DIAGNOSIS DAN PATOFISIOLOGI MIGRAIN
ABSTRAK Tujuan: Artikel ini menjelaskan pengetahuan terbaru tentang sakit kepala, khususnya migrain mencakup informasi mengenai faktor genetika, anatomi, patofisiologi dan farmakologi dalam kaitannya dengan fenomena klinik yang terjadi. Penemuan Terbaru: Penelitian terhadap binatang menunjukkan bahwa keefektifan obat pada pencegahan migrain kemungkinan besar bekerja dengan cara meningkatkan ambang inisiasi depresi pada korteks dan juga menghalangi respon stimulasi. Kesimpulan: Kemajuan besar telah dibuat dalam mendiagnosis dan mengerti migrain dalam beberapa dekade terakhir. Alat penilaian baku seperti International Classification of Headeache Disorder dapat digunakan dalam mendiagnosis. Walaupun perubahan pembuluh darah terjadi pada migrain, hal tersebut tidak. Migrain dapat disebabkan oleh peningkatan kerentanan dari host dan berbagai faktor pemicu lainnya. Nitric oxide dan calcitonin generealted peptide merupakan mediator penting dan estrogen kelihatannya meningkatkan keadaan ini. PENDAHULUAN Kemajuan ilmu pengetahuan selama beberapa dekade terakhir memicu para dokter untuk mengidentifikasi hubungan antara manifestasi klinis migrain dan perubahan pada otak dan telah meningkatkan keakuratan diagnosis migrain (sebagaimana jenis sakit kepala yang lain). Untuk dapat mengerti kemajuan ini, sejarah, neuroanatomi, faktor genetika, epidemiologi, fisiologi, dan farmakologi migrain harus dibandingkan. Perdebatan mengenai apakah migrain memang secara primer merupakan kelainan vaskular atau kelainan saraf telah secara luas ditetapkan. Perubahan vaskular terjadi sebagai epifenomnena, dan migrain dipikirkan sebagai kelainan kemampuan eksitasi otak dan kelaian modulasi sensorik yang menyebabkan nyeri kepala dan gejala terkait. Migrain biasanya merupakan suatu kelainan otak yang bersifat herediter, walaupun bisa terjadi pada keadaan lain seperti pasca trauma. Pemahaman mengenai kelainan otak yang bersifat herediter. Artikel ini mendiskusikan tentang diagnosis migrain dan apa yang diketahui tentang migrain sebagai suatu keadaan episodik perubahan fungsi otak. Beberapa pertanyaan yang belum terjawab yang berhubungan dengan sakit kepala juga dibicarakan. DIAGNOSIS MIGRAIN Walaupun pada awalnya dibuat untuk menyamakan persepsi dalam mendiagnosis penyakit yang berhubungan dengan sakit kepala pada penelitian-penelitian, International Classification of Headache Disorder, yang sekarang sudah dalam edisi keduanya (ICHD-II) dan akan diperbarui menjadi edisi ketiga (ICHD-III), telah memberikan banyak manfaat dalam mendiagnosis penyakit yang berhubungan dengan sakit kepala dan sangat membantu dalam area klinik. 1 Tentunya, pengetahuan mengenai ICHD sangat berguna untuk perawatan pasien secara optimal. ICHD tersedia secara online dan diperbarui secara kontinyu.2 Sakit kepala adalah sebuah gejala dan tugasseorang klinisi adalah menentukan jenis sakit kepala yang dikeluhkan pasien. Ada
banyak penyebab sakit kepala, beberapa terjadi secara sekunder (karena suatu penyakit lain yang mendasari), dan lainnya tejadi secara primer (tanpa penyebab lain yang mendasari). Migrain merupakan jenis sakit kepala primer dan bisa terjadi dengan atau tanpa aura. Aura dapat terjadi sebelum atau selama sakit kepala, tanpa sakit kepala, atau berhubungan dengan jenis sakit kepala yang lain. Kata migrain berasal dari bahasa Yunani, hemi dan kranion, dan migrain tidak hanya bersifat hemikranial, migrain juga dapat bersiat bilateral pada sekitar 40% orang dewasa dan 60% anak-anak. Migrain merupakan suatu kelainan yang sifatnya berulang dan sering berhubungan dengan gejala sensorik (fotofobia, fonofobia, dan osmofobia), mual atau muntah, dan disabilitas (Tabel 1-1).1,3 Migrain dapat bersifat episodik (terjadi kurang dari 15 hari dalam sebulan) atau kronik (terjadi lebih dari 15 hari sebulan). Secara klinis, pasien dengan migrain dapat kelihatan normal di antara serangan. Walaupun kelihatan demikian, pasien dengan migrain mempunyai fungsi otak abnormal yang dapat terlihat dengan contingent negative variation tes dan transcranial magnetic stimulation. Pasien dengan migrain mempunyai otak yang hipereksitasi dan tidak terbiasa dengan stimulus nomal.
