1
DESENTRALISASI PENDIDIKAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA Oleh: Aos Kuswandi
A. Pendahuluan
Penyelenggaraan pemerintahan daerah
di Indonesia telah mengalami
pergeseran secara signifikan dari model sentralistik menuju desentralistik1. Adanya perubahan ini terjadi sejalan dengan bergulirnya reformasi sistem
politik dan
pemerintahan pasca runtuhnya rezim Orde Baru tahun 1998. Reformasi bidang pemerintahan dengan model desentralistik diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Lahirnya dua UU otonomi daerah tersebut bertujuan untuk menciptakan kemandirian daerah di dalam kerangka Negara Kasatuan Republik Indonesia (Sarundajang,2003). Implikasi adanya kebijakan desentralisasi adalah dilaksanakannya pelimpahan kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan Daerah. Melalui desentralisasi tersebut pemerintahan daerah memiliki hak untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sesuai dengan potensi, kebutuhan dan permasalahan di daerahnya masing-masing. Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan2. Bagi Pemerintahan Kabupaten/Kota berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
memiliki
1
Perubahan model pemerintahan ini menunjukkan adanya itikad baik Pemerintah yang telah menyadari bahwa sentralisisi pemerintahan (seperti tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1974) terbukti gagal…, lihat Sarundajang ,S.H., 2000. Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah . Jakarta: Pustaka Sinar Harapan., Lihat juga Sarundajang, S.H. 2003. Biriokrasi Dalam Otonomi Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal. 57-73. 2 Penjelasan mengenai jumlah dan jenis urusan baik menyangkut urusan wajib maupun urusan pilihan bagi pemerintahan daerah dapat dilihat dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerarah, terutama pada BAB III PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN mulai pasal 10 sampai dengan pasal 18.
2
kewenangan dalam 16 urusan wajib, sedangkan untuk urusan pilihan disebutkan dalam UU tersebut meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Urusan pendidikan merupakan salah satu urusan wajib pemerintahan yang diatur secara khusus dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal 11 UU tersebut diuraikan bahwa Pemerintah dan Pemerintahan Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi dan menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Tulisan ini memfokuskan pada pokok bahasan desentralisasi pendidikan dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Dibagi ke dalam tiga bagian tulisan yaitu: Bagian pertama akan membahas mengenai Konsep desentralisasi dalam pemerintahan. Pada bagian ini akan dipaparkan konsep desentralisasi secara teori, alasan-alasan mengapa desentralisasi menjadi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan atau negara. Kemudian pada bagian kedua akan diuraikan mengenai bahasan Konsep desentralisasi Pendidikan .Pada bagian ini akan diuraikan lebih detail mengenai konsep desentralisasi pendidikan
dari berbagai
varibael yang
mempengaruhinya. Pada bagian Ketiga dari tulisan ini akan menguraikan Desentralisasi Pendidikan : Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia. Pada bagian ini akan diuraikan mengenai penyelenggaraan desentralisasi pendidikan baik secara konsep, maupun aspek normatif dan implementasi dalam otonomi daerah. Mengakhiri keseluruhan tulisan ini akan dipaparkan kesimpulan yang merupakan penutup dari tulisan ini. B. Desentralisasi dalam Pemerintahan Desentralisasi berlangsung sebagai bagian dari reformasi politik yang lebih 3
luas . Dalam hal ini menunjukkan bahwa desentralisasi sebagai proses perubahan dalam sistem politik/pemerintahan negara. Arah dari desentralisasi sebagai demokratisasi dalam politik dan pemerintahan di daerah.
Rahmatunnisa (2011)
menjelaskan bahwa desentralisasi dipandang sebagai strategi penting dalam rangka 3
Lihat Florestal, Ketleen dan Robb Cooper. 1997. Decentralization of Education, Legal Issues, Washington, D.C: Worldbank. Hal. 10-13.
3
memperkuat demokratisasi4. Pembahasan manfaat dari desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah berkaitan erat dengan tujuan dari desentralisasi itu sendiri. Salah satu tujuan desentralisasi untuk memperluas pengambilan keputusan sekaligus meningkatkan tanggung jawab dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan (Valenzuela,2010). Desentralisasi diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya karena faktor-faktor:1) untuk pendidikan politik; 2) untuk latihan kepemimpinan politik; 3) untuk memelihara stabilitas politik; 4) untuk mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat; 5) untuk memperkuat akuntabilitas publik; dan 6) untuk meningkatkan kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat (Smith ,1986 dan Ratnawati,2003). Dalam hal ini mengandung makna bahwa melalui desentralisasi maka penyelenggaraan pemerintahan senantiasa melibatkan berbagai pihak terkait sehingga tujuan dapat dicapai. Kebijakan desentralisasi untuk otonomi daerah pada dasarnya merupakan koreksi terhadap kegagalan sistem sentralisasi dan uniformisasi pemerintahan yang selama ini berlaku (Rasyid,2001 dan Haris,2007).
