SK Sulistyaningrum dkk
Dermatitis kontak iritan dan alergik pada geriatri
Tinjauan Pustaka
DERMATITIS KONTAK IRITAN DAN ALERGIK PADA GERIATRI SK Sulistyaningrum, Sandra Widaty, Wieke Triestianawati, Emmy Soedarmi S. Daili Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo
ABSTRAK Dermatitis kontak (DK) merupakan penyebab kelainan kulit dan pruritus yang kerap dijumpai pada populasi geriatri. Regenerasi kulit yang melambat dan masa pemulihan yang lebih panjang pada kulit yang menua mempengaruhi manifestasi klinis dan keparahan DK pada geriatri. Risiko kejadian dermatitis kontak alergik (DKA) meningkat dengan riwayat pajanan terhadap bahan sensitizer yang telah terjadi sepanjang usia dan peningkatan penggunaan berbagai obat topikal. Namun penurunan respons imun pada geriatri, sebenarnya menurunkan risiko DKA. Dermatitis kontak iritan (DKI) tidak memerlukan fase sensitisasi dan risikonya meningkat pada populasi geriatri akibat perubahan struktur dan fungsi proteksi kulit. Diagnosis DKI mudah ditegakkan pada kontak iritan kuat, misalnya asam kuat, karena gejala timbul beberapa menit setelah pajanan. Diagnosis menjadi sulit ditegakkan pada kontak iritan lemah yang menyebabkan dermatitis kronik atau subakut, misalnya pada cuci tangan berulang. Pengobatan DK meliputi penghindaran bahan iritan dan alergen, penggunaan pelembab, kortikosteroid topikal, dan bahan imunosupresif nonsteroid. Pencegahan juga merupakan bagian penting dari tatalaksana DK pada geriatri (MDVI 2011; 38/1:29-40) Kata kunci: Dermatitis kontak, geriatri, iritan, alergen.
ABSTRACT Contact dermatitis (CD) is a significant cause of skin disease and pruritus in geriatric patients. The slower turnover rate of aged skin and prolonged recovery time after barrier insults influence the clinical manifestation and severity of CD in elderly. Geriatric risk for allergic contact dermatitis (ACD) is increased by longer exposure history to potential sensitizers and an increased use of topical moisturizers and medications. However, certain factors, such as a diminished immune response, actually decrease the risk of ACD. Irritant contact dermatitis (ICD) does not require sensitization and the risk is increase in elderly due to changes in structure and barrier function. The diagnosis of ICD is easily made when contacted to potent irritants, such as an acid splash, which manifest symptoms within minutes of exposure. The diagnosis is considerably more difficult to make, however, when contacted to minor irritants, causing subacute to chronic dermatitis, such as because of frequent hand washing. Treatment of CD consists of avoiding the known irritants or allergens, using moisturizers, topical corticosteroids or, nonsteroids immunosuppressive agents. Prevention plays an important role in management CD among elderly. (MDVI 2011; 38/1:29-40) Key words: Contact dermatitis, elderly, irritans, allergens.
Korespondensi: Jl. Diponegoro 71 Jakarta Pusat Telpon/fax: 021-31935383 Email:
[email protected]
29
MDVI
PENDAHULUAN Dermatitis kontak merupakan kelainan yang sering ditemui. Di Amerika, angka kejadian dermatitis kontak sekitar 20% pada populasi umum.1,2 Pada populasi geriatri, angka kejadian berkisar 11%, meliputi dermatitis kontak adalah alergik (DKA) dan dermatitis kontak iritan (DKI).3 DKA dan DKI merupakan dua varian utama dermatitis kontak. Meskipun mekanisme patogenesis keduanya berbeda, namun kerap kali sulit dibedakan secara klinis, histologis maupun di tingkat molekuler.2,4 Fenomena tersebut menyebabkan diagnosis dermatitis kontak menjadi masalah yang menarik dan kompleks. Anamnesis dan pemeriksaan penunjang, yaitu: uji tempel dapat berperan penting dalam diagnosis DKA dan DKI. Dermatitis kontak merupakan penyakit yang bersifat multifaktorial. Selain adanya pajanan terhadap alergen dan iritan, banyak faktor individual dan lingkungan yang turut berperan dalam perkembangan penyakit tersebut.5 Dermatitis kontak pada geriatri memiliki kekhususan. Pada populasi geriatri terjadi proses menua yang menyebabkan adanya perubahan degeneratif secara struktural, fisiologis, dan imunologis.3,6,7 Perubahan tersebut terjadi secara alamiah akibat penuaan intrinsik dan akumulasi kerusakan ekstrinsik oleh faktor lingkungan seiring bertambahnya usia.8,9 Adanya perubahan struktur dan fisiologi kulit pada proses menua serta penuaan imunologis (imunosenecence) mempengaruhi kejadian dan manifestasi klinis dermatitis kontak pada pasien geriatri. Di sisi lain, pola kepekaan individu secara spesifik terhadap materi tertentu adalah proses yang dinamis. Pajanan terhadap sensitizer dan iritan secara kumulatif terus berlangsung sepanjang hidup.3,10 Dari berbagai kepustakaan ditemukan bahwa pembahasan dermatitis kontak pada geriatri seringkali merujuk pada kepustakaan umum dermatitis kontak, baik dalam patofisiologi, gambaran klinis maupun diagnosis. Tinjauan pustaka ini akan membahas dermatitis kontak meliputi patofisiologi secara umum, berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian, diagnosis dan tatalaksana pada pasien geriatri.
