03
KOLOM SPORA
Azka Subhan A. Anggota Redaksi KOMPAK
Pegawai dan Bisnis i salah satu sudut meja makan saat rehat siang, tampak asyik berbincang beberapa pegawai. Bukan membahas pekerjaan yang digulati seharihari, tapi topik peluang bisnis untuk mengembangkan usaha. Ya, pegawai di Bank Indonesia ada juga yang kreatif mengembangkan usaha. Di antaranya, memiliki usaha katering, rumah makan, salon, berbagai franchise, punya kontrakan. Ada pula yang bekerja secara individu seperti main saham, mengajar atau menjadi penulis lepas. Boleh jadi, ada beberapa motivasi yang melandasi seorang pegawai memiliki usaha. Biasanya, untuk menambah pendapatan keluarga, selain gaji dari kantor. Lainnya, dengan berbisnis, profit suatu investasi menjadi lebih tinggi. Karena terkadang dengan suku bunga tabungan dan deposito saat ini, dapatlah dianggap kecil hasilnya. Satu motivasi lain adalah pengembangan dari hobi, ini cukup ideal. Hobi sekaligus menghasilkan fulus. Dan mungkin yang lebih mulia adalah membantu mengatasi pengangguran, ketika bisnisnya melibatkan tambahan tenaga kerja orang lain.
D
Conflict of Interest Menjalankan usaha sampingan, selain kerja utama di Bank Indonesia tentu ada etikanya. Harus ada balancing antara bekerja di kantor dan ketika menjalankan usaha sampingan di luar jam kerja. Membagi waktu secara proporsional, terutama ketika kita dituntut sebagai pegawai dalam bekerja. Nah, pastilah ada rambu-rambu dari DSDM. Sehingga kerja sampingan semestinya tidaklah menimbulkan conflict of interest. Setidaknya, ada beberapa profil para pegawai yang memiliki usaha sampingan. Pertama, sang pegawai, sukses keduanya, karier dan kerjaan di kantor lancar,
Harus ada balancing antara bekerja di kantor dan ketika menjalankan usaha sampingan di luar jam kerja. Membagi waktu secara proporsional, terutama ketika kita dituntut sebagai pegawai dalam bekerja. usahanya juga bagus. Pengelolaan waktu dan manajemen prioritas dalam bekerjanya oke. Hasilnya, sinergi yang positif. Kedua, pegawai mempunyai pekerjaan yang baik, meskipun punya usaha berjalan dengan biasa saja. Artinya, sang pegawai sadar jika bekerja di kantor memang prioritas utama. Ketiga, inilah yang perlu diwaspadai. Ketika usaha yang dikelola sudah “mengganggu” waktu dan kinerja pegawai di kantor. Terkesan, bisnisnya lebih penting ketimbang kerjaan utamanya sebagai pegawai. Sesungguhnya, ada filosofi penting yang berbeda antara bekerja di kantor dan memiliki usaha sendiri. Bekerja di kantor sudah ada aturan yang ditetapkan, Anda bekerja sesuai arahan bos. Dengan memiliki bisnis, Anda menjadi bos itu sendiri, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain ketika mempunyai karyawan. Mungkin itulah “nikmat” sekaligus “pahitnya” jika keruwetan bisnis juga menerpa. Dan ini bisa membawa konsekuensi dalam kinerja saat bekerja.