Desentralisasi
kebijakan sebagai jawaban dari kegagalan yang terjadi akibat dari
merupakan kebijakan
sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi menghasilkan pemerintahan
lokal
(local
government)
(Imawan,2007).
Hubungan
antara
desentralisasi dengan pemerintahan daerah, dalam pembahasan lebih luas melalui desentralisasi, pemerintah yang lebih tinggi berdasarkan tanggung jawab yurisdiksi, menetapkan tanggungjawab, otoritas, atau fungsi untuk pemerintah yang lebih rendah meliputi yurisdiksi yang lebih kecil yang diasumsikan memiliki beberapa tingkatan otonomi (Rondinelli,1983:35). Beberapa alasan mengapa desentralisasi menjadi pilihan dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal. Setidaknya ada 14 alasan penerapan desentralisasi5: (1) Desentralisasi dapat menjadi sarana untuk mengatasi keterbatasan perencanaan yang bersifat sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan, terutama dalam perencanaan pembangunan. Dengan desentralisasi maka 4
Mudiyati Rahmatunnisa, Desentralisasi dan Demokrasi, Jurnal Ilmu Pemerintahan Governance, Vol.1, No. 2, Mei 2011, Bekasi: Program Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Islam ‘45’ Bekasi.Op.cit. hal. 52. Dalam pembahasannya diuraikan beberapa pendapat ahli misalnya: Misalnya, Redy dan Sabelo (1997) dan Hart (1972) dengan tegas mengatakan bahwa demokratisasi tidak akan efektif jika tidak disertai dengan desentralisasi kekuasaan yang efektif.
5
Dapat dilihat secara jelas dalam Rondinelli,” Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory and Practice in Developing Countries, “ International Rehiew of Administrative Science, vol.XLVII, no. 2 (1981): 133-145, from which this section draws heavily.
4
perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat heterogen. (2) Desentralisasi dapat memotong birokrasi yang rumit dan prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat . (3) Dengan desentralisasi fungsi dan penugasan kepada pejabat di Daerah, maka tingkat pemahaman serta sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat Daerah akan meningkat. (4) Desentralisasi juga dapat memungkinkan terjadinya "penetrasi" yang lebih baik dari kebijakan pemerintah pusat ke daerah-daerah. (5) Desentralisasi memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, keagamaan, etnis, dan suku dalam perencanaan pembangunan. (6) Desentralisasi dapat meningkatkan kapasitas pemerintahan serta lembaga swasta di daerah. (7) Desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan.. (8) Desentralisasi juga dapat menyediakan struktur dalam pembangunan yang dapat dikoordinasikan secara lebih efektif (9) Struktur pemerintahan desentralisasi diperlukan untuk melembagakan partisipasi warga dalam perencanaan pembangunan dan manajemen. (10) Dengan membuat sarana alternatif pengambilan keputusan yang pro terhadap masyarakat miskin (11) Desentralisasi dapat menyebabkan administrasi lebih fleksibel, inovatif, dan kreatif. (12) Desentralisasi perencanaan pembangunan dan fungsi manajemen memungkinkan pemimpin lokal untuk mencari layanan dan fasilitas lebih efektif dalam masyarakat. (13) Desentralisasi dapat meningkatkan stabilitas politik dan persatuan (14) Desentralisasi dapat meningkatkan ketersediaan jumlah barang publik dengan biaya lebih rendah. Sejumlah nilai positif yang dikemukakan oleh Rondinelli tersebut bermakna baik bagi upaya pencapaian efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah. Terkait dengan hal tersebut, desentralisasi sebagai azas penyelenggaraan pemerintahan melahirkan otonomi daerah. Rasyid
dalam Haris
(2007:16) menjelaskan butir-butir substansial dari desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah sebagai berikut: “Kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah adalah salah satu bentuk implementasi dari kebijakan demokratisasi. Dalam konteks administrasi pemerintahan, demokrasi memang bergandengan tangan dengan desentralisasi. Artinya, tidak ada demokratiasi pemerintahan tanpa desentralisasi6. Otonomi Daerah dalam konteks ekonomi bermakna perluasan kesempatan bagi masyarakat dan pemerintahan daerah untuk mengejar 6
Dalam konteks pratik dan pragmatis, Rasyid (2007) menjelaskan lebih jauh bahwa desentralisasi ini terutama relevan dengan negara yang wilayahnya luas dan berpenduduk besar, karena diasumsikan bahwa rakyat sebagai pihak yang berdaulat bukan saja harus dilayani lebih baik, tetapi juga harus diberi akses yang cukup di dalam pengambilan keputusan.
5
kesejahteraan dan memajukan dirinya. Otonomi Daerah dalam konteks sosial bermakna sebagai peluang yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan kualitas masyarakatnya dan berbagi tanggungjawab dengan pemerintah pusat dalam meningkatkan pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lainnya. Dalam konteks kebudayaan , otonomi daerah bermakna sebagai peluang yang terbuka luas bagi daerah-daerah untuk menggali dan mengembangkan nilai-nilai dan karakter budaya setempat.”
