PROCEEDING BOOK “SCIENTIFIC ANNUAL MEETING Forum Kedokteran Islam Indonesia (FOKI)” 2016
CLINICAL SCIENCE
Diagnosa Gas Gangren Cruris dextra oleh Clostridium perfringens (Laporan Kasus) Rahayu 1, Masfiyah 1, Iva Puspitasari 2, Desvita Sari2 1 Bagian/SMF Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang 2 Bagian/ SMF Mikrobiologi Klinik RSUP Dr.Kariadi – Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang
Corresponding Authors: Rahayu, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang Email:
[email protected]
ABSTRAK LATAR BELAKANG: Gas gangren merupakan suatu infeksi pada jaringan otot yang luas serta memiliki progresifitas yang cepat, dan menyebabkan kematian. KASUS: Laki-laki, 67 tahun, petani, dibawa ke IGD RS dengan tungkai kanan menghitam. Sepuluh hari yang lalu pasien tiba – tiba merasakan nyeri pada kaki dan tungkai sebelah kanan, lima hari kemudian nyeri bertambah hebat diikuti menghitam menjalar naik dari kaki hingga tungkai. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran composmentis, tekanan darah 140/70 mmHg, denyut jantung 90 x/menit, frekuensi nafas 20 x/mnt, suhu 38,3 0C. Pada cruris dextra tampak berwarna hitam dari pedis hingga 5 cm dibawah genue, nekrotik (+), pus (+), oedem (+), bulla berwarna merah kecoklatan, pulsasi arteri dorsalis pedis dan arteri poplitea (-), krepitasi (+) dan berbau busuk. Pemeriksaan penunjang didapatkan anemia (11,4g/dl), leukositosis (20.500/mmk), dan peningkatan ureum (63 mg/dl). EKG tampak adanya sinus aritmia. Dari direct smear, spesimen jaringan durante operasi amputasi above knee didapatkan leukosit 0–5/LPB, kuman bentuk batang gram positif spora sub terminal serta batang gram negatif. Dari kultur an aerob, tampak adanya gas pada media cooked meat, tampak double zone hemolysis pada media blood agar, dan dari pengecatan gram koloni yang tumbuh tampak batang gram positif bentuk seperti box car. Dari kultur aerob didapatkan pertumbuhan Enterobacter cloacae. Selama perawatan pasien mendapatkan terapi ceftriaxon 2 gram/24 jam dan metronidazol 500 mg/24 jam selama 8 hari. Kondisi membaik hingga akhirnya pulang. KESIMPULAN: Kombinasi amputasi, debridement yang agresif serta terapi antibiotik yang efektif adalah faktor penentu keberhasilan dalam penatalaksanaan gas gangren. Kewaspadaan standar juga diperlukan untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi. Kata kunci : Gas Gangren, Clostridium perfringens
PENDAHULUAN Gas gangren atau mionekrosis Clostridial merupakan suatu infeksi pada jaringan otot yang disebabkan bakteri penghasil toksin dari genus Clostridium. Pada tahun 1861, Louis Pasteur mengidentifikasi spesies Clostridial pertama kali yaitu Clostridium butyricum. Kemudian pada tahun 1892 Welch dan Nuttall, serta ilmuwan lainnya mengisolasi bakteri bacil anaerob gram positif dari luka gangren. Organisme ini, awalnya dikenal sebagai Bacillus aerogenes capsulatus, kemudian berganti nama Bacillus perfringens, dan kemudian Clostridium welchii. Organisme tersebut kini bernama Clostridium perfringens (Chapnick dan Abter, 1996). Clostridium perfringens adalah agen etiologi yang paling umum yang menyebabkan gas gangren. Spesies Clostridial lainnya yang menyebabkan gas gangren antara lain Clostridium bifermentans, Clostridium septicum, Clostridium sporogenes, Clostridium novyi, Clostridium fallax, Clostridium histolyticum, dan Clostridium tertium (A De et al., 2003). Gas gangren yang disebabkan oleh C. perfringens ditandai oleh kerusakan lokal otot (myonecrosis) yang luas serta memiliki progresifitas yang cepat, syok dan akhirnya mengakibatkan kematian. Angka kematian mendekati 100% pada individu dengan gangren gas spontan dan pasien dengan penatalaksanaan yang terlambat. Kombinasi debridement yang agresif dan terapi antibiotik yang efektif adalah faktor penentu keberhasilan dalam pengobatan gangren gas (Stevens et al., 2014). Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah agar lebih memahami kasus gas gangren terutama dalam hal diagnosis. TINJAUAN PUSTAKA Genus Clostridium, yang termasuk filum Firmicutes ini, terdiri dari kira-kira hampir 200 spesies (Onderdonk and Garrett, 2014). Organisme ini bersifat saprofit, banyak ditemukan di tanah dan debu. Spesies Clostridia bersifat obligat anaerob seperti C.novyi dan C.haemolyticum, meskipun terdapat beberapa spesies yang bersifat aerotoleran
6
ISBN: 978-602-1145-33-3
