DESAIN DAN UJI KINERJA EMITTER IRIGASI CINCIN
RESKIANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa Thesis berjudul Desain dan Uji Kinerja Emitter Irigasi Cincin adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Reskiana NIM F451120011
RINGKASAN RESKIANA. Desain dan Uji Kinerja Emitter Irigasi Cincin. Dibimbing oleh BUDI INDRA SETIAWAN dan SATYANTO K.SAPTOMO. Keterbatasan air menyebabkan pemanfaatan lahan kering belum maksimal dalam mendukung produksi pertanian di Indonesia. Untuk meningkatkan dan menjaga stabilitas produktivitas lahan, salah satu yang bisa diupayakan adalah menjaga ketersediaan air untuk tanaman pada setiap musim tanam. Hal ini membutuhkan upaya untuk menggunakan air seefisien mungkin. Salah satu cara pemberian air secara efisien adalah dengan sistem irigasi mikro (irigasi tetes, sprinkler, dan irigasi kendi). Sistem irigasi ini mampu menyediakan air sesuai dengan kebutuhan air tanaman dan zona perakaran, namun jenis irigasi tersebut masih memiliki beberapa kekurangan, oleh karenanya dalam penelitian ini mencoba untuk mendesain emitter yang berbentuk cincin dengan mengkombinasikan prinsip kerja dari irigasi tetes dan irigasi kendi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh desain emitter pada irigasi cincin guna meningkatkan pemanfaatan air di lahan kering. Kinerja dari desain emitter dalam penelitian ini merupakan kemampuan emitter dalam memberikan air yang sesuai dengan jenis tanah dan kebutuhan tanaman yang dinyatakan dengan konduktivitas emitter. Desain emitter meliputi dimensi cincin (ketebalan, diameter dalam, diameter luar) dan jenis bahan porus yang digunakan. Parameter pertumbuhan tanaman yang meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, lebar daun, panjang akar dan berat buah juga dilakukan untuk mengetahui respon tanaman terhadap air yang diberikan melalui irigasi cincin serta produktivitas air yang dihasilkan oleh irigasi cincin. Analisis konduktivitas tanah dan konduktivitas bahan porus emitter dengan menggunakan metode tinggi muka air menurun (falling head). Desain emitter dan pemilihan bahan porus disesuaikan dengan konduktivitas tanah dan jenis tanaman (kedalaman daerah perakaran tanaman). Pengujian lapangan dilakukan di rumah tanaman (greenhouse) pada tanaman melon (Cucubis melo L.) selama 3 bulan dari Maret s.d Mei 2014 dimana kondisi lingkungan (Suhu, kelembaban, radiasi matahari) dalam greenhouse diukur secara otomatis dengan menggunakan sensor suhu, kelembaban dan radiasi matahari dan datanya tersimpan dalam data logger Decagon EM50. Emitter yang diuji ke tanaman adalah emitter yang dilapisi oleh bahan porus Legacy, Colosal, Parasut, Kyramat dan Veronica. Emitter cincin didesain dengan diameter emitter 20 cm, jarak diameter inlet dan outlet air 0.5 cm, serta diameter dalam container 1.4 cm. Emitter didesain menyerupai cincin yang dilapisi oleh bahan porus dari tekstil dengan nilai konduktivitas bahan antara 0.06 cm/jam – 8.16 cm/jam. Nilai konduktivitas tersebut menghasilkan debit aliran antara 0.04 liter/jam – 1.60 liter/jam. Laju rembesan emitter mampu menyediakan air selama masa pertumbuhan melon yang menghasilkan berat buah berkisar 622 gram – 1196.7 gram dengan produktivitas air tanaman sebesar 0.31 – 3.14 Kg/m3. Pertumbuhan tanaman yang optimal dicapai pada tanaman yang diairi dengan irigasi cincin yang berbahan Legacy dan Colosal. Kata Kunci : Irigasi Cincin, Emitter, Produktivitas air
SUMMARY RESKIANA. Design and Performance Analysis of Ring-Shaped Emitter Irrgation. Supervised by BUDI INDRA SETIAWAN and SATYANTO K.SAPTOMO. Water scarcity causes the utilization of dryland is not maximal in supporting agricultural production in Indonesia. To improve and maintain the stability of land productivity, one that can be pursued is to maintain the availability of crop water requirements in each growing season. It requires effort to use water as efficiently as possible. One methode can be used is micro irrigation systems (drip irrigation, sprinkler, and pitcher irrigation). The system is capable of providing irrigation water according to the water requirements of plants and the root zone, but the type of irrigation is still has some shortcomings, therefore in this study tries to design a ring-shaped emitter by combining the working principle of drip and pitcher irrigation. Pitcher systems have been utilizing porous media to control soil moisture and drip systems deliver water at a point on the surface and the root zone. This research aimed to provide an irrigation ring typed emitter that can be placed under the soil surface. In this research, porous materials made of textiles were tested for its permeability that matches the permeability of the soil. Performance of the design of emitters in this study is the ability to provide water in accordance with the type of soil and crop water requirements. The Parameters of study are ring dimensions (thickness, inner diameter, outer diameter) and hydrolic conductivity of some porous materials. Plant growth parameters including plant height, leaf number, leaf width, root length and weight of fruit was also conducted to determine the response of plants to water supplied through ringshaped irrigation as well as crop water productivity . Analysis of soil conductivity and conductivity of porous materials used “falling head” methode. Emitter design and selection of materials matches to the conductivity of the porous soil and crop types (the depth of the root zone of the plant). Ring-shaped irrgation applied in greenhouse with melon plants (Cucubis melo L.) for 3 months from March to May 2014 in which the environmental conditions (temperature, humidity, solar radiation) in the greenhouse was measured automatically using temperature sensors, humidity and solar radiation. The data stored in the data logger decagon EM50. Emitters are tested to plant coated by porous materials Legacy, colosal, Parachute, Kyramat and Veronica. Ring emitters is designed with a diameter of 20 cm, the distance the water inlet and outlet diameter of 0.5 cm, and 1.4 cm in diameter in the container. Emitters designed to resemble a ring coated with porous material of textile materials with range conductivity between 0:06 cm / hour - 8:16 cm / h. The conductivity values produce flow rates between 0:04 liter / h - 1.60 liters / hour. The rate of seepage emitters are able to provide water during the growing period melon produces fruit weight ranges from 622 grams - 1196.7 grams of crop water productivity at 0:31 to 3:14 kg / m 3. Optimal plant growth achieved in plants irrigated with irrigation ring that made Legacy and colosal. Key word
: Ring Irringation, Emitter, Water Productivity
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DESAIN DAN UJI KINERJA EMITTER IRIGASI CINCIN
RESKIANA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
x
Penguji Pada Ujian Thesis : DR Ir Popi Redjekiningrum, MSi
xi
Judul Tesis Nama NIM
: Desain dan Uji Kinerja Emitter Irigasi Cincin : Reskiana : F451120011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Budi Indra Setiawan, MAgr Ketua
Dr Satyanto K.Saptomo, STP MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknik Sipil dan ingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Satyanto K.Saptomo, STP, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 13 Agustus 2014
Tanggal Lulus:
xii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Desain dan Uji kinerja Emitter Irigasi Cincin berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M. Agr. dan Dr. Satyanto K. Saptomo, S.TP, M.Si selaku pembimbing, serta kepada seluruh Dosen dan Staf Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman mahasiswa Pascasarjana Teknik Sipil dan Lingkungan Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Reskiana
xiii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 1 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA
2
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Alat Metode Penelitian
11 11 11 11 12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
17
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
36 36 37
DAFTAR PUSTAKA
37
LAMPIRAN
39
RIWAYAT HIDUP
53
xiv
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5.
Matriks Perbandingan Jenis Irigasi Management Allowed Deficit (MAD) Jumlah air tanah tersedia Kedalaman daerah perakaran efektif untuk berbagai tanaman Nilai Koefisien Tanaman (Kc) Melon pada berbagai tahap pertumbuhan. 6. Nilai Konduktivitas Hidrolika Tanah Jenuh diukur dengan metode tinggi permukaan air menurun (falling head). 7. Nilai Konduktivitas (K) Bahan Emitter dengan metode falling head 8. Debit Emitter 9. Sifat Fisika Media Tanam 10. Evapotranspirasi tanaman (Etc) melon pada tiap pertumbuhan 11. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Legacy. 12. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Colosal. 13. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Parasut. 14. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Kyramat. 15. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin berbahan Veronica. 16. Neraca Air dan Pemberian Air pada Tanaman Melon 17. Biaya Pemakaian Air terhadap Produksi Tanaman Melon yang dihasilkan
5 7 8 9 10 17 18 20 22 24 27 28 28 29 29 31 36
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Rancangan dasar emitter ring/ cincin Bagan Alir Penelitian Skema Pengukuran Konduktivitas Bahan Emitter Skema Pengujian Emitter Tanpa Tanaman Emitter Cincin (a) Laju dan akumulasi rembesan emitter bahan Legacy dan (b) Colosal 7. Kurva pF Media Tanam 8. Kadar air media tanam pada tahap pertumbuhan tanaman melon. 9. Debit Rata-rata maximum pada masing-masing jenis emitter 10. Parameter Pertumbuhan Tanaman Rata-rata pada ke lima Jenis Bahan Emitter 11. Berat buah melon pada setiap emitter 12. Panjang akar tanaman pada setiap emitter 13. Produktivitas Air Tanaman Melon pada setiap Emitter
6 12 13 14 19 20 23 25 26 32 33 34 35
xv
DAFTAR LAMPIRAN 1. Data Uji Emitter tanpa Tanaman 2. Tabel Faktor Pemberat (w) berdasarkan ketinggian di atas permukaan laut dan suhu rata-rata 3. Data Evapotranspirasi Acuan (ETo) Tanaman Melon dengan Metode Radiasi 4. Kadar Air Media Tanam pada Setiap Tahap Pertumbuhan Tanaman Melon. 5. Debit Emitter pada Pengujian dengan Tanaman Melon 6. Data Pertumbuhan Tanaman 7. Data Berat Buah dan Produktivitas air 8. Panjang Akar 9. Layout Jaringan Irigasi di greenhouse
39 40 41 44 45 46 49 50 51
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buah-buahan) maupun tanaman tahunan. Menurut Badan Pusat Statistik (2005), lahan pertanian Indonesia meliputi 70.20 juta ha, sekitar 61.53 juta ha diantaranya berupa lahan kering. Potensi lahan kering belum sepenuhnya dioptimalkan pengelolaannya karena beberapa faktor seperti keterbatasan air. Permasalahan ketersediaan air ini tentunya semakin berdampak terhadap produktivitas lahan kering yang tidak memiliki infrastruktur irigasi dan mengandalkan air hujan. Untuk meningkatkan dan menjaga stabilitas produktivitas lahan, salah satu yang bisa diupayakan adalah menjaga ketersediaan air untuk tanaman pada setiap musim tanam. Hal ini membutuhkan upaya untuk menggunakan air seefisien mungkin. Salah satu cara pemberian air secara efisien adalah dengan sistem irigasi tetes dimana pemberian air pada tanaman secara langsung baik pada permukaan tanah maupun di dalam tanah secara sinambung dengan debit yang kecil (Prastowo, 2010). Sistem irigasi yang hemat air lainnya adalah irigasi kendi (pitcher irrigation) yang telah dikembangkan sebagai upaya meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi untuk tanaman hortikultura di Indonesia (Setiawan, 1998). Sistem pemberian air secara efisien masih terus dikembangkan baik dari segi teknologi maupun sistem manajemen penggunaan air. Selain penggunaan air yang efisien, juga mempertimbangkan teknologi yang dihasilkan bisa diaplikasikan dan dikembangkan atau ditiru oleh petani baik skala kecil maupun skala besar yang tentunya bahan dan komponen yang digunakan bisa diperoleh di daerah setempat. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi sistem irigasi sederhana dan dapat dirakit oleh petani sendiri. Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini mencoba untuk menghasilkan emiter yang berbentuk cincin (irigasi cincin) dimana air dirembeskan oleh bahan porus (kain) secara sircle-shape yang ditempatkan di bawah permukaan tanah (sub-surface irrigation) di daerah perakaran tanaman. Rancangan emiter ini menggunakan komponen lokal dan relatif murah sehingga diharapkan petani dengan mudah membuat sendiri dan emiter ini juga mampu menjaga kelengasan tanah pada rentan air tersedia bagi akar tanaman dengan meminimalisasi laju evaporasi, aliran permukaan dan perkolasi. Sehingga diharapkan diperoleh peningkatan bobot produk persatuan unit volume air yang dipergunakan, atau yang dikenal sebagai produktivitas air (water productivity) secara fisik (Molden, 2007). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh desain emitter pada irigasi cincin guna meningkatkan pemanfaatan air di lahan kering. Kinerja dari desain emitter dalam penelitian ini merupakan ;
2
1. Kemampuan emitter dalam memberikan air yang sesuai dengan jenis tanah dan kebutuhan tanaman yang dinyatakan dengan konduktivitas emitter. 2. Desain emitter meliputi dimensi cincin (ketebalan, diameter dalam, diameter luar) dan jenis bahan yang digunakan. 3. Respon hasil produksi tanaman melon terhadap pemberian air dengan irigasi cincin Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan desain emitter cincin pada sistem irigasi dan bisa menjadi salah satu alternatif pengembangan sistem irigasi di lahan kering.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang dilakukan terbatas pada desain emitter irigasi yang berbentuk cincin dengan melakukan studi konduktivitas berbagai bahan yang disesuaikan dengan konduktivitas tanah. Kinerja dari desain emitter yang dihasilkan meliputi efektivitas emitter cincin dengan indicator ; laju pemberian air irigasi yang dialirkan oleh emitter (liter/jam) sesuai dengan kebutuhan air tanaman, luas dan kedalaman tanah yang terbasahi. Pada penelitian ini juga dibatasi pada pengujian emitter pada tanaman melon dengan melihat pertumbuhan tanaman yang mencakup tinggi tanaman, lebar daun, jumlah daun dan berat buah, serta produktivitas air tanaman.
2 TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Irigasi Mikro Sistem irigasi mikro merupakan metode pemberian air irigasi dengan debit yang kecil di sekitar perakaran tanaman dengan memanfaatkan beda tekanan antara saluran utama dengan emitter. Beberapa jenis irigasi mikro yaitu Irigasi tetes, irigasi sprinkler (irigasi curah), dan irigasi kendi. 1. Irigasi Tetes Irigasi tetes merupakan cara pemberian air pada tanaman secara langsung, baik pada permukaan tanah maupun di dalam tanah melalui tetesan secara sinambung dan perlahan pada tanah di sekitar tanaman. Setelah keluar dari penetes (emitter), air menyebar ke dalam profil tanah secara horizontal maupun vertikal akibat gaya kapilaritas dan gravitasi. Luas daerah yang terbasahi tergantung pada besarnya debit keluaran, jenis tanah (struktur dan tekstur), kelembaban tanah dan permeabilitas tanah (Prastowo, 2010). Beberapa kelebihan sistem irigasi tetes antara lain : a. Efisiensi dalam pemakaian air irigasi relatif tinggi dibandingkan dengan irigasi lain karena kecepatan pemberian air lebih lambat dan
3
b.
c. d.
e.
f. g. h.
a.
b.
c.
d.
hanya pada daerah perakaran, sehingga mengurangi penetrasi air yang berlebihan, evaporasi dari permukaan tanah, dan aliran permukaan. Pada beberapa jenis tanaman tertentu, kondisi tanaman yang tidak terbasahi akan mencegah penyakit leaf burn (daun terbakar). Selain itu kegiatan budidaya secara manual maupun mekanis dapat terus berjalan walaupun kegiatan irigasi sedang berlangsung. Dapat menekan aktifitas organisme pengganggu tanaman karena daerah yang terbasahi hanya disekitar daerah perakaran. Dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemberian pupuk dan pestisida, karena pemberiannya dapat diberikan secara bersamaan dengan air irigasi dan hanya diberikan didaerah perakaran. Sistem irigasi tetes dapat menghemat kebutuhan tenaga kerja untuk kegiatan pemberian air irigasi mapupun pemupukan karena sistem dapat dioperasikan secara otomatis. Pemberian air yang sinambung dapat mengurangi resiko penumpukan garam dan unsur-unsur beracun lainnya di daerah perakaran tanaman. Mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi topografi dan sifat media tumbuh tanaman. Dengan dukungan tenaga kerja berkemampuan tinggi, sistem ini mempunyai akurasi yang tinggi dalam menentukan waktu dan jumlah air irigasi yang harus diberikan pada tanaman. Kelemahan atau kekurangan dari sistem irigasi tetes antara lain : Memerlukan perawatan yang intensif Penyumbatan pada penetes merupakan masalah yang paling sering terjadi pada irigasi tetes, karena akan mempengaruhi debit dan keseragaman pemberian air. Untuk itu diperlukan perawatan yang intensif terhadap jaringan irigasi tetes agar resiko penyumbatan dapat diperkecil. Penumpukan garam Bila air yang digunakan mengandung garam yang tinggi dan pada daerah yang kering, resiko penumpukan garam menjadi tinggi. Membatasi pertumbuhan tanaman Pemberian air yang terbatas pada irigasi tetes menimbulkan resiko kekurangan air bila perhitungan kebutuhan air kurang cermat. Keterbatasan biaya dan teknik Sistem irigasi tetes memerlukan investasi yang tinggi dalam pembangunannya. Selain itu diperlukan teknik yang tinggi untuk merancang dan mengoperasikannya. (Prastowo, 2010).