Persiapan ke Depan Sudah jamak memang, jika kita menjelang pensiun atau pegawai mengambil PPDK atawa pensiun dini, mendapat kursus atau pelatihan berbagai jenis usaha. Salah satu komentar, wah... terlambat! Karena memulai bisnis perlu waktu dan modal yang cukup. Ya, berbisnis memang tidak bisa instant. Butuh pembelajaran, karena ada learning curve ketika seseorang memulai berbisnis. Ada waktu untuk merasakan kegagalan, menanggung risiko, dan “babak belur” terkena masalah-masalah yang timbul ketika mencobanya. Satu nilai positif yang dapat dipelajari dari menyiapkan usaha adalah adanya kesibukan dan “keamanan financial” ketika pensiun. Syukur-syukur bisa menjadi warisan anak cucu kelak. Meski idealnya, ketika punya bisnis haruslah diserahkan kepada anggota keluarga lainnya. Baik istri, anak, saudara atau orang yang dipercaya. Sehingga sang pegawai dapat fokus bekerja untuk kantor. Fenomena pegawai berbisnis ini sepertinya makin mengemuka. Lihatlah, berbagai buku motivasi untuk berbisnis, begitu banyaknya tersaji di toko buku. Memiliki bisnis mempunyai keasyikan tersendiri. Namun jangan lupa, bahwa kita setiap harinya senantiasa memakai “name-tag” pegawai Bank Indonesia. Yang maknanya, kita adalah pegawai yang bekerja dan mengabdi kepada Bank Indonesia. K
04
SPORA
FOKUS
Kerja Oke, Bisnis Oke
Tak mudah membagi waktu antara bekerja sebagai pegawai BI dan berbisnis. Pegawai harus mematuhi aturan yang ditetapkan, agar tidak tergelincir.
engejutkan! Dua sisi mata uang itu ternyata ada di Bank Indonesia. Ya, sebuah informasi tidak resmi menyebutkan sudah ratusan pegawai BI yang memiliki sumber penghasilan dari tempat lain. Para pegawai tersebut memiliki sejumlah bisnis atau investasi lainnya yang menghasilkan tambahan penghasilan. Bahkan ada yang memperoleh penghasilan tambahan lebih besar dari pekerjaan utamanya sebagai pegawai BI.
M
Bagi sebagian kalangan, informasi ini cukup mengejutkan. Betapa tidak, karena rasanya sulit bagi pegawai untuk bisa membagi konsentrasi antara pekerjaan dan bisnis yang dijalaninya. Ibarat menonton televisi dan membaca, tak mungkin seseorang bisa fokus kepada dua aktivitas itu sekaligus. Namun, bagi sebagian lain, bisa jadi ini adalah hal wajar. Sebab, pada kenyataannya ada juga pegawai yang bisa membagi waktu dan tidak saling mengganggu. Pekerjaan utama sebagai pegawai BI tetap oke dan
05
DOK PRI.
FOKUS
Bisnis properti dan perjalanan wisata, bisnis nikmat menambah pundi pendapatan.
bisnis bisa juga jalan. Sebagaimana disampaikan Lawang M. Siagian, PBI Kendari. Menurutnya, hal seperti itu dapat diterima secara positif dan tidak perlu dikhawatirkan, terutama oleh organisasi. Namun, memang harus ada persyaratan yang harus dipenuh. Apa itu? “Bahwa aktivitas semacam itu tidak menimbulkan conflict of interest antara kepentingan pegawai dan organisasi,“ katanya. Menurut Lawang, conflict of interest, antara lain dapat terjadi, jika kegiatan yang dilakukan memanfaatkan atau terkait dengan posisinya sebagai pegawai dan atau menimbulkan gangguan secara nyata terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya yang diberikan organisasi. Kalau tidak begitu? Ya, silakan saja. Mochammad Nadjib,
