DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA -------------------------------------------LAPORAN KUNJUNGAN KERJA KE NEGARA FEDERASI RUSIA, NEGARA REPUBLIK PERANCIS, NEGARA INGGRIS DAN KERAJAAN BELANDA DALAM RANGKA PERSIAPAN PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DAN HUKUM ACARA PIDANA (HAP)
I.
PENDAHULUAN
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana yang diamanat kan oleh Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “ Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang” dan juga Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu Fungsi Legislasi, Fungsi Anggaran, dan Fungsi Pengawasan. Pelaksanaan Fungsi Legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
sebagai
pemegang
kekuasaan
pembentukan Undang-Undang.
Komisi III DPR RI sebagai salah satu alat kelengkapan dewan yang memiliki ruang lingkup kerja di bidang Hukum, Hak Asasi Manusia dan Keamanan telah diberikan tugas oleh Badan Musyawarah (BAMUS) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. PW/ 01104/ DPR RI/ I/ 2013 tertanggal 31 Januari 2013 untuk melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan Rancangan Undang1
Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) sebagaimana dimaksud dalam Surat Presiden Republik Indonesia No. R88/Pres/12/2012 dan surat No. R-87/Pres/12/2012, tertanggal 11 Desember 2012, yang pada intinya telah menyerahkan Draft RUU KUHP dan KUHAP kepada DPR RI untuk dilakukan pembahasan bersama. Pembahasan RUU KUHP dan KUHAP ini pun akan disejajarkan dengan pembahasan rancangan Draft RUU Kejaksaan Agung dan Draft RUU Mahkamah Agung yang saat ini sedang dibahas di Komisi III DPR RI, sehingga akan tercipta penegakan hukum yang terintegrasi (integrated criminal justice system).
Adapun terkait dengan proses perumusan dan penyusunan Rancangan UndangUndang tersebut, merupakan pernyataan sikap Komisi III DPR RI dalam melakukan upaya-upaya perbaikan serta dukungan dari sisi legislasi mengenai penegakan hukum, penghormatan kepada Hak Asasi Manusia dan dalam rangka penerapan prinsip integrated justice system di Indonesia.
Urgensi pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, adalah sebagai berikut: 1. Bahwa KUHP yang selama ini berlaku di Indonesia, adalah produk kolonial Belanda yang diberlakukan di Indonesia dengan asas konkordansi sejak 1 Januari 1918. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, KUHP dinyatakan berlaku melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 (sudah diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia), dan selanjutnya KUHP dinyatakan berlaku umum (unifikasi hukum pidana) melalui UndangUndang Nomor 1 Tahun 1958 (29 September 1958). Namun demikian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tersebut, bahwa KUHP dinyatakan berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah-daerah lain akan ditetapkan kemudian oleh Presiden. Usaha untuk mewujudkan adanya kesatuan hukum pidana untuk seluruh Indonesia ini, secara de facto belum dapat terwujud karena terdapat daerah-daerah pendudukan Belanda sebagai akibat aksi militer Belanda I dan II di mana 2
untuk daerah-daerah tersebut masih berlaku Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (Staatsblad 1915 : 732) dengan segala perubahannya. Dengan demikian, dapat dikatakan setelah kemerdekaan tahun 1945 terdapat dualisme hukum pidana yang berlaku di Indonesia dan keadaan ini berlangsung hingga tahun 1958 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958. Undang-Undang tersebut menentukan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan semua perubahan dan tambahannya berlaku untuk seluruh Indonesia. Dengan demikian berlakulah hukum pidana materiil yang seragam untuk seluruh Indonesia yang bersumber pada hukum yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 yaitu “Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie”, yang untuk selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Harus diakui pula, telah banyak usaha-usaha untuk menyesuaikan KUHP warisan kolonial Belanda ini dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka dan dengan perkembangan kehidupan sosial lainnya, baik nasional maupun internasional, antara lain: 1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1960, dengan menaikan ancaman hukuman dalam Pasal-pasal 359, 360 dan 188 KUHP; 2) Undang-Undang Nomor 16 Prp. Tahun 1960, yang merubah kata-kata “vijf en twintig gulden” dalam Pasalpasal 364, 373, 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi “duaratus lima puluh rupiah”; 3) Undang-Undang Nomor 18 Prp Tahun 1960, memberikan perubahan jumlah hukuman denda; 4) Undang-Undang Nomor 2 PNPS Tahun 1964, tentang tata cara pelaksanaan pidana mati; 5) Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, perihal pencegahan, penyalahgunaan/atau penodaan agama, yang antara lain telah menambahkan ke dalam KUHP Pasal 156a; 6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974, dengan merubah ancaman pidana dalam Pasalpasal 303 ayat (1), 542 ayat (1) dan 542 ayat (2) KUHP dan merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis; 7) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1976, dengan merubah dan menambah beberapa pasal yang berkaitan dengan perluasan berlakunya KUHP dan kejahatan terhadap 3
sarana/prasarana penerbangan; 8) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999, berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara; 8) UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 yang kemudian digantikan oleh UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang berkaitan dengan perkara korupsi. Pelbagai pembaharuan dan/atau perubahan yang terjadi tersebut pada dasarnya bersifat ad hoc dan bernuansa evolusioner serta tidak dapat memenuhi tuntutan 4 (empat) misi perubahan mendasar yang telah diuraikan
di
atas
(dekolonisasi,
demokratisasi,
konsolidasi
dan
harmonisasi), sehingga penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru harus dilakukan. 2. Bahwa Pemerintah Indonesia juga telah melakukan upaya-upaya yang bersifat harmonisasi dengan ketentuan yang berlaku secara Internasional sebagai bagian dari masyarakat dunia. Beberapa ketentuan tersebut, khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum, kemudian dilakukan ratifikasi, antara lain: 1) Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia; 2) International Covenant on Civil and Political Rights yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) ; dan 3) United Nations Convention Against Corruption yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). 4
Dengan adanya pembahasan terhadap rancangan RUU KUHAP ini, perlu kiranya disesuaikan kembali substansi beberapa konvensi tersebut ke dalam rancangan KUHAP, sehingga meminimalisir benturan pengaturan antara konvensi internasional dengan ketentuan yang diberlakukan di Indonesia. Selain daripada itu, jangka waktu penahanan perlu juga disesuaikan dengan International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Pasal 9 Konvensi tersebut mengatur bahwa “seseorang yang ditangkap atau ditahan berdasarkan tindakan pidana (criminal charge) wajib segera harus segera (Promptly) dibawa secara fisik ke depan hakim untuk disidangkan
atau
dibebaskan”.
Dengan
menyadari
sepenuhnya
karakteristik kondisi geografis yang ada di Indonesia disepakati bahwa pengertian “jangka waktu yang wajar” adalah paling lama 5 (lima) hari dengan ketentuan bahwa waktu tempuh perjalanan membawa tersangka dari tempat ditemukannya atau ditangkapnya tersangka ke tempat penahanan tidak dihitung. Selanjutnya, tersangka harus dibawa secara fisik kepada hakim dalam hal ini hakim khusus yaitu hakim pemeriksa pendahuluan yang menandatangi surat perintah penahanan
selama 25
(dua puluh lima) hari yang formulir surat perintah penahanan dipegang dan diisi oleh penuntut umum. Dalam perkembangannya, makna pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang semula semata-mata diarahkan kepada misi tunggal yang mengandung makna “dekolonisasi” Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam bentuk “rekodifikasi”, dalam perjalanan sejarah bangsa pada akhirnya juga mengandung pelbagai misi yang lebih luas sehubungan dengan perkembangan baik
nasional
maupun
internasional.
Adapun
misi
kedua
adalah
misi
“demokratisasi hukum pidana” yang antara lain ditandai dengan masuknya Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia dan hapusnya tindak pidana penaburan permusuhan atau kebencian (haatzaai-artikelen) yang merupakan tindak pidana formil dan dirumuskan kembali sebagai tindak pidana penghinaan yang 5
merupakan tindak pidana materiil. Misi ketiga adalah misi “konsolidasi hukum pidana”
karena
sejak
kemerdekaan
perundang-undangan
hukum
pidana
mengalami pertumbuhan yang pesat baik di dalam maupun di luar Kitab UndangUndang Hukum Pidana dengan pelbagai kekhasannya, sehingga perlu ditata kembali dalam kerangka Asas-Asas Hukum Pidana yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di samping itu penyusunan Kitab UndangUndang Hukum Pidana Baru dilakukan atas dasar misi keempat yaitu misi adaptasi dan harmonisasi terhadap pelbagai perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar serta norma yang diakui oleh bangsabangsa beradab di dunia internasional. Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebut diatas, maka dipandang perlu untuk segera dirumuskan Rancangan Undang-Undang tentang KUHP dan Rancangan Undang-Undang tentang KUHAP. Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan kedua Rancangan Undang-Undang ini diantaranya adalah: 1. menjamin kepastian hukum, menciptakan kemanfaatan dan keadilan dalam proses pemidanaan terhadap terpidana; 2. proses
pemidanaan
tidak
dimaksudkan
untuk
menderitakan
dan
merendahkan martabat manusia; 3. meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan pemerintah dalam menyelesaikan konflik hukum didalam masyarakat dengan tetap menegakan norma-norma hukum; 4. sebagai salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia; dan 5. memperkuat penegakan dan supremasi hukum di Indonesia. Mencermati latar belakang, sasaran, dan materi perubahan atau pengaturan yang sangat luas dan signifikan, maka perlu pengkajian yang seksama oleh DPR-RI sehingga pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP dapat dilakukan dengan baik
dan
cermat.
Studi
Kebijakan
perlu
dilakukan
untuk
mengetahui
pola/mekanisme hukum materiil dan hukum formiil (penegakan hukum) yang 6
sesuai dengan ketentuan standar internasional (best practices) yang diterapkan di negara lain dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi yang ada di Indonesia. Studi ini harus terus dilakukan sehingga dapat selalu selaras dengan ketentuan standar internasional yang berlaku serta dapat menunjang peningkatan efektifitas penegakan hukum UU yang akan datang. Dalam rangka untuk mendapatkan masukan, data pembanding, dan pendalaman terhadap substansi RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana khususnya yang berkaitan dengan pengaturan mengenai Criminal Act serta pengaturan mengenai mekanisme dan tata kerja penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum, Komisi III DPR RI mengadakan kunjungan kerja ke beberapa Negara yakni Negara Federasi Rusia, Negara Perancis, Negara Inggris, dan Kerajaan Belanda.
Pemilihan Negara Kerajaan Inggris sebagai salah satu Negara tujuan didasari bahwa Negara Kerajaan Inggris sebagai salah satu Negara di dunia yang menerapkan sistem Common Law yang lebih bersumber pada Custom; Legislation; dan Case Law yang merupakan karakteristik utama dari sistem hukum Perancis. sedangkan Negara Kerajaan Belanda dan Negara Perancis merupakan Negara yang menerapkan sistem Civil Law. Sedangkan pemilihan Negara Federasi Rusia sebagai akibat dari bubarnya Uni Soviet dimana telah terjadi perubahan mendasar dari sistem sosialis telah berkiblat ke sisitem Eropa continental dan anglo saxon dimana isinya lebih berdasarkan pada Konstitusi Federasi Rusia dan asas hukum umum dan norma-norma yang diakui oleh hukum internasional.
II. II.1.
MAKSUD DAN TUJUAN Maksud
Maksud dari kegiatan ini adalah untuk mendapat masukan secara menyeluruh terkait Rancangan KUHAP dan Rancangan Hukum Acara Pidana baik dari akademisi maupun penegak hukum dalam rangka penyempurnaan Rancangan 7
KUHAP dan Rancangan Hukum Acara Pidana. II.2
Tujuan
Kunjungan Kerja Luar Negeri Komisi III DPR RI dilakukan dengan tujuan untuk mencari informasi, bahan, dan data baik berupa masukan maupun perbandingan mengenai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana di keempat Negara. Sehingga Kunjungan Kerja ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dalam pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana Indonesia dan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Secara Khusus, kegiatan Kunjungan Kerja Luar Negeri Komisi III DPR RI dilakukan untuk mencari masukan terkait : 1.
Bagaimana penerapan
Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana
dalam sistem peradilan pidana di masing-masing Negara ? 2.
Bagaimana pelaksanaan sistem peradilan pidana baik materil maupun formil dalam menciptakan kesadaran dan kepatuhan masyarakat atas hukum ?
3.
Bagaimana wujud koordinasi diantara penegak hukum, dalam hal ini Penyidik, Penuntut dan Hakim dalam menciptakan supremasi hukum ?
4.
Bagaimana menempatkan subjek hukum korporasi dalam sistem peradilan pidana di masing-masing negara ?
5.
Bagaimana memposisikan terpidana dalam sistem peradilan yang berlaku di masing-masing negera dengan mengadopsi human rights ?