2. Irigasi Sprikler (Irigasi Curah) Irigasi Sprinkler (Sprinkler or spray Irrigation) adalah suatu metode pemberian air ke seluruh lahan yang akan diirigasi dengan menggunakan pipa yang bertekanan melalui nozzle. Sistem sprinkler dapat diklasifikasikan menjadi sistem permanen ( Fixed/solid set), portable dan semi portable (hand move atau mechanical move), traveling irrigator (gun atau boom), center pivot atau linear move Pada metoda irigasi curah, air irigasi diberikan dengan cara menyemprotkan air ke udara dan menjatuhkannya di sekitar tanaman seperti hujan. Penyemprotan
4
dibuat dengan mengalirkan air bertekanan melalui orifice kecil atau nozzle. Tekanan biasanya didapatkan dengan pemompaan. Untuk mendapatkan penyebaran air yang seragam diperlukan pemilihan ukuran nozzle, tekanan operasional, spasing sprinkler dan laju infiltrasi tanah yang sesuai (Kusnadi et al., 2006). Beberapa keuntungan irigasi curah antara lain: a) Efisiensi pemakaian air cukup tinggi. b) Dapat digunakan untuk lahan dengan topografi bergelombang dan kedalaman tanah (solum) yang dangkal, tanpa diperlukan perataan lahan (land grading). c) Cocok untuk tanah berpasir di mana laju infiltrasi biasanya cukup tinggi. d) Aliran permukaan dapat dihindari sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya erosi. e) Pemupukan terlarut, herbisida dan fungisida dapat dilakukan bersamasama dengan air irigasi. f) Biaya tenaga kerja untuk operasi biasanya lebih kecil dari pada irigasi permukaan g) Dengan tidak diperlukannya saluran terbuka, maka tidak banyak lahan yang tidak dapat ditanami h) Tidak mengganggu operasi alat dan mesin pertanian. Berbagai faktor pembatas penggunaan irigasi curah adalah: a. Kecepatan dan arah angin berpengaruh terhadap pola penyebaran air. b. Air irigasi harus cukup bersih bebas dari pasir dan kotoran lainnya. c. Investasi awal cukup tinggi. d. Diperlukan tenaga penggerak dimana tekanan air berkisar antara 0,5 10 kg/cm2 (Kusnadi et al., 2006). 3. Irigasi Kendi Irigasi kendi merupakan metode irigasi dengan menggunakan media kendi yang bersifat porus sebagai penampung air sementara di bawah permukaan tanah dan sekaligus merembeskan air ke sekitar perakaran tanaman. Air merembes sedikit demi sedikit melalui pori-pori dinding media porus ke zona perakaran karena adanya tekanan hydrostatis dan atau hisapan matriks tanah serta konduktivitas hidrolik jenuh kendi (Kkendi). Perbedaan tekanan hidrostatiknya merupakan beda tinggi relatif air dalam kendi terhadap muka air di luar kendi (Setiawan, 1998). Menurut Batchelor et al (1996) kelebihan dari sistem irigasi bawah permukaan dengan menggunakan bahan gerabah (kendi) sebagai penetes adalah : (1) dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air, (2) bahan gerabah dapat dibuat oleh industri lokal, (3) menghemat sedikit tenaga kerja, (4) memberikan keseragaman pembasahan tanah pada perakaran tanaman, (5) biaya murah, sederhana dan mudah dipelajari, (6) satu kali instalasi dapat digunakan untuk beberapa musim tanam. Sedangkan kekurangannya adalah diperlukan keahlian khusus dalam instalasi awal dan proses pembuatan, kerusakan kendi tidak langsung tampak akan merugikan, industri gerabah tidak tersedia di beberapa daerah, hanya cocok untuk small scale agriculture.
5
Tabel 1. Matriks Perbandingan Jenis Irigasi Keterangan Aspek Teknis
-
-
-
-
-
-
-
Irigasi Curah Sesuai untuk daerah dengan keadaan topografi yang kurang teratur dan profil tanah yang dangkal. Pemberian air melalui penyemprotan dengan tekanan tinggi. Keragaman distribusi air dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin Efisiensi irigasi lebih kecil dibandingkan irigasi tetes dan irigasi kendi Radius pembasahan tanah lebih besar memungkinkan laju evaporasi lebih besar Tidak membatasi pertumbuhan tanaman Sesuai untuk lahan berlereng.
-
-
-
-
-
-
Konsumsi Energi
-
Memerlukan konsumsi energi yang lebih besar untuk menggerakkan pompa.
-
Pengoperasian dan manajemen pengelolaan
-
Diperlukan rancangan tata letak yang cukup teliti untuk memperoleh tingkat efisiensi yang tinggi.
-
Biaya
Memerlukan biaya investasi dan biaya operasional yang cukup tinggi khususnya operasi pompa dan tenaga kerja terampil
-
Jenis Irigasi Irigasi Tetes Pemberian air langsung di sekitar tanaman melalui tetesan oleh emitter Efisiensi pemakaian air relatif tinggi Mengurangi penetrasi air yang berlebihan, evaporasi dari permukaan tanah dan aliran permukaan Meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemberian pupuk dan pestisida Pada daerah yang tidak terbasahi berpotensi terjadi penumpukan garam Terjadi penyumbatan emitter oleh faktor fisik, kimia dan biologi. Membatasi pertumbuhan tanaman Energi yang dibutuhkan relatif sedikit. Bisa menggunakan gaya gravitasi untuk mengalirkan air.
-
-
-
-
Irigasi Kendi Pemberian air melaui bawah permukaan melalui rembesan dari dinding kendi ke zona perakaran tanaman. Mengurangi terjadinya evaporasi, perkolasi dan aliran permukaan Diperlukan pengntrolan untuk pengisian air dalam kendi untuk menjaga air tidak tumpah Usia pakai kendi relatif lama 3 – 6 tahun. Pemberian pupuk bisa dilakukan bersamaan dengan air irigasi. Penyebaran air dalam tanah lebih seragam. Tidak membatasi pertumbuhan tanaman.
Energi yang dibutuhkan lebih sedikit. Bisa menggunakan tenaga manusia untuk melakukan pengisian air dalam kendi. Memerlukan - Penyediaan bahan baku perawatan yang kendi relatif susah. intensive khususnya - Pengoperasian lebih emitter. mudah. Dibutuhkan teknik - Mulut kendi perlu yang tinggi dalam ditutup untuk desain, instalasi dan mengindari penguapan pengoperasian sistem. dan pertumbuhan jamur
Biaya investasi dan operasional yang tinggi.
-
Biaya investasi dan perawatan relatif murah dibandingkan irigasi curah dan tetes.
B. Sistem Irigasi Cincin Pemberian air dengan sistem irigasi cincin merupakan penggabungan dua prinsip kerja dari irigasi tetes dan irigasi kendi dimana sistem tetes mampu menyediakan air sesuai kebutuhan tanaman di daerah perakaran sehingga mengurangi kehilangan air irigasi berupa perkolasi dan limpasan (run-off) dan
6
sistem irigasi kendi memanfaatkan media porus untuk mengendalikan kelembaban tanah. Sistem irigasi cincin mengalirkan air pada tanaman dengan debit yang kecil di daerah perakaran tanaman dan menjaga kelembaban tanah dengan media yang berbentuk cincin sebagai emitter. Dimensi dan luasan cincin tergantung pada luas daerah perakaran tanaman. Jenis material cincin yang digunakan memberikan peranan penting dalam mengendalikan laju air irigasi ke dalam tanah, terutama pada karakteristik konduktivitas hidrolikanya. Material yang digunakan adalah bahan yang porus, dapat berupa bahan keramik seperti irigasi kendi (Setiawan 2002) ataupun dari bahan tekstil yang dirancang khusus dengan tingkat permeabilitas tertentu agar mampu mempertahankan tetesan air yang menyebar di seluruh permukaan cincin dan mempertahankan kelembaban tanah.
Inlet water outlet water
Porous material
Gambar 1. Rancangan dasar emitter ring/ cincin C. Emitter Emitter merupakan alat pengeluaran air yang disebut pemancar. Emitter mengeluarkan dengan cara meneteskan air langsung ke tanah ke dekat tanaman. Emitter mengeluarkan air hanya beberapa liter per jam. Dari emitter air keluar menyebar secara menyamping dan tegak oleh gaya kapiler tanah yang diperbesar pada arah gerakan vertikal oleh gravitasi. Daerah yang dibasahi emitter tergantung pada jenis tanah, kelembaban tanah, permeabilitas tanah. Emitter harus menghasilkan aliran yang relatif kecil dan menghasilkan debit yang mendekati konstan. Penampang aliran perlu relatif kecil dan menghasilkan debit yang mendekati konstan. Penampang aliran perlu relatif lebar untuk mengurangi tersumbatnya emitter Emitter atau penetes merupakan komponen yang menyalurkan air dari pipa lateral ke tanah sekitar tanaman secara sinambung dengan debit yang rendah dan tekanan mendekati tekanan atmosfer. Alat aplikasi ini bisa dibuat dari berbagai bahan seperti PVC, PE, keramik, kuningan dan sebagainya. Alat aplikasiyang baik harus mempunyai karakteristik debit yang rendah dan konstan, toleransi yang tinggi terhadap tekanan operasi, tidak dipengaruhi oleh perubahan suhu, dan umur pemakaian cukup lama (Prastowo, 2010).
7
D. Kebutuhan Air Tanaman Jumlah air yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh optimal ditentukan oleh faktor iklim, jenis tanaman dan fase pertumbuhan. Kondisi areal penanaman seperti sifat dan jenis tanah, keadaan topografi dan luas areal penanaman juga mempengaruhi besar kebutuhan air tanaman (Doorenbos & Kassam, 1979). Kebutuhan air tanaman adalah jumlah air yang digunakan tanaman untuk dapat tumbuh normal (consumptive use) atau evapotranspirasi. Besarnya evapotranspirasi tanaman (ETc) diduga dengan menggunakan evapotranspirasi acuan (ETo) yang diperoleh dari data iklim setempat. Besarnya evapotranspirasi tanaman ditentukan dengan persamaan : ETcrop = Kc x ETo ……………………………. (1) dimana kc adalah koefisien tanaman dan ETo adalah evapotranspirasi acuan. Koefisien tanaman dapat dibedakan dalam 4 tingkatan: I. Tingkatan awal (initial stage) dari tanggal tanam sampai permukaan tanah ditutupi tanaman (Sc) sekitar 10 % II. Tingkatan pertumbuhan tanaman (crop development stage) yaitu dari Sc = 10 % sampai Sc = 70 – 80 % III. Tingkatan pertengahan (mid-season stage) yaitu dari Sc = 70 – 80 % sampai tanaman dewasa IV. Tingkatan akhir (late season stage) yaitu dari tanaman dewasa sampai berbuah atau panen. Banyaknya air irigasi yang diberikan ditentukan berdasarkan kapasitas memegang air dari tanah yang menunjukkan jumlah air tanah tersedia serta penyerapan air oleh tanaman. Jumlah air tanah tersedia, yang merupakan selisih antara kapasitas lapang dengan titik layu permanent, untuk beberapa jenis tanah ditunjukkan pada Tabel 3. Akan tetapi, air irigasi harus segera diberikan sebelum kadar air tanah mencapai titik layu permanent, yang disebut dengan deficit air dibolehkan (MAD, Management Allowed Deficit) seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Management Allowed Deficit (MAD) MAD (%) 25 - 40 40 - 50 50
Tanaman dan kedalaman akar Perakaran dangkal, tanaman sayuran dan buah-buahan bernilai tinggi. Buah-buahan1), perdu, berri dan tanaman dalam baris dengan perakaran sedang. Tanaman pakan, tanaman biji-bijian dan tanaman baris dengan perakaran dalam.
sumber : Doorenbos,J.; A.H. Kassam, 1979. Yield Response to Water. FAO, Rome 1)
beberapa tanaman buah-buahan mempunyai MAD yang lebih rendah pada masa akhir pembuahan
8
Tabel 3. Jumlah air tanah tersedia No.
Kapasitas Menahan air selang Rata-rata (mm/m) (mm/m) 33 - 62 42 62 - 104 83 104 - 145 125
Tekstur Tanah
1 2 3
Tekstur sangat kasar - pasir sangat kasar tekstur kasar - pasir kasar, pasir halus, dan pasir berlempung tekstur agak kasar - lempung berpasir tekstur sedang - lempung berpasir sangat halus, lempung dan 4 lempung berdebu 125 - 192 tekstur agak halus - lempung berliat, lempung liat berdebu, 5 dan lempung liat berpasir 145 - 208 6 tekstur halus - liat berpasir, liat berdebu dan liat 133 - 208 7 gambut 167 - 250 Sumber : Doorenbos,J.; A.H. Kassam, 1979. Yield Response to Water. FAO, Rome
E. Sifat Hidrolika Tanah a. Kadar Air Tanah Jumlah air yang tersimpan dalam pori-pori tanah sering disebut dengan kadar air tanah (soil moisture content). Dikenal dua istilah kadar air tanah, yaitu 1) kadar air volumetri (volumetric water content) dengan simbol θ dan 2) kadar air tanah gravimetri (gravimetric water content). Dalam pertanian khususnya, kadar air volumetri lebih tepat digunakan karena menggambarkan volume air yang tersimpan dalam pori-pori tanah (Setiawan et al., 2009). b. Retensi Air Tanah Retensi air (water retension) tanah merupakan salah satu sifat hidrolika tanah yang menggambarkan kemampuan tanah menyimpan air dalam poriporinya. Tanah dikatakan jenuh air (saturated) bila semua pori-porinya terisi air. Demikian sebaliknya, tanah tersebut menjadi tidak jenuh (unsaturated) bila terdapat sejumlah udara dalam pori-pori tersebut. Semakin sedikit jumlah air dalam pori-pori tanah semakin sulit air tersebut dapat diserap akar tanaman. Tanaman akan memperoleh air bila kemampuan menyerap air tersebut lebih besar dibandingkan hisapan air oleh permukaan partikel tanah. Kemampuan tanaman menyerap air dalam kisaran pF = 2.54 (tanah pada saat kapasitas lapang) sampai pF= 4.2 (kondisi titik layu permanen) (Setiawan et al., 2009). Retensi air tanah sangat dipengaruhi oleh struktur (soil structure) dan tekstur tanah (soil texture). Salah satu model empiris yang sering digunakan untuk menyajikan retensi air tanah adalah model Genutchen (1980) dan dimodifikasi oleh Setiawan (1990) :
( h) r
s r h n 1
m
………………….(2)
Dimana : Θ(h) = volumetric water content (cm3/cm3)
167 183 192 208
9
Θr Θs H α n,m
= residual volumetric water content (cm3/cm3) = saturated volumetric water content (cm3/cm3) = soil potential (cm) = air entry potensial (cm) = konstanta
F. Konduktivitas Hidrolik Tanah Konduktivitas hidrolika tanah merupakan sifat yang menyatakan kemampuan tanah untuk melewatkan air atau sering disebut sebagai permeabilitas tanah dinyatakan dalam satuan jarak per satuan waktu, misalnya cm/jam atau cm/menit. Menurut Koorevar et al (1983) konduktivitas hidrolika tanah adalah koefisien transport air yang sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah dan potencial metric, ukuran dan agihan pori tanah. Hubungan antara konduktivitas hidrolik tanah tidak jenuh dengan data retensi air tanah diperoleh dengan menggunakan model Mualem (van Genutchen, 1980; Setiawan et al., 2009) yaitu :
K ( ) Ks 1 1 S e
…………………… (3)
2 1 / m1 m1
r …………………………………………..(4) s r
Dimana Ks adalah konduktivitas hidrolik jenuh, Θ adalah derajat kejenuhan efektif, λ adalah parameter empiric tak berdimensi yang secara rata-rata bernilai 0.5 dan m1 = 1-1/n. Setiawan dan Nakano (1993) juga telah mengembangkan persamaan yang menyatakan hubungan antara konduktivitas hidrolik tidak jenuh dan kadar air tanah sebagai berikut : b1 K Ks Exp a1 s …………………...(5). Dimana θ adalah kadar air tanah (cm3/cm3), a1 dan b1 adalah parameterparameter empirik.