Migrain dengan aura hanya terjadi pada sekitar 20% pasien yang mengalami migrain. Manifestasi klinis yang umum tejadi adalah gejala visual, seringnya berupa pelebaran lapangan penglihatan dengan tepi yang berkilau (fortification spectra atau teichopsia). Pasien juga dapat
melihat bintang, bintik-bintik, garis bergelombang, pola yang tidak beraturan, bentuk bangun tertentu, atau distorsi visual. Paling jarang terjadi adalah aura sensorik, seperti cheiro-oral aura. Pada aura aura jenis tersebut, parestesia dimulai dari tangan dan terjadi secara perlahan, dalam hitungan menit akan menjalar ke bahu dan kemudian dapat menyebar wajah ipsilateral dan juga kedalam mulut dan lidah. Yang juga jarang terjadi adalah aura yang meyebabkan hemiparese atau hemiplegia, dan jika secara dominan mengenai lobus frontal atau lobus temporal, aura dapat bermanifestasi sebagai gangguan berbicara (table 1-2).1 Pada tahun 1941, Lashley mengamati progresifitas aura visual yang dialaminya sendiri dan menyimpulkan bahwa fenomena tersebut pasti mengenai korteks oksipital otaknya sekitar 3 mm/menit. Setelah itu, di Harvard, Leao melaporkan fenomena cortical spreading drepession (CSD) pada kelinci. Sebagaimana nantinya akan didiskusikan, CSD berhubungan dengan fenomenologi migrain dan membantu menjelaskan beberapa manifestasi klinis dari kondisi ini.
Migrain adalah kelainan yang umum terjadi. Prevalensi masa hidup kumulatif adalah sekitar 43% pada wanita dan 18% pada laki-laki.6 Tingkat kejadian migrain sama pada anak-anak baik laki-laki maupun perempuan (sekitar 4% sampai 5%), setelah pubertas, tingkat kejadiannya menjadi dua kali lipat pada wanita dan sering terjadi pada usia dewasa muda. Estrogen
memainkan peranan penting dalam hal ini. Migrain biasanya bersifat herediter, dan diturunkan secara poligenik, walaupun mempelajari bentuk monogenik (autosomal dominant with hight penetrance) juga dapat memberikan informasi tentang migrain secara umum. 7,8 Trauma juga dapat mendahului terjadinya sakit kepala dengan gejala menyerupai migrain, dan konsekuensi patofisiologi trauma kepala mempunyai banyak kemiripan dengan migrain.9 Migrain juga mempunyai banyak pemicu. Hal ini dapat berupa interaksi antara faktor lingkungan dan kerentanan host. Pemicu migrain dapat berupa eksersi, faktor diet (termasuk menunda makan), gangguan tidur, trauma kepala, perubahan hormonal, dan obat-obatan. Terkadang pemicu tersebut termasuk di dalamnya nitric oxide (NO), yang terlibat dalam patogenesis migrain.10 Sejumlah kondisi medis tertentu berperan sebagai komorbid migrain, dimana penyakit tersebut lebih sering terjadi bersamaan dengan migrain dibandingkan terjadi secara tunggal. Kondisi ini termasuk prolapsus katup mitral, fenomena Raynaud, stroke, epilepsi, dan beberapa kondisi psikiatrik (depresi, cemas, kelainan bipolar, dan pobia social). Mempelajari hubungan antara migrain dan kondisi tersebut dapat menjelaskan mekanisme dasar terjadinya migrain.11 Migrain dahulunya dipikirkan sebagai kelainan primer pembuluh darah. Kemajuan teknologi di bidang genetika, epidemiologi, observasi klinis, farmakologi, neuroimaging, dan fisiologi memperlihatkan bahwa manifestasi klinis migrain tidak boleh disimpulkan hanya sebagai akibat perubahan yang terjadi pada pembuluh darah. Migrain adalah suatu kelainan yang terjadi pada otak. Perubahan vaskular memang terjadi namun bukan merupakan suatu keadaan primer yang mendasari, dan sekarang migrain lebih dikenal sebagai suatu kelainan neurovaskular, ada beberapa bukti sederhana dimana pasien yang menderita migrain mempunyai keabnormalan pada sistem saraf pusatnya berakibat pada beberapa manifestasi klinis yang sudah sangat kita kenal yang bervariasi.12 SEJARAH Pada tahun 1938, Graham dan Wolff13 menerbitkan sebuah artikel yang berpengaruh secara signifikan tentang migrain selama beberapa dekade. Mereka menunjukkan bahwa penurunan amplitudo denyutan arteri bertepatan dengan pengurangan sakit kepala nyeri saat ergotamine IV, sebuah