DESKRIPSI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA PADA RUMAH TAHANAN KELAS IIA SAMARINDA M. Agus Santoso Abstract he objective of this research is to understand the existence of human rights violation on IIA class of Samarinda’s jail and its legal consequence. This research is an empirical or socio-legal research which are consisted of law identification and law effectiveness research. The data collected from the interview, questionnaire, and observation. Qualitative analysis is used in the data analysis technique, where the result presented in the descriptive form. The result of this research shows the existence of a human rights protection on class IIA of Samarinda’s jail and its covers the good service of prisoner’s right in the investigation process, accusation, court examination. But there is an over capacity, as well as the food and clean water is still under the health level standards therefore it is againts the rule and violate the human rights. Keywords: human rights violation, Samarinda’s jail
A.
Pendahuluan Manusia sebagai makhluk Tuhan, secara kodrati mendapatkan anugerah berupa hak dasar yang disebut hak asasi manusia, oleh karena itu harus dihormati dan dituangkan dalam konstitusi negara. Di Indonesia mengenai hak asasi manusia termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea pertama, yang berbunyi :” Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-keadilan.” Hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi yang sangat menghormati hak asasi manusia, sehingga setiap warga negara Indonesia wajib dihormati hak-hak nya. Lebih lanjut mengenai hak asasi manusia juga termuat dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, pada Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, selanjutnya Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pengaturan mengenai hak asasi manusia di Indonesia lebih lanjut termuat dalam UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, dimana pada pasal 1 angka (1) UndangUndamng Nomor 39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi
Manusi menyebutkan bahwa:” hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Karena hak asasi manusia tersebut merupakan pemberian Tuhan, maka dapat dikatakah bahwa hak asasi manusia bukan merupakan pemberian dari negara dan hukum, untuk mempertahankan ataupun meraihnya, memerlukan perjuangan bersama lewat jalur konstitusional dan politik yang ada. (A. Masyhur Effendi, 1994: 58). Di dalam Pasal 1 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia menyatakan bahwa :”semua manusia dilahirkan bebas dan sama martabat dan hak. Meraka dikaruniai akal dan budi nurani dan harus bertindak terhadap semua manusia dalam semangat persaudaraan.” Kemudian The United Nations Center for Human Right mendefinisikan bahwa hak asasi manusia adalah “human right as those rights which are inherent in our natur and without which we cannot live as human beings.” (A. Masyhur Effendi, 2005: 47). Terjemahannya adalah :”hak asasi manusia sebagai hak yang tidak dapat diceraikan yang bersifat alami dan tanpa dapat dipisahkan sebagai manusia.” Penghormatan hak asasi manusia itu termasuk juga para tersangka dan terdakwa yang ditahan yang berada pada Rumah Tahanan Negara dan belum mendapatkan keputusan hukum yang bersifat tetap, disebutkan didalam Pasal 20 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Kitab
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Deskripsi Pelanggaran Hak Asasi Manusia.... 41
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) :” bahwa seseorang yang ditahan penyidik baik itu polisi atau jaksa atau yang disangka menjadi tahanan bukanlah suatu penghukuman tetapi untuk kepentingan penyidikan dan pemeriksaan perkara saja.” Oleh karena para tahanan pada dasarnya adalah juga manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki hak asasi manusia yang merupakan hak dasar dan melekat secara kodrati pada diri manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Maka para tahanan yang menghuni rumah tahanan Negara, juga memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memiliki hak atas fasilitas atau sarana dan prasarana yang