Desain Pemberdayaan Petani Kubis Berbasis Pendidikan & Kesehatan Pertama Kali Dipublikasikan Di Desa Pakis, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang Propinsi Jawa Tengah
Oleh Dr. Budiyono Saputro, M.Pd
ii
Kata Pengantar
Syukur Alhamdulillah pemberdayaan pada masyarakat petani kubis ini selesai kami jalankan, demikian pula laporan kegaitan ini juga telah dirampungkan. Rasa syukur tersebut kami panjatkan dengan pujian kepada Allah SWT yang telah memberi nikmat sehat dan kesempatan pada tim peneliti untuk menjalankan aktivitas sehari-hari, khususnya selama proses kegiatan ini dilakukan dari bulan Mei hingga Desember tahun 2013. Kegiatan ini sekaligus dua aktivitas, yakni penelitian ilmiah dan pemberdayaan masyarakat atau dapat kami sebut sebagai pengabdian dalam kerangka penelitian ilmiah. Pemberdayaan pada masyarakat yang kami lakukan adalah memberikan kesadaran pada masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan melalui penyuluhan. Sementara penelitian ilmiah dilakukan pada halhal yang terkait dengan kemungkinan terjangkitnya cacing usus Soil
Transmitted Helminths (STH). Penelitian ilmiah dalam kerangka ini adalah pemeriksaan labratorium warga melalui sample fases warga desa sekitar Pakis. Dua aktivitas dalam pemberdayaan ini tentu dilakukan secara bersama. Misalnya studi pendahuluan dan kegiatan Focus Group Discussion (FGD), pemeriksaan laboratorium, bimbingan kesehatan (klinis) serta pemberian solusi atas persoalan lapangan. Dalam kegiatan ini pemberdaya menggandeng kerja sama dengan ahli kesehatan, aparatur pemerintahan desa, serta mahasiswa sebagai tim pembantu. Selesainya kegiatan ini tentu juga tidak lepas dari berbagai pihak yang secara langsung ataupun tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan pemberdayaan ini. Kami ingin memberikan apresiasi setingi-tingginya pada beberapa pihak. 1. DIKTIS Kementerian Agama RI yang telah memberikan keepercayaan kepada kami untuk melaksanakan pemberdayaan ini. 2. Aparatur Kecamatan Pakis, kabupaten Magelang yang dengan tulus ikhlas memberi izin dan kerja sama lapangan selama proses pengabdian dan penelitian ini. iii
3. Masyarakat Kaponan, desa Pakis yang bersedia secara kooperatif bersedia mengikuti proses kegiatan ini terutama selama FGD dan bimbingan klinis. 4. dr. Andriani, SpPK, dokter Spesialis Patologi Klinik yang membantu memberikan Penyuluhan dan bimbingan klinis pada masyarakat. 5. Mahasiswa selalu tim pembantu lapangan yang dengan cekatan membantu proses penelitian laboratorium. 6. serta berbagai pihak yang tidak sempat kami sebutkan satu per satu dalam laporan kegiatan ini. Kami tidak dapat membalas sumbangsih berbagai pihak tersebut, selain ucapan terima kasih yang tak terhingga, semoga Allah SWT yang memberi balasan yang pantas dan layak. Akhirnya kami berharap semoga kegiatan ini bermanfaat bagi masyarakat, bagi dunia akademik dan tentu bagi pribadi kami. Laporan ini juga kami harapkan bermanfaat bagi banyak pihak yang memerlukan. Serta jika ada hal-hal yang belum tepat dalam laporan pemberdayaan ini kami membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang konstruktif. Terima kasih, wassalam.
Salatiga, 22 Desember 2016. Penyusun
Dr. Budiyono Saputro, M,Pd
iv
Abstrak Pakis merupakan daerah yang teletak di lereng Gunung Merbabu. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani kubis. Mereka selalu berhubungan dengan tanah dan pupuk kandang. Lahan pertanian sangat dekat dengan rumah warga. Penempatan pupuk kandang berdasarkan pengamatan sangat dekat dengan rumah warga dan sangat memungkinkan warga terinfeksi penyakit cacingan. Apalagi di musim hujan, pupuk kandang yang ditaruh didekat pemukiman terbawa oleh air hujan dan menuju ke pemukiman warga. Hal tersebut memerlukan penanganan yang serius. Infeksi umumnya melalui tanah yang terkontaminasi tinja yang mengandung telur cacing Soil Transmitted Helminths (STH), misalnya askariasis, trikuriasis. Spesies STH yang ditemukaan pada manusia adalah Ascaris lumbricoides (A. lumbricoides) , Trichuris trichiura (T. Trichiura) , Strongiloides Stercoralis (S. Stercoralis), Ancylostoma duodenale ( A. duodenale ), Ancylostoma caninum (A. caninum). Desain pemberdayaan masyarakat petani kubis berbasis pendidikan & kesehatan sebagai upaya minimalisasi bahaya infeksi telur cacing STH bagi petani kubis berikut: a. studi pendahuluan: observasi, Focus Group Disscusion (FGD), perencanaan, b. bimbingan klinis: diagnosa laboratorium, penyuluhan, konsultasi, pengobatan, c. pemberdayaan: penyerahan dan simulasi penggunaan "Temporary Shelter" dan Alat Pelindung Diri dalam kehidupan sehari hari, d. monitoring, e. output: bebas infeksi telur STH. Berdasarkan pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan pada petani kubis di desa model Kaponan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) kondisi petani kubis di desa model Kaponan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang berdasarkan observasi sangat rentan terhadap bahaya infeksi telur STH, (2) Desain pemberdayaan masyarakat petani kubis berbasis pendidikan & kesehatan sebagai upaya minimalisasi bahaya infeksi telur cacing STH bagi petani kubis berikut: a. studi pendahuluan: observasi, Focus Group Disscusion (FGD), perencanaan, b. bimbingan klinis: diagnosa laboratorium, penyuluhan, konsultasi, pengobatan, c. pemberdayaan: penyerahan dan simulasi penggunaan "Temporary Shelter" dan Alat Pelindung Diri dalam kehidupan sehari hari, d. monitoring, e. output: bebas infeksi telur STH, (3) kejadian infeksi telur STH pada petani sayur 0,017% dari 60 orang petani kubis di desa model Kaponan, (4) stimulan dalam rangka minimalisasi bahaya infeksi telur STH bagi petani kubis dengan penyerahan hasil pembuatan tampungan pupuk kandang (temporary shelter) dan pemberian sekaligus simulasi pemakaian Alat Pelindung Diri (APD). Saran pemberdaya bagi petani kubis adalah sebagai berikut: (1) selalu menjaga kebersihan diri melalui mencuci tangan sebelum dan setelah makan dengan menggunakan sabun, (2) menggunakan Alat Pelindung Diri pada saat bekerja di ladang, (3) tetap menjaga perilaku hidup sehat, (4) segera memeriksakan diri jika terdapat gejala infeksi telur STH. Kata Kunci: desain, pemberdayaan, pendidikan
v
DAFTAR ISI
Judul
i
Kata Pengantar
ii
Abstrak
iv
Daftar Isi
viii
Daftar Tabel
x
Daftar Gambar
xi
Bab I Pendahuluan
1
A. Latar Belakang
1
B. Fokus Pemberdayaan Masyarakat
2
C. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
3
D. Manfaat Pemberdayaan Masyarakat
3
Bab II Kerangka Teori
4
A. Nematoda Usus
4
B. Soil Transmitted Helminths (STH)
4
C. Kondisi Lingkungan
21
D. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi STH
22
E. Pengawetan Sampel
22
F. Teknik Pemeriksaan
23
G. Kerangka Teori
24
H. Kerangka Konsep
24
Bab III Metodo Penelitian
25
A. Jenis Penelitian
25
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
25
C. Objek Penelitian
25
D. Populasi dan Sampel
25
E. Definisi Operasional
26 vi
F. Metode Pengumpulan Data
26
G. Cara Pengambilan Sampel
27
H. Pemeriksaan Laboratorium
28
I. Proses Penelitian
29
J. Analisa Data
30
Bab IV Hasil dan Pembahasan
31
A. Hasil Pemeriksaan Laboratorium dan Pelaksanaan Pemberdayaan 31 B. Pembahasan
42
Bab V Kesimpulan dan Saran
44
A. Kesimpulan
44
B. Saran-Saran
44
Daftar Pustaka
46
Lampiran-Lampiran
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (S.T.H) adalah nematoda usus yang sering disebut sebagai cacing perut. Penularanya serta siklus hidupnya sebagian besar melalui tanah dan berasal dari filum Nemathelminths yaitu Ascaris lumbricoides Anchylostoma
(A.
lumbricoides),
duodenale
(A.