vasokonstriktor, diberikan selama serangan migrain. Ini menjadi dogma dimana migrain aura adalah karena vasokonstriksi, dan ia berpikir bahwa sakit kepala adalah karena vasodilatasi. Sekarang ini diakui bahwa ergotamine (dan triptans) mempengaruhi diameter pembuluh darah.14,15 Meskipun demikian, perdebatan tentang peran pembuluh darah telah mempengaruhi penelitian dan pemikiran tentang migrain patofisiologi selama bertahun-tahun. Tak lama setelah Graham dan Wolff menerbitkan studi mereka, Lea~o5 melaporkan CSD, sebuah fenomena yang terjadi pada hewan lissencephalic. CSD, sebuah gelombang depolarisasi saraf diikuti oleh penekanan aktivitas neuronal yang bertanggungjawab terhadap perubahan aliran darah (Hiperemia diikuti oleh oligemia), melintasi korteks serebral di laju sekitar 3 mm / min. Ini tampak mirip dengan fenomena Lashley4 yang melaporkan tentang aura visual yang terjadi pada dirinya sendiri. CSD dapat diprovokasi oleh bahan kimia, listrik, dan rangsangan mekanik. CSD juga dapat terjadi karena kegagalan pengaturan energy.16 EEG dapat
menunjukkan fenomena ini pada model binatang lissencephalic tapi tidak dalam otak manusia yang berbelit-belit. Penelitian besar telah menunjukkan bahwa CSD memainkan penting, tetapi tidak eksklusif, peran dalam asal-usul serangan migrain. Sebuah pemahaman yang lebih canggih mengenai asal-usul migrain meliputi pengetahuan tentang jalur anatomi yang melibatkan nyeri kepala, neurotransmitter dan temuan farmakologi, neuroimaging, dan neurofisiologi baik selama dan antara serangan migrain. ANATOMI SAKIT KEPALA Parenkim otak mati rasa. Namun, dura mater, pembuluh dural, pembuluh ekstrakranial, arteri otak proksimal, vena sinus, tengkorak saraf (SSP) (III, IV, V, VII, IX, dan X), akar servikal atas, otot servikal dan tendon, wajah, mata, telinga, kulit kepala, orofaring, dan sinus hidung yang diinervasi oleh serabut saraf nyeri dan bisa menimbulkan rasa sakit. Komponen ntrakranial di atas tentorium cerebelli dipersarafi oleh saraf trigeminal, dan struktur-struktur di bawahnya dipersarafi oleh C2, C3, CN VII, CN IX, dan CN X. Istilah trigeminovaskular sering digunakan. Dura mater dan pembuluh memasok meninges memiliki persarafan sensorik dan otonom. Searabut saraf C yang tidak bermielin yang menginervasi struktur perifer melewati gasserian ganglion, masuk ke pons, dan lari ke bawah ke inti caudalis trigeminal (TNC). TNC berjalan dari medula bawah ke dalam wilayah segmen serviks ketiga yang menyatu secara bertahap ke dalam tanduk dorsal serviks. Segmen ekor sangat bervariasi. Beberapa merujuk daerah ini sebagai trigeminocervical yang kompleks. Serat dari akar servikal atas memasuki TNC, yang mengirimkan serat rostrally ke thalamus dan kolateralnya ke inti otonom di batang otak dan hipotalamus. Talamik tidak hanya memproyeksikan neuron ke korteks somatosensory korteks tetapi juga ke daerah sistem limbik. TNC juga memiliki koneksi polisinaps ke parasympathetic superior salivatory nucleus (SSN) di pons. Inti ini berjalan melalui ganglion sphenopalatina (Pterygopalatina) melalui saraf petrosus superfisial dan mempersarafi pembuluh meningeal dan isi sinus hidung dan mata.17,18 TNC dapat dipertimbangkan sebagai sebuah struktur anatomi dan fisiologi yang saling terkait satu sama lain. Nyeri yang terjadi pada wajah dan kepala mungkin berasal dari leher, dan nyeri pada leher dapat berasal dari wajah terutama pada daerah distribusi divisi pertama nervus trigeminus (V1). Saraf oksipital utama ipsilateral, yang dibentuk oleh C2, juga sering sakit selama serangan migraine (atau selama sakit kepala klaster), dan blockade saraf (blockade pada saraf oksipital) pada tempat tersebut dapat mengakhiri serangan akut. Area abu-abu periaquaduktus pada otak tengah mempunyai hubungan dengan TNC dan diketahui menekan efek penghambatan pada struktur tersebut. Bagian dari otak tengah ini telah tampaknya aktif selama serangan migraine dan aktivitas tersebut berlanjut persisten walaupun serangan migraine telah berakhir.
