastosis awal sekitar
lima hari setelah kopulasi pertama pada siklus alami. Sedangkan
Toshihiko et al. (2000) melaporkan bahwa kebuntingan tejadi pada kucing ratarata 15 hari setelah inseminasi buatan (art2JicialInsemination) dengan semen segar atau semen beku. Lama kebuntingan pada kucing adalah 58-65 hari dengan rata-rata sekitar 63 hari. Untuk menjaga kebuntingan pada saat ini dihasilkan hormon progesteron
(Cole dan Cupps
1977 dan Angela
1977). Hormon yang berperan di dalam
serangkaian siklus berahi dihasilkan di dalam hipotalamus dan hipofisis. Adanya Gonadotrophin Releasing Hormone (GnRH) dapat merangsang hipofisis anterior untuk menghasilkan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteznizing
H o r m o ~ ~ r(LH).
Pertumbuhan
folikel dipengaruhi oleh FSH,
dan dalam
perturnbuhannya, folikel menghasilkan estrogen, androgen dan inhibin. Inhibin bekerja sebagai umpan balik negatif terhadap FSH, sedangkan estradiol (estrogen) dapat bekerja sebagai umpan balik positif pada hipotalamus. Sentakan LH menyebabkan tejadinya ovulasi yang selanjutnya akan terbentuk korpus luteum (Tomaszewska el al. 1991). lnduksi Hormonal
Untuk mernperoleh embrio yang berkualitas baik diperlukan sel telur (oosit) dan spermatozoa yang baik juga. Beberapa peneliti telah mencoba menggunakan berbagai hewan dalam induksi hormonal untuk merangsang pertumbuhan folikel pada ovarium. Induksi hormonal adalah penyuntikan dengan hormon dalam rangka mendapatkan oosit kualitas baik sebelum terjadi ovulasi. Horman yang biasa digunakan adalah Godotrophine Releasing Hormone (GnRH). Hormon ini berfbngsi untuk melepaskan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Ltrteinizing Hormone (LH). Fungsi utama FSH pada hewan betina adalah pertumbuhan folikel, produksi dan pelepasan estrogen, sedang pada hewan jantan untuk spermatogenesis. Sedangkan LH adalah untuk ovulasi, pembentukan
dan fingsi corpus luteum.
Fungsi ini mirip dengan hngsi hzrman Chorionic
Gonadotrqphin (hCG) yang dihasilkan di dalam plasenta. mempunyai kemiripan dengan FSH
Hormon yang
dan sebagian kecil seperti LH adalah
Pregnant Mare Serum Gonadotrophin (PMSG) yang dihasilkan oleh plasenta dan
equine Chorionic Gonadotrophin (eCG) (Sojka ei al. 1970; Tomaszewska et al1991; Swanson e f al. 1995 dan Swanson et al. 1996). Menurut Hamer (1970) ovulasi tejadi sekitar 25-27 jam setelah pemberian
hCG. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Barone el al. (1994) pada 14 ekor
puma menunjukkan bahwa penyuntikan eCG dosis 100 IU/150 IU dan hCG dapat merangsang pertumbuhan folikel. Pemberian eCG dosis 150 IU menghasilkan jumlah folikel dan corpus luteum yang lebih banyak. Roth ef at. (1994); Swanson ei al. (1994) dan Swanson et al. (1996) menyatakan bahwa penyuntikan
eCG
dosis 150 IU dan hCG dosis 100 IU dapat menyebabkan pematangan folikel (diameter folikel r 2 mm) dan ditemukannya corpus luteum di dalam ovariumnya. Donoghue el aL (1992) menyatakan bahwa pemberian eCG dosis
150 I U
dan hCG dosis 100 IU dengan interval (80-96) jam dapat menyebabkan perkembangan sejumlah 15-18 folikel ( diameter 2 2mm) per ekor kucing. Dresser ei a1.(1988) telah rnenggunakan FSH + hCG untuk merangsang pertumbuhan folikel.
FSH diberikan selama enam hari dosis 0.2 mg per hari
kemudian diikuti dengan suntikan hCG 750 IU. Hasil pengamatan terhadap 11 ekor kucing menunjukkan bahwa
didapatkan folikel yang belum ovulasi dan
corpora hemoragica pada ovariumnya. Selanjutnya penggunaan hormon di atas untuk induksi hormonal
oleh peneliti lainnya seperti Boediono et al. (1994);
William et al. (1995 ) dan William et aZ. (1996) dan Toshihiko (2000).