6.
Bagaimana golongan atau macam pemidanaan dari masing-masing negara ?
8
III. SUSUNAN DELEGASI III.1. DELEGASI KE FEDERASI RUSIA NO
NAMA
KETERANGAN
1.
DR. H. M. AZIZ SYAMSUDDIN, SH
KETUA DELEGASI/ KOMISI III/ F-PG
PIMPINAN
2.
HJ. HIMATULL ALYAH S,SH.,MH
ANGGOTA DELEGASI/F – PD
3.
DIDI IRAWADI
ANGGOTA DELEGASI/ F – PD
4.
H. NUDIRMAN MUNIR, SH
ANGGOTA DELEGASI/ F – PG
5.
AHMAD YANI, SH
ANGGOTA DELEGASI/ F – PPP
6.
H. BAHCRUDIN NASORI
ANGGOTA DELEGASI/ F – PKB
7.
H. SARIFUDIN SUDING
ANGGOTA DELEGASI/ F - HANURA
III.2. DELEGASI KE NEGARA REPUBLIK PERANCIS NO
NAMA
KETERANGAN
8.
GEDE PASEK SUARDIKA, SH., KETUA DELEGASI/KETUA KOMISI MH III / F - PD
9.
DR. H. M. AZIZ SYAMSUDDIN, SH
ANGGOTA DELEGASI KETUA KOMISI III/ F-PG
10.
H. DADAY HUDAYA, SH., MH
ANGGOTA DELEGASI/F – PD
11.
DODI REZA ALEX NOERDIN, LIC ANGGOTA DELEGASI/ F – PG ECON, MBA
12.
DRS. H. AHMAD KURDI MOEKRI
/
WAKIL
ANGGOTA DELEGASI/ F – PPP
III.3. DELEGASI KE NEGARA INGGRIS NO NAMA 1. DR. H. M. AZIZ SYAMSUDDIN, SH
2. PAULA SINJAL 3. SUBYAKTO
KETERANGAN ANGGOTA DELEGASI/ WAKIL KETUA KOMISI III ANGGOTA DELEGASI/F-PD ANGGOTA DELEGASI/F-PD 9
4. 5. 6. 7. 8.
DR.H.DEDING ISHAK, SH.,MM PASKALIS KOSSAY, S.Pd.,MM DIMYATI NATAKUSUMA OTONG ABDURAHMAN H. SUNARDI AYUB, SH
ANGGOTA DELEGASI/F-PG ANGGOTA DELEGASI/F-PG ANGGOTA DELEGASI/F-PPP ANGGOTA DELEGASI/F-PKB ANGGOTA DELEGASI/F-Hanura
III.4. DELEGASI KE NEGARA KERAJAAN BELANDA No. 1
Nama
Keterangan
Gede Pasek Suardika
Ketua Komisi III / F-PD Ketua Delegasi
2
Tjatur Sapto Edy
Wakil Ketua Komisi III / F- PAN Anggota Delegasi
3
Andi Rio Idris P.
Anggota Delegasi/F – PG
4
Mahyudin Mansyur
Anggota Delegasi/F – PG
5
Muhammad Ade Surapriatna
Anggota Delegasi/F – PG
6
Taslim
Anggota Delegasi/F – PAN
7
Muhammad Aditya
Anggota Delegasi/ F – PPP
Mufti Arifin
IV. WAKTU DAN TEMPAT KUNJUNGAN LAPANGAN IV.1 Waktu dan Tempat Kunjungan Ke Negara Federasi Rusia Hari/Tanggal
: Minggu, 14 April 2013 sampai dengan Jumat, 19 April 2013
Kegiatan
: Pertemuan dan kunjungan ke instansi sebagai berikut: 1. Melakukan pertemuan dengan Duma Negara Rusia yang merupakan lembaga legislatif, lower house dari parlemen Rusia. Dalam pertemuan tersebut, tim diterima oleh Pavel V. Krasheninnokov, Ketua Komite Bidang Hukum Sipil,
Kriminal,
Arbitrase,
dan
Prosedural
beserta
Jajarannya di Duma Negara (Parlemen Negara Federasi Rusia); 10
2. Melakukan
pertemuan
dengan
Mahkamah
Agung
Negara Federasi Ruisa sebagai badan peradilan tertinggi di Rusia. Mahkamah Agung memiliki tugas utama sebagai pengawas badan peradilan dibawahnya, dan berwenang mengadili dalam tingkat kasasi. Disamping itu, Mahkamah Agung merupakan salah satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menjadi inisiator sebuah rancangan undang-undang yang akan dibahas oleh legislator. Dalam pertemuan dengan Mahkamah Agung, Tim diterima oleh Valery M. Lebedev, Ketua Mahkamah Agung Negara Federasi Rusia di Gedung Mahkamah Agung Negara Federasi Rusia; 3. Melakukan pertemuan dengan Minyazeva Tatiana, Ketua Jurusan Hukum Pidana dan Ketua Jurusan Hukum Acara Pidana di Peoples’ Friendship University Of Russia (RUDN); 4. Melakukan
Pertemuan
dengan
perwakilan
Kementerian
Hukum
Negara
Federasi
Kementerian
Hukum
merupakan
badan
dari Rusia. yang
bertanggungjawab atas pengembangan dan realisasi kebijakan negara dalam bidang kehakiman, koordinasi semua badan dalam bidang kehakiman. Kementerian Hukum bertanggung jawab atas hakim dan pengadilan kriminal,
registrasi
partai
politik,
Organisasi
Non-
Komersil, organisasi keagamaan, disamping itu, DInas Federal Lembaga Pemasyarakatan dan DInas Federal Jurusita berada dibawah Kementerian Hukum. Saat ini menteri
Hukum
Negara
Federasi
RUsia
adalah
Alexander Konovalov; 5. Melakukan pertemuan dengan Kejaksaan Jenderal Negara Federasi Rusia. Kejaksaan Federal merupakan badan pemerintah yang secara faktual tidak mewakili 11
kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Namun di konstitusi Rusia menyatakan bahwa Kejaksaan Jenderal adalah badan kekuasaan yudikatif dimana tugas badan ini adalah mengawasi ketaatan pejabat negara, penegak hukum maupun warga negara pada Undang-Undang dan konstitusi Rusia; 6. Melakukan pertemuan dengan Duta Besar Indonesia untuk Negara Federasi Rusia beserta jajarannya, Masyarakat
Indonesia
di
Rusia,
dan
Mahasiswa
Indonesia di Rusia.
IV.2 Waktu dan Tempat Kunjungan Ke Negara Republik Perancis Hari/Tanggal
: Minggu, 21 April 2013 sampai dengan Sabtu, 27 April 2013
Kegiatan
: Pertemuan dan kunjungan ke instansi sebagai berikut: 1. Pertemuan dengan Bapak Rezlan Ishar Jenie, Dubes R.I. untuk Perancis dan para home staff KBRI Paris; 2. Pertemuan dengan Wakil Irjen IGPN, Jerome Leonnet, Wakil Direktur Devisi Etika dan Aturan, Komisaris David Chanteux dan Direktur Pusat Penyelidikan , Komisaris Raymond Darriet; 3. Kunjungan ke Polres Distrik 4 dan Service d’Investigation Transversale (SIT) di dampingi oleh Stephane Gouard; 4. Kunjungan ke Assemblee Nationale (Majelis Nasional Perancis) dan Anggota-anggota Parlemen dari Grup Persahabatan Perancis – Indonesia di Majelis Nasional, Diketuai oleh Mr.Jean-Jacques Guilet; 5. Pertemuan dengan Pengadilan Tinggi Paris dengan didampingi oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi, Pascal Le Luong; 6. Kunjungan
ke
Brigade
Pemberantasan
Banditisme
(BRB) dengan didampingi oleh Wakil Kepala BRB, Komisaris Philippe Sueh; 12
7. Pertemuan dengan Kementrian Kehakiman (Direktur Urusan Kriminal dan Grasi Kepresidenan), yaitu Francois Capin-Dulhoste.
IV.3 Waktu dan Tempat Kunjungan Ke Negara Inggris Hari/Tanggal
: Minggu, 28 April 2013 sampai dengan Jumat, 03 Mei 2013
Kegiatan
: Pertemuan dan kunjungan ke instansi sebagai berikut: 1. Pertemuan dengan APPGI / Parlemen Inggris Caroline emery, PA Richard Graham MP; 2. Pertemuan
dengan
Anthony
Salmon
Specialist
Prosecutor Crown Prosecution Service (CPS) - Chrissy Tsertis; 3. Peninjauan Lapangan ke kantor Metropolitan Police Dipesh Datani; 4. Pertemuan dengan The Recorder of London (His Honour Judge Brian Barker QC salah satu Hakim Senior di Pengadilan Kriminal Inggris) - Paola Galley, Secretary to the Recorder of London; 5. Pertemuan dengan Duta Besar R.I (HE Hamzah Thayeb) dan Masyarakat Indonesia di London; 6. Pertemuan dengan Victoria Baurn, Criminal Recording Lawyer, Ministry of Justice; 7. Pertemuan dengan Metropolitan Police Officials - Dipesh Datani.
IV.4 Waktu dan Tempat Kunjungan Ke Negara Kerajaan Belanda Hari/Tanggal
: Senin, 13 Mei sampai dengan Sabtu, 18 Mei 2013
Kegiatan
: Pertemuan dan kunjungan ke instansi sebagai berikut: 1. Justitie
Ministerie
(Kementerian
Keamanan
dan
Kehakiman); 2. Openbaar Ministerie (Kejaksaan Agung); 3. Hoge Raad (Mahkamah Agung); 13
4. Tweede Kamer (Parlemen); 5. Fakultas Hukum Universiteit Leiden; 6. Perpustakaan Universitas Leiden; 7. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Negara Belanda.
V. HASIL KUNJUNGAN KERJA V.1. Hasil Kunjungan Kerja di Negara Federasi Rusia 1. Berkaitan dengan Hukum Pidana Rusia Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Rusia merupakan salah satu hukum pidana dan Hukum Acara Pidana yang baru di dunia yakni pasca runtuhnya Uni Soviet. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Negara Federasi Rusia (KUHP RUSIA) diundangkan berdasarkan pada UndangUndang No. 63-Fz 13 Juni 1996 yang telah diterima oleh The State Duma pada 24 Mei 1996 dan oleh Majelis Federal (Federal Council) pada 5 juni 1996. Yang terakhir kali di amandemen pada 01 Maret 2012. Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Negara Federasi Rusia (KUHAP Rusia) yang diundangkan dengan UndangUndang No 174-FZ pada 18 Desember 2001 yang telah disetujui oleh State Duma pada 22 November 2001 dan oleh Majelis Federasi pada 05 Desember 2001 dan terakhir di amandemen pada 01 Maret 2012. Hukum Pidana Rusia didasarkan pada Konstitusi Rusia dan PrinsipPrinsip Umum dan aturan-aturan tentang Hukum Internasional. Adapun yang menjadi tugas dari Hukum pidana adalah untuk melindungi hak dan kebebasan setiap manusia dan warga negara, harta, ketertiban dan keamanan umum, lingkungan hidup, dan sistem konstitusi Negara Federasi Rusia terhadap gangguan kriminal, menjaga kedamaian dan keamanan dan juga pencegahan dari kejahatan. Dimana untuk melengkapi tugas tersebut, Sistem Hukum Pidana Rusia mengenal prinsip tanggung jawab pidana yakni perbuatan yang membahayakan orang, masyarakat atau negara yang diancam dengan hukuman dan paksaaan dari putusan pengadilan. Disamping itu beberapa prinsip yang dianut dalam sistem hukum pidana rusia diantaranya:Prinsip Legalistas yakni bukan merupakan sebuah tindak pidana, dan tidak dapat dipidana bila tidak diatur dalam UndangUndang Pidana Rusia dan larangan untuk menggunakan analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana; Prinsip Equality Before The Law; the Principle Of Guilt yakni prinsip dimana seseorang harus dimintakan tanggung jawab pidana bila perbuatannya dapat membahayakan 14
masyarakat dimana kesalahannya telah ada terlebih dahulu; Prinsip Keadilan; dan Prinsip-prinsip Kemanusiaan. Lebih lanjut dalam Undang-Undang Pidana Rusia dikenal pula dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan setelah terjadinya tindak pidana, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama berlaku jika menguntungkan bagi pembuat. Dan dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan dihapuskan. Dan dalam hal setelah putusan pemidanaan memperoleh kekuatan hukum tetap, perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka pelaksanaan putusan pemidanaan tersebut disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundang- undangan yang baru. Berkaitan dengan penjatuhan hukuman, Rusia mengenal prinsip Hukuman Kumulatif namun jumlah hukuman penjara dibatasi selama maksimal 30 tahun. Sedangkan berkaitan dengan tindak pidana kumulatif, maka pelaksanaan hukuman dilaksanakan terpisah untuk masing-masing perbuatan. Berkaitan dengan ketentuan pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden maupun Wakil Presiden, dalam Undang-Undang Pidana Rusia tidak terdapat pasal khusus yang berkaitan dengan penghinaan terhadap presiden ini, akan tetapi terdapat beberapa ketentuan pasal terhadap orang/atau pihak yang mengeluarkan berita bohong terhadap pemerintah dapat dikenakan hukuman berupa denda. Berkaitan dengan batas usia pertanggungjawaban pidana, Usia seseorang dapat dimintakan tanggung jawab pidana adalah bila ia telah berusia 16 tahun sedangkan untuk tindak pidana tertentu misalnya pembunuhan, perkosaan, penculikan, pencurian, pencurian bersenjata dan lain-lain maka batas usia dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah 14 tahun. Berkaitan dengan penahanan, penahanan dilakukan untuk jangka waktu 1(satu) hingga 6 (enam) bulan. Namun penahanan tidak dapat dilakukan kepada orang yang belum berusia 16 (enam belas) tahun, sedang hamil, atau seorang wanita yang sedang memiliki anak yang berusia kurang dari 14 tahun. 15
Seseorang dapat dibebaskan dari tangung jawab pidana dalam hal tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana ringan dan tindak pidana sedang untuk pertama kalinya dan pelaku menyerahkan diri serta mengakui perbuatannya atau telah melakukan perdamaian kepada pihak korban, membayarkan ganti rugi, tindak pidana yang dilakukan sudah daluarsa. Suatu tindak pidana akan daluarsa dalam hal untuk tindak pidana ringan selama 2 (dua) tahun setelah tindak pidana terjadi, Tindak Pidana Sedang selama 6 (enam) tahun sejak tindak pidana terjadi, Tindak Pidana Berat selama 10 (sepuluh) tahun sejak tindak pidana terjadi, dan untuk TIndak Pidana Sangat Berat selama 15 (lima belas) tahun sejak tindak pidana terjadi. Dimana batasan daluarsa dihitung sejak dilakukan penegakan hukum dilakukan, dan jika pelaku melakukan lagi tindak pidana lain, maka penghitungan daluarsa dilakukan secara terpisah untuk masing-masing tindak pidana. Berkaitan dengan kategori tindak pidana, di Rusia sebuah tindak pidana dikategorikan berdasarkan perbuatan dan tingkat bahayanya sebuah perbuatan terhadap masyarakat. Dimana tindak pidana dibagi menjadi tindak pidana ringan (ancaman hukuman tidak lebih dari 3 (tiga) tahun penjara), tindak pidana sedang (ancaman hukuman tidak lebih dari 5 (lima) tahun penjara), tindak pidana berat (ancaman hukuman kurang dari 10 (sepuluh) tahun penjara, tindak pidana sangat berat (ancaman hukuman lebih dari 10 (sepuluh) tahun penjara.