G. Daerah Perakaran Efektif Daerah perakaran efektif adalah kedalaman akar dimana akar tanaman cukup dewasa mampu mengisap lengas tanah. Perkembangan akar tanaman bervariasi tergantung pada jenis tanaman dan jenis tanah. Tabel 4. di bawah ini menggambarkan rerata kedalaman perakaran efektif tanaman yang tumbuh di lahan subur, berdrainase baik, dan tidak ada hambatan lapisan kedap. Tabel 4. Kedalaman daerah perakaran efektif untuk berbagai tanaman Dangkal (60 cm)
Padi, kentang, kol bunga, kubis, lettuce, bawang, brokoli Gandum, tembakau, jarak, kacang tanah, melon, wortel, kacang-kacangan, cabe, rumput pakan tenak, ubi manis, strawberi.
Sedang (90 cm) Dalam (120 cm) jagung, kapas, cantel, pearl miller, kedelai, gula bit, tomat Sangat dalam tebu, kopi, jeruk, apel, anggur, saffflower, lucerne, kapas, (180 cm) semangka, alfalfa, asparagus Sumber : Doorenbos,J.; A.H. Kassam, 1979. Yield Response to Water. FAO, Rome
Karakteristik Perakaran
10
H. Tanaman Melon (Cucumis melo L.) Melon merupakan tanaman semusim, sekulen, menjalar dan termasuk menyemak dengan kedalaman akar 45- 90 cm. melon tumbuh dengan baik pada kondisi panas, iklim kering dan dapat tumbuh di daerah arid dan semi arid dengan irigasi. Tanaman melon tumbuh pada ketinggian 0-700 dpl. Tanaman melon membutuhkan tempat yang mendapatkan sinar matahari penuh sekitar 10 -12 jam/hari, suhu udara hangat dan kelembaban udaranya relatif rendah. Selama proses perkecambahan tanaman melon membutuhkan suhu udara ideal berkisar antara 28oC – 30oC, sedangkan pada periode pertumbuhan kisaran suhu yang ideal antara 25oC – 30oC, bahkan tanaman melon masih tumbuh dengan baik bila udaranya kering pada kelembaban ± 60 % dan suhu udaranya antara 35oC – 37oC. Tanaman melon masih toleran pada daerah yang mempunyai kelembaban udara antara 70 % - 80 %, tetapi bila suhu udara urang dari 18 oC pertumbuhannya tidak dapat berkembang baik. Pada sistem pemeliharaan yang intensif, produksi melon yang dapat dicapai berkisar antara 25 – 30 ton/Ha (sistem tanaman lanjaran) atau 15 – 20 ton/Ha untuk sistem tanam dijalarkan dipermukaan tanah (Rukmana, 1994). Jenis tanah yang cocok ditanami melon adalah tanah geluh berpasir yang lapisan olahnya dalam dengan pH 6.0 – 6.8, meskipun masih toleran pada pH antara 5.8 – 7.2. Tanaman melon pada umumnya sensitif sedang terhadap salinitas. Panjang total pertumbuhan tanaman berkisar antara 80 – 110 hari tergantung pada varietas dan iklim. Doorenbos dan Kassam (1979) selanjutnya menyatakan bahwa kebutuhan air bervariasi tergantung pada tipe tanah dan praktek irigasi. Tanaman masih dapat menerima kondisi penurunan air tanah tersedia hingga 40 % - 50%. Untuk maksimum produksi yang dihasilkan nilai koefisien tanaman (Kc) melon disajikan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Nilai Koefisien Tanaman (Kc) Melon pada berbagai tahap pertumbuhan. No Tahap Pertumbuhan Lama (Hari) 1 Tahap Awal (Inisial) 10 – 15 2 Tahap Pengembangan (Development) 15 – 25 3 Tahap tengah musim (mid season) 10 – 20 4 Tahap akhir musim (Late season) 15 – 20 5 Tahap panen (harvest) Setelah 70 – 105 * ) angka awal untuk RH>79%, angka akhir untuk RH < 70% Sumber : Raes, (1987)
Nilai Kc*) 0.65 0.81 0.97 1.16 0.85
Melon merupakan buah non-klimaterik (tidak dapat diperam), dipanen apabila tanaman menunjukkan tanda ketuaan (beraroma harum, warna kulit kekuning-kuningan, tangkai buahnya retak dan garis pemisah antara tangkai dan buahnya tampak jelas, pada melon yang berjala (berjaring), struktur jalanya penuh dan sempurna dan pada umumnya setelah berumur 75 – 90 hari setelah tanam. Tempat penyimpanan antara 4oC – 5oC dengan kelembaban 80% - 85%.
11
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dibagi dua tahap yaitu tahap pertama studi emitter yang dilakukan pada Juli 2013 – Desember 2013 di Laboratorium Sumber Daya Air Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, IPB dan aplikasi desain emitter pada tanaman melon yang dilakukan di greenhouse milik Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, IPB di Leuwikopo, Bogor pada bulan Februari – Mei 2014. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Tanah, sekam dan kompos untuk media pertumbuhan tanaman dengan perbandingan 2 : 1 : 1 2. Bahan porus emitter dari bahan tekstil atau kain 3. Tanaman Melon (Cucubis melo L.) 4. Material perpipaan (3/4’), selang dan kran air untuk rangkaian jaringan irigasi 5. Material besi untuk dudukan reservoir air 6. Tabung mariot yang berukuran 35 liter sebagai reservoir (5 buah). 7. Bak percobaan yang berisi dengan tanah dengan ukuran bak (diameter 50 cm dan tinggi 40 cm) sebanyak 5 buah untuk percobaan konduktivitas emitter dan debit emitter. 8. Tabung mariot (5 buah) yang terbuat dari tabung acrylic dengan tinggi 50 cm dan diameter 10 cm untuk pengukuran konduktivitas dan debit emitter. 9. Pot tanaman dengan diameter 40 cm dan tinggi 35 cm (25 Buah). 10. Emitter dengan 5 jenis bahan porus yang berbeda dengan diameter 20 cm a) Bahan Legacy (A = 5 buah) b) Bahan Colosal (B = 5 buah) c) Bahan Parasut Taslan (C= 5 buah) d) Bahan Kyramat (D = 5 buah) e) Bahan Veronica (E = 5 buah) Alat Alat-alat yang digunakan yaitu : 1. Mistar ukur untuk mengukur tinggi tanaman, diameter dan kedalaman daerah pembasahan oleh emitter. 2. Meteran digunakan untuk mengukur panjang pipa. 3. Perangkat komputer untuk pengolahan data. 4. Sensor kadar air tanah untuk mengukur kelembaban tanah 5. Sensor suhu dan kelembaban udara untuk mengukur suhu dan kelembaban udara di greenhouse 6. Sensor radiasi matahari untuk mengukur radiasi matahari di greenhouse 7. Stopwatch untuk mengukur waktu penurunan tinggi air dalam tabung mariot dan gelas ukur.
12
8. Gelas ukur untuk menampung air pada saat pengujian konduktivitas bahan emitter. 9. Ring sampel tanah sebagai wadah untuk menyimpan tanah pada pengujian sampel tanah di laboratorium. Metode Penelitian Kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 2, dimana dibagi 4 tahapan utama yaitu, (1) tahap persiapan meliputi : persiapan bahan, alat dan lahan percobaan, studi konduktivitas tanah dan material emiter, (2) tahap desain, (3) tahap uji coba skala laboratorium dan lapangan, dan (4) tahap analisis.
Persiapan Alat, Bahan dan Lahan
Analisis konduktivitas tanah
Analisis konduktivitas berbagai material emitter
tidak Ktanah = Kemitter ya Desain dan Penentuan dimensi cincin (diameter dalam, diameter luar, tebal cincin, inlet dan outlet)
Merakit emitter cincin ke jaringan irigasi
Uji Laboratorium dengan tanaman dan tanpa tanaman
Analisis Data
selesai Gambar 2 Bagan Alir Penelitian
13
1. Analisis Konduktivitas Hidrolik tanah Konduktivitas Hidrolik tanah dihitung dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Setiawan dan Nakano (1993) yaitu : b1 K Ks Exp a1 s .......................................... (6).
Dimana θ adalah kadar air tanah (cm3/cm3), a1 dan b1 adalah parameterparameter empirik. Konduktivitas hidrolika tanah (Ks) jenuh diukur dengan menggunakan metode falling head dengan persamaan berikut : h a l Ks 2.3 log 1 ………………..(7) At h2 Dimana : Ks = Konduktivitas hidrolik jenuh (cm/detik) A = Luas Permukaan sampel tanah (cm2) a = Luas permukaan buret (cm2) l = ketebalan sampel tanah (cm) t = waktu (detik) h1 = tinggi awal (cm) h2 = tinggi pada waktu t (cm) 2. Analisis Konduktivitas Material emitter Metode pengukuran Konduktivitas material emitter cincin merupakan metode pengukuran konduktivitas tanah jenuh di laboratorium yaitu metode tinggi permukaan air menurun. a
h1
h2
A
Bahan emitter Gelas Ukur
Wadah penampung
Gambar 3. Skema Pengukuran Konduktivitas Bahan Emitter Metode tinggi permukaan air menurun Peralatan : tabung mariotte, selang plastik, wadah penampung air, stop watch, mistar, dan gelas ukur. Cara kerja : 1. Material cincin atau bahan kain dimasukkan ke tabung/ring dengan diameter 5 cm
14
2. Tabung atau ring diisi air sampai batas atas penuh, kemudian air yang menetes dari bahan kain atau material porus emitter ditampung ke wadah penampung. 3. Air yang tertampung dialirkan oleh selang kecil ke gelas ukur. 4. Mengukur penurunan muka air pada pipet ukur pada waktu (t), dan pengukuran sedikitnya 5 kali. 5. Menghitung besarnya Konduktivitas bahan emitter (K) cincin dengan persamaan a l h K bahan 2.3 log 1 At h2 ............................................. (8) Dimana : K = Konduktivitas bahan porus (cm/detik) A = Luas permukaan bahan cincin (cm2) a = Luas permukaan buret (cm2) l = ketebalan bahan kain (cm) t = waktu (detik) h1 = tinggi awal (cm) h2 = tinggi pada waktu t (cm) 3. Pemilihan material porus emitter untuk desain emitter tergantung pada konduktivitas material porus dengan syarat konduktivitas tanah = konduktivitas material emitter. Jika syarat tidak terpenuhi maka dilakukan pengujian konduktivitas material hingga mencapai syarat tersebut. 4. Penentuan Dimensi cincin Penentuan dimensi emitter cincin terkait dengan konduktivitas bidang poros cincin, jenis tanah, radius tanah yang terbasahi dan kedalaman perakaran tanaman. Konduktivitas emitter sama dengan konduktivitas tanah yang merupakan fungsi dari kadar air tanah. 5. Uji coba lapang skala laboratorium dengan tanaman dan tanpa tanaman. Pengujian Emitter tanpa tanaman dilakukan dengan menghubungkan emitter cincin dengan tabung mariot berdiameter 10 cm dan tinggi 50 cm. Emitter cincin ditempatkan pada bak percobaan diameter 50 cm dan tinggi 40 cm yang berisi tanah untuk mengukur konduktivitas emitter dan debit emitter, skema pada Gambar 4 berikut : Tabung Tabungmariot mariotte mariotte
Selang transparan d=0.5 cm Emitter cincin
Bak berisi tanah
Gambar 4. Skema Pengujian Emitter Tanpa Tanaman
15
Penurunan air pada tabung mariot dicatat pada setiap 60 menit dan dihitung debit emitter dengan persamaan berikut : v Q ............................................................................. (9) t Dimana : Q = Debit (liter/detik) v = volume (liter) t = waktu (detik) Uji performansi emitter dengan tanaman dilakukan untuk melihat berapa konsumsi air yang dibutuhkan oleh tanaman dan pengaruh pemberian air melalui emitter cincin terhadap pertumbuhan tanaman sehingga diperoleh produktivitas air. Metode yang dilakukan dalam pengujian emitter terhadap tanaman yaitu : a. Uji karakteristik sifat fisik media tanam Media tanam di lokasi peneitian merupakan campuran tanah, sekam dan pupuk kompos dengan perbandingan 2 : 1 : 1. Campuran tersebut dimasukkan dalam pot tanaman dengan diameter 40 cm dan tinggi 32 cm. Pengambilan contoh media tanam menggunakan ring sample pada kedalaman 10 -15 cm kemudian dianalisis bulk density, porositas, laju perkolasi, permeabilitas serta kadar air tanah pada pF 1, 2, 2.54 dan 4.2. dengan mengetahui kadar air tanah pada pF tersebut kemudian dibuat kurva retensi air tanah. Selanjutnya ditentukan kadar air yang tersedia yaitu TAW dan RAW sebagai berikut Raes et al. (1987) : TAW S fc S wp RAW p TAW
…………………………….. (10)
Dimana : TAW = Total air tanah tersedia (mm) RAW = air tanah siap tersedia (mm) Sfc = kadar air tanah pada kapasitas lapang (mm) Swp = kadar air tnah pada saat titik layu permanen (mm) P = faktor tanaman atau Management Allowed Deficit /MAD (%) b. Penentuan Kebutuhan air tanaman Kebutuhan air tanaman melon yang dibudidayakan di dalam greenhouse tidak memperhitungkan curah hujan Efektif (CHE = 0). Besarnya kebutuhan air sebesar evapotranspirasi tanaman (Doorenbos & Pruitt, 1977), yang dihitung dengan mengalikan koefisien tanaman (Kc) pada Tabel 5 dengan evapotranspirasi Acuan (ETo). Untuk menghitung nilai ETo dengan metode radiasi dibutuhkan data suhu, kelembaban dan radiasi matahari dalam rumah kaca yang diperoleh dari hasil pengukuran sensor suhu-kelembaban dan sensor radiasi yang datanya tersimpan pada data Logger Decagon EM50. Besarnya evapotranspirasi acuan dinyatakan dengan persamaan (Raes, 1989) ;
ETo c (W Rs ) ………………. (11) Dimana ; ETo = evapotranspirasi acuan ( mm/hari) c = faktor koreksi yang tergantung pada kelembaban rata-rata
16
W Rs
= konstanta yang tergantung pada suhu dan ketinggian = radiasi matahari (mm/hari)
c. Pengukuran kadar air media tanam Pengukuran kadar air media tanam dilakukan untuk mengetahui kandungan air di dalam media tanam selama penanaman dan untuk mengetahui pola pembasahan dari sistem irigasi cincin yang dioperasikan. Pengambilan contoh media tanam dilakukan sebanyak 4 kali yaitu pada 2 hari setelah pindah tanama (hspt), 30 hspt, 50 hspt, dan 70 hspt pada kedalaman 15 cm dengan jarak 5 cm dari titik tengah emitter. Perhitungan kadar air media tanam dengan analisa gravimetri yaitu dengan menggunakan persamaan : ( Ma Mb) W 100% …………….(12) ( Mb Mc) Dimana : W = kadar air media tanam (% berat kering) Ma = berat wadah dan contoh media tanam awal (g) Mb = berat wadah dan contoh media tanam setelah dikeringkan pada suhu 110oC selama 24 jam sampai beratnya konstan (g) Mc = berat wadah (g) d. Analisa Kinerja Irigasi Cincin Analisa irigasi cincin dengan mengukur debit keluaran emitter cincin. Pengukuran dilakukan dengan mencatat perubahan tinggi air (∆h) pada tabung mariot/tendon air pada setiap waktu kemudian dihitung debit dengan persamaan Q = V/A. Pengukuran jarak pembasahan dilakukan dengan cara mengukur jarak tanah yang basah terhadap emitter dengan pita ukur pada waktu (30 menit, 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam dan 1 hari). e. Pengamatan Perumbuhan tanaman Pengamatan pertumbuhan tanaman meliputi pengamatan jumlah daun, tinggi tanaman dan panjang tulang daun pada ruas ke 13 Pengamatan dilakukan selama 10 hari. f. Efektivitas Penggunaan air dan produksi (produktivitas air) Dalam kaitan efektivitas penggunaan air irigasi dan produksi tanaman Nadipineni (2001) merumuskan sebagai berikut : produksi tanaman setiap emiter ( Kg ) …………………(13) Ep volume air yang diberikan (m3 ) 6. Analisis Data a. Analisis konduktivitas hidrolika tanah yang meliputi konduktivitas tanah jenuh dan tanah tidak jenuh dengan persamaan (6 dan 7). b. Analisis Konduktivitas bahan emitter dengan menggunakan persamaan (8). c. Menghitung debit dan konduktivitas emitter cincin dengan menggunakan persamaan (8) dan (9). d. Analisis sifat fisik media tanam meliputi bulk density, porositas, laju perkolasi, permeabilitas serta kadar air tanah pada pF 1, 2, 2.54 dan 4.2. e. Menghitung kebutuhan air tanaman dengan menggunakan persamaan (1).