DERMATITIS KONTAK PADA GERIATRI Dermatitis kontak merupakan pola respons inflamasi pada kulit akibat kontak dengan faktor eksternal.11,12 Dermatitis kontak merupakan salah satu penyebab kelainan kulit dan pruritus pada populasi geriatri.13 Penelitian tentang kejadian dermatitis kontak pada populasi geriatri sangat terbatas. Fitzpatrick pada tahun 1989 mendapatkan prevalensi dermatitis kontak pada populasi geriatri sebesar 11%, baik tipe iritan maupun alergik.14 Berbagai penelitian yang dilakukan pada tahun 1999-2003, menemukan kekerapan kejadian DKA berkisar antara 34% sampai dengan 64%.10,15,16 Sementara
30
Vol. 38.No.1 Tahun 2011: 29-40
itu, di Divisi Geriatri Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM terdapat 148 (8,4%) kasus dermatitis kontak dari total 1760 pasien selama kurun periode September 2008 – Oktober 2009. Dermatitis kontak diidentifikasi dalam dua varian utama, yaitu iritan dan alergik berdasarkan keterlibatan sistem imun spesifik.17 Sebagian besar kepustakaan yang tersedia, baik kepustakaan khusus mengenai dermatitis kontak,1,2,18 kepustakaan dermatologi secara umum,2,3 maupun kepustakaan geriatri4,5 yang membahas mengenai dermatitis kontak, tidak menyebutkan adanya perbedaan patofisiologi dermatitis kontak pada populasi anak, dewasa, dan geriatri. Namun, perubahan struktur dan fisiologi kulit dan imunosenescence akibat proses menua dapat berpengaruh terhadap kekerapan dan manifestasi klinis dermatitis kontak. Tabel 1 memberikan gambaran perbandingan DKI dan DKA secara umum pada populasi geriatri.17 Tabel 1. Dermatitis kontak iritan dan alergik pada populasi geriatrik Irritant Immunology Not immunologically mediated Time interval to reaction Variable Sensitization period None Common symptoms Burning, stinging Relative risk in the elderly Increased Common agents Water, detergents, Solvents
Allergic Type IV (delayed hypersensitivity 24-48 h in a previously sensitized individual Approximately 1-3 wk from initial exposure Pruritus Decreased Nickel, plants (especially the Toxicodendron genus), topical medicaments, cosmetics, clothing
Created for Geriatrics by Scalf LA and Shenefelt PD, based on Rietschel RL
PATOFISIOLOGI Patogenesis dermatitis kontak melibatkan pajanan terhadap alergen dan iritan, faktor endogen dan lingkungan yang berinteraksi secara dinamis. Secara patofisiologi dermatitis kontak dibedakan menjadi dermatitis kontak alergik (DKA) yang merupakan respons kontak terhadap alergen pada individu yang telah tersensitisasi dan dermatitis kontak iritan (DKI) yang diakibatkan pajanan terhadap iritan.2
DERMATITIS KONTAK IRITAN Pada DKI, pajanan pertama terhadap iritan telah mampu menyebabkan respons iritasi pada kulit.21 Sel T memori tidak berperan dalam timbulnya DKI.6 Terdapat empat mekanisme utama yang saling berinteraksi dalam
SK Sulistyaningrum dkk
kejadian DKI: kehilangan lipid dan substansi pengikat air epidermis, kerusakan membran sel, denaturasi keratin pada epidermis, dan efek sitotoksik langsung.21 Telah dibuktikan bahwa sistem imun nonspesifik berperan dalam patogenesis DKI.7,8 Pajanan terhadap iritan menyebabkan reaksi inflamasi berupa vasodilatasi dan infiltrasi sel pada dermis dan epidermis akibat pelepasan sitokin proinflamatorik IL-1 sebelum terjadi kerusakan kulit. Sel-sel yang berperan dalam proses ini adalah keratin, makrofag, netrofil, eosinofil, dan sel T naïve. Gambaran histologis respons inflamasi DKI berupa spongiosis dan pembentukan mikrovesikel.26 Gambaran perbedaan keterlibatan berbagai sitokin pada DKI dan DKA ditampilkan pada tabel 2.4 Tabel 2. Sitokin, kemokin dan growth factor pada DKI dan DKA.4
Alat dan Bahan
DERMATITIS KONTAK ALERGIK Kelainan alergi kulit pada usia lanjut dapat timbul akibat kontak dengan alergen tertentu. Dermatitis kontak alergik (DKA) merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemui pada usia lanjut.9,13 Walaupun individu usia lanjut mengalami fenomena immunosenescence sehingga lebih sulit tersensitisasi pada kondisi eksperimental, namun individu tersebut telah mendapatkan pajanan alergen selama bertahun-tahun secara kumulatif. Keadaan sensitisasi akibat pajanan alergen potensial ini dapat bertahan seumur hidup. Respons alergik yang adekuat pada pajanan berikutnya dapat berkembang menjadi dermatitis kontak.13 Hal tersebut menerangkan beberapa penelitian
Dermatitis kontak iritan dan alergik pada geriatri
yang mendapatkan angka kejadian meningkat pada populasi geriatri. 10,11,13 Secara umum patofisologi DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed type) yang diperantarai komponen selular (sel T).17,20 Proses tersebut dapat diamati dalam 3 fase, yaitu fase aferen, fase eferen, dan fase resolusi. Pada fase aferen atau fase sensitisasi, hapten melakukan penetrasi ke kulit dan membentuk kompleks dengan protein karier epidermis, membentuk alergen. Molekul MHC II atau HLA-DR pada permukan antigenpresenting Langerhans cells (LCs) berperan sebagai tempat melekat alergen tersebut.2,20 Sel Langerhans kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening (KGB) untuk mensensitisasi sel T naïve. Sel T tersensitisasi ini, meliputi sel Th1(CD4) dan sel Tc1(CD8), kemudian bermigrasi ke kulit. Fase eferen atau fase elisitasi terjadi pada pajanan ulang alergen kontak pada kulit. Alergen ini kemudian dipresentasikan oleh sel Langerhans dan dikenali sel T tersensitisasi yang akan menginduksi reaksi. Reaksi inflamasi ini diperantarai komponen selular sistem imun spesifik.2,24 Respons inflamasi yang terjadi melibatkan migrasi berbagai sel inflamatorik dan pelepasan sitokin oleh keratinosit apoptotik. Gambaran histologis yang ditemui pada DKA dapat berupa spongiosis dan infiltrat pada dermis. Gambaran perbedaan keterlibatan berbagai sitokin pada DKI dan DKA ditampilkan pada tabel 2. Fase resolusi ditandai peningkatan IFN γ dan prostaglandin (PGE) yang menghambat produksi IL-2 dan menghambat aktivitas natural killer cell (sel NK). Reaksi diakhiri dengan mekanisme down-regulasi sel T. Adanya deskuamasi lapisan kulit yang mengandung alergen kontak, degradasi enzimatik terhadap alergen, dan mekanisme regulasi imun lainnya yang belum sepenuhnya diketahui turut berperan dalam fase ini.2
BERBAGAI FAKTOR PADA POPULASI GERIATRI Agen Dermatitis kontak merupakan respons kulit terhadap kontak dengan faktor luar, dalam hal ini iritan dan alergen. Iritan merupakan senyawa kimia, bahan biologik, pajanan suhu tinggi, maupun tekanan/trauma fisik yang dapat menyebabkan disintegrasi membran atau mengganggu proses metabolik pada dermis dan epidermis.21 Umumnya iritan merupakan molekul yang berukuran kecil.22 Iritan harus mampu melakukan penetrasi pada stratum korneum, kemudian mencapai lapisan hidup dari epidermis yang menyebabkan respons inflamasi diperantarai sistem imun nonspesifik. Iritan yang sering ditemui sehari-hari berupa: suhu tinggi, kelembaban, gesekan, deterjen, asam dan alkali, pelarut organik, garam organik
31
MDVI