2. Berkaitan dengan Hukum Acara Pidana Rusia Hukum Acara Pidana Rusia dilaksanakan berdasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan konstitusi Negara Federasi Rusia disamping itu prinsip-prinsip dan norma hukum internasional dan perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Rusia merupakan bagian dari Hukum Federasi Rusia. Bahkan bila sebuah perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Federasi bertentangan dengan KUHAP Rusia, maka ketentuan dalam perjanjian internasional tersebut dapat diterapkan. Tujuan dari proses beracara pidana adalah untuk melindungi hak dan kepentingan hukum orang dan organisasi yang menderita akibat sebuah 16
tindak pidana dan melindungi seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dari tindakan yang tidak berdasarkan hukum yang mengancam hak dan kebebasannya. Sebagai salah satu prinsip dalam hukum acara pidana rusia, keadilan dalam tindak pidana di Negara Federasi Rusia harus dilaksanakan oleh Pengadilan sehingga seorang tidak dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana dan dihukum secara pidana selain berdasarkan keputusan peradilan dengan prosedur yang sudah ditetapkan berdasarkan kitab undang-undang hukum acara pidana Rusia. KUHAP Rusia mengenal penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process). Hal baru ini didasarkan pada praktek penerapan asas oportunitas di Belanda, Perancis, Jepang, Korea, Israel, dan beberapa negara lainnya. Hal ini dipandang sebagai salah satu perwujudan dari prinsip peradilan cepat, biaya murah, dan sederhana. Asas oportunitas secara global diartikan “The public prossecutor may decide conditionally or unconditionally to make prossecution to court or not” (penuntut umum boleh menentukan menuntut atau tidak menuntut ke pengadilan dengan syarat atau tanpa syarat). Pada Pasal 25 KUHAP negara Federasi Rusia disebutkan bahwa perkara bertindak pidana ringan atau tidak serius dapat dikesampingan bila antara tersangka dan korban telah terjadi perdamaian dengan ganti kerugian. Tindak pidana ringan atau tidak serius yang dimaksud, menurut Pasal 76 KUHP Federasi Rusia, adalah tindak pidana berancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara. KUHAP Rusia, mengenal sistem atau lembaga penuntutan swasta atau korban atau private prosecution. Sistem atau lembaga penuntutan ini berbeda dengan lembaga penuntutan konvensional yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum (public prosecutor). Melalui lembaga atau proses penuntutan swasta atau korban ini, maka korban bisa langsung melakukan penuntutan ke pengadilan, tanpa melalui penyidik ataupun 17
jaksa. Biasanya, hanya untuk perkara ringan, seperti penghinaan, penganiayaan ringan, ataupun penipuan. Peradilan pidana dipimpin oleh hakim baik berbentuk majelis atau hakim tunggal dimana proses beracara pidana harus dilaksanakan dalam tenggang waktu yang wajar dan beralasan sebagaimana ditentukan dalam KUHAP Rusia. Tenggang waktu yang tetap dan beralasan ini dapat diperpanjang disesuaikan dengan kebutuhan dan alasan yang wajar. Berkaitan dengan bukti, Bukti adalah segala informasi yang digunakan dalam pengadilan, penuntut, penyidik, dan penyelidik yang diperoleh sesuai dengan prosedur dalam membuktikan sebuah peristiwa tindak pidana baik yang berupa petunjuk dari tersangka, petunjuk dari korban dan saksi, keterangan dari ahli, barang bukti berupa benda yang digunakan untuk melakukan pidana, rekaman hasil penyidikan dan persidangan serta dokumen lain yang berkaitan dengan tindak pidana. Sedangkan untuk barang bukti yang diperoleh dengan bertentangan pada Undang-Undang maka bukti tersebut tidak dapat diterima dan tidak dapat dijadikan dasar dalam melakukan penuntutan. Didalam proses peradilan pidana segala tindakan dan keputusan yang dilakukan
terhadap
pelaku
tidak
pidana
dengan
tujuan
untuk
merendahkan kehormatan dan menghina atau mengancam keselamatan dari pelaku pidana. Atau dengan kata lain, tidak boleh seorang pun dalam proses peradilan pidana mengalami kekerasan, penyiksaan, atau jenis dari perlakuan kejam, memalukan dan merendahkan martabatnya. 3. Pertemuan dengan Duta Besar Indonesia dan Masyarakat Indonesia Tim Kunjungan Kerja Komisi III DPR RI ke Negara Federasi Rusia menyempatkan melakukan dialog dengan Duta Besar Republik Indonesia dan Masyarakat Indonesia di Rusia. Pertemuan dilaksanakan di Wisma Kedutaan Besar Negara Republik Indonesia. Dalam pertemuan tersebut membahas mengenai dasar dilakukannya kunjungan kerja dan dasar pemilihan Negara Federasi Rusia sebagai salah satu tujuan 18
kunjungan. pertemuan ini juga membahas beberapa masukan terkait dengan isi rancangan undang-undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana diantaranya terkait pengaturan mengenai penyadapan yang dilakukan oleh penegak hukum khususnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Pengaturan mengenai pelarangan penyebaran aliran Marxisme/ Leninisme, dan lain-lain. V.2. Hasil Kunjungan Kerja di Negara Republik Perancis 1. Pertemuan dengan Dubes R.I. untuk Perancis dan para home staff KBRI Paris. Kunjungan diawali dengan pertemuan antara delegasi dengan KBRI pada tanggal 22 April 2013. Pertemuan ini membahas berbagai informasi terkait KUHP dan KUHAP di Perancis. Serta hubungan bilateral dan capaian kerjasama pasca penandatanganan kemitraan strategis Perancis – Indonesia. Inti yang disampaiakn KBRI adalah sebagai berikut: a.
Menyambut baik kedatangan delegasi ke Perancis dan berharap pertemuan Delegasi dengan pihak Perancis dapat berkontribusi dalam memperkuat hubungan bilateral, khususnya hubungan antar Parlemen RI-Perancis.
b.
Hubungan bilateral semakin membaik dan perhatian Perancis dibawah Presiden Francois Hollande yang juga berasal dari kubu kiri semakin meningkat terhadap kawasan Asia, khususnya Indonesi.
c.
Perhatian ini pun terlihat dari meningkatnya liputan positf terhadap Indonesia dari Pers Perancis, pengajuan visa menjadi lebih cepat dan beberapa pejabat Perancis berencana mengunjungi Indonesia, diantaranya menteri Perdaganaan Luar Negeri, Menlu dan Menhan.
19
2. Pertemuan dengan IGPN (Inspektorat Generale Polisi Nasional) Paris. Pada tanggal 23 April 2013, delegasi bertemu dengan pihak IGPN dan bertemu dengan Wakil Irjen IGPN Jerome Leonnet; Wakil direktur divisi Etika dan Aturan yaitu Komisaris David Chanteux; dan Direktur Pusat Penyelidikan yaitu Komisaris Raymond Darriet. Pihak IGPN memberikan pemaparan sebagai berikut: a.
Gambaran umum Kepolisian Perancis: Keamanan dalam negeri Perancis terdiri dari dua kekuatan yaitu Kepolisian Nasional dengan 140.000 orang yang ditempatkan di kota-kota besar dan Gendarmerie (Polisi Militer) dengan 90.000 orang yang ditempatkan di kota yang berpenduduk kurang dari 30.000 orang. Kepolisian nasional secara umum terdiri dari: 1) Polisi Yudisial (menangani kasus), 2) Polisi Intelijen, 3) Polisi yang menangani soal kemanan umum, ada sekitar 80.000 polisi, dan ada juga
polisi
perbatasan,
ada
juga
skuadron
Republik
untuk
Keamanan, tujuannya khusus untuk menjaga keamanan (Brimob). Polisi Nasional menangani 70%-80% pelanggaran yang terjadi di Perancis. Ada 2 unit polisi yudisial: 1) unit brigade teritorial (seluruh wilayah perancis); ada juga unit pusat (menangani hal-hal khusus), contohnya pembuatan uang palsu. Dalam membedakan tugas unit kepolisian yudisial tersebut, tergantung pada bentuk kejahatan dan jaringan kejahatannya. Gendarmerie dapat menjalankan tugas Kepolisian Nasional tetapi dalam tingkat yang lebih rendah.
20
Struktur Kepolisian Nasional Perancis
b.