PATOFISIOLOGI MIGRAIN
Para klinisi telah lama mengetahui bahwa beberapa pasien mempunyai pemicu tertentu yang berhubungan dengan dengan kejadian ulang serangan. Pemicu tersebut mencakup cahaya berlebihan, suara keras, bau-bauan tertentu, makanan tertentu (termasuk terlambat makan), perubahan hormonal, cedera kepala, dan NO. Pada beberapa pasien, beberapa hari sebelum serangan mempunyai perasaan tidak nyaman, mengidam makanan tertentu, lemah atau menguap berlebihan. Gejala-gejala tersebut dapat dikenal oleh beberapa pasien sebagai tanda akan datangnya serangan. Gejala-gejala di atas tidak dapat dijelaskan oleh adanya konstriksi patau dilatasi pembuluh darah melainkan menjelaskan adanya keterkaitan hipotalamus.7 CSD bisa menjadi pemicu migraine. CSD terjadi di korteks serebral, serebelum, dan hipokampus. Peningkatan kalsium intraseluler dan gelombang kalsium menyebar sampai ke glia, mempengaruhi aktivitas vascular. Ketika gelombang depolarisasi bergerak melalui korteks serebral, NO, asam arakidonat, proton (H+), dan potassium (K+) dikeluarkan ke ruang ekstraseluler. Matriks metaloprotease diaktifkan, yang mungkin dapat mempengaruhi sawar darah otak. Nosiseptor meningeal diaktifkan. Sel mast juga diaktifkan dan mengalami degranulasi. Reflex trigeminovaskular diaktifkan. Neuron trigeminal yang mensuplai pembuluh darah dura melepaskan calcitonin gene-related peptide (CGRP), substansi P, dan neurokinin A. pembuluh darah mengalami dilatasi dan inflamasi, dan terjadi ekstravasasi protein plasma (dikenal juga sebagai inflamasi neurogenic steril). Pada titik ini, neuron trigeminal pertama telah diaktifkan (sensitisasi perifer) dan membawa sinyal nyeri secara sentral. Pasien dapat mengalami nyeri seperti ditekan dan nyeri saat kepala digerakkan. Melalui koneksi polisinapsnya dengan SSN, refleks parasimpatetik trigeminal dapat terjadi, dan serabut parasimpatetik yang mempersarafi dura mengeluarkan asetilkolin, NO, dan polipeptida intestinal vasoaktif. Secara klinis, pasien dapat mengalami miosis, ptosis, mata merah, lakrimasi, dan hidung tersumbat atau rhinorrrhea. Peningkatan CGRP ditemukan pada vena jugular pada pasien migraine selama serangan (gambar 1-1).7, 16, 18 Jika diobati pada fase awal serangan ketika hanya sensitisasi perifer yang terjadi, migrain bisa benar-benar sembuh sempurna. Jika serangan berlanjut secara progresif, neuron kedua dan ketiga bisa menjadi aktif (trigeminotalamik dan talamokortikal). Ini disebut sebagai sensitisasi sentral dan melibatkan fenomena yang dikenal sebagai wind-up. Transmisi gltamatergik dan NO terlibat dalam hal ini. Manifestasi klinis dari sensitisasi sentral adalah alodonia kutaneus. Pasien dapat mengeluhkan nyeri kulit kepala dan wajah, leher, atau bahkan nyeri pada ekstremitas terjadi secara spontan atau pasien merespon tanpa adanya stimulus. Pasien bahkan dapat mengeluhkan jika rambut mereka nyeri. Sekali sensitisasi sentral terjadi, serangan migraine akanlebih sulit diobati, dan obat-obatan triptan, seperti sumatriptan, mungkin tidak lagi bekerja. Bagaimanapun, obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) dan dihidroergotamin masih efektif bekerja. Sensitisasi sentral cenderung terjadi ketika durasi serangan meningkat dan juga lebih sering muncul pada migraine kronik dibandingkan migraine yang bersifat episodic. 8, 19, 20 Walaupun hanya sekitar 20% pasien melaporkan adanya aura, CSD dapat terjadi pada pasien yang tidak mengalami aura dan pada area “tersembunyi” di otak. Sebagai contoh, seorang pasien yang tidak mempunyai manifestasi aura tipikal (hanya mengalami penglihatan kabur)
mempunyai bukti adanya aktivitas PET abnormal yang melalui korteks oksipital dengan rentang sekitar 3 mm/menit selama serangan migrain, mendukung kepada CSD.21
GENETIK Secara khas migraine bersifat herediter, walaupun seringnya kali poligenik. Pemahaman yang lebih baik dalam memahami perubahan biokimia yang mendasari terjadinya migrain sangat mungkin terjadi dengan mempelajari bentuk monogenic yang jarang terjadi yang menyebabkan familial hemiplegic migraine (FHM). FHM adalah dominan autosom dengan derajat penetrasi tinggi. Genotip abnormal multipel telah diidentifikasi, tapi semuanya berakhir pada fenotip yang sama. Beberapa berhubungan dengan gangguan neurologik paroksismal, seperti ataksia (misalnya episodic ataksia tipe 6) dan kejang. Keadaan abnormal tersebut menmbuat otak yang mengalami migraine rentan terhadap CSD.