seperti C.histolyticum, C.tertium dan C.carnis. Kelompok Clostridium yang aerotoleran mampu tumbuh di blood agar dengan inkubasi CO 2 5-10% (A De et al., 2003; Koneman et al., 1988; NHS, 2014). Meskipun Clostridia merupakan gram positif, namun untuk Clostridium ramosum dan C. clostridiiforme saat dilakukan pengecatan gram tampak sebagai gram negatif baik dari preparat langsung maupun dari koloni yang tumbuh pada media kultur (Koneman et al., 1988). Gas gangren disebabkan oleh kuman batang gram positif berspora, bersifat anaerob yang termasuk genus Clostridium (A De et al., 2003). Clostridium perfringens merupakan penyebab tersering (80%) dari kasus gas gangren (Clostridial myonecrosis). Gas gangren sering kali ditandai dengan kematian jaringan disertai dengan adanya formasi gas serta tanda toksisitas oleh karena pelepasan toksin dari spesies Clostridium. Clostridium perfringens secara cepat bermultiplikasi dalam jaringan mati dan menyebar ke jaringan yang masih sehat, sehingga menyebabkan tingginya tingkat morbiditas dan mortalitas (Koneman et al., 1988; O’Brien, 2003). Spesies Clostridial yang lain penyebab gas gangren diantaranya C.novyi (40%), C.septicum (20%) diikuti dengan C.histolyticum dan C.sordelli (Koneman et al., 1988). Clostridium perfringens merupakan kuman batang gram positif (terkadang gram dapat bervariasi) dapat tersusun rantai pendek atau berpasang - pasangan, obligat anaerob, non motil, mesofilik, serta mampu membentuk endospora subterminal. Kuman ini berukuran panjang 0,8 µm – 1,5 µm, dengan diameter 2 µm– 4 µm, mempunyai ujung yang tumpul, bentuk seperti “box –car”. Clostridum perfringens dibagi menjadi 5 tipe yaitu tipe A,B,C,D,E. Pembagian tersebut dibedakan berdasarkan kombinasi mayor lethal toksin yang dihasilkan oleh masing-masing tipe strain. Dari lima tipe tersebut hanya Clostrium perfringens tipe A dan C yang sering menyebabkan penyakit pada manusia. Pada kasus gas gangren yang sering menjadi patogen adalah Clostridium perfringens tipe A. Clostridium perfringens tumbuh pada media blood agar yang diinokulasikan dalam kondisi an aerob selama 40 – 48 jam (NHS, 2014; O’Brien, 2003). Ciri khas dari koloni ini adalah memiliki double zone hemolisis pada blood agar (Koneman et al., 1988). Pengecatan koloni pada awal pertumbuhan di media kultur cair, bentuk kuman ini cenderung pendek dan bulat, sementara pada kultur dengan inkubasi lama, bentuk dari kuman ini panjang, sebagian besar berbentuk filamen. Setelah inkubasi selama 24 jam pada media blood agar, ukuran diameter koloni 1-3 mm, tetapi dapat mencapai 4-15 mm pada inkubasi lebih dari 24 jam. Koloni biasanya berbentuk flat, dan meninggi pada bagian tengah, tepi irreguler (rhizoid). Koloni biasanya menyebar, tetapi tidak membentuk swarming. Identifikasi Clostridium dilanjutkan menggunakan Nagler reaction serta reverse CAMP test. Pada Nagler reaction, lechitinase pada Clostridium perfringens akan dihambat oleh antitoksin Clostridium perfringens. Untuk mengetahui produksi lipase pada Clostridum perfringens dapat menggunakan Egg yolk agar. Pada reverse CAMP test, Clostridium perfringens mempunyai hasil yang positif yaitu terbentuknya zona hemolisis seperti panah atau kupu - kupu. Koloni yang digunakan untuk reverse CAMP test adalah Streptococcus agalactiae (group B) (NHS, 2014; ASM, 2010). Clostridium perfringens dan jenis Clostridia yang lain sering ditemukan sebagai flora normal yang berada dalam saluran gastrointestinal. Kuman tersebut juga merupakan flora transient pada kulit. Selain gas gangren, Clostridium perfringens juga menjadi penyebab gangren cholecystitis, septikemia, hemolisis intravaskular pada kasus aborsi, infeksi anaerob pleuropulmonalis (Koneman et al., 1988). LAPORAN KASUS Laki–laki, 67 tahun, profesi sebagai petani, dibawa ke IGD RS dengan tungkai sebelah kanan menghitam. Sepuluh hari yang lalu pasien tiba-tiba merasakan nyeri pada kaki dan tungkai sebelah kanan, lima hari kemudian nyeri bertambah hebat diikuti menghitam menjalar naik dari kaki hingga tungkai. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran composmentis, tekanan darah 140/70 mmHg, denyut jantung 90 x/menit, isi dan tegangan cukup, frekuensi nafas 20 x/menit, suhu 38,3 0C. Pada cruris dextra tampak berwarna hitam dari pedis hingga 5 cm dibawah genue tampak nekrotik (+), pus (+), oedem (+), bulla berwarna merah kecoklatan, pulsasi arteri dorsalis pedis dan arteri poplitea (-), krepitasi (+) dan berbau busuk. Pemeriksaan penunjang didapatkan anemia (11,4 gr/dl), leukositosis (20.500/mmk), dan peningkatan ureum (63 mg/dl). Dari gambaran EKG didapatkan kesan sinus aritmia. Dari direct smear, spesimen jaringan yang diambil pada durante operasi amputasi above knee didapatkan leukosit 0 – 5/LPB, kuman bentuk batang gram positif spora sub terminal serta batang gram negatif. Dari kultur an aerob, tampak adanya gas pada media cooked meat, tampak double zone hemolysis pada media blood agar, dan dari pengecatan gram koloni yang tumbuh tampak batang gram positif bentuk seperti box car. Dari kultur aerob didapatkan pertumbuhan Enterobacter cloacae yang sensitif terhadap Piperacillin Tazobactam, Ceftazidime, Ceftriaxone, Cefepime, Aztreonam, Ertapenem, Meropenem, Amikacin, Gentamicin, Ciprofloxacin, Tygecycline, Trimetoprim/Sulfamethoxazole, Fosfomycin, Sulbactam cefoperazone.
