DESAIN INTERIOR GALERI BATIK MANGROVE SEBAGAI SARANA HIBURAN EDUKASI TENTANG MANGROVE DI SURABAYA. Tiara Ika Widia Primadani Jurusan Desain Produk Industri, FTSP ITS. Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Telp./Fax (031) 5931147
ABSTRAK Batik Mangrove (bakau) atau yang dikenal dengan Batik "SeRU" (Seni batik Mangrove Rungkut) berawal dari keprihatinan salah satu warga Surabaya, Ibu Lulut Sri Yuliani atas rusaknya lingkungan yang ada di kawasan konservasi pantai Timur Surabaya. Kondisi tersebut membuat beliau tergerak hatinya untuk melakukan tindakan pencegahan penebangan mangrove secara liar dengan kampanye lingkungan, mengenalkan pentingnya mangrove kepada masyarakat. Salah satunya caranya yaitu dengan batik, karena dinilai cara ini paling efektif dari pada cara lainnya. Seiring dengan berjalannya waktu Batik Mangrove kian banyak peminatnya sehingga dibutuhkan galeri untuk membantu sarana mengkomunikasikan karya batik ini ke masyarakat luas. Desain galeri Batik Mangrove berkonsep sebagai sarana hiburan edukasi tentang mangrove sehingga dilengkapi dengan fasilitas workshop membatik, kafe dan media pengenalan mangrove.Desain interior galeri mengambil tema Mangrove. Tema ini dipilih untuk menguatkan karakter mangrove sesuai dengan produk yang ada di galeri ini. Penerapan tema ini pada interior peracangan untuk mengenalkan mangrove kepada masyarakat yang juga merupakan tujuan dari batik mangrove. Oleh karena itu diharapkan desain interior galeri Batik Mangrove sebagai sarana edukasi tentang mangrove dan memberikan suatu manfaat bagi lingkungan, budaya dan masyarakat.
ABSTRACT Batik Mangrove usually known as "SeRU" (Seni Batik Mangrove Rungkut Surabaya (The Art of Rungkut Mangrove Batik) ) originated came from the concerns of a Surabaya resident, Ibu Lulut Sri Yuliani for environmental damage in coastal conservation area of East Surabaya. These conditions make her mind called to take a prevent action of illegally mangrove logging, with an environmental campaign, to introduce the importance of mangroves to the community. One of the kind is using the art of batik, because it considered this the most effective way than the other way. As time goes by more and more devotees batik mangroves so that the gallery needed to help the batik works, this means to communicate to the public. The design of mangrove batik gallery have the concept of education and entertainment about mangroves, so its attached with facilities sucha as, batik workshop, café, and media to introducing all about mangroves.Interior design of the gallery takes the theme of Mangrove. This theme was chosen to inherit the character of mangroves in accordance with existing products in this gallery. The application of this theme in interior design to introduce the mangrove to the community which is also the purpose of mangrove batik. Therefore that the expected design of the Batik Mangrove gallery interior can be as a facility of education about mangroves, and have a benefit to the environment, cultures, and society.
KATA KUNCI Batik Mangrove, Mangrove, Hiburan Edukasi,
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Batik merupakan kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perkembangan batik nusantara pun ditandai dengan munculnya bermacam-macam motif batik di daerah-daerah di Indonesia. Produk kain batik pasca pengukuhan dari UNESCO pada tahun 2009 sepertinya kian gencar, dan batik mangrove yang dicetuskan pada tahun 2007 pun mulai dikenal oleh masyarakt luas. Batik Mangrove (bakau) atau yang dikenal dengan batik "SeRU" (Seni batik Mangrove Rungkut) berawal dari keprihatinan salah satu warga Surabaya, Ibu Lulut Sri Yuliani atas rusaknya lingkungan yang ada di kawasan konservasi pantai timur Surabaya. Tindakan pencegahan penebangan mangrove secara liar dengan kampanye lingkungan mengenalkan pentingnya mangrove kepada masyarakat dengan batik, karena dinilai cara ini paling efektif. Batik Mangrove mulai dikenal banyak orang. Konsumen batiknya pun mulai merambah pasar nasional, sehingga banyak kunjungan, pelatihan, penelitian, dan pembeli yang berdatangan, baik dari berbagai instansi pemerintahn, pendidikan dan kalangan masyarakat. Hal inilah yang mendorong Griya Karya Tiara Kusuma membutuhkan sebuah galeri yang berfungsi sebagai media tempat display produk dan penjualan, serta area workshop membatik yang dapat memfasilitasi pengunjung yang datang ke galeri tersebut untuk belajar membatik, dan mengenal mangrove lebih dalam.
TUJUAN Desain Interior Galeri Batik Mangrove sebagai Sarana Hiburan Edukasi tentang Mangrove di Surabaya ini selaimn menjual produk batik yang dihasilkan, diharapkan mampu mendukung tujuan dari diciptakannya Batik Mangrove, yaitu mengenalkan mangrove kepada masyarakat. Selain itu desain galeri ini mampu mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang produk yang ada di galeri tersbut, sehingga desain interior dengan tema mangrove diterapkan di galeri ini.
MASALAH Masalah yang muncul dari Galeri Batik Mangrove ini yaitu bagaimana menciptakan desain interior galeri batik dengan tema mangrove yang diaplikasikan pada interiornya. Tujuannya agar dapat mengkomunikasikan produk yang berada di galeri tersebut yang berbahan baku mangrove, dan menjadikan galeri Batik Mangrove yang dilengkapi area workshop batik dan kafe ini, sebagai sarana hiburan edukasi bagi masyarakat tentang mangrove dan batik.
METODE DESAIN Berikut ini alur metodologi desain pada desain interior galeri Batik Mangrove yang akan diterapkan pada interior galeri batik: Griya Karya Tiara Kusuma
JUDUL
Latar Belakang
Owner
Identifikasi Obyek dan Pencarian Masalah
Rumusan Masalah
Tujuan
Preliminary Idea
‐ Konsep sesuai tujuan dan manfaat yang ingin dicapai. ‐ Konsep harus dapat memecahkan masalah pada objek desain.