dan inorganik.24 Pada populasi geriatri, iritan umum yang ditemukan meliputi sodium lauryl sulphate (SLS) pada deterjen, berbagai pelarut, air, dan kosmetika.12,17 Alergen merupakan suatu zat yang dapat menginduksi respons imun spesifik.13 Tidak semua benda asing yang dapat berpenetrasi ke kulit merupakan antigen. Sebagian besar alergen adalah hapten, yaitu suatu senyawa sederhana yang harus berikatan kovalen dengan protein karier untuk menjadi antigen yang mampu mensensitasi respons imun spesifik. Ukurannya berkisar 500 dalton.2 Saat ini telah ditemukan lebih dari 3700 bahan kimia yang dapat menginduksi terjadinya dermatitis kontak.14 Tidak semua substansi elektrofilik dan terikat protein adalah hapten. Sifat alami dari determinan antigenik, tipe ikatan yang dimiliki hapten dengan protein pembawa, konfigurasi 3 dimensi akhir konjugat, dan beragam faktor yang tidak diketahui berkontribusi terhadap sifat antigenik suatu zat kimia. Protein pembawa hapten juga memegang peranan penting. Sebagai contoh, contact sensitizer yang kuat, apabila membentuk kompleks dengan pembawa nonimunogenik akan menginduksi toleransi, bukan sensitisasi.15,20 Beberapa alergen yang lebih sering ditemukan menjadi penyebab DKA pada populasi geriatri dibandingkan pada populasi muda, yaitu: neomisin, lanolin alkohol, campuran paraben, dan phenoxy-ethanol.20 Kepustakaan lain menyebutkan bahwa nikel, tanaman tertentu (misalnya Toxicodendron sp), rejimen topikal, kosmetika, dan bahan pakaian sintetik merupakan alergen utama pada populasi geriatri.16,17 Alergi terhadap para-phenylenediamine yang digunakan pada pewarna hitam untuk rambut dapat memberikan reaksi berat dengan pembengkakan wajah dan daerah periorbital yang dimulai dalam hitungan jam sampai hari setelah pajanan pewarna tersebut. Pasien dengan riwayat alergi terhadap senyawa ini harus menghindari pewarnaan rambut yang bersifat permanen.13 Kondisi pajanan iritan maupun alergen juga mempengaruhi respons kulit individu. Sebagai contoh, oklusi suatu zat pada kulit meningkatkan risiko iritasi maupun
32
Vol. 38.No.1 Tahun 2011: 29-40
sensitisasi kulit.17 Keasaman (pH) suatu senyawa yang jauh dari pH normal kulit (pH normal 4,5-5), baik terlalu asam maupun basa, meningkatkan sifat iritatif suatu senyawa, contohnya asam kuat dan basa kuat. Ukuran molekul yang lebih kecil, kelarutan dalam lemak, jumlah dan konsentrasi yang meningkat, durasi pajanan yang lebih panjang, serta jarak antar pajanan yang lebih pendek juga meningkatkan reaksi kulit.21 Pada populasi geriatri, rejimen topikal kerap menjadi penyebab dermatitis kontak. Media/ zat pembawa partikel agen juga mempengaruhi potensi iritatif maupun alergik suatu senyawa. Panas dan kelembaban yang tinggi kerap menjadi faktor pencetus timbulnya dermatitis kontak pada populasi geriatri. 17
KULIT MENUA DAN IMMUNOSENESCENCE Kulit merupakan seperenam dari berat badan total, merupakan organ yang paling terlihat sebagai indikator usia. Kulit merupakan struktur yang kompleks dan dinamis. Kulit berperan sebagai sawar antara lingkungan internal dan eksternal. Selain itu kulit juga berperan pada regulasi homeostasis, mencegah kehilangan cairan perkutan, elektrolit dan protein, termoregulator, persepsi sensorik, dan surveillance imunitas.3,17 Sebagaimana organ lainnya, kulit menua mengalami perubahan degeneratif yang progresif secara struktural dan fisiologis.3,18,19 Menua adalah suatu fenomena kompleks yang bersifat multifaktorial. Perubahan tersebut merupakan akibat penuaan intrinsik alamiah secara biologis, mekanis akibat perilaku/gerakan otot berulang yang terus menerus dan akumulasi penuaan ekstrinsik akibat pajanan matahari, polusi, radikal bebas, stres lingkungan yang terjadi seiring bertambahnya usia. Hal ini menyebabkan penurunan fungsi sawar, melambatnya regenerasi sel epidermal, penurunan respons terhadap trauma, penurunan bersihan zat kimia, penurunan persepsi sensoris, berkurangnya fungsi pengaturan suhu, serta penurunan produksi sebum dan vitamin D.3,20,21 Perubahan yang terjadi pada kulit menua terangkum dalam tabel 3.3
SK Sulistyaningrum dkk
Dermatitis kontak iritan dan alergik pada geriatri
Tabel 3. Perubahan yang terjadi pada kulit yang menua3 Physiologic change Thinning of epidermis and dermis
Pathologic change
Clinical significance
Increased vulnerability to mechanical
Increased incidence of skin tears
trauma, especially shearing and friction Flattening of dermal papillae
Increased risk of blister formation
Increased susceptibility to infection
Slowdown in turnover rate of epidermis; decrease in ratio
Delayed cellular migration and proliferation
Increased time to re-epithellafization
of proliferative-10-differentiated keratinocytes
Decreased wound contraction
Longer healing times after injury or surgery
Decrease in elastin fibers
Loss of elasticity
Lax skin and wrinkling, with loss of self-esteem and or depression
Decrease in vascularity and supporting
Fragile, easily broken blood vessels
Skin easily bruised (senile purpura)
structures in dermis
Decreased wound capillary growth
Increased risk of wound dehiscence
Decrease in vascular plexus, blunied capillary loops
Loss of thermoregulatory ability
Hypothermia, heat stroke
Changes in and loss of collagen and elastin fibers
Decreased tensile strength, lower layers more
Increased risk of pressure damage to elderly skin,
susceptible to injury
decubitus ulcers
Delayed collagen remodeling
Longer healing times after injury or surgery
Impaired inflammatory response
Impaired wound healing
Impaired delayed hypersensitivity reaction
Increased risk of severe injury from irritants
Decreased production of cytokines
Impaired immune function
Decrease in numbers of Langerhans cells
Increased susceptibility to photocarcinogenesis, false-
Impaired neurologic responses
Reduced sensation
Increased risk of thermal or other accidental injury
Decreased skin thickness
Loss of cushioning and support
Increased risk of pressure damage, decubitus ulcers
Impaired immune response
negative delayed hypersensitivity tests
Increased susceptibility to skin tears, bruising Osteoporosis and bone fractures Decreased vitamin D precursor production Atrophy of sweat glands
Decreased sweating
Less ability so thermoregulate, hypothermia
Reduced stratum corneum lipids
Decreased ability to retain water
Dry skin, xerosis
Structural changes in stratum corneum
Altered barrier function
Variable response to topical medications, altered
Reduced movement of water from dermis to epidermis
Reduced epidermal hydration
Dry skin, xerosis
Loss of ability to tan, greater susceptibility to solar
Cutaneous neoplasma
Dry skin, xerosis
sensitivity to irritants Decrease in melanocytes
radiation Graying hair
Pada kulit menua terjadi penipisan epidermis akibat rete ridges yang mengalami retraksi dan mendatar; terjadi penurunan regenerasi stratum korneum, dan epidermal turn-over rate menurun hingga 50%. Keadaan tersebut menyebabkan stratum korneum yang terbentuk suboptimum sehingga mudah terjadi kerusakan pada epidermis. Selain itu terjadi penumpukan keratinosit senescense resisten terhadap apoptosis, yang akan menyebabkan akumulasi kerusakan protein dan DNA. Terjadi pula penurunan filagrin, penurunan kemampuan mengikat air, dan penurunan jumlah melanosit.3,36,38 Kulit menua mengalami perubahan pada dermis yang ditandai oleh serabut kolagen dan elastin yang jarang, jumlah fibroblas yang berkurang, peningkatan enzim metalo-proteinase, serta berkurangnya glikosaminoglikan (terdiri atas: asam hialuronat dan dermatan sulfat). Secara umum, terjadi penipisan dermis dan lapisan lemak sub-
Loss of self-esteem
kutan sehingga kulit kehilangan turgor dan tampak kendur. Fungsi kulit sebagai shock absorber, insulator dan termoregulator pun menurun. Terjadi pula penurunan fungsi dan jumlah kelenjar apokrin dan degenerasi selular yang menyebabkan penurunan produksi keringat, serta penurunan aktivitas kelenjar sebasea dalam menghasilkan sebum.9,38 Selain itu, terjadi atrofi pembuluh darah progresif disertai pemendekan lengkung kapiler. Perubahan pada tingkat mikrovaskular ini menyebabkan bersihan zat kimia pada orang tua menjadi lebih lambat. Perubahan lain terjadi pada sistem saraf tepi. Penurunan persepsi sensorik pada kulit menua akibat berkurangnya badan Meissner menyebabkan menurunnya fungsi kewaspadaan terhadap ambang nyeri. Pada kuku dapat terjadi abnormalitas lempeng kuku, pertumbuhan yang lebih lambat, lebih opak, dan warna menjadi pudar.38