Deputi PBI Manado, sependapat. Menurut Nadjib, konflik kepentingan memang akan menjadi salah satu sebab penodaan tanggung jawab pegawai terhadap lembaga, jika dia berbisnis. Namun Mochammad Nadjib menekankan bahwa anggapan itu bisa saja salah jika si pegawai yang berbisnis memang tetap berkinerja baik di lembaga. “Saya sendiri, meski berbisnis namun tidak pernah menggunakan waktu jam kerja di BI. Bahkan, saya tetap melakukan pekerjaannya dengan baik tanpa terganggu oleh bisnis saya,“ kata Nadjib. Menurut Nadjib, yang salah jika pegawai sudah mencuri waktu kantor, menggunakan fasilitas kantor untuk bisnisnya, kemudian pekerjaannya di kantor menjadi tidak fokus dan tidak diselesaikan. Nah, ini yang
harus diluruskan. “Kalau saya Alhamdulillah, tidak terjun mengurus langsung bisnis properti saya. Semua saya serahkan pada profesional. Saya tinggal menunggu laporan dan setoran. Jadi, saya tetap fokus dengan pekerjaan saya di BI,” imbuhnya. Sayangnya, memang tak mudah bersikap adil seperti itu. Itu sebabnya, tak sedikit pegawai mengkhawatirkan bahwa jika ada rekannya yang berbisnis, maka akan ada conflict of interest seperti yang disinggung Lawang. Karena faktanya, ada juga pegawai yang tidak bisa konsisten ketika berbisnis, yakni ketika bisnis tersebut justru mengganggu pekerjaan utama. ”Saya meyakini, orang bisnis itu memang panggilan jiwa. Kebetulan saya besar dari lingkungan keluarga pebisnis dan melihat mereka begitu sibuk dengan bisnisnya. Saya
jadi suka ragu, apakah dia bisa membagi waktu. Saya sendiri, tidak bisa,” jelas Mutiara Sibarani (DASP-KP). Kekhawatiran Mutiara pernah dibuktikan sendiri oleh Zoelman Basri, pensiunan pegawai BI yang pernah memulai bisnis di kala masih menjadi pegawai aktif. Tiga bulan pertama bisnisnya, Zoelman mengaku konsentrasinya terpecah. Pasalnya, dia memulai usaha berjualan kue hanya berdua dengan istrinya. Sehingga, mau tidak mau dia terlibat langsung dan tidak bisa lepas tangan begitu saja. “Dalam tiga bulan pertama, pekerjaan memang sedikit terganggu. Namun, ketika sudah berjalan lancar, ya kita bisa konsentrasi lagi dengan pekerjaan,” jelas Zoelman. Bisnis kue milik Zoelman sendiri, bukanlah bisnis besar. Zoelman dan istri menjual kue berdasarkan pesanan saja dan tidak memiliki toko khusus. Mengapa? Karena jika memiliki toko, maka akan menyita waktu, terikat waktu, dan mengganggu aktivitas lain. ”Yang penting jangan sampai kinerja kita menurun. Kalau perlu berkorban, ya harus berkorban tanpa merugikan kantor. Misalnya, dengan cuti saja kalau mau mengurus bisnisnya itu, supaya tidak mencuri ‘waktu kantor‘,“ tutur mantan pegawai BI di DPM ini. Namun itulah hasil yang didapat. Berkat rintisannya itu, hingga sekarang bisnis kue Zoelman masih berjalan. Dia memiliki sejumlah karyawan, dan tetap membuat kue berdasarkan pesanan saja. Setiap seminggu sekali atau terkadang dua kali, Zoelman masih menerima pesanan untuk teman-teman di BI. Tapi itu belum seberapa. Zoelman mengaku, dirinya masih memiliki aktivitas lain yang tak kalah menakjubkan. Aktivitas itu, tak lain adalah menjadi tour leader untuk
06
FOKUS wisata umrah dan keliling sejumlah negara rawan konflik di Timur Tengah. Misalnya Israel, Mesir, Jordania, dan Lebanon. Wow, luar biasa, bukan? Begitulah. Zoelman bersyukur, dirinya bisa melakoni aktivitas langka tersebut. Zoelman pun, mengibaratkan dirinya sekarang ini, sebagai “pesuruh berpaspor”. Dia mengaku beruntung, karena ketika orang lain kesulitan memasuki kota-kota di Israel, dirinya justru memperoleh kelancaran. “Alhamdulillah, keinginan saya hidup seperti orang Eropa yang menghabiskan masa tua dengan keliling negara lain, akhirnya kesampaian,” jelas Ayah dari Mikhail Mega Morales dan Nahum Netanya Nenandraku ini.