Final Desain
Output
Evaluasi
Alternatif Desain
Proses Desain
Konsep
Analisa Data
Output Langsung
- Perspektif 3D. - Gambar kerja. - Maket. - Animasi. - RAB
Pengumpulan Data
Sketsa Perspektif
Tidak Langsung
2 - Observasi Eksisting (Wawancara owner)
- Artikel, - Literatur, - Internet
PEMBAHASAN Kajian Pustaka Galeri Galeri berasal dari Bahasa Latin, galeria, yang artinya sebuah bangunan yang salah satunya terbuka tanpa pintu. Bisa juga berarti sebuah ruang yang digunakan untuk menyajikan suatu karya seni, sebuah area untuk memajang aktifitas publik, area publik yang kadang kala digunakan untuk keperluan khusus.1 Menurut Susilo Tedjo dalam buku Pedoman Tata Pameran Galeri (Jakarta : 1997), galeri dapat diklasifikasikan berdasarkan status masyarakat, jenis koleksi, dan ruang lingkup wilayahnya : a. Berdasarkan Status Masyarakat. - Galeri Resmi (Pemerintah). - Galeri Swasta. b. Berdasarkan Koleksi. - Galeri umum. Yaitu galeri yang menunjang cabang-cabang Ilmu Pengetahuan Alam, desain, seni, budaya, sosial, dan teknologi. - Galeri Khusus. Yaitu galeri yang memiliki koleksi penunjang satu cabang ilmu saja, misalnya; ilmu desain, seni, dan teknologi. c. Berdasarkan Luas Lingkup Wilayah. - Galeri Nasional. Galeri yang mempunyai ruang lingkup yang lebih besar. - Galeri Lokal. Galeri yang mempunyai ruang lingkup yang lebih sempit, meliputi kabupaten dan kota. Berdasarkan klasifikasi tersebut, Galeri Batik Mangrove merupakan galeri swasta. Dilihat dari koleksinya merupakan galeri khusus dengan satu ilmu saja yaitu ilmu kesenian membatik yang digabungkan dengan pengenalan ekosistem mangrove. Sedangkan jika dilihat dari ruang lingkup wilyahnya, galeri ini merupakan galeri lokal yang hanya mempunyai ruang lingkup lokal, namun tidak menutup kemungkinan akan berkembang menjadi galeri yang lebih besar lagi. Adapun syarat dalam membuat suatu ruang galeri atau museum2 adalah: a. Ruang pamer harus aman dari pencuri, bahaya kebakaran, sinar terik matahari, debu, asap, polusi kendaraan atau industri, serta bebas dari kebisingan, dan getaran. b. Ruang pamer harus terjaga kelembabannya. Untuk ruang pamer lukisan akan Iebih baik apabila tidak terkena sinar matahari langsung. c. Galeri harus menyediakan lahan untuk pengembangan pada ta hun- tah un be rik utn ya de ngan asu ms i akan te rjadi penambahan ruang karena adanya penambahan koleksi. d. Galeri dapat didukung oleh workshop atau studio atau game dalam bangunan tersendiri atau terpisah dengan ruang pamer. e. G a l e r i s e b a i k n y a d i l e n g k a p i j u g a d e n g a n r u a n g d a n penunjang lain seperti kantor administrasi, ruang pertemuan, ruang baca/perpustakaan, dan kesemuanya sedapat mungkin berada di situ lantai yang sama dengan ruang pamer. Dalam merancangan suatu galeri atau museum, ada beberapa f a k t o r y a n g h a r u s 3 d i p e r h a t i k a n , ya n g d a p a t m e n j a d i p e n ye b a b kerusakan pada benda koleksi , antara lain :
1
Cyril M. Harris, Dictionary Of Architecture and Contruction, 2006
2
Ernst Neufert, Data Arsitek – Jilid 2, Jakarta : Erlangga, 1991, h.250 VJ. Herman, Pedoman Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : 1981.
3
3
a. K e l e m b a b a n d a n t e m p e r a t u r u d a r a . U k u r a n n o r m a l kelembaban udara adalah 0 45 /"0%, dengan temperatur udara antara 20°C - 24°C. Jika kelembaban udara berada di atas 70% akan menyebabkan tumbuhnya jamur dan tumbuh tumbuhan kecil (microorganism), dapat merusak benda-benda yang terbuat dari bahan organik seperti kertas, kayu, tekstil, kulit, dan sebagainya. b. Pencahayaan alarm dan buatan dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan terhadap beberapa material organik, seperti tekstil kertas; kayu; kulit dan lain-lain. Intensitas cahaya yang tinggi dan radiasi ultra violet dapat merusak dan merubah struktur material benda tersebut. c. Benda-benda koleksi di museum atau galeri sifatnya sangat mudah terbakar, khususnya benda-benda dari material organik. Untuk itu diperlukan peralatan untuk mendeteksi adanya gejala awal terjadinya kebakaran (asap, nyala api) sehingga kebakaran dapat dideteksi dan ditangani lebih cepat. d. Gangguan serangga dan binatang pengerat seperti rayap, kecoa, kutu, dan tikus dapat menjadi penyebab kerusakan benda-benda koleksi galeri atau museum. 2 e. Di dalam udara terdapat CO berupa gas berbahaya karena beracun. Gas ini sifatnya berat sehingga selalu benda di tempat yang rendah, dapat mendatangkan penyakit serta kerusakan terhadap benda-benda atau material. Selain itu, terdapat debu-debu yang dapat menempel pada permukaan benda-benda dan mengakibatkan perubahan bentuk pada benda-benda. f. Manusia juga dapat menjadi penyebab kerusakan pada benda-benda koleksi galeri atau museum karena faktor kelalaian atau kecerobohan. Khusus untuk galeri batik, perlu diperhatikan suhu yang tepat karena kain batik sangat rentan dengan hawa panas dan sinar matahari langsung. Sinar matahari yang mengenai langsung dapat menyebabkan kerusakan warna dan ketahanan kain batik, jelas hal ini akan merubah kualitas dan tampilan warna dari kain batik tersebut.
Batik. Berbagai macam jenis batik sebagai keragaman budaya Indonesia, antara lain: Batik Solo, Batik Yogya, Batik Pekalongan, Batik Madura, dan lain sebagainya. Setiap jenis batik daerah tersebut memiliki berbagai macam jenis, corak, serta warna yang disesuaikan dengan karakteristik masing-masing daerah. Seperti contohnya di daerah Jawa Timur, secara garis besar terlihat dua jenis kain batik, baik dari segi warna, corak, gaya dan selera keseluruhannya4 : a. Jenis Batik Pesisir. Batik ini dari daerah-daerah panti bagian utara seperti Tuban dan pantai bagian timur, antara lain Gresik, Sidoarjo, Porong dan Banyuwangi. Gaya kain batik dari daerah Tuban dan Gresik lebih banyak dipengaruhi batik dari daerah-daerah seperti pantai utara Jawa lainnya seperti pengaruh Batik Lasem, Cirebon dan Indramayu. Sedangkan batik dari daerah pantai bagian timur sangat dipengaruhi oleh gaya dan selera Batik Madura. Hal ini dapat dipahami, mengingat daerah pantai bagian timur banyak dihuni oleh masyarakat Suku Madura. Batik Pesisir ini mempunyai ciri antara lain warna yang digunakan cenderung warna-warna yang cerah dan corak yang digunakan adalah motif flora dan fauna daerah pesisir pantai.
