SEKAPUR SIRIH
1
Kesenjangan antara teori yang diperoleh oleh peserta didik terhadap kebutuhan masyarakat pada faktanya telah menjadi problematika yang telah diakui
bahkan
oleh
lembaga-lembaga
yang
bertanggung
jawab
atas
penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Teori yang diperoleh peserta didik mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, hingga pendidikan tinggi bersifat konseptual dan kurang aplikatif kontekstual dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Sebuah kiasan yang dikutip dari media cetak harian masyarakat menyebutkan bahwa sebenarnya, bukan pendidikan yang menyelamatkan hidup dan kehidupan, melainkan keterampilan. Disadari atau tidak hal ini merupakan kebenaran yang mutlak. Bahkan ketika dihadapkan pada kenyataan kehidupan dalam masyarakat, misalnya seorang penulis yang lulus dari pendidikan tingkat menengah bukan diselamatkan oleh pendidikan tingkat menengahnya, melainkan kepekaan terhadap isu social masyarakat yang dituangkan dalam keterampilannya merangkai setiap kata, memilih diksi, dan melakukan pengandaian, yang hanya sebagian kecil diajarkan oleh pendidikan. Dalam upaya membangun pendidikan yang lebih baik, seharusnya bukan hanya isu tentang perbaikan sistem yang harus digalakkan, bagian kecil dari masyarakat yang bertugas menjalankan sistem yang perlu dibangun karakternya. Pemerintah sebagai penanggung jawab pelaksanaan, lembaga penyelenggara pendidikan sebagai penanggung jawab dalam membelajarkan, dan tenaga pengajar yang bertanggung jawab dalam memfasilitasi materi ke peserta didik yang
bertanggungjawab mengembangkan diri dan masyarakat dalam upaya pengawasan, selayaknya bersinergi membangun hidup dan kehidupan yang lebih baik, melalui pendidikan dengan mengembangkan keterampilan peserta didik. Pemerintah telah berupaya melalui pelbagai macam bentuk program guna membangun karakter bangsa yang siap bersaing dalam berketerampilan, hidup dalam dimensi kebersamaan yang multikultural dan saling bertoleransi terhadap budaya bangsa, termasuk dalam masyarakat pendidikan, program strategis guna membangun kreativitas dalam upaya peduli terhadap kemajemukan bangsa dapat dituangkan dalam bentuk kegiatan urun pendapat terhadap permasalahan multikurturalisme bangsa dan pendidikan yang diidealkan. Salah
satu
upaya
untuk
pemenuhan
tanggung
jawab
dalam
mengembangkan diri bagi peserta didik terutama dikalangan civitas pendidikan, adalah dengan berkreativitas dalam membangun keterampilan melalui menulis esai. Gema Lomba Karya Esai adalah kegiatan lomba bidang akademik yang bersifat membangun kreativitas, mengembangkan nilai-nilai kebangsaan dan kejujuran cara pandang dalam berlomba, serta membangun kesadaran hidup bersama. Budaya menulis tidak boleh ditinggalkan oleh peserta didik, karena banyak hal yang dapat dikritik, dikomentari, diapresiasi, bahkan dihujat demi kepentingan bangsa, kepentingan pendidikan, dan kepentingan seluruh aspek bangsa ini. Singaraja, September 2013
Panitia Pelaksana Gema Loma Karya Esai Nasional Tahun 2013
PENJELASAN UMUM
2
Dalam upaya berperan serta aktif membangun kesadaran berbangsa dan memahami kemajemukan/multikulturalisme bangsa melalui menulis, BEM UNDIKSHA menyelenggarakan kegiatan lomba esai setiap tahunnya yang kemudian dikenal segabai Gelora (Gema Lomba Karya) Esai Nasional BEM UNDIKSHA. Walaupun telah dilaksanakan sebanyak enam kali, kegiatan lomba esai ini selalu mengalami perubahan seiring niat kami untuk menjadikannya lebih baik dan lebih bermanfaat. Pada awal rintisan kegiatan ini dilaksankan tingkat regional pada tataran peserta dari Mahasiswa se Bali-Jawa Timur-NTB, Guru SD/MI/SMP/MTs/SMA/SMK/MA se-Bali, dan Siswa SMA/SMK/MA se-Bali. Peningkatan kualitas dan mutu kegiatan dilakukan panitia pada tahapan seleksi naskah esai, tahapan penilaian naskah, dan kualifikasi tim penilai/dewan juri. Gema Lomba Karya Esai Nasional tahun 2013 yang diselenggarakan oleh BEM Undiksha sudah mengalami peningkatan, yakni semua kategori sudah mencapai tingkat nasional yang melibatkan dan mengundang seluruh mahasiwa, Guru, serta Siswa SMA/SMK/MA sederajat yang tercatat aktif se-Indonesia untuk berpartisipasi. Kegiatan ini berusaha mewadahi kreativitas-kreativitas unsur kependidikan yang berkualitas dan sangat berpeluang untuk membangun bangsa ke depannya. Peningkatan kualitas kegiatan juga terus dilakukan melalui peningkatan kualitas penilaian naskah esai. Penilaian dalam Gelora Esai BEM Undiksha ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu: tahap penilaian naskah (instatik) dan tahap
penilaian presentasi (dinamis). Penilaian naskah dilakukan oleh tiga orang juri yang berasal dari kalangan yakni kalangan Esais Nasional, Dosen Ahli Bidang, dan kalangan Media/Pers. Peringkat delapan besar dari penilaian naskah dalam setiap kategori akan diundang untuk melakukan presentasi dihadapan dewan juri. Pemenang Gelora Esai ini adalah peringkat I, II, dan III dari presentasi setiap kategori tersebut. Panduan Gelora Esai ini dibuat untuk memudahkan peserta dalam membuat esai sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan. Dalam panduan ini dipaparkan berbagai teknis perlombaan dan juga pada bagian lampiran dicantumkan beberapa contoh esai yang dapat dijadikan contoh dalam pembuatan esai. Sehingga, para peserta dalam hal ini yang akan menulis esai mendapat deskripsi kegiatan yang benar dan dapat aktif membangun minat menulis. Panduan ini juga merupakan salah satu perbaikan dari segi kualitas yang senantiasa dilakukan oleh Panitia. Mengingat, panduan ini dipublikasikan pertama pada tahun 2012, seyogyanya banyak kekurangan yang belum terfasilitasi. Berdasarkan hal tersebut, panitia mohon kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki panduan selanjutnya. Dengan adanya panduan ini, panitia berharap minat menulis makin berkembang dikalangan insan pendidikan. Sebagai akhir dari penjelasan umum ini kami selaku penyusun dari panitia pelaksana mengucapkan terima kasih atas dukungan dari pelbagai pihak, mulai dari Rektor dan Lembaga Universitas Pendidikan Ganesha, Badan Eksekutif Mahasiswa, Pembimbing Ahli dan Staf, serta seluruh pihak yang membantu.
PERSYARATAN DAN ATURAN PENYUSUNAN ESAI I.
3
Tema Gema Lomba Karya Esai Nasional tahun 2013 BEM UNDIKSHA terdiri atas dua tema, yaitu : 1. “Kurikulum 2013 di mata saya” untuk kategori siswa 2. “Membaca ulang Kurikulum 2013” untuk kategori mahasiswa dan guru.
II. Persyaratan Administrasi : a. Peserta adalah mahasiswa yang tercatat aktif se-Indonesia pada katagori mahasiswa nasional; b. Peserta adalah Guru se-Indonesia pada katagori guru nasional; c. Peserta adalah siswa yang tercatat aktif tingkat SMA/SMK/MA seIndonesia pada katagori siswa nasional; d. Peserta bersifat perorangan; e. Setiap peserta diperkenankan mengirimkan maksimal dua karya; f. Peserta memenuhi persyaratan administratif dan mengisi formulir pendaftaran. g. Peserta membayar biaya pendaftaran melalui Bank yang yang ditunjuk panitia dan mengirimkan bukti pembayaran via dalam bentuk soft copy (scan). h. Biaya pendaftaran sebesar Rp. 80.000,00 untuk mahasiswa, Rp. 100.000,00 untuk kategori guru.
kategori siswa dan
i. Bank yang ditunjuk panitia adalah Bank BNI Cabang Singaraja dengan nomor rekening : 0238502148 atas nama I Komang Aditya Saptayana. j. Menyertakan Identitas diri peserta yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk, Kartu Pelajar, atau Kartu Mahasiswa. k. Mengisi
dan
melengkapi
lembar
originalitas
naskah
esai
guna
mempertanggungjawabkan keaslian naskah yang dibuat. l. Formulir pendaftaran dan lembar originalitas naskah esai terlampir pada panduan lomba penulisan esai ini.
