UNIVERSITAS INDONESIA
Deteksi Toksisitas Pajanan Toluene Terhadap Penurunan Jumlah Sel Sertoli Tikus Wistar Jantan
TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Okupasi
dr. Dyah Purwaning Rahayu NPM 1006769026
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS OKUPASI DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA MEI 2013
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
Deteksi Toksisitas Pajanan Toluene Terhadap Penurunan Jumlah Sel Sertoli Tikus Wistar Jantan
TUGAS AKHIR
dr. Dyah Purwaning Rahayu NPM 1006769026
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS OKUPASI DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA MEI 2013
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Penulisan tugas akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Spesialis Okupasi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai penyusunan tugas akhir ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. dr. Muchtaruddin Mansyur,MS,Sp.Ok,PhD selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi, atas pemberian gagasan penelitian, arahan, dan bimbingannya selama ini. 2. Dr. dr. Dewi S. Soemarko MS, SpOk dan DR. Dr. Sutjahjo Endardjo, MSc, Sp.PA(K) selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan pengarahan dalam penyusunan tugas akhir ini. 3. Dr. dr. Astrid W Sulistomo,MPH,Sp.Ok dan dr. Indah Suci,MS, MSc-CMFM selaku dosen penguji yang telah memberikan berbagai saran dan masukan dalam penyempurnaan tugas akhir ini. 4. Orang tua, suami, dan anak-anak serta seluruh keluarga lain yang tak tersebutkan satu per satu yang telah memberikan doa dan semangat bagi saya dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 5. Ir. Ricky Tambunan, MSi, para petugas di Animal House Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dr.drh. Ernie Sulistiawati,SpP,ApVet, teman-teman di Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi, serta semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu atas segala bantuan dan kerjasamanya dalam penyelesaian tugas akhir ini.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Akhir kata, kiranya Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan dari semua pihak yang telah membantu. Semoga tugas akhir ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan Indonesia.
Jakarta, 7 Mei 2013 Penulis
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
ABSTRAK Nama Program Studi Judul Penelitian
: dr. Dyah Purwaning Rahayu : Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi : Deteksi Toksisitas Pajanan Toluena Terhadap Penurunan Jumlah Sel Sertoli Tikus Wistar Jantan
Toluena sudah diketahui sebagai toksikan yang dapat menimbulkan toksisitas pada manusia sehingga ditetapkan nilai ambang batas pada pekerja sebesar 50 ppm. Hingga saat ini data mengenai efek pajanan toluena dibawah nilai ambang batas terhadap gangguan pada tingkat molekuler masih terbatas. Penelitian mengenai dosis toluena dibawah nilai ambang batas masih diperlukan sebagai upaya perlindungan yeng lebih baik terhadap pekerja. Penelitian toksisitas pada dosis toluena yang lebih rendah dari nilai ambang batas dapat dilakukan pada hewan coba. Rancangan penelitian eksperimental murni terhadap 30 ekor tikus Wistar jantan dengan tingkat pajanan1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml, dan kontrol. Pajanan dilakukan selama 14 hari berturut-turut dengan durasi 4 jam per hari, dengan mengalirkan toluena cair ke dalam chamber yang dipertahankan pada jumlah yang tetap. Analisis data dilakukan untuk memperoleh perbandingan jumlah sel Sertoli dan kadar malondyaldehide (MDA) testis antar kelompok penelitian dengan uji ANOVA, untuk mengendalikan faktor suhu dan kelembaban lingkungan digunakan uji MANOVA. Jumlah sel Sertoli pada kelompok 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml; dan kelompok kontrol masing-masing nilai memiliki nilai mean 2,35 per 10 lapang pandang; 4,47 per 10 lapang pandang; 4,08 per 10 lapang pandang; 5 per 10 lapang pandang; dan 4;83 per 10 lapang pandang yang secara statistik tidak bermakna pada p=0,067. Kadar MDA testis pada kelompok 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml; dan kelompok kontrol untuk masing-masing kelompok memiliki nilai median 0,10 mmol/mg; 0,9 mmol/mg; 0,12 mmol/mg; 0,06 mmol/mg; dan 0,07 mmol/mg, yang secara statistik tidak bermakna pada nilai p= 0,856. Disimpulkan dosis pajanan kurang dari sama dengan 12,8 ml tidak menyebabkan perubahan kadar MDA testis dan penurunan jumlah sel sertoli.
Kata Kunci : toluena; toksisitas; MDA jaringan testis; sel sertoli
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name Study Program Title
: dr. Dyah Purwaning Rahayu : Occupational Medicine Residency :Detection of Acute Exposure Toluene Agains Reduction in Male Wistar Rat Sertoli Cells
Toluene has known as toxicant that can cause human toxicity which the treshold is 50 ppm. Nowadays, we have lacked data of effects of toluene exposure below the treshold that can lead mollecular disturbances. The experiment of toluene exposure below the treshold is necessary to prevent the workers. The experiment of toluene toxicity by toluene exposure below the treshold can do in animal. The true experimental study of 30 male Wistarrats, administered by 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; and 12,8ml toluene liquid and control. Exposure given by flows the liquid toluene on the chamber with the duration of 4 hours per day, for 14 consecutive days. Statistical analysis to comparation the Sertoli cel and malondialdehyde (MDA) level in each group do by ANOVA test and MANOVA test do to control the environment. Sertoli cel on each group 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml; and control has each mean 2,35 per 10 field of view; 4,47 per 10 field of view; 4,08 per 10 field of view; 5,00 per 10 field of view; and 4;83 per 10 field of view, which is not significants in p=0,067. The testicular MDA level on each group 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml; and control has each median 0,10 mmol/mg; 0,09 mmol/mg; 0,12 mmol/mg; 0,06 mmol/mg; and 0,07 mmol/mg, which is not significants in p=0,856. Conclutions the exposure dose less then equal to 12,8 ml cannot lead the testicular MDA level and decreasing of Sertoli cells. Keywords: toluene, toxicity, testicular tissue MDA, Sertoli cells
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................
iii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
iv
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................................
vi
ABSTRAK ............................................................................................................
vii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………....... ix DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….....
iv
DAFTAR TABEL…………………………………………………………........... v DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………....... 1.
vi
PENDAHULUAN
………………………………………………... 1
1.1 Latar Belakang
………………………………………………... 1
I.2 Rumusan Masalah
………………………………………............... 2
I.3 Hipotesis Penelitian
………………………………………............... 3
I.4 Tujuan Penelitian
………………………………………………... 3
I.5 Manfaat Penelitian
………………………………………………... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Toluena
.……………………………..……………….... 5 .……………………………..……………….... 5
2.1.1. Metabolisme Toluena ............................................................................ 7 2.2.2. Damppak kesehatan akibat pajanan toluena ......................................... 8 2.2 Mekanisme Stress Oksidatif dan Kerusakan Sel Akibat Pajanan Toluena ......................................................................................................................... 13 2.3 Testis
....................................................................................................
18
2.3.1. Blood Testis Barrier .............................................................................. 20
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
2.3.2. Sel Sertoli .............................................................................................. 22 2.3.3. Sel Leydig ............................................................................................. 24 2.3.4. Sel Spermatogen ................................................................................... 24 2.4 Kerangka Teori
..................................................................................... 29
2.5 Kerangka Konsep .................................................................................
3.
31
METODE PENELITIAN ............................................................................ 32 …………………………………………....…... 32
3.1 Rancangan Studi 3.2 Sampel Penelitian
………………………………………................... 33
3.2.1. Perhitungan sampel ............................................................................... 34 3.2.2. Pengambilan sampel ............................................................................. 34 3.2.3. Etik penelitian pada hewan coba (tikus)................................................ 35 3.2.4. Terminasi dan pengambilan sampel jaringan ........................................ 36 3.3 Tehnik Pajanan Toluena
……………………………………................ 37
3.4 Pengumpulan Data ………………………...…...................................... 39 3.4.1. Tahap pre-eliminary .............................................................................. 39 3.4.2. Tahap perlakuan .................................................................................... 40 3.5 Waktu dan Tempat Studi
........................………………………….…. 43
3.6 Penjaminan Mutu ...........………………………...….............................. 44 3.7 Identifikasi Variabel
4.
……………….................................................. 44
3.8 Definisi Operasional Variabel
...…………………….……………. 44
3.9 Pengolahan dan Analisis Data
………………………................... 45
HASIL PENELITIAN ............................................................................
47
4.1 Tahap pre-eliminary …………………………………………....…...
47
4.2 Tahap Perlakuan
47
………………………………………...................
4.2.1. Kesetaraan berat badan, suhu lingkungan, dan kelembaban lingkungan antar kelompok penelitian ................................................................................ 48
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
4.2.2. Pengaruh dosis pajanan terhadap jumlah sel Sertoli dan MDA jaringan testis ............................................................................................................. 50 4.2.3. Pengaruh lingkungan terhadap jumlah sel Sertoli dan kadar MDA testis ........................................................................................................................... 51
5.
PEMBAHASAN .......................................................................................... 52 5.1 Kesetaraan antar kelompok penelitian ……………………….............… 53 5.2 Pengaruh dosis pajanan terhadap jumlah sel Sertoli dan kadar MDA testis ………………………………………............................................................. 54 5.3.Pengaruh lingkungan terhadap jumlah sel Sertoli dan kadar MDA testis ... 55
6.
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 57 6.1 Kesimpulan ……………………….......................................................… 57 6.2. Saran ........................................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA
.................................................................... 58
DAFTAR LAMPIRAN
..................................................................... 61
LAMPIRAN 1 SURAT KETERANGAN LOLOS KAJI ETIK LAMPIRAN 2 TEKNIK PERCOBAAN LAMPIRAN 3 HASIL PEMERIKSAAN KADAR MDA TESTIS LAMPIRAN 4 HASIL LENGKAP PEMBACAAN HISTOPATOLOGI LAMPIRAN 5 GAMBAR HISTOPATOLOGI LAMPIRAN 6 GAMBAR HASIL PRE-ELIMINARY LAMPIRAN 7 HASIL UJI STATIK
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Struktur kimia Toluene………………………………………………….4 Gambar 2.2. Tahap spermiogenesis …………………………………………………17 Gambar 2.3. Penampang tubulus seminiferus.……………………………..……….18 Gambar 2.4. Blood Testis Barrier …………………………………………………..19 Gambar 2.1. Struktur kimia Toluena ........................................................................ 5 Gambar 2.2. Penampang tubulus seminiferus manusia ........................................... 19 Gambar 2.4 Penampang tubulus seminiferus tikus Wistar usia 8 minggu dengan pewarnaan HE pada pembesaran 360x .................................................................... 20 Gambar 2.5. Blood testis barrier (BTB) ................................................................... 21 Gambar 2.6 Sel sertoli yang mengalami kerusakan, intinya membesar (S) dan degenerasi inti (D) pada pewarnaan HE dengan pembesaran 360x .......................................... 23 Gambar 2.4. The Spermiogenesis Wave ................................................................. 25 Gambar 2.7. Skema mekanisme kerusakan sel sertoli akibat pajanan toluena ...... 30 Gambar 2.8. Skema konsep penelitian ................................................................... 31
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Sifat fisik dan kimia toluene ………………………………………………6 Tabel 3.1. Kadar pajanan toluene …………………………………………………. 31 Tabel 3.2 Perhitungan penambahan kadar toluena selama pajanan .......................... 39 Tabel 4.1 Kesetaraan berat badan, suhu lingkungan, dan kelembaban lingkungan antar kelompok penelitian ................................................................................................... 49 Tabel. 4.2. Pengaruh dosis pajanan terhadap jumlah sel Sertoli dan kadar MDA jaringan testis ............................................................................................................................50 Tabel 4.3 Hubungan independen antara dosis pajanan, suhu lingkungan, dan kelembaban lingkungan dengan jumlah sel Sertoli dan kadar MDA jaringan testis .......................51
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Toluena merupakan pelarut organik yang masih banyak digunakan di berbagai industri, seperti pelarut cat, thinner, tinta, lem, produk-produk farmasi, bahan tambahan produk kosmetik, industri pestisida, crude petroleum, industri plastik, desinfektan, lem dan serat sintetik meskipun dalam jumlah terbatas. Hingga saat ini penggunaan toluena di dunia tercatat sebanyak 0,5 x 107 sampai 1 x 107 ton, yang tersebar di beberapa negara, seperti Eropa 2,38 juta ton (2007), Amerika Utara 1 juta ton (2009), dan Asia 23 juta ton (2006), sedangkan di Indonesia data penggunaan toluena dalam industri sampai saat ini belum ada.[1]
Kadar pajanan toluena yang diperkenankan pada pekerja di Indonesia menurut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja tahun 1997 adalah 50 ppm. Sehingga apabila pekerja terpajan toluena melebihi dosis tersebut maka akan sangat berbahaya bagi kesehatan.[2,3] Namun sampai saat ini belum terdapat data mengenai efek pajanan toluena dibawah nilai ambang batas dalam jangka waktu lama pada pekerja.
Efek toksik toluena disebabkan karena toluena bersifat lipofilik sehingga mampu mengubah struktur lipid membran sel dan meningkatkan kadar lipid peroksidase pada tingkat biomolekuler, yang dapat diketahui dengan adanya MDA (Malondialdehyde) dalam darah serta jaringan. Malondialdehyde akan membentuk ROS (Reactive Oxygen Species) yang mengakibatkan terjadinya stress oksidatif pada berbagai jaringan tubuh sehingga menimbulkan kerusakan jaringan, baik yang bersifat reversible maupu irreversibel.[4-8] Uni Eropa menggolongkan efek toksik toluena pada sistem reproduksi manusia kedalam kategori 3, yaitu zat kimia yang menyebabkan efek toksik pada manusia yang mengarahkan pada frase risiko R63 ( risiko yang mungkin untuk
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
menimbulkan potensi bahaya pada janin). Pada beberapa penelitian menunjukkan adanya gangguan menstruasi dan aborsi spontan pada wanita, sedangkan pada pria data yang ada masih sangat terbatas namun disebutkan bahwa toluena mampu menembus blood testis barrier sehingga akan mengganggu organ testis tersebut. Disamping itu juga terdapat penurunan hormon FSH (Folicle Stimulating Hormone ) dan LH ( Luetinizing Hormone) yang berfungsi menstimuli sel Sertoli, sehingga dengan adanya penurunan kadar hormon tersebut maka jumlah sel Sertoli akan berkurang yang berakibat terganggunya proses spermatogenesis.[8-10]
Penelitian efek pajanan toluena per inhalasi dalam jangka panjang yang dilakukan pada tikus jantan terbukti dapat mengakibatkan penurunan jumlah sperma dan penurunan berat epididimis, sedangkan pada tikus betina akan mengakibatkan penurunan berat janin tikus dan gangguan pembentukan tulang janin tikus.[10]
1.2 Perumusan Masalah Salah satu dampak pajanan toluena jangka panjang pada manusia adalah gangguan pada organ reproduksi, namun data mengenai toksisitas toluena pada organ reproduksi pria masih terbatas, terutama pada pajanan dibawah nilai ambang batas dalam jangka waktu lama. Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa toluena mempunyai efek toksik terhadap sistem organ termasuk organ reproduksi pria, satu kasus
atropi testis dan
penurunan spermatogenesis pernah dilaporkan pada seorang pria, usia 28 tahun yang telah terpajan toluena selama 10 tahun. Pria tersebut akhirnya meninggal dunia dan kemudian dilakukan otopsi untuk dilakukan pengamatan pada testis, hasil pengamatan menunjukkan adanya degenerasi spermatogonia dan sel Sertoli serta penekanan spermatogenesis. [10]
Sedangkan berdasarkan penelitian sebelumnya pada tikus didapatkan reduksi jumlah sperma dan berat epididimis tikus secara signifikan akibat pajanan toluena 2000 ppm (7500 mg/m3), 6 jam per hari selama 90 hari. [10]
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Penelitian ini menggunakan dosis pajanan yang lebih rendah, yaitu 0 ppm, 12,5 ppm, 25 ppm, 50 ppm, dan 100 ppm, dengan waktu pajanan yang lebih singkat, 14 hari, dari penelitian sebelumnya untuk melihat apakah sudah dapat terjadi penurunan jumlah sel Sertoli? Apakah kenaikan kadar MDA (Malondialdehyde) jaringan testis dapat digunakan sebagai penanda stress oksidatif pada testis?
Uji adanya peningkatan kadar MDA (Malondialdehyde) dan gangguan reproduksi akibat pajanan toluena akan dilakukan pada tikus dikarenakan tikus merupakan hewan tingkat rendah yang mempunyai kemiripan dengan manusia dalam absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi toluena serta kemiripan dalam spermatogenesis.[11]
1.3 Hipotesis 1. Dosis pajanan toluena terendah dibawah nilai ambang batas dapat menyebabkan penurunan jumlah sel Sertoli pada tikus wistar jantan 2. Dosis pajanan toluena terendah dibawah nilai ambang batas berpengaruh terhadap kadar MDA (Malondialdehyde) jaringan testis.
1.4 Tujuan 1.4.1 Tujuan Umum Menguji hipotesis apakah dosis pajanan toluena mempengaruhi kadar MDA (Malondialdehyde ) jaringan testis serta penurunan jumlah sel Sertoli pada tikus Wistar jantan.
1.4.2
Tujuan Khusus 1.
Diperoleh dosis pajanan toluena di bawah ambang batas yang dapat menyebabkan perubahan kadar MDA (Malondialdehyde) jaringan testis tikus Wistar jantan.
2.
Diperoleh dosis pajanan toluena di bawah ambang batas yang dapat menyebabkan penurunan jumlah sel Sertoli pada tikus Wistar jantan.