Sisi positif desentralisasi yang dilihat lebih kepada masyarakat sebagai bagian yang memegang peranan penting dalam desentralisasi. Posisi masyarakat sebagai pemegang
peranan penting dalam penyelenggaraan desentralisasi. Sisi positif dari
desentralisasi ini dijelaskan juga bahwa: Pemerintahan di Daerah yang dijalankan secara demokratis akan memberikan ruang yang lebih besar kepada masyarakat untuk ikut menuangkan kedaulatannya (Smith,1985:19-37 dan
Pratikno,2007) dalam Haris
(2007:26). Hal ini bukan saja akan memperkuat proses demokrasi lokal, tetapi juga memberikan kontribusi bagi demokrasi dan integritas nasional. Dalam pandangan ini semakin menunjukkan posisi penting dari masyarakat sebagai pemilik kedaulatan. Pratikno (2007) dalam Haris (2007:27) menjelaskan bahwa:” Adanya hubungan antara pusat dan daerah harus dilihat bukan semata-mata sebagai fenomena hubungan internal negara, namun sebagai antar ‘polity’. Oleh karena itu, istilah yang lebih tepat digunakan adalah hubungan antara ‘national polity’ dengan ‘local polity’.
Posisi
pemerintahan daerah dalam pemahaman tersebut adalah tidak sebatas pada administrasi penyelenggaraan pemerintahan, namun didalamnya menyangkut masyarakat yang memiliki kedaulatan politik untuk menentukan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal yang menjadi alasan menurut Pratikno (2007) bahwa yang mempunyai otonomi adalah masyarakat daerah, bukan pemerintah daerah, maka penyaluran aspirasi daerah ini harus dirumuskan
dari proses demokrasi lokal. Substansi desentralisasi adalah
implementasi demokrasi di tingkat lokal dengan penguatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hubungan ini Nelson Kafsir dalam Lili Romli (2007:8) menjelaskan bahwa alasan
menerapkan
desentralisasi
lebih didasarkan
pada
pertimbangan
untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan untuk mempercepat proses pembangunan ekonomi daerah. Mardiasmo (2002: 6-7) menjelaskan bahwa: “ Secara teoritis, desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan manfaat nyata yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa, kreativitas
6
masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumberdaya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap. Kemandirian masyarakat di daerah menjadi satu ukuran yang hendak dicapai melalui desentralisasi. Pada tataran empiris, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Huther dan Shah (1998) di 80 negara terlihat bahwa kualitas pemerintahan, yang merupakan variabel gabungan dari partisipasi masyarakat, orientasi pemerintah, pembangunan sosial, dan manajemen ekonomi (makro), berhubungan positif dengan derajat desentralisasi. Semakin tinggi derajat desentralisasi yang ada di suatu negara semakin tinggi pula partisipasi masyarakatnya, orientasi pemerintah, pembangunan sosial, dan manjemen ekonomi (makro) (Mardiasmo, 2002:6-7). Berdasarkan paparan konsep desentralisasi di atas menunjukkan bahwa dentralisasi sebagai azas dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat penting dilaksanakan pada negara demokratis seperti
Indonesia. Dalam perkembangan sejarah di Indonesia,
desentralisasi yang dimaknai sebagai otonomi selain mengandung arti perundangundangan (regeling), juga mengandung arti “Pemerintahan” (bestuur) (Kusumahatmadja (1979) dan Sarundajang, 2001:33-34).Pemahaman di atas, menjelaskan hakikat dari otonomi daerah lebih menekankan pada kemampuan sumberdaya yang dimiliki daerah (Sarundajang,
2001:34-35).
Daerah
diberi
kesempatan
seluas-luasnya
untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Desentralisasi sebagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang melahirkan otonomi daerah diharapkan akan semakin mendekatkan pemerintah dengan masyarakat dalam hal pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan. Melalui desentralisasi, masyarakat di daerah dapat berpartisipasi lebih optimal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sehingga pada akhirnya kemandirian daerah berbasis pada potensi daerah akan dapat tercapai.
C. Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi pendidikan memiliki makna yang mendalam dalam pembahasan pada studi politik dan pemerintahan. Renneth K. Wong dalam Gregory J. Cizek, Handbook of Educational Policy, yang dikutip oleh Tilaar (2009:225-226),setidaknya
7
ada empat perkembangan mengapa kekuasaan politik (pemerintahan) dan kekuasaan pendidikan saling bertautan: 1. Budget pendidikan yang dikeluarkan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun pemerintahan negara bagian (daerah), semakin lama semakin besar. Alokasi budget tersebut merupakan keputusan politik.Sektor pendidikan harus bersaing dengan sektor-sektor lainnya untuk memperoleh bagian yg besar dari budget, baik budget nasional maupun budget pemerintah daerah. 2. Kebijakan pendidikan selalu akan menyangkut masalah nasional. 3. Masalah pendidikan menjadi bahan kontrol dari tingkat-tingkat pemerintahan. Hal ini mudah dimengerti karena budget yang semakin besar yang dialokasikan terhadap pendidikan.Hal tersebut menuntut adanya kontrol atau campur tangan kekuasaan politik dalam manajemen pendidikan. 4. Masyarakat menyadari bahwa keputusan-keputusan pemerintah sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan anak-anaknya. Oleh sebab itu, masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari urusan-urusan pendidikan.