33
MDVI
Transepidermal water loss (TEWL) tidak mengalami peningkatan bahkan mengalami penurunan pada orang tua.40 Mekanismenya belum diketahui secara utuh. Hipotesis yang berkembang menyatakan bahwa penurunan sekresi keringat, penurunan pada mikrosirkulasi, penurunan komponen alami moisturizer kulit misalnya ceramids, dan penurunan suhu kulit secara keseluruhan berkontribusi terhadap penurunan TEWL. Namun bila berbagai faktor tersebut berdiri sendiri, kenyataannya tidak menyebabkan penurunan TEWL. Walaupun TEWL menurun, terjadi penurunan kapasitas ikatan air dan kandungan air dari epidermis pada populasi geriatri yang menyebabkan sering ditemukannya xerosis kutis.22 Proses menua secara keseluruhan menyebabkan gangguan struktural dan fungsional. Suatu survei terhadap populasi sehat berusia 50-91 tahun, menemukan bahwa setiap individu memiliki sedikitnya satu keluhan dermatologis, dan dua-pertiga di antaranya merupakan keluhan yang bermakna secara klinis. Walaupun jarang menjadi fatal, keluhan kulit dapat meningkatkan morbiditas dan berpotensi menurunkan kualitas hidup pasien.23,24 Pada populasi geriatri meskipun TEWL tidak meningkat/bahkan menurun, risiko DKI meningkat disebabkan adanya kerusakan fungsi sawar kulit, bersihan zat kimia yang menurun, keterlambatan proses penyembuhan pasca destruksi sawar, sensasi sensorik yang menurun, serta penurunan sintesis lipid. Adanya kerusakan sawar kulit meningkatkan risiko penetrasi alergen sehingga menyebabkan DKA apabila sensitisasi telah terjadi sebelumnya.17 Pada proses menua terjadi pula perubahan pada imunitas yang dirangkum dalam istilah imunosenescence, yaitu suatu penurunan dan disregulasi fungsi imun terkait bertambahnya usia.Sistem imun sendiri sebenarnya adalah salah satu faktor yang terlibat dalam proses menua. Perubahan sistem imun ini berkaitan dengan perubahan pada sistem hematopoiesis, sistem imun alamiah, sistem imun humoral, serta sistem imun selular (gambar 1, tabel 4 dan 5).25,26,44 Immunosenescence mempengaruhi berbagai sel pada sumsum tulang dan timus, limfosit matur pada pembuluh darah perifer dan organ limfatik, serta imunitas nonspesifik. Secara umum kapasitas regenerasi sel punca menurun dan total jaringan hematopoietik menurun seiring bertambahnya usia.44 Terjadi involusi timus ditandai dengan ukuran yang menurun dan deposit jaringan lemak pada korteks dan medula. Jumlah sel T naïve yang meninggalkan timus juga berkurang. Hal tersebut terkait dengan peningkatan jumlah antigen-experienced memory, dan beberapa sel T efektor CD8+. Terjadi penurunan fungsi dalam produksi IL-2, kemampuan ekspansi, kemampuan proliferasi ditandai pemendekan telomer, dan penurunan diferensiasi menjadi subpopulasi sel T efektor serta peningkatan resistensi terhadap apoptosis, apabila dibandingkan dengan dewasa muda.27 Sebagai konsekuensinya, kemampuan untuk menimbulkan respons imun
34
Vol. 38.No.1 Tahun 2011: 29-40
terhadap antigen spesifik menurun. Selain itu, pajanan berulang terhadap antigen dan patogen membentuk subpopulasi sel T efektor spesifik yang secara langsung berkontribusi pada immunosenescence.28,44 Perubahan sistem imun juga terjadi pada sel B yang bertindak sebagai komponen humoral sistem imun. Meskipun jumlah sel B perifer tidak berubah, namun terjadi perubahan komposisi sehingga lebih banyak didominasi oleh populasi antigen-experienced memory cells. Sel B memori yang lebih resisten terhadap apoptosis terakumulasi pada individu lanjut usia. Meskipun jumlah antibodi tetap pada usia lanjut, terjadi penurunan afinitas akibat pergeseran isotop dari IgG menjadi IgM.29 Sel B pada usia lanjut lebih sulit distimulasi dibandingkan dewasa. Hal tersebut terkait penurunan fungsi sel B, akibat penurunan ekspresi molekul co-stimulatorik seperti CD27 dan CD40. Selain itu, adanya gangguan komunikasi sel T dan sel B menyebabkan penurunan ekspansi sel B dan penurunan diferensiasi sel B dalam merespons antigen. Hal tersebut dikenal dengan kelemahan interaksi antara sel imum terkait usia. 30
Gambar 1. Perubahan pada sistem imun44
SK Sulistyaningrum dkk
Dermatitis kontak iritan dan alergik pada geriatri
Tabel 4. Perubahan pada sistem imun nonspesifik Cell type
Age-related increase
Neutrophils Macrophages NK cells
Total number of cells
Dentritic cells Cytokines and Chemokines
Age-related decrease Oxidative burst Phagocytic capacity Bactericidal activity Oxidative burst Phagocytic capacity Proliferative response to IL2 Cytotoxicity Capacity to stimulate antigen specific T cells Lymph node homing
Serum levels of IL6, IL1β dan TNF-α
Tabel 5. Perubahan pada sistem imun spesifik Cell type T lymphocytes
B lymphocytes
Age-related increase Number of memory and effector cells Expanded clones of effector cells Release of proinflammatory cytokines Autoreactive serum antibodies
Age-related decrease Number of nalve T cells Diversity of the T cell repertoire Expression of co-stimulatory molecules (CD28, CD27, CD40L). Proliferative capacity Generation of B cell precursors Number of narve B cells Diversity of the B cell repertoire Expression of costimulatory molecules (CD27,CD40) Antibody affinity Isotype switch
Secara klinis individu berusia lebih dari 65 tahun mengalami berbagai defek pada fase induksi maupun elisitasi DKA.20 Namun, perlu diingat kembali sensitisasi alergen sebelumnya telah berlangsung sepanjang hidupnya. Sehingga hal ini menerangkan hasil beberapa penelitian, yang menemukan prevalensi DKA yang meningkat pada populasi geriatri. Perubahan menua pada sistem imun nonspesifik terjadi pada netrofil, makrofag, sel dendritik, dan sel natural killer (sel NK). Netrofil merupakan sel berumur pendek yang menjalankan fungsi penting dalam pertahanan tubuh terhadap patogen dan berperan pada proses inflamasi akut. Pada individu usia lanjut, jumlah netrofil tidak berubah bahkan cenderung meningkat, namun fungsi kemotaksis dan adesi menurun.31 Pada makrofag terjadi penurunan molekul MHC kelas II, yang menyebabkan penurunan respons sel CD4+. Jumlah makrofag pada sirkulasi perifer lansia tidak berubah, meskipun jumlah prekusor pada sumsum tulang menurun. Namun terjadi
penurunan kapasitas menjadi 75% dalam produksi anion superoksida dan kemampuan fagositosis.32 Perubahan pada sel dendritik yang berperan penting dalam menghubungkan sistem imun nonspesifik dan spesifik, sebagai antigen-presenting cell (APC) profesional, belum banyak diketahui. Terjadi penurunan jumlah sel Langerhans dan sel dendritik hingga 50% sehingga aktivitas penyajian antigen pun berkurang. Hal tersebut berkaitan dengan berkurangnya produksi sitokin dan growth factor oleh keratinosit dan limfosit serta kegagalan migrasi melalui sistem limfatik.38,40 Namun penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan kapasitas uptake antigen, kemampuan fagositosis, pinositosis, dan kemampuan migrasi sel dendritik pada lansia dibandingkan dewasa, sehingga segmen aferen sistem imun terganggu.44 Jumlah sel NK absolut meningkat pada individu geriatri, namun aktivitas sitotoksik dan produksi IFN γ menurun. Selain itu terjadi penurunan proliferasi dan ekspresi CD39 yang memengaruhi efektivitas sel NK dalam respons imun. Produksi perforin dan TNF-α tidak mengalami perubahan.33,34 Pada DKI, proses menua yang terjadi pada sistem imun nonspesifik (meliputi perubahan pada: netrofil, makrofag, sel dendritik, dan sel NK menyebabkan berkurangnya eritema sebagai tanda iritasi kulit yang dapat diobservasi, namun kerusakan struktur dan sawar kulit yang tidak terlihat secara kasat mata meningkat. Hal tersebut menyebabkan gambaran klinis DKI maupun DKA pada orang tua secara klinis lebih banyak bermanifestasi subakut dan kronik.21