Koleksi Ovorium Kokksi ovarium dapat dilakukan dengan metode laparotomi medianus (sayatan tepat pada linea alba), paramedianus (sayatan di sebelah kanan atau kiri linea alba) dan laparotomi flank (Karl el al. 1981; Gunanti 1986). Wolfe dan Wildt (1996); Swanson eJ al. (1996); Pushett et al. (1997) dan Dougall et ad. (1997) mengoleksi ovarium dengan metode laparotomi medianus melalui
ovariektomi
atau
ovariohisterektomi.
Sebelum
dilakukan
ovariohisterektomi, hewan dianestesi dahulu dengan ketamine hidrokloride (vetalar) dan azepromazine maleat dengan perbandingan 10:1 (10 mg per kg berat badan ketamin hidrokloride dan 1 mg per kg berat badan acepromazine maleat). Selama pembedahan anestesi dijaga dengan gas anestesiisoffurane (1 sampai 2)% (Swanson et al. 1994 dan Swanson ef al. 1996). Goodrowe et al. (1989) rnenggunakan ketamine hidrokloride dosis 15-20 mg per kg berat badan
dan
acepromazine maleat t .5 sampai 2 mg per kg berat badan. Donoghue e f ai. (1990) rnenggunakan ketarnine hidrokloride 5 mg per kg berat badan dan xylazine (Rompun R). Untuk menjaga kucing selama pembedahan diberikan gas halothane. Ovarium yang telah dikoleksi dirnasukkan ke dalam medium Phosphat Buffer Saline (mPBS, Gibco, BRL)) yang mengandung 100 IU penicillin per mi dan 0.1 mg streptomycin per ml pada suhu 24°C (Wolfe dan Wildt 1996). Pengaruh suhu penyimpanan ovarium terhadap produksi embrio tikus telah dilaporkan oleh Zhang et al. (1 990); ovarium yang disimpan paria suhu 0" sampai 2OC mendapatkan angka fertilisasi dan perkembangan embrio yang lebih rendah
dibandingkan dengan ovarium yang disimpan pada suhu 18"
-
20°C atau 30°
-
32°C.
Yang et al. (1990) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka cleavage dan blastosis yang tinggi dihasilkan dari ovarium yang disimpan pada suhu 24°C dan 27°C dalam waktu no1 sampai empat jam.
Kdeksi dan Maturasi Oosit Koleksi oosit dari ovarium kucing dapat dilakukan dengan metode aspirasi dan pencacahan folikel ovarium untuk memperoleh oosit yang lebih banyak telah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Goodrowe ei al. 1989; Donoghue er al. 1990
dan Donoghue et a/. 1992; Miller el a/. 1990 dan Roth
el al. 1994).
Metode
aspirasi untuk mendapatkan oosit kucing telah dilakukan dengan mengyunakan jarum yang berukuran 22 G yang dihubungkan dengan tabung polyethylene 100 yang berukuran 4 cm dan diameter 0,86 mm. Tabung ini diisi dengan 2 sampai 3 ml medium Kreb Ringer Bikarbonat (mKRB) atau Ham' s F10 yang mengandung 10% Fetal Cdf Serum (FCS)
dan 40 unit heparin per ml medium.
Aspirasi
dilakukan pada folikel yang mempunyai diameter r 2 mm pada suhu 35"-37°C. Semua oosit yang telah diaspirasi dimasukkan ke dalam medium mKRB atau Ham' s F 10 yang baru *esh)
tanpa heparin di dalam petri dish.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Miller et a/. (1990) dari tujuh ekor puma (Felis concolor) yang telah diinduksi dengan PMSG dosis 1000 IU/2000 1U dan hCG 800 IU diperoleh 20 oosit per ovarium. Dari 144 oosit yang diperoleh, 77 (55,0%) oosit matang, 43 (30,7%) oosit belum matang dan 20 (14,3%) oosit degenerasi. Oosit dikatakan matang jika korona radiata kompak dan sel kumulus lengkap dengan sitoplasma homogen sedang oosit yang belum matang
jika
korona radiata ekspan dengan sitoplasma tidak homogen dan ukuran yang abnormal (Miller et al. 1990). Roth et al. (1994);
Swanson et al. (1994) dan Swanson et al. (1996)
melaporkan bahwa hasil aspirasi ovarium dari kucing yang diinduksi hormonal dengan eCG
+ hCG
adalah sekitar 12-21
adalah oosit kualitas A
oosit per ekor. Oosit yang diperoleh
dimana sitoplasma homogen, sel kumulus dan korona
radiata kompak. Gordon (1 994) menyatakan bahwa koleksi oosit pada sapi secara aspirasi
hanya dapat diperoleh sekitar (50-60)% menggunakan jarum yang berukuran 18 G dibandingkan lebih dari 95% bila menggunakan tehnik pencacahan folikel ovarium.