PROCEEDING BOOK “SCIENTIFIC ANNUAL MEETING Forum Kedokteran Islam Indonesia (FOKI)” 2016
ISBN: 978-602-1145-33-3
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka pada pasien ini dapat di tegakkan diagnosisnya yaitu gas gangren oleh Clostridium perfringens. Manajemen terapi pada pasien ini adalah debridement yang agresif, amputasi cruris dextra, serta mendapatkan terapi ceftriaxon 2 gram/24 jam dan metronidazol 500 mg/24 jam selama 8 hari. Selama follow – up pasien didapatkan perbaikan klinis dan laboratoris sehingga akhirnya pasien diperbolehkan pulang. PEMBAHASAN Pada anamnesis didapatkan laki–laki, 67 tahun, profesi sebagai petani, dibawa ke IGD RS dengan tungkai sebelah kanan menghitam. Sepuluh hari yang lalu pasien tiba–tiba merasakan nyeri pada kaki dan tungkai sebelah kanan, lima hari kemudian nyeri bertambah hebat diikuti menghitam menjalar naik dari ujung kaki hingga tungkai. Secara klinis, gejala awal dari gas gangren biasanya dimulai dalam waktu 24 hingga 72 jam setelah post traumatik atau post operasi yang terkontaminasi dengan spora Clostridia. Gejala awal dari gas gangren adalah nyeri yang berat. Setelah adanya cedera traumatik yang menembus kulit, maka di lokasi luka akan timbul warna kemerahan kemudian luka tersebut berubah menjadi merah kecoklatan, selanjutnya dengan cepat berubah menjadi keunguan, kemudian meluas di jaringan sekitar luka serta diikuti dengan adanya gas. Progresifitas dari gas gangren sangat cepat mungkin dapat beberapa jam setelah gejala awal. Dengan proses penyebaran kira-kira 2 cm per jam. Adanya edema dan gas dalam jaringan dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik, USG, atau evaluasi radiografi. Pada infeksi gas gangren sering juga terdapat bula-bula yang “serosanguineous” disertai dengan adanya bau yang khas “mousy odor” (Onderdonk and Garrett, 2014). Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan adanya demam (38,3˚ C), hasil darah rutin laboratorium ditemukan adanya anemia, leukositosis, peningkatan ureum. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan cruris berwarna hitam dari pedis hingga 5 cm dibawah genue, tampak ulkus, jaringan nekrotik, pus, oedem , bulla terisi cairan warna merah kecoklatan, setelah dilakukan palpasi didapatkan pulsasi a. dorsalis pedis (-), a. poplitea (-) a. femoralis (+), krepitasi (+) dari pedis hingga tuberositas tibia. Demam pada awal terjadinya infeksi sering kali minimal, namun seiring dengan perkembangan infeksi pasien dapat mengalami hipotensi, gagal ginjal serta asidosis metabolik yang akhirnya dapat mengakibatkan kematian (Onderdonk and Garrett, 2014). Nekrosis jaringan pada gas gangren yang disebabkan oleh Clostridium perfringens oleh karena pada kuman tersebut mampu menghasilkan berbagai protein yang bersifat toksin. Clostridium perfringens mampu menghasilkan 13 toksin namun di antaranya beberapa toksin utama yaitu α-, b-, ε-, ι-. Toksin utama tersebut yang menjadi dasar pembagian C. Perfringens kedalam beberapa tipe strain (Onderdonk and Garrett, 2014; Titball, 2005). Untuk bisa terjadi infeksi diperlukan dua kondisi yaitu pertama, jaringan harus terinokulasi oleh C. perfringens. Kedua, tekanan oksigen harus rendah agar organisme tersebut dapat berproliferasi. Masa inkubasi sekitar 12 – 24 jam. Meskipun masa inkubasi tersebut menjadi lebih singkat sekitar 1 jam, dan menjadi lebih lama hingga beberapa minggu. Organisme setelah masuk kedalam jaringan maka akan bermultiplikasi dan memproduksi eksotoksin sehingga timbul mionekrosis. Eksotoksin yang dihasilkan termasuk lechitinase, collagenase, hyaluronidase, fibrinolysin, hemagglutinin, hemolysin. Meskipun semua strain dari Clostridium perfringens memproduksiα-toksin, hanya strain tipe A yang memproduksi α toksin dalam jumlah besar. Sejak 1940, α-toksin diduga menjadi virulensi utama pada kasus gas gangrene (Titball, 2005). Alpha toksin merupakan lechitinase yang menyebabkan lisisnya sel darah merah, myosit, fibroblas, platelet dan leukosit, selain itu toksin tersebut menurunkan inotropik dari jantung dan memicu pelepasan histamin, agregasi platelet, serta pembentukan trombus. Theta toksin menyebabkan secara langsung kerusakan pembuluh darah, cytolisis, hemolisis, degenerasi leukosit, dan destruksi sel polimorfonuklear. Oleh karena destruksi sel polimorfonuklear
PROCEEDING BOOK “SCIENTIFIC ANNUAL MEETING Forum Kedokteran Islam Indonesia (FOKI)” 2016