JENIS KELAMIN Berbagai penelitian melaporkan pengaruh jenis kelamin terhadap kejadian dermatitis kontak, namun hasilnya bersifat kontroversial. Penelitian pada populasi geriatri mendapatkan hasil bahwa kejadian dermatitis kontak alergik pada wanita lebih banyak, hal tersebut dikaitkan kerap dengan penggunaan perhiasan yang mengandung campuran logam.35 Penelitian lain yang dilakukan di Italia menemukan bahwa alergen utama pada populasi geriatri sesuai dengan yang ditemukan pada populasi usia muda. Nikel sulfat dan fragrance mix pada populasi wanita, sedangkan pada populasi pria adalah potassium dichromate dan rejimen topikal. Perbedaan kejadian dermatitis kontak pada pria dan wanita, banyak terkait faktor pekerjaan, cara berpakaian, kebiasaan pribadi, budaya, dan pajanan/interaksi dengan lingkungan.10
GENETIK Terdapat satu hipotesis bahwa kemampuan individu untuk menetralisir radikal bebas, menyesuaikan jumlah enzim antioksidan dan membentuk heat shock protein (hsp) dipengaruhi secara genetik. Faktor tersebut memengaruhi
35
MDVI
variabilitas respons individu terhadap berbagai iritan.21 Pada DKA, untuk menginduksi reaksi imun spesifik selain sensitisasi terhadap alergen kontak yang memadai dan pajanan ulang terhadap bahan yang sama pada episode selanjutnya, individu harus memiliki kepekaan secara genetik. 20
KELAINAN KULIT YANG TELAH ADA SEBELUMNYA Xerosis kutis yang kerap dialami oleh populasi geriatri sering menyebabkan fisura maupun disintegritas kulit. Hal tersebut meningkatkan pajanan iritan dan alergen potensial yang dapat menyebabkan dermatitis kontak.17 Kelainan kulit dasar pada pasien, misalnya: dermatitis atopik, ichthyosis, psoriasis, dermatitis stasis, dan ulkus, meningkatkan risiko terjadinya dermatitis kontak pada geriatri.40 Selain itu, berbagai penyakit yang membutuhkan terapi topikal dan penggunaan protese gigi dapat meningkatkan kejadian dermatitis kontak pada populasi geriatri akibat kekerapan pajanan.13
FAKTOR LAIN Selain faktor yang telah dijabarkan satu-persatu di atas, terdapat beberapa faktor lain yang berperan dalam penetrasi bahan dan kejadian dermatitis kontak. Faktor tersebut adalah lokasi tubuh yang mengalami kontak terkait dengan kekerapan kejadian kontak dan TEWL,2 faktor mekanik (misalnya: pemijatan maupun penekanan pada area kontak), adanya berbagai bahan yang berperan baik sebagai iritan maupun alergen, gesekan, serta abrasi kulit. Selain itu, kelembaban yang menurun dan temperatur rendah dapat menyebabkan penurunan kandungan air pada stratum korneum, yang meningkatkan permeabilitas kulit terhadap iritan.21
DIAGNOSIS Dermatitis kontak dapat disebabkan karena alergi atau iritan. Diagnosis biasanya tidak jelas diperoleh dari riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisis saja.13 Anamnesis dan pemeriksaan penunjang, yaitu uji tempel, memberikan kontribusi bermakna dalam menegakkan diagnosis. Meskipun mendapatkan informasi yang relevan mudah pada sebagian pasien, faktanya diagnosis secara tepat membutuhkan rangkaian pertanyaan yang panjang dan teliti untuk mendapatkan petunjuk yang diperlukan.5 Anamnesis teliti dan terarah harus dilakukan untuk mengidentifikasi intensitas, frekuensi, dan lama pajanan pada area yang terpajan.25 Suatu iritan pada saat yang bersamaan dapat pula bersifat sebagai alergen. Hal menarik lainnya adalah adanya DKI dapat meningkatkan kejadian DKA. Hal tersebut terjadi akibat adanya
36
Vol. 38.No.1 Tahun 2011: 29-40
gangguan fungsi sawar kulit yang terjadi sebelumnya akan meningkatkan penetrasi alergen.4 Fenomena ini menyebabkan diagnosis dermatitis kontak menjadi masalah yang menarik dan kompleks. Pembahasan manifestasi dermatitis kontak pada geriatri umumnya mengacu pada gambaran dermatitis kontak secara umum. Gambaran klinis DKI maupun DKA pada orang tua secara klinis bervariasi, dapat berupa bercak eritematosa berskuama tanpa disertai vesikel rasa gatal maupun sensasi terbakar.22 Perubahan sistem imun pada populasi geriatri menyebabkan berkurangnya eritema sebagai tanda iritasi kulit yang dapat diobservasi. Sebagian besar dermatitis kontak bermanifestasi klinis subakut dan kronik.21 Namun apabila terdapat pajanan dengan iritan kuat, misalnya: asam kuat atau basa kuat, dapat bermanifestasi akut berupa vesikel dan area eritematosa yang sesuai pola distribusi pajanan. Gatal merupakan gejala utama dermatitis kontak alergik. Rasa gatal yang dihubungkan dengan alergi kulit harus dibedakan dari penyebab gatal lainnya pada individu usia lanjut, misalnya: rasa gatal akibat xerosis dan penyakit sistemik.13 Identifikasi etiologi dermatitis kontak kerap memerlukan usaha keras dan menjadi tantangan tersendiri. Petunjuk klinis yang paling dapat dipercaya adalah distribusi geografisnya.33 Lokasi dan distribusi dermatitis dapat menjadi petunjuk penting diagnosis dermatitis kontak pada populasi usia lanjut. Dermatitis kontak awalnya terdapat pada area kulit yang terpajan. Namun dalam perkembangannya, dapat menyebar ke tempat lain yang lebih jauh baik dengan kontak yang tidak disengaja, atau dalam kondisi tertentu, misalnya autosensitisasi. Lebih jauh lagi, kulit kepala, telapak tangan, dan telapak kaki yang relatif resisten terhadap dermatitis kontak, dapat menunjukkan karakteristik patologis akibat pajanan agen berulang disertai faktor mekanis misalnya pemijatan.17 Kheilitis dan stomatitis pada orang tua mungkin berkaitan dengan dermatitis kontak terhadap perasa pada pasta gigi, tabir surya, atau bahan gigi palsu.13 Pada DKI, kontak pertama dengan iritan telah dapat menimbulkan kelainan kulit. Diagnosis DKI mudah ditegakkan pada kontak dengan iritan kuat, misalnya: pajanan asam kuat, yang menimbulkan reaksi DKI akut dalam beberapa menit. Namun pajanan iritan lemah kronik yang kerap dialami populasi geriatri menampilkan manifestasi klinis subakut maupun kronik, menjadi lebih sulit didiagnosis.17 Untuk mempermudah diagnosis DKI, Scalf dkk. telah membuat panduan kriteria diagnosis DKI pada geriatri seperti tertuang pada tabel 6. Berbeda dengan DKI, kejadian DKA memerlukan fase sensitisasi, namun kapan fase sensitisasi pada populasi geriatri lebih sulit ditentukan, karena dapat terjadi di sepanjang usia kehidupannya. Fenomena kontak alergik pada uji tempel dengan alergen yang relevan dan pola distribusi yang khas dapat membantu menegakkan diagnosis DKA.17
SK Sulistyaningrum dkk
Dermatitis kontak iritan dan alergik pada geriatri
Tabel 6. Kriteria diagnostik DKI17 Kriteria subyektif mayor Awitan dalam beberapa menit-jam setelah pajanan Gejala: nyeri, rasa terbakar, kesemutan, rasa tidak nyaman disertai gatal terutama pada awal kejadian Kriteria obyektif mayor Makula eritematosa, hiperkeratosis dan fisura disertai vesikulasi Terjadi penyembuhan jika menghindari pajanan yang dicurigai. Hasil uji tempel yang negatif terhadap alergen yang berhubungan
Kriteria subyektif minor Awitan dalam 2 minggu setelah pajanan Beberapa individu dari lingkungan yang sama terkena akibat adanya pajanan secara berkelompok Kriteria obyektif minor Lesi dermatitis dengan batas yang tegas Kecenderungan kecil dermatitis meluas Adanya vesikel di sekitar bercak eritematosa, erosi, bula atau kelainan morfologis lainnya yang ditemukan. Hal ini menandakan perbedaan konsentrasi maupun waktu kontak, yang memberikan gambaran kerusakan kulit yang bervariasi.