1.5 Manfaat
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Ilmu pengetahuan: Dapat diketahui dosis terendah pada tikus yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan sebagai tahap dasar dose respons relationship bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Toluena Toluena merupakan hidrokarbon aromatik dengan formasi satu atom hidrogen dari benzen digantikan oleh grup metil dan mempunyai rumus bangun sebagai berikut:[1]
Gambar 2.1. Struktur kimia Toluena Rumus kimia
: C7H8
Massa molekul relative
: 92,13
Nomenklatur CAS
: phenylmethane
Nomor register CAS
: 108-88-3
Nomor register RTECS
: XS 5250000 (Tatken & Lewis, 1983)
Sinonim umum
: methylbenzene
Nama dagang umum
: methacide, methylbenzol, toluol
dikutip dari Agency for Toxic Substances and Disease Registry, 2000
Toluena merupakan cairan tidak berwarna, bening, pada suhu ambien berbau seperti benzena serta memiliki sifat-sifat fisika dan kimia seperti pada tabel 2.1 dibawah ini.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Tabel 2.1. Sifat Fisika dan Kimia Toluena Parameter
Nilai
Titik lebur
-95 0
Titik didih (760 mm Hg)
110,6 0 C
Densitas (g/ml, 20 0C)
0,8669
Gravitas spesifik ( 20 0C )
0,8623
Tekanan uap ( 25 0C )
28,7 mm Hg
Densitas uap ( udara = 1 )
3,20
Log koefisien partisi (octanol/air)
2,69
Tegangan permukaan ( 20 0C )
28,53 dynes/cm
Viskositas cairan ( 20 0C )
0,6 cp
Indeks refraksi ( 20 0C )
1.4969
Persen saturasi udara (760 mm, 26 0C )
3,94
Densitas campuran saturasi udara-uap
1,09
0
(760 mm, udara = 1, 26 C ) Titik limit terbakar (persen dalam volume
1,17 – 7,10
udara) Titik nyala
4,4 0C
Suhu pembakaran kendaraan
552 0C
Kelarutan dalam: Air ( 25 0C )
535 mg/liter
Air laut ( 25 0C )
380 mg/liter
Saturasi udara ( 25 0C )
112 g/m3
Dikutip Dari Agency for Toxic Substances and Disease Registry 2000 [11] Berdasarkan sifat fisika dan kimia toluena, maka toluena adalah cairan yang mudah menguap pada suhu udara 250C, mudah terbakar serta mudah meledak dengan titik nyala
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
4,4 0C dan titik limit terbakar 1,17 – 7,10% dalam volume udara. Toluena akan berekasi dengan udara bebas atau oksigen menjadi benzaldehyde.[11,12]
2.1.1. Metabolisme toluena Jalur metabolisme dan hasil metabolisme toluena pada tubuh manusia dan tikus pada prinsipnya tidak terdapat perbedaan, yang berbeda adalah waktu dari setiap proses metabolisme di dalam tubuh.[11] Jalur utama pajanan toluena pada manusia adalah melalui inhalasi, toluena bersifat lipofilik, dapat terdeteksi dalam pembuluh darah arteri pada 10 detik setelah pajanan per inhalasi, dan terakumulasi di jaringan adiposa dan jaringan yang vaskularisasinya banyak, konsentrasi tertinggi ditemukan di hati, otak, ginjal, dan darah. Sedangkan organ testis bukan merupakan target utama karena lapisan lemak pada organ ini tergolong sedikit. [11,12] Waktu paruh dalam darah sekitar 4-5 jam (berkisar 3-6 jam) dengan waktu paruh terminal 72 jam. Waktu paruh di jaringan adiposa berkisar antara 0,5 – 2,7 hari dan akan meningkat seiring dengan kenaikan jumlah lemak dalam tubuh.[11,12] Sedangkan pada tikus dengan lama pajanan 2 jam, pada dosis 1000 ppm, 1780 ppm, dan 3000 ppm diperoleh rata-rata waktu paruh toluena adalah 33,7 menit, kadar puncak dalam darah rata-rata akan dijumpai setelah 2 jam pajanan, dan waktu eliminasi rata-rata 74,4 menit.[13] Percobaan lain pada tikus dengan lama pajanan 6 jam perhari selama 5 hari berturut-turut dalam jangka waktu 4 minggu, dengan dosis toluena 0 ppm, 300 ppm, dan 500 ppm, diperoleh rata-rata waktu paruh 2,5 jam dan rata-rata waktu ekskresi 0 – 21 jam. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tikus, waktu paruh toluena dapat memanjang seiring dengan lamanya pajanan.[15] Pada manusia dan juga tikus, toluena apabila terhirup, 25%-40% dari Toluena akan dikeluarkan kembali melalui ekspirasi. Kira-kira 60%-75% toluena akan dimetabolisme di hati menjadi Benzyl Alcohol, kemudian dioksidasi oleh enzim Alcohol Dehydrogenase dan CYP menjadi Benzaldeyhide, yang kemudian oleh Aldehyde Dehidrogenase-2 (ALDH-2) dan Aldehyde Dehidrogenase-1 (ALDH-1) akan diubah menjadi Benzoic Acid
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
dan Benzylmercapturic Acid.[10,17] Benzoic Acid selanjutnya akan dimetabolisme menjadi Hippuric Acid. Benzylmercapturic Acid dan Hippuric Acid merupakan hasil metabolisme toluena rute primer yang dikeluarkan dalam urine dan digunakan sebagai penanda biologis. Oleh karena Benzylmercapturic acid tidak terdeteksi pada subjek yang tidak terpajan toluena dan lebih sensitif dari Hippuric acid pada konsentrasi yang rendah sampai dengan 15 ppm serta tidak dipengaruhi oleh makanan atau minuman, maka Benzylmercapturic Acid dipakai menjadi penanda biologis pajanan toluena. [10,14,15] 2.1.2. Dampak kesehatan akibat pajanan toluena Dampak kesehatan akibat pajanan toluena pada manusia maupun pada tikus, mempunyai kaitan erat dengan daya racun toluena itu sendiri yang dipengaruhi oleh[10]: 1. Dosis pajanan Apabila individu terpajan dalam dosis melebihi TWA (Time Weight Average) maka toksisitas toluena terhadap individu akan semakin besar. Besarnya dosis pajanan berpengaruh terhadap pembentukan lipid peroksidase yang menyebabkan berbagai penyakit kronik pada manusia. Menurut Environmental Protection Agency (EPA), dosis Lethal Concentration (LC) 50 inhalasi toluena pada tikus adalah 33.1765 mg/m3 (8.800 ppm). [10] Ulakoglu, dkk dalam penelitiannya pada hewan coba (tikus) selama 5 minggu, mendapatkan hasil adanya peningkatan kadar MDA dan 4-DHA secara signifikan. Korelasi positif antara kadar MDA dan kadar toluena kemungkinan disebabkan oleh peningkatan lipid peroksidase yang merupakan hasil peningkatan kadar toluena dalam darah.[16] Sebuah studi yang dilakukan oleh Tokunaga dkk dalam Ogawa, pada hewan coba (tikus) yang dipajan dengan Acetaldehyde per inhalasi sebesar 1500 ppm dalam 4 jam per hari selama 7 hari, membuktikan bahwa hanya terjadi peningkatan kadar 8hidroxydeoxyguanosine (8-OHdG) dalam urin tanpa disertai peningkatan kadar lipid peroksidase, termasuk MDA, pada organ paru, hati, dan ginjal.[17] Hal ini menjelaskan bahwa tidak selalu dosis yang tinggi akan berpengaruh terhadap nilai MDA, meskipun ditemukan metabolit dalam urin.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
2. Lama pajanan Semakin lama pajanan maka efek toksik toluena akan semakin besar. Efek yang timbul pada pajanan akut akan berbeda dengan pajanan kronik. Kronisitas pajanan menentukan tingkat kerusakan organ. Ress dkk, menyatakan kadar toluena dalam darah akan mencapai kadar puncak pada 2 jam setelah dilakukan pajanan inhalasi, namun kemudian akan mengalami penurunan hingga pajanan dihentikan.[13] Menurut penelitian Ishidao dkk, ditemukan bahwa pajanan toluena dalam jangka waktu tertentu selama beberapa hari memiliki rata-rata ekskresi yang sama dengan pajanan yang dilakukan hanya dalam satu hari, meskipun waktu paruh biologi dalam darah pada pajanan berulang memiliki kecenderungan lebih panjang dibandingkan dengan pajanan satu hari, sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi intoksikasi kumulatif pada pajanan yang lebih lama atau pajanan berulang. [15] Bozic dkk, pada hewan coba (tikus) yang dipajan dengan dengan toluena selama 3 hari, 7 hari, dan 11 hari mendapati adanya peningkatan kadar MDA serum. Ulakoglu, dkk dalam penelitiannya melakukan pajanan thinner pada hewan coba (tikus) selama 5 minggu, dengan hasil adanya peningkatan kadar MDA dan 4-DHA secara signifikan. Korelasi positif antara kadar MDA dan kadar toluena kemungkinan disebabkan oleh peningkatan lipid peroksidase yang merupakan hasil peningkatan kadar toluena dalam darah.[16] 3. Rute pajanan Toluena dapat masuk ke dalam tubuh melalui tiga mekanisme, yaitu inhalasi, ingesti, dan kontak langsung oleh kulit. Rute pajanan yang paling sering terjadi dan paling berbahaya adalah melalui inhalasi karena uap toluena yang terhirup melalui udara ambient akan secara cepat diabsorbsi oleh tubuh sehingga intoksikasi akan lebih mudah terjadi. Beberapa penelitian menyebutkan tikus yang dipajan toluena per inhalasi pada dosis 2.250 mg/m3 selama 5 minggu berturut-turut menunjukkan iritasi paru dan tikus yang dipajan dengan toluena 9.375 mg/m3 serta 18.750 mg/m3 mengalami lesi pada paru. Pajanan toluena pada dosis 4.500 mg/m3 selama 6,5 jam per hari, 5 hari per minggu,
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
selama dua tahun menunjukkan adanya inflamasi mukosa hidung dan degenerasi epitel saluran napas.[10] Penelitian lain menunjukkan tikus yang dipajan dengan toluena 750 – 18.750 mg/m3 selama 7 jam per hari, 5 hari per minggu mengalami gangguan pada tubulus ginjal. Nekrosis tubulus ginjal dan peningkatan berat ginjal dilaporkan terjadi pada tikus yang dipajan toluena 7.500 mg/m3 selama 90 hari. [10] 4. Kondisi individu Faktor individu juga sangat mempengaruhi toksisitas suatu zat, pada individu yang rentan atau dengan penyakit berat maupun gangguan metabolisme, maka daya toksik suatu zat kimia akan menimbulkan efek yang lebih besar dibandingkan dengan individu sehat. Sistem pertahanan alamiah berupa antioksidan yang dapat dijumpai di serum, sel darah merah, dan berbagai jaringan tubuh berguna dalam melawan toksikan yang masuk ke dalam tubuh. Growth Stimulating Hormone (GSH) memegang peranan utama dalam perlindungan dan integritas antioksidan pada berbagai sel, jaringan, dan organ tubuh.[16] 5. Lingkungan Faktor lingkungan yang berperan utama dalam pajanan toluena adalah suhu dan kelembaban udara. Schiafoti dalam Mujahid (2007) menjelaskan bahwa tekanan panas dapat memicu terbentuknya ROS melalui beberapa mekanisme ekspresi gen, seperti heat shock, pembentukan protein stress oksidatif, ataupun keduanya.[17] Pembentukan ROS dapat dideteksi dengan MDA yang merupakan salah satu penanda biologis untuk mengetahui adanya peningkatan lipid peroksidase pada stress oksidatif.[4-8,16] Bhat dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa stress oksidatif ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh faktor tekanan panas, tetapi juga dipengaruhi oleh cuaca termasuk suhu udara, sehingga sangat mungkin bahwa suhu udara dan kelembaban merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap terjadinya stress oksidatif.[18] Adachi (2009) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa stress oksidatif merupakan akibat yang serius dari tekanan panas. Mekanisme ini dijelaskan melalui pembentukan protein stress oksidatif yang disebut heat shock proteins (HSPs), protein ini akan
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
melepaskan heat shocks transcription 1 (HSF1) yang akan berikatan dengan DNA yang selanjutnya memicu terjadinya kerusakan sel.[19] Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ikeda dkk, mengungkapkan bahwa isolasi DNA testis dengan tekanan panas akan menghasilkan kerusakan fragmen pada DNA yang akan memicu timbulnya apoptosis.[20] Bhatia dkk dalam penelitiannya pada hewan coba tikus yang sebelumnya dikondisikan pada suhu ruangan normal kemudian dilakukan pemajanan tekanan panas pada suhu 43°C selama 15 menit, mendapatkan peningkatan kadar MDA (Malondialdehid) yang signifikan pada jaringan testis.[21] Pada konsentrasi tinggi, toluena menyebabkan efek berbahaya pada manusia. Uap toluena lebih berat dari udara dan dapat melalui tanah, namun tingkat kontaminasi udara yang berbahaya adalah oleh penguapan toluena pada suhu 20oC. Efek pajanan akut dan kronik dari toluena terhadap berbagai organ tubuh manusia dikarenakan oleh adanya kerusakan sel pada organ tersebut. Berikut ini adalah dampak pajanan toluena terhadap berbagai organ tubuh manusia, yaitu: [10] 1.
Saluran napas: Efek toksik toluena pada saluran napas adalah iritasi hidung, tenggorokan, dan saluran napas bawah, serta paru. Komplikasi pernapasan yang sering muncul adalah bronkhospasme dan udem pulmoner.
2.
Susunan saraf pusat : Efek terhadap susunan saraf pusat yang juga merupakan target utama dari pajanan toluena per inhalasi, menimbulkan gejala antara lain ataksia, tremor, gangguan perilaku, dan gangguan memori.
3.
Saluran cerna : Efek lokal pada saluran cerna yang mungkin timbul adalah iritasi orofaring dan lambung dengan gejala muntah dan hematemesis.
4.
Kulit :
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Toluena terlarut dalam lemak, sehingga dapat menyebabkan iritasi dan kerusakan pada kulit melalui defatting action (penghilangan lemak kulit) yang akhirnya dapat menimbulkan luka bakar akibat bahan kimia setelah pajanan toluena jangka panjang. 5.
Mata : Uap toluena juga dapat menyebabkan iritasi mata, pada konsentrasi di atas 750 mg/m3 dan lakrimasi pada pajanan 1500 mg/m3. Iritasi konjungtiva berat dan kerusakan kornea pernah dijumpai pada pekerja yang terkena percikan toluena.
6.
Organ reproduksi dan perkembangan : Efek pada manusia terjadi penurunan hormon FSH (Foolicle Stimulating Hormone ) dan LH ( Luetinizing Hormone) yang berfungsi menstimuli sel Sertoli sehingga dengan adanya penurunan kadar hormon tersebut maka jumlah sel Sertoli akan berkurang yang akan mengakibatkan terganggunya proses spermatogenesis.[8-10] Luderer dkk dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pajanan toluena 50 ppm selama 3 jam per inhalasi ternyata tidak menyebabkan perubahan hormon FSH (Foolicle Stimulating Hormone ) dan LH ( Luetinizing Hormone), baik pada laki-laki maupun perempuan.[21]
Dampak pajanan toluena terhadap berbagai organ tubuh tikus dapat dibedakan sebagai berikut: [10] 1. Saluran napas : Efek toksik toluena pada paru tikus akan terjadi iritasi paru, lesi paru dan inflamasi sel epitel mukosa. 2. Susunan saraf pusat : Efek neurologis pada tikus dapat terjadi hilang pendengaran, penurunan berat otak, perubahan konsentrasi neurotransmitter, gangguan pola tidur, dan perubahan perilaku. 3. Saluran cerna : Pada tikus, efek pada saluran cerna akan menimbulkan salivasi dan iritasi lambung. 4. Kulit : Seperti halnya pada manusia, efek pajanan toluena terhadap kulit tikus akan terjadi defatting action (penghilangan lemak kulit), sehingga dapat terjadi iritasi kulit ringan sampai berat.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
5. Mata : Dampak uap toluena pada tikus dapat menyebabkan kerusakan konjungtiva. 6. Organ reproduksi dan perkembangan : Efek terhadap organ reproduksi tikus jantan akan terjadi penurunan jumlah sel Sertoli, penurunan jumlah sperma dan penurunan berat epididimis. Toluena bersifat fetotoksik namun
tidak
teratogenik.
Toluena
dapat
menghambat
pertumbuhan
janin,
perkembangan tulang, dan perkembangan perilaku.[10] Dalgraad dkk dalam Sert menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada hewan coba tikus yang mendapatkan pajanan toluena 1200 ppm pre dan post natal per inhalasi, dalam hal pembuahan, kesuburan, dan kehamilan. Perbedaan hanya ditemukan pada pajanan 1200 ppm yang diberikan secara intra uterin. Dalam penelitian yang lain, disebutkan bahwa pajanan toluena per inhalasi pada dosis 2000 ppm dan 6000 ppm menyebabkan perubahan pada epididimis, namun tidak menyebabkan perubahan morfologi dan histopatologi dari testis.[22]
2.2. Mekanisme stress oksidatif dan kerusakan sel akibat pajanan toluena Mekanisme stress oksidatif yang ditimbulkan oleh pajanan toluena pada manusia dan pada tikus mempunyai kesamaan.[11] Toluena bersifat lipofilik sehingga mempunyai kemampuan untuk mengubah struktur lipid ganda membran sel yang berfungsi sebagai pembungkus
mitokondria dan berperan penting dalam kehidupan sel. Mitokondria
sendiri merupakan penghasil utama energi sel (ATP, Adenosine Triphospat) melalui respirasi
mitokondria
atau
reaksi
fosforilasi
okdidatif
(OXPHOS,
Oxidative
phosphorilation) dan juga berfungsi mendapar Ca2+ Sitosol serta mengisolasi faktorfaktor proapoptotik. Respirasi mitokondria terjadi melalui serangkaian reaksi oksidasi reduksi dengan menggunakan energi yang berasal dari degradasi oksidatif senyawa karbon. Mekanisme stress oksidatif yang diakibatkan pajanan toluena diperankan oleh benzyl alcohol yang akan menginduksi sitokrom P450 (CYP) 2E1-dependent microsomal monooxygenase dan mengaktifkan fagosit. Induksi aktivasi sitokrom P450 akan menghasilkan ROS (Reactive Oxygen Species) yang berupa radikal bebas, yaitu suatu molekul yang memiliki elektron ganjil atau tidak berpasangan di orbit terluar. Penambahan satu buah elektron pada O2 menghasilkan superoksida (O2-), penambahan
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
elektron dan dua ion hidrogen membentuk hidrogen peroksida (H2O2), dan bilamana bergabung dengan O2- akan menghasilkan radikal hidroksil (OH). Radikal hidroksil akan cepat berinteraksi dengan makromolekul sehingga dapat menyebabkan kerusakan protein, lipid, dan DNA (Deoxyribose Nucleic Acid). ROS dan radikal bebas secara alami terbentuk sebagai hasil reaksi metabolisme normal, aktivitas sehari-hari, dan diet disamping karena polutan, zat toksik, dan peradangan. Menurut beberapa penelitian, pembentukan ROS juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban lingkungan yang menghasilkan tekanan panas.[17,19,21,23] Peningkatan produksi ROS dapat mengakibatkan reperfusi pada iskemia, mempengaruhi kerja zat xenobiotik, peradangan, penuaan, radiasi ultraviolet atau ionisasi, dan gangguan pada sistem antoksidan alami sehingga menyebabkan penumpukan ROS dan memicu timbulnya stress oksidatif, yaitu suatu kondisi yang ditandai oleh akumulasi kerusakan oksidatif non enzimatik pada molekul sehingga mengakibatkan kerusakan fungsi sel normal. Stress oksidatif dapat diketahui
dengan peningkatan lipid peroksidase,
khususnya PUFA (Polyunsaturated fatty acid) membran biologis yang akan membentuk malondialdehyde (MDA) dan 4-hidroksialkenal (HAE). Beberapa penanda biologis yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya peningkatan lipid peroksidase adalah, HAE (4-Hidroxyalkenal), 8-iso-Prostaglandin F2A, MDA (Malondialdehid), dan TBARS.[4-8,16] Malondialdehyde (MDA) sendiri akan terdeteksi di dalam darah dan beberapa jaringan tubuh. Hal yang sebaliknya dibuktikan pada sebuah studi yang dilakukan oleh Tokunaga dkk yang menyebutkan bahwa ternyata metabolit zat toksik dapat ditemukan dalam urin, meskipun tidak disertai peningkatan ROS.[25] Karena dianggap sebagai metabolit toksik maka secara alami ROS akan mengalami dekomposisi oleh enzim antioksidan khusus yaitu superoxide dismutase di mitokondria yang mengandung Mn, MnSOD, dan antioksidan di sitosol terdiri dari Cu dan Zn, Cu/ZnSOD,
glutathion
glutahathione peroxidase.