layak sesuai dengan UndangUndang. Berdasarkan hipotesa bahwa terjadi pelanggaran hak asasi manusia pada Rumah Tahanan kelas IIA Samarinda, yaitu jumlah penghuni yang melebihi kapasitas, blok-blok tahanan dipenuhi oleh para tahanan yang berjubal, sehingga menimbulkan ketidak nyamanan bagi penghuninya, sehingga terkesan kurang manusiawai, juga persediaanya air bersih yang kurang mencukupi, serta makanan sehat yang kurang terpenuhi. Lembaga Pemasyarakatan maupun Rumah Tahanan Negara adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan terhadap nara pidana dan anak didik Pemasyarakatan, namun sebelum tersangka maupun terdakwa mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap maka tersangka maupun terdakwa yang ditahan di Rumah Tahanan Negara harus dihormati hak-haknya dan harus diperlakukan sebagai seseorang yang tidak bersalah (asas praduga tak bersalah), berdasarkan Pasal 20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengatur bahwa seseorang yang ditahan penyidik baik itu polisi atau jaksa atau yang disangka menjadi tahanan bukanlah suatu penghukuman tetapi untuk kepentingan penyidikan dan pemeriksaan perkara. Sehubungan dengan hak tersangka maupun terdakwa untuk mendapatkan fasilitas atau sarana dan prasarana yang layak selama berada dalam Rumah Tahanan Negara, sedangkan kondisi Rumah Tahanan Negara kelas IIA Samarinda terdapat blokblok tahanan yang dipenuhi oleh para tahanan sampai berjubal, sehingga menimbulkan ketidak nyamanan bagi para tahanan sehingga terkesan kurang manusiawi, kemudian juga makanan yang kurang mencukupi serta kesediaan air bersih yang sangat minim, tentu hal ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang harus diperjuangkan untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah. Maka
berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang timbul, adalah adakah pelanggaran hak asasi manusia pada Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda dan akibat hukum atas pelanggaran hak asasi manusia tersebut.
42 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Deskripsi Pelanggaran Hak Asasi Manusia....
B. Tinjauan Pustaka Di dalam Pasal 1 Deklarasi Universal Hak-hak asasi Manusia menyatakan bahwa “semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal dan budi nurani dan harus bertindak terhadap sesama manusia dalam semangat persaudaraan.” Demikian juga disebutkan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, yaitu bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Indonesia adalah Negara Hukum, dimana hak asasi manusia dengan Negara Hukum tidak dapat dipisahkan, justru berpikir secara hukum berkaitan dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud. Dengan demikian, pengakuan dan pengukuhan Negara Hukum salah satu tujuannya melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui, dihormati dan dijunjung tinggi. (B. Hestu Cipto Handoyo, 2003: 27). Sebagai Negara Hukum, konskwensinya adalah bahwa Negara Republik Indonesia menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin segala warga negaranya bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Selain itu juga menjunjung tinggi asas Peradilan yang bebas, dalam arti tidak tunduk kepada kekuasaan lain yang manapun (Muchsin, 2004: 75).. Salah satu asas Peradilan yang bebas adalah bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan Peradilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (Muchsin, 2004: 75). Ketentuan seperti tersebut diatas, juga berlaku bagi para penghuni Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda, dan berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan, bahwa penghuni Rumah Tahanan Negara tersebut telah melebihi kapasitas sehingga blok-blok yang ada telah terpenuhi dengan para tahanan sampai berjubal dan menimbulkan ketidak nyamanan, sehingga terkesan kurang manusiawi, disamping persediaan air bersih yang kurang mamadai serta makanan sehat yang kurang
