ISSN : 1412-3568 L E M B AG A AD M I N I S T R AS I N E G AR A P U S AT K AJ I A N D E S E N T R A L I S AS I D AN O T O N O M I D AE R AH
Jurnal
Desentralisasi JURNAL DESENTRALISASI VOLUME 13 NOMOR 2 TAHUN 2015
Volume 13
Nomor 2
Halaman 85-157
2015
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah Dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal Marsono Pengembangan BUMDes dalam menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 Suryanto Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa Yogi Setya Permana
ISSN : 1412-3568
Jurnal Desentralisasi Vol. 13 No. 2 Tahun 2015 Redaksi : Pengarah
:
Sri Hadiati WK, SH, MBA
Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi
:
Dr. Ridwan Rajab, M.Si
Dewan Redaksi
:
Dr. Ridwan Rajab, M.Si Ani Suprihartini, SE, MM Widhi Novianto, S.Sos, M.Si Dr. Edy Sutrisno, SE, M.Si
Mitra Bestari
:
Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, MA (Administrasi Publik) Dr. Makhdum Priyatno, MA (Administrasi Publik) Dr. Hanif Nurcholis, M.Si (Pemerintahan Desa) Dr. Kurniawati Hastuti Dewi, MA (Politik Lokal)
Redaktur Pelaksana
:
Tony Murdianto Hidayat, S.Si
Redaksi
:
Muhamad Imam Alfie Syarien, S.Sos, MPA Rico Hermawan, SIP Rusman Nurjaman, S.Fil Maria Dika Puspita Sari, SIA
Diterbitkan oleh: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Center For Decentralization and Lokal Autonomy Studies) Lembaga Administrasi Negara (National Institute Of Public Administration) Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 Telp. (021) 3688201-05 Ext 114, 115, Fax (021) 3865102 Website : www.lan.go.id/web/dkk/ Email :
[email protected] 2015
UNDANGAN MENULIS: Redaksi menerima naskah hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis isu-isu dalam lingkup bidang Desentralisasi, Otonomi Daerah, dan Politik Lokal. Naskah diketik dalam Ms Word menggunakan Bahasa Indonesia sepanjang 15-20 halaman, ukuran kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Judul, Abstrak, dan kata kunci ditulis dalam dwi bahasa (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia) masing-masing sepanjang 100-200 kata. Naskah bisa dikirim langsung ke Redaksi, melalu pos atau email, dan untuk naskah yang dicetak di atas kertas harus disertakan softfile copy. Redaksi berhak, melakukan penilaian dan penyuntingan terhadap naskah yang masuk. Naskah yang lolos seleksi oleh Redaksi, akan direview oleh Mitra Bestari (Reviewer). Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang menarik
i
Daftar Isi
Editorial
iii - iv
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto
85-105
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal Marsono
107-117
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
119-131
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 Suryanto
133-146
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa Yogi Setya Permana
147-157
Petunjuk Penulisan
ii
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Editorial Akhir Desember 2015 merupakan kick off pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA. MEA merupakan pasar tunggal ASEAN yang memungkinkan negara-negara ASEAN menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat. Tujuan diberlakukannya MEA adalah untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisir hambatan-hambatan di dalam melakukan kegiatan ekonomi lintas kawasan, misalnya perdagangan barang, jasa dan investasi. Dengan diberlakukannya MEA berarti membuka arus barang, jasa, dan investasi serta tenaga kerja asing masuk ke Indonesia. Jika tidak diantisipasi dengan baik, pemberlakuan MEA akan berdampak negatif bagi perekonomian Indonesia. Alih-alih bisa menangkap peluang dan potensi yang ada, Indonesia hanya bisa menjadi pasar yang menerima limpahan produk-produk negara ASEAN lain. Apalagi, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara, Indonesia merupakan pasar potensial bagi produk negara ASEAN lainnya. Oleh karena itu, perlu upaya serius dalam menyiapkan segenap komponen bangsa untuk menghadapi MEA. Penyiapan tersebut tidak hanya bagi para pelaku usaha yang bakal terimbas langsung dengan MEA, tetapi juga bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Melalui berbagai perangkat kebijakan yang ada, pemerintah bisa mendorong pelaku usaha untuk berperan serta secara aktif memanfaatkan pasar tunggal ASEAN tersebut. Edukasi kepada masyarakat juga perlu dilakukan supaya masyarakat semakin sadar bahwa saat ini tingkat persaingan terbuka tidak hanya terjadi di dalam negeri tetapi juga di tingkat regional. Untuk itulah Jurnal Desentralisasi kali ini mengangkat tema tentang kesiapan Indonesia dalam pemberlakuan MEA sebagai topik JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
utamanya. Melalui tema ini, diharapkan muncul ide, gagasan dan pemikiran konstruktif untuk meningkatkan kapasitas bangsa dalam rangka menangkap peluang pemberlakuan MEA—terutama terkait dengan tantangan peningkatan kompetensi ASN Pemda di daerah. Dengan demikian, sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia tidak hanya menjadi pasar poduk-produk asing tetapi mampu memanfaatkan peluang MEA bagi peningkatan ekonomi bangsa. Edisi kali ini mengetengahkan sejumlah tulisan yang merefleksikan sejumlah gagasan sebagai respon terhadap pemberlakuan MEA dalam waktu dekat ini. Melalui tulisannya yang berjudul “Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah Dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)” Widhi Novianto mencoba merumuskan kompetensi teknis yang perlu dimiliki Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemda khususnya di sektor perdagangan dan industri. Kompetensi teknis tersebut disusun dengan beberapa pendekatan antara lain pendekatan konseptual, AEC Blueprint, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 20152019, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat serta pembagian urusan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di bidang perdagangan dan perindustrian. Di aras lokal, dua penulis lain menyoroti masalah kesiapan kecamatan dan desa dalam menghadapi MEA. Dalam tulisan yang bertajuk “Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal”, Marsono mengingatkan pentingnya peran strategis kecamatan sebagai pembina kewilayahan di tingkat pemerintah terbawah dalam menghadapi MEA. Menurutnya paling tidak ada 6 (enam) peran strategis kecamatan dalam rangka menyiapkan desa iii
untuk menghadapi MEA. Oleh karena itulah, penguatan kapasitas kecamatan merupakan suatu keniscayaan guna mendukung peran strategis keamatan tersebut. Selaras dengan hal tersebut, Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas menyampaikan gagasan penguatan BUMDes dalam rangka kemandirian desa menghadapi MEA. Melalui tulisan yang berjudul “Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”, kedua penulis tersebut menyatakan bahwa kesiapan dalam menghadapi MEA juga harus dilakukan hingga tingkat desa. Sebagai penggerak ekonomi desa, BUMDes harus ditingkatkan kapasitasnya. Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam pengembangan kapasitas BUMDes, antara lain 1) Penataan kelembagaan desa; 2) Pengelolaan BUMDes dilakukan dengan profesional, kooperatif dan mandiri; 3) Peningkatan peran dan kerja sama; dan 4) Memahami kebutuhan masyarakat desa terhadap BUMDes. Selain tentang MEA, edisi kali ini juga menyajikan pemikiran mengenai implementasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam tulisan yang bertajuk “Kewenangan Pemerintah Daerah dan Kemungkinan Problematika Implementasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014”, Suryanto menyoroti adanya perubahan distribusi urusan pemerintahan. Pemerintahan desa yang sebelumnya lebih banyak melaksanakan kewenangan delegasi dari supra desa, saat ini dituntut untuk mampu me-
iv
laksanakan kewenangan lokal berskala desa. Di bagian akhir tulisan, penulis menyampaikan saran terkait antisipasi yang sudah dan perlu dilakukan di masa depan dan dalam waktu yang cepat (segera). Artikel terakhir yang dimuat terbitan kali ini adalah hasil tulisan Yogi Setya Permana. Dalam artikel yang berjudul “Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa”, penulis membahas kebangkitan identitas lokal melalui masyarakat Adat (Lembaga Adat Tana Samawa–LATS). Dalam dokumen resminya, LATS dimaksudkan sebagai aktor penengah yang memediasi antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Tulisan ini mencoba mengelaborasi apakah kehadiran LATS di Sumbawa dapat memperkuat demokrasi lokal di Sumbawa di tengah derasnya pertumbuhan aparatur negara. Redaksi menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan serta apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari selaku reviewer yang memberikan masukan yang berharga atas seluruh naskah yang masuk. Tak lupa ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua penulis yang telah berupaya keras dan tidak putus asa telah melakukan revisi dan perbaikan naskahnya sesuai koreksi dan masukan dari mitra bestari. Kepada sidang pembaca budiman, kami haturkan selamat membaca. Komentar dan masukan dari pembaca mengenai isi, topik, dan pengembangan jurnal ke depan juga sangat kami nantikan. Semoga bermanfaat. ********************
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Formulation of Technical Competence Standards for Senior Executives in Local Governments in Dealing with the ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto Peneliti Madya pada Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara Abstrak Dalam konteks ASEAN Economic Community (AEC), aparatur negara memerlukan penyesuaianpenyesuaian kapasitas untuk menghadapi tantangan baru yang akan muncul di lingkungan ASEAN. Pemerintah tidak hanya harus mereposisi kebijakan-kebijakan ekonominya, tetapi juga memastikan komponen aparatur siap dengan perubahan struktural ini. Langkah maju dalam reformasi birokrasi telah dilakukan oleh pemerintah, yakni dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Tidak berlebihan, lahirnya UU tersebut merupakan tonggak keberhasilan reformasi dan juga lahirnya Aparatur Sipil Negara yang berbasis profesionalisme dan kompetensi serta memenuhi kualifikasi dalam menjalankan jabatannya. Sejalan dengan implementasi UndangUndang Aparatur Sipil Negara dalam konteks AEC, maka diperlukan penyusunan kompetensi Aparatur Sipil Negara khususnya kompetensi teknis bagi Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam menghadapi liberalisasi di sektor perdagangan baik perdagangan dalam maupun luar negeri serta peningkatan daya saing sektor perindustrian. Standar kompetensi teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah disusun dengan mempertimbangkan beberapa pendekatan antara lain pendekatan konseptual, AEC Blueprint, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat serta pembagian urusan pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di bidang perdagangan dan perindustrian. Kata Kunci: ASEAN Economic Community, Aparatur Sipil Negara, Kompetensi. Abstract In the context of the AEC, government apparatus needs to adjust its capacity to cope with new challenges that will arise within ASEAN. The government not only has to tailor its economic policies, but also to make sure all the components of its apparatus are ready with this structural change. The enactment of Law No. 5 of 2014 On the Civil Servant is a milestone in Indonesian bureaucratic reform. The birth of this law signified the birth of the new civil service management based on professionalism and competence. In order to implement of the Law within the context of the AEC, formulation of technical competence for civil servants, particularly those assuming the senior executives levels, is a necessity to deal with the trade liberalisation and to enhance regional industry competitiveness level. The technical competence standards for senior executives in local governments are built on multiple consideration being relevant theoretical concepts, ASEAN Ecconomic Community Blueprint, National Mid-Term Development Plan (RPJMN) 2015-2019, Regional Mid-Term Development Plans (RPJMD) of Kepulauan Riau Province, East Java Province, North Sulawesi and West Nusa Tenggara Province, and the related laws and regulations concerning distribution of power between central and local government in the field of trade and industry. Keywords: ASEAN Economic Community , the State Civil Apparatus , Competence
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
85
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto
A. PENDAHULUAN Setelah krisis ekonomi yang melanda khususnya kawasan Asia Tenggara, para Kepala Negara ASEAN dalam KTT ASEAN ke-9 di Bali pada tahun 2003, menyepakati pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN Community) dalam bidang Keamanan Politik (ASEAN Political-Security Community), Ekonomi (ASEAN Economic Community), dan Sosial Budaya (ASEAN Socio-Culture Community) dikenal dengan Bali Concord II. Untuk pembentukan AEC pada tahun 2015, ASEAN menyepakati perwujudannya diarahkan pada integrasi ekonomi kawasan yang implementasinya mengacu pada AEC Blueprint. AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara Anggota ASEAN dalam mewujudkan AEC 2015. AEC Blueprint memuat empat pilar utama yaitu: (1) ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas; (2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakkan dan e-commerce, (3) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN, (4) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global. Sesuai dengan empat pilar utama AEC tersebut, negara-negara ASEAN telah melakukan persiapan yang diawali dengan diberlakukannya penghapusan hambatan tarif menjadi 0% pada tahun 2010 oleh negaranegara ASEAN 6 (Brunei, Indonesia, Malaysia,
86
Filipina, Singapura dan Thailand). Akan tetapi, perencanaan para elite politik negara ASEAN melalui pilar-pilar tersebut nyatanya menimbulkan permasalahan utama dalam pencapaian regionalisasi ekonomi ASEAN yaitu ketimpangan signifikan antara dua pilar pertama dengan dua pilar yang terakhir. Laporan tahunan pembentukan AEC tahap II misalnya, menunjukkan bahwa target integrasi dengan pasar global telah tercapai 85,7% sementara target peningkatan daya saing regional dan pemerataan pembangunan baru tercapai berturut-turut 67,9% dan 66,7% (ASEAN Secretariat, 2012). Dengan kata lain, upaya ASEAN untuk membebaskan pasarnya dengan berbagai kesepakatan pasar bebas dengan negara-negara diluar kawasan jauh lebih akseleratif daripada memperkuat daya saing internal kawasan ASEAN itu sendiri. Kendati secara regional pencapaian empat pilar utama AEC masih menemui ganjalan, data Perdagangan pada tahun 2014 menunjukkan bahwa share perdagangan intra-ASEAN menunjukkan angka yang cukup menjanjikan pada masing-masing share perdagangan ke negara-negara ASEAN, yaitu di atas 15%. Hal ini berarti bahwa regionalisme ekonomi di Asia Tenggara merupakan hal yang krusial bagi masing-masing negara ASEAN. Seiring dengan perkembangan konstelasi ekonomi global, Indonesia tetap terus berupaya mendorong peningkatan kerjasama internasional baik di forum bilateral, regional, maupun multilateral. Salah satunya adalah melalui peningkatan peran dan kemampuan Indonesia dalam melakukan diplomasi ekonomi. Pada tingkat bilateral, saat ini telah ada kesepakatan kerjasama ekonomi antara Indonesia-Jepang, Indonesia-Korea Selatan, Indonesia-Australia serta Indonesia dengan negara-negara European Free Trade Association (EFTA) seperti gambar berikut ini.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
Gambar 1. Kerjasama Ekonomi Bilateral, Multilateral, dan Regional
Pada tingkat regional, kerjasama ekonomi ASEAN semakin meningkat sejak dimulainya integrasi ekonomi regional dalam ASEAN Free Trade Area (AFTA) hingga kepada pembentukan AEC yang akan diimplementasikan secara penuh pada tanggal 31 Desember 2015. Perkembangan persiapan implementasi AEC yang diukur melalui scorecard,
menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai 82,4 persen dari 431 butir penilaian pada scorecard AEC, capaian tersebut di atas ratarata ASEAN yang saat ini mencapai 82,1 persen dari 229 Key Deliverables prioritas yang ditargetkan selesai pada tahun 2015.
Tabel 1. AEC Scorecard Key Deliverables Phases I-III (2008-2013) Tantangan kerjasama ekonomi internasional antara lain: 1) masih belum selarasnya antara diplomasi politik dan diplomasi ekonomi; 2) belum optimalnya kualitas koordinasi lintas sektor dan seluruh pihak terkait dalam proses penyiapan dan implementasi hasil-hasil kerjasama ekonomi internasional JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
serta 3) belum optimalnya pemanfaatan kesepakatan kerjasama ekonomi internasional dalam mencapai kepentingan nasional terutama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat
87
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto
Awareness dan preparedness pemerintah menjadi kunci penting dalam memenangkan AEC. Studi yang dilakukan oleh Pusat Studi ASEAN (2014) menunjukkan bahwa pemerintah daerah masih memfokuskan diri pada pelaku ekonomi yang berbasis ekspor. Padahal dampak AEC nantinya tidak hanya dirasakan pelaku ekspor, namun juga pelaku ekonomi yang menggunakan bahan baku impor maupun pelaku ekonomi lokal yang memproduksi barang yang sama dengan negara lain di ASEAN. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa rendahnya kesiapan pelaku ekonomi terhadap AEC ditentukan oleh pendekatan pemerintah dan aparaturnya yang kurang komprehensif. Dalam konteks AEC, aparatur memerlukan penyesuaian-penyesuaian kapasitas untuk menghadapi tantangan baru yang akan muncul di lingkungan ASEAN (Hill dan Menon, 2012; Aksaranee dan Arunanondchai, 2005). Penyesuaian tersebut antara lain terkait dengan liberalisasi di sektor perdagangan dan jasa yang membuat pemerintah tidak hanya harus mereposisi kebijakan-kebijakan ekonominya, tetapi juga memastikan semua komponen aparatur siap dengan perubahan struktural ini. Terkait dengan kapasitas misalnya, dalam menghadapi AEC, Kasali (2014) mengisyaratkan perlunya penyesuaian kapasitas internal organisasi. AEC memberikan paradigma baru, sebuah transformasi dari cara pandang ‘siapa yang mampu beradaptasi akan bertahan’ menjadi ‘siapa yang cepat, dialah pemenangnya’. Menurut Kasali, tantangan seperti AEC tadi memerlukan sebuah kapasitas yang dibangun secara berkelanjutan agar organisasi mampu merespon perubahan dengan waktu yang efisien, tangkas dan efektif. Kasali menyebutnya sebagai agility dan dynamic capability yaitu kualitas sensorik yang cepat dalam mengidentifikasi ancaman maupun kesempatan. Namun demikian, pemerintah saat ini masih punya beberapa persoalan serius. Catatan ASEAN Competitiveness Fundamentals (2013) memperlihatkan bahwa Indonesia masih cukup tertinggal dalam hal pengemba88
ngan infrastruktur makroekonomi dan masih belum memiliki institusi yang responsif terhadap perkembangan ekonomi regional. Dengan kata lain, daya saing institusional pemerintah masih belum kompatibel dengan AEC. Akibatnya indeks daya saing Indonesia masih cukup rendah di sektor infrastruktur (terendah dari ASEAN-5), perkembangan pasar tenaga kerja (terendah dari ASEAN-5), serta cukup minim dalam hal pengembangan institusional (hanya lebih baik daripada Thailand yang baru saja mengalami kudeta militer). Beberapa fakta di atas mengisyaratkan pentingnya Indonesia untuk mempersiapkan kapasitas pemerintah dalam menghadapi AEC. Secara garis besar, Indonesia memiliki peluang sebagai negara tujuan investasi di ASEAN karena share FDI yang tinggi serta market size yang sangat besar. Dari persepsi investor, Indonesia adalah the most favorable country sebagai ekonomi pasar yang besar dan tenaga kerja yang juga cukup menjanjikan (ASEAN Business Outlook, 2015). Namun, selama ini ada problem institusional yang belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan kerangka Good Governance. Data Global Competitiveness Report empat tahun terakhir menunjukkan bahwa masalah paling krusial yang dihadapi di Indonesia dalam menjaga daya saingnya adalah permasalahan di sektor publik baik berupa inefisiensi maupun korupsi. Kondisi ini tentunya akan mengganggu iklim untuk berbisnis akibat ekonomi biaya tinggi. Langkah maju dalam reformasi birokrasi telah dilakukan oleh pemerintah, yakni dengan disyahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Tidak berlebihan, lahirnya UU tersebut merupakan tonggak keberhasilan reformasi dan juga lahirnya Aparatur Sipil Negara yang berbasis profesionalisme dan kompetensi serta memenuhi kualifikasi dalam menjalankan jabatannya. UU Aparatur Sipil Negara mengatur bahwa kompetensi meliputi: a.
kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
b.
c.
an teknis fungsional, dan pengalaman bekerja secara teknis; kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen, dan pengalaman kepemimpinan; dan kompetensi sosial kultural yang diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan kebangsaan.
Kompetensi teknis bagi Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam menghadapi AEC merupakan No
2010
jenis-jenis kompetensi yang seharusnya dimiliki Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Provinsi dalam menghadapi AEC. Sejalan dengan implementasi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dalam konteks AEC, maka diperlukan penyusunan kompetensi Aparatur Sipil Negara khususnya kompetensi teknis bagi Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam menghadapi liberalisasi di sektor perdagangan baik perdagangan dalam maupun luar negari serta peningkatan daya saing sektor perindustrian.
2011
2012
2013
1
Inefisiensi Birokrasi
Korupsi
Inefisiensi Birokrasi
Korupsi
2
Korupsi
Inefisiensi Birokrasi
Korupsi
Inefisiensi Birokrasi
3
Infrastruktur
Infrastruktur
Infrastruktur
Infrastruktur
4
Akses Pembiayaan
Ketidakstabilan Politik
Etika kerja buruk
Akses pembiayaan
5
Inflasi
Akses Pembiayaan
Peraturan ketenagakerjaan
Peraturan Ketenagakerjaan
Sumber: Global Competitiveness Report, 2013, diolah.
Tabel 2 Faktor Paling Bermasalah di Indonesia dalam Global Competitiveness Report Paling tidak ada tiga argumen penting mengapa sektor perdagangan dan industri menjadi fokus dalam tulisan ini. Pertama, isu perdagangan dan industri adalah salah satu dari empat elemen penting dalam AEC yang akan dihadapi oleh Indonesia. Cetak Biru AEC (2007) telah menyatakan bahwa ASEAN akan menginisiasi sebuah pasar dan basis produksi tunggal, yang salah satu substansi pentingnya adalah arus bebas perdagangan barang dan jasa. Konsekuensinya, isu perdagangan menjadi penting untuk direspons oleh semua kalangan di Indonesia. Kedua, Secara komparatif, Indonesia cukup tertinggal dari negara-negara anggota ASEAN lain dalam dua isu ini. Data indeks ASEAN Competitiveness Fundamentals menunjukkan bahwa Indonesia tertinggal dari Singapura dan Malaysia dalam inovasi, pertumbuhan pasar keuangan, serta infrastruktur pasar barang dan jasa. Padahal, tiga vari-
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
abel ini penting dalam menopang industri dan perdagangan barang dan jasa di ASEAN. Ketiga, isu perdagangan dan industri adalah dua isu yang krusial bagi negaranegara Middle Power seperti Indonesia, karena isu ini menunjukkan daya saing (competitiveness) Indonesia di tingkat global. Dengan pertumbuhan ekonomi dan market size yang cukup besar, Indonesia berpotensi untuk menjadi sasaran ekspansi perdagangan dalam skema liberalisasi di kawasan maupun global. Jika pemerintah tidak mempersiapkan diri menyambut hal ini, Indonesia akan dirugikan karena hanya akan menyediakan tenaga kerja murah dan konsumsi karena market size-nya yang besar. Oleh sebab itu, mempersiapkan sektor perdagangan dan industri menjadi penting, tanpa diikuti oleh produktivitas dari sektor perdagangan dan industri, Indonesia akan kehilangan daya saingnya dalam pasar global dan kawasan. Pada titik inilah pemerintah bisa memfasilitasi semua 89
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto
elemen untuk memperkuat daya saing dengan menumbuhkan knowledge economy sebagai fondasi ekonomi menghadapi integrasi ekonomi (Irawati dan Rutten, 2014). Secara garis besar, penelitian ini mengambil sampel Provinsi Jawa Timur karena karakteristiknya sebagai area industri dan perdagangan, dengan potensi investasi di sektor industri pengolahan (lihat BPS 2014). Provinsi Kepulauan Riau dipilih karena karakteristiknya sebagai area perdagangan bebas (free trade zone) dan dengan demikian akan menjadi salah satu area penting dalam integrasi ekonomi kawasan (lihat BPS Kepulauan Riau, 2014). Provinsi Sulawesi Utara dipilih karena karakteristiknya sebagai kepulauan yang berbatasan dengan Filipina dan memiliki Kawasan Ekonomi Khusus, dengan potensi sektor ekspor dan impor (lihat RPJMD Provinsi Sulawesi Utara). Sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Barat dipilih karena karakteristiknya sebagai destinasi wisata dan mewakili koridor ekonomi Bali-Nusa Tenggara. B. PENDEKATAN DALAM MENYUSUN STANDAR KOMPETENSI TEKNIS Dalam penyusunan standar kompetensi teknis dilakukan dengan beberapa pendekatan antara lain pendekatan konseptual, AEC Blueprint, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di beberapa lokus serta pembagian urusan pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di bidang perdagangan dan perindustrian. Secara teoretik, penelitian ini akan menggunakan bingkai Competitive and Representative Government (Pusat Studi ASEAN UGM, 2015) untuk mendefinisikan kapasitas-kapasitas tertentu yang harus dimiliki oleh negara. Competitive and Representative Government memerlukan kapasitas negara yang bisa menghadapi kompetisi di tingkat regional/ global tetapi juga mampu membangun legitimasi internal di tingkat domestik (Bretton, 2007). Hal ini membutuhkan konseptualisasi mengenai apa saja kapasitas yang perlu dimiliki oleh negara. 90
Proyek integrasi ekonomi regional secara teoretik melahirkan satu konsep baru dalam paradigma pengelolaan negara yakni regulatory state. Model pengelolaan negara ini membutuhkan pergeseran dalam paradigma penyelenggaraan negara dari state-building menjadi capacity building (Hameiri, 2010; Irawati dan Rutten, 2004). Sebagai regulator, negara memerlukan kemampuan untuk melakukan manajemen risiko dan krisis untuk menyelamatkan perekonomian ketika pasar tidak mampu berjalan secara optimal (Hameiri, 2010). Di sisi lain, negara juga dituntut untuk beradaptasi dengan knowledge economy yang beriringan dengan regionalisasi produksi dan bisnis di kawasan. Dalam model knowledge economy, ada tiga elemen yang diperlukan: (1) institusi untuk mendukung inovasi; (2) jaringan untuk mengembangkan dan mentransfer pengetahuan (ke dalam inovasi), serta (3) dukungan infrastruktur inovasi untuk mendorong perusahaan untuk berinovasi (Irawati dan Rutten, 2004). Dalam konteks ini, kapasitas negara dan aparatur di dalamnya sangat penting untuk mendukung inovasi, baik yang diinisiasi oleh aparatur, entitas bisnis, maupun komunitas-komunitas masyarakat kreatif. Dalam konteks yang lebih luas, negara juga menjadi aktor yang penting untuk menegosiasikan kepentingannya dalam forumforum yang tidak hanya mengikutsertakan negara, tetapi juga aktor bisnis. Artinya, kapasitas diplomasi yang dimiliki oleh negara tidak hanya ditujukan hanya pada perundingan yang melibatkan negara, tetapi juga dengan pasar (Nesadurai, 2013). Pada konteks ini, artinya, perlu ada reposisi paradigma penyelenggaraan negara untuk menghadapi proyek integrasi ekonomi regional. Dengan demikian, dalam lanskap integrasi ekonomi regional tersebut, posisi negara menjadi penting untuk membangun kapasitas dalam empat hal penting. Pertama, kapasitas regulatory, yakni kapasitas untuk membuat aturan-aturan, norma, dan koridor yang memastikan pasar bisa berjalan secara optimal dan risiko-risiko yang berpotensi muncul dalam hal tersebut dapat diantisipasi. Kedua, kapasitas pengetahuan, yakni kapasiJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
tas untuk merespons perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat global/regional dan menghubungkan pengetahuan tersebut, secara institusional, dengan para pemangku kepentingan (stakeholders). Ketiga, kapasitas pemberdayaan stakeholders, yakni kapasitas untuk memperkuat pemangku kepentingan yang tidak memiliki kapasitas skill, pengetahuan, serta akses terhadap modal yang membuat mereka gagal berkompetisi dalam pasar regional/global. Keempat, kapasitas negosiasi, yakni kapasitas untuk bisa berhubungan dengan kekuatan ekonomi lain, baik didalam maupun luar negeri, serta membangun kerjasama yang bisa menguntungkan untuk pengembangan ekonomi domestik. Dalam konteks Indonesia yang mengalami desentralisasi, keempat kapasitas ini perlu diturunkan menjadi daftar kapasitas yang bisa diimplementasikan, baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Keberadaan lembaga riset seperti Lembaga Aparatur Negara atau instansi terkait akan menjadi sangat krusial dalam memastikan kapasitaskapasitas tersebut bisa diimplementasikan dalam pengembangan kapasitas aparatur negara di berbagai tingkatannya. Pertanyaan mendasar kemudian muncul di aras yang lebih mikro, bagaimana aparatur negara harus menyikapi integrasi ekonomi regional? Tantangan bagi administrator publik secara paradigmatis telah berkembang dari peran tradisional sebagai pembentuk enabling environment seperti regulasi, infrastruktur, pendidikan dan pelatihan; membentuk prakondisi bagi ekonomi pasar yang efektif seperti menjaga kompetisi yang sehat, menjamin keterbukaan informasi, penegakan hukum, dan minimalisasi dampak eksternalitas (Klinger, 2004) menuju peran nontradisional Governing on The Edges. Dengan pendekatan baru tersebut, Mintzberg (2004) dalam Abonyi & Slyke (2010) menekankan pada kebutuhan untuk menghubungkan pemerintah dengan lingkungan global yang kompleks, dinamis dan saling terkait. Paradigma Governing on The Edges memerlukan kolaborasi yang efektif antara pemerintah dengan sektor privat dalam membenJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
tuk kebijakan yang mampu memberikan insentif bagi dunia bisnis namun di saat yang sama merupakan pendekatan yang mengedepankan aspek akuntabilitas publik. Secara umum Governing on The Edges berpegang erat pada prinsip (1) linking ketimbang commanding (2) convincing daripada controlling (3) enabling, partnering versus doing. Sebenarnya ada dua problem utama yang harus diselesaikan dalam memecahkan masalah inkompatibilitas aparatur negara dengan tantangan seperti AEC. Chen dan Neo (2007) melalui pendekatan dynamic governance menjelaskan problem tersebut sebagai pertama, ketidakmampuan organisasi publik dalam memahami perubahan yang terjadi di sekitarnya dan kedua, sulitnya membuat penyesuaian-penyesuaian institusional sehingga organisasi tetap efektif dalam merespon perubahan. Dalam konteks AEC, permasalahan pertama bisa diartikan sebagai problem awareness. Aparatur negara perlu menjadi yang terdepan untuk memahami aturan main perdagangan bebas dan investasi di ASEAN, membaca dan menerjemahkannya menjadi serangkaian peluang dan tantangan yang perlu diantisipasi oleh seluruh elemen masyarakat. Aspek kedua adalah unsur preparedness dalam tataran pragmatis tentang bagaimana aparatur melakukan penyesuaian. Penyesuaian misalnya dalam hal kelembagaan, dengan aturan main baru di tingkat regional apakah perlu direspon dengan lembaga yang ramping dan ringkas sehingga gerak organisasi menjadi tangkas. Ataukah diperlukan organisasi yang besar, merespon banyak permasalahan sehingga pendekatan terhadap AEC menjadi lebih komprehensif. Konseptualisasi peran aparatur negara dalam menghadapi AEC juga bisa dilihat dalam kapabilitas seperti apakah aparatur negara telah memiliki mindset untuk thinking ahead; thinking again dan thinking across (Chen & Neo, 2007). Aparatur harus berpikir ke depan (thinking ahead), menyadari bahwa dalam lanskap ekonomi baru ide, kreativitas dan pengetahuan merupakan faktor produksi atau input yang sangat penting. Dalam skema 91
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto
liberalisasi perdagangan jasa AEC, hanya tenaga kerja bersertifikasi dengan skill khusus yang dapat memaksimalkan kesempatan mobilitas tenaga kerja. Selanjutnya, think again yang berarti aparatur harus mampu meninjau ulang kebijakan yang sudah ada apakah mampu menjawab tantangan yang berkembang sehingga kebijakan dapat berkinerja lebih baik dari sebelumnya. Dalam hal ini, penyesuaian atau adaptasi kebijakan tidak hanya sebuah reaksi pasif dari tekanan eksternal tapi merupakan pendekatan proaktif terhadap inovasi, konNo 1.