peroksidase
(GSH-Px)
dan
phospolipid
hydroperoxide
[5,24]
Proses cedera sel yang dipicu oleh adanya ROS bila berlangsung terus menerus, dapat mengakibatkan sel-sel tersebut mengalami nekrosis dan apoptosis yang akan berakhir pada kematian sel.[5,24] Nekrosis adalah kematian sel atau jaringan pada organisme hidup
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
karena kegagalan integritas membran sel. Sel yang mengalami cedera berat maka akan terjadi kerusakan membran sel dan menyebabkan ion Ca2+ dari extraselular akan masuk ke dalam intraselular (sitoplasma), akibatnya kadar ion Ca2+ di intraselular (sitoplasma) akan meningkat yang akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran
mitokondria dan retikulum endoplasma halus sehingga berakibat terjadi kebocoran ion Ca2+ dari kedua organel sel tersebut ke dalam sitoplasma, dengan demikian kadar ion Ca2+ di sitoplasma sel akan meningkat.[5,24] Peningkatan kadar ion Ca2+ di sitoplasma akan mengaktifkan enzim-enzim intraselular seperti Fosfolipase, Protease, Endonuklease, dan ATPase. Enzim Fosfolipase dan Protease yang aktif akan memetabolisme struktur fosfolipid dan protein yang terdapat di membran sel sehingga menyebabkan kerusakan pada membran sel. Sedangkan Enzim Endonuklease akan menyebabkan kerusakan inti sel. Enzim ATPase akan menyebabkan penurunan pembentukan ATP. Kegagalan mitokondria dalam melakukan proses fosforilasi oksidatif akan menyebabkan penurunan ATP yang akhirnya membuat sel tersebut mengalami nekrosis. Sel-sel nekrosis akan dicerna oleh enzim yang berasal dari lisosom sel itu sendiri dan lisosom leukosit yang kemudian akan mengaktifkan reaksi inflamasi.[5,24] Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram, melalui pengaktifan enzim-enzim sehingga terjadi degradasi DNA inti, protein inti, dan protein sitoplasmik. Pada apoptosis akan terjadi perubahan morfologi dan biokimia berupa penyusutan sel, pemadatan kromatin, terbentuknya kuncup sitoplasmik (cytoplasmic blebs) terbentuknya badan apoptotic (apoptotic bodies), dan proses fagositosis oleh makrofag. Membran plasma pada sel yang mengalami apoptosis akan tetap intak dan akan menjadi target fagositosis oleh makrofag. Mekanisme apoptosis terdiri dari dua fase, yaitu fase inisiasi, melalui peranan kaspase, dan fase eksekusi dimana terjadi degradasi komponen seluler. Fase inisiasi terdiri dari dua jalur, yaitu jalur intrinsik mitokondria yang merupakan jalur utama dan jalur ekstrinsik melalui mekanisme inisiasi death receptor.[5,24] Jalur intrinsik mitokondria diperankan oleh keluarga protein Bcl-2 yang berperan sebagai faktor pro- dan anti-apoptosis, protein ini secara alamiah sudah terdapat di sitoplasma dan membran mitokondria yang berperan mengatur permeabilitas membran mitokondria dan melindungi kemampuan pengikatan protein mitokondria untuk memicu kematian sel.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Stimulasi berupa berhentinya faktor pertumbuhan, kerusakan DNA akibat zat toksik, radikal bebas, dan radiasi serta gangguan retikulum endoplasama akan memicu keluarga Bcl-2 sensor (Bim, Bid, Bad) yang mengandung ‘domain Bcl-2 homolog’ (protein BH3) untuk mengaktifkan keluarga Bcl-2 efektor (Bax, Bak) dan kemudian akan menempel pada membran mitokondria dan membentuk saluran bagi keluarnya protein dari mitokondria ke sitoplasma. Protein BH3 akan berikatan dan menghambat fungsi Bcl-2 dan Bcl-x, dimana pada saat yang sama terjadi penurunan sintesa Bcl-2 dan Bcl-x. Hasil akhir dari proses ini adalah hilangnya fungsi anti-apoptotik keluarga protein Bcl yang akan dilepas ke dalam sitoplasma dimana terdapat protein mitokondria didalamnya dan akan mengaktifkan caspase cascade. [5,24]
Salah satu protein mitokondria yang berperan dalam respirasi mitokondria adalah sitokrom C yang apabila sekali dikeluarkan ke dalam sitosol akan berikatan dengan protein yang berbentuk roda heksamer Apaf-1 (apoptosis-activating factor-1) dan kemudian disebut apoptosome. Kompleks ini mampu berikatan dengan caspase-9, yang merupakan kaspase inisiator pada jalur intrinsik, selanjutnya memotong molekul enzim caspase-9 yang berdekatan, dan kemudian membentuk proses auto-amplifikasi. Protein mitokondria lain, seperti Smac/DIABLO, masuk ke sitoplasma dan akan menetralisir protein sitoplasma yang berfungsi sebagai inhibitor fisiologis pada apoptosis (IAP) sehingga terjadi penghambatan aktivasi kaspase ssehingga termasuk dalam keluarga kaspase eksekutor.[5,24] Jalur ekstrinsik apoptosis diinisiasi oleh keterlibatan membran plasma death receptor yang merupakan anggota keluarga reseptor TNF, dan mengandung domain sitoplasma yang tergabung dalam interaksi protein yang disebut death domain sebab merupakan dasar jalannya sinyal apoptosis, yang sangat berperan adalah reseptor TNF-1 (TNFR1) dan Fas (CD95) pada berbagai sel. Mekanisme apoptosis dimulai dengan adanya Fas pada sel beserta ligannya, Fas ligand (FasL). FasL diekspresikan pada sel T dan limfosit T. Saat Fas berikatan dengan FasL, tiga molekul Fas bahkan lebih diambil secara bersama-sama, kemudian sitoplasma death domain membentuk situs pengikatan untuk sebuah adaptor protein yang juga mengandung death domain, dan disebut FADD (Fas-
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
associated death domain). FADD menempel pada death receptor dan akan berikatan dengan caspase-8 inaktif. Beberapa molekul pro-caspase-8 akan dibawa ke permukaan dan kemudian akan saling membelah untuk mengaktivasi caspase-8. Enzim ini kemudian akan memicu aktivasi caspase cascade melalui pembelahan, aktivasi pro-caspase, dan aktivasi enzim yang memperantarai fase eksekusi apoptosis. Jalur ini dihambat oleh protein FLIP, yang terikat pada pro-caspase-8, secara normal FLIP diproduksi oleh beberapa sel untuk melindungi diri terhadap apoptosis yang diperantarai Fas karena FLIP tidak dapat membelah dan tidak dapat mengaktivasi kaspase akibat keterbatasan domain protease. Setelah inisiasi kaspase membelah menjadi bentuk aktif maka kematian enzimatik terprogram dimulai secara cepat dan bertahap melalui aktivasi eksekusi kaspase. Kaspase eksekutor terdiri dari caspase-3 dan caspase-6 dan sekali teraktivasi maka kaspase ini akan memotong inhibitor sitoplasmik DNase dan membuat enzim DNase aktif, sehingga akan terjadi pemotongan DNA. Kaspase akan mengakibatkan degradasi struktur komponen matriks nuklear, dan mengakibatkan fragmentasi nukleus. Fase ini disebut eksekusi dan merupakan fase akhir apoptosis.[5,16] Formasi badan apoptotik yang dibungkus oleh antibodi alami dan protein, akan memecah sel menjadi fragmen-fragmen yang sangat kecil dan menyebabkan perubahan membran sehingga akhirnya mengaktifkan proses fagositosis.[5,24] 2.3.Testis Testis merupakan organ reproduksi jantan yang terletak didalam skrotum, secara fisiologis testis tikus jantan turun dari rongga abdomen menuju skrotum pada usia 20 – 50 hari. Skrotum berfungsi untuk melindungi testis dari cedera dan perubahan suhu, secara fisiologis suhu testis lebih rendah
daripada suhu tubuh, yaitu sekitar 32°C.
Apabila testis mengalami peningkatan suhu diatas 40°C maka akan terjadi gangguan pada proses spermatogenesis melalui berbagai mekanisme, antara lain akibat adanya penurunan antioksidan pada testis, terbentuknya ROS akibat tekanan panas, dan penurunan kadar hormon.[18,25-32] Komponen utama testis pada manusia dan tikus adalah tubulus seminiferus dan kompartemen interstitial. Tubulus seminiferus diisi oleh sel Sertoli dan sel-sel
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
spermatogen, yaitu spermatogonia hingga spermatozoa, serta merupakan tempat berlangsungnya proses spermatogenesis. Kompartemen interstitial testis berisi sel Leydig yang berfungsi menghasilkan hormon testosterone.
[25,26,31-35]
Tidak ada perbedaan
struktur tubulus seminiferus manusia dan tikus. Penampang tubulus seminiferus manusia dapat dilihat pada gambar 2.2 dibawah ini.
Gambar 2.2. Penampang tubulus seminiferus manusia[18] Keterangan gambar: 1.
Basal lamina
2.
Myofibroblas
3.
Fibrosit
4.
Sel Sertoli
5.
Spermatogonia
6.
Berbagai tahapan sel germinal selama spermatogenesis
7.
Spermatozoon
8.
Lumen
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Gambaran penampang tubulus seminiferus pada tikus dijelaskan pada gambar 2.3 di bawah ini.
Gambar 2.3 Penampang tubulus seminiferus tikus Wistar usia 8 minggu dengan pewarnaan HE pada pembesaran 360x.[24] Keterangan : Se : sel Sertoli, Sc : spermatosit, Sp : spermatogonia, Rs ; round cell spermatid, Es :elongating spermatid. Gambar 2.2 dan 2.3 diatas menerangkan bahwa baik testis tikus maupun manusia samasama terdiri dari tubulus seminiferus, yang terbagi menjadi lamina basalis dan adluminal, serta kompartemen intertitial. Proses spermatogenesis yang terjadi di tubulus seminiferus manusia dan tikus pada prinsipnya sama.[18,24] 2.3.1. Blood Testis Barrier (BTB) Blood testis barrier (BTB) dikenal sebagai barrier epitel seminiferus dan sel Sertoli. Blood testis barrier sangat berbeda dengan blood-tissue barrier, pada percobaan yang dilakukan oleh Miller dkk (2008), menunjukkan bahwa pemberian kontras melalui vena
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
jugularis tikus akan ditemukan merata di seluruh jaringan kecuali testis dan otak, hal ini membuktikan bahwa BTB sulit untuk ditembus zat asing.[28] Struktur Blood testis barrier digambarkan pada gambar 2.4 dibawah ini.
Gambar 2.4. Struktur Blood testis barrier (BTB)[25].
Blood testis barrier mengandung protein membran integral yang terdiri dari protein tight junction (TJ) seperti occludin, protein basal ectoplasmic spezialitation (ES) seperti Nchaderin, protein gap junction (GJ) seperti connexin 43 dan protein desmosome-like junction seperti desmoglein. Protein-protein tersebut akan saling berinteraksi melalui reaksi yang rumit untuk mempertahankan dan regenerasi BTB.[28,31-33] Fungsi utama BTB adalah menjaga milieu spesifik untuk diferensiasi sel spermatogenik dengan berbagai cara, yaitu, pertama, menjadi pemisah selektif untuk transportasi air, ion, makanan, asam amino, hormon, dan faktor parakrin. Kedua, sebagai segregasi dari sistem imun tubuh dengan cara segregasi autoantigen dan produksi molekul imunosupresif oleh sel Sertoli. Ketiga, menjaga polaritas sel-sel jaringan testis.[25-28,31-34] Blood testis barrier juga berperan sebagai drugs transporter bagi testis untuk mengatur transportasi obat-obatan masuk dan keluar kompartemen epitel seminiferus, yang
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
diperankan oleh P-glycoproteins dan multidrug resestance protein 1 (MRP1) yang merupakan ATP binding protein. Kedua protein ini ditemukan dalam sel Sertoli.[28]
2.3.2. Sel Sertoli Epitel tubulus baik manusia maupun tikus mengandung sel sustanuklear sertoli dan sel spermatogen. sel Sertoli merupakan sel berukuran besar berbentuk segitiga dengan amplop sitoplasma besar yang mengisi tubulus dari lamina basal ke arah lumen, pada proses spermatogenesis, sel Sertoli berfungsi dalam mengeluarkan hormon dan fagositosis, serta membentuk lamina basal dengan pembentukan tight junction (TJ) yang akan memisahkan epithelium tubulus seminiferus menjadi epitel basal dengan spermatogonia didalamnya dan adluminal dengan berbagai tingkatan spermatogenesis. Ikatan kompleks sel Sertoli akan membentuk BTB.[28,29,31-34] Menurut Lanzavecchia, sel Sertoli memegang peranan kunci dalam sistem respon imun lokal, melalui dua mekanisme, yaitu parakrin yang dibawa oleh sitokin dan interaksi permukaan spesifik. Sel Sertoli terbukti memiliki kemampuan untuk berespon terhadap FSH, mengeluarkan IL-1, transferin, dan IL-6 serta berperan untuk mengaktifkan fagositosis. Sitokin IL-6 berfungsi untuk mengaktifkan limfosit T dan B. Produk sitokin yang lain adalah TNF-α yang merupakan produk utama dari aktivasi makrofag dan berfungsi untuk melawan efek biologis zat asing. TNF-α juga berperan dalam mengekspersi Fas pada permukaan Sel Sertoli yang berfungsi mengikat FasL yang bersifat sitotoksik.[29,31-34] Secara teori tidak ada perbedaan mekanisme stress oksidatif pada sel-sel manusia maupun sel-sel tikus.[11] Stress oksidatif yang terjadi pada jaringan testis juga disebabkan oleh adanya ROS yang memicu pembentukan lipid peroksidase yang dapat terdeteksi dengan adanya MDA dalam jaringan testis. Adanya lipid peroksidase akan memicu terjadinya cedera sel termasuk sel Sertoli. Mekanisme kerusakan sel Sertoli akibat pajanan toluena baik pada manusia maupun pada tikus diperankan oleh sitokin dan Fas, yaitu anggota TNF reseptor yang menjadi reseptor
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
untuk FasL. Fas mengontrol terjadinya reaksi imun beberapa organ, baik secara fisiologi maupun patologi.[28-34] Stress oksidatif akan mengakibatkan kerusakan sel Sertoli yang pada tahap awal ditandai dengan pembesaran inti sel Sertoli dan selanjutnya akan terjadi degenerasi inti sel Sertoli seperti tampak pada gambar 2.5 di bawah ini.[30,34]
Gambar 2.5 Sel Sertoli yang mengalami kerusakan, intinya membesar (S) dan degenerasi inti (D) pada pewarnaan HE dengan pembesaran 360x[30] Sistem Fas merupakan jalur transduksi sinyal untuk mengenali apoptosis melalui interaksi dengan ligan reseptor yang kemudian membangkitkan jalur kematian sel. Fas (APO-1,CD95) merupakan reseptor protein transmembran yang mengirimkan sinyal apoptotik kepada sel ketika berikatan dengan Fas ligand (FasL, CD95L). Sistem Fas ikut menjaga homeostasis pada berbagai sistem, termasuk pemeliharaan toleransi limfosit T dan B, cell-mediated cytotoxicity, serta kontrol imun. Sistem Fas pada testis dapat diidentifikasi sebagai suatu sistem sinyal parakrin oleh sel Sertoli, adanya ekspresi FasL dapat menginisiasi kematian sel germinal oleh Fas.[28-30,34] 2.3.3. Sel Leydig Sel Leydig merupakan sel interstitial, terletak diantara kanalis seminalis yang berfungsi memproduksi hormon testosteron dan kemudian mengeluarkannya ke darah dan jaringan di sekitarnya. Tahap inisiasi aktif dari sel tersebut dimulai sejak perkembangan embrio dari testis. Pada saat tumbuh remaja oleh karena pengaruh hormone LH yang diproduksi
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
oleh hipofisis anterior dan testosteron menjadikan aktivitas sel Leydig semakin meningkat dan kemudian menginisiasi pubertas dan maturitas sel sperma.[25-27,31-34]
2.3.4. Sel Spermatogen Sel spermatogen dibentuk melalui spermatogenesis, yaitu proses terbentuknya spermatozoa dari spermatogonia, melalui perkembangan yang kompleks dan teratur. Spermatogenesis manusia dan tikus terjadi didalam tubulus seminiferus testis, melalui proliferasi, meiosis dan deferensiasi.[25-29,33] Spermatogenesis pada manusia dan pada tikus dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat dibedakan menjadi [25-29,33] a. Faktor endogen : - Endokrin (hormonal) diperankan oleh hormon FSH, LH, GnRH, serta estrogen. - Psikologis, adanya stress dapat menghambat pelepasan hormon, sehingga terjadi ketidakseimbangan sistem hormon. - Genetik, seperti degenerasi epitel tubulus yang dapat mengakibatkan striktura duktus genital dan abnormalitas lainnya. b. Faktor eksogen : - Fisik, dalam keadaan normal testis memiliki suhu 32oC yang dipertahankan oleh skrotum, sehingga adanya peningkatan suhu melebihi 40oC dapat mengakibatkan gangguan spermatogenesis. - Bahan kimia, alkoholisme, obat-obatan, radiasi sinar-X, serta pajanan zat toksik seperti Toluena, dapat menyebabkan hambatan spermatogenesis. Pada manusia, spermatogenesis di mulai pada awal pubertas, yaitu kira-kira pada usia 13 tahun. Keseluruhan proses spermatogenesis pada manusia terjadi dalam waktu 64 hari. Spermatogenesis berjalan bertahap dan susul menyusul sehingga apabila dilakukan pembedahan pada testis maka akan tampak berbagai tahapan spermatogenesis yang dimulai dari lamina basal hingga ke adluminal yang disebut sebagai gelombang
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
spermatogenesis (The spermiogenesis wave), seperti pada gambar 2.6. dibawah ini. [25,26,33,35]
Gambar 2.6. Gambaran The Spermiogenesis Wave [25] Secara garis besar, spermatogenesis pada manusia dibagi dalam tiga tahap, yaitu:[26-35] a. Proliferasi Tahapan spermatogenesis diawali dengan berkumpulnya spermatogonia primitif tepat di tepi membran basal dari epitel germanitivum yang disebut spermatogonia tipe A kemudian membelah empat kali membentuk 16 sel yang berdiferensiasi yaitu spermatogonia B kemudian sel ini akan berdeferensiasi menjadi spermatosit primer. Pada tahap ini spermatogonia bermigrasi ke arah sentral diantara sel-sel Sertoli. Selsel Sertoli ini sangat besar dengan membran sitoplasma yang berlekatan erat satu sama lain yang meluas dari sel spermatogonia sampai ke bagian tengah lumen tubulus. Membran sel berfungsi sebagai pertahanan yang mencegah penetrasi kapiler-kapiler yang mengelilingi tubulus dari molekul- molekul protein besar seperti imunoglobulin dan zat-zat lain yang mungkin dapat mengganggu proses spermatogonia menjadi spermatozoa. b. Meiosis Kemudian memasuki tahap profase dari pembelahan miosis pertama, pada saat ini spermatosit primer memiliki 46 (44 + XY) kromosom dan 4N DNA, dan sel melewati empat tahap yaitu leptoten, zigoten, pakiten, dan diploten kemudian berlanjut ke tahap diakinesis yang menghasilkan pemisahan kromosom. Sel selanjutnya memasuki tahap
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
metafase yang kemudian pada tahap anafase kromosom akan bergerak menuju kutub masing-masing. Dari pembelahan miosis pertama menghasilkan spermatosit sekunder dengan 23 kromosom (22 + X atau 22 + Y). Fase ini berlangsung cepat memasuki meiosis kedua sehingga sulit diamati. Pembelahan spermatosit sekunder menghasilkan spermatid sel yang mengandung 23 kromosom, karena tidak ada fase S (sintesa DNA) yang terjadi antara pembelahan meiosis pertama dan kedua dari spematosit maka jumlah DNA per sel dikurangi setengahnya selama pembelahan kedua ini yang menghasilkan sel-sel haploid, dengan adanya pembuahan maka jumlah kromosom menjadi diploid. c. Diferensiasi Perkembangan selanjutnya setelah meosis adalah pematangan spermatid menjadi menjadi spermatozoa dengan menghilangkan beberapa sitoplasma, mengatur kembali bahan kromatin dari inti spermatid untuk membentuk kepala yang padat, dan pengumpulan sisa sitoplasma dan membran sel pada salah satu ujung dari sel untuk membentuk ekor. Proses ini terjadi saat sel spermatosit dan spermatid terbenam di dalam sel-sel Sertoli. Sel Sertoli ini yang memelihara dan mengatur proses spermatogenesis.