Untuk mengatasi kelemahan tehnik aspirasi tersebut diatas, dimana
jumlah oosit yang diperoleh relatif rendah maka penusukan jarum pada folikel dilakukan pada bagian stroma ovarium terlebih dahulu, baru kemudian menusuk folikel sekaligus. Hal ini bertujuan untuk menghindari keluarnya oosit bersama cairan folikel dan memperkecil kontaminasi (Purwantara 1994). Koleksi oosit sapi melalui pencacahan pada foIikel dapat diperoleh jumlah oosit tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan teknik aspirasi. Hasil oosit yang diperoleh dari kedua metode tersebut mempunyai kemampuan yang sama untuk dimatangkan secara in viiro (Caloran 1994). Menurut Johnston el al. (1989) oosit yang mempunyai sel kumulus dan corona radiata kompak diperoleh setelah oosit dimaturasi selama 24 jam. Selanjutnya dinyatakan bahwa oosit kucing akan mencapai tahap Metafase-1 setelah maturasi 24 jam dan mencapai Metafase-II setelah dimaturasi selama 8 jam.
Menurut Yatim (2001) sebelum terjadi perbanyakan gametogonium, DNA hams mengalami penggandaan lebih dahulu meskipun gamet diproduksi secara terus-menerus dan hampir semuanya akan mati.
Pembelahan ini berlangsung
dalam empat tafiap yaitu (1) profase, (2) metafase, (3) anafase dan (4) telofase. Pada profase, kromatin mengganda menjadi dua, sesuai dengan penggandaan DNA di dalamnya, diikuti dengan memadatnya susunan berlilit nukleusom,
sehingga setiap helai kromatin memendek menjadi ratusan kali dan menebal menjad'i kromosom. Kromosom
yang mengganda ini disebut kromosom anak
atau kromatid. Sentromer masing-masing masih satu, sehingga tampak sehelai kromosom itu memiliki dua tangan dan dua kaki. Sementara itu dengan hilangnya selaput inti, terbentuk serat gelendong, suatu struktur bentuk gelendong yang dibina atas banyak mikrotubul.
Pada tahap metafase, semua kromosom ditarik
oleh mikrotubul ke bidang tengah sel yang disebut bidang ekuator. Pada tahap Anafase, sentromer membelah dan bersama lengannya ditarik oleh mikrotubul ke arah kutub berseberangan. Dengan demikian pada k e dua kutub terdapat kromosom anak yang jumlahnya sama dengan jumlah kromosom pada sel gametogonium. Pada tahap Telofase, sekeliling daerah kutub terbentuk selaput inti, diikuti dengan terbentuknya dua membrane sel pada bidang ekuator dan akhirnya terbentuklah dua sel anak. Kromosom berkondensasi kembali menjadi benang-benang
halus yang panjang bempa kromatin.
Gametogonium terus
menerus mengalami pembelahan sesuai dengan masuknya sel tersebut ke tahap pembelahan reduksi, sel anak yang masuk ke dalam pembelahan reduksi disebut gametosit, yang jantan disebut spermatosit dan yang betina disebut oosit. Oosit tersebut akan dibuahi oleh spermatozoa jika sudah dalam keadaan rnatang. Proses maturasi oosit diawali oleh pematangan inti. Proses maturasi inti dimulai dengan pecahnya selubung intvmembran (Germinal Vesicle Break DownlGVBD) yang diiringi oleh kondensasi kromosonn menjadi bentuk yang kompak.