ah
Kis
es
s Suk
Kontroversi Kontroversi itu tetap ada. Ya, sejauh ini, pro dan kontra seputar pegawai berbisnis memang tak mudah dihapuskan. Bahkan, ada juga yang menilai bahwa bisnis yang digeluti pegawai BI merupakan salah satu cara meraih keseimbangan hidup (worklife balance). Selain itu, juga persiapan masa pensiun secara lebih awal, mengingat pembekalan masa pensiun di BI diberikan terlalu singkat dan sangat dekat dengan waktu pensiun. Yakni, hanya setahun sebelum pensiun alias di masa persiapan pensiun (MPP). ”Saya sangat setuju kalau pembekalan diberikan paling tidak lima tahun sebelum pegawai itu pensiun. Supaya tidak terbirit-birit, kecuali
memang secara modal sudah kuat,” ujar Zoelman. Begitulah yang berkembang. Tak hanya Zoelman, beberapa pegawai juga setuju jika pembekalan dilakukan dalam tempo yang lebih lama. Dengan adanya pembekalan yang lebih lama, maka juga bisa mengeliminir pegawai berbisnis ketika masih aktif bekerja, sehingga mengurangi juga risiko conflict of interest. Sebagaimana disampaikan M. Gufron Baehaki (DHk), dirinya kurang setuju jika ada pegawai BI aktif yang memiliki bisnis. Mengapa? Karena hal ini, sedikit banyak akan mempengaruhi pekerjaan utamanya. Misalnya ditelepon terkait urusan bisnisnya di jam kerja atau dia menggunakan
fasilitas telepon kantor, atau fasilitas lainnya. Mungkin dia memang bertelepon dengan mempergunakan HP, namun tetap saja, yang bersangkutan mempergunakan waktu kerja untuk berbicara di luar pekerjaan utamanya. Menurut Gufron, ini tidak fair. Sebab, jika ditanya mengenai kecukupan finansial saat ini, tentu semua mengatakan tidak cukup meski gaji dan fasilitas di BI relatif lebih baik. “Jadi, walaupun bisnisnya tidak terkait tugas dan fungsi pokok Bank Indonesia, tetap riskan, lho,” ujar Gufron. Mohd. Irwan (Deputi Kepala Bagian PLSD2DSDM) setuju. Menurut dia, idealnya seorang pegawai BI tidak memiliki bisnis apapun di luar pekerjaan
Dua Dunia ala Nadjib
pasar, dia membidik kalangan menengah ke atas. Untuk proyek pertamanya di Jawa Timur, khususnya di kota kelahirannya, Jombang, Nadjib telah membangun dua buah lokasi hunia, yakni Graha Yasmine dan Firdaus Regency. Dan, itulah satu-satunya hunian elit di kota itu. Tak puas sampai di situ, Nadjib mulai mengepakkan sayap. Dalam perjalanannya, dia juga merambah ibukota. Terdapat sejumlah lokasi cluster di sekitar
Meski berbisnis, Nadjib tetap fokus pada pekerjaan utamanya sebagai pegawai BI. Di tempat tinggalnya, dia juga dikenal dermawan dan suka menolong sesama yang membutuhkan.
J
angan menilai buku dari sampulnya. Begitu pula dengan sosok Mochammad Nadjib, Deputi PBI Manado. Di balik perawakannya yang tergolong kecil, ternyata banyak yang kagum dengan suksesnya yang begitu besar. Luar biasanya, di tengah kesuksesannya membangun bisnis bidang pertanian, peternakan, dan perumahan ternyata kinerja pegawai angkatan PCPM XII ini juga masih on the right track. Apa kiatnya? Menurut Nadjib, dia mulai merintis bisnisnya kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Dan, sampai saat ini, bisnis tersebut sudah memberinya
banyak sekali keuntungan di luar keuntungan finansial. Awalnya, lanjut Nadjib, dia tidak menjadikan keuntungan finansial sebagai target. Namun, semua itu karena ada keinginan batin dirinya untuk menyalurkan kemampuan di bidang yang lain. Nadjib mengaku, dirinya tidak ingin melulu berada pada comfort zone. Untuk itulah dia mencoba terus kreatif dan tidak mau berhenti hanya sampai di sini. “Pada 98-an, ketika bisnis properti lesu, saya malah tertantang untuk masuk. Hasilnya, sekarang saya sudah menyelesaikan lebih dari 250 unit rumah