17
f. Analisa kadar air media tanam pada setiap masa pertumbuhan tanaman dengan menggunakan persamaan (12). g. Analisa kinerja irigasi cincin pada tanaman melon meliputi pengukuran debit emitter, jarak pembasahan emitter pada arah R dan Z, dan pertumbuhan tanaman. h. Analisa produktivitas air irigasi cincin pada tanaman melon dengan meggunakan persamaan (13).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN a. Konduktivitas Hidrolika Tanah Konduktivitas hidrolik tanah sangat menentukan pergerakan air dalam tanah. Pada saat jenuh, pergerakan air sangat ditentukan oleh konduktivitas hidrolik jenuh, dan pada saat kondisi tidak jenuh sangat ditentukan oleh konduktivitas hidrolik tidak jenuh yang besarnya tergantung pada kadar air tanah atau tegangan air pori negatif (suction, -Uw) dimana nilai K ini sangat penting untuk memperkirakan volume air di dalam zona tidak jenuh (Revil and Cathles, 1999). Hasil analisis konduktivitas tanah dalam nilai konduktivitas tanah disajikan pada tabel 6 berikut : Tabel 6. Nilai Konduktivitas Hidrolika Tanah Jenuh diukur dengan metode tinggi permukaan air menurun (falling head). Sampel A.18 A.20 E.29 A.31 A.24 F.21
Kedalaman 5 -10 cm 5 -10 cm 5 -10 cm 15 -20 cm 15 -20 cm 15 -20 cm Max Min Rata
Ks (cm/jam) 11.25 8.16 13.48 2.68 2.80 2.80 13.48 2.68 6.86
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2013 Berdasarkan hasil analisis konduktivitas tanah jenuh menunjukkan bahwa korelasi antara kedalaman tanah dan nilai konduktivitas berbanding lurus, semakin dalam tanah semakin kecil nilai konduktivitasnya. Makin besar nilai K tanah, berarti tanah tersebut makin mudah dilewati air. Arah pergerakan air dalam tanah (ke atas, ke bawah, atau ke samping) tergantung pada arah dan besarnya gradient potensial hidrolik dan derajat penjenuhan tanah. Nilai K tanah jenuh yang diperoleh dari hasil analisis menunjukkan kelas tekstur lempung. Perbedaan konduktivitas hidrolik tanah baik jenuh maupun tak jenuh tiap lapisan kedalaman tanah dapat sebagai petunjuk cepat atau lambatnya aliran air pada tiap kedalaman, sehingga berpengaruh pada distribusi air tiap lapisan
18
kedalaman tanah. Distribusi air tiap kedalaman tanah berpengaruh pada kelarutan hara. Selain itu, pergerakan air yang cepat berpotensi membawa hara baik yang masih berupa pupuk, terlarut, maupun yang terikat oleh koloid tanah; sehingga menentukan kadar hara pada setiap lapisan profil tanah (Bejat et al., 2000). b. Konduktivitas Bahan Emitter Analisis Konduktivitas material emitter dilakukan dengan menggunakan metode falling head dan mengukur volume air yang diserap oleh bahan material emitter pada setiap waktu (detik). Sehingga diperoleh nilai Konduktivitas material emitter disajikan pada tabel 7 berikut : Tabel 7. Nilai Konduktivitas (K) Bahan Emitter dengan metode falling head No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Bahan Legacy Colosal Peredam Veronica Kyramat ADH Super Diadora Parasut RIB Plis Karpet
K (cm/jam) 1.54 0.76 28.16 8.16 5.28 1.39 1.11 0.06 0.93 8.82
Sumber : Data Primer Setelah diolah, 2013 Pengujian nilai konduktivitas material emitter yang terdiri dari 10 jenis bahan kain diperoleh nilai konduktivitas material yang paling kecil adalah bahan parasut dengan nilai K = 0.06 cm/jam dan nilai K terbesar pada bahan peredam dengan niai K = 28.16 cm/jam. Selanjutnya pada tahap desain dipilih beberapa jenis bahan dengan konduktivitas yang mendekati konduktivitas tanah yaitu jenis bahan Legacy, Colosal, Parasut, Kyramat dan Veronica. Nilai konduktivitas bahan emitter sangat penting diketahui untuk mengetahui kemampuan bahan porus tersebut merembeskan air ke tanah dalam pemenuhan suplai air untuk pertumbuhan tanaman. Semakin besar nilai konduktivitas maka semakin cepat merembeskan atau meloloskan air karena memiliki pori atau rongga yang lebih besar. c. Desain Emitter Cincin Penetes (emitter) mengeluarkan air hanya beberapa liter/jam. Dari penetes air menyebar secara menyampig dan tegak oleh gaya kapiler tanah yang diperbesar pada arah vertikal oleh gaya gravitas. Daerah yang terbasahi oleh emitter tergantung pada besarnya aliran, jenis tanah, kelembaban tanah, dan permeabilitas tanah vertikal dan horisontal (Hansen et al., 1979) Emitter cincin memberikan air dengan cara merembeskan air melalui dinding emitter yang dibuat dari bahan porus (kain), yang akan mengalirkan air sesuai dengan kondisi kesetimbangan air di tanah dan di dalam bahan porus. Air yang berada di dalam emitter dirembeskan secara melingkar di sekeliling akar
19
tanaman untuk memperoleh hasil pembasahan yang optimal sehingga air dapat menjangkau area perakaran dengan cepat dan seragam. Emitter cincin dibuat dari silinder yang terbuat dari bahan fleksibel seperti selang plastik yang cukup keras sehingga tidak mudah berubah bentuk atau terlipat. Selang plastik dengan diameter 5/8 inc dan panjang 60 cm di buat melingkar hingga memiliki diameter 20 cm, kemudian diberi lubang inlet air dan outlet 5 lubang (diameter lubang inlet dan outlet = 5 mm) untuk jalan air disepanjangnya. Material porus (kain) dipasang untuk melapisi tabung tersebut, yang akan mengendalikan aliran air keluar dari container ke dinding emitter dan tanah.
iner ke dalam tanah.
Gambar 5. Emitter Cincin
1.4 cm
Gambar 5 (a) Emitter Tampak Atas, (b) Potongan Emitter d. Kinerja Emitter Tanpa Tanaman Untuk mengetahui kinerja emitter cincin yang didesain dilakukan pengujian emitter meliputi laju rembesan air atau debit emitter dan daerah terbasahi. Emitter yang digunakan adalah bahan Legacy (Kbahan = 1.54 cm/jam), bahan colosal (Kbahan = 0.76 cm/jam), bahan parasut (Kbahan = 0.06 cm/jam), bahan kyramat (Kbahan = 5.28 cm/jam) dan bahan veronica (Kbahan = 8.16 cm/jam). Pada masing-masing jenis bahan emitter dibuat 5 sampel emitter sehingga diperoleh 25 buah emitter.. Tabel 8 menunjukkan bahwa emitter dengan bahan Veronica memiliki laju aliran atau debit yang paling besar (0.60 – 0.72 liter/jam) sedangkan bahan parasut
20
memiliki debit yang paling kecil (0.02 – 0.05 liter/jam). Besar kecilnya laju aliran emitter dipengaruhi oleh nilai konduktivitas emitter. Air yang merembes keluar dari emitter melalui dinding bahan porus dan terdistribusi ke dalam tanah mengisi pori-pori tanah disebabkan beda potensial kelembaban tanah dan konduktivitas hidrolik tanah. Rembesan pada dinding bahan porus emitter cincin merupakan kinerja yang paling penting dari sistem irigasi cincin, karena akan menentukan kebutuhan air tanaman dan efisiensi penggunaan air irigasi. Hasil pengukuran laju rembesan dan kumulatif rembesan oleh emitter disajikan pada Gambar 6 (a), (b), (c), (d) dan (e). Tabel 8. Debit Emitter Jenis Bahan Legacy
Colosal
Parasut
Kyramat
Veronica
Debit (liter/jam) Max
0.48
Min
0.18
Rata-rata
0.33
Max
0.42
Min
0.18
Rata-rata
0.30
Max
0.05
Min
0.02
Rata-rata
0.04
Max
0.48
Min
0.30
Rata-rata
0.39
Max
0.72
Min
0.60
Rata-rata
0.66
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2013
Gambar 6. (a) Laju dan akumulasi rembesan emitter bahan Legacy dan (b) Colosal
21
Gambar 6 (c) Laju rembesan dan akumulasi rembesan emitter bahan Parasut
Gambar 6 (d) Laju rembesan dan akumulasi rembesan emitter bahan Kyramat, (e) bahan Veronica. Dari grafik di atas menunjukkan laju rembesan lebih besar di awal irigasi dan kemudian perlahan-lahan menurun sampai pada laju rembesan yang tetap dimana pada saat awal irigasi kondisi tanah disekitar emitter kering menyebabkan laju rembesan dari dinding bidang porus emitter cepat dan kemudian akan menurun jika tanah disekitar emitter telah lembab. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Stein (1997) dan Setiawan (1998) tentang kendi sebagai emitter dimana dinding kendi yang porus merupakan sistem yang dapat mengatur secara otomatis lajunya rembesan yang dikenal dengan autoregulative sistem. Hasil pengukuran rembesan dinding emitter menunjukkan laju rembesan dan akumulasi rembesan dipengaruhi oleh kondisi fisik tanah sekitar emitter cincin. Laju rembesan akan meningkat secara cepat pada awal pemberian air dan kemudian menurun sampai menjadi konstan (Gambar 6). Peningkatan laju rebesan di awal pemberian air karena perbedaan pressure head (h) pada dinding emitter dengan matric head (Ψ) tanah yang kering. Penurunan laju rembesan terjadi setelah tanah lembab dan menjadi konstan setelah terjadi kesetimbangan antara h pada dinding emitter cincin dan Ψ pada tanah sekitarnya. Laju rembesan yang konstan ini menurut Stein (1997) akan berubah jika ada pengaruh luar seperti evaportanspirasi. Kemampuan dinding porus emitter cincin merespon perubahan kelembaban tanah ini dapat mensuplai air sesuai dengan kebutuhan air tanaman, yaitu jika saat evapotranspirasi tinggi maka laju rembesan akan meningkat. Oleh karena itu diyakini sistem emitter cincin dapat memberikan air secara efisien dan hemat air. e. Performansi Irigasi Cincin pada Tanaman Melon Untuk melihat performansi emitter cincin dilakukan pengujian emitter dengan membuat jaringan irigasi cincin untuk tanaman melon di greenhouse dimana diasumsikan tidak ada suplai air selain dari irigasi cincin sehingga curah
22
hujan efektif = 0. Pada tahapan budidaya melon dengan suplai air irigasi cincin di greenhouse diperoleh hasil analisis dari beberapa pengamatan sebagai berikut : 1. Sifat Fisik Media Tanam Media tanam yang digunakan pada penelitian ini adalah tanah, kompos dan arang sekam dengan perbandingan 2 : 1 : 1, media tanam dengan perbandingan tersebut sangat baik untuk pertumbuhan tanaman. Tanah yang digunakan adalah tanah yang berasal dari Laboratorium Wageningen yang telah diukur nilai konduktivitas sebelumnya yaitu antara 2.68 cm/jam - 13.48 cm/jam, sedangkan media arang sekam berfungsi untuk mempermudah aerasi sehingga jika media tanam jenuh akar tanaman tidak mudah rusak dan campuran kompos pada media tanam untuk meningkatkan bahan organik dan mengikat air yang baik bersama dengan tanah. Media tanam tersebut dimasukkan ke dalam pot dengan diameter pot 40 cm dan tinggi pot 35 cm. Media tanam diuji sifat fisikanya di Laboratorium Fisika Tanah pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Hasil analisa sifat fisika media tanam disajikan pada berikut (Tabel 9) : Tabel 9. Sifat Fisika Media Tanam Parameter
Unit Besaran Pasir % 27 Debu % 62 Liat % 11 Bulk Density g/cc 0.55 Particle Density g/cc 2.05 Pori Drainase Cepat % Volume 45.5 Pori Drainase Lambat % Volume 6.4 Ruang Pori Total % Volume 73 Kadar Air % Volume 31.4 Air Tersedia % Volume 7.8 Perkolasi cm/jam 5.55 Permeabilitas cm/jam 62.14 pF 1 % Volume 71.0 pF 2 % Volume 27.5 Kadar Air pF2.54 % Volume 21.1 pF 4.2 % Volume 13.3 Sumber : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, 2014 Kurva hubungan antara kadar air % volume dengan hisapan matrik (pF) pada media tanam dapat dilihat pada Gambar 7 yang menunjukkan kondisi kapasitas lapang media tanam campuran tanah, sekam dan kompos (pF 2.54) adalah 21.1 % volume dan pada kondisi titik layu permanen (pF 4.2) adalah 13.3 % volume, sehingga total air tersedia pada media tersebut adalah 7.8 % (0.78cm).