III. Ketentuan Esai a. Original Esai yang dibuat harus asli, tidak meniru esai orang lain, bukan terjemahan, atau saduran. Naskah belum pernah diterbitkan di media apapun dan tidak sedang diikutkan dalam kegiatan serupa. b. Inovatif Esai yang dibuat berisi gagasan yang inovatif dalam arti mengandung gagasan – gagasan baru yang bisa diterima oleh banyak orang atau bisa diakui sebagai sesuatu yang bermanfat dan belum pernah ada sebelumnya namun memiliki teori yang jelas dan realistis. c. Sistematis Esai disampaikan dalam bentuk yang jelas, runut, dan didukung oleh data atau informasi yang terpercaya.
IV. Ketentuan Lomba a. Keputusan dewan juri/tim penilai tidak dapat diganggu gugat; b. Naskah yang dikumpulkan menjadi arsip panitia dan tidak dikembalikan; c. Panitia memiliki hak untuk mempublikasikan naskah esai dalam media apapun dengan tetap mencantumkan nama penulisnya; d. Ketentuan penulisan: 1. judul diketik dengan huruf kapital; 2. nama penulis disertakan di bawah judul; 3. instansi penulis disertakan di bawah nama penulis; 4. melampirkan daftar riwayat hidup pada bagian akhir; 5. panjang naskah esai maksimal 1500 (seribu lima ratus) kata; 6. esai diketik spasi ganda pada kertas A4 dengan huruf Times New Roman 12 pt; 7. batas pengetikan (margin) : kiri 4 cm, kanan 3 cm, atas 3 cm, dan bawah 3 cm; 8. mencantumkan nomor telepon instansi, nomor telepon rumah, dan telepon genggam (HP) pada daftar riwayat hidup. 9. jika diperlukan, diperbolehkan menambahkan catatan kaki. e. Sistematika Penulisan 1. Urutan a. cover b. isi/naskah esai c. lampiran; 2. cover dan lampiran tidak diberi nomor halaman;
3. nomor halaman dimulai dari isi naskah dengan menggunakan angka arab (1,2,3,4,5) pada pojok kiri bawah; 4. Piagam peserta akan dikirim melalui pos atau secara langsung setelah pelaksanaan kegiatan. V.
Hadiah Delapan karya terbaik akan diundang untuk mempresentasikan naskah esai dihadapan dewan juri pada tanggal 30 November 2013 di kampus Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja Bali. Tiga karya esai terbaik sebagai pemenang I, II, dan III dan berhak mendapatkan trophy, piagam penghargaan, dan uang pembinaan dengan total puluhan juta rupiah.
VI.
Kalender Kegiatan Gelora Esai Nasional Tahun 2013
No 1
Tanggal
Kegiatan
25-30 oktober s/d 2 Pengumpulan naskah
Keterangan Via e-mail
November 2013 2
18 November 2013
Pengumuman finalis 8 besar
Web/Telepon
3
30 november 2013
Presentasi
Penetapan Juara
VII. Penyerahan Karya
a. Pengiriman naskah diterima panitia pada tanggal 3 November selambatlambatnya pukul 00.00 wita. b. Pengiriman Naskah: Via E-mail 1. naskah dikirim dalam bentuk softcopy ke e-mail masing-masing kategori dengan melampirkan curriculum vitae (daftar riwayat
hidup); lembar originalitas karya, satu buah fotokopi kartu mahasiswa/Kartu Tanda Penduduk (KTP)/kartu pelajar (dalam bentuk scanner); 2. Melampirkan bukti pembayaran (dalam bentuk scanner) 3. Softcopy karya dan curriculum vitae dibuat dengan format file Microsoft word dan PDF. 4. Seluruh file disimpan dalam sebuah folder/direktori dengan nama folder mengikuti aturan sebagai berikut: Esai-2013-NamaInstansi-NamaPenulis-Judul_3_kata_pertama
c. Peserta dimohon melakukan konfirmasi via telepon ke nomor contact person yang dicantumkan di bawah ini untuk memberitahukan bahwa peserta telah mengirimkan naskah, selambat-lambatnya 24 jam setelah pengiriman.
VIII. Layanan Informasi Informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: Sekretariat Gelora Esai Nasional Tahun 2013 BEM UNDIKSHA di Kampus Tengah Undiksha, Singaraja, Bali, kode pos: 81116. Website
: www.undiksha.ac.id
Facebook
: Gelora Esai Undiksha 2013
Contact Person: Kategori mahasiswa Gustama : 087762595899 e-mail :
[email protected] Kategori guru Aditya : 087863106828 e-mail :
[email protected] Kategori siswa Wika : 085857537606 e-mail :
[email protected]
IX. Lain-lain Segala sesuatu terkait yang belum diatur dalam panduan ini, bilamana dirasa perlu akan dilaksanakan revisi dan diinformasikan lebih lanjut.
EVALUASI NASKAH ESAI I.
4
Tim Penilai/Dewan Juri a. Unsur Esais Melibatkan para esai nasional sebagai tim penilai/dewan juri dari kalangan penulis dan propesional yang telah berpengalaman secara nasional dalam bidang penulisan esai. b. Unsur Dosen Ahli Melibatkan dosen ahli dari disiplin ilmu Bahasa dan Sastra Indonesia serta disiplin ilmu sejarah bangsa dan sejarawan, dengan kualifikasi tertentu dan latar belakang pendidikan berdasarkan pertimbangan panitia pelaksana. c. Unsur Pers/Media Melibatkan staf dari media baik media cetak maupun media elektronik dari unsur penulis dan atau wartawan yang berkompeten di bidangnya. Klualifikasi dewan juri dari unsur ini dipertimbangkan berdasarkan pengalaman dan tulisan-tulisan yang telah dipublikasikan.
II.
Evaluasi Instatik Tahapan evaluasi ini, adalah tahapan penilaian naskah secara otentik tertulis oleh tim penilai. Setiap katagori akan dinilai oleh tim juri
yang berjumlah tiga orang dari unsur esais, unsur dosen, dan unsur media/pers. Hasil dari penilaian masing-masing dewan juri akan didiskusikan pada forum terbatas penentuan finalis. Finalis yang lolos ke babak delapan besar akan di undang untuk mempresentasikan naskahnya pada babak final. Setiap tim penilai/dewan juri dipimpin oleh satu orang koordinator dewan juri. Koordinator tim penilai/dewan juri memiliki kewenangan lebih tinggi, namun dibawah kesepakatan forum dewan penilai. III.
Evaluasi Dinamik Evaluasi dinamik merupakan tahap lanjutan terhadap peserta yang lolos ke babak final/delapan besar. Naskah yang telah diajukan setelah dinilai oleh tim penilai akan dipresentasikan oleh peserta lomba untuk diuji originalitas dan pandangan penulis. Presentasi
dilaksanakan
secara
tertutup
dihadapan
tim
penilai/dewan juri dimasing-masing kategori. Presentasi dilaksanakan sesuai jadwal dan pada tempat yang telah ditentukan oleh panitia pelaksana di Kampus Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja-Bali. Penetapan peringkat tiga besar atau tiga karya terbaik dari peserta dilakukan oleh tim penilai/dewan juri melalui forum terbatas penentuan juara, yang akan dilaksanakan pada hari pelaksanaan presentasi. Forum terbatas dilaksanakan setelah seluruh finalis pada masing-masing katagori presentasi dan dinilai oleh ketiga tim penilai/dewan juri.