Terkait dengan Rancangan HAP: 1) IGPN dibawah kepolisian nasional dan ketuanya ditunjuk langsung oleh Menteri Dalam Negeri. Tugas utama IGPN adalah melakukan penyelidikan terhadap oknum polisi yang masih aktif berdinas serta melakukan audit dan inspeksi semua kantor polisi, penyelidikan yang dilakukan oleh IGPN semuanya adalah independen. Aturan internal IGPN diatur sendiri oleh IGPN dan bukan oleh Perlemen. IGPN tahun lalu telah melakukan penyelidikan terhadap 32 Polisi yang diduga melakukan korupsi. 2) Penyelidikan terhadap Polisi yang melakukan pelanggaran, apabila masalahnya adalah masalah hukum, maka dapat dituntut di pengadilan yang sama dengan semua warga perancis, dan penjaranya juga sama dengan semua warga. Dalam masalah pelanggaran
berat
(pemerkosaan,
narkoba,
pembunuhan,
penembakan tanpa dibenarkan - bisa selama 3 bulan, sebelum dibawa ke pengadilan). Di Perancis tidak ada batas waktu 21
maksimum penahanan, bisa mencapai waktu selama 1 (satu) tahun. 3) Di Perancis selain untuk menjaga keamanan umum, juga menjaga hak tersangka. Jadi hal pertama, perkara diperiksa oleh hakim Komisaris untuk mencari bukti-bukti penahanan. Untuk dapat ditahan atau tidak, ada Hakim d’Liberte untuk menentukan apakah perlu ditahan atau tidak. Hakim d’Liberte (hakim tunggal) ini
baru
saja
dibentuk,
karena
Hakim
Komisaris
sering
menyalahgunaan kewenangan. 4) Hampir 80% kasus-kasus hukum ditangani oleh Polisi, kecuali kejahatan-kejahatan yang kompleks/serius. Dalam sistem hukum Perancis, Kejaksaan mengkoordinasi Polisi dalam melakukan penyelidikan. Jaksa langsung dihubungi oleh Polisi ketika Polisi melakukan penyelidikan. Untuk contravention, jaksa mengajukan kasus ke pengadilan dibawah 24 jam dan sambil menunggu proses peradilan, tersangka dapat bebas. Namun untuk delit dan crime, hakim komisaris (juge’ instruction) sebelumnya menyeleksi kelayakan kasus tersebut. Seorang hakim kebebasan (juge des liberte et de la detention/JLD) menentukan apakah seorang tersangka dilanjutkan penahanan sementara selama penyelidikan berlangsung serta menetapkan apakah tersangka dapat bebas atau tidak jika kurang barang buktinya. Untuk delit dan crime, batas waktunya tergantung pada kejahatannya, bisa sampai 2-3 tahun sebelum diadili (tetapi tersangka tidak ditahan). Dalam sistem hukum Perancis, hal ini melanggar HAM, tetapi di dalam KUHAPnya ditentukan selama 4 tahun, tetapi dalam waktu 4 tahun tidak diadil, maka tersangka dibebaskan demi hukum. 5) Ketika tindak pidana dilakukan oleh seorang polisi, maka derajat kesalahan dapat dinaikan satu tingkat, yaitu jika melakukan contrvention maka dapat dianggap sebagai delit, dan jika melakukan delit maka dapat dianggap sebagai crime. 22
6) Untuk kejahatan menengah (delit), jika bukti-buktinya kuat atau tertangkap tangan, dapat diadili secepatnya dalam waktu 24 jam. Sebagai contoh, sesorang mencuri tertangkap basah, sebagai permulaan diselidik oleh Polisi, dan kemudian diperiksa oleh Jaksa bukti-bukti tersebut dan penyidikan oleh Polisi, maka dapat segera diajukan ke pengadilan. 7) Dalam sistem peradilan di Perancis, ketika Jaksa mengajukan perkara ke pengadilan, maka bukti-bukti tambahan tidak bisa diajukan lagi sebagai bukti tambahan di pengadilan. Tetapi perlu diketahui, bahwa Jaksa tidak akan mengajukan ke pengadilan jika terdapat keragu-raguan atas bukti yang ada. 8) IGPN mempunyai 3 fungsi utama: 1) melakukan penyelidikan terhadap oknum polisi yang melakukan tindak pidana (polisi melakukan pencurian); 2) melaksanakan tugasnya yang tidak sesuai dengan pedoman tugas-tugasnya (lalai dalam tugasnya, Polisi
yang
melakukan
intograsi
meninggalkan
tempat).
Sanksinya dapat berupa: yang pertama, sanksi hukum dan yang kedua sanksi internal polisi. 9) Di Perancis ada Polisi yang khusus menangani terorisme (polisi yudisial) dan Polisi inteligen. Untuk Polisi Narkoba: ada unit penanggulangan Narkoba dan dibawah direktorat Polisi Yudisial. Maksimal ancaman hukuman Narkoba selama 10 tahun tetapi juga bisa seumur hidup, tergantung pada kerugian yang disebabkannya. Jika terorganisir, maka bisa seumur hidup. 10) Kepolisian selain mendapat pengawasan internal dari Kepalanya sendiri dan IGPN juga diawasi oleh lima pihak luar (eksternal), yaitu Kementrian Kehakiman, Jaksa, Komisi Informasi dan Kebebasan, Komisi Nasional Penyadapan (commission des interceptions descurite), Ombudsman (ledefenseur desdroits) dan Parlemen. 11) Khusus Komisi Nasional Penyadapan adalah komisi yang bersifat independen. Polisi meminta izin kepada komisi penyadapan ini, 23
dan apabila diizinkan, maka Polisi akan melakukan penyadapan, khususnya terkait dengan kasus teorisme. Lembaga yang dapat meminta izin penyadapan adalah Polisi, Gendarmarie, dan Militer. Ketika penyelidikan sudah dilakukan oleh Jaksa, maka penyadapan dihentikan. Karena Jaksa juga dapat melakukan penyadapan sendiri tanpa melalui lembaga ini. Penyadapan ini khususnya untuk proses administrasi saja. Hasil penyadapan akan dilindungi, kecuali izin dari Komisi. 12) Parlemen juga sebagai institusi yang melakukan pengawasan kepada Kepolisian, yaitu parlemen yang mengintograsi kepada pemerintah. Sebagai contoh Polisi melempar batu kepada demonstran. Parlemen menanyakan kepada Mendagri, apakah lumrah seorang polisi melempar batu kepada demonstran, dan dilakukan penyelidikan kepada polisi tersebut. 13) Berkat kemajuan teknologi, kususnya dengan keharusan setiap tersangka memberi sidik jarinya yang kemudian dipindai dan disimpan di dalam bank data sentral, pengajuan kasus ke pengadilan dapat diajukan secara cepat dan pertukaran informasi antara tiga pihak yaitu kepolisian, jaksa dan pengadilan, berjalan secara real-time. 14) Ketika melakukan penyidikan, maka terhadap kejahatan sedang dan berat, dapat dilakukan perekaman. c.
Terkait dengan Rancangan KUHP 1.
Hak tersangka dilindungi dan Perancis memberi jaminan hukum terhadap setiap orang sebelum terbukti bersalah. Jenis tindak pidana di Perancis dibagi kedalam tiga kategori, yaitu; a) pelanggaran ringan (contraventio) seperti pelanggaran lalu lintas; b) pelanggaran menengah (delit) seperti pencurian, penipuan, perampokan dan c) kejahatan (crime) seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penyanderaan.
24
3. Kunjungan
ke
Polres
Distrik
4
dan
Service
d’Investigation
Transversale (SIT). Delegasi
kemudian
melakukan
kunjungan
ke
Polres
Distrik
(arrondissement) 4 dan bertemu dengan Kapolres Distrik 4, Dominique Daque dan Kepala Dinas Investigasi Lintas Distrik (Several Investigation Transversale), Stephane Gouard. SIT merupakan unit yang bertugas menyelidiki secera komprehensif tindak pidana delit yang lintas distrik dan yang tidak dapat ditangani sendiri oleh satu distrik di Paris. Penyelidikan dapat dimulai dalam 3 kondisi, yaitu tersangka tertangkap tangan melakukan tindak pidana (40% tersangka ke penjara), atas inisiatif polisi (preliminary inquiry) atau atas inisiatif hakim (enquete rogetoire). Dalam penyelidikan atas inisiatif polisi maupun hakim, 90% tersangka masuk penjara. Namun demikian, khusus untuk kasus perampokan bersenjata, hanya 5% kasus berhasil ditangkap. Berikut skema organisasi SIT.
a.
Terkait dengan Rancangan HAP 1) Dalam hal ada kasus yang tertangkap tangan dan bukti-buktinya cukup, maka proses penyidikan biasanya selama 24 jam. Ada 25
tambahan waktu selama 24 jam lagi bagi Jaksa untuk melengkapi bukti-bukti yang kurang, dengan maksimum 48 jam. 2) Ketika tersangka tindak pidana ditangkap, maka proses yang pertama adalah penindaian sidik jari. Ketika ada tindak pidana, dan diketahui sidik jarinya di TKP, maka dalam waktu cepat akan diketahui siapa pelakunya. Selain sidik jari, juga diambil gambar muka (wajah) dari 3 sisi. Baik sidik jari ataupun gambar muka (wajah) semuanya terkomputerisasi. b.
Terkait dengan Rancangan KUHP 1) Perbedaan Kejahatan dengan Pelanggaran ?, dalam hukum Pidana Perancis terdapat 3 jenis tindak pidana.
4. Kunjungan ke Assemblee Nationale (Majelis Nasional Perancis) dan Anggota-anggota Parlemen dari Grup Persahabatan Perancis – Indonesia di Majelis Nasional. Pada tanggal 24 April 2013, Delegasi telah mengunjungi Majelis Rendah dan atas undangan Ketua Grup Persahabatan Perancis-Indonesia, JeanJacques Guillet mengikuti working lunch dengan 4 anggota parlemen, diantaranya dengan anggota Komisi Hukum Erwan Binet. Dalam pertemuan ini dipaparkan oleh Ketua Delegasi maksud kedatangan ke Paris. Bahwa Perancis adalah negera yang menerapkan pertama kali Code Napoleon, selain Code Napoleon , terdapat juga Code Civil (KUHPerdata) merupakan Kitab Hukum yang paling banyak tersebar di dunia, termasuk di Indonesia. Sebuah RUU akan dibahas lama di parlemen menyebabkan RUU banyak berubah sehingga pada akhirnya berbeda dari yang semula dirancang oleh para penggagas awal RUU. Namun demikian, pihak parlemen mencoba menjaga logika, semangat dan koherensi dibalik pengajuan RUU tersebut. Baru-baru ini RUU Pernikahan Sejenis disetujui parlemen, namun pihak oposisi menolak dan membawanya ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh 60 anggota Parlemen. MK memiliki waktu satu bulan untuk menentukan 26
apakah RUU ini konstitusional atau tidak. Keberadaan MK sendiri masih dipertanyakan mengingat sering berkompetisi dengan lembaga serupa, yaitu Mahkamah Agung dan Dewan Petimbangan Negara. Anggota parlemen diberi imunitas (privilege de non-prise de corps) dan selama penyelidikan berlangsung tidak bleh ditahan untuk tindak pidana delit, kecuali tertangkap tangan dan melakukan tindak pidana kejahatan. Parlemen tidak dapat campur tangan dalam urusan polisi namun dapat membuka sebuah komisi penyelidikan khusus dengan dalih penggunaan anggaran yang akuntable, jika kegiatan polisi atau pihak eksekutif merugikan masyarakat. Anggota Parlemen Perancis menanyakan ke pihak Delegasi, terkait dengan pengaruh hukum adat dalam sistem hukum Indonesia mengingat untuk kasus deforestasi hukum nasional dikalahkan oleh hukum adat. Secara khusus, anggota parlemen Martial Saddier dan Virginie DubyMuller (keduanya dari partai oposisi UMP) juga meminta komisi III DPR dapat bantu mendampingi terpidana kasus narkoba Michael Bianc (MB) yang ditangkap sejak tahun 2001. Sebagai tanggapan Delegasi RI menyampaikan sebagai berikut: Bahwa sumber hukum di Indonesia adalah hukum masional, hukum internasional yang telah diadopsi malalui ratifikasi, yurisprudensi dan hukum adat. Walaupun hukum adat, (seperti kasus pembalakan liar), masih diutamakan oleh hakim di tingkat Pengadilan Negeri, namun hakim di tingkat Pengadilan Tinggi dan MA akan lebih mengutamakan hukum nasional. Dalam masa pertumbuhan ekonomi tinggi, Indonesia sedang giat membangun infrastrukturnya dan Perancis diundang untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Sesuai dengan aturan yang berlaku, Delegasi RI akan membantu mendampingi kasus MB dan melihat apakah MB dapat diberi remisi melalui prosedur yang lazim diberikan kepada terpidana di hari raya nasional. Kepala LP Cipinang secara khusus juga akan diminta keterangan oleh Komisi III DPR RI. 27
5. Pertemuan dengan Pengadilan Tinggi Paris Pada tanggal 25 April 2013, Delegasi mengunjungi Pengadilan Tinggi Paris dan bertemu dengan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi, Pascal Le Luong yang memberikan penjelasan sebagai berikut: a.
Gambaran Umum Pengadilan di Perancis Di Perancis terdapat 180 Pengadilan Negeri (PN) dan 35 Pengadilan Tinggi (PT). di dalam PN Paris terdapat 356 hakim dan 120 jaksa, sementara di daerah, sebuah PN akan terdiri dari 5 hakim dan 2 jaksa. Keputusan hakim adalah murni independen.
b. Terkait dengan Rancangan HAP: 1) Lembaga Yudikatif di Perancis diwakili oleh MA yang menangani urusan yudisial dan Dewan Pertimbangan Negara (Conseil d’Etat) yang menangani urusan administrasi. Jaksa Agung di Perancis tidak sama dengan di Indonesia atau Amerika Serikat, karena para hakim dan jaksa secara administratif berada dibawah Kementrian Kehakiman. Kementrian Kehakiman mengeluarkan kebijakan umum di bidang pidana yang ditindaklanjuti oleh jaksa, yang kemudian menunjuk unit terkait di kepolisian sesuai dengan kasus pidananya. 2) Jaksa memiliki hak untuk menentukan kasus mana saja yang akan diajukan ke pengadilan (principe de I’opportinite des poursuites). Jaksa dibantu oleh panitera pengadilan dan staf sekretariat yang berasal dari mahasiswa hukum tingkat terakhir atau orang yang sedang mengikuti ujian menjadi pengacara. 3) Hakim komisaris (HK) yang jumlah total 73 orang melakukan penyelidikan terkait 4 hal, yaitu kejahatan finansial, terorisme, kesehatan
umum
dan
genosida.