Trichuris
duodenale),
trichiura Necator
(T.
trichiura),
americanus
(N.
americanus), Strongyloides stercoralis (S. Stercoralis).1 Salah satu permasalahan yang timbul adalah pemukiman yang semakin padat dan kumuh. Semakin padatnya perkembangan penduduk dunia semakin banyak pula permasalahan yang ditemui terutama di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, India, Myanmar, dan lain-lain. Lima spesies yang tedapat merupakan parasit yang endemic seluruh wilayah Indonesia. Penelitian-penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa 60 hingga 80 persen dari penduduk yang menderita infeksi cacing usus dengan satu atau lebih dari satu jenis cacing perut.2 Infeksi cacing usus yang penularanya melalui tanah ini kebanyakan menyerang pada anak-anak dan juga dewasa, karena mereka lebih suka tidak menggunakan alas kaki dan terkadang makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. Cacing nematoda usus penularanya melalu tanah akan menginfeksi masuk ke dalam perut melalui mulut kecuali cacing tambang dan S. Strecoralis larvanya menembus kulit kaki. Semua jenis cacing bertelur di usus dan telur yang sudah mematang dikeluarkanya bersama tinja. Infeksi terjadi dengan tertelanya telur yang berisi embrio dengan perantara tangan, makanan dan minuman yang secara langsung terkontaminasi oleh tanah yang
1
Gandahusada, S. Pribadi W dan Ilahude, H.D. Parasitologi Kedokteran. Ed. III. (Jakarta: FKUI, 1998), 8. 2
Soedarto. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. (Jakarta: Sagung Seto, 1991), 76-77.
1
mengandung telur infektif dalam tanah dan larvanya akan menembus kulit kaki masuk kedalam peredaran darah.3 Akibat infeksi cacing yang penularanya melalui tanah dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa maupun oleh larvanya, tergantung pada siklus hidup cacing dan dipengaruhi oleh lokasi stadium cacing dalam tubuh manusia. Cacing dewasa dapat menimbulkan gangguan pencernaan, perdarahan, anemia, alergi, obstruksi (sumbatan usus) dan perforasi usus tergantung cara hidup cacing dewasa sedangkan larvanya dapat menimbulkan reaksi alergi dan kelainan jaringan di tempat hidupnya.4 Para petani kubis selalu berhubungan dengan tanah sebagai lahan pertanian, dimana kegiatan ini rutin dilakukan mereka setiap hari mulai pukul 07.00 sampai 16.00 WIB, mereka bekerja mulai dari pengolahan lahan hingga penanaman kubis. Pada saat panen kubis tiba mereka pun tidak memakai alat pengaman, seperti sarung tangan, sepatu (boot), dan masker. Para petani juga masih ada yang kurang memperhatikan kebersihan seperti mencuci tangan sebelum makan, serta tidak menjaga kebersihan makan. Berangkat dari kebiasaan tersebut di atas dimungkinkan tertularnya penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing Nematoda Usus yang penularanya melalui tanah. Guna mendiagnosa penyakit yang disebabkan oleh cacing yang penularanya melalu tanah ini perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan metode pengendapan Centrifuge. Teknik tersebut tidak merubah morfologi telur baik untuk konsentrasi Larva Protozoa dan telur cacing serta jumplah supernatant yang sedikit dapat mempermudah pemeriksaan.5 Berbagai faktor pendukung tingginya angka kesaktian infeksi cacing perut di wilayah Indonesia, yaitu letak geografis Indonesia di daerah tropik yang mempunyai iklim panas tetapi lembab memungkinkan cacing perut berkembang biak dengan baik. Banyak penduduk Indonesia yang masih berpendidikan rendah, sehingga pengetahuan tentang cara hidup sehat, cara
3
Ibid, 53. Ibid, 77. 5 Ibid, 135. 4
2
untuk menjaga kebersihan perorangan bagi dirinya dan kebersihan makanan dan minuman belum terpenuhi dengan baik.6 B. Fokus Pemberdayaan Petani Kubis Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, pemberdaya menfokuskan pemberdayaan sebagai berikut: 1.
Apakah ada infeksi S.T.H pada petani kubis di Kaponan, Pakis Kabupaten Magelang dengan metode pengendapan centrifuge?
2.
Seberapa besar persentase infeksi cacing S.T.H pada petani kubis di Kaponan, Pakis Kabupaten Magelang dengan metode pengendapan centrifuge?
3.
Spesies cacing apakah yang penularanya melalui tanah yang menginfeksi petani kubis di desa Pakis Kabupaten Magelang dengan metode pengendapan centrifuge?
4.
Bagaimanakah desain pemberdayaan yang efektif dalam rangka minimalisasi bahaya infeksi STH petani kubis di Kaponan, Pakis Kabupaten Magelang?
C. Tujuan Pemberdayaan Petani Kubis Pemberdayaan masyarakat ini bertujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui adanya infeksi S.T.H pada petani kubis di desa Pakis Kabupaten Magelang dengan metode pengendapan centrifuge. 2. Mengetahui persentase infeksi S.T.H pada petani kubis di desa Pakis Kabupaten Magelang dengan metode pengendapan centrifuge. 3. Mengetahui spesies cacing yang penularanya melalui tanah yang menginfeksi petani kubis di desa Pakis Kabupaten Magelang dengan metode pengendapan centrifuge. 4. Mengetahui desain pemberdayaan yang efektif dalam rangka minimalisasi bahaya infeksi STH petani kubis di Kaponan, Pakis Kabupaten Magelang melalui Model Pemberdayaan Klinik .
6
Ibid, 76.
3
D. Manfaat Pemberdayaan Petani Kubis Manfaat pemberdayaan masyarakat ini dapat digolongkan dalam tiga kategori, pertama secara individual, yakni pemberdaya, bagi masyarakat, secara khusus masyarakat lokasi pemberdayaan lain pada umumnya. 1. Bagi Pemberdaya Masyarakat Menambah ketrampilan dan ketelitian dalam mengidentifikasi telur cacing nematoda usus yang penularanya melalui tanah dengan teknik pengendapan Centrifugasi. 2. Bagi Dunia Akademik Menambah wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat akademis, khususnya bagi mereka yang menekuninya. 3. Bagi Masyarakat a.
Memberi informasi tentang bahanya infeksi cacing Nematoda Usus yang penularanya melalui tanah .
b.
Memberikan informasi tentang pengobatan infeksi telur cacing Nematoda Usus.
c.
Memberikan informasi desain pemberdayaan yang efektif dapat meminimalisasikan infeksi telur STH.
4
BAB II KERANGKA TEORI
A. Nematoda Usus Menurut Rosdiana Safar7 bahwa Nematoda usus atau Nematoda Intestinal adalah nematoda yang habitatnya disaluran pencernaan manusia dan hewan. Manusia merupakan hospes dari beberapa nematoda intestinal. Sebagian besar dari nematoda ini adalah penyebab masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Ciri-ciri nematoda usus umumnya sama dengan nematoda yang lainnya, antara lain cacing jantan ukurannya lebih kecil daripada cacing betina dengan bentuk ekor melengkung kedepan dan memiliki kloaka, sedangkan cacing betina ukurannya lebih besar, lebih panjang dari cacing jantan, tidak berkloaka sebab alat kelamin cacing betina terpisah dari saluran pencernaan makanan. Pada nematoda ini saluran pencernaan makanan terbentuk sempurna dimulai dari mulut sampai anus.8 B. Soil Transmitted Helminths (STH) Dalam Nematoda usus ini terdapat beberapa spesies yang tergolong ”Soil Transmitted Helminthes”, yaitu nematoda yang dalam siklus hidupnya memerlukan tanah untuk mencapai stadium infektif . Berikut ini beberapa spesies yang termasuk Soil Transmitted Helminths: 1. Ascaris lumbricoides 2. Trichuris trichiura 7 Safar, Rosdiana Parasitologi Kedokteran: Protizologi, Entomologi, dan Helmintologi. (Bandung: Yrama Widya, 2009). 8 Natadisastra, N dan Ridad, Agoes. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau Dari Organ Tubuh yang diserang. (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009), 23-24.
5
3. Ancylostoma duodenale 4. Necator americanus 5. Strongyloides stercoralis Tabel 2.1 Klasifikasi Nematoda Usus secara singkat9
Strongyloides
stercoralis
Necator
Americanus
Ancylostoma
duodenale
Trichuris
trichiura
Ascaris
lumbricoides
Taksonomi Kingdom
Animalia
Animalia
Animalia
Animalia
Animalia
Sub Kingdom Phylum
Metazoa
Metazoa
Metazoa
Metazoa
Metazoa
Nemathelmithes
Nemathelmithes
Nemathelmithes
Nemathelmithes
Nemathelmithes
Kelas
Nematoda
Nematoda
Nematoda
Nematoda
Nematoda
Sub Kelas
Plasmidia
Plasmidia
Plasmidia
Plasmidia
Ordo
Strongylida Ancylostomatoidea
Strongylida Ancylostomatoidea
Rhabditida
Super Family
Ascaridida Ascaridoidea
Aphasmidia Enoplida
Genus
Ascaris
Trichuris
Ancylostoma
Necator
Strongyloides
Spesies
Ascaris lumbricoides
Trichuris trichiura
Ancylostoma duodenale
Necator americanus
Strongyloides stercoralis
Trichuroidea
9
Rhabdiasoidea
Irianto, Kus. Parasitologi: berbagai penyakit yang mempengaruhi kesehatan manusia. (Bandung: Yrama Widya, 2009), 62-63 dan 67-68, dan Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, 22-23
6
1. Ascaris lumbricoides a. Morfologi Cacing Ascaris lumbricoides merupakan cacing terbesar diantara golongan nematoda, berbentuk silendris, ujung anterior lancip, anterior memiliki tiga bibir (Triplet), badan berwarna putih, kuning kecoklatan diselubungi lapisan kutikula bergaris halus. Cacing betina panjangnya 20- 35 cm, ujung posterior membulat dan lurus, 1/3 anterior dari tubuh ada cincin kopulasi. Sedangkan cacing jantan panjangnya 15-31 cm, ujung posterior melancip melengkung ke ventral, dilengkapi papil kecil dan dua spekulum berukuran 2 mm.10
(a)
(b)
Gambar 2.1 cacing dewasa Ascaris lumbricoides (a) cacing dewasa Ascaris lumbricoides11 (b) mulut Ascaris lumbricoides.12 Menurut Natadisastra dan Ridad13 bahwa seekor cacing betina menghasilkan telur 200.000 butir dalam waktu sehari, dapat berlangsung selama hidupnya, kira-kira enam sampai dua belas bulan. Telur memiliki empat bentuk, yaitu dibuahi (fertil), tidak dibuahi 10 Muslim, M. Parasitologi Untuk Keperawatan. (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009), 81. 11 Ibid. 12 “Centre Diseases Control and Prevention” (http://www.dpd.cdc. gov/dpdx. Diakses 19 Oktober 2013). 13 Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, 30.