Proses spermatogenesis pada tikus dimulai pada sejak periode fetal, dan meiosis pertama terjadi pada umur 14 hari setelah tikus dilahirkan.[27,30-35] Keseluruhan proses spermatogenesis pada tikus berlangsung selama 33 hari.[30,31] Tahapan spermatogenesis pada tikus juga dibedakan menjadi tiga tahap seperti halnya pada manusia, yaitu:[25,33,35] a. Proliferasi Spermatogonia, merupakan fase pertama, terdiri dari sel-sel imatur dan terletak di sepanjang dasar epitel tubulus seminiferus. Pada tikus, langkah pertama pada tahap pertama adalah langkah dalam spermatid kecil bulat yang dihasilkan oleh meiosis 11. Pada sebagian besar spesies, termasuk tikus, spermatogonia B adalah yang terakhir mengalami mitosis. Pembelahan sel ini menghasilkan sel pertama untuk fase kedua, spermatosit preleptotene, yang bermigrasi ke atas jauh dari dasar tubulus seminiferus dan melalui Sertoli-Sertoli junction. Tahapan epitel seminiferus merupakan perubahan
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
dari satu bentuk asosiasi ke bentuk yang lain dan merupakan asosiasi sel yang selalu berkembang menjadi bentuk dewasa.
b. Meiosis Pada tikus, spermatosit sekunder kecil (2N) yang diproduksi oleh meiosis I, yang kemudian cepat membelah lagi melalui meiosis 11 dengan unik. Pembelahan meiosis melibatkan berbagai jenis spermatosit dengan berbagai ukuran dari sel-sel yang lebih kecil dari sel darah merah (preleptotene) sampai sel yang sangat besar (pakhiten), yang menempati sebagian dari masing-masing penampang tubulus seminiferus. Pembelahan adalah mekanisme biologis dimana sel germinal tunggal dapat meningkatkan kandungan DNA-nya, dan kemudian membelah dua kali untuk menghasilkan empat sel germinal individu yang mengandung untai tunggal dari setiap kromosom atau setengah jumlah kromosom biasanya ditemukan di sel-sel tubuh. Proses meiosis berlangsung lama. Spermatosit ditemukan di semua tahapan spermatogenesis, dan dalam beberapa tahap dapat dijumpai dua jenis spermatosit. Selama meiosis, perubahan yang terjadi pada kromosom mudah dikenali. Sintesis DNA terjadi pada spermatosit preleptotene. Profase dari pembelahan pertama meiosis dapat berlangsung sekitar tiga minggu, di mana kromosom yang dilepaskan pertama sebagai filamen halus tidak sempurna (leptotene). Kromosom homolog akan berpasangan dalam sel zygotene, membentuk kompleks synaptonemal. Spermatosit pakhiten tampak sebagai sel-sel kecil dengan inti besar serta kromosom yang pendek dan tebal. Rekombinasi genetik terjadi melalui persilangan antar kromosom pasangan. Sel pakhiten juga menunjukkan peningkatan sintesis RNA dan protein dalam persiapan untuk fase berikutnya. Diplotene spermatosit memisahkan kompleks synaptonemal dan kromosom menyebar di nukleus. Diakinese amplop nukleus menghilang dan terjadi kondensasi kromosom, kedua pembelahan meiosis berlangsung cepat, sehingga membatasi sel-sel tersebut satu tahap. c. Diferensiasi. Perubahan yang dikenali dalam diferensiasi spermatid terdapat pada tahap 15-19. Dengan demikian dalam beberapa tahap dua generasi spermatid hadir dalam
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
penampang tubulus yang sama.[24,25] Sel germinal haploid mengalami fase diferensiasi terminal yang panjang disebut spermiogenesis. Sel-sel mengalami perubahan menjadi tiga bentuk utama sebagai berikut: (i) Inti memanjang dan kromatin mengalami kondensasi menjadi struktur yang berwarna sangat gelap dengan bentuk yang unik pada tiap spesies. (ii) Aparatus golgi menghasilkan granula lisosomal seperti terdapat pada inti untuk kemudian membentuk akrosom. Sistem akrosomik mengandung enzim hidrolitik yang diperlukan untuk interaksi sperma-telur dan fertilisasi. (iii) Sel membentuk ekor panjang dilapisi dengan mitokondria di daerah proksimal dan kehilangan banyak sitoplasma, yang dibuang pertama kali sebagai lobus sitoplasma yang akhirnya difagositosis oleh sel Sertoli sebagai badan sisa. Hasil penelitian sebelumnya pada tikus telah ditemukan mekanisme molekuler yang menjadi dasar kematian sel germinal pada testis, yaitu akibat pengaruh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Pengaruh faktor intrinsik diperankan oleh Bax, Bad, Bcl-2, dan gen apoptotik yang diekspresikan secara berlebihan serhingga mengakibatkan penurunan jumlah spermatogonia.[28-35] Deplesi sel germinal pada tikus dewasa dapat juga disebabkan oleh faktor ekstrinsik, terutama dengan hilangnya sel Sertoli. Studi eksperimental pengurangan sel Sertoli pada tikus telah terbukti mengurangi secara proporsional jumlah spermatid bulat. Kematian sel Sertoli sangat mengganggu elongasi spermatid, yang berproses dari lamina basalis ke adluminal dikarenakan fungsi metabolisme dan transportasi bergantung pada sel Sertoli. Pajanan zat toksik pada sel Sertoli akan mempengaruhi ekspresi Fas ligan pada sel Sertoli maupun ekspresi Fas pada sel germinal, sehingga kematian sel Sertoli secara aktif akan mempromosikan kematian sel germinal.[ 28-35] 2.4.Kerangka teori Mekanisme stress oksidatif akibat pajanan toluena pada testis tikus Wistar jantan yang berakibat terjadinya kerusakan sel Sertoli yang ditandai dengan adanya penurunan jumlah sel Sertoli dapat digambarkan pada gambar 2.7 dibawah ini.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Gambar 2.7. Skema mekanisme kerusakan sel Sertoli akibat pajanan toluena. TOLUENA
Inhalasi
Ingesti
Paru
Saluran cerna
Dibuang
Aliran darah Hepar
Ekspirasi
Metabolisme di hepar oleh Cyt P450
Kontak kulit
Defatting kulit Kerusakan kulit
Benzylalcohol
Benzaldehyde
Induksi Cyt P450 Reactive Oxygen Species Ekskresi ginjal Malondialdehyde BMA Aliran darah sistemik
Hipuric acid
Jaringan pada berbagai organ tubuh termasuk testis
Gangguan blood testis barier Tubulus seminiferusTestis Kerusakan sel Sertoli Jumlah sel Sertoli menurun Gangguan pembentukan hormon
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Gangguan spermatogenesis
2.5. Kerangka konsep Konsep penelitian didasarkan pada hubungan penjamu, agens, dan lingkungan. Penjamu merupakan kondisi alamiah yang ada pada hewan coba berupa genetik dan stress psikis akibat pemeliharaan. Agens berupa pajanan toluena dengan kadar 12,8 ml, 6,4 ml, 3,2 ml, dan 1,6 ml, kemungkinan adanya obat-obatan merupakan agens luar yang perlu diperhatikan. Faktor lingkungan berupa suhu ruangan pemeliharaan dan percobaan, kemungkinan adanya radiasi sinar X, dan stressor psikis pada tikus akibat kondisi lingkungan setempat. Ketiga faktor tersebut diperkirakan akan mempengaruhi kenaikan kadar MDA darah, kenaikan kadar MDA jaringan testis, dan kerusakan sel Sertoli pada hewan coba tikus Wistar jantan. Skema konsep penelitian dijelaskan pada gambar 2.8 dibawah ini. Gambar 2.8. Skema konsep penelitian
Penjamu : Genetik Agens:
Stress psikis
Toluena 12,8 ml Kenaikan kadar MDA darah*
Lingkungan:
Kenaikan kadar MDA jaringan testis
Suhu
6,4 ml 3,2 ml 1,6 ml
Kerusakan sel Sertoli
Radiasi sinar X Stressor psikis
Obat-obatan
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
* Data kadar MDA darah diperoleh dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh dr. Margarita Dewi L.
3. METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan studi Jenis penelitian ini merupakan studi true experimental untuk mengetahui hubungan antar variabel
bebas
yaitu
pajanan
toluena,
dengan
variabel
terikat
yaitu
kadar
malondialdehyde darah dan jumlah sel Sertoli dengan membandingkan lima kelompok perlakuan pada dosis pajanan yang berbeda (100 ppm, 200 ppm, 50 ppm, 25 ppm, dan 12,5 ppm ) dan satu kelompok kontrol. Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu tahap uji pre-eliminary dan tahap perlakuan. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian bersama Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dengan judul Studi Toksisitas Pajanan Toluena pada Berbagai Organ Tikus Wistar Jantan. Penelitian ini pada pelaksanaannya dilakukan terhadap lima kelompok, yang terdiri dari empat kelompok perlakuan pada dosis pajanan yang berbeda (12,8,ml, 6,4 ml, 3,2 ml, dan 1,6 ml) serta satu kelompok kontrol. Pemberian dosis pajanan diberikan dalam skala mililiter (ml) dengan cara melakukan konversi perhitungan dari satuan part per million (ppm) berdasarkan rumus matematis dengan memperhatikan volume akuarium dikarenakan tidak tercapainya pengukuran dengan menggunakan satuan ppm. Perhitungan matematis untuk konversi satuan dosis toluena cair pada volume akuarium 128 liter dapat dilihat pada tabel 3.1 dibawah ini. Tabel 3.1. Perhitungan konversi dosis toluena
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Kadar toluena ppm 100 50 25 12,5
Perhitungan konversi 100/1.000.000 x 128 liter 50/1.000.000 x 128 liter 25/1.000.000 x 128 liter 12,5/1.000.000 x 128 liter
Dosis toluena ml 12,8 6,4 3,2 1,6
3.2 Sampel penelitian Sampel penelitian adalah tikus strain Wistar dewasa berusia 12 minggu, jenis kelamin jantan, dengan berat masing-masing 150-200 gram. Setelah dilakukan penimbangan pada sampel penelitian ternyata berat badan tikus strain Wistar berusia 12 minggu, jenis kelamin jantan, berkisar antara 200-250 gram, sehingga berat badan tikus yang dipilih adalah yang berada di kisaran tersebut. Pemilihan anggota kelompok sampel dilakukan dengan cara random alokasi. Tikus diperoleh dari Laboratorium Toksikologi Hewan Coba, Kementerian Kesehatan, Jakarta. Semua sampel dipelihara di animal room Laboratorium Hewan Coba Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia oleh petugas laboratorium hewan coba yang berpengalaman dengan siklus dark-light 12 jam. Sampel ditempatkan di kandang rajut kawat terpisah berukuran 50 x 30 x 18 cm3 yang masing-masing kandang berisi tiga ekor tikus, sehingga terdapat aliran udara bersih serta bebas, dan tikus bisa bergerak leluasa.[36]. Semua sampel dipelihara di bawah kondisi lingkungan terkontrol serta seragam, suhu ruang berkisar 27 – 30,5oC dengan kelembaban relatif 60-90 %., dan lingkungan bebas dari pengaruh radiasi sinar X untuk mengendalikan faktor luar. Selama pemeliharaan semua sampel mendapatkan minuman berupa air bersih mentah yang diberikan ad libitum dan makanan berupa pellets yang terdiri dari campuran beras putih, kacang tanah, kacang kedelai, udang rebon, tepung tulang, sagu, dedak, susu krim, dan suplemen vitamin serta zat besi yang sesuai dengan standar laboratorium hewan coba. Sebelum diberikan perlakuan, semua sampel mengalami masa adaptasi selama 2 (dua) minggu untuk membiasakan sampel hidup pada lingkungan yang baru, sehingga faktor stress dapat dikendalikan.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
3.2.1 Perhitungan sampel Perhitungan besar sampel ditentukan dengan rumus Frederer untuk penelitian eksperimental menggunakan hewan coba, sebagai berikut :[37] ( t-1) (n-1) ≥ 15 (5-1) (n-1) ) ≥15 4n – 5
≥ 15
4n
≥ 20
n
≥5
……………………………………………………(3.1)
Dimana, n = besar sampel t = jumlah kelompok perlakuan menurut perhitungan dengan rumus Frederer, maka jumlah tikus yang diperlukan dalam penelitian ini sebanyak 25 ekor tikus. Antisipasi terhadap adanya kemungkinan drop out yang disebabkan kematian tikus pada masa pemeliharaan, dilakukan dengan penambahan sampel sebesar 20% dari jumlah sampel yang seharusnya, sehingga digunakan 30 ekor tikus sebagai sampel penelitian agar diperoleh data penelitian yang lebih akurat. 3.2.2. Pengambilan sampel Pengambilan sampel dilakukan oleh peneliti. Sampel berupa hewan coba tikus dipilih menurut kriteria tertentu, yaitu tikus dari ras Rattus norweigicus galur Wistar, jenis kelamin jantan, umur 12 minggu, dengan berat antara 200-250 gram, sehat, misalnya tidak ada tanda-tanda infeksi, luka, atau cacat secara visual, apabila ada yang terlihat sakit maka harus segera dipisahkan dari kelompoknya dan tidak digunakan dalam penelitian. Pemilihan anggota kelompok sampel dengan alokasi random, dengan kriteria sebagai berikut : 1. Kriteria Inklusi : a. Tikus wistar jantan b. Umur 12 minggu
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
c. Berat badan 200 -250 gram d. Tidak ada kelainan anatomis (tidak ada cacat) 2. Kriteria Eksklusi : a. Tikus mati saat pemeliharaan (sebelum pajanan dimulai) b. Berat badan menurun (kurang dari 200 gram) c. Tikus tidak bergerak aktif atau sakit. Sampel dibagi menjadi 5 (lima) kelompok, yaitu 4 (empat) kelompok perlakuan dan 1 (satu) kelompok kontrol yang hanya diberikan udara bebas selama penelitian. Dosis pajanan yang akan diberikan bagi masing-masing kelompok perlakuan adalah sebagai berikut: a. Kelompok kontrol, tidak diberikan pajanan toluena, hanya diberikan udara bebas. b. Kelompok I,diberikan pajanan toluena sebesar 1,6 ml/4 jam/hari selama 14 hari. c. Kelompok II,diberikan pajanan toluena sebesar 3,2 ml/4 jam/hari selama 14 hari. d. Kelompok III,diberikan pajanan toluena sebesar 6,4 ml/4 jam/hari selama 14 hari. e. Kelompok IV,diberikan pajanan toluena sebesar 12,8 ml/4 jam/hari selama14 hari. 3.2.3. Etik penelitian pada hewan coba (tikus) Penelitian kesehatan dengan menggunakan hewan percobaan secara etis hanya dapat dipertanggungjawabkan, jika memenuhi kriteria sebagai berikut :[36,38] 1.
Tujuan penelitian dinilai cukup bermanfaat.
2.
Desain penelitian dapat menjamin bahwa penelitian akan mencapai tujuannya.
3.
Tujuan penelitian tidak dapat dicapai dengan menggunakan subjek atau prosedur alternatif.
4.
Manfaat yang akan diperoleh jauh lebih berarti dibandingkan dengan penderitaan yang dialami hewan percobaan.
5.