yang sudah terjual dan dihuni. Dan masih ada 8 lokasi cluster/ town house siap bangun dan siap pakai juga,” ujar Nadjib berbinar. Begitulah Nadjib. Ayah dari Yasmine Aulia dan Naufal Firdaus ini memang tidak tanggungtanggung dalam bisnis. Ini dibuktikan, bahwa dalam pemilihan segmen
07
FOKUS utamanya. Pasalnya, sekecil apapun bisnis itu, tetap memberi pengaruh pada pekerjaannya. Untuk itu Irwan menyarankan, sebaiknya pegawai tidak usah berbisnis. Namun, jika memang harus berbisnis, sebaiknya dikelola oleh keluarga saja supaya pegawai tetap fokus pada pekerjaannya. “Kalau bisnisnya karena alasan penyaluran bakat, toh di Ipebi juga sudah menyediakan wadahnya. Sedangkan kalau alasannya untuk persiapan pensiun, BI juga memberikan pembekalan saat MPP,” paparnya. Itulah sebabnya, Irwan juga merasa bahwa masa pembekalan MPP memang terlalu singkat. Dan untuk itu pula, maka DSDM
sedang merencanakan untuk memberikan pembekalan menjelang pensiun dengan waktu lebih awal dan lebih lama. Dengan begitu, maka pada lima tahun menjelang pensiun, pegawai juga diperbolehkan memfokuskan diri pada kursus atau pelatihan yang terkait dengan ketrampilan dan pembekalan pensiun. Tapi, benarkah pegawai sebaiknya dilarang berbisnis? Lawang M. Siagian memberikan penilaian yang sedikit berbeda. Menurutnya, apapun alasan pegawai berbisnis, tetap patut dilihat secara positif. Menurutnya, banyak aktivitas yang didasarkan pada hobi atau bakat memiliki peluang memperoleh nilai tambah
ekonomis. Bukan saja kepada pegawai yang bersangkutan tetapi juga orang lain yang dilibatkan dalam kegiatan tersebut. “Nah, yang terakhir ini menurut saya merupakan suatu bentuk pengabdian langsung dan kepedulian kepada masyarakat karena semakin terbukanya lapangan kerja baru,” tegas Lawang. Lawang sendiri, saat ini mencoba membidik lahan atau tanah di Kendari. Hal ini dilakukan, sebagai salah satu cara mengkonversikan dana yang ada secara lebih menguntungkan. Tapi untuk bisnisnya ini, Lawang mengaku tidak perlu terjun secara utuh ke dalamnya. Dia, katanya, hanya membaca peluang dengan dasar pikiran logis bahwa harga tanah tidak
pernah turun alias naik terus. “Di daerah yang sedang berkembang, dengan nilai uang yang sama kita dapat membeli lahan/tanah yang jauh lebih luas dibandingkan dengan daerah yang sudah sangat berkembang. Dengan cara pikir ini, kenaikan harga akan diperoleh dari perkalian jumlah yang lebih luas. Dan menurut saya, hal ini juga sudah banyak dilakukan orang lain,“ kata Lawang. Menurut Lawang, jika ditambah dengan sedikit kreativitas, lahan/ tanah tersebut dapat dikembangkan untuk kegiatan-kegiatan produktif sekaligus penyaluran hobi dan bisa memberikan
kediamannya, di Bintaro. Setelah itu, dia juga membidik Manado. Di kota ini dimana dia bertugas sekarang, terdapat dua town house yang akan menjadi target usahanya. Di Manado ini, telah dibebaskan 2 lokasi perumahan di tengah kota. ”Di beberapa lokasi cluster di Bintaro sudah sold out. Di beberapa lokal siap huni malah sudah dihuni, dan masih ada yang sedang dibangun, termasuk ada ruko,“ katanya. Yang menarik, Nadjib mengaku bahwa bisnisnya sama sekali tidak mengganggu pekerjaannya sebagai pegawai BI. Dia tidak pernah mencuri waktu dan fasilitas kantor. Artinya, pada saat dinas, maka dia memfokuskan semuanya pada urusan kedinasan. Sedangkan mengenai bisnisnya, semua sudah diserahkan kepada karyawankaryawannya. “Wong semua sudah ditangani ahlinya. Saya tinggal terima laporan,” jelasnya. Menurut Nadjib, pekerjaan utamanya tetaplah di Bank Indonesia. Sedangkan untuk persoalan bisnis, dirinya hanya