7
(infertil), kortikasi dan dekortikasi. Telur infertil besarnya 60 x 45 mikron, dinding tebal terdiri dari dua lapis. Lapisan luarnya terdiri dari jaringan albuminoid, sedangkan lapisan dalam jernih. Isi telur berupa massa sel telur. Telur yang infertil berbentuk lonjong dan lebih panjang daripada tipe fertil, besarnya 90 x 40 mikron, dan dinding luarnya lebih tipis. Isi telur adalah massa granula retraktil. Telur fertil kortikasi berisi larva (embrio), tipe ini menjadi infektif setelah berada ditanah kurang lebih tiga minggu. Pada telur yang infertil dekortikasi lapisan luarnya yaitu lapisan albuminoid sudah menghilang.14
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2.2 Morfologi telur cacing Ascaris lumbricoides (a) (b) (c) (d)
infertil dekortikasi; Infertil kortikasi; Fertil dekortikasi; Fertil kortikasi.15
14
Onggowaluyo, J. S. Parasitologi Medik I Helmintologi. (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2002), 12. 15 “Centre Diseases Control and Prevention” (http://www.dpd.cdc. gov/dpdx. Diakses 19 Oktober 2013).
8
b. Siklus Hidup
Gambar 2.3 Siklus hidup Ascaris lumbricoides.16 1) Cacing dewasa berada di usus halus, menghasilkan sekitar 200.000 telur per hari yang dikeluarkan melalui tinja; 2) Telur tidak dibuahi dapat tertelan tetapi tidak infektif. Telur fertil yang berisi embrio menjadi infektif setelah 18 hari sampai beberapa minggu; 3) Telur menjadi infektif tergantung pada kondisi lingkungan (optimum: lembab, hangat, tanah teduh); 4) Setelah telur infektif tertelan berkembang menjadi larva; 5) Larva menembus mukosa usus; 6) Melalui peredaran darah menuju paru-paru (10 sampai 14 hari); 7) Menembus dinding alveolus, naik ke batang tenggorokan, dan tertelan. Setelah mencapai usus halus, larva berkembang menjadi cacing dewasa.
16
Ibid.
9
(1) Waktu yang diperlukan dari menelan telur infektif sampai proses pembuahan oleh cacing betina sekitar 2-3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1-2 tahun didalam usus halus.17 c. Patologi Klinik Menurut Natadisastra, Djaenudin, dan Ridad Agoes18 bahwa Infeksi Ascaris lumbricoides disebut Ascariasis atau infeksi ascariasis. Akibat beradanya cacing dewasa di dalam usus dan beredarnya larva cacing di dalam darah, akan terjadi perubahan patologis pada jaringan dan organ penderita. Larva cacing yang berada di paru-paru dapat menimbulkan pneumonia pada penderita dengan gejala klinis berupa demam, batuk, sesak dan dahak yang berdarah. Selain itu penderita ascariasis juga mengalami urtikaria disertai terjadinya eosinofili sampai 20% pada gambaran darah tepi. Terjadinya pneumonia yang disertai dengan gejala alergi ini disebut sebagai sindrom Loeffler atau Ascaris pneumonia.19 Cacing dewasa dalam usus, apabila jumlahnya banyak dapat menimbulkan gangguan gizi. Kadang-kadang cacing dewasa bermigrasi dan menimbulkan kelainan yang serius. Migrasi cacing dewasa bisa disebabkan karena adanya rangsangan. Efek migrasi ini juga dapat menimbulkan obstruksi usus, masuk kedalam saluran empedu, saluran pankreas, dan organ-organ lainnya. Migrasi juga terjadi keluar melalui anus, mulut dan hidung.20 d. Diagnosis Untuk menetapkan pasti diagnosis pasti Ascaris harus dilakukan pemeriksaan mikroskopis terhadap tinja atau muntahan penderita untuk menemukan cacing dewasa. Pada pemeriksaan mikroskopis pada tinja
17
Ibid. Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, 34 19 Soedarto. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Sagung Seto, 1991, 184. 20 Onggowaluyo, J. S. Parasitologi, 14. 18
10
penderita dapat ditemukan telur cacing yang khas didalam tinja atau cairan empedu penderita.21 e. Pengobatan Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal. Obat lama yang pernah digunakan adalah piperasin, tiabendasol, heksilresorkinol dan hetrazan. Obat ini dapat menimbulkan efek samping. Sekarang banyak obat-obat yang efek sampingnya rendah dan mudah cara pemakaiannya, misalnya pirantelpamoat, mebendazol, albendazol, dan levamisol. Syarat pengobatan masal yaitu obat harus diterima masyarakat, efek samping rendah, aturan pemakaian mudah, harga murah, dan bersifat polivalensif.22 f. Epidemiologi Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak frekuensinya 60-90 persen. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja disekitar halaman rumah, dibawah pohon, ditempat mencuci dan tempat pembuangan sampah. Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yang mempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25o-30o C, telur tumbuh menjadi bentuk infektif.23 2. Trichuris trichiura a. Morfologi Bentuk tubuh cacing dewasa sangat khas, mirip cambuk, dengan 3/5 panjang tubuh bagian anterior berbentuk langsing seperti tali cambuk, sedangkan 2/5 bagian tubuh posterior lebih tebal mirip dengan cambuk. Panjang cacing jantan sekitar 4 cm sedangkan panjang cacing betina sekitar 5 cm. Ekor cacing jantan melengkung kearah ventral,
21
Soedarto. Buku Ajar, 184. Onggowaluyo, J. S. Parasitologi, 14. 23 Ibid, 15. 22
11
mempunyai satu spikulum retraktil yang berselubung. Badan bagian kaudal cacing betina membulat, tumpul berbentuk seperti koma.24 Telurnya berukuran 50-54 x 32 mikron. Bentuknya seperti tempayan (tong) dan kedua ujungnya dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari bahan mukus yang jernih. Kulit luar telur berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Telur berisi sel telur terdapat dalam tinja segar. Telur yang sudah dibuahi di alam dalam waktu 3-6 minggu akan menjadi matang. Telur ini membutuhkan tanah liat yang lembab dan tehindar dari sinar matahari untuk perkembangan telur tersebut.25
(a)
(b)
Gambar 2. 4 (a) Cacing dewasa Trichuris trichiura (Darwanto, dkk, 2008: 23); (b) Telur Trichuris trichiura.26
24
Soedarto. Buku Ajar, 192. Onggowaluyo, J. S. Parasitologi, 15. 26 “Centre Diseases Control and Prevention” (http://www.dpd.cdc. gov/dpdx. Diakses 19 Oktober 2013). 25
12
b. Siklus Hidup
Gambar 2.5 Siklus hidup Trichuris trichiura.27 1) Telur infertil dikeluarkan melalui tinja; 2) Telur berkembang ditanah menjadi dua sel; 3) Kemudian terus membelah menjadi fertil; 4) Telur menjadi infektif dalam 15-30 hari. Setelah tertelan (melalui makanan yang terkontaminasi telur cacing); 5) Telur menetas dalam usus halus menjadi larva yang matang dan berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus besar; 6) Cacing dewasa (sekitar 4 cm) hidup di sekum dan kolon asendens. Cacing betina mulai bertelur 60-70 hari setelah infeksi, bertelur antara 3.000-20.000 telur per hari. Cacing dewasa hidup sekitar satu tahun di dalam usus.28 c. Patologi Klinik Menurut Natadisastra, Djaenudin dan Ridad Agoes29 bahwa infeksi oleh cacing ini disebut trichuriasis atau infeksi cacing cambuk. Karena Trichuris trichiura dewasa melekatkan diri pada usus dengan 27
Ibid. Ibid. 29 Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, 80. 28
13
menembus dinding usus, maka hal ini dapat menyebabkan trauma dan kerusakan jaringan usus. Cacing dewasa dapat menghasilkan toksin yang menyebabkan iritasi dan keradangan usus.30 Infeksi berat terutama terjadi pada anak. Cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Sering terjadi cacing berada dimukosa rektum menjadi prolapsus pada anak. Cacing ini menyebabkan pendarahan di tempat perlekatan dan menimbulkan anemia. Pada anak, infeksi terjadi menahun dan berat (hiperinfeksi). Gejala-gejala yang terjadi yaitu diare yang diselingi sindrom disentri, anemia, prolapsus rektal, dan berat badan turun.31 d. Diagnosis Diagnosis Trichuriasis dapat ditegakkan diagnosanya berdasarkan penemuan telur Trichuris trichiura dalam tinja atau ditemukan cacing dewasa pada anus penderita trichuriasis.32 e. Pengobatan Mebendazole merupakan obat pilihan untuk trichuriasis dengan dosis 100 mg dua kali perhari selama 3 hari berturut-turut, tidak tergantung berat badan atau usia penderita. Untuk pengobatan masal dianjurkan dosis tunggal 600 mg. Thiabendazol tidak efektif.33 f. Epidemiologi Infeksi ini menyerang hampir 500-900 juta manusia di dunia. Semua golongan umur pada manusia bisa mengalami infeksi ini terutama pada anak berusia 5 sampai 15 tahun. Penyakit ini sering menyebar didaerah yang beriklim panas. Prevalensi di Asia lebih dari 50 persen, Afrika 25 persen, dan Amerika latin 12 persen. Pada wilayah pedesaan yang sanitasinya kurang bagus menyebabkan penyebaran cacing ini umumnya lebih cepat terjadi.34 30
Soedarto. Buku Ajar, 194. Onggowaluyo, J. S. Parasitologi, 16. 32 Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, 80. 33 Ibid. 34 Widoyono, Penyakit Tropis. Semarang: Erlangga, 2008, 34. 31
