43
5 PEMBAHASAN UMUM Asam lemak nonesensial merupakan asam lemak hasil sintesa de novo dalam jaringan mamari dapat dihasilkan oleh sapi dengan pemberian ransum dengan konsentrat kadar protein kasar 14%, TDN 64% dan serat kasar 12% dengan atau tanpa campuran garam karboksilat kering (CGKK) atau campuran metil ester kering (CMEK), walaupun konsentrasi VFA total hasil fermentasi karbohidrat oleh mikroba rendah dalam cairan rumen (60,4mM-61,7mM atau 60,4mM-61,6mM vs 80-160mM). Fenomena ini berindikasi kontribusi asetat hasil fermentasi karbohidrat konsentrat dengan kadar serat kasar 12%
terhadap
ketersediaan asetat untuk sintesa de novo asam lemak, akibat proporsi konsentrat rendah dalam ransum (sumber serat:konsentrat 80:20). Indikasi lain, rataan konsentrasi VFA total 61,5 mM dan 61,2 mM in vitro yang dihasilkan oleh konsentrat dengan kadar protein kasar 14% dan TDN 64% dapat mendukung produksi susu sapi 8-10 Lhr-1 pada pertengahan laktasi. Menurut NRC (2001), produksi susu harian yang dapat dihasilkan oleh sapi dengan asupan konsentrat 16 kgBKhr-1 dengan kadar PK 14% dan TDN < 68% adalah 20 Lhr-1. Jadi jumlah pemberian konsentrat dengan kadar PK 14% dan TDN 64% perlu ditingkatkan (1,8 kgKhr-1 vs 16 kgBKhr-1) untuk meningkatkan produksi susu harian. Menurut Tasse (1999), pemberian konsentrat dengan kadar protein kasar rendah (PK 12%) dan kadar total nutrien tercerna rendah (TDN 64%) dapat mendukung produksi susu 12-15 Lhr-1 pada awal laktasi, yang ditunjukkan oleh konsentrasi asam lemak hasil mobilisasi atau perombakan cadangan lemak (nonesterified fatty acid, NEFA) dalam plasma lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi NEFA normal (0,17 mEq vs 0,52 mEq). Karbohidrat non struktural (KNS; non structural carbohydrate, NSC) dalam konsentrat tidak semua difermentasi dalam rumen tetapi dapat berpindah lokasi pada waktu rumen berkontraksi. Menurut Harmon (2006), perubahan lokasi pencernaan karbohidrat non struktural dalam saluran pencernaan ternak ruminansia mempengaruhi efisiensi penggunaan energi pakan untuk produksi, yang meningkat bila lebih dari 75% karbohidrat non struktural dicerna dalam intestinal. Perubahan lokasi pencernaan karbohidrat non struktural juga
43
mengakibatkan konsentrasi VFA total hasil fermentasi karbohidrat ransum dalam rumen lebih rendah dari konsentrasi VFA total normal. Absorbsi asam oleat (C 18:1 ) ransum sangat tinggi (353 kali) dalam plasma sapi laktasi dengan ransum tanpa CGKK dan CMEK (kontrol). Fenomena ini berindikasi asam stearat (18:0) didehidrogenasi oleh enzim stearoyl-CoA desaturase (SCD) yang dihasilkan oleh mikroba rumen, lalu C 18:1 terinkoporasi dalam fosfolipid mikroba rumen. Selanjutnya mikroba rumen berpindah lokasi bersamaan dengan kontraksi rumen ke abomasal. Fosfolipid terhidrolisis dari biomassa mikrobial, lalu fosfolipid dihidrolisis oleh lipase pancreas di lumen intestinal, dan menghasilkan asam lemak bebas dan lisofosfolipid. Asam oleat (C 18:1 ) dan lisofosfolipid diabsorbsi oleh sel intestinal dan diesterifikasi menjadi fosfolipid. Selajutnya fosfolipid bergabung dengan khilomikron dan atau lipoprotein VLDL (very low density lipoprotein) dan dibawa bersama dengan aliran darah ke target jaringan. Menurut Or Rasyid at al. (2007), bakteri dan protozoa dalam rumen dapat meningkatkan ketersediaan asam lemak tak jenuh hasil dehidrogenasi dalam rumen, yang dapat diabsorbsi oleh ternak ruminansia. Selanjutnya asam lemak ini dapat terinkorporasi dalam fosfolipid di sel intestinal. Kadar lemak total dan konsentrasi asam lemak hasil sintesa de novo tidak berkurang dalam susu sapi dengan pemberian ransum dengan produk pengolahan minyak ikan lemuru, CGKK dan CMEK