berusia lebih dari 65 tahun, menganjurkan pembacaan uji tempel dilakukan pada hari ke-3 dan hari ke-5.16 Penelitan yang dilakukan Wantke dkk. terhadap 1729 subjek menemukan bahwa reaksi uji tempel secara umum pada populasi geriatri menurun jika dibandingkan pada anak dan dewasa muda.15 Pengobatan topikal merupakan salah satu penyebab tersering dermatitis kontak alergi pada orang tua, termasuk neomisin dan kortikosteroid. Namun, reaksi positif uji tempel terhadap rejimen pengobatan topikal umumnya lebih lambat. Hal tersebut menunjukkan pentingnya pembacaan lambat, yaitu sekitar 7-10 hari pada pasien yang menggunakan bahan ini pada uji tempel. Alergi kortikosteroid, khususnya, dapat tidak terdeteksi jika pembacaan lambat tidak dilakukan.13 Biopsi kulit umumnya tidak memberikan banyak manfaat dalam membedakan DKI dan DKA pada populasi orang tua.13,17
TATALAKSANA PEMERIKSAAN PENUNJANG Uji tempel merupakan alat yang sangat berguna untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak pada orang tua.13,17 Tanpa uji tempel, adalah mustahil menggambarkan penyebab DKA secara obyektif. Oleh karena itu, meskipun 105 tahun telah berlalu sejak Jadassohn pertama kali menjelaskan kegunaan uji tempel, pemeriksaan penunjang ini tetap penting untuk diagnosis dermatitis kontak secara tepat.11,13 Sebagai langkah pencegahan uji tempel juga dapat dilakukan sebelum pemberian rejimen topikal pada populasi geriatri, terutama pada pasien yang berisiko tinggi terkena dermatitis kontak, misalnya: pasien dengan dermatitis kronik ekstremitas bawah yang berkaitan dengan stasis vena.13 Secara teknis, uji tempel pada orang tua tidak selalu berbeda dari pasien yang lebih muda. Preparat uji tempel dilepaskan pada jam ke-48. Evaluasi hasil uji tempel dilakukan pada jam ke-48 dan jam ke-72. Pembacaan pertama dapat dilakukan 15-30 menit setelah preparat dilepaskan. Penelitian yang dilakukan oleh Mangelsdorf dkk. pada pasien berusia lebih dari 65 tahun, mendapatkan lebih banyak hasil uji tempel yang positif pada pembacaan jam ke-72. Sekitar 60% baru menunjukkan hasil uji yang positif pada pembacaan kedua. Umumnya kasus positif ditandai eritema dan infiltrat ringan. Edema, pembentukan vesikel sampai bula hampir tidak pernah dijumpai.29 Penelitian oleh Gupta dkk. pada 860 pasien
Identifikasi dan penghindaran bahan iritan maupun alergen yang dicurigai merupakan tahapan utama dalam terapi dermatitis kontak. Pasien harus mendapatkan informasi lengkap mengenai bahan yang harus dihindari. Bagi sebagian besar individu, penghindaran alergen menyebabkan resolusi dermatitis. Perlu dijelaskan pada pasien DKA geriatri, bahwa diperlukan waktu sekitar 3 bulan penghindaran alergen untuk melihat perbaikan tanpa adanya pengobatan tambahan.15,17 Tatalaksana secara umum DKI dan DKA pada pasien geriatri dijabarkan pada tabel 7. Erupsi likenifikasi kronik paling baik diobati dengan pelembab.33 Pelembab telah menjadi satu bagian penting dalam tatalaksana dermatitis kontak. Penggunaan pelembab dapat membantu pemulihan sawar kulit dengan cara meningkatkan hidrasi kulit, mempengaruhi struktur lipid epidermis, dan mencegah absorbsi senyawa eksogen. Pelembab yang mengandung lipid menjadi pilihan utama.25,36 Beberapa pasien tetap membutuhkan terapi simptomatik meskipun telah menghindari alergen penyebab. Untuk pasien yang tidak mampu menghindari alergen yang telah diketahui, terapi imunosupresan (misalnya: kortikosteroid topikal, takrolimus topikal, siklosporin, dan fototerapi) atau perbaikan sawar dapat memberi manfaat.17,25 Pruritus dapat dikontrol dengan antipruritik atau antihistamin oral.33 Antihistamin maupun zat anestesi topikal sebaiknya dihindari karena berisiko menginduksi alergi sekunder pada kulit yang telah mengalami dermatitis. 13
37
MDVI
Vol. 38.No.1 Tahun 2011: 29-40
Tabel 7. Tatalaksana umum DKI dan DKA17 Acute ICD Avoidance of irritants Burrow’s solution Topical corticosteroid ACD Short course of oral prednisone (20- tp 30-d taper) if severe
Chronic Avoidance of irritants Emolients Topical corticosteroids Avoid allergens Emolients
Oral antihistamines (less effective for pruritus In acute flares
Low-to-midpotency topical Corticosteroids
Topical corticosteroids
Avoid long-term oral prednisone
Key: ACD, allergic contact dermatitis, ICD, irritant contact dermatitis. Created for Geriatrics by Scalf LA and Shenefell PD
Pemilihan obat topikal untuk pasien geriatri dengan risiko tinggi dermatitis kontak, memerlukan pengetahuan yang cukup tentang berbagai zat yang umumnya dapat menyebabkan sensitisasi.13 Secara umum, bentuk sediaan salap lebih baik dari pada krim dalam pengobatan dermatitis kontak. Hal ini disebabkan sediaan salap umumnya memiliki potensi sensitisasi lebih rendah dibandingkan sediaan krim.24 Penggunaan kortikosteroid sendiri dapat menyebabkan sensitisasi pada populasi geriatri. Tixocortol dan hidrokortison merupakan agen yang sering menimbulkan sensitisasi. Namun perlu diingat bahwa dapat terjadi reaksi silang antar kortikosteroid. Pada keadaan riwayat alergi terhadap kortikosteroid topikal, uji tempel dapat dilakukan untuk mengidentifikasi jenis kortikosteroid yang dapat ditoleransi pasien. 17 Meskipun kortikosteroid topikal efektif untuk sebagian besar pasien dermatitis kontak, individu dengan keterlibatan lebih dari 25% area permukaan tubuh atau mereka yang terpajan dengan alergen tertentu (sebagai contoh: Toxicodendron oleoresin, yang bertahan secara lokal dalam kulit selama berminggu-minggu setelah pajanan), mungkin membutuhkan kortikosteroid sistemik.33 Kortikosteroid topikal tidak boleh digunakan terus menerus karena dapat menyebabkan takifilaksis dan beberapa efek samping merugikan, misalnya: atrofi dan striae. Kortikosteroid topikal, saat diaplikasikan di wajah, dapat menyebabkan steroid rosasea. Katarak atau glaukoma dapat timbul selama aplikasi kortikosteroid topikal pada area periorbital. Kortikosteroid sistemik berkontribusi terhadap osteoporosis dan peningkatan berat badan, dan dapat memperparah ulkus peptikum, hipertensi, serta diabetes melitus.13 Apabila pasien tidak dapat mentoleransi kortikosteroid atau apabila pengobatan tidak efektif, agen imunosupresif nonsteroid topikal baru, misalnya: takrolimus,