14
3. Cacing Tambang (Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus) a.
Morfologi Ancylostoma Duodenale ukurannya lebih besar dari Necator Americanus. Ancylostoma Duodenale betina berukuran 10-13 mm x 0.6 mm, dan jantan ukurannya 8 sampai 11 x 0.5 mm, bentuknya menyerupai huruf C, Necator Americanus berbentuk huruf S, yang betina 9-11 x 0.4 mm dan jantan 7-9 x 0.3 mm, Rongga mulut Ancylostoma Duodenale mempunyai dua pasang gigi, serta Necator Americanus mempunyai sepasang benda kitin. Alat kelamin pada yang jantan adalah tunggal yang disebut bursa copulatrix.35
(b)
(a)
Gambar 2.6 Cacing tambang dewasa (a) cacing Ancylostoma Duodenale (b) cacing Necator Americanus (c) mulut Ancylostoma Duodenale (d) mulut Necator Americanus (Darwanto, dkk, 2008: 10-11). Telur mempunyai selapis kulit hialin yang tipis transparan. Telur segar yang baru keluar mengandung 2-8 sel. Bentuk telur Ancylostoma 35
(c) Kedokteran, 160. Safar, Rosdiana. Parasitologi 15
(d)
Duodenale dan Necator Americanus sama, hanya berbeda dalam ukuran telur. Ancylostoma Duodenale (56-60) x (36–40) mikron, sementara Necator Americanus (64–76) x (36–40) mikron. Seekor betina Ancylostoma Duodenale maksimum dapat bertelur 20.000 butir, sedangkan Necator Americanus 10.000 butir.36 Cacing tambang memiliki 2 stadium larva yaitu larva rabditiform panjangnya 250 mikron, rongga mulut panjang, sempit, eosofagus dengan dua bulbus yang menempati 1/3 panjang badan bagian anterior. Dan larva filariform panjangnya 500 mikron, ruang mulut tertutup, eosofagus menempati ¼ panjang
bagian anterior
(Darwanto, dkk, 2008: 9). (a)
(b)
(c)
Gambar 2.7 (a) telur cacing tambang; (b) Larva rabditiform cacing tambang; (c) larva filariform cacing tambang.37
36
Irianto, Kus. Parasitologi, 75. “Centre Diseases Control and Prevention” (http://www.dpd.cdc. gov/dpdx. Diakses 19 Oktober 2013). 37
16
4.
Siklus Hidup
Gambar 2.8 Siklus hidup Cacing tambang.38 (1) Telur dikeluarkan melalui tinja; (2) Pada kondisi yang menguntungkan (kelembaban, kehangatan, naungan), larva menetas dalam waktu
1-2 hari.
Larva
rhabditiform tumbuh di kotoran dan tanah; (3) Pada 5-10 hari berubah menjadi larva filariform (infektif). Larva infektif ini bisa bertahan 3-4 minggu dalam kondisi lingkungan yang menguntungkan; (4) Larva dapat menembus kulit dan beredar melalui pembuluh darah ke jantung kemudian ke paru-paru, menembus ke alveolus, naik batang tenggorokan ke faring, dan tertelan. Larva mencapai usus halus menjadi cacing dewasa; (5) Cacing dewasa hidup pada dinding usus halus dan menghisap darah pada hospes dalam sehari Ancylostoma duodenale 0,2 – 0,3 ml, sedangkan Necator americanus 0,05 – 0,1 ml. Cacing dewasa hidup antara 1-2 tahun atau lebih.39 38 39
Ibid. Ibid.
17
c.
Patologi Klinik Menurut Natadisastra, Djaenudin dan Ridad Agoes40 bahwa penyakit
infeksi
cacing
tambang
disebut
Necatoriasis
atau
Ancylostomiasis. Pada stadium larva, bila banyak larva Filariform yang menembus kulit, maka akan terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru-paru biasanya ringan. Infeksi larva Filariform Ancylostoma Duodenale secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher dan serak. Pada stadium dewasa, gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing
serta keadaan gizi penderita (Fe dan protein). Tiap
cacing Necator Americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005 ml sampai 0,1 ml sehari, sedangkan Acylostoma Duodenale 0,08 ml sampai 0,34 ml. Pada infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi dapat membuat daya tahan tubuh berkurang dan prestasi kerja turun.41 d. Diagnosis Gejala
klinis
biasanya
tidak
spesifik
sehingga
untuk
menegakkan diagnosis infeksi cacing tambang perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk dapat menemukan telur cacing tambang di dalam tinja ataupun menemukan larva cacing tambang didalam biakan atau pada tinja yang sudah agak lama.42 e.
Pengobatan Tetrachlorethylen merupakan obat pilihan untuk Necator Americanus dan cukup efektif untuk Ancylostoma Duodenale. Diberikan dalam dosis tunggal 0,01-0,12 mg per kg berat badan, dengan
40
Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, 76. Gandahusada, S. Pribadi W dan Ilahude, H.D. Parasitologi Kedokteran. Ed. III. (Jakarta: FKUI, 1998), 13. 41
42
Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, 83.
18
dosis maksimal 4 mg. Mebendazole, dosis dan cara pengobatan sama dengan trichuriasis. Albendazole dan pyranthel pamoate, dosis dan cara pengobatannya sama dengan penderita ascariasis. Bitoskanat dengan dosis tunggal pada orang dewasa 150 mg. Befenium hidroksinaftoat, efektif bagi kedua spesies terutama untuk Ancylostoma Duadenale. Diberikan dengan dosis 5 gram per hari selama 3 hari berturut-turut.43 f.
Epidemiologi Cukup tinggi insiden di Indonesia dan banyak ditemukan di pedesaan (pekerja perkebunan dan pertambangan yang kontak langsung dengan tanah). Penyebaran infeksi berkorelasi dengan kebiasaan defekasi ditanah. Habitat yang cocok untuk pertumbuhan larva yaitu kondisi tanah yang gembur (humus dan pasir). Suhu optimum untuk perkembangan larva Necator Americanus berkisar 28-32° C, sedangkan untuk Ancylostoma Duodenale berkisar 23-25°C.44
4. Strongyloides stercoralis a.
Morfologi Cacing dewasa yang hidup bebas terdiri atas: cacing betina berukuran 1 mm x 50 mm, mempunyai esofagus berbentuk lonjong, bulbus esofagus dibagian posterior, ekor lurus meruncing, vulva terletak dekat pertengahan tubuh merupakan muara dari uterus bagian posterior. Cacing jantan berukuran 700 x 45 mikron, ekor melengkung kedepan memiliki dua buah spikula kecil kecoklatan, esofagus lonjong dilengkapi bulbus esofagus.45 Menurut Soedarto46 bahwa telur Strongyloides stercoralis mirip telur cacing tambang, mempunyai dinding telur tipis dan tembus sinar. Bentuk telur bulat lonjong berukuran sekitar 55x30 mikron. Telur ini keluar didalam membrana mukosa usus penderita dan segera menetas
43
Ibid. Onggowaluyo, J. S. Parasitologi, 27. 45 Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, 84. 46 Soedarto. Buku Ajar, 190. 44
19
menjadi larva, sehingga telur tidak dapat ditemukan didalam tinja penderita. Larva rabditiform panjangnya 225 mikron, ruang mulut terbuka, pendek, dan lebar. Esofagus dengan dua bulbus, ekor runcing. Larva filariform panjangnya 700 mikron, langsing, tanpa sarung, ruang mulut tertutup, esofagus menempati ½ panjang badan, bagian ekor berujung tumpul berlekuk (Darwanto, dkk, 2008: 16).
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.9 (a) Cacing Strongyloides stercoralis jantan menunjukkan spicule (panah merah); (b) Cacing Strongyloides stercoralis betina; (c) telur Strongyloides stercoralis.47
“Centre Diseases Control and Prevention” (http://www.dpd.cdc. gov/dpdx. Diakses 19 Oktober 2013). 47
20
(a)
(b)
Gambar 2.10 Larva Strongyloides stercoralis (a) Larva rabditiform Strongyloides stercoralis (esofagus rhabditoid (panah - biru) dan primordial genital menonjol (panah merah); (b) Larva filariform Strongyloides stercoralis.48 b. Siklus Hidup
Gambar 2.11 Siklus hidup Strongyloides stercoralis.49 48
Ibid.