menjadi penyandang dana semata. Adalah istrinya, Lilis Andriyani, mantan PCPM XIII, yang sejak purnatugas dari Bank Indover, kemudian mengawasi semua proyeknya. Sedangkan Nadjib, hanya sesekali melongok usahanya, yang seluruhnya diatasnamakan istri dan anak-anaknya. Itupun ketika waktu libur. Lantas, bagaimana sebenarnya kiat Nadjib sehingga bisa sukses seperti sekarang? Menurutnya, bisnis memang membutuhkan keberanian. Artinya, harus berani mengambil risiko. Bukan hanya risiko rugi, namun juga risiko untung. “Dan yang jelas, dalam hidup orang harus bisa mengolah tiga hal: olah pikir (kreatif), olah hati (keberanian dan dermawan), dan olah raga agar sehat,” katanya. Olah hati? Benar! Nadjib sudah membuktikan itu. Dia dan keluarga menganut prinsip hidup seperti “thawaf” dalam haji, dimana untuk mencapai hidup yang berkah, maka pikiran, waktu, tenaga, dan semua kemampuan dirinya
harus terus berputar untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Tak percaya? Tanyalah pada orang-orang marjinal di sekitar Nadjib, mereka tentu akan mengakui kedermawanan lelaki yang pandai bergaul ini. Menurut warga di sekitar kediamannya, Nadjib tak sungkan mengulurkan tangan membantu sesama. Misalnya saja, meminjamkan dana bagi pengojek atau orang lain yang
ingin memulai usaha dan membangun rumah sangat sederhana dengan cicilan tanpa bunga bagi keluarga tak mampu, khususnya Satpam di kompleknya. Bahkan, beberapa tukang becak pun mengakui bahwa Nadjib rutin membagikan sembako bagi mereka. Selamat, Pak. Semoga olah hati juga diterapkan pada Bank Indonesia. Semoga tetap bersikap adil kepada lembaga. K
08
FOKUS
Mereka...
SPORA
”Orang yang tadinya punya rotan satu ikat dan laku dijual, tentu akan berpikir untuk bisa menjual lebih banyak, dan memasarkannya ke jangkauan yang lebih luas. Nah, ini yang menimbulkan pertanyaan: bisa nggak dia konsentrasi dengan pekerjaan utamanya yang juga banyak menuntut kualitas.”
Mutiara Sibarani Anggota Ipebi DASP “Secara lahiriah manusia memiliki kebutuhan sosial. Kadang-kadang, belum tentu orang-orang BI yang berbisnis sekadar bermotifkan uang, tapi juga kehidupan sosial. Apalagi dari bisnis itu bisa menghidupkan banyak orang lagi, secara tidak langsung berpartisipasi dalam mengentaskan kemiskinan.”
Edy Kristianto Ketua Ipebi Ambon “Bekerja sebagai pegawai BI kan sudah menjadi pilihan. Jadi, semestinya mereka konsekuen dengan pilihan itu. Jika mereka punya bakat lain yang berpotensi uang dan bisa menyita perhatiannya di BI, sebaiknya dia tegas memilih. Seperti seorang pengacara terkenal yang memilih meninggalkan BI demi bakatnya di bidang hukum.”
Mohd. Irwan Deputi Kabag PLSD2-DSDM “Waktu saya aktif di DPM, suatu saat saya mengantar pesanan di salah satu bank yang mengadakan rapat. Kebetulan ada orang di bank tersebut mengenal saya. Dia menegur, ‘Pak, apa masih kurang di BI?‘. Malu juga, tapi ini risiko, tak perlu malu selama kita tidak mencuri.”