Sentromer (daerah tertentu dari sitoplasma encer) terbagi menjadi
dua sentriola yang tampak seperti aster yang dipisahkan oleh spindle (gelondong). Kromosom dalam pasangan diploid membebaskan diri dari sitoplasma dan menjadi teratur pada bentuk ekuator dari spindle (Metafase-I). Oosit utama mengalami dua pembelahan meiotik Pada pembelahan pertarna dua se1 dibentuk
tetapi hanya satu yang mengandung banyak sitoplasma. Belahan kedua sangat kecil, sel ini menjadi badan kutub (Polur bocipI). Badan kutub ini rnengandung kromosom, mitokondria, ribosum dan granula kortika! (Gordon 1994). Berbagai macam medium telah dipakai untuk proses maturasi oosit secara in vitro.
Salah satu media kompleks yang paling banyak digunakan untuk
maturasi oosit secara in vitro adalah Tissue Culture Medium (TCM 199) (Gordon 1994). Doghue
et al.
(1990); Johnston
et
al. (1991) dan Roth ef al. (1996)
menggunakan medium H a m s F10 yang disuplementasi dengan 0.01 1 mg per ml pyruvate; 0.284 mg per ml glutamine; 5% Fetal CagSerum dan 40 unit heparin per ml untuk maturasi oosit. Godrowe et a / . (1989); Miller e f al. (1990); Donoghue et al. (1992) dan Swanson (1996) rnenggunakan medium modifikasi Kreb's Ringer Bicarbonat (mKRB) tanpa heparin.
Menurut Wolfe dan Wildt (1996) maturasi oosit pada media EMEM selama 12 jam memperlihatkan tahap Germinal Vesicle (GV) dan Germinal Vesicle Break Down (GVBD) sebanyak 58%, Metafase-I 35% dan kurang dari 4% dalam tahap Metafase-11. Setelah kultur 24 jam
oosit mencapai tahap
Telofase-I atau Metafase-I1 sebanyak 61%. Maturasi oosit dilakukan dalam inkubator dengan suhu 37°C-38°C dibawah 5% COz dalam 95% udara (Donoghue et al. 1992; Wolwe dan Wildt 1996; Goodrowe et aC. 1989; Miller ei al. 1990). Johnston et at. (1 991) rneneliti pengaruh suhu dan gas atmosfir terhadap fertilisasi dan perkembangan embrio in vilro pada kucing lokal.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada semua
suhu (37, 38, 39)"C tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Untuk menghindari adanya kontaminasi bakteri, beberapa peneliti telah
menggunakan berbagai antibiotik seperti gentamicin sulfat (Boediono el al. 1999); penicillin-G (Dresser ef a/. 1988; Wolfe dan Wildt 1995). Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa penambahan serum k e medium kultur baik itu serum induk yang diambil pada fase proestrus, estrus, pasca estrus maupun serum fetal ke dalam media kultur mampu merangsang pembuahan dan perkembangan embrio in vifro (Johnston 1993; Donoghue e f al. 1990; Wolfe dan Wildt 1996; Roth et al. 1994; Boediono ei al. 1994). Menurut Malole (1 990) serum mengandung zat-zat nutrisi seperti protein, lemak, asam lemak, hormon insulin, steroid, mineral dan faktor penumbuh lainnya. Dalam medium maturasi oosit biasanya digunakan sumber serum sapi seperti Fetal Calf Serum ( F C S ) atau Fetal Bovine Serum ( F B S ) , Bovine Serum Albumin ( B S A ) dan serum sapi dalam keadaan proestrus, estrus atau serum Induksi hormonal (SCS) (Gordon 1994). Boediono e f al. (1994) melaporkan bahwa maturasi oosit sapi di dalam medium
yang
disuplementasi
dengan
5%
serum
sapi
yang
diInduksi
hormonavsaat estrus (hari ke-0 dan k e 7 ) atau 5% Fetal Calfserum (FCS), hasil fertilisasi menunjukkan proporsi ernbrio yang membelah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>O,O5) KoIeksi dan Kapusitasi Spermatozoa Gordon (1994) menyatakan bahwa kapasitasi secara jelas dikenali sebagai proses yang melibatkan spermatozoa di dalam reaksi fisiologi dan biokirnia yang rumit. Kapasitasi dimulai dari pergerakan dan alterasi komponen yang diperoIeh dari tubuli seminiferi, epididimis, vas deferens dan plasma seminal yang diabsorbsi oleh membran plasma. Selama pejalananya dari testes melalui
epididimis, spermatozoa dirnodifikasi menjadi sel yang matang yang tersimpan di da1am ekor epididimis sampai dilepaskannya pada saat ejakulasi. Satu aspek yang terpenting
pada
maturasi
epididimal
adalah
modifikasi
sifat
permukaan
spermatozoa. Spermatozoa meninggalkan testes dan rnasuk ke dalam kaput epididimis, saat ini spermatozoa belum mampu untuk penetrasi oosit. Di dalam kaput
dan atau dalam korpus,
spermatozoa h m s mengalami perubahan
pematangan sebelum mampu untuk penetrasi ke oosit. Disini spermatozoa hams melewati beberapa barier, oleh karena itu spermatozoa harus diselaputi oleh lapisan
glikoprotein
yang
dikeluarkan
bertambah sampai waktu ejakulasi.