21
Siklus hidup bebas: (1) Larva rhabditiform keluar melalui tinja dan berkembang menjadi larva filariform (6) (perkembangan langsung) (2) atau berkembang menjadi cacing dewasa yang hidup bebas, (3) menghasilkan telur fertil (4) menetas menjadi larva rhabditiform, (5) berkembang menjadi cacing dewasa yang hidup bebas (pada nomer(2)) atau (6) menjadi larva infektif filariform yang menembus kulit manusia untuk memulai siklus parasit. Siklus parasit: (6) larva filariform menembus kulit manusia, (7) menuju paruparu kemudian ke alveolus, naik ke batang tenggorokan ke faring, tertelan dan kemudian mencapai usus halus. (8) Larva pada usus halus berkembang menjadi cacing dewasa. (9) Cacing betina meletakkan telur pada epitel usus halus, dan menetas menjadi larva rhabditiform. (1) Larva rhabditiform dikeluarkan melalui
tinja
atau dapat menyebabkan
autoinfeksi (10) Dalam autoinfeksi, larva infektif rhabditiform menjadi larva filariform, yang dapat menembus mukosa usus (autoinfection internal) atau kulit daerah perianal (autoinfection eksternal) dalam kedua kasus ini, larva filariform melalui peredaran darah menuju paru-paru, batang tenggorokan, faring, dan usus halus menjadi cacing dewasa, atau menyebarkan secara luas dalam tubuh.50 c. Patologi Klinik Menurut Natadisastra, Djaenudin dan Ridad Agoes51 bahwa penyakitnya disebut strongyloidiasis atau strongyloidosis. Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. 49
Ibid. Ibid. 51 Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, 84. 50
22
Infeksi ringan pada Strongyloides stercoralis pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual dan muntah, diare dan konstipasi saling bergantian. Pada Strongyloidiasis dapat terjadi auto infeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan diseluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan diberbagai alat dalam seperti paru-paru, hati dan kandung empedu.52 d. Diagnosis Ditegakkan dengan menemukan larva rhabditiform didalam tinja segar atau pada cairan duodenum. Telur dapat ditemukan didalam tinja setelah pemberian pencahar atau setelah diare berat (pada infeksi berat).53 e. Pengobatan Albendazol 400 mg satu atau dua kali sehari selama tiga hari merupakan obat pilihan. Mebendazol 100 mg tiga kali sehari selama dua atau empat minggu dapat memberikan hasil yang baik. Mengobati orang yang mengandung parasit, meskipun kadang-kadang tanpa gejala, sangat penting mengingat dapat terjadi autoinfeksi. Perhatian khusus kepada pembersihan daerah sekitar anus dan mencegah konstipasi.54 f. Epidemiologi Daerah yang panas, kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang, sangat menguntungkan cacing Strongyloides stercoralis sehingga terjadi daur hidup yang tidak langsung. Tanah yang paling baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur, berpasir dan humus. Frekuensi di jakarta pada tahun 1956 sekitar 10-15%, sekarang jarang ditemukan.55
52
Gandahusada, S. Pribadi W dan Ilahude, H.D. Parasitologi Kedokteran, 19-20. Natadisastra dan Ridad, Parasitologi, 84. 54 Gandahusada, S. Pribadi W dan Ilahude, H.D. Parasitologi Kedokteran, 20. 55 Ibid. 53
23
C. Kondisi Lingkungan 1. Keadaan Alam Desa Pakis, kecamatan Pakis, kabupaten Magelang merupakan suatu wilayah pedesaan yang berada di dataran tinggi beriklim sejuk. Di wilayah ini tanahnya subur sehingga dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai lahan untuk bercocok tanam. Pengairan sawah dan kebun berasal dari sungai yang biasa digunakan sebagai tempat mandi, mencuci, buang air besar dan lain-lain. Sebagian besar kondisi tempat tinggal warga desa Pakis sudah cukup layak, tetapi masih ada tempat tinggal yang berlantai tanah dan belum memiliki jamban keluarga. 2. Penduduk Mayoritas penduduk desa Pakis, kecamatan Pakis, kabupaten Magelang bermata pencaharian sebagai petani, sebagian kecil berprofesi sebagai pedagang. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan masih kurang, hal ini terbukti pada kebiasaan masyarakat di daerah ini yang tinggal di sekitar sungai dan yang tidak memiliki jamban, masyarakat masih menggunakan sungai sebagai tempat untuk mandi, mencuci, buang air besar dan lain-lain. Padahal aliran sungai digunakan untuk mengairi sawah dan kebun, selain itu petani di wilayah ini masih ditemukan yang tidak memakai alas kaki, sarung tangan ketika bekerja di sawah atau kebun. Terutama pada saat pemberian pupuk kandang pada tanam kubis para petani di desa Pakis kabupaten Magelang tidak menggunakan alas kaki juga sarung tangan keadaan ini sangat rentan terinfeksi parasit. 3. Keadaan Masyarakat Penyediaan air bersih atau air minum penduduk menggunakan air sumur dan air PAM. Kemudian keadaan rumah warga Pakis yang telah mempunyai WC, hanya beberapa saja yang memenuhi syarat. Sedangkan sebagian penduduk yang berkerja sebagai petani, rumahnya masih ada yang berlantai tanah dan juga masih ada yang belum memenuhi syarat. 24
memiliki WC yang
D. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Soil Transmitted Helminths Pencegahan dan pemberantasan infeksi Soil Transmitted Helminth dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1.
Membuang tinja pada jamban yang memenuhi syarat
kesehatan,
sehingga tidak membuat pencemaran lingkungan oleh telur cacing. 2.
Anak-anak dianjurkan untuk tidak bermain di tanah yang lembab dan kotor, serta selalu memotong kuku secara teratur.
3.
Mencuci bersih sayur-sayuran dan memasaknya sampai matang.
4.
Mencuci tangan menggunakan sabun.
5.
Menggunakan sendok dan garpu pada waktu makan dapat mencegah infeksi oleh telur cacing.
6.
Memakai alas kaki untuk mencegah masuknya larva kedalam kulit.
7.
Menjaga kebersihan lingkungan.
8.
Pendidikan terhadap masyarakat terutama anak-anak tentang sanitasi dan higiene.
9.
Penderita cacingan diobati dengan obat cacing. seperti: piperasin, pirantel pamoat, Mebendazole, Tetrachlorethylen, Albendazole, dan Bitoskanat.56
E. Pengawetan Sampel Pemeriksaan sampel dalam jumlah yang besar maka tidak mungkin semua sampel dapat diperiksa dalam beberapa jam saja. Dengan demikian sampel harus diawetkan agar morfologi telur cacing tidak rusak dan tidak mempengaruhi hasil pemeriksaan. Pemeriksaan telur cacing digunakan formalin 5-10 persen. Adapun syarat-syarat untuk memperoleh pengawetan yang baik adalah : 1.
Jumlah bahan pengawet harus sesuai dengan sampel (3 bagian pengawet 1 bagian tinja) Bahan pengawet dan spesimen harus di campur homogen.57
2.
56
Irianto, Kus. Parasitologi, 80.
25
F. Teknik Pemeriksaan Teknik pemeriksaan tinja terdiri dari dua cara yaitu pemeriksaan langsung dan tidak langsung. Cara tidak langsung terdiri dari dua metode pemeriksaan yaitu metode pengapungan (Flotasi) dan metode pengendapan (Sedimentasi). Macam-macam teknik pengapungan (flotasi) terdiri dari: 1. Teknik pengapungan garam pekat (NaCl pekat) 2. Teknik pengapungan gula pekat 3. Teknik pengapungan NaCl + MgCl2 4. Teknik pengapungan ZnSO4 Macam-macam teknik sedimentasi (pengendapan) 1.
Teknik penyaringan dengan pengendapan
2.
Teknik pengendapan dengan centrifugasi
3.
Teknik formalin eter
4.
Teknik buffer citrat tween 80
5.
Teknik A.M.S III
6.
Teknik pengawetan dan pewarnaan tinja dengan merthiolet iodine formalin (MIF).
57
Anonim, Petunjuk Praktikum Parasitogi, (Semarang: Akademi Analis Kesehatan 17 Agustus 1945, 1998).
26
G. Kerangka Teori Petani Kubis -
Selalu berhubungan dengan tanah Selalu berhubungan dengan pupuk kandang(kotora sapi)
Infeksi telur Soil Transmitted Helminths
Faktor : 1. Kurang memperhatikan kebersihan diri 2. Kebiasaan tidak memakai alas kaki saat berkerja 3. Kebiasaan tidak memakai sarung tangan saat berkerja H. Kerangka Konsep Pemeriksaan laboratorium metode pengendapan
Tinja petani kubis
centrifugasi
Telur Cacing Soil Transmitted Helmints
27
BAB III METODE PEMBERDAYAAN DAN PENELITIAN
A.
Jenis Pemberdayaan dan Penelitian Pemberdayaan ini dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan. Pemberdayaan ini juga dengan melakukan penelitian. Adapun jenis penelitian dalam pemberdayaan ini adalah kualitatif yang bersifat deskriptif, dengan melakukan pemeriksaan untuk menemukan adanya telur Soil Transmitted Helminths metode pengendapan centrifugasi pada feses petani kubis, desa Pakis, kecamatan Pakis, kabupaten Magelang. Pemeriksaan keberadaan telur Soil Transmitted Helminths dilakukan dengan mengadakan uji laboratorium pada sampel tinja yang diambil dari beberapa rumah warga Desa Pakis. Sedangkan pemberdayaan petani kubis ini dalam rangka bebas infeksi STH dibuat desain pemberdayaan melalui pendidikan dan kesehatan.
B.