38
fototerapi, atau obat-obat imunosupresif sistemik misalnya siklosporin mungkin diperlukan. Terdapat pula berbagai modalitas terapeutik potensial yang dikembangkan belakangan ini, meliputi obat imunosupresan (FK 506 topikal dan ascomycin), inhibitor aktivitas metabolik selular, inhibitor molekul adesi, aplikasi kulit target dengan sitokin regulator, dan netralisasi sitokin proinflamasi dengan oligonukleotida antisense, antibodi antisitokin atau reseptor sitokin terlarut.33 Namun belum ada publikasi hasil uji klinis terapi dermatitis kontak pada populasi geriatri.
PENCEGAHAN Pasien geriatri dengan dermatitis kontak dianjurkan untuk menghindari pencucian yang sering dan penggunaan bahan yang dapat mengiritasi kulit, misalnya: bahan yang kasar, sabun tipe deodoran, astringent dan losio yang mengandung parfum. Mandi sebaiknya diikuti dengan aplikasi pelembab, baik berupa salap yang lembut atau krim, namun tidak disarankan menggunakan losio. Losio lebih populer dan mudah didapat, namun rejimennya mengandung lebih banyak bahan formulasi tambahan dibandingkan dengan krim/salap yang lembut yang hanya mengandung air dalam vaselin atau minyak mineral. Losio kurang efektif dibandingkan krim dan salap. Losio umumnya mengandung berbagai bahan tambahan yang berpotensi menimbulkan iritasi maupun sensitisasi jika terjadi kontak. Pencegahan dermatitis kontak pada pasien yang berusia tua memiliki juga implikasi pada peresepan. Bahan poten yang mudah mensensitisasi mialnya neomisin harus dihindari pada pasien dengan risiko tinggi seperti mereka dengan ulkus stasis. Beberapa peneliti menganjurkan untuk menghindari penggunaan rutin antibakterial topikal bahkan setelah prosedur operasi. Sebagai contoh, pada prosedur operasi minor penggunaan vaselin album yang disterilisasi lebih dipilih dibandingkan dengan penggunaan basitrasin untuk mengurangi risiko alergi kontak.38 Selain itu perlu diingat adanya reaksi silang antar senyawa. Sebagai contoh, pasien yang alergi terhadap benzocaine harus menghindari substansi yang bereaksi silang meliputi zat anestesi lain (misalnya: procaine). Pasien harus mendapatkan edukasi untuk mengamati respons kulit pada penggunaan berbagai bahan yang sering menyebabkan DKA, misalnya pewarna rambut (paraphenylenediamine), pewarna tekstil (aniline), beberapa tabir surya (campuran para-aminobenzoic acid), serta produk lain. Apabila timbul reaksi kulit, baik berupa rasa gatal dan kemerahan pada kulit, hendaknya menghindari penggunaan ulang bahan tersebut.33
SK Sulistyaningrum dkk
PENUTUP Telah diuraikan berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak pada populasi geriatri. Diagnosis dermatitis kontak pada geriatri merupakan suatu tantangan tersendiri bagi para dokter ahli kulit. Tatalaksana dan pencegahannya memiliki beberapa kekhususan apabila dibandingkan dengan populasi dewasa muda. Dermatitis kontak merupakan satu segmen pengetahuan yang terus berkembang dan sangat luas. Hal tersebut disebabkan perubahan lingkungan yang terjadi seiring waktu dan ditemukannya bahan kimia baru pada berbagai produk konsumsi, industri maupun rumah tangga. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15.
16. 17.
Coenraads PJ, Diepgen T, Uter W, Schnuch A, Gefeller O. Epidemiology. Dalam: Frosch PJ, Menné T, Lepoittevin JP. Contact Dermatitis. Edisi ke-4. New York: Springer, 2006; 10: 135-61. Belsito DV. Contact dermatitis: Allergic and irritant. Dalam: Gaspari AA, Tyring SK, Clinical and Basic Immunodermatology, New York: Springer 2008; 12: 171-92. Farage MA, Miller KW, Berardesca E, Maibach HI. Clinical implication of skin aging: Cutaneous disorders in elderly. Am J Clin Dermatol 2009; 10(2): 73-86. Ale SI, Maibach HI. Irritant Contact dermatitis versus allergic contact dermatitis. Dalam: Chew AL, Maibach HI. Irritant Dermatitis, New York: Springer 2006; 2: 11-7. Mortz CG, Andersen KE. New aspects in allergic contact dermatitis. Current Opinion in Allergy and Clinical Immunology, 2008; 8: 428–32. Helfrich YR, Sachs DL, Voorhees JJ. Overview of skin aging and photoaging. J Derm Nursing 2008; 20(3): 177-83. Worley CA. Aging skin and wound healing. J Derm Nursing 2006; 18(3): 265-6. Farage MA, Miller KW, Elsner P. Structural characteristics of the aging skin: a review. Cutan Ocul Toxicol 2007; 26(4): 343-57. Thakur R, Batheja P, Kaushik D, Michniak B. Structural and biochemical changes in aging skin and their Impact on skin permeability barrier. Dalam: Dayan N, Skin aging handbook: An integrated approach to biochemistry and product development , William Andrew Inc: 2008; 4: 55–90. Tosti A, Pazzaglia M, Silvani S, Dolorenzi F. The spectrum of allergic contact dermatitis in the elderly. J Contact Dermatitis (Contact Points) 2003; 50: 379-81. Lachapelle JM. Historical aspects. Dalam: Frosch PJ, Menné T, Lepoittevin JP. Contact Dermatitis. Edisi ke-4. New York: Springer, 2006; 1: 1-7 Diepgen TL, Weisshaar. Contact dermatitis: epidemiology and frequent sensitizers to cosmetics. J comp European Acad of Dermatology and Venereology; 2007: 21(suppl.2): 9-13. Nederost S T, Stevens S R. Diagnosis and treatment of allergic skin disorders in the elderly. Drugs Aging 2001: 18: 827–35. Fitzpatrick JE. Common inflammatory skin diseases of the elderly. Geriatrics 1989; 44(7):40-6 Wantke F, Hemmer W, Jarisch R, Gotz M, Patch test reaction in children, adults and the elderly. A comparative study in patients with suspected allergic contact dermatitis. Contact dermatitis 1996: 34: 316-9. Gupta G, Dawn G, Forsyth A. The trend of allergic contact dermatitis in the elderly population over 15-year period. Contact Dermatitis 1999: 41; 48-50. Scalf LA, Shenefelt PD. Contact dermatitis: diagnosing and treating skin conditions in elderly. J Geriatrics 2007; 62(6): 14-9 .