inilah yang mungkin menyebabkan respon inflamasi pada jaringan yang terinfeksi oleh Clostridium perfringens minimal. Kappa toksin juga diproduksi oleh C. perfringens merupakan kolagenase yang menyebabkan nekrosis jaringan menyebar secara cepat dengan cara merusak jaringan ikat (Stevens et al., 2014). Diagnosa banding dari infeksi jaringan lunak dengan adanya pembentukan gas antara lain Clostridial anaerobic cellulitis, nonclos¬tridial crepitant myositis, nonClostridial crepitant cellulitis. Pada kasus Clostridial anaerob cellulitis memiliki tingkatan dalam onset dan progresifitasnya, serta kondisi klinis biasanya lebih ringan dibandingkan dengan gas gangren. Selain itu nyeri lokalnya juga lebih ringan, tidak terdapat lesi kulit seperti merah kecoklatan, bulla. Non-Clostridial crepitant cellulitis sering kali timbul oleh karena insufisiensi vaskular atau infeksi perirektal. Kuman penyebab dari kasus Non-Clostridial crepitant cellulitis diantaranya merupakan kuman – kuman fakultatif an aerob (E. coli, Klebsiella sp., Streptococcus sp.), dan kuman anaerob (Bacteroides, Peptostreptococcus) (Pasternack dan Swartz, 2014). Pada pemeriksaan laboratorium mikrobiologi didapatkan hasil pengecatan gram polimikrobial, ditemukan coccus gram positif, batang gram negatif, serta batang gram positif berspora (sub terminal). Dari pengecatan gram tersebut tampak bahwa leukosit polimorfonuklear minimal yaitu 0 – 5/LPB. Dari kultur cooked meat tampak adanya gas positif namun partikel “heart tissue” tidak tercerna, dan warna dari cairannya berubah menjadi kemerahan, hasil pengecatan gram sampel dari cooked meat tampak batang gram positif berspora (subterminal). Kemudian setelah jaringan dilakukan inokulasi pada media blood agar dalam miniaerocult kit, diinkubasi selama 48 jam tampak pertumbuhan koloni berukuran 2 – 3 mm, koloni tampak datar, serta tepi yang irreguler. Pertumbuhan koloni didapatkan hingga zona 3. Selain itu juga tampak double zone hemolisis. Dari pengecatan gram koloni yang tumbuh didapatkan batang dengan warna gram yang bervariasi, koloni ada yang membentuk rantai maupun berpasang–pasangan dengan bentuk “box-car”. Sehingga dari identifikasi presumtif ini dapat disimpulkan koloni tersebut merupakan Clostridium perfringens. Tidak lama setelah infeksi, kondisi an aerob pada luka yang terinfeksi, asam amino serta peptida mendukung untuk pertumbuhan serta mengaktifkan metabolisme dari Clostridium perfringens. Pada saat yang sama terjadi perkembangan infeksi, leukosit (sel polimorfonuklear) tidak tampak pada lokasi infeksi. Namun leukosit akan terakumulasi di sepanjang dinding pembuluh darah dan menumpuk disana dari pada ke jaringan yang terinfeksi, fenomena ini dikenal sebagai leukostasis. Proses tersebut diduga merupakan efek dari α serta Ɵ toksin. Selain itu dua toksin tersebut akan merusak keutuhan dari sel endotel, sehingga timbul edema serta adanya produksi gas hidrogen, karbon dioksida sebagai hasil fermentasi anaerob dari bakteri. Dari proses tersebut akan menghasilkan tekanan yang membuat pembuluh darah kecil yang berada ditempat infeksi menjadi menyempit. Selanjutnya akan membuat konsentrasi oksigen menurun sehingga kondisi tersebut menguntungkan untuk pertumbuhan dari Clostridium perfringens (O’Brien, 2003; Titball, 2005). Clostridia sp. mempunyai aktivitas sakarolitik dan proteolitik, namun biasanya hanya satu yang mendominasi. Untuk membedakan aktivitas tersebut dapat digunakan media cooked meat. Cooked meat medium di buat berdasarkan formulasi yang dibuat oleh Robertson. Aktivitas sakarolitik dimiliki oleh Clostridium perfringens, Clostridium septicum, serta Clostridium welchii. Sedangkan yang memiliki aktivitas proteolitik adalah Clostridium sporogenes, Clostridium tetani serta Clostridium histolyticum. Pada aktivitas sakarolitik, tidak terjadi proses pencernaan dari partikel “heart tissue” pada cooked meat. Namun akan terjadi warna kemerahan, produksi gas serta asam, dan mungkin akan muncul bau asam. Sedangkan pada aktivitas proteolitik, partikel “heart tissue” akan dicerna secara sempurna, kemudian volume akan berkurang, warna akan berubah menjadi hitam serta muncul bau sulfur (Robertson, 1916). Pada media blood agar, karakteristik dari Clostridium perfringens adalah disekitar koloni memiliki “double zone hemolysis”. Pada bagian dalam (inner zone) terjadi hemolisis yang sempurna oleh karena adanya Ɵ toksin. Sedangkan pada bagian luar (outer zone) terjadi hemolisis parsial oleh karena adanya α toksin (Office of Public Health Louisiana Dept of Health & Hospitals, 2008). Penatalaksanaan