2.
3.
4.
tekstualisasi dan eksekusi kebijakan. Think across berarti kemampuan dan keterbukaan untuk belajar dari pengalaman institusi lainnya di luar batas-batas organisasi sehingga ide baru dapat diperkenalkan dalam sebuah institusi. Kemampuan ini juga memerlukan kapasitas aparatur untuk bekerja sama dengan institusi lainnya di luar batas-batas administratif birokrasi. Berdasarkan uraian konseptual tersebut, maka dapat diidentifikasi beberapa jenis kompetensi teknis di bidang perindustrian dan perdagangan sebagai berikut:
Konsepsi
Usulan Jenis Kompetensi
Dalam kerangka Competitive and Representative Government memerlukan kapasitas negara yang bisa menghadapi kompetisi di tingkat regional/global tetapi juga mampu membangun legitimasi internal ditingkat domestik Dalam model knowledge economy, ada tiga elemen yang diperlukan: (1) institusi untuk mendukung inovasi; (2) jaringan untuk mengembangkan dan mentransfer pengetahuan (ke dalam inovasi), serta (3) dukungan infrastruktur inovasi untuk mendorong perusahaan untuk berinovasi Dalam lanskap integrasi ekonomi regional diperlukan beberapa kapasitas: Pertama, kapasitas regulatory, Kedua, kapasitas pengetahuan, yakni kapasitas untuk merespons perubahan-perubahan, Ketiga, kapasitas pemberdayaan stakeholders, yakni kapasitas untuk memperkuat kapasitas pemangku kepentingan d a n Keempat, kapasitas negosiasi, yakni kapasitas untuk bisa berhubungan dengan kekuatan ekonomi lain. Konseptualisasi peran aparatur negara dalam menghadapi AEC juga bisa dilihat dalam memiliki mindset untuk thinking ahead; thinking again dan thinking across
Kemampuan menyusun kebijakan untuk meningkatkan daya saing Kemampuan untuk menyusun kebijakan untuk membangun dan mengembangan industri dalam negeri Kemampuan melakukan inovasi Kemampuan mengembangkan dan mentransfer pengetahuan
Kemampuan menyusun kebijakan Kemampuan merespon perubahan Kemampuan untuk fokus kepada pelanggan Kemampuan melakukan negosiasi
Kemampuan berpikir ke depan Kemampuan meninjau ulang kebijakan Kemampuan dan keterbukaan untuk belajar
Tabel 3 Identifikasi Jenis Kompetensi Berbasis Konsepsi Penyusunan standar kompetensi teknis ASN JPT di pemerintah daerah dapat diidentifikasi berdasarkan AEC Blueprint yang releNo 1.
2.
92
van di bidang perindustrian dan perdagangan sebagai berikut:
Pilar
Usulan Jenis Kompetensi
ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakkan dan e-commerce
Kemampuan memahami dan melaksanakan kebijakan perdagangan luar negeri
Kemampuan memahami dan melaksanakan kebijakan peraturan kompetisi Kemampuan memahami dan melaksana-
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
No
3. 4.
Pilar
Usulan Jenis Kompetensi
ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.
kan kebijakan perlindungan konsumen Kemampuan memahami dan melaksanakan kebijakan hak atas kekayaan intelektual Kemampuan memahami dan melaksanakan kebijakan pengembangan UKM Kemampuan memahami kebijakan jejaring produksi global
Tabel 4 Identifikasi Jenis Kompetensi Berbasis AEC Blueprint Penyusunan standar kompetensi teknis ASN JPT di pemerintah daerah di bidang perindustrian dan perdagangan dapat diidentifiNo 1
Bidang Industri
kasi berdasarkan RPJMN dan RPJMD sebagai berikut:
Isu Strategis
Usulan Jenis Kompetensi
1) Deindustrialisasi 2) Populasi dan Struktur Industri Lemah 3) Bahan mentah diekspor, sementara bahan setengah jadi diimpor. 4) Ketergantungan pada impor tinggi 5) Produktivitas Rendah 6) Industri Terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera
Mengetahui dan mampu menyusun kebijakan pembangunan Kawasan Industri Mengetahui dan mampu menyusun kebijakan pembangun Sentra Industri Kecil dan Menengah (SIKIM) Mampu berkoordinasi dengan para pemangku dalam mengimplementasikan kebijakan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Mampu menyusun kebijakan untuk mendorong investasi untuk industri pengolah sumber daya alam, baik hasil pertanian maupun hasil pertambangan (hilirisasi) Mampu menyusun kebijakan untuk mendorong investasi industri penghasil barang konsumsi kebutuhan dalam negeri, penghasil bahan baku, bahan setengah jadi, komponen dan sub-assembly Mampu menyusun kebijakan dalam memanfaatkan kesempatan dalam jaringan produksi global baik sebagai perusahaan subsidiary, contract manufacturer, maupun sebagai independent supplier (Integrasi ke Global Production Network). Mampu menyusunan kebijakan dalam pembinaan industri kecil dan menengah (Pembinaan IKM) agar dapat terintegrasi dengan rantai nilai industri pemegang merek (Original Equipment Manufacturer, OEM) di dalam negeri dan dapat menjadi basis penumbuhan populasi industri besar dan sedang. Mampu menyusun kebijakan dalam penguasaan Iptek / Inovasi Mampu menyusun penguasaan dan pelaksanaan pengembangan produk baru (New Product Development) oleh industri domestik.
93
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto
No
Bidang
2
Perdagangan DN
3
4
94
Isu Strategis
Usulan Jenis Kompetensi
1) Masih terdapatnya kelangkaan 1) Mampu menyusun kebijakan pembenahan stok dan disparitas harga basistem distribusi bahan pokok dan sistem han pokok yang tinggi logistik rantai pasok 2) Belum optimalnya aktivitas 2) Mampu menyusun kebijakan pembenahan perdagangan dalam negeri iklim usaha perdagangan yang lebih kondu3) Masih rendahnya minat masyasif rakat terhadap produk domes- 3) Mampu menyusun kebijakan perlindungan tik. konsumen dan standardisasi produk lokal 4) Belum optimalnya upaya pelindi pusat dan di daerah dungan konsumen Perdagangan LN 1) Besar ekspor merupakan ko- Kemampuan diplomasi perdagangan moditas Primer. Mampu menyusun kebijakan dalam mening2) Masih rendahnya tingkat diver- katkan peran perwakilan dagang di luar negesifikasi pasar tujuan ekspor. ri 3) Masih rendahnya daya saing Mampu memanfaatkan kerjasama perdagangekspor jasa an yang ada dan meningkatkan kerjasama 4) Meningkatnya hambatan non perdagangan bilateral tarif. Mampu meningkatkan peran perwakilan da5) Fasilitasi ekspor yang belum gang di luar negeri optimal Mampu menyusun kebijakan meningkatkan promosi ekspor Mampu menyusun kebijakan pemanfaatan Rantai Nilai Global dan Jaringan Produksi Global yang menghasilkan barang dan jasa berorientasi ekspor Mampu menyusun kebijakan meningkatkan efektivitas market intelligence Mampu meningkatkan kapasitas dan kemampuan calon eksportir dan eksportir pemula Mampu meningkatkan sosialisasi dan diseminasi informasi mengenai produk potensial kepada seluruh produsen atau pelaku usaha potensial Mampu meningkatkan daya saing produk nasional Mampu menyusun kebijakan untuk meningkatkan efektivitas manajemen impor Mampu menyusun kebijakan untuk mengoptimalkan fasilitas safeguards dan pengamanan perdagangan lainnya Mampu melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Free Trade Agreements (FTA) yang sudah dilakukan Mampu menyusun kebijakan dalam mengembangkan fasilitasi perdagangan yang lebih efektif Kerjasama Eko- Kerjasama Ekonomi Internasional Mampu merumuskan strategi diplomasi ekonomi Internasio- (peningkatan kerjasama interna- nomi nasional nal sional baik di forum bilateral, re- Mampu menyusun kriteria dalam menentukan gional, maupun multilateral) prioritasi (seleksi) kerja sama ekonomi internasional Mampu melakukan pemantauan, kaji ulang, dan evaluasi terhadap perjanjian kerjasama ekonomi internasional Mampu meningkatkan koordinasi antar lembaga pemerintah, antara lembaga pemerintah dengan kalangan dunia usaha, akademisi, JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
No
Bidang
Isu Strategis
Usulan Jenis Kompetensi LSM, dan masyarakat dalam proses perumusan strategi diplomasi ekonomi, serta implementasi dan pemanfaatan kerja sama ekonomi internasional yang telah disepakati. Mampu melakukan identifikasi kepentingan nasional untuk diperjuangkan dalam forum kerja sama ekonomi internasional, baik dalam forum bilateral, regional, maupun multilateral Mampu menyusun road map kerangka kerja sama ekonomi maritim dalam rangka mendukung pembangunan, pengelolaan, dan pemanfaatan wilayah maritim Indonesia yang lebih baik.
Tabel 5 Identifikasi Kompetensi Teknis Berbasis RPJMN 2014-2019 dan RPJMD di Beberapa Lokus Kajian Penyusunan standar kompetensi teknis ASN JPT di pemerintah daerah, juga memperhatikan pembagian urusan di bidang perdaNo
Sub Urusan
1 a.
Perdagangan Perizinan dan Pendaftaran Perusahaan
b.
Sarana Distribusi Perdagangan
c.
Stabilisasi Harga Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting
gangan dan perindustrian sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, sebagai berikut:
Kewenangan Provinsi
Usulan Jenis Kompetensi
1. Penertiban surat izin usaha perdagangan minuman beralkohol toko bebas bea dan rekomendasi penerbitan SIUP-MB bagi distributor. 2. Penerbitan surat izin usaha perdagangan bahan berbahaya pengecer terdaftar, pemeriksaan sarana distribusi bahan berbaya dan pengawasan distribusi, pengemasan pelabelan bahan berbahaya di tingkat Daerah provinsi. 3. Rekomendasi untuk penerbitan PGAPT dan SPPGRAP. 4. Penerbitan surat keterangan asal bagi Daerah provinsi yang telah ditetapkan sebagai instansi penerbit surat keterangan asal). 5. Penerbitan angka pengenal importir (API). Pembangunan dan pengelolaan pusat distribusi regional dan pusat distribusi provinsi. 1. Menjamin ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting di tingkat daerah provinsi. 2. Pemantauan harga, informasi ketersediaan stok barang kebutuhan pokok dan barang penting di tingkat pasar provinsi. 3. Melakukan operasi pasar dalam rangka stabilisasi harga pangan pokok yang dampaknya beberapa daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi.
Kemampuan menyusun kebijakan pelayanan perizinan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Kemampuan membuat kebijakan pengelolaan sarana perdagangan Kemampuan menyusun kebijakan stabilisasi harga
95
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto
No
Sub Urusan
d.
Pengembangan Ekspor
e.
Standardisasi dan Perlindungan Konsumen
2. a.
Perindustrian Perencanaan Pembangunan Industri
b.
Perizinan
c.
Sistem Informasi Industri Nasional
Kewenangan Provinsi 4. Pengawasan pupuk dan pestistida tingkat daerah provinsi dalam melakukan pelaksanaan pengadaan, penyaluran dan penggunaan pupuk bersubsidi di wilayah kerjanya. 1. Penyelenggaraan promosi dagang melalui pameran dagang internasional, pameran dagang nasional dan pameran dagang lokal serta misi dagang bagi produk ekspor unggulan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi. 2. Penyelenggaraan kampanye pencitraan produk ekspor skala nasional (lintas Daerah provinsi). Pelaksanaan perlindungan konsumen, pengujian mutu barang, dan pengawasan barang beredar dan/atau jasa di seluruh Daerah kabupaten/kota. Penetapan rencana pembangunan industri provinsi. 1. 2. 3.
Penerbitan IUI Besar. Penerbitan IPUI bagi industri besar. Penerbitan IUKI dan IPKI yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota dalam (satu) Daerah provinsi. Penyampaian laporan informasi industri untuk: IUI Besar dan Izin perluasannya; dan IUKI dan IPKI yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota.
Usulan Jenis Kompetensi
Kemampuan menyusun kebijakan pengembangan ekspor
Kemampuan menyusun kebijakan standarisasi dan perlindungan konsumen Kemampuan menyusun kebijakan perencanaan pembangunan industri Kemampuan menyusun kebijakan perizinan
Kemampuan menyusun kebijakan sistem perizinan industri nasional
Tabel 6 Identifikasi Jenis Kompetensi Teknis Berbasis Pembagian Urusan Perdagangan dan Perindustrian C. IDENTIFIKASI KOMPETENSI Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, berikut ini disampaikan beberapa jenis kompetensi bagi Aparatur Sipil NeNo
gara khususnya Jabatan Pimpinan Tinggi bidang perindustrian dan perdagangan di Pemerintah Daerah dalam menghadapi AEC, yaitu:
Jenis Kompetensi
Deskripsi
2.
Menyusun kebijakan di bidang perdagangan dan perindustrian Menkoordinaskan perdagangan dalam negeri
3.
Mengkoordinasikan perdagangan luar negeri
4.
Merumuskan sasaran pembangunan dan pengembangan industri
Mengetahui dan mampu menyusun kebijakan di bidang perdagangan dan perindustrian Mengetahui dan mampu mengkoordinasikan berbagai aspek terkait dengan perdagangan barang atau jasa dalam negeri, Mengetahui dan mampu mengkoordinasikan berbagai aspek terkait dengan perdagangan barang dan jasa luar negeri. Mengetahui dan mampu merumuskan sasaran pembangunan dan pengembangan industri
1.
96
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
No
Jenis Kompetensi
Deskripsi
5.
Bidang Industri Mengarahkan Desain Produk Industri
6.
Mengarahkan Standarisasi Produk Industri
7.
Mengarahkan Hak Kekayaan Intelektual
8.
Mengarahkan Sistem Informasi Industri
9.
Membina Manajemen IKM
10.
Membina Pemanfaatan Rantai Nilai Global dan Jaringan Produksi Global
11.
Mengarahkan Pemanfaatan Teknologi Industri
12.
Bidang Perdagangan Dalam Negeri Membina Perlindungan Konsumen
13.
Mengendalikan Stabilisasi Harga
14.
Mengendalikan Manajemen Stok
Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan stabilitas harga barang atau jasa Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan persediaan dan pendistribusian barang-barang kebutuhan pokok
15.
Mengkoordinasikan Fasilitasi Sarana Penunjang Perdagangan
Mengetahui dan mampu mengkoordinasikan penyediaan sarana penunjang perdagangan
16.
Mengevaluasi Pemberiaan Izin Usaha
Mengetahui dan mampu mengevaluasi pemberian izin usaha
Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan desain produk industri baik dalam perancangan, perencanaan, dan pembuatan produk industri. Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan produk industri dengan mempertimbangkan aspek daya saing dan perlindungan konsumen. Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan hak kekayaan intelektual Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan penerapan sistem informasi industri. Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan manajemen IKM baik dalam hal pembiayaan, penciptaan nilai tambah, jangkauan pasar, penguatan kelembagaan usaha, dan perlindungan usaha, serta menumbuhkan semangat kewirausahaan. Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan pemanfaatan rantai nilai global dan jaringan produksi global. Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan pemanfaatan teknologi industri. Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan perlindungan konsumen dan pengawasan produk yang beredar.
Bidang Perdagangan Luar Negeri 17.
Mengarahkan promosi
Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan promosi produk-produk yang dihasilkan
18.
Mengarahkan pemanfaatkan market intellegence
Mengetahui dan mampu memanfaatkan market intellegence penetrasi pasar dan pengembangan pasar
19.
Mengevaluasi insentif perdagangan
Mengetahui dan mampu mengevaluasi kebijakan insentif perdagangan
20.
Mengevaluasi fasilitasi ekspor dan Impor
Mengetahui dan mampu mengevaluasi kebijakan fasilitasi ekspor dan impor
21.
Mengarahkan pemanfaatan Teknologi Informasi
Mengetahui dan mampu memanfaatkan teknologi informasi dalam rangka membuka akses pasar dan meningkatkan pangsa pasar produk Indonesia
Tabel 7 Jenis Kompetensi Teknis
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
97
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto
D. VALIDASI STANDAR KOMPETENSI Berdasarkan identifikasi jenis-jenis kompetensi teknis tersebut, kajian ini melakukan validasi terhadap jenis-jenis kompetensi-kompe-
tensi teknis tersebut di 4 lokus kajian yaitu Provinsi Riau, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai berikut:
1. Provinsi Kepulauan Ria Gambar 1. Validasi Kompetensi Teknis Provinsi Kepulauan Riau
Sumber: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2015
98
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
2. Provinsi Jawa Timur Gambar 2. Validasi Kompetensi Teknis Provinsi Jawa Timur
Sumber: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2015
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
99
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto
3. Provinsi Sulawesi Utara Gambar 3. Validasi Kompetensi Teknis Provinsi Sulawesi Utara
Sumber: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2015
100
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
4. Provinsi Nusa Tenggara Barat Gambar 4. Validasi Kompetensi Teknis Provinsi Nusa Tenggara Barat
Sumber: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2015
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
101
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto
Berdasarkan hasil temuan lapangan di beberapa lokus tersebut, sebagian besar responden memberikan jawaban sangat relevan dan relevan terhadap jenis-jenis kompetensi yang telah disusun oleh tim PKDOD. Namun menurut responden ada beberapa jenis-jenis kompetensi yang dipandang relevan bagi Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di pemerintah daerah dalam menghadapi AEC khususnya di bidang perdagangan dan perindustrian, yaitu:
102
Pengetahuan tentang Ekonomi Regional Selain penguasaan kompetensi teknis tertentu, responden juga mengusulkan agar aparatur di level kepala dinas juga harus mempunyai kompetensi terkait dengan pengetahuan tentang ekonomi regional Pengetahuan tentang Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Perdagangan dan perindustrian selalu terkait dengan situasi fiskal dan moneter. Dengan memahami kebijakan fiskal dan moneter, seorang kepala dinas akan mampu merumuskan langkah-langkah strategis dan taktis dalam kebijakan dan programnya dengan mengintegrasikan perspektif fiskal dan moneter. Pengetahuan tentang industri kreatif Standar kompetensi juga mengakomodasi kebutuhan jenis yang terkait dengan industri kreatif. Pengetahuan Perundangan-undangan (Regulatory Mapping) Lintas Sektor Selain pengetahuan perundang-undangan di bidang perdagangan dan perindustrian, responden juga mengusulkan pengetahuan perundang-undangan lintas sektor sebagai jenis kompetensi yang harus dimiliki oleh aparatur Pemda di dinas terkait. Pengetahuan tentang Pengembangan Industri Berwawasan Lingkungan. Pengetahuan pengembangan industri berwawasan lingkungan sebagai jenis kompetensi juga harus diakomodir dalam pengembangan standar kompetensi teknis ASN Pemda di dinas terkait. Pengetahuan GeoSpasial Pengembangan kawasan industri sangat terkait dengan masalah tata ruang (RT
RW). Pengetahuan geo-spasial mencakup pengetahuan tentang tata ruang dan kewilayahan. E. PENUTUP Pada bagian penutup ini, akan disampaikan kesimpulan, rekomendasi dan rencana aksi sebagai tindak lanjut dari kajian penyusunan standar kompetensi teknis dalam menghadapi AEC. 1. Kesimpulan: 1) Dalam konteks AEC, aparatur memerlukan penyesuaian-penyesuaian kapasitas untuk menghadapi tantangan baru yang akan muncul di lingkungan ASEAN. Penyesuaian tersebut antara lain terkait dengan liberalisasi di sektor perdagangan dan jasa yang membuat pemerintah tidak hanya harus mereposisi kebijakankebijakan ekonominya, tetapi juga memastikan semua komponen aparatur siap dengan perubahan struktural ini. Namun demikian, pemerintah saat ini masih punya beberapa persoalan serius. Catatan ASEAN Competitiveness Fundamentals (2013) memperlihatkan bahwa Indonesia masih cukup tertinggal dalam hal pengembangan infrastruktur makroekonomi dan masih belum memiliki institusi yang responsif terhadap perkembangan ekonomi regional. Dengan kata lain, daya saing institusional pemerintah masih belum kompatibel dengan AEC. Akibatnya indeks daya saing Indonesia masih cukup rendah di sektor infrastruktur (terendah dari ASEAN-5), perkembangan pasar tenaga kerja (terendah dari ASEAN-5), serta cukup minim dalam hal pengembangan institusional (hanya lebih baik daripada Thailand yang baru saja mengalami kudeta militer). 2) Langkah maju dalam reformasi birokrasi telah dilakukan oleh pemerintah, yakni dengan disyahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Tidak berlebihan, lahirnya UU tersebut merupakan tonggak keberhasilan reformasi dan juga lahirnya Aparatur Sipil Negara yang berbasis profesionalisJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
me dan kompetensi serta memenuhi kualifikasi dalam menjalankan jabatannya. UU Aparatur Sipil Negara mengatur bahwa kompetensi meliputi kompetensi teknis, kompetensi manajerial dan kompetensi sosial kultural. Sejalan dengan implementasi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dalam konteks AEC, maka diperlukan penyusunan kompetensi Aparatur Sipil Negara khususnya kompetensi teknis bagi Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam menghadapi liberalisasi di sektor perdagangan baik perdagangan dalam maupun luar negeri serta peningkatan daya saing sektor perindustrian. 3) Dalam penyusunan standar kompetensi teknis dilakukan dengan beberapa pendekatan antara lain pendekatan konseptual, AEC Blueprint, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 20152019, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di beberapa lokus serta pembagian urusan pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di bidang perdagangan dan perindustrian. Dalam kerangka Competitive and Representative Government memerlukan kapasitas negara yang bisa menghadapi kompetisi di tingkat regional/global tetapi juga mampu membangun legitimasi internal di tingkat domestic. Dalam model knowledge economy, ada tiga elemen yang diperlukan: (1) institusi untuk mendukung inovasi; (2) jaringan untuk mengembangkan dan mentransfer pengetahuan (ke dalam inovasi), serta (3) dukungan infrastruktur inovasi untuk mendorong perusahaan untuk berinovasi. Dalam lanskap integrasi ekonomi regional diperlukan beberapa kapasitas: Pertama, kapasitas regulatory, Kedua, kapasitas pengetahuan, yakni kapasitas untuk merespons perubahan-perubahan, Ketiga, kapasitas pemberdayaan stakeholders, yakni kapasitas untuk memperkuat kapasitas pemangku kepentingan dan Keempat, kapasitas negosiasi, yakni kapasitas untuk bisa berhubungan dengan kekuatan ekonomi lain. Konseptualisasi JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
peran aparatur negara dalam menghadapi AEC juga bisa dilihat dalam memiliki mindset untuk thinking ahead; thinking again dan thinking across. 4) AEC Blueprint digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menyusun standar kompetensi teknis, dimana AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara Anggota ASEAN dalam mewujudkan AEC 2015. AEC Blueprint memuat empat pilar utama yaitu: (1) ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas; (2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakkan dan e-commerce, (3) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN, (4) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global. 5) Penyusunan standar kompetensi yang dibutuhkan Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam menghadapi AEC juga mempertimbangkan Nawa Cita (9 Program Prioritas Pemerintahan Jokowi) dan aspek lingkungan strategis sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) pada lokus kajian. Aparatur Sipil Negara dihadapkan pada beberapa permasalahan di bidang perindustrian antara lain deindustrialisasi, populasi dan struktur industri lemah, bahan mentah diekspor, sementara bahan setengah jadi diimpor, ketergantungan pada impor tinggi serta 103
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto
produktivitas rendah. Sedangkan permasalahan perdagangan dalam negeri antara lain masih terdapatnya kelangkaan stok dan disparitas harga bahan pokok yang tinggi, belum optimalnya aktivitas perdagangan dalam negeri, masih rendahnya minat masyarakat terhadap produk domestik, dan belum optimalnya upaya pelindungan konsumen, serta permasalahan luar negeri peningkatan kerjasama internasional baik di forum bilateral, regional, maupun multilateral. 2. Rekomendasi dan Rencana Aksi: 1) Membangun kepedulian dan kesiapan pemerintah dan pemda dalam menghadapi AEC dengan rencana aksi: Aspek kebijakan, merancang dan mengintegrasikan isu AEC dalam kebijakan agar mampu meminimalisir resiko-resiko yang muncul. Aspek kelembagaan, membangun sinergi dan aksi kolaboratif antara pemerintah dan pemerintah daerah, perguruan tinggi, dunia usaha dalam menghadapi AEC. Aspek SDM, sosialisasi AEC kepada ASN untuk membangun kepedulian dan kesiapan ASN dalam menghadapi AEC 2) Penyusunan standar kompetensi yang bersifat spesifik, dengan rencana aksi: Identifikasi potensi daerah, penyusunan standar kompetensi seharusnya didasarkan potensi daerah masing-masing. Identifikasi geospasial, penyusunan standar kompetensi mencakup pengetahuan tentang tata ruang dan kewilayahan masing-masing daerah. Dokumen Perencanaan, penyusunan standar kompetensi didasarkan pada RPJMN, RPJMD dan Renstra 3) Integrasi standar kompetensi dengan manajemen ASN, dengan rencana aksi: Melakukan integrasi standar kompetensi dengan Promosi Melakukan integrasi standar kompetensi dengan Rotasi
104
4)
5)
6)
7)
F.