terpenuhi. Maka hal ini jika dikaitkan dengan Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Kemudian Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan Republik Indonsia Nomor : E-PS.01.06-16 Tahun 1996 tanggal 23 Oktober 1996, tentang Penentuan Daya Muat (Kapasitas) Lapas/Rutan/Cabang Rutan menentukan bahwa kapasitas menurut luasnya kamar/kamar hunian (tidak termasuk kamar mandi dan WC) ditentukan bahwa setiap penghuni mendapatkan ruang gerak seluas 5,4 m2. Ada dugaan bahwa kapasitas hunian Rumah Tahanan Kelasa IIA Samarinda tidak sesuai dengan Surat Direktur Jenderal Pemasarakatan Republik Indonesia Nomor E-PS.01.06-16 Tahun 1996, dengan demikian para penghuni rumah tahanan tersebut kurang mendapatkan haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka tentu ini merupakan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia pada Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda, karena pada dasarnya tersangka atau terdakwa yang berada dalam Rumah Tahanan Negara adalah juga makhluk hidup yang memiliki hak asasi manusia sebagai hak dasar dan melekat secara kodrati pada diri manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Maka dalam hal ini para tersangka atau terdakwa yang tingggal di Rumah Tahanan Negara tahanan juga memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memiliki hak atas fasilitas atau sarana dan prasarana yang layak selama berada di Rumah Tahanan Negara. Salah satu aspek kemanusiaan yang sangat mendasar dan asasi adalah hak untuk hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupan, karena hakhak tersebut diberikan langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia. Oleh karena itu, setiap upaya perampasan terhadap nyawa termasuk di dalamnya tindak kekerasan lainnya, pada hakekatnya merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat bila dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum dan perundang-undangan yang berlaku.(Muladi, 2004: 121). Kemudian berdasarkan Pasal 1 angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, tentang Pelaksanaan KUHAP, menentukan bahwa Rumah Tahanan Negara adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan. Maka Rumah Tahanan kelas IIA Samarinda sebagai obyek penelitian ini, karena juga merupakan tempat
para tahanan menjalani kehidupan, oleh karena itu harus dapat menjamin terlaksananya hak-hak para tahanan tersebut selama tahanan berada di Rumah Tahanan Negara kelas IIA Samarinda. Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan wewenang, tugas, dan tanggung jawab perawatan tahanan seperti yang diatur dalam Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan, dan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999, tentang syarat-syarat dan tata cara Pelaksanaan wewenang, tugas dan tanggung jawab Perawatan Tahanan, ditentukan pada hak kodrati yang dimiliki oleh setiap orang dan pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan statusnya sebagai tahanan dan satu-satunya hak yang hilang adalah hak untuk hidup bebas. Oleh karena itu perawatan dalam tahanan harus dilakukan sesuai dengan program perawatan tahanan dengan memperhatikan tingkat proses pemeriksaan perkara.
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Deskripsi Pelanggaran Hak Asasi Manusia.... 43
C. Metode Penelitian Dalam penelitian ini sentral kajiannya adalah mengenai hak asasi manusia, yang merupakan bagian daripada ilmu hukum, oleh karena itu penelitiannya adalah termasuk penelitian hukum, yaitu sebagai penelitian untuk menemukan hukum in concreto yang meliputi berbagai kegiatan untuk menemukan apakah yang merupakan hukum yang layak untuk diterapkan secara in concreto untuk menyelesaikan suatu yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, dengan jalan menganalisisnya. (Soerjono Soekanto, 2005: 43). Di kalangan pakar hukum Indonesia tercatat ada beberapa pengertian penelitian hukum, menurut (Soetandyo Wignyosubroto, 1980: 89), yang dikutip oleh Soejono ada empat tipe penelitian hukum, yaitu (Soejono, 2003: 43). 1. Penelitian-penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif. 2. Penelitian-penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar filsafat (dogma dan doktrin) hukum positif. 3. Penelitian yang berupa usaha menemukan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu. 4. Penelitian-penelitian yang berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat.
