CONTINUING MEDICAL EDUCATION CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Akreditasi PB IDI–4 SKP
Diagnosis dan Manajemen Fibromialgia Thomas Eko Purwata Staf SMF/Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia
ABSTRAK Fibromialgia (FM) merupakan sindrom nyeri kronik yang umum dijumpai, ditandai dengan nyeri muskuloskeletal yang tersebar luas disertai hiperalgesia. Meskipun pengetahuan dan pemahaman tentang fibromialgia meningkat, penyakit ini sering tidak terdiagnosis karena heterogenitas gambaran klinis, lokasi nyeri, dan kondisi komorbid. The American College of Rheumatogy (ACR) pada tahun 2010 merekomendasikan kriteria praktis yang lebih tepat digunakan dalam diagnosis klinis fibromialgia pada layanan kesehatan primer maupun spesialistik. Penelitian-penelitian skala besar membuktikan bahwa gejala paling mencolok pada FM bersifat neurogenik. Manifestasi klinis FM sangat bervariasi sehingga manajemennya bersifat individual, bergantung pada berat ringannya nyeri, ada tidaknya gejala lain atau komorbiditas, dan derajat gangguan fungsi yang terjadi. Kata kunci: Fibromialgia, widespread pain, tender point, diagnosis, manajemen
ABSTRACT Fibromyalgia (FM) syndrome is a common chronic pain syndrome characterized by widespread musculoskeletal pain and hyperalgesia. Despite increased awareness and understanding, FM remains underdiagnosed due to heterogeneity of its clinical presentation, pain site and comorbid conditions. The American College of Rheumatology (2010) proposed a simple, practical criteria more suitable for use in primary and specialty care for clinical diagnosis of fibromyalgia. Extensive researches suggested a neurogenic origin for the most prominent symptom of FM. The clinical presentation of FM is heterogeneous; treatment should be individualized, depends on pain severity, presence of other symptoms or comorbidities and degree of functional impairment. Thomas Eko Purwata. Diagnosis and Management of Fibromyalgia. Key words: Fibromyalgia, widespread pain, tender point, diagnosis, treatment
PENDAHULUAN Sindrom fibromialgia (FM) sebenarnya sering dijumpai dalam praktik sehari-hari, tetapi sering tidak terdiagnosis karena gejalanya heterogen dan tumpang tindih dengan penyakit lain. Fibromialgia dahulu sering dinamai psychogenic rheumatism, fibrositis, atau myelasthenia.1 Gejala utama FM adalah nyeri muskuloskeletal kronik yang tersebar luas di seluruh bagian tubuh. Fibromialgia sering disertai penyakit lain dalam bidang reumatologi, neurologi, dan psikologi sehingga membingungkan. Gejala penyerta FM yang sering dijumpai antara lain cepat lelah, insomnia, depresi, nyeri kepala, parestesia, dan irritable bowel syndrome (IBS). Fibromialgia sering kali berlangsung kronik dan menurunkan kualitas hidup penderitanya.2 Prevalensi FM pada populasi Amerika sekitar 2-5%.3 Alamat korespondensi
Etiologi dan patofisiologinya belum sepenuhnya diketahui. Sebelumnya diduga sebagai penyakit inflamasi muskuloskeletal, tetapi akhir-akhir ini terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa FM terjadi karena gangguan sistem saraf pusat dengan mekanisme utama berupa amplifikasi/ sensitisasi sentral.2 Pendekatan diagnosis FM mengalami perkembangan signifikan dengan diperkenalkannya kriteria diagnosis baru oleh American College of Rheumatology (ACR) tahun 2010, mengganti tender point dengan Widespread Pain Index (WPI) dan symptom severity (SS), yang lebih sederhana dan mudah diterapkan.4 Manajemen FM meliputi terapi farmakologi dan non-farmakologi. Dengan memahami patofisiologi, diagnosis, dan manajemen FM