Gambar 1.1 :. Batik Sidoarjo yang merupakan batik pesisir dengan ciriciri warna yang digunakan cerah dengan motif flora.
4
Nian S, Djumena, Batik dan Mitra, 1990, Djambatan : Jakarta.
4
b. Jenis Vorstenlanden. Batik ini mendapat pengaruh dari kain Batik Solo dan Yogyakarta. Misalnya pada corak yang mendapat pengaruh corak Batik Solo antara lain berbagai jenis parang, kawung, dipakai sebagai latar. Selain itu terlihat pada pemakaian warna-warna sogan dan hitam. Yang termasuk jenis Batik Vorstenlanden adalah Batik Trenggalek, Ponorogo, dan Pacitan, karena bisa dikatakan letak daerah-daerah tersebut berdekatan dengan Solo dan Yogyakarta.
Gambar 1.2 : Batik Yogyakarta dengan corak kawung dengan penggunaan warna soga dan hitam. Awalnya batik hanya digunakan untuk pakaian para bangsawan kerajaan, namun seiring berkembangnya waktu batik menjadi pakaian rakyat yang digemari. Namun pada perkembangannya, kini produk batik tidak hanya untuk pakaian dan aksesoris nya saja tetapi dapat diaplikasikan ke berbagai produk lainnya, diantaranya seperti tas, jaket, mukena, bandana, gelang, element dekorasi ruang seperti: sarung bantal, hiasan dinding, taplak meja, dan masih banyak lainnya.
Proses Pembuatan Batik. Pada awalnya teknik pembutan batik dengan manual, yang dikenal dengan sebutan batik tulis. Namun perkembangannya sekarang bermunculan teknik pembuatan batik yang lebih mudah dan cepat prosesnya, yaitu dengan menggunakan stempel, atau terkenal dengan sebutan batik cap. Ada beberapa perbedaan antara teknik batik cap dan batik tulis, yaitu : a. Batik Tulis. - Dikerjakan dengan menggunakan canting. - Bentuk gambar/desain pada batik tulis tidak ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak bisa lebih luwes dengan ukuran garis motif yang relatif bisa lebih kecil dibandingkan dengan batik cap. - Gambar batik tulis bisa dilihat pada kedua sisi kain nampak lebih rata (tembus bolakbalik) khusus bagi batik tulis yang halus. - Warna dasar kain biasanya lebih muda dibandingkan dengan warna pada goresan motif (batik tulis putihan/tembokan). - Setiap potongan gambar (ragam hias) yang diulang pada lembar kain biasanya tidak akan pernah sama bentuk dan ukurannya. Berbeda dengan batik cap yang kemungkinannya bisa sama persis antara gambar yang satu dengan gambar lainnya. - Waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan batik tulis relatif lebih lama (2 atau 3 kali lebih lama) dibandingkan dengan pembuatan batik cap. - Harga jual batik tulis lebih mahal dari harga batik cap.
Gambar 1.3 : Salah satu proses dalam pembuatan batik tulis yaitu proses pencantingan. Sumber : Aep S. Hamidin, Batik Warisan Budaya Asli Indonesia, 2002
5
b. Batik Cap. - Dikerjakan dengan menggunakan cap (alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk sesuai dengan gambar atau motif yang dikehendaki). - Bentuk gambar/desain pada batik cap selalu ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak berulang dengan bentuk yang sama, dengan ukuran garis motif relatif lebih besar dibandingkan dengan batik tulis. - Gambar batik cap biasanya tidak tembus pada kedua sisi kain. - Warna dasar kain biasanya lebih tua dibandingkan dengan warna pada goresan motifnya. Hal ini disebabkan batik cap tidak melakukan penutupan pada bagian dasar motif yang lebih rumit seperti halnya yang biasa dilakukan pada proses batik tulis. - Waktu pengerjaan dengan teknik cap membutuhkan waktu yang singkat. - Harga jual batik cap relatif lebih murah dibandingkan dengan batik tulis, dikarenakan biasanya jumlahnya banyak dan miliki kesamaan satu dan lainnya tidak unik, tidak istimewa dan kurang eksklusif.
Gambar 1. 4 : Salah satu proses dalam pembuatan batik cap . Sumber : Aep S. Hamidin, Batik Warisan Budaya Asli Indonesia, 2002 Batik mangrove merupakan batik tulis, jadi pembuatannya secara manual. Selain itu ada teknik lain yang digunakan dalam pembuatan batik ini yaitu dengan cara jumputan. Sebelum melalui proses pencantingan kain primisima diberi motif dengan cara jumputan kemudian baru diberi motif untuk dicanting. Pada pembuatan kain jumputan, bagian-bagian yang tidak diberi warna dicomot (ditarik) atau dijumput, kemudian diikat dengan tali. Bagian-bagian yang ditutup tali tadi, setelah kain diwarnai dan tali dilepas, akan tetap berwarna putih. Agar cat pewarna tidak meresap pada bagian kain yang diikat maka sebagai tali pengikat dipakai bahan yang tidak menyerap warna. Dahulu bahan yang dipakai sebagai pengikat adalah serat batang pisang, namun saat ini telah menggunakan tali rafia.
Bahan dan Peralatan Pembuatan Batik. Bahan yang digunakan dalam proses pembatikan, baik batik tulis maupun cap, membutuhkan tiga bahan pendukung utama, yaitu kain mori (cambrics), “malam” (lilin) batik, dan pewarna (zat warna). a. Kain Mori (Cambrics). Kain mori (cambrics) adalah kain tenun berwarna putih yang terbuat dari kapas. Ada dua jenis kain mori yang sering dijadikan kain batik, yaitu kain mori yang telah mengalami proses pemutihan (bleaching) dan kain mori yang belum diputihkan yang disebut juga kain belacu.
Gambar 1.5 : kain mori sebagai bahan baku pembuatan kain batik. Sumber : Aep S. Hamidin, Batik Warisan Budaya Asli Indonesia, 2002.