sebagai sumber EPA dan DHA. Fenomena ini berindikasi enzim acyltranferse-1 lebih sensitif terhadap asam lemak dengan jumlah karbon 8-16 dalam sel mamari sehingga asam lemak ini dapat terinkorporasi pada Sn-1 dari asam fosfatidat dan triasilgliserol. Kadar lemak total sama dengan konsentrasi asam lemak dengan jumlah karbon 18 tidak berubah dalam susu sapi dengan pemberian ransum tanpa atau dengan CGKK dan CMEK (RKM-0, RK-45, dan RM-45). Indikasi ini berimplikasi kadar lemak total susu sapi bersinergi positif dengan konsentrasi asam lemak sintesa de novo dan konsentrasi asam lemak ransum (asam lemak essensial: essential fatty acids, preformed fatty acids). Konsentrasi EPA (20:5) dan DHA (22:6) tertinggi dalam plasma yang dihasilkan oleh sapi dengan pemberian ransum dengan CGKK. Begitu juga absorbsi EPA dan DHA ransum dalam plasma. Fenomena ini mununjukkan EPA
43
dan DHA yang berasal dari ransum dengan CGKK lebih banyak diabsorbsi dan diinkorporasi dalam lemak yang disintesa dalam sel intestinal dan terbawa dalam darah. Indikasi ini berimplikasi CGKK lebih efektif sebagai sumber asam lemak omega 3 seperti EPA dan DHA dalam ransum, yang dapat dibawa oleh darah ke target jaringan ternak. Konsentrasi EPA dan DHA dalam susu yang dihasilkan oleh sapi dengan pemberian ransum dengan CGKK sama dengan pemberian ransum dengan CMEK, walaupun inkorporasi EPA dan DHA plasma dalam susu yang dihasilkan oleh sapi pemberian ransum dengan CMEK lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian ransum dengan CGKK. Fenomena ini berindikasi posisi spesifik EPA dan DHA dalam susu sapi dengan pemberian CGKK tidak sama dengan pemberian ransum dengan CMEK dalam susu sapi. Inkorporasi asam linoleat (C 18:2 ), EPA (C 20:5 ) , dan DHA (C 22:6 ) plasma dalam susu sapi dengan pemberian ransum dengan CGKK lebih rendah dibandingkan dengan pemberian ransum dengan CMEK, walaupun konsentrasi C 20:5 , dan C 22:6 dalam susu sapi dengan pemberian ransum dengan CGKK sama dengan ransum dengan CMEK. Begitu juga, kadar lemak total susu sapi dengan pemberian ransum dengan CGKK atau CMEK adalah sama. Fenomena ini berindikasi status meningkat atau tidaknya konsentrasi asam lemak tak jenuh ganda dalam susu sapi ditunjukkan oleh status meningkat atau tidaknya kadar lemak total dalam susu sapi. Konsentrasi asam lemak essensial lainnya seperti asam stearat (C 18:0 ), asam oleat (C 18:1 ), dan asam linoleat (C 18:3 ) dalam susu sapi dengan pemberian ransum tanpa atau dengan CGKK atau CMEK adalah sama. Begitu juga inkorporasi C 18:0 , C 18:1 , C 18:2 , dan C 18:3 plasma dalam susu sapi, walaupun inkoporasi asam linoleat (C 18:2 ) plasma dalam susu sapi dengan pemberian konsentrat dengan CMEK lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian ransum dengan CGKK. Fenomena ini berindikasi posisi spesifik asam stearat tidak sama dengan asam oleat dan atau asam linoleat dalam lemak susu yang dihasilkan oleh sapi dengan pemberian ransum dengan CGKK atau CMEK pada periode pertengahan laktasi. Inkorporasi EPA dan DHA plasma dalam lemak susu sapi dengan pemberian ransum dengan CMEK lebih tinggi padahal konsentrasi EPA dan
43