Tuntutan dan kebutuhan desentralisasi pendidikan muncul dan berkembang sebagai bagian dari agenda global tentang demokratisasi dan desentralisasi pemerintahan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) (Rohman dan Wiyono,2010: 17). Artinya desentralisasi pendidikan merupakan suatu keadaan dan tuntutan perubahan dalam penyelenggaran urusan pemerintahan bidang pendidikan yang tak bisa terhindarkan dari adanya tuntutan global. Desentralisasi menjadi agenda politik yang strategis untuk pendidikan di negaranegara di dunia terutama pada dua dekade sebelumnya ( Fullan dan Watson, 2000). Terkait dengan desentralisasi pendidikan ini, dalam pandangan Rondinelli dapat dilihat dari empat pendekatan.
Rondinelli (1984) menjelaskan mengenai pelimpahan
wewenang dalam desentralisasi pendidikan dapat dipahami melalui empat pendekatan, yakni dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan privatisasi7. Konsep desentralisasi pendidikan sebagai suatu proses dimana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan (Bray dan Fiske (Depdiknas, 2001). 7 Pemahaman terhadap keempat pendekatan tersebut membutuhkan pendalaman lebih jauh karena masingmasing bermakna berbeda. Lihat Rondinelli.et al. 1984. Decentralisation in Developing Countries. The World Bank. Washington DC, menjelaskan bahwa: (i) dekonsentrasi, yaitu menyerahkan sebagian kewenangan administratif atau tanggungjawab kepada yang lebih rendah dalam suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang menteri (Departemen) atau Badan; (ii) delegasi, yaitu mengalihkan tanggungjawab fungsi-fungsi tertentu kepada organsasi di luar birokrasi dan dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat; (iii) devolusi, yaitu menyelenggarakan dan memperkuat unit-unit pemerintah sub-nasional, yang kegiatannya secara substansial di luar kontrol pemerintah pusat; (iv) privatisasi, menyerahkan seluruh tanggungjawab kegiatan kepada organsiasi swasta yang tidak berafiliasi kepada masyarakat
8
Lembaga yang lebih rendah dalam pemahaman ini adalah pemerintahan daerah otonom yang berada di bawahnya. Konsep desentralisasi pendidikan merujuk kepada pengalihan kalau tidak dikatakan
pembagian wewenang pengambilan keputusan dan tanggung jawab
pelaksanaan tugas. Secara spesifik, yakni adanya proses pengalihan wewenang (transfer of authority) dalam organisasi pendidikan dari satu tingkatan yang lebih tinggi kepada tingkatan lain yang lebih rendah. Tingkatan pemegang wewenang dalam dunia pendidikan sendiri pada dasarnya terletak pada empat level: pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, distrik atau pemerintah daerah kabupaten/kota, dan sekolah atau satuan pendidikan8. Konsep lebih luas dan detail desentralisaisi pendidikan bahwa merupakan sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada keberagaman, dan sekaligus pelimpahan wewenang dan kekuasaan dalam pembuatan keputusan untuk memecahkan berbagai problematika sebagai akibat ketidaksamaan geografis dan budaya, baik menyangkut substansi nasional, internasional atau universal sekalipun (Fakry Gaffar,1990). Di sini makna dari desentralisiasi pendidikan sebagai sebuah sistem yang didalamnya ada manajemen, wewenang dan kekuasaan dalam memecahkan berbagai permasalahan pendidikan dalam satu pemerintahan daerah. Salah satu wujud dari desentralisasi pendidikan ialah terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan9. Disini mengindikasikan bahwa penyerahan kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang ada di bawahnya sebagai pemahaman dari desentralisasi pendidikan.Melalui desentralisasi yang dalam pelaksanaannya
disebutkan sebagai
otonomi daerah adalah upaya melalui mana masyarakat memegang peranan dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah. Pada kontek ini keberdayaan masyarakat pada penyelenggaraan urusan pendidikan di daerah menjadi penting. Masyarakat memegang posisi sebagai salah satu unsur yang berperanan dalam penyelenggaraan desentralisasi pendidikan. Beberapa penelitian mengenai desentralisasi pendidikan seperti yang dilakukan oleh Ikoya (2005) ; Arubayi
(2004) dan Durosaro
(2004) bahwa desentralisiasi
8
McGinn dan Welsh dalam Fundamentals of Educational Planning Vol 64; 1999.
9
Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet, II, 2008), h. 35
9
pendidikan bertujuan untuk melihat efisiensi dan efektivitas sumberdaya manusia dan pembangunan
ekonomi
desentralisasi pendidikan
di
daerah.