6
Seiring dengan berjalannya waktu dan permintaan pasar yang terus berkembang, maka bahan kain batik tidak hanya menggunakan kain mori saja namun berkembang ada yang menggunakan kain sutera atau kain kaos sebagai bahan baku kain batik. Pada bahan kain batik mangrove menggunakan bahan kain mori primisima karena kain mori primisima mempunyai permukaan yang halus sehingga dapat menghasilkan kain batik yang halus. b. Malam (Lilin batik). “Malam” adalah zat padat yang diproduksi secara alami. Dalam istilah sehari-hari orang menyebutnya lilin. “Malam“ digunakan dalam pembuatan batik sebagai bahan untuk penutup bagian kain yang belum diwarnai dalam mewarnai motif atau corak yang ditentukan.
Gambar 1.6 : “malam” Sumber : Aep S. Hamidin, Batik Warisan Budaya Asli Indonesia, 2002 c. Pewarna. Zat pewarna berfungsi untuk pewarnaan pada proses model (nyoga). Ditinjau dari sumber diperolehnya zat warna tekstil dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : zat warna alam dan zat warna sintetis. Zat pewarna alam diperoleh dari alam yaitu berasal dari hewan (lac dyes) ataupun tumbuhan dapat berasal dari akar, batang, daun, kulit dan bunga. Zat pewarna sintetis adalah zat buatan (zat warna kimia). Bahan pewarna yang digunakan pada Batik Mangrove adalah bahan pewarna alami dan kimia. Bahan pewarna alami didapat dari pengolahan tumbuhan mangrove dan beberapa bahan alami lainnya. d. Gawangan. Peralatan untuk menyampirkan dan membentangkan mori saat pencantingna dan proses pewarnaan colet. Gawangan dibuat dari bahan kayu atau bambu. Gawangan harus mudah dipindah-pindah, tetapi harus kuat dan ringan.
Gambar 1.7 : Gawangan untuk menyampirkan kain dalam pembuatan batik tulis atau diwarna dengan proses colet. Sumber : Aep S. Hamidin, Batik Warisan Budaya Asli Indonesia, 2002
e. Wajan. Wajan adalah perkakas untuk tempat mencairkan “malam”. Wajan terbuat dari alumunium atau tanah liat. Gambar 1.8 : Wajan sebagai tempat mencairkan “malam” Sumber : Aep S. Hamidin, Batik Warisan Budaya Asli Indonesia, 2002 f.
Anglo (Kompor Kecil). Sebuah alat yang biasa dipakai untuk membuat api dalam proses mencairkan malam (lilin) batik. Kompor yang biasanya digunakan adalah kompor dengan bahan bakar minyak.
Gambar 1.9 : Anglo/ kompor sebagai pemanas “malam” Sumber : Aep S. Hamidin, Batik Warisan Budaya Asli Indonesia, 2002
7
g. Dingklik. Dingklik merupakan tempat duduk pembatik yang terbuat dari kayu berukuran rendah atau pendek. Sehingga pembatik akan terasa nyaman dan tidak akan cepat merasa lelah. Namun perkembangannya saat ini banyak alternative pengganti dingklik yang dirasa kurang nyaman karena permukaannya yang keras. Misalkan diganti dengan penggunaan alas yang lebih empuk seperti alas dengan material busa, sehingga duduk pun lebih nyaman. Gambar 1.10 : Dingklik sebagai tempat duduk pembatik Sumber : Aep S. Hamidin, Batik Warisan Budaya Asli Indonesia, 2002
h. Canting. Canting merupakan alat untuk membuat batik tulis. Canting adalah tempat untuk memindahkan atau mengambil cairan “malam”. Canting untuk membatik adalah alat kecil yang terbuat dari tembaga dan bamboo sebagai pegangannya. Canting ini dipakai untuk menuliskan pola batik dengan cairan lilin yang berfungsi menutup pori-pori kain agar tidak terkena cat warna. Alat inilah yang dipakai dalam pembuatan batik mangrove, karena batik mangrove merupakan batik tulis yang dibuat secara manual dan corak batiknya pun berbeda antara satu dengan yang lainnya. Gambar 1.11 : Canting sebagai alat untuk membuat batik tulis. Sumber : Aep S. Hamidin, Batik Warisan Budaya Asli Indonesia, 2002 i.
Stempel. Stempel meruapakan alat untuk membuat batik cap. Stempel ini terbuat dari tembaga. Stempel ini telah dibentuk sesuai motif yang diinginkan. Jangka waktu pemakaian cap batik dalam kondisi yang baik bisa mencapai 5 tahun hingga 10 tahun, dengan catatan tidak rusak. Pengulangan cap batik tembaga untuk pemakainnya hampir tidak terbatas.
Gambar 1.12 : Cap-capan/stempel dari tembaga dan contoh motif nya. Sumber : Aep S. Hamidin, Batik Warisan Budaya Asli Indonesia, 2002
Proses Pembuatan Batik. Proses pembuatan kain batik tulis, ada beberapa taha yang harus dilakukan. Antara lain : a. Proses Pengolahan Kain Sebelum Dibatik. P r o s e s d i m u l a i d e n g a n m e m a s a k k a i n mo r i d a l a m larutan air abu dan minyak kacang (ngloyor). Kemudian kain dicuci dan dikanji. Setelah dikanji, kain dijemur dan ditumpuk untuk dipukul- pukul (ngemplong). Tujuan ngemplong adalah agar benang mori menjadi licin, kendor dan lemas, supaya pada proses pelekatan lilin dan warna pada kain dapat meresap sempurna. b. Proses Menggambar Pola. Merupakan proses awal menggambar pola pada kain primisima(nyorek). Biasanya alat yang digunakan untuk menggambar pola di kain adalah pensil, karena pola garis-garis pensil ini mudah hilang saat dicuci. c. Proses Mencanting. Proses ini dilakukan setelah ada gambar pola pada kain. Proses mencanting ini adalah proses menutup pori-pori kain dengan menggunakan “malam” yang dituangkan pada kain dengan alat yang bernama canting.