DHA dalam plasma sapi dengan pemberian ransum dengan CGKK (RK-45) lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian ransum dengan CMEK (RM-45). Fenomena ini berindikasi inkoporasi EPA dan DHA dalam lemak susu tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan EPA dan DHA dalam plasma tetapi banyak faktor diduga mempengaruhi inkorporasi asam lemak plasma dalam lemak susu sapi. Daya sensitifitas enzim lipase lipoprotein terhadap asam lemak dalam lemak yang dibawa oleh lipoprotein dalam kapiler darah jaringan mamari dan sensitifitas enzim acyltransferase terhadap asam lemak dalam sel epitelial alveolar jaringan mamari, begitu juga pool asam lemak CoA (fatty acid-CoA) dalam sel mamari diduga mempengaruhi inkorporasi asam lemak dalam lemak susu sapi. Walaupun demikian, peranan ketiga faktor ini terhadap inkorporasi asam lemak belum dikaji pada penelitian ini. Konsentrasi asam lemak hasil sintesa de novo seperti asam kaprilat, asam kaprat, asam laurat, asam miristat dan asam palmitat tidak meningkat dalam susu sapi dengan pemberian ransum dengan CGKK atau CMEK. Fenomena ini berindikasi ketersediaan asam asetat dan butirat hasil fermentasi karbohidrat dalam rumen, sebagai bahan dasar untuk sintesa de novo asam lemak dalam sel mamari susu sapi dengan pemberian ransum tanpa atau dengan CGKK atau CMEK adalah sama. Hasil penelitian ini memperkuat simpulan Carriquiry et al. (2009), konsentrasi asam lemak hasil sintesa de novo dalam sel mamari tidak meningkat dalam susu sapi dengan pemberian konsentrat dengan Alifet sebagai sumber EPA dan DHA pada awal laktasi. Persamaan hasil-hasil penelitian ini menunjukkan konsentrasi asam lemak hasil sintesa de novo dalam sel mamari dalam susu sapi tidak dapat ditingkatkan oleh pemberian ransum dengan hasil pengolahan minyak ikan sebagai sumber EPA dan DHA pada periode awal laktasi, dan pertengahan laktasi (bulan laktasi ke-1 sampai ke-4). Tingginya inkorporasi asam stearat (C 18:0 ), asam oleat (C 18:1 ), dan asam linolenat (C 18:2 ) plasma dalam susu sapi pada periode pertengahan laktasi, walaupun konsentrasinya tidak signifikan meningkat dalam susu sapi berindikasi sensifitas enzim lipase lipoprotein tinggi terhadap C 18:0 , C 18:1 , dan C 18:2 dalam sehingga absorbsinya oleh sel mamari dan inkorporasinya tinggi dalam lemak susu sapi periode pertengahan laktasi. Indikasi lain, status inkorporasi asam lemak
43
dalam susu sapi tidak menunjukkan status konsentrasinya dalam susu sapi. Menurut Moate et al. (2007) dan Glasser et al. (2007), konsentrasi asam lemak dalam susu sapi ditentukan oleh kadar lemak total susu dan produksi susu. Inkorporasi EPA dan DHA plasma sangat rendah sedangkan inkorporasi asam stearat, asam oleat dan asam linolenat plasma sangat tinggi dalam susu sapi berindikasi akumulasi stearyl-CoA, oleyl-CoA dan linolenyl-CoA menghambat akumulasi eicosapentanoyl-CoA dan docosahexaenoyl-CoA dalam pool fatty acylCoA dalam sel mamari sapi pertengahan laktasi. Indikasi lain, sensitifitas enzim acyltransferase-2 dan acyltransferase-3 rendah terhadap eicosapentaenoyl-CoA dan docosahexaenoyl-CoA dalam sel sel mamari sapi pada pertengahan laktasi. Absorbsi asam lemak plasma oleh sel mamari melalui membran sel, yang dimediasi oleh protein. Protein ini mengikat asam lemak pada membran (membrane-associated fatty acid binding protein, FABP) atau sebagai transporter asam lemak (fatty acid transporter, FATP). transpoter ini tidak hanya mempercepat tetapi juga mengatur uptake asam lemak ke dalam sel, dengan cara mempercepat perpindahan asam lemak dari pool asam lemak pada intraseluler ke intraseluler. Transporter yang berfungsi sebagai protein pembawa asam lemak dari plasma ke membram sel yang teridentifikasi yaitu CD 36, FABP pm (membrane-associated fatty acid binding protein) dan FATP 1-6 fatty acid transporter) (Schwenk et al.2010). (Konsentrasi EPA dalam susu sapi dengan pemberian ransum dengan CGKK dan CMEK lebih tinggi dibandingkan dengan Moate et al. (2007), rataan konsentrasi EPA dalam susu sapi Holstein Amerika, Australia dan Selandia Baru dengan pemberian ransum dengan minyak ikan (219 mgkg-1, 143 mgkg-1 vs 32 mgkg-1). Padahal produksi susu sapi dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan produksi susu sapi Amerika, Australia, dan Selandia Baru ( 8-10 kghr-1 vs 30 kghr-1). Hal ini berindikasi sapi perah Indonesia lebih efektif menghasilkan susu dengan kandungan EPA alami dibandingkan sapi Amerika, Australia dan Selandia Baru. Hasil penelitian mendukung simpulan Carriquiry et al. (2009), konsentrasi asam lemak non esensial atau asam lemak sintesa de novo seperti asam kaprilat, asam kaprat, asam laurat, asam miristrat, dan asam palmitat tidak meningkat