Melakukan integrasi standar kompetensi dengan Pelatihan dan Pengembangan Melakukan integrasi standar kompetensi dengan Evaluasi kinerja Penyusunan kebijakan standar kompetensi, dengan rencana aksi: Penyusunan kebijakan standar kompetensi oleh pemerintah daerah Kebijakan tersebut dijadikan acuan dalam bagi pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan manajemen ASN di pemerintah daerah Melaksanakan dan melakukan evaluasi terhadap standar kompetensi, dengan rencana aksi Pelaksanaan standar kompetensi yang telah disusun Melakukan evaluasi terhadap standar kompetensi Penyesuaian standar kompetensi dengan target-target kinerja dalam RPJMN/D, dengan rencana aksi: Mengidentifikasi isu-isu strategik, sasaran, arah kebijakan dan strategi sebagaimana diatur dalam dokumen RPJMN dan RPJMD Melakukan evaluasi terhadap standar kompetensi dengan mempertimbangkan target-target kinerja dalam dokumen perencanaan. Melakukan tindak lanjut kajian dengan mengidentifikasi standar kompetensi teknis negara-negara ASEAN lainnya, dengan rencana aksi: Melakukan tindak lanjut kegiatan dengan mengidentifikasi standar kompetensi beberapa negara ASEAN lainnya dengan menjalin kemitraan dengan Sekretariat ASEAN. Memetakan kompetensi ASN di beberapa Negara ASEAN dalam menghadapi AEC. DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Nomor 3 Tentang Perindustrian
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara Undang-Undang Nomor 7 Tentang Perdagangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kepulauan Riau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Timur Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Sulawesi Utara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Rencana Strategis Kementerian Perdagangan Rencana Strategis Kementerian Perindustrian Rencana Strategis Provinsi Kepulauan Riau Rencana Strategis Provinsi Jawa Timur Rencana Strategis Provinsi Sulawesi Utara Rencana Strategis Provinsi Nusa Tenggara Barat 2. Buku: Abonyi, G. & Van Slyke, D. M. (2010). Governing On The Edges: Globalization Of Production And The Challenge to Public Administration In The Twenty First Century. Public Administration Review. 70 (1): 33-45. ASEAN. (2007). Blueprint of ASEAN Economic Community. Jakarta: ASEAN Secretariat. Bretton, A. (2007). The Economic Theory of Representative Government. Transaction Publishers. Bowornwathana, B. (2009). The Need To Build Administrative Capacity In The
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Age Of Rapid Globalization: A “Modest” Prescription or A Major Blueprint? Public Administration Review, 69(6), 1031-1033. Hameiri, S. (2007). Failed States Or A Failed Paradigm? State Capacity And The Limits Of Institutionalism. Journal Of International Relations And Development, 10 (2), 122-149. Hameiri, S. (2010). Regulating Statehood: State Building and the Transformation of the Global Order. Basingstoke, UK: Palgrave Macmillan. Irawati, D., & Rutten, R. (Eds.). (2013). Emerging Knowledge Economies in Asia: Current Trends in ASEAN 5: Current Trends In ASEAN-5. London And New York: Routledge. Kasali, R. (2014). Agility: Bukan Singa Yang Mengembik. Jakarta: Gramedia. Neo, B. S & Chen, G. 2007. Dynamic Governance: Embedding Culture, Capabilities And Change In Singapore. Singapore: World Scientific. Nesadurai, H. E. (2003). Globalisation, Domestic Politics and Regionalism. London: Routledge. Nesadurai, H. (2013). “ASEAN/East Asia and Global Economic Governance: Reasserting the State as Market Actor” Studia Diplomatica [P], 66 (1), 51-70. Permana, P., Sulistyastuti, D. R. and Rachman, N.A. (2014). “Gearing Up for ASEAN Economic Community: Small and Medium Enterprises‟ Responses and Preparedness to Regional Market Integration”. Working Paper No. 1, ASEAN Studies Center, Universitas Gadjah Mada
105
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto
106
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di Tingkat Lokal Strengthening the Capacity of Sub-Disctricts: A Local-Based Anticipative Strategy for the ASEAN Economic Community Marsono Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik Lembaga Administrasi Negara Abstrak Kebijakan membangun Indonesia dari Desa sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tidak akan pernah menafikkan peran strategis Kecamatan sebagai pembina kewilayahan di tingkat pemerintahan terbawah (akar rumput) dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang segera diberlakukan. Selanjutnya tantangan berat bagi Kecamatan saat ini adalah pelaksanaan perannya sebagai transformator dan akselerator bagi pemerintah desa dalam menghadapi MEA di tingkat lokal. Peran ini tentu menjadi sangat penting manakala Desa/Kelurahan harus dapat bersaing dengan beberapa negara di kawasan ASEAN, baik menyangkut produk-produk pertaniannya maupun terkait dengan tenaga kerjanya. Oleh karena itu, agar tenaga kerja dan ekonomi lokal memiliki daya saing yang baik dalam menghadapi pasar bebas ASEAN, maka Kecamatan harus memiliki kapasitas untuk dapat melakukan perannya tersebut. Peran strategis yang harus dimainkan Kecamatan terkait dengan kesiapan Desa dalam menghadapi MEA, antara lain: (1) memfasilitasi desa untuk melakukan mapping (pemetaan) potensi unggulan; (2) penguatan pelaku usaha dan industri di desa; (3) mendorong dan memfasilitasi Desa untuk membentuk BUMDes (4) bantuan program pelatihan kewirausahaan, manajemen, pemasaran, teknik produksi modern, teknis pengemasan modern, bantuan peralatan, modal usaha, dan lainnya; (5) mendampingi desa untuk meningkatkan wawasan sumber daya manusia (SDM) pelaku UKM terhadap MEA; (6) mendorong dan mendampingi para pelaku UMKM desa untuk menerapkan standarisasi atau sertifikasi produk-produk unggulannya, sehingga akan memiliki daya saing. Kata Kunci: Penguatan kapasitas, daya saing dan MEA Abstract The spirit of “development from the villages” as brought by the Law Number 6 Year 2014 concerning Village could not ignore the strategic role of Sub-district as the lowest level government, particularly in anticipating the upcoming ASEAN Economic Community (AEC). One of the biggest challenges for Sub-district administration is to play its role as the transformator and accelerator for village administration in responding the threat of AEC. This role becomes strategic when villages are forced to compete with their likes in ASEAN, both in terms of produces and labour. Therefore, to enhance local labour and economy in the AEC, sub-districts has to improve its capacity. Some of sub-districts role in anticipating the AEC are 1) facilitating villages to map their superior products; 2) strengthening local industry in villages; 3) facilitating villages to establish village-owned company; 4) supporting villages through trainings on entrepreneurship, marketing, management, production, packaging, as well as through subsidy and ease of capital; 5) advocating the potential businessmen in the villages to enhance their knowledge regarding AEC; and 6) accelerating and advocating local businesses to comply with the international standards. Keywords: capacity strengthening, competitiveness, AEC
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
107
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal Marsono
A. PENDAHULUAN Data empiris terkait dengan pembentukan pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau pasar bebas Asia Tenggara diawali dari KTT ASEAN di Bali Oktober 2003. Para Pemimpin ASEAN mendeklarasikan bahwa Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA) merupakan tujuan integrasi ekonomi regional (Bali Concord II) pada tahun 2020. Selain KEA, Komunitas Keamanan ASEAN dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN merupakan dua pilar integral lain dari komunitas ASEAN yang akan dibentuk. Ketiga pilar tersebut diharapkan dapat bekerja secara erat dalam pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2020. Selanjutnya pada pertemuan ke-38 Menteri Ekonomi ASEAN di Kuala Lumpur Malaysia pada Agustus 2006 telah bersepakat untuk menyusun “Suatu Cetak Biru” yang terpadu untuk mempercepat pembentukan KEA. Kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi berbagai karakteristik dan elemen KEA pada tahun 2015 sesuai Bali Concord II, dengan sasaran dan kerangka waktu yang jelas dalam mengimplementasikan berbagai langkah serta fleksibilitas yang telah disepakati sebelumnya guna mengakomodir kepentingan seluruh negara anggota ASEAN. Upaya percepatan implementasi pasar bebas ASEAN telah disepakati pada KTT ASEAN Ke-12, dimana para pemimpin ASEAN menegaskan komitmen yang kuat untuk mempercepat pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015 sejalan dengan Visi ASEAN 2020 dan BALI Concord II, dan menandatangani Cebu Declaration on Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by 2015. Secara khusus, para pemimpin sepakat untuk mempercepat pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan mentranformasikan kawasan ASEAN menjadi suatu kawasan dimana terdapat aliran bebas barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja trampil, serta aliran modal yang lebih bebas. Terdapat Empat Pilar utama yang dijadikan pedoman dalam mencapai AEC 2015 yaitu:
108
a.
b.
c.
d.
Pilar Pertama ASEAN merupakan pasar tunggal dengan basis produksi elemen aliran adalah barang bebas, investasi, tenaga kerja terampil, serta aliran modal. Pilar Kedua ASEAN dengan daya saing ekonomi tinggi, elemen yang digunakan adalah peraturan kompetisi, perlindungan pelanggan (konsumen), HAKI, pengembangan infrastruktur, serta perpajakan dan e – commerce. Pilar Ketiga ASEAN adalah pengembangan ekonomi merata, elemen yang digunakan yaitu pengembangan UKM, serta prakarsa dari integrasi ASEAN kepada Negara Kambodia, Laos, Vietnam dan Myanmar ). Pilar Keempat ASEAN kawasan integrasi penuh terhadap ekonomi global. Elemen yang digunakan yaitu dengan pendekatan yang koheren antara hubungan ekonomi kawasan luar ASEAN, serta peningkatan dalam produksi global.
Percepatan pemberlakuan pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN tersebut, ditengarai hanya akan membuat Indonesia hebat dalam menjadi konsumen. Kondisi tersebut bukan tidak mungkin, mengingat kapasitas SDM yang relatif rendah dan tidak memiliki daya saing di lingkungan Negara-negara anggota ASEAN. Sejalan dengan kondisi tersebut, Faisal Basri (2014) menyatakan bahwa pasar bebas tersebut tentu saja dapat menjadi hal positif bagi kita jika kita mampu bersaing. Namun, sebaliknya dapat merugikan kita jika kita tidak mampu bersaing. Pasar bebas tentu saja menguntungkan bagi para produsen yang target pasarnya internasional. Lalu untuk produsen dalam negeri, apakah sudah siap menghadapi persaingan dengan produk yang ditawarkan asing. Sudahkah siap SDM kita bersaing dengan SDM asing yang mungkin lebih berkompeten daripada kita. Dalam menghadapi pasar bebas 2015 nanti, masyarakat dan pemerintah perlu berbenah untuk memperbaiki kualitas diri, agar mampu bersaing dengan asing dan mendapatkan manfaat sebanyak-banyaknya dari pasar bebas 2015 nanti.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
Terkait dengan penguatan kapasitas Kecamatan sebagai strategi antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di tingkat lokal, pada hakekatnya adalah upaya yang sangat penting dimana dalam manajemen pemerintahan menempatkan Kecamatan sebagai pembina dan akselerator bagi Pemerintah Desa dan Kelurahan dalam menghadapi MEA.
yanan kepada masyarakat. Pelimpahan wewenang ini sebenarnya merupakan upaya untuk optimalisasi peran dan fungsi Kecamatan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Hasil yang diharapkan adalah terealisasikannya Kecamatan sebagai pusat pelayanan masyarakat yang mudah, murah, cepat dan berkualitas.
B. PERAN DAN KEDUDUKAN KECAMATAN DALAM PEMERINTAHAN DAERAH
Dalam skema pelimpahan ini, kecamatan sebagai SKPD dan koordinator wilayah berfungsi mendukung pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kecamatan juga harus bekerjasama dengan unit-unit pemerintahan di lingkup kecamatan (seperti Puskesmas, Cabang Dinas, UPTD, Sekolah, para penyuluh). Kerjasama sinergi ini dimaksudkan agar kemampuan yang ada dapat diakumulasi dalam rangka mendukung Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mencapai SPM/Target Kinerja yang ditetapkan oleh Bupati.
Pemerintah kecamatan merupakan tingkat pemerintahan yang mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat, hal ini yang kemudian menjadikan Camat sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan serta sebagian urusan otonomi yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota untuk dilaksanakan dalam wilayah kecamatan. Perubahan kedudukan kecamatan sejak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah melalui pemberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan terakhir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah membawa dampak berubahnya kedudukan kecamatan. Kecamatan berubah dari Perangkat Kewilayahan yang menyelenggarakan fungsi-fungsi dekonsentrasi dan tugas pembantuan, menjadi Perangkat Daerah Otonom, yang membawa dampak pada kewenangan yang dijalankan oleh camat. Camat selain menerima kewenangan atributif yang melekat dalam jabatannya, juga memperoleh kewenangan delegatif dari pejabat atasannya (Bupati/Walikota). Pelimpahan adalah proses menyerahkan sebagian wewenang dari pejabat kepada pejabat untuk melaksanakan sebagian urusan. Mengapa pelimpahan kewenangan ini perlu dilakukan? Dengan adanya pelimpahan kewenangan, maka camat dapat memiliki “ruang gerak” yang lebih luas untuk melakukan berbagai upaya termasuk inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama pelaJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Dalam kerangka itulah maka kecamatan mendapatkan sejumlah pelimpahan kewenangan seperti bidang: kesehatan, pendidikan dasar, perizinan, pembinaan mukim dan gampong (desa), serta perpajakan. Adapun aspek yang dilimpahkan pada dasarnya berfungsi untuk mengefektifkan koordinasi. Oleh karena itu camat mendapatkan pelimpahan kewenangan untuk: (a) fasilitasi, perencanaan dan penganggaran, (b) koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan kegiatan dan monitoring pelaksanaan kegiatan, (c) pengawasan kegaiatan yang dilakukan UPTD tingkat kecamatan, (d) Fasilitasi Pengaduan Masyarakat, dan (e) Evaluasi Kinerja Bidang yang dilimpahkan. Untuk memastikan efektifitas pelimpahan maka kecamatan bersama SKPD Kabupaten/Kota mendapatkan Target Kinerja. Namun, tugas tersebut tidak dengan serta merta memposisikan Camat sebagai kepala wilayah seperti pada waktu lalu. Camat berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah. Tugas-tugas umum pemerintahan yang diselenggarakan oleh Camat, meliputi: (a) Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; (b) Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ke109
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal Marsono
tertiban umum; (c) Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan; (d) Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; (e) Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; (f) Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan, dan; (g) Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa/kelurahan. Selain melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan Camat juga melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh pemerintahan di atasnya untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, yang meliputi aspek perizinan, rekomendasi, koordinasi, pembinaan, pengawasan, fasilitasi, penetapan, penyelenggaraan, kewenangan lain yang dilimpahkan. Pelimpahan sebagian wewenang ini dilakukan berdasarkan kriteria ekternalitas dan efisiensi. Eksternalitas yang dimaksud adalah adalah kriteria pelimpahan urusan pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat internal kecamatan, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan camat. Sedangkan yang dimaksud dengan efisiensi adalah kriteria pelimpahan urusan pemerintahan dengan memperhatikan daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan di lingkup kecamatan. Apabila urusan pemerintahan lebih berdayaguna ditangani oleh kecamatan, maka urusan tersebut menjadi kewenangan camat. Sedangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa Pasal 98 ayat (2) dan Pasal 102, mengisyaratkan bahwa Camat wajib membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan. Pembinaan dan pengawasan tersebut, meliputi: (1) Memfasilitasi penyusunan peraturan desa dan peraturan kepala desa; (2) Memfasilitasi administrasi tata pemerintahan desa; (3) 110
Memfasilitasi pengelolaan keuangan desa dan pendayagunaan aset desa; (4) Memfasilitasi pelaksanaan urusan otonomi daerah Kabupaten/Kota yang diserahkan kepada desa; (5) Memfasilitasi penerapan dan penegakan peraturan perundangundangan; (6) Memfasilitasi pelaksanaan tugas kepala desa dan perangkat desa; (7) Memfasilitasi upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum; (8) Memfasilitasi pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewajiban lembaga kemasyarakatan; (9) Memfasilitasi penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif; (10) Memfasilitasi kerjasama antar desa dan kerjasama desa dengan pihak ketiga; (11) Memfasilitasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa; (12) Memfasilitasi kerja-sama antar lembaga kemasyarakatan dan kerjasama lembaga kemasyarakatan dengan pihak ketiga; (13) Memfasilitasi bantuan teknis dan pendampingan kepada lembaga kemasyarakatan; dan (14) Memfasilitasi koordinasi unit kerja pemerintahan dalam pengembangan lembaga kemasyarakatan. Sehingga dalam hal penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan pemerintahan desa, Camat mempunyai peranan yang sangat penting, karena dalam hirarki pemerintahan kecamatan merupakan salah satu lembaga supra desa, yang mana salah satu tugasnya adalah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan desa/kelurahan dalam rangka tertib administrasi pemerintahan. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, maka dapat dijelaskan bahwa tugas Camat dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan pemerintahan desa, meliputi: a.
Melakukan pembinaan dan pengawasan tertib administrasi pemerintahan desa dan/atau kelurahan; Dalam menjalankan perannya Camat juga melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap administrasi pemerintahan desa dan/atau kelurahan dalam rangka tertib administrasi pemerintahan, seperti dalam proses pembuatan peraturan desa, peraturan kepala desa, maupun keputusan kepala JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
b.
c.
d.
e.
f.
desa, sehingga produk hukum dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Memberikan bimbingan, supervisi, fasilitasi, dan konsultasi pelaksanaan administrasi desa dan/atau kelurahan; Selain melaksanakan pembinaan dan pengawasan tertib administrasi pemerintahan desa, Camat juga memberikan bimbingan, supervisi, fasilitasi dan konsultasi yang berkaitan dengan pelaksanaan administrasi desa dan/atau kelurahan. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepala desa dan/atau lurah; Camat juga melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kinerja kepala desa, meskipun secara de jure kepala desa bukan merupakan bawahan dari Camat karena kepala desa dipilih secara langsung oleh masyarakat, akan tetapi wilayah kerja kepala desa berada dalam wilayah kecamatan sehingga Camat dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepala desa walaupun hanya bersifat koordinatif. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat desa dan/atau kelurahan; Selain melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepala desa, Camat juga melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat desa dan/atau kelurahan. Melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan di tingkat kecamatan; Camat juga berkewajiban melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa dan/ atau kelurahan pada tingkat kecamatan, agar dapat mengetahui sampai sejauh mana tugas-tugas pemerintahan, pelayanan dan pembangunan terhadap masyarakat yang telah dilaksanakan. Melaporkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan di tingkat kecamatan kepada Bupati/Walikota.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
C. KONSEPSI KAPASITAS DAN PENGUATAN KAPASITAS Pengertian kapasitas menurut UNDP 1998, disebutkan bahwa “kapasitas adalah kemampuan individu dan organisasi atau unit-unit organisasi untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Kapasitas juga dapat diartikan dalam konteks sistem dimana suatu entitas bekerja untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan proses dan aturan-aturan baku tertentu.” Pengertian kapasitas berdasarkan Mc Nair C.J (1994) yang dikutip oleh Mutiara S. tahun 2013, mendefinisikan kapasitas sebagai sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan yang siap untuk digunakan yang dapat menggambarkan potensi keuntungan yang akan didapatkan oleh perusahaan pada masa mendatang. Mc Nair C.J dan Vangermeersch (1998) mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan dari suatu organisasi atau perusahaan untuk menciptakan nilai dimana kemampuan tersebut didapatkan dari berbagai jenis sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan. Menurut Chase (2001), definisi kapasitas dalam konteks manajemen operasi sebaiknya didefinisikan sebagai, “The amount of resource inputs available relative to output requirements over a particular period of time”. Berdasar definisi tersebut maka disimpulkan bahwa kapasitas adalah kemampuan pengelolaan sumberdaya yang ada untuk menghasilkan hasil akhir yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan dalam kerangka waktu tertentu. Definisi kapasitas menurut Hilton, Maher dan Selto (2003) adalah ukuran dari kemampuan proses produksi dalam mengubah sumber daya yang dimiliki menjadi suatu produk atau jasa yang akan digunakan oleh konsumen. Selanjutnya terkait dengan penguatan atau pengembangan kapasitas secara terminologi masih terjadi adanya perbedaaan pendapat, sebagian orang merujuk kepada pengertian dalam konteks kemampuan 111
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal Marsono
(pengetahuan, keterampilan) sebagian lagi mengartikan kapasitas dalam konteks yang lebih luas termasuk di dalamnya soal sikap dan perilaku. Dalam hal ini yang akan kita bahas adalah kapasitas yang terkait dengan manusia dan juga sistem yang ada di sekitarnya, kapasitas yang dapat pula diartikan sebagai kemampuan manusia, kemampuan institusi dan juga kemampuan sistemnya. Pengembangan kapasitas secara umum ditujukan agar individu, organisasi maupun juga sistem yang ada dapat dipergunakan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dari individu maupun organisasi tersebut. Sedangkan dalam konteks kekinian, pengembangan kapasitas ditujukan terutama untuk menciptakan tata kepemerintahan yang baik atau yang lebih dikenal dengan good governance. Suatu kondisi kepemerintahan yang yang dicita-citakan semua pihak dan mampu menjawab persoalan-persoalan dunia saat ini. Terkait dengan pengertian pengembangan kapasitas, A9CBF (2001) menyatakan bahwa peningkatan kapasitas dapat didefinisikan sebagai sebuah proses untuk meningkatkan kemampuan individu, kelompok, organisasi, komunitas atau masyarakat untuk menganalisa lingkungannya; mengidentifikasi masalah-masalah, kebutuhan-kebutuhan, isu-isu dan peluang-peluang; memformulasi strategi-strategi untuk mengatasi masalah-masalah, isu-isu dan kebutuhan-kebutuhan tersebut, dan memanfaatkan peluang yang relevan. merancang sebuah rencana aksi, serta mengumpulkan dan menggunakan secara efektif, dan atas dasar sumber daya yang berkesinambungan untuk mengimplementasikan, memonitor, dan mengevaluasi rencana aksi tersebut, serta memanfaatkan umpan balik sebagai pelajaran. Selanjutnya Riyadi Soeprapto lebih menekankan mengenai konsepsi pengembangan kapasitas pada: (1) Pengembangan sumber daya manusia; training, rekruitmen dan pemutusan pegawai profesional, manajerial dan teknis; (2) Keorganisasian, yaitu pengaturan struktur, proses, sumber daya dan gaya manajemen; (3) Jaringan kerja (network), beru112
pa koordinasi, aktifitas organisasi, fungsi network, serta interaksi formal dan informal; (4) Lingkungan organisasi, yaitu aturan (rule) dan undang-undang (legislation) yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menjadi hambatan bagi development tasks, serta dukungan keuangan dan anggaran; (5) Lingkungan kegiatan lebih luas lainnya, meliputi faktor-faktor politik, ekonomi dan situasi-kondisi yang mempengaruhi kinerja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengertian Pengembangan Kapasitas, yaitu: (1) Pengembangan kapasitas bukanlah produk, melainkan sebuah proses; (2) Pengembangan kapasitas adalah proses pembelajaran multi-tingkatan meliputi individu, grup, organisasi, dan sistem; (3) Pengembangan kapasitas menghubungkan ide terhadap sikap; dan (4) Pengembangan kapasitas dapat disebut sebagai actionable learning dimana pengembangan kapasitas meliputi sejumlah proses-proses pembelajaran yang saling berkaitan, akumulasi benturan yang menambah prospek untuk individu dan organisasi agar secara terus menerus beradaptasi atas perubahan. Sedangkan UNDP memfokuskan pada tiga dimensi, yaitu: (1) Tenaga kerja (dimensi human resources), yaitu kualitas SDM dan cara SDM dimanfaatkan; (2) Modal (dimensi fisik), menyangkut sarana material, peralatan, bahan-bahan yang diperlukan dan ruang/gedung; (3) Teknologi, yaitu organisasi dan gaya manajemen, fungsi perencanaan, penentuan kebijakan, pengendalian dan evaluasi, komunikasi, serta sistem informasi manajemen. Secara umum pengembangan kapasitas dilakukan secara berjenjang pada 3 (tiga) area sebagai berikut: (1) area individual; (2) area organisasi; dan (3) area sistem atau lingkungan strategik. Terkait hal tersebut, Riyadi Soeprapto (2010) menyatakan bahwa pengembangan kapasitas dilaksanakan dalam berbagai tingkatan dengan skema sebagai berikut:
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
Gambar 1. Skema Pengembangan Kapasitas
Berdasarkan skema tersebut, dapat terlihat bahwa pengembangan kapasitas harus dilaksanakan secara efektif dan berkesinambungan pada 3 (tiga) tingkatan-tingkatan, yaitu: (1) Tingkatan sistem, seperti kerangka kerja yang berhubungan dengan pengaturan, kebijakan-kebijakan dan kondisi dasar yang mendukung pencapaian obyektivitas kebijakan tertentu; (2) Tingkatan institusional atau keseluruhan satuan. Contohnya adalah struktur organisasi-organisasi, proses pengambilan keputusan di dalam organisasi-organisasi, prosedur dan mekanisme-mekanisme pekerjaan, pengaturan sarana dan prasarana, hubungan-hubungan dan jaringan-jaringan organisasi; (3) Tingkatan individual, contohnya ketrampilan-ketrampilan individu dan persyaratan-persyaratan, pengetahuan, tingkah laku, pengelompokan pekerjaan dan motivasi-motivasi dari pekerjaan orang-orang di dalam organisasi-organisasi. D. PENGUATAN KAPASITAS KECAMATAN KEDEPAN Berdasarkan konsepsi dan lingkup pengembangan kapasitas sebagaimana tersebut di atas, maka penguatan kapasitas Kecamatan tentu saja juga mencakup paling tidak 3 (tiga) aspek, yaitu pada aspek: (1) individu; (2) organisasi; dan (3) sistem atau lingkungan strategis, sesuai dengan Panduan Pengemba-
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ngan Kapasitas INAGARA (2015) sebagai berikut: 1. Dalam konteks individual, adalah peningkatan penerapan pengetahuan dan wawasan, pengalaman, keterampilan dan keahlian, serta pembentukan sikap dan perilaku kerja serta motivasi penyelenggara pemerintah dalam menunjang pelaksanaan kinerja organisasi dan penyelenggaraan pemerintahan negara. Pengembangan kapasitas individu dapat dilaksanakan dengan proses pembelajaran, berbagi pengetahuan dan pengalaman, penyelenggaraan pendidikan formal, pelatihan dan kursus, seminar, magang, mentoring, pembinaan, pendampingan serta coaching clinic yang mendukung tugas dan fungsi. 2. Dalam konteks organisasi, pengembangan kapasitas organisasi tentu lebih diarahkan pada: (1) peningkatan kapasitas struktur organisasi yang efisien dan proporsional dalam menunjang pelaksanaan kinerja; (2) Pelaksanaan proses pengambilan keputusan yang melibatkan partisipasi setiap elemen dalam organisasi; (3) Penerapan Standard Operating Procedures (SOP) dan mekanisme kerja sebagai panduan dalam melaksanakan tugas dan fungsi; (4) Peningkatan kapasitas dan pengaturan sarana dan prasarana yang me113
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal Marsono
madai serta sesuai dengan kebutuhan kerja; (5) Peningkatan hubungan dan jaringan kerja dalam organisasi; (6) Peningkatan budaya kerja organisasi yang berbasis kualitas dalam rangka membangun daya saing. Pengembangan Kapasitas Organisasi Kecamatan dilaksanakan dengan cara: (1) Penataan struktur organisasi yang dilakukan dengan mengevaluasi kelembagaan organisasi saat ini dan menyesuaikan dengan tugas dan fungsi yang dilakukan; (2) Pembenahan pola dan metode pelibatan dan partisipasi pegawai dalam pengambilan keputusan organisasi; (3) Penetapan Standard Operating Procedures (SOP) dan mekanisme kerja sehingga dapat dijadikan panduan dalam melaksanakan pekerjaan; (4) Penyediaan sarana dan prasarana yang dapat menunjang pelaksanaan pekerjaan; (5) Perbaikan mekanisme hubungan dan jaringan kerja yang mendukung tercapainya tujuan organisasi; dan (6) Internalisasi nilai-nilai ASN dalam pembangunan budaya kerja organisasi yang inovatif. 3. Dalam konteks sistem atau lingkungan strategis, peningkatan kapasitas dengan menyiapkan kerangka kerja lingkungan strategis yang berhubungan dengan aturan, kebijakan dan kepentingan stakeholders; Penyusunan aturan dan kebijakan berdasarkan prinsip-prinsip good governance dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Peningkatan peran serta stakeholders dalam setiap penentuan arah kebijakan. Pengembangan Kapasitas Lingkungan Strategis dilaksanakan dengan cara penyusunan kerangka kerja yang berhubungan dengan aturan, kebijakan dan partisipasi stakeholders; Perbaikan metode dan mekanisme penyusunan aturan dan kebijakan; Pembenahan mekanisme pelibatan partisipasi stakeholders dalam penyusunan setiap aturan dan kebijakan.