Adapun jenis penelitian yang digunakan untuk pendekatan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis atau empiris, yang terdiri dari : 1. Penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis). 2. Penelitian terhadap efektifitas hukum. (Soejono, 2003: 55). Penelitian hukum empiris ini dapat juga disebut socio legal research, adalah suatu specie khusus yang terletak pada metode-metode dan konsepkonsep empiris yang digunakannya. Penelitian hukum empiris tidak bertolak dari hukum positif tertulis (perundang-undangan) sebagai data sekunder, tetapi dari perilaku nyata sebagai data primer yang diperoleh dari lokasi penelitian lapangan (field research) (Abdulkadir Mahammad, 2004: 32), Lebih lanjut Soemitro, 1983, yang dikutip dalam Soejono 2003, menyatakan bahwa penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis, yaitu penelitian hukum yang memperoleh data dari sumber data primer.(Soejono, 2003 : 56). Oleh karena penelitian ini adalah penelitian hukum empiris sosiologis, maka yang akan dilakukan adalah melihat secara langsung di lokasi Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda, yaitu melihat bagaimana ukuran blok-blok tahanan yang dihuni oleh para tahanan, apakah sesuai dengan ketentuan atau tidak, dengan membandingkan jumlah keseluruhan penghuni Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda, juga meneliti tentang persediaan air bersih serta pola makanan yang disediakan. Serta dengan melakukan wawancara atau mengajukan quesioner terhadap penghuni rumah tahanan. Wawancara dengan beberapa pejabat terkait untuk melengkapi penelitian ini juga diperlukan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, serta mengadakan penelitian perpustakaan sebagai bahan pendukungnya. Teknik analisis data dilakukan dengan analisis kualitatif dan hasilnya disajikan dalam bentuk deskriptif D. 1.
Hasil Penelitian dan Pembahasan. Indikasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia pada Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda terletak di Jalan KH. Wahid Hasyim Nomor 36 Samarinda, Kalimantan Timur, yang berdiri diatas sebidang tanah seluas 26,245 Ha, dibangun pada tahun 2001 kemudian mengalami penambahan pada tahun 2002 dan mulai dipergunakan pada tanggal 15 Januari
44 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
2003, pada saat penelitian ini dilakukan sedang dihuni para tahanan yang jumlahnya 826 orang tahanan. Hasil penelitian yang diperolah berdasarkan quesioner yang dibagikan kepada 42 responden yang merupakan para tahanan penghuni Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda, mengenai hak-hak para tahan apakah sudah terpenuhi atau belum, hasil penelitian menyatakan bahwa 5 orang (12%) menyatakan sudah terpenuhi, tetapi sebanyak 37 orang (88%) menyatakan hak-hak nya belum terpenuhi, sehingga kesimpulannya adalah bahwa para penghuni rumah tahanan hak-haknya belum terpenuhi sebagaimana mestinya. Adapun mengenai tingkat kenyamanan dimaksud adalah jumlah tahanan yang berada dalam kamar hunian di Ramah Tahanan Negara Krlasa IIA Samarinda, berdasarkan quesioner yang dibagikan, jawaban responden adalah bahwa sejumlah 16 orang (38%) menjawab setiap kamar dihuni antara 25 sampai 30 orang, sedangkan 26 orang (62%) menjawan dihuni diatas 30 orang, sehingga kesimpulannya adalah bahwa kamar hunian pada saat dilakukan penelitian dihuni rata-rata lebih dari 30 orang tahanan setiap kamarnya. Hunian yang penuh sesak pada rumah tahanan tentunya menimbulkan pertanyaan bagi para penghuninya, apakah merasa nyaman atau tidak, walaupun tidak senyaman berada diluar tahanan, tetapi paling tidak ada penderitaan yang dialaminya, oleh karena itu dari quesioner yang dibagikan kepada 42 orang, jawabannya adalah hanya 4 orang (10%) menyatakan nyaman, kemudian 38 orang (90%) menyatakan tidak nyaman, maka kesimpulannya adalah bahwa kamar hunian pada Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda yang dihuni melebihi kapasitas, para tahanan merasa kurang nyaman dengan kondisi berjubal tersebut. Hal yang dialami oleh para penghuni tahanan apakan telah disampaikan keluhannya tersebut kepada petugas Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda. Dari hasil yang diperoleh berdasarkan quesioner terhadap 42 orang, diantaranya 7 orang (17%) pernah menyampaikan keluhannya kepada petugas, sedangkan 35 orang (83%) menyatakan tidak pernah menyampaikan keluhannya kepada petugas, kenapa hal itu tidak dilakukan, pada umumnya mereka takut untuk menyampaikannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa para petugas rumah tahanan walaupun
Deskripsi Pelanggaran Hak Asasi Manusia....