Lokasi dan Waktu Pemberdayaan dan Penelitian 1.
Lokasi Pemberdayaan dan Penelitian Pemberdayaan
dan penelitian dilaksanakan di Desa Pakis,
Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang. Sementara pemeriksaan laboratorium dari fases warga dilakukan pada laboratorium IPA PGMI IAIN Salatiga dan Semarang. 2.
Waktu Pemberdayaan dan Penelitian Pemberdayaan dan penelitian ini dimulai pada bulan Mei hingga Desember 2013. Pelaporan hasil pemberdayaan dan penelitian dilakukan pada bulan Desember 2013.
C.
Obyek Pemberdayaan dan Penelitian Obyek pemberdayaan dan penelitian ini adalah feses petani kubis, area pertanian dan pengolahan pupuk kandang yang dilakukan oleh petani kubis Desa Pakis, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang.
28
D. Subyek Pemberdayaan dan Penelitian Enam puluh (60) petani kubis dari total populasi warga Desa Pakis, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, diambil feses petani kubis pada desa model kaponan. E. Definisi Operasional 1.
Pemberdayaan: sebuah upaya pembinaan melalui penyuluhan kesehatan yang dilakukan untuk minimalisasi bahaya infeksi telur STH.
2.
Pendidikan dan Penyuluhan adalah upaya pemberdayaan yang dilakukan melalui penyuluhan, pemeriksaan laboratorium dan pengobatan bagi petani kubis.
3.
Petani kubis adalah orang yang berprofesi budidaya kubis dalam kehidupan sehari-harinya.
4.
Soil Transmitted Helminths atau yang disingkat STH merupakan nematoda usus yang memerlukan tanah dalam sirkulasi hidupnya untuk mencapai stadium infektif. Spesiesnya meliputi Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Necator americanus, Ancylostoma duodenale & Strongyloides stercoralis.
F. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan
data
dalam
penyusunan
laopran
penelitia
ini
menggunakan beberapa metode, diantarnya observasi lapangan, pemeriksaan laboratorium, dan Focus Group Discussion (FGD). 1.
Observasi Mengadakan pengamatan secara langsung pada lokasi penelitian. Peneliti melakukan pengamatan langsung terhadap objek pelitian di Desa Pakis, Kabupaten Magelang. Hal-hal yang diamati peneliti adalah lokasi rumah tinggal warga, kamar mandi dan tempat pembuangan air besar warga (WC), tempat penyimpan pupuk, serta aktivitas warga di sawah.
2.
Pemeriksaan Laboratorium Pengumpulan data dengan pemeriksaan laboratorium. Sampel fases dikumpulkan dari tempat pembuangan air besar warga dengan sampel 60 29
rumah tangga. Fases tersebut kemudian dibawa ke laboratorium di IAIN Salatiga dan Semarang untuk dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui kemungkinan jenis cacing yang ada pada warga untuk kemudian dilakukan sosialisasi cara pencegahan adanya kemungkinan terjadinya penyakit yang akan menyerang warga desa Pakis. 3.
Focus Group Discussion (FGD) Focus Group Discussion atau FGD adalah diskusi kelompok yang terorganisir dengan baik untuk membicarakan suatu persoalan tertentu secara intensif. Cara ini digunakan untuk mengetahui persoalan yang dialami oleh kelompok masyarakat dengan bertukar pikran dan berbagi pengalaman. FGD ini dilakukan pemberdaya dengan warga desa Pakis untuk berdiskusi mengenai kegiatan pertanian dan permasalah kesehatan yang terjadi pada petani.
G. Cara Pengambilan Sampel 1. Tempat Bahan Pemeriksaan Syarat tempat untuk sampel yang berupa Feses yang diambil sebagai bahan pemeriksaan, antara lain: a) Kering dan bersih. Tidak boleh mengandung debu, air sabun, desinfektan, bahan kimia, minyak dan lemak, karena zat-zat tersebut
akan
menghancurkan
atau
mengacaukan
hasil
pemeriksaan. b) Bervolume cukup. Sesuai dengan feses yang akan ditempatkan, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. c) Bermulut
lebar.
Untuk
mempermudah
pemasukan
dan
pengambilan sampel. d) Bertutup. Untuk menghindari tumpahnya sampel, lalat dan kontaminasi dengan pembawanya. e) Kedap air. Sehingga air yang terkandung dalam sampel tidak terserap pada tempat tersebut. Pada tempat pemeriksaan tersebut harus diberikan label keterangan tentang probandus, alamat, waktu 30
pengambilan sampel serta keterangan-keterangan lain yang dianggap perlu. 2. Saat dan Pengumpulan Bahan Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk mencari adanya infeksi Soil transmitted helminths dilaksanakan sebelum dilakukan pengobatan terhadap parasitnya. Pengambilan sampel untuk pemeriksaan diambil dari seluruh bagian dari potongan kuku beserta kotorannya dan diperiksa dalam keadaan segar atau langsung diperiksa. Apabila sampel tidak langsung diperiksa harus diberi pengawet sehingga tidak merusak adanya telur yang terdapat pada sampel. 3. Teknik pemeriksaan Cara pengambilan bahan pemeriksaan bahan atau sampel dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Mempersiapkan botol yang digunakan sebagai tempat penampungan feses. b.
Datang ke desa Pakis, kecamatan Pakis, kabupaten Magelang meminta izin kepada kepala desa untuk melakukan pengambilan sampel berupa feses petani kubis.
c.
Peneliti memberikan pengarahan kepada petani kubis tentang bahaya infeksi cacing soil transmitted helminths.
d.
Pengambilan spesimen berupa feses dari petani kubis
e.
Botol yang berisi feses kemudian ditambah formalin 10 persen dan dibawa ke Laboratorium di Semarang.
H. Pemeriksaan Laboratorium 1. Alat dan Bahan pemeriksaan a.
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah: 1) Obyek glass 2) Deck glass 3) Tabung reaksi 4) Tempat sampel 5) Lidi 31
6) pipet tetes 7) Centrifuge 8) Mikroskop 9) Pinset b.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah: 1) Aquadest 2) feses
2.
Cara Kerja Pemeriksaan
selanjutnya
dengan
menggunakan
metode
pengendapan dengan centrifugasi. Cara kerja pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut: a) Masukkan aquadest yang untuk merendam potongan kuku beserta kotorannya ke dalam tabung. b) Sebelum dicentrifuge potongan kuku tersebut diambil, sehingga hanya tersisa kotoran kuku. c) Ditambahkan aquadest kira-kira 10 kali lipat volume kotoran kuku, kemudian dimasukkan kedalam centrifuge, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 1500-2300 rpm selama 1-2 menit. d) Buang larutan supernatan diatasnya dengan hati-hati. e) Tambahkan aquades kedalam tabung. f)
Centrifugasi lagi dengan kecepatan dan waktu yang sama.
g) Ulangi cara kerja nomer 4-6 sampai supernatan menjadi jernih. h) Ambil endapan dengan hati-hati, teteskan dengan obyec glass, ditambahkan lugol 2 persen 1-2 tetes, ditutup dengan deck glass, kemudian diperiksa dibawah mikroskop.58 I. Proses Pemberdayaan dan Penelitian Proses pemberdayaan dan penelitian ini dilakukan dengan cara membuat desain pemberdayaan petani kubis melalui pendidikan dan kesehatan sesuai
Anonim. Petunjuk Praktikum Parasitogi. (Semarang: Akademi Analis Kesehatan 17 Agustus 1945, 1998), 12. 58
32
kebutuhan petani kubis dalam sebuah FGD. Adapun desain pemberdayaan masyarakat petani kubis berbasis pendidikan & kesehatan sebagai upaya minimalisasi bahaya infeksi telur cacing STH bagi petani kubis berikut: a. studi pendahuluan: observasi, Focus Group Disscusion (FGD), perencanaan, b. bimbingan
klinis: diagnosa laboratorium, penyuluhan, konsultasi,
pengobatan, c. pemberdayaan: penyerahan dan simulasi penggunaan "Temporary Shelter" dan Alat Pelindung Diri dalam kehidupan sehari hari, d. monitoring, e. output: bebas infeksi telur STH. Studi pendahuluan melalui proses observasi awal di lapangan. Pemberdaya
melakukan
observasi
terhadap
rumah
warga,
tempat
pembuangan air besar (MCK), tempat penampungan pupuk, serta aktivitas petani di sawah. Kemudian Peneliti melakukan diskusi untuk menyusun rencana penelitian beserta instrument penelitian. Proses selanjutnya adalah melakukan Focus Group Discussion (FGD) sebanyak dua kali. FGD ini dimaksudkan untuk menggali persoalan yang ada pada masyarakat serta mencoba mencari akar persoalan yang sedang terjadi. Setelah melakukan FGD sebanyak dua kali, pemberdaya melengkapi rencana pemberdayaan dan penelitian yang telah disusun. Pemberdaya
merencakan
pemberdayaan
dan
penelitian
untuk
mengambil sampel fases warga. Pengembilan fases warga ini dilakukan oleh pemberdaya yang dibantu mahasiswa. Ada sebanyak 60 warga yang diambil sample fases untuk kemudian dibawa ke laboratorium IPA IAIN Salatiga dan Semarang. Hasil laboratorium ini kemudian disampaikan pada petani yang diambil sample fasesnya. Pemberian hasil laboratorium ini dibarengi juga dengan bimbingan klinis yang dilakukan oleh dokter spesialis. Bimbingan klinis ini terkait dengan cara penjagaan kebersihan, upaya preventif akan kemungkinan terjangkit cacing yang ada dalam pupuk hewan, dan pengobatan bagi mereka yang dimungkinkan terkena telur cacing Soil Transmitted Helmint (STH).