114
E. PERAN STRATEGIS KECAMATAN DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) DI TINGKAT LOKAL Strategi membangun Indonesia dari Desa/ Kelurahan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tidak akan pernah menafikkan peran strategis Kecamatan sebagai Pembina kewilayahan di tingkat pemerintahan terbawah (akar rumput). Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada pasal 209 dijelaskan bahwa Kecamatan adalah perangkat daerah Kabupaten/kota, dimana dinyatakan bahwa Perangkat Daerah kabupaten/kota terdiri atas: (a) Sekretariat Daerah; (b) Sekretariat DPRD; (c) Inspektorat; (d) Dinas; (e) Badan; dan (f) Kecamatan. Selanjutnya terkait dengan Kedudukan Kecamatan dijelaskan pada pasal 221 sebagai berikut: (1) Daerah kabupaten/kota membentuk Kecamatan dalam rangka meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat Desa/kelurahan; (2) Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan Perda Kabupaten/Kota berpedoman pada peraturan pemerintah; (3) Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pembentukan Kecamatan yang telah mendapatkan persetujuan bersama bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota, sebelum ditetapkan oleh bupati/walikota disampaikan kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mendapat persetujuan. Jadi Kecamatan dibentuk dalam rangka meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan artinya dengan adanya Kecamatan, Camat sebagai pimpinan tertinggi di Kecamatan harus dapat mengkoordinasikan semua urusan pemerintahan di Kecamatan, kemudian juga Camat harus memberikan pelayanan publik di Kecamatan dan juga pemberdayaan masyarakat Desa/Kelurahan. Selanjutnya Kecamatan dibentuk cukup dengan Peraturan Daerah, dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Namun Rancangan Perda tentang pembentukan Kecamatan tersebut sebelumnya harus mendapat persetuJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
juan bersama antara Bupati/Walikota disampaikan kepada Menteri melalui Gubernur untuk mendapat persetujuan. Berkaitan dengan implementasi MEA pada akhir Tahun 2015 ini, sesungguhnya peran aktif Kecamatan dalam menstransformasi Desa/Kelurahan dalam menghadapi pasar bebas ASEAN di tingkat lokal sungguh sangat vital. Peran ini tentu menjadi sangat penting manakala Desa/Kelurahan harus dapat bersaing dengan beberapa Negara di kawasan ASEAN baik menyangkut produk-produk pertaniannya maupun terkait dengan tenaga kerjanya. Oleh karena itu, agar tenaga kerja dan ekonomi lokal memiliki daya saing yang baik dalam menghadapi pasar bebas ASEAN, maka Kecamatan harus memiliki kapasitas untuk dapat melakukan perannya tersebut. Sebagai akselerator implementasi MEA di tingkat lokal, maka aparatur Kecamatan juga perlu diberikan pemahaman secara komprehensif terhadap agenda dan program-program pelaksanaan pasar bebas ASEAN ini, sehingga peran strategis Kecamatan dapat dipahami secara jelas oleh seluruh unsur aparatur Kecamatan. Beberapa agenda utama MEA, yaitu: (1) Single Market and Production Base (Pasar Tunggal Berbasis Produksi; (2) Competitive Economic Region (Kawasan Ekonomi yang Kompetitif); (3) Equitable Economic Development (Pembangunan Ekonomi yang Setara); dan (4) Integration into the Global Economy (Integrasi Ke Dalam Ekonomi Global). Dari 176 kegiatan, pembagiannya terdiri dari 4 kebijakan, 17 strategi, dan 65 program. Berdasarkan jumlah 176 kegiatan, dan 4 agenda utama sebagaimana tersebut di atas, maka pembagiannya adalah untuk Single Market and Production Base (Pasar Tunggal Berbasis Produksi), terdiri dari 5 plus 2 bagian, yakni Free flow of goods (aliran bebas barang), Free flow of services (aliran bebas sektor jasa), Free flow of investment (aliran bebas investasi), Free flow of capital (aliran modal yang lebih bebas), Free flow of skilled labor (aliran bebas lalu lintas tenaga kerja terampil), Priority Integration Sectors (sektor integrasi prioritas), Food, agriculture
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
and forestry (Pangan, Pertanian, dan kehutanan). Dengan memahami secara komprehensif MEA, peran kecamatan menjadi jelas pada kegiatan apa, program apa, strategi apa dan kebijakan apa dapat dipetakan dengan jelas. Sebagai ilustrasi bagaimana kecamatan memiliki peran strategis dalam implementasi MEA konkritnya adalah, misalnya, dalam Free flow of services (aliran bebas sektor jasa), maka tidak ada hambatan bagi pemasok jasa dalam menyediakan jasa apapun lintas negara; dan aturan tidak membatasi pendirian perusahaan lintas batas. Bila kondisi ini diterapkan, siapa saja bisa membuka jasa apa saja, dalam level kecamatan dikhawatirkan akan menimbulkan benturan karena faktor adat, budaya, agama, kebiasaan, dan tradisi setempat. Untuk itu kecamatan perlu mengantisipasi dengan berbagai kebijakan yang diperlukan, sosialisasi, strategi yang diperlukan, keterlibatan para tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuda, wanita, adat, dan lainlain. Demikian juga untuk free flow of skilled labor. Bebas visa dan ijin bekerja bagi para profesional dan tenaga kerja terlatih ASEAN menjadi salah satu kesepakatan. Untuk itu kecamatan memiliki peran strategis agar tidak terjadi gesekan dengan tenaga kerja lokal. Untuk itu peningkatan keterampilan tenaga kerja di Desa/Kelurahan di lingkungan wilayah kerja masing-masing Kecamatan menjadi keniscayaan. Dari dua contoh ilustrasi di atas, dapat menggambarkan peran konkrit Kecamatan dalam rangka implementasi MEA di tingkat lokal. Untuk selanjutnya, masing-masing Kecamatan perlu menyusun peta kegiatan, program, strategi dan kebijakan secara jelas untuk seluruh kegiatan MEA, sehingga Kecamatan memiliki peran konkrit dalam mengantisipasi implementasi MEA di tingkat lokal. Agar pengembangan kapasitas Kecamatan dapat link and match dengan kebutuhan Desa dalam menghadapi MEA, maka Desa juga harus didorong untuk lebih proaktif terkait dengan kesiapan Desa/Kelurahan dalam menghadapi MEA, misalnya: 115
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal Marsono
1.
2.
3.
4.
5.
6.
F.
Desa didorong untuk melakukan mapping (pemetaan) potensi unik dan lokal untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai potensi unggulan atau produk unggulan lokal; Desa didorong untuk melakukan penguatan pelaku usaha dan industri di desa yang rata-rata merupakan usaha rumah tangga dan industri kecil menengah (UKM/IKM) dalam hal akses permodalan, pemasaran, teknologi dan sumber daya manusia; Desa didorong untuk segera membentuk BUMDes. Karena melalui BUMDes ini dana desa dapat dikelola secara produktif untuk menggerakkan ekonomi desa demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa; Bantuan program pelatihan kewirausahaan, manajemen, pemasaran, teknik produksi modern, teknis pengemasan modern, bantuan peralatan, modal usaha, dan lainnya bagi masyarakat desa; Desa didorong untuk meningkatkan wawasan sumber daya manusia (SDM) pelaku UKM terhadap MEA, peningkatan efisiensi produksi dan manajemen usaha, peningkatan daya serap pasar produk UKM lokal dan penciptaan iklim usaha yang kondusif; Desa didorong untuk mendampingi para pelaku UMKM Desa untuk menerapkan standarisasi atau sertifikasi produk-produk unggulannya, sehingga akan memiliki daya saing. PENUTUP
Upaya membangun Indonesia dari Desa sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tidak akan pernah menafikkan peran strategis Kecamatan sebagai Pembina kewilayahan di tingkat pemerintahan terbawah (akar rumput). Selanjutnya berkaitan dengan pelaksanaan MEA pada akhir Tahun 2015, sesungguhnya peran aktif Kecamatan dalam mentransformasi Desa/Kelurahan dalam menghadapi pasar bebas ASEAN di tingkat lokal sungguh sangat vital. Peran ini tentu menjadi sangat penting manakala Desa/Kelurahan ha116
rus dapat bersaing dengan beberapa Negara di kawasan ASEAN baik menyangkut produkproduk pertaniannya maupun terkait dengan tenaga kerjanya. Oleh karena itu, agar tenaga kerja dan ekonomi lokal memiliki daya saing yang baik dalam menghadapi pasar bebas ASEAN, maka Kecamatan harus memiliki kapasitas untuk dapat melakukan perannya tersebut. Adapun peran strategis yang harus dimainkan Kecamatan terkait dengan kesiapan Desa/Kelurahan dalam menghadapi MEA, sebagaimana telah di uraikan di atas adalah: (1) memetakan kegiatan sebagai respon terhadap implementasi seluruh agenda utama MEA; (2) menyusun program kerja; (3) merancang strategi dan kebijakan secara jelas untuk seluruh kegiatan MEA, sehingga Kecamatan memiliki peran konkrit dalam mengakselerasi Desa/Kelurahan dalam menghadapi MEA di tingkat lokal. Disamping itu, agar Desa/Kelurahan melakukan upaya-upaya proaktif secara mandiri dalam mengantisipasi pasar bebas ASEAN ini, maka yang perlu dilakukan Kecamatan antara lain: (1) Desa didorong untuk melakukan mapping (pemetaan) potensi unik dan lokal untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai potensi unggulan atau produk unggulan lokal; (2) Desa didorong untuk melakukan penguatan pelaku usaha dan industri di desa yang rata-rata merupakan usaha rumah tangga dan industri kecil menengah (UKM/IKM) dalam hal akses permodalan, pemasaran, teknologi dan sumber daya manusia; (3) Desa didorong untuk segera membentuk BUMDes. Karena melalui BUMDes ini dana desa dapat dikelola secara produktif untuk menggerakkan ekonomi desa demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa; (4) Bantuan program pelatihan kewirausahaan, manajemen, pemasaran, teknik produksi modern, teknis pengemasan modern, bantuan peralatan, modal usaha, dan lainnya bagi masyarakat desa; (5) Desa didorong untuk meningkatkan wawasan sumber daya manusia (SDM) pelaku UKM terhadap MEA, peningkatan efisiensi produksi dan manajemen usaha, peningkatan daya serap pasar produk UKM lokal dan penciptaan iklim usaha yang kondusif; (6) Desa didoJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
rong untuk mendampingi para pelaku UMKM Desa untuk menerapkan standarisasi atau sertifikasi produk-produk unggulannya, sehingga akan memiliki daya saing. Agar peran strategis Kecamatan dalam mengakselerasi Desa untuk dapat bersaing dalam pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di local state, maka diperlukan penguatan atau pengembangan kapasitas Kecamatan dalam 3 (tiga) cakupan, yaitu: (1) penguatan individu; (2) penguatan organisasi; dan (3) penguatan sistem atau lingkungan strategis. G. DAFTAR PUSTAKA African Capacity Building Foundation (ACBF), 2001, Capacity Needs Assessment: A Conceptual Framework, ACBF Newsletter, Vol.2, p. 9-12. Anwar Syarif, (2013) Pengembangan Kapasitas Sumber Daya Manusia, Artikel Umum, Mei 2013. Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community Blueprint), Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri RI 2009. Didik Herdiana, Konsep Umum Pengembangan Kapasitas, Sabtu, 11 Agustus 2012. Lembaga Administrasi Negara, Panduan Pengembangan Kapasitas Inovasi Administrasi Negara (Inagara) Jakarta, 2015.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Marwan Jafar, Hadapi Pasar Bebas ASEAN, Daya Saing Desa Perlu Ditingkatkan, Kompas, 28 Januari 2015. Marwan Jafar, Sambut MEA, Menteri (Mendes PDTT) Benahi UMKM Desa Dengan Program Peningkatan Daya Saing, Jurnal Pewarta, 28 Januari 2015. Mutiara S. Pengembangan Kapasitas Organisasi (Capasity Building), Universitas Airlangga, Surabaya, 2013. http:/mutiara-fisip11.web.unair.ac.id Riyadi Soeprapto,The Capacity Building For Lokal Government Toward Good Governance, Word Bank http://www.tempo.co/read/news/2014/06 /25/090587919/Faisal-Basri-MEABukan-Ancaman-Ekonomi-ASEAN. http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kp i/Umum/Setditjen/Buku%20Menuju %20ASEAN%20ECONOMIC%20COM MUNITY%202015.pdf http://www.kompasiana.com/sutardjo/tant angan-desa-menuju-masyarakatekonomi-asean-mea2015_54f42ff77455139e2b6c87fc http://www.kamusbesar.com/17613/kapasi tas,Konsep Umum Pengembangan Kapasitas.
117
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal Marsono
118
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Development of BUMDes in Maintaining Village Autonomy in Facing ASEAN Economic Community Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas Peneliti Pertama pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik Lembaga Administrasi Negara Abstrak Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mempunyai tujuan untuk membentuk ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi, hal ini untuk menjadikan ASEAN sebagai kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi dan maju. Bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi MEA sampai level desa. BUMDes sebagai penggerak ekonomi desa harus mengembangkan kapasitas sehingga dapat menjaga kemandirian desa dalam menghadapi MEA. Tujuan dari tulisan ini adalah: 1) melihat kondisi realitas BUMDes saat ini; 2) mengetahui peluang dan tantangan BUMDes di era MEA; dan 3) mengetahui upaya-upaya pengembangan BUMDes. Langkah-langkah pengembangan BUMDes dalam upaya peningkatan kapasitas antara lain: 1) penataan kelembagaan desa; 2) pengelolaan BUMDes dilakukan dengan profesional, kooperatif, independen dan efektif; 3) peningkatan peran, koordinasi dan kerjasama; dan 4) Memahami kebutuhan masyarakat desa terhadap BUMDes. Kata Kunci: Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), BUMDes, Desa Abstract The ASEAN Economic Community (AEC) has objectives to turn ASEAN into a single market and production base, and to make ASEAN as a highly competitive and advanced economic region. Indonesia has to be well prepared to face the challenges that AEC brought, from the central government to the village level. BUMDes as a driver of the rural economy must develop its capacity so as to keep the village survive in the free-market competition of the AEC. This paper aims at: 1) describing the situation faced by BUMDes; 2) exploring the opportunities and challenges for BUMDes in the AEC; 3) developing strategy for BUMDes in coping with the AEC. Steps that need to be done to enhance BUMDes capacity for the AEC being 1) changing institutional arrangement of village administration; 2) creating professional, cooperative, and independent BUMDes management; 3) Increasing BUMDes’ role and partnership; and 4) contextualising BUMDes business with the need of village residents. Keywords: ASEAN Economic Community (AEC), BUMDes, Village
A. LATAR BELAKANG Implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara umum mempunyai tujuan untuk membentuk kawasan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi yang menggerakkan pelaku usaha sehingga menjadikan regional ini sebagai kawasan ekonomi perdagangan yang berdaya saing tinggi, unggul dan maju. Selain itu pembentukan MEA juga didasari persiapan menghadapi persaingan ekonomi dan perdagangan gloJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
bal melawan invasi dagang negara-negara lain, terutama India dan China. ASEAN mempunyai tekad untuk segera meningkatkan pertumbuhan perekonomian dan daya saing antar negara ASEAN dalam menghadapi berbagai usaha dan persaingan global. Negara di kawasan ASEAN diharapkan bukan hanya sebagai penonton dalam kancah persaingan global melainkan juga sebagai pemain dan berpartisipasi aktif dalam arus perdagangan dunia.
119
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
Menurut Edi Kuntadi, ada 4 (empat) hal penting dalam MEA. Pertama, implementasi MEA berpotensi menjadikan Indonesia sekedar pemasok energi dan bahan baku bagi industrialisasi di kawasan ASEAN, sehingga manfaat yang diperoleh dari kekayaan sumber daya alam minimal. Kedua, melebarnya defisit perdagangan jasa seiring peningkatan perdagangan barang. Ketiga, implementasi MEA juga akan membebaskan aliran tenaga kerja sehingga harus mengantisipasi dengan menyiapkan strategi karena potensi membanjirnya Tenaga Kerja Asing (TKA) akan berdampak pada naiknya remitansi TKA yang saat ini pertumbuhannya lebih tinggi daripada remitansi TKI. Akibatnya, ada beban tambahan yaitu dalam menjaga neraca transaksi berjalan dan mengatasi masalah pengangguran. Keempat, implementasi MEA akan mendorong masuknya investasi ke Indonesia dari dalam dan luar ASEAN. Melihat kondisi di atas, MEA dapat memberikan dampak yang signifikan jika bangsa Indonesia belum siap dibandingkan dengan negara lain, misalnya hilangnya pasar produk ekspor bangsa Indonesia jika tidak siap bersaing dengan harga dan kualitas negara lain di ASEAN. Kemudian bergabungnya tenaga kerja asing dari luar negeri akan menggeser peran tenaga kerja Indonesia. Dan, dampak utamanya adalah banyaknya produk impor negara ASEAN lain yang akan membanjiri pasar dalam negeri, yang akan berakibat pada matinya usaha-usaha di dalam negeri baik pada skala lokal, regional maupun nasional. Persiapan bangsa Indonesia jangan sampai tertinggal dari negara lain di kawasan ASEAN dalam menghadapi MEA. Dari tingkat pusat sampai daerah harus bergerak bersama untuk mempersiapkan diri dalam menyongsong era MEA 2015. Setiap daerah di Indonesia harus menyiapkan diri sedini mungkin dalam menghadapi MEA. Kesiapan ini bisa dilihat melalui upaya peningkatan daya saing produk lokal daerah di berbagai sektor, tidak terkecuali sampai dengan lingkup desa. Desa saat ini merupakan garda terdepan pembentuk perekonomian suatu daerah dan 120
bukan hanya sebagai suatu bentuk lembaga pemerintahan saja. Sebagai lembaga pemerintahan selama ini, desa hanya merupakan bagian terdepan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat desa. Tetapi paradigma tersebut harus diubah dimana desa harus dipergunakan sebagai penggerak roda perekonomian di daerah. Di level desa ini perlu digerakkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang bisa dipakai sebagai motor penggerak strategis dalam perekonomian di daerah. BUMDes adalah usaha desa yang dibentuk/didirikan oleh pemerintah desa yang kepemilikan modal dan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat. BUMDes menjadi wadah pemerintah desa dan warganya yang secara proporsional melaksanakan program pemberdayaan perekonomian di tingkat desa. Tujuan pendirian BUMDes secara umum adalah: (1) meningkatkan sumber Pendapatan Asli Desa (PADes); (2) memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat; (3) meningkatkan kesempatan berusaha dan mengurangi pengangguran di desa; (4) meningkatkan pendapatan masyarakat desa; dan (5) mengurangi kemiskinan. BUMDes ini juga diharapkan mampu menstimulasi dan menggerakkan roda perekonomian di pedesaan. Aset ekonomi yang ada di desa harus dikelola sepenuhnya oleh masyarakat desa. Substansi dan filosofi BUMDes harus dijiwai dengan semangat kebersamaan dan self help sebagai upaya memperkuat aspek ekonomi dan kelembagaannya. Pada tahap ini, BUMDes akan bergerak seirama dengan upaya meningkatkan sumber-sumber pendapatan asli desa, menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat di mana peran BUMDes sebagai institusi payung dalam menaungi. Upaya ini juga penting dalam kerangka mengurangi peran free-rider yang seringkali meningkatkan biaya transaksi dalam kegiatan ekonomi masyarakat melalui praktek rente (Nurcholis, 2011) Menghadapi MEA 2015 masih banyak ditemukan kendala dan hambatan dalam pengelolaan BUMDes. Menurut Sutoro Eko dkk, JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
berdasarkan pengamatan lapangan maupun berbagi informasi di berbagai forum selama ini, upaya-upaya pengembangan BUMDes masih menghadapi berbagai macam kekurangan. Pertama, belum optimalnya penataan kelembagaan desa sehingga BUMDes belum dapat diinstitusionalisasikan dalam format kepemerintahan dan perekonomian desa. Kedua, adanya keterbatasan kapasitas sumber daya manusia di desa untuk mengelola dan mengembangkan BUMDes yang akuntabel dan berkinerja baik. Ketiga, rendahnya inisiatif lokal untuk menggerakkan potensi ekonomi lokal bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi warga desa. Keempat, belum berkembangnya proses konsolidasi dan kerjasama berbagai pihak untuk mewujudkan BUMDes sebagai patron ekonomi yang berperan memajukan ekonomi kerakyatan. Kelima, kurangnya responsivitas pemerintah daerah untuk menjadikan BUMDes sebagai program unggulan untuk memberdayakan desa dan menyejahterakan masyarakat. Kondisi BUMDes saat ini bisa dikatakan belum optimal dalam menjaga kemandirian perekonomian desa sehingga akan sulit untuk mendukung bangsa Indonesia dalam menyongsong era MEA 2015. Perlu dilakukan berbagai usaha pengembangan ke arah peningkatan kapasitas BUMDes sehingga bisa menjadi stimulus dan penggerak motor perekonomian desa. Tulisan ini dimaksudkan untuk memahami kondisi BUMDes saat ini yang mengarah pada kemandirian desa, sehingga diketahui peluang dan tantangan yang dihadapi menjelang diberlakukannya MEA 2015. Dan akhirnya dapat ditemukan arah pengembangan kapasitas BUMDes sebagai penggerak perekonomian desa demi kesejahteraan masyarakat desa. B. PRAKTEK PENGELOLAAN BUMDES DI BERBAGAI DAERAH BUMDes merupakan salah satu wadah ekonomi rakyat yang dibentuk secara formal oleh pemerintahan terbawah yaitu pemerintahan desa. Sebagai badan usaha, modal terbesar dari BUMDes berasal dari pemerintah JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa. BUMDes juga berperan sebagai bentuk penguatan terhadap lembaga-lembaga ekonomi desa yang dapat mendayagunakan ekonomi lokal yang mengandalkan berbagai ragam jenis potensi desa. Sebagai aturan pendirian BUMDes, diterbitkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 4 tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa. Peraturan ini diharapkan menjadi pedoman bagi daerah dan desa dalam pembentukan dan pengelolaan BUMDes. Pendirian BUMDes sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa, selain itu diatur pula dalam Peraturan Pemerintah nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Akan tetapi setelah adanya UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang mengatur bahwa pengurusan desa diserahkan kepada pada kementerian khusus dalam hal ini adalah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, maka disusun kembali pedoman pengelolaan BUMDes oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi saat ini telah tercatat 1.022 BUMdes yang tersebar di 74 Kabupaten, 264 Kecamatan dan 1022 Desa. Kepemilikan BUMDes terbanyak berada di Jawa Timur dengan 287 BUMDes, kemudian Sumatera Utara dengan 173 BUMDes. Selain itu terkait payung hukum pendirian BUMDes telah diterbitkan sebanyak 45 Peraturan Daerah dan 416 Peraturan Desa yang mengatur tentang pembentukan dan pengelolaan BUMDes. Hal ini sangat memungkinkan untuk mengembangkan kemandirian desa jika Indonesia bisa kuat dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN nantinya. Akan tetapi persentase jumlah BUMDes dari total 74.093 desa di Indonesia masih sangat terbatas yakni sebesar 1,4 persen. Oleh karena itu Kepala Desa perlu didorong untuk serius membentuk dan mengembangkan BUMDes. 121
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
Pengelolaan BUMDes memerlukan sumber komoditi yang jelas dan jenis usaha menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang dapat dikembangkan antara lain: usaha bisnis sosial melalui usaha air minum desa, usaha listrik desa dan lumbung pangan, usaha bisnis penyewaan melalui usaha alat transportasi, perkakas pesta, gedung pertemuan, rumah toko dan tanah milik BUMDes, usaha perantara melalui jasa pembayaran listrik dan pasar desa untuk memasarkan produk yang dihasilkan masyarakat, usaha bisnis yang berproduksi dan/atau berdagang melalui usaha pabrik es, pabrik asap cair, hasil pertanian, sarana produksi pertanian dan sumur bekas tambang, usaha bisnis keuangan melalui akses kredit dan peminjaman, dan usaha bersama sebagai induk dari unit-unit usaha yang dikembangkan melalui pengembangan kapal desa dan desa wisata. Contoh riil pengelolaan BUMDes yang bisa dirasakan manfaatnya bagi peningkatan kas desa dan kesejahteraan warganya dalam catatan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi adalah Desa Pagedangan yang mengelola sentra kuliner dan tempat pembuangan sampah terpadu (TPST) yang bisa menampung sampah dari 1.000 rumah tangga dan BUMDes Karya Mandiri Desa Cibodas Kabupaten Bandung yang mengelola usaha di bidang air, sewa gedung olahraga/gedung serbaguna dan pengelolaan kios desa. Hasil dari semua usaha BUMDes tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup manusia masyarakat desa serta penanggulangan kemiskinan sesuai dengan tujuan pembangunan desa. Selain itu dapat juga dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa, dan pemberian bantuan untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Pendirian BUMDes sangat penting. Dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa pasal 90 tertulis bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong 122
perkembangan BUMDes dengan memberikan hibah dan/atau akses permodalan, melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar dan memprioritaskan BUMDes dalam pengelolaan sumber daya alam di desa. Pernyataan dalam pasal tersebut sudah jelas bahwa pemerintah ingin mendorong desa agar dapat meningkatkan daya saing dengan menggunakan BUMDes sebagai badan usahanya. Beberapa daerah sudah banyak yang telah mengembangkan BUMDes di wilayahnya. Pendirian BUMDes ini bagi sebagian besar desa merupakan upaya melanjutkan program pemberdayaan masyarakat dengan membentuk unit simpan pinjam. Padahal, sesuai dengan peraturan terbaru maka dimungkinkan bagi BUMDes untuk membuka unit kerja yang menggarap sektor riil untuk menggali potensi alam maupun sumber daya manusia. BUMDes juga bisa menjadi garda depan dalam menjaga dan mengelola aset-aset desa sehingga lebih berdaya guna dan memberikan manfaat kepada masyarakat. Pengelolaan BUMDes di beberapa daerah telah dilakukan dengan tidak meyimpang dari peraturan perundangan yang telah ditetapkan. Pengelolaan BUMDes tidak terlepas dari kapasitas desa dalam mengatur dan memberdayakan sumber daya dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong. Kapasitas desa bukan sekadar kesanggupan dan kelancaran pemerintah desa menjalankan tugas pokok dan fungsinya atau mengikuti prosedur administrasi yang sudah baku, tetapi berupa inisiatif untuk melakukan inovasi atau pembaharuan terhadap pengelolaan pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan agar desa berkembang lebih dinamis dan maju. Menurut Sutoro Eko (2004), dahulu ada sebuah doktrin yang menegaskan bahwa keberhasilan otonomi daerah tergantung pada 3-M (man, money, management), yaitu kemampuan manusia pengelola daerah, uang atau dalam bentuk PAD yang melimpah, dan profesionalitas pengelolaan daerah (sistem, manusia, uang, sumberdaya, dll). Pemerintah terus-menerus melakukan pembinaan kepada daerah dan desa, tetapi tetap saja mengedepankan argumen “tidak siap” kepada daerah JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
ketika daerah menuntut otonomi yang lebih besar. Saat ini doktrin 3-M bisa dikatakan sudah usang. Pemerintah, pemimpin, dan masyarakat Indonesia, harus “siap” untuk belajar satu sama lain, termasuk yang terkait dengan pengembangan pengelolaan BUMDes dalam menyiapkan kemandirian untuk menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN. Oleh karena itu, upaya-upaya konkret untuk menempa kapasitas desa harus segera dilakukan. Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu pada tahun 2013 memberikan modal bagi 10 BUMDes untuk penguatan ekonomi masyarakat Desa. Kesepuluh BUMDes tersebut adalah BUMDes Gudang Batu Sejahtera desa Gudang Batu Kecamatan Pasir Penyu, BUMDes Karya Mandiri Desa Pematang Kecamatan Batang Peranap, BUMDes Makmur Jaya desa Rimpian Kecamatan Lubuk Batu Jaya, BUMDes Semelinang Bersemi Desa Semelinang Tebing Kecamatan Peranap, BUMDes Sepakat Sejahtera Desa Simpang Koto Medan Kecamatan Kelayang, BUMdes Berkah Bersama Desa Seresam Kecamatan Seberida, BUMDes Maju Jaya Sendawu Desa Sungai Dawu Kecamatan Rengat Barat. Kemudian BUMDes Karya Bersama Desa Titian Resak Kec Seberida, BUMDes Usaha Mulya Desa Talang Mulya Kecamatan Batang Cenaku, dan BUMDes Cahaya Cenaku Desa Kuala Mulia Kec Kuala Cenaku. Pemkab Indragiri Hulu juga telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 05 Tahun 2011 tentangPembentukan Badan Usaha Milik Desa untuk memperkuat keberadaan BUMDes di Indragiri Hulu. Pemberian dana hibah sebesar Rp 500 juta per desa atau kelurahan sebagai modal awal untuk meningkatkan Usaha Ekonomi Produktif (UEP), seperti perkebunan, pertanian, peternakan, perikanan, jasa, industri dan perdagangan. Pemerintah Kabupaten Bandung pada tahun 2010 juga telah menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Pedoman Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Di dalam peraturan tersebut telah diterangkan pula tentang tujuan pendirian BUMDes yang ujungnya dapat meningkatkan daya saing dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga telah dijelaskan pada JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa dan juga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa. Dalam memetakan potensi desa sebagai modal utama BUMDes, pemerintah desa di Nusa Tenggara Barat telah memulai program peningkatan pendapatan untuk dipergunakan bagi kesejahteraan masyarakat desa. Saat ini ada beberapa BUMDes yang mulai berkonsentrasi ke arah itu, seperti BUMDes Lenka, BUMDes LKM, BUMDes Sakra Barat, BUMDes Bual. Dalam Diskusi Forum KTI Wilayah NTB pada tanggal 25 Februari 2015 bertajuk ”Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Desa melalui BUMDes sebagai persiapan penerapan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa” terungkap bahwa di wilayah NTB masih banyak pemahaman mengenai badan usaha di tingkat Desa hanya dalam bentuk simpan pinjam. Forum ini mendorong pemerintah desa untuk membuat usaha dan program sesuai dengan potensi yang dimiliki desa. Dengan begitu potensi daerah dapat terangkat melalui BUMDes. Selain itu, daya saing desa juga akan terasah dan desa akan jauh lebih mandiri. BUMDes juga dapat menerapkan bentuk kredit bersubsidi dengan sasaran tertentu sebagai salah satu usahanya. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan BUMDes di Landungsari, Kabupaten Malang. BUMDes yang mendapat dana hibah dari alokasi dana desa sebesar kurang lebih sembilan juta rupiah ini menjalankan usahanya sebanyak 7 (tujuh) bidang usaha, antara lain: 1) bidang pertanian, 2) bidang peternakan, 3) bidang simpan pinjam, 4) bidang pengelolaan sampah, 5) bidang jasa bazis, 6) bidang home industri, dan 7) bidang pasar. Akan tetapi pada saat awal berdiri yang berjalan hanyalah bidang simpan pinjam. Hal ini disebabkan modal usaha yang terbilang minim. Rendahnya produktivitas pelayanan di BUMDes lebih disebabkan oleh lemahnya sumberdaya manusia di bidang manajemen dan lain lain. Dengan lebih me123
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
mandang dari segi kerjasama dalam mengembangkannya sumber dana untuk peningkatan pendapatan desa melalui BUMDes dapat direalisasikan. Menurut Ramadana, dkk. (2013), BUMDes menjadi salah satu unsur yang berkontribusi dalam pembangunan desa mandiri yang dapat berjalan dengan percaya diri bahwa desa memang mampu mengatur rumah tangganya sendiri dan menciptakan kemandirian yang tidak hanya bergantung kepada alokasi anggaran dana desa yang telah diberikan oleh pemerintah kabupaten Malang. Sebagian masyarakat merasa terbantu dengan adanya BUMDes, seperti melalui layanan penyewaan kios pasar dan peminjaman modal. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Malang seharusnya dapat memperkuat dan meningkatkan daya saing BUMDes. Namun demikian, BUMDes jangan sampai mengambil alih peran dan fungsi jenis usaha yang selama ini sudah menjadi sumber penghidupan warga. Tetapi harus mengambil peran dan fungsi untuk memilih jenis unit usaha yang berbasis pada aset yang dimiliki desa atau kebutuhan dasar warga yang lebih tepat jika dilayani oleh desa. Berdasarkan penelitian IRE (2015), BUMDes Desa Labbo di Kabupaten Bantaeng dan Desa Karangrejek, Kabupaten Gunungkidul DIY mengambil peran dalam melayani kebutuhan dasar air bersih masyarakat melalui unit usaha air bersih. Air bersih ini dapat dijangkau oleh masyarakat dari segi biaya, sehingga warga merasakan manfaatnya untuk memenuhi kebutuhan keseharian. Sedangkan BUMDes Desa Bleberan di Gunungkidul melakukan pengembangan wisata minat khusus dengan mengoptimalkan pengelolaan beberapa situs yang menjadi primadona setempat, seperti air terjun “Sri Gethuk”, situs purbakala Mataram, dan pemancingan ikan. Desa wisata ini telah meraup omzet sekitar Rp 1,2 milyar pada tahun 2012. Pendapatan bersih yang diperoleh dari pengelolahan potensi wisata tersebut, sekitar Rp 361 juta, dimana 20 persen (Rp 72,2 juta) dikontribusikan sebagai PADes Desa Bleberan.