sudah mengetahui secara fisik bahwa kamar huniannya melebihi kapasitas, tetapi jarang menerima keluhan dari para penghuninya. Selain beberapa hal tersebut diatas, juga dialami oleh para penghuni tahanan adalah persediaan makan yang kurang memenuhui standar makanan sehat, hal ini bisa terjadi karena anggaran yang tersedia sangat minim, karena jumlah kapasitas yang seharusnya hanya sekitar 265 orang, tetapi kenyataan yang tejadi adalah lebih dari 800 orang, sehingga anggaran yang tersedia tidak dapat mencukupi, dan terpaksa harus dibagikan sebanyak yang ada pada rumah tahanan; maka tidak sedikit para tahanan yang harus menunggu kiriman dari keluarganya setiap hari . Kemudian persediaan air bersih yang sering kekurangan, hal ini terjadi karena air PDAM tidak mencukupi dan sering tidak mengalir, sehingga untuk keperluan kecukupannya harus membuat pompa sumur cadangan. Dari hasil penelitian tersebut diatas jika dikaitkan dengan norma yang ada, maka telah terjadi pelanggaran norma hukum, yaitu kapasitas hunian yang melampaui batas, yaitu kamar hunian yang diperkirakan hanya dapat dihuni maksimal 8 orang, (berdasarkan hasil wawancara dengan pejabat rumah tahanan), tetapi dihuni sampai 30 orang lebih, kemudian jika dikaitkan dengan Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.04.UM.01 Tahun 1983, tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan Tahanan dan Tata Tertib Rumah Tahanan Negara, dimana hakhak tahanan secara umum menjadi tanggung jawab Departeman Hukum dan Hak Asasai Manusia Republik Indonesia, namun demikian apabila tersangka merupakan tahanan dari Kejaksaan maka merupakan tanggung jawab Kejaksaan dan apabila tersangka merupakan tahanan Kepolisian maka menjadi tanggung jawab Kepolisian. Ketentuan Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 menyebutkan bahwa :”setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum,” kemudian Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang dasar 1945 menyebutkan bahwa :”hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
keadaan apapun.” Pada Pasal 28I ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa :”untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan.” Maka satu-satunya hak tahanan yang hilang adalah hak untuk hidup bebas sebagai manusia, oleh karenanya hal itu dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, tetang Hak Asasi Manusia. Salah satu aspek kemanusiaan yang sangat mendasar dan asasi adalah hak untuk hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupan, karena hak-hak tersebut diberikan langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia. Oleh karena itu, setiap upaya perampasan terhadap nyawa termasuk didalamnya tindak kekerasan lainnya, pada hakekatnya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat bila dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum dan perundang-undangan yang berlaku. (Muladi, 2005, hal : 121). Ketidak nyamanan yang dirasakan para penghuni Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda karena kapasitas yang melampaui batas adalah pelanggaran terhadap Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa :”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Korelasinya adalah adanya kesenjangan antara fakta (The sein) dan keharusan (The Sollen) karena adanya norma hukum yang dilanggar, tentu saja hal ini merupakan gejala hukum yang harus dipecahkan melalui penelitian hukum. Status para penghuni tahanan adalah para tersangka atau para terdakwa yang masih menjalani proses pemeriksaan perkara maupun pemeriksaan di sidang pengadilan, jadi belum sebagai orang yang bersalah, berdasarkan ketentuan Pasal 20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengatur bahwa seseorang yang ditahan penyidik, baik itu Polisi atau Jaksa atau yang disangka menjadi tahanan bukanlah suatu penghukuman, tetapi untuk kepentingan penyidikan dan pemeriksaan perkara saja. Fakta yang terjadi pada Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda adalah para penghuni tahanan tersebut sudah merasakan adanya hukuman secara fisik, yaitu tempat hunian
Deskripsi Pelanggaran Hak Asasi Manusia.... 45
yang kurang nyaman karena melebihi kapasitas sehingga berjubel sehingga terkesan kurang manusiawi, disamping secara terang-terangan telah melanggar ketentuan dalam KUHAP, juga telah melanggar asas hukum yaitu asas praduga tak bersalah, karena berada dalam tahanan sudah seperti merasakan hukuman yang dijatuhkan, tentu saja hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. 2.