Adesina
(1987)
melihat
dalam pengambilan keputusan
penyelenggaraan pada manajemen
pemerintahan. Dalam hal ini desentralisasi pendidikan merupakan satu konsep dan praktik yang penting dalam pemerintahan. Desentralisasi pendidikan sebagai upaya untuk mendelegasikan sebagian atau seluruh wewenang di bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Uno,2008: 35). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu wujud dari desentralisasi pendidikan ialah terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan. Armida Alisyahbana (2000) menjelaskan bahwa desentralisasi pendidikan yang dilakukan di banyak negara merupakan bagian dari proses reformasi pendidikan secara keseluruhan dan tidak sekedar merupakan bagian dari proses otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi pendidikan meliputi suatu proses pemberian kewenangan yang lebih luas di bidang kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah dan pada saat yang bersamaan kewenangan yang lebih besar juga diberikan pada tingkat sekolah. Pandangan dari Rohman dan Wiyono (2010: 17) melihat makna dari desentralisasi pendidikan dari dua aspek. Desentralisasi pendidikan
dapat dipahami secara kritis
sebagai pelepasan tanggungjawab pemerintah pusat terhadap proses pendidikan masyarakat dan dinilai lebih melanggengkan proses privatisasi pendidikan di Indonesia. Desentralisasi pendidikan menjadi bentuk penerapan neoliberalisme di satu sisi, tetapi di sisi lain adalah pengurangan hak negara terhadap intervensi yang terlalu kuat dalam proses pendidikan dengan mengembalikan pada rakyat untuk lebih berperan dalam proses pendidikan. Dua hal yang menjadi makna desentralisasi pendidikan tersebut berimplikasi pada perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan pada pemerintahan daerah. Berkurangnya peranan negara (pemerintah) di satu sisi mengandung makna bahwa tuntutan partisipasi masyarakat menjadi semakin diperlukan. Menguatkan pernyataan dari Rohman dan Wiyono di atas terkait dengan pentingnya partisipasi masyarakat dalam desentralisasi pendidikan, Tilaar (2002) menjelaskan ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan sosial capital, dan peningkatan daya saing bangsa. Dengan demikian dalam desentralisasi pendidikan yang dilaksanakan berdampak pada peningkatan kualitas demokrasi, sumberdaya modal sosial dan juga daya saing bangsa semakin meningkat.
10
Desentralisasi pendidikan mempunyai makna yang sangat besar sebagai perwujudan penghargaan atas hak dan kewajiban rakyat untuk memutuskan sendiri pendidikan untuk anak-anaknya. Desentralisasi pendidikan berkaitan dengan proses demokratisasi, intinya ialah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengambil keputusan di lapangan mengenai bentuk, proses, keberadaan lembaga pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kehidupannya. Dengan kata lain desentralisasi dan otonomi pendidikan bertujuan memberdayakan rakyat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa desentralisasi pendidikan mempunyai dua makna, yaitu : Pertama, pengambilan keputusan dari rakyat secara langsung atau partisipasi dalam pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi dalam manajemen situasional atau manajemen kepemimpinan oleh rakyat dalam pendidikan. Dalam konteks yang dikemukakan oleh Armida Alisjahbana (2000) desentralisasi pendidikan bermakna desentralisasi kewenangan bidang pendidikan. Kewenangan bidang pendidikan yang penyelenggaraannya menjadi tanggung jawab pemerintahan daerah. Paqueot dan Lammaert (2000) menjelaskan bahwa desentralisasi pendidikan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengambil keputusan terbaik tentang penyelenggaraan pendidikan di daerah yang bersangkutan berdasarkan potensi daerah dan stakeholders. Oleh karenanya, desentralisasi pendidikan disamping diakui sebagai kebijakan politis yang berkaitan dengan pendidikan, juga merupakan kebijakan yang berkait dengan banyak hal seperti kemampuan pembiayaan dan adanya partisipasi masyarakat.