124
Pendirian BUMDes diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pemerintah desa sehingga penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat dapat berjalan dengan baik serta mengarah pada peningkatan pendapatan asli desa. BUMDes juga dapat mendorong berkembangnya usaha mikro sektor informal yang nantinya dapat menyerap tenaga kerja asli di desa. Selain itu dapat pula mengembangkan potensi sumber daya alam sehingga menjadi nilai tambah bagi masyarakat desa. Hal tersebut telah dijelaskan pada berbagai contoh di atas. MEA, yang awalnya digagas untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi perdagangan dan daya saing antar sesama negara anggota ASEAN, menuntut upaya perbaikan untuk menghadapi persaingan global dengan negara lain. Penguatan daya saing tersebut harus dimulai dengan memperkuat lapisan terendah dari sebuah negara. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus gencar melakukan upaya untuk meningkatkan kemampuan desa sebagai lapisan terbawah melalui BUMDes. Peluang dan tantangan ini harus diambil oleh pemerintah desa jika tidak ingin menjadi penonton dan tamu di negeri sendiri. Peningkatan investasi asing yang menjadi salah satu tujuan dari gagasan MEA mungkin dapat mencapai level desa dan dimasukkan ke dalam klausul yang ada dalam peraturan daerah. Investasi itu sendiri dimaksudkan untuk meningkat kesejahteraan masyarakat desa melalui kerjasama dengan pihak ketiga berdasarkan prinsip saling menguntungkan bagi semua pihak dan mendapat persetujuan dari Pemerintah Desa. C. PELUANG DAN TANTANGAN BUMDES DI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN BUMDes dibangun atas prakarsa dan inisiatif masyarakat dalam perencanaan dan pembentukannya. Prinsip-prinsip yang dipegang dalam pengelolaannya adalah kooperatif, partisipatif dan emansipatif, dimana anggota menjalankan dan saling membantu dalam mengelolanya. BUMDes diamanatkan agar dapat meningkatkan pendapatan masyaJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
rakat dan desa melalui prinsip yang diambil dalam pengelolaannya. Menurut Ramadana dkk, (2013) sebagai lembaga komersial, BUMDes merupakan institusi sosial-ekonomi desa yang betul-betul mampu berkompetisi ke luar desa yang berpihak kepada pemenuhan kebutuhan (produktif maupun konsumtif) masyarakat. Hal ini terlihat dari bidang usaha yang dilakukannya. Pada akhirnya BUMDes berperan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat desa dengan mengangkat potensi yang dimiliki desa. Menurut Abdur Rozaki dkk, (2015), pendirian BUMDes harus diletakkan sebagai strategi jitu dalam mengelola aset desa. Gagasan pendiriannya harus diorganisir melalui mekanisme musyawarah desa, yakni sebuah forum demokratis yang mempertemukan BPD, pemerintah desa dan kelompok warga. Musyawarah desa merupakan mandatori UU Desa yang melembagakan demokrasi lokal melalui perbincangan isu-isu strategis, salah satunya soal pendirian BUMDes. BUMDes pada dasarnya membangun tradisi demokrasi di desa untuk mencapai derajat ekonomi masyarakat desa yang lebih tinggi. Oleh karena itu, BUMDes harus memiliki daftar inventarisasi dan peta aset desa. Dengan begitu, mereka akan lebih mudah dalam hal menyepakati gagasan pengelolaan dan pemanfaatan aset-aset desa untuk meningkatkan kemandirian desa itu sendiri. Pendirian dan pengembangan BUMDes harus memperhatikan aset desa yang dapat dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal berdasarkan pada potensi yang ada. Sebagai contoh, desa-desa pesisir dapat mengembangkan potensi laut untuk memperbaiki kesejahteraan kaum nelayan, sedangkan daerah pedalaman lebih mengedepankan pengembangan unit usaha sarana dan prasarana pertanian. Peluang BUMDes cukup besar dalam meningkatkan kemandirian desa serta perekonomian masyarakat desa. Hal ini terlihat dari ruang usaha yang dapat dikelola dan faktor yang harus dipertimbangkan dalam mendirikan sebuah BUMDes. Berdasarkan Permendesa, PDT, dan Transmigrasi No. 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan PeJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ngelolaan, dan Pembubaran BUMDes Pasal 4 Ayat 2, pendirian BUMDes harus mempertimbangkan: 1) inisiatif pemerintah desa dan/ atau masyarakat desa; 2) potensi usaha ekonomi desa; 3) sumber daya alam di desa; 4) sumber daya manusia yang mampu mengelola BUMDesa; dan 5) penyertaan modal dari pemerintah desa dalam bentuk pembiayaan dan kekayaan desa yang diserahkan untuk dikelola sebagai bagian dari usaha BUMDes. Berdasarkan aturan tersebut sumber daya alam yang tersedia di desa menjadi salah satu prioritas yang harus dipertimbangkan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari IRE tahun 2015 yang menyebutkan kompetensi dan komitmen para pengurus BUMDes (pemerintah desa dan masyarakat) dalam menjalankan BUMDes sesuai dengan potensi desa terbukti mampu membuat BUMDes berjalan secara kokoh dan berkembang secara berkelanjutan. Banyak dari BUMDes yang didirikan oleh pemerintah desa merambah ke sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, seperti yang dikutip oleh Budiman dan Prabowo (Syncmagz, 2015), menunjukkan bahwa kontribusi UMKM terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2011 sebesar 56,6% dan menyerap 97% dari tenaga kerja nasional. Adapun kontribusi sektor UMKM dalam penambahan devisa negara yang berbentuk penerimaan ekspor sebesar 27.700 milyar dan menyumbang sebesar 4,86% terhadap total ekspor. Tentu saja BUMDes di beberapa desa ikut berperan di sana. Dari data yang dikutip tersebut dapat dinilai bahwa UMKM terbukti mampu bertahan dari goncangan ekonomi dan menjadi penyelamat bagi perekonomian pada krisis keuangan tahun 1997 dan krisis global 2008. Dengan begitu, kesiapan UMKM yang sebagian besar dikelola BUMDes sangat menentukan keberhasilan dalam bersaing menghadapi MEA. Tantangan saat ini terkait dengan berhasil tidaknya BUMDes dalam menjalankan fungsi utama untuk meningkatkan ekonomi lokal di desa, yaitu menggairahkan dan menciptakan 125
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
sumber-sumber pendapatan baru yang mendorong kesejahteraan masyarakat desa. Di sisi lain, terdapat tuntutan MEA yang lebih menuntut potensi dan kelebihan yang dimiliki oleh negara ASEAN untuk menghadapi persaingan ke depan. Jika perekonomian lokal di desa memiliki produktivitas dan daya saing tinggi maka desa akan siap untuk bersaing secara mandiri. Rancangan MEA digagas untuk membentuk sebuah pasar tunggal di kawasan ASEAN yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan investasi asing. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan membuka arus perdagangan barang dan jasa dengan mudah ke berbagai negara di tingkat regional Asia Tenggara. Dalam pelaksanaan MEA 2015 nanti ada 5 (lima) hal yang tidak boleh dibatasi peredarannya di seluruh negara ASEAN, yaitu: arus barang, arus jasa, arus modal, arus investasi, dan arus tenaga kerja terlatih. Kelima hal ini dapat menjadi peluang untuk berkembangnya BUMDes sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun sebaliknya, hal ini dapat juga menjadi tantangan jika tidak ditangani secara profesional dan akuntabel. Dengan kata lain bahwa daya saing, baik dari sisi produk maupun SDM, menjadi taruhan. Oleh karena itu, apabila tidak disiapkan secara matang, ada kemungkinan masyarakat hanya akan menjadi tujuan pasar produk asing karena tidak mampu bersaing. Dalam menghadapi tantangan MEA yang mulai diberlakukan pada akhir 2015 (maju 5 tahun), Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2014 tentang Peningkatan Daya Saing Dalam Rangka Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Presiden meminta untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi untuk melakukan peningkatan daya saing nasional dan melakukan persiapan pelaksanaan MEA. Lewat BUMDes, produk-produk pengusaha desa ataupun industri berbasis desa lainnya turut difasilitasi untuk mampu bersaing di pasar domestik, regional, bahkan global.
126
Problematika UMKM yang biasanya menjadi sektor usaha yang dikelola BUMDes, menurut Budiman dan Prabowo (2015), adalah terkait masalah produktivitas dan kualitas produk yang belum seimbang dengan perkembangan jumlah UMKM itu sendiri. Pada umumnya, kondisi itu terjadi karena rendahnya kualitas SDM, manajemen organisasi yang belum matang, kurangnya penguasaan teknologi, dan pemasaran. Untuk mengatasi permasalahan tersebut harus dilakukan peningkatan sentra atau klaster dalam upaya pengembangan produk unggulan. Selain itu, dilakukan usaha mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kewirausahaan serta berusaha meningkatkan kualitas dan standarisasi produk. Menurut Syncore (Syncmagz, 2015), BUMN, BUMD, BUMDes adalah cermin kekuatan perekonomian Indonesia, terutama di sektor strategi untuk menghadapi MEA. Masyarakat seharusnya berkontribusi dalam mengawal keberlangsungan sektor usaha yang dijalankan. Melalui keterbukaan teknologi dan informasi memungkinkan pengawalan terhadap BUMDes dapat dilakukan dengan baik. Peningkatan kapasitas dan kesadaran masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi kesuksesan perwujudan kemandirian desa melalui pengembangan BUMDes. Di saat kemandirian desa tercapai, di situlah peningkatan perekonomian masyarakat desa menjadi taruhannya. Jika peningkatan perekonomian itu tercapai maka desa menjadi akar kesiapan bangsa Indonesa dalam menghadapi MEA sehingga dapat bersaing dengan negara lain di kawasan ASEAN. Salah satu faktor penambah daya saing adalah adanya investasi yang dibutuhkan untuk peningkatan kualitas produk serta kinerja BUMDes. Desa melalui BUMDes yang dikelola harus dapat menciptakan lingkungan yang lebih menarik bagi masuknya investasi yang nantinya dapat mendorong peningkatan kemandirian desa. Jika hal ini dapat dilakukan maka akan dapat menarik investor lebih banyak serta dapat menanamkan modal dan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan kemandirian desa. JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
Tantangan dan peluang juga dapat dilihat dari usaha negara tetangga dalam menghadapi MEA. Seperti yang dikutip dari buku Informasi Umum MEA (Kementerian Perdagangan) bahwa Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand telah menghapus sebanyak 7.881 tarif dari pos tarif tambahan sehingga terdapat sejumlah 54.467 pos tarif yang bea masuknya nol (zero duty) atau 99,65% dari pos tarif yang diperdagangkan dalam Common Effective Preferential Tariff (CEPT-AFTA). Dari 7.881 pos tarif tambahan tersebut, terdapat barang-barang dalam sektor prioritas integrasi (PIS) sebesar 24,15% pos tarif, besi dan baja sebanyak 14,92%, mesin dan peralatan mekanis 8,93%, dan bahan kimia 8,3%. Penghapusan tarif dari pos tarif tambahan ini telah menurunkan rata-rata tingkat tarif ASEAN, yaitu dari 0,79% pada tahun 2009 menjadi 0,05% sejak 1 januari 2010 sebagai langkah awal kesiapan menghadapi MEA. Selain itu, beberapa negara seperti Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam menurunkan bea impor dari 98,86% pos tarif yang diperdagangkan menjadi 0-5% saja sebagai tahap awal komitmen menghadapi MEA. Berbagai produk seperti bahan makanan olahan, mebel, plastik, kertas, semen, keramik, kaca, dan aluminium asal ASEAN juga akan menikmati bebas bea masuk ke Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Beberapa hasil produk itu justru berada di sektor usaha yang sangat berpotensi dihasilkan oleh BUMDes untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta meningkatkan daya saing perekonomian desa. D. PENINGKATAN KAPASITAS BUMDES BUMDes sebagai salah satu lembaga yang mendukung perekonomian desa mempunyai peran penting dalam usaha untuk mendorong terwujudnya kesejahteraan ekonomi masyarakat desa secara keseluruhan. Kegiatan perekonomian yang digalakkan oleh BUMDes harus mendukung usaha peningkatan ekonomi lokal di tingkat regional dalam upaya mencapai taraf ekonomi secara nasional dan bersaing di tingkat global. Dalam lingkup perekonomian nasional ini maka JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
BUMDes harus dikelola dengan baik sehingga dapat mendukung dalam menghadapi MEA. BUMDes di tingkat desa yang meningkat dan mandiri akan membantu bangsa Indonesia dalam kerawanan ekonomi menyambut MEA. Sebagai upaya untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan pengembangan dan peningkatan kapasitas BUMDes secara optimal dan berkesinambungan berbasis sumber daya desa yang dimiliki. Selain itu, juga tetap perlu dukungan untuk mendorong kreativitas dan inovasi dari pemerintah dan masyarakat desa dalam mendukung kemajuan BUMDes. Perkiraan membanjirnya produk impor di dalam negeri akibat dampak negatif dari MEA, yang disinyalir dapat mematikan usaha-usaha sampai tingkat lokal mewajibkan perangkat ekonomi dari tingkat pusat sampai desa untuk bersiap diri, salah satunya dengan meningkatkan kapasitas BUMDes. BUMDes, sebagai salah satu pilar ekonomi di tingkat bawah, apabila dikelola dengan signifikan dapat menjaga kemandirian ekonomi desa sehingga dapat mendukung perekonomian secara nasional dan berdaya saing dalam menyongsong MEA 2015. Dalam usaha untuk mengembangkan BUMDes perlu dipahami langkah-langkah membangun BUMDes itu sendiri. Membangun BUMDes secara inkremental jauh lebih baik daripada membangun secara cepat dan serentak, dengan langkah sebagai berikut: 1) Sosialisasi dan pembelajaran; 2) Musyawarah desa; 3) Pembentukan dan pelembagaan BUMDes yang berbisnis pelayanan dan penyewaan; 4) Analisis kelayakan usaha BUMDes yang berorientasi ekonomi (trading dan brokering); 5) Pembentukan dan pelembagaan BUMDes trading maupun brokering. Ini adalah bentuk konsolidasi usaha warga menjadi sebuah korporasi desa yang kolektif, sehingga menjadi penanda satu desa satu produk; 6) Penjajakan dan pengembangan kerjasama kemitraan strategis, baik dalam bentuk korporasi antardesa atau kerjasama dengan pihak ketiga; dan 7) Diversifikasi usaha dalam bentuk banking maupun holding dengan
127
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
sekala yang lebih besar (Sutoro Eko, dkk, 2013). Upaya dalam pengembangan BUMDes, harus juga memperhatikan berbagai kapasitas yang dimiliki desa. Menurut Sutoro Eko (2004), ada beberapa kapasitas desa yang bisa dikembangkan. Pertama, kapasitas regulasi yaitu kemampuan pemerintah desa mengatur kehidupan desa beserta isinya (wilayah, kekayaan, dan penduduk) dengan peraturan desa, berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Kedua, kapasitas ekstraksi yaitu kemampuan mengumpulkan, mengerahkan dan mengoptimalkan aset-aset desa untuk menopang kebutuhan (kepentingan) pemerintah dan warga masyarakat desa. Ketiga, kapasitas distributif yaitu kemampuan pemerintah desa membagi sumber daya desa secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Keempat, kapasitas responsif yaitu kemampuan untuk peka atau memiliki daya tanggap terhadap aspirasi atau kebutuhan warga masyarakat untuk dijadikan sebagai basis dalam perencanaan kebijakan pembangunan desa. Kelima, kapasitas jaringan yaitu kemampuan pemerintah dan warga masyarakat desa mengembangkan jaringan kerja sama dengan pihak-pihak luar dalam rangka mendukung kapasitas ekstraktif. Berbagai kapasitas yang dimiliki desa dapat ditingkatkan sebagai langkah pengembangan BUMDes. Di sisi lain, menurut Nurul Purnamasari, pengembangan BUMDes dapat dilakukan dengan cara: 1) Pengembangan dan penguatan kelembagaan yang dilakukan dengan cara pemerintah melakukan revisi berbagai peraturan perundangan yang kurang relevan dalam mendukung BUMDes dan mengoptimalkan peran SKPD (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa) dalam pembinaan terhadap BUMDes; 2) Penguatan kapasitas melalui kegiatan pemberdayaan, pelatihan, dan fasilitasi yang dilakukan secara berjenjang, mulai dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah, dan dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Desa dan Pengelola BUMDes; 3) Penguatan pasar, yang dapat dilakukan melalui kerja128
sama BUMDes dengan berbagai pihak untuk memperluas pasar dan mendapat fasilitasi akses terhadap peningkatan sumber daya; dan 4) Keberlanjutan, yang dapat dilakukan apabila BUMDes memiliki forum advokasi untuk mendapat dukungan masyarakat dan dunia usaha diluar desa. Berdasarkan paparan di atas, beberapa langkah nyata berikut dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan kapasitas BUMDes sebagai roda penggerak perekonomian masyarakat desa terutama menjelang diberlakukannya MEA 2015. Pertama, penataan kelembagaan di tingkat desa yang mendukung pendirian BUMDes. Selama ini BUMDes belum dilembagakan secara formal dalam tataran pemerintahan dan perekonomian desa. Padahal kelembagaan BUMDes diperlukan untuk: 1) menjaring pelibatan peran partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan dan pengembangan desa; 2) menciptakan berbagai kreativitas yang mengarah pada peluang usaha bagi masyarakat desa, 3) menciptakan peluang lapangan pekerjaan sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran di desa. Kedua, pengelolaan BUMDes harus dilakukan dengan profesional, kooperatif, independen dan efektif. Pola pengelolaan seperti itu harus didukung dengan penguatan kapasitas sumber daya manusia yang mengelolanya sehingga dapat mengembangkan BUMDes yang akuntabel, berkualitas dan berkinerja baik. Hal ini bisa dilakukan dengan mengikutsertakan sumber daya manusia yang ada dalam kegiatan pendidikan, pelatihan, maupun pemberdayaan, baik secara formal maupun nonformal. Ketiga, peningkatan peran, koordinasi, dan kerjasama semua pihak. Pemerintah daerah harus memberikan respon positif dengan menjadikan BUMDes sebagai program utama untuk pemberdayaan desa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Selain itu, pihak supra desa juga harus memberikan dukungan yang kuat, melalui kegiatan berupa fasilitasi, advokasi, maupun kerja sama yang berusaha mewujudkan BUMDes sebagai usaha untuk memajukan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa. Keempat, memahami kebutuhan masyarakat desa terhadap BUMDes yang seJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
suai dengan karakteristik kemampuan dan potensi masyarakat desa dalam memandirikan ekonomi desa. Hal ini bisa dilakukan melalui peningkatan inisiatif dan kreativitas lokal untuk menggerakkan potensi lokal bagi peningkatan kesejahteraan dan ekonomi rakyat. Satu catatan penting dalam upaya peningkatan kapasitas BUMDes pada khususnya dan desa pada umumnya bahwa diperlukan peran 4 (empat) aktor utama yang terlibat langsung di dalamnya. Sutoro Eko menyebutkan keempat aktor itu adalah: 1) para pemangku kepentingan desa (lurah, BPD, lembaga desa, tokoh masyarakat dan warga masyarakat). Mereka juga harus mengambil prakarsa dan bergerak sendiri untuk mengembangkan kapasitas pada lingkup desa; 2) pemerintah supradesa. Pemerintah pusat berperan memberikan standar dan norma umum. Pemerintah provinsi mempunyai perangkat dan bantuan. Pemerintah kabupaten mempunyai kewenangan, kebijakan, tenaga, anggaran dan lainlain yang sangat dibutuhkan untuk memperkuat kapasitas desa; 3) perguruan tinggi (PT), mempunyai mandat pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, antara lain juga dipersembahkan untuk mengembangkan kapasitas para pengelola desa; dan 4) LSM, merupakan kekuatan baru yang ikut terlibat dalam proses pengembangan kapasitas desa. Peran-peran yang dilakukan antara lain penelitian aksi secara partisipatif, diskusi komunitas, membuka ruang-ruang belajar, pendampingan, pelatihan dan pengorganisasian. Semua elemen di atas apabila menjalankan peran dan fungsi yang optimal maka upaya pengembangan BUMDes untuk mewujudkan kemandirian desa akan tercapai. Berbagai upaya pengembangan dan peningkatan kapasitas di atas merupakan suatu langkah untuk menjadikan BUMDes lebih operasional sebagai penggerak roda perekonomian desa di era MEA. BUMDes harus bisa menjadi elemen utama dan mengoptimalkan perannya sebagai lembaga ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat desa. JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
E. KESIMPULAN Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) adalah salah satu keputusan Bali Concord II, yang mensyaratkan bahwa sebelum tahun 2016 Asia Tenggara akan menjadi pasar dan basis produksi tunggal. Negara-negara di kawasan ASEAN mempunyai tekad untuk segera meningkatkan pertumbuhan perekonomian dan daya saing antar negara ASEAN dalam menghadapi berbagai usaha dan persaingan global. Oleh karena itu, bangsa Indonesia juga harus siap sedini mungkin menghadapi MEA dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa. Pada level desa, BUMDes bisa dimaksimalkan perannya sebagai motor penggerak perekonomian di tingkat desa dalam menghadapi era MEA. BUMDes juga berperan sebagai bentuk penguatan terhadap lembagalembaga ekonomi desa yang dapat mendayagunakan ekonomi lokal yang mengandalkan ragam jenis potensi desa. BUMDes diharapkan juga mampu menstimulasi dan menggerakkan roda perekonomian di pedesaan sehingga sampai tingkat paling bawah kita mampu bersaing ke tingkat ASEAN. Sampai saat ini telah tercatat 1.022 BUMDes yang tersebar di 74 Kabupaten, 264 Kecamatan dan 1.022 Desa. Namun demikian, di lapangan masih ditemukan beberapa kendala, antara lain: 1) penataan kelembagaan desa belum berjalan secara maksimal; 2) keterbatasan kapasitas sumberdaya manusia; 3) rendahnya inisiatif lokal; 4) belum berkembangnya proses konsolidasi dan kerja sama antar stakeholders; 5) kurangnya responsivitas Pemda. Peluang BUMDes cukup besar dalam meningkatkan kemandirian desa serta perekonomian masyarakat desa. Hal ini terlihat dari ruang usaha yang dapat dikelola oleh BUMDes. Dalam pelaksanaan MEA ada 5 (lima) hal yang tidak boleh dibatasi peredarannya di seluruh negara ASEAN termasuk Indonesia, yaitu arus barang, arus jasa, arus modal, arus investasi dan arus tenaga kerja terlatih. Kelima hal ini dapat menjadi peluang untuk berkembangnya BUMDes dalam menggerakkan perekonomian desa. 129
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
Beberapa langkah berikut dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan kapasitas BUMDes sebagai roda penggerak perekonomian masyarakat desa terutama menjelang diberlakukannya MEA 2015. Pertama, penataan kelembagaan di tingkat desa yang mendukung pendirian BUMDes. Kedua, pengelolaan BUMDes harus dilakukan dengan profesional, kooperatif, independen dan efektif. Ketiga, peningkatan peran, koordinasi dan kerjasama semua pihak. Keempat, memahami kebutuhan masyarakat desa terhadap BUMDes yang sesuai dengan karakteristik kemampuan, dan potensi masyarakat desa dalam memandirikan ekonomi desa. BUMDes sebagai salah satu pilar ekonomi apabila dikelola dan dikembangkan dengan optimal akan dapat menjaga kemandirian ekonomi desa sehingga dapat mendukung perekonomian nasional dan berdaya saing dalam menyongsong MEA 2015. F.
DAFTAR PUSTAKA
Bakti.or.id. “Memetakan Potensi Desa sebagai Modal Utama BUMDes”. Tersedia online (http://www.bakti.or.id/berita/mem etakan-potensi-desa-sebagai-modalutama-bumdes, diakses 12 November 2015 ) Budiman, Kukuh, dan Desyan Prabowo. 2015. “MEA diambang mata, bagaimana peluang UMKM?”. Majalah Syncmagz, Edisi 01-Agustus 2015. Eko, Sutoro, dkk. 2013. Policy Paper “Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan”. Eko, Sutoro. 2004. “Memperkuat Kapasitas Desa”. Makalah Disajikan Dalam Semiloka “Penguatan Kapasitas Perencanaan Pembangunan Masyarakat Desa”, yang diselenggarakan oleh Program Studi Pembangunan Masyarakat Desa Diploma III, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”, Yogyakarta, 26 Agustus 2004. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. “BUMDes Perkuat Ekonomi Desa”. Tersedia online 130
(http://www.kemendesa.go.id/berita /1674/bumdes-perkuat-ekonomidesa, diakses 12 November 2015 ) Kementerian Perdagangan. 2011. Informasi Umum: Masyarakat Ekonomi ASEAN. ASEAN Community in a Global Community of Nations. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia: Jakarta Kuntadi, Edi. Peranan Pengusaha Daerah Dalam Menghadapi MEA 2015. Nurcholis, Hanif. 2011. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Jakarta: Erlangga. Pemerintah Kabupaten Malang. 2015. Kabupaten Malang Menuju MEA 2015. Malang: Pemkab Malang Putri, Winda Destiana. “Menteri Marwan Dorong Pembentukan dan Pengembangan BUMDes”. Tersedia online (http://www.republika.co.id/berita/n asional/umum/15/10/25/nws9iq359 -menteri-marwan-dorongpembentukan-dan-pengembanganbumdes, diakses 12 November 2015 ) Ramadana, Coristya Berlian, et. al. 2013. “Keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sebagai Penguatan Ekonomi Desa (Studi di Desa Landungsari, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang)”. Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 1, No. 6, Hal. 1068-1076. Universitas Brawijaya. Risadi, Aris Ahmad. “Dukungan DAK SPDT terhadap BUMDes dalam Mengembangkan Perekonomian Desa”. Tersedia online (http://www.kemendesa.go.id/artikel /84/dukungan-dak-spdt-terhadapbumdes-dalam-mengembangkanperekonomian-desa, diakses 12 November 2015 ) Rozaki, Abdur, dkk.,. 2015. “Membangun Kemandirian Desa Melalui BUMDes”. Policy Brief Institute for Research and Empowerment (IRE). IRE: Yogyakarta Syncore. 2015. Hadapi MEA, Pemerintah, BUMN, Dunia Usaha dan Masyarakat Wajib Bersinergi. Majalah Syncmagz. Edisi 01-Agustus 2015.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 Tentang Badan Usaha Milik Desa.