8
Prose mencanting ini meliputi membatik tepian kain (ngengreng), membuat kerangka motif (nglowangi), mengisi hiasan dalam (ngi se n i ), m e mb ua t mo ti f p ads s is i be l ak an g k a in (nerusi), dan mempertahankan warna dasar agar tidak terkena warna celupan (nembok). d. Proses Pewarnaan. Setelah proses pencantingan, proses selanjutnya adalah pewarnaan. Proses pewarnaan ada beberapa cara yaitu dengan cara dicelup atau dicolet. Proses pewarnaan celup dilakukan dengan mencelupkan kain batik pada pewarna, sedangkan proses pewarnaan colet dengan cara menguaskan warna pada kain. Beberapa proses pewarnaan untuk memperoleh beberapa warna pada kain batik yaitu : Medel, pencelupan warna yang pertama untuk memberi warna biru atau dasar. Ngerok, Menghilangkan malam klowong. Mbironi, Menutup kain yang diharapkan akan tetap berwarna biru atau warna dasar. Menyoga,Mencelupkan ke warna soga atau warna selanjutnya yang diharapkan e. Proses Penguatan Warna. Setelah melewati proses pewarnaan, baik dengan teknik celup ataupun colet diperlukan proses penguatan warna. Hal ini dilakukan agar warna tidak gampang pudar. Proses penguatan warna ini dilakukan dengan mencelupkn kain ke dalam larutan tawas. Setelah itu kain dibentangkan dan diangin-anginkan agar kering. f. Proses Menghilangkan Lilin ( Malam ), Nglorod. Proses selanjutnya adalah penghilangan “malam” dengan cara direbus dengan air panas agar “malam” leleh dan terlepas dari kain. Proses ini dinamakan Nglorod. g. Proses Penjemuran. Setelah melalui proses pelorotan kemudian kain dijemur agar kering dan kain batik siap digunakan.
Batik ‘SeRu’ Mangrove. Batik “SeRu” Mangrove ini pertama kali mulai dicetuskan pada tahun 2007. Kain batik ini berhasil menampilkan beragam motif dari beragam bentuk mangrove. Mulai dari daun, bunga, sampai untaian buah, serta makhluk yang hidup di sekitarnya, seperti ikan, kepiting, dan udang. Hingga saat ini, ada 120 pakem motif Batik Mangrove yang telah dikembangkan ditambah dengan pengembangan motif kelautan seperti motif ombak, ikan dan kehidupan bawah laut lainnya. Selanjutnya desain motif dikembangkan menjadi beberapa jenis motif sesuai pakem yang ditetapkan. Warna yang dipilih untuk batik ini adalah warna-warna yang cerah. Warna yang digunakan berasal dari warna-warna alami dari hasil campuran beberapa tumbuhan mangrove kering yang dicampur dengan tumbuhan alami lainnya. Desain tiap motif kain batik berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Setiap penjualan kain batik disertai sertifikat kepemilikan sebuah kain batik mangrove dengan keterangan motif pada kain tersebut, tujuannya untuk menghargai karya seni dan lingkungan. Hal inilah yang menjadikan kain batik ini sangat eksklusif. Dari hasil penjualan batik ini, 2,5% dari laba penjualannya digunakan untuk pelestarian mangrove serta pengembangan bahan warna dari limbah olahan mangrove.
Corak Batik ‘SeRu’ Mangrove Aplikasi motif batik diambil dari bentuk beragam mangrove, mulai dari daun, bunga, sampai untaian buah, serta makhluk yang hidup di sekitarnya, seperti ikan, kepiting, dan udang. Motif Batik Mangrove ini telah mempunyai 120 pakem-pakem yang telah dibuat oleh Ibu Lulut, selanjutnya desain motif dikembangkan menjadi beberapa jenis motif sesuai pakem yang ditetapkan. Desain tiap motif kain batik berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga di siapkan satu buah sertifikat kepemilikan sebuah kain Batik Mangrove dengan keterangan motif pada kain tersebut. Hal ini dilakukan agar produk kain batik ini tidak dapat ditiru dan diperbanyak dengan produksi printing sehingga dapat merugikan UKM ini. Beberapa motif batik yang telah di buat oleh ibu Lulut Sri Yuliani sebagai pemberdaya Batik Mangrove antara lain : - Motif Tanjang Putih menggunakan bentuk mangrove jenis Bruguiera cylinelrica dengan komponen tambahan Rhizophoraceae. Motif pohon lengkap, dari akar, daun, dan tunas yang menjulur, menjadi motif utama dikelilingi jajaran bunga.
9
Gambar 1.13 : Pakem Motif Tanjang Putih. Sumber : Buku 44 pakem motif milik Ibu Lulut Sri Yuliani.
-
Motif Nipah dengan gambar utamanya adalah tumbuhan buyuk (Nypa fruitican).
Gambar 1.14 : Pakem Motif Nipah. Sumber : Buku 44 pakem motif milik Ibu Lulut Sri Yuliani. -
Motif Mange Kasihan dengan gambar utamanya adalah tumbuhan mange kasihan (Aegicera floridum) dikelilingi hiasan bunga Myrsinaceae. Selain itu, gambar kepiting, ikan, dan udang memberi nuansa pesisiran pada motif itu. misalnya, menggunakan bentuk mangrove jenis Bruguiera cylinelrica dengan komponen tambahan Rhizophoraceae. Motif Bruguiera cylinelrica ini berselang-seling dengan motif bunga Rhizophoraceae.
Gambar 1.15 : Pakem Motif Mange Kasihan. Sumber : Buku 44 pakem motif milik Ibu Lulut Sri Yuliani.
-
Beberapa motif lainnya antara lain : Dudun Agung, Api-api, Saman Sigi, Mentigi, Tanjang Lanang.
Warna Batik “SeRu“ Mangrove. Terdapat dua jenis Batik Mangrove yang telah dikembangkan oleh warga Wonorejo, yaitu Batik Mangrove dengan pewarna tekstil yang saat ini di di kembangkan oleh Ibu Ari Maruli yang dahulunya merupakan murid bimbingan dari Ibu Lulut, dan Batik “SeRu” Mangrove dengan pewarna alami yang terbuat dari mangrove yang dikembangkan oleh Ibu Lulut sendiri di kelurahan Kedung Asem. Warna-warna yang dihasilkan dari pengolahan mangrove antara lain hitam, coklat, merah, merah muda, oranye, biru, ungu, kuning, dan hijau. Pewarna batik hasil pengolahan dari mangrove sangat terbatas sekali jenis pewarnanya dan warnanya yang dihasilkan tidak dapat ditebak sesuai desain awal. Warna-warna yang dihasilkan pewarna alami ini sangat tergantung pada proses penjemuran. Misalnya saja warna merah, warna ini dapat menghasilkan dua jenis warna merah yaitu merah muda dan merah menyala. Hal ini bergantung pada kondisi penjemuran kain setelah proses pewarnaan. Warna merah menyala bisa didapatkan dari penjemuran dibawah sinar matahari langsung, sedangkan warna merah muda didapatkan dari penjemuran di teras rumah dengan cahaya matahari secara tidak langsung.