Tim penilai/dewan juri dalam satu kategori tidak memiliki kewenangan atas kategori lainya, demikian berlaku sebaliknya. Tim penilai/dewan juri bertanggungjawab penuh atas hasil akhir dari penilai naskah dan penetapan karya terbaik/juara.
LEMBAR PENILAIAN NASKAH ESAI
Judul
:
Penulis
:
Kategori
:
KRITERIA PENILAIAN No. 1
Kriteria
Bobot
Ketajaman opini/pendapat/pandangan pribadi Kekuatan narasi dan argumentasi
25
3
Pilihan bahasa penyajian (diksi)
20
Aktualisasi
persoalan
/
isi
dan
gagasan karangan Originalitas persoalan / isi dan
5
gagasan karangan TOTAL
Nilai (Bobot x Skor)
25
2
4
Skor
15
15 100
Skor yang diberikan : 1, 2, 3, 4, 5,
Singaraja, …. November 2013 Penilai
……………………………………. NIP .
LEMBAR PENILAIAN PRESENTASI
Judul
:
Penulis
:
Kategori
:
KRITERIA PENILAIAN No.
Kriteria
Bobot
1
Penampilan
20
2
Kekuatan Argumentasi
20
3
Pilihan Bahasa Penyampaian
15
4
Penggunaan Media
15
5
Efektivitas Penyajian Ketepatan Waktu
15
6
Skor
Nilai (Bobot x Skor)
15
TOTAL
100
Skor yang diberikan : 1, 2, 3, 4, 5
Singaraja, 30 November 2013 Penilai,
…………………………………….. NIP
BAGIAN PENUTUP
5
Panduan lomba penulisan esai ini dirancang untuk memfasilitasi peserta lomba esai dalam upaya mempermudah dan membangun pemahaman tentang esai. Panduan ini disusun oleh tim dari Badan Eksekutif Mahasiswa bekerja sama dengan dosen pengampu sebagai pembimbing, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan sebagai Pengarah, dan Rektor Universitas Pendidikan Ganesha sebagai Penanggung jawab. Dalam menyusun panduan lomba ini Badan Eksekutif Mahasiswa juga bekerja sama dengan Esais Nasional dan staf dosen ahli bidang Bahasa dan Sastra Indonesia melalui diskusi dan forum dan bimbingan bertahap dalam kurun waktu beberapa bulan sebelum pelaksanaan lomba. Terima kasih atas segala bantuan dalam bentuk apapun kepada semua pihak yang telah membantu sehingga panduan ini dapat diakses secara tidak terbatas oleh semua khalayak. Semoga, apa yang dibangun atas dasar kebaikan demi kemajuan peradaban bangsa mendapat apresiasi dari semua pihak.
Lampiran 1 FORM PENDAFTARAN GELORA ESAI UNDIKSA
Judul Esai
:
Identitas Peserta Nama
:
Kategori
: Mahasiswa / Siswa / Guru
TTL
:
NIM/NIP/NIS
:
Alamat
:
Telepon/HP
:
e-mail
:
Instansi
:
Alamat Instansi
:
Telepon instansi
:
e-mail
: ………………… ….. Oktober 2013 Peserta,
……………………………………. NIM/NIP/NIS NB: -
Guru yang belum PNS keterangan NIP dikosongkan.
-
Telepon/HP yang dicantumkan mohon dipastikan bisa dihubungi untuk mempermudah konfirmasi.
Lampiran 2 LEMBAR PERNYATAAN ORIGINALITAS KARYA
Judul Esai
:
Nama Penulis
:
saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa memang benar karya dengan judul yang tersebut di atas merupakan karya original (hasil karya sendiri) dan belum pernah dipublikasikan dan atau dilombakan di luar kegiatan ”Gema Lomba Karya Esai Nasional Tahun 2013“ yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
dan apabila terbukti terdapat pelanggaran di
dalamnya, maka saya bersedia untuk didiskualifikasi dari perlombaan ini sebagai bentuk tanggung jawab saya.
……………., … Oktober 2013 Yang membuat pernyataan,
……………………………… NIP/NIM/NIS
NB:Formulir pendaftaran dan lembar legalitas dalam bentuk softcopy keterangan tanda tangan dituliskan nama terang dan tanda tangan dalam bentuk scanner serta melampirkan identitas diri dan bukti pembayaran dalam bentuk scanner.
Lampiran 3 (contoh esai) Tentang Kurikulum 2013 (Goenawan Mohammad) Rupanya beberapa hari ini tampang saya muncul di sebuah advertensi di televisi. Sampai detik ini saya sendiri belum tertarik melihatnya. Tapi saya senang sesekali mengerjakan sebuah iklan layanan masyarakat. Khususnya untuk mempromosikan ―Kurikulum 2013″. Banyak yang bertanya mengapa saya bersedia jadi ―bintang iklan‖ untuk sesuatu yang kontroversial. Tidakkah saya hanya dimaanfatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk agenda mereka? Jawab saya tak bisa panjang: saya bersedia mempromosikan Kurikulum 2013 karena saya menyetujui pemikiran yang mendasarinya. Kementerian tak akan bisa membayar saya sebanyak apapun kalau saya tak menyetujuinya. Kontroversi yang timbul — termasuk bila itu timbul karena iklan-iklan itu — justru penting, untuk memperjelas apa yang tak jelas, untuk membatalkan apa yang perlu dibatalkan, atau memperbaiki apa yang perlu diperbaiki. Saya sendiri bukannya tak punya kritik kepada beberapa bagian dari bangunan yang disebut ―Kurikulum 2013″ itu. *** Saya bukan seorang pedagog. Bukan pula guru. Pengalaman saya mengajar terbatas. Sambil menulis ini saya ingat kata-kata seorang menteri pendidikan: ―Tiap orang adalah pendidik — dan makin tua ia makin merasa tahu tentang masalah-masalah pendidikan, meskipun sebenarnya tidak.‖ Saya harus tahu diri. Tapi setidaknya saya seorang warganegara yang ingin anakanak Indonesia terdidik dengan baik. Data tentang ketinggalan murid-murid Indonesia di pelbagai bidang dibandingkan dengan negara sekitar kita sering
dikemukakan. Saya ingin ada perubahan yang substansial dalam cara belajar di sekolah kita. Kalau tidak, bangsa kita akan macet di masa depan. Dengan sumber-sumber yang ada, perbaikan bukan mustahil. Saya ingat Pak Tino Sidin yang beberapa puluh tahun yang lalu muncul di TVRI mengajar anak-anak menggambar. Nama programnya bukan ―Belajar Menggambar‖, melainkan ―Gemar Menggambar‖. Bagi saya Pak Tino sebuah inspirasi: begitulah seharusnya proses belajar berlangsung. Yang penting bukan menghasilkan gambar dengan teknis yang jitu, melainkan menggemari ketrampilan itu. Dengan itulah proses belajar membentuk sikap. Belajar bukan hanya untuk mengetahui dan menambah informasi. Belajar adalah menjelajah dunia yang selalu baru dan mengasyikkan. Dari sana tumbuh sikap yang selalu ingin tahu, kecenderungan menemukan dan mencipta, kebiasaan berpikir jernih dan teratur, kemampuan bertukar gagasan dengan orang lain. Pendek kata: sebuah perubahan dari ―pintar‖ menjadi ―gemar‖. Dari ―gemar‖ bisa tumbuh pelbagai hal, termasuk menjadi ―pintar‖. Saya ingat dulu di sekolah menengah guru saya membuat saya menyukai geometri dengan mengatakan: ―Kalian di kelas ini bukan untuk jadi insiyur, tapi untuk terbiasa berpikir keras dan logis.‖ Setelah saya belajar lebih lanjut, saya menemukan kata-kata bagus dari Alfred North Whitehead: ―The pursuit of mathematics is a divine madness of the human spirit.‖ Selama bertahun-tahun, hanya kadang-kadang, secara kebetulan, saya menemukan guru yang bisa membuat anak-anak terpesona menempuh ―pursuit‖ itu, yang bisa menunjukkan peran imajinasi, bahkan dalam axioma matematika, misalnya dalam teori himpunan. Selebihnya sekolah-sekolah adalah tempat yang tak membiarkan imajinasi. Nyaris represif.