23
Gambar 7. Kurva pF Media Tanam Doorenbos dan Pruitt (1977) mengemukakan bahwa kedalaman perakaran tanaman melon berkisar antara 45 – 90 cm dan factor p (fraction ov available soil water) sebesar 0.5. Dengan demikian nilai kedalaman perakaran sebesar 0.45 m, maka besarnya RAW (Ready Available Water) sebesar 175.5 mm. artinya air akan dipertahankan dari air tersedia untuk kedalaman perakaran 45 cm adalah 175.5 mm atau 17.55 cm. Pemberian air melalui irigasi cincin bertujuan untuk mengembalikan kadar air tanah sampai kapasitas lapang (21.1 % volume) akibat adanya evpotranspirasi. Hasil pengujian media tanam dengan campuran tanah, arang sekam dan kompos memiliki porositas sebesar 73% dengan nilai permeabilitas 62.14 cm/jam atau setara 1.04 cm/menit. Berdasarkan nilai permeabilitas media tanam tersebut termasuk kategori mudah meloloskan air. Makin baik kontinuitas dan stabilitas pori, dan makin banyak pori dengan ukuran besar menyebabkan pergerakan air secara jenuh makin cepat (Bodhinayake et al., 2004). Pergerakan air yang makin cepat dapat membawa hara terlarut maupun yang belum terlarut makin cepat dan kesempatan hara teradsorpsi tanah makin rendah (Bejat et al., 2000). 2. Kebutuhan Air Tanaman Kebutuhan air tanaman untuk pertumbuhannya merupakan jumlah air yang digunakan oleh tanaman untuk tumbuh normal atau disebut juga dengan evapotranspirasi. Besarnya kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh fase pertumbuhan tanaman, faktor iklim (suhu, radiasi matahari, kelembaban, kecepatan angin) dan jenis dari tanaman tersebut. Kebutuhan air tanaman dalam hal ini adalah besarnya evapotranspirasi tanaman akan dijadikan dasar untuk menentukan jumlah air yang akan diberikan ke tanaman. Evapotranspirasi tanaman terbagi dua yaitu evapotranspirasi acuan dan evapotranspirasi aktual. Untuk menentukan besarnya kebutuhan air tanaman maka ditentukan oleh besarnya evapotranspirasi aktual yang diperoleh dari hasil kali antara koefisien tanaman melon dengan evapotranspirasi acuan (ETo). Nilai ETc di dalam greenhouse (dengan metode radiasi) berkisar antara 1.45 mm/hari sampai 4.51 mm/hari pada masa vegetatif, 1.22 mm/hari sampai 4.84 mm/hari pada masa pembungaan, 1.75 mm/hari sampai 6.98 mm/hari pada masa pembuahan dan 0.88 mm/hari sampai 4.18 mm/hari pada masa pematangan buah. Kebutuhan air tanaman melon terbagi dalam 5 tahap pertumbuhan yaitu tahap awal (15 hari) yang ditandai dengan mulainya pertumbuhan batang dan daun utama, tahap vegetatif/pertumbuhan (25 hari) ditandai dengan tumbuhnya bakal cabang atau bakal batang muda, tahap pembungaan (20 hari) ditandai
24
dengan munculnya bunga jantan dan bunga betina, tahap terbentuknya buah (20 hari) ditandai dengan bakal buah yang membesar dan menjadi buah yang nyata, dan tahap pematangan buah (20 hari) ditandai dengan adanya perubahan warna buah dan aroma harum. Berdasarkan budidaya melon yang dilakukan oleh Taman Buah Mekarsari (TBM) pada umumnya sudah dipanen ketika tanaman berumur 75 (hspt). Penelitian dilakukan sejak tahap vegetatif hingga tahap pematangan buah. Besarnya evapotranspirasi tanaman melon berdasarkan pada tahap pertumbuhan disajikan pada Tabel 10 dan Lampiran 3. Tabel 10. Evapotranspirasi tanaman (Etc) melon pada tiap pertumbuhan Tahap Pertumbuhan
Umur (hspt)
Eto (mm/hari)
Kc
ETc (mm/hari)
ETc Rata-rata (mm/hari)
ETc (mm)
Vegetatif Berbunga Berbuah Pematangan
1 s.d 25 26 s.d 35 36 s.d 55 56 s.d 78
3.12 2.53 3.5 2.98
0.81 0.97 1.16 0.85
1.45 - 4.51 1.22 - 4.84 1.75 - 6.98 0.88 - 4.18
2.98 3.03 4.37 2.53
74.5 30.3 87.3 58.2
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2014. Dari tabel 10 menunjukkan bahwa secara berturut-turut kebutuhan air meningkat dimulai dari periode vegetatif, dan diikuti oleh periode pembungaan serta puncaknya terjadi pada periode pembentukan buah. Pada periode pematangan buah melon kebutuhan airnya akan menurun kembali. Pada masa pembentukan buah tanaman melon membutuhkan air terbanyak karena buah melon termasuk buah yang mengandung banyak air. Kekurangan air pada periode tersebut akan mempengaruhi penampilan buah yang dihasilkan baik ukuran, jumlah maupun warnanya. Selama tahapan masa tumbuh, kebutuhan air terus menerus meningkat. Pada tahap tersebut kebutuhan air digunakan untuk pertumbuhan dan pembentukan daun. Pada minggu ke tiga tumbuhan memasuki tahap vegetatif. Pada tahap ini kebutuhan air irigasi meningkat karena digunakan untuk pertumbuhan tinggi batang, pertumbuhan daun dan pertumbuhan kuncup bunga. Kebutuhan air terus meningkat sampai pada tahap pembentukan buah. Pada tahap tersebut kebutuhan air sangat besar dibandingkan dengan tahap pertumbuhan lainnya, hal ini dikarenakan nilai Kc pada tahap berbuah lebih besar dari nilai Kc pada tahap pertumbuhan lainnya. Pada tahap pematangan diikuti dengan penurunan kebutuhan air sampai pematangan buah melon. Besarnya evapotranspirasi tanaman melon (Cucumis melo L.) dalam sistem pembudidayaan dalam rumah kaca (greenhouse ) juga dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan radiasi matahari. Suhu di dalam rumah kaca berkisar antara 29.3 – 36.1oC seperti yang tertera pada Lampiran 3. Meskipun suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman melon antara 28 – 30 o C pada siang hari, namun tanaman melon masih tumbuh dengan baik bila udaranya kering pada kelembaban ± 60 % dan suhu udaranya antara 35oC – 37oC. Faktor yang mempengaruhi besarnya temperatur dalam rumah tanaman adalah tingkat intensitas radiasi matahari, besar kecilnya panas yang hilang melalui atap atau dinding, besar kecilnya panas yang diserap oleh tanaman untuk proses fotosintesis dan besar kecilnya panas yang hilang melalui ventilasi serta bahan konstruksi (Nurhayati, 2006).
25
3. Kadar Air Media Tanam Pengukuran media tanam selama pengamatan yaitu terhadap kadar air masing-masing pot dengan jenis bahan emitter yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 8 berikut :
Gambar 8. Kadar air media tanam pada tahap pertumbuhan tanaman melon. Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa pot tanaman dengan emitter berbahan parasut (C) memiliki rata-rata kadar air yang paling rendah diantara pot tanaman dengan emitter berbahan Legacy(A), Colosal (B), Kyramat (D) dan Veronica (E), dimana kadar air media tanam yang dialiri oleh emitter berbahan parasut antara 30 – 45 %volume. Hal ini dikarenakan laju aliran emitter dengan bahan parasut sangat kecil dibandingkan dengan laju aliran emitter berbahan Legacy, Colosal, Kyramat dan Veronica. Besarnya laju aliran emitter sangat dipengaruhi oleh nilai konduktivitas bahan emitter dimana nilai konduktivitas bahan parasut memiliki nilai konduktivitas yang paling kecil yaitu 0.06 cm/jam. Dengan demikian kondisi kadar air media tanam pada yang dialiri oleh emitter berbahan parasut memungkinkan tanaman mengalami stress akibat kekurangan air dan akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman sehingga tanaman akan menjadi kerdil. Hal ini terbukti pada hasil pengamatan pertumbuhan tanaman pada Gambar 10 dimana panjang tulang daun pada pot yang dialiri dengan emitter berbahan parasut adalah antara 7.5 cm – 10 cm. Lain halnya dengan kondisi kadar air media tanam yang dialiri air melalui emitter berbahan Kyramat (D) dan Veronica (E), dimana kadar air rata-rata media tanam antara 50 %volume sampai 85%. Hal ini dikarenakan laju aliran emitter dan nilai konduktivitas bahan emitter lebih besar. Dengan kondisi kadar air demikian dapat dikatakan bahwa media tanam dalam keadaan kondisi jenuh air, terlihat bahwa kadar air media tanam melebihi kadar air pada kapasitas lapang (21.1 %volume). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kelebihan pemberian air pada setiap tahap pertumbuhan. Kelebihan pemberian air kadang diperlukan dalam pengaliran irigasi agar air tersedia untuk tanaman dapat terus terpenuhi, namun bila pemberian terlalu berlebihan maka akan menyebabkan tanaman menjadi jenuh sehingga menimbulkan kematian pada tanaman dan tanaman mudah terserang penyakit. Menurut Kramer (1977) umumnya pengaruh jenuh atau kurang baiknya aerasi akan mengurangi permeabilitas akar terhadap air, dimana akan mengurangi absorbsi dan akibatnya terjadi defisit air dan akan menyebabkan tanaman langsung layu.
26
Akar tanaman pada tanah yang lembab akan menyerap lebih banyak air daripada akar tanaman yang sama yang tumbuh pada tanah yang kering. Apabila tanah basah, sebagian besar kelembaban tanaman diambil dari tanah dekat permukaan. Namun karena kadar kelembaban di dekat permukaan berkurang, maka lebih banyak tanaman menyerap air di kedalaman yang berada di bawah. Kramer (1977) menemukan bahwa kejenuhan tanah pada penanaman Yellowpoplar (sejenis pohon kuning) menyebabkan berkurangnya transpirasi sebesar 68 % dan menghasilkan defisit pada daun sebesar 47 % dalam 3 hari dibandingkan. Jadi keadaan tanah yang jenuh akan mempengaruhi akar, sehingga absorbsi akan berkurang mengakibatkan terjadinya defisit air, yang akan menyebabkan tanaman layu dan pertumbuhan terhambat. 4. Kinerja Irigasi Cincin a. Laju Rembesan Emitter Kinerja irigasi cincin ditentukan dari kemampuan emitter cincin merembeskan air ke zona perakaran tanaman dalam hal ini laju rembesan air (liter/jam) dan pola pembasahan tanah pada arah horizontal dan vertical. Komponen irigasi cincin terdiri dari reservoir (tabung mariot) yang berfungsi sebagai wadah penampungan air. Penggunaan tabung mariot sebagai reservoir agar supaya air yang keluar dari tabung tekanannya sama/stabil. Air dari tabung mariot akan didistribusikan melalui jaringan perpipaan (pipa dengan ukuran diameter ¾ inc) menuju emitter seperti yang terlihat pada Lampiran 9 (Gambar Layout jaringan irigasi cincin). Sedangkan emitter cincin diletakkan dalam pot pada kedalaman 10 cm dari permukaan tanah. Penurunan air dari tabung mariot diukur setiap 1 jam sehingga diperoleh laju rembesan atau aliran emitter dalam liter/jam. Hasil pengukuran laju rembesan air oleh emitter cincin dapat dilihat pada Gambar 9 berikut :
Gambar 9. Debit Rata-rata maximum pada masing-masing jenis emitter Hasil pengukuran laju rembesan irigasi cincin untuk tanaman melon menunjukkan bahwa emitter dengan bahan parasut mampu merembeskan air ke daerah perakaran tanaman sebesar 0.04 liter/jam dan emitter dengan bahan parasut memiliki laju rembesan yang paling kecil. Hal ini dikarenakan oleh nilai konduktivitas bahan parasut yang sangat kecil yaitu 0.06 cm/jam dibandingkan dengan jenis bahan emitter yang lainnya. Besarnya laju rembesan sangat dipengaruhi oleh nilai konduktivitas emitter. Jika dibandingkan antara laju rembesan 0.04 liter/jam dan kebutuhan air tanaman melon, maka emitter dengan jenis bahan parasut tidak mampu menyediakan air secara optimal atau melon
27
mengalami kekurangan air karena laju rembesan yang sangat lambat menyebabkan melon mengalami stress dan menggangu pertumbuhan tanaman sehingga tanaman akan menjadi kerdil. Sedangkan laju rembesan emitter pada jenis bahan Legacy dan Colossal mampu memberikan air yang optimal untuk pertumbuhan tanaman melon sebesar 1.08 liter/jam dan 0.52 liter/jam. Dengan laju rembesan tersebut tidak terjadi perkolasi atau genangan di bawah pot tanaman sehingga tidak ada air yang terbuang dan semua air dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman melon. Lain halnya dengan emitter berbahan Kyramat dan Veronica yang memiliki laju rembesan 1.38 liter/jam dam 1.60 liter/jam dimana terjadi perkolasi pada bagian bawah pot tanaman sebesar 600 – 1800 ml sehingga terjadi kehilangan air. Adanya perkolasi disebabkan karena laju aliran air dari emitter cepat dan kondisi tanah lebih porus sehingga daya tahan air kurang dengan laju perkolasi 5.55 cm/jam. b. Pola Pembasahan Emitter Pola pembasahan emitter merupakan salah satu kinerja dari irigasi cincin, pola pembasahan emitter menunjukkan air dari emitter terdistribusi dengan baik ke tanah dan daerah perakaran tanaman. Pengukuran pola pembasahan emitter dilakukan dengan melihat media tanam yang basah di dalam pot dari arah vertical dan horizontal dengan menggunakan mistar ukur. Hasil analisa pola pembasahan emitter tergambarkan pada data Tabel 11. berikut : Tabel 11. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Legacy. Jarak Pembasahan ke arah
R (cm)
Z (cm)
Waktu ½ Jam 1 Jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam 1 hari ½ Jam 1 Jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam 1 hari
A1 1 2 5 11 16 22 24 3 6 10 12 15 16 27
A2 0 1 3 6 8 10 15 2 5 9 10 11 12 19
Kode Emitter A3 A4 0 1 1 2 4 5 10 8 18 14 25 19 27 22 3 3 5 6 11 13 13 15 16 18 18 20 29 30
A5 2 4 7 13 19 24 26 5 7 15 16 17 18 28
Sumber : Data Primer Setelah diolah, 2014 Pola pembasahan tanah di sekitar emitter cincin menunjukkan kemampuan emitter memberikan zona basah dalam memenuhi kebutuhan air tanaman. Hasil pengukuran pada Tabel 11.a, b, c, d, dan e, menunjukan bahwa semakin lama pemberian air semakin jauh jarak pembasahannya baik arah vertikal maupun arah horisontal. Pada zona basah tersebut perakaran tanaman dapat memperoleh air dan nutrisi dari dalam tanah untuk disebarkan ke seluruh bagian tanaman.
28
Tabel 12. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Colosal. Jarak Pembasahan ke arah
R (cm)
Z (cm)
Waktu
Kode Emitter B1
B2
B3
B4
B5
½ Jam
1
0
2
1
2
1 Jam
2
0
3
2
3.5
2 jam
5
0
5
5
6
3 jam
9
3
11
8
10
4 jam
14
6
16
12
16
5 jam
20
9
22
18
20
1 hari
23
13
26
21
24
½ Jam
3
2
5
5
7
1 Jam
5
4
6
7
9
2 jam
9
8
10
9
12
3 jam
12
11
13
13
16
4 jam
15
13
16
15
20
5 jam
16
18
20
16
21
1 hari
20
23
25
19
25
Sumber : Data Primer Setelah diolah, 2014 Tabel 13. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Parasut. Jarak Pembasahan ke arah
R (cm)
Z (cm)
Waktu
Kode Emitter C1
C2
C3
C4
C5
½ Jam
1
0
0
0
0
1 Jam
1
1
0
0
0
2 jam
3
2
0
0
0
3 jam
7
4
1
1
1
4 jam
10
7
4
3
3
5 jam
12
10
7.5
7
5
1 hari
14
12
9
9
7
½ Jam
3
2
1
0
0
1 Jam
5
4
1
1
1
2 jam
10
7
3
2
2
3 jam
13
9
6
5
4
4 jam
15
10
9
8
7
5 jam
17
11
11
10
9
1 hari
18
13
12
12
11
Sumber : Data Primer Setelah diolah, 2014
29
Tabel 14. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Kyramat. Jarak Pembasahan ke arah
R (cm)
Z (cm)
Waktu
Kode Emitter D1
D2
D3
D4
D5
½ Jam 1 Jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam
5 8 12 15 17 20
3 4 6 12 17 25
0 0 1 5 8 11
0 0 2 6 9 12
8 16 22 22 22 22
1 hari ½ Jam 1 Jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam
25 9 13 18.5 18.5 19 19
26 8 12 16 17 18 19
17 5 7 10 10 11 12
18 6 8 12 15 17 19
24 10 14 20 20 20 21
1 hari
28
25
16
23
27
Sumber : Data Primer Setelah diolah, 2014. Tabel 15. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin berbahan Veronica. Jarak Pembasahan ke arah
R (cm)
Z (cm)
Waktu ½ Jam 1 Jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam 1 hari ½ Jam 1 Jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam 1 hari
Kode Emitter E1
E2
E3
E4
E5
15 17 22 22 23 24 26 7 10 17 17 18 19 28
3 4 8 11 13 15 17 6 8 13 14 15 16 20
0 0 2 6 10 15 18 5 7 14 15 16 17 21
16 18 24 24 24 24 26 10 13 21 21 22 22 28
0 0 1 4 8 13 15 6 9 14 15 16 17 21
Sumber : Data Primer Setelah diolah, 2014. Kualitas sistem irigasi cincin tergantung dari bentuk bidang pembasahan. Rancangan yang baik dari sistem ini menunjukkan bentuk bidang basah dan permukaan yang basah pula. Daerah pembasahan tergantung debit pemberian air irigasi, jenis tanah, lama pemberian air dan karakteristik infiltrasi (Jansen, 1983).