pada pasien ini adalah amputasi above knee, kemudian pasien mendapatkan terapi antibiotik injeksi ceftriaxon 2 gram/24 jam dan infus metronidazole 500 mg/8 jam selama 8 hari. Ceftriaxon diberikan oleh karena pada pasien ini selain bacil gram positif juga ditemukan bacil gram negatif yaitu Enterobacter cloacae yang berdasarkan hasil kultur masih sensitif terhadap ceftriaxon. Untuk anti nyeri pasien mendapatkan injeksi ketorolac 30 mg/8 jam. Setelah kondisi membaik pasien akhirnya dipulangkan. Pasien mendapat obat pulang cefixime tablet (2 x 1) untuk 5 hari dan Asam mefenamat (3 x 1) untuk 3 hari. Pasien dianjurkan untuk kontrol ke poli setelah obat habis. Bagian paling penting dari penatalaksanaan pada kasus Clostridial myonecrosis adalah debridement jaringan yang terinfeksi yang dilakukan dengan segera. Amputasi serta debridement yang luas diperlukan untuk kasus
100
ISBN: 978-602-1145-33-3
Clostridial myonecrosis pada ekstremitas. Pemberian antibiotik dini sangat penting untuk kelangsungan hidup, dan penisilin merupakan antibiotik yang paling umum digunakan. Antibiotik yang dapat digunakan lain metronidazole, clindamycin, dan carbapenems (Onderdonk and Garrett, 2014). Berdasarkan IDSA Guidelines untuk manajemen infeksi kulit dan jaringan lunak tahun 2014 terapi antibiotik untuk gas gangren oleh karena Clostridia sp. adalah clindamycin dengan dosis 600–900 mg tiap 8 jam diberikan secara IV, plus penicillin G 2–4 juta units tiap 4–6 jam yang juga diberikan secara IV. Kombinasi penicillin dengan clindamycin direkomendasikan oleh karena sebanyak 5% strain Clostridia perfringens sudah dilaporkan resisten terhadap clindamycin (Stevens et al., 2014; Pasternack dan Swartz, 2014). Antibiotik seperti ciprofloxacin, cephalosporin generasi 3 atau 4, carbapenem mungkin dapat digunakan jika pada hasil pengecatan gram dari eksudat luka tampak jumlah bacil bentuk batang gram negatif sama banyaknya dengan kuman bacil gram positif (Pasternack dan Swartz, 2014). Prognosis pada pasien ini adalah ad vitam ad bonam, ad functionam dubia, ad sanationam ad bonam. KESIMPULAN Telah dilaporkan seorang laki-laki, 67 tahun, profesi sebagai petani, dibawa ke IGD RSUP dengan tungkai sebelah kanan menghitam. Sepuluh hari yang lalu pasien tiba-tiba merasakan nyeri pada kaki dan tungkai sebelah kanan, lima hari kemudian nyeri bertambah hebat diikuti menghitam menjalar naik dari kaki hingga tungkai. Dari pemeriksaan fisik dan penunjang didapatkan diagnosis Gas gangren e.c Clostridium perfringens. Kombinasi amputasi, debridement yang agresif serta terapi antibiotik yang efektif adalah faktor penentu keberhasilan dalam penatalaksanaan gas gangren. Kewaspadaan standar juga diperlukan untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi. DAFTAR PUSTAKA A De, Varaiya A., Mathur M., and Bhesania A. 2003. Bacteriological studies of gas gangrene and related infections. Indian Journal Medical Microbiology 21(3): 202-204. ASM. 2010. Reverse CAMP Test for the Identification of Clostridium perfringens. http://wwwmicrobelibraryorg/ library/laboratory-test/3039-reverse-camp-test-for-the-identification-of-Clostridium-perfringens. Chapnick E. dan Abter E. 1996. Necrotizing soft-tissue infections. In: Infectious Diseases Clinical North American. 835-855. Koneman E., Allen S.D., and Dowell. 1988. The microbiology of various groups of anaerobic bacteria. In: Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology, Third edition. Lipincott company: Washington. NHS. 2014. Identification of Clostridium spesies. UK Standards for Microbiology Investigations. O’Brien D.K. 2003. The interactions of Clostridium perfringens with phagocytic cells. Office of Public Health Louisiana Dept of Health & Hospitals. 2008. Clostridium perfringens. Infectious Disease Epidemiology Section.Onderdonk A.B. and Garrett W.S. 2014. Gas Gangrene and Other ClostridiumAssociated Diseases In: Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Diseases, 2768-2777. Pasternack M.S. dan Swartz M.N. 2014. Myositis and Myonecrosis In: Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Diseases, 1216-1225. Robertson M.J. 1916. Notes upon certain anaerobes isolated from wounds. J Path Bact 20: 327-348. Stevens D.L., Bisno A.L., and Chambers H.F. 2014. Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of Skin and Soft-Tissue Infections. Infectious Diseases Society of America 41:1373–406. Titball, R.W. 2005. Gas gangrene: an open and closed case. Microbiology 151:2821–2828.