lebih mendalam, pengelolaan pasien diharapkan rasional dan lebih baik. DEFINISI Fibromialgia merupakan sindrom nyeri kronik yang ditandai dengan nyeri muskuloskeletal dan kekakuan otot yang tersebar luas, meliputi keempat kuadran tubuh, sisi kiri dan kanan serta atas dan bawah tubuh.1 Fibromialgia sering disertai gangguan tidur, cepat lelah, cemas, depresi, kaku di pagi hari, irritable bowel syndrome (IBS), nyeri kepala, vertigo, parestesia, dan sebagainya.1,5 EPIDEMIOLOGI Prevalensi FM pada populasi umum di berbagai negara berkisar antara 2-5%, wanita 7 kali lebih banyak daripada pria, sebagian besar berusia 35-65 tahun.1,3,6
email:
[email protected]
CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014
327
CONTINUING MEDICAL EDUCATION ETIOLOGI Etiologi FM tidak diketahui pasti, tetapi diduga ada predisposisi genetik dengan pencetus stresor lingkungan.7,8 Diduga terdapat hubungan antara FM dengan fenomena polimorfisme genetik pada monoamine related genes. Gen-gen ini meliputi serotonin2A receptor gene (HTR2A), serotonin transporter gene (HTTLPR) regulatory region, dan dopamine-D4 related gene.9 Proses timbulnya nyeri dan penghantaran informasi sensorik di otak dan medula spinalis dikendalikan oleh volume control setting yang diturunkan secara genetik dan dipengaruhi oleh lingkungan; makin tinggi volume control setting, nyeri akan makin mudah dialami tanpa perlu rangsang nosiseptif perifer.2 PATOFISIOLOGI Semula FM diduga sebagai penyakit inflamasi otot, tetapi ternyata tidak ditemukan kelainan pada biopsi otot maupun anatomi sistem saraf sehingga FM digolongkan ke dalam nyeri fungsional.1,5 Pada studi menggunakan magnetic resonance spectroscopy, tidak ditemukan perbedaan kadar fosfat berenergi tinggi antara pasien FM dengan kelompok kontrol,5 sedangkan studi functional magnetic resonance imaging otak menunjukkan bahwa respons nyeri pada pasien FM dapat ditimbulkan dengan stimulus rangsang yang lebih rendah daripada kontrol. Studi ini mendukung teori bahwa FM berhubungan dengan gangguan pemrosesan rangsang nyeri pada susunan saraf pusat.10,11 Patofisiologi FM belum sepenuhnya jelas. Banyak teori yang diajukan oleh para ahli, antara lain: 1. Amplifikasi/sensitisasi sentral Pengetahuan tentang FM telah meningkat dengan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Penelitian-penelitian skala besar membuktikan bahwa nyeri pada FM tersebar luas akibat disfungsi susunan saraf pusat. Nyeri diduga berasal dari ketidakseimbangan neurotransmiter susunan saraf pusat yang menyebabkan amplifikasi/sensitisasi sentral.2 Menurut teori amplifikasi/sensitisasi sentral, kornu dorsale medula spinalis menjadi hiperresponsif terhadap stimulasi nosiseptif dan somatik sehingga terjadi hiperalgesia dan alodinia. Teori ini dapat menerangkan lebih baik mengenai hipersensitivitas pada
328