30
Dari penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa air yang keluar dari dinding emitter merembes ke arah vertikal lebih besar dibandingkan ke arah horizontal. Hal ini disebabkan karena emitter cincin ditempatkan di bawah permukaan tanah menyebabkan gaya gravitasi air ke bawah lebih besar sehingga laju rembesan ke arah vertikal lebih besar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hermantoro (2006) tentang pola pembasahan oleh emitter gerabah dimana bentuk pola pembasahan tanah dari penetes porus gerabah di dalam tanah adalah berupa garis mengeliling pusat rembesan. Pada media tanah pasiran pola pembasahan mempunyai kecendrungan ke arah bawah lebih besar, sedangkan pada tanah liat mempunyai kecendrungan ke arah horizontal lebih besar. Pola penyebaran air dari dinding emitter dipengaruhi oleh beda potensial tanah tidak jenuh dan kadar air tanah. penyebaran air ke arah horisontal lebih sedikit karena air yang bergerak ke atas tersebut terjadi pada kecepatan yang relatif rendah. Kecepatan pergerakan air ke atas dapat diperhitungkan dari konduktivitas hidrolik tak jenuh. Tanah pada kondisi kering menyerap air lebih cepat dibandingkan tanah pada kondisi lembab. Besarnya laju rembesan juga mempengaruhi jarak pembasahan tanah. semakin besar laju rembesan dari dinding emitter, semakin jauh jarak pembasahannya terbukti pada emitter dengan bahan Kyramat dan Veronica memiliki jarak pembasahan yang paling jauh pada menit ke 30 yaitu sebasar 5 cm dari arah horizontal dan 15 cm dari arah horizontal. Pertambahan jarak pembasahan semakin kecil seiring dengan lama penyiraman, diamana diawal pemberian air kondisi tanah kering sehingga pori-pori air masih berisi udara dan lambat laun air mengisi pori-pori tanah, disaat tanah sudah lembab atau jenuh air bergerak dengan lambat sehingga kecepatan pergerakan air pada kondisi jenuh diperhitungkan dari konduktivitas tanah jenuh. c. Analisis Neraca Air Tanaman memerlukan air dalam jumlah yang cukup agar pertumbuhannya tidak terhambat. Akar tanaman menyerap kandungan air dalam tanah untuk tumbuh pada batas kondisi titik layu permanen dan kapasitas lapang. Jika kondisi kadar air yang tersimpan dalam tanah berada dalam jumlah yang semakin kecil maka diperlukan penambahan air irigasi agar pertumbuhan tanaman dapat terus berlangsung. Tanaman melon sensitif terhadap kekurangan air pada tahap pembungaan dan pembentukan buah. Jika terjadi kekurangan air pada tahap tersebut akan menyebabkan penurunan hasil produksi. Neraca air merupakan perimbangan antara masukan (input) dan keluaran (output) air di suatu tempat pada suatu periode tertentu. Perhitungan Neraca air digunakan untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama dinamika kadar air tanah dan kondisi ketersediaan-kebutuhan air. Analisis neraca air pada penelitian ini dihitung berdasarkan neraca antara pemberian air irigasi dan kebutuhan irigasi yang dinyatakan oleh kebutuhan air tanaman (ETc). pemberian air irigasi dimulai pada tahap vegetatif ketika tanaman telah dipindahkan ke pot tanaman dan dihentikan pada saat panen. Efisiensi pemberian air pada tanaman melon diperoleh dengan membandingkan jumlah air yang diberikan dengan kebutuhan air tanaman. Pemberian air irigasi melalui emitter cincin dan neraca air disajikan pada tabel berikut :
31
Tabel 16. Neraca Air dan Pemberian Air pada Tanaman Melon Debit Emitter Air yang Kebutuhan air Kelebihan/ Efisiensi Emitter (liter/jam) diberikan (liter) tanaman (liter) kekeurangan (%) 61.9 Legacy 1.08 1940.40 1201.4 739.00 127.4 Colosal 0.52 943.20 1201.4 -258.20 1516.9 Parasut 0.04 79.20 1201.4 -1122.20 48.3 Kyramat 1.38 2487.60 1201.4 1286.20 41.8 Veronica 1.60 2876.40 1201.4 1675.00
Sumber : Data primer setelah dolah, 2014 Hasil neraca air yang disajikan pada Tabel 16 menunjukkan bahwa terjadi kelebihan pemberian pada tanaman yang diairi oleh emitter cincin dan terdapat kekurangan air dalam pemberian air oleh emitter berbahan Parasut dan Colosal dimana kekurangan air pada tanaman khususnya yang diairi oleh emitter Parasut dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu sehingga kualitas dan kuantitas bunga dan buah yang dihasilkan kurang baik. Namun Kekurangan air yang terjadi pada tanaman yang diairi dengan emitter berbahan porus Colosal masih bisa ditoleransi oleh tanaman dimana kekurangan air terjadi pada tahap pematangan buah sehingga masih menghasilkan buah yang besar dan pertumbuhannya masih menghasilkan respon yang baik. Pada penerapan dan skala pengembangan sistem irigasi cincin dengan emitter berbahan parasut perlu mempertimbangkan jenis tanaman yang bisa toleransi terhadap cekaman kekeringan dengan rata-rata kadar air tanah 30-35 %. Kelebihan pemberian air pada tanaman yang diirigasi oleh emitter cincin berbahan porus jenis Legacy sebesar 739 liter, bahan Kyramat sebesar 1286.20 liter dan bahan Veronica sebesar 1675 liter mengakibatkan rendahnya efisiensi sistem irigasi cincin karena akan mnyebabkan besarnya biaya kehilangan air. Pemberian air dalam jumlah yang lebih besar menyebabkan pemborosan air tetapi jika dilihat dari sisi lain maka kelebihan air dapat mencegah atau mencuci penumpukan garam. Kecilnya efisiensi dari sistem irigasi cincin dengan berbahan porus Kyramat dan Veronica disebabkan karena besarnya nilai konduktivitas hidrolika emitter yang menyebabkan laju rembesan semakin besar dan pengoperasian sistem ini dilakukan secara terus menerus, sedangkan jenis media tanam pada penelitian ini memiliki porositas yang cukup tinggi 45.5 % dan permeabilitas 62.14 cm/jam sehingga mudah meloloskan air. Untuk meningkatkan efisiensi sistem irigasi cincin maka diperlukan penjadwalan irigasi dengan mempertimbangkan waktu dan interval pemberian air irigasi yang disesuaikan dengan konduktivitas hidrolika dan kelembaban tanah. Selain itu juga dapat diterapkan sistem pengontrolan irigasi cincin secara otomatis untuk meningkatkan efisiensi irigasi. Pemberian air yang berlebih juga mempengaruhi pola pembasahan yang terbentuk dan kadar air tanah menjadi tinggi melebihi kadar air pada kapasitas lapangnya. Pemberian air irigasi sebaiknya diperhatikan agar kondisi tanah selalu pada kapasitas lapang dimana pada kondisi ini pertumbuhan tanaman dapat optimal dan kelebihan air dapat dikurangi. Untuk menekan kelebihan air pada sistem irigasi oleh emitter cincin berbahan porus Kyramat dan Veronica dapat dilakukan dengan menurunkan nilai konduktivitas hidrolika bahan melalui penambahan lapisan bahan porus (menjadi 2 lapis).
32
5. Pertumbuhan Tanaman Pengamatan pertumbuhan tanaman meliputi pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun dan panjang tulang daun pada ruas ke 13. Pengamatan dilakukan selama 10 kali dengan selang pengukuran 3 hari. Dari hasil pengamatan tinggi tanaman (Lampiran 6 dan Gambar 10) diperoleh pertambahan tinggi tanaman bervariasi antara emitter dengan jenis bahan Legacy, Colosal, Parasut, Kyramat dan Veronica.
Gambar 10. Parameter Pertumbuhan Tanaman Rata-rata pada ke lima Jenis Bahan Emitter Tanaman akan memberikan respon terhadap lingkungannya, seperti pemberian air yang cukup dan sesuai dengan kebutuhannya menyebabkan tanaman tumbuh dengan baik. Pertumbuhan tanaman yang baik dilihat dari laju pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar daun. Berdasarkan hasil pengamatan tinggi tanaman yang diairi oleh irigasi cincin dengan variasi 5 bahan emitter diperoleh tinggi tanaman hampir seragam (Lampiran 6) pada emitter dengan bahan Legacy (161 cm – 244 cm), bahan Colosal (174 cm – 258 cm), bahan Kyramat (176 cm – 247 cm) dan bahan Veronica ( 161 cm – 251 cm), sedangkan tinggi tanaman yang diari oleh emitter berbahan parasut hanya berkisar 142 cm – 188 cm. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman merespon terhadap pemberian air dimana emitter dengan berbahan parasut merembeskan air paling kecil diantara ke 4 jenis bahan emitter tersebut. Hal ini juga berbanding lurus dengan pertumbuhan jumlah daun dan lebar daun (Gambar 10) dimana pada pertumbuhan tanaman yang diairi dengan emitter berbahan parasut sangat lambat dibandingkan dengan ke 4 jenis bahan emitter lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman mengalami stres. Keadaan stres dicirikan dengan pertumbuhan yang lambat, daun yang menguning(agak layu), daun yang tidak lebar dan tanaman kerdil. Debit air yang keluar dari emitter berbahan parasut sangat kecil (0.04 liter/jam) dibandingkan dengan laju evapotranspirasi tanaman sehingga tanaman mengalami water stress. Stres pada tanaman terjadi apabila media tanam mencapai titik layu permanen. Pertambahan tinggi tanaman dipengaruhi oleh faktor-faktor klimatik lingkungan, antara lain suhu, kelembaban, radiasi sinar matahari, dan laju pemberian air. Semakin besar jumlah kandungan lengas tanah yang tersedia, maka semakin mudah tanaman menyerap air sehingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
33
Tanaman melon selama pertumbuhannya juga diberikan nutrisi cair AB mix yang diberikan selama masa pertumbuhan dengan komposisi mengacu pada pemberian nutrisi yang dilakukan oleh Tanaman Buah Mekar Sari dalam budidaya tanaman melon di Rumah Kaca. Nutrisi cair diberikan bersamaan dengan pengaliran air irigasi atau yang dikenal dengan fertigasi. Kemampuan emitter mengalirkan air bersamaan dengan nutrisi memungkinkan terjadinya efisiensi distribusi unsur hara ke daerah perakaran tanaman dimana peletakan emitter di bawah permukaan tanah di sekitar daerah perakaran tanaman sehingga unsur hara betul-betul diserap baik oleh tanaman tanpa adanya penguapan di permukaan tanah. Dengan demikian salah satu efektivitas dengan irigasi cincin di bawah permukaan tanah adalah unsur hara terserap dengan baik oleh tanaman melalui pengairan dan pemupukan bersamaan yang dirembeskan dari emitter cincin. 6. Ukuran Buah dan Kedalaman Perakaran Pemberian air juga berpangaruh pada ukuran buah dan kedalaman perakaran tanaman. Pada penelitian ini pengukuran berat buah dilakukan pada saat setelah panen, dimana buah dipanen disaat umur 75 hari. Buah yang telah dipanen dibersihkan dan dilakukan penimbangan berat buah dan pengukuran lingaran buah dari arah vertical dan horizontal. Berdasarkan pengukuran berat buah melon (Lampiran 7) diperoleh hasil berat buah bervariasi pada setiap tanaman yang dialiri dengan irigasi cincin. Berat buah yang paling besar dihasilkan oleh emitter dengan berbahan colossal sebesar 1788.3 gram dan emitter berbahan Veronica dengan berat 1524 gram. Berat buah bervariasi pada setiap emitter karena dipengaruhi oleh debit aliran emitter yang juga bervariasi sehingga mempengaruhi besarnya air yang masuk ke dalam pot.
Gambar 11. Berat buah melon pada setiap emitter Pada grafik diatas emitter berbahan porus Legacy (A1 – A5) menghasilkan berat buah yang hamper seragam yaitu 808 gram – 987 gram. Jika dibandingkan dengan berat buah yang dihasilkan oleh emitter berbahan parasut (C1 – C5) jauh lebih kecil yaitu 312 – 343 gram. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian air sangat mempengaruhi berat buah. Namun jika dibandingkan dengan berat buah yang dihasilkan melalui irigasi alur sesuai dengan penelitian Rafiah et al. (2003) yaitu sebesar 286 gram. Berat buah dengan irigasi cincin masih lebih baik jika dibandingkan dengan irigasi alur. Hal ini disebabkan karena irigasi alur air yang diberikan terlalu jauh dari perakaran sekitar 25 cm (Rafiah et al., 2003). Sedangkan dengan irigasi cincin air diberikan di bawah permukaan tanah tepat di
34
daerah perakaran tanaman, sehingga akar dengan mudah menyerap air dan unsure hara. Terbukti dengan panjang akar tanaman yang diairi dengan irigasi cincin lebih menyebar dalam radius 30 – 40 cm (Lampiran 8 Gambar 12).
Gambar 12. Panjang akar tanaman pada setiap emitter Sistem perakaran pada tanaman melon menyebar tetapi tidak dalam. Perkembangan akar ke arah horisontal lebih cepat daripada yang vertikal. Cabang akar dan rambut-rambut akar menyebar ke segala arah sampai dengan kedalaman 15-30 cm. Rambut-rambut akar dan cabang-cabangnya pada umumnya tumbuh pada bagian akar yang terdapat dekat dengan permukaan tanah (Rukmana, 1994). Akar tanaman pada tanah yang lembab akan menyerap air lebih banyak air daripada akar tanaman yang sama yang tumbuh pada tanah yang kering. Oleh karena itu jika kelembaban tanah berkurang di daerah permukaan tanah maka akar akan menyerap air dari kedalaman yang lebih bawah. 7. Produktivitas Air Tanaman Melon Salah satu parameter keberhasilan suatu rancangan irigasi adalah kemampuan sistem irigasi mensuplai air yang yang cukup dan optimal terhadap pertumbuhan tanaman, selain itu hal yang paling penting dalam manajemen irigasi adalah penggunaan air irigasi yang sedikit dengan peningkatan produksi tanaman. Hal ini akan tercapai dengan penerapan konsep produktivitas air tanaman (CWP). Penerapan konsep CWP akan dapat menghasilkan produksi tanaman yang tinggi dengan konsumsi air yang terbatas. Produktivitas air tanaman adalah perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan jumlah air yang diberikan terhadap tanaman, dengan satuan kg-hasil per m3 air yang digunakan. Berdasarkan hasil produksi tanaman melon yang dibudidayakan di rumah kaca dengan irigasi cincin, diperoleh produktivitas air tanaman dari rasio berat buah pada setiap emitter dengan air yang diberikan selama masa tumbuh hingga panen sebesar 0.18 Kg/m3 – 4.33 Kg/m3 (Lampiran 7 dan Gambar 14). Produktivitas air terbesar diperoleh dari tanaman melon yang diairi oleh emitter parasut yaitu 3.22 Kg/m3 – 4.33 Kg/m3. Tingginya produktivitas air tanaman melon pada emitter berbahan parasut disebabkan karena air yang dialirkan oleh emitter sangat kecil yaitu sebesar 79.2 liter selama masa pertumbuhan sedangkan berat maksimal yang dihasilkan adalah 0.343 Kg.