FHM1, gangguan pertama yang diidentifikasi, ditandai dengan peningkatan influks kalsium (Ca++) ke dalam celah presinaptik karena adanya mutasi P/Q-type calcium channels. Hal tersebut berakibat pada terjadinya peningkatan fungsi dengan peningkatan K+ ekstraseluler dan peningkatan pengeluaran glutamat. FHM2 ditandai dengan hilangnya fungsi abnormal yang meliputi Na/K+ adenosin trifosfat, berakibat pada penurunan bersihan glutamate sinaptik dan K+ oleh astrosit. FHM3 ditandai dengan adanya penambahan fungsi mutasi mencakup gerbang voltase saluran sodium, juga berakibat pada terjadinya peningkatan pelepasan glutamat. Mutasi lain melibatkan tranporter glutamate EAAT! Dan berhubungan dengan ataksia episodic, kejang, dan migraine hemiplegik.7, 8, 22 Ensefalomiopati mitokondrial, asidosis laktat, strokelike episodes syndrome (MELAS) adalah disebabkan oleh mutasi pada tingkat mitokondria yang dikode oleh NADH dehydrogenase 4 gene, MT-ND4, dan berakibat pada terganggunya metabolism energi di sinap. Cerebral autosomal dominant arteriopathy with subcortical infarcts and leukoencephalopathy (CADASIL) terjadi karena mutasi pada notch 3 gene, NOTCH3.22 Secara klinis, pasien sering datang dengan usia muda yang mengalami migrain dengan aura, usia pertengahan yang mengalami infark, dan pada usia tua yang mengalami demensia. Sebagai tambahan, pasien yang mengalami migrain mempunyai level magnesium otak yang rendah.23 Magnesium adalah ion penghambat yang menyumbat saluran kalsium dan juga menghambat terjadinya CSD. Tikus percobaan dengan FHM1 mempunyai ambang yang rendah untuk terpicunya CSD, dan ketika hal tersebut terjadi ia akan menyebar melewati korteks dengan rentang tinggi. 24 Binatang betina dengan keadaan abnormal ini lebih rentan terkena CSD dibandingkan binatang jantan.7, 25 Akibat dari perubahan genetik ini adalah hipereksitabilitas otak. Migrain muncul sebagai interaksi antara faktor lingkungan (pemicu) dan kerentanan genetik. Secara klinis, pasien dengan migraine mempunyai otak abnormal baik selama dan antara serangan. Mereka memiliki batas bawah untuk provokasi phosphenes visual dengan stimulasi magnetik transkranial, mereka tidak terbiasa terhadap rangsangan berulang, dan mereka menunjukkan kelainan terhadap kejadian potensial terkait.26-28 FARMAKOLOGI Seperti yang dinyatakan sebelumnya, manfaat antimigren dari ergotamine awalnya dianggap semata-mata karena vasokonstriksi. Sementara obat ergot seperti ergotamine tartrat dan methysergide, serta triptans (yang sumatriptan dapat dianggap prototipe), tidak diragukan lagi mempunyai efek vasokonstriksi, NSAID dan CGRP antagonis adalah efektif selama serangan migrain dalam walaupun obat ini tidak mempunyai efek vasokonstriksi.28,29 Sekarang dipercaya bahwa obat ergot aktif di banyak reseptor, beberapa diantaranya aktif pada reseptor yang mempengaruhi pelepasan neurotransmitter. Beberapa dari reseptor tersebut adalah tempat yang sama dengan tempat aktivasi primer obat triptan (misalnya sumatriptan), yaitu reseptor 5-hydroxytryptamine 1D dan 1B (5-HT1D, 5-HT1B). Reseptor 5-HT1D adalah reseptor presinaptik dan terletak di neuron trigeminal dan di beberapa tempat tempat lain, termasuk di TNC. Agonis reseptor 5-HT1D pada neuron trigeminal mempersarafi meninges mencegah pelepasan CGRP. Stimulasi terhadap reseptor 5-HT 1B yang terletak pada pembuluh