Walaupun
HK
secara
administrasi berada dibawah ketua PN, tetapi openyelidikannya tidak dapat diintervensi oleh jaksa maupun Ketua PN. HK dapat memberikan sebagian informasi kepada jaksa untuk diteruskan ke Ketua PN sekiranya kasus yang ditangani HK mendapat liputan pres yang luas yang akan berimbas kepada ketua PN. 28
4) Setiap tahun terdapat rekruitmen 200-250 anggota magistrate (hakim dan jaksa) baru lulusan Sekolah Hakim dan Jaksa. Dosen sekolah ini adalah hakim atau jaksa yang masih aktif atau pihak luar, yaitu polisi, dokter, psikolog dan sejarawan. Berdasarkan ranking, masing-masing mahasiswa yang rata-rata berumur 27 tahun akan memilih apakah menjadi hakim muda atau jaksa muda di pos yang tersedia di kota maupun daerah. Setelah dua tahun menjabat,
seorang
hakim
dapat
mengajukan
diri
untuk
dipindahkan menjadi jaksa dan sebaliknya seorang jaksa dapat meminta menjadi hakim. 5) Mahkamah Agung bertugas menjalankan fungsi kasasi yaitu tidak memberi putusan atas substansi perkara tetapi atas aspek prosedur berperkara di PT dan keputusan MA diikuti sebagai yurisprudensi. 6) Di MA hanya terdapat 60 Hakim Agung, syarat untuk menjadi hakim agung adalah pernah memiliki pengalaman bekerja di MA sebagai staf pembantu Hakim Agung dan seleksinya sangat ketat yaitu mendapat prestasi luar biasa sebagai seorang hakim, ahli hukum
pidana
atau
perdata,
atau
sering
mengeluarkan
tulisan/punlikasi. Usia pensiun hakim dan jaksa adalah 60 tahun kecuali untuk Hakim Agung, yaitu 68 tahun. Setelah pensiun, mereka dapat menjadi juge de proximite (hakim sektor) yang menyelesaikan kasus di luar pengadilan atau masuk ke dalam judiciary reserve yang bertugas menindaklanjuti keputusan dari pengadilan perdata atau administratif. c.
Terkait dengan Rancangan KUHP: Bagi remaja di bawah 18 tahun, sanksi pidana adalah setengah sanksi maksimal bagi orang dewasa. Sementara untuk tindak pidana kejahatan, kasusnya akan dibawa ke pengadilan, tetapi tidak semua pelanggaran akan diteruskan ke pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan dimungkinkan, yaitu oleh Polisi atau hakim sektor. 29
6. Kunjungan ke Brigade Pemberantasan Banditisme (BRB). Delegasi kemudian mengunjungi kantor BRB dan bertemu dengan Wakil Kepala BRB, Komisaris Philippe Sueh yang menyampaikan hal-hal sebagai berikut: a.
Terkait dengan Rancangan HAP: 1) BRB terbagi ke dalam 3 seksi, yaitu seksi yang menangani kelompok pencurian dengan kekerasan, seksi yang menangani pencurian judi liar dan karya seni, serta seksi yang mengawasi jaringan mafia di Perancis. 2) Terdapat 2 jenis penyadapan, yaitu yang bersifat administratif dan yudisial. Penyadapan administratif yang dilakukan untuk kasus terorisme, keamanan negara dan jekahatan korporasi, perlu mendapat sebelumnya izin dari Perdana Menteri. Hasil penyadapan dilindungi rahasia negera dan tidak akan digunakan sebagai barang bukti. 3) Penyadapan yudisial dilakukan oleh 2 pihak, yaitu oleh Jaksa dan oleh Hakim Komisaris. Penyadapan yudisial oleh Jaksa dilakukan di tingkat
penyidikan
dan
harus
dengan
persetujuan
Hakim
Kebebasan serta untuk kasus kejahatan terorganisir dengan masa penyadapan maksimum 2 bulan. Penyadapan oleh HK adalah di tingkat penyelidikan dan dapat dilakukan kepada siapapun tanpa batas waktu. b.
Terkait dengan rancangan KUHP: 1) Terdapat 2 jenis penyadapan, yaitu yang bersifat administratif dan yudisial. Penyadapan administratif yang dilakukan untuk kasus terorisme, keamanan negara dan jekahatan korporasi, perlu mendapat sebelumnya izin dari Perdana Menteri. Hasil penyadapan dilindungi rahasia negera dan tidak akan digunakan sebagai barang bukti. 2) Di Perancis sangat dihormati 2 hal, yaitu privasi individu dan privasi tempat
tinggal,
bahkan
bagi
tersangka.
Oleh
karenanya,
penangkapan tersangka di rumahnya tidak dapat dilakukan antara 30
jam 9 malam hingga jam 6 pagi, kecuali untuk kasus terorisme, germo dan narkoba. 3) Polisi Perancis sering digugat karena masalah prosedur maupun pelanggaran HAM. Untuk kasus HAM, batas daluwarsa untuk melapor bagi korban adalah 10 tahun. 7. Pertemuan dengan Kementrian Kehakiman (Direktur Urusan Kriminal dan Grasi Kepresidenan). Delegasi kemudian mengunjungi Kementrian Kehakiman, dan bertemu dengan
Direktur
DACG
(Direktur
Urusan
Kriminal
dan
Grasi
Kepresidenan), Francois Capin-Dulhoste, yang menyampaikan hal-hal sebagai berikut: a.
Terkait dengan Rancangan HAP: 1) Beban pembuktian dalam berperkara berada pada Jaksa dan Jaksa dalam menghadirkan barang bukti di pengadilan tidak seketat di Amerika Serikat. 2) Tuntutan korban adalah hak dan bukan kewajiban. Oleh karenanya, tuntutan dari korban untuk kasus seperti kejahatan terorganisasi kriminal atau KDRT bukan merupakan persyaratan agar suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan, mengingat bukti pemberat kepada tersangka dapat diperoleh dari berbagai sumber lainnya. 3) Ketika
terpidana
memohon
grasi,
maka
Presiden
sebelum
mengeluarkan keputusan meminta pendapat dari Kementrian Kehakiman, Jaksa di pengadilan Tinggi dimana keputusan atas terdakwa dikeluarkan dan Kepala Penjara. b.
Terkait dengan rancangan KUHP: 1) Terdapat 3 jenis hukuman, yaitu hukuman seumur hidup, diikuti dengan hukuman dengan waktu tertentu (I hari hingga 30 tahun maksimum) dan denda. 2) Sesuai dengan
jenis
kejahatan,
hakim
dalam
menjatuhkan
hukuman bebas menentukan lamanya kurungan badan asalkan tidak melewati batas pidana maksimum dan jika terdapat banyak pasal yang dilanggar, maka akan dipilih yang terberat. Sebaliknya, 31
denda dapat diakumulasi, tetapi hanya untuk kasus tertentu yaitu kepada majikan yang lalai menjaga keselamatan kerja buruhnya. 3) KUHP memungkinkan perusahaan dituntut dan denda bagi perusahaan adalah 5 kali lipat lebih besar dibandingkan denda terhadap individu. 4) Sekiranya
hakim
memutuskan
untuk
mengurangi
hukuman
terpidana atau terpidana akan dikeluarkan lebih cepat dari penjara, maka korban akan diberitahu mengenai hal ini, namun korban tidak dapat mengajukan banding. 5) Hukuman mati, sebelum dihapus tahun 1981, dilakukan dengan pemenggalan kepala (quillotine) dan pelaksanaan hukuman mati terakhir
dilakukan
tahun
1977.
Keputusan
Perancis
untuk
menghapus hukuman mati ini tercantum dalam Konstitusi dan disebabkan oleh desakan dalam negeri oleh partai mayoritas waktu itu (Partai Sosialis) dan desakan internasional. Akibatnya, Perancis menolak
perjanjian
ekstradisi
dengan
negara
yang
masih
menjalankan hukuman mati, tetapi menjalankan ekstradisi dengan sesama anggota Uni Eropa. Dengan negara UE, terpidana dapat menjalankan sisa hukumannya di negara asalnya.
V.3. Hasil Kunjungan Kerja di Negara Inggris 1. Pertemuan dengan Crown Prosecutor Service. Narasumber oleh Mr. Anthony Salmon (Prosecutor Specialist) dan Chrissy Tsertis yang saat ini bertugas untuk menjalin kerjasama dengan tim hukum pemerintah Inggris. CPS adalah kantor penuntut umum yang paling utama yang ada di Inggris dan Wales. Kasus-kasus yang diselidiki oleh polisi dan serious crime unit diajukan kepada CPS untuk mendapatkan persetujuan apakah kasus ini bisa diajukan atau tidak.
32
CPS independen dari pihak kepolisian tapi saling bekerjasama dengan erat. Independensi CPS ini diatur dalam konsitusi. Tetapi CPC bekerjasama dengan pihak kepolisan agar kasus-kasus dapat berlanjut ke tingkat penuntutan. Polisi bisa datang ke CPS untuk meminta nasehat mengenai misalnya bagaimana suatu proses penyelidikan bisa dilakukan apakah perlu tes DNA, sidik jari, atau wawancara secara mendalam dengan Tersangka. Polisi tidak ada kewajiban untuk mengikuti segala saran yang diberikan CPS tapi sangat dianjurkan untuk bisa memastikan apakah kasus tersebut layak atau tidak untuk diajukan ke pengadilan. Tidak ada batas waktu untuk penyelidikan di Inggris dan Wales, dan bisa memakan waktu bertahun-tahun tetapi tentu harus dilakukan penyelidikan dengan sesegera mungkin. Kepolisian juga tidak dibatasi waktu bisa berapa kali untuk berkonsultasi dengan CPS. Dalam sistim Inggris dan Wales, seseorang tidak bisa ditangkap jika tidak memiliki bukti yang sangat kuat. Jika polisi menangkap sesorang maka dalam waktu 24 jam diajukan kepada Hakim untuk segera dimintakan pendapat apakah bisa ditangkap atau tidak. Jika tidak ditahan maka ia harus dibebaskan atau bisa dibebaskan dengan jaminan. Seseorang bisa dijadikan Tersangka jika memenuhi 2 prasyarat. Yang pertama jika memiliki prospek kuat / bukti kuat untuk dijadikan tersangka. Yang kedua jika keberadaannya mengganggu keamanan masyarakat yang dilaksanakan berdasarkan putusan hakim dalam 24 jam. Jika perlu penyelidikan lebih jauh, hakim bisa memperpanjang sampai dengan 96 jam. 1984 ada Statuta Kepolisan dan Penuntutan yang mengubah secara drastis mekanisme penuntutan dan penangkapan. Ada aturan yang sangat
lengkap
mengatur
tentang
bagaimana
perlakuan
dan 33
perlindungan HAM Tersangka, bagaimana tersangka diperlakukan di dalam penjara, berapa lama bisa dimonitoring, bagaimana bisa dibawa ke dalam proses pengadilan yang adil. Masalah terorisme penanganan sedikit berbeda. Polisi diberikan waktu 14 hari sebelum hakim memutuskan bisa ditahan atau tidak. Polisi dalam beberapa kasus yang dianggap tidak membahayakan ketertiban dan keamanan masyarakat, para Tersangka dapat hanya diinterview dan dicatat keterangannnya dan bisa dibebaskan atas jaminan, tapi dalam proses tersebut polisi tetap membangun kasus untuk proses selanjutnya. Pada kasus terdakwa yang berbahaya seperti pembunuh, pemerkosa, orang-orang yang berlaku jahat maka akan ditahan dan kasus akan dibangun selama mereka berada dalam tahanan. Untuk memastikan adanya perlindungan HAM, di kepolisian ada unitunit independen tentang kesejahteraan tersangka/terdakwa, proses perlakuan tahanan, dan mereka mencatat semua yang bisa dijadikan alat tuduhan terhadap polisi jika seandainya melakukan perbuatan yang tidak layak. Jadi memang di dalam Code ini ada berbagai peraturan ketat bagi tersangka untuk bisa diajukan ke pengadilan. Di dalam sistim adversarial Inggris, Jaksa yang bisa menentukan apakah kasus ini bisa diajukan ke pengadilan. Hakim hanya memutuskan bersalah atau tidak. Hakim hanya memiliki wewenang apakah seorang Tersangka bisa dibebaskan atas jaminan atau tidak. Hakim memutuskan pakah perlu untuk dibebaskan baik dengan jaminan atau tidak. Hakim juga bisa memerintahkan CPS untuk segera menuntut dengan memberikan batas waktu tertentu. Hakim tidak ada kontak dengan Terdakwa. Jadi hakim memutuskan berdasarkan bukti-bukti yang diajukan, dan adu argumentasi antara Jaksa dengan lawyer. 34
Jaksa punya wewenang untuk menghentikan proses penyelidikan jika dipandang tidak mempunyai cukup bukti semuanya berdasarkan Code yang ada. Jaksa tidak punya hak untuk menghentikan kasus/deponering. Sistim