D. Desentralisasi Pendidikan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia Penerapan desentralisasi pendidikan di Indonesia menurut Armida S. Alisyahbana (2000:30) mengidentifikasi pada dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu desentralisiasi kewenangan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, serta desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Dalam kontek analisis pada tulisan ini maka yang dimaksudkan adalah desentralisasi pendidikan yang pertama yaitu desentralisasi kewenangan dalam kebijakan pendidikan dan aspek pendidikan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah. Terkait dengan pernyataan dari Armida S. Alisyahbana tersebut jelas bahwa implementasi desentalisasi pendidikan di Indonesia bukan semata isu pendidikan sebagai alat kepentingan politik,
11
tetapi menjadi isu politik (Bastian, 2002:20). Artinya kebijakan desentralisasi pendidikan menjadi isu umum yang diangkat dalam kebijakan pemerintah. Beberapa isu penting terkait dengan desentralisasi pendidikan di Indonesia dikemukakan oleh Indrajati Sidi (2000:36-39) bahwa terdapat empat isu pendidikan nasional yang perlu untuk direkonstruksi dalam rangka otonomi daerah, yaitu: Pertama, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dilakukan dengan memantapkan tujuan dan standar kompetensi pendidikan, yaitu melalui konsensus nasional antara pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat. Kedua, peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan mengarah pada pengelolaan pendidikan berbasis sekolah, dengan memberi kepercayaan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia bagi tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.Ketiga, peningkatan relevansi pendidikan mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat. Keempat, pemerataan pelayanan pendidikan mengarah pada pendidikan yang berkeadilan . Berdasarkan keempat isu penting tersebut maka desentralisasi pendidikan di Indonesia menjadi kebijakan yang dianggap tepat. Salah satu pendapat ini dikemukakan oleh
Paqueo dan Lammaert (2000:23) menunjukkan alasan-alasan desentralisasi
penyelenggaraan pendidikan yang sangat cocok untuk kondisi Indonesia, yaitu; (1) kemampuan daerah dalam membiayai pendidikan, (2) peningkatan efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pendidikan dari masing-masing daerah, (3) redistribusi kekuatan politik, (4) peningkatan kualitas pendidikan, (5) peningkatan inovasi dalam rangka pemuasan harapan seluruh warga.Seberapa besar capaian dari tujuan desentralisasi pendidikan yang telah ditetapkan menurut Paqueo dan Lammaert (2000) akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dalam internal pemerintahan, kondisi dan sumberdaya daerah serta masyarakat sebagai bagian dari unsur desentralisasi. Penyelenggaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia, dalam implementasinya sangat terkait dengan kebijakan desentralisasi pendidikan itu sendiri. Hal ini dikemukakan oleh Hosio (2006) bahwa Kebijakan pendidikan (education policy) adalah keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu
masyarakat untuk kurun waktu tertentu. Artinya terdapat proses dan
tahapan dari berbagai langkah strategi yang dilakukan oleh pemerintah dalam mencapai tujuan dari pembangunan pendidikan di Indonesia. Wujud dari kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia biasanya berupa undang-undang pendidikan, instruksi presiden, peraturan pemerintah, keputusan
12
pengadilan,
peraturan
menteri,
dan
sebagainya
menyangkut
pendidikan
(Wahab,1997:64). Kebijakan tersebut diformulasikan oleh pemerintah dan berbagai pihak yang berkepentingan sepeti legislatif (DPR dan DPRD), maupun stakeholder lainnya. Dalam formulasi yang dilakukan terjadi dinamika yang sarat dengan politik dan kepentingan. Terkait dengan hal tersebut (Rohman dan Wiyono (2010:3) menjelaskan bahwa proses formulasi dan impelemntasi kebijakan desentralisasi pendidikan tersebut berada dalam ranah dinamika yang rentan terhadap aneka pengaruh kepentingan politik dan birokrati, kebijakan-kebijakan
pendidikan terlahir melalui proses-proses politik
yang tidak sederhana. Di sini jelas bahwa kerangka desentralisasi pendidikan dalam lingkup kebijakan publik adalah dinamika politik maupun pemerintahan yang berupaya mencari dan meurumuskan kebijakan yang tepat dalam bidang pendidikan. Berdasarkan aspek kebijakan nampak bahwa desentralisasi pendidikan di Indonesia didalamnya
terkait dengan ketentuan batasan kewenangan yang diberikan dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan Daerah. Berbagai persoalan terkait dengan kebijakan desentralisasi pendidikan dikemukakan oleh Rohman dan Wiyono (2010:5) , bahwa: Apakah yang sedang atau sudah pernah dibuat untuk mengatasi masalah pendidikan dan apa sajakah hasilnya? Apakah yang menjadi tujuan kebijakan pendidikan? Bagi siapakah kebijakan pendidikan diformulasikan dan diimplementasikan? Bagaimana cara perumusan dan impelemntasi kebijakan pendidikan dilakukan? Siapa sajakah yang terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan pendidikan? Seberapa efektifkah kebijakan pendidikan dijalankan dalam rangka untuk memecahkan masalah pendidikan? Seberapa bermakna hasil yang diperoleh dari implementasi kebijakan bagi masyarakat?
Beberapa pertanyaan yang dikemukakan oleh Rohman dan Wiyono di atas merupakan hal-hal penting untuk melihat keberhasilan penyelenggaraan desentralisasi pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia. Jika disederhanakan dari pertanyaan tersebut didalamnya mengandung beberapa variabel penting yaitu: kebijakan pendidikan; tingkat keberhasilan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan; tujuan kebijakan desentralisasi pendidikan; Target group desentralisasi pendidikan; Cara formulasi dan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan dilakukan; unsur-unsur yang terlibat dalam formulasi dan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan; efektivitas kebijakan desentralisasi pendidikan
dalam memecahkan masalah pendidikan;
makna pencapaian kebijakan desentralisasi pendidikan bagi masyarakat.
dan
13
Dalam hal implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan di tingkat daerah baik kabupaten maupun kota, tedapat beberapa persoalan penting terkait dengan penyelenggaraan desentralisasi pendidikan. Rohman dan Wiyono (2010: 3-4) menjelaskan bahwa : Dampak dari kompleksitas dinamika suatu kebijakan desentralisasi pendidikan selanjutnya memunculkan aneka persoalan yang cukup kompleks. Kompleksitas persoalan pendidikan misalnya menyangkut seberapa jauh semua golongan masyarakat memiliki akses yang sama untuk memperoleh pendidikan? Apakah pendidikan telah dapat melayani secara merata terhadap semua warga bangsa Indonesia? Mengapa mutu pendidikan belum beranjak naik secara signifikan? Seberapa tinggi tingkat relevansi program pendidikan yang diselenggarakan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia usaha? Bagaimana upaya efisiensi manajemen penyelenggarakan system pendidikan?