Saya pernah melihat bagaimana anak-anak diminta mengingat berapa sentimeter tinggi net tennis — bukan diajak menikmati permainannya, setidaknya sebagai penonton. Atau mereka, dalam pelajaran atletik, dilecut untuk bisa lari dalam kecepatan tertentu — bukan untuk merasakan asyiknya kesegaran jasmani. Saya juga pernah melihat bagaimana buku-buku pelajaran sastra menyebut nama pengarang dan judul bukunya, tanpa anak-anak diberi kenikmatan membaca karya sastra. Baru-baru ini saya menemukan satu pelajaran mengarang yang membagibagi satu komposisi dalam, misalnya, ―deskripsi‖, ―eksplanasi‖, ―resolusi‖ — sementara saya tahu, sebagai pengarang, bahwa itu pembagian yang tak ada gunanya. Bagi saya, pedoman itu membuat anak-anak tak punya spontanitas dalam menulis, dan tanpa spontanitas, bagaimana kreatifitas tumbuh? *** Syahdan, karena alasan yang kurang jelas, beberapa bulan yang lalu saya diminta jadi salah seorang ―narasumber‖ bagi penyempurnaan Kurikulum 2013. Saya merasa lega bahwa di samping saya ada Anis Baswedan, Taufik Abdullah, Frnas Magnis Suseno, Yohannes Surya, Juwono Surdarsono, Ahmad Muchlish, Suparno, Ratna Megawangi. Mereka, saya tahu, punya lebih banyak bekal dalam soal ilmu dan pendidikan. Seraya tak meyakini kapasitas saya sendiri, saya ikuti diskusi tim perumus kurikulum dengan sikap skeptis. Waktu itu saya baru dua kali bertemu (tak lebih dari 10 menit) Muh. Nuh, Menteri Pendidikan & Kebudayaan. Saya tak kenal kemampuan dan tekadnya. Saya sering kecewa dengan menteri-menteri pendahulunya. Dari semua menteri pendidikan yang saya kenal, hanya Daoed Joesoef yang punya konsep jelas, dan berani mempertahankannya di tengah permusuhan, manipulasi penguasa Orde Baru, dan oposisi di luar itu. Saya juga cenderung ragu untuk bisa berharap dari para birokrat yang umumnya tak ingin mengguncang perahu apapun untuk perubahan.
Tapi berangsur-angsur, saya menemukan beberapa hal yang membuat pandangan saya berubah. Pertama, perdebatan dalam pertemuan-pertemuan itu cukup terbuka, terus terang, tak jarang sengit — dan pihak kementerian tetap terbuka untuk dikritik. Pelbagai perumusan tentang Kurikulum 2013 berkembang terus karena pendapat positif dan negatif yang diterima. Kedua, saya merasa bahwa proses perumusan itu banyak menimbulkan salah paham — dan mendorong saya untuk lebih seksama menyimak. Di hari-hari awal saya menjadi ―narasumber‖, pada suatu pagi saya menerima sebuah sandek dari seorang teman. Ia mendapat informasi bahwa dalam Kurikulum 2013 bahasa Inggris tak akan diajarkan — bahkan ada pejabat yang menyebutnya ―haram‖. Ini mengagetkan, karena saya tahu Tim Perumus tak mengharamkan bahasa Inggris. Yang ditentukan: ia bukan mata pelajaran wajib. Lebih masuk akal adalah rasa cemas orang di luar akan hilangnya mata pelajaran ilmu pengetahuan alam. Sebuah koran luar negeri bahkan menilai kurikulum yang sedang disiapkan itu akan membawa Indonesia ke Abad Gelap: pelajaran agama ditambah jamnya, sementara pelajaran sains ditiadakan. Memang sebuah kesalahan jika pelajaran agama diintensifkan — terutama bila ajarannya doktriner — karena mengira generasi muda akan lebih berakhlak dengan cara itu. Hari-hari ini terbukti bahwa tak ada korelasi yang konsisten antara pengetahuan agama seseorang dan akhlaknya. Tapi memang akhirnya tergantung bagaimana agama diajarkan. Saya cemas jika kompetensi seorang siswa dalam beragama (dan berbudi pekerti) diukur dari banyaknya juz Qur’an yang dihafalnya. Tapi ketika saya baca dokumen terakhir dari Kementerian, saya sedikir lega. Kompetensi dasar dalam agama Islam dirumuskan, antara lain, ―Menunjukkan
perilaku jujur dalam kehidupan sehari-hari sebagai implementasi dari pemahaman Q.S. At-Taubah (9) : 119 dan Q.S. Lukman (31) : 14 serta hadits terkait‖ Juga: ―Menunjukkan sikap semangat melakukan penelitian di bidang ilmu pengetahuan sebagai implementasi dari pemahaman dan perkembangan Islam di dunia.‖ Di sini saja tampak, tak ada pelecehan terhadap ilmu. Dalam perdebatan yang saya ikuti, dapat saya simpulkan bahwa ilmu pengetahuan alam sebagai mata pelajaran memang tak akan ada (sampai dengan kelas 4 atau, kalau tidak, sampai dengan kelas 6 SD), tapi kompetensi untuk itu tetap dikembangkan. Dalam proses itu, bahasa Indonesia diajarkan sebagai sarana mengobservasi, bertanya, mengumpulkan informasi, menganalisa dan mengkomunikasikan temuan tentang gejala-gejala alam — satu bagian awal dari pendidikan sains. Hal itu agaknya sejalan dengan kompetensi dasar umum yang jadi tujuan Kurikulum 2013. Dalam dokumen yang saya terima dirumuskan: ―Mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk critical minds yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat.‖ *** Tak semua perumusan dalam Dokumen itu melegakan. Banyaknya ―agama‖ disebut bisa menimbulkan kesan bahwa yang disiapkan Kementerian adalah sebuah generasi yang tak akan punya kemungkinan melahirkan seorang Stephen Hawking, ilmuwan yang ulung yang menyimpulkan bahwa Tuhan tak diperlukan dalam penciptaan alam semesta. Tentu saja, bukan mustahil akan ada seorang ilmuwan atheis dari sekolah-sekolah kita. Tak ada kementerian yang bisa mencegah kemungkinan itu. Tapi saya maklum: sebuah kurikulum yang disiapkan Pemerintah tak akan bisa lepas dari hegemoni nilai di masyarakat. Hari-hari ini hegemoni itu ada pada agama.