Telah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3.2.4.Terminasi dan pengambilan sampel jaringan
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Terminasi dilakukan segera setelah perlakuan hari ke -14 atau segara setelah hewan coba mati saat menerima perlakuan secara vagal refleks yaitu dengan cara menarik ekornya. Terminasi dan pengambilan jaringan dilakukan oleh peneliti dengan dipandu oleh tehnisi laboratorium hewan coba Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang berpengalaman.Terminasi hewan coba dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :[36,38] 1. Pengambilan hewan coba dari akuarium dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghilangkan kepanikan, nyeri, dan stress. 2. Waktu terminasi sesingkat mungkin untuk menghindari kesakitan pada hewan coba . 3. Memperhatikan aspek Occupational Safety bagi seluruh pelaksana untuk melindungi para pelaksana dari bahaya yang mungkin timbul akibat kontak dengan material biologis dari hewan coba. 4. Peralatan yang digunakan sederhana dan tidak mahal. 5. Lokasi terminasi yang terpisah dari “Animal Room”, tetapi dalam jarak yang terkontrol dari “Animal Room” dan Laboratorium. Pengambilan darah dilakukan dengan cara aspirasi dari bagian ekor kemudian ditampung dalam tabung EDTA sebanyak 3 ml untuk pemeriksaan plasma MDA. Kedua testis diambil dengan cara dipotong utuh pada pangkal testis kemudian segera dimasukkan ke dalam termos berisi es untuk menghindari autooksidasi. Testis dibersihkan dari sisa darah dengan larutan garam fisiologis dingin, lalu masukkan ke dalam pot berisi formalin 10% untuk pemeriksaan histopatologi. Testis dihomogenasi untuk pemeriksaan kadar MDA, dengan cara: 1. Tubulus seminiferus diiris dengan scalpel kemudian diencerkan 4 x dengan larutan garam fisiologis dingin. 2. Kemudian dihancurkan dengan ultraturax dalam tabung reaksi. 3. Selama proses homogenasi tabung reaksi dimasukkan ke dalam gelas beker berisi es. 4. Sediaan homogenate disimpan dalam lemari beku -20oC sampai digunakan kembali.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
3.3.Tehnik pajanan toluena Tehnik pajanan toluena diperoleh dari hasil konsultasi dengan Laboratorium Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Universitas Indonesia. Pelaksanaan tehnik pajanan toluena yang semula direncanakan dengan membuat uap toluena dari toluena cair murni yang dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan kemudian diberi aliran udara melalui bubbler akhirnya mengalami perubahan dikarenakan tidak ada laboratorium tehnik fisika yang sanggup untuk mengerjakan desain akuarium yang mampu mempertahankan kadar uap toluena konstan selama pajanan. Hal lain yang mempengaruhi perubahan tehnik adalah hasil sampling kadar toluena di dalam akuarium yang dilakukan oleh pihak Laboratorium K3 dan HIPERKES Jakarta sebanyak 5 kali pengukuran menunjukkan ketidaksesuaian antara hasil pengukuran kadar toluena didalam akuarium dengan jumlah toluena cair yang diletakkan di dalam akuarium. Pembuatan akuarium dilakukan di toko Sarana Kaca, Jakarta oleh tehnisi akuarium berpengalaman. Menurut guideline hewan coba, luas akuarium yang diperlukan untuk satu ekor tikus dengan berat 200 - 250 gram adalah sebesar 387 cm
2
dengan tinggi
kandang 17,8 cm (dibulatkan menjadi 18 cm), sehingga ukuran akuarium untuk enam ekor tikus adalah 6 x 387 cm 2 = 2322 cm 2 dibulatkan menjadi 2400 cm2.[36,38] Ukuran akuarium yang digunakan adalah 80 x 40 x 40 cm3 = 128000 cm3 = 128 liter, dengan tujuan untuk memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi hewan coba. Sisi atas akuarium yaitu 10 cm dari tepi atas akuarium dibuat talang dengan ukuran 80 x 10 cm sebagai tempat untuk menyemprotkan toluena cair. Perubahan tehnik pajanan dilakukan setelah peneliti melakukan konsultasi dengan pihak Laboratorium K3 dan HIPERKES Jakarta. Uap toluena dibuat dengan cara menyemprotkan toluena murni melalui spuit injeksi 5 cc merk Terumo, pada talang kaca yang terletak di bagian atas akuarium masing-masing sebanyak 12,8 ml, 6,4 ml, 3,2 ml, dan 1,6 ml disertai dengan mengalirkan udara melalui bubbler ke dalam akuarium serta dibantu oleh satu buah kipas angin kecil yang diletakkan di bagaian atas akuarium. Konsentrasi ini diperoleh dengan mengatur besarnya aliran udara yang melewati bubbler tersebut yang disesuaikan dengan jumlah udara yang keluar dari akuarium yaitu 5 µl/detik, yang diperoleh melalui pengukuran. Lubang untuk aliran udara yang keluar dari
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
akuarium terletak di bagian atas akuarium dikarenakan berat jenis uap toluena adalah 3,18 kali lebih besar daripada berat jenis udara sehingga uap toluena akan berada di dasar akuarium[2]. Kondisi lingkungan di dalam akuarium dipertahankan pada suhu 27-30,5oC dan kelembaban 60-90 % dengan tujuan untuk mempertahankan kondisi fisik hewan coba dan mempermudah dispersi toluena. Alat yang digunakan untuk pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan adalah termohigrometer jarum. Pencahayaan sesuai dengan pencahayaan di ruang laboratorium hewan coba. Kadar toluena selama pajanan dipertahankan dengan cara melakukan penambahan dosis toluena setiap jam berdasarkan perhitungan matematis dengan memperhatikan kecepatan aliran udara yang keluar dari akuarium, seperti disajikan pada tabel 3.2 di bawah ini. Tabel 3.2 Perhitungan penambahan kadar toluena selama pajanan
Toluena cair ditambahkan dengan cara menyemprotkannya melalui spuit injeksi 5 cc merk Terumo ke talang akuarium. Jumlah toluena cair yang ditambahkan tiap jam berbeda-beda pada tiap kelompok pajanan, sesuai dengan dosis pajanan semula. Volume akuarium dan kecepatan aliran udara selama pajanan adalah tetap. 3.4 Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dengan dibantu tehnisi Laboratorium Hewan Coba Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dokter Ahli Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Staf Ahli Biokimia Departemen Biokimia akultas Kedokteran Universitas Indonesia, serta Dokter Hewan Ahli Patologi Hewan Laboratorium Klinik PDHB Drh. Cucu K Sajuthi, Jakarta.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Pengumpulan data dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap uji pendahuluan dan tahap perlakuan. 3.4.1. Tahap pre-eliminary Merupakan tahap awal yang harus dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan nilai standar yang akan dijadikan acuan pada saat pengambilan data. Uji tersebut telah dilakukan pada tiga ekor tikus, yang masing-masing mendapatkan perlakuan sebagai berikut: 1. Tikus 1 : hanya diberikan udara bebas yang mengalir selama 4 jam per hari dalam 14 hari berturut-turut, dan kemudian dilakukan otopsi pada hari ke-14 oleh peneliti didampingi oleh tehnisi laboratorium hewan coba. 2. Tikus 2 : dipajan dengan toluena cair dosis 64 ml tanpa aliran udara yang akhirnya mati dalam 1 jam 20 menit, kemudian dilakukan otopsi segera setelah hewan coba mati. 3. Tikus 3 : dipajan dengan toluena cair dosis 64 ml dengan aliran udara di dalam akuarium melalui kipas angin kecil yang diletakkan dibagian atas akuarium. Hewan coba akhirnya mati dalam 1 jam 45 menit dan kemudian segera dilakukan otopsi setelah kematian. Pembuatan sediaan histopatologi masing-masing hewan coba dilakukan oleh tehnisi laboratorium hewan coba sesuai dengan prosedur kerja yang berlaku. Pembacaan histopatologi jaringan testis dilakukan oleh peneliti bersama dengan Dokter Ahli Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pemeriksaan kadar MDA tidak dilakukan karena sudah terjadi kerusakan jaringan testis dan pembeukuan darah. 3.4.2. Tahap perlakuan 1. Pengukuran kadar MDA (Malondialdehyde)
[39,40]
Pengukuran kadar MDA dilakukan dengan menggunakan Tes Thiobarbituric Acidreactive Subtance (TBARS) metode Wills (1987). Metode ini mengukur kadar MDA darah dan testis yang dihasilkan dari proses peroksidasi lipid oleh radikal bebas.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Malondialdehyde akan bereaksi dengan asam thiobarbiturat (TBA) yang menghasilkan senyawa berwarna pada panjang gelombang 532 nm. Prosedur pengukuran kadar MDA testis adalah sebagai berikut: 1) Menyiapkan larutan stok standar MDA (Malondialdehyde) dalam aquabidest dengan 7 (tujuh) konsentrasi yang berbeda (blanko standar, 0,25 mol – 1,6 mol). 2) Menyiapkan larutan TCA 20% (b/v) dalam aquabidest 3) Menyiapkan larutan TBA 0,67% (b/v) dalam aqubidest. 4) Pemeriksaan MDA (Malondialdehyde) darah : Sebanyak 0,75 ml larutan asam fosfat dimasukkan ke dalam tabung polyprophylene yang telah diisi 0,25 ml larutan TBA, tambahkan 0,05 ml sampel darah ke dalam tabung, tambahkan dengan 0,45 ml air. Kocok campuran selama 2 menit. Panaskan dalam waterbath selama 60 menit pada suhu 1000C, dinginkan campuran selama 1- 2 jam, hingga suhu mencapai 300C. Lalu masukkan kedalam SEP Park C 18 dan dicuci dengan 5 ml methanol dan air. Kedalam campuran masukkan 4 ml methanol dan tampung dalam cuvet. Kepekatan warna dibaca dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 532 nm. 5) Pemeriksaan MDA (Malondialdehyde) jaringan testis : Isi tabung sentrifus dengan 200 µl sampel (plasma dan homogenat tubulus seminiferus) tambahkan 1800 µL aquabidest dan 1000 µl TCA 20% dan 2000 µl TBA 0,67% kemudian panaskan pada suhu 95o selama 10 menit. Laarutan didiamkan beberapa saat hingga mencapai suhu ruangan, kemudian dilakukan sentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit. Hal yang sama juga dilakukan pada blangko. Selanjutnya supernatan diambil secara hati-hati dengan menggunakan pipet kemudian diukur serapannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm. 6) Langkah selanjutnya adalah membuat kurva standar MDA (Malondialdehyde) dengan konsentrasi 0 nmol; 0,0125 nmol; 0,025 nmol; 0,05 nmol; 0,1 nmol; 0,4 nmol; 1,6 nmol; dan 32 nmol dalam 2000 µl kemudian dilakukan pengukuran kadar MDA sampel dengan menggunakan kurva standar. Pemeriksaan MDA (Malondialdehyde) dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia oleh tehnisi laboratorium yang berpengalaman.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Pembacaan hasil dilakukan oleh staf ahli dari Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2.
Pemeriksaaan histopatologi testis
Pemeriksaan histopatologi testis dilakukan dengan membuat sediaan histologi testis terlebih dahulu melalui beberapa tahap, yaitu :[41] 1. Pertama kali melakukan fiksasi organ testis, dengan cara memotong testis kemudian dimasukkan ke dalam larutan fiksatif Bouin selama 2 – 10 jam. 2. Selanjutnya dilakukan pencucian dengan larutan alkohol 70%. 3. Melakukan dehidrasi bertahap dengan alkohol 70% selama 10 menit, kemudian dilanjutkan dengan alkohol 80%, 90%, dan 96% masing-masing selama 60 menit, dan terakhir dalam alkohol absolut selama 30 menit. 4. Tahap selanjutnya adalah melakukan penjernihan dengan toluol murni. 5. Setelah dijernihkan kemudian dilakukan infiltrasi parafin dengan cara memasukkan potongan jaringan ke dalam campuran toluol-parafin dengan perbandingan 1:1 selama 30 menit. Kemudian sediaan tersebut dimasukkan ke dalam parafin murni I,II,dan III masing-masing 60 menit. 6. Kemudian sediaan dari parafin murni III dimasukkan kedalam parafin cair kemudian biarkan sampai mengeras, proses ini disebut penanaman. 7. Setelah itu dilakukan pengirisan blok parafin testis yang telah mengeras dengan menggunakan mikrotom. 8. Blok parafin testis yang sudah diiris kemudian dilakukan penempelan pada objek glass yang diolesi dengan albumin meyer dan ditetesi dengan aquadest. 9. Tahapan selanjutnya adalah pewarnaan dengan menggunakan hematoksilin eosin (HE) melalui beberapa tahap sebagai berikut: a. Deparafinisasi sediaan dalam xilol sampai bebas parafin. b. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam alkohol 96%, 90%, 80%, 70%, 50%, 30% dan aquadest. c. Setelah itu sediaan dimasukkan kedalam larutan hematoksilin Elrich selama 1 menit. d. Langkah selanjutnya adalah mencuci dengan air mengalir, dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam aquadest kemudian ke dalam alkohol 30%, 50%, dan 70%.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
e. Setelah dicuci, sediaan kemudian dimasukkan kedalam larutan Eosin 0,5% selama 1 menit. f. Selanjutnya sediaan dimasukkan kedalam alkohol 70%, 80%, 90%, dan alkohol absolut. g. Langkah terakhir adalah memasukkan sediaan ke dalam xylol. 10. Sediaan yang sudah dilakukan pewarnaan kemudian ditutup dengan cara meneteskan canada balsem pada preparat, dan selanjutnya ditutup dengan gelas penutup. 11. Setelah dilakukan penutupan, langkah terakhir adalah pemberian label. Pembacaan hasil dilakukan setelah sediaan siap oleh peneliti bersama dengan Dokter Ahli Patologi Anatomi Laboratorium Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan dibantu oleh Dokter Hewan Ahli Patologi Hewan dari Laboratorium Klinik PDHB Drh. Cucu K Sajuthi, Jakarta. Pembacaan hasil patologi anatomi perubahan histopatologi di fokuskan pada semua selsel Sertoli, namun tidak dilakukan identifikasi terhadap kerusakan sel Sertoli karena sangat sulit untuk dilakukan sehingga hanya dilakukan penghitungan jumlah sel Sertoli dari setiap sediaan. Evaluasi dilakukan pada setiap preparat organ testis dari setiap ekor hewan percobaan. Satu preparat dilakukan evaluasi sebanyak 10 lapang pandang dengan perbesaran mikroskop 400x. Setiap lapang pandang pada preparat testis dari satu ekor hewan percobaan di foto dengan mikroskop cahaya yang dilengkapi dengan alat fotografi Nikon Eclipse E 600 W. Hasil pengamatan dianalisis atau dihitung dengan bantuan software MBF_Image J dihitung masing-masing sel Sertoli yang memiliki inti. 3.5. Waktu dan tempat studi Waktu pengumpulan data dilakukan mulai bulan Agustus 2011 sampai dengan Desember 2012. Tempat pemeliharaan hewan coba tikus dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pemeriksaan kadar MDA darah dan kadar MDA jaringan testis dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang dilakukan oleh staf Biokimia. Pembuatan sediaan Histopatologi di Laboratorium Patologi Anatomi FKUI yang dilakukan oleh tehnisi Patologi Anatomi. Pembacaan sediaan Histopatologi dilakukan oleh Dokter Ahli Patologi
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Anatomi Laboratorium Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan dibantu oleh Dokter Hewan Ahli Patologi Hewan dari Laboratorium Klinik PDHB Drh. Cucu K Sajuthi, Jakarta. 3.6.Penjaminan mutu Penjaminan mutu dilakukan dengan tujuan untuk menghindari bias yang ditimbulkan dari faktor kondisi lingkungan maupun akibat kesalahan prosedur baik dalam pemeliharaan, perlakuan, pembuatan preparat, maupun pembacaan hasil. Apabila terjadi kerusakan data lebih dari 50% pada satu kelompok penelitian maka dilakukan pajanan ulang pada kelompok tersebut dan data sebelumnya pada kelompok tersebut tidak digunakan dalam perhitungan statistik guna mempertahankan validitas hasil penelitian. Pengulangan pajanan dilakukan dengan prosedur yang sama. Penjaminan mutu telah dilakukan sesuai dengan prosedur kerja seperti tersebut diatas. 3.7. Identifikasi variabel 1. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar malondialdeyde dalam serum darah dan jaringan testis serta jumlah sel Sertoli dengan pemeriksaan hematoxyllin eosin (HE) yang dilihat dengan pemeriksaan dibawah mikroskop mikroskop cahaya yang dilengkapi denga alat fotografi Nikon Eclipse E 600 W pada pembesaran 400x pada 10 lapangan pandang untuk melihat sel Sertoli yang memiliki inti. 2. Variabel bebas adalah dosis pajanan toluena. Beberapa faktor dalam teori yang digunakan tidak menjadi faktor yang diteliti. Faktor lingkungan (suhu dan kelembaban) sebelum pajanan dilakukan tidak diteliti karena karakteristik lingkungan tempat pemeliharaan tikus dianggap sama. 3.8. Definisi operasional variabel 1. Dosis pajanan Toluena Adalah ukuran besarnya pajanan toluena yang diberikan secara inhalasi selama 4 jam perhari dalam waktu 14 hari, banyaknya uap toluena yang digunakan pada penelitian ini pada kelompok perlakuan, adalah sebesar 12,8 ml, 6,4 ml, 3,2 ml, dan 1,6 ml. 2. Peningkatan kadar MDA jaringan :
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Besarnya rerata nilai MDA jaringan tubulus seminiferus tikus setelah pajanan selesai pada kelompok perlakuan yang meningkat bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan pengukuran metoda TBARS (metode Wills,1987). 3. Jumlah sel Sertoli : Rerata jumlah sel Sertoli tikus yang memiliki inti akan diperiksa dibawah mikroskop mikroskop cahaya yang dilengkapi dengan alat fotografi Nikon Eclipse E 600 W pada pembesaran 400x pada 10 lapangan pandang dengan pewarnaan hematoxyllin eosin (HE), yang dilakukan setelah masa pajanan toluena selesai pada kelompok perlakuan yang dibandingkan dengan kelompok kontrol. Tidak dilakukan pengelompokan jumlah sel Sertoli pada penelitian ini. 4. Kadar MDA (Malondialdehyde) darah tidak diperiksa tersendiri, akan digunakan data sekunder yang diperoleh dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh dr. Margarita Dewi L. 3.9. Pengolahan dan analisis data [42,43] 1. Karakteristik subyek penelitian dapaat dilihat dengan melakukan analisis deskriptif terhadap berat badan subyek penelitian, rata-rata suhu lingkungan dan rata-rata kelembaban lingkungan. 2. Kebermaknaan tingkat pajanan toluena dengan kadar MDA (Malondialdehyde) jaringan testis dan tingkat pajanan toluena dengan jumlah sel Sertoli, yang didapat dari masing-masing kelompok dilakukan dengan uji Oneway Anova, yang dilanjutkan dengan analisis post hoc LSD antara kelompok 0 ml, 1,6 ml, 3,2 ml, 6,4 ml, dan 12,8 ml (dengan α = 0.05), jika sebaran data normal dan homogen. Apabila sebaran data tidak normal maka digunakan uji Kruskal Wallis. Analisis diawali dengan melakukan uji normalitas data dan homogenitas data. 3. Kebermaknaan pengaruh rata-rata suhu lingkungan dan rata-rata kelembaban lingkungan terhadap kadar MDA testis dan jumlah sel Sertoli dilakukan dengan Uji Multivariat ANOVA (MANOVA). 4. Kriteria dropout :
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Sampel dikatakan dropout apabila sampel mati sebelum pajanan dilakukan.