pengadilan
criminal
di
Inggris
melibatkan
pihak-pihak:
kementerian dalam negeri, Penjara, kepolisian, Jaksa Penuntut, Kementerian Kehakiman, dan Probation. Probation adalah kantor yang mengawasi seseorang yang dibebaskan berdasarkan jaminan atau seseorang yang sudah kembali ke masyarakat dari penjara. 4 tugas utama CPS adalah memastikan terdakwa dihukum dengan adil, mencegah terjadinya kejahatan yang sama dalam masyarakat, memastikan keadilan dan ketertiban berjalan di masyarakat, dan untuk melindingi hak-hak hukum orang yang tidak memilki kesalahan. CPS adalah lembaga independen yang adil jujur dan terbuka, dan dapat memastikan bahwa keputusna yang dibuat dapat memperoleh respek dari masyarakat karena nilai-nilai yang kita junjung tersebut. Jaksa Agung (Kepala CPS) adalah politisi yang dipilih Parlemen, menjadi penasehat hukum pemerintah/kerajaan, dan pejabat setingkat menteri yang menjembatani Legislatif dan Yudisiil. Keputusan Jaksa Agung tidak bisa mendikte putusan para Jaksa, dan tidak ada yang menggangu karena dijamin oleh konstitusi. Care Stomer adalah kepala kantor CPS yang menangani proses pengambilan keputusan sehari-hari para Prosecutor. Dominic Rees, adalah jaksa Agung saat ini. CPS berdiri tahun 1986. Di Inggris Penuntutan bisa dilakukan individu atau lembaga tapi CPS yang me review layak atau tidak untuk dilanjutkan. Ada 5 fungsi utama CPS: memberi nasehat kepada polisi, mereview kasus yang dimasukan polisi ke CPS, menentukan apakah proses penuntutan itu dapat dilakukan kecuali pada kasus-kasus kecil, 35
mempersiapkan bahan-bahan untuk pengadilan, menjadi jaksa di Pengadilan. Tingkat kesuksesan CPS selama ini adalah 85%. Kunci kesuksesan disini adalah karena adanya kerjasama erat antara polisi dengan kantor CPS. Jadi kalau orang mengaku bersalah langus mudah masuk ke pengadilan. CPS sangat menekankan pentingnya mereview kasus, proses pengumpulan barang bukti dan analisis barang bukti sehingga kasus yang diajukan kan sangat kuat. Di Inggris ada Magistrate Court (pengadilan tingkat rendah), dan Crown Court (pengadilan tingkat tinggi). Pada pengadilan tingkat Magistrate mereka diberikan hak untuk bisa memberikan putusan perkara 12 bulan kecuali untuk kasus yang pengadilan tingkat anak-anak yang dapat menghukum hingga 2 tahun. Ada 3 klasifikasi: pelanggaran tidak serius, pelanggaran yang bisa diadili di tingkat Magistrate tergantung kejahatan yang dilakukan. Kasus
pelanggaran
berat
seperti
perampokan
pembunuhan,
pemerkosaan langsung menuju Crown Court. Jadi kalau tersangka melakukan pelanggaran ringan, polisi bisa mengeluarkan surat pemberitahuan (cautioning policy) yang diberikan kepada pengadilan, dan data itu melekat pada orang tersebut seumur hidup. Ada pula “Conditional Caution”. Dan ada kasus tertentu yang tidak ringan atau berat yang bisa diberikan hukuman tertentu misalkan mengikuti kelas rehabilitasi, menulis surat kepada korban, membayar kompensasi kepada korban, yang diputus tanpa melalui pengadilan. Tapi Conditional Caution ini tidak berlaku bagi kasus KDRT. Ada sistim dimana korban dapat kita jadikan dalam satu proses komunikasi yang harus dijaga. Misalnya kasus kejahatan kekerasan, jika tuduhannya dikurangi maka jaksa harus memberitahukan kepada 36
korban mengapa memutuskan seperti itu. Demikian halnya dengan proses penghentian penyelidikan. Dalam kasus pembunuhan misalnya ketika korban tidak puas terhadap putusan maka akan ada sesi tatap muka dengan korban dan Jaksa. Jika korban tidak puas terhadap hal tersebut, maka bisa judicial review ke pengadilan lebih tinggi untuk meleihat apakah proses tersebut cacat hukum atau tidak. Dalam mekanisme ini ada tingkatan tertentu dimana ketika keputusan diambil penuntut pada tingkat bawah dirasakan tidak pas maka senior dapat meminta direktur untuk dilakukan investigasi atau review terhadap kasus tersebut sebelum diajukan judicial review. Kuncinya adalan trasparansi dan kerjasama. Dalam kasus ringan bisa segera langsung diputus. Hakim di tingkat Magistrate bisa memutus 40 hingga 50 kasus setiap hari, apalagi untuk terdakwa yang mengaku bersalah bisa langsung diputuskan. Jika antara polisi dan CPS terjadi kontradiksi maka ada proses adu argumentasi antara jaksa dan polisi. Jika tidak terjadi kesepakatan maka akan berlanjut sampai dengan tingkat atas. Pada dasarnya tidak ada aturan formal perlu 1 atau 2 alat bukti, tapi Jaksa akan mengatakan “berikan pada saya bukti yang sebanyakbanyaknya untuk memberikan gambaran yang jelas” (CCTV, DNA, keringat, Cement dan any form of evidence). Dalam kasus tertentu rumor/hearsay bisa juga menjadi barang bukti tapi ada aturan khusus dalam statuta. Lawyer tidak bisa untuk menjadi penjamin, tapi keluarga bisa sebagai penjamin. Jaksa mungkin untuk mengajukan banding (unduly lenient) selama putusan jauh dari minimum yang diatur di dalam undang-undang. Saat adu argumentasi antara Jaksa dan Polisi, tidak ada saksi yang dihadirkan, semua diputus berdasarkan hukum. 37
Prinsipnya, di semua tingkat pengadilan, jika seseorang sudah ditangkap oleh polisi maka berkewajiban untuk meminta fatwa dari Hakim 24 jam atau 96 jam dari kasus-kasus tertentu. Setelah 24 jam dimungkinkan ada 12 jam penahanan atas keputusan dari kepala kepolisian, jika lebih dari itu harus dengan keputusan hakim apakah dituntut atau dibebaskan. Polisi benar-benar mengumpulkan alat bukti sampai secara lengkap dahulu dan memastikan punya semua alat bukti, setelah itu baru dilakukan penangkapan. Untuk kejahatan tertentu ada yang batas waktu sampai dengan 56 hari. Jika suatu kasus bisa ditangani baik oleh Magistrate atau Crown Court, tetapi sudah diputuskan pada tingkat Magistrate, maka proses pengadilan harus sesudah 71 hari penahanan. Tapi kalau kasusnya diajukan kepada Crown Court maka batas waktunya adalah 182 hari. Jika Dalam kasus tertentu dengan bukti yang sangat kuat, penuntut umum bisa mengajukan penangguhan penahan dengan jangka waktu tertentu. 2. Pertemuan dengan Metropolitan Police a.
Mr. Dipesh Datani (Kepala Polisi Penjaga Lapas Kasus Terorisme):
Rombongan dibawa oleh narasumber ke sel penjara khusus untuk menangani Tersangka/Terdakwa yang terkait dengan kasus Terorisme.
Crime Unit ini dipisahkan dari kantor Polisi agar aman dan untuk menghindari media.
Sel di dalam terdiri atas 8 sel yang masing-masing terpisah lakilaki dan perempuan.
Tembok dan pintu sel khusus dengan ketebalan tertentu sehingga para tahanan tidak akan dapat saling melihat ataupun berkomunikasi dengan cara apapun.
38
Tahanan pada awal diberikan baju khusus dengan kerudung dan dimasukkan dalam sel yang tertutup oleh kain tebal, hal ini bertujuan agar semua bukti tetap steril.
Setiap 4 tahanan diatasi oleh 2 sersan, dan proses pengambilan bukti bisa sampai 2-3 jam seara lengkap setelah itu di interview.
Kamar sel dilengkapi oleh infra red, toilet, shower mandi, cermin yang semuanya didesain secara khusus agar tetap dapat terpantau.
Setiap 20 jam Tahanan boleh mneghirup udara luar dan terkena sinar matahari, dengan digiring ke ruangan berkawat khusus terbuka.
Keseluruhan unit penahanan ini ada 102 CCTV.
Seluruh tahanan dipantai oleh dokter bersertifikasi khusus setiap hari dan tidak diperbolehkan ada kunjungan.
b.
Kantor KBRI Inggris Grossvenor London dengan Mr. Alan Hasler (Detective Sergeant Counter Terrorism Command S015 New Scotland Yard) :
Narasumber mempresentasikan mengenai kejabidan Londong Bombings 7-7-2005, dan penanganan pada saat kejadian.
Pelaku melakukan bom bunuh diri pada saat kejadian dan teriidentifikasi pelakunya adalah : Shezad Tanwer (22 tahun orang Inggris), Muhammad Sadiq Khan (Orang Inggris), jarmaine Lindsey/Jamal (19 tahun, orang Inggris, dan Habib Hasan (19 tahun, orang Inggris).
3. Pertemuan dengan Recoder of London/Hakim Kehormatan, Mr. Brian Barker.
Narasumber menjelaskan bahwa ada 4 macam level court di Inggris: 1) Magistrate Court. Ciri-crinya: Tidak ada juri; Hanya untuk small case (tingkat kota/distrik); Vonis bisa dijatuhkan 1 hakim atau 3 orang hakim dari public (judge of the peace). 39
2) Crown Court. Ciri-cirinya: Vonis bisa dijatuhkan oleh 1 hakim dan juri; Hakim adalah hakim yang full time professional, dan 1 dewan juri yang terdiri atas 12 orang dari masyarakat; 12 orang Dewan Juri tidak saling kenal antara satu dengan yang lain, masing-masing datang dan terpisah, serta tidak boleh menjawab pertanyaan apapun; Tugas hakim adalah menjaga prosedur
pengadilan
dan
hal
lain
yang
perlu
untuk
diperhatikan termasuk barang bukti dan membuat laporan sebagai bahan pertimbangan Dewan Juri; Jika Juri memutus Terdakwa bersalah, maka Hakim yang mengirim ke penjara. 3) Court of Appeal. Ciri-cirinya: Yang dapat ke tingkat banding adalah “criminal matters” atau “civil matters”; Banding tidak serta merta otomatis, harus ada dasar kuat dan bukti baru; Ada 3 hakim dan tidak ada juri; Selama ini hanya 10% saja perkara sampai kepada tingkat banding; Untuk perkara criminal biasanya putusan di tingkat banding tidak jauh berbeda. 4) Supreme Court. Ciri-cirinya: Perkara yang masuk disini hanya sebagian kecil saja khusus untuk perkara-perkara yang menyita perhatian publik; Disini ada 12 orang hakim agung yang dipilih seumur hidup.
Untuk para Lawyer di Inggris terdiri dari: 1) Solicitor: saat ini ada sekitar 100.000 orang yang beroprasi di Inggris dan Wales. Menangnai perkara-perkara kecil seperti perkawinan dengnamemberikan advis-asvis hukum. Saat ini bisa beracara di tingkat Magistrate. 2) Barrister: saat ini ada sekitar 12000 di Inggris dan Wales, merupakan ADvokat yang beracara dan spesialis di bidang tertentu.
Untuk
Kejaksaan
ada
CPS
yang
merupakan
lembaga
independen. 40
Setelah polisi menangkap akan segera menyerahkan berkas ke CPS.
Interpretasi produk hukum bisa oleh Hakim (case law).
Chek Criminal Code 2003.
Rombongan dewan diajak untuk melihat persidangan pidana secara langsung untuk kasus “Crown vs John Paula”.
4. Pertemuan dengan Duta Besar RI (HE. Hamzah Tayeb) dan Perkumpulan Pelajar Indonesia (PPI) di Inggris.
PPI membuat pernyataan sikap: 1) Persatuan PPI eropa meminta bersikap transparan mengenai tujuan, program kerja, agenda, dan biaya perjalanan, serta hasil yang ingin dicapai dalam kunjungan kerja. 2) Meminta agar anggota DPR Ri mengajak berdiskusi dan berdialog dengan mahasiswa Indonesia di luar negeri mengenai butir a di atas. 3) Merekomendasikan
agar
DPR
menggunakan
fasilitas
teknologi seperti video teleconference. 4) Meminta agar DPR mempunyai sense of crisi terhadap keterpurukan ekonomi bangsa saat ini. 5) Meminta agar anggaran dialihkan kepada hal hal yang keberpihakan kepada masyarakat. 6) Jika hal hal tersebut tidak diindahkan dengan ini menyatakan bahwa PPI menolak kedatangan DPR.