Agar hegemoni itu tak berarti ketertutupan, agama harus hadir sebagai sesuatu yang inspiratif dan membebaskan, bukan cuma perskriptif dan mengintimidasi pemikiran. Saya belum menganggap Kurikulum 2013 akan membawa kreatifitas, imajinasi dan sikap kritis beku karena diintimidasi. Tapi memang beberapa perumusan dalam Dokumen ini memberi kesan keagamaan yang berlebihan. Kalimat-kalimat untuk kompetensi dasar Bahasa Indonesia, misalnya. Ketiga frase awalnya dimulai dengan kata-kata ―mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia…‖. Sebuah repetisi yang tak perlu, seakan-akan para perumusnya tak yakin akan efek kata-kata mereka sendiri. *** Dalam ceramahnya di Komunitas Salihara bulan yang lalu, konseptor utama Kurikulum 2013, Abdullah Alkaff — seorang ilmuwan dari ITS — mengemukakan sesuatu yang menarik: menurut penelitian paling baru, kecerdasan seseorang tak akan bisa banyak dikembangkan. Faktor genetik menentukan. Tapi yang bisa berkembang adalah kreativitas. Kurikulum 2013 bertujuan mengembangkanya. Saya tak punya bantahan buat itu. Meskipun bukannya saya tak punya keraguan malah waswas. Perubahan kurikulum perlu persiapan yang matang. Penggunaan metode ―thematik-integratif‖ yang akan dipakai dalam Kurikulum 2013 — meskipun sudah banyak dipakai di sekolah-sekolah ―elite‖ di Indonesia — perlu waktu. Konon di Inggris dan Singapura perlu percobaan selama tiga tahun. Belum lagi bagian persiapan yang strategis: penulisan buku untuk dipergunakan guru dan murid. Dari informasi yang saya dapat, persiapan buku ini tidak memuaskan. Terlalu pendek masa pengolahannya, terlalu terbatas para penulis yang mampu menerjemahkan metode dan isi yang diajarkan. Maka agaknya kita harus bersabar — juga dalam menyiapkan dan memberikan kritik. Yang agak menggembirakan ialah bahwa meskipun Kurikulum 2013 akan
diterapkan tahun ini — karena tahun 2014 akan jadi tahun politik dan pertimbangan sehat bisa tak berlaku — jumlah sekolah yang akan menerapkannya, sepanjang yang saya dengar, cuma 6000. Setapak demi setapak ini penting, sambil memperbaiki apa saja yang masih timpang. Menteri Nuh seorang yang mampu dan punya komitmen untuk memperbaiki pendidikan sekolah kita. Tapi pelajaran pahit dalam Ujian Nasional yang kacau tempo hari bisa jadi caveat: aparat yang ada di kementerian manapun di Republik Indonesia mengharuskan siapapun, bahkan Presiden, untuk bersiap mengatasi salah-urus di bawah dan di sekitarnya. Jakarta, 23 Mei 2013.
NATIONAL STUDENT CULTURAL EXCHANGE; PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME BIBIT PENERUS BANGSA Irwan Saputra Universitas Negeri Medan (Juara I, Gelora Esai Nasional th 2012, tk mahasiswa)
Multikulturalisme di Indonesia merupakan paradigma yang realistis. Keberagaman etnis, bahasa, agama dan ideologi sebenarnya bukanlah penyebab terjadinya ketimpangan yang sangat tidak diharapkan. Menurut Raymond Williams amat sulit menemukan definisi multikulturalisme, selain menunjuk kepada kemajemukan budaya, multikulturalisme juga mengacu kepada sikap khas terhadap kemajemukan budaya tersebut (Waspada.coi.id). Masyarakat Indonesia sendiri dalam merespon heterogenitas tersebut terbagi menjadi dua golongan, yang pertama sikap toleransi dan penegakkan hak-hak secara yuridis, dan yang kedua cenderung radikal dan represif terhadap kaum minoritas. Sikap kedua tersebutlah yang sebenarnya menjadi penyebab terjadinya entitas yang seharusnya tidak pantas di negara ini. Karena biar bagaimanapun Indonesia bangkit dari sebuah sejarah persatuan para pemuda yang bersumpah untuk bersatu dalam keberagaman atas nama Indonesia. Hal tersebutlah yang seharusnya ditanamkan kepada bibit penerus bangsa mulai dari pendidikan dasar. Studen Exchange atau pertukaran pelajar adalah sebuah program pertukaran antar pelajar yang dilaksanakan oleh dua atau beberapa instansi tertentu. Selain dalam rangka mempererat hubungan antar instansi, Studen Exchange juga untuk meningkatkan wawasan, pengalaman ilmu dan kebudayaan para pelajar. Kehidupan di sekolah atau universitas internasional yang terdiri dari pelajar seluruh dunia yang memiliki keberagaman etnis, ras, agama dan ideology membuat mereka terbiasa akan kehidupan yang heterogen. Oleh sebab itu manfaat dari studen exchange yang sangat terealisasi dari seorang pelajar yang sudah pernah mengikuti program studen exchange tersebut adalah sikap toleransi atas paradigma kehidupan pluralis. Dari program Student exchange tersebut muncullah calon penerus bangsa yang memiliki integritas dan toleransi yang tinggi dalam membangun negara ini kedepannya. Namun sayangnya program student exchange sampai saat ini hanya ada pada skop internasional meliputi para pelajar tingkat tinggi dan mahasiswa.
Pendidikan multikulturalisme yang ideal seharusnya dimulai sejak Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menegah Pertama (SMP), dimana para siswa yang masih di usia dini belum banyak tercemar dengan pemahaman radikal dan intoleransi. Anak pada usia ini cenderung mengikut dan mematri pemahaman yang secara umum diketauhi olehnya melalui keluarga, sekolah dan masyarakat. Pada realitasnya, pendidikan dasar yang memuat pendidikan multikulturalisme, toleransi dan penegakkan hak-hak secara yuridis biasanya terintegrasi di dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan / PKN. Pada umumnya mata pelajaran PKN hanya memuat pendidikan multikulturalisme secara teoritis dan implisit yang dinilai kurang efektif. Sedangkan secara praktis, paradigma yang dialami oleh siswa tersebut adalah kehidupan bermasyarakat yang cenderung monokulturalis dan sikap intoleransi terhadap pluralisme. Belum lagi proses pendidikan dari keluarga dan orang tua yang sangat kurang memperhatikan halhal yang menyangkut pluralisme dan bahkan cenderung mengajak anak mereka untuk intoleransi pada pluralisme. Pendidikan multikulturalisme memiliki kesamaan dengan pendidikan karakter dalam penerapannya, yaitu tidak cukup hanya dengan diajarkan secara teoretis namun harus diterapkan secara praktis. Hal tersebut karena pendidikan multikulturalisme yang terintegrasi dalam mata pelajaran PKN hanya mengajak dan mendeskripsikan kehidupan masyarakat yang plural secara utopis. Sedangkan pada realitasnya, kehidupan yang heterogen di masyarakat Indonesia agak sulit untuk diterima oleh sebagian masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat monogen yang turun-menurun diwarisi oleh para pendahulu menjadikan sebuah paradigm yang
terpatri
didalam
pikiran
tiap
individu,
sehingga
pendidikan
multikulturalisme sulit terapkan jika hanya diajarkan secara teoteris. Atas dasar pendidikan multikulturalisme yang ideal yakni pada tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, dan juga cara penerapannya yang lebih efektif yakni secara teoretis dan diikuti dengan tindakan praktis. Maka penulis memberikan sebuah gagasan inovatif berupa National Student Cultural Exchange, yakni berupa program pertukaran pelajar antar daerah di Indonesia dan ditujukan pad siswa tingkat SMP yang sebelumnya telah dilakukan pendidikan secara teoretis pada tingkat Sekolah Dasar.