101
PROCEEDING BOOK “SCIENTIFIC ANNUAL MEETING Forum Kedokteran Islam Indonesia (FOKI)” 2016
CLINICAL SCIENCE
Pemberian Susu Formula Dini Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Asma Bronkial (Studi Terhadap Pasien Anak Rawat Inap dan Rawat Jalan Usia 6 Bulan-5 Tahun RSI Sultan Agung Semarang Periode Januari 2007-Desember 2008) Siti Amanah*, Sri Priyantini* * Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang
Corresponding Authors: Siti Aminah, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang-
ABSTRAK LATAR BELAKANG: Susu formula adalah pengganti ASI berbahan dasar susu sapi yang diformulasikan sedemikian rupa mirip ASI meskipun demikian mengandung antigen protein asing yang berisiko munculnya respon antigen-antibodi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi pada alergi sistem pernapasan yaitu batuk, sesak dan mengi, atau gejala asma bronkhial. TUJUAN: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberian susu formula dini sebagai faktor risiko terjadinya asma bronkial pada anak. METODE: Penelitian analitik observasional dengan rancangan cross sectional ini menggunakan sampel 73 anak yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dari pasien rawat inap dan rawat jalan usia 6 bulan s/d 5 tahun di bagian Anak RSI Sultan Agung Semarang periode Januari 2007Desember 2008. Pemberian susu formula dini sebagai faktor risiko asma bronkial dibuktikan melalui nilai rasio prevalensi (RP) dan IK95%. HASIL: Berdasarkan hasil penelitian diperoleh RP sebesar 1,911 (1,603 - 2,278, IK 95%). KESIMPULAN: anak yang diberi susu formula dini mempunyai risiko 1,911 kali lebih tinggi untuk mengalami asma bronkial dibandingkan anak yang tidak diberi susu formula dini. Kata kunci: susu formula dini, asma bronkial. ABSTRACT Background: Infant milk formula made from cow’s milk that has been formulated in such a way as breast milk can lead to antigen - antibody reaction that can cause disturbances in respiratory function with typical symptoms of asthma such as cough, breathlessness and wheezing, which is a substance that causes is allergic to cow’s milk protein. This study aimed to identify early formula feeding as a risk factor for bronchial asthma in children. Methods : Analytical study was a cross sectional study using a sample of 73 children fulfilled the inclusion criteria and exclusion of inpatients and outpatients aged 6 months to 5 years at Pediatric Ward of Islamic Hospital Sultan Agung Semarang period January 2007-December 2008. Early formula feeding as a risk factor for bronchial asthma evidenced by the prevalence ratio (RP) with Confidance Interval 95%. Result: The result can be concluded that children treated early milk formula have 1,911 (C.I 95% 1,603 - 2,278) . Conclusion: times higher risk for bronchial asthma than children who were not given an early milk formula. Keywords: Early formula feeding, bronchial asthma.