Dermatitis kontak iritan dan alergik pada geriatri
18. Rustemeyer T, Van-Hoogstraten IMW, Von-Blomberg BMI, Scheper JC. Mechanism in allergic contact dermatitis. Dalam: Frosch PJ, Menné T, Lepoittevin JP. Contact Dermatitis. 4thed. New York: Springer, 2006; 2: 11-44. 19. Lysbi S, Baadsgaard O. Mechanism in irritant contact dermatitis. Dalam: Frosch PJ, Menné T, Lepoittevin JP. Contact Dermatitis. Edisi ke-4. New York: Springer, 2006; 4: 69-82. 20. Cohen DE, Jacob SE. Allergic contact dermatitis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatologic in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw Hill medical 2008; 3(13): 135-46. 21. Amado A, Taylor JS, Sood A. Irritant contact dermatitis. Dalam: wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatologic in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw Hill medical 2008; 3(46): 395-401. 22. Young Em, newcomer VD, Kligman AM.Contact dermatitis. Dalam: Young Em, newcomer VD, Kligman AM. Geriatric dermatology color atlas and practitioner’s guide. London: Lea & Febiger 1993; 2: 25-6. 23. Adams RM. Allergic contact dermatitis. Dalam: Newcomer VD, Young EM. Geriatric dermatology: Clinical diagnosis and practical therapy. Tokyo: IGAKU_SHOIN 1989; 19: 131-5. 24. Stone N. non-atopic dermatitis. J Medicine 2009; 37(5): 246-8. 25. Slodownik D, Lee A, Nixonn R. Irritant contact dermatitis: A review. Australian J of Dermatol 2008; 49: 1-11. 26. Gibbs S. In vitro irritation models and immune reaction. J skin Pharmacol Physiol 2009; 22: 103-13. 27. Onder M, Oztas MO. Contact dermatitis in elderly. Am J Contact Derm 2003; 48: 224–38. 28. Goh CL, Ling R. A retrospective epidemiology study of contact eczema among the elderly attending a tertiary dermatology referral centre in Singapore. Singapore Med J 1998; 39 (10): 442-6 29. Mangelsdorf HC, Fleischer AB, Sherertz EF. Patch testing in an aged population without dermatitis: high prevalence of patch test positivity. Am J Contact Derm 1996; 7 (3): 155-7 30. Brown RG. Soap and deterjents in the elderly. J Clinics in Dermatol 1999; 14: 85-7. 31. Hyde RM. Immunogens and Immunizations. Dalam: Hyde RM. Immunology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 2000; 2: 19-32 . 32. De Groot AC: Patch testing: Test consentration vehicles for 3700 allergens. Edisi ke-2. Amsterdam, Elsevier, 1994. 33. Belsito DV. The diagnostic evaluation, treatment, and prevention of allergic contact dermatitis in the new millennium. J Allergy Clin Immunol 2000; 105(3): 409-20. 34. Silva MRE, Carneiro SCDS. Cosmetic for the elderly. J Clinics in Dermatol 2001;19: 413-23. 35. Chu DH. Overview of biology, development, and structure of skin. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatologic in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw Hill medical 2008; 3(7): 57-73. 36. Makrantonaki E, Zouboulis CC. Skin alterations and diseases in advanced age. Dalam: Finkel T, Lowenstein C, Drug discoveries today: mechanism. Elsevier 2008; 2 (5): e153-e62. 37. Fisher, G.J. (2002) Mechanisms of photoaging and chronological skin aging. Arch. Dermatol. 138, 1462–70. 38. Kabulrachman. Problematika dermatologik pada usia lanjut. Dalam: Darmojo B, Hadimantoro. Buku ajar geriatri. Jakarta: Balai penerbit FKUI 2006. 39. Makrantonaki E, Zouboulis CC. Characteristics and pathomechanisms of endogenously aged skin. Dermatology 2007; 214, 352–60. 40. Ghadially R. Aging and the epidermal permeability barrier: Implications for contact dermatitis. Am J of Contact Dermatitis 1998; 9(3): 162-9. 41. Liao YH, Chen KH, Tseng MP. Pattern of skin diseases in geriatric patient group in Taiwan: a 7-year survey from outpatient clinic of a university medical center. Dermatology 2001; 203 (40): 308-13. 42. Webster GF, Common Skin Disorders in the Elderly. J Office Dermatol 2008; 4(1): 39-44.
39
MDVI
43. Gruver AL, Hudson LL, Sempowski GD. Immunosenescence of aging. J pathol 2007; 211(2): 144-56. 44. Weiskopf D, Weinberger B, Loebenstein BG. The aging of the immune system. J European Society for Organ Transplantation 2009; 22: 41–50. 45. Vallejo AN. CD28 extinction in human T cells: altered functions and the program of T-cell senescence. Immunol Rev 2005; 205: 158. 46. Haynes L, Eaton SM, Burns EM, Randall TD, Swain SL. CD4 T cell memory derived from young naive cells functionswell into old age, but memory generated from aged naive cells functions poorly. Proc Natl Acad Sci USA 2003; 100: 15053. 47. Johnson SA, Cambier JC. Ageing, autoimmunity and arthritis: senescence of the B cell compartment - implications for humoral immunity. Arthritis Res Ther 2004; 6: 131. 48. Lazuardi L, Jenewein B, Wolf AM, Pfister G, Tzankov A, Grubeck-Loebenstein B. Age-related loss of naive T cells and dysregulation of T-cell/B-cell interactions in human lymph nodes. Immunology 2005; 114: 37. 49. Butcher S, Chahel H, Lord JM. Review article: ageing and the neutrophil: no appetite for killing? Immunology 2000;100: 411.
40
Vol. 38.No.1 Tahun 2011: 29-40
50. Plackett TP, Boehmer ED, Faunce DE, Kovacs EJ. Aging and innate immune cells. J Leukoc Biol 2004; 76: 291. 51. Solana R, Mariani E. NK and NK/T cells in human senescence. Vaccine 2000; 18: 1613. 52. Ogata K, An E, Shioi Y. Association between natural killer cell activity and infection in immunologically normal elderly people. Clin Exp Immunol 2001; 124: 392. 53. Kwangsukstith C, Maibach H I. Effects of age and sex on the induction and elicitation of allergic contact dermatitis. Contact Dermatitis 1995:33: 289–98. 54. Yokota M, Maibach HI. Moisturizer effect on irritant dermatitis: an overview. J Contact dermatitis 2006; 55: 65-72. 55. Thomson KF, Wilkinson SM, Powell S, et al. The prevalence of corticosteroid allergy in two U.K. centres: prescribing implications. Br J Dermatol 1999; 141 (5): 863-6. 56. Smack DP, Harrington AC, Dunn C, et al. Infection and allergy incidence in ambulatory surgery patients using white petrolatum vs bacitracin ointment: a randomized controlled trial. JAMA 1996; 276 (12): 972-7.