darah penyebab vasokonstriksi. Stimulasi terhadap reseptor ini di TNC menurunkan pusat sinyal saraf (Gambar 1-2).18,28 Obat-obatan triptan dikembangkan karena diketahui adanya peranan serotonin dalam pathogenesis migrain.30,31 Pada awal serangan migrain, kadar serotonin dalam darah menurun dan tingkat metabolit 5-hidroxyindolaecetic acid (5-HIAA) menigkat.32 Obat yang menekan serotonin seperti reserpin memperburuk migrain dan menyebabkan depresi. Pemberian serotonin (5-HT) selama serangan migren bisa menunda serangan tetapi dapat menimbulkan efek samping berupa sindrom karsinoid. Obat triptan pada dasarnya merupakan hasil modifikasi molekul serotonin. Penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa obat diketahui efektif mencegah migrain meningkatkan ambang batas untuk terjadinya CSD dan cenderung mengurangi jumlah kejadian CSD. Efek ini meningkat dengan durasi pemberian obat. Penekanan aktivitas CSD telah terbukti terjadi pemberian dengan topiramate, valproate, amitriptyline, methysergide, dan DLpropranolol, semua obat tersebut yang dikenal secara klinis efektif sebagai profilaksis migrain. D-propranolol, yang tidak efektif secara klinis, juga tidak efektif pada hewan percobaan.33 Estrogen merangsang aktivitas sintase NO. Perempuan memiliki kadar NO di sirkulasi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, dan kadarnya berfluktuasi sesuai dengan siklus menstruasi.10 Fluktuasi ini dapat menjelaskan mengapa prevalensi migrain meningkat secara dramatis pada wanita setelah menarche dan naik lebih lanjut selama puncak reproduksi, dan menurun jauh dibawah kadar yang dimiliki laki-laki setelah menopause (Kasus 1-1).
NEUROIMAGING Berbagai jenis sakit kepala memiliki pola khas pada PET dan MRI. Pada migrain, otak tengah, dan bagian dorsal pons menjadi aktif.28,34 Daerah ini mungkin merupakan aktivitas di abu-abu periaqueductal dan coeruleus locus (yang mengontrol aliran darah otak). Selain itu, pasien dengan migrain, terutama yang memiliki migrain dengan aura, mungkin menampilkan kelainan white matter yang dapat terlihat pada T2-dan gambar cairan-dilemahkan pemulihan inversi MRI, disebut sebagai objek terang tak dikenal.35 Beberapa lesi ini bertahan dan dipikirkan sebagai infark, sedangkan lain tampaknya bersifat transient.36,37 Biasanya lesi ini subklinis dan tidak memiliki korelasi klinis yang jelas. Kasus 1-1 Seorang wanita 41 tahun mulai mengalami serangan migrain pada usia 14, tak lama setelah menarchenya. Pemicu serangan ini termasuk haid, ovulasi, dan menunda makan. Satu atau dua hari sebelum serangan dia akan merasa lelah dan menguap berlebihan. Sebelum beberapa episode berat yang dialaminya dia akan mengalami skotoma visual dengan tepi berkilauan yang berlangsung selama 20 sampai 30 menit, diikuti dengan sakit kepala unilateral dengan sifat berdenyut disertai mual dan kadang-kadang muntah. Jika dia tidak berhasil mengobati serangan, serangan tersebut mungkin berlangsung 2 sampai 3 hari dan dia akan harus berbaring di tempat yang Gelap dan tenang. Dia telah belajar bahwa mengobati sesegera mungkin saat terkena migrain menawarkan dia kesempatan lebih baik untuk sembuh. Ibunya memiliki serangan serupa seperti halnya salah satu dari dua anak perempuannya. Ketika dokter kandungan/ginekolognya meresepkan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen, ia mengalami peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan serangan migrainnya yang pada akhirnya membuat dirinya untuk menghentikan obat kontrasepsi. Komentar. Pasien ini memiliki onset sakit kepala yang dekat dengan waktu menarchenya. Estrogen dikenal untuk merangsang nitric oxide synthase, yang berakibat pada tingginya kadar oksida nitrat di dalam darah. Dia memiliki pemicu lain selain haid dan ia sadar akan adanya pemicu lain tersebut. Dia juga memiliki prodromal dari menguap (sebuah fenomena hipotalamus yang tidak bisa dikaitkan dengan etiologi vaskuler, melainkan adalah dopaminergik). Kadang-kadang ia akan mengalami menifestasi berupa aura visual, mungkin karena CSD berjalan melalui korteks oksipitalnya. Serangan itu memenuhi kriteria ICHD-II untuk migrain dengan dan tanpa aura. Dia telah mempelajari bahwa dia akan mendapatkan hasil yang lebih baik jika diobati sedini mungkin (sebelum sensitisasi sentral terjadi). Seperti halnya bagi banyak perempuan, tambahan estrogen diberikan sebagai kontrasepsi oral memburuk sakit kepala; hal ini juga sering terjadi dengan terapi sulih hormon.