Ujung dari kompleksitas kebijakan desentralisasi pendidikan seperti diuraikan di atas adalah seberapa mampu kebijakan pendidikan di Indonesia tersebut dapat melayani masyarakat tanpa membedakan status sosial dari masyarakat. Clabaugh dan Rozyki (2006) menjelaskan, secara empirik, bahwa sejak awal tahun 2000an Negara Indonesia banyak menghasilkan peraturan dan perundangan mengenai pendidikan, namun banyak terjadi overlapping dan kesalahan dalam implementasi program-program pendidikan. Dalam kondisi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi pendidikan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia belum optimal mencapai tujuan yang ditetapkan. Rohman dan Wahono (2010:6) menjelaskan : …Inefektivitas akan terus terjadi jika para politisi, birokrat, dan masyarakat kurang memiliki komitmen tentang arah tujuan dan sasasaran pendidikan. Pembaruan kebijakan pendidikan melalui pengembangan komitmen dan konsensus para birokrat, politisi, dan masyarakat adalah sesuatu yang menjadi prioritas. Komitmen dan konsensus dalam bidang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka mengetahui harapan (expectations) masyarakat terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus) bagaimana melakukannya.
Birokrat, politisi dan masyarakat memegang peranan penting dalam mencapai efektivitas penyelenggaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) menjelaskan bahwa di Indonesia, kebijakan desentralisasi pendidikan diupayakan melibatkan
banyak pihak, yaitu: (a) pemimpin politik dan pengambil
kebijakan, (b) pegawai departemen, (c) guru, (d) persatuan guru, (e) universitas, (f) orang tua siswa/mahasiswa, (g) masyarakat local, dan (h) siswa. Kedelapan pihak (aktor) tersebut
masing-masing
mempunyai
peranan
dan
berkontribusi
terhadap
14
penyelenggaraan desentralisasi pendidikan di Indonesa. Hanya yang menjadi pertanyaan penting adalah seberapa besar masin-masing berperanan dan berkontribusi terhadap keberhasilan penyelenggaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia? Pertanyaan ini memerlukan analisis dan jawaban yang medalam dalam kajian desentralisasi pendidikan. Keberhasilan penyelenggaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia tidak ditentukan oleh variabel tunggal, melainkan banyak variabel. Florestal dan Cooper (1997) menjelaskan bahwa pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia ternyata tidaklah semudah membalikkan tangan. Akan tetapi banyak kendala-kendala yang dihadapi, terutama kesiapan daerah dalam menerima pelimpahan pengelolaan aspekaspek pendidikan. Sehingga masing-masing daerah melaksanakan desentralisasi pendidikan sebatas kemampuan menginterpretasikan konsep-konsep desentralisasi pendidikan tersebut. Untuk mewujudkan tercapainya tujuan dari desentralisasi pendidikan di Indonesia memerlukan dukungan dari berbagai faktor yang saling berhubungan dan saling berpengaruh. Keberhasilan penyelenggaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia salahsatunya turut ditentukan juga dengan adanya peran serta (partisipasi masyarakat). Sawedi Muhammad (2002) dan Hetifah Syaifudin (2000) menjelaskan bahwa desentralisasi menawarkan ruang yang luas bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam wilayah politik local. Desentralisasi memberi peluang keterlibatan komunitas dalam penyelenggaraan urusan publik dan mempunyai implikasi signifikan dibukanya ruang politik untuk perencanaan dan pengambilan keputusan yang demokratis dan berorientasi pada kebutuhan warga. Smith yang dikutif Syarif Hidayat (2000:11), dengan adanya desentralisasi sektor pendidikan dapat tercipta local capability, yakni meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperbaiki hak-hak komunitasnya.
E. Kesimpulan
Penyelenggaraan desentralisasi pendidikan merupakan salah satu bagian dalam implementasi desentralisasi pada penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Otonomi Daerah merupakan wujud dari pelaksanaan azas desentralisasi sedangkan bidang pendidikan adalah salah satu urusan wajib yang harus dilaksanakan di Daerah dan menjadi tanggung jawab pemerintahn daerah untuk memenuhi pelayanan yang baik bagi masyarakat dengan standar yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
15
Salah satu tujuan dari desentralisasi pendidikan adalah untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan
bagi masyarakat dengan mengalihkan
tanggung jawab pada pemerintahan daerah. Untuk mewujudkan tercapainya tujuan itu memerlukan dukungan dari berbagai faktor yang saling berhubungan dan saling berpengaruh. Berdasarkan aspek kebijakan nampak bahwa desentralisasi pendidikan terkait dengan ketentuan batasan kewenangan yang diberikan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan Daerah. Kewenangan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pendidikan berpeluang bagi daerah untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat. Keberhasilan penyelenggaraan desentralisasi pendidikan di Indonesia turut ditentukan juga dengan adanya peran serta (partisipasi masyarakat). Desentralisasi pendidikan memberikan keleluasaan
ruang yang luas bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam mencapai keberhasilan penyelenggaraan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi pendidikan dapat meningkatkan penyelenggaraan otonomi daerah dalam memperbaiki hak-hak masyarakat pada bidang pendidikan.