pasien FM. Pada FM, terjadi fenomena wind up yang berkaitan dengan reseptor N-methylD-aspartate (NMDA) dan plastisitas neuron; akibatnya, stimulus berintensitas rendah di kulit maupun jaringan otot akan menghasilkan input nosiseptif tingkat tinggi yang bila ditransmisikan ke otak akan dipersepsikan sebagai rasa nyeri.2,12,13 2. Neurotransmiter Pada FM, terjadi peningkatan kadar neurotransmiter eksitatorik glutamat, nerve growth factor, brain derived neurotrophic factor, dan substansi P; kadar substansi P cairan serebrospinal pasien FM tiga kali lebih tinggi dibandingkan kontrol.14 Substansi P merupakan neurotransmiter nosiseptif yang berperan penting dalam munculnya hiperaktivitas neuronal serta proses sensitisasi sentral bersama asam amino eksitasi pronosiseptif yang bekerja pada reseptor NMDA dan neuropeptida lainnya. Kadar substansi P sangat dipengaruhi oleh kadar serotonin. Studi terbaru menunjukkan adanya korelasi negatif kuat antara konsentrasi metabolit serotonin dalam serum, 5 hidroksindolasetat, dan substansi P. Substansi P juga merupakan inhibitor poten bagi corticotropin releasing hormone (CRH), sehingga diduga turut berperan dalam penurunan kadar CRH pada sejumlah pasien FM.9 3. Stress response system Stres kronis dapat memicu gangguan stress response system tubuh yang menyebabkan munculnya gejala FM. Pada umumnya, pasien mengalami gangguan pada 2 komponen utama stress response system, yaitu aksis hipotalamus–pituitari–adrenal (HPA) dan sistem saraf autonom.9 Aksis hipotalamus-pituitari-adrenal Aksis HPA memegang peranan penting dalam respons fisiologis terhadap stres. Pada pasien FM, terjadi penurunan kadar kortisol, serotonin, dan norepinefrin,5 padahal serotonin dan norepinefrin berperan dalam inhibisi desenden pada kornu dorsale medula spinalis. Sistem saraf autonom Pasien FM menunjukkan gangguan respons simpatis terhadap stres berupa penurunan respons vasokonstriksi terhadap stres dingin dan akustik, penurunan respons denyut jantung terhadap latihan, penurunan
variabilitas denyut jantung, penurunan respons epinefrin terhadap hipoglikemia, serta gangguan tidur.9,16 4. Komorbid Psikiatri Pasien FM rentan mengalami gangguan psikiatri sebagai salah satu penyakit komorbid, seperti depresi, ansietas, dan somatisasi.9 Komorbiditas ini diduga turut memberikan kontribusi terhadap munculnya gejala FM dan persistensi gejala.5,16,17 Dari teori-teori di atas, para ahli menyimpulkan bahwa FM adalah penyakit akibat gangguan persepsi dan pemrosesan nyeri pada sistem saraf pusat (pain processing).2 MANIFESTASI KLINIS Gejala utama FM adalah nyeri kronis muskuloskeletal yang tersebar luas di seluruh bagian tubuh. Spektrum gejala FM sangat luas, antara lain kekakuan otot terutama pagi hari, sebagian besar pasien mengalami nyeri tekan (tenderness), cepat lelah, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri punggung, sistitis, vulvodinia, tinitus, vertigo, kesemutan, IBS, gangguan tidur, kecemasan, depresi, dan sebagainya.4 DIAGNOSIS Meskipun kewaspadaan telah meningkat, diperkirakan 75% pasien FM tetap tidak terdiagnosis. Fibromialgia sering disertai penyakit lain dalam bidang rematologi, neurologi, dan psikologi sehingga menyulitkan penegakan diagnosis. Kriteria diagnosis FM menurut American College of Rheumatology (ACR) 199018: • Riwayat nyeri kronik tersebar luas (widespread pain) dan telah berlangsung ≥3 bulan • Nyeri meliputi ≥11 dari 18 tender points • Lokasi nyeri pada 4 kuadran dan skeleton aksial Nyeri yang tersebar luas ini didapatkan pada 97% pasien FM, dibandingkan dengan 70% pada kontrol. Kriteria diagnosis ini mempunyai sensitivitas 88,4% dan spesifisitas 81,1%.18 Penekanan tender point dilakukan dengan ibu jari tangan secara tegak lurus dengan gaya sebesar kurang lebih 4 kg, ditandai kuku ibu jari tangan yang dipakai menekan berubah warna menjadi putih. Dikatakan positif bila pada penekanan pasien merasa nyeri.
CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014
CONTINUING MEDICAL EDUCATION Kontroversi evaluasi tender point4,9: 1. Bersifat subjektif. Meskipun sudah dilakukan standardisasi penekanan pada tender point, masih terdapat banyak variasi kekuatan penekanannya. Bila tender point jumlahnya kurang dari 11, akan sulit diinterpretasi. 2. Perempuan umumnya mempunyai nilai ambang nyeri yang lebih rendah daripada pria, sehingga hasil pengukuran tender point akan bias. 3. Penekanan tender point sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis pasien saat pemeriksaan sehingga hasil pengukurannya rawan bias psikologis. 4. Penekanan tender point mengarahkan pada kelainan patologi FM di otot, padahal terdapat bukti-bukti kuat tidak ada kelainan otot. 5. Diagnosis FM hanya didasarkan nyeri dan tender point tanpa memperhitungkan gejala lain, padahal 73-85% pasien FM mengeluh fatigue, gangguan tidur, dan kekakuan pada pagi hari (morning stiffness), serta gejala penyerta lain, seperti gangguan kognitif dan somatik.4,9 Pemeriksaan tender point praktis jarang dikerjakan pada layanan kesehatan primer atau tekniknya tidak benar. Pada perbaikan klinis, dapat terjadi pengurangan jumlah tender point sehingga tidak lagi memenuhi kriteria diagnosis FM menurut ACR 1990. Untuk memperbaiki kelemahan kriteria ACR 1990, pada tahun 2010 ACR memperkenalkan pendekatan diagnosis baru yang mengganti tender point dengan widespread pain index (WPI) dan symptom severity (SS) agar lebih efektif dan efisien dalam menegakkan diagnosis FM.4
Tabel 1 Area yang tercakup dalam widespread pain index4,19 • • • • • • • • • •
Bahu kiri Bahu kanan Lengan atas kiri Lengan atas kanan Lengan bawah kiri Lengan bawah kanan Rahang kiri Rahang kanan Dada Perut
• • • • • • • • •
Leher Punggung atas Punggung bawah Panggul kiri Panggul kanan Tungkai atas kiri Tungkai atas kanan Tungkai bawah kiri Tungkai bawah kanan
Kriteria FM menurut ACR 20104: 1. WPI ≥7 dan nilai skala SS ≥5 atau nilai WPI 3-6 dan SS ≥9 2. Gejala telah dialami penderita dalam derajat yang setara paling sedikit selama 3 bulan 3. Pasien tidak menderita penyakit lain yang dapat menyebabkan nyeri Area WPI adalah sebagai berikut (tabel 1): Skala SS (0-12): jumlah tingkat keparahan 3 kelompok gejala utama (0-9) ditambah skala gejala somatisasi (0-3). Tiga kelompok gejala utama adalah: 1. Fatigue: skala 0-3 2. Bangun tidur merasa tidak segar (waking unrefreshed): skala 0-3 3. Gejala kognitif: skala 0-3 Keterangan: 0 = tidak ada gejala 1 = gejala ringan atau intermiten 2 = gejala sedang dan sering muncul 3 = gejala berat, terus-menerus, dan sering mengganggu Gejala somatisasi (skala 0-3) terangkum pada tabel 2.