PENDAHULUAN Berdasarkan laporan Centers for Disease Control (CDC) tahun 2000 mengenai prevalens asma pada anak usia < 18 tahun sebelum dan setelah tahun 1997 di Amerika Serikat, terlihat adanya peningkatan prevalens asma sebesar 5% setiap tahun dari tahun 1980 sampai 1995. Pada tahun 1980, prevalens asma di Amerika Serikat adalah 36 per 1000 populasi dan pada tahun 1995 adalah 75 per 1000 populasi (Kartasasmita, 2008). Hal ini disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu faktor modernisasi dan urbanisasi, misalnya menurunnya pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan padat yang lebih awal, pemukiman yang makin padat dan paparan allergen yang baru (Santosa, 2008). Kasus asma bronkial di Provinsi Jawa tengah tahun 2006 sebesar 41,99 per 1.000 penduduk, mengalami peningkatan dibanding tahun 2005 di mana kasus asma bronkial pada saat itu sebesar 39,62 per 1.000 penduduk (Dinkes Propinsi Jawa Tengah, 2007) Asma dapat disebabkan oleh kepekaan individu terhadap allergen (biasanya protein) dalam bentuk serbuk
102
ISBN: 978-602-1145-33-3
sari yang dihirup, bulu halus binatang, spora jamur, debu, serat kain atau terhadap makanan seperti susu atau coklat (Wilson, 2006). Sebuah penelitian yang melibatkan 2185 anak yang dilakukan pada rumah sakit anak di Toronto menemukan bahwa resiko asma dan kesulitan bernapas 50% lebih tinggi terjadi pada bayi yang diberi susu formula dibandingkan dengan bayi yang diberikan ASI selama 9 bulan atau lebih (Dells, 2000). Pemberian ASI eksklusif di Jawa Tengah tahun 2006 menunjukkan cakupan sekitar 28,08% terjadi sedikit peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2005 yang mencapai 27,49%. Angka ini dirasakan masih sangat rendah bila dibandingkan target pencapaian ASI Eksklusif tahun 2007 sebesar 65% dan target tahun 2010 sebesar 80% (Dinkes Propinsi Jawa Tengah, 2007) Susu formula adalah susu sapi yang telah diproses agar lebih mudah dicerna oleh bayi yang baru lahir. Gangguan akibat ketidakcocokan susu formula bisa timbul karena reaksi cepat atau timbulnya gejala kurang dari 8 jam. Pada reaksi lambat setelah 8 jam atau kadang setelah minum susu 5 atau 7 hari. Tanda dan gejala ketidakcocokan susu formula atau alergi susu hampir sama dengan alergi makanan. Gangguan tersebut mengganggu semua organ terutama pencernaan, kulit, saluran napas dan organ lainnya (Suryoprajogo, 2009). Berdasarkan uraian di atas penulis berkeinginan untuk mengetahui susu formula dini sebagai faktor risiko terhadap kejadian asma bronkial pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun dengan mengambil lokasi di RS Sultan Agung Semarang, karena rumah sakit ini banyak kasus asma, terbukti dengan adanya peningkatan jumlah kasus asma anak dari tahun 2007 sampai 2008 yaitu dari 64 kasus menjadi 114 kasus. METODE Berdasarkan tujuan yang akan dicapai maka penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang bersifat analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan dan rawat inap di poli anak RS Sultan Agung Semarang periode Januari 2007- Desember 2008 usia 6 bulan – 5 tahun, tinggal di wilayah Kecamatan Genuk, kriteria eksklusi pada penelitain ini yaitu anak yang memiliki riwayat alergi pada keluarga, seperti: asma, rhinitis alergi dan dermatitis atopik dan anak batuk kronik/lama yang kontak lama dengan asap rokok dan inhalasi iritan, tidak pindah alamat. Melalui rancangan acak sederhana (simple random sampling) diperoleh 73 sampel. Data variabel bebas yaitu pemberian susu formula diperoleh dari kuesioner, sedangkan variabel terikat asma bronkial diperoleh data rekam medik. Pemberian susu formula dini sebagai faktor risiko asma bronkial dibuktikan dengan penghitungan Rasio Prevalensi IK 95%. (RP > 1 berarti benar-benar sebagai faktor risiko untuk timbulnya penyakit tertentu dengan interval kepercayaan 95% tidak mengandung nilai satu, maka rasio prevalensi dinyatakan bermakna). HASIL Berdasarkan catatan rekam medik diperoleh total populasi terjangkau penelitian ini adalah 788 pasien rawat jalan dan rawat inap di Pelayanan Bagian Anak Rumah Sakit Islam (RSI) Sultan Agung Semarang. Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi diperoleh 73 sampel yaitu 28 anak dengan asma bronkial dan 45 anak yang tidak asma bronkial. Berdasarkan umur sampel pada penelitian ini terbanyak pada umur 6 sampai dengan 15 bulan yaitu 39 anak (53,4%) sedangkan terendah pada kelompok usia >15-24 bulan. Tabel 1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur
Enam belas sampel (53,3%) dari 30 anak dengan pemberian susu formula dini menderita asma bronkial dan 14 sampel (46,7%) tidak menderita asma bronkial. Dua belas sampel (27,9%) dari 43 sampel tanpa pemberian susu
10
PROCEEDING BOOK “SCIENTIFIC ANNUAL MEETING Forum Kedokteran Islam Indonesia (FOKI)” 2016
formula dini menderita asma bronkial dan 45 sampel (61,6%) tidak menderita asma bronkial. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian asma bronkial lebih banyak dialami oleh sampel dengan pemberian susu formula secara dini. Tabel 2.