oleh epididimis.
Lapisan tersebut
Bagian terpenting dari proses kapasitasi
adalah pergerakan atau alterasi bertahap pada lapisan protektif dari permukaan spermatozoa, khususnya daerah akrosom. Pergerakan dan alterasi lapisan ini akan membentuk daerah reseptor yang nantinya berinteraksi dengan reseptor oosit. Menurut Furuya et al. (1992), kapasitasi adalah serangkaian perubahan biokimia yang memungkinkan spermatozoa mengalami reaksi akrosom untuk merespon zona pelusida, yang terjadi di dalam medium yang mengandung ion-ion kalsium bebas.
Tanpa adanya ion-ion ini maka spermatozoa akan gaga1 untuk
mengadakan reaksi akrosom. Konsentrasi spermatozoa untuk fertilisasi in vifro pada kucing umumnya bervariasi dari (0.5 sampai 2) x
lo6
spermatozoa motil per ml atau 2 x lo4
spermatozoa per drop (100 ul) (Goodrowe et al. 1989;
Miller et al. 1990;
Donoghue et al. 1992; Wolfe dan Wildt 1996). Spermatozoa dapat
diperoleh dari
semen yang
dikoleksi dengan
elektroejakulator. Menurut Miller et al. (19901, setiap ekor kucing diberikan 80
rangsangan elektrikal dengan voltase (2 sampai 8) volt dan kuat arus (20-175) mA, diberikan tidak boleh melebihi 26 menit. Delapan puluh rangsangan tersebut dibagi tiga yaitu masing-masing 30, 30 dan 20 rangsangan yang masing mempunyai periode istirahat tiga sarnpai Iima menit. Hanya spermatozoa yang motil dan progresif
(* 70%) yang dipakai untuk fertilisasi irz vitro (Goodrowe et
al. 1989). Lengwinat et al. (1992) mengkoleksi spermatozoa dari kauda epididirnis testes. Kauda epididirnis testes disayat da1am media kultur untuk spermatozoa, kemudian spermatozoa disentrifbgasi dengan kecepatan 800 x G selama delapan menit. Supernatan diambil dan diencerkan hingga konsentrasinya
lo5 spermatozoa motil per ml.
menjadi
Spermatozoa disimpan di dalam suhu 38°C selama
30 menit.
Medium yang dipakai untuk pengenceran adalah Ham's F10 yang disuplementasi dengan 1.0 mM pyruvat per ml;
2.0 mM glutamine per 1 dan
Fetal CalfSerum (Sigma) 5% (Wolwe dan Wildt 1996). Sedang Goodrowe et al. (1989); Miller et a1.(1990) dan Donoghue et a]. (1992) menggunakan modifikassi medium Krebs (mKRB) untuk media spermatozoa.
Fertilisasi in Etro Fertilisasi atau pembuahan adalah bersatunya spermatozoa dengan oosit, kemudian sehingga terbentuk zigot yang akan tumbuh menjadi embrio dan fetus yang kemudian lahir dan berkembang menjadi individu bam (Yatim, 2001). Fertilisasi in vitro adalah proses
bersatunya spermatowa dengan oosit yang
terjadi di luar tubuh (dalam tabung atau cawan petri) yang telah diisi dengan medium fertilisasi (Goodrowe et al. 1989; Donoghue et al. 1990 dan Donoghue el nl. 1992).