Akibat Hukum yang terjadi. Walaupun para tahanan berada dalam rumah tahanan, tetapi masih mempunyai hakhak yang melekat padanya, seperti yang diatur dalam Pasal 11 – 41 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1999, tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan W ewenang, Tugas dan Tanggung jawab Perawatan Tahanan, diantaranya adalah sebagai berikut. a. Hak untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masingmasing; b. Hak untuk mendapatkan perawatan rohani dan perawatan jasmani; c. Hak untuk mengikuti pendidikan; d. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak; e. Hak untuk mendapatkan makanan; f. Hak untuk menyampaikan keluhan tentang perlakuan pelayanan petugas atau sesama tahanan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara atau Cabang Rumah Tahanan Negara atau Kepala Pemasyarakatan atau Cabang Lembaga Pemasyarakatan; g. Hak untuk menerima kunjungan dari keluarga dan/atau sahabat, dokter pribadi, rohaniawan, penasehat hukum, guru dan pengurus dan/atau anggota organisasi sosial kemasyarakatan; dan h. Hak-hak politik dan hak-hak keperdataan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Ketentuan dalam Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan Republik Indonesia Nomor : E-PS.01.06-16 Tahun 1996, tentang Penetapan Daya Muat (Kapasitas) Lapas/Rutan/Cabang Rutan, menyebutkan bahwa agar penempatan napi dan tahanan sesuai kebutuhan minimal untuk keperluan pembinaan/perawatan Napi/ Tahanan, perlu menentukan kembali tentang daya muat Lapas/Rutan/Cabang Rutan dengan standar sebagai berikut.
46 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
a.
b.
Penentuan kapasitas menurut luasan ruang/kamar hunian. Kapasitas menurut luasan kamar/kamar hunian (tidak termasuk kamar mandi dan WC) ditentukan bahwa setiap penghuni mendapatkan ruang gerak seluas 5,4 M2. Penentuan kapasitas menurut luasan tempat tidur. Kapasitas menurut luasan tempat tidur ditentukan bahwa setiap penghuni harus mendapatkan ruang gerak untuk tidur seluas 4 M2 (panjang 2m dan lebar 2m). Luasan tempat tidur tersebut yang dengan kondisi alam di Indonesia (pada umumnya panas) dapat memberikan kenyamanan dan ketenangan dalam tidur walaupun poster tubuh yang relatif besar.
Saat ini total kamar hunian di Rumah Tahanan kelas IIA Samarinda adalah sebesar 1.432,5 M2. Jadi kapasitas tahanan menurut ketentuan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Republik Indonesia Nomor : E-PS.01.06-16 Tahun 1996, tentang Penetapan Daya Muat (Kapasitas) Lapas/ Rutan/Cabang Rutan yakni sebanyak 265 tahanan dengan perhitungan luas total kamar hunian di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Samarinda dibagi dengan 5,4 M2. Dengan kata lain saat penelitian dilakukan Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda mengalami kelebihan kapasitas tahanan (kelebihan daya tampung). Pada dasarnya para tahanan selama berada di dalam Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda sudah mendapatkan pelayanan dengan baik dan telah dijamin hak asasinya, namun masih terdapat beberapa hal yang menyebabkan pelaksanaan hak-hak tahanan menjadi terhambat, seperti yang terurai sebelumnya bahwa sarana pembinaan yang utama adalah luas dari rumah hunian tahanan itu sendiri yang merupakan sarana fisik untuk mendapatkan perawatan jasmani, seperti yang terurai pada Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999, tentang Syarat-syarat dan tata cara Pelaksanaan Wewenang Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan. Hal ini dilakukan karena berpengaruh pada berhasil atau tidaknya tujuan pembinaan tahanan serta dalam hal perlindungan hak tahanan. Jumlah tahanan sebanyak 826 pada saat penelitian ini dilakukan, membuat suasana yang sangat memprihatinkan, karena kamar hunian yang rata-rata berkapasitas 8 orang
Deskripsi Pelanggaran Hak Asasi Manusia....