33
J. Analisa data Analisa data dilakukan dengan mengumpulkan data-data hasil pemeriksaan kemudian dicari prosentase angka kejadian infeksi Soil Transmitted Helminths. Dengan rumus sebagai berikut:
% Kontaminasi = X/Y x 100%
Dimana x adalah hasil pemeriksaan yang positif, sedangkan y adalah jumlah sampel, kemudian data tersebut diolah, dimasukkan ke dalam tabel untuk dianalisa kemudian disajikan secara deskriptif.
34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pemeriksaan Laboratorium dan Pelaksanaan Pemberdayaan Petani Kubis Kegiatan pemberdayaan petani kubis dilakukan dengan beberapa tahapan. Adapun enam tahapan dalam pelaksanaan tersebut adalah sebagai berikut: pertama, Pra Riset/Pengabdian Masyarakat; kedua, Penyuluhan minimalisasi bahaya infeksi Soil Transmitted Helmints (STH) bagi petani kubis; ketiga, pemeriksaan laboratorium bagi petani kubis untuk mendeteksi infeksi telur cacing Soil Transmitted Helmints; keempat, Pemaparan hasil pemeriksaan laboratorium; kelima, Bimbingan klinis infeksi Soil Transmitted Helmints bagi petani kubis; dan keenam, Kunjungan lapangan hasil pembuatan “Temporary Shelter” atau tempat tampungan sementara. Secara rinci hasil pemberdayaan petani kubis adalah sebagai berikut: 1.
Pra Riset/Pra Pemberdayaan Petani Kubis Kegiatan observasi dan analisis kebutuhan masyarakat petani kubis yang dilakukan oleh peneliti secara faktual hasil observasi yang dilakukan peneliti di Kecamatan Pakis adalah sebagai berikut: a. Pupuk yang digunakan untuk lahan petani kubis adalah dari kotoran ternak.
35
Gambar 4.1. Pupuk Kandang Yang Digunakan Petani Kubis (Dokumen peneliti/pemberdaya 2013). b. Jumlah penduduk dan kondisi geografis Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang adalah seperti tercantum pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Hasil observasi jumlah penduduk dan kondisi geografis Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang Jumlah Penduduk 26121
Luas Area 6956 Km2
Jarak dari ibu kota kabupaten 29 Km
Ketinggian dari permukaan air laut 841 M
penduduk
c. Masih terdapat penempatan pupuk kandang tanpa memperhatikan bahaya infeksi STH Berdasarkan
survei
yang
peneliti/pemberdaya
lakukan
warga
menempatkan pupuk kandang tanpa memperhatikan akibat infeksi dari STH. Terlihat pada
hasil dokumentasi peneliti/pemberdaya warga
sangat mungkin terinfeksi akibat dari pupuk kandang. Penempatan yang terlalu dekat antara pupuk kandang dengan perkampungan membuat polusi terutama bau, dan pupuk kandang terbawa oleh air hujan ke lingkungan sekitar warga.
36
a. Aktivitas warga yang memungkinkan terjadinya infeksi STH
Gambar 4.2. Aktivitas warga sebagai petani kubis tanpa menggunakan alat pelindung diri sehingga memungkinkan adanya infeksi STH. (Dokumen peneliti/pemberdaya 2013). d. Penempatan hasil panen yang memungkinkan terjadinya infeksi STH
Gambar 4.3. Hasil panen berdekatan ditempatkan sangat dekat dengan pupuk kandang yang telah dicampur dengan sisa penggilingan padi dipinggir jalan rentan infeksi STH (Dokumen peneliti/pemberdaya 2013). 37
a. Pemukiman dan area pertanian yang berdekatan sehingga akses infeksi STH lebih mudah.
Gambar 4.4. Kondisi pemukiman warga yang sangat berdekatan dengan lahan pertanian dan persemaian bibit kubis (Dokumen peneliti/pemberdaya 2013). b. Lahan pertanian kubis
Gambar 4.5. Lahan pertanian kubis (Dokumen peneliti/pemberdaya.2013).
38
c. Peneliti/Pemberdaya melakukan koordinasi dengan camat dan Kepala Desa Kaponan sebagai daerah model. d. Penempatan pupuk kandang dipinggir jalan dan di depan rumah warga
Gambar 4.6. Penempatan pupuk kandang dipinggir jalan dan di depan rumah warga (Dokumen pemberdaya petani kubis, 2013). 2.
Desain Pemberdayaan Masyarakat Petani Kubis Berbasis Pendidikan & Kesehatan. Desain pemberdayaan petani kubis yang pemberdaya lakukan disusun melalui proses FGD dan sesuai kebutuhan petani kubis setempat. Adapun desain tersebut adalah seperti pada bagan 4.7.
39
Gambar 4.7 Hipotetik Desain Pemberdayaan Masyarakat Petani Kubis Berbasis Pendidikan & Kesehatan Desain pemberdayaan masyarakat petani kubis berbasis pendidikan & kesehatan sebagai upaya minimalisasi bahaya infeksi telur cacing STH bagi petani kubis berikut: a. studi pendahuluan: 1). observasi, Mengadakan
pengamatan
secara
langsung
pada
lokasi
pemberdayaan. Pemberdaya melakukan pengamatan langsung terhadap subyek pemberdayaan di Desa Pakis, Kabupaten Magelang. Hal-hal yang diamati pemberdaya adalah lokasi rumah tinggal warga, kamar mandi dan tempat pembuangan air besar warga (WC), tempat penyimpan pupuk, serta aktivitas warga di sawah. 2). Focus Group Disscusion (FGD), Focus Group Discussion atau FGD adalah diskusi kelompok yang terorganisir dengan baik untuk membicarakan suatu persoalan tertentu secara intensif. Cara ini digunakan untuk mengetahui persoalan yang dialami oleh kelompok masyarakat dengan bertukar 40
pikran dan berbagi pengalaman. FGD ini dilakukan oleh pemberdaya dengan warga desa Pakis untuk berdiskusi mengenai kegiatan pertanian dan permasalah kesehatan yang terjadi pada petani. 3). Perencanaan, Perencanaan pemberdayaan dengan menentukan tema, waktu dan tempat bimbingan klinis yang terdiri dari diagnosa laboratorium, penyuluhan, konsultasi dan pengobtan. b. bimbingan klinis: 1). diagnosa laboratorium, Deteksi
infeksi
STH
dilakukan
melalui
pemeriksaan
laboratorium Diagnosa laboratorium dilaksanakan di laboratorium parasitologi pada tanggal 15 Desember 2013. Metode pemeriksaan dilakukan dengan metode centrifugasi. Hasil pemeriksaaan laboratorium dapat dijadikan dasar dalam penyuluhan lanjut. Adapun intepretasi dari hasil pemeriksaan laboratorium adalah positif atau negative dari infeksi telur Soil Transmitted Helmint (STH). 2). penyuluhan, Berdasarkan hasil observasi seperti tercantum di atas, maka diperlukan penyuluhan bagi masyarakat petani kubis. Penyuluhan dilakukan pada desa model yaitu desa Kaponan. Penyuluhan minimalisasi bahaya infeksi STH dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 8 Desember 2013 di aula Balai Desa Kaponan dengan nara sumber dr. Andriani Tri S, M.Sc., SpPK. Pelaksanaan penyuluhan dihadiri panitia dan masyarakat petani kubis sejumlah 60 orang, Kepala Desa Kaponan, Ketua Gabungan Kelompok Tani Kecamatan Pakis dan sejumlah perangkat Desa Kaponan. Penyuluhan mendapat sambutan yang positif dari warga Kaponan. Setelah acara penyuluhan dilakukan Tanya jawab. Isi dari penyuluhan adalah diskripsi pola hidup sehat dan bersih, paparan 41
infeksi telur cacaing STH bagi manusia, deteksi infeksi STH, bahaya infeksi STH dan informasi pengobatan serta pencegahan infeksi STH.
Gambar 4.8. Peneliti/Pemberdaya menyampaikan tahapan Pemberdayaan Masyarakat (Dokumen Peneliti/pemberdaya, 2013).
Gambar 4.9. dr. Andriani SpPK narasumber utama dalam penyuluhan minimalisasi bahaya Infeksi STH (Dokumen penelti/pemberdaya, 2013).
42
Gambar4.10. Petani kubis desa Kaponan tanya jawab dengan nara sumber (Dokumen peneliti/pemberdaya, 2013).