Gambar 1.16 : Batik SeRu dengan pewarna alami hasil pengolahan dari buah mangrove. Sumber : Dokumentasi Griya Karya Tiara Kusuma.
10
Saat ini penggunaan pewarnaan Batik Mangrove mengalami perluasan dari yang awalnya hanya memakai pewarna alami, kini warna Batik Mangrove dikembangkan dengan menggunakan pewarna tekstil. Pengembangan ini dilakukan karena permintaan pasar sangat tinggi akan warna batik yang bermacam-macam dan murah. Harga kain batik dengan pewarna tekstil pun lebih murah daripada batik dengan pewarna alami sehingga sasaran konsumennya lebih luas, tidak hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas namun juga dapat dijangkau oleh kalangan menengah kebawah.
Gambar 1.17 : Batik Mangrove dengan pewarna tekstil. Sumber : LKT Beswan Djarum 2010, Integreted Marketing Communications (IMC) Sebagai Langkah Pengenalan Batik Motif Mangrove Untuk Mengangkat Potensi Unggul Surabaya , Lisaura Dwi Kusuma.
Pewarna alami Batik Mangrove ini nantinya akan diterapkan di dalam interior galeri untuk mendukung terciptanya tema Batik Mangrove pada interiornya. Hal ini sesuai dengan style yang diusung yaitu modern natural, dimana warna natural yang berasal dari warna-warna alam seperti coklat, hijau, biru sesuai dengan warna alam yang dihasilkan dari pengolahan mangrove untuk pewarna alami Batik Mangrove ini.
Ekosistem Mangrove.
Gambar 1.18. Hutan Mangrove. Sumber : www.google.com/mangrove.
Ekosistem hutan mangrove merupakan vegetasi tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut pantai dengn substrat lumpur berpasir. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, atau juga hutan payau.5 Selain bakau, terdapat banyak jenis tumbuhan lain yang hidup di dalamnya. Pada hutan mangrove terdapat juga habitat fauna laut yang tinggal di ekosistem mangrove tersebut, antara lain ikan-ikan kecil, kepiting, udang, dan kerang. Banyak manfaat yang didapat dari adanya ekosistem hutan mangrove ini, antar lain : a. Secara Fisik - Penahan abrasi pantai. - Penahan intrusi (peresapan) air laut. - Penahan angin. - Menurunkan kandungan gas karbon dioksida (CO2) di udara, dan bahan-bahan pencemar di perairan rawa pantai. b. Secara Biologi - Tempat hidup (berlindung, mencari makan, pembiakan dan asuhan) biota laut seperti ikan dan udang). - Sumber bahan organik sebagai sumber pakan konsumen pertama (pakan cacing, kepiting dan golongan kerang atau keong), yang selanjutnya menjadi sumber makanan bagi konsumen di atasnya dalam siklus rantai makanan dalam suatu ekosistem. - Tempat hidup berbagai satwa liar, seperti monyet, buaya muara, biawak dan burung. c. Secara Sosial Ekonomi - Tempat kegiatan wisata alam (rekreasi, pendidikan dan penelitian).
5
http://www.imred.org/?q=content/ekosistem‐mangrove‐di‐indonesia
11
- Penghasil kayu untuk kayu bangunan, kayu bakar, arang dan bahan baku kertas, serta daun nipah untuk pembuatan atap rumah. - Penghasil tannin untuk pembuatan tinta, plastik, lem, pengawet net dan penyamakan kulit. - Penghasil bahan pangan (ikan/udang/kepiting, dan gula nira nipah), dan obat-obatan (daun Bruguiera sexangula untuk obat penghambat tumor, Ceriops tagal dan Xylocarpus mollucensis untuk obat sakit gigi, dan lain-lain). - Tempat sumber mata pencaharian masyarakat nelayan tangkap dan petambak, pengrajin atap dan gula nipah.
Flora Mangrove. Flora mangrove umumnya di lapangan tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah : - Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakan. - Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah, tingginya muka air dan drainase. - Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap kadar garam. - Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia. - Pasokan dan aliran air tawar . Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni : a. Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Bentukan morfologinya menyesuaikan dengan letaknya yang berada di bibir pantai terluar yang sering terkenan hempasan ombak. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.
Gambar 1.19 : Buah sonneratia alba yang digunakan sebagai salah satu motif pada Batik Mangrove. Sumber : www.go-greenergy.blogspot.com b. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contoh : Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera. Mangrove ini berada di daerah yang tidak selalu terendam air dan tidak langsung terkena hempasan ombak. Gambar 1.20 : Aegiceras corniculatum, sebagai salah satu bentuk yang digunakan sebagai motif batik. Sumber : www.go-greenergy.blogspot.com c. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lain-lain.
12
Gambar 1.21 : Pandanus tectorius, pandanaceae, sebagai salah satu bentuk yang digunakan sebagai motif batik. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_bakau
Beberapa jenis dari mangrove tersebut dimanfaatkan oleh warga masyarakat Wonorejo Surabaya dengan mengolahnya menjadi pewarna batik dan pencuci batik. Selain itu bentukbentuk flora dan fauna yang ada di ekosistem hutan mangrove diaplikasikan menjadi motif-motif batik yang terkenal dengan label “Batik SeRu” (batik motif mangrove Rungkut Surabaya) antara lain motif tanjang putih, misalnya, menggunakan bentuk mangrove jenis Bruguiera cylinelrica dengan komponen tambahan Rhizophoraceae. Sirvega pencuci batik dibuat dari mangrove jenis Jijibus jujube. Pewarna batik merah terbuat dari caping bunga dan buah Bruguiera gymnorrhiza, kulit cabai merah, dan secang. Untuk menghasilkan warna kuning, menggunakan getah nyamplung (Calophyllum inophyllum), kunyit, dan batu gambir.
Fauna Mangrove. Ekosistem mangrove merupakan habitat bagi berbagai fauna, baik fauna khas mangrove maupun fauna yang berasosiasi dengan mangrove. Berbagai fauna tersebut menjadikan mangrove sebagai tempat tinggal, mencari makan, bermain atau tempat berkembang biak. Fauna mangrove hampir mewakili semua phylum, meliputi protozoa sederhana sampai burung, reptilia dan mamalia. Secara garis besar fauna mangrove dapat dibedakan atas fauna darat (terrestrial), fauna air tawar dan fauna laut. Fauna darat, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp.), Biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain. Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan Crustaceae. Golongan Mollusca umunya didominasi oleh Gastropoda, sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Bracyura. Para peneliti melaporkan bahwa fauna laut tersebut merupakan komponen utama fauna hutan mangrove.