35
Gambar 13. Produktivitas Air Tanaman Melon pada setiap Emitter Dari gambar diatas menunjukkan bahwa produktivitas air tanaman melon hamper seragam pada setiap jenis bahan emitter, dimana produktivitas air tanaman melon yang dialiri oleh emitter berbahan Legacy (A1-A5) adalah sebesar 0.42 Kg/m3 – 0.51 Kg/m3. Sedangkan produktivitas air tanaman paling rendah diperoleh dari tanaman melon yang dialiri oleh emitter cincin berbahan Kyramat dan Veronica dimana produktivitas air tanaman hanya sebesar 0.18 Kg/m3 – 0.39 Kg/m3. Namun jika dibandingkan dengan produktivitas air tanaman melon hasil penelitian yang dilakukan oleh Rafiah et al. (2003) dimana budidaya melon yang diairi secara gelontor atau alur dengan pemberian air sebanyak 14.27 cm tebal air menghasilkan produktivitas air sebesar 0.118 Kg/m3, produktivitas air tanaman dengan irigasi cincin masih lebih besar dibandingkan dengan irigasi alur. Dengan demikian tanaman melon yang diairi oleh irigasi cincin masih lebih optimal dan lebih efisien dibandingkan dengan irigasi alur. Produktivitas air tanaman dapat ditingkatkan dengan memperbaiki bahan emitter, yaitu dengan menurunkan nilai konduktivitas bahan emitter. Produktivitas air tanaman melon yang dialiri oleh irigasi cincin dengan emitter berbahan Colosal (B1-B5) termasuk memiliki produktivitas air yang lebih baik yaitu sebesar 0.64 Kg/m3- 1.90 Kg/m3 jika dibandingkan dengan dengan produktivitas air tanaman melon hasil penelitian Setiapermas et al. (2008) dengan menggunakan metode irigasi penggenangan dimana air yang diberikan sebesar 3000 liter/tanaman selama pertumbuhan, yaitu sebesar 0.33 Kg/m3. Sedangkan produktivitas air tanaman melon dengan menggunakan irigasi tetes yang dilakukan oleh Setiapermas adalah 4.3 Kg/m3. Produktivitas air tanaman melon dengan metode irigasi tetes hamper sama dengan produktivitas air tanaman melon dengan irigasi cincin dengan emitter berbahan parasut (C3) yaitu sebesar 4.33 Kg/m3. Dengan demikian irigasi cincin menghasilkan produktivitas air yang optimal pada jenis emitter cincin yang berbahan parasut. 8. Analisis Biaya Pemakaian Air Irigasi terhadap Produksi yang dihasilkan Parameter kinerja dari sistem irigasi cincin dapat dilihat dari perbandingan biaya pemakaian air irigasi terhadap produksi yang dihasilkan. Analisis biaya pemakaian air irigasi selama musim tanam ditentukan oleh besarnya volume irigasi yang diberikan selama satu musim tanam dengan harga air dimana harga air untuk tarif termurah per m3 diasumsikan sebesar Rp.1250 (Dinas PDAM Kota Bogor) dan hasil produksi tanaman melon diperoleh dari pendapatan hasil penjualan buah melon yang diasumsikan harga buah melon lokal Rp.4500/Kg.
36
Analisis biaya pemakaian dan hasil produksi tanaman melon disajikan pada Tabel 17 berikut : Tabel 17. Biaya Pemakaian Air terhadap Produksi Tanaman Melon yang dihasilkan Emitter Legacy Colosal Parasut Kyramat Veronica
Air yang Diberikan Biaya (liter) Air (Rp) 1940.4 2425.5 943.2 1179 79.2 99 2487.6 3109.5 2876.4 3595.5
Pendapatan Produksi (Rp.) 4038.75 5385.15 1543.5 3447 4583.25
Keuntungan (Rp.) 1613.25 4206.15 1444.5 337.5 987.75
Sumber : Data Primer Setelah diolah, 2014. Hasil analisa biaya pemakaian air terhadap produksi tanaman melon yang dihasilkan diperoleh keuntungan terbesar pada sistem irigasi cincin oleh emitter berbahan porus Legacy dan Colossal. Keuntungan diperoleh dari selisih biaya yang dikeluarkan dari pemberian air selama musim tanam dengan pendapatan produksi tanaman melon dimana komponen biaya jaringan irigasi, penyusutan bahan dan material, dan sarana produksi dianggap sama pada setiap jenis bahan porus emitter. Jika dibandingkan produktivitas air yang dihasilkan oleh tanaman yang diirigasi dengan emitter berbahan parasut memiliki produktivitas tertinggi namun dari segi kelayakan ekonomi untuk skala pengembangan masih rendah dari emitter yang berbahan porus Legacy dan Colosal. Oleh karenanya sistem irigasi cincin dengan emitter berbahan parasut dapat dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek jenis tanaman yang tahan terhadap kekeringan dengan kondisi kelembaban tanah berkisar antara 30 – 35 %. Dengan demikian tanaman dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan pertumbuhan yang optimal.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Konduktivitas hidrolika tanah yang digunakan pada penelitian berkisar antara 2.68 cm/jam – 13.48 cm/jam. 2. Konduktivitas hidrolika bahan emitter berkisar antara 0.06 – 28.16 cm/jam. Laju rembesan emitter perlahan-lahan menurun seiring dengan pertambahan kadar air anah yang menunjukkan kemampuan emitter merespon perubahan kelembaban tanah. 3. Produktivitas air tanaman melon yang dialiri oleh irigasi cincin dengan emitter berbahan Colosal memiliki produktivitas air yang lebih baik yaitu sebesar 0.64 Kg/m3- 1.90 Kg/m3 dan keuntungan sebesar Rp. 4206.15.
37
Saran Dalam desain selanjutnya, dalam aplikasi bahan porus dari kain tekstil sebaiknya dijahit kemudian dimasukkan ke dalam selang plastik untuk memperbaiki nilai konduktivitas emitter.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrachman, A., Dariah, A., & Mulyani, A. 2008. Strategi dan Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Mendukung Pengadaan Pangan Nasional. Litbang Pertanian , II (27), 43-49. Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia Tahun 2005. Jakarta: BPS. Batchelor, C., L.Crhristoper, & M.Monica. 1996. Simple Micro Irrigation Tecniques for Improving Irrigation Efficiency on Vegetable Garden. Agricultural Water Management (32), 37-48. Bejat, L., E, Perfect., G.R, Hazler., Quisenberry, & Coyne. 2000. Solute TRansport as Related to Soil Stucture in Unsaturated Intact Soil Blocks. Soil Science , 818-826. Bodhiyanake, W., Cheng Shi, B., & C, Xiao. 2004. New Methods for Determining Water Conductivity Macro and Mesoporosity from Tension Infiltrometer. Soil Science , 760-769. Doorenbos, J., & A. K. 1979. Yield Respons to Water. FAO and Agriculture Organisazion of The United Nation. Rome: FAO. Doorenbos, J., & W.O, Pruitt. 1977. Guidlines for Predicting Crop Water Requirements (Vol. 24). Rome: FAO Irrigation and Drainage Paper. Genutchen, Van. 1980. A Close Form Equation for Predicting the Hydraulic Conductivity of Unsaturated Soils. Soil Science (44), 892-898. Hansen, V.E., O. W. Israelsen & G. E. Stringhan. 1979. Irrigation Principles and Practices (Fourth Edition). New York : John Wiley and Sons, Inc. Hermantoro. 2006. Pengembangan Sistem Irigasi Gerabah Bawah Permukaan pada Lahan Kering. Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian (pp. 1-10). Yogyakarta: Yogyakarta Press. Jansen, M. 1983. Design and Operation of Farm Irrigation System. Michigan: ASAC St. Josepth. Kramer, P. 1977. Plant and Soil Water Relationships : A Modern Synthesis. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd. Kusnadi, K., Setiawan, B., Sapei, A., Prastowo, & Erizal. 2006. Perancangan Irigasi dan Drainase Interaktif Berbasis Teknologi Informasi. Institut Pertanian Bogor, Teknologi Pertanian. Bogor: IPB.
38
Molden, D.J. 2007. Water for Food Water for Life : A Comprehensive Assesment of Water Management in Agriculture. International Water Management Institute. Colombo. Nadipineni, C. 2001. Water Resources in India. Asian Productivity Organisazion Conference (pp. 107-122). Tokyo: APO. Nurhayati. 2006. Analisis Susdut Datang Matahari dan Pengembangan Model Pindah Panas pada Greenhouse Menggunakan Artficial Neural Network. Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB. Prastowo. 2010. Irigasi Tetes Teori dan Aplikasi. Bogor: IPB Press. Prastowo. 2007. Rancangan Irigasi Tetes pada Sistem Irigasi Air Tanah Dangkal yang Berkelanjutan di Kab. Nganjuk Propinsi Jawa Timur. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB. Raes, D. 1987. Crop Water Requirements. Belgium: Khatolike Universiteit. Raes, D., Lemmens. H., Bulcke. M., & Smith. M. 1987. Irrigation Scheduling Information System (IRSIS). Belgium: Leuven. Rafiah, H., Padusung, & R.S, Tajowulan. 2003. ntb litbang. Retrieved Mei 12, 2014, from deptan.go.id: http://www.ntb.litbang.deptan.go.id/ind/2004/ TPH/efisiensipenggunaan.doc Revil, A., & L.M, Cathles. 1999. Permeability of Shaly Sands. Water Resources (35), 651-662. Rukmana. 1994. Budidaya Melon Hibrida. Jakarta: Kanisius. Setiapermas, M., I. G., & Muryanto. 2008, Februari 12. jateng.litbang. Retrieved Mei 12, 2014, from deptan.go.id: http://www.jateng.litbang.deptan.go.id /ind/images/artikel/melon.pdf Setiawan, B. I. 1990. On Determinant of Unsaturated Hydraulic Conductivity from Soil Moisture Profiles and From Water Retention Curve . Japan: Soc.Am. Setiawan, B. I., & M.Nakano. 1993. On Determinant of Unsaturated Hydraulic Conductivity from Soil Moisture Profiles and Front Water Retention Curve. Soil Science (156), 389-395. Setiawan, B.I. 2002. Sistem Irigasi Kendi. Menuju Kemandirian Teknologi Pertanian Unggul. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Hal:36~37. Setiawan, B. I., S. K. Saptomo., & C. Arif. 2009. Teknik Irigasi dan Drainase Berwawasan Lingkungan. Bogor: IPB Press. Setiawan, B.I. 1998. Sistem Irigasi Kendi untuk Tanaman Sayuran di Daerah Kering. Institut Pertanian Bogor, Teknologi Pertanian. Bogor: IPB. Stein, T. 1997. The Influences of Evaporation, Hyraulic Conductivity, Wall Thickness and Surface Area on Seepage Rates of Pitcher Irrigation. Journal of Applied Irrigation Science , 65-83.
39
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Uji Emitter tanpa Tanaman Jenis Bahan
Legacy
Colosal
Parasut
Kyramat
Veronica
Kode Emitter A1 A2 A3 A4 A5 B1 B2 B3 B4 B5 C1 C2 C3 C4 C5 D1 D2 D3 D4 D5 E1 E2 E3 E4 E5
Debit Rata (ltr/menit) 0.008 0.002 0.006 0.001 0.004 0.003 0.001 0.007 0.005 0.006 0.001 0.001 0.000 0.000 0.000 0.006 0.006 0.006 0.005 0.008 0.012 0.010 0.010 0.011 0.011
Q (ltr/jam) 0.48 0.18 0.36 0.3 0.24 0.18 0.24 0.42 0.3 0.36 0.042 0.053 0.022 0.024 0.021 0.36 0.36 0.36 0.30 0.48 0.72 0.6 0.6 0.66 0.66
40
Lampiran 2. Tabel Faktor Pemberat (w) berdasarkan ketinggian di atas permukaan laut dan suhu rata-rata Temperatur (ºC) 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40
W at altitude (m) 0 0.43 0.46 0.49 0.52 0.55 0.58 0.61 0.64 0.66 0.69 0.71 0.73 0.75 0.77 0.78 0.80 0.82 0.83 0.84 0.85
500 0.44 0.48 0.51 0.54 0.57 0.60 0.62 0.65 0.67 0.70 0.72 0.74 0.76 0.78 0.79 0.81 0.82 0.84 0.85 0.86
1000 0.46 0.49 0.52 0.55 0.58 0.61 0.64 0.66 0.69 0.71 0.73 0.75 0.77 0.79 0.80 0.82 0.83 0.85 0.86 0.87
2000 0.49 0.52 0.55 0.58 0.61 0.64 0.66 0.69 0.71 0.73 0.75 0.77 0.79 0.81 0.82 0.84 0.85 0.86 0.87 0.88
3000 0.52 0.55 0.58 0.61 0.64 0.66 0.69 0.71 0.73 0.75 0.77 0.79 0.81 0.82 0.84 0.85 0.86 0.87 0.88 0.89
4000 0.54 0.58 0.61 0.64 0.66 0.69 0.71 0.73 0.75 0.77 0.79 0.81 0.82 0.84 0.85 0.86 0.87 0.89 0.90 0.90
41
Lampiran 3. Data Evapotranspirasi Acuan (ETo) Tanaman Melon dengan Metode Radiasi
Umur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
T (ºC)
w