Seharusnya KUHD juga harus mulai untuk direvisi agar lebih sesuai dengan perkembangan saat ini.
Dino Kusnadi dari staff KBRI menanyakan bahwa apakah perlu hukuman mati tetap ada.
Peerlu juga agar merevisi perubahan Undang-undang HAM disesuaikan dengan RUU KUHP sekarang ini.
Pemerintah harus konsisten dengan Panca Pembangunan: keirigasian, pertanian, perkebunan perikanan. 41
Harus ada pidana minimum untuk kejahatan tertentu.
5. Pertemuan dengan Criminal Lawyer dari Ministry of Justice, Mr Rodrick McCally, dan Mrs. Victoria Baumm Kerajaan Inggris terdiri atas 4 wilayah yaitu: Scotland, England, Wales, Northern Ireland. Wilayaah Skotlandia dan Northern Ireland memiliki kekuasaan tersendiri untuk mengatur hukumnya sendiri, dan parlemen diberikan kekuasaan untuk membentuk hukum sendiri. Di Common Law Inggris beda dengan Continental tidak dikenal kodifikasi hukum, yang ada statute yang disetujui Parlemen. Di sistim Inggris, peradilan tercantum dalam konstitusi tapi terpisah dari kekuasan legislative dan eksekutif. Di pengadilan kasus criminal, hakim sebagai wasit yang memastikan prosedur dan sistim aturan acara di pengadilan yang disebut juga dengan Adversarial. Berlawanan dengan Inquisitor, di sistim Adversarial tugas Jaksa harus member bukti-bukti yang meyakinkan kepada juri. Terdakwa tidak perlu membuktikan, tapi jaksa harus benar-benar membuktikan bahwa Terdakwa bersalah (burden of proof). Di dalam sistim ini yang dicari adalah bukan kebenaran. Di sistim Inquisitor, proses pengadilan ditujukan untuk membuktikan atas suatu kejahatan yang terjadi. Di sistim Adversarial, penekanan ada pada pembuktian. Banyak sekali aturan yang ada dalam pembuktian ini termasuk apa saja yang boleh diajukan sebagai barang bukti, apa saja yang boleh diajukan ke Majelis Juri, bukti yang diserahkan harus sesuai dengan kasus yang terjadi. Di UK mengklasifikasikan perbuatan pidana dalam 3 cara: 1) Indictment only offences. Hanya dapat di pengadilan Crown Court. Termasuk diantaranya pemerkosaan, pembunuhan, dan kejahatan serius lain; 2) Offences only bay Magistrate. Seperti kejahatan kecil, 42
mabuk menyetir, penipuan, dll, yang maksimum hukumannya 6 bulan; dan 3) Either by Magistrate or Crown Court/either way. Hakim di pengadilan Magistrate bisa memutus apakah kasus tersebut bisa diadili di Magistrate atau di Crown Court. Ada juga beberapa kasus yang diperiksa di Pengadilan Magistrate lalu diputus di Pengadilan Crown Court. Ada jenis peradilan/moot of trial dimana seorang tersangka bisa meminta jenis pengadilan yang diiinginkan. Jika seseorang mengaku bersalah atau tidak di tingkat Magistrate maka hakim magistrate bisa mengadili atau ke Crown Court. Yang memutus di tingkat Magistrate adalah 3 orang yang bukan Hakim professional, dan juga bisa seorang Hakim distrik yang seorang pengacara dan dipilih oleh Dewan Kota. Pada tingkat Crown akan ditentukan oleh juri yang dipilih dari komunitas masyarakat. Dalam konteks banding, seorang terdakwa pada tingkat Magistrate bisa mengajukan banding ke tingkat Crown tanpa perlu dihadiri oleh adanya Dewan Juri. Umumnya Jaksa tidak bisa appeal kecuali pada kasus salah penerapan hukum atau prosedur dalam mengambil keputusan. Ada beberapa kasus dan untuk limitasi tertentu bisa keberatan terhadap juri tapi sampai saat ini hampir tidak ada. Umumnya bisa pengacara menolak hakim jika memiliki konflik kepentingan tapi sangat jarang terjadi. Tugas seorang hakim hanya untuk bagaiaman prosedur pengadilan berjalan dan membuat ringkasan-ringkasan atas pemeriksaan di pengadilan tersebut. Dari 12 juri harus dengan suara bulat memutus bersalah atau tidak. Aturannya minimal antara 10 juri VS 2 juri. Jika tidak tercapai maka itu adalah akhir dari persidangan, juri akan dibubarkan dan jaksa bisa mengajukan pembentukan juri baru. 43
Hakim akan balance menilai barang bukti dan hal itu akan tercermin dari summary yang disampaikan kepada juri. Jika 10 tahun kemudian ditemukan bukti baru maka akan ada peninjauan kembali yang dapat diajukan terpidana. Dimungkinkan juga juri dapat disuap tapi sangat jarang terjadio, jika itu terjadi maka resiko pelanggaran hukumnya sangat berat. Lawyer di Inggris tidak perlu menunjukkan license kepada hakim, tapi apabila terbukti bukan pengacara makan akan menjadi suatu pelanggaran sangat serius. Asas Ne bis In Idem diterjemahkan sempit, pada kasus pembunuhan jika dinyatakan tidak bersalah lalu ada barang bukti baru yang sangat meyakinkan maka terdakwa bisa diadili lagi. Sepanjang sejarah hanya 2 kali pernah terjadi. Untuk kasus self defence dan necessity harus dengan proporsional.
Ada aturan khusus / judicial ethics bagi hakim di Inggris, dan saat ini di Inggris sangat bersih dan bebas suap.
Seorang pengacara bisa melakukan investigasi yang penting semua hasil investigasi tersebutharus dibagi dengan Jaksa, begitupun juga sebaliknya, dan proses tersebut akan berlanjut di persidangan. 6. Pertemuan dengan Amnesty International, Mrs. Isabel Ahading (Deputy Director Asia Pacific) dan Mr. Popong Hidayat. Amnesty Internastional adalah lembaga HAM internasional yang berkantor pusat di London. Narasumber pernah membuat laporan dan memberikan masukan terhadap RUU KUHAP pada tahun 2006 kepada pemerintah Indonesia. Amnesty International mendukung secara penuh agar semua Negara meratifikasi secepat mungkin. Harus ada ratifikasi-ratifikasi konvensi internasional tersebut dan memastikan definisi kejahatan internasional tersebut masuk dan cocok pada konvensi internasional. 44
KUHAP saat ini tidak memberikan definisi secara jelas dan kurang komprehensif. Dalam KUHAP harus ada revisi agar korban perkosaan dapat akses keadilan. Produk reformasi Indonesia saat ini sudah menjadi Negara pihak dari berbagai instrument HAM internasional yang menjadi acuan Amnesty International dalam advokasi HAM. Saat ini Indonesia sudah ratifikasi 8 dari 9 konvensi HAM internasional. Sedangkan Amerika cuman 3. Saat ini yang jadi fokus Amnesty adalah kejahatan dalam bentuk penghilangan paksa, perkosaan dan sebagainya. Pengalaman di pengadilan pidana internasional yang menafsirkan tindak kejahatan HAM yang baru sesuai dengan perkembangan zaman seperti perkosaan. Saat
ini
ada
perkembangan
Ham
untuk
hak-hak
reproduksi
perempuan, harusnya jadi pertimbangan. Kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama harus juga dijamin. Bahwa orang yang ditangkap di tahanan bisa sampai berbulan-bulan dan tidak mendapatkan akses sama sekali. Semua harus dijamin dan tidak ada siksaan terhadap tahanan. Perlindungan terhadap penyiksaan di draft KUHAP sampai saat ini juga belum begitu jelas. Begitupun halnya ketika dalam melakukan interogasi. Amnesty Internasional tidak memberikan dana langsung kepada lembaga-lembaga lain. Tetapi melakukan advokasi-advokasi, seminar, dan kerjasama dengan lsm sejenis. Human rights violation ini penting karena dilakukan oleh Negara atau agen Negara. Negara harus bertanggungjawab terhadap hal itu. Customary International Law ini penting seperti misalnya penyiksaan, apabila Negara tersebut belum meratifikasi konvensi internasional
45
menentang
penyiksaan
tetap
harus
patuh
dan
menghormati.
Termasuk pengusiran orang ke Negara yang berkonflik. Definisi 2 kejahatan internasional dalam UU pengadilan Ham Indonesia tidak cocok dengan definisi internasional yaitu Genosida dan Kejahatan Melawan Kemanusiaan, pembunuhan di luar hukum dan kejahatan perang belum ada definisinya. Kasus
Cebongan
adalah
pelanggaran
HAM
langsung
karena
dilakukan oleh agen Negara yang membunuh orang di luar hukum. Definisi makar di RUUKUHP masih ada dan definisinya bisa bertabrakan dengan ICCPR. Pasal penghinaan terhadap Presiden tidak cocok juga dengan hak berekspresi.
V.4. Kunjungan Kerja di Negara Kerajaan Belanda 1. Pertemuan di Kementerian Keamanan dan Kehakiman Belanda Delegasi Komisi III DPR RI diterima oleh Leo Vester (Senior Legal Adviser, Sector Legislative Quality Policy, Department of Legislation and Legal Affairs). Hal-hal yang disampaikan: a.
Organisasi dari Cabang Legislatif, Pemerintah Belanda, dan Posisi Menteri Keamanan dan Kehakiman: 1) Cabang Legislatif -
Pembuat UU terdiri dari Pemerintah dan Parlemen
-
Pemerintah terdiri dari Raja dan Kabinet
-
Parlemen terdiri dari Kamar Pertama dan Kamar Kedua
-
Kabinet terdiri dari Menteri dan Wakil Menteri
2) Organisasi Pemerintah Belanda -
Pemerintah Pusat terdiri dari Raja dan Kabinetnya
-
Kabinet terdiri dari 13 Menteri dan 6 Wakil Menteri
-
Perdana Menteri mempunyai fungsi koordinasi tetapi tidak mempunyai kekuasaan terhadap menteri-menteri
46
-
Menteri
bertanggung
jawab
terhadap
kebijakan
yang
ditentukan oleh Perdana Menteri -
Substansi bidang kebijakan sering ditugaskan kembali di antara menteri atau sekretaris menteri pada awal kabinet baru, tetapi kadang-kadang juga selama pemerintahannya
-
Semua menteri mempunyai bidang kebijakan yang ditentukan, tetapi dapat juga mempunyai tanggungjawab koordinasi yang membayangi
menteri lain, seperti: keuangan berpengaruh
anggaran; masalah ekonomi berpengaruh pada peraturan perundang-undangan di dunia usaha; masalah dalam negeri berpengaruh
pada
peraturan
perundang-undangan
pada
warga negara; keamanan dan kehakiman berpengaruh pada kualitas peraturan. b.
Prosedur Perundang-undangan -
Hukum formal dibuat oleh Pemerintah dan Parlemen bersamasama
-
Keputusan kerajaan dibuat oleh Pemerintah
-
Keputusan menteri dibuat oleh menteri atau wakil menteri
-
Pemerintah Pusat tidak bertanggung jawab langsung terhadap peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah, Kotamadya, dan lembaga pemerintah yang independen
-
Setiap kementerian mempunyai ahli hukum perundang-undangan
-
Pemerintah mempekerjakan 600-700 ahli hukum perundangundangan
-
Suatu undang-undang atau peraturan mungkin ditandatangani lebih dari satu menteri
-
Proposal didiskusikan secara umum di antara menteri-menteri yang terlibat, agar mencapai kesepakatan atas presentasi di Dewan Kementerian.
47
c.
Kebijakan Kualitas Perundang-undangan Belanda -
Tanggungjawab kualitas legislasi ada pada menteri tertentu, tetapi tanggungjawab utama ada pada Kementerian Keamanan dan Kehakiman
-
Kementerian Keamanan dan Kehakiman mempunyai kriteia kualitas
-
Pengembangan instrumen dan prosedur untuk meningkatkan dan mempertahankan peningkatan kualitas legislasi
-
Kriteria pokok kebijakan kualitas legislatif: 1) keabsahan; 2) efektif dan efisiensi; 3) subsidiaritas dan proporsional; 4) layak dan dapat ditegakkan; 5) pemahaman yang sama (di antara peraturan dalam sistem hukum); 6) sederhana, jelas, dan dapat diakses.
-
Kebijakan
kualitas
legislatif:
1)
Persiapan:
setiap
menteri
merancang peraturannya sendiri, dengan melakukan pengujian peraturan
perundang-undangan.