Studi Eksisting. Griya Karya Tiara Kusuma Alamat : Jalan Wisma Kedung Asem Indah J-29 Rungkut, Surabaya. Griya Karya Tiara Kusuma merupakan UKM yang didirikan oleh yayasan wanita pesisir Surabaya. UKM ini bergerak di bidang produksi yang memanfaatkan bahan baku yang berasal dari ekosistem mangrove, sehingga tidak hanya dari mangrove saja namun juga mengolah dari bahan ikan yang ditambak di daerah mangrove seperti mujaer. Selain batik, ada beberapa contoh produksi yang dihasilkan antara lain : sabun pencuci batik “Sirvega”, tempe mangrove, permen mangrove, sirup mangrove, krupuk mangrove. Degan pemanfaatan bahan baku dari mangrove tidak lantas UKM ini mengekploitasi adanya hutan mangrove yang ada disekitar Rungkut, mereka ikut membudidayakan mangrove dengan mengadakan kegiatan rutin penanaman mangrove di ekosistem mangrove di pantai timur Surabaya. Produksi utamanya yaitu adalah batik mangrove yang proses produksinya bertempat di Jalan Wisma Kedung Asem. Proses yang terjadi disana yaitu adalah proses pewarnaan batik dan pelorotan hingga penjemuran. Sedangkan proses pencantingan dilakukan di rumah warga masing-masing yang ikut serta dalam UKM ini.
Gambar 1.22 : Proses Pewarnaan di showroom Griya Karya Tiara Kusuma
13
Pada gambar di atas terlihat pemakaian peralatan yang sangat sederhana. Selain itu, tidak adanya furnitur yang ergonomis memfasilitasi kegiatan pewarnaan tersebut, sehingga faktor kelelahan pada para pekerja sangat cepat dirasakan.
Gambar 1.23: Proses pelorotan lilin (menghilangkan lilin pada kain). Proses pelorotan lilin, yang melalui dua proses yaitu perebusan dan pencucian dilakukan di tempat yang berdekatan dan sangat sempit. Sehingga keamanan dari kecelakaan kerja seperti tumpahnya air panas akan sangat membahayakan bagi pekerja lain yang melakukan pekerjaan pewarnaan. Padahal pekerjaan pewarnaan sangat penting bagi hasil akhir kain batik .
Gambar 1.24 : Display dan area penyimapanan hasil produksi batik. Display produk dan penyimpanan hasil produksi terkesan sangat seadanya. Penyimpanan dengan menggunakan storage kaca dan kain ditumpuk-tumpuk sehingga jika pengunjung ingin melihat-lihat harus mengeluarkan beberapa kain-kain yang telah tertata di dalam storage.
KONSEP DESAIN Obyek desain yang diambil adalah galeri batik, dimana galeri tersebut selain berfungsi sebagai tempat penjualan produk batik juga mempunyai fasilitas pendukung lainnya seperti kafe dan area workshop membatik. Sebagai tempat display produk batik Pengenalan mangrove. Galeri
Hiburan Edukasi
Workshop membatik
Hiburan
Kafe
Tema yang yang diambil adalah tema mangrove, hal ini dilatarbelakangi oleh tujuan awal dari terciptanya Batik Mangrove ini adalah mengenalkan mangrove kepada masyarakat. Tujuan dari pemilihan tema ini adalah agar galeri batik ini nantinya dapat menginformasikan ke pengunjungnya bahwa produk yang ada di galeri ini merupakan hasil pengolahan dari mangrove dan pengunjung lebih tertarik untuk mengenal mangrove lebih dalam.
Konsep Warna. Pemilihan warna berdasarkan konsep style modern natural yang menggunakan perpaduan warna modern dan natural. Sedangkan warna aksentuasi pemilihannya berdasarkan warna-warna cerah yang biasa digunakan pada batik-batik pesisir yang sesuai dengan karakter wanita yang merupakan target utama pengunjung galeri. Dari ketiga acuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa warna yang dipakai putih, coklat, merah muda, hijau. Dan warna tersebut akan dibagi 2 dalam pemakaiannya, yaitu : - Warna Umum.
14
Warna yang sebagian besar akan dipakai adalah warna putih dan coklat. Warna putih banyak diterapkan di bagian dinding, sedangkan warna coklat yang memberi nuansa natural, banyak di terapkan di lantai, kusen dan furnitur. Gambar 1.25 : Warna umum yang akan dipakai. -
Warna Aksentuasi. Warna aksentuasi adalah warna yang digunakan dalam skala kecil yang berfungsi sebagai point of view atau pusat perhatian sebuah ruangan dan digunakan juga sebagai elemen estetis dan dekoratif sebuah ruangan. Warna aksen ini dapat berdiri sendiri atau lain dari warna umumnya. Gambar 1.26 : Warna aksentuasi
Konsep Ruang dan Sirkulasi. Berikut diagram konsep sirkulasi pengunjung secara keseluruhan di galeri: Entrance
Galeri
Lobby
Workshop area
Kafe
Konsep Pencahayaan. Ruang Display. Pada ruang display menggunakan pencahayaan general light dan spot light dan hiden lamp pada plafon untuk menambah kesan dramatis pada ruangan. Gambar 1.27 : (1)Spot light, (2)General light, (3)Hidden lamp.
Sumber : www.momoy.com/web-interior/cool-coffee-shopinterior-design-with-mexican-style. www.momoy.com/web-interior/modern-boutiquedesign-in-London-1
(1) (2 ) (3) Kafe. Area kafe sebagian besar memanfaatan cahaya alami saat pagi hari, namun pencahayaan yang digunakan untuk penerangan malam hari mengggunakan tasklight pada area kasir, general lamp untuk menerangi keselurahan kafe, spot light untuk mengekspose element estetis, dan menggunakan decorative lamp sebagai element estetis.