Program pertukaran pelajar antar negara (International Student Exchange) yang telah berjalan selama ini yang dinilai sangat efektif dalam membentuk sikap toleransi atas paradigma kehidupan pluralis dirasa sangat tepat jika diterapkan pada siswa tingkat dasar dan menegah pertama. Sikap mereka yang cenderung mengikut dan mematri pemahaman yang didapatkannya pada keluarga, sekolah dan lingkungan akan menjadikan mereka sebagai bibit muda yang memiliki sikap toleransi dan nasionalisme yang tinggi. Adapun penerapannya adalah dengan pembagian kesempatan berupa kesempatan beasiswa dan juga kesempatan bebas bagi orang tua yang berminat agar anak mereka mendapatkan kesempatan untuk bergabung menjadi siswa National Student Cultural Exchange. Sehingga yang telah mendapatkan pendidikan multikulturalisme secara teoretis pada tingkat dasar dapat juga selanjutnya diterapkan langsung di sosial masyarakat secara praktis pada tingkat SMP. Adapun penentuan siswa tingkat SMP sebagai siswa yang dipilih untuk program tersebut karena siswa pada tingkat ini dapat hidup lebih mandiri dari pada siswa tingkat SD dan pada periode ini seorang anak dalam pase mencari jati diri. Sehingga penerapan pendidikan multikulturalisme melalui National Student Cultural Exchange dapat berjalan lebih efektif. Jika program pertukaran pelajar yang ada selama ini hanya ada pada skop internasional sehingga kebudayaan yang terpatri pada siswa adalah kebudayaan global, maka untuk National Student Cultural Exchange ini dilaksanakan pada skop nasional. Dengan demikian para siswa tingkat dasar tersebut akan terbiasa dan mengerti paradigma heterogenitas yang sebenarnya dari bangsa Indonesia. Pengaturan penetapan daerah tujuan pertukaran pelajar tersebut sepenuhnya ditetapkan oleh panitia pelaksana dengan beberapa pertimbangan, sehingga anak tesebut dapat benar-benar berasimilasi pada lingkungan barunya dengan alami tanpa ada intervensi dari keinginan orang tua.Untuk lebih mempermudah orang tua dengan kondisi usia anak yangmasih dini untuk hidup mandiri, dan juga terlalu sulit jika orang tua harus mendampingi anak yang harus menetap di daerah lain, maka program ini diterapkan dengan sistem orang tua asuh. Jadi tim pelaksana atau panitia sebelumnya telah menyediakan beberapa orang tua asuh dari setiap daerah, yaitu pasangan suami istri yang tidak memiliki anak ataupun memiliki anak jika tidak merepotkan, yang bersedia secara penuh menanggung
biaya kehidupan anak tersebut selama masa studi. Selain itu, orang tua asuh tersebut juga harus dari etnis yang berbeda dari sang siswa sehingga penerapan praktis multikulturalisme dapat lebih efektif. Disamping itu program ini juga dapat diterapkan dengan sistem ―Asrama Multikulturalis‖, yakni sebuah asrama yang menampung siswa program National Student Cultural Exchange yang berasal dari seluruh daerah yang berbeda. Sehingga dengan hal itu para siswa dapat membaur dengan teman se-asramanya yang berasal dari berbagai etnis dan golongan. Ditambah lagi dengan beberapa pertimbangan lain seperti keadaan lingkungan sosial yang heterogen dan toleransi sehingga siswa yang mengikuti program National Student Cultural Exchange tersebut tidak malah terkontaminasi dengan hal-hal yang tidak diharapkan atau malah didiskriminasi. Berbagai ketimpangan di negara ini berupa tawuran, peperang/sengketa antar warga, perusakan tempat-tempat ibadah, dan berbagai jenis tindakan kekerasan dan diskriminasi lainnya adalah manifestasi dari sikap intoleransi dan radikal yang muncul karena pemahaman yang kurang. Berbagai pendidikan yang bertujuan untuk memperkuat sikap toleransi dan penegakan hak-hak secara yuridis telah diterapkan melalui mata pelajaran yang terintegrasi di dalam Pendidikan Kewarganegaraa (PKN). Namun pendidikan teoretis yang utopis tersebut sangat berbeda dengan realitas yang ada pada lingkungan masyarakat di Indonesia. National Student Cultural Exchange berupa program pertukaran pelajar yang diterapkan pada siswa tingkat menengah pertama yang sebelumnya telah mendapatkan pendidikan multikulturalisme secara teoretis pada tingkat dasar dirasa sangat efektif dalam mencetak generasi penerus bangsa yang berintegritas dan toleran. Sehingga Indonesia di masa yang akan datang telah dihuni oleh orang-orang yang berpikiran luas untuk menjadikan bangsa ini jauh lebih baik, bukan hanya memikirkan kepentingan kelompok, etnis, agama dan golongan tertentu saja.
REALISASI PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME MELALUI REVITALISASI SANGGAR SENI DAN BUDAYA Sartika Sari Universitas Negeri Medan (Juara II, Gelora Esai Nasional th 2012, tk mahasiswa)
Kemajemukan
masyarakat
merupakan
sumber
kekuatan
dalam
rangka
membangun stabilitas dan ketahanan nasional jika kepelbagaian tersebut mampu terintegrasi dengan baik. Sebaliknya, akan menjadi sumber konflik jika tidak benar-benar dipahami sebagai kesederajatan dalam interaksi-interaksi sosial. Oleh karena itu, pembentukan nasionalisme berkaitan erat dengan pengaktualisasi diri masing-masing etnis tanpa adanya intervensi negara dan kelompok mayoritas. Hal ini dikarenakan keberagaman latar belakang budaya, agama dan pranata yang telah mendarah daging dalam tiap kelompok-kelompok etnis adalah elemen sentral dalam tatanan sosial masyarakat yang mesti disederajatkan posisinya dalam rangka pembangunan bangsa. Sayangnya, perbedaan kultur masyarakat dari Sabang sampai Merauke yang dahulu membentuk bangsa Indonesia sebagai sebuah negeri dengan falsafah hidup ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang juga termaktub dalam Pancasila seiring arus perubahan zaman mengalami distorsi pemahaman dan degradasi moral yang mengakibatkan kemunculan berbagai bentuk diskriminasi dan perpecahan. Modernisasi, dan globalisasi yang menaruh kekuatan besar dalam perubahan tatanan sosial masyarakat juga berdampak pada runtuhnya kearifan lokal. Modernitas yang dipahami sebagai sebuah mode karakteristik peradaban, yang bertentangan dengan tradisi, yakni, dengan semua budaya awal lain atau budaya tradisional: berhadapan dengan keanekaragaman geografis dan simbolis yang baru, menentukan dirinya sendiri ke seluruh dunia sebagai kesatuan homogen, yang tersorot dari Occident (Baudrillard, 1987: halaman 63). Pada siklus ini, iklim industri sengaja dibangun oleh kelompok tertentu berbarengan
dengan
lahirnya
kapitalis-kapitalis
pasar.
Kapitalisme
menumbangkan semua aturan, nilai-nilai, dan struktur-struktur tradisional yang membelenggu produksi, transaksi, dan hasrat. Hal ini diungkapkan Steven Best
dalam Posmodern Theory: Critical Interrogations sebagai simultan ―mengatur‖ segala sesuatu dalam logika abstrak kesepadanan (nilai transaksi), kembali ―mewilayahkan (reterritorializing)‖-nya ke dalam negara, keluarga, hukum, logika komoditas, sistem perbankan, konsumerisme, psikoanalisa dan intuisi-intuisi normalisasi lainnya. Kapitalisme menggantikan aturan hukum kualitatif yang mengatur ―aksiomatis yang amat keras‖ dimana secara kuantitatif mengatur dan mengontrol semua aliran yang tertata. Melalui Iptek sebagai salah satu kendaraannya, hegemoni ini juga bertujuan menghancurkan mental masyarakat dalam berkebudayaan. Alhasil, kemajemukan seringkali malah menjadi sumber peperangan dan kekisruhan yang merujuk pada perpecahan. Sebagai masyarakat yang berbudaya, kesadaran bersaudara adalah kunci utama membangun persatuan dan kesatuan untuk mempertahankan keberadaan budaya lokal dan integritas sebagai bangsa yang beradab. Terutama untuk menghadapi berbagai permainan kapitalis pasar yang menurut Jameson (professor di bidang kesusastraan dan kemanusiaan) juga dibawa oleh arus postmodern. Memaknai kemultikulturalan masyarakat sebagai keutuhan sebuah bangsa melalui penanaman moral dalam pendidikan multikulturalisme adalah langkah cerdas. Bagi bangsa-bangsa maju, multikulturalisme bahkan dijadikan sebagai ideologi yang menjadi pandangan dan cita-cita hidup. Seperti di Amerika Serikat, pada tahun 1960-an yang telah mengupayakan pendidikan multikulturalisme dengan gagasan dasar adalah bahwa setiap siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan dalam sekolah tanpa memperhatikan gender, kelas sosial, etnisitas, rasial dan kebudayaan khas (Banks dalam Banks (ed.), 1989: 331). Di Indonesia, aplikasi pendidikan multikulturalisme tentu berbeda dengan yang telah terlaksana di Amerika. Perbedaan latar belakang historis dan budaya menjadikan negara kita berada pada fase yang terbilang lebih stabil, namun tetap membutuhkan penanganan khusus. Hal ini dikarenakan nilai-nilai moral telah mengalami pergeseran yang berdampak pada kemunculan berbagai problematika masyarakat sosial.
Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Persatuan ―Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia‖ Pada masa perjuangan kemerdekaan, bahasa Indonesia sangat berperan dalam penyatuan berbagai etnis menjadi satu kesatuan bangsa dan membentuk karakter Indonesia. Kemultikulturalan masyarakat dilebur melalui penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara (tercantum dalam Pasal 36c Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945). Bahasa Indonesia selain mewariskan nasionalisme tinggi dan jiwa kepahlawanan juga melahirkan kebersamaan, semangat gotong royong dan persatuan bangsa untuk melawan penjajah. Seperti yang tercermin dalam peribahasa Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh dan Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Ideologi, kebudayaan dan filsafat yang tertanam dalam bahasa Indonesia merupakan wujud persatuan dan kesepemahaman antar masyarakat sosial. Sayangnya, penggunaan bahasa Indonesia saat ini tidak lagi menunjukkan ketahanan dan kepemilikan karakter yang teguh. Hal ini terbukti dengan tergesernya posisi bahasa Indonesia akibat pengaruh bahasa asing. Beberapa ranah yang mencerminkan hal tersebut seperti dalam Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional yang memprioritaskan penggunaan bahasa asing dan lingkungan akademik yang didominasi penggunaan bahasa ―gaul‖. Padahal dalam pasal 33 Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional, dikatakan bahwa bahasa pengantar pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia. Diperkuat dalam Pasal 24 Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Fenomena yang diasumsi sebagian besar masyarakat sebagai sebuah trend tingkat tinggi ini sebenarnya merupakan bentuk penghancuran budaya termasuk bahasa. Secara perlahan, kemajemukan dimanfaatkan sebagai kendaraan untuk memperluas ruang gerak dan kesuksesan bangsa-bangsa bohemian. Bahasa Indonesia telah dinyatakan sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional dan bahasa negara (Moeliono, 2000). Maka membangkitkan kembali bahasa Indonesia di tengah kemajemukan melalui penggunaannya pada ranah yang sesuai tanpa mendahulukan bahasa
asing
merupakan
langkah solutif dalam
rangka
menegakkan kembali toleransi dan kesepemahaman berbangsa dan bernegara.
Tata Ulang Pemikiran Para Pelaku Pendidikan Mengenai Kebudayaan Sebelum terlalu jauh mempersoalkan bagaimana membentuk tatanan pendidikan yang ideal di tengah multikulturalisme, hal penting yang terlebih dahulu mesti dibenahi adalah pemikiran para pelaku pendidikan mengenai kebudayaan. Lantaran merupakan kajian ilmu humaniora yang cenderung dinamis dan kajiannya bersifat kondisional, kebudayaan seringkali dianggap sebagai elemen sekunder. Syahdan, pemikiran sebagian besar pelaku pendidikan terhadap kebudayaan cenderung mengkerdilkan. Alhasil, kegiatan-kegiatan yang bernuansa kebudayaan
dalam
konteks
kegiatan
kemahasiswaan
dinomorsekiankan
penanganannya. Terbukti ketika terselenggaranya acara temu sastrawan, penyair, teater, dan beberapa lainnya, pihak perguruan tinggi terkesan meremehkan dan menganggap acara semacam itu tidak penting. Padahal jika disadari benar, antara ilmu sosial dengan ilmu eksakta tentu memiliki perbedaan kemasan acara yang signifikan. Pada ilmu sosial, sebagian besar acara berbentuk diskusi, seminar, festival dan panggung pertunjukan. Berbeda dengan ilmu eksakta yang sebagian besar berupa perlombaan dan olimpiade ilmiah. Seperti halnya olimpiade dan kejuaraan sains yang diselenggarakan sebagai salah satu upaya peningkatan mutu, dalam ilmu sosial pertemuan dan festival yang ada, lengkap dengan runut acara khas budaya dan seni merupakan salah satu bentuk upaya pembangkitan dan peningkatan mutu pula. Lantas mengapa masih berat sebelah? Barangkali kita bisa mengingat yang dituturkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan mengenai lima karakter penting yang harus dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk melindungi kebudayaan. Kelima karakter tersebut adalah pembangunan karakter bangsa, pelestarian warisan budaya, diplomasi kebudayaan dan internalisasi nilai, pengembangan SDM kebudayaan, serta sarana dan prasarana regulasi kebudayaan. Mengawali upaya-upaya perlindungan tersebut, pendidikan sebagai sentral pergerakan generasi muda merupakan pihak yang sangat besar pengaruhnya dalam usaha menanamkan kecintaan terhadap kebudayaan. Revitalisasi Sanggar Seni dan Budaya di Lingkungan Pendidikan
―Kesenian
adalah
segala
ekspresi
hasrat
manusia
akan
keindahan‖
Koentjaraningrat (1994). Sebagai bagian dari kebudayaan, seni merupakan salah satu elemen penting yang bermuatan budaya. Pada beberapa sisi, kesenian pun dapat dikatakan sebagai tangan kanan rakyat. Oleh sebab itu, mengajarkan seni dan budaya melalui sanggar-sanggar seni dan budaya di lingkungan pendidikan (baca: sekolah dan universitas) merupakan langkah solutif dalam rangka melestarikan kebudayaan lokal dengan menumbuhkan semangat dan kepedulian terhadap budaya lokal dari para peserta didik. Jika selama ini keberadaan sanggar seni dan budaya baik yang dikelola oleh perseorangan ataupun Taman Budaya terkesan kurang diperhatikan, maka semestinya di lingkungan pendidikan keberadaan sanggar-sanggar serupa bisa mendapat perhatian lebih. Salah satunya dengan memenuhi kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan kegiatan. Program semacam ini penting sebagai wadah bagi para pelajar dan mahasiswa untuk mengenal dan mempelajari serta melestarikan kebudayaan. Dimulai dengan pengkaderan seperti itu, dalam pembelajaran musik, seni tari dan artefak budaya lain yang dikemas lebih inovatif, secara perlahan rasa kepedulian dan kecintaan para pelajar dan mahasiswa terhadap kebudayaan akan tumbuh. Mengingat memang, upaya pelestarian hanya bisa dilakukan atas dasar kepedulian dan kecintaan terhadap budaya lokal yang tidak diperoleh secara instan apalagi secara paksaan. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik perbedaan individual maupun perbedaan kelompok yang dilihat secara budaya. Ideologi ini merupakan sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terjadinya pluralisme budaya sebagai corak tatanan kehidupan masyarakat (Nieto dalam Suparlan (dalam Chryshnanda dan Syafri (ed.), 2008: 725-744). Sebagai bangsa yang berkembang, memaknai multikulturalisme sebagai lumbung kekuatan dan latar belakang persatuan merupakan paradigma solutif yang mesti ditanamkan pada para generasi muda. Dalam hal ini, pendidikan sebagai medium sentral adalah pihak yang mempunyai tanggung jawab besar dan semestinya memiliki langkah-langkah kreatif, inovatif dan serius untuk membentuk mental para pelajar dan mahasiswa sebagai generasi muda agar memiliki kepedulian dan
kecintaan terhadap budaya lokal sebagai wujud penyelenggaraan pendidikan berbasis multikulturalisme yang benar.