Kriteria klinis baru ini 88% memenuhi kriteria ACR dan tidak memerlukan pemeriksaan fisik serta tender point. Assesmen SS pada FM terutama berguna untuk evaluasi longitudinal pada pasien dengan gejala sangat bervariasi. MANAJEMEN Manifestasi klinis FM sangat bervariasi sehingga manajemen pasien FM bersifat individual, bergantung pada gejala klinis utama, komorbiditas, dan gangguan fungsi. Pada kasus FM yang sulit diobati, disarankan pendekatan multidisipliner. Tujuan terapi FM adalah menghilangkan nyeri, mengobati penyakit penyerta, dan meningkatkan kualitas hidup. Prinsip manajemen FM ada 2 jenis, yaitu terapi farmakologis dan terapi nonfarmakologis. Terapi farmakologis Antidepresan Rasionalisasi penggunaan antidepresan didasarkan pada beberapa bukti bahwa antidepresan dapat menghambat ambilan kembali (reuptake) serotonin dan norepinefrin di celah sinaps sehingga dapat memperkuat jalur inhibisi nyeri desenden dan mengurangi persepsi nyeri. Antidepresan efektif mengatasi gangguan depresi dan cemas yang sering menyertai FM.9 Beberapa antidepresan memiliki efek antagonis NMDA dan aktivitas penyekatan kanal ion yang dapat meningkatkan efek antinosiseptifnya. Obat antidepresan yang disarankan antara lain: 1. Golongan trisiklik, misalnya amitriptilin dan nortriptilin. Dosis rendah memiliki efek sedang, seperti perbaikan kualitas tidur dan gejala nyeri,
Tabel 2 Gejala somatisasi4
Gambar 1 Widespread pain index (0-19)19
• • • • • • • • • • • • • •
nyeri/kelemahan otot cepat lelah nyeri kepala nyeri / kram perut kesemutan pusing sulit tidur depresi konstipasi mual nervous nyeri dada non kardiak sariawan pandangan kabur
• • • • • • • • • • • • •
demam diare mulut kering gatal sesak napas Raynaud’s phenomenon tinitus muntah heartburn Berat badan menurun kejang mata kering IBS
• • • • • • • • • •
nafsu makan menurun ruam sensitif terhadap sinar matahari gangguan pendengaran mudah memar rambut rontok sering kencing nyeri saat kencing spasme kandung kemih hilang rasa pengecapan
Keterangan: WPI: total jumlah area nyeri pada tubuh yang dialami dalam 1 minggu terakhir (skala 0-19)
CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014
Keterangan: 0 jika tidak ada gejala, 1 jika 1-3 gejala, 2 jika 4-6 gejala, 3 jika ≥7 gejala
329
CONTINUING MEDICAL EDUCATION Tabel 3 Obat-obat yang mempunyai efek positif pada FM berdasarkan randomized controlled trial (RCT)6 Level of evidence
Dosis yang disarankan
Amitriptilin
Ia
10-50 mg
Sering timbul efek samping
Duloksetin
Ia
30-60 mg
Disetujui FDA, efikasi jangka panjang
Nama Obat
Keterangan
Milnasipran
Ia
25-200 mg
Disetujui FDA
Pregabalin
Ia
150-450 mg
Disetujui FDA, efikasi jangka panjang
Gabapentin
Ib
1200-2400 mg
Siklobensaprin
IIa
10-40 mg
Fluoksetin
IIa
20-60 mg
3 RCT kecil
Paroksetin
IIb
20 mg
1 RCT besar
Tramadol
IIb
50-300 mg
tetapi kurang bermanfaat untuk fatigue dan tender point. Hati-hati dengan efek samping antikolinergik, antiadrenergik, antihistaminergik, serta quinidine-like effect, terutama pada pasien lanjut usia.9 Amitriptilin sebaiknya dimulai dengan dosis rendah 12,525 mg malam hari, kemudian dapat dinaikkan sesuai respons terapi. 2. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), misalnya fluoksetin dan sitalopram. Toleransi terhadap SSRI lebih baik dibandingkan golongan trisiklik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa fluoksetin secara signifikan mengurangi rasa nyeri dan kelelahan serta memperbaiki mood.9 3. Selective serotonin and norepinephrine reuptake inhibitor (SSNRI). Duloksetin adalah salah satu SNRI yang direkomendasikan oleh Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 2008 dan telah disetujui sebagai salah satu obat untuk terapi FM pasien dewasa.20 Monoterapi duloksetin 60-120 mg sekali sehari dapat mengurangi rasa nyeri dan gejala utama FM, serta dihubungkan dengan perbaikan fungsi dan kualitas hidup pasien. Duloksetin berguna bagi pasien FM dengan atau tanpa gejala depresi. Efek analgesik obat ini tidak bergantung pada kondisi mood pasien.21 Efek samping duloksetin terjadi pada sekitar 5% kasus, meliputi mual (paling sering), bibir kering, konstipasi, somnolen, nafsu makan menurun, meningkatnya keringat, serta agitasi. Efek samping ini biasanya muncul dalam beberapa minggu pertama penggunaan dan akan membaik dalam beberapa hari sampai 1 minggu.21 Milnasipran adalah jenis SNRI lain yang juga telah mendapat persetujuan FDA sejak tahun 2009 sebagai terapi FM.22 Obat ini, selain
330
1 RCT besar Antidepresan dan relaksan otot
2 RCT, tramadol 150 mg/parasetamol 1300 mg
bekerja menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin di celah sinaps, menunjukkan efek inhibisi ringan terhadap NMDA. Monoterapi milnasipran pada pasien FM dengan dosis 50 mg-100 mg 2 kali sehari dapat mengurangi rasa nyeri serta memperbaiki keadaan umum dan gejala penyerta (seperti kelelahan dan gangguan fungsi kognitif ) sehingga kualitas hidup pasien meningkat.23 Antikonvulsan Antikonvulsan yang sering digunakan dalam pengobatan FM adalah pregabalin dan gabapentin. Keduanya merupakan ligan alfa2-delta (α2-δ) yang memiliki aktivitas analgesik, ansiolitik, dan antikonvulsan. Cara kerja kedua obat ini adalah berikatan dengan reseptor α2-δ untuk memodulasi influks ion kalsium ke dalam neuron yang mengalami hipereksitasi, sehingga mengurangi pelepasan neurotransmiter pronosiseptif, seperti substansi P dan glutamat.24 Pregabalin adalah obat pertama yang disetujui FDA untuk FM pada tahun 2007.25 Monoterapi pregabalin dapat mengurangi rasa nyeri dan memperbaiki gejala-gejala yang menonjol pada pasien FM, seperti gangguan tidur, serta dikaitkan dengan meningkatnya fungsi dan kualitas hidup pasien. Dosis pregabalin sebesar 150-300 mg 2 kali sehari. Efek samping pregabalin yang paling sering adalah pusing dan somnolen. Sebuah metaanalisis efikasi dan keamanan menyimpulkan bahwa pregabalin efektif dan relatif aman untuk FM.24 Opioid Tramadol adalah obat yang bekerja langsung di SSP sebagai agonis reseptor opiat dan sebagai monoamine reuptake inhibitor yang memiliki efek antinosiseptif pada jalur nyeri asenden maupun desenden.26 Kombinasi 37,5 mg tramadol dan 325 mg parasetamol
dikatakan dapat mengurangi nyeri secara signifikan pada pasien FM.27 Terapi farmakologis lain Pasien sering menggunakan OAINS (obat antiinflamasi nonsteroid) meskipun tidak ada bukti penelitian yang menunjukkan efektivitas OAINS tunggal dalam pengobatan FM. Kortikosteroid terbukti tidak efektif dalam mengatasi gejala-gejala FM sehingga tidak direkomendasikan.9 Terapi nonfarmakologis Terapi farmakologis saja sering tidak memberikan hasil yang diharapkan sehingga perlu tambahan terapi nonfarmakologis. Terapi nonfarmakologis yang banyak dipakai antara lain adalah: 1. Cognitive