,
Fertilisasi in vitro merupakan suatu rangkaian proses biologi yang sating berkaitan satu sama lain. Rangkaian proses untuk memperoleh ketersediaan sel gamet betina tersebut meliputi induksi hormonal, koleksi oosit, maturasi oosit, fertilisasi dan perkembangan embrio in vifro, sedang untuk ketersediaan sel gamet jantan meliputi koleksi sperma, kapasitasi dan fertilisasi in vifro. Sebelum spermatozoa mengadakan penetrasi ke dalam oosit, spermatozoa akan mengalami reaksi akrosom terlebih dahulu, untuk dapat merespon zona pelusida (Furuya et a/. 1992). Menurut Gordon (1994) pergerakan dan alterasi akrosom akan membentuk daerah reseptor yang nantinya akan berikatan dengan reseptor oosit. Yatim, (2001) menyatakan bahwa reseptor oosit tersebut adalah c h e r n ~ t t m c t a n t , yaitu
sejenis protein. Bahan kimia ini
akan menarik
spermatozoa agar mereka berkerumun disekelilingnya. Spermatozoa sendiri menghasilkan enzim yang fungsinya untuk mempermudah penetrasi spertnatoma ke dalam oosit. Setelah spermatozoa berkontak dengan zona pelusida, maka teqadi perikatan protein pembuahan yang terletak pada membran sel spermatozoa dan permukaan zona pelusida, ibarat perikatan antibodi dengan antigen atau enzim dengan substrat atau kunci dengan anak kunci.
Saat kedua protein tersebut
berikatan maka akan keluar enzim yang mempermudah spermatozoa untuk masuk ke ddam oosit tersebut.
Enzim tersebut bekerja untuk menguraikan molekul
protein tepat di tempat kepala spermatozoa itu berkontak dan mengait zona. Jika spermatozoa sudah berhasil mengait dan melubangi zona maka kepala bersama leher segera masuk ke dalam oosit.
Jika ha1 ini terjadi segera pula terbentuk
pelindung oosit agar tidak lagi terjadi penembusan spermatozoa lain ke dalam oosit. Segera setelah selaput pelindung terbentuk, segera pula protein pembuahan
pada
permukaan
(mengkerut). yang
zona
pelusida
mengalami
perubahan
konfigurasinya
Di dalam membran kepaia sperrnatoma terdapat sejenis protein
dinamakan
c-myc sebagai perangsang
tumbuh.
Leher
spermatozoa
mengandung sentriol yang fingsinya untuk kelancaran pembelahan zigot. Pada tahap berikutnya adalah penggabungan inti kedua gamet yang sebelumnya oosit harus
sudah
menyelesaikan
sampai
perkembangan Meiosis-II.
Demikian
selanjutnya terbentukIah zigot, yang membelah-belah secar mitosis ratusan kali untuk membentuk embrio yang terdiri atas jutaan sel. Fertilisasi secara in vitro pada kucing sudah banyak dilakukan. Menurut WoIfe dan Wildt (1996) oosit dapat difertilisasi selama (16, 24, 32, 40 dan 48) jam setelah inseminasi memakai spermatozoa dengan konsentrasi 2 x
lo6
spermatozoa per drop (1 00 ul) dalam media E2gle.s Minimal Essential Medium (EMEM).
Menurut Gordon (1994) ada beberapa
faktor yang mempengaruhi
keberhasilan perkembangan embrio in vitro seperti medium yang digunakan, suplementasi serum, substrat energi, sistem inkubasi (suhu, fase gas di dalam inkubator, pH, osmolalitas media, kualitas air), penggunaan kokultur sel-sel epitel tuba fallopii dan sel kumulus. Swanson et al. (1996) telah meneliti pengaruh sumber energi, sumber energi dan media, media dan kokultur sel oviduct terhadap perkembangan embrio kucing secara in vitro.
Angka fertilisasi, persentase perkembangan embrio dua
sel menjadi morulla dan dari morula rnenjadi blastosis tidak berbeda nyata di dalam modifikasi medium mKRB kecuali dalam medium KRB yang ditambahkan glutamine memperlihatkan hasil yang lebih tinggi.