Data Lampiran 29.5 0.79 29.3 0.78 31.8 0.81 31.4 0.80 32.2 0.81 34.3 0.82 31.5 0.8 32.7 0.81 34.3 0.82 35.7 0.84 32.9 0.81 34.1 0.82 29.4 0.79 33.8 0.82 31.6 0.81 30.5 0.79 33.8 0.82 33.9 0.82 34.9 0.83 33.6 0.82 34.3 0.82 33.5 0.82 33.6 0.82 34.9 0.83 32.2 0.81
RH (%) Data 77 72 69 71 67 62 73 68 63 58 66 63 78 66 72 75 64 66 60 66 62 66 65 61 70
Rs (mm/hari) Data 5.67 3.65 3.90 3.80 2.95 3.85 3.16 4.27 4.17 5.16 3.82 4.55 4.29 7.70 7.57 7.67 6.43 6.31 4.23 3.84 3.88 3.26 3.56 6.74 2.79
w*Rs
4.48 2.85 3.16 3.04 2.39 3.16 2.53 3.46 3.42 4.33 3.09 3.73 3.39 6.31 6.13 6.06 5.27 5.17 3.51 3.15 3.18 2.67 2.92 5.59 2.26
ETo (mm/hari)
4.13 2.05 2.18 2.11 2.03 2.39 1.79 3.17 3.10 3.99 2.25 3.35 2.61 5.57 4.7 4.56 4.32 4.27 3.01 2.56 2.62 2.01 2.31 5.01 1.98
Kc
0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81 0.81
ETc (mm/hari) Kc*Eto 3.35 1.66 1.77 1.71 1.64 1.94 1.45 2.57 2.51 3.23 1.82 2.71 2.11 4.51 3.81 3.69 3.50 3.46 2.44 2.07 2.12 1.63 1.87 4.06 1.60
42
Lampiran 3. Lanjutan
Umur
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
T (ºC)
w
Data Lampiran 34.3 0.82 33.5 0.82 33.6 0.82 34.1 0.82 31.9 0.81 31.4 0.8 31.7 0.81 32.7 0.81 31.6 0.81 30.0 0.79 31.1 0.8 31.3 0.8 31.2 0.8 31 0.8 31.6 0.81 31.8 0.81 31.2 0.8 31.9 0.81 34.7 0.83 34.8 0.83 36.1 0.84 31.4 0.8 31.4 0.8 34.1 0.82 32.7 0.81
RH (%) Data 63 65 64 64 67 69 69 67 68 74 70 70 71 73 71 70 74 70 62 62 57 72 73 65 69
Rs (mm/hari) Data 3.45 3.48 5.08 6.74 2.33 2.31 2.49 2.88 4.29 4.67 5.06 2.22 7.37 2.53 2.58 2.61 5.23 2.54 7.69 3.06 4.95 3.71 2.47 3.08 3.15
w*Rs
2.83 2.85 4.17 5.53 1.89 1.85 2.02 2.33 3.47 3.69 4.05 1.78 5.90 2.02 2.09 2.11 4.18 2.06 6.38 2.54 4.16 2.97 1.98 2.53 2.55
ETo (mm/hari)
2.29 2.32 3.73 4.99 1.29 1.26 1.49 2.01 3.12 2.81 3.82 1.19 4.31 1.39 1.42 1.44 3.12 1.51 6.02 2.18 3.87 2.21 1.13 2.17 2.18
Kc
0.97 0.97 0.97 0.97 0.97 0.97 0.97 0.97 0.97 0.97 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16
ETc (mm/hari) Kc*Eto 2.22 2.25 3.62 4.84 1.25 1.22 1.45 1.95 3.03 2.73 4.43 1.38 5.00 1.61 1.65 1.67 3.62 1.75 6.98 2.53 4.49 2.56 1.31 2.52 2.53
43
Lampiran 3. Lanjutan
Umur
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
T (ºC)
w
Data Lampiran 34.2 0.82 31 0.8 34.2 0.82 32.4 0.81 32.6 0.81 34.8 0.83 33.5 0.82 34.6 0.83 33.5 0.82 34.4 0.82 32.1 0.81 32.2 0.81 32.4 0.81 33.1 0.82 33.3 0.82 30.7 0.8 32.6 0.81 30.2 0.79 31.5 0.81 31.9 0.81 33.3 0.82 33.9 0.82 32 0.81 32 0.81 31 0.8 33 0.82 31 0.8 33 0.82
RH (%) Data 64 73 63 70 69 61 66 63 67 63 73 73 69 66 67 74 66 75 70 70 66 64 69 68 71 64 75 67
Rs (mm/hari) Data 5.64 1.81 5.02 2.55 2.18 2.61 5.58 2.72 2.88 2.87 3.33 4.55 4.74 6.47 5.26 5.38 2.92 2.17 2.11 2.45 2.57 2.64 2.3 2.13 2.02 2.76 5.15 5.61
w*Rs
4.62 1.45 4.12 2.07 1.77 2.17 4.58 2.26 2.36 2.35 2.70 3.69 3.84 5.31 4.31 4.30 2.37 1.71 1.71 1.98 2.11 2.17 1.86 1.73 1.62 2.26 4.12 4.60
ETo (mm/hari)
4.01 0.98 3.85 1.35 1.09 1.81 4 1.98 1.99 2.01 2 2.82 3.23 4.92 3.87 3.21 1.99 1.04 1.24 1.33 1.98 1.99 1.35 1.25 1.09 2.01 3.49 4
Kc
1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85
ETc (mm/hari) Kc*Eto 4.65 1.14 4.47 1.57 1.26 1.54 3.40 1.68 1.69 1.71 1.70 2.40 2.75 4.18 3.29 2.73 1.69 0.88 1.05 1.13 1.68 1.69 1.15 1.06 0.93 1.71 2.97 3.40
44
44
Lampiran 4. Kadar Air Media Tanam pada Setiap Tahap Pertumbuhan Tanaman Melon. Kode Emitter
2 HSPT
30 HSPT
50 HSPT KA (%)
Ma (g)
Mb (g)
70 HSPT
Ma (g)
Mb (g)
Mc(g)
KA (%)
Ma (g)
Mb (g)
Mc (g)
Mc(g)
KA (%)
Ma (g)
Mb (g)
Mc(g)
KA (%)
A1
28.1
26.9
24.4
48.0
26.7
25
22.9
81.0
26.8
25.4
23
58.3
29.2
27.8
25.4
58.3
A2
26.6
25.8
23.2
30.8
28.1
26.1
23.2
69.0
26.9
25.8
23.2
42.3
29.3
27.5
23.6
46.2
A3
26.0
24.9
22.9
55.0
28
25.9
23.5
87.5
29.9
27.3
23.5
68.4
27.9
26.3
23.5
57.1
A4
26.7
25.6
24.1
73.3
29
26.7
22.9
60.5
25.8
25.1
23
33.3
29.8
27.8
24.2
55.6
A5
27.5
26.1
23.5
53.8
29.9
27.8
24.1
56.8
28.3
26.7
24
59.3
28.1
26.8
23.4
38.2
B1
26.9
25.8
24.1
64.7
28.3
26.2
23.2
70.0
33.1
29.6
23.2
54.7
29
27.5
24.5
50.0
B2
28.0
25.9
22.6
63.6
31.9
29.5
25.5
60.0
30.5
29.1
25.5
38.9
30.2
27.8
22.5
45.3
B3
29.5
27.6
24.6
63.3
30
27.8
23.8
55.0
28.0
26.6
23.9
51.9
28.6
27.2
23.9
42.4
B4
27.6
26.2
23.3
48.3
28.8
26.2
22.1
63.4
27.2
25.5
22.1
50.0
26.8
25.9
23.2
33.3
B5
27.6
26.1
24
71.4
28.3
26
22.6
67.6
27.6
25.9
22.6
51.5
27.1
25.5
21.9
44.4
C1
27.5
26.1
22.8
42.4
27.9
26.4
22.7
40.5
27.0
25.7
22.7
43.3
28
26.2
22.7
51.4
C2
27.0
26.1
23.9
40.9
26.7
25.8
23.4
37.5
27.6
26.6
23.4
31.3
25.8
25.1
23.5
43.7
C3
26.9
26.2
24.3
36.8
30.9
29.1
24.4
38.3
31.7
29.7
24.4
37.7
27.6
26.3
23.1
40.6
C4
26.9
25.9
23.5
41.7
28.8
27.4
24
41.2
30.5
28.8
24
35.4
28.2
27
24.3
44.4
C5
27.3
26.4
24.3
42.9
29.7
28.2
24.4
39.5
30.7
29.0
24.4
37.0
26.8
25.6
21.8
31.6
D1
29.4
26.8
23.4
76.5
30.2
27.2
23.1
73.2
30.9
27.4
23.1
81.4
29.5
27.3
24.3
73.3
D2
27.0
25.5
23.2
65.2
27.8
25.8
22.9
69.0
26.3
24.9
22.8
66.7
26.9
25.2
22.6
65.4
D3
27.9
26.6
24.7
68.4
25.8
24.6
21.8
42.9
25.8
24.5
21.8
48.1
30.5
28.4
23.4
42.0
D4
27.3
25.9
24.1
77.8
30
27.7
23.9
60.5
28.0
26.8
23.9
41.4
28.6
27.2
23.9
42.4
D5
28.9
26.8
23.6
65.6
29.3
27.1
23.9
68.7
30.8
28
23.9
68.3
30.3
27.6
23.9
73.0
E1
28.4
26.4
23.9
80.0
27.4
25.6
23.7
94.7
29.5
27.3
23.7
61.1
30.3
27.5
23
62.2
E2
27.9
25.8
23.1
77.8
27.5
25.9
23.7
72.7
30.3
27.4
23.7
78.4
27
25.7
23.3
54.2
E3
28.3
26.7
24.5
72.7
30.1
27.6
24.1
71.4
29.5
27.3
24.1
68.8
28.6
26.4
22.8
61.1
E4
29.2
26.8
23.5
72.7
31
28.3
23.8
60.0
31.0
28.3
23.7
58.7
31.5
28.7
23.9
58.3
E5
32.2
28.9
24.3
71.7
28.5
27
23.5
42.9
29.6
28.0
23.5
35.6
27.8
26.3
23.6
55.6
45
Lampiran 5. Debit Emitter pada Pengujian dengan Tanaman Melon Kode Emitter Legacy Colosal Parasut Kyramat Veronica
Debit per emitter 1.08 0.52 0.04 1.38 1.60
R² 0.997 0.999 0.998 0.95 0.968
45
46
Lampiran 6. Data Pertumbuhan Tanaman a. Emitter dengan Bahan Porus Legacy Umur (HSPT) 3 5 6 9 12 15 18 21 24 27 Laju
Tinggi Tanaman (cm)
Jumlah Daun
A1 A2 A3 A4 A5 A1 A2 A3 A4 A5 10.5 5.6 7 8 9 4 4 4 4 4 21 15 12 16 27.5 7 6 5 6 7 38 27.5 20 32 50 8 8 6 8 10 54 40 35 43 73 10 10 7 10 13 75 64 61 70 101 14 14 9 14 16 108 91 79 105 151 17 17 11 18 20 143 121 101 134 180 21 21 15 22 24 167 137 118 159 205 25 24 19 27 29 192 158 142 177 224 28 27 22 30 32 211 176 161 192 244 31 30 25 33 35 21.1 17.6 16.1 19.2 24.4 3 3 3 3 4
b. Emitter dengan Bahan Porus Colosal Umur (HSPT) 3 5 6 9 12 15 18 21 24 27 Laju
Tinggi Tanaman (cm) B1 9.5 21 32 46 79 107 142 171 192 211 21.1
B2 9.5 16 23 36 61 83 113 135 156 174 17.4
B3 8.8 17 30 51 83 110 132 163 185 209 20.9
B4 9 20 39 56 91 143 172 201 220 244 24.4
Jumlah Daun B5 7.5 18 39 67 100 152 187 217 240 258 25.8
B1 4 6 8 10 14 17 22 25 28 31 3
B2 4 6 7 9 12 14 18 21 24 27 3
B3 4 6 7 9 14 14 18 21 24 27 3
B4 4 6 8 11 15 17 21 24 27 30 3
B5 4 6 8 12 16 20 25 28 31 34 3
c. Emitter dengan Bahan Porus Parasut Umur (HSPT) 3 5 6 9 12 15 18 21 24 27
C1 7 18 34 46 81 97 127 149 171 188
Tinggi Tanaman (cm) C2 C3 C4 9 6 7 21 11 16 33 20 31 45 34 44 78 68 66 93 85 90 129 102 115 152 117 138 171 130 151 183 142 163
C5 9 13 27 36 62 87 108 130 142 154
C1 4 6 8 10 13 15 19 22 25 28
Jumlah Daun C2 C3 C4 4 4 4 6 5 5 8 6 8 10 8 9 13 11 11 14 13 13 19 16 17 22 19 21 25 22 24 28 25 27
C5 4 5 6 8 10 12 15 18 20 22
47
d. Emitter dengan Bahan Porus Kyramat Umur (HSPT) 3 5 6 9 12 15 18 21 24 27
Tinggi Tanaman (cm) D1
D2
D3
8 20 33 55 86 100 128 152 173 192
8 17 30 40 80 102 138 160 184 202
7 22 39 61 94 139 175 206 225 239
Jumlah Daun
D4 9 23 41 65 97 142 178 207 230 247
D5 8 14 26 37 69 85 110 137 162 176
D1
D2
4 6 7 10 12 16 20 23 26 29
D3
4 6 8 10 14 18 23 26 29 32
D4
4 6 9 12 14 19 24 28 31 34
D5
5 7 11 12 16 20 25 29 32 35
4 5 7 9 12 14 19 23 27 30
e. Emitter dengan Bahan Porus Veronica Umur (HSPT) 3 5 6 9 12 15 18 21 24 27
Tinggi Tanaman (cm) E1 11 28 45 70 108 159 186 211 232 251
E2 7 17 34 52 99 141 159 187 208 225
Jumlah Daun
E3
E4
E5
8 17 29 49 97 140 165 189 209 224
8 13 20 34 76 95 120 144 164 179
9 16 28 47 78 90 116 135 148 161
E1 5 7 10 12 18 22 27 31 33 36
E2 4 6 8 11 14 17 21 25 27 30
E3 4 6 8 10 14 16 21 25 27 30
E4 4 5 7 9 13 16 20 24 26 29
E5 4 5 7 9 13 15 19 22 24 27
48
f. Panjang Tulang Daun Ruas ke 13 Kode Emitter A1 A2 A3 A4 A5 B1 B2 B3 B4 B5 C1 C2 C3 C4 C5 D1 D2 D3 D4 D5 E1 E2 E3 E4 E5
Panjang Tulang daun Ruas ke 13 13 12 11 14 13 13 11 12 15 14 12 11 9 9 7.5 12 13 14.5 14 12 13.5 12 13 12 11
49
Lampiran 7. Data Berat Buah dan Produktivitas air Kode Emitter A1 A2 A3 A4 A5 B1 B2 B3 B4 B5 C1 C2 C3 C4 C5 D1 D2 D3 D4 D5 E1 E2 E3 E4 E5
Berat Buah (gram) 987 808 852 965 963 605 627 1788.3 848 682 989 314 343.0 255 312 807 908 624 681 877 1524 1113 1087.8 709.5 513
Air Irigasi (liter) 1940.4 1940.4 1940.4 1940.4 1940.4 943.2 943.2 943.2 943.2 943.2 943.2 79.2 79.2 79.2 79.2 2487.6 2487.6 2487.6 2487.6 2487.6 2876.4 2876.4 2876.4 2876.4 2876.4
Produktivitas (Kg/m³) 0.51 0.42 0.44 0.50 0.50 0.64 0.66 1.90 0.90 0.72 1.05 3.96 4.33 3.22 3.94 0.32 0.37 0.25 0.27 0.35 0.53 0.39 0.38 0.25 0.18
50
Lampiran 8. Panjang Akar Kode Emitter A1 A2 A3 A4 A5 B1 B2 B3 B4 B5 C1 C2 C3 C4 C5 D1 D2 D3 D4 D5 E1 E2 E3 E4 E5
Panjang Akar (cm) 91 45 47 92 44 134 79 46 54 78 31 58 51 90 38 20 55 93 35 42 80 74 54 51 46
51
Lampiran 9. Layout Jaringan Irigasi di greenhouse a. Gambar Tampak Atas Jaringan Irigasi cincin
52
b. Gambar Layout Jaringan Irigasi Cincin untuk satu pipa lateral
c. Gambar Detail Irigasi Cincin
53
RIWAYAT HIDUP Reskiana, lahir di Kota Makassar pada tanggal 26 September 1985 merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Saefuddin dan Harlina. Tahun 2008 penulis meraih gelar sarjana dibidang mekanisasi pertanian di Universitas Hasanuddin dan 2009 penulis diterima sebagai dosen tetap yayasan di Universitas Islam Makassar. Pada tahun 2012 melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Departemen Tenik Sipil dan Lingkungan dengan sponsor beasiswa Studi Pascasarjana (BPPS) DIKTI Anggaran 2012 dan berhasil merampungkan studi selama kurang lebih 2 Tahun dengan judul penelitian “Desain dan Uji Kinerja Emitter Cincin” dibawah bimbingan Prof. DR. Ir. Budi Indra Setiawan dan DR. Satyanto K.Saptomo, S.TP., M.Si yang mana penelitian tersebut dibiayai oleh Proyek Penelitian KKP3N Based Contract Nomor : 701/LB.620/I.1/2/2013 Tanggal 25 Februari 2013 dan 61/PL.220/I.1/3/2014 Tanggal 10 Maret 2014. Karya ilmiah yang berjudul “Uji Kinerja Emitter Cincin” telah diterbitkan pada Jurnal Irigasi pada Edisi I Tahun 2014. Sebelum melanjutkan studi Pascasarjana di IPB, penulis juga aktif mengkikuti pelatihan keilmiahan dan profesi diantaranya : Program Magang Dosen DIKTI yang dilaksanakan pada 19 Maret- 4 Agustus 2012 di Institut Pertanian Bogor, Pelatihan Bahasa Ingris Batch 2 DIKTI yang dilaksanakan dari 19 September – 19 Desember 2011 di Universitas Negeri Malang, Peserta Workshop Penyusunan Proposal Pengabdian Masyarakat (PPM) DIT.LITABMAS DIKTI pada 13 – 14 Januari 2012 dan Pelatihan Penulisan Jurnal Internasional yang diselenggarakan atas kerjasama Universiti Utara Malaysia dan Universitas Islam Makassar pada tanggal 22 – 23 Desember 211.