ternyata harus dihuni lebih dari 30 orang tahanan, sehingga untuk tidurpun sangat sulit, untuk itu sebagian dari pata tahanan harus bergantian tidur, dan bahkan tidak sedikit para penghuni tahanan tersebut harus tidur sambil duduk, hal itu dilakukan karena saking sempitnya ruangan yang disediakan, tentu saja hal ini menimbulkan ketidak nyamanan bagi para tahanan yang menempati Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda. Akibat kelebihan daya tampung, selain menimbulkan ketidak nyamanan, juga dapat menimbulkan keributan bahkan sering terjadi perkelahian antar penghuni rumah tahanan, kemudian menimbulkan korban. Makan yang kurang memenuhi syarat sehat juga berakibat mudahnya terjangkit penyakit bagi para penghuni rumah tahanan, juga termasuk kurangnya persediaan air bersih berakibat para penghuni rumah tahanan jarang mandi, yang akan menimbulkan terganggunya kesehatan mereka, tentu saja hal ini merupakan dampak yang negatif terhadap perlindungan hak asasi manusia pada rumah tahanan. Namun demikian perlu juga diungkapkan bahwa kelebihan kapasitas tersebut disebabkan jumlah kamar hunian yang masih terbatas, sedangkan tingkat kejahatan yang terus meningkat setiap tahun, oleh karenanya harus dicari jalan keluarnya untuk mengatasi hal tersebut. Kelebihan daya tampung juga menimbulkan hal yang negatif, seperti gangguan kesehatan karena berkurangnya udara segar serta kebersihan yang kurang terjamin, sehingga terjadi penularan penyakit, kemudian gangguan keamanan dapat terjadi setiap saat, yang disebabkan karena kegaduhan antar warga penghuni rumah tahanan karena ruang gerak yang kurang bebas. Padahal seperti disebutkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M. 02-PK.04.10 Tahun 1990, tentang Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan, bahwa tiap tahanan memiliki hak untuk memperoleh sarana tidur yang layak. Akibat dari luas kamar hunian pada Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda yang tidak memenuhi syarat ini maka pelaksanaan dari perlindungan hak asasi manusia para tahanan tidak dapat berjalan dengan baik. Akibat dari banyaknya para tahanan yang terganggu kesehatannya serta seringnya terjadi kegaduhan bahkan perkelahian, menimbulkan pelayanan yang dilakukan para petugas rumah tahanan kurang efektif, hal ini
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
disebabkan karena jumlah petugas yang terbatas pula, oleh karena itu para petugas harus bekerja ekstra untuk melayani maupun menjaga keamanannya. Betapa tidak, Rumah Tahanan kelas IIA Samarinda yang hanya memiliki daya tampung 265 tahanan, kenyataannya dihuni oleh 826 orang, hal ini merupakan beban yang berat dilakukan oleh para petugas rumah tahanan, yang mempunyai tanggung jawab tinggi terhadap semua resiko yang akan terjadi, sedangkan kesejahteraan para petugaspun juga masih rendah, artinya belum sebanding dengan beban tugas yang dilakukannya, sehingga tidak menutup kemungkinan jika terjadi pungutan liar oleh perugas terhadap para pengunjung yang ingin menjenguk keluarga maupun sahabat yang ada di Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda. E.