Pemberian Susu Formula Dini dengan Kejadian Asma Bronkial
Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa pemberian susu formula dini merupakan faktor risiko terjadinya asma bronkial, hal ini ditunjukkan oleh rasio prevalensi (RP) sebesar 1,911 (RP > 1 berarti benar benar sebagai faktor risiko untuk timbulnya penyakit tertentu) dengan IK95% (1,603 - 2,278) sehingga dapat dinyatakan kejadian asma bronkial 1,911 kali lebih tinggi pada anak yang diberi susu formula dini dibandingkan pada anak yang tidak diberi susu formula dini. DISKUSI Hasil penelitian ini berhasil membuktikan bahwa pemberian susu formula dini merupakan faktor risiko terjadinya asma bronkial. Mendukung teori yang menyebutkan bahwa zat pada susu formula yaitu protein susu sapi dapat menjadi antigen asing sejak usia bayi muda < 6 bulan (Suryoprajogo, 2009). Protein susu sapi yang terdapat dalam susu formula dianggap sebagai benda asing atau antigen bagi tubuh, sehingga ketika antigen tersebut masuk ke tubuh akan terjadi reaksi antigen-antibodi. Pada orang normal antibodi yang terbentuk di antaranya IgA, IgM dan IgG sedangkan pada orang yang alergi, terbentuk immunoglobulin IgE (Widjaja, 2005). Akibat interaksi antigen (protein susu sapi) dengan IgE spesifik yang sudah terikat pada sel mast pada mukosa saluran napas, dan/atau basofil di dalam peredaran darah, akan menjadi influks Ca++ ke dalam sel mast dan basofil, sebagai akibatnya cAMP menurun di dalam sel mast/basofil dan terjadi degranulasi serta pelepasan histamin dan mediator lain (Santosa, 2008) sehingga terjadi gangguan fungsi atau perubahan fungsional pada saluran pernapasan. Perubahan fungsional ini dihubungkan dengan gejala khas pada asma seperti batuk, sesak dan mengi (Makmuri, 2008). Penelitian ini menunjukkan kejadian asma bronkial yang diakibatkan oleh pemberian susu formula secara dini jauh lebih tinggi, yaitu 53,3%, jika dibandingkan dengan penelitian Wu A (2001). Hal ini disebabkan karena sampel penelitian ini menggunakan rentang usia 6 bulan hingga 5 tahun, sementara penelitian sebelumnya
10
ISBN: 978-602-1145-33-3
dilakukan pada tahun pertama kehidupan anak atau pada anak dengan usia sekurang-kurangnya 1 tahun. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Greer et al. (2008) bahwa kasus dermatitis atopi dan asma meningkat pada anak yang menggunakan susu formula baik yang mempunyai riwayat alergi pada keluarga ataupun yang tidak ada riwayat alergi pada keluarga. Pada penelitian Hikmawati (2008) yang dilakukan di Rumah Sakit Bhakti Wira Tamtama dengan 230 anak sebagai sampel pada usia 0-5 tahun menunjukkan bahwa susu formula sebagai faktor risiko terjadinya asma bronkial yang dibuktikan dengan hasil rasio prevalensi 1,53. Hal ini sesuai dengan teori bahwa susu formula sebagai pengganti ASI berbahan dasar susu sapi yang sudah diformulasikan sedemikian rupa seperti ASI, di mana zat susu yang menimbulkan alergi adalah protein susu sapi (Djoehari, 2007). Penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu tidak dapat mengetahui jenis dan kadar protein dalam susu formula yang diberikan kepada anak, sehingga penulis tidak dapat mengetahui apakah tinggi rendahnya kadar protein dalam susu formula dapat memperparah derajat asma bronkial pada anak. Zat makanan lain selain susu sapi yang terkandung pada susu formula yang dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya asma bronkial juga tidak dapat diketahui pada penelitian ini. Rentang usia sampel yang lebiuh pendek atau usia < 2 tahun untuk meninimalkan recall bias. KESIMPULAN Pemberian susu formula dini merupakan faktor risiko terjadinya asma bronkial pada anak di RSI Sultan Agung Semarang periode Januari 2007 – Desember 2008. DAFTAR PUSTAKA Dells, S. 2000. Asma dalam buku Inisiasi Menyusui Dini Plus ASI Eksklusif, Pustaka Bunda: Jakarta. Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Tengah. 2007. Angka ASI Eksklusif. http://www.dinkesjatengprov.go.id, Dikutip tanggal 4 Februari 2010. Djoehari. 2007. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. p: 112-117. Greer, F.R., S.H. Sicherer, A.W. Burks and the Committee on Nutrition and Section on Allergy and Imunology. 2008. Effect of Early Nutritional Interventions on the Development of Atopic Disease in Infant and Children. Pediatrics 121: 183-191. Hikmawati, N. 2008. Susu Formula Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Asma Bronkial pada Anak usia 0-5 tahun. Universitas Islam Sultan Agung: Semarang. Kartasasmita, C.B. 2008. Asma dalam Buku Ajar Respirologi Anak. IDAI: Jakarta. p: 71-175. Makmuri, 2008, Patofisiologi Asma dalam Buku Ajar Respirologi Anak. IDAI: Jakarta. Santosa, H. 2008. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. IDAI: Jakarta. p: 252-265. Suryoprajogo, N. 2009 Keajaiban Menyusui. Cetakan I. Jogjakarta. Widjaja, M.C. 2005. Mencegah dan Mengatasi Alergi dan Asma pada Balita. PT. Kawan Pustaka: Jakarta. Wilson. 2006. Asma dalam buku Inisiasi Menyusui Dini Plus ASI Eksklusif. Pustaka Bunda: Jakarta. Wu A, L. 2001. An Update on Food Allergy. Med Progress 28:23-27.
10