131
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
132
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 Local Government Affairs: Potential Problems for the Implementation of Law Number 23 Year 2014 Suryanto Peneliti Madya pada Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Abstrak Setiap perubahan selalu dihadapkan pada tantangan, karena apapun perubahan itu biasanya membawa kepada situasi ketidakpastian. Demikian pula ketika terbit dan berlaku UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, “ketidakpastian” pun muncul dalam penataan urusan pemerintahan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Yang dimaksud ketidakpastian disini adalah bahwa dengan perubahan dan pergeseran serta penambahan beberapa bagian aspek urusan pemerintahan tentu akan berimplikasi pada penataan urusan pemerintahan dan hubungan antar level pemerintahan. Peta urusan pemerintahan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mengalami perubahan dibanding urusan pemerintahan dalam UU . 32 Tahun 2004 c.q. PP No. 38 Tahun 2007. Tulisan ini akan menggambarkan peta urusan pemerintahan dalam UU No. 23 Tahun 2014 dan lampirannya. Pada bagian akhir tulisan disampaikan saran terkait antisipasi yang perlu dilakukan dalam penataan urusan pemerintahan di masa depan. Kata kunci: otonomi daerah, urusan pemerintahan daaerah, problematika Abstract Every change will always bring challenges, because changes usually lead to a situation of uncertainty. Similarly, when the Law No. 23 of 2014 about Local Government enacted, "uncertainty" appeared in the distribution of authority/government affairs between provincial and district governments. The definition of uncertainty here is that the changes, both in terms of shift between actors as well as addition, in the authorities would invite changes in the government structure and intergovernmental relations. At the end of the article there will be suggestions related to the anticipation that needs to be done in dealing with the distribution of authority and the uncertainties it brings. Keywords: decentralization, local government affairs, wicked problem
A. PENDAHULUAN Esensi penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah adalah terjadinya penyerahan/pelimpahan kewenangan (dalam terminologi UU 23/2014 disebut urusan pemerintahan) dari pemerintah tingkat di atas kepada pemerintah di bawahnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurcholis (2005) bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang politik dan administrasi dari puncak hirarki organisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang di bawahnya (pemerintah daerah). Selanjutnya, Smith (1985) menyebutkan bahwasanya desentralisasi memiliki ciri-ciri diantaranya adanya penyerahan wewenang untuk JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
melaksanakan fungsi pemerintah tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonom. Penyerahan wewenang (baca: urusan pemerintahan) dari pemerintah pusat kepada pemerintah di bawahnya berbeda antara negara federal dengan negara kesatuan. Sesungguhnya paham yang dianut pada federalisme adalah non sentralisasi. Hal ini menyangkut asal kedaulatan dari negara tersebut, dimana kedaulatan yang dimiliki negara federal berasal dari negara-negara berdaulat yang menyerahkan kewenangan sisa kepada pemerintah nasional (pemerintah federal) untuk dikelola bagi kepentingan bersama negara133
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 Suryanto
negara berdaulat tersebut. Kedaulatan tidak bersifat tunggal pada pemerintah nasional karena negara-negara bagian di dalam wilayah negara tersebut juga memiliki kedaulatan ke luar (Adi Suryanto dkk., 2008). Berbeda dengan negara kesatuan (seperti Indonesia), kedaulatan itu bersifat tunggal dan tidak dibagi kepada unit-unit pemerintahan di bawahnya. Konsep negara kesatuan (unitary state) adalah bahwa semua kekuasaan pada prinsipnya merupakan milik pemerintah pusat. Kedaulatan yang dimiliki pemerintah daerah di negara yang berbentuk kesatuan hanya bersifat ke dalam. Mekanisme pendistribusian kewenangan dari pusat kepada daerah dalam negara kesatuan hanya sekedar menjalankan kewenangan sisa dari pemerintah pusat berdasarkan mekanisme yang telah ditentukan apalah dilimpahkan, diserahkan atau didelegasikan (Cohen dan Paterson, 1999; Adi Suryanto dkk., 2008). Mencermati pendapat Cohen dan Paterson tersebut di atas, menurut hemat kami penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia sudah lebih maju (advanced) dalam artian bahwa pembagian urusan pemerintahan tidak hanya berdasarkan prinsip “residu” tetapi justru sebaliknya.1 Pemerintah (pusat) telah menyerahkan/melimpahkan urusan pemerintahan yang sangat besar kepada pemerintah daerah untuk dikelola dan dipertanggungjawabkan kembali kepada pemberi mandat, meskipun terdapat dinamika “penarikan urusan pemerintahan” di antara level peme-
Pada saat pemberlakuan UU No. 22/1999 jo PP 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonom, Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang sangat terbatas (kewenangan residu dari Pemerintah). Namun pada saat berlaku UU No. 32/2004 jo PP 38/2007 pemda provinsi dan pemda kabupaten/kota memiliki kewenangan yang sangat besar. Begitu pula pada saat berlakunya UU 23/2014 (belum terbit PP tentang pembagian urusan pemerintahan), pemda provinsi dan pemda kab/kota masih memiliki kewenangan/urusan pemerintahan yang besar, meskipun terdapat dinamika “penarikan urusan pemerintahan” dari pemda kabupaten/kota ke pemda provinsi. 1
134
rintahan terutama dari pemda kab/kota ke pemda provinsi. Sebelumnya perlu dibedakan terlebih dahulu pemahaman mengenai pemerintahan daerah dan pemerintah daerah. Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Jadi jelas yang dimaksud dengan pemberian kewenangan dari pemerintah pusat tersebut adalah pemberian kewenangan kepada kepala daerah dan jajarannya (administratif) serta kepada pimpinan dan anggota DPRD sebagai mitra kerja kepala daerah (politis). Selanjutnya, wewenang yang telah diserahkan/dilimpahkan tersebut, baik melalui pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas pembantuan (medebewind), maka menjadi tanggung jawab kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) untuk melaksanakan dan mempertanggungjawabkannya. Yang menarik adalah, menurut UU No. 23 Tahun 2014 beberapa kewenangan pemerintah kabupaten/kota “ditarik/dialihkan” ke pemerintah provinsi. Hal ini telah mengubah peta kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Bagaimana peta kewenangan daerah menurut UU No. 23 Tahun 2014? Apa yang membedakannya dengan peta kewenangan daerah menurut UU No. 32 Tahun 2014 c.q. PP No. 38 Tahun 2007? B. KONSEPSI KEWENANGAN Kewenangan atau wewenang berasal dari suatu istilah yang biasa digunakan dalam biJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
dang hukum publik. Apabila dicermati terdapat perbedaan antara keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut sebagai “kekuasaan formal”, yaitu kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Adapun “wewenang” hanya mengenai suatu “onderdeel” tertentu saja dari kewenangan (Asshiddiqie, 2006).
diduduki oleh pimpinan. Otoritas adalah kekuasaan yang disahkan oleh peranan formal seseorang dalam suatu organisasi (Ibid, 2003). Dalam Ensiklopedi Administrasi (Wasistiono dkk., 2009), wewenang didefinisikan sebagai hak seorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik.
Menurut Philipus M. Hadjon (2005), jabatan memperoleh wewenang melalui 3 (tiga) sumber yakni atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi merupakan wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan Hukum Tata Negara, atribusi ditunjukkan melalui wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang ditunjuk oleh pembuat undang-undang. Kewenangan atribusi tersebut melekat pada kewenangan asli atas dasar konstitusi. Kewenangan atribusi hanya dimiliki oleh DPR, Presiden, dan DPD dalam hal pembentukan undang-undang.
Pendelegasian atau pelimpahan kewenangan dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu aspek tugas, tanggung jawab, dan wewenang. Pada prinsipnya, pendelegasian atau pelimpahan sama dengan penyerahan. Jadi, pendelegasian atau pelimpahan kewenangan berarti penyerahan sebagian hak untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik dari pejabat satu kepada pejabat lainnya. Menurut Sutarto (2002), pelimpahan kewenangan itu bukan penyerahan hak dari atasan kepada bawahan, melainkan penyerahan hak dari pejabat kepada pejabat. Format pendelegasian wewenang dapat dilakukan oleh pejabat yang berkedudukan lebih tinggi (superior) kepada pejabat yang berkedudukan rendah (subordinate) atau pejabat atasan kepada pejabat bawahan (vertikal). Di samping itu, pelimpahan wewenang dapat pula dilakukan di antara pejabat yang berkedudukan pada jenjang yang sama antara pejabat yang sederajat (horisontal).
Kewenangan tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan (power). Dalam hirarki Weber, ditemukan korelasi positif antara tingkat hirarki jabatan dalam birokrasi dengan kekuasaan. Semakin tinggi lapis hirarki jabatan seseorang dalam birokrasi maka semakin besar kuasanya dan semakin rendah lapisan hirarkinya semakin tidak berdaya (powerless). Karena korelasi ini menunjukkan bahwa penggunaan kekuasaan pada hirarki atas sangat tidak imbang dengan penggunaan kekuasaan tingkat bawah. Dengan kata lain, sentralisasi kekuasaan yang berada di tingkat hirarki atas semakin memperlemah posisi pejabat hirarki bawah dan tidak memberdayakan masyarakat yang berada di luar hirarki (Thoha 2003). Berangkat dari konsep hirarki dan kekuasaan tersebut, maka perlu ada transfer kewenangan dari level atas ke level bawah guna menghindari penumpukan kekuasaan. Wewenang atau kewenangan adalah padanan kata “authority” yakni “the power or right delegated or given: the power to judge, act or command”. Kewenangan dapat dirumuskan sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan yang JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Selanjutnya Wasistiono (2009), membedakan kewenangan menjadi dua jenis yakni atributif dan delegatif. Atributif adalah kewenangan yang melekat dan diberikan kepada suatu institusi atau pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan delegatif adalah kewenangan yang berasal dari pendelegasian kewenangan dari institusi atau pejabat yang lebih tinggi tingkatannya. Masing-masing pejabat diberikan tugas melekat sebagai bentuk tanggung jawab agar tugas yang diberikan itu dapat dilaksanakan dengan baik. Tanggung jawab merupakan keharusan pada seseorang pejabat untuk melaksanakan secara layak segala sesuatu yang telah dibebankan kepadanya. Tanggung jawab hanya dapat dipenuhi bila pejabat yang 135
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 Suryanto
bersangkutan disertai dengan wewenang tertentu dalam bidang dan tugasnya. Agar pelimpahan kewenangan dapat efektif, maka perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan oleh Koontz O’Donnel dan Weihrich (1980), meliputi: 1) principle of delegation by results expected; 2) principle of functional definition; 3) scalar principle; 4) authority level principle; 5) principle of unity of command; 6) principle of absoluteness of responsibility; and 7) principle of parity of authority and responsibility. Prinsip pertama, pelimpahan berdasarkan hasil yang diharapkan, maksudnya adalah pelimpahan diberikan berdasarkan tujuan dan rencana yang telah disiapkan sebelumnya. Perlu atau tidaknya sebuah kewenangan dilimpahkan akan tergantung pada hasil yang diharapkan, apakah menguntungkan bagi pencapaian tujuan organisasi. Prinsip kedua, pendelegasian berdasarkan prinsip definisi fungsional, yang dimaksudkan bahwa pelimpahan kewenangan hendaknya didasarkan pertimbangan fungsional agar pekerjaan atau tugas tertentu dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Prinsip ini lebih menekankan pada ketepatan arah pelimpahan sesuai dengan fungsi penerima limpahan. Prinsip ketiga, berurutan berdasarkan hirarki jabatan. Kewenangan yang diberikan hendaknya secara berurutan dari jabatan tertinggi hingga jabatan terendah. Hal ini dimaksudkan agar kewenangan-kewenangan setiap level jabatan jelas tingkat proporsi dan substansinya. Prinsip keempat, yaitu jenjang kewenangan prinsip ini mengarapkan adanya pelimpahan secara bertahap berdasarkan tingkat kewenangan yang dimiliki pejabat atau satu unit organisasi tertentu. Prinsip ini erat kaitannya dengan prinsip ketiga dimana jenjang hirarki berimplikasi kepada tahapan-tahapan pendelegasian wewenang, baik dalam arti tahapan proses maupun struktur atau tingkatan organisasi.
136
Prinsip kelima, yaitu kesatuan komando, yang menekankan akan pentingnya satu kesatuan komando dalam pelimpahan kewenangan. Dengan adanya satu komando dapat dihindari kesimpangsiuran ataupun tumpang tindih kegiatan dan tanggung jawab. Apa yang harus dilakukan dan kepada siapa harus bertanggung jawab akan menjadi jelas arahnya. Prinsip keenam, mengharapkan adanya pelimpahan kewenangan yang diimbangi dengan pemberian tanggung jawab yang penuh. Pihak yang melimpahkan tidak seharusnya terlalu campur tangan terhadap urusan yang sudah dilimpahkannya. Oleh karena itu, kepercayaan penuh dari pemberi wewenang kepada penerima wewenang menjadi faktor utama yang diperhatikan sehingga penerima wewenang dapat mengambil keputusan dan dapat mempertanggungjawabkan sepenuhnya kewenangan yang dimilikinya tersebut. Prinsip ketujuh, yakni keseimbangan antara kewenangan dan tanggung jawab, artinya bahwa kewenangan yang dilimpahkan harus disertai dengan tanggung jawab yang seimbang. Dalam hal ini proporsi pertanggungjawaban sesuai dengan kewenangan yang diberikan/dilimpahkan. C. PETA URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/ KOTA Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, klasifikasi urusan pemerintahan terdiri dari 3 urusan yakni urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Anatomi pembagian urusan pemerintahan adalah sebagai berikut:
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
Bagan 1. Anatomi Pembagian Urusan Pemerintahan
URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH ABSOLUT
1. 2. 3. 4. 5. 6.
PEMERINTAHAN UMUM
Politik Luar Negeri Pertahanan Keamanan Yustisi Moneter & Fiskal Nasional Agama
KONKUREN
PILIHAN
WAJIB
Pelayanan Dasar
Sumber: UU No. 23 Tahun 2014
Terkait kewenangan pemerintah, hal ini secara jelas tersurat pada Pasal 10 dan Pasal 12 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan pemerintah pusat menurut Pasal 10 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama (6 urusan). Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar keenam urusan tersebut, Pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan, melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah, atau menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Sementara itu, urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Pembagian urusan konkuren antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota didasarkan JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Non Pelayanan Dasar
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kelautan & Perikanan Pariwisata Pertanian Kehutanan Energi dan Sumber Daya Mineral Perdagangan Perindustrian Transmigrasi
pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas dan kepentingan strategis nasional. Akuntabilitas adalah kriteria pembagian urusan Pemerintahan dengan memperhatikan pertanggungjawaban Pemerintah pemerintahan daerah Provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan tertentu kepada masyarakat. Efisiensi adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Eksternalitas adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Berdasarkan prinsip tersebut, kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah: a) Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah 137
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 Suryanto
provinsi atau lintas negara, b) Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara, c) Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara, d) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat, dan/atau e) Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional. Sedangkan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah: a) Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota, b) Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota, c) Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau d) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi.
ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat, dan sosial (6 urusan wajib berkaitan dengan pelayanan dasar). Urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi (Pasal 12 Ayat 2): tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak, pangan, pertanahan, lingkungan hidup, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, pemberdayaan masyarakat dan Desa, pengendalian penduduk dan keluarga berencana, perhubungan, komunikasi dan informatika, koperasi, usaha kecil, dan menengah, penanaman modal, kepemudaan dan olah raga, statistik, persandian, kebudayaan, perpustakaan; dan kearsipan (18 urusan wajib tidak berkaitan dengan pelayanan dasar).
Adapun Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah: a) Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota, b) Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota, c) Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/ atau d) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.
Pasal 24 UU No. 23 Tahun 2014 menjelaskan bahwa Kementerian dan lembaga bersama dengan pemerintah daerah melakukan pemetaan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan pilihan yang dipriorotaskan oleh setiap Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/ kota. Hasil pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan ditetapkan dengan peraturan menteri (yang bersangkutan) setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri (Mendagri).
Sementara itu, dalam Pasal 12 disebutkan bahwa selain urusan pemerintahan absolut terdapat urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah (baca: daerah otonom) terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar. Urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi (Pasal 12 Ayat 1): pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan
Pemetaan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar dimaksudkan untuk: 1. Untuk menentukan intensitas Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar berdasarkan jumlah penduduk, besarnya APBD, dan luas wilayah. 2. Untuk menentukan Daerah yang mempunyai Urusan Pemerintahan Pilihan berdasarkan potensi, proyeksi penyerapan tenaga kerja, dan pemanfaatan lahan. 3. Untuk bahan pertimbangan bagi Daerah dalam penetapan kelembagaan, perencanaan, dan penganggaran dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
138
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
4.
Untuk pembinaan kepada Daerah dalam pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan secara nasional.
Bagan 2. Pembagian Urusan Pemerintahan Wajib URUSAN WAJIB
NON PELAYANAN DASAR
PELAYANAN DASAR
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pendidikan Kesehatan PU & Penataan Ruang Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Ketenteraman, Ketertiban Umum & Perlindungan Masyarakat Sosial
Sumber: UU No. 23 Tahun 2014
Selain urusan wajib berupa pelayanan dasar dan non pelayanan dasar, terdapat urusan pemerintahan pilihan (Pasal 12 Ayat 3) yang meliputi: kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan, perindustrian, dan transmigrasi (8 urusan pilihan). Jika dicermati lebih mendalam, sebenarnya tidak ada perbedaan antara substansi urusan pilihan dalam UU 32/2004 dengan UU 23/2014 terkait yakni sama-sama memiliki 8 urusan.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Tenaga Kerja Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak Pangan Pertanahan Lingkungan Hidup Administrasi Kependudukan & Pencatatan Sipil Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Pengendalian Penduduk & Keluarga Berencana Perhubungan Komunikasi dan Informatika Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Penanaman Modal Kepemudaan & Olah Raga Statistik Persandian Kebudayaan Perpustakaan Kearsipan
Yang menarik dalam substansi UU baru ini adalah “penegasan” mengenai urusan pemerintahan umum. Dalam Pasal 25 UU No. 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa urusan pemerintahan umum meliputi: a) pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta pertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b) pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa; c) pembina139
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 Suryanto
an kerukunan antarsuku dan intrastruktur, umat beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional; d) penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; e) koordinasi pelaksanaan tugas antar instansi pemerintahan yang ada di wilayah Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan, potensi serta keanekaragaman Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; f) pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila; dan g) pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal. Hal lain yang menarik dalam kaitan dengan urusan pemerintahan umum adalah pembentukan forum komunikasi pimpinan daerah (Forkopimda) baik di level provinsi, kabupaten/kota maupun kecamatan. Kehadiran Forkopimda dimaksudkan untuk membantu gubernur dan bupati/walikota serta camat dalam pelaksanaan urusan pemerintahan umum, dengan pembiayaan dari APBN. D. PERBEDAAN URUSAN PEMERINTAHAN PEMERINTAHAN DAERAH DALAM UU NO. 32 TAHUN 2004 C.Q. PP NO. 38 TAHUN 2007 DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2014 DAN KEMUNGKINAN HAMBATAN Terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara urusan pemerintahan daerah yang tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2004 c.q.
PP No. 38 Tahun 2007 dengan kewenangan dalam UU No. 23 Tahun 2014 antara lain: 1.
2.
3.
Jumlah urusan pemerintahan daerah dalam UU No. 23/2014 lebih sedikit dibandingkan dengan yang terdapat dalam UU No. 32/2014 c.q. PP No. 38/2007. Dalam UU No. 23/2014, beberapa urusan pemerintahan daerah kabupaten/kota dialihkan ke pemerintah provinsi, seperti urusan pemerintahan pendidikan menengah kewenangan kehutanan, dan kewenangan pertambangan. Perbedaan dalam hal pembagian urusan pemerintahan wajib, pada UU No. 32/2004 tidak terdapat pembagian urusan wajib, namun pada UU No. 23/2014, urusan wajib tersebut dibedakan antara urusan wajib pelayanan dasar dan non pelayanan dasar.
Implementasi urusan pemerintahan khususnya urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan umum oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sesuai dengan bidang tugasnya akan ditentukan oleh banyak aspek. Salah satu aspek yang sering disebut sebagai hambatan dalam implementasi urusan pemerintahan adalah adanya kenyataan yang cenderung mengarah pada “tarik ulur dan inkonsistensi” antar level pemerintahan. Sebagai contoh, penarikan sebagian urusan wajib bidang pendidikan yakni pengelolaan pendidikan menengah yang semula ditangani oleh pemda kabupaten/kota ke pemda provinsi, dimungkinkan akan menimbulkan hambatan dalam pelaksanaannya.
No.
Sub Urusan
Pemerintah
Pemda Provinsi
Pemda Kab/Kota
1.
Manajemen Pendidikan
Penetapan standar nasional pendidikan, Pengelolaan Pendidikan Tinggi
Pengelolaan pendidikan menengah, Pengelolaan pendidikan khusus
2.
Kurikulum
Penetapan kurikulum nasional pendidikan menengah, pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini dan pendidikan nonformal
Penetapan kurikulum muatan lokal, pendidikan menengah, dan muatan lokal; pendidikan khusus
Pengelolaan pendidikan dasar, Pengelolaan pendidikan usia dini dan pendidikan nonformal Penetapan kurikulum muatan lokal pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini dan pendidikan nonformal
140
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
No.
Sub Urusan
3.
Akreditasi
4.
Pendidik dan Tenaga Kependidikan
5.
Perizinan Pendidikan
6.
Bahasa dan Sastra
Pemerintah
Pemda Provinsi
Pemda Kab/Kota
Akreditasi perguruan tinggi, pendidikan menengah, pendidikan dasar, pendidikan anak usia dini, dan pendidikan nonformal Pengendalian formasi pendidik, pemindahan pendidik, dan pengembangan karir pendidik; Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan lintas daerah provinsi Penerbitan izin perguruan tinggi swasta yang diselenggarakan oleh masyarakat, Penerbitan izin penyelenggaraan satuan pendidikan asing
--
--
Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan lintas daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi
Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan dalam daerah kabupaten/kota
Penerbitan izin pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat, Penerbitan izin pendidikan khusus yang diselenggarakan oleh masyarakat
Pembinaan bahasa dan sastra Indonesia
Pembinaan bahasa dan sastra yang penuturnya lintas daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi
Penerbitan izin pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat, Penerbitan izin pendidikan anak usia dini dan pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat Pembinaan bahasa dan sastra yang penuturnya dalam daerah kabupaten/kota
Sumber: Lampiran UU No. 23 Tahun 2014
Tabel 1. Kewenangan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam Bidang Pendidikan Menurut UU No. 23 Tahun 2014 Dari tabel tersebut jelas bahwa pengalihan sebagian urusan pendidikan yaitu pengelolaan pendidikan menengah dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi telah mengurangi kewenangan pemerintah kabupaten/kota—yang notabene merupakan titik berat pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini semakin memperkuat sinyalemen terjadinya pemusatan (resentralisasi) baik yang mengarah ke pemerintah pusat (kementerian/ lembaga) maupun ke pemerintah di atasnya (provinsi). Senada dengan persoalan tersebut, Dwiyanto (2012) mengidentifikasi setidaknya dua isu yang menjadi problematika pembagian urusan pemerintahan. Pertama, distorsi dalam pelaksanaan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kedua, perubahan distribusi urusan pemerintahan dan kriteria pembagian urusan. Kedua permasalahan JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
tersebut memang merupakan respons beliau ketika menanggapi UU No. 32 Tahun 2004 c.q. PP No. 38 tahun 2007, namun menurut kami masih relevan untuk memberikan warning terhadap pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2014. Permasalahan yang mungkin timbul terkait isu yang pertama antara lain: benturan regulasi, pemerintah pusat mendekonsentrasikan urusan yang telah dilaksanakan di daerah, campur tangan pemerintah provinsi terhadap urusan pemerintah kabupaten/kota, kerancuan penerapan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan otonomi daerah menganut tiga asas yakni desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Artinya, dalam penyelenggaraan pemerintahan—sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya—seluruh urusan pemerintahan telah diserahkan 141
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 Suryanto
kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota melalui asas desentralisasi, kecuali urusan pemerintahan absolut. Oleh karena itu, posisi kementerian teknis/sektoral hanya menjadi steering (pengarah) dengan memberikan norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) terhadap urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan. Namun pada masa lalu, kadang terjadi penarikan urusan pemerintahan melalui turunan undang-undang sektoral, misalnya peraturan menteri/ surat edaran menteri dan lainnya. Kondisi ini tentu akan menyebabkan terjadinya benturan regulasi, yaitu benturan antara UU Pemda dengan UU Sektoral. Kemudian, permasalahan kedua adalah manakala pemerintah pusat—dalam hal ini kementerian—mendekonsentrasikan urusan yang telah dilaksanakan di daerah. Kondisi ini ibaratnya “menjilat ludah dan meludahkannya kembali” karena urusan pemerintahan dimaksud telah diserahkan kepada daerah dan pemerintah daerah pun telah melaksanakan urusan pemerintahan tersebut. Namun pada saat bersamaan, Pemerintah mendekonsentrasikan sebagian urusan pemerintahan dimaksud kepada daerah. Sebagai contoh, urusan pemerintahan bidang pendidikan tentang tunjangan profesi bukan guru tetap bukan PNS yang belum memiliki jabatan fungsional guru. Urusan tersebut telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota, namun kembali di-dekon-kan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Yang menjadi pertanyaan adalah, hal ini terjadi apakah karena kabupaten/kota tidak memiliki kapasitas untuk melaksanakan urusan tersebut ataukah ada alasan lainnya. Permasalahan selanjutnya adalah terdapat intervensi pelaksanaan urusan pemerintahan di kabupaten/kota oleh pemerintah provinsi. Masalah ini telah menjadi perhatian banyak pihak di masa pemberlakuan UU No. 32 Tahun 2004 jo PP No. 38 Tahun 2007 lalu, dimana pemerintah provinsi terkadang mendesain dan melaksanakan program dan kegiatan yang juga dilaksanakan oleh kabupaten/kota sehingga terjadi overlapping. Kondisi tumpang tindih seperti ini sekaligus menu142
njukkan minimnya koordinasi antar tingkatan pemerintahan sebagai satu kesatuan integral yang seharusnya menjalankan fungsinya sebagai pengarah/fasilitator dan yang diarahkan/pihak yang difasilitasi. Padahal, dalam UU Pemda walaupun Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota bukan merupakan “garis atasan-bawahan” tetapi pemda provinsi memiliki fungsi supervisi, koordinasi dan fasilitasi terhadap pemda kabupaten/ kota. Terakhir, permasalahan pada isu pertama adalah terjadinya kerancuan pelaksanaan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Hal ini terjadi karena keengganan pemerintah pusat (kementerian sektoral) untuk mendistribusikan anggaran yang dimilikinya melalui mekanisme dana alokasi khusus (DAK) dibanding melalui dekon maupun tugas pembantuan. Alasannya, jika pendistribusian anggaran melalui mekanisme DAK maka kementerian sektoral akan kehilangan kewenangannya dalam mengelola anggaran tersebut. Akhirnya, untuk menghindari terjadinya kehilangan kewenangan dan agar tetap dapat tetap “cawe-cawe” (ikut serta) dalam pengelolaan anggaran, kementerian mendekonsentrasikan dan atau melakukan tugas pembantuan kepada pemerintah provinsi, padahal urusan tersebut telah didesentralisasikan kepada kabupaten/kota. Contoh kasus yang sangat menonjol terjadi di Kementerian Pendidikan. Permasalahan yang mungkin timbul terkait isu perubahan distribusi urusan pemerintahan dan kriteria pembagian urusan adalah menyangkut kriteria pembagian urusan dan mekanisme penarikan dan penambahan urusan. Pembagian urusan pemerintahan sesungguhnya telah ditetapkan dengan kriteria yang disepakati: akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas, dan kepentingan strategis nasional. Kriteria terakhir merupakan kriteria baru dalam UU No. 23 Tahun 2014. Masalahnya, dengan pembagian urusan yang hanya dibagi dalam matriks kewenangan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota itu, bagaimanakah pelaksanaannya di lapangan terutama terkait dengan penganggarannya? Sebagai JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
contoh, dalam kasus pengelolaan pendidikan menengah yang menurut UU No. 23 Tahun 2014 menjadi kewenangan pemerintah provinsi, sejauhmana peran pemda kabupaten/ kota karena keberadaan SMA/SMK/MA di lingkup kabupaten/kota. Dampak ikutan dari kebijakan tersebut juga terjadi pada saat pendaftaran siswa baru (terutama melalui sistem online) yang sering menimbulkan berbagai persoalan di daerah. Manajemen pendidikan menengah oleh pemerintah provinsi sebisa mungkin tidak mempersulit pelaksanaan urusan pemerintahan ini di daerah.