Zoelman Basri Mantan Pegawai BI DPM “Besar kecilnya manfaat ekonomi yang akan diperoleh sangat tergantung pada kreativitas dan keuletan orang-orang yang terlibat. Maka, jenis kegiatan yang melibatkan orang lain ini tidak berpengaruh pada kinerja pegawai yang bersangkutan. Kinerja adalah hal tersendiri yang dipengaruhi oleh banyak faktor baik bersumber dari pegawai sendiri maupun situasi yang ada di organisasi.”
Lawang M. Siagian PBI Kendari
SPORA
Ketentuan adalah Rambu Semua tentu ada aturannya. Aturan dibuat, agar bisa berfungsi sebagai rambu bagi para pegawai. Tujuannya jelas, agar seseorang tidak kebablasan dalam bertindak. Bagaimana dengan aturan mengenai pegawai BI yang berbisnis? Mohd. Irwan mengibaratkan, dalam agama yang dianutnya, yang melarang berpacaran. Jika pacaran saja dilarang karena kekhawatiran terjerumus pada perzinahan, maka ketentuan untuk larangan berbisnis yang terkait tugas dan fungsi pokok BI juga berfungsi serupa. “Yakni, agar ”bisnis” yang lain pun
harus hati-hati karena berpotensi masuk garis abuabu, dan bisa kebablasan,” ujar Irwan. Terkait hal itulah, maka sepengetahuan Irwan, pegawai BI tidak boleh memiliki perusahaan atau bertindak sebagai pemilik perusahaan. Hanya saja, untuk aturan yang jelas mengenai berbisnis dalam artian luas, sepertinya memang belum diatur. Edy Kristianto membenarkan. Menurutnya, jika hanya sekadar bisnis sampingan yang bukan perusahaan, seperti dagang kecil-kecilan atau jual beli tanah dan mobil, sepertinya belum ada aturan yang jelas. Begitupun, memang semua tidak boleh dilakukan sembarangan. Edy misalnya, tetap menolak jika bisnis dilakukan pada jam kerja. Sedangkan jika bisnis sampingan itu dilakukan di luar jam kerja dan pegawai tetap bisa menjaga performa kinerjanya, maka sah-sah saja. Apalagi, jika melalui bisnis tersebut pegawai bisa melakukan kehidupan sosial dan jejaring sosial, karena hal ini sekaligus meningkatkan citra BI. Sebagaimana pesan Zoelman Basri, hendaknya pegawai memang tidak menggunakan waktu yang menjadi hak lembaga. Menurutnya, semua harus patuh terhadap norma tersebut. Jika norma dilanggar maka akan terjadi conflict of interest yang pada gilirannya dapat merugikan organisasi maupun pegawai sendiri. “Jika kegiatan pegawai yang dilakukan sudah tergolong kegiatan bisnis yang memerlukan waktu khusus, saya berpendapat pegawai tersebut harus memilih salah satu di antaranya,”pungkasnya. Bagaimana menurut Anda? K
SPORA
manfaat ekonomi dan sosial kepada orang lain. Misalnya, dijadikan lokasi pemancingan, kebun sekaligus pembibitan buahbuahan, pembibitan tanaman hias, lokasi outdoor activities, dan sebagainya. Hanya saja, untuk menjalankan kegiatankegiatan tersebut jelas tidak mungkin dilakukan langsung oleh dirinya atau pegawai lain yang kebetulan memiliki bisnis serupa. Bolehkah yang demikian? Mengapa tidak. Menurut Lawang, dengan cara pikir seperti itu diharapkan penghasilan selama bekerja dapat dikelola secara baik dan bijaksana. Dengan pemahaman ini, pegawai bisa melihat perbedaan di antara para pensiunan. Maksudnya, pegawai bisa melihat, siapa yang telah merencanakan masa depan pensiunnya dengan baik dan siapa yang tidak. “Untuk itulah saya selalu mendorong agar kawan-kawan saya tidak perlu meningkatkan kebutuhan konsumtifnya secara berlebihan, biarpun terjadi kenaikan penghasilan karena peningkatan karir,” jelas Lawang.
Kata