Karakter Pendidikan Budaya, Membangun Bangsa dengan Prestasi Adi Luhung Abrory Agus Cahya Pramana Mahasiswa Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada (Juara III, Gelora Esai Nasional th 2012, tk mahasiswa) Kesan budaya memang tidak akan pernah luntur dari Bangsa Indonesia. Bangsa yang begitu besar dan memiliki nilai-nilai luhur yang dapat memberikan contoh keteladanan yang baik dalam kehidupan baik sosial, agama, maupun dalam hal toleransi antar suku. Bukanlah menjadi hal yang mudah pada saat ini, kehidupan
sosial
masyarakat
Indonesia
mulai
maju
seiring
dengan
berkembangnya era perdagangan bebas, dan masuknya informasi yang begitu luas, baik dari media social maupun media maya seperti internet, dan sebagainya. Tidak bisa dipungkiri juga, perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat membawa arah perkembangan negeri ini menjadi begitu dinamis, dan memiliki multikulturalisme yang begitu tinggi. Kemudian timbul suatu pertanyaan besar di kepala kita selaku pemikir, siapakah yang patut disalahkan dengan adanya multikulturalisme ini? Jawaban singkatnya mungkin adalah sistem, atau era yang begitu canggih dan dipenuhi dengan dunia digital. Namun hal ini begitu salah, dan sangat tidak relevan. Dinamika perkembangan tidak akan mungkin terbendungkan. Diri ini tidak bisa kemudian menutup diri, dan kemudian mengisolasi pribadi-pribadi luhur yang sejatinya memiliki akal untuk kemudian dikekang dalam dunia pemikiran yang begitu sempit dan dangkal, yang sebenarnya belenggu tersebut mampu untuk dilepas. Pemikiran-pemikiran ama sudah seyogyanya diseleraskan dengan perkembangan jaman dan mampu untuk dijadikan acuan dalam menfilter pengaruh asing dari cepatnya perkembangan teknologi dan informasi. Bagi para pemikir sejati di negeri ini, akan muncul kembali sebuah pernyataan bahwa ―Arus perkembangan teknologi dan informasi itu hanya akan menjadikan rusaknya dinamika budaya di negeri tercinta ini‖. Justru inilah yang seharusnya menjadi koreksi dan menjadikan relevansi dengan apa yang kemudian menjadi konteks permasalahan di negeri ini. Ketakutan akan pergeseran nilai-nilai, dan hilangnya norma-norma, bahkan peninggalan kebudayaan sudah sepatutnyalah dipikirkan sejak lama jauh sebelum bangsa ini kemudian melihat secara satu persatu
hilangnya budaya-budaya tersebut. Tidak lagi perlu dihindari bahkan ditakuti, melainkan perlu dilakukan suatu upaya lebih dan ekstra bagi kita untuk kemudian kembali mengenalkan budaya-budaya bangsa ini. Budaya yang dikembangkan tidaklah sebatas budaya-budaya yang terdapat dalam kearifan lokal suatu wilayah, melainkan budaya Indonesia yang kemudian mampu diimplikasikan dalam kehidupan dan karakter pendidikan di seluruh pelosok negeri ini. Pendidikan Berbudaya sebagai Aspek Fundamental Pemahaman Adi Luhung Nilai-Nilai Moral, dan Kebangsaan ―Ada tawuran lagi di Indonesia, entah itu mahasiswa ataupun siswa, di mana moral dan nurani hati bangsa ini?‖. Mungkin beberapa pernyataan itu seringkali terdengar pada beberapa bulan terakhir ini. Bukan hal yang tabu, bahwa tawuran menjadi suatu budaya tersendiri pada remaja Indonesia. Bukan karena ingin melakukan hal kebaikan melainkan adanya niatan yang berbeda yakni untuk memamerkan kekuatan dan menunjukkan suatu eksistensi tersendiri bagi para remaja saat ini. Budaya seharusnya mampu mengakomodir kegiatan negatif sehingga mampu menjadi kegiatan positif yang akan membawa pada kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat. Sedikit menyentil adanya multikulturalisme di Yogyakarta, dan Bali. Dua kota yang sama-sama memiliki kekentalan dalam budaya yang diwariskan dari leluhur kekayaan masa lampau, yakni sistem kerajaan yang masih dapat dirasakan dan romantisme budaya yang masih menjadi kekayaan tersendiri di kedua kota ini. Tidak pernah terdengar adanya berita mengenai kerusuhan yang terjadi pada mahasiswa dan siswa yang bersekolah di sana. Ini bahkan lebih memiliki dampak positif yang memberikan pemahaman bahwa aspek kebudayaan yang begitu kental jika dijaga akan mampu menjaga moral dan nurani para pemudanya untuk tetap rukun dan menjaga kesahajaan, serta persatuan dan kesatuan. Perpaduan yang begitu cantik yakni budaya dan pendidikan, adalah sebuah romantisme tersendiri bagi bangsa ini. Mengapa tidak? Keagungan suatu bangsa terletak bagaimana bangsa ini menempatkan nilai karya luhur menjadi suatu pedoman keselarasan yang mampu memberikan efek lebih pada kehidupan bermasyarakat.
Tidak bisa dielakkan lagi, sistem meniru terhadap pendidikan di negeri ini sudah sepatutnya menjadi koreksi bagi pembesar bangsa ini. Mengingat sejarah pendidikan di Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengajarkan arti pendidikan melalui sekolah kerakyatan yang tentu saja, nilai-nilai kerakyatan tersebut menjadi pedoman, yang dipadukan dengan nilai kebudayaan dalam masyarakat tersebut. Pendidikan selayaknya menjadi apa yang kemudian menjadi cita-cita pendahulu bangsa Indonesia, yang telah bermakna mendalam, bahkan telah menjadi semboyan bagi dunia pendidikan bangsa ini. Ya, tiga semboyan yang Ki Hajar Dewantara ajarkan sebagai bagian dari bagaimana seharusnya kemudian pendidikan mengajarkan dan melahirkan para pemimpin-pemimpin bangsa yang cerdas, arif, dan bijaksana. Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang bermakna di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberikan dorongan moral. Pendidikan di negeri ini, menjadi begitu sangat fundamental. Fungsi pendidikan tidak selalu mengajarkan mengenai ilmu, namun kemudian juga mendidik para penerus tampuk kepemimpinan bangsa ini agar kelak mampu menjadikan kondisi bangsa ini jauh lebih baik. Sudah selayaknya, dan sepatutnya para pembesar elit di negeri ini, yang memiliki kewenangan dalam dunia pendidikan, menjadikan pendidikan karakter dan berbudaya sebagai bagian dari sistem pendidikan baru bangsa ini. Tidak salah jikalau masa kini, para penerus dan pemerhati pendidikan mulai melirik kebudayaan sebagai bagian dari sistem pendidikan yang sepatutnya mampu memberi kontribusi lebih bagi kemajuan bangsa tidak hanya dalam bidang IPTEK melainkan dalam kebudayaannya. Sudah begitu banyak fakta, di mana sekolah-sekolah yang kemudian menjadikan sistem pendidikan berbudaya banyak melahirkan prestasi-prestasi luar biasa, baik dalam bidang seni, maupun pencotohan dalam masyarakat. Misalkan saja, banyak sekolah-sekolah yang kemudian mengajarkan Tari Saman, sebagai bagian dari bagaimana mendidik siswanya menjadi penari, sekaligus secara perlahan memberikan pemahaman, mengenai perspektif Islam dalam memandang kebudayaan. Hasilnya pun sungguh luar biasa, bukan hanya nilai-nilai moral dan akhlak yang didapat, namun prestasi pun diperoleh bahkan hingga tingkat internasional, dan mengangkat citra Indonesia
sebagai bangsa yang besar, dan kaya akan nilai-nilai seni dan budaya. Selain itu, banyak sekolah-sekolah yang juga mengajarkan nilai-nilai adi luhung kebudayaan dan nilai-nilai kemasyarakatan suatu suku di Indonesia, yang kemudian mampu melahirkan para siswa yang memiliki jiwa-jiwa arif dan bijaksana dalam memahami kebhinekaan di Indonesia. Sebagai penutup dari essai ini, penulis hanya mampu memberikan kesimpulan kecil yaitu multikulturalisme di negeri ini, lahir bukan karena adanya kesalahan sistem ataupun kesalahan akan peradaban. Melainkan, multikulturalisme lahir sebagai bentuk pengayaan terhadap kearifan lokal bangsa Indonesia yang terus maju, dan menunjukkan eksistensinya. Pendidikan berbudaya mampu menjadi jalan penengah dalam mencegah adanya pemahaman akan makna kulturalisme di negeri ini, dan dengan adanya pendidikan berbudaya, akan mampu menjadikan para penerus masa depan Indonesia lebih berprestasi, dan dapat memaknai nilainilai adi luhung bangsanya secara arif dan bijaksana.