(1)
(2)
(3)
Gambar 1.28 : (1) task light , (2) General lamp , (3) Hidden lamp sebagai Sumber : (1) www.summer.rinnah.com/times-bookstore-cafe-1 (2) www.summer.rinnah.com/times-bookstore-cafe-1 Area Workshop. Area workshop memerlukan intensitas cahaya yang dapat mendukung aktivitas yang ada di area ini, dikarenakan proses pencantingan memerlukan konsentrasi yang tinggi untuk mengikuti pola yang telah tergambar. Selain itu aktivitas penggambaran pola pada kain juga memerlukan pencahayaan yang sangat terang, sehingga terdapat meja lampu yang digunkaan untuk menggambar pola pada kain.
15
Penchayaan yang digunakan antara lain task light untuk area menggambar pola, general light untuk penerangan keseluruhan ruang, dan spot light untuk menerangi element estetis yang ada di ruangan tersebut.
(1) (2) (3) Gambar 1.29 : (1) task light, (2) spot light, (3) general lamp
Konsep Penghawaan. Penghawaan pada galeri ini nantinya diharapkan mampu memberi kenyamanan pengunjung dan dapat melindungi kelembaban koleksi kain batik yang ada di galeri tersebut. Konsepnya menggunakan dua jenis penghawaan, dikarenakan terdapat area-area yang membutuhkan penghawaan yang berbeda. Penghawaan tersebut yaitu : -
Modern. Pada konsep penghawaan modern yaitu menggunakan listrik seperti AC, kipas angin, blower dan sebagainya. Penghawaan buatan digunakan pada area display kain batik dikarenakan pada ruangan ini memerlukan temperature dan kelembaban yang terkontrol setip saat. Gambar 1.30 : Contoh penghawaan modern yang dipakai. Sumber : catalog SHARP Air Conditioner 2009.
-
Natural. Konsep penghawaan natural yaitu dengan memanfaatkan penghawaan alami dengan memanfaatkan bukaan yang ada. Penghawaan alami ini sangat baik untuk ruangan yang memerlukan sirkulasi udara yang cukup tinggi, misalnya pada area workshop batik. Gambar 1.31 : Contoh ruangan terbuka memanfaatkan penghawaan natural Sumber : www.duarchitec.com
Konsep Furnitur. Pada konsep furnitur yang dipakai, mempunyai dua acuan : - Modern. Furnitur yang dipakai adalah furnitur fabrikasi atau menggunakan material modern. Furnitur mempunyai karakter bentuk bebas, sederhana, dan sesuai dengan konsep warna.
Gambar 1.32 : (1) furniture fabrikasi, (2) furniture dengan material modern (kaca). (1) (2) - Natural. Furnitur yang digunakan nantinya merupakan furnitur dari bahan alami, atau mempunyai finishing yang menyerupai material alami. Bentuk yang diambilpun berasal dari bentukan alam yaitu mangrove.
16
(1)
Gambar 1.33 : (1) tempat display dengan mengambil bentukan lengkung akar mangrove, (2) Storage dengan bentukan daun.
(2
Konsep Element Estetis.
Gambar 1.34 : Konsep element estetis. Konsep elemen estetis Terdapat motif pada beberapa dinding sebagai point of interest, dan mempertegas tema mangrove. Bentuk yang diambil yaitu dari akar mangrove atau daunnya.
Konsep Pembentuk Ruang. Lantai. Konsep warna lantai yang digunakan pada area display yaitu menggunakan warna coklat yang memberi kesan natural pada area display. Pengaplikasian warna coklat didapat dari material lantai parket, sedangkan lantai warna putih menggunakan material granit tile.
Gambar 1.35. Konsep lantai area display.
Pada area lobby konsep lantai yang digunakan adalah konsep dek kayu pada area sirkulasinya sehingga memberikan kesan melewati jembatan kayu saat melewati hutan mangrove. Di bagian pinggir dek kayu digunakan finishing lantai berupa plester aci yang diibaratkan sebagai lumpur tempat hidup tumbuhan mangrove.
Gambar 1.36 : Konsep lantai pada area lobby. Dinding.
Gambar 1.37 : Konsep dinding area display.
17
Konsep warna yang diaplikasikan pada interior galeri sebagai tempat display yaitu sebagian besar menggunakan warna netral, yaitu warna putih pada dinding nya. Hal ini dikarenakan kebanyakan produk kain batik berwarna-warni, sehingga interior ruangan display kain batik tidak terkesan ramai. Plafon.
Gambar 1.38. Konsep plafon area display. Warna pada plafon menggunakan warna lembut, putih tulang dan drop ceiling bentukan lengkungan sebagai aksentuasi bentukan plafon. Pencahayaan dengan hidenlamp memberikan kesan dramatis pada plafon.
Konsep Tema Ruang. Lobby dan Galeri. Tema interior ruangan galeri dan lobby mengambil bentukan pohon mangrove dan akarnya. Bentukan tersebut diaplikasikan dalam desain furnitur display , lighting, dan element estetis. Area lobby dan display kain batik merupakan area indoor , sehingga penghawaan menggunakan penghawaan buatan yang menggunakan AC cassette dan pencahayaannya menggunakan pencahayaan buatan (lampu).
(1)
Gambar 1.39 : (1) contoh elemen estetik dari bentukan pohon mangrove. (2) contoh furnitur display dari bentukan akar mangrove.
(2)
Area Workshop.
Gambar 1.40 : Konsep outdoor area workshop . Tema interior pada area workshop mengambil bentukan daun mangrove. Bentukan daun dan warnanya diaplikasikan pada partisi, furniture dan plafon. Area workshop merupakan area outdoor, hal ini dikarenakan aktivitas membatik memerlukan sirkulasi udara yang lancar. Asap hasil pembakaran lilin harus dapat segera keluar dari area ini. Selain itu panasnya kompor juga dapat menimbulkan ketidak nyamanan bagi pembatik jika berada di dalam ruangan indoor. Kafe. Tema interior kafe mengambil bentukan buah mangrove. Penerapan bentukan buah mangrove pada partisi, furnitur dan elemen estetis ruangan. Area kafe berada di indoor namun akan dibuat seolah-olah berada di outdoor. Penghawaan yang digunakan di area ini adalah penghawaan buatan dengan menggunakan AC split, sedangkan pencahayaannya menggunakan pencahayaan alami pada siang hari dan pencahayaan buatan pada malam hari.
18
(1)
(2)
(3)
Gambar 1.41: (1) Contoh partisi darii bentukan buah sonneratia alba, (2) Buah sonneratia alba, k dengan rangka mengambil (3) Contoh kersi bentukan bua ah sonneratia alba. a
Pengembangan Desainn. A Area Lobby.
A Area Galeri.
19
A Area Worksh hop.
A Area Kafe.
20