4. HASIL PENELITIAN
Pengumpulan hasil penelitian dilakukan sesuai dengan tahapan penelitian, yaitu tahap pre-eliminary dan tahap perlakuan. 4.1. Tahap pre-eliminary Hasil pengamatan histopatologi terhadap sediaan jaringan testis pada yang tiga ekor hewan coba (tikus), menunjukkan tidak ada perbedaan bentuk dan warna inti sel sertoli dari sediaan yang berasal dari hewan coba yang mendapat pajanan toluena dengan yang tidak diberi pajanan, sehingga selanjutnya pengamatan histopatologi hanya difokuskan pada penghitungan jumlah sel sertoli yang memiliki inti. 4.2. Tahap perlakuan Data MDA darah pada kelompok pajanan 12,8 ml mengalami kerusakan lebih dari 50% sehingga tidak dapat dilakukan analisis. Sesuai dengan kaidah penjaminan mutu, maka dilakukan pengulangan pajanan pada kelompok pajanan 12,8 ml sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Hasil pengulangan pajanan menunjukkan tidak ada kematian hewan coba pada kelompok tersebut dan keseluruhan data tidak mengalami kerusakan sehingga dapat dianalisis. Kondisi hewan coba pada tiga kelompok pajanan yang lain dan satu kelompok kontrol seluruhnya tampak segar dan aktif selama pajanan, tidak menunjukkan tanda-tanda intoksikasi, dengan demikian jumlah hewan coba yang berhasil bertahan hidup hingga
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
hari ke-14 pajanan setelah dilakukan pengulangan pada kelompok pajanan 12,8 ml adalah 30 ekor, sehingga data yang digunakan lengkap. Guna mempertahankan penjaminan mutu pada pembacaan hasil histopatologi terdapat sedikit perbedaan yaitu pada sampel hewan coba nomor 2 dari kelompok pajanan 3,2 ml (III.2) dilakukan 200x dengan ketentuan dikarenakan sampel tidak dapat dimagnifikasi sehingga hanya sampai perbesaran 200x perlapangan pandang pembacaan. Kemudian untuk sampel nomor 4 dari kelompok pajanan 3,2 ml (III.4) pada lapangan pandang 3 sulit diamati. Khusus untuk kelompok pajanan 1,6 ml sampel untuk semua slide hampir perlu dimodifikasi karena proses kurang bagus. Hasil pengamatan histopatologi pada sampel nomor 3 pada kelompok pajanan 1,6 ml (II.3) tidak dapat dievaluasi karena gambaran tubulus seminiferus hancur sehingga diberikan nilai nol pada tabel. 4.2.1. Kesetaraan berat badan, suhu lingkungan, dan kelembaban lingkungan antar kelompok penelitian Kesetaraan berat badan antar kelompok penelitian diketahui dengan cara melakukan uji ANOVA, kesetaraan suhu lingkungan dan kelembaban lingkungan diperoleh dari hasil uji Mann Whitney. Kesetaraan antar kelompok penelitian disajikan pada tabel 4.1 dibawah ini.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Tabel 4.1. Kesetaraan berat badan, suhu lingkungan, dan kelembaban lingkungan antar kelompok penelitian Rata-rata Rata-rata Kadar MDA suhu kelembaban Darah (data MDA Testis lingkungan lingkungan sekunder)
Jumlah Sel Sertoli
Dosis pajanan
Berat badan
ml
gram
⁰C
%
mmol/ml
mmol/mg
per 10 LP
0 0 0 0 0 0 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 3,2 3,2 3,2 3,2 3,2 3,2 6,4 6,4 6,4 6,4 6,4 6,4 12,8 12,8 12,8 12,8 12,8 12,8
230 232 244 249 247 236 241 246 235 241 231 230 238 241 242 231 238 234 235 237 243 246 242 231 244 239 248 242 243 248
29,7 29,7 29,7 29,66 29,66 29,66 30,13 30,13 30,13 30,5 30,5 30,5 30,09 30,09 30,09 30,18 30,18 30,18 29,44 29,44 29,44 29,01 29,01 29,01 28,83 28,83 28,83 28,83 28,83 28,83
65,1 65,1 65,1 64,97 64,97 64,97 55,07 55,07 55,07 47,3 47,3 47,3 51,86 51,86 51,86 51,87 51,87 51,87 61,5 61,5 61,5 62,3 62,3 62,3 57,13 57,13 57,13 57,13 57,13 57,13
5,959 0,665 1,196 0,756 1,029 0,526 0,98 0,475 0 0,858 0,701 0,597 0,649 1,085 1,242 2,426 1,642 0,614 0,71 5,215 5,413 1,681 3,653 0,468 1,55 2,23 0,88 3,92 1,8 1,76
0,085 0,052 0,048 0,102 0,057 0,077 0,119 0,066 0 0,12 0,166 0,017 0,077 0,017 0,117 0,219 0,063 0,098 0,055 0,058 0,042 0,265 0,175 0,184 0,06 0,05 0,04 0,05 0,11 0,15
3,5 3,2 4,9 4,1 8 5,3 1,3 3,7 0 1,6 5,6 1,9 2,1 5,1 6,3 5 4,6 3,7 2,4 5,4 4,8 5,8 3 3,1 6,1 5,4 2,4 3,8 6,1 6,2
Kode sample
Kesetaraan antar kelompok penelitian Berat badan
I.1 I.2 I.3 I.4 I.5 I.6 II.1 II.2 II.3 II.4 II.5 II.6 III.1 III.2 III.3 III.4 III.5 III.6 IV.1 IV.2 IV.3 IV.4 IV.5 IV.6 V.1 V.2 V.3 V.4 V.5 V.6
Suhu lingkungan MinimumMedian p** maksimum 29,68 29,66-29,70 0,003
Kelembaban lingkungan MinimumMedian p** maksimum 65,04 64,97-65,10 0,003
SD
Mean
p*
8,067
239,667
0,281
6,345
237,333
30,32
30,13-30,50
0,138
51,19
43,70-55,07
1,000
4,179
237,333
30,14
30,09-30,18
0.138
51,87
51,86-51,87
1,000
5,621
239,000
29,23
29,01-29,44
0,003
61,90
61,50-62,30
0,003
3,521
244,000
28,83
28,83-28,83
0,002
57,13
57,13-57,13
0,002
* : Uji ANOVA ** : Uji Mann Whitney
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Berdasarkan uji tersebut didapatkan bahwa hanya berat badan hewan coba yang mempunyai yang setara pada tiap kelompok penelitian (p = 0,281), sedangkan suhu lingkungan dan kelembaban lingkungan tidak setara untuk masing-masing kelompok penelitian. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan suhu lingkungan dan kelembaban lingkungan antar kelompok penelitian dilakukan uji Mann Whitney, dimana suhu lingkungan dan kelembaban lingkungan dinyatakan berbeda bermakna jika nilai memiliki nilai p < 0,05. Hasil Uji Mann Whitney menunjukkan bahwa ternyata antara kelompok pajanan 1,6 ml dan 3,2 ml tidak memiliki perbedaan suhu lingkungan (p = 0,138) dan kelembaban lingkungan (p=1,000), sedangkan tiga kelompok penelitian lainnya memiliki perbedaan suhu lingkungan dan kelembaban lingkungan. 4.3.1. Pengaruh dosis pajanan terhadap jumlah sel sertoli dan MDA jaringan testis Pengaruh dosis pajanan terhadap jumlah sel sertoli dilakukan uji analisis statistik dengan menggunakan Oneway ANOVA, hubungan dianggap bermakna secara statistik apabila nilai p < 0,05. Kemudian untuk mengetahui pengaruh dosis pajanan terhadap kadar MDA jaringan testis dapat diketahui dengan melakukan uji analisis statistik Kruskal Wallis, hubungan dianggap bermakna secara statistik apabila nilai p < 0,05. Hasil analisis statistik seperti disajikan dalam tabel 4.2 dibawah ini. Tabel 4.2 Pengaruh dosis pajanan terhadap jumlah sel Sertoli dan MDA Jaringan testis Kelompok penelitian Sel sertoli Mean SD p* MDA jaringan testis Median Minimum Maksimum p**
0
1,6
3,2
6,4
12,8
4,83 1,75
2,35 1,99
4,47 1,43 0,067
4,08 1,43
5 1,56
0,067 0,05 0,10
0,0925 0,00 0,17
0,0875 0,02 0,22 0,856
0,1165 0,04 0,27
0,057 0,04 0,15
* : Uji ANOVA ** : Uji Kruskal Wallis
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Tabel diatas menggambarkan rata-rata dosis pajanan tiap kelompok tidak ada hubungan dengan rata-rata jumlah sel sertoli (p = 0,067 ) dan terhadap kadar MDA jaringan testis (p = 0,856). 4.3.3. Pengaruh lingkungan terhadap jumlah sel Sertoli dan kadar MDA jaringan Pengaruh lingkungan yang dinilai adalah rata-rata suhu dan rata-rata kelembaban lingkungan terhadap jumlah sel sertoli dan kadar MDA testis yang dapat diketahui dengan melakukan analisis Multivariat ANOVA (MANOVA), pengaruh dianggap bermakna jika memiliki nilai p < 0,05. Hasil uji MANOVA dapat dilihat pada tabel 4.3 dibawah ini.
Tabel 4.3 Hubungan independen antara dosis pajanan, suhu lingkungan, dan kelembaban lingkungan dengan jumlah sel Sertoli dan kadar MDA jaringan testis Variabel Sel Sertoli Suhu Kelembaban Dosis MDA jaringan testis Suhu Kelembaban Dosis
Sum of square*
p*
0,033 1,802 20,825
0,915 0,431 0,153
0,031 0,021 0,011
0,003 0,012 0,016
* : Uji MANOVA
Melalui hasil uji tersebut didapatkan bahwa suhu lingkungan (p = 0,003) dan kelembaban lingkungan (p = 0,012) berpengaruh terhadap kadar MDA jaringan testis, tetapi suhu lingkungan (p = 0,915) dan kelembaban lingkungan (p = 0,431) tidak berpengaruh terhadap jumlah sel sertoli.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
5. PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian tahap awal, dimana diharapkan setidaknya dapat memberikan kontribusi pada penetuan dosis yang menimbulkan efek pada manusia, sehingga untuk mencapai hal tersebut maka perlu dibuktikan dengan penelitian pada tingkatan yang lebih tinggi, seperti pada primata yang dianggap mendekati manusia. Penelitian ini masih banyak memiliki keterbatasan, sebagai berikut : 1. Faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban lingkungan sulit dikendalikan sehingga kondisi lingkungan dari masing-masing kelompok pajanan tidak setara yang mungkin dapat mempengaruhi hasil penelitian. 2. Hasil sampling kadar toluena di akuarium yang dilakukan sebelum penelitian dimulai memberikan hasil yang berbeda-beda, sehingga tidak dapat digunakan sebagai acuan untuk penetapan dosis dalam satuan part per million (ppm). 3. Desain akuarium minimalis dan belum sempurna yang memungkinkan adanya kebocoran saat pajanan dan kurangnya aliran udara bebas dalam akuarium, sehingga tidak menjamin kestabilan dosis selama pajanan dilakukan. 4. Tehnik pewarnaan yang digunakan pada sediaan tidak mendukung untuk mempelajari morfologi Sel Sertoli dan tahapan spermatogenesis hewan coba, sehingga pengamatan perubahan awal yang terjadi hanya dilakukan sebatas pada lamina basal tubulus seminiferus testis hewan coba, yaitu dengan melakukan penghitungan jumlah Sel Sertoli. 5. Adanya kerusakan organ testis akibat matinya hewan coba dan ketidaktepatan tehnik pemotongan jaringan yang mengakibatkan hancurnya tubulus seminiferus, sehingga mengakibatkan sediaan yang dihasilkan tidak dapat dinilai. Guna mengatasi hal-hal tersebut di atas maka dilakukan upaya sebagai berikut : 1. Penelitian dilakukan pada ruang berpendingin udara pada suhu 23 – 25 °C dan digunakan kipas angin kecil di dalam akuarium untuk mempertahankan suhu dan kelembaban lingkungan selama pajanan. Sehingga pengaruh tekanan panas lingkungan dapat dikendalikan.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
2. Sudah dilakukan penghitungan (konversi nilai) terhadap dosis pajanan toluena yang disesuaikan volume akuarium dan kecepatan aliran udara yang keluar, sehingga kadar pajanan telah diupayakan konstan selama perlakuan. 3. Dilakukan sealing disekeliling tutup akuarium selama pajanan untuk menghindari kebocoran uap toluena. 4. Dilakukan pengulangan perlakuan pada kelompok pajanan 12,8 ml dengan prosedur yang sama untuk memperoleh data yang lebih akurat. 5. Pembacaan
histopatologi
dilakukan
oleh
Dokter
Ahli
Patologi
Anatomi
Laboratorium Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan dibantu oleh Dokter Hewan Ahli Patologi Hewan dari Laboratorium Klinik PDHB Drh. Cucu K Sajuthi, Jakarta, yang memiliki kompetensi untuk pembacaan histopatologi jaringan khususnya pada hewan, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan dalam identifikasi sel dapat dihindari. 5.1. Kesetaraan antar kelompok penelitian Penelitian ini menggunakan 30 ekor hewan coba berupa hewan coba wistar jenis kelamin jantan, melalui uji kesetaraan diperoleh bahwa kesetaraan berat badan antar kelompok penelitian sudah tercapai (p = 0,281), sehingga dapat dikatakan pemilihan hewan coba telah dilakukan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan di awal penelitian. Kondisi lingkungan penelitian, berupa suhu dan kelembaban lingkungan, tidak tercapai kesetaraan antar kelompok pajanan meskipun sudah dilakukan upaya pengendalian dengan mengaktifkan pendingin udara ruangan selama pajanan pada suhu 23-25°C serta penggunaan kipas angin kecil di dalam akuarium selama pajanan. Suhu dan kelembaban lingkungan berbeda pada tiap kelompok pajanan (p < 0,05), kecuali pada kelompok pajanan 3,2 ml dan 1,6 ml kodisi suhu dan kelembaban lingkungan setara (p > 0,05). Kondisi ini kemungkinan disebabkan karena pajanan 3,2 ml dan 1,6 ml dilakukan pada waktu yang berdekatan sehingga suhu dan kelembaban lingkungan masih relatif sama, sedangkan
untuk kelompok pajanan 12,8 ml, 6,4 ml, dan kontrol masing-masing
dilakukan dalam jarak waktu yang berjauhan sehingga kondisi lingkungan sangat berbeda akibat adanya perbedaan cuaca.[18]
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
5.2. Pengaruh dosis pajanan terhadap jumlah sel Sertoli dan kadar MDA jaringan testis Penelitian ini menggunakan dosis yang lebih rendah, yaitu 0 ml, 1,6 ml, 3,2 ml, 6,4 ml, dan 12,8 ml dengan waktu pajanan yang lebih singkat, yaitu 4 jam per hari selama 14 hari. Dosis pajanan dipertahankan dengan cara melakukan penambahan toluena cair ke dalam akuarium tiap jam berdasarkan hasil perhitungan (konversi nilai) yang didasarkan atas kecepatan aliran udara dan volume akuarium. Diperoleh bahwa dosis pajanan kurang dari sama dengan 12,8 ml tidak mempunyai pengaruh terhadap jumlah sel Sertoli (p = 0,067) dan kadar MDA jaringan testis (p = 0,856). Alasan yang mungkin adalah karena sifat toluena lipofilik sehingga akan terakumulasi pada jaringan tubuh yang memiliki kadar lemak tinggi, terutama di hati, otak, ginjal, dan darah. Sedangkan testis merupakan organ yang dilapisi sedikit jaringan lemak sehingga bukan merupakan target utama akumulasi toluena atau kemungkinan juga kadar akumulasi pada organ tersebut sangat sedikit, sehingga meskipun pajanan toluena dalam jangka lama dapat mengakibatkan terjadinya perpanjangan waktu paruh biologi dalam darah namun kadar kumulatif zat toksik tidak mencukupi untuk jaringan testis. [8,9,10] Kondisi lain yang mendukung adalah adanya peranan BTB, yaitu suatu mekanisme pertahanan testis yang antara lain disusun oleh ikatan kompleks sel Sertoli, dalam menjaga milieu spesifik untuk diferensiasi sel spermatogenik, segregasi dari sistem imun tubuh, menjaga polaritas sel-sel jaringan testis, dan drugs transporter, sehingga mengakibatkan jaringan testis sangat sulit ditembus oleh zat asing termasuk toluena. Sehingga dengan demikian dosis yang kecil tadi tidak mampu menembus ke dalam tubulus seminiferus testis akibat adanya sistem pertahanan testis maka belum sempat terjadi pembentukan ROS di testis, sehingga MDA jaringan testis belum terbentuk dan sel Sertoli tidak mengalami kerusakan. [23-34] Kemungkinan lain adalah peranan sistem imun lokal sel Sertoli, yang diperankan oleh parakrin dan interaksi permukaan spesifik, berupa IL-1, transferin, dan IL-6 yang berfungsi untuk mengaktifkan limfosit T dan B yang berperan dalam fagositosis serta
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