Jika
ada
masalah,
akan
dibicarakan dengan kementerian terkait dan rancangan diusulkan untuk diubah supaya lebih baik. 2) Menteri Keamanan dan Kehakiman dapat mengundang rekan kerjanya di kabinet untuk membahas rancangan. 3) Nasihat dari lembaga negara (UU, Peraturan Pemerintah) d.
Instrumen untuk Mempertahankan Kualitas Legislasi -
Hukum umum (Hukum Perdata, Hukum Administrasi Umum)
-
Beberapa instrumen untuk membantu pembuat kebijakan dan perancang
UU
ketika
kebijakan
dan
rancangan
legislasi
berkembang -
Kajian Perundang-undangan
48
2. Pertemuan di KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal; Land-en Volkenkunde) Delegasi Komisi III DPR RI diterima oleh Prof. dr. Willem van der Molen (Peneliti) dan Drs. Nico van Horn (Kepala bidang Arsip, ahli Sejarah). Halhal yang disampaikan: -
KITLV merupakan lembaga penelitian, yang didirikan pada tahun 1851. Pernah merupakan perhimpunan swasta, tetapi saat ini 90 – 95% anggarannya disubsidi oleh Pemerintah.
-
Kedudukan KITLV saat ini berada di bawah KNAW (seperti LIPI di Indonesia). Pegawai yang bekerja di KITLV berjumlah 50 orang, terdiri dari peneliti dan pegawai.
-
Kegiatan KITLV berupa pengoleksian dan penelitian. Ukuran koleksi di Universitas Leiden kurang lebih 4 juta jilid, sedangkan di KITLV tidak sampai 1 juta jilid. Buku tertua tahun 1495 dan buku termuda tahun 2013.
-
KITLV menarik untuk didatangi karena mempunyai fokus yang tajam, yaitu: a) Satu wilayah daerah bekas jajahan: Indonesia, Suriname, dan Antiles; b) Satu bidang ilmu, berupa humaniora, yang meliputi bahasa dan sastra, sejarah, antropologi, agama, dan hukum.
-
Selain buku, koleksi KITLV berupa foto (sekitar 200.000, sejak tahun 1845-2013), digital, dan audio visual.
-
Fungsi/Peran KITLV bagi Indonesia: a) Koleksi mengenai informasi tentang Indonesia, b) Khazanah karangan dan gambar yang terakses dengan bebas, c) Fasilitas dalam rangka penyegaran dosen, pegawai, peneliti, berupa: lawan bicara untuk peneliti senior dan bimbingan untuk peneliti muda.
-
Arsip tentang Volksraad disimpan oleh Pemerintah Den Haag.
-
Koleksi hukum adat tertua tahun 1685.
-
Alamat email arsip Universitas Leiden: http://www.kitlv.nl
49
3. Pertemuan di Fakultas Hukum Universitas Leiden Delegasi diterima oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Leiden, Kepala Jurusan Hukum Pidana (F.P. Olcer), dan Kepala Jurusan Hubungan Internasional. Hal-hal yang disampaikan: -
Dekan Fakultas Hukum mengatakan bahwa Universitas Leiden bukan merupakan
universitas
terbesar
di
Belanda,
tetapi
termasuk
universitas tertua. Fakultas Hukum Universitas Leiden mendapat ranking 26 dari 8.000 Fakultas Hukum di dunia. -
Kepala Jurusan Hukum Pidana menyampaikan proses reformasi dalam Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Belanda:
a. Karakteristik umum Hukum Pidana Belanda: menganut sistem Civil Law; sebagai subyek hukum Internasional, untuk peradilan pidana, khususnya Hukum Uni Eropa; sistem peradilan pidana sebagai “ultimum remedium” (upaya terakhir); diskresi dari jaksa dan hakim masih besar, bersifat luas untuk tidak mengadili berdasarkan dakwaan; adanya instrumen alternatif dalam penegakan hukum yang dibuat oleh Jaksa, tidak hanya berupa hukuman pidana, tetapi bisa berupa denda dengan membayar sejumlah uang. Dilakukan transaksi untuk hal itu, apabila tidak terjadi kesepakatan, maka proses peradilan berlanjut. Dengan transaksi ini, akan mengembalikan uang negara; dalam kaitan dengan bidang kebijakan, hukum pidana Belanda mengacu pada hukum campuran, penegakan hukum, dan kovenan. b. Sejak
tahun
1971
hukum
pidana
Belanda
memuat
pertanggungjawaban korporasi, dengan sanksi yang tinggi. c. Parlemen menetapkan sanksi yang tinggi maksimal sampai 30 tahun dan seumur hidup. d. Dalam
proses
dekriminalisasi,
hakim
meringankan
hukuman,
sehingga Parlemen biasanya mengikuti menetapkan hukuman yang ringan.
50
e. Kesadaran dan penerimaan hukum pidana dan hukum acara pidana dalam masyarakat:
masyarakat bisa menekan hakim dan jaksa, lebih banyak kesadaran opini publik, publikasi dari hakim.
Ada media dari hakim dan jaksa untuk menjelaskan perkembangan kasus kepada masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat mempunyai opini lebih bagus dan lebih mengerti. Selain itu, putusan pengadilan dipublikasi di internet agar masyarakat bisa membaca. Surat dakwaan dan putusan pengadilan harus dibuat dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat. f. Koordinasi antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam peradilan pidana: tersangka, jaksa, dan hakim: -
Dalam perubahan KUHAP tiap-tiap aktor diatur tugasnya masing-masing;
-
Ada hal baru, bahwa korban harus didengar dan diperhatikan. Ada hak-hak korban yang baru diatur, misalnya korban boleh berbicara terkait dengan kasusnya, bukan sebagai saksi, tetapi sebagai korban. Tetapi korban tidak boleh berbicara apa yang harus
dikenakan
terhadap
pelaku.
Hal
ini
membawa
konsekuensi dalam hukum acara dan membuat posisi korban dalam siding menjadi kuat; -
Ada revisi terhadap acara pemeriksaan sebelum persidangan, misalnya mencari bukti. Penyidikan sebelum persidangan dipimpin oleh Jaksa.
4. Pertemuan di Parlemen Belanda Delegasi yang rencananya akan diterima oleh Anggota Parlemen, tetapi karena ada Sidang Paripurna mengenai anggaran, maka Anggota Parlemen tidak jadi menemui delegasi DPR RI. Delegasi akhirnya diterima oleh Tenaga Ahli Parlemen. Hal-hal yang disampaikan: 51
-
RUU dapat diajukan dari Parlemen, kelompok, Universitas, atau Anggota Parlemen;
-
RUU dari Raja (kabinet), diajukan dengan satu suara. RUU dari kabinet diajukan ke Dewan Negara, kemudian dikirim ke Ketua Parlemen, dan diserahkan ke Komisi. Di Komisi ada unsur pendukung dan media untuk mengundang stakeholders dalam rangka meminta input.
-
Untuk RUU yang kontroversial, diadakan Rapat Pleno Parlemen dan Menteri untuk membahas apakah RUU tersebut diterima atau dibatalkan. Jika RUU diterima akan diperbaiki oleh pendukung Parlemen, kemudian dikirim ke Menteri. Selanjutnya, Menteri mengirim nota kepada Ketua Parlemen untuk menyetujui perubahan. Parlemen akan menjadwalkan Rapat Pleno.
-
Setiap hari Selasa Parlemen menjadwalkan Rapat Pleno untuk voting.
-
Pengajuan RUU ke Senat hanya untuk meminta persetujuan atau menolak. Jika Senat menerima maka UU ditandatangani Ratu/Raja kemudian diumumkan di Lembaran Negara dan berlaku.
-
UU yang sudah berlaku tidak bisa diubah oleh Parlemen, tetapi Parlemen dapat mengajukan usul RUU Perubahan
-
Parlemen Belanda terdiri dari 8 Komisi, 150 Anggota Parlemen, dan 75 Anggota Senat.
5. Pertemuan di Hoge Raad (Mahkamah Agung) Delegasi diterima oleh Mr. Y.
Buruma (Hakim Agung). Hal-hal yang
disampaikan: -
Perbedaan antara hukum di Indonesia dan hukum di Belanda: hukum Indonesia harus menerapkan hukum adat, khususnya di wilayah Aceh dan Papua.
-
Ada dua pilar dalam hukum, yaitu elemen dari hukum dan elemen dari penegakan hukum. Elemen dari penegakan hukum adalah polisi, 52
jaksa, dan hakim. Dua pilar tersebut harus bersinergi, karena sama pentingnya. -
Mr. Buruma menyatakan terkesan dengan upaya Indonesia untuk mereformasi hukum, khususnya hukum pidana, yang terkait dengan kunjungan ini. Juga adanya penegakan hukum dalam kasus korupsi, dengan upaya yang dilakukan oleh KPK.
-
Di Belanda ada sistem dimana Kejaksaan Agung memiliki jaksa-jaksa khusus yang menangani perkara pidana atau perdata yang bisa menetapkan apakah suatu kasus layak diajukan kasasi atau tidak. Selain itu, Jaksa Agung akan bekerjasama dengan kamar-kamar hukum yang ada di Mahkamah Agung (pidana, perdata, pajak), dimana di setiap kamar ada staf yang memeriksa, apakah berkas sudah lengkap.
-
Kewenangan untuk menentukan upaya hukum kasasi ada pada hakim. Hakim yang memutuskan, tetapi hak terdakwa tidak dikesampingkan.
-
Secara umum, pemeriksaan kasasi oleh MA memakan waktu 1 tahun, karena hakim akan membaca irah-irah, tidak hanya putusan pengadilan. Hakim harus bisa menjawab apakah ada kesalahan dalam penerapan hukum.
-
Proses perekrutan hakim agung dinilai dengan penyampaian profil calon oleh majelis hakim agung kepada Parlemen. Parlemen biasanya menyetujui karena tidak akan mencampuri urusan yudikatif. Proses tersebut hanya bersifat formalitas. Di Belanda ada pemisahan antara urusan yudikatif dan legislatif.
-
Calon yang diajukan mayoritas berasal dari hakim dan jaksa, tetapi ada yang berasal dari akademisi (profesor) dan pengacara. Dalam perekrutan tersebut diupayakan agar setiap unsur masuk, tetapi mayoritas berasal dari hakim karier.
-
Hakim agung tidak memonitor hakim Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Negeri, hanya saja ada petunjuk tertentu yang diberikan kepada hakim Pengadilan Tinggi agar tidak membuat kesalahan. Ada 53
semacam komisi yang bertugas memonitor hakim dalam menangani kasus-kasus tertentu. -
Ada ketentuan dalam hukum acara pidana, masyarakat bisa mengajukan kepada hakim untuk memeriksa dan mengganti hakim lain yang tidak memiliki kemampuan yang memadai. Selain itu, ada ketentuan yang memberikan kesempatan kepada hakim untuk mengundurkan diri dalam menangani suatu kasus apabila hakim tersebut sudah memeriksa perkara tersebut dan memutus bebas.
6. Pertemuan di Openbaar Ministerie (Kejaksaan Agung) Delegasi diterima oleh Prof. Gerard Strijards (Public Prosecution Service of the Netherlands). Hal-hal yang disampaikan: -
Menteri Kehakiman bertanggung jawab di bidang penegakan hukum.Kantor Kementerian kehakiman bertanggung jawab untuk mengatur kantor jaksa agung dan kepolisian Belanda. Menteri bertanggungjawab menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Parlemen Belanda. Apabila jawaban tidak memuaskan Parlemen, maka menteri bisa diberhentikan.
-
Kepolisian
lokal
bertanggungjawab
kepada
walikota
dimana
kantornya berada, dalam bentuk finansial dan administrasi. Jadi ada dualisme, karena kepolisian juga bertanggungjawab kepada menteri kehakiman. Ketentuan ini diatur dalam UU nasional. -
Jaksa harus mematuhi dasar-dasar umum pemidanaan.
-
Sistem pembuktian tergantung pada hakim, yang akan menentukan alat bukti yang dapat dipergunakan di persidangan. Sepanjang alat bukti diperoleh dengan sah, maka dipandang sama oleh hakim. Pada kasus-kasus tertentu, alat bukti bisa juga diperoleh dari pernyataan ahli.
-
Dalam pemeriksaan suatu kasus yang tidak diketahui pelakunya, maka Polisi menjadi leading. Tetapi apabila pelaku diduga lebih dari
54
satu orang, maka kepolisian dan penuntut umum bekerjasama untuk menentukan tersangka utama. -
Untuk menghadirkan ahli merupakan kewenangan hakim karena kalau penuntut umum yang menghadirkan ahli bisa dianggap tidak obyektif
Demikian laporan dalam kunjungan kerja ke Negara Federasi Rusia, Negara Republik Perancis, Negara Inggris, dan Negara Kerajaan Belanda dalam rangka pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan RUU Hukum Acara Pidana untuk dapat dijadikan masukan bagi Pimpinan DPR dan Anggota Panitia Kerja Komisi III DPR RI.
KOMISI III DPR RI
55