KELAINAN LAINNYA Foramen ovale paten (PFO) terjadi pada sekitar 25% dari populasi umum tetapi sekitar 50% pada pasien dengan migraine dengan aura. Signifikansi temuan ini tidak jelas, tetapi telah dispekulasikan bahwa right-to-left shunt mungkin menghindari fungsi penyaringan biasa paruparu dan memungkinkan terjadinya mikroemboli atau mungkin berbagai bahan kimia pemancar seperti serotonin mempengaruhi pembuluh darah intrakranial, mungkin memicu CSD dan
serangan migrain. Sebuah uji klinis baru-baru ini ditujukan penutupan dari PFO pada pasien dengan migrain dan menunjukkan tidak adanya manfaat. Namun, desain percobaan dan metodologi telah mendapat banyak kritikan, jadi hal ini masih kontroversi. 38 Telah dihipotesiskan bahwa pembuluh darah otak dapat dipengaruhi oleh hilangnya penyaringan paru dan, datang lingkaran penuh, peran pembuluh darah terlibat dalam hal ini.7 KESIMPULAN Migrain adalah gangguan klinis yang sering terjadi dan pada umumnya bersifat turun-temurun. Otak pada pasien dengan migrain mengalami hipereksitabilitas, dengan ambang rendah untuk inisiasi CSD, yang mengaktifkan sistem trigeminovaskular. Neuropeptide inflamasi, khususnya CGRP terlibat dalam keadaan ini, dan neurotransmitter lainnya yang penting, termasuk serotonin, membantu menjelaskan beberapa kondisi komorbiditas seperti kecemasan dan depresi. Wanita lebih rentan terhadap migrain karena estrogen meningkatkan kadar NO. Neuron pertama, kedua dan ketiga terlibat, sensitisasi sentral dapat terjadi dengan alodonia kutaneus dan mengurangi respon pengobatan akut. Perubahan pembuluh darah memang terjadi, tetapi bukan merupakan kelainan primer dan tidak waktu terkunci untuk pengembangan nyeri. Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa obat yang mencegah migrain tampaknya bekerja setidaknya sebagian dengan menaikkan ambang batas untuk inisiasi CSD. REFERENSI 1. Headache Classification Committee of the International Headache Society. The International Classification of Headache Disorders, 2nd edition. Cephalalgia 2004;24(suppl 1):9Y160. 2. International Headache Society.www.ihs-headache.org.Accessed May 4, 2012. 3. Selby G, Lance JW. Observations on 500 cases of migraine and allied vascular headaches. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1960;23:23Y32. 4. Lashley KS. Patterns of cerebral integratif indicated by the scotomas of migraine. Arch Neurol Psychiatry 1941;46(2):331Y339. 5. Lea˜o AAP. Spreading depression of activity in the cerebral cortex. J Neurophysiol 1944;7(6):359Y390. 6. Stewart WF, Wood C, Reed ML, et al. Cumulative lifetime migraine incidence Ni women and men. Cephalalgia 2008;28(11):1170Y1178. 7. Charles A. Advances in the basi and clinical science of migraine. Ann Neurol 2009;65(5):491Y498. 8. Ward TN, Levin M. Diagnosis and pathophysiology of migraine. Expert Rev Neurother 2004;4(3):383Y390.