TNF-α yang berfungsi untuk mengekspersi Fas pada permukaan sel Sertoli yang diperlukan untuk mengikat FasL yang bersifat sitotoksik. Sehingga meskipun masih ada kemungkinan toluena dan metabolitnya (ROS) mampu menembus BTB, namun dapat dilawan dengan mekanisme imunitas sel Sertoli itu sendiri, sehingga sehingga ROS yang terbentuk kadarnya juga rendah yang berakibat tidak terdeteksi di dalam jaringan dan dampak selanjutnya sel Sertoli tidak mengalami cedera sel.[16,23] 5.3. Pengaruh lingkungan terhadap jumlah sel Sertoli dan kadar MDA jaringan testis Suhu dan kelembaban lingkungan berperan dalam pembentukan tekanan panas lingkungan. Pengaruh tekanan panas lingkungan terhadap testis adalah adanya gangguan spermatogenesis yang terkait oleh beberapa mekanisme, antara lain melalui mekanisme stress oksidatif.[18] Pada penelitian ini telah dilakukan pengendalian suhu lingkungan, yaitu dengan melakukan penelitian di ruang berpendingin udara dengan suhu ruangan 25°C dan digunakan kipas angin kecil di dalam akuarium selama pajanan yang berfungsi untuk mempertahankan suhu dan kelembaban udara lingkungan. Nilai pengukuran suhu lingkungan (p = 0,003) dan kelembaban lingkungan (p = 0,012) pada penelitian ini berpengaruh terhadap kadar MDA jaringan testis, hal ini dapat dijelaskan bahwa kemungkinan perubahan suhu dan kelembaban lingkungan berhubungan dengan tekanan panas lingkungan merupakan faktor utama pemicu terbentuknya ROS melalui beberapa mekanisme ekspresi gen, seperti heat shock, pembentukan protein stress oksidatif, ataupun keduanya.[38] Timbulnya mekanisme stress oksidatif melalui pembentukan protein stress oksidatif yang disebut heat shock proteins (HSPs), akan terjadi pelepasan heat shocks transcription 1 (HSF1) yang akan berikatan dengan DNA yang selanjutnya memicu terjadinya kerusakan sel. Tekanan panas dapat pula menyebabkan penurunan antioksidan pada tikus sehingga kemampuan untuk melawan stress oksidatif akan menurun. [18,19,20,23] Pembentukan ROS dapat dideteksi dengan MDA jaringan tubuh termasuk testis yang merupakan salah satu penanda biologis untuk mengetahui adanya peningkatan lipid peroksidase pada stress oksidatif. [4-8,16,21]
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Hasil perhitungan statistik suhu dan kelembaban lingkungan tidak berpengaruh terhadap jumlah sel Sertoli. Berdasarkan teori dapat dijelaskan bahwa sel Sertoli terletak di dalam lamina basalis tubulus seminiferus testis yang terlindung oleh BTB dan sekaligus pembentuk BTB. Sel Sertoli juga berperan dalam sistim imunitas testis.[28,29] Suhu lingkungan saat dilakukan pajanan yang berkisar 29,4-30,5°C dengan kelembaban berkisar antara 51,86 -65,1% masih merupakan suhu dan kelembaban yang dapat ditoleransi oleh testis, sehingga meskipun suhu berpengaruh terhadap kadar MDA testis namun sistem imunologi yang diperankan oleh sel Sertoli tampaknya tidak terpengaruh oleh kondisi tersebut, dengan demikian ROS yang terbentuk akibat pengaruh tekanan panas lingkungan masih dapat dilawan dengan mekanisme imunitas sel Sertoli. Kondisi ini menyebabkan tidak terjadi proses cedera sel yang dapat menyebabkan penurunan jumlah sel Sertoli.[25-32]
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Pajanan toluena 14 hari per inhalasi pada dosis kurang dari sama dengan 12,8 ml tidak dapat menyebabkan kerusakan histopatologi dan morfologi dari tubulus seminiferus yang ditunjukkan dengan tidak adanya penurunan jumlah Sel Sertoli pada hewan coba, sehingga kemungkinan kerusakan organ reproduksi terjadi di epididimis hewan coba. 2. Pajanan toluena pada dosis kurang dari sama dengan 12,8 ml tidak menyebabkan terjadinya pembentukan atau sedikit pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS), sehingga nilai MDA tidak terdeteksi di dalam jaringan testis. 6.2. Saran 1. Perlu dilakukan pemeriksaan biomonitoring terhadap metabolit toluena pada penelitian selanjutnya sebagai penanda adanya metabolisme toluena di dalam tubuh. 2. Penggunaan dosis toluena dalam satuan part per million (ppm) dan dengan memperhatikan kecepatan aliran udara di dalam akuarium sehingga dapat dilakukan penambahan dosis secara konstan untuk menjaga kestabilan dosis selama pajanan. 3. Perlu dilakukan analisa lanjutan terhadap epididimis agar memperoleh hasil yang lebih bermakna. 4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan hewan coba yang lebih tinggi, seperti primata, sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai nilai rujukan bagi pekerja.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Weissermel,Arpe,Industrial Organic Chemistry,4th Completly Revised Ed, Wiley-VCH GmbH and Co, Weinheim,Germany,2003 2. Surat Edaran MENAKERTRANS no. SE-01/MEN/1997, Nilai Ambang Batas (NAB) Bahan Kimia. 3. Stellmann,Jeanne,Encyclopaedia of Occupational Health and Safety, Vol 4,ILO,1988 4. Edelfors S, Hass U, Hougaard K (2002); “Changes in markers of oxidative stress and membran properties in synaptosomes from rats exposed prenatally to toluene”. Pharmacol Toxicol. 2002;90:26-31 5. Coskun O, Otter S, Korkmaz A, Armuteu, Kanter M. (2005); “The oxidative and morphological effects of high concentration chronic toluene exposure on rat sciatic nerves”. Neurochem Res. 2005;30:33-8. 6. Mattia C, LeBel C, Bondy S. (1991); “Effect of toluene and its metabolites on cerebral reactive oxygen species generation”. Biochem Pharmacol. 1991; 42:879-82. 7. Mattia C, Jr JA, Bondy S. (1993); “Free radical induction in the brain and liver by product of toluene catabolism”. Biochem Pharmacol. 1993;46:103-10. 8. Ihsan Halifaeoglu, Halit Cannatan, Bilal Ustundang, Nevin Ilhan,Fatma Inanc, Effect of Thinner Inhalation on Lipid peroxidation and some Antioxidant Enzymes of People Working with Paint Thinner, Cell Biochemistry and Function, Cell Biochem.Funct 18, 263-267 (2000) 9. GuoBing Xiao,CuiBaopan,YaoZhang Cai,HuiLin,ZhangMingFu, efeect of Benzene, Toluene, Xylene on the Semen Quality and the Function of Accessory Gonad of Exposed Workers, Industrial Health,39,206-210,2001 10. K Foxall, Toluene Toxicological Review, Health Protection Agency, 2007 11. Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR), Toxicological Profile for Toluene,US Departement of Health and Human Services, Atlanta, 2000 12. International Programme on Chemical Safety (IPCS), Chemical, Environmental Health Criteria No. 52 :Toluene, World Health Organization, Geneva,1985 13. David C Rees, Ronald W Wood, jenifer P McCormick, Christopher Cox, Toxicokinetics of Toluene in the Rat, Scand J Work Environment Health, 11, 301 – 306,1985. 14. Toshio Kawai, Tsuneyuki yamauchi, Yuriko Miyama, haruhiko Sakurai, Hirhiko Ukai, Shiro Takada, Fumiko Ohashi, Masayuki Ikeda, Benzyl alcohol as a Marker of Occupational Exposure to Toluene, Industrial Health,45,143 – 150, 2007 15. Toru Ishidao, Sumiyo Ishimatsu, Keiichi Arashidani, Hajime Hori, Effect of Repeated Exposure to Methanol and Toluene Vapour on the Metabolis of Rats, Industrial Health, 38, 405 -407, 38, 2000 16. Konuk et all, Effects of α-lipoic Acid on DNA Damage, Protein Oxidation, Lipid Peroxidation, and Some Biochemical Parameters in Sub-chronic Thinner-addicted Rats, Turk Journal Biology, 36, p 702 – 710, 2012 17. Mujahid, Akiba,Toyomizu, Acute Heat Stress Induces oxidative Stress and Decrease Adaptation in Young White Lwghorn Cockerels by Downregulation of Avian Uncoupling Protein, Poultry Science Association Inc, p 364 -371, 2007 18. Bhat, Rao, Murthy, Bhat, Seasonal Variations in Markers of Stress and Oxidative Stress in Rats, Indian Journal of Clinical Biochemistry, vol 2, no 23, p 191 194,2008
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
19. Adachi, Liu, et al, Oxidative Stress Impairs the Heat Stress Response and Delay Unfolded Protein,PlosOne Journal, November, 2011 20. Ikeda, Kodama, et al, Role of Radical Oxygen Species in Rat Testicular germ cell Apopatosis Induced by Heat Stress,Biology of Reproduction, 61, p 393 -399,1999 21. Luderer, Morgan,et al, Reproductive Endocrine Effects of Acute Ex[posure to Toluene in Men and Women,Occupational Environtment Medical, vol 56, p 657 – 666, 1999 22. Sert,Sirmatel,Yildiz,Oruc, The Investigation by Doppler Ultrasonography of Blood Floe Dynamics Of Testes and Liver in Men Exposed Chronically to Toluene, Journal of International Dental and Medical research, vol 10, No 5, p 100-103,2010 23. Miura, Sasagawa, Apoptosis and Expression of Apoptosis-related Genes in the Mouse Testis Following Heat Exposure, Fertility and Sterility, vol 77, no 4, p 787 – 793, April, 2012 24. Robbins and Cottran; Pathologic Basis of Disease; Eight edition. Chapter 2. p 25. Ogawa et al, Urinary 8-Hydoxydeoxyguanosine (8-OhgD) and Plasma Malondialdehyde (MDA) Levels in Aldh2 Knock-out Mice Under Acetaldehyde Exposure, Industrial Health, 44, p 179-183,2006 26. Guyton and Hall, Text Book of Medical Physiology, 11th Edition, Elsevier Sanders, Pennsylvania, 2006 27. Stacy Branch, A Text Book of Modern Toxicology, Cahpter 20 : Reproductive System,John Willey & Sons,Inc,2004 28. Francisco Gaytan, M Concepcion Lucena, Elisa Munoz, Ricardo Paniagura, Morphometric Aspects of Rat Testis Development, J Anat (1986),145,pp 155-159 29. C. Yan Cheng, Dolores D Mruk, An Intracelluler trafficking pathway in the seminiferous epithelium regulating spermatogenesis: A biochemical and melocular perspective, NIH Public Access, Crt Rev Biochem Mol Biol, 2009; 44 (5): 245 - 263 30. Bustos Obregon, Carvallo,M;E; Hartley Belmar; Sarabia,L; Ponce,C; Histopathological and Histrometical Assessment of Boron Eksposure Effects on Mouse Spermatogenesis, International Journal of Morphology, 25(4), 919 – 925, 2007. 31. Reece, William Functional Anatomy and Physiology of Domestic Animals, 4th Ed, Wiley-Blackwell, Iowa, USA,2009 32. Russel, Lionee, Histological and Histopathological Evaluation of the Testis, Chace River Press, University of Michigan, 1999 33. Knobil,Ernst, Physiology of Reproduction, 3rd Ed, Elsevier Academic Press, Oxford,UK,2006, ISBN: 978-0-12-515400-0 34. Kretser,David, Molecular Biology of Reproductivr System, Academic Press, University of Michigan, 1993, ISBN 0122090306 35. S.W.L’Hernault, Spermatogenesis, Wormbook, http://www.wormbook.org, disitasi 2 Maret 2011 36. Guide for the Care and Use of Laboratory Animals:Eighth Edition Committee for the Update of the Guide for the Care and Use of Laboratory Animals; National Research Council, http://www.nap.edu/catalog/12910.htm 37. Frederrer, Experimental Design, Theory and Application, New York, Mac Millan, 1963. 38. Ngatidjan, Petunjuk Laboratorium. Metode Laboratorium dalam Toksikologi. Universitas Gadjah Mada, UGM Press, Yogyakarta, 1991.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
39. Warsito, Agus, Analisis Pemajanan Toluena Terhadap Profil Darah Pada Pekerja Sektor Industri Penyulingan Minyak Bumi, Juni 2007, http://eprints.undip.ac.id/16277/1/AGUS_WARSITO.pdf 40. U.S. Envronmental Protection Agency. 1991. Guideline for Developmental Toxicity Risk Assesment. Federal Register 56:63798-63826. 41. Suntoro,S.H, Metode Pewarnaan Histologi dan Histokimia, hal 48,Bhatra karya Aksara, Jakarta, 1983 42. Dahlan,Sopiyudin, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta,2009. 43. Yamin, Kurniawan, SPSS Complete, Tehnik Analisis Statistik terlengkap dengan Software SPSS, Salemba Infotek, Jakarta,2009 44. Kawamoto, T; Matsuno K, Kodama Y, Murata K, Matsuda S (September-October 1994). "ALDH2 polymorphism and biological monitoring of toluene". Archives of Environmental Health 49 (5): 332–6. 45. Antonio Filippini, Anna Riccioli, Fabrizio Padula, Paula Lauretti, Alessio D’Alessio, paola De Cesaris, Loredena Gandini, Andrea Lenzi, Elio Ziparo, Immunology and Immunopathoplogy of the male genital tract :Control and impairment of immune previlage in the testis and in semen, Human Reproduction Update, vol.7,no5,p 444 – 449,2001 46. Mathur, Huang, et all, Environmental Toxicants and Testicular Apoptosis, The Open Reproductive Science Journal, Vol 3, p 114-122,2011 47. Shaha, Tripathi, Mishra, Male Germ Cell Apoptosis : Regulation and Biology, Philosophical Transactions of The Royal Society, 365, p 1501 – 1515,2010
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Lampiran 2. Tehnik Percobaan
Percobaan ini dilakukan Pada Suhu Ruang T= 28-32 oC dan P = 1 ATM Toluena cair dimasukkan ke cawan yang berada dalam chamber
Udara keluar dari sisi atas chamber
Chamber Tertutup
Pompa
80 x 40x 40 cm
Penghasil 4 cm
Udara
(berisi 3 tikus)
(Bubbler)
Keterangan gambar : 1.
Setiap chamber berisi 3 ekor tikus.
2.
Jalannya udara digambarkan dengan tanda panah (). Pertama-tama, udara menuju chamber, melalui lubang yang dibuat setinggi hidung tikus (4 cm dari alas). Sedangkan toluena cair disemprotkan ke dalam chamber sesuai dengan besaran ppm yang diharapkan. Kemudian toluena cair ini akan dibiarkan menguap sampai habis dan segera setelah habis akan dilakukan perhitungan waktu selama 4 jam. Pada percobaan ini, uap toluena akan berada di dasar chamber dibandingkan dengan udara, karena berat jenis uap toluena adalah 3.18 kali berat jenis udara2. Sedangkan, untuk aliran udara (dan toluena) yang keluar dari chamber, diletakkan di
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Lampiran 3. Hasil pemeriksaan MDA
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Lampiran 3. Hasil pemeriksaan MDA
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Lampiran 4. Jumlah sel Sertoli
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Lampiran 4. Jumlah sel Sertoli
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Lampiran 5. Gambar hasil penelitian Penghitungan jumlah sel Sertoli dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya yang dilengkapi dengan alat fotografi Nikon Eclipse E 600 W pada pembesaran 400x pada 10 lapangan pandang dengan pewarnaan hematoxylin eosin (HE). Sel Sertoli ditunjukkan oleh titik warna merah.
Gambar 1. Kelompok kontrol
Gambar 2. Kelompok pajanan 1,6 ml
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Gambar 3. Kelompok pajanan 3,2 ml
Gambar 4. Kelompok pajanan 6,4 ml
Gambar 5. Kelompok pajanan 12,8 ml
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Lampiran 6 Gambar Hasil Uji Pre-eliminary
A
B
C
Gambar A,B,C adalah penampang tubulus seminiferus hewan coba pada uji preeliminary. Gambar A adalah penampang tubulus seminiferus hewan coba yang tidak mendapatkan pajanan toluena, gambar B dan C adalah penampang tubulus seminiferus hewan coba yang mendapat pajanan toluena. Pada gambar A,B, dan C, tampak sel Sertoli dengan inti besar di lamina basalis tubulus seminiferus (ditunjukkan dengan titik warna merah) dengan sel-sel spermatogen yang memenuhi tubulus dari lamina basalis ke arah lumen. Tidak ada perbedaan antara tubulus seminiferus hewan coba yang dipajan toluena dengan yang tidak dipajan toluena.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Lampiran 7. Uji Statistik
1.
Berat badan hewan coba, suhu lingkungan, dan kelembaban lingkungan
Normalitas data diperoleh dengan cara melakukan uji statistik terhadap berat badan hewan coba, suhu lingkungan dan kelembaban lingkungan, sebagai berikut : Tests of Normal ityb,c a
Berat badan
Rat a-rata Suhu
Rat a-rata Kelembaban
Kolmogorov -Smirnov Stat is tic df Sig. ,204 6 ,200* ,218 6 ,200* ,230 6 ,200* ,203 6 ,200* ,205 6 ,200* ,319 6 ,056 ,319 6 ,056 ,319 6 ,056 ,319 6 ,056 ,319 6 ,056 ,319 6 ,056 ,319 6 ,056 ,319 6 ,056
Dos is pajanan ,0 1, 6 3, 2 6, 4 12, 8 ,0 1, 6 3, 2 6, 4 ,0 1, 6 3, 2 6, 4
Stat is tic ,902 ,922 ,935 ,962 ,922 ,683 ,683 ,683 ,683 ,683 ,683 ,683 ,683
Shapiro-Wilk df 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
Sig. ,388 ,519 ,621 ,838 ,517 ,004 ,004 ,004 ,004 ,004 ,004 ,004 ,004
*. This is a lower bound of the true signif ic ance. a. Lillief ors Signif icance Correc tion b. Rat a-rata Suhu is constant when Dos is pajanan = 12,8. It has been omitt ed. c. Rat a-rata Kelembaban is c onst ant when D osis pajanan = 12,8. I t has been omit ted.