behavior therapy (CBT) Di antara intervensi psikoterapi, CBT mempunyai evidence terbaik. Rasionalisasi penggunaan CBT dalam FM didasarkan pada konsep bahwa nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang merupakan interaksi kompleks antara faktor biologi, kognitif, afektif, dan tingkah laku.9,28 Modifikasi faktor-faktor tersebut diharapkan dapat mempengaruhi persepsi pasien terhadap pengalaman nyerinya. CBT dapat mengurangi respon nosiseptif melalui inhibisi desenden.6 2. Edukasi Edukasi yang baik memegang peranan penting agar pasien memahami penyakitnya. Penjelasan difokuskan seputar penyakit dan mekanisme yang mendasari munculnya berbagai gejala serta terapi yang diberikan.6,9,29 3. Olahraga aerobik Latihan aerobik dapat membantu memperbaiki kondisi fisik dan bermanfaat sebagai terapi tambahan untuk depresi, cemas dan stres. Latihan aerobik intensitas ringan sampai sedang selama 30-60 menit, sebanyak 2-3 kali seminggu selama lebih dari 10 minggu dapat memberikan manfaat positif jangka pendek. Untuk mempertahankan efek tersebut, perlu dilakukan latihan kontinu. Contoh latihan aerobik intensitas ringan hingga sedang adalah berjalan kaki, lari, stationary bike.6,9,29 4. Akupunktur Akupunktur boleh jadi berguna, bergantung pada latar belakang kultural pasien.30
CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014
CONTINUING MEDICAL EDUCATION RINGKASAN Meskipun kewaspadaan diagnosis FM telah meningkat, masih banyak yang tidak terdiagnosis karena gejala klinis FM sangat heterogen. Kriteria diagnosis FM baru oleh ACR tahun 2010 yang mengganti tender
point dengan WPI dan SS lebih akurat dan mudah diterapkan. Manajemen FM meliputi terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Obat-obat yang telah disetujui FDA adalah pregabalin, duloksetin, dan milnasipran, sedangkan terapi nonfarmakologis yang
dianjurkan adalah CBT, edukasi pasien, dan latihan aerobik. Pemahaman lebih mendalam atas patofisiologi, diagnosis, dan manajemen FM diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan pasien dengan rasional dan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Giamberardino MA. Update on fibromyalgia syndrome. International Association for The Study of Pain. 2008;16:1-6.
2.
Clauw DJ, Arnold ML, McCarberg BH. The science of fibromyalgia. Mayo Clin Proc. 2011;86:907-11.
3.
Lawrence RC, Felson DT, Helmick CG, Arnold LM, Choi H, Deyo RA, et al. Estimates of the prevalence of arthritis and other rheumatic conditions in the United States: Part II. Arthritis Rheum. 2008;58:26-35.
4.
Wolfe F, Clauw DJ, Fitzcharles MA, Goldenberg DL, Katz RS, Mease P, et al. The American College of Rheumatology Preliminary Diagnostic Criteria for Fibromyalgia and Measurement of Symptom Severity. Arthritis Care & Res. 2010;62:600-10.
5.
Abeles AM, Pillinger MH, Bruce MS, Abeles M. Narrative review: The Pathophysiology of fibromyalgia. Ann Intern Med. 2007;146:726-34.
6.
Sommer C. Fibromyalgia: a clinical update. International Association for The Study of Pain. 2010;18:1-4.
7.
Arnold LM, Hudson JI, Hess EV, Ware AE, Fritz DA, Auchenbach MB, et al. Family study of fibromyalgia. Arthritis Rheum. 2004;50:944-52.
8.
Buskila D. Fibromyalgia: The diagnosis and pharmacologic treatment. Eur J Pain. 2009;3:111-5.
9.
Arnold LM. The Pathophysiology, diagnosis and treatment of fibromyalgia. Psychiatr Clin N Am. 2010;33:375-408.
