Di hari berikutnya Nyai Maisarah bercerita tentang
Sayyidah
Aisyah
ra.
Semua
santri
memperhatikan Aisyah sehingga membuatnya malu. Nyai Maisarah pun sesekali tersenyum pada Aisyah. “Meski seorang wanita, Aisyah radhi Allahu ‘anha adalah sosok ahli fiqih yang selalu taat kepada Tuhannya. Dalam periwayatan hadits, ia adalah tokoh yang sulit dicarikan bandingannya; dalam hal jumlah, selain Abu Hurairah dan Abdullah Ibnu Umar, tidak ada yang menandingi Aisyah dalam meriwayatkan hadits.” Aisyah mendengarkan dengan seksama. Suara Nyai
terdengar
menggema
di
ruangan,
sangat
bersemangat bercerita, sangat menjiwai jalan ceritanya sehingga membuat Aisyah termotifasi untuk menjadi wanita seperti Sayyidah Aisyah ra. Apalagi namanya sama. “Aisyah radhi Allahu ‘anha adalah sosok wanita dengan pemahaman yang tajam akan ajaran-ajaran agama dan ilmu-ilmu Al Quran. Bahkan Aisyah mengoreksi pemahaman para sahabat dan beliau
menjadi rujukan dalam memahami praktek Rasulullah. Abu Musa al-Asya’ari mengatakan, ‘Setiap kali kami menemukan kesulitan, kami temukan kemudahannya pada Aisyah.” Nyai Maisarah tersenyum sambil memandang Aisyah. “Subhanallah, hebat kan, Aisyah?” katanya pada Aisyah. Sebagian dari teman-teman Aisyah tertawa. “Istri Nabi, yang hebat, bukan Aisyah ini,” kata salah seorang teman. Yang lain tertawa. Berarti Sayyidah Aisyah lebih dimuliakan dari seorang lelaki, pikir Aisyah. Dia tidak menghiraukan komentar teman-temannya. Di desanya Aisyah, tidak ada wanita yang seperti itu. Meskipun mereka pernah belajar di pesantren, tapi dibilang tidak barokah ilmunya bila dia menegur lelaki. Seorang wanita harus tunduk pada suami karena menurut mereka derajatnya di bawah lelaki.
2
Aisyah menerka-nerka, membayangkan sosok Sayyidah Aisyah ra. Dia tertarik untuk tahu lebih jauh tentang beliau. Dalam benaknya dia membanding-bandingkan dengan menerka-nerka bagaimana bila seorang wanita lebih pintar dari lelaki. Di desanya tidak ada ustadz perempuan, semuanya lelaki. Kalaupun ada, itu pun hanya membantu suaminya yang menjadi guru ngaji. Ini suatu hal baru bagi Aisyah. Dia teringat firman Allah dalam surat Al Mujaadilah ayat 11: “Allah akan meninggikan orangorang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Kalau aku berilmu, aku akan dimuliakan, batinnya. “Sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.” Nyai hendak melanjutkan kisahnya. “Shallallahu alaihi wasallam” sahut semua santri bershalawat pada Rasulullah saw. karena menurut hadits, bila tidak bershalawat saat nama Muhammad disebut, berarti pelit. 3
‘Banyak laki-laki yang sanggup mencapai kesempurnaan. Tetapi hanya ada beberapa wanita yang bisa mencapai hal yang sama, yaitu Maryam binti Imran, Aisyah, dan istri Fir’aun. Sungguh, keutamaan Aisyah dibandingkan perempuan-perempuan lain sama seperti
keutamaan
bubur
dibandingkan
seluruh
makanan lainnya.’ Begitu hadits riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah.” Aisyah bernafas dalam sambil memandang Nyai Maisarah. *** Pagi ini Aisyah ke perpustakaan. Dia dan semua santri baru saja menunaikan ibadah shalat duha di masjid. Tidak ada jadwal kajian hingga nanti sehabis sembahyang duhur. Waktu ini biasanya digunakan untuk bersantai oleh para santri. Perpustakaan pesantren terletak diantara asrama putra dan putri. Ada ustadz dan ustadzah yang menjaga di masing-masing ruang baca putra dan ruang baca putri. Buku-bukunya semua berbahasa Arab. Penghuni
4
pesantren menyebutnya kitab, bahasa arab dari kata ‘buku’, tapi sudah terlanjur akrab menyebutnya kitab. Ada beberapa santri putra yang sedang memilih-milih kitab di rak. Aisyah agak malu pada mereka karena sendirian, biasanya bersama temantemannya. Tetapi dia berusaha memberanikan diri. Salah satu santri putra mengangkat wajahnya yang tadi menunduk pada rak kitab di depannya. Rakrak kitab di perpustakaan tersebut hanya setinggi satu meter sehingga bisa melihat pengunjung lainnya. Tujuannya, untuk menghindari santri-santri yang nakal agar tidak pacaran di sela-sela rak. Aisyah bingung, dia ingin tersenyum melihat wajah santri putra tersebut. Tetapi dia langsung menundukkan wajahnya kembali. Aisyah melihat-lihat di rak bertuliskan Syirah yang artinya Sejarah. Rak tersebut berada di samping rak kitab Tafsir, rak di depan santri putra itu. Santri putra itu duduk, melihat-lihat kitab di rak paling bawah. Aisyah melihatnya sekilas. Santri itu
5
sangat serius, sepertinya kitab yang sedang ia cari belum ditemukan. Aisyah mengambil tiga kitab Sejarah Sahabiah, sahabat wanita rasulullah, dan membawanya ke meja di ruang baca putri. Dia membuka satu kitab. Dia mendapati sebuah keterangan: Aisyah memiliki kemampuan ijtihad yang mengagumkan. Dia termasuk wanita yang banyak menghafalkan hadits-hadits Nabi saw., sehingga para ahli hadits menempatkan dia pada urutan kelima dari para penghafal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas.
Pasti beliau banyak membaca sehingga hafal banyak, pikir Aisyah. Dia sendiri baru hafal dua ratus hadits. Itu pun masih sering lupa. Padahal santri putra ada yang hafal enam ratus hadits. Berarti dia masih kalah. Dia melanjutkan ke paragraf berikutnya.
6
Kamar Aisyah lebih banyak berfungsi sebagai sekolah, yang murid-muridnya berdatangan dari segala penjuru untuk menuntut ilmu.
Aisyah bertanya-tanya dalam hati, kenapa dia tidak pernah mendengar kyai perempuan yang memimpin pesantren? Dari keterangan di atas, berarti Sayyidah Aisyah sebagai guru, sama dengan kyai, yang di sekitar rumahnya dijadikan tempat para pencari ilmu.
7