Gambar 4.11. Pembagian botol sampel untuk diagnosa infeksi STH (Dokumen peneliti/pemberdaya, 2013)
43
3). konsultasi, Petani kubis dapat melakukan konsultasi kepada dr. Andriani, M.Sc, SpPK selaku dokter ahli patologi yang telah bekerjasama dengan pemberdaya dalam kegiatan ini. Konsultasi dibuka secara bebas dan gratis. Petani kubis dapat menanyakan segala persoalan bahaya infeksi telur STH. 4). pengobatan, Tindak lanjut telah pemberdaya lakukan dengan merujuk petani yang terkena infeksi agar melakukan pengobatan di puskesmas terdekat. Hal tersebut mendapatkan respon positif dari petani yang terinfeksi. c. Pemberdayaan: Penyerahan dan simulasi penggunaan "Temporary Shelter" dan Alat Pelindung Diri untuk dilaksanakan dalam pola sehat bertani kubis dalam kehidupan sehari hari, d. monitoring, Kegiatan pemberdayaan dilakukan monitoring agar tidak terdapat penyimpangan dalam pemberdayaan serta tujuan pemberdayaan tercapai. e. output Bebas infeksi telur STH. 3. Pemaparan Hasil Pemeriksaan Laboraorium Pemaparan hasil dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 2013 di balai desa Kaponan. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh pemberdaya dengan tenaga analis laboratorium kesehatan, diperoleh hasil 0,017% warga positif infeksi Soil Transmitted Helmint jenis Trichuris trichiura.. Hasil infeksi positif termasuk kategori rendah. Berdasarkan
hasil
pemeriksaan
laboratorium
tersebut
pemberdaya/peneliti tetap melakukan penyuluhan lanjut dan bimbingan klinis. Hal tersebut dilakukan agar untuk ke depan masyarakat tetap terbebas dari ancaman infeksi telur Soil Transmitted Helmint. 44
Penyuluhan dilakukan dengan memberikan pendidikan pola hidup dan upaya meminimalisasi bahaya infeksi telur Soil Transmitted Helmint dengan mencuci tangan sebelum makan, menggunakan alat pelindung diri pada saat bekerja di ladang, menjaga kebersihan lingkungan, meletakkan hasil panen kubis pada tempat yang bersih, meletakkan pupuk kandang pada selter/tampungan yang dibuat secara aman. 4. Bimbingan Klinis Infeksi Soil Transmitted Helmints Bimbingan klinis dilaksanakan pada tanggal 22 Desember 2013 di Serambi Masjid Kaponan. Hasil pemeriksaan laboratorium dijadikan dasar untuk melakukan bimbingan klinis oleh nara sumber (dokter). Bimbingan klinis dilakukan bagi yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi Soil Transmitted Helmint. Bimbingan klinis dari dokter bagi yang terinfeksi Soil Transmitted Helmint sebagai tindak lanjut dalam pengobatan dan pencegahan infeksi. Sedangkan bimbingan klinis bagi yang tidak terinfeksi adalah sebagai upaya tetap mempertakankan keadaan bebas infeksi dan pencegahan kedepan. Bimbingan klinis di lakukan di masjid desa Kaponan. Adapun dokumentasi bimbingan klinis didahului dengan pengantar kepala desa, pemberdaya, dan inti dari dokter dalam bimbingan klinis serta simulasi cara pemakaian alat pelindung diri yang benar
45
Gambar 4.12. Proses Bimbingan klinis dari dr. Andriani SpPK dan Tim (Dokumen peneliti/pemberdaya, 2013).
Gambar 4.13. Simulasi pemakian alat pelindung diri (APD) bagi petani dan pembagian APD dari Pemberdaya. (Dokumen peneliti/pemberdaya, 2013).
46
Gambar 4.14. Konsultasi bagi yang positif infeksi telur STH dengan dr. Andiani SpPK (Dokumen peneliti/Pemberdaya, 2013). 5. Kunjungan Lapangan Hasil Pembuatan “Temporary Shelter” Kegiatan akhir dari kegiatan pengabdian masyarakat adalah penyerahan model tampungan kepada tokoh masyarakat desa model yaitu desa Kaponan. Penyerahan disaksikan nara sumber dr. Andriani SpPK, tim pengabdian masyarakat dan saksi warga. Model tampungan ini sebagai satu
contoh
tampungan
motivator
agar
masyarakat
lain
dapat
memanfaatkan tempat tampungan seperti contoh tersebut dan sebagai upaya minimalisasi infeksi telur cacing Soil Transmited Helminth bagi masyarakat petani kubis disekitar Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang. Di bawah ini faktual penyerahan tampungan pupuk kandang sebagai upaya minimalisasi infeksi Soil Transmited Helminth bagi masyarakat petani kubis disekitar Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang. Tahap awal penggunaan tampungan ini pemberdaya menyarankan untuk digunakan masyarakat sekitar dengan cara bergantian. Pemberdaya juga menyarankan agar masyarakat yang mampu membuat secara mandiri lebih dihimbaukan agar dapat meminimalisasi bahaya infeksi telur STH. 47
Gambar 4.15 Habituasi Temporary Shelter Petani Kubis (Dokummentasi Pemberdaya, 2013)
48
B. Pembahasan Pemberdayaan petani kubis yang telah kami lakukan yang berupa: pertama,
pra
riset/pra
pengabdian
masyarakat;
kedua,
penyuluhan
minimalisasi bahaya infeksi Soil Transmitted Helmints bagi petani kubis; ketiga, pemeriksaan laboratorium bagi petani kubis untuk mendeteksi infeksi telur cacing Soil Transmitted Helmints; keempat, Pemaparan hasil pemeriksaan laboratorium; kelima, Bimbingan klinis infeksi Soil Transmitted Helmints bagi petani kubis; dan keenam, Kunjungan lapangan hasil pembuatan “Temporary Selther”. Hasil pemeriksaan laboratorium dari 60 petani kubis yang terinfeksi telur cacing STH 0,017%. Infeksi telur cacing tersebut jenis Trichuris trichiura. Upaya tindak lanjut telah pemberdaya lakukan dengan merujuk petani yang terkena infeksi agar melakukan pengobatan di puskesmas terdekat. Hal tersebut mendapatkan respon positif dari petani yang terinfeksi. Petani yang tidak terinfeksi disarankan agar tetap waspada dan melakukan pencegahan dengan menggunakan alat pelindung diri pada saat bekerja diladang dan tetap menjaga kebersihan lingkungan.
49
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan pemberdayaan yang telah dilakukan pada petani kubis di desa model Kaponan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ada infeksi telur STH pada petani kubis di desa model Kaponan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang. 2. Kejadian infeksi telur STH pada petani kubis 0,017% dari 60 orang petani kubis di desa model Kaponan. 3. Spesies STH yang menginfeksi petani kubis adalah Trichiuris trichiura. 4. Desain pemberdayaan masyarakat petani kubis berbasis pendidikan & kesehatan efektif dalam rangka minimalisasi bahaya infeksi telur cacing STH bagi petani kubis. Adapun desainnya adalah sebagi berikut: a. studi pendahuluan: observasi, Focus Group Disscusion (FGD), perencanaan, b. bimbingan
klinis: diagnosa laboratorium, penyuluhan, konsultasi,
pengobatan, c. Pemberdayaan: penyerahan dan simulasi penggunaan "Temporary Shelter" dan Alat Pelindung Diri dalam kehidupan sehari hari, d. monitoring: kegiatan untuk minimalisasi penyimpangan dalam pemberdayaan. e. output: bebas infeksi telur STH. B. Saran-Saran 1. Bagi Masyarakat sekitar Agar tetap menjaga kebersihan diri dan lingkungan agar terhindar dari infeksi telur STH.
2. Bagi Petani Kubis 50
a. Agar selalu menjaga kebersihan diri melalui mencuci tangan sebelum dan setelah makan dengan menggunakan sabun. b. Agar selalu menggunakan Alat Pelindung Diri pada saat bekerja di ladang. c. Agar tetap menjaga perilaku hidup sehat. d. Agar segera memeriksakan diri jika terdapat gejala infeksi telur STH. 3. Bagi Pemerintah a. Agar memberikan fasilitas kesehatan yang memadai bagi warga dan petani kubis khususnya di sekitar kecamatan Pakis Kabupaten Magelang. b. Memberikan penyuluhan secara rutin kepada petani kubis.
51
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, http://www.dpd.cdc.gov/dpdx. Diakses pada tanggal 25 November 2013, pukul 20.00 WIB. Anonim, Sistem Informasi Geografi Kab. Magelang 2012. Pemda Kab. Magelang, 2012. Anonim. http://www.lontar.ui.ac.id. Diakses pada tanggal 27 Nopember 2013, pukul 08.45 WIB. Anonim. Petunjuk Praktikum Parasitogi. Semarang: Akademi Analis Kesehatan 17 Agustus 1945, 1998. Entjang, I. Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Gandahusada, S. Pribadi W dan Ilahude, H.D. Parasitologi Kedokteran. Ed. III. Jakarta : FKUI, 1998. Irianto, Kus. Parasitologi: berbagai penyakit yang mempengaruhi kesehatan manusia. Bandung: Yrama Widya, 2009. Magelangkab. Kabupaten Magelang. pada tanggal 16 Februari 2012.
http://magelangkab.bps.go.id/. Diakses
Muslim, M. Parasitologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001. Nadesul, H. Bagaimana Kalau Cacingan. Ed. II. Jakarta : Puspa Swara, 1997. Nadesul, H. Bagaimana Kalau Cacingan. Jakarta: Puspa Swara, 1997. Natadisastra, N dan Ridad, Agoes. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau Dari Organ Tubuh yang diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009. Onggowaluyo, J. S. Parasitologi Medik I Helmintologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2002. Safar, Rosdiana. Parasitologi Kedokteran: Protizologi, Entomologi, dan Helmintologi. Bandung: Yrama Widya, 2009. 52
Soedarto. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Sagung Seto, 1991. Soedijarto. Pendidikan Nasional sebagai wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa, CINAPS, 2000. Widoyono. Penyakit Tropis. Semarang: Erlangga, 2008. Wikipedia. Pakis Magelang. http://id.wikipedia.org/wiki/Pakis,_Magelang. Diakses pada tanggal 16 Februari 2012.
53