10. Gracely RH, Petzke F, Wolf JM, Clauw DJ. Functional magnetic resonance imaging evidence of augmented pain processing in fibromyalgia. Arthritis Rheum. 2002;46:1333-43. 11. Nebel MB, Gracely RH. Neuroimaging of fibromyalgia. Rheum Dis Clin North Am. 2009;35:313-27. 12. Staud R, Rodriguez ME, Evelyn F, McKnight WL. Mechanisms of disease: Pain in fibromyalgia syndrome. Nat Clin Pract Rheumatol. 2006;2:90-8. 13. Staud R. Biology and therapy of fibromyalgia: Pain in fibromyalgia syndrome. Arthritis Research & Therapy. 2006;8:1-7. 14. Sarchielli P, Mancini ML, Floridi A,Coppola F, Rossi C, Nardi K, et al. Increased levels of neurotrophins are not specific for chronic migraine: evidence from primary fibromyalgia syndrome. J Pain. 2007;8:737-45. 15. Spaeth M. Fibromyalgia syndrome: The role of neurochemicals. Primary Psychiatry. 2006;13:72-5. 16. Goldenberg DL, Bradley LA, Arnold LM, Glass JM, Claw DJ. Academic highlights: Understanding fibromyalgia and its related disorders. Prim Care Companion J Clin Psychiatry. 2008;10:13344. 17. Theme K, Turk DC, Flor H. Comorbid depression and anxiety in fibromyalgia syndrome: Relationship to somatic and psychosocial variables. Psychosomatic Med. 2004;66:837-44. 18. Wolfe F, Smythe HA, Yunus MB, Bennett RM, Bombardier C, Goldenberg DL, et al. The American College of Rheumatology 1990 criteria for the classification of fibromyalgia: Report of the Multicenter Criteria Committee. Arthritis Rheum. 1990;33:160-72. 19.
Prateeparanich P. Introduction and revised fibromyalgia. Paper presented at: Aseap 2011. Proceeding of the 4th Conggress of the Association of Southeast Asian Pain Societies. 2011 May 5-8. Pattaya, Thailand; 2011.p.63-6.
20. Eli Lilly and Company. Cymbalta (duloxetine). Package insert. Indianapolis (IN); 2008. 21. Russell IJ, Mease PJ, Smith TR, Kajdasz DK, Wohlreich MM, Detke MJ, et al. Efficacy and safety of duloxetine for treatmen of fibromyalgia in patients with or without major depressive disorder: Result from a 6 month, randomized, double-blind, placebo-controlled fixed dose trial. Pain. 2008:136:432-44. 22. Forest Pharmaceuticals, Inc. Savella (minacipran). Package insert; 2009. 23. Mease PJ, Clauw DJ, Gendreau M, Rao SG, Kranzler J, Chen W. dkk. The efficacy and safety of minacipran for of treatment fibromyalgia. A randomized, double-blind, placebo-controlled trial. J Rhematol. 2009;36:398-409. 24. Straube S, Derry S, Moore RA and McQuay HJ. Pregabalin in fibromyalgia: Meta-analysis of efficacy and safety from company clinical trial reports. Rheumatology. 2010;49:706-15. 25. Pfizer Inc. Lyrica (pregabalin). Package insert. New York; 2007. 26. Kranzler JD, Gendreau JF, Rao SG. The psychopharmacology of fibromyalgia: A drug development perspective. Psychopharmacol Bull. 2002;36:165-213. 27. Benneth RM, Kanim M, Karim R, Rosenthal N. Tramadol and acetaminophen combination tablets in the treatmen of fibromyalgia pain: Double blind, randomized placebo-controlled study. Am J Med. 2003;114:537-45. 28. Ang DC, Chakr R, Mazzuca S, France C, Steiner J, Stump T. Cognitive behavioral therapy attenuates nociceptive responding in patients with fibromyalgia: A pilot study. Arthritis Care Res. 2010;62:618-23. 29. Khasnis A, Wilke WS. Diagnosing fibromyalgia: Moving away from tender point. J Musculoskeletal Medicine. 2010;27:155-62. 30. Itoh K, Kitakoji H. Effects of acupuncture to treat fibromyalgia: A preliminary randomized controlled trial. Chin Med. 2010;5:11.
CDK-216/ vol. 41 no. 5, th. 2014
331