43
dalam susu sapi dengan pemberian ransum dengan Alifet sebagai sumber EPA dan DHA pada awal laktasi. Begitu juga, simpulan AbuGhazaleh et al. (2009), konsentrasi asam lemak non esensial atau asam lemak sintesa de novo tidak meningkat dalam susu sapi dengan pemberian konsentrat dengan campuran minyak kedelai dengan minyak ikan (2/3 FO), dan campuran minyak kedelai dengan mikroalgae (ALG) sebagai sumber EPA dan DHA pada pertengahan laktasi. Persamaan hasil-hasil penelitian menunjukkan konsentrasi asam lemak nonessensial atau asam lemak sintesa de novo tidak bergantung pada periode laktasi (awal sampai petengahan laktasi, bulan laktasi ke-1 sampai ke-4). Hal ini berimplikasi (1) ketersediaan asetat sebagai bahan dasar untuk sintesa asam lemak dalam jaringan mamari sapi laktasi (2) ketersediaan enzim pencerna karbohidrat dalam rumen sapi laktasi, dan (3) ketersediaan enzim acyltransferase-1 dalam jaringan mamari sapi laktasi tidak bergantung pada periode laktasi. Hasil penelitian mendukung simpulan Nelson dan Martini (2009), Carriquiry et al (2009), dan AbuGhazaleh et al. (2009), konsentrasi asam lemak esensial jenuh (asam stearat), asam lemak tak jenuh tunggal (monosaturated fatty acid, MUFA, 18:1), dan asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acids, PUFAs, 18:2 dan 18:3) tidak meningkat dalam susu sapi dengan pemberian ransum dengan garam kalsium (Nelson & Martini, 2009), atau dengan Alifet pada awal laktasi, atau dengan campuran minyak kedelai dengan minyak ikan, atau dengan campuran minyak kedelai dengan mikroalgae (AbuGhazaleh et al. 2009) pada pertengahan laktasi. Begitu juga
simpulan AbuGhazaleh et al. (2009),
konsentrasi EPA dan DHA sebagai PUFA n-3 tidak meningkat dalam susu sapi dengan pemberian ransum dengan campuran minyak kedelai dengan minyak ikan atau mikroalgae. Sebaliknya simpulan Nelson dan Martini (2009), konsentrasi EPA dan DHA meningkat dalam susu sapi dengan pemberian ransum dengan garam kalsium dibandingkan dengan kontrol. Persamaan diantara hasil-hasil penelitian ini menunjukkan konsentrasi asam lemak esensial dengan jumlah karbon 18 tidak dapat ditingkatkan dalam susu sapi dengan pemberian ransum dengan sumber asam lemak alami (minyak dan mikroalgae) dan hasil pengolahan minyak ikan (Alifet, garam kalsium,
43
CGKK, CMEK) pada awal dan petengahan laktasi. Sebaliknya konsentrasi asam lemak omega-3 (PUFA n-3) konsentrasi EPA dan DHA dapat ditingkatkan dalam susu sapi dengan pemberian produk pengolahan minyak ikan seperti garam kalsium, CGKK, dan CMEK. Berdasarkan persamaan dan perbedaan antara hasil penelitian dengan simpulan Nelson dan Martini (2009) dan Carriqury et al. (2009, konsentrasi asam lemak non esensial tidak bergantung pada sumber asam lemak esensial dalam ransum dan periode laktasi. Sebaliknya konsentrasi asam lemak esensial khususnya asam lemak omega-3 (PUFA n-3) dalam susu sapi bergantung pada sumber EPA dan DHA, dan periode laktasi. Pemberian ransum dengan hasil pengolahan minyak ikan seperti Alifet menurunkan konsentrasi EPA dalam susu sapi sedangkan pemberian ransum dengan campuran garam karboksilat kering, campuran metil ester kering garam kalsium meningkatkan konsentrasi EPA dan DHA dalam susu sapi.