9. Packard RC, Ham LP. Pathogenesis of posttraumatic headache and migraine: a common headache pathway? Headache 1997;37(3):142Y152. 10. Valenti S, Fazzuoli L, Giusti M. Circulating nitric oxide levels increase after anti-androgenic treatment in male-to-female transsexuals. J Endocrinol Invest 2003;26(6):522Y526. 11. Lipton RB, Silberstein SD. Why study the comorbidity of migraine? Neurology 1994;44(10 suppl 7):S4YS5. 12. Goadsby PJ. The vascular theory of migraineVa great story wrecked Bay the facts. Brain 2009;132(pt 1):6Y7. 13. Graham JR, Wolff HG. Mechanisms of migraine headache and action of ergotamine tartrate. Arch Neurol Psychiatry 1938;39(4):737Y763. 14. Peroutka SJ. The pharmacology of current antimigraine drugs. Headache 1990;30(suppl 1):5Y11; discussion 24Y28. Goadsby PJ. Serotonin receptor ligands: treatments of acute migraine and cluster headache. Handb Exp Pharmacol 2007;(177):129Y143. 15. Dalkara T, Zervas NT, Moskowitz MA. From spreading depression to the trigeminovascular system. Neurol Sci 2006;27(suppl 2):S86YS90. 16. Levin M. Head pain anatomy and physiology. In: Levin M, ed. Comprehensive review of headache medicine. Oxford, UK: Oxford University Press, 2008:3Y19. 17. Goadsby PJ, Lipton RB, Ferrari MD. MigraineVcurrent understanding and treatment. N Engl J Med 2002;346(4):257Y270. 18. Burstein R, Jakubowski M. Analgesic triptan action in an animal model of intracranial pain: a race against the development of central sensitization. Ann Neurol 2004;55(1):27Y36. 19. Ashkenazi A, Sholtzow M, Shaw JW, et al. Identifying cutaneous allodynia in chronic migraine using a practical clinical method. Cephalalgia 2007; 27(2):111Y117. 20. Woods RP, Iacoboni M, Mazziotta JC. Brief report: bilateral spreading serebral hypoperfusion during spontaneous migraine headache. N Engl J Med 1994;331(25):1689Y1692. 21. Shapiro RE. Pathophysiology and genetis of migraine and cluster headache. In: Levin M, ed. Comprehensive review of headache medicine. Oxford, UK: Oxford University Press, 2008:21Y38. 22. Ramadan NM, Halvorson H, VandeLinde A, et al. Low brain magnesium in migraine. Headache 1989;29(7):416Y419.
23. Ban den Maagdenberg AM, Pietrobon D, Pizzorusso T, et al. A Cacna1a knockin migraine mouse model with increased susceptibility to cortical spreading depression. Neuron 2004;41(5):701Y710. 24. Brennan KC, Romero-Reyes M, Lo´ pez Valde´ z HE, et al. Reduced threshold for cortical spreading depression in female mice. Ann Neurol 2007;61(6):603Y606. 25. Aurora SK, Welch KM, Al-Sayed F. The threshold for phosphenes is lower in migraine. Cephalalgia 2003;23(4):258Y263. 26. Wang W, Schoenen J. Interictal potentiation of passive ‘‘oddball’’ auditory event-related potentials in migraine. Cephalalgia 1998;18(5):261Y265; discussion 241. 27. Goadsby PJ. Pathophysiology of migraine. Neurol Clin 2009;27(2):335Y360. 28. Ho TW, Ferrari MD, Dodick DW, et al. Efficacy and tolerability of MK-0974 (telcagepant), a new oral antagonis of calcitonin gene-related peptide receptor, compared with zolmitriptan for acute migraine: a randomised, placebo-controlled, parallel-treatment trial. Lancet 2008;372(9656):2115Y2123. 29. Kimball RW, Friedman AP, Vallejo E. Effect of serotonin in migraine patients. Neurology 1960;10:107Y111. 30. Humphrey PPA, Feniuk W, Perren MJ. Anti-migraine drugs in development: advances in serotonin reseptor pharmacology. Headache 1990; 30(suppl 1):12Y16; discussion 24Y28. 31. Curran DA, Hinterberger H, Lance JW. Total plasma serotonin, 5-hydroxyindoleacetic acid Ana p-hydroxy-m-methoxymandelic Acid excretion in normal and migrainous subjects. Brain 1965;88(5):997Y1010. 32. Ayata C,Hongwei J, Kudo C, et al. Suppression of cortical spreading depression in migraine prophylaxis. Ann Neurol 2006;59(4):652Y661. 33. Weiller C, May A, Limmroth V, et al. Brain stem activation in spontaneous human migraine attacks. Nat Med 1995;1(7):658Y660. 34. Kruit MC, van Buchem MA, Launer LJ, et al. Migraine is associated with an increased rial of deep white matter lesions, subclinical posterior circulation infarcts and brain Iron accumulation: the population-based MRI CAMERA study. Cephalalgia 2010;30(2):129Y136. 35. Young VG, Halliday GM, Kril JJ. Neuropathologic correlates of White matter hyperintensities. Neurology 2008;71(11):804Y811. 36. Rozen TD. Vanishing cerebellar infarcts in a migraine patient. Cephalalgia 2007;27(6):557Y560.
37. Dowson A, Mullen MJ, Peatfield R, et al. Migraine Intervention With STARFlex Technology MIST) trial: a prospective, multicenter, double-blind, sham-controlled trial to evaluate the effectiveness of paten foramen ovale closure with STARFlex sepal repair implant to resolve refractory migraineheadache. Circulation 2008;117(11):1397Y1404.