Melalui uji diatas dijumpai bahwa sebaran berat badan hewan coba normal (p>0,05), sedangkan sebaran data suhu lingkungan dan kelembaban lingkungan tidak normal (p<0,05), sehingga untuk suhu lingkungan & kelembaban lingkungan dipakai nilai median, minimum & maksimum. Dikarenakan sebaran data berat badan normal, maka dilakukan uji homogenitas data, dengan Uji Lavene, didapatkan hasil : Test of Homogeneity of Variances
Berat badan
Levene Statistic 3,348
df1
df2 4
Sig. 25
,025
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan nilai p = 0,025, karena p< 0,05, maka distribusi data berat badan tikus tidak homogen Sebaran data berat badan tikus normal, maka dilanjutkan dengan Uji One Way ANOVA untuk melihat perbandingan antar kelompok sebagai berikut: ANOVA
Berat badan
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 179,467
df 4
Mean Square 44,867
834,000
25
33,360
1013,467
29
F 1,345
Sig. ,281
Hasil Uji ANOVA didapatkan nilai p = 0,281( p>0,05), maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan bermakna berat badan tikus antar kelompok pajanan toluena. Uji Kruskal Walis dipakai untuk mencari nilai p dari suhu lingkungan dan kelembaban lingkungan, karena sebaran data tidak normal: Descriptives(a,b)
Rata-rata Suhu
DOSIS2 0
Statistic
Mean 95% Confidence Interval for Mean
29,6800 Lower Bound Upper Bound
29,7030 29,6800
Median
29,6800 ,000
Std. Deviation
,02191
Minimum
29,66
Maximum
29,70
Range
,04
Interquartile Range
,0400
Skewness Kurtosis 1,6
Mean 95% Confidence Interval for Mean
,00894
29,6570
5% Trimmed Mean Variance
Std. Error
Lower Bound Upper Bound
,000
,845
-3,333
1,741
30,3150
,08273
30,1023 30,5277
5% Trimmed Mean
30,3150
Median
30,3150
Variance Std. Deviation
,041 ,20266
Minimum
30,13
Maximum
30,50
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Range
,37
Interquartile Range
,3700
Skewness
,000
Kurtosis 3,2
Mean 95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
30,0833 30,1867 30,1350 30,1350 ,002 ,04930
Minimum
30,09
Maximum
30,18
Range
,09
Interquartile Range
,0900
Skewness Kurtosis Mean 95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
,000
,845
-3,333
1,741
29,2250
,09615
28,9778 29,4722
5% Trimmed Mean
29,2250
Median
29,2250
Variance
,055
Std. Deviation
,23552
Minimum
29,01
Maximum
29,44
Range
,43
Interquartile Range
,4300
Skewness Kurtosis Rata-rata Kelembaban
1,741 ,02012
Median Std. Deviation
6,4
-3,333 30,1350
5% Trimmed Mean Variance
,845
0
Mean Lower Bound Upper Bound
1,6
95% Confidence Interval for Mean 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis Mean 95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
,000
,845
-3,333
1,741
65,0350
,02907
64,9603 65,1097 65,0350 65,0350 ,005 ,07120 64,97 65,10 ,13 ,1300 ,000 -3,333 51,1850
,845 1,741 1,73742
46,7188 55,6512
Universitas Indonesia
5% Trimmed Mean
51,1850
Median
51,1850
Variance
18,112
Std. Deviation
4,25580
Minimum
47,30
Maximum
55,07
Range
7,77
Interquartile Range
7,7700
Skewness Kurtosis 3,2
Mean 95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
,845 1,741
51,8650
,00224
51,8593 51,8707
5% Trimmed Mean
51,8650
Median
51,8650
Variance
,000
Std. Deviation
,00548
Minimum
51,86
Maximum
51,87
Range
,01
Interquartile Range
,0100
Skewness
,000
Kurtosis 6,4
,000 -3,333
Mean 95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
-3,333
1,741
61,9000
,17889
61,4402 62,3598
5% Trimmed Mean
61,9000
Median
61,9000
Variance
,845
,192
Std. Deviation
,43818
Minimum
61,50
Maximum
62,30
Range
,80
Interquartile Range Skewness Kurtosis
,8000 ,000
,845
-3,333
1,741
a Rata-rata Suhu is constant when DOSIS2 = 12,8. It has been omitted. b Rata-rata Kelembaban is constant when DOSIS2 = 12,8. It has been omitted.
Ranks
Rata-rata Suhu
DOSIS2 0
N
Mean Rank 6
15,50
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
1,6
6
26,00
3,2
6
23,00
6
9,50
12,8
6
3,50
Total
30
6,4
Rata-rata Kelembaban
0
6
27,50
1,6
6
6,50
3,2
6
6,50
6,4
6
21,50
12,8
6
15,50
Total
30
Test Statistics(c)
Chi-Square
Rata-rata Suhu
Rata-rata Kelembaban
24,000(a)
df Asymp. Sig.
30,000(b)
4
4
,000
,000
a 10 cells (100,0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 3,0. b 10 cells (100,0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 2,4. c Grouping Variable: DOSIS2
Nilai p = 0.000 berarti didapatkan paling tidak terdapat perbedaan suhu antara dua kelompok. Selanjutnya untuk mengetahui antar kelompok mana yang memiliki perbedaan suhu bermakna maka dilakukan uji Mann Whitney sebagai berikut: Kelompok 0 1,6 3,2 6,4 12,8
0 x 0,003 0,003 0,003 0,002
1,6 x x 0,138 0,003 0,002
3,2 x x x 0,003 0,002
6,4 x x x x 0,002
12,8 x x x x x
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Jika nilai p < 0,05 maka ada perbedaan suhu lingkungan yang bermakna antar kelompok tersebut. Berdasarkan perbandingan antar kelompok tersebut di atas, dapat dilihat antara : 1. Kelompok 0 ml dan 1,6 ml mempunyai nilai p = 0,003 2. Kelompok 0 ml dan 3,2 ml mempunyai nilai p = 0,003 3. Kelompok 0 ml dan 6,4 ml mempunyai nilai p = 0,003 4. Kelompok 0 ml dan 12,8 ml mempunyai nilai p = 0,002 5. Kelompok 1,6 ml dan 6,4 ml mempunyai nilai p = 0,003 6. Kelompok 1,6 ml dan 12,8 ml mempunyai nilai p = 0,002 7. Kelompok 3,2 ml dan 6,4 ml mempunyai nilai p = 0,003 8. Kelompok 3,2 ml dan 12,8 ml mempunyai nilai p = 0,002 9. Kelompok 6,4 ml dan 12,8 ml mempunyai nilai p = 0,002 Dengan demikian antar kelompok tersebut diatas terdapat perbedaan suhu lingkungan yang bermakna. Sedangkan pada kelompok 1,6 ml dan 3,2 ml mempunyai nilai p = 0,138 yang berarti antar kelompok tersebut tidak terdapat perbedaan suhu lingkungan yang bermakna (p> 0,05). Perbedaan kelembaban lingkungan yang bermakna antar kelompok dapat diketahui melalui uji Mann Whitney, sebagai berikut : Kelompok 0 1,6 3,2 6,4 12,8
0 x 0,003 0,003 0,003 0,002
1,6 x x 1,000 0,003 0,002
3,2 x x x 0,003 0,002
6,4 x x x x 0,002
12,8 x x x x x
Jika nilai p < 0.05 maka ada perbedaan kelembaban lingkungan yang bermakna antar kelompok tersebut. Berdasarkan perbandingan antar kelompok tersebut di atas, dapat dilihat antara : 1. Kelompok 0 ml dan 1,6 ml mempunyai nilai p = 0,003 2. Kelompok 0 ml dan 3,2 ml mempunyai nilai p = 0,003 3. Kelompok 0 ml dan 6,4 ml mempunyai nilai p = 0,003 4. Kelompok 0 ml dan 12,8 ml mempunyai nilai p = 0,002
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
5. Kelompok 1,6 ml dan 6,4 ml mempunyai nilai p = 0,003 6. Kelompok 1,6 ml dan 12,8 ml mempunyai nilai p = 0,002 7. Kelompok 3,2 ml dan 6,4 ml mempunyai nilai p = 0,003 8. Kelompok 3,2 ml dan 12,8 ml mempunyai nilai p = 0,002 9. Kelompok 6,4 ml dan 12,8 ml mempunyai nilai p = 0,002 Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna kelembaban lingkungan antar kelompok tersebut diatas. Sedangkan pada kelompok 1,6 ml dan 3,2 ml mempunyai nilai p = 1,000 yang berarti antar kelompok tersebut tidak terdapat perbedaan kelembaban lingkungan yang bermakna (p> 0,05).
2.
Jumlah sel sertoli
Uji Normalitas data Jumlah sel sertoli: Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov(a) Statistic
Jumlah Sel Sertoli
df
,098
Shapiro-Wilk
Sig. 30
Statistic
,200(*)
,976
df
Sig. 30
,717
* This is a lower bound of the true significance. a Lilliefors Significance Correction
Nilai p dari uji Shapiro Wilk = 0.717 sehingga disimpulkan sebaran data normal, maka data Jumlah sel sertoli selanjutnya dilakukan analisis homogenitas data dengan Lavene tes sebagai berikut : Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic Jumlah Sel Sertoli
,242
df1
df2 4
Sig. 25
,912
Dari uji diatas diperoleh nilai p = 0,912, berarti sebaran data jumlah sel sertoli homogen ( p > 0,05), sehingga selanjutnya dilakukan uji ANOVA
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
ANOVA
Jumlah Sel Sertoli
Sum of Squares
Between Groups
df
Mean Square
F
27,205
4
6,801
Within Groups
67,650
25
2,706
Total
94,855
29
Sig.
2,513
Berdasarkan hasil uji ANOVA didapatkan nilai p = 0,067 berarti tidak terdapat perbedaan bermakna jumlah sel sertoli antar kelompok penelitian.
3.
MDA Testis :
Uji Normalitas data MDA testis: Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov(a) MDA Testis
Statistic
df
,157
Shapiro-Wilk
Sig. 30
,057
Statistic
df
,914
Sig. 30
,019
* This is a lower bound of the true significance. a Lilliefors Significance Correction
Nilai p dari uji Shapiro Wilk = 0,019 sehingga disimpulkan sebaran data tidak normal (p < 0,05), maka data MDA testis selanjutnya dilakukan transformasi data dengan hasil sebagai berikut : Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov(a) MDATES2
Statistic ,280
df 7
Sig. ,102
Shapiro-Wilk Statistic ,775
df 7
Sig. ,023
* This is a lower bound of the true significance. a Lilliefors Significance Correction
berdasarkan tansformasi data, ditemukan sebaran data tetap tidak normal (p = 0,023) sehingga selanjutnya dilakukan uji Kruskal Wallis sebagai berikut:
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
,067
Case Processing Summary Cases Valid MDA Testis
Dosis pajanan ,0
N
Missing Percent
N
Total
Percent
N
Percent
6
100,0%
0
,0%
6
100,0%
1,6
6
100,0%
0
,0%
6
100,0%
3,2
6
100,0%
0
,0%
6
100,0%
6,4
6
100,0%
0
,0%
6
100,0%
12,8
6
100,0%
0
,0%
6
100,0%
Descriptives
MDA Testis
Dosis pajanan ,0
Statistic ,0702
Mean 95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
,0926 ,0696
Median
,0670 ,000
Std. Deviation
,02133
Minimum
,05
Maximum
,10
Range
,05
Interquartile Range
,0383
Skewness Kurtosis 1,6
,0478
5% Trimmed Mean Variance
Mean 95% Confidence Interval for Mean
Std. Error ,00871
Lower Bound Upper Bound
,515
,845
-1,320
1,741
,0813
,02650
,0132 ,1495
5% Trimmed Mean
,0811
Median
,0925
Variance Std. Deviation
,004 ,06492
Minimum
,00
Maximum
,17
Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
,17 ,1188 -,098
,845
-1,655
1,741
Universitas Indonesia
3,2
Mean 95% Confidence Interval for Mean
,0985 Lower Bound Upper Bound
,0963 ,0875 ,005 ,06816
Minimum
,02
Maximum
,22
Range
,20
Interquartile Range
,0910
Skewness
1,099
,845
Kurtosis
2,082
1,741
,1298
,03729
Mean 95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
,0340 ,2257
5% Trimmed Mean
,1272
Median
,1165
Variance
,008
Std. Deviation
,09134
Minimum
,04
Maximum
,27
Range
,22
Interquartile Range
,1525
Skewness Kurtosis 12,8
,1700
Median Std. Deviation
6,4
,0270
5% Trimmed Mean Variance
,02783
Mean 95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound Upper Bound
,493
,845
-1,584
1,741
,0755
,01736
,0309 ,1201
5% Trimmed Mean
,0738
Median
,0570
Variance Std. Deviation
,002 ,04253
Minimum
,04
Maximum
,15
Range
,11
Interquartile Range
,0718
Skewness
1,122
,845
Kurtosis
-,019
1,741
Ranks
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
DOSIS2 0
MDA Testis
N
Mean Rank 6
13,42
6
15,25
3,2
6
17,08
6,4
6
18,67
12,8
6
13,08
Total
30
1,6
Test Statistics(b) MDA Testis 30
N Median
,0715
Chi-Square df
1,333(a) 4
Asymp. Sig.
,856
a 10 cells (100,0%) have expected frequencies less than 5. The minimum expected cell frequency is 3,0. b Grouping Variable: DOSIS2
Berdasarkan hasil Uji Kruskal Wallis didapatkan nilai p = 0,856 berarti tidak terdapat perbedaan bermakna MDA testis antar kelompok penelitian.
4.
Menjawab Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini adalah : 3.
Dosis pajanan toluena terendah dibawah nilai ambang batas dapat menyebabkan
penurunan jumlah sel sertoli pada tikus wistar jantan. 4.
Dosis pajanan toluena terendah dibawah nilai ambang batas berpengaruh
terhadap kadar MDA (Malondiyaldehide) jaringan testis. Hipotesis penelitian telah terjawab melalui uji statistik di atas, sebagai berikut : 1.
Dosis pajanan toluena dibawah nilai ambang batas tidak menyebabkan
penurunan jumlah sel sertoli. 2.
Dosis pajanan toluena dibawah nilai ambang batas tidak berpengaruh terhadap
kadar MDA (Malondialdehyde) jaringan testis.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
5.
Uji Multivariat –Anova (MANOVA)
Pengaruh variabel-variabel independen berupa suhu lingkungan dan kelembaban lingkungan terhadap faktor dependen MDA testis dan jumlah sel sertoli diketahui dengan cara melakukan uji MANOVA sebagai berikut:
Box's Test of Equality of Covariance Matrices(a) Box's M F
14,474 ,994
df1
12
df2
4632,353
Sig.
,452
Tests the null hypothesis that the observed covariance matrices of the dependent variables are equal across groups. a Design: Intercept+RATA_SH+RATA_KLB+DOSIS2
Homogenitas matriks varians – kovarians antar kelompok pajanan dengan Box’s test diperoleh nilai p 0,452, berarti matriks varians – kovarians homogen (p>0,05). Kemudian dilakukan Multivariate test untuk menerangkan pengujian suhu lingkungan dan kelembaban lingkungan.
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Multi variate Testsc Ef f ec t Interc ept
RATA_SH
RATA_KLB
DOSIS2
Pillai's Trace Wilks' Lambda Hot elling's Trac e Roy 's Largest Root Pillai's Trace Wilks' Lambda Hot elling's Trac e Roy 's Largest Root Pillai's Trace Wilks' Lambda Hot elling's Trac e Roy 's Largest Root Pillai's Trace Wilks' Lambda Hot elling's Trac e Roy 's Largest Root
Value ,346 ,654 ,528 ,528 ,343 ,657 ,521 ,521 ,245 ,755 ,324 ,324 ,681 ,420 1, 143 ,864
F Hy pot hesis df 5, 812a 2, 000 5, 812a 2, 000 5, 812a 2, 000 5, 812a 2, 000 5, 732a 2, 000 5, 732a 2, 000 5, 732a 2, 000 5, 732a 2, 000 3, 565a 2, 000 3, 565a 2, 000 3, 565a 2, 000 3, 565a 2, 000 2, 971 8, 000 2, 991a 8, 000 2, 999 8, 000 4, 971b 4, 000
Error df 22, 000 22, 000 22, 000 22, 000 22, 000 22, 000 22, 000 22, 000 22, 000 22, 000 22, 000 22, 000 46, 000 44, 000 42, 000 23, 000
Sig. ,009 ,009 ,009 ,009 ,010 ,010 ,010 ,010 ,046 ,046 ,046 ,046 ,009 ,009 ,009 ,005
Part ial Eta Squared ,346 ,346 ,346 ,346 ,343 ,343 ,343 ,343 ,245 ,245 ,245 ,245 ,341 ,352 ,364 ,464
a. Exact st atist ic b. The st atist ic is an upper bound on F that y ields a lower bound on the signif icance lev el. c. Des ign: Intercept+RATA_SH+RATA_KLB+DOSIS2
Beradasarkan tabel diatas diperoleh nilai Wilk’s Lambda p =0,01, dimana nilai Wilk’s Lambda yang mendekati 0 menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna pada model, sehingga dapat terdapat pengaruh yang bermakna dari suhu lingkungan terhadap kelompok pajanan. Nilai Wilk’s Lambda untuk kelembaban lingkungan adalah p = 0,046 yang berarti terdapat pengaruh yang bermakna dari kelembaban lingkungan terhadap kelompok pajanan. Selanjutnya untuk mengetahui varians mana yang paling berpengaruh maka dilakukan test of between subject effects yang diawali dengan uji homogenitas terhadap variabel dependen menggunakan Uji Lavene, sebagai berikut: Levene's Test of Equality of Error Variances(a) F
MDA Testis
1,555
df1
df2 4
Sig. 25
,217
Jumlah Sel Sertoli
,288 4 25 ,883 Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a Design: Intercept+RATA_SH+RATA_KLB+DOSIS2
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Hasil Uji Lavene diperoleh nilai p untuk MDA testis p = 0,217 dan jumlah sel sertoli p = 0,883, karena nilai p > 0,05 maka dapat disimpulkan varians antara kelima kelompok pajanan adalah homogen. Selanjutnya dilakukan pengujian secara univariat dengan test of between subject effects seperti dibawah ini, Tests of Between-Subjects Effects Sourc e Correct ed Model Interc ept RATA_SH RATA_KLB DOSIS2 Error Tot al Correct ed Total
Dependent Variable MDA Testis Jumlah Sel Sertoli MDA Testis Jumlah Sel Sertoli MDA Testis Jumlah Sel Sertoli MDA Testis Jumlah Sel Sertoli MDA Testis Jumlah Sel Sertoli MDA Testis Jumlah Sel Sertoli MDA Testis Jumlah Sel Sertoli MDA Testis Jumlah Sel Sertoli
Ty pe III Sum of Squares ,046a 30, 243b ,032 ,159 ,031 ,033 ,021 1, 802 ,044 20, 825 ,066 64, 612 ,360 610,700 ,111 94, 855
df
6 6 1 1 1 1 1 1 4 4 23 23 30 30 29 29
Mean Square ,008 5, 040 ,032 ,159 ,031 ,033 ,021 1, 802 ,011 5, 206 ,003 2, 809
F 2, 674 1, 794 11, 253 ,057 10, 851 ,012 7, 438 ,641 3, 827 1, 853
Sig. ,041 ,145 ,003 ,814 ,003 ,915 ,012 ,431 ,016 ,153
Part ial Eta Squared ,411 ,319 ,329 ,002 ,321 ,001 ,244 ,027 ,400 ,244
a. R Squared = , 411 (Adjust ed R Squared = ,257) b. R Squared = , 319 (Adjust ed R Squared = ,141)
Hasil uji dikatakan bermakna bila nilai p < 0,05, berdasarkan hasil uji tersebut diketahui bahwa suhu lingkungan (p = 0,003) dan kelembaban lingkungan (p = 0,012) berpengaruh terhadap MDA testis. Tetapi suhu lingkungan (p = 0,814) dan kelembaban lingkungan (p =0,431) tidak berpengaruh terhadap jumlah sel sertoli
Deteksi toksisitas.., Dyah Purwaning, FK UI, 2013
Universitas Indonesia