Daftar Kepustakaan Alisjahbana, A. 2000. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, Bandung : FE Universitas Padjadjaran. Bastian, A. R. 2002. Reformasi Pendidikan.Yogyakarta: LAPPERA Pustaka Utama. Bray, M. 1996. Decentralization of Education: Community Financing.Washington, D.C.: The World Bank: Directions in Development. Fiske, E.B. 1998. Desentralisasi Pengajaran, Politik dan Consensus. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia. Florestal, K. & Robb C. 1997. Decentralization of Education, Legal Issues, Washington, D.C: Worldbank. Gaffar, F. 1990. Implikasi Desentralisasi Pendidikan Menyongsong Abad ke-21. Jurnal Mimbar Pendidikan, 3, Tahun IX, Oktober. Gershberg, A. I. 1999. “Education ‘Decentralization’ Processes in Mexico and Nicaragua: Legislative versus ministry-led reform strategies”. Jounal of Comparative Education, Vol. 35. No. 1, 1999, pp 63-80. Journal of Educational Admnistration Vol. 36. No. 2, 1998, pp. 111-128. Haris, S. (ed). 2007. Desentralisasi & Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Jakarta: LIPI Press.
16
Hasbullah. 2010. Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan.Jakarta: Rajawali Pers. Hidayat, S.2000. “ Otonomi Daerah vs Perjuangan Kepentingan Elite Lokal: Sebuah Studi Kasus Realita Otonomi Daerah”. Dalam Jurnal Analisis Sosial Vol.5 No. 1 Januari 2000. Hosio. JE. 2006. Kebijakan Publik dan Desentralisasi. Yogyakarta: LBM. Ikoya, P.O. 2007. “Decentralization of Educational Development reforms in Nigeria:a Comparative Perspective”. Jurnal of Educational Administration, Vol. 45 No.2, 2007,pp.190-203. Jalal, F & Supriadi, D. (Ed).2001. Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: Penerbit Andi. Muhammad, S. 2002.”Promoting Grass Root Democracy and Good Governance Through Participatory Local Development Planning”. Dalam Media Partnership IPGI Volume 2 No. 2 Tahun 2002. Paqueo V. & Lammert. J. 2000. Decentarlization in Education. New York: Education Reform dan Management Thematic Goup. Rahmatunnisa,Mudiyati, Desentralisasi dan Demokrasi, Jurnal Ilmu Pemerintahan Governance, Vol.1, No. 2, Mei 2011, Bekasi: Program Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Islam ‘45’. Rasyid, M.R. 1997. Makna Pemerintahan; Tinjauan dari segi Etika dan Kepemimpinan. Jakarta: PT. Yarsif Watampone. Cetakan Kedua. Rasiyo.2005.Kebijakan Desentralisasi Manajemen Pendidikan Pada Era Otonomi Daerah. Surabaya: Program Doktor Ilmu Administrasi, Universitas 17 Agustus 1945. Ribot, J. C. 2002. African Decentralization: Local Actors, Powers and Accountability, Democracy, Governance, and Human Right, Programe Paper Number 8. United Nations Research Institute fos Social Development. Rohman, A. & Wiyono, T. 2010, Education Policy In Deceantralization Era, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Romli, Lili, 2007, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
17
Rondinelli, D.A. & Chemaa, G.S. (eds), 1983, Decentralization and Development : Policy Implementation in Developing Countris, Beverly Hills/London/New Delhi: Sage Publications. ------------, 1998. Financing the decentralization of education services and facilities. In Puma, M. and Rondinelli, D.A., eds. Decentralizing the Governance of Education. Washington, D.C. Sarundajang,S.H. 2001. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. ------------. 2003. Biriokrasi Dalam Otonomi Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Smith, B.C. 1985. Decentralization, The Territorial Dimension of the State, George Allen & Unwin, London. Syarifudin, Hetifah. 2000. “ Desentralisasi dan Prospek Partisipasi Warga dalam Pengambilan Keputusan Publik”. Dalam Jurnal Analisis social Vol. 5 No. 1 Januari 2000. Tilaar,H.A.R. 2009. Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan dalam Pusaran Kekuasaan, Jakarta: Rineka Cipta. Uno, H. B. 2008. Profesi Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT Bumi Aksara. Wahab, S.A. 1997.”Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara”. Jakarta: Bumi aksara.