Simpulan Perlindungan hak asasi manusia para tahanan di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Samarinda, meliputi hak-hak tahanan yang berhubungan dengan proses penyidikan, dakwaan dan pemeriksaan di Pengadilan, hak-hak tahanan selama berada di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Samarinda, sudah mendapatkan pelayanan yang cukup baik, namun ada yang kurang sempurna yaitu mengenai kapasitas daya tampung yang melebihi kapasitas, yaitu seharusnya setiap kamar rata-rata hanya berkapasitas 8 orang, ditempati lebih dari 30 orang, sehingga berjubal dan terkesan kurang manusiawai. Juga termasuk makanan sehat yang tidak terpenuhi, termasuk persediaan air bersih yang selalu kurang. Hal ini tentu saja bertentangan dengan peraturan yang ada, dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena kapasitasnya berlebihan, dan makanan saehat yang kurang terpenuhi serta persediaan air bersih yang kurang tercukupi pula, tentu saja menimbulkan akibat, yaitu kebersihan kurang terjaga, kemudian menimbulkan penyakit yang mudah menular, sering terjadi kegaduhan dan bahkan menimbulkan perkelahian sesama penghuni rumah tahanan, sehingga keamanan terganggu. Untuk pelayanan tersebut diperlukan petugas rumah tahanan yang cukup memadai, sedangkan petugas pada Rumah Tahanan Kelas IIA Samarinda masih kurang memadai untuk ukuran 826 orang, karena hanya dipersiapkan mengurusi tahanan yang jumlahnya 265 orang saja, sehingga pelayanan kurang efektif, kemudian menimbulkan efek adanya pungutan liar yang dilakukan para petugas Rumah Tahanan, terhadap para pengunjung yang akan menengok keluarga maupun sahabatnya.
Deskripsi Pelanggaran Hak Asasi Manusia.... 47
F. 1.
2.
3.
Saran Demi menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia para tahanan, maka pemerintah hendaknya segera menambah jumlah kamar hunian maupun petugas rumah tahanan. Pemerintah Kota Samarinda hendaknya menyediakan lahan tambahan guna penambahan bangunan atau blok-blok hunian, agar dapat menampung seluruh tahanan, tanpa kecuali. Pemerintah hendaknya menambah anggaran untuk persediaan makan, agar tersedia
4.
makanan sehat bagi para penghuni rumah tahanan, sehingga tidak mudah terserang penyakit. Termasuk juga anggaran untuk persediaan air bersih. Kepada petugas rumah tahanan hendaknya bersikap tegas dalam mengklarifikasi jenisjenis warga binaan atau tahanan, apabila sudah mendapatkan putusan yang bersifat tetap dari Pengadilan, hendaknya warga binaan atau tahanan tersebut segera dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan.
Daftar Pustaka
Abdul Kadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditiya Bakti A. Masyhur Effendi. 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia ______________ . 2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia dan Proses Dinamika Hukum Hak Asasi Manusia. Bogor: Ghalia Indonesia B Hestu Cipto Handoyo. 2003. Hukum Tata Negara, Kewarnegaraan dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Muchsin. 2004. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka & Kebijakan Asasi. Jakarta: STIH “IBLAM” Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia; Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama Soerjono Soekanto. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Soetandyo Wignyosoebroto. 1980. Hukum dan Metode-metode Kajiannya. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Undang-Undang Dasar Republ;ik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983, tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1999, tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 1999, tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung jawab Perawatan Tahanan. Keputusan Menteri Kehakiman RI, Nomor: M.02-PK.04.10, Tahun 1990, tentang Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan. Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M.01.PL.01.01 Tahun 2003, tentang Pola Bangunan Unit Pelaksana Tehnis Pemasyarakatan. Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan RI Nomor : E-PS.01.06-16 Tahun 1996 Tanggal 23 Oktober 1996, tentang Penentuan Daya Muat (Kapasitas) Lapas/Rutan/Cabang Rutan. 48 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Deskripsi Pelanggaran Hak Asasi Manusia....