1.
Kedua, permasalahan pada isu perubahan distribusi urusan ini terkait dengan penarikan dan penambahan urusan pemerintahan. Kiranya sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah pusat sering melakukan tarikulur urusan pemerintahan. Tentu hal ini sahsah saja sepanjang dilakukan secara benar dan sesuai dengan kepentingan yang lebih besar. Asas “kepentingan strategis nasional” sebagaimana yang dituangkan dalam UU No. 23 Tahun 2014 mungkin dapat menjadi alat pembenar dilakukannya kebijakan penarikan atau penambahan kewenangan tersebut. Namun, apabila penarikan dan penambahan tersebut dilakukan secara sewenang-wenang tentu akan berakibat kontraproduktif dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Dalam spektrum yang lebih luas, hambatan-hambatan di atas dapat terjadi pada berbagai urusan pemerintahan, bukan hanya pada urusan pemerintahan pendidikan, tetapi juga pada urusan kesehatan, pekerjaan umum, kependudukan, dan sebagainya. E. ANTISIPASI IMPLEMENTASI URUSAN PEMERINTAHAN Terlepas dari tepat atau tidaknya, terbitnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 120/253/SJ tanggal 16 Januari 2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan merupakan salah satu antisipasi terhadap kevakuman penyelenggaraan otonomi daerah karena UU No. 23 Tahun 2014 belum disertai dengan peraturan pelaksanaannya. Dalam SE No. 120/253/SJ tersebut dijelaskan hal-hal sebagai berikut: JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
2.
3.
Pada Pasal 404 UU No. 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta dokumen (P3D) sebagai akibat pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Daerah Provinsi, dan Kabupaten/ Kota yang diatur berdasarkan UU ini dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan. Untuk menghindarkan terjadinya stagnasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berakibat terhentinya pelayanan kepada masyarakat, maka penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren yang bersifat pelayanan kepada masyarakat luas dan masif, yang pelaksanaannya tidak dapat ditunda dan tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan P3D, tetap dilaksanakan oleh tingkatan/susunan pemerintahan yang saat ini menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren tersebut sampai dengan diserahkannya P3D. Adapun urusan konkuren tersebut meliputi: pengelolaan pendidikan menengah, pengelolaan terminal penumpang tipe A dan tipe B, pelaksanaan rehabilitasi di luar kawasan hutan negara, pelaksanaan perlindungan hutan lindung dan hutan produksi, pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan, pelaksanaan penyuluhan kehutanan provinsi, pelaksanaan metrologi legal berupa tera, tera ulang dan pengawasan, pengelolaan tenaga pengawas ketenagakerjaan, penyelenggaraan penyuluhan perikanan nasional, dan penyediaan dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu; pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik belum berkembang daerah terpencil dan perdesaan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren di luar urusan pada angka 1 dilaksanakan oleh susunan/tingkatan pemerintahan sesuai pembagian urusan pemerintahan sebagaimana terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2014. Khusus penyelenggaraan perizinan dalam bentuk pemberian atau pencabutan izin dilaksanakan oleh susunan/tingkatan pemerintahan sesuai pembagian urus143
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 Suryanto
4.
5.
6.
7.
144
an pemerintahan sebagaimana terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2014 dengan mengutamakan kecepatan dan kemudahan proses pelayanan perizinan serta mempertimbangkan proses dan tahapan yang sudah dilalui. Penataan/perubahan perangkat daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan konkuren hanya dapat dilakukan setelah ditetapkannya hasil pemetaan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 23 Tahun 2014. Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU No. 23 Tahun 2014 dilaksanakan oleh Badan/ Kantor Kesbangpol dan/atau Biro/Bagian pada sekretariat daerah yang membidangi pemerintahan sebelum terbentuknya instansi vertikal yang membantu gubernur dan bupati/walikota untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum tersebut. Pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 UU No. 23 Tahun 2014 dibantu SKPD provinsi sampai dengan dibentuknya perangkat gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, Gubernur, Bupati, dan Walikota diminta: a) Menyelesaikan secara seksama inventarisasi P3D antar susunan pemerintahan sebagai akibat pengalihan urusan pemerintahan konkuren paling lambat tanggal 31 Maret 2016 dan serah terima personel, sarana dan prasarana, serta dokumen (P2D) paling lambat tanggal 2 Oktober 2014, b) Gubernur, Bupati/ Walikota segera berkoordinasi terkait dengan pengalihan urusan pemerintahan konkuren, c) Melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait yang membidangi masing-masing urusan pemerintahan dan dapat difasilitasi oleh Kemendagri, d) Melakukan koordinasi dengan pimpinan DPRD masing-masing, dan e) Melaporkan pelaksanaan Surat Edaran ini kepada Menteri Dalam Negeri pada kesempatan pertama.
Bagaimanapun, terbitnya surat edaran ini setidaknya dapat menjadi “guidance” bagi pemerintah daerah dalam mengimplementasikan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Sebagaimana diketahui bersama, beberapa bagian urusan pemerintahan telah mengalami perubahan atau pergeseran dari sebelumnya. Sebagai contoh, manajemen pendidikan menengah yang semula menjadi kewenangan kabupaten/kota kemudian digeser/dipindahkan kepada pemerintah provinsi. Pergeseran pengelolaan pendidikan menengah dari pemerintah daerah kabupaten/kota ke pemerintah daerah provinsi tentunya tidak sesederhana yang dibayangkan. Oleh karena, implementasi pengelolaan urusan pendidikan khususnya urusan manajemen pendidikan menengah perlu dibimbing dengan regulasi yang lebih sesuai. Memang disadari bahwa kebiasaan menunggu petunjuk pelaksanaan dari pemerintah pusat sebenarnya dapat dikatakan ‘kurang baik’, namun dalam konteks pelaksanaan urusan pemerintahan kiranya keberadaan peraturan pelaksana tersebut masih tetap relevan. Untuk itu, Pemerintah sebaiknya segera mengambil langkah-langkah akselerasi (percepatan) untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP)2 atau peraturan pelaksana yang lebih tinggi dari SE sebagai payung hukum SE Mendagri No. 120 Tahun 2015 dan sekaligus sebagai pengganti PP tentang pembagian urusan pemerintahan. Pembahasan perubahan PP tadi sedapat mungkin dilaksanakan dengan mengikutsertakan segenap stakeholders di antaranya K/L, pemda provinsi, pemda kabupaten/kota, dan para pakar atau pemerhati kepemerintahan daerah. Selain itu, antisipasi yang dapat dilakukan adalah menerbitkan peraturan presiden (PP) sesuai amanat Pasal 15 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014: Urusan pemerintahan konkuren Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan umum akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana dengan urusan wajib dan pilihan, apakah cukup berpegang pada lampiran UU No. 23/2014 ataukah harus menunggu lahirnya PP pengganti PP No. 38/2007? 2
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
yang tidak tercantum dalam Lampiran Undang-Undang ini menjadi kewenangan tiap tingkatan atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan prinsip dan kriteria pembagian urusan pemerintahan konkuren; dan Ayat (3): Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) ditetapkan dengan peraturan presiden. F.
PENUTUP
Produk perundangan silih berganti hadir di tengah carut-marutnya kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Tujuannya tidak lain untuk memberikan jaminan dan kepastian, jaminan akan masa depan yang lebih baik dari sebelumnya. Namun ada kalanya, peraturan perundangan yang hadir justru telah memiliki ‘cacat bawaan’ atau paling tidak potensi yang mengarah kepada kondisi ‘cacat kinerja’. Menurut penulis, hadirnya UU No. 23 Tahun 2014 merupakan obat untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan pemberlakuan UU sebelumnya. Oleh karenanya, penulis mencoba mengelaborasi permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul dalam implementasinya kelak. Dengan mengikuti alur berpikir Dwiyanto (2012), penulis telah mengidentifikasi beberapa problematika dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2014, di antaranya: Pertama, permasalahan yang berasal dari isu distorsi penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dan, kedua, isu perubahan distribusi urusan pemerintahan dan kriteria pembagian urusan pemerintahan. Dalam konteks pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2014, upaya untuk menelisik kemungkinan munculnya permasalahan-permasalahan turunannya masih tetap relevan dan layak menjadi perhatian semua pihak guna menyusun antisipasi penanggulangannya. Beberapa langkah antisipasi yang perlu ditempuh antara lain: Pertama, Kementerian Dalam Negeri dan stakeholders terkait diharapkan segera menerbitkan peraturan perundang-undangan yang diamanatkan dalam UU No. 23/2014, yakni peraturan pemerintah JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
(PP) dan Peraturan Presiden (Perpres). Persoalannya apakah perlu dilakukan penyempurnaan/revisi PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan guna mempertegas pembagian yang sudah tertuang dalam lampiran UU No. 23/2014? Hal ini menjadi menarik, mengingat pemikiran untuk merevisi PP No. 38/2007 sebenarnya bertentangan dengan UU No. 23/2014 karena amanat untuk menerbitkan PP hanya ditujukan pada ketentuan pelaksanaan urusan pemerintahan umum (Pasal 25 Ayat 7) dan perubahan terhadap pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/ kota yang tercantum dalam lampiran UU No. 23/2014 (Pasal 15 Ayat 4). Kedua, penataan kembali hubungan antarlevel pemerintahan, termasuk hubungan pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam implementasi urusan pemerintahan yang lebih baik di masa mendatang. G. DAFTAR PUSTAKA Dwiyanto, Agus, Pembagian Urusan Pemerintahan: Problematika dan Rekomendasi Kebijakan, DSF: 2012 Nurcholis, Hanif, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo: Jakarta Suryanto, Adi dkk., 2008, Manajemen Pemerintahan Daerah, LAN: Jakarta Wasistiono, 2009, Perkembangan Organisasi Kecamatan dari Masa Ke Masa, Fokus Media: Bandung Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur, 2015, Policy Paper: Desain Organisasi Pemerintah Desa Progresif Kontekstual-Menata Struktur Perangkat Desa Berdasarkan Karakteristik Kewenangannya Pasca UU No. 6 Tahun 2014. Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara, 2013, Kedudukan dan Kewenangan Pejabat Publik Menurut Perspektif HAN, LAN: Jakarta Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, 2004, Sistem Manajemen Kinerja Otonomi Daerah, LAN: Jakarta 145
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 Suryanto
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Peraturan Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa
146
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wpcontent/uploads/2015/04/SOSIALIS ASI-UU-NO-23-tAHUN-2014KEBUDAYAAN-DIR-UPD-II1.pdf https://plus.google.com/+VianMolo/posts/ hoGUtZBRMLj tentang Efektivitas Pelimpahan Wewenang Walikota/Bupati kepada Camat dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di tingkat Kecamatan.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa Aristocrats and Traditional Institutions as Intermediary Actors in Sumbawa Yogi Setya Permana Peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Abstrak Pasca desentralisasi, dalam perpolitikan lokal di Indonesia berkembang fenomena baru, yaitu penguatan identitas lokal. Salah satu contoh menguatnya identitas lokal adalah bangkitnya lembaga adat seperti kerajaan dan lembaga adat lainnya. Pada saat yang sama, desentralisasi juga meningkatkan kehadiran aparatur negara, terutama di pulau-pulau terluar Indonesia. Birokrasi merepresentasikan kekuasaan negara pun mendominasi kepemimpinan politik di daerah-daerah tersebut. Kabupaten Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah contoh daerah pulau terluar yang mengalami peningkatan masif keberadaan aparatur negara dan kebangkitan identitas lokal pada saat yang bersamaan. Birokrat di sana mendominasi kepemimpinan formal maupun informal. Sementara itu, kelompok bangsawan lokal membangkitkan semangat kerajaan dengan merevitalisasi Lembaga Adat Tana Samawa (LATS). Dalam dokumen resminya, LATS dimaksudkan sebagai aktor penengah yang memediasi antara pemerintah daerah dan masyarakat. Oleh sebab itu, muncul pertanyaan apakah kehadiran LATS dengan modal simboliknya mampu memperkuat demokrasi lokal di Sumbawa sebagai penyeimbang kepemimpinan politik yang selama ini dimonopoli oleh birokrat. Artikel ini akan mengelaborasi sejauh mana kehadiran LATS di Sumbawa dapat memperkuat demokrasi lokal di tengah derasnya pertumbuhan aparatur negara. Kata kunci: Bangsawan, Lembaga Adat Tana Samawa, Birokrat, Aktor Penengah, Desentralisasi Abstract After decentralization been applied, local politics in Indonesia is marked by the emergence of new phenomena such as the strengthening of local identity. The example of strengthening the local identity is the revival of traditional institutions such as the monarchy and adat institutions. At the same time, decentralization condition to the expansion of the state apparatus especially in the outer islands. State authorities that represented by the bureaucracy dominate the political leadership in these areas. Sumbawa District in West Nusa Tenggara Province is an example of an area in the outer island that is experiencing a massive expansion of the state apparatus and the revival of local identities at the same time. The bureaucrat apparatus dominates formal and informal leadership in the region. Meanwhile, the Sumbawa aristocrats evoke the romance of the monarchy with revitalizing Lembaga Adat Tana Samawa (LATS). In the official documents, it is noted that LATS is intended to be as intermediary actors that mediate between local governments and society. Therefore, it raises a question namely is the presence of LATS with the symbolic capital can strengthen local democracy in Sumbawa as balancing political leadership that monopolized by bureaucrats? This essay will elaborate to what extent the presence of Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) in Sumbawa can strengthen local democracy in the midst of a massive expansion of the state apparatus. Key words: Aristocrats, Lembaga Adat Tana Samawa, Bureaucrats, Intermediary Actors, Decentralization.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
147
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa Yogi Setya Permana Gambar 1. Peta Kabupaten Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara Barat
A. PENGANTAR Setelah kebijakan desentralisasi diaplikasikan, politik lokal di Indonesia ditandai oleh kemunculan berbagai fenomena baru salah satunya adalah penguatan identitas lokal. Fenomena penguatan identitas lokal ini bisa dilihat melalui kebangkitan kembali lembagalembaga tradisional seperti aristokrasi dan lembaga adat. Aristokrasi yang dimaksudkan ialah sistem kesultanan atau kerajaan yang dijalankan oleh para bangsawannya. Pada saat yang sama, desentralisasi mengkondisikan terjadinya perluasan dominasi negara (state apparatus expansion) di level kabupaten/kota. Otoritas negara yang direpresentasikan oleh birokrasi atau pemerintah daerah menjadi kekuatan yang dominan dalam politik dan kepemimpinan di daerah-daerah. Birokrasi menjadi begitu kuat terutama di daerah-daerah yang sumber daya ekonominya menggantungkan pada anggaran daerah (APBD) dan dana alokasi dari pemerintah pusat. Tidak adanya entitas kelompok masyarakat sipil dan para aktor-aktor penengah (intermediary actors) yang mampu mengimbangi dominasi birokrasi di daerah membuat pelembagaan demokrasi lokal terhambat. Kabupaten Sumbawa yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan se148
buah contoh tentang daerah di pulau terluar yang mengalami perluasan dominasi negara (state apparatus expansion) secara masif sekaligus kebangkitan kembali identitas lokal secara bersamaan. Para birokrat daerah mendominasi baik kepemimpinan formal maupun informal di kabupaten tersebut. Sementara itu, para aristokrat Sumbawa membangkitkan romantisme sejarah dengan merevitalisasi Kesultanan Sumbawa melalui Lembaga Adat Tana Samawa (LATS). Di dalam dokumen resminya, para pendiri LATS bertujuan untuk menempatkan lembaga tersebut sebagai aktor yang mampu menjembatani antara pemerintah daerah dan masyarakat di Sumbawa. Dengan demikian, hal ini memunculkan pertanyaan lebih jauh yakni apakah LATS, sebagai sebuah aktor intermediari, mampu memperkuat demokrasi lokal di Sumbawa? Saya berargumen bahwa LATS tidak mampu untuk berfungsi sebagai aktor intermediari yang baik karena ada dua faktor yang berpengaruh. Pertama, ada persoalan kelembagaan yang membuat kinerja LATS tidak responsif dan efektif; Kedua, adanya kepentingan ekonomi dan politik yang mengakibatkan LATS tidak melakukan pembelaan terhadap kelompok yang terpinggirkan. Artikel ini akan mengelaborasi sejauh mana kehadiran JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) mampu menjalankan perannya sebagai aktor-aktor penengah dalam rangka memperkuat demokrasi lokal di Sumbawa. Struktur dari artikel ini terdiri dari (i) pengantar (ii) ulasan teoretis (iii) latar belakang sejarah dan politik Sumbawa (iv) elaborasi LATS sebagai aktor penengah (intermediary actor) (v) kesimpulan. B. ULASAN TEORI Saat ini kita bisa menemukan banyak literatur akademis tentang politik Indonesia yang mendiskusikan fenomena penguatan identitas lokal terutama setelah berakhirnya rezim Orde Baru dan dimulainya sistem desentralisasi (Mietzner dalam Hill, 2014: Schulte Nordholt dalam Harris, Stokke, Tornquist, 2005; Davidson dan Henley (ed), 2007). Sentimen kebangkitan kembali identitas lokal merupakan konsekuensi dari manajemen nation-building pada masa rezim Orde Baru yang menerapkan kebijakan sentralisasi secara ketat (Mietzner dalam Hill, 2014). Suharto mengontrol beragam kelompok etnis dan budaya di Indonesia secara represif dengan menggunakan retorika persatuan dan kesatuan. Birokrasi, Golkar, dan militer merupakan lembaga yang menjadi alat politik bagi Rezim Orde Baru untuk memastikan kontrol yang efektif dan dominasinya di seluruh wilayah Indonesia. Para birokrat senior dan petinggi militer dari Jawa dikirim ke berbagai tempat di Indonesia untuk menjadi kepala daerah terutama di daerah-daerah pulau terluar. Bentuk dari penguatan identitas lokal adalah kebangkitan kembali simbol-simbol otoritas pra-republik (Van Klinken dalam Davidson dan Henley, 2007). Desentralisasi mendorong terjadinya revivalisme identitas, budaya, adat, dan aristokrasi dalam dinamika politik lokal. Kebangkitan ini merefleksikan suatu sentimen primordial yang khas dimana keterikatan dengan tanah, komunitas, dan adat-istiadat merupakan referensi pilihan politik utama yang mengalahkan logika-logika keterikatan lainnnya seperti negara bangsa, kelas, dan hukum negara (Henley, Davidson, JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Moniaga (Eds) dalam Pendahuluan, 2010, hal. 50). Revivalisme sentimen primordial ini disebabkan pula oleh kebutuhan akan tertib politik baru yang belum bisa disediakan dengan baik oleh aturan dan sistem politik modern. Ketidakadilan sosial, lemahnya hukum, dan tindak kekerasan yang sering terjadi membuat masyarakat di banyak daerah mencari solusi alternatif dimana tradisi dan adat-istiadat adalah jawaban sementara (Henley, Davidson, Moniaga (Eds) dalam Pendahuluan, 2010, hal. 18). Para sultan mencoba eksis kembali dalam peta politik lokal dengan menghadirkan gambaran bukan sebagai diktator yang menunggangi feodalisme akan tetapi lebih sebagai representasi adat, identitas, komunitas lokal, milik bersama (common good), serta menawarkan rasa aman. Orde Baru dengan paradigma pertumbuhan ekonomi dan developmentalismenya telah mengasingkan masyarakat di akar rumput Indonesia. Naik-turunnya dinamika politik pasca 1998 juga merongrong rasa aman di benak warga. Etnisitas, indigenitas, adat, dan dongeng-dongeng tentang keraton merupakan jalan pulangnya mereka dari alienasi karena menawarkan keakraban akan nilai dan ikatan lama yang telah (di)hilang(kan) (Van Klinken dalam Davidson, Henley, Moniaga (eds) 2010, hal. 169). Para sultan memiliki peranan simbolik yang bisa dimanfaatkannya sendiri untuk meraih jabatan publik atau untuk mendukung kepemimpinan politik lokal tertentu. Peranan ini kerap bersinggungan dengan kekuasaan birokrasi dan kontrol atas tanah. Peranan simbolik sultan juga merupakan pertaruhan dalam perlawanannya terhadap modernitas yang menggerus rasa hormat masyarakat terhadap institusi kerajaannya (Van Klinken dalam Davidson, Henley, Moniaga (eds) 2010). Gerry Van Klinken (dalam Davidson, Henley, Moniaga (eds) 2010, hal. 169) mencatat bahwa terdapat lusinan aristokrasi yang pamornya meningkat atau mulai dikenal kembali oleh publik seperti Keraton Kasepuhan di Cirebon. Ada juga beberapa kerajaan di Borneo dan Maluku Utara yang bangkit kembali untuk muncul di dalam masyarakat. Terakhir, ada enam aristokrasi yang sedang 149
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa Yogi Setya Permana
mengalami penggalian kembali peninggalan kerajaan seperti Kesultanan Jailolo. Studi Ari Dwipayana yang membandingkan aristokrasi di dua kota (Gianyar dan Surakarta) pasca Orde Baru menangkap kesan yang kurang lebih sama dengan kesimpulan Van Klinken bahwa ada kebangkitan kembali atau minimal daya survivalitas kelompok aristokrasi dalam sistem politik yang baru lewat berbagai strategi. Strategi survivalitas dari aristokrasi di dua kota tersebut adalah berayun dari politik akomodatif ke konfrontatif atau sebaliknya tergantung dari kekuatan dari luar. Apabila kekuatan dari luar atau daya desak eksternal itu sangat kuat maka kelompok aristokrat akan mengambil jalan politik akomodatif namun jika kekuatan dari luar yang mendesak perubahan itu berada dalam kekuatan yang seimbang maka ayunan akan mengarah ke politik konfrontatif (Dwipayana, 2004. hal. 158). Selain tentang penguatan identitas, desentralisasi juga mengondisikan terjadinya penetrasi negara secara masif di daerah. Desentralisasi memperkuat kehadiran negara (pusat) di daerah-daerah (Mietzner dalam Hill, 2014: 47). Hal ini tentunya berlawanan dengan asumsi umum yang diterima tentang desentralisasi dimana desentralisasi memperlemah negara. Pengertian dari desentralisasi adalah pemerintah pusat mendelegasikan sebagian kewenangan atau otoritas kepada pemerintah daerah namun tidak sertamerta negara menjadi lemah (Mietzner dalam Hill (ed), 2014: 57). Kehadiran negara melalui lembaga birokrasinya menjadi semakin bertambah signifikan di daerah-daerah terluar Indonesia yang bahkan pada masa pemerintahan Orde Baru belum begitu tersentuh. Penyebab utamanya adalah karena kebijakan pemekaran daerah yang membuat negara semakin dekat kepada publik. Representasi utama kehadiran negara di daerahdaerah saat ini bukanlah militer seperti yang terjadi pada masa lalu melainkan birokrasi sipil (Mietzner dalam Hill (ed), 2014: 58). Birokrasi yang kuat di dalam politik lokal bisa terlihat pada masa-masa awal setelah transisi 1998 dimana mayoritas dari kepala 150
daerah memiliki latar belakang sebagai birokrat (Aspinall dan Fealy dalam Malley, 2003). Setelah reformasi 1998, birokrat di daerah adalah elite lokal yang dibesarkan oleh rezim Orde Baru. Mereka mampu untuk beradaptasi dengan sistem politik yang baru sehingga mampu mempertahankan keberlangsungan dominasi kekuasaannya. Setelah diberlakukannya kebijakan pemilihan kepala daerah secara langsung pada tahun 2005, birokrat mampu untuk mempertahankan dominasinya di banyak daerah. Tercatat bahwa 36 persen dari para kandidat yang maju dalam 50 pilkada yang dipilih dalam survey, memiliki latar belakang birokrasi. Posisi kedua terbanyak ditempati oleh pengusaha sebanyak 28 persen dan diikuti oleh politisi atau anggota DPR baik pusat maupun daerah sebanyak 22 persen (Mietzner, 2014). Hal ini menunjukkan walaupun rezim politik berubah, para elite lama masih bisa bertahan. Mereka mampu beradaptasi dengan sistem politik yang berubah. Bertahannya elite lama menggambarkan betapa dominasi elite bisnis-politik pada masa Orde Baru masih terjaga. Walaupun Suharto sudah jatuh dari kekuasaan, dominasi elite oligarki tidak terputus (Robison dan hadiz, 2004). Oligarki masih mampu bertahan di tengah tekanan reformasi tata kelola pemerintahan yang didorong oleh berbagai lembaga donor dan lembaga keuangan internasional (Robison dan Hadiz, 2013). Kesuksesan oligarki untuk mampu bertahan karena mereka masih mampu merawat jaringan yang ada di institusi negara maupun di sektor ekonomi. Para predator politik yang memiliki afiliasi secara langsung maupun tidak langsung dengan oligarki nasional kemudian membajak agenda-agenda desentralisasi (Hadiz, 2010). Sirkulasi kekuasaan pada level lokal terbatas pada kelompok oligarki yang mampu beradaptasi secara tepat. Kelompok oligarki ini beraliansi dengan para multi level kapitalis di tingkat lokal, nasional, dan internasional untuk mendominasi sumber daya politik dan ekonomi di daerah-daerah (Hadiz, 2010). Dengan demikian, dalam rangka merawat advokasi terhadap kepentingan publik dan JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
pendalaman demokrasi, peran dari para aktor intermediari bisa diharapkan. Konsep tentang aktor-aktor intermediari ini merujuk pada konsep yang diajukan oleh Olle Tornquist (2009) di dalam bukunya yang berjudul “Rethinking Popular Representation”. Aktoraktor intermediari merupakan aktor perseorangan atau lembaga yang mampu bertindak sebagai mediator antara publik dengan urusan publik. Maksud dari urusan publik ialah kepentingan bersama yang harus dikontrol oleh orang banyak seperti yang berkaitan dengan kebutuhan dasar, akuntabilitas, dan common goods. Lebih jauh lagi, urusan publik bisa dicontohkan dengan pelayanan kesehatan yang terjangkau, biaya pendidikan yang murah namun bermutu, atau pemenuhan rasa aman dari instrumen koersif negara yang profesional. Ada tiga jenis mediasi (Tornquist, Webster, and Stokke, 2009). Jenis yang pertama adalah melalui masyarakat sipil seperti NGO, kelompok-kelompok asosiasi, dan diskursus publik. Masyarakat sipil dalam hal ini didefinisikan bukan yang terisolasi hanya di level akar rumput namun juga mampu berfungsi sebagai mediator yang bernegosiasi dengan entitas-entitas politik lain. Jenis kedua adalah melalui masyarakat politik yakni partai sebagai aktor utama. Jenis ketiga adalah tokoh-tokoh informal atau kelompok yang utamanya berdasarkan hubungan kekerabatan, agama, dan etnisitas. C. ARISTOKRAT DAN POLITIK DI KABUPATEN SUMBAWA Pada bagian ini saya akan menjelaskan peran dari para aristokrat Sumbawa di dalam politik. Hal ini penting karena dengan mengelaborasi latar belakang sejarah Aristokrasi Sumbawa, kita akan memahami konteks kemunculan Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) dan kebangkitan kembali Kesultanan Sumbawa. Fenomena kemunculan LATS merupakan konsekuensi dari sejarah politik di Sumbawa. Pemahaman LATS sebagai aktor antara pun akan didapatkan secara komprehensif.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Pada masa kolonial, Belanda menjalin aliansi dengan elit aristokrat dalam rangka menjalankan pemerintahan tidak langsung atau indirect rule. Setelah Indonesia merdeka, para aristokrat bersaing dengan aktor-aktor politik lainnya untuk mempertahankan posisi kekuasaan. Aristokrasi, terutama di pulaupulau terluar, bekerja sama dengan para birokrat dari Jawa untuk mempertahankan posisi politiknya dari lawan-lawan politik pada tahun 1950-an. Para birokrat kiriman dari Jawa tersebut mendapatkan keuntungan dari aliansi yang terjalin dengan para aristokrat dalam menghadapi musuh bersama yakni partai Islam dan kelompok kiri. Akan tetapi, situasi di Sumbawa menunjukkan kondisi yang berbeda. Tidak ada konflik besar yang terjadi terkait dengan segregasi politik yang umum terjadi pada tahun 1950 – 1960-an. Situasi di Sumbawa cukup berbeda dengan yang terjadi di Jawa maupun daerah-daerah lainnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat seperti Bima dan Lombok. Kesultanan Sumbawa dengan kekuatan-kekuatan politik lainnya relatif mampu menjaga perdamaian bersama. Kelompok-kelompok Islam reformis seperti Muhammadiyah dan PSII merupakan pendukung Kesultanan Sumbawa. Dengan kemampuannya untuk merangkul kelompok-kelompok Islam, Aristokrat Sumbawa bisa mempertahankan karisma dan otoritasnya di dalam masyarakat. Aristokrat Sumbawa mulai kehilangan eksistensinya sejak penghapusan status kesultanan dan penetapan Sumbawa sebagai wilayah Swatantra II atau sederajat dengan kabupaten pada akhir tahun 1950-an. Kemerosotan eksistensi aristorkat Sumbawa ini berlanjut hingga masa Orde Baru dimana tidak ada lagi aristokrat yang menjadi bupati di Sumbawa. Bupati terakhir yang berlatar belakang aristokrat adalah Sultan Mohammad Kaharuddin III yang menjabat pada tahun 1959 sebelum digantikan oleh Madilau ADT pada tahun 1960. Madilau ADT merupakan birokrat karir yang menjadi bupati Sumbawa dalam kurun waktu cukup lama yakni 1960 – 1965 dan 1979 – 1989.
151
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa Yogi Setya Permana
Terbentuknya Rezim Orde Baru menandai pula akan mundurnya kekuasaan Aristokrat Sumbawa. Militer mendominasi politik di tingkat lokal maupun nasional pada masa Orde Baru. Kandidat yang akan menjadi bupati sudah ditentukan oleh Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri. Para aristokrat Sumbawa kemudian mencoba untuk bergabung ke Golkar dengan harapan mampu terakomodasi dalam kekuasaan. Akan tetapi, harapan para arsitokrat tersebut tidak bisa terwujud. Mereka masih terpinggirkan dalam kepemimpinan politik di Kabupaten Sumbawa. Semua bupati yang pernah menjabat di Sumbawa memiiki latar belakang sebagai birokrat atau anggota militer. Tidak ada satupun bupati yang berlatar belakang aristokrat. Hasan Usman (1967 – 1979) adalah seorang birokrat karir yang berasal dari keluarga petani biasa. Jakob Koswara (1989 – 1999) merupakan seorang perwira militer yang berasal dari Jawa Barat. Sebelum menjadi bupati, Ia adalah seorang komandan militer yang bertempat di Mataram, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ia ditugaskan oleh pemerintah pusat sebagai bupati di Sumbawa (wawancara dengan Arassy Muhkan, 9 Juni, 2012). Situasi yang terjadi di Kabupaten Sumbawa tersebut menggambarkan hubungan pusat-daerah yang diciptakan oleh Rezim Orde Baru. Pemerintah pusat mengontrol secara ketat kepemimpinan politik di tingkat lokal. Marcus Mietzner (dalam Hill (ed), 2014: 58) mencatat bahwa 73 persen dari seluruh provinsi di luar Jawa pada periode tahun 1965 – 1998 dijabat oleh gubernur yang berasal dari Jawa atau Sunda. Selain itu, 20 dari 26 provinsi pada tahun 1970 dijabat oleh gubernur yang berlatar belakang militer (Nordholt dalam Harris, Stokke, Tornquist, 2005). Disamping penghapusan status kesultanan, penurunan eksistensi Aristokrasi Sumbawa disebabkan oleh hilangnya kuasa dan kontrol atas tanah kesultanan. Kebijakan land reform yang dikeluarkan oleh Sukarno melalui Undang-Undang Agraria tahun 1960, mengurangi kepemilikan tanah dari para aristo152
krat Sumbawa secara signifikan. Bagi para aristrokat, tanah merupakan sumber daya ekonomi yang sangat penting. Melalui penguasaannya atas tanah, mereka menjaga struktur patronase. Dengan hilangnya basis sumber daya ekonomi tersebut, para aristokrat di Sumbawa kehilangan pengaruhnya di masyarakat secara drastis. Sebelumnya, Aristokrat Sumbawa menguasai lebih kurang 500 hektar tanah komunal. Kesultanan Sumbawa mempunyai hak kepemilikan terhadap tanah yang sangat luas mirip dengan tanah sultan yang ada di Yogyakarta. Tanah yang dimiliki oleh Kesultanan Sumbawa disebut sebagai ‘uma pemangan’ dimana maksudnya ialah tanah sawah yang berfungsi sebagai sumber makanan bagi istana dan penghuninya. ‘Uma pemangan’ yang dimiliki oleh kesultanan sebagian besar merupakan tanah subur dengan sistem irigasi yang baik. Setelah kebijakan land reform dilaksanakan di Sumbawa, tanah tersebut tidak lagi dimiliki oleh kesultananan karena status kepemilikannya berpindah. Akan tetapi, status kepemilikan tanah kesultanan tersebut tidak serta merta semuanya dimiliki oleh publik. Militer menguasai lebih dari 37 ribu meter persegi yang digunakan sebagai Markas Polisi Militer dan perumahan untuk prajurit (wawancara dengan pengurus LATS, 7 Juni 2012). Setelah runtuhnya Rezim Orde Baru, dominasi birokrat di dalam politik formal maupun informal belum tergantikan. Semua bupati yang terpilih memiliki latar belakang birokrasi. Latif Madjid yang menjadi bupati pada periode 2000 -2005 sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Daerah kabupaten Sumbawa Barat. Jamaluddin Malik yang terpilih sebagai bupati pada tahun 2005 – 2015 posisi terakhirnya adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Sumbawa. Asosiasi-asosiasi kelompok masyarakat pun dipimpin oleh para birokrat baik yang sudah pensiun maupun yang masih aktif bekerja. Kelompok-kelompok asosiasi masyarakat seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Forum Persaudaraan Umat Beragama (FPUB) dipimpin oleh para pensiunan birokrat. Lebih jauh lagi, banyak dari para biJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
rokrat yang memiliki surat kabar-surat kabar lokal di Sumbawa. Tidak sedikit pensiunan birokrat juga yang menjadi ketua cabang partai politik di Sumbawa. Dominasi birokrat di Sumbawa juga dipengaruhi oleh postur anggaran daerah. Ekonomi Kabupaten Sumbawa masih bertumpu pada dana dari pemerintah. Sumber keuangan terbesar Kabupaten Sumbawa pada tahun 2010 beradal dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang jumlahnya mencapai 436 miyar rupiah. Sementara itu, kontribusi dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya mencapai 41 milyar rupiah. Alokasi terbesar dari anggaran pemerintah daerah tersebut tentu saja untuk membiayai pengeluaran birokrasi. Eksistensi Aristokrat Sumbawa meningkat sejak kepulangan kembali Daeng Muhammad Abdurahman Kaharuddin atau yang sering disebut dengan Daneg Ewan ke Sumbawa. Ia adalah putra dari Sultan Muhammad Kaharuddin III yang merupakan Sultan Sumbawa terakhir. Daeng Ewan diangkat diangkat menjadi Sultan secara resmi melalui musakarah adat atau upacara tradisional pada tahun 2011. Sejak masa mudanya, Daeng Ewan sudah merantau keluar dari Sumbawa. Ia kemudian kuliah di Universitas Indonesia dan berhasil meraih gelar sarjana. Ia kemudian melanjutkan bekerja sebagai bankir. Daeng Ewan pernah menjadi Direktur Bank Bumi Daya dan komisaris di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Nusa Tenggara Barat. Sebelum secara resmi diangkat sebagai Sultan Sumbawa, Daeng Ewan pernah mencoba untuk maju sebagai kandidat bupati dalam pemilihan kepala daerah secara langsung Kabupaten Sumbawa pada tahun 2005. Akan tetapi, Ia tidak mampu memperoleh cukup dukungan dari partai politik untuk mendapatkan sedikitnya 15 persen dari total kursi di lembaga legislatif daerah. Daeng Ewan pun kemudian tidak lolos syarat administrasi untuk maju dalam tahap pencalonan berikutnya. Para pendukung Daeng Ewan percaya bahwa Latif Madjid, bupati petahana, adalah aktor yang menyabotase dukungan partai politik yang sebelumnya berjanji untuk diberikan kepada sang putra mahkota tersebut JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
(wawancara dengan pengurus LATS, 7 Juni 2012). Mereka berasumsi bahwa ada beberapa elite dan pendukungnya yang khawatir dengan eksistensi aristokrat di Sumbawa. Setelah kegagalan dalam tahapan proses pemilihan umum kepala daerah secara langsung tersebut, Daeng Ewan memilih untuk fokus melakukan revitalisasi Kesultanan Sumbawa melalui Lembaga Adat Tana Samawa (LATS). Ia berharap keberadaannya mampu memperkuat kembali eksistensi Aristokrasi Sumbawa dengan modal simboliknya sebagai sultan (wawancara dengan Daeng Ewan, 9 Juni, 2012). D. LATS SEBAGAI AKTOR PENENGAH Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) sebenarnya sudah berdiri sejak tahun 1996 tetapi payung hukum tentang keberadaan lembaga adat tersebut baru dibuat pada tahun 2007 yakni melalui Peraturan Daerah Kab. Sumbawa No. 23 tahun 2007. LATS saat pertama kali didirikan bertujuan untuk merawat warisan budaya Sumbawa. Akan tetapi dengan tiadanya payung hukum dan pengorganisasian yang relatif tidak terlembaga dengan baik maka kinerja LATS tidak optimal. Lembaga tersebut tidak banyak melakukan aktivitas dan sepi dari kegiatan. LATS tidak lebih dari sekedar “lembaga papan nama” yang tidak memiliki kiprah signifikan. Absennya figur panutan yang memimpin lembaga adat turut pula memposisikan LATS tidak terlalu eksis di tengah masyarakat. Kondisi tersebut membuat LATS tidak mampu untuk mengakomodasi agenda-agenda kebudayaan dan adat-istiadat dalam kebijakan publik di Kabupaten Sumbawa. Setelah kepulangan Daeng Ewan ke Sumbawa, LATS diaktifkan kembali seiring dengan keinginan untuk membangkitkan kembali Kesultanan Sumbawa. Dengan diangkatnya Daeng Ewan sebagai pemangku adat sekaligus Ketua LATS pada Musakarah Adat 2011, Ia diharapkan untuk mampu meningkatkan eksistensi para aristokrat melalui LATS. Penunjukan Daeng Ewan sebagai Ketua LATS dan penobatannya sebagai Sultan Sumbawa ke-17 sesungguhnya sebagai bagian da153
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa Yogi Setya Permana
ri upaya revitalisasi eksistensi kesultanan di dalam masyarakat. Daeng Ewan sejak mudanya merantau sehingga relatif kurang berakar di dalam masyarakat Sumbawa. Terlebih beliau belum dilantik menjadi sultan ketika masa-masa tersebut. Bupati-bupati yang memimpin Sumbawa pun lebih banyak yang berasal dari luar Sumbawa dan bukan dari keluarga kesultanan. Mayoritas para bupati tersebut berlatar belakang birokrat dan militer. Representasi kepemimpinan tradisional dari Sumbawa di dalam politik formal pun kemudian menghilang. LATS dimaksudkan menjadi representasi simbolik dari warisan kesultanan dan identitas budaya masyarakat Sumbawa karena kesultanan secara resmi telah dihapuskan sejak bergabung dengan Republik Indonesia. Dengan demikian untuk memulihkan eksistensi tersebut kebutuhan untuk menciptakan figur panutan menjadi penting. Hal inilah kemudian yang melatarbelakangi revitalisasi LATS dan penobatan Daeng Ewan menjadi Sultan Sumbawa. Masyarakat Sumbawa merindukan atribut budayanya sebagai identitas kolektif yang beberapa waktu sebelumnya tidak bisa diekspresikan secara sempurna karena sentralisme ketat politik Orde Baru. Para pemimpin politik formal di Sumbawa sebelumnya dinilai tidak menaruh banyak perhatian terhadap nilai-nilai pengembangan budaya Samawa. Musakarah Adat di tahun 2011 juga menghasilkan keputusan penting selain penobatan Daeng Ewan sebagai Sultan dan pemangku adat. menempatkan LATS sebagai lembaga penengah (intermediary) antara pemerintah daerah (state) dengan masyarakat (society). LATS diharapkan menjadi jembatan mediasi bila terjadi konflik antara pemerintah dengan masyarakat. Peraturan Daerah Nomor 23 tahun 2007 juga memberikan tugas bagi LATS untuk bisa berperan menjadi fasilitator dan mediator dalam penyelesaikan perselisi-han yang menyangkut adat istiadat dan kebiasaan masyarakat. Dengan demikian, muncul pertanyaan lebih lanjut yakni apakah LATS mampu menjadi antor antara yang mengimbangi dominasi birokrasi di 154
Sumbawa? Ada dua hal yang menjelaskan mengapa LATS tidak mampu berfungsi sebagai aktor antara secara efektif di Sumbawa yaitu karena persoalan kelembagaan dan orientasi terhadap sumber daya ekonomi. Pertama, adanya persoalan kelembagaan yang dialami oleh LATS menyebabkan lembaga tersebut tidak mampu bekerja secara efektif sehingga tidak sesuai dengan yang diharapkan pada saat didirikannya. Dominasi pemerintah daerah di dalam tubuh organisasi LATS ternyata sangat besar. Dengan duduknya bupati sebagai anggota dewan penasehat dan para birokrat lainnya di kepengurusan LATS, tetap terbuka kemungkinan adanya kooptasi oleh pemerintah daerah. Komunitaskomunitas adat yang ada di Sumbawa tidak disertakan dalam perumusan peraturan daerah yang mengatur tentang keberadaan LATS. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa-masa awal keberadaannya, LATS sudah terkooptasi oleh pemerintah daerah. Komunitas adat Sumbawa, yang dimotori oleh para aristokrat dan para pendukungnya, tidak diberikan ruang untuk merumuskan sendiri postur kelembagaan dari LATS. Peraturan daerah tentang LATS tidak dilengkapi dengan aturan yang lebih teknis terkait dengan lingkup dengan kewenangan yang diberikan kepada lembaga tersebut. Tanpa kewenangan yang jelas tentang lingkup kerjanya, LATS tidak mempunyai otonomi untuk menentukan agendanya sendiri. Selain itu, para petinggi birokrasi daerah menduduki posisi-posisi penting di dalam lembaga sehingga secara tidak langsung kewibawaan dari LATS di depan masyarakat pun menurun. Dominasi birokrat di dalam LATS sebenarnya bertentangan dengan Peraturan Adat No. 1 tahun 2009 tentang pemberdayaan, pelestarian perlindungan, dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat wilayah negara Republik Indonesia. Peraturan tersebut memberi mandat bahwa relasi antara lembaga adat dengan pemerintah daerah adalah kemitraan dan koordinatif. Dengan demikian, lembaga adat bukanlah bawahan dari pemerintah daerah. Lembaga adat seharusnya tiJURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
dak disubordinasi oleh pemerintah daerah. Hal ini karena tujuan dari aktor antara, sebagaimana LATS, adalah sebagai representasi alternatif yang menghubungkan antara masyarakat dengan pemerintah. Kedua, kepentingan terhadap sumber daya ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan LATS di dalam konflik antara suku Cek Bocek dengan PT Newmont dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Selain tidak mencoba untuk melakukan pembelaan terhadap suku Cek Bocek, LATS terlibat dalam persekusi terhadap kelompok masyarakat tersebut dengan modal simbolik yang dimiliki. Daeng Ewan, sebagai Sultan Sumbawa sekaligus pemimpin adat, menggunakan otoritasnya untuk memberikan pernyataan bahwa Suku Cek Bocek bukan bagian dari Kesultanan Sumbawa ataupun etnis Samawa. Samawa merupakan etnis yang tinggal di daerah Kabupaten Sumbawa serta yang mendirikan Kesultanan Sumbawa. Konflik antara Suku Cek Bocek dengan PT Newmont dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa bermula dari penolakan suku tersebut terhadap kegiatan eksplorasi tambang yang mencakup 16.568.54 hektar pada tahun 2006 (Harianto, 2012). Penolakan tersebut karena kegiatan eksplorasi tambang menduduki pemukiman penduduk asli dan tanah leluhur Suku Cek Bocek. Masyarakat adat Suku Cek Bocek tersebar pada tiga desa di wilayah selatan Kabupaten Sumbawa. Tiga desa tersebut antara lain Desa Lawin, Desa Lebangkar, dan Desa Ketapang. Suku Cek Bocek yang mendiami Desa Lawin berjumlah 400 kepala keluarga. Sedangkan yang mendiami Desa Lebangkar dan Ketapang masing-masingnya berjumlah 500 kepala keluarga dan 600 kepala keluarga (Antara, 7 Januari, 2012). Selain menduduki wilayah pemukiman, kegiatan eksplorasi tambang juga mencakup Hutan Elang Dodo yang merupakan tanah leluhur sekaligus lokasi yang disakralkan oleh Suku Cek Bocek. Mereka juga menggunakan Hutan Elang Dodo untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti berburu, beternak madu, dan mengambil hasil hutan lainnya seperti kayu. JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Kegiatan eksplorasi tambang yang ditentang oleh Suku Cek Bocek merupakan bagian dari kontrak jangka panjang yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia dan PT Newmont Gold Company pada tahun 1986. Kontrak karya tersebut mengatur operasi PT Newmont dalam menambang komoditas tembaga dan emas seluas 1.127.134 hektar yang berada di wilayah Nusa Tenggara Barat (Harianto, 2012). Setelah dilaksanakannya desentralisasi, Pemerintah Kabupaten Sumbawa memiliki otoritas untuk menyetujui perpanjangan kontrak pada tahun 2005. Suku Cek Bocek kemudian meminta DPRD untuk membela hak mereka dengan melakukan protes kepada Pemerintah Kabupaten Sumbawa dan PT Newmont. Akan tetapi, permintaan Suku Cek Bocek tersebut tidak mendapatkan respon yang diharapkan. Pemerintah Kabupaten Sumbawa menilai bahwa Hutan Elang Dodo bukan merupakan tanah adat dari Suku Cek Bocek. Hutan tersebut adalah milik negara (Sumbawa News, 12 Januari, 2012). Sebagai akumulasi kekecewaan, Suku Cek Bocek melakukan penghentian aktivitas eksplorasi PT Newmont secara paksa di tanah yang diklaim sebagai tanah adat, termasuk yang ada di Hutan Elang Dodo. Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) terlibat dalam konflik namun bukan dalam kapasitasnya sebagai mediator. Pimpinan LATS, melalui Daeng Ewan, yang sekaligus sebagai pemimpin adat, tidak mengakui eksistensi Suku Cek Bocek sebagai bagian dari etnis Samawa. Sultan berargumen bahwa keberadaan Suku Cek Bocek tidak pernah muncul dalam catatan sejarah Kesultanan Sumbawa. Pernyataan dari Daeng Ewan selaku pemimpin LATS tersebut menjadi legitimasi Pemerintah Kabupaten Sumbawa untuk menolak tuntutan Suku Cek Bocek (Sumbawa News, 3 Januari, 2012). Pernyataan pimpinan LATS tersebut kemudian ditolak oleh perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang mendampingi Suku Cek Bocek dalam konflik dengan PT Newmont dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Ketua AMAN, Abdon Nababan, ikut serta secara langsung membantu 155
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa Yogi Setya Permana
Suku Cek Bocek dalam beberapa pertemuan dengan pemerintah dan PT Newmont. AMAN menyatakan bahwa Suku Cek Bocek sah untuk disebut sebagai orang asli di Sumbawa (Sumbawa News, 16 Januari, 2012). Hal ini karena mereka sudah tinggal selama beberapa generasi pada lokasi geografi tertentu dan menerapkan aturan adat sendiri. Selain itu, AMAN berpendapat bahwa Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) bukanlah representasi masyarakat adat melainkan Aristokrasi Sumbawa. Dengan demikian, LATS merepresentasikan feodalisme yang bertentangan dengan prinsip egalitarian dalam komunitas adat. LATS, yang merepresentasikan Kesultanan Sumbawa saat ini, tidak mampu untuk memposisikan diri sebagai aktor antara seperti yang diharapkan sebelumnya. Modal simbolis yang dimiliki oleh LATS dan Kesultanan hanya digunakan sebagai alat untuk bisa mengakses sumber daya ekonomi yang disediakan oleh pemerintah maupun korporasi global. Hal ini, kurang lebih, bisa dilihat dari bersedianya pemimpin LATS untuk menempati posisi sebagai anggota Komite Konsultasi Eksplorasi (KKE) PT Newmont Nusa Tenggara. E. KESIMPULAN Kasus Sumbawa menunjukkan bahwa penguatan identitas lokal melalui kebangkitan kembali aristokrasi tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendalaman demokrasi di daerah. Kesultanan Sumbawa yang direpresentasikan oleh kehadiran Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) tidak mampu untuk berperan sebagai aktor penengah (intermediary actor) yang memberikan pembelaan terhadap kelompok marjinal. Mereka justru menjadi bagian dari oligarki lokal – korporasi global yang menjalin aliansi untuk membajak agenda-agenda desentralisasi. Besarnya pengaruh negara melalui pemerintah daerah tidak mampu diimbangi oleh LATS. Dominasi birokrat di tubuh LATS menyebabkan lembaga tersebut relatif tidak independen. Pengurus LATS non birokrat juga tidak disertakan dalam perumusan regulasi yang mengatur kerja LATS. Hubungan antara 156
LATS dan pemerintah daerah bukan lagi kemitraan melainkan subordinasi. LATS hanya memberikan dukungan dan legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah seperti yang terjadi pada kasus Suku Cek Bocek. Hal ini cukup ironis mengingat potensi LATS untuk mampu menjalankan fungsinya dengan baik sebagai penengah antara state dengan society (intermediary actors). Legitimasi simbolik dari warga karena merupakan lembaga yang mengakomodasi atribut budaya dan identitas lokal adalah modal yang bisa dikonversi menjadi alat tekan ampuh terhadap pemerintah daerah untuk mendesakkan kebijakan daerah yang sesuai dengan agenda LATS. LATS dengan kepengurusannya yang ditargetkan hingga masuk sampai level desa memiliki akar yang kuat dalam masyarakat sehingga kebutuhan untuk mobilisasi massa pun bukan sesuatu yang sulit. Jangan sampai LATS hanya menjadi alat para elite lokal, termasuk aristokrat yang muncul kembali, untuk mengejar kepentingan ekonomi-politik. F.
DAFTAR PUSTAKA
Antara News. 2012. “Masyarakat Adat Khawatirkan Konflik Horizontal di Sumbawa” Mataram: Antara News, January 7. Dwipayana, AAGN. 2004. Bangsawan dan Kuasa: Kembalinya Para Ningrat di Dua Kota. Yogyakarta: IRE Press Erb, Mariberth dan Priyambudi Sulistyanto (eds). 2009. Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada). Singapore: ISEAS Hadiz, Vedi R. 2010. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective. Stanford: Stanford University Press. Hadiz, Vedi R. and Richard Robison. 2013. The Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia. Indonesia, No. 96, Special Issue: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics (October 2013), pp. 35-57
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
Harianto, Iwan. 2012. Sengketa Usaha Pertambangan di Wilayah Hutan Elang Dodo Kabupaten Sumbawa. University of Udayana: Unpublished Material Harris John, Kristian Stokke and Olle Tornquist (eds). 2005. Politicising Democracy: Local Politics and Democratisation in Developing Countries. London: Palgrave Macmillan David Henley, Jamie Davidson, Sandra Moniaga (Ed). 2010. Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta: KITLV Klinken, Gerry Van. “Return of the Sultans: The Communitarian turn in local Politics” in Jamie S. Davidson and David Henley (ed). 2007. The Revival of Tradition in Indonesian Politics: The deployment of adat from colonialism to indigenism. New York: Routledge Malley, Michael. “New rules, old structures and the limits of democratic decentralisation” in Edward Aspinall and Greg Fealy (ed) 2003. Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation. Singapore: ISEAS Mietzner, Marcus. “Indonesia’s decentralization: the rise of local identities and the survival of the nation-state” in Hal Hill (ed). 2014. Regional Dynamics in a Decentralized Indonesia. Singapore: ISEAS Mietzner, Marcus. 2014. More Democracy Through Pilkada? The Direct Local Elections Since 2005. Unpublished Material Pulau Sumbawa News. 2012. “Pertemuan Pemda, LATS dengan Cek Bocek Ber-
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
langsung Ricuh”. Sumbawa Besar: Pulau Sumbawa News, January 16 Pulau Sumbawa News. 2012. “Bupati Sumbawa Tidak Akui Suku Cek Bocek”. Sumbawa Besar: Pulau Sumbawa News, January 3 Robison, Richard and Vedi. R. Hadiz. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge. Schulte Nordholt, Henk dan Gerry van Klinken (eds). 2007. Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: KITLV-Yayasan Obor Indonesia Schulte Nordholt, Henk dan Ireen Hoogenboom (eds). 2006. Indonesian Transitions. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 Schulte Nordholt, Henk. “Decentralisation in Indonesia: Less State, More Democracy?” in John Harriss, Kristian Stokke and OlleTornquist (ed). 2005. Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratisation. New York: Palgrave Macmillan Tornquist, Olle. “Introduction: The Problem is Representation! Towards an Analytical Framework” in Olle Tornquist, Neil Webster, and Kristian Stokke (ed). 2009. Rethinking Popular Representation. New York: Palgrave Macmillan.
157
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa Yogi Setya Permana
158
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Petunjuk Penulisan JURNAL DESENTRALISASI merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara dengan Kode ISSN 1412-3568. Untuk memperkaya isi jurnal, redaksi mengundang para peneliti, dosen, pakar dan praktisi pemerintah atau pengamat untuk menyumbangkan hasil penelitian dan atau hasil pemikiran kritis di bidang desentralisasi dan otonomi daerah dan otonomi daerah. Topik jurnal desentralisasi mencakup berbagai isu dan permasalahan otonomi daerah. Substansi yang dikembangkan meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah. Ketentuan umum penulisan naskah Jurnal Desentralisasi adalah sebagai berikut: 1. Naskah merupakan hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis terhadap isu-isu di bidang desentralisasi dan otonomi daerah, yang meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, serta dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah; 2. Naskah diketik dalam Bahasa Indonesia (untuk abstrak/intisari dan keyword/kata kunci diketik dalam dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), menggunakan kertas ukuran kuarto sepanjang 15-20 halaman (termasuk gambar, tabel dan daftar pustaka). Menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Batas tepi kanan 2,5 cm, batas tepi kiri 3 cm, batas atas 3 cm dan batas bawah 3 cm. 3. Setiap tabel dan gambar diberi judul. Posisi judul tabel berada di bawah tabel, sedangkan posisi judul gambar berada di atas gambar. 4. Format tulisan sekurang-kurangnya terdiri atas: a. Judul tulisan; b. Nama penulis, apabila penulis lebih dari satu orang, maka penulis yang ditulis pertama adalah penulis utama; c. Institusi dan alamat tempat penulis bekerja, apabila memungkinkan disertakan nomor telepon dan alamat email penulis; d. Abstrak/intisari ditulis dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris masing-masing sepanjang 100-200 kata disertakan keyword/kata kunci; e. Pendahuluan, sebagai pembukaan memuat aspek-aspek atau hal-hal yang membuat tema tulisan tersebut menarik dan mengundang rasa keingintahuan. Penulis dapat mengemukakan fenomena-fenomena menarik terkait dengan topik tulisan dengan disertai data-data pendukung. Dan pada akhir bagian ini perlu diberikan tujuan penulisan tema yang ditulis; f. Metode penelitian, apabila naskah tersebut merupakan hasil penelitian maka perlu dituliskan metode penelitian yang digunakan; g. Bagian analisis dan pembahasan atau bisa menggunakan nama lain yang relevan dengan topik tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan pembahasan serta interpretasi terhadap data; h. Penutup, bisa berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi berkaitan dengan tujuan penulisan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan; i. Daftar pustaka, disusun berdasar abjad, ditulis pada bagian akhir tulisan dengan susunan dimulai dari nama (diawali dengan nama belakang dan dipisahkan dengan tanda koma), tahun penerbitan, judul tulisan, kota penerbit dan nama penerbit. Untuk sumber yang diperoleh dari internet harus disertakan tanggal sumber tersebut diakses/diunduh. Beberapa contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut: Doherty, Tony L., dan Terry Horne, 2002, Managing Public Services, Implementing Changes: a Thoughtful Approach to The Practice of Management, New York: Routledge.
Nasution, Nur, 2004, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta: Ghalia Indonesia. 5. Catatan kaki (footnote) dapat digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bagian isi naskah atau sebagai acuan berkaitan dengan sumber data yang dikutip; 6. Setiap data yang berupa kutipan baik dalam bentuk kalimat langsung maupun tidak langsung, gambar, serta tabel yang diambil dari sumber lain harus dicantumkan sumbernya, ditulis dalam daftar pustaka; 7. Naskah dapat dikirimkan langsung atau melalui email ke redaksi Jurnal Desentralisasi dengan alamat: Redaksi Jurnal Desentralisasi Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara Gedung B Lantai 3 Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110 Telp. (021) 3868201-07 Ext. 114, 115 Email:
[email protected] Setiap naskah yang masuk ke Redaksi setelah lolos seleksi oleh Redaksi, akan di-review oleh Mitra Bestari, dan terhadap setiap naskah yang